MEMBANGUN INSTITUSI SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR (LEARNING ORGANIZATION) 36 Institusi Sekolah sebagai Organisasi Pembelajaran 35 INFORMASI, No. 2, XXXV, Th. 2009. MEMBANGUN INSTITUSI SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR (LEARNING ORGANIZATION) Oleh: Riyanto Abstrak Sekolah sebagai insitusi yang menyelenggarakan pembelajaran, ironisnya dalam praktiknya justru belum menempatkan dirinya sebagai organisasi pembelajar (learning organization=LO), yakni yang secara sadar melakukan perubahan mendasar untuk mengatasi disfungsi, yakni mengubah reaksi menjadi kreasi, kompetisi menjadi kooperasi, kompetisi menjadi sinergi. LO mempunyai lima komponen, yakni: keahlian pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran oleh tim, dan berpikir sistemik. Dengan kelima komponen tersebut suatu organisasi diharapkan dapat berjalan secara harmoni. Membangun sekolah sebagai organisasi pembelajar berarti berusaha menjadikan sekolah sebagai institusi yang mau terus belajar, tanpa terus menggantungkan pada dinas atau pemerintah dalam mengatasi segala permasalahan yang dihadapi sekolah. Hal yang paling mendasar untuk segera dipelajari oleh sekolah dalam rangka membangun watak, perilaku, dan keunggulan kompetitif peserta didik adalah dengan cara membangun kultur sekolah. Kultur sekolah dapat mengubah sekolah sebagai lembaga yang mensinergikan seluruh komponen sekolah dan masyarakat sebagai kekuatan yang harmonis sehingga sekolah memiliki kekhasan dan mampu memiliki keunggulan tertentu. Kata kunci: sekolah, organisasi pembelajar. A. Pendahuluan Sekolah sebagai institusi yang memiliki misi utama untuk mencerdaskan dan membangun karakter anak bangsa melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan pendukungnya mestinya tidak menutup diri untuk belajar. Sekolah dengan segala komponennya tidak hanya membelajarkan siswa tetapi institusi sekolah sendiri juga harus belajar. Hal ini didasarkan pada sebuah konsep baru dalam keorganisasian yang mengangkat paradigma “learning organization” atau organisasi pembelajar. Sekolah merupakan suatu organisasi yang keberhasilan tujuannya sangat ditentukan oleh gaya kepemimpinan dan paradigma organisasi yang dipegang bersama oleh segenap komponen sekolah. Dalam tulisan singkat ini aspek yang akan disorot adalah paradigm organisasi sekolah. Paradigma organisasi sekolah dewasa ini mulai mengadopsi paradigm organisasi modern yang telah banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan terkemuka. Untuk mengatasi persoalan disfungsi budaya dan berbagai masalah manajerial, sebagaimana organisasi perusahaan dewasa ini telah muncul suatu paradigma baru yakni learning organization atau diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar. Dengan menerapkan paradigma tersebut diharapkan sekolah sebagai organisasi secara kelembagaan bersedia untuk selalu belajar terus menerus, masing-masing komponen organisasi sekolah, seperti guru, tenaga administrasi, dan kepala sekolah selalu dapat mendeteksi kekurangan atau kesalahan masing-masing untuk secara bersama-sama memperbaikinya. Kekurangan dan kesalahan satu komponen merupakan masalah bersama yang harus dihadapi bersama. Pusat pembelajaran organisasional yang bermarkas di MIT telah mempelajari fenomena organisasi pembelajaran sebagai sebuah proses dan tujuan manajemen sejak tahun 1990. Suatu organisasi pembelajar merupakan usaha penyesuaian secara terus menerus terhdap lingkungan yang saling bergantung dan mengalami perubahan. Hasil penelitian lembaga tersebut menunjukkan bahwa pembangunan organisasi pembelajaran memerlukan perubahan mendasar dalam pola pikir dan tindakan yang berlawanan dengan kepercayaan konvensional dan reaksioner. Perubahan dari keadaan organisasi yang terpecah-pecah, persaingan, dan reaksioner menuju organisasi yang sistemik, kooperatif, dan kreatif juga memerlukan suatu “perlawanan Galilean” menuju pembangunan persamaan komitmen. Dalam hal ini, komitmen dalam sisi lain merupakan kesetiaan personal yang mencakup kepada kesetiaan terhadap perubahan sosial melalui suatu organisasi. B. Membangun Komitmen Sebuah komitmen diperlukan oleh segenap komponen sekolah untuk melakukan perubahan mendasar terhadap kebiasan-kebiasaan tidak produktif yang selama ini dipraktekkan. Masing-masing komponen sekolah perlu melakukan refleksi dan mengeksplorasi diri untuk bahan awal melakukan perubahan mendasar dalam memandu ide-ide manajemen kontemporer. Para ahli oragnisasi berargumen bahwa disfungsi utama pada kebanyakan institusi adalah fragmentasi (perpecahan), kompetisi (persaingan), dan reaktif, yang secara aktual merupakan hasil dari keberhasilan para organisator (pemimpin, direktur, manajer, kepala, dan lain-lain) lebih dari seribu tahun dalam menghasilkan dunia fisikal dan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, budaya industrial. Ia datang sebagai sesuatu yang tidak mengejutkan yang mana disfungsi-disfungsi tersebut telah berurat berakar di berbagai institusi. Fragmentasi, kompetisi, dan reaktif bukan masalah yang harus dipecahkan, mereka adalah pola pikir yang telah membeku yang tidak terpecahkan. Pemecahan yang dapat diajukan di sini adalah suatu cara berpikir, merasa, dan menjadi baru, yakni budaya sistem. Pemikiran fragmentari menjadi sistemik ketika kita memperbaiki “memori keseluruhan”, kesadaran bahwa keseluruhan harus didahulukan (mengutamakan kepentingan bersama). Kompetisi menjadi kooperasi ketika kita menemukan “sifat diri masyarakat” dan merealisasikan peran kita sebagai tantangan untuk saling menolong. Reaktif menjadi kratif ketika kita melihat “kekuatan generatif bahasa” bagaimana bahasa membawa perbedaan keempat dari aliran kehidupan yang tidak terbagi-bagi. Perubahan tersebut memainkan peran sebuah “perubahan Galilean” baru. Teori revolusi heliosentrik menggeser pandangan kita dari melihat bumi sebagai pusat peredaran system tatasurya (teori Geosentrik) kepada suatu pola yang lebih luas. Dalam cara pandangan dunia yang baru, kita tergerak dari keutamaan bagian-bagian kepada keutamaan keseluruhan, dari kebenaran mutlak kepada interpretasi logis, dari diri sendiri kepada masyarakat, dari pemecahan masalah kreasi. Persamaan komitmen perlu untuk membangun organisasi pembelajaran melalui tipikal orang-orang “komitmen kepada organisasi mereka". Hal ini mencakup komitmen untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam dunia yang lebih luas dan melihat organisasi sebagai kendaraan untuk mengusung perubahan. C. Disfungsi Budaya Organisasi adalah mikro-kosmos masayarakat luas. Hati dari beberapa usaha sunguh-sungguh untuk mengubah agar organisasi berjalan dengan memperhatikan disfungsi mendasar dari budaya kita yang lebih besar. Menurut Kofman dan Peter (1993) ada tiga masalah fundamental dengan paradigma mutakhir, yakni: fragmentasi, kompetisi, dan reaktif. 1. Perpecahan (Fragmentasi) Setiap individu dalam kehidupan kelompok atau kelompok kecil dalam wilayah kelompok besar secara terus menerus berada dalam masalah fragmentasi. Tantangan utama kita dalam organisasi adalah mengahadapi persoalan tersebut dengan mencoba memasukkan pendekatan sistemik. Cara menganalisis persoalan yang sedemikian kompleks adalah dengan memecah komponen-komponen tersebut, mempelajari masing-masing komponen secara terpisah, kemudian menggabungkan (sintesis) komponen-komponen itu kembali sebagai satu kesatuan. Kita terbiasa melakukan fragmentasi sejak masih usia dini, saat awal-awal usia sekolah. Kita belajar tentang dunia yang terpecah-pecah ke dalam bagian-bagian kecil dan tidak berkaitan dengan diri kita. Kita mengingat fakta-fakta yang terisolasi, membaca ceritera sejarah statis, mempelajari teori-teori abstrak, dan mendapatkan ide-ide yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan aspirasi pribadi. Ilmu ekonomi terpisah dari psikologi, yang terpisah dari biologi, ysng sedikit berkaitan dengan seni. Kita menjadi yakin bahwa pengetahuan terakumulasi dari sejumlah informasi dan pembelajaran hanya sedikit dilakukan dengan bekerja sesuai dengan kemampuan untuk melakukan tindakan efektif, mengindera diri sendiri, dan bagaimana kita berada pada dunia kita. Hari ini, fragmentasi menjadi batu sandungan bagi kita untuk menjadi professional. Banyak dari kita menyebut diri spesialis. Akuntan khawatir terhdap buku-buku, manajer operasi khawatir tentang produksi dan inventori, manajer pemasaran khawatir terhadap basis pelanggan, dan tak seorang pun yang khawatir terhadap persoalan bisnis sebagai suatu keseluruhan. 2. Persaingan (Kompetisi) Kompetisi diawali dari keinginan ego untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang terbaik. Umumnya masyarakat telah menjadi lebih bergantung pada kompetisi, untuk memperluas bahwa hanya model kita yang pantas atau terbaik untuk melakukan perubahan dan pembelajaran. Tak ada yang salah secara intrinsik dalam hal kompetisi. Masalah terjadi ketika kita kehilangan keseimbangan antara kompetsisi dan kerja sama pada suatu saat, ketika kita sangat memerlukan bekerja secara bersama-sama. Kita jarang berpikir bagaimana proses mengembangkan pemimpin agar lebih menyerupai kemitraan parenting daripada persaingan, atau bagaimana mengembangkan kultur baru yang menyerupai pertamanan daripada kampanye militer. Kita sering melakukan kompetisi terhadap orang-orang yang seharusnya dapat kita ajak bekerjasama. Anggota-anggota tim bersaing untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang lebih baik. Bagian/divisi bersaing dengan divisi lainnya yang seharusnya divisi lain tersebut dapat diajak untuk berbagi pengalaman 3. Reaktif Di sebuah perusahaan, ketika terjadi sesuatu pecah/rusak, reaksi yang segera terjadi adalah memanggil seorang ahli (spesialis) untuk memperbaikinya. Keberhasilan ahli tersebut sesungguhnya akan membentuk mentalitas “kotak hitam” yang dapat menghambat organisasi dari mengembangkan kemampuan dirinya untuk belajar secara terus menerus. Adanya pandangan reaktif merupakan bukti pembenaran terhadap pemecahan masalah. Padahal pemecahan masalah secara mendasar berbeda dengan kreasi. Seorang pemecah masalah membuat maslah menjadi hilang, sedangkan seorang kreator membawa sesuatu yang baru menjadi ada. D. Sebuah Perlawanan Galilean 1. Keutamaan Totalitas Perspektif analitik mencakup tiga bagian proses, yakni: (1) memecah sistem ke dalam bagian-bagian komponen, (2) mempelajari masing-masing komponen secara terpisah, dan (3) menyusun suatu pemahaman secara keseluruhan dari suatu pemahaman bagian-bagian. Pembatasan karakteristik sebuah sistem tidak dapat dipahami sebagai suatu fungsi dari komponen-komponennya yang terpisah. Pertama, tingkah laku sistem tidak bergantung pada apa yang masing-masing dikerjakan oleh bagian-bagian itu, tetapi bergantung pada bagaimana masing-masing bagian itu berinteraksi dengan leluasa. Sebuah mesin mobil dapat bekerja dengan baik, tetapi jika saluran transmisi dilepas darinya, maka mobil itu tidak akan dapat bergerak. Kedua, memahami suatu sistem diperlukan untuk memahami bagaimana ia dapat mencapai suatu sistem yang lebih besar dimana ia merupakan bagian dari sistem itu. Kita gunakan contoh milik Russel Ackoff, kita tidak akan pernah memahami mengapa mobil-mobil standar mempunyai tempat duduk untuk empat atau lima orang jika dilihat pada properties fisik elemen-elemen mobil tersebut. Keberadaan manusia berkreasi membuat sistem teleologikal, sistem dengan tujuan tertentu. Memahami desain mobil, kita perlu melihat bagaimana ia mengangkut secara baik suatu masyarakat keluarga yang mengadakan perjalanan bersama-sama. Ketiga, hal yang sangat penting, apa yang disebut bagian-bagian tidak perlu diambil sebagai yang utama. Faktanya, bagaimana kita mendefinisikan bagain-bagian secara fundamental suatu bahan perpektif dan tujuan, tidak intrinsik di dalam persamaan “sesuatu yang nyata” yang sedang kita saksikan. 2. Persamaan diri masyarakat Para penganut fisika Newton dikagetkan dengan penemuan bahwa pada inti atom, pada pusat materi tidak ada sesuatu, tidak ada, energi murni. Ketika mereka mencapai pada blok bangunan yang secara fundamental memiliki persamaan, mereka menemukan suatu kehampaan kandungan, pola-pola probabilitas stabil berusaha mengkaitkan dengan pola-pola probabilitas lainnya. Penemuan ini telah merevolusi sains fisika, mengawali era quantum. Kesamaan yang dapat diambil adalah, kita terkejut terhadap penemuan bahwa pada inti person, pada pusat kedirian tidak ada sesuatu, tidak ada, hanya energi murni. Ketika kita sampai pada basis kedirian kita yang paling mendasar adalah kita menemukan suatu kehampaan kandungan, sebuah jaringan hubungan. Ketika seseorang meminta kepada kita untuk berbicara tentang diri sendiri, kita mengatakan tentang keluarga, pekerjaan, latar belakang pendidikan, afiliasi olah raga, dan lain-lain. Pada semua pembicaraan ini, dimana diri kita? Jawabnya adalah tidak dimana-mana, sebab diri sendiri itu bukan sesuatu, tetapi sebagaimana Jarome Bruner katakan, adalah sebuah titik pandang yang menyatukan aliran pengalaman ke dalam suatu narasi logis (koheren), sebuah narasi yang berusaha menghubungkan narasis-narasi lainnya dan menjadi lebih kaya. 2. Bahasa Sebagai Praktik Generatif Dalam kehidupan sehari-hari kita mengindera dunia, kita melihat kenyataan sebagai “di sana” dan diri kita sebagai pengobservasi “ di sini”. Tradisi Barat mendorong masyarakatnya untuk “memahami” bagaimana bekerja sama sehingga kita dapat mencapai apa yang diinginkan. Tetapi apakah jika yang menunjukkan kepada kita sebagai “realitas” tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan tindakan kita. Apakah jika kita merupakan bagian dari keseluruhan bagian dunia? Apakah jika krisis kita, paling tidak dalam bagian, sebuah krisis persepsi dan arti, lolos dari “kenyataan naïf” perspektif pengobservasi sebagai orang yang menggambarkan sebuah realitas eksternal? Apakah jika observasi diri sendiri adalah permulaan dari fragmentasi? 3. Menjalankan Prinsip-prinsip Bersama-sama dengan “manajemen kualitas total” dan “proses perekayasaan kembali”, “organisasi pembelajaran” telah menjadi dengung terakhir. “Organisasi pembelajaran” merupakan suatu kategori kita buat dalam bahasa. Sebagaimana setiap kreasi bahasa, kategori ini adalah sebagaiama dua sisi pedang yang dapat memeperkuat atau memperlemah Telah diyakini bahwa LO harus didasarkan pada tiga fondasi, yakni: a. sebuah budaya yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan transenden, seperti cinta, kekaguman, kerendahan hati, dan kasih sayang. b. seperangkat praktik untuk percakapan generatif dan mengkoordinasi tindakan. c. suatu kapasitas untuk melihat dan bekerja dengan aliran kehidupan sebagai suatu sistem. E. Penutup LO mempunyai lima komponen, yakni: keahlian pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran oleh tim, dan berpikir sistemik. Dengan kelima komponen tersebut suatu organisasi diharapkan dapat berjalan secara harmoni. Menurut Ismawan (2005), harmoni berkaitan dengan “kesearahan” yaitu suatu proses bagaimana agar potensi-potensi individu dalam organisasi disatukan secara sinergis. Kumpulan orang cerdas dalam suatu organisasi tidak secara otomatis membuat organisasi tersebut menjadi cerdas. Untuk menjadikan suatu organisasi menjadi cerdas, misalnya organisasi sekolah, maka diperlukan kesearahan atau harmoni antara berbagai unsur sekolah. Untuk melakukan sinergi diperlukan komitmen dari masing-masing individu, tanpa komitmen untuk bekerja dalam sistem, maka sinergi tidak akan terjadi. Betapa pentingnya komitmen ini, sehingga Kofman dan Senge (1993) menyebut komitmen ini sebagai the heart of leaning organization. Membangun sekolah sebagai organisasi pembelajar berarti berusaha menjadikan sekolah sebagai institusi yang mau terus belajar, tanpa terus menggantungkan pada dinas atau pemerintah dalam mengatasi segala permasalahan yang dihadapi sekolah. Hal yang paling mendasar untuk segera dipelajari oleh sekolah dalam rangka membangun watak, perilaku, dan keunggulan kompetitif peserta didik adalah dengan cara membangun kultur sekolah. Menurut Zamroni (2005) kultur sekolah menjadikan sekolah sebagai lembaga yang mensinergikan seluruh komponen sekolah dan masyarakat sebagai kekuatan yang harmonis sehingga sekolah memiliki kekhasan dan mampu memiliki keunggulan tertentu. Sekolah yang dibangun mesti didasarkan pada kultur tertentu yang memiliki birokrasi yang demokratis, model pelayanan yang prima, pola pengaturan kelas dan kantor guru-administrasi yang kondusif dan kepemimpinan kerpala sekolah yang egaliter. Hal senada mengenai pentingnya kepemimpinan termasuk di dalamnya kepemimpinan kepala sekolah dikemukakan oleh Sukanto Reksohadiprodjo dan Hani Handoko (1995) yang menekankan pada pentingnya pemimpin (leader) untuk memberikan perlakuan yang egaliter dan memposisikan bawahan (follower) sebagai sosok yang penting dalam suatu organisasi, sehingga bawahan merasa bahwa dirinya diperlukan. Membangun LO menurut Kofman and Senge (1993) memerlukan perubahan yang mendasar dalam cara berpikir dan bertindak yang mungkin berlawanan dengan keyakinan konvensional dan reaktif suatu organisasi. Selama ini persoalan yang dihadapi suatu organisasi adalah disfungsi budaya yang mencakup fragmentasi, kompetisi, dan reaksioner. LO berusaha menjadikan disfungsi budaya tersebut berubah dari fragmentasi menjadi sistemik, kompetisi menjadi kooperasi, dan reaktif menjadi kreatif. Perubahan tersebut memerlukan semangat Galilean (berasal dari nama seorang ilmuwan Galileo Galilei) yang saat itu berani mengusung kebenaran baru dengan teorinya heliocenstris yang menyatakan bahwa matahari merupakan pusat peredaran planet-planet, termasuk bumi. Padahal keyakinan saat itu yang ditanamkan oleh pihak gereja menyatakan bahwa bumilah yang menjadi pusat peredaran planet-planet atau dikenal dengan pandangan geocentris. Galileo bahkan akhirnya menanggung resiko dihukum mati demi kebenaran yang diyakininya. Daftar Pustaka Ismawan, Indra. 2005. Learning Organization, Membangun Paradigma Baru Organisasi Pembelajar. Jakarta: Penerbit Cakrawala Media Pressindo. Kofman, Fred and Peter M. Senge, 1993. Communities of Commitment: the Heart of Learning Organization. Diperoleh dari www.lo.com. Diakses tanggal 20 Juni 2008. Sukanto Reksohadiprodjo, dan Hani Handoko, T. 1995. Organisasi Perusahaan. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Suharsono Wignyowiyoto,. 2002. Leadership-Followership Hubungan Dinamis Kepemimpinan-Keanakbuahan Sebagai Kunci Sukses Organisasi. Jakarta: Penerbit PPM kerja sama dengan Pusdiklat BRI. Zamroni, 2005. Mengembangkan Kultur Sekolah Menuju Pendidikan Yang Bermutu. Makalah Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Pengembangan Budaya Sekolah di UNY. Yogyakarta 23 November 2005 Biodata Penulis. Riyanto, S.Pd., adalah alumni Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten, Jurusan Pendidikan Kewarganegeraan. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah SD Negeri Sidakaton 02 Kecamatan Tanjung, Brebes.