EKSISTENSI SEKTOR INFORMAL DAN UPAYA PEMBINAANNYA 96 Eksistensi Sektor Informal 95 INFORMASI, No. 2, XXXV, Th. 2009. EKSISTENSI SEKTOR INFORMAL DAN UPAYA PEMBINAANNYA Oleh: Wasiti Abstrak Pertumbuhan sektor informal di Indonesia terutama pasca krisis ekonomi menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Gejala ini merupakan fenomena yang wajar meskipun sektor informal sering dipandang sebagai usaha pinggiran. Namun dalam perkembangan sektor informal ternyata mampu memberikan kontribusi yang positif dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia, terutama dalam masalah antisipasi pengangguran dan kemiskinan. Mengingat karakteristik sektor informal antara lain adalah rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan pelaku usaha terutama dalam manajemen, maka diperlukan upaya pembinaan secara terus menerus. Dengan upaya pembinaan diharapkana sektor informal berkembang menjadi palaku kegiatan ekonomi yang tangguh dalam menghadapi fluktuasi ekonomi dunia yang cukup tajam. Upaya pembinaan dapat dilakukan melalui bantuan permodalan, pendidikan dan pelatihan manajemen, peningkatan keterampilan, peningkatan kualitas produk, kemudahan memperoleh bahan baku, perluasan pasar dan regulasi proteksi terhadap produk lokal. Kata kunci : Sektor Informal, Pembinaan A. Pendahuluan Sektor informal sebagai salah satu bentuk alternatif usaha di luar sektor formal, telah lama berkembang di Indonesia. Munculnya sektor ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari beberapa alasan dan motivasi dari masing-masing pelakunya. Alasan-alasan yang mendorong munculnya usaha sektor informal antara lain: (a) urbanisasi, (b) pengangguran, (c) kerja sambilan, dan (d) permintaan pasar (Manning, 1985). Urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Tingginya tingkat urbanisasi mengakibatkan populasi penduduk perkotaan semakin luas, suasana kota menjadi semakin ramai, kumuh, hiruk pikuk dan social effect lainnya. Pada umumnya mereka pindah ke kota dengan tujuan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Ketika berada di kota ternyata kehidupan mereka tidak menjadi lebih baik, maka pada umumnya mereka membuka usaha di sektor informal, karena sektor informal dipandang lebih gampang dan tidak rumit. Pengangguran adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka akan menempuh cara beragam, antara lain memasuki sektor informal. Selain itu para urban yang memiliki penghasilan yang kurang memadai umumnya mereka melakukan kerja sambilan, yaitu pekerjaan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang karena sedang tidak melakukan pekerjaan tetap. Motivasi lain yang memunculkan sektor informal adalah semakin tajamnya kesenjangan antara masyarakat golongan atas dengan golongan menengah ke bawah. Permintaan pasar dapat muncul pada para pelaku sektor informal ketika semakin banyak golongan masyarakat menengah ke bawah tidak mampu menjangkau produk-produk yang ditawarkan di pasar. Dari berbagai alasan tersebut, maka muncullah usaha sektor informal, terutama di daerah perkotaan. Laju pertumbuhan penduduk kota yang sangat padat semakin menambah jumlah pengangguran, sementara sektor formal tidak mampu menampung mereka. Dengan demikian keberadaan sektor informal sebenarnya dapat mengatasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia, karena dapat menampung golongan masyarakat yang tidak terserap bekerja di sektor formal. Agar pelaku ekonomi pada sektor informal mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan perekonomian di Indonesia, maka perlu dilakukan upaya pembinaan secara kontinyu sehingga pemberdayaan sektor informal dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya, yang bermuara pada tercapainya kesejahteraan masyarakat pada umumnya. B. Eksistensi Sektor Informal Sejak dimulainya orde baru, bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan pada berbagai sektor, antara lain sektor pertanian, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor ekonomi. Pembangunan dilaksanakan secara bertahap, setiap tahapan dalam kurun waktu lima tahun (PELITA). Dalam setiap tahapan PELITA pada dasarnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dan secara khusus setiap PELITA bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pembangunan perekonomiannya didukung oleh para pelaku ekonomi, yaitu: (a) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), (b) Badan Usaha Milik Swasta, dan (c) Koperasi. Dalam perjalanannya para pelaku tersebut banyak mengalami perkembangan pesat, utamanya badan usaha yang dimiliki swasta. Sampai saat ini BUMS sudah menunjukkan mampu mengangkat tingkat perekonomian di Indonesia secara umum. BUMN yang mengutamakan layanan kepada masyarakat juga masih eksis karena umumnya bergerak dalam bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan masih mendapatkan subsidi pemerintah. Demikian juga dengan koperasi dari tahun ke tahun ditingkatkan terus upaya pembinaannya dan berkembang terus seiring dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Ketiga pelaku ekonomi tersebut memiliki anggaran, dasar hukum dan manajemen yang jelas, yang mungkin disebut sebagai pelaku sektor formal. Perkembangan sektor formal semakin pesat yang menimbulkan persaingan di dalam masyarakat untuk berkompetisi masuk ke dalam sektor formal. Bagi masyarakat yang dapat masuk ke dalam sektor formal akan menjadi pelaku ekonomi sektor formal. Tetapi bagi masyarakat yang tidak dapat memasuki sektor formal akan tersingkir dan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi secara individu maupun kelompok secara swadaya. Usaha inilah yang digolongkan ke dalam sektor informal. Dengan demikian sektor informal merupakan salah satu pelaku ekonomi di Indonesia. Sebagai pelaku ekonomi sektor ini mempunyai karakteristik yang berbeda di bandingkan dengan sektor formal. Adi Sasono (dalam Edi Swasono, 1985) mengemukakan perbedaan karakteristik antara sektor formal dan sektor informal seperti berikut : Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal 1 Modal Relatif mudah diperoleh Sukar diperoleh 2 Teknologi Padat modal Padat karya 3 Organisasi Birokrasi Mempunyai organisasi keluarga 4 Kredit Dari lembaga keuangan resmi Dari lembaga keuangan tidak resmi 5 Serikat Buruh Sangat berperan Tidak berperan 6 Bantuan Pemerintah Penting untuk kelangsungan usaha Tidak ada 7 Hubungan dengan desa One way traffic untuk kepentingan sektor formal Saling menguntungkan 8 Sifat wiraswasta Sangat tergantung dari perlindungan pemerintah atau impor Berdikari 9 Persediaan barang Jumlah besar dan berkualitas baik Jumlah kecil dan kualitas berubah-ubah 10 Hubungan kerja Berdasarkan kontark kerja Berdasarkan azas saling percaya Tampak bahwa karakteristik antara sektor formal dan sektor informal bertolak belakang. Karena itu sangat diperlukan upaya pembinaan bagi sektor informal agar dapat berkembang dengan baik. Diperlukan pula keberanian bagi para pelaku sektor informal untuk mulai menata dirinya dalam bidang manajemen. Pandangan senada dari Suharsono Sagir (1989) memberikan batasan sektor informal yaitu kegiatan ekonomi yang bersifat marginal (kecil-kecilan) sebab kegiatannya tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, tidak mengenal sistem perbankan maupun perkreditan. Meskipun karakteristiknya berbeda, tetapi munculnya sektor informal bukan hanya sekedar karena kurangnya lapangan pekerjaan dan bukan hanya menampung lapangan kerja yang terbuang dari sektor formal semata. Justru sektor informal mampu memsubsidi sektor formal karena sebagai pilar ekonomi, sektor formal cenderung tidak/kurang efisien, sedangkan sektor informal merupakan sektor yang cukup efisien karena lebih mampu menyediakan kebutuhan kehidupan yang lebih murah. Konsepsi ekonomi tentang sektor informal baru muncul tahun 1969 dan terus dikembangkan pada saat International Labor Organization (ILO) mengembangkan program World Employment Program (WEP). Program tersebut bertujuan untuk mencari strategi pembangunan ekonomi yang tepat yang mampu mengatasi masalah ketenagakerjaan di negara berkembang, yang pada kenyataannya meskipun telah melaju membangun ekonomi namun tingkat pengangguran di negara berkembang masih tetap tinggi. Sektor informal sebagai pelaku kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pengaturan dan perlindungan pemerintah, sebenarnya memiliki makna ekonomi kompetitif, padat karya, memanfaatkan input dan teknologi lokal, serta beroperasi atas dasar pemikiran sendiri oleh masyarakat lokal. C. Perkembangan Sektor informal di Indonesia Tujuan pembangunan jangka panjang (PJP) II di Indonesia pada bidang ekonomi adalah mewujudkan perekonomian yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil dan merata. Untuk dapat mencapai sasaran tersebut maka pertumbuhan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan pemerintah khususnya di bidang ekonomi sebagai upaya memecahkan ketidak selarasan di dalam masyarakat. Sektor informal di Indonesia sebagai suatu kegiatan ekonomi sering dikatakan sebagai massa pinggiran, berada dalam keadaan ekonomi lemah. Keberadaannya sering dipandang sebagai sumber permasalahan, khususnya bagi pemerintah daerah yang berwenang mengurusi kebersihan dan ketertiban. Namun keberadaan sektor informal pada dasarnya merupakan penyelamat masalah ketenagakerjaan khususnya masalah pengangguran di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguran di Indonesia pada Pebruari 2008 menurun di bandingkan Pebruari 2007 dan Agustus 2007 (Kompas, 16 Mei 2008). Jumlah pengangguran pada Pebruari 2008 sebesar 9,43 juta orang berkurang 584.000 dibandingkan Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibandingkan jumlah pengangguran pada Pebruari 2007 yang mencapai 10,55 juta orang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia dapat diselamatkan antara lain oleh keberadaan sektor informal yang lebih mampu menyerap tenaga kerja. Meskipun menjadi penyelamat, sektor informal dinilai kurang berkualitas dalam perspektif penyerapan tenaga kerja. Pada umumnya, sektor informal yang menyerap tenaga kerja adalah bidang pertanian, perdagangan dan jasa kemasyarakatan. Dari tahun ke tahun, sekitar 70 persen pekerja di sektor informal, sedangkan 30 persen lainnya di sektor formal. Di Indonesia sektor informal di cirikan sebagai berikut : (1) kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik karena timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, (2) pada umumnya unit usaha tidak memiliki ijin usaha, (3) pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, (4) pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke pedaganng kaki lima (PKL), (5) unit usaha mudah bergeser dari sub-sektor ke sub sektor lainnya, (6) teknologi yang diguanakan bersifat primitif, (7) model dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil, (8) pendidikan yang diperlukan untuk melakukan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, (9) pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-man enterprise dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari keluarga, (10) sumber dana modal usaha yang umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi, (11) hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat desa – kota berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah (Hidayat dalam F.R. Karompis, 2006). Mengkaji ciri-ciri tersebut di atas dan melihat daya serap sektor informal dalam penggunaan SDM, menunjukkan bahwa dengan segala kelemahannya sektor informal ternyata mampu berperan dalam upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan, masalah kemiskinan, yang selanjutnya berperan pula dalam upaya pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang diumumkan oleh Menteri Negara PPN/ kepada Bappenas Paskah Suzetta pada 4 Juli 2008 yang menilai bahwa sektor industri informal menjadi pendorong menurunnya angka kemiskinan. Sesuai hasil survei BPS Maret 2008 (Indonesia.co.id) angka kemiskinan Indonesia menurun menjadi 34,17 juta orang (15 persen dari total penduduk Indonesia) dari 37,17 juta orang pada tahun 2007. Penurunan angka kemiskinan tersebut sebagian besar diserap sektor informal. Di negara berkembang seperti Indonesia, sektor informal memang jelas lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor formal. Rata-rata penyerapan tenaga kerja baru di Indonesia mencapai 350 ribu hingga 450 ribu orang setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Realisasi penurunan tingkat kemiskinan tersebut cukup menggembirakan, dan menyikapi pertumbuhan sektor informal yang menggembirakan tersebut pemerintah akan mengawal program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk mendukung lebih jauh pertumbuhan sektor informal. Program ini diserahkan pelaksanannya kepada Kementrian Negara Urusan Mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang dialokasikan di berbagai sektor. Dengan KUR diharapkan akan terjadi pertumbuhan sektor informal, bukan hanya untuk sub-sektor manufaktur, tetapi juga untuk sub-sektor pertanian. Menurut data Bappenas, sampai bulan Januari 2008 pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk program KUR sebesar Rp 851,474 miliar dengan total debitor 13.665, terdiri atas koperasi dan UMKM. Penyaluran dilakukan melalui enam bank yang ditunjuk pemerintah yaitu BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. Mengkaji betapa besar kontribusi keberadaan sektor informal dalam mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan di Indonesia dan ciri-ciri sektor informal yang cenderung banyak kelemahannya, maka perlu ada upaya untuk melakukan pembinaan secara terus menerus. Pembinaan dapat dilakukan terutama oleh pemerintah, lembaga swasta maupun kelompok masyarakat independen yang peduli terhadap masalah-masalah sosial masyarakat. D. Upaya Pembinaan Banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya sektor informal di Indonesia. Penyebab utama adalah karena surplus tenaga kerja yang sangat besar, utamanya di Pulau Jawa. Adanya keterbatasan tanah dengan pertumbuhan penduduk yang melaju pesat telah membawa masyarakat kesulitan mendapatkan kehidupan yang layak. Fenomena telah terjadi kemajuan sosial utamanya di bidang pendidikan dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi, terjadinya pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, namun belum mampu mengalihkan sektor informal menuju ke sektor formal. Di sisi lain, ditinjau dari sisi ekonomi modern, investasi yang ditanamkan cenderung bersifat padat modal, maka bagi sektor informal hal tersebut tidak sebanding dengan beban yang harus dipikul untuk mampu menyerap tenaga kerja yang semakin besar jumlahnya. Dari sisi kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, khususnya di bidang ketenagakerjaan selama masa pembangunan (pada kurun PELITA) sangat kondusif bagi pesatnya perkembangan sektor informal. Ketika pemerintah belum mampu memberikan kompensasi bagi para penganggur, para pencari kerja akan lari ke sektor informal karena terbatasnya ketersediaan lapangan kerja di sektor formal. Dari berbagai faktor penyebab tersebut, keberadaan sektor informal sangat beralasan, dan akan semakin besar dan tumbuh terus bebarengan dengan lajunya pertumbuhan penduduk usia kerja. Dari fenomena tersebut maka sektor informal merupakan aset nasional yang perlu mendapat perhatian serius, perlu upaya pembinaan, karena hakekat dari kebijaksanaan pembangunan adalah membangun masyarakat industri seutuhnya yang memiliki hak hidup yang layak. Upaya pembinaan hendaknya memberikan perhatian utama pada masalah sumber daya manusia (SDM) karena jumlah tenaga kerja sangat besar tapi dalam kondisi kualitas pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang relatif rendah. Upaya pembinaan hendaknya mencakup kepribadian, etika, pengetahuan, bakat, keterampilan dan etos kerja. Selain itu juga diperlukan perhatian terhadap tenaga kerja wanita, anak-anak di bawah usia kerja dan lanjut usia (lansia). Kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah antara lain menciptakan regulasi di bidang finansial, pendidikan, latihan keterampilan, penguasaan teknologi tepat guna, dan yang tidak kalah penting adalah menciptakan pasar dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan sektor informal, dan pembinaan bidang manajemen. Bentuk pembinaan dapat berupa penyediaan balai latihan kerja, memberikan pelatihan, penyuluhan, membuka kesempatan untuk magang, sistem bapak angkat dan lain-lain yang semuanya itu dapat dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta secara terus menerus. Menurut pandangan P.J. Simanjuntak (dalam Supriyanto : 1995) upaya pembinaan sektor informal dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu : (1) mendorong sektor informal yang ada ke sektor formal, (2) meningkatkan kemampuan yang ada pada usaha sektor yang sama, (3) mengadakan relokasi bagi kegiatan usaha sektor informal, (4) mengalihkan usaha yang sama sekali tidak mempunyai prospek baik ke bidang usaha lain yang mempunyai prospek lebih baik. Menurut pendekatan pertama, untuk mendorong sektor informal ke sektor formal harus mendapat dukungan modal, pemberian latihan manajemen usaha dan perlu diberikan pelatihan keterampilan usaha yang bersifat teknis. Berbagai kredit telah diluncurkan oleh pemerintah dan lembaga swasta seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), memberi pinjaman modal tanpa bunga atau pinjaman lunak, sistem bapak angkat, juga kredit yang sedang digalakkan sekarang adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya formalisasi sektor informal ini tidak akan berhasil manakala tidak ada upaya perbaikan manajemen khususnya dalam masalah operasional dan pengawasan. Dalam upaya formalisasi sektor informal kapitalisasi yang dilakukan harus mampu menciptakan kapitalisasi yang dapat memasuki mekanisme pasar. Sehingga upaya formalisasi sektor informal ini akan memberikan berkah kemakmuran bagi pelakunya dan bukan hanya sekedar formalisasi semu. Menurut pendekatan kedua yaitu meningkatkan kemampuan usaha, penerapannya dapat dilakukan dengan cara misalnya: memberikan pelatihan untuk memperkaya desain bagi para pengrajin batik dan pengrajin gerabah di Kasongan Bantul Yogyakarta. Terbukti dengan desain batik yang semakin beragam dan menarik, saat ini pakaian batik sudah semakin banyak diminati oleh segala umur, baik dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, laki-laki maupun perempuan. Hasil kerajinan gerabah di Kasongan juga semakin bagus kualitasnya karena pengayaan desain dan pewarnaan. Peran pembina juga diperlukan untuk mengupayakan memasak bahan baku dan distribusi untuk pemasarannya. Hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah tumbuh dan berkembang sentra-sentra kerajinan, maka diperlukan upaya pembinaan manajemen, peningkatan kualitas, permodalan dan perluasan pasar. Juga tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah untuk menciptakan regulasi dalam memproteksi hasil produksi dalam negeri (lokal) agar tidak tergilas oleh produk luar negeri atau produk impor. Menurut pendekatan ketiga, adalah merelokasi kegiatan usaha sektor informal. Pendekatan ini perlu dilakukan, karena pada umumnya keberadaan usaha sektor informal cenderung melanggar norma ketertiban, keindahan, dan gangguan jalan raya. Program relokasi mengupayakan penyediaan tempat kedudukan usaha yang strategis dan menguntungkan, baik dari pihak pengusaha maupun dari pihak masyarakat konsumen, tanpa mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Misalnya, pemerintah daerah DIJ telah memindahkan pusat penjualan sayur dari Shopping Centre ke pasar Giwangan. Juga kiosisasi pedagang buku di Terban dan bunga di Jl. Ahmad Jazuli, Kotabaru Yogyakarta. Menurut pendekatan keempat, mengalihkan usaha yang sama sekali tidak mempunyai prospek lebih baik ke bidang usaha lain yang mempuyai prospek lebih baik. Upaya pengalihan usaha pada umumnya sulit dilakukan karena kurangnya keberanian para pengusaha mengambil resiko. Pengalihan usaha hendaknya dilakukan dengan pertimbangan rasional bahwa usaha yang baru akan membawa peluang yang menguntungkan. Agar para pengusaha sektor informal mempunyai kemauan, kemampuan dan keberanian untuk mengalihkan usaha yang memiliki prospek lebih baik diperlukan upaya pembinaan dengan langkah pembinaan yang cukup bijaksana. E. Penutup Dari berbagai pendekatan dalam upaya pembinaan sektor informal, pendekatan mana yang akan dipilih sangat tergantung pada potensi yang ada pada masing-masing daerah, kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat serta kebijakan yang diterapkan pihak pemerintah, terutama pemerintah lokal/daerah. Yang perlu disadari bahwa keberadaan sektor informal merupakan fenomena yang wajar, yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Masalahnya adalah bagaimana agar sektor informal ini dapat tumbuh kembang secara harmonis di tengah-tengah kelompok masyarakat lainnya, serta dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, maka diperlukan upaya pembinaan yang tepat. Dengan demikian sektor informal akan dapat menjadi kelompok masyarakat pengusaha yang memiliki makna berarti bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Daftar Pustaka: Biro Bina Sosial. 1995. Sektor Informal. Jakarta : Biro Bina Sosial Depsos. Fransiska R. Korompis. 2006. Pemberdayaan Sektor Informal : Studi Tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya Terhadap Penerimaan PAD di Kota Manado, Laporan Penelitian. http://subkhan . wardpress.com/2007/11/18/formalisasi sektor-informal/ http://indonesia.go.id/Sektor. 4 juli 2008. Informal Berhasil Menekan Angka Kemiskinan. Kompas, 16 Mei 2008. Sektor Informal Menjadi Penyelamat Antisipasi Tambahan Pengangguran. Manning Christ, Efendi Noer Tadjudin. 1985. Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal di kota. Jakarta : PT Gramedia Sri Edi Swasono. 1987. Membangun Sistem Ekonomi Nasional dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Suharsono Sagir. 1989. Membangun Manusia Karya : Masalah Ketenagakerjaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Supriyanto, 1994/1995. Kajian Tentang Permasalahan Ekonomi di Indonesia. Malang : Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas IKIP Malang. Biodata Penulis. Wasiti, M.Si. adalah pengajar pada Jurusan Pendidikan Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.