57 Nurhidayati Kusumaningtyas, Marjinalisasi (Publik) Aktivis dalam Literatur Public Relations MARJINALISASI (PUBLIK) AKTIVIS DALAM LITERATUR PUBLIC RELATIONS Nurhidayati Kusumaningtyas Balai Diklat Industri Yogyakarta n_kusumaningtyas@yahoo.com Abstract Activism can involve an individual or a collection of a few people. The practice of activism is often perceived as negative and destructive actions. In the literature of public relations, we will discover how the activist group pressure group categorized into the “source of trouble” and must be addressed by public relations practitioners. This perspective led to a bias that leads to marginalization of “activist public” in public relations literature. Marginalization process lasts through two methods: (1) the provision of which tend negative stigma, (2) the dominance of the paradigm of “corporate centric” in the literature of public relations. This article presents an alternative paradigm of the postmodern paradigm in view of the role and functions of the public activists. Abstrak Aktivisme bisa melibatkan seorang individu ataupun kumpulan beberapa orang. Praktek aktivisme seringkali dipersepsikan sebagai tindakan yang negatif dan destruktif. Dalam literatur public relation, kita akan menemukan bagaimana kelompok aktivis dikategorikan kedalam kelompok penekan yang menjadi “sumber masalah” dan harus diatasi oleh praktisi public relations. Perspektif ini memunculkan bias yang mengarah pada marjinaliasi “publik aktivis” dalam literature public relation. Proses marjinalisasi berlangsung melalui dua cara: (1) pemberian stigma yang bertendensi negative, (2) adanya dominasi paradigma “corporate centric” dalam literatur public relation. Artikel ini menyajikan alternatif paradigma yakni paradigma postmodern dalam melihat peran dan fungsi publik aktivis. Keywords: Public Activist, Corporate Centric, Marginalization. PENDAHULUAN Seorang perempuan berusia 23 tahun bertahan diatas pohon California Redwood dengan ketinggian mencapai 180 kaki selama 738 hari memprotes penebangan pohon yang dilakukan oleh perusahaan Pacific Lumber Company. Perempuan tersebut menyatakan tidak akan turun dari pohon hingga perusa- haan tidak menebang pohon di ketiga area khusus. Kasus lainnya adalah kasus David Vs Goliath dimana seorang pekerja pos dan tukang kebun yang bekerja paruh waktu dia- jukan ke persidangan oleh perusahaan be- sar Mc Donald dengan tuduhan keduanya (bersama beberapa rekannya) menyebarkan leafletyangmengkritik perusahaan berskala multi billion dollar dengan menyebutkan pe- rusahaan tersebut telah menekan upah kary- awan dan menyedikan makanan yang tidak sehat. Persidangan kedua orang tersebut men- jadi rekor pengadilan dengan waktu terlama dalam sejarah pengadilan Inggris dan akh- irnya hakim memutuskan Mc Donalds harus membayar 60.000 poundsterling dan men- gakui beberapa informasi yang terdapat da- lam leaflet benar adanya. Dari kasus tersebut, secara nyata Mc Donald harus kehilangan 58 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 45. Nomor 1. Juni 2015 materi sekaligus menghabiskan waktu para eksekutifnya untuk memberikan keterangan di depan pengadilan dan yang paling buruk adalah Mc Donald kehilangan reputasinya. Ilustrasi kisah diatas merupakan salah satu contoh tindakan aktivisme.Aktivisme bisa melibatkan seorang individu ataupun kumpulan beberapa orang. Sebagaimana ki- sah diatas aktivisme bisa dijalankan oleh se- orang perempuan ataupun dua orang yang “lemah” yang dapat mempengaruhi korpo- rasi untuk mengubah kebijakannya. Praktek aktivisme seringkali diper- sepsikan sebagai tindakan yang negatif dan destruktif. Bila menyimak sejarah aktivisme dalam bentuk gerakan sosial yang terjadi di duniaseperti pada era 1880an yang menge- mukakan isu mengenai animal rights, ke- mudian era 1960an dan 1970an aktivisme tumbuh subur melalui pergerakan sosial yang mengusung tema mengenai feminisme, environmentalisme, dan banyak isu lainnya. Kemudian dalam konteks Indonesia sendiri aktivisme melalui pergerakan sosial berhasil mengangkat isu mengenai kesetaraan jender, kebebasan berekspresi, dan perlindungan ketenagakerjaan.Praktek itu mendorong “keadilan baru” dalam kehidupan sosial. Munculnya wacana-wacana di atas yang didorong oleh aktivisme ternyata memberi- kan kontribusi positif bagi perubahan sosial politik di banyak negara.Jadibukankah tin- dakah aktivisme juga memberikan kontribu- si positif bagi masyarakat? Namun bila kita menyimak studi-studi mengenai aktivisme dalam literature public relations, kita akan menemukan perspektif bahwa tindakan ak- tivisme adalah tindakan yang destruktif dan membahayakan bila tidak segera ditangani. Tendensi tersebut dapat disimak melalui penamaan publik aktivis sebagai “pressure group”. Pemberian stigma negatif tersebut dikhawatirkan memunculkan bias persepsi yang mengarah pada marjinalisasi publik ak- tivis. Dengan latarbelakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menelaah bagaimana marjinalisasi berlangsung, serta memberi- kan alternatif adanya pendekatan postmod- ern dalam melihat peran dan fungsi publik aktivis. PEMBAHASAN Pemberian Stigma Negatif Publik Ak- tivis dalam Literatur Public Relation Marjinalisasi berlangsung dengan men- ciptakan stigma negatif terhadap kelompok aktivis dan sebaliknya membangun stigma positif terhadap public relations.Aktivisme seringkali dipersepsikan sebagai“sumber masalah” dan public relations sebagai rep- resentasi organisasi atau korporasi sebagai pihak yang memiliki solusi yang dengan strateginya berusaha mengatasi “sumber masalah”. Sebagai ilustrasi dalam sebuah drama sering kita mengenal peran protagonis dan antagonis. Peran protagonis mencerminkan persepsi yang positif sementara sebaliknya peran antagonis mencerminkan peran negatif yang menganggu dan harus diatasi. Bila dalam drama, peran antagonis mutlak menjalankan aktivitas dengan stigma negatif yang destruktif.Sebaliknya bila menyimak di bidang bio-chemistry, antagonistik jus- tru merupakan tindakan yang memuncul- kan hasil yang positif. Antagonistik dalam bio-chemistry bertugas untuk melawan dan mengurangi unsur-unsur kimia dalam tu- buh. Insulin misalnya, berfungsi untuk men- gurangi kadar glukosa dalam darah manusia. Jadi, antagonis tidak selalu mutlak berperan negatif atau destruktif sebagaimana dalam sebuah drama.Memiliki peran antagonis bisa jadi justru berpengaruh positif dan mem- bangun sistem kearah yang lebih baik. Dalam literatur public relations, aktiv- isme dikonstruksikan sebagai kelompok an- tagonis dengan stigma yang negatif.Dougall (2005) menyebutkan activists are predomi- nantly treated as a hostile part of the organi- zation’s environment in the public relationss research and literatur. (Aktivis kerapkali diperlakukan sebagai bagian yang dimusuhi oleh organisasi dalam penelitian dan litera- tur publik relation). Grunig (1992) juga mengakui hubungan antara organisasi dan publik aktivis kerap digambarkan sebagai antipati dimana kel- ompok itu dilihat sebagai pembuat masalah 59 Nurhidayati Kusumaningtyas, Marjinalisasi (Publik) Aktivis dalam Literatur Public Relations yang memiliki koneksitas yang rendah den- gan organisasi (baca: korporasi). Permusuhan antara organisasi dan pressure group sebagai sebuah kelaziman yang jamak ditemui dalam literatur dan penelitian public relation. Artikel Larissa Grunig yang bertajuk “Ac- tivism: How It Limits Effectiveness Organiza- tion and How Excellence Public relations De- partment Respond” juga bisa menjadi sebuah contoh bagaimana stigma negatif diberikan kepada publik aktivis. Dari judul artikel tersebut sudah memperlihatkan bahwa ak- tivis ditempatkan sebagai pihak antagonis yang menjadi masalah dan menimbulkan inefisiensi dalam organisasi. Artikel itu seka- ligus menempatkan publik relations sebagai pihak protagonis dengan menyebutkan pub- lic relations sebagai pihak yang “excellence” dalam mengatasi “aksi” kelompok aktivis. Pada bagian penjelasan dalam artikelnya tersebut Grunig menyebutkan kelompok ak- tivis menciptakan inefisiensi organisasi yang membahayakan otonomi organisasi dan men- imbulkan ekonomi biaya tinggi, menurunk- an pangsa pasar, dan merusak reputasi. Oleh karenanya korporasi atau organisasi harus mengatasi “masalah aktivis” untuk menjaga otonomi organisasi/korporasi. Pandangan yang dikemukakan oleh Grunig tersebut ru- panya mendominasi banyak literatur public relations. Marjinalisasi peran aktivis sebagai kel- ompok antagonis dengan stigma negatif juga ditunjukkan melalui pemberian definisi yang timpang makna. Seperti definisi yang dikem- bangkan oleh Grunig. Ia mendefinisikan ak- tivis sebagai a group of two or more individu- als who organize in order to influence another public or publics through action. Menurut Coombs dan Holliday kata “influence” send- iri memiliki makna pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Influence merupakan tipe kekuasaan ketika salah satu konstituensi dapat mengubah perilaku konstituensi lain- nya. Sangat jarang ditemui dua pihak yang memiliki kedudukan yang sama dalam kuasa (power)/pengaruh (influence). Kelompok ak- tivis disini ditempatkan sebagai kelompok yang selalu ingin menggerogoti kekuasaan organisasi dengan tindakan-tindakan yang destruktif. Grunig dengan jelas menyebut- kan “activist pressure is an extensive problem for organization” Munculnya Dominasi Corporate Centric dalam Literatur Public Relations Stigma negatif dalam penelitian dan lit- eratur public relations yang terus berkem- bang mulai mengarah pada marjinalisasi publik aktivis. Beberapa studi kritis yang melihat adanya marjinalisasi publik aktivis dapat ditemukan dalam studi yang dilaku- kan oleh Dozier dan Lauzen, Coombs dan Holiday, serta Mc Kie dan Munshi. Dozier dan Lauzen melihat adanya“deep pocket bias” dalam literatur public relations ketika relasi antara publik aktivis dengan organ- isasi. Lebih lanjut Dozier dan Lauzen me- nyebutkan studi yang telah ada mengenai hubungan antara organisasi dan aktivis lebih didominasi peran-peran praktisi public rela- tions sebagai representasi organisasi dalam menjalankan fungsinya.Dozier dan Lauzen melihat dominasi ini dengan istilah “organi- zation centric”. Sementara itu menurut Coombs dan Holliday, kajian public relations selama ini dikooptasi oleh pandangan “corporate cen- tric”. Corporate centric yakni sebuah pan- dangan yang menempatkan public relations sebagai alat untuk mencapai kesuksesan ekonomi. Mc Kie dan Munshi (2007) juga menye- butkan adanya kesenjangan studi oleh para akademisi yang memunculkan dominasi pandangan yang cenderung corporate centric (Coombs and Hoolliday, 2010). Kedua istilah di atas– “organization centric” dan “corporate centric”—menggambarkan adanya dominasi pemaknaan public relations oleh korporasi/ institusi. Bila menyimak kembali literatur pada bidang keilmuan public relations, harus diakui bahwa selama ini, paradigma yang berkembang dalam literatur public relations adalah paradigma positivis-fungsionalis yang bias pada praktek-praktek public relations sebagai representasi organisasi (korporasi). Paradigma positivis-fungsionalis inilah yang 60 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 45. Nomor 1. Juni 2015 “berkuasa” dalam banyak literatur public re- lations. Implikasi dari dominasi paradigma pos- itivis-fungsionalis adalah sedikitnya literatur yang membahas mengenai kontribusi positif publik aktivis bagi organisasi (korporasi). Mc Kie dan Munshi mengkritik kurangnya studi mengenai peran aktivis dan kontribus- inya terhadap public relations dan organisasi yang menyebabkan marjinalisasi persepsi aktivis. Kalaupun ada riset mengenai ak- tivis, tetap saja pendekatan yang digunakan organization centric.Sementara itu menu- rut Curtin dan Gaither (2005) riset tentang aktivispun lebih memfokuskan pada peran- nya dalam perspektif organisasi (corporate centric) yang menempatkan aktivis sebagai target perubahan. Literatur public relations selama ini te- lah mengabaikan peran dan fungsi publik aktivis sebagai agen perubahan masyarakat sebagaimana muncul pada era progresif.Lit- eratur public relations bahkan melupakan bagaimana dahulu public relations pernah “mengkooptasi” tehnik-tehnik yang dikem- bangkan oleh kelompok aktivis. Stigma negatif terhadap publik aktivis oleh praktisi dan akademisi public relations tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah munculnya public relations. Pada masa awal perkembangan public relations, studi men- genai aktivisme pun sudah marjinal. Hal tersebut tertuang dalam buku yang bertajuk Public relations History from the 17th to the 20th Century: The Antecendent. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa: Activist activi- ties are viewed as related to public relationss but only as antecedents and not necessarily part of its corpus. Kemudian dalam perkembangannya, se- jarah mencatat relasi antara aktivis dengan organisasi selalu diwarnai dengan konflik frontal. Konflik pertama kali antara publik aktivis dengan organisasi yang tercatat da- lam sejarah terjadi pada tahun 1884, ketika American Medical Association mengusung isu antivivisectionist, yang menjadi embrio pergerakan animal rights. Konflik antara organisasi dan publik ak- tivis semakin sering terjadi pada era 1960an dan 1970an yang kemudian dikenal dengan “the progresive era”.Era ini menandai tum- buh suburnya pergerakan sosial yang kemu- dian menjadi katalis tumbuhnya public rela- tions.Korporasi mulai melirik menggunakan praktisi public relations professional untuk mengatasi berbagai tuntutan kelompok– kelompok aktivis. Sejarahnya, tujuan aktivis selalu berbenturan dengan tujuan korporasi. Para “muckrakers” pada awal 1990 meng- inginkan adanya perubahan kebijakan pub- lik organisasi yang membawa konsekuensi lebih banyak uang yang harus dikeluarkan oleh korporasi. Hubungan yang kurang har- monis dalam berbagai peristiwa dari waktu ke waktu bahkan hingga saat ini, menjadi salah satu alasan kuatnya stigma negatif ter- hadap publik aktivis. Pendekatan Postmodern sebagai Alter- natif dalam Melihat Publik Aktivis Dougall melakukan sebuah penelitian untuk melihat relasi organisasi dan aktivis melalui aliran informasi diantara keduanya yang muncul dalam publikasi di media dari tahun 1980-2001. Dengan menggunakan analisis konten terhadap 6500 artikel diper- oleh hasil bahwa persepsi terhadap aktivis memiliki tendensi antagonistik. Dengan menggunakan model penelitian longitudi- nal, Dougall mampu memotret adanya pe- rubahan atau pergeseran relasi antara aktivis dan organisasi. Hal serupa juga dikemukan oleh Dozier yang menyebutkan bahwa terjadi perubahan selama lebih dari 20 tahun dalam keilmuan public relation khususnya dalam cara meli- hat publik aktivis. Dozier dan Lauhan dalam Journal of Public RelationsResearchmember- ikan dorongankepada para akademisi untuk mempertimbangkan keunikan kelompok aktivis dan pergerakan sosial sebagai pelaku public relation yang menghubungkan antara korporasi dengan khalayak. Bila melihatliteratur public relations se- jak awal berkembang, dapat dikatakan bahwa disiplin ilmu public relationshampir didomi- nasi oleh paradigma positivis-fungsionalis 61 Nurhidayati Kusumaningtyas, Marjinalisasi (Publik) Aktivis dalam Literatur Public Relations yang diusung oleh akademisi seperti James Grunig, Larissa Grunig, dan kawan-kawan. Sebagaimana ditegaskan oleh Botan dan Ha- zleton (2009) dalam Public Relations Theory II, menyebutkan bahwa Excellence Theory merupakan paradigma dominan yang men- guasai dalam literatur dan penelitian public relations yang kemudian menjadi semacam ortodok terhadap pemikiran-pemikiran lain- nya. Paradigma “excellence theory” didomi- nasi oleh para pemikir Amerika. Paradigma dominan ini mencoba mengkooptasi istilah seperti persuasi, advokasi, dan aktivisme. Baru menjelang tahun 2000an mulai muncul pendekatan-pendekatan kritis yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Dozier dan Lauzen, Berger, Dougall, Holtzhausen& Voto. Pendekatan kritis inijuga sering dis- ebut dengan pendekatan postmodern. Mc Kie (2005) mencatat bahwa munculnya te- laah kritis terhadap literatur public relations mengacu pada teori kritis yang dikemukakan oleh filosof dari Eropa yang peduli pada isu kekuasaan dan penindasan yang terjadi da- lam masyarakat. Paradigma kritis inilah yang kemudian dikenal sebagai paradigma post- modern. Ketika para penganut “excellence theo- ry” menetapkan definisi public relation yang bias makna maka Coombs dan Holladay (2010) menawarkan definisi baru mengenai public relations yang menyebutkan bahwa “public relations as the management of mu- tually influential relationships within a web of constituency relationships”. Melalui definisi ini Coombs ingin menawarkan relasi yang lebih berimbang, praktik public relation di- tujukan untuk membangun hubungan baik dan bukan hanya berkutat pada taktik-taktik yang manipulatif. Para penganutpostmodern juga meli- hat peluang positif akan keberadaan aktivis. Dalam pandangan postmodern, aktivis tidak semuanya memiliki pandangan yang radikal. Beberapa aktivis secara tegas memang memi- liki pandangan yang ekstrem yang menun- tut perubahan mendasar dan menggunakan strategi-strategi yang militan seperti sab- otase.Kovacs dalam studi terhadap enam kelompok aktivis di Inggris yang melihat strategi komunikasi dan bagaimana mereka mengelola hubungan menunjukkan bahwa kelompok aktivis tersebut tidak semuanya menunjukkan cara-cara yang konfrontatif. Jadi mengeneralisir public aktivis sebagai publik yang radikal adalah tidak tepat. Publik aktivis meskipun menjalankan peran antagonis, mereka memberikan pen- garuh positif dalam perubahan sosial. Mis- alnya, beberapa pergerakan sosial yang di- dorong oleh para aktivis berhasil mengakhiri perbudakan, memunculkan hak-hak perem- puan dalam politik, mengakhiri apartheid di Afrika Selatan, dan mendorong produksi makanan yang sehat. Melalui contoh itu, da- pat disimpulkan bahwa menjadi antagonis tidak berarti negatif. Bahkan bagi perkembangan keilmuan public relations, publik aktivis juga secara nyata berkontribusi positif. Studi yang di- lakukan oleh Taylor, et.al (2001) menunjuk- kan bagaimanapublic relations terinspira- si—atau dalam bahasa yang lebih kritis, mengkooptasi—strategi dan tehnik yang dikembangkan oleh publik aktivis. Taylor melihat bahwa berbagai macam saluran didalam internet telah dimanfaatkan oleh publik aktivis untuk mempengaruhi praktek-praktek korporasi.Penggunaan in- ternet oleh publik aktivis kemudian direspon oleh publik relation dengan “mengkooptasi” tehnik-tehnik yang dikembangkan oleh pub- lic aktivis.Kini kita mendengar bagaimana digital spesialis menjadi sangat dibutuhkan dalam bidang publik relations dalam men- jalankan fungsinya. Menurut Coombs (2002) aktivis meru- pakan kelompok yang pertama kali meng- gunakan sosial media dan surat elektronik. Mereka berpandangan bahwa internet lebih murah dan cepat dalam membangun komu- nikasi. Sekarang kita bisa melihat bagaimana korporasi “mengkooptasi” penggunaan ber- bagai macam jejaring sosial dan surat elek- tronik sebagai bagian dari kegiatan publik relations yang dijalankan oleh korporasi. Sementara itu dalam studi yang dilaku- kan oleh Holtzhausen& Voto (2002) dan Berger (2005) tindakan-tindakan aktivisme 62 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 45. Nomor 1. Juni 2015 justru mendorong organisasi untuk memper- timbangkan pengambilan keputusan yang berlandaskan etika.Grunig (1997), meskipun secara umum dirinya merupakan pengusung pendekatan positivis-fungsionalis, pada bagian tertentu juga mengakui pentingnya peran aktivis bagi organisasi. Grunig mengatakan aktivisme menjadi hal penting bagi public relations karena or- ganisasi akan kehilangan nilai-nilai tanpa ke- hadiran kelompok aktivis. With relationship management at the nexus of contemporary public relationss practice, the relationships organizations have with their activist publics are important for both public relationss prac- titioners and scholars (Botan & Taylor, 2004; Dozier & Lauzen,2000; Grunig, 2001; Holt- zhausen, 2000 dalam Dougal, 2005). Coombs dan Holladay (2010) menawar- kan pentingnya memahami aktivis den- gan cara melihat bagaimana mereka mem- persepsikan dirinya. Salah satu tokoh yang diajukan oleh Commbs dan Holladay adalah Raymond yang juga merupakan anggota dari sebuah kelompok aktivis.Raymond menya- takan bahwa aktivisme adalah tugas kema- nusiaan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Lebih lanjut ia mengatakan: activists are those whose stand up for a cause. They arise when concerns are not heard. Aktiv- isme dalam pandangan Raymond juga men- jadi petanda sehat tidaknya demokrasi. Hal ini dikarenakan aktivis menurutnya adalah “provide insight into future values and hopes of society”. Esensi dari aktivisme adalah ek- spresi sesungguhnya dari kepentingan pub- lik dalam hal partisipasi dan pembentukan masyarakat. Raymond adalah seorang tokoh yang dinilai mampu memberikan pemikiran-pe- mikiran progresif dalam studi public rela- tions khususnya isu seperti corporate sosial responsibility. Menurutnya aktivisme adalah sesuatu yang positif bagi korporasi .”Ini ada- lah barometer moral yang memberikan wa- wasan dan perhatian publik. Aktivis dapat menjadi penggerak lonceng sebagai penanda adanya perubahan sosial. Organisasi dapat berada di garda terdepan dalam pergeseran nilai sosial jika mereka mendengarkan dan bekerja dengan aktivis. SIMPULAN Hubungan antara aktivis dan organisasi terdapat dua jenis pendekatan.Pendekatan pertama sering disebut dengan organiza- tion centric yang melihat hubungan antara aktivis dan organisasi lebih didominasi prak- tek-praktek praktisi public relations yang notabene adalah representasi organisasi. Pendekatan kedua, adalah pendekatan kri- tis yang mulai mempertanyakan dominasi wacana dalam pendekatan organization cen- tric. Pendekatan postmodern sendiri ber- orientasi pada dua proses yakni melakukan dekonstruksi bahasa yang telah menyebab- kan eksploitasi dan marjinalisasi danmen- dorong tindakan afirmatif melawan ek- splotasi dan marjnalisasi. Oleh karena itu metode analisis yang digunakan oleh para penganut postmodern lebih banyak meng- gunakan analisis wacana. Untuk itu telaah kritis terhadap peran dan fungsi public ak- tivis dalam pendekatan postmodern lebih banyak berkaitan dengan relasi bahasa dan kekuasaan. Pendekatan kritis melihat meskipun publik aktivis menjalankan aktivitasnya ber- sifat antagonistik, namun hasilnya tidak se- lalu destruktif/desruptif bagi organisasi. Se- cara umum, harus diakui bahwa pendekatan organization centric–positivis fungsionalis masih mendominasi riset dan literature pub- lic relations. Dalam literatur yang dikuasai oleh pendekatan corporate centric-positivis fung- sionalis, aktivisme pun dilihat dengan “ka- camata sebelah”. Aktivisme dikonstruksikan sebagai tindakan yang negatif dan destruk- tif mulai dari memberikan definisi dengan stigma yang negatif, membedakan dengan publik lainnya.Namun demikian konstruksi negatif publik aktivis tak bisa dipisahkan dari sejarah yang penuh konflik frontal antara or- ganisasi dengan publik aktivis. Mengkonstruksikan publik aktivis den- gan stigma negatif justru kontraproduktif 63 Nurhidayati Kusumaningtyas, Marjinalisasi (Publik) Aktivis dalam Literatur Public Relations untuk tumbuh dan berkembangnya disip- lin ilmu public relations yang masih sangat muda.Harus diakui bahwa publik aktivis juga memberikan kontribusi yang positif terhadap bidang keilmuan public relations. Oleh karenanya, diperlukan penelitian lebih lanjut yang melihat aktivisme dan kontribusi positifnya bagi organisasi (korporasi) mau- pun bagi public relations. DAFTAR PUSTAKA Botan, C. H., & Hazleton, V. 2009. “Public relations in a New Age”dalam C. H. Botan & V. Hazleton (Eds.), Public Re- lationsTheory II. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Curtin, P. A., dan Gaither, T. K. 2006. Inter- national Public Relations: Negotiating Culture, Identity, and Power. Global Public Relations and the Circuit of Cul- ture, London: SAGE Publications, Inc. Coombs, W.T. and Holladay, S.J. 2002. ‘Help- ing Crisis Managers Protectreputation- al Assets: Initial Tests of the Situational Crisis Communication theory’, Man- agement Communication Quarterly, 16, 165–186. ______________. 2010.PR Strategy and Appli- cation.Malden MA: Blackwell Publish- ing. ______________. 2011. “Privileging an Activ- ist vs. a Corporate View of Public Re- lations History in the U.S.” dalamThe Proceedings of The International His- tory of Public Relations Conference 2011 di Bournemouth University, July 6-7. Courtney, G and Mehta, A. 2006. “Stamping Their Ground: aStudy of Public Opinion and Activists.” DalamProceedings Aus- tralian & New Zealand Communication Association InternationalConference, 2006: Empowerment, Creativity and In- novation: Challenging Media andCom- munication in the 21st Century, pages pp. 1-10, Adelaide, South Australia. Dougall, E. 2005. “Tracking Organization- Public Relationsships Over Time: A Framework for Longitudinal Research” dalam The Eighth International Public relationss Research Conference, March 10-13. Dozier, D. M., & Lauzen, M., M. 2000.Liber- ating the Intellectual Domain from the Practice: Public Relations, Activism and the Role of the Scholar.Journal of Public Relations Research, Vol. 12. Number. 1, 3-22. Grunig, J.E (Ed.). 1992.Excellence in Public Relations and Communication Manage- ment. NJ: Lawrence Erlbaum Associate Publishers Grunig, L. A. 1992a. “Activism: How it Limits the Effectiveness of Organizations and How Excellent Public Relations De- partments Respond” dalam J. E. Grunig (Ed.), Excellence in public relations and communication management (pp. 503- 530). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Heath, R. (Ed.). 2001, Handbook of Public Re- lations. Thousand Oaks, CA: Sage Pub- lication. Holtzhausen, D.R and Voto, R. 2002. “Resis- tance From the Margins: The Postmod- ern Public Relations Practitioner as Or- ganizational Activist” Journal of Public Relations Research, Vol. 14. Number 1, 57–84. Holtzhausen, Derina R. 2002 “Towards a Postmodern Research Agenda for Pub- lic Relations”, Public Relations Review Vol 28 Kim, J. 2009.“Anger, Efficacy, and Identity in Activism: Public Perceptions of Threat Appraisal, Attitudes, And Behavioral Intention” Disertation: University of Missouri-Columbia. Kim, J and Sriramesh, K. 2006. ”Activism and Public Relations” dalam E. Toth (Ed), Excellence in public relations and com- munication management: Challenges for the next generation.Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates Inc. 64 INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 45. Nomor 1. Juni 2015 McKie, D. 2005. “Critical Theory”dalam R. L. Heath (Ed.), Encyclopedia of Pub- lic Relations(pp. 226–228). Thousand Oaks, CA: Sage. McKie, D., & Munshi, D. 2007. Reconfiguring Public Relations: Ecology, Equity, and Enterprise. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Taylor, M, Kent, M.L and White, W.J 2001, “How Activist Organizations are Using the Internet to Build Relationships”Public Relationss Review.Vol. 27. 263–284.