KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 110 Mengukur Keberhasilan Koperasi 111 INFORMASI, No. 2, XXXVI, Th. 2010. MENGUKUR KEBERHASILAN KOPERASI Oleh: Sugiharsono Abstrak Melalui Kementerian Koperasi, pemerintah era reformasi telah melakukan reorganisasi koperasi. Dengan reorganisasi koperasi ini ternyata tidak sedikit koperasi yang terpaksa dibubarkan, karena tidak lagi memenuhi persyaratan atau tdak layak lagi untuk dihidupkan. Namun demikian, di antara sekian banyak koperasi yang tumbuh di Indonesia, ada pula beberapa koperasi yang sempat mencapai keberhasilannya dalam memerankan fungsinya sebagai wadah gerakan ekonomi rakyat Indonesia. Untuk koperasi yang berhasil ini, perlu dikaji faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilannya. Di samping itu perlu juga diketahui indikator-indikator apa yang dapat digunakan menilai atau mengukur keberhasilan koperasi, serta kriteria untuk menentukan tingkat keberhasilan koperasi tersebut. Atas dasar perlunya mengetahui tingkat keberhasilan koperasi, tulisan ini akan mencoba mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan koperasi, serta indikator-indikator yang digunakan untuk menilai/mengukur keberhasilan koperasi dan kriteria untuk menentukan tingkat keberhasilan koperasi. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu landasan bagi para pejabat yang terkait dengan koperasi untuk dapat melakukan penilaian/ pengukuran terhadap keberhasilan (kesehatan) koperasi. Informasi mengenai tingkat keberhasilan (kesehatan) koperasi ini tentu sangat penting dan berguna bagi stake holder koperasi, khususnya yang menjalin kerjasama dengan koperasi. Kata Kunci: keberhasilan koperasi, indikator keberhasilan, dan kriteria keberhasilan A. PENDAHULUAN Pembangunan koperasi di Indonesia sejak pemerintahan orde baru hingga pemerintahan reformasi saat ini tidak pernah berhenti. Melalui berbagai kebijakan serta dukungan manajemen dan finansial, pemerintah telah berupaya membina dan mengembangkan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat. Harapannya, koperasi bisa benar-benar tumbuh setara dengan pelaku kegiatan ekonomi yang lain, seperti BUMS dan BUMN. Namun kenyataan menunjukkan bahwa hasil pembangunan tersebut belum sesuai dengan harapan. Bahkan dibanding dengan pelaku kegiatan ekonomi yang lain, peran koperasi dalam menunjang perekonomian nasional masih sangat kecil. Koperasi baru menyumbangkan sekitar 4% produk nasional, sedangkan BUMS sekitar 76%, dan BUMN sekitar 20%. Pada era pemerintahan reformasi, melalui kementerian koperasi pemerintah telah melakukan reorganisasi koperasi. Banyak koperasi yang terpaksa dibubarkan, karena tidak lagi memenuhi persyaratan atau tdak layak lagi untuk dihidupkan. Namun demikian, di antara sekian banyak koperasi yang tumbuh di Indonesia, kiranya ada pula beberapa koperasi yang sempat mencapai keberhasilannya dalam memerankan fungsinya sebagai wadah gerakan ekonomi rakyat. Untuk koperasi yang berhasil ini, kiranya perlu dikaji faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilannya. Di samping itu perlu juga diketahui indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan koperasi tersebut, dan cara menentukan tingkat keberhasilan tersebut. Berdasarkan kenyataan itu, tulisan ini akan mencoba mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan koperasi, serta indikator-indikator dan cara memngukur keberhasilan koperasi tersebut. B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KOPERASI Sejarah telah membuktikan bahwa pada era pemerintahan orde lama, perkembangan dan keberhasilan koperasi di Indonesia pada hakekatnya dipengaruhi oleh tiga usur, yaitu (1) adanya semangat bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penderitaan dan kemiskinan; (adanya sikap kebersamaan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi; dan (3) adanya kebijakan pemerintah untuk memberikan fasilitas kemudahan bagi koperasi (Kartasapoetra, 2001: 85-87). Pada era pemerintahan orde lama, ketiga unsur tersebut sangat positif sehingga mendukung perkembangan dan keberhasilan koperasi di Indonesia. Perkembangan dan keberhasilan itu nampak dari semakin meningkatnya jumlah koperasi, jumlah angota, dan jumlah modal koperasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 PERKEMBANGAN KOPERSI DI INDONESIA TAHUN 1939-1958 TAHUN JUMLAH KOPERASI JUMLAH ANGGOTA JUMLAH MODAL JUMLAH CADANGAN 1939 574 52.216 £ 580.671 £ 351.544 1958 11.863 1.941.719 Rp 918.175.573,- Rp 183.884.203,- Sumber: Kartasapoetra (2001: 95) Perkembangan tersebut ternyata lebih banyak pada aspek kuantitatif saja. Secara kualitatif belum bisa diketahui. Perkembangan dan keberhasilan koperasi pada masa orde lama itu juga terjadi pada masa pemerintahan orde baru. Menurut Asnawi Hasan (1990:312), keberhasilan koperasi di Indonesia pada era pemerintahan orde baru terlihat dari: 1. Terciptanya iklim usaha yang lebih baik bagi dunia usaha koperasi. 2. Semakin meluasnya jangkauan dan mutu layanan koperasi kepada anggota dan masyarakat pada umumnya. 3. Semakin kuatnya jaminan kelangsungan hidup dan pertumbuhan koperasi. 4. Meningkatnya pembinaan dan pengembangan organisasi dan menajemen koperasi. 5. semakin meluasnya bidang usaha koperasi, serta meningkatnya volume usaha koperasi. 6. Meningkatnya kemampuan permodaan koperasi. 7. Semakin meningkatnya kemampuan koperasi menyerap kredit dan menyalurkannya kepada anggota/masyarakat. 8. Meningkatnya jumlah simpanan anggota, terutama simpanan wajib. 9. Dirintisnya pembentukan lembaga keuangan koperasi, seperti bank koperasi dan koperasi asuransi. Perkembangan dan keberhasilan koperasi pada era pemerintahan orde baru itu pada dasarnya juga didukung oleh semangat kebersamaan di kalangan orang-orang koperasi serta adanya dukungan fasilitas dari pemerintah. Dukungan pemerintah itu berupa bantuan keuangan dan kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan koperasi. Lagi-lagi, perkembangan koperasi itu juga masih terbatas pada perkembangan kuantitatif saja. Perkembangan itupun dianggap terjadi ketika dibandingkan dengan keadaan koperasi sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan perkembangan badan usaha yang lain (BUMS dan BUMN), secara kuantitatif maupun kualitatif, koperasi belum bisa dikatakan berhasil. Hal itu cukup wajar, karena sampai saat ini, organisasi usaha koperasi masih ditangani (dikelola) oleh SDM yang tidak atau kurang profesional. Berbeda dengan SDM pada BUMN dan BUMS yang sebagian besar merupakan SDM profesional, baik dari latar belakang pendidikannya maupun keahliannya. Sementara itu pada era pemerintahan reformasi, perkembangan dan keberhasilan koperasi memang belum bisa dinilai secara nyata. Namun demikian pemerintah melalui para pakar dan pejabat koperasi telah mengambil kebijakan untuk mendukung pembangunan koperasi. Dukungan tersebut diujudkan dalam bentuk kebijakan pembenahan kelembagaan koperasi dan penyediaan fasilitas kredit lunak untuk permodalan koperasi. Koperasi-koperasi yang dipandang tidak layak hidup dibubarkan/dilikuidasi, sedangkan yang memiliki prospek untuk berkembang diberikan fasilitas kredit permodalan. Konsekuensi dari kebijakan ini, pemerintah telah menyediakan dana bantuan kredit bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) termasuk koperasi, lebih dari Rp 5 triliun. Di samping itu, untuk koperasi-koperasi ini juga disediakan fasilitas pelatihan manajemen bagi SDMnya (pengelolanya). Pemerintah sangat menyadari bahwa kualitas SDM pada koperasi masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu peningkatan mutu SDM koperasi melalui berbagai pendidikan dan pelatihan mutlak diperlukan. Di samping itu, disadari pula bahwa sistem manajemen yang sesuai dengan ideologi koperasi juga belum jelas, sehingga koperasi cenderung dikelola sebagaimana badan usaha yang lain. Berdasarkan pengalaman sejarah dan realita kehidupan koperasi yang ada, dapat dikatakan bahwa keberhasilan koperasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal koperasi. Faktor internal antara lain meliputi: (1) kualitas SDM (pengelola) koperasi termasuk anggotanya; (2) sistem manajemen koperasi; (3) kemampuan keuangan koperasi; dan (4) budaya organisasi koperasi. Sementara itu, faktor eksternal antara lain meliputi: (1) iklim perekonomian, khususnya persaingan antara pelaku kegiatan ekonomi; (2) kebijakan pemerintah di bidang perkoperasian; dan (3) kepedulian masyarakat terhadap koperasi. Para pakar koperasi sependapat bahwa faktor internal, khususnya SDM (manajer koperasi) merupakan faktor dominan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan koperasi. Mereka menyebutnya bahwa manajer koperasi merupakan kunci sukses (key succes) bagi koperasi. Kualitas SDM koperasi dan kemampuan keuangan koperasi cenderung rendah. Sistem manajemen yang sesuai dengan ideologi koperasi belum jelas. Sementara itu, persaingan dunia bisnis yang berat bagi koperasi, mengingat daya saing koperasi yang relatif sangat lemah dibanding dengan badan usaha yang lain. Kepedulian masyarakat terhadap koperasi juga cenderung rendah. Masyarakat cenderung berinteraksi ekonomi dengan badan usaha non koperasi. Hanya kebijakan pemerintah saja yang mendukung kemajuan koperasi. Akibatnya tingkat keberhasilan koperasi cenderung rendah. Meskipun demikian, tingkat keberhasilan koperasi ini tetap perlu dikaji, agar dapat diperoleh gambaran yang akurat tentang keberhasilan koperasi tersebut. Selanjutnya hasil kajian ini bisa digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan dalam rangka pembangunan koperasi. C. INDIKATOR KEBERHASILAN KOPERASI Para pakar organisasi sependapat bahwa suatu organisasi dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya. Dengan kata lain, keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat dari tingkat pencapaian tujuan organisasi tersebut. Semakin tinggi tingkat pencapaian tujuan, semakin tinggi pula tingkat keberhasilan organisasi tersebut, atau sebaliknya. Tingkat keberhasilan organisasi ini pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai indikator yang ditetapkan dalam organisasi tersebut, misalnya kepuasan anggota, kesejahteraann anggota, perkembangan jumlah anggota, permodalan, dan perkembangan usahanya (volume usaha, pangsa pasar, harga saham, dan laba/keuntungan). Koperasi sebagai suatu organisasi juga memiliki tujuan, baik secara nasional maupun individual, yang akan dicapai melalui kegiatannya. Secara nasional, tujuan koperasi yaitu: memajukan kesejahteraan anggota khususnya, dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. (UU No. 25 tahun 1992, pasal 3). Tujuan tersebut pada hakikatnya merupakan tujuan yang idealis. Untuk menuju ke pencapaian tujuan tersebut muncullah tujuan operasional yang disesuaikan dengan kondisi koperasi masing-masing secara individual. Adapun tujuan operasional yang ingin dicapai oleh koperasi, pada umumnya menyangkut tujuan ekonomi, yaitu meningkatnya tingkat kesejahteraan anggota maupun masyarakat secara umum. Tujuan itu harus dicapai dengan suatu kegiatan usaha (perusahaan) Oleh karena itu, ketercapaian tujuan ekonomi ini sangat ditentukan oleh keberhasilan koperasi dalam mengelola perusahaannya. Dengan kata lain, tingkat ketercapaian tujuan ekonomi ini akan dapat menggambarkan tingkat keberhasilan koperasi tersebut. Dalam hubungannya dengan keberhasilan koperasi, Ropke dalam Kasmawati (2003; 57) menyatakan bahwa konsep keberhasilan organisasi bersifat relatif. Namun demikian keberhasilan usaha suatu organisasi ekonomi (termasuk koperasi) selalu mengimplikasikan pendapatan yang harus lebih besar daripada pengeluarannya. Dalam konteks koperasi sebagai suatu organisasi ekonomi, keberhasilan usahanya dapat diukur dengan sisa hasil usaha (SHU)nya. Selanjutnya Hanel (1985:106) menyatakan bahwa keberhasilan koperasi dapat dilihat dari tiga indikator yaitu: (1) keberhasilan dalam bisnis (business success), (2) keberhasilan dalam keanggotaan (members success), dan (3) keberhasilan dalam pembangunan (development success). Selanjutnya Disman dalam Kasmawati (2003: 59) menetapkan lima indikator untuk menilai keberhasilan koperasi/KUD, yaitu: (1) besarnya volume atau omset usaha, (2) jumlah SHU yang dicapai, (3) jumlah modal , (4) jumlah pelanggan (anggota dan bukan anggota) yang dilayani, (5) deversifikasi usahanya, dan. Harsono (1985:109) dalam disertasinya juga menggunakan lima indikator untuk mengukur keberhasilan koperasi, yaitu: (1) rasio SHU dengan volume usaha, (2) perkembangan jumlah anggota, (3) volume usaha, (4) deversifikasi/ variasi usaha, dan (5) perkembangan jumlah modal. Sementara itu, Rahmat dalam Iin Suminah, R. (1999: 34) menggunakan 8 indikator untuk mengukur keberhasilan usaha koperasi, yaitu: (1) SHU yang dibagikan kepada anggota setiap tahun, volume usaha, (3) jumlah anggota, (4) jumlah modal, (5) ketepatan waktu pelaksanaan RAT, (6) jumlah jam kerja, (7) kehadiran anggota dalam RAT, dan (8) pangsa pasar. Kaplan dan Norton (2000; 2) dengan ”Balance Scorecard”nya menggunakan empat indikator untuk mengukur/menilai kinerja (keberhasilan) perusahaan. Keempat indikator tersebut adalah: finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Keempat indikator tersebut pada dasarnya dapat pula digunakan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan koperasi. Berdasarkan teori dan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur keberhasilan koperasi pada dasarnya dapat digunakan tujuh indikator yang menyangkut permodalan, keanggotaan, usaha, dan pendidikan. Ketujuh indikator tersebut adalah: (1) jumlah modal sendiri, (2) jumlah anggota, (3) jumlah SHU yang dicapai, (4) jumlah omset usaha, (5) jumlah pelanggan, 6) deversifikasi usaha, dan (7) program pendidikan. Keberhasilan koperasi akan dapat dicapai apabila indikator jumlah modal, jumlah anggota, jumlah SHU, jumlah omst usaha, jumlah pelanggan, dan deversifikasi usaha terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu mengenai program pendidikan, yang penting bahwa koperasi selalu dapat menyusun program pendidikan (pelatihan, penataran, ataupun temu ilmiah yang lain) untuk meningkatkan kualitas SDM termasuk anggotanya. D. MENGUKUR TINGKAT KEBERHASILAN KOPERASI Dari ketujuh indikator tersebut selanjutnya ditentukan tolok ukur untuk menentukan tingkat keberhasilan koperasi. Dalam hal ini pemerintah dengan Keputusan Menteri Koperasi No. 351 tahun 2005 telah menetapkan ukuran kesehatan koperasi. Koperasi yang dinyatakan sehat berpotensi untuk mencapai keberhasilan usahanya. Keputusan Menteri tersebut antara lain menyebutkan indikator dan kriteria kesehatan koperasi sebagai berikut. 1. Permodalan a. Tingkat pertumubuhan modal sendiri yang berasal dari anggota, sekurang-kurangnya sebesar 10% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan tolok ukur ini, maka suatu koperasi dikatakan sehat (berhasil) apabila koperasi tersebut dapat meningkatkan jumlah modal sendirinya yang berasal dari anggota (simpanan pokok dan sipanan wajib) minimal 10% dari jumlah modal sendiri tahun sebelumnya. Contoh: Apabila tahun anggaran yang lalu jumlah simpanan pokok + simpanan wajib ada Rp100.000,00, maka jumlah simpanan pokook + simpoanan wajib tahun anggaran berjalan minimal Rp100.000,00 + (10% x Rp100.000,00) = Rp110.000,00. b. Tingkat pertumbuhan modal sendiri yang berasal dari penyisihan SHU (dalam bentuk cadangan), sekurang-kurangnya 25% dari SHU tahun sebelumnya. Berdasarkan tolok ukur ini, maka suatu koperasi dapat dikatakan sehat (berhasil) apabila koperasi tersebut mampu meningkatkan jumlah cadanagannya minimal 25% dari SHU tahun sebelumnya. Contoh: Apabila jumlah SHU tahun sebelumnya Rp100.000,00, maka peningkatan jumlah cadangan pada tahun anggaran berjalan minimal 25% x Rp100.000,00 = Rp25.000,00. 2. Kenggotaan Indikator ini khususnya berkaitan dengan jumlah anggota. Dalam hal ini ditentukan bahwa jumlah anggota sekurang-kurangnya 25% dari jumlah warga/ penduduk dewasa di wilayah kerjanya yang memenuhi persyaratan keanggotaan, dan jumlah tersebut harus meningkat dari jumlah anggota tahun anggaran sebelumnya. Berdasarkan tolok ukur ini, koperasi dikatakan sehat (berhasil) apabila telah mampu merekrut anggota sejumlah minimal 25% dari jumlah warga/penduduk dewasa tersebut, dan jumlah anggota tersebut meningkat dari tahun anggaran sebelumnya. 3. Usaha Dalam hal usaha, tulisan ini hanya mengkaji tentang indikator SHU, omset usaha, jumlah pelanggan, diversifikasi usaha. a. SHU (Sisa Hasil Usaha) Dalam hal ini tolok ukur yang digunakan adalah ”rentabilitas ekonomi” (ROI : Return on Investment). Adapun rums yang digunakan adalah: Laba SHU ROI = -------------------- atau ROI = --------------------- Total Aktiva Jumlah Aktiva Laba (SHU) yang digunakan adalah laba (SHU) sebelum pajak. (Harnanto, 1991: 353) Berdasarkan tolok ukur ini, koperasi dikatakan sehat (berhasil) jika rentailitas ekonomi (ROI)nya lebih besar dari suku bunga pemerintah yang berlaku. Makin tinggi ROInya, makin tinggi pula tingkat keberhasilannya. b. Omset Usaha Dalam hal ini tolok ukur yang digunakan adalah tingkat perputaran modal kerja. Adapun rumus yang digunakan adalah : Jumlah Omset Usaha Tingkat Perputaran Modal Kerja = ---------------------------------- Jumlah Modal Kerja (Weston and Copeland, 1992: 108) Berdasarkan tolok ukur ini, koperasi dikatakan sehat atau (berhasil) apabila tigkat perputaran modal-kerjanya sekurang-kurangnya: 1 kali (untuk unit perkreditan, dengan asumsi jangka waktu kredit rata-rata 1 tahun), dan 12 kali (untuk unit usaha lainnya, dengan asumsi perputaran modalnya sekali dalam sebulan). Makin tinggi tingkat perputarannya, makin tinggi pula tingkat keberhasilannya. c. Jumlah Pelanggan Pelanggan usaha koperasi bisa terdiri atas anggota dan bukan anggota koperasi. Namundemikian pelanggan utamanya adalah anggota koperasi. Dalam hal ini, koperasi harus mampu merekrut pelanggan anggota sekurang-kurangnya 60% dari jumlah anggota. Dengan tolok ukur ini, koperasi dinyatakan sehat (berhasil) apabila minimal 60% dari jumlah anggotanya telah memanfaatkan layanan usaha koperasi. Makin tinggi persentasenya, makin tinggi pula tingkat keberhasilannya. d. Diversifikasi Usaha Dalam hal ini tidak ada tolok ukur yang pasti. Koperasi akan dinyatakan sehat (berhasil) apabila koperasi tersebut mampu menambah jenis usaha pada tahun anggaran berjalan dibanding dengan tahun anggaran yang lalu. Unit usaha bisa tetap, tetapi jenis usanya bertambah. Misalnya untuk unit usaha perkreditan: tahun anggaran yang lalu hanya ada jenis kredit jangka waktu 12 bulan dan 24 bulan. Tahun anggaran berjalan ditambah jenisnya menjadi kredit jangka waktu 12 bulan, 24 bulan dan 36 bulan. Penambahan jenis usaha ini sudah dikategorikan sebagai diversifikasi usaha. Semakin banyak diversifikasi usaha, semakin tinggi tingkat keberhasilannya. 4. Pendidikan Dalam hal ini koperasi dinyatakan sehat (berhasil) apabila koperasi tersebut dalam tahun anggaran berjalan membuat program pendidikan sekurang-kurangnya satu kali bagi pengelola maupun anggota koperasi. Program tersebut bisa dalam bentuk penyertaan SDMnya dalam pendidikan formal maupun non-formal, penataran, pelatihan, ataupun temu ilmiah yang lain berkaitan dengan dunia perkoperasian. Di samping itu juga bisa dalam bentuk program penyuluhan perkoperasian bagi anggotanya. Semakin banyak program pendidikan yang dilakukan, semakin tinggi pula tingkat keberhasilannya. Untuk menentukan tingkat keberhasilan koperasi, kiranya diperlukan pembobotan atas indikator-indikator keberhasilan tersebut. Dasar pem-bobotan tersebut adalah urgensi dari masing-masing indikator terhadap pencapaian keberhasilan koperasi. Berdasarkan urgensi dari masing-masing indikator tersebut, diberikan pembobotan indikator sebagai berikut: · Indikator permodalan diberi bobot : 20 · Indikator keanggotaan diberi bobot : 20 · Indikator usaha diberi bobot : 50 · Indokator pendidikan diberi bobot : 10 Pembobotan yang tertinggi pada indikator usaha didasari atas argumen bahwa tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota harus dicapai melalui usaha ekonomi tersebut. Dengan demikian keberhasilan koperasi sebagian besar akan dicerminkan oleh keberhasilan usaha ini. Indikator berikutnya yang memiliki bobot cukup tinggi adalah indikator permodalan dan keanggotaan pada dasarnya hanya merupakan penunjang dari indikator usaha saja. Selanjutnya indikator pendidikan diberi bobot paling rendah, karena indikator ini hanya merupakan pelengkap keberhasilan koperasi saja. Koperasi yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan anggotanya, kiranya perlu juga memprogramkan peningkatan mutu SDM koperasi termasuk anggotanya. Ketika koperasi sudah mampu mempro-gramkan pendidikan untuk meningkatkan mutu SDM dan anggotanya, nampaklah bahwa keberhasilan koperasi tersebut semakin lengkap. Setelah dilakukan pengukuran dan penilaian terhadap masing-masing indikator berdasarkan data dan informasi yang ada di koperasi akan diketahui tingginya nilai/skor dari masing-masing indikator tersebut. Dari skor ini kemudian dilakukan pembobotan sehingga diperoleh skor gabungan dari semua indikator untuk koperasi yang bersangkutan. Dari skor gabungan ini kemudian dapat ditentukan tingkat keberhasilan koperasi tersebut. Contoh: Dari Koperasi “X” diperoleh data tentang tentang keempat indikator tersebut, dan setelah dilakukan pengukuran diperoleh skor masing-masing indikator sebagai berikut: · Skor indikator permodalan = 75 · Skor indikator keanggotaan = 80 · Skor indikator usaha = 70 · Skor indikator pendidikan = 90 Ketentuan: skor terendah 10 dan skor tertinggi 100. Dari skor masing-masing indikator seperti di atas, kemudian dilakukan pembobotan sehingga dapat diketahui nilai akhir tingkat keberhasilan koperasi sebagai berikut: · Nilai indikator permodalan = 75 x 20 = 1.500 · Nilai indikator keanggotaan = 80 x 20 = 1.600 · Nilai indikator usaha = 70 x 50 = 3.500 · Nilai indikator pendidikan = 90 x 10 = 900 ----------- + Total nilai = 7.500 Jadi Nilai keberhasilan koperasi = 7.500 : 100 = 75. Dari nilai 75 inilah ditentukan tingkat keberhasilan koperasi yang bersangkutan. Demikian cara (model) yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan koperasi melalui keempat indikator keberhasilan tersebut. Model ini memang hanya cocok digunakan untuk badan usaha koperasi. Untuk badan usaha non koperasi perlu ada penyesuaian. E. KESIMPULAN Berdasarkan paparan tentang faktor-faktor penentu keberhasilan koperasi, indikator keberhasilan koperasi, serta cara pengukuran indikator berhasilan koperasi di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan koperasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal yang antara lain meliputi (a) kualitas SDM koperasi, (b) kemampuan keuangan koperasi, (c) sistem mana-jemen koperasi, dan (d) budaya organi-sasi koperasi; serta faktor eksternal yang antara lain meiputi (a) iklim perekonomian, khususnya persaiangan dunia bisnis, (b) kebijakan pemerintah, dan (c) kepedulian masyarakat terhadap koperasi. 2. Untuk mengukur keberhasilan koperasi dapat digunakan empat indikator, yaitu (a) indikator permodalan, khususnya yang menyangkut peningkatan jumlah modal sendiri dari simpanan pokon dan wajib, serta dari bagian SHU yang dicadangkan; (b) indikator keanggotaan, khususnya menyangkut jumlah anggota; (c) indikator usaha, yang menyangkut SHU, omset usaha, jumlah pelanggan anggota, dan diversifikasi usaha; dan (d) indikator pendidikan, khususnya penyusunan program pendidikan. 3. Untuk menentukan tingkat keberhasilan koperasi perlu dilakukan penilaian (skoring) dari masing-masing indikator berdasarkan data yang ada, kemudian dilakukan pembobotan atas skor masing-masing indikator sesuai dengan ketentuan pembobotan. Dari pembobotan ini akan diperoleh skor akhir yang menentukan tingkat keberhasilan koperasi yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Asnawi Hasan, 1990, Antologi Pembangunan Koperasi Indonesia, Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian, Departemen Koperasi dan PKM, Jakarta. Hanel, Alfred, 1985, Basic Aspect of Cooperative Organization on Policies for Their Promotion in Developing Countries, Bandung, Universi-tas Pajajaran. Harnanto, 1991, Analisa Laporan Keuangan, Yogyakarta, Penerbit AMP-YKPN. Harsono, 1985, Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan KUD di Kabupaten Malang, Desertasi, UGM, Yogyakarta. Iin Suminah, Riskawa, 1999, Pengaruh Kualifikasi Pengurus, Partisipasi Anggota, Pembinaan Pemerintah, dan Modal terhadap Keberhasilan Usaha KUD, Tesis, UNPAD, Bandung. Kaplan, Robert S. and David P. Norton, 2000, Balanced Scorecard, Terjemahan Peter R. Yosi Pasla, Jakarta, Penerbit Erlangga. Kartasapoetra,G., A.G.Kartasapoetra, Bambang S., A.Setiady, 2001, Koperasi Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Cetakan Ke lima, Jakarta, PT Rineka Cipta. Kasmawati, 2003, Pengaruh Kewirausahaan Manajer terhadap Keberhasilan Usaha KUD di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, Tesis, UNPAD, Bandung. Weston, J. Fred and Thomas E. Copeland, 1992, Manajemen Keuangan, Terjemahan Jaka Wasono dan Kirbandoko, Jakarta, Bina Aksara. Keputusan Menteri Koperasi No. 351 tahun 2005, tentang Kriteria Kesehatan Koperasi Indonesia.