Indonesian Journal of Chemical Research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 159 Biokonsentrasi dan Bioakumulasi Mercury (Hg) Pada Lamun Enhalus Acoroides Di Teluk Kayeli Kabupaten Buru Provinsi Maluku Bioconcentration and Bioaccumulation of Mercury (Hg) in Seagrass Enhalus Acoroides in Kayeli Bay, Buru Regency, Maluku Province Fahrul R. Fakaubun 1 , Yustinus T. Male 2* , Debby A. J. Selanno 3 1 Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Ambon 2 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura 3 Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura *Corresponding Author: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id Received: 2020-8-10 Received in revised: 2020-8-22 Accepted: 2020-9-27 Available online: 2020-9-30 Abstract Gold reserves on Gunung Botak (Bald Mountain), Buru Island, were discovered in 2011. Since then, thousands of illegal miners have used amalgamation methods to extract gold in the areas of Gunung Botak and Gogrea, Buru Island. The resulting waste is disposed of into the environment directly without any treatment process so it is very dangerous for humans and the environment. This research was conducted to determine the ability of the Enhalus acoroides type of sea grass to accumulate heavy metal mercury (Hg) in the aquatic environment. This research shows that the heavy metal mercury has been distributed in the water sediments along Kayeli Bay. Mercury bio-concentration (accumulation) was found in Enhalus acoroides sea grass, in leaves (0.0243-0.0373 mg/Kg), and in rhizomes (0.0453-0.0663 mg/Kg). This results shows that the Kayeli Bay ecosystem has been contaminated with mercury. Keywords: Gunung Botak, Kayeli Bay, Mercury (Hg), bioconcenstration, Seagrass, Enhalus acoroides, Kayeli Bay Abstrak (Indonesian) Cadangan emas di Gunung Botak, Pulau Buru, ditemukan tahun 2011. Sejak saat itu ribuan penambang illegal menggunakan metode amalgamasi untuk mengekstrak emas di daerah Gunung Botak dan Gogrea, Pulau Buru. Limbah yang dihasilkan dibuang ke lingkungan secara langsung tanpa proses pengolahan sehingga sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan lamun jenis Enhalus acoroides mengakumulasi logam berat merkuri (Hg) di lingkungan perairan. Penelitian ini menunjukkan bahwa logam berat merkuri telah terdistribusi pada sedimen perairan sepanjang Teluk Kayeli. Biokosenstrasi (akumulasi) merkuri ditemukan pada lamun Enhalus acoroides, yaitu pada daun (0,0243-0,0373 mg/Kg). dan pada rhizoma (0,0453-0,0663 mg/Kg). Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan Teluk kayeli telah tercemar merkuri. Kata Kunci: Gunung Botak, Teluk Kayeli, merkuri (Hg), biokonsentrasi, lamun, Enhalus acoroides, PENDAHULUAN Biokonsentrasi adalah banyaknya konsentrasi polutan yang ada di lingkungan sekitar yang akan diserap oleh suatu organisme sehingga meningkatkan kadar polutan dalam suatu organisme. Bioakumulasi dalam suatu organisme laut merupakan tahap awal sebelum suatu organisme menunjukkan responsnya terhadap pencemar atau kontaminan dalam siklus geokimia (Fisher, 2003). Proses bioakumulasi logam berat secara kimiawi merupakan reaksi pembentukan senyawaan kompleks antara logam berat dengan sel- sel organisme yang berfungsi sebagai ligan. Proses ini dapat dijelaskan dengan teori Ligan Biotic Model (model ligan biotik) yang dapat memprediksi mekanisme interaksi logam-logam terlarut dengan organisme akuatik (Campbell, 2002). Penelitian mengenai akumulasi logam berat merkuri (Hg) dalam Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 160 jaringan tubuh organisme perairan telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Noël-Lambot (1978), Noël-Lambot dkk. (1980), Kohler dan Riisgård (1982), Langston dan Zhou (1987) tentang akumulasi Hg pada kerang-kerangan laut (moluska) Mytilus edulis, M. galloprovicialis, Littorina littorea, dan Patella vulgata (limpet). Selain itu study oleh Noël- Lambot dan Bouquegneau (1977) dan Noël-Lambot dkk. (1978) pada Anguilla anguilla, Zhang dkk. (2009), Lasut dan Yasuda (2008), Kehrig dkk.(2009) pada beberapa jenis ikan. Hingga saat ini belum banyak dilakukan penelitian tentang biokonsentrasi logam Hg pada lamun. Lamun adalah salah satu organisme yang banyak dijumpai dalam suatu perairan. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, batang, bunga dan buah. Lamun hidup dan berkembang biak pada lingkungan perairan dangkal, daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut pada subtrat pasir, pasir berlumpur, dan karang. Secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir, diantaranya merupakan produktifitas primer di perairan dangkal, sumber makanan penting bagi banyak organisme, sebagai habitat biota produsen primer, perangkap sedimen dan berperan pada transfer nutrien (Dahuri, 2003). Penelitian terhadap Enhalus acoroides sebagai bioakumulator telah dilakukan oleh Retno (1996) untuk mengukur kandungan logam Pb, Cd, Cr dan Zn pada daun, batang dan akar lamun di Perairan Pantai Jepara. Ahmad dkk. (2014) meneliti akumulasi logam berat Pb dan Hg oleh lamun di perairan Johor Malaysia, menunjukkan bahwa di antara jenis-jenis lamun yang menyerap logam Pb dan Hg, Enhalus acoroides merupakan penyerap Hg tertinggi dari semua jenis lamun yang diteliti terutama pada bagian rhizome (akar). Penggunaan lamun sebagai bioakumulator juga telah diteliti oleh Sahetapy dkk. (2006) pada Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam. Male dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai kemampuan Enhalus acoroides sebagai bioakumulator logam Pb dan Cr dan ditemukan bahwa Akar lamun di Perairan Desa Waai dan Tulehu memiliki kandungan logam Pb dan Cr yang cukup tinggi. Analisi BCF (Bioconcentration Factor) dari daun dan akar Enhalus acoroides terhadap logam berat Pb dan Cd oleh Sugiyanto (2016) menunjukkan bahwa BCF pada akar sebesar 1,44 sedangkan pada daun sebesar 1,76. Teluk Kayeli yang terletak di Pulau Buru, Provinsi Maluku (Gambar 1) merupakan perairan estuari yang dipengaruhi oleh daratan sekitarnya, melalui runoff yang masuk melalui sungai-sungai yang bermuara di teluk. Nutrien yang kontinyu melimpah menyebabkan peningkatan kesuburan perairan. Teluk Kayeli merupakan perairan subur dengan nutrien dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi yakni > 6 mg/L (Pentury dan Waas, 2009). Tingginya kandungan klorofil menunjukkan bahwa Teluk Kayeli sangat subur sehingga sangat melimpah dengan biota laut. Tingginya produktivitas perairan Teluk Kayeli tercemar oleh aktifitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di daerah Gunung Botak dan Gogrea, Pulau Buru (Male dkk., 2013). Pada penambangan emas tradisional, untuk mengekstraksi emas digunakan metode amalgamasi yang menggunakan merkuri (Hg) dalam drum berputar tromol (trommel) untuk mengikat emas (Au). Metode amalgamasi membutuhkan banyak air untuk proses pembilasan (flushing) sehingga umumnya tromol ditempatkan di dekat aliran sungai (riverbank). Limbah merkuri dalam jumlah besar yang dilepaskan ke perairan akan meningkatkan konsentrasi merkuri di perairan maupun sedimen di Teluk Kayeli. Banyak penelitian telah dilakukan di daerah diantarany pada muara Sungai Waelata. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan fenomena peningkatan konsentrasi merkuri pada ekosistem sungai dan perairan (Irsan, 2015; Salatutin, 2015; Male dkk. 2013). Aktifitas PETI di Pulau Buru telah dihentikan oleh Gubernur Maluku Tahun 2017, tetapi merkuri dalam jumlah besar telah terendapkan di dasar Sungai dan perairan Teluk Kayeli. Hal ini tentu saja akan meningkatkan potensi bioakumulasi dan biokonsentrasi merkuri pada biota dan organisme laut, misalnya lamun. Selain itu, perairan Teluk Kayeli cukup padat dengan populasi lamun Enhalus acoroides sehingga lamun jenis ini dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran logam berat merkuri. Berdasarkan kenyataan tersebut telah dilakukan analisis kemampuan lamun jenis Enhalus acoroides mengakumulasi logam berat merkuri (Hg) di lingkungan perairan. METODOLOGI Pengambilan sampel air Sampel air diambil pada delapan stasiun penelitian (Gambar 1) sepanjang pesisir Teluk Kayeli. Sampel air diambil menggunakan Van dorn water dengan jarak 25 cm dari permukaan. Sampel air (1,5 L) diambil pada setiap stasiun Sampel diawetkan dengan HNO3 2 mL, kemudian dimasukkan kedalam Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 161 0,0003 0,0002 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0002 0,0003 0,0003 0 0,0002 0,0004 0,0006 St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9K o n se n tr a si H g p a d a A ir ( m g /L ) Konsentrasi Hg pada Air (mg/L) kotak pendingin (coolbox) dan dibawa ke Laboratorium untuk analisis selanjutnya. Pengambilan sampel sedimen Sampel sedimen diambil pada lokasi yang sama dengan sampel air, dengan ketebalan lapisan ±5 cm. Pengambilan sedimen menggunakan Ekcman dredge. dengan jumlah sampel sebanyak tiga (triplicate) untuk setiap titik. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sandwich bag dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin (coolbox) (Male dkk., 2013) dan dibawa ke laboratorium untuk analisis selanjutnya. Pengambilan sampel Enhalus acoroides Sampel diambil dari dua stasiun sesuai dengan keberadaan populasi Enhalus acoroides. Lamun diambil dengan cara dicabut perlahan agar tidak merusak bagian akar dan daunnya. Sampel Enhalus acoroides yang telah diambil dimasukkan ke dalam wadah plastik, diberi label dan diletakkan dalam cool box selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk analisis selanjutnya. Pengukuran Parameterfisik-kimia perairan Pengukuran suhu air dilakukan menggunakan thermometer, kedalaman perairan diukur menggunakan tongkat berskala, pengukuran kecepatan arus dilakukan menggunakan current meter, kecerahan perairan diukur menggunakan Seichi disk, pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter digital dan pengukuran salinitas menggunakan hand refraktometer. Gambar 1. Peta lokasi penelitian Analisis Kandungan Merkuri Pada sampel Air, Sedimen, dan Enhalus acoroides Analisis kadar merkuri menggunakan instrumen Atomic Absorption Spectrophotometry Cold Vapor (AAS-CV) (Varian Perkin Elmer tipe Pin Acle 900H) pada Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Logam Berat Merkuri Pada Air Hasil analisis kadar merkuri pada badan air disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 2, terlihat bahwa konsentrasi merkuri tertinggi berada pada Stasiun 4 (muara Sungai Anahoni) yaitu 0,0004 ppm. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kadar merkuri pada badan perairan di Teluk Kayeli masih di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0,001 ppm (mg/L). Polutan merkuri masuk ke dalam lingkungan akuatik bersumber dari udara maupun kegiatan antropogenik di daratan dan kegiatan pertambangan (Connel dan Miller, 1995). Gambar 2. Konsentrasi merkuri pada badan air Rendahnya konsentrasi merkuri disebabkan metode yang digunakan dalam penelitian ini tidak dapat mendeteksi keberadaan metilmerkuri karena senyawa ini mudah menguap (volatile). Rendahnya konsentrasi merkuri pada air juga dimungkinkan karena pergerakan air pada wilayah muara yang dinamis dan dipengaruhi oleh beberapa faktor fisika seperti arus, sehingga terjadi pengenceran yang terus menerus yang mengakibatkan rendahnya kandungan merkuri. Logam berat di perairan akan menurun karena adanya dinamika perairan seperti adanya arus, gelombang, pengenceran, reaksi dengan bahan organik dan anorganik dalam perairan, serta adanya penyerapan oleh makhluk hidup. Selain itu, logam berat dalam air akan mengalami proses pengenceran dengan adanya pengaruh pola arus pasang surut. Perpindahan ion logam dalam air ke dalam sedimen terutama melalui proses partisi air-sedimen, yaitu Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 162 perpindahan logam dari bentuk terlarut dalam air ke dalam sedimen melalui fenomena adsorpsi. Hal inilah yang menyebabkan merkuri yang berada pada ekosistem pesisir terakumulasi dalam sedimen (Nontji, 1987). Untuk melihat pengaruh semua variabel terhadap kandungan merkuri di air dilakukan analisis regresi berganda menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α =0,05), ditemukan bahwa untuk variabel suhu, kedalaman, dan kecepatan arus memiliki nilai signifikansi <0,05, yang berati terdapat pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi merkuri di air. Sementara itu, variabel salinitas, pH, dan kecerahan memiliki nilai signifikansi >0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kandungan merkuri di air. Menurut Lecki dan James (1974) dalam Connel dan Miller (1995), kelarutan logam berat dalam air alamiah pada prinsipnya diatur oleh (1) pH, (2) jenis dan kepekatan ligan dan zat-zat pengkelat, dan (3) keadaan oksidasi komponen mineral dan lingkungan redoks sistem tersebut. Hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu perairan pada semua titik sampling berkisar antara 25-32 o C. Menurut Nontji (1987), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Suhu perairan yang tinggi juga akan meningkatkan pembentukan ion logam berat sehingga meningkatan proses pengendapan yang berkaitan dengan penyerapan logam berat oleh sedimen. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) perairan berkisar antara 6,79-8,03 dimana pH tertinggi berada pada Stasiun 7 (muara Sungai Marloso) sebesar 8,03, dan terendah berada pada Stasiun 6 (Sungai Waeapo) yaitu 6,79. pH adalah ukuran tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa karena dalam reaksinya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga nilai pH digunakan sebagai indikator baik buruknya suatu perairan (Wardoyo, 1975). Pengukuran salinitas perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 0- 30‰, dimana salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 9 yaitu Pantai Nametek dengan kadar 30‰. Salinitas erat kitannya dengan bentuk persenyawaan kimia pada suatu perairan. Pengukuran kedalaman perairan pada setiap stasiun penelitian juga memberikan hasil yang berbeda, kedalaman tertinggi berada pada stasiun 8 (Pantai Nametek) sebesar 3,57 m, dan stasiun dengan kedalaman terendah berada pada Stasiun 7 (muara Sungai Marloso) dengan kedalaman 0,37 m. Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik. Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat proses fotosintesis lamun di dalam air Pengkuran kecepatan arus dilakukan pada bagian permukaan perairan dengan menggunakan current meter (Tabel 1). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa, kecepatan arus pada lokasi penelitian berkisar antara 0,07-0,41 m/det, dimana kecepatan arus tertinggi berada pada Stasiun 9 (Pantai Nametek), yaitu sebesar 0,41 m/det. Tinggi rendahnya kecepatan arus ini, dipengaruhi oleh waktu pengukuran pada tiap stasiun yang tentunya memiliki hubungan dengan pasang surut air laut. Tabel 1. Kecepatan arus perairan pada setiap stasiun penelitian Kode Stasiun Nama Stasiun Pengulangan Pengukuran (m/det) Rata- rata (m/det) I II III St.1 Muara Sungai Kayeli 0,26 0,25 0,30 0,27 St.2 Kali Suket-1 0,31 0,33 0,41 0,35 St.3 Kali Suket-22 0,37 0,39 0,42 0,39 St.4 Muara Sungai Anahoni 0,32 0,31 0,29 0,31 St.5 Muara Sungai Waelata 0,08 0,04 0,08 0,07 St.6 Sungai Waeapo 0,11 0,12 0,17 0,13 St.7 Muara Sungai Marloso 0,21 0,19 0,25 0,22 St.8 Pantai Nametek-1 0,33 0,36 0,37 0,35 St.9 Pantai Nametek-2 0,41 0,42 0,41 0,41 Hasil pengukuran kecerahan pada masing- masing stasiun juga berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengukuran terlihat bahwa kecerahan rata-rata berkisar antara 0,2-2,00 m, dimana kecerahan tertinggi berada pada stasiun 8 (Pantai Nametek-1) sebesar 2,00 m dan terkecil adalah stasiun 6 (Sungai Waeapo) sebesar 0,20 m. Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. Kecerahan air menunjang produktifas perairan. Berkurangnya kecerahan air akan mengurangi kemampuan fotosintesis tumbuhan air, selain itu dapat pula mempengaruhi fisiologi biota air (Effendi, 2003). Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 163 Konsentrasi Logam Berat Merkuri pada Sedimen Berbeda dengan konsentrasi logam berat merkuri pada air yang kecil dan masih berada di bawah ambang batas, konsentrasi merkuri pada sedimen di semua stasiun menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari air namun masih berada di bawah Baku Mutu ANZECC/AMRCANZ (2000). Hasil analisis kadar merkuri pada sedimen disajikan pada dalam bentuk grafik pada Gambar 3. Gambar 3. Konsentrasi merkuri pada sedimen Hasil penelitian menunjukkan kisaran konsentrasi merkuri antara 0,067-0,296 mg/Kg, dengan konsentrasi tertinggi berada pada Stasiun 1 (muara Sungai Kayeli) sebesar 0,296 mg/Kg dan terendah berada pada Stasiun 9 (Pantai Nametek-2) sebesar 0,067 mg/Kg. Tingginya konsentrasi merkuri pada sedimen dibandingkan dengan pada air disebabkan karena merkuri lebih banyak terakumulasi dan mengendap pada sedimen (Male dkk., 2014). Tabel 2. Tipe sedimen dan rata-rata konsentrasi merkuri pada setiap stasiun penelitian Stasiun Penelitian Tipe Sedimen Kandungan rata-rata Merkuri (mg/Kg) Persentasi (%) Klasifikasi Kerikil Pasir Lumpur St.1 - 18,27 81,73 Lumpur berpasir 0,296 St.2 - 89,27 10,73 Pasir 0,137 St.3 1,42 66,92 31,66 Pasir berlumpur 0,146 St.4 - 19,30 80,70 Lumpur berpasir 0,165 St.5 19,67 32,63 47,70 Lumpur berpasir 0,141 St.6 - 86,41 13,59 Pasir 0,099 St.7 23,62 42,39 33,99 Pasir berlumpur 0,11 St.8 - 63,88 36,12 Pasir berlumpur 0,085 St.9 10,70 69,11 20,18 Pasir berlumpur 0,067 Tinggi rendahnya kadar merkuri dalam sedimen ditentukan juga oleh ukuran butiran sedimen sehingga dilakukan analisis fraksi sedimen (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan tekstur sedimen pada setiap stasiun. Stasiun 1, 4, dan 5 memiliki tipe sedimen yang didominasi oleh lumpur dengan butiran sangat halus. Hal ini menjelaskan tingginya kadar merkuri pada ketiga stasiun tersebut. Sedimen yang didominasi oleh lumpur memiliki kandungan rata-rata merkuri yang tinggi, hal ini diduga karena tekstur sedimen mempengaruhi kadar logam berat yang terkandung dalam sedimen, dimana sedimen dengan tekstur berlumpur dan lempung lebih banyak terjadi pengendapan logam berat khususnya merkuri. Partikel sedimen yang halus biasanya mempunyai kandungan bahan pencemar yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik menarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. Selain itu jugaa logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, sehingga biasanya kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Konsentrasi merkuri pada sedimen cenderung tinggi terkait dengan fraksi lempung, partikel tersuspensi, koloid, dan bahan organik yang mengalami proses pengendapan. Konsentrasi merkuri pada sedimen berkorelasi dengan karbon organik, akan tetapi bervariasi dan berbanding terbalik dengan fraksi pasir (Male dkk., 2014). Untuk melihat pengaruh variabel suhu, pH, salinitas, kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, dan kandungan merkuri di air, terhadap kandungan merkuri di sedimen dilakukan analisis regresi berganda dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), semua nilai signifikansi > 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi kandungan merkuri pada sedimen. Konsentrasi Logam Berat Merkuri Pada Lamun Enhalus acoroides Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan laut berbunga yang tercatat di lingkungan laut. Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun yang paling melimpah di perairan Indonesia dan mempunyai ukuran morfologi yang besar. Lamun jenis Enhalus acoroides merupakan spesies yang umum tumbuh di substrat lumpur. Jenis Enhalus acoroides dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik ataupun seringkali tumbuh membentuk vegetasi campuran (mixed vegetation) (Dahuri, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh stasiun di sepanjang Teluk Kayeli dan Pantai Nametek, ekosistem padang lamun Enhalus acoroides hanya ditemukan pada muara Sungai Marloso dan Pantai Nametek. Hal ini diduga karena nilai 0,296 0,137 0,146 0,165 0,141 0,099 0,110 0,085 0,067 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 K o n se n tr a si H g ( p p m ) Rata-rata Konsentrasi Hg pada Sedimen (mg/Kg) Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 164 kecerahan rata-rata di seluruh stasiun penelitian sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai rata-rata kedalaman pada setiap stasiun terkecuali stasiun 1, stasiun 7, dan stasiun 9. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan dan laju pertumbuhan E. acoroides adalah kekeruhan. Tingginya kekeruhan dapat menghambat cahaya masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis lamun dapat terhambat yang menyebabkan laju pertumbuhan rendah bahkan tidak ditemukan dalam lingkungan peraian (Dahuri, 2003). Keberadaan lamun Enhalus acoroides yang ditemukan pada stasiun 7 dan 9 kemudian dianalisis kandungan merkurinya untuk diketahui tingkat bioakumulasinya terhadap logam berat merkuri. Adapun hasil analisis konsentrasi merkuri pada lamun Enhalus acroides dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Konsentrasi Merkuri pada daun dan rhizoma Enhalus acoroides Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa akumulasi merkuri pada bagian rhizome di kedua stasiun lebih besar dibandingkan dengan akumulasi merkuri di daun yaitu sebesar 0,0453-0,0663 mg/Kg pada rhizome dan pada daun sebesar 0,0243-0,0373 mg/Kg. Perbedaan akumulasi ini dimungkinkan karena adanya perbedaan fungsi dari kedua bagian lamun tersebut, yakni bagian rhizome dan daun. Rhizoma dari E. acoroides tertanam di dalam subtrat, mempunyai akar yang kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang kaku (Dahuri, 2003). Secara morfologi akar lamun berfungsi sebagai penyerap nutrient dari subtrat yang ditempati, kemudian nutrient dan logam-logam yang terserap melalui akar tersebut akan ditranslokasikan menuju ke rhizoma dan daun sebagai cadangan makanan. Hasil penelitian Ahmad dkk. (2014) tentang akumulasi lamun terhadap Pb dan Hg di perairan Johor Malaysia, menunjukkan bahwa diantara jenis-jenis lamun yang menyerap logam Pb dan Hg, Enhalus acoroides merupakan penyerap Hg tertinggi dari semua jenis lamun yang diteliti terutama pada bagian rhizomanya yang mengakumulasi lebih besar dibandingkan dengan daun dan akar. Jika melihat hasil analisis kandungan merkuri pada sedimen dan air dari semua stasiun penelitian, merkuri di sedimen menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan merkuri di air, hal ini memberikan gambaran bahwa proses akumulasi logam berat oleh Enhalus acoroides sangat aktif pada bagian akar dan rhizoma. Proses penyerapan langsung nutrient oleh daun dari air pada saat proses fotosintesis berlangsung juga mempengaruhi keberadaan merkuri pada lamun, namun tidak sebesar pada rhizoma. Pengujian kadar air menunjukkan bahwa daun E. acoroides memiliki kadar air sebesar 71,14%, sementara pada rhizoma sebesar 82,52%. Adapun pengujian kadar abu pada daun menunjukkan hasil sebesar 85,35% sementara pada rhizome sebesar 84,60%. Bioakumulasi dam Biokonsentrasi Merkuri pada Lamun Enhalus acoroides Bioakumulasi adalah masuknya bahan pencemar oleh makhluk hidup dari suatu lingkungan melalui suatu mekanisme atau lintasan. Proses bioakumulasi dapat dilihat sebagai suatu keseimbangan antara dua proses kinetika, pengambilan dan pelepasan (Connel dan Miller, 2006). Bioakumulasi logam berat bersama dengan nutrient pada lamun Enhalus acoroides tidak hanya terjadi di akar namun juga terjadi di daun meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit daripada di akar, sehingga dapat diketahui bahwa konsentrasi logam berat yang terdapat di daun tidak hanya berasal dari mobilitas akar namun juga proses penyerapan oleh daun itu sendiri (Sugiyanto, 2016). Ivanciuc dkk. (2006) menyatakan bahwa bioakumulasi bahan kimia dalam suatu perairan merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi ekologi dan tingkat pencemaran suatu lingkungan. Untuk mengukur kemampuan Enhalus acoroides dalam mengakumulasi merkuri, maka perlu diketahui terlebih dahulu nilai biokonsentrasi faktor pada Enhalus acoroides. Connel dan Miller (2006) menyatakan bahwa biokonsentrasi adalah masuknya bahan pencemar secara langsung dari air oleh makhluk hidup melalui jaringan. Biokonsentrasi Faktor merupakan kecenderungan suatu bahan kimia yang diserap oleh organisme akuatik. LaGrega dkk. (2001) menyatakan bahwa Biokonsentrasi Faktor merupakan rasio antara konsentrasi bahan kimia dalam organisme akuatik dengan konsentrasi bahan kimia di dalam air. Namun, untuk menghitung Biokonsentrasi Faktor Enhalus acoroides terhadap logam berat, dibandingkan antara konsentrasi logam berat dalam organisme akuatik dengan konsentrasi bahan kimia di dalam sedimen. Analisa BCF dilakukan untuk mengetahui 0,0373 0,0243 0,0453 0,0663 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 Stasiun 7 Stasiun 9 K o n se n tr a si M e rk u ri (m g /K g ) Daun Enhalus acoroides Rizhoma Enhalus acoroides Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 165 tingkat akumulasi logam berat pada rhizoma dan daun Enhalus acoroides mengikuti rumus perhitungan BCF yang digunakan oleh Baker (1981). Hasil perhitungan nilai BCF (Tabel 3) dari Enhalus acoroides menunjukkan nilai BCF rhizoma Enhalus acoroides sebesar 0,412 pada stasiun 7 dan 0,99 pada stasiun 9. Sementara nilai BCF daun Enhalus acoroisdes sebesar 0,339 pada stasiun 7 dan 0,363 pada stasiun 9. Tabel 3. Nilai BCF dari Enhalus acoroides Stasiun Penelitian [Hg] di Sedimen (mg/Kg) [Hg] di Rhizoma (mg/Kg) [Hg] di Daun (mg/Kg) BCF (Corg/Csed) Rhizoma Daun St.7 0,110 0,045 0,037 0,412 0,339 St.9 0,067 0,066 0,024 0,99 0,363 Berdasarkan Tabel 6 apabila dikategorikan menurut Baker (1981), Enhalus acorides termasuk ke dalam tanaman bioindikator terhadap logam berat Hg dengan nilai BCF<1 dan mendekati 1. Pada penelitian Sugiyanto (2016) tentang akumulasi Enhalus acoroides terhadap logam berat Pb dan Cd, ditemukan bahwa nilai BCF pada akar dan daun lamun >1 dan dikategorikan sebagai akumulator Pb dan Cd, namun dalam penelitian ini Nilai BCF pada akar dan daun lamun terhadap logam berat merkuri <1 dan mendekati 1, sehingga dikategorikan sebagai exluder. Perbedaan nilai BCF ini diduga akibat perbedaan konsentrasi jenis logam berat pada lokasi perairan yang diteliti, dimana pada penelitian Sugiyanto (2016) logam berat pada air mencapai kisaran 0,0352- 0,2759 ppm, jauh lebih tinggi dibandingkan konsentrasi logam berat merkuri di perairan Teluk Kayeli yaitu berkisar antara 0,0002-0,004 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lu (1995) bahwa tingginya logam berat di suatu perairan dapat menyebabkan kontaminasi, akumulasi, bahkan pencemaran terhadap lingkungan seperti tumbuhan, biota, sedimen dan sebagainya. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa logam berat merkuri telah terdistribusi pada sedimen perairan sepanjang Teluk Kayeli. Biokosenstrasi (akumulasi) merkuri ditemukan pada lamun Enhalus acoroides, yaitu pada daun (0,0243-0,0373 mg/Kg). dan pada rhizoma (0,0453-0,0663 mg/Kg). Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan Teluk kayeli telah tercemar merkuri. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, F., Azman, S., Said, M, I, M., Baloo, L., Sabri, S. and Salmiati., 2014. Metals in Tropical Seagress-Accumulation of Mercury and Lead. World Appl. Sci. J., 32 (8), 1468-1473, Australian and New Zealand Environment and Conservation Council (ANZECC) and Agriculture and Resource Management Council of Australia and New Zealand (ARMCANZ). 2000. Australian and New Zealand Guidelines for Fresh and Marine Water Quality. Volume 1, Australian and New Zealand Environment and Conservation Council. Canberra. Baker, A, J., 1981. Accumulators and excluders- strategies in the response of plants to heavy metals, J. Plant Nutr., 3 (1–4), 643–654. Campbell, P., 2002. Predicting metal bioavailability – applicability of the Biotic Ligand Model; CIESM Workshop Monographs Metal and radionuclides bioaccumulation in marine organisms; CIESM, Monaco Connel, D.W. and Miller, G.J. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi (Penerjemah). Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dahuri. R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Asset Pembangunan Berkelanjutan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perariran. Kanisius, Yogyakarta. Fisher, N., 2003. Advantage and Problems in The Apllication of Radiotracer for Determining The Bioaccumulation of Contaminant in Aquatic Organism, RCM on Biomonitoring, IAEA, Monaco. Irsan, 2015. Analisis Konsentrasi Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Air, Sedimen, dan Kerang Polymesoda erosa Di Muara Sungai Waelata dan Sungai Anahoni Kabupaten Buru, Thesis, Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Universitas Pattimura, Ambon. Ivanciuc, T., Ovidiu I., and Douglas, J.K,. 2006. Modelling the Bioconcentration Factor and Bioaccumulation Factor of Polychlorinated Biphenyls with Posetic Quantitative Super- Structure/Activity Relationship (QSSAR), Molecular Diversity, 10, 133 – 145. Kehrig, H. do A., T.G. Seixas, E.A. Palermo, A.P. Baeta, Ch.W. Castelo-Branco, O. Malm and I. Moreira, 2009, The Relationship Between Mercury And Selenium In Plankton And Fish From A Tropical Food Web, Environ. Sci. Pollut. Res., 16, 10-24. Fahrul R. Fakaubun dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(2), 159-166, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 166 Kohler, K., and Riisgård, H.U., 1982. Formation of Metallothionein in Relation to Accumulation of Cadmium in the Common Mussel Mytilus edulis, Mar. Biol., 66, 53-58. LaGrega, M.D., Phillip L. Buckingham, Jeffry C. Evans and Environmental Resources Management (Firm), 2001. Hazardous Waste Management. Second Edition. McGraw Hill International Edition. New York. Langston, W. J., Zhou, M., 1987. Cadmium Accumulation, Distribution and Metabolism in the Gastropod Littorina littorea: the Role of Metal-Binding Proteins, J. Mar. Biol. Assoc. U.K., 67, 585-601. Lasut, M.T. and Y. Yasuda, 2008. Accumulation of Mercury in Marine Biota of Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia, Coastal Mar. Sci., 32(1), 33-38. Lu. F. C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko, Terjemahan dari Basic Toxycology: Fundamentals, Target Organ, and Risk Assesment, oleh Nugroho, E. Bustami, Z. S dan Darmansyah, I. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Male, Y. T., Sunarti dan Nunumete, N., 2014. Analisis Kandungan Timbal (Pb) Dan Kromium (Cr) Pada Akar Lamun (Enhalus acoroides) Di Perairan Desa Waai Dan Tulehu Kabupaten Maluku Tengah, Ind. J. Chem. Res., 1(2), 66-77. Male, Y. T., Reichet-Brushet, A. J., Poccok, M. and Nanlohy, A., 2013. Recent Mercury Contamination from Artisan Gold Mining on Buru Island, Indonesia-Potential Future Risks to Environmental Health and Food Safety, J. Marine Pollution Bull., 77; 428-433. Noël-Lambot, F. and J.M. Bouquegneau, 1977. Comparative Study of Toxicity, Uptake and Distribution of Cadmium and Mercury in the Seawater Adapted Eel Anguilla anguilla, Bull. Environ. Contam. Toxicol., 18(4), 418424. Noël-Lambot, F., Ch. Gerday and A. Disteche, 1978. Distribution of Cd, Zn and Cu in Liver and Gills of the Eel Anguilla anguilla with Special Reference to Metallothioneins, Comp. Biochem. Physiol., 61C, 177-187. Noël-Lambot, F., J.M. Bouquegneau, F. Frankenne, and A. Disteche, 1980. Cadmium, Zinc and Copper Accumulation in Limpets (Patella vulgata) from the Bristol Channel with Special Reference to Metallothioneins, Mar. Ecol.Prog. Ser., 2, 81-89. Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Pentury, R. dan Waas, H. J. D., 2009. Penentuan Konsentrasi Klorofil-A Perairan Teluk Kayeli Pulau Buru Menggunakan Metode Inderaja, J. Triton, 5(2), 60 – 66. Retno., 1996. Menggukur Kadar Logam Berat Pb, Cd, Zn Pada Perairan Pantai Jepara Dengan Menganalisis Lamun Berdasarkan Bagian Daun, Batang, Dan Akar Lamun prosiding seminar hasil penelitian ilmu kelautan. Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi LIPI No.27. Jakarta. Sahetapy, S. dan Lewerissa, Y. A., 2006. Analisis Logam Berat Pb, Cd, Cr Diperairan Pantai Teluk Ambon Bagian Dalam. Lembaga Penelitian Unpatti Kumpulan Abstrak, Ambon Salatutin, F. M., 2015. Analisis Konsentrasi Logam Berat Merkuri (Hg) Pada Sedimen Sungai Wamsait, Waeapo, dan Marloso Di Pulau Buru, Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Pattimura. Sugiyanto, R, A, N. dan Kasitowati, R, D., 2016. Analisis Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmuim (Cd) Pada Lamun Enhalus acoroides Sebagai Agen Fitoremediasi Di Pantai Paciran, Lamongan, Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VI, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya Malang. Wardoyo, S.T., 1975. Kriteria Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan, Departemen Tata Produksi Perikanan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Zhang, Z.S., D. M. Zheng, Q. C. Wang and X. G. Lv, 2009. Bioaccumulation of Total And Methyl Mercury In Three Eaerthworm Species (Drawida sp., Allolobophora sp., and Limnodrilus sp.), Bull. Environ. Contam. Toxicol., 83, 937-942.