KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 76 Imlek Sebagai Pesta Rakyat Yogyakarta 69 INFORMASI, No. 2, XXXVI, Th. 2010. Imlek sebagai Pesta Rakyat Cina di Yogyakarta Oleh: Dina Dwikurniarini Abstrak Semenjak dibangun hubungan kembali Indonesia – Cina maka nampak bahwa segala sesuatu tentang Cina marak diseluruh Indonesia. Di Yogyakarta juga tidak beda dengan kota-kota besar lain dalam perayaan pergantian tahun dan jika terdapat perbedaan terutama hubungan Cina dan pribumi yang tanpa konflik. Tujuan tulisan ini mengkaji kebijakan Negara terhadap Cina dalam bidang budaya serta hubungan Cina dan pribumi yang harmanis dapat diciptakan di Yogyakarta. Kajian ini adalah kajian historis yang menggunakan metode sejarah dengan empat langkah yaitu heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan sumber sejarah, kritik sumber, inteprettasi dan historigrafi. Hubungan Cina dan pribumi sudah terjadii semenjak kedatangan awal Cina sebelum terbentuknya Negara Indonesia hingga sesudah Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Kenyataan menunjukkan bahwa arang-orang pribumi dan Cina dapat saling menerima sebagai warga negara yang sama, merupakan proses panjang. Dalam sejarah menunjukkan bahwa peran pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya turut mempengaruhi hubungan antar pribumi dan Cina. Diskriminasi juga memperlambat terjalinnya perkembangan hubungan tersebut. Di Yogyakarta, misalnya perayaan imlek atau pergantian tahun dirayakan semua orang dan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata memasukkannya dalam agenda wisata Yogyakarta dan kelompok muslim mengizinkan merayakannya di masjid untuk Cina yang beraga Islam. Kata Kunci : Imlek di Yogyakarta, Pesta Rakyat Cina A. Pendahuluan Persebaran bangsa Cina diseluruh dunia sudah terjadi sejak berabad-abad yang lampau. Di Indonesia pada. masa VOC, orang-orang Cina menjadi pedagang perantara antara pribumi dan bangsa asing dan setelah Indonesia merdeka orang-orang Cina tetap punya peran besar dalam perekonomian. Sejarah keberadaan orang-orang Cina di Indonesia sangat panjang sampai diterima sebagai bagian dari bangsa dan berbagai penolakan bahkan melalui berbagai kekerasan telah dirasakan oleh etnis Cina. Peristiwa kekerasan terhadap etnis Cina atau Tionghoa di Indonesia terjadi hampir sepanjang sejarah Indonesia, baik berupa diskriminasi sampai kekerasan fisik seperti perampokan, pembantaian, penjarahan, dan perkosaan maupun pembunuhan. Hampir dalam setiap pergantian periode di Indonesia etnis Cina menjadi korban kekerasan dalam sentimen anti Cina, misalnya pembantaian di Muara Angke pada masa VOC (Hembing Wijaya Kusuma, 2005: 8), peristiwa kerusuhan Maret 1942 (Twang Peck Yang, 2004: 85), dan masih melekat dalam ingatan adalah peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Peristiwa tahun 1998 tersebut merupakan salah satu contoh peristiwa malapetaka terbesar yang dialami oleh orang-orng keturunan Cina di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Sikap diskriminatif terhadap etnis Cina di Indonesia sebenarnya telah memiliki akar sejarah yang panjang. Di era kolonial, pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan politik segregasi dengan menggolongkan penduduk dalam tiga golongan berdasar ras, yaitu golongan Eropa sebagai golongan tertinggi, golongan Timur Asing (Cina dan Arab) dan golongan pribumi. Aturan passen en wijkenstelsel dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menghambat gerak langkah etnis Cina yang dinilai dapat membahayakan kepentingan pemerintah kolonial. Pada masa Pemerintahan RI keluar PP no. 10/November 1959 yang melarang warga asing untuk berdagang di wilayah tingkat pedesaan. Aturan tersebut senbenarnya ditujukan bagi WNA tetapi dalam pelaksanaannya aturan tersebut berlaku hanya bagi etnis Cina. Aturan tersebut secara tegas membatasi peran dan hak ekonomi etnis Cina. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai di tingkat kabupaten, Pada tahun 1967 stabilisasi politik, pemerintah Soeharto menggalakkan program “pembauran” sebagai solusi atas masalah Cina, yang memaksa orang Cina untuk sepenuhnya berasimilasi dalam masyarakat Indonesia (Adam Schwatz, 1994:106). Terdapat anggapan bahwa golongan Cina hidup secara eksklusif dan kurang rasa nasionalis (Leo Suyandinata, 1996:22). Proses asimilasi orang-orang Cina sebagai usaha memutuskan hubungan dengan leluhurnya dilakukan dengan penggantian nama bagi warga negara Indonesia yang masih memakai nama Cina, pelarangan memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf dan bahasa Mandarin, pembatasan kegiatan keagamaan, larangan untuk mengadakan perayaan hari raya tradisional di muka umum, serta larangan untuk menyelenggarakan sekolah Cina. Instruksi Presiden No. 14/1967 tanggal 6 Desember telah membatasi orang Cina di Indonesia untuk mengadakan kegiatan agama dan budaya secara terbuka. Perubahan terjadi terutama sejak pemerintahan Abdurahman Wahid. Abdurahman Wahid telah mencabut Keppres No. 14/1967 dan menggantinya dengan Keppres No. 6/2006 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina telah membuat perubahan besar dalam sejarah Cina di Indonesia. Dari latar belakang dapat dirumuskan masalah 1) bagaimana perkembangan kebudayaan Cina di Yogyakarta dengan diterapkannya berbagai kebijakan Negara, 2) bagaimana pribumi Yogyakarta dan Cina membangun hubungan yang harmonis dalam segala aspek kehidupan. B. Perkembangan Kebudayaan Cina Keberadaan Cina dan kebudayaannya di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam bentuk dan pelaksanaan ritualnya. Sejak masa kolonial tradisi Cina sudah dilaksanakan hingga Indonesia menjadi Negara merdeka. Akan tetapi pelaksanaan tradisi budaya Cina mengalami pasang surut sejalan dengan kebujakan negara terhadap etnis minoritas Cina. Di Yogyakarta sama seperti dibagian lain wilayah Indonesia terjadi diskriminasi dan kekerasan terhadap Cina, tetapi sejak Orde Baru tidak pernah terjadi kekerasan terhadap Cina di Yogyakarta (Wibowo, 2000:61). Ketika kota-kota di Solo dan Kebumen dirusak dan dibakar, di Yogyakarta tak terjadi seperti dikedua tempat tersebut. Sebagai etnis minoritas, keberadaan dan masalah-masalah yang mereka hadapi berbeda-beda. Di Yogyakarta keberadaan etnis Cina tidak lepas dari peran Sultan. Hamangkubuwana. Hubungan antara kraton dan komunitas Cina pada taraf tertentu dapat menciptakan suasana saling menghormati antara orang-orang Jawa dan Cina di Yogyakarta. Cina di Indonesia bisa beragama Budha, Kristen, Katholik, Islam maupun Kong Fu-tse atau Konghucu yang dianggap agama minoritas dan tidak diakui negara sebagai agama. Kebijakan Soeharto adalah asimilasi (Koentjaraningrat, 1967:367) dan ingin melebur Cina ke dalam masyarakat pribumi dan situasi politik Indonesia tidak memungkinkan Kong Fu-tse untuk berkembang. Keidakmampuan orang Cina yang tidak bisa berbahasa Cina membuat mereka mmeleburkan diri dalam pemikiran Barat dan Indonesia dan itu membuat mereka menganut agama Katholik, Protestan dan Islam. Konghucu sebagai perayaan tahun baru khas Cina telah mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya di Indonesia. Pada masa pemeriintahan Soekarno menjadi perayaan meriah di Glodok ,Jakarta berlangsung pertunjukkan barongsai maupun petasan warna-warni dipasang dipohon tinggi yang dianggap sebagai penghilang sial dan mengusir bahaya. Kondisi tersebut berbanding terbalik pada masa Pemerintahan Soeharto dengan program pebauran dengan menjauhkan segala sesuatu yang berkaitan dengan negeri Cina. Pada masa itu hamper tidak ada Susana kemeriahan imlek di Indonesia dan itu berakhir dengan kebijakan baru Presiden Abdurran Wahid. 1. Keharmonisan Jawa dan Cina di Yogyakarta Sejak berdirinya kota Yogyakarta pada tahun 1756, komunitas Cina sudah ada yaitu dengan diangkatnya Kapiten Cina To In oleh Pemerintah Belanda (Koentjaraningrat, 1967:63). Pada awalnya komunitas Cina ada di desa-desa, tetapi setelah keluar PP 10 tahun 1959 mereka pindah dari desa ke kota. Mereka juga banyak yang menikah dengan wanita pribumi dan tinggal diperkampungan Jawa dan menjadi golongan peranakan yang dominan. Tempat tinggal mereka sederhana atau termasuk dalam kelompok menengah bawah jika dilihat dari bentuk rumah, mobilataupun dari kehidupan keseharian mereka. Di Yogyakarta mereka ada di sekitar Ketandan, Beskalan, Kemetiran, Pajeksan, Gandekan, Patuk, Poncowinatan. Kebanyakan mereka yang termasuk golongan sederhana (low profile) tinggal di belakang jalan besar di kampong-kampung. Mereka hidup dari membuka warung kecil baik makanan maupun kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang menjadi penjahit, supir, pegawai pabrik, atau kantor, pedagang keliling, pramuniaga, tukang masak. Mereka yang masuk golongan menengah atas, membuka restoran atau toko di pinggir jalan besar. Hanya ada beberapa saja etnis Cina yang termasuk pengusaha besar (tycoon) karena Yogyakarta bukanlah termasuk kota bisnis yang besar. Selain itu sekarang banyak orang Cina yang bekerja secara professional sebagai dokter, pengacara, manajer perusahaan, ahli kecantikan, guru, dosen. Orang-orang Cina di Yogyakarta dinilai sederhana karena hubungan harmonisnya dengan orang-orang Jawa yang telah terjalin sejak berdirinya kota ini. Ciri rumah Cina, dahulu berpagar tinggi dan tertutup seolah-olah untuk menjaga diri dari rasa tidak aman. Saat ini banyak yang sudah berubah menyesuaikan dengan kehidupan sekitarnya. Dalam kebudayaan, orang Cina di Yogyakarta lebih menampakkan afiliasinya ke Jawa daripada Cina. Mereka tidak dapat berbahasa Cina tetapi berbahasa Jawa baik di dalam maupun di luar rumah. Yang masih menampakkan ke-Cina-an adalah etos kerja. Tidak aneh lagi orang Cina juga suka menari Jawa seperti Didik Nini Towok, bahkan ada yang mempelajari kejawen dan memyukai serta masuk kelompok ketoprak. Sudah sejak lama kebudayaan Cina menjadi tak asing bagi warga Yogyakarta, terutama makanan-makanan Cina seperti bakmi, capjae, kwetiau, kue ranjang, kue mangkok, bakpia dan lainnya. Bakpia sudah menjadi ciri khas oleh-oleh Yogyakarta. Perayaan tahun baru Cina atau Imlek menjadi momen yang ditunggu seluruh orang. Pemerintah Oede Baru memang melarang perayaan tradisi Cina secara besar-besaran, meskipun Imlek sendiri bukan perayaan agama sekalipun salah satu prosesinya adalah sembahyang di klenteng. Pemerintah Orde Baru mengawasi dengan ketat aktivitas etnis Cina di Indonesia termasuk dalam budaya yaitu larangan memasang tulisan Cina di di tempat umum, di toko-toko milik orang Cina. Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkuasa telah mencabut larangan tersebut dan etnis Cina melakukan aktivitas budaya dengan leluasa. Akan tetapi sejak tumbangnya Orde Baru, perayaan Imlek ditujukan untuk menunjukkan kepedulian kepada sesama warga negara, tidak hanya kepada etnis Cina semata. Di Yogyakarta hubungan persaudaraan antaretnis berjalan harmonis juga hubungan antarumat beragama. Proses akulturasi tradisi budaya Cina dan tradisi budaya Jawa semakin menampakkan keharmonisan. Pemerintah Orde Baru mengawasi dengan ketat aktivitas etnis Cina di Indonesia termasuk dalam budaya yaitu larangan memasang tulisan Cina dipasang di tempat umum, di toko-toko milik orang Cina. Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta menjadikan tradisi-tradisi Cina sebagai bagian budaya bangsa dan sekarang Tahun Baru Imlek dimasukkan dalam kalender Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. Perayaan diwujudkan dengan menggelar Pekan Budaya Cina. Budaya Imlek bukan satu-satunya karena ada yang lain yaitu Cembengan atau “nyekar” yang dilaksanakan tiap tanggal 3 bulan ke-3 Imlek. Cembengan sama dengan tradisi Jawa bulan Ruwah Selain itu ada Peh Cun yang diselenggarakan tiap tanggal 5 bulan ke-5 tahun Imlek atau sekitar bulan Mei-Juni. Perayaan Peh Cun bermula dari kisah Khut Gwan, negarawan bijak juga penyair yang hidup di Cina sebelum Masehi. Dia berjasa karena menyatukan Cina namun banyak orang iri dan menfitnahnya. Khut Gwan menjadi sedih dan kecewa kemudian menceburkan diri ke laut. Jasatnya dicari tidak ditemukan, maka sebagain ungkapan duka warga menyebar nasi ke laut. Kebiasaan itu ada yang menganggap sebagai memberi makan jasat Khut Gwan , ada juga yang menganggap nasi sebagai pakan ikan agar iakan-ikan tidak memakan jasat Khut Gwan (Kompas, 29 Mei 2009). Perayaan Peh Cun sekarang diagendakan Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul dengan berbagai acara selama dua hari (sebelumnya hanya 1 hari). Dimulai acaranya dengan lomba perahu naga dan getek, atraksi naga dan barongsai, pentas musik tradisional Cina dan ditutup pertunjukan wayang kulit. Hari kedua ada dua acara yang dicatat Rekor Muri yaitu Kweechang terbesar dan menegakkan 204 telur ayam. Kweechang, merupakan makanan khas Peh Cun seperti lopis yang terbuat dari ketan dan manis rasanya yang dibuat seperti gunungan setinggi dua meter. Saat upacara Peh Cun, gravitasi bumi, bulan, matahari dalam posisi tegak lurus (Kedaulatan Rakyat, 29 Mei 2009), sehingga telur dapat berdiri tegak karena ujung telur menantang langit dan ujung bawahnya seperti dilem pada papan. Perayaan Peh Cun menjadi momen budaya akulturasi Cina Jawa sehingga membuat ribuan orang menjadi tak ingin melewatkan acara tersebut. Acara yang dilakukan di pantai Parangtritis menjadi tradisi yang menarik wisatawan. Dalam perayaan Peh Cun juga ada atraksi laying-layang. Tradisi lain adalah Hari Raya Musim Rontok yang diselenggarakan tiap tanggal 15 bulan ke-8 tahun Imlek, acara tersebut dirayakan dengan makan kue khusus ‘Tong Ciu Pia” bersama-sama. Perayaan dilakukan pada bulan purnama paling besar. Semangat kebersamaan untuk menyelenggarakan promosi multikultural di Yogyakarta sangat menonjol. Oleh karena itu di Yogyakarta sering muncul event-event yang mampu memantapkan hubungan berbagai kultur yang berbeda. Semua itu tentu tidak lepas dari sistem keterbukaan yang dilakukan Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia dan Presiden Megawati menjadikan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut mendukung pluralisme dan keberagaman dalam kebhinekaan yang semakin mendapat tempat dihati masyarakat Indonesia. 2. Tradisi Cina Di Yogyakarta Dulu dan Kini Suatu fenomena menarik yang dapat diamati kalau perayaan imlek dahulu dihambat pemerintah yaitu dengan Inpres N0. 14 Tahun 1967. Padahal Imlek hanyalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Cina diseluruh dunia. Di Indonesia sudah dilaksanakan sejak zaman Belanda sampai keluarnya Inpres N0. 14 Tahun 1967, sehingga tradisi terseburt tereduksi dari masyarakat. Pada tahun 1980 keluar petunjuk pelaksana (juklak) dalam bentuk Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani oleh Mentri Dalam negeri dan kejaksaan Agung. SKB tersebut bahwa untuk menyelenggaran perayaan harus lapor. Makna semuanya adalah Imlek adalah acara keluarga tetapi public entertaintnya adalah Cap Gomeh yang jatuh tanggal 6 dan 7 tahun Imlek. Akan tetapi akibat dari pengekangan tersebut saat ini perayaan imlek justru dilakukan secara besar-besaran. Munculnya Keppres No. 6 Tahun 2000 muncul eforia besar dalam perayaan Imlek. Selama 32 tahun Orde Baru telah menghambat etnis Cina telah dicabur terutama berkaitan dengan perayaan imlek. Sekarang ini ketika Hari Raya Imlek telah dilakukan secara luas dan besar-besaran, mungkin banyak orang yang tidak tahu akan Imlek sendiri. Mal, pusat perbelajaan menjadi media untuk merayakan Imlek, sehingga hanya sekitar gemerlap perayaannya saja yang dikenal tanpa tahu sejarah perayaan Imlek di Indonesia. Kebebasan tersebut membawa fenomena baru seperti ketika gereja-gereja Katolik di Jakarta melakukan misa dalam budaya Cina. MUI Yogyakarta juga memberikan izin perayaan Imlek di masjid Syuhada, Kotabaru bagi orang Cina yang beraga Islam. Imlek sebenarnya memang bukan perayaan agama tetapi adalah tradisi, sehingga Imlek adalah milik masyarakat, tidak peduli apapun agamanya. Imlek saat ini menjadi penghilang perbedaan dan menciptakan kesetaraan. Perayaan pergantian tahun baru Imlek tahun 2559 di kota Yogyakarta berlangsung semarak yaitu dimulai dengan dengan sembahyang kepada Sang pencipta diakhiri dengan perayaan Cap Gomeh. Di Yogyakarta perayaan Imlek dipusatkan di 2 tempat yakni di Klenteng Poncowinatan dan Klenteng Gondmanan. Puncak acara dilakukan dengan doa bersama dilanjutkan makan bersama dan silaturahmi antar kerabat Makanan yang harus selalu ada lapis legit, kue nastar, kue semprit, kue mawar, manisan kolang-kaling. Di Klenteng Gondomanan juga ada pembacaan sutra-sutra suci Cing Kwang Ming dengan menyalakan lilin dan doa bersama. Juga membaca sutra-sutra suci Mi Lek Cing dan Cing Kang Cing. Selain itu tahun ini Imlek juga dilakukan kampus UGM dengan melibatkan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya. C. Simpul Akhir Kebudayaan etnis Cina di Indonesia telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya karena adanya berbagai peraturan negara. Pemerintah yang berkuasa dari Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi memberlakukan aturan yang berbeda terhadap perayaan pergantian tahun Imlek. Instruksi Presiden No. 14/1967 menjadikan perayaan Imlk sederhana karena aturan tersebut hanya membolehkan melakukannya dilingkungan keluarga dan tertutup sampai Presiden Abdurrahman Wahid mencabut aturan tersebut dengan Keputusan Presiden No 6/2000. Peraturan yang dikeluarkan Negara setelah menerima Agama Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia yang diakui Negara didukung dengan Keputusan Menteri Agama No. !3/2001 tertanggal 19 Januari 2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fluktuatif dan Presiden Megawati mengumumkan mulai 2003 Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak itulah seluruh kegiatan Imlek menjadi perayaan besar di Indonesia.. Di Yogyakarta menjadi perayaan yang melibatkan seluruh masyarakat sebagai bentuk penerimaan Imlek sebagai tahun baru yang di tunggu. Masyarakat mengenal akan tiba tahun baru, mulai dari kue keranjang sampai hujan terus menerus masa jelang pergantian tahundan segala pernak pernik Imlek. DAFTAR PUSTAKA Coppel, Charles A, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Hembing Wijaya Kusuma, Pembantaian di Muara Angke 1740, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 I. Wibowo, Retrospeksi dan Rekonstektualisasi Masalah Cina, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999 ______, Harga yang Harus Dibayar Sketsa Pergaulan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, 1986. Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1983. Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau Di Indonesia, Jakarta: Garba Budaya, 1998. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Schwatz, Adam A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s, Australia: Allen and Unwin, 1994. Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikslisme Rakyat di Jawa 1912-1926, judul asli An Age in motion: popular radicalism in Jawa, 1912-1926, Penerjemah Himar Farid, Jakarta: PT Utama Grafiti, 1997. Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, terjemahan Apri Dananto, Yogyakarta: Niagara, 2004. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Terjemahan Koran Majalah Windoro Adi T, “Angke, Sungai Darah pada Tahun 1740”, Kompas Jum’at 16 Februari 2007 “Festifal Musim Semi”, Majalah femina N0. 4/XXXVII. 22-28 Januari 2009. “ Perayaan Peh Cun Catat Dua Rekor Muri”. Kedaulatan Rakyat Jum’at 29 Mei 2009. “Tradisi Tionghoa untuk Warga”, Kompas, Jum’at 29 Mei 2009. Biodata Penulis: Dina Dwikuniarini, M.Hum, adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY.