KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 86 Pariwisata dan Pelestarian Seni Tradisi 87 INFORMASI, No. 2, XXXVI, Th. 2010. PARIWISATA DAN PELESTARIAN SENI TRADISI MENYONGSONG YOGYAKARTA PUSAT BUDAYA 2020 Oleh : H.Y. Agus Murdiyastomo ABSTRAK Yogyakarta merupakan kota yang mempunyai sejarah panjang terkait dengan keberadaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di kota ini terdapat banyak peninggalan sejarah dan budaya, baik berupa bangunan bersejarah maupun seni tradisi yang adiluhung. Namun seni tradisi khususnya tari keberadaannya kini semakin terdesak oleh sarana hiburan modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan pemerintah daerah dalam pelestarian dan pengembangan seni tradisi, mengkaji strategi pemerintah dalam pengembangan pariwisata serta kerjasama kelompok tradisi dengan pengelola pariwisata. Pada penelitian ini akan ditempuh cara penelitian dengan menerapkan prinsip-prinsip metode etnografi, untuk melihat seni tradisi atraksi wisata, dan latar belakang pelakunya. Di samping juga dilakukan studi dokumen untuk melihat kebijakan pemerintah dalam bidang pariwisata, khususnya yang berkaitan dengan atraksi wisata. Hasil penelitian menunjukan bahwa seni tradisi boleh dikata mulai jauh dari masyarakat pendukungnya, sehingga jika tidak ada keberpihakan dari pemertintah terhadap seni tradisi maka dalam satu atau generasi ke depan seni tradisi akan menjadi kebudayaan mati. Berbagai strategi yang ditempuh pemerintah antara lain melalui festival seni, pembukaan sekolah seni baik di tingkat menengah maupun perguruan tinggi, serta peningkatan industri pariwisata. Pelestarian seni tradisi khususnya tari justru muncul dari dunia pariwisata, yang memanfaatkan seni tradisi sebagai sajian wisata. Sayang penghargaan dunia pariwisata terhadap seniman tradisi sebagai pekerja seni masih jauh dari memadai, sehingga terkesan seni tradisi hanya dimanfaatkan dunia pariwisata. Kata kunci: Budaya, Seni Tradisi, Pariwisata, Yogyakarta A. PENDAHULUAN Yogyakarta merupakan kota yang mempunyai sejarah panjang terkait dengan keberadaan kraton Kasultanan Ngayogyakarta. Sehubungan dengan itu, di kota Yogyakarta banyak terdapat berbagai peninggalan sejarah dan budaya, maka wajarlah kiranya jika kota ini kemudian berkembang menjadi kota tujuan wisata, baik bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Keberadaan peninggalan sejarah seperti candi dari masa Hindu dan Budha, gedung-gedung dari masa kolonial, dan bangunan kraton lengkap dengan upacara adat dan pertunjukan seni tradisinya merupakan atraksi wisata yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Seni tradisi yang merupakan salah satu budaya masyarakat Yogyakarta keberadaannya mulai terancam dengan hadirnya teknologi informasi. Pertunjukan seni tradisi yang pada hakekatnya adalah sarana hiburan mulai terpinggirkan. Hal ini disebabkan penyelenggaraan pertunjukan seni tradisi harus melibatkan banyak orang, sehingga memerlukan biaya besar. Persoalan ini bertolak belakang dengan hiburan yang memanfaatkan perangkat keras Teknologi Informasi, yang menjadikan dunia tanpa batas. Teknologi informasi memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhannya termasuk hiburan hanya dengan mudah. Hiburan merangsek kehidupan melalui layar televisi, tayangan hiburan dari yang berbobot hingga yang sekedar menjual gosip seperti infotainment, telah menyusup ke dalam rumah dan menggempur kehidupan selama 24 jam. Akibatnya pertunjukan seni tradisi yang di negeri ini mempunyai sejarah panjang, mulai kembang-kempis hidup tidak matipun tidak. Disadari bahwa hidup-matinya seni tradisi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti perubahan situasi politik, dan ekonomi yang bermuara pada perubahan selera masyarakat penikmat seni (Sudarsono, 2002:1). Industri pariwisata kemudian seolah menjadi penyelamat keberadaan seni tradisi dari kepunahan. Industri pariwisata mampu “menjual” seni tradisi sebagai atraksi wisata, sehingga seni tradisi mampu bertahan dari gempuran dunia hiburan modern. Namun demikian secara ekonomis kehidupan seniman seni tradisi tidak juga meningkat sejalan dengan berkembangnya industri pariwisata. Dengan kata lain keberadaan industri pariwisata hanya memberi suntikan pada seni tradisi untuk sekedar bertahan hidup, dan harus rela dikerdilkan, demi hadirnya wisatawan. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Telah mencanangkan aksi menuju DIY Sebagai Pusat Budaya pada tahun 2020. Diharapkan pada tahun itu Yogyakarta juga mampu menjadi Daerah tujuan Wisata Terkemuka (Bappeda, 2006: 4), mungkin yang dimaksud terkemuka dapat diartikan menggeser Bali sebagai daerah tujuan wisata. Dinas Pariwisata Seni dan Budaya dengan segenap jajarannya telah mulai berbenah diri untuk menyongsong tahun itu. Namun demikian apalah artinya DIY sebagai pusat budaya, dan daerah tujuan wisata utama di Indonesia, jika hal itu tidak memberi manfaat bagi penduduknya, khususnya para seniman seni tradisi, yang selama ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam industri pariwisata. Perubahan memang tidak dapat ditolak, tetapi akankah bangsa ini rela budayanya mati, digilas oleh perubahan akibat dunia yang mengglobal, sementara budaya adalah identitas dari suatu bangsa. Dalam rangka menjawab pertanyaan persoalan itu maka kajian ini akan dilakukan dengan menerapkan metode etnografi, khususnya Developmental Research Sequence (Spradley, 1997: 57). Pemanfaatan metode ini di dasarkan pada pertimbangan yang akan diteliti adalah persoalan budaya, khususnya seni tradisi, dalam hubungannya dengan industri pariwisata. B. SENI TRADISI DAN PERKEMBANGANNYA Seni tidak pernah lepas dari masyarakat pendukungnya, sementara seni merupakan bagian dari kebudayaan, bahkan boleh dikata kesenian adalah ungkapan kreatif dari kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian masyarakatlah yang mendukung kebudayaan dan juga tentunya kesenian yang merupakan bagian penting dari kebudayaan itu. Akan tetapi masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok manusia, sehingga terdapat berbagai kelompok, yang masing-masing mengembangkan kreatifitasnya sendiri. Wajar jika kemudian muncul berbagai bentuk kesenian, dengan berbagai gaya. 1. Seni Tradisi Istana Seni tradisi menurut Soedarsono pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu seni istana (Court art) dan seni kerakyatan (folk art). Seni istana didukung oleh masyarakat golongan bangsawan, sementara seni kerakyatan didukung oleh masyarakat golongan rakyat jelata (Sudarsono, 2002: 3). Seorang antropolog Robert Redfield membedakan seni tradisi menjadi tradisi agung yang didukung oleh masyarakat kota, dan tradisi kecil yang didukung oleh masyarakat petani (Umar Kayam, 1981: 39). Kedua pendapat tersebut mempunyai kesamaan, masyarakat kota dapat disejajarkan dengan golongan bangsawan, sedang rakyat jelata dapat disejajarkan dengan masyarakat petani. Dari sisi ekonomi dua kelompok ini tentu berbeda, golongan bangsawan merupakan golongan yang “berada”, sementara golongan rakyat jelata, merupakan golongan yang “tidak berada”. Latar belakang itu tentu sangat berpengaruh pada perkembangan seni itu sendiri. Sejak jaman penjajahan Belanda istana-istana di Jawa telah menjadi pusat budaya, termasuk kerajaan Mataram, yang kemudian terbagi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kedua kerajaan tersebut menjadi dua pusat budaya dan tradisi Jawa yang sama-sama berakar dari budaya Mataram, tetapi masing-masing mengembangkan seni budaya sendiri. Demikian pula dalam hal pengembangan seni tari, Kasunanan Surakarta berkembang ke jalur romantic, sementara Kasultanan Yogyakarta lebih pada jalur klasik. Di Yogyakarta, seni tradisi khususnya tari Klasik berkembang di dalam tembok istana, (Court art) penarinya adalah putra-putri para bangsawan, dan para abdidalem. Tari tradisi yang berkembang di pusat kerajaan dianggap sebagai budaya tinggi, adiluhung, yang terpelihara dengan baik, Sultan sebagai raja bertindak sebagai patron, dan didukung oleh para bangsawan dan abdi dalem. Tari klasik sebagai produk seni istana tidak dapat lepas dari lingkungan sosial istana, ia sarat dengan nilai-nilai, etika, dan pandangan hidup kaum bangsawan Jawa. Sejak Sultan HB I hingga Sultan HB VIII tari klasik dikembangkan dengan komposisi Wayang Wong yang ceriteranya bersumber dari epos Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukan Wayang Wong di Kasultanan Yogyakarta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan HB VIII, yang selama pemerintahannya (1921 – 1939) tercatat telah 11 kali mementaskan Wayang Wong secara kolosal (Sudarsono, 1984: 29-30). Pentas tersebut melibatkan 400 sampai 500 penari, dalam durasi pertunjukan antara 2 sampai 4 hari nonstop. Sebagai pelindung dan pengembang tari klasik Sultan HB VIII tampaknya memang tidak memikirkan biaya besar yang harus dikeluarkan. Hal ini pertama disebabkan pertunjukan Wayang Wong merupakan ritual kenegaraan yang dianggap mampu memperkuat legitimasi kekuasaannya sebagai raja, kedua dukungan dana dari pemerintah kolonial, bagi Belanda dukungan ini dilakukan untuk menjaga hubungan dengan pihak penguasa lokal. Dukungan pada kegiatan budaya kegemaran Sultan bagi pejabat Belanda justru dapat dipakai untuk mendekatkan diri dengan pribadi Sultan, dukungan selalu akan mengalir selama kepentingan politiknya tidak terganggu (Sumandyo Hadi, 1991: 101). Seni istana ini kemudian berkembang di luar tembok istana. Hal ini diawali oleh prakarsa dari Jong Java yang didukung oleh beberapa kerabat kraton, maka atas ijin dari Sultan HB VII, maka berdirilah Kridha Beksa Wirama (KBW). Masyarakat umumpun kemudian bisa berlatih menari dengan berdirinya organisasi ini, sehingga tari tradisi keraton secara kuantitas, berkembang pesat, dan secara kualitaspun dapat dipertanggungjawabkan, karena para pengajar di KBW adalah para ahli tari dari kraton. Sultan sebagai raja juga merupakan pelindung dan penyandang dana bagi perkembangan dan keberlangsungan seni tari, hal ini dapat dilihat dari berbagai pentas besar tari klasik tradisi kraton selalu dibiayai oleh Sultan, dan ini telah berlangsung sejak Sultan HB I, yang kebetulan juga seorang pencipta tari. Demikian pula dengan tari yang berkembang di luar kraton, Sultan HB VII tidak hanya bertindak sebagai pelindung organisasi tetapi juga penyumbang terbesar dalam pementasan tari. Perkembangan tari klasik di luar istana semakin nyata, ketika Sultan HB IX berkuasa, seiring dengan perkembangan situasi politik, dan Bangsa Indonesia berhasil mencapai kemerdekaannya, maka situasi itu berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya. Istanapun semakin terbuka bagi masyarakat umum untuk belajar menari, atau menonton pertunjukan yang digelar. Tari klasik kemudian semakin menyebar di luar tembok istana, bahkan ke seluruh Nusantara. Perkembangan positif itu semakin nyata ketika Sultan HB X naik tahta, Sultan terakhir ini mempunyai komitmen terhadap pelestarian dan perkembangan kebudayaan. Komitmen itu disampaikannya dalam pidato pengukuhannya sebagai Sultan HB X. Dampak dari perkembangan itu, terjadi pula perubahan nilai, yang semula tari adalah ritual untuk kebesaran raja, kemudian lebih menjadi sarana hiburan walau pada repertoar tertentu nilai sakral masih tetap ada. 2. Seni Tradisi Kerakyatan Seni tari klasik kraton telah mencapai puncaknya, dan halus. Di sisi lain seni kerakyatan yang dikembangkan oleh rakyat kebanyakan pada umumnya berkembang di pedesaan dianggap belum selesai dan kasar, seringkali hanya merupakan imitasi dari seni istana yang dianggap budaya baku (Kuntowijoyo,1999:32). Dalam hal mengimitasi seni istana, menunjukan bahwa rakyat kecilpun sebenarnya mempunyai ketertarikan terhadap seni tersebut. Namun demikian karena mereka hanya meniru saja, tanpa petunjuk yang detail baik moif gerak, maupun tekniknya, maka motif itu muncul seadanya. Begitu pula dalam hal busana jelas tampak imitasi itu, mereka menggunakan bahan yang lebih murah dan terjangkau. Seni tradisi kerakyatan muncul akibat adanya dikotomi kota dan desa, golongan bangsawan dan golongan rakyat jelata. Kota adalah pusat, sedang desa tidak lebih hanya daerah pinggiran saja, wajar jika rakyat jelata atau wong cilik sering terpinggirkan dalam pergaulan sosial, dan mengembangkan kreatifitasnya sendiri. Pada umumnya mereka mengimitasi kreatifitas kota, dan diadaptasikan dengan lingkungannya, sehingga dengan demikian perkembangan terjadi, tetapi bersifat sintagmatis, yaitu hanya terjadi perubahan gaya, atau variasi saja, sedangkan polanya tetap tidak berubah (Kuntowijoyo,1999:32). Sebagai contoh di Jawa banyak ditemukan kelompok-kelompok Jathilan, yang jika dilihat dari jenis gerak tari dan busananya jelas merupakan tiruan dari seni istana, dari satu daerah dan daerah lain variasi gerak memang berbeda-beda, tetapi polanya sama. Tari tradisi kerakyatan di Jawa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu, jenis Jathilan dan Reog, Tayub, Slawatan, dan Dramatari rakyat (Sumandyo Hadi: 104). Keempat jenis seni kerakyatan tersebut mempunyai ciri sederhana, teknis tidak terlalu rumit, bersifat spontan, dan biasanya berkaitan dengan ritual. Ketiga cirri yang disebut didepan dapat ditunjukan dengan gerak-gerak ritmis mengikuti iringan, seperti dalam pentas Jathilan. Ciri terakhir dapat dilihat dari kesempatan pentas yang biasanya terkait dengan upacara tertentu seperti meminta hujan, permohonan kesuburan, dan menghadirkan roh. Seperti halnya tari klasik, tari tradisi kerakyatan juga mengalami pergeseran fungsi, sesuai dengan perkembangan jaman, yang ditandai semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan orang membuat hujan buatan, inovasi di bidang pertanian dengan ditemukannya bibit unggul dan pupuk penyubur tanah, maka tari tradisi yang semula berfungsi untuk ritual dalam rangka meminta hujan dan kesuburan, maka kini fungsi itu boleh dikata telah bergeser. Pementasan seni tradisi lebih bersifat hiburan, pelestarian, dan sajian wisata, daripada ritual upacara. Pergeseran fungsi seni tari tradisi, baik seni istana maupun seni kerakyatan, dari fungsi ritual menjadi pseudoritual, terjadi karena perubahan sosial pada masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang sebelumnya adalah masyarakat pengguna air (hidrollic society) bergeser menuju masyarakat industri. Perubahan ini tentu membawa konsekwensi karena dengan sendirinya masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat industri. Sebagai contoh yang semula masyarakat mempunyai waktu luang pada saat penantian setelah masa tanam, maka berbeda dengan masyarakat industri yang selalu dikejar target, sehingga praktis waktu luang tidak ada lagi. Penyesuaian itu tentu berpengaruh pada gaya hidup masyarakat, dan pada akhirnya berubah pula gaya berkeseniannya (Endang Caturwati, 2004: 5). Bersamaan dengan hal tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap ritual mulai terkikis, maka bergeser pula fungsi seni khususnya seni tari yang semula untuk kepentingan ritual menjadi sekedar tontonan dan hiburan. Tari tradisi sebagai hiburan akhirnya tidak tampil utuh, ia harus menyesuaikan selera masyarakat, yang menginginkan segala sesuatu serba instan, cepat, dan efisien. Oleh sebab itu kaidah-kaidah pertunjukan tari direduksi demi selera masyarakat penikmat seni tari. Terlebih ketika kepentingan ekonomi mulai muncul, maka seni tari menjadi “barang dagangan”, dan agar laku dijual maka seni tari harus mengikuti selera pasar. Seni tari tradisi sebagai hiburan dewasa ini mempunyai pesaing dari media elektronik, yang sejak pagi hari hingga pagi berikutnya membombardir rumah kita dengan berbagai sajian hiburan melalui layar televisi. Melalui media ini masyarakat dapat memilih program hiburan yang ditawarkan stasiun televisi. Lebih dari itu, teknologi informasi yang telah berkembang begitu cepat, setiap orang dapat mencari hiburan dari seluruh penjuru dunia melalui jaringan internet. Situasi itu semakin meminggirkan peran seni tradisi sebagai sarana hiburan. Melalui media elektronik maupun internet hiburan yang dibutuhkan dapat dengan mudah diperoleh, murah, dan tidak repot. Lain halnya dengan hiburan seni tradisi, untuk menontonnya perlu waktu khusus, dan bila menyelenggarakan sendiri biayanya sangat mahal dan harus melibatkan banyak orang. Dengan demikian seni tradisi semakin jauh dari masyarakatnya, sehingga semakin lama seni tradisi yang adiluhung itu semakin tidak dikenal oleh masyarakat generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah mengambil langkah-langkah pelestarian. Dengan merangkul para pecinta seni tradisi, dan penyandang dana, pemerintah berusaha menyelenggarakan pementasan seni tradisi dengan harapan seni tradisi tidak mati, dan ada apresiasi dari generasi muda. Selain itu pemerintah juga membuka sekolah seni tradisi, baik di tingkat sekolah menengah maupun tingkat perguruan tinggi, dengan demikian melalui jalur pendidikan ini diharapkan akan tumbuh para pemikir, dan pelaku seni tradisi. C. YOGYAKARTA SEMESTA 2020 Yogyakarta lahir sebagai dampak perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dan Pangeran Mangkubumi memperoleh sebagian kerajaan Mataram, yang kini dikenal dengan Kasultanan Yogyakarta. Keberadaan Keraton Kasultanan Yogyakarta inilah yang kemudian menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu pusat sekaligus benteng budaya Jawa di samping Kasunanan Surakarta. Sebagai pusat budaya wajar jika Yogyakarta banyak didatangi wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan Mancanegara. Sebagai Daerah Tujuan Wisata utama di Indonesia yang kaya akan objek wisata baik budaya, alam, sejarah, dan belanja, jumlah wisatawan mancanegara dan lama tinggalnya belum mampu menyamai Bali, bahkan kini dari jumlah wisatawan Yogyakarta dilampaui DKI, sehingga kini Yogyakarta berada di urutan ketiga. Berangkat dari kenyataan tersebut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta bertekad untuk menjadikan Yogyakarta sebagai pusat budaya, dan pusat pariwisata. Dalam rangka mewujudkan keinginan itu, maka pemerintah melalui Bapeda mengumpulkan para akademisi, budayawan, dan pengusaha di bidang industri pariwisata, untuk berfikir bersama dan merumuskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dari pembicaraan itu dicanangkanlah Yogyakarta Semesta 2020, artinya diharapkan Yogyakarta menjadi pusat budaya Jawa di belantara multikultural, dan menjadi pusat pariwisata Indonesia. Beberapa indikator keberhasilan dalam industri pariwisata adalah banyaknya jumlah wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata dan lamanya mereka tinggal di daerah tujuan wisata tersebut. Dengan semakin lamanya mereka tinggal di daerah kunjungan wisata berarti belanja wisata yang akan dikeluarkan oleh wisatawan akan menjadi lebih besar. Hal ini juga berarti akan memperbesar pemasukan uang ke negara serta ke pengusaha-pengusaha penjual jasa dan produk-produk wisata lainnya. Di Indonesia, Bali sebagai pintu gerbang utama pariwisata di Indonesia telah cukup berhasil dalam mengemas industri pariwisatanya, sementara Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata ketiga setelah Bali dan DKI belum mampu meraih jumlah pengunjung yang tinggi dengan waktu tinggal yang lama. Pada umumnya Yogyakarta hanya merupakan wilayah kunjungan transit saja, terutama bagi wisatawan asal Jepang. Setelah beberapa hari di Bali, dalam perjalanan pulang mereka mampir ke Yogyakarta melakukan tour kemasan ke Borobudur dan Prambanan, dilanjutkan dengan makan siang dan kembali ke Bandara Adisucipto untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta (Sudarsono, 1999: 45). Dengan lama tinggal yang singkat ini, maka dana yang berhasil diserap dari wisatawan tentunya juga tidak terlalu besar. Dengan melihat pengalaman industri pariwisata di Bali atau bahkan di Hawaii, maka bila Yogyakarta ingin menanggapi kehadiran wisatawan asing secara sungguh-sungguh maka harus dihasilkan produk-produk pertunjukan wisata sebagaimana yang sudah cukup berhasil dilakukan di Bali. Pertunjukan wisata tersebut sifatnya harus penuh variasi, singkat, padat, memiliki daya tarik tinggi, dan tidak mahal. Salah satu aspek dari kebudayaan Indonesia yang menarik minat wisatawan asing adalah kesenian tradisional dan dalam hal ini Yogyakarta tentu saja dapat diandalkan.Yogyakarta sendiri, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, merupakan wilayah dengan kekayaan seni tradisi dan objek wisata yang luar biasa banyaknya. Potensi inilah yang perlu digarap lebih jauh sehingga bisa menarik dan bahkan menahan agar wisatawan bisa kerasan tinggal di kota budaya ini. Objek-objek wisata seni pertunjukan di Yogyakarta antara lain seni gamelan, wayang kulit, wayang golek, dan seni tari. Banyak usaha yang dapat dilakukan dan sebenarnya juga telah dilakukan oleh seniman-seniman Yogyakarta untuk menggarap seni pertunjukannya sebagai seni wisata, misalnya pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan, Hotel Ambarukmo, Yayasan Agastya, Mardawa Budaya, dan sebagainya. Kemasan wisata pertunjukan ini dibuat dengan durasi yang singkat agar wisatawan tidak merasa bosan. Berbagai strategi dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan dari industri pariwisata, terutama upaya-upaya untuk memperpanjang masa tinggal wisatawan asing di Yogyakarta. Berikut ini beberapa saran yang dapat disampaikan: 1. pembangunan tempat menginap, hotel, motel, atau guest house dengan citra tradisional, misalnya rumah joglo dengan berbagai pelayanannya yang juga bersifat tradisional. 2. pembenahan paket-paket wisata kemasan yang disesuaikan dengan selera wisatawan 3. perbaikan pelayanan paket-paket wisata sejarah, mengingat Yogyakarta merupakan daerah dengan berbagai peninggalan sejarah yang banyak, misalnya Candi Borobudur, Mendut, Prambanan, Boko, Sari, Sewu, Beteng Vredeburg, Monumen Yogya Kembali, dan sebagainya. 4. pembuatan paket-paket ke pusat-pusat kerajinan rakyat seperti Kasongan (kerajinan gerabah), Bantul (kerajinan batik di Imogiri dan Pandak), Kotagede (kerajinan perak), dan lain-lain. 5. pembuatan paket tour museum, misalnya museum batik, museum ulan sentanu, dan sebagainya. 6. paket wisata andhong ke objek-objek wisata di dalam beteng, dan dilanjutkan ke dalam keraton. 7. paket wisata alam ke berbagai daerah, seperti pantai-pantai di Yogyakarta: Parangtritis, Sundak, Krakal, Kukup, Samas, dan lain-lain. 8. paket seni pertunjukan rakyat, seperti pertunjukan wayang orang, wayang golek, seni tari 9. paket seni keraton, misalnya tari bedhaya, dan sebagainya. 10. membuat paket wisata untuk seluruh objek wisata di Yogyakarta misalnya selama satu minggu. 11. peningkatan promosi wisata khusus wilayah Yogyakarta baik di daerah-daerah di Indonesia maupun di mancanegara dengan menyertakan calender of events of Yogyakarta. 12. penyediaan fasilitas umum yang nyaman dan memadai sehingga wisatawan menjadi semakin kerasan untuk tinggal lebih lama. D. KESIMPULAN Seni tradisi khususnya khususnya pertunjukan tari mengalami masa kejayaan pada tahun 1960, namun setelah itu karena pengaruh situasi ekonomi masyarakat yang buruk pertunjukan seni tradisi mengalami kemerosotan. Kelompok-kelompok profesional yang siap pentas setiap malam kini hanya tersisa tiga kelompok dan itupun tersebar di tiga kota yaitu Semarang, Surakarta, dan Jakarta. Lebih parah dari itu keadaannya kini panggung pertunjukan wayang wong tidak lagi ramai dikunjungi oleh penonton. Kelompok-kelompok ini tidak dapat lagi mengandalkan pendapatan dari tiket masuk, walau sekedar untuk menutup biaya produksi. Buruknya perekonomian masyarakat, tingginya biaya produksi, dan semakin sempitnya waktu yang dimiliki oleh masyarakat, berdampak langsung pada pengetahuan masyarakat tentang seni tradisi yang sering dibanggakan sebagai seni yang adiluhung. Seni tradisi semakin jauh dari masyarakat pendukungnya, dan semakin tidak dikenal, sehingga tidak sayang apalagi menghargai. Seni tradisi menjadi budaya yang “setengah mati”, karena pendukungnya telah berpaling pada seni yang lebih murah dan instan, yang dapat diakses hanya dengan menggunakan kotak ajaib yang disebut televisi. Stasiun televisi dengan beranekaragam program hiburan menyerbu setiap rumah tangga sejak pagi buta hingga pagi berikutnya tiba. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah agar seni tradisi yang adiluhung, tidak punah. Salah satu cara yang ditempuh yaitu melalui festival seni yang dilakukan baik di Yogyakarta, maupun di Bali. Sekolah seni dibuka baik tingkat menengah maupun tingkat perguruan tinggi. Pariwisata digalakan dan diharapkan mampu menampung aktifitas seniman seni tradisi sebagai penyaji atraksi wisata. Keadaan di atas menjadi fenomena tersendiri karena posisi Yogyakarta sebagai pusat budaya dan seni. Yogyakarta Semesta merupakan konsep untuk mencapai daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Dengan berkembangnya industri pariwisata diharapkan Yogyakarta mampu mempertahankan kekhasan budaya dan seni tradisi yang dimiliki, dan mengembangkannya sesuai dengan jamannya, sehingga seni tradisi tetap eksis di era global ini. Pariwisata di satu sisi memang menjadi juru selamat dari kepunahan seni tradisi, karena seni tradisi diperlukan oleh industri pariwisata. Akan tetapi apalah artinya Yogyakarta Semesta di tahun 2020, dan Yogyakarta menjadi daerah tujuan wisata terkemuka, bahkan juga menjadi pusat budaya, jika para seniman seni tradisi tidak mampu hidup dari karya seninya. DAFTAR PUSTAKA Brandon, James R., Theatre in Southeast Asia, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1967 Endang Caturwati, Seni Dalam Dilema Industri, Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 2004. Hersapandi dan Begawan Ciptoning, Prambanan Menggugat, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000 Kodhyat, Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Grasindo, 1996. Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Soedarsono, The State Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press, 1984 __________, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, Bandung: MSPI., 1999. __________, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjahmada Unversity Press, 2002 Spillane, James J., “Masa Depan Pariwisata Di Yogyakarta dari NATO ke WWW” makalah dalam seminar Impulse, Yogyakarta: Karta Pustaka, 2007. Spradley, James P., Metode Etnografi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997. Sumandyo Hadi. “Perkembangan Tari Tradisional : Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya” dlm. Soedarso, ed. Perkembangan Kesenian Kita,Yogyakarta : BP ISI Yogyakarta,1991 Tontje Tnunay, Yogyakarta Potensi Wisata, Yogyakarta : t.p., 1991. Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat ( Jakarta : Sinar Harapan, 1981), hlm. 39. Widya Nayati, “Penguatan Budaya Masa Depan : Yogya Yang Dinamis dan Berjati Diri” makalah dalam Seminar Menuju DIY Pusat Budaya, 2006. Biodata Penulis: H.Y. Agus Murdiyastomo, M.Hum, adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY.