155 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi-ISSN (p) 0126-0650; ISSN (e) 2502-3837 Vol. 48. No. 2 (2018). Pp.155-168. doi: https://doi.org/10.21831/informasi.v48i2.22389 FAMILY’S COMMUNICATION PATTERN IN PREVENTING STUDENT’S VIOLENCE IN YOGYAKARTA Chatia Hastasari chatia@uny.ac.id Suranto Aw suranto@uny.ac.id Mami Hajaroh mami_hajaroh@uny.ac.id Universitas Negeri Yogyakarta Abstract This investigates the family’s communication pattern to avoid senior high school student violence in Yogyakarta. This study employs a qualitative method taking a sample of ten people consist of students’ parents (SMAN 6 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA Bopkri 2 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, and SMA Taman­siswa­Yogyakarta);­teachers­and­society­figure.­The­results­are­(1)­Communication­ pattern­which­is­used­effectively­to­avoid­students’­violence­is­one­way­communication.­ In this situation parents can give advice and become a role model for their children; and (2) Communication patterns which are used innefectively to avoid students’ violence are interac tion and transaction communication. It is because parents’ knowledge about the importance of interaction communication in character education is very low and the transaction communication among parents-children-third party tends to not intensive. Keywords: Family’s Communication Pattern, Student’s Violence, One Way Communication, Two Ways Communication and Transaction Communication. POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENCEGAH KENAKALAN PELAJAR SMA DI KOTA YOGYAKARTA Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar SMA di Kota Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode­deskriptif­dan­menggunakan­10­narasumber­yang­mencakup­wali­siswa­(SMAN­ 6 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA Bopkri 2 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, dan SMA Tamansiswa Yogyakarta); wali kelas dan tokoh masyarakat. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disebutkan bahwa­(1)­Pola­komunikasi­keluarga­yang­digunakan­secara­efektif­sebagai­upaya­untuk­ men cegah kenakalan pelajar dalam penelitian ini adalah komunikasi sebagai aksi mailto:chatia@uny.ac.id mailto:suranto@uny.ac.id 156 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 PENDAHULUAN Permasalahan kenakalan pelajar di Indo- nesia hingga saat ini masih menjadi perhatian khusus semua pihak dalam mengatasinya, terutama bagi tiga pilar dalam dunia pen- didik an yang selanjutnya menjadi sistem tri pusat pendidikan. Kurniawan (2015: 42) me- nye butkan bahwa tri pusat pendidikan me- rupakan tiga pusat yang memiliki tanggung jawab atas terselenggaranya pen didik an ter - hadap anak, tiga pusat ter sebut yaitu pen- didikan dalam keluarga, dalam sekolah dan dalam masyarakat. Me ningkat nya tawur an antar pelajar, free sex, narkoba hingga tindak kriminal tentu saja me ngundang per tanyaan besar dalam benak kita ber sama, sejauh mana efektivitas penanam an karakter dan pen didikan moral pelajar baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masya rakat dalam mencegah kenakalan pelajar yang terjadi. Sumiati (2009) menyatakan bahwa salah satu faktor yang memicu timbulnya kenakal- an remaja adalah proses keluarga yang kurang baik seperti kurangnya dukungan keluarga, hubung an atau komunikasi antar keluarga yang tidak baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hatuwe (2013: 207) yang meng ungkapkan bahwa tingkat penge- tahuan orang tua tentang aktifitas anak remaja mereka sangat dangkal, mereka cuma menge tahui anak mereka pergi dan pulang sekolah lalu main kerumah teman mereka. Sehingga apa yang diinginkan atau diharap- kan oleh anak tidak dapat terpenuhi, anak lebih memilih untuk menceritakan apa yang menjadi permasalahannya pada teman- nya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Santrock (1996 dalam Sumiati, 2009) di Boston, Amerika Serikat terhadap 500 remaja yang melakukan kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan, di- temu kan persentase kenakalan lebih tinggi terjadi pada remaja yang memiliki hubung- an regular dengan teman sebaya yang me- lakukan kenakalan. Terjadinya kenakalan pelajar saat ini bahkan tidak lagi melihat pada letak geografis suatu daerah. Daerah yang terkenal sebagai kota pelajar seperti Kota Yogyakarta se kalipun ternyata memiliki catatan tingkat ke nakalan pelajar yang cukup tinggi. Seperti contoh kenakalan pelajar yang tengah ter- jadi saat ini, yaitu maraknya aksi klitih yang sering kali menimbulkan korban jiwa. Berikut data dari kepolisian mengenai tingkat ke- nakalan pelajar di Kota Yogyakarta : Tabel 1. Data Kenakalan Pelajar yang Menjurus Tindak Pidana Periode bulan Januari s.d Desember 2017 NO KESATUAN LAPOR LIDIK SIDIK P21 TSK BB DIVERSI 1. POLRESTA YKA 10 KSS - 1 KSS 8 KASUS 32 TSK - 2 Buah Clurit. - 2 buah pedang - 1 Buah Rem cakram. - 2 buah Gir. - 1 Bongkahan semen cor 1 KASUS 2. POLRES SLEMAN 21 KSS 1 KSS 3 KSS 16 KASUS 17 TSK - 1 Buah Rantai Besi. - 1 Buah Clurit. - 1 Buah Pedang. 1 KASUS 3. POLRES BANTUL 11 KSS 4 KSS 4 KSS 3 KASUS 20 TSK - 1 Buah Clurit. - 1 Buah Keling Besi. - 1 Buah Pisau belati. - 1 Buah Gir. - 1 Buah Pipa besi. 2 KASUS 4. POLRES GNKIDUL 6 KSS 1 KSS 2 KASUS 2 KASUS 6 TSK - Sepeda Motor - Batu 1 KASUS 5. POLRES KLPROGO 4 KSS - 1 KSS 1 KASUS 3 TSK - 1 tombak - 1 ger 2 KASUS atau komunikasi satu arah dimana orang tua memberikan nasihat atau memberikan contoh secara langsung melalui perbuatan; dan (2) Pola komunikasi keluarga yang masih belum dapat dilakukan secara efektif untuk mencegah kenakalan pelajar adalah komuni kasi sebagai interaksi dan komunikasi banyak arah. Hal ini disebabkan karena minim nya pengetahuan orang tua mengenai pentingnya komunikasi dua arah dalam proses penanaman pendidikan karakter seorang anak dan juga karena komunikasi banyak arah yang terjalin antara orang tua-anak-pihak ketiga cenderung tidak intens. Kata Kunci: Pola Komunikasi Keluarga, Kenakalan Pelajar, Komunikasi Satu Arah, Komunikasi Dua Arah, dan Komunikasi Banyak Arah. 157 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... NO KESATUAN LAPOR LIDIK SIDIK P21 TSK BB DIVERSI JUMLAH 48 KSS 6 KSS 11 KSS 30 KSS 78 ORG Sumber : Data Polsek Bulaksumur, Yogyakarta (2018). Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kenakalan pelajar saat ini sangat bervariasi dan bahkan mayoritas mengarah pada tindak kriminal. Dari beberapa kasus klitih yang saat ini tengah ditangani oleh pihak ke polisian, seluruh tersangka merupakan pelajar sekolah menengah. Oleh karenanya, untuk menghindari peningkatan kenakalan pelajar ini, Ketua Dewan Pendidikan DIY Danisworo menghimbau semua pihak untuk men jalin komunikasi guna antisipasi jangan sampai dunia pendidikan tercoreng ulah negatif yang dilakukan pelajar. Semua pihak perlu me ngintensifkan komunikasi dan instro s peksi demi mengantarkan generasi bangsa yang se suai harapan (SKH Kedaulatan Rakyat, 5/6/2017). Selain jalinan komunikasi yang baik antar semua pihak, keluarga seharusnya mampu menjadi salah satu bagian utama yang ber peran penting dalam pembentukan karakter dasar dan moral yang kuat pada se- orang anak. Pada konteks komunikasi, peran keluarga disini menjadi sebuah sarana dalam meng internalisasikan pesan-pesan moral dan akhlak atau nilai-nilai kebaikan yang kuat dalam suasana yang harmonis (Rimporok, 2015). Selain itu, keluarga melalui pe nerapan pola komunikasi yang tepat antar orang tua dan anak dapat juga menjadi sebuah tempat dimana terjadi interaksi penyam pai an dan penerimaan pesan secara efektif sehingga terbentuklah keterbukaan dan ke terus- terang an antar anggota keluarga. Santi (2017) menyatakan bahwa komuni- kasi yang harmonis antar anggota keluarga dapat membantu anak yang masih duduk di bangku sekolah dan masih berusia remaja terhindar dari kenakalan pelajar. Hal tersebut didukung oleh Aini (2017) yang dalam pe- ne litiannya menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang seorang pelajar. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan diri seorang pelajar akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Tentu saja keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga pelajar memperoleh ber bagai jenis kebutuhan, seperti kebutuhan fisik-organis, sosial maupun psiko-sosial. Namun sayangnya, tidak semua orang tua menganggap penting peran keluarga bahkan gagal memaknai pentingnya komuni kasi yang terjalin antara orang tua dengan anak sebagai faktor utama dalam men didik dan menanamkan nilai-nilai positif pada anak. Hal ini sesuai dengan temu an penelitian Malihah (2018) yang me- nun juk kan bahwa 83,9% remaja merasa sulit memercayai perkataan orang tua, 93,83% remaja merasa tidak setuju pada pernyataan bahwa orang tua selalu menjadi pendengar yang baik, 87,65% remaja merasa orang tua suka membicarakan hal yang tidak seharus- nya dibicarakan kepada remaja, 88,89% remaja sangat tidak berhati-hati saat sedang ber bicara kepada orang tua, 97,53% remaja merasa orang tua mengganggu, dan 90,12% remaja menyatakan orang tua menghina remaja ketika orang tua remaja marah kepada remaja. Dari data penelitian tersebut, dapat disimpul kan bahwa kualitas komunikasi orang tua-remaja masih harus ditingkatkan. Berdasarkan uraian di atas, asumsi pe- nelitian ini menekankan pentingnya pola komuni kasi keluarga sebagai salah satu bagian penting dari sistem tri pusat pendidi- kan menuju terkondisikannya anak dari pe ngaruh negatif yang dapat membawa mereka kepada kenakalan pelajar. Selain itu pe neliti an ini juga akan melihat pada jenis- jenis ke nakalan pelajar yang semakin hari justru semakin beragam, sehingga tujuan dari pe nelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis kenakalan pelajar dan bagaimana pola komuni kasi keluarga dalam mencegah kenakal an pelajar studi pada pelajar SMA di Kota Yogyakarta. KAJIAN PUSTAKA Pola Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat, namun memberikan kontribusi 158 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 yang sangat besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Bagaimana anak ber perilaku dan bersikap di tengah-tengah masyarakat, sebagian besar terbentuk dari pe nanaman nilai-nilai dasar yang diberikan oleh orang tuanya. Hal ini sejalan dengan per nyataan Rimporok (2015) mengenai kehidupan keluarga yang sangat menentukan dan memengaruhi perkembangan hidup masya rakat secara umum. Sebab di dalam ke- luarga lah terbina dan lahir generasi-generasi penerus yang memiliki ahlak, mental dan kepribadian yang diharapkan oleh negara dapat mengisi pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan. Rimporok (2015) menambahkan bahwa dalam konteks komunikasi, kehidupan suatu keluarga yang terdiri atas beberapa orang bukan serta merta terlepas dari berbagai macam persoalan, entah itu bersumber dari suami, dari isteri ataupun dari anak (jika mereka sudah dikaruniai anak) sebab se- bagai suatu institusi yang hidup dan ber- interaksi dengan lingkungan, mereka selalu dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain dan hal itu berimplikasi pada keharmonisan dan keutuhan keluarga dan individu itu sendiri. Buruknya kualitas komunikasi orang tua dengan anak dapat menjadi faktor pe- nyebab penyimpangan perilaku pada anak (Gunawan, 2013). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun menjadi bagian terkecil dari masyarakat, justru per masalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga lah yang terkadang menjadi pangkal per masalahan pada diri seorang indvidu. Oleh karena itu, perlu adanya upaya masing- masing individu atau anggota keluarga untuk menciptakan interaksi dinamis dalam implemen tasi pola komunikasi yang efektif. Pola komuni kasi sendiri menurut Djamarah (2004) adalah bentuk atau pola hubungan yang ter jalin antara dua orang atau lebih dalam sebuah proses pengiriman dan pe- ne rima an pesan dengan cara yang tepat sehingga dapat menghasilkan pertukaran pesan yang dipahami oleh komunikator dan komunikan. Menurut Sudjana (2000) ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk me ngembangkan interaksi dinamis dalam upaya memunculkan penyadaran, yaitu : 1. Komunikasi sebagai aksi atau komuni- kasi satu arah. Orang tua berperan aktif sebagai pemberi aksi dan anak sebagai penerima aksi atau sebaliknya. Bentuk komunikasi ini misalnya saat orang tua memberikan nasihat pada anak atau sebaliknya ketika anak menyampaikan keluh kesahnya; 2. Komunikasi sebagai interaksi atau komuni kasi dua arah, Komunikator dan komunikan dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan penerima aksi. Kedua- nya dapat saling memberi dan saling menerima. Hal ini terjadi ketika orang tua atau anak saling meminta pendapat mengenai suatu hal; dan 3. Komunikasi banyak arah atau komuni- kasi sebagai transaksi, komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara unsur-unsur komunikan lain nya. Komunikasi banyak arah ini terjadi manakala dalam satu keluarga ter dapat keluarga lain yang tinggal bersama dan terlibat secara intens dalam komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anak, seperti kakek atau nenek yang tinggal bersama dalam satu rumah. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa komunikasi yang terjadi dalam interaksi dinamis antara orang tua dengan anak memiliki beragam variasi pola. Implementasi pola komunikasi tersebut sudah barang tentu memerlukan sebuah keterbukaan dan keterusterangan dari masing-masing individu dalam satu keluarga (Rimporok, 2015). Widjaja (2000) juga menyatakan bahwa keterbukaan merupakan satu dari tiga faktor penting yang dapat memengaruhi komunikasi agar menjadi lebih efektif, berikut penjelasan ketiga faktor tersebut : 1. Keterbukaan Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek dalam sebuah 159 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... komuni kasi. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus terbuka pada orang- orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui pen dapat, pikiran dan gagasan kita. Sehingga komunikasi akan mudah di- lakukan. Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada kemauan kita untuk mem berikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang mengenai segala sesuatu yang di katakan nya, ataupun sebaliknya. Rimporok (2015) menambahkan Keter- bukaan dan keterusterangan anggota keluarga terhadap yang lain hanya dapat diwujudkan melalui kegiatan dan proses komunikasi dalam keluarga itu sendiri sehingga apa yang kita inginkan, apa yang kita rasakan dapat diketahui secara bersama, yang pada akhirnya menjadi tanggungjawab ber- sama pula. Barnes & Olson (1985) dalam Malihah (2018) menyatakan bahwa komuni kasi orang tua-remaja memiliki dua indi kator yang terdiri dari derajat ke ter bukaan komunikasi dalam ke- luarga dan kedalaman masalah dalam komunikasi keluarga. Derajat keter- buka an yang tinggi membuat komuni- kasi orang tua-remaja semakin ber- kualitas, namun sebaliknya semakin tinggi permasalahan komunikasi se- makin rendah pula kualitas komunikasi yang dihasilkan. 2. Empati Empati adalah kemampuan sese- orang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari faktor komuni kasi adalah kemampuan untuk berempati terhadap pengalaman orang lain. Karena dalam empati, seseorang tidak melakukan penilaian terhadap peri laku orang lain tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, ke- sukaan, nilai, sikap dan perilaku orang lain. 3. Perilaku sportif Komunikasi interpersonal akan efek tif bila dalam diri seseorang ada pe- ri laku sportif, artinya seseorang dalam meng hadapi suatu masalah tidak ber- sikap bertahan (defensif) namun juga mem berikan kesempatan pihak lain untuk berpendapat. Jika dikaitkan dengan pencegahan kenakalan pelajar, maka komunikasi efektif dan dinamis serta harmonis yang terjalin antar orang tua dengan anak tentu memiliki pe ngaruh yang kuat dalam mengurangi tingginya angka kenakalan pelajar. Hal ini se suai dengan hasil penelitian Santi (2017) yang mengungkapkan bahwa ada hubungan antara pola komunikasi keluarga dengan pe- rilaku kenakalan remaja khususnya di SMAN 4 DKI JAKARTA Banda Aceh dengan nilai p-value < α (0,005 < 0,05). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa terdapat hubung- an yang cukup signifikan antara pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja (Aini, 2017). Hal ini menandakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan orang tua dan keluarga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada perilaku anak. Kenakalan Pelajar Unayah, N., & Sabarisman, M. (2015: 123) menyatakan bahwa kenakalan remaja ter- kadang dipicu oleh pengekangan orang tua yang terlalu berlebihan tanpa memberikan hak pada anak untuk membela diri. Sedang- kan Aini (2017) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja, antara lain: Identitas, kontrol diri, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas ling- kungan sekitar tempat tinggal. Pendapat lain menyebutkan bahwa kenakalan pelajar dipicu oleh tidak berfungsinya orang tua sebagai figur tauladan serta tidak fungsinya komunikasi interpersonal dalam keluarga serta interaksi sosial yang salah (Rafiq, 2014: 104). Berdasarkan uraian tersebut, dapat di- simpulkan bahwa kenakalan pelajar tidak terbentuk secara tiba-tiba melainkan melalui sebuah proses. Proses tersebut tidak hanya berasal dari internal individu melainkan 160 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 juga eksternal individu seperti lingkungan ke luarga, sekolah dan masyarakat. Lebih lanjut, Chairuddin Ismail (2016) memaparkan adanya tiga upaya untuk men- cegah kenakalan pelajar, yaitu: (1) upaya yang bersifat pre-emtif untuk mengeliminasi sejak dini, (2) upaya yang bersifat preventif yang ditujukan kepada pencegahan yaitu mengurangi peluang (kesempatan) penye- baran nya, dan (3) upaya yang bersifat re- presif, yakni dengan melakukan tindakan hukum bagi mereka yang nyata-nyata karena kenakalannya sehingga telah me- langgar hukum (http://www. dpr.go.id/ doksetjen/dokumen). Upaya lain yang dapat di lakukan menurut Rogi (2015) adalah dengan menerapkan komunikasi keluarga yang mengandung perhatian, kasih sayang, empati dan dukungan, dengan intensitas berkomunikasi yang menitikberatkan pada kualitas percakapan atau seberapa dalam- nya pesan yang disampaikan ketika ber- komunikasi, dengan durasi percakapan yang berbeda-beda. Hal ini cukup berpengaruh ter hadap perkembangan kepribadian anak serta berdampak pada kemungkinan ter- jadinya bentuk kenakalan remaja. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa upaya-upaya untuk dapat mencegah ke- nakalan pelajar dapat dilakukan oleh semua pihak yang berada dalam sistem tri pusat pendidikan terutama keluarga. METODE Penelitian ini bertujuan memahami dan menganalisis pola komunikasi keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar SMA di Kota Yogyakarta, yang diharapkan dapat mendukung temuan-temuan pada pene- litian sebelumnya. Desain penelitian yang di gunakan adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dengan metode kuali tatif dapat diperoleh pemahaman dan pe nafsiran secara lebih mendalam mengenai makna dari kenyataan, fakta, istilah, konsep, dan asumsi di lapangan yang relevan dengan penelitian. Sedangkan latar dalam pe nelitian ini ditentukan secara purposive, yakni didasarkan atas pertimbangan tujuan pe- nelitian untuk mengkaji dan menganalisis pola komunikasi keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar SMA negeri dan swasta. Sedangkan narasumber dalam penelitian ini mencakup wali siswa (SMAN 6 Yogya- karta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA Bopkri 2 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, dan SMA Tamansiswa Yogyakarta); wali kelas dan tokoh masyarakat yang seluruhnya ber- jumlah 10 orang. Jenis-jenis Kenakalan Pelajar Pelajar sebagai subjek belajar lebih banyak sebagai komunikan atau penerima man faat. Namun sayangnya, pada beberapa se kolah kenakalan pelajar sudah merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Terdapat kecenderungan bahwa di sekolah swasta angka kenakalan pelajar lebih banyak dari pada sekolah negeri. Hal ini disebabkan karena kurangnya peran serta dan kontrol yang optimal dari orang tua siswa itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh informan guru wali kelas berikut “… banyak yang berkonflik dengan orang tua gitu. Sehingga gimana untuk menanganinya. Wong orang tua sama anak sendiri berkonflik.…” (Informan guru wali kelas, 6 Oktober 2018). Pernyataan ter- sebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan guru BK berikut “…ada anak yang dipasrahne ke mbah’e, mbah’e wes tua gitu pemikirannya kolot. Dan simbah kan kalau sama cucunya cenderung sayang, Jadi lebih percaya sama cucunya” (Informan guru BK, 6 Oktober 2018). Kurangnya perhatian inilah yang kemu- dian menurut pihak sekolah tidak dapat memaksimalkan hasil penanaman pen- didikan karakter pada diri seorang pelajar, bahkan dampak terburuknya adalah ke- nakalan pelajar yang seharusnya berkurang justru malah semakin meningkat. Kenakalan ter sebut mulai dari kenakalan ringan sampai berat. 1. Kenakalan ringan Kenakalan jenis ini biasanya ber- kaitan dengan pelanggaran peraturan dan tata tertib sekolah seperti mem- 161 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... bolos, merokok, mencorat-coret tem- bok, ber sandal, berambut gondrong, semir rambut dan sejenis nya. Ke- nakalan yang sering terjadi pada jenis ini adalah membolos dan merokok. Salah satu informan guru me nye but- kan bahwa, membolos bagi siswa di se- kolah nya sudah merupakan hal biasa. Sanksi yang diberikan oleh pihak se- kolah pada kenakalan pelajar jenis ini pun bervariasi. Mulai dari sanksi fisik seperti lari mengelilingi lapangan dan push up hingga sanksi non-fisik seperti memainkan alat musik, memangkas rambutnya yang gondrong sendiri dan membersihkan ruangan-ruangan sekolah. 2. Kenakalan tingkat sedang Kenakalan jenis ini adalah ke- nakalan yang dampaknya sudah me- ngenai pelajar lainnya seperti per- undungan (bullying), perkelahian, dan lain-lain. Pada era milenial saat ini dimana perkembangan teknologi se- makin canggih, aksi-aksi kenakalan pelajar yang berhubungan dengan per undungan dan perkelahian pun di- lakukan melalui pemanfaatan media. Bahkan untuk melakukan perjanjian per kelahian pun dilakukan oleh para siswa melalui Whatsapp. Seperti yang diungkap oleh wali guru BK berikut : “…Sekarang nggak perlu lagi nggleyer- nggleyer neng ngarep sekolahan, itu ra jaman. Sekarang pakai hp janjian dimana. Memang apa-apa sudah cyber ya termasuk bullying. Jadi pak polisi pun juga sudah harus menguasai cyber crime. … jadi kadang kami heran, kalau diberi laporan ada siswa yang terlibat perkelahian. Lha perasaan wingi ra krungu gleyer-gleyer ngerti-ngerti wes kedadean. Nah ternyata janjiannya pakai hp, jadi teknologi wes membantu berbuat berlebihan” (Informan guru BK, 6­Oktober­2018). Pada zaman perkembangan tekno- logi media saat ini, seluruh pihak harus memperketat pengawasan pada siswa dan meningkatkan kemampuan dalam hal penguasaan teknologi baik dari pihak sekolah, orang tua maupun pihak kepolisian. 3. Kenakalan tingkat berat Kenakalan jenis ini adalah ke naka- l an pelajar yang mengarah pada terjadi- nya tindak pidana, seperti tawuran, senjata tajam, minuman keras, dan sebagainya. Kenakalan jenis ini yang saat ini melibatkan peran polisi dalam pencegahannya. Saat ini, pihak ke- polisian di tingkat sektor (Polsek) telah menjalin kerja sama dengan Dinas Pen didikan terkait meningkatnya aksi kenakalan pelajar yang sudah mengarah pada tindak kriminal ini. Bentuk kerja sama tersebut berupa implementasi program Satu Sekolah Dua Polisi (SSDP), dimana terdapat satu personil polisi menggunakan seragam bebas dan satu personil polisi menggunakan seragam polisi di setiap sekolah. Hal ini di laku kan untuk memberikan kesan humanis namun tegas, humanis saat me lakukan pendekatan pada para siswa saat melakukan penyuluhan dan sosiali sasi dan tegas saat menindak pe- lajar yang melakukan kenakalan dan tindak kriminal. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan kepolisian berikut ini: “…jadi polisi ada kerjasama dengan dik- nas, makanya di polisi ada istilah SSDP, Satu Sekolah Dua Polisi, disini ada yang pakaian dinas satu, yang pakaian preman satu, harapannya adalah setiap permasalahan sekolah itu bisa langusng diselesaikan dengan pihak kepolisian dan untuk mengantisipasi agar anak tidak takut dengan polisi” (Informan polisi,­6­Oktober­2018). Selain itu pihak kepolisian juga me nyatakan bahwa, hingga saat ini aksi kenakalan pelajar semakin bervariasi sehingga peran dan kontrol orang tua dan sekolah sangat diperlukan. Dari pemaparan mengenai jenis-jenis kenakalan pelajar di atas dapat disimpulkan bahwa tidak adanya sinergi yang cukup baik antara orang tua dengan guru memicu pe- 162 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 ningkatan kenakalan pelajar yang justru saat ini mengarah pada tindak kriminal dan melibatkan pihak kepolisian. Kontrol yang dilakukan oleh orang tua siswa terutama pada sekolah swasta masih sangat rendah. Bahkan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar sekolah swasta cenderung dipicu oleh perilaku orang tua. Sebaliknya pada sekolah negeri, meskipun belum maksimal namun telah ada upaya-upaya dari masing-masing orang tua untuk bersinergi dengan pihak sekolah dalam memaksimalkan pendidikan anak. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Komunikasi Keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar SMA di Kota Yogyakarta Keluarga adalah tempat yang utama dan pertama bagi anak untuk mendapatkan pen- didikan dan pengasuhan, baik dari orang tua maupun anggota keluarga lainnya. Apabila dibuat perbandingan berdasarkan durasi waktu, maka komunikasi di dalam keluarga ini memiliki durasi yang paling panjang di- bandingkan di sekolah dan di masyarakat. Pola perilaku anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pola komunikasi yang terjadi di keluarga dalam keseharian. Hasil wawan- cara dengan guru, mengindikasikan bahwa sebagian siswa yang teridentifikasi nakal di sekolah, kebanyakan berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Misalnya karena kedua orang tua merantau atau orang tua kurang peduli dan menyerahkan sepenuhnya pen- didik an anaknya kepada sekolah, dan se- bagai nya. Sebaliknya, anak yang di rumah terbiasa memperoleh arahan dari orang tua dan berinteraksi cukup intens dengan orang tua, memiliki perilaku yang cenderung positif saat di sekolah. Selain itu, hasil wawancara dengan informan orang tua siswa, juga me- nunjukkan bahwa terdapat gejala dimana semakin usia anak bertambah maka semakin sulit mengawasi mobilitasnya. Dalam pola komunikasi keluarga, orang tua memiliki peran sebagai seorang komuni kator untuk menyampaikan pesan- pesan yang mengarah kepada pembentukan karak ter mulia bagi anak. Berdasarkan hasil wawan cara dapat dikemukakan berbagai bentuk komunikasi keluarga yang dilakukan. 1. Penerapan unggah-ungguh, tata krama, tata trapsila dalam komunikasi di ke- luarga. Inti dari penerapan aktivitas ini dalam komunikasi keluarga adalah agar anak membiasakan diri memiliki sopan-santun dalam pergaulan, baik se cara horizontal dengan orang yang se tara usianya maupun secara vertikal dengan orang yang lebih tua usianya atau dituakan karena jabatan dan status sosialnya. Unggah-ungguh ini berupa kaidah yang sebagian besar tidak tertulis. Kaidah ini sangat jelas dalam praktik ber komunikasi, dan merupakan contoh nyata adanya kearifan budaya Jawa yang perlu direvitalisasi agar dapat dengan mudah menjadi orientasi dalam ber komunikasi. Pihak-pihak yang ber komunikasi harus mengetahui dan me laksanakan etika sesuai dengan kaidah tersebut. Pelaksanaan unggah- ungguh dalam etika komunikasi di ke luarga, nampak pada cara anak me- manggil orang tua, yaitu bapak dan ibu. Meskipun hubungan dengan orang tua sudah sangat dekat seperti layak nya seorang teman, namun bagi budaya jawa panggilan bapak dan ibu ini merupakan sebuah simbol peng- hargaan pada orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu, kearifan lokal Bahasa Jawa sangat ketat dalam memberlakukan atur an tata krama berbicara terutama pada orang tua. Setiap istilah memiliki makna hirarkis. Misalnya kata “tidur” dalam Bahasa Jawa adalah “turu” dan “sare”. Pemilihan diksi harus tepat, tidak boleh terbalik. Kepada orang tua di gunakan kata “sare”, sedangkan untuk diri pelajar sendiri cukup dengan kata “turu”. 163 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... 2. Kesepakatan bersama. Bagi orang tua yang di dalam ke- luarga menerapkan komunikasi dua arah biasanya membuat kesepakatan ber sama tentang beberapa kegiatan yang harus dilakukan. Terkait hal ini, berikut penuturan Bapak Sugeng se- laku wali siswa : ”...setiap hari minimal satu kali saya meminta anak-anak saya untuk ber- kumpul bersama tanpa handphone, sehingga komunikasi kami berlangsung secara tatap muka. Nah kadang inilah yang tidak dianggap penting oleh be- berapa keluarga. Mangan yo mung waton mangan, tapi saya tegaskan pada anak saya bahwa tujuan saya membuat kesepakatan ini agar masing-masing dari anggota keluarga dapat lebih meng hargai orang lain utamanya orang tua saat sedang berbicara. Kan rasane ora enak to mbak wong tuwo ngomong, anake karo dolanan handphone.” Hal senada juga diungkapkan oleh ibu Karti selaku wali siswa : “…yen kulo niku mesti njanjeni lare kulo tumbas barang-barang sing sekirane di- butuhne ngge sekolah mbak, tapi yen barang sakliane ngge sekolah nggih kulo delok-delok sikik. Sekirane murah tur nggih butuh sanget, kulo tumbaske. Tapi yen kados pulsa internet, nggih kulo ken nunggu rejeki. Dadose lare-lare nggih pun apal dewe, yen ajeng tumbas buku nggih nembung kulo. Yen pulsane inter net telas nggih nunggu sampe kulo numbasne.” Nampak dari penjelasan di atas bahwa kesepakatan bersama digunakan untuk meningkatkan pengertian sang anak pada apa yang diinginkan oleh orang tua dan juga sebaliknya. 3. Buku dan media penghubung lainnya Buku penghubung ini digunakan untuk memantau kegiatan siswa, baik kegiatan-kegiatan di luar maupun di sekolah (karangtaruna, teman bermain dan komunitas lainnya). Dari buku peng hubung tersebut orang tua dapat me ngetahui tingkat kehadiran siswa selama satu tahun akademik dan juga dapat mengetahui beban pelajaran dan kegiatan anak selama di sekolah. Sedangkan media lain seperti Whats app grup yang berisi wali siswa dan guru digunakan oleh para wali siswa untuk memantau tingkat ke- hadiran anak-anak di sekolah dan program-program yang diadakan oleh sekolah, seperti misalnya jadwal rapat wali siswa, rapat guru dan jadwal ujian sekolah. Namun demikian beberapa orang tua yang tidak terlalu intens meng gunakan handphone sering meng- abaikan informasi-informasi ataupun diskusi yang ada di grup Whatsapp sekolah ini. 4. Beribadah bersama Sebagai agenda rutin setiap hari, banyak hikmah yang dapat diambil dari kegiatan ini untuk membina keber- sama an keluarga, melatih ketaatan, ke- disiplinan, kejujuran, dan sebagainya. Selain itu kegiatan beribadah bersama juga merupakan sarana yang tepat bagi orang tua untuk internalisasi nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Agar se- cara agama, anak dapat menjadi pri- badi yang kuat. Sebagai orang tua, Pak Sugeng menambahkan bahwa men- didik anak menghadapi zaman yang penuh dengan tantangan ini adalah dengan mempersiapkannya secara matang dan kuat dari segi agama, ekonomi, fisik dan pendidikannya. Se- hingga secara tidak langsung jika kita meng hasilkan anak-anak dengan pri- badi yang kuat secara keseluruhan kita juga akan menguatkan masyarakat. Hal ini di sebabkan karena menurut Pak Sugeng keluarga merupakan pondasi dari sebuah masyarakat. 5. Pengawasan penggunaan Hand Phone (HP) oleh orang tua Orang tua perlu melek teknologi dan memiliki metode pengawasan untuk media HP. Fenomena umum menun- jukkan, bahwa tanpa pengawasan orang tua, maka penggunaan media HP se makin tidak terkontrol. Oleh 164 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 karena itu informan orang tua/wali me ng ungkapkan setiap orang tua mem punyai cara mengawasi yang ber- beda-beda. Metode pengawasan itu, misalnya saling share password, ada yang kemudian memakai sistem per- janjian anak boleh memakai HP selama dua jam saja, bahkan ada orang tua yang menggunakan otoritasnya, me- larang anak menggunakan HP pada saat jam belajar. 6. Pengawasan anak di malam hari di- lakukan lebih ketat. Bahkan ketika sudah waktunya anak tidur, orang tua harus memastikan apa kah anak sudah tidur. Untuk itu orang tua perlu melihat ke kamar anak. Kondisi ideal yang diharapkan, baik orang tua maupun anak sama-sama memiliki waktu untuk melakukan komunikasi yang utuh dan efektif. Hal ini disebabkan karena meskipun konsep yang dimiliki oleh orang tua secara strategi dapat dikatakan baik, namun sering terjadi ketidakcocokan dengan anak dalam implementasinya, tetap saja hasil akhir dari komunikasinya tidak akan baik. Oleh karenanya, dalam setiap proses komuni kasi yang terjalin harus disertai dengan kesepakatan bersama agar proses komuni kasi yang terjalin dapat lebih efektif dan berkualitas. Sebagai salah satu bagian dari anggota keluarga, tentu hal yang dilakukan oleh seorang pelajar tidak terlepas dari peran orang tua. Kontrol penuh dari orang tua terhadap sikap dan pergaulan seorang anak tentu saja dapat mencegah perilaku menyimpang bahkan kenakalan pelajar. Anas Saidi (2016) menyatakan bahwa kenakalan remaja terjadi karena proses pergaulan yang dilakukan secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan lainnya, apalagi yang berbeda keyakinan dan budayanya. Keterbukaan disini menjadi faktor penting dalam proses komunikasi yang ter- jalin antara orang tua dengan sang anak. Temu an dalam penelitian ini mengung- kapkan bahwa sikap orang tua yang mau mendengar dan menerima masukan dari sang anak mampu meningkatkan efektivitas komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan sang anak. Anak tidak segan-segan untuk bercerita mengenai pergaulan dengan teman sebayanya hingga permasalahan- permasalahan akademik yang dihadapi di sekolah. Rimporok (2015) mengungkapkan bahwa keterbukaan dan keterusterangan anggota keluarga terhadap yang lain hanya dapat diwujudkan melalui kegiatan dan proses komunikasi dalam keluarga itu sendiri se hingga apa yang kita inginkan, apa yang kita rasakan dapat diketahui secara bersama, yang pada akhirnya menjadi tanggungjawab ber sama pula. Namun sebaliknya, orang tua yang me- rasa anak mereka sudah jauh lebih pandai dan jarang membuka diri untuk mendengar bahkan menerima masukan dari sang anak cenderung diabaikan oleh sang anak. Hal ini menyebabkan derajat keterbukaan komuni- kasi dalam keluarga dan kedalaman masalah dalam komunikasi keluarga menjadi ber- kualitas rendah (Barnes & Olson, 1985 dalam Malihah, 2018). Akibatnya, orang tua dan anak tidak saling mengetahui apa yang se- benarnya diinginkan atau tidak diinginkan satu sama lain. Tidak hanya berhenti disitu, seorang anak yang tidak dapat menemukan solusi dari keluarga atas permasalahan yang dihadapi cenderung mencari teman atau orang lain di luar lingkup keluarganya. Mereka menjadi rentan terpengaruh oleh hal-hal negatif dari teman atau lingkungan pergaulannya seperti merokok, mabuk, dan terlibat aksi tawuran atau kenakalan pelajar lainnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Santrock (1996 dalam Sumiati, 2009) di Boston, Amerika Serikat pada 500 remaja yang melakukan kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan, ditemukan persentase kenakalan lebih tinggi terjadi pada remaja yang memiliki hubungan regular dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan. Faktor penting yang kedua dalam proses komunikasi keluarga adalah empati. Setelah orang tua dan anak saling terbuka, munculah empati. Menurut Widjaja (2000) empati adalah kemampuan seseorang untuk me- 165 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... nem patkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pola komunikasi yang diterapkan pada anak remaja sangat berbeda jauh dengan penerapan pola komunikasi pada anak-anak usia di bawah 10 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia ini, anak merasa telah cukup dewasa untuk dapat mengambil sebuah keputusan. Jelas saja mereka tidak lagi mau didekati dengan perintah dan larangan yang keras dari orang tuanya. Mungkin yang paling sulit dari faktor komunikasi adalah kemampuan untuk ber- empati terhadap pengalaman orang lain. Karena dalam empati, orang tua tidak me- laku kan penilaian terhadap perilaku anak tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan perilaku sang anak. Bisa jadi kurangnya empati yang diberikan adalah karena menurut orang tua beban sekolah anak saat ini masih sama dengan beban mereka ketika sekolah zaman dahulu, sehingga menganggap keluhan akan minimnya fasilitas belajar terlalu berlebihan. Sedangkan memang tuntutan zaman saat ini terlebih di era perkembangan teknologi, proses belajar anak tidak lagi hanya me- merlukan buku melainkan juga fasilitas ekstra seperti laptop dan smart phone. Namun demikian rasa empati yang berlebihan pada sang anak juga bukan merupakan suatu hal yang baik. Karena empati juga harus ber- dampingan dengan tanggung jawab. Tanpa adanya tanggung jawab, maka anak bisa jadi menyalahgunakan empati yang diberikan oleh orang tua untuk sesuatu hal yang negatif. Contohnya adalah saat orang tua mem belikan sepeda motor untuk anaknya, tanpa disertai tanggung jawab maka sepeda motor tersebut dipergunakan untuk kebut- ke butan atau terlibat dalam aksi geng motor. Faktor penting yang terakhir adalah perilaku sportif. Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri orang tua ada peri laku sportif, artinya oang tua ketika melakukan kesalahan atau memiliki pen- dapat yang berbeda dengan anak, tidak menye lesaikannya dengan cara egois atau mem pertahankan keinginannya (defens) namun juga harus memberikan kesempatan untuk sang anak berpendapat atau meng- utarakan keinginannya. Berdasar penjelasan di atas, terdapat tiga pola komunikasi yang digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis antara orang tua dengan anak. Ketiga pola komuni- kasi tersebut menurut Sudjana (2000) adalah komunikasi satu arah, komunikasi interaksi atau dua arah dan komunikasi banyak arah. 1. Komunikasi sebagai aksi atau komuni- kasi satu arah. Orang tua berperan aktif sebagai pemberi aksi dan anak sebagai pe- nerima aksi atau sebaliknya. Bentuk komunikasi ini misalnya saat orang tua mem berikan nasihat atau memberikan contoh secara langsung melalui per- buatan mengenai (1) penerapan unggah- ungguh, tata krama, tata trapsila; (2) hal-hal yang diajarkan dalam agama, seperti shalat tepat waktu; dan (3) hal- hal yang berkaitan dengan pergaulan dengan lingkungan sosial. Pada komunikasi ini, tidak ada respon yang diberikan oleh orang tua atau pun anak yang berada pada posisi sebagai komunikan, sehingga yang dilaku kan oleh komunikan dalam proses komunikasi ini hanya mendengar saja pesan yang disampaikan atau me- lihat aksi/ contoh perbuatan positif yang dilakukan oleh komunikator. Komuni kasi ini sangat efektif dalam mem bentuk kepribadian seorang anak, karena anak melihat dan mendengar lang sung contoh perbuatan/ aksi yang di lakukan oleh orang tua setiap hari. 2. Komunikasi sebagai interaksi atau komuni kasi dua arah Komunikator dan komunikan dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling mem beri dan saling menerima. Hal ini terjadi ketika orang tua dan anak mem buat kesepakatan mengenai peng gunaan handphone. Tanpa adanya komunikasi dua arah, komitmen yang dibuat tidak akan efektif karena hanya disepakati satu pihak saja. Selain itu 166 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 komunikasi ini juga terjalin saat makan bersama dimana orang tua dengan aktif menanyai perkembangan sekolah sang anak dan sebaliknya sang anak memberikan respon atas pertanyaan orang tua. Namun sayangnya komuni- kasi dua arah yang berlangsung dalam penelitian ini hanya berlaku pada keluarga yang orang tuanya menerap- kan pendekatan pada sang anak melalui komunikasi efektif. 3. Komunikasi banyak arah atau komuni- kasi sebagai transaksi, komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara unsur-unsur komunikan lainnya. Tak dapat dipungkiri bahwa ter kadang ada tambahan keluarga dalam satu unit keluarga inti, seperti ke hadiran kakek atau nenek. Sehingga komunikasi yang terjalin pun tidak lagi hanya antara orang tua dan anak melainkan juga antara orang tua – anak – kakek atau nenek. Namun demikian, bagi beberapa keluarga, komunikasi yang ter jalin antara anak dengan pihak ketiga ini belum se penuh nya efektif. Hal ini di sebabkan karena komuni kasi yang terjalin dengan pihak ketiga cen- derung tidak intens. Bahkan pada be- berapa keluarga, keterlibatan peran nenek atau kakek justru menjadi salah satu penyebab anak melakukan perilaku menyimpang, karena dalam peng asuhannya nenek atau kakek cenderung me manjakan sang anak. Penjelasan mengenai pola komunikasi keluarga di atas disajikan dalam gambar berikut : Gb. 1. Pola komunikasi keluarga Berdasarkan gambar di atas, dapat di simpulkan bahwa temuan penelitian me ngenai pola komunikasi keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar ini mendukung temuan penelitian sebelumnya yang menya takan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan orang tua dan 167 Chatia Hastasari, Suranto Aw dan Mami Hajaroh, Family’s Communication Pattern in Preventing, ... keluarga memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada seorang anak. SIMPULAN Simpulan dalam penelitian ini adalah: Jenis kenakalan pelajar SMA di Kota Yogya- karta terbagi kedalam tiga jenis, yaitu (a) Kenakalan ringan, kenakalan jenis ini biasa- nya berkaitan dengan pelanggaran per a turan dan tata tertib sekolah seperti mem bolos, merokok, mencorat-coret tembok, ber - sandal, berambut gondrong, semir rambut dan sejenisnya; (b) Kenakalan ting kat sedang, kenakalan jenis ini adalah ke nakalan yang dampaknya sudah mengenai pelajar lain nya seperti perundungan (bullying), perkelahian, dan lain-lain; dan (c) Ke nakalan tingkat berat, kenakalan jenis ini adalah kenakalan pelajar yang mengarah pada terjadinya tindak pidana, seperti tawur an, senjata tajam, minuman keras, dan se bagainya. Pola komunikasi keluarga yang di- guna kan secara efektif sebagai upaya untuk mencegah kenakalan pelajar adalah komuni- kasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah dimana orang tua berperan aktif sebagai pemberi aksi dan anak sebagai penerima aksi atau se baliknya. Bentuk komuni kasi ini misalnya saat orang tua mem berikan nasihat atau mem berikan contoh se cara langsung me lalui per buatan me ngenai (1) pe ne rap an unggah-ungguh, tata krama, tata trapsila; (2) hal-hal yang di ajarkan dalam agama, se perti shalat tepat waktu; dan (3) hal-hal yang ber- kaitan dengan pergaulan dengan lingku ngan sosial. Sedangkan pola komunikasi keluarga yang masih belum dapat secara efektif men- cegah kenakalan pelajar adalah : (a) Komunikasi sebagai interaksi atau komuni kasi dua arah dimana keduanya dapat saling memberi dan saling mene- rima. Hal ini terjadi ketika orang tua dan anak membuat kesepakatan me- ngenai penggunaan handphone dan saat makan bersama dimana orang tua dengan aktif menanyai perkembangan sekolah sang anak dan sebaliknya sang anak memberikan respon atas per- tanyaan orang tua. Namun sayang nya komunikasi dua arah yang ditemu- kan oleh peneliti disini masih belum me miliki kualitas yang baik. Hal ini disebabkan karena minimnya penge- tahuan orang tua mengenai pentingnya komunikasi dua arah dalam proses penanaman karakter seorang anak. (b) Komunikasi banyak arah atau komuni- kasi sebagai transaksi, komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara unsur-unsur komunikan lainnya. Sehingga komunikasi yang ter- jalin pun tidak lagi hanya antara orang tua dan anak melainkan juga antara orang tua – anak – kakek atau nenek. Komunikasi yang terjalin antara anak dengan pihak ketiga ini juga masih belum sepenuhnya efektif untuk men- cegah bahkan mengurangi kenakalan pelajar. Hal ini disebabkan karena komuni kasi yang terjalin dengan pihak ketiga cenderung tidak intens. Bahkan pada beberapa keluarga, keterlibatan peran nenek atau kakek justru menjadi salah satu penyebab anak melakukan perilaku menyimpang, karena dalam pe ngasuhannya nenek atau kakek cende rung memanjakan sang anak. Saran Penelitian ini fokus pada jenis kenakalan pelajar dan pola komunikasi keluarga dalam mencegah kenakalan pelajar. Oleh karenanya peneliti menyarankan agar nantinya fokus mengenai pola komunikasi keluarga ini dapat mencakup aspek lainnya seperti per- kembangan emosi anak (Setyowati, 2013) dan kecenderungan perilaku seks pra nikah (Munawaroh, 2012) DAFTAR PUSTAKA Aini, L. N. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan, 6(1). 168 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018 Chairuddin Ismail. (2015). Penyebaran Paham Radikal Berbahaya bagi NKRI. Diambil tanggal 18 Mei 2016, dari http:// www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/ m i n a n g wa n - s e m i n a r- Pe nye b a ra n - P a h a m - R a d i k a l - B e r b a h a y a - B a g i - NKRI-1435206305.pdf. Djamarah, S. B. (2004). Pola komunikasi orang tua dan anak dalam keluarga (sebuah perspektif pendidikan Islam). Jakarta: Rineka Cipta. Gunawan, H. (2013). Jenis pola komunikasi orang tua dengan anak perokok aktif di Desa Jembayan Kecaatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara. eJournal Ilmu Komunikasi 1(3):1-5 Hatuwe, Nur Qomariah. (2013). Pola Komunikasi Keluarga dalam Mencegah Kenakalan Remaja, dalam http://w w w.e -jurnal.com/2014/05/ pola-komunikasi-keluarga- dalam- mencegah.html, diakses pada 20 November 2018. Kurniawan, M. I. (2015). Tri Pusat Pendidikan Sebagai Sarana Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar. Pedagogia: Jurnal Pendidikan, 4(1), 41-49. Malihah, Z., & Alfiasari, A. (2018). Perilaku Cyberbullying pada Remaja dan Kaitannya dengan Kontrol Diri dan Komunikasi Orang Tua. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 11(2), 145-156. Munawaroh, F. (2012). Konsep Diri, Intensitas Komunikasi Orang Tua- Anak, dan Kecenderungan Perilaku Seks Pranikah. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2). Rafiq, M. (2014). Hubungan Pola Komunikasi Interpernonal dalam Keluarga dan Interaksi Sosial terhadap Kenakalan Siswa SMA Swasta di Kota Padangsidimpuan. Tazkir: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman, 9(1) Rogi, B. A. (2015). Peranan komunikasi keluarga dalam menanggulangi kenakalan remaja di Kelurahan Tataaran 1 Kecamatan Tondano Selatan. JURNAL ACTA DIURNA, 4(4). Rimporok, P. B. (2015). Intensitas Komunikasi dalam Keluarga untuk Meminimalisir Kenakalan Remaja di Desa Maumbi Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Acta Diurna, 4(1) Santi, F. (2017). Pola Komunikasi Keluarga dengan Perilaku Kenakalan Remaja. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, 2(3) Setyowati, Y. (2013). Pola komunikasi keluarga dan perkembangan emosi anak (studi kasus penerapan pola komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak pada keluarga Jawa). Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1). SKH Kedaulatan Rakyat. Stop Radikalisme di Dunia Pendidikan. 5 Juni 2017. Halaman 8. Sumiati, dkk. (2009). Kesehatan jiwa remaja dan konseling. Jakarta: Trans Info Media. Sudjana, (2000). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru Agensindo. Bandung. Unayah, N., & Sabarisman, M. (2015). Fenomena kenakalan remaja dan kriminalitas. Sosio informa. Widjaja. H.A.W. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: Rineka Cipta http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Penyebaran-Paham-Radikal-Berbahaya-Bagi-NKRI-1435206305.pdf