KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 14 Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat 27 INFORMASI, No. 1, XXXVI, Th. 2010. KAJIAN FILSAFAT HUKUM TENTANG : HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : Eny Kusdarini, M. Hum. Abstrak Ruang lingkup pembahasan filsafat hukum sangat luas sekali mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang memerlukan pemecahan secara hukum. Di era otonomi daerah hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat di daerah kabupaten/kota juga bisa dijadikan objek pembahasan filsafat hukum dengan memakai analisis ajaran sosiological jurisprudence yang mengemukakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pengaturan yang sifatnya sentralistik saat ini sudah banyak yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat di daerah, semestinya aturan-aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah harus mengindahkan hukum-hukum yang berasal dari masyarakat hukum di daerah otonom. Diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk menggali kembali hukum-hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat di daerah. Penggalian hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat setempat dapat dipakai sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan bisa mengantarkan pada kesejahteraan masyarakat setempat. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang digali dari masyarakat, terutama yang ada di daerah kabupaten/kota di Indonesia bisa dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah. Kata Kunci : Filsafat, Hukum, Nilai-nilai Budaya. A. Pendahuluan Ruang lingkup pembahasan filsafat hukum pada masa kini telah berkembang seperti halnya perkembangan kehidupan manusia. Apabila pada waktu yang lalu pembahasan filsafat hukum oleh para filosof hanya terbatas pada masalah-masalah tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum positif, hubungan negara dengan hukum, yang merupakan produk sampingan dari para filosof dalam berfilsafatnya yang juga membahas segala aspek dari filsafat termasuk juga hukum. Pada masa kini obyek pembahasan filsafat hukum tidak hanya terbatas pada masalah-masalah hukum seperti yang dibahas oleh para filosof sebagai kelengkapan berfilsafatnya, namun pembahasan filsafat hukum sudah demikian berkembang sehingga setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan dapat dikaji dengan filsafat hukum. Saat ini filsafat hukum bukan lagi merupakan filsafat hukumnya para ahli filsafat seperti pada masa-masa yang lampau, melainkan lebih merupakan buah pemikiran para ahli hukum baik praktisi maupun teoritisi yang dalam tugasnya sehari-hari banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat. Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi (2001 :12-13) menyatakan bahwa masalah-masalah hukum yang dapat dijadikan obyek pembahasan filsafat hukum tersebut di antaranya : · Hubungan hukum dengan kekuasaan; · Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; · Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang; · Apa sebabnya orang mentaati hukum; · Masalah pertanggungjawaban; · Masalah hak milik; · Masalah kontrak; · Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat; · Dan lain-lain. Di dalam tulisan ini akan dikaji mengenai pembahasan filsafat hukum tentang Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Indonesia di Era otonomi Daerah. Kajian ini walaupun merupakan bagian dari sosiologi hukum, akan tetapi penting juga ditinjau dari sudut pandang filsafat hukum mengingat pada saat ini bangsa kita telah memasuki era baru dalam kehidupan ketatanegaraan dan tata pemerintahan yang dulunya bersifat sentralistik, akan tetapi sekarang ini memasuki kehidupan otonomi daerah yang dapat menjadi penentu proses terjadinya demokrasi di Indonesia. Kajian ini mempunyai kaitan erat dengan ajaran dalam filsafat hukum yakni aliran Sosiological jurisprudence, yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Perbedaan sosiologi hukum dengan ajaran sosiological jurisprudence, apabila sosiologi hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan sosiological jurisprudence merupakan suatu mazhab/aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya yakni pengaruh antara masyarakat dan hukum. Perbedaan lain yakni bahwa cara pendekatan dalam sosiological jurisprudence bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum bermula dari masyarakat ke hukum. Aliran sosiological jurisprudence ini mengetengahkan tentang pentingnya living law-hukum yang di dalam masyarakat dan berpegang pada pendapat mengenai pentingnya akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound sebagai mana dikutip Lili Rasjidi (2001 : 66-67) yang intinya menyatakan bahwa hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal yang dapat hidup terus. Menurut Roscoe Pound yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu sendiri. Tulisan ini akan mengetengahkan hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia di era otonomi daerah. Kajian ini merupakan bagian dari ruang lingkup pembahasan filsafat hukum, mengingat dewasa ini ruang lingkup pembahasan filsafat hukum sangat luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memerlukan pemecahan secara hukum. Di dalam tulisan ini berturut-turut akan dikaji mengenai Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Indonesia, Penguatan Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Indonesia di Era Otonomi Daerah, dan Relevansi Antara Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya dengan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Kajian dalam tulisan ini sedapat mungkin akan dikaitkan dengan ajaran aliran sosiological jurisprudence. B. Hukum Dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Apabila kita berbicara mengenai hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia, kita tidak bisa melepaskan diri dari suatu kenyataan bahwa masyarakat hukum Indonesia merupakan suatu bangsa yang negaranya didasarkan atas hukum (rechtstaat), berbentuk republik, dan sistem pemerintahannya berbentuk demokrasi. Lili Rasyidi dan IB Wiyasa Putra (1993 : 132) mengemukakan bahwa masyarakat hukum Indonesia ini merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang besar, yang tersusun atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil, yang dikenal dengan masyarakat hukum adat. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil ini merupakan suatu bentuk masyarakat tradisional yang memiliki tradisi-tradisi hukum tersendiri yang diakui otonominya. Sebagai suatu sistem masyarakat hukum, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini memiliki komponen-komponen sistem tersendiri pula, mereka memiliki struktur sosial, sistem filsafat, sistem budaya, sistem pendidikan, sistem konsep hukum, sistem penbentukan dan sistem penerapan hukum yang serba khas pula. Di dalam masyarakat hukum ini terdapat nilai-nilai sosial budaya sebagai tradisi yang sudah dimiliki dan dianut oleh masyarakat Indonesia. Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai sosial dan budaya hukum ini hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan budaya hukum masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai dan budaya hukum living law. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa dengan nilai-nilai dan budaya hukum tertulis yang diakibatkan oleh proses kolonialisme di Indonesia yang dibawa oleh penjajah, terutama Belanda yang menganut budaya hukum Eropa Kontinental yang mengutamakan kodifikasi hukum. Di dalam proses pembangunan hukum, kedua budaya hukum ini memberi pengaruh terhadap konsep hukum Indonesia. Para penganut ajaran Sosiological jurisprudence sebagaimana dikutip Lili Rasjidi (2001 : 133) menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan hukum tertulis dapat diatasi dengan mempertimbangkan secara cermat hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat, dan bahkan para penganut ajaran ini mengemukakan bahwa kodifikasi hukum itu harus selaras dan mengembangkan hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, kesulitan ini seharusnya dapat diatasi dengan mengefektifkan sistem perwakilan, atau komunikasi antara masyarakat dengan wakil-wakilnya, atau juga dengan senantiasa mendahului pembentukan hukum dengan penelitian tentang pandangan, sikap dan perasaan hukum, rasa butuh hukum, dan rasa keadilan masyarakat tentang hukum yang akan dibentuk. Pada saat ini negara kita baru berada di dalam proses pembangunan dan negara kita termasuk salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang menurut Satjipto Rahardjo (1980 : 133) Indonesia harus melampoi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui oleh negara-negara berkembang. Mengutip pendapat Thomas M. Frank, Satjipto menyatakan bahwa tahap-tahap pembangunan yang dilalui oleh negara-negara itu ada tiga, yaitu : (1) tahap unifikasi; (2) tahap Industrialisasi; (3) tahap kesejahteraan sosial. Peranan hukum, ahli hukum serta lembaga-lembaga hukum yang sangat penting dalam pembangunan tersebut adalah pada saat perpindahan ke dan pensintesean dari suatu sistem norma-norma serta nilai-nilai nasional yang baru. Peranan hukum dalam hal ini adalah memberikan legitimasi terhadap perubahan, sehingga peristiwa yang secara potensial dapat menimbulkan perpecahan serta perombakan yang revolosioner itu dapat berlangsung dengan tertib dan damai. Perubahan ketatanegaraan di Indonesia akibat tuntutan dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang kita kenal dengan nama reformasi, sehingga memunculkan orde reformasi juga memerlukan peranan hukum yang kuat dengan mengindahkan nilai-nilai sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Indonesia sehingga dapat mengantarkan kita ke sebuah negara berkembang dengan tahap-tahap perkembangan tersebut di atas. Harapannya tahap-tahap perkembangan tersebut dapat kita lampoui dengan baik dengan sarana hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat, walaupun sampai saat ini untuk mencapai tahap unifikasi, bangsa kita masih belum dapat melaksanakan sesuai dengan harapan yang kita cita-citakan. Harapannya memang negara kita mau melaksanakan tahap-tahap perkembangan itu sekaligus, dalam arti bahwa kita ingin mencapai tingkat perkembangan yang tertinggi yakni melaksanakan tahap unifikasi, sekaligus juga melaksanakan industrialisasi dan juga kesejahteraan sosial dan pilihan ini memberikan beban yang tidak ringan pada para ahli hukum di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam melaksanakan tahap-tahap perkembangan ini sangat sulit untuk kita laksanakan bahkan untuk mencapai tahap unifikasi sebagai tahap pembangunan negara yang paling rendahpun sampai saat ini belum tercapai bahkan terjadi perubahan sosial di Indonesia dengan adanya tuntutan reformasi yang terjadi pada tahun 1997 yang bisa mengakibatkan goyahnya unifikasi (kesatuan negara) dan persoalan-persoalan bangsa lainnya yang apabila tidak ditangani secara baik, akan mengganggu kehidupan ketatanegaraan kita. Hal ini harus segera kita selesaikan supaya tidak mengganggu tahap-tahap pembangunan yang lain, yakni industrialisasi, dan kesejahteraan sosial sehingga kita dapat mengejar ketertinggalan-ketertinggalan tahap-tahap pembangunan yang telah dikerjakan oleh bangsa-bangsa lain. Perubahan pemerintahan yang terjadi di negara Indonesia seringkali membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi kehidupan bangsa kita, baik dari sisi ekonomi politik maupun berbagai hal lainnya. Perubahan ini seringkali dibarengi dengan suasana ketidak pastian bagi kita. Hal ini dapat kita buktikan pada pertengahan tahun 1997 dalam peristiwa unjuk rasa mahasiswa yang menghendaki turunnya Presiden Soeharto dari pucuk pemerintahan Orde Baru dan berhasil dengan suasana yang terjadi waktu itu sangat kacau. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan terjadi perubahan ketatanegaraan di negara kita, akibat dari tuntutan sebagian besar rakyat kita, terutama rakyat dari daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang selama pemerintahan Orde Baru merasa sangat dirugikan dengan pemerintahan yang bersifat sentralistik, sehingga mengeruk sumber daya alam dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya. Keadaan itu membawa akibat munculnya tuntutan-tuntutan akan adanya otonomi yang luas dan nyata. Untuk itu perlu suatu sistem pemerintahan yang kuat yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri dilandasi dengan nilai-nilai hukum yang dapat menjamin dilaksanakannya hak-hak asasi rakyat. Soerjono Soekanto (1988 : 22) menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat dari para penganut aliran sosiological jurisprudence yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selama beberapa dekade hukum dan nilai-nilai sosial budaya bangsa kita terpinggirkan dengan adanya sentralisasi kekuasaan yang ada pada pemerintah pusat, sehingga hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal banyak yang terpinggirkan dengan adanya kodifikasi dan unifikasi hukum oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh di dalam pengelolaan hutan selama ini mengabaikan hukum dan nilai-nilai sosial nudaya masyarakat adat setempat dengan memberikan Hak Penguasaan Hutan pada orang-orang tertentu yang bukan berasal dari masyarakat setempat. Keadaan ini memunculkan tuntutan untuk memberlakukan hukum adat setempat, dibarengi dengan tuntutan mengenai berlakunya otonomi daerah yang selama ini masih belum diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Seharusnya seperti apa yang dikemukakan oleh Lili Rasjidi bahwa didalam pembentukan hukum di Indonesia harus mengindahkan pandangan, sikap dan perasaan hukum, rasa butuh hukum dan rasa keadilan masyarakat yang dapat ditemukan melalui kegiatan-kegiatan penelitian terlebih dahulu, sehingga kodifikasi hukum itu seharusnya tidak meninggalkan hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang ada di daerah. C. Penguatan Hukum Dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Di Era Otonomi Daerah Krisis ekonomi, politik dan krisis kepercayaan yang melanda bangsa Indonesia dan berkepanjangan yang terjadi pada tahun 1997, dan hampir terulang lagi pada tahun 2008 telah membawa dampak hampir ke seluruh aspek dan tatanan kehidupan dan mengimbas juga pada nilai-nilai sosial budaya bangsa, seperti maraknya hain hakim sendiri pada awal masa reformasi dengan contoh-contoh yang dipaparkan oleh mass-media seperti arak bugil terhadap pezinah yang tertangkap basah, pembakaran pencuri yang tertangkap oleh massa dan berbagai contoh lain akibat euforia reformasi. Namun demikian ada hikmah positif dari idee dan pemikiran dasar yang kemudian menumbuhkan “reformasi total” di dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Fokus utama dari reformasi total ini adalah tuntutan untuk mewujudkan terciptanya masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memunculkan nilai-nilai demokrasi dan sikap keterbukaan, kejujuran, keadilan, berorintasi kepada kepentingan rakyat serta bertanggung jawab kepada rakyat. Dasar filsafat inilah yang melahirkan tuntutan untuk memberlakukan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab ini terlihat bahwa akan terjadi lagi penguatan hukum dan nilai-nilai sosial masyarakat yang berada di wilayah-wilayah di mana otonomi daerah diberlakukan. Untuk melaksanakan otonomi daerah dengan fokus otonomi pada tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat yakni daerah kabupaten/kota, perlu ditumbuhkan penguatan hukum mayarakat yang digali dari hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat, sehingga hukum-hukum yang tidak tertulis yang berasal dari masyarakat setempat dapat tumbuh dan berkembang lagi seperti keinginan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini perlu dilakukan mengingat hakekat otonomi daerah adalah bukan hanya tersimpul makna pendewasaan politik rakyat daerah di mana terwujud peran serta dan pemberdayaan masyarakat, melainkan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat. Dampak positif dari reformasi total yang dituntut oleh masyarakat sejak pertengahan tahun 1997 menurut E. Koswara dalam makalahnya ” Pengaruh Format Politik Nasional Terhadap Demokrasi Lokal”, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan telah terjadi pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik dengan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan kondisi dan potensi wilayahnya. Dampak positif ini kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah dirubah dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerahsebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Lahirnya kedua Undang-undang ini dipandang sangat penting, karena melalui pelaksanaan kedua Undang-undang ini diharapkan akan membawa perubahan kepada kehidupan pemerintahan yang demokratis dalam upaya mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, yang dilaksanakan dengan titik berat pada daerah Kabupaten/Kota, sehingga daerah ini merupakan daerah otonom. Daerah otonom adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu dan berwenang untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam prakarsa sendiri ini terkandung arti kebebasan untuk menentukan sesuatu obyek yang diinginkan, di mana pemilihan untuk menentukan sesuatu yang diinginkan ini sesungguhnya juga merupakan pelaksanaan dari pemilihan dan keputusan-keputusan kehendak yang sudah dibuat terlebih dahulu oleh masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian di dalam prakarsa sendiri ini terkandung kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dari masyarakat yang bersangkutan. Di dalam otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, daerah otonom dalam hal ini Kabupaten/Kota diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas ini maksudnya adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Keleluasaan tersebut mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulatdalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Hal-hal tertentu yang nyata dan ada di dalam kesatuan hukum masyarakat di daerah-daerah otonom ini ini tentunya termasuk hukum serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, di mana hal ini menurut Lili Rasjidi (2001 : 81) juga merupakan bagian dari beberapa permasalahan penting dalam filsafat hukum. Sedangkan maksud dari otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah otonom dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. E. Koswara mengemukakan bahwa di dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat tinjauan perspektif yang berbeda antara kepentingan pusat dan kepentingan daerah yang kadang-kadang sulit untuk dihindarkan, karena dominasi peranan pemerintah pusat terlalu kuat, sehingga menekan dan mematikan inisiatif dan prakarsa daerah yang bisa memunculkan pola instruksi dan kontrol pusat yang ketat, dengan dalih pembinaan. Cohtohnya ketentuan Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah. Dimaksudkan dengan memfasilitasi di sini adalah upaya memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. Perbedaan perspektif lain contohnya adalah pemerataan pembangunan ekonomi ditinjau dari perspektif nasional sudah dipandang cukup merata, namun perspektif daerah meninjaunya lain dan menganggap bahwa hasil dari sumber-sumber kekayaan daerah yang ditarik ke pusat jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Orang-orang daerah menilai bahwa hasil bumi dan kekayaan alam di daerah tidak dinikmati oleh daerah yang bersangkutan, mereka hanya kebagian beberapa persen saja dari seluruh kekayaan alamnya, sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat, itupun tidak jelas untuk apa. Sesungguhnya perbedaan perspektif ini menurut E. Koswara tidak seharusnya menjadi dikhotomi yang mengarah pada konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang tidak berujung pangkal, seandainya kedua kepentingan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai yang didasarkan pada kriteria yang obyektif, terutama ditinjau dari aspek nilai keadilan, nilai keanekaragaman kondisi dan potensi wilayah. Untuk itu perlu ada musyawarah antara pusat dengan daerah sehingga semestinya pengaturan-pengaturan mengenai otonomi daerah atau dapat dikatakan kodifikasi (dituangkannnya hukum dalam bentuk tertulis) mengenai otonomi daerah harus mengindahkan hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat termasuk di dalamnya perasaan hukum masyarakat dan juga rasa keadilan masyarakat di daerah sehingga dapat dihindari benturan konflik-konflik antara pusat dan daerah. Untuk inilah perlu digali hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang selama ini terpinggirkan berlakunya akibat kodifikasi hukum yang dicanangkan oleh penjajah dan juga sentralisasi dan unifikasi hukum oleh pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu dalam hal ini dperlukan penguatan hukum masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat di daerah. D. Relevansi Antara Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya dengan Pemberdayaan Masyarakat Di Era Otonomi Daerah Era otonomi daerah menuntut adanya kemampuan masyarakat daerah untuk dapat mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat dalam batas di mana daerah otonom itu berada. Hal ini dapat kita pahami karena daerah otonom adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu dan berwenang untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengurus serta mengatur kepentingan masyarakat setempat mendiami daerah otonom ini diperlukan pengaturan-pengaturan yang sesuai dungan hukum dan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pengaturan yang sifatnya sentralistik semestinya harus mengindahkan hukum-hukum yang berasal dari masyarakat hukum di daerah otonom. Selama ini masyarakat sering diberlakukan dengan model-model pengaturan secara sentralistik maka diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk menggali kembali hukum-hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat. Penggalian hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat setempat dapat dipakai sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan bisa mengantarkan pada kesejahteraan masyarakat setempat. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang digali dari masyarakat, terutama yang ada di daerah kabupaten/kota di Indonesia bisa dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang dibuat oleh Bupati/Walikota bersama-sama DPRD dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh bupati/walikota beserta aparatnya di daerah yang berwenang untuk membuat peraturan. Hal ini, menurut Jimly Asshiddiqie (2006 : 172) memang sudah sudah dimuat dalam ketentuan Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa Pemerintahan Daerah berhak untuk menetapkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Isi atau materi dari peraturan-peraturan yang dibuat dan berlaku untuk daerah kabupaten/kota itu bisa berasal dari hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang sudah ada pada masyarakat setempat dan sudah dilaksanakan sebagai hukum tidak tertulis. Dengan demikian ada pemberdayaan hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang dituangkan dalam produk-produk hukum di daerah. Pemberdayaan masyarakat termasuk pemberdayaan hukum dan nilai-nilai sosial yang sudah ada dalam masyarakat pada era otonomi daerah amat diperlukan, mengingat bahwa di dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kemandirian daerah terutama kemandirian masyarakatnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri melalui peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain yang berasal dari masyarakat di daerah. Josef Riwu Kaho (1997 : 111-114) menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian daerah adalah dengan melibatkan masyarakat untuk ikut serta bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam hal ini partisipasi masyarakat difungsikan sebagai substitusi energi pusat dan sebagai energi alternatif bagi daerah, sehingga di dalam pelaksanaan otonomi daerah secara bertahap daerah dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada pemerintah pusat. Di dalam melaksanakan otonomi daerah, sudah semestinya masyarakat ditempatkan sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan, harus diingat juga bahwa berdasarkan ajaran sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang berasal dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya kekuasaan dan kedaulatan rakyat setempat ini merupakan sumber hukum yang dapat dipakai untuk mengatur otonomi daerah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh H.L.A Hart sebagaimana disadur oleh B. Arief Sidharta (1999 : 24) bahwa di dalam hukum substantif, tujuan-tujuan yang diperjuangkan manusia dan yang untuk realisasinya mereka menggunakan hukum sebagai sarana adalah bermacam ragam. Orang dapat berbeda pandangan tentang makna penting yang mereka tautkan pada hal-hal tertentu dan dalam putusan moral (moral judgement) tentang semua hal. Tetapi bentuk paling sederhana dari argumen bahwa terdapat kriteria konstan tertentu untuk mengevaluasi suatu sistem hukum yang terwujud dalam elaborasi kebenaran bahwa jika hukum memang memiliki sesuatu nilai sebagai sarana untuk realisasi tujuan-tujuan manusia, maka ia harus berisi aturan-aturan tertentu berkenaan dengan kondisi dasar (basic conditions) dari kehidupan kemasyarakatan. Senada dengan hal itu Theo Huijbers (1995 : 113-114) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan hukum dan kekuasaan, hukum itu bermaksud menciptakan suatu aturan masyarakat yang adil, berdasarkan hak-hak manusia yang sejati. Tujuan itu hanya tercapai kalau pemerintah tinggal di bawah norma-norma keadilan, dan mewujudkan suatu aturan yang adil melalui peraturan perundang-undangan, berarti hukum itu letaknya di atas pemerintah. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap kebebasan individual yang lain, melainkan juga membatasi kebebasan dari yang berkuasa dalam negara. Dengan demikian hukum melawan penggunaan kekuasaan dengan sewenang-wenang, yang berarti bahwa di dalam suatu negara terdapat suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pemerintah, yakni kekuasaan rakyat. Melihat paparan yang dikemukakan oleh H.L.A Hart dan Theo Huijbers, dapat kita pahami bahwa pengaturan mengenai otonomi daerah, hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat merupakan sumber hukum dan kedaulatan dari pelaksanaan otonomi daerah. Diperlukan pemberdayaan masyarakat terutama pemberdayaan yang berkaitan dengan hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat untuk melaksanakan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan bahwa di samping hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat merupakan sumber kedaulatan dan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi daerah dan juga merupakan hukum yang baik di dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh para penganut ajaran sosiological juridprudence, pemberdayaan masyarakat pada akhirnya diharapkan sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat mengandung arti bahwa ada kemampuan individu-individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan tingkat keberdayaan yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, serta memiliki nilai-nilai intrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan seperti nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong dan juga kebinekaan. Nilai-nilai sosial budaya inilah yang mendasari hukum-hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan setempat yang perlu juga diperdayakan kembali, mengingat bahwa sebetulnya hukum-hukum dan nilai-nilai sosial budaya ini merupakan hukum yang tidak tertulis yang sudah ada lama sebelum bangsa penjajah masuk ke Indonesia dan sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kita. Hanya saja sejak kedatangan penjajah dan setelah kita merdeka dengan pemerintahan yang sifatnya sentralistik hukum-hukum dan nilai-nilai sosial budaya ini terpinggirkan berlakunya, sehingga perlu pemberdayaan kembali. Oleh karena itu momentum era otonomi daerah ini seharusnya bisa dijadikan perlindungan terhadap hukum tidak tertulis yang sudah lama ada di dalam masyarakat termasuk nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat agar dapat menguat kembali berlakunya. Hal ini tentu saja harus dilaksanakan dengan mengindahkan juga hukum dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah otonom tetangganya. Diharapkan juga karena otonomi daerah ini masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dasar filsafat pengaturannya harus disesuaikan dengan hukum-hukum yang tidak tertulis dan nilai-nilai sosial budaya dari daerah-daerah otonom lain yang ada di Indonesia. Di samping itu harus kita ingat bahwa hukum-hukum tidak tertulis dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tersebut memang merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang merupakan potensi hukum dari masyarakat Indonesia dan juga berdasarkan pendapat para penganut ajaran sosiological jurisprudence seharusnya hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat E. Penutup Hukum dan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia di era otonomi daerah merupakan ruang lingkup pembahasan filsafat hukum, karena ruang lingkup pembahasan filsafat hukum adalah semua persoalan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya mendasar dan memerlukan pemecahan masalah secara hukum. Apabila kita kaitkan dengan ajaran sosiological yurisprudence pembahsan ini sangat penting, mengingat bahwa menurut ajaran ini dinyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan living law yang ada di dalam masyarakat dan hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal yang dapat hidup terus. Saat ini bangsa Indonesia tengah berada pada era otonomi daerah di mana era ini menuntut adanya kemampuan dari masyarakat di daerah otonom (kabupaten/kota) untuk dapat mengurus serta mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat yang ada dalam batas wilayah di mana daerah otonom itu berada. Oleh karena itu perlu ditumbuhkembangkan kembali, hukum dan nilai-nilai sosial budaya setempat agar otonomi daerah berjalan dengan baik mengingat ajaran sosiological yurisprudence yang menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Di dalam menumbuhkembangkan hukum dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat setempat ini diperlukan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat karena semestinya masyarakat setempat ini ditempatkan sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan kekuasaan dan kedaulatan rakyat setempat merupakan sumber hukum yang dapat dipakai untuk mengatur otonomi daerah. Daftar Pustaka E. Koswara, 1999, Otonomi daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat, (makalah) yang disampaikan dalam seminar/Diskusi/Dialog dalam rangka pengkajian dan sosialisasi UU No. 22 Tahun 1999 di lingkungan Departemen/Universitas/Badan/LSM/Instansi Pusat dan daerah, Depdagri, Jakarta; --------, 2000, Pengaruh Format Politik Nasional Terhadap Demokrasi Lokal, (makalah) disampaikan pada Seminar Sehari : Demokrasi Mulai Dari Desa yang diselenggarakan oleh LAPERA INDONESIA, Yogyakarta, 25 Januari 2000; D.H.M. Meuwissen, 1999, Filsafat Hukum (saduran B. Arief Sidharta), Lembaga Penelitian Universitas Katolit Parahyangan, Bandung; H.L.A. Hart & Martin P. Golding, 1999, Masalah-masalah Filasafat Hukum dan Sejarah Filsafat Hukum (saduran B. Arief Sidharta), Lembaga penelitian Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; Jimly Asshiddiqie, 2006; Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,cetakan kedua, Konstitusi Press, Jakarta; Josef Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, cetakan ke IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta; Lili Rasjidi & IB Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung; Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung; Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung; Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta; Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Biodata Penulis: Eny Kusdarini, M. Hum, adalah Lektor kepala pada jurusan PKn dan Hukum FISE UNY, lulus S1 Fak. Hukum UGM tahun 1984 dan S2 Magister Hukum UNDIP tahun 2001, pengampu mata kuliah pokok Hukum Administrasi Negara, Politik Hukum, dan Filsafat Hukum.