KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH 126 Persepsi Mahasiswa Terhadap Pelaksanaan KKN-PPL 125 INFORMASI, No. 2, XXXVI, Th. 2010. PERSEPSI MAHASISWA UNY TERHADAP POLA PELAKSANAAN KKN-PPL TERPADU DI WILAYAH KABUPATEN PURWOREJO Oleh: Suparmini Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa praktikan terhadap (1) pola bimbingan; (2) intensitas bimbingan; (3) optimalisasi pelaksanaan program; (4) waktu pelaksanaan dan (5) pencapaian kompetensi pelaksanaan KKN-PPL terpadu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Variabel penelitian terdiri dari lima variabel yaitu pola bimbingan, intensitas bimbingan, optimalisasi pencapaian progam, waktu pelaksanaan, dan pencapaian kompetensi. Populasi penelitian adalah mahasiswa praktikan KKN-PPL yang berlokasi di wilayah Kabupaten Purworejo, berjumnlah 274 mahasiswa. Jumlah sampel sebanyak 101 ditentukan berdasarkan Nomogram Henry King dengan derajat kesalahan 7%. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cluster dan proposional sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan angket dan dokumentasi. Analisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunnjukkan bahwa (1) Persepsi mahasiswa terhadap pola bimbingan KKN-PPL terpadu, pada umumnya baik terutama dalam hal arti penting keberadaan dan peran pembimbing, tetapi berpersepsi kurang baik terhadap cakupan aspek pembimbingan yang dianggap kurang komprehensif, struktur waktu yang tidak terjadwal dan metode bimbingan yang kurang variatif; (2) Persepsi terhadap intensitas bimbingan pada umumnya kurang baik terutama dalam hal jumlah kunjungan DPL KKN dan DPL PPL. Persepsi praktikan tergolong baik dalam hal kebermanfaatan dan efektivitas bimbingan waktu bimbingan; (3) Persepsi mahasiswa terhadap optimalisasi pelaksanaan program, umumnya kurang baik terutama dalam hal kesulitan alokasi waktu untuk kegiatan KKN dan PPL, kurang optimalnya pelaksanaan progam dan kurang menganggap baik terhadap pola KKN-PPL terpadu; (4) Persepsi mahasiswa terhadap waktu pelaksanaan KKN-PPL terpadu umunya menyatakan cukup, dan tingkat ketercapaian alokasi waktu untuk KKN dan PPL cukup proporsional, tetapi pengaturan waktu pelaksanaan untuk KKN dan PPL kadang menyulitkan, kesempatan untuk pengembangan potensi mahasiswa kurang; (5) Persepsi mahasiswa terhadap pencapaian kompetensi melalui KKN-PPL umumnya positif untuk ketercapaian dan peningkatan kompetensi keguruan terutama dalam hal kompetensi pedagogik dan profesional. Kompetensi yang ketercapaiannya rendah adalah kompetensi sosial. Peran pembimbingan oleh pihak sekolah dan DPL sangat membantu dalam peningkatan kompetensi keguruan. Latar Belakang Masalah Upaya pembinaan calon guru di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) antara lain dilakukan dengan memberikan bekal praktis secara kontekstual melalui mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang meliputi PPL I dan PPL II. PPL I berupa latihan mikro teaching. PPL II berupa penerjunan mahasiswa langsung di sekolah-sekolah. Untuk kepentingan progam PPL ini setiap LPTK memiliki Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) UPPL yang mengurus masalah pelaksanaan PPL bagi mahasiswa. Pihak lain yang terkait adalah dosen pembimbing lapangan dari seluruh jurusan. Kepala sekolah dan guru pembimbing bidang studi sebagai pembimbing di sekolah tempat PPL dilaksanakan. UNY sebagai salah satu LPTK juga mengadakan pembinaan kemampuan profesional mahasiswa calon guru. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE) merupakan salah satu fakultas di UNY yang memiliki sasaran KKN-PPL yang lebih luas cakupan jenjangnya yakni di tingkat SMA, SMK dan SMP. Dari data yang diperoleh tentang persepsi pelaksanaan PPL selama ini akan dapat dijadikan dasar untuk membenahi unsur-unsur material, teknis dan sumber daya manusia yang melaksanakan progam PPL ini, khususnya para pembimbing (guru dan dosen pembimbing) agar meningkatkan kinerja sehingga PPL menjadi lebih berhasil. Jangan sampai pelaksanaan PPL hanya menjadi rutinitas yang banyak dikeluhkan oleh pihak sekolah sebagai progam yang dianggap mengganggu aktivitas pembelajaran. Waktu KKN-PPL terpadu yang menjadi lebih lama belum bisa menjadi jaminan pencapaian kompetensi. Persepsi sebagian praktikan menganggap waktu yang lama belum memberikan ruang untuk pengembangan kompetensi keguruan secara optimal karena pihak sekolah masih lebih berorientasi pada progam kerja yang bersifat fisik. Untuk membangun profesionalisme guru sejak dini maka UPPL UNY memodifikasi model PPL II ini dengan cara digabungkan dengan KKN, dengan maksud waktu mahasiswa berada di sekolah menjadi lebih panjang dan PPL lebih intensif. Model PPL lama dianggap kurang dapat memberikan wahana untuk melatih profesionalisme keguruan karena bimbingan dilakukan oleh DPL yang berasal dari bidang studi/jurusan yang berbeda dengan jurusan mahasiswa, juga kegiatan KKN dilaksanakan di masyarakat yang dianggap kurang mendukung dalam pembentukan profesionalisme calon guru. Pola KKN-PPL secara terpadu merupakan model baru yang dikembangkan oleh UNY, dengan harapan: (1) mendekatkan mahasiswa sebagai calon guru dengan dunia pendidikan di sekolah (penerapan pendekatan CTL); dan (2) mempercepat masa studi mahasiswa karena memanfaatkan waktu semester khusus. Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi efektivitas model ini belum teruji secara komprehensif. PPL II model baru berbeda dalam hal pola bimbingan yakni dosen pembimbing PPL berasal dari jurusan yang sama dengan jurusan mahasiswa yang dibimbingnya sekaligus dosen yang juga menjadi pembimbing PPL I (mikro teaching). Disamping itu pada KKN-PPL terpadu ini masih melibatkan dosen koordinator lokasi yang menjadi DPL KKN. Kendala dari model baru adalah kesulitan dalam hal koordinasi antar dosen PPL yang berasal dari berbagai jurusan. Kesulitan koordinasi antar DPL PPL dengan DPL KKN terutama dalam hal waktu. Kendala lainnya adalah keengganan dosen untuk mendatangi lokasi-lokasi KKN-PPL yang jumlahnya setiap dosen antara 5-9 lokasi/sekolah, karena seorang dosen DPL PPL harus mendatangi semua lokasi yang menjadi tempat PPL mahasiswa bimbingannya yang berasal dari jurusan yang sama. Belum ada penelitian yang mengungkap efektivitas KKN-PPL terpadu ini, tetapi model ini masih terus dilaksanakan. Berdasarkan observasi banyak mahasiswa yang mengeluh terhadap pola baru ini karena dianggap menyulitkan dalam hal pembagian waktu, kurang memberikan wadah untuk pengembangan kompetensi sosial. Mahasiswa sering dihadapkan pada situasi dilematis ketika ada tuntutan masyarakat untuk ikut serta dalam progam-progam kemasyarakatan sementara mahasiswa tidak memiliki progam untuk masyarakat. Penelitian ini merupakan langkah awal untuk memberikan kontribusi masukan bagi UPPL. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di luar wilayah DIY sebagai wilayah pengembangan lokasi KKN-PPL, yakni di Kabupaten Purworejo. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan bagaimana persepsi mahasiswa praktikan KKN-PPL terhadap pola bimbingan, intensitas bimbingan, optimalisasi pelaksanaan program, waktu pelaksanaan, dan pencapaian kompetensi pelaksanaan KKN-PPL terpadu. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berusaha mengungkap gambaran pola pelaksanaan KKN-PPL terpadu mahasiswa FISE UNY menurut persepsi mahasiswa. Penelitian dilakukan dengan cara survey di sejumlah lokasi KKN-PPL di wilayah Kabupaten Purworejo, pada bulan Agustus-September 2009. Variabel penelitian terdiri dari lima macam, yakni: (1) pola bimbingan, mencakup aspek peran pembimbing, cakupan aspek pembimbingan, metode pembimbingan dan struktur waktu pelaksanaan pembimbingan; (2) Intensitas bimbingan, meliputi intensitas kunjungan, tingkat kebermanfaatan kunjungan, efektivitas kunjungan, kecukupan waktu kunjungan DPL; (3) optimalisasi pelaksanaan progam, mencakup persepsi responden tentang pola pelaksanaan, alokasi waktu, optimalisasi pelaksanaan, pola pelaksanaan yang diharapkan mahasiswa; (4) Waktu pelaksanaan, mencakup aspek persepsi responden terhadap waktu yang tersedia untuk pelaksanaan, pengaturan waktu antara pelaksanaan, cakupan alokasi waktu terhadap pengembangan potensi makasiswa; (5) pencapaian kompetensi, mencakup persepsi tentang pencapaian kompetensi keguruan bagi praktikan dan peran pembimbingan pihak sekolah dan DPL terhadap peningkatan kompetensi keguruan. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa peserta mata kuliah KKN-PPL UNY yang lokasi kegiatannya di wilayah Kabupaten Purworejo. Untuk menentukan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan metode Nomogram Hanry King. Berdasarkan metode tersebut dengan junlah populasi 274 bila derajat kesalahan sampel sebesar 0,07 diperoleh jumlah sampel sebanyak 101. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah: sampel area dan proporsional sampling. Jumlah sekolah yang menjadi sampel yang berlokasi di desa 4 sekolah dan yang berlokasi di kota 4 sekolah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan (1) angket untuk mengungkap data persepsi mahasiswa praktikan terhadap pola pelaksanaan KKN-PPL terpadu yang mencakup aspek: pola bimbingan, intensitas bimbingan, optimalisasi pelaksanaan progam, waktu pelaksanaan, dan pencapaian kompetensi; dan (2) Dokumentasi, digunakan untuk menggali informasi mengenai catatan pembimbingan oleh DPL, buku catatan harian mahasiswa, matrik progam kerja, dan lain-lain. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif yang berupa rata-rata, nilai yang sering muncul dan tabel frekuensi. Teknik ini meskipun relatif sederhana tetapi mampu menyajikan hasil yang mudah dibaca dan dipahami. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Pola Bimbingan 1. Urgensi pembimbing Pembimbing kegiatan KKN-PPL terdiri dari dosen pembimbing (DPL) koordinator, dosen dari program studi masing-masing mahasiswa, dan guru pamong atau guru pembimbing yang sesuai dengan program studi mahasiswa. Pembimbing dari sekolah dan DPL diharapkan dapat bersinergi dalam melakukan pembimbingan, sehingga hasilnya lebih baik. Sungguh suatu hal yang memprihatinkan bila masih terdapat mahasiswa (5 persen) yang menganggap keradaan pembimbing tidak diperlukan dan 3,9 persen responden merasa kurang memerlukan. Hanya terdapat 64,4 persen mahasiswa yang memang sangat memerlukan keberadaan pembimbing. 2. Peran pembimbing Separuh responden menyatakan bahwa peran pembimbing benar-benar saling melengkapi, setengah lainnya menyatakan bahwa hanya kadang-kadang saja saling melengkapi (37 persen), tidak saling melengkapi dan membingungkan masing-masing 7 persen. Berdasarkan adanya tujuan bahwa keberadaan pembimbing yang berasal dari berbagai unsur untuk saling bersinergi, tetapi kenyataannya menurut persepsi responden hanya 50 persen yang menyatakan bahwa peran pembimbing-pembimbing itu saling melengkapi, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa masalah peran ini masih jauh dari harapan. 3. Cakupan aspek pembimbingan Pembimbingan mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Kelengkapan aspek pembimbingan dalam setiap kunjungan pembimbing ternyata tidak menyeluruh tetapi sebagian besar (49 persen) responden menyatakan hampir menyeluruh. Ironisnya terdapat responden yang menyatakan secara negatif terhadap cakupan materi pembimbingan ini yakni mencapai hampir 20 persen, terdiri dari jawaban bahwa cakupan bimbingan tidak jelas (7 persen) dan tidak menyeluruh sebanyak 12,9 persen. Artinya ada salah satu aspek antara perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program yang masih belum dilaksanakan. Dalam hal ini, aspek yang cenderung jarang dilaksanakan atau tidak dilaksanakan secara optimal yaitu perencanaan. Terbukti dengan adanya pelaksanaan bimbingan yang tidak terjadwal. 4. Metode Pembimbingan Secara umum pembimbing dalam melakukan bimbingan menggunakan metode yang bervariasi (56,4 persen), tetapi sebagian dari metode yang bervariasi tersebut lebih banyak dilakukan dengan diskusi kelompok (28,7 persen), metode lainnya hanya sebagai pelengkap saja. Sangat sedikit (11,9 persen) pembimbing yang melakukan bimbingan secara individual (konseling), hal ini terjadi karena keterbatasan waktu pembimbing bertemu dengan praktikan. 5. Struktur waktu pelaksanaan bimbingan UPPL melalui buku panduan pelaksanaan KKN/PPL tidak memberikan ketentuan waktu pelaksanaan bimbingan. Waktu pelaksanaan bimbingan baik yang dilakukan oleh DPL maupun oleh guru pembimbing diserahkan kepada masing-masing pembimbing sesuai dengan waktu luang mereka, tetapi untuk optimalisasi hasil bimbingan diharapkan waktu bimbingan dilaksanakan secara teratur/terjadwal. Kenyataannya bimbingan yang dilaksanakan belum terjadwal, tetapi menurut kebutuhan. Sebanyak 62,4 persen responden mengakui bimbingan sudah menurut bimbingan. B. Intensitas Bimbingan 1. Frekuensi kunjungan DPL KKN-PPL Jumlah kunjungan DPL KKN-PPL menurut buku pedoman KKN/PPL UNY adalah 8 kali untuk Koordinator DPL KKN/PPL dan 4 kali untuk DPL PPL. Menurut responden 36,6 persen menyatakan bahwa kunjungan DPL KKN hanya mencapai 3-4 kali kunjungan. Hal ini menunjukan bahwa DPL KKN belum memenuhi harapan dari UNY. Namun, tidak sedikit juga kunjungan DPL yang sudah mencapai 7-8 kali yaitu dengan ditunjukkan angka 21,8 persen. Bahkan ada DPL yang hanya mendatangi lokasi 1-2 kali yakni, sebanyak 17,8 persen. Fakta ini menunjukan bahwa intensitas kunjungan DPL masih sangat kurang, sehingga dapat berpengaruh terhadap kualitas progam kerja yang disusun oleh mahasiswa. 2. Intensitas kunjungan DPL PPL Menurut responden intensitas kunjungan DPL PPL dipersepsi lebih baik jika dibandingkan dengan kunjungan DPL KKN. Hal ini ditunjukan dengan 47,5 persen responden mengakui kunjungan DPL PPL sudah 4 kali atau lebih sesuai dengan harapan UNY. Namun, hal ini merupakan hal yang cukup memprihatinkan, karena lebih dari 50 persen DPL PPL yang belum memenuhi syarat minimal. Oleh karena itu dapat dinyatakan, bahwa bimbingan yang dilakukan oleh DPL PPL kurang optimal dilihat dari kuantitasnya. Ada fenomena yang sangat memprihatinkan yakni, terdapat 17 persen responden yang menyatakan bahwa DPL PPL hanya berkunjung 1 kali selama periode KKN PPL. 3. Tingkat kebermanfaatan kunjungan DPL KKN dan DPL PPL Kehadiran DPL diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi mahasiswa. Sebanyak 89,1 persen responden menyatakan nilai kemanfaatan kunjungan DPL KKN/PPL secara positif (sangat bermanfaat sebanyak 47,5 persen dan bermanfaat 41,6 persen). Hanya sedikit mahasiswa yang menyatakan bahwa kunjungan DPL kurang bermanfaat. 4. Tingkat efektivitas kunjungan DPL KKN dan DPL PPL Terhadap tingkat efektivitas kunjungan DPL 75 persen responden menanggapi secara positif, bahkan 10 persen menyatakan bahwa kunjungan DPL sangat efektif. 5. Tingkat kecukupan waktu kunjungan DPL Dilihat dari lamanya waktu setiap kunjungan DPL KKN dan DPL PPL yang dilakukan saat pelaksanaan KKN-PPL dianggap sudah cukup menurut responden. Dikatakan cukup bila dalam satu kunjungan minimal 100 menit. Sebagian besar responden (53,4 persen) menyatakan bahwa lama waktu kunjungan DPL sudah mencukupi. Namun 34,7 persen responden mengakui bahwa kunjungan DPL belum cukup. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian, karena mengingat pentingnya bimbingan terhadap perkembangan praktikan. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan bimbingan pada KKN-PPL selanjutnya harus lebih memenuhi waktu, intensitas, maupun isi dari bimbingan, agar tingkat efektifitas bimbingan dapat lebih mengena dan membantu terhadap perkembangan kemampuan praktikan. C. Optimalisasi Pelaksanaan Program 1. Persepsi responden terhadap model KKN-PPL terpadu Dilihat dari persepsi mahasiswa tentang pelaksanaan KKN-PPL terpadu ini hanya 34,7 persen responden yang menyatakan bahwa KKN-PPL terpadu saling mendukung. Ironisnya 43,5 persen responden berpersepsi negatif terhadap pelaksanaan KKN-PPL terpadu ini, yakni menyatakan model ini menghambat pengembangan kompetensi (25,7 persen) dan 17,8 persen responden menyatakan pelaksanaannya tumpang tindih, selebihnya kelompok yang relatif netral yakni sebanyak 21,8 persen menyatakan pelaksanaan KKN-PPL terpadu tidak membawa perubahan signifikan. 2. Persepsi responden terhadap pelaksanaan KKN-PPL dalam hal alokasi waktu Dalam pelaksanaan model KKN-PPL terpadu banyak mahasiswa yang mengalami kendala dalam hal pembagian kerja antara progam KKN dan progam PPL. Disamping itu saat mahasiswa melaksanakan KKN-PPL mereka bertempat tinggal di masyarakat, sehingga ada tuntutan dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam progam desa atau acara-acara kemasyarakatan lainnya. Pelaksanaan KKN-PPL terpadu diharapkan saling mendukung, tetapi kadang menyulitkan praktikan dalam pelaksanaannya. Terbukti 47,5 persen responden merasa kadang kesulitan dalam pelaksanaan KKN-PPL terpadu, hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan KKN-PPL terpadu kurang dapat diterima oleh praktikan dan ditemukan adanya kesulitan yang dihadapi praktikan. Sebanyak 77,2 persen responden memiliki persepsi negatif bahwa pelaksanaan KKN-PPL terpadu menyulitkan, tetapi dari yang berpersepsi negatif hanya 47,5 persen responden yang hanya menjawab kadang-kadang saja mengalami kesulitan. Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dinyatakan bahwa misi UNY melalui UPPL untuk melaksanakan progam KKN-PPL terpadu sebagai model yang diharapkan dapat memiliki keunggulan ternyata hanya bisa dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyulitkan oleh 22,8 persen responden. Tabel 1. Persepsi Responden Terhadap Pelaksanaan KKN-PPL dalam Hal Alokasi Waktu Antara KKN dan PPL No. Alokasi Waktu Frekuensi Persentase 1. Sangat menyulitkan 9 8,9 2. Menyulitkan 21 20,8 3. Kadang menyulitkan 48 47,5 4. Tidak menyulitkan 23 22,8 Jumlah 101 100 Sumber: data primer 3. Persepsi responden terhadap optimalisasi pelaksanaan KKN-PPL terpadu Dengan adanya beberapa kesulitan yang dialami oleh mahasiswa sebagaimana yang diuraikan di atas terutama dalam hal alokasi waktu, alokasi progam kerja, pendanaan, dan pengoptimalan target progam. Tumpang tindih waktu pelaksanaan progam kerja menyebabkan masing-masing program tidak mencapai tujuan secara optimal. Hanya 32,7 persen responden yang menyatakan bahwa pelaksanaan KKN-PPL terpadu mencapai tujuan secara optimal. Selebihnya bahkan menyatakan bahwa KKN-PPL terpadu kurang optimal (48,5 persen) . Lebih ekstrim lagi 16,8 persen responden menyatakan ketercapaian tujuan adalah sedapatnya. 4. Pola KKN-PPL yang diharapkan mahasiswa Berdasarkan Tabel 2 diperoleh informasi bahwa 38,5 persen responden menginginkan KKN-PPL yang terpisah antara KKN dengan PPL. Harapan mereka adalah PPL dilaksanakan di sekolah dan KKN dilaksanakan di masyarakat. Hal tersebut menjelaskan bahwa pola KKN-PPL terpadu yang dilaksanakan kurang diminati mahasiswa praktikan (61,3 persen), terdiri dari 22,8 persen responden menghendaki hanya dipisah waktunya antar KKN dan PPL, dan 38,5 persen responden menghendaki KKN dan PPL dipisah tidak hanya waktunya tetapi juga lokasinya, yakni KKN di masyarakat dan PPL di sekolah. Namun, 32,7 persen responden masih menginginkan KKN-PPL yang terpadu seperti yang telah dilaksanakan. Disamping pola kedua pola yang pernah dilakukan UNY yakni pola KKN dan PPL yang dipisah dan pola terpadu, ternyata ada sebagian responden (6 persen) yang menghendaki pola baru. Inilah tugas UPPL untuk mengembangkan pola KKN-PPL yang baru yang mungkin lebih bisa diterima mahasiswa dan lebih efektif dalam mencapai kompetensi keguruan. Praktik KKN-PPL menurut praktikan kurang bisa memberikan ruang untuk mengembangkan kompetensi sosial, dengan alasan masyarakat sekolah relatif homogen dibandingkan dengan situasi masyarakat sebenarnya. Tabel 2. Pola KKN-PPL yang diharapkan Mahasiswa No Pola KKN-PPL Frekuensi Persentase 1. KKN-PPL dipisah (masing-masing 1 bulan) 23 22,8 2. KKN-PPL dipisah (PPL disekolah dan KKN di masyarakat) 39 38,5 3. Perlu ada pola baru 6 6,0 4. Tetap seperti ini 33 32,7 Jumlah 101 100 Sumber: data primer D. Waktu 1. Persepsi responden terhadap waktu yang tersedia untuk KKN-PPL terpadu Waktu yang disediakan untuk KKN-PPL adalah 2 bulan 12 hari tanpa alokasi yang tegas waktu untuk KKN dan waktu untuk PPL. Terhadap waktu yang tersedia ini sebagian besar responden (62,3 persen) menyatakan bahwa waktu yang tersedia untuk pelaksanaan KKN-PPL terpadu sudah cukup. Bahkan 19,8 persen responden menyatakan waktu yang tersedia sangat cukup, hal ini berarti bahwa mahasiswa merasa tidak memerlukan waktu yang lebiih untuk melaksanakan progam-progam kerjanya. Meskipun demikian terdapat mahasiswa yang merasa masih kurang terhadap waktu yang tersedia yakni sebanyak 17,9 persen responden. 2. Proporsi waktu pelaksanaan KKN-PPL Proporsi waktu untuk pelaksanaan KKN-PPL menurut responden sudah sangat proporsional, hal ini dinyatakan oleh 85 persen responden dan sisanya 15 persen responden menyatakan kurang proporsional. Meskipun tidak ada pembagian waktu yang tegas antara kegiatan KKN-PPL sebagaimana disebutkan di atas, tetapi praktikan dapat membagi waktu pelaksanaan yang tersedia sesuai dengan beban tugas. Pola KKN-PPL terpadu menuntut praktikan untuk membagi waktu kapan saatnya melaksanakan kegiatan KKN dan kapan saatnya melaksanakan PPL. 3. Pengaturan waktu antara pelaksanaan KKN dan Pelaksanaan PPL Kesulitan mahasiswa dalam hal pengaturan waktu untuk melaksanakan kegiatan KKN dan PPL berupa tumpang tindihnya progam dan pelaksanaannya. Kadang satu orang mahasiswa harus menghadapi dua progam atau lebih, satu kegiatan KKN, satu kegiatan PPL, atau mungkin satu kegiatan individu, satu kegiatan kelompok. Sebanyak 80,2 persen responden pernah mengalami kesulitan dalam hal pembagian waktu akibat dari model KKN-PPL terpadu ini. Tetapi yang benar-benar mengalami kesulitan hanya 26,8 persen responden. 4. Kecukupan alokasi waktu terhadap pengembangan potensi mahasiswa Sebanyak 60 persen responden menyatakan bahwa waktu untuk pengembangan diri kurang cukup karena waktu KKN-PPL lebih banyak digunakan untuk mengerjakan pekerjaan fisik. Hanya 36 persen responden yang merasa waktu yang ada cukup untuk pengembangan diri. 5. Persepsi responden terhadap jumlah dana yang dibayarkan ke UPPL Untuk melaksanakan kegiatan KKN-PPL diperlukan sejumlah dana yang wajib disetorkan oleh mahasiswa kepada UPPL. Dana itu diperlukan untuk operasionalisasi dan honorarium pembimbing. Jumlah dana yang dibayarkan mahasiswa menurut responden sudah proporsional, hal ini dinyatakan oleh sebanyak 45,5 persen responden. Sebanyak 37,7 persen responden menyatakan bahwa dana yang harus dibayarkan relatif mahal. hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pelayanan dari UPPL kurang memuaskan, tetapi masih ada mahasiswa yang menyatakan bahwa dana KKN-PPL itu relatif murah yakni sebanyak 16,8 persen responden. 6. Dukungan dana dari pihak lain Sebanyak 46,5 persen responden menyatakan tidak memperoleh bantuan dari pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh bantuan dari pihak lain termasuk sulit, karena ada asumsi dari masyarakat umum bahwa sekolah sudah mendapatkan bantuan dari negara, sehingga tidak perlu mendapat bantuan dari pihak lain. Dari semua responden yang menyatakan memperoleh dukungan dana yang memadai dari pihak lain hanya 25,8 persen responden. Sebanyak 27,7 persen responden hanya kadang-kadang saja memperoleh dukungan dana, sehingga mereka menyatakan dukungan dana tersebut jauh dari memadai. 7. Keterlibatan sekolah terhadap pembiayaan pelaksanaan program Pihak sekolah pada umumnya ikut membantu dalam pelaksanaan program. Sebanyak 62,4 persen responden menyatakan pihak sekolah terlibat dalam pembiayaan pelaksanaan progam kerja KKN-PPL, hanya kadar keterlibatannya (pembiayaan) berbeda-beda. Dalam hal keterlibatan pihak sekolah terhadap pembiayaan pelaksanaan progam kerja sebanyak 6 persen responden menyatakan bahwa dalam Pihak sekolah yang selalu terlibat dinyatakan oleh responden, sering terlibat 14,9 persen, dan 41,5 persen responden menyatakan pihak sekolah hanya kadang-kadang saja terlibat dalam pembiayaan progam. Model keikutsertaan sekolah dalam pembiayaan misalnya dengan pembiayaan gabungan antara sekolah dengan mahasiswa praktikan. Namun 37,6 persen menunjukkan bahwa sekolah sama sekali tidak ikut terlibat dalam pembiayaan untuk pelaksanaan program. 8. Persepsi terhadap biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan program Pembiayaan untuk pelaksanaan program kerja KKN-PPL yang dikeluarkan oleh masing-masing mahasiswa praktikan di setiap lokasi dapat berbeda-beda, dengan asumsi bahwa setiap mahasiswa praktikan memiliki program yang berbeda. Pembiayaan dapat memberatkan atau tidak memberatkan tergantung pada berapa besar program yang dilaksanakan masing-masing mahasiswa praktikan dan keterlibatan pihak lain dalam pembiayaan. Kelompok mahasiswa KKN yang tidak memperoleh dukungan dana dari pihak lain (termasuk pihak sekolah) dan banyaknya tuntutan dari pihak sekolah (terutama karena adanya progam-progam titipan yang biasanya dalam bentuk pembangunaan fisik) akan mengeluarkan iuran yang lebih banyak. Dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa untuk pelaksanaan progam kerja responden, yang pasti merasa keberatan sebanyak 45,5 persen (terdiri dari 12,8 persen sangat keberatan dan 32,7 persen memberatkan). Hanya 27,8 persen responden yang menyatakan tidak pernah keberatan. Untuk kelompok yang menyatakan tidak keberatan ini perlu ada penelitian lebih lanjut sebab-sebab mereka tidak keberatan, kemungkinannya karena kelompok ini memperoleh dana dari pihak lain atau karena latar belakang ekonomi keluarga yang berpendapatan tinggi. E. Persepsi Mahasiswa Terhadap KKN Terpadu dengan PPL 1. Persepsi terhadap KKN-PPL terpadu untuk latihan calon guru Mahasiswa memiliki respon yang beragam terhadap efektivitas model terpadu ini. Sebanyak 41,8 persen responden sepakat bahwa pelaksanaan KKN-PPL secara terpadu dapat menjadi ajang latihan bagi responden sebagai calon guru. Lebih dari 80 persen mahasiswa praktikan setuju bahwa KKN-PPL terpadu dapat dijadikan latihan sebagai calon guru, tetapi jumlah responden yang beranggapan negatif atau kurang setuju/tidak setuju terhadap pelaksanaan KKN-PPL terpadu sebanyak 18,7 persen. Meskipun mahasiswa setuju dengan KKN-PPL sebagai ajang pelatihan calon guru, tetapi sebenarnya yang dapat menjadi ajang pelatihan calon guru adalah PPL, bukan KKN-nya. Hal ini didasarkan atas pernyataan bahwa mahasiswa kurang setuju terhadap pelaksanaan KKN dan PPL yang digabung. 2. Perlakuan pihak sekolah terhadap keberadaan mahasiswa praktikan Keberadaan mahasiswa sebagai orang baru di sekolah ditanggapi secara beragam oleh komponen-komponen sekolah (siswa, guru, kepala sekolah dan karyawan). Berdasarkan kenyataan adanya tanggapan yang berbeda dari pihak sekolah, mahasiswa dapat merasakannya. Sebanyak 98 persen responden menyatakan bahwa pihak sekolah menghargai mahasiswa praktikan, bahkan diantaranya 33,6 persen responden menyatakan bahwa pihak sekolah sangat menghargai keberadaan mahasiswa KKN-PPL. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pihak sekolah yang memberikan kepercayaan, tempat yang layak kepada mahasiswa praktikan, selain itu pihak sekolah juga bersikap ramah. Sangat sedikit pihak sekolah yang kurang menghargai mahasiswa KKN-PPL. sebanyak 2 persen responden menyatakan dari pihak sekolah kurang menghargai mahasiswa KKN-PPL. 3. Upaya UPPL dalam mendukung pelaksanaan KKN-PPL UPPL sebagai lembaga pengelola kegiatan KKN-PPL berpengaruh terhadap kelancaran kegiatan KKN-PPL. Unsur UPPL dalam hal ini staff dan DPL. Menurut responden, upaya UPPL dalam mendukung pelaksanaan KKN-PPL belum optimal atau masih biasa-biasa saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya UPPL dalam mendukung KKN-PPL belum terlalu memuaskan sebagian mahasiswa praktikan. Namun 39,6 persen sudah merasa puas dengan upaya UPPL yang dipandang sungguh-sungguh. Sebagian besar responden mengganggap upaya UPPL mendukung pelaksanaan KKN-PPL hanya biasa-biasa saja (49,5 persen), dalam hal ini berarti tidak ada upaya lebih yang memungkinkan pelaksanaan KKN-PPL menjadi lebih baik. Sebanyak 10,9 persen responden menyatakan dari pihak UPPL kurang bersungguh-sungguh dalam mendukung pelaksanaan KKN-PPL. F. Pencapaian Kompetensi 1. Kemungkinan ketercapaian kompetensi guru bagi praktikan melalui KKN-PPL Berkaitan dengan kemungkinan ketercapaian penguasaan kompetensi oleh mahasiswa praktikan sebanyak 64,4 persen responden menyatakan bahwa kompetensi guru dapat dicapai melalui KKN-PPL, bahkan 19,8 persen sangat yakin tentang kemungkinan ketercapaian kompetensi tersebut. Hal ini didasarkan atas alasan karena mahasiswa secara langsung dihadapkan pada kondisi masyarakat pembelajar yang dapat menjadi lapangan tempat belajar. Kelompok responden yang tidak yakin tentang kemungkinan ketercapaian kompetensi guru sebanyak 15,8 persen responden. Hal ini didasarkan pada pengalaman responden yang merasa bahwa tidak semua kompetensi dapat diasah di sekolah, misalnya kompetensi sosial. 2. Ketercapaian kompetensi sosial dan pemecahan masalah kemasyarakatan Dengan adanya KKN-PPL memungkinkan responden untuk dapat mengembangkan kemampuan diri dalam bermasyarakat dan berlatih memecahkan masalah kemasyarakatan. Kemampuan tersebut termasuk kompetensi sosial yang semestinya dimiliki guru. Hal ini merupakan keuntungan bagi responden sebagai calon guru. Sebanyak 38 persen responden yakin tentang kemungkinan ketercapaian kompetensi sosial melalui kegiatan KKN-PPL. Sebagian besar (58 persen) responden menyatakan tidak yakin terhadap ketercapaian kompetensi sosial dan pemecahan masalah kemasyarakatan, bahkan 4 persen responden menyatakan tidak yakin. 3. Peningkatan kemampuan praktikan sebagai calon guru Pada umumnya mahasiswa praktikan merasa kompetensi keguruannya meningkat setelah melakukan KKN-PPL, hanya 2 persen responden yang merasa tidak mengalami peningkatan. Sebanyak 59,4 persen responden menyatakan terjadi peningkatan kemampuan praktikan sebagai calon guru, 38,6 persen merasakan adanya peningkatan meskipun hanya sedikit dan tidak ada mahasiswa yang merasa bingung atau tidak tahu dengan adanya peningkatan pada dirinya. 4. Kompetensi praktikan yang paling terasah melalui pelaksanaan KKN-PPL Empat kompetensi guru dapat terasah secara merata bagi responden, hanya saja untuk tiap responden kondisinya berbeda-beda. Hal tersebut dapat diketahui bahwa kompetensi yang paling terasah adalah kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, masing-masing adalah 28,7 persen dan 29,7 persen. Kompetensi yang paling tidak terasah adalah kompetensi sosial (18,8 persen). 5. Perananan pembimbingan pihak sekolah Dari kedua unsur pembimbing ini yang paling intensif mengetahui perkembangan kemampuan mahasiswa praktikan adalah guru pembimbing. Peranan pembimbingan pihak sekolah terhadap peningkatan kompetensi mahasiswa praktikan dianggap membantu, hal ini dinyatakan 90,1 persen responden. Hanya sejumlah kecil praktikan (2 persen) yang menyatakan bahwa bimbingan dari sekolah tidak membantu. 6. Peranan pembimbingan oleh DPL KKN dan DPL PPL Peran DPL PPL lebih strategis karena membimbing mahasiswa sejak PPL I, peran DPL KKN hanya pada bimbingan aktivitas non keguruan. Peranan pembimbing baik yang dilakukan oleh DPL KKN dan DPL PPL bernilai positif terhadap peningkatan kompetensi. Sebanyak 96 persen responden merasa terbantu bahkan diantaranya (34,6 persen) merasa sangat terbantu. Hanya 4 persen responden yang merasa kurang terbantu. Kesimpulan Dari uraian pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi mahasiswa praktikan terhadap pola bimbingan dalam pelaksanaan KKN-PPL terpadu, pada umumnya baik terutama dalam hal arti penting keberadaan dan peran pembimbing, baik pembimbing dari sekolah maupun dari DPL, tetapi berpersepsi kurang baik dalam hal cakupan aspek pembimbingan yang dianggap kurang komprehensif dan struktur waktu yang tidak terjadwal dan metode pembimbingan yang kurang variatif. 2. Persepsi mahasiswa praktikan terhadap intensitas bimbingan pada umumnya kurang baik terutama dalam hal jumlah kunjungan DPL KKN dan DPL PPL. Persepsi praktikan tergolong baik dalam hal kebermanfaatan bimbingan dan efektivitas bimbingan waktu bimbingan. 3. Persepsi mahasiswa praktikan terhadap optimalisasi pelaksanaan program, umumnya kurang baik terutama dalam hal kesulitan alokasi waktu untuk kegiatan KKN dan PPL, kurangnya saling mendukungnya antara KKN dan PPL, kurang optimalnya pelaksanaan progam dan kurang menganggap baik terhadap pola KKN-PPL terpadu. 4. Persepsi mahasiswa praktikan terhadap waktu pelaksanaan KKN-PPL terpadu umunya menyatakan cukup, tingkat ketercapaian alokasi waktu untuk KKN dan PPL cukup proporsional, meskipun kadang pengaturan waktu pelaksanaan untuk KKN dan PPL kadang menyulitkan, dalam rentang waktu pelaksanaan kesempatan untuk pengembangan potensi mahasiswa kurang. 5. Persepsi mahasiswa terhadap pencapaian kompetensi melalui kegiatan KKN-PPL terpadu pada umumnya positif terutama dalam hal peningkatan kompetensi keguruan (kompetensi pedagogik dan profesional). Kompetensi yang ketercapaiannya rendah adalah kompetensi sosial dan pemecahan masalah kemasyarakatan. Daftar Pustaka Oemar Hamalik. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Saidiharjo. 2006. Intensitas Pelaksanaan Progam Pengalaman Lapangan (PPL) Prajabatan Guru Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. FISE UNY Sudarman Danim.2003. Kebijakan Pendidikan di Indonesia di Alaf Baru. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Suparmini. 2007. Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Progam Pengalaman Lapangan Mahasiswa FISE UNY. Jurnal Informasi no XXXIII hal 65-70. Tim. 2009. Panduan KKN-PPL UNY. Yogyakarta: UPPL UNY Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2006 Tentang Guru dan Dosen Zamroni. 2001. Paradigma baru Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar