PROFIL USAHA PEMBAKARAN KAPUR TOHOR (TOBONG GAMPING) DI KECAMATAN JETIS BAGIAN TIMUR 94 Profil Usaha Pembakaran Kapur Gamping 85 INFORMASI VOL. 2. XXXVI. Th. 2010 PROFIL USAHA PEMBAKARAN KAPUR TOHOR (TOBONG GAMPING) DI KECAMATAN JETIS BAGIAN TIMUR KABUPATEN BANTUL Oleh: Nurhadi dan Nurul Khotimah Abstrak Pengolahan kapur tohor tradisional di daerah penelitian mengakibatkan adanya permasalahan lingkungan, baik aspek fisik maupun aspek sosial. Atas dasar kenyataan tersebut penelitian dilakukan untuk memperoleh profil usaha pembakaran kapur tohor yang meliputi: (1) karakteristik usaha; (2) karakteristik dapur pembakaran; (3) karakter kualitas kapur tohor yang dihasilkan; dan (4) persepsi pengusaha dan masyararakat terhadap pencemaran udara akibat pembakaran kapur tohor. Populasi penelitian ini adalah semua pengusaha kapur tohor di daerah penelitian yang berjumlah 20 orang dan kesemuanya dijadikan subyek penelitian. Metode pengumpulan data adalah dengan teknik observasi dan wawancara. Teknik analisis dilakukan secara deskriptif menggunakan tabel frekuensi. Hasil penelitian menujukkan bahwa karakteristik usaha pembakaran kampur tohor berdasarkan modal dan sifat usaha, bersifat mandiri 30%, bersifat kelompok 5%, dan bersifat warisan 65%, di pinggir dusun 25%, dan dipinggir sawah 10%; keberadaan cerobong asap 5%; keberadaan pengendali arah asap 0%; bahan bakar kayu 100%; dan keberadaan dapur yang terletak di permukaan tanah 5%. Kualitas kapur tohor yang dihasilkan memiliki warna putih kecoklatan, tekstur butir kasar, dan tidak pekat maupun lekat. Adapun persepsi pengusaha terhadap pencemaran udara sebagian besar menyadari bahwa aktivitas pembakaran menimbulkan polusi udara baik bau maupun asap dan menyisakan limbah padat dan cair. Sedangkan menurut persepsi masyarakat sekitar aktivitas pembakaran menimbulkan pencemaran udara, menyisakan limbah padat, menimbulkan limbah cair, dan tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitar. Kata Kunci: Profil Usaha, Kapur Tohor, Tobong Gamping A. Pendahuluan Gempa tanggal 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 skala Richter telah meporak-porandakan peradaban masyarakat khususnya di Kabupaten Bantul. Penduduk bersama dengan pemerintah melakukan upaya recovery dengan melakukan pembangunan fisik secara besar-besaran. Inilah yang membuat kebutuhan akan bahan bangunan sangat besar. Bahan yang mampu disediakan oleh pabrik adalah semen, besi, cat, dan paku. Sedangkan kebutuhan lain berupa pasir, batu, kayu, dan gamping merupakan bahan yang tidak mampu diproduksi oleh pabrik karena merupakan produk alami. Material pasir dan batu tercukupi oleh Gunung Merapi, kayu tercukupi oleh pedagang yang mengambil dari luar daerah Pulau Jawa, sedangkan batu gamping (kapur tohor) diproduksi oleh masyarakat sekitar dengan bahan baku yang berasal dari daerah Gunung Kidul dan Wadaslintang di Kabupaten Kebumen. Batu gamping (limestone) diolah menjadi kapur tohor (quicklime) melalui pembakaran tobong gamping (limekiln). Salah satu daerah yang memproduksi kapur tohor di wilayah Kabupaten Bantul berada di Kecamatan Jetis bagian timur, berdasarkan data terdapat 20 pengusaha tobong gamping. Ada dua cara pemrosesan pengolahan batu gamping ditinjau dari segi teknologi bahan bakar dan tempat pengolahan, yaitu bersifat tradisional dan modern. Pengolahan yang bersifat tradisional banyak menimbulakan masalah dengan lingkungan yang berupa polusi udara maupun penebangan kayu untuk bahan bakar pengolahan batu gamping tersebut. Hal ini akan mengakibatkan kualitas lingkungan menurun. Menurut Soemarwoto (2001), kualitas lingkungan merupakan kondisi lingkungan dalam hubungannya dengan kualitas hidup atau derajat pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat. Dari orientasi lapangan diperoleh gambaran bahwa pengusaha tobong gamping di Kecamatan Jetis bagian timur, Kabupaten Bantul belum mempunyai pemahaman tentang kualitas kapur tohor yang dihasilkan dan kesadaran kelestarian lingkungan serta kesehatan lingkungan hidup di sekitar tobong gamping berada. Permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimana profil usaha pembakaran kapur tohor yang meliputi karakteristik usaha pembakaran berdasarkan modal dan sifatnya; karakteristik dapur pembakaran yang meliputi lokasi, cerobong asap, keberadaan pengedali arah asap, bahan bakar, dan letak dapur; karakteristik kualitas kapur dillihat dari warna, tekstur, kepekatan, dan kelekatan; persepsi pengusaha dan masyarakat terhadap pencemaran udara akibat aktivitas pembakaran kapur tohor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil usaha pembakaran kapur tohor (tobong gamping) di kecamatan Jetis bagian timur, Kabupaten Bantul. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan kajian pengolahan dapur pembakaran kapur tohor, dan pengendalian pencemaran udara dengan memberikan sumbangan pemikiran dalam hal perlunya memodifikasi tungku pembakaran agar tidak terlalu banyak menghasilkan asap, dan juga sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan sosialisasi atau penyuluhan kepada pengusaha kapur tohor dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Bahan galian adalah sumberdaya alam yang penting untuk mendukung pembangunan dan diatur melalui Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1980. Bahan galian di klasifikasikan menjadi tiga golongan yaitu bahan galian strategis (golongan A), bahan galian vital (golongan B), dan bahan galian non strategis (golongan C). salah satu bahan galian yang diperlukan untuk membangun kembali daerah bencana di Kabupaten Bantul adalah batu gamping (limestone). Menurut Tushadi, dkk (1990), batu gamping termasuk dalam bahan galian industri yang berkaitan dengan batuan sedimen, khususnya subkelompok A. 1. Batu Gamping Tersusun oleh mineral kalsit (CaCO3) dan terbentuk karena adanya proses sedimentasi dan proses pelapukan. a. Proses sedimentasi Menurut Setiagraha (1997), batuan sedimen dibagi menjadi lima kelompok besar, yaitu batuan sedimen detritus (klastik), batuan sedimen evaporit, batuan sedimen batubara, batuan sedimen silica, dan batuan sedimen karbonat. Batu gamping merupakan salah satu jenis batuan sedimen karbonat. Batu gamping yang terbentuk karena proses sedimentasi dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu: sedimentasi organik, sedimentasi kimia, dan sedimentasi mekanik. b. Proses pelapukan Pada proses ini sumber unsur karbonatnya adalah karbondioksida (CO2) dan mineral yang mengadung unsur karbonat. Pada umumnya melalui proses pelapukan pada masa batuan gamping sehingga membentuk larutan kalsium karbonat. Larutan kemudian terbawa oleh arus dan terendapkan di lautan dangkal (Anonim, 2004). 2. Pengolahan Batu Gamping menjadi Kapur Tohor Kapur tohor dihasilkan dari batu gamping yang dikalsinasikan, yaitu dipanaskan dalam dapur pada suhu 600oC-900oC. a. Pengolahan Modern Proses pengolahan batu gamping menjadi kapur tohor dengan teknologi modern menggunakan tungku atau dapur putar (kiln) dan bahan bakar batu bara. Tungku merupakan tempat untuk batu gamping yang akan diolah menjadi kapur tohor berbentuk persegi panjang maupun lingkaran dengan ketinggian dan diameter tertentu. Fungsi dari tungku ini mampu menampung batu gamping kurang lebih lima kubik, tergantung dari besar kecil diameter tungkuanya. Kelebihan tungku ini adalah mampu mengarahkan debu atau asap hasil pembakaran ke atas dan tidak menganggu lingkungan sekitar. Batu bara merupakan bahan bakar yang digunakan untuk membakar kapur tersebut, kelebihannya tidak menimbulkan asap yang berlebihan dalam proses pembakaran. Hasil dari pengolahan mempunyai kualitas kapur yang baik dari segi kepekatan, kelengketan, maupun dari segi warna bahan yang putih bersih sehingga dapat mempunyai fungsi lain yaitu sebagai campuran untuk mengecat. Dari segi lingkungan, proses pengolahan secara modern dampak pencemarannya masih dalam ambang batas pencemaran udara sehingga kemungkinan untuk menimbulkan resiko terhadap lingkungan relatif lebih rendah. Seberapa besar suatu usaha dapat dikatakan menimbulkan pencemaran udara dapat dilihat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991, pencemaran udara terjadi apabila kegiatan yang dilakukan menyebabkan tidak berfungsinya udara sesuai dengan peruntukannya (Darsono, 1995). Soerjani, dkk (1987), mengemukakan bahwa dalam pembangunan berwawasan lingkungan, manusia harus berani menunjukkan keterbatasan dirinya dalam pengelolaan lingkungan, karena manusia tidak hanya mempraktekan ilmu pengetahuan yang dikuasainya untuk mengolah sumber daya yang tersedia, tetapi harus mampu mengendalikan diri agar kegiatannya dapat ditoleransi oleh lingkungan, dalam artian dampak yang ditimbulkan masih dalam ambang batas. b. Pengolahan Tradisional Pengolahan tradisional umumnya dilakukan dalam dapur tegak dan sangat tergantung dengan ketersediaan bahan bakar berupa kayu bakar. Setiap proses pembakaran 1 kubik batu gamping (1 truk) akan memerlukan bahan bakar kayu batang kelapa dengan panjang 6 meteran dan 20 batang pohon kelapa lengkap dengan cabang pohonnya. Dengan demikian kerusakan lingkunagn secara nyata akan terjadi. Proses pembakaran juga tidak hanya menggunakan kayu tetapi ditambah juga dengan garam tidak beryodium sebagai pemutih agar gamping cepat lunak, sehingga asap yang ditimbulkan semakain banyak. Kualitas hasil dari pengolahan tradisional jauh dari kualitas rata-rata kapur tohor sebagai bahan bangunan, karena kapur yang dihasilkan mempunyai kepekatan yang rendah, warna tidak putih bahkan kecoklatan, dan seringkali batu gamping tidak menjadi kapur tohor atau mentah sehingga harus dibakar kembali. Selain itu proses pembakaran lama, yaitu 72 jam tanpa henti. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini mengacu pada Sukandarrumidi (1999) adalah dengan: 1) Memberikan pendidikan kesadaran lingkungan di kalangan pengusaha kapur tohor. 2) Mendiversifikasi bahan bakar dan metode pembakaran agar asap residunya tidak berlebihan. 3) Memodifikasi tungku pembakaran agar arah asap dapat diatur. 4) Membekali pengetahuan tentang cara pengolahan batu gamping. 5) Membekali pengetahuan faktor yang mempengaruhi kualitas kapur tohor. 6) Membekali keterampilan pasca pembakaran. 7) Memberikan pengetahuan cara memperoleh bahan, mengolah, dan menyimpan batu gamping yang ramah lingkungan. B. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Kecamatan Jetis Bagian Timur, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Populasi dari penelitian adalah pengusaha kapur tohor (tobong gamping) yang berada di wilayah penelitian dengan jumlah 20 orang. Dari populasi tersebut, sesuai dengan tujuan penelitian maka kesemuanya dijadikan sebagai subyek penelitian. Teknik pengumpulan datanya adalah: 1. Observasi Diperlukan untuk menggali data tentang kualitas kapur tohor yang diproduksi secara tradisional dan selanjutnya dibandingkan dengan kualitas kapur produksi PT 68 Mineral dalam hal teknik pengolahan dan pencemaran udara di sekitar pabrik pada daerah penelitian. 2. Wawancara Wawancara digunakan untuk memperoleh data tentang cara pengolahan kapur tohor dan tanggapan masyarakat tentang aktivitas tobong gamping terutama pencemaran yang ditimbulkan. Teknik analisis data yang digunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi. Teknik analisis tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan profil penngusaha kapur tohor di daerah penelitian, meliputi jumlah, karakteristik dapur pembakaran, kualitas produk kapur tohor, dan persepsi masyarakat maupun pengusaha terhadap pencemaran udara yang terjadi di sekitar tobong gamping. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Usaha kapur tohor yang disebut juga tobong gamping di Kecamatan Jetis Bagian Timur Kabupaten Bantul tersebar di beberapa pedukuhan yaitu pedukuhan Cembing (5 buah), Blawong (3 buah), Sindet (2 buah), Karangsemut (1 buah), Kembangsongo (2 buah), Ponggok (5 buah), dan di wilayah Kelurahan Sumberagung yaitu pedukuhan Bulus (2 buah). Jumlah keseluruhan tobong gamping yang masih aktif adalah 20 buah. Tabel 4.1. Jumlah dan Karakteristik Usaha Pembakaran kapur Tohor Berdasarkan Jenis Modal dan Sifat Usaha. No Pedukuhan Cembing Blawong Karang semut Sindet Kembang songo Pongok Bulus Jum Jenis Usaha 1. Usaha mandiri - 3 - - - 2 1 6 2. Usaha kelompok - - - - - 1 - 1 3. Usaha koperasi - - - - - - - 0 4. Usaha warisan/turun-temurun 5 - 1 2 2 2 1 13 Jumlah 5 3 1 2 2 5 2 20 Sumber: Survey Lapangan, Tahun 2008 Berdasarkan tabel 4.1. pembakaran kapur tohor berdasarkan jenis modal dan sifat usaha maka disimpulkan di daerah penelitian terdapat 3 jenis usaha yaitu: 1. Jenis Usaha Mandiri Pada jenis usaha ini pembuatan tobong gamping dilakukan dengan modal pribadi dan dioperasionalkan secara pribadi dengan mempekerjakan beberapa karyawan untuk pembakaran. Jumlah pengusaha tobong gamping ada 6 buah (30% dari jumlah pengusaha yang ada) yang tersebar di wilayah Blawong (3 buah), Ponggok (2 buah), dan bulus (1 buah). Usaha ini disertai dengan usaha lain yaitu sebagai penyedia bahan bangunan seperti pasir, batu, glugu, koral, dan kapur tohor sebagai usaha utamanya. 2. Jenis Usaha Kelompok Jenis usaha kelompok menggunakan modal patungan dari beberapa orang, hal ini karena cukup besarnya biaya untuk mendirikan ataupun mengoperasikan tobong gamping. Jenis ini hanya ditemukan sebanyak 1 buah di wilayah pedukuhan Ponggok (5% dari total pengusaha). Satu tobong digunakan secara bergiliran oleh orang yang ikut menamankan modal. Disamping usaha kapur tohor, kelompok ini juga mengusahakan adanya pembuatan batu bata. Usaha batu bata dijalankan ketika musim kemarau tiba. 3. Jenis Usaha Turun-temurun atau Warisan Jenis ini adalah yang paling banyak dijumpai di daerah penelitian yaitu sebanyak 13 buah (65% dari jumlah total pengusaha) yang terdapat di wilayah pedukuhan Cembing (5 buah), Karangsemut (1 buah), Sindet (2 buah), Kembangsongo (2 buah), Ponggok (2 buah), dan Bulus (1 buah). Usaha warisan ini berasal dari tobong yang diwariskan oleh orang tua, bahkan sampai ke-3 generasi penerus dengan mengalami beberapa renovasi. Salah satu pengusahanya adalah Bapak Raharjo yang mendapat warisan usaha tobong gamping dari orang tuanya. Walaupun bersifat tradisional tobong gamping ini mampu mengolah 2-3 truk batu gamping mentah atau sekitar 6 meter kubik dalam sekali proses pembakaran. Adapun intensitas pembakarannya dalam sebulan mencapai 3-4 kali. D. Karakteristik Dapur Pembakaran Jumlah tobong gamping yang berada di tengah permukiman mencapai 13 buah (65% dari jumlah total) yang paling banyak berada di pedukuhan Cembing. Hal ini menimbulkan masalah baru yaitu pencemaran udara. Cerobong asap yang ditemukan di daerah penelitian sebatas lebih tinggi daripada dapur pembakarannya. Tobong yang tinggi hanya ditemukan di pedukuhan Bulus yaitu setinggi 15 m dari permukaan tanah, sedangkan yang lainnya hanya setinggi 5-10 m dari permukaan tanah, sehingga bila terjadi proses pembakaran asap yang ditimbulkan akan berputar saja di lokasi pembakaran. Pengusaha yang menggunakan bahan bakar dari kayu akan menimpulkan asap dan bau yang menyengat, akibatnya timbul konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Asap pekat ditimpulkan dari kayu bahan bakar yang masih basah dan proses pembakaran yang akan memakan waktu 2-4 hari secara terus menerus. Tobong gamping yang berada di daerah penelitian tidak satupun yang mempunyai arah pengendali asap, sehingga akan menimbulkan asap yang berputar-putar di sekeliling tobong ketika terjadi aktivitas pembakaran. Semua tobong yang berada di daerah penelitian juga menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Kayu diperoleh dari tebangan pohon milik masyarakat, bahan kayu dianggap paling murah dibandingkan bahan lainnya seperti batu bara dan minyak tanah. Kayu yang digunakan adalah kayu yang tidak bermanfaat untuk bahan bangunan seperti pohon kelapa pada bagian batang dan daun batang bagian atas, turi besi (johar), munggur, dan lainnya. Kerusakan lingkungan juga terjadi karena penebangan pohon di daerah yang ditumbuhi pohon jenis munggur untuk bahan bakar tobong gamping, seperti di pinggir sungai padahal keberadaannya sebagai benteng erosi sungai. E. Karakteristi Kualitas Kapur Tohor yang Dihasilkan Kualitas kapur yang dihasilkan meliputi warna, tekstur, kepekatan, dan kelekatan dapat diukur dengan membandingkan hasil pembakaran kapur yang bersifat tradisional dengan modern misalnya dengan PT 68 Mineral yang produknya salah satu bermerek “DLINGO”. Warna merupakan karakteristik awal untuk membedakan kualitas kapur. Hasil dari tobong gamping tradisional seperti yang ada di wilayah penelitian berwarna putih kecoklatan, sedangkan Dlingo warnanya sangat putih. Warna putih kecoklatan pada metode tobong tradisional disebabkan karena campuran dari sisa pembakaran kayu dan garam ketika proses pembakaran. Proses pembakaran tradisional selalu menggunakan garam untuk membantu proses pengapian lebih cepat. Dlingo mempunyai warna yang putih karena sistem pembakaran menggunakan oven, maka pemanasan batu gamping akan lebih merata dan mencapai derajat pembakaran yang lebih tinggi menggunakan bahan bakar batu bara dengan pengapian tungku. Tekstur merupakan ukuran partikel yang dihasilkan. Batu gamping yang telah menjalani proses pembakaran akan disiram dengan air hingga hancur dan dibiarkan kering selama beberapa hari, kemudian diayak dengan ayakan sederhana (ayakan bambu), labur yang dihasilkan butirnya akan lebih kasar. Pada Dlingo untuk menjadi labur tidak menggunakan air, tetapi melalui proses penggilingan dan pengayakan mesin, sehingga ukuran butir yang dihasilkan tergantung dari ayakan yang digunakan dan produk yang diinginkan. Kepekatan dan kelekatan hasil tradisional dapat diukur dengan cara memilin dan menempelkan pada dinding atau batu bata yang telah dibasahi terlebih dahulu. Setelah diberi air labur akan cenderung lembek dan mudah untuk diaduk. Hal ini menggambarkan bahwa labur tidak pekat dan tidak lekat, sedangkan Dlingo dengan cara modern lebih pekat dan lekat. F. Persepsi Pengusaha dan Masyarakat terhadap Pencemaran Udara Akibat Pembakaran Kapur Tohor Persepsi yang dimaksud adalah pandangan atau kesadaran pengusaha dan masyarakat sekitar tentang keberadaan tobong gamping. Persepsi sebagian besar pengusaha tobong gamping tentang akibat yang ditimbulkan oleh usaha mereka adalah kesadaran bahwa yang dilakukan menggangu lingkungan sekitarnya karena asap. Permasalahan yang mereka hadapi saat ini adalah tidak adanya bahan bakar alternatif yang dapat digunakan dengan pertimbangan biaya. Pembakaran menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah cair berasal dari air yang digunakan untuk mengubah batu gamping menjadi labur. Limbah padat dari hasil pembakaran yang dihasilkan dari batu gamping yang tidak terbakar atau sering disebut bledegan diantisipasi dengan berbagai cara, seperti ditanam, bahkan ada yang membakar kembali. Dengan metode tradisional sekitar 15% dari jumlah total batu gamping yang dibakar akan menjadi limbah. Disamping menimbulkan pencemaran lingkungan usaha tradisional ini juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Persepsi masyarakat yang muncul mengenai usaha pembakaran kapur tohor adalah cenderung negatif. Dampak yang ditimbulkaan bahkan mencapai radius 100 m di sekeliling tobong gamping, bila hujan dan angin kencang dampaknya akan terasa sampai radius 300 m. Masyarakat menyebutkan bahwa pengusaha hanya mementingkan keberlangsungan usaha mereka tanpa mempertimbangkan keluhan masyarakat sekitar. Beberapa usaha yang mungkin dilakukan adalah adanya relokasi tobong gamping ke area yang jauh dari permukiman penduduk dengan menyewa tanah kas desa dan memodifikasi cerobong asap sehingga lebih tinggi dan asap yang ditimbulkan tidak berputar di sekitar permukiman warga. G. Kesimpulan 1. Karakteristik usaha tobong gamping berdasarkan modal dan sifat usaha, yaitu bersifat mandiri 30%, bersifat kelompok 5%, dan bersifat warisan 65%. 2. Karakteristik dapur pembakaran, meliputi keberadaan berdasarkan lokasi adalah berda di tengah permukiman 65%, di pinmggir dusun 25%, dan di pinggir sawah 10%; keberadaan cerobong asap 5%; tidak ada pengendali asap; semua bahan bakar adalah kayu; dan dapur diatas tanah 5%. 3. Kualitas kapur tohor yang dihasilkan dengan cara tradisional berwarna putik kecoklatan, tekstur butir lebih kasar, dan tidak pekat maupun lekat. Hal ini karena pengusana lebih mementingkan kuantitas dari kulitas. 4. Sebagian besar pengusaha menyadari aktivitas pembakaran menimbulkan polusi udara baik asap maupun baud an menyisakan limbah padat maupun cair. Sedangkan menurut persepsi masyarakat, aktivitas tobong gamping menimbulakn pencemaranudara, menyisakan limbah padat dan cair, dan tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitar. H. Saran-saran 1. Perlu adanya modifikasi bentuk tobong gamping di daerah penelitian dengan menambah cerobong asap dan pengendali arah asap. 2. Perlu adanya bahan bakar alternatif selain kayu bakar dan sosialisai tentang efisiensi bahan bakar. 3. Perlu adanya arahan relokasi tobong yang berada di tengah permukiman ke daerah yang jauh dari permukiman. 4. Perlu adanya sosialisasi tentang kesadaran lingkungan yang mengarah pada kebersihan dan kesehatan lingkungan kepada pengusaha kapur tohor di daerah penelitian. Daftar Pustaka Anonim, 2004. Pekerjaan Profil Bidang Usaha Bahan Galian Trass, Batu Gamping, Feldspar dan Belerang di Kabupaten Tapanuli Utara. Diakses dari www.distam_propsu.go.id Darsono, Valentinus. 1995. Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Soemarwoto, Otto. 2001 . Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan. Soerjani, Moh., dkk. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tushadi, M., dkk. 1990. Bahan Galian Industri. Bandung: Direktorat SDM Bandung. Biodata Penulis: Nurhadi, M.Si, Nurul Khotimah, dan Bambang Syaeful Hadi. Ketiganya memrupakan dosen Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.