KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 42 Pendidikan Karakter Yang Terintegrasi 43 INFORMASI, No. 2, XXXVI, Th. 2010. PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI Oleh: Muhsinatun Siasah Masruri Pendidikan Geografi FISE UNY Abstrak Dewasa ini seolah-olah bangsa Indonesia kehilangan pedoman moral sebagai acuan sikap dan perilaku yang luhur untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. Kasus-kasus tindak pidana korupsi di kalangan pejabat formal, dan penganiayaan keji di kalangan rakyat yang belum dikenal, merupakan sebagian indikator terjadinya kemerosotan moral atau akhlak bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan upaya oleh segenap pihak, terutama bidang pendidikan untuk menyemai kembali bibit-bibit akhlak mulia sejak anak duduk di Taman Kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi. Disamping itu perlu dipertegas kembali Pancasila sebagai acuan moral bangsa Indonesia yang terbebas dari berbagai kepentingan. Tulisan ini merupakan hasil kajian deduktif terhadap literatur dan hasil-hasil penelitian tentang Pendidikan Karakter di sekolah. Hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Karakter bangsa Indonesia adalah sikap dan perilaku yang mengacu kepada Pancasila sebagai idiologi bangsa. 2) Pancasila tidak boleh dilupakan, dan harus tetap dijadikan landasan moral (budi pekerti luhur) bangsa Indonesia. 3) Pendidikan karakter belum tersurat dalam standar isi pendidikan, oleh karena itu pelaksanaannya harus diintegrasikan`ke dalam semua mata pelajaran, sehingga semua guru harus terlibat dan bertanggungjawab terhadap proses dan hasil pendidikan karakter; 4) Geografi merupakan mata pelajaran di tingkat SMA/MA yang sangat tepat sebagai wadah integrasi pendidikan karakter, karena hakikat Geografi merupakan studi tentang alam, manusia dan hubungan timbal-balik antara keduanya. 5) Pendidikan karakter yang terintegrasi ke dalam pembelajaran Geografi dapat menggunakan berbagai strategi, antara lain Value Clarification Tachnique (VCT), karena proses klarifikasi terhadap nilai-nilai terutama yang berkaitan dengan current events akhir-akhir ini. Kata kunci: Pendidikan karakter, Pancasila, integrasi, VCT, current evens A. Pendahuluan Karakter merupakan aspek afektif dalam totalitas kehidupan pribadi seseorang. Setiap orang mempunyai karakter tersendiri, berbeda dengan orang lain. Namun setiap seorang selalu terkait dalam kehidupan bersama, mulai dari lingkup yang terkecil yaitu keluarga, masyarakat, Negara, sampai dengan lingkup yang terbesar yaitu masyarakat dunia. Dalam kehidupan di masyarakat karakter seseorang sering menjadi objek penilaian tentang predikatnya, baik atau buruk. Sedangkan dalam pergaulan dunia setiap bangsa dapat dibedakan dari bangsa lain karena karakter kebangsaannya. Belakangan ini halaman-halaman media cetak maupun layar kaca tidak pernah absen memuat berita-berita yang nuansanya bertentangan dengan akhlak mulia. Secara etimologi, akhlak atau budi pekerti dapat pula dipadankan dengan etika dan moral. Menurut Al Ghazali (Rahmat Djatnika, 1996: 27) akhlak adalah sifat yang tetap pada jiwa, yang melandasi timbulnya perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pemikiran yang panjang. Dengan demikian akhlak seseorang tercermin dari perbuatan-perbuatan atau perilaku dalam seluruh aspek kehidupannya. Sehubungan dengan banyaknya berita-berita di media massa yang berkonotasi negatif, menunjukkan semakin banyaknya warga masyarakat yang perilakunya menyimpang dari akhlak mulia. Penyimpangan dapat terjadi karena keadaan terpaksa, tetapi kalau penyimpangan terjadi terus-menerus, dapat berkembang menjadi pola perilaku yang menodai akhlak mulia, menjadi akhlak yang hina. Secara universal akhlak mulia tersebut bersumber pada pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), secara religius akhlak mulia itu berpedoman pada kitab suci dari Tuhan yang diturunkan kepada utusan-utusan (para rasul), sedangkan secara khusus bangsa Indonesia mempunyai pedoman akhlak mulia atau budi pekerti luhur yaitu Dasar Negara, “Pancasila”. Pancasila sebagai dasar Negara, sekaligus sebagai pedoman akhlah mulia, pandangan dan pegangan hidup, serta cita-cita bangsa. Pendek kata Pancasila adalah landasan idiologi bangsa Indonesia. Dalam penyelenggaraan hidup bernegara, Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku di negeri ini harus dapat dikembalikan kepada Pancasila. Upaya pemerintah untuk membudayakan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila pernah mengalami masa yang sangat kondusif yaitu pada masa pemerintahan orde baru. Pada saat itu pemerintah berhasil merumuskan sebuah pedoman yang bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila. Nilai-nilai luhur tersebut bersumber dari akar budaya bangsa Indonesia yang telah dijadikan penuntun sikap dan perilaku nenek moyang bangsa. Namun sayang, sikap dan perilaku penguasa Negara yang seharusnya menjadi teladan bagi segenap anak-anak bangsa, tetapi justru bertolak belakang dengan karakteristik akhlak mulia yang dihasilkannya. Perilaku-perilaku negatif seperti korupsi, manipulasi, suap, anarkhi, dll. yang dewasa ini selalu menjadi berita utama di media massa merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila. Pemberantasan terhadap para penghianat bangsa secara hukum formal sangat diperlukan, tetapi bagaimana halnya jika para penegak hukum juga berkhianat. Itulah salah satu bentuk pergeseran akhlak mulia menjadi akhlak yang hina, perilaku korupsi, manipulasi, anarkhi makin menjadi. Oleh karena itu pembinaan akhlak mulia tidak cukup hanya melalui matapelajaran PPKn dan Pendidikan Agama sebagaimana yang ada sekarang. Pembinaan akhlak mulia harus secara simultan, terintegrasi di dalam semua mata pelajaran dan didukung oleh kultur sekolah yang kondusif. Peran orang tua di rumah merupakan faktor utama pembentukan karakter anak, di samping teman-teman sebaya yang berinteraksi dalam permainan di luar rumah. Model pendidikan karakter yang terintegrasi ini diharapkan dapat membantu mengembalikan karakter bangsa Indonesia seperti budaya nenek-moyang yang telah dikristalkan di dalam Pancasila. Seperti apakah realita karakter bangsa Indonesia? Masih layakkah Pancasila dijadikan sebagai landasan moral (budi pekerti luhur) bangsa Indonesia? Dapatkah Pendidikkan Karakter diintegrasikan ke dalam semua matapelajaran? Apakah mata pelajaran Geografi cocok sebagai wadah integrasi pendidikan karakter? Strategti pembelajaran apa yang cocok untuk mengembangkan karakter siswa dalam proses pembelajaran? Bagaimana teknik untuk menilai hasil pendidikan karakter? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan kajian yang komprehensip dari berbagai disiplin ilmu. B. Karakter Bangsa Indonesia Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD `45) alenia ke empat menyatakan bahwa: “….. Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijsaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lima kesepakatan tersebut bukan muncul dalam waktu singkat antara tanggal 17 -18 Agustus 1945 (proklassi dan penetapan dasar Negara), melainkan sudah dipersiapkan sejak adanya keinginan untuk merdeka, lepas dari penjajahan bangsa manapun. Para tokoh pejuang pendiri negeri ini telah mempersiapkannya di dalam Piagam Djakarta, dan setelah kemerdekaan berhasil diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sehari kemudian ditetapkanlah ke lima kesepakatan tersebut sebagai Dasar Negara. Sebagai dasar Negara, pastilah bukan hanya sebagai dasar hukum tertulis (formal), tetapi juga menjadi dasar/acuan hukum tidak tertulis (etika/moral). Tidak ada kecacatan sedikitpun dari kelima sila (tata aturan) tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai satu kesatuan. Bahkan secara sendiri-sendiri dan tanpa kata “Indonesia” pada sila ke tiga dan ke lima, merupakan tata aturan yang sangat sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga dapat berlaku secara universal. Tetapi sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh hanyalah milik bangsa Indonesia, sekaligus mencerminkan watak/karakter bangsa Indonesia baik sebagai individu maupun bersama-sama. Secara garis besar karakter bangsa Indonesia adalah: 1. Taat menjalankan syariat agama yang dipeluknya 2. Mempunyai tenggang-rasa yang tinggi, memandang semua manusia mempunyai derajat yang sama, dan mempunyai harga diri. 3. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara. 4. Bertindak sesuai dengan posisinya di masyarakat, dapat dipercaya dan mempercayai sebagai/kepada perwakilan, menjunjung tinggi musyawarah. 5. Mengupayakan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Seseorang yang mampu mangamalkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari kelima garis besar tersebut, adalah sosok “manusia Indonesia seutuhnya”, sosok yang berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia. Secara lebih rinci, nilai-nilai luhur yang mencirikan karakter bangsa dapat dibuka dan ditinjau kembali, direvisi, dan dicerdaskan butir-butir yang pernah dirumuskan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di jaman Orde Baru. C. Pancasila Sebagai Landasan Moral Bangsa Indonesia Pada bagian A telah dibahas bahwa Pancasila sebagai dasar Negara, sekaligus sebagai landasan moral, atau idiologi bangsa. Pancasila berisi nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa Indonesia di masa lalu. Nilai-nilai tersebut tidak usang dimakan waktu, bahkan semakin nyata keluhurannya. Hal ini sudah terbukti berlali-kali, ketika suatu orde atau golongan bermaksud mengubah Pancasila atau mengganti dasar Negara dengan dasar yang lain, selalu mendapat perlawanan dari segenap rakyat Indonesia, dan kembali pula ditetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara. Sila-sila di dalam Pancasila adalah untaian nilai-nilai luhur yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila tidak bersifat permanen, tetapi dinamik, maksudnya dalam perkembangan sejarah peradaban, dalam perkembangan ilmu dan teknologi, nilai-nilai luhur tersebut dapat disesuaikan dengan tanpa mencabut akarnya. Dengan demikian Pancasila dengan kandungan nilai-nilai luhurnya sangat layak sebagai acuan moral atau karakter bangsa Indonesia. D. Pendidikan Karakter Karakter dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus seseorang, sehingga dapat dibedakan antara seseorang dengan yang lain. Gede Raka (2010) menulis : karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ . Karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk (Pembangunan Karakter Dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi, Risalah ‘Kuliah Akhir Masa Jabatan’ sebagai Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB, disampaikan pada tanggal 28 Nopember 2008 di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB, di Jalan Surapati 1 Bandung). Menurut Lickona (1992: 51) “Karakter” terdiri atas nilai-nilai yang diyakini dan nilai-nilai yang dilakukan, sehingga karakter seseorang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Karakter seseorang dikatakan baik bila pada dirinya terdapat “knowing the good, desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the heart and habits of action”. Hubungan tiga komponen tersebut dilukiskan dalam Gambar 1. Gambar tersebut menjelaskan bahwa masing-masing komponen saling berhubungan satu sama lain. Setiap komponen menempati ranah (domain) psikologis tertentu dalam pribadi seseorang. Moral knowing berada pada ranah kognitif, terdiri atas aspek: 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) pengetahuan nilai moral (knowing moral values), 3) cara pandang (perspective taking), 4) penalaran moral (moral reasoning) 5) membuat keputusan (decision making), dan 6) kesadaran diri (self knowledge). Gambar 1. Components of good character (Lickona, 1992: 53) Moral feeling menempati ranah afektif, terdiri atas enam aspek: 1) suara hati (conscience), 2) harga diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4) kasih-sayang (loving the good), 5) pengendalian diri (self control,) dan 6) rendah hati (humility). Moral actions menempai ranah psikomotorik, berupa perilaku sebagai perwujudan dari moral knowing dan moral feeling. Moral actions atau perilaku-perilaku moral seseorang didasari oleh kompetensi (competence), niat (will), dan kebiasaan (habit) yang sudah dimiliki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan karakter yang baik memerlukan waktu yang relatif panjang karena harus mengembangkan kompetensi-kompetensi yang baik, kebiasaan-kebiasaan yang kaik, dan niat yang baik pula. Sehubungan dengan hal tersebut, Ryan (1999: 5) juga menyatakan bahwa “good character is about knowing the good, loving the good and doing the good”. Demikian pula menurut William & Schnaps (Muhammad Nur Wangid, 2001:174): Pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat untuk membentuk anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses untuk membentuk, menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan anak menjadi pribadi yang bijaksana dan bertanggung jawab. Proses tersebut dapat berupa pembiasaan-pembiasaan pikiran, hati dan tindakan secara berkesinambungan yang hasilnya dapat terlihat dalam tindakan nyata sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan karakter hendaknya tidak terpisah seperti halnya pendidikan keilmuan dan ketrampilan, melainkan terintegrasi dalam setiap aktivitas pendidikan baik yang bersifat informal, non formal, maupun formal. Pendidikan karakter bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas (universal) sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini terekspresikan di dalam perilaku moral (Darmiyati Zuchdi (2008: 39). Proses pendidikan karakter diarahkan bukan hanya pada aspek pengetahuan, tetapi lebih kepada ketrampilan dan sikap, seperti yang diungkapkan Barth (1990: 254) yaitu; “……. a) knowledge, which is a body of fact and principles; b) skill, which is acquiring an ability through experience or training; c) attitude, which is one’s opinion, feeling or mental set as demonstrated by one’s action”. Dari pernyataan ini dapat dijelaskan bahwa “pengetahuan” adalah abstraksi dari fakta dan konsep dasar; sedangkan “ketrampilan” adalah kemampuan yang diperoleh melalui pelatihan atau pengalaman; dan “sikap” adalah suatu pendapat, perasaan atau mental seseorang yang ditunjukkan melalui tindakan. Pembinaan karakter siswa yang meliputi aspek knowledge, skill, and attitude tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, karena jiwa manusia tidak terkotak-kotak melainkan satu kesatuan yang utuh (comprehenship). Pendekatan yang cocok untuk pembinaan karakter secara komprehensif adalah “pendekatan komprehensif” seperti yang dikenukakan oleh Kirchenbaum (1995: 31). “A comprehensive values education utilized many of the methods and activities from the values realization, character education, citizenship education and moral education. The first four categories illustrate one important aspect of comprehensive values education. The categories of inculcating, modeling, facilitating, and skill-building all emphasize the comprehensive nature of the task”. Pendidikan nilai (karakter) yang komprehensif, adalah pembinaan karakter yang meliputi berbagai metode dan aktivitas, mulai dari realisasi nilai-nilai, pendidikan karakter, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral. Ada bempat kategori yang sangat penting yaitu inkulkasi, pemodelan, fasilitasi, dan pengembangan ketrampilan. Selanjutnya Kirschenbaum (1995:9-10) menulis bahwa pendidikan karakter yang komprehensip mencakup berbagai aspek yaitu aspek isi, aspek metode, aspek program/kurikulum, dan aspek keterlibatan berbagai pihak. 1. Isi pendidikan karakter harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pendidikan, dari yang sangat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum. 2. Metode pendidikan nilai juga harus komprehensif, termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman nilai), pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain. 3. Pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek kehidupan. 4. Yang ke empat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, dan juga di masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai. Konsistensi dan kontinuitas semua pihak dalam melaksanakan pendidikan karakter sangat menentukan kualitas mental generasi muda. Sehubungan dengan aspek yang keempat di atas, Mursyid (2010) menyatakan bahwa: “ membangun kembali karakter bangsa ini, akan efektif jika melalui jalur pendidikan. Namun, harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebab, pendidikan karakter mencakup pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif dan kepengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis. Singkatnya, pendidikan karakter adalah membimbing orang untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai. Profesor Phenix mengistilahkan sebagai “voluntary personal commitment to values” (character building@book). Dari tulisan tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa bidang pendidikan merupakan wadah yang paling tepat untuk pembentukan karakter atau watak, dan upaya tersebut akan berhasil bila dilaksanakan secara simultan, sejak di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan juga di masyarakat. Dengan demikian berarti harus ada kesamaan “landasan karakter bangsa” yang dicita-citakan. Bagi bangsa Indonesia landasan karakter tersebut adalah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam rumusan Pancasila. Mursyid (2010) menyimpulkan dari pendapat para pakar pendidikan, bahwa nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter terdistribusi dalam sembilan pilar, yakni; (1) cinta Tuhan dan ciptaannya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran, amanah, dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, kedamaian dan kesatuan (character building@book). Lebih lanjut Mursyid (2010) menuliskan bahwa terdapat tiga cara penting yang mesti diperhatikan dalam pendidikan karakter, yakni melalui: pembiasaan, contoh atau teladan dan pembelajaran secara terintegrasi. Pembiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”, (Character building @book). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pendidikan karakter di dalam system pendidikan formal perlu dilaksanakan secara terintegrasi (di samping pembiasaan dan keteladanan) di dalam semua mata pelajaran dan semua program pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan dipelajari oleh semua orang sepanjang hayat, dengan pendekatan komprehensip. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan upaya yang dilakukan untuk membentuk perilaku peserta didik yang serba baik, sesuai dengan acuan perilaku yang berlaku di masyarakat. Yuon Ambroise (Kaswardi, 1993: 20) menjelaskan bahwa hubungan antara nilai, sikap dan perilaku merupakan totalitas dari kepribadian seseorang (gambar 2 ) Gambar 2. Hubungan antara nilai, sikap, perilaku dan kepribadian. Hal senada diungkapkan Hart (1978: 5) bahwa antara nilai, sikap dan perilaku terdapat hubungan yang sangat erat: The relationship between values and behavior cannot clearly be understood without mentioning attitude. Whereas values refer to general modes of behavior or end-state of existence across situations, attitudes are tied to specific events, persons or objects. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan melalui Gambar 3 berikut ini. Gambar 3. The relationship between values, attitudes and behaviours. (Hart, 1978: 6) Sehubungan dengan keterpaduan antara pengetahuan, sikap dan perilaku, maka pendidikan karakter bangsa perlu diintegrasikan ke dalam semua matapelajaran di sekolah. Dengan demikian semua guru bidang studi dapat terlibat langsung, dan bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. E. Mata Pelajaran Geografi Geografi merupakan sebuah studi yang bertujuan untuk menunjang kehidupan dalam segala aspek, dan mendorongan peningkatan kesejahteraan sepanjang hayat. Lingkup Bidang kajiannya meliputi pola-pola di muka bumi dan proses-proses yang membentuknya, manusia dengan barbagai perilakunya, hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Wassmansdorf (Rosenberg: geography.about.com) bahwa: Geography is the study of the patterns and processes of human (built) and environmental (nature) landscapes, where landscapes comprise real (objective) dan perceived (subjective) space. Sebagai suatu disiplin integratif, geografi memadukan dimensi-dimensi alam dan manusia, dalam menelaah masalah-masalah yang terjadi. Manusia sebagai komponen geografi ditinjau dari berbagai, baik dimensi fisik, sosial, kultural, politik, moral dan spiritual, dalam kaitannya dengan ruang dan tempat kehidupannya. Sebagai matapelajaran di Sekolah, Geografi mengemban misi untuk mengembangkan pemahaman siswa tentang organisasi spasial, masyarakat, tempat-tempat, dan lingkungan di muka bumi. Siswa didorong untuk memahami proses-proses fisik yang membentuk pola-pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di muka bumi, sehingga diharapkan siswa dapat memahami bahwa manusia menciptakan wilayah (region) untuk menyederhanakan kompleksitas muka bumi. Selain itu, siswa dimotivasi secara aktif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat-tempat dan wilayah. Dengan demikian siswa diharapkan bangga akan warisan budaya yang memiliki kepedulian kepada keadilan sosial, demokratis, dan kelestarian lingkungan. Budaya tersebut pada gilirannya akan mendorong siswa untuk meningkatkan kualitas hidup dan lingkungannya. Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi, juga diharapkan dapat membentuk karakter anak bangsa yang kompeten dalam menjalin kerjasama secara luas dan mengurangi konflik di berbagai bidang untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi ini. Geografi merupakan studi yang mengkaji tentang aspek ruang dan tempat di muka bumi dalam berbagai skala. Objek studinya adalah gejala-gejala alam dan kehidupan manusia, serta pengaruh timbal balik antara alam dan manusia. Gejala alam dan kehidupan dipandang sebagai hasil proses alam yang terjadi di bumi, atau sebagai kegiatan yang dapat memberi dampak kepada mahluk hidup yang tinggal di atasnya. Untuk menjelaskan pola-pola gejala geografis yang terbentuk, dan mempertajam maknanya, disajikan dalam bentuk deskripsi, peta dan tampilan geografis lainnya. Dengan demikian, mata pelajaran Geografi mempunyai fungsi mengembangkan: a) pengetahuan tentang pola-pola keruangan dan proses-proses yang terkait, b) keterampilan dasar dalam memperoleh informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi, c) sikap, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan hidup dan sumber daya serta toleransi terhadap keragaman sosial-budaya masyarakat. Sesuai dengan fungsinya, mata pelajaran geografi bertujuan mengembangkan kecakapan hidup dan kepribadian siswa secara total, baik dalam aspek intelektual, ketrampilan, dan juga sikapnya. Tujuan pada aspek intelektual yaitu mengembangkan: a) konsep dasar geografi yang berkaitan dengan pola keruangan dan proses-prosesnya, b) pengetahuan tentang sumberdaya alam, peluang dan keterbatasannya, c) konsep dasar geografi yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan wilayah negara/dunia. Pada aspek ketrampilan bertujuan mengembangkan: a) keterampilan mengamati lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan binaan, b) keterampilan mengumpulkan, mencatat data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek keruangan, c) mengembangkan keterampilan analisis, sintesis, kecenderungan dan hasil-hasil dari interaksi berbagai gejala geografis. Pada aspek sikap bertujuan mengembangkan: a) kesadaran terhadap perubahan fenomena geografi yang terjadi di lingkungan sekitar, b) sikap melindungi dan tanggung jawab terhadap kualitas lingkungan hidup, c) kepekaan terhadap permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, d) sikap toleransi terhadap perbedaan sosial dan budaya, e) rasa cinta tanah air dan persatuan bangsa. Ruang lingkup mata pelajaran geografi meliputi: a) dinamika perubahan atmosfer, litosfer, hidrosfer, dan antroposfer, b) sumber daya alam dan pemanfaatannya, c) lingkungan hidup, d) konsep dasar perwilayahan, e) egara maju dan negara berkembang, serta f) penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) F. Strategti Pembelajaran Yang Cocok Untuk Pendidikan Karakter Banyak strategi pembelajarn yang telah ditemukan dan ditulis dalam buku-buku kependidikan. Namun perihal karakter tidaklah semudah penyampaian pengetahuan dan melatih ketrampilan, karena hasilnya tidak dapat diamati sebelum terekspresikan dalam perilaku. Pada dasarnya semua strategi pembelajaran dapat digunakan, mulai yang bersifat ekspositori hingga yang huristik. Namun perlu diingat bahwa perkembangan afektif memerlukan penghayatan yang sangat mendalam untuk dapat tertanam dalam sanubari. Salah satu strategi yang sudah sangat terkenal untuk pembinaan afektif yaitu Value Clarification Technique (VCT). VCT di Indonrsia diterjemahkan menjadi “Teknik Klarifikasi Nilai” yaitu suatu model penanaman nilai-nilai dengan cara peserta didik dilibatkan untuk memecahkan masalah berdasarkan alternatif-alternatif yang dirumuskan bersama, dan dipertimbangkan konsekuensi serta dampak dari masing-masing alternatif. Alternatif yang dipilih adalah yang konsekuensinya paling ringan, dan dampak negatifnya paling kecil. VCT sebagai metode atau pendekatan dalam pendidikan nilai sudah berumur cukup tua. Hall (1973: 11) menyatakan bahwa teknik klarifikasi nilai sebagai …..”methodology or process by which we help a person to discover values through behavior, feelings, ideas and through important choices he has made and is continually in fact, acting upon in and through his life”. Kemudian Barth (1990: 371) juga menerapkan klarifikasi nilai sebagai ….” a teaching strategy which is used to focus on the process of valuing rather than the content of values. It attempts to help students answer questions about how values are formed and to develop their own values system”. Di Indonesia VCT juga telah banyak digunakan, seperti yang ditulis oleh Wina Sanjaya (2008: 283) bahwa VCT adalah teknik pembelajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Wina Sanjaya (2008: 283) memerinci tujuan penggunaan VCT yaitu untuk: 1) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai. 2) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimiliki baik positif maupun negatif untuk dibina kearah yang lebih baik. 3) menanamkan nilai-nilai tertentu pada siswa melalui cara yang rasional dan dapat diterima siswa sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa. 4) melatih siswa tentang cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Wina Sanjaya menjelaskan manfaat yang diperoleh dari penerapan VCT yaitu dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam: 1) memilih, memutuskan, mengkomunikasikan, mengungkapkan gagasan, berkeyakinan tentang nilai-nilai; 2) berempati atau memahami perasaan dan sudut pandang orang lain; 3) memecahkan masalah; 4) menyatakan sikap setuju atau tidak setuju, serta menolak atau menerima pendapat orang lain; 5) mempunyai pendirian dalam mengambil keputusan, menginternalisasikan nilai-nilai dan bertingkah laku sesuai dengan nilai yang telah diyakini. Menurut Nasution (2006: 165) model klarifikasi nilai ini bertujuan untuk membantu siswa agar meneliti dan menganalisis nilai-nilai yang ada pada suatu saat, dan dianutnya dalam berbagai situasi, lalu menentukan secara bebas perangkat nilai-nilai baru yang dianggapnya lebih sesuai. Dengan demikian penerapan teknik klarifikasi nilai dapat melatih siswa untuk berproses melakukan analisis terhadap nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat dan dapat menetapkan nilai-nilai yang selayaknya menjadi acuan hidupnya. Berdasarkan tujuan dan manfaat tersebut, maka pendidikan karakter baik untuk anak maupun orang dewasa dapat menggunakan teknik klarifikasi nilai. Bila seseorang dilatih dan dibiasakan memecahkan masalah nilai atau moral melalui klarifikasi tentang konsekuensi dan `dampaknya, diharapkan mereka dapat membuat keputusan yang paling tepat. Salah satu model Klarifikasi Nilai dikemukakan oleh Fraenkel (1977:131), dengan prosedur kerja seperti pada Gambar 4. Gambar 4 SKEMA PROSEDUR ANALISIS DILEMA Sumber: Fraenkel, Jack F., 1977, How To Teach About Values: An Analitic Approach, Engelwood Cliffs, New Yersey: Prentice Hall, Inc., p.131. Langkah-langkah tersebut adalah: a. Menentukan peristiwa yang merupakan dilema (Dilemma), b. Menentukan alternatif tindakan untuk memecahkan dilema (Alternatives) c. Mengidentifikasi konsekuensi yang harus dilakukan untuk setiap alternatif (Consequences) d. Mengidentifikasi dampak dari konsekuensi tersebut untuk setiap altertnatif (Consequences of consequences) e. Mencari bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dampak itu dapat terjadi (evidenses) f. Menilai mana alternatif yang konsekuensinya paling ringan, dan dampak positifnya lebih besar dari pada negatifnya (assessment) g. Mengambil keputusan terhadap alternatif mana yang akan dipilih (decision). Dalam proses pembelajaran geografi teknik klarifikasi nilai dapat diterapakan bersama dengan metode pembelajaran interaktif lain, seperti inquiry, cooperative learning, problem solving, diskusi, tanya-jawab, bahkan sebagai variasi dalam metode ceramah. Peranan guru adalah memfasilitasi siswa untuk memikirkan, mendiskusikan, memilih dan mempertimbangkan nilai positif dengan menjawab pertanyaan yang relevan terhadap nilai-nilai yang belum diyakini. Kekuatan VCT terletak pada pemberian penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak dan kebebasan untuk memilih, menentukan dan bertindak serta bersikap berdasarkan nilai yang diyakininya. Penelitian Agustina Tri Wijayanti (2010) berkesimpulan bahwa penerapan VCT dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD N Sekarsuli Banguntapan Bantul Yogyakarta, berhasil meningkatkan kepedulian, tanggungjawab, toleransi, dan ketaatan beribadah. Dengan menerapan teknik ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kemampuan siswa dalam mengklarifikasi nilai-nilai sebelum memutuskan pilihan nilai sebagai bagian dari totalitas kepribadiannya. G. Kesimpulan Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Karakter bangsa Indonesia yang seharusnya dikembangkan adalah sikap dan perilaku yang mengacu kepada Pancasila sebagai idiologi bangsa. Secara garis besar insan Indonesia harus berperilaku: a) Taat menjalankan syariat agama yang dipeluknya, b) Mempunyai tenggang-rasa yang tinggi, memandang semua manusia mempunyai derajat yang sama, dan mempunyai harga diri, c) Mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara, d) Bertindak sesuai dengan posisinya di masyarakat, dapat dipercaya dan mempercayai sebagai/kepada perwakilan, menjunjung tinggi musyawarah, d) Mengupayakan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia, dan terciptanya perdamaian di seluruh permukaan bumi 2. Pancasila tidak boleh dilupakan, harus tetap dijadikan landasan moral (budi pekerti luhur) bangsa Indonesia. Dengan berlandaskan pada Pancasila secara bulat dan utuh, karakter bangsa Indonesia dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. 3. Sasaran Pendidikan karakter adalah terbentuknya moral knowing, moral feeling, dan moral acting. Oleh karena itu, lebih efektif bila diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, dengan pendekatan komprehensif baik berupa fasilitasi, inkulkasi, keteladanan, dan pembiasaan baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat dengan keterlibatan dan tanggungjawab orang dewasa sebagai pendidik. 4. Geografi merupakan mata pelajaran yang sangat tepat sebagai wadah integrasi pendidikan karakter, karena hakikat Geografi sebagai studi terintegrasi, dan bertujuan mengembangkan kepribadian siswa yang memiliki pemahaman, ketrampilan, dan sikap positif terhadap fenomena alam dan manusia sebagai satu kesatuan yang saling pengaruh-mempengaruhi. 5. Teknik klarifikasi nilai (VCT) merupakan strategi pembelajaran yang efektif untuk pendidikan karakter dengan materi Geografi. Banyak masalah yang dilematik antara pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan pelestarian lingkungan yang tidak sederhana pemecahannya. Dengan model VCT kesulitan tersebut dapat dipecahkan secara bijak dengan memilih tindakan yang resikonya paling kecil walaupun keuntungannya tidak maksimal. Dengan VCT, penyesalan di kemudian hari dapat di minimalkan sampai nihil. Semoga bahasan ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumbang pikiran dalam mewujudkan karakter banga Indonesia yang diperhitungkan di dalam percaturan masyarakat dunia dalam era globalisasi yang tak dapat dihindari. Daftar Pustaka Agustina Tri Wijayanti, (2010), Peningkatan Perilaku Sosial Siswa melalui Penerapan Teknik Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran IPS di SD I Sekarsuli, Banguntapan, Bantul, (Tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. Barth, J.L.,(1990), Methods of instruction in social studies education, 3th Edition, Boston: University Press of America, Inc. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1994/1995), Bahan Penataran dan Buku materi Penataran P4, Jakarta: UIP Fraenkel, Jack F., (1977), How To Teach About Values: An Analitic Approach, Engelwood Cliffs, New Yersey: Prentice Hall, Inc.Rahmat Djatnika, (1996), Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas. Hall, B. (1973). Values clarification as learning process. New York: Paulist Press. Hart, Gordon M. (1978). Values clarification for counselors: how counselors, social workers, psychologists and other human service workers can use available technique. Springfield-Illinois: CT-Publisher. Kaswardi. (1993). Pendidikan nilai memasuki tahun 2000. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Kirchenbaum, H (1995). 100 Ways to enchance values and morality in two schools and youth setting. Massachusetts: A Simon & Schuster Company. Lickona, T. (1992). Educating for character, how our schools can teach respect. respect and responsibility. New York: Bantam Books. Nasution, S. (2006). Kurikulum dan pengajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara Ryan, K., & Bohlin, K. E. (1999). Building character in schools: Practical ways to bring moral instruction to life. San Fransisco, CA: Jossey-Bass. Rosenberg, Matt (2010) geography.about.com, diunduh tanggal 17 Desember 2010 Wina Sanjaya. (2008). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta. Kencana Media Group. ………. UUD 1945 dan Amandemennya, Solo: Giri Ilmu Biodata Penulis: Muhsinatun Siasah Masruri, Dr.: Pendidikan S1 pada Jurusan Pendidikan Geografi FKIS-IKIP Yogyakarta (1977), S2 (1994) dan S3 Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup IKIP Jakarta (1999). Sebagai dosen jurusan Pendidikan Geografi FISE-UNY sejak 1979 dengan mata kuliah pokok Geologi. Sebagai dosen dan sekretaris program studi Pendidikan IPS pada Program Pascasarjana UNY sejak tahun 2003. Karya Ilmiah dalam dua tahun terakhir adalah Penelitian Hibah Pascasarjana (anggota Tim) dengan judul Model Pendidikan Karakter yang terintegrasi di Sekolah Dasar, tahun I (2009) dan II (2010), sedang mengajukan untuk tahab III. Penelitian dengan dana DIK UNY 2010 dengan judul Sosisalisasi Mitigasi Bencana (sebagai ketua tim) dan Penelitian aplikatif dengan dana PR I UNY 2010, dengan judul Implementasi Pendidikan Karakter dan Kultur Universitas Terintegrasi Dalam Matakuliah Stratrategi Pembelajaran IPS Terpadu (sebagai ketua tim). Makalah Seminar Nasional di Medan (2010) dengan judul Pendidikan Karakter Sejak Dini, dan Seminar Nasional di Makasar (2010) dengan judul Pendidikan Karakter Terintegrasi Dalam IPS. MORAL FEELING 1.Conscience Self-esteem Empathy Loving the good Self-control Humility MORAL KNOWING Moral awareness Knowing moral values Perspective-taking Moral reasoning Decision-making Self-knowledge MORAL ACTION Competence Will Habit Pola Sikap Nilai Kepribadian Pola Perilaku Behaviour Attitudes Values DILEMMA ALTERNATIVES CONSEQUENCES CONSEQUENCES OF CONSEQUENCES EVIDENCES ASSESSMENT DECISION