KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 2 Filsafat Eksistensialisme Jean paul Sartre 1 INFORMASI, No. 1, XXXVI, Th. 2010. MENGENAL FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN-PAUL SARTRE SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN Oleh: Sunarso Abstrak Pendidikan dan filsafat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Filsafat bagi pendidikan berperan sebagai pedoman yang memberikan arahan dan tujuan pendidikan. Sedangkan pendidikan bagi filsafat merupakan suatu ‘ruang’ yang selalu memberinya tempat untuk hidup dan terus berkembang melalui kegiatan-kegiatan teoritis maupun praktis dalam pendidikan. Filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre dapat digunakan sebagai dasar pijakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut Sartre, manusia adalah individu yang bebas. Namun kebebasan yang dimilikinya selalu terbatasi dengan fakta akan adanya kebebasan individu lain. Manusia adalah bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Belajar adalah menjadikan dirinya sendiri otonom dan menyadari adanya orang lain sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau lingkungannya. Namun demikian, kita tetap harus selektif terhadap pemikiran Sartre tentang peniadaan Tuhan. Dalam merumuskan konsep kebebasan individu, Sartre mengasumsikan bahwa tanpa bantuan Tuhan, manusia dapat bebas mendefinisikan dirinya sendiri untuk mencapai tujuan hidupnya. Pandangan ini jelas bertentangan dengan falsafah dasar negara kita yaitu Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata Kunci: Filsafat, Jean Paul Sastre, Pendidikan A. Pendahuluan Pendidikan dan filsafat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Filsafat bagi pendidikan berperan sebagai pedoman yang memberikan arahan dan tujuan pendidikan. Sedangkan pendidikan bagi filsafat merupakan suatu ‘ruang’ yang selalu memberinya tempat untuk hidup dan terus berkembang melalui kegiatan-kegiatan teoritis maupun praktis dalam pendidikan. Dengan demikian, tugas filsafat pendidikan adalah mengantarkan para calon guru, kepala sekolah, pengawas, konselor dan ahli kurikulum menuju kontak langsung dengan pertanyaan-pertanyaan besar yang mendasari makna dan tujuan hidup dan pendidikan (Knight, 1982: 3). Selanjutnya, George R Knight dalam bukunya Issues and Alternatives in Educational Philosophy (1982: 4-6) membagi filsafat menjadi tiga aspek yaitu filsafat sebagai suatu aktifitas, filsafat sebagai suatu sikap, dan filsafat sebagai suatu isi. Aspek filsafat sebagai aktifitas meliputi kegiatan menyintesis, merenung, menentukan dan menganalisis. Aspek filsafat sebagai sikap terkait dengan kesadaran diri, pendalaman, pemahaman dan fleksibilitas. Sedangkan aspek isi meliputi (1) metafisika yaitu kajian tentang pertanyaan-pertanyaan terkait dengan hakekat suatu kenyataan, (2) epistemologi atau kajian tentang hakekat kebenaran dan pengetahuan dan bagaimana mendapatkannya, (3) aksiologi yaitu kajian tentang pertanyaan-pertanyaan terkait dengan nilai. Banyaknya faham filsafat pendidikan yang berkembang sesuai perkembangan jaman, memberikan kesempatan kepada peserta didik serta para pelaku pendidikan untuk memahami, mengerti dan kemudian memilih faham-faham yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada dasarnya, pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan (Barnadib&Barnadib, 1996: 47). Untuk itu perlu dasar pijakan yang kuat yang tentunya tidak hanya terdiri dari satu pijakan dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Sehingga perlu dilakukan kajian tentang aliran-aliran filsafat yang bermanfaat demi tercapainya tujuan pendidikan agar arah dan tujuan pembelajaran menjadi selaras dan sesuai dengan jalurnya dalam membimbing peserta didik untuk menjadi manusia yang dewasa secara keseluruhan. Tujuan pendidikan di Indonesia dirumuskan melalui landasan dan falsafah negara Republik Indonesia melaui Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional melalui terselenggaranya satu system pengajaran nasional (Soedijarto, 2008: 14). Sehingga aliran-aliran filsafat yang berkembang sejak jaman Plato, Aristoteles, Imanuel Kant, Hegel, skolastik, neoskolastik, humanisme, renaissance hingga jaman kontemporer harusnya kita saring melalui falsafah dan landasan yang telah diamanatkan oleh founding father bangsa Indonesia. Metode penyaringan yang digunakan seperti itu adalah metode yang kita kenal dengan metode ekletik incorporative. Sebagai salah satu aliran filsafat yang berkembang pada abad XIX dan XX, filsafat eksistensialisme mempunyai kontribusi yang signifikan dalam dunia pendidikan di dunia dan di Indonesia. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang menekankan pada eksistensi individu dan kebebasan individu. Aliran ini berkembang demikian pesat dan mempengaruhi banyak penulis khususnya pada abad ke-19 dan ke-20. Karakteristik yang paling menonjol dari aliran eksistensialisme adalah munculnya kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri. Sebuah teori pencarian makna diri yang ditanyakan setiap manusia terhadap ekistensi dirinya sendiri (Emery, 1971: 5). William Barret dalam Existentialism as a Symptom of Man’s Contemporary Crisis (1966: 792) menambahkan bahwa eksistensialisme sebagai filsafat berusaha untuk membuat manusia sadar terhadap kenyataan hidup manusia; misalnya tentang kematian, ketakutan, pilihan, cinta, kebebasan, rasa bersalah, kesadaran, menerima ketakutan. Dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme merupakan pandangan yang lebih menekankan pada emosi daripada rasionalitas dalam memahami dirinya dan lingkungannya. Tema sentral filsafat eksistensialisme adalah eksistensi manusia. Faham eksistensialisme ini tumbuh sebagai suatu ragam filsafat antropologi yang sangat berkembang terutama setelah selesainya Perang Dunia II. Peletak dasar filsafat eksistensialisme adalah Blaise Pascal (1623-1662), seorang penulis dan filosof Prancis yang menulis Pensées (1670) sebagai kritikan terhadap rasionalisme yang diungkapkan oleh René Descartes. Selanjutnya, Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855), seorang berkebangsaan Denmark, yang dianggap sebagai peletak dasar eksistensialisme modern, juga telah menuliskan karya-karyanya sebelum Perang Dunia I, seperti juga Dostoyevski dan Fredrich Wilhelm Nietzshe (1844-1990). Sedangkan penulis eksistensialisme lain seperti Martin Heidegger, Karl Jaspers dan Jean-Paul Sartre menulis karya-karyanya sebelum Perang Dunia II (Hassan, 1992:1). Setelah PD II, faham eksistensialisme ini berkembang pesat dan mempengaruhi banyak penulis, sastrawan dan filosof seperti Albert Camus, Gabriel Marcel, Martin Buber, Van Cleve Morris. Pencarian kembali akan makna menjadi penting dalam dunia yang telah menderita depresi berkepanjangan akibat peperangan (PD I dan PD II) yang dampaknya nyata sangat besar. Hal itulah yang menjadi pemicu bagi kaum eksistensialis dalam memperbaharui pencarian makna dan signifikansi manusia sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Hubert L. Dreyfus dalam Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia (2006) membagi eksistensialimsme menjadi tiga yaitu eksistensialisme ateis seperti yang dianut oleh Nietzsche, Karl Jaspers dan Jean-Paul Sartre; eksistensialisme agnostic dianut oleh Martin Heidegger; dan eksistensialisme teis/religious dianut oleh Blaise Pascal, Kierkegaard, Paul Tillich, Rudolf Bultmann, Gabriel Marcel, Nikolay Berdyayev dan Martin Buber. Knight (1982: 70-71) mengungkapkan bahwa eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis dalam pendidikan karena filsafat ini tidak menyampaikan kepada pendidik serangkaian aturan yang harus dikuasai dan juga bukan merupakan serangkaian program untuk dilembagakan, namun eksistensialisme lebih memberikan tekanan dalam semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan. Melalui makalah ini pembahasan akan difokuskan pada faham eksistensialisme menurut Jean-Paul Sartre. Kami sependapat bahwa filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang dapat digunakan untuk menuntun kita dalam bersikap terkait dengan kesadaran diri, pendalaman, pemahaman dan fleksibilitas dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas. Metode yang digunakan dalam pembahasan makalah ini adalah ekletik inkoporatif, yaitu memilah-milah dan juga memilih nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat ini dan kemudian mengambil nilai-nilai yang bagus dan membuang nilai-nilai yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. B. Biografi Jean Paul Sartre Jean Paul Sartre lahir di Paris, Prancis pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Ia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya penganut Katolik, ibunya penganut Protestan. Ia menjadi yatim sekitar umur dua tahun dan diasuh oleh ibu serta kakeknya Charles Schweitzer. Kakeknya adalah seorang profesor di Universitas Sorbone, Paris. Secara fisik sejak kecil Sartre merupakan anak yang lemah tapi berotak cemerlang, dan memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Salah satu kesukaannya adalah berkomtemplasi dan berkhayal. Antara tahun 1924-1928, Sartre menjadi mahasiswa di l’École Normale Supérieure dan memperoleh ijazah dalam bidang filsafat pada tahun 1929. Dia mengajar di Havre, kemudian di Laon dan terakhir di Paris sampai tahun 1945. Pada tahun 1933-1934 Sartre mendapat kesempatan unutuk memperdalam fenomenologi Husserl di Institut Prancis di Berlin. Sekembalinya di Le Havre, Sartre menulis artikel panjang berjudul La Transendence de l’ego/ Transendensi Ego (1936). Sejak semula ia menafsirkan fenomenologi Husserl dalam arti realistis: bagi Sartre filsafat fenomenologis merupakan sarana untuk mengungkapkan realitas dan pengalaman yang konkret. Pada awalnya, Sartre menerapkan fenomenologi pada Psikologi khususnya terkait dengan masalah fantasi dan emosi. Dan pada tahun 1939, Sartre menulis buku berjudul L’imagination / Imajinasi dan Esquisse d’une Théorie des Émotions / Garis-garis Besar Suatu Teori tentang Emosi (1939), serta L’Imaginaire/ Yang Imaginer (1940). Pada waktu yang bersamaan, Sartre menerbitkan novelnya yang pertama berjudul La Nausée (Rasa Muak) (1938). Ketika Perang Dunia II pecah, ia masuk di ketentaraan dan bertugas di dinas meteorologi. Pada tahun 1940-1941, Sartre ditahan oleh tentara Jerman sebagai tahanan perang dan pada waktu itu dia sempat menulis dan menyutradarai sebuah drama yang menyindir pendudukan Jerman atas Prancis. Ketika Perang Dunia II yang melibatkan dua kekuatan besar dunia (Blok Barat dan Blok Timur) sedang berlangsung, Sartre menerbitkan karya filsafat yang berjudul L’être et le Néant. Essai d’Ontologie Phenomenologique / Ada dan Ketiadaan. Essay Suatu Ontologi Fenomenologis (1943). Dengan buku ini Sartre menjadi filusuf ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Buku ini mengalami sukses yang besar di Prancis dan di luar Prancis sesudah Perang Dunia II. Buku kecilnya berjudul L’existentialisme est un Humanism / Eksistensialisme suatu Humanisme (1946) juga mengalami kesuksesan yang luar biasa. Buku kecil ini memuat ceramah dimana ia berusaha mempersingkat pemikirannya dalam membela eksistensialisme dari kritikan-kritikan salah satunya oleh kaum komunis. Pada tahun 1945, Sartre berhenti menjadi dosen dan mendirikan majalah baru berjudul Les Temps Modern / Jaman-jaman Modern bersama M. Merleau-Ponty dan Simone de Beauvoir sebagai dewan redaksi. Majalah berhaluan kiri ini berusaha memberikan tanggapan tentang semua kejadian politik dan kultural. Meskipun pendiriannya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partai-partai kiri, tatapi dia tidak pernah menjadi anggota komunis. Sebagai sastrawan, Sartre juga menerbitkan karya sandiwara antara lain Les Mouches / Lalat-lalat (1943), Huis Clos / Pintu Tertutup (1945) , Morts sans Sépulture / Orang-orang Mati tanpa Perkuburan (1946), La Putain Respectueuse / Pelacur Terhormat (1946), Les Main Sales / Tangan-tangan Kotor (1948), Le Diable et le bon Dieu / Si Setan dan Si Tuhan Baik (1951), Les Sequestrés d’Altona / Tahanan-tahanan dari Altona (1960). Seri novel (trilogi dari tetralogi yang direncanakan) dengan judul Les Chemins de la libertés / Jalan-jalan Menuju Kebebasan; L’age de Raison, Le Sursis (1945), dan La Mort dans l’âme (1951). Tahun 1960, Sartre menerbitkan karya filsafatnya yang berjudul Critique de la raison dialectique (Kritik Dialektik atas Rasio) yang didalamnya terdapat artikel berjudul Question de méthode (Pertanyaan-pertanyaan tentang Metode) yang mempertentangkan antara Marxisme dan Eksistensialisme. Tahun 1964, Sartre menerbitkan bukunya berjudul Les Mots / Kat-kata yang menurut banyak kritikus dianggap sebagai salah satu karya puncaknya. Buku ini merupakan autobiografinya dan melalui karya iniliah Sartre dipilih sebagai pemenang Hadiah Nobel Kesusastraan namun ditolaknya karena dia berpendapat jika menerimanaya akan mengurangi kebebasannya sebagai pengarang. Dia juga menulis analisis kritis tentang pengarang-pengarang besar antara lain Baudelaire (1974), Saint Genet. Comédie et martyr / Santo Genet. Komedi dan Syahid (1952), L’idiot de la famille. Gustave Flaubert de 1821 à 1857 / Kekonyolan sebuah Keluarga. Gustave Flaubert dari tahun 1821 sampai 1857 (jilid I-II tahun 1971, dan jilid III tahun 1972). Artikel-artikel Sartre yang lain yang diterbitkan melalui majalahnya Les Temps Modernes telah dikumpulkan menjadi buku dan diberi judul Situations / Situasi-situasi yang terdiri sepuluh jilid (1947-1975). Artikel-ertikel tersebut berisi pemikiran-pemikirannya diberbagai bidang (politik, sosial, budaya/keusastraan). Selain sebagai sastrawan, kritikus sastra dan budaya, esaist, dia juga menggeluti dunia film dan berhasil menyutradarai beberapa film dan juga drama. Pada tahun 1960, Sartre juga memprakarsai “Manifesto 121 Cendekiawan” yang menyatakan bahwa prajurit-prajurit Prancis berhak untuk menolak dikirim ke Aljazair. Dia juga membatu temannya yang terlibat dalam organisasi pembebasan aljazair, organisasi terlarang di Prancis hingga rumahnya di bom namun dia selamat karena tidak berada di rumah. Pada tahun 1966 Sartre aktif dalam kegiatan organisasi yang telah didirikan oleh Bertrand Russell, Tribunal against war crimes in Vietnam, sebuah penyelidikan terhadap kejahatan perang Amerika di Vietnam. Sartre juga memberikan dukungannya kepada para mahasiswa Prancis yang berdemo secara besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1968 yang menuntut perbaikan pemerintahan pada umumnya dan sistem pendidikan pada khususnya. Tahun 1973, dia bersama teman-temannya yang berhaluan kiri kemudian mendirikan surat kabar baru bernama Liberation / Pembebasan. Surat kabar ini tidak menerima iklan karena dianggap suatu kebiasaan kapitalis dan semua pegawainya digaji saka rata. Namun karena keadaan finansial, harian ini sering kali harus berhenti beroperasi. Pada usia 75 tahun yaitu pada tanggal 15 April 1980, Sartre sakit dan dirawat di rumah sakit hingga meninggal dunia. C. Implementasi Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre di Bidang Pendidikan Melalui essainya yang berjudul Exsistensialisme est un humanisme (1946) dan diterbitkan ulang oleh penerbit Galimard (1996 : 21-33) serta diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Exsistentialism and Humanism oleh Philip Mairet (1977: 23-56), menyebutkan bahwa (1) eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia menjadi mungkin, (2) eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia, (3) bahwa eksistensi manusia mendahului essensinya. Berikut ini akan dikaji secara lebih mendalam tentang pandangan-pandangan Sartre melalui bukunya berjudul L’Exsistentialisme est un humanisme, edisi Gallimard yang diterbitkan tahun 1996 di Prancis. Menurut Sartre (1996 : 23), manusia mengada dengan kesadaran terhadap dirinya sendiri. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan dengan benda-benda yang lain. Asas pertama dalam faham eksistensialisme menurut Sartre (1996 :30) adalah « L’homme est rien d’autre que ce qu’il se fait », yaitu manusia tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Dengan demikian, apabila masing-masing individu menyadari dirinya sendiri sebagai manusia yang harus membuat dirinya sendiri ada maka seorang seorang pengajar atau pendidik dan juga murid atau mahasiswa akan dapat memperlakukan dirinya sendiri sebagaimana mestinya. Masing-masing individu akan mengoptimalkan kemampuan dan juga potensinya (dalam hal atau bidang apapun sesuai dengan keinginannya) untuk membuat mereka eksis. Apabila hal ini dilakukan oleh masing-masing individu maka pertemuan antara murid - guru (mahasiswa - dosen) di dalam ruang kelas dengan jam yang terbatas akan menjadi ‘ruang’ yang ideal untuk mempertemukan dan mempertukarkan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang berbagai hal sesuai dengan bidang masing-masing. Kelas yang demikian tentulah akan menjadi kelas yang ‘hidup’, dinamis, menyenangkan serta akan selalu dirindukan oleh pendidik maupun peserta didik. Di dalam kelas, guru/dosen menjadi fasilitator yang akan dapat memberikan ‘bimbingan’ kepada peserta didik yang belum matang untuk menemukan jalan masing-masing yang tentu saja berbeda antara yang satu dengan yang lain. Fungsi guru adalah untuk membimbing peserta didik secara personal dalam pencarian penyadaran diri mereka yang otentik, berbeda dengan individu yang lain. Guru yang eksistensialis akan dapat menerima dan terbuka terhadap segala pertanyaan-pertanyaan dari murid-muridnya tentang segala sesuatu yang mereka dengar dan lihat. Guru adalah mentor bagi murid-muridnya. Guru eksistensialis mempunyai komitmen terhadap dirinya sendiri dan bidang studinya karena dengan demikian dia akan bermakna sebagai individu (untuk dirinya sendiri) dan bermakna bagi lingkungannya. Dapat dikatakan bahwa guru yang baik bagi kaum eksistensialis adalah seseorang yang dapat menggunakan keunikan dan keotentikannya dengan cara yang terbaik dan secara sadar mengambil peran (berperilaku) untuk bertanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya. Dengan demikian, guru menurut pandangan eksistensialisme adalah seseorang yang mempunyai pemahaman diri yang baik agar dia dapat memahami peserta didiknya. Jika demikian, maka metode pengajaran yang digunakan di dalam kelas menurut faham ini seharusnya fleksibel dan membebaskan. Sartre (1996 : 31) menambahkan bahwa « … si vraiment l’existence précède l’essence, l’homme est responsable de ce qu’il est » yaitu hanya jika eksistensi mendahului esensi, maka manusia bertanggung jawab terhadap eksistensinya». Namun, pandangan Sartre tentang hal ini perlu kita cermati dan kita seleksi bersama terutama terkait dengan penyangkalan Sartre akan keberadaan Tuhan. Hal itu karena menurut Sartre, pertama-tama manusia itu eksis (yaitu ada atau hadir), kemudian menjumpai dirinya (sadar akan dirinya), muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan setelah itu mendefinisikan dirinya sendiri. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Pendapat tentang peniadaan Tuhan ini jelas-jelas bertentangan dengan filsafat pedoman pendidikan di Indonesia yang teraktub dalam Sila I yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai manusia, kita dapat memilih dan menentukan keeksistensian kita di dunia ini dengan tetap berpegang teguh pada filsafat teis/ketuhanan yang telah kita sepakati bersama. Selanjutnya, asas pertama tersebut dalam eksistensialisme Sartre disebut juga sebagai subjektivitas manusia yang berbeda dengan benda lain seperti batu atau meja (Sartre : 1996: 30). Manusia harus menyadari dirinya sendiri sebagai subjek yang harus menjadi pencipta bagi dirinya sendiri. Hal itu berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang dipilihnya agar dirinya sendiri mengada. Jika diterapkan di dalam kelas, maka masing-masing individu yang telah memilih jalannya sendiri sebagai mahasiswa (murid) dan juga dosen (guru) akan sama-sama bertanggung jawab untuk membuat mereka sendiri eksis yaitu dengan melakukan tugasnya masing-masing secara penuh tanggung jawab. Jika kita pahami lebih lanjut, maka ketika manusia sadar bahwa dirinya adalah subjek yang bertanggung jawab secara sadar terhadap dirinya sendiri, maka seharusnya tidak ada mahasiswa (murid) dan dosen (guru) yang gagal dalam menyelesaikan tugas masing-masing. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri merupakan pertanggunganjawaban individu juga terhadap idividu yang lainnya seperti yang dikatakan Sartre melalui L’Exsistentialisme est un humanisme (1996 : 31) sebagai berikut : « Et quand nous disons que l’homme est responsable de lui-même, nous ne voulons pas dire que l’homme est responsable de sa stricte individualité, mais qu’il est responsable de tous les hommes. Il y a deux sens au mot subjectivisme, … d’une part choix du sujet individuel par lui-même, et, d’autre part, impossibilité pour l’homme de dépasser la subjectivité humaine. C’est le second sens qui est le sens profond de l’existentialisme».« Dan ketika kita manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, manusia tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri saja sebagai individu, namun juga bertanggung jawab terhadap seluruh kemanusiaan. Ada dua makna subjektifitas, … yang pertama bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan yang kedua bahwa manusia tidak mungkin melanggar subjektifitas manusia yang lain. Itulah makna kedua yang mendalam dari eksistensialisme». Pengetahuan tentang diri pribadi yang otonom dan bersifat individual diperoleh seseorang seperti halnya kemampuan yang didapatnya untuk bekerja dan memecahkan permasalahan-perasalahan dalam berhadapan dengan dunia dan orang lain. Dengan demikian, pendidikan dalam kelas yang eksistensialis bertujuan untuk membantu manusia agar dapat menyelesaikan projek-projek individual, menerima kebebasannya dan kenyataan serta meyakini bahwa dirinya adalah manusia yang unik. Jika demikian, maka kelas yang eksistensialis merupakan kelas yang individu-individunya mempunyai kebebasan yang penuh tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya. Kelas seperti ini juga merupakan kelas yang kreatif karena masing-masing individu dapat mengekspresikan dirinya secara bebas sepenuhnya dan juga saling menghargai. Selain itu, karena belajar merupakan penggalian dan penemuan makna personal yang otonom, maka proses belajar bagi kaum eksistensialis juga dilakukan secara personal. Guru menurut pandangan eksistensialisme harus dapat menciptakan atmosfer belajar yang kondusif dan mendukung agar semua siswa dapat belajar secara optimal untuk menemukan keotentikan mereka masing-masing. Siswa harus diberi kebebasan untuk menjadikan dirinya sendiri ada, menentukan pilihan, dan bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya. Untuk itu, karena siswa berhak memilih mata kuliah / subjek yang disenangi, maka kurikulum untuk kelas dalam faham eksistensialisme adalah kurikulum yang memberikan keleluasan bagi siswa untuk memilih dan sehingga kurikulum tersebut seharusnya fleksibel. Pendapat Sartre berikutnya adalah « l’homme est libre, l’homme est liberté » (1996 : 39) yaitu manusia bebas dan manusia adalah kebebasan. Kebebasan menurut Sartre adalah kebebasan yang mutlak dan konsekuensi kebebasan yang mutlak itu adalah tanggung jawab yang mutlak pula. Jika manusia sadar akan kebebasannya maka manusia dapat menentukan pilihan-pilihan untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, kebebasan manusia bagaimanapun dibatasi oleh fakta akan kebebasan orang lain. Jadi, ketika kita memutuskan pilihan dan bertindak atas pilihan tersebut maka sebetulnya keputusan itu juga menyangkut kemanusiaan. Untuk itu, tugas pendidikan adalah untuk membantu siswa agar memahami peran dan tanggung jawabnya terhadap terhadap kehidupannya sendiri, keputusannya sendiri yang faktanya penuh tanggung jawab karena kebebasannya ternyata berhadapan dengan orang lain (as being-for-others). Pendidikan diharapkan dapat membantu mempersiapkan siswa untuk menciptakan makna dirinya sendiri dan dapat melakukan sesuatu agar dirinya bermakna untuk dirinya sendiri dan kemanusiaan sehingga tujuan hidupnya dapat tercapai. Memang hanya sedikit sekolah yang dapat menerapkan kebebasan secara mutlak seperti harapan kaum eksistensialis. Namun setidaknya sebuah sekolah swasta sederhana di Inggris, Summerhill, yang telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun dapat menerapkan kebebasan seperti harapan kaum eksistensialis. Sekolah Summerhill merupakan sekolah yang berdasarkan pada kebebasan (tidak ada keharusan, tidak ada aturan, tidak ada PR, tidak ada peraturan, tidak ada penilaian, tidak ada tes, atau aturan social). Menurut A. S. Neil pendiri sekolah Summerhill dalam Summerhill : A Radical Approach to Child Rearing melalui Emery (1971 :6) menyebutkan bahwa anak yang bebas adalah anak yang bahagia dan anak yang seperti itu dapat menjadi anak yang bertanggung jawab. Selanjutnya, Sartre berpendapat bahwa eksistensialisme adalah pandangan yang optimis (1996 : 56) berikut ini kutipannya : « …il n’y a pas de doctrine plus optimiste, puis que le destin de l’homme est en lui-même ;... et que la seule chose qui permet à l’homme de vivre, c’est l’acte » yang artinya : « …tidak ada doktrin yang lebih optimis (selain eksistensialisme), karena nasib manusia ditentukan olehnya sendiri ; ……dan satu-satunya hal yang menjadikan manusia hidup adalah tindakannya ». Semangat keoptimisan terhadap hidup dapat digunakan sebagai modal setiap individu dalam mencapai tujuan hidupnya. Manusia bagaimanapun harus melakukan sesuatu secara terus menerus agar dirinya eksis. Sartre menambahkan « L’homme est l’avenir de l’homme » (1996 : 40) yaitu manusia adalah perkembangan dirinya yang terus menerus, masa kini dan sekaligus merupakan masa depannya karena apa yang diciptakan kini merupakan proyeksinya ke masa depan. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar merupakan suatu tindakan setiap manusia yang dilakukan secara terus menerus. Sering kali pengetahuan terhadap kebenaran justru kita peroleh ketika kita melakukan kesalahan. Melalui pengalaman (kesalahan) maka individu mendapatkan pengetahuan yang baru. Di dalam kelas eksistensialis, guru hendaknya menekankan bahwa kesalahanpun mempunyai nilai yang bermakna dalam kehidupan seseorang. Membuat kesalahan adalah bagian esensial dalam proses belajar bagi manusia. Guru bertugas untuk memberikan pengertian kepada siswanya terhadap kesalahan yang dilakukan muridnya sehingga siswa tersebut menyadari dan mengerti kekeliruannya dan kemudian dapat memilih langkah yang lebih tepat bagi dirinya sendiri. Di dalam ruang kelas yang seperti ini, maka hubungan guru dan murid akan lebih mendalam, bersahabat dan personal karena tidak ada ketegangan dan juga tidak ada sikap saling permusuhan, serta saling memahami dan penuh tanggung jawab. Menjadi manusia adalah memahami diri sendiri sebagai individu yang unik dan dapat belajar untuk hidup secara otentik. Keotentikan adalah suatu pemahaman diri sendiri, menerima dan bertanggung jawab terhadap situasi hidupnya. Kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya dan kesadarannya untuk terus maju menuju tujuannya di masa akan adalah yang membuat manusia itu unik. Manusia adalah bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Belajar adalah menjadikan dirinya sendiri otonom dan menyadari adanya orang lain sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau lingkungannya. Belajar menurut pandangan eksistensialisme adalah mengkonstruksi makna dunia (individu dan juga dunia sekitar) yang diperoleh seseorang melalui berbagai pengalaman. Untuk itu, semua orang harus belajar (melalui pendidikan formal ataupun non formal) agar semua orang dapat membangun makna bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Jika demikian maka civil society atau masyarakat madani yang dicita-citakan dapat terwujud. Konflik dan perlawanan yang mungkin saja muncul dalam persinggungan antar individu dapat diselesaikan dengan damai (tanpa kekerasan) karena masing-masing individu merupakan individu yang matang sehingga dapat memahami dirinya sendiri, dapat mengontrol dirinya sendiri dan realitas lingkungannya sehingga dapat menjadi individu yang bertanggung jawab. Dengan demikian, masing-masing individu memperoleh konsensus dengan mengambil tanggung jawab dan membangun diri sendiri, memperoleh nilai kehidupan yang bertanggung jawab terhadap kenyataan keberadaan orang lain, dan pada akhirnya kita dapat memutuskan untuk bertindak. C. PENUTUP Faham eksistensialisme Jean Paul Sartre dapat digunakan sebagai dasar pijakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut Sartre, manusia adalah individu yang bebas. Namun kebebasan yang dimilikinya selalu terbatasi dengan fakta akan adanya kebebasan individu lain. Manusia adalah bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Belajar adalah menjadikan dirinya sendiri otonom dan menyadari adanya orang lain sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau lingkungannya. Belajar menurut pandangan eksistensialisme adalah mengkonstruksi makna dunia (individu dan juga dunia sekitar) yang diperoleh seseorang melalui berbagai pengalaman. Pengetahuan tentang diri pribadi yang otonom dan bersifat individual diperoleh seseorang melalui pengalaman seperti halnya kemampuan yang didapatnya untuk bekerja dan memecahkan permasalahan-perasalahan dalam berhadapan dengan dunia dan orang lain. Semua orang harus belajar (melalui pendidikan formal ataupun non formal) agar semua orang dapat membangun makna bagi dirinya sendiri dan lingkungannya agar civil society atau masyarakat madani yang dicita-citakan dapat terwujud. Hal itu karena, semua manusia dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kemanusian dalam mencapai keeksistensian diri masing-masing. Namun demikian, kita tetap harus selektif terhadap pemikiran Sartre tentang peniadaan Tuhan. Dalam merumuskan konsep kebebasan individu, Sartre mengasumsikan bahwa tanpa bantuan Tuhan, manusia dapat bebas mendefinisikan dirinya sendiri untuk mencapai tujuan hidupnya. Pandangan ini jelas bertentangan dengan falsafah dasar negara kita yaitu Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Daftar Pustaka Barnadib, Imam., Sutari, Imam. 1996. Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit ANDI Barrett, William. 1966. Existentialism as a Symptom of Man’s Contemporary Crisis. USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Emery, C. Raymond. 1971. Existentialism. Journal of Teacher Education 1971; 22; hlm 5-8. http://jte.sagepub.com Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Knight, George K. 1982. Issues and Alternatives in Education Philosophy. Michigan: Andrews University Press. Michard, Lagarde&Laurent. 1973. XXe Siècle. Les Grands Auteurs Français. Paris: Bordas. Sartre, Jean-Paul. 1996. L’Existentialisme est un humanisme. Paris: Gallimard. --------. 1964. Les Mots. Paris: Édition Gallimard. --------, 1977. Existentialism and Humanism Trans. Philip Mairet. Brooklyn: Haskell House Publishers Ltd.,), pp. 23-56. First published in French in 1946 under the title "L'Existentialisme est un humanisme." http://www.cis.vt.edu/modernworld/d/Sartre.html  White, David. 2001. Freedom and Responsibility: Existentialism, Gifted Students, and Philosophy. Proquest Education Journal. Spring 2001; 24, 2. hlm 48-54. Biodata Penulis: Sunarso, M.Si. Dosen pada Jurusan PKnH FISE UNY dan Dosen pada Unit MKU UNY. Sekarang sedang mengikuti program S3 (doktor) di Pascasarjana UNY.