95 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual GENERASI MILENIAL DAN ABSURDITAS DEBAT KUSIR VIRTUAL Noveliyati Sabani noveliyati.sabani@yahoo.com Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia Abstract Recent days witness the prominence of ‘virtual silly debate’, often associated with the increase usage of social media by the millennial generation. According to the psychological approach, the youth engagement in the silly debate is driven by their unstable, selfish, and emotional psychological traits. I argue that the young engagement in the silly debate is triggered by their inability to filter the content of the social media, currently dominated by hate speech and hoax. The youth believe that such content represents the truth and try to defend it as hard as possible. To address the problem, we need to enforce the law and educate the young to competently handling content published in social media. Another solution is internalizing Pancasila values and norms that can encourage the young to use social media productively. Abstrak Debat kusir virtual yang bersifat absurd adalah salah satu gejala yang berkaitan dengan hubungan antara generasi milenial dengan media sosial. Menurut pendekatan psikologis, gejala itu adalah konsekuensi dari ciri-ciri generasi muda yang memang labil, egois, emosional. Solusi untuk mengatasinya adalah perbaikan atas berbagai kondisi psikologis tersebut. Artikel ini ingin melengkapi aspek-aspek yang kurang dibahas dalam pendekatan psikologis tersebut, dengan menawarkan argumen bahwa penyebab dari munculnya gejala itu adalah karena generasi milenial seringkali terpapar oleh konten-konten ujaran kebencian dan hoax. Penyebab lainnya adalah generasi milenial cenderung rentan terhadap konten-konten yang disebarkan melalui sosial media tanpa kemampuan untuk menyaringnya secara kritis. Mereka sangat meyakini bahwa konten- konten itu adalah fakta sehingga berupaya untuk mempertahankannya dengan keras. Sosialisasi dan penerapan peraturan, literasi media sosial adalah beberapa cara yang bersifat eksternal yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Cara lainnya, yang bersifat internal, adalah menanamkan berbagai nilai dan norma kebajikan hidup, sebagai warga negara, yang bersumber pada Pancasila serta mendorong generasi milenial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif di media sosial. Keywords: Millenial Generation, Absurdity, Virtual Silly Debate, Social Media. INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi - ISSN (p) 0126-0650; ISSN (e) 2502-3837 Vol. 48, No. 1 (2018), pp.95-108. doi: http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v48i1. 18078 96 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 PENDAHULUAN Salah satu dari pengelompokan generasi muda yang banyak diperbincangkan saat ini, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, adalah generasi milenial (millenial). Para peneliti sosial sering mengelompokkan mereka sebagai generasi yang lahir di antara tahun 1980-an sampai 2000-an atau bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemuda yang saat ini berusia 17-37 tahun (RumahMillenials.com, 2017). Generasi ini identik dengan teknologi, khususnya internet dan media sosial. Menurut penelitian Pew Research Center (2010), generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari penggunaan teknologi, terutama internet, karena hal itu sudah menjadi kebutuhan pokok mereka dan kebanyakan dari mereka memiliki media sosial. Salah satu gejala yang menarik berkaitan dengan hubungan antara generasi milenial dengan media sosial adalah debat kusir virtual. Mereka menggunakan media sosial untuk memperbincangkan apapun, dari hal- hal yang remeh-temeh, misalnya persoalan sebuah gambar palsu atau tidak, klub sepak bola yang digemari, hingga hal-hal yang penting bagi kehidupan masyarakat, seperti pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 atau pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Debat kusir virtual itu biasanya menjadi ajang untuk saling kritik, saling hina, saling fitnah, dan sebagainya. Selain itu, debat tersebut biasanya berlangsung sengit, tanpa peduli dengan substansi, tanpa acuan data yang valid, menyita waktu produktif, dan seringkali berujung pada pertengkaran. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang absurd sebab debat, yang sejatinya merupakan hal positif dalam rangka mencari kebenaran, malah menjadi aktivitas yang berlandaskan, berlangsung dan berujung pada ketidakjelasan. Bagaimana gejala di atas dimungkinkan? Apa faktor-faktor penyebabnya? Bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Pendekatan psikologis melihat gejala demikian sebagai konsekuensi dari ciri-ciri generasi muda yang labil, berorientasi pada diri sendiri, tidak logis dalam membuat keputusan, pemberontak, emosional (Gardner, 1996). Secara umum, pendekatan ini menawarkan berbagai solusi yang sifatnya psikologis, seperti manajemen diri, penyembuhan (healing), berbagai macam pelatihan untuk menata kepribadian, dan sebagainya. Hal-hal tersebut memang mempengaruhi generasi milenial dalam melakukan debat kusir virtual, namun terdapat realitas lain yang bisa lebih menjelaskan mengapa gejala itu terjadi. Adagium dalam salah satu perspektif ilmu sosial menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Hal demikian agaknya bisa menjadi dasar dalam menyusun argumen tentang penyebab munculnya debat kusir virtual pada generasi millenial. Menurut penulis, salah satu penyebab munculnya fenomena debat kusir virtual pada generasi millenial adalah karena mereka seringkali terpapar oleh hal- hal berbau ujaran kebencian, informasi hoax, dan hal-hal sejenis lainnya sehingga pada akhirnya membuat mereka menjadi terbiasa untuk mengkritik, menyebarkan argumen berdasarkan kebenaran pribadi, dan berlomba-lomba untuk menjadi yang paling benar di media sosial. Selain itu, generasi milenial juga merupakan kelompok yang rentan terhadap konten-konten apapun yang disebarkan melalui sosial media, termasuk radikalisme dan intoleransi, tanpa kemampuan mereka untuk menyaringnya secara kritis, sehingga menjadi tidak terkendali (Oswin, 2017) dan berujung pada debat kusir virtual. Dengan berpijak pada pandangan di atas, ada dua jalan keluar untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama bersifat eksternal, yaitu dengan mengatasi faktor- faktor yang menyebabkan generasi milenial terlibat dalam berbagai debat kusir virtual. Kedua bersifat internal, yaitu menanamkan nilai-nilai hidup berlandaskan Pancasila serta melakukan berbagai kegiatan produktif yang dapat menjadi jawaban dari persoalan debat kusir virtual. 97 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual Fenomena debat kusir virtual yang menjadi fokus gejala dalam tulisan ini akan dianalisa dengan Teori Kultivasi, yang merupakan salah satu teori efek media massa dalam ilmu komunikasi. Namun, teori ini disusun berdasarkan pada kasus media televisi, sementara tulisan ini berbasis pada kasus media sosial. Karenanya, penulis berupaya untuk melakukan semacam “kontekstualisasi” sehingga prinsip-prinsip dasar dari teori ini dapat berlaku pula pada media non-televisi, yaitu sosial media. Secara singkat, gagasan utama dari Teori Kultivasi adalah bahwa melalui proses yang terus-menerus “televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya” (Saefudin dan Venus, 2007: 83, dengan mengutip Wood, 2000). Teori ini berkembang dalam perdebatan tentang efek media: memiliki efek yang kuat atau terbatas, langsung atau tidak langsung (kumulatif ) (Saefudin dan Venus, 2007: 83). Teori Kultivasi, yang merupakan perkembangan dari gagasan Gerbner mengenai efek media, berpendapat bahwa “efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual” (Saefudin dan Venus, 2007: 83). Jadi, dengan mengacu pada teori tersebut, khalayak atau masyarakat penonton akan menganggap bahwa apapun yang dipertontonkan dalam media, khususnya pada saat itu adalah televisi, merupakan bagian dari dunia nyata sehari-hari yang mereka alami. Pada gilirannya, karena dianggap sebagai kenyataan, khalayak berkecenderungan untuk menjadikan berbagai acara yang muncul dalam televisi sebagai rujukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Televisi merupakan media yang menjadi fokus pembahasan dalam teori ini sebab pada era itu, era tahun 1960-an dimana penelitian yang menghasilkan teori tersebut dilakukan, media utama yang bersifat audio visual dan memiliki efek yang kuat bagi masyarakat penontonnya adalah televisi (Siregar, 2006). Namun, kecanggihan teknologi pada zaman generasi milenial saat ini telah membuat televisi tidak lagi menjadi media utama yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang sedemikian rupa, begitu cepat, dan melahirkan berbagai penemuan baru, termasuk media sosial. Kemunculan internet pada tahun 1969 secara tidak langsung telah mengubah gaya hidup masyarakat dalam mencari dan mengkonsumsi berita atau informasi. Laporan Ericsson (dikutip dari Republika.co.id, 26 Desember 2016) menguraikan kecenderungan generasi milenial berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut laporan tersebut, untuk memperoleh berbagai informasi, media sosial adalah sarana yang amat diandalkan oleh generasi ini. Penulis beranggapan bahwa teori ini relevan bukan hanya untuk media televisi, tapi juga media sosial. Dengan demikian, melalui Teori Kultivasi terlihat bagaimana efek dari media, dalam hal ini media sosial, dapat mempengaruhi khalayak untuk memiliki pandangan bahwa apa yang mereka yakini terjadi di internet atau media sosial pada khususnya adalah benar-benar terjadi di dunia nyata. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif, yang kemudian diikuti dengan penerapan hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, berdasarkan pada teori tersebut, audience, dalam hal ini generasi milenial yang sering menerima dan mengkonsumsi konten berbau ujaran kebencian atau hoax yang tersebar di media sosial, pada akhirnya meyakini hal-hal yang diragukan kebenarannya tersebut sebagai realita dalam kehidupan nyata. Karenanya, banyak generasi muda pengguna media sosial menjadi terpancing untuk berlomba- lomba menyebarkan berita penuh kebencian, menyerang pihak-pihak tertentu, memasang headline-headline provokatif tanpa mengindahkan lagi dan menjunjung tinggi etika sosial, termasuk kode etik jurnalisme. Mereka berlomba-lomba untuk membagi dan menyebarkan berita yang sesuai dengan kebenaran versi pribadi masing-masing karena terbiasa menerima hal-hal demikian. Di lain pihak, banyaknya berita bohong 98 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 (hoax) dan berita dengan konten ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial akan dengan mudah menerpa generasi milenial mengingat mereka adalah generasi yang hampir selalu menyediakan waktu untuk menggunakan media sosial. Sayangnya, kemampuan generasi milenial untuk menyaring informasi yang mereka dapatkan dari media sosial sangat rendah. Mereka seringkali langsung mempercayai setiap konten yang tersebar. Karenanya, dengan berpijak pada Teori Kultivasi, generasi milenial yang diterpa konten-konten seperti itu secara berulang-ulang pada akhirnya akan menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan cerminan dari dunia nyata, baik dalam arti menyetujui atau menolak konten-konten tersebut. Pada gilirannya, seringkali terjadi debat kusir virtual di orang-orang yang menyetujui atau menolak konten-konten tersebut. Tulisan ini terdiri atas empat bagian. Pertama adalah Pengantar yang mencakup fokus gejala, yaitu debat kusir virtual; pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan debat kusir virtual, tinjauan kritis atas berbagai kajian tentang debat kusir virtual, dan argumen penulis mengenai gejala tersebut. Di dalam Pengantar juga dibahas uraian tentang Teori Kultivasi, salah satu teori dalam Ilmu Komunikasi, yang menurut penulis relevan untuk menjelaskan debat kusir virtual. Ketiga, uraian tentang berbagai teknik yang penulis terapkan untuk mendapatkan data. Keempat adalah analisa yang terdiri atas tiga sub-bagian, yaitu gambaran umum tentang debat kusir virtual, faktor-faktor penyebab debat kusir virtual pada generasi milenial dan cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Kelima adalah kesimpulan. METODE Data dalam tulisan ini diperoleh dengan cara melakukan studi dokumen, wawancara dengan beberapa informan (narasumber), dan studi pustaka. Studi dokumen didapat melalui kasus-kasus debat kusir dalam media sosial, seperti Line, Instagram, Facebook, dan Twitter. Kasus-kasus ini, yang penulis ikuti karena keseharian penulis sendiri berhubungan dekat dengan berbagai media sosial tersebut, menjadi contoh dari gejala debat kusir virtual. Sedangkan untuk wawancara dilakukan dengan mencari informan melalui akun media sosial Instagram yang penulis miliki. Dari pencarian itu lalu didapatlah sembilan informan berusia 18-25 tahun, dengan rincian dua perempuan dan tujuh laki-laki. Pemilihan informan tersebut didasarkan pada aktifitas mereka di media sosial dan pernah terlibat dalam berbagai debat kusir virtual. Wawancara dilakukan dengan tanya-jawab melalui direct message pada Instagram. Selain itu, wawancara langsung juga dilakukan dengan satu informan laki- laki, seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, yang juga pernah terlibat dalam debat kusir virtual. Wawancara dilaksanakan di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia pada 20 Oktober 2017. Untuk memperkaya data, penulis juga melakukan studi pustaka. Hal ini dilakukan dengan menelusuri topik-topik yang berkaitan dengan fenomena debat kusir virtual, generasi milenial, dan media sosial. Data yang berkaitan dengan topik-topik itu penulis dapatkan baik dari media online maupun offline. HASIL DAN PEMBAHASAN Absurditas Debat Kusir Virtual Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan debat kusir sebagai “debat yang tidak disertai dengan alasan yang masuk akal” (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, tanpa tahun). Dalam konteks dunia online, debat kusir itu terjadi secara virtual atau tidak nyata (maya). Menurut saya, debat kusir virtual ini bersifat absurd karena hal yang menjadi landasan perdebatan, misalnya pokok persoalan; proses berlangsungnya perdebatan, seperti argumen yang kokoh dengan ditunjang oleh data yang valid, respek terhadap lawan debat, maupun akhir dari perdebatan berupa 99 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual suatu kesimpulan tertentu, berujung pada ketidakjelasan. Contohnya, berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 informan yang mengaku pernah terlibat dalam debat kusir virtual, tiga informan menyatakan pernah ikut dalam perdebatan di sosial media ketika momen pemilihan Gubernur DKI 2017. Informan Ramadlan (wawancara melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017) mengaku turut serta dalam debat kusir karena merasa tersinggung atas konten yang menjelekan calon pasangan Anies- Sandi yang didukungnya. Informan lainnya beralasan karena merasa ingin meluruskan konten yang menurutnya tidak terbukti kebenarannya berkaitan dengan persoalan yang tengah menjadi bahan perdebatan di media sosial: “Jadi waktu itu permasalahannya tentang penistaan yang dilakukan oleh gubernur DKI waktu itu. Saya mengikuti debat kusir tersebut karena, saya selaku umat muslim merasa tersinggung atas tindakan tersebut. Saya merasa di lain pihak berfikiran bahwa keadilan di Indonesia tidak adil, sebab menurut mereka gubernur DKI pada waktu itu tidak salah. Sedangkan menurut kami, itu adalah salah, karena dia atau penista masuk (membahas) apa yang bukan ranahnya. Jadi sama-sama menuntut keadilan. Jika tidak ada yang membagikan konten tentang ujaran kebencian atau hal-hal yang menyinggung seperti itu, sepertinya tidak akan terjadi debat kusir virtual tersebut. Karena menurut saya perdebatan akan muncul ketika permasalahan ada.” (Wawancara dengan dengan Ardiansyah melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017) Terakhir, informan ketiga, Azzukhruf (wawancara melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017) yang mengaku bahwa ia terlibat dalam debat kusir virtual karena, menurutnya, Ahok-Djarot sebagai calon pasangan gubernur yang didukungnya, sudah memiliki kontribusi yang besar untuk Jakarta, sehingga ia ingin memberikan opini pada perdebatan yang ada untuk membuat pihak lain berbalik ikut mendukung pasangan tersebut. Berikut penuturannya: “Saya waktu itu pernah terlibat debat kusir yang topiknya itu mengenai Ahok. Kalau menurut saya, saya itu mendukung Ahok karena kinerjanya dan kontribusinya untuk Jakarta itu sudah bagus dan lain-lain. Tetapi teman saya itu semenjak ada kasus penodaan agama itu benar-benar benci Ahok. Dan itu benar-benar debat yang sampai memakan waktu 2 jam kalau tidak salah tanpa adanya penengah. Menurut saya, Ahok sudah minta maaf, lalu apa yang perlu dipermasalahkan lagi? Islam juga mengajarkan ambil solusi lain jadi tidak perlu diperpanjang. Lagipula dia sudah berkontribusi besar buat kemajuan Jakarta. Bagi saya, hal ini 60% penting karena ingin mengusulkan pendapat dan 40% tidak penting karena benar- benar kedua belah pihak sama-sama keras kepala dan tidak ada penengah juga. Menurut saya, masalah seperti itu awalnya memang karena ada konten yang memancing atau menyinggung.” Berdasarkan pada apa yang disampaikan tiga informan di atas, terlihat bahwa generasi millenial dalam melakukan perdebatan di media sosial hanya berlandaskan pada alasan pribadi dan tidak didukung data serta sumber yang akurat. Rata-rata dari mereka melakukan perdabatan karena tersinggung oleh konten yang menjelekkan pasangan yang didukung, ingin membentuk opini atas pasangan yang didukung serta ingin meluruskan konten yang dirasa tidak benar. Jika debat berlanjut, maka hal ini akan berpengaruh pada proses dan akhir dari debat tersebut, yang biasanya tanpa kejelasan pula. Ini adalah contoh nyata dari absurditas debat kusir virtual. Contoh lainnya adalah debat kusir virtual yang berkaitan dengan penyebutan kata “pribumi” dalam pidato Anies Baswedan pada saat pelantikannya sebagai gubernur baru DKI Jakarta, yang baru- baru ini ramai mewarnai pemberitaan. Hal yang dipermasalahkan bukan terletak pada substansi yang disampaikan Anies, yaitu soal 100 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 keadilan sosial, tapi justru pada pemilihan kata “pribumi” yang digunakannya. Alhasil, hal itu menjadi topik perdebatan generasi milenial di media sosial. Perdebatan ini dapat dilihat, misalnya, pada tweet dari netizen atas pidato Anies Baswedan sebagai gubernur baru DKI Jakarta, sebagaimana dapat dilihat pada pemberitaan Detikinet yang berjudul “Pidato Anies Singgung Pribumi, Netizen Sontak Bereaksi” (Detikinet, 2017). Perdebatan itu seperti terbagi menjadi dua kubu, yaitu yang menanggapi hal itu sebagai hal yang biasa saja dan yang mempersoalkan penggunaan kata pribumi. Perdebatan berlangsung dengan saling lempar argumen menyudutkan pihak lawan melalui landasan pada opini pribadi yang diyakini sebagai sebuah kebenaran (Detikinet, 2017). Contoh lainnya, berdasarkan hasil wawancara dengan dua informan, adalah bahwa bahwa mereka terlibat debat kusir virtual karena urusan yang sebenarnya tidak penting. Satu informan mengakui terlibat karena urusan hati temannya yang merupakan sepasang kekasih, sebagaimana disampaikannya berikut ini: “Jadi tuh, teman aku curhat tentang ceweknya. Terus ceweknya curhat tentang cowoknya. Aku belain cowoknya tapi malah jadi perdebatan yang tidak kunjung usai; udah berbulan-bulan bahkan sampai sekarang masih aja. Di lain pihak saya berteman dengan yang cewek, tapi di sisi lain juga yang sebenarnya salah di kasus ini menurut saya adalah yang cowok. Sehingga perdebatan terjadi karena teman cewek ini menganggap dirinya yang benar sedangkan yang saya pahami bahwa teman cewek saya inilah yang salah.” (Wawancara dengan Bagus melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017) Sementara informan lainnya beralasan sebagai pendukung salah satu girlband Korea, yaitu girlfriend, tidak terima soal bias yang menyatakan bahwa girlfriend melakukan plagiasi dan operasi plastik (wawancara dengan Dewi melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017). Contoh ini semakin memperjelas bahwa debat kusir virtual terkadang bertemakan sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki urgensi untuk diperdebatkan. Berdasarkan hasil wawancara, sembilan (wawancara melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017, dengan Ramadlan, Ardiansyah, Azzukhruf, Bagus, Dewi, Luqman, Riha, Arsya; wawancara dengan Herkin di Perpustakan Pusat UI, 20 Oktober 2017) dari 10 informan menyatakan bahwa saat terlibat dalam debat kusir virtual ini, sekitar 20% dari mereka mendapatkan kepuasan pribadi ketika bisa merasa yang paling benar dan mereka mengaku bahwa sekitar 80% dari kegiatan tersebut hanyalah sia-sia karena tidak jelas akhir dari perdebatan itu. Dari pelaku debat kusir virtual ini terlihat jelas bahwa bentuk perdebatan ini hanyalah membuang-buang waktu karena kebenaran hanya berdasarkan opini pribadi. Hoax, Ujaran Kebencian, dan Debat Kusir Virtual Terdapat delapan (wawancara melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017, dengan Ramadlan, Ardiansyah, Azzukhruf, Dewi, Luqman, Riha, Arsya; wawancara dengan Herkin di Perpustakan Pusat Universitas Indonesia, 20 Oktober 2017) dari 10 informan yang telah diwawancara mengaku terlibat debat kusir virtual karena terpancing oleh konten-konten yang bertajuk ujaran kebencian (untuk definisi ujaran kebencian, lihat Suduthukum.com, tanpa tahun), seperti penghasutan, opini menyudutkan salah satu pihak, fitnah serta konten hoax atau berita bohong yang tersebar di sosial media. Berikut kutipan wawancara dengan seorang informan mengenai hal tersebut: “Waktu itu sih aku lagi iseng-iseng buka homeline sosial media line. Terus aku baca-baca postingan yang ada. Lalu aku menemukan satu postingan yang waktu itu tentang permasalahan gubernur Ahok. Postingan itu sangat mengundang banyak pihak untuk berkomentar dan aku pun melihat kolom komentar yang ada. Merasa tidak setuju dengan apa yang dikomentari 101 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual oleh beberapa orang di sana, akhirnya aku merasa ingin membenarkan hal itu dan akhirnya berlanjut pada perdebatan kusir virtual dimana aku sangat geram sekali dengan apa yang dilontarkan dan beberapa orang itupun tidak terima dengan apa yang aku katakan.” (Wawancara dengan Herkin di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, 20 Oktober 2017) Topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan biasanya dijadikan referensi untuk membuatnya menjadi berisikan ujaran kebencian guna melakukan provokasi kepada pihak lawan. Misalnya, saat Pilkada DKI 2017, banyak konten yang sengaja dibuat untuk menunjukan dukungan terhadap salah satu calon sambil menjelek-jelekan calon lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Asma Dewi, tersangka kasus ujaran kebencian (Kompas.com, 2017a). Selain itu, kini konten terkait ujaran kebencian sudah tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi sudah terorganisir melalui sebuah organisasi yang sengaja dibentuk untuk menyebar konten berbau kebencian. Sebagai contoh adalah Kelompok Saracen, yang pada Agustus lalu beberapa orang yang disebut sebagai bagian dari kelompok tersebut ditangkap polisi atas tuduhan terlibat dalam sindikat penyebaran konten berisikan ujaran kebencian dan hoax. Konten-konten seperti itu memang direncanakan melalui akun- akun yang diciptakan oleh organisasi ini atas dasar pesanan dan dengan tujuan ekonomi, yakni meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ketua sindikat saracen ini mengaku bahwa mereka telah melakukan mapping berbagai konten di sosial media selama setahun terakhir. Setelah dilihat selama setahun terakhir tersebut, lalu dekerucutkan menjadi enam bulan terakhir dan satu bulan terakhir. Kemudian akan disiapkan proposal untuk disebar kepada pihak pemesan dan setiap proposal tersebut ditawarkan dengan harga puluhan juta rupiah (Detiknews, 2017b). Contoh-contoh tersebut mengindikasi- kan bahwa kini peredaran konten berbau ujaran kebencian dan hoax berpeluang besar untuk beredar di media sosial dan mempengaruhi masyarakat, khususnya generasi milenial, karena tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi juga sudah terorganisir. Hal ini sejalan dengan data Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menemukan bahwa pada Januari 2017, jenis konten yang paling banyak diadukan adalah konten berbau ujaran kebencian, yakni 5.142 kasus, dan hoax sebanyak 5.070 kasus (Viva.co.id, 2017). Karena banyak diterpa oleh konten- konten di media sosial sebagaimana digambarkan di atas, maka hal itu membuat generasi milenial menjadi terpancing untuk ikut berdebat ketika terdapat konten yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Apa yang tersebar di media sosial dikonsumsi secara terus menerus oleh mereka sehingga menimbulkan pemikiran bahwa realitas adalah seperti apa yang ditampilkan dalam media (dalam hal ini Table 1. Total score for each questionnaire based on dimension of digital literacy concept Information skill Connection skill Redesign skill Question number 1 3 4 6 9 12 13 14 2 5 7 8 15 11 10 6 Total score 15 19 21 25 20 111 105 121 123 124 139 123 118 120 116 127 Mean 117 125 122 Median 120 123 122 Mode 121 123 n.a Standard deviation 6 7 8 Interpretation Middle High High n.a = not available 102 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 media sosial), sebagaimana pandangan Teori Kultivasi. Generasi milenial meyakini semua hal yang tersebar di media sosial itu sebagai representasi dari realita di dunia nyata sehingga mereka merasa tidak terima atau tersinggung dan harus melakukan sesuatu untuk meluruskan apa yang ada, sesuai pendapatnya sendiri, dengan cara ikut terlibat dalam debat kusir virtual. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang beralasan bahwa mereka terlibat debat kusir virtual karena terpancing oleh konten-konten yang bertajuk ujaran kebencian di atas, maka mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam perdebatan yang absurd itu ketika tidak terdapat konten yang memfitnah, menuduh, memprovokasi dan berisikan hal yang tidak benar menurut sudut pandang mereka. Dua informan juga memaparkan bahwa mereka memutuskan untuk terlibat dalam debat kusir virtual karena melihat banyak juga orang-orang seusia mereka yang melakukan hal seperti itu (wawancara dengan Dewi dan Arsya melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017). Pada akhirnya, keterlibatan dalam debat kusir virtual dengan segala absurditasnya menjadi hal yang biasa bagi generasi millenial. Menyingkirkan Penyebab, Memperkuat Karakter Individual Berdasarkan analisa di atas, maka ada dua hal yang dapat diberlakukan untuk memecahkan fenomena debat kusir virtual pada generasi milenial, yaitu cara ekstenal dan internal. Cara eksternal adalah bertindak sesuai dengan apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Artinya, konten-konten berbau ujaran kebencian dan hoax seharusnya tidak beredar dengan mudah di media sosial. Hal ini untuk mencegah terwujudnya doktrin Goebbels (dikutip dari Sulistyo, 2017) yang menyatakan bahwa ”kebohongan yang dikampanyekan terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah- olah) kebenaran”. Dari sinilah, dari konten- konten berbau ujaran kebencian dan hoax, dimulainya topik-topik debat kusir virtual yang tak kunjung ada akhirnya karena setiap individu milenial merasa opininya yang paling benar. Hal ini tentu akan berbeda jika media sosial yang sudah menjadi kebutuhan pokok generasi milenial saat ini berisikan hal-hal positif, informasi terpercaya, dan jauh dari kegiatan saling adu argumen tanpa data yang jelas. Dengan berpijak pada kondisi tersebut, maka ketegasan aparat penegak hukum dalam menindak berbagai media yang menghasilkan maupun menyebarluaskan informasi-informasi yang bersifat ujaran kebencian dan hoax amatlah diperlukan. Hal itu, antara lain, bisa dilakukan dengan mempertegas penerapan peratuan tentang ujaran kebencian dan hoax, seperti tertuang dalam Undang-undang No. 40 tahun 2008, UU ITE dan KUHP, serta mensosialisasikannya kepada masyarakat melalui media sosial. Bertindak tegas dengan berlandaskan pada UU yang tersedia dapat berfungsi untuk menangani kasus-kasus yang terjadi agar tidak “merajalela” sehingga, pada gilirannya, tidak banyak tersebar lagi kasus-kasus serupa. Sedangkan sosialisasi kepada masyarakat berguna sebagai bentuk pencegahan agar tidak banyak anggota masyarakat, khususnya generasi milenial, yang menyebarkan konten-konten berisi fitnah atau menimbulkan perpecahan dengan sengaja. Sosialisasi seperti ini akan dapat mencegah terjadinya gejala debat kusir virtual. Jika peraturan atau UU tidak disosialisasikan kepada masyarakat, maka hal itu akan membuat peraturan tersebut percuma saja keberadaannya. Data menunjukan bahwa saat ini adalah zaman dimana internet, termasuk di dalamnya media sosial, sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat, khususnya generasi milenial. Hal ini dapat dilihat dari dua hasil penelitian berikut. Hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) memperlihatkan bahwa di Indonesia pada 2016 terdapat sekitar 132,7 juta pengguna internet (± 51,5% dari total jumlah penduduk) (Rappler.com, 2016). Survei lainnya yang dilakukan Global Web Index (2010) (dikutip dari Morissan, 2016) 103 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia, di antara negara-negara Asia lainnya, adalah yang paling banyak menggunakan media sosial (79.72%), dibandingkan dengan Jepang (30.1%), Australia (48.8%) dan Singapura (63%). Dengan berkaca pada data tersebut, dan dalam rangka efektifitas dan efisiensi, maka pemerintah dapat melakukan sosialisasi mengenai berbagai peraturan, termasuk UU tentang ujaran kebencian dan hoax, di media sosial. Sosialisasi ini dapat direalisasikan melalui video-video yang berisi, misalnya, mengenai apa itu ujaran kebencian dan hoax, bentuk-bentuknya serta tindakan pidana bagi pelaku, yang dibuat secara berkelanjutan di berbagai platform media sosial. Dengan cara demikian, generasi milenial menjadi mengetahui dan bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak turut menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial. Selain itu, pemerintah juga bisa meniru bagaimana bentuk promosi perusahaan produk smartphone VIVO dalam meningkatkan awereness dan perhatian publik terhadap produknya (Detiknews, 2017a) Perusahaan ini mengadakan grand launching produknya yang disiarkan secara serentak di sembilan TV nasional, mengundang banyak artis, dan membuat konten-konten di Youtube tentang produknya. Tidak hanya itu, VIVO juga berkolaborasi bersama banyak selebgram yang memiliki banyak followers untuk ikut memproduksikan produknya sehingga banyak anggota masyarakat yang tahu dan menaruh perhatian lebih akan produk baru VIVO tersebut. Jika mengacu pada Teori Kultivasi yang menyatakan bahwa apa yang ditampilkan di media secara terus menerus akan menanamkan pemikiran di masyarakat bahwa realita yang ada seperti apa yang ditunjukkan oleh media, maka dengan menggunakan banyak media dan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh seperti apa yang dilakukan perusahaan VIVO, untuk menampilkan bagaimana kehidupan persatuan akan terjadi jika ujaran kebencian atau hoax tidak tersebar dengan mudah, maka akan timbulah persepsi dalam masyarakat bahwa realita yang ada seharusnya tidak berisikan ujaran kebencian dan masyarakat menjadi tidak berfikiran untuk menyebarkan hal-hal berbau perpecahan tersebut. Tetapi hal ini juga harus dibarengi dengan ketegasan pemerintah dalam menindaklanjuti kasus-kasus yang ada agar timbul public trust atau kepercayaan publik bahwa pemerintah memang tidak “main- main” dalam menangani kasus berbau ujaran kebencian dan hoax. Dengan dicegahnya konten-konten berbau ujaran kebencian dan hoax tersebar di media sosial, maka ini akan turut meminimalisir terjadinya debat kusir virtual oleh generasi milenial karena tidak terdapat lagi hal-hal yang akan memancing terjadinya perdebatan. Selain itu, bentuk pencegahan lainnya yang sangat penting untuk mendapat perhatian pemerintah adalah pendidikan literasi media (untuk definisi literasi media, lihat Komunikasipraktis.com, tanpa tahun), termasuk literasi digital (tentang literasi digital, lihat Jordana dan Suwarto, 2017: 167-180; Kurnia dan Astuti, 2017: 149- 166). Dengan literasi media, masyarakat, termasuk generasi milenial, dapat bersikap kritis terhadap berbagai informasi di internet (Komunikasipraktis.com, tanpa tahun). Melalui literasi media yang baik, maka setiap konten yang diterima dapat dievaluasi dan dicari dahulu kebenarannya, tidak diterima begitu saja. Ini penting dilakukan agar generasi milenial bisa menjadi individu yang melek media. Yakni menjadi pribadi yang paham, berpengetahuan luas, mampu menganalisis, menilai, dan mampu untuk berpendapat secara kritis atas informasi atau pesan media yang didapat dan menjadikan literasi tersebut sebagai budaya yang dapat mencegah dampak negatif media. Dengan demikian, generasi milenial bisa senantiasa mengambil sikap atas sebuah isu atau permasalahan tertentu secara bijak dan tidak mudah terbawa arus dan tergiring opini menuju hal yang bersifat negatif. Selain cara-cara yang bersifat eksternal sebagaimana diuraikan di atas, 104 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 dapat ditempuh pula cara-cara yang sifatnya internal untuk mengatasi debat kusir virtual pada generasi milenial. Dalam arti, mengatasi persoalan ini tidak hanya dilakukan dengan mencegah apa yang membuat debat kusir virtual terjadi, tetapi generasi milenial itu sendiri harus melakukan berbagai hal agar tidak mudah terpengaruh untuk terlibat dalam debat kusir virtual. Karena tidak akan mungkin menenangkan luasnya lautan, maka yang harus diperkuat adalah kapal- kapal yang berlayar di dalamnya. Kalimat tersebut agaknya memiliki kaitan dengan persoalan ini yang menjelaskan bahwa tidak akan bisa mencegah atau menangani seluruh konten berbau ujaran atau hoax yang ada sampai hilang sama-sekali. Oleh karena itu diperlukan sikap dan tindakan oleh generasi milenial itu sendiri agar bijak dalam menyikapi hal-hal demikian sehingga bisa terhindar dari debat kusir virtual, sebagaimana disampaikan seorang informan: “Sehingga menurut saya yang paling penting dalam mengatasi agar hal itu tidak terjadi adalah ilmu. Dalam negara ini, yang menganut paham demokrasi ini, kita memang diperbolehkan berfikir kritis, tetapi harus dalam batas wajar dan tanpa menjelekkan pihak tertentu. Sebab dalam debat kusir virtual seperti ini biasanya masyarakat dunia maya tidak menggunakan ilmu, melainkan hanya nafsu belaka yang menurut mereka benar.” (Wawancara dengan dengan Ardiansyah melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017) Berdasarkan hasil wawancara, enam dari 10 informan mengakui bahwa keterlibatannya dalam debat kusir virtual karena merasa terpancing akan konten- konten berisikan ujaran kebencian dan berita tidak benar. Karena itu, hal utama yang harus dilakukan generasi milenial saat ini adalah menanamkan nilai-nilai tentang kebajikan dalam kehidupan. Hal itu dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti agama, keluarga, sekolah, etnik, dan sebagainya. Namun, dalam konteks warga negara, salah satu sumber dari nilai-nilai kebajikan itu tertuang dalam Pancasila. Hal ini mungkin terdengar klise tapi jika benar- benar direalisasikan maka Pancasila adalah jawaban penting untuk membentuk generasi muda yang tidak terpengaruh dengan ujaran kebencian dan hoax, di tengah derasnya penggunaan internet akhir-akhir ini. Pancasila adalah dasar negara sekaligus pijakan moral bagi setiap individu yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Karenanya, Pancasila bisa menjadi pijakan dalam mengatur sikap dan tingkah laku setiap individu, termasuk dalam beraktivitas di sosial media. Dengan posisinya yang seperti itu, maka Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip bagi generasi milenial agar tidak mudah terpancing oleh konten-konten berbau ujaran kebencian dan hoax yang banyak tersebar di media sosial. Hal di atas sejalan dengan pesan dua generasi milenial yang menjadi inspirasi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dengan tema “Apa Kata Millenial tentang Pancasila”, pada bulan Juni 2017, yakni Afi Nihaya Faradisa dan Gloria Natapradja Hamel (Detiknews, 2017c). Afi Nihaya Faradisa adalah gadis remaja yang dikenal karena tulisan-tulisannya di Facebook dan Instagram, termasuk tentang Pancasila, yang memberikan inspirasi bagi masyarakat (Detiknews, 2017c). Dalam tulisan-tulisannya itu, antara lain, ia mengajak masyarakat untuk menjaga Pancasila yang sedang kritis dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari dan jangan sampai menunggu Indonesia rusak dan kemudian menyesal (Detiknews, 2017c). Selain itu, dia pun meminta orang untuk terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri, tidak menghabiskan waktu secara sia-sia dengan mengomentari urusan orang lain (Detiknews, 2017c), sebagaimana yang terjadi dalam berbagai debat kusir virtual. Hal yang kurang lebih sama dikemukakan pula oleh Gloria Natapradja Hamel, seorang purna Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) Indonesia tahun 2016, yang sangat menjunjung tinggi Pancasila (Detiknews, 2017c). Ia berpesan agar siapapun di negeri ini menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Detiknews, 105 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual 2017c). Menurutnya jika satu orang bisa mempengaruhi 1000 orang maka itu akan sangat luar biasa (Detiknews, 2017c). Setiap sila dari Pancasila dapat diterapkan oleh generasi milenial dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk saat beraktivitas di media sosial. Sebagai contoh, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat diterapkan dengan tidak mempersoalkan keyakinan keagamaan seseorang atau sekelompok orang di media sosial. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dapat diwujudkan dalam media sosial melalui penghargaan terhadap siapapun tanpa melihat latar-belakang sosialnya, seperti agama, etnik, kelas sosial. Ungkapan-ungkapan, status di Facebook misalnya, tentang cinta tanah air di media sosial adalah salah satu penerapan dari sila ketiga, Persatuan Indonesia. Penggunaan berbagai hak politik (ekspresi politik, penyaluran aspirasi, dan sebagainya) secara damai di media sosial adalah salah satu perwujudan dari sila keempat, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dapat diwujudkan dalam media sosial, salah satunya, adalah dengan menggalang dana sosial untuk mereka yang membutuhkan, seperti korban bencana alam. Nilai-nilai dalam setiap butiran Pancasila tersebut sejatinya sudah sangat lengkap untuk menjadi dasar bagi generasi milenial dalam bersikap di tengah terpaan konten-konten pemecah belah persatuan di media sosial. Misalnya ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu, jika generasi milenial dapat bersikap layaknya nilai-nilai dalam setiap sila Pancasila, maka debat kusir virtual akan terhindari. Tidak ada pihak- pihak yang saling menyerang karena percaya arti toleransi dan mencintai tanah air. Tidak lagi berfikiran bahwa antar individu merupakan kelompok kubu yang saling berlawanan tetapi merupakan satu kesatuan, yakni Indonesia. Hasil wawancara memperlihatkan bawah sekitar 20% dari total informan yang telah diwawancarai mengaku terlibat dalam debat kusir di media sosial karena iseng. Faktor penyebab seperti ini seharusnya bisa dialihkan menjadi melakukan sesuatu yang produktif, seperti mem-posting atau memproduksi konten-konten yang positif, seperti dituturkan Azzukhruf (wawancara melalui direct message Instagram, 20 Oktober 2017): “Cara mengatasi hal ini adalah dengan mengabaikan hal-hal yang menurut kita percuma dan buang-buang waktu saja, karena tidak akan ada manfaatnya berdebat dengan orang yang keras kepala. Jika kita berilmu maka kita akan ngejauhin perdebatan seperti itu, dan lebih baik lagi kita melakukan kegiatan produktif lainnya yang lebih bermanfaat dibandingkan hal itu.” Konten positif ini nantinya digunakan utnuk melawan derasnya konten negatif yang tersebar dengan mudah di media sosial. Hal ini sejalan dengan target Kominfo bahwa pada tahun 2019 konten positif diharapkan bisa mendominasi internet. Dalam dua tahun terakhir, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), terdapat sekitar 800 ribu portal internet negatif dan telah diblokir yang masuk ke dalam daftar Trust Positif Kominfo, sedangkan hanya sekitar 250 ribu situs yang masuk kedalam kategori bermuatan positif (Kompas.com, 2017b). Karenanya, generasi milenial seharusnya bisa menghindari “keisengan” dan memutuskan untuk terlibat dalam perdebatan tanpa akhir yang jelas itu dengan membuat konten-konten positif, yakni konten-konten yang berkaitan dengan pendidikan sehingga dapat menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat, dan menyebarkannya di media sosial. Selain membantu pemerintah melawan konten negatif yang ada, hal ini juga akan membantu generasi milenial untuk terhindar dalam debat kusir virtual. Dengan banyaknya generasi milenial yang sibuk untuk berkegiatan positif dan menampilkannya di media sosial, seperti konten berlandaskan nilai-nilai Pancasila, pendidikan, motivasi dan hal positif lainnya, 106 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 Oleh karena itu, absurditas debat kusir virtual oleh generasi milenial ini harus diatasi baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, hal itu dapat dilakukan oleh pemerintahan bekerjasama dengan elemen-elemen masyarakat dengan mencegah konten berbau ujaran kebencian dan hoax bisa tersebar dengan mudah di media sosial melalui penerapan secara tegas berbagai peraturan yang berkaitan dengan persoalan tersebut serta mengadakan pendidikan literasi media sosial. Generasi milenial itu sendiri juga harus turut andil dalam mencegah terjadinya debat kusir virtual ini, yaitu dengan cara menjadikan Pancasila sebagai prinsip dalam bertindak serta melakukan hal produktif dengan ikut menyebar konten-konten positif untuk melawan derasnya konten negatif yang tersebar di media sosial. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini adalah versi revisi dari esai yang diikutsertakan dalam Olimpiade Ilmiah Mahasiswa (OIM), Universitas Indonesia, 2017. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Andi Rahman Alamsyah yang telah berkontribusi pada penulisan artikel ini. Namun demikian, segala hal yang berkaitan dengan artikel ini adalah tanggung-jawab penulis. maka masyarakat terutama generasi muda lainnya, menjadi meyakini bahwa realita di dunia yang ditempati ini berisikan generasi muda yang produktif dan berkegiatan positif, bukan sibuk berkomentar atau berpendapat tanpa landasan yang jelas atau disebut juga debat kusir virtual. Hal ini sejalan dengan Teori Kultivasi yang menjelaskan bahwa bagaimana media menyajikan suatu hal akan sangat berdampak terhadap apa yang dipikirkan orang-orang di dunia nyata. Artinya, jika yang disajikan positif, maka buahnya adalah hal yang positif pula, begitupun sebaliknya. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa debat kusir virtual merupakan suatu gejala yang terjadi pada generasi milenial sebagai kelompok generasi yang tidak bisa terlepas dari penggunaan internet dan media sosial pada khususnya. Debat kusir virtual sebagai suatu bentuk perdebatan yang berlangsung sengit, tanpa peduli dengan substansi dan tanpa acuan data yang valid ini hanya akan menurunkan kualitas generasi muda Indonesia saat ini. Karena debat, yang sejatinya merupakan hal positif dalam rangka mencari kebenaran, tetapi justru menjadi aktivitas yang berlandaskan, berlangsung serta berujung pada ketidakjelasan dan pada akhirnya hanya akan menjadi perbuatan sia-sia. 107 Noveliyati Sabani, Generasi Milenial dan Absurditas Debat Kusir Virtual DAFTAR PUSTAKA Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. (Tanpa tahun). Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, https://kbbi.web.id/debat, diakses pada 20 Oktober 2017. Detikinet. (2017). Pidato Anies Singgung Pribumi, Netizen Sontak Bereaksi, https://inet.detik.com/ cyberlife/d-3686895/pidato -anies - singgung-pribumi-netizen-sontak- bereaksi, diakses pada 20 Oktober 2017. Detiknews. (2017a). Peluncuran Vivo V7+ Disiarkan Langsung di 9 Stasiun TV Nasional, https://news.detik.com/adv- nhl-detikcom/d-3655356/peluncuran- v ivo -v 7 - d i s i a rk a n - l a n g s u n g - d i - 9 - stasiun-tv-nasional, diakses pada 25 November 2017. Detiknews. (2017b). Saracen Penyebar Konten SARA yang Dapat Memecah Belah Bangsa, https://news.detik.com/ berita/d-3616459/saracen-penyebar- konten-sara-yang-dapat-memecah- belah-bangsa, diakses pada 21 Oktober 2017. Detiknews. (2017c). Pesan Afi dan Gloria ke Generasi Millenial untuk Jaga Pancasila, https://news.detik.com/ berita/d-3518738/pesan-afi-dan-gloria- ke - ge n e ra s i - m i l e n i a l - u n t u k- j a g a - pancasila, diakses pada 21 Oktober 2017. Gardner, James E. (1996). Memahami Gejolak Masa Remaja. (Alih bahasa oleh M.S. Hadisubrata). Jakarta: Mitra Utama. Jordana, Theresia Amelia, dan Suwarto, Dyna Herlina. (2017). “Pemetaan Program Literasi Digital di Universitas Negeri Yogyakarta”, Informasi: Kajian Ilmu Komunikasi, Volume 47, Nomor 2, Desember 2017, hal. 167-180. Kompas.com. (2017a). Asma Dewi Sebar Ujian Kebencian terkait SARA saat Pilkada DKI Jakarta, http://nasional.kompas. com/read/2017/09/14/20411401/asma- dewi-sebar-ujaran-kebencian-terkait- sara-saat-pilkada-dki-jakarta, diakses pada 21 Oktober 2017. Kompas.com. (2017b). Kominfo Targetkan 2019 Konten Positif Dominasi Internet Indonesia, http://tekno.kompas.com/ read/2017/08/28/13294697/kominfo- t a r g e t k a n - 2 0 1 9 - k o n t e n - p o s i t i f - dominasi-internet-indonesia, diakses pada 21 Oktober 2017. Komunikasipraktis.com. (Tanpa tahun). Pengertian Literasi Media: Latar Belakang dan Ruang Lingkup, http :// www.komunikasipraktis.com/2017/01/ pengertian-literasi-media-latar.html, diakses pada 22 Oktober 2017. Kurnia, Novi, dan Astuti, Santi Indra. “Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran dan Mitra”, Informasi: Kajian Ilmu Komunikasi, Volume 47, Nomor 2, Desember 2017, hal. 149-166. Morissan. (2016). “Tingkat Partisipasi Politik dan Sosial Generasi Muda Pengguna Media Sosial”, Jurnal Visi Komunikasi, Vol. 15, No. 1, hal. 96-113. Oswin, Yustinus. (2017). Generasi Millenial: Pancasila, Semangat Toleransi dan Kebhinekaan, https://geotimes.co.id/ opini/generasi-millennial-pancasila- s e m a n g a t- to l e ra s i - ke b h i n e k a a n / , diakses pada 20 Oktober 2017. Pew Research Center. (2010). Millennials: A Portrait of Generation Next. Confident. Connected. Open to Change, h tt p : / / w w w. p e w s o c i a l t re n d s. o rg / files/2010/10/millennials-confident- c o n n e c t e d - o p e n - t o - c h a n g e . p d f , diakses pada 25 November 2017. Rappler.com. (2016). Pengguna Internet di Indonesia Capai 132,7, https://www. rappler.com/indonesia/berita/150197- pengguna-internet-indonesia-132-juta, diakses pada 21 Oktober 2017. Republika.co.id. (2016) Mengenal Generasi Millenial, http://www.republika. 108 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018 co.id/berita/koran/inovasi/16/12/26/ o i s 6 4 6 1 3 - m e n g e n a l - g e n e r a s i - millennial, diakses pada 20 Oktober 2017. RumahMillennials.com. (Tanpa tahun). Siapa Itu Generasi Millennial?, https:// r u m a h m i l l e n n i a l s. co m / s i a p a - i t u - generasi-millenials/, diakses pada 25 November 2017. Saefudin, H.A., dan Venus, Antar. (2007). “Cultivation Theory”, Mediator, Vol. 8, No. 1, Juni 2007, hal. 83-90. Siregar, A. (2006). Etika Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka. Suduthukum.com. (Tanpa tahun). Tinjauan Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), http://www.suduthukum. com/2016/11/tinjauan-tentang-ujaran- kebencian-hate, diakses pada 21 Oktober 2017. Sulistyo, Eko. (2017). Negara Hadir Melawan Hate Speech, https://nasional. s i n d o n e w s. co m / re a d / 1 23 6 3 2 9 / 1 8 / n e g a r a - h a d i r - m e l a w a n - h a t e - speech-1504479895, diakses pada 21 Oktober 2017. Viva.co.id. (2017). Ujaran Kebencian, Konten Negatif Terbanyak Masuk ke Kominfo, h t t p : / / w w w. v i v a . c o . i d / d i g i t a l / digilife/923759-ujaran-kebencian- konten-negatif-terbanyak-masuk-ke- kominfo, diakses pada 21 Oktober 2017.