KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 54 Penanggulangan Norkoba Bagi Mahasiswa 41 INFORMASI, No. 1, XXXVI, Th. 2010. PENGEMBANGAN MODEL PENANGGULANGAN NARKOBA BAGI MAHASISWA, PELAJAR DAN PEMUDA Oleh: Siskandar Abstrak Tujuan studi ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, sekaligus memberikan alternatif saran kebijakan bagi upaya peningkatan pembinaan kesiswaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Penelitian dilakukan di sembilan kota besar di Indonesia, yaitu, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Makasar, Palembang, Medan, dan Bali. Sampel penelitian berjumlah 50.000 siswa SMA, SMK, MA, SMP, dan MTs.. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket selaa tiga bulan yakni Agustus-Oktober 2007. Data dianalisis dengan menggunakan tabel persentase. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis narkoba yang digunakan paling banyak adalah minuman keras, disusul jenis tablet dan bubuk. Penyalahgunaan narkoba pada pelajar paling banyak dilakukan dimulai pada saat bersekolah tingkat SMP. Alasan penyalahgunaan narkoba menurut persepsi para pelajar adalah karena: terlalu mudah mendapatkan narkoba di luar lingkungan sekolah. Kata Kunci: Pennggulangan, Narkoba, Mahasiswa. A. Latar Belakang Generasi muda sebagai generasi penerus pembangunan bangsa diharapkan memiliki kepribadian yang mantap serta berbudi pekerti luhur, terampil serta mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih-lebih dalam menghadapi era global, generasi muda dituntut memiliki keunggulan kompetitif pada persaingan antar bangsa di segala bidang kehidupan. Generasi muda yang tangguh dan bermutu unggul, sehat jasmani dan rohani, merupakan prasyarat mutlak bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan bagi masa depan generasi muda senantiasa memperoleh perhatian yang besar. Terwujudnya generasi muda yang berkemampuan unggul, sehat lahir dan batin, merupakan tanggungjawab bersama antara orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Lembaga pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mengarahkan, menciptakan iklim yang kondusif, mensosialisasikan nilai dan norma kehidupan bagi terbentuknya manusia Indonesia yang berakhlak serta berkepribadian. Demikian pula orangtua, masyarakat, dan pihak-pihak terkait melalui berbagai cara dan media, membina serta membimbing anak-anak agar menjadi generasi yang tangguh dan berakhlak. Meskipun semua pihak telah berupaya dan berperan dalam membimbing dan membina anak bagi terbentuknya generasi muda yang berkualitas, namun penyimpangan perilaku (kenakalan) di kalangan pelajar cenderung menunjukkan peningkatan. Dalam hal ini tidak saja terbatas pada penyimpangan perilaku yang ringan, seperti kurang hormat pada guru, membolos, merokok, atau aksi corat-coret, tetapi sudah mengarah pada kenakalan yang menjurus pada tindakan kriminal (kejahatan), dan berakibat buruk terhadap masa depannya (Soepardi dan Philip S. 1990, dalam Mendikbud 1996). Salah satu bentuk penyimpangan yang dianggap serius oleh berbagai kalangan masyarakat adalah penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar. Kecenderungan meningkatnya penggunaan zat adiktif di kalangan kaum muda diduga sejalan dengan meningkatnya tekanan dalam segala bidang kehidupan. Remaja yang tidak mampu menghadapinya dapat dengan mudah melarikan diri, memperoleh kenikmatan dan ketenangan dengan menggunakan obat (zat) tersebut. Gejala penyalahgunaan narkoba telah mulai merebak sejak 30 tahun yang lalu. Menurut Hawari (1991), berkembanganya penyalahgunaan obat dan narkotika terutama diawali sekitar tahun 1969, yang ditandai dengan beberapa remaja mulai datang berobat ke lembaga Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1975 pengguna narkoba diperkirakan baru sekitar 5 ribu orang, tetapi pada tahun 2004 pengguna narkoba sudah mencapai sekitar 3 juta dengan mayoritas pengguna remaja. Jumlah kasus tindak pidana narkoba juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti tampak pada tabel berikut. Tabel 1. Jumlah Kasus Narkoba di Indonesia tahun 2001 s.d. 2005 No Kasus Tahun Jumlah Total Rata-rata/tahun 2001 2002 2003 2004 2005 1 Narkotika 1.907 2.040 3.929 3.874 8.171 19.921 3.984 2 Psikotropika 1.648 1.632 2.590 3.887 6.733 16.490 3.298 3 Bahan Adiktif 62 79 621 648 1.348 2.758 552 Jumlah 3.617 3.751 7.140 8.409 16,252 39.169 7.834 % Kenaikan - 3,7 90,3 17,8 93,3 205 51,3 Sumber: Dit IV/Narkoba, Februari 2006 Berdasarkan uraian di atas, fenomena pada saat ini menunjukkan bahwa kejadian penyalahgunaan narkoba pada kelompok remaja cenderung terus meningkat. Dari data RSKO Jakarta (2002), diketahui bahwa rata-rata pertama kali mereka menyalahgunakan narkoba pada usia 13-19 tahun. Para remaja dalam rentang usia tersebut umumnya sedang menempuh pendidikan SLTP dan SLTA. Persoalan yang muncul adalah mengapa penyalahgunaan narkoba banyak terjadi pada fase remaja? Bertitik tolak dari kondisi tersebut, maka masalah penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar SLTP maupun SLTA menjadi menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba oleh pelajar, perlu dilakukan suatu studi mengenai penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar. Salah satu aspek penting yang perlu dilakukan adalah pencegahan (preventif) penyalahgunaan narkoba, serta pelaksanaan berbagai langkah bekerjasama dengan beberapa instansi terkait untuk melakukan pembinaan pelajar agar mengetahui dan menyadari bahaya penyalahgunaan dan pemakaian narkoba. Dalam rangka penyusunan program pembinaan pelajar tersebut, dibutuhkan beberapa informasi sebagai berikut. (1) Bagaimanakah deskripsi tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar pada saat ini? (2) Bagaimanakah deskripsi tentang sumber informasi tentang Narkoba yang diperoleh para pelajar? (3) Bagaimanakah deskripsi tentang alasan menyalahgunakan narkoba serta masalah yang dialami para pelajar? Dan (4) bagaimanakah deskripsi tentang sikap pelajar terhadap penanggulangan penyalahgunaan narkoba? Jawaban atas masalah tersebut di atas, akan dapat digunakan sebagai acuan dalam merancang program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba melalui kebijakan yang berpijak pada akar masalah yang ada di masyarakat, dan dilakukan dengan upaya-upaya yang komprehensif dan integratif. Tujuan umum dari studi ini adalah untuk memperoleh informasi atau gambaran tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, dalam rangka memberikan alternatif saran kebijakan bagi upaya peningkatan pembinaan kesiswaan. Lebih khusus studi ini bertujuan untuk: (1) mengetahui deskripsi tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar pada saat ini, (2) mengetahui deskripsi tentang sumber informasi mengenai penyalahgunaan narkoba yang diperoleh pelajar, (3) mengetahui deskripsi tentang alasan penyalahgunaan narkoba dan masalah yang dialami oleh para pelajar menurut persepsi para pelajar, dan (4) mengetahui deskripsi tentang sikap pelajar terhadap penanggulangan penyalahgunaan narkoba. B. Kerangka Teori 1. Penyebab Penyalahgunaan Narkoba pada Remaja Penyebab seseorang pertama kali menyalahgunakan narkoba hampir dipastikan karena rasa ingin tahu yang sangat besar, penjelajahan, petualangan, ingin menunjukkan keberanian, ingin ambil risiko, nekat. Masa remaja juga dikenal dengan masa labil, mudah terpengaruh, mudah meniru, tanpa memikirkan akibat di masa datang, BNN (2003). Menurut Landau (dalam Afiatin, 2004b) penyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba pada remaja yaitu: gaya hidup keluarga, predisposisi pada alkohol, tekanan kelompok teman sebaya, kekacauan remaja, dan masalah-masalah psikologis dan emosional yang serius. Tidak semua remaja menyalahgunakan atau mencoba narkoba. Beberapa ciri perkembangan remaja yang rentan terhadap gangguan penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lain adalah seperti berikut: 1. Perasaan galau. Masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa dapat menimbulkan rasa tertekan, tegang, resah, bingung, rasa tidak aman, sedih dan depresi. Zat adiktif sering dipakai untuk menghilangkan perasaan tersebut. Perasaan demikian dapat berkurang atau hilang untuk sementara. 2. Tekanan kawan (“gang”). Seorang remaja membutuhkan pergaulan dengan teman sebaya dan berharap dapat diterima dalam kelompoknya. Zat adiktif dapat meningkatkan atau mempermudah interaksi sosial di dalam kelompok tersebut. 3. Pemberontakan. Gangguan penggunaan zat dapat dipandang sebagai suatu penyimpangan perilaku yang bersifat menentang nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat orang dewasa. Proses perkembangan jiwa remaja yang normal menuntut pemisahan dari otoritas orang tua dan mengembangkan otoritas dan identitas diri sendiri. Pada saat itu ada dorongan untuk memberontak atau melawan apa saja yang berbau otoritas orang tua, lebih-lebih jika orang tuanya memang bersifat otoriter. Peraturan dan tata tertib yang semula dipatuhi, ditinggalkan dan ditentang dengan keras. Pola hidup orang tua ditinggalkan diganti dengan pola hidup kelompok sebaya. Gangguan penggunaan zat sering dianggap sebagai pola hidup baru para remaja. 4. Keingintahuan. Masa remaja, dapat menimbulkan dorongan yang kuat untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya, untuk mencoba hal baru dan dorongan mencari pengalaman hidup baru termasuk mencoba zat adiktif. 5. Jiwa petualang. Gangguan penggunaan zat dapat dipandang sebagai suatu penyaluran dorongan ilmiah untuk melakukan perbuatan yang mengundang risiko besar (risktaking behaviour). 6. Meniru orang dewasa. Gangguan penggunaan zat dapat dipandang sebagai simbol kedewasaan. Para remaja ingin agar dianggap sudah dewasa, terutama bila orang tua masih selalu menganggap dirinya sebagai anak kecil. 7. Obat mujarab. Gangguan penggunaan zat dapat pula terjadi akibat usaha remaja dalam mengatasi kecemasan, ketakutan atau perasaan bersalah akibat eksplorasi seksualnya. Kadang-kadang zat adiktif dipakai untuk meningkatkan sensasi dalam hubungan seksualnya, menghilangkan hambatan psikologik, mempermudah timbulnya fantasi, dan meningkatkan empati dalam hubungan interpersonal. 8. Keyakinan yang salah. Keyakinan yang khas dan unik pada remaja berusia 15-16 tahun, bahwa apa yang terjadi pada orang lain tidak akan terjadi pada dirinya. Ia yakin bahwa zat adiktif dapat merugikan atau membahayakan orang lain tetapi tidak akan membahayakan dirinya walaupun kenyataan di sekitarnya membuktikan sebaliknya (personal fable). Gangguan penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif adalah suatu gangguan kesehatan jiwa. Gangguan penggunaan ini merupakan interaksi dari 3 (tiga) faktor seperti modifikasi Blum, H.L. dalam Afiatin (2004a), yaitu merupakan interaksi tiga faktor: host (individu), agent (zat) dan environment (lingkungan sosial). Dipandang dari segi kesehatan jiwa, dari ketiga faktor tersebut di atas, faktor individu merupakan faktor yang utama. Namun demikian, pada umumnya perbuatan penyalahgunaan narkoba disebabkan bukan oleh salah satu faktor tersebut, melainkan oleh interaksi beberapa faktor baik faktor diri dan kepribadian maupun faktor lingkungan. a. Faktor zat. Tidak semua zat dapat menimbulkan gangguan penggunaan zat. Hanya zat dengan khasiat farmakologik tertentu dapat menimbulkan gangguan zat, dalam pendekatan ini, dapat dibedakan menjadi zat yang dapat menimbulkan ketergantungan dan zat yang tidak dapat menimbulkan ketergantungan. b. Faktor individu. Tidak semua orang memiliki risiko sama besar untuk menderita gangguan penggunaan zat. Faktor kepribadian dan faktor konstitusi seseorang merupakan dua faktor yang turut menentukan seseorang tergolong kelompok risiko tinggi atau tidak. Ciri remaja dengan risiko tinggi terhadap gangguan penggunaan narkotika dan zat adiktif lainnya: 1. Adanya sifat mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif. 2. Destruktif sebagai cara menanggulangi perasaan kecewa tersebut. 3. Adanya perasaan rendah diri (low self esteem). 4. Sifat tidak dapat menunggu atau bersabar. 5. Suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang mengandung risiko berbahaya yang berlebihan. 6. Sifat cepat bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa tidak canggung berfungsi dalam kehidupannya sehari-hari. 7. Hambatan atau penyimpangan psikoseksual dengan akibat kegagalan atau tidak terjadi identifikasi seksual yang memadai. Sifat pemalu, takut mendekati atau takut didekati lawan jenis, terlibat masturbasi berlebihan atau tidak pernah masturbasi sama sekali, suka menyendiri, kurang bergaul dengan lawan jenis, pasif, segan atau bahkan menolak dalam persaingan untuk perilaku heteroseksual yang normal. 8. Keterbelakangan mental terutama yang tergolong pada taraf perbatasan. Keadaan ini menimbulkan perasaan cemas, rendah diri, curiga, malu dan sebagainya. 9. Adanya retardasi mental, akan menyebabkan sangat kurangnya kemampuan untuk mencari jalan keluar dari berbagai persoalan sehingga menimbulkan frustasi. Zat adiktif seringkali digunakan untuk mengatasi perasaan-perasaan tersebut. 10. Kurangnya motivasi atau dorongan untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan atau pekerjaan atau lapangan kegiatan lainnya. 11. Prestasi belajar yang menunjukkan hasil yang cenderung rendah. 12. Kurang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. 13. Cenderung memiliki gangguan jiwa seperti cemas, obsesi, apatis, menarik diri dalam pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi stres atau sebaliknya, hiperaktif. 14. Cenderung mengabaikan peraturan-peraturan. 15. Ada perilaku menyimpang seperti hubungan seksual yang tidak terlindung, putus sekolah di usia dini, perilaku anti sosial di usia dini seperti tindak kekerasan, agresivitas, sering mencuri, sering berbohong dan kenakalan remaja lainnya. 16. Suka tidur pada dini hari atau tidur larut malam (begadang). 17. Kurang suka berolah raga. 18. Cenderung makan berlebihan. 19. Suka melancarkan protes sosial. 20. Memiliki persepsi bahwa hubungan dalam keluarga kurang dekat walaupun sering kali kenyataan tidak demikian. 21. Berkawan dengan orang yang tergolong peminum berat atau pemakai obat secara berlebihan. 22. Sudah mulai merokok pada usia dini. 23. Kehidupan keluarga atau dirinya kurang religius. Menurut Afiatin (2004b) faktor psikologis penyebab remaja menyalahgunakan narkoba meliputi aspek personal (harga diri), interpersonal (asertivitas), dan kognitif (pengetahuan tentang narkoba). Ketiga aspek inilah yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja ditinjau dari aspek individunya, khususnya dalam aspek psikologis. Perlu dirancang program prevensi yang meningkatkan faktor-faktor protektif, yaitu tingginya harga diri, asertivitas dan pengetahuan yang tepat tentang narkoba pada remaja. c. Faktor lingkungan, seperti hubungan antara ayah dan ibu tidak harmonis, komunikasi yang kurang efektif antara orang tua dan anak, anggota keluarga ada yang menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkoba. Di samping itu lingkungan pergaulan di sekolah maupun di luar sekolah, serta lingkungan masyarakat juga menjadi faktor penyebab penyalahgunaan narkoba.beberapa contoh sebagai berikut: sering berkunjung ke tempat hiburan malam seperti diskotik, karaoke dan lain-lain; gaya hidup materilaistis dan hanya mengejar kesenangan; serta mudahnya seseorang memperoleh narkoba. Faktor-faktor tersebut di atas ditunjang pula dengan kondisi Indonesia yang rawan terhadap penanaman gelap ganja karena tanah dan iklimnya sangat cocok. Tanaman ganja dapat tumbuh subur di kawasan tropis dan subtropis. Di samping itu secara geografis Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa memang rentan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Sebagai sebuah negara kepulauan yang besar dan memiliki puluhan bandar udara dan ratusan pelabuhan laut membuat Indonesia rawan terhadap penyeludupan narkoba, apalagi berdekatan dengan daerah penanaman dan produksi opium, yaitu kawasan Segitiga Emas (The Golden Triangle) dan Bulan Sabit Emas (The Golden Crescent). Kondisi ini masih ditambah dengan ketatnya upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand menyebabkan Indonesia menjadi wilayah pilihan untuk pemasaran narkoba dari sebuah jaringan sindikat internasional. 2. Peranan Sekolah terhadap Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Perilaku normatif mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk berpegang teguh pada norma yang sudah disepakati bersama, hal tersebut mendorong masyarakat untuk tidak menerima perbedaan maupun perilaku anomali yang dilakukan anggota masyarakat. Kondisi tersebut terlihat dalam berbagai persoalan sosial yang muncul, masyarakat seakan tidak bisa menerima jika ada perilaku yang melanggar norma. Implikasinya adalah menghukum orang yang melanggar norma tersebut dengan berbagai hukuman sosial seperti mengasingkan pelanggar norma dari berbagai kegiatan sosial yang ada. Ironisnya, dalam kasus penyalahgunaan narkoba oleh pelajar di sekolah, tentu saja hal tersebut tidak akan dapat memecahkan masalah. Karena di tempat tersebut (sekolah) seorang anak atau pelajar diajarkan untuk memahami aspek-aspek normatif tersebut. (Widhyharto, 2005). Menurut Siswoyo (2001) dalam kajian tentang gambaran beberapa faktor risiko pada penderita penyalahgunaan narkoba di RSKO Fatmawati Jakarta, bahwa sekolah merupakan lingkungan formal kedua setelah keluarga, yang besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan untuk mempengaruhi watak anak melalui latihan kebiasaan, tata tertib, disiplin dan budi pekerti serta agama. Setiap sekolah mempunyai kebudayaan sendiri yang unik yaitu memiliki aturan, tata tertib, dan kebiasaan yang memberi corak lain yang berbeda dengan sekolah lainnya. Dengan demikian jelaslah bahwa kondisi kurikulum dan peraturan sekolah mempengaruhi pembentukan kepribadian anak (Roebiyanto, dalam Afiatin 2004a). Faktor-faktor dari sekolah yang menyebabkan anak terlibat di dalam penyalahgunaan narkotika adalah situasi dan keadaan yang membuat anak bosan, serta adanya sarana dan prasarana yang menunjang anak terlibat dalam penyalahgunaan narkotika (Roebiyanto dalam Afiatin 2004a). Selanjutnya menurut Depkes (2001), dalam informasi penanggulangan arkoba secara terpadu, pedoman bagi para guru, sebaiknya juga mempunyai sikap yang sama dengan orang tua dalam mengatasi masalah narkoba pada anak didik, yaitu dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk berhenti menggunakan narkoba. Kerjasama antara guru dengan orang tua atau wali siswa sangat dibutuhkan. Guru memberitahukan segala konsekuensinya bila ia tidak berhenti menggunakan narkoba, termasuk dikeluarkan dari sekolah. Hendaknya guru dapat memegang rahasia siswa agar mereka tidak ragu menceritakan keadaan dirinya, termasuk dari segi negatif. Pemeriksaan urine untuk narkoba tidak perlu dilakukan secara massal dan tidak merupakan bagian dari persyaratan masuk sekolah/kuliah. Hal ini disebabkan karena tingginya “false positive” (positif semu) yang disebabkan oleh zat bukan narkoba misalnya obat batuk dan obat maag tertentu. Hasil pemeriksaan negatif juga bukan jaminan bahwa seseorang tidak menggunakan narkoba. Pemeriksaan yang tidak tepat dan penafsiran yang keliru akan mengakibatkan kerugian bagi siswa. Pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidensi (kasus-kasus baru) dengan cara melakukan pembinaan baik individual maupun lingkungan. Pembinaan terhadap individu dilakukan agar setiap individu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, di samping mempertinggi daya tahan individu terhadap stressor kehidupan yang sedang dialaminya. Individu yang memiliki daya tahan tinggi terhadap stressor biasanya lebih dapat menghindarkan diri dari penyalahgunaan narkoba dari pada individu dengan daya tahan terhadap stressor yang rendah (Suwardi dalam Afiatin 2004a). Hasil penelitian Pambant (dalam Afiatin 2004a) mengenai pengetahuan, sikap dan praktek penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya pada siswa enam sekolah menengah umum di Jakarta Pusat tahun 2000, yang dilakukan terhadap sejumlah 118 orang menemukan hal mengenai sikap dan praktek siswa terhadap teman yang menggunakan narkoba, sebagai berikut: a) Sikap terhadap teman pengguna narkoba, sejumlah 54,24% siswa tidak peduli, sejumlah 26,27% ikut memakai dan sejumlah 19,49% siswa memilih mengajak untuk hidup normal. Apabila para siswa diajak untuk ikut menggunakan narkoba, sebagian besar dari mereka (73,7%) bersikap tidak mau, 18,6% menyatakan mau untuk coba dan 7,6% menyatakan mau untuk pergaulan. b) Terhadap sanksi sekolah yang sebaiknya diberikan kepada teman pengguna narkoba, sebagian besar siswa (78,8%) setuju untuk direhabilitasi, 16,1% setuju untuk dikeluarkan dan 5,1% setuju untuk diberi peringatan. c) Separo lebih siswa (58,9%) menyatakan pernah minum alkohol. Sedangkan alasan mereka minum alkohol, sebagian besar karena lingkungan pergaulan (65,2%), karena ingin tahu 23,2%, karena ada masalah 7,2% dan sisanya (4,4%) karena kebiasaan. Sejumlah 19,5% siswa pernah memakai narkoba. Penyebab mereka mengkonsumsi 43,5% disebabkan karena lingkungan pergaulan, 21,8% untuk menambah keberanian. Dari jumlah 19,5% tersebut, penggunaan narkoba berupa ekstasi, ganja, putauw, dan shabu-shabu. Persentase masing-masing jenis obat narkoba tersebut, 33% nya menggunakan ekstasi, 39,8% memakai ganja, 27,1% menggunakan putauw dan 14,4% memakai shabu-shabu. Sebagian besar penyebab para siswa menggunakan obat tersebut karena keingintahuan (61,7% - 71%). Perkecualian pada pemakai shabu, yang sebagian besarnya disebabkan oleh pergaulan (52,9%). Hasil penelitian Sarasvita dkk (dalam Afiatin, 2004a) tentang Rapid Assesment and Response for Drug User di Jakarta, mendapati bahwa penyalahgunaan narkoba 35% adalah siswa SMU dan 13% siswa SLTP. Meningkatnya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar secara tidak langsung menunjukkan belum ada perhatian pembuat kebijakan terhadap pencegahan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar. Penilaian (assessment) penyalahgunaan narkoba diperlukan dalam upaya intervensi, baik berkaitan dalam upaya prevensi (pencegahan) maupun tritmen (penyembuhan). Dalam upaya prevensi, penilaian penyalahgunaan narkoba lebih ditekankan pada diteksi dini untuk menimbulkan perhatian, rasa ingin tahu, dan kepedulian daripada memberikan sangsi atau hukuman; sementara dalam upaya penyembuhan, penilaian dilakukan untuk dapat merencanakan prosedur penyembuhan yang diperlukan bagi korban penyalahgunaan narkoba (Fuller dalam Afiatin 2004b). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dalam upaya penanggulangan, baik upaya pencegahan maupun upaya penyembuhan penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar diperlukan informasi yang tepat dan akurat tentang kondisi penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar pada saat ini, penyebab dan alasan para pelajar menyalahgunakan narkoba serta berbagaimasalah yang di alami oleh pelajar berkaitannya dengan penyalahgunaan narkoba, sumber informasi tentang narkoba yang diperoleh para pelajar serta sikap pelajar terhadap upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba yangdilakukan di sekolah. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut akan berguna sebagai acuan untuk merancang program penangulangan penyalahgunaan narkoba. Dengan demikian program yang dirancang dapat sesuai dengan akar permasalahan, kebutuhan, dan sumber daya yang ada. C. Metode penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yakni mulai Agustus hingga Oktober 2007. Penelitian dilakukan di sembilan kota besar di Indonesia, yaitu, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Makasar, Palembang, Medan, dan Bali. Sampel penelitian berjumlah 50.000 siswa SMA. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket. Data dianalisis dengan menggunakan tabel persentase. D. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Penyalahgunaan Narkoba di kalangan Pelajar Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa, jenis narkoba yang disalahgunakan yakni yang berkaitan dengan minuman keras, responden menjawab: (1) tidak pernah 45.141 siswa (87,54%), (2) pernah sekali, 2394 siswa (4,64%), (3) kadang-kadang 1366 siswa (2,65%), dan (4) sering kali 296 siswa (0,57%). Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa, jawaban responden berkaitan dengan jenis Narkoba Tablet adalah sebagai berikut. Menjawab (1) tidak pernah 47.061 siswa (91,26%), (2) pernah sekali 368 siswa (0,71%), (3) kadang-kadang 266 siswa (0,52%), dan (4) sering sekali 242 siswa (0,47%), Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa, jawaban responden berkaitan dengan jenis narkoba bubuk dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Tidak pernah 47146 siswa (91,42%), (2) pernah sekali 275 siswa (0,53%), (3) kadang-kadang 176 siswa (0,34%), dan (4) sering kali 241 siswa (0,47%), Angka kejadian penyalahgunaan Narkoba berdasarkan zat yang digunakan paling tinggi adalah minuman keras (sering kali: 0,57%); sedangkan jenis Narkoba Tablet dan Narkoba bubuk relatif sama (sering kali: 0,47%). 2. Deskripsi Pelajar tentang Sumber Informasi Penyalahgunaan Narkoba a. Informasi penyalahgunaan narkoba Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskripsikan bahwa informasi penyalahgunaan narkoba dilakukan pada saat: sekolah di SD 620 siswa (1,20%), sekolah di SMP 1821 siswa (3,53%), dan sekolah di SMA 909 siswa (1,76%). Berdasarkan temuan ini, maka program pencegahan penyalahguanaan narkoba hendaknya sudah dilaksanakan terutama pada sekolah SMP. b. Informasi tentang narkoba yang disalahgunakan Informasi tentang narkoba yang disalahgunakan berasal dari: a. orang tua 212 siswa (0,41%); b. saudara 251 siswa (0,49%); c. teman sekolah 1188 siswa (2,30%); d. teman di luar sekolah 2554 siswa (4,97%); e. penjual di lingkungan sekolah 331 siswa (0,64%); f. penjual di luar lingkungan sekolah 1521 siswa (2,95%); dan g. pihak lain 1004 siswa (1,95%). Berdasarkan temuan ini, maka program penanggulangan penyalahgunaan Narkoba di sekolah perlu berkoordinasi dengan pihak-pihak di luar sekolah dalam pencegahan peredaran narkoba di sekolah. 3. Deskripsi Persepsi Pelajar tentang Alasan Penyebab Penyalahguaan Narkoba a. Informasi alasan menggunakan Narkoba: Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskripsikan bahwa informasi alasan menggunakan narkoba karena: terlalu mudah mendapatkan Narkoba di lingkungan sekolah (20,21%), terlalu mudah mendapatkan Narkoba di luar lingkungan sekolah (55,55%), pada umumnya anak muda pernah mencoba Narkoba : (48,89%). b. Informasi masalah yang dialami siswa terkait dengan penyalahgunaan narkoba: Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskrepsikan bahwa informasi masalah yang dialami siswa terkait dengan penyalahgunaan narkoba, karena orangtua mengalami kesulitan ekonomi 45,82%, orangtua sering marah-marah 32,53%, orangtua tidak dapat dijadikan contoh 10,10%, kakak/adik lebih pandai 36,85%, hubungan dengan orangtua/saudara bermasalah 18,89%. Berdasarkan temuan ini maka progaram penanggulangan penyalah-gunaan narkoba di kalangan pelajar perlu berkoordinasi dengan pihak luar yang berwenang dalam pemberantasan narkoba ilegal serta bekerjasama dengan keluarga para pelajar. 4. Deskripsi Sikap Pelajar terhadap Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Sekolah a. Berdasarkan jenis kelamin Berdasarkan hasil analisis diketahui rata-rata sikap siswa perempuan sebesar 3,4883, sikap siswa laki-laki 3,3183. Nilai t=19,3330, P=0,001 (p<0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa perempuan dan siswa laki-laki dalam sikap terhadap penanggulangan penyalahgunaan Narkoba daripada siswa laki-laki. Sikap siswa perempuan lebih tinggi (positif) daripada siswa laki-laki. b. Berdasarkan jenis sekolah Berdasarkan hasil analisis diketahui rata-rata sikap siswa SMP 3,3587; MTs 3,2858; SMA 3,5516; MA 3,4291; SMK 3,2607. Nilai F=173,644, P=0,01 (P 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bawha terdapat perbedaab sikap siswa terhadap penanggulangan penyalahgunaan Narkoba antara siswa SMP,MTs,SMA,MA,SMK. Sikap siswa SMA lebih tinggi (positif) daripada siswa lainnya. c. Berdasarkan status sekolah Berdasarkan hasil analisis diketahui rata-rata sikap siswa sekolah negri: 3,4862, sekolah swasta: 3,1402. Nilai t= 32,9460, P=0,01 (P<0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap siswa terhadap penanggulangan penyalahgunaan Narkoba antara siswa sekolah negri da sekolah swasta. Sikap siswa sekolah negri lebih tinggi (positif) daripada sekolah swasta. d. Berdasarkan sifat sekolah Berdasarkan hasil analisis diketahui rata-rata sifat sekolah umum: 3,4256, sekolah religius: 3,3656. Nilai t=5,9890, P=0.001 (P<0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan sikap siswa terhadap penanggulangan penyalahgunaan Narkoba antara siswa sekolah umum dan sekolah religius. Sikap siswa sekolah religius lebih tinggi (positif) daripada siswa sekolah umum. Berdasarkan temuan di atas maka program penanggulangan penyalahgunaan Narkoba perlu diprioritaskan pada kelompok yang cenderung bersikap positif terlebih dahulu dan dilanjutkan pada kelompok yang bersikap cenderung negatif. Kelompok pelajar yang cenderung bersikap positif yaitu kelompok pelajar perempuan, SMA, negri, dan religius selanjutnya pada pelajar laki-laki, SMA, swasta, dan umum. E. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Deskripsi penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar berdasarkan jenis narkoba yang digunakan paling banyak adalah minuman keras, selanjutnya adalah jenis tablet dan jenis bubuk. Berdasarkan jenis kelamin penyalahgunaan, pelajar laki-laki lebih banyak yang menyalahgunakan narkoba dibanding pelajar perempuan. Berdasarkan jenis sekolah, penyalahgunaan narkoba paling banyak dilakukan oleh pelajar SMA, disusul SMK, SMP, MA, dan MTs. Berdasarkan status sekolah, tidak terdapat perbedaan penyalahgunaan narkoba antara pelajar sekolah negri dan sekolah swasta. Berdasarkan sifat sekolah, penyalahgunaan narkoba pelajar dari sekolah umum lebih banyak daripada pelajar sekolah religius. 2. Penyalahgunaan narkoba pada pelajar paling banyak dilakukan dimulai pada saat bersekolah tingkat SMP. Asal narkoba yang disalgunakan bersasl dari: teman di luar sekolah, penjual di luar sekolah, teman di sekolah, pihak lain, penjual di lingkungan sekolah, saudara, dan orang tua. 3. Alasan penyalahgunaan narkoba menurut persepsi para pelajar adalah karena: terlalu mudah mendapatkan narkoba di luar lingkungan sekolah, adanya anggapan bahwa pada umumnya anak muda pernah mencoba narkoba. Berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba, masalah yang dialami oleh pelajar berkaitan dengan orang tua: orang tua mengalami kesulitan ekonomi, menganggap kakak/adik lebih pandai dari pada dirinya, orangtua sering marah-marah, orangtua tidak dapat dijadikan contoh, dan hubungan dengan orangtua/saudara bermasalah. 4. Deskripsi sikap pelajar terhadap penanggulangan penyalagunaan narkoba berdasarkan jenis kelamin menunjukan bahwa pelajar perempuan bersikap lebih positif daripada pelajar laki-laki. Berdasarkan jenis sekolah, sikap pelajar SMA lebih positif dibanding pelajar SMP, MTs, MA, dan SMK. Berdasarkan status sekolah, sikap pelajar sekolah negri lebih posotif dibanding sikap pelajar sekolah swasta. Berdasarkan sifat sekolah, sikap pelajar sekolah religius lebih positif dibandingkan sikap pelajar sekolah umum. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, maka diusulkan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut: 1. Program penanggulangan penyalahgunaan narkoba diproritaskan pada pemberantasan peredaran minuman keras ilegal. Hal ini mengingat jenis narkoba yang paling banyak disalahgunakan oleh pelajar adalah jenis minuman keras. 2. Program penanggulangan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar perlu dilakukan sejak dini, terutama pada saat bersekolah di SMP. 3. Program penanggulangan penyalahgunaan narkoba di sekolah perlu berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak-pihak di luar sekolah, terutama intitusi keluarga. Hal ini mengingat bahwa alasan penyebab penyalahgunaan narkoba terutama bersumber dari keluarga. Selain itu sumber diperolehnya narkoba lebih banyak berasal dari teman/penjual di luar lingkungan sekolah. 4. Program penanggulangan penyalahgunaan narkoba di sekolah ditanggapi dengan positif oleh para pelajar. Hal ini merupakan suatu sumber daya yang potensial dalam pengembangan program berbasis sekolah untuk penanggulangan penyalahgunaan narkoba, baik yang bersifat pencegahan maupun penyembuhan. Peran kepala sekolah, guru bimbingan dan konseling, guru wali, dan seluruh komponen yang ada di sekolah perlu dioptimalkan dan terintegrasi. 5. Program penanggulangan penyalahgunaan narkoba perlu melibatkan peran aktif para pelajar, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program, termasuk sebagai agen perubahan. Daftar Pustaka Afiatin, Tina. 2004a. Pengetahuan dan Penyalahgunaan Narkoba pada Siswa SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Laporan Penelitian. Badan Narkotika Nasional. Afiatin, Tina. 2004b. Pengaruh Program Kelompok “AJI” dalam Peningkatan Harga Diri, Aservitas, dan Pengetahuan Mengenai Napza Untuk Prevensi Penyalahgunaan Napza pada Remaja.Jurnal Psikologi, Tahun XXXI, No.1, Juni 2004, hal 28-54. BNN., 2003. Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja. Badan Narkotika Nasional. Gani, Ikin. Bahaya Penyalahgunaan Narkotika/ Obat Keras Dan Penanggulanggannya. B.P. Sandaan, jakarta. Hawari, Dadang. 1991. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Balai Penerbit.FK UI.Jakarta Krisnawati, Dhani dkk, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Pena Pundi Aksara. Jakarta. 2006.hlm.83 Martono dan Joewana. 2006. Apa dan Siapa Pencandu narkoba?. Majalah Bulanan Sadar No.05/th IV/Mei 2006. Mendikbud. 1996. Penyimpangan Perilaku Siswa dan Alternatif Penanggulangannya. Makalah, disampaikan pada Rakorsus Polkam. Jakarta. Purwoko, F.A. 2003. Perkembangan Kasus Narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional. Siswoyo,D.2000. Studi Tentang Gambaran Beberapa Faktor Risiko pada Penderita Penyalahgunaan Narkoba di RSKO Fatmawati. Yayasan Cinta Anak Bangsa. Soepardi dan Philip. 1990. Laporan Penelitian Tentang Penyimpangan Perilaku (kenakalan) Siswa SLTA di DKI Jakarta. Puslit Balitbang Dikbud.Jakarta. Steinberg. 2002. Adolescence. Sixth Edition. Boston Mc Graw-Hill Inc. Suprastowo dan Soepardi. 1998. Studi tentang Perilaku Siswa: Penyalahgunaan Obat dan Narkotika. Puslit Balitbang Dikbud . Jakarta Wicaksana.I. 1999. Saya Ketagihan Lexotan, dalam Kedaulatan Rakyat. 10 Januari 1999 Widhyharto.D.S. 2005. Belajar dari Kompleksitas Persoalan Tantangan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba di Bidang Pendidikan. Makalah disampaikan dalam Rakorda BNP se DIY. Yatim. D.I. dan Irwanto. 1991. Kepribadian, Keluarga dan Narkotika. Tinjauan Sosial Psikologis.Arcan. Jakarta. Biodata Penulis: Siskandar, Dr. Tenaga Fungsional/Peneliti, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional.