1 pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat terhadap stabilitas dimensi mirna febriani1 1bagian ilmu material dan teknologi kedokteran gigi, universitas prof.dr.moestopo(b) abstrak bahan cetak alginat merupakan bahan yang digunakan untuk mencetak gigi geligi dan jaringan rongga mulut ,bahan cetak alginat masih di impor dan cukup mahal harganya. pada penelitian febriani 2001, telah dilakukan modifikasi pada bahan cetak alginat dengan pati ubi kayu dengan perbandingan 1:1 dan didapat hasil reproduksi detil yang sama dengan bahan cetak alginat tanpa ditambah dengan pati ubi kayu. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang ditambah pati kayu. pati ubi (manihot utilisima) merupakan suatu polimer yang mengandung amilosa dan amilopektin yang dapat ditambahkan pada bahan cetak alginat. metoda dan bahan : bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan cetak alginat tipe normal, pati ubi kayu, aquadestilata dan alat uji stabilitas dimensi sesuai standar ansi/ada no.18/1992. hasil penelitian. hasil stabilitas dimensi stabilitas dimensi antara bahan cetak alginat standar (2,9782 mm dan 2,9719 mm) dengan bahan cetak alginat standar yang ditambah pati ubi kayu (2,9797 mm dan 2,9795 mm). kesimpulan. penambahan pati ubi kayu (manihot utilisima) pada bahan cetak alginat standar mendapatkan hasil pengujian stabilitas dimensi yang masih memenuhi standar ansi/ada no.18/1992. stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang ditambah pati ubi kayu memiliki nilai stabilitas dimensi yang lebih lama dari pada bahan cetak alginat standar. kata kunci : alginate impression material, cassava starch, dimension stability. the effect of cassava starch on dimension stability of alginate impression material abstract alginate impression material is a material to make impression of teeth and oral cavity. febriani, 2001 has modified about alginate impressions material with cassava starch on ratio 1:1 and the result show that alginate impression material with added cassava starch has the same detail reproduction. the aim of this study to analyzed about dimension stability of alginate impression material with cassava starch. material and methods. alginate impression material normal setting, cassava starch, aquadestilata, and dimension stability test with ansi/ada no.18/1992 standard .the result. dimension stability of alginate impression material (2,9782 mm and 2,9719 mm),and alginate impression mirna febriani, pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat 2 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 material with cassava starch (2,9797 mm and 2,9795 mm). conclusion.the result about dimension stability of alginate impression material with cassava starch show that its still in the range on ansi/ada no.18/1992 standard. dimension stability of alginate impression material with cassava starch has longer than alginate impression material standard without cassava starch. key words: alginate impression material, cassava starch, dimension stability. pendahuluan bahan cetak merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mendapatkan reproduksi negatif dari gigi dan jaringan rongga mulut. hasil cetakan yang diperoleh kemudian dicor dengan gips sehingga diperoleh model kerja atau model studi yang merupakan replika dari gigi dan jaringan rongga mulut.1,2 bahan ini banyak digunakan, karena lebih luas indikasi pemanfaatannya, dibandingkan jenis bahan cetak lainnya. bahan cetak alginat memiliki komposisi utama berupa algin yang dikenal dalam bentuk asam alginat atau alginat.2,3 alginat dan pati ubi kayu sama-sama mengandung polisakarida, sehingga sangat mungkin dilakukan modifikasi pada kedua bahan tersebut. alginat menurut ansi/ada no.18/1992 dan iso 1563/1978 sudah memenuhi persyaratan biokompatibilitas sehingga tidak berbahaya bila digunakan didalam mulut pasien, begitupun dengan pati ubi kayu yang memenuhi syarat fao (food agricultural organization) sebagai bahan yang dapat dikonsumsi oleh manusia.4 metoda dan bahan bahan yang digunakan adalah bahan cetak alginat tipe normal merek kromofan produksi schultz jerman, pati ubi kayu merek tani produksi bogor ,indonesia dan adudestilata produksi pt.harum sari jakarta. alat uji yang digunakan alat uji stabilitas dimensi yang sesuai standar ansi/ada no.18/1992. stabilitas dimensi bahan cetak alginat tanpa pati ubi kayu sebagai kelompok kontrol dibandingkan dengan stabilitas dimensi bahan cetak alginat dengan penambahan pati ubi kayu sebagai kelompok perlakuan.4 gambar 1. bahan cetak alginat dan pati ubi kayu.4 gambar2. spesimen penelitian kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.4 cara kerja spesimen bahan cetak alginat standar dan bahan cetak alginat yang dicampur pati ubi kayu, dimasukkan dalam metal plate dengan ukuran diameter 30 mm dan tinggi 16 mm. mirna febriani, pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat setelah setting time ukur panjang spesimen dengan jangka sorong, kemudian dicor dengan gips tipe iii. setelah setting time atau mengeras hasilnya dibuka dari metal plate, diukur kembali panjang diameter spesimen dengan jangka sorong dan dicari rata-rata stabilitas dimensinya. hasil penelitian hasil penelitian ini diuji mann-whitney dua kelompok independen dengan tingkat kepercayaan 95%. hasil pengujian stabilitas dimensi bahan cetak alginat standar menunjukkan adanya perbedaan stabilitas dimensi antara bahan cetak alginat standar (2,9782 mm dan 2,9719 mm) dengan bahan cetak alginat standar yang ditambah pati ubi kayu (2,9797 mm dan 2,9795 mm), dimana bahan cetak alginat standar yang ditambah pati ubi kayu memiliki stabilitas dimensi yang lebih lama dibandingkan bahan cetak alginat standar. tabel 1 nilai rerata dan standar deviasi hasil uji stabilitas dimensi pada bahan cetak alginat standar dan bahan cetak alginat standar + pati ubi kayu keterangan : bca adalah bahan cetak alginat, puk adalah pati ubi kayu. n = 10 tabel 2 nilai selisih rerata hasil uji stabilitas dimensi pada bahan cetak alginat standar dan bahan cetak alginat standar + pati ubi kayu. keterangan : bca adalah bahan cetak alginat, puk adalah pati ubi gambar 2 histogramstabilitas dimensi bahan cetak alginat standar dan bahan cetak alginat yang ditambah pati ubikayu. 0 menit (waktu) x ± sd (mm) 30 menit (waktu) x ± sd (mm) bca 2.9782 ± 0.0048 2.9719 ± 0.0007 bca+puk 2.9797 ± 0.0046 2.9795 ± 0.0072 selisih standar deviasi p bca nilai rata-rata 0’ & 30 ‘ 0,0063 0,00042 0,009 bca + puk nilai rata-rata 0’ & 30 ‘ 0,002 0,00579 2,968 2,97 2,972 2,974 2,976 2,978 2,98 2,982 bca bca + puk o' 30' mirna febriani, pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat 4 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 diskusi menurut craig (2006), perubahan dimensi bahan cetak alginat berhubungan dengan kontraksi yang terjadi selama proses pengerasan atau setting time dari bahan cetak alginat, ini berhubungan dengan cross-linking yang terjadi didalam rantai polimer atau di antara rantai polimer alginat. selain kontraksi, hal lain yang dapat mempengaruhi perubahan dimensi atau stabilitas dimensi adalah proses pengerutan atau shrinkage yang dapat menyebabkan hilangnya komponen air.2-3bahan cetak alginat dapat mengembang jika terjadi penyerapan air dan bahan cetak alginat dapat berubah jika bahan cetak alginat mengeras. faktor lain yang juga mempengaruhi stabilitas dimensi bahan cetak alginat adalah distortion atau creep yang akan terjadi jika bahan cetak alginat tidak mengalami recovery elastic atau perubahan elastisitas saat bahan cetak alginat mengeras dan undercut dihilangkan. pendapat lain dikemukakan oleh balagopan (1998), pati ubi kayu memiliki viskositas yang tinggi, kecenderungan retrogradasi rendah dan stabilitas solnya bagus serta kandungan air yang rendah. karena kandungan air pati ubi kayu yang rendah kemungkinan tidak mempengaruhi stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang ditambah pati ubi kayu. 7,8,9 menurut phillips (1991), stabilitas dimensi bahan cetak alginat dipengaruhi oleh peristiwa sineresis dan imbibisi. sineresis adalah suatu keadaan dimana bahan cetak alginat, saat berbentuk gel akan mengalami kehilangan air karena proses penguapan dari permukaan bahan cetak alginat atau keluarnya air dari bahan cetak alginat. selain itu adanya eksudat atau benda-benda asing pada permukaan gel juga akan mempengaruhi sebelum proses sineresis atau setelah proses sineresis. bila proses sineresis dan imbisisi terjadi, maka mengakibatkan perubahan stabilitas dimensi dari bahan cetak alginat.1-2menurut craig (2006), sesaat setelah terjadinya proses ikatan cross-link pada bahan cetak alginat akan membentuk gel network yang irreversible dan tidak akan terjadi perubahan bentuk dari gel menjadi sol. bila tidak terjadi perubahan bentuk dari gel menjadi sol, dapat diartikan bahwa setelah terbentuk gel diharapkan tidak terjadi perubahan stabilitas dimensi pada bahan cetak alginat.3 kemungkinan lain yang terjadi pada penelitian ini adanya proses evaporasi atau sineresis serta proses penyerapan cairan secara imbibisi yang tidak terpengaruh dengan adanya penambahan pati ubi kayu dalam bahan cetak alginat sehingga didapat nilai stabilitas dimensi yang hampir mendekati. kesimpulan penambahan pati ubi kayu (manihot utilisima) pada bahan cetak alginat standar mendapatkan hasil pengujianstabilitas dimensi yang masih memenuhi standar ansi/ada no.18/1992. stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang ditambah pati ubi kayu memiliki nilai stabilitas dimensi yang lebih lama dari pada bahan cetak alginat standar. mirna febriani, pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 5 daftar pustaka 1. philips, rw. science of dental material. 11th ed. st.louis, missousi, wb. saunder’s company, 2003 : 239 – 244. 2. craig, r.g.mj . restorative dental materials 12thed, st.louis, missousi, 2006: 333 – 344. 3. craig, r.g.mj restorative dental materials 11thed, mosby, toronto, 2003: 330 – 346. 4. febriani, m. pengaruh penambahan pati ubi kayu pada bahan cetak alginat terhadap sifat fisik dan sifat mekanik. disertasi, fkgui, 2009. hal 1015. 5. balagopalan, c. cassava in food, feed, and industry, florida, crc press, 1988: 113 – 130. 6. frey.g. effect of mixing methods on mechanical properties of alginate impression material..j. prost.2003;14 (3):221-223. 7. siddaramaiah. sodium alginate and its blandes with starch: thermal and morphological properties. j.of applied polymer science. 2008;109 (6): 4072 (abstrak). insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 78-82 78 research article nutritional status and prevalence of angular cheilitis on children in jember agroindustrial environment dyah setyorini1, sulistiyani1*, risma nur baiti2, niken probosari1, roedy budi rahardjo1, berlian prihatiningrum1, sukanto1, dwi prijatmoko3, leni rokhma dewi4 1department of pediatric dentistry, faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no. 37 jember 6812, indonesia 2faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no 37 jember 6812, indonesia 3department of orthodontics dentistry, faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no 37 jember 6812, indonesia 4department of oral medicine dentistry, faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no 37 jember 6812, indonesia received date: july 23rd, 2022; revised date: september 8th, 2022; accepted: november 30th, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.15589 abstract insufficient dietary intake in school-age children can result in a weakened immune system, leading to susceptibility to illness. children will easily be exposed to infectious diseases such as angular cheilitis. jember has a large population of farmers, categorized as a low-paid occupation. the type of food consumed will affect each person's nutritional status. this study aims to identify the relationship between nutritional status and food intake with the prevalence of angular cheilitis in children grades i–iii sdn 7 nogosari in the agro-industrial setting of jember. analytical observation with a cross-sectional design was employed with 58 students as samples, whose nutritional health was assessed using the bmi/u index, visual examination angular cheilitis, and 24-hour recall method of food intake. the spss test was undertaken to investigate how variations in macronutrient and micronutrient consumption affect angular cheilitis in each nutritional status. micronutrient intake that affected angular cheilitis had exceeded the rda. furthermore, the spss test showed no difference in the consumption of macronutrients and micronutrients in each nutritional status, supporting the occurrence of angular cheilitis at a rate of 0%. in the agro-industrial setting of kebun renteng, jember regency, students at sd negeri 7 nogosari grades i iii had a good nutritional profile with zero percent of angular cheilitis prevalence. it was impossible to determine the association between dietary status and the prevalence of angular cheilitis. keywords: 24-hours recall; angular cheilitis; body mass index; food intake; nutritional status introduction a person's body condition can be affected by their nutrient intake and utilization, measured by their nutritional status as a health indicator.1-3 energy intake comes from the food consumed, whereas energy expenditure comes from our daily activities, basic metabolic processes, and food's thermic effect.4,5 insufficient dietary intake in school-age children can result in a weakened immune system, leading to a weak body, easily drained energy and susceptibility to illness.6,7 children will be easily exposed to * corresponding author, e-mail: sulistiyani.fkg@unej.ac.id oral infectious diseases, such as angular cheilitis. environmental factors, economic status, and children's eating habits impact malnutrition, which can result in oral cavity illness.8 children are frequently affected by angular cheilitis, leading to the soft tissues of the oral cavity. it can interfere with children's activities and aesthetic function. cracks in the corners of the lips are a characteristic of the disease, which is frequently accompanied by inflammation.9 numerous aspects, including a lack of nourishment, physical harm, an infection, http://dx.doi.org/10.18196/di.v11i2.14382 dyah setyorini, sulistiyani, risma nur baiti, niken probosari, roedy budi rahardjo, berlian prihatiningrum, et al | nutritional status and prevalence of angular cheilitis on children in jember agroindustrial environment 79 and allergies, can become the factors of this disease. children are more likely to develop angular cheilitis, especially those with riboflavin, iron, folic acid, zinc, pyridoxine, biotin, and protein insufficiency, among other dietary deficiencies. the incidence and prevalence of angular cheilitis sufferers in octoberdecember 2015 at the rsgm university of jember were 89.2 % of children cases, 52% of those with poor nutritional status, and 59% of patients from rural areas, 6.7% of the patients with three-month angular cheilitis disease.10 one of the regencies in the east java area with agricultural and plantation products is jember.11 the agricultural and plantation sectors sustain the jember community's economic structure (51.89 percent). farming is equivalent to a lowpaying occupation that impacts the family's socioeconomic condition. the primary factor influencing food consumption patterns is family income. the amount of food intake varies based on the family income level. if income increases, so will consumption patterns.12 this research was conducted in the renteng garden, an agroindustrial region, and the rambi puji subdistrict of jember. materials and methods this research is an analytical observational study with a cross-sectional design. it was conducted from february to march 2022 in sd negeri 7 nogosari, rambi puji, jember, with 58 students as the sample size. body mass index by age (bmi/u) was employed to calculate each student's nutritional status based on height and weight measurements. direct screening and interviews with parents or guardians of students concerned about the food consumed to determine daily micronutrient intake over the previous 24 hours and to identify angular cheilitis. data analysis with spss was conducted to investigate variations in micronutrient consumption in each nutritional status. as the result was neither evenly distributed nor homogeneous, the kruskal wallis non-parametric statistical test was employed. result according to the research findings, no students had angular cheilitis. it is corroborated by the findings from tests on students' nutritional status and their daily intake of micronutrients. the shapiro-wilk test (p>0.05) and levene's test (p>0.05) as well as normality and homogeneity tests, were conducted. the results indicated that the data were both normally distributed and homogeneous. in contrast to the micronutrients that affected angular cheilitis, the results of the normality test and homogeneity test on daily macronutrient consumption were not normally distributed and homogeneous. additionally, the kruskal-wallis and anova tests on the macronutrient and micronutrient aspects, respectively, revealed no statistically significant differences between the nutritional status of thin, normal, and obese individuals in terms of the amounts of calories, protein, fat, and carbohydrates, as well as micronutrients like vitamin b2, vitamin b3, vitamin b6, vitamin b12, folic acid, iron, and zinc. furthermore, this result was supported by the significance value of p> 0.05 in each nutritional category. table 1. the distribution of nutritional status by age (bmi/u) categories frequency percentage thin 2 3. normal 43 74.1 fat 13 22.5 total 58 100 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 78-82 80 table 2. daily macronutrient consumption distribution categories energy protein fat carbohydrate (kcal) (g) (g) (g) thin 1761.9 54.05 60 254.7 normal 1831.27 69.525 60.425 256.625 fat 1870.825 62.36 67.5 256.425 mean 1821.3 61.483 62.641 255.91 rda recommendation 1650 40 55 250 table 3. the distribution of daily macronutrient intake that affects angular cheilitis nutritional status vit. b2 (mg) vit. b3 (mg) vit. b6 (mg) vit. b12 (mcg) zink (mg) iron (mg) folic acid (mcg) thin 1.2 11.3 1.3 5.8 6.35 13.75 309.1 normal 1.5 13.1 1.55 12.35 8.03 15.45 350.13 fat 1.15 11 1.25 3.2 7.25 13.55 358.025 mean 1.28 11.8 1.36 7.11 7.21 14.24 335.75 rda recommendation 0.9 10 1 2 5 10 300 discussion the distribution of nutritional status can be seen clearly in the data on the nutritional status of students in grades i iii at sd negeri nogosari 7, rambi puji, jember. the illustration of healthy eating habits impacts the absence of respondents with angular cheilitis. a strong correlation between a child's nutritional status and the incidence of angular cheilitis in children in the sumompo dump site in manado city. the children with normal nutritional status are less likely to have angular cheilitis, which supports the study's findings.13 angular cheilitis is more prevalent in bmi in the very thin group by up to 79.9 percent, also supported the findings of this study.14 a lack of nutrients, particularly protein, indicated a poor nutritional status. the oral epithelium is one epithelial cell vulnerable to bacterial and fungal infections. protein deficiency can interfere with protein and carbohydrate metabolism, causing a drop in amino acids and adenosine phosphate (atp), limiting cell repair and regeneration.6,15 the child's immune system is also influenced by nutritional status. in children with poor nutritional conditions, immunity is weakened due to fewer t cells, disruption of the phagocytosis process, and immature immunologic memory. this disease prevents the body's defense mechanism, cytokines, and mediators, from being produced by the t cells in the core of the immune system.10 furthermore, energy, protein, and fat have an impact on children's nutritional status.16,17 an energy imbalance may cause children's weight loss due to certain macronutrient inadequacy.18,19 the immune system depends on essential nutrients, such as iron, folic acid, and vitamin b complex. the immune system will deteriorate if these nutrients are lacking, and normal oral flora like candida albicans may proliferate and infect. the mucocutaneous junction is between the mucosal skin and the mucosal epithelium, which is thinner than the skin epithelium and more prone to infection.5 the study's finding also aligns with research conducted by batta et al. in india, revealing that angular cheilitis patients had deficiencies in several types of vitamin b complex, with 153 (18%) children having these deficiencies and 78 having angular cheilitis (50.9 percent).20 the research findings showed that, despite the parents of students in the renteng jember gardens' agro-industrial environment working primarily as farm laborers, family consumption patterns, particularly in children from a nutritional aspect, are still fulfilled. it can be seen from the picture of good nutrition in children. the renteng garden area is located in dyah setyorini, sulistiyani, risma nur baiti, niken probosari, roedy budi rahardjo, berlian prihatiningrum, et al | nutritional status and prevalence of angular cheilitis on children in jember agroindustrial environment 81 rambi puji, next to jember; therefore, its residents live a lifestyle nearly identical to that of the city. furthermore, this study adds a new insight regarding the dietary profile and angular cheilitis in children living in kebun renteng.11 by comparing the current and the previous data, no more statistical or other mathematical symbols were revealed in the discussion. the discussion concerned the explanation of the research hypothesis. emphasis was placed on similarities, differences, or the findings' uniqueness. besides, the implications of the results were presented to clarify the impact of the results on knowledge advancement. the discussion ended with a number of limitations of the study. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that in the agro-industrial setting of kebun renteng jember regency, the nutritional status of the students grade iiii at sd negeri 7 nogosari was in a good category. furthermore, angular cheilitis was not common in children. food consumption on the macronutrient and micronutrient aspects had exceeded the prescribed akg for children grade i-iii sd negeri 7 nogosari. the children consumed the same amount of food in each area. as no samples were found with angular cheilitis, it was impossible to determine the association between nutritional status and the prevalence of angular cheilitis in children grade i-iii at sd negeri 7 nogosari in the agro-industrial environment of kebun renteng, jember regency. references 1. uce l. pengaruh asupan makanan terhadap kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. bunayya: jurnal pendidikan anak. 2018;4(2):79-92. http://dx.doi.org/10.22373/bunayya.v4 i2.6810 2. hafiza d, utami a, niriyah s. hubungan kebiasaan makan dengan status gizi pada remaja smp ylpi pekanbaru. jurnal medika hutama 2020;2(1): 332-342. 3. oetomo ks. obesity control and treatment. malang: tim ub press; 2011 4. qamariyah b, nindya ts. hubungan antara asupan energi, zat gizi makro dan total energy expenditure dengan status gizi anak sekolah dasar. amerta nutrition, 2018;2(1):59-65 https://doi.org/10.20473/amnt.v2i1.20 18.59-65 5. diniyyah sr, nindya ts. asupan energi, protein dan lemak dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 24-59 bulan di desa suci, gresik. amerta nutrition, 2017;1(4): 341. https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.7139 6. seprianty v, tjekyan rms, thaha m. athuf. status gizi anak kelas iii sekolah dasar negeri 1 sungaililin. jurnal kedokteran dan kesehatan: publikasi ilmiah fakultas kedokteran universitas sriwijaya, 2015;2(1): 129-134. 7. welis w, sazeli rm. gizi untuk aktifitas fisik dan kebugaran. padang: sukabina press. 2013. 8. cerfina d. prevalensi angular cheilitis pada anak sd kelas 3 dan 4 di kecamatan sukajadi kota bandung. jakarta: prenadamedia. 2014. 9. fajriani f. management of angular cheilitis in children. journal of dentomaxillofacial science, 2017; 2(1):1-3. https://doi.org/10.15562/jdmfs.v2i1.461 10. hernawati s. insidensi dan distribusi penderita angular cheilitis pada bulan oktober-desember tahun 2015 di rsgm universitas jember (incidence and distribution of angular cheilitison october-december 2015 at dental hospital of jember university). jurnal pustaka kesehatan. 2017;5(1): 121 11. sulistiyani, setyorini d, mubarok as. dental health status of children in the http://dx.doi.org/10.22373/bunayya.v4i2.6810 http://dx.doi.org/10.22373/bunayya.v4i2.6810 https://doi.org/10.20473/amnt.v2i1.2018.59-65 https://doi.org/10.20473/amnt.v2i1.2018.59-65 https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.7139 https://doi.org/10.15562/jdmfs.v2i1.461 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 78-82 82 jember regency's agroindustry environment. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 2022;11(1):7-11 https://doi.org/10.18196/di.v11i1.14367 12. ilery c, mintjelungan, cn, soewantoro j. hubungan status gizi dengan kejadian angular cheilitis pada anak-anak di lokasi pembuangan akhir sumompo kota manado. e-gigi. 2013;1(1):32-37. https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1927 13. alamsyah rm, yanti gn, pratiwi i. hubungan status gizi dengan prevalensi angular cheilitis di panti asuhan sos childrens village dan panti asuhan al-jamiatul wasliyah medan. dentika dental journal, 2013; 17(4):357-361. https://doi.org/10.32734/dentika.v17i4 .1787 14. lubis wh, serelady. angular cheilitis patients profiles and demographic data at fkg usu dental hospital in 2016. dentika dental journal, 2016; 19(2):138-141 https://doi.org/10.32734/dentika.v19i2.417 15. ekarisma, vm, mintjelungan cn, supit asr, khoman ja. angular cheilitis pada anak yang mengalami defisiensi nutrisi. e-gigi, 2021;9(2): 196-203 https://doi.org/10.35790/eg.v9i2.34871 16. diniyyah sr, nindya ts. asupan energi, protein dan lemak dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 24-59 bulan di desa suci, gresik. amerta nutrition, 2017;1(4): 341-350. https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.20 17.341-350 17. prijatmoko, d. sulistiyani, setyorini d, hadnyanawati a, misrohmasari eaa, syabila an. the influence of various food intake on body fat distribution among young healthy population. health notions journal. 2022;6(8): 368-372 https://doi.org/10.33846/hn60803 18. juliningrum pp. asupan zat gizi makronutrien pada toddler. the indonesian journal of health science, 2019;11(1):40-46 https://doi.org/10.32528/ijhs.v11i1.2236 19. dwiningsih pa. differences in intake of energy, protein, fat, carbohydrates, and nutritional status in adolescents living in urban and rural areas. 2013;232-241. 20. batta m, gupta n, goyal g, jain a. vitamin deficiency prevalence in primary school children in punjab, india. int j res med sci. 2016, 4(12): 5176-9. https://doi.org/10.18203/23206012.ijrms20164011 https://doi.org/10.18196/di.v11i1.14367 https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1927 https://doi.org/10.32734/dentika.v17i4.1787 https://doi.org/10.32734/dentika.v17i4.1787 https://doi.org/10.32734/dentika.v19i2.417 https://doi.org/10.35790/eg.v9i2.34871 https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.2017.341-350 https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.2017.341-350 https://doi.org/10.33846/hn60803 https://doi.org/10.32528/ijhs.v11i1.2236 https://doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20164011 https://doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20164011 52 likky tiara alphianti | perawatan apeksifikasi dengan pasta kalsium hidroksida: evaluasi selama 12 bulan (laporan kasus) perawatan apeksifikasi dengan pasta kalsium hidroksida: evaluasi selama 12 bulan (laporan kasus) apexification treatment with calcium hydroxide paste:12 months evaluation (case report) likky tiara alphianti1 1departemen kedokteran gigi anak program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta korespondensi : drg.likky@gmail.com abstrak gigi permanen muda dapat mengalami kematian pulpa sehingga pertumbuhan akar terhenti, apeks masih terbuka, dan saluran akar lebih lebar di bagian apeks dibanding dengan daerah serviks. perawatan apeksifikasi bertujuan untuk merangsang proses pembentukan apeks gigi dengan membentuk suatu jaringan keras pada apeks gigi tersebut. penulisan artikel ini bertujuan melaporkan kasus perawatan pada pasien anak usia 12 tahun yang mengalami nekrose pada gigi 22 dengan apeks yang masih terbuka. perawatan yang dilakukan adalah apeksifikasi menggunakan bahan pasta kalsium hidroksid. hasil radiografi periapikal 2 bulan pasca apeksifikasi, tampak ujung akar sudah mulai terkalsifikasi yang ditandai dengan adanya bercak radiopak namun masih terdapat area radiolusen pada ujung akar. lima bulan pasca apeksifikasi, pada radiograf tampak ujung akar sudah menutup (terkalsifikasi) yang ditandai dengan adanya gambaran radiopak pada ujung akar dengan bentuk blunderbuss. perawatan saluran akar dan penumpatan dilakukan kemudian. evaluasi dengan radiograf 12 bulan pasca apeksifikasi menunjukkan kondisi ujung akar yang baik (radiopak) dan tidak ada area radiolusen pada periapikal yang merupakan tanda patologis. perawatan apeksifikasi menggunakan pasta kalsium hidroksid pada kasus ini menunjukkan keberhasilan dalam penutupan ujung akar setelah 5 bulan. evaluasi 12 bulan kemudian menunjukkan kondisi ujung akar yang baik tanpa ada tanda-tanda patologis. kata kunci: apeksifikasi, pasta kalsium hidroksid, caoh abstract young permanent teeth could have pulp necrosis so that root growth will stop, meanwhile the tooth apex is still open, and the root canal is wider at the apex than the cervical region. the goal of apexification treatment is to stimulate the process of forming the apex of the tooth by formation of hard tissues at the tooth apex. the purpose of this article was to report an apexification treatment case in a 12 years old child who had necrosis on tooth 22 with open apex. apexification treatment was performed using calcium hydroxide paste. based on the radiography examination on two months after the treatment, the tooth apex begin to calcified, radiopaque patches were appear at the tooth apex but there was radiolucent area that still remain. five months after apexification, from the radiograph seemed that the tooth apex has been close (calcified) entirely, which was characterized by radiopaque on the tooth apex with blunderbuss shaped. root canal treatment (pulpectomy) and tooth filling was done afterwards. radiograph evaluation 12 months after the treatment showed good condition of tooth apex (radiopaque), there is no radiolusent area on periapical which was a pathological signs. on this case, the apexification treatment using calcium hydroxide paste demonstrated succeed in closing the tooth apex after 5 months. evaluation on 12 months after the treatment showed good condition of tooth apex with no pathological signs. key words: apexification, calcium hydroxide paste, caoh mailto:drg.likky@gmail.com 53 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 pendahuluan gigi tetap muda dapat mengalami kematian pulpa yang disebabkan oleh karies (gangren), kelainan pulpa maupun periapikal atau akibat adanya trauma pada gigi, sehingga pertumbuhan akar terhenti. apeks menjadi terbuka dan saluran akar lebih lebar di bagian apeks dibanding dengan daerah serviks dan dikenal dengan bentuk saluran akar blunderbuss1. perawatan saluran akar belum bisa dilakukan apabila ujung akar gigi dalam kondisi terbuka, maka dari itu dilakukan perawatan penutupan ujung akar gigi yang disebut apeksifikasi 2. apeksifikasi adalah suatu perawatan endodontik yang bertujuan untuk merangsang perkembangan lebih lanjut atau meneruskan proses pembentukan apeks gigi yang belum tumbuh sempurna tetapi sudah mengalami kematian pulpa dengan membentuk suatu jaringan keras pada apeks gigi tersebut2,3. apeksifikasi bertujuan untuk merangsang perkembangan lebih lanjut atau meneruskan proses pembentukan apeks gigi yang belum tumbuh sempurna tetapi sudah mengalami kematian pulpa dengan membentuk suatu jaringan keras pada apeks gigi tersebut2,3. perawatan apeksifikasi diindikasikan pada gigi non vital dimana foramen apikalnya masih terbuka atau belum terbentuk sempurna. perawatan apeksifikasi ini tidak dilakukan jika ada kelainan periapikal4. frank (1966) menjelaskan terdapat 4 tipe dasar penutupan apeks setelah dilakukan apeksifikasi. tipe i, saluran akar dan apeks terbentuk sesuai dengan konfigurasi normal akar. tipe ii apabila apeks menutup tetapi saluran akar tetap berbentuk blunderbuss. tipe iii, tidak terlihat perubahan secara radiografis tetapi suatu barier osteoid yang tipis terbentuk menjadi stop pada apeks atau dekat dengan apeks. tipe iv, terjadi pembentukan barier di dalam saluran akar, sebelum apeks1,4. bentuk penutupan saluran akar tergantung pada jenis jaringan periapikal yang ada di sekitar apeks. bila masih terdapat sisa jaringan pulpa yang vital, jaringan yang terbentuk adalah jaringan dentin. pertumbuhan akar masih dapat berlanjut dalam keadaan selubung epitel akar hertwig masih utuh atau hanya sebagian utuh, sebaliknya jaringan keras yang terbentuk hanya berupa jembatan yang melintang menutup daerah saluran akar di tempat dimana jaringan pulpa dan selubung akar mengalami nekrosis1, 4, 5. indikasi perawatan apeksifikasi dilakukan pada gigi dengan kondisi non vital dengan foramen apikal terbuka atau belum terbentuk sempurna. perawatan apeksifikasi ini tidak dapat dilakukan (kontra indikasi) pada gigi permanen muda non vital dengan kelainan periapikal3. gambar 1. berbagai bentuk penutupan apeks setelah perawatan apeksifikasi (diambil dari: weine fs. endodontic therapy. 6th ed: st.louis. cv mosby co, 2004: 519-29). 54 likky tiara alphianti | perawatan apeksifikasi dengan pasta kalsium hidroksida: evaluasi selama 12 bulan (laporan kasus) laporan kasus seorang anak perempuan usia 2 tahun datang ke klinik gigi pada tanggal 15 mei 2010 dengan keluhan gigi depan kiri atasnya berlubang dan saat ini terasa sakit. berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, gigi tersebut pernah ditambal 6 bulan yang lalu, dan mulai 1 minggu yang lalu terasa sakit jika digunakan untuk menggigit disertai gusi pada daerah tersebut bengkak. pasien tidak ditengarai mederita penyakit sistemik. pemeriksaan obyektif menunjukkan, pada elemen 22 terdapat karies kedalaman pulpa, tes vitalitas gigi 22 menunjukkan sondasi (-), ce (-), perkusi (+), dan palpasi (+). terdapat pembengkakan gingiva di bagian labial gigi 22 dengan diameter 5 mm. hasil pemeriksaan radiografi periapikal menunjukkan terdapat area radiolusen pada mahkota gigi 22 mencapai pulpa, pada ujung apeks terdapat area radiolusen, yang menunjukkan bahwa ujung akar gigi belum menutup sempurna. gambar 2. hasil radiografi periapikal yang diambil 15 mei 2010, tampak ujung akar gigi 22 yang belum menutup sempurna. diagnosa yang dapat ditarik berdasarkan hasil pemeriksaan subyektif dan obyektif pada gigi 22 adalah karies kedalaman pulpa (profunda) dengan necrose pulpa disertai dengan abses periapikal. rencana perawatan yang akan diberikan antara lain trepanasi kavitas, apeksifikasi, perawatan saluran akar, opdent, kontrol. penatalaksanaan kasus pada kunjungan pertama tanggal 15 mei 2010, dilakukan trepanasi menggunakan bur bulat sampai mencapai kedalaman pulpa. spulling dilakukan kemudian menggunakan campuran iod gliserin dan saline steril. medikasi menggunakan obat percosin 250 mg (s3dd) dan cataflam 25 mg (s2dd) diberikan kepada pasien. pasien diinstruksikan untuk kembali 3-7 hari kemudian pasien datang kembali 1 bulan setelah kunjungan awal yaitu pada tanggal 30 juni 2010. pada kunjungan kedua ini pasien sudah tidak mengeluhkan sakit pada gigi dan gusinya. pemeriksaan obyektif menunjukkan sondasi (-), perkusi (-), palpasi (-), ce (-). penatalaksanaan selanjutnya adalah perawatan apeksifikasi, diawali dengan pembukaan kamar pulpa menggunakan bur bulat, dan pengangkatan jaringan pulpa sampai dengan menemukan orifice. pengambilan jaringan pulpa/syaraf pada saluran akar dilakukan menggunakan barbed broach. pengukuran panjang kerja dilakukan kemudian, didapatkan hasil 20,5 mm. preparasi saluran akar dilakukan dengan metode crown down. preparasi awal menggunakan k-file no. 15 sampai masuk ke kedalaman saluran akar sepanjang 2/3 dari panjang kerja (+ 13,5 mm) lalu irigasi dengan naocl, dilanjutkan preparasi dengan file pro-tapper s1 dengan kedalaman yang sama, kemudian dilakukan irigasi (naocl). selanjutnya adalah preparasi dengan file s1 sampai mencapai kedalaman panjang kerja 55 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 (20,5 mm), setelah panjang kerja tercapai dilanjutkan dengan file s2 sampai kedalaman panjang kerja, kemudian irigasi dengan naocl. tahap selanjutnya adalah preparasi dengan file f1, lalu irigasi naocl dan dilanjutkan file f2 dan diakhiri dengan irigasi naocl. saluran akar dikeringkan meggunakan papper point sampai benarbenar kering. aplikasi bahan pasta kalsium hidroksid, sambil ditekan-tekan ke dalam saluran akar sampai padat menggunakan lentulo. tumpat dengan sik (fuji ii). pengambilan ronsen foto gigi 22. pasien diinstruksikan untuk kembali 1 bulan kemudian. pasien datang kembali 2 bulan pasca perawatan apeksifikasi, tanggal 21 september 2010 (kunjungan ke-3). pemeriksaan subyetif tidak menunjukkan adanya keluhan dari pasien. pemeriksaan obyektif menunjukkan sondasi (-), ce (-), perkusi (-), dan palpasi (-). berdasarkan hasil radiografi periapikal, tampak ujung akar sudah terkalsifikasi, namun masih belum menutup sempurna, ditandai dengan masih terdapat area radiolusen pada ujung akar walaupun sudah lebih sedikit dibandingkan pada kunjungan sebelumnya. lima bulan pasca apeksifikasi, tanggal 21 desember 2010, pasien datang kembali untuk kontrol. pada kunjungan ke-4 ini pasien tidak menunjukkan adanya keluhan. pemeriksaan obyektif menunjukkan bahwa sondasi (-), ce (-), perkusi (-), palpasi (-). hasil pemeriksaan radiografi periapikal menunjukkan ujung akar sudah menutup yang ditandai dengan gambaran radiopak pada ujung akar dengan bentuk blunderbuss, sehingga dapat dilanjutkan dengan perawatan saluran akar. pembongkaran tumpatan dilakukan menggunakan bur bulat. pengambilan pasta kalsium hidroksid dari saluran akar dan sekaligus dilakukan preparasi ulang dengan tahapan sama seperti pada kunjungan ke-2 sampai saluran akar benar-benar bersih dari sisa-sisa pasta kalsium hidroksid tersebut. irigasi menggunakan naocl dilakukan kemudian. saluran akar dikeringkan sampai benar-benar kering dengan paper point. obturasi saluran akar menggunakan bahan guta perca dan sealer. penutupan cavitas dengan semen zinc phosphate, kemudian dilakukan pengambilan radiografi periapikal. pasien diinstruksikan untuk kontrol 1 minggu kemudian. pasien datang kembali untuk kontrol pada tanggal 30 desember 2015 (kunjungan ke-5). pemeriksaan subyektif tidak menunjukkan adanya keluhan dari pasien. pemeriksaan obyektif menunjukkan sondasi (-), ce (-), perkusi (-), dan palpasi (-). pada kunjungan ini dilakukan penumpatan menggunakan semen ionomer kaca (fuji ii lc), selanjutnya dilakukan pengambilan radiografi periapikal. enam bulan setelah kunjungan yang terakhir, tanggal 10 juni 2011, pasien datang kembali untuk kontrol. pemeriksaan subyektif tidak menunjukkan adanya keluhan. pemeriksaan obyektif menunjukkan bahwa sondasi (-), ce (-), perkusi (-), dan palpasi (-). gambaran radiografis gigi 22 pada bulan ke-12 pasca perawatan apeksifikasi menunjukkan kondisi ujung akar yang baik (radiopak) dan tidak ada area radiolusen pada periapikal yang merupakan tanda patologis. 56 likky tiara alphianti | perawatan apeksifikasi dengan pasta kalsium hidroksida: evaluasi selama 12 bulan (laporan kasus) gambar 3. pada ronsen foto tampak pasta kalsium hidroksid yang mengisi saluran akar pada gigi 22 yang ujung akarnya belum menutup sempurna. gambar 4. terdapat area radiopak dengan sedikit area radiolusen pada ujung akar (walaupun sudah lebih sedikit area radiolusen yang tampak dibandingkan pada kunjungan sebelumnya). gambar 5. tampak area radiopak pada ujung akar dan area radiolusen disepanjang saluran akar pasca obturasi 57 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 gambar 6. radiograf gigi 22 1 minggu pasca pengisian saluran akar/ obturasi. tampak radiolusen pada saluran akar sampai ke ujung akar. ujung akar sudah menutup sempurna. gambar 7. radiograf gigi 22 pada 12 bulan pasca pengisian saluran akar/ obturasi. tampak area radiopak pada saluran akar sampai ke ujung akar, tidak ada area radiolusen pada periapikal yang merupakan tanda patologis. pembahasan berbagai keadaan dapat membuat gigi menjadi non vital terutama pada gigi permanen muda, seperti: proses karies yang berlanjut menjadi gangren, pulpa gigi yang nekrosis akibat trauma, ataupun kelainan yang terjadi pada pulpa atau jaringan periapikal 6. saat pulpa gigi permanen muda menjadi non vital, fungsi selubung epitel akar hertwig untuk membentuk akar gigi menjadi terhenti, apeks terbuka, saluran akar lebar, dan panjang akar lebih pendek dibandingkan dengan akar yang normal7. apeksifikasi adalah suatu cara untuk menciptakan lingkungan di dalam saluran akar dan jaringan periapikal pada pulpa non vital agar terbentuk barier terkalsifikasi di daerah apeks yang terbuka8. apeksifikasi merupakan perawatan pendahuluan pada perawatan endodontik dengan menggunakan kalsium hidroksid sebagai bahan pengisian saluran akar yang bersifat sementara pada gigi non vital dengan apeks gigi terbuka 58 likky tiara alphianti | perawatan apeksifikasi dengan pasta kalsium hidroksida: evaluasi selama 12 bulan (laporan kasus) yang terbuka atau belum terbentuk sempurna. setelah dilakukan apeksifikasi diharapkan terjadinya penutupan saluran akar pada bagian apikal, dan dengan diperolehnya keadaan tersebut selanjutnya dapat dicapai pengisian saluran akar yang sempurna dengan bahan pengisian saluran akar yang tetap (guta perca)2, 3. pembentukan akar gigi dimulai setelah email selesai terbentuk. sel-sel epitel email luar dan dalam bertemu dan membentuk cervical loop yang kemudian akan berploriferasi membentuk selubung epitel akar hetwig. bentuk dan ukuran akar gigi ditentukan oleh selubung epitel akar hetwig. sel epitel email dalam akan memicu sel mesenkim untuk berploriferasi menjadi preodontoblas dan odontoblas membentuk dentin. setelah matriks dentin terbentuk, sel mesenkim dalam saku dental akan mendekat dan berkontak dengan dentin. sel mesenkim ini kemudian berdiferensiasi menjadi sementoblas dan membentuk sementum4. mekanisme pembentukan jaringan keras oleh kalsium hidroksida belum diketahui secara pasti. tornstad dkk (2003) memperkirakan sifat basa kuat dari kalsium hidroksida dan pelepasan ion kalsium membuat jaringan yang berkontak menjadi alkalis. dalam suasana basa, resorpsi atau aktifitas osteoklas akan terhenti dan osteoblas menjadi aktif mendeposisi jaringan terkalsifikasi. asam yang dihasilkan oleh osteoklas akan dinetralisir oleh kalsium hidroksida dan kemudian terbentuk komplek kalsium fosfat. pada perawatan apeksifikasi kalsium hidroksida berkontak dengan jaringan periodontal atau jaringan granulasi. dalam hal ini, jaringan keras yang terbentuk dapat berbentuk jaringan yang menyerupai sementum, yaitu berupa massa padat yang termineralisasi yang bentuknya tidak beraturan dan kadang-kadang terdapat jaringan lunak diantaranya5. faktor-faktor keberhasilan perawatan apeksifikasi yaitu tidak ada rasa sakit spontan demikian pula rasa sakit pada waktu perkusi dan palpasi3. keberhasilan apeksifikasi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan radiografis. pada bulan keenam dapat dilakukan penilaian melalui gambaran radiografis. ada lima kemungkinan kondisi apikal yang terjadi, yaitu : pertama, secara radiografis tidak tampak adanya perubahan, tetapi bila instrumen dimasukkan kedalam saluran akar akan terasa adanya tahanan pada apeks; kedua, terlihat adanya massa terkalsifikasi disekitar atau pada apeks; ketiga, apeks tampak tertutup tanpa adanya perubahan pada ruangan saluran akar; keempat, apeks terus terbentuk dengan penyempitan saluran akar; kelima, sama sekali tidak terlihat perubahan secara radiografis, gejala klinis masih tetap ada, dan terjadi pembentukan lesi periapikal atau lesi periapikal menjadi lebih besar1. saluran akar siap untuk diobturasi bila salah satu dari empat kondisi pertama seperti tersebut di atas sudah tercapai, terlihat pembentukan jaringan keras yang tampak radiopak pada apeks gigi, jaringan lunak di sekitar gigi dalam keadaan normal3. saluran akar dapat diobturasi sampai ke apeks yang terbentuk atau sampai ke stop kalsifik. bila tidak terjadi perbaikan, maka perawatan apeksifikasi harus diulang9. pada kasus ini, perawatan apeksifikasi menggunakan pasta kalsium hidroksid menunjukkan keberhasilan dalam penutupan ujung akar setelah 5 bulan. pada radiograf tampak ujung akar sudah menutup (terkalsifikasi) yang ditandai dengan adanya gambaran radiopak pada ujung akar dengan bentuk blunderbuss. evaluasi 12 bulan 59 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kemudian menunjukkan kondisi ujung akar yang baik tanpa ada tanda-tanda patologis. kesimpulan apeksifikasi adalah suatu perawatan endodontik pada gigi permanen non vital dimana foramen apikalnya masih terbuka atau belum terbentuk sempurna yang bertujuan untuk merangsang pembentukan apeks gigi. keberhasilan perawatan apeksifikasi ditandai dengan tidak ada rasa sakit saat perkusi, palpasi, dan rasa sakit spontan. pada kasus ini perawatan apeksifikasi dilakukan pada gigi 22 menggunakan pasta kalsium hidroksid, penutupan ujung akar tampak pada bulan kelima pasca apeksifikasi, serta dilakukan evaluasi selama 12 bulan dengan hasil kondisi ujung akar dalam kondisi baik dan tidak ada tanda-tanda patologis. daftar pustaka 1. weine, f.s. endodontic therapy. 6th ed: st. louis. cv mosby co, pp: 519-29, 2004 2. grossman, l.i. endodontics practice, 9th ed., lea & febiger, philadelphia, p: 119, 1978 3. roedjito, b., 1989. pemakaian kalsium hidroksid untuk menanggulangi kelainan periapikal pada perawatan pulpektomi. majalah kedokteran gigi fkg usakti, 11: 89-98. 4. webber, r.t., 1984. apexogenesis versus apexification in: taylor gn (ed). the dental clinics of north america symposium on endodontics, 28(4): 68195. 5. tronstad l. clinical endodontics, a textbook. 2nd rev: stuttgart: thieme, pp: 120-23, 2003 6. camp, j.h., barrett, e.j. pulver f. pediatric endodontics: endodontic treatment for theprimary and young, permanent dentition in: cohen s burns rc (eds). pathways of the pulp. 8thed: st. louis: cv mosby co, pp: 833-39, 2002 7. townbridge, h., kim, s., suda, h. structure and functions of the dentin and pulp complex in: cohen s, burns rc (eds). pathways of the pulp.8th ed:st. louis: cv mosby co, pp: 415, 2002 8. pittford, t.r., shabahang, s., 2002. management of incompletely formed roots in: walton r., torabinejad m (eds). principles and practice of endodontics: 388-403. 9. sidharta, w. 2000. penggunaan kalsium hidroksida di bidang konservasi gigi. jurnal kedokteran gigi universitas indonesia, 7: 435-37. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 45-50 45 research article penambahan nanoselulosa sekam padi terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas the addition of rice husk nanocellulose on surface roughness of heat cured acrylic resin for denture base selma junita rahmawati*, setiadi warata logamarta, rinawati satrio kedokteran gigi, fakultas kedokteran, universitas jenderal soedirman, purwokerto, jawa tengah 53122, indonesia. received date: july 14th, 2021; revised date: october 03rd, 2021; accepted: november 20th, 2021 doi: 10.18196/di.v10i1.12309 abstrak basis gigi tiruan adalah bagian yang berkontak langsung dengan jaringan lunak rongga mulut. bahan basis gigi tiruan yang paling umum digunakan yaitu resin akrilik polimerisasi panas. bahan ini masih memiliki kekurangan yaitu sifat mekanis rendah, meninggalkan monomer sisa dan adanya porositas yang berpengaruh terhadap kekasaran permukaan. nanoselulosa sekam padi memiliki potensi sebagai alternatif untuk memperbaiki sifat bahan resin akrilik polimerisasi panas. nanoselulosa memiliki keunggulan diantaranya memiliki luas permukaan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai reinforcing nanofiller pada material komposit seperti resin akrilik. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan nanoselulosa sekam padi terhadap kekasaran permukaan pada resin akrilik polimerisasi panas. jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan post-test only control group design. sampel penelitian terdiri dari 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 8 sampel. kelompok k1, k2, k3, k4, k5 dan k0 berturut-turut merupakan kelompok dengan penambahan nanoselulosa 1%, 2%, 3%, 4%, 5% serta kontrol (tanpa nanoselulosa). hasil penelitian menunjukkan semua kelompok dengan penambahan nanoselulosa memiliki nilai kekasaran permukaan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. penambahan nanoselulosa 5% (k5) memiliki nilai kekasaran permukaan tertinggi yaitu 0,3242 ± 0.0066µm kemudian diikuti berturut-turut oleh kelompok k4, k3, k2, k1 dan kelompok kontrol (k0) memiliki nilai kekasaran permukaan terendah yaitu 0.1558 ± 0.0023µm. hasil uji sem pada setiap kelompok menunjukkan terdapat aglomerasi dan ukuran porus yang bervariasi. kesimpulan penelitian ini adalah penambahan nanoselulosa sekam padi tidak lebih baik dari kelompok kontrol dan dapat meningkatan kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas. kata kunci: kekasaran permukaan; nanoselulosa; resin akrilik polimerisasi panas; sekam padi. abstract the denture base is the part of the indirect denture contact with the oral cavity's soft tissues. heat cured acrylic resin is still the most commonly used denture material. it has low mechanical properties, residual monomers, and porosity, affecting surface roughness. modification is needed by adding reinforcement material, such as nano cellulose from rice husk. nano cellulose has various benefits, including a wide surface that can be used as a reinforcing nanofiller on composite material such as acrylic resin. this study aims to determine the addition of rice husk nano cellulose on the surface roughness of heat-cured acrylic resin for denture base. this research is an experimental laboratory with a post-test-only control group design. the research sample consisted of six groups; each group consisted of 8 samples. the ki, k2, k3, k4, k5, and k0 groups were acrylic resin with the addition of 1%, 2%, 3%, 4%, 5% nano cellulose, and without nano cellulose, respectively. the heat-cured acrylic resin group with 5% nano cellulose had the highest surface roughness, which was 0.3242 ± 0.0066 µm. meanwhile, the acrylic resin group without nano cellulose had the lowest surface roughness of 0.1558 ± 0.0023 µm. the sem test showed that agglomeration and varying porosity sizes still existed. based on the result, it can be concluded that adding rice husk nano cellulose could enhance the surface roughness of heat-cured acrylic resin for denture base. keywords: heat-cured acrylic resin; nanocellulose; rice husk; surface roughness. * corresponding author, e-mail: selmajunita.sj@gmail.com selma junita rahmawati, setiadi warata logamarta, rinawati satrio | penambahan nanoselulosa sekam padi terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas 46 pendahuluan kehilangan gigi sebagian atau seluruhnya dan tidak diganti dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi mastikasi, gangguan temporomandibular joint (tmj), gangguan fungsi bicara dan gangguan estetik. gangguan yang terjadi akibat kehilangan gigi dapat diatasi dengan pembuatan gigi tiruan.1 basis gigi tiruan adalah bagian gigi tiruan yang berkontak langsung dengan jaringan lunak baik rahang atas maupun rahang bawah dan tempat melekatnya elemen gigi.2 bahan yang paling umum digunakan dalam pembuatan basis gigi tiruan yaitu resin akrilik polimerisasi panas dan banyak dipilih sebagai bahan basis gigi tiruan karena biayanya yang lebih terjangkau, memiliki nilai estetik yang baik, peralatan yang digunakan lebih sederhana, mudah untuk diperbaiki dan diaplikasikan.3 kekurangan resin akrilik polimerisasi panas antara lain memiliki sifat mekanis yang rendah, meninggalkan monomer sisa, penghantar termis yang buruk, adanya porositas, menyerap cairan, dan mudah terjadi abrasi pada saat pembersihan sehingga berpengaruh terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan.4,5,6 kekasaran permukaan merupakan sifat fisik basis gigi tiruan yang sangat penting karena kekasaran permukaan akan mempengaruhi kesehatan mukosa yang berkontak langsung dengan gigi tiruan dan mencerminkan ketidakteraturan suatu permukaan.7 alternatif untuk memodifikasi sifat bahan yang dimiliki oleh resin akrilik polimerisasi panas yaitu dengan penambahan serat alami berupa nanoselulosa sekam padi. sekam padi mengandung selulosa 35%, hemiselulosa 25%, lignin 20%, dan silika 17%.8 nanoselulosa memiliki keunggulan diantaranya memiliki luas permukaan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai reinforcing nanofiller pada material komposit seperti resin akrilik. nanoselulosa dapat diperoleh dengan cara mendegradasi selulosa menjadi nanoselulosa menggunakan metode hidolisis asam.9,10 resin akrilik merupakan bahan anorganik sedangkan nanoselulosa merupakan bahan organik, penggabungan bahan tersebut membutuhkan perantara yang disebut coupling agent. coupling agent merupakan bahan yang ditambahkan untuk memperbaiki energi permukaan menjadi lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan ikatan antara matriks dan filler.11 berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti penambahan nanoselulosa sekam padi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas dengan coupling agent kitosan 1%. material dan metode penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni laboratoris dengan rancangan penelitian post-test only control group design. penelitian ini membagi sampel ke dalam enam kelompok, dengan jumlah sampel dalam setiap kelompok yaitu delapan sampel. kelompok k1, k2, k3, k4, k5 dan k0 berturut-turut merupakan kelompok dengan penambahan nanoselulosa 1%, 2%, 3%, 4%, 5% serta tanpa penambahan nanoselulosa. cetakan sampel untuk uji kekasaran permukaan dibuat dari bahan logam berbentuk disk atau cakram dengan diameter 10±0,5mm dan tebal 2±0,5mm berdasarkan iso 4287 (1997). tahapan kerja dimulai dengan pembuatan nanoselulosa dari sekam padi. sintesis nanoselulosa berbahan sekam padi dilakukan dengan metode hidrolisis asam. tahapan selanjutnya yaitu pembuatan larutan kitosan 1% sebagai coupling agent. pembuatan larutan kitosan dilakukan dengan mencampurkan 2gram bubuk kitosan dan asam asetat 2% menggunakan magnetic stirrer hingga keseluruhan bubuk kitosan larut dan tidak terdapat endapan. pembuatan sampel penelitian dilakukan dengan perbandingan polimer dan monomer 2:1. bubuk polimer dan bubuk nanoselulosa dihomogenkan dengan ultrasonic homogenizer yang berkecepatan insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 45-50 47 30.000 rpm, lalu dipindahkan ke dalam mixing jar kemudian ditambahkan dengan monomer sesuai ketentuan pabrik dan kitosan 1% diaduk. mixing jar ditutup dan ditunggu hingga tahap dough stage, dilanjutkan proses polimerisasi secara pemanasan menggunakan waterbath dengan suhu 70oc selama 90 menit dan kemudian 100oc selama 30 menit. sampel kemudian dikeluarkan dari cetakan dan dilakukan proses finishing dengan bur carbide kecepatan 15.000 rpm selama 60 detik dan dilanjutkan dengan abrasive paper dengan nomor 2000 p, 4000 p, 8000 p masing-masing selama 60 detik. proses polishing menggunakan rubber polishing berbentuk point selama 60 detik, kemudian menggunakan feltcone dan pumice dicampur dengan air selama 120 detik dan bur bulu domba dan krypt yang dicampur alkohol selama 120 detik. sampel kemudian direndam di dalam saliva buatan dengan ph 7 selama 48 jam pada suhu 37 oc. pengukuran kekasaran permukaan dilakukan dengan menggunakan alat surface roughness tester se 1700 (profilometer) dan uji karakteristik permukaan menggunakan scanning electron microscope (sem). hasil uji karakterisasi yang dilakukan yaitu transmission electrone microscope (tem) untuk mengetahui bentuk dan ukuran partikel nanoselulosa sekam padi. gambar 1. (a) hasil uji tem perbesaran 25.000x, (b) hasil uji tem perbesaran 50.000x. ukuran nanoselulosa berdasarkan uji tem berdiameter 25nm hingga 35nm serta panjang hingga 192nm. ukuran nanoselulosa sekam padi diketahui dengan pengukuran menggunakan aplikasi imagej. hasil uji tem juga menunjukkan beberapa titik mengalami aglomerasi. struktur selulosa mengalami proses pemecahan selama proses hidrolisis menjadi partikel tunggal dan masing-masing partikel tunggal yang aktif akan melekat bersama disebut aglomerasi.9 hasil uji sem perbesaran 5.000x menunjukkan bahwa masih terdapat aglomerasi dan porositas dengan ukuran bervariasi pada masing-masing kelompok (gambar 1). urutan kelompok sampel dengan terbentuknya porositas terbesar sampai terkecil adalah kelompok k5 berkisar 1,25µm sampai 3,62µm, kelompok k4 berkisar 0,79µm sampai 3,41µm, kelompok k0 berkisar 0,58µm sampai 1,53µm, kelompok k3 berkisar 0,97µm sampai 1,22µm, kelompok k2 berkisar 0,91 sampai 1,59µm, dan kelompok k1 berkisar 0,63µm sampai 0,93µm. gambar 1. hasil uji sem perbesaran 5.000x (a) penambahan nanoselulosa 1%, (b) penambahan nanoselulosa 2%, (c) penambahan nanoselulosa 3%, (d) penambahan nanoselulosa 4%, (e) penambahan nanoselulosa 5%, (f) tanpa penambahan nanoselulosa. rerata dan standar deviasi (sd) kekasaran permukaan resin akrilik polimerisasi a b c d e f aglomerasi nanoselulosa nanospere aglomerasi nanoselulosa nanospere porus aglomerasi porus aglomerasi aglomerasi porus porus partikel kurang homogen porus aglomerasi porus aglomerasi selma junita rahmawati, setiadi warata logamarta, rinawati satrio | penambahan nanoselulosa sekam padi terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas 48 panas dapat dilihat pada tabel 1. nilai rerata kekasaran permukaan paling tinggi terdapat pada k5 sebesar 0.3242µm dan nilai rerata terendah yaitu kelompok k0 sebesar 0.1558µm. tabel 1. rerata dan standar deviasi nilai kekasaran permukaan (µm) no kelompok sampel rerata kekasaran permukaan (µm) ±sd 1 kelompok k1 (nanoselulosa 1%) 0,1715 ± 0,0031 µm 2 kelompok k2 (nanoselulosa 2%) 0,2037 ± 0,0055 µm 3 kelompok k3 (nanoselulosa 3%) 0,2433 ± 0,0045 µm 4 kelompok k4 (nanoselulosa 4%) 0,2870 ± 0,0037 µm 5 kelompok k5 (nanoselulosa 5%) 0,3242 ± 0,0066 µm 6 kelompok k0 (tanpa nanoselulosa) 0,1558 ± 0,0023 µm sumber: data primer terolah, 2020. hasil nilai kekasaran permukaan kemudian dilakukan analisis statistik oneway anova menunjukkan nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kekasaran permukaan dalam seluruh kelompok. hasil uji post hoc lsd menunjukkan adanya perbedaan bermakna antar kelompok sampel (p≤0,05). pembahasan peningkatan kekasaran permukaan terjadi seiring dengan penambahan konsentrasi nanoselulosa. peningkatan kekasaran permukaan pada penelitian ini dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu adanya aglomerasi nanoselulosa dipermukaan, distribusi nanoselulosa, interaksi yang terbentuk antara matriks dengan nanoselulosa dan adanya aglomerasi yang longgar terlepas saat proses finishing dan polishing.12 kandungan gugus hidroksil (oh-) yang dimiliki nanoselulosa membentuk ikatan hidrogen intra atau antar molekul satu sama lain karena sifat nanopartikel yang memiliki luas penampang besar dan energi permukaan tinggi. sifat nanopartikel yang memiliki luas penampang besar serta energi permukaan tinggi akan meningkatkan gaya tarik menarik di permukaan dan menyebabkan partikel sejenis nanoselulosa menyatu membentuk aglomerasi. aglomerasi permukaan dapat menyebabkan permukaan tidak rata dan menghasilkan permukaan baru sehingga meningkatkan kekasaran permukaan. energi permukaan yang tinggi dapat menyebabkan pemutusan ikatan antar molekul sehingga menghasilkan permukaan baru dan mengubah sifat fisik bahan seperti kekasaran permukaan.13 penelitian gad dkk. (2020) menyebutkan penambahan nanopartikel dari 3 jenis bahan yang berbeda yaitu zirconium dioxide, silicon dioxide dan diamond dalam jumlah yang banyak yaitu 1%, 2,5%, 5% dapat meningkatkan kekasaran permukaan karena kecenderungan aglomerasi yang lebih tinggi.12 aglomerasi dapat juga terjadi akibat ketidakmampuan mengikat antara permukaan hidrofilik dan hidrofobik. nanoselulosa sekam padi memiliki sifat hidrofilik, sedangkan polimer resin akrilik bersifat hidrofobik. hal ini dapat mengakibatkan tidak menyatunya partikelpartikel karena terdapat perbedaan energi permukaan dan tidak dapat membentuk interaksi yang kuat dengan matriks sehingga tidak homogen.2,14 partikel yang tersebar tidak homogen dapat menghasilkan aglomerasi di dalam matriks polimer dan mempengaruhi kekasaran permukaan.15 penelitian ini digunakan kitosan 1% sebagai coupling agent. coupling agent berfungsi sebagai pengikat antara matriks dengan filler agar semakin kuat. namun seiring dengan penambahan nanoselulosa, kitosan kurang dapat mengikat matriks dan filler. kurang meratanya kitosan dalam melapisi partikel menyebabkan distribusi ukuran nanopartikel tidak merata dan kurang homogen sehingga menyebabkan kekasaran permukaan.15 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 45-50 49 penambahan nanoselulosa yang berlebih juga dapat merusak ikatan antar matriks sehingga menurunkan distribusi nanoselulosa dan menurunkan homogenitas. penurunan distribusi nanoselulosa dan homogenitas menyebabkan adanya celah antarpartikel sehingga meningkatkan kekasaran permukaan.16 celah antarpartikel diakibatkan ukuran nanoselulosa menjadi lebih besar karena lebih aktif sehingga kemampuan mengisi celah matriks berkurang dan ikatan matriks dengan nanoselulosa menurun. kekasaran permukaan juga dapat diakibatkan adanya aglomerasi nanopartikel dipermukaan yang berikatan longgar dan dapat dengan mudah terlepas selama proses finishing dan polishing sehingga meninggalkan celah seperti parit.17 nilai kekasaran permukaan pada bahan kedokteran gigi yang dapat diterima secara klinis yaitu 0,2µm. hasil rerata pada tabel 1 menunjukkan rerata kekasaran permukaan yang masih dapat diterima secara klinis yaitu kelompok k1 penambahan nanoselulosa 1% dengan rerata 0.1715 ± 0.0031µm dan kelompok k2 penambahan nanoselulosa 2% dengan rerata 0.2037 ± 0.0055µm. kelompok penambahan nanoselulosa tidak lebih baik apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa penambahan nanoselulosa dengan rerata 0,1558 ± 0,0023µm. kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nilai kekasaran permukaan resin akrilik dengan penambahan nonoselulosa sekam padi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa penambahan nanoselulosa. daftar pustaka 1. warinussy rpl, kristiana d, soesetijo fxa. pengaruh perendaman nilon termoplastik dalam berbagai konsentrasi ekstrak bunga cengkeh terhadap modulus elastisitas. ejurnal pustaka kesehatan,2018;6(1): 179-185. https://doi.org/10.19184/pk.v6i1.7155 2. juwita a, widaningsih, prabowo pb. perbedaan kekuatan impak pada bahan resin akrilik self cured dengan penambahan zirconium dioxide nanopartikel. denta, 2018;12(1):51-59. https://doi.org/10.30649/denta.v12i1.1 67 3. putranti dt, ulibasa lp. pengaruh perendaman basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas dalam minuman tuak aren terhadap kekasaran permukaan dan kekuatan impak. jurnal material kedokteran gigi. 2015; 4(2): 43-53. 4. anusavice kj. phillips science of dental material ed. 11t, elsevier science, st. louis: 2013; 176-179. 5. lubis mdo, putranti dt. pengaruh penambahan alumunium oksida pada basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas terhadap kekerasan dan kekasaran permukaan. b dent, 2017;6(1):1-8. https://doi.org/10.33854/jbd.v6i1.202 6. gauch lmr, pedrosa ss, silveiragomes f, esteves ra, marques-dasilva sh. isolation of candida spp. from: denture-related stomatitis. journal of microbiology, 2018; 49: 148-151. https://doi.org/10.1016/j.bjm.2017.07. 001 7. hatim na, al-sumaidae rr. the effect of some natural product as a material. tikrit journal for dental science,2012;2:129-136. 8. syahrani fp, ernawati ee, tjokronegoro r. pembuatan komposit selulosa asetat-silika sekam padi. prosiding seminar nasional mipa, universitas padjajaran: bandung. 2018;11-16. 9. lee hv, hamid sba, zain sk. conversion of lignocellulosic biomass to nanocellulose: structure and chemical process. review article, https://doi.org/10.19184/pk.v6i1.7155 http://dx.doi.org/10.30649/denta.v12i1.167 http://dx.doi.org/10.30649/denta.v12i1.167 https://doi.org/10.33854/jbd.v6i1.202 https://dx.doi.org/10.1016%2fj.bjm.2017.07.001 https://dx.doi.org/10.1016%2fj.bjm.2017.07.001 selma junita rahmawati, setiadi warata logamarta, rinawati satrio | penambahan nanoselulosa sekam padi terhadap kekasaran permukaan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi panas 50 sciencetific world journal, 2014;1-20. https://doi.org/10.1155/2014/631013 10. julianto h, farid m, rasyida a. ekstraksi nanoselulosa dengan metode hidrolisis asam sebagai penguat komposit absorpsi suara. jurnal teknik its, 2017;6(2):242-245. https://doi.org/10.12962/j23373539.v6 i2.24259 11. buzaea c, blandino iip, robbie k. nanomaterials and nanoparticle: source and toxicity. biointerphases, 2007;2(4):17-71. https://doi.org/10.1116/1.2815690 12. gad mm, abualsaud r, al-thobity, am, baba nz, al-harbi fa. influence of addition of different nanoparticle on surface properties of poly(methylmethacrylate) denture base material. journal of prosthodontics, 2020;2(1): 422-428. https://doi.org/10.1111/jopr.13168 13. ashraf ma, peng w, zare y, rhee ky. effect of size and aggregation/ agglomeration of nanoparticles on the interfacial/interphase properties and tensile strength of polymer nanocomposites. nanoscale research letters,2018;13:214. https://doi.org/10.1186/s11671-0182624-0 14. li c, li q, ni x, liu g, cheng w, han g. coaxial electrospinning and characterization of core-shell structured cellulose nanocrystal reinforced pmma/pan composite fibers. materials, 2017;572(10):1-16. https://doi.org/10.3390/ma10060572 15. dhartono a, kurniasari ry, salisa z. synthesis of alumina stabilized zirconia-white carbon black nanocomposite for direct resin bonded prosthesis application. bimkgi, 2015;3(1):19-30. 16. deng f, li mc, ge x, zhang y, cho ur. cellulose nanocrystals/poly (methyl methacylate) nanocomposites films: effect of preparation method and loading on the optical, thermal, mechanical, and gas barrier properties. polymer composites, 2015;2(1):1-10. https://doi.org/10.1002/pc.23875 17. al-harbi fa, halim msa, gad mm, fouda sm, baba nz, alrumaih hs, akhtar s. effect of nanodiamond addition on flexural strength, impact strength, and surface roughness of pmma denture base. journal of prosthodontics, 2018;2(1): 417-425. https://doi.org/10.1111/jopr.12969 https://doi.org/10.1155/2014/631013 http://dx.doi.org/10.12962/j23373539.v6i2.24259 http://dx.doi.org/10.12962/j23373539.v6i2.24259 https://doi.org/10.1116/1.2815690 https://doi.org/10.1111/jopr.13168 https://doi.org/10.1186/s11671-018-2624-0 https://doi.org/10.1186/s11671-018-2624-0 http://dx.doi.org/10.3390/ma10060572 http://dx.doi.org/10.1002/pc.23875 https://doi.org/10.1111/jopr.12969 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 1 pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva the effect of the habit of brushing teeth before bedtime to plaque index score and salivary ph. dyah triswari1, agnimas dian pertiwi2 1biomedic department of dentistry, medicine and health science faculty umy 2student of dentistry, medicine and health science faculty umy korespondensi: dyahtriswari@gmail.com abstrak latar belakang: kegiatan menyikat gigi dapat membersihkan sisa makanan dan mengangkat plak gigi. waktu yang paling penting bagi seseorang untuk menyikat gigi adalah sebelum tidur malam, sebab aliran saliva menurun selama tidur dan efek protektif saliva menjadi berkurang. malam hari menjadi waktu paling berisiko untuk terbentuknya plak gigi, maka diperlukan perlakuan untuk mencegah tingginya akumulasi plak gigi yang dapat menyebabkan menurunnya ph saliva. tujuan: tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva. metode: jenis penelitian ini adalah penelitian klinis laboratoris dengan rancangan post-test only control group design pada siswa berusia 15-17 tahun yang sudah memenuhi kriteria inklusi, subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. kelompok pertama diinstruksikan untuk melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam selama 30 hari, sedangkan kelompok yang lain tidak diinstruksikan melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. setelah 30 hari, dilakukan pengukuran skor indeks plak menggunakan metode o’leary dan pengukuran ph saliva menggunakan ph meter digital mettler toledo seveneasy s20 lalu dianilisis hasilnya menggunakan uji statistik independent t-test untuk membandingkan skor indeks plak dan ph saliva antara kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak memiliki kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. hasil: terdapat perbedaan skor indeks plak dan rerata ph saliva yang bermakna antara kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur. kesimpulan: berdasarkan hasil analisis statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva kata kunci: kebiasaan, menyikat gigi, plak gigi, ph, saliva, tidur malam abstract background: tooth brushing activities have many benefits for dental and oral health. tooth brushing can clean up food debris and remove dental plaque. the most important time for someone to brush their teeth is before bedtime, because the salivary flow decreases during sleep and the salivary protective effect is reduced. night becomes the most risky time for dental plaque accumulation, so brushing teeth before bedtime is needed to prevent dental plaque and keep the salivary ph in normal condition. objective: the purpose of this study was to determine the effect of the habit of tooth brushing before bedtime to plaque index score and salivary ph. methods: design of this study was clinical laboratory with post-test only control group design with 15-17 year old students who had fulfilled inclusion criteria, dyah triswari, agnimas dian pertiwi | pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva 2 the subjects were divided into two group, each group consist of 13 person. the first group was instructed to perform a habit of brushing before bedtime for 30 days, while the other group was not instructed to do brushing before bedtime. after 30 days, plaque index scores were measure using the o’leary method and salivary ph measurements using the mettler toledo seveneasy s20 digital ph meter. the result were analyzed using independent t-test statistical tests to compare plaque index score and salivary ph between groups who having a habit of brushing teeth before bedtime and who do not have a habit of brushing before bedtime. results: there was a difference in plaque-index score and mean salivary ph between groups who had a habit of brushing before bedtime and who had no habit of brushing their teeth before bed. conclusion: based on the results of statistical analysis it can be concluded that there is influence of habit of tooth brushing before bedtime to plaque index score and salivary ph keywords: habit, tooth brushing, plaque, ph, saliva,bedtime pendahuluan karies merupakan penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dalam suatu karbohidrat yang difermentasi dan dapat terjadi karena ada perpaduan antara empat faktor penyebab yaitu, host, mikroorganisme, substrat dan waktu.1 karies dapat dicegah dengan memodifikasi faktor penyebabnya, salah satunya adalah dengan menghilangkan plak. plak gigi merupakan deposit lunak yang melekat pada permukaan gigi, dan terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dalam suatu matriks interseluler.2 menyikat gigi adalah cara mekanis utama untuk menghilangkan plak gigi.3 kebiasaan merupakan tindakan yang dilakukan secara konsisten dan secara terus menerus hingga terbentuk suatu pola di level pikiran bawah sadar.4 kebiasaan menyikat gigi yang dianjurkan adalah minimal dua kali sehari, pagi hari setelah makan dan malam hari sebelum tidur. 5,6 kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dapat membersihkan sisa makanan yang menempel di gigi sehingga pembentukan plak selama tidur dapat dihambat dan akumulasi plak menjadi berkurang. pada malam hari terjadi penurunan sekresi saliva, laju aliran saliva selama tidur sekitar 0,03 ml/menit dengan total volume saliva selama tidur dalam waktu 8 jam hanya sekitar 15 ml.7 waktu yang paling penting bagi seseorang untuk menyikat gigi adalah sebelum tidur malam, sebab aliran saliva menurun selama tidur dan efek protektif saliva menjadi hilang.8 saliva berperan penting dalam proses pencegahan karies, berkurangnya sekresi saliva dapat mengurangi kemampuan membersihkan rongga mulut, dan meningkatkan pembentukan plak.7 akumulasi plak yang terjadi terus menerus, dapat meningkatkan kolonisasi bakteri, dimana peningkatan kuantitas bakteri akan memperburuk kesehatan gigi dan mulut diikuti dengan perubahan pada ph saliva.9 bakteri kariogenik dalam plak memetabolisme gula yang ada dalam makanan untuk membentuk asam yang dapat menurunkan ph saliva.10 ph atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. resiko terjadinya pembentukan plak meningkat pada malam hari, sehingga kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam penting dilakukan untuk mengurangi pembentukan plak sehingga ph saliva tetap normal dan kesehatan gigi dan mulut tetap terjaga. insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 3 american academy of pediatric dentistry menyatakan bahwa terjadi aktifitas karies dan penyakit periodontal yang tinggi pada masa remaja dikarenakan kenaikan kosumsi bahan makanan dan minuman yang kariogenik serta kurangnya pemahaman remaja mengenai prosedur kebersihan gigi dan mulut. berdasarkan fakta-fakta diatas penulis ingin melakukan penelitian tentang pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap terhadap skor indeks plak dan ph saliva pada remaja usia 15-17 tahun.11 metode penelitian ini adalah penelitian klinis laboratoris dengan rancangan post-test only control group design pada subjek berjumlah 26 siswa berusia 15-17 tahun yang sudah memenuhi kriteria inklusi, tidak mempunyai penyakit sistemis dan tidak sedang rutin mengkonsumsi obat-obatan selama proses penelitian berlangsung. subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok dengan masingmasing kelompok berjumlah 13 orang. semua subjek penelitian kemudian di scalling sebelum mulai melakukan kebiasaan menyikat gigi untuk menyamakan tingkat kebersihan rongga mulut. sebelum memulai kebiasaan menyikat gigi, masing-masing kelompok diberi edukasi mengenai cara menyikat gigi menggunakan metode roll dan diberi sikat gigi dengan kekaukan bulu sikat medium serta diberi pasta gigi yang mengandung fluoride untuk digunakan selama proses penelitian berlangsung. masing-masing kelompok diberi penjelasan tentang jalannya penelitian. kelompok pertama diintruksikan untuk melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam selama 30 hari, sedangkan kelompok yang lain tidak diinstruksikan melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam, kelompok ini melakukan kebiasaan sesuai kebiasaan sebelumnya yaitu menyikat gigi saat mandi sore. setelah 30 hari, dilakukan pengukuran skor indeks plak menggunakan metode o’leary dan pengambilan sampel saliva dengan metode tidak distimulasi. ph saliva dinilai menggunakan ph meter digital mettler toledo seveneasy s20. skor indeks plak dan ph saliva kemudian dianilisis hasilnya menggunakan uji statistik independent t-test untuk membandingkan skor indeks plak dan ph saliva antara kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak memiliki kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. hasil penelitian mengenai pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva telah dilakukan kepada siswa madrasah muallimin muhammadiyah yogyakarta berusia 15-17 tahun yang terdiri dari dua kelompok, kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam sebanyak 13 anak dan kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam sebanyak 13 anak. skor indeks plak dan nilai ph saliva anak yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam akan dibandingkan dengan skor indeks plak dan nilai ph anak yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam untuk melihat perbedaan skor indeks plak dan ph saliva. hasil yang diperoleh dapat disajikan sebagai berikut dyah triswari, agnimas dian pertiwi | pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva 4 table 1. rerata skor indeks plak dan simpangan baku kelompok n rerata skor indeks plak menyikat gigi sebelum tidur malam 13 0,3869 0,17370 tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam 13 0,5823 0,27102 tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata skor indeks plak pada kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam sebesar 0,3869 yang berarti lebih rendah dibanding dengan skor indeks plak kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam yaitu sebesar 0,5823. tabel 2. rerata nilai ph saliva dan simpangan baku kelompok n rerata ph kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam 13 7,1331 0,14522 tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam 13 6,8162 0,42009 tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata ph saliva pada kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam sebesar 7,1331 yang berarti lebih tinggi dibanding dengan nilai ph saliva kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam yaitu sebesar 6,8162. penelitian ini menggunakan data nominal sehingga diperlukan uji normalitas. uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji penyebaran data pada kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. uji normalitas yang digunakan adalah shapiro-wilk, karena jumlah sampel kurang dari 50. nilai signifikansi pada data skor plak pada masing-masing kelompok adalah p=0,546 dan p=0,069. nilai signifikansi pada data ph saliva pada masing-masing kelompok adalah p=0,3 dan p=0,192. seluruh data memiliki nilai p>0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data dalam penelitian adalah normal. berdasarkan hasil analisis data diatas, didapatkan bahwa distribusi data adalah normal, sehingga dapat dilakukan uji parametrik menggunakan independent t-test untuk membuktikan bahwa perbedaan skor indeks plak dan ph saliva antara kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dikatakan signifikan. hasil data uji t tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. table 3. uji statistik independent t-test sig.2 tailed indeks plak 0,040 ph saliva 0,021 hasil analisis menggunakan uji independent t-test menunjukkan bahwa nilai signifikansi skor indeks plak sebesar 0,040 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor indeks plak yang bermakna antara kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 5 yang tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. nilai signifikansi ph saliva sebesar 0,021 (p < 0,05), maka dapat dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata ph saliva yang bermakna antara kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. hasil analisis bivariat menunjukkan nilai korelasi antara skor indeks plak dan ph saliva sebesar -0,272 yang berarti hubungan antara skor indeks plak dan ph saliva lemah dan tidak searah, yang berarti semakin besar skor indeks plak maka semakin kecil nilai ph saliva. berdasarkan perhitungan uji korelasi pearson, angka signifikansi yang didapat adalah 0,179. nilai p tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara skor indeks plak dengan ph saliva tidak signifikan (p > 0,05). pembahasan kegiatan menyikat gigi merupakan cara mekanis yang paling efektif dalam menghilangkan plak dan membersihkan sisa makan yang menempel pada gigi. kebiasaan menyikat gigi yang dianjurkan adalah setelah sarapan dan sebelum tidur malam, tetapi sebagian besar orang masih sedikit yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sesuai dengan anjuran yang ada. sekresi saliva pada malam hari lebih rendah daripada siang hari karena pada siang hari banyak terdapat stimulasi yang mampu merangsang kelenjar saliva.12 sekresi saliva di malam hari yang rendah ditambah kebersihan rongga mulut yang buruk menyebabkan akumulasi plak mudah terbentuk, maka dari itu diperlukan upaya untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut di malam hari sehingga akumulasi sisa makanan dan plak selama tidur dapat dikurangi, salah satunya dengan melakukan kebiasan menyikat gigi sebelum tidur malam. skor indeks plak kelompok anak yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. skor indeks plak kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam adalah 0.3869 sedangkan skor indeks plak anak yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam adalah 0.5823. berdasarkan hasil uji menggunakan independent t-test, terdapat perbedaan skor indeks plak yang bermakna antara kelompok anak yang melakukan kebiasan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak (p < 0,05). perbedaan skor indeks plak antara kedua kelompok tersebut dapat terjadi karena adanya perlakuan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dapat mengurangi akumulasi plak. menyikat gigi secara langsung mampu mengangkat plak secara mekanis, selain itu menyikat gigi juga mampu membersihkan sisasisa makanan yang menempel di permukaan gigi, dimana sisa makanan terutama yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa akan menghasilkan dekstran dan levan yang memegang peranan penting dalam pembentukan matriks plak.13 rerata nilai ph saliva pada kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak melakukan kebiasaan menyikat dyah triswari, agnimas dian pertiwi | pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva 6 gigi sebelum tidur malam. rerata nilai ph kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam adalah 7,1331 sedangkan rerata ph saliva anak yang tidak melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam adalah 6,8162. berdasarkan hasil uji menggunakan independent t-test, terdapat perbedaan ph saliva yang bermakna antara kelompok yang melakukan kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dan yang tidak (p < 0,05). perbedaan rerata ph saliva antara kedua kelompok tersebut terjadi karena kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dapat mengurangi akumulasi sisa makanan dan plak di malam hari. akumulasi plak yang terjadi terus menerus, dapat meningkatkan kolonisasi bakteri, dimana peningkatan kuantitas bakteri akan memperburuk kesehatan gigi dan mulut diikuti dengan perubahan pada ph saliva.9 bakteri kariogenik dalam plak memetabolisme gula yang ada dalam makanan untuk membentuk asam yang dapat menurunkan ph saliva.10 penelitian pradhan14 menunjukkan bahwa dengan adanya plak dapat meningkatkan lama waktu pembersihan sukrosa di rongga mulut. plak dapat berperan sebagai penampung sukrosa, nantinya sukrosa tersebut akan dilepaskan ke saliva, dan kemudian akan dimetabolisme oleh bakteri sehingga menghasilkan asam.15 kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dapat mengurangi akumulasi plak dan sisa makanan sehingga ph saliva tetap terjaga. pada malam hari terutama saat tidur, sekresi saliva akan mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena kelenjar parotis pada malam sama sekali tidak menghasilkan saliva, sebagian besar saliva hanya dihasilkan oleh kelenjar submandibularis, kelenjar sublingualis dan kelenjar saliva tambahan.12 sekresi saliva yang berkurang di malam hari dapat mengurangi efek protektif saliva dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. sekresi saliva yang berkurang menyebabkan berkurangnya kemampuan membersihkan sisa makanan, menghambat aktivitas bakteri, menetralkan asam serta kemampuan meremineralisai email.16 kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam mampu menjaga kebersihan gigi dan mulut di malam hari tetap terjaga dengan cara membersihkan sisa makanan dan mengangkat plak gigi. hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, terdapat skor indeks plak yang lebih rendah dan rerata ph saliva yang lebih tinggi pada kelompok yang mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam dibanding dengan kelompok yang tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam. berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva. hasil korelasi antara skor indeks plak dan ph saliva dilihat menggunakan uji korelasi pearson. hasil dari uji korelasi ini adalah terdapat korelasi negatif yang lemah dan tidak signifkan antara skor indeks plak dan ph saliva pada seluruh subjek. korelasi negatif disini menunjukkan bahwa skor indeks plak tidak berbanding lurus dengan peningkatan ph saliva, dimana semakin besar skor indeks plak maka semakin kecil nilai ph saliva. hasil ini sesuai dengan penelitian kumar15 yang menunjukkan bahwa setelah mengkonsumsi larutan yang mengandung sukrosa, anak dengan plak yang tinggi mempunyai ph saliva yang insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 7 lebih rendah dibanding dengan anak yang bebas plak. meskipun demikian, nilai signifikansi dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara skor plak dan ph saliva. hal ini berbeda dengan hasil penelitian pradhan (tahun 2012) yang menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna antara perubahan ph saliva seiring dengan peningkatan skor plak.14 tidak adanya korelasi yang bermakna antara skor indeks plak dan ph saliva dimungkinkan karena jumlah sampel penelitian yang sedikit dan kurang bervariasinya skor indeks plak dan ph saliva. selain itu, keasamaan saliva tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri pada plak gigi, tetapi juga oleh produksi asam yang dihasilkan bakteri yang ada pada lidah, dan jaringan lunak lain termasuk pada saliva itu sendiri.15 simpulan b e r d a s a r k a n h a s i l p e n e l i t i a n d a n pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa 1. terdapat pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak. 2. terdapat pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap ph saliva. 3. tidak terdapat korelasi yang bermakna antara skor indeks plak dan ph saliva saran berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa saran yaitu: 1. dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap status oral hygiene atau profil saliva yang lain seperti laju aliran, viskositas, kapasitas buffer dan komponen saliva lainnya. 2. dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pada subjek berjenis kelamin perempuan atau pada subjek dengan usia yang berbeda. daftar pustaka 1. mcdonald, r., avery, d., & j, d. (2004). dentistry for child and adolescent (8th ed.). usa: mosby. 2. roeslan, b. o. 2002, imunologi oral: kelainan di dalam rongga mulut, ed. ke-1, balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia, jakarta. 3. asadoorian, j. (2006). tooth brushing. canadian journal of dental hygiene , 232-248. 4. kandani, h. (2010). the achiever : semua pencapaian sukses anda berawal dari sini. jakarta: pt. elex media computindo. 5. wong, d., hockenberry, m., wilson, d., winkelstein, & schwartz. (2008). wong buku ajar keperawatan pediatrik. jakarta: egc. 6. ozdemir, d. (2014). dental caries and preventive strategies. journal of educational and instructional studies, 20-24. 7. walsh, l. j. (2008). clinical aspects of salivary biology for dental clinician. journal of minimum intervention in dentistry . 8. dawes, c. (2008). salivary flow patterns dyah triswari, agnimas dian pertiwi | pengaruh kebiasaan menyikat gigi sebelum tidur malam terhadap skor indeks plak dan ph saliva 8 and the health of hard and soft oral tissues. the journal of american dental association , 18s-24s. 9. permana, h j.,indahyani d e.,yustisia yenny. (2014). kelarutan kalsium email pada saliva penderita tuna netra. dentofasial, vol 13, 150-154. 10. marsh, p. d. (2010). microbiology of dental plaque biofilms and their role in oral health and caries. dental clinics of north america , 441-454. 11. american academy of pediatric, d. (2015). guideline on adolescent oral health care. 151-158. 12. amerongen, a. (1991). ludah dan kelenjar ludah arti bagi kesehatan gigi. gajah mada university press. 13. putri mh, herijulianti e, dan nurjannah n. (2010). ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan jaringan pendukung gigi. jakarta: egc. 14. pradhan, d., jain, d., gulati, a., kolhe, s. j., baad, r., & rao, b. s. (2012). effect of the presence of dental plaque on oral sugar clearance and salivary ph : an invivo study. the journal of contemporary dental practice , 753-755. 15. kumar, a.,hedge, r., dixit, u. (2011). role of plaque in clearance of salivary sucrose and it’s influence on salivary ph. journal of indian society of pedodontics and preventive dentistry, 310-314. 16. kidd, e. (2005). essentials of dental caries. new york: oxford university press. widowati kharinna, nafiah, amalia amanda | traumatic ulcers in a patient using fixed orthodontic appliances with moderate oral hygiene 40 case report traumatic ulcers in a patient using fixed orthodontic appliances with moderate oral hygiene widowati kharinna1*, nafiah1, amalia amanda2 1department of oral medicine, faculty of dentistry, universitas hang tuah surabaya, indonesia 2faculty of dentistry, universitas hang tuah surabaya, indonesia received date: may 5th, 2022; revised date: july 3rd, 2023; accepted: july 6th, 2023 doi: 10.18196/di.v12i1.16069 abstract traumatic ulcer is one of the most common ulcerated lesions bought on by local factors. it is usually a single ulcer, but multiple ulcers can also be found in some cases. local factors that can result in traumatic ulcers include mechanical, thermal, and chemical factors. the most frequent mechanical causes of traumatic ulcers include utilizing orthodontic appliances, which can result in mechanical trauma. this case report, therefore, aims to provide information about the oral management of mechanical traumatic ulcers in a patient using fixed orthodontic appliances with moderate oral hygiene. a 22-year-old woman with moderate oral hygiene came to oral medicine department rsgm nala husada with complaints of multiple sores on her lower lip, which was painful. multiple ulcers (±10-15 mm), erythematous margin, and concave yellow base were visible on intra-oral examination. on the lower teeth around the lesions, there were fixed orthodontic appliances (only braces, no wire and power o/chain). as a pharmacological therapy, a triamcinolone acetonide was administered in addition to becomc and antiseptic mouthwash. as a non-pharmacological therapy, patients have been educated about the importance of scaling and root planning and routine control of orthodontic appliances to eliminate local factors causing ulcers and improve oral hygiene. one week after removing the causative factor, the ulcer healed completely without scars or pain. keywords: mechanical factor; oral lesion management; traumatic ulcers introduction oral diseases brought on disorders of pain, swallowing, eating, tasting, smiling, and communication functions.1 during the intra-oral examination, a dentist must detect lesions on the oral mucosa. an oral soft tissue lesion is known as an abnormal change in color, surface, or loss of integrity of the oral mucosal surface.2 a lesion is a pathological abnormality of tissue that causes symptoms. primary and secondary oral soft tissue lesions come in two different varieties. primary lesions include macules, papules, vesicles, bullae, plaques, nodules, pustules, keratoses, and wheals.3 meanwhile, erosion, ulceration, * corresponding author, e-mail: kharinna.widowati@hangtuah.ac.id fissure, cicatricial, desquamation, pseudomembranes, eschars, and crusts are examples of secondary lesions.4 the most common lesions on the oral mucosa are ulcers. an ulcer is a lesion formed due to loss of oral soft tissue’s continuity or loss of thickness of the epithelium to exceed the stratum basalis. the center of the lesion is initially red, and it turns gray and white after being covered with a fibrin clot.2 specifically, traumatic ulcers are ulcerative lesions on the oral mucosa caused by trauma or local factors. traumatic ulcers can also be caused by mechanical, thermal, chemical, or galvanic insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 40-45 41 trauma. clinical manifestation of traumatic ulcers due to mechanical factors depends on the intensity and size of the cause. usually, a mispositioned tooth, contact with the sharp surfaces of a broken tooth, or an improperly placed prosthesis cause physical trauma. while chemical trauma can be caused by dental materials, such as mouthwash with high alcohol content, eugenol, and phenol, thermal trauma is caused by hot food and drinks.5 it is usually a single ulcer, oval, yellow-gray or whitegrey in the center with an erythematous margin.6 one of the mechanical factors that can cause traumatic ulcers is the use of uncontrolled orthodontic appliances. aside from having a very useful function for the mouth, orthodontic appliances also have disadvantages, such as causing irritation and physical damage to the oral mucosa because of clasps and rough plate surfaces with sharp edges. these trigger the occurrence of traumatic ulcers in users of fixed orthodontic appliances.7 in indonesia, the prevalence of traumatic ulcers reaches 93.3%, which is quite high compared to other oral lesions. many complaints of ulcers are found in the oral soft tissue of patients, users of fixed orthodontic appliances, in which the wires and the braces are the components that most often cause traumatic ulcers, with a percentage of 56.3% of 61 patients using fixed orthodontic appliances.8 hence, this case report describes a traumatic ulcer due to using fixed orthodontic appliances that are not controlled for a long time, exacerbated by moderate oral hygiene and thermal trauma when drinking a hot beverage. case report a 22-year-old woman with moderate oral hygiene came to oral medicine department rsgm nala husada with complaints of multiple sores on her lower lip, which was painful. this ulcer appeared four days before her first visit. based on the history, there was also a slight impact (the gadget fell off) in the area of her lower lip while she was sleeping, and the ulcer got wider after she drank a hot beverage. her physical condition was good. vital signs: blood pressure 110/70 mmhg, pulse 80x/min, and body temperature 36.5°c. no systemic disease was reported. the submandibular lymph nodes were palpable, supple, immobile, and painless. intra-oral examination: multiple ulcers (±10-15 mm), erythematous margin, and concave yellow base. there were fixed orthodontic appliances (only braces, no wire and power o/chain) on the lower teeth around the lesions and calculus on the lower teeth. case management first visit (june 8, 2022): 1) after anamnesis and extra-oral and intra-oral clinical examination, the dentist diagnosed the patient's traumatic ulcer. 2) the wound area was cleaned using a 1.5% hydrogen peroxide solution to remove debris covering the ulcer. then, the ulcer area was dried and isolated using cotton rolls. 3) 10% povidone-iodine was applied to the ulcer margin area. 4) 0.1% kenalog was applied in oral base paste on the surface of the ulcer using a cotton pellet or micro applicator. 5) the cotton rolls were removed, and the patient was instructed not to eat, drink, or rinse for 30 minutes after applying the kenalog. she was only allowed to spit if it felt uncomfortable. 6) the patient was prescribed medication for home use, consisting of 0.1% kenalog in oral base paste (three times a day) as an antiinflammation covering agent, becomc caplet (once a day) as a supportive therapy, and 0.12% chlorhexidine gluconate gargle (two-three times a day) as an antiseptic agent. 7) the patient was educated about the diagnosis of the case and complained of things that should be done to support the healing process (control fixed orthodontic appliances, removed if necessary to eliminate the main causative factor), the importance of improving dental and oral hygiene, and the actions to be taken next to widowati kharinna, nafiah, amalia amanda | traumatic ulcers in a patient using fixed orthodontic appliances with moderate oral hygiene 42 support ulcer healing. 8) the patient was instructed to return for ulcer control and evaluation one week later. second visit (june 15, 2022): 1) the patient came for post-therapy control, which was done for a week. the ulcer was no longer too painful; the diameter was smaller, although it had not healed completely. 2) only the ulcers were cleaned and treated again like the first visit because the patient did not want to remove the orthodontic appliance. 3) the wound area was cleaned using a 1.5% hydrogen peroxide solution to remove debris covering the ulcer. then, the ulcer area was dried and isolated using cotton rolls. 4) 10% povidone-iodine was applied to the ulcer margin area. 5) 0.1% kenalog was applied in oral base paste on the surface of the ulcer using a cotton pellet or micro applicator. 6) the cotton rolls were removed, and the patient was instructed not to eat, drink, or rinse for 30 minutes after applying the kenalog. she was only allowed to spit if it felt uncomfortable. 7) the patient was instructed to continue taking the prescribed medication and vitamins regularly. 8) the patient was instructed to return for ulcer control and evaluation one week later. 9) dhe. figure. 1. the appearance of ulcers on the patient's lower labial mucosa on the first and second visits third visit (june 22, 2022): 1) the ulcer on the left side has been completely healed. 2) the ulcer on the right side was shallow, with no pain, and the diameter was smaller, although it had not healed completely. 3) the fixed orthodontic appliance was removed (according to the patient's consent). 4) scaling (calculus cleaning) was performed on the patient's teeth, especially the lower teeth. 5) the patient was instructed to continue taking the prescribed medication and vitamins regularly. 6) the patient was instructed to return one week later for ulcer control and evaluation. 7) dhe. fourth visit (june 29, 2022): 1) the ulcer on the left side has been completely healed, with no pain or scar. 2) dhe. 3) patients were educated about consuming nutritious food daily to support oral and overall body health. figure. 2. the appearance of the patient's lower labial mucosa on the third and fourth visits discussion trauma to the oral mucosa is the first step in developing traumatic ulcers. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 40-45 43 the degree of susceptibility of a person's oral mucosa, the frequency of exposure to trauma, and the extensive tissue involved all affect the likelihood that an ulcer would develop from trauma to lesions.9,10 eliminating the cause is a crucial step that must be addressed to help the healing of a traumatic ulcer. it is also necessary to provide education related to oral hygiene and follow-up on patient complaints. without eliminating the causative factors, traumatic ulcers will not heal completely; they can become recurrent or persistent ulcers that can lead to malignancy; predisposing factors are alcoholism, tobacco use, chewing betel nut, ultraviolet, and poor oral hygiene.11,12 in this case, using orthodontic appliances serves a highly practical purpose for the oral cavity but also has drawbacks that, if not addressed appropriately, might harm the oral mucosa physically. irritation due to orthodontic appliance components, such as wire/clammer and rough plate surfaces with sharp edges, can cause tissue damage (ulceration) of the oral mucosa.13 additionally, the body has a physiological response to the wound called the process of wound healing. tissue healing in wounds is a complex and dynamic process involving tissue environment changes and the status of one's health. physiologically healing of oral mucosal tissue will occur through the basic stages, including hemostasis, inflammation, proliferation, and maturation.14 the most important cell of all of these processes are macrophage cells, which function to secrete pro-inflammatory and anti-inflammatory cytokines and growth factors, fibroblasts, and their ability to synthesize collagen, affecting tensile strength of the wound and filling the wound tissue return to its original form. then, it was followed by skin keratinocytes cells to divide themselves and migrate to form re-epithelialization and cover the wound area.15 a wound is said to heal completely if the wound has been returned to tissue anatomy structure, tissue function, and appearance normally in the appropriate period.16 in general, managing traumatic ulcers is in the form of palliative (curative) therapy. the goal is to eliminate or reduce pain.17 the principles of traumatic ulcer management are to eliminate pain and discomfort to the patient, shorten treatment time, speed up healing time, and reduce the size of the lesion.18 further, wound care requires technique and medicine to speed up wound healing and prevent infection. povidone iodine is a good antiseptic (kills germs) for bacteria, gram-positive or negative. povidone iodine 10% is commonly used for general wound care as a disinfectant.19 in this case, the pharmacological treatments were kenalog 0.1%, becomc caplet, and chlorhexidine gluconate 0.12% gargle. kenalog contains triamcinolone acetonide 0.1%, synthetic corticosteroids with antiinflammatory, anti-itch, and anti-allergic effects. kenalog is also a topical antiinflammatory drug that relieves inflammation associated with oral inflammatory lesions, ulcerative lesions, and oral trauma and can reduce pain.20 then, becomc is a supportive therapy consisting of a multivitamin of vitamins b complex and c. the composition of becomc is vitamin b1 50 mg, vit b2 25 mg, vit b6 10 mg, vit b12 5 mcg, calcium pantotenate 18.4 mg, nicotinamide (vit b3) 100 mg, and vitamin c 500 mg. becomc plays a vital role in the healing period. particularly, one of the functions of vitamin c is collagen formation. collagen is a protein compound that affects structural integrity in all connective tissue, so vitamin c plays a role in wound healing. in addition, vitamin c prevents infection because it can increase the body's resistance to infection.4 therefore, dental health education aims to provide information on properly improving oral hygiene and health. to prevent injury and accelerate healing, patients are recommended to consume vegetables and fruits. widowati kharinna, nafiah, amalia amanda | traumatic ulcers in a patient using fixed orthodontic appliances with moderate oral hygiene 44 figure 3. diagram of case management of traumatic ulcer.20 conclusion ulcers completely heal without scars and without pain due to proper case management, starting from history taking, clinical examination, and pharmacological and non-pharmacological management in the form of education and action to eliminate the causative factor. appropriate case management can also help a dentist to determine whether there is a risk of malignancy in an ulcerated lesion. reference 1. morita, s., nendia, intan p.p. peningkatan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pada lansia dengan promosi kesehatan metode demonstrasi. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva. november 2021. 10(2): 26-31. https://doi.org/10.18196/di.v10i2.11311 2. danial, nurul h. prevalensi kelainan jaringan lunak rongga mulut pada anak usia 6-18 tahun yang mengalami stunting: kajian literatur. fkg universitas hasanuddin. 2020.pp 6-12. 3. dyah, ambarawati i.g.a. pengantar oral medicine dan lesi primer rongga mulut. story guide dental science i: 2017. universitas udayana. pp 17-18 4. pradnyani, i.g.a. sri. pengantar oral medicine dan lesi sekunder rongga mulut. story guide dental science i: 2017. school of dentistry, faculty of medicine, udayana university. p31. 5. mendrofa a.n., isidora k.s., mulawarmanti d. ekstrak daun mangrove (a. marina) dalam https://doi.org/10.18196/di.v10i2.11311 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 40-45 45 mempercepat kesembuhan ulkus traumatikus. jurnal dentofasial. 2015. 14(1): 11-14. https://doi.org/10.15562/jdmfs.v14i1.418 6. khairiati, wenny martalinda, abu bakar. ulkus traumatikus disebabkan trauma mekanik dari sayap gigi tiruan lengkap (laporan kasus). jurnal b-dent, 2014: 1(2), desember. pp 112117. https://doi.org/10.33854/jbdjbd.6 7. alam m.k. alam. a to z orthodontics. removable orthodontic appliance. malaysia: ppsp publication. 2014,(10). 8. manoppo, sri k.p. gambaran ulkus traumatikus pada mahasiswa pengguna alat orthodontik cekat di program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran universitas sam ratulangi. e-gigi jurnal ilmiah kedokteran gigi. 2013:1(2). https://doi.org/10.35790/eg.1.2.2013.3135 9. langkir a., d.h.c. pangeman, c.n. mintjelungan. gambaran lesi traummatik mukosa mulut pada lansia pengguna gigi tiruan sebagian lepasan di panti werda kabupaten minahasa. jurnal e-gigi. 2015. 3(1): 1-8. https://doi.org/10.35790/eg.3.1.2015.6405 10. greenberg, m.s.m, glick. j.a. ship. burket’s oral medicine. 12th ed. 2015. hamilton: b.c dekker inc. 11. sa’adah, nikmatus. hendarti, hening tuti. et.al. the effect of basil leaves (ocimum sanctum l.) extract gel to traumatic ulcer area in rattus norvegicus. jurnal kesehatan gigi 2020:8 nomor 1: 11-15. https://doi.org/10.31983/jkg.v8i1.6701 12. wilda hafny lubis, sanjarna r suppaya. hubungan status ekonomi dan pengetahuan masyarakat terhadap kanker rongga mulut di kotamadya medan 2014. insisiva dental journal, 2016: 5(1). p34. 13. dwi suhartiningtyas, novarini prahastuti, kharisma sari. insidensi ulkus traumatikus pada pemakai alat ortodonsi lepasan dan ortodonsi cekat. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva. mei 2020: 9(1), p7. https://doi.org/10.18196/di.9111 14. nova, primadina., ahmad basori, david s. perdanakusuma. proses penyembuhan luka ditinjau dari aspek mekanisme seluler dan molekuler. qanun medika. 2019: januari; 3(1). pp32-3. https://doi.org/10.30651/jqm.v3i1.2198 15. t velnar, t bailey, v smrkolj. the wound healing process: an overview of cellular and molecular mechanism. the journal of international medical research. 2011. pp1528-42. https://doi.org/10.1177/147323000903 700531 16. setyowati, d.e., l.r. dewi, a.m. prihanti. insiden recurrent aphthous stomatitis dengan riwayat keluarga di klinik oral medicine rsgm fkg universitas jember. prosiding the 4th dentistry scientific meeting of jember. april 2017. jember university press. 75-83. 17. karina, a.s., revianti, isidora k. khasiat ekstrak sargassum s.p. terhadap kepadatan kolagen pada proses penyembuhan ulkus traumatikus. jurnal kedokteran gigi denta. 2014. 8(1):34-42. 18. ivan arie wahyudi, malida magista, merry angel. efektivitas penggunaan saliva dibandingkan povidin-iodin 10% terhadap penyembuhanluka pada kutaneus tikus sprague dawley. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva. 2013: 2(1). 19. paisal. kenalog in orabase. 2014. available online at http://www.kerjanya.net/faq/8037kenalog-inorabase.html/ 20. nelonda, revi. setiadhi, riani. management of chronic traumatic ulcer mimicking oral squamous cell carcinoma on the tongue. dental journal (majalah kedokteran gigi) 2018: june; 51(2): 76–80. https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v51.i2 .p76-80 https://doi.org/10.15562/jdmfs.v14i1.418 https://doi.org/10.33854/jbdjbd.6 https://doi.org/10.35790/eg.1.2.2013.3135 https://doi.org/10.35790/eg.3.1.2015.6405 https://doi.org/10.31983/jkg.v8i1.6701 https://doi.org/10.18196/di.9111 https://doi.org/10.30651/jqm.v3i1.2198 https://doi.org/10.1177/147323000903700531 https://doi.org/10.1177/147323000903700531 http://www.kerjanya.net/faq/8037-kenalog-inorabase.html/ http://www.kerjanya.net/faq/8037-kenalog-inorabase.html/ https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v51.i2.p76-80 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v51.i2.p76-80 korespondensi: euis reni yuslianti, fakultas kedokteran universitas jenderal achmad yani,cimahi bandung, e-mail: ery.unjani@yahoo.co.id idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 62 pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) dibandingkan dengan ibuprofen terhadap kadar hcl gaster tikus yudha perwira putra1, euis reni yuslianti2 1fakultas kedokteran universitas jenderal achmad yani,cimahi bandung abstract latar belakang dan tujuan: ibuprofen merupakan salah satu obat anti inflamasi yang diketahui memiliki efek samping terhadap peningkatan kadar hcl lambung. salah satu obat tradisional yang memiliki efek anti inflamasi adalah antanan (centella asiatica). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak antanan dibandingkan dengan ibuprofen terhadap kadar hcl gaster tikus. bahan dan metode: penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorik dengan 30 ekor tikus wistar jantan. kelompok perlakuan terbagi atas kelompok yang diberi ektrak antanan 20 mg/200 gr berat badan/oral, kelompok yang diberi ibuprofen 21,6 mg/200 gr berat badan/oral dan kelompok kontrol. perlakuan diberikan selama 7 hari dan setelah pemberian perlakuan (hari ke-8), tikus dipuasakan selama 24 jam kemudian dilakukan pengangkatan lambung dan dilanjutkan dengan pengambilan getah lambung untuk mengetahui kadar ph dengan menggunakan metode ph meter serta metode titrasi. hasil dan analisis: hasil penelitian didapatkan kelompok yang diberikan ekstrak antanan (centella asiatica) meningkatkan asam lambung dengan rata-rata acidity ph 1,15 sedangkan pada kelompok yang diberikan ibuprofen meningkatkan asam lambung dengan rata-rata acidity ph 1,06. hasil analisis statistik menggunakan metode one way anova dan dilanjutkan uji lanjut duncan (p ≤ 0.05) menunjukan bahwa ekstrak antanan dan ibuprofen mempunyai pengaruh terhadap penurunan kadar asam lambung (p = 0.00). kelompok perlakuan ibuprofen memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan yang lainnya, sedangkan pada kelompok perlakuan kontrol memberikan pengaruh yang sama dengan kelompok perlakuan ekstrak antanan. kesimpulan: penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak antanan mempunyai pengaruh lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ibuprofen dalam meningkatkan kadar hcl lambung tikus. kata kunci : antanan, ibuprofen, kadar hcl, ph the effect of antanan (centella asiatica) extract towards gastric rat’s hcl level compared with ibuprofen abstract ibuprofen is one of the anti-inflammatory drugs with known side effects of increased levels of gastric hcl. one of the traditional medicines which have antiinflammatory effect is antanan (centella asiatica). this study aims to investigate yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) 63 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 the effect extract of antanan compared with ibuprofen on levels gastric hcl of rat. this research uses experimental methods laboratory with 30 male wistar rats. treatment group were divided into groups that were given extract of antanan 20 mg/200 g body weight/oral route, the group given ibuprofen 21.6 mg/200 g body weight/oral route and control groups. treatment is given for 7 days and after accepted of treatment (8th day), rats fasted for 24 hours then performed removal gastric and followed by taking gastric juice to determine the ph using a ph meter and titration methods. the results obtained the group who given extract of antanan increases gastric acid with an average acidity of ph 1.15 while in the group who given ibuprofen increase gastric acid with an average acidity of ph 1.06. the results of statistical analysis using one way anova and followed post hoc duncan test (p ≤ 0.05) showed that the extract of antanan and ibuprofen have an effect on reducing gastric acid levels (p = 0.00). ibuprofen group gives a different effect than others, while in control group having same effect with extract of antanan group. this research can be concluded that the extract of antanan have a lower impact than the provision of increased levels of ibuprofen in rat gastric hcl. key words: antanan, ibuprofen, levels of hcl, ph pendahuluan pengobatan tradiasional merupakan pilihan alternatif masyarakat karena dinilai sebagai pengobatan yang memiliki efek samping sedikit, murah dan mudah didapatkan. organisasi kesehatan dunia (who) menyebutkan pada tahun 2008, 80% penduduk negara berkembang mengandalkan pemeliharaan kesehatan dengan pengobatan tradisional dan 85% pengobatan tradisional ini menggunakan tumbuhan sebagai tanaman obat. di indonesia terjadi kecenderungan meningkatnya penggunaan obat tradisional, berdasarkan hasil survei nasional 2004 sekitar 32,8% masyarakat menggunakan obat tradisional. 1,2 antanan (centella asiatica) merupakan contoh dari sekian banyak tanaman obat yang sering digunakan. antanan diketahui memiliki efek diantaranya anti infeksi, anti rematik, anti piretik, hemostatis, diuretik ringan, dan sedatif. efek anti inflamasi yang terdapat pada antanan (centella asiatica) telah dibuktikan dari penelitian pada tahun 2009 yang dilakukan oleh mathew george, lincy joseph dan ramaswamy tentang penginduksian carageenan paw pada tikus jantan yang dapat memicu terjadinya proses inflamasi. hasil penelitiannya membuktikan bahwa ektrak antanan (centella asiatica) memperlihatkan efeknya sebagai anti inflamasi yang memiliki efek anti inflamasi hampir sama dengan ibuprofen.3,4,5 kita tahu dari berbagai jenis obat anti inflamasi modern, obat anti inflamasi bukan steroid yang pertama kali diperkenalkan di banyak negara yaitu ibuprofen. ibuprofen bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat, sehingga menjadi pilihan di kalangan medis dalam penggunaannya. namun kebanyakan obat anti inflamasi yang yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 64 diprototipkan dengan aspirin (dikenal obat mirip-aspirin) bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi. efek samping yang tersering terjadi pada saluran gastrointestinal adalah induksi tukak lambung yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat pendarahan saluran cerna hingga perforasi gastrointestinal. 6,7,8 di indonesia, pada periode januari 2000 hingga januari 2001 penelitian yang dilakukan oleh julianto widjojo menyebutkan terdapat 40 kasus pendarahan gastrointestinal yang diderita oleh 25 orang pria dan 15 orang wanita yang disebabkan mengkonsumsi obatobatan, jamu, dan minuman keras. penderita yang bersedia untuk menjalani pemeriksaan endoskopi terdiri dari 13 orang pria dan 13 orang wanita, sebanyak 15 orang memiliki lesi gastrointestinal akut terbanyak (57,7 %). pada sumber yang berbeda dijelaskan penderita gastritis dari berbagai manifestasi klinik diantaranya pengkonsumsi obat anti inflamasi bukan steroid, pecandu alkohol, dan stres. setengah dari pasien yang mengkonsumsi obat anti inflamasi bukan steroid dalam jangka panjang memiliki erosi (15-30 % berupa ulkus peptikum).9,10,11,12 berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin mengetahui pengaruh ekstrak antanan (centella asitica) yang dibandingkan dengan obat analgetik anti inflamasi bukan steroid yang dalam kesempatan ini dititikberatkan pada ibuprofen yang telah diketahui memiliki efek samping terhadap peningkatan kadar asam lambung. metode penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus wistar, pellet standar, ekstrak antanan (centella asiatica), ibuprofen dan aquades. yang dilakukan bersifat eksperimental laboratorik dengan menggunakan metode rancangan acak kelompok (rak). penelitian ini membagi perlakuan menjadi 3 kelompok, dengan kriteria: a. kelompok i berlaku sebagai kelompok kontrol negatif, diberikan pellet standar dan air minum pelarut secukupnya (2x60 gram sehari). b. kelompok ii berlaku sebagai kelompok perlakuan 1, diberikan pellet standar dan air minum pelarut (2x60 gram sehari) dan setiap hari diberikan ekstrak antanan peroral sebanyak 20 mg/200grbb tikus setiap hari. c. kelompok iii berlaku sebagai kelompok perlakuan 2, diberikan pellet standar dan air minum pelarut (2x60 gram sehari) dan setiap hari diberikan ibuprofen peroral sebanyak 21,6 mg/200grbb tikus setiap hari. cara pengambilan gastric juice dari tikus 1. setelah semua tikus diberikan perlakuan selama 7 hari, pada hari ke-15 tikus dipuasakan (selama 24 jam) lalu diberikan diethyl ether secara intravena sebagai anastesi untuk kemudian dilakukan pembedahan. 2. untuk pengamatan gastic juice, pembedahan dilakukan pada bagian tengah atas perut dengan sayatan secara tegak lurus dengan sumbu badan tikus. yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) 65 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 3. setelah terbuka, dilakukan pengidentifikasi gaster dengan perbatasan pylorus, duodenum dan esophagus yang kemudian diikat supaya isi dari lambung tersebut tidak bercampur dengan lainnya setelah dilakukan pengangkatan. 4. gaster yang telah dipisahkan dicuci dengan larutan nacl fisiologis, lalu dikeluarkan getah lambungnya. 5. cairan getah lambung yang dikeluarkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi. 6. setelah itu dilakukan sentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. 7. cairan hasil dari sentrifuge tersebut diukur dengan gelas ukur dan dilanjutkan dengan pemeriksaan berikutnya yang dilakukan pada hari ke-16. cara pemeriksaan gastric juice dengan metode ph meter13 1. ke dalam sebuah labu erlenmeyer dimasukan 10 ml getah lambung tikus. 2. celupkan strip indikator ph ke dalam labu erlenmeyer, kemudian lihatlah perubahan warna strip indikator ph, nilai ph dapat ditentukan dengan perubahan warna yang terjadi. cara pemeriksaan gastric juice dengan metode titrasi13 1. ke dalam sebuah labu erlenmeyer dimasukan 10 ml getah lambung dan 3 tetes larutan topfer, maka larutan akan menjadi merah. 2. setelah tercampur dengan baik lakukan titrasi dengan larutan naoh 0,1 n sampai warna merah menjadi orange. ini berarti semua hcl bebas sudah terikat menjadi garam (ph = 3,5). hasi titrasi yang didapatkan menunjukan jumlah free acidity. 3. selanjutnya, ditambahkan 2 tetes larutan phenolphthalein, titrasi diteruskan sampai warna menjadi kuning, lalu dilanjutkan sampai timbul warna orange kembali (ph=8). hasil titrasi yang kedua ini menunjukan jumlah combined acidity. 4. jumlah titrasi seluruhnya menunjukan total acidity. misalkan hasil titrasi free acidity didapatkan 4,2 ml naoh 0,1 n dan hasil titrasi combined acidity didapatkan 1,8 ml naoh 0,1 n maka: free acidity = 4,2 ml naoh 0,1 n = 100/10 x 4,2 = 42 unit combineed acidity = 1,8 ml naoh 0,1 n = 100/10 x 1,8 = 18 unit total acidity = 6,0 ml naoh 0,1 n = 100/10 x 6,0 = 60 unit setelah didapatkan nilai free acidity adalah 42 unit, kemudian dimasukan ke dalam perhitungan berikut: yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 66 [η ]~[οη ] ⇔ × = × ⇔ = × ⇔ = , × ⇔ = , = 4,2 × 10 = 0,042 pη = − log[η ] pη = − log 0,042 pη = −(−1,38) pη = 1,38 sehingga nilai ph masing-masing: free acidity = 42 unit = 1,38 combineed acidity = 18 unit = 1,74 total acidity = 60 unit = 1,22 hasil penelitian pada tikus wistar dengan 3 kelompok perlakuan berbeda yang dilakukan selama 7 hari menghasilkan perubahan kadar hcl gaster tikus. hasil pengukuran ph dengan metode strip indikator ph dan metode titrasi dari kelompok antanan dibandingkan dengan kelompok kontrol, disajikan dalam tabel 1. tabel 1. pengaruh antanan dan ibuprofen terhadap kadar hcl kelompok mean standar diviasi nilai maksimal nilai minimal antanan; n=10 strip indikator ph 4.600 0.699 5.00 3.00 free acidity combined acidity total acidity 1.486 1.053 0.919 0.046 0.023 0.020 1.56 1.08 0.96 1.42 1.00 0.88 ibuprofen; n=10 strip indikator ph 5.100 0.737 6.00 4.00 free acidity combined acidity total acidity 1.328 1.022 0.843 0.103 0.059 0.021 1.56 1.10 0.88 1.21 0.89 0.81 kontrol; n=10 strip indikator ph 5.200 0.632 6.00 4.00 free acidity combined acidity total acidity 1.450 1.169 0.987 0.045 0.036 0.022 1.51 1.21 1.02 1.38 1.12 0.96 yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) agar perubahan kadar ph pada tiap kelompok perlakuan terlihat lebih jelas, maka data di atas disajikan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. grafik pengaruh antanan dan ibuprofen terhadap kadar hcl dibandingkan dengan kontrol. untuk mengetahui adanya perbedaan kenaikan rerata kadar ph total antar kelompok perlakuan, maka dilakukan analisis varians (anava). karena syarat analisis varians (anava) kelompok perlakuan harus memiliki distribusi normal dan varians homogen, maka pertama kali harus dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians. langkah pertama pada analisis perbandingan adalah dengan melakukan uji normalitas dan homogenitas varians sebagai syarat dapat dilakukannya anava. uji normalitas yang digunakan adalah shapiro-wilk (α = 0,05) dan uji homogenitas. dari hasil kedua uji ini dapat disimpulkan bahwa semua kelompok perlakuan memiliki distribusi data normal dan homogen. setelah kedua syarat dipenuhi, maka dapat dilakukan anava. hasil dari anava menunjukkan adanya perbedaan total yang signifikan (f hitung > f tabel) pada kelompok perlakuan yang berbeda. oleh karena anava memiliki perbedaan yang signifikan (p = 0,00), maka analisis dapat kita lanjutkan untuk menentukan tingkat perbedaan antar kelompok dengan menggunakan post hoc test yaitu uji wilayah berganda duncan (α = 0,05). 14,15 tabel 2. post hoc duncan test perlakuan free acidity combined acidity total acidity subset for alpha = 0,05 subset for alpha = 0,05 subset for alpha = 0,05 1 2 1 2 1 2 3 ibuprofen 1.328 1.022 0.843 antanan 1.445 1.053 0.919 kontrol 1.486 1.169 0.987 yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 70 pembahasan diketahui bahwa dari hasil penelitian yang didapat dan disajikan dalam tabel 1 dan gambar 1 bahwa rata-rata nilai ph pada katagori strip indikator ph untuk nilai tertinggi adalah kelompok kontrol sebesar 5,2 sedangkan nilai terendah adalah kelompok antanan sebesar 4,6. ratarata nilai ph pada katagori free acidity nilai untuk nilai tertinggi adalah kelompok antanan sebesar 1,49 sedangkan nilai terendah adalah kelompok ibuprofen sebesar 1,33. rata-rata nilai ph pada katagori combined acidity untuk nilai tertinggi adalah kelompok kontrol sebesar 1,17 sedangkan nilai terendah adalah kelompok ibuprofen sebesar 1,02. rata-rata nilai ph pada katagori total acidity untuk nilai tertinggi adalah kelompok kontrol sebesar 0,99 sedangkan nilai terendah adalah kelompok ibuprofen sebesar 0,84. setelah dirata-ratakan total nilai ph dari free acidity, combined acidity dan total acidity pada seluruh kelompok diperoleh bahwa ph kelompok ibuprofen memiliki kadar ph terendah sebesar 1,06 sedangkan ph kelompok kontrol memiliki kadar ph tertinggi sebesar 1,2. berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dijelaskan bahwa rata-rata free acidity (ph) kelompok perlakuan ibuprofen memberikan pengaruh yang berbeda antara satu kelompok perlakuan dengan yang lainnya sedangkan pada kelompok perlakuan kontrol memberikan pengaruh yang sama dengan kelompok perlakuan antanan. pada rata-rata combined acidity (ph) dapat dijelaskan bahwa kelompok perlakuan kontrol memberikan pengaruh yang berbeda antara satu kelompok perlakuan dengan yang lainnya sedangkan pada kelompok perlakuan ibuprofen memberikan pengaruh yang sama dengan kelompok perlakuan antanan. pada rata-rata total acidity (ph) dapat dijelaskan bahwa masingmasing kelompok perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda antara satu kelompok perlakuan dengan yang lainnya. kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama 15 hari berturutturut (7 hari adaptasi, 7 hari perlakuan, serta 1 hari pemeriksaan), dapat diambil kesimpulan diantaranya, bahwa kelompok yang diberikan ekstrak antanan (centella asiatica) sebanyak 20 mg/200 gr berat badan/hari secara per oral terhadap tikus dapat meningkatkan asam lambung dengan rata-rata ph 1,15 pada total pemeriksaan free acidity, combined acidity dan total acidity, sedangkan kelompok yang diberikan pemberian ibuprofen sebanyak 21,6 mg/200 gr berat badan/hari yang meningkatkan asam lambung dengan rata-rata ph 1,06 pada total pemeriksaan free acidity, combined acidity dan total acidity, sedangkan pada kelompok yang tidak diberikan perlakuan tambahan didapatkan rata-rata ph 1,20 pada total pemeriksaan free acidity, combined acidity dan total acidity. dengan demikian, pemberian ekstrak antanan berpengaruh terhadap perubahan kadar hcl gaster tikus namun lebih rendah dibandingkan dengan ibuprofen. berdasarkan hal tersebut disarankan bahwa perlu dilakukan yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) 69 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 penelitian mengenai pengaruh pemberian ektrak antanan (centella asiatica) dengan pelarut etanol penggunaannya sebagai anti inflamasi terhadap kadar hcl lambung. kemudian diperlukan uji perbandingan efektivitas anti inflamasi bukan steroid pada ektrak antanan (centella asiatica) dengan anti inflamasi bukan steroid lain. sehingga kita dapat memanfaatkan ekstrak antanan sebagai anti inflamasi tradisional yang lebih aman dan relatif mudah diperoleh oleh masyarakat. daftar pustaka 1. dio. prospek tumbuhan obat di kalangan medis. ) bandung: sinar harapan. 2006 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mo d=browse&op=read&id=jbptitbpp -gdl-web-2006-dio-1844&q=obat (diunduh pada 28 februari 2011). 2. world health organization (who). traditional medicine. 2008 .http://www.who.int/mediacentre/f actsheets/fs134/en/ (diunduh pada 3 maret 2011) 3. depkes ri. tentang kesehatan. undang-undang republik indonesia no.23 tahun 1992. jakarta: departemen kesehatan. . 2000. 4. depkes ri. tentang standar pelayanan medik herbal. keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 121/menkes/sk/ii/2008. jakarta: departemen kesehatan. 2000. 5. george, m., joseph, l., ramaswamy. anti-allergic, antipruritic, and anti-inflammatory activities of centella asiatica extracts. george, m., joseph, l., ramaswamy. complementary and alternative medicines, afr. j. trad. 2009; 554-9. 6. fauci, a.s., braunwald, e., kasper, d.l., hauser, s.l., longo, d.l., jameson, j.l., et all. palliative and end-of-life care. in: ezekiel j. emanuel, joshua hauser, linda l. harrison’s principles of internal medicine 17th edition. new york: mcgraw hill medical. 2008; 66-80. 7. ganiswarna, sulistia g., dkk.. analgesik – antipiretik/analgesik anti-inflamasi nonsteroid dan obat pirai. in: p. freddy wilmana. terapi dan farmakologi. edisi keempat. jakarta: gaya baru. 1995; 207222. 8. aidi, l., alfina, d., hamidy, m.ybeberapa faktor risiko yang berhubungan dengan keluhan gastrointestinal akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid. journal of medical science, september 2008; jilid 2, nomor 1. riau: badan penelitian kedokteran fakultas kedokteran universitas riau dan idi wilayah riau. 2008; 81-7. 9. widjojo, julianto. obat anti inflamasi non-steroid sebagai penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas. majalah kedokteran bandung, volume xxxv no. i. bandung: fk unpad. 2003;14-8. 10. widjojo, julianto. upper gastrointestinal bleeding induced by nsaids. journal of gastroenterology and hepatology, volume 18 supplements september. west yudha perwira putra: pengaruh ekstrak antanan (centella asiatica) idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 70 sussex: blackwell publish. 2003; a46. 11. fauci, a.s., braunwald, e., kasper, d.l., hauser, s.l., longo, d.l., jameson, j.l., et all. 2008. gastrointestinal bleeding. in: loren laine. harrison’s principles of internal medicine 17th edition. new york: mcgraw hill medical. 257-60. 12. zainal, andi. patogenesis dan gambaran klinik oains gastropati. journal of medical science, september 2008; jilid 1, nomor 1. riau: badan penelitian kedokteran fakultas kedokteran universitas riau dan idi wilayah riau. 2007; 36-41. 13. fakultas kedokteran unjani. getah lambung. buku petunjuk praktikum blok 12 cetakan ke 2. fk unjani. 2010. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 34-40 34 case report treatment of anterior crossbite with skeletal class iii malocclusion during the growth period tita ratya utari* department of orthodontics, school of dentistry, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. brawijaya, geblagan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta 55183, indonesia received date: march 1st, 2022; revised date: may 26th, 2022; accepted: may 28th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.14133 abstract anterior crossbite is the most common problem in angle class iii malocclusion and is aesthetically disturbing. as individuals get older, an anterior crossbite can worsen, impacting the esthetics of the face and the stomatognathic system’s function significantly and requiring immediate treatment. due to genetics, habitual postures, ethnicity, and environmental variables, the class iii malocclusion’s etiology is multifaceted. in terms of treatment, there are three options: growth modification, camouflage, and orthognathic surgical treatment. this case report aims to describe a non-surgical treatment with simple treatment mechanics in two patients who were still in their growth period. two patients, a sibling aged 14 and 13 years, experienced an anterior crossbite with a deep overbite, diagnosed with angle class iii with skeletal class iii relationships. besides, the profile revealed a concave, with an overjet of -2mm and an overbite of 4mm. the treatments were then performed employing fixed orthodontic appliances with vertical u-loops for protraction of upper anterior teeth and class iii intermaxillary elastics to correct molar relationships. the treatment was completed in two years, in which the anterior crossbite was corrected. the molar and canine relationships, which were originally class iii, became class i. loss of tooth 36 was closed, and tooth 38 has fully erupted. treatment of anterior crossbite needed to be done as soon as possible to prevent more severe abnormalities. in conclusion, a treatment in the growth period with simple techniques resulted in significant improvements in function and aesthetics. keywords: anterior crossbite; class iii; fixed orthodontics introduction skeletal class iii relationships can result from a normal maxillary with more anterior mandibular growth (prognathic) or maxillary retrognathic with a normal mandible or an integration of both (maxillary retrognathic and mandibular prognathic).1 for the skeletal class iii malocclusion correction, proffit states three treatment options: 1) growth modification, using differential growth of the maxilla relative to the mandible; 2) camouflage of the skeletal discrepancies through tooth movements to correct dental occlusion while maintaining skeletal discrepancy; 3) orthognathic surgical correction.2 * corresponding author, e-mail: tita.ratya@umy.ac.id more specifically, the common anterior crossbite in skeletal class iii relationships may get worse along with increased age, affecting the esthetics of the face and the stomatognathic system’s function significantly.1 anterior crossbite is a malocclusion involving at least one maxillary incisor, which is more palatally occludes than the mandibular incisors. crossbite can be caused by dental and bone factors.3 furthermore, due to the influence of genetics, habitual postures, ethnicity, and environmental variables, the class iii malocclusion’s etiology is multifaceted1, and asian populations have been examined tita ratya utari | treatment of anterior crossbite with skeletal class iii malocclusion during the growth period 35 to have a greater prevalence of the disease.4 in addition, investigations on human genetics have produced sufficient data to indicate that heredity is the primary determinant of mandibular development. in this regard, the genetic inheritance of a family provides a substantial impact on the dimensions of skeletal craniofacial, which contributes to class iii malocclusions. in members of several generations, a significantly greater prevalence of these malocclusions has been discovered.5 in most class iii cases, malocclusion involving four or more teeth in the anterior crossbite occurs. compared to the upper lip, the lower lip is frequently more prominent and should be corrected as early as possible.6 anterior crossbite is also associated with various complications, for instance, wear of the incisal edges, the gingival recession in the lower incisors, and ultimately tooth loss. correction of the anterior crossbite can thus improve oral health and achieve better occlusion7. therefore, it is crucial to do the anterior crossbite correction immediately. for this reason, this article describes the angle class iii malocclusion treatment with skeletal class iii relationships due to genetic factors, accompanied by anterior crossbite and deep bite, in sibling patients who were still in their growth period. case report siblings, a 14-year-old girl and a 13year-old boy, had the same malocclusion, namely angle class iii malocclusion with anterior crossbite (dewey type 3). skeletal class iii relationships were with mandibular prognathic. one of the parents and grandfather of the two patients had the same abnormalities, so the skeletal class iii relationships were due to genetic factors. furthermore, the treatment in these two cases aimed to do the anterior crossbite correction, achieve a normal overjet and overbite with proclination of the upper anterior teeth and retraction of the lower anterior teeth, improve the facial profile and lip posture, as well as closing the mandibular dental space, thereby preventing the development of more severe skeletal abnormalities. case 1: a 14-year-old female patient complained of more advanced lower front teeth. the examination of the extra-oral lateral profile of the face was slightly concave and symmetrical, with the mandibular prognathic and the lower lip positioned more forward than the upper lip. intraoral examination showed a class iii molar relationship with class i canine, anterior crossbite with negative overjet (-3 mm) that greatly affected facial esthetics, 3 mm overbite, and tooth 36 had been extracted due to caries. the patient's permanent teeth, comprising the third molars, were all visible on the first panoramic radiograph, and in general, the alveolar bone and tooth roots were also normal (figure 1). in addition, the examination of cephalometric depicted skeletal class iii relationships (anb:-4.5), with a relatively normal maxilla (sna: 83.5) but a prognathic mandible (snb: 88) (table 1). figure 1. extra-oral, intra-oral, and pre-treatment radiographs (case 1) insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 34-40 36 case 2: a 12-year-old male patient complained of more advanced lower front teeth. the examination of the extra-oral lateral profile of the face was slightly concave and symmetrical, with the prognathic mandible and the lower lip positioned more forward than the upper lip. intraoral examination revealed a relationship between class iii molar and class i canines, anterior crossbite with negative overjet (-3 mm) that greatly affected facial esthetics, 3 mm overbite, and a diastema on the lower anterior teeth. the patient's permanent teeth, comprising the third molars, were all visible on the first panoramic radiograph, and in general, the alveolar bone and tooth roots were also normal (figure 2). furthermore, the examination of cephalometric showed skeletal class iii relationships (anb: 9.3), with a relatively normal maxilla (sna: 80.2) but a prognathic mandible (snb: 89.5) (table 2). figure 2. extra-oral, intra-oral, and pre-treatment radiographs (case 2) case management: both patients were still in their growth period, so no invasive treatments such as extraction or orthognathic surgery were performed. considering the negative overjet and the patients' age, treatment in class iii skeletal pattern correction exploited the remaining growth potential by moving the teeth to achieve labial inclination of the maxillary incisors as well as retraction of the mandibular incisors. the treatments were then performed using a fixed orthodontic appliance with a straight wire system slot 0.22. a resin bite block was added to the lower posterior teeth early to separate the bite and facilitate correction of the anterior crossbite. at the initial stage, leveling and alignment of the teeth were carried out from 0.12 to 0.18 wire. next, they were replaced with 0.16 diameter ss wire with a vertical u-loop at the mesial teeth 13 and 23 for both intrusion and protraction of the upper anterior teeth (figure 3). at the beginning of treatment, both patients used class iii intermaxillary elastics ¼ 4 oz until the crossbite was corrected. it took about eight months to achieve the anterior crossbite leveling, alignment, and correction. furthermore, several brackets were repositioned and continued to close the space in the lower jaw. in case 1, the extraction space for tooth 36 was closed using elastic from teeth 23 to 37 to mesialize tooth 37 to facilitate the eruption of tooth 38. in case 2, the diastema of the lower anterior teeth was closed utilizing a power chain from teeth 44 to 34. after approximately two years, the treatment goals have been achieved and continued using upper and lower removable retainers used for retention. figure 3. vertical u-loop and resin bite block on the lower first molar tita ratya utari | treatment of anterior crossbite with skeletal class iii malocclusion during the growth period 37 treatment outcome for case 1: figure 4. extra-oral, intra-oral, and radiographs after treatment (case 1) table 1. cephalometric analysis results before and after treatment (case 1) measurement mean before after sna 81.08 83.48 85.82 snb 79.17 88.01 88.43 anb 2.46 -4.53 -2.60 occlusal plane to sn angle 14 6.66 5.30 mandibular plane angle (go-gn to sn) 32 21.07 19.95 u1 to na (mm) 4 6.29 9.67 u1 to na (deg) 22 28.29 33.29 l1 to nb (mm) 4 3.65 3.06 l1 to nb (deg) 25 16.41 20.79 interincisal angle 128 139.82 128.53 treatment outcome for case 2: figure 5. extra-oral, intra-oral, and radiographs after treatment (case 2) table 2. cephalometric analysis results before and after treatment (case 2). measurement mean before after sna 81.77 80.21 82.61 snb 80.42 89.59 87.37 anb 2.05 -9.38 -4.76 occlusal plane to sn angle 14 11.63 4.21 mandibular plane angle (go-gn to sn) 32 21.48 23.62 u1 to na (mm) 4 14.67 12.01 u1 to na (deg) 22 39.19 43.80 l1 to nb (mm) 4 3.79 1.63 l1 to nb (deg) 25 15.75 18.60 interincisal angle 128 134.44 122.36 both cases were successfully resolved by achieving a class i molar and canine relationship, corrected anterior crossbite, normal overjet and overbite, and relative median line in one line. the facial profile was maintained with little change, i.e., it was still slightly concave (figures 4 and 5). the cephalometric analysis results still showed a skeletal class iii relationship, but there was a change in anb of more than 2. in addition, the maxillary incisors were still proclined, with an increase in the i-na angle (tables 1 and 2), but aesthetically, it was still quite good. in case 1, the remaining space of tooth 36 extraction was successfully closed with the eruption of tooth 38 so that the patient was free from dentures. in case 2, the lower anterior teeth’ diastema was also closed with the lower anterior teeth' retraction. discussion both cases of the siblings had a class iii skeletal pattern with mandibular prognathic due to genetic factors, where the mother and grandfather of the patients had the same condition. it indicated that genetic factors strongly influenced class iii malocclusion, which in this case, occurred in many family members. genetic factors' contribution to class iii malocclusion has been the concern of many researchers. evidence has shown that genetic factors contributed to the susceptibility to insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 34-40 38 malocclusion.8 however, both patients were still in their growth period, so it was still possible to perform treatment without invasive procedures, such as extraction or surgery. if treatment were not immediately carried out, it would result in more severe skeletal abnormalities, and if it passed the growth stage, correction of the anterior crossbite would be more difficult and might even require combined orthodontic treatment and orthognathic surgery. in class iii malocclusion, the interceptive approach can be carried out with various devices, encompassing removable and fixed orthodontic appliances, functional removable appliances, protraction headgear, chincups, as well as systems of skeletal anchorage. any chosen treatment will not matter as all these options are effective. the treatment’s long-term stability is particularly important, which is contingent on sustainable, profitable growth.9 camouflage treatment can be performed with various approaches, including tooth extraction, distalization of the mandibular teeth, and class iii intermaxillary elastics.10 in orthodontic camouflage treatment, skeletal problems disguise the dentoalveolar compensation, while the function, aesthetics and occlusion allow for an enhancement.11 in both cases, camouflage treatment was chosen using a fixed orthodontic appliance, where tooth movement was performed to correct tooth occlusion by correcting anterior crossbite and reducing and preventing more severe skeletal abnormalities. skeletal abnormalities in both cases were still class iii, where the anb of both patients was still below normal. however, there was a significant decrease in anb, namely anb -4.54 to -2.6 in case 1 and anb -9.38 to -4.76 in case 2. anterior crossbite in growing individuals can be very detrimental. it disrupts environmental conditions in the oral cavity and can cause severe aesthetic disharmony and functional impairment.12 moreover, anterior crossbite has been reported to be associated with various complications, for instance, wear of the incisal edges, the gingival recession in the lower incisors, and worsening growth patterns. the anterior crossbite correction thus will increase the maxillary arch perimeter, provide the canines and premolars extra room to erupt, as well as obtaining a more stable orthopedic outcome.4 in anterior crossbite correction, separation of the bite (open the bite) to obtain a non-inhibiting pathway at the beginning of tooth movement is vital. some treatment options for an anterior crossbite include reversed stainless-steel crowns, tongue blades, bonded resin-composite slopes, fixed acrylic planes, and removable acrylic appliances with finger springs. however, this method is not comfortable and effective in young patients with mixed dentition. for adult patients, fixed appliances with class iii elastics and bondable resin bites for dissolution effectively correct anterior crossbites.7 a case report reported that lingual retraction of the mandibular incisors using class iii elastics in a 14-year-old patient was very effective for anterior crossbite correction so that a positive overjet was obtained.13 in addition, the advantages of the fixed appliance of orthodontic treatment included improved control in three teeth dimensions as well as continuous force release.4 in this report, the anterior crossbite corrections were performed utilizing a fixed orthodontic appliance with the straight wire slot 0.22 system. since the beginning of the treatment, resin blocks had been applied to teeth 46 and 36, which were effective as a bite enhancer so that they did not hinder the protraction of the upper anterior teeth. class iii malocclusions often occur due to maxillary retrognathia, mandibular prognathia or a combination of both. ellis and mcnamara stated that 65-67% of all class iii malocclusions are characterized by maxillary retrognathia. thus, maxillary protraction is an important paradigm in the early management of class iii malocclusion.14 in class iii cases, tita ratya utari | treatment of anterior crossbite with skeletal class iii malocclusion during the growth period 39 protraction wires (protraction utility archwires with tip backbends) have been commonly used to protract the upper incisors and achieve positive overjet. the movement of the position of the upper incisors is carried out through favorable uncontrolled tipping.6 in both cases in this report, using wires with vertical u-loop in the mesial teeth 13 and 23 with 0.16 ss wire was effective for protraction and intrusion of the upper anterior teeth. a vertical uloop with the mesial leg higher than the distal part provided an intrusive effect, and the labial arc was positioned more anteriorly before entering into the bracket slot, providing a protraction effect. in addition, both patients were very cooperative using class iii elastics. intermaxillary elastics have been used as part of braces treatment and are available in various sizes and strengths. class iii intermaxillary elastics can cause proclination of the upper incisors, extrusion of the upper molars, distal tipping of the lower molars, and extrusion of the lower incisors.10,15 as a result, the goal of treatment in both cases was achieved, with the anterior crossbite corrected. in case 1, the extraction space of tooth 36 was closed properly so that the patient was free from the use of dentures, and excellent interdigitation was obtained. in case 2, although the interdigitation was not maximal, the molar and canine relationship were class i, the anterior crossbite was corrected, and the profile was maintained. in addition, both patients had been advised to remove their wisdom teeth, but it had not been done. thus, a further observation is needed to monitor the treatment stability and the patient's motivation to use a retainer. both patients used a removable retainer, the hawley retainer. furthermore, a recent systematic review showed no difference between a hawley retainer and a vacuum retainer in terms of cost, time, arch width, occlusal contact, and patient satisfaction.16 conclusion based on the result of this study, it can be concluded that genetic factors significantly influenced the class iii malocclusion occurrence and needed to be treated as early as possible. protraction of the upper anterior teeth using a vertical uloop, accompanied by a combination of posterior bite enhancers with class iii elastics, gave satisfactory results, with the anterior crossbite correction achieved. thus, improvements in occlusion function and better aesthetics have been obtained. references 1. yashwant av, rajasekaran ub, xavier hr, james l, joseph b. camouflage treatment of skeletal class iii malocclusion with anterior crossbite in adults: a case series. int j sci stud. 2019;7(1):213-218. 2. proffit wr. contemporary orthodontics. 5th ed. st. louis, mo, elsevier mosby, 2013. 3. gawthanman m, disha p, mathian v, vinodh s. a fixed partial appliance approach towards treatment of anterior single tooth crossbite: report of two cases. indian journal of dental sciences.2017.9(2):119-121. https://doi.org/10.4103/ijds.ijds_19_17 4. reyes a, serret l, peguero m, tanaka o. diagnosis and treatment of pseudoclass iii malocclusion. case reports in dentistry. 2014. 2014:1-6. https://doi.org/10.1155/2014/652936 5. zere e, chaudhari pk, sharan j, dhingra k, tiwari n. developing class iii malocclusions: challenges and solutions. clin cosmet investig dent. 2018; 10:99-116, https://doi.org/10.2147/ccide.s134303 6. meeran na. correction of anterior crossbite and an unesthetic smile arc in an adult patient. journal of clinical orthodontics: jco. 2011.45: 31-37. https://doi.org/10.4103/ijds.ijds_19_17 https://doi.org/10.1155/2014/652936 https://doi.org/10.2147/ccide.s134303 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 34-40 40 7. yang c, tseng yc.the orthodontic treatment of class iii malocclusion with anterior cross bite and severe deep bite. taiwanese journal of orthodontics. 2020.31(1), article 6. https://doi.org/10.30036/tjo.201903_ 31(1).0006 8. mokhtar ki, bakar ab, tahir ahbma. genetics of malocclusion: a review. iium journal of orofacial and health sciences. 2020.1(1):1-6. https://doi.org/10.31436/ijohs.v1i1.2 9. oltramari-navarro pv, de almeida rr, conti ac, navarro rde l, de almeida mr, fernandes ls. early treatment protocol for skeletal class iii malocclusion. braz dent j. 2013;24(2):167-173. https://doi.org/10.1590/01036440201301588 10. sakoda kls, pinzan a, cury sen, bellini-pereira sa, castillo aad, janson g. class iii malocclusion camouflage treatment in adults: a systematic review. journal of dentistry open access. 2019.1(1):1-12. https://doi.org/10.31487/j.jdoa.2019. 01.04 11. alam mk, nowrin sa, shahid f, alharby h, abutayyem h, alswairki hj, el-din mohamed sk. orthognathic versus camouflage treatment of class iii malocclusion: a systematic review and metaanalysis. appl. sci. 2022,12:3314. https://doi.org/10.3390/ app12073314 12. krishna v, sivakumar a, indumathi s, sam pm, padmapriya cv. treatment of 3-prong anterior crossbite and unilateral lingual posterior crossbite malocclusion in an adolescent boy. j indian orthod soc 2017;51:284-288. https://doi.org/10.4103/jios.jios_268_16 13. utari tr. perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan menggunakan alat cekat (straight wire appliance) (laporan kasus). insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 2016;5(1):24-32. https://doi.org/10.18196/di.v5i1.3711 14. vineet g, pooja s. correction of a skeletal class iii with anterior cross bite using maxillary protraction therapy. jsm dent. 2014;2(2): 1028. 15. mitchell l. an introduction to orthodontics. 4th ed. oxford: oxford university press; 2013. p. 179–192. 16. mai w, he j, meng h, jiang y, huang c, li m, yuan k, kang n. comparison of vacuum-formed and hawley retainers: a systematic review. am j orthod dentofac orthop. 2014;145(6):720–727. https://doi.org/10.1016/j.ajodo.2014.0 1.019 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.3390/%20app12073314 https://doi.org/10.18196/di.v5i1.3711 https://doi.org/10.1016/j.ajodo.2014.01.019 https://doi.org/10.1016/j.ajodo.2014.01.019 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 70-77 70 research article satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatment at rsgm umy hartanti1*, riska fitri febriyanti2 1department of periodonsia, school of dentistry, faculty of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. brawijaya, geblagan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta 55183, indonesia 2school of dentistry, faculty of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. brawijaya, geblagan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta 55183, indonesia received date: february 23rd, 2022; revised date: september 13rd, 2022; accepted: november 10th, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.14056 abstract periodontal disease is one of the global oral health problems. periodontitis is still the leading cause of tooth loss in adults worldwide. periodontitis may cause discomfort related to tooth loss during eating. loss of teeth, either one or several teeth, can cause functional and aesthetic disturbances that can affect a person's level of satisfaction. there are several treatments to treat tooth loss, one of which is splinting treatment. splinting is a therapy that connects several teeth to increase the stability of the teeth due to periodontitis. this study aims to describe the level of satisfaction of patients with periodontitis with tooth luxation after splinting at the dental hospital of universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm umy). this research method is descriptive observational, with a total sample of 38 respondents. the sample inclusion criteria were all patients who had splinting done by a coass at rsgm umy and all patients who had splinting done by a co-ass at rsgm umy with a tooth luxation degree 2. the sample exclusion criteria were patients who were not willing to be respondents. the study's results showed that 26.95% of patients were very satisfied, 62.63% were satisfied, 8.74% were not satisfied, 1.47% were dissatisfied, and 0.21% were very dissatisfied. the satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatment at rsgm umy in all five dimensions was in the ‘satisfied’ category with a percentage of 62.63%. keywords: patient satisfaction; periodontal splinting; rsgm umy introduction periodontal disease is a global oral health problem. periodontitis is still the leading cause of tooth loss in adults worldwide. the world health organization recently reported that severe periodontitis accounts for 5-20% of the adult population and most children and adolescents show signs of gingivitis.1 the 2001 ministry of health household survey (skrt) report stated that the prevalence of dental and oral diseases was the highest, covering 60% of the population. according to the 2013 basic health research (riskesdas), periodontal * corresponding author, e-mail: hartantisoeharno@yahoo.com disease is a dental and oral health problem with a fairly high prevalence in a society where periodontal disease in all age groups in indonesia is 96.58%.2 periodontal disease is generally categorized into gingival disease (gingivitis) and periodontitis.3 besides malocclusion, crowding of teeth can be a problem for sufferers. crowded teeth are very difficult to clean by brushing. the causes of periodontal disease consist of local factors and systemic factors. local factors are causes in the environment around the teeth, such as plaque. systemic factors are causes that are usually hartanti, riska fitri febriyanti | satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatmentat rsgm umy 71 associated with metabolism and general health, such as hormones. periodontitis is generally caused by plaque.3 the negative impact of periodontitis is the discomfort felt by the patient. this discomfort is related to tooth loss during eating due to loose teeth.3 loss of teeth, either one or several teeth, can cause functional and aesthetic disturbances that can affect a person's level of satisfaction.4 splinting is a therapy that connects several teeth in a periodontitis patient. this therapy aims to increase the stability of loose teeth. a study revealed that stabilization of tooth mobility using periodontal splinting has a good prognosis for patients.3 the purpose of dental and oral care is to improve the appearance of the teeth, which in turn will lead to patient confidence and satisfaction.5 patient satisfaction with dental and oral health services is a comparison between perceptions of the services they received and their expectations before getting the services. the fulfilled expectations show that the quality of service provided is good and creates maximum satisfaction.6 service quality can be determined by five main dimensions: tangible, reliability, responsiveness, assurance, and empathy. the quality of health services is one of the factors that can increase patient satisfaction.7 according to the minister of health, the dental and oral educational hospital (doeh/ rsgm) is a hospital that provides dental and oral health services, which are also used as a means of learning, education, and research processes for the dental health profession, including dentistry student of the professional program (co-ass) and other health workers. it t is bound through collaboration with the faculty of dentistry. rsgm universitas muhammadiyah yogyakarta (umy) is a dental and oral hospital located at jalan hos cokroaminoto no. 17a, pakuncen, wirobrajan, yogyakarta city. services at rsgm umy include primary, secondary, and tertiary dental services with excellent service standards as well as supporting services, including laboratories, radiology, and material processing laboratories. it is completed along with the increasing need for educational and family dentist clinics facilities and clinical skills for co-ass’s improvement, for example, the use of splinting for patients with tooth luxation. furthermore, rsgm umy can support the effective teaching and learning process for academic activities. it is also as a symbol of quality assurance from umy’s dentist graduates as human resources who are ready to contribute in the community. this study aims to describe the level of satisfaction of patients with periodontitis with tooth luxation after splinting at dental hospital of universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm umy).8 materials and methods this research used a descriptive observational method with a crosssectional design and quantitative data types using questionnaires. it was conducted in january – april 2019 at rsgm umy. based on the preliminary survey results, the total population was 50 people. the sample in this study used the slovin formula, so 38 respondents were obtained. respondents in this study were periodontitis patients with a degree of luxation ( ≥2) whom a co-ass had splinted at rsgm umy as the criteria of this research. the sampling technique used was purposive sampling. the variable in this study was a single variable. it is the level of patient satisfaction with splinting by co-ass at rsgm umy. the operational definition of the patient's satisfaction with the treatment resulted from the operator's care quality. the research instrument used a knowledge questionnaire, informed consent, stationery, and a computer with spss 15.0 software. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 70-77 72 result distribution of research subject data as many as 38 people in the age range of 26 to 65 years. the majority of research subjects were men at 68.4% (26 people) and women 31.6% (12 people). table 1. distribution of patient’s characteristics characteristics total percentage gender male 26 68.4% female 12 31.6% age 26-45 years old 18 47.37% 46-65 years old 19 50% >65 years old 1 2.63% education elementary school graduates 1 2.6% junior high school graduates 3 7.9% senior high school graduates 21 55.3% college graduates 13 34.2% based on table 1, the respondents in this study were 50% patients with the age categories of 46-65 years, 68.4 % males, and 55.3% respondents with high school graduates. table 2. patient’s satisfaction with splinting treatment based on tangibility dimensions number statement respondent tangibility very not satisfied not satisfied less satisfied satisfied very satisfied total 1 completeness of splinting 0 0 0 35 3 38 2 hygiene of splinting’s equipment 0 0 0 29 9 38 3 hygiene of the examination room 0 0 0 22 16 38 4 hygiene of dental chair 0 0 1 18 19 38 5 a co-ass who looks clean and tidy 0 0 1 28 9 38 total 0 0 2 132 56 190 percentage 0% 0% 1.06% 69.47% 29.47% 100% table 2 shows the results of the percentage of patient satisfaction on the tangibility dimension. the majority of satisfied patients was 69.74%, and those who were very dissatisfied and dissatisfied were 0%. hartanti, riska fitri febriyanti | satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatmentat rsgm umy 73 table 3. patient’s satisfaction with splinting treatment based on responsiveness dimensions number statement respondent responsiveness very dissatisfied not satisfied not enough satisfied satisfied very satisfied total 6 the co-ass was quick to deal with the patient’s complaints 0 0 1 29 8 38 7 co-ass does not need a long time to conduct splinting treatment 0 0 10 24 4 38 8 co-ass doing splinting treatment carefully 0 0 1 22 15 38 total 0 0 12 75 27 114 percentage 0% 0% 10.53% 65.79% 23.68% 100% table 3 shows the results of the percentage of patient satisfaction on the responsiveness dimension. the majority of satisfied patients was 65.79%, and those who were very dissatisfied and dissatisfied were 0%. table 4. patient’s satisfaction with splinting treatment based on assurance dimensions number statement respondent assurance very not satisfied not satisfied not enough satisfied satisfied very satisfied total 9 co-ass is skilled when using equipment for splinting treatment 0 0 6 27 5 38 10 the splinting treatment performed by a co-ass is painless 0 0 1 34 3 38 11 i feel safe and confident when splinting is done by a co-ass 0 0 1 35 2 38 12 co-ass explains the procedure and what actions will be carried out before treatment 0 0 1 21 16 38 total 0 0 9 117 26 152 percentage 0% 0% 5.93% 76.97% 17.10% 100% table 4 shows the results of the percentage of patient satisfaction on the assurance dimension. the majority of satisfied patients were 76.97%, and those who were less satisfied were 10.53%. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 70-77 74 table 5. patient’s satisfaction with splinting treatment based on reliability dimensions number statement respondent reliability very not satisfied not satisfied not enough satisfied satisfied very satisfied total 13 co-ass is doing splinting until it is done 1 0 0 20 17 38 14 co-ass is doing splinting seriously 0 0 1 22 15 38 15 when chewing food, i feel pain in my splinted teeth 0 9 9 20 0 38 16 the splinting material used on my teeth looks natural 0 0 2 35 1 38 17 the pain in my teeth after splinting is gone 0 0 8 28 2 38 18 the discomfort in my teeth after splinting is gone 0 0 16 18 4 38 19 i feel comfortable with the condition of my teeth after splinting 0 0 12 16 10 38 20 i easily brush my teeth that have been splinted 0 5 10 22 1 38 total 1 14 58 181 50 304 percentage 0.33% 4.60% 19.08% 59.54% 16.45% 100% table 5 shows the results of the percentage of patient satisfaction on the reliability dimension. the majority of satisfied patients was 59.54%, and those who were very dissatisfied were 0.33%. table 6. patient’s satisfaction with splinting treatment based on empathy dimensions number statement respondent empathy very not satisfied not satisfied not enough satisfied satisfied very satisfied total 21 co-ass gives full attention to my complaint 1 0 0 23 14 38 22 co-ass understands my situation and feelings during the treatment 0 0 1 21 16 38 23 co-ass performs splinting regardless of my social status 0 0 1 18 19 38 24 co-ass is polite to me 0 0 1 18 19 38 25 co-ass greets and welcomes me well 0 0 0 13 25 38 total 1 0 2 90 97 190 percentage 0.53% 0% 1.05% 47.37% 51.05% 100% hartanti, riska fitri febriyanti | satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatmentat rsgm umy 75 table 6 shows the results of the percentage of patients' satisfaction with the empathy dimension. the majority of very satisfied patients was 51.05%, and those who were dissatisfied were 0%. table 7. patient’s satisfaction with splinting treatment based on total dimensions dimension very not satisfied not satisfied not enough satisfied satisfied very satisfied total tangibility 0 0 2 132 56 190 responsiveness 0 0 12 75 27 114 assurance 0 0 9 117 26 152 reliability 1 14 58 181 50 304 empathy 1 0 2 90 97 190 total 2 14 83 595 256 950 percentage 0.21% 1.47% 8.74% 62.63% 26.95% 100% table 7 shows patients’ satisfaction with splinting services based on all dimensions. the highest percentage was satisfied patients which was 62.63%, and very dissatisfied patients who were 0.21%. discussion the result of this study showed 5 dimensions, namely, tangibility, responsiveness, assurance, reliability, and empathy. the tangibility dimension showed that satisfied patients were 69.74%. several aspects related to the respondent's satisfaction with the tangibility dimension are the completeness and hygiene of the equipment used to perform the splinting procedure, the hygiene of the examination room and dental chair, and the clean, tidy appearance of co-ass. evidence related to respondent satisfaction with the tangibility dimension is according to research conducted by hastuti et al. stating that patient trust in health services affects the completeness of their equipment.9 other evidence is also in accordance with research conducted by putranti, revealing that facility factors such as tidiness, comfort, and cleanliness of the dentist's practice or clinic greatly affect patient satisfaction.10 it occurred since patients were satisfied with the service facilities at rsgm umy, so they felt comfortable receiving splinting treatment at that place. in the dimension of responsiveness, the result showed that most patients were satisfied, at 65.79%. several aspects related to the respondent's satisfaction with the responsiveness dimension were the speed of co-ass in dealing with patient complaints, the brief time dentists needed in splinting treatment, and dentists performing splinting actions carefully. the responsiveness dimension is related to health workers providing a service that does not require a long time and does not pose a greater risk to patients.11 the long waiting time is associated with a decrease in patient satisfaction in health services because time spent with doctors is the strongest predictor of patient satisfaction.12 research from saputra and andesma also revealed the same result, showing that waiting time data indicates organizational performance in providing health services.13 furthermore, in the assurance dimension, the results showed that the most satisfied patients were 76.97%. the assurance dimension emphasizes on the ability of the service provider to inspire trust and consumer selfconfidence that party service providers, especially employees able to meet needs consumers, and provide services with certainty and free from hesitation. let consumers wait in the absence an obvious reason negative perception in quality service.14 the patient assessment of health workers such as doctors and nurses, patients will consider the health workers are capable if they provide guarantees such as having skills and being agile in using tools, being thorough in providing care, and being able insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 70-77 76 to explain medical actions to be taken.15 in this study, the patient was satisfied with the performance of the young doctor when performing splinting, where the patient did not feel pain at all, thus making the patient feel safe and comfortable. the patient was satisfied with the young doctor due to the explanation of the splinting procedure before the treatment so that the patient knew in advance all the procedures. in the reliability dimension, the results showed that the satisfied patients were 59.54%. willingness and the ability of healthcare workers to assist patients and respond their request, as well as inform when the service will be carried out as long as it relates to the dimension of reliability.16 several aspects related to respondents' satisfaction with the reliability dimension were co-ass’ complete performance when conducting splinting, co-ass’ seriousness when taking splinting, patients feeling pain when chewing food on the splinted teeth, and the good natural look of the splinting material. futhermore, it also included the pain in the splinted tooth disappeared, the discomfort in the splinted tooth disappeared, the patient felt comfortable in the splinted tooth, and the splinted tooth was easy to clean. the reliability dimension is the responsive attitude of co-ass (professional students) and co-ass' efforts to serve patients accurately.17 the reliability of health workers is the ability of dentists and nurses to take action to meet patient needs.15 in the dimension of empathy, the result showed that the very satisfied patients were 51.05%. several aspects related to respondents' satisfaction with the empathy dimension are the full attention that co-ass gives to patients, co-ass's understanding of the patient's condition and feelings when performing splinting, co-ass’ performance in splinting regardless of the patient's social status, co-ass’ politeness to patients, and co-ass’ greeting and welcome to patients in a friendly manner. patients will feel comfortable and valued due to the caring attitude of the service provider.18 it is in line with the research of vera et al. that the attention given by health workers has a relationship with the satisfaction felt by patients.19 patient satisfaction can be measured from patient's interpretation of the services received according to their expectations completeness of facilities and infrastructure, hospitality and courtesy of officers in providing services and skills officers in providing services.20 conclusion based on the data above, it can be concluded that the description of the level of patient satisfaction with splinting at rsgm umy in terms of all five dimensions was that they were mostly satisfied, with a percentage of 62.63%. the dimension with the highest satisfaction level was the assurance dimension, with a percentage of 76.97%. acknowledgment the author would like to thank patients who have approved their case for publication, rsgm umy, where the patient has been treated until finished, and the periodontic department of rsgm umy. references 1. sugiarti t, santik ydp. kejadian periodontitis di kabupaten magelang. 2017;12. 2. permenkes. (2004). tentang rumah sakit gigi dan mulut: peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1173/menkes/per/x/2004 3. newman m. carranza’s clinical periodontology. elsevier; 2015. 4. lestari dp, wowor vns, tambunan e. hubungan tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dengan status kesehatan jaringan periodontal pada penyandang diabetes melitus tipe 2 di rsud manembo-nembo bitung. egigi. 2016;4(2). https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.1 3926 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.13926 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.13926 hartanti, riska fitri febriyanti | satisfaction level of periodontitis patients with teeth luxation post splinting treatmentat rsgm umy 77 5. jatuadomi, gunawan pn, siagian kv. alasan pemakaian gigi tiruan lepasan pada pasien poliklinik gigi di blu rsup prof. dr. r. d. kandou manado. e-gigi ,2016;4(1). https://doi.org/10.35790/eg.4.1.2016.1 2135 6. raharja yd, kusumadewi s, astiti dp. gambaran tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan di poliklinik gigi dan mulut rumah sakit umum puri raharja. odonto dent j. 2018 10;5(1):34. https://doi.org/10.30659/odj.5.1.34-44 7. toliaso cs, mandagi ckf, kolibu fk. hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien di puskesmas bahu kota manado. 2018;7:10. 8. rsgm umy. (2018). profil rumah sakit gigi dan mulut umy. rsgm umy: yogyakarta 9. hastuti skw, mudayana aa, nurdhila ap. hubungan mutu pelayanan dengan kepuasan pasien peserta bpjs di rumah sakit umum daerah yogyakarta. 2017;11(2):8. 10. putranti a. analisis kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan perawatan gigi di klinik gigi my dental care surabaya. 2016;7. 11. kahar aw, palu b, raodhah s. pengaruh persepsi mutu pelayanan kebidanan terhadap kepuasan pasien rawat inap di rsud barru sulawesi selatan tahun 2017. 2017;(2):16. 12. hutauruk df, arso sp, wigati pa. analisis responsiveness pelayanan kesehatan di intalasi rawat inap rumah sakit nasional diponegoro semarang. j kesehat masy. 2017;5:9. 13. fatrida d, saputra a. hubungan waktu tunggu dengan tingkat kepuasan pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. j aisyiyah med. 2019;4(1). https://doi.org/10.36729/jam.v4i1.229 14. kuntoro w, istiono w. kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan di tempat pendaftaran pasien rawat jalan puskesmas kretek bantul yogyakarta. j kesehat vokasional. 2017;2(1):140. https://doi.org/10.22146/jkesvo.30327 15. irmawati s. kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas sangura kecamatan tatanga kota palu. 2017;10. 16. sesrianty v, machmud r, yeni f. analisa kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan keperawatan. j kesehat perintis perintiss health. 2019;6(2):116–26. https://doi.org/10.33653/jkp.v6i2.317 17. h, putra ed, putri ly. pengaruh perceived quality pasien terhadap pemanfaatan ulang pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rsgm unsyiah. cakradonya dent j.2018, 4;9(1):16–25. https://doi.org/10.24815/cdj.v9i1.9873 18. habena ar. analisis kualitas pelayanan dalam meningkatkan kepuasan pasien bpjs di rumah sakit khusus mata provinsi sumatera selatan. 2019;04(02):8. 19. pohan, s. i. jaminan mutu pelayanan kesehatan. (ecg, 2007). 20. suryati, b. w. dan v. t. i. faktorfaktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien bpjs terhadap pelayanan rawat jalan di rumah sakit panti wilasa citarum semarang. 5, (2017). https://doi.org/10.35790/eg.4.1.2016.12135 https://doi.org/10.35790/eg.4.1.2016.12135 https://doi.org/10.30659/odj.5.1.34-44 https://doi.org/10.36729/jam.v4i1.229 https://doi.org/10.22146/jkesvo.30327 https://doi.org/10.33653/jkp.v6i2.317 https://doi.org/10.24815/cdj.v9i1.9873 edwyn saleh | odontektomi impaksi kaninus maksila bilateral palatal dengan anestesi lokal 66 case report odontektomi impaksi kaninus maksila bilateral palatal dengan anestesi lokal odontectomy of palatal bilateral maxillary canine impaction under local anesthesia edwyn saleh* departemen bedah mulut, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: september 28th, 2020; reviewed date: october 10th, 2020 revised date: october 17th, 2020; accepted date: october 30th, 2020 doi : 10.18196/di.9220 abstrak impaksi gigi kaninus maksila yang terletak di sebelah palatal umumnya tidak memberikan gejala sakit seperti gigi impaksi yang lain. pengambilan gigi kaninus maksila yang mengalami impaksi pada dasarnya mengikuti prinsip pengambilan gigi impaksi secara umum, dengan penekanan pada pemeriksaan letak posisi gigi pada rontgen foto. tujuan dari operasi ini adalah untuk mengeluarkan gigi kaninus yang impaksi, kondisi tersebut menjadi faktor predisposisi terjadinya kista dentigerous. anak perempuan usia 15 tahun mengeluhkan adanya benjolan pada maksila bilateral sebelah palatal. benjolan tersebut dirasakan muncul sejak satu tahun yang lalu tanpa disertai rasa sakit. pemeriksaan radiografis menunjukkan impaksi gigi kaninus dan tumbuh miring ke arah mesial. odontektomi dilakukan secara intraoral dengan anastesi lokal. tindakan odontektomi berhasil dilakukan tanpa komplikasi. pengambilan gigi impaksi bilateral kanan dan kiri sangat jarang dilakukan, namun pada laporan ini dilakukan secara bersamaan karena posisi kedua gigi kaninus dalam satu regio anterior yang berdekatan dan mengarah ke mesial atau median line. tindakan ini dilakukan untuk mempercepat penanganan pada kasus impaksi untuk menghindari trauma operasi pada pasien anak. kata kunci: anestesi lokal; impaksi kaninus bilateral; odontektomi abstract palatal impacted maxillary canines are generally not as painful as other impacted teeth. the extraction of maxillary canines that improves impaction basically also requires the principles of taking the dental implications in general, with a careful compilation of x-rays examination for the impacted teeth's position, accessible at the palatal or labial. this surgery aimed to remove the teeth that have not yet completely erupted and eliminate a dentigerous cyst's predisposing factors. a 15-year-old female patient complained of a lump in the oral cavity roof on the left and right sides but without pain. radiographic examination showed that the maxillary canine teeth did not erupt in place and were tilted toward the mesial. the odontectomy surgery was performed intraorally with local anesthetics. this method's choice was because the teeth’s position that had been prominent on the palatal side was clearly visible, and for the trauma, the patient would perform the surgery with general anesthesia. the right and left maxillary canines were removed intraorally without coordination. extractions of right and left bilateral impacted teeth are extremely rare, but this report was performed in the position of the two canines in the anterior region, where both teeth were directed toward the mesial or median line. this action was done to improve the case management of teeth that did not grow in place and avoid surgical trauma in patients, given the patient's relative age. keywords: local anesthesia; bilateral canine impaction, odontectomy * corresponding author, e-mail: edwynsaleh@gmail.com insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 67 pendahuluan odontektomi adalah tindakan pengambilan atau ekstraksi gigi impaksi yang hanya muncul sebagian atau sepenuhnya tidak muncul atau pada gigi yang tinggal sisa akar sehingga tidak bisa dilakukan pencabutan dengan teknik biasa dengan metode tertutup (close method) sehingga harus melalui pembedahan dengan metode terbuka (open method).1 gigi kaninus rahang atas merupakan impaksi gigi yang sering muncul dan ditemukan dalam keadaan terpendam dalam tulang maksila, dalam kasus demikian maka pengambilan gigi dilakukan dengan metode operasi pembedahan dengan cara mengambil gigi kaninus secara bersamaan atas pertimbangan posisi kedua kaninus yang mengarah ke median line.2 kasus impaksi biasanya ditemukan saat pasien datang ke dokter gigi dengan keluhan pusing kepala yang belum diketahui penyebabnya. terdapat beberapa faktor umum yang menjadi penyebab gigi impaksi yaitu trauma pada rongga mulut saat tumbuh kembang, infeksi gigi desidui maupun jaringan sekitar erupsi gigi dan gangguan sistemik perkembangan erupsi gigi serta kondisi tulang rahang yang abnormal.2 kasus impaksi gigi kaninus rahang dapat dengan mudah dideteksi melalui radiografi dan ditegakkan diagnosa, namun pada saat tindakan pembedahan biasanya akan lebih sulit daripada yang diperkirakan dari gambaran radiografis. pada saat tindakan operatif odontektomi ada beberapa komplikasi yang sering muncul saat dilakukan operasi yaitu fraktur pada akar gigi, trauma jaringan lunak dan jaringan tulang area operasi serta dimungkinkan terjadi rusaknya dinding sinus maksilaris akibat trauma pembedahan.3 terdapat dua faktor etiologi gigi impaksi yaitu faktor primer dan sekunder. etiologi pada faktor primer dijelaskan akan berkaitan dengan riwayat benturan pada gigi desidui, kondisi benih gigi yang mengalami perubahan posisi, kondisi kehilangan gigi desidui sebelum masanya, dan posisi gigi kaninus pada kasus celah langit. sedangkan etiologi faktor sekunder meliputi adanya kelainan sistemik seperti pada gangguan endokrin, febrile diseases dan defisiensi vitamin d.4 teknik operasi pengambilan gigi impaksi terdapat dua pendekatan tindakan melalui akses luar rongga mulut dan dalam rongga mulut. pendekatan tindakan operasi akses luar rongga mulut biasa yang dilakukan dengan insisi pada submandibular atau preaurikular. sedangkan akses melalui rongga mulut disarankan menjadi pilihan utama karena pendekatan metode ini tidak menimbulkan jejas luka pada area wajah pasien, tetapi pada beberapa kasus gigi impaksi ektopik yang dekat dengan kondilus maka akses ke subcondylar atau wilayah condylar mungkin sulit dicapai dari dalam rongga mulut melainkan akan lebih mudah dicapai melalui akses luar rongga mulut.5 impaksi gigi kaninus rahang atas yang terletak disebelah palatal umumnya tidak memberikan gejala sakit seperti gigi impaksi yang lain, kecuali mengalami infeksi atau merasa terganggu dengan keberadaan gigi tersebut karena adanya tonjolan di daerah palatal. proses pengambilan gigi kaninus impaksi pada rahang atas akan berdasar pada prinsipprinsip pengambilan gigi impaksi secara umum, dengan penekanan pada pemeriksaan secara cermat melalui rontgen foto berdasarkan posisi gigi tersebut, terletak di palatal atau di labial, yang dapat dilakukan dengan metode shift sketch.5 pada kasus ini, metode tersebut diabaikan, karena kedua gigi kaninus yang impaksi tersebut secara klinis sudah terlihat tumbuh di sebelah palatal, dan dengan deteksi secara palpasi sudah dapat dipastikan karena adanya benjolan gigi impaksi tersebut disebelah palatal. laporan kasus pasien wanita 15 tahun mengeluhkan adanya benjolan pada langit68 edwyn saleh | odontektomi impaksi kaninus maksila bilateral palatal dengan anestesi lokal langit rongga mulut di sisi kiri dan kanan bagian depan tanpa ada keluhan sakit, pasien merasa sering pusing kepala yang tajam dan tanpa sebab yang pasti. benjolan tersebut dirasakan muncul dalam satu tahun terakhir. pasien merasakan ada benjolan di langit-langit ketika ujung lidah menjangkau daerah langit-langit bagian depan. pemeriksaan ekstraoral menunjukkan wajah tampak simetris, tidak tampak benjolan secara ekstraoral di regio anterior rahang atas, sedangkan pemeriksaan intraoral terlihat benjolan pada mukosa palatal regio anterior sisi kanan dan kiri dibelakang gigi incisivus kedua kanan dan kiri (gambar b). gambaran radiografis menunjukkan gigi 13 dan 23 tidak erupsi pada tempatnya dan tumbuh miring kearah mesial (gambar a). assesment pada kasus ini adalah gigi 13 dan 23 impaksi mengarah ke mesial. rencana perawatan pada kaus ini adalah odontektomi pendekatan akses intraoral dengan anestesi lokal, pemilihan metode pengambilan akses intraoral dengan lokal anastesi karena posisi gigi yang telah menonjol di sisi palatal secara visual tampak jelas dan juga untuk menghindari trauma pasien akan tindakan operasi dengan anestesi umum. prosedur operasi secara umum, prosedur odontectomy untuk pengambilan gigi impaksi terdiri dari beberapa langkah. pembuatan flap ditujukan untuk memberikan akses yang memadai. seperti diketahui, kesulitan utama dari pengambilan gigi impaksi adalah karena sulitnya akses menuju gigi tersebut. envelope flap merupakan flap yang paling banyak digunakan, karena flap ini mudah ditutup dan lebih mudah mengalami penyembuhan dibandingkan dengan jenis flap yang lain. tetapi bila dalam prosedur pembedahan diperlukan akses yang lebih besar yang mungkin akan menyebabkan robek pada envelope flap, dapat digunakan three-corner flap.5 pertimbangan yang perlu mendapat perhatian selain faktor diatas dalam pembuatan flap adalah mempertimbangkan letak pembuluh darah dan syaraf, sehingga pembuatan flap tidak akan mengganggu keberadaan struktur yang vital; pembuatan flap harus lebih lebar dari bagian free margin flap tersebut, yang bertujuan menjamin suplai darah yang memadai pada flap; buat flap dengan lebar yang memadai sehingga akan memberi lapang pandang dan akses yang memadai untuk pelaksanaan prosedur pembedahan; menggunakan scalpel tajam dengan posisi tetap kontak dengan tulang pada saat melakukan insisi. pemotongan yang berulang-ulang akan menyebabkan trauma yang tidak diharapkan pada periosteum dan mempersulit proses penyembuhan.2 pengurangan tulang pada dasarnya dilakukan untuk membuat daerah yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan elevator, membuka jalan untuk melakukan pemecahan pada gigi, dan menghilangkan hambatan bagi jalan pengeluaran gigi. pengambilan tulang dapat dilakukan baik dengan menggunakan bur maupun dengan chisel 3, 6. pengambilan tulang pertamatama dilakukan pada bagian oklusal dan dilanjutkan dengan bagian yang mengarah menuju garis servikal. banyaknya tulang yang diambil adalah tergantung pada kedalaman impaksi, morfologi akar dan angulasi gigi.6 pemecahan gigi dilakukan apabila jumlah tulang yang diambil telah memadai. langkah ini bertujuan untuk membuka jalan keluar, memungkinkan akan bergerak sesuai dengan arah pengeluarannya masing-masing, untuk mencegah kerusakan saraf, dan untuk mempertahankan tulang. pemecahan gigi ini dapat dilakukan dengan bur, dengan chisel atau dengan kombinasi keduanya.7 pemecahan gigi ini sangat tergantung kepada angulasi gigi tersebut.5 pengeluaran gigi dilakukan apabila gigi telah dipecah, selanjutnya dapat dilakukan pengeluaran gigi dari dalam soketnya dengan menggunakan elevator maupun cryer. salah satu perbedaan mendasar dari pengeluaran gigi impaksi dibandingkan dengan pencabutan gigi dengan cara yang lain adalah pada prosedur insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 69 ini tidak dilakukan luksasi.7 melakukan elevasi pada odontectomy harus dilakukan secara hati-hati karena penggunaan kekuatan yang berlebihan pada tahap ini akan dapat menyebabkan fraktur pada tulang sekitar gigi tersebut. bila pada saat ini pengeluaran gigi masih sulit dilakukan, maka tindakan untuk memeriksa kembali gigi tersebut dan penentuan penyebab retensi tersebut harus dilakukan. selanjutnya langkah-langkah seperti pengambilan tulang yang lebih banyak atau pemotongan kembali bagian akar dapat dilakukan.8 setelah gigi impaksi berhasil dikeluarkan dari tulang alveolar, perhatian selanjutnya diarahkan untuk melakukan debridement pada luka yaitu membersihkan luka dari semua serpihan tulang dan debris yang ada. prosedur ini dapat dilakukan dengan irigasi pada luka dengan menggunakan salin yang steril. prosedur ini juga dilakukan secara seksama pada bagian bawah jaringan flap, dan dapat dilakukan dengan menggunakan periapical curette.5 gambar 1. proses pengambilan gigi impaksi kaninus maksila bilateral. (a) ortho panoramic graft (opg) menunjukkan posisi gigi impaksi kaninus maksila bilateral (tanda panah). (b) posisi secara klinis di palatal. (c) peralatan operasi. (d) flap insisi palatal. (e) ekstraksi gigi impaksi. (f) gigi kaninus telah berhasil diekstraksi (g) penutupan luka operasi penjahitan luka adalah salah satu aspek terpenting dari suatu operasi, dan seringkali memerlukan perhatian. penutupan flap pada luka dilakukan dengan menempatkan kembali flap yang telah dibuka pada tempatnya semula dan dijahit untuk imobilisasi posisi margin pada tempat semula. penjahitan hendaknya dilakukan dengan melibatkan keseluruhan ketebalan flap mukoperiosteal.7 hasil kasus tindakan operasi pada pasien ini menunjukkan hasil pada hari pertama pasca tindakan operasi pasien sudah dapat beraktifitas normal biasa mobilisasi diri tidak terganggu. keluhan-keluhan yang sering muncul pada pasca operasi odontektomi meliputi rasa pusing, mual dan nyeri hebat tidak dirasakan oleh pasien. satu minggu pasca operasi dilakukan kontrol kedua yang menunjukkan pasien dengan kondisi umum baik tidak keluhan nyeri hebat, pemeriksaan objektif intraoral menunjukkan bekas luka bekas operasi kering tanpa pendarahan jahitan luka masih stabil, tidak tampak adanya inflamasi akut dan tanda infeksi, selanjutnya dilakukan pengambilan benang jahitan. satu bulan pasca operasi pasien datang untuk kontrol ketiga menunjukkan tidak ada keluhan sakit dan pasien sudah merasa biasa saja pada rongga mulutnya, pemeriksaan obyektif tidak ada pembengkakan, tidak ditemukan indikasi terjadi parestesia, penyembuhan jaringan lunak palatal area operasi sudah sembuh dengan baik. pembahasan gigi impaksi adalah gigi yang erupsi sebagian atau tidak erupsi sama sekali, melampaui waktu kronologis erupsi, dan tidak menunjukkan hubungan normal dengan gigi dan jaringan lainnya. menurut renton, gigi impaksi adalah gigi yang terletak di dalam tulang rahang, seluruhnya tertutup oleh jaringan lunak dan sebagian atau seluruhnya tertutup jaringan tulang.1, 9 pendekatan tindakan bedah pada kasus ini menjadi pilihan utama dikarenakan posisi 70 edwyn saleh | odontektomi impaksi kaninus maksila bilateral palatal dengan anestesi lokal gigi kaninus impaksi lebih di area palatal, sehingga prognosis baik. pendekatan melalui traksi ortodontik pada gigi tersebut prognosis kurang baik. tindakan pembedahan pada kasus ini dengan pertimbangan dari keluhan utama pasien adanya rasa pusing atau sakit kepala yang tanpa sebab secara berulang-ulang. sakit kepala yang berasal dari regio intracranial dapat disebabkan karena (a) adanya perubahan tekanan darah dapat menyebabkan tegang pada arteri intracranial, (b) berbagai penyakit tulang seperti osteitis deformans, akromegali dan osteoporosis yang berakibat bisa terjadi kontraksi foramina cranial dan tekanan pada saraf, (c) pada basis otak terjadi traksi dinding sinus venosus, a. meningea media dan cabangcabang circulus willis (d). tekanan dan traksi karena tumor intrakranial, (e) radang pada area duramater, sinus venosus dan arteri sensoris. keluhan sakit kepala pada pasien ini kemungkinan timbul karena kondisi impaksi kedua gigi kaninus atas yang menstimulasi ujung-ujung saraf atau tekanan yang mengenai saraf (neuralgia) pada nervus alveolaris superior anterior serta medius.10, 11 nervus alveolaris superior membentuk plexus yang mempunyai berhubungan erat dengan ujung akar dari gigi-geligi rahang atas, plexus terbentuk melalui distribusi tiga cabang saraf yang tumpang tindih. incisivus mendapat persarafan dari rami anterior, kaninus dari rami anterior dan medius, premolar dari rami medius, serta molar atas dari rami medius dan rami posterior. sensasi yang timbul dengan adanya stimulus pembentukan plexus tersebut akan terdistribusi pada ligamentum periodontal yang kemudian direspon sebagai sensasi tekanan dan rasa sakit.10 tinjauan kasus dari ini dimana usia pasien 15 tahun termasuk kategori masa tumbuh kembang anak. pada masa ini pertumbuhan dari sutura-sutura tulang kranial akan berakibat terjadi pergerakan tulang maksila ke anteroinferior (depan dan bawah), sehingga tengkorak akan bergeser ke posterosuperior (belakang dan atas). pertumbuhan maksila pada processus alveolaris dan processus palatinus terjadi karena adanya oposisi dari tulang alveolar pada saat gigi-geligi rahang atas akan erupsi. pada waktu maksila tumbuh ke bawah, terjadi aposisi dasar orbita, dasar hidung, dan permukaan palatum.11 pada saat yang bersamaan akan diimbangi oleh adanya kontraksi otot-otot wajah (musculus orbicularis oris dan musculus buccinator). otot-otot tersebut juga dapat mengimbangi tekanan otot-otot lingua pada permukaan dalam arcus dentalis. bila keseimbangan terganggu, maka dapat terjadi perubahan posisi gigi.10, 11 faktor-faktor itulah yang kemungkinan dapat berpengaruh terhadap posisi gigi impaksi pada kaninus yang letaknya berada di dalam tulang maksila area palatal. pasca pencabutan gigi dengan metode pembedahan tentunya akan berimplikasi pada sebuah komplikasi yang menyertai, terdapat beberapa respon normal secara fisiologis pasca operasi, yaitu adanya perdarahan, bengkak area operasi karena proses inflamasi, kekakuan otot dan rasa nyeri saat membuka mulut. adanya respon negatif tersebut tentunya akan muncul rasa tidak nyaman bagi pasien dalam jangka pendek biasanya akan berlangsung selama tiga sampai tujuh hari setelah pembedahan.3 pada kasus ini komplikasi-komplikasi tersebut tidak muncul sampai pada kontrol kedua yaitu satu bulan pasca pembedahan, luka bekas operasi sudah tidak nampak sama sekali dan jaringan lunak sudah kembali sesuai anatomi lengkung maksila. kesimpulan impaksi gigi 13 dan 23 dengan posisi di sebelah palatal dan masing-masing mengarah ke mesial terindikasi menjadi predisposisi timbulnya efek sakit kepala tanpa sebab secara berulang, oleh karenanya dilakukan tindakan pencabutan gigi 13 dan 23 secara odontektomi, metode pendekatan akses tindakan operasi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 71 odontektomi dari area palatum dengan anestesi lokal dengan mempertimbangkan usia pasien dan lokasi gigi impaksi. tindakan odontektomi secara bersamaan pada kedua gigi impaksi ini dapat menghilangkan rasa sakit kepala pasien, terlihat dari kontrol pertama pada hari ketujuh pasca operasi dan kontrol kedua sebulan pasca operasi pasien tidak lagi mengeluhkan sakit kepala yang sama sebelum tindakan operasi. daftar pustaka 1. balaji sm. textbook of oral and maxillofacial surgery. 2nd ed. new delhi: elsevier; 2013. 2. peterson lj. principles of management of impacted teeth. in: ellis e, hupp jr, tucker mr, editors. contemporary oral and maxillofacial surgery. st. louis: mosby; 2014. 3. ruslin m, & poedjiastoeti w. buku ajar bedah mulut dan maksilofasial. jakarta: egc; 2019. 4. slootweg, pieter j. dental pathology: a practical introduction. 2nd ed. berlin: springer-verlag; 2013. 5. hsu yc, kao ct, chou cc, tai wk, yang py. diagnosis and management of impacted maxillary canines. taiwanese journal of orthodontics. 2020;31(1):1-11. 6. becker a, & chaushu s. surgical treatment of impacted canines: what the orthodontist would like the surgeon to know. oral maxillofac surg clin north am. 2015;27(3):449458. 7. bedoya mm, & park jh. a review of the diagnosis and management of impacted maxillary canines. j am dent assoc. 2009;140(12):1485-1493. 8. sajnani ak, & king nm. diagnosis and localization of impacted maxillary canines: comparison of methods. j investig clin dent. 2013;4(4):252-256. 9. renton t. surgical management of third molars. in: andersson l, kahnberg ke, pogrel ma, editors. oral and maxillofacial surgery. west sussex: wiley-blackwell; 2010. 10. biswas n, biswas sh, shahi ak. maxillary impacted canine: diagnosis and contemporary ortho surgical management guidelines. int j sci stud. 2016;3(10):166-170. 11. lai cs, suter vg, katsaros c, bornstein mm. localization of impacted maxillary canines and root resorption of neighbouring teeth: a study assessing the diagnostic value of panoramic radiographs in two groups of observers. eur j orthod. 2014;36(4):450-456. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 7-11 7 research article dental health status of children in the jember regency's agroindustry environment sulistiyani, dyah setyorini*, ahmad syahrul mubarok departement of pediatric dentistry, faculty of dentistry university of jember, jl. kalimantan no. 37 jember 6812, indonesia. received date: march 30th, 2022; revised date: april 5th, 2022; accepted: may 27th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.14367 abstract caries is one of the most common dental health issues, particularly in children. caries develops over time due to the interaction of bacteria on the tooth surface, plaque or biofilm, and diet, resulting in the demineralization of hard tooth tissue. school-age children frequently consume food and beverages with no knowledge of which foods and beverages may increase the risk of dental caries. this study aims to identify the icdas caries index used to describe children's dental health status in nogosari elementary school grades i-iii. descriptive observational research with a cross-sectional approach was used. the sample in this study consisted of 76 students from grades i-iii, employing the total sampling method. the collected data were entered into the examination form, discussed descriptively, and presented in tabular form. there were 823 caries-free teeth and 929 carious teeth in each unit. caries reaching the pulp (icdas code 6) were the most severe caries found in children, affecting 50 children. as a result, there were no caries-free children. negeri nogosari elementary school children's dental health in grades i-iii in kebun renteng's agro-industrial environment was relatively poor. the number of caries-infected teeth was 53% higher than that of caries-free teeth. there were no caries-free children in grades i-iii, and the most severe dental caries discovered were caries that reached the pulp (icdas code 6). keywords: caries; dental health status; elementary school students grade i-iii; icdas introduction teeth are tissues in the body that are extremely hard compared to other tissues. they are organs in the human mouth that play a vital role in human body systems.1 dental and oral health can impact overall health.2 dental caries is an infectious disease caused by the demineralization of enamel and dentin linked to the consumption of cariogenic foods. it can happen to adults as well as children.3 the global prevalence of dental caries is quite high, particularly among children. in indonesia, 89 percent of those suffering from dental caries are children.4 east java has a prevalence of 49.88 percent, with the age group of 5-9 years mostly experiencing the cavities. meanwhile, * corresponding author, e-mail: drg.dyahsetyorini.fkg@unej.ac.id jember is the fifth regency with cases of tooth decay or cavities, experienced by 50.87 percent of the population. 5 jember regency is known as a food barn as the majority of the land is a green area consisting of forests, rice fields, plantations, and fields.6 kebun renteng is one of jember's largest agro-industrial areas, and sekolah dasar negeri nogosari 7 is a public elementary school in the area. sekolah dasar negeri nogosari 7 is an elementary school located in the nogosari health center's working area as a local health facility. school age is a critical time for laying a solid foundation for the realization of quality human beings, and health is an important factor in determining the quality sulistiyani, dyah setyorini, & ahmad syahrul mubarok | dental health status of children in the jember regency's agroindustry environment 8 of human resources.7 elementary school children in grades i-iii (age 6-10 years) are in a critical period for their dental health because, at that age, primary teeth begin to fall out and are replaced by the first permanent teeth that begin to erupt. 8 numerous issues can arise during the teeth-changing period. when one tooth erupts but the other has a cavity, or when one tooth erupts before the deciduous tooth falls out (persistence), the other teeth are difficult to penetrate the gums, causing swelling and even inflammation. this condition is extremely vulnerable because the possibility of tooth growth can cause abnormalities indirectly.9 school-age children frequently consume their favorite food and beverages with no knowledge of which foods and beverages may increase the risk of dental caries. it can cause a slew of issues if not treated promptly.10 based on the background, this study used the icdas caries index to describe the dental health status of children in sd negeri nogosari grades i-iii. materials and methods this research used a descriptive observational method with a cross-sectional approach. from july to october 2021, the research was conducted at sd negeri nogosari 7, rambi puji district, jember regency. the research sample consisted of 76 students in grades i-iii, with the sampling technique employing the total sampling method. the variables investigated were the caries descriptions of students in grades i-iii at sd negeri nogosari 7. the dental examination was performed visually with the aid of a lamp, using a disposable dental kit and a cotton pellet. the examination included primary and permanent teeth examinations, which were still in the oral cavity. the collected data was entered into the examination formula, then discussed descriptively and presented in tabular form. ethical clearance was obtained from the ethical committee of medical research faculty of dentistry, jember university no. 01275/un 25.8/kepk/dl.2021 result this study's total sample size was 76 students from 94 students in grades i-iii. eighteen students were not included in the study due to exclusion criteria, such as they were not present during the study, they were present but were not cooperative during the examination, or they were sick with the flu or cough. the sample included 41 male students and 35 female students, with 22 in grade i, 33 in grade ii, and 22 in grade iii. the examination results revealed that the number of caries-free teeth (icdas code 1-6) was greater than that of cariesfree teeth (icdas code 0). the total number of caries-infected teeth was 929, while the total number of caries-free teeth was 823 (table 1). in 50 students, the most severe caries found in their oral cavity were caries that had reached the pulp (icdas code 6). there were no caries-free children discovered. the presence of white spots when the teeth were dried (icdas code 1) was found to be the mildest caries in two students (table 2). insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 7-11 9 table 1. icdas-based distribution of caries per tooth. category number of teeth percentage (%) code 0 (healthy) 823 47,0 code 1 (whitespot – dried teeth) 148 8,4 code2 (whitespot– wet teeth) 258 14,7 code 3 (enamel caries) 204 11,6 code 4 (enamel caries – discolored dentin) 54 3,1 code 5 (dentinal caries) 84 4,8 code 6 (pulp caries) 181 10,3 total 1752 100 table 2. icdas-based percentage distribution of the worst dental caries per child category number of children percentage (%) code 0 (healthy) 0 0,0 code 1 (whitespot – dried teeth) 2 2,6 code 2 (whitespot– wet teeth) 0 0,0 code 3 (enamel caries) 9 11,8 code 4 (enamel caries – discolored dentin) 2 2,6 code 5 (dentinal caries) 13 17,1 code 6 (pulp caries) 50 65,8 total 76 100 discussion caries are the most common and widely experienced disease in the world. caries are caused by a high sugar intake, a lack of dental health care, and a lack of access to standard dental health services.11 caries are most commonly found in children's oral cavities. children in elementary school are particularly vulnerable to dental caries as they are accustomed to consuming cariogenic foods and beverages.12 the results of dental caries examinations in each dental unit of children at sd negeri nogosari 7, rambi puji district, jember regency showed that the highest percentage of caries numbers found in dental units was code 0 (healthy/cariesfree), with a total of 823 teeth (47.0 percent). however, several dental conditions were affected by caries. caries were found in 53.0 percent of sd negeri 7 nogosari grade i-iii children's teeth, including enamel and pulp caries. six hundred an ten teeth (34.8 percent) had enamel caries (icdas codes 1-3), while 319 teeth (18.2 percent) had caries that had reached the dentin and pulp (icdas codes 4-6). it occurred due to the fact that teeth with a code of 0 or free of caries are most often found in the anterior teeth, whereas teeth with caries are most often found in the posterior teeth, specifically in the molars. permanent molars begin to grow at the age of six years, making them more susceptible to caries. at the age of nine, the number of permanent and primary teeth in the oral cavity is nearly equal, with 14 permanent and ten primary teeth.13 this study is supported by wahyuni's (2019) research, which found that the first permanent molars erupted faster than other molars, making them most vulnerable to caries since the occlusal surface of the first molar developed at this time.14 the permanent first molar has more pits and fissures than the other teeth due to its anatomical shape. the occlusal surface of molar teeth is more frequently affected by caries as it has pits and fissures, putting these teeth at risk of caries. food frequently becomes lodged in the pits and fissures, causing bacteria to become trapped and multiplied, resulting in dental caries.14,15 the percentage distribution of the worst dental caries in every child was found in the children of sd negeri nogosari 7, rambi puji district. there were no cariesfree children discovered. dental caries with code 6, namely caries reaching the pulp, sulistiyani, dyah setyorini, & ahmad syahrul mubarok | dental health status of children in the jember regency's agroindustry environment 10 had the highest percentage distribution of the worst dental caries at 65.8 percent. it was followed by dental caries reaching the dentin (icdas code 5) at 17.1 percent and enamel caries (icdas code 3) at 11.8 percent. it happened due to various factors, including a lack of parental understanding of children's dental health and a lack of knowledge about how to brush teeth properly and correctly. this finding is supported by perdani's (2018) research, which found a link between mothers' attitudes toward preventing dental caries by disciplining children to brush their teeth after eating and before going to bed, as well as limiting sweet and sticky foods that can cause caries in children.16 the findings revealed that there was still a lack of awareness among children about the importance of maintaining their dental health. it can be seen by comparing the percentage of dental units with caries to the percentage of teeth with no caries. furthermore, caries reaching the pulp (icdas code 6) was children's most common type of dental caries. it could be influenced by the lack of parental knowledge about dental and oral health, living environment, information on media and supporting health facilities. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that students at sd negeri 7 nogosari grades i-iii had relatively poor dental health. dental units with caries were found to be 53 percent more common than teeth without caries. there were no cariesfree children in grades i-iii, and the most common dental caries were caries reaching the pulp (icdas code 6), which was found in 50 students (65.8 percent). references 1. tarigan r. karies gigi. jakarta: egc; 2014. 2. marthinu lt, bidjuni m. penyakit karies gigi pada personil detasemen gegana satuan brimob polda sulawesi utara tahun 2019. jigim (jurnal ilmu gigi dan mulut). 2020;3(2):58–64. https://doi.org/10.47718/jgm.v3i2.1436 3. shintia, zainur ra. gambaran karies gigi ditinjau dari makanan jajanan. jkgm. 2019;1(2):21–6. 4. norfai, rahman e. hubungan pengetahuan dan kebiasaan menggosok gigi dengan kejadian karies gigi di sdi darul mu’minin kota banjarmasin tahun 2017. din kesehat. 2017;8(1):212–218. 5. kemenkes ri. laporan nasional riskesdas 2018 [internet]. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan; 2019. 198 p. 6. bps jember. kabupaten jember dalam angka. kabupaten jember dalam angka. jember: badan pusat statistik kabupaten jember; 2020. 1–68 p. 7. fatimatuzzahro n., prasetya rc, amilia w. gambaran perilaku kesehatan gigi anak sekolah dasar di desa bangsalsari kabupaten jember. j ikesma. 2016;12(2):85. 8. mukhbitin f. gambaran kejadian karies gigi pada siswa kelas 3 mi almutmainnah. j promkes. 2018;6(2):155–66. https://doi.org/10.20473/jpk.v6.i2.201 8.155-166 9. zahara e. perilaku ibu tentang masa pergantian gigi dengan persistensi pada murid min cot gue kecamatan darul imalah kabupaten aceh besar tahun 2018. jukema poltekkes kemenkes aceh. 2018;5(2):426–31. 10. worotitjan i, mintjelungan cn, gunawan p. pengalaman karies gigi serta pola makan dan minum pada anak sekolah dasar di desa kiawa kecamatan kawangkoan utara. egigi. 2013;1(1):59–68. https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1931 https://doi.org/10.47718/jgm.v3i2.1436 https://doi.org/10.20473/jpk.v6.i2.2018.155-166 https://doi.org/10.20473/jpk.v6.i2.2018.155-166 https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1931 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 7-11 11 11. safela, dita s., purwaningsih, endang i. systematic literature review: faktor yang mempengaruhi karies gigi pada anak sekolah dasar. ejurnal poltekkes tasikmalaya. 2021;2(2):335–44. 12. mardiati e, salikun, supardan i. faktor penyebab terjadinya karies gigi pada siswa sd sambiroto 02 semarang. j kesehat gigi. 2017;4(1):26. 13. listrianah l, zainur ra, hisata ls. gambaran karies gigi molar pertama permanen pada siswa – siswi sekolah dasar negeri 13 palembang tahun 2018. jpp (jurnal kesehat poltekkes palembang). 2019;13(2):136–49. https://doi.org/10.36086/jpp.v13i2.238 14. wahyuni s. gambaran karies gigi molar pertama permanen pada anak sd negerii 03 sirah pulau padang tahun 2018. j dent. 2019;1(1):32–5. 15. manoy nt, kawengian ses, mintjelungan cn. gambaran karies gigi molar pertama permanen dan status gizi di sd katolik 06 manado. e-gigi. 2015;3(2). https://doi.org/10.35790/eg.3.2.2015.8825 16. perdani apn. sikap ibu tentang pencegahan gigi karies pada anak pra sekolah di tk al-qodiri kabupaten jember. jurnal mid-z (midwivery zigot) jurnal ilmiah kebidanan.2018;1(2):42–7. https://doi.org/10.36086/jpp.v13i2.238 https://doi.org/10.35790/eg.3.2.2015.8825 84 pipiet okti kusumastiwi| gambaran pengetahuan dan kecemasan mahasiswa profesi kedokteran gigi terhadap human immunodefficiency virus/acquired immunodefficiency syndrome (hiv/aids) di rsgm umy gambaran pengetahuan dan kecemasan mahasiswa profesi kedokteran gigi terhadap human immunodefficiency virus/acquired immunodefficiency syndrome (hiv/aids) di rsgm umy the knowledge description and hesitation of dental clerkship student about human immunodefficiency virus/acquired immunodefficiency syndrome (hiv/ aids) at rsgm umy pipiet okti kusumastiwi1 1departemen ilmu kesehatan gigi masyarakat program studi pendidikan dokter gigi universitas muhammadyah yogyakarta korespondensi: pipietokti@yahoo.com abstrak latar belakang: prosedur perawatan gigi dan mulut seringkali melibatkan darah dan saliva yang kemungkinan mengandung banyak mikroorganisme patogen, seperti hiv. dokter gigi memiliki tanggung jawab etik dan profesional untuk memberikan perawatan kepada semua pasien, termasuk pasien dengan hiv aids. pengetahuan tentang hiv/aids merupakan bekal seorang dokter gigi untuk dapat melakukan perawatan yang baik kepada pasien dengan hiv/aids. tujuan: untuk mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa kedokteran gigi tentang hiv/aids dan kecemasan mahasiswa kedokteran gigi terhadap hiv/aids. metode: jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional. subjek penelitian adalah 74 mahasiswa profesi kedokteran gigi di rsgm umy dipilih secara simple random sampling. instrumen penelitian menggunakan kuesioner untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap responden tentang hiv/aids. hasil: hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 74 mahasiswa profesi, 12 (16,21%) memiliki pengetahuan yang baik, 46 (62,16%) memiliki pengetahuan sedang, dan 16 (21,62%) memiliki pengetahuan yang buruk. sebesar 12 (16,21%) akan merawat pasien hiv aids tanpa cemas, 44 (59,45%) akan merawat dengan cemas, dan 18 (24,32%) akan merujuk pasien hiv aids. kesimpulan: sebagian besar responden berpengetahuan sedang tentang hiv/aids dan akan merawat pasien hiv/aids dengan cemas. kata kunci: hiv/aids, kecemasan, pengetahuan tentang hiv/aids, dokter gigi abstarct background: oral and dental therapeutic procedure frequently involve blood and saliva that may contain a variety of pathogens microorganisms, such as hiv(human immunodefficiency virus). dentist have a professional and ethical responsibility to provide treatment every patient, included patient with hiv/aids. the knowledge about hiv/aids is provision for a dentist to be able to provide a good treatment for patient with hiv/aids. objective: to find out the knowledge description and hesitation of dental clerkship student about treatment to hiv/aids patient. method : this was an observational using a cross sectional design. subjects were 74 dental clerkship student in rsgm umy using simple randomized sampling. a questionare was used to assess the knowledge of the samples to find out the knowledge description and attitude of sample about hiv/aid. result : the result shown that among 74 samples, 12(16,21%) of them hold good knowledge, 46 (62,16%) samples hold average knowlege,16 (21,62%) samples hold poor knowledge. there are 12(16,21%) of them will treat a hiv patient without hestation, 44(59,46%) expressed some hesitation in treating patients with hiv/aids, and 18 (24,32%) will refer to elsewhere. conclusion : more than half respondent have average knowledge about hiv/aids and expressed some hesitation in treating patient with hiv/aids. mailto:pipietokti@yahoo.com 85 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 keywords: hiv/aids, hesitation, hiv/aids knowledge, dentist pendahuluan aids selalu menarik perhatian di dunia kedokteran maupun masyarakat luas sejak ditemukan pertama kali di amerika serikat pada tahun 1981. hal tersebut selain disebabkan karena angka kematian yang tinggi, juga disebabkan karena penyebarannya yang relatif cepat. sebesar 9.796 penderita hiv/aids di indonesia meninggal dunia pada tahun 20121. jumlah total penderita hiv/aids di indonesia pada tahun 2014 sebesar 55.799 penderita. peningkatan jumlah penderita hiv/aids dalam 3 bulan (juli-september 2014) adalah sebesar 8.511 penderita2. prosedur perawatan gigi dan mulut seringkali melibatkan darah dan saliva yang memungkinkan mengandung banyak mikroorganisme patogen, seperti hiv. dokter gigi termasuk ke dalam kelompok profesi yang memiliki resiko yang tinggi untuk kontaminasi silang3. seluruh petugas kesehatan, termasuk dokter gigi harus memberikan perawatan dengan baik kepada semua pasien tanpa diskriminasi. dokter gigi memiliki tanggung jawab etik dan profesional untuk memberikan perawatan kepada semua pasien, termasuk pasien dengan hiv/aids4. pengetahuan tentang hiv/aids yang baik merupakan bekal seorang dokter gigi untuk dapat melakukan perawatan yang baik kepada pasien dengan hiv/aids5. bahan dan metode jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. subjek penelitian adalah mahasiswa profesi kedokteran gigi rsgm umy angkatan 2010 dan 2009 yang dipilih dengan teknik simple random sampling. instrumen penelitian adalah kuesioner terstuktur dengan 2 pertanyaan tentang data pasien, 3 pertanyaan tentang pemahaman umum hiv/aids, 7 pertanyaan tentang cara penularan hiv/aids, 6 pertanyaan tentang lesi oral yang berhubungan dengan hiv/aids dan 2 pertanyaan tentang sikap responden terhadap pasien hiv /aids5,6. setiap kuesioner dilengkapi dengan lembar persetujuan untuk menjadi subjek penelitian (inform consent) yang ditandatangani oleh masing masing subjek penelitian. jumlah mahasiswa profesi kedokteran gigi di rsgm umy adalah sebesar 295 mahasiswa. sampel penelitian berjumlah 25% dari populasi7. dalam penelitian ini, jumlah responden adalah 25% dari 295, yaitu 74 responden. hasil tabel 1. distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin f (%) laki-laki 10 13,5 perempuan 64 86,5 jumlah 74 100 dari tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar subjek penelitian adalah perempuan (86,5%). 86 pipiet okti kusumastiwi| gambaran pengetahuan dan kecemasan mahasiswa profesi kedokteran gigi terhadap human immunodefficiency virus/acquired immunodefficiency syndrome (hiv/aids) di rsgm umy tabel 2. distribusi subjek berdasarkan tahun angkatan tahun angkatan f (%) angkatan 2009 40 54,0 angkatan 2010 34 46,0 jumlah 74 100 berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar subjek penelitian adalah mahasiswa profesi tahun angkatan 2009. tabel 3. gambaran tingkat pengetahuan tentang hiv/aids skor pengetahuan f (%) baik (76 – 100 %) 12 16,21 sedang (56 – 75 %) 46 62,16 kurang (0-56 %) 16 21,62 jumlah 74 100 berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa sebesar 12 (16,21%) responden berpengetahuan baik, 46 (62,16 %) berpengetahuan cukup dan 16 (21,62 %) berpengetahuan buruk. tabel 4. gambaran sikap terhadap pasien hiv/aids sikap f (%) merawat pasien hiv/aids tanpa cemas 12 16,21 merawat pasien hiv/aids dengan cemas 44 59,45 merujuk pasien hiv/aids 18 24,32 jumlah 74 100 berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa sebesar 12 (16,21%) responden akan merawat pasien hiv/aids tanpa cemas, 44 (59,45 %) responden akan merawat pasien hiv/aids dengan cemas dan 18 (24,32 %) responden akan merujuk pasien hiv/aids. diskusi perawatan terhadap pasien dengan hiv/aids merupakan tantangan bagi dunia kesehatan. hal tersebut berkaitan dengan perawatannya yang melibatkan ilmu multidisiplin, manifestasi fisik yang beragam, perlunya prosedur kontrol infeksi dan stigma dan diskriminasi terhadap pasien hiv/aids8. hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yaitu sebanyak 62,16% berpengetahuan cukup tentang hiv/aids dengan jumlah responden sebanyak 46 mahasiswa. hal tersebut membuktikan bahwa sebagian besar dari responden telah mengetahui hiv/aids secara umum, cara penularan dan lesi oral yang berhubungan dengan hiv/aids. pengetahuan yang cukup pada responden kemungkinan dapat disebabkan oleh karena sebelumnya responden pernah mendapatkan kuliah tentang hiv/aids dan bimbingan dalam pencegahan penularan hiv/aids. berdasarkan hasil kuesioner tentang sikap responden terhadap pasien dengan hiv/aids, lebih dari separuh responden yaitu sebesar 59,45% akan merawat pasien hiv/aids dengan cemas. hal tersebut membuktikan bahwa responden bersedia merawat pasien dengan hiv/aids, walaupun akan merawatnya dengan cemas. kemauan merawat pasien hiv/aids akan muncul jika seseorang memiliki pengetahuan tentang proses penyakit, manifestasi oral, memahami tentang cara penularannya3. sikap seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. beberapa penelitian tentang hiv/aids, membuktikan bahwa pembelajaran yang berkelanjutan dibutuh87 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kan untuk merubah sikap negatif terhadap penderita hiv/aids6. pembelajaran tentang hiv/aids yang berkesinambungan diperlukan untuk membangun sikap yang baik para mahasiswa kedokteran gigi, agar kelak mereka mampu menjadi dokter gigi yang dengan penuh tanggung jawab memberikan perawatan yang terbaik pada semua pasien, termasuk pasien hiv/aids. kesimpulan 1. lebih dari separuh mahasiswa profesi kedokteran gigi berpengetahuan sedang tentang hiv/aids. 2. lebih dari separuh mahasiswa profesi kedokteran gigi akan merasa cemas saat memberikan perawatan gigi pada pasien dengan hiv/aids. daftar pustaka 1. kemenkes, r.i. profil data kesehatan indonesia tahun 2011. jakarta, 2011 2. kemenkes ri. profil data kesehatan indonesia tahun 2014. jakarta, 2014 3. sadeghi, m. dan hakimi, h. 2009. iranian dental students’ knowledge of and attitudes towards hiv/aids patients. journal dent educ., 73: 7405. 4. nasir, e.f., astrom, a.n., david, j., ali, r.w., 2008, hiv and aids related knowledge, source of information, and reported need for futher education among dental students in sudan: a cross sectional study, bmc public health, 8: 289 5. crossley, m.l., 2004, an investigation of dentist’s knowledge, attitudes, and practices towards hiv+ and patients with other blood-borne viruses in south cheshire, uk. br dent j, 196: 749-54 6. prabu, a., rao. a.p., reddy, v., krishnakumar, r., thayumanavan, s., swanthi, s.s., 2014, hiv/aids knowledge and its implications on dentists, journal of natural science, biology and medicine, 5(2): 303-7 7. arikunto, s., manajemen penelitian, cetakan ketujuh, jakarta: penerbit rineka cipta, 2005 8. naidoo, p., 2006, barriers to hiv care and treatment by doctor : a review of the literature. a afr farm pract journal, 48: 55-66. 88 pipiet okti kusumastiwi| gambaran pengetahuan dan kecemasan mahasiswa profesi kedokteran gigi terhadap human immunodefficiency virus/acquired immunodefficiency syndrome (hiv/aids) di rsgm umy 22 banun kusumawardana, yuliana md arina, azham purwandhono│perkembanan plasenta dan pertumbuhan janin pada tikus hamil yang diinfeksi porphyromonas ginggivalis perkembangan plasenta dan pertumbuhan janin pada tikus hamil yang diinfeksi porphyromonas gingivalis placental development and fetal growth in porphyromonas gingivalis-infected pregnant rats banun kusumawardani1, yuliana md arina2, azham purwandhono3 1department of biomedical sciences, faculty of dentistry, universitas jember, east java-indonesia, 2department of periodontology, faculty of dentistry, universitas jember, east java-indonesia, 3department of pathology, faculty of medicine, universitas jember, east javaindonesia corresponding : kusumawardani_banun@yahoo.co.id abstract maternal porphyromonasgingivalis infection on periodontal tissue can result in porphyromonasgingivalis dissemination to umbillical cord. porphyromonas gingivalis presumably gain access to the systemic circulation via local tissue inflammation, and may affect the placental development and the fetus itself. this study aimed to analize the effect of periodontal infection with porphyromonas gingivalis on placental development, and to determine its effect on fetal growth in a pregnant rat model. female rats were infected with live-porphyromonas gingivalis at concentration of 2x109 cells/ml into subgingival sulcus of the maxillary first molar before and/or during pregnancy. they were sacrified on gestational day (gd) 20. fetuses were evaluated for weight and length. all placentas were fixed in 10% buffered formalin, processed for paraffin embedding, and stained with hematoxylin and eosin.the histopathological analysis of placentas on gd 20 showed that trophoblast cells in labyrinth and junctional zone had a greater density in control group than porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group. the nucleated-erythrocytes were found more abundant in the fetal blood vessels of porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group than in the fetal blood vessels of control group. in conclusion, the impaired placental morphology influenced the normal function of placenta to maintain the growth and development of fetus. the decreased placental weightresulted in the decreased of fetal weight andlength. key words: porphyromonasgingivalis, periodontitis, pregnancy, placental development, fetal growth abstrak infeksi porphyromonas gingivalis pada jaringan periodontal maternal dapat mengakibatkan penyebaran porphyromonas gingivalis ke tali pusat janin. porphyromonas gingivalis mungkin mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik melalui peradangan jaringan lokal dan mempengaruhi perkembangan plasenta dan janin itu sendiri. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh infeksi periodontal oleh porphyromonas gingivalis pada perkembangan plasenta, dan menentukan pengaruhnya terhadap pertumbuhan janin pada model tikus hamil. tikus betina diinfeksi dengan live-porphyromonas gingivalis konsentrasi 2x109 sel/ml pada sulkus subgingiva molar pertama maksila sebelum dan/atau selama kehamilan. tikus betina tersebut dikorbankan pada hari ke-20 kehamilan. janin dievaluasi untuk berat badan dan panjangnya. semua plasenta difiksasi dengan10% bufer formalin, diproses untuk embedding parafin, dan diwarnai dengan hematoksilin dan eosin. analisis histopatologi plasenta pada gd20 menunjukkan bahwa sel-sel trofoblas di zona labirin dan junctional memiliki kepadatan yang lebih besar pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok periodontal maternal yang diinfeksi 23 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 porphyromonas gingivalis. eritrosit-berinti ditemukan lebih banyak di dalam pembuluh darah janin dari kelompok periodontal maternal yang diinfeksi porphyromonas gingivalis daripada di dalam pembuluh darah janin dari kelompok kontrol. kesimpulannya, gangguan morfologi plasenta mempengaruhi fungsi normal plasenta untuk mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan janin. penurunan berat plasenta mengakibatkan penurunan berat badan janin dan panjang janin. kata kunci: porphyromonasgingivalis; periodontitis; kehamilan; perkembangan plasenta; pertumbuhan janin introduction porphyromonas gingivalis is a gramnegative, black-pigmented anaerobe associated with several periodontal diseases1. this bacteria has most frequently been detected in deep periodontal pockets and has exhibited a low prevalence in healthy periodontal tissue without destructive inflammation2. porphyromonas gingivalis has been found to adhere to various oral surfaces in periodontitis patients3 and has also been detected within gingival tissues in vivo4. it has also been shown that this organism invades oral epithelial cells in vitro5. the abilities of porphyromonas gingivalis to adhere and invade have been strongly implicated in the periodontal pathogenicity of this organism. our previous study showed that porphyromonas gingivalis infection in maternal periodontal tissue can result in porphyromonas gingivalis dissemination to umbillical cord and induction of fetal growth restriction, but porphyromonas gingivalis was not always detected in the umbillical cord from abnormal pregnancies6. the growth and survival of fetus is dependent on placenta, which forms the interface of feto-maternal circulation, facilitates metabolism, gas exchange, and waste disposal of the fetus. in addition, the placenta produces hormones altered maternal physiology during pregnancy, and forms a barrier against the maternal immune system7. murine placenta consists of decidual zone, juntional zone and labyrinth zone. labyrinth zone consists of branched villi designed for the efficient exchange of nutrients8. maternal and fetal blood flows are adversely in the labyrinth to maximize the transport of nutrients9. if the labyrinth does not obtain the proper pattern, branching and dilatation of vascularization, then perfused placenta will be disrupted so that the diffusion of oxygen and nutrients to be disturbed10. therefore, we hypothesized that porphyromonas gingivalis and its lipopolysaccharide from periodontal tissue can spread into the uterus through the circulatory system, then induces placental inflammatory response resulting in fetal growth restriction. the aims of this study were to analize the effect of periodontal infection with porphyromonas gingivalis on placental development, and to determine its effect on fetal growth in a pregnant rat model. materials and methods all procedures were approved by the ethics committee, faculty of medicine, universitas gadjah mada, yogyakarta, indonesia. this study had taken adult female sprague-dawley rats, 2 months old, 150-250 g and primiparous. the rats were maintained on the controlled and standardized conditions. the subjects of study were subdivided into 1) the control group: no porphyromonas gingivalis infection; and 2) the experimental group: an infection of porphyromonas 24 banun kusumawardana, yuliana md arina, azham purwandhono│perkembanan plasenta dan pertumbuhan janin pada tikus hamil yang diinfeksi porphyromonas ginggivalis gingivalis before and during pregnancy (pgbd). each group consisted of five pregnant rats. induction of experimental periodontitis was performed by injection of 0.05 ml liveporphyromonas gingivalis atcc 33277 with a concentration of 2x109cells/ml into the distopalatal and distobuccal gingival sulcus area of maxillary first molar. injection was repeated every 3 days for 30 days. for infection after pregnancy, it was also performed by a repeated injection every 3 days for 19 days. control group rats were injected with saline 0.05 ml as the treatment schedule of the treatment group rats. then, the female rats were mated with the same strain of male rat overnight ratio 2:1. the next morning, female rats were removed from the cages and examined the vaginal plug. if the vaginal plug was found, the day was recorded as gd1. the pregnant rats were sacrificed on gd 20. fetuses were removed post-mortem from the uterus and surrounding membranes. each fetus was removed from chorioamniotic sac. placental weight, fetal weight and fetal length were weighed to the nearest microgram. the resorption site and viable fetuses were counted and recorded for each rat. the viability of each fetus was assessed visibly. fetuses were evaluated for weight and crown-tail length. blood of umbillical cord was collected from each fetus and pooled per dam. all placentas were fixed in 10% buffered formalin, dehydrated, processed for paraffin embedding, serial section at 5 μm and stained with hematoxylin and eosin. samples were analyzed using descriptive histology. the density of trophoblast cells in labyrinth zone, junctional zone and decidual zone, and erythrocytes in the fetal blood vessels were examined by light microscopy. descriptive histological anal y sis was carried out by a trained ex aminer who was blind to the groups. numerical variables consisted of placental weight, fetal weight and fetal length. these variables were performed by statistical analyzes to determine effect of porphyromonas gingivalis infection in pregnant rats to fetal growth. independent samples t-test was performed to compare the placental weight, fetal weight and fetal length of maternal periodontal infection. linear regression analysis was to analyze the linear corelation between numerical variables. value of significance was determined as p<0.05. numerical data were presented in mean ± standard deviation. results placental development and fetal growth was observed on gd 20. this study only observed morphological defects, because abnormalities of the function such as central nervous system disorders could not be detected immediately after the fetus was taken from chorio-amniotic sac. this study showed that there were no fetal morphological defects in all groups, but placental weight, fetal weight and fetal length of the porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group was lower than the control group (table 1). furthermore, placental weight affected (p<0.05) fetal weight and fetal length (table 2). each addition of 1 gram of placental weight, it will increase fetal weight at 7.014 grams. in addition, it will also increase fetal length at 58.773 mm. the histopathological analysis of placentas (figure 1) showed that trophoblast 25 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 cells in labyrinth and junctional zone had a greater density in control group than porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group. all placentas from porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group had a lot of spaces between the trophoblast cells. the nucleated-erythrocytes were found more abundant in the fetal blood vessels of porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group than in the fetal blood vessels of control group. discussion pregnancy is a natural condition that must be followed to be able to accept and tolerate the fetus as well in order to obtain good results. this study showed that porphyromonas gingivalis exposure had disrupted this balance. during the experiment, pregnant rats infected with porphyromonas gingivalis has decreased motion activity, but no pregnant rats died spontaneously. during periodontal infection, the amount of periodontal pathogens may increase dramatically, causing transient bacteremia11, which resulted in a selective bacterial colonization in other body parts12. our previous studies showed that porphyromonas gingivalis from maternal periodontal tissue can spread through the blood circulation until colonizes in placenta6. trophoblast cells in labyrinth and junctional zone of the porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group had less density than control group. it is thought to be due to porphyromonas gingivalis exposure that causes an increase in apoptosis of trophoblast cells in the labyrinth and junctional zone. furthermore, the nucleated-erythrocytes were found more abundant in the fetal blood vessels of porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group than in the fetal blood vessels of control group. on gd 20, erythrocytes in the fetal blood vessels should not be nucleated. when nucleated erythrocytes were found in the porphyromonas gingivalisinfected periodontal maternal group on gd 20 then it is suspected that the placenta has undergone developmental disorder, yet still trying to produce fetal erythrocytes to provide for oxygen and nutrients. this assumption is supported by some researchers who stated that the increase in blood levels of fetal nucleated erythrocytes were associated with increased concentrations of erythropoietin, which induces erythropoesis. tissue hypoxia resulted in increased levels of erythropoietin production in the liver and stimulated release early erythrocytes from the bone marrow to the cardiovascular system13-14. furthermore, an increasing number of nucleated erythrocytes in the blood of newborns may also be associated with iugr15. another factor that may contribute to an increased number of nucleated erythrocytes in the blood of newborns is an intrauterine infection. acute chorioamnionitis resulted in increased concentrations of erythropoietin and the number of nucleated erythrocytes in the blood of newborn babies. erythropoietin concentrations were higher in newborns of pregnancies with placental inflammation in histopathological analysis16. leikin et al., (1997) also observed an increase in nucleated erythrocytes in cases of placental infection was only demonstrated by histopathological findings but was not found in clinical symptoms17. higher levels of 26 banun kusumawardana, yuliana md arina, azham purwandhono│perkembanan plasenta dan pertumbuhan janin pada tikus hamil yang diinfeksi porphyromonas ginggivalis nucleated erythrocytes were found in premature infants from pregnancies complicated by intrauterine infection without acidosis or hypoxemia18. so it can be postulated that the increased number of nucleated erythrocytes may be due to the inflammatory response of the fetus in the placenta. impaired fetal growth of the porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal grouphas impaired placental morphology which is characterized by decreased density of trophoblast cells. impaired placental morphology greatly affects the normal function of the placenta to maintain the growth and development of the fetus. placental functions include adequate trophoblast invasion, increased uteroplacental blood flow during pregnancy, transport of nutrients such as glucose and amino acids from mother to fetus, as well as the production and transfer of regulating growth hormones19. the establishment of functional fetal and placental circulation is the earliest events during the development of the embryo or placenta. increased transplacental exchange that supports the exponential increase in fetal growth during the last half of pregnancy, especially depending on the dramatic growth of placental blood vessels and the resultant increase in umbilical and uterine blood flow20. placental vascular development and function will have an impact on fetal growth and development. this study showed that placental weight was closely correlated with fetal weight and fetal length. decreased placental weight will result in decreased fetal weight and fetal length. strong correlation between placental weight to fetal weight and fetal length may be influenced by differences in morphological structure of placenta, characterized by the density of trophoblast cells in labyrinth zone. this will probably lead to an increase in the volume fraction of labyrinth zone, and a decrease in the volume fraction of junctional zone. in addition, this study also have found decreased fetal blood vessels and space interhaemal labyrinth of placenta from the porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group, that will lead to lower diffusion ability of placenta. it can reduce oxygen levels, nutrient absorption, and fetal placental blood flow. conclusion the impaired placental morphology influenced the normal function of placenta to maintain the growth and development of fetus. the decreased placental weight resulted in the decreased fetal weight and fetal length. acknowledgements we would like to thank prof. marsetyawan hne. soesatyo and prof. djaswadi dasuki, each of whom has made invaluable contributions to our work. their insights and discussions are greatly appreciated. 27 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 table 1. maternal periodontal infection correlated with placental weight, fetal weight and fetal length on gd 20 variable maternal periodontal infection pg-bd p control placental weight, g, n(x±sd) 30(0,62±0,09) 43(0,22±0,03) 0 fetal weight, g, n(x±sd) 30(4,08±0,43) 43(0,56±0,17) 0 fetal length, mm, n(x±sd) 30(48,97±1,75) 43(18,39±1,61) 0 pg-bd : porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group table 2. effect of placental weight to fetal weight and fetal length on gd 20 variable placental weight (gram) n r2 b p fetal weight, gram 141 0,656 7,014 0,000 fetal length, mm 141 0,609 58,773 0,000 a b * * * * 28 banun kusumawardana, yuliana md arina, azham purwandhono│perkembanan plasenta dan pertumbuhan janin pada tikus hamil yang diinfeksi porphyromonas ginggivalis figure 1. the placenta of control group (a) and porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group (b) on gd 20. the placenta of the control group (a) had a greater density of fetal blood vessels and trophoblast cells in the labyrinth zone and junctional zone than porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group. placentas from porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group had a lot of spaces between the trophoblast cells (*), resulting in trophoblast cells became less density (b). 40x magnification. labyrinth zone of porphyromonas gingivalis-infected periodontal maternal group group (d) had more nucleated erythrocytes in the fetal blood vessels than the control group (c). 400x magnification. references 1. darveau, rp., tanner, a., page, rc. 2000 1997. the microbial challenge in periodontitis. periodontol, 14: 12-32. 2. griffen, al., becker, mr., lyons, sr., moechberger, ml., leys ej. 1998. prevalence of porphyromonas gingivalis and periodontal health status. j clin microbiol 36: 3239-42. 3. christersson, la., fransson, cl., dunford, rg., zambon, jj., 1992. subgingival distribution of pathogenic microorganism in adult periodontitis. j periodontol, 63:418-25. 4. papapanou pn., sandros ,j., lindberg k, duncun, mj., niederman, r., nannmark, u., 1994. porphyromonas gingivalis may multiply and advance within stratified human junctional epithelium in vitro. j periodontal res, 29: 374-5. 5. lamont, rj., chan, a., belton, cm., izutsu, kt., vasel, d., weinberg, a., 1995. porphyromonas gingivalis invasion of gingival epithelial cells. infect immun, 63: 3878-85. 6. kusumawardani,b., soesatyo, m., dasuki, d., asmara, w., 2011. fetal growth restriction in porphyromonas gingivalis-infected pregnant rats. dentika dent j, 16: 26-30. 7. cross, jc., 2003. simmons, dg., watson, ed., 2003. chorioallantoic morphogenesis and formation of the placental villous tree. ann ny acad sc, 995:8493. c d 29 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 8. rossant, j., cross, jc., 2001. placental development: lessons from mouse mutants. nat rev genet, 2: 538-48. 9. adamson, sl., lu, y., whiteley, kj., holmyard d, hemberger m, pfarrer c, cross, jc., 2002. interaction between trophoblast cells and the maternal and fetal circulation in the mouse placenta. dev biol, 250:358-73. 10. pardi, g., manconi, am., cetin, i., 2002. placental-fetal interrelationship in iugr fetuses-a review. placenta, 23(suppl a): s136-s141. 11. daly, cg., mitchell, dh., highfield, je., grossberg, de., stewart, d., bacteremia due to periodontal probing: a clinical and microbiological inves-tigation. j periodontol, 72: 210-4. 12. haraszthy , vi., zambon, jj., trevisan, m., zeid, m., genco, rj., 2002. identification of periodontal pathogens in atheromatous plaques. j periodontol, 71:1554-60. 13. dame, ch., juul, se., 2000. the switch from fetal to adult erythropoiesis. clin perinatol, 27:507–24. 14. mandel, d., littner, y., mimouni, fb., dollberg, s., 2003. nucleated red blood cells in polycythemic infants. amj obsted gynecol, 188:193–5. 15. baschat, aa., gembrouch, u., reiss, i., gortner, l., harman, cr., weiner, cp., 1999. neonatal nucleated redblood cell counts in growth-restricted fetuses: relationship in arterial and venous doppler studies. am j obstet gynecol, 181:190–5. 16. maier, rf., gunther, a., vogel, m., dudenhausen, jw., obladen, m., 1994. umbilical venous erythrpoietin andumbilical arterial ph in relation to morphologic placental abnormalities. obstet ginecol, 84:81–7. 17. leikin, e., garry, d., visintainer, p., verma, u., 1997. correlation of nucleated redblood cell counts in preterm infants with histologic chorioamnionitis. am j obstet gynecol, 177: 27–33. 18. korst, lm., phelan, jp., ahn, mo., martin, gi., 1996. nucleated red blood cells: an update on the markerfor fetal asphyxia. am j obsted gynecol, 175: 843–6. 19. murphy, ve., smith, r., giles, wb., clifton, vl., 2006. endocrine regulation of human fetal growth: the role of the mother, placenta, and fetus. endocrine rev, 27: 141-69. 20. reynolds, lp., redmer, da., 1995. utero-placental vascular development and placental function. j anim sci, 73: 1839-51. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=littner%20y%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=12548216 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=mimouni%20fb%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=12548216 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=dollberg%20s%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=12548216 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=gortner%20l%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=10411818 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=harman%20cr%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=10411818 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=weiner%20cp%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=10411818 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=dudenhausen%20jw%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=8008330 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=obladen%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=8008330 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=phelan%20jp%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=8885733 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=ahn%20mo%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=8885733 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=martin%20gi%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=8885733 korespondensi: muhammad nurul amin, biomedical/orthodontic department, dentistry faculty of jember university, kalimantan st., no 37, jember – 68121, e-mail: m_nurul_amin.fkg@unej.ac.id 80 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 the expression of heat shock protein (hsp) 25 at compression and tension area duringalveolar bone remodeling muhammad nurul amin1 1biomedical/orthodontic department, dentistry faculty of jember university kalimantan st., no 37, jember – 68121 abstract the activation of orthodontic appliance will generate mechanical force. this force is used to depress tooth and the tissues surrounding it then stimulates alveolar bone remodeling. alveolar bone remodeling is divided into compression and tension area. this stress becomes a signal to activate heat shock response yielding heat shock protein (hsp) synthesis, especiallyhsp25isessential foralveolarboneremodelingprocessitself. the aim of this study was to compare hsp25 expression in compression and tension areas. this study using guinea pigs mandibular first insicivus that given a mechanical force to see hsp25 expression in both areas. the hsp25 expressionwas measured by counting this protein after being conducted by immunohystochemistry method. it is analysed statistically with one way anova with level of significant p = 0,05. key words: heat shock protein (hsp)25, compression area, tension area, alveolar bone remodeling ekspresi heat shock protein (hsp) 25 pada daerahtekanan dan regangan selama remodelingtulang alveolar abstrak aktivasi alat ortodonsia akan menghasilkan gaya mekanis. gaya ini digunakan untuk menekan gigi dan jaringan disekitar gigi yang nantinya menstimulasi remodelling tulang alveolar.remodeling tulang alveolar dibagi menjadi daerah tekanan dan regangan. stress ini menjadi sinyal untuk mengaktivasi heat shock response yang mengakibatkan sintesis heat shock protein (hsp), khususnyahsp25 yang penting untuk proses remodeling tulang alveolar. tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan ekspresi hsp25 pada daerah tekanan dan regangan.penelitian ini menggunakan gigi insisivus pertama rahang bawah marmut (guinea pigs) yang diberi gaya mekanis untuk melihat ekspresi hsp25 di kedua daerah tersebut. ekspresi hsp25 di analisa dengan menghitung penampakkan protein ini setelah dilakukan metode imunihistokimia.data dianalisa secara statistic dengan uji beda one way anova dengan tingkat kemaknaan p = 0,05. kata kunci : heat shock protein (hsp)25, daerah tekanan, daerah regangan, remodeling tulang alveolar muhammad nurul amin: the expression of heat shock protein (hsp) 25 at compression idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 79 introduction remodeling process can be stimulated using mechanical force obtained from activation of orthodontic appliance to depress tooth and periodontal tissue.(1) activation is conducted based on adequate encumbering at tooth. the mechanical force given will cause the area around the tooth split in 2 areas i.e compression and tension areas. at compression area, mechanical force will stimulate osteoclast to resorp alveolar bone together with the local factor (hormone or the others chemical mediator). inadequate force causes alveolar bone resorption very small or does not happen, while excessive force can activate osteoclast to abundant resorption (undermining resorption).(2) mechanical force used in orthodontic appliance will give stress at periodontal tissue hit by mechanical force. this mechanical stress will become signal activity of heat shock response, causing expression of heat shock genes. expression of this gene is generated by activation of stress-induced transcription factors i.e heat shock factor (hsf) and binding with heat shock promoter element (hse) having characteristic as pentanucleotide of 5'ngaan-3' motif. the effect of activation of hsf, cell will synthesize a protein molecule as heat shock protein (hsp).(3) hsp represents protein molecule of intracellular which becomes a signal to some biological cell activities. group of hsp which plays an important role in human bone remodeling is hsp27, where at rodent animal has homologue that is hsp25. the aim of this research is to observe hsp25 expression at compression and tension areas during alveolar bone remodeling. material and method the animal used in this research is guinea pigs (sp. cavia) with following criteria, physicallyhealthy and do not have disparity, male, 3 – 5 months, 350-550g and also supplied with the same food. animals were acclimatized during one week for adaptation with the food and the place before given treatment. animals were divided into 2 groups, control and treatment groups. control group is without the usage of orthodontic appliance. the treatment group given by mechanical force of 120 g. time of orthodontic appliance use is 5 and 10 days. orthodontic appliance to be used in the animals and mechanical force value related to the previous research with little modification.(4,5) orthodontic appliance is stainless steel wire 0,12 inch (class one, us) with simple cantilever form, angle between cantilever arm 60°, length of cantilever arm 1 cm and coil diameter 1,5 mm. this design produces mechanical force as 4 oz / 120 g.(6) the animal anaesthetized using ketamine with a dosage of 44 mg/kg subcutaneous. tooth preparation was done at mesial part of interdental lower insisivus that was 5 mm distance from insical with round shape. the appliance was muhammad nurul amin: the expression of heat shock protein (hsp) 25 at compression 80 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 attached and stabilized with glass ionomer fuji type of ix. the specimen used in immunohistochemical method is alveolar bone in mesial part of insicivus(tension area representation) and distal part (compression area representation). specimen conducted decalcification (provided with citrate acid 5% during 5 days). immunohistochemistry procedure was subsequently conducted according to factory guidance. detect of hsp25 use primary antibody of rabbit anti-hsp25 polyclonal antibody (stressgene bioreagent) and secondary antibody of anti rabbit ig g biotin-labelled. expression of osteoclast and osteoblast hsp25 counted to use bright field microscope (olympus cx 31), magnification of 1000 x at 5 slides from each restating. hsp25 expression counted from brown spot appearance at tension and compression areas. data resulted from enumeration and measurement between treatment groups were analyzed by one way anova and then lsd post hoc test spss ver. 13 program with significance level (p) < 0,05. result the counting of hsp25 expression aim at observing osteoclast and osteoblast hsp25 expression when given different mechanical force and time of mechanical force. result of hsp25 expression counting is presented at table 1. table 1. the hsp25 expression at compression and tension area the table shows that the lowest hsp25 expression is in the group iii, whereas the highest is in the group v. based on the area, in the group of compression area, group ii (5 days) possesses greater value compared to the group iii (10 days) and significantly different (p<0,05). while in the tension area, group v (10 days) possesses higher value compared to group iv (5 days) and significantly different (p<0,05). discussion the value of hsp25 expression in treatment group is higher compared to control group. it shows that hsp25 was expressed when mechanical force was loaded on tooth continued to periodontal tissue and induced heat shock gene. based on the area, group ii (5 days) possesses greater expression value and is significantly different treatment group area day hsp25 expression group i 5.72 ± 1.65 group ii compression 5 8.72 ± 3.89 group iii compression 10 5.17 ± 1.25 group iv tension 5 7.11 ± 3.10 group v tension 10 9.50 ± 3.02 muhammad nurul amin: the expression of heat shock protein (hsp) 25 at compression idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 81 compared to group iii (10 days). it shows that at group ii, hsp25 seems to play important role in regulating osteoclast cells to initiate resorption process, while group iii shows reduced cellular expression related to osteoclast performance that begins to reduce in resoption process. at osteoclast, hsp27 plays in bone resorption in order to release calcium (7,8), and kawamura, et al.(9) explain that hsp27 regulates osteoclast on bone resorption function is inducted by endothelin-1, and this shows that alveolar bone remodeling is a coupling process where osteoclast and osteoblast have correlated one another. on the other hand, in the tension area, group v (10 days) possesses greater expression value and significantly different compared to group iv (5 days). it demonstrates that in the group v, hsp25 seems to play important role in regulating osteoblast cells to initiate new alveolar bone formation, while the group iv shows lower hsp25 expression related to osteoblast performance that has not started its functions and activities in forming new alveolar bone. at osteoblast, hsp27 synthesis influences is used to regulate osteoblast differentiation which is inducted by prostaglandin(pg) f2α, endothelin-1, sphingosine 1-phosphate, basic fibroblast growth factor (bfgf) and pgd2.(10) kawamura, et al. (9) explains that hsp27 acumulation in osteoblast differentitation can be inducted by endothelin-1 via p38 map kinase activation pathway. hatakeyama, et al.(11) explain that hsp27 can regulate osteoblast function to stress condition (heat) and play its function cooperate with estrogen. the result of this research demonstrates that hsp25 expression increases when the function of and activity of bone cells both osteoclast in compression area and osteoblast in tension area increase as well. conlussion hsp25 plays important role in regulating osteoclast function in the compression area and osteoblast in tension area in the process alveolar bone remodeling activated by mechanical force. references 1. proffit w r.. contemporary orthodontics. toronto: the cv mosby company, 1986: 230-4. 2. mulyani. biomekanis pergerakan gigi. jakarta: penerbit widya medika, 1994: 37-40. 3. morimoto, r. i., 1998. regulation of the heat shock transcriptional respone: cross talk between a family of heat shock factor, molecular chaperones, and negative regulators, gene & development 12:3788-3796. 4. sintesa s m, soemarko l s dan hermawan i. pengaruh hambatan prostaglandin pada pemberian aspirin, diklofenak dan paracetamol terhadap pergerakan gigi, jumlah sel osteoklas dan osteoblas tulang alveolus gigi rahang atas akibat pemakaian alat ortodontik (eksperimen hewan coba). tesis. muhammad nurul amin: the expression of heat shock protein (hsp) 25 at compression 82 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 malang: ps s2 biomedik, program pascasarjana universitas brawijaya, 2003. 5. yani s m, soemarko l s, setyohadi r. peranan radikal bebas superoksid (o2º) terhadap peningkatan resorpsi tulang alveolar akibat penggunaan alat ortodontik. tesis. malang: ps s2 biomedik, program pascasarjana universitas brawijaya, 2003. 6. tipler, paul a. fisika untuk sains dan tehnik, jilid 1. alih bahasa. lea prasetio, rahmad w. adi. jakarta: penerbit erlangga, 1998: 102. 7. gaston, j. s. h., 2002. heat shock proteins and innate immunity. clinical and experimental immunology, 127:1–3. 8. nair sp, meghji s, reddi k, poole s, miller ad, henderson b., 1999. molecular chaperones stimulate bone resorption. (abstracts)calcif tissue int. 1999 mar; 64(3):214-8. 9. kawamura, h., takanobu otsuka, hiroyuki matsuno, masayuki niwa, nobuo, matsui, kanefusa kato, toshihiko uematsu and osamu kozawa, 1999. endothelin-1 stimulates heat shock protein 27 induction in osteoblasts: involvement of p38 map kinase, am j physiol endocrinol metab 277:1046-1054. 10. tokuda, h. o kozawa, m. niwa, h. matsuno1, k. kato, t. uematsu, 2002. mechanism of prostaglandin e2-stimulated heat shock protein 27 induction in osteoblast-like mc3t3-e1 cells, journal of endocrinology 2002 ,172: 271–2 11. hatakeyama, d., o. ozawa, m. niwa, h. matsuno, k. kato, n. tatematsu, t. shibata and t. uematsu, 2001. inhibition by adenylyl cyclase-camp system of et-1-induced hsp27 in osteoblasts, am j physiol endocrinol metab 281: e1260– e1266. korespondensi: olivia nauli komala, faculty of dentistry, universitas indonesia, jakarta, e-mail:olivianauli@yahoo.com idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 21 effect of led exposure time on the temperature rise, depth of cure and microhardness of nanohybrid composite resin olivia nauli komala1, ednanisa budianto1, yosi kusuma eriwati2, siti triaminingsih2 1faculty of dentistry, universitas indonesia, jakarta abstract background : it has been reported that depth of cure of composite resin can be achieved by prolonged light curing but causing temperature rise that could harm the pulp and resulted uncomfortable condition to patient. objectives: to evaluate the effect of light-emitting-diode (led) light curing unit on the temperature rise, depth of cure and microhardness of nanohybrid composite resin. materials and methods: sixty specimens of nanohybrid composite resin (tetric n ceram, ivoclar-vivadent, lichtenstein) with diameter of 5 mm, thickness of 5 mm were divided into 3 groups: group i (n=20) were light-cured for 15 seconds, group ii (n=20) for 20 seconds, group iii (n=20) for 40 seconds using led light curing unit (hilux/ledmax, japan). the temperature rise was measured using digital thermometer at initial time to the highest temperature peak. the depth of cure was measured by scraping method. microhardness was determined using vickers microhardness tester at each 1 mm depth of the composite resin. data were analyzed using kruskal-wallis and mann-whitney tests. results: there were significant differences on temperature rise, depth of cure and hardness of nanohybrid composite resin at each 1 mm depth after light exposure time of 15, 20, and 40 seconds. the highest depth of cure was achieved after curing for 40 seconds but the highest microhardness was achieved after curing for 20 seconds at 1 mm from the top of specimens. conclusion: exposure time of 20 seconds produced low temperature rise, depth of cure and the highest vhn than the other exposure time. kata kunci: lama penyinaran, led, kenaikan suhu, kedalaman polimerisasi, kekerasan, resin komposit nanohibrida pengaruh lama penyinaran dengan led terhadap kenaikan suhu, kedalaman polimerisasi, dan kekerasan resin komposit nanohibrida abstract latar belakang: kedalaman polimerisasi yang baik dapat diperoleh dengan meningkatkan waktu penyinaran tetapi hal ini dapat menimbulkan kenaikan suhu pada pulpa sehingga pasien dapat saja merasa tidak nyaman. tujuan: olivia nauli komala, effect of led exposure time on the temperature rise 22 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 mengevaluasi pengaruh light emitting diode (led) ligh curing unit terhadap kenaikan suhu, kedalaman polimerisasi, dan kekerasan resin komposit nanohibrida. bahan dan cara: enam puluh spesimen resin komposit nanohibrida (tetric n ceram, ivoclar-vivadent, lichtenstein) berdiameter 5 mm dan ketebalan 5 mm dibagi menjadi 3 kelompok; kelompok i (n=20) disinar selama 15 detik, kelompok ii (n-=20) disinar selama 20 detik, kelompok iii (n=20) disinar selama 40 detik dengan menggunakan led light curing unit (hilux/ledmax, japan). kenaikan suhu saat polimerisasi diukur dengan menggunakan termometer digital pada waktu awal penyinaran hingga mencapai suhu puncak. kedalaman polimerisasi diukur dengan metode pengerokan. sedangkan kekerasan resin komposit diukur dengan menggunakan vickers microhardness tester pada setiap kedalaman 1 mm. hasil: berdasarkan analisa statistik menggunakan uji kruskal wallis dan mann-whitney terdapat perbedaan yang signifikan pada kenaikan suhu, kedalaman polimerisasi, dan kekerasan resin komposit nanohibrida pada setiap kedalaman 1 mm setelah penyinaran selama 15, 20, dan 40 detik. kedalaman polimerisasi yang paling tinggi dicapai setelah penyinaran selama 40 detik tetapi kekerasan yang paling tinggi dicapai setelah penyinaran selama 20 detik pada setiap kedalaman 1 mm. kesimpulan: waktu penyinaran 20 detik menghasilkan kenaikan suhu yang rendah, kedalaman polimerisasi dan vhn yang paling tinggi dibandingkan dengan waktu penyinaran lainnya. kata kunci: lama penyinaran, led, kenaikan suhu, kedalaman polimerisasi, kekerasan, resin komposit nanohibrida introduction nowadays, composite resin is often used in restorative dentistry. recent composite resin is the nanohybrid light curing composite resin. lightemitting-diode (led) is one of the light curing unit often used in dentistry which has been reported to have temperature rise in tooth. it has been reported that higher depth of cure and microhardness of composite resin can be achieved by prolonged light curing.1 however, this temperature rise could harm the pulp and resulted uncomfortable condition to patient.2 patients could feel pain on their tooth because of heat ranging from 39.5oc – 50.4 oc (average of 44.6 oc) with the beginning temperature ranging of 35.5⁰c – 36.1⁰c. in the first period of exposure to thermal stimulus, patient experienced “swelling” of the tooth followed by a slight localized pain which is constant or intermitent.3 the purpose of this study was to evaluate the effect of light-emitting-diode (led) light curing unit on the temperature rise, depth of cure and microhardness of nanohybrid composite resin. materials and methods sixty specimens of nanohybrid composite resin (tetric n ceram, ivoclar-vivadent, lichtenstein) with diameter of 5 mm, thickness of 5 mm were divided into 3 groups: group i (n=20) were lightcured for 15 seconds, group ii (n=20) for 20 seconds, group iii (n=20) for olivia nauli komala, effect of led exposure time on the temperature rise idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 23 40 seconds using led light curing unit (hilux/ledmax, japan). the temperature rise was measured using digital thermometer at initial time to the highest temperature peak. the depth of cure was measured by scrapping method. microhardness was determined using vickers microhardness tester (shimadzu, japan) at each 1 mm depth of the composite resin. data were statistically analyzed using kruskalwallis and mann-whitney tests. results table 1 showed the average number of temperature rise of nanohybrid resin composite that was cured with led for 15, 20 and 40 seconds. statistically, there were significant differences of temperature rise between group i and ii, and between group i and iii. however, there was no significant differences between group ii and iii. tabel 1. temperature rise of nanohybrid resin composite the temperature rise occured during 15, 20 and 40 seconds were shown in figure 1. comparing to group i, the highest temperature rise was seen at 30th second of light curing time in group iii. group i and iii had the highest temperature rise 5 seconds after exposure time. figure 1: temperature rise occured in15, 20, and 40 seconds time of led light curing 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 0 10 20 30 40 te m pe ra tu re ( ºc ) curing time (s) 15 s 20 s 40 s group curing time (s) n mean temperatuere rise (⁰c) i ii iii 15 20 40 20 20 20 3,27 4,06 4,46 olivia nauli komala: effect of led exposure time on the temperature rise 24 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 figure 1 showed that initial temperature from group i (15s) was 30.9 °c, group ii (20s) was 30,2 °c and group iii (40s) was 30.49 °c. the final temperature reached by group i (15s) was 35.26 °c, group ii (20s) was 34.77 °c and group iii (40s) was 34.7 °c. the highest temperature reached by group i was 35.26 °c, group ii was 34.77 °c and group iii was 35.42 °c. table 2 showed the average depth of cure which were obtained after curing for 15, 20, and 40 seconds. there were statistically significant differences between all groups. the comparison of depth of cure between all group could be seen on figure 2. tabel 2: depth of cure of nanohybrid resin composite group time (s) mean depth of cure (mm) i 15 2.39 ii 20 2.45 iii 40 2.5 figure 2. depth of cure between groups after scrapping. table 3 showed the average of vickers hardness number (vhn) of group i, ii and iii. there were significant differences on the microhardness of nanohybrid resin composite at each depth. the differences were between group i 15 s and group ii 20 s at 1mm, 2mm, 3mm, 4mm of depth, between group i 15 and group iii 40 s at 1mm, 2 mm, 3 mm, 4 mm, 5 mm depth and between group ii 20 s and group iii 40 s at 4 mm and 5 mm of composite resin depth. tabel 3. microhardness of nanohybrid resin composite at each depth depth (mm) group i: 15 seconds (vhn) group ii: 20seconds (vhn) group iii: 40 seconds (vhn) 1 64.41 76.79 76.0 2 54.52 66.14 65.37 3 48.85 57.36 57.71 4 39.58 46.1 50.98 5 20.8 22.1 31.4 ii iii i olivia nauli komala, effect of led exposure time on the temperature rise idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 25 the temperature rise, depth of cure and hardness of nanohybrid composite resin at each 1 mm depth had significant differences after exposure time of 15, 20, and 40 seconds. the highest depth of cure was achieved after curing for 40 seconds but the highest microhardness was achieved after curing for 20 seconds at 1 mm from the top of specimens. discussion according to this study, exposure time had an influence significantly on temperature rise of nanohybrid composite resin. ebenezar (2010) noted that exposure time on each curing mode had a significant difference. the experiment used 2 types of different light curing unit (lcu) with gap between thermocouple k tips and lcu of 3 mm and 6 mm.[4] from this study it was achieved that temperature rise of group i and ii still increased even though the curing process had stopped whereas in group iii, the highest temperature rise was noted at the 30th seconds (figure 1.). the temperature rise had occured because of material-dependent such as filler combination, resin characteristic, composition and surrounding temperature. previous study showed that composite resin materials had significant influence on temperature rise. [5] other study showed that polymerization of composite resin was exothermic and directly related to resin volume. so, the lower the resin composition, the greater is the exothermic reaction.6 dentin received heat that was produced by light curing source. the heat was then reduced within the pulp so the patient could not feel the temperature rise. a study by ratih (2007) who had placed a thermocouple on the floor of the cavity and the second thermocouple was placed on the pulp-dentin junction (pdj) showed that there were differences in temperature rise on the the floor of cavity and pdj and that there were no correlation between temperature rise and dentinal fluid flow. 7 in relation to this study, the exposure time of led light curing influenced the depth of cure of nanohybrid composite resin. the increasing depth of cure could be seen from all groups of exposure time. it was shown that group i has the lowest depth of cure than group iii. the increasing depth of cure occured because longer exposure time was needed to polimerize the deepest layer of composite resin. 8 the longer exposure time could result in microhardness increase between all groups. however, the deepest layer at each group showed the lowest microhardness. the increasing microhardness between all groups occured because the longer exposure time led to the longer polimerization reaction.9 the low microhardness at each layer of groups occured because light of the curing unit could not reach the deepest layer. the decreasing microhardness at each depth of composite resin occurred due to light absorbtion of the resin matrix and the spread of light from the filler. this condition reduced the polymerization of composite resin.10 olivia nauli komala: effect of led exposure time on the temperature rise 26 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 conclusion it can be concluded that led exposure time of 20 seconds produced the lowest temperature rise with highest microhardness of nanohybrid composite resin than other exposure times whereas the highest depth of cure was achieved in 40 seconds. references: 1. ota k, kikuchi s, kopel hm, thanos ce, nakamura rm. effect of light exposire time on the depth of curing in various composite resin systems. pediatric dentistry 1985; 7(1): 19-22. 2. albers hf. tooth – colored restoratives principles and techniques. 9th ed. hamilton: bc decker inc.; 2002. p. 82-125 3. baldissara p, catapano s, scotti r. clinical and histological evaluation of thermal injury thresholds in human teeth: a preliminary study. journal of oral rehabilitation 1997; 24: 791-801. 4. ebenezar avj, anilkumar r, indira r, ramachandran s, srinivasan mr. comparison of temperature rise in the pulp chamber with different light curing units: an in vitro study. journal of conservative dentistry 2010; 13(3): 132-135. 5. hubbezoglu i, dogan a, bolayir g, bek b. effect of light curing modes and resin composites on temperature rise under human dentin: an in vitro study. dent mater j 2008; 27(4): 581-589. 6. lloyd dan brown dikutip dari schneider lfj, cavalcante lma, tango rn, consani s, sinhoreti mac, sobrinho lc. pulp chamber temperature changes during resin composite photoactivation. braz j oral sci 2005; 4(12): 685-688. 7. ratih dn, palamara jea, messer hh. temperature change, dentinal fluid flow and cuspal displacement during resin composite restoration. journal of oral rehabilitation 2007; 34: 693-701 8. baharav h, abraham d, cardash hs, helft m . effect of exposure time on the depth of polymerization of a visible lightcured composite resin. j of rehabil1988; 15:167-172. 9. schneider lf, consani s, sinhoreti ma, sobrinho lc, milan fm, temperature change and hardness with different resin composites and photoactivation methods. oper dent. 2005 jul/aug; 30(4):516-21. 10. ruyter ie, oysaed h, conversion in defferent depth of ultraviolet and visible ;ight activated composite materials. actaodontolscand, 40;179-192. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 58-64 58 research article perbandingan keakuratan penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor comparison of age estimation accuracy between demirjian, cameriere, and blenkin-taylor methods erwin setyawan*, dimas setiyanto, latifa wahyudi putri departemen radiologi, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, daerah istimewa yogyakarta 55183, indonesia. received date: october 23rd, 2021; revised date: november 11st, 2021; accepted: november 25th, 2021 doi: 10.18196/di.v10i1.12972 abstrak banyaknya korban meninggal yang disebabkan oleh bencana massal atau kejadian lainnya perlu dilakukan proses identifikasi untuk mengetahui identitas para korban. proses identifikasi salah satunya dapat dilakukan menggunakan teknik dental records dalam menentukan identitas individu. metode penentuan usia menggunakan dental records yang paling sering digunakan adalah metode demirjian, serta terdapat metode baru dalam penentuan usia yaitu metode cameriere dan metode blenkin-taylor. penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keakuratan penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor pada pasien di rsgm umy. metode pada penelitian ini adalah observasional analitik dengan jumlah sampel adalah 95 foto radiograf dari pasien berusia 4-15 tahun yang berkunjung ke rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm umy) pada bulan januari hingga desember 2017. analisis data pada penelitian ini menggunakan uji statistik chi-square test dan crosstabulation menggunakan software spss. hasil menunjukkan bahwa metode demirjian memiliki keakuratan sebesar 66.31% (63 sampel), metode cameriere memiliki keakuratan sebesar 51.57% (49 sampel) dan metode blenkin-taylor sebesar 54.74% (52 sampel). analisis statistik ketiga metode tersebut tidak memiliki perbedaan yang bermakna dalam keakuratan penentuan usia pasien. kesimpulan dalam penelitian ini adalah metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor tidak memiliki perbedaan keakuratan dalam penentuan usia. kata kunci: blenkin-taylor; cameriere; demirjian; panoramic; usia abstract the number of victims caused by mass disasters or other events needs to be identified to find out the identity of the victims. one of the identification processes can be carried out using dental records in determining individual identity. the method of determining the age of using dental records, which is most commonly used, is the demirjian method. however, there are new methods in determining the age, namely the cameriere method and the blenkin-taylor method. this study aims to compare the accuracy between the demirjian, cameriere, and blenkin-taylor methods in patients at rsgm umy. this study utilized an observational analytical method, with 95 radiographs taken from patients aged 4-15 years who visited rsgm umy from january to december 2017. data analysis used the chi-square statistical test and crosstabulation on spss. the result showed that the demirjian method had an accuracy of 63 samples (66.31%), the cameriere method had an accuracy of 49 samples (51.57%), and the blenkin-taylor method amounted to 52 samples (54.74%). the three methods had no difference in statistical analysis in the age estimation of patients. furthermore, demirjian, cameriere, and blenkin-taylor's methods did not have different accuracy in age estimation. keywords: age; blenkin-taylor; cameriere; demirjian; panoramic * corresponding author, e-mail: erwinsetyawan@fkik.umy.ac.id erwin setyawana, dimas setiyantob, latifa wahyudi putric | perbandingan keakuratan penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor 59 pendahuluan banyaknya korban meninggal yang disebabkan oleh bencana massal atau kejadian lainnya perlu dilakukan proses identifikasi untuk mengetahui identitas para korban. metode yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi adalah metode identifikasi forensik.1 disaster victim identification (dvi) membagi metode tersebut menjadi 5 fase dalam proses identifikasi yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. primary identifier meliputi fingerprint (fp), dental records (dr) dan dna sedangkan secondary identifiers terdiri dari medical (m), property (p) dan photography (pg).2 teknik dental records telah dikenal lama sejak era sebelum masehi dan dikenal dengan istilah forensik odontologi. penggunaan gigi dalam teknik ini sangat berguna dalam kedokteran gigi forensik karena gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia.3 jaringan pada gigi dilapisi oleh materi anorganik kristal hidroksiapatit sehingga mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap suhu serta beragam jenis pengaruh eksternal, iritasi mekanik, dan kimia.2 penggunaan gigi sebagai indikator untuk menilai dan menentukan umur seseorang dapat dilihat dari aspek morfologis, histologis dan radiografis.4 hasil radiografis mampu memberikan informasi tentang tahapan mineralisasi gigi, tingkat pembentukan mahkota, dan erupsi mahkota di dalam rongga mulut.5 salah satu metode yang menggunakan foto radiograf panoramik untuk menentukan diagram perkembangan gigi dalam perhitungannya adalah metode demirjian. metode ini menggunakan dasar pada tahapan perkembangan tujuh gigi permanen rahang kiri bawah, dilihat kriteria bentuk, nilai relatif, serta bukan pada panjang mutlak gigi. gambar 1. tahap kalsifikasi gigi permanen menurut demirjian dkk.,6 estimasi usia kronologis memiliki delapan tahapan yang mencakup kalsifikasi mahkota dan akar hingga penutupan apeks pada masing-masing gigi seperti pada gambar 1.6 metode penentuan usia kronologis berdasarkan pada pengukuran apeks terbuka pertama kali diperkenalkan oleh roberto cameriere pada tahun 2006 (gambar 2). metode ini melihat perkembangan di tujuh gigi permanen rahang bawah sebelah kiri. roberto cameriere melakukan banyak penelitian di berbagai negara di eropa dan amerika termasuk meksiko pada 2012 dan dari hasil penelitian tersebut menunjukkan keakuratan yang lebih baik dari metode yang lain.7 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 58-64 60 gambar 2. perhitungan apeks terbuka menurut cameriere, dkk.,7 metode baru yang dipublikasikan dengan sistem diagram dan dianggap lebih mudah serta lebih cepat diaplikasikan adalah metode blenkin-taylor pada tahun 2012.8 berdasarkan hasil analisis data dalam membandingkan beberapa metode dengan menggunakan atlas ataupun diagram, didapatkan akurasi dari metode atlas tergolong rendah secara keseluruhan, namun metode atlas blenkin-taylor secara signifikan mengungguli yang lain untuk persentase kesesuaiannya dengan usia kronologis.9 beberapa metode penentuan usia ini memiliki kelebihan masing-masing dalam proses penentuan usia, untuk itu perlu diketahui akurasi dari penentuan usia dengan metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor pada pasien di rsgm umy. material dan metode penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik untuk mengetahui perbedaan keakuratan dari tiga metode penentuan usia. sampel berjumlah 95 foto panoramik yang berasal dari pasien yang periksa di rsgm umy dengan berbagai keluhan dan pernah difoto panoramik (belmont x-caliber cm panoramic) di instalasi radiologi. penelitian ini sudah mendapatkan ethical clearance yang dikeluarkan oleh komite etik penelitian fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta nomor 610/ep-fkikumy/xii/2018. foto panoramik diidentifikasi perkiraan usia berdasarkan pertumbuhan gigi yang terlihat pada radiograf. hasil identifikasi perkiraan usia dikatakan akurat jika dibandingkan dengan usia kronologis memiliki perkiraan usia kisaran 1 tahun diatas maupun satu tahun dibawah dari usia kronologis. hasil sampel foto panoramik harus memuat data penunjang yang digunakan meliputi nama pasien, tanggal lahir, tanggal pengambilan foto radiograf serta nomor rekam medis pasien. distribusi subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. distribusi subjek tahun laki-laki perempuan total n % n % n % 4-5.9 7 7.3 2 2.1 9 9.47 6-7.9 7 7.3 10 10.52 17 17.89 8-9.9 16 16.84 17 17.89 33 34.73 10-11.9 10 10.52 11 11.62 21 22.14 12-13.9 5 5.25 5 5.25 10 10.52 14-15.9 3 3.15 2 2.1 5 5.25 total 48 50.52 47 49.48 95 100 berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa kelompok umur termuda pada umur 4-5,9 tahun dan yang tertua umur 14-15,9 tahun. sampel terbanyak pada kelompok umur 8-9,9 tahun. radiograf panoramik yang ada kemudian diidentifikasi untuk ditentukan perkiraan usia menggunakan metode demirjian, cameriere dan blenkin-taylor. hasil perkiraan usia berdasarkan gambar radiografis dapat dilihat pada tabel 2. erwin setyawana, dimas setiyantob, latifa wahyudi putric | perbandingan keakuratan penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor 61 tabel 2. perkiraan usia gigi antara metode demirjian, cameriere, dan metode blenkin-taylor berdasarkan gambar radiografis. akurasi metode akurat tidak akurat total n % n % n % demirjian 63 66.31 32 33.69 95 100 cameriere 49 51.57 46 48.43 95 100 blenkintaylor 52 54.74 43 45.26 95 100 berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa persentase keakuratan yang tertinggi pada metode demirjian yaitu sebesar 66,31%. ketidakakuratan dari ketiga metode perkiraan penentuan usia antara 33,69%48,43%. perkiraan penentuan usia berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4. tabel 3. perkiraan usia gigi antara demirjian, cameriere, dan metode blenkin-taylor berdasarkan gambar radiografis menurut jenis kelamin laki-laki akurasi metode akurat tidak akurat total n % n % n % demirjian 31 65.95 16 34.05 47 100 cameriere 21 44.68 26 55.32 47 100 blenkintaylor 27 57.45 20 42.55 47 100 tabel 4. perkiraan usia gigi antara metode demirjian, cameriere, dan metode blenkin-taylor berdasarkan gambar radiografis menurut jenis kelamin perempuan akurasi metode akurat tidak akurat total n % n % n % demirjian 32 66.67 16 33.33 48 100 cameriere 28 58.34 20 41.66 48 100 blenkintaylor 25 52.08 23 47.92 48 100 berdasarkan tabel 3 dan 4 terlihat bahwa persentase keakuratan menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang tertinggi pada metode demirjian dan ketidakakuratan terbesar pada jenis kelamin laki-laki pada metode cameriere dan pada jenis kelamin perempuan pada metode blenkin-taylor. tabel 5. hasil uji statistik dengan paired sample test t df sig. (2tailed) pair 1 demirjian cameriere 1.924 94 .057 pair 2 blenkin_taylor demirjian -1.636 94 .105 pair 3 cameriere blenkin_taylor -.293 94 .770 rata-rata akurasi ketiga metode dilakukan uji statistik dengan paired sample t-test untuk melihat tingkat signifikansi perbedaan rata-rata tersebut seperti terlihat pada tabel 5. sig. (2-tailed) terlihat dalam tiap pair menunjukkan angka dengan nilai p>0.05. pembahasan perkiraan penentuan usia seseorang dapat dilakukan berdasarkan pada maturasi gigi menggunakan tahap waktu erupsi dan kalsifikasi gigi. metode yang menggunakan tahap waktu erupsi gigi memiliki kekurangan antara lain sulit menentukan waktu erupsi yang sebenarnya karena kejadiannya berlangsung cepat, penilaiannya secara klinis dan dipengaruhi faktor lokal, penyakit sistemik serta pola makan. penentuan usia gigi menggunakan tahap kalsifikasi gigi memiliki tahap yang lebih konsisten dalam menentukan tahap maturasi gigi.10 berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa akurasi pada metode demirjian menunjukkan tingkat yang tinggi. tingginya tingkat keakuratan tersebut karena metode demirjian merupakan penilaian kualitatif tentang bentuk dan ukuran gigi. metode ini telah digunakan sejak 1973 dan terus digunakan karena pengaplikasian yang mudah. metode ini memberikan penjelasan lebih detail tentang insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 58-64 62 definisi setiap tahap perkembangan gigi menggunakan atlas dan memberikan contoh gambaran radiografisnya sehingga dapat lebih spesifik dalam penentuan usia untuk megurangi masalah interpretasi secara subjektif terhadap gambaran foto radiograf.11 hasil analisis data secara statistik pada tabel 5 terlihat bahwa nilai p>0.05, hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. hasil penelitian ini berbeda dari hipotesis yaitu tidak ada perbedaan yang bermakna keakuratan penentuan usia dari ketiga metode. perbedaan dengan hipotesis tersebut dapat disebabkan karena variasi individu yang berbeda, ras dan budaya, perbedaan genetik serta faktor tempat dan lingkungan yang mempengaruhi.12 foto radiograf panoramik menjadi salah satu faktor penting dalam proses perkiraan penentuan usia tersebut. proses perhitungan dalam menentukan perkiraan usia menggunakan foto radiograf juga membutuhkan keterampilan dan ketepatan dalam pengukuran. mutu radiografi termasuk kejelasan dan ketepatan dimensi gambar juga mempengaruhi interpretasi dan ketepatan pengukuran. kualitas foto radiograf mengacu pada ketepatan gambaran struktur dan visibilitas detail tiap gambaran struktur anatomi tersebut.13 hasil foto radiograf dapat ditingkatkan dengan penggunaan dentai x-ray teknologi terkini yaitu computed radiography dan digital radiography karena memiliki kelebihan dalam hasil gambar dan tidak melewati proses pencetakan film sehingga dapat meminimalkan distorsi dari hasil foto radiograf. genetik, status sosial ekonomi, kondisi gizi, kebiasaan diet dan kondisi iklim tempat tinggal merupakan beberapa penyebab dalam variasi kematangan gigi diantara populasi dan kelompok etnis yang berbeda.14 perbedaan ras dapat menyebabkan perbedaan waktu dan urutan erupsi gigi permanen. lokasi penelitian juga mempengaruhi hasil dari perhitungan perkiraan usia yang di lakukan. motede cameriere memiliki tingkat keakuratan yang tinggi pada sampel yang dilakukan di eropa, sehingga rumus pada metode cameriere dapat mempresentasikan penduduk eropa.15 perbedaan ras antara penduduk eropa dan asia tersebut mempengaruhi hasil dari perhitungan akar gigi terbuka menggunakan metode cameriere yang dilakukan oleh peneliti di rsgm umy. penentuan usia menggunakan gigi memiliki keunggulan serta kekurangan pada masing-masing metode, sehingga diperlukan pengujian secara berulang untuk meningkatkan keakuratan dalam perhitungan perkiraan usia. jumlah sampel, metode statistik yang digunakan serta ketepatan peneliti dalam menggunakan metode sangat berpengaruh terhadap hasil penentuan usia gigi.11 penelitian ini juga mengelompokkan sampel berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan perkiraan usia seperti pada tabel 3 dan tabel 4. hasil dari analisis perhitungan perkiraan usia menggunakan ketiga metode menunjukkan hasil bahwa pada jenis kelamin perempuan memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin lakilaki. hasil tersebut dapat terjadi karena perempuan mempunyai periode pertumbuhan prepubertas dan pubertas sehingga perempuan memiliki usia dental yang menyamai atau lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki.16 beberapa peneliti menyatakan bahwa terdapat kesesuaian usia yang lebih baik pada sampel dengan jenis kelamin perempuan dibandingkan sampel dengan jenis kelamin laki-laki.17 kesimpulan tidak terdapat perbedaan keakuratan dalam penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor terhadap usia kronologis. perkiraan usia gigi secara keseluruhan pada pada perempuan lebih akurat dibanding pada pasien laki-laki. erwin setyawana, dimas setiyantob, latifa wahyudi putric | perbandingan keakuratan penentuan usia antara metode demirjian, cameriere, dan blenkin-taylor 63 daftar pustaka 1. corradi lm, travassos dv, coste sc, moura rnv de, ferreira ef e. identifying missing people: the contribution of forensic dentistry and dna. rev odontol unesp. 2017;13; 46(6):313–8. https://dx.doi.org/10.1590/18072577.02817 2. garg y, bhaskar dj. forensic dentistry: an aid in criminal investigation. forensicdent.2015;1(6):4. 3. tandaju cf, siwu j, hutagalung bsp. gambaran pemeriksaan gigi untuk identifikasi korban meninggal di bagian kedokteran forensik dan medikolegal rsup prof. dr. r. d. kandou manado tahun 2010 – 2015. egigi.2017;5(1):96-99. https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.1 5534 4. chandramala r, sharma r, khan m, srivastava a. application of kvaal’s technique of age estimation on digital panoramic radiographs. dentistry; 2012;2:142. 5. halilah t, khdairi n, jost-brinkmann p-g, bartzela t. age estimation in 516-year-old children by measurement of open apices: north german formula. forensic sci int. 2018;293:103. https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2018 .09.022 6. demirjian a, goldstein h, tanner jm. a new system of dental age assessment. hum biol. 1973;45(2): 211-227. 7. cameriere r, pacifici a, pacifici l, polimeni a, federici f, cingolani m, et al. age estimation in children by measurement of open apices in teeth with bayesian calibration approach. forensic sci int. 2016;258:50–54. https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2015 .11.005 8. blenkin m, taylor j. age estimation charts for a modern australian population. forensic sci int. 2012; 221(1):106–112. https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2012 .04.013 9. baylis s, bassed r. precision and accuracy of commonly used dental age estimation charts for the new zealand population. forensic sci int. 2017;277 :223–228. https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2017 .06.011 10. ajmal m, assiri ki, al-ameer ky, assiri am, luqman m. age estimation using third molar teeth: a study on southern saudi population. j forensic dent sci. 2012;4(2):63–65. https://doi.org/10.4103/09751475.109886 11. apriyono dk. metode penentuan usia melalui gigi dalam proses identifikasi korban. cermin dunia kedokt. 2016;43(1):71–74. 12. rai b, kaur j, cingolani m, ferrante l, cameriere r. age estimation in children by measurement of open apices in teeth: an indian formula. int j legal med. 2010;124(3):237–241. 10.1007/s00414-010-0427-7 13. tompe a, sargar k. x-ray image quality assurance. in: statpearls [internet]. treasure island (fl): statpearls publishing; 2021. 14. sarkar s, kailasam s, mahesh kumar p. accuracy of estimation of dental age in comparison with chronological age in indian population--a comparative analysis of two formulas. j forensic leg med. 2013;20(4):230–233. https://doi.org/10.1016/j.jflm.2012.09. 007 15. galić i, vodanović m, cameriere r, nakaš e, galić e, selimović e, et al. accuracy of cameriere, haavikko, and willems radiographic methods on age estimation on bosnian-herzegovian https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.15534 https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.15534 https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.15534 https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.15534 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2018.09.022 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2018.09.022 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2015.11.005 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2015.11.005 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2012.04.013 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2012.04.013 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2017.06.011 https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2017.06.011 http://dx.doi.org/10.4103/0975-1475.109886 http://dx.doi.org/10.4103/0975-1475.109886 https://doi.org/10.1007/s00414-010-0427-7 https://doi.org/10.1016/j.jflm.2012.09.007 https://doi.org/10.1016/j.jflm.2012.09.007 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 58-64 64 children age groups 6-13. int j legal med.2011;125(2):315–321. https://doi.org/10.1007/s00414-0100515-8 16. soliman a, de sanctis v, elalaily r, bedair s. advances in pubertal growth and factors influencing it: can we increase pubertal growth? indian j endocrinol metab. 2014;18(1):53–62. https://doi.org/10.4103/22308210.145075 17. tabakcilar d, bundak r, gencay k. dental age in precocious and delayed puberty periods. eur j dent.2021; 15(3):539–545. https://doi.org/10.1055/s-00411726156 https://doi.org/10.1007/s00414-010-0515-8 https://doi.org/10.1007/s00414-010-0515-8 https://dx.doi.org/10.4103%2f2230-8210.145075 https://dx.doi.org/10.4103%2f2230-8210.145075 https://dx.doi.org/10.4103%2f2230-8210.145075 https://dx.doi.org/10.4103%2f2230-8210.145075 erma sofiani, fineza rovi | pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro 72 literature review pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro the effects of curing time and thickness of bulk fill composite resin towards microleakage erma sofiani1,*, fineza rovi2 1konservasi gigi, bagian rehabilitatif, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: september 25th, 2020; reviewed date: october 5th, 2020 revised date: october 25th, 2020; accepted date: november 1st, 2020 doi : 10.18196/di.9221 abstrak restorasi gigi bertujuan mengembalikan fungsi mastikasi, fonetik, estetik, dan perlindungan terhadap jaringan pendukung gigi. resin komposit merupakan bahan restoratif yang digunakan di kedokteran gigi karena mempunyai estetik dan kekuatan yang baik. salah satu kekurangan dari resin komposit yaitu polymerization shrinkage. adanya pengerutan polimerisasi dapat menimbulkan kebocoran mikro, sehingga menyebabkan kegagalan restorasi berupa karies sekunder, diskolorasi dan infeksi pulpa. polimerisasi restorasi resin komposit dikatakan baik apabila derajat konversi berupa ikatan atom karbon ganda menjadi ikatan tunggal pada monomer berjalan dengan tepat. hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti translusensi bahan, lama penyinaran, ketebalan resin komposit, dan tipe filler. beberapa cara untuk mengurangi kebocoran mikro diantaranya adalah teknik penumpatan secara incremental. kekurangan teknik ini, memperlambat proses perawatan dan meningkatkan risiko kontaminasi setiap lapisannya. saat ini telah dikembangkan resin komposit bulk fill yang mampu diaplikasikan ke dalam kavitas secara langsung (bulk) dengan ketebalan hingga 4-5 mm dan dapat mengalami polimerisasi dengan baik. penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro. semakin lama penyinaran maka menyebabkan peningkatan ikatan karbon yang memperkecil jarak antar monomer. peningkatan ketebalan aplikasi resin komposit menyebabkan nilai c-factor yang tinggi, sehingga peningkatan risiko pengerutan polimerisasi yang menyebabkan kebocoran mikro. untuk mengukur kebocoran mikro, beberapa studi menggunakan metode dye penetration dengan larutan marker yang berbeda kemudian dievaluasi menggunakan beberapa alat yaitu scanning electron microscopy (sem), mikroskop cahaya, dan micro-ct. hasil dari kajian pustaka pada uraian diatas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro. kata kunci: bulk fill; kebocoran mikro; ketebalan resin komposit; lama penyinaran resin komposit abstract dental restorative treatment aims to restore the masticatory, phonetic, esthetic, and protective functions of the tooth-supporting tissue. composite resin is a restorative material used in dentistry because it has good aesthetics and strength. one of the disadvantages of composite resin is the polymerization shrinkage. the presence of shrinkage polymerization can cause micro-leakage, leading to restorations' failure in the form of secondary caries, discoloration, and pulp infection. polymerization of composite resin restorations is good if the degree of conversion in double carbon atom bonds to single bonds in the monomer runs correctly. this is influenced by several factors such as the translucency of the material, the duration of exposure, the composite resin's thickness, and the type of filler. some of the ways to reduce micro-leakage include incremental filling techniques. this * corresponding author, e-mail: ermasofiani@umy.ac.id insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 73 technique's disadvantages slow down the treatment process and increase the risk of contamination with each layer. at present, a bulk-fill composite resin has been developed, which can be applied directly into the cavity with a thickness of up to 4-5 mm and can undergo polymerization well. this paper aims to determine the effect of exposure time and thickness of bulk-fill composite resin to microleakage. the longer the radiation, it causes an increase in carbon bonds, which reduces the distance between the monomers. increasing the thickness of the application of the material increases the c-factor value. this creates the risk of polymerization shrinkage, causing micro-leakage. several studies used the dye penetration method with different marker solutions to measure microleakage and then evaluated using several tools, namely scanning electron microscopy (sem), light microscopy, and micro-ct. the literature review results in the description above indicate an effect of exposure time and thickness of bulk-fill composite resin to microleakage. keywords: bulk fill; curing time; microleakage; resin composite; thickness pendahuluan karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak terjadi di seluruh dunia termasuk indonesia.1 perawatan restoratif harus segera dilakukan pada gigi yang berlubang agar fungsi mastikasi, fonetik, estetik, dan kepercayaan diri pasien dapat dipertahankan.2 beberapa bahan restorasi yang dapat digunakan adalah semen ionomer kaca, amalgam, dan resin komposit.3 penggunaan resin komposit sebagai bahan dalam perawatan restoratif semakin meningkat karena kemampuan adesif dari bahan ke gigi serta memiliki faktor estetik yang baik.4 resin komposit pertama kali dikenalkan pada tahun 1962 dan terus mengalami perkembangan hingga sekarang.5 komposit terdiri dari resin matriks atau monomer, filler anorganik, coupling agent, inisiator, dan bahan lain yang dicampur menjadi satu.1 bahan tersebut akan mengeras melalui reaksi polimerisasi yang diaktivasi oleh aktivator.3 berdasarkan sistem inisiasi, mekanisme aktivasi polimerisasi dapat terjadi melalui agen kimia, panas, dan sinar.1 aktivasi dengan sinar biru dengan panjang gelombang 400–500 nm diperlukan agar polimerisasi dapat terjadi.3 salah satu kekurangan resin komposit adalah pengerutan polimerisasi (polymerization shrinkage).6 hal itu terjadi karena konversi monomer menjadi polimer saat dilakukan aktivasi oleh sinar biru dapat mengurangi volume bebas dari resin komposit, sehingga akan timbul celah antara bahan restorasi dengan struktur gigi.7 kebocoran mikro yang dihasilkan dari terbentuknya celah akan mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas gigi yang direstorasi, perubahan warna, karies sekunder, dan infeksi pulpa.8 sebuah penelitian melaporkan bahwa pengerutan polimerisasi dapat dipengaruhi oleh aspek penyinaran dan ketebalan resin komposit.9 ketebalan dari bahan resin komposit yang di aplikasikan ke dalam kavitas akan mempengaruhi derajat polimerisasi. sinar akan mengeraskan resin komposit apabila mampu berpenetrasi hingga bagian dasar sehingga mendapatkan sifat fisik dan biologis yang baik.10 protokol penyinaran yang kurang baik juga akan mengakibatkan terjadinya pengerutan polimerisasi dan stres kontraksi. teknik pengaplikasian inkremental perlu dilakukan untuk mengurangi kebocoran mikro dengan melakukan penyinaran setiap 2 mm lapisan resin komposit.11 tentunya hal tersebut akan membuat prosedur perawatan menjadi lebih lama, meningkatkan risiko kontaminasi saliva, dan terjebaknya gelembung udara pada tiap lapis resin komposit.12 bulk fill diperkenalkan oleh produsen sebagai hasil pengembangan resin komposit dengan aplikasi yang praktis dan tidak memakan banyak waktu.13 material tersebut diklaim mampu diaplikasikan secara langsung ke dalam kavitas dengan ketebalan 4 – 5 mm. hal itu akan memberikan manfaat yang besar terutama pada kasus kavitas dalam pada gigi posterior.14 resin komposit bulk fill semakin dikembangkan untuk mencapai keberhasilan klinis dengan menghasilkan restorasi yang memiliki pengerutan rendah sehingga dapat 74 erma sofiani, fineza rovi | pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro mengurangi kebocoran mikro.15 kestabilan dimensi perlu dipertahankan untuk mencegah terjadinya kebocoran mikro yang akan menyebabkan dampak negatif pasca perawatan.7 kecenderungan untuk menghemat waktu perawatan restorasi mulai banyak dilakukan oleh dokter gigi.10 perhatian terhadap prosedur polimerisasi yang menjadi salah satu faktor penting yang menentukan sifat dan kinerja resin komposit, yaitu durasi penyinaran dan ketebalan bahan bulk fill.9,16,17 pembahasan resin komposit resin komposit adalah material restoratif sewarna gigi yang tersusun atas komponen utama berupa resin matriks dan partikel filler yang diikat oleh coupling agent melalui proses polimerisasi.18 resin matriks terdiri atas resin monomer, inisiator, akselerator, dan inhibitor, sedangkan filler terdiri atas partikel yang dapat memberikan sifat mekanik dan warna radiopak dari resin komposit.19 komposit berbasis resin dikenalkan oleh dr. l. bowen pada tahun 1962 sebagai pengganti resin akrilik yang memiliki koefisien termal dan pengerutan yang tinggi serta silikat yang mudah larut dan dianggap dapat mengiritasi pulpa.20 bowen menambahkan organosilane coupling agent yang mampu mengikat bisgma sebagai monomer baru agar dapat berikatan dengan partikel filler. hal tersebut menjadi salah satu evolusi dari material restorasi direct estetik berbasis resin.21 sistem monomer merupakan matriks organik yang saat ini terdapat dalam resin komposit yang tersusun dari monomer utama berbasis dimethacrylate dan monomer dengan viskositas yang lebih rendah sebagai co-monomer.22 resin komposit semakin dikembangkan terutama dalam segi estetik yang di dapat dari resin monomer.10 beberapa monomer seperti bis-gma, tegdma, udma, hema, bis-ema telah dikembangkan untuk mendapatkan hasil estetik, sifat mekanik, biokompatibilitas, dan ketahanan material yang baik.23 filler adalah komponen anorganik yang dapat berpengaruh terhadap sifat mekanik dari resin komposit.24 filler juga berhubungan dengan terjadinya pengerutan resin komposit. semakin rendah kandungan filler maka semakin tinggi pengerutan yang akan terjadi.25 terdapat berbagai macam jenis filler yang digunakan untuk memperkuat dan mengurangi pengerutan saat proses polimerisasi.26 beberapa diantaranya adalah amorphous silica, quartz, borosilicates, lithium, strontium, dan glass. secara teori, morfologi dan jumlah filler pada resin komposit berpengaruh terhadap modulus dan kekuatan fleksural, kekerasan, dan ketahanan bahan tumpat terhadap fraktur.24 filler terdiri dari berbagai ukuran seperti microfiller, nanofiller, macrofiller, dan microhybrid.27 macrofiller memiliki ukuran 10-50 µm dan mempunyai sifat mekanik yang kuat dan tahan terhadap tekanan. mikrofiller berukuran dari 10-50 nm sehingga dapat menghasilkan resin komposit dengan kualitas polishing yang baik daripada macrofiller, tetapi berisiko terjadinya fraktur. microhybrid filler merupakan hasil perkembangan dalam mencapai kualitas poles yang baik dalam estetik tanpa mengurangi sifat mekanik restorasi. nanofiller memiliki ukuran partikel 10-100 nm dan dianggap dapat menurunkan pengerutan polimerisasi karena adanya pertambahan jumlah partikel filler yang berukuran nano.1 resin monomer dan filler anorganik akan saling dihubungkan dengan bantuan coupling agent untuk mendapatkan sifat mekanik yang baik dari resin komposit.18 silane akan melakukan modifikasi pada permukaan material filler anorganik dengan tujuan untuk meningkatkan adhesifitas dengan resin monomer. agen silane memiliki gugus chloro, alkoxy, atau acetoxy yang dapat dengan mudah berubah menjadi gugus alkoxy melalui hidrolisis, dan akan berikatan secara kovalen atau ikatan hidrogen dengan gugus alkoxy pada permukaan filler inorganik. gugus silane yang lain berupa vinyl, epoxy, amino, atau insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 75 mercapto akan bergabung dengan material organik atau resin monomer.28 inisiator merupakan molekul dengan ikatan atom yang mempunyai energi disosiasi rendah yang akan membentuk radikal bebas untuk memulai reaksi polimerisasi.29 resin komposit memerlukan sistem inisiasi agar monomer dapat berikatan secara kimiawi menjadi polimer melalui reaksi polimerisasi. inisiasi terdiri dari beberapa macam tipe seperti sistem inisiasi self cure, aktivasi sinar, dan dual cure. self cure terdiri dari komponen katalis yaitu benzoil peroksida (bpo) dan komponen base yaitu tertiary amine.1 inisiasi light cure merupakan sistem yang saat ini banyak digunakan dalam restorasi resin komposit. camphorquinone merupakan foto-inisiator yang akan menyerap sinar biru pada panjang gelombang tertentu untuk membentuk radikal bebas dan memulai reaksi polimerisasi.30 sistem foto-inisiator dan self cure yang digabungkan akan membentuk sistem dual cure. sistem tersebut bertujuan untuk meningkatkan reaksi polimerisasi dan derajat konversi terutama pada area yang sulit dijangkau oleh sinar.29 dual cure banyak digunakan sebagai core build up dan sementasi resin komposit. 31 polimerisasi resin komposit polimerisasi adalah reaksi kimia yang menyebabkan monomer resin komposit saling berikatan menjadi molekul polimer.32 saat ini, hampir seluruh resin komposit mengalami reaksi polimerisasi melalui aktivator sinar biru atau sering disebut photopolymerization. resin komposit memiliki komponen inisiator yang akan memicu polimerisasi berupa photoinitiator camphorquinone yang akan menyerap foton sinar biru dengan panjang gelombang 400 nm – 500 nm dari aktivator light cure dan menghasilkan radikal bebas.33 radikal bebas akan bereaksi dengan monomer di sekitarnya untuk saling berikatan dengan monomer lain menjadi rantai polimer.34 proses polimerisasi dimulai dari fase pre-gel yaitu monomer masih dalam kondisi kental dan dapat mengalir pada seluruh permukaan. resin komposit akan mengalami pengerasan ketika proses polimerisasi dilakukan. pada saat polimerisasi, komposit yang mengeras tidak akan bisa mengalir seperti pada fase pre-gel dan mulai mengalami kontraksi yang mungkin dapat mengakibatkan stres pengerutan. fase postgel dari polimerisasi dimulai setelah komposit selesai dilakukan penyinaran dan bertanggung jawab pada terjadinya stres residu.35 polimerisasi pada restorasi resin komposit dapat dikatakan baik apabila derajat konversi berupa ikatan atom karbon ganda menjadi ikatan tunggal pada monomer berjalan dengan tepat. hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti translusensi bahan, lama penyinaran, ketebalan resin komposit, dan tipe filler.9 penyinaran yang adekuat akan mempengaruhi keberhasilan klinis jangka panjang suatu restorasi. lama penyinaran sesuai petunjuk produsen adalah 10 detik hingga 20 detik untuk memberikan dampak positif pada penumpatan kavitas yang dalam menggunakan resin komposit bulk fill.4 prosedur penyinaran berkaitan dengan derajat konversi dari monomer menjadi polimer yang membuat ikatan karbon ganda pada saat polimerisasi akan berubah menjadi karbon ikatan tunggal.36 semakin besar derajat konversi, maka semakin baik sifat fisik dan mekanik resin komposit. hal tersebut berbanding terbalik dengan polymerization shrinkage, semakin besar derajat konversi, maka akan menyebabkan pengerutan yang besar.34 faktor lain yang dapat mempengaruhi polimerisasi resin komposit aktivasi sinar adalah kedalaman penyinaran.36 kedalaman penyinaran (depth of cure) berkaitan dengan ketebalan bahan yang diaplikasikan ke dalam kavitas. peningkatan ketebalan bahan restorasi memerlukan penyerapan foton cahaya yang lebih banyak.34 aplikasi resin komposit secara bulking akan mengurangi derajat konversi dari monomer menjadi polimer. hal tersebut mungkin akan menyebabkan pengerutan menjadi berkurang, tetapi akan mengurangi sifat fisik dari resin komposit 76 erma sofiani, fineza rovi | pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro karena adanya monomer residu yang tidak terpolimerisasi dengan baik.36 ketebalan bila menggunakan resin komposit konvensional adalah 2 mm, sedangkan ketebalan yang biasa digunakan pada resin komposit bulk fill adalah 4 mm tergantung instruksi yang dikeluarkan oleh produsen untuk mendapat hasil polimerisasi yang baik.10 penelitian melaporkan bahwa lima sampel resin komposit bulk fill (ever x posterior, filtek bulk fill, sonic fill, tetric n-ceram dan x-tra fill) serta satu resin komposit konvensional sebagai kontrol menyimpulkan bahwa bulk fill mampu mengalami polimerisasi yang baik pada ketebalan 4 mm dengan derajat konversi yang adekuat (55-65%).37 penelitian lain melaporkan bahwa resin komposit bulk fill dengan ketebalan 4 mm memiliki kebocoran mikro yang lebih sedikit dibanding resin komposit konvensional yang diaplikasikan dengan ketebalan 2 mm.38 teknik penumpatan incremental teknik penumpatan selapis demi selapis atau incremental dianggap mampu mengurangi risiko terjadinya polymerization shrinkage.14 pada teknik ini, bahan diaplikasikan maksimal 2 mm per lapisan komposit.38 setiap lapis dilakukan penyinaran dengan curing unit, kemudian dilanjutkan 2 mm lapisan komposit diatasnya.39 studi menyebutkan bahwa teknik penumpatan incremental mampu memberikan adaptasi margin yang baik melalui cara pengaplikasian bahan yang dapat mengurangi faktor konfigurasi kavitas atau c-factor.40 c-factor adalah perbandingan antara area resin komposit yang berikatan dibanding dengan area yang tidak berikatan pada permukaan gigi. stres polimerisasi akan semakin rendah apabila nilai c-factor rendah.25 teknik incremental terdiri dari oblique, horizontal, successive cusp, centripetal build up, dan vertikal.41 resin komposit bulk fill resin komposit semakin dikembangkan untuk mendapatkan hasil restorasi yang baik dan menyederhanakan waktu perawatan terutama pada gigi dengan kavitas dalam. bulk fill diperkenalkan oleh produsen untuk menjawab hal tersebut dan diharapkan mampu mengatasi beberapa permasalahan yang ada.18 material ini mampu diaplikasi ke dalam kavitas secara bulk dengan kemampuan polimerisasi hingga ketebalan 4 mm dan tetap memiliki sifat fisik yang sama dengan resin komposit konvensional.42 bulk fill dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu base dan full body. bulk fill base memiliki viskositas yang rendah (flowable) dan dapat diaplikasikan melalui syringe. base mengandung komponen filler yang rendah sehingga sering disebut sebagai resin komposit bulk fill flowable. bulk fill full body merupakan kategori yang dianggap sebagai bahan penumpatan sebenarnya. bahan ini mengandung filler yang tinggi sehingga membuat viskositasnya lebih tinggi dibanding dengan base.43 pada kelompok full body, terdapat jenis resin komposit bulk fill yang diaktivasi menggunakan getaran sonik untuk membuat viskositas menjadi rendah sehingga dapat mengalir dan memenuhi kavitas dengan baik tanpa mengurangi kandungan filler yang tinggi. contoh resin komposit aktivasi getaran sonik adalah resin komposit bulk fill sonic fill 18. depth of cure merupakan kedalaman kavitas tempat sinar dapat melakukan polimerisasi sehingga membuat material dapat mengeras. polimerisasi yang tidak adekuat pada kedalaman tertentu akan menyebabkan penurunan sifat fisik dan biologi material seperti kekuatan, kebocoran tepi, dan monomer residu. hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kandungan filler, tingkat translusensi, lama penyinaran, intensitas sinar, dan jarak tip curing unit dengan material komposit.43 produsen resin komposit bulk fill telah mengembangkan produknya melalui peningkatan translusensi bahan dan sistem inisiator yang lebih reaktif.15 bulk fill dianggap mampu mencapai kedalaman polimerisasi hingga 4 mm.3 hasil penelitian menyebutkan bahwa bulk fill viskositas tinggi menghasilkan depth of cure yang lebih insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 77 tinggi dibanding resin komposit konvensional dengan pengerutan yang sama.15 penelitian lain melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pengerutan yang signifikan antara resin komposit konvensional dengan bulk fill flowable pada depth of cure 4,47 mm (sdr flow) dan 3,72 mm (filtek bulk fill flowable).3 resin komposit membutuhkan ikatan yang baik antara material dengan struktur gigi sehingga mencegah terjadinya kebocoran mikro pada tepi yang dapat menyebabkan karies sekunder.44 hal ini menjadi kontroversi dalam penggunaan resin komposit bulk fill yang diaplikasikan pada kedalaman hingga 4 mm. beberapa studi menyampaikan hal yang berbeda satu sama lain terkait dengan marginal integrity dari bulk fill.45 secara tidak langsung lama penyinaran mungkin akan mempengaruhi kekuatan tepi dari bahan restorasi. derajat konversi yang baik merupakan hasil dari lama penyinaran yang adekuat sehingga ketahanan restorasi menjadi maksimal.37 kebocoran mikro keberhasilan klinis dari restorasi resin komposit sangat bergantung pada kualitas ikatan dan adaptasi material dengan dinding kavitas.46 sebelum reaksi polimerisasi dilakukan, molekul-molekul monomer memiliki jarak kurang lebih 0,3 – 0,4 nm. monomer-monomer yang terpisah oleh van der waals radius tersebut akan bergerak dan saling berdekatan satu sama lain dengan jarak 0,15 nm ketika polimerisasi dan menghasilkan pengerutan yang menyebabkan kebocoran mikro.25 kebocoran mikro bergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah faktor yang berkaitan dengan bahan dan faktor yang berkaitan dengan prosedur restoratif. kavitas dengan dimensi yang luas akan memperbesar risiko kebocoran mikro karena adanya peningkatan c-factor pada kavitas tersebut, hal itu sangat berkaitan dengan aplikasi resin komposit bulk fill pada kavitas yang luas.46 beberapa cara seperti modifikasi bahan komposit oleh produsen yang menghasilkan bahan bulk fill rendah shrinkage, tingkat translusensi yang sesuai, serta pengembangan curing unit harus diimplementasikan oleh dokter gigi melalui prosedur restoratif yang adekuat untuk mengurangi risiko kebocoran mikro.25 pengukuran kebocoran mikro kebocoran mikro berkaitan dengan adanya perubahan dimensi dari resin komposit yang akan menimbulkan celah pada tepi restorasi. the international organization for standardization (iso) telah memberikan pedoman dalam pengukuran kebocoran mikro termasuk standarisasi kualitas gigi, tipe preparasi kavitas, dan metode untuk mengevaluasi kebocoran mikro pada tepi restorasi.47 terdapat beberapa metode untuk melihat dan mengukur kebocoran mikro dalam studi in vitro diantaranya adalah udara bertekanan, analisis aktivasi neutron, penggumpalan radioaktif reversibel, radioisotopes, electrochemical, scanning electron microscope, aktivitas bakteri, dye penetration (penetrasi larutan), dan microcomputed tomography (µct).48 penetrasi agen larutan berwarna merupakan metode yang paling umum digunakan dalam evaluasi microleakage maupun nanoleakage. larutan yang banyak digunakan adalah 0,5% basic fuchsin, 2% metilen biru, dan 50% silver nitrate (agno3).47 metode yang digunakan adalah penetrasi metilen biru yang kemudian dilihat menggunakan stereo microscope dengan perbesaran 32 kali. penilaian kebocoran mikro diklasifikasikan menggunakan skor sesuai tabel 1.46 tabel 1. skor pengukuran kebocoran mikro pada permukaan enamel-komposit dan dentinkomposit. 49 skor kebocoran mikro 0 1 2 3 absence of infiltration infiltrasi mencapai 1/3 dari interface infiltrasi mencapai 2/3 dari interface infiltrasi mencapai lebih dari 2/3 dari interface 78 erma sofiani, fineza rovi | pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro tabel 2. kelebihan dan kekurangan metode pengukuran kebocoran mikro nama metode kelebihan kekurangan radioisotop e lebih representatif dalam mengevaluasi kebocoran mikro. menggunak an radiasi. acetate peel technique mudah, murah, dan cepat dalam mengukur kebocoran mikro. teknik yang sulit. threedimensional methods menghasilkan analisa tiga dimensi. sangat subjektif dalam mengukur kebocoran mikro. prosedur pemotongan yang akan mempengar uhi restorasi sampel. microcompu ted tomography hasil tiga dimensi yang sangat akurat dan menampilkan morfologi yang baik. tidak bisa menampilka n hasil histologi dari kebocoran mikro pada sampel in vitro. scanning electron microscopy menampilkan hasil kuantitatif yang akurat dan larutan silver yang digunakan sebagai marker lebih penetratif. biaya mahal prosedur pemotongan akan mempengar uhi restorasi sampel. mikroskop cahaya ekonomis dan mudah digunakan. prosedur terbatas pada perbesaran mikroskop cahaya prosedur pemotongan yang akan mempengar uhi restorasi sampel. kesimpulan lama penyinaran dan ketebalan berpengaruh terhadap kebocoran mikro dari resin komposit bulk fill. semakin lama proses penyinaran maka semakin besar pengerutan yang dihasilkan. material yang diaplikasikan pada ketebalan yang tinggi akan memberikan risiko kebocoran mikro yang besar. semakin tebal bahan komposit yang diaplikasikan, membutuhkan peningkatan lama penyinaran untuk mendapatkan hasil yang baik. daftar pustaka 1. zhou x, huang x, li m, peng x, wang s, zhou x. development and status of resin composite as dental restorative materials. j appl polym sci. 2019;136(44). 2. john j, daniel b, paneerselvam d, rajendran g. prevalence of dental caries, oral hygiene knowledge, status, and practices among visually impaired individuals in chennai, tamil nadu. int j dent. 2017;2017:1–6. 3. haugen hj, marovic d, par m, khai le thieu m, reseland je, johnsen gf. bulk fill composites have similar performance to conventional dental composites. ijms. 2020;21(14):5136(2-21). 4. jung j, park s. comparison of polymerization shrinkage, physical properties, and marginal adaptation of flowable and restorative bulk fill resinbased composites. oper dent. 2020;42(4):375–386. 5. dietschi d, shahidi c, krejci i. clinical performance of direct anterior composite restorations: a systematic literature review and critical appraisal. int j esthet dent. 2019;14(3):252–70. 6. soares cj, faria-e-silva al, p rm, vilela abf, pfeifer cs, tantbirojn d. polymerization shrinkage stress of composite resins and resin cements – what do we need to know? braz oral res. 2017. p. 31(suppl 1):e62. 7. abbasi m, moradi z, mirzaei m, kharazifard mj, rezaei s. polymerization shrinkage of five bulk-fill composite insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 79 resins in comparison with a conventional composite resin. jdent. 2019;15(6):365– 374. 8. gopinath v. comparative evaluation of microleakage between bulk esthetic materials versus resin-modified glass ionomer to restore class ii cavities in primary molars. j indian soc pedod prev dent. 2017;35(3):238–43. 9. alshaafi mm. factors affecting polymerization of resin-based composites: a literature review. saudi dent j. 2017;29(2):48–58. 10. nagi s, moharam l, zaazou m. effect of resin thickness, and curing time on the micro-hardness of bulk-fill resin composites.2015. j clin exp dent. 2015;7(5):e600–e604. 11. ide k, nakajima m, hayashi j, hosaka k, ikeda m, shimada y. effect of light-curing time on light-cure/post-cure volumetric polymerization shrinkage and regional ultimate tensile strength at different depths of bulk-fill resin composites. dent mater j. 2019;38(4):621–629. 12. jb g-h, gf r-r, m o-m, k r-s, j m-c, fj g-c, et al. effect of light curing in the marginal internal adaptation of bulk fill in class-i preparations. j dent treat oral care. 2018;3(1):1–8. 13. marí lg, gil ac, puy cl. in vitro evaluation of microleakage in class ii composite restorations: high-viscosity bulkfill vs conventional composites. dent mater j. 2019;38(5):721–727. 14. han s-h, park s-h. incremental and bulkfill techniques with bulk-fill resin composite in different cavity configurations. oper dent. 2018;43(6):631–641. 15. benetti a, havndrup-pedersen c, honoré d, pedersen m, pallesen u. bulk-fill resin composites: polymerization contraction, depth of cure, and gap formation. oper dent. 2015;40(2):190–200. 16. ferracane jl, hilton tj, stansbury jw, watts dc, silikas n, ilie n, et al. academy of dental materials guidance—resin composites: part ii—technique sensitivity (handling, polymerization, dimensional changes). dental materials. 2017;33(11):1171–1191. 17. alshaafi mm. factors affecting polymerization of resin-based composites: a literature review. the saudi dental journal. 2017;29(2):48–58. 18. chesterman j, jowett a, gallacher a, nixon p. bulk-fill resin-based composite restorative materials: a review. br dent j. 2017;222(5):337–344. 19. habib e, wang r, wang y, zhu m, zhu xx. inorganic fillers for dental resin composites: present and future. acs biomater sci eng. 2016;2(1):1–11. 20. singh h, kaur m, dhillon j, mann j, kumar a. evolution of restorative dentistry from past to present. indian j dent sci. 2017;9(1):38-43. 21. dara l, buchi d, mantena sr, k mv, rao db, chandrappa v. recent advances in dental composites: an overview. ijdm, 2019;1(2):48–54. 22. fugolin ap, de paula ab, dobson a, huynh v, consani r, ferracane jl, et al. alternative monomer for bisgma-free resin composites formulations. dental materials. 2020;36(7):884–892. 23. pratap b, gupta rk, bhardwaj b, nag m. resin based restorative dental materials: characteristics and future perspectives. japanese dental science review. 2019;55(1):126–138. 24. bociong k, szczesio a, krasowski, m., sokolowski, j. the influence of filler amount on selected properties of new experimental resin dental composite. open chemistry. 2018;16(1):905-911. 25. malarvizhi d, karthick a, mary nsgp, venkatesh a. shrinkage in composites: an enigma. journal of international oral health. 2019;11(5):244–248. 26. riva yr, & rahman sf. dental composite resin: a review. aip conference proceeding. 2019;2193(1):1-6. 27. khurshid z, zafar m, qasim s, shahab s, naseem m, abureqaiba a. advances in nanotechnology for restorative dentistry. materials. 2015;8(2):717–731. 80 erma sofiani, fineza rovi | pengaruh lama penyinaran dan ketebalan resin komposit bulk fill terhadap kebocoran mikro 28. nihei t. dental applications for silane coupling agents. journal of oral science. 2016;58(2):151–155. 29. van landuyt kl, snauwaert j, de munck j, peumans m, yoshida y, poitevin a, et al. systematic review of the chemical composition of contemporary dental adhesives. biomaterials. 2007;28(26):3757– 3785. 30. singh dr s, rajkumar dr b, gupta dr v, bhatt dr a. current photo-initiators in dental materials. international journal of applied dental sciences. 2017;3(1):17–20. 31. ilie n. comparative effect of selfor dualcuring on polymerization kinetics and mechanical properties in a novel, dentalresin-based composite with alkaline filler. running title: resin-composites with alkaline fillers. mater basel switz. 2018;11(1): 108. 32. lins r, vinagre a, alberto n, domingues mf, messias a, martins lr, et al. polymerization shrinkage evaluation of restorative resin-based composites using fiber bragg grating sensors. polymers. 2019;11(5): 859. 33. randolph ld, palin wm, leprince jg. composition of dental resin-based composites for direct restorations. in: miletic v, editor. dental composite materials for direct restorations [internet]. cham: springer international publishing; 2018. 34. maktabi h, balhaddad aa, alkhubaizi q, strassler h, melo mas. factors influencing success of radiant exposure in light-curing posterior dental composite in the clinical setting. am j dent. 2018;31(6):320–8. 35. milosevic m. polymerization mechanics of dental composites – advantages and disadvantages. procedia eng. 2016;149:313–20. 36. jain l, mehta d, meena n, gupta r. influence of light energy density, composite type, composite thickness, and postcuring phase on degree of conversion of bulk-fill composites. contemp clin dent. 2018;9(suppl 1):s147–52. 37. rezaei s, abbasi m, sadeghi mahounak f, moradi z. curing depth and degree of conversion of five bulk-fill composite resins compared to a conventional composite. open dent j. 2019;13(1):422–9. 38. abed ya, sabry ha, alrobeigy na. degree of conversion and surface hardness of bulkfill composite versus incremental-fill composite. tanta dent j. 2015;12(2):71–80. 39. katona a, barrak i. comparison of composite restoration techniques. interdiscip descr complex syst. 2016;14(1):101–15. 40. somani r, som nk, jaidka s, hussain s. comparative evaluation of microleakage in various placement techniques of composite restoration: an in vitro study. int j clin pediatr dent. 2020;13(3):264–8. 41. chandrasekhar v, rudrapati l, badami v, tummala m. incremental techniques in direct composite restoration. j conserv dent jcd. 2017;20(6):386–91. 42. department of restorative dentistry, são josé dos campos school of dentistry, univ estadual paulista, unesp, são josé dos campos, sp, brazil., fa f, t fc, assistant professor, department of restorative dentistry, são josé dos campos school of dentistry, unesp univ estadual paulista, são paulo, brazil. bulk fill resin restoration: clinical considerations and case report. int j dent oral sci. 2018;655– 60. 43. p ct, azhikodan n, peedikayil fc, kottayi s, n d. evaluation of effect of polymerization time on curing depth of various bulk fill composites-an in vitro study. j res dent. 2020 jan 16;7(3):45. 44. rengo c, goracci c, ametrano g, chieffi n, spagnuolo g, rengo s, et al. marginal leakage of class v composite restorations assessed using microcomputed tomography and scanning electron microscope. oper dent. 2015;40(4):440–8. 45. van ende a, de munck j, lise dp, van meerbeek b. bulk-fill composites: a review of the current literature. j adhes dent. 2017;19(2):95–109. 46. naghili a, yousefi n, zajkani e, ghasemi a, torabzadeh h. influence of cavity dimensions on microleakage of two bulkfill composite resins. pesqui bras em insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 81 odontopediatria e clínica integrada. 2019;19:1–8. 47. alhabdan aa. review of microleakage evaluation tools. j int oral health. 2017;9(4):141-5. 48. öztürk f, ersöz m, öztürk sa, hatunoğlu e, malkoç s. micro-ct evaluation of microleakage under orthodontic ceramic brackets bonded with different bonding techniques and adhesives. eur j orthod. 2016;38(2):163–9. 49. ertürk avunduk at, bağlar s. evaluation of microleakage in class v cavities prepared by different caries removal methods. microsc res tech. 2019;82(9):1566–74. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 103-110 103 research article analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital caecilia indarti*, lita agustia department of dental public health, faculty of dentistry, hang tuah university, jl. arief rahman hakim no. 32, gebang putih, sukolilo, surabaya, east java 60111, indonesia received date: september 6th, 2022; revised date: november 25th, 2022; accepted: december 8th, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.16077 abstract medical records (rm) as patient health information recorded assessment results, plans and implementation of care, treatment, integrated patient progress, as well as a summary of discharge for inpatients made by ppa. the results of medical record documents tracing at the nala husada dental hospital found that the rm was incomplete. this study aims to analyze the completeness of medical records filling that does not align with the accreditation standard of medical records management and health information (mrmik). this study identified causal factors as a follow-up to implementing patient medical record management. it was conducted quantitatively with a descriptive observational approach. data was obtained through observation, interviews, and documentation at the medical record unit during july 2022. the data was then processed and analyzed. based on the analysis of the completeness of the 80 file documents, 86.25% were found to be complete, and 13.75% were incomplete. incomplete medical record documents with good records were 17.4%, 16% important reports/records, 12.5% author authentication, and 8% patient identity. factors causing incomplete filling of medical record documents with the management element approach included human error (lack of understanding and discipline, limited number of staff, training), material and machine (limited equipment, various documents, unspecific evaluation monitoring review), and method (incomplete regulatory studies), monitoring and evaluation are not continuous), and money (not included in the program budget plan). recommendations to improve the completeness of medical record filling were training, sanctions, and rewards, regulation review, procedures for filling as per ppa requirements, and standardization of medical record forms. keywords: completeness; medical record; mrmik introduction successful treatment of the nala husada dental hospital is a health service facility that provides oral health services for treatment, recovery, and disease prevention through outpatient, emergency, and medical treatment services. nala husada dental hospital has not implemented hospital accreditation. standards of hospital accreditation were issued by the directorate general of health services, ministry of health of the republic of indonesia, first edition in april 2022, according to services related to a patient. one of the four groups * corresponding author, e-mail: caeciliaindarti@ymail.com of accreditation standards is hospital management. there are seven standards in hospital management, one of which is the management of medical records and health information /mrmik.1 medical records (rm) consist of documents of health care to patients. medical records are written evidence that records all patient health information, both electronic and paper-based medical records.2 the administration of medical records is an activation process that begins when the hospital services them and implements the care plan from the ppa. caecilia indarti, lita agustia | analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital 104 cases of complaints/claims against practices that are not satisfied with the service occur when the medical record is filled out incompletely. it cannot be used as evidence that the service provider has been carried out under the regulation procedure of medical record.3 medical record contains notes and documents regarding patient identity, examination, treatment, procedures, and other services given to patients. medical record completeness is a review of the contents of medical records related to documentation, treatment, and assessing the completeness of medical records. several similar studies that have been conducted showed that medical record filling is incomplete.4,5 hospitals are required to measure the completeness of the rm indicator by conducting an audit of medical record performances. the medical record documentation audit is carried out by the medical record sub-committee and or the person in charge of the medical record work unit.6 the problem of completeness of filling out medical record documents occurs in several hospitals. it can be seen from several previous studies. based on the initial survey, the problem was that the complete rm documentation was not implemented. monitoring and evaluating the completeness of medical record documents has been carried out, but the quantitative analysis is not yet specific and complete. to prepare for the accreditation of the nala husada dental hospital, it is necessary to monitor and evaluate by conducting an "analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital". the study results are expected to provide recommendations to improve the completeness of filling out medical record documents according to regulations. materials and methods the research was conducted quantitatively with a descriptive observational approach. analyzing each form contained in the medical record document aimed to analyze the completeness of medical records. researchers were assisted by medical records staff. the data collection method included observation, interviews, documentation, and a literature study. the object of this research was 412 outpatient medical records in july 2022. sampling was conducted using a random sampling technique based on the slovin formula. the samples employed the formula, namely, the research object (n) divided by 1 plus n multiplied by e squared. e is a 10% sample error. according to this formula, it can be determined that the calculation of minimal sampling was 80 documents. the inclusion criteria were all outpatients treated at integration and specialists’ clinics, while the exclusion criteria were patients who came with partial referrals at nala husada dental hospital. data analysis was conducted descriptively. the analysis results of filling out medical record documents were divided into 4 data tables: patient identification filling, important reports/notes filling, author authentication, and good recording. the results and discussion were analyzed based on the literature. factors causing incomplete filling of medical record documents were analyzed and concluded as well as recommendations for improvement. the data were then compiled, processed, analyzed, and presented in reports. result patient identification filling in this study concerns the patient's identity in the medical record documentation. identity sheets containing administrative data/patient social data can be a tool for specific patient identification, at least containing medical record numbers, registration numbers, patient names, gender, place, and date of birth.7 data on the completeness of filling in patient identification can be seen in table 1. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 103-110 105 table 1. patient identification no patient identity complete incomplete total % total % 1 name 74 92.5% 6 7.5% 2 medical record number 74 92.5% 6 7.5% 3 date of birth/age 74 92.5% 6 7.5% 4 gender 73 91% 7 9% average 74 92.5 % 6 7.5% the results of the quantitative analysis showed that the identification of 80 outpatient medical record documents at nala husada dental hospital revealed 92.5% complete and 7.5% incomplete. completeness of filling in the identity included the patient’s name, medical record number, and date of birth/age filled in with a total of 74 (92.5%), while 6 of them were incomplete (7.5%). most gender identities were complete (91%) important reports or notes important reports/records provide information about the actions doctors and nurses took in providing patient care; thus, they are expected to contain accurate, complete, and reliable information.8 incomplete medical record filling is influenced by several factors, one of which is limited time. besides, the doctors often miss several forms, so the medical records are not filled out.5 this important record includes data useful in monitoring the progress of a patient's disease. the data includes outpatient medical brief profile (prrmj), general consent, informed consent (ic), patient rights & obligations, informed consent (ic), surgery, ic local anesthesia, initial assessment, integrated patient progress record (cppt), and education. important report/note is presented in table 2. table 2. important reports/notes no important reports / note complete incomplete total % total % 1 prrmj 67 83.75% 13 16.25% 2 general consent 78 97.5% 2 2.5% 3 informed consent (ic) 63 78.75% 17 21.25% 4 patient rights & obligation 78 97.5% 2 2.5% 5 ic surgery procedure 59 73.75% 21 26.25% 6 ic local anastasi 60 75% 20 25% 7 initial assessment 58 72.5% 22 27.5% 8 cppt 76 95% 4 5% 9 education 63 79% 17 21% average 67 84% 13 16% based on the quantitative analysis of good reports/records, outpatient medical record documents at nala husada dental hospital were 84% complete and 16% incomplete. the highest percentage of completeness is general consent and patients' rights & obligations, with a total of 78 out of 80 medical record files or 97.5%. meanwhile, the lowest percentage is the initial assessment, with a total of 58 out of 80 files or 72.5%. author authentication author authentication is the doctor in charge of the patient or the nurse who handles the patient while providing care. doctors and nurses have the authority to fill in authentication, such as full name, signature, stamp, and initials, that can be caecilia indarti, lita agustia | analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital 106 identified in medical records or someone's code for computerization.9 author authentication complete data can be seen in table 3. table 3. author authentication no author authentication complete incomplete total % total % 1 doctor’s name 58 73% 22 27% 2 doctor signature 76 95% 4 5% 3 nurse’s name 70 87.5% 10 12.5% 4 nurse’s signature 77 96% 3 4% average 70 88% 10 12% based on the results of the quantitative analysis in table 3, the author's authentication of outpatient medical record documents at the nala husada dental hospital shows 88% complete and 12% incomplete. the highest percentage of completeness in filling in the author's authentication component is the nurse's signature component, with a total of 96%, while the doctor's signature is 95%. the lowest percentage is in the doctor's name component, with a total of 58 medical record files (73%) completed. good recording recording in the medical record file has to be carried out appropriately as the medical record file is an important aspect to be completed. correct recording should not contain scribbles, ex-types, or blank sections, and record the date and time of patients’ service. data on the completeness of a good record is presented in table 4. table 4. good recording no good recording complete incomplete total % total % 1 no scribbles 56 70% 24 30% 2 no ex type 79 99% 1 1% 3 no blank section 51 64% 29 36% 4 date and time 78 97.5% 2 2.5% average 66 82.6% 14 17.4% based on the analysis results, table 4 shows that, in 80 medical records, 17.4% of scribbles, ex-types, and blank sections were found in recording the time and date. on the other hand, 82.6% of good records found no scribbles, no ex type, no blank section, and the time and date of service. the table above indicates the lowest percentage is 36% blank section, 1% ex type, and 2.5% date and time incompleted. two medical record files during service hours are not recorded. the recapitulation of medical record audit documentation the analysis result of the completion of medical record documents in tables 1,2,3 and 4 are recapitulated and presented in table 5. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 103-110 107 table 5. recapitulation of completion of medical record documents no recapitulation of completion of medical record documents complete incomplete total % total % 1 patient identity 74 92% 6 8% 2 important reports/notes completion 67 84% 13 16% 3 author authentication 70 87.5% 10 12.5% 4 good record 66 82.6% 14 17.4% average 69 86.25% 11 13.75% based on the recapitulation of quantitative analysis of the completion of medical record documents conducted by researchers at the nala husada dental hospital, the total average of the completeness of patient identity data, important reports/notes, author authentication, and good recording is 69 (86.25%). in comparison, 11 (13.75%) are incomplete. the percentage of incompleteness in the good record component is 17.4%, important reports/notes are 16%, author authentication is 12.5% , and patient identity is 8%. if the results of the analysis of most of the medical record files are good, it can be concluded that the quality of the health services provided is good. discussion a similar quantitative analysis has been carried out by several researchers to identify incomplete recording of medical records, including identity review, authentication review, recording review, and reporting review.10 based on the data from table 1, the incompleteness of the patient's identity is caused by the limitation of the sticker printing tool in the patient identity stickers. the patient immediately received the service. however, after the treatment was given, the registration officer did not print the identity sticker. after the medical record was submitted and the completion was checked, the medical record officer submitted it to the registration section to print the patient's identity sticker. the importance of completing the patient's identity is still less understood. the patient identification component completion is crucial for the certainty of patient data recorded in the medical record documentation.8 completeness of patient identification in medical record documents as demographic information must be filled in completely. it will also determine that the services provided to patients are correct. when the patient's identity is not printed on a sticker, it can be written on the patient identity sheet. in table 2, the incompleteness of this important record is influenced by the limited time of doctors and nurses. it is also caused by the lack of understanding that this initial assessment is important in determining the action plan that will be given to the patient. doctors, dentists, and other health workers are responsible for the records and documents made in the medical record.11 the outpatient medical assessment form at least includes the patient's medical history, primary complaint, allergy history, physical examination, diagnosis, and action plan.12 based on the regulation of the minister of health of the republic of indonesia number 290/menkes/per/iii/2008, informed consent is an agreement given to a patient or family who has received a complete and detailed explanation regarding the medical action. informed consent is closely related to law and ethics. although services have been provided to patients in medical malpractice, it does not rule out the risk of prosecution. arrangements in medical completion will provide legal protection.12 law of republic indonesia number 29 /2004 concerning medical practice states that "every medical or dental action that a doctor or dentist will carry out on a patient must receive approval".14 chapter 5 of the indonesian medical ethics code issued by the mkek idi doctor (honorary council caecilia indarti, lita agustia | analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital 108 of medical ethics of the indonesian doctors association) states that “every act or advice that may weaken psychological or physical endurance must receive the consent of the patient/family and only given for the benefit of the patient and the wellbeing of the patient”. based on the data in table 3, many doctors' names are not included. the data only shows the doctors’ signatures due to irregularities in including the doctor's name as the patient's doctor. authentication is validating or proving a user's identity who is willing to access a particular file, application, or system. the authentication review ensures that the medical record data in the form of service date, full name, signature, initials of officers, or computer access in the form of codes and passwords are only held by the owner in initials (short name). if the doctor's name and signature are not completed, the examination and treatment cannot be accounted for by the doctor and can be considered ethical malpractice.8 furthermore, good recording in the medical record is important. writing notes in medical record documents must be corrected correctly, as shown in table 4. if there is a recording error in the medical record file, it will not be able to be deleted. it can only be underlined (crossed out) by putting the note on the side of the wrong part. lastly, it has to add the initials of the officer concerned.15 incomplete medical records can be an issue as they are sometimes the only records that can provide information related to the patient and the disease, examination and administration of drugs.16 medical record as a record of the patient's disease note is a file that must be filled in completely. the incomplete medical record file will result in missed notes and difficulty identifying the previous patient's health information. completeness of filling in the medical record file must be 100% for 1x24 hours after the patient leaves the hospital.13 the quality of health services can be achieved by assessing several aspects, one of which is the quality of the completeness of the medical record file.9 it aims to support orderly administration to improve the quality of hospital health services. to achieve this purpose, doctors and nurses must correctly complete the medical records in the hospital based on the results of medical procedures carried out.17 in analyzing the completeness of medical record documents, the researcher used a fundamental management approach using resources to achieve organizational goals effectively and efficiently. it aligns with previous research analyzing management elements in medical records management, namely man, machine, material, method, and money.18,19 each management element identifies factors that cause the problem. human resources in medical records management included doctors, nurses, and medical record staff. several factors can trigger the incompleteness of medical record documents, including a lack of understanding and discipline in completing the medical records. it occurs due to an excessive number of patients served and the workloads of consultant doctors in providing care to patients, nurses, and the limited number of medical record staff. based on the results of interviews, the medical records at the nala husada dental hospital were managed by three people, namely, 1 head of the medical record unit with a d3 medical record educational background and 2 people with a high school educational background who had never received training. there are no sanctions for doctors and nurses who do not complete medical record documents. thus, they are less likely to bring changes to follow-up improvements in completing medical record documents. furthermore, the incompleteness of medical record documents could be caused by the lack of discipline of medical personnel and paramedics to complete the patient's medical records. other factors included doctors prioritizing service provision, an excessive number of patients insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 103-110 109 that rushed the doctors’ action, the long duration of the laboratory examination result process to ensure better a more specific diagnosis, a limited number of doctors, lack of cooperation between nurses and medical record officers, and doctors being less concerned about medical records.20 in addition, the material factor causing the incompleteness of the medical record file was that there was only one sticker printing device for the patient's identity. besides, the staff did not get used to writing down manually the patient condition. doctors and nurses considered there were an excessive number of types of medical record documents to be filled in. moreover, it was not easy to take up much service and recapitulate data on the medical record files and report it on monitoring and evaluating results. based on the results of interviews with the medical record unit, the factor of the incomplete medical record files in terms of the method is that there had not been an evaluation and review of the regulations. guidelines, policies, sops, and unit programs have to be developed so that the implementation of the activities contained in the sops can run according to the provisions and can be sustainable. by evaluating the regulations, the monitoring and evaluation process can be carried out more specifically with tools such as a checklist sheet for assessing the completeness of medical record files. furthermore, budget funds need to be planned to support all processes so that medical record documents can be managed properly according to standard provisions. the submission of the required source of funds is contained in the unit program to support the needs for facilities and infrastructure used for medical record management and health information, such as the need for more sticker printers. currently, medical records at nala husada dental hospital are still paper-based and are in the process of transitioning into electronically recording medical records. these changes require the necessary socialization and training to support the completeness of filling out the correct medical records. in addition, facilities and infrastructure can support security and confidentiality in medical records management. conclusion the results of the analysis of incomplete filling of outpatient medical record documents at nala husada dental hospital can be concluded as follows: the percentage of completeness in filling in medical record documents was 86.25%. incomplete medical record documents were 17.4% good records, 16% important reports/records, 12.5% author authentication, and 8% patient identity. furthermore, factors causing the incomplete filling of medical record documents can be handled utilizing the management element approach, such as man, materials, machine, methods, and money. the completeness of the medical record is crucial since it records all patient health care information and communication between caregiving professionals. information failure due to incomplete medical record filling is one of the factors causing a patient safety incident. reference 1. dirjen pelayanan kesehatan kementerian kesehatan ri. standar akreditasi rumah sakit. 2021. jakarta. 2. wali rm, alqahtani rm, alharazi sk, quqandi sm. patient satisfaction with the implementation of electronic medical records in the western region, saudi arabia, 2018. bmc fam pract 21, 37 (2020). https://doi.org/10.1186/s12875-0201099-0 3. widjaja l, siswati s. model kuantitatif audit pendokumentasian terhadap kelengkapan rekam medis. jurnal manajemen informasi kesehatan indonesia. 2019;7(1):44-51. https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i1.220 https://doi.org/10.1186/s12875-020-1099-0 https://doi.org/10.1186/s12875-020-1099-0 https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i1.220 caecilia indarti, lita agustia | analysis of medical record document filling completeness of outpatient at nala husada dental hospital 110 4. sawitri ar. tinjauan kelengkapan pengisian rekam medis rawat inap di rs as-syifa bengkulu selatan indonesian journal of health information management 2022;2(1). https://doi.org/10.54877/ijhim.v2i1.39 5. gumilar ra, herfiyanti l, analisis kelengkapan rekam medis rawat inap di rumah sakit umum bina sehat bandung, cerdika: jurnal ilmiah indonesia. 2021;1(9):1192-1199 https://doi.org/10.36418/cerdika.v1i9.163 6. pusat pendidikan sumber daya manusia kesehatan badan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan. kementrian kesehatan ri, managemen mutu informasi kesehatan iii pendokumentasian rekam medis, edisi 2018 7. selvia js, gamasiano a, rossalina aw, rowinda dk. analisis kelengkapan pengisian berkas rekam medis pasien rawat inap rsup dr. kariadi semarang, arteri: jurnal ilmu kesehatan. 2019;1(1):50-56 https://doi.org/10.37148/arteri.v1i1.20 8. amy rs, deasy rd, noor y, nanda ar. tinjauan kelengkapan pengisian rekam medis rawat inap di rumah sakit as-syifa bengkulu selatan. indonesian journal of health information management (ijhim). 2022;2(1):1-6. https://doi.org/10.54877/ijhim.v2i1.39 9. wirajaya mkm, dewi nmuk. analisis ketidaklengkapan rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit dharma kerti tabanan. jurnal arsi. 2019;6(1) https://doi.org/10.7454/arsi.v6i1.3553 10. wiji l, retno a, isworo s. completeness of filling medical record documents on inpatient ward, ungaran general hospital-semarang, central java -indonesia. gsc biological and pharmaceutical sciences. 2020; 12:145-155. https://doi.org/10.30574/gscbps.2020.1 2.1.0209 11. menteri kesehatan ri. keputusan menteri kesehatan nomor 312 tahun 2020 tentang standar profesi perekam medis dan informasi kesehatan. 2020 12. safitri dm, fannya p, indawati l, dewi dr. tinjauan kelengkapan pengisian formulir assesment awal poli klinik pasien rawat jalan menggunakan metode iar. jurnal ilmiah indonesia. 2022;2(4):469-476 https://doi.org/10.36418/cerdika.v2i4.371 13. winarti ss. analisis kelengkapan pengisisan dan pengembalian rekam medis rawat inap rumah sakit. jurnal administrasi kesehatan indonesia.2013;1(4):345– 351. 14. menteri kesehatan ri. peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien 15. nisa srk, wulandari i, pramono a. analisis kuantitatif dokumen rekam medis pasien rawat jalan di puskesmas gondanglegi. health care media. 2021. 5(2) 16. famella nt. kelengkapan pengisian berkas rekam medis pelayanan medik rawat jalan dan patien safety di rsgmp umy. s1 thesis, universitas muhammadiyah yogyakarta. 2014. 17. peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 24 tahun 2022 tentang rekam medis 18. pamungkas f, hariyanto t, endah wu. identifikasi ketidaklengkapan dokumen rekam medis rawat inap di rsud ngudi waluyo wlingi. jurnal kedokteran brawijaya. 2015;28(2) https://doi.org/10.21776/ub.jkb.2015.0 28.02.2 19. ulfa hm. analisis unsur manajemen dalam pengolahan rekam medis di rumah sakit tni au lanud roesmin nurjadin. jurnal kesmas. 2018;1(1). https://doi.org/10.31539/kesmars.v1i1.146 20. rahmatiqa c, abdillah n, yuniko f. factors that cause compliance filling medical records in hospitals. international journal of community medicine and public health. https://doi.org/10.54877/ijhim.v2i1.39 https://doi.org/10.36418/cerdika.v1i9.163 https://doi.org/10.37148/arteri.v1i1.20 https://doi.org/10.54877/ijhim.v2i1.39 https://doi.org/10.7454/arsi.v6i1.3553 https://doi.org/10.30574/gscbps.2020.12.1.0209 https://doi.org/10.30574/gscbps.2020.12.1.0209 https://doi.org/10.36418/cerdika.v2i4.371 https://doi.org/10.21776/ub.jkb.2015.028.02.2 https://doi.org/10.21776/ub.jkb.2015.028.02.2 https://doi.org/10.31539/kesmars.v1i1.146 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 103-110 111 2020;7(10):4180-4184. https://doi.org/10.18203/23946040.ijcmph20204393 https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20204393 https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20204393 1 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kadar fosfor (p) dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal phosphorus (p) level of gingival crevicular fluid of peridontal diseases deasy kusuma ardiani1, agustin wulan suci dharmayanti2, peni pujiastuti3 1 mahasiswa sarjana kedokteran gigi, fakultas kedokteran gigi, universitas jember. 2bagian biomedik, fakultas kedokteran gigi, universitas jember. 3bagian periodonsia, fakultas kedokteran gigi, universitas jember korespondensi: deasy.ardiani@yahoo.com, agtinwlan.fkg@unej.ac.id abstrak latar belakang. prevalensi penyakit periodontal mencapai 60% pada masyarakat di indonesia. periodontitis kronis merupakan penyakit periodontal yang sering diderita masyarakat indonesia. penyebab utama dari penyakit periodontal adalah bakteri plak. perlekatan dan akumulasi bakteri plak akan mengakibatkan inflamasi dan kerusakan jaringan periodontal diikuti dengan peningkatan aliran cairan sulkus gingiva dan komponen cairan sulkus gingiva, salah satunya yaitu fosfor yang akan dikeluarkan melalui sulkus. fosfor yang larut bersama aliran darah berasal dari cairan sulkus gingiva yang meningkat dan dikeluarkan melalui sulcular epithelium. tujuan. mengetahui kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva pada penderita periodontitis kronis. metode. subyek penelitian merupakan pasien yang datang ke rsgm universitas jember yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. subyek penelitian yang memiliki kriteria inklusi dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan hasil pemeriksaan intra oral, yaitu penderita gingivitis dan periodontitis kronis. pengambilan sampel cairan sulkus gingiva dilakukan pada elemen gigi yang mengalami gingivitis atau periodontitis dengan paperpoint. tahap pengukuran kadar fosfor menggunakan spektrofotometer uv-vis dengan panjang gelombang 883 nm. hasil penelitian dianalisis dengan uji mann-whitney. hasil. terdapat perbedaan yang signifikan kadar fosfor pada penderita penyakit periodontal. kesimpulan. kadar fosfor pada penderita periodontitis kronis lebih tinggi daripada penderita gingivitis. kata kunci: cairan sulkus gingiva, fosfor, gingivitis, periodontitis kronis, penyakit periodontal abstract background. periodontal disease prevalence is 60% of indonesian. chronic periodontitis is one of periodontal disease which affects indonesian. the primary cause of periodontal disease is plaque bacterial. adhesions and accumulation of plaque bacterial can cause inflammation and destruction of periodontal tissue following by increasing of gingival crevicular fluid flows and releasing of its components, one of the components is phosphorus that excreted from sulcular epithelium. soluble phosphorus along blood stream is from gingival crevicular fluid which the flow is increased and excreted by sulcular epithelium. objective. to know phosphorus levels in the gingival sulcus of periodontal diseases subjects. methods. the subjects of the study were patients who came to the dental hospital university of jember and occupied as inclusion and exclusion criteria. the subjects who had inclusion criteria were divided into 2 groups based intra-oral examination; gingivitis and chronic periodontitis. gingival crevicular fluid sampling was taken from tooth with gingivitis or chronic periodontitis using paperpoint. phosphorus level measurement used uv-vis spectrophotometer with a wavelength of 883 nm. the results were analyzed by mann-whitney test. results. there was significant different between phosphorous level in gingival l crevicular fluid of periodontal diseases subjects. conclusion. phosphorus level in the gingival crevicular fluid of chronic periodontitis was higher than gingivitis. keywords: chronic periodontitis, gingival crevicular fluid, gingivitis, periodontal disease, phosphorus mailto:deasy.ardiani@yahoo.com mailto:agtinwlan.fkg@unej.ac.id 2 deasy kusuma a | kadar fosfor (p) dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal pendahuluan penyakit periodontal dan karies gigi merupakan penyebab utama kehilangan gigi. prevalensi penyakit periodontal meningkat tiap tahunnya, berdasarkan hasil laporan survei kesehatan rumah tangga (skrt) depkes ri 2008 menunjukkan prevalensinya sebesar 46% dari populasi indonesia1, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 60% dari populasi masyarakat di indonesia2. penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. gingivitis merupakan inflamasi pada jaringan lunak gingiva, apabila perluasan lesi sudah mencapai tulang alveolar disebut dengan periodontitis. periodontitis kronis merupakan penyakit periodontal yang sering diderita masyarakat indonesia. periodontitis kronis merupakan bentuk umum dari penyakit periodontal destruktif pada orang dewasa yang meluas ke ligamen periodontal dan mengakibatkan kerusakan tulang3, 4. penyebab utama dari penyakit periodontal adalah bakteri plak. plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkem-bang biak diatas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. plak akan melakukan kolonisasi dan multiplikasi pada gingiva sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi5. perlekatan dan akumulasi bakteri plak akan mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal tahap awal. pada awal terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan periodontal diikuti dengan peningkatan aliran cairan sulkus gingiva dan komponennya6. cairan sulkus gingiva merupakan pertahanan lokal terpenting pada sulkus gingiva dan memiliki komponen imun yang lebih kompleks (berasal dari host dan bakteri) bila dibandingkan dengan saliva. saat terjadi peningkatan aliran cairan sulkus gingiva, komponen dari cairan ini juga mengalami peningkatan, salah satunya yaitu fosfor yang akan dikeluarkan melalui sulkus7. dalam keadaan normal cairan sulkus gingiva mengandung fosfor kurang lebih 1.3 ±1.0 mmol/lit. cairan sulkus gingiva terdiri dari bahan serum, mediator inflamasi dan antibodi terhadap bakteri plak. komposisi cairan sulkus gingiva merupakan hasil interaksi antara biofilm bakteri yang melekat pada permukaan gigi dan sel-sel jaringan periodontal9. cairan sulkus gingiva lebih spesifik dan sensitif dibanding saliva karena tidak terpengaruh oleh kapasitas buffer sehingga bisa menjadi indikator yang berguna dalam menentukan kerusakan serta keparahan penyakit periodontal7, 10. fosfor yang larut bersama aliran darah berasal dari cairan sulkus gingiva yang meningkat dan keluar ke melalui sulcular epithelium. mayoritas fosfor di dalam tubuh terdapat dalam bentuk ion fosfat (po4) fosfor berperan penting dalam proses remineralisasi tulang dan gigi serta menjaga keseimbangan asam basa6,11. fosfor dalam cairan sulkus gingiva tidak berbentuk bebas, tetapi berbentuk ikatan fosfat, kemungkinan ikatan fosfat di dalam cairan sulkus gingiva yaitu alkaline phosphatase. alkaline phosphatase (alp) di dalam cairan sulkus gingiva menunjukkan adanya kerusakan tulang yang berasal dari ligamen periodontal, tulang alveolar maupun sementum12. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal. 3 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 metode penelitian jenis penelitian ini merupakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. penelitian ini mendapatkan persetujuan dari komisi etik fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada, yogyakarta. subyek penelitian merupakan pasien yang datang ke rsgm universitas jember. subyek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. kriteria inklusi dalam penelitian yaitu subyek penelitian berusia antara 35-45 tahun, berjenis kelamin perempuan dan laki-laki, tidak sedang hamil atau menstruasi, tidak menggunakan gigi tiruan, tidak memiliki kelainan sistemik dan tidak merokok. kriteria eksklusi meliputi subyek tidak bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian, terdapat karies pada gigi yang akan diambil cairan sulkus gingivanya, menggunakan obat kumur, antibiotik, atau obat-obatan minimal 6 bulan terakhir dan sedang dalam perawatan periodontal 6 bulan terakhir. subyek penelitian harus mengisi dan menyetujui informed consent. subyek penelitian dilakukan pemeriksaan intra oral, yaitu menghitung jumlah gigi yang tersisa pada rongga mulut (minimal 20 gigi tersisa), mengukur derajat kehilangan perlekatan, perdarahan saat probing, kedalaman poket dan foto rontgen untuk mengetahui adanya resorpsi tulang alveolar. penentuan tingkat keparahan penyakit periodontal yaitu gingivitis atau periodontitis kronis pada individu didasarkan pada periodontal indeks (pi) modifikasi russel. subyek penelitian yang memiliki kriteria inklusi dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan hasil pemeriksaan intra oral, yaitu penderita gingivitis dan periodontitis kronis. kelompok gingivitis yaitu subyek penelitian dengan skor periodontal indeks (pi) 0-0,7, tidak adanya poket periodontal, kedalaman probing tidak lebih dari 3 mm, tidak ada perdarahan saat probing, serta pada gambaran radiografis tidak ada resorpsi tulang alveolar. kelompok periodontitis kronis yaitu subyek penelitian dengan skor periodontal indeks (pi) 0,7-8,0, kedalaman probing lebih dari 3 mm, adanya kehilangan perlekatan dan hasil radiografi terjadi resorpsi tulang alveolar. pengambilan sampel cairan sulkus gingiva dilakukan pada elemen gigi yang mengalami gingivitis atau periodontitis dengan paperpoint. sebelumnya, gigi dibersihkan dengan cotton roll steril untuk menghilangkan plak supragingiva. paperpoint steril dimasukkan ke dalam poket dan dibiarkan selama 60 detik. paperpoint yang telah diaplikasikan dalam sulkus gingiva dimasukkan dalam eppendorf tube 0,5 ml dan ditutup serta diberi solatip paraffin dimasukkan dalam ice box dan disimpan dalam deep freezer dengan suhu -30oc untuk siap diuji kadar fosfor. eppendorf tube yang berisi paperpoint dikondisikan pada suhu ruang 18-25°c. eppendorf disentrifugasi dengan kecepatan 2200 rpm selama 20 menit pada suhu ruang 18-25°c. kemudian ujung eppendorf dilubangi dengan jarum spuit steril dan eppendorf tube tersebut dimasukkan pada eppendorf berukuran 1,5 ml. paperpoint dalam eppendorf tube diberi 0,02 m pbs ph 7,0-7,2 sebanyak 50µl dan diamkan 5 menit lalu disentrifugasi dengan kecepatan 2200 rpm selama 20 menit. larutan yang tertampung pada eppendorf 1,5ml ditambah dengan 100µl distilled water, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2200 rpm selama 20 menit. 4 deasy kusuma a | kadar fosfor (p) dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal tahap pengukuran kadar fosfor menggunakan spektrofotometer uv-vis dengan panjang gelombang 883 nm. ada 2 tahap dalam pengukuran kadar fosfor yaitu pembuatan larutan standar fosfor dan penyiapan sampel untuk penentuan kadar fosfor. dalam tahap pembuatan larutan standar fosfor yaitu larutan standard fosfor (merck) masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml diletakkan ke dalam tabung reaksi kemudian mengencerkan sampai volume mencapai 10 ml. setelah itu, larutan tersebut ditambahkan 1 ml larutan ammonium molibdat (h24mo7n6o24) dan 0,4 ml larutan timah klorida (sncl2) 0,25%. kemudian diukur absorbansi larutan standar untuk mendapatkan kurva standard (tabel 1 dan gambar 1). tabel 1. konsentrasi dan absorbansi larutan standard panjang gelombang sample id konsentrasi (mg/ml) nilai ord. 883 blk. 0.0000 -0.0000 883 std1. 0.4000 0.0933 883 std2. 0.8000 0.1924 883 std3. 1.2000 0.2914 883 std4. 1.6000 0.3821 833 std5. 2.0000 0.4594 gambar 1. kurva kalibrasi larutan standard keterangan re: residual error cc: correlation coefficient 5 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 dalam tahap persiapan sampel untuk penentuan kadar fosfor, semua sampel cairan sulkus gingiva ditambahkan dengan aquabides sampai volume 1,5 ml, kemudian dihomogenkan menggunakan vortex. larutan cairan sulkus gingiva tersebut diambil 1 ml, ditambah 4 ml aquadest steril dan 5 ml larutan pereaksi fosfor. larutan pereaksi ini merupakan pewarna dari fosfor yang tersusun atas arkorbit acid, h2so4, amonium molibdat (h24mo7n6o24) dan air. kemudian larutan sampel dibiarkan selama 15 menit dalam suhu ruang dengan tujuan terjadi reaksi antara fosfor dengan ammonium molibdat membentuk asam fosfomolibdat yang bila terinduksi oleh timah klorida akan menghasilkan warna biru. perubahan warna biru dari larutan sampel diperkirakan larutan mengandung fosfor, dimana intensitas perubahan warna biru tersebut berbanding lurus dengan jumlah fosfor yang terkandung dalam larutan. larutan sampel yang berwarna biru dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer untuk diukur kadar fosfornya sesuai dengan larutan standard. spektrofotometer akan mengukur absorbansi dari perubahan warna biru dari larutan sampel tersebut. spektrofotometer yang digunakan yaitu spektrofotometer uv/vis 21d dengan panjang gelombang 883 nm. nilai absorbansi yang keluar dimasukkan ke dalam persamaan linier yang diperoleh dari kurva kalibrasi larutan standard fosfor yaitu y=2.7352e03+2.3466e-01*x. hasil yang diperoleh dari persamaan tersebut merupakan kadar fosfor dalam bentuk fosfat, untuk memperoleh nilai kadar fosfor hasil tersebut harus dikonversikan dengan persamaan p= 0,3261 po4. hasil penelitian dianalisis dengan uji mann-whitney u. hasil penelitian tabel 1. rata-rata dan simpangan baku kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva pada penderita gingivitis dan periodontitis (ppm) kelompok n mean ± sd gingivitis 13 35,47 ± 21,29 periodontitis 13 58,22 ± 13,41 keterangan: n : jumlah sampel mean : rata-rata sd : simpangan baku tabel 2. hasil uji statistik mann-whitney u kelompok mann-whitney u sig. gingivitis dan periodontitis 24,000 0,001 6 deasy kusuma a | kadar fosfor (p) dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal tabel 3. data sampel penelitian kode wave length pd pi elemen p kelompok d5 883 1 2 61,3 gingivitis c10 883 1 2 28,98 gingivitis c5 883 3 2 30,01 gingivitis d4 883 2 1 28,82 gingivitis c3 883 3 2 6,75 gingivitis a3 883 1 2 23,11 gingivitis b3 883 2 2 6,55 gingivitis a10 883 3 2 56 gingivitis d3 883 2 2 3,76 gingivitis b2 883 1 1 54 gingivitis a11 883 2 2 54,6 gingivitis a13 883 3 2 54,6 gingivitis b7 883 2 2 54 gingivitis c1 883 3,5 4 38,19 periodontitis b8 883 4 6 67 periodontitis c8 883 3,5 4 30,92 periodontitis a5 883 4 6 70 periodontitis a9 883 4 4 70 periodontitis d10 883 5 6 67 periodontitis c4 883 5 6 64 periodontitis a8 883 3 4 63 periodontitis e11 883 4 6 65 periodontitis b6 883 3,5 4 65,6 periodontitis c12 883 3 4 39,12 periodontitis a6 883 3,5 4 64 periodontitis d2 883 3,5 4 53,03 periodontitis 7 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 hasil penelitian menunjukkan kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva pada penderita periodontitis kronis lebih tinggi dari pada penderita gingivitis (tabel 1). hasil uji statistik mann-whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna pada rata-rata kadar fosfor penderita periodontitis kronis dan gingivitis (tabel 2). pembahasan hasil penelitian menunjukkan kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva pada penderita periodontitis kronis lebih tinggi dari pada penderita gingivitis. apabila dikonversikan dalam satuan mmol/lit, hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar fosfor penderita gingivitis dan penderita periodontitis lebih tinggi dari kadar fosfor normal di cairan krevikular gingiva yaitu 1,15 mmol/lit dan 1,88 mmol/lit, dimana kadar fosfat normal dalam cairan krevikular gingiva yaitu 1,3 mmol/lit atau kalau dikonversikan menjadi kadar fosfor yaitu 0,424 mmol/lit. hal ini kemungkinan disebabkan karena pada periodontitis sudah mengalami kerusakan sampai jaringan keras tulang alveolar, sedangkan gingivitis hanya sebatas jaringan lunak gingiva. kerusakan yang sudah mencapai tulang alveolar memicu kelarutan komponen anorganik lebih banyak, salah satunya fosfor yang akan dikeluarkan melalui sulkus13. hasil penelitian kadar fosfor pada gingivitis dan periodontitis menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. hal ini menunjukkan bahwa kadar fosfor pada periodontitis kronis lebih banyak dibandingkan dengan gingivitis akibat adanya kerusakan yang sudah mencapai tulang alveolar. pada saat inflamasi, terjadi pembesaran ruang antar kedua epitel yaitu junctional dan sulcular epithelium11. komponen anorganik yang dikeluarkan menyebabkan kenaikan laju aliran cairan sulkus gingiva. laju aliran cairan sulkus gingiva dapat meningkat 30 kali lipat pada penderita periodontitis dibandingkan dengan sulkus yang masih sehat7. laju cairan sulkus gingiva berkaitan dengan tingkat inflamasi gingiva dan berkisar antara 0,05-0,20 ml per menit dan total aliran cairan sulkus gingiva adalah antara 0,5 dan 2,4 µl per hari14. cairan sulkus gingiva merupakan cairan yang berasal dari pembuluh darah gingiva. peningkatan volume cairan sulkus gingiva tersebut juga berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada gingiva. hal ini disebabkan produk bakteri yaitu lipopolisakarida berpenetrasi melalui juntional ephitelium yang kemudian memicu terbentuknya sitokin inflamasi seperti il-1 dan pge2 yang dapat meregulasi terjadinya inflamasi dan menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga cairan plasma berdifusi ke jaringan dan pada akhirnya menembus sulcular epithelium yang semipermeabel dalam jumlah yang banyak. hal ini kemungkinan mengakibatkan cairan sulkus gingiva dan salah satu komponennya yaitu fosfor meningkat saat terjadi inflamasi, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu diagnostic marker penyakit periodontal11. hasil penelitian menunjukkan ion yang terdeteksi di spektrofotometer dalam bentuk ikatan fosfat (po4). untuk mendapatkan hasil dalam bentuk fosfor harus dikonversikan terlebih dahulu yaitu p= 0,3261 po4. fosfor dalam cairan sulkus gingiva kemungkinan tidak berbentuk bebas, tetapi berbentuk ikatan fosfat 8 deasy kusuma a | kadar fosfor (p) dalam cairan sulkus gingiva pada penderita penyakit periodontal diantaranya acid phosphatase, alkaline phosphatase dan pyrophosphatase. data penelitian ini memiliki ph yang basa (data tidak dipublikasikan), sehingga kemungkinan ikatan fosfat yang dilepaskan adalah alkaline phosphatase (alp). alkaline phosphatase bekerja optimal pada ph yang basa karena terdapat gugus oh pada rantai kimianya. ph berkisar antara 8 sampai dengan 10, tetapi sel-sel hidup hanya mampu mencapai ph dibawah 815. kehadiran alp dalam saliva dan cairan sulkus gingiva biasanya menunjukkan peradangan dan atau kerusakan jaringan periodontal yang berhubungan dengan kedalaman poket serta berperan penting dalam proses kalsifikasi. alkaline phosphatase dalam saliva menunjukkan adanya kalkulus, sedangkan pada cairan sulkus gingiva menunjukkan adanya kerusakan tulang yang berasal dari jaringan periodontal12. ishikawa dan cimasoni menunjukkan bahwa tingkat enzim dalam cairan sulkus gingiva adalah 3 kali lebih tinggi daripada di serum dan korelasi yang signifikan ditunjukkan antara konsentrasi alp di cairan sulkus gingiva dan kedalaman poket16. selain itu, hasil penelitian menunjukkan data tidak homogen. hal ini kemungkinan karena waktu yang diperlukan paperpoint untuk menyerapcairan sulkus gingiva berbeda-beda.setiap paperpoint ada yang mencapai titik puncak penyerapan ada yang tidak, hal ini nantinya akan mempengaruhi konsentrasi dari cairan sulkus gingiva. data yang tidak homogen bisa juga disebabkan karena ketidaktepatan alat ukur pada saat pengenceran yang disebabkan oleh pengkalibrasian alat yang tidak rutin dan berkala. kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa kadar fosfor pada penderita periodontitis kronis lebih tinggi dari pada gingivitis. kadar fosfor dalam cairan sulkus gingiva penderita penyakit periodontal lebih tinggi dari pada kadar normal fosfor dalam cairan sulkus gingiva. akan tetapi, penelitian perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pengambilan cairan sulkus gingiva dengan paperpoint guna mendapatkan volume yang sama sehingga hasil penelitian lebih seragam atau homogen. daftar pustaka 1. suci, dharmayanti, a. w., 2012. deoxypyridinoline level in gingival crevicular fluid as alveolar bone loss biomarker in periodontal disease. dental journal, 45(2): 102-106. 2. petersen, p. e. continuous improvement of oral health in the 21st century – the approach of the who global oral health programme. the world oral health report 2003. 3. albandar, j. m. dan rams, t. e., 2000 2002. global epidemiology of periodontal diseases: an overview. periodontology, 29(1): 7-10. 9 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 4. dabra, sarita., singh, preetinder. 2012. evaluating the levels of salivary alkaline and acid phosphatase activities as biochemical markers for periodontal disease: a case series. dental research journal, 9(1): 41-45. 5. teughels, wim.,durukan, andaç., ozcelik, onur., pauwels, martine., quirynen, marc., haytac, mehmet cenk. 2013. clinical and microbiological effects of lactobacillus reuteri probiotics in the treatment of chronic periodontitis: a randomized placebo-controlled study. journal of clinical periodontology, 40(11): 1025-1035. 6. newman, m. g., takei, h. h., dan carranza, f. a. carranza’s clinical peridontology ninth edition. philadelphia. 2002. 7. uitto, v. 2000 2003. gingival crevice fluid– an introduction. periodontology, 31: 9-11. 8. beltrami, d. gingival crevicular fluid. 2007. (online). (http://flipper.diff.org/app/items/379, diakses tanggal 12 september 2015) 9. singh, pritma., gupta, narender dev., bey, afshan., dan khan, saif. 2014. salivary tnf-alpha: a potential marker of periodontal destruction. journal of indian society of periodontology, 18(3): 306-310. 10. rahnama, mansur.,czupkallo, lukasz., kozicka-czupkallo, maryla., lobacz, michal. 2014. gingival crevicular fluid-composition and clinical importance in gingivitis and periodontitis. journal public health, 124(2): 96-98. 11. reddy, s. essentials of clinical periodontology and periodontics. new delhi: jaypee brothers publishers. 2008. 12. taba, m., janet, kinney., amy, s., kim, william., v, giannobile. 2005. diagnostic biomarkers for oral and periodontal diseases. dental clinics of north america, 49(3): 551-571. 13. di rienzo, j. m. dan mckay, t. l. identification and characterization of genetic cluster groups of actinobacillusactinomycetemcomitans isolated from the human oral cavity. 2014. journal of clinical microbiology, 32(1): 75-81. 14. alfaqeeh, s. a. dan anil, s. 2014. gingival crevicular fluid flow rate and alkaline phosphatase level as potential marker of active tooth movement. oral health dental manag, 13(2): 45863. 15. pushparani, d. s. 2015. high acid phosphatase level in the gingival tissues of periodontitis subjects. journal of basic and clinical pharmacy, 6(2): 59-63. 16. usal, berrin., saygun, isil., daltaban, ozlem., bal, belgin., dan bolu, erol. 2008. the relationship between periodontal status and alkaline phosphatase levels in gingival crevicular fluid in men with hypergonadotropic hypogonadism. yonsei medical journal, 49(1): 71-78. http://flipper.diff.org/app/items/379,%20%20diakses http://flipper.diff.org/app/items/379,%20%20diakses http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kinney%20j%5bauth%5d http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kim%20as%5bauth%5d http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kim%20as%5bauth%5d http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=giannobile%20wv%5bauth%5d 9 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 perbandingan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas) comparison of pain perception after activating removable appliance in patients at unjani dental hospital with visual analog scale (vas) metode marlin himawati1, hillda herawati2 1dosen program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran universitas jenderal achmad yani 2dosen program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran universitas jenderal achmad yani korespondensi: marlin.himawati@lecture.unjani.ac.id abstrak latar belakang: rasa sakit sering terjadi selama perawatan ortodontik. rasa sakit bukan suatu masalah yang besar, tetapi hampir 10% pasien menghindari perawatan ortodontik, karena pasien memiliki pengalaman rasa sakit. pasien yang merasa takut akan sakit dapat langsung menghindar dari perawatan ortodontik. tujuan: mengetahui perbedaan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas). desain penelitian: jenis penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan post test. subyek penelitian adalah pasien di rsgm unjani cimahi sebanyak 5 orang tiap kelompok perlakuan, diambil dengan cara purposive sampling. variabel pengaruh yakni aktivasi alat labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. variabel terpengaruh yakni persepsi rasa sakit. data hasil penelitian dianalisis dengan uji kruskall wallis dengan tingkat kemaknaan 0,05. hasil: menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada ketiga variabel yang diuji dengan p=0,439. kesimpulan: tidak terdapat perbedaan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas), terutama pada ketiga varibel yang diuji, yaitu labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. kata kunci: persepsi rasa sakit, metode visual analog scale (vas), alat ortodonti lepasan abstract background: pain is often occurred when orthodontic treatment. pain is not the big problem, but almost 10% patients avoid orthodontic treatment, because patients had experience of pain. patients who were afraid of pain, would avoid the orthodontic treatment. aims: determine the differention of pain perception after activating removable appliance in patients at unjani dental hospital with visual analog scale (vas). methods: this research was quasy experimental with post test design. the subjects were 5 dental patients per treatment groups taken by purposive sampling at unjani dental hospital cimahi. the influence variable are activation of labial bow, expansion screw, and c retractor. the affected variable is paint perception. data were analyzed using kruskall wallis test with significance level of 0.05. result: the result showed there is no significant differentiation on all three variables (p=0.439) conclusion: there 10 marlin himawati, hillda herawati | perbandingan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas) is no differentiation of pain after activation removable orthodontic appliance in the patients at unjani dental hospital with visual analog scale (vas), especially labial bow, expantion screw and c retractor. keywords: pain perception, visual analog scale (vas), removable orthodontic appliance oral seseorang yang buruk dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikis dan sosial, berhubungan dengan kualitas hidup.5 persepsi rasa sakit sangat sulit untuk diukur. tiap individu memiliki ukuran rasa sakit yang berbeda-beda, walaupun diberikan beban gaya ortodontik yang sama.4 metode visual analog scale (vas) merupakan pengukuran yang valid, reliable, sensitif, sederhana,reproducible, dan universal dalam menilai rasa sakit. rasa sakit tidak dapat dinilai hanya dengan metode verbal karena rasa sakit merupakan sensasi yang kompleks dan bervariasi satu individu dengan yang lain, sehingga untuk memperoleh keobjektivan pengukuran rasa sakit akan sangat sulit.6 pengukuran persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan masih banyak belum diteliti, padahal pasien harus diterangkan mengenai rasa sakit yang dirasakan setelah aktivasi komponen alat ortodontik lepasan. alat ortodontik lepasan membutuhkan kooperatif dari pasien. tujuan penelitian adalah mengetahui perbedaan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas). metode penelitian jenis penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimental dengan rancangan penelitian post test. pengambilan sampel pendahuluan gigi yang berjejal, tidak beraturan, dan protrusi merupakan masalah bagi beberapa individu sejak jaman dahulu. usaha untuk memperbaiki kelainan gigi berjejal, tidak beraturan dan protrusi yaitu dengan perawatan ortodontik. tujuan perawatan ortodontik modern adalah memperoleh hubungan oklusi dan gigi yang baik, estetik wajah dan hasil perawatan yang stabil dalam jangka panjang. perawatan ortodontik juga dapat menimbulkan beberapa dampak yang signifikan terhadap jaringan keras dan lunak di dalam rongga mulut. risiko intraoral yang mungkin terjadi adalah demineralisasi enamel atau karies, trauma, reaksi pulpa, resorpsi akar, penyakit periodontal dan rasa sakiti1,2 rasa sakit sering terjadi selama perawatan ortodontik. sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami rasa sakit. rasa sakit bukan suatu masalah yang besar, tetapi hampir 10% pasien menghindari perawatan ortodontik, karena pasien memiliki pengalaman rasa sakit. pasien yang merasa takut akan sakit dapat menghindar dari perawatan ortodontik.3 rasa sakit selama perawatan ortodontik dapat disebabkan oleh proses pressure, iskemik, inflamasi dan edema. respon rasa sakit dapat dihubungkan dengan tertekannya ligamen periodontal.4 persepsi rasa sakit akibat perawatan ortodontik juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang yang dikaitkan dengan kesehatan oral. kesehatan 11 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 dengan metode purposive sampling di rsgm unjani cimahi. jumlah sampel penelitian 5 orang tiap kelompok perlakuan. kriteria inklusi yakni bersedia menjadi subjek penelitian, berusia 16 sampai 35 tahun, menggunakan alat ortodontik lepasan yang telah disahkan oleh dokter pembimbing (dokter spesialis ortodontik), tidak memiliki karies dan apabila terdapat karies, sudah ditambal, serta tidak memiliki infeksi di rongga mulut. kriteria eksklusi yakni pasien yang mengkonsumsi obat antisakit rutin, memiliki penyakit sistemik, merokok dan bagi perempuan yang sedang mengalami menstruasi. variabel pengaruh yaitu aktivasi alat ortodontik lepasan, yaitu penyesuaian komponen aktif alat ortodontik lepasan, seperti labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. variabel terpengaruh yaitu persepsi rasa sakit, diukur dengan metode visual analog scale (vas). pengukuran visual analog scale berbentuk garis horizontal yang berukuran 10 cm, dan memiliki titik awal dan titik akhir yang menggambarkan gejala yang saling berlawanan, misalkan titik awal sebagai titik nol yang menggambarkan “tidak sakit”, sedangkan titik akhir sebagai titik 10 yang menggambarkan tingkat “paling sakit”. (gambar 1) 13 marlin himawati, hillda herawati │perbandingan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien dari rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas) persepsi rasa sakit, diukur dengan metode visual analog scale (vas). pengukuran visual analog scale berbentuk garis horizontal yang berukuran 10 cm, dan memiliki titik awal dan titik akhir yang menggambarkan gejala yang saling berlawanan, misalkan titik awal sebagai titik nol yang menggambarkan “tidak sakit”, sedangkan titik akhir sebagai titik 10 yang menggambarkan tingkat “paling sakit”. (gambar 1) tidak sakit paling sakit gambar 1. pengukuran visual analog scale (vas)7 penelitian dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan telah menandatangani formulir informed consent. subjek penelitian diterangkan secara singkat mengenai prosedur penelitian. subjek penelitian dianjurkan menggunakan alat ortodontik lepasan, yang telah diaktivasi pada komponen alat aktifnya, tergantung dari variabel yang akan diteliti. subjek penelitian diinstruksikan menggunakan alat ortodontik lepasan setelah makan malam, dan menggunakan alat selama 8 jam, misalkan pk 20.00 sampai 05.00 atau pk 21.00 sampai 6.00. subjek langsung mengisi lembar vas (visual analog scale) setelah menggunakan alat ortodontik lepasan yang telah diaktivasi selama 8 jam. hasil uji normalitas variabel, ternyata menunjukkan aktivasi menggunakan labial bow dan skrup ekspansi tidak berdistribusi normal, hanya pada c retraktor yang memiliki hasil dengan distribusi normal. adanya dua variabel yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji kruskall gambar 1. pengukuran visual analog scale (vas)7 peneliti an dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan telah menandatangani formulir informed consent. subjek penelitian diterangkan secara singkat mengenai prosedur penelitian. subjek penelitian dianjurkan menggunakan alat ortodontik lepasan, yang telah diaktivasi pada komponen alat aktifnya, tergantung dari variabel yang akan diteliti. subjek penelitian diinstruksikan menggunakan alat ortodontik lepasan setelah makan malam, dan menggunakan alat selama 8 jam, misalkan pk 20.00 sampai 05.00 atau pk 21.00 sampai 6.00. subjek langsung mengisi lembar vas (visual analog scale) setelah menggunakan alat ortodontik lepasan yang telah diaktivasi selama 8 jam. hasil uji normalitas variabel, ternyata menunjukkan aktivasi menggunakan labial bow dan skrup ekspansi tidak berdistribusi normal, hanya pada c retraktor yang memiliki hasil dengan 12 marlin himawati, hillda herawati | perbandingan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas) distribusi normal. adanya dua variabel yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji kruskall wallis, yang merupakan uji beda non parametrik pada variabel yang lebih dari dua. hasil penelitian hasil penelitian menunjukkan deskripsi karakteristik subyek penelitian seperti pada tabel 1 sebagai berikut: tabel 1 karakteristik responden no karakteristik responden keterangan frekuensi (f) persentase (%) 1. jenis kelamin a. laki-laki b. perempuan 3 12 20 80 2. macam alat yang diaktivasi a. labial bow b. skrup ekspansi c. c retractor 5 5 5 33,33 33,33 33,33 uji normalitas variabel perlu dilakukan sebelum melakukan analisis perbandingan secara parametrik. data penelitian hanya berjumlah kurang sama dengan 5 masingmasing kelompok sehingga digunakan uji shapiro-wilk, tersaji pada tabel 2. tabel 2. uji normalitas variabel menggunakan shapiro-wilk no variabel z p kesimpulan 1 labial bow 0,771 0,046 tidak normal 2 skrup ekspansi 0,813 0,103 tidak normal 3 c retractor 0,956 0,777 normal hasil uji normalitas variabel, terlihat aktivasi menggunakan labial bow dan skrup ekspansi tidak berdistribusi normal, hanya pada c retractor yang memiliki hasil dengan distribusi normal. adanya dua variabel yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji kruskall wallis, yang merupakan uji beda non parametrik pada variabel yang lebih dari dua. tabel 3. uji kruskall wallis nilai_persepsi rasa sakit chi-square 1,645 df 2 asymp. sig. 0,439 probablitas (p) digunakan untuk melihat tingkat kemaknaan (sig). bila p<0,05 berarti ada perbedaan yang bermakna, sedangkan bila p>0,05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. pada tabel 3 terlihat p=0.439, yang berarti tidak terdapat perbedaan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas), terutama pada ketiga varibel yang diuji, yaitu labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. diskusi jumlah subjek penelitian pada karakteristik jenis kelamin berbeda jauh. laki-laki sebesar 20%, sedangkan perempuan sebesar 80% karakteristik jenis kelamin tidak mempengaruhi penelitian mengenai persepsi rasa sakit, terbukti dari penelitian ertan erdinc.4 rasa sakit yang berhubungan dengan perawatan ortodontik tergantung dari masing13 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 masing individu. sakit terjadi karena adanya area iskemik dalam ligament periodontal. penggunaan alat ortodontik setelah 8 jam aktivasi pertama, sakit dapat dirasakan oleh pasien. sakit yang dirasakan tergantung besar gaya yang digunakan.8 jenis gaya pada perawatan ortodontik lepasan yaitu gaya yang intermittent. gaya intermittent merupakan gaya yang memiliki tingkatan sampai nol secara tiba-tiba apabila alat ortodontik dilepaskan.9 gerakan pada alat ortodontik lepasan merupakan gerakan tipping yang dihasilkan oleh satu kekuatan tunggal. pada gerakan tipping, mahkota bergerak searah dengan arah kekuatan sedangkan akar gigi bergerak berlawanan dengan arah kekuatan, gigi berputar pada center of resistance, sehingga terjadi tekanan pada daerah sekitar apeks yang dekat dengan pegas dan pada alveolar crest pada tulang alveolar yang jauh dari pegas. tekanan berangsur-angsur berkurang ketika mendekati center of resistance dan tekananannya paling kecil pada center of resistance.10 persepsi sakit tidak ada beda pada aktivasi labial bow, skrup ekspansi dan c retractor karena gaya yang dihasilkan hampir sama yaitu gaya tipping. pergerakan gigi selama perawatan ortodontik dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada jaringan periodontal dan pulpa, yang akan menstimulasi berbagai mediator kimia, sehingga terjadi persepsi sakit pada pasien. sakit pada jaringan periodontal disebabkan oleh proses dari tekanan, iskemia, inflamasi dan edema. persepsi rasa sakit pada perawatan ortodontik disebabkan oleh perubahan peredaran darah akibat alat ortodontik, yang dihubungkan dengan pelepasan berbagai mediator, seperti substansi p, histamine, enkephalin, serotonin, glisin, glutamate, gamma-aminobutyric acid, pgs, leukotrienes dan sitokin. rasa sakit pada perawatan ortodontik dapat dikontrol dengan menggunakan obat non-steroidal antiinflammatory drugs (nsaids).11 pasien yang menggunakan obat-obatan dalam penelitian tidak dimasukkan sebagai subjek penelitian supaya tidak mengakibatkan bias. kedua komponen aktif lain seperti pegas terbuka dan pegas koil tidak dapat dilakukan penelitian, karena keterbatasan subjek penelitian, dan saat pengaktifan komponen aktif pada pasien, sempat ada dua komponen yang diaktifkan, sehingga tidak terpilih menjadi subjek penelitian untuk menghindari bias. kesimpulan kesimpulan dari penelitian yaitu tidak terdapat perbedaan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas), terutama pada ketiga varibel yang diuji, yaitu labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. saran dokter gigi dalam memberikan perawatan pelayanan ortodontik lepasan, dapat memberikan penjelasan pada pasien tentang persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan, terutama pada saat aktivasi labial bow, skrup ekspansi dan c retractor. daftar pustaka 1. proffit wr, fields hw, sarver dm. contemporary orthodontics 4th ed. st louis: mosby elsevier; 2007. p1-4. 2. harry dr, sandy j. a clinical guide to 14 marlin himawati, hillda herawati | perbandingan persepsi rasa sakit setelah aktivasi alat ortodontik lepasan pada pasien di rsgm unjani dengan metode visual analog scale (vas) orthodontics. british dental journal. 2003; 195(8): 433-7 3. bergius m, et al. prediction of prolonged pain experiences during orthodontic treatment. am j orthod dentofacial orthop. 2008; 133(3): 339e1-8 4. ertan erdinc am, dincer b. perception of pain during orthodontic treatment with fixed appliances. european journal of orthodontics. 2004; 26(1): 79-85. 5. krukemeyer am, et al. pain and orthodontic treatment. angle orthod. 2009; 79(6): 1176-81. 6. lee tck, et al. patients’ perceptions regarding microimplant as anchorage in orthodontics. angle orthod. 2008; 78 (2): 228-232 7. vieira l, nissen l, et al. reducing postoperative pain from tonsillectomy using monopolar electrocautery by cooling the oropharynx. international archives of otorhinolaryngology. 2014, (online), (http://www.scielo.br/pdf/iao/ v18n2/1809-9777-iao-18-02-00155.pdf, diakses 10 juni 2016) 8. sing g. textbook of orthodontics. new delhi: jaypee brothers medical publishers; 2007. p3-5,221 9. graber tm, vanarsdall rl. orthodontics current principles and techniques. 3rded. st louis: mosby; 2000. p142. 10. rahardjo p. ortodonti dasar. surabaya: airlangga university press; 2009. p148-9 11. krishnan v, davidovitch z. biological mechanism of tooth movement. ed 2nd. oxford: wiley blackwell; 2015. p132. sp transcription family involve in tooth development ? ivan arie wahyudi1 1 department of dental biomedical sciences faculty of dentistryuniversitas gadjah madayogyakarta-indonesia abstract specificity protein (sp) family members are tissue specific transcription factors. they regulate a wide range of cellular function including cells growth, apoptosis, differentiation and tumor formation. this family composed of more than 25 member proteins, which contain a dna-binding domain very well conserve between all members with three tandem zinc fingers of the c2h2 type in their cterminal region. recently, it has reported in mammalian genome, there are nine sp genes (sp1-sp9). some previous study reported sp3 knockout mice have enamel/dentin layer defect. sp4 mrna express in e13e16 of wt mouse incisor. sp7 mrna express in at 15, 17 days of post coitum and p1 (postnatal day 1). sp6 has another name epiprofin, i also worked with this genes. sp6 mrna expressed in early stage of tooth development to the secretory stage of ameloblast. it also reported sp6 weakly expressed in mesenchymal odontoblast of the incisor. sp6 deficient mice reported delay tooth development. sp family members play an important role in tooth development. keyword: sp family, transcription factor, tooth development sp transcription family terlibat dalam perkembangan gigi? abstrak specificity protein (sp)merupakan faktor transkripsi pada jaringanspesifik.protein ini mengaturberbagaifungsi seltermasuk pertumbuhansel,apoptosis,diferensiasi danpembentukan tumor.keluarga protein initerdiri darilebih dari 25 anggota, yangmengandung domainpengikat dna yang sangat miripdisetiap anggotapada tiga tandem zinc fingers dari tipec2h2di bagian c-terminal.saat initelahdilaporkan terdapat sembilangensp(sp1-sp9) dalam genom mamalia. beberapapenelitian sebelumnyamelaporkansp3tikus komenyebabkan kerusakan pada lapisan email/dentin.mrnasp4terlihat pada e13-e16 wtgigi incisivus tikus. sp7mrnaterlihat pada hari ke 15, 17pascacoitumdanp1(pascakelahiran haripertama).sp6memiliki nama lain yaitu ivan arie wahyudi epiprofin, saya juga bekerja dengan gen ini.sp6mrnaterlihat padatahap awal perkembangan gigi ke tahap keluar nya korespondensi : ivan ari wahyudi, department of dental biomedical sciences, faculty of dentistryuniversitas gadjah madayogyakarta-indonesia, e-mail: ivanocovic@yahoo.com idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 83 : sp transcription family involve in tooth development ? gigi dari ameloblast. juga dilaporkan sp6 terlihat agak lemah di odontoblast mesenchymal pada gigi incisivus. defisiensi gen sp6 pada tikus dilaporkan bahwa terjadi penundaan pertumbuhan gigi. sp memainkan peran penting dalam perkembangan gigi. kata kunci: keluarga sp, factor trankripsi, perkembangan gigi introduction regulation of transcription is an important to explore the question of how dna sequence information is used appropriately by mammalian cells. using an array of biomolecular tools, we can identify all the genes that encode transcription factor belonging the certain class and also study their biological function 1. the sp/klf transcription factor family contains over 25 members sharing a dnabinding domain composed of three zinc fingers motif of the c2h2 type at the c-terminus and binds to gggcgg motifs or related gc-rich sequence. this family comprises of nine members (sp1-sp9) in mammals 1-2 . each members are located adjacent to a hox gene cluster 3. a number of transcription factors control tooth development in order to form unique structures specialized for tooth function especially for shapes and sizes. the developing tooth is a good model for studying the aspects of molecular and genetic on mammalian tooth development 3. during tooth development epithelial and mesenchyme interaction is thought very important. early signals for tooth development arise in the oral ectoderm, appearing as thickening of the dental lamina. the dental lamina invaginates into the underlying neural crest-derived mesenchyme to form the tooth bud. the dental epithelial cells proliferate to form a double layer cap that is called the enamel organ. after the cap stage, the tooth germ progresses to the bell and late bell stages before the tooth erupts into the oral cavity. all these stages are regulated not only by cytokines, such as bone morphogenetic proteins (bmps), sonic hedgehogs (shhs), fibroblast growth factors (fgfs), and wingless (wnts), but also by extracellular matrices. the deletion of these gene functions results in the arrest of tooth development 4-7. the sp-family ivan arie wahyudi: sp transcription family involve in tooth development ? idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 the first identified member of this family is termed sp1, forspecificity protein, in the 21bprepeats of the simian virus ( sv40) early promoter. dna binding domain of sp1 iscomposed of three zinc fingers of the classical cys2– his2 type. the first four members of the sp-family (sp1-4) are more closely related to each other than to sp5-8. sp 1-4 contain an n-terminal activation domain and a c-terminal dna binding domain. sp5-8 proteins are shorter, lacking the n-terminal activation domain. this may decrease transcriptional activation potential. the overview of each sp-family domain is performing in the figure 1. 87 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 figure 1. the domain structure of sp-family transcription factors (modified from bowman p. and philipsen s., 2002)8 at c-terminal, three black boxes are c2h2 type zinc finger motifs for dna binding. this domain is a common feature of spfamily. at n-terminal is a transcriptional regulatory domain. the red box is buttonhead box, it may contribute to transactivation 3 regulation of sp transcription factors in tooth development both of sp1 and sp3 have been reported to exhibit ubiquitous expression and dental epthelium. sp2 expression has been observed in a number of cell lines, whereas sp4 expression, currently reported expressed in cns, liver, lung, kidney, ivan arie wahyudi heart, gonads, intestine and also in dental papilla and dental sac 3,9 . sp7 was observed play roles as a bone specific transcription factor required for osteoblast differentiation and bone formation (10). sp5, sp8, and sp9 are expressed in specific tissue and developing stages 9. sp6 that correspond to epiprofin. this gene has reported by some researchers play roles in teeth developing, caudal neuropore, limb bud, hair follicles, skin and dental epithelium 11. i also worked using this sp6 gene, our laboratory has found that sp6 promotes amelogenesis through inhibition of follistatin gene expression while follistatin is responsiblefor the formation of an enamel-free area in the mouse incisor and molar by inhibiting ameloblast differentiation 12 . for overview of the expression pattern of sp transcription factors, : sp transcription family involve in tooth development ? including the knockout mice of each members perform in table 1. table 1. expression pattern of sp transcription factors in vertebrate embryos 9 factors expression chromosomal location major phenotypes in knockout mice sp1 ubiquitous, dental epthelium human: 12q13.1 mouse : 15 growth retardation, prenatal lethality sp2 ubiquitous human: 17q21.32 mouse : 11 growth retardation, prenatal lethality sp3 ubiquitous, dental epthelium human: 2q31 mouse : 2 growth retardation, defect in tooth, lung, bone and hematopoetic sp4 cns, liver,lung, kidney,heart, gonads, intestine, dental papilla, and dental sac human: 7q15.3 mouse : 12 postnatal mortality, smaller body size sp5 mesoderm precursors, derivates posterior neuroectoderm, human: 2q31 mouse : 2 no morphological changes enhanced frequency of taillessness sp6/epip rofin developing teeth, caudal neuropore, limb bud, hair follicles, skin and dental epithelium human: 17q21.32 mouse : 11 enamel defect, supernumerary teeth, defective cups and root formation sp7/oste rix developing bone and teeth odontoblast and dental follicle cells human: 12q13.13 mouse : 15 death at birth, failure in ossification sp8 cns, limb buds human: 7q15.3 mouse : 12 neural tube closure failure, shorter limbs ivan arie wahyudi: sp transcription family involve in tooth development ? idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 sp9 in specific domain of cns, limb human: 2q31 mouse : 2 unknown table 1 above showed that most of sp-family members are correlate with tooth development. sp1 is expressed in dental epithelium. sp1 and sp2 knockout mice die in embryonic stage. sp3 is also expressed in dental epithelium. mice lacking sp3 showed defect of enamel, lack amelogenin, and ameloblast, impaired ossification. sp4 is expressed dental papilla, and dental sac 8,9. sp4 and sp7 are expressed in dental mesenchyme 9. since i was working with sp6 gene that we believed might play role in tooth development. sp6in tooth development sp6mrna is expressed tooth germ 13.expression of sp6 is detected at the initiation stage of tooth development. sp6 is clearly expressed in dental epithelium of dental lamina but not expressed in dental mesenchyme (another report said that sp6 weakly expressed in mesenchymal odontoblast of the incisor) at early stage of tooth development. during the bud stage, sp6 is expressed widely in dental epithelial cells and tooth bud develops rapidly by dental epithelial cell proliferation. at the cap stage, 89 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 ivan arie wahyudi dental epithelial cells determine their cell fate into several lineage such as stellate reticulum and inner and outer enamel epithelium. at the bell stage, sp6 is expressed in pre ameloblast and ameloblast 9. figure 2 is describing the expression of sp6 in each stage of tooth development. figure 2.the expression of sp6 during tooth development. the meaning of the red symbol ( ) expression sp6 in epithelium (http:biteit.helsinki.fi/)14 as reported nakamura et.al., 2011, in table 1. sp6 knockout mice showed enamel defect, supernumerary teeth, defective cups and root formation. this result is consistence with their previous report in 2008, are showed in figure 3, sp6 deficient mice. : sp transcription family involve in tooth development ? idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 ivan arie wahyudi: sp transcription family involve in tooth development ? figure 3. amazing teeth phenotype in sp6 deficient mice11 the surprising/amazing phenotype of sp6 deficient mice. on the left side are wild type (wt), the right side are mutant mice. at 3 weeks age, incisor and molar mutant mice were not erupted. in contras at 12 month age mutant incisors showed multiple teeth. this result strongly suggested the involvement of sp6 in tooth development. conclusion tooth development is regulated by inductive interactions between the epithelium and the mesenchyme via reciprocal signalings and some cytokines are involved, some of sp-family have reported appear have diverse play roles in tooth development. however, the regulatory mechanism of reciprocal epithelium and mesenchyme, sp-family, the cytokines and other signaling require further characterization. references 1. suske g, bruford e, philipsen s: mammalian sp/klf transcription factors: bring in the family. genomics 85: 551-556, 2005 2. jimenez-rojo l, ibarretxe g, aurrekoetxea m, de-vega s, nakamura t, yamada y, unda f: epiprofin/ sp6: a new player in the regulation of tooth development. histol histopathol 25: 1621-1630, 2010 3. waby, j.s, bingle, c.d and corfe, b.m., post-translation control of sp-family transcription factors. current genomics 9;301-311, 2008 4. maas r, bei m: the genetic control of early tooth development. crit rev oral biol med mass 8: 4-39, 1997 5. jernvall j, thesleff i: reiterative signaling and patterning during mammalian tooth morphogenesis. mech dev 92: 19-29, 2000 6. thesleff i: epithelialmesenchymal signalling regulating tooth morphogenesis. j cell sci 116: 1647-1648, 2003 7. wahyudi ia, horiguchi t, miyoshi k, muto t, utami tw, hagita h,noma t: isolation and characterization of mouse specificity protein 6 promoter. ind j dent res 1: 13-26, 2010 8. bouwman, p., h. gollner, h. p. elsasser, g. eckhoff, a. karis, f. grosveld, s. philipsen, and g. suske. transcription factor sp3 is essential for post-natal survival and late tooth development. embo j. 19:655 661, 2000 9. nakamura t, fukumoto s, yamada y. diverse function of epiprofin in tooth development. j. oral biosci. 53(1): 22-30, 2011 10. zhang c. transcriptional regulation of bone formation by the osteoblast-specific transcription factors osx. journal of orthopaedic surgery and research 5(37): 1-7, 2010 86 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 11. nakamura t, de-vega s, fukumoto s, jimenez l, unda f, yamada y: transcription factor epiprofin is essential for ivan arie wahyudi tooth morphogenesis by regulating epithelial cell fate and 12. ruspita i, miyoshi k, muto t, abe k, horiguchi t, noma t: sp6 downregulation of follistatin gene expression in ameloblasts. j med invest 55: 87-98, 2008 13. nakamura t, unda f, de-vega s, vilaxa a, fukumoto s, yamada km, yamada y: the tooth number. j biol chem 283: 48254833, 2008 krüppel-like factor epiprofin is expressed by epithelium of developing teeth, hair follicles, and limb buds and promotes cell proliferation. j biol chem 279: 626-634, 2004 14. http://bite-it.helsinki.fi/ 87 25 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 perdarahan gingiva sebagai indikator penyakit sistemikkasus pada individu yang sebelumnya tak terdeteksi menderita demam berdarah dengue gingival bleeding as indicator of systemic disease (a case report in patient with previously undetected dengue hemorrhagic fever) satrya ayu erawatie prayudha1, selviana tampoma2, hening tuti hendarti3 1,2 residen ilmu penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi, universitas airlangga 3 departemen ilmu penyakit mulut fkg universitas airlangga surabaya korespondensi: tiyayudrg@gmail.com abstrak latar belakang: perdarahan gingiva dapat disebabkan oleh trombopati. kondisi medikokompromais seperti dbd merupakan salah satu faktor predisposisinya. demam berdarah dengue (dbd) adalah penyakit sistemik yang sering terlambat terdiagnosis dan berisiko kematian, banyak dijumpai pada daerah tropis seperti indonesia. insidensi dbd di jawa timur sebesar 29,25/100.000 dengan risiko kematian sebesar 0,88%. tujuan: penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan perdarahan gingiva pada pasien yang sebelumnya tidak terdeteksi dbd. kasus: seorang laki-laki 26 tahun dirujuk untuk melanjutkan pembersihan karang gigi dengan diagnosis gingivitis akut. pada awalnya, pasien mengeluhkan perdarahan gingiva selama seminggu terakhir saat menyikat gigi dan bau mulut. pasien merasakan badan lelah dan lemah sejak 1 bulan yang lalu. tiga minggu sebelum datang, pasien terdiagnosis flu dengan gejala demam dan pusing. ekstra-oral tampak konjungtiva dan kuku pucat serta petechiae pada lengan kanan saat pemeriksaan tekanan darah. intra-oral terlihat perdarahan gingiva spontan dan ekimosis pada mukosa labial dan gingiva. penanganan: pemeriksaan darah dilakukan pada hari yang sama dan diketahui adanya trombositopenia yang parah. hasil anamnesis mengacu pada dugaan adanya penyakit sistemik. pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam dan terdiagnosis dbd. kesimpulan: temuan klinis perdarahan gingiva dapat digunakan sebagai indikator penyakit sistemik, pada kasus ini adalah dbd tanpa gejala demam. identifikasi dini lesi mulut terkait penyakit sistemik dapat membantu penderita untuk memperoleh perawatan lebih awal dan mengurangi angka kematian akibat keterlambatan penanganan. kata kunci: infeksi dengue, ekimosis, trombositopenia abstract background: gingival bleeding can caused by thrombopathy. medicocompromised condition as predisposing factor of gingival bleeding is dhf. dengue hemorrhagic fever (dhf) is systemic disorder which often late to be diagnosed and caused death. most of dhf case found in tropical area as well as indonesia. insidence rate of dhf in east java counted 29,25/100.000 populations with mortality rate as high as 0.88%. purpose: the aim of this paper is to report 26 satrya ayu erawatie prayudha, selviana tampoma, hening tuti hendarti | perdarahan gingiva sebagai indikator penyakit sistemik kasus pada individu yang sebelumnya tak terdeteksi menderita demam berdarah dengue the gingival bleeding in patient with undetected dhf. case: a 26 years old man refered to have dental scaling with an acute gingivitis. initially, patient complained about his gingival bleeding over the last week while he was brushing as well as bad odors. patient felt weak and tired since 1 month ago. three weeks before, patient diagnosed flu with symptom of fever and headache. extra-oral examination showed pale nail and conjunctiva and multiple petechiae on his right arm when blood pressure test performed. intra-oral examination shows spontaneous gingival bleeding and ecchymosis on the labial mucosa and gingiva. management: blood testing performed and the result showed severe thrombocytopenia. by anamnesis, patient suspected has systemic disease, so that the patient refered to an internist. conclusion: clinical finding of gingival bleeding can be used as indicator of systemic disease, in this case is dhf without fever symptom. early identification of oral lesion associated systemic disease could help the patient to have early treatment and to reduce the number of death caused by delay treatment. keywords: dengue infection, ecchymosis, thrombocytopenia. organization memperkirakan terdapat 50 juta kasus infeksi dengue setiap tahunnya di dunia. jumlah kasus dbd relatif stabil di indonesia bahkan cenderung meningkat dan banyak menimbulkan kematian terutama pada anak. sembilan puluh persen di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.6 demam berdarah dengue dapat dialami semua usia terutama usia dewasa muda dengan predileksi jenis kelamin laki-laki lebih banyak terdeteksi dbd dibandingkan wanita. angka kematian akibat dbd pernah mencapai 1414 orang dalam 1 tahun di indonesia.9 manifestasi klinis dbd antara lain demam, sakit kepala, arthralgia, myalgia, bercak kulit dan perdarahan (perdarahan gingiva dan epistaksis), syok, dan kematian.6 kasus ini merupakan kasus perdarahan gingiva pada pasien yang sebelumnya tidak terdeteksi menderita dbd dan tidak disertai gejala demam dengan tujuan untuk memberikan gambaran kepada sejawat dokter gigi mengenai pentingnya identifikasi dini lesi mulut dan etiologinya terkait adanya latar belakang sistemik sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat guna mencegah penyakit menjadi lebih parah atau menyebabkan kematian. pendahuluan kondisi perdarahan disebabkan oleh gangguan integritas pembuluh darah, faktor koagulasi, dan atau trombosit. gangguan trombosit meliputi gangguan jumlah maupun fungsi trombosit (trombopati) pada sistem hemostasis. kondisi ini dapat bersifat genetik atau dapatan.1 trombopati menyebabkan perdarahan pada gingiva2,3 sebagai kelainan dapatan, perdarahan gingival dipicu oleh faktor-faktor iatrogenik, obat-obatan, radiasi, kemoterapi paska kanker, atau penyakitpenyakit sistemik.1,4 perdarahan gingiva dapat menjadi tanda adanya penyakit sistemik.3 salah satu penyakit sistemik sebagai faktor predisposisi perdarahan gingiva adalah demam berdarah dengue (dbd). 5 demam berdarah dengue merupakan penyakit menular dan endemik di daerah tropis dan sub tropis di dunia, berisiko pada 2,5 miliar orang atau 40% penduduk dunia. sebagai salah satu negara tropis di kawasan asia tenggara, indonesia mempunyai kecenderungan mengalami peningkatan insidensi dbd. 6,7,8 dinas kesehatan provinsi jawa timur menyebutkan bahwa incident rate dbd sebesar 29,25/ 100 000 penduduk dengan risiko kematian sebesar 0,88%. world health 27 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 laporan kasus seorang laki-laki usia 26 tahun dirujuk oleh dokter gigi puskesmas ke rsgm fkg unair dengan diagnosis gingivitis akut pada tanggal 4 januari 2016 untuk melanjutkan tindakan pembersihan karang gigi. tindakan ini tertunda karena adanya keterbatasan alat yang tersedia di puskesmas. pasien bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta bergerak di bidang pengemasan makanan dan belum menikah. alasan utama pasien memeriksakan diri ke dokter gigi adalah adanya perdarahan gingiva. dari anamnesis diperoleh informasi bahwa gingiva berdarah sejak 1 minggu sebelum pasien datang ke rsgm fkg unair. perdarahan gingiva terjadi terutama pada saat menyikat gigi. pasien juga mengeluhkan bau mulut sehingga memutuskan untuk periksa ke dokter gigi di puskesmas terdekat dengan tempat tinggalnya sehari sebelum datang ke rsgm fkg unair. perdarahan paska pembersihan karang gigi secara manual di puskesmas dilaporkan pasien berlangsung cukup lama hingga beberapa jam setelah selesai perawatan. pasien jarang periksa ke dokter gigi dan terakhir berkunjung ke dokter gigi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. pasien menginformasikan bahwa yang bersangkutan dan anggota keluarganya tidak ada yang pernah menderita penyakit tertentu dan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu, tetapi pasien pernah menjalani rawat inap di rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas kira-kira 8 tahun yang lalu. pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok dan minum alkohol. tiga minggu sebelum datang ke rsgm fkg unair, pasien menyatakan sempat menderita demam dan sakit kepala tetapi tidak disertai batuk atau pilek sehingga memeriksakan diri ke dokter umum di puskesmas. pada saat itu, pasien terdiagnosis menderita gejala flu dan mendapat obat parasetamol dan vitamin c. pasien sembuh dan tidak demam setelah minum obat. pasien merasakan badan mudah lelah dan lemah selama 3 minggu terakhir. pasien mengasumsikan bahwa hal tersebut sebagai dampak dari pekerjaannya yang sedang sering lembur sehingga waktu tidur kurang. jadwal makan termasuk rutin dan menu makanan bervariasi karena dikelola oleh perusahaan. pemeriksaan ekstra oral menunjukkan adanya konjungtiva mata kanan dan kiri pucat, kuku pucat, telapak tangan basah dan dingin, dan petechiae multipel pada lengan kanan pasien pada saat pemeriksaan tekanan darah (gambar 1. a,b,c,d). pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya perdarahan gingiva spontan pada regio anterior atas dan posterior kanan atas dan ekimosis pada mukosa labial bawah sejajar dengan gigi 33 dan gingiva anterior rahang atas regio 23. halitosis positif. (gambar 2. a,b,c,d,e) hasil anamnesis, pemeriksaan ekstraoral dan intra-oral mengacu pada kecurigaan adanya penyakit sistemik khususnya terkait dengan gangguan perdarahan/ darah atau infeksi sehingga dilakukan pemeriksaan darah. hasil pemeriksaan darah menyatakan adanya trombositopenia yang parah. hal ini memperkuat dugaan sebelumnya tentang adanya keterkaitan dengan kondisi sistemik dan menjadi alasan untuk segera merujuk pasien ke spesialis penyakit dalam guna penatalaksanaan lebih lanjut (tabel 1). 28 satrya ayu erawatie prayudha, selviana tampoma, hening tuti hendarti | perdarahan gingiva sebagai indikator penyakit sistemik kasus pada individu yang sebelumnya tak terdeteksi menderita demam berdarah dengue tabel 1. hasil pemeriksaan darah tanggal 4 januari 2016 pemeriksaan hasil nilai rujukan hemoglobin (g/dl) 14,2 13,2 – 17,3 jumlah leukosit (/µl) 7,3.103 3,8 – 10,6.103 trombosit (/µl) waktu perdarahan (menit) waktu pembekuan (menit) 20.103* 3 15 150 – 440.103 1 – 3 5 15 * di bawah batas normal setelah mendapatkan penjelasan terkait kemungkinan penyakit yang diderita yang memerlukan penanganan segera, pasien dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. hasil follow up pasien menunjukkan pemeriksaan dengue positif dan jumlah trombosit semakin menurun (tabel 2) sehingga dokter spesialis penyakit dalam mengharuskan pasien segera mendapatkan transfusi darah, tirah baring di rumah sakit, dan observasi. tabel 2 hasil pemeriksaan darah tanggal 5 januari 2016 dan 13 januari 2016 pemeriksaan hasil 5 januari 2016 13 januari 2016 hemoglobin (g/dl) 14 13,4 jumlah leukosit (/µl) trombosit (/µl) dengue 8.103 14.103* positif* 152.103 * tidak normal/patologi pembahasan hasil anamnesis yang menyatakan bahwa seorang laki-laki usia 26 tahun bukan perokok/ pecandu alkohol menderita perdarahan gingiva spontan dalam 1 minggu terakhir dengan tingkat kebersihan rongga mulut sedang, terdapat riwayat demam pada kurang lebih 3 minggu sebelum pemeriksaan namun tidak terdeteksi demam pada saat datang, badan lemas, mudah lelah, dan tidak ada riwayat penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan mengacu pada beberapa diagnosis banding seperti gingivitis dan penyakit sistemik seperti kelainan perdarahan/ darah dan penyakit infeksi virus dengue khususnya dbd . gingivitis mengacu pada kondisi inflamasi yang khas tampak kemerahan dengan/ tanpa perdarahan pada jaringan lunak di sekitar gigi tetapi tidak melibatkan proses inflamasi pada alveolar ridge, ligamen periodontal, atau sementum. banyak kasus gingivitis terjadi akibat rendahnya tingkat kebersihan rongga mulut dimana terlihat adanya plak gigi/ kalkulus dan didukung oleh faktor lain seperti flora rongga mulut. gingivitis lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding wanita dan dapat dijumpai pada semua usia terutama pada masa pubertas. pada umumnya, gingivitis tidak disertai gejala demam. beberapa faktor lokal dan sistemik diduga merupakan faktor pemicu 29 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 gingivitis yaitu trauma lokal, resesi gingiva, gigi berdesakan, gigi patah, faktor hormonal, defisiensi nutrisi, dan penggunaan obat-obatan. peningkatan kebersihan rongga mulut dengan eliminasi plak gigi dan kalkulus secara berkala terbukti efektif mengatasi gingivitis kecuali ada keterlibatan faktor sistemik. 10 s e p e r t i p a d a g i n g i v i t i s , k e l a i n a n perdarahan/ darah dapat bermanifestasi oral berupa perdarahan spontan seperti epistaksis atau perdarahan gingiva. selain itu, adanya gambaran klinis berupa purpura baik itu petechiae, ekimosis, atau hematoma, mukosa mulut pucat, dan konjungtiva pucat sering menjadi tanda adanya kelainan darah seperti leukemia, trombositopenia, anemia, atau kelainan perdarahan/ darah lainnya yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan darah.10,11,12 hasil pemeriksaan darah yang dapat mendukung adanya kelainan perdarahan antara lain tes trombosit, prothrombin time (pt)/ international normalized ratio (inr), dan activated partial thromboplastin time (aptt). tes trombosit meliputi penghitungan jumlah dan fungsi trombosit. kelainan perdarahan/ darah dapat terjadi pada semua usia baik laki-laki ataupun wanita sesuai dengan jenis kelainannya. hemofili terjadi pada laki-laki, anemia lebih banyak dialami wanita, sedangkan leukemia lebih umum dijumpai pada usia anak-anak. 12 hasil pemeriksaan ekstra dan intra oral, pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya trombositopenia, dan riwayat demam pada kurang lebih 3 minggu sebelum datang meskipun pada saat datang tidak disertai demam mengarah pada kecurigaan adanya penyakit infeksi seperti infeksi virus dengue yaitu demam berdarah dengue (dbd). demam berdarah dengue merupakan penyakit menular yang diperantarai oleh gigitan nyamuk aedes aegypti, khas ditandai dengan adanya perdarahan dan trombositopenia. 7,8,14,15,16 manifestasi klinis penyakit ini melibatkan banyak faktor antara lain thrombopathy, coagulopathy, dan vasculopathy. thrombopathy dapat diartikan sebagai kondisi trombositopenia dan disfungsi trombosit. 13 perdarahan spontan yang terjadi pada dbd seperti perdarahan gingiva dan epistaksis dapat disebabkan oleh kondisi trombositopenia. 5 suhu tubuh pasien dbd pada awalnya dapat meningkat hingga antara 39-400c dan berlangsung selama 2-7 hari, kemudian suhu tubuh turun/ normal selama beberapa hari dan kemudian melonjak kembali (saddleback). fase ini dikenal sebagai fase kritis. 17 berdasarkan hasil pemeriksaan klinis ekstra-intra oral dan pemeriksaan penunjang, kasus ini terdiagnosis sebagai perdarahan gingiva oleh karena dbd yang pada saat datang tidak disertai demam. kesimpulan adanya keterkaitan antara keberadaan lesi mulut dengan kondisi sistemik perlu dipahami oleh para dokter gigi. salah satunya adalah perdarahan gingiva merupakan manifestasi oral dari penyakit sistemik dbd. anamnesis dan pemeriksaan klinis ektra oral dan intra oral yang cermat disertai pemeriksaan penunjang yang sesuai diperlukan dalam upaya penegakan diagnosis yang tepat. identifikasi dini lesi mulut terkait dengan latar belakang sistemik dapat membantu penderita mendapatkan perawatan lebih awal dan memadai sehingga dapat mengurangi risiko kematian. 30 satrya ayu erawatie prayudha, selviana tampoma, hening tuti hendarti | perdarahan gingiva sebagai indikator penyakit sistemik kasus pada individu yang sebelumnya tak terdeteksi menderita demam berdarah dengue daftar pustaka 1. goodman dm., burke ae., livingston eh. bleeding disorders. jama. 2012; 308(14):1492 2. rodeghiero f, michel m, gernsheimer t, ruggeri m, blanchette v, bussel jb, cines db, cooper n, godeau b, greinacher a, imbach p, khellaf m, klaassen rj, kuhne t, liebman h, maz€ zucconi mg, newland a, pabinger i, tosetto a, stasi r. standardization of bleeding assessment in immune thrombocytopenia: report from the international working group. blood. 2013; 121: 2596–606 3. gleeson p. spontaneous gingival haemorrhage: case report. australian dental journal. 2002; 47:(2):174-175 4. little jw, falace da, miller cs, rhodus nl. dental management of the medically compromised patient. 7th ed. canada: mosby elsevier; 2008. p. 396-432 5. bashir ab. mohhamed ba. saeed ok. dan ageep ak. thrombocytopenia and bleeding manifestations among patients with dengue virus infection in port sudan, red sea state of sudan. journal of infectious diseases and immunity. 2015; 7(2), pp 7-13 6. saif khan, gupta dan sandhya maheshwari. acute gingival bleeding as a complication of dengue hemorrhagic fever. j indian soc periodontol. 2013;17(4):520-522 7. k e m e n t e r i a n k e s e h a t a n r e p u b l i k indonesia. 2010. demam berdarah dengue. buletin jendela epidemiologi [online]. 1: 2. diakses 6 oktober 2013. diambil dari:http://www.depkes.go.id/ downloads/ publikasi/buletin/buletin%20 dbd.pdf 8. kementerian kesehatan republik indonesia. 2010. peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1501/menkes/per/x/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan. jakarta: kementerian kesehatan. 9. karyanti mr. dan hadinegoro sr. perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di indonesia. departemen ilmu kesehatan anak rumah sakit dr. cipto mangunkusumo fkui jakarta 2009;10(6):424-32 10. neville bw, damm dd, allen cm, bouquot je. oral and maxillofacial pathology. 2009. 3th ed, saunders, elsevier inc. 11. delong, leslie, burkhart, nancy. general and oral pathology for the dental hygienist. philadelphia usa: lippincott william&wilkins, a wolter kluwer business, 2010. 12. patton, lauren l. the ada practical guide to patients with medical conditions. iowausa: willey-blackwell, 2012 13. huan yl. yeh tm. liu hs. lin ys. dan chen sh.2001. immunopathogenesis of dengue virus infection. j boimed sci. 8:377-388. 14.. gubler dj. the global emergence/ resurgence of arboviral disease as public health problem. arch. med. res. 33:330342. 15. wilder-smith a, schwartz e, 2005, dengue in travelers. n engl j med; 353:32-924. 16. gibbons rv, vaughn dw, 2002, dengue: 31 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 an escalating problem. bmj; 234: 6-1563. 17. dietz, v., d. j. gubler, s. ortiz, g. kuno, a. casta-velez, g. e. sather, i. gomez, and e. vergne. 1996. the 1986 dengue and dengue hemorrhagic fever epidemic in puerto rico: epidemiologic and clinical observations. p. r. health sci. j. 15:201– 210 gambar 1. konjungtiva mata kanan dan kiri pucat (a), peteqiae multipel pada lengan kanan (b), kuku kanan pucat (c), kuku kiri pucat tampak tidak ada beda saat ditekan (d) 39 insisiva dental journal, vol. 5 no. 2 bulan november tahun 2016 gambar 1. konjungtiva mata kanan dan kiri pucat (a), peteqiae multipel pada lengan kanan (b), kuku kanan pucat (c), kuku kiri pucat tampak tidak ada beda saat ditekan (d) gambak 2. perdarahan gingiva spontan pada regio 15,16,11,21(a,b), krusta pada mukosa labial atas dan desquamasi pada vermilion labial bawah (c), ekimosis pada mukosa labial bawah dan gingiva regio 23 (d,e) c ca b d a b d e 39 insisiva dental journal, vol. 5 no. 2 bulan november tahun 2016 gambar 1. konjungtiva mata kanan dan kiri pucat (a), peteqiae multipel pada lengan kanan (b), kuku kanan pucat (c), kuku kiri pucat tampak tidak ada beda saat ditekan (d) gambak 2. perdarahan gingiva spontan pada regio 15,16,11,21(a,b), krusta pada mukosa labial atas dan desquamasi pada vermilion labial bawah (c), ekimosis pada mukosa labial bawah dan gingiva regio 23 (d,e) c ca b d a b d e gambak 2. perdarahan gingiva spontan pada regio 15,16,11,21(a,b), krusta pada mukosa labial atas dan desquamasi pada vermilion labial bawah (c), ekimosis pada mukosa labial bawah dan gingiva regio 23 (d,e) 42 indri kurniasih | lima komponen penting dalam perencanaan osce lima komponen penting dalam perencanaan osce five essential keys in osce planning indri kurniasih1 1dental education unit, school of dentistry, faculty medicine and health sciences universitas muhammadiyah yogyakarta korespondensi : indri.kurniasih@umy.ac.id abstrak pendahuluan : kompleksitas dalam persiapan dan pelaksanaan kegiatan objective structured clinical examination (osce) dapat mempengaruhi kualitas dan kehandalan osce sebagai alat penilaian performa suatu keterampilan klinik. berbagai faktor dapat membuat penilaian osce menjadi kurang reliabel. perencanaan kegiatan osce yang baik merupakan faktor penting dalam mendukung kehandalan osce. tujuan dari penulisan ini adalah menguraikan dari berbagai sumber tentang prinsip dasar lima komponen penting dalam perencanaan osce. diskusi : pelaksanaan osce membutuhkan langkah-langkah yang terencana secara baik. terdapat lima komponen penting dalam perencanaan suatu osce yaitu disain osce, pasien standar, penguji, sarana prasarana, dan standar setting. disain osce meliputi penyusunan blue print osce, penyusunan kasus/station dan penyusunan form checklist/rating scale. penyusunan blue print merupakan langkah awal dalam mendisain osce. blue print disusun untuk memastikan bahwa berbagai kompetensi individual akan diujikan beberapa kali pada beberapa station, dan setiap station berkontribusi melengkapi ujian dengan menilai beberapa jenis kompetensi. kesimpulan : persiapan berbagai komponen penting penyusun osce harus dilakukan secara terencana oleh komite ujian agar penilaian menjadi objektif, valid dan reliabel serta menghasilkan informasi yang dapat dipercaya. keywords : perencanaan osce, 5 komponen penting. abstract background : the complexity of planning and implementation of osce (objective structured clinical examination) activity may influence the quality and reliability of osce as a tool to assess the clinical performance. many factors can make osce assesment becomes less realible. a good osce activity plan is an important factor in supporting the reliability of osce. the purpose of this study was to describe five essential keys in osce planning from many resources and researches. discussion: the implementation of osce needs good structured steps. there are five essential keys in osce planning, those are osce design, standardiced patient, examiner, infrastucture, and standard setting. osce design includes composing blue print of osce, composing case stations and rating scale form. composing blue print is the first step in designing the osce. blue print is composed to ensures that various individual competencies will be examined several times in some station and each station contributes to complete the exam by assessing some kind of compencies. conclussion : preparation some kind of essential keys in osce planning has to be done in a stuctured plan by the exam committee in order the assessment becomes objective, valid, reliable, and resulting trusted information. keywords : osce planning, five essential keys. mailto:indri.kurniasih@umy.ac.id 43 idj, vol. 3 no.1 bulan mei tahun 2014 pendahuluan objective structured clinical examintion (osce) adalah salah satu metode penilaian performa/kinerja mahasiswa kedokteran yang diperkenalkan pertama kali oleh harden dan gleeson tahun 1975. osce adalah suatu penilaian kompetensi klinis secara terencana dan terstruktur sehingga didapat objektivitas dalam penilaian1. osce menyediakan suatu format yang sesuai untuk menilai berbagai komponen dari kompetensi klinis, khususnya keterampilan-keterampilan klinis praktis dengan derajat ketepatan yang tinggi2. dalam kegiatan osce, kandidat/peserta ujian berpindah dari satu station ke lainnya pada waktu yang telah ditentukan. pada setiap station kandidat akan diberi suatu skenario klinis dan harus menunjukkan kemampuan keterampilan klinis tertentu. pada perkembangannya, lamanya station osce dapat bervariasi antara 5-30 menit, tergantung pada kompleksitas keterampilan yang akan dinilai3. setiap station telah dipisah untuk mengevaluasi satu bagian dari kompetensi. kandidat akan dinilai performanya dalam melakukan suatu tugas pada setiap station yang dilaluinya. stationstation tersebut akan menilai berbagai keterampilan klinis seperti keterampilan komunikasi, keterampilan interpretasi data dan ada suatu keputusan predeterminasi pada kompetensi yang diujikan. kandidat harus mengikuti putaran station-station secara lengkap. performa dari setiap kandidat dievaluasi secara independen pada setiap station menggunakan checklist yang terstandar. dengan kata lain setiap mahasiswa yang menjadi kandidat dalam kegiatan osce akan melalui tes yang sama, dan dinilai oleh penguji-penguji yang sama atau yang ekuivalen4. kekuatan dan keuntungan dari penilaian osce adalah memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menunjukkan kemampuan dalam melakukan keterampilan klinis yang spesifik. osce adalah format yang sangat baik untuk mengevaluasi berbagai macam kompetensi, khususnya yang berkaitan dengan diagnosis dan pengobatan. penggunaan osce memungkinkan untuk pengujian simultan tentang pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan kompetensi klinis dari sejumlah besar siswa5. osce dapat menguji berbagai dimensi dari kompetensi klinis, yang meliputi: history taking, physical examination, interpersonal and communication skills, professionalism, technical skills, problem solving, decision making, management and documentation6. osce merupakan bentuk ujian yang aman, karena tidak akan menimbulkan cedera pada pasien, sehingga tidak berisiko dan memungkinkan untuk diulang. osce juga memungkinkan terjadinya umpan balik dari pemeran pasien standar (ps) yang terlibat. station osce dapat disesuaikan dengan tingkat keterampilan yang akan dinilai. dalam kegiatan osce demonstrasi keterampilan kegawatdaruratan juga dimungkinkan untuk dilakukan. selain yang sudah disebutkan, osce dapat digunakan untuk mengaudit proses pembelajaran yang telah dilakukan7. osce bukan tidak memiliki kelemahan. keterbatasan jumlah station dapat menjadi masalah dalam mengumpulkan informasi yang reliabel terhadap suatu performa/kemampuan. skenario yang disiapkan mungkin tidak bisa meniru situasi klinik yang sebenarnya secara ideal. osce meru 44 indri kurniasih | lima komponen penting dalam perencanaan osce pakan suatu bentuk penilaian yang membutuhkan biaya besar. penyediaan logistik dalam pengembangan dan pelaksanaan bentuk penilaian osce sulit dan memakan waktu7. osce merupakan metode penilaian yang paling mencemaskan bagi mahasiswa dibandingkan dengan tes tertulis ataupun tes persiapan preklinik. tingkat kecemasan osce berhubungan dengan tingkat persiapan dan harapan akan keberhasilan dalam osce, tetapi tidak berkaitan dengan skor tes yang diperoleh8. sebagai suatu metode penilaian, osce harus memenuhi kriteria penilaian yang baik. kriteria tersebut adalah (1) validity atau coherence; (2) reproducibility atau consistency; (3) equivalence; (4) feasibility; (5) educational effect; (6) catalytic effect; dan (7) acceptability9,10. sejumlah penelitian men-deskripsikan osce sebagai suatu alat penilaian kompetensi klinis yang objektif, valid dan reliabel serta menghasilkan informasi yang dapat diandalkan mengenai kemampuan kinerja individu11, 12. berbagai faktor dapat membuat hasil-hasil dari osce kurang reliabel seperti jumlah station yang terlalu sedikit, sampling yang buruk, pendangkalan tugas, checklist yang tidak sesuai, kendala waktu, kekurangan pasien standar, pelatih yang inkonsisten, kelelahan mahasiswa karena osce yang panjang, kebocoran checklist dan kurangnya integritas dari penguji serta mahasiswa4. sampling berkaitan dengan cara menentukan jumlah dan jenis station yang akan diujikan. pemilihan sampel terhadap materi yang diujikan harus dilakukan dengan tepat agar semua kemampuan yang akan dinilai dapat terwakili dalam stationstation osce. untuk mengukur satu kompetensi klinis terkadang diperlukan beberapa station dengan beberapa variasi tugas. jenis keterampilan yang akan dinilai harus tercakup dalam station-station yang diujikan. item analisis dari station-station osce dan eksklusi dari station-station bermasalah berguna secara praktis untuk meningkatkan realibilitas osce13. pasien standar merupakan individuindividu yang terlibat dalam osce, yang memperagakan/menggambarkan suatu kasus klinis tertentu secara konsisten pada suatu station. pasien standar bukanlah orang yang sesungguhnya menderita kasus klinis yang digambarkan tetapi mereka hanya mensimulasi masalah klinis semata-mata untuk tujuan pelatihan dan penilaian. persiapan pasien standar merupakan hal yang penting dalam persiapan kegiatan osce. komite ujian harus melakukan rekruitment dan pelatihan khusus terkait persiapan pasien standar. kelelahan pasien standar dalam pelaksanaan osce seharusnya dihindari dengan menyiapkan jumlah pasien standar yang cukup, karena hal itu dapat mengganggu konsistensi sikap dan tindakan pasien standar dalam memerankan suatu kasus14. menurut zabar et. al (2013), ada 10 langkah dalam melakukan pengaturan seluruh kegiatan osce yaitu: (1) identifikasi sarana prasarana yang tersedia, (2) kesepakatan tentang tujuan dan batas waktu, (3) penyusunan blueprint, (4) pengembangan kasus dan station, (5) pembuatan checklist penilaian, (6) rekruitmen dan pelatihan pasien standar, (7) rekruitmen dan pelatihan penguji, (8) implementasi osce: pengaturan sesi ujian, (9) pengaturan, analisis, pelaporan data dan hasil, (10) pengembangan perpustakaan kasus dan organisasi osce13. perencanaan merupakan kunci suksesnya penyelenggaraan ujian osce. ada 4 hal penting yang perlu diperhatikan oleh komite 45 idj, vol. 3 no.1 bulan mei tahun 2014 ujian dalam perencanaan osce yaitu penyusunan blue print untuk memastikan validitas konten, seleksi dari bentuk-bentuk tes terbaik, aplikasi strategi untuk mencapai level realibilitas yang kuat dan penetapan standard setting yang sesuai untuk prosedur pengambilan keputusan 15. diskusi perencanaan dan persiapan osce meliputi identifikasi kompetensi-kompetensi yang akan dievaluasi di akhir suatu pelatihan/pembelajaran, kriteria performa dan penentuan skor minimal pada setiap station untuk memastikan pencapaian kompetensi. penggunaan pakar-pakar klinis untuk menilai pencapaian kompetensi-kompetensi siswa/peserta didik dapat meningkatkan validitas dan reliabilitas dari suatu prosedur penilaian 14. terdapat lima komponen penting yang harus dipersiapkan dengan sangat baik dalam merencanakan kegiatan osce, yaitu: 1. disain osce disain osce meliputi penyusunan blue print, penyusunan soal kasus/station dan penyusunan checklist penilaian/rating scale a. penyusunan blue print elemen kunci dalam merancang suatu osce adalah dengan mengembangkan suatu blue print. blue print merupakan suatu matrik yang menghubungkan suatu daftar deskripsi singkat dari seluruh station yang diujikan dengan kompetensi yang dinilai. hal ini memastikan bahwa kompetensi individu akan dinilai beberapa kali dan setiap station berkontribusi terhadap kelengkapan keseluruhan ujian atau latihan dengan menilai beberapa kompetensi. sebuah pendekatan yang terorganisir dalam penyusunan blueprint memperkuat validitas sebuah osce. hal ini dapat mencakup tinjauan pustaka, survei kurikulum, dan diskusi membangun konsensus13. sangat penting untuk menggunakan blue print untuk merencanakan konten dari osce, karena hal ini membantu untuk memastikan bahwa domain yang berbeda dari keterampilan diuji secara adil dan keseimbangan bidang studi yang diuji diputuskan secara adil16. b. kasus dan station penting untuk menulis materi station dengan baik sebelum tanggal penilaian sehingga station dapat ditinjau dan diujicobakan sebelum penilaian yang sebenarnya. kadang-kadang station yang tampaknya berawal dari ide yang baik, pada saat penulisan dapat berubah menjadi tidak layak dalam pelaksanaannya. pada tahap penyusunan, suatu station sebaiknya memiliki instruksi yang jelas terkait dengan tugas kandidat, tugas penguji, daftar peralatan yang dibutuhkan, daftar kebutuhan pasien nyata atau pasien simulasi, skenario yang harus diperagakan pasien simulasi, checklist terkait dengan semua aspek penting yang diujikan, serta lama waktu station16. panjang ujian umumnya bervariasi antara 10 dan 20 stasiun3. kasus pada station osce merupakan suatu masalah klinis, yang disusun dengan melibatkan serangkaian tugas tertentu yang akan dinilai. station osce yang didasari pada kasus pasien 46 indri kurniasih | lima komponen penting dalam perencanaan osce yang nyata akan menambah validitas osce13. c. penyusunan checklist/rating form kualitas sebuah form penilaian ditentukan oleh sejauh mana penilai (baik pasien standar maupun penguji) dapat menggunakan form tersebut secara konsisten. reliabilitasnya terlihat dari sejauh mana form penilaian tersebut akan menghasilkan hasil yang sama jika digunakan oleh penilai yang berbeda atau pada kesempatan yang berbeda, sedangkan validitas form penilaian ditentukan dari sejauh mana komponen-komponen penilaian secara akurat mencerminkan keterampilan/kinerja yang akan dinilai. kunci untuk dapat mengembangkan itemitem form penilaian yang reliabel dan valid adalah: (a) identifikasi domain secara spesifik; (b) menuliskan itemitem yang dapat dimengerti; dan (c) menyediakan panduan atau instruksi yang membimbing penilai dalam melakukan penilaian. dengan menyusun blue print untuk menentukan keterampilan serta konten osce yang dinilai, dan menetapkan kontribusi setiap station terhadap tujuan yang akan dicapai, tahapan penyusunan form penilaian yang efektif sebenarnya sudah dilakukan. dua format untuk form penilaian item-item yang biasanya digunakan yaitu item perilaku spesifik dan peringkat penampilan keseluruhan (global rating). dalam osce, yang paling populer digunakan untuk menilai item perilaku spesifik adalah checklist karena sederhana. checklist hanya mencatat iya atau tidak perilaku atau tindakan tertentu yang dilakukan dapat meningkatkan akurasi dan kehandalan penilaian. global rating merujuk pada kesan umum tentang kinerja pembelajar dalam domain tertentu (misalnya, keterampilan komunikasi, pengetahuan medis, profesionalisme). dengan kata lain, merujuk pada tingkat kepuasan penguji terhadap keseluruhan tindakan kandidatan 13. item checklist berisi item-item penilaian terhadap tindakan yang harus dilakukan dalam menanggapi informasi dalam skenario kasus (stem) yang diberikan. item-item dalam checklist harus ditinjau ulang dan diedit untuk memastikan bahwa: (a) item sesuai untuk tingkat pelatihan yang dinilai; (b) item berbasis tugas; dan (c) item bisa teramati. panjang checklist tergantung pada tugas klinis, waktu yang diberikan, dan orang yang menilai. sebuah checklist untuk sebuah station 5 menit yang menguji anamnesis dapat memiliki hingga 25 item jika penguji dari fakultas (dosen) yang memberi skor nilai. jika pasien standar yang melakukan pemberian skor nilai, maka item checklist harus lebih sedikit dan lebih rinci untuk memandu pemberian skor nilai. suatu skor harus dinilai untuk setiap item. skor item dapat berupa nilai 1 atau 0, atau bobot relatif dengan item yang lebih penting akan bernilai lebih. bobot tidak dapat mengubah tingkat lulus-gagal dari osce keseluruhan, tetapi dapat meningkatkan validitas checklist dan dapat mempengaruhi peserta yang lulus atau gagal17. 47 idj, vol. 3 no.1 bulan mei tahun 2014 tabel 1. contoh blue print osce history taking physical examinatio n interpretation skills procedural skills management patient counselin g oral surgery 1 1 paediatric dentistry 1 1 orthodontic 1 1 1 prostodontic 1 1 dental radiology 1 1 periodontic 1 1 1 oral medicine 1 1 1 conservative dentistry 1 2. pasien standar pasien standar adalah individu terlatih yang hadir dalam situasi klinis dengan gejala standar mirip dengan yang mungkin dihadapi oleh pasien yang sebenarnya. pada 1980-an istilah "pasien simulasi" menjadi populer. dengan meningkatnya penggunaan dalam penilaian dan kebutuhan yang sesuai untuk mengendalikan stimulus tes, istilah "pasien standar" sering kali lebih disukai, terutama di amerika utara 15. penggunaan simulasi pasien pada kegiatan osce membentuk suatu bagian penting dari penilaian. penilaian oleh pasien standar dapat meningkatkan proses standard setting. penambahan data hasil penilaian pasien standar ke dalam penilaian global oleh penguji memiliki efek penting pada hasil tes individual kandidat. pada standard setting metode borderline regresi, penambahan penilaian oleh simulasi pasien/pasien standar pada checklist penilaian tampaknya mengarah pada peningkatan reliabilitas penilaian 18. untuk membuat suatu kasus pasien yang nyata, pasien standar perlu memenuhi 3 aspek berikut: 1) pasien standar harus tahu semua detil fisik, psikologis, dan sosial yang terkait dengan kasus yang akan diperagakan; (2) pasien standar harus mampu secara konsisten melukiskan nada emosional dalam jumlah yang tepat yang sesuai dengan kasus; (3) tindakan dan respon pasien standar harus diatur dengan benar. ada banyak opini tentang seberapa banyak pelatihan yang dibutuhkan oleh pasien standar agar dapat memerankan kasus mereka secara adekuat. jumlah total waktu pelatihan tergantung pada kebutuhan kasus, biaya, dan batasan waktu. jika osce merupakan penilaian formatif, maka 2 jam waktu pelatihan mungkin cukup, terutama dengan pasien standar yang memiliki pengalaman. jika osce merupakan penilaian sumatif, pelatihan harus lebih lama dan lebih luas yaitu 10-20 jam pelatihan 13. penggunaan bahasa untuk pasien, penentuan 48 indri kurniasih | lima komponen penting dalam perencanaan osce persepsi pasien terhadap masalah, pemberian informasi yang relevan penting diperhatikan saat memberikan arahan untuk pasien standar. tanggapan untuk semua item checklist harus dimasukkan. perilaku pasien yang mempengaruhi kasus harus dijelaskan dalam bahasa tubuh, nada bicara, dan kecepatan. gejala yang akan disimulasikan juga harus dijelaskan kepada pasien standar 17. pelatihan pasien standar memberikan kontribusi besar terhadap kehandalan ujian, penampilan pasien standar yang konsisten memastikan bahwa semua kandidatan mendapatkan tantangan yang sama 16. 3. penguji keputusan penting saat merencanakan suatu osce salah satunya adalah pada perencanaan orang yang akan menjadi penilai kandidatan. tugas sebagai penilai adalah tugas yang sulit karena ada begitu banyak faktor yang dapat mengganggu penilaian kinerja yang akurat. penguji sebaiknya kelompok penilai yang sudah terlatih. lamanya waktu pelatihan bervariasi tergantung pada orang yang menjadi penilai, banyaknya peringkat yang dinilai dan pengalaman osce yang telah mereka miliki, ketat tidaknya penilaian dan jumlah waktu yang tersedia secara signifikan. tidak semua orang bisa terlibat dalam pengembangan ujian, sehingga penilai setidaknya harus memahami dasar pemikiran yang mendasari penyusunan osce yang dilaksanakan dan merasa yakin bahwa kategori tidak dipilih secara sewenangwenang. sikap dan emosi tak diragukan lagi memainkan peran sentral dalam proses penilaian. penting bagi pelatih penguji untuk menyadarkan penguji tentang tugas mereka. seringkali dalam banyak osce, penguji juga diminta untuk segera memberikan umpan balik. biasanya ada keterbatasan waktu (5-10 menit) dan umpan balik harus singkat 13. osce memerlukan sejumlah besar penguji. hal ini bisa menjadi sebuah kekuatan, karena kandidat diamati dan dinilai oleh beberapa dokter, tetapi juga bisa menjadi salah satu kelemahan, seperti ketidaksesuaian antara penilai akan mengurangi keadilan dan kehandalan dari osce. pelatihan penguji adalah investasi yang sangat berharga 16. 4. sarana-prasarana dalam suatu kegiatan yang melibatkan sejumlah besar orang seperti osce, diperlukan organisasi kegiatan yang sangat baik. bukan hanya sarana pada station tertentu yang dipersiapkan, tetapi juga bentuk-bentuk dan sumber daya lain yang membantu organisasi osce secara keseluruhan. hal yang perlu disadari adalah kesalahan pada saat pelaksanaan kegiatan osce sangat mungkin terjadi, namun dengan perencanaan yang baik dan sumber daya yang memadai, hal tersebut dapat diatasi. hal hal yang bisa menjadi sumber permasalahan di antaranya terkait dengan kehadiran, standardisasi, manajemen waktu dan manajemen emosi 13. dalam segi biaya, osce membutuhkan biaya yang sangat bervariasi karena jumlah stasiun menentukan jumlah pasien standar, penguji, dan staf yang diperlukan. faktor signifikan lain yang mempengaruhi biaya osce adalah ada atau tidaknya anggota fakultas yang mempersiapkan 49 idj, vol. 3 no.1 bulan mei tahun 2014 penulisan kasus, menetapkan standar dan menganalisis hasil osce 17. 5. standard setting pada osce standard setting merupakan prosedur yang diterapkan pada penilaian untuk menetapkan batas antara siswa yang lulus atau dianggap kompeten, dan mereka yang harus gagal atau dianggap tidak kompeten. ada 2 tipe standar, yaitu relatif dan absolut. standar relatif dinyatakan sebagai suatu nilai atau persentase kandidatan. standar absolut dinyatakan sebagai suatu nilai atau persentase dari item tes. standar absolut lebih sesuai untuk tes kompetensi yang tujuannya adalah untuk meyakinkan bahwa kandidatan cukup mengetahui tujuan tes tersebut 19. untuk penilaian resiko tinggi, banyak ahli psikometri dan ahli pendidikan medis menganjurkan absolute or criterionreferenced standard setting (yaitu, nilai yang mencerminkan kemampuan untuk kompeten melakukan keterampilan dan perilaku tertentu). pada osce, jika para pakar dari fakultas mengobservasi dan memberi penilaian terhadap performa para kandidat, maka metode borderline group ataupun metode contrasting group dapat digunakan sebagai metode standard setting. metode ini mudah dan sederhana dalam penerapannya. namun, apabila para pakar tidak memberikan penilaian saat ujian osce, contohnya jika pasien standar yang memberikan nilai pada checklist, maka metode yang melibatkan penilaian terhadap item tes atau item konten seperti metode angoff, ebel, atau metode hofstee dapat digunakan 20. borderline regression method (brm) merupakan salah satu metode standard setting dalam osce 21. metode ini banyak dipilih oleh institusi karena metode regresi memberikan beberapa indikasi hubungan antara nilai global dan nilai checklist, juga dapat menunjukkan tingkat diskriminasi antara mahasiswa yang lebih lemah dan lebih kuat. namun, metode ini sangat sensitif terhadap outlier dan dapat mengganggu hasil dari standard setting. adapun kelompok outlier tersebut adalah : a) kandidat yang memiliki performa sangat buruk dan mendapatkan nilai checklist hampir nol. b) kandidat yang mencapai nilai checklist yang baik tetapi gagal mengesankan penguji secara keseluruhan. c) penguji yang memberikan nilai keseluruhan yang salah. brm menggunakan semua interaksi penilaian yang nyata antara penguji dan kandidat 22. unsur validitas dan reliabilitas osce sangat dipengaruhi oleh kelima komponen penting yang telah diuraikan sebelumnya. disain osce yang baik akan mempengaruhi tercapainya nilai validitas yang tinggi. persiapan dan perencanaan yang baik pada komponen penguji, pasien standar dan sarana prasarana dapat mempengaruhi tercapainya reliabilitas osce yang baik. komponen standar setting osce dilakukan untuk memastikan bahwa penetapan hasil ujian terpercaya. setiap komponen memiliki tingkat kerumitan masing-masing dalam persiapan dan pelaksanaannya. ketelitian dalam persiapan detil dan perencanaan osce 50 indri kurniasih | lima komponen penting dalam perencanaan osce mutlak dilakukan oleh panitia penyelenggara osce. kesimpulan osce merupakan penilaian yang mempunyai banyak kelebihan dalam menilai performa suatu keterampilan klinik. sebagai metode penilaian osce harus memenuhi kriteria penilaian yang baik. banyak faktor yang dapat menyebabkan penilaian osce menjadi tidak valid dan reliabel, diantaranya adalah kurangnya perencanaan yang baik terhadap komponen-komponen penyusun osce. persiapan berbagai komponen penting penyusun osce harus dilakukan secara terencana oleh komite ujian dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar penyusunan osce. daftar pustaka 1. harden, r.m., 1988. what is an osce?. med. teacher, 10 (1): 19-22. 2. newble, d.i., 2004. techniques for measuring clinical competence: objective structured clinical examinations. med educ, 35: 199-203. 3. harden, r.m., a practical guide for medical teachers, 3rd ed. elsevier: p. 334, 2009 4. gupta, p., dewan, p., and singh, t., 2010. objective structured clinical examination (osce) revisited, indian pediatrics, 47: 911-920. 5. brannick, m.t., erol-korkmaz, t.h., and prewett, m., 2011. a systematic review of the reliability of objective structured clinical examination scores. j med educ, 45: 1181-1189. 6. casey, p.m., goepfert a.r., epsey e.l., 2009. to the point: reviews in medical education-the objective structured clinical examination, am. j. obstet gynecol, 200: 25-34. 7. zayyan, m., 2011. objective structured clinical examination: the assessment of choice. oman med j., 26(4): 219222. 8. brand, h.s., and schoonheim-klein, m., 2009. is the osce more stressful? examination anxiety and its consequences in different assessment methods in dental education. eur j dent educ, 13: 147–153. 9. norcini, j.j., et al. 2011. criteria for good assessment: consensus statement and recommendations from the ottawa 2010 conference. med. teacher, 33: 206-214. 10. van der vleuten, p.m.c. 1996. the assessment of professional competence : developments, research and practical implications. adv health sci educ, (1): 41-67 11. cohen, r., et al. 1990. reliability and validity of the objective structured clinical examination in assessing surgical residents. am j surg,160 (3): 302-305. 12. rekany, a.j., al-dabbagh, s., and phil, h.d. 2010. validity and reliability of osce in evaluating practical performance skills of interns in emergency medicine. duhok med j., 4(2): 21-29. 13. zabar, s., kalet, a., krajic, k.e., hanley, k. (eds.) objective structured clinical examinations,10 steps to planning and implementing osces and other standardized patient exercises. sp-ringer science+business media new york, 2013 14. mcgaughey, j. 2004. standardizing the assessment of clinical competence: an overview of intensive care course design. british association of critical care nurses, 9(5): 15. roberts, c., et al. 2006. the quality of high-stakes undergraduate assessments of clinical competence. medical teacher, 28(6): 535-543. 51 idj, vol. 3 no.1 bulan mei tahun 2014 16. boursicot, k., and roberts, t., 2005. how to set up an osce. the clinical teacher, 2(1): 16-20. 17. smee, s., 2003. abc of learning and teaching in medicine: skill based assessment. bmj, 326: 703-706. 18. homer, m., and pell, g., 2009. the impact of the inclusion of simulated patient ratings on the reliability of osce assessments under the borderline regression method, med teacher, 31: 420–425. 19. norcini, j.j. 2003. setting standards on educational tests. j. med educ, 37: 464469 20. yudkowsky, r., standard setting. in: downing and yudkowsky, ed., assessment in health professions education. new york, routledge. p. 130, 2009 21. pell, g., and roberts, t.e. 2006. setting standards for student assessment. international journal of research & method in education, 29(1): 103. 22. pell, g., fuller, r., homer, m., and trudie, r., 2010. how to measure the quality of the osce: a review of metriks-amee guide no 49. medical teacher, 32: 802-811. 24 tita ratya u. │ perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan menggunakan alat cekat (straight wire appliance) (laporan kasus) treatment of dento-skeletal class iii malocclusion in growth period using straight wire appliances (case report) tita ratya utari bagian ortodonsia, program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran, universitas muhammmadiyah yogyakarta korespondensi : tita_utari@yahoo.com abstrak pendahuluan: perawatan maloklusi kelas iii sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada saat pasien dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, sehingga pertumbuhan dapat diarahkan. penatalaksaan lebih awal akan memberikan hasil yang lebih baik dari profil maupun oklusinya dan dapat mencegah terjadinya kelainan yang lebih berat. tujuan: memperbaiki gigitan silang (crossbite) yang terjadi pada gigi anterior dan posterior sehingga terbentuk relasi gigi rahang atas dan rahang bawah yang normal, dengan overjet dan overbite normal, koreksi gigi yang berjejal dan memperbaiki garis median sehingga diperoleh estetik penampilan yang lebih baik. penatalaksanaan kasus: menggunakan alat cekat dengan sistem straight wire, tahap pertama perawatan dilakukan levelling dan unravelling untuk koreksi crowding gigi anterior. pasien masih berusia 14 tahun sehingga pemakaian elastik intermaksiler klas iii sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan rahang bawah dan memacu pertumbuhan rahang atas sehingga terbentuk overjet positif. kesimpulan: untuk kasus kelas iii yang dilakukan lebih dini dapat dilakukan perawatan ortodontik tanpa dilakukan pembedahan. hasil perawatan relatif memuaskan dengan terkoreksinya crowding dan crossbite di anterior maupun posterior. profil pasien menjadi lebih baik, semula cekung terkoreksi menjadi lurus. kata kunci : crossbite, maloklusi klas iii, sistem straight wire abstract introduction: treatment of class iii malocclusion had better done as soon as possible since patient in a growth and development period, so that the growth can be well directed. early treatment on the case of class iii malocclusion will have a better result on the profile as well as the occlusion and prevent another severe anomaly. purpose: to improve cross bite in anterior and posterior teeth therefore relation between upper and lower jaw become normal, resulting normal over jet and overbite, improve crowding and correcting median line to achieve good aesthetic and appearance. case management: using a fixed appliance with a straight wire system, the first phase of treatment is levelling & unravelling for correction anterior dental crowding. the patient was 14 years old so the use of class iii intermaksilary elastic very effective to inhibit the growth of the lower jaw and spur the growth of the upper jaw, forming a positive over jet. conclusion: early treatment in malocclusion class iii can be treated with non-surgical treatment when the patient was in growth and development period. result of the treatment was quite satisfying by the improvement of crowding, anterior and posterior cross bite. profile of the patient becomes better which has a concave profile at the beginning and get corrected hence result straight profile. key words: cross bite, class iii malocclusion, straight wire. 25 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . pendahuluan prevalensi maloklusi klas iii di asia cukup tinggi disebabkan oleh besarnya prosentase pasien dengan defisiensi maksila. insidensi antara 4%-5% pada orang jepang dan 4%-14% pada orang cina.1 kasus ini merupakan salah satu kasus yang sulit dirawat terutama pada pasien yang telah berhenti masa partumbuhanya.2 perawatan kelas iii sebaiknya dilakukan sedini mungkin, untuk mencegah terjadinya kelainan yang lebih berat lagi.3 perawatan lebih awal pada kasus maloklusi klas iii perlu dilakukan karena satu alasan yang sangat mendasar yaitu adanya partumbuhan mandibula yang tidak dapat diprediksi. perawatan ini bertujuan untuk mencegah perubahan jaringan lunak dan tulang yang irreversible, memperbaiki diskrepansi skeletal dan memberikan lingkungan yang baik untuk partumbuhan, meningkatkan fungsi oklusal, mempermudah perawatan fase kedua, serta memberikan estetika yang lebih baik untuk meningkatkan kondisi psikologis anak.4 beberapa penelitian menyatakan bahwa maloklusi klas iii disebabkan oleh faktor genetik. diperkirakan 1/3 orang yang mengalami maloklusi klas iii memiliki orang tua dengan kasus yang sama, sedangkan 1/6 orang yang mengalami maloklusi klas iii dipengaruhi oleh faktor keturunan. sehingga sangat terlihat bahwa genetik berperan penting dalam terjadinya maloklusi klas iii. selain faktor genetik terdapat faktor lain yang mungkin mempengaruhi adanya maloklusi klas iii yaitu faktor kebiasaan buruk seperti bernafas dengan mulut dan postur memajukan mandibula.5 pasien yang datang untuk melakukan perawatan kelas iii biasanya merasa penampilan wajahnya kurang memuaskan karena dagu yang lebih maju ke depan.6 pada kasus maloklusi klas iii yang parah diperlukan pembedahan untuk koreksi dental, skeletal, diskrepansi, serta meningkatkan estetik.7 penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peter ngan (2005) menyatakan 1 diantara 3 pasien maloklusi yang telah selesai masa pubertasnya membutuhkan perawatan ortognatik dikarenakan pola pertumbuhan yang tidak diinginkan. perawatan awal pada kasus maloklusi klas iii dengan defisiensi maksila menggunakan alat seperti protraction facemask dapat digunakan untuk menghilangkan anterior cross bite, diskrepansi centric occlution/centric relation (co/cr), dan memaksimalkan potensi pertumbuhan kompleks nasomaksilari.8 pada kasus tertentu perawatan kamuflase dapat dilakukan. pada perawatan ini sebisa mungkin dapat menghasilkan kamuflase dental skeletal yang memenuhi estetik wajah serta koreksi fungsi.9 perawatan yang dilakukan pada kasus klas iii biasanya dengan melakukan ekstraksi gigi rahang bawah dan melakukan flaring pada gigi-gigi rahang atas untuk mengkoreksi crossbite anterior dengan overjet yang terbalik, serta pemakaian elastik kelas iii. meskipun hasilnya tidak merubah profil pasien secara signifikan, biasanya pasien sudah merasa puas dengan keadaan gigi yang rapi.10 perawatan maloklusi klas iii antara lain dengan menggunakan alat cekat yaitu dengan sistem edgewise dan straight wire. shushu dkk menggunakan multiloop edgewise arch wire untuk merawat pasien dengan maloklusi skeletal klas iii yang telah terhenti masa pertumbuhannya. dari penelitian tersebut, dikatakan perawatan dengan multiloop edgewise archwire (meaw) merupakan strategi yang baik dan dapat digunakan pada pasien dengan high angle dan tendensi open bite yang tinggi.11 berdasarkan penelitian sebelumnya oleh zhi (2006) menyatakan bahwa pada penyusunan gigi posterior straight wire appliance membe-rikan hasil yang lebih akurat dan lebih efisien serta waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan edgewise appliance. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh yh zhou (2004) yang menyatakan straight wire appliance sangat bermanfaat dalam kontrol tiga dimensi dari gigi ketika pre dan post surgical orthodontic treatment dimana tidak diperlukan wire bending.12,13 pada laporan kasus ini akan dibahas perawatan kelas iii dengan gigitan silang (crossbite) anterior dan posterior, crowding 26 tita ratya u. │ perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . anterior rahang atas dan rahang bawah, disertai pergeseran garis median rahang atas kesebelah kanan, dengan melakukan pencabutan gigi molar pertama rahang bawah menggunakan alat cekat straight wire system. laporan kasus pasien seorang remaja laki laki berusia 14 tahun dengan keluhan utama gigi depan rahang atas dan rahang bawah sangat berjejal, sehingga merasa terganggu dengan penampilannya. keadaan kesehatan secara umum baik namun oral hygiene kurang baik. profil muka cekung (gambar 1.c) dan tidak mengalami kelainan sendi temporo mandibula. pasien menginginkan perawatan dengan alat ortodonti cekat untuk memperbaiki gigi depannya yang berjejal dan memperbaki penampilannya. gambar 1. foto ekstra oral pasien sebelum perawatan a.tampak depan, b. tampak depan tersenyum, c. tampak samping,d. tampak samping tersenyum gambar 2. sebelum perawatan a. foto oklusal rahang atas, b. foto oklusal rahang bawah 27 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . gambar 3. foto intra oral pasien sebelum perawatan. a. tampak depan, b. sisi kanan, c. sisi kiri gambar 4. foto rontgen panoramik sebelum perawatan diagnosis maloklusi angle kelas iii dentoskeletal (sna 90°, snb 92°, anb -2°). disertai dengan gigi anterior rahang berjejal cukup parah terutama pada rahang atas (gambar 2), crossbite anterior dan posterior sisi kanan dan kiri, pergeseran garis median rahang atas ke kanan sebesar 3 mm (gambar 3). analisis model menunjukkan maloklusi angle kelas iii tipe 3, overbite 2 mm, overjet terbalik -2 mm, crossbite seluruh gigi baik anterior maupun posterior. pemeriksaan rontgenologis gigi 38 dan 48 mesioanguler, tampak area radiolusen pada ujung akar distal gigi 46 dan tumpatan yang sudah mencapai rongga pulpa pada gigi 36 ( gambar 4). penatalaksanaan kasus perawatan dilakukan menggunakan alat cekat straight wire system dengan slot 0,22. tahap pertama perawatan dilakukan levelling dan unravelling untuk koreksi gigi anterior atas dan bawah yang berjejal menggunakan wire niti 0,12. crowding pada gigi anterior bawah dalam waktu singkat terkoreksi, namun pada rahang atas membutuhkan waktu lebih lama dikarenakan crowding yang parah dan diperlukan pembukaan ruang menggunakan open coil spring diantara gigi 13 dan 11 untuk mendapatkan ruang bagi gigi 12 yang tumbuh di palatal. dalam waktu 18 bulan seluruh gigi yang crowding telah terkoreksi 28 tita ratya u. │ perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . dan relasi gigi anterior yang semula crossbite menjadi edge to edge. wire pada rahang bawah dibuat loop diantara gigi 42-43 dan 3233 (gambar 5a). perawatan dilanjutkan dengan menggunakan elastik intermaksilari klas iii yang dikaitkan pada bukal tube gigi 16, 26 dan loop pada wire rahang bawah (gambar 5 b, c). pasien tidak kontrol hampir selama 1 tahun sehingga perawatan menjadi tidak terkontrol. pada saat mulai aktif kontrol kembali, gigi 36 dan 46 mengalami abses sehingga diputuskan untuk dilakukan pencabutan pada gigi tersebut dan dilanjutkan pemakaian elastik klas iii. ruang pencabutan gigi 36 dan 46 memungkinkan lengkung gigi anterior bawah diretraksi sehingga terbentuk overjet normal dan sisa ruang pencabutan dapat digunakan untuk erupsi gigi 38 dan 48 yang mengalami impaksi. pasien sangat kooperatif dalam me-makai elastik sehingga dalam waktu singkat tercapai overjet normal. pasien sudah merasa puas dan tergesa gesa ingin dilepas bracketnya, dimana masih terdapat gigi posterior yang crossbite dan terdapat sisa ruang bekas penca-butan gigi 36 dan 46 yang direncanakan untuk ruang erupsi gigi 38 dan 48. gambar 5. fotografi intra oral pasien dalam progres perawatan. a. tampak depan, b. sisi kanan, c. sisi kiri gambar 6. foto ekstra oral pasien setelah perawatan a.tampak depan, b. tampak depan tersenyum, c. tampak samping, d.tampak samping tersenyum 29 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . gambar 7. foto intra oral setelah perawatan. a. tampak depan, b. sisi kanan, c. sisi kiri gambar 8. foto setelah perawatan a. oklusal rahang atas, b. oklusal rahang gambar 9. foto rontgen setelah perawatan. a. panoramik dan b. sefalometri 30 tita ratya u. │ perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . dari rontgen opg tampak gigi 38 dan 48 sudah erupsi dengan baik namun masih terdapat sisa ruang bekas pencabutan gigi 36 dan 46 dimana seharusnya perawatan memang belum selesai untuk menggerakkan gigi 37 dan 47 kearah mesial sehingga terbentuk oklusi yang lebih baik. analisis sefalometri setelah bracket dilepas diperoleh hasil sna 94°, snb 91,5°, anb 3,5°, fis 123°, inter i 130°, impa 74°. pembahasan kasus ini didiagnosa sebagai maloklusi kelas iii angle tipe 3 dengan kelainan baik pada dental maupun skeletalnya. pasien berusia 14 tahun dimana pertumbuhan masih berlangsung. perawatan ortodonti dilakukan karena diperkirakan pertumbuhan mandibula masih akan berlangsung, dimana sebuah literatur menyatakan individu pada kelompok gigi bercampur awal dan akhir yang memiliki pertubuhan mandibula yang berlebihan akan memiliki titik a yang meningkat rata rata 1 mm/ tahun dan panjang mandibula akan bertambah hingga 4,5 mm/tahun.14 pada kasus ini walaupun mandibula masih prognasi (snb lebih dari normal yaitu 91,5) namun dapat tercapai overjet positif (2 mm) dengan relasi kaninus klas i sehingga diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mandibula. pada sebagian besar kasus, perawatan maloklusi kelas iii dilakukan pencabutan gigi premolar pertama rahang bawah, gigi premolar kedua rahang atas, flaring gigi rahang atas dan menarik gigi insisif rahang bawah ke lingual.15 pencabutan gigi molar pertama rahang bawah kanan dan kiri pada kasus ini lebih dikarenakan kondisi gigi tersebut yang sudah berlubang dan mengalami abses. sisa ruang dari pencabutan tersebut dapat digunakan untuk erupsi molar tiga yang mesioanguler. flaring gigi anterior atas dengan open coil spring untuk membuka ruang gigi 12 dapat berhasil dengan baik dimana relasi gigi anterior yang crossbite menjadi edge to edge dan median line mendekati segaris. penarikan gigi insisif rahang bawah ke lingual dengan menggunakan elastik klas iii sehingga diperoleh overjet positif (2 mm). menurut alexander, elastik klas ii atau klas iii jika dipakai dengan tekun dapat memberi dampak perubahan skeletal antero posterior pada pasien yang sangat kooperatif dan sedang mengalami lonjakan pertumbuhan. tujuan pemakaian gaya pada elastik klas iii ini adalah memajukan gigi geligi atas dan atau meretraksi gigi geligi bawah.16 perawatan ortodontik pada kasus ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu memperbaiki relasi gigi anterior posterior yaitu hubungan klas i, koreksi overbite, overjet, dan midline, dan menghilangkan gigi berjejal. menurut ngan (2001) crossbite anterior yang tidak dikoreksi dapat menyebabkan penggunaan yang abnormal dari gigi insisivus bawah, mengakibatkan penipisan alveolar plate pada bagian labial dan atau menyebabkan terjadinya resesi gingiva.17 menurut turpin perawatan awal dapat dilakukan pada pasien dengan faktor positif yaitu disharmoni skeletal yang ringan, tidak ada prognatism dari keluarga, pertumbuhan condilus yang simetris, dan pasien pada masa pertumbuhan yang diharapkan dapat kooperatif. sedangkan perawatan awal tidak dapat dilakukan bila muncul faktor negatif yaitu adanya pola maloklusi pada keluarga, disharmoni skeletal yang parah, tidak ada shifting anteroposterior, pertumbuhan condilus yang asimetris dan pertumbuhan yang terhenti.18 perawatan pada kasus ini menggunakan metode straight wire appliance yang merupakan alat ortodontik tiga dimensi yang mampu mengurangi waktu perawatan dan mengurangi waktu retensi. sebuah penelitian membandingkan hasil perawatan edgewise dan straight wire appliance menyimpulkan bahwa straight wire appliance dapat memberikan hasil perawatan yang lebih akurat 31 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan edgewise.12 pada akhir perawatan masih terlihat dagu yang sedikit prominent akan tetapi hal tersebut secara estetik masih dapat diterima. koreksi gigitan silang (crossbite) pada gigi posterior belum dapat tercapai dan masih terdapat sisa ruang dikarenakan pasien sudah ingin melepas bracketnya. namun demikian perawatan ortodonti pada kasus ini merupakan perawatan pilihan dengan hasil perawatan yang cukup memuaskan untuk pasien dengan terkoreksinya gigitan bersilang anterior dan crowding anterior atas maupun bawah, selain itu juga profil pasien menjadi lebih baik. kesimpulan dan saran kasus kelas iii yang dilakukan lebih dini dapat dilakukan perawatan ortodonti dengan tanpa dilakukan pembedahan. hasil perawatan relatif memuaskan dengan terkoreksinya crowding dan crossbite di anterior maupun posterior. profil pasien menjadi lebih baik, semula cekung terkoreksi menjadi lurus. sebelum perawatan sangat diperlukan penjelasan secara detail kepada pasien mengenai pentingnya perawatan kasus ini dilakukan lebih awal sehingga pasien diharapkan akan lebih kooperatif untuk menyelesaikan perawatan. daftar pustaka 1. ishii h., morita s., takeuchi y., nakamura s. treatment effect of combined maxillary protraction and chincap appliance in severe skeletal class iii cases. am j orthod dentofacial orthop. 1987 oct; 92(4): 304-12. 2. cozza p., marino a., mucedero m. an orthopaedic approach to the treatment of class iii malocclusions in the early mixed dentition. eur j orthod. 2004; 26(2): 1919. 3. lin j., gu y. preliminary investigation of nonsurgical treatment of severe skeletal class iii malocclusion in the permanent dentition. angle orthod. 2003 aug 1; 73(4): 401-10. 4. ngan p. treatment of class iii malocclusion in the primary and mixed dentitions. in: textbook of orthodontics. bishara se. philadelphia: wb saunders; 2001: 375-411. 5. litton s.f., ackermann l.v., isaacson r.j., shapiro b.l. a genetic study of class iii malocclusion. american journal of ortho-dontics. 1970 dec 1; 58(6): 56577. 6. hamdan a.m., singh v., rock w. perceptions of dental aesthetics of class iii and anterior open bite malocclusions: a comparison between 10 to 11 year old schoolchildren and orthodontists. the angle orthodontist. 2012 mar; 82(2): 202-8. 7. mt chew. soft and hard tissue changes after bimaxillary surgery in chinese class iii patients. angle orthod. 2005; 75(6) :959-63. 8. ngan p. early timely treatment of class iii malocclusion. seminars in orthodontics. 2005 sep 1; 11(3): 140-5. 9. hiller me. nonsurgical correction of class iii open bite malocclusion in an adult patient. american journal of orthodontics and dentofacial orthopedics. 2002 aug; 122(2): 210-6. 10. choi jy, lim wh, chun ys. class iii nonsurgical treatment using indirect skeletal anchorage: a case report. the korean journal of orthodontics. 2008; 38(1): 60. 11. he s, gao j, wamalwa p, wang y, zou s, chen s. camouflage treatment of skeletal class iii malocclusion with multiloop edgewise arch wire and modified class iii elastics by maxillary mini-implant anch-orage. the angle orthodontist. 2013 jul; 83(4): 630-40. 12. sun x-w, xu t-m. comparison of straight wire appliance versus edgewise appliance in orthodontic treatment outcome. west china journal of stomatology. 2006 may 1; 24(2): 135-7. 13. yh zhou, yn sun, w hu, mk fu. application of straight wire appliance for pre and postsurgical orthodontics. zhonghua kou qiang yi xue za zhi. 2004; 39(6): 509-12. 32 tita ratya u. │ perawatan maloklusi klas iii dento-skeletal pada masa pertumbuhan... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14. t. baccetti, mc.gill j.s., j.a jr mc namara, i. tollaro. skeletal effects of early treatment of class iii malocclusiom with maxillary expension and face mask therapy. am j orthod dentofacial orthop. 1998; 113(3): 33343 15. ning f., duan y. camouflage treatment in adult skeletal class iii cases by extraction of two lower premolars. the korean journal of orthodontics. 2010; 40(5): 349-57. 16. alexander. teknik alexander (kon-sep dan filosofi kontemporer). 1st ed. jakarta: penerbit egc; 2001. 138-145 p. 17. ngan p. treatment of class iii malocclusion in the primary and mixed dentitions. in: textbook of orthodontics. bishara se. philadelphia: wb saunders; 2001. p. 375-411 18. turpin dl: early class iii treatment. unpublished thesis presented at 81 st sessi on of the american association of orthodontist, san francis 41 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 daya hambat ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) terhadap pertumbuhan candida albicans pada ortodontik lepasan the inhibitory ethanolic extract from leaf of wuluh starfruit against the growth of candida albicans in removable orthodontic sylvie anggraeni puspitasari1, m. shulchan ardiansyah2 l of dentistry, faculty medicine and health science universitas muhammadiyah yogyakarta 2 orthodontic department, faculty of medicine and health science universitas muhammadiyah yogyakarta abstrak latar belakang: ortodontik lepasan adalah ortodontik yang dapat dipasang dan dilepas sendiri oleh pasien. pemakaian ortodontik lepasan ini dapat berubah menjadi lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan candida albicans. daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) dijadikan obat tradisional karena didalamnya terdapat zat-zat aktif berupa saponin, tannin dan flavonoid yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. tujuan peneletian: untuk mengetahui efektifitas ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi .l) terhadap candida albicans secara in vitro. metode penelitian: penelitian ini adalah eksperimental murni laboratorik. mikroba yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian diisolasi dari populasi mikroba yang ada pada pengguna ortodontik lepasan, sedangkan bahan uji yang akan digunakan adalah ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi .l) dengan kelompok perlakuan ada 6 yaitu konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, 100%, kelompok kontrol negatif dengan aquades dan kelompok kontrol positif dengan chlorhexidine 0,2 %. tiap masing konsentrasi ekstrak ditetesi kedalam media sda yang diberi lubang sumuran. setelah itu diinkubasi selama 24 jam dengan suhu c. data yang diperoleh dianalisis dengan one way avova dilanjutkan dengan uji lsd. hasil penelitian: penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh memiliki konsentrasi hambat minimal (khm) pada konsentrasi 12,5% sedangkan kadar bunuh minimal (kbm) pada konsentrasi 100%, dan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi .l) mempunyai daya antijamur terhadap candida albicans. kata kunci: tanaman daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.), candida albicans, ekstrak, kadar hambat minimal (khm), kadar bunuh minimal (kbm) abstract background: removeable orthodontic is a tool that can be detached and set by the patient themselves. the orthodontic removeable application can turned into a favorable environment for the growth and development of candida albicans. leaf of wuluh starfruit (averrhoa bilimbi l.) can be used as a traditional medication because it contain some substances such a saponin, tannin and flavonoid that have a profit for hamper the growth of microorganism. purpose: 42 sylvie anggraeni puspitasari, m. shulchan ardiansyah | daya hambat ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) terhadap pertumbuhan candida albicans pada ortodontik lepasan this research aimed to find out the effect of ethanolic extract from leaf of wuluh starfruit against the growth of candida albicans. methods: this research was designed using purely laboratory experiment. microbes that will serve as a research subject is isolated from populations of the microbes in orthodontic removable user, and for the test material is using a extract from leaf of wuluh starfruit (averrhoa bilimbi.l) and divided into 6 group that is concentration 12,5%, 35%, 50%, 100%, for negative control is using aquades and for the positive control is using chlorhexidine 0,2%. for each individual extract concentration spilled into sda media by pitting holes, after that the sda is incubated for 24 hours with the temperatures is c. the data were analyzed by one way anova and ollowed by lsd test. research findings: the result of this research shows that extract from leaf of wuluh starfruit (averrhoa bilimbi l.) has minimum inhibitory concentration (mic) at a concentration of 12,5% and minimum bactericidal concentration (mbc) at a concentration of 100%, and the conclusion is the extract from leaf of wuluh starfruit (averrhoa bilimbi l,) has antifungal power to candida albicans. key words: leaf of wuluh starfruit plant (averrhoa bilimbi l.), candida albicans, extract, minimum inhibitory concentration (mic) and minimum bactericidal concentration (mbc) pendahuluan o r t h o d o n s i a a d a l a h i l m u y a n g mempelajari tentang hubungan antara gigi geligi dengan perkembangan muka serta cara memperbaikinnya akibat pertumbuhan gigi yang tidak normal1, secara garis besar peranti yang digunakan dalam perawatan ortodontik dapat digolongkan menjadi 3 yaitu: peranti lepasan (removable appliance), peranti fungsional (functional appliance) dan peranti cekat (fixed appliance).2 pemakaian alat ortodontik lepasan menyebabkan upaya dalam mempertahankan kebersihan rongga mulut menjadi tidak mudah, hal ini disebabkan karena penggunaannya yang bersifat sementara. kebersihan rongga mulut pada pemakai ortodontik lepasan yang tidak terjaga akan menimbulkan efek yang tidak menguntungkan, salah satunya adalah timbulnya pertumbuhan jamur atau candida albicans. 3 candida albicans adalah spesies dari jamur candida yang menginfeksi mukosa mulut, candida yang menginfeksi mukosa mulut disebut sebagai kandidiasis.4 kandidiasis umumnya dapat diobati dengan obat anti jamur. maraknya pengunaan obat anti jamur yang tersedia bebas di pasaran bukan berarti menyelesaikan masalah karena timbulnya efek samping dari penggunaan obat-obatan sintesis tersebut.5 indonesia memiliki salah satu tanaman yaitu belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) yang banyak memberikan manfaat untuk kehidupan.6 daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) mengandung zat flafonoid, tanin dan saponin 7. flavanoid merupakan salah satu senyawa dari daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l,) yang mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, butanol, dan aseton. flavanoid golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur.8 metode desain penelitian ini adalah eksperimental murni secara laboratoris in vitro yang dilakukan di laboratorium fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta menggunakan ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) yang 43 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 diujikan pada populasi candida albicans yang terdapat pada plat resin akrilik ortodontik lepasan. pembuatan ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.). daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) segar yang telah dicuci bersih dipotong-potong tipis kemudian dikeringkan. setelah kering daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) tersebut ditumbuk dan diayak halus. serbuk halus dari daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi .l) tersebut di maserasi dengan etanol 70%, kemudian disaring. hasil saringan yang berupa cairan diuapkan ke atas waterbath. penguapan dilakukan sampai semua etanol menguap. ekstrak etanolik daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) yang akan digunakan dalam penelitian ini disiapkan dengan menimbang sejumlah ekstrak kental kemudian dilarutkan dalam akuades steril dan dibagi menjadi beberapa konsentrasi yaitu 12,5%, 25%, 50% dan 100%. populasi candida diperoleh dengan cara swab yang sebelumnya dibasahi terlebih dahulu menggunakan nacl steril lalu subyek melepas alat ortodontik lepasan, swab steril diusap pada akrilik yang berhubungan dengan palatum. oleskan pada subouround dektosa agar pada cawan petri untuk media pertumbuhan candida albicans lalu di inkubasi selama 48 jam dengan suhu 37, terjadi pertumbuhan koloni candida. satu koloni jamur diambil dari hasil isolat yang telah diinkubasi selama 48 jam diambil dengan menggunakan ose steril dan dimasukan kedalam tabung yang berisi nacl 1-2 ml kemudian diinkubasi pada suhu 37 selama 2-4 jam, setelah diinkubasi selama 2-4 jam larutan candida akan dibuat suspensi sesuai standar brown iii yaitu diencerkan dengan media bhi (brain heart fusion) kemudian digojok hingga kekeruhan cfu/ml. setelah mendapatkan standar konsentrasi candida, candida diambil dengan menggunakan kapas lidi steril dan dioleskan pada permukaan media sda secara merata, selanjutnya karena kelompok perlakuan ada 6 buah yakni kelompok perlakuan 12,5%, 25%, 50%, 100%, aquades dan chlorhexidine, maka dibagi menjadi 2 cawan petri yang masing masing berisi 3 buah, sumuran dibuat lubang sumuran sebanyak 3 lubang pada masing masing cawan petri dengan masing masing lubang berdiameter 5 mm dan kedalam 3mm. seluruh lubang pertama diisikan konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) 100%, pemindahan bakteri dari satu tempat ketempat lain harus dilakukan didekat spiritus agar meminimalkan terjadinya kontaminasi dari mikroorganisme lain. setelah mendapatkan standar konsentrasi candida, candida diambil dengan menggunakan kapas lidi steril dan dioleskan pada permukaan media sda secara merata, selanjutnya karena kelompok perlakuan ada 6 buah yakni kelompok perlakuan 12,5%, 25%, 50%, 100%, aquades dan chlorhexidine, maka dibagi menjadi 2 cawan petri yang masing masing berisi 3 buah, sumuran dibuat lubang sumuran sebanyak 3 lubang pada masing masing cawan petri dengan masing masing lubang berdiameter 5 mm dan kedalam 3mm. seluruh lubang pertama diisikan konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) 100%, pemindahan bakteri dari satu tempat ketempat lain harus dilakukan didekat spiritus agar meminimalkan terjadinya kontaminasi dari mikroorganisme lain. 44 sylvie anggraeni puspitasari, m. shulchan ardiansyah | daya hambat ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) terhadap pertumbuhan candida albicans pada ortodontik lepasan pengukuran zona radikal menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm. data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji normalitas analitik shapiro wilk, uji efektifitas ekstrak dianalisis dengan menggunakan uji statistik one way anova atau kruskal wallis untuk melihat ada tidaknya perbedaan konsentrasi. uji lanjutan dari one way anova adalah uji lsd (last significance diference) untuk melihat pada konsentrasi berapa yang memiliki daya anti bakteri sama dengan kontrol positif. hasil penelitian penelitian untuk menguji kemampuan daya hambat ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l) terhadap pertumbuhan jamur penyebab candida albicans pada pengguna ortodontik lepasan dengan melakukan pengukuran zona radikal yang terbentuk di sekitar sumuran yang telah dilakukan. hasil pengukuran diameter zona radikal ekstrak daun dan buah belimbing wuluh pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut: tabel 1. ringkasan hasil pengukuran luas zona hambat dan uji normalitas jenis intervensi luas zona hambat normality test mean sd p-value ekstrak daun belimbing wuluh konsentrasi 12,5% 3,83 0,730* konsentrasi 25% 4,86 0,602* konsentrasi 50% 5,84 0,460* konsentrasi 100% 6,82 0,564* keterangan: *shapiro-wilk test: p>0,05; distribution data normal tabel 1 memperlihatkan perbedaan luas zona daya hambat (mm) ekstrak daun daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) berdasarkan kosentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 100%. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setiap kelompok konsentrasi menggunakan 5 sampel. hasil penelitian memperlihatkan bahwa luas zona daya hambat terbesar ditemukan pada ekstrak daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 100% dan pada ekstrak buah belimbing wuluh dengan konsentrasi 100%. luas zona daya hambat konsentrasi 100% ekstrak daun belimbing wuluh mencapai 6,97mm, sedangkan luas zona daya hambat konsentrasi 100% ekstrak buah belimbing wuluh mencapai 6,51 mm. adapun, luas zona daya hambat terendah ekstrak daun dan buah belimbing wuluh ditemukan pada kosentrasi 12,5%, dengan luas zona daya hambat ekstrak daun belimbing wuluh hanya mencapai 4,45 mm dan luas zona daya hambat ekstrak buah belimbing wuluh mencapai 3,21 mm. belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) yang paling efektif adalah pada konsentrasi 100% hal ini dapat dilihat dari ukuran diameter zona radikal konsentrasi 100% yaitu sebesar 6,16 mm paling tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi lain, sedangkan zona hambat paling kecil terdapat pada konsentrasi 12,5% yaitu sebesar 3,83 mm. salah satu syarat penggunaan uji parametrik adalah uji one way anova, maka data harus memiliki distribusi data normal. berdasarkan hasil uji normalitas, shapiro-wilk, diperoleh 45 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 nilai p>0.05, pada seluruh data kelompok. hal ini menunjukkan bahwa distribusi data normal. dengan demikian, uji parametrik, one way anova, dapat digunakan dalam penelitian ini. uji one way anova merupakan cara untuk mengetahui apakah terdapat daya antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi. l) terhadap pertumbuhan jamur candida albicans pada pengguna ortodontik lepasan, hasil ringkasan dari uji one way annova idapat dilihat pada tabel dibawah ini. tabel 2. ringkasan hasil statistik uji one way anova sum of squares mean squares sig antara kelompok 180,402 36,080 0,000 dalam kelompok 4,290 238 jumlah 184,692 berdasarkan hasil dari tabel 4 pada uji one way anova di atas didapatkan hasil dimana nilai probabilitas (p) = 0,000 atau nilai (p) < 0,05 sehingga ditolak dan diterima yaitu ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi .l) memiliki daya antijamur terhadap pertumbuhan jamur candida albicans. uji one way anova merupakan uji yang digunakan untuk melihat ada tidaknya daya antijamur pada setiap kelompok, tetapi tidak dapat digunakan untuk melihat seberapa besar signifikansi perbedaan rerata daya hambat tiap kelompok perlakuan sehingga dilakukan uji selanjutnya yaitu uji lsd. signifikansi perbedaan rerata daya hambat tiap kelompok perlakuan pada penelitian ini diuji dengan uji lsd (least significance difference). hasil uji lsd dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3. ringkasan hasil statistik uji lsd (i) perlakuan (j) perlakuan signifikansi aquades chlorhexidine 0,2% ekstrak 12,5% ekstrak 25% ekstrak 50% ekstrak 100% -6,82500* -3,83500* -4,86750* -5,84500* -8,83250* ekstrak 12,5% chlorhexidine 0,2% ekstrak 25% ekstrak 50% ekstrak 100% aquades -2,99000* -1,03250* -2,01000* -4,99750* -3,83500* ekstrak 25% chlorhexidine 0,2% ekstrak 12,5% ekstrak 50% ekstrak 100% aquades -1,95750* 1,03250* -0,97750* -3,96500* 4,86750* ekstrak 50% chlorhexidine 0,2% ekstrak 12,5% ekstrak 25% ekstrak 100% aquades -0,98000* 2,01000* 0,97750* -2,98750* 5,84500* 46 sylvie anggraeni puspitasari, m. shulchan ardiansyah | daya hambat ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) terhadap pertumbuhan candida albicans pada ortodontik lepasan (i) perlakuan (j) perlakuan signifikansi ekstrak 100% chlorhexidine 0,2% ekstrak 12,5% ekstrak 25% ekstrak 50% aquades 2,00750* 4,99750* 3,96500* 2,98750* 8,83250* *the mean difference is a significant at the .05 level berdasarkan hasil uji lsd pada tabel 5 menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan mempunyai perbedaan daya hambat antijamur yang signifikan. pembahasan hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana semakin rendah konsentrasi ekstrak yang diuji maka diameter hambat yang terbentuk semakin kecil dan semakin besar konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh menghasilkan zona hambat yang semakin besar.9 aktifitas antifungi dari ekstrak daun belimbing wuluh terhadap terbentuknya zona hambat pertumbuhan candida albicans disebabkan adanya senyawa-senyawa kimia aktif dalam daun belimbing wuluh tersebut seperti flavonoid, saponin dan tannin. flavonoid mempunyai sifat yang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri, virus dan jamur karena flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. mekanismenya saat terjadi kerusakan membrane sitoplasma, ion dari senyawa fenol dan turunannya atau biasa disebut flavonoid akan menyerang gugus polar atau gugus fosfat hal ini mengakibatkan membrane sitoplasma akan bocor dan pertumbuhan bakteri akan terhambat.10 saponin sendiri dapat menghambat pertumbuhan jamur candida albicans, saponin bekerja dengan cara merusak membrane sel, sehingga terjadi kebocoran pada sel berupa keluarnya komponen penting dari dalam sel jamur yaitu seperti protein, asam nukleat dan nukleotida yang akhirnya memacu kepada kematian sel.11 kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 100% mempunyai daya antijamur terhadap candida albicans. saran hasil penelitian ini belum dapat diaplikasikan langsung untuk terapi pada pasien karena masih harus dilakukan penelitian lanjutan, seperti: 1. penelitian lanjutan secara in vivo pada hewan coba maupun probandus karena adanya perbedaan kondisi in vitro dan in vivo maka, perlu dilakukan penelitian lanjutan secara in vivo untuk menggali lebih dalam lagi manfaat daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) dalam pengobatan. 2. perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang ekstrak etanol daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) sebagai antibakteri dan jamur lainnya. 47 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 3. perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui senyawa yang aktif sebagai antibakteri dari daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) daftar pustaka 1. bakar, a. (2013). kedokteran gigi klinis (2nd ed.). yogyakarta: cv. quantum sinergis media. 2. sakinah, wibowo, d., & helmi, z. n. (2016). peningkatan lebar lengkung gigi rahang atas melalui perawatan ortodonti menggunakan sekrup ekspansi. jurnal kedokteran gigi , 1. 3. fitrianti, a., sutjiati, r., & joelijanto, r. (2011). perbedaan potensi pasta gigi dan obat kumur yang mengandung fluor terhadap koloni candida albicans pada piranti ortodontik lepasan. 17. 4. burket, l. w., greenberg, m. s., glick, m., & ship, j. a. (2008). burket’s oral medicine (illustrated ed.). usa: pmphusa. 5. tripathi, k. (2009). essentials of medical pharmacology (6th edition ed.). (m. tripathi, ed.) jaypee brothers medical publishers. 6. roy, a., rv, g., & t, l. (2011). mouthwash. ijddr , iii (3). 7. melia, s., & cicik, s. (2014, agustus 23). pengaruh ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbil.) dalam menghambat pertumbuhan jamur candida albicans secara in vitro. 325-330. 8. fahrunnida, & pratiwi, r. (2015). kandungan saponin buah, daun dan tangkai daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.). 9. liantari, d. s. (2014). effect of wuluh starfruit leaf extract for streptococcus mutans growth . 3. 10. sari, m., & suryani, c. (2014, agustus 23). pengaruh ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbil.) dalam menghambat pertumbuhan jamur candida albicans secara in vitro. 325-330. 11. anggraini, n., & saputra, o. (2016). khasiat belimbing wuluh (averrhoa bilimbi l.) terhadap penyembuhan acne vulgaris. majority , 5. 16 novarini prahastuti і perubahan tipe bentuk lengkung gigi paska perawatan ortodontik … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . perubahan tipe bentuk lengkung gigi paska perawatan ortodontik cekat dengan pencabutan premolar pertama (laporan kasus) change in the form type of dental arch post the fixed orthodontic treatment with extraction of first premolars ( case report) novarini prahastuti bagian ortodonsia, program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran, universitas muhammmadiyah yogyakarta korespondensi : novarini2010@yahoo.co.id abstrak latar belakang: bentuk lengkung gigi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan dan kestabilan hasil perawatan ortodontik, karena akan mempengaruhi fungsi dan estetik oklusi gigi. tipe bentuk lengkung gigi yang tetap sama selama pertumbuhan merupakan indikator adanya keseimbangan antara gigi, lidah dan otot circum oral dari kekuatan perubahan. selama pergantian gigi susu ke gigi permanen, ukuran lengkung gigi yang berubah dapat mempengaruhi bentuk lengkung gigi. perawatan ortodontik alat cekat teknik straight menggunakan wire dengan pilihan bentuk lengkung yang telah ditentukan. salah satu tujuan perawatan tersebut adalah untuk mendapatkan tipe bentuk lengkung gigi yang ideal disesuaikan dengan kondisi pasien. kasus: perempuan 20 tahun mengeluhkan kedua gigi kaninus atas tampak menonjol ketika tersenyum serta gigi-gigi rahang bawah berjejal. diagnosis: maloklusi angle klas i tipe skeletal klas i dengan bimaksiler protrusif, derajat inklinasi gigi insisivus bawah retrusif dan gigi insisivus atas protrusif disertai malposisi gigi individual. perawatan: menggunakan alat cekat teknik straight dengan pencabutan empat gigi premolar pertama. hasil: terjadi perubahan tipe bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimetris menjadi parabola simetris serta perbaikan profil wajah menjadi lebih harmonis. kesimpulan: tipe bentuk lengkung gigi yang sesuai dengan bentuk wajah pasien menciptakan kenyamanan dalam optimalisasi fungsi oklusi, estetik dan stabilisasi hasil perawatan ortodontik. kata kunci : lengkung gigi, pencabutan premolar, straight abstract background: the dental arch form is one of the important factors in determining the success and stability of orthodontic treatment outcome, because it will affect the function and aesthetic of dental occlusion. the type of dental arch form that still same during the growth is an indicator of balance between teeth, tongue and oral circum muscles from the force of change. during the turn of the primary teeth to permanent teeth, the change of dental arch size can affect the shape of the dental arch. treatment of orthodontics using the straight fixed orthodontics appliance by a certain arch form wire that have been chosen. one goal of the treatment is to get the ideal type of dental arch that is adjusted to the patient's condition. case: women 20 years complained that both of upper canine seem stood out when smiling and the lower teeth are crowding. diagnosis: angle class i malocclusion, skeletal types of class i with bimaksiler protrusive, the inclination of lower incisor was retrusive and the upper insisivus was protrusive accompanied by malposition of individual teeth. treatment: used a fixed orthodontic appliance with straight technique by extraction of four first premolars. results: there was mailto:novarini2010@yahoo.co.id 17 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . a type change in dental arch from asymmetrical trapezoidal become symmetrical parabola as well as improvements facial profile to be more harmonious. conclusion: the type of dental arch that appropriate to the shape of the patient's face creating comfort in optimizing the function of occlusion, esthetics and stabilization of orthodontic treatment outcome. keywords: dental arch, premolar extraction, straight techniqu pendahuluan tujuan perawatan ortodontik adalah untuk memperoleh keharmonisan profil muka, relasi dan fungsi pengunyahan yang baik, serta stabilitas hasil akhir.1 pencapaian bentuk lengkung gigi yang stabil secara fungsional dan estetik juga merupakan salah satu tujuan utama dari perawatan ortodontik. keadaan tersebut dapat dicapai jika susunan geligi teratur dan seimbang2. identifikasi bentuk lengkung gigi yang sesuai dengan keadaan pasien merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan perawatan ortodontik. pertimbangan tersebut dilakukan salah satunya jika terdapat ketidak-harmonisan dentofasial.3 bentuk lengkung gigi merupakan salah satu faktor dalam menciptakan estetika dan fungsi oklusi yang optimal.2 bentuk lengkung gigi yang stabil disarankan tetap dijaga untuk mencegah hasil perawatan ortodontik dari relaps.3 de la cruz menyatakan bahwa bentuk lengkung praperawatan merupakan panduan terbaik untuk stabilitas bentuk lengkung paska perawatan. namun perubahan hasil perawatan yang minimal tetap tidak menjamin stabilitas paskaperawatan.2 bentuk lengkung gigi pada awal perkembangannya mengikuti bentuk tulang basal rahang tetapi kemudian bersamaan dengan bertambahnya waktu dan jumlah gigi yang bererupsi maka bentuk lengkung tersebut kemudian dipengaruhi oleh keseimbangan kekuatan otot-otot jaringan lunak (lidah, bibir dan pipi) disekitarnya serta tulang rahang.4 faktor lain yang berpengaruh terhadap bentuk lengkung gigi sehingga bervariasi dalam batas normal adalah ras, tipe karakter individu, keadaan tulang kraniofasial, tipe maloklusi dan jenis kelamin.5 bentuk lengkung gigi akan berubah karena proses tumbuh-kembang dan perawatan ortodontik. hnat menyatakan bahwa pengurangan atau peningkatan panjang lengkung gigi perimeter pada perawatan ortodontik menyebabkan bentuk lengkung gigi akan dikompensasi sehingga terjadi perubahan bentuk lengkung.6 heiser menyatakan bahwa terjadi perubahan panjang lengkung gigi peri-meter pada pencabutan gigi premolar sehingga bentuk kurva lengkung gigi anterior berubah.6 bentuk lengkung gigi manusia dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain bentuk lengkung gigi trapezoid dan parabola. terbentuknya variasi tipe lengkung gigi terjadi karena terdapat perbedaan dalam jarak lebar dan bentuk lengkung inter-kaninus serta lebar inter-p1, dengan kisaran sampai 6 mm di area tersebut.2 bentuk trapezoid mempunyai kaki lengkung (dari p1 sampai m2 kanan dan kiri) berupa garis lurus divergen ke posterior dan puncak lengkung merupakan garis datar di anterior dari gigi kaninus kanan ke kaninus kiri (c-c). bentuk parabola mempunyai kaki lengkung berbentuk garis lurus divergen ke posterior dengan posisi gigi m2 merupakan terusan kaki lengkung, sedangkan puncak lengkung (c–c) berbentuk garis lengkung (kurva).7 jain dan dhakar (2013) menyatakan bahwa bentuk lengkung parabola banyak dipilih dalam perencanaan perawatan 18 novarini prahastuti і perubahan tipe bentuk lengkung gigi paska perawatan ortodontik … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . gambar 1. hubungan antara bentuk wajah dengan bentuk lengkung gigi.7 ortodontik karena pada sebagian kasus menghasilkan stabilitas yang baik dengan sedikit kemungkinan relaps paska perawatan.2 bentuk lengkung gigi berkaitan dengan tipe bentuk wajah. ricket (graber 1972) menyebutkan istilah yang tepat untuk bentuk wajah adalah fasial. klasifikasi bentuk wajah menurut ricket dikenal tiga tipe yaitu brachifasial (wajah lebar, persegi), mesofasial (wajah lonjong, oval) dan dolicofasial (wajah panjang, sempit). sukadana (1976) menggunakan istilah yang berbeda dalam menentukan bentuk wajah, yaitu euriprosop (wajah pendek, lebar), mesoprosop (wajah sedang) dan leptoprosop (wajah tinggi, sempit).7 beberapa peneliti telah melakukan penelitian bahwa tipe bentuk lengkung gigi sebaiknya sesuai dengan tipe bentuk wajah.8 tipe wajah yang lebar akan memiliki bentuk lengkung gigi yang lebar, demikian pula sebaliknya. isma (2013) dan ricket dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat kesesuaian antara tipe wajah dan bentuk lengkung gigi yaitu tipe wajah euryprosopic dengan bentuk lengkung gigi square, kemudian tipe wajah mesoprosopic dengan bentuk lengkung gigi ovoid dan tipe wajah leptoprosopic dengan bentuk lengkung gigi tapered.4,9 laporan kasus ini bertujuan memaparkan perubahan tipe bentuk lengkung gigi pada perawatan ortodontik menggunakan alat cekat teknik straight dengan pencabutan empat gigi premolar pertama. laporan kasus pasien perempuan, umur 20 tahun datang ke klinik dokter gigi spesialis ortodonsi/ rsgm dengan keluhan kedua gigi kaninus atas tampak menonjol dan tegang di sudut bibir ketika tersenyum serta gigi-gigi rahang bawah berjejal. pemeriksaan ekstraoral menunjukkan profil yang cembung dengan tonus otot bibir normal dan posisi bibir ketika istirahat nornal tertutup. bentuk wajah mesoprosop dan bentuk kepala dolikosefali. pemeriksaan intra oral memperlihatkan kebersihan mulut baik, ukuran lidah sedang, bentuk lengkung gigi atas dan serta bentuk lengkung gigi bawah trapezoid asimetris. susunan gigi-gigi rahang atas cende rung rapi dengan gigi 22 distolabiotorsiversi dan gigi-gigi anterior rahang bawah berjejal. overjet 2,8 mm dan overbite 3,5 mm. hubungan gigi molar pertama (m1) kanan dan kiri klas i angle. hubungan gigi kaninus (c) kanan dan kiri klas ii. garis tengah rahang bawah terhadap rahang atas segaris, garis interinsisivi sentral terhadap garis tengah rahang segaris. berdasarkan hasil analisis sefalometri disimpulkan hubungan klas i skeletal dengan bimaksiler protrusif disertai derajat inklinasi gigi insisivus bawah retrusif dan gigi insisivus atas protrusif. analisis jaringan lunak menunjukkan bibir bawah terletak 3 mm lebih 19 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ke depan dari garis steiner (protrusif). diagnosis kasus pasien yaitu maloklusi angle klas i, tipe skeletal klas i dengan bimaksiler protrusif disertai derajat inklinasi gigi insisivus bawah retrusif dan gigi insisivus atas protrusif. rencana perawatan perawatan yang dilakukan bertujuan memperbaiki keadaan sesuai keluhan pasien yaitu gigi berjejal serta memperbaiki sudut bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimetris menjadi parabola simetris dengan menggunakan alat cekat teknik straight. berdasarkan perhitungan determinasi lengkung dan set up model kesling setelah ra dan rb diretraksi sebesar 2 mm dan koreksi bentuk lengkung gigi, terdapat kekurangan ruang pada ra sebesar 7 mm sedangkan pada rb kekurangan ruang sebesar 10,3 mm. kekurangan ruang yang dibutuhkan didapatkan dengan pencabutan empat gigi premolar pertama. koreksi untuk memperbaiki sudut bentuk lengkung gigi dari trapezoid menjadi parabola dilakukan dengan pemilihan bentuk busur wire ovoid pada perawatan kasus ini. pada akhir perawatan diharapkan perbaikan malposisisi gigi dan bentuk lengkung gigi menjadi sesuai dengan keadaan pasien sehingga hasil perawatan ortodontik stabil. gambar 2. tipe bentuk busur wire ortodontik tahapan perawatan tahap perawatan disusun berdasarkan tahap-tahap pada alat cekat dengan metode teknik straight wire roth. tujuan perawatan teknik straight adalah mengoreksi malposisi gigi-gigi individual dan koreksi lengkung gigi. pencabutan empat gigi premolar pertama dilakukan sebelum perawatan. tahap leveling dimulai dengan menggunakan busur niti wire berdiameter 0,014” dengan ligasi power o pada braket, setelah dilakukan pencabutan 4 gigi premolar pertama. pergantian wire ke tahap berikutnya dilakukan pada saat kontrol ketika leveling dan unreaveling sudah dicapai di setiap tahap ukuran wire tersebut. tahap selanjutnya adalah retraksi gigi kaninus kanan dan kiri menggunakan busur ss berdiameter 0,018” dengan ligasi power chain pada braket di gigi kaninus-molar pertama permanen. gigi kaninus diretraksi sampai posisi kaninus yang diinginkan kemudian difiksasi dengan ligature wire. tahap retraksi insisivus ra dan rb serta space closing dilakukan dengan ligase power chain pada breket di gigi m1 ke m2. pada akhir perawatan dilakukan penyesuaian interdigitasi yaitu perbaikan inklinasi aksial gigi-gigi ra dan rb menggunakan ss wire 0,016” x 0,025” dengan tip back bend 5° di mesial m1 serta chinch back. sebelumnya dilakukan ligasi menggunakan full engange ligature wire 0,010” dari gigi m1 ke m1. hasil perawatan perawatan tahap leveling teknik straight dilakukan selama 4 bulan. tahap ini menghasilkan unreaveling dan leveling gigi-gigi ra dan rb. bentuk lengkung gigi sudah mulai berubah akibat pergeseran gigi mengikuti bentuk lengkung wire ovoid yang digunakan dengan difasilitasi kesediaan ruang hasil pencabutan empat gigi p1. 20 novarini prahastuti і perubahan tipe bentuk lengkung gigi paska perawatan ortodontik … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . gambar 3. foto ekstraoral sebelum perawatan gambar 4. foto ekstraoral setelah perawatan perawatan tahap retraksi gigi kaninus kanan dan kiri dilakukan selama 10 bulan. retraksi gigi-gigi kaninus dilakukan terlebih dahulu baru diikuti retraksi gigi insisivus. pada tahap ini, gigi kaninus diretraksi sampai posisi yang diinginkan kemudian difiksasi dengan ligature wire. keadaan ini menyisakan ruang di mesial dan distal gigi kaninus pada bekas pencabutan gigi premolar pertama. selanjutnya dilakukan tahap untuk menutup semua sisa ruang yang masih ada tersebut. tahap retraksi insisivus ra dan rb serta space closing dilakukan 7 bulan. retraksi gigi-gigi anterior pada tahap ini dilakukan bersamaan dengan mesialisasi gigigigi posterior untuk menutup sisa ruang tersebut dengan menggunakan power chain dari m1 ke m1. pada akhir bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimetris menjadi parabola simetris dan terjadi pengurangan jarak gigi inter-kaninus ra pada segmen anterior sebesar 2,7 mm dari 37,2 mm menjadi 34,5 mm. perubahan jarak gigi inter-kaninus rb mengikuti perubahan ra sehingga terjadi koordinasi yang baik dari keduanya. perawatan tahap penyesuaian interdigitasi teknik straight dilakukan selama 4 bulan, didapatkan hasil perbaikan inklinasi aksial gigi-gigi anterior dan posrterior. 21 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . a b a b gambar 5. studi model sebelum perawatan gambar 6. studi model selesai perawatan gambar 7. foto sefalometri sebelum (a) dan selesai perawatan ortodontik (b) gambar 8. foto panoramik sebelum (a) dan selesai perawatan ortodontik (b) pasien telah selesai perawatan ortodontik teknik straight dengan masa perawatan selama 2 tahun 1 bulan terhitung sejak pemasangan alat, kemudian dilanjutkan pemakaian essix retainer ra dan rb. pada akhir perawatan ter jadi perubahan inkliansi insisivus mandibula menjadi semakin tegak (impa 89˚ menjadi 92˚), peningkatan sudut interinsisisal (124˚ menjadi 126˚), retraksi gigi-gigi anterior sehingga profil wajah pasien semakin harmounis. 22 novarini prahastuti і perubahan tipe bentuk lengkung gigi paska perawatan ortodontik … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tabel 1. pengukuran sefalometri sebelum dan sesudah perawata pengukuran nilai normal sebelum perawatan sesudah perawatan facial angle 82°-95° 90° 91° angle of convexity -8,5°-10 4° 2° sna 82° 87° 82° snb 80° 85° 84° anb 2°2° -2° inter i-i 130° 124° 126° impa 81,5°97° 89° 92° overbite 2-4 mm 3,5 mm 3,3 mm overjet 2-4 mm 2,8 mm 2,8 mm hasil perawatan didapatkan perubahan bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimetris menjadi parabola simetris, koreksi gigi-gigi berjejal, pengurangan overbite (3,5 mm menjadi 3,3 mm) serta overjet tetap. pembahasan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan adanya perubahan bentuk lengkung gigi secara longitudinal pada subjek yang mendapatkan perawatan ortodontik. pada umumnya tipe bentuk lengkung gigi awal harus dipertahankan untuk menjamin kestabilan hasil perawatan tersebut, namun pada pasien tertentu, bentuk lengkung sengaja diubah dengan perawatan ortodontik10. keadaan tersebut sesuai dengan kasus pada pasien ini yang mengeluhkan bahwa kedua gigi kaninus atasnya tampak menonjol ketika tersenyum sehingga sudut bibir terasa mendapat tarikan. keluhan menunjukkan ketidak nyamanan dalam penampilan yaitu adanya gangguan fungsi estetik dari keadaan gigi pasien dan ketegangan otot di sudut bibir. tipe bentuk lengkung gigi trapezoid menjadikan posisi sebagian besar permukaan labial gigi kaninus (c) menghadap ke anterior. jarak inter-kaninus tipe tersebut lebih besar dibandingkan jarak inter-kaninus pada tipe parabola. pada hasil perawatan terjadi pengurangan lebar inter-kaninus sebesar 2,7 mm. menurut shahroudi (2011), kurva lengkung gigi anterior terbentuk dari jumlah mesio-distal 6 gigi anterior. lebar inter-kaninus sempit ditunjukkan oleh tipe bentuk lengkung gigi dengan kurva cembung (convex) yaitu parabola, sedangkan lebar inter-kaninus lebar ditunjukkan oleh tipe bentuk lengkung gigi dengan kurva lengkung gigi anterior yang rata (flat) yaitu trapezoid 5. keadaan awal pasien adalah maloklusi angle klas i, tipe klas i skeletal dengan bimaksiler protrusif disertai relasi kaninus kanan-kiri klas ii, menunjukkan hubungan gigi terhadap rahang normal, hubungan inter-rahang atas dan rahang bawah normal. namun hubungan kedua rahang lebih protrusif terhadap tulang dasar kepala (basis cranium) dan hubungan posisi gigi anterior rahang atas lebih protrusif terhadap gigi anterior rahang bawah. pencabutan empat gigi premolar pertama merupakan pilihan yang dilakukan untuk mendapatkan ruang yang dibutuhkan untuk retraksi 2 mm gigi anterior rahang atas dan bawah serta koreksi bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimeris menjadi parabola simetris. perawatan ortodontik dengan pencabutan empat gigi premolar pertama menyebabkan panjang lengkung perimeter gigi pada pasien ini berkurang. menurut hnat keadaan tersebut menyebabkan bentuk lengkung gigi akan dikompensasi sehingga terjadi perubahan ben-tuk lengkung.6 heiser juga menyatakan bahwa perubahan panjang lengkung gigi perimeter akibat pencabutan gigi premolar menyebabkan bentuk kurva lengkung gigi anterior berubah.6 tahap retraksi gigi kaninus kanan dan kiri berhenti sampai posisi kaninus yang diinginkan kemudian dilakukan difiksasi dengan ligature wire. tindakan tersebut untuk koreksi posisi gigi kaninus klas ii ke posisi kaninus normal berdasarkan ketentuan garis simon. posisi gigi kaninus yang tepat terhadap tulang dasar kepala menempatkan puncak tonjol gigi kaninus di sudut kiri dan kanan garis 23 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . senyum pasien. morfologi gigi kaninus yang menyerupai mata tombak dalam posisi normal sebagai borderline antara gigi-gigi posterior dan anterior membagi permukaan labial menjadi dua bagian yang sama dengan dua arah yang berbeda. perawatan kasus pasien ini dengan teknik straight dengan pemilihan bentuk busur wire ovoid memberikan hasil yang memuaskan bagi operator dan pasien. bentuk wajah pasien yaitu mesoprosop berdasarkan penelitian isma (2013) dan ricket sesuai dengan bentuk lengkung gigi parabola (ovoid).4,9 keadaan tersebut sudah tercapai pada akhir perawatan dengan perubahan bentuk lengkung gigi trapezoid asimetris menjadi parabola simetris. kesimpulan perawatan ortodontik alat cekat teknik straight dengan pencabutan empat gigi premolar pertama, menunjukkan hasil perubahan tipe bentuk lengkung gigi dari trapezoid asimetris menjadi parabola simetris serta perbaikan profil wajah menjadi lebih harmonis. tipe bentuk lengkung gigi yang sesuai dengan keadaan pasien, dalam kasus ini sesuai dengan bentuk wajah pasien dapat menciptakan kenyamanan dalam optimalisasi fungsi oklusi, estetik dan stabilisasi hasil perawatan ortodontik. daftar pustaka 1. profit, wr., fields hw., sarver dm: contemporary orthodontics, 4th ed, mosby year book, st.louis, 2007 2. jain, m., dhakar, n., arch form: an overview, universal research journal of dentistry 2013; 3(1): 16-21. 3. toodehzaeim, m.h., mostafavi, s. m. s., dental arch morphology in iranian population, iran j ortho 2016; 11(2): e5863. 4. tajik, i., mushtaq, n., khan, m., arch forms among different angle classifications a study, pakistan oral & dental journal 2011; 31(1): 92-95. 5. shahroudi, a.s., mirshashemi, a.h., noroozi, h.,ghardirian, h., nik, t.h., an overview on dental arch form and different concept on arch coor-dination in orthodontics. iranian journal of orthodontics 2011; 6(1-2): 48-57. 6. miyake, h., ryu, t., himuro,t., effect on the dental arch form using a preadjusted appliance with premolar extraction in class i crowding. angle orthodontist 2008; 78(6): 1043-1049. 7. ardhana, w., materi kuliah ortodonsia i : prosedur pemeriksaan ortodontik, fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta, 2009. 8. coombs, craig l., an evaluation of dental arch form during and following orthodontic treatment as determined by spline curves. scholar archive, 1979 : paper 2331. 9. isma, m. gambaran tipe wajah dan bentuk lengkung gigi pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara, skripsi. medan: fkg usu, 2013. 10. turner, t. ciger, s., el, h., germec, d., es, a., evaluation of dental arch width and form changes after orthodontic treatment and retention with a new computerized method am j orthod dentofacial orthop 2004; 126: 464-76. 64 nia wijayanti | pasak fiber reinforced composite sebagai penguat restorasi resin komposit kelas iv pada gigi insisivus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal (laporan kasus) pasak fiber reinforced composite sebagai penguat restorasi resin komposit kelas iv pada gigi insisivus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal (laporan kasus) fiber post reinforced composites for resistence in composite resin restoration in right maxilla lateral incisive with pulp necrose and peripical lesion (a case report) nia wijayanti1 1 staf pengajar ilmu konservasi gigi pspdg fkik umy korespondensi: niawijayanti_drg@yahoo.com abstrak perawatan saluran akar akan berakibat hilangnya struktur gigi yang meningkatkan resiko fraktur pada gigi. penggunaan pasak dapat dipertimbangkan sebagai penguat untuk meningkatkan resistensi mekanis gigi. pasak fiber reinforced composites adalah pasak buatan pabrik yang mampu berikatan dengan baik dengan dinding saluran akar, semen resin dan inti resin komposit sehingga mampu mengurangi resiko terjadinya fraktur dan mengembalikan fungsi fisiologis dan estetis gigi. laporan kasus ini menginformasikan penggunaan pasak fiber reinforced composites sebagai alternatif restorasi estetis pada gigi paska perawatan saluran akar. seorang perempuan 22 tahun dengan gigi insisivisus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal. pada kasus ini dilakukan perawatan saluran akar multi kunjungan, dilanjutkan dengan evaluasi 1 minggu, kemudian dilakukan insersi pasak fiber reinforced composites serta restorasi resin komposit kavitas kelas iv secara langsung untuk mengembalikan fungsi fisiologis dan estetis gigi. penggunaan fiber reinforced composites sebagai pasak untuk penguat pada restorasi resin komposit secara langsung merupakan alternatif perawatan pada gigi anterior paska perawatan saluran akar untuk mengembalikan fungsi fisiologis dan estetis gigi tersebut. kata kunci : perawatan saluran akar, fiber reinforced composites, restorasi resin komposit. abstract endodontic treatment can result in significant loss of tooth structure which increases the risk of tooth fracture. post application considered to increase the mechanical resistance of the tooth. fiber reinforced composites are prefabricated post which had a good bond with dentinal wall of root canal space, resin cement and composites resin core, so the use of this post could decrease the risk of fracture and could restore tooth aesthethically and physiologically. the purpose of this paper is to inform the use of fiber reinforced composites post as the alternative aesthetic restoration for endodontically treated teeth. in this case, 22 years old female, right maxilla lateral insicivus necrotic pulp with periapical lesion. a multi visit root canal treatment was carried out and one week evaluation was undertaken before inserting fiber reinforced resin composites post. a direct class iv cavity restoration using resin composites was done to finalize the restoration aesthethically and physiologically. the application of fiber reinforced composites as root canal post to reinforced composites resin restoration can be as an alternative treatment for endodontically treated teeth to restore tooth aesthetically and physiologically. 65 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 keyword : root canal treatment, fiber reinforced composites, composites resin restoration. pendahuluan perawatan saluran akar merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan gigi dalam rongga mulut serta mengembalikan keadaan gigi agar dapat diterima secara biologik oleh jaringan disekitarnya.1 perawatan saluran akar dapat dilakukan dalam beberapa kali kunjungan atau satu kali kunjungan. perawatan satu kunjungan dapat dilakukan pada gigi-gigi dengan persyaratan bahwa gigi harus dalam kondisi antara lain tidak ada sensitivitas periapikal atau lesi periapikal, tidak ada eksudat dalam saluran akar serta tidak ada bau.2 perawatan saluran akar dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu : preparasi atau pembersihan dan pembentukan saluran akar, disinfeksi saluran akar serta obturasi atau pengisian saluran akar.3 perawatan saluran akar dapat berakibat pada kehilangan banyak struktur gigi , sifat fisik yang berubah karena kehilangan saraf dan pembuluh darah serta perubahan sifat estetisnya karena gigi tersebut akan berwarna lebih gelap. restorasi pada gigi pasca perawatan saluran akar didesain untuk melindungi jaringan gigi yang tersisa dari fraktur, menghindari terjadinya infeksi ulang pada sistem saluran akar serta untuk menggantikan struktur jaringan gigi yang hilang.4 pemilihan jenis restorasi pada gigi pasca perawatan saluran akar memerlukan pertimbangan, karena restorasi diharapkan dapat mengembalikan fungsi gigi baik dari segi kegunaan maupun estetisnya. prinsip dasar desain restorasi pada gigi pasca perawatan saluran akar agar memenuhi fungsi serta ketahanan guna yang baik antara lain desain harus mempertahankan struktur gigi yang tersisa dengan meminimalkan penghilangan dentin, memiliki retensi yang baik yang dapat diperoleh dengan struktur dentin yang tersisa arah vertikal atau inti maupun dengan tambahan penggunaan pasak, serta dengan melindungi struktur jaringan gigi yang tersisa.5 keputusan pemilihan jenis pasak berdasarkan beberapa faktor antara lain posisi gigi dalam lengkung rahang, oklusi, fungsi dari gigi yang telah direstorasi, jumlah jaringan gigi yang tersisa serta konfigurasi saluran akar.6 tujuan dari pasak adalah untuk mempertahankan inti yang akan mendukung restorasi akhir.7 pada gigi anterior dengan struktur gigi di atas supra gingiva kurang dari ½ dan sisa dentin saluran akar tipis maka penggunaan pasak disarankan untuk meningkatkan retensi dan stabilisasi untuk memperkuat gigi.4 pasak dapat dibedakan berdasarkan bahan pembuatan yaitu pasak logam dan nonlogam. beberapa pasak non logam yaitu pasak fiber, keramik dan fiber reinforced polymer. fiber reinforced polymer terbuat dari karbon atau serat silica yang terselubungi oleh polimer resin, biasanya merupakan epoxy resin dan disebut pasak fiber reinforced composites (frc). pasak frc terdiri atas kumpulan serat yang berdiameter 7-10 μm dan memiliki bentuk jalinan pita, anyaman dan longitudinal.8 pasak frc memiliki keunggulan yaitu estetis, mampu berikatan dengan struktur gigi, dan memiliki modulus elastisitas yang menyerupai dentin. pasak ini tidak memerlukan pelebaran saluran akar yang 66 nia wijayanti | pasak fiber reinforced composite sebagai penguat restorasi resin komposit kelas iv pada gigi insisivus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal (laporan kasus) berlebih dalam penggunaannya serta akan menciptakan konsep sistem monoblok dari dentin dan inti pasak sehingga menghasilkan distribusi tekanan yang lebih baik pada akar gigi.9 pasak ini akan mengurangi resiko fraktur akar maupun perforasi akar, serta mampu beradaptasi dengan berbagai bentuk saluran akar baik yang berbentuk bulat maupun oval.10 pemilihan restorasi akhir pada gigi pasca perawatan saluran akar tergantung dari banyaknya struktur gigi yang tersisa, tekanan horizontal dan beban pengunyahan.11 pada gigi anterior pasca perawatan saluran akar dengan tepi marginal yang utuh maka dapat dilakukan restorasi direct dengan menggunakan resin komposit dan tidak memerlukan penggunaan mahkota jaket.10 penulisan ini menginformasikan penggunaan pasak fiber reinforced composites serta restorasi direct resin komposit sebagai alternatif restorasi estetis pada gigi pasca perawatan saluran akar. kasus seorang wanita usia 22 tahun datang ke klinik konservasi gigi rumah sakit gigi dan mulut prof soedomo fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada dengan keluhan ingin mengganti tambalan gigi depan kanan atas yang sudah berubah warna. gigi tersebut pernah sakit spontan 1 tahun yang lalu. pemeriksaan klinis terlihat tumpatan pada mesial gigi yang sudah berubah warna dan terdapat kebocoran tepi, pada pemeriksaan perkusi, palpasi dan mobilitas menunjukkan respon negatif dan tes vitalitas juga menunjukkan respon negatif. pemeriksaan relasi maksila dan mandibula pada oklusi sentrik menunjukan gigi 12 edge to edge. gambaran radiografis terlihat : area radiolusen pada mesial yang sudah mengenai pulpa dan terdapat kelainan periapikal. diagnosis : gigi 12 nekrosis pulpa disertai lesi periapikal. perawatan yang dilakukan adalah perawatan saluran akar multi kunjungan yang dilanjutkan dengan restorasi resin komposit direct kelas iv dengan retensi intrakanal pasak fiber reinforced composites. penatalaksanaan kasus kunjungan pertama pada 25 april 2011 dilakukan pemeriksaan subjektif, objektif, foto intraoral, diagnosis, dan penentuan rencana perawatan serta penjelasan kepada pasien. perawatan dimulai dengan pencetakan dan pembuatan model mock up untuk patokan pembentukan bagian palatal gigi 12. perawatan saluran akar mulai dengan pemasangan isolator karet lalu pembersihan kavitas sampai didapat jaringan yang dentin sehat. akses kavitas dibuat menggunakan endo access bur dan diamendo (dentsply) serta dilakukan irigasi dengan naocl 2,5%. dilakukan pengukuran panjang kerja dengan cara pengukuran panjang kerja estimasi berdasarkan foto radiograf yang akan dikonfirmasi dengan apex locator (propex ii, dentsply). setelah didapatkan panjang kerja maka dilanjutkan dengan penentuan file awal yaitu nomor 15 dengan panjang kerja 21,5 mm. setelah itu dilanjutkan preparasi biomekanik dengan teknik step back dan didapatkan master apical file (maf) nomor 40 dengan panjang 21,5 mm. setiap pergantian file lakukan irigasi dengan menggunakan naocl 2,5%. dilakukan dressing saluran akar dengan campuran ca(oh)2 dicampur 67 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 dangan glyserin lalu ditutup dengan tumpatan sementara dan evaluasi 1 minggu. pada kunjungan kedua yaitu 4 mei 2011 setelah dilakukan pembongkaran tumpatan sementara dan pembersihan saluran akar dengan salin dilakukan pengepasan master cone dengan ukuran no 40, yang sesuai dengan kontriksi apikal. saluran akar digenangi dengan chlorhexidin gluconat 2% selama 30 detik lalu dilakukan obturasi dengan teknik kondensasi lateral dengan siler resin (topseal, dentsply). evaluasi dilakukan selama 1 minggu sebelum dilakukan pemasangan pasak dan retorasi akhir. pada kunjungan selanjutnya pada 13 mei 2011, gigi asimtomatik maka dilakukan persiapan restorasi dan pembuatan saluran pasak. tumpatan sementara dibuka, penghilangan tumpatan resin komposit dan dilakukan preparasi kavitas serta dilakukan pemilihan warna gigi. preparasi kavitas, semua cavosurface margin pd struktur email yang tidak didukung dentin dibevel dg desain chamfer-shoulder (disebut juga rounded bevel atau hollowground bevel) menggunakan bur intan bentuk flame. dilanjutkan dengan preparasi saluran pasak diawali dengan pembuangan guta perca dengan memasukkan plugger yang dipanaskan lalu dilanjutkan dengan preparasi menggunakan peeso reamer dari ukuran 1 sampai 3 dengan panjang 17 mm dan menyisakan guta perca: 4,5 mm. dilanjutkan dengan pemasangan pasak dengan pasak fiber customized construct (kerr). serabut pita fiber reinforce composite dipotong sepanjang 30 mm dan diulasi bahan bonding dan selanjutnya dilumuri resin (construct, kerr). selanjutnya pemberian etsa ke seluruh permukaan gigi dan saluran pasak selama 15 detik dan dibilas air dan diangin-anginkan, dilanjutkan dengan pengolesan bahan bonding ke seluruh permukaan gigi dan saluran pasak, dianginkan dan diaktivasi sinar. pengaplikasian semen rely-x (arc) ke dalam saluran pasak dengan lentulo. masukkan pita fibre reinforced composite yang telah disiapkan ke saluran pasak, dengan menggunakan plugger ditekan masuk ke arah apical lalu diaktivasi sinar. penumpatan daerah palatal menggunakan panduan cetakan putty menggunakan resin komposit dengan warna a3,5 (filtex z250,3m espe) dan dibentuk dengan plastis instrumen kemudian diaktivasi sinar selama 20 detik penumpatan bagian proksimal untuk membentuk embrasur mock up dilepas, dilanjutkan dengan memasang seluloid strip diaplikasikan komposit a3,5 (filtex z250, 3m espe), kemudian diaktivasi sinar 20 detik. kemudian dilanjutkan penumpatan dengan memakai warna ud (filtek z250, 3m espe), pada ujung dekat insisal bentuk goresan-goresan untuk menciptakan kesan mamelon dengan memakai plastis instrumen, dikondensasikan dan aktivasi sinar 20 detik selanjutnya aplikasikan bahan resin komposit a3,5 keseluruh permukaan gigi dan insisal, dikondensasikan sesuai bentuk permukaan gigi menggunakan comporoller (kerr), aktivasi sinar 20 detik. penyelesaian dan pemolesan restorasi resin komposit menggunakan polishing disc (optidisc, kerr) dan polishing brush (opti shine,kerr) 68 nia wijayanti | pasak fiber reinforced composite sebagai penguat restorasi resin komposit kelas iv pada gigi insisivus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal (laporan kasus) gambar 1. foto intraoral dan foto radiograf awal gambar 2. perawatan saluran akar, (a) iaf dan (b) obturasi gambar 3. gambaran klinis dan radiografis setelah dilakukan preparasi dan pembuatan saluran pasak. gambar 4.(a) penginsersian pasak fiber reinforced composites, (b) penggunaan putty untuk pedoman penumpatan palatal b a a b 69 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 gambar 5. a) gigi 12 pasca restorasi (gambaran klinis), b) gigi 12 pasca restorasi (gambaran radiografis) pembahasan pada kasus ini sebelum dilakukan restorasi maka dilakukan perawatan saluran akar multi kunjungan, dikarenakan pada pemeriksaan radiografis ditemui adanya kelainan periapikal pada gigi tesebut. pada gigi anterior yang tidak mengalami kehilangan banyak struktur gigi untuk akses preparasi saluran akar, maka restorasi direct resin komposit dan pasak prefabricateddapat dijadikan salah satu pilihan restorasi akhir. penggunaan pita fiber reinforced composites dapat ditambahkan untuk membantu meningkatkan resistensi mekanis, sehingga dapat menjadi alternatif restorasi konvensional pada gigi pasca perawatan saluran akar4. penggunaan pasak pada gigi pasca perawatan saluran akar dipertimbangkan berdasarkan besarnya struktur gigi yang tersisa dan sebagai pendukung restorasi akhir8. pada kasus ini dipilih menggunakan pasak dari pita fiber reinforced composites, hal ini dikarenakan gigi tersebut merupakan gigi anterior yang memiliki fungsi estetis serta masih memiliki struktur jaringan yang tersisa masih banyak. pada restorasi estetis, penggunaan pasak karbon fiber atau logam dapat mempengaruhi warna akhir restorasi, sehingga salah satu cara mengatasinya adalah dengan penggunaan pasak fiber resin komposit prefabricated atau pasak fiber reinforced composites direct6. penggunaan pasak dan inti dari pita fiber reinforced composites direkomendasikan untuk meningkatkan kekuatan dan meningkatkan estetis. keuntungan dari pemilihan pasak–inti ini adalah penghilangan struktur jaringan gigi yang minimal, dapat diinsersikan pada saluran akar yang flared, saluran akar yang kecil, tipis dan saluran akar yang membengkok serta dapat membentuk ikatan yang baik dengan kompleks dentin akar7. pasak frc akan memberikan kekuatan flexural dan fatique yang lebih besar, modulus elastisitas yang menyerupai dentin serta kemampuan membentuk satu ikatan dengan kompleks pasak dan akar serta akan meningkatkan estetis. sifat yang dimilik pasak frc ini memiliki potensi untuk memperkuat akar serta mendistribusikan tekanan lebih merata sehingga menghindari fraktur akar12. pasak frc dapat berikatan dengan dentin saluran pasak dengan baik dikarenakan oleh mekanisme adhesif dengan penggunaan semen resin. sementasi pasak frc dengan semen resin ini akan memberikan retensi yang lebih baik, menurunnya resiko terjadinya kebocoran mikro, serta memiliki ketahanan lebih terhadap fraktur8. a b 70 nia wijayanti | pasak fiber reinforced composite sebagai penguat restorasi resin komposit kelas iv pada gigi insisivus lateralis kanan maksila nekrosis pulpa disertai lesi periapikal (laporan kasus) hal ini akan menciptakan sistem inti pasakdentin yang monoblok yang akan mampu mendistribusikan tekanan dengan lebih baik pada akar.9 pemilihan restorasi akhir berupa restorasi komposit direct karena penggunaan restorasi direct dengan system adhesif ini dapat digunakan untuk restorasi gigi anterior pasca perawatan saluran akar dengan preparasi akses saluran akar yang konservatif serta gigi anterior yang masih memiliki marginal ridge yang utuh.10 kesimpulan , restorasi resin komposit direct dengan pasak frc dapat menjadi alternatif perawatan pada gigi anterior pasca perawatan saluran akar. daftar pustaka 1. bence, r. endodontik klinik (terj). jakarta: penerbit universitas indonesia, 1990 2. weine, f.s. endodontic therapy 6th ed. st louis: mosby co, 2004 3. grossman, li., oliet, s., del rio ce. ilmu endodontik dalam praktek (terj.) ed11. jakarta: egc, 1988 4. hargreaves, k.m., cohen, s., berman, l.h. cohen’s pathways of the pulp, edisi 10. st louis: mosby co, 2011 5. torabinejad, m., walton, r.e. endodontic principles and practice edisi 4. st louis: saunders elsevier, 2009 6. summit, b.j., robbins, j.w., hilton, t.j., schwarz, r.s. fundamental of operative dentistry. illnois: quintessence co, 2006 7. gutmann, j.l., dumsha, t.c., lovdahl, p.e. problem in solving endodontics. st louis : mosby co, 2006 8. cheung, w. 2005. a review of the management of endodontically treated teeth. j am dent assoc, 5. 9. deliperi, s., bardwell, d.n., coiana, c. 2005. reconstruction of devital teeth using direct fiber-reinforced composite resins: a case report. j adhes dent, 9. 10. deliperi, s. 2008. direct fiberreinforced composite restoration in an endodontically-treated molar: a threeyear case report. operative dentistry, 33. 11. haselton, d.b. color atlas of endodontics, restoration of the endodontically treated tooth. st louis: mosby co, 2005. 12. freilich, m.a, meiers, j.c., duncan, j.p., goldberg, a.j. fiber-reinforced composites in clinical dentistry. chigago: quintessence, 2000. rochmah, et al., efek air perasan jeruk nipis (citrus aurantifolia) terhadap.... 78 nurbaetty rochmah, dwi merry ch.r, sri lestari | potensi jeruk nipis (citrus aurantifolia) dalam memutihkan email gigi yang mengalami diskolorasi potensi jeruk nipis (citrus aurantifolia) dalam memutihkan email gigi yang mengalami diskolorasi lime (citrus aurantifolia) potential to the whiten discoloration tooth enamel nurbaetty rochmah1, dwi merry ch.r2, sri lestari3 1fakultas kedokteran gigi, universitas jember 2bagian biomedik, fakultas kedokteran gigi, universitas jember 3bagian konservasi, fakultas kedokteran gigi, universitas jember korespondensi: baettyn@gmail.com abstrak latar belakang: perubahan warna gigi (diskolorasi) merupakan problem estetika yang berdampak pada psikologis terutama pada gigi anterior. seseorang akan melakukan perawatan terhadap giginya untuk mengatasi masalah estetiknya. salah satu upaya dokter gigi untuk mengatasi masalah tersebut adalah bleaching. tujuan: mengetahui pengaruh air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5% terhadap email gigi yang mengalami diskolorasi, serta untuk menentukan waktu optimum air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5% dalam memutihkan email gigi yang yang mengalami diskolorasi dengan variasi waktu 30 menit, 45 menit dan 60 menit. metode penelitian: jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik dengan rancangan pretest-posttest group. alat uji interpretasi warna yang digunakan adalah spectrophotometer uv-vis 2401 pc. analisis data menggunakan uji paired-t test dan oneway annova. hasil: nilai uji intensitas warna sesudah perendaman air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5% lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum perendaman air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5% dan tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok (30 menit, 45 menit dan 60 menit). kesimpulan: jeruk nipis mampu merubah warna gigi yang terdiskolorasi menjadi lebih putih dengan konsentrasi 2,5% dengan lama perendaman 30 menit, 45 menit dan 60 menit. kata kunci: bleaching, diskolorasi, jeruk nipis abstract background: tooth discoloration is an aesthetic problem which can affect to psychological, especially anterior teeth. people will do treatment for their tooth in order to solve their problem. one of dentist’s effort to solve that problem is bleaching. objective: to know the effect of water lime 2,5% on the tooth enamel discoloration and also to decide the optimum time of water lime 2,5% within the whiten discoloration tooth enamel with variety of time in 30 minutes, 45 minutes and 60 minutes. methods: this type of research is an experimental laboratories with pretest and post test group design. the colour interpretation test uses spectrophotometer uv-vis 2401 pc. analysis of data by using paired-t test dan oneway annova. result: the value of colour intensity is higher after immersion water lime 2,5% than before immersion water lime 2,5% and there’s no significant differences between groups (30 minutes, 45,minutes and 60 minutes). conclusion: lime can change tooth discoloration to be whiter with concentration 2,5% and soaking time in 30 minutes, 45 minutes and 60 minutes. keywords: bleaching, discoloration, lime 79 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 pendahuluan estetika gigi adalah hal yang sangat penting bagi pasien, termasuk warna gigi 1. perubahan warna gigi (diskolorasi) merupakan problem estetika terutama pada gigi anterior yang jelas terlihat saat seseorang berinteraksi dengan orang lain yaitu saat berbicara atau tersenyum dan dapat memberikan dampak psikologis pada diri seseorang. oleh karena itu, seseorang akan melakukan perawatan terhadap giginya untuk memperbaiki masalah estetiknya tersebut2. beberapa metode dan pendekatan dapat dilakukan untuk meningkatkan warna gigi menjadi lebih putih yaitu dengan pasta gigi pemutih, bleaching internal pada gigi non vital, bleaching eksternal pada gigi vital3. teknik in office merupakan prosedur bleaching yang digunakan oleh dokter gigi dalam prakteknya. bahan yang sering digunakan oleh dokter gigi pada teknik ini adalah hidrogen peroksida dan karbamid peroksida. proses kedua bahan ini sehingga gigi menjadi putih yaitu peroksida (o-) akan bereaksi dengan hidroksi apatit (ca10(po4)6(oh)2) yang merupakan komponen anorganik dalam email yang membuat email bersifat keras dan padat. oakan berikatan dengan ca yang terdapat pada hidroksi apatit dengan membentuk ikatan baru yaitu cao. pengendapan cao ini membuat gigi terlihat lebih putih, namun dengan hilangnya ion ca pada hidroksi apatit menyebabkan kekerasan pada email menjadi berkurang sehingga gigi menjadi rapuh4. berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat bahan alami sebagai alternatif dalam memutihkan gigi yaitu jeruk nipis5. jeruk nipis merupakan salah satu jenis citrus (jeruk) yang daerah asal tumbuhnya adalah indonesia dan cina, sehingga mudah untuk mendapatkannya. daging buah jeruk nipis mengandung asam sitrat6. asam sitrat ini memiliki oh sama dengan asam elagat pada stroberi yang berpotensi dalam memutihkan gigi. kandungan asam sitrat dalam jeruk nipis memiliki ph asam 2,48-2,5. menurut penelitian price, sedarous dan hiltz 7 produk in office bleaching memiliki ph 3,67-6,53. berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan jeruk nipis konsentrasi 2,5%. pada konsentrasi 2,5%, jeruk nipis mencapai ph ±3 yaitu ph yang hampir sama dengan ph bahan pemutih gigi alami yaitu stroberi ph asam (3-4) dan ph bahan pemutih gigi in office 8. jeruk nipis dimungkinkan dapat memutihkan warna gigi karena adanya kandungan asam sitratnya. oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana potensi jeruk nipis konsentrasi 2,5% dengan variasi waktu 30 menit, 45 menit dan 60 menit dalam memutihkan warna gigi setelah terjadi diskolorasi. variasi waktu digunakan berdasarkan aplikasi bahan pemutih gigi in office opalescene xtra 35% hidrogen peroksida selama 10-20 menit setiap kali perawatan. kemudian dari hasil trial pada perendaman 15 menit menunjukkan tidak terjadi perubahan sehingga peneliti memilih waktu yang lebih lama. metode penelitian jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik, dengan rancangan pretestposttest group design. penelitian ini dilaksanakan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran gigi universitas jember dan laboratorium evaluasi tekstil fakultas teknologi industri jurusan teknik 80 nurbaetty rochmah, dwi merry ch.r, sri lestari | potensi jeruk nipis (citrus aurantifolia) dalam memutihkan email gigi yang mengalami diskolorasi kimia universitas islam indonesia pada bulan januari sampai februari 2015. variabel penelitian ini adalah pemutihan warna gigi yang terdiskolorasi sesudah perendaman air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5%. kriteria sampel yakni gigi premolar satu rahang atas yang utuh yang diperoleh dari hasil pencabutan, permukaan enamel bebas karies, tidak ada enamel hipoplasia pada gigi, tidak ada bahan restorasi, foramen apikal kecil dan cups tidak abrasi. sampel pada penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok (n=5) sesuai lama perendaman, yaitu 30 menit, 45 menit dan 60 menit. alat yang digunakan untuk mengukur warna gigi yaitu spectrophotometer uv-vis 2401 pc. prosedur penelitian dimulai dari menyamakan warna sampel dengan ukuran a3 vita shade guide porcelain pada 1/3 tengah dan diukur warna gigi dengan spectrophotometer uv-vis 2401 pc. kemudian sampel dibuat diskolorasi dengan perendaman larutan kopi robusta selama 7 hari pada suhu 37oc. larutan kopi diganti setiap 24 jam. setelah 7 hari sampel diukur perubahan warna gigi dengan spectrophotometer uv-vis 2401 pc. selanjutnya sampel dilakukan pemutihan gigi dengan perendaman air perasan jeruk nipis konsentrasi 2,5% pada suhu 50oc selama 25 detik lalu suhu diturunkan menjadi 37oc selama 30 menit, 45 menit dan 60 menit, sesuai kelompok perlakuan. setelah itu sampel diukur perubahan warnanya dengan spectrophotometer uv-vis 2401 pc. data yang sudah ditabulasi kemudian diuji normalitasnya dengan menggunakan uji kolmogorov-smirnov. kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas menggunakan uji levene. apabila data tersebut berdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan dengan uji komparatif paired-t test dan uji parametrik oneway annova. hasil penelitian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa nilai intensitas warna (de*ab) sesudah lebih tinggi dibandingkan dengan sebellum perendaman air perasan jeruk nipis 2,5%. lama perendaman 30 menit, 45 menit dan 60 menit menunjukkan bahwa, selisih rata-rata nilai intensitas warna sebelum dan sesudah perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% pada kelompok perendaman selama 45 menit adalah yang paling besar (tabel 1). hal ini berdasarkan analisis data pada data hasil penelitian yang diuji normalitasnya dengan uji kolmogorov-smirnov dan didapatkan hasil p>0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal. kemudian dilanjutkan uji homogenitas menggunakan uji levene, diperoleh p>0,05 menunjukkan bahwa data homogen. selanjutnya dilakukan uji komparatif paired-t test, didapatkan bahwa nilai signifikansinya <0,05 artinya terdapat perbedaan bermakna antara sampel sebelum dan sesudah perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% (gambar 1 dan 2). lalu dilanjutkan dengan uji statik parametrik oneway annova. berdasarkan uji oneway annova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan dengan nilai signifikansinya >0,05 (gambar 3). 81 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 tabel 1 rata-rata nilai (de*ab) sebelum dan sesudah direndam jeruk nipis 2,5% selama 30 menit, 45 menit dan 60 menit kelompok n sampel rata-rata nilai de*ab sebelum dan sesudah perendaman jeruk nipis sebelum sesudah selisih 30 menit 5 1-5 96,862 100,98 3,236 45 menit 5 6-10 96,824 100,138 3,314 60 menit 5 11-15 96,858 100,092 3,261 gambar 1. sebelum perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% gambar 2. sesudah perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% a b c gambar 3. sampel sesudah perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% selama 30 menit (a); 45 menit (b) dan 60 menit (c) 82 nurbaetty rochmah, dwi merry ch.r, sri lestari | potensi jeruk nipis (citrus aurantifolia) dalam memutihkan email gigi yang mengalami diskolorasi pembahasan warna sampel gigi sesudah perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% menjadi lebih putih. hal ini kemungkinan disebabkan karena kandungan asam sitrat dan air perasan jeruk nipis. asam sitrat ini dimungkinkan memiliki potensi yang sama dengan asam elagat pada stroberi dalam memutihkan warna gigi. asam sitrat ini dapat memutihkan gigi karena berpotensi menjadi oksidator seperti halnya asam elagat dan hidrogen peroksida. hal ini disebabkan karena asam sitrat memiliki oh dalam struktur kimianya8. asam sitrat akan berdifusi melalui prisma email dan bereaksi dengan komponen organik yang berada pada struktur gigi sehingga terjadinya reduksi warna. asam sitrat yang memiliki rumus kimia c6h8o, berpotensi sebagai oksidator yang dapat menghasilkan radikal bebas yaitu oh radikal pada gugus cooh. senyawa tersebut mampu merusak molekul-molekul zat warna satu atau lebih ikatan rangkap dalam ikatan konjugasi yaitu dengan mengoksidasi ikatan konjugasi tersebut sehingga warna menjadi netral dan memberi efek pemutihan8,9. menurut goldstein & garber9 pemutihan gigi akan mencapai suatu titik dimana molekul-molekul sederhana terbentuk maksimum, keadaan ini disebut dengan saturation point (titik jenuh). pada titik ini, kerusakan struktur gigi dimulai, proses hilangnya email menjadi lebih cepat. pada saat saturation point sudah tercapai maka proses pemutihan gigi harus dihentikan. jika proses pemutihan gigi tetap dilanjutkan maka akan terjadi overbleaching. overbleaching mengakibatkan terdegradasinya email yang mengakibatkan kerapuhan gigi dan meningkatnya porusitas. pemutihan gigi optimum akan memberikan putih maksimum, akan tetapi pemutihan gigi yang berlebihan dapat merusak email tanpa adanya pemutihan gigi lebih lanjut. proses perendaman air perasan jeruk nipis 2,5% selama 60 menit dikhawatirkan terjadi overbleaching karena pada waktu tersebut proses pemutihan tidak terjadi lebih lanjut. 83 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kesimpulan dan saran berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, jeruk nipis mampu merubah warna gigi yang terdiskolorasi menjadi lebih putih dengan konsentrasi 2,5% dengan lama waktu perendaman 30 menit, 45 menit dan 60 menit. namun tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok perendaman jeruk nipis 2,5% berdasarkan lama waktu perendaman. berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh air perasan jeruk nipis terhadap perubahan warna gigi dengan konsentrasi yang lebih besar dengan waktu perendaman lebih lama serta perlakuan sampel berdasarkan lama waktu perendaman dilakukan pada sampel yang sama. daftar pustaka 1. joiner, a. 2006. the bleaching of teeth: a review of the literature. journal of dentistry, 34: 412-419. 2. torabinejad, m. & walton, r.e. 1996. prinsip dan praktik ilmu endodonsi. edisi kedua. alih bahasa oleh narlan sumawinata. jakarta: egc, 1998 3. joiner, a., deng, y., and westland, s., deng, y. 2008. a review of tooth colour and whiteness. journal of dentistry, 36(s): s2-s7. 4. noh, t.c. gambaran mikroskopis enamel gigi setelah dilakukan external bleaching dan dipapar oleh streptococcus mutans. tidak diterbitkan. skripsi. jember: universitas jember. 2014 5. raditya, a. empat cara alami memutihkan gigi yang kuning. (online), (http://www.duniamedis.net/blog/read/6 86/4-cara-alami-memutihkan-gigi-yangkuning.html. diakses 2014) 6. thomas, a.n.s. tanaman obat tradisional. cetakan ke 23. yogyakarta: penerbit kaninus (anggota ikapi), 2012 7. price, r.b.t., sedarous, m., dan hiltz g. s. 2000. the ph of tooth-whitening products. j can dent assoc., 66: 421-6. 8. reksodiputro, s. 2004. efek jus buah stroberi terhadap pemutihan kembali permukaan email gigi yang berubah warna karena kopi. tidak diterbitkan. karya ilmiah. jakarta: universitas indonesia. 9. goldstein, r.e. & garber, d.a. complete dental bleaching . chicago: quintessence book, 1995 88 yusrini pasil, aditya yuliansanti|daya antibakteri daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri entrocoocus faecalis sebagai bahan madikamen akar dengan metode delusi daya antibakteri ekstrak daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar dengan metode dilusi anti-bacterial power of red batel leaves (piper crocatum) to enterococcus faecalis bacteria as medikamen material for canal root by dilution method yusrini pasril1, aditya yuliasanti2 1 dosen bagian konservasi gigi program studi pendidikan dokter gigi fkik umy 2 mahasiswa program studi pendidikan dokter gigi fkik umy korespondensi: yusriniparsil@yahoo.com abstrak perawatan saluran akar adalah perawatan yang dilakukan dengan mengangkat jaringan pulpa yang telah terinfeksi dari kamar pulpa dan saluran akar. salah satu tahap yang penting yaitu sterilisasi dimana dibutuhkan bahan medikamen yang paling efektif dan biokompatibel. daun sirih merah (pipper crocatum) diyakini mempunyai banyak kandungan antibakteri seperti alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin. enterococcus faecalis adalah salah satu bakteri yang memiliki resistensi serta paling sering ditemukan pada infeksi saluran akar. kemampuan dari bakteri ini dapat mengadakan kolonisasi yang baik dan dapat bertahan dalam saluran akar. tujuan penelitian untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak daun sirih merah (pipper crocatum) terhadap bakteri enterococcus faecalis. desain penelitian ini dilakukan secara eksperimental laboratorium in vitro. metode yang digunakan yaitu dilusi tabung untuk menentukan kadar hambat minimum (khm) dan kadar bunuh minimum (kbm). konsentrasi ekstrak yang digunakan yaitu 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. hasil penelitian diperoleh khm sebesar 20% dan kbm 25%. kesimpulan penelitian ini ekstrak daun sirih merah mempunyai daya antibakteri dengan nilai khm 20% dan kbm 25%. ekstrak etanol daun sirih merah (pipper crocatum) mampu menghambat pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada konsentrasi 20% dan dapat membunuh bakteri enterococcus faecalis pada konsentrasi 25%. kata kunci : perawatan saluran akar, sirih merah, enterococcus faecalis, metode dilusi abstract the root canal treatment is the treatment that provided by remove infected pulp tissue from the pulp and the root canal . one of the important stages is sterilization which its medicaments material need to be the most effective and biocompatible .the red betel leaf (pipper crocatum) is believed that content any antibacterial agent such as alkaloids, flavonoid, saponin and tannin. enterococcus faecalis is one of the bacteria that has resistance and found almost in the root canal infection. this bacteria have a good ability to colonized and can hold up in root canal. the study design was experimental laboratory study in vitro to determine the antibacterial activity of the extract of red betel leaves (pipper crocatum) against enterococcus faecalis. the tube dilution was the method that used to determine the minimal inhibitory concentration (mic) and minimal bactericidal concentration (mbc). the concentration of the extract were 10%, 15%, 20%, 25% and 30%. the experiment result showed that mic was 20% and mbc was showed at 25%. keywords: root canal treatment, red betel, enterococcus faecalis, tube dilution method 89 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 pendahuluan perawatan saluran akar adalah perawatan yang dilakukan dengan mengangkat jaringan pulpa yang telah terinfeksi dari kamar pulpa dan saluran akar, kemudian diisi oleh bahan pengisi saluran akar agar tidak terjadi infeksi ulang. perawatan saluran akar terdiri dari tiga tahapan yaitu preparasi biomekanis saluran akar atau pembersihan dan pembentukan (cleaning and shaping), sterilisasi, dan pengisian saluran akar1. beberapa faktor seperti kompleksitas saluran akar, invasi mikroorganisme ke dalam tubulus dan pembentukan smear layer yang melindungi bakteri mengakibat-kan bakteri masih dapat dijumpai di dalam tubulus dentin walaupun sudah dilakukan pembersihan melalui preparasi biomekanis dan irigasi2. bahan medikamen saluran akar digunakan untuk mensterilisasi mikroorganisme patogen dalam saluran akar. bahan medikamen saluran akar berfungsi mengeliminasi bakteri yang tidak dapat dihancurkan dengan proses chemomechanical seperti instrumentasi dan irigasi. spesies enterococcus faecalis adalah spesies yang resisten serta paling sering ditemukan pada infeksi saluran akar3. keberadaan bakteri enterococcus faecalis mampu mengadakan kolonisasi atau perlekatan yang baik terhadap permukaan protein serta membentuk biofilm pada dinding-dinding dentin. bakteri enterococcus faecalis memiliki peran 80-90 % terhadap infeksi saluran akar. gelatinase dan hyaluronidase yang juga merupakan enzim pada bakteri enterococcus faecalis menjadi penyebab kerusakan jaringan serta mampu mengadakan degradasi matriks organik dentin4. kalsium hidroksida (ca(oh)2) merupakan bahan medikamen saluran akar yang paling sering digunakan, serta terbukti sebagai bahan biokompatibel. apabila ca(oh)2 tidak dapat mempertahankan phnya yang tinggi maka akan kurang efektif dalam membunuh enterococcus faecalis. salah satu tanaman yang berpotensi sebagai alternative bahan medikamen saluran akar adalah family piperaceae yaitu daun sirih merah (piper crocatum). sirih merah bersifat antiseptik seperti sirih hijau, misalnya dapat digunakan untuk obat kumur, pembersih kewanitaan, obat untuk radang mata. khasiat sirih merah itu berasal dari sejumlah senyawa aktif yang dikan-dungnya, antara lain alkaloid, flavonoid, polevenolad, tanin, dan minyak atsiri. alkaloid bersifat detoksifikan yang dapat menatralisir racun. flavonoid dan polevenolad bersifat antioksidan, antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi. tanin memiliki kemampuan dalam mengi-kat dan mengendapkan protein serta sebagai antibakteri5. berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti ingin menguji daya antibakteri ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) terhadap enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen pada perawatan saluran akar. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris terhadap biakan bakteri enterococcus faecalis yang diberi perlakuan dengan berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum). sampel penelitian ini adalah ekstrak etanol daun sirih merah (pipper crocatum) 90 yusrini pasil, aditya yuliansanti|daya antibakteri daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri entrocoocus faecalis sebagai bahan madikamen akar dengan metode delusi dengan berbagai konsentrasi (10%, 15%, 20%, 25%, 30%) hasil dari pembuatan ekstrak di lembaga penelitian dan pengujian terpadu laboratorium farmasi dan farmakologi klinik fakultas farmasi universitas gadjah mada yogyakarta. penelitian uji antibakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. waktu peneli tian pada bulan november 2014-januari 2015. berdasarkan perhitungan rumus federer, maka jumlah sampel yang diper-lukan ditambah drop out 10% adalah 5 sampel pengulangan untuk tiap-tiap kelompok perlakuan dengan rincian sebagai berikut : a. lima sampel untuk kelompok perlakuan calcium hydroxide (ca(oh)2) 10% sebagai kontrol positif. b. lima sampel menggunakan aquades steril untuk kelompok perlakuan kontrol negatif. c. lima sampel untuk masing-masing konsentrasi ekstrak daun sirih merah (piper crocatum) 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. penelitian dimulai dari pemilihan daun sirih merah (piper crocatum) yang muda dan segar dipetik lalu dicuci bersih. daun dikeringkan dalam almari pengering dengan suhu 450 c selama 3 hari. setelah itu daun ditimbang untuk mengetahui berat keseluruhan daun kering yaitu 800 gram. pembuatan ekstrak daun sirih merah yang telah kering ini menggunakan cara maserasi, yaitu dengan merendam daun sirih merah ke dalam bejana maserasi secara terpisah kemudian diberi larutan etanol 70% sampai daun terendam sempurna. hasil yang diperoleh disaring dan diulang sebanyak tiga kali kemudian ditampung di dalam botol untuk selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan alat rotator evaporator pada suhu 70oc pada tekanan 1 atm. proses ini menyebabkan etanol menguap sehingga diperoleh ekstrak yang kental dari daun sirih merah. dari proses tersebut didapatkan 100 ml ekstrak sirih merah kental. biakan bakteri enterococcus faecalis diinkubasi dalam suasana aerob pada suhu 370c selama 24 jam. kemudian sebanyak 12 ose dari biakan murni bakteri uji tersebut disuspensikan dalam larutan nacl 0,9% pada tabung reaksi steril, diinkubasi selama 2-4 jam pada suhu 37oc. larutan tersebut kemudian diencerkan dengan cara dimasukkan ke dalam brain heart infussion (bhi) hingga diperoleh jumlah kuman yang sesuai dengan jumlah larutan standar brown iii dengan konsentrasi kuman 108 cfu/ml. larutan diencerkan lagi hingga mencapai konsentrasi 106 cfu/ml. uji daya antibakteri ekstrak daun sirih merah (piper crocatum) dilakukan dengan metode pengenceran tabung (tube dilution method). pertama disediakan tabung reaksi steril yang masing-masing diberi label 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, ca(oh)2 sebagai kontrol negatif (-), aquades steril sebagai kontrol negatif (-) serta tabung berisi bhi sebagai control bahan sekaligus control positif (+). masing masing konsentrasi dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan. tabung konsentrasi 10% diisi 0,10 ml ekstrak dan 0,90 ml aquades. tabung konsentrasi 15% diisi 0,15 ml ekstrak dan 0,85 ml aquades. tabung konsentrasi 20% diisi 0,2 ml ekstrak dan 0,80 ml aquades. tabung konsentrasi 25% diisi 0,25 ml ekstrak dan 0,75 ml aquades. tabung konsentrasi 30% diisi 0,30 ml ekstrak dan 91 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 0,70 ml aquades. tabung berlabel ca(oh)2 diisi oleh pasta calcium hydroxide berkonsentrasi 10%. terlebih dahulu pasta seberat 1 gram diencerkan dengan 1ml aquades, kemudian diambil sebanyak 0,10 ml ditambah aquades sebanyak 0,90 ml sehingga mencapai konsentrasi 10% larutan. tabung ini dijadikan sebagai control negatif. tabung terakhir yaitu berlabel (-) berisi aquades steril. tahap selanjutnya ditambahkan suspense bakteri sebanyak 1 ml dengan mikropipet pada tabung 1 sampai 5. tabung 6 berisi ca(oh)2 10% dan 1 ml bakteri. tabung 7 berisi aquades steril. tabung terakhir berisi media bhi sebagai kontrol bahan. semua tabung diinkubasi selama 1824 jam dengan suhu 37-37,5°c. hari ke-2 semua tabung dikeluarkan dari incubator kemudian dilakukan pemeriksaan ada tidaknya pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan dalam tabung. khm ditentukan dengan memperhatikan tabung dengan konsentrasi yang pertama terlihat jernih. tabung yang terlihat keruh menunjukkan masih adanya pertumbuhan bakteri. tabung yang pertama kali terlihat jernih merupakan konsentrasi daun sirih yang akan digunakan pada pengujian terhadap bakteri enterococcus faecalis. untuk mengetahui kbm dilakukan penggoresan kedelapan tabung hasil inkubasi hari ke-2 pada 4 medium tsa yang kemudian diinkubasi selama 18-24 jam dengansuhu 37-37,5°c sebanyak satu ose. kbm ditunjukan dengan tidak adanya pertumbuhan bakteri pada medium tsa pada konsentrasi terendah. pembacaan khm ditentukan dengan melihat kekeruhan pada cairan di dalam tabung reaksi. hasil dan pembahasan hasil pengujian kadar hambat minimal (khm) eksrtrak etanol daun sirih merah terhadap bakteri enterococcus faecalis dapat dilihat pada gambar berikut : gambar 1. perubahan kekeruhan pada uji dilusi ekstrak etanol daun sirih merah tabel 1. tingkat kekeruhan bakteri enterococcus faecalis pada media bhi tabung ke bahan uji cakram ke 1 2 3 4 1 ekstrak 10% + + + + 2 ekstrak 15% + + + + 3 ekstrak 20% + + + + 4 ekstrak 25% 5 ekstrak 30% 6 (ca(oh)2) 10% 7 aquades steril 8 kontrol bahan + + + + keterangan tabel : a. tanda negatif (-) menunjukan tidak adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis dilihat berdasar warna larutan mulai tampak jernih. b. tanda positif (+) menunjukan adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis dilihat berdasarkan warna larutan yang tampak keruh. 92 yusrini pasil, aditya yuliansanti|daya antibakteri daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri entrocoocus faecalis sebagai bahan madikamen akar dengan metode delusi tabel tersebut menunjukan konsentrasi yang mengalami kekeruhan yaitu pada konsentrasi 10% dan 15%. sedangkan yang tidak mengalami kekeruhan yaitu pada konsentrasi 20%, 25%, 30%. berdasarkan pengujian tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi hambat minimum ekstrak daun sirih merah adalah konsentrasi 20%. gambar 2. pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada media trypticase soy agar (tsa). tabel 2. hasil pengujian dilusi padat ektrak etanol daun sirih merah terhadap bakteri bakteri enterococcus faecalis tabung ke bahan uji cakram ke 1 2 3 4 1 ekstrak 10% + + + + 2 ekstrak 15% + + + + 3 ekstrak 20% + + + + 4 ekstrak 25% 5 ekstrak 30% 6 (ca(oh)2) 10% 7 aquades steril 8 kontrol bahan + + + + keterangan tabel : a. tanda negatif (-) menunjukan tidak adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada media trypticase soy agar (tsa) b. tanda positif (+) menunjukan adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada media trypticase soy agar (tsa). tabel 2 menunjukan kadar bunuh minimal (kbm) yaitu pada konsentrasi ekstrak etanol daun sirih merah 25%, yang dilihat dari tidak adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada media trypticase soy agar (tsa) pada konsentrasi terendah. uji aktivitas antibakteri pada dasarnya dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu metode difusi cakram dan dilusi. pada metode difusi cakram, penilaian aktivitas antibakteri dilihat dari pengukuran zona inhibisi yang dipengaruhi kelarutan dan difusi bahan yang diuji sehingga kurang efektif dalam menginhibisi mikroorganisme. sedangkan metode dilusi dilakukan untuk mengamati aktivitas antibakteri dan dinyatakan lebih efektif karena bahan coba langsung berkontak dengan mikroorganisme6. nilai khm diperoleh dengan mengamati perubahan kekeruhan suspensi bakteri yang telah diinkubasi 37oc selama 24 jam dan nilai kbm diperoleh dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan bakteri pada media trypticase soy agar (tsa) sehingga hasil penelitian akan lebih representative 7. dalam hal ini, senyawa aktif daun sirih merah yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah fenol, flavonoid, alkaloid, saponin dan tannin. fenol dan deviratnya mempunyai daya antibakteri dengan cara menurunkan tegangan permukaan sel dan denaturasi protein. adanya fenol yang merupakan senyawa toksik mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya 93 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kerusakan pada struktur kerangka kovalen. hal ini mengakibatkan protein berubah sifat namun deretan asam amino protein tersebut masih tetap. selanjutnya aktivitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya. dengan terdenaturasinya protein sel maka semua aktivitas metabolism sel dikatalis oleh enzim sehingga bakteri tidak dapat melakukan fungsinya8. flavonoid berfungsi sebagai bakterostatik dengan cara merusak membran sel bakteri karena sifatnya yang lipofilik selain itu juga berfungsi sebagai antiinflamasi. alkaloid berperan sebagai antimikroba karena sifatnya yang dapat berikatan dengan dna. adanya zat yang berada diantara dna akan menghambat replikasi dna itu sendiri, akibatnya terjadi gangguan replikasi dna yang akhirnya akan menyebabkan kematian sel. selain itu alkaloid juga bersifat detoksifikan yang dapat menetralisir racun. saponin sebagai deterjen yang memiliki molekul ampifatik (mengandung bagian hidrofilik dan hidrofobik) yang dapat melarutkan protein membrane. ujung hidrofobik saponin berikatan dengan region hidrofobik protein membrane sel dengan menggeser sebagian besar unsure lipid yang terikat. akibatnya, sel bakteri menjadi lisis. tannin merupakan polifenol yang larut dalam air, mekanisme antibakterinya yaitu dengan cara menghambat enzim ekstra seluler mikroba, mengambil alih substrat yang dibutuhkan pada pertumbuhan mikroba, atau bekerja langsung pada metabolism dengan cara menghambat fosforilasi oksidasi9. daya antibakteri juga ditunjukkan oleh larutan calcium hydroxide (ca(oh)2) 10% yang pada penelitian ini berperan sebagai sebagai kontrol negatif. pada konsentrasi ini, tidak ditemui adanya pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada media agar padat. hal ini terjadi kemungkinan karena kemampuan kalsium hidroksida dalam mengkondisikan suasana dan ph lingkungannya oleh karena kebveradaan ion kalsium (ca2+) dan ion hidroksil (oh-). ion kalsium (ca2+) dapat berikatan dengan karbon dioksida menjadi kalsium bikarbonat sehingga bakteri kekurangan supply co2. ion hidroksil (oh-) akan mengganggu permeabilitas membrane sel, menaikkan ph lingkungan sehingga menghambat aktivitas enzim bakteri untuk oksidasi enzim lain dan protein sel, juga mengganggu dna bakteri dan menghambat replikasi dna. sediaan kalsium hidroksida yang berbentuk pasta dilarutkan menjadi konsentrasi 10% dengan aquades steril. pada tahap ini, kehadiran aquades semkin mensinergiskan aktivitas disosiasi menjadi ion kalsium (ca2+) dan ion hidroksil (oh-) sehingga dalam konsentrasi 10% kalsium hidroksida sudah mampu menghambat pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis,10,11. berdasarkan pembahasan diatas menunjukan bahwa mekanisme dari fenol, flavonoid, alkaloid, saponin dan tannin yang terdapat dalam ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) memiliki peran sebagai daya antibakteri terhadap bakteri enterococcus faecalis. mekanisme kerja zat aktif tersebut dengan menghambat sintesis dinding sel, menghambat fungsi membrane sel dan menghambat sintesis protein. daya antibakteri ini ditunjukan dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) mempunyai kadar hambat minimal (khm) yaitu 20% dan kadar bunuh minimal (kbm) 94 yusrini pasil, aditya yuliansanti|daya antibakteri daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri entrocoocus faecalis sebagai bahan madikamen akar dengan metode delusi yaitu 25% terhadap bakteri enterococcus faecalis. pemakaian ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) sebagai bahan dressing masih perlu dipertimbangkan karena sifat biokompabilitas dan biodegradasinya sangat baik karena merpakan produk alami. konsentrasi khm dan kbm yang besar disebabkan penelitian dilakukan secara in vitro harus membunuh bakteri 99,9% -100% dan aplikasinya menggunakan bahan pelarut. oleh karena itu penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian in vivo untuk menentukan berapa nilai khm dan kbm daun sirih merah yang aman jika dipakai sebagai bahan dressing saluran akar. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirih merah (pipper crocatum) mampu menghambat pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis pada konsentrasi 20% dan dapat membunuh bakteri enterococcus faecalis pada konsentrasi 25%. saran 1. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan kontrol negatif selain calsium hydroxid (ca(oh)2) 10%. 2. perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan ekstrak daun sirih merah (pipper crocatum) sebagai bahan medikamen saluran akar dengan bentuk sediaan lain menyesuaikan bahan yang sudah ada di pasaran dan aman untuk jaringan gigi dan mulut. daftar pustaka 1. grossman, i.l., oliet s, del rio ce. ilmu endodontik dalam praktek. 11nd ed. r.abiyono trans. jakarta: egc. hlm. 248–250, 1995 2. h stephen . a new solution (mtad) to remove the smear layer and disinfect root canals. contamporary endodontics: pp. 28-31, 2005 3. ingle ii, backland lk. endodontics. 5th ed. chapter 3 : microbiology of endododontics and asepsis in endodontic practice. baumgartner jc, 4. bakland lk, sugita ei. london: bc decker inc. hamilton. pp. 63-79, 2002 5. beatrice l. daya antibakteri ekstrak buah mahkota dewa terhadap enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar secara invitro. skripsi. medan: usu, 2010. 6. ferreira cm, rosa ops, torrres sa, ferreira fba, bernardinelli n. 2002. activity of endodontic antibacterial agents against selected anaerobic bacteria. braz dent j., 13(2): 118-22.65. 7. saraswati, r.s. daya antibakteri infusa daun sirih merah (piper crocatum) terhadap bakteri enterococcus faecalis. skripsi strata 1. surabaya: fakultas 95 idj, vol.3 no. 1 bulan mei tahun 2014 kedokteran gigi universitas airlangga, 2011. 8. nurrokhman. 2006. efek air rebusan daun sirih pada peningkatan kepekaan staphylococcus aureus terhadap ampisilin in vitro. jurnal kedokteran yarsi, 14(l): 024-028. 9. dhita, t.a.h. efektivitas anti bakteri ekstrak daun sirih (piper betle linn) terhadp bakteri enterococcus faecalis (penelitian in vitro). skripsi strata 1. makassar: fakultas kedokteran gigi universitas hasanuddin makassar, 2013. 10. chew h, khoo a.t.r, jennifer. 2003. ph changes in root dentin after intracanal placement of improved calcium hydroxide containing guttapercha points. j endodon, 2003, (29): 48. 11. banurea, f.e. efek antibakteri kitosan blankas (lymulus polyphemus) bermolekul tinggi terhadap fusobacterium nucleatum (penelitian in vitro). skripsi strata 1. universitas sumatera utara, 2008. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 8-12 8 research article parenting styles and dental caries among preschool children in a coastal area of jember, indonesia elyda akhya afida misrohmasari1*, berlian prihatiningrum2 1department of dental public health, faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no 37, jember 68121, indonesia 2department of pediatric dentistry, faculty of dentistry, universitas jember, jl kalimantan no 37, jember 68121, indonesia received date: march 31th, 2022; revised date: april 24th, 2022; accepted: may 23rd, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.14385 abstract dental caries is a multifactorial condition affected by behavioral factors. parenting styles reflect different behavior influenced by cultural and socioeconomic backgrounds. coastal areas have unique cultural and socioeconomic conditions and underlie the community's upbringing behavior. this study aims to determine the differences in preschool children's caries experience based on parenting patterns in a coastal area. this research is a crosssectional study on children and their parents in the coastal area of puger, jember, east java, indonesia. the participants were 269 pairs of preschool children and parents selected by random cluster sampling. the dependent variable was dental caries experience measured using the def-t index. the independent variable was the type of parenting categorized into three groups (authoritative, authoritarian, permissive) based on a questionnaire distributed to parents. the kruskal-wallis test was applied to determine the difference in caries rates in each parenting style (p≤ 0.05). the results showed that the prevalence of primary teeth caries was 97%, and the mean of def-t was 10.03. authoritative parenting style was the majority (81.8%), and no statistically significant difference was found between caries and parenting style (p=0.473). however, the mean of def-t in the authoritarian group was higher than in others (10.42). based on the result, it can be concluded that the mean of dental caries among children in a coastal area with authoritarian parents was the highest compared to others, but the difference was statistically insignificant. keywords: coastal area; dental caries; parenting style introduction dental caries are the most common oral health problem globally. the global burden of disease study in 2019 showed that around 520 million children around the globe experienced caries of primary teeth.1 the prevalence of oral health problems continues to increase in most low and middle-income countries due to changes in living conditions and growing urbanization.1 in indonesia, the prevalence of dental caries in 2018 was 81.8% among children 3-4 years and 92.6% among children 5-9 years old.2 studies found that behavioral factors were found to be related to caries in * corresponding author, e-mail: elyda.fkg@unej.ac.id children.3,4 parents play an important role in shaping children's oral health behavior. parents’ oral health attitudes and practices were related to children's oral health status.5,6 moreover, oral health condition at an early age was related to oral health condition later in life.7 therefore, promoting oral health behavior at an early age is important to improve quality of life.6 children's oral health behavior is affected by how children are nurtured at home. parenting styles have been divided into three categories, namely, authoritarian, permissive, and authoritative.8 the authoritarian parenting style shows high control and is less friendly in interacting elyda akhya afida misrohmasari & berlian prihatiningrum | parenting styles and dental caries among preschool children in a coastal area of jember, indonesia 9 with the child. the permissive parenting style showed non-responsive and noncontrolling and made few demands on their child. the authoritative parenting style showed controlling but also receptive and warm to the child.8 according to bronfenbreener (1979), parenting styles can be influenced by culture, ethnicity, and socioeconomic status.9 coastal communities may have a distinctive parenting style influenced by local culture. the local coastal population is less able to process natural resources than the outsiders, so they mostly work as fishing laborers.10 the poverty causes many coastal parents to marry off their daughters at younger ages. most of the girls are still teenagers, and they may be unable to continue their education or find a decent occupation.11 parents learn from the local culture about the role they must play in raising their children.11 based on the background, this study aims to analyze the difference in caries experience in primary teeth among preschool children based on parenting styles in the coastal area of puger, jember, indonesia. materials and methods this cross-sectional study examined preschool children and their parents in the coastal area of puger, jember, indonesia. the coastal area of puger is located in two villages, namely puger kulon and puger wetan. ethical approval was given by the ethical committee of medical research faculty of dentistry universitas jember no. 238/un.25.8/kepk/dl/2019. written consent was obtained from every child’s parent or caregiver. this study randomly sampled children enrolling at preschools in the puger kulon and puger wetan. there were 16 preschools in these villages with a total of 780 students. the sample size was calculated with a 95% confidence interval and a 5% margin of error. the minimum sample size needed was 258 preschool children. preschools as the cluster were randomly selected from this area. all the eligible students from the selected schools were included in this study. the inclusion criteria for this study were children aged 4-6 years and parents' consent for involvement in the study. the exclusion criterion was uncooperative children for clinical examination. nine preschools with 269 pairs of studentparents participated in this study. data on caries were collected through children’s clinical examinations and a set of questions administered to mothers or caregivers. the clinical examination was performed with artificial light, a mouth mirror, a dental explorer, and relative isolation. the questionnaire consisted of a section on the sociodemographic characteristic of the parents and a section on parenting styles. the dependent variable in this study was the experience of dental caries in primary teeth, which was measured using the decay-exfoliated-filling (def-t) index. the independent variable was the parenting styles given to the mother or caregiver. the questionnaire on parenting styles consisted of 25 questions on parents' attitudes and practices regarding children's upbringing. the questions were multiple-choice questions with three choices. the choices indicated different categories for parenting styles. participants' parenting style was categorized based on most answers to all questions. the researchers also conducted a pilot study in a preschool with 30 children involved to ensure the validity and reliability of the instruments. data analysis was performed using spss version 25. children and parents with missing data were excluded from the analysis. a kruskal-wallis test was used to determine the difference in the average ef-t scores for every parenting style. the level of significance for the test was ≤ 0.05. result a total of 269 children participated in this study, consisting of 127 males and 142 females, as shown in table 1. the insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 8-12 10 children's age in this study was mostly 6 years old (60.6%), and the majority were javanese (95.9%). most children had mothers with a primary level of education (41.6%) and lived with a family income of less than 1.5 million indonesia rupiah per month (69.5%).in this study, mothers were mostly housewives (90.7%). table 1. sociodemographic characteristics of respondents no characteristics n (%) 1 gender a. male 127 47.4% b. female 142 52.6% 2 age a. 4 years 9 3.3% b. 5 years 97 36.1% c. 6 years 163 60.6% 3 ethnicity a. javanese 258 95.9% b. madurese 11 4.1% 4 mother's education a. ≤ primary 112 41.6% b. junior high school 110 40.9% c. senior high school 43 16.0% d. higher edu 4 1.5% 6 mother's occupation a. housewives 244 90.7% b. self employee 18 6.7% c. employee 7 2.6% 7 family income/month (idr) a. < 1.5 million 187 69.5% b. 1.5– 2.49 million 67 24.9% c. 2.5– 3.49 millon 10 3.7% d. > rp3.49 million 5 1.9% total 269 100% the prevalence of caries in primary teeth in this study was 97.0%, and the mean def-t score was 10.05 (standard deviation (sd)=4.68). as presented in table 3, there were no significant differences between the three parenting styles regarding def-t score (p=0.473). the mean def-t score in the permissive group was 8.74, the lowest among all groups. in the authoritarian group, the def-t score was 10.42, the highest compared to the other groups. table 3. distribution of def-t according to parenting style no parenting style n def-t score p 1 authoritative 220 10,14 0.473 2 authoritarian 26 10.42 3 permissive 23 8.74 total 269 discussion the prevalence of caries in primary teeth (97%) and the mean def-t score were high in this study (10.05). previous studies in coastal children aged 5-11 in pakistan showed a lower prevalence at 70.8%12. furthermore, a study using def-t index conducted on 6-year-old coastal children in makasar, indonesia, was 5.6.13 the association of parenting style with caries of primary teeth could not be determined in this study due to the insignificant difference in def-t scores between all three parenting groups. insignificant differences in caries status in parenting styles were also found in a study of 4-6-year-old children in korea.14 this study revealed that the highest mean of the def-t index was among the authoritarian parents. previous studies demonstrated that the authoritarian parenting styles that were coercive and oppressive did not help to improve children's oral health.14,15 in this present study, in the children of permissive parents, the def-t index was lower compared to the other groups. however, a study in korea reported that the children's caries were lower in authoritative parenting styles.14 this different finding may be related to the different cultures of the study population. dental caries in children are associated with many factors, including oral health-related behavior, socioeconomic status, ethnicity, and birth order.16 even though the importance of parenting styles in children was undervalued compared to these factors, oral health service providers should play a role in identifying and guiding the parenting elyda akhya afida misrohmasari & berlian prihatiningrum | parenting styles and dental caries among preschool children in a coastal area of jember, indonesia 11 style in the community health centers or any dental office. in terms of the limitation of this study, since the questionnaire was selfreported, the parents might provide false answers or be unfaithful when answering questions. therefore, the distribution of parenting styles might be biased toward one side of the parenting style. in future studies, in-depth interviews can be added as instruments to access parenting styles. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that this study found no statistical difference between dental caries in primary teeth and parenting styles. authoritarian parenting style showed the highest def-t index among all groups. acknowledgment we would like to acknowledge siti fatimah khaerun nisa for her contribution to collecting the data in this study. references 1. global burden of disease collaborative. global burden of disease study 2019 (gbd 2019).; 2020. http://ghdx.healthdata.org/gbdresults-tool 2. pusat data dan informasi kemerterian kesehatan ri. kesehatan gigi nasional.; 2019. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/v iew/20031000001/kesehatan-giginasional.html 3. elamin a, garemo m, gardner a. dental caries and their association with socioeconomic characteristics, oral hygiene practices and eating habits among preschool children in abu dhabi, united arab emirates—the noplas project. bmc oral health. 2018;18(1):1-9. https://doi.org/10.1186/s12903-0180557-8 4. mwakayoka h, masalu jr, kikwilu en. dental caries and associated factors in children aged 2-4 years old in mbeya city, tanzania. j dent. 2017;18(2):104. 5. lotto m, strieder ap, ayala aguirre pe, et al. parental perspectives on early childhood caries: a qualitative study. int j paediatr dent. 2020;30(4):451458. https://doi.org/10.1111/ipd.12622 6. dos santos costa f, agostini ba, schuch hs, correa mb, goettems ml, demarco ff. parent-child interaction and stimulation in early life can be related to caries in primary dentition? hypotheses from a life-course approach. med hypotheses. 2019;130:109291. https://doi.org/10.1016/j.mehy.2019.1 09291 7. misrohmasari eaa, wicaksono d, hadnyanawati h, prihatiningrum b. toothache experiences: findings from 21 years longitudinal survey. brazilian j oral sci. 2022;21(00):e226288-. https://doi.org/10.20396/bjos.v21i00.8 666288 8. viswanath s, asokan s, geethapriya pr, eswara k. parenting styles and their influence on child’s dental behavior and caries status: an analytical cross-sectional study. j clin pediatr dent. 2020;44(1):8-14. https://doi.org/10.17796/1053-462544.1.2 9. luo s, liu y, zhang d. socioeconomic status and young children’s problem behaviours-mediating effects of parenting style and psychological" suzhi". early child dev care. 2019;191(1):148-158. https://doi.org/10.1080/03004430.201 9.1608196 10. sebayang sk, astutik e, dewi dmsk, mandagi am, puspikawati si. health care-seeking behaviour of coastal communities in banyuwangi, http://ghdx.healthdata.org/gbd-results-tool http://ghdx.healthdata.org/gbd-results-tool https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20031000001/kesehatan-gigi-nasional.html https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20031000001/kesehatan-gigi-nasional.html https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20031000001/kesehatan-gigi-nasional.html https://doi.org/10.1186/s12903-018-0557-8 https://doi.org/10.1186/s12903-018-0557-8 https://doi.org/10.1111/ipd.12622 https://doi.org/10.1016/j.mehy.2019.109291 https://doi.org/10.1016/j.mehy.2019.109291 https://doi.org/10.20396/bjos.v21i00.8666288 https://doi.org/10.20396/bjos.v21i00.8666288 https://doi.org/10.17796/1053-4625-44.1.2 https://doi.org/10.17796/1053-4625-44.1.2 https://doi.org/10.1080/03004430.2019.1608196 https://doi.org/10.1080/03004430.2019.1608196 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 8-12 12 indonesia: results of a cross-sectional survey. j ners. 2017;12(1):66-73. https://doi.org/10.20473/jn.v12i1.4439 11. sary yne. relationship of parenting and social support for working single mothers on the provision of balanced nutrition and nutritional status of early childhood in coastal areas. al-athfal j pendidik anak. 2020;6(2):175-186. https://doi.org/10.14421/alathfal.2020.62-07 12. patoli s, jabeen n, zareef u, hameedi s, arshad mb, farid h. prevalence of dental caries among 5–11-years-old children in ibrahim hyderi, coastal area of karachi. found univ j dent. 2021;1(1):25-31. https://doi.org/10.33897/fujd.v1i1.265 13. damayanti l, zulkifli a, amiruddin r, palutturi s. influence of food consumption to caries at school age in ujung tanah subdistrict. enfermería clínica. 2020;30:182-186. https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.1 0.065 14. lee m, tak m, kim j, yang y, lee d. j korean acad pediatr dent. 2020;47(1):78-86. https://doi.org/10.5933/jkapd.2020.4 7.1.78 15. kumar s, tadakamadla j, zimmer‐ gembeck mj, kroon j, lalloo r, johnson nw. parenting practices and children’s dental caries experience: a structural equation modeling approach. community dent oral epidemiol. 2017;45(6):552-558. https://doi.org/10.1111/cdoe.12321 16. tinanoff n, baez rj, diaz guillory c, et al. early childhood caries epidemiology, aetiology, risk assessment, societal burden, management, education, and policy: global perspective. int j paediatr dent. 2019;29(3):238-248. https://doi.org/10.1111/ipd.12484 https://doi.org/10.20473/jn.v12i1.4439 https://doi.org/10.14421/al-athfal.2020.62-07 https://doi.org/10.14421/al-athfal.2020.62-07 https://doi.org/10.33897/fujd.v1i1.265 https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.10.065 https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.10.065 https://doi.org/10.5933/jkapd.2020.47.1.78 https://doi.org/10.5933/jkapd.2020.47.1.78 https://doi.org/10.1111/cdoe.12321 https://doi.org/10.1111/ipd.12484 10 alfani octavia│perawatan interseptif dental pasien anak penderita cleft-palate perawatan interseptif dental pasien anak penderita cleft–palate interceptive dental treatment on children with cleftpalate alfini octavia1 1department of pediatric, school of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding : octavia_alfini@ymail.com abstrak anak-anak yang mengalami kelainan cleft-palate biasanya menderita kelainan dento-skeletal. sejak kecil mereka harus berjuang untuk melalui operasi koreksi palatum(palatoplasty) untuk bertahan hidup agar asupan makanan dapat tercukupi. kelainan dental mulai timbul ketika gigi-geligi mulai erupsi seperti karies, kelainan bentuk , kelainan jumlah dan masalah diskrepansi antara maksila dan mandibula sehingga hubungan gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah menjadi tidak harmonis mengarah pada kelainan maloklusi kelas iii, yang juga menimbulkan masalah estetik. tujuan penulisan naskah ini adalah melakukan kajian lebih mendalam perawatan dental dan skeletal anak-anak dengan cleftpalatesehingga kasus-kasus seperti ini dapat dirawat dengan optimal tanpa membutuhkan waktu perawatan yang lama dan hasil yang memuaskan.penelusuran pustaka menghasilkan keterangan bahwa perawatan dental pada anak-anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin untuk mencegah keparahan kelainan dental dan munculnya kelainan periodontal serta mencegah berlanjutnya maloklusi yang telah terjadi.perawatan dento-skeletal pada anak-anak dapat dilakukkan seawal mungkin untuk mendapatkan hasil dan waktu perawatan yang optimal. kata kunci : interseptif, cleft-palate,palatoplasty abstract children who suffered of cleft-palate is common have dental sceletal problem. since they were a baby, they have to undergo palatoplasty in order to have adequate meal intake in a feeding process . when the teeth erupted there were caries process, malformation, malposition and missing tooth around the cleft area. there is also discrepancy between maxilla and mandibula which result disharmony relation. ittends tobe class iii angle malocclusion and become an aesthetic problem in the future. the aim of this paper was to learn deeply the dento-sceletal treatment to children who suffered of cleft-palate , through optimal strategy in a short period and satisfield result. many study shows that the early treatment of dental caries could prevent extensive caries which may also cause the periodontal disease and severe maloclusion. the result show that dento-sceletal treatment could be carried out since the primary dentition period to reach a short period of treatment and optimal output. key words : interceptive, cleft-palate,palatoplasty pendahuluan labiopalatoschisis merupakan kelainan yang sering ditemukan dengan insidensi 0,28-3,74 dari 1000 kelahiran secara global. labioschisis dan palatoschisis yang terjadi secara bersamaan terjadi pada 50% dari kasus yang ditemukan1. penyebab dari kelainan ini adalah multifaktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan1,2. wanita lebih mailto:octavia_alfini@ymail.com 11 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 sering terkena daripada pria dan sisi kanan lebih sering terkena kelainan ini daripada yang kiri2. defisiensi pertumbuhan wajah bagian tengah sering terjadi pada anak-anak penderita dengan complete labial palatalcleft, umumnya terjadi sebagai akibat koreksi tulang palatum atau palatoplasty. hal ini menyebabkan terjadinya diskrepansi antara maksila dan mandibula yang berakibat anterior atau posterior crosbite2,3. penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan kelas iii insisivus/cross bite sebesar 31,3% anak-anak dengan labial-palatal cleft unilateral bila dibandingkan dengan yang memiliki labioschisis unilateral sebesar 9,1%4. kelainan gigi geligi lainnya yang sering terjadi hypodontia dan kelainan gigi dalam ukuran dan bentuk5. kelainan berupa gigi berjejal juga ditemukan penderita cleftpalate2. resiko karies yang signifikan juga ditemukan pada anak dengan celah langitlangit dari usia 18 bulan hingga 4 tahun. insidensi karies yang tinggi terdapat pada gigi yang berdekatan dengan cleft dan pada gigi geligi molar sulung6,7. kelainan gigi geligi yang lain yaitu frekuensi anomali lain yang tidak didapatkan pada anak yang tidak menderita cleft-palate seperti tidak adanya benih gigi insisivus lateral di daerah celah yang sangat sensitif terhadap gangguan tumbuh kembang5,8. gigi insisivus lateral bisa juga mengalami mesiodens, bentuk konus, atau runcing, mikrodontia gangguan pembentukan gigi, erupsi, kelainan pembentukan akar dan mahkota lain9,10. kelainan gigi-geligi ini juga menimbulkan masalah estetik, berpotensi menimbulkan masalah fungsi, masalah periodontal karena gigi tidak didukung oleh tulang alveolar yang cukup dan masalah dalam restorasi gigi11. perawatan cleft-palate membutuhkan kerja tim yang terdiri dari tim dokter anak, dokter bedah, dokter anestesi, dokter tht, dokter gigi anak, ortodontis, speech therapist, dan psikolog12. pada tahap awal dokter anak, bedah, tht dan anestesi memegang peranan awal untuk menjamin kelangsungan pasien dalam mendapatkan asupan makanan secara optimal. pada masa gigi geligi telah erupsi, tim dokter gigi mempunyai peranan dalam mengkoreksi keadaan gigi geliginya. tujuan dari perawatan interseptif pada perawatan ini adalah mencegah agar karies yang cenderung mudah terjadi karena deposit lunak di antara gigi geligi dan cleft dapat diantisipasi, selain itu intervensi dini dapat mengurangi resiko keadaan gigi berjejal dan crossbite di anterior, sehingga perawatan ortodonti bisa berlangsung lebih singkat dan tidak terlalu sulit2. kemampuan awal untuk mendiagnosa terjadinya defisiensi pertumbuhan maksila sangat penting untuk tercapainya perawatan yang optimal. optimal dalam hal jenis perawatan, maupun waktu dimulainya perawatan serta lamanya perawatan ortodonti11. resiko karies pada penderita cleftpalate kesehatan gigi geligi pada masa gigi sulung pada anak dengan cleft-palate sangat penting untuk tercapainya keberhasilan perawatan ortodonti, fungsi oral, perkembangan bicara dan space maintenance bagi gigi geligi. untuk mencapai kesehatan gigi yang optimal pada pasien cleftpalate relatif sulit sehubungan dengan keadaan anatomi di daerah cleft, keadaan gigi–geligi yang berjejal dan defek hipoplastik13. perawatan interseptif dental pada anak-anak 12 alfani octavia│perawatan interseptif dental pasien anak penderita cleft-palate dengan cleft-palate dimulai ketika gigi mulai erupsi. kondisi gigi-geligi sulung pada rongga mulut seorang anak cleft-palate adalah indeks karies yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal pada usia yang sama13,14,15. faktor resiko yang menyertai keadaan tersebut adalah sosiodemografi, flora bakteria, dan faktor yang berkaitan dengan masa menyusui baik asi maupun susu botol, serta pola makan16. kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat dan lunak menyebabkan produktivitas asam oleh bakteri rongga mulut meningkat, dan hal ini akan menuruhkan ph rongga mulut menjadi asam sekitar 5,52,16. kesulitan dalam membersihkan mulut yang berkaitan dengan anatomi di daerah cleft dan self cleansing yang kurang memadai di daerah cleft tersebut juga mempengaruhi oral hygiene17 ,18. perawatan gigi geligi dan rahang ada tiga masa dalam penatalaksanaan pasien dengan cleft-palate, yaitu: a. periode gigi sulung2 untuk mengatasi resiko terjadinya karies karena faktor-faktor resiko yang ada, maka direkomendasikan untuk berkumur sodium fluoride 0,05%19. hal ini bertujuan untuk memperkuat struktur gigi dengan terbentuknya kristal hidroksi apatit juga mempersempit aktivitas kerja bakteri20. perawatan di masa gigi geligi sulung yaitu penambalan pada gigi geligi yang mengalami karies dan dapat dilakukan dengan menggunakan glass ionomer cement yang melepaskan fluor untuk mengantisipasi proses demineralisasi yang terjadi akibat rendahnya ph rongga mulut, walaupun jenis tidak menutup kemungkinan untuk penggunaan bahan tambal lain seperti komposit dan amalgam. anak-anak dengan cleftpalate sering memiliki karies pada gigigigi molar sulung6,7 dan gigi yang bersebelahan dengan cleft, bahkan sering ditemukan gigi yang tinggal sisa akar atau radiks, sehingga tidak bisa lagi dilakukan perawatan gigi, melainkan ekstraksi. b. periode gigi bercampur2 pada masa ini dilakukan perawatan yang dihadapi adalah diskrepansi antara maksila dan mandibula, sehingga yang ditemukan adalah cross bite anterior atau bukal, gigi berjejal dan cleft yang masih terbuka sehingga terjadi pergeseran garis median. gigi geligi di maksila biasanya bergeser ke arah yang tidak memiliki cleft, bila ditemukan pada kasus unilateral. dengan keadaan tersebut perawatan ortodonti tidak dapat dihindarkan2. perawatan pada tulang alveolar di usia 8-11 dilakukan dengan bone graft yang bertujuan untuk memperbaiki integritas rahang, memberikan alar base support, memberikan kesempatan untuk gigi kaninus yang berada di daerah cleft untuk erupsi, memberi kesempatan untuk proses penutupan cleft dan penutupan oro-nasal fistula. waktu melakukan operasi berdasarkan hasil pemeriksaan radiograf dari caninus yang belum erupsi yang bersebelahan dengan cleft sudah terbentuk 50-75%21. operasi dilakukan di bawah anestesi umum. kepingan tulang corticocancellous diambil dari medial iliac crest. tulang ini di aplikasikan 13 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 sebagai onlay graft ke pyriform rim pada sisi tulang yang kurang untuk menambah alar base melalui sebuah sisi intraoral. bone graft disesuaikan baik bentuk maupun ukurannya dengan tempatnya pada alar base pasien yang tampak simetris dari sisi yang berlawanan25/22. perawatan ortodonti juga dilakukan pada periode ini. tujuan dari perawatan ortodonti pada pasien dengan palatalcleft adalah menciptakan hubungan yang baik dan stabil antara gigi-geligi di maksila dan mandibula. perawatan interseptif ortodonti pada usia 9-11 secara teknis bertujuan untuk mengko-reksi gigi-geligi yang mengalami rotasi dan melakukan ekspansi maksila dengan alat seperti quad helix di maksila23. ekspansi ini mungkin dibutuhkan tidak hanya pada daerah cleft, tetapi juga untuk mendapatkan hubungan intermak-sila di masa depan. dua belas minggu setelah dilakukan operasi bone graft, perawatan ortodonti tahap akhir dilaku-kan untuk memperbaiki lengkung antar gigi di satu rahang dan relasi dengan gigi-geligi di rahang antagonisnya (intermaksilaris). perawatan dilakukan dengan alat ortodonti cekat, dengan lama perawatan rata-rata selama 2 tahun2. tulang di daerah cleft harus telah terbentuk dengan baik , dan konti-nuitas tulang alveolar tidak berkurang secara volumen, artinya tidak terjadi resorpsi alveolar24, selain itu yang harus diperhatikan adalah melakukan up-righting akar gigi di pertengahan tu-lang yang baru sehingga daya dapat tersebar merata dan lebar dan ketinggian tulang alveolar di bagian interdental dan labiolingual dapat tercepat sesuai dengan ketinggian yang diharapkan25. c. periode remaja akhir(late teenager)2 pilihan yang dilakukan untuk mengatasi diskrepansi antara maksila dan mandibula pada masa remaja akhir adalah orthognatic surgery. hal ini dilakukan karena percepatan proses tumbuh kembang sudah relatif menurun2. tindakan orthognatik surgery dilakukan dengan pertimbangan yang matang dengan memperhitungkan keadaan yang ada dan komplikasikomplikasi yang terjadi, agar mendapatkan hasil yang optimal. kesimpulan perawatan interseptif gigi geligi pada pasien anak dengan cleft-palate dapat dilakukan sedinimungkin untuk mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan rahang yang optimal di masa tumbuh kembang. pada pasien dengan cleft palate, edukasi terhadap orang tua, pengasuh dan pasien tentang anatomi dan jenis gigi sulung dan permanen, pengetahuan waktu erupsi gigi permanen dan pentingnya membersihkan gigi secara seksama secara teratur perlu ditekankan dan dilatih secara berkesinambungan, selain itu kebiasaan untuk menjaga kebersihan rongga mulut dan kebiasaan makan yang berserat, dan tidak manis harus dilakukan setiap kunjungan ke dokter gigi. daftar pustaka 1. mc. donald, r.e., avery, d.r. & dean j.a. dentistry for the child and 14 alfani octavia│perawatan interseptif dental pasien anak penderita cleft-palate adolescencent. st. louis. missouri: mosby. pp. 686-709. 2004 2. millett, d. & welbury, r. clinical problem solving in orthodontics and paediatric dentistry. london: elsevier. pp. 78-82. 2005 3. vieira, g., menezes, l.m., lima, e.m rizzatto, s., 2009. dentoskeletal effects of maxillary protraction in cleft patients with repetitive weekly protocol of alternate rapid maxillary expansions and constrictions. the cleft palate craniofacial journal, 4: 391-8. 4. garrahy, a. millet, d.t, ayoub, a.f., 2005. early assessment of dental arch development in repaired unilateral cleft lip and unilateral cleft lip and palate versus controls. the cleft palate-craniofacil j., 42(4): 385-91. 5. ranta r., 1986. a review of tooth formation in children with cleft lip/palate. am j orthod dentofacial orthod., 90: 11-18. 6. johnson dc, dixon m. 1984. dental caries of primary incisors in children with cleft lip and palate. cleft palate j, 21: 104-109. 7. bokhout,b. f x w m hofman.,j van limbeek; kramer, g j c.prahlandersen,b., 1997. incidence of dental caries in the primary dentition in children with a cleft lip and/or palate. caries research, 31(1): 8-12. 8. shapira y, lubit e, kuftinec m., 1999. congenitally missing second premolars in cleft lip and cleft palate children. am j orthod dentofacial orthop, 115: 396400. 9. nagai. i, fujiki .y, fuchihata .h, yoshimoto t., 1965. supernumerary tooth associated with cleft lip and palate. j am dent assoc, 70: 642-647. 10. wei x, senders c, owiti go, liu x, wei an, dillard-telm l, mcclure hm, hendrickx ag. 2000. the origin and development of the upper lateral incisor and premaxilla in normal and cleft lip/palate monkeys induced with cyclosphosphamida. cleft palate craniofac j, 37: 571-583. 11. shashua d., omnell ml. 2000. radiographic determination of the position of the maxillary lateral incisor in the cleft alveolus and parameters for assessing its habilitation prospects. cleft palate craniofac j, 37: 21-25. 12. cheng, l.l., moor, s.l, ho, t.c., 2007. predisposing factors to dental caries in children with cleft lip and palate: a review and strategies for early prevention. the cleft palatecraniofacial journal, 44 (1): 67-72. 13. mcdonagh, s., pinson, r., shaw, aj. 2000. provision of general dental care for children with cleft lip and palateparental attitudes and experiences. br dent j, 189: 432-434. 14. hewson, ar., mcnamara, cm., foley tf., sandy jr., 2001. dental experience of cleft affected children in the west of ireland. int dent j, 51: 73-76. 15. kirchberg, a., treide, a., hemprich, a., 2004. investigation of caries prevalence in children with cleft lip, alveolus, and palate. j craniomaxillofac surg., 32: 216-219. 16. harris r, nicoll ad, adair pm, pine cm.2004. risk factors for dental caries in young children: a systematic review of the literature. community dent health, 21(supp.): 71-85 17. dahllof, g., ussisoo-joandi, r., ideberg, m., modeer t.1989. caries, gingivitis, and dental abnormalities in preschool children with cleft lip and/or palate. cleft palate j, 26: 233-237. 18. johnsen, dc., dixon, m., 1984. dental caries of primary incisors in children with cleft lip and palate. cleft palate j, 21: 104-109. 19. o'reilly, mm., featherstone, jd., 1987. demineraiization and remineralization around orthodontic appliances: an in vivo study. am j orthod dentofacial orthop, 92: 33-40. http://search.proquest.com/pubidlinkhandler/sng/pubtitle/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/$n/36255/docview/204926461/fulltext/b29aac10ff27487cpq/26?accountid=38628 http://search.proquest.com/pubidlinkhandler/sng/pubtitle/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/$n/36255/docview/204926461/fulltext/b29aac10ff27487cpq/26?accountid=38628 http://search.proquest.com/pubidlinkhandler/sng/pubtitle/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/$n/36255/docview/204926461/fulltext/b29aac10ff27487cpq/26?accountid=38628 http://search.proquest.com/pubidlinkhandler/sng/pubtitle/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/$n/36255/docview/204926461/fulltext/b29aac10ff27487cpq/26?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexingvolumeissuelinkhandler/36255/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/02009y07y01$23jul+2009$3b++vol.+46+$284$29/46/4?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexinglinkhandler/sng/au/f+x+w+m+hofman/$n?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexinglinkhandler/sng/au/j+van+limbeek/$n?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexinglinkhandler/sng/au/j+van+limbeek/$n?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexinglinkhandler/sng/au/kramer,+g+j+c/$n?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexingvolumeissuelinkhandler/36255/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/02009y07y01$23jul+2009$3b++vol.+46+$284$29/46/4?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexingvolumeissuelinkhandler/36255/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/02009y07y01$23jul+2009$3b++vol.+46+$284$29/46/4?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexingvolumeissuelinkhandler/36255/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/02009y07y01$23jul+2009$3b++vol.+46+$284$29/46/4?accountid=38628 http://search.proquest.com/indexingvolumeissuelinkhandler/36255/the+cleft+palate+-+craniofacial+journal/02009y07y01$23jul+2009$3b++vol.+46+$284$29/46/4?accountid=38628 15 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 20. geddes, da., mcnee, sg., 1982. the effect of 0.2 per cent (48 mm) naf rinses daily on human plaque acidogenicity in situ (stephan curve) and fluoride content. arch oral biol , 27: 765-769. 21. matsui, k., echigo, s., kimizuka, s., takahashi, m., chiba, m., 2005. clinical study on eruption of permanent canines after secondary alveolar bone grafting. cleft palate craniofac, 42: 309-313 22. devlin, mf., ray a., raine, p., bowman.a.,ayoub, a.f., 2007. facial symmetry in unilateral cleft lip and palate following alar base augmentation with bone graft: a three-dimensional assessment. claft palate craniofacial j, 44 (4): 391-5. 23. masarei, ag., wade, a., mars, m., sommerlad, bc., sell, d., 2007. a randomized control trial investigating the effect of presurgical orthopedics on feeding in infants with cleft up and/or palate. cleft palate craniofac j, 44:1 82-193. 24. feichtinger, m., mossbock, r., karcher h., 2007. assessment of bone resorption after secondary alveolar bone grafting using three-dimensional computed tomography: a three-year study. cleft palate craniofac j, 44: 142-148. 25. trindade, ik., mazzottini, r., silva filho, og., trindade, ie., deboni, mc., 2005. long-term radiographic assessment of secondary alveolar bone grafting outcomes in patients with alveolar clefts. oral surg oral med oral pathol oral radiol endod., 100 (3): 271-277 corespondence: rizky aditiya irwandi, dental student, faculty of dentistry, university of indonesia, jakarta, indonesia 11040, e-mail: rizky_aikiki@hotmail.com idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 46 immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans isolated from caries and caries-free subjects rizky aditiya irwandi1, endang winiati bachtiar2, mindya yuniastuti2 1 dental student, faculty of dentistry, university of indonesia, jakarta, indonesia 11040 2 department of oral biology, faculty of dentistry, university of indonesia, jakarta, indonesia 11040 abstract the main microbial culprit in dental caries is streptococcus mutans (s.mutans), virulence of which can be observed by its differential protein expression between caries and caries-free subjects.the success of immunoglobulin-y (igy) anti s.mutans as a passive immunization agent in eliminating s.mutans has been reported. the aim of this study is to analyze the effect of igy anti s.mutans on the protein expression of s.mutans isolated from caries and caries-free subjects. each dental plaque was collected by swabbing the buccal surface of the first lower permanent molar of caries and caries-free subjects. the plaques were then cultured on agar medium tys20b. after 72 hours, the colonies from each of them were cultured in liquid medium tys broth for 72 hour. each collected bacteria (whether from caries or caries-free subjects) were grouped into control and exposure group. in exposure group, s.mutans was exposed by pre-incubated (for one hour at 37°c) igy anti s.mutans for one hour at 37°c. protein expression of s.mutans was analyzed with sds page after the preparation of its antigen and bradford protein assay. our result shows that s.mutans 41.3 kilodalton protein expression of caries subjects, are up-regulated in comparison to the control group. meanwhile, the s.mutans 41.3 kilodalton protein expression of caries-free subjects, are down-regulated in comparison to the control group. this study suggests that igy anti s.mutans up-regulates 41.3 kilodalton protein expression of s.mutans in the caries subjects. however igy anti s.mutans down-regulates 4.13 kilodalton protein expression of s.mutans in the caries-free subjects. key words: streptococcus mutans, protein expression of streptococcus mutans, imunoglobulin-y anti streptococcus mutans, caries and free caries subjects. pengaruh imunoglobulin-y terhadap protein streptococcus mutans yang diisolasi dari subjek karies dan bebas karies abstrak mikroba penyebab utama karies pada gigi adalah streptococcus mutans (s.mutans). virulensi s.mutans dapat diketahui melalui ekspresi proteinnya yang rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans 47 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 berbeda antara subjek karies dan bebas karies. keberhasilan imunoglobulin-y (igy) anti s.mutans sebagai media imunisasi pasif dalam mengeliminasi s.mutans telah banyak dilaporkan. tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis efek igy anti s.mutans terhadap ekspresi protein s.mutans yang diisolasi dari subjek karies dan bebas karies. masing-masing plak pada gigi dikumpulkan dengan cara dilakukan pengulasar pada permukaan bukal gigi molar pertama permanen dari subjek karies dan bebas karies. plak lalu dikultur di atas medium agar tys20b . setelah 72 jam, koloni yang dihasil dari keduanya dikultur pada medium cair tys broth selama 72 jam. masing-masing bakteri yang telah terkumpul (yang berasal dari subjek karies maupun subjek bebas-karies) dikelompokkan menjadi kelompok kontrol dan kelompok pemaparan. pada kelompok pemaparan, s.mutans dipapar oleh igy anti s.mutans (yang telah sebelumnya dipreinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°c) selama 1 jam pada suhu 37°c. ekspresi protein dianalisis dengan sds page setelah sebelumnya dilakukan preparasi antigen dan uji kadar protein bradford. hasil penelitian ini adalah ekspresi protein s.mutans 41.3 kilodalton pada subjek karies meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol. sementara itu, ekspresi protein s.mutans 41.3 kilodalton pada subjek bebas karies menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol. dalam penelitian ini disimpulkan bahwa igy anti s.mutans 41.3 kilodalton meningkat . akan tetapi , igy anti s.mutans menurunkan ekspresi protein 41..3 kilodalton dari s.mutans pada subjek bebas-karies. kata kunci: streptococcus mutans, ekspresi protein streptococcus mutans, imunoglobulin-y anti streptococcus mutans, caries and free caries subjects introduction dental caries remains as one of the most widespread diseases of a mankind. 1 dental caries is a continuing chronic loss of mineral ion from the enamel or root surface of the tooth, stimulated mostly by certain bacterial flora and their byproducts. 2 streptococcus mutans is the main microbial agent in pathogenesis of dental caries. 3 however, s.mutans is widely distributed not only in populations with moderate or high caries prevalences, but also in populations having no or low caries experiences. possible explanation for their presence in subjects with low caries experience are the virulence factors. 4 the virulence factors associated with s.mutans cariogenicity include adhesion, acidogenicity, and acid tolerance. 5,6 one of virulence representing factors that can induce dental caries is the expression of antigen protein because several proteins involved in s.mutans pathogenicity are located on the cell surface. 7 emteta reported that protein expression of s.mutans isolated from dental caries and caries-free subjects was different. 8 a key to understand how s.mutans colonizes in the oral cavity is discerning how the various molecular components comprising the bacterial cell-surface interact with acquired dental pellicle. s.mutans possesses cell surface rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 50 substances, including antigen i/ii (agi/ii), glucosyltransferase (gtf), and glucan-binding protein (gbp). these cell-surface molecules are thought to play important roles in interaction between the organism and its host, and have been given much attention as vaccine candidates against dental caries. 9 sucroseindependent adherence is thought to be most profoundly influenced by antigen i/ii, a 185 kda surface protein. the action of gtf in the synthesis of glucans is the major mechanism behind sucrosedependent adhesion. the glucanbinding proteins are served as the receptor for glucans synthesized by gtf. 5 immunoglobulin-y (igy) is an antibody largely found in chicken eggs. the use of chicken egg yolk as a source for antibody production represents a reduction in animal use, as chicken produces larger amounts of antibodies than laboratory rodents. it also makes it possible to eliminate the collection of blood which is painful for the animal. 10 the success of igy anti s.mutans as an agent of passive immunization in eliminating s.mutans has been previously reported. otake et al. reported that specific pathogen-free rats infected with s.mutans mt8148 (c) and fed with a cariogenic diet containing more than 2% immune yolk powder developed significantly lower caries scores than did the ones infected with the same strain and fed with a diet containing only control yolk powder obtained from nonimmunized hens. 11 then almost two decade after previous study, anggraeni also reported that swabbed gel containing igy anti s.mutans to rats teeth reduced biofilm formation of s.mutans. the studies are not only conducted in animal, but also in human using mouthwash and toothpaste containing igy anti s.mutans. 12 hatta et al. reported that in the shortterm (4-hour) test using a mouthwash containing 10% sucrose, igy decreased the ratio of the percentage of s.mutans per total streptococci in saliva. 13 meanwhile, paau et al. reported that experimental group in which using toothpaste containing igy anti s.mutans twice a day showed significant percentage reduction of s.mutans level in saliva and plaque in comparison to the control group in which using conventional toothpaste. 14 the efficacy of igy anti s.mutans in reducing dental caries development by eliminating s.mutans factor was clinically proven. s.mutans protein expression that represents the virulence factors of s.mutans was apparently different between s.mutans isolated from caries and caries-free subjects after the exposure of igy anti s.mutans. moreover, the difference protein expression of s.mutans isolated from caries and caries-free subjects after the exposure of igy anti s.mutans emerges the possibility of different response between them, it was of interest to analyze the effect of igy anti streptococcus mutans on protein of s.mutans isolated from dental caries and caries-free subjects. materials and methods this study has been approved by research ethical committee of faculty of dentistry, universitas rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans 49 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 indonesia. participation of the program is voluntary. the study was carried out at faculty of dentistry, universitas indonesia. the subjects were 30 students of this faculty with age between 17-23 years, capable of informed consent and free from terminal and serious illness. these subjects were divided into 2 groups, 15 of which were dental caries subjects and the other 15 were dental caries-free subjects. streptococcus mutans were isolated from dental plaque at the buccal of the first lower molar of both dental caries and caries subjects using sterile cotton bud, dispersed into micro centrifuge tubes containing 1 ml pbs and stored at 4oc until used. the plaques were then cultured on agar medium tys20b. after 72 hours, the colonies from each of them were cultured in liquid medium tys broth for 72 hour. each of collected bacteria (whether from caries or caries-free subjects) were grouped into control and exposure group after its concentration had been adjusted to 109 cfu/ml. in exposure group, 5 ml of s.mutans 109 cfu/ml was exposed by 1 ml pre-incubated (for one hour at 37°c) igy anti s.mutans 120 µg/ml for one hour at 37°c. in the other hand, 5 ml of s.mutans 109 cfu/ml without any exposure was prepared as control group. both s.mutans in control and exposure group were collected by centrifugation (13000 rpm, 1 min). each of the collected pellets was washed once with 200 µl pbs and homogenized by ultrasonic homogenizer (omni-ruptor 250, omni international inc.). protein expression of s.mutans was analyzed with sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (sds page) after protein concentration of the homogenized samples had been minimally adjusted to 2000 µg/ml with bradford protein assay. results protein expression that was attempted to be analyzed referred to protein regarding to the virulence factors of s.mutans. those proteins includes 185-190 kda protein, 162 kda protein, 145 kda protein, 155 kda protein, 59 kda protein, 41.3 kda protein, 63.5 kda protein, and 76 kda protein. our result showed that multiple band protein of 41.3 ± 2 kda, 59 ± 2 kda, 63.5 ± 2 kda, and 76 ± 2 kda were predominantly emerged (figure 1). our result shows that there are s.mutans ± 41.3 kda protein expressions from 8 of 15 samples in control groups of caries subjects and 10 of 15 samples in control groups of caries-free subjects. in exposure groups of caries subjects, there are s.mutans ± 41.3 kda protein expressions from 10 of 15 samples whereas in exposure groups of caries-free subjects, there are s.mutans ± 41.3 kda protein expressions from 8 of 15 samples (figure 2). on the other hand, there are s.mutans ± 59 kda protein expressions from 8 of 15 samples in both control groups of caries and caries-free subjects. in exposure groups of caries subjects, there are s.mutans ± 59 kda protein expressions from 6 of 15 samples whereas in exposure groups of caries-free subjects there are rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 50 s.mutans ± 59 kda protein expressions from 3 of 15 samples (figure 3). fig.1. protein profile of s.mutans identified as molecular weight from gel-doc bio-rad. lane 1: cariesfree subject (control), lane 2: caries subject with igy anti s.mutans, lane 3: marker, lane 4: caries-free subject with igy anti s.mutans, lane 5: caries subject (control) fig.2. igy anti s.mutans effect on s.mutans ± 41.3 kda protein expression. black bars, caries subjects; grey bars, caries-free subjects. moreover, there are s.mutans ± 63.5 kda protein expressions from 7 of 15 samples in both control groups of caries and caries-free subjects. in exposure groups of caries subjects, there are s.mutans ± 63.5 kda protein expressions from 2 of 15 samples whereas in exposure groups of caries-free subjects there are s.mutans ± 63.5 kda protein expressions from 4 of 15 samples (figure 4). meanwhile, there are s.mutans ± 76 kda protein expressions from 2 of 15 samples in 0 2 4 6 8 10 12 fr eq ue nc y of e xp re ss io n control igy rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans 51 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 both control groups of caries and caries-free subjects. in exposure groups of caries subjects, there are s.mutans ± 76 kda protein expressions from 6 of 15 samples whereas in exposure groups of caries-free subjects there are s.mutans ± 76 kda protein expressions from 4 of 15 samples (figure 5). fig.3. igy anti s.mutans effect on s.mutans ± 59 kda protein expression. black bars, caries subjects; grey bars, caries-free subjects. fig.4. igy anti s.mutans effect on s.mutans ± 63.5 kda protein expression. black bars, caries subjects; grey bars, caries-free subjects. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 fr eq ue nc y of e xp re ss io n control igy 0 1 2 3 4 5 6 7 8 fr eq ue nc y of e xp re ss io n control igy rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans fig.5. igy anti s.mutans effect on s.mutans ± 76 kda protein expression. black bars, caries subjects; grey bars, caries-free subjects. discussion the result of this study suggests that changes in protein expression of s.mutans are caused by the effect of igy anti s.mutans. in both control and exposure groups whether caries and caries free subjects, multiple band proteins that were predominantly emerged are gbp. s,mutans secretes distinct proteins with glucan-binding activity: gbpa, gbpb, gbpc, and gbpd. 5 mattosgranner et al. reported that a calculated molecular weight of 41.3 kda is gbpb protein and banas et al. reported that gbpa protein has molecular weight of 59 kda. 1 moreover, molecular weight of 63.5 kda is reported as gbpc by sato et al. and shah et al. reported that gbpd protein has molecular weight of 76 kda. 15, 16 the absence of agi/ii is probably caused by the role of agi/ii that is required in the initial colonization of dental biofilm in which it interacts with receptor of adhesin on the tooth pellicle. 17 besides, agi/ii interacts with salivary glycoprotein prevented its attachment to hydroxyapaptite, so that agi/ii expression can be found in planktonic s.mutans. [18] meanwhile, the explanation that supports the absence of gtf expression in this study is that gtf expression is only found in s.mutans in saliva because glucan synthesized from sucrose by gtf is present in human saliva. 9 gbpa and gbpc protein expression in both exposure groups of caries and caries-free subjects are down-regulated in comparison to the control groups. meanwhile, in both exposure groups of caries and cariesfree subjects are up-regulated in comparison to the control groups. on the other hand, gbpb protein expression of exposure groups in caries subjects up-regulated in comparison to the control groups. however gbpb protein expression of exposure groups in caries-free subjects is down-regulated. this present study provides an information that there is different response in s.mutans isolated from dental caries and caries-free subjects after the exposure of igy anti 0 1 2 3 4 5 6 7 fr eq ue nc y of e xp re ss io n igycontrol rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans 53 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 s.mutans, especially in expression of gbpb. smith et al. demonstrated that igy anti s.mutans gbp-b developed reduction of s.mutans colonies and caries index relative to the control. 19 the present study, gbpb expression in exposure groups of caries-free subjects is down-regulated in comparison to the control groups. regarding to smith et al. demonstration, down-regulation of gbpb expression can cause the reduction of s.mutans colonies. this is consistent with the role of gbpb in growth and construction of cell wall of s.mutans. according to the literature, gbpa and gbpc are present on the cell wall surface of s.mutans. 5 in this present study, gbpa and gbpc expressions are dow-regulated probably because of s.mutans colonies reduction. however, in exposure groups of caries subjects, gbpb protein expressions are up-regulated in comparison to the control groups. this is probably because of igy anti s.mutans that is derived from whole cell mutans or not gbpb specific, so that probably cause igy anti s.mutans binds with another protein epitop, because of which there is changes in molecular weight of those proteins resembling the molecular weight of gbpb. conclusions igy anti s.mutans up-regulates ± 41.3 kda protein expression of s.mutans in the caries subject and down-regulates ± 41.3 kda protein expression of s.mutans in the cariesfree subjects. western blot analysis needs to be performed in order to confirm the specific protein that bind to igy anti s.mutans. references 1. smith d.j. ‘dental caries vaccines : prospects and concerns’, crit.rev.oralbiol.med., (2002): 13(4), pp. 335-349 2. mcintyre g.m. ‘the major cause of tooth damage’, in mount g.j. and hume w.r. (ed): ‘preservation and restoration of tooth structure’, (knowledge), pp. 2005; 21-34 3. bowen w.h. ‘vaccine against dental caries : a personal view’, j.dent.res., 1996: 65(8), pp. 1530-1533 4. napimoga m.h., kamiya r.u., rosa r.t., rosa e.a.s., hofling j.f., mattos-graner rd.o., et al. ‘genotypic diversity and virulence traits of streptococcus mutans in caries-free and cariesactive individuals’, j.med.microbiol., 2004: 53, pp. 697-703 5. banas j.a.: ‘virulence properties of streptococcus mutans’, front.biosci., 2004; 9, pp. 12671277 6. napimoga m.h., hofling j.f., kelin m.i, kamiya r.u., goncalves r.b. ‘transmission, diversity and virulence factors of streptococcus mutans rizky aditiya irwandi: immunoglobulin-y effect on protein of streptococcus mutans idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 54 genotypes’, j.oralsci., 2005: 47(2), pp. 59-64 7. matsumoto-nakano m., fujita k., ooshima t. ‘comparison of glucan-binding proteins in cariogenicity of streptococcus mutans’, oralmicro.biol.immunol., 2007: 22, pp. 30-35 8. anastasya r.e. ‘analisis keterkaitan ekspresi protein streptococcus mutans yang diisolasi dari subjek karies dan bebas karies’, (universitas indonesia), 2011: pp. 38-41 9. kruger c. ‘passive immunization against oral pathogen’, (karolinska university hospital), pp. 2004: 11-48 10. carlender d. ‘avian igy antibody: in vitro and in vivo’, (upsala university), pp. 2002: 153 11. otake s, nishihara y., makimura m., hatta h., kim m., yamamoto t., et al. ‘protection of rats against dental caries by passive immunization with henegg-yolk antibody (igy)’, j.dent.res., (991: 70(3), pp. 162166 12. anggraeni ‘prospek gel imunoglobulin-y anti streptococcus mutans sebagai bahan imunisasi pasif anti karies : analisis sifat biologis gel immunoglobulin-y anti streptococcus mutans dan pengaruhnya terhadap proses karies pada tikus sprague dawley’, (universitas indonesia), pp. 2010: 13-92 13. hatta h., tsuda k., ozeki m., kim m., otake s., hirasawa m., et al. ‘passive immunization against dental plaque formation in humans: effect of a mouth rinse containing egg yolk antibodies (igy) specific to streptococcus mutans’, cariesres., 1997: 31(4), pp. 268274 14. paau s., yang r-j. ‘preparation method of igy for preventing and cure mouth disease and the toothpaste base on the igy. (us patent 0198849a1), pp. 2006 : 16 15. sato y., yamamoto y., kizaki h. ‘cloning and sequence analysis of the gbpc gene encoding a novel glucan-binding protein of streptococcus mutans’, infect.immun., 1997 : 65(2), pp. 668-675 16. shah d.s.h., russell r.r.b. ‘ a novel glucan-binding protein with lipase activity from oral pathogen streptococcus mutans’, microbiol., 2004 : 150, pp. 19471956 17. smith d.j. (2003): ‘carues vaccines for the twenty-first century’, j.dent.edu., 67(10), pp. 1130-1139 18. marcotte h., lavoie m.c. ‘oral microbial ecology and the role of salivary immunoglobulin-a’, microbiol.mol.biol.rev., 1998 : 2(1), pp. 71-109 19. smith d.j. ‘ passive transfer of immunoglobulin y antibody to streptococcus mutans glucanbinding protein b can confer protection against experimental dental caries’, infect.immun., 2001 : 69(5), pp. 3135-3142 33 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 hubungan antara nilai progress test dengan nilai indeks prestasi kumulatif lulusan dokter gigi program studi pendidikan profesi dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta correlation between progress testing score on profession stage with cumulative grade point academic of graduated dentistry student of university of muhammadiyah yogyakarta sri utami1 , indri kurniasih2, arina ismah afiati3 1bagian ilmu kesehatan gigi masyarakat pskg umy 2bagian medical education pskg umy 3mahasiswa pskg fkik umy korespondensi: utami_kg@yahoo.com abstract background: competence standard is a reference to implement the learning process in dentistry, one of this competence is knowledge that consist of learning method. the purpose of learning method is to train the clinical reasoning skill that measured by progress test. progress test has a correlation between grade point average (gpa) and objective structured clinical examination (osce). objective: the objective of this study was to know the correlation between the score of progress test with cumulative grade point average (cgpa) score of graduated dental students of muhammadiyah university of yogyakarta. methods: this was an observational analytics using a cross sectional design. the subjects were 112 graduated dentistry students of muhammadiyah university of yogyakarta and selected using total sampling technique. the data that used in this research was progress test score and cgpa score. data analysis used pearson’s correlation. result: the result showed that there was a medium correlation between progress testing score and cgpa score with a positive direction. the mean of progress test score was 45.42 and the mean of cgpa score was 3.40. conclusion: there is a correlation between progress test score and cgpa score in graduated dentistry students. the highest progress test score, the highest cgpa score. keywords: progress test, cumulative grade point academic (cgpa) abtrak latar belakang: standar kompetensi merupakan suatu acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran pada pendidikan dokter gigi, salah satu standar kompetensi yaitu pengetahuan yang didalamnya berisi tentang metode pembelajaran. metode pembelajaran bertujuan untuk mengasah kemampuan clinical reasoning yang diukur menggunakan progress test. hasil nilai progress test memiliki hubungan dengan nilai indeks prestasi kumulatif (ipk) dan nilai objective structured clinical examination (osce). tujuan penelitian: tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nilai progress test pendidikan profesi dengan nilai ipk lulusan dokter gigi pspdg umy. 34 sri utami, indri kurniasih, arina ismah afiati | hubungan antara nilai progress test dengan nilai indeks prestasi kumulatif lulusan dokter gigi program studi pendidikan profesi dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta metode penelitian: jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan design cross sectional. sampel penelitian adalah data sekunder dari 112 mahasiswa program studi pendidikan profesi dokter gigi umy yang terdiri dari 3 angkatan yaitu dari angkatan 2006, 2007 dan 2008 serta dipilih menggunakan teknik total sampling. data yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai progress test dan nilai ipk lulusan. analisa data yang digunakan adalah uji korelasi pearson. hasil: terdapat hubungan yang sedang antara nilai progress test dengan nilai ipk lulusan dokter gigi program pendidikan profesi dokter gigi umy. rata-rata nilai progress test yaitu 45.42 dan rata-rata nilai ipk yaitu 3.40. kesimpulan: terdapat hubungan antara nilai progress test dengan nilai ipk lulusan dokter gigi program pendidikan profesi dokter gigi umy, semakin besar nilai progress test, maka semakin besar pula nilai ipk lulusan dokter gigi umy. kata kunci: progress test, indeks prestasi kumulatif (ipk) profesi dokter gigi tahun 2006. kurikulum tersebut adalah kombinasi antara kurikulum berbasis kompetensi (kbk) dengan paradigma baru dengan kurikulum lokal fakultas.4 program studi pendidikan profesi dokter gigi fkik umy menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi dokter gigi indonesia yang di dalamnya berisi pembelajaran terstruktur, sistematis dan terukur dalam pendekatan integrasi klinik yang merupakan bagian dari sistem integrasi. integrasi klinik pada rsgm umy (rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta) memadukan berbagai metode pembelajaran yaitu problem solving learning, case based learning dan community based learning. proses pendidikan profesi dokter gigi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu bed side teaching (bst)-modifikasi kg, direct observation prosedural skills (dops), case report session (crs), resources person session (rps), case reflection, pengabdian masyarakat, progress test tahap profesi, e-case dan mentoring. kurikulum pendidikan dokter gigi pada tahap profesi ditempuh selama 3 semester yang terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap integrasi klinik yang terdiri dari 24 sks pendahuluan pendidikan kedokteran gigi adalah pendidikan akademik profesional. pendidikan akademik profesional tersebut mencakup pendidikan dan pelatihan untuk memperoleh ilmu pengetahuan bidang kedokteran gigi, keterampilan klinik sekaligus sikap sebagai seorang dokter gigi yang profesional.1 dokter gigi harus bersikap profesional karena profesi dokter gigi mempunyai peranan yang besar dalam bidang kesehatan gigi dan mulut. pendidikan profesi dokter gigi harus didasari oleh dasar keilmuan yang kokoh sehingga dokter gigi akan mempunyai kompetensi di bidang akademik serta mempunyai jiwa profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi yang telah didasari oleh pendidikan akademik.2 setiap institusi pendidikan dokter gigi di beri hak otonomi akademik. hak otonomi akademik tersebut memberi kebebasan dalam pengelolaan program studi dan pengalokasian sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi dari institusi tersebut.3 program studi pendidikan profesi dokter gigi fkik umy menyesuaikan kurikulum pendidikannya dengan standar kompetensi dokter gigi indonesia dan standar pendidikan 35 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 dan tahap integrasi kesehatan masyarakat yang terdiri dari 6 sks yang hasil dari pembelajaran tersebut mempunyai nilai akhir berupa indeks prestasi kumulatif (ipk) tahap profesi.5 indeks prestasi kumulatif (ipk) merupakan suatu angka yang digunakan untuk mengukur prestasi dan mengevaluasi hasil studi mahasiswa yang didapatkan dari jumlah angka mutu dibagi dengan jumlah satuan kredit semester (sks).6 standar kompetensi dokter gigi salah satunya adalah pengetahuan. pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan pencapaian kemampuan mahasiswa dalam menganalisa masalah dan memecahkan masalah klinis (clinical reasoning).7 salah satu penilaian untuk mengetahui kemampuan clinical reasoning mahasiswa adalah menggunakan progess test yaitu merupakan kegiatan dalam pendidikan profesi yang digunakan sebagai self evaluation dalam mengetahui sejauh mana kompetensi yang sudah dikuasai oleh mahasiswa pendidikan profesi.4 progress test adalah tes yang digunakan untuk mengukur perkembangan dari pengetahuan dan clinical reasoning. progress test didalamnya terdiri dari soal tentang pengenalan pola diagnostik dan interpretasi data klinis.8 progress test memiliki hubungan nilai objective structured clinical examination (osce) dengan kekuatan hubungan lemah sampai sedang.9 nilai progress test dan nilai ipk memiliki hubungan yang lemah sampai kuat pada sistem pembelajaran problem based learning (pbl).10 metode jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. penelitian ini di lakukan di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta dan dilaksanakan pada pada bulan februari 2016 sampai maret 2016. sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa profesi program studi pendidikan profesi kg umy angkatan 2006 sampai 2008 yang sudah mengikuti progress test tahap profesi yang berjumlah 112 mahasiswa. teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling yaitu total sampling. kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu mahasiswa profesi program studi pendidikan profesi kg umy tahun 2006 sampai 2008 yang sudah mengikuti 3 kali progress test pendidikan profesi dan memiliki nilai ipk lulusan dokter gigi. instrumen penelitian ini adalah data sekunder nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi. analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis distribusi rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui distribusi rata-rata nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi berdasarkan tahun angkatan dan jenis kelamin. analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah uji pearson karena distribusi data normal. analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai progress test pendidikan profesi dengan nilai ipk lulusan dokter gigi, kekuatan hubungan, dan arah hubungan. hasil seluruh data sekunder nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan metode kolmogorovsmirnov. hasil uji normalitas data dengan 36 sri utami, indri kurniasih, arina ismah afiati | hubungan antara nilai progress test dengan nilai indeks prestasi kumulatif lulusan dokter gigi program studi pendidikan profesi dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta metode kolmogorov-smirnof dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: tabel 1. hasil uji normalitas data dengan menggunakan kolmogorof-smirnov kolomogorov-smirnof statistik n signifikansi progress test 0.080 112 0,061 ipk 0.082 112 0,077 1. hasil analisis univariat a. distribusi rata-rata nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi distribusi rata-rata nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi dapat dilihat pada tabel 4 berikut: tabel 2. distribusi rata-rata nilai progress test pendidikan profesi dan nilai ipk lulusan dokter gigi mean maksimum minimum st.deviasi progress test 45,42 66,00 29,99 7,30 ipk 3,40 3,65 3,05 0,11 tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata nilai progress test yaitu 42,42 dan rata-rata nilai ipk yaitu 3,40. rata-rata nilai progress test yang teringgi yaitu 66,00 dan yang terendah 29,99, sedangkan rata-rata nilai ipk yang tertinggi yaitu 3,65 dan yang terendah yaitu 3,05. b. distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan tahun angkatan distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan tahun angkatan dapat dilihat pada tabel 3 berikut: tabel 3. distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan angkatan angkatan mean maksimum minimum st.deviasi 2006 2007 2008 42,46 46,25 46,55 56,11 65,55 66,00 30,55 29,99 37,63 6,47 7,37 7,51 tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata nilai progress test tertinggi yaitu pada angkatan 2008 dengan nilai rata-rata progress test sebesar 46,55, sedangkan nilai progress test yang tertinggi yaitu pada angkatan 2008 dengan nilai progress test sebesar 66,00 dan nilai progress test terendah yaitu pada angkatan 2007 dengan nilai progress test 29,99. tabel 4. distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin mean maksimum minimum st.deviasi laki-laki perempuan 44,26 45,73 65,55 66,00 36,11 29,99 7,04 7,42 c. distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan jenis kelamin distribusi rata-rata nilai progress test berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4 diatas. tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata nilai progress test tertinggi yaitu pada perempuan dengan nilai rata-rata progress test 45,73, sedangkan nilai progress test tertinggi dan terendah yaitu pada perempuan dengan nilai tertinggi 66,00 dan nilai terendah 29,99. d. distribusi rata-rata nilai ipk berdasarkan tahun angkatan 37 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 d i s t r i b u s i r a t a r a t a n i l a i i p k berdasarkan tahun angkatan dapat dilihat pada tabel 5 berikut: tabel 5. distribusi rata-rata nilai ipk berdasarkan tahun angkatan angkatan mean maksimum minimum st.deviasi 2006 2007 2008 3,36 3,42 3,38 3,62 3,65 3,58 3,05 3,15 3,15 0,13 0,11 0,09 tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata nilai ipk tertinggi yaitu angkatan 2007 dengan nilai rata-rata ipk sebesar 3,42. nilai ipk tertinggi yaitu pada angkatan 2007 dengan nilai ipk sebesar 3,65 dan nilai ipk terendah yaitu pada angkatan 2006 dengan nilai ipk sebesar 3,05. e. distribusi rata-rata nilai ipk berdasarkan jenis kelamin d i s t r i b u s i r a t a r a t a n i l a i i p k berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6 berikut: tabel 6. distribusi rata-rata nilai ipk berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin mean maksimum minimum st.deviasi laki-laki perempuan 3,33 3,41 3,58 3,65 3,05 3,13 0,10 0,11 tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata nilai ipk tertinggi yaitu pada perempuan dengan nilai rata-rata ipk sebesar 3,41. nilai ipk tertinggi yaitu pada perempuan dengan nilai ipk 3,65 dan nilai ipk terendah pada laki-laki dengan nilai ipk 3,05. 3. hasil analisis uji pearson analisa data hubungan progress test dengan ipk menggunkan uji korelasi dengan metode pearson karena distribusi data normal. hasil analisa korelasi dengan metode pearson dapat dilihat pada tabel 7 berikut: tabel 7. hasil analisis uji pearson nilai progress test nilai ipk r p n 0,412 < 0,001 112 tabel 7 menunjukkan bahwa hasil dari analisa uji pearson tersebut adalah adanya hubungan antara nilai progress test pendidikan profesi dengan nilai ipk lulusan dokter gigi lebih dari 0,05. nilai progress test pendidikan profesi dengan nilai ipk lulusan dokter gigi memiliki korelasi yang sedang ( r = 0,412) pembahasan hasil dari analisis univariat diperoleh hasil bahwa distribusi rata-rata nilai progress test pendidikan profesi berdasarkan tahun angkatan memiliki nilai rata-rata yang hampir sama yaitu nilai rata-rata progress test tahap profesi angkatan 2006 sebesar 42,46, angkatan 2007 sebesar 46,25 dan angkatan 2008 sebesar 46,55, hal tersebut menujukkan bahwa nilai rata-rata progress test pendidikan profesi berdasarkan angkatan masih belum memenuhi kriteria minimum untuk dikatakan lulus progress test pendidikan profesi. mahasiswa dikatakan lulus apabila nilai progress test tahap profesi lebih dari sama dengan 60 dan dikatakan tidak lulus atau gagal apabila nilai progress test tahap profesi kurang dari 604. distribusi rata-rata nilai progress test tahap profesi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 38 sri utami, indri kurniasih, arina ismah afiati | hubungan antara nilai progress test dengan nilai indeks prestasi kumulatif lulusan dokter gigi program studi pendidikan profesi dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta rata-rata nilai yang hampir sama, yaitu nilai rata-rata progress test pendidikan profesi pada laki-laki sebesar 44,26 dan rata-rata progress test pendidikan profesi pada perempuan sebesar 45,73, hal tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata progress test tahap profesi berdasarkan jenis kelamin juga masih belum memenuhi kriteria minimum untuk dapat lulus progress test pendidikan profesi. distribusi rata-rata nilai ipk lulusan dokter gigi berdasarkan tahun angkatan memiliki nilai rata-rata yang hampir sama pada setiap angkatan yaitu rata-rata nilai ipk pada angkatan 2006 sebesar 3,36, angkatan 2007 sebesar 3,42, dan angkatan 2008 sebesar 3,38. rata-rata nilai ipk tersebut termasuk dalam kategori memuaskan7. distribusi rata-rata nilai ipk berdasarkan jenis kelamin memiliki rata-rata yang hampir sama yaitu nilai rata-rata ipk pada laki-laki sebesar 3,33 dan nilai rata-rata pada perempuan sebesar 3,41, hal tersebut juga menunjukkan bahwa nilai rata-rata ipk berdasarkan dari jenis kelamin juga termasuk dalam kategori memuaskan. hasil dari analisa deskriptif nilai progress test dan nilai ipk didapatkan bahwa nilai progress test tertinggi dan terendah berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan memiliki nilai progress test tertinggi sebesar 66,00 dan terendah sebesar 29,99, sedangkan berdasarkan tahun angkatan diketahui bahwa nilai progress test tertinggi pada mahasiswa angkatan 2008 dengan nilai 66,00 dan nilai progress test terendah pada mahasiswa angkatan 2007 dengan nilai 29,99. hasil analisa nilai ipk berdasarkan jenis kelamin yaitu jenis kelamin perempuan yang memiliki nilai ipk yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ipk dari lakilaki yaitu sebesar 3,65, sedangkan analisa nilai ipk berdasarkan tahun angkatan yang memiliki rata-rata nilai ipk yang paling tinggi diantara angkatan lainnya yaitu pada angkatan 2007 dengan nilai ipk 3,65. perbedaan nilai progress test dan nilai ipk pendidikan profesi dipengaruhi oleh karakteristik jenis kelamin. perempuan biasanya memiliki nilai dan prestasi yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki karena perempuan cenderung lebih tekun dan lebih kompetitif selain itu perempuan lebih rajin dalam mengerjakan tugas, belajar maupun berangkat untuk menempuh pendidikan, tetapi perempuan justru lebih cenderung terbawa perasaan dan kurang bisa menggunakan logika11, sehingga dapat dilihat pada penelitian ini bahwa rata-rata nilai ipk dan progress test lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. hasil analisis data dan pengujian hipotesis diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nilai ipk tahap profesi dengan nilai progress test tahap profesi mahasiswa ppdg umy dari angkatan 2006 sampai dengan angkatan 2008, yaitu dengan koefisien korelasi sebesar 0,417. nilai ipk tahap profesi dengan nilai progress test tahap profesi memiliki kekuatan hubungan yang sedang dan arah hubungan yang positif, sehingga semakin tinggi nilai progress test tahap profesi makan semakin tinggi pula nilai progress test tahap profesi, sehingga hipotesis pada penelitian ini diterima. kesimpulan nilai progress test berhubungan dengan nilai ipk lulusan dokter gigi program pendidikan profesi dokter gigi umy, semakin besar nilai progress test, maka semakin besar pula nilai 39 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 ipk lulusan dokter gigi umy. nilai progress test digunakan untuk menilai performance dan keterampilan dari mahasiswa serta kemampuan mahasiswa dalam mengambil keputusan, sehingga apabila nilai ipk mahasiswa tinggi maka keterampilan, performance dan kemampuan mahasiswa dalam mengambil keputusan juga tinggi. daftar pustaka 1. direktorat jenderal pendidikan tinggi. (2011). draft naskah akdemik revisi standar pendidikan dokter gigi indonesia. 2. konsil kedokteran indonesia. (2006). standar kompetensi pendidikan dokter gigi indonesia. jakarta. 3. konsil kedokteran indonesia. (2012). standar pendidikan profesi dokter indonesia. jakarta. 4. program studi pendidikan dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta (2011). buku panduan kepaniteraan k l i n i k . yo g y a k a r t a : u n i v e r s i t a s muhammadiyah yogyakarta. 5. program studi pendidikan dokter gigi universitas muhammadiyah yogyakarta (2012). buku panduan akademik program studi pendidikan dokter gigi.yogyakarta : universitas muhammadiyah yogyakarta. 6. daruyansi s., wilandari w., dan yasin h. (2013). faktor – faktor yang mempengaruhi indeks prestasi mahasiswa fsm universitas diponegoro semester pertama dengan metode regresi logistik biner. 7. peraturan menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi republik indonesia nomor 44 (2015). standar nasional pendidikan tinggi. jakarta. 8. boshuizen h.p.a.,vleuten c.p.m., schmidt h.g., bongaerts m.m. (1997). measuring knowledge and clinical reasoning skills in a problem based curriculum. journal of medical education. vol. 31 : hal. 115121. 9. neville a.j., cunnington j.p.w., and norman g.r. (2012). development of clinical reasoning exercises in a problembased curriculum. journal of advances in medical education. hal : 377-379. 10. alwan i.a., al-moamary m., al-attas n., al-kushi a., al-banyan e., dkk. (2011). the progress test as a diagnostic tool for a new pbl curriculum. hal : 1-10. 11. saptoto r. (2010). hubungan kecerdasan emosi dengan kemampuan coping adaptif. jurnal psikologi. vol. 37. no.1: hal. 13-22. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 26-33 26 research article the effect of chitosan-gelfoam cacao pod husk on wound epithelial thickness in the post-extraction tooth with anticoagulant therapy astika swastirani1*, fiorina divasinta mirelia marsudi2 1department of oral and maxillofacial radiology, faculty of dentistry, universitas brawijaya, jl. veteran, malang, 65145, indonesia 2faculty of dentistry, universitas brawijaya, jl. veteran, malang, 65145, indonesia received date: april 4th, 2022; revised date: may 22th, 2022; accepted: may 24th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.14408 abstract tooth extraction is removing a tooth from its socket when it cannot be restored. tooth extraction performed in patients on anticoagulant therapy can increase the risk of excessive bleeding. therefore, a local hemostatic agent is needed to accelerate the hemostasis process and reduce the risk of tooth extraction complications in anticoagulant users. this study aims to determine the effect of chitosan-gelfoam extract of cacao pod husk to increase epithelial thickness in the post-extraction socket of male wistar rats with anticoagulant therapy. this research used quantitative data collection techniques on 24 male wistar rats who were given anticoagulant therapy. it was divided into eight groups: negative control group h+3, negative control group h+7, positive control with oral tranexamic acid therapy h+3, positive control with oral tranexamic acid therapy h+7, treatment 1 with 1 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk extract therapy h+3, treatment 1 with 1 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk h+7, treatment 2 with 10 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk h+3, and treatment 2 with 10 ml chitosangelfoam cacao pod husk h+7. the test animals were decapitated on the 3rd and 7th day. the histology preparations, observations, and statistical tests were then carried out. the statistical tests showed that chitosan gelfoam extract of cacao pod husk with doses of 1.6% and 15% extract of cacao pod husk was able to replace the effectiveness of tranexamic acid. the 15% dose had better significance than the 1.6% dose. this research is expected to contribute to the farmers’ welfare and the cacao industry by converting cacao pod waste into helpful medicine. keywords: anticoagulant; cacao pod husk; chitosan-gelfoam; epithelium; tooth extraction introduction according to a survey from the international collaborative partnership for the study of atrial fibrillation (interaf), the use of anticoagulants increased until 2016.1 anticoagulants can inhibit platelet aggregation and disrupt wound healing. thus, special treatment is needed for actions that cause bleeding. heparin is one of the most commonly used anticoagulants. this drug acts as a factor xa inhibitor to inhibit blood clotting.2,3 one of the dental procedures that cause bleeding is tooth extraction. tooth extraction is the act of removing a tooth from its socket if it cannot * corresponding author, e-mail: drgrani_pm@ub.ac.id be restored. the ideal tooth extraction is the extraction of a tooth or tooth root that is intact without causing pain, with minimal trauma to the supporting tissue. the extraction wound will usually heal and not cause complications.4,5 as a result of tooth extraction, the injured tissue will undergo a healing process called re-epithelialization. re-epithelialization is an important step in the healing of tooth socket wounds. reepithelialization plays a role in restoring tissue when a wound occurs after tooth extraction.6,7 indonesia is a country rich in marine products. chitosan is material from astika swastirani & fiorina divasinta mirelia marsudi | the effect of chitosan-gelfoam cacao pod husk on wound epithelial thickness in the post-extraction tooth with anticoagulant therapy 27 crustacean shells that are easily decomposed, able to suppress microbial growth, and have no toxic properties, so it is very friendly to the environment.8,9 the content of lysozyme enzymes and amino polysaccharide groups in chitosan has the potential to be antimicrobial and can be used as a natural preservative.10 chitosan has antioxidant, anti-inflammatory, antiallergic, and antitumor properties and can be a clotting agent.11 however, chitosan has not been able to produce antioxidants optimally. this deficiency can be overcome by adding materials and modification of chitosan. the proper modification will produce good antioxidant and antibacterial compounds compared to other compounds using only chitosan.12 the combination of chitosan and other bioactive molecules improves mechanical properties, protein absorption, and biomineralization.13 on the other hand, indonesia is the third country in the world, with a total production of 593,832 tons.14,15 cacao pods are the most crucial part, which is often wasted due to the high production of cacao beans. it can also cause environmental pollution.16,17 cacao pods contain alkaloids, flavonoids, phenolics, tannins, and saponins which help promote collagen growth and the formation of the new epithelium (re-epithelialization), which shortens wound healing.18,19 the absence of commercial herbal gel foam products has encouraged researchers to innovate a combination of chitosan and the active ingredient of cacao peel extract to support the effectiveness of gelfoam. therefore, the researchers innovated chitosan-gelfoam cacao pod husk to speed up wound healing after tooth extraction, as seen from the average thickness of the tooth socket epithelium of wistar rats given anticoagulant therapy. materials and methods the main ingredients used were 200 grams of cacao pod shell powder from upt materia medica batu, indonesia, and chitosan (black tiger shrimp shell) with a deacetylation rate of 70% 87.5% from lampung, indonesia. the other materials used were bovine gelatin, 70% ethanol, 70% acetone, 1% acetic acid, rotary evaporator, water bath, distilled water, magnetic stirrer, sonicator, heparin, ketamine, tranexamic acid, normal saline, syringe, alcohol, digital scale, erlenmeyer, glass stirrer, light microscope, 10 % formaldehyde buffer solution, freeze dryer, petri dish, object-glass, deck glass, microtome, micropipette, and white rat wistar strain male (200-250 gr). this study used an experimental design in an in vivo laboratory. the research was conducted at the biochemistry laboratory of the faculty of mathematics and natural sciences, universitas brawijaya, laboratory of oral biology, faculty of dentistry, universitas brawijaya, animal house, faculty of dentistry, universitas brawijaya, upt materia medica batu, laboratory of kessima medika, laboratory of anatomical pathology, faculty of medicine, universitas brawijaya, and the institute of bioscience, universitas brawijaya. the research ethics commission has approved the procedure and sampling of this research of universitas brawijaya through the certificate of eligibility for research ethics (ethical clearance) no.085-kep-ub-2020 dated august 31, 2020. animal experiment treatments the test animal subjects were divided into eight groups: negative control group h+3, negative control group h+7, positive control with oral tranexamic acid therapy h+3, positive control with oral tranexamic acid therapy h+7, treatment 1 with 1 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk extract therapy h+3, treatment 1 with 1 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk h+7, treatment 2 with 10 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk h+3, and treatment 2 with 10 ml chitosan-gelfoam cacao pod husk h+7. each group consisted of 3 white male rats of the wistar strain aged 4-5 months, weighing 200-250 grams. in total, 24 rats insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 26-33 28 were acclimatized for 14 days in the animal house laboratory, faculty of dentistry, universitas brawijaya. the group of rats was divided into four, namely the negative control group (k-), the positive control group (k+) given oral tranexamic acid 4.5 g/200 g bw rats, treatment group 1 (p1) given chitosan-gel foam with cacao pod husk extract 1,6 % and treatment group 2 (p2) were given 15% chitosan-gel foam with cacao pod husk extract. all groups were injected with heparin 0.09 ml/200 g bw, extracted from the left mandibular incisor, and decapitated on the 3 and 7 days. the procedure for extracting cacao pod husk the first step in making cacao pod husk extract was cleaning, cutting, and sun drying the cacao pod husks. the sun-dried cacao pod husk was then blended into a powder. seven hundred gram cacao pod husk powder was mixed with 70% ethanol 1.400 ml, and the mixture was stirred using a shaker. after that, the cacao powder was filtered using a filter cloth. the liquid filtrate was put in a rotary evaporator. the water bath was set at 50°c, a boiling point of 30°c, and a pressure of 102 mbar until all the ethanol evaporated. the cacao pod husk extract was packaged in a bottle when it finished. the procedure of chitosan-gel foam one gram of chitosan and 1% (v / v) acetic acid solution of 1 ml in 100 ml of distilled water, gelatin solution (collagen bovine 10 g) in 100 ml of water, and 1 gram of chitosan were prepared. the first step was to mix 1 gram of chitosan and acetic acid solution using a magnetic stirrer at 60° c at 500 rpm for 15 minutes. the gelatin (bovine collagen 10 g) was then dissolved in 100 ml of water, and the solution was stirred using a magnetic stirrer until homogeneous. next, the gelatin solution was mixed with chitosan and acetic acid in a magnetic stirrer until an opaque solution was formed with a ratio of 3: 1 (chitosan: gelatin). the mixture was divided into two parts with 55 ml portions each. the first part used 1 ml of cacao pod husk extract, and the second used 10 ml of cacao pod husk extract. they were then stirred using a magnetic stirrer at room temperature at 1000 rpm until homogeneous. the final ph of each sample was measured until it was 4.5, and the solution was put in each separate petri dish. the lyophilization process was carried out until the specimens were solid and formed a sponge slice in sterile conditions according to the size of the rat tooth socket using a laminar airflow. the sliced sponge was covered with plastic wrap and stored in the freezer. preparation of tranexamic acid and cmc na twenty five g of cmc na with 50 ml of aqua bidest was mixed. next, the cmc na solution was added to the negative control group (k-), about 2.5 ml each. after that, the 31.5 g of tranexamic acid powder was mixed into a 20 ml container, 20 ml of 0.5% cmc na solution was added and given to the positive control group (k+). the solution was mixed using the vortex mixer and given to rats in 2.5 ml each. heparin induction and surgical animal testing all treatment groups were injected using heparin at a dose of 0.09 ml/20 g bw rats subcutaneously, 4 hours before extraction. the test animals were divided into eight groups based on the day of observation, namely the third and seventh days, with three rats per subgroup. animals were anesthetized with 0.25 mg/200 g bw of ketamine in mice. the root of the lowerleft first incisor was separated from the gingiva using a lecron, and the tooth was extracted using a needle holder. the k group was given 0.5% cmc na (2.5 ml per probe), and the k+ group was given oral tranexamic acid dissolved in 4.5 mg/200 g bw of cmc na solution. the p1 group was given a dose of 1 ml of chitosan-gelfoam cacao husk extract, and the p2 group was given a dose of 10 ml of chitosan-gelfoam astika swastirani & fiorina divasinta mirelia marsudi | the effect of chitosan-gelfoam cacao pod husk on wound epithelial thickness in the post-extraction tooth with anticoagulant therapy 29 cacao husk extract. the wound was sutured with a braided silk surgical suture. mice were given analgesics and antibiotics after extraction. histological slide preparation the tested animals were decapitated on the 3rd and 7th days. decapitation was performed by placing a 10% formalin buffer solution into a 20 ml small container using a 50 ml pipette, naming each container, and closing it. rats were injected with ketamine until they passed out, then the rat jaws were cut. the rat bodies were later buried appropriately. tissue fixation was conducted using 10% formalin buffer solution for 24 hours, decalcification was carried out with 10% solution with rapid decal, and a paraffin block was made. the paraffin blocks were cut with a thickness of ± 4-5 μm with a microtome and stained with hematoxylin eosin. preparation of preparations was intended for histological examination of the thickness of the epithelium in the socket with a magnification of 100x. result the histopathological analysis of test animals was intended to analyze the epithelial thickness in sockets. epithelial thickness measurement results were obtained by finding the average width of the thickest and thinnest epithelium in 3 different fields of view using lc micro software with 100x magnification. epithelial thickness data on days 3 and 7 from each group were tabulated. picture 1. histopathological pictures of epithelial thickness on the 3rd day of post-extraction. (a) negative control group, (b) positive control group (oral tranexamic acid), (c) first treatment group (chitosan-gel foam with 1.6% cacao pod husk extract), (d) second treatment group (chitosan-gel foam with 15% cacao pod husk extract). picture 2. histopathological pictures of epithelial thickness on the 7th day of post-extraction. (a) negative control group, (b) positive control group (oral tranexamic acid), (c) first treatment group (chitosan-gel foam with 1.6% cacao pod husk extract), (d) second treatment group (chitosan-gel foam with 15% cacao pod husk extract). table 1. average epithelial thickness (μm) on the 3rd and 7th day of the tooth socket mean day-3 day-7 k7,21 μm 21,23 μm k+ 10,36 μm 31,60 μm p 1 14,61 μm 35,52 μm p 2 24,52 μm 41,52 μm description: k-: negative control group k+: positive control group p1: first treatment group (chitosan-gel foam with 1.6% cacao pod husk extract) p2: second treatment group (chitosan-gel foam with 15% cacao pod husk extract). the results of epithelial thickness measurements in the control and treatment groups were analyzed using the kruskalwallis test and continued with the mannwhitney analysis (95% confidence level) using the statistical package for the social sciences (spps) version 25.0 software. based on the kruskal-wallis test, it can be seen that the epithelial thickness data on the 3rd and 7th day had a p-value ≤ 0.05, indicating a significant difference in mean epithelial thickness between all groups. b a d c b a d c insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 26-33 30 table 2. mann whitney test group sig. conclusion kk+ 0.050 significant p1 0.050 significant p2 0.050 significant k+ p1 0.050 significant p2 0.050 significant p1 p2 0.050 significant furthermore, the mann-whitney statistical test was performed to determine the differences in each group in detail. the results of the discussion of the comparison between groups showed the comparison between the negative control group (k-) with the positive control group (k+), treatment group 1 (p1), and treatment group 2 (p2) at h+3 obtained 0.050 as a pvalue. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. the comparison between the positive control group (k+), with treatment group 1 (p1) and treatment group 2 (p2) at h+3 obtained 0.050 as a pvalue. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. the comparison between treatment group 1 (p1) and treatment group 2 (p2) at h+3 obtained 0.050 as a pvalue. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. the comparison between the negative control group (k-) with the positive control group (k+), treatment group 1 (p1), and treatment group 2 (p2) at h+7 obtained 0.050 as a p-value. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. the comparison between the positive control group (k+), with treatment group 1 (p1) and treatment group 2 (p2) at h+7 obtained 0.050 as a p-value. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. the comparison between treatment group 1 (p1) and treatment group 2 (p2) h+7 obtained 0,050 as a p-value. this value is less than equal to 5% (0.05 ≤ 0.05), indicating a significant difference. discussion tooth extraction is an action from the socket that can cause trauma to the supporting tissue. injured tissue will undergo a healing process or reepithelialization. re-epithelialization is a step that is one of the main parameters in the wound healing process, where the faster the re-epithelialization is, the faster the wound healing will be. re-epithelialization plays a role in restoring tissue integrity when a wound occurs after tooth extraction.7,20 the occurrence of thick epithelium can be proven by measuring the width of the epithelial gap formed. the epithelialization process strongly influences wound healing; the faster the wound closes, the faster the wound healing will be.21 the results of the observation were the negative group h+3; the control group was negative h+7, the positive control group was treated with oral tranexamic acid h+3, the positive control group was treated with oral tranexamic acid h+7, treatment 1 was treated with 1 ml of chitosan-gelfoam cacao pod peel extract therapy h+3, treatment 1 was treated with 1 ml chitosan-gelfoam cacao pods h+7, treatment 2 was treated with 10 ml chitosan-gelfoam cacao pods h+3, and treatment 2 was treated with 10 ml chitosan-gelfoam cacao pods h+7. the results of the cacao pod peel significantly helped the wound healing process after tooth extraction in anticoagulant users. treatment 2 with 10 ml of chitosangelfoam cacao pod skin h+7 or a concentration of 15% was proved to be the most effective for increasing the epithelium. previous research by kurniawati discussed that cacao bean extract gel effectively accelerated the wound healing process.22 in this study, the researchers innovated gel foam combined with cacao pod peel extract, which also contained compounds such as alkaloids, flavonoids, phenolics, tannins, and saponins that helped increase collagen growth and new epithelial formation that have anti-inflammatory effects. the antiastika swastirani & fiorina divasinta mirelia marsudi | the effect of chitosan-gelfoam cacao pod husk on wound epithelial thickness in the post-extraction tooth with anticoagulant therapy 31 inflammatory properties found in cacao pods could reduce the expression of mcp1, which produced inflammatory cytokines so that the inflammatory process became shorter and the proliferative ability of tgfβ was not inhibited. the tgf-β and kgf which are growth factors, play an essential role in the process of keratinocytes in epithelialization and are evidenced by an increase in epithelial thickness. chitosan, which has biocompatible, biodegradable, non-toxic, safe, and antitumor properties, can be used in drug delivery systems and is suitable for use as a hemostatic agent. therefore, chitosan-gelatin and cacao pod skin formed on hemostatic agents provide the maximum effect in wound healing after tooth extraction, seen from the increased epithelial thickness, especially in the wistar rat model that was injected with heparin and had impaired wound healing. furthermore, the limitations of the research carried out in this study include the combination and concentration of herbal ingredients used for further exploration so that it is possible to get the best concentration. the researcher recommends that further research can be carried out related to stabilization, dispersibility, and homogeneity of the chitosan gelfoam cacao shell to identify its use limits. conclusion in this research, chitosan-gel foam with cacao pod husk extract effectively accelerated wound healing by increasing the epithelial thickness of the tooth socket at post-extraction in anticoagulant users. based on the kruskal-wallis statistical test result followed by the mann-whitney statistical test, cacao pod husk extract doses of 1.6% and 15% were proved to be more effective than tranexamic acid with the most effective concentration being 15%. further research is needed to determine the effectiveness of chitosan-gel foam cacao pod husk with different cacao pod husk extract doses. acknowledgment the authors would like to thank the tanoto student research award for funding this research so that this research is possibly conducted. references 1. hsu j, akao m, avezum a. worldwide oral anticoagulant prescription prevalence and trends in patients with atrial fibrillation from a multi-national cohort: insights from the international. journal of the american college of cardiology. 2019; 73(9):376. https://doi.org/10.1016/s07351097(19)30984-2 2. abbas m, malicke dt, schramski jt. stroke anticoagulation. statpearls. 2020. 3. rohmah mk, fickri dz. uji aktivitas antiplatelet, antikoagulan, dan trombolitik alkaloid total daun pepaya (carica papaya l.) secara in vitro. j sains farm klin. 2020;7(2):115-125. https://doi.org/10.25077/jsfk.7.2.115125.2020 4. fithri z, rochim a, cholid z. distribusi pencabutan gigi berdasarkan karakteristik sosiodemografi pada pasien rsgm universitas jember periode januaridesember 2014. e-jurnal pustaka kesehat. 2017;5(1):177–184. 5. sitanaya r. exodontia (dasar-dasar ilmu pencabutan gigi) (1st ed). deepublish. 2016. 1-3 p. 6. septiana da, sa’diyah js, farih nn, ningsih jr. the effect of 5% binahong (anredera cordifolia) leaf extract gel on wounds reepithelializat. j kedokt gigi univ padjadjaran. 2019;31(3):233–238. https://doi.org/10.24198/jkg.v31i3.218 33 7. nignsih jr, haniastuti t, handajani j. pengaruh gel ekstrak daun kenitu (chrysophyllum cainito l.) terhadap https://doi.org/10.1016/s0735-1097(19)30984-2 https://doi.org/10.1016/s0735-1097(19)30984-2 https://doi.org/10.25077/jsfk.7.2.115-125.2020 https://doi.org/10.25077/jsfk.7.2.115-125.2020 https://doi.org/10.24198/jkg.v31i3.21833 https://doi.org/10.24198/jkg.v31i3.21833 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 26-33 32 reepitelisasi pada penyembuhan luka bakar mukosa bukal tikus wistar. jikg (jurnal ilmu kedokt gigi). 2019;2(1):1–6. https://doi.org.10.19184/stoma.v18i1. 27964 8. mursida m, tasir t, sahriawati s. efektifitas larutan alkali pada proses deasetilasi dari berbagai bahan baku kitosan. j pengolah has perikan indones. 2018;21(2):358. https://doi.org/10.17844/jphpi.v21i2.2 3091 9. puspitasari d, ekawandani n. pemanfaatan limbah kulit udang sebagai pengawet alami makanan. jurnal tedc. 2019;13(3):256–261. 10. suherman s, latif m, rosmala dewi st. potensi kitosan kulit udang vannemei (litopenaeus vannamei) sebagai antibakteri terhadap staphylococccus epidermidis, pseudomonas aeruginosa, propionibacterium agnes, dan escherichia coli dengan metode difusi cakram kertas. media farm. 2018;14(1):116-127. https://doi.org/10.32382/mf.v14i1.145 11. ponomareva t, timchenko m, filippov m, lapaev s, sogorin e. prospects of red king crab hepatopancreas processing: fundamental and applied biochemistry. recycling. 2021;6(1):1-15. https://doi.org/10.3390/recycling6010003 12. sulistijowati rs, nuraeni. aktivitas antioksidan dan antibakteri sedian edible kompleks kitosan-ekstrak buah mangrove sonneratia alba. jambura fish process j. 2021;3(2):51–59. https://doi.org/10.37905/jfpj.v3i1.9268 13. djais a, mappangara s, gani a, achmad h, endang s, tjokro j, et al. the effectiveness of milkfish (chanos chanos) scales chitosan on soft and hard tissue regeneration in tooth extraction socket: a literature review. ann rom soc cell biol. 2021;25(3):8729–8752. 14. gautama bh. dampak penerapan kebijakan bea keluar terhadap ekspor kakao indonesia tahun 20012017. j perspekt bea dan cukai. 2019;3(1):81-95. https://doi.org/10.31092/jpbc.v3i1.432 15. juradi ma, tando e, suwitra k. inovasi teknologi pemanfaatan limbah kulit buah kakao (theobroma cacao l.) sebagai pupuk organik ramah lingkungan. agroradix j ilmu pertan.2019;2(2):9–17. https://doi.org/10.52166/agroteknologi .v2i2.1586 16. adha sd, ibrahim m. aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao (theobroma cacao l.) terhadap bakteri propionibacterium acnes. lenterabio. 2021;10(2):140–145. https://doi.org/10.26740/lenterabio.v1 0n2.p140-145 17. kamelia m, fathurohman f. pemanfaatan kulit buah kakao fermentasi sebagai alternatif bahan pakan nabati serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ternak entok (cairina muschata). biosf j tadris biol.2017;8(1):66–77. https://doi.org/10.24042/biosf.v8i1.1264 18. herman, septriyanti i, ramadhani, rahmat t, yulis par, putra ay. ekstrak etanol limbah kulit buah kakao (theobroma cacao l.) sebagai bahan baku berpotensi obat. j educ chem. 2020;2(2):57–61. 19. saputera mma, ayuchecaria n. uji efektivitas ekstrak etanolik batang bajakah (spatholobus littoralis hassk.) terhadap waktu penyembuhan luka. j chem inf model. 2018;53(9):1689–99. https://doi.org/10.36387/jiis.v3i2.185 20. rahayu sd, adriatmoko w, amin mn. pengaruh gel ekstrak daun kenitu (chrysophyllum cainito l.) terhadap reepitelisasi pada https://doi.org.10.19184/stoma.v18i1.27964 https://doi.org.10.19184/stoma.v18i1.27964 https://doi.org/10.17844/jphpi.v21i2.23091 https://doi.org/10.17844/jphpi.v21i2.23091 https://doi.org/10.32382/mf.v14i1.145 https://doi.org/10.3390/recycling6010003 https://doi.org/10.37905/jfpj.v3i1.9268 https://doi.org/10.31092/jpbc.v3i1.432 https://doi.org/10.52166/agroteknologi.v2i2.1586 https://doi.org/10.52166/agroteknologi.v2i2.1586 https://doi.org/10.26740/lenterabio.v10n2.p140-145 https://doi.org/10.26740/lenterabio.v10n2.p140-145 https://doi.org/10.24042/biosf.v8i1.1264 https://doi.org/10.36387/jiis.v3i2.185 astika swastirani & fiorina divasinta mirelia marsudi | the effect of chitosan-gelfoam cacao pod husk on wound epithelial thickness in the post-extraction tooth with anticoagulant therapy 33 penyembuhan luka bakar mukosa bukal tikus wistar. stomatognatic -j kedokt gigi. 2021;18(1):30. https://doi.org/10.19184/stoma.v18i1. 27964 21. rupina w, trianto hf, fitrianingrum i. efek salep ekstrak etanol 70% daun karamunting terhadap re-epitelisasi luka insisi kulit tikus wistar. ejournal kedokt indones. 2016;4(1):26-30. https://doi.org/10.23886/ejki.4.5905.26-30 22. kurniawati a. the effectiveness of cacao bean extract toward tooth extraction healing on macrophages. dent j kedokt gigi. 2019;13(2):49–57. https://doi.org/10.19184/stoma.v18i1.27964 https://doi.org/10.19184/stoma.v18i1.27964 https://doi.org/10.23886/ejki.4.5905.26-30 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 19-25 19 research article pyknotic cell features of buccal mucosal smear in various oral lesions of betel nut chewers maulina triani1*, akbar aulia hidayat2, aris aji kurniawan1, anindita laksitasari1, aditya priagung prakosa2 1departement of oral medicine, dental study program, faculty of medicine, universitas jenderal soedirman, jl. dr. soeparno north purwokerto, banyumas, central java, 53122, indonesia 2pediatric dentistry program, faculty of dental medicine, universitas gadjah mada, jl. denta 1, north sekip, special region of yogyakarta, 55281, indonesia received date: april 20th, 2022; revised date: may 18th, 2022; accepted: may 28th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.14561 abstract the habit of chewing betel nut is one of the predisposing factors that can trigger the formation of various oral lesions and develop into a malignant condition in the form of oral squamous cell carcinoma (oscc). this malignancy has a low five-year survival rate as early detection is not widely carried out. early detection can be conducted by examining pyknotic cells to describe the level of apoptosis. this study aims to examine the pyknotic cell features as a marker of apoptosis in various oral lesions found in betel nut chewers. this study is an analytic survey conducted once with a post-test control group design. the study was conducted on 17 betel nut chewers and 17 healthy people as controls. a buccal mucous smear was collected, and cytological slides were made with papanicolaou stain. pyknotic cells were counted using a light microscope and optilab pro camera. this study found several oral lesions in betel nut chewers, namely exogenous pigmentation, lesions resembling leukoplakia, and lichenoid reaction. furthermore, the result also showed that the frequency of pyknotic cells in betel nut chewers was lower than in the control group. non-parametric kruskal wallis and post hoc mann whitney test showed significant differences in the number of pyknotic cells in various oral lesions with a p-value = 0,001. it can be concluded that the consumption of betel nut affected the level of apoptosis, characterized by a decrease in pyknotic cells and significantly different pyknotic cells depending on the type of oral lesions. keywords: apoptosis; betel nut; oscc; pyknotic introduction chewing betel nut is one of the top 4 habits people often carry out after consuming nicotine, alcohol, and caffeine, with an estimated 600 million people having this habit. the habit of chewing betel nut is widely practiced by people in several countries in south asia and southeast asia, including indonesia.1 the habit of chewing betel nut is mostly done by people in rural areas as a form of welcoming guests and appreciation for various activities such as festivals, weddings, and other traditional activities. * corresponding author, e-mail: maulina.triani@unsoed.ac.id betel nut consumption is considered to have a positive impact, such as a symbol of acceptance in society, strengthening teeth, curing various diseases, and increasing male sexual arousal.1,2 betel nut, with or without tobacco, has been classified by the international agency for research on cancer (iarc) as a group i carcinogen.3 long-term consumption of betel nut can increase the risk of developing several oral lesions, both benign lesions, premalignant lesions, and malignancy.4 in several countries in south and southeast asia, 40% of cases of oral maulina triani, akbar aulia hidayat, aris aji kurniawan, anindita laksitasari, & aditya priagung prakosa | pyknotic cell features of buccal mucosal smear in various oral lesions of betel nut chewers 20 malignancy are associated with the habit of chewing betel nut with various compositions.5 the most common oral malignancy in betel nut chewers is oral squamous cell carcinoma (oscc). this malignancy can be preceded by specific lesions such as leukoplakia, erythroplakia, or sub mucous fibrosis.4 oral squamous cell carcinoma has a low five-year survival rate as early detection of malignancy is not widely performed. various methods of early detection of malignancy have been developed, such as cytological biomonitoring examination through buccal mucosal smears to check the various changes in the shape of the nucleus. one of the cytological examinations that can be done is the examination frequency of pyknotic cells. pyknotic cells have a reduction in cellular volume.6 the pyknotic cell is one of the morphological characteristics of cells undergoing apoptosis. evaluation of the level of apoptosis in cancer conditions is currently being developed as the level of apoptosis can evaluate cancer progression and resistance to cancer treatments.6 this study aims to evaluate features of pyknotic cells as markers of apoptosis in various oral lesions found in betel nut chewers. materials and methods this research has received ethical approval for health research from the faculty of medicine, jenderal soedirman university. this research is quantitative research with an analytical survey method conducted at once. the researcher did not give interventions to subjects and only took samples in the form of buccal mucosal smears. first of all, the research subjects were given an explanation regarding the procedures, objectives, and benefits of the research and the signing of the informed consent was used as evidence of the willingness of the research subjects. intraoral examination was then carried out to determine the health condition of the oral cavity and to detect oral lesions that resembled malignancy as an effect of consuming betel nut. before collecting the buccal mucosal smears, the subjects were asked not to eat for at least 1 hour and the subjects were asked to rinse their mouth with clean water to remove debris in the oral cavity. a sampling of the buccal mucosal smear was carried out using a cytobrush with circular motion. the cytobrush was then rotated on the end of the object glass, which was given drops of saline solution. the cytobrush was smeared all over the object glass with minimal pressure. the object glass was fixed by dripping 96% absolute alcohol solution, and then the object glass was sent to the laboratory to be stained for papanicolaou stain. the stained cytology preparations were then observed under a light microscope and optilab pro camera and pyknotic cells were counted for every 500 cells. observations were made with a magnification of 400 times and counted manually by multi observers. the calculated pyknotic cells were cells with intact cytoplasm, no overlapping with other cells, and minimal debris.7 the research data were then processed and analyzed with the statistical package for social sciences (spss) software version 22. the normality test was analyzed using the shapiro wilk homogeneity levene test. the data were normally distributed but not homogeneous, although the data transformation had been carried out. thus, the test was continued with the kruskal wallis and mann whitney post hoc.8 result the subjects of this study consisted of two groups, namely the group with betel nut habits and the control group. each group consisted of 17 females with an average age of 72 years. the subjects came from banjarsari wetan village, sumbang district, banyumas regency, central java, indonesia. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 19-25 21 on intraoral examination, various lesions on the oral mucosa were found in the betel nut chewers group. oral lesions consisted of exogenous pigmentation, hairy tongue, leukoplakia-like lesions, and lesions resembling lichenoid reactions. no biopsy was performed to establish a definitive diagnosis of the oral lesions found, so the lesions were categorized according to clinical conditions. the lesions were scattered on the tongue's labial mucosa, buccal mucosa, palate, and dorsum. however, since the sample was taken from a buccal mucosal smear, the focus of the lesions studied were those on the buccal mucosa, which could be seen in figure 1, figure 2, and figure 3. figure 1. exogenous pigmentation lesions figure 2. leukoplakia-like lesions figure 3. lesions resembling lichenoid reactions the examination of the buccal mucosal smear was then performed on the various oral lesions, and then the cytology preparation was stained by papanicolaou (pap) stain. pyknotic cells were observed from the cytology slide and counted manually. the calculated pyknotic cells included cells with condensation of chromatin and nucleus. pyknotic cells also decrease the size of the nucleus, as seen in figures 4 and 5. figure 4. pyknotic cells (black arrow) in the betel nut chewers group figure 5. pyknotic cells (black arrow) in the control group maulina triani, akbar aulia hidayat, aris aji kurniawan, anindita laksitasari, & aditya priagung prakosa | pyknotic cell features of buccal mucosal smear in various oral lesions of betel nut chewers 22 table 1. calculation of pyknotic cells no. group number of the sample (n) mean ± sd 1. betel nut chewers group 17 31,86 ± 4,62 2. control group 17 51,13 ± 5,11 pyknotic cells were found in this study in both the betel nut chewers and control groups. the mean of pyknotic cells was higher in the control group than in the betel nut group, as seen in table 1. a normality test using shapiro wilk was carried out on the number of pyknotic cells in various types of lesions and obtained a p-value > 0.05 to conclude that the data were normally distributed. furthermore, the homogeneity levene test was carried out, and the p-value <0.05 was obtained. the data were transformed but still showed that it was not homogeneous, so the analysis test continued with the kruskal wallis test. the kruskal wallis test showed a p-value = 0.001 (p < 0.05), indicating at least a difference in the number of pyknotic cells in the two types of lesions. the test was then continued with the mann-whitney post hoc test, and the results were presented in table 2 below. table 2. the result of the mann-whitney post hoc test of pyknotic cells in various lesions no oral lesions p-value exogenous pigmentation leukoplakia like lesions lesions resembling lichenoid reaction no lesions 1. exogenus pigmentation 0,45 1 1,46 2. leukoplakia like lesions 0,45 1 0,00* 3. lesions resembling lichenoid reaction 1 1 0,04* 4. no lesions 1,46 0,00* 0,04* *mean differs significantly based on table 2, it can be seen that the number of pyknotic cells differs significantly in various oral lesions. the condition without lesions was significantly different compared to leukoplakia-like lesions and lesions resembling lichenoid reactions. it was evidenced by the value of p <0.05. the number of pyknotic cells was not significantly different in the normal or no lesion condition compared to exogenous pigmented lesions. discussion betel nut is categorized as a carcinogen and can increase the risk of the oral cavity and pharyngeal cancer if consumed for a long time. betel nut contains various compounds such as arecoline and arecaidine, which are capable of causing mutations in mammalian cells. arecoline is also considered to be able to cause dysregulation in the cell cycle.3 furthermore, the betel nut also contains quercetin, an antioxidant activity that can ward off free radicals and protect cells from necrosis and apoptosis.9 the carcinogenesis process triggered by betel nut exposure is complex, and no definite pathogenesis has yet been found. several mechanisms are considered involved in the carcinogenesis of betel nut, namely epigenetic dna modification, modulation of the formation of reactive oxygen species (ros) or free radicals, modification of tumor suppressor genes, and triggering of autophagy and hypoxia.10 betel nut consumption is considered capable of causing chronic irritation and inflammation that can damage epithelial cells in the oral mucosa so that the carcinogenic material from betel nut can diffuse into the oral mucosal tissue. poor oral hygiene in betel nut chewers is considered a factor that can cause changes in the balance of the oral microflora that can insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 19-25 23 trigger inflammation and increase the risk of cancer development.11 furthermore, the consumption of betel nuts can trigger the formation of various oral lesions. the most common benign oral lesions resulting from consuming betel nut is hyperkeratosis, while the most common premalignant lesions are leukoplakia, erythroplakia, and oral submucosal fibrosis (osf).4 these premalignant lesions can develop into malignancy in the form of oscc. in this study, various oral lesions were found in the group with betel nut habits, including exogenous pigmented lesions, hairy tongue, lesions resembling leukoplakia and lesions resembling lichenoid reaction. a definitive diagnosis of these lesions can not be determined as the subjects did not perform biopsies, so the lesions were categorized based on clinical conditions and symptoms. the progression of premalignant lesions to malignancy needs to be evaluated from the degree of dysplasia seen on biopsy examination. however, many recent studies have been carried out for the early detection of less invasive malignancies compared to biopsy examination, one of which is by examining buccal mucosal smears. the buccal mucosal epithelium is the main target of various genotoxic carcinogens that enter through the ingestion pathway, such as betel nut. the buccal mucosal epithelium is the primary barrier and is capable of metabolizing carcinogens into various reactive compounds.12 examination of buccal mucosal smears is considered an early detection of genotoxic and carcinogenic exposure, such as examining various changes in the shape of the nucleus. examination of the micronucleus frequency, cytoplasmic and nuclear ratio abnormalities, pyknotic, karyorrhexis, and karyolysis are frequently performed. pyknotic cells are changes in cell morphology in which the nucleus undergoes chromatin condensation and volume reduction. pyknotic is a marker of cell death. programmed cell death or apoptosis plays an important role in tumor pathogenesis. reducing the rate of apoptosis can increase the formation and progression of tumors. it will cause tumor cells to have the opportunity to survive longer, protected from oxidative stress and hypoxia when the tumor mass expands.6 in this study, it was found that the mean of pyknotic cells was found to be lower in the betel nut chewers group compared to the control group. besides, it was also known that the number of pyknotic cells differed in various oral lesions. pyknotic cells differed significantly, especially in normal conditions or without lesions, compared to leukoplakia-like lesions and lesions resembling lichenoid reactions. the number of pyknotic cells in leukoplakia-like lesions showed a significant difference, so it can be concluded that both leukoplakia-like lesions and lesions resembling lichenoid reactions have a risk of progression to premalignant or malignant lesions. leukoplakia lesions have a progression to a malignant condition with a percentage of 17%.13 in this study, the number of pyknotic cells was significantly different in lesions resembling lichenoid reactions. lesions resembling lichenoid reactions may accompany the initial condition of osf, but the ability to progress to malignancy needs to be further proven through tissue biopsy to determine a definitive diagnosis and evaluate the degree of dysplasia of the case.14 meanwhile, the number of pyknotic cells in exogenous pigmentation oral lesions was not significantly different from normal conditions or the condition without lesions. it indicated that exogenous pigmented lesions were not suspected of being capable of developing into a malignant condition.15 conclusion based on the result of this study, it can be concluded that betel nut was one of the predisposing factors for the emergence of various oral lesions that could potentially develop into oral malignancy conditions. maulina triani, akbar aulia hidayat, aris aji kurniawan, anindita laksitasari, & aditya priagung prakosa | pyknotic cell features of buccal mucosal smear in various oral lesions of betel nut chewers 24 early detection of oral malignancy progression could be carried out by examining the morphological changes of buccal mucosal smear cells, one of which was pyknotic cells that described the rate of apoptosis. this study also showed a decrease in the number of pyknotic cells compared to the normal group, and the number of pyknotic cells in various types of oral lesions was significantly different. it indicated that apoptosis also decreased in lesions that could potentially become malignant. however, further investigation is needed to assess the degree of cell dysplasia and make a definitive diagnosis of the various lesions found. references 1. amtha r, razak ia, basuki b, roeslan, bo, gautama w, puwanto dj, ghani wmn, zain rb. tobacco (kretek) smoking, betel quid chewing and risk of oral cancer in a selected jakarta population. asian pacific journal of cancer prevention. 2014;15(20):8673-8678. https://doi.org/10.7314/apjcp.2014.1 5.20.8673 2. watopa jj. betel nut chewing behavior among adolescents in papua province, indonesia. human behavior, development and society. 2019;20(1):31-38. https://doi.org/10.35974/isc.v6i1.1416 3. chen ph, mahmood q, mariottini gl, chiang ta, lee kw. adverse health effects of betel quid and the risk of oral and pharyngeal cancers. biomed research international. 2017;1-25. https://doi.org/10.1155/2017/3904098 4. binmadi n, harere l, mattar a, et al. oral lesions associated with smokeless tobacco users in saudi arabia: single center cross-sectional study. saudi dental journal. 2022;34(2):114-120. https://doi.org/10.1016/j.sdentj.2021.1 2.002 5. h khan m, p m mishu, touseef imam s. current molecular concept of oral carcinogenesis and invasion. med. today. 2010; 22(1);38-42. https://doi.org/10.3329/medtoday.v22i 1.5605 6. patil d. emergence of micronuclei and apoptosis as a potential biomarker of oral carcinogenesis: an updated review. asian journal of oncology. 2018;04(01):011-016. https://doi.org/10.4103/asjo.asjo_1 5_18 7. tandelilin rt, mun ts, haniastuti t. assessment of karyorrhexis incidence in exfoliated buccal mucosa epithelial cells among fuel station employees in sleman, special region of yogyakarta, indonesia. int. j. exp. dent. sci. 2020;9(2):62-69. https://doi.org/10.5005/jp-journals10029-1216 8. dahlan. statistik untuk kedokteran dan kesehatan: deskriptif, bivariat, dan bivariat, dilengkapi aplikasi menggunakan spss. 6th ed. epidemiologi indonesia; 2014. 9. nur sazwi n, nalina t, haji abdul rahim z. antioxidant and cytoprotective activities of piper betle, areca catechu, uncaria gambir and betel quid with and without calcium hydroxide. bmc complement altern med. 2013;13:351 https://doi.org/10.1186/1472-6882-13351 10. wang th, hsia sm, shih yh, shieh tm. association of smoking, alcohol use, and betel quid chewing with epigenetic aberrations in cancers. int. j. mol. sci. 2017;18(6); 1-14. https://doi.org/10.3390/ijms18061210 11. hernandez by, zhu x, goodman mt, et al. betel nut chewing, oral premalignant lesions, and the oral microbiome. plos one. 2017;12(2):1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0 172196 https://doi.org/10.7314/apjcp.2014.15.20.8673 https://doi.org/10.7314/apjcp.2014.15.20.8673 https://doi.org/10.35974/isc.v6i1.1416 https://doi.org/10.1155/2017/3904098 https://doi.org/10.1016/j.sdentj.2021.12.002 https://doi.org/10.1016/j.sdentj.2021.12.002 https://doi.org/10.3329/medtoday.v22i1.5605 https://doi.org/10.3329/medtoday.v22i1.5605 https://doi.org/10.4103/asjo.asjo_15_18 https://doi.org/10.4103/asjo.asjo_15_18 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10029-1216 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10029-1216 https://doi.org/10.1186/1472-6882-13-351 https://doi.org/10.1186/1472-6882-13-351 https://doi.org/10.3390/ijms18061210 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172196 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172196 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 19-25 25 12. bn n, najem h, alva sr, student pg. comparison of cytogenetic abnormality of exfoliative buccal cells among smokers and nonsmokers. ip arch cytol histopathol res, 2017;2(1):1-4. 13. farooq i, bugshan a. oral squamous cell carcinoma: metastasis, potentially associated malignant disorders, etiology and recent advancements in diagnosis. f1000 res.2020;9:229. https://doi.org/10.12688/f1000researc h.22941.1 14. yanduri s, kumar vb, suma s, madhura mg. lichenoid features and fibrosis: coexistence in quid-induced oral lesions. j. contemp. dent. 2015;16(5):389-393. https://doi.org/10.5005/jp-journals10024-1695 15. karthik r, mohan n. prevalence of oral mucosal lesions among dental patients with mixed habits in salem district a study. j. pharm. bioallied sci. 2017;9(5):55-67. https://doi.org/10.4103/jpbs.jpbs_86_ 17 https://doi.org/10.12688/f1000research.22941.1 https://doi.org/10.12688/f1000research.22941.1 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10024-1695 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10024-1695 https://doi.org/10.4103/jpbs.jpbs_86_17 https://doi.org/10.4103/jpbs.jpbs_86_17 15 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus management of xerostomia caused by amlodipine: case report nur asmi usman1, iwan hernawan2 1 resident of oral medicine specialistic programme, faculty of dentistry, universitas airlangga 2 lecturer of oral medicine department, faculty of dentistry, universitas airlangga korespondensi: afifarrizky@gmail.com abstract introduction: xerostomia, commonly referred to as dry mouth syndrome, is a result of reduced or absent salivary flow producing mucosal dryness. patient with xerostomia report symptoms such as mucosal dryness, burning sensation, oral discomforts, alterations in taste, and swallowing become more difficult, the lips are often dry with cracking, peeling, and atrophy. the use of drugs most often caused xerostomia. several classes of used drugs can cause xerostomia, including antidepressants, anticholinergics, antispasmodics, antihistamines, antihypertensives, sedatives, diuretics, and dan bronchodilators. one of that drugs can causexerostomia is amlodipine as an antihypertensive drug, a class of calcium channel blockers (ccbs). objective: to report management of xerostomia caused by the use of amlodipine. case: 55-year-old female patient came with complaints of dry mouth, thick saliva and difficult to swallow since five months ago. patients went to the dentist in hospital then the dentist scaling her teeth but complaints have not improved. patients returned to the dentist in hospital 2 months ago and then the patient was referred to the rumah sakit gigi dan mulut universitas airlangga. the patient had a history of hypertension and taking amlodipine 5 mg once daily since 2 years ago. sialometry test showed foamy saliva that count 0.03 ml/min. management: given chlorine dioxide mouthwash, dry mouth gel, and chewing sugar free gum contain xilitol. conclusion: management of xerostomia can be done with the use of chlorine dioxide mouthwash and dry mouth gel that can reduce dry mouth symptoms. keywords: dry mouth, amlodipine, chlorine dioxide mouthwash abstrak pendahuluan: xerostomia atau yang biasa disebut dengan sindroma mulut kering merupakan akibat dari penurunan atau tidak adanya flow saliva sehingga menyebabkan mukosa rongga mulut menjadi kering. gejala-gejala yang timbul berupa rasa rongga mulut terasa kering, rasa terbakar, tidak nyaman, kesulitan dalam menelan, gangguan pengecapan, dan rasa terbakar pada rongga mulut, bibir pecah-pecah dan terkelupas. penggunaan obat-obatan merupakan yang paling sering menyebabkan xerostomia. obat-obatan itu dapat berupa antidepresan, antikolinergik, antispasmodik, antihistamin, antihipertensi, sedatif, diuretik, dan bronkodilator. salah satu penyebab xerostomia adalah penggunaan obat antihipertensi yaitu amlodipine, suatu golongan calcium channel blockers (ccbs). tujuan: untuk melaporkan tata laksana xerostomia disebabkan oleh penggunaan amlodipine. kasus: pasien wanita berusia 55 tahun datang dengan keluhan mulut terasa kering, air ludah terasa kental dan sulit menelan sejak 5 bulan yang lalu. pasien berobat ke poli gigi rumah sakit kemudian dibersihkan karang giginya namun keluhan belum membaik. 16 nur asmi usman, iwan hernawan | tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus pasien kembali berobat ke poli gigi rumah sakit 2 bulan yang lalu kemudian pasien dirujuk ke rsgm fkg unair. pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu dan mengkonsumsi obat amlodipine 5 mg satu kali sehari. tes sialometri menunjukkan saliva yang berbuih dengan hasil 0.03 ml/menit. tata laksana: pemberian obat kumur chlorine dioxide dan dry mouth gel serta mengunyah permen karet mengandung xilitol. kesimpulan: penanganan xerostomia dapat dilakukan dengan penggunaan obat kumur chlorine dioxide dan dry mouth gel dapat mengurangi keluhan mulut kering. kata kunci: mulut kering, amlodipine, obat kumur chlorine dioxide sehingga menyebabkan mukosa menjadi kering. pasien dengan xerostomia melaporkan gejalagejala yang timbul berupa rasa tidak nyaman pada rongga mulut, kesulitan dalam menelan, gangguan pengecapan, rasa terbakar pada rongga mulut, bibir pecah-pecah dan terkelupas.1,4 penggunaan obat-obatan merupakan yang paling sering menyebabkan xerostomia. obat-obatan itu dapat berupa antidepresan, antikolinergik, antispasmodik, antihistamin, a n t i h i p e r t e n s i , s e d a t i f , d i u r e t i k , d a n bronkodilator.3 salah satu penyebab xerostomia adalah penggunaan obat antihipertensi yaitu amlodipine, suatu golongan calcium channel blockers (ccbs). laporan kasus ini membahas tentang tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine kasus seorang wanita usia 55 tahun datang ke bagian ilmu penyakit mulut rsgm fkg unair pada tanggal 14 november 2015 dengan keluhan mulut terasa kering,rasa terbakar, air ludah terasa kental dan sulit menelan sejak 5 bulan yang lalu. pasien berobat ke poli gigi rsud jombang dan dilakukan perawatan pembersihan karang gigi namun keluhan belum membaik. pasien kembali berobat ke poli gigi rsud jombang 2 bulan lalu kemudian pasien dirujuk ke rsgm fkg unair. pendahuluan saliva dapat mencerminkan kondisi tubuh seseorang dan merupakan indikator kesehatan yang sangat penting. saliva ini merupakan cairan viskous yang bersifat jernih mengandung air dengan ph 6-7 yang disekresi melalui kelenjar parotis, submandibula, sub lingual serta beberapa kelenjar kecil dalam rongga mulut. saliva tersusun dari beberapa ion serta protein serous dan mukus. semua hal di atas berfungsi sebagai antimikroba serta memelihara kesehatan individu secara optimal dengan cara mengatur lubrikasi, ph, kebersihan dan integritas rongga mulut serta mukosa.1,2 sekresi saliva diatur oleh sistem saraf autonom dan melalui reseptor spesifik yang terdapat pada kelenjar saliva. sekresi terjadi melalui rangsangan ke neurotransmitter pada saraf simpatis dan parasimpatis. rangsangan simpatis mempengaruhi komposisi dan kandungan protein sementara parasimpatis bekerja mempengaruhi volume sekresi saliva. fungsi saliva normal dikontrol melalui neurotransmisi kolinergik parasimpatis yang dimediasi melalui reseptor m3 muskarinik. sistem ini mengatur fungsi sekretori sel acinar dan mengontrol proses reabsorpsi pada duktus kelenjar saliva.3 xerostomia atau yang biasa disebut dengan sindroma mulut kering merupakan akibat dari penurunan atau tidak adanya flow saliva 17 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu dengan tekanan darah 170/100 mmhg dan mengkonsumsi obat anti hipertensi amlodipine 5 mg secara rutin satu kali sehari yang diresepkan oleh dokter ahli penyakit dalam rumah sakit jombang. pasien juga telah mengalami menopause sejak 5 tahun yang lalu. pada pemeriksaan intra oral tampak saliva terlihat berbuih dan kental (gambar 1a), kaca mulut terasa lengket pada bagian mukosa bukal. pada saat dilakukan pemeriksaan sialometri pasien kesulitan untuk mengeluarkan ludahnya dan hasil pemeriksaan sialometri terlihat saliva yang berbuih pada tabung (gambar 1b,c) dan diperoleh hasil 0,5 selama 15 menit yaitu 0,03 ml/menit (gambar 1d). terdapat juga karies superfisial pada gigi 14, 45 dan 46. pasien dilakukan pengukuran tekanan darah dengan hasil 120/80 mmhg. diagnosis sementara untuk pasien ini adalah dugaan xerostomia oleh karena efek penggunaan obat amlodipine dengan diagnosis banding burning mouth syndrome. pasien diresepkan obat kumur chlorine dioxide lemon mint yang digunakan dengan instruksi pasien 21 nur asmi usman, iwan hernawan │tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus. lengket pada bagian mukosa bukal. pada saat dilakukan pemeriksaan sialometri pasien kesulitan untuk mengeluarkan ludahnya dan hasil pemeriksaan sialometri terlihat saliva yang berbuih pada tabung (gambar 1b,c) dan diperoleh hasil 0,5 selama 15 menit yaitu 0,03 ml/menit (gambar 1d). terdapat juga karies superfisial pada gigi 14, 45 dan 46. pasien dilakukan pengukuran tekanan darah dengan hasil 120/80 mmhg. gambar 1a gambaran intra oral menunjukkan saliva berbuih pada bagian dorsum lidah, 1b pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva, 1c buih saliva yang terlihat pada tabung pada hasil pemeriksaan sialometri, 1d hasil pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva 1a 1b 1d1c gambar 1a gambaran intra oral menunjukkan saliva berbuih pada bagian dorsum lidah, 1b pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva, 1c buih saliva yang terlihat pada tabung pada hasil pemeriksaan sialometri, 1d hasil pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva berkumur dengan takaran 5 ml selama 3 kali sehari serta membasahi bibir dengan obat kumur tersebut. pada kie pasien dianjurkan untuk mengunyah permen karet mengandung xilitol yang bebas gula pada saat mulut terasa kering, minum air putih kurang lebih 2 liter 18 nur asmi usman, iwan hernawan | tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus setiap hari, dan menjaga oral hygiene, gigi geligi yang lubang dirujuk untuk ditumpat. pasien dirujuk ke bagian patologi klinik untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap dan hba1c. kunjungan kedua pada hari ke-7, pasien merasa keluhannya masih belum membaik. pasien menggunakan obat kumurnya secara teratur dan mengkonsumsi permen karet yang dianjurkan. pasien membawa hasil pemeriksaan gula darah sewaktu dari bagian patologi klinik rumah sakit umum daerah jombang tanggal 29 mei 2015 yaitu 86 mg/dl. pasien belum melakukan pemeriksaan darah lengkap dan hba1c. pada pemeriksaan intra oral menunjukkan rongga mulut masih terasa kering dan saliva masih berbuih. pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva, tampak saliva masih agak berbuih namun terjadi peningkatan aliran saliva dibandingkan kunjungan pertama dengan hasil 1 ml selama 15 menit yaitu 0.06 ml/menit. pasien dilakukan pengukuran tekanan darah dengan hasil 120/70 mmhg. rencana selanjutnya adalah pasien tetap diresepkan obat kumur chlorine dioxide lemon mint dengan dosis yang sama dengan kunjungan pertama yaitu 3 kali sehari. pasien diberikan resep tambahan yaitu dry mouth gel yang diaplikasikan pada saat pasien merasa rongga mulutnya terasa kering dengan cara dioleskan pada jari kemudian diaplikasikan pada mukosa bukal kiri kanan dan mukosa labial atas bawah pasien. pasien juga tetap dianjurkan untuk mengunyah permen karet mengandung xilitol yang bebas gula pada saat mulut terasa kering dan minum air putih kurang lebih 2 liter setiap hari. pasien dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam yang merawat penyakit hipertensinya untuk konsultasi mengenai xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine. kunjungan ketiga yaitu hari ke-13, pasien membawa hasil pemeriksaan darah lengkap dan hba1c. hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan nilai yang normal dan hasil pemeriksaan hba1c yaitu 5,7%. pada anamnesis pasien merasa keluhannya sudah mulai membaik, keluhan rasa terbakar pada rongga mulut pasien sudah tidak ada. pasien merasa nyaman dengan obat kumur chlorine dioxide lemon mint dan dry mouth gel yang diresepkan serta menggunakannya secara teratur sesuai yang diresepkan. pasien sudah melakukan kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam namun menurut pasien obat hipertensi yang diresepkan oleh dokter spesialis penyakit dalam tidak dapat diganti dan pasien disarankan untuk minum obat antihipertensinya setiap pagi hari kemudian pasien diresepkan obat lapibion® satu kali sehari. pada pemeriksaan intra oral rongga mulut sudah mulai terasa lembab dan saliva sudah mulai tidak berbuih. pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva terjadi peningkatan aliran saliva dibandingkan kunjungan kedua dengan hasil 2,5 ml selama 15 menit yaitu 0,16 ml/menit. pasien dilakukan pengukuran tekanan darah dengan hasil 120/80 mmhg. berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis definitif pada kasus ini adalah xerostomia et causa amlodipine. pengobatan pasien ini adalah tetap melanjutkan obat kumur chlorine dioxide lemont mint dan dry mouth gel yang diresepkan secara teratur sesuai instruksi serta mengunyah permen karet mengandung 19 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 xilitol dan mengkonsumsi obat lapibion® yang diresepkan oleh dokter spesialis penyakit dalam. pada kunjungan keempat hari ke-21 pasien merasa keluhannya semakin membaik dan pasien juga sudah tidak mengalami kesulitan dalam menelan. pada pemeriksaan intra oral rongga mulut sudah terasa lembab (gambar 2a) dan saliva terlihat lebih encer. pemeriksaan sialometri unstimulated saliva, saliva sudah tidak berbuih dan terjadi peningkatan aliran saliva dibandingkan kunjungan ketiga dengan hasil 3,5 selama 15 menit yaitu 0,2 ml/menit (gambar 2b) 24 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 xilitol dan mengkonsumsi obat lapibion® yang diresepkan oleh dokter spesialis penyakit dalam. pada kunjungan keempat hari ke-21 pasien merasa keluhannya semakin membaik dan pasien juga sudah tidak mengalami kesulitan dalam menelan. pada pemeriksaan intra oral rongga mulut sudah terasa lembab (gambar 2a) dan saliva terlihat lebih encer. pemeriksaan sialometri unstimulated saliva, saliva sudah tidak berbuih dan terjadi peningkatan aliran saliva dibandingkan kunjungan ketiga dengan hasil 3,5 selama 15 menit yaitu 0,2 ml/menit (gambar 2b) gambar 2a lidah sudah terlihat lembab, 2b hasil pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva menunjukkan saliva terlihat encer pasien dinyatakan sembuh dan diagnosis akhir adalah xerostomia et causa amlodipine. pasien tetap dianjurkan untuk menggunakan obat kumur yang mengandung chlorine dioxide lemon mint secara bergantian dengan dry mouth gel, mengunyah permen karet mengandung xilitol yang bebas gula, dan disarankan untuk selalu menjaga oral hygiene serta minum air putih kurang lebih 2 liter per hari. pembahasan secara histologi, kelenjar saliva tersusun dari asinar (sel sekretori) dan sel duktal yang tersusun seperti sekelompok anggur pada batang. sel asinar yang berkelompok membentuk percabangan sementara sel duktal membentuk cabang yang memodifikasi dan mentranspor saliva dari acini ke kavitas rongga mulut3. sel asinar menghasilkan sekresi primer yang mengandung ion organik larut dalam cairan dimana komposisinya identik dengan plasma. komposisi saliva kemudian dimodifikasi pada saat mengalir dari asinar keluar dalam duktus yang kemudian disekresi ke 2a 2b gambar 2a lidah sudah terlihat lembab, 2b hasil pemeriksaan sialometri pada unstimulated saliva menunjukkan saliva terlihat encer pasien dinyatakan sembuh dan diagnosis akhir adalah xerostomia et causa amlodipine. pasien tetap dianjurkan untuk menggunakan obat kumur yang mengandung chlorine dioxide lemon mint secara bergantian dengan dry mouth gel, mengunyah permen karet mengandung xilitol yang bebas gula, dan disarankan untuk selalu menjaga oral hygiene serta minum air putih kurang lebih 2 liter per hari. pembahasan secara histologi, kelenjar saliva tersusun dari asinar (sel sekretori) dan sel duktal yang tersusun seperti sekelompok anggur pada batang. sel asinar yang berkelompok membentuk percabangan sementara sel duktal membentuk cabang yang memodifikasi dan mentranspor saliva dari acini ke kavitas rongga mulut3. sel asinar menghasilkan sekresi primer yang mengandung ion organik larut dalam cairan dimana komposisinya identik dengan plasma. komposisi saliva kemudian dimodifikasi pada saat mengalir dari asinar keluar dalam duktus yang kemudian disekresi ke dalam mulut. pada saat na+ dan cldikeluarkan, ion k+ dan bikarbonat ditambahkan. karena duktus mengalami permeabilitas tinggi terhadap air, kehilangan nacl menyebabkan saliva menjadi hipotonis.5 sekresi saliva pada kelenjar saliva mayor diawali dengan stimulasi reseptor muskarinik pada permukaan sel asinar ketika neurotransmiter asetilkolin dilepaskan oleh terminal saraf parasimpatik. hubungan asetilkolin dengan reseptor ini berupa rangkaian yang mengaktifkan protein g sehingga terjadi peningkatan ca2+ intraseluler, selanjutnya peningkatan ca2+ intraseluler mengakibatkan terbukanya channel cl.terbukanya channel tersebut langsung mempengaruhi gradien elektrokimia sehingga cl dari intraseluler keluar melewati membran apikal sel asinar. na+ dan air mengikuti clmenuju lumen asinar. proses pertukaran ion ini berlanjut sehingga menghasilkan saliva yang hipotonis.6 salivary flow rate dapat memberikan informasi yang penting untuk diagnosis oleh karena itu fungsi kelenjar sebaiknya dinilai melalui teknik pengukuran ini yang disebut sialometri. salivary flow rate dapat dilihat melalui pengumpulan saliva yang ada dalam rongga mulut ke dalam suatu tabung atau diambil 20 nur asmi usman, iwan hernawan | tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus langsung dari kelenjar saliva mayor disebut whole saliva. ada berbagai macam metode pengumpulan whole saliva termasuk draining, suction, spitting, and absorbent (sponge) methods. metode spitting adalah metode yang paling sering dilakukan. pada metode ini, pasien diinstruksikan untuk mengumpulkan saliva dalam mulut kemudian diludahkan ke dalam tabung setiap 60 detik selama 5-15 menit. metode ini dapat dilakukan melalui saliva stimulated dan unstimulated. kelenjar saliva yang tidak terstimulasi berperan dominan sehingga mempengaruhi keseluruhan rongga mulut dan melindungi kavitas rongga mulut. individu normal ditemukan mengeluhkan rasa kering pada rongga mulut pada waktu unstimulated whole saliva berkurang sebesar 40-50%. pemeriksaan unstimulated whole saliva dapat memberikan penilaian kapasitas fungsional dari kelenjar saliva. untuk menjamin terkumpulnya saliva unstimulated, pasien diinstruksikan untuk menghindari makan, minum, merokok, mengunyah permen karet dan perawatan oral hygiene 90 menit sebelum dilakukan pemeriksaan sialometri. pasien juga diinstruksikan untuk tidak melakukan banyak aktivitas dan bicara sebelum dilakukan pemeriksaan ini.3,7 nilai unstimulated whole saliva yang kurang dari 0,1 ml/menit dan stimulated whole saliva yang kurang dari 0,7 ml/menit merupakan penanda terjadinya hipofungsi kelenjar saliva yang dihubungkan dengan xerostomia.8 pada pasien ini dilakukan pemeriksaan sialometri dari unstimulated saliva dimana pasien diinstruksikan untuk tidak makan, minum, mengunyah permen karet 90 menit sebelum dilakukan pemeriksaan. pengukuran dilakukan selama 15 menit dan diperoleh hasil 0,03 ml/menit pada kunjungan pertama. adanya hasil yang kurang dari 0,1 pada waktu kunjungan pertama menandakan pasien mengalami hipofungsi kelenjar saliva. keadaan hiposalivasi pasien dikeluhkan terutama pada saat tidak beraktivitas. gambaran yang paling umum terhadap adanya gangguan pada kelenjar saliva adalah xerostomia yang ditandai dengan keluhan mulut kering. xerostomia atau yang biasa disebut dengan sindroma mulut kering merupakan akibat dari penurunan atau tidak adanya flow saliva sehingga menyebabkan mukosa menjadi kering.1,4,9 tanda dan gejala xerostomia dapat mempengaruhi mukosa pada kavitas rongga mulut. bibir sering terasa kering, pecahpecah dan mengalami atrofi. mukosa bukal terasa pucat. bagian dorsal lidah terlihat halus, eritematous oleh karena hilangnya papilla atau dapat terlihat fissure.3,10,11,12 pada pasien ini bibir terlihat kering, mukosa bukal pucat serta lidah mengalami atrofi. karies sering meliputi daerah permukaan akar dan ujung cusp gigi. pada pasien ini karies pada servikal hanya mengenai satu gigi sementara gigi lainnya mengalami mengalami karies superfisial. adanya peningkatan akumulasi debris makanan dan plak dapat ditemukan pada daerah interproksimal oleh karena gangguan pada flow saliva. pasien ini rutin memeriksakan gigi dan melakukan pembersihan karang gigi di rsud jombang sehingga tidak ditemukan akumulasi plak dan kalkulus. pasien memiliki riwayat hipertensi 2 tahun yang lalu dengan tekanan darah 170/100mmhg. hipertensi adalah kondisi medis kronis dengan tekanan darah di arteri meningkat. peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengedarkan darah 21 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 ke pembuluh darah. pada keadaan normal pada saat istirahat, tekanan darah kisaran sistolik 100-140 mmhg dan diastolik 60-90 mmhg. tekanan darah tinggi terjadi bila terus menerus berada pada 140/90 mmhg atau lebih.5,13,14 untuk menangani hipertensi pada pasien ini, pasien diresepkan obat amlodipine 5 mg yang diminum secara teratur satu kali sehari. amlodipine adalah obat hipertensi golongan calcium channel blocker. obat ini merupakan pilihan utama yang digunakan terutama untuk usia di atas 55 tahun.15 terdapat sejumlah laporan mengenai obat antihipertensi golongan calcium channel blocker dapat menyebabkan xerostomia.1,17 mekanisme kerja amlodipine adalah menghambat masuknya (influks) ion kalsium ke dalam sel otot jantung dan otot polos pembuluh darah. dengan demikian amlodipine memiliki efek relaksasi otot polos sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah.17,18 pada kelenjar saliva, obat ini menekan sekresi air dengan menutup channel ca2+ sehingga pintu cltidak dapat terbuka. pintu clyang tidak terbuka menyebabkan cldari intraseluler tidak dapat keluar melewati membran apikal sel asinar dan air juga tidak dapat masuk menuju lumen asinar. mekanisme tersebut mempengaruhi whole saliva yang terdiri 99% air sehingga akhirnya menyebabkan xerostomia.17 pada pasien ini setiap kali kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam disarankan untuk melakukan pemeriksaan gula darah acak sebagai pemeriksaan rutin. pemeriksaan hba1c adalah pemeriksaan gula darah yang menggambarkan rata-rata gula darah selama 2 sampai 3 bulan terakhir. nilai rujukan untuk hba1c adalah dibawah 7%. pada pasien ini hasil pemeriksaan hba1c adalah 5,7%. pasien diresepkan obat lapibion® yang mengandung b1, b6 dan b12 yang berfungsi sebagai neurotransmitter. pada pasien ini diresepkan obat kumur chlorine dioxide lemon mint. obat kumur ini dapat meningkatkan oral hygiene, mengandung oxygen® untuk metabolisme sel serta dapat mencegah infeksi pada luka. kombinasi oxygen® dengan zinc dapat mengangkat berbagai molekul yang dapat menyebabkan bau mulut. kandungan aloe bermanfaat untuk mengurangi iritasi, nyeri, atau inflamasi pada mulut. campuran ini dimasukkan rasa lemonmint yang berfungsi menstimulasi flow saliva dan membuat rongga mulut menjadi bersih dan segar. aroma lemon-mint dapat merangsang kelenjar saliva terstimulasi melalui rangsangan kimiawi.19 dry mouth gel merupakan pengganti saliva sintetik yang berfungsi melindungi gigi serta jaringan rongga mulut. gel ini memiliki ph netral sehingga tidak menyebabkan demineralisasi pada email dan dentin. gel ini mengandung carboxymethyl cellulose yang memiliki viskositas menyerupai saliva, mucopolysaccharide, base polimer gliseat atau musin yang dapat menyebabkan mukosa menjadi lembab.20 pada pasien ini juga diresepkan dry mouth gel yang diaplikasikan pada saat rongga mulut terasa kering. permen karet yang mengandung xilitol merupakan gula non fermentasi oleh sebab itu tidak dapat dikonversi menjadi asam oleh bakteri mulut sehingga dapat membantu mengembalikan keseimbangan asam/basa dalam mulut. xilitol dapat menghambat pembentukan plak dan juga memilki kemampuan untuk meningkatkan mineralisasi 22 nur asmi usman, iwan hernawan | tata laksana xerostomia oleh karena efek penggunaan amlodipine: laporan kasus email. penelitian membuktikan bahwa xilitol dapat meningkatkan faktor proteksi pada saliva, merangsang flow saliva melalui proses mastikasi dari mengunyah permen karet tersebut serta aromanya yang segar merangsang kelenjar saliva terstimulasi secara kimiawi, dan membantu menjaga mineral saliva.2 pada pasien ini dianjurkan untuk mengunyah permen karet mengandung xilitol yang bebas gula pada saat rongga mulut terasa kering. kesimpulan pada penderita hipertensi yang harus mengkonsumsi obat antihipertensi seumur hidupnya disarankan untuk tetap menggunakan obat kumur chlorine dioxide secara bergantian dengan dry mouth gel serta mengunyah permen karet bebas gula mengandung xilitol untuk mengatasi xerostomia sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. daftar pustaka 1. ristevska, i.armata, r,s.d’ ambrosio c.furtado, m.anand, i.katzman m,a. 2015. xerostomia: understanding the diagnosis and the treatment of dry mouth. j farm med dis,1(2):p.2-5 2. plemons, j,m.al-hashimi, i.marek c,l.2015.managing xerostomia and salivary gland hypofunction. jada,8:p.1-18 3. bowers, m.l., fox, c.p.,brennan, m.t.. salivary gland diseases in burket’s oral medicine,12thed,pmph-usa, usa, p219225,2012 4. joanna, n,d,y. thomson, w,m.2015. dry mouth-an overview. singapore dental journal, 36(12):p.12-17 5. barret,k.e.,barman,s.m., bortano.s., brooks,h.l.. ganong’s review of medical physiology, 12thed, mcgraw-hill companies, usa, 2012 6. wong, d.t. salivary diagnostics, 1sted,wiley-blackwell, iowa,p3-69, 2008 7. falcao,p.d.leal,c,s.vieira,n,c,wolff,a. almeida,g. silva,nunes,fp. batista,r,f. bezerra,a,c. b, saraswathy. sialometry of upper labial minor glands: a clinical approach by the use of weighing method schirmer’s test strips paper. the scientific world journal, (online), 2014, (www. hindawi.com, diakses 16 april 2016) 8. hayashida,j,n. minami,s .masafumi, m.toyoshima, t.shinozaki,s. tanaka, a.maehara, t.nakamura, s.2015. differences of stimulated and unstimulated salivary flow rates in patients with dry mouth. journal of oral and maxillary surgery,medicine,and pathology, 27(1): p.96-101 9. regezi, j.a., sciubba j.j., jordan r.c.k.. oral pathology : clinical pathologic correlations, 6thed,elsevier saunders, missiori,p200-201,2012 10. ghom a.g.. textbook of oral medicine,2nd, jaypee brothers medical publishers, new delhi,p638-645,2010 11. hopcraft,m,s.tan,c.2010.xerostomia: an update for clinicians.aus dent j, 55:p.238244 12. aflaki, e.erfani,t. manolios, n. schifter,m.2014. an approach to the patient with a dry mouth. medicine today,15(4):p.30-37 13. guyton & hall.textbook of oral p h y s i o l o g y, 1 2 t h e d , e l e s e v i e r i n c , philadelphia, 2010 23 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 14. popescu, s, m.scrieciu, m.mercut,v. tuculina, m.dascalu,i.2013.hypertensive patients and their management in dentistry. isrn hypertension:1-8 15. cheung,b. chao li. diabetes and hypertension: is there a common metabolic pathway. current atherosclerosis reports, p.1-114, (online), 2014, (www.ncbi.nih.gov diakses 15 april 2016) 16. villa,a.abati,s.2011.risk factors and symptoms associated with xerostomia: a cross-sectional study.aus dent j,56(3): p.290-5 17. sreebny,l. m. vissink,a..dry mouth the malevolent symptoms: a clinical guide,1sted, blackwell publishing,iowa,p89-122,2010 18. livada, r. shiloah, j.2014. calcium channel blocker-induced gingival enlargement. journal of human hypertension,28:p.10-14 19. guo,s. dipietro, l,a.2010. factors affecting wound healing.j dent res,89(3):p.219-229 20. b, saraswathy. ganapathy, d.2016. salivarysubstitutes in prosthodontics. international journal of recent advances in multidisciplinary research,3 (3):p.13501352 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 62-69 62 research article antibacterial effects of ethanolic extract of bidara (ziziphus mauritiana lam) leaf against porphyromonas gingivalis noor aziza1, islamy rahma hutami2*, recita indraswary3, suryono4 1faculty of dentistry, sultan agung islamic university, jl. raya kaligawe km.4 semarang 50112, indonesia 2department of orthodontics, faculty of dentistry, sultan agung islamic university, jl. raya kaligawe km.4 semarang 50112, indonesia 3department of oral biology, faculty of dentistry, sultan agung islamic university, jl. raya kaligawe km.4 semarang 50112, indonesia 4department of periodontics, faculty of dentistry, universitas gadjah mada, jl. denta 1, sekip utara, yogyakarta 55281 indonesia received date: june 26th, 2022; revised date: august 5th, 2022; accepted: october 25th, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.15222 abstract the bidara plant (ziziphus mauritiana lam) is widely distributed in various asian countries. bidara leaves contain secondary metabolites, the main content of which is flavonoids. as a gram-negative anaerobic bacteria, porphyromonas gingivalis is one of the normal flora of the oral cavity. however, over quantities of this bacteria can promote chronic periodontitis. this research aims to analyze the bidara leaf ethanolic extract as an inhibitory agent of porphyromonas gingivalis. this research design is experimental laboratory research with a post-test controlled group of porphyromonas gingivalis inhibition. a total of 25 samples consisted of 5 groups of ethanol extract of bidara leaves at concentrations of 1%, 3%, 9%, positive control betel leaves, and negative control aquadest. bacteria incubation was held for 48 hours, and the free bacterial zone was analyzed by the one way anova test. the results of the analysis showed that there was a significant difference between the control group and the treatment group. this study concludes that the ethanol extract of bidara leaves had a strong inhibitory effect on porphyromonas gingivalis. keywords: antibacterial; bidara leaf; porphyromonas gingivalis introduction the global burden of disease study (2016) states that periodontal disease is the 11th most common disease globally.1 in indonesia, the prevalence of periodontal disease in all age groups is still relatively high at 96.58%.2 the most common type of periodontal disease is chronic periodontitis.3 periodontitis is an inflammation of supporting tissue surrounding the teeth caused by microorganisms and leads to damage to the periodontal ligament, alveolar bone, pocket formation, recession, or.both.4 periodontitis can be classified into two: aggressive periodontitis and chronic periodontitis.5 chronic periodontitis is a * corresponding author, e-mail: rahma.hutami@unissula.ac.id type of periodontitis in which the rate of disease progression is slow to moderate. the main cause of chronic periodontitis is bacteria that accumulate in plaque. porphyromonas gingivalis is commonly found in dental plaque and can cause pathological changes in periodontal tissues by activating host immune and inflammatory responses. 4 several types of anaerobic gramnegative bacteria are found in subgingival plaque, such as porphyromonas gingivalis, actinobacillus actinomycetemcomitans, and treponema denticola which can cause and exacerbate periodontal infections.5,6 based on research on the subject population of 128 people with chronic periodontitis, it noor aziza, islamy rahma hutami, recita indraswary, suryono | antibacterial effects of ethanolic extract of bidara (ziziphus mauritiana lam) leaf against porphyromonas gingivalis 63 is known that the most dominant bacteria in chronic periodontitis is porphyromonas gingivalis, with a prevalence of about 80.5%.6 porphyromonas gingivalisis a melanogenic bacterium and belongs to the colonies of black-pigmented gram-negative anaerobes. porphyromonas gingivalis usually colonizes oral tissues and can be seen in culture media with the characteristics of forming a colony with a diameter of 1-2 mm, convex and smooth, and has a characteristic with the darker color in the center.7,8 porphyromonas gingivalis can release harmful substances, such as lipopolysaccharide, as a virulence factor that triggers the host inflammatory response, resulting in periodontal tissue destruction in chronic periodontitis.4 treatment of chronic periodontitis is scalinggandnroottplanning (srp) and using antibiotics as adjunctive therapy.9 antibiotics consumed in excess and inappropriately can make porphyromonas gingivalis resistant. natural herbal medicine can be another alternative in treating chronic periodontitis, which is considered safer as it has fewer side effects than antibiotics.10 one of the plants that are believed to have many benefits is the bidara tree (ziziphus mauritiana lam). the bidara tree consists of roots, stems, leaves, fruit, and seeds. it is known that bidara leaves have pharmacological effects as it belongs to the group of alkaloids, saponins, flavonoids, tannins, terpenoids, and steroids, which have antibacterial, anti-inflammatory, and antifungal properties.11,14 studies on the bidara plant as an antibacterial have been discussed by several researchers. maulana siregar, 2020 stated that bidara leaves have analgesic, antipyretic and anti-inflammatory properties due to the flavonoid content so they can play an important role in periodontitis.12 in this study, betel leaf extract mouthwash was used as a positive control as it contains active ingredients from herbs and has a secondary metabolite content that is almost the same as bidara leaves as follows: tannins, saponins, and flavonoids.13 based on the description above, this research was conducted to observe the effectiveness of the antibacterial extract of bidara leaves at concentrations of 1%, 3%, and 9% on the growth of porphyromonas gingivalis. materials and methods analytical, experimental research with observation method using the disk diffusion method was conducted to analyze differences in the antibacterial effectiveness of ethanol, extracts of bidara leaves. a total of 25 samples were divided into five groups. the treatment group with a concentration of 1%, 3%, 9%, negative control of aquadest, and positive control of betel leaves extract mouthwash. this research protocol has been approved by the research ethics commission of the faculty of dentistry, sultan agung islamic university, with no.305/b.1-kepk/safkg/ix/2021. porphyromonas gingivalis bacteria samples porphyromonas gingivalis atcc 33277 bacteria were cultured on mueller hinton agar media (mha) with brain heart infusion broth (bhib). the positive control used mouthwash with betel leaf extract from mustika ratu, while the negative control used sterile aquadest. making bidara leaf extract the fresh green bidara leaves were picked directly from the tree, then wet sorting and dry sorting were carried out, then cut into small pieces and mashed using a blender to obtain bidara leaf powder.11 the initial maceration process was carried out by weighing 300 g of bidara leaf powder. the powder of bidara leaf that had been weighed was then put into a maceration container and macerated with 1 liter of 96% ethanol solvent.11 bidara leaf insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 62-69 64 extract (filtrate) was stored in a place protected from sunlight and allowed to stand for 72 hours at room temperature, stirring occasionally. after three days, the filtrate was filtered and macerated using 1 liter of 96% ethanol. measurements were carried out five times with the same amount of solvent. each filtrate was filtered using paper whatman then combined from the maceration and remaceration results.17 after the filtrate was combined, it was evaporated using a rotary evaporator to get a thick extract of bidara leaves.17 the extract was then prepared to a concentration of 1%, 3% and 9% with sterile distilled water as a solvent. porphyromonas gingivalis inhibitory test preparation of suspension of porphyromonas gingivalis was carried out by taking the preparation of porphyromonas gingivalis with a sterile one needle, then inserting it into a test tube containing bhib and homogenizing it with a vortex. the bacterial turbidity was equalized to 0.5 mc farland (approximately 1-2×108 cfu/ml). the next step was to test the effectiveness of the extract. bidara leaf ethanol on growth of porphyromonas. gingivalis. it was done by spreading the suspension of porphyromonas gingivalis bacteria using a sterile cotton swab evenly on the surface of the mha media. each paper disc dripped 10 µm ethanol extractkofnbidara leaves with concentrations of 1%, 3%, and 9%, respectively. as a negative control, the paper disc was dripped with distilled water and betel leaf extract mouthwash as a positive control.11 it was then incubated at 37°c for 48 hours. after 48 hours, the diameter of the clear zone (free bacterial zone) formed around the paper disc was measured using a caliper.14 the inhibition zone measurement can be conducted using the formula.15 note: = inhibitory zone dv = diameter of vertical dh = diameter of horizontal statistics this data was processed using the spss computer software program. in addition, a parametric statistical test was carried out with the one way annova test to analyze the significance of bidara leaves ethanol extract at several concentrations in inhibiting the growth of porphyromonas gingivalis. result bidara leaf extract concentrations of 3%, 9%, and positive control mouthwash of betel leaf extract showed antibacterial activity of porphyromonas gingivalis. in comparison, bidara leaves extract with a concentration of 1% and aquadest did not show any inhibition against porphyromonas gingivalis. dv + dh 2 noor aziza, islamy rahma hutami, recita indraswary, suryono | antibacterial effects of ethanolic extract of bidara (ziziphus mauritiana lam) leaf against porphyromonas gingivalis 65 picture 1. inhibitory zone on mha by the method of disk diffusion picture 2. negative control of aquadest picture 3. positive control of betel leaves extract mouthwash picture 4. bidara leaves extract 1% concentration picture 5. bidara leaves extract 3% concentration picture 6. bidara leaves extract 9% concentration vertical diameter (dv) horizontal diameter (dh) insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 62-69 66 table 1. inhibitory effect analysis of bidara leaf extract at several concentrations on the growth of porphyromonas gingivalis no the concentration of bidara leaves ethanol extract control group 1% 3% 9% aquadest (negative) betel leaf extract mouthwash (positive) 1 0 16.8 mm 22.2 mm 0. 27.4 mm. 2 0 16.05 mm 22.mm 0. 27.05 mm. 3 0 14.95 mm 20.8.mm 0. 26.4 mm. 4 0 16.4 mm 21.95 mm 0 27.2 mm 5 0 16.2 mm 22.6 mm 0 27.15 mm average 0 16.08 mm 21.91 mm 0 27.04 mm table 2. analysis of normality and homogeneity among groups of porphyromonas gingivalis inhibition test of bidara leaves extract (p>0.05) group shapiro-wilk levene sig statistics df sig. 1% concentration 5 0.059 3% concentration 0.9 5 0.42 9% concentration 0.87 5 0.29 aquadest control 5 betel leaf extract mouthwash control 0.85 5 0.2 table 3. one-wayyannova analysis among groups of porphyromonas gingivalis inhibition test of bidara leaves extract (p<0.05) picture 6. significance of differences between the control and treatment groups * = significance group. mean.±std. dev one-way anova(sig.) 1% concentration 0.00±0.00 .000 3% concentration 16.08±0.69 9% concentration 21.91±0.67 aquadest control 0.00±0.00 betel leaf extract mouthwash control 27.04±0.37 0 5 10 15 20 25 30 aquadest betel leaf extract mouthwash 1% concentration 3% concentration 9% concentration a v e ra g e d ia m e te r o f th e i n h ib it io n z o n e (m m ) bidara leaf concentration control group treatmentcontrol 0 0 * * ** * * * * * 67 noor aziza, islamy rahma hutami, recita indraswary, suryono | antibacterial effects of ethanolic extract of bidara (ziziphus mauritiana lam) leaf against porphyromonas gingivalis the inhibition test results showed that the ethanol extract of bidara leaves had high inhibitory activity at concentrations of 3% and 9% compared to 1%. test for normality and homogeneity with sapphirowilk and levene p>0.05 showed that the data were normally distributed and homogeneous (table 2). further analysis by the one-way anova test (table 3) showed that the p-value on the one-way annova test = 0.000 (p<0.05), indicating that there was a significant difference between each group in inhibiting the growth of porphyromonas gingivalis. picture 2 shows a significant difference between the control group and the treatment group, namely aquadest with positive control mouthwash of betel leaf extract, aquadest with bidara leaf extract (ziziphus mauritiana lam) with a concentration of 3% and 9%, and mouthwash with betel leaf extract with a concentration of 3%. discussion the antibacterial activity of porphyromonas gingivalis was shown by measuring the inhibitory zone after 48 hours of incubation at room temperature (37℃). the negative control of sterile distilled water and 1% bidara leaves extract had no antibacterial effect on porphyromonas gingivalis, which was indicated by the absence of an inhibition zone (0 mm). positive control of betel leaf extract mouthwash showed the formation of the largest clear zone compared to the three groups of bidara leaves concentration (table 1). the positive control mouthwash of betel leaf extract had an inhibition zone of 27 mm and was more significant than the aquadest control (table 3). the 3% bidara leaf extract had an inhibition zone of 16.08 mm and a concentration of 9% of 22 mm (table 1). however, the positive control of betel leaves extract mouthwash with 9% bidara leaves extract had a significant difference, although both groups had an inhibition zone of >20 mm (table 3). thus, it can be concluded that the mouthwash of betel leaf extract with 9% bidara leaves extract is included in the powerful category in inhibiting the growth of porphyromonas gingivalis bacteria. this result is in accordance with the research conducted by agrianto (2016) regarding the assessment of inhibitory power using the davis and stout categories. it was found that the average inhibition zone of clove flower extract was 13.01 mm, which was classified as having a strong inhibitory effect on the growth of porphyromonas gingivalis.15 the area of inhibition can be observed by the presence of a clear zone between the growth of bacteria (free bacterial zone). the inhibition zone marked by the clear zone (figure 1) in the 3% and 9% bidara leaves extract appeared due to antibacterial activity, which was considered to be produced from secondary metabolites, namely alkaloids, saponins, flavonoids, tannins, terpenoids, and steroids which had antibacterial properties, anti-inflammatory, and antifungal agents.16 the antibacterial effect of bidara leaves ethanol extract on the growth of escherichia coli and showed the presence of an inhibition zone at 9% concentration with an average inhibition zone diameter of 15.66 mm. the antibacterial effectiveness of bidara leaves is due to the active substance. higher concentrations of bidara extract can increase the number of active ingredients that act as antibacterial agents. thus, the ability of microbial growth inhibition is more significant.11 the effectiveness of pure 9% bidara leaves extracts actively inhibits the growth of porphyromonas gingivalis. the betel leaves extracts used in this study contained a mixture of antibacterial ingredients of 0.5% betel leaves and 0.04% mint leaf oil (mentha piperita oil). in contrast, the bidara leaves extract in this study was pure extract without a mixture of other ingredients for further research. therefore, it is recommended that bidara leaf extract can be combined with other antibacterial herbs insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 62-69 68 or other active components to obtain maximum results when used as an antibacterial ingredient. conclusion bidara leaves extract concentrations of 3% and 9% effectively inhibited the growth of porphyromonas gingivalis bacteria. in addition, 9% of bidara leaf extract with mouthwash control of betel leaf extract had a diameter of inhibition zone above 20 mm, indicating a potent inhibition against the growth of porphyromonas gingivalis. references 1. kementrian kesehatan ri. faktor risiko kesehatan gigi dan mulut. pus data dan inf kementeri kesehat ri. 2019;1–10. 2. dinyati m, adam am. kuretase gingiva sebagai perawatan poket periodontal. makassar dent j. 2016;5(2):58–64. 3. alibasyah zm, andayani r, farhana a. potensi antibakteri ekstrak jahe (zingiber officinale roscoe) terhadap porphyromonas gingivalis secara in vitro. j syiah kuala dent soc. 2016;1(2):147–52. 4. carranza fa, newman mg, klokkevold pr, takei hh. newman and carranza’s clinical periodontology. thirteenth. newman and carranza’s clinical periodontology. 2019. 19 p. 5. al qahtani na, joseph b, deepthi a, vijayakumari bk. prevalence of chronic periodontitis and its risk determinants among female patients in the aseer region of ksa. j taibah univ med sci. 2017;12(3):241–8. https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2016. 11.012 6. quamilla n. stres dan kejadian periodontitis (kajian literatur). j syiah kuala dent soc. 2016;1(2):161–8. 7. andriani i, chairunnisa fa. periodontitis kronis dan penatalaksaan kasus dengan kuretase. insisiva dent j maj kedokt gigi insisiva. 2019;8(1):25–30. https://doi.org/10.18196/di.8103 8. mahalakshmi k, krishnan p, chandrasekaran sc, panishankar kh, subashini n. prevalence of periodontopathic bacteria in the subgingival plaque of a south indian population with periodontitis. j clin diagnostic res. 2012;6(4 suppl. 2):747–52. 9. alibasyah zm, ningsih ds, ananda sf. daya hambat minuman probiotik yoghurt susu sapi terhadap porphyromonas gingivalis secara in vitro. j syiah kuala dent soc. 2018;2(3):65–75. 10. nakayama k. porphyromonas gingivalis and related bacteria: from colonial pigmentation to the type ix secretion system and gliding motility. j periodontal res. 2015;50(1):1–8. https://doi.org/10.1111/jre.12255 11. hermanto nr, syaify a, sudibyo. pengaruh aplikasi gel aloe vera sebagai bahan tambahan scaling dan root planing terhadap penyembuhan jaringan periodontal pada perawatan periodontitis kronis. j kedokt gigi. 2015;6(3):307–14. 12. sapara tu, waworuntu o, juliatri. efektivitas antibakteri ekstrak daun pacar air (impatiens balsamina l.) terhadap pertumbuhan porphyromonas gingivalis. j pharmacon. 2016;5(4):10–7. https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.1 4161 13. taufiq. aktifitas efek antimikroba ekstrak etanol daun bidara laut (ziziphus mauritiana lam.) terhadap pertumbuhancandida albicans dan escherichia coli. j kesehat. 2018;3(1):1–8. 14. yahia y, benabderrahim ma, tlili n, bagues m, nagaz k. bioactive compounds, antioxidant and antimicrobial activities of extracts from different plant parts of two ziziphus mill. species. plos one j. https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2016.11.012 https://doi.org/10.1016/j.jtumed.2016.11.012 https://doi.org/10.18196/di.8103 https://doi.org/10.1111/jre.12255 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.14161 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.14161 69 noor aziza, islamy rahma hutami, recita indraswary, suryono | antibacterial effects of ethanolic extract of bidara (ziziphus mauritiana lam) leaf against porphyromonas gingivalis 2020;15(5):1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0 232599 15. siregar m. berbagai manfaat daun bidara (ziziphus mauritiana lamk) bagi kesehatan di indonesia. j pandu husada. 2020;2(1):75–81. https://doi.org/10.30596/jph.v1i2.4415 16. vifta rl, p maw, hati ak. aktivitas antibakteri salep ekstrak etanol daun sirih hijau ( piper betlel .) terhadap infeksi bakteri staphylococcus aureus. j ilm farm. 2017;5(2):56–61. https://doi.org/10.26874/kjif.v5i2.117 17. chairunnisa s, wartini nm, suhendra l. pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap karakteristik ekstrak daun bidara (ziziphus mauritiana l.) sebagai sumber saponin. j rekayasa dan manaj agroindustri. 2019;7(4):551. https://doi.org/10.24843/jrma.2019. v07.i04.p07 18. ningrum wa, rahmatullah s. uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun bidara (ziziphus mauritiana lamm) dalam formulasi sediaan sabun cair sebagai antiseptik terhadap bakteri stapylococcus aureus atcc 25923. med sains junal ilm kefarmasian. 2020;5(1):89–98. https://doi.org/10.37874/ms.v5i1.161 19. paliling a, posangi j, anindita ps. uji daya hambat ekstrak bunga cengkeh (syzygium aromaticum) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis. j egigi. 2016;4(2). https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.1 4159 20. abdallah em, elsharkawy er, ed-dra a. biological activities of methanolic leaf extract of ziziphus mauritiana. j biosci biotechnol res commun. 2016;9(4):605–14. https://doi.org/10.21786/bbrc/9.4/6 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0232599 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0232599 https://doi.org/10.30596/jph.v1i2.4415 https://doi.org/10.26874/kjif.v5i2.117 https://doi.org/10.24843/jrma.2019.v07.i04.p07 https://doi.org/10.24843/jrma.2019.v07.i04.p07 https://doi.org/10.37874/ms.v5i1.161 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.14159 https://doi.org/10.35790/eg.4.2.2016.14159 https://doi.org/10.21786/bbrc/9.4/6 33 wilda hafny l., sanjarna r. s. ׀ hubungan status ekonomi dan pengetahuan masyarakat terhadap... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . hubungan status ekonomi dan pengetahuan masyarakat terhadap kanker rongga mulut di kotamadya medan 2014 treatment of relationship between economic status and public’s knowledge on oral cancer in medan 2014. wilda hafny lubis1, sanjarna r suppaya2 1 staf pengajar penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara 2 mahasiswa kepanirteraan klinik penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara abstrak kanker mulut, istilah untuk tumor ganas yang terjadi dalam rongga mulut. prevalensi kanker mulut sangat tinggi terutama di kalangan pria dan kanker mulut merupakan kanker ke delapan yang paling sering terjadi di seluruh dunia. beberapa kanker mulut mungkin asimtomatik atau mungkin mengalami gejala yang berbeda, sehingga ketidaktahuan tanda-tanda awal kanker mulut dapat menyebabkan kanker mulut diabaikan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap kanker mulut dan keadaan status ekonomi merupakan faktor penyebab tertundanya diagnosis dan pengobatan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara status ekonomi seperti pendapatan dan pendidikan dengan pengetahuan masyarakat terhadap kanker mulut. penelitian ini merupakan penelitian survei analitik yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross sectional. subjek penelitian adalah pengunjung rumah sakit columbia asia dan puskesmas pb selayang ii, pada januari dan febuari 2014. penentuan subjek dilakukan dengan accidental sampling terdiri dari 80 orang. pengumpulan data diperoleh dengan memberikan kuesioner kepada responden yang memenuhi kriteria inklusi. kuesioner digunakan untuk menilai tingkatan pendapatan, tingkatan pendidikan dan pengetahuan kanker mulut. hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara status ekonomi dengan pengetahuan yang mencakup penyebab, tanda – tanda dan pengelolaan kanker mulut. ketidakseimbangan status ekonomi dalam pertimbangan kesehatan mulut dapat didefinisikan sebagai perbedaan dalam prevalensi atau insidens masalah kesehatan gigi dan mulut antara masyarakat dengan status ekonomi tinggi dan status ekonomi rendah. status ekonomi mempengaruhi pengetahuan terhadap kanker mulut antara lain disebabkan masyarakat dengan status ekonomi tinggi memungkinkan mencari akses ke layanan kesehatan mulut yang baik dibandingkan masyarakat berstatus ekonomi rendah sehingga memungkinkan menerapkan perilaku kesehatan mulut yang tepat, mendapat diagnosis dan pengobatan kanker mulut yang cepat dan tepat. informasi hasil penelitian ini dapat digunakan oleh dinas kesehatan atau layanan kesehatan lainnya untuk membuat program sosialisasi kanker mulut yang dilakukan secara berkesinambungan dan dapat dijangkau oleh masyarakat seperti di puskesmas yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi kanker mulut. kata kunci: kanker mulut, pengetahuan, status ekonomi abstract oral cancer is the term for a malignant tumor that occurs in the oral cavity. the prevalence of oral cancer is particulary high among men, and it’s the eight most frequently occurring cancer throughout the world. some of oral cancer may be asymptomatic or may experience different symptoms , so knowing the early signs of mouth cancer can cause oral cancer ignore. lack of public knowledge against oral cancer and the state of the economic status a factor contributing to the delay in diagnosis and treatment.the purpose of this study was to determine whether there is a relationship between economic status such as income and education with public knowledge of oral cancer.this research is an analytic survey conducted using cross – sectional approach. this research was conducted in columbia asia hospital, medan polonia district and pb selayang ii health centre, medan selayang district from january to february 2014. 34 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . determination of the subject is done by accidental sampling consisted of 80 people. the data collection was obtained by questionnaire respondents who met the inclusion criteria . a questionnaire was used to assess the level of income , level of education and knowledge of oral cancer . data were analyzed with statistical test chi square . these results indicate there is a relationship between economic status with the knowledge that covers the causes, signs and management of oral cancer . the imbalance in the economic status of oral health considerations can be defined as the difference in the prevalence or incidence of dental and oral health problems among people with high economic status and low economic status . economic status influences knowledge of oral cancer is partly due to society with high economic status allows seeking access to good oral health services than people low economic status, making it possible to apply proper oral health behaviors , got the diagnosis and treatment of oral cancers, fast and precise. information on the results of this research can be used by the department of health or other health services/ puskesmas to make oral cancer socialization program on an ongoing basis and can be reached by the public such as in the health center which aims to reduce the prevalence of oral cancer . key words : oral cancer, knowledge, economic status pendahuluan kanker mulut adalah istilah untuk tumor ganas.1 prevalensi kanker mulut sangat tinggi terutama di kalangan pria, dan kanker mulut merupakan kanker ke delapan yang paling sering terjadi di seluruh dunia.2 di asia tenggara, yaitu di malaysia kanker mulut menempati urutan ketiga diantara masyarakat wanita india.3 peningkatan insiden kanker mulut/ faring telah dilaporkan pada beberapa negara.4 kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat merupakan faktor yang paling signifikan dalam tertundanya diagnosis dan pengobatan kanker mulut.5 beberapa kanker mulut mungkin asimtomatik atau mungkin mengalami gejala yang berbeda, sehingga ketidaktahuan tanda-tanda awal kanker mulut dapat menyebabkan kanker mulut diabaikan.6 kanker merupakan salah satu ancaman besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju maupun negara yang sedang berkembang dan pada negara maju kanker merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan kematian.7 menurut world health report (who) 2004 diperkirakan 7,1 juta kematian pada tahun 2003 akibat kanker dan jumlah keseluruhan kasus baru akan meningkat sebesar 50% dalam masa mendatang.7 faktor predisposisi untuk kanker mulut adalah ras, alcoholism, penggunaan tembakau, paan/ mengunyah sirih, ultra violet, kebersihan mulut yang buruk.8,9 setiap individu mungkin mengalami gejala yang berbeda dan penting untuk dapat mengenali tanda dan gejala karena diagnosis dini akan memberikan hasil perawatan yang lebih baik.10 lesi prakanker seperti leukoplakia, eritroplakia atau ulkus yang tidak sakit dan tidak sembuh mungkin merupakan tanda pertama dari kanker mulut, rasa nyeri terlokalisir biasanya terjadi kemudian.9 penelitian oleh national health interview surveys (nhis) tahun 1990 dan 1992 menunjukan bahwa orang dewasa di amerika serikat kurang mempunyai infor-masi tentang tanda dan faktor risiko kanker mulut. hanya 25% responden dengan benar mengidentifikasi tanda awal kanker mulut dan 44% menjawab bahwa mereka tidak tahu salah satu tanda kanker mulut.11 insidens kanker mulut di india terus meningkat karena meningkatnya konsumsi alkohol dan produk tembakau. sebanyak 69,8% kasus yang mengidentifikasi tembakau dan 37,8% yang mengidentifikasi alkohol sebagai faktor risiko untuk kanker mulut. hanya 20,2% yang mengidentifikasi lesi putih dan 18,1% yang mengidentifikasi lesi merah sebagai tanda-tanda awal kanker mulut. sedangkan responden yang lebih muda, usia 12 tahun yang bersekolah mempunyai lebih banyak pengetahuan terhadap faktor risiko kanker mulut.12 35 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . beberapa penelitian yang telah dilakukan diketahui kebanyakan masyarakat masih mempunyai pengetahuan yang kurang baik tentang kanker mulut berbanding terbalik dengan meningkatnya kasus-kasus kanker mulut di dunia. berdasarkan hal di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengetahuan masyarakat terhadap kanker mulut untuk melihat sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang kanker mulut di kota medan. penelitian ini dilakukan dengan membandingkan pengetahuan tentang kanker mulut pada masyarakat status ekonomi tinggi dan rendah. dari data yang diperoleh dari badan dan pusat statistik pemko medan, kecamatan medan polonia dipilih untuk mewakili status ekonomi tinggi sedangkan kecamatan medan selayang dipilih untuk mewakili status ekonomi rendah. bahan dan metode jenis penelitian survey analitik menggunakan pendekatan cross sectional digunakan untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel dependen yaitu status ekonomi dengan variabel independen yaitu pengetahuan kanker mulut. penelitian ini dilakukan di dua kecamatan yaitu di rumah sakit colum bia asia, kecamatan medan polonia dan puskesmas pb selayang ii, kecamatan medan selayang, kotamadya medan karena untuk melihat perbedaan pengetahuan terhadap kanker mulut dibutuhkan dua daerah dengan tingkat sosial ekonomi yang berbeda.penelitian ini telah mendapat izin dari health research ethical committee of north sumatera dengan no registrasi 24/komet/fk usu/2014. responden yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan mengenai penelitian dan diminta mengisi informed consent. pengumpulan data diperoleh dengan memberikan kuesioner untuk diisi oleh responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini. data yang terkumpul dianalisis dengan uji statistik chi square. hasil tabel 1 menunjukan persentase responden yang berpendapatan tinggi sebanyak 13 orang (16,3%) dapat mengidentifikasi 5 hingga 6 penyebab kanker mulut sedangkan sebanyak 13 orang (16,3%) yang berpendapatan rendah tidak dapat mengidentifikasi penyebab kanker mulut. hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan pengetahuan kanker mulut (p = 0,00). tabel 1. hasil uji statistik hubungan antara pendapatan dan pengetahuan terhadap penyebab kanker mulut * = singnifikan pendapatan penyebab total p 1-2 3-4 5-6 tidak tahu rendah 6 (7,5%) 4 (5%) 0 (0%) 13(16,3%) 23 0,00* menengah 8 (10%) 15(18,8%) 7 (8,8%) 7 (8,8%) 37 0,00* tinggi 0 0%) 7(8,8%) 13(16,3%) 0 (0%) 20 0,00* 36 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tabel 2. menunjukan persentase pengetahuan masyarakat mengenai tanda-tanda awal kanker mulut berdasarkan pendapatan. dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat yang berpendapatan tinggi sebanyak 18 orang (22,5%) dapat mengidentifikasi 3 hingga 4 tanda-tanda kanker mulut dengan benar sebaliknya, sebanyak 19 orang (23,8%) yang berpendapatan rendah tidak dapat mengidentifikasi tanda-tanda kanker mulut. hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan pengetahuan kanker mulut dimana (p= 0,00). tabel 3 menunjukan persentase masyarakat yang berpendapatan tinggi sebanyak 19 orang (23,8%) dapat mengidentifikasi 3 hingga 4 cara pengelolaan kanker mulut dengan benar sebaliknya, sebanyak 20 orang (25%) yang berpendapatan rendah tidak dapat mengidentifikasi cara pengelolaan kanker mulut. hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan pengetahuan kanker mulut dimana (p = 0,00). tabel 2. hasil uji statistik hubungan antara pendapatan dan pengetahuan terhadap tanda – tanda kanker mulut pendapatan tanda – tanda kanker mulut total p 01-feb 03-apr tidak tahu rendah 3 (3,8%) 1 (1,30%) 19 (23,8%) 23 0,00* menengah 3 (3,8%) 16 (20%) 18 (22,5%) 37 0,00* tinggi 0 (0%) 18 (22,5%) 2 (2,5%) 20 0,00* * = singnifikan tabel 3. hasil uji statistik hubungan antara pendapatan dan pengetahuan terhadap pen-gelolaan kanker mulut pendapatan pengelolaan total p 1 – 2 3 – 4 tidak tahu rendah 3(3,8%) 0(0%) 20(25%) 23 0,00* menengah 8(10%) 17(21,3%) 12(15%) 37 0,00* tinggi 1(1,3%) 19(23,8%) 0(0%) 20 0,00* * = singnifikan 37 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . pembahasan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengetahuan responden terhadap kanker mulut dan apakah status ekonomi mempengaruhi pengetahuan. penelitian ini mengutamakan pengetahuan responden yang terdiri dari pengetahuan secara dasar atau umum terhadap kanker mulut yang meliputi pengetahuan tentang penyebab, tanda-tanda serta terapi atau pengobatan kanker mulut. penelitian ini menunjukan bahwa 50% responden dari kecamatan medan selayang tidak dapat megidentifikasi penyebab kanker mulut. hanya 15% yang dapat mengidentifikasi 3 hingga 4 penyebab kanker mulut. sebaliknya, responden dari kecamatan medan polonia dapat mengidentifikasi penyebab kanker mulut dengan 50% yang menjawab 3 hingga 4 penyebab benar dan 50% lagi yang menjawab 5 hingga 6 penyebab kanker mulut yang benar. chukwu menyatakan penelitian yang dilakukan oleh patton di north carolina memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko kanker mulut. sebanyak 3% yang mengidentifikasi 0 hingga 1 faktor resiko benar, 41% yang mengidentifikasi 2 hingga 3 faktor resiko benar dan 56% yang bisa mengidentifikasi 5 hingga 6 faktor resiko yang benar.13 penelitian ini juga menemukan bahwa pengetahuan faktor resiko yang lebih tinggi secara signifikan berhubungan dengan tingkat pendidikan dan sifat ingin tahu masyarakat tentang kanker mulut serta yang mengetahui satu atau lebih tanda-tanda kanker mulut.13 selain itu, dalam penelitian yang dilakukan di chandigarh, india, secara keseluruhan sebanyak 74,7% responden dapat menghubungkan merokok sebagai penyebab kanker mulut dan faktor lain yang diidentifikasi adalah alkohol dengan persentase sebanyak 60% dan diet dengan persentase sebanyak 22,7% sebagai penyebab kanker. didapati kesadaran masyarakat lebih tinggi di daerah sosial ekonomi tinggi dibanding yang sosial ekonomi rendah.14 pada masa ini, kanker mulut semakin sering dan penting bagi masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda awal dari kanker mulut untuk menghindari terlambatnya deteksi dan pengobatan. sebanyak 82,5% responden dari kecamatan medan selayang tidak tahu tanda dari kanker mulut sebaliknya 85% responden dari kecamatan medan polonia dapat mengidentifikasi 3 hingga 4 tanda-tanda kanker mulut hanya 15% saja yang menjawab tidak tahu. kurang dari 50% orang dewasa yang berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan di northeast india tidak dapat mengidentifikasi luka yang tidak sembuh, bercak putih atau merah sebagai tanda-tanda awal kanker mulut. pengamatan ini sesuai dengan laporan lain yang juga melaporkan persentase yang lebih rendah tentang kesadaran masyarakat terhadap tanda-tanda kanker mulut.15 kesimpulan dari penelitian di islamabad, pakistan menunjukan bahwa 48% dari pasien tahu tentang tanda dan gejala kanker mulut. penelitian lain menyatakan, west et al 2011 menyatakan bahwa bercak merah diketahui (1 dari 4 pasien) dan bercak putih (1 dari 3 pasien) menunjukan tandatanda dari kanker mulut. sedangkan 50% dari pasien menurut tomar tidak tahu tentang adanya lesi merah dan putih di mulut mereka merupakan tanda kanker mulut dan 44,9% dari total populasi di sri lanka sadar tentang lesi prakanker merah dan putih di mulut.15 dari penelitian yang dilakukan di india dan pakistan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat dari status ekonomi tinggi lebih menyadari semua gejala dan memiliki pengetahuan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat status ekonomi rendah, yang mungkin disebabkan karena akses mereka ke perawatan kesehatan yang lebih baik dan pendidikan yang lebih baik.15,16 di india, hasil penelitian yang dilakukan untuk melihat perbandingan tahap pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan kanker mulut antara berstatus ekonomi tinggi dan rendah didapati masyarakat yang 38 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . berstatus ekonomi tinggi lebih berpengetahuan daripada yang rendah yaitu, dengan persentase sebanyak 90,4% dari masyarakat dengan status ekonomi rendah yang menjawab tidak tahu mengenai perawatan kanker mulut sebaliknya, hanya 17,3% dari yang status ekonomi tinggi yang tidak tahu perawatan kanker mulut.15 hasil yang sama didapati pada penelitian ini dengan sebagian besar responden dari kecamatan medan selayang yang tidak tahu mengenai pengelolaan kanker mulut sebanyak, 77,5% dan hanya 2,5% dari kecamatan medan polonia yang menjawab tidak tahu. ketidakseimbangan status ekonomi dalam pertimbangan kesehatan mulut dapat didefinisikan sebagai perbedaan dalam prevalensi atau insidens masalah kesehatan gigi dan mulut antara masyarakat dengan status ekonomi tinggi dan status ekonomi rendah. status ekonomi mempengaruhi pengetahuan terhadap kanker mulut. ini disebabkan, masyarakat dengan status ekonomi tinggi berpendapatan lebih tinggi dibandingkan masyarakat berstatus ekonomi rendah sehingga memungkinkan akses ke layanan kesehatan mulut yang baik. hal ini dapat menerapkan perilaku kesehatan mulut yang tepat. penelitian terbaru menunjukan bahwa individu berpendapatan rendah 5 kali lebih mungkin memiliki kesehatan mulut yang buruk dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan tinggi. indikator lain bagi status ekonomi adalah tingkat pendidikan, dari penelitian ini dapat dilihat yang berpendidikan tinggi mayoritas adalah dari kecamatan medan polonia dan mereka yang dapat menjawab dengan benar mengenai kanker mulut. hal ini karena, ada hubungan proporsionalitas langsung antara tingkat pendidikan dan kesehatan mulut yang berhubungan dengan kualitas hidup. tingkat pendidikan yang tinggi menawarkan kemungkinan untuk mendapatkan dan memahami informasi mengenai perilaku kesehatan mulut dan promosi kesehatan gigi dan mulut. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang kanker mulut berdasarkan status ekonomi adalah berbeda antara yang berstatus ekonomi tinggi dan rendah. dari penelitian dapat dilihat pengetahuan masyarakat dari kecamatan medan polonia lebih tinggi berbanding medan selayang, hal ini karena mereka mempunyai pendidikan yang lebih tinggi yang memungkinkan mereka untuk lebih memahami dan keinginan untuk mengetahui mengenai sesuatu hal serta pendapatan yang tinggi mengizinkan mereka mempunyai akses ke perawatan kesehatan yang relatif lebih baik dan mutakhir. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi dan pengetahuan masyarakat terhadap kanker mulut. daftar pustaka 1. burket lw., castigliano g.. oral medicine diagnosis and treatment. philadelphia: j.b lippincott. p 493, 1961 2. atessa p., farnaz f., habib oe, et al. oral cancer knowledge among patients referred to mashad dental school, iran. arch iranian med 2013; 13: pp 543-48. 3. malaysia national cancer registry (mncr). cancer statistics. ministry of health malaysia 4. peterson pe. strengthening the prevention of oral cancer: the who perspective. community dent oral epidemiology 2005; 33: 397-9. 5. mc leod nm., saeed nr., ali ea.oral cancer: delay in referral and diagnosis persist. br dent j 2005; 198: 681-84. 6. hallows p., mcandrews pg, perini mg. delays in referral and treatmentof oral squamous cell carcinoma. british dental j 2000; 188: 262-265. 7. stewart bw., kleihues p.. world cancer report. lyon: who international agency for research 8. cawson ra., binnie wh., barrett aw., wright jm.. oral disease: oral epithelial tumor.pp 15.7-15.9, 2001 39 insisiva dental journal, vol. 5 no. 1 bulan mei tahun 2016 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9. farhat k., muhammad ac, muhammad m., muhammad ud., nida k. oral cancer knowledge and awareness amongs undergraduate students lahore-pakistan. pakistan oral & dental journal 2011; 31: 64-7. 10. world health assembly cancer prevention and control., resolution 58.22. geneva. world health organization, 2005 motallebnejad mm, khanian m, alizadeh r, dabbaghian. community survey knowledge about oral cancer in babol: effect of an education intervention. eastern mediterranean health journal 2009; 15: 148995. 11. motallebnejad mm., khanian m., alizadeh r,. dabbaghian. community survey knowledge about oral cancer in babol: effect of an education intervention. eastern mediterranean health journal 2009; 15: 1489-95. 12. devadiga a., prasad kv.. knowledge about oral cancer in adults attending a dental hospital in india. http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/21338205 [diakses april 23. 2013] 13. chukwu s.. knowledge of risk factors fororal cancer among adults iowans, http://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent,cgi/art icle==4588&context=etd [diakses maret 6.2014] 14. puri s., mangat c.,bhatia v., kaur ap., kohli dr..knowledge of cancer and itsrisk factor in chadigarh, india. http://isub.com/ije/8/1/4333 [diakses ma ret 6, 2014] 15. yamsani a., prashanth ks., kasala er., kataki r., bezbaruaeh b.. oral cancer awareness and knowledge in adults attending a dental hospital in northeast india. http://www.apollomedicaljournal.net/artic le/s0976-0016(14)00005-2/abstract [diakses maret 7, 2014] 16. shakoor a., rasheed k., khan yh.. awareness and knowledge about oral cancer in adult patients visiting islamic international dental hospital, islamabad, pakistan. http://www.podj.com.pk/maret_2014/po dj-25.pdf [diakses maret v7, 2014] http://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent,cgi/article==4588&context=etd http://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent,cgi/article==4588&context=etd http://isub.com/ije/8/1/4333%20%5bdiakses%20ma-%20ret%206 http://isub.com/ije/8/1/4333%20%5bdiakses%20ma-%20ret%206 http://www.apollomedicaljournal.net/article/s0976-0016(14)00005-2/abstract http://www.apollomedicaljournal.net/article/s0976-0016(14)00005-2/abstract http://www.podj.com.pk/maret_2014/podj-25.pdf%20%5bdiakses%20maret%20v7 http://www.podj.com.pk/maret_2014/podj-25.pdf%20%5bdiakses%20maret%20v7 30 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin diglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) berbagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococcus faecalis) differences of antibacterial power between chlorhexidine digluconate 2% and various concentrations of guava leaves ethanol extract (psidium guajava linn) (observation to enterococcus faecalis) erma sofiani1, dhita ardian mareta2 1 dosen pembimbing program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta 2 mahasiswa program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta korespondensi: e_sofiani@yahoo.com abstrak latar belakang: enterococcus faecalis merupakan bakteri patogen penyebab kegagalan paska perawatan saluran akar karena memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan mentoleransi secara ekologis pada kondisi perawatan saluran akar yang gagal. pemberantasan enterococcus faecalis dari saluran akar dapat dilakukan salah satunya dengan penggunaan bahan irigasi. salah satu bahan irigasi yaitu klorheksidin diglukonat 2% yang efektif melawan enterococci dan jamur, namun tidak dapat melarutkan jaringan. klorheksidin diglukonat 2% dapat menimbulkan reaksi alergi apabila digunakan secara berulang dalam jangka waktu yang lama. bahan alternatif irigasi lain untuk menghindari reaksi alergi tersebut yaitu ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. adanya kandungan tanin di dalam daun jambu biji (psidium guajava linn) dapat menghambat pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis. tujuan penelitian: untuk mengetahui perbedaan keefektivitasan daya antibakteri antara klorheksidin diglukonat 2% dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn). desain penelitian: eksperimental laboratories in vitro dengan metode difusi sumuran agar pada media tsa. media tsa di olesi enterococcus faecalis kemudian ditetesi larutan uji khorheksidin diglukonat 2%, aquabides steril dan ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. perhitungan daya antibakteri dengan mengukur zona radikal menggunakan slidding caliper. data dianalisis menggunakan uji one way anova dilanjutkan dengan uji lsd. hasil penelitian: klorheksidin diglukonat 2% memiliki daya antibakteri yang lebih tinggi terhadap enterococcus faecalis dibandingkan dengan ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. konsentrasi ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) sebesar 60% memiliki daya antibakteri paling tinggi dibandingkan konsentrasi lain sehingga dapat digunakan sebagai bahan alternatif irigasi saluran akar. kata kunci: enterococcus faecalis, klorheksidin diglukonat 2%, ekstrak daun jambu biji( psidium guajava linn). abstract introduction : enterococcus faecalis is a bacterial pathogen that caused failure in post of root canal treatment, because has an ability to adapt and tolerate ecologically due to condition of failure root canal treatment. one eradication of enterococcus faecalis from root canal can be done by the use of irrigation solution. one of irrigation solution is chlorhexidine digluconat 2% which effective against enterococci and fungi, but cannot dissolving a tissue. chlorhexidine digluconate 2% can cause allergic reaction if use repeatedly in the long term. another alternative of irrigation solution to avoid the allergic reaction is guava leaves extract that can function as an anti31 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 bacterial. one of the content in the leaves of guava is tanin that can be use to inhibit the growth of enterococcus faecalis bacteria. the research objective: to know the difference of the effectiveness of antibacterial power between clorhexidine digluconate 2% with the various extract of guava leaves (psidium guajava linn). methods: experimental laboratories design by in vitro using broth dilution method with agar dilution in tsa media. tsa media oiled enterococcus faecalis then spilled with chlorhexidine digluconate 2% test solution , sterile aquabides and guava leaves extract with consentration 20%, 40%, 60% and 80%. antibacterial strength count by measuring radical zone using slidding caliper. data were analized using one way anova and then using lsd test. result: chlorhexidine digluconate 2% has higher antibacterial power against enterococcus faecalis than extract of guava leaves with concentration 20%, 40%, 60% and 80%. the concentration of extract of guava leaves (psidium guajava linn) is 60% which has the highest power of antibacterial than another concentration, so that can be used as an alternative irrigation solution in root canal. key words : enterococcus faecalis, chlorhexidine digluconat 2%, guava leaves extract ( psidium guajava linn). pendahuluan salah satu tahapan preparasi biomekanis dalam perawatan saluran akar adalah irigasi saluran akar, yang bertujuan mengeliminasi bakteri dalam saluran akar. irigasi saluran akar merupakan pembersihan badan kavitas gigi dengan air atau cairan medikamen menggunakan alat instrumental. irigasi saluran akar memiliki dua tujuan, mekanis dan biologis. tujuan secara mekanis untuk menghilangkan debris, melubrikasi saluran akar dan menghilangkan jaringan organik serta anorganik sedangkan tujuan biologis adalah sebagai antimikrobial¹. enterococcus faecalis termasuk golongan bakteri kokus anaerob fakultatif gram positif². bakteri enterococcus faecalis merupakan salah satu jenis bakteri yang termasuk dalam infeksi endodontik dan sering diisolasi dari perawatan saluran akar yang gagal. bakteri ini dapat bertahan hidup dalam berbagai lingkungan termasuk ph alkali yang ekstrim. enterococcus faecalis memiliki sifat patogen oportunistik yang berhubungan dengan infeksi mulut dan dapat menyebabkan periodontitis marginal, infeksi saluran akar dan abses periradikular3. enterococcus faecalis dapat tumbuh dan memanfaatkan sumber-sumber lokal energi dan nutrisi meskipun apikal saluran akar telah tertutup dengan baik4. klorheksidin diglukonat2% adalah bahan irigasi saluran akar berspektrum luas dan rendah toksik serta dapat digunakan sebagai medikamen intrakanal. klorheksidin diglukonat dapat menghambat aktivitas antimikroba setelah berkontak cukup lama pada permukaan dentin dalam saluran akar5. pelepasan klorheksidin diglukonat 2% secara bertahap, dapat mempertahankan kadar molekul yang tetap agar tercipta keadaan bakteriostatik di dalam saluran akar selama periode waktu yang lama dengan kisaran ph 5,57,0. klorheksidin diglukonat 2% dapat menyerap ke jaringan gigi secara bertahap dan berlangsung lama dengan ikatan hidroksiapatit (substantivitas) di dalam saluran akar hinggga 12 minggu6. klorheksidin diglukonat 2% dapat diindikasikan ketika seorang pasien alergi terhadap naocl atau untuk membunuh bakteri tertentu rentan terhadap terhadap naocl. klorheksidin diglukonat 2% memiliki efek antimikroba terhadap bakteri staphylococcus aureus, enterococcus faecalis, pseudomonas aeruginosa, bacillus subtilis dan candida albica7. klorheksidin diglukonat 2% dapat menimbulkan reaksi alergi apabila 32 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis digunakan secara berulang dalam jangka waktu yang lama, meskipun jarang menimbulkan respon sensitivitas pada pengaplikasiannya. klorheksidin diglukonat 2% tidak dapat melarutkan jaringan organik8. daun jambu biji mempunyai kemampuan untuk melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. daun jambu biji dapat dijadikan sebagai obat altenatif karena mengandung berbagai macam zat yang dapat berfungsi sebagai penghambat berbagai jenis penyakit, di antaranyajenis flavonoid, tanin, minyak atsiri dan saponin9. bahan dan cara penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratories in vitro daun jambu biji (psidium guajava linn) terhadap enterococcus faecalis. setiap kelompok sampel klorheksidin diglukonat 2% (kontrol positif), aquabides steril (kontrol negatif), daun jambu biji (psidium guajava linn) konsentrasi 20%, 40, 60% dan 80% masingmasing mendapat 10 perlakuan pengulangan. dalam 1 cawan petri terdapat 4 sumuran, cawan petri yang digunakan sebanyak 15 buah. kriteria inklusi daun jambu biji daging putih dari satu pohon, dipilih daun yang masih hijau, segar dan tidak terkena hama. variabel pengaruh adalah klorheksidin diglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% ; sedangkan variable terpengaruh zona radikal terhadap bakteri enterococcus faecalis pada media tsa (trytone soya agar) setelah pemberian larutan klorheksidin diglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%.variabel tak terkendali yakni kontaminasi suhu saat pengambilan bakteri enterococcus faecalis pada gigi yang mengalami nekrosis pasien. variabel terkendali yaitu bakteri enterococcus faecalis, konsentrasi bakteri enterococcus faecalis sesuai standart brown iii 108 cfu/ml, suhu inkubator 37°c, lama pengeraman dalam inkubator (48 jam), kedalaman pada cawan petri 4 mm, diameter lubang sumuran 6 mm, anaerobic jar, media brain heart infusion (bhi) sebagai media pembiakan bakteri dengan ph variabel terkendali yaitu bakteri enterococcus faecalis, konsentrasi bakteri enterococcus faecalis sesuai standart brown iii 108 cfu/ml, suhu inkubator 37°c, lama pengeraman dalam inkubator (48 jam), kedalaman pada cawan petri yaitu 4 mm, diameter lubang sumuran 6 mm, anaerobic jar, media brain heart infusion (bhi) sebagai media pembiakan bakteri dengan ph 7,4, media tsa (tryptone soya agar), volume ekstrak daun jambu biji (psidium gujava linn) yang dimasukkan ke dalam sumuran adalah 50 µl, volume larutan uji 5 ml secara keseluruhan, volume larutan pada setiap sumuran 50 µl, metode uji kepekaan menggunakan metode difusi sumuran. bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah bakteri enterococcus faecalis yang di dapat dari gigi yang mengalami nekrosis, ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%, larutan klorheksidin diglukonat 2% sebagai kontrol positif, aquabides steril sebagai kontrol negatif, larutan etanol 70%, media tsa (tryptone soya agar), media cair brain heart difussion (bhi). 33 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 alat yang digunakan yaitu autoklaf merek all american, lampu spiritus, almari pengering, alat penyerbuk, tabung erlemeyer, corong bucher, vacum rotary evaporation, waterbath, neraca timbangan, inkubator merek memmert, oven merek memmert, anaerobic jar, cawan petri, ose steril, mikropipet, tabung reaksi dan rak tabung reaksi, kapas lidi steril, pipet sebagai alat pelubang, jangka sorong (sliding caliper) dengan ketelitian 0,005 mm, sarung tangan dan masker steril, stirer magnetic, dan pipet ukur. penelitian ini dilakukan di lembaga penelitian dan pengujian terpadu (lppt) laboratorium farmasi dan farmakologi klinik fakultas farmasi universitas gadjah mada dan laboratorium mikrobiologi universitas muhammadiyah yogyakarta. pelaksanaan penelitian pada bulan agustus hingga september 2012. pelaksanaannya diawali dengan pembuatan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) yang dilakukan di lppt ugm. langkahlangkahnya adalah sebagai berikut: pertama daun jambu biji dengan berat sekitar 3 kg dicuci dengan air mengalir, kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam almari pengering dengan suhu 45ºc selama 48 jam kemudian diserbuk menggunakan mesin penyerbuk dengan saringan diameter lubang saringan 1 mm sehingga beratnya menjadi 439,23 gram. berat serbuk daun jambu biji yang digunakan hanya 193,570 gram dan sisanya disimpan. serbuk daun jambu biji diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 70% (2000 ml) sebagai pelarut kemudian dilakukan pengadukan kontinyu selama 30 menit menggunakan stirer magnetic pada suhu ruang, kemudian didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang dan disaring. setelah 24 jam barulah diaduk kembali dan didiamkan selama 24 jam lagi dan setelah itu disaring. pengadukan sampai pendiaman dan penyaringan larutan diulangi sekali lagi agar zat aktif dapat tersari dengan baik lagi oleh etanol. larutan ini kemudian difiltrasi menggunakan corong buchner untuk memisahkan filtrat dengan residu. fitrat kemudian dievaporasi menggunakan vacum rotary evaporator untuk menguapkan etanol pada suhu 70ºc selama 1 jam, sehingga didapat larutan yang lebih kental (ekstrak kental). ekstrak kental kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin menggunakan waterbath sisa pelarut dalam ekstrak kental dan diuapkan pada suhu 50ºc sehingga didapatkan ekstrak daun jambu biji sebanyak 43,950 gram. sebanyak 100 gram dari ekstrak daun jambu biji kental diambil dan diencerkan dengan aquabides steril sampai volume 100 ml sehingga didapatkan ekstrak daun jambu biji 100% sebagai larutan induk. selanjutnya untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan sebagai bahan penelitian, larutan induk ekstrak daun jambu biji tersebut diencerkan dengan aquabides steril. dalam membuat ekstrak daun jambu biji konsentrasi 20% yaitu dengan cara mengambil larutan induk sebanyak 200 mg kemudian dilarutkan dengan aquabides steril sampai volume 1 ml divortex hingga homogen. ekstrak dengan konsentrasi 40% dilakukan dengan mengambil larutan induk sebanyak 400 gram lalu dilarutkan dengan aquabides steril sampai volume 1 ml divortex hingga homogen. ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 60%, melarutkan larutan induk 600 gram dengan aquabides steril sampai volume 1 ml divortex hingga homogen. ekstrak 80% dibutuhkan 800 gram larutan induk 34 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis kemudian dilarutkan dengan aquabides steril volume 1 ml divortex hingga homogen. ekstrak disimpan pada botol gelap pada tempat teduh terlindung dari cahaya matahari secara langsung agar ekstrak dapat bertahan lama. bakteri enterococcus faecalis diperoleh dari pengambilan spesimen bakteri saluran akar pada gigi pasien yang mengalami nekrosis pulpa yang telah dilakukan pembukaan orifis kemudian kuret dengan paper point dan segera masukkan ke dalam apendot yang berisi nacl lalu ditutup rapat. apendot tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air es kemudian dikirim ke laboratorium mikrobiologi ugm. bakteri dimasukkan ke dalam anaerobic jar diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°c setelah itu dipindahkan ke media agar darah dan diinkubasi selama 48jam pada suhu 37°c kemudian dilakukan identifikasi bakteri enterococcus faecalis dengan pengecatan gram dan diperiksa dibawah mikroskop setelah bakteri enterococcus faecalis ditemukan, ditanam pada agar darah untuk mendapatkan biakan murni di dalam anaerobic jar. pembuatan suspensi bakteri enterococcus faecalis. suspensi dibuat dengan mengambil beberapa ose yaitu 3-5 bakteri enterococcus faecalis dengan menggunakan ose steril dan dimasukkan ke dalam 1 ml nacl kemudian dikocok sampai homogen dan diinkubasi selama 3-5 jam pada suhu 37ºc. setelah diinkubasi, larutan nacl yang telah dicampur dengan bakteri dimasukkan ke dalam 9 ml media cair bhi (brain heart infusion) pada tabung reaksi sehingga sesuai dengan standar kosentrasi 108 cfu/ml. pada suspensi bakteri dicelupkan kapas lidi steril kemudian kapas tersebut ditekan pada dinding tabung agar tidak terlalu basah dan dioleskan pada permukaan media tsa pada 15 cawan petri telah tersedia secara merata. setelah media tsa diolesi bakteri, 5 cawan petri masingmasing dilubangi menjadi 4 lubang sumuran menggunakan pipet pelubang dengan diameter 6 mm dan kedalaman 4 mm kemudian ditetesi klorheksidin diglukonat 2% dan aquabides steril. sepuluh cawan petri lainnya dilubangi menjadi 4 sumuran, dimana dalam satu cawan petri ditetesi ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) yang telah dibuat dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan klorheksidin digukonat 2% masing-masing diteteskan dengan mikropipet sebanyak 50 µl dan larutan aquabides steril dengan kontrol negatif. media yang ditetesi dengan larutan uji kemudian dimasukkan kedalam anaerobic jar dan diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37ºc agar terjadi pertumbuhan koloni. pengukuran zona radikal dilakukan apabila telah terbentuk zona radikal dari masing-masing larutan uji. hasil dibaca setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37º c dengan mengukur zona radikal yaitu daerah bening di sekeliling sumuran yang tidak terdapat koloni bakteri. analisa data yang digunakan adalah one way anova menunjukkan ada tidaknya perbedaan efektifitas daya antibakteri antara klorheksidin 2% dan ekstrak daun jambu biji konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 80% terhadap enterococcus faecalis, untuk itu diperlukan pengujian menggunakan uji multiple comparison lsd (least significant difference) agar dapat diketahui seberapa besar perbedaan efektifitas daya antibakteri dari setiap kelompok. hasil penelitian 35 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 hasil pengamatan yang telah didapat dengan mengukur zona radikal pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sebagai berikut : tabel 1. hasil pengukuran zona radikal tabel 1 dan grafik 1 antibakteri paling tinggi adalah klorheksidin diglukonat 2% dibandingkan dengan keempat konsentrasi cawan petri zona radikal (mm) jambu biji 20% jambu biji 40% jambu biji 60% jambu biji 80% klorheksidin diglukonat 2% aquabides 1 8,6 12,3 9,1 9,3 17,3 0 2 6,1 8,1 9,8 6,5 16,8 0 3 7,8 10,3 10,8 9,8 17,3 0 4 6,6 9 12 9 15 0 5 8,3 10,1 10,6 9 15 0 6 8,8 10 11,3 10,5 15,8 0 7 7,1 7,6 11 7,1 15,5 0 8 8,3 10,6 9,1 8,1 16 0 9 7,3 6,6 10,3 10,1 15,3 0 10 8,8 8,8 12,6 12,5 15,5 0 rata-rata 7,77 9,34 10,66 9,19 15,95 0 grafik 1. rata-rata daya antibakteri 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20% 40% 60% 80% chx 2% rata-rata 36 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn), hal ini terlihat dari rata-rata zona radikalnya sebesar 15,95 mm. selain itu, daya antibakteri terbesar terjadi pada konsentrasi ekstrak daun jambu biji 60% sebesar 10,66 mm dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak yang lainnya yan hanya sebesar 9,34 mm, 9,19 mm dan 7,77 mm. data berupa besar zona radikal di analisis menggunakan aplikasi statistik spss 15.0. uji distribusi data dilakukan menggunakan uji normalitas saphiro wilk karena sampel penelitian berjumlah 50 data. pada kolom saphiro-wilk tabel 2 menunjukkan sebaran data masing-masing konsentrasi adalah normal dengan nilai signifikansi p>0,05. perhitungan data dilanjutkan dengan uji homogenisitas levene test. tujuan homogenitas adalah untuk mengetahui apakah setiap kelompok mempunyai varians yang sama. uji ini diperlukan sebagai syarat agar pendistribusian data dapat dianalisis selanjutnya dengan uji parametrik. dari perhitungan ini didapatkan nilai signifikansi sebesar p= 0,292 seperti yang ditunjukkan pada tabel 3, hal ini menunjukkan p>0,05 yang berarti variansi data tiap kelompok adalah sama. pengujian distribusi dan variansi data didapatkan hasil normal dan variansinya sama, maka data dapat dilakukan pengujian berikutnya menggunakan uji analisis parametrik one way anova. berdasarkan tabel 4 diatas didapatkan nilai signifikansi p= 0,000 dimana nilai p< 0,05 yang berarti data tersebut terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara klorheksidin diglukonat 2% dengan ekstrak jambu biji 20%, 40%, 60% dan 80% terhadap bakteri enterococcus faecalis. pengujian dengan menggunakan one way anova hanya dapat menunjukkan ada tidaknya perbedaan efektifitas daya antibakteri antara klorheksidin 2% dan ekstrak daun jambu biji berbagai konsentrasi dengan enterococcus faecalis, untuk itu diperlukan pengujian menggunakan uji multiple comparison lsd (least significant difference) agar dapat diketahui seberapa besar perbedaan efektifitas daya antibakteri dari setiap kelompok seperti yang tampak pada tabel 5. tabel 2. uji normalitas zona radikal konsentrasi kolmogorov-smirnova shapiro-wilk statistic df sig. statistic df sig. zona radikal jambu biji 20% .211 10 .200* .914 10 .306 jambu biji 40% .155 10 .200* .981 10 .969 jambu biji 60% .113 10 .200* .963 10 .821 jambu biji 80% .156 10 .200* .972 10 .911 klorheksidin 2% .195 10 .200* .869 10 .098 zona radikal 37 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 tabel 3. uji homogenitas zona radikal tabel 4. uji analisis one way anova tabel 5. multiple comparison (lsd) perbedaan signifikan dapat dilihat bila nilai p< 0,05 pada nilai signifikansinya. dari tabel tersebutterlihat nilai p<0,05 yang berarti kelompok tersebut memiliki per-bedaan levene statistic df1 df2 sig. 1.281 4 45 .292 anova zona radikal sum of squares df mean square f sig. between groups 402.091 4 100.523 57.564 .000 within groups 78.583 45 1.746 total 480.674 49 (i) konsentrasi (j) konsentrasi mean difference (i-j) std. error sig. 95% confidence interval lower bound upper bound jambu biji 20% jambu biji 40% -1.5700* .5910 .011 -2.760 -.380 jambu biji 60% -2.8900* .5910 .000 -4.080 -1.700 jambu biji 80% -1.4200* .5910 .020 -2.610 -.230 klorheksidin 2% -8.1800* .5910 .000 -9.370 -6.990 jambu biji 40% jambu biji 20% 1.5700* .5910 .011 .380 2.760 jambu biji 60% -1.3200* .5910 .031 -2.510 -.130 jambu biji 80% .1500 .5910 .801 -1.040 1.340 klorheksidin 2% -6.6100* .5910 .000 -7.800 -5.420 jambu biji 60% jambu biji 20% 2.8900* .5910 .000 1.700 4.080 jambu biji 40% 1.3200* .5910 .031 .130 2.510 jambu biji 80% 1.4700* .5910 .017 .280 2.660 klorheksidin 2% -5.2900* .5910 .000 -6.480 -4.100 jambu biji 80% jambu biji 20% 1.4200* .5910 .020 .230 2.610 jambu biji 40% -.1500 .5910 .801 -1.340 1.040 jambu biji 60% -1.4700* .5910 .017 -2.660 -.280 klorheksidin 2% -6.7600* .5910 .000 -7.950 -5.570 klorheksidin 2% jambu biji 20% 8.1800* .5910 .000 6.990 9.370 jambu biji 40% 6.6100* .5910 .000 5.420 7.800 jambu biji 60% 5.2900* .5910 .000 4.100 6.480 jambu biji 80% 6.7600* .5910 .000 5.570 7.950 *. the mean difference is significant at the 0.05 level. 38 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis efektifitas yang bermakna sebagai antibakteri. berdasarkan uji lsd hanya ada satu kelompok saja yang memiliki perbedaan tidak signifikan yaitu kelompok uji ekstrak daun jambu biji 40% terhadap kelompok 80%, kelompok lainnya memiliki perbedaan yang signifikan. diskusi bakteri enterococcus faecalis merupakan bakteri fakultatif anaerob gram positif berbentuk kokus yang memiliki dinding sel dengan peptidoglikan tebal, namun apabila terjadi kerusakan maupun ada hambatan pada pembentukannya maka akan terjadi kematian sel tersebut10. enterococcus faecalis juga dapat dibunuh dengan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn). daun jambu biji mempunyai kemampuan untuk melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif9. dijelaskan pula dalam penelitian sanches, n.r et al. (2005) bahwa ekstrak daun jambu biji lebih aktif dalam membasmi bakteri gram positif dibanding gram negatif. ekstrak daun jambu biji dengan dosis etanol: air (70:30) dapat melawan bakteri enterococcusfaecalis11. ekstrak ethanol mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi terutama untuk melawan enterococcus faecalis12. pada penelitian ini dosis ethanol yang digunakan sama yakni 70%, peningkatan konsentrasi ekstrak jambu biji tidak berbanding lurus dengan besarnya zona radikal yang dihasilkan terhadap enterococcus faecalis terlihat pada konsentrasi 80% dimana zona radikalnya mengalami penurunan, hal ini kemungkinan disebabkan karena: 1) pekatnya konsentrasi tinggi (pada konsentrasi 80%) mempersulit cara untuk pengaplikasian ke dalam sumuran sehingga hanya sedikit saja ekstrak yang dapat membunuh enterococcus faecalis dan menghasilkan daya hambat yang dihasilkan relatif lebih rendah; 2) konsentrasi ekstrak daun jambu biji yang efektif untuk dapat membunuh enterococcus faecalis berada pada konsentrasi 60% sehingga peningkatan konsentrasi tidak memberikan efek yang berarti. 3) penurunan zona hambat diduga karena pola antibakteri yang time dependent killing, yaitu pola antibakteri yang akan menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap kuman apabila kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat minimal (kmh) kuman. kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan efektifitas obat untuk mematikan kuman13. kandungan zat flavonoid, tanin, minyak atsiri dan saponin dalam jambu biji berfungsi sebagai antibakteri9. flavonoid (quercetin) dalam daun jambu biji juga berperan sebagai antibakteri, bekerja dengan cara mendenaturasi protein bakteri, membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri dan merusak membran sel bakteri14. tanin merupakan senyawa ”growth inhibitor” yang menyebabkan banyak mikroorganisme dapat dihambat pertumbuhannya oleh tanin. enzim yang dikeluarkan oleh mikroba pada dasarnya adalah protein dan protein akan mengendap oleh tanin sehingga enzim tersebut tidak akan aktif15. kebanyakan minyak atsiri bersifat sebagai antibakteri dan antijamur yang kuat16. minyak atsiri dan etanol kemungkinan dalam menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri yaitu dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan/atau dinding sel, sehingga membran atau dinding sel tersebut tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna17. saponin mempunyai kemampuan sebagai antibakteri yaitu bekerja dengan cara mengganggu fungsi normal selaput sel, selaput sel terkonsentrasi pada selaput sel, sedangkan selaput sel merupakan bagian dari 39 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 sel bakteri yang halus dan penting10. berdasar penelitian sebelumnya16, ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) yang memiliki daya antibakteri terhadap enterococcus faecalis adalah konsentrasi 20% memiliki daya antibakteri terbesar diikuti dengan konsentrasi 10%, 5%, 2,5%, dan 1%. penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu konsentrasi 60% merupakan konsentrasi terbesar yang dapat membunuh enterococcus faecalis. pemilihan daun jambu biji daging buah putih yang berfungsi sebagai antibakteri, ekstrak etanol daun jambu biji daging buah putih mempunyai kemampuan hambat bakteri yang lebih besar daripada jambu biji daging buah merah19. cara kerja klorheksidin diglukonat 2% dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, menghambat aktivitas bakteri pada proses anaerobik dan juga tetap efektif membunuh bakteri dalam waktu 48 jam hingga 72 jam setelah perawatan menggunakan alat instrumental saluran akar dan memiliki efek substantivitas bertahan dalam saluran akar sampai 12 minggu sehingga dapat dibuktikan klorheksidin diglukonat 2% memiliki daya antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. konsentrasi ekstrak daun jambu biji 60% memiliki daya antibakteri lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi yang lainnya dimungkinkan konsentrasi efektif untuk membunuh enterococcus faecalis terletak pada konsentrasi tersebut. banyak faktor yang mempengaruhi jalan dan hasil pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan dalam penelitian. faktor yang mempengaruhi sifat/kadar bahan aktif pada tumbuhanantara lain adalah sebagai berikut: 1) faktor genetik (sifat bawaan dari induk tanamannya, seperti rasa, bau, komposisi kimiawi, nilai gizi dan termasuk kemampuan produksinya; 2) faktor lingkungan (faktor luar dari tanaman yang juga banyak berpengaruh terhadap sifat/kadar bahan aktif pada tumbuhan, seperti: sinar matahari, temperatur, musim, tempat/daerah pertumbuhan, zat makanan); 3) faktor tingkat kemasakan (pada jaringan tanaman, semakin tua semakin tinggi kandungan taninnya20. terjadinya penurunan kandungan tanin kemungkinan besar disebabkan karena adanya tanin yang terdegradasi atau tanin tidak mampu mengendapkan protein lagi. kehilangan kemampuan ini disebabkan terjadinya polimerasi maupun depolimerasi yang mengakibatkan kurang reaktifnya tanin, maupun terjadinya peristiwa oksidasi yang menghasilkan senyawa berwarna coklat dan tidak mampu lagi mengendapkan protein15. faktorfaktor tersebut menyebabkan ekstrak daun jambu biji memiliki daya antibakteri yang lebih rendah dibanding klorheksidin diglukonat 2%. ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 60% memiliki daya antibakteri yang paling tinggi dibandingkan konsentrasi lain, zona radikal yang dihasilkan mendekati rerata zona radikal klorheksidin diglukonat 2% sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar yang efektif. kesimpulan 1. terdapat perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin diglukonat 2% dengan berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun jambu biji (psidium guajava linn) terhadap enterococcus faecalis. 2. klorheksidin diglukonat 2% memiliki daya antibakteri tertinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol daun jambu biji 40 erma sofiani, dhita ardian mareta│perbedaan daya antibakteri antara klorheksidin digglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) bebagai konsentrasi (tinjauan terhadap enterococus faecalis (psidium guajava linn) dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. 3. ekstrak etanol daun jambu biji (psidium guajava linn) dengan konsentrasi 60% memiliki daya hambat paling tinggi dibanding dengan konsentrasi lainnya sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar. saran 1. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada klorheksidin diglukonat 2% dan ekstrak daun jambu biji (psidium guajava linn) dengan konsentrasi berbeda terhadap jenis bakteri lainnya. 2. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kandungan zat aktif dari ekstrak daun jambu biji yang dapat digunakan sebagai antibakteri (psidium guajava linn). 3. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari alternatif lain bahan irigasi yang efektif terhadap enterococcus faecalis yang mempunyai mempunyai daya antibakteri sama atau bahkan lebih efektif dibandingkan klorheksidin diglukonat 2% daftar pustaka 1. cohen, s. & burns, r.c. pathway of the pulp (10th ed.). st louis: mosby, 2010 2. fouad, a.s. endodontic microbilogy. usa: willey-blackwell, 2009 3. mulyawati, e. 2011. peran bahan disinfektan pada perawatan saluran akar. maj ked gi, 18(2): 205-209. 4. kayaoglu, o. & orstavik, d. 2004. virulence factors of enterococcus faecalis: relationship to endodontic disease. crit rev oral rev biol med, 15(5): 308-320. 5. basrani, b. & lemonie, c. 2005. chlorhexidine gluconate. aust.endod j, 31(2): 48-52. 6. roshental, s., spangberg, l., & safavi, k. 2004. chlorhexidine substantivity in root canal dentin. oral surg med oral pathol oral radiol endod , 98: 488-92. 7. estrela, c.r.a., pecora, j.d., sousaneto, m.d. 2003. antimicrobial effect of 2% sodium hypochlorite and 2% chlorhexidine tested by different method. braz. dent. j vol, 14(1) 8. mohammadi, z., & abott, p.v. 2009. the properties and applications of chlorhexidine in endodontic. j. endod, 42: 288-302. 9. dweeck, a.c. 2001. a review of guava (psidium guajava). (online). (http://www.dweckdata.com/published_ papers/psidium_guajava.pdf. diakses pada 10 april 2012). 10. jawetz, e., melnick, j.l., adeberg, e.a. mikrobiologi kedokteran. jakarta: egc, 1995 11. sanches, n.r., cortez, d.a.g., schiaviani, m.s., nakamura, c.v., fihlo, b.p.d. 2005. an evaluation of antibacterial activities of psidium guajava (l.) brazilian archieves of biology and technology, an international journal, 48(3): 429-436. 12. kamat, s., k. rajeev., saraf, p. 2011. role of herbs in endodotics: an update. review article endodontoloogy 13. setiabudy, rianto. farmakologi dan terapi edisi 5. jakarta: balai penerbit fkui, 2008 14. cowan, m. m. 1999. plant product as microbial agents. pubmed cuntraj journal list, clin microbial rev, 12(4): 564-582. 15. winano, f.g dan moehammad aman.. fisiologi lepas panen. bogor : sastra hudaya, 1981 16. agusta, a. minyak atsiri tumbuhan topik indonesia. bandung : itb, 2000 17. ajizah, a. 2004. sensitivitas salomonella typhimurium terhadap http://www.dweckdata.com/published_papers/psidium_guajava.pdf http://www.dweckdata.com/published_papers/psidium_guajava.pdf 41 idj, vol. 3 no. 1 bulan mei tahun 2014 ekstrak daun jambu biji (psidium guajaca l). bioscientiae, 1(1): 31-38. 18. prammulat, l. h. daya antibakteri ekstrak daun jambu (psidium guajava l) terhadap pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis sebagai alternatif bahan irigasi saluran akar gigi. karya tulis ilmiah. yogyakarta: universitas gadjah mada, 2010 19. adnyana, i. k., yulinah, e., sigit, j.i., fisheri, k.m., insanu, m. 2004. efek ekstrak daun jambu biji daging buah putih dan jambu biji daging merah sebagai antidiare. acta pharmaceutica indonesia, xxix(1) 20. kartasapoetra, a. g.. teknologi penanganan pasca panen. jakarta: rineka cipta, 1989 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 54-61 54 research article colour change of hot immersed polymerized acrylic resin steeped into roselle tea (hibiscus sabdariffa) and black tea (camellia sinensis) alfila dinanti nilasari1*, dewi kristiana1, achmad gunadi1, surartono dwiatmoko2 1department of prosthodontics, faculty of dentistry, universitas jember, jl. kalimantan no. 37 jember 6812, indonesia 2department of public dental health, faculty of dentistry, universitas jember, jl. kalimantan no. 37 jember 6812, indonesia received date: march 31st, 2022; revised date: september 3rd, 2022; accepted: september 6th, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.14382 abstract steeping rosella tea and black tea are effective as denture cleaning agents as they contain flavonoids that can inhibit the growth of c. albicans. flavonoids in the brewing of rosella tea and black tea are found in pigment compounds, so when the acrylic resin is soaked in the steeping of roselle tea and black tea, it can cause discoloration. this study aims to compare the color changes of acrylic resin soaked in roselle tea and black tea with the same treatment. a total of 18 samples of acrylic resin were divided into three groups; six samples immersed in 20% concentrated roselle tea, six samples immersed in 20% concentration of black tea, and six samples immersed in steeping mineral water for 22 hours 30 minutes at room temperature. the research results' data were analyzed using the one-way anova test. acrylic resin soaked in steeping roselle and black tea experienced a color change, and the largest color change occurred in acrylic resin soaked in black tea. the results showed that hot polymerized acrylic resin soaked in black tea had a greater color change than that of acrylic resin soaked in roselle tea. keywords: acrylic resin; color change; steeping black tea; steeping rosella tea introduction one of the keys to a successful denture treatment is denture hygiene. improperly hygienic dentures can cause denture stomatitis, candidiasis, inflammatory papillary hyperplasia, bad breath, and oral bone loss, so dentures should be cleaned regularly.1 maintaining the cleanliness of dentures can be done by using a denture cleanser or denture cleaning materials.2 denture cleaners are generally made of chemicals, such as peroxides. however, the use of chemicals as denture cleaners can cause side effects on dentures, such as the effect of bleaching.3,4 hence, many natural ingredients have now been developed that can be used as denture cleaners, such as roselle tea.5,6 * corresponding author, e-mail: alfiladinanti@gmail.com roselle tea is said to be effective as a denture-cleaning agent as it can inhibit the growth of c. albicans. the flavonoid content in roselle tea steeping with a concentration of 20% could denature protein and cause protein function failure of c. albicans colonies.6 the inhibition of steeping roselle tea with 20% concentration on the growth of c. albicans grown on agar media for 24 hours was 26.20 mm. the infusion of roselle tea with a concentration of 20% could inhibit the growth of c. albicans on acrylic resin.5 flavonoids are not only found in roselle tea but are also found in other teas, such as black tea. the flavonoids found in black tea are said to be effective as denture cleaners due to their ability to inhibit the growth of c. albicans. brewed black tea at a http://dx.doi.org/10.18196/di.v11i2.14382 alfila dinanti nilasari, dewi kristiana, achmad gunadi, surartono dwiatmoko | colour change of hot immersed polymerized acrylic resin steeped into roselle tea (hibiscus sabdariffa) and black tea (camellia sinensis) 55 concentration of 20% could inhibit the growth of c. albicans. the inhibition of steeping black tea with a concentration of 20% on c. albicans grown in a petri dish containing agar medium for 24-48 hours was 6.90±0.14 mm.7 acrylic resin soaked in steeping black tea with a concentration of 13.33% for 4 hours had an inhibitory effect on the growth of c. albicans.8 in addition, the higher concentrations of black tea infusions were more effective in inhibiting the growth of c. albicans and other microorganisms in the oral cavity.8 based on previous studies, roselle tea and black tea were considered effective as denture cleansers. however, the use of roselle tea and black tea as denture cleansers can trigger discoloration of the acrylic resin. the color change process can occur due to the process of diffusion of tea liquid into the acrylic resin, which can result in the movement of the tea pigment towards the acrylic resin chain.9,10 in addition, the acid content in steeping can also trigger a greater color change due to the ability of the acid to affect the acrylic resin chain bonds.11 the color change in acrylic resin soaked in roselle tea was explained in a study which explained that acrylic resin soaked in roselle tea with concentrations of 5%, 10%, and 20% for 1 week, 2 weeks, 3 weeks, and 4 weeks did not experience significant color changes.5 meanwhile, based on research, it was proven that acrylic resin soaked in steeping black tea with a concentration of 2% for 70 minutes, 5 hours, and 15 hours experienced a color change.12 however, it should be with higher levels of roselle tea flavonoids (44.856%/100 gr dry weight) when the acrylic resin is soaked in roselle tea brewing can cause a greater color change in acrylic resin compared to acrylic resin soaked in black tea steeping with lower flavonoid levels (15.1%/100 gr dry weight).13,14 based on the background above, this study aims to compare the color changes of hot polymerized acrylic resin immersed in steeping roselle tea and black tea with the same concentration and duration of immersion. materials and methods this research is an experimental laboratory study with a pre-test and posttest control group design. the research was conducted at the dental engineering laboratory, faculty of dentistry, the university of jember, and bio science laboratory, faculty of dentistry, university of jember. it was conducted from september to november 2020. the tools used in this study were a sounding device, a color assessment application (adobe capture), a hollow cylindrical mold with a diameter of 16mm and a height of 3 mm, gas and lpg stoves, light boxes and tripods, cuvettes, stainless steel pans, petridics, press beugel, trimming, and water bath. the materials used in this study were mineral water, aquades, sound material, could mold seal (cms), hard gypsum, ph paper, red wax, hot polymerized acrylic resin, black tea, and roselle tea.15,16 the research sample used acrylic resin plates, as many as 18 samples. the determination of the number of samples was based on the gay and diehl formula calculation. a total of 18 samples were divided into three treatment groups: six acrylic resin samples soaked in 20% roselle tea steeping, six acrylic resin samples soaked in 20% black tea steeping, and six samples of acrylic resin immersed in mineral water. the sample criteria used were acrylic plates made of hot polymerized acrylic resin, cylindrical acrylic plates with a diameter of 15 mm and a thickness of 2 mm, and an acrylic plate with a smooth, flat, and not cracked surface.17 the first step of the research was manufacturing acrylic resin plates with a diameter of 15 mm and a thickness of 2 mm. the acrylic resin used was a hot polymerized acrylic resin whose insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 54-61 56 polymerization process was carried out by immersion in hot water. the second step of the research was the brewing process of roselle tea and black tea, by brewing each type of tea as much as 20 grams of packaged tea bags into 100 ml of water. the third step was assessing the acrylic resin's color before immersion. the fourth step was soaking acrylic resin in roselle tea, black tea, and mineral water for 22 hours and 30 minutes. the fifth step was to assess the color of the acrylic resin after immersion and then calculate the value of the color change of the acrylic resin after immersion in roselle tea, black tea, and mineral water. finally, the last step was data analysis.15-19 the data from the immersion of the acrylic resin plate was analyzed using the shapiro-wilk normality test and the levene test for homogeneity. the results of the normally distributed data with homogeneous variance were then carried out with a oneway anova parametric test to determine if there was a difference in color change. result the research data were obtained by calculating the color change value of acrylic resin after immersion using the δe-cielab color change formula. the color value was known through identification using the adobe capture application with the cielab method. based on the cielab method, it was known that there are three color scales consisting of the l* axis, a* axis, and b* axis. the l* axis had a maximum value of 100, representing light, and a minimum value of 0, representing black. the positive a* value axis means red; if a* negative is green and the positive b* value axis is yellow, the negative b* value is blue20. furthermore, the data from the color change value is calculated on average to find out the average value of the change. the color of each treatment group can be seen in graph 1 and table 1. graph 1. graph of the average color change value of acrylic resin soaked in roselle tea, black tea, and mineral water 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 rosella tea black tea mineral water average color change value of acrylic resin average color change value of acrylic resin alfila dinanti nilasari, dewi kristiana, achmad gunadi, surartono dwiatmoko | colour change of hot immersed polymerized acrylic resin steeped into roselle tea (hibiscus sabdariffa) and black tea (camellia sinensis) 57 the graph of the average color change value of acrylic resin shows that the acrylic resin sample group immersed in black tea experienced the highest color change compared to other groups, with an average value of 3.208 with the brightest light compared to other groups and the most reddish color compared to other groups. meanwhile, the acrylic resin sample group soaked in roselle tea experienced a smaller color change than black tea brewed and larger than mineral water, with an average color change value of 3.122 with lighter light before immersion. however, it was the darkest one among other groups and had the highest yellow color compared to other groups. the last graph was a group of acrylic resin samples soaked in mineral water with an average color change value of 2.102 with a brighter and more yellowishred light than before immersion. the average color change value of acrylic resin soaked in mineral water was the group with the lowest color change value compared to other groups. an example of the results of the acrylic resin color assessment using the adobe capture application is shown in figure 1. the data from the research results were then tested for normality and homogeneity. this test aims to find out whether the data was normally distributed and to identify the homogeneity of the data. the test results showed that the data were normally distributed and had homogeneous variance, so a parametric test, namely one way anova, was used for statistical analysis of the data. the results of the oneway anova test showed that there were differences in color changes between groups of acrylic resin soaked in roselle tea, black tea, and mineral water. table 1. summary of one-way anova test results in acrylic resin color change number of samples color change rate standard deviation the significance value of oneway anova rosella tea 6 3.12250 .546269 0.005 black tea 6 3.20883 675570 mineral water 6 2.10267 .371827 total 18 2.81133 .727911 figure 1. l*a*b* value of acrylic resin before immersion in adobe capture application rosella tea black tea mineral water insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 54-61 58 discussion this study discusses the discoloration of acrylic resin soaked in steeping roselle tea and black tea at a concentration of 20%. researchers divided the samples into three treatment groups: a hot polymerized acrylic resin sample group soaked in 20% steeping roselle tea, a hot polymerized acrylic resin sample group soaked in 20% steeping black tea, and a hot polymerized acrylic resin sample group soaked in mineral water. the use of 20% concentration was sourced from previous research, which explained that roselle tea brewed with 20% concentration and black tea brewed with 20% concentration effectively inhibited the growth of c. albicans.6,7 immersion was carried out for 22 hours 30 minutes at room temperature, with a compilation time—of acrylic resin soaking 15 minutes daily for 90 days.6 fifteen minutes is the recommended time for immersing the denture in a cleaning solution, while 90 days is the recommended time for the recall of denture users.21,22 the first treatment group was a sample group steeped in rosella tea with an average color change value of 3.122. the average value showed if the sample immersed in the 20% roselle tea steeping experienced changes in color after immersion. color changes that occurred in acrylic resin soaked in roselle tea based on the classification of color changes according to the national bureau of standards (nbs) is included in the category of appreciable color change (a color change that is quite large in the process of occurrence) with a range of δe values from 3.0 to 6.0.23,24 the second treatment group was the sample group steeped in black tea with an average color change value of 3.208. the average value of color change in acrylic resin soaked in a 20% concentration of black tea was the highest change value compared to the other two groups. based on this average value, it can be seen if the sample soaked in steeping black tea changes color after immersion. color changes that occur in acrylic resin soaked in black tea based on the classification of color changes according to the national bureau of standards (nbs) are included in the category of appreciable color change (a color change that is quite large in the process of occurrence) with a range of δe values from 3.0 to 6.0.23,24 the third group, as the control group, is the sample group immersed in mineral water with an average color change value of 2.102. based on this average value, it can be seen if the sample immersed in mineral water changes color after immersion. the color changes in acrylic resins immersed in mineral water are based on the classification of color changes, according to the national bureau of standards (nbs). it is included in the category of noticeable color changes (color changes that need to be considered in the occurrence process) with a range of δe values from 1.5 to 3.0.23,24 the color changes in acrylic resin when immersed in roselle tea or steeping black tea occurred due to the movement of the steeping pigment towards the acrylic resin chain, absorbed through a diffusion mechanism. diffusion is moving a solution from a high concentration to a low concentration. when the tea brewing solution is absorbed into the acrylic resin, it can cause empty or porous cavities to appear in the acrylic resin. the appearance of this porous is due to the breaking of secondary bonds between acrylic resin chains with low bond strength.9,10 the process of breaking the acrylic resin chain when soaked in steeping tea can be caused by acidic flavonoids. the acidic solutions would interfere with the hydrolysis reaction between phenol and polymethyl methacrylate esters; thus, it would cause cavities or porosity in the acrylic resin.11 when the acrylic resin is immersed into the solution, the appearance of porosity in the acrylic resin will increase the intensity of the absorption of the liquid. if the adsorbed solution contains pigment, it will cause discoloration of the acrylic resin.11,25 alfila dinanti nilasari, dewi kristiana, achmad gunadi, surartono dwiatmoko | colour change of hot immersed polymerized acrylic resin steeped into roselle tea (hibiscus sabdariffa) and black tea (camellia sinensis) 59 the acrylic resin group soaked in mineral water as a control group also experienced a change in color value after 22 hours and 30 minutes at room temperature. the color changes can be caused by the process of fading the color of the acrylic resin plate. this process can occur due to the water absorption process, which causes the bonds between macromolecules to become weak, and a change in dimensions. the weakening of macromolecular bonds allows the release of pigment from the acrylic resin plate, thereby fading the color of the acrylic resin plate.26 the data obtained from the results of the next study were tested for normality and homogeneity to identify whether the data were normally distributed and the data's homogeneity. after testing, the results showed that the data were normally distributed and had homogeneous variance. therefore, further statistical analysis was carried out using a parametric test, oneway anova. the results of the one-way anova test showed differences in color changes between groups of acrylic resin soaked in roselle tea, black tea, and mineral water. the difference in color changes in each group could be influenced by differences in the ph level of the solution. the ph value of the mineral water used in this study ranged from 6.5-7, the average ph value of steeped roselle tea was 2.893.97, and the average ph value of black tea was 3.14-3.72.27-30 in addition, based on the results of the ph level test, it showed that the ph paper steeped in black tea had a redder color than the ph paper steeped in roselle tea (the redder the ph paper is, the more acidic the solution will be). the ph level of a solution could affect the color change in acrylic resin.11 the more acidic a solution is, the greater the effect on acrylic resin chain bonds will be. it occurs because it can cause resin chain bond degradation and porosity. the appearance of porosity in the acrylic resin can increase the intensity of steeping absorption into the acrylic resin so that more steeping pigments will be absorbed and move toward the acrylic resin chain. it also becomes the reason why the change in color of acrylic resin soaked in black tea has the greatest color change value compared to other groups.11 color changes in the acrylic resin can be caused by three aspects.31 the first thing is the contamination of materials during the manufacturing process. the second aspect is the ability to absorb (permeability) liquid in the material. the third aspect is the chemical reaction in the material and various processing techniques that result in empty voids or porosity on the surface to facilitate the accumulation of dirt and the habit of eating and drinking containing a lot of food and beverage dyes.31 in addition, the length of contact between acrylic resin and materials can also affect the discoloration process. acrylic resin would experience saturation continuously when it was saturated with liquid for 17 days.8 the presence of liquid absorbed into the acrylic resin will cause cavities, which can increase the absorption intensity.9,32 conclusion based on the results of the study, it can be concluded that the discoloration of the acrylic resin steeped in black tea was greater than that of the acrylic resin steeped in roselle tea references 1. ayu zp & hastoro p. daya antibakteri ekstrak jintan hitam dan daun sirih terhadap staphylococcus aureus pada plat gigi tiruan. insisiva dental journal. 2020;9(1):19-25. https://doi.org/10.18196/di.9113 2. padmanabhan tv & v rangarajan. 2nd ed textbook of prosthodontics. missouri: elsevier. 2017. p 216-223 3. plummer kd, arthur or, john ri. 6th ed textbook of complete dentures sixth ed. china: people’s medical publishing house-usa. 2009. p. 19-21 4. sari ki, warta d, tadeus a, jasrin, taufik s. kebersihan gigi tiruan pada lansia. jurnal material kedokteran https://doi.org/10.18196/di.9113 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 54-61 60 gigi. 2018;7(1): 1-11. https://doi.org/10.32793/jmkg.v7i1.274 5. irfany md, & damayanti i. stabilitas warna basis akrilik gigitiruan lepasan setelah pembersihan dengan ekstrak dan infusa bunga rosella. dentofasial. 2014;13(1): 38-42. https://doi.org/10.15562/jdmfs.v13i1.385 6. kusumanegara ks, setiawan as, rachmawati e. the difference of inhibitory zone between katuk leaf infusion and roselle petals towards oral candida albicans. padjajaran journal of dentistry. 2017;29(2):118-122. https://doi.org/10.24198/pjd.vol29no2. 13647 7. redjeki s. uji aktivitas antimikroba infusum teh hijau dan teh hitam (camellia sinensis (l.) kuntze terhadap escherichia coli dan candida albicans. jurnal kesehatan bakti tunas husada. 2014;11(1): 100-107. https://doi.org/10.36465/jkbth.v11i1.50 8. soebagio. candida albicans adherence on acrylic resin plates immersed in black tea steeping. dental journal. 2010;43(4): 201-204. https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v43.i 4.p201-204 9. anusavice, shen, rawls. 12th ed. philips' science of dental materials. missouri: elsevier.; 2012. p. 474-498 10. ayaz ea & ustun s. effect of staining and denture cleanser on color stability of differently polymerized denture base acrylic resins. nigerian journal of clinical practice 2020;23(3):304-309 11. togatorop r, jimmy fr, vonny nsw. pengaruh perendaman plat resin akrilik dalam larutan kopi dengan berbagai kekentalan terhadap perubahan volume larutan kopi. jurnal e-gigi. 2017;5(1):19-23. https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.1 4738 12. nindy dt. perbedaan perubahan warna resin akrilik heat cured dalam perendaman seduhan teh hijau (camellia sinensis) dan teh hitam (camellia sinensis). [skripsi]. fakultas kedokteran gigi universitas jember: jember. 2019 13. priska m, peni n, carvallo l, & ngapa yd. review: antosianin dan pemanfaatanya. cakra kimia indonesia. 2018;6(2): 79-97. 14. sudaryat y, kusmiyati m, pelagi cr, rustamsyah a, rohdiana d. aktivitas antioksidan seduhan sepuluh jenis mutu teh hitam, (camellia sinensis (l.) o. kuntze) indonesia. jurnal penelitian teh dan kina. 2015;18(2): 95-100. 15. fadriyati o, putri fi, surya ls. perbedaan kekasaran permukaan resin akrilik yang direndam dalam lauratn sodium hipoklorit dan ekstrak jamur endofit aspergillus sp (akar rhizophora mucronata). jurnal b-dent. 2018;5(2):153-161. https://doi.org/10.33854/jbd.v5i2.161 16. wirayuni ka. 2019. perendaman plat resin akrilik polimerisasi panas pada ekstrak bunga rosella (hibiscus sabdariffa l.) terhadap perubahan warna. interdental. 15(1): 21-24. https://doi.org/10.46862/interdental.v1 5i1.339 17. american dental association standard no. 17 denture base temporary relining resin. revides american national standard/ american dental association. 2014:1-7 18. awing mm & angela tk. 2013. stabilitas warna gigi basis gigi tiruan resin termoplastik nilon yang direndam dalam larutan pembersih gigi tiruan peroksida alkalin. dentofasial. 12(2):98-103. https://doi.org/10.15562/jdmfs.v12i2.3 59 19. ma’rifah, zuhaida. 2019. mengenal teh hijau. semarang: alprin 20. hunterlab. cie l*a*b* color scale. reston: hunter associates laboratory, inc. 2008 21. basker rm, davenport jc, thomason jm. prosthetic treatment of the edentulous patient. usa: willey blackwell.; 2011. p. 220-227 https://doi.org/10.32793/jmkg.v7i1.274 https://doi.org/10.15562/jdmfs.v13i1.385 https://doi.org/10.24198/pjd.vol29no2.13647 https://doi.org/10.24198/pjd.vol29no2.13647 https://doi.org/10.36465/jkbth.v11i1.50 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v43.i4.p201-204 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v43.i4.p201-204 https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.14738 https://doi.org/10.35790/eg.5.1.2017.14738 https://doi.org/10.33854/jbd.v5i2.161 https://doi.org/10.46862/interdental.v15i1.339 https://doi.org/10.46862/interdental.v15i1.339 https://doi.org/10.15562/jdmfs.v12i2.359 https://doi.org/10.15562/jdmfs.v12i2.359 alfila dinanti nilasari, dewi kristiana, achmad gunadi, surartono dwiatmoko | colour change of hot immersed polymerized acrylic resin steeped into roselle tea (hibiscus sabdariffa) and black tea (camellia sinensis) 61 22. lee hr, chiung-yu li, hsueh-wei chang, yi-hsin yang, ju-hui wu. effect of different denture cleaning methods to remove candida albicans from acrylic resin denture-based material. journal of dental science elsevier. 2011(30); 6:216-220. https://doi.org/10.1016/j.jds.2011.09.006 23. inami t, yasuhiro t, naomi m, masaru y, kazutaka k. color stability of laboratory glass fiber reinforced plastics for esthetic orthodontic wires. the korean journal of orthodontics. 2015; 45(3):130-135. https://doi.org/10.4041/kjod.2015.45.3.130 24. asal aa, maha mf, saeed ma. chromatic stability of light-activated resin and heat-cure acrylic resin submitted to accelerated aging. the saudi journal for dental research. 2015;27(6):41-47. https://doi.org/10.1016/j.sjdr.2014.06.003 25. pengasih d, debby s, bayu is. the immersion effect of mixture of small white ginger and garlic extract in color changes of acrylic plate. jurnal dentino. 2020;5(1):15-20. https://doi.org/10.20527/dentino.v5i1.8115 26. philips rw. 9th ed skinners science of dental materials 9 edition. philadelphia: w.b. saunders co. 1991. p. 53-55,183-188 27. aqua. memahami ph air minum yang baik; 2020. sehataqua.co.id 28. ipb pusat studi biofarmaka tropika lppm dan gugus ulung. 40 resep wedang rimpang dan bumbu dapur. jakarta: gramedia.; 2020. p. 85 29. lunkes lbf & hashizume ln. evaluation of the ph and titratable acidity of teas commercially available in brazil market. rgo. 2014;62(1):59-64. https://doi.org/10.1590/19818637201400010000092623 30. martinez df, vania uo, luis h, werner rc, korev s, michelle g, et al. physicochemical parameters, mineral composition, and nutraceutical properties of ready to drink flavoredcolored commercial teas. journal of chemistry. 2018;1-7. https://doi.org/10.1155/2018/2861541 31. cripsin bj & caputo aa colours stability of temporary restorative material. journal of prosthetics dental. 1979; 42(1):27-33. https://doi.org/10.1016/00223913(79)90326-3 32. zulkarnain m & angelyna p. the effect of immersed heat-cured acrylic resin denture base in clorhexidin and extract of rosella flower towards color stability. health science research atlantis press. 2017; 8:177-179 https://doi.org/10.1016/j.jds.2011.09.006 https://doi.org/10.4041/kjod.2015.45.3.130 https://doi.org/10.1016/j.sjdr.2014.06.003 https://doi.org/10.20527/dentino.v5i1.8115 sehataqua.co.id https://doi.org/10.1590/1981-8637201400010000092623 https://doi.org/10.1590/1981-8637201400010000092623 https://doi.org/10.1155/2018/2861541 https://doi.org/10.1016/0022-3913(79)90326-3 https://doi.org/10.1016/0022-3913(79)90326-3 10 fidya, bayu priyambadha│ dimorfisme seksual pada gigi kaninus menggunakan... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . dimorfisme seksual pada gigi kaninus menggunakan metode kecerdasan buatan sexual dimorphism in canines using artificial intelligence methods fidya1, bayu priyambadha2 1departemen oral biologi, fakultas kedokteran gigi, universitas brawijaya 2departemen rekayasa perangkat lunak, fakultas ilmu komputer, universitas brawijaya korespondensi: fidya.fk@ub.ac.id abstrak pendahuluan: deteminasi seksual adalah salah satu aspek yang penting dalam proses identifikasi. gigi adalah bagian dari tubuh manusia yang menunjukkan sifat dimorfisme seksual. kecerdasan buatan adalah metode yang membuat komputer dapat mengerjakan tugas seperti dan sebaik manusia. tujuan: untuk mengetahui tingkat ketepatan penggunaan metode kecerdasan buatan dalam mengidentifikasi dimorfisme seksual pada gigi kaninus. bahan dan metode: sampel sebanyak 100 hasil pengukuran masing-masing diameter mesiodistal, buccolingal, dan diagonal gigi kaninus model rahang atas dan bawah laki-laki dan perempuan dimasukkan ke dalam sebuah aplikasi program komputer yang menerapkan algoritma multi layer perceptron (mlp). proses pembelajaran dilakukan oleh program hingga mendapatkan pola data. kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan 50 hasil pengukuran baru masing-masing 25 laki-laki dan perempuan. analisis statistik yang digunakan adalah koefisien kohens kappa dengan nilai range 0-1. hasil: dari pengujian didapatkan tingkat akurasi sebesar 88% dan nilai kappa 0,76 yang menunjukkan bahwa sistem otomatisasi menggunakan metode kecerdasan buatan adalah substansial agreement (kesepakatan besar). kesimpulan: penggunaan metode kecerdasan buatan memberikan tinggi akurasi yang tinggi sebesar 88% pada proses identifikasi dimorfisme seksual gigi kaninus. kata kunci: dimorfisme seksual, kaninus, kecerdasan buatan, otomatisasi abstract introduction: sex determination is one of the aspects that important in the identification process. tooth is part of the human body that indicate the nature of sexual dimorphism. artificial intelligence is a method that enable computers to perform tasks such as and as well as humans. aim: to determine the accuracy level of the use of artificial intelligence methods in identifying sexual dimorphism in canines. materials and methods: the samples are 100 measurement results of each mesiodistal diameter, buccolingal, and diagonal of male and female maxilla and mandibular canines that input in an application computer program that implements the algorithm multi layer perceptron (mlp). the learning process is done by the program to obtain data patterns. then testing using 50 new measurement results of each 25 male and female. the statistical analysis was used kohens kappa coefficient with a value range of 0-1. results: the test result showed the accuracy rate is 88% and kappa value is 0.76 that indicating the automation system using artificial intelligence methods is substantial agreement (big deal). conclusion: the use of artificial intelligence application method provides a high accuracy 88% of identifying process of sexual dimorphism in canines. keywords: sexual dimorphism, canines, artificial intelligence, automation. mailto:fidya.fk@ub.ac.id 11 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . pendahuluan pengukuran antropologi merupakan salah satu metode dalam penentuan jenis kelamin melalui kerangka manusia yang banyak digunakan. melalui pengukuran ini didapatkan perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.1 gigi sebagai salah satu bagian dari kerangka tubuh manusia dapat diukur pada manusia yang masih hidup maupun yang sudah mati.2 setiap gigi memiliki morfologi yang bersifat unik pada tiap individu. keunikan ini ditentukan oleh faktor genetis.3 gigi adalah organ tubuh manusia yang paling keras. gigi dapat bertahan dari berbagai pengaruh luar berupa iritasi mekanis, suhu, biologis, maupun kimiawi. ukuran gigi memiliki peranan penting, tidak hanya untuk mengindikasikan perbedaan aktivitas yang berhubungan dengan oklusi atau untuk menentukan frekuensi anomali jaringan gigi dan tulang pada aplikasi perawatan ortodonsia, tapi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin.4 perbedaan jenis kelamin terlihat pada gigi permanen karena perbedaan dari hormonal yang khusus mempengaruhi ukuran dan bentuk pada jenis kelamin sebelum mencapai usia dewasa.5 gigi kaninus merupakan gigi yang paling jarang diekstraksi karena kemungkinan terkena karies dan penyakit periodontal yang relatif kecil. kaninus bahkan dilaporkan sebagai gigi yang tahan terhadap kondisi ekstrim seperti bencana dan badai.6 hal ini menunjukkan bahwa gigi kaninus memiliki ketahanan yang tinggi dan sangat berguna untuk proses identifikasi. ukuran gigi kaninus pada manusia menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan. namun pengukuran menggunakan metode manual memiliki kendala waktu yang lebih lama dan membutuhkan keahlian dari operator dalam mengukur untuk menentukan jenis kelamin. penggunaan model klasifikasi dapat mempercepat proses penentuan jenis kelamin. klasifikasi jenis kelamin dilakukan dengan menggunakan sebuah program yang berjalan pada sistem komputer. sistem komputer menjalankan model klasifikasi untuk melakukan klasifikasi data. model klasifikasi adalah rumus matematika yang diimplementasikan oleh algorithma klasifikasi yang berfungsi memetakan data menjadi beberapa kategori.7 model klasifikasi muncul dari penggalian pola data yang dilakukan oleh artificial neural network (ann) yang merupakan salah satu metode artificial inteligent.8 artificial inteligent (ai) atau kecerdasan buatan adalah salah satu pengetahuan komputer yang mempelajari tentang kemungkinan membangun sistem kecerdasan yang mendekati kemampuan manusia dengan menggabungkan perangkat lunak dan perangkat keras. dalam sistem ini terdapat salah satu area pengamatan yang disebut sebagai sistem pakar. sistem pakar menyimpan kemampuan seorang ahli dalam domain tertentu ke dalam program komputer agar mesin dapat mengambil keputusan atau solusi seperti seorang ahli. sistem ini digunakan dalam berbagai bidang seperti diagnosa medis, pasar valuta, robotic, hukum, sains, dan hiburan.9 dengan penggunaan sistem ini diharapkan dapat mempercepat identifikasi jenis kelamin dan menjawab tantangan masa kini yang membutuhkan analisis ilmiah terhadap jumlah data yang besar.10 bahan dan metode sampel merupakan hasil cetakan gigi mahasiswa koleksi laboratorium skills lab fkg ub dan ua sebanyak 150 buah, 75 laki-laki dan 75 perempuan. model yang digunakan adalah yang bebas karies dan tidak terdapat kelainan pada gigi kaninus rahang atas maupun bawah. dilakukan pengukuran lebar mesiodistal, bukolingual, dan diagonal (mesiobukal distolingual dan distobukal mesiolingual) gigi kaninus rahang atas dan bawah pada seluruh model menggunakan vernier caliper tricle brand. 12 fidya, bayu priyambadha│ dimorfisme seksual pada gigi kaninus menggunakan... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . pengukuran diameter gigi kaninus tampak pada gambar 1. gambar 1. pengukuran diameter gigi kaninus (ket:a= mesiodistal, b= bukolingual, c= mesiobukal distolingual, d= distobukal mesiolingual) hasil pengukuran masing-masing diameter mesiodistal, bukolingual, dan diagonal gigi kaninus model rahang atas dan bawah laki-laki dan perempuan dimasukkan ke dalam sebuah aplikasi program komputer yang menerapkan algoritma mlp. kemudian diambil 100 model studi (masing-masing 50 laki-laki dan perempuan) sebagai data training yang dihitung menggunakan algorithma multilayer perseptron (mlp) pada program weka 3.7 pada komputer dengan processor inter core i3. proses pembelajaran dilakukan oleh program hingga mendapatkan pola data. selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan 50 hasil pengukuran baru 25 laki-laki dan 25 perempuan. data pengukuran dari 50 model yang lain, 25 lakilaki dan 25 perempuan digunakan sebagai data testing untuk mengukur tingkat akurasi penentuan jenis kelamin menggunakan metode kecerdasan buatan. analisis statistik yang digunakan adalah koefisien kohens kappa dengan nilai range 0-1. nilai kecocokan antara data training dan data testing akan dihitung dengan menggunakan rumus koefisien cohen’s kappa yang kemudian disebut kappa. kappa adalah sebuah metode pengukuran kebenaran dari data. koefisien ini dapat dirumuskan dengan:11 𝐾 = 𝑃𝑜 − 𝑃𝑐 1 − 𝑃𝑐 nilai 𝑃𝑜 adalah proporsi kesamaan pengamatan dan 𝑃𝑐 adalah proporsi yang diharapkan secara kebetulan. data yang didapat dari hasil pengamatan dari dua pengamat digambarkan dalam bentuk tabel relevansi seperti pada tabel 1. tabel 1. nilai relevansi kappa11 pengamat ii total relevan tidak relevan relevan a b g1 tidak relevan c d g2 total f1 f2 n dari gambaran pada tabel 1, nilai 𝑃𝑜 didapatkan dengan menjumlahkan nilai pada 𝑎 dan 𝑑, dan dibagi dengan 𝑛. nilai 𝑃𝑜 dirumuskan sebagai berikut:11 𝑃𝑜 = 𝑎 + 𝑑 𝑛 nilai 𝑎 dan 𝑑 masing-masing adalah kesamaan relevan dan tidak relevan, dan 𝑛 adalah total data. sedangkan 𝑃𝑐 didapatkan dengan menggunakan rumus berikut:11 𝑃𝑐 = ( 𝑓1𝑥𝑔1 𝑛 ) + ( 𝑓2𝑥𝑔2 𝑛 ) 𝑛 yah sekarang jam 1setelah mendapatkan nilai 𝑃𝑜 dan 𝑃𝑐, maka nilai 𝐾 (cohen’s kappa) dapat dihitung. nilai kappa dapat menentukan tingkat kesepakatan antar pakar dengan sistem. interpretasi nilai kappa tampak pada tabel 2. 13 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tabel 2. interprestasi nilai kappa.12 indeks kappa proporsi kesepakatan < 0 rendah (less than chance agreement) 0.01 – 0.20 sedikit (slight agreement) 0.21 – 0.40 cukup (fair agreement) 0.41 – 0.60 sedang (moderate agreement) 0.61 – 0.80 substansial (substansial agreement) 0.81 – 1 hampir sempurna (almost perfect agrement) hasil hasil pengukuran diameter mesiodistal, bukolingual, dan diagonal (mesiobukal distolingual dan distobukal mesiolingual) gigi kaninus rahang atas dan bawah yang diinputkan ke dalam program weka 3.7 dengan menggunakan metode artificial intelegent menunjukkan terdapat perbandingan hasil kecocokan antara data testing dan hasil sistem yaitu 24 data sesuai pada kaninus rahang atas dan rahang bawah laki-laki, 20 data sesuai pada kaninus rahang atas dan rahang bawah perempuan, 5 data tidak sesuai pada kaninus rahang atas dan rahang bawah laki-laki, dan 1 data tidak sesuai pada kaninus rahang atas dan rahang bawah perempuan. perhitungan nilai kappa yang didapatkan menghasilkan perbandingandata hasil sistem dan data testing yang tampak pada tabel 3. tabel 3. perbandingan hasil sistem dan data testing gigi kaninus hasil data testing sistem lakilaki perempuan total laki-laki 24 1 25 perempuan 5 20 25 total 29 21 50 nilai po yang didapat dari hasil diatas menggambarkan tingkat kesamaan hasil sistem dan data testing adalah 0.88. nilai 0.88 menunjukkan sebanyak 88% dari total data dapat diidentifikasi secara tepat. dari 50 data testing, 44 data dapat teridentifikasi dengan benar, 6 data teridentifikasi salah. perhitungan kappa dilakukan dengan memanfaatkan nilai po dan pc. dari perhitungan tersebut, nilai kappa dari implementasi model klasifikasi dengan menggunakan algoritma mlp dengan kasus pendeteksian jenis kelamin berdasarkan ukuran gigi kaninus adalah 0,76. nilai tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tingkat kecocokan antara hasil sistem dan data testing dari proses percobaa identifikasi jenis kelamin pada diameter gigi kaninus adalah secara substansial agreement atau akurat. pembahasan perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan ukuran, tinggi, dan penampilan laki-laki dan perempuan.4 gigi dapat memberikan informasi yang terpercaya dengan tingkat kesalahan pengamat yang cukup rendah. namun gigi juga membutuhkan ketepatan yang tinggi dalam pengukuran dikarenakan dimensinya yang relatif kecil.13 penentuan jenis kelamin pada gigi berdasar pada besarnya ukuran dan bentuk gigi, dimana pada gigi dari jenis kelamin laki-laki biasanya memiliki ukuran lebih besar dibandingkan pada gigi jenis kelamin perempuan.14 beberapa primata non-manusia purba serta spesies hominid punah juga menunjukkan dimensi dimorfisme seksual pada gigi terutama gigi kaninus. dimorfisme ini kemungkinan besar merupakan hasil seleksi evolusi intra-spesies, persaingan antar seksual, wilayah, atau sumber daya lainnya.15 penelitian yang dilakukan oleh patel et.all. (2013) menunjukkan hasil berbeda bermakna pada gigi kaninus rahang bawah.6 temuan ini mendukung kegunaan kaninus dalam penentuan jenis kelamin melalui analisa odontometri. eimerl dan devore (1965) menyatakan bah-wa pada primata kemampuan untuk bertahan hidup bergantung pada gigi kaninus, terutama pada jan14 fidya, bayu priyambadha│ dimorfisme seksual pada gigi kaninus menggunakan... .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tannya.1 penelitian lain yang dilakukan oleh kausal et.all. (2004) menunjukkan tingkat akurasi sebesar 75% pada populasi indian utara melalui pengukuran gigi dengan menggunakan indeks kaninus bawah (mandibular canine index).16 pada populasi uttah barat pradesh didapatkan hasil nilai akurasi sebesar 70% melalui pengukuran gigi dengan menggunakan indek kaninus bawah (mandibular canine index).1 pengujian tingkat akurasi perbedaan jenis kelamin melalui analisa odontometri dengan pengukuran diameter mesiodistal, bukolingual, diagonal (mesiobukal distolingual dan distobukal mesiolingual) juga dilakukan pada populasi swedia. dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa mahkota gigi kaninus rahang atas memiliki perbedaan bermakna antara lakilaki dan perempuan pada seluruh pengukuran.17 hal ini menunjukkan bahwa gigi kaninus memiliki ketahanan yang tinggi dan sangat berguna untuk proses identifikasi dalam menentukan jenis kelamin melalui analisa odontometri. penelitian pendeteksian jenis kelamin menggunakan pendekatan artificial inteligent (ai) dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu pengumpulan data ukuran gigi kaninus berlabel, proses pembelajaran (learning) mlp, proses percobaan (testing) mlp dan analisis hasil. data berlabel adalah data yang sudah memiliki kategori laki-laki dan perempuan. data ukuran gigi kaninus berlabel didapatkan dari pengukuran model cetakan gigi. proses selanjutnya adalah melakukan pembelajaran pada model mlp. proses pembelajaran ini memiliki tujuan untuk menggali pola data yang ada pada kumpulan data ukuran gigi kaninus berlabel. inti dari proses pembelajaran ini adalah pencarian nilai bobot (w) yang tepat untuk model klasifikasi. proses penentuan bobot dilakukan secara berulang hingga menemukan nilai bobot yang paling optimal untuk proses klasifikasi. multilayer perceptron (mlp) adalah salah satu jenis ann. mlp merupakan mo del jaringan syaraf tiruan yang terbentuk dari satu lapisan input (input layer), satu lapisan output (output layer) dan sedikitnya satu lapisan tersembunyi (hidden layer). gambaran model mlp dijelaskan pada gambar 2. gambar 2. model multilayer perceptron.18 input layer terdiri dari neuron-neuron yang menerima rangsangan dari luar. dalam kasus ini, input layer adalah data yang akan diproses. data ditangkap oleh input kemudian akan dialirkan ke lapisan tersembunyi dan lapisan output. setiap neuron di dalam jaringan syaraf adalah sebuah unit pemrosesan sederhana yang menghitung aktivasi si terhadap nilai input aktivasi.18 proses testing atau percobaan adalah proses untuk menguji model klasifikasi pada sekumpulan data yang berlabel. model klasifikasi yang terbentuk pada proses pembelajaran akan digunakan untuk melakukan identifikasi jenis kelamin. data yang digunakan pada proses testing ini adalah data berlabel. hasil sistem akan dibandingkan dengan data testing sehingga performa dari model mlp dapat dianalisis. analisis hasil dilakukan dengan cara membandingkan hasil sistem dengan data testing. proses penggalian data dilakukan dengan menjalankan proses pembelajaran pada model klasifikasi dengan menggunakan data ukuran gigi taring yang memiliki label. setelah mendapatkan pola dan dimodelkan dalam sebuah model klasifikasi, maka pendeteksian jenis kelamin dengan menggunakan ukuran gigi dapat dilakukan. 15 insisiva dental journal, vol. 5 no.1 bulan mei tahun 2016 .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . kesimpulan penggunaan metode kecerdasan buatan memberikan tinggi akurasi yang tinggi sebesar 88% pada proses identifikasi dimorfisme seksual gigi kaninus. daftar pustaka 1. reddy, v.m. saxena, s. and bansal, p., mandibular canine indexe as a sex determinant: a study on the population of western uttar pradesh. journal of oral and maxillo facial pathology 2008; 12(2): 56-9. 2. artaria, m.d., antropologi dental. yogyakarta: graha ilmu. 2009. 3. kavitha, bc., sex determination in teeth. the tamil nadu dr. m.g.r. medical university. 2005. 4. duraiswamy, p. et al., sex determination using mandibular canine index in optimal-fluoride and high fluoride areas. journal of forensic dental sciences 2009; 1(2): 99-103. 5. harris, e.f. and couch, w.m., the relative sexual dimorphism of human incisor crown and root dimensions. dental anthropology 2006; 9(3): 87-95. 6. kaushal, s. patnaik, v.v. and agnihotri, g., mandibular canines in sex determination. j anat. soc. india 2003; 52(2): 119-24. 7. patel, kanu, and shah v. implementation of classification using association rule mining. international journal of emerging technologies in computational and applied sciences (ijetcas) 2013; 2(4): 166-9. 8. kusumadewi, s., artificial intelligence (tehnik dan aplikasinya). yogyakarta: graha ilmu. yogyakarta. 2003 9. silitonga, dv and budihardjo, w. an expert system of measurement of individual knowladge for teeth treatmnet. international journal of software engineering and its applications 2015; 9(4): 11-8. http://dx.doi.org/10.14257/ijseia.2015.9. 4.02. diakses tanggal 29 april 2016. 10. miladinović, m. et al., 2010. reasons for extraction obtained by artificial intelligence. scientific journal of the faculty of medicine in niš 2010; 27(3): 143-58. 11. sim, julius, and chris cw. the kappa statistic in reliability studies: use, interpretation, and sample size requirements. physical therapy 2005; 85(3):257-68. [diakses 28 april 2016] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15 733050. 12. landis, j richard, and gary g koch. 1977. the measurement of observer agreement for categorical data. international biometric society, 33(1): 159-74. 13. hillson, s., 1996. dental anthropology. cambridge: cambridge university press. 14. stimson, p.g. and mertz, c.a., 1997. forensic dentistry. florida: crc press llc. 15. plavcan jm, ruff cb. canine size, shape, and bending strength in primates and carnivores. am j phys anthropol 2008; 136: 65-84. 16. kaushal, s. patnaik, v.v. sood, v. and agnihotri, g., sex determination in north indians using mandibular canine index. jiafm 2004; 26(2): 45-9. 17. da costa, ytf., lima lnc., rabello, pm. analysis of canine dimorphism in the estimation of sex. braz. j. oral sci 2012; 11(3): 406-9. 18. riedmiller, m. 1994. advanced supervised learning in multi-layer perceptrons from backpropagation to adaptive learning algorithms. computer standards and interfaces, 16(3): 265-78. [diakses tanggal 29 april 2016] http://doi.org/10.1016/ 092 205489(94)90017-5. http://dx.doi.org/10.14257/ijseia.2015.9.4.02 http://dx.doi.org/10.14257/ijseia.2015.9.4.02 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15733050 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15733050 http://doi.org/10.1016/0920-5489(94)90017-5 47 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 pertimbangan penggunaan implan gigi pada lansia consideration for treatment planning of dental implant in elderly nissia ananda1, lilies dwi sulistyani1, endang winiati bachtiar2 1 departemen bedah mulut dan maksilofasial 2 departemen biologi oral fakultas kedokteran gigi universitas indonesia jl. salemba raya no. 4, jakarta pusat korepondensi: sissy3391@gmail.com abstrak saat ini terjadi perkembangan populasi lansia di indonesia sehingga isu kesehatan lansia merupakan sesuatu yang esensial. lansia adalah individu yang telah mengalami proses menua sehingga terjadi berbagai perubahan biologis pada tubuhnya, sehingga berpengaruh terhadap penurunan fungsi organ. kehilangan gigi adalah salah satu masalah yang umum pada lansia sehingga kebutuhan untuk pemasangan gigi tiruan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan masyarakat kelompok lansia. implan gigi tiruan merupakan salah satu alternatif pengganti kehilangan gigi yang memiliki banyak keuntungan dibandingkan gigi tiruan lain. namun perlu disadari bahwa penggunaan implan gigi memiliki pertimbangan-pertimbangan kondisi rongga mulut dan sistemik tertentu untuk menunjang keberhasilan perawatan. pemahaman mengenai terjadinya proses menua dan hubungannya dengan pertimbangan penggunaan implan sangat penting untuk diperhatikan oleh klinisi sebelum merencanakan perawatan, terutama berkaitan dengan perubahan pada sistem pertahanan tubuh yang terjadi seiring proses menua. kata kunci: implan gigi; lansia; proses menua; sistem imun abstract nowadays we face the increasing numbers of elderly population in indonesia, so the elderly’s health issue become essential. elderly are individuals who have been experiencing aging process, this leads to biologic changes in the body including decreased of many organ functions. tooth loss is a common incident in elderly, and this condition made dentures important. dental implant is one of the alternative treatments with many advantages, but it requires certain conditions of the patient’s oral and systemic status. clinician needs to understand the aging process and its relation to dental implant prior to the treatment planning, especially alteration of the immune system caused by aging process. key words: dental implant; elderly; aging process; immune system pendahuluan indonesia sebagai negara berkembang, dikenal memiliki piramida penduduk berbentuk basis lebar atau bisa disebut fertilitas tinggi.1,2 akan tetapi saat ini indonesia menghadapi masa transisi demografi, yaitu struktur masyarakat berubah dari masyarakat/populasi “muda” (1971) menjadi populasi yang lebih “tua” pada tahun 2020. berkembangnya populasi “tua” akan diikuti dengan terjadinya peningkatan 48 nissia ananda, lilies dwi sulistyani, endang winiati bachtiar | pertimbangan penggunaan implan gigi pada lansia usia harapan hidup. sebagai gambaran, usia harapan hidup pada tahun 1970 di indonesia adalah 45 tahun untuk laki-laki dan 47 tahun untuk perempuan. sedangkan pada tahun 1990, usia harapan hidup untuk laki-laki adalah 58.5 tahun dan perempuan 62 tahun. diprediksi pada tahun 2050, usia harapan hidup laki-laki akan mencapai 74.9 tahun dan perempuan 78.9 tahun.3 dengan meningkatnya usia harapan hidup maka terjadi pula peningkatan jumlah penduduk berusia di atas 60 tahun (lansia) di indonesia.4 pada tahun 1996 jumlah penduduk lansia sebesar 6,3% dari keseluruhan jumlah penduduk indonesia. diprediksi dalam 30 tahun (1996-2025) terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia menjadi dua kali lipat dan hal ini berdampak pada posisi indonesia saat ini sebagai negara ke-7 di dunia dengan jumlah penduduk lansia terbanyak.4-6 di dunia, who sedang mempublikasikan konsep active ageing yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan penduduk lansia secara holistik. kesejahteraan ini di dapat dicapai jika adanya kualitas hidup yang baik dari para lansia sehingga dapat menjadi lansia yang tetap sehat dan aktif. berbagai faktor berpengaruh dalam ketercapaian kualitas hidup yang baik bagi para lansia, dan kesehatan menjadi salah satu faktor yang besar pengaruhnya.7 kesehatan pada lansia dipengaruhi oleh proses menua yang dialami secara fisiologis oleh setiap individu, dimana pada proses ini terjadi penurunan fungsi tubuh serta perubahan fisik.8,9 penurunan fungsi dan perubahan fisik terjadi secara sistemik, sebagian besar sistem tubuh terpengaruh oleh proses menua. sistem kardiovaskular, sistem eksresi, sistem digestif, sistem imun, dan lainnya.10,11 kondisi kesehatan rongga mulut dan gigi geligi ikut terpengaruh oleh adanya proses menua,8,9 hal ini juga diperparah dengan jarangnya dilakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut secara berkala.12 mulut kering, warna pucat pada mukosa mulut, penipisan mukosa, atrisi, dan kehilangan gigi merupakan contoh perubahan yang terjadi pada rongga mulut seiring proses menua.13,14 survey yang dilakukan pada posbindu buah hati bunda, puskesmas serpong 1 pada tahun 2014 memberikan hasil bahwa 100% peserta posbindu mengalami kehilangan gigi dengan rata-rata kehilangan gigi per orang adalah sebelas. dapat disimpulkan bahwa setiap individu mengalami kehilangan 1/3 dari jumlah giginya, dan setiap lima tahun mengalami kehilangan satu gigi.15 dengan fakta ini, kehilangan gigi tentu menjadi masalah kesehatan penting pada rongga mulut yang umum dialami lansia. berbagai jenis perawatan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kehilangan gigi, terutama untuk mengembalikan fungsi dari hilangnya gigi tersebut, yaitu fungsi mastikasi, fungsi bicara, dan memperbaiki estetika wajah secara keseluruhan. opsi perawatan yang seringkali dipilih adalah penggunaan gigi tiruan, baik lepasan maupun cekat. setiap jenis gigi tiruan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. keuntungan gigi tiruan lepasan dapat menggantikan kehilangan gigi dalam jumlah banyak, tidak mengorbankan gigi penyangga, dan mudah dibersihkan tetapi kerugiannya adalah banyak orang tidak nyaman dengan gigi tiruan yang dapat dilepas karena memungkinkan untuk hilang. keuntungan 49 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 dari gigi tiruan gigi tiruan cekat adalah pasien tidak repot melepas dan membersihkan gigi tiruan dan estetis lebih baik tetapi kerugiannya adalah mengorbankan gigi penyangga untuk ikut di preparasi. oleh karena itu, orang banyak mencari alternatif lain untuk menggantikan kehilangan gigi. saat ini, salah satu alternatif perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan implan gigi. implan memiliki beberapa kelebihan yaitu memberikan penggantian pada gigi yang hilang dengan estetis baik, dapat menggantikan kehilangan gigi dengan jumlah banyak, tidak repot melepas dan membersihkan implan, serta tidak mengorbankan gigi tetangga untuk dijadikan penyangga. di sisi lain, proses menua yang terjadi ternyata juga mempengaruhi sistem imun individu. kemampuan sistem imun untuk mendeteksi antigen menurun sehingga menyebabkan banyak terjadi penyakit autoimun, selain itu jumlah sel darah putih yang dihasilkan untuk melawan infeksi juga menurun, serta melambatnya kerja sel-sel imun untuk menghadapi infeksi yang masuk ke dalam tubuh. makrofag mengalami penurunan fungsi, dimana fungsi makrofag adalah untuk menghancurkan bakteri, sel kanker, dan antigen lain. hal ini menjelaskan mengapa kanker lebih umum terjadi pada lansia. 16 penggunaan implan sebagai pengganti gigi yang ditanamkan secara invasif ke dalam tulang alveolar rahang tentunya akan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi karena implan tersebut dianggap sebagai benda asing yang menginvasi tubuh. dengan tingginya kebutuhan para lansia akan penggantian gigi yang hilang disertai kondisi sistem imun yang mengalami penurunan secara fisiologis, maka diperlukan kajian untuk mengetahui lebih dalam mengenai reaksi imunologi yang terjadi. besar harapan tulisan ini dapat memberi pandangan bagi klinisi agar mampu memahami kondisi pasien sebelum menentukan rencana perawatan dan melakukan tindakan invasif. tinjauan teoritis proses menua adalah proses fisiologis yang terjadi pada seluruh mahluk hidup termasuk manusia. dalam tubuh, proses menua berlangsung dari sejak awal kehidupan dimana terjadi perubahan-perubahan pada sel yang tentunya mempengaruhi jaringan dan organ seiring bertambahnya usia. oleh karena itu pula dapat dibagi penuaan kronologis yang ditentukan oleh usia individu, dan penuaan biologis yaitu perubahan yang diamati secara sel.17,18 salah satu teori dalam teori-teori yang dikemukakan mengenai proses menua adalah teori imunitas. teori imunitas menjelaskan adanya penurunan dalam sistem imun yang berkaitan dengan penuaan. ketika orang bertambah tua, pertahanan tubuh terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. seiring dengan menurunnya fungsi sistem imun, terjadi juga peningkatan dalam respons autoimun tubuh dikarenakan menurunnya fungsi dari sel-sel imun untuk mengenali antigen. banyak dari para lansia mengalami penyakit autoimun seperti artritis reumaoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan yang lain. penganut teori ini sering mengaitkan peran kelenjar timus dengan teori imunitas. berat dan ukuran kelenjar timus akan menurun seiring dengan bertambahnya usia, hal ini 50 nissia ananda, lilies dwi sulistyani, endang winiati bachtiar | pertimbangan penggunaan implan gigi pada lansia berpengaruh kepada proses diferensiasi sel t. karena menurun atau hilangnya diferensiasi sel t, tubuh salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing dan menyerangnya.19-21 selain itu, pada pembuluh darah, seiring dengan proses penuaan terjadi peningkatan jumlah kolagen dan menjadi kurang elastis, disertai pembuluh arteri menjadi kaku, tekanan darah sistolik dan denyut nadi cenderung meningkat. kondisi arterosklerosis sering ditemukan.22 dampak dari berkurangnya vaskularisasi yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi menyebabkan memburuknya nutrisi dan pemberian oksigen ke jaringan.23 dengan terjadinya proses penuaan, secara umum akan diikuti oleh terjadinya kemunduran sejumlah organ seperti otak, hati, ginjal, kelenjar saliva, dan organ lainnya dimana semua perubahan ini dimulai dari sel atau jaringan.24 perubahan juga terjadi pada jaringan keras seiring proses menua di rongga mulut, yaitu meliputi perubahan pada tulang alveolar dan gigi. perubahan pada tulang alveolar berupa hilangnya mineral tulang melalui resorpsi matriks tulang. proses ini dapat dipercepat oleh beberapa hal yaitu tanggalnya gigi, penyakit periodontal, protesa yang tidak adekuat, dan adanya keterlibatan penyakit sistemik.22 pada gigi biasanya terjadi kehilangan gigi yang merupakan manifestasi dari terjadinya kehilangan tulang rahang terutama resorpsi tulang yang berfungsi untuk menyokong gigi. karena adanya kehilangan gigi tersebut, banyak orang lanjut usia melaporkan perubahan pada fungsional mulutnya.25 penggunaan implan gigi saat ini sudah menjadi pilihan yang bayak diminati untuk menggantikan kehilangan gigi, hal ini dikarenakan kelebihan penggunaan implan gigi dibandingkan gigi tiruan jenis lainnya. implan gigi adalah suatu biomaterial bedah biologis atau alloplastik yang dimasukan ke dalam jaringan lunak dan/atau jaringan keras pada rongga mulut dengan tujuan fungsional atau kosmetik. implan dapat dikatakan menjadi solusi bagi berbagai masalah kedokteran gigi yang dulunya sangat sulit diselesaikan, seperti pasien tak bergigi sama sekali, kehilangan abutment posterior, korban trauma dengan kehilangan gigi dan tulang, atau bahkan untuk kasus kehilangan 1 gigi.26 beberapa hal perlu di perhatikan agar implan dapat beradaptasi dengan baik. salah satunya adalah kondisi tulang alveolar yang akan menerima implant, yaitu: jarak antara puncak tulang alveolar dan gigi antagonisnya, jarak mesio-distal tulang (walaupun tergantung ukuran diameter implan, rata-rata 6-8 mm), dan lebar fasio-lingual tulang (umumnya minimal 6 mm).26,27 respon imun terhadap pemasangan implan umum terjadi dan dapat termasuk dalam reaksi hipersensitivitas, 13% orang mengalami reaksi hipersensitif terhadap nikel, kobalt, atau kromium yang merupakan bahan implan.28-36 reaksi hipersensitivitas tipe iv seringkali dikaitkan dengan pemasangan implan, dimana reaksi ini merupakan respon delayed mediated cell.37 reaksi alergi terhadap logam terjadi akibat dari adanya ion hasil korosi implant yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem pencernaan, kulit atau mukosa. ion ini membentuk kompleks dengan protein dan kemudian bertindak sebagai alergen sehingga menyebabkan reaksi hipersensitivitas.38,39 51 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 analisa masalah tingginya tingkat kehilangan gigi yang terjadi adalah alasan penggunaan implan saat ini umum ditemukan. terlebih tidak hanya dokter spesialis yang memiliki kompetensi saja yang berani melakukan perawatan implan kepada pasien, tetapi juga dokter gigi umum yang sesungguhnya tidak memiliki kompetensi. fakta ini memberikan gambaran bahwa tingkat permintaan masyarakat akan implan sangat tinggi. pada lansia, seringkali ditemukan kehilangan gigi. hal ini berhubungan erat dengan resorpsi tulang alveolar, dapat berupa sebab maupun akibat. kehilangan gigi dapat disebabkan oleh resorpsi tulang alveolar yang berfungsi menyangga gigi sehingga memicu terjadinya kegoyangan gigi dan berakhir pada kehilangan gigi akibat tidak adanya lagi jaringan penyangga yang adekuat. sedangkan kaitannya dengan akibat adalah kehilangan gigi akan diikuti dengan resorpsi tulang alveolar di bagian edentulous karena secara fungsional tulang tidak menerima penyaluran beban kunyah dari jaringan periodontal gigi. terjadinya kehilangan gigi yang banyak akan berbanding lurus dengan resorpsi tulang yang terjadi. penggunaan gigi tiruan sebagai pengganti kehilangan gigi berfungsi untuk mencegah atau memperlambat resorpsi tulang yang terjadi dengan cara menyalurkan beban kunyah ke tulang, di lain sisi penggunaan berbagai jenis gigi tiruan diindikasikan pada kondisi tulang tertentu. sebagai contoh pada pemasangan implan, dibutuhkan ketebalan tulang tertentu untuk pemasangannya agar tercipta stabilitas yang baik. oleh karena itu, penggunaan gigi tiruan sebaiknya dilakukan segera setelah terjadi kehilangan gigi agar dapat mencegah atau memperlambat terjadinya resorpsi tulang. kehilangan tulang terjadi dengan adanya keterlibatan osteoklas, yaitu sel yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh. pada lansia, terjadi penurunan fungsi sel, jaringan, serta organ secara fisiologis yang mempengaruhi kinerja sistem organ secara keseluruhan, termasuk di dalamnya sistem pertahanan tubuh. namun perlu diingat bahwa bukan berarti sistem pertahanan tubuh menjadi menurun maka fungsi osteoklas semakin menurun pula sehingga resorpsi tulang yang terjadi minimal. resorpsi tulang pada lansia cenderung meningkat dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya defisiensi kalsium dan vitamin d yang umum ditemukan pada lansia.40 kondisi lain yang sering ditemukan pada lansia terkait pertahanan tubuh adalah kurang mampunya menghasilkan limfosit untuk sistem pertahanan tubuh. sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif dibandingkan dengan sel sejenis yang ditemukan pada kelompok dewasa muda.41 kondisi ini namun tidak bermanifestasi pada rendahnya tingkat penolakan implant pada tubuh. hal ini disebabkan oleh sistem pertahanan tubuh lansia cenderung menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune,42 padahal reaksi pertahanan tubuh yang terjadi pada pemasangan implant umumnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe iv yang merupakan bagian dari penyakit autoimmune.37 komplikasi dari menurunnya fungsi organ secara keseluruhan juga dapat berpengaruh pada 52 nissia ananda, lilies dwi sulistyani, endang winiati bachtiar | pertimbangan penggunaan implan gigi pada lansia terciptanya penyakit-penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi sistem pertahanan tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung. sebagai contoh, perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular akan berpengaruh pada sistem peredaran darah yang membawa selsel darah putih sebagai sel pertahanan tubuh. contoh lain adalah terjadi gangguan pada hormon insulin yang berpengaruh pada kondisi gula darah sehingga memperburuk proses penyembuhan karena mengganggu koagulasi darah. tentunya contoh-contoh tadi secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap p e m a s a n g a n i m p l a n t s e h i n g g a p e r l u dipertimbangkan bersama dengan persyaratan pemasangan implant lainnya. kondisi yang perlu diperhatikan adalah tulang yang tersisa, baik densitas dan porositas dimana hal ini berpengaruh pada vaskularisasinya, selain itu pengukuran kuantitas tulang alveolar dalam berbagai dimensi juga penting diperhatikan untuk pertimbangan perlunya augmentasi tulang atau tidak. pada implant, fulkrumnya terletak di alveolar crest oleh karena itu alveolar crest dari edentulous yang akan di pasangkan implant sebaiknya dalam kondisi yang baik untuk menahan beban kunyah yang didapatkan implant. selanjutnya kondisi jaringan lunak di sekitar edentulous, ketebalan minimal mukosa berpengaruh pada pemilihan bahan dari abutment untuk memenuhi kebutuhan estetik dan mudahnya terjadi resesi jika dilakukan implant pada mukosa yang tipis. untuk memaksimalkan fungsi implant sebagai pengganti gigi, maka sebelum penentuan rencana perawatan penting untuk menganalisa oklusi dan artikulasi yang dimiliki pasien, baik jenis oklusi dan artikulasi, beban kunyah, adanya parafunction, berbagai kurva dari gigi tersisa, dan hitung jarak dari insisal gigi lawan dengan alveolar crest di daerah edentulous untuk menentukan panjang abutment dan crown serta perlunya graft jaringan lunak atau tidak. kesimpulan dan saran lansia adalah kelompok masyarakat yang rentan mengalami kehilangan gigi sehingga umum menjadi pengguna perawatan implan gigi untuk menggantikan kehilangan tersebut. kondisi-kondisi yang diakibatkan proses menua pada lansia banyak yang berpengaruh terhadap pertimbangan penggunaan implant gigi. oleh karena itu operator sebaiknya berhati-hati dan teliti dalam menganalisa faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan perawatan implant. daftar pustaka 1. indonesia overview. 2012 [sitasi 3 desember 2015]; diunduh dari: http:// www.worldbank.org/en/country/indonesia/ overview 2. d a r m o j o , r . b . , d e m o g r a f i d a n epidemiologi populasi lanjut usia, in geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut), ed. pranaka k, martono h. 2009, jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. p. 35-55. 3. vita priantina dewi, elisabeth schroderbutterfill, tengku syawila fithry, philip kreager, old-age care provision: preferences and practices in two indonesian communities, dalam ageing, gender, health, and productivity, ed. rahardjo tri budi w., kreager philip, vita 53 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 priantina dewi, eef hogervorst, sabarinah b. prasetyo, dinni agustin, sri lasmidjah. 2011, jakarta: penerbit universitas indonesia. p. 85-102 4. united nations population division, world population prospects: 2002 revision. 2003, new york: united nation. 5. wibowo, indonesia’s elderly: problem and potential. 2004, oxford: oxford institute of aging. p.1837-1847. 6. pranarka, k., penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut yang sehat. universa medicina, 2006. 25: p. 187-197. 7. world health organization, active ageing: a policy framework, ed. komisi nasional lanjut. usia. 2002, jakarta: komisi nasional lanjut usia. p. 6-34. 8. mawi m. proses menua sistem organ tubuh pada lanjut usia. maj ilmiah ked gigi. 2001;16:61. indonesian. 9. kotzer rd, lawrence hp, clovis jb, matthews dc. oral health related quality of life in an aging canadian population. health qual life outcomes. 2012;10:50. 10. aging: what to expect? [sitasi 3 desember 2015]; diunduh dari: http://www. mayoclinic.org/healthy-lifestyle/healthyaging/in-depth/aging/art-20046070 11. the immune system in the elderly: a fair fight against diseases? [sitasi 3 desember 2015]; diunduh dari: http://www.medscape. com/viewarticle/780507_2 12. amurwaningsih m, nisaa’ u, darjono a. analisis hubungan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (ohrqol) dan status kecemasan dengan status nutrisi pada masyarakat. maj ilmiah sultan agung.[internet] 2010; 48. available from: http://jurnal.unissula.ac.id/index. php/majalahilmiahsultanagung/article/ view/25/21. indonesian. 13. musacchio e, perissinotto e, binotto p, sartori l, silva-netto f, zambon s, et al. tooth loss in the elderly and its association with nutritional status, socio-economic and lifestyle factors. acta odontol scand. 2007;65:78-86. 14. soemitro s. kesehatan jaringan periodontal pada lanjut usia. jitekgi. 2006;3:38-41. indonesian. 15. posbindu buah hati bunda serpong dan gigi tiruan. [sitasi 3 desember 2015]; diunduh dari: https://nissiaananda. wordpress.com/2014/05/12/posbindubuah-hati-bunda-serpong-dan-gigi-tiruan/ 16. effects of aging on the immune system. [sitasi 7 desember 2015]; diunduh dari: h t t p : / / w w w. m s d m a n u a l s . c o m / h o m e / immune-disorders/biology-of-the-immunesystem/effects-of-aging-on-the-immunesystem 17. latar belakang menua. [sitasi 7 desember 2015]; diunduh dari: http://www.pps. unud.ac.id/disertasi/pdf_thesis/unud-291931359856-bab%20i%20pendahuluan_ disertasi.pdf 18. proses menua. [sitasi 7 desember 2015]; diunduh dari: http://www.healthyenthusiast. com/proses-menua.html 19. pringgoutumo, dkk. 2002. buku ajar patologi 1 (umum), edisi 1. jakarta. sagung seto. 20. sutisna hilawan (1992), patologi. jakarta, bagian patologi anatomi fkui. 21. gunawan s, nardho, dr, mph, 1995, 54 nissia ananda, lilies dwi sulistyani, endang winiati bachtiar | pertimbangan penggunaan implan gigi pada lansia upaya kesehatan usia lanjut. jakarta: dep kes r.i. 22. 33. damayanti l. respon jaringan terhadap gigi tiruan lengkap pada pasien usia lanjut. makalah. bandung, universitas padjajaran, 2009: 1 – 10. 23. slamat t. pasien prostodonssia lanjut usia: beberapa pertimbangan dalam perawatan in: pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam bidang prostodonsia pada fakultas kedokteran gigi, universitas sumatera utara, 2005: 2 – 8. 24. ertati. proses menua pada jaringan lunak mulut. skripsi. fakultas keodokteran gigi, universitas sumatera utara: universitas sumatera utara, 2001: 8 – 17. 25. melfi, rudy c., keith e.alley. permar’s oral embriology and microscopic anatomy. 10th edition. pennsylvania: lippincott williams & wilkins; 2000. 26. journal of oral implantology vol.xxii, no 1, 1996 27. misch ce. contemporary implant dentistry. st. louis : mosby-year book, 1993;2 28. merritt k, rodrigo jj. immune response to synthetic materials. sensitization of patients receiving orthopaedic implants. clin orthop. 1996 may. (326):71-9. 29. goh cl. prevalence of contact allergy by sex, race and age. contact dermatitis. 1986 apr. 14(4):237-40. 30. kiec-swierczynska m. allergy to chromate, cobalt and nickel in lodz 1977-1988. contact dermatitis. 1990 apr. 22(4):22931. 31. kimber i, bentley an, hilton j. contact sensitization of mice to nickel sulphate and potassium dichromate. contact dermatitis. 1990 nov. 23(5):325-30. 32. merritt k. role of medical materials, both in implant and surface applications, in immune response and in resistance to infection. biomaterials. 1984 jan. 5(1):4753. 33. moller h. nickel dermatitis: problems solved and unsolved. contact dermatitis. 1990 oct. 23(4):217-20. 34. peltonen l. nickel sensitivity in the general population. contact dermatitis. 1979 jan. 5(1):27-32. 35. skinner h. current diagnosis and treatment in orthopaedics. norwalk, ct: appleton & lange; 1995: 31-5. 36. sicilia a, cuesta s, coma g, arregui i, guisasola c, ruiz e, et al. titanium allergy in dental implant patients: a clinical study on 1500 consecutive patients. clin oral implants res. 2008 aug. 19(8):823-35. 37. williams df. european society for biomaterials. definitions in biomaterials, proceedings of a consensus conference of the european society for biomaterials, chester, england, march 3–5, 1986. amsterdamn: elsevier; 1987. 38. ahnlide i, björkner b, bruze m, möller h. exposure to metallic gold in patients with contact allergy to gold sodium thiosulfate. contact dermatitis. 2000;43 (6):344–350. 39. hallab n, merritt k, jacobs jj. metal sensitivity in patients with orthopaedic implants. journal of bone and joint surgery – american. 2001;83 (a):428–436. 40. demontiero o, vidal c, duque g. aging and bone loss: new insights for the clinician. therapeutic advances in musculoskeletal 55 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 disease. 2012;4 (2):61-76. 41. bell r, high k. alterations of immune defense mechanisms in the elderly: the role of nutrition. infect med 1997; 14: 415-424. 41. fatmah. respons imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut: makara, kesehatan, vol. 10, no. 1, juni 2006: 47-53. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 83-89 83 research article the effectiveness of α-mangostin in reducing the streptococcus mutans biofilm thickness rahmawati sri praptiningsih1*, arlina nurhapsari2, rifqi wahyu febrian3 1department of oral biology, faculty of dentistry, universitas islam sultan agung, jl kaligawe raya no.km.4 semarang, jawa tengah 50112 2department of conservative dentistry, faculty of dentistry, universitas islam sultan agung, jl kaligawe raya no.km.4 semarang, jawa tengah 50112 3faculty of dentistry, universitas islam sultan agung, jl kaligawe raya no.km.4 semarang, jawa tengah 50112 received date: august 10th, 2022; revised date: october 20th, 2022; accepted: november 11st, 2022 doi: 10.18196/di.v11i2.15809 abstract dental caries occurs due to the demineralization of tooth structure caused by microorganisms in colonies called biofilms. one of the microorganisms involved in dental caries is streptococcus mutans. oral mouthwash, in addition to mechanical cleaning, is known to prevent the growth of oral microorganisms. mangosteen is known as an anti-cancer ingredient with high anti-bacterial properties. this study aims to identify the effectiveness of mangosteen skin extract (garcinia mangostana l.) in decreasing streptococcus mutans biofilm. the study is experimental research with a post-test control group design. the research sample was divided into five groups; 3 treatment groups and 2 control groups. the biofilm thickness test was carried out with od (optical density) with a wavelength of about 620 nm using an elisa reader. kruskal wallis analysis was employed as a non-parametric statistical test analysis. statistical kruskal wallis indicated significant differences in the thickness of 5 test groups of streptococcus mutans. the lowest average yield of biofilm thickness was in the α-mangosteen group at 12.5 g/ml. conclusion: α-mangosteen in mangosteen skin extract effectively reduced the thickness of streptococcus mutans biofilm. keywords: α-mangostin; biofilm thickness; streptococcus mutans introduction dental caries is a dental disorder that often occurs in the community. according to indonesian health research by the ministry of health in 2018, 57.6% of indonesians experienced dental and oral health problems, with a caries prevalence of 45.3%.1 dental caries occur due to the demineralization of tooth structure caused by microorganisms in colonies called biofilms. microorganisms produce acids forming cavities in the tooth structure on the surface of the enamel, dentin, or cementum.2 cariogenic organisms are capable of creating acids from fermentable carbohydrates. these microorganisms can * corresponding author, e-mail: rahmawati@unissula.ac.id live and reproduce in an acidic environment and stick to the tooth surface.3 one of the microorganisms involved in dental caries is streptococcus mutans.2,4 streptococcus mutans is one of the aerobic gram-positive bacteria and belongs to the streptococcus viridans group.4 it is a normal flora in the oral cavity. streptococcus mutans are used to living in areas rich in sucrose. bacterial activity will produce acid (ph <5.5) in the oral cavity and impact the demineralization of tooth structure. the inhibited demineralization process will lead to the formation of cavities. the cavity will become an entry point for bacteria to enter the pulp and even the periapical tissue, rahmawati sri praptiningsih, arlina nurhapsari, rifqi wahyu febrian | the effectiveness of α-mangostin in reducing the streptococcus mutans biofilm thickness 84 which can cause various diseases, including fatal infections.2 a biofilm is a structured and attached bacterial cell colony; one example of a biofilm is attached to the tooth surface. one of the bacteria that plays a role in colony formation is streptococcus mutans.5 caries control is an effort to prevent the growth of microorganisms into biofilms mechanically or chemically. chemical biofilm prevention is carried out using fluoride and mouthwash to help inhibit caries' formation.6 chlorhexidine gluconate 0.2% is a mouthwash that contains an antibacterial substance with bactericidal properties that are effectively used for gram-positive and gram-negative bacteria.7 however, the maillard reaction is catalyzed by chlorhexidine which causes discoloration of the teeth.8 in addition, chlorhexidine as a mouthwash is known to have side effects if used for an extended period, such as stained teeth and an unpleasant sensation and taste.7 therefore, alternative materials are needed, namely herbal ingredients; one of the herbal ingredients is mangosteen fruit and skin.9 researchers have proved several ingredients from mangosteen skin and fruit extracts to be beneficial for health. the content of the mangosteen fruit is xanthone active compounds (mangostin, αmangostin, beta mangostin, mangostenol, mangostin a, mangostin b), anthocyanins such as cyanidin-3-sophoroside, yellow latex, pectin, tannins, and resins.9 xanthone is an ingredient that is often used as the main ingredient. xanthones have antioxidant, anti-inflammatory, antiallergic, antibacterial, antifungal, antitumor, and antiviral activities. the content of xanthones in the mangosteen rind is 27 times more than that of the mangosteen flesh.3 in addition, αmangostin in the xanthones of the mangosteen fruit is antibacterial.10,20 a research revealed that the content of mangosteen peel extract, αmangostin, reduced streptococcus mutans.10 in addition, yanura also denoted the inhibitory power of mangosteen peel with concentrations of 3.125, 6.25, and 12.5 g/ml, indicating the presence of an inhibitory zone of α-mangostin against mycobacterium tuberculosis.11 this study aims to determine whether α-mangostin effectively reduces the biofilm thickness of streptococcus mutans, the most common causative microorganism in dental caries. materials and methods this study is experimental laboratory research with a post-test-only control group design conducted in the microbiology laboratory. the optical density results were read at the biology laboratory, faculty of medicine, sultan agung islamic university. the ethical clearance in this research is 350/b.1kepk/sa-fkg/ii/2022. the subject of this study was streptococcus mutans atcc 25175, obtained commercially, and the independent variable included αmangosteen from mangosteen skin extract (garcinia mangostana l.) with concentrations of 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, 12.5 g/ml, distilled water, and chlorhexidine. α-mangostin is a bioactive compound found in the mangosteen skin. the compound α-mangostin is a yellow substance insoluble in water. the concentration of α-mangostin consisted of 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, and 12.5 g/ml. meanwhile, the dependent variable in this study included the thickness of the streptococcus mutans biofilm. streptococcus mutans biofilms are colonies of streptococcus mutans bacteria that grow in the oral cavity. furthermore, saliva was collected, and the streptococcus mutans colony was cultured using american type culture cell (atcc) in tys20b medium for 48 hours under anaerobic conditions, incubated at 37°c, and then calculated. the thickness of the biofilm was assessed using the five microtiter well plate biofilms and the elisa reader by thermo scientific at the medical faculty of sultan agung islamic university integrated biomedical laboratory (ibl). this study utilized a insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 83-89 85 microtiter plate biofilm, brain heart infusion, incubator, test tube, measuring cup, micropipette, elisa reader, and syringe filter with a diameter of 0.22 m. the materials of this study included pure streptococcus mutans isolate, α-mangostin isolate, saliva, placebo in the form of distilled water, chlorhexidine 0.2% minosep, gentian violet crystals 1%, and phosphate buffer saline (pbs). after preparing the materials and tools, the researcher created a research schedule. tools and materials were prepared and sterilized for research to avoid contamination with compounds or microorganisms affecting research results. the α-mangostin isolates obtained from tokyo chemical industry (tci) japan were divided into three groups: 3.125, 6.25, and 12.5 g/ml. aquadest and chlorhexidine were prepared as a control group. furthemore, the preparation of a suspension of streptococcus mutans bacteria utilized brain heart infusion (bhi) media. next, human saliva and pure isolates of streptococcus mutans were pre-cultured in a bhi medium. the growth of streptococcus mutans was adjusted to mcfarland's turbidity standard of 0.5, resulting in bacterial suspension of 1.5 x 108 cfu /ml. the bacteria were then incubated at 37°c for 24 hours.5 inhibition of biofilm thickness formation: sterilization was conducted to avoid contamination by other compounds or microorganisms. to make a pellicle on five well plates, 200 μl of saliva was added and filtered using a 0.22 μl minecart syringe filter in each well plate. it was then incubated for 15 minutes at 37°c, removed using a micropipette, and then rinsed with pbs 200 μl. the streptococcus mutans solution of human saliva was divided into five put on the well plate media, and 200 μl of the streptococcus mutans solution was added to each well.5 each solution added to the well plate media was tested with αmangosteen compound with concentrations of 3.125, 6.25, 12.5 g/ml, 0.2% chlorhexidine, and an aquadest. the sample was incubated for 24 hours at 37°c. the remaining planktonic cells were removed, rinsed with sterile pbs 3 times, and dried at room temperature. the well plate media was dripped with 150 μl of 1% gentian violet crystals for 20 minutes, rinsed with pbs solution three times, and then dried for 5 minutes.12,13 finally, 200 μl of 98% alcohol was added to the well plate media and left for 15 minutes. the result was measured and read utilizing optical density (od) with a wavelength of 620 nm and an elisa-reader by thermo scientific at the biology laboratory, faculty of medicine, sultan agung islamic university.14 furthermore, shapiro-wilk and homogeneity tests were carried out with levene's statistical test. in the case of this study, the data from the normality test and the homogeneity of the data were not normal and not homogeneous. these results can be identified with the kruskal wallis non-parametric test. the data were then processed using the spss program. result the streptococcus mutans thickness test results were carried out using an elisa reader. the study revealed the average value of streptococcus mutans thickness in 3 treatment groups with mangosteen with a concentration of 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, 12.5 g/ml, and 2 control treatment groups with 0.2% chlorhexidine administration, and aquadest. it can be seen in table 1. table 1. mean and standard deviation of streptococcus mutans biofilm thickness no group meansd 1 α-mangostin 3,125 0.6410.418 2 α-mangostin 6,25 0.3640.014 3 α-mangostin 12,5 0.3560.157 4 chlorhexidine 0,2% 0.6140.253 5 aquadest 1.0290.278 the average thickness of the streptococcus mutans biofilm with the addition of α-mangostin 12.5 g/ml was the rahmawati sri praptiningsih, arlina nurhapsari, rifqi wahyu febrian | the effectiveness of α-mangostin in reducing the streptococcus mutans biofilm thickness 86 lowest compared to the other groups. on the other hand, the thickness of streptococcus mutans (0.356) with the addition of aquadest was the highest compared to the other groups (1.029). therefore, the shapiro-wilk test was utilized to determine normality. the results can be seen in table 2. table 2. the normality result using the shapirowilk test group sig. α-mangostin 3.125 μg/ml 0.157 α-mangostin 6.25 μg/ml 0.501 α-mangostin 12.5 μg/ml 0.013 chlorhexidine 0.2% 0.589 aquadest 0.803 according to table 2, 1 group showed abnormal data, and 4 other groups showed normal distribution. therefore, it can be concluded that the data were not normally distributed. the data were then analyzed for homogeneity using the levene statistical test. table 3. the result of homogeneity using the levene statistical test streptococcus mutans biofilm thickness sig. 0,006 the significance of 0.006 (p<0.05) indicates that the streptococcus mutans thickness is homogeneous. furthermore, a non-parametric kruskal wallis test was employed to identify the differences in the thickness of streptococcus mutans in each group. kruskal wallis test results can be seen in the following table: table 4. kruskal wallis hypothesis test between groups sig. 0.02 the significance number in the table is 0.02 (p<0.05), indicating significant differences in the five groups of the streptococcus mutans thickness test. therefore, the mann-whitney test was conducted to determine which group had the essential difference. the test results can be seen in the following table: table 5. mann-whitney test the group comparison sig. difference α-mangostin 3.125 α-mangostin 6.25 μg/ml 0.251 not significant α-mangostin 12.5 μg/ml 0.117 not significant chlorhexidine 0.2% 0.917 not significant aquadest 0.175 not significant α-mangostin 6.25 α-mangostin 12,5 μg/ml 0.117 not significant chlorhexidine 0,2% 0.117 not significant aquadest 0.009* significant α-mangostin 12.5 chlorhexidine 0,2% 0.251 not significant aquadest 0.009* significant chlorhexidine 0.2% aquadest 0.047* significant the mann-whitney test displayed a significant difference in the thickness value of streptococcus mutans (p<0.05) in the distilled water group. the different thickness values were demonstrated in the α-mangostin group 6.25 g/ml, 12.5 g/ml, and 0.2% chlorhexidine. discussion the study results revealed an effect of adding α-mangostin 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, 12.5 g/ml, 0.2% chlorhexidine, and aquadest on the average optical density of streptococcus mutans biofilm. the average optical density value with a 12.5 g/ml concentration showed the lowest compared to aquadest. statistical analysis denoted that there was a significant difference between each group. the lower the optical density value is, the lower the thickness of the streptococcus mutans biofilm will be. in the mann-whitney follow-up test, there insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 83-89 87 was a difference between the groups of αmangostin 6.25, 12.5 g/ml, chlorhexidine 0.2%, and aquadest. one of the bacteria in the biofilm is streptococcus mutans, which can produce acid. the acid will damage tooth minerals (calcium hydroxyapatite), forming dental caries.14 biofilm growth can be inhibited with α-mangostin compounds as the antibiofilm properties against planktonic streptococcus mutans.15 α-mangostin has potential and fast bactericidal activity targeting the inner bacterial cell membrane. this activity causes a decrease in bacterial mutations as α-mangostin can induce rapid removal of membrane potentials to avoid the occurrence of resistance.11 alpha-mangostin in this study effectively reduced the biofilm thickness of streptococcus mutans due to its antibiofilm properties against planktonic streptococcus mutans through several activities. first, this activity reduces acid production by damaging the membranes of these organisms.15 afterward, α-mangostin targets the inner membrane of bacterial cells. the isoprenyl group of α-mangostin increases the hydrophobicity of αmangostin, leading to an increase in bacterial membrane permeability and leakage of intracellular components, resulting in cell death.11 antibiofilm activity of α-mangostin is bactericidal with the mechanism of action of damaging the cytoplasmic membrane of bacteria. damage to the cytoplasmic membrane causes intracellular components in bacteria leading to death in bacteria.16 the mangosteen activity inhibited staphylococcus aureus biofilms only in the formation of young biofilms (early stage) and had no activity in mature biofilms (late stage). this activity was also demonstrated in a previous study on streptococcus mutans biofilms. the bactericidal activity of mangostin on biofilms is highly dependent on the stage of biofilm formation, and mangostin may be more efficient when combined with other antimicrobial compounds to maximize its activity.17 the minimum level of inhibition was obtained from research conducted, which displayed that mangosteen was less effective in killing gram-negative but more effective against gram-positive bacteria. uropathogenic escherichia coli is a gramnegative bacterium with an outer cell membrane composed of lipopolysaccharide. meanwhile, one of the gram-positive bacteria that is effectively inhibited by mangostin is streptococcus mutans.16 the observations from this study showed the results of the average optical density with the concentration of mangosteen 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, and 12.5 g/ml. at 12.5 g/ml, the average optical density of streptococcus mutans biofilm thickness was the lowest one. the results of these data concluded that the higher the concentration of mangosteen is, the lower the optical density value will be. it indicates that the administration of mangostin can inhibit the growth of streptococcus mutans biofilm. there was a decrease in the thickness of the streptococcus mutans biofilm with mangostin accompanied by mechanical treatment. the decrease in the thickness of the streptococcus mutans biofilm in this study was with concentrations of mangostin 100, 150, and 200 mm. furthermore, this study demonstrated a decrease in the thickness of the streptococcus mutans biofilm in mangostin 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, 12.5 g/ml, and 0.2% chlorhexidine treatment. the results of the average optical density, mangostin 6.25 g/ml and 12.5 g/ml, were more effective than the antibacterial properties of the positive control, 0.2% chlorhexidine, due to its several activities in inhibiting the growth of streptococcus mutans biofilms compared to 0.2% chlorhexidine.15 chlorhexidine 0.2% is one type of mouthwash considered a gold standard.18 chlorhexidine's mechanism of action effectively inhibits growth or kills gram-positive and gram-negative bacteria. the chlorhexidine molecule has a positive rahmawati sri praptiningsih, arlina nurhapsari, rifqi wahyu febrian | the effectiveness of α-mangostin in reducing the streptococcus mutans biofilm thickness 88 charge (cation), and the most bacterial molecular charge is negative (anion). it causes the strong attachment of chlorhexidine to the bacterial cell membrane. therefore, chlorhexidine will cause changes in the permeability of the bacterial cell membrane. it causes the release of the cell cytoplasm and low molecular weight cell components through the cell membrane, leading to bacterial death.19 α-mangostin is effective against multiple microbes, including ones with antibiotic resistance. additionally, αmangostin, though plant-based, produced similar antimicrobial activity in comparison with commercially available antibiotics.20 based on the result, it is concluded that the greater the content of mangostin is, the more inhibited the streptococcus mutans biofilm will be. conclusion alpha-mangostin at a dose of 3.125 g/ml, 6.25 g/ml, and 12.5 g/ml was effective in reducing the biofilm thickness of streptococcus mutans. streptococcus mutans biofilm thickness with the αmangostin concentration of 12.5 g/ml had the lowest mean biofilm thickness compared to the α-mangostin group of 3.125 g/ml, 6.25 g/ml and the aquadest as the negative control group. acknowledgment the author would like to thank the dental faculty of universitas islam sultan agung, semarang, indonesia. reference 1. riskesdas. riset kesehatan dasar tahun 2018. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2018. p. 198. http://labdata.litbang.kemkes.go.id/i mages/download/laporan/rkd/201 8/laporan_nasional_rkd2018_fi nal.pdf 2. sibarani m. dental caries: etiology, clinical characteristics, and management. maj kedokt uki. 2014;30(1):14–22. 3. komansilan jg, mintjelungan cn, waworuntu o. daya hambat ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana l.) terhadap streptococcus mutans. e-gigi. 2015;3(2). https://doi.org/10.35790/eg.3.2.2015 .8824 4. gunawan pn, supit a, manado sr. uji efektif anti bakteri esktrak bunga cengkeh. 2014;2. 5. astuti si, arso sp, wigati pa. aktivitas pembentukan biofilm streptococcus mutans dan candida albicans setelah dipapar dengan cigarette smoke condensate dan minuman probiotik. anal standar pelayanan minimal pada instal rawat jalan di rsud kota semarang. 2015;3:103–11. 6. hamsar a, ramadhan es. penggunaan chlorhexidine kumur dalam perbaikan indeks kebersihan gigi pegawai poltekkes kemenkes ri medan. j kesehat gigi. 2019;6(2):99–103. https://doi.org/10.31983/jkg.v6i2.5482 7. dwipriastuti d, putranto rr, anggarani w. perbedaan efektivitas chlorhexidine glukonat 0,2% dengan teh hijau (camellia sinensis) terhadap jumlah porphyromonas gingivalis. odonto dent j. 2017;4:50–4. https://doi.org/10.30659/odj.4.1.50-54 8. al-eraky mm, mohamed n, kamel f, al-qahtani a, madini ma, hussin a, et al. chlorhexidine – an insight. nazam. int j adv res. 2016;4(6):625–34. 9. darmawansyih. khasiat buah manggis untuk kehidupan. j al hikmah. 2014;xv:60–8. 10. idawati s, hakim a, andayani y. isola α mangostin dari kulit buah manggis (garcinia mangostana l.) dan uji aktivitas antibakteri terhadap bacilus cereus. 2018;118– http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/rkd/2018/laporan_nasional_rkd2018_final.pdf http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/rkd/2018/laporan_nasional_rkd2018_final.pdf http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/rkd/2018/laporan_nasional_rkd2018_final.pdf http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/rkd/2018/laporan_nasional_rkd2018_final.pdf https://doi.org/10.35790/eg.3.2.2015.8824 https://doi.org/10.35790/eg.3.2.2015.8824 https://doi.org/10.31983/jkg.v6i2.5482 https://doi.org/10.30659/odj.4.1.50-54 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(2), november 2022, 83-89 89 22. 11. yanura a. potensi α-mangostin dari ekstrak perikarp manggis (garcinia mangostana l.) dalam menghambat sekresiprotein culture filtrateprotein (cfp)-10 pada mycobacterium tuberculosis h37rv. pharm j indones. 2016;2(1):12–7. https://doi.org/10.21776/ub.pji.2016 .002.01.3 12. syaravina cb, amalina r, hadianto e. pengaruh ekstrak daun beluntas (pluchea indica (l.) less) 25% terhadap biofilm streptococcus mutans in vitro. odonto dent j. 2018;5(1):28. https://doi.org/10.30659/odj.5.1.28-33 13. wangi rpl, suswati e, wisudanti dd. aktivitas ekstrak metanol bawang putih (allium sativum) sebagai penghambat pembentukan biofilm pada pseudomonas aeruginosa (the activity of methanolic extract of garlic (allium sativum) in inhibiting growth of biofilm in pseudomonas aeruginosa). j pustaka kesehat. 2017;5(3):537–43. 14. maghfirah f, saputri d, basri. aktivitas pembentukan biofilm streptococcus mutans dan candida albicans setelah dipapar dengan cigarette smoke condensate dan minuman probiotik. j caninus dent. 2017;2(1):12–9. 15. nguyen ptm, falsetta ml, hwang g, gonzalez-begne m, koo h. αmangostin disrupts the development of streptococcus mutans biofilms and facilitates its mechanical removal. plos one. 2014;9(10). https://doi.org/10.1371/journal.pone .0111312 16. rakhmawatie md, rohmani a, ahyar fw. in vitro effect of alfa mangostin on multiresistant uropathogenic escherichia coli. sains med j kedokt dan kesehat.2017;8(1):20–7. https://doi.org/10.26532/sainsmed.v 8i1.1002 17. phuong ntm, van quang n, mai tt, anh nv, kuhakarn c, reutrakul v, et al. antibiofilm activity of αmangostin extracted from garcinia mangostana l. against staphylococcus aureus. asian pac j trop med. 2017;10(12):1154–60. https://doi.org/10.1016/j.apjtm.2017 .10.022 18. tamura h. a novel herbal formulation versus chlorhexidine mouthwash in efficacy against oral microflora. 2018;8(831):34–7. 19. sinaredi br, pradopo s, wibowo tb. daya antibakteri obat kumur chlorhexidine, povidone iodine, fluoride suplementasi zinc terhadap streptococcus mutans dan porphyromonas gingivalis. maj kedokt gigi. 2014;47(4):211. https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v4 7.i4.p211-214 20. sultan os, kantilal hk, khoo sp, davamani af, eusufzai sz, rashid f, et al. the potential of αmangostin from garcinia mangostana as an effective antimicrobial agent—a systematic review and meta-analysis. antibiotics. 2022;11(6). https://doi.org/10.3390/antibiotics11 060717 https://doi.org/10.21776/ub.pji.2016.002.01.3 https://doi.org/10.21776/ub.pji.2016.002.01.3 https://doi.org/10.30659/odj.5.1.28-33 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0111312 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0111312 https://doi.org/10.26532/sainsmed.v8i1.1002 https://doi.org/10.26532/sainsmed.v8i1.1002 https://doi.org/10.1016/j.apjtm.2017.10.022 https://doi.org/10.1016/j.apjtm.2017.10.022 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v47.i4.p211-214 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v47.i4.p211-214 https://doi.org/10.3390/antibiotics11060717 https://doi.org/10.3390/antibiotics11060717 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 1-6 1 research article the overview of eating patterns and dental caries status of the community of pendul, argorejo, bantul yogyakarta sri utami1*, retnaningtyas pinastika2, novitasari ratna astuti1, arya adiningrat3 1department of dental public health, faculty of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 2faculty of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 3department of oral biology, faculty of dentistry, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia received date: may 20th, 2022; revised date: january 7th, 2023; accepted: may 15th, 2023 doi: 10.18196/di.v12i1.14749 abstract the primary caries etiology factors are hosts (teeth), agents (microorganisms), substrates, and time. individual characteristics can be influenced by caries' risk factors, such as age, education level, economic status, and diet. the high frequency of food and snack consumption, especially cariogenic food, is riskier of being caries affected. this study aims to describe the eating pattern and dental caries status of the pendul community in 2018. this research is a descriptive observational study with a cross-sectional approach. it was held from december 2018 to january 2019 in the pendul district of bantul. the subject of this research was selected using the accidental sampling method with 138 respondents. the research instrument employed the food frequency questionnaire and dmft index. the result showed that the higher the consumption of cariogenic foods is, the higher the caries index will be. the highest frequency of cariogenic foods consumption was snacks, with a mean dmft index of 8,02. the highest frequency of cariogenic beverage consumption was sugar tea, with a mean dmft index of each respondent was 8 teeth. the highest frequency of cariogenic consumption per week lay in snacks and packaged tea. apart from the four etiological factors, such as agent, host, substrate, and time, caries can also be caused by other determinant factors such as gender, age, education level, and socioeconomic status. keywords: dental caries; diet role; dmft index; food frequency questionnaire introduction national health development also focuses on equitable distribution of health, protection of health resources, improvement of nutritional health status, and public health services1, such as dental and oral health services. dental and oral health problems in indonesia still require special attention from the government. the most common dental and oral health problem is dental caries.2 according to riskesdas data in 2018, the prevalence of dental caries.3 dental caries occurs due to bacteria's activity in the oral cavity, especially streptococcus mutants, which ferment carbohydrates into acids, especially * corresponding author, e-mail: sri.utami@umy.ac.id lactic acid and acetic acid. factors causing caries include host factors (teeth and saliva), substrate factors, microorganism factors (bacteria), and time factors. caries occur when these four factors interact with each other.2 apart from these four factors, individual characteristics can also influence the occurrence of caries, such as age, education level, economic status, and daily eating patterns.4 an eating pattern is related to the frequency of food consumption, food portion, and daily food quality.5 the high frequency of consumption of food and snacks, especially cariogenic ones, causes a person to be susceptible to caries.2 cariogenic foods are high in carbohydrates, sri utami, retnaningtyas pinastika, novitasari ratna astuti, arya adiningrat| the overview of eating patterns and dental caries status of the community of pendul, argorejo, bantul yogyakarta 2 sticky, and easily chewed in the oral cavity.6 this study aims to describe eating patterns and the dental caries status of the people in pendul in 2018. materials and methods this study used a descriptive observational research method with a crosssectional design. this research was conducted from december 2018 to january 2019 in pendul, argorejo village, sedayu district, bantul, daerah istimewa yogyakarta, indonesia. based on the preliminary survey results, the total population was 730 people. the sample in this study included the people of pendul, argorejo village, sedayu district, whose minimum age was 5 years old. based on the preliminary survey, it was found that 660 people met these criteria. this study used an accidental sampling technique and obtained 138 people. the variables of this study were dental caries status and eating patterns. the operational variable of the dental caries status is the status of cavities characterized by the presence of cavities when measured using a probe. a probe was measured using the dmf-t index (decay, missing, filled teeth) in study subjects with permanent teeth and the def-t index (decay, exfoliate, filled teeth) in study subjects with primary teeth. an eating pattern is a habit of consuming food and drinks identified by filling out the food frequency questionnaire (ffq) sheet to calculate the type of food consumed and the frequency of eating habits per week in the past month. the research instruments included an odontography, ffq questionnaire, oral mirror, probe, 70% alcohol, and container. result table 1. distribution of dental caries status with dmft index dmft total mean dmft d m f 702 381 7 1090 7.89 table 1 shows that the dental caries status of the dusun pendul community assessed by the dmft index has a mean of 7.89. table 2. distribution of dental caries status by gender gender total mean dmft male 440 7.71 female 650 8.02 table 2 shows that female respondents have a higher mean dmft than male respondents, where the mean dmft of male respondents is 7.71, while female respondents’ mean dmft is 8. 02. table 3. distribution of dental caries status by age age total mean dmft 5-11 years 32 4.71 12-25 years 25 5.32 26-45 years 27 7.25 46-65 years 47 10.6 > 65 years 7 16 table 3 shows that the dental caries status's highest mean dmft is at > 65 years old, namely 16. table 4. distribution of dental caries status by latest education level education level total mean dmft uneducated 34 5.17 elementary school 50 9.4 junior high school 21 8.57 senior high school 31 7.61 college 2 2 table 4 shows that the highest number of respondents, 50 people (36.2%), have an elementary school educational background. meanwhile, the lowest number of respondents, 2 people (1.4%), have a college degree as their latest educational level. table 5. distribution of dental caries status by socio-economic occupation total mean dmft laborer 52 9.78 housewife 14 9.35 entrepreneur 8 11.37 private employees 5 3.8 unemployed 54 5.02 other 5 11.2 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 1-6 3 table 5 shows that respondents who work as entrepreneurs have the highest mean dmft of 11.37. table 6. frequency distribution of weekly cariogenic consumption and mean dmft cariogenic beverage total once 2-3 times >3 times never n (dmft) n (dmft) n (dmft) n (dmft) packaged milk 9 16 4 89 packaged tea 2 23 44 69 packaged coffee 3 9 8 118 packaged syrup 7 2 3 126 packaged juice 5 5 3 125 ice cream 9 19 7 103 soft drink 6 3 1 128 isotonic 9 2 0 127 table 6 shows that the higher the frequency of cariogenic foods such as bread, cakes, candies, and snacks are, the higher the average of dental caries will be. the highest cariogenic consumption was in snacks with a frequency of > 3 times per week, and the mean of dmft was 9.29. table 7. frequency distribution of the weekly cariogenic drinking patterns and mean dmft cariogenic food total once 2-3 times > 3 times never n (dmft) n (dmft) n (dmft) n (dmft) bread 24 (7.65) 31 (8.29) 27 (12.1) 54 (5.6) cake 16 (7.68) 16 (8.81) 11 (11.3) 95 (7.42) candy 13 (8.15) 9 (8,11) 24 (8.25) 92 (7.91) chocolate 7 (10.7) 15 (7.46) 7 (11,4) 109 (7.55) snacks 8 (7.75) 21 (8.47) 34 (9.29) 75 (7.12) table 7 shows that the most frequently consumed cariogenic beverage is packaged tea, with a consumption frequency of > 3 times per week with a mean dmft of 9.27. discussion this study indicated that the highest frequency of cariogenic food consumption per week was snack consumption, with a frequency of > 3 times by 34 respondents. it had a mean dmft of 9.29. furthermore, this study also revealed that the higher the frequency of respondents consuming bread, cakes, candies, and snacks is, the higher the respondents' mean dmft will be. certain bacteria can ferment food consumption high in sucrose and glucose into acids that can damage tooth enamel and lead to caries. the high frequency of consumption of cariogenic foods and snacks causes a person to be prone to caries.5 based on the present systematic review, an association was found between the time spent by preschool and school-aged children watching tv and poor diet quality, characterized by higher fat and sugar consumption with fewer fruits and vegetables and increased intake of sugarsweetened beverages; therefore, representing a potentially cariogenic diet.7 the results of this study align with the previous research, revealing that the higher the consumption of sweets is, the higher the caries severity will be.8 previous research also revealed evidence to support the use of sugar-free gum in controlling streptococcus mutans counts, which relate directly to caries progression in children sri utami, retnaningtyas pinastika, novitasari ratna astuti, arya adiningrat| the overview of eating patterns and dental caries status of the community of pendul, argorejo, bantul yogyakarta 4 and adults. chewing sugar-free gum reduces the load of streptococcus mutants in the oral cavity compared to non-chewing controls.9 furthermore, the highest frequency of cariogenic beverage consumption per week was packaged tea, with a consumption frequency of > 3 times by 44 respondents with a mean dmft of 9.27. the sucrose content in packaged tea can accelerate extra cells so that microorganisms in the oral cavity quickly convert them, causing a decrease in ph. consuming sweet, sticky or sour food causes persistent acidity, making saliva difficult to increase the ph; low ph causes dental caries. it is in line with the previous research, which found a relationship between the frequency of consumption of cariogenic foods and beverages with the level of dental caries.10 in terms of dmft, this study revealed that the mean dmft of the pendul community was 7.89. it indicated that each respondent had an average of caries in 8 teeth. the high rate of dental caries can be influenced by many factors, such as gender, age, education level, socioeconomic status, environment, and culture.2 based on the study results, it can be seen that female respondents had a higher mean dmft than male respondents. the mean dmft of female respondents was 8.02, while the mean dmft of male respondents was 7.71, with the caries level categorized as very high. the high dental caries in women can be caused by a faster dental eruption than in men. the prevalence of dental caries in women was higher than that of men.11 in addition, the results of this study also indicated that the dental caries status based on age category in the age group of > 65 years had a higher mean dmft than the age group below it. the mean dmft in the age group > 65 years was 16. the high dental caries in the elderly can be influenced by a decrease in selfindependence, resulting in a decreased level of dental and oral hygiene. the older the age is, the lower the awareness of maintaining dental and oral health will be.12 the results of dental caries status based on the educational background showed that the highest mean dmft lay in respondents who had elementary school as their latest educational level, with a total of 50 respondents and a mean dmft of 9.4. the level of education affected the status of dental and oral hygiene and dental caries status. the lower the level of education is, the higher the caries rate will be suffered.13 dental caries risk factors included higher consumption of snacks, lower maternal education level, and socioeconomic status. the population with lower income and lower educational level are the most affected, independently of the evaluated indicator such as untreated dental caries, access to dental care services and hygiene habits.14 parental educational background frequently determines income, thus controlling access to home or professional preventive means such as toothpaste, dental floss, low caloric sugar-reduced diets, or privately paid dental sealants.15 educational background affects nonmaterial characteristics such as health literacy and behavior, including dietary and tooth cleaning habits or health service utilization frequency and patterns.16 mother’s level of education increases the awareness of oral health-related issues. educating mothers on child dental care will promote lifelong good oral hygiene habits and considerably reduce the prevalence of oral diseases.17 based on socioeconomic status, the results showed that the highest mean dmft was in entrepreneurs, with a total of 8 respondents and a mean dmft of 11.3. in this study, the high mean dmft was related to the behavior level in maintaining dental and oral health, which was included in the poor category. apart from the four etiological factors, such as agent, host, substrate, and time, caries can also be caused by other determinant factors such as gender, age, education level, and socioeconomic status. this research demonstrated that the mean insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 12(1), may 2023, 1-6 5 dental caries of each respondent was 8 teeth. the highest frequency of cariogenic consumption per week lay in snacks and packaged tea. parents should be advised that they are role models able to set eating behaviors at home by providing high-quality meals and having fruits, vegetables, and other healthy foods available as snacks.18 high sugar consumption, low maternal education, and low socioeconomic status increase the risk of dental caries.19 higher maternal education on tooth brushing, limiting sugars, and improving oral health education, are essential for reducing the prevalence of dental caries.20 conclusion the people in dusun pendul had an average of caries of 8 teeth per person. furthermore, the highest eating pattern was in the consumption of snacks, with a mean dmft of 9.29, and the highest cariogenic drinking consumption was packaged tea. acknowledgment we would like to thank the participants who participated in this study. reference 1. ministry of health of the republic of indonesia. balanced nutrition guidelines 2015-2019 health development strategic plan. 2019. jakarta 2. kidd, e. a. dan bechal, s. j. (2012). dasar dasar karies penyakit dan penanggulangannya. 2012. jakarta: egc. pp 12-16 3. ministry of health of the republic of indonesia. guide to balanced nutrition. 2013. jakarta 4. worotitjan, i., mintjelungan, c. n. dan gunawan, p. pengalaman karies gigi serta pola makan dan minum pada anak sekolah dasar di desa kiawa kecamatan kawangkoan utara. jurnal e-gigi (eg). 2013. 1(1): 59-68. https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1931 5. duggal, m., cameron, a. and toumba, j. at a glance, pediatric dentistry. 2014. jakarta: erlangga. 6. rois, f. hubungan perilaku mengkonsumsi makanan manis dengan kejadian karies gigi pada anak usia sekolah di sd negeri harjodowo kecamatan kuwarasan kabupaten kebumen. 2017. pp 34-35 7. shqair, a.q., pauli, l.a., costa, v.p.p., cenci, m., goettems, m.l. screen time, dietary patterns and intake of potentially cariogenic food in children: a systematic review. j. dent. 2019. 86:17-26. https://doi.org/10.1016/j.jdent.2019.06.004 8. pramono, g, a. hubungan asupan makanan kariogenik dengan tingkat keparahan rampan karies. universitas muhammadiyah yogyakarta: 2011. yogyakarta. 9. nasseripour, m., newton, j.t., warburtonz, f., awojobi, o., giorgio, s.d., gallagher, j.e., and banerjee, a. a systematic review and meta-analysis of the role of sugar-free chewing gum on streptococcus mutans, bmc oral health. 2021. 21:217, 2-11. https://doi.org/10.1186/s12903-02101517-z 10. rosidi a. hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan kejadian karies gigi pada anak sdn 1 gogodalem kecamatan bringin kabupaten semarang. 2013. 7(1):1012. https://doi.org/10.47575/jpkm.v1i1.188 11. dewi r.o. gambaran status karies gigi (indeks dmf-t) pada pasien thalasemia beta mayor di rumah sakit umum daerah dr. zainoel abidin banda aceh. 2017. 2(2): 71-77 12. listian, n.p. perilaku menggosok gigi kebiasaan makan dan minum tinggi sukrosa dengan kejadian karies gigi pada siswa di min jejeran, jurnal poltekes kemenkes ri. 2017. pp 8-12 13. lakoro. pola konsumsi air, susu, dan produk susu, serta minuman manis sebagai faktor resiko obesitas pada anak sekolah dasar di kota https://doi.org/10.35790/eg.1.1.2013.1931 https://doi.org/10.1016/j.jdent.2019.06.004 https://doi.org/10.1186/s12903-021-01517-z https://doi.org/10.1186/s12903-021-01517-z https://doi.org/10.47575/jpkm.v1i1.188 sri utami, retnaningtyas pinastika, novitasari ratna astuti, arya adiningrat| the overview of eating patterns and dental caries status of the community of pendul, argorejo, bantul yogyakarta 6 yogyakarta dan kabupaten bantul. 2013. 1(2): 102-109. https://doi.org/10.21927/ijnd.2013.1(2) .102-109 14. probst, l.f., pucca junior g.a., antonio carlos pereira, a.c., de carli, a.d., 2019, impact of financial crises on oral health indicators: an integrative review of the literature. cient saude colet. 2019. 24 (12). https://doi.org/10.1590/1413812320182412.23132019 15. anouti, f.a., abboud, m., papandreou, d., haidar, s., mahboub, n and rizk, r. oral health of children and adolescents in the united arab emirates: a systematic review of the past decade, frontiers in oral health. 2021. 29; 2;744328 https://doi.org/10.3389/froh.2021.744328 16. schwendicke, f., c.e. dörfer, c.e., schlattmann, p., foster page, l., thomson, w.m., and paris, s., socioeconomic inequality and caries: a systematic review and metaanalysis, journal of dental research, https://doi.org/10.1177/002203451455 7546 17. carta, g., cagetti, m.g., sale, s., congiu, g., strohmenger, l., oleari, f., bossù, m., lingström. oral health inequalities in italian schoolchildren a cross-sectional evaluation community dental health. 2014.31, 123–128, doi:10.1922/cdh_3300carta06 18. nembhwani, h.v., indu varkey, i. caries experience and its relationship with mother’s educational level and occupational status: a cross-sectional survey, international journal of clinical pediatric dentistry. https://doi.org/10.5005/jp-journals10005-2163 19. mobley, c., marshall, t.a., milgrom, p., codwell, s.e. the contribution of dietary factors to dental caries and disparities in caries. acad pediatr. 2009. 9(6): 410–414. https://doi.org/10.1016/j.acap.2009.09.008 20. madiha yousaf, m., aslam, t., saeed, s., sarfraz, a., sarfraz, z., and cherrezojeda, i. individual, family, and socioeconomic contributors to dental caries in children from lowand middle-income countries, int. j. environ. res. public health. 2022. https://doi.org/10.3390/ijerph19127114 https://doi.org/10.21927/ijnd.2013.1(2).102-109 https://doi.org/10.21927/ijnd.2013.1(2).102-109 https://doi.org/10.1590/1413-812320182412.23132019 https://doi.org/10.1590/1413-812320182412.23132019 https://doi.org/10.3389/froh.2021.744328 https://doi.org/10.1177/0022034514557546 https://doi.org/10.1177/0022034514557546 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10005-2163 https://doi.org/10.5005/jp-journals-10005-2163 https://doi.org/10.1016/j.acap.2009.09.008 https://doi.org/10.3390/ijerph19127114 49 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 tata laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal governance mucous membrane pemphigoid (mmp) which is triggered by herbal medicine toni masruri1, kus harijanti2 1 residen ilmu penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi universitas airlangga 2 staf pengajar ilmu penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi universitas airlangga korespondensi: tomas61079@gmail.com abstract introduction: mucous membrane pemphigoid (mmp) is a rare autoimmune disorder preceded with blisters various in size, commonly involving oral mucosa, conjunctiva, rarely the skin. this disorder often affects elderly female (over 50 years old) more than male. diagnosis is very difficult to differentiate with other autoimun disorders involving mucosa, and often triggered by drugs. purpose: this paper reports a management of mmp on an elderly javanese woman. case: 60 year-old-woman complained of painful persistent ulsers since 3 months ago, without history of prodromal sympthoms. clinical examination revealed multiple ulcers and eroded mucosa covered by pseudomembranes. slight bleeding was observed. dark brown, painful crusts were observed on lower lip. no lesion appears elsewhere. patient admitted of consuming herbal medication. management: several tests were ordered and patient was treated sympthomatically using antiseptic and anti-inflammatory mouthwash. complete blood count (cbc) showed elevated esr, direct mycology showed yeast formation, while liver function, renal function and blood glucose level were normal. patient was then treated with oral corticosteroids, topical antifungal, immunomodulator and antiseptic mouthwash. recovery was achieved within one month follow-up. conclusion: the diagnosis of mmp was established based on history, clinical appearance and examinations. treatment requires long-term administration of oral corticosteroids, therefore good cooperation between operators and patients is necessary, as well as patient adherence to taking medication and regular controls. keywords: mucous membrane pemphigoid (mmp), autoimmune disorder, corticosteroids. abstrak pendahuluan: mucous membrane pemphigoid (mmp) adalah suatu kelainan autoimun yang jarang terjadi. gambaran lesinya sangat bervariasi (dengan didahului lesi berbentuk blisters) biasanya melibatkan mukosa oral dan mukosa mata. kelainan ini sering menyerang penderita usia diatas 50 tahun. berdasarkan gambaran klinis diagnosis penyakit ini sulit dibedakan dengan penyakit autoimun lain yang melibatkan mukosa, dan sering dipicu oleh penggunaan obat-obatan. tujuan: melaporkan tata laksana kasus pada penderita mmp usia 60 tahun suku jawa kasus: pasien wanita, usia 60 tahun sejak 3 bulan yang lalu terdapat ulser disertai erosi di seluruh mukosa rongga mulut dan ada sedikit perdarahan, tanpa fase sembuh, terasa sakit. ulser muncul tanpa didahului gejala prodromal. pada bibir bawah ditemukan adanya krusta, warna coklat kehitaman, sakit dan tidak ditemukan adanya lesi di kulit dan mata. pasien mengaku sering mengkonsumsi obat-obatan herbal. tata laksana: pasien diresepkan obat kumur antiinflamasi dan 50 toni masruri, kus harijanti | tata laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal antiseptik. dan kemudian dilakukan beberapa tes penunjang. hasil tes menunjukkan terdapat kenaikan laju endap darah, pemeriksaan mikologi menunjukkan adanya yeast, fungsi hati, ginjal, dan kadar gula darah normal. pasien dirawat dengan kortikosteroid per oral, antifungi topikal, immunomodulator, dan obat kumur antiseptik. perawatan dilakukan selama 1 bulan. kesimpulan: diagnosis mucous membrane pemphigoid (mmp) ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan ektra oral dan intra oral. perawatan mucous membrane pemphigoid (mmp) memerlukan pemberian kortikosteroid jangka panjang, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara operator dan pasien, ketaatan pasien dalam minum obat serta kontrol teratur. kata kunci: mucous membrane pemphigoid (mmp), autoimun, kortikosteroid pendahuluan mucous membrane pemphigoid (mmp) adalah suatu kelainan autoimun kronis ditandai dengan suatu blisters/gelembung (lepuhan) yang mengenai membran mukosa.1,2,4 mukosa yang terlibat adalah mukosa rongga mulut (80%), konjungtiva, nasofaring, esofagus, laring, dan mukosa genital.1,2,3,5,6 gambaran lesinya bisa berupa ulser, erosi yang tertutup pseudomembran, patch kemerahan, blisters.5,6 secara epidemiologi mucous membrane pemphigoid (mmp) banyak mengenai usia dekade kelima, dan sering mengenai pada usia 60-80 tahun. wanita dua kali lebih banyak daripada pria, anak-anak jarang terkena. penyakit ini tidak mengenal ras dan kondisi geografis.1,2,7,8 nama lain dari mmp adalah benign mucous membrane pemphigoid, cicatricial pemphigoid, dan ocular or oralgingival pemphigoid. 3 penegakan diagnosis dari penyakit ini adalah dengan melihat gambaran klinis, pemeriksaan ekstra oral dan intra oral, serta dengan pemeriksaan penunjang berupa biopsi dan direct imunofluoresence. diagnosis banding dari penyakit ini adalah pemphigus vulgaris, bullous pemphigoid, oral lichen planus tipe erosif.1,6,7 penatalaksanaan mucous membrane p e m p h i g o i d ( m m p ) a d a l a h d e n g a n menggunakan kortikosteroid topikal ataupun sistemik tergantung dari tingkat keparahan penyakit dan penggunaan obat kumur antiseptik/ antiinflamasi juga disarankan.1,2,6,7 penatalaksanaan kasus pasien wanita usia 60 tahun datang ke rsgm fkg unair dengan kondisi umum terlihat pucat dan kurus, mengeluhkan sariawan sejak 3 bulan yang lalu di seluruh mukosa rongga mulut, terasa sakit, dan tidak ada fase sembuh. pasien juga mengatakan mengalami nyeri telan, dan selama sakit selalu mengkonsumsi makanan lunak. pasien sudah berobat ke dokter umum dan dokter gigi, dan diberikan pengobatan berupa antibiotik, anti nyeri, obat kumur, oxyfresh gel, albothyl, tetapi tidak ada perbaikan sama sekali. berat badan pasien turun 4 kilogram dalam jangka waktu 3 bulan tersebut. pasien mengatakan dan mengaku sering mengalami sariawan sejak usia 26 tahun, tetapi sembuh dalam waktu kurang lebih 10 hari dengan obat oles/obat tetes. untuk sariawan yang sekarang pasien mengatakan berbeda dengan sariawan yang sudah pernah diderita sebelumnya. 2 tahun terakhir pasien mengatakan setiap hari mengkonsumsi jamu dengan campuran temulawak, kencur, kunyit, 51 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 jahe ditambah gula sedikit atau madu, sehari satu gelas (250 cc), jamu tersebut dibuat sendiri (alasan mengkonsumsi jamu dengan harapan menjaga kesehatan tubuh pasien). pemeriksaan klinis ekstra oral, kelenjar sub mandibularis kanan dan kiri palpasi teraba, lunak dan sakit. pada sudut mulut kiri terdapat pseudomembran, warna putih kekuningan, batas jelas, tepi ireguler, sakit. pada labial superior dan inferior kiri, terdapat krusta, multipel, warna kuning kehitaman, sakit, diameter 2 cm x 2 mm. pada pemeriksaan intra oral, pada mukosa labial kiri atas dan bawah terdapat pseudomembran, multipel, warna putih kekuningan, tepi ireguler, batas difus, sakit, ukuran 2 cm x 3 mm, berdarah. pada mukosa pipi kanan terdapat pseudomembran, multipel, warna putih kekuningan, tepi ireguler, batas difus, ukuran 4 mm x 4 mm, sakit. pada mukosa pipi kiri terdapat pseudomembran, multipel, warna putih kekuningan, tepi ireguler, batas difus, ukuran 4 mm x 1 cm, sakit. pada ventral lidah sebelah kiri terdapat pseudomembran, multipel, warna putih kekuningan, tepi ireguler, batas difus, ukuran 2 cm x 1 cm, sakit. pada dorsal lidah terdapat lapisan putih 2/3 posterior lidah, dapat dikerok, dan tidak sakit. pada palatum posterior terdapat berbagai lesi (pseudomembran, ulser, erosi), tepi ireguler, batas difus, ukuran bervariasi, sakit. 66 toni masruri, kus harijanti │tana laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal gambar 1. kondisi klinis pada kunjungan pertama diagnosis klinis pasien adalah mmp dengan diagnosis banding pemphigus vulgaris. pada pemeriksaan darah lengkap, faal hati (sgot/sgpt), faal ginjal (bun/creatinin), dan kadar glukosa darah didapatkan terdapat peningkatan laju endah darah (led) 50-90 mm/jam dari nilai normal 12 mm/jam. pemeriksaan jamur dilakukan pada dorsal lidah dengan metode koh didapatkan adanya yeast cell, dan pada kultur jamur dengan saboroud dextra agar (sda) ditemukan candida glabrata. untuk kasus ini pasien diberikan kortikosteroid (methyl prednisolone) dengan dosis awal 40 mg/hari dan selama pengobatan dilakukan tappering off dose. diberikan azathioprine sebagai adjuvant/immunomodulator dan obat kumur yang mengandung antiinflamasi, analgetik & antiseptik. selama proses pengobatan pasien diberikan multivitamin dan mineral terutama yang mengandung zinc, antijamur (nystatin terdapat pseudomembran, di seluruh mukosa rongga mulut. krusta kuning kehitaman di labial, berdarah dan sakit gambar 1. kondisi klinis pada kunjungan pertama terdapat pseudomembran, di seluruh mukosa rongga mulut. krusta kuning kehitaman di labial, berdarah dan sakit 52 toni masruri, kus harijanti | tata laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal diagnosis klinis pasien adalah mmp dengan diagnosis banding pemphigus vulgaris. pada pemeriksaan darah lengkap, faal hati (sgot/ sgpt), faal ginjal (bun/creatinin), dan kadar glukosa darah didapatkan terdapat peningkatan laju endah darah (led) 50-90 mm/jam dari nilai normal 12 mm/jam. pemeriksaan jamur dilakukan pada dorsal lidah dengan metode koh didapatkan adanya yeast cell, dan pada kultur jamur dengan saboroud dextra agar (sda) ditemukan candida glabrata. untuk kasus ini pasien diberikan k o r t i k o s t e r o i d ( m e t h y l p re d n i s o l o n e ) dengan dosis awal 40 mg/hari dan selama pengobatan dilakukan tappering off dose. diberikan azathioprine sebagai adjuvant/ immunomodulator dan obat kumur yang mengandung antiinflamasi, analgetik & antiseptik. selama proses pengobatan pasien diberikan multivitamin dan mineral terutama yang mengandung zinc, antijamur (nystatin oral drop), hepatoprotector, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan penyakit. pasien dilakukan kontrol setiap minggu, untuk memantau perkembangan penyakit, dan diberikan tapering off dose kortikosteroid tidak lebih dari 12,5 mg dari dosis awal.. pada hari ke-35 pasien datang mengatakan kondisinya sudah sehat dan bugar. sariawan di rongga mulut sudah sembuh total, hanya bekas sariawan sekarang terasa tebal dan tidak terasa sakit . obat digunakan secara teratur. pengobatan kortikosteroid dilanjutkan dengan dosis maintenance sampai dengan 3 bulan. 67 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 oral drop), hepatoprotector, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan penyakit. pasien dilakukan kontrol setiap minggu, untuk memantau perkembangan penyakit, dan diberikan tapering off dose kortikosteroid tidak lebih dari 12,5 mg dari dosis awal.. pada hari ke-35 pasien datang mengatakan kondisinya sudah sehat dan bugar. sariawan di rongga mulut sudah sembuh total, hanya bekas sariawan sekarang terasa tebal dan tidak terasa sakit . obat digunakan secara teratur. pengobatan kortikosteroid dilanjutkan dengan dosis maintenance sampai dengan 3 bulan. gambar 2. kondisi klinis pada hari ke-35 rongga mulut dalam keadaan normal gambar 2. kondisi klinis pada hari ke-35 rongga mulut dalam keadaan normal 53 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 pembahasan pasien wanita usia 60 tahun datang ke rsgm fkg unair dengan kondisi umum pasien terlihat pucat dan mengeluhkan sariawan sejak 3 bulan yang lalu di seluruh mukosa rongga mulut, terasa sakit, dan tidak ada fase sembuh. pasien juga mengatakan mengalami nyeri telan, dan selama sakit selalu konsumsi makanan lunak. pasien sudah berobat ke dokter umum dan dokter gigi, dan diberikan pengobatan berupa antibiotik, anti nyeri, obat kumur, oxyfresh oral gel, albothyl, tetapi tidak ada perbaikan, dan sariawan masih ada. berat badan pasien turun 4 kilogram dalam jangka waktu 3 bulan tersebut. diagnosis klinis kondisi ini adalah mucous membrane pemphigoid (mmp) berdasarkan anmnesis dan gambaran klinis, dengan diagnosis banding pemphigus vulgaris (pv). pv adalah suatu kelainan autoimun mukokutaneus yang dikarakteristikan dengan suatu pembentukan blisters intraepithelial,6 sehingga secara klinis memiliki gambaran yang sama dengan mmp. seharusnya penegakan diagnosis ditunjang dengan pemeriksaan hpa (histo patology anatomy) dan dif (direct immuno fluoresence),1,2,6,7,8 tetapi ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan biopsi apabila pasien menolak, lokasi lesi dekat dengan daerah vaskular, lokasi lesi pada daerah yang memerlukan estetik (vermillion border), akses yang sulit (ventral lidah).9,10 pada kasus ini pasien menolak untuk dilakukan biopsi. pemeriksaan darah pada kunjungan pertama dimaksudkan untuk melihat kondisi sistemik pasien, fungsi hati, fungsi ginjal, kadar glukosa darah sehingga memudahkan operator untuk memberikan obat. dari pemeriksaan darah didapatkan hasil yang normal kecuali led yang meningkat (50-90 mm/jam), yang menunjukkan bahwa adanya infeksi akut, infeksi kronis, atau penyakit autoimun.11 pemberian obat pada kunjungan pertama berupa analgetik dan antiinflamasi yaitu obat kumur aloe vera extract, dengan harapan dapat memberikan rasa nyaman dan mengurangi rasa sakit karena obat ini dapat membuat barrier pada permukaan lesi sehingga melindungi lesi dari paparan atau kontak bahan lain dengan saraf tepi pada lesi, selain itu asam hialuronat dan aloe vera pada obat ini berfungsi sebagai bahan untuk mendukung proses penyembuhan pada kerusakan jaringan mukosa rongga mulut12,13. pemberian kombinasi multivitamin dan mineral (vit e 30 iu, vit c 750 mg, vit b1 15 mg, vit b2 15 mg, vit b6 20 mg, vit b12 12 mcg, folic acid 400 mcg, pantothenic acid 20 mg, zn 22.5 mg, niacin 100 mg) bentuk kaplet14, adapun fungsi dari masing-masing multivitamin dan mineral ini adalah vitamin e dan c berfungsi sebagai antioksidan, dan perbaikan sistem imun, mempercepat penyembuhan luka, pembentukan jaringan ikat., vitamin b1 (tiamin ), vitamin b2 (riboflavin), niacin berfungsi metabolisme karbohidrat, vitamin b6 (piridoksin) berfungsi untuk metabolisme protein dan glikogen., vitamin b12 (cobalamin) dan asam folat berfungsi untuk pembentukan sel darah merah, dan sintesis dna, asam pantotenat berfungsi untuk sistesis lemak., zinc berfungsi untuk regenerasi sel, metabolisme karbohidrat, membantu mempercepat regenerasi jaringan yang rusak, meningkatkan proses penyembuhan luka.14,15,16 pada kunjungan kedua (hari ketujuh) dan seterusnya setiap kontrol dengan tapering off 54 toni masruri, kus harijanti | tata laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal dose pasien diberikan resep methyl prednisolone. methyl prednisolone adalah kortikosteroid yang bersifat intermediate acting (biologic half life 12-36 jam) ,memiliki retensi natrium yang rendah (0,5). kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresi.17 pada mmp terjadi peningkatan respon imun tubuh terhadap autoantigen dan radang/inflamasi di mukosa rongga mulut, sehingga dibutuhkan kortikosteroid untuk menekan reaksi tersebut. tapering off dose dilakukan karena kondisi rongga mulut pasien sudah membaik dan untuk mencegah penekanan sistem imun yang berlebihan. pasien juga diresepkan povidone iodine 1% obat kumur, sebagai antiseptik terhadap bakteri rongga mulut yang mungkin akan menginfeksi melalui ulser di rongga mulut yang mengganggu proses kesembuhan.14 pada kunjungan selanjutnya pemberian ekstrak sylibum marianum dan ekstrak curcuma (hepatoprotektor) berfungsi untuk pencegahan dan perawatan liver/hati karena kerja berat liver untuk detoksifikasi obatobatan yang digunakan.14 pasien juga diberikan obat antijamur nystatin oral drop, karena pada hasil pemeriksaan mikologi ditemukan gambaran yeast dari candida glabrata pada lidah pasien. c glabrata adalah flora normal jamur dengan jumlah sedikit pada mukosa dan kulit, dan merupakan jamur yang tidak bisa membentuk hiphae dan pseudohyphae diantara jenis candida yang lain.18 nistatin merupakan antijamur yang bekerja lokal, tidak diabsorpsi sistemik. nistatin bekerja dengan mengikat ergosterol yang merupakan komponen utama dinding sel jamur. nistatin oral drop menjadi pilihan alternatif utama sebagai pengobatan infeksi jamur karena sifat yang dimiliki yaitu bereaksi lokal dan tidak diabsorpsi (sistemik), murah, mudah diberikan, dan aman.19 pasien juga diberikan azathioprine tablet 50 mg diminum sehari sekali, pemberian obat ini digunakan untuk sebagai adjuvant dan immunomodulator pada pemberian kortikosteroid. efek samping dari pemberian kortikosteroid jangka panjang salah satunya dapat menyebabkan hiperglikemia, oleh karena itu harus selalu diperiksa kadar glukosa darah secara berkala.1 etiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga merupakan reaksi autoimun yang dipicu oleh penggunaan obat-obatan.1,20 patogenesis dari penyakit mmp sangat kompleks. sirkulasi igg dan iga autoantibodi pada serum pasien mmp menunjukkan bahwa penyakit ini dimediasi oleh respon imun humoral. penyakit ini terjadi ketika antibodi menyerang satu atau lebih autoantigen di subepitel dan membrana basalis. dengan menggunakan teknik immunoblotting dan immunopresipitasi didapatkan autoantigen pada penyakit ini, yaitu bullous pemphigoid antigen 1 (bpag 1/bp 230), bullous pemphigoid antigen 2 (bpag 2/bp 180), integrin subunit α6/β4, laminin-332 (biasa disebut epiligrin dan laminin-5), laminin-6, dan kolagen tipe1. bpag 1 adalah protein pada intraseluler, sedangkan bpag 2 dan integrin subunit α6/β4 adalah protein transmembran. bula (blister) yang terbentuk pada mmp diduga oleh induksi bpag 2 melalui mekanisme proses inflamasi. interaksi imunologi yang terjadi akan menyebabkan migrasi limfosit, eosinofil, neutofil, dan mast cell ke area bmz.1,19,21 pada pengakuan pasien, jamu yang diminum setiap hari adalah campuran temulawak 55 insisiva dental journal, vol. 6 no. 2 bulan november tahun 2017 (curcuma xanthorrhiza roxb), jahe ( zingiber officinale rosc), kencur (kaempferia galanga l), kunyit (curcuma domestica rhizoma) merupakan family dari jenis tanaman herbal zingiberaceae. interaksi kimia tanaman herbal ini tidak diketahui secara pasti, namun beberapa ahli meyakini reaksi kimianya hampir mirip dengan obat-obatan kimia, dan jenis tanaman herbal ini pernah dilaporkan menyebabkan reaksi alergi di kulit.22 mekanisme reaksi obat dari tanaman herbal menjadi pemicu terjadinya mmp belum diketahui secara pasti, namun beberapa teori menyatakan bahwa reaksi terjadi ketika obat herbal ini menjadi hapten dan terikat dengan protein di lamina lucida, kemudian merubah sifat dan materi pada protein tersebut, sehingga hal ini memicu respon autoantibodi untuk terjadinya reaksi autoimun.23 kesimpulan dalam kasus diatas diagnosis mucous membrane pemphigoid (mmp) ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis, karena pasien menolak dilakukan biopsi. perawatan mucous membrane pemphigoid (mmp) memerlukan pemberian kortikosteroid jangka panjang, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara operator dan pasien, ketaatan pasien dalam minum obat serta kontrol teratur. kemungkinan relaps akan terjadi, oleh karena itu harus dievaluasi setelah 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 18 bulan. daftar pustaka 1. xu h, werth v, parisi e, sollecito t. mucous membrane pemphigoid. dent clin north am. 2013;57(4):611-630. 2. glick m. burket’s oral medicine. 12th ed. connecticut (usa): people’s medical publishing house; 2015; 4:83-86 3. pattipati s, patil r. mucous membrane pemphigoid a case report. journal of research and advancement in dentistry. 2012;1(3):145-150. 4. demathé a, arede l, miyahara g. mucous membrane pemphigoid in hiv patient: a case report. cases j. 2008;1(1):345. 5. laureano a, cardoso j. unilateral oral mucous membrane pemphigoid: r e f r a c t o r y a t y p i c a l p r e s e n t a t i o n successfully treated with intravenous immunoglobulins. case reports in dermatological medicine. 2015;2015:1-3. 6. regezi j, sciubba j, jordan r. oral pathology. 6th ed. st. louis, mo.: elsevier/ saunders. 2012: 15-17 7. delong l, burkhart n. general and oral pathology for the dental hygienist. 2nd ed. baltimore, md: lippincott williams & wilkins; 2013; 32-321. 8. scully c. oral and maxillofacial medicine. 3rd ed. edinburgh: churchill livingstone/ elsevier; 2013; 302-308. 9. avon s, klieb h. oral soft-tissue biopsy: an overview. j can dent assoc. 2012;78(c75):1-9. 10. vidhya k, rao p, mukunda a. oral biopsy: oral pathologist’s perspective. journal of cancer research and therapeutics. 2012;8(2):192-198. 11. dirjen kefarmasian kemenkes ri. pedoman interpretasi data klinik. jakarta: kemenkes ri; 2011:24 12. kalbemed a. aloclair plus. 2013 (online), (http://www.kalbemed.com, diakses 7 april 2016) 56 toni masruri, kus harijanti | tata laksana mucous membrane pemphigoid (mmp) yang dipicu oleh obat herbal 13. admin a. aloclair plus mouthwash. 2016 (online), (http://www.aloclairplus.co.uk, diakses pada 7 april 2016) 14. mims.com. 114th ed. jakarta; 2009. 15. institute n. vitamin dan mineral: apakah atlet butuh lebih? 2016 (online), (http:// www.kalbemed.com, diakses pada 7 april 2016) 16. haw w. manfaat zinc bagi tubuh. 2014, (online) (http://www.sehat100.com, diakses pada 13 april 2016) 17. azis a. penggunaan kortikosteroid di klinik (the use of corticosteroid in clinics). jurnal pediatri. 2014;:1-6. 18. tam p, gee k, piechocinski m, macreadie i. candida glabrata, friend and foe. j.fungi 2015,i, 277-292 19. andriani r, rundjan l. nistatin oral sebagai terapi profilaksis infeksi jamur sistemik pada neonatus kurang bulan. sari pediatri. 2016;11(6):420-428. 20. bhatia p, dudhia b, patel p, patel m. benign mucous membrane pemphigoid. the journal of ahmedabad dental college and hospital. 2011;2(1):48-54. 21. rook a, burns t. rook’s textbook of dermatology. chichester, west sussex, uk: wiley-blackwell; 2010; 40.35-40.41 22. aronson j. meyler ’s side effects of herbal medicines. amsterdam: elsevier; 2009;233. 23. kanjanabuch p, arporniem s, thamrat s, thumasombut p. mucous membrane pemphigoid in a patient with hypertension treated with atenolol: a case report. j med case rep. 2012;6(1):373. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 65-70 65 research article determination of total protein and calcium in gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium determinasi total protein dan kalsium pada gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium banun kusumawardani1*, intan julita purnamasari1, dea ajeng pravita suendi2 1department of biomedical sciences, faculty of dentistry, universitas jember, jl. kalimantan 37, jember 68121, indonesia 2graduate school of biotechnology, universitas jember, jl. kalimantan 37, jember 68121 indonesia received date: november 10th, 2021; revised date: november 11st, 2021; accepted: november 29st, 2021 doi: 10.18196/di.v10i1.13096 abstrak gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium (gmsc-cm) merupakan media terkondisi hasil kultur gingiva mesenchymal stem cell. keuntungan gmsc yaitu mudah diisolasi dari jaringan gingiva, selain itu jaringan gingiva mudah diperoleh dengan teknik invasif yang minimal. di sisi lain, cm mengandung protein, sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan yang berperan penting dalam proses diferensiasi osteogenik. penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi total kadar protein dan kalsium pada gmsc-cm. gmsc dikultur pada media kultur dengan tambahan 10% fbs. media gmsc-cm diperoleh dari media yang telah disaring menggunakan filter 0,22µm dan cm dipekatkan dengan sentrifugal filter untuk mendapatkan konsentrat gmsc-cm. konsentrasi total protein pada gmsc-cm dan konsentrat gmsc-cm dilakukan dengan bicinchoninic acid protein assay. uji kadar kalsium dilakukan dengan metode spektroskopi serapan atom. hasil penelitian menunjukkan gmsc-cm mempunyai konsentrasi total protein 2502±0.06µg/ml dan konsentrat gmsc-cm sebesar 1.912±0.08μg/ml. kadar kalsium pada gmsc-cm yaitu 0,013% dan pada konsentrat gmsc-cm 0,009%. kesimpulan penelitian ini adalah gmsc-cm mempunyai konsentrasi total protein dan kalsium yang tinggi. parameter ini digunakan untuk mengembangkan bioproses yang meningkatkan produksi gmsc-cm, yang akan mendukung penerapan cell-free theraphy untuk regenerasi jaringan. kata kunci: cell-free therapy; gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium; kalsium; protein total abstract gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium (gmsc-cm) is a conditioned medium obtained from cultured gingival mesenchymal stem cells. gmscs are easily isolated from gingival tissue, whereas gingival tissue is easily obtained by minimally invasive techniques. on the other hand, cm contains proteins, cytokines, chemokines and growth factors that play an important role in osteogenic differentiation. this study aims to determine the total protein and calcium levels in gmsc-cm. gmscs were grown in culture media with 10% of fbs. cm of gmsc was obtained from the media collection process with a 0.22 µm filter and concentrated with a centrifugal filter to obtain a concentrated gmsc-cm. the concentration of total protein was performed by bicinchoninic acid protein assay on gmsc-cm and concentrated gmsc-cm. calcium level was performed by atomic absorption spectroscopy method. the results are that gmsc-cm had a total protein concentration of 2502±0.06 µg/ml, and the concentrated gmsc-cm was 1.912±0.08 μg/ml. the calcium level of gmsc-cm was 0.009% and concentrated gmsc-cm was 0.009%. it can be concluded that gmsc-cm had a high concentration of total protein and calcium. these parameters were used to develop bioprocesses to enhance the production of gmsc-cm, which will support the implementation of cell-free therapy for tissue regeneration. keywords: calcium; cell-free therapy; gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium; total protein * corresponding author, e-mail: banun_k.fkg@unej.ac.id banun kusumawardani, intan julita purnamasari, dea ajeng pravita suendi| determination of total protein and calcium in gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium 66 introduction gingival mesenchymal stem cells (gmscs) are spindle-shaped cells isolated from gingival tissue, with multipotent differentiation capacity in vitro. gmscs are easily isolated from gingival tissue, whereas gingival tissue is easily obtained by minimally invasive techniques without tooth extraction or other surgical procedures. due to their self-renewal and differentiation capacity, gmscs have been used in regenerative medicine and have been developed as a promising therapy towards restoring the structure and function of periodontal tissues due to periodontal disease.1 however, several cases reported that the implanted msc did not last long, so it is suspected that the success of msc therapy may be influenced by various bioactive factors produced by msc.2 these bioactive factors, referred to as msc secretomes or conditioned media (msccm), will modulate endogenous cell behavior, thereby contributing to new tissue formation.3 the use of msc-cm has several advantages over mscs as it does not require cell implantation. in this case, there is no need to match donors and recipients to avoid rejection problems. in addition, the absence of allogeneic cell replication in msc-cm would improve patient safety.4 the concentration of bioactive factors contained in msc-cm is usually relatively low, so the use of msc-cm does not cause a severe inflammatory response.5 furthermore, msc-cm can be produced, dried, packaged and transported more easily than mscs. the ease with which this potentially therapeutic chemical can be stored offers the foundation for its costeffective distribution.6 optimization and standardization of gmsc-cm processing are required to avoid changes in the protein secretion profile and ensure effective quality control. these qualities and conditions will determine the quantity, quality, and type of biomolecules released by gmscs in the conditioned media. it is very important to understand these parameters and develop bioprocesses that enhance gmsc-cm derivative products. after conditioning, the cell supernatants were collected and centrifuged or filtered to remove non-adherent cells. cm can be further processed in a way that abundant serum protein can be depleted, or the media can be concentrated. the concentration of protein secreted in cm is usually low, and the protein is in a soluble form. methods that do not involve precipitation are used to maintain protein concentration, such as centrifuge filtration, dialysis, or evaporation. however, centrifuge filtration with a microconcentrator will result in protein binding to the membrane, and the desired protein may be lost.7 based on these, this study focused on developing an optimized strategy to provide total protein and calcium concentrations of gmsc-cm and concentrated gmsc-cm. material and method gingival mesenchymal stem cells (gmscs) with fourth passage character (gp-4) were obtained from the gmscs collection inventory at the laboratory of molecular medicine cdast, university of jember, jember, indonesia.1 the research procedure was approved by the health research ethics commission, faculty of dentistry, university of jember (no.1245/un25.8/kepk/dl/2021). gmscs were grown in culture media consisting of dmem with 10% fbs, 100 u/ml penicillin, 100 mg/ml streptomycin, and 2.5 g/ml amphotericin b. cells were cultured in a 10 cm tissue culture dish and harvested using 0.25% trypsin-edta. after gmsc reached 80-90% confluency, cells were washed with phosphate-buffered saline (pbs) 5 times. cells were then treated with dmem basal medium with 10% fbs without adding penicillin-streptomycin and incubated for 24 h in 5% co2 at 37˚c. the supernatant insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 65-70 67 from gmsc was collected and centrifuged at 173xg (3,000rpm) for 10 min, then filtered with a 0.22μm filter to obtain gmsc-cm. next, gmsc-cm was concentrated 100-fold using an ultrafiltration centrifugal tube (ultra-15 10 kd centrifugal filter, emd millipore, billerica, ma, usa) centrifuged at 5,000xg at 4°c for 40 minutes. gmsc-cm and concentrated gmsc-cm were packaged and stored at 80°c. total protein content in gmsc-cm was determined by bicinchoninic acid (bca) protein assay. the bca protein assay procedure began by preparing standard bovine serum albumin (bsa) protein in dmem basal media. furthermore, 25 μl of bsa protein standard, gmsc-cm, and concentrated gmsc-cm were placed on a 96-microwell plate. working reagent (solution a + b) in 200 μl was added to each group. the plate was shaken with a plate shaker for 30 seconds, incubated for 30 minutes, and the absorbance was measured with a microplate reader at 562 nm. the calcium level test was carried out by preparing 1 ml of 20,000 ppm potassium chloride and 1 ml of nitric acid added to each tube containing 1 ml of gmsc-cm and concentrated gmsc-cm. the prepared sample (1 ml) was diluted 1:7 in 4 ml of distilled water so that the total volume of each sample was 5 ml. the calcium content of the sample was measured by atomic absorption spectroscopy. all experiments were carried out in triplication. data were expressed as mean ± standard deviation (sd). differences between means were evaluated by student's t-test (spss software). the p-value ≤ 0.05 was considered statistically significant. result the absorbance values of bca protein assay in each group of gmsc-cm and concentrated gmsc-cm showed the standard curve regression line equation, namely y=0.0005x–0.046 (fig. 1). based on this equation, the total protein concentration in gmsc-cm was 2.502±0.06 μg/ml, and the concentrated gmsc-cm was 1.912±0.08 μg/ml. the total protein concentration of gmsc-cm was higher than that of concentrated gmsc-cm (table 1). the total protein concentration was obtained from the equation with a correlation coefficient of 0.9823. the value of r2=0.9832 indicated a strong positive relationship between x (concentration) and y (absorbance), that the higher the absorbance value is, the higher the total protein concentration of the group will be. figure 1. bicinchoninic acid protein test. the absorbance value of the bca protein test results showed that gmsc-cm had a higher protein concentration than the concentrated gmsc-cm, which was obtained from the equation y = 0.0005x 0.046 with a coefficient value of r2 = 0.98 table 1. protein concentration of gmsc-cm and concentrated gmsc-cm table 2. calcium level of gmsc-cm and concentrated gmsc-cm calcium levels obtained by atomic absorption spectroscopy can be seen in group protein concentration ± sd (µg/ml) gmsc-cm 2,502 ± 0.06 concentrated gmsc-cm 1,912 ± 0.08 group calcium level ± sd (%) gmsc-cm 0.013 ± 0.00 concentrated gmsccm 0.009 ± 0.00 banun kusumawardani, intan julita purnamasari, dea ajeng pravita suendi| determination of total protein and calcium in gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium 68 table 2. the calcium level of each sample was derived from the standard curve. calcium levels for gmsc-cm (0.013%) were slightly higher than concentrated gmsc-cm (0.009%). discussion gmsc-cm has been known to have advantages as a ready-to-use material that can be used for regenerative medicine without isolation and culture of gmsc. however, several issues must be addressed before its clinical application. one of the most important is the limitation of information regarding standards for msccm-based bioprocesses and therapeutic procedures.8 several challenges need to be overcome to develop a procedure that utilizes msc-cm as a cell-free therapy. msc-cm differ depending on msc origin and culture conditions.9,10 hence, this study suggests basic procedures in the preparation of conditioned medium, which optimizes the development of gmsc-cm-based products. the most common way to make gmsc-cm is to centrifuge the culture medium to remove cell debris, then use the supernatant directly or in concentrated preparations. this study has successfully developed a cm processing procedure based on total protein concentration and calcium level in gmsc-cm and concentrated gmsc-cm. the low concentration of protein and calcium in concentrated gmsc-cm is considered due to the centrifuge filtering procedure with an ultra-concentrator, resulting in protein binding to the membrane and even protein loss. the total protein concentration in gmsc-cm was 2,502 ± 0.06µg/ml higher than the total protein concentration in the concentrated gmsc-cm, which was 1,912±0.08µg/ml. the gmsc-cm did not undergo a filtering process so that the protein in the cm produced from gmsc was still complete, both micro and macro proteins. at the same time, the concentrated gmsc-cm was produced through a filtering process with a predetermined size; thus, it affected the total protein concentration. proteins secreted by mscs in cm play an important role in regulating physiological processes through paracrine and autocrine mechanisms and acting as potential therapeutic biomarkers in various diseases.11 proteins also carry out signaling functions in the form of cellular functions such as cell proliferation and differentiation.12 the high concentration of total protein in msc-cm can support the occurrence of this function and can also alter the genome of recipient cells.13 thus, concentrations of the substance can cause allergic and toxic reactions in cells and tissues.14 different secretome signatures have been discovered after proteomic analyses of msc secretions from different tissue origins. only 124 of the 1533 proteins found in mscs produced from bone marrow, adipose tissue, and tooth pulp was found in all three sources.15 the proteins secreted by mscs are functional factors associated with the biological effects of mscs. mscs from wharton's jelly release more cytokines, proinflammatory proteins, and growth factors, whereas mscs from adipose tissue secrete more extracellular matrix (ecm) proteins and metalloproteinases and have an angiogenic profile.16 furthermore, calcium is a nutrient that is associated with the formation and metabolism of bone formation. therefore, the calcium level test on gmsc-cm is very necessary. gmsc-cm has calcium content (0.015%), which is not much different from concentrated gmsc-cm (0.009%). high calcium levels contained in cm can promote proliferation, migration and differentiation of msc. therefore, calcium content is very important in regulating extracellular matrix mineralization.17 gmsc-cm is a promising candidate for cell-free therapy. it will be able to be used in regenerative medicine through several methods that are possible to be injected into tissue or circulation directly, mixed with a hydrogel, or coated onto a insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 65-70 69 scaffold using a fibrin gel. therefore, standard procedures for purification and quantification are required to utilize gmsc-cm in therapy. it is necessary to standardize long-term storage methods to maintain the function of gmsc-cm and minimize variability in the stability and composition of gmsc-cm. it would increase the possibility of administering gmsc-derived products as cell-free therapy rather than implanting gmscs themselves. conclusion gingival mesenchymal stem cellconditioned medium (gmsc-cm) had a higher concentration of total protein (2502±0.06 µg/ml) and calcium (0.015%) than the total protein concentration (1,912±0.08 µg/ml) and calcium (0.009%) of the concentrated gmsc-cm. these parameters were used to develop bioprocesses that enhanced the production of gmsc-cm, which would support the implementation of cell-free therapy for tissue regeneration. reference 1. kusumawardani b, robin dmc, puspitasari e, savitri ij, suendi dap. cultivation and expansion of mesenchymal stem cells from human gingival tissue and periodontal ligament in different culture media. dent j (majalah kedokt gigi). 2021;54(1):39. 10.20473/j.djmkg.v54.i1.p39-45 2. vizoso fj, eiro n, cid s, schneider j, perez-fernandez r. mesenchymal stem cell secretome: toward cell-free therapeutic strategies in regenerative medicine. int j mol sci. 2017;18(9): 1852. https://doi.org/10.3390/ijms18091852 3. chaparro o, linero i. regenerative medicine: a new paradigm in bone regeneration. adv tech bone regen. 2016. https://doi.org/10.5772/62523 4. pawitan ja. prospect of stem cell conditioned medium in. biomed res int.2014;2014:7-9. https://doi.org/10.1155/2014/965849 5. katagiri w, osugi m, kawai t, ueda m. novel cell-free regeneration of bone using stem cell–derived growth factors. int j oral maxillofac implants.2013;28(4):1009-1016. https://doi.org/10.11607/jomi.3036 6. marolt presen d, traweger a, gimona m, redl h. mesenchymal stromal cell-based bone regeneration therapies: from cell transplantation and tissue engineering to therapeutic secretomes and extracellular vesicles. front bioeng biotechnol. 2019; 7(352):1-20. https://doi.org/10.3389/fbioe.2019.003 52 7. stastna m, van eyk je. investigating the secretome lessons about the cells that comprise the heart. circ cardiovasc genet. 2012;5(1):8-18. https://doi.org/10.1161/circgeneti cs.111.960187 8. kichenbrand c, velot e, menu p, moby v. dental pulp stem cellderived conditioned medium: an attractive alternative for regenerative therapy. tissue eng part b rev. 2019;25(1):78-88. https://doi.org/10.1089/ten.teb.2018.0 168 9. billing am, ben hamidane h, dib ss, et al. comprehensive transcriptomic and proteomic characterization of human mesenchymal stem cells reveals source specific cellular markers. sci rep.2016;6(1):1-15. https://doi.org/10.1038/srep21507 10. teixeira fg, panchalingam km, assunção-silva r, et al. modulation of the mesenchymal stem cell secretome using computercontrolled bioreactors: impact on neuronal cell proliferation, survival and http://dx.doi.org/10.20473/j.djmkg.v54.i1.p39-45 https://doi.org/10.3390/ijms18091852 https://doi.org/10.1155/2014/965849 https://doi.org/10.1155/2014/965849 https://doi.org/10.1155/2014/965849 https://doi.org/10.1161/circgenetics.111.960187 https://doi.org/10.1161/circgenetics.111.960187 https://doi.org/10.1161/circgenetics.111.960187 https://doi.org/10.1161/circgenetics.111.960187 https://doi.org/10.1089/ten.teb.2018.0168 https://doi.org/10.1089/ten.teb.2018.0168 https://doi.org/10.1038/srep21507 banun kusumawardani, intan julita purnamasari, dea ajeng pravita suendi| determination of total protein and calcium in gingival mesenchymal stem cell-conditioned medium 70 differentiation. sci rep. 2016;6(1):114. https://doi.org/10.1038/srep27791 11. paré b, deschênes lt, pouliot r, dupré n, gros-louis f. an optimized approach to recover secreted proteins from fibroblast conditioned-media for secretomic analysis. front cell neurosci.2016;10(70):1-9. https://doi.org/10.3389/fncel.2016.000 70 12. jeong hm, jin yh, choi yh, et al. pkc signaling inhibits osteogenic differentiation through the regulation of msx2 function. biochim biophys acta-molcell res.2012;1823(8):12251232. https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012. 05.018 13. taverna s, pucci m, alessandro r. extracellular vesicles: small bricks for tissue repair/regeneration. ann transl med.2017;5(4):1-5. https://doi.org/10.21037/atm.2017.01. 53 14. fitriani cy, wibawa a. biokompatibilitas material titanium implan gigi. insisiva dent j maj kedokt gigi insisiva. 2019;8(2):53-58. https://doi.org/10.18196/di.8208 15. tachida y, sakurai h, okutsu j. proteomic comparison of the secreted factors of mesenchymal stem cells from bone marrow, adipose tissue and dental pulp. j proteomics bioinform.2015;8(12):266-273. https://doi.org/10.4172/jpb.1000379 16. amable pr, teixeira mvt, carias rbv, granjeiro jm, borojevic r. protein synthesis and secretion in human mesenchymal cells derived from bone marrow, adipose tissue and wharton’s jelly. stem cell res ther. 2014;5(2):1-13. https://doi.org/10.1186/scrt442 17. lee mn, hwang hs, oh sh, et al. elevated extracellular calcium ions promote proliferation and migration of mesenchymal stem cells via increasing osteopontin expression. exp mol med. 2018;50(11).https://doi.org/10.1038/s1 2276-018-0170-6 https://doi.org/10.1038/srep27791 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2012.05.018 http://dx.doi.org/10.18196/10.18196/di.8208 https://doi.org/10.1155/2014/965849 https://doi.org/10.1155/2014/965849 https://doi.org/10.1038/s12276-018-0170-6 https://doi.org/10.1038/s12276-018-0170-6 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 41 literature review alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review nur masita silviana* department of orthodontics, faculty of dentistry, universitas brawijaya, jl. veteran, malang, 65145, indonesia received date: october 7th, 2021; revised date: january 31st, 2022; accepted: march 28th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.12884 abstract considering the alveolar bone thickness (abt) in orthodontic treatment needs special attention. the movement of teeth depends on the mechanism of bone remodeling and tissue response to orthodontic forces to evaluate abt of the maxillary and mandibular anterior teeth in various types of malocclusion. methods: only prospective original articles reporting abt in subjects who have not undergone orthodontic treatment were selected. a total of 10 studies met the eligible criteria. most all studies measured the thickness using cbct. abt on the labial side of the lower anterior teeth in the class i malocclusion group was thicker than in class ii. the lingual side of the apical region of the mandibular incisors was lower in the class iii group than in class i or ii. abt of the maxillary teeth on the labial surface showed no significant difference among the groups, whereas the palatal side of normal occlusion had a wider bone thickness. the inclination of the upper and lower anterior teeth was influenced by differences in the skeletal malocclusion pattern, which affected the thickness of the bone. fenestration was more common in class ii malocclusion. the results showed that abt around anterior teeth varied according to the different classifications of malocclusion. the inclination of the upper and lower anterior teeth seemed to be influenced by the sagittal discrepancies. the pattern of facial growth also affected the thickness of the bone. accurate evaluation is very important to prevent iatrogenic risks during orthodontic treatment. keywords: alveolar bone thickness; anterior teeth; incisors; classification of the malocclusion introduction after orthodontic treatment, the balance and stability of the teeth' position concerning the alveolar bone and periodontal tissue are expected. it will minimize or even eliminate the occlusion and temporomandibular joint instability, prevent tooth relapse and maintain a good aesthetic result. after orthodontic treatment, the lower incisor's final position, which is right in the middle of the alveolar bone, is a factor that can maintain the stability of the tooth position. the risk of the tooth root and alveolar bone damage can also be minimized.1 one of the theories in orthodontic treatment presented by coskun et al. stated * corresponding author, e-mail: nurmasita.fk@ub.ac.id that the ratio between orthodontic tooth movement to bone repair is ideally 1:1. appropriate treatment planning is needed to determine the adaptations that may be made to the alveolar bone. how much correction is needed in the case of crowding teeth, for example, depends on the tooth's position in the alveolar bone. it is also noted that the thickness and height of the facial and lingual cortical bone layers can change depending on tooth alignment, root inclination, and occlusal forces.2 furthermore, horner et al. found that the vertical growth pattern has been shown to affect the thickness of the alveolar bone. individuals with hypodivergent mandibular angles have thicker alveolar bone morphology than nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 42 individuals with hyperdivergent angles.3 several other reports have suggested a direct relationship between the patient's facial type and the nature of the alveolar bone in anterior teeth, the morphology of the alveolar bone, and the amount of bone mineralization. patients with dolicofacial growth exhibit a thin and elongated mandibular process that may affect the alveolar response to orthodontic tooth movement. it was also stated that around the mandibular incisors, there were more mineralized bones inbranch facial patients than in dolicofacial patients.4,5 in orthodontic management, the magnitude of tooth movement in the buccal or lingual direction of the teeth in patients with different skeletal types needs to be a concern. the movement of the anterior teeth in cases with severe skeletal discrepancies and indicated for orthognathic surgery is influenced by abt and the surrounding periodontal tissue support. considering the thickness of the alveolar bone around the incisor teeth deserves special attention. the movement of teeth through bone in orthodontic treatment depends on the mechanism of bone remodeling and the response of tissues to orthodontic forces. this literature study aims to provide an overview of the thickness of the alveolar bone surrounding the anterior teeth. it, therefore, can be considered in determining the therapeutic limits of tooth movement and during orthodontic treatment to maintain the integrity of the alveolar bone as much as possible. materials and methods search strategy the electronic search was conducted in pubmed and medline from january 2011 to january 2022. the search strategy command consisted of the following terms: teeth, tooth, alveolar, bone, thickness/width, maxilla, mandible, anterior, incisor, classification, malocclusion, skeletal pattern, orthodontic, and treatment. all articles were filtered by title and abstract. the data obtained were filtered and assessed for further review. selection process potential articles were checked with full text for eligibility. the inclusion criteria were: scientific journals in the form of original articles using indonesian or english; the publication years range from 2011 to 2022; malocclusion patients who have not undergone orthodontic treatment; studies measure alveolar bone thickness (abt), anterior teeth, maxilla, and mandible; studies reporting skeletal pattern/ classifications of malocclusion. the exclusion criteria were: case reports, study literature, systematic reviews, textbooks, editorials, doctoral theses, animal studies, and human cadaver studies; subjects who are currently or have received orthodontic treatment; the teeth to be measured are canine or posterior; languages other than indonesian and english. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 43 figure 1. prisma flow diagram data items the following information was taken from the included article: author (year), nationality, a method to assess the bone thickness, skeletal pattern (sample size), tooth type, reference points and results. result the search and filter process are shown in figure 1 through the prisma flow diagram. an electronic search found a total of 1279 articles after removing duplicates. the full-text assessment was continued on 248 articles through titles and abstracts that matched the inclusion criteria. a total of 67 of them were later issued for various reasons. finally, 10 articles were eligible for selection in this systematic review (figure 1). almost all studies measured alveolar bone thickness using cone-beam computed tomography (cbct). there was only one study that measured bone thickness using lateral cephalometric radiographs. three articles assessed the thickness of bone around the incisors in adults who were not orthodontically treated with three groups of records identified through pubmed searching (n = 1279) s c re e n in g e li g ib il it y id e n ti fi c a ti o n records identified through medline searching (n = 473) records after duplicates removed (n = 1363) records screened (n = 248) records excluded (n = 186) full-text articles assessed for eligibility (n = 77) full-text articles excluded, with reasons (n = 67) studies included in qualitative and quantitative synthesis (n = 10) (n = ) nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 44 malocclusions, namely class i, class ii, and class iii malocclusions.6–8 two articles compared alveolar bone thickness in subject with class i and class ii malocclusions,9,10 one article compared class i and class iii,11 one article compared class ii and class iii malocclusions,12 one article evaluated alveolar bone thickness in skeletal class i dentoalveolar protrusive,13 one article was with angle class i and mild to moderate crowding,5 and one article was with skeletal class iii malocclusion.14 (table 1) table 1. summary articles author (year) nationality method to assess the bone thickness skeletal pattern/ sample size tooth type reference points results kook ya et al. (2012) 11 korea cbct normal occlusion /20 skeletal class iii malocclus ion/20 u1, l1 apex -ua, la: upper/ lower anterior abt: 2 to 9 (perpendicular to line 7). -up, lp: upper/ lower posterior abt: 2 to 10 (perpendicular to line 7) normal occlusion (mm): ua: 2-3 / up: 6-7 / la: 3-4 / lp: 2-3 skeletal class iii malocclusion (mm): ua: +2 / up: +5 / la: 1-2/ lp: 2-3 abt was significantly thinner in class iii malocclusion, except ua. up, lp > ua, la nahm ky et al. (2012) 13 korea cbct skeletal class i bidentoa lveolar protrusiv e /24 u1, u2, l1, l2 1–10 mm below the crest. abt at every 1/10 of root length on the facial and lingual side (level 0, cej; level 10, root apex region). abt of incisors in various root levels, increases in direction from cej to root apex. posterior abt > anterior abt all incisors < 1mm of abt on the facial aspects up to root level 8 position, especially l1 baysal a et al. (2013) 9 turkey cbct -class i malocclus ions/41 (averageangle: 25; highngle:16) -class ii malocclus ion/38 (averageangle: 19; highangle:19) (mild to moderate crowding) l1 apex point a: the most anteriorsuperior point of mandibular alveolar bone; b: the most posteriorsuperior point of mandibular alveolar bone; c: the most anterior point of mandibular alveolar bone; f: the most posterior point of mandibular alveolar bone; d: the inner contour of the anterior cortical plate; e: the inner contour of the posterior cortical plate class i average-angle (mm) d-c: 1.41+0.45 / e-f: 1.96 ± 0.56 / e−d: 4.51 ± 1.28 / f−c: 7.89 ± 1.47 high-angle (mm) d−c: 1.39 ± 0.51 / e−f: 1.86 ± 0.53 / e−d: 3.78 ± 1.19 / f−c: 7.04 ± 1.48 class ii average-angle (mm) d−c: 1.10 ± 0.31 / e−f: 2.17 ± 0.44 / e−d: 5.41 ± 1.72 / f−c: 8.69 ± 1.82 high-angle (mm) d-c: 1.09 ± 0.46 / e−f: 1.79 ± 0.45 / e−d: 4.25 ± 1.23 / f−c: 7.14 ± 1.53 buccal abt class ii < class i insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 45 author (year) nationality method to assess the bone thickness skeletal pattern/ sample size tooth type reference points results l1 class ii average-angle > protrusive and proclined in the subgroup than others. al-masri mm et al. (2015) 6 syrian arab republic cbct -class 1 malocclus ion/16 -class ii malocclus ion/16 class iii malocclus ion/16 l1, l2 cervical, middle and apical levels of the root abt on facial and lingual surfaces of mandible incisors class i cervical thickness (mm) buccal: 0.17 / lingual: 0.05 middle thickness (mm) buccal: 0.64 / lingual: 1.31 apical thickness (mm) buccal: 3.64 / lingual: 3.28 class ii cervical thickness (mm) buccal: 0.06 / lingual: 0.03 middle thickness (mm) buccal: 0.61 / lingual: 1.09 apical thickness (mm) buccal: 3.70 / lingual: 3.05 class iii cervical thickness (mm) buccal: 0.079 / lingual: 0.07 middle thickness (mm) buccal: 0.48 / lingual: 1.06 apical thickness (mm) buccal: 2.37 / lingual: 2.96 raber a et al. (2019) 7 united arab emirates cbct -class 1 malocclus ion/27 -class ii malocclus ion/9 class iii malocclus ion/18 u1, u2, l1, l2 mid-root, apex abt -jaw (md: mandible; mx: maxilla), -incisor position (cen: central; lat: lateral), -side (l: left; r: right) class (means and standard errors) (mm) i: 0.75 (0.04) ii: 0.64 (0.08) iii: 0.88 (0.05) jaw md: 0.63 (0.05) mx: 0.89 (0.05) incisor cen: 0.88 (0.04) lat: 0.64 (0.04) side l: 0.76 (0.04) r: 0.76 (0.04) ma j et al. (2019) 12 china cbct -highangle class ii /31 highangle class iii /31 u1, u2, l1, l2 2, 4, 6 mm below cej, apical class ii maloclusion u1-labial (mm) 2: 0.36 ± 0.45 / 4: 1.65 ± 0.86 / 6: 1.91 ± 0.78 / apical: 5.65 ± 3.30 u2-labial (mm) 2: 0.32 ± 0.62 / 4: 1.37 ± 0.94 / 6: 1.46 ± 0.73 / apical: 2.78 ± 2.59 u1-palatal (mm) 2: 0.66 ± 0.58 / 4: 2.69 ± 0.98 / 6: 4.31 ± 1.37 / apical: 29.74 ± 13.82 u2-palata (mm)l 2: 0.31 ± 0.39 / 4 : 1.70 ± 0.98 / 6: 3.06 ± 1.40 / apical: 22.64 ± 10.83 class iii maloclusion nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 46 author (year) nationality method to assess the bone thickness skeletal pattern/ sample size tooth type reference points results u1-labial (mm) 2: 0.36 ± 0.45 / 4: 2.00 ± 0.90 / 6: 2.24 ± 0.72 / apical: : 5.57 ± 2.85 u2-labia (mm)l 2: 0.40 ± 0.75 / 4: 1.68 ± 0.88 / 6: 1.70 ± 1.17 / apical: 4.16 ± 3.19 u1-palatal (mm) maxillary central incisors 2: 0.61 ± 0.50 / 4: 2.55 ± 0.81 / 6: 4.10 ± 1.36 / apical: 24.06 ± 8.86 u2-palatal (mm) 2: 0.30 ± 0.20 / 4: 1.92 ± 0.70 / 6: 2.88 ± 1.09 / apical: 20.88 ± 9.43 class ii maloclusion l1-labial (mm) 2: 0.36 ± 0.68 / 4: 1.13 ± 0.62 / 6: 1.05 ± 0.68 / apical: 4.83 ± 2.65 l2-labia (mm)l 2: 0.28 ± 0.47 / 4: 1.15 ± 0.77 / 6: 0.91 ± 0.65 / apical: 4.86 ± 3.45 l1-lingual (mm) 2: 0.04 ± 0.11 / 4: 0.94 ± 0.61 / 6: 2.05 ± 0.86 / apical: 10.89 ± 3.77 l2-lingual 2: 0.06 ± 0.15 / 4: 1.02 ± 0.72 / 6: 2.17 ± 0.88 / apical: 14.75 ± 5.73 class iii maloclusion l1-labial (mm) 2: 0.24 ± 0.33 / 4: 1.01 ± 0.76 / 6: 0.94 ± 0.67 / apical: 3.11 ± 2.20 l2-labial (mm) 2: 0.23 ± 0.29 / 4: 1.15 ± 0.82 / 6: 0.84 ± 0.71 / apical: 3.42 ± 2.69 l1-lingual (mm) 2: 0.04 ± 0.07 / 4: 0.60 ± 0.186 / 6: 0.89 ± 0.00 / apical: 5.43 ± 0.028 l2-lingual (mm) 2: 0.06 ± 0.13 / 4: 0.87 ± 0.66 / 6: 1.33 ± 0.97 / apical: 9.81 ± 6.14 wang z et al. (2020) 8 china cbct -class 1 malocclus ion/30 -class ii malocclus ion/33 class iii malocclus ion/28 l1, l2 cervical, middle and apical levels of the root achbt, pchbt: horizontal bone thickness at the lower middle incisors class i (±sd) (mm) achbt: 0.46 ± 0.69 / pchbt: 0.41 ± 0.64 / amhbt: 0.53 ± 0.35 / pmhbt: 1.42 ± 1.22 / aahbt: 1.77 ± 0.57 / pahbt: 2.06 ± 0.83 / insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 47 author (year) nationality method to assess the bone thickness skeletal pattern/ sample size tooth type reference points results middle level of the coronal third of the buccal and lingual side, respectively. amhbt, pmhbt: horizontal bone thickness at the middle level of the middle third of the labial and lingual side, respectively. aahbt, pahbt: horizontal bone thickness at the middle level of the apical third of the labial and lingual side, respectively. avbl& pvbl: vertical alveolar bone level at the labial and lingual side, respectively. avbl:32.65 ± 2.16 / pvbl:1.94 ± 2.08 class ii (±sd) (mm) achbt: 0.17 ± 0.40 / pchbt: 0.27 ± 0.41 / amhbt: 0.35 ± 0.46 / pmhbt: 0.76 ± 0.78 / aahbt: 1.56 ± 0.90 / pahbt: 1.78 ± 1.01 / avbl: 5.05 ± 3.14 / pvbl: 3.81 ± 2.84 class iii (±sd) (mm) achbt: 0.24 ± 0.14 / pchbt: 0.31 ± 0.5 / amhbt: 0.23 ± 0.15 / pmhbt:0.96 ± 0.99 / aahbt: 1.30 ± 0.64 / pahbt: 1.82 ± 0.85 / avbl: 4.06 ± 2.81 / pvbl: 2.00 ± 1.40 lower lateral incisors class i (±sd) (mm) achbt: 0.61 ± 0.64 / pchbt: 0.73 ± 0.66 / amhbt: 0.29 ± 0.46 / pmhbt: 1.56 ± 1.05 / aahbt: 2.05 ± 0.99 / pahbt: 2.48 ± 1.56 / avbl: 2.93 ± 2.16 / pvbl:1 62 ± 1.88 class ii (±sd) (mm) achbt: 0.26 ± 0.45 / pchbt: 0.38 ± 0.39 / amhbt: 0.27 ± 0.45 / pmhbt: 0.98 ± 0.80 / aahbt: 1.54 ± 0.74 / pahbt: 1.94 ± 1.59 / avbl: 4.89 ± 3.14 / pvbl: 3.60 ± 3.00 class iii (±sd) (mm) achbt: 0.31 ± 0.46 / pchbt: 0.65 ± 0.5 / amhbt: 0.34 ± 0.56 / pmhbt: 1.16 ± 0.94 / aahbt: 1.50 ± 0.31 / pahbt: 2.07 ± 1.31 / avbl: 4.64 ± 3.11 / pvbl: 2.07 ± 2.15 oh sh et al. (2020) 14 korea cbct skeletal class iii malocclus ion /24 u1, u2, l1, l2 1–10 mm below the crest anterior region. aba: alveolar bonearea abl: alveolar bone loss -aba < 1.0 mm from the labial side to root level 7 (70% of the root length). the lingual aba l2 > l1 maxillary labial abl: 21.8% mandibular labial abl: 34.4% mandibular lingual abl: 27.6% maxillary lingual abl:18.3% fenestrations > at root level 6. nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 48 author (year) nationality method to assess the bone thickness skeletal pattern/ sample size tooth type reference points results gaffuri f et al. (2021) 5 italy cbct -angle class i: mild to moderate crowding/ 30: hypodiver gent (<39_), normodiv ergent (41 ± 2_), hyperdive rgent (>43_). u1, u2, l1, l2 mid-root, apex bhv: buccal bone height bhp: palatal bone height abtv: apical buccal bone thickness abtp: apical palatal bone thickness mbtv: midroot buccal bone thickness mbtp: midroot palatal bone thickness hyperdivergent (mm) bhv: 0.31 ± 0.46 / bhp: 0.65 ± 0.5 / abtv: 0.34 ± 0.56 / abtp: 1.16 ± 0.94 / mbtv: 1.50 ± 0.31 / mbtp: 2.07 hypodivergen (mm) bhv: 0.31 ± 0.46 / bhp: 0.65 ± 0.5 / abtv: 0.34 ± 0.56 / abtp: 1.16 ± 0.94 / mbtv: 1.50 ± 0.31 / mbtp: 2.07 normodivergent (mm) bhv: 0.31 ± 0.46 / bhp: 0.65 ± 0.5 / abtv: 0.34 ± 0.56 / abtp: 1.16 ± 0.94 / mbtv: 1.50 ± 0.31 / mbtp: 2.07 andrews wa et al. (2022) 10 usa lateral cephalogr ams -optimal occlusions (noo)/ 115 -class ii malocclus ions/57 u1, l1 the maxillary root midpoint: mx-alv: u1lab+ u1-pal. the mandibular root midpoint: md-alv: l1-lab+l1-ling. noo (mm) u1-pal: 6.49 ± 1.09 u1-lab: 3.84 ± 0.50 l1-ling: 5.32 ± 1.41 l1-lab: 5.08 ± 1.44 class ii (mm) u1-pal: 6.24 ± 1.26 u1-lab: 3.58 ± 0.51 l1-ling: 5.02 ± 1.60 l1-lab: 6.18 ± 1.79 seven studies evaluated the middle and lateral incisors. five studies evaluated the maxillary and mandibular incisors 5,7,12– 14, and two evaluated the mandibular incisors.6,8 two studies evaluated the maxillary and mandibular middle incisors10,11, and one study evaluated the mandibular middle incisors, respectively.9 among these, two studies evaluated the labial and lingual sides,5,10 and only one article evaluated the labial side.7 two studies reported alveolar thickness per 1/10 of root length on the facial and lingual side (level 0, cementoenamel junction (cej) region; level 10, root apex region).13,14 two studies evaluated bone thickness at different distances from the cej and apex 9,11, and one study evaluated at 2, 4 and 6 mm from cej.12 this study indicated that abt on the labial surface of the maxillary incisors in each patient varied and was influenced by differences in skeletal patterns. different skeletal patterns determined the inclination of the maxillary and mandibular anterior teeth.7,10,13 on the lingual side, especially on the mandibular incisors, the decrease in bone thickness was more pronounced.10,14 the hyperdivergent facial pattern group had the facial apical bone thickness and lingual/palatal middle root level significantly thinner than the hypodivergent facial pattern.5,9,12 the incidence of fenestrations was higher in the mandibular anterior teeth than maxillary in different skeletal patterns. a greater prevalence of dehiscence was shown in class ii and iii malocclusion groups than in the class i.13,14 discussion several methods have measured bone thickness. examination using cbct allows getting a better quality of the alveolar bone morphology results to minimize distortion or superimposition. 3d cbct provides visualization of bone insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 49 anatomy due to the inherent accuracy of cbct, which can visualize the thin alveolar bone in the center of complex overlapping craniofacial structures. it was possible to use a lateral cephalogram to measure the width of the labiolingual bone, but all the structures overlapped, so the measurement was inaccurate.6,10,11 it is still possible to check using cephalogram radiographs such as the results of andrews et al. examination using cephalometric radiographs is still possible to assess root assessment positions limited to one landmark for each incisor: root apex midpoint of maxillary and mandibular. assessing the thickness of the alveolar bone in several or different landmarks along the long axis of the root may have provided additional insight.10 cephalometric radiographs are also required when determining the sagittal and vertical relationships of the skeletal pattern. in this literature review, although the ten selected studies were very heterogeneous, the three types of malocclusion had something in common: the abt was wider in the lingual region of the mandible compared to the labial region. abt is also larger in the upper incisors than the lower incisors.13 in individuals who did not receive orthodontic treatment, the maxillary central incisors tend to be in the anterior third of the maxilla alveolar process. in individuals with optimal occlusion who did not receive orthodontic treatment, the root apex of the mandibular central incisor tended to be centered in the mandibular alveolar process. meanwhile, in individuals who did not receive orthodontic treatment with class ii malocclusion, the position of the mandible was relatively retrognathic, the mandibular middle incisors tended to be more proclined, and the root apex was more posterior compared to individuals with optimal occlusion who did not receive orthodontic treatment. the results of the abt study around the mandibular anterior teeth showed that in the skeletal class i group, the alveolar bone on the facial side of the mandibular anterior teeth was thicker than in the class ii group. when bone thickness was evaluated by comparing the three malocclusion patterns, the bone thickness on the lingual side at the apical region of the mandibular incisors teeth was lower in class iii than in class i or class ii group.9 abt increased from the cervical region to the apical.6 al-masri et al. analyzed that the inclination of the mandibular incisors possibly influenced this condition. in individuals with a skeletal class iii, the lower incisors tended to retroclinate compared to individuals with a class i occlusion relationship and a class ii skeletal relationship that tended to proclinate. kook et al. also reported similar results, namely, in class i subjects, the apical thickness of the labial surface of the incisors was wider than in subjects with skeletal class iii.11 in the evaluation of maxillary teeth comparing the three malocclusion groups, the value of alveolar bone thickness showed no significant difference between groups, whereas, on the palatal side, the group with normal occlusion had wider bone thickness.11 however, the study results by raber et al. found it in class iii skeletal pattern with very large maxillary proclination. abt in the apical region showed a significantly greater amount when compared with the subject in skeletal class i and ii. it was stated that this inclination was a compensatory proclination of the upper anterior teeth, which were located further back in a class iii skeletal pattern.7 another study reported that the labial surface abt was less inclined than the teeth in normal occlusion in the maxillary incisors with a palatal inclination. a review of these studies showed that the abt on the labial surface of the anterior teeth varied based on the bone differences in each individual. the inclination of the upper and lower anterior teeth was influenced by differences in the skeletal malocclusion pattern, which affected the thickness of the bone.7,15 besides being influenced by the inclination of the teeth, this study found a nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 50 statistically significant relationship between abt and facial growth patterns. research conducted by baysal et al. found that in the class ii subgroup with a highangle mandibular growth, the size of the spongy bone was thinner, and the position of the apex was closer to the cortex when compared to the same subgroup with the average angle. likewise, abt on the labial and lingual sides in the class iii subgroup was very thin in high-angle subjects. when comparing the classification of class ii malocclusion and class iii malocclusion, it appeared that in subjects with class iii malocclusion with high angle, the mandibular bone morphology was thinner than in subjects with class ii malocclusion with high angle. it is believed that it may occur during the vertical growth of the face, which is partly due to the divergence of the mandible. abt on the facial and lingual surfaces is reduced when the incisors erupt to reach an overbite.5,9,12 the thickness of the bone around the anterior teeth is also associated with fenestration and dehiscence. fenestration is a condition of loss of bone covering the tooth's root surface. the root surface is covered only by the periosteum and gingiva. in such a lesion, the marginal bone is intact. when this bone defect progresses toward the marginal bone, the condition is called dehiscence.16 the study reported by enhos et al., and associated with the growth pattern, showed that subjects with high angles and average angles had more frequent dehiscence events than subjects with low angles. fenestration and dehiscence were found more on the facial side of all vertical growth patterns. fenestrations are often found in the maxillary alveolar area, whereas dehiscence is more often found in the mandibular.17 on the sagittal relation type, yagci et al. found that fenestration was more common in class ii malocclusions than in class i or iii malocclusions. it is most likely related to the majority of research results which stated that class ii malocclusion was dominated by the presence of protrusive maxillary incisor images. in addition, the inclination of the mandibular incisors is also mostly buccal so that the surrounding alveolar bone becomes thinner.18 fenestration and dehiscence are more commonly found on the facial (labial/buccal) surface than the lingual surface of the root and are more common in anterior teeth than posterior teeth. it was further explained that the anterior teeth most prone to dehiscence were the lower central incisors. it occurs because there is a match between the anatomical characteristics and its location in the mandibular symphysis with the thin surrounding cortical bone.14,19 evangelista et al. also reported a similar finding showing that dehiscence frequency was higher in the lower central incisors.16 malocclusion accompanied by crowding and misaligned teeth can also be a risk factor for bone fenestration and dehiscence. inadequate bone support during orthodontic movements can damage the teeth and their periodontium. movement in the buccal-lingual direction poses a greater risk of the presence of surrounding alveolar bone so that it can cause resorption. this bone defect is more commonly found on the buccal surface than lingual. it is associated with thinner bone on the buccal surface, where the amount of bone marrow is less dense than in the lingual area.18,20 on the palatal surface, higher bone remodeling is believed to result from tooth retraction movements that are often performed in orthodontic treatment. although the loss of alveolar bone on the palatal side does not affect the esthetics, it can cause loss of periodontal tissue support. 21,22 before starting orthodontic treatment, it is necessary to thoroughly evaluate the periodontal tissues, especially in cases with dentoalveolar protrusions. this study can be a reference as data for clinicians about the characteristics of abt in various patterns of skeletal malocclusion. it is expected that evaluating alveolar bone thickness around anterior teeth can provide insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 51 useful information for dentists to prevent iatrogenic risk, the occurrence of fenestration and dehiscence and describe the therapeutic limits of anterior tooth movement before orthodontic treatment begins. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that there were variations in abt due to differences in bone in each subject to the different classifications of malocclusion. the inclination of the upper and lower incisors seemed to be influenced by the sagittal discrepancies. the pattern of facial growth also affected the thickness of the abt. thus, accurate evaluation is highly important to prevent iatrogenic risks during orthodontic treatment. references 1. steiner gg, pearson jk, ainamo j, miller s, maria s. changes of the marginal periodontium as a result of labial tooth movement in monkeys. j periodontol, 1981;52:314-320. https://doi.org/10.1902/jop.1981.52.6.314 2. coşkun i̇, kaya b. relationship between alveolar bone thickness, tooth root morphology, and sagittal skeletal pattern: a cone-beam computed tomography study. journal of orofacial orthopedics. 2019;80(3):144-158. https://doi.org/10.1007/s00056-01900175-9 3. horner ka, behrents rg, kim kb, buschang ph. cortical bone and ridge thickness of hyperdivergent and hypodivergent adults. american journal of orthodontics and dentofacial orthopedics. 2012;142(2): 170-178. https://doi.org/10.1016/j.ajodo.2012.0 3.021 4. srebrzyńska-witek a, koszowski r, różyło-kalinowska i. relationship between anterior mandibular bone thickness and the angulation of incisors and canines—a cbct study. clinical oral investigations.2018;22(3):15671578. https://doi.org/10.1007/s00784017-2255-3 5. gaffuri f, cossellu g, maspero c, et al. correlation between facial growth patterns and cortical bone thickness assessed with cone-beam computed tomography in young adult untreated patients. saudi dental journal. 2021;33(3):161-167. https://doi.org/10.1016/j.sdentj.2020.0 1.009 6. al-masri mm, ajaj ma, hajeer my, al-eed ms. evaluation of bone thickness and density in the lower incisors’ region in adults with different types of skeletal malocclusion using cone-beam computed tomography. journal of contemporary dental practice. 2015; 16(8):630-637. https://doi.org/10.5005/jp-journals10024-1733 7. raber a, kula k, ghoneima a. threedimensional evaluation of labial alveolar bone overlying the maxillary and mandibular incisors in different skeletal classifications of malocclusion. international orthodontics. 2019; 17(2):287-295. https://doi.org/10.1016/j.ortho.2019.0 3.011 8. wang z, ma z, yang c. alveolar bone loss around mandibular anterior teeth in class i, ii, and iii malocclusions: a cbct evaluation study. published online 2020. https://doi.org/10.21203/rs.3.rs34913/v1 9. baysal a, ucar fi, buyuk sk, ozer t, uysal t. alveolar bone thickness and lower incisor position in skeletal class i and class ii malocclusions assessed with cone-beam computed tomography. korean journal of orthodontics. 2013;43(3):134-140. https://doi.org/10.4041/kjod.2013.43.3 .134 10. andrews wa, abdulrazzaq ws, hunt je, mendes lm, hallman la. incisor https://doi.org/10.1902/jop.1981.52.6.314 http://dx.doi.org/10.1007/s00056-019-00175-9 http://dx.doi.org/10.1007/s00056-019-00175-9 http://dx.doi.org/10.1016/j.ajodo.2012.03.021 http://dx.doi.org/10.1016/j.ajodo.2012.03.021 https://link.springer.com/article/10.1007/s00784-017-2255-3 https://link.springer.com/article/10.1007/s00784-017-2255-3 http://dx.doi.org/10.1016/j.sdentj.2020.01.009 http://dx.doi.org/10.1016/j.sdentj.2020.01.009 http://dx.doi.org/10.5005/jp-journals-10024-1733 http://dx.doi.org/10.5005/jp-journals-10024-1733 https://doi.org/10.1016/j.ortho.2019.03.011 https://doi.org/10.1016/j.ortho.2019.03.011 http://dx.doi.org/10.21203/rs.3.rs-34913/v1 http://dx.doi.org/10.21203/rs.3.rs-34913/v1 http://dx.doi.org/10.4041/kjod.2013.43.3.134 http://dx.doi.org/10.4041/kjod.2013.43.3.134 http://dx.doi.org/10.4041/kjod.2013.43.3.134 nur masita silviana | alveolar bone thickness around anterior teeth in different classifications of malocclusion: a systematic review 52 position and alveolar bone thickness. the angle orthodontist.2022;92(1):310. https://doi.org/10.2319/022320122.1 11. kook ya, kim g, kim y. comparison of alveolar bone loss around incisors in normal occlusion samples and surgical skeletal class iii patients. angle orthodontist. 2012;82(4):645-652. https://doi.org/10.2319/070111-424.1 12. ma j, huang j, jiang j hui. morphological analysis of the alveolar bone of the anterior teeth in severe high-angle skeletal class ii and class iii malocclusions assessed with conebeam computed tomography. plos one.2019;14(3). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0 210461 13. nahm ky, kang jh, moon sc, et al. alveolar bone loss around incisors in class i bidentoalveolar protrusion patients: a retrospective threedimensional cone-beam ct study. dentomaxillofacial radiology. 2012; 41(6):481-488. https://doi.org/10.1259/dmfr/3084540 2 14. oh sh, nahm ky, kim sh, nelson g. alveolar bone thickness and fenestration of incisors in untreated korean patients with skeletal class iii malocclusion: a retrospective 3dimensional cone-beam computed tomography study. imaging science in dentistry.2020;50(1):9-14. https://doi.org/10.5624/isd.2020.50.1. 9 15. tian y lou, liu f, sun hj, et al. alveolar bone thickness around maxillary central incisors of different inclination assessed with cone-beam computed tomography. korean journal of orthodontics. 2015;45(5):245-252. https://doi.org/10.4041/kjod.2015.45.5 .245 16. evangelista k, vasconcelos kdf, bumann a, hirsch e, nitka m, silva mag. dehiscence and fenestration in patients with class i and class ii division 1 malocclusion assessed with cone-beam computed tomography. american journal of orthodontics and dentofacial orthopedics. 2010;138(2): 133.e1-133.e7. https://doi.org/10.1016/j.ajodo.2010.0 2.021 17. enhos s, uysal t, yagci a, velid i, ucare fi, ozerf t. dehiscence and fenestration in patients with different vertical growth patterns assessed with cone-beam computed tomography. angle orthodontist. 2012;82(5):868874. https://doi.org/10.2319/111211702.1 18. yagci a, veli i, uysal t, ucar fi, ozer t, enhos s. dehiscence and fenestration in skeletal class i, ii, and iii malocclusions assessed with conebeam computed tomography. angle orthodontist. 2012;82(1):67-74. https://doi.org/10.2319/040811-250.1 19. kajan zd, monir ses, khosravifard n, jahri d. fenestration and dehiscence in the alveolar bone of anterior maxillary and mandibular teeth in cone-beam computed tomography of an iranian population. dental research journal. 2020;17(5):380-387. 20. klinge a, becktor k, lindh c, becktor jp. craniofacial height in relation to cross-sectional maxillary and mandibular morphology. progress in orthodontics. 2017;18(1): 32. https://doi.org/10.1186/s40510-0170187-8 21. sadek mm, sabet ne, hassan it. alveolar bone mapping in subjects with different vertical facial dimensions. eur j orthod. 2014;37(2):194–201. https://doi.org/10.1093/ejo/cju034 22. fiorellini jp, kim dm, uzel ng. anatomy of the periodontium. in: newman mg, takei h, klokkevold pr, editors. carranza’s clinical periodontology. 11th ed. st. louis, http://dx.doi.org/10.2319/022320-122.1 http://dx.doi.org/10.2319/022320-122.1 http://dx.doi.org/10.2319/070111-424.1 http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0210461 http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0210461 http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0210461 http://dx.doi.org/10.1259/dmfr/30845402 http://dx.doi.org/10.1259/dmfr/30845402 http://dx.doi.org/10.5624/isd.2020.50.1.9 http://dx.doi.org/10.5624/isd.2020.50.1.9 http://dx.doi.org/10.5624/isd.2020.50.1.9 https://doi.org/10.4041/kjod.2015.45.5.245 https://doi.org/10.4041/kjod.2015.45.5.245 http://dx.doi.org/10.1016/j.ajodo.2010.02.021 http://dx.doi.org/10.1016/j.ajodo.2010.02.021 http://dx.doi.org/10.2319/111211-702.1 http://dx.doi.org/10.2319/111211-702.1 http://dx.doi.org/10.2319/040811-250.1 http://dx.doi.org/10.1186/s40510-017-0187-8 http://dx.doi.org/10.1186/s40510-017-0187-8 http://dx.doi.org/10.1093/ejo/cju034 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 41-53 53 mo: saunders elsevier. 2015; pp.11,31‑7. ana medawati, potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) corespondensi : ana medawati, departemen biomedis kg, pspdg fkik umy, email: anamedawati@yahoo.com.sg 80 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) sebagai induktor apoptosis sel kanker lidah manusia (sp-c1) potency ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd leaves as an apoptotic inductor of human oral tongue cancer cell supri’s clone-1 (sp-c1) himmaturojuli rosyid ridlo1, supriatno2, ana medawati3 atiek driana rahmawati4 1mahasiswa pspdg fkik umy 2departemen ilmu penyakit mulut, fkg ugm 3departemen biomedis kg, pspdg fkik umy 4departemen ilmu kedokteran gigi anak, pspdg fkik umy abstract typhonium flagelliforme lodd has been used traditionally to cure breast cancer, lung, colon, rectum, liver, prostate, kidney, cervix, throat, bone, brain, spleen, bladder, leukimia and pancreas cancer. the ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd contained active compounds that could inhibit cancer cell growth. one of the active compounds was saponin and phenolic. the aim of study was to examine the potency ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. as inductor of apoptosis in human oral tongue cancer cell supri's clone-1 (sp-c1). the desingn of used in this study was pure laboratoris experimental with human oral tongue cancer cells line (sp-c1) as a sample which treated by ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd in various concentrations (0, 25, 50, 75, 100, 125 µg/ml) for 48 hours. apoptosis examination was carrried out by painting with etidium bromide-acridin orange. the result of the study showed that etanolic exstract of typhonium flagelliforme lodd. induced apoptotic sp-c1 cell line. statistical analisis with one way anova revealed etanolic extract in various concentration have significant differences (p=0,00) after treated with etanolic extract typonium flagelliforme lodd. it also found that the most effective concentration inducing apoptosis of human tongue cancer cells supri's clone-1 (sp-c1) was the 125 µg/ml. the conclusion of this research, ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. has a potency to induce apoptosis human oral tongue cancer cells (sp-c1). key words : apoptosis, cancer cell, typhonium flagelliforme lodd. abstrak typhonium flagelliforme lodd. telah sejak lama digunakan sebagai tanaman obat tradisional yang bermanfaat unutuk penyembuhan penyakit kanker payudara, paru-paru, usus besar, rectum, hati, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, empedu, leukimia, kanker pankreas. ekstrak etanol typhonium flagelliforme lodd. mengandung senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. salah satu komponen aktif tersebut adalah saponin dan fenol. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak etanol typhonium flagelliforme lodd. sebagai induktor apoptosis sel kanker lidah manusia supri’s clone-1 (sp-c1). jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris murni menggunakan sampel sel kanker lidah manusia (sp-c1) sebagai sampel yang diberi perlakuan denana medawati, potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 81 gan pemberian ekstrak typhonium flagelliforme lodd. berbagai konsentrasi (0, 25, 50, 75, 100, 125 µg/ml) selama 48 jam. pemeriksaan apoptosis dilakukan dengan pengecatan etidium bromide-acridin orange. uji statistik menggunakan uji anava satu jalur. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol keladi tikus menginduksi apoptosis sel kanker lidah manusia sp-c1. hasil uji statistik menunjukkan ekstrak etanol typhonium flagelliforme lodd berbagai konsentrasi mempunyai berbedaan yang signifikan (p=0,000). konsentrasi ekstrak yang paling efektif untuk menginduksi apoptosis sel kanker lidah manusia supri’s clone-1 (sp-c1) adalah konsentrasi 125 μg/ml. kesimpulan : ekstrak etanol typhonium flagelliforme lodd. mempunyai potensi sebagai induktor apoptosis sel kanker lidah manusia (sp-c1). kata kunci : apoptosis, sel kanker lidah manusia, typhonium flagelliforme lodd pendahuluan keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) merupakan tanaman herbal dari famili araceae yang tumbuh liar di tempat yang lembap1. tanaman tersebut mudah ditemukan di sepanjang pantai utara pulau jawa. keladi tikus memiliki ciri khas berupa bunga unik yang bentuknya menyerupai ekor tikus. kelopak bunga berbentuk bulat lonjong, berwarna kekuningan, bertangkai dan panjangnya 4-8 cm.2 keladi tikus memiliki berbagai khasiat antara lain anti virus, anti bakteri, anti radang dan anti kanker3. kandungan tanaman keladi tikus yang memiliki efek anti kanker adalah triterpenoid, alkaloid, polifenol, ribosome inactivating protein (rip) dan fitol 3,4. ekstrak tanaman keladi tikus menghambat aktivitas sel kanker dengan aksi antiproliferasi nonspesifik dan menginduksi apoptosis6 apoptosis atau suatu bentuk kematian sel yang diprogram oleh informasi genetik yang ada didalam sel. aktifasi gen atau pelepasan beberapa proses dari inhibisi normal yang akan mencetuskan kejadian-kejadian yang akan menyebabkan kematian sel. berbagai stimulus pencedera ekstrinsik dapat mencetuskan apoptosis, tetapi apoptosis dapat juga merupakan bagian dari proses fisiologi tubuh. proses tersebut biasanya melibatkan sel-sel tungal atau kelompok beberapa sel dan seiring dengan sel tersebut mati, sel tersebut membentuk fragmen menjadi potongan-potongan yang terikat membran yang dengan cepat difagositosis oleh sel-sel disebelahnya atau oleh makrofag. kematian sel yang terprogram diperlukan untuk menghancurkan sel-sel yang merupakan ancaman bagi integritas organisme, seperti pada selsel yang terinfeksi oleh virus, sel-sel sistem imun, sel-sel dengan kerusakan dna, dan sel-sel kanker. 7 kanker lidah merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di beberapa negara di dunia. kanker lidah paling banyak terjadi di negara berkembang dan mempunyai karakteristik invasi dan metastasis sel ke limfonodi servikal yang tinggi. kanker tersebut sering pula menyebabkan rekurensi lokal karena rerjadi invasi dan/atau metastasis mikro dari sel kanker primer. sampai saat ini perawatan sel kanker lidah masih dilakukan secara konvensional seperti kemoterapi, radioterapi, pembedahan dan terapi kombinasi yang masih belum menunjukan lamanya hidup penderita secara signifikan. prognosis kanker lidah tidak berubah selama 10 tahun terakhir. 8 penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) sebagai induktor apoptosis sel kanker lidah manusia (sp-c1). bahan dan cara 4. pembuatan ekstrak etanol keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) ana medawati, potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) 80 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) dikeringkan dalam almari pengering pada suhu 45o c, daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) yang sudah kering dijadikan serbuk menggunakan blender sampai halus. pembuatan ekstrak ini menggunakan cara maserasi, yaitu dengan merendam 1000 mg bubuk daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) dalam 1000 ml etanol 70% selama 1 minggu. selanjutnya dilakukan pemisahan zat aktif dan etanol menggunakan vaccum evaporator. zat aktif dibuat stok 1 gr/ml, selanjutnya dibuat konsentrasi 0, 25, 75, 100, dan 125 mg/ml. 5. persiapan biakan sel sp-c1 sel sp-c1 dikloning dan dibiakkan dalam larutan rpmi, 10% fbs dan antibiotik (penisilin-streptomisin 3%) dalam cawan petri dengan diameter 100 mm. sel diikubasi pada suhu 37o c dengan kelembaban udara 95% dan co2 5%. 6. uji apoptosis sel sp-c1 yang tumbuh subconfluent dipanen menggunakan tripsin-edta 0,25%. sel sebanyak 3x105 sel dibiakkan dalam cawan petri dengan diameter 60 mm, sesuai jumlah konsentrasi ekstrak etanolik daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) yang digunakan. sel diinkubasi selama 24 jam. setelah inkubasi, semua media dibuang dan diganti dengan media baru yang mengandung berbagai kon-sentrasi ekstrak daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.). sel diinkubasi selama 48 jam. sel dile-takkan di glass slide, kemudian dicat dengan acridine orange sebanyak 1 ml selama 5 menit diruangan yang gelap lakukan pengamatan di bawah mikroskop florousence, kemudian hitung sel yang mengalami apop-tosis. penampakan sel yang menga-lami apoptosis yaitu sel yang mengalami apoptosis akan berwarna kuing karena meyerap zat warna sedangkan sel yang hidup adalah yang berwarna hijau. hasil penelitian data rerata dan standar deviasi sel yang mengalami apoptosis setelah inkubasi dengan ekstrak etanol daun keladi tikus selama 48 jam menunjukkan menunjukkan bahwa jumlah rerata apoptosis sel sp-c1 diketahui meningkat mulai dari konsentrasi 25 µg/ml sampai pada konsentrasi 125 µg/ml. konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus yang memiliki pengaruh terkecil pada apoptosis sel adalah pada konsentrasi 25 µg/ml yaitu dengan rerata 6,33 ± 2,1, sedangan konsentrasi yang memiliki pengaruh terbesar pada konsentrasi 125 µg/ml yaitu dengan rerata 62,00 ± 3,0. gambaran lebih jelasnya mengenai hasil penelitian induksi apoptosis sel sp-c1 menggunakan daun keladi tikus dapat dilihat pada gambar berikut ini: keterangan : * signifikansi ** lebih signifikansi gambar grafik rerata dan standar deviasi induksi apoptosis sel kanker lidah manusia (sp-c1) setelah perlakuan dengan menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100dan 125 µg/ml inkubasi selama 48 jam. berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa jumlah sel sp-c1 yang mengalami apoptosis diketahui meningkat dari konsentrasi 25 µg/ml sampai konsentrasi 125 µg/ml 0 10 20 30 40 50 60 70 0 25 50 75 100125 se l sp -… konsentrasi (g/ml) * r er at a ju m la h a po pt os is s el ** ** ** ana medawati, potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 81 dengan perbedaan paling bermakna terdapat pada konsentrasi 125 µg/ml. hasil uji distribusi normal dan homogenitas variansi menunjukkan angka signifikansi shapiro-wilk p>0,05. selanjutnya untuk menilai tingkat signifikansi apoptosis sel spc1 dilakukan uji parametrik anava satu jalur. hasil uji anava satu jalur menunjukkan nilai signifikansi 0.000 (p<0,05), maka dapat diambil kespulan bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermakna dari jumlah sel yang mengalami apoptosis setelah diberi berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.). hasil uji tukey lsd memperlihatkan terdapat perbedaan rerata antara masing-masing konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus. diskusi hasil penelitian menunjukkan hasil ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd) mempunyai pengaruh dalam menginduksi apoptosis sel kanker lidah manusia sp-c1. pengaruh terbesar pada konsentrasi 125 µg/ml sebesar 62,00 ± 3,0. hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa tanaman typhonium flagelliforme mampu menghambat pertumbuhan dan menginduksi apoptosis sel kanker pada paru-paru manusia secara in vitro.6 gambaran grafik sebelumnya, memperlihatkan konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus yang memiliki pengaruh terkecil pada apoptosis sel adalah pada konsentrasi 25 µg/ml yaitu dengan rerata sebesar 6,33 ± 2,1 sedangkan konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus yang memiliki pengaruh terbesar pada konsentrasi 125 µg/ml sebesar 62,00 ± 3,0. hasil penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak etanol daun keladi tikus berpengaruh terhadap induksi apoptosis sel kanker lidah manusia (sp-c1) yang dapat digunakan sebagai pengobatan secara herbal. penelitan mengenai apoptosis diawali ketikata keladi tikus berikatan dengan fas ligan yang berada di membran sel. senyawa aktif daun keladi tikus kemudian dibawa ke sitoplasma dalam sel. pada saat di sitoplasma kemudian berikatan dengan fadd. fadd ini akan mengaktifkan procaspase 8 menjadi caspase 8. dari caspase 8 maka akan mengaktifkan dua jalur yaitu intrinsik dan ekstrinsik. jalur ekstrinsik dterjadi dengan aktifnya procaspase 3,6,7 sebagai inisiator, mengaktifkan caspase 3,6,7 yang bertindak sebagai caspase eksekutor sehingga terjadi apoptosis. pada jalur intrinsik terjadi ketika caspase 8 mengaktifkan bid menjadi t-bid yang terpotong-potong yang akan mengaktifkan mitokondria untuk mengeluarkan apoptosom seperti cictc dan apaf 1 yang kan mengaktifkan kaspase 9 yang bekerjasama dengan kasmase 3,6,7 sebagai kaspase eksekutor yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis. 9 penelitian sebelumnya dengan tanaman typhonium flagelliforme yang sama juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme) efektif menghambat proliferasi sel kanker lidah berpengaruh manusia (sp-c1). potensi hambatan tertinggi terjadi pada konsentrasi 125 µg/ml.10 penelitian daun keladi tikus juga berefek sebagai antioksidan yang berpotensi dalam menyembuhkan penyakit kanker. . 11 kesimpulan ekstrak etanol daun keladi tikus mempunyai kemampuan menginduksi apoptosis sel kanker lidah manusia sp-c1. saran 3. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut aktifitas antikanker ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap sel sp-c1 secara in vivo pada hewan coba sebelum dilakukan aplikasi klinis pada manusia. 4. penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap sel kanker rongga mulut ditempat lain. ana medawati, potensi ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) 80 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 daftar pustaka 1. sudiono, j. pemeriksaan patologi untuk diagnosis neoplasma mulut. jakarta: egc. 2008. 2. sudewo, b. tanaman obat populer penggempur aneka penyakit. jakarta: agromedia pustaka. 2007. 3. mangan, y. solusi sehat mencegah dan mengatasi kanker. jakarta: pt. agromedia pustaka. 2009. h. 44-45 4. mudahar, h., widowati, l., sundari, d. uji aktivitas ekstrak etanol 50% umbi keladi tikus (typhonium flagelliforme) terhadap sel kanker payudara (mcf-7 cell line) secara in vitro. puslitbang biomedis dan farmasi, badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2006. 5. mackie, j.t., atshaves, b., payne, h.r., mcintosh, a., schroeder, f., kier, b. (2009) phytol-induced hepatoxicity in mice. toxicologyc pathologic, 008:1-8 6. choon, s.l., mas, r., nair. n.k., majid, m.i.a., mansor., navaratnam. typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and induces apoptosis: an evaluation by the bioactivity guided approach. journal of enthopharmacology 2008. 118: 14-20. 7. price, sa &wilson, l.m. patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. edisi 6. jakarta: egc. 2005. 8. supriatno. ligonukleotid sphase kinaseassociated protein 2(skp2) anti sense menginduksi hambatan proliferasi dan peningkatan aktivitas apoptosis pada sel kanker leher dan kepala. maj.ked gigi. bag.oral medicine. fakultas kedokteran gigi. ugm. 2007. 9. supriatno, & yuletnawati, s. aktivitas antikanker cepharantine pada kanker lidah manusia in vitro (tinjauan proliferasi, invasi dan metastasis sel). maj. ked. gi, 2006. 13(2): 141-145. 10. harhari, kpy., supriatno, medawati, a. daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme. lodd.) terhadap proliferasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) secara in vitro, jurnal mutiara medika, vol.11 nomor 1, januari 2011, hlm. 14-18 11. mohan, s., abdul, a.b., wahab, s.i.a.,al-zubairi, a.s., elhassan, m.m., & yousif, m. investigations of antioxidant and antibacterial activities of typhonium flagelliforme (lodd.) blume leaves. research journal of pharmacology, 2 (4), 2008. pp. 47-5, correspondence: lelly yustri anita, clinical student of dentistry school of muhammadiyah university yogyakarta, e-mail: lelly_dentist@yahoo.com dj, volume 1, no. 2, tahun 2012 1 the effect of arrowroot starch (marantha arundiceae l) into alginate towards alginate impression setting time pengaruh penambahan pati garut (marantha arundiceae l) ke dalam alginat terhadap setting time hasil cetakan alginat lelly yustri anita1, purwanto agustiono2 1clinical student of dentistry school of muhammadiyah university yogyakarta, indonesia 2biomaterial department of gadjah mada university, yogyakarta, indonesia abstract background : the demand of alginate increase overtime, in otherhand, indonesia could not produce its own alginate yet. limited access to get alginate in certain region of indonesia raise an idea to apllicate arrowroot starch into alginate to reduce alginate using. one of impression material requirment is has suitable setting time. the effect of adding arrowroot starch into alginate towards its dimensional stabillity has been published, but the effect toward its setting time has not been evaluated. methods : this study using 60 sample that divided into 4 groups (control, 45%, 50%, and 55% of added arrowroot starch). acrilic stick is used by entering it into alginate after 10 second, and replied until no alginate on acrilic stick. the time when no alginate on acrilic stick was record by stopwatch. result : statistically, kruskallwallis test is show that arrowroot starch which add into alginate have significant effect towards alginate impression setting time with p=0,000. conclusion : arrowroot starch which has been added into alginate has an effect towards alginate impression setting time. key words : alginate, arrowroot starch, alginate, impression setting time. abstract latar belakang : permintaan alginat terus bertambah dari tahun ke tahun, di sisi lain, indonesia belum dapat memproduksi alginat sendiri. keterbatasan akses pada daerah tertentu di indonesia memunculkan ide untuk mencampurkan alginate dengan pati garut yang memiliki kesamaan karakteristik dengan alginat, untuk mengurangi jumlah penggunaan alginat. salah satu syarat abhan cetak adalah memiliki waktu setting yang wajar. publikasi tentang pengaruh penambahan pati garut terhadap stabilitas dimensi telah dipublikasikan, akan tetapi penelitian tentang pengaruhnya terhadap setting belum dievaluasi. metode : penelitian ini menggunakan 60 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok (kontrol, penambahan pati garut sebesar 45%, 50%, dan 55%. batang akrilik dicelupkan ke dalam adonan alginat setiap 10 detik, dan diulang hingga tidak ada lagi alginat yang menempel pada batang akrilik. waktu ketika tidak ada lagi adonan alginat yang menempel pada batang akrilik, emnandakan bahwa sampel telah mengalami setting time, dan diukur dengan stopwatch, hasil : hasil uji kruskall-wallis menunjukkan bahwa penambahan pati garut ke dalam alginate berpengaruh secara signifikan terhadap waktu setting hasil cetakan alginate dengan nilai p=0,000. kesimpulan : pati garut yang ditambahkan ke dalam alginat berpengaruh terhadap waktu setting hasil cetakan alginat. kata kunci : alginat, pati garut, waktu setting hasil cetakan alginate. lelly yustri anita,the effect of arrowroot starch (marantha arundiceae l) into alginate… 2 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 introduction alginat is most usual impression material that have been used indonesia. the dentist not always work in area where get the easy accesibility for alginate suply. this problem created an idea to mix alginate with some hidrofilic materials that easily found in indonesia, especially for remote area1. arrowroot starch (maranta arundinaceae l.) contain for amylose and amylopectin 23.5%. those contain be a reason gummy characteristic for starch cuisine2. amylose and amylopectin are kind of carbohidrate. alginate also contain of carbohidrate. this why alginate might be mixed with aroowroot starch because the had simialiar characteristic in gelation process forming hydogel when it was reacted with water3. setting time is important thing that used as a parameter for impression material already impress oral anatomy or not. before alginate reach its setting, the material will flow to shape oral anatomy, then setting proces will oc-cur, flowable form of alginat will be solid form and impressing oral anatomy finely4. the effect of adding arrowroot starch into alginate towards it is dimension stability has been known5, but publication of its effect towards setting time is not published yet. based on that references, author will continue the study by publishing the effect of arrowroot starch into alginate towards its setting time, and to identify the level significancy these effect, and which group that give the biggest effect towards alginate setting time. materials and methods materials plastic ring with 3.2 cm in diameter and 2,2 cm in high that put on glass plate 12,1x 10.1 x 0.8 cm has been used for this study. in this study, sample group diided into four group, they are: group a, is control group, using pure alginate 100% (without arrowroot starch addition), 7,5 grams for each samples. number of sample :5 samples. group b, is experiment group, ratio arrowroot starch : alginate is 45 : 55% (3.375: 4. 125 grams). number of sample : 5 samples group c, is experiment group, ratio arrowroot starch : alginate is 50 : 50% (3.75: 3.75 grams). number of sample : 5 samples group d, is experiment group, ratio arrowroot starch : alginate is 55 : 45% (4. 125: 3.375grams). number of sample : 5 samples methods control group and mixed arrowroot starchalginate as impression material manipulated by 17,5 ml steril aquadest in rubber bowl for 30 second6. turn on the stopwatch. each manipulated samples put in plastic ring on glass plate, then the surface of manipulated samples flated by spatula. hold the outer side of plastic ring. enter acrilic stick into manipulated samples even 10 second, and pull out soon as soon possible. clean up the stick with tissue and enter it again soon. replay this prosedure until no manipulated samples glue on acrilic stick7. after no manipulated samples glue on acrlic stick, it means the samples reach their setting6. turn off the stopwatch, and write the result based on stopwatch. lelly yustri anita,the effect of arrowroot starch (marantha arundiceae l) into alginate… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 3 results table 1. setting time of all samples group sample setting time (second) a 1 54 2 55 3 50 4 53 5 52 b 1 60 2 61 3 81 4 83 5 85 c 1 117 2 112 3 113 4 113 5 112 d 1 120 2 134 3 133 4 132 5 122 table 2. mean of setting time of all group discussion based on kruskall-wallis test, arrowroot starch adding into alginate has significant effect towards its setting time. mean of setting time each group known up and up for each increasing arrowroot starch ratio, it suitable with biomaterial expert statement which said that higher viscosity of alginate will prolonge its seting time4,. alginate setting time will longer when more water added into it8. based on post hoc-lsd analysis, is known that all of experiment group show the longer tsetting time than control group. for 45,50, and 55% arrowroot starch addition into alginate could prolonge regular set alginate setting time reach up 1.4 to 2.4 times. it proofed that adding hydrofilic component into another material which has similiar hydrofilic characteristic give the significant effect towards alginate setting time. alginate has filler component as one of its former. these filler will make setting alginate mass be more solid. less fller in alginate, will make the impression lack its consistency, because filler which has a role to make its solid is inadequate to streghten impression mass3. pure alginate that have been used as control group have more filler and another component than experiment group, it will make control sample were more rigid than one. beside that, arrowroot starch which contain of 23% amylose and amylopectin2, will add the hydrofilic characteristic of impression material, so it will easily absorb the water from its environtment. it will inhibit crosslink kelompok mean of setting time kontrol 52,80 pati 45% 74,00 pati 50% 113,40 pati 55% 128,20 lelly yustri anita,the effect of arrowroot starch (marantha arundiceae l) into alginate… 4 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 process of hydrogel forming of impression material. this why impression material with arrowroot starch addition has the longer setting time. conclusions adding 45%, 50%, and 55% arrowroot starch into alginate has a significant effect to prolonge its setting time reach up 1.4 to 2.4 times. references 1. noerdin, a., irawan, b., febriani, m. pemanfaatan pati ubi kayu (manihot utilisima) sebagai campuran bahan cetak gigi alginat. makara, kesehatan, 2003, 7 (2). 2. anwar, e., yusmarlina, d., rahmat, h., & kosasih. fosforilasi pregelatinasi pati garut (maranta arundinaceae l.) sebagai matriks tablet lepas terkendali teofilin. majalah farmasi indonesia, 2006. 17 (1), hal. 37 – 44. 3. craig, rg., powers, jm., wataha, jc. dental materials properties and manipulation (8th ed.), 2004. page 161-166. china : mosby. 4. mccabe, jf., walls, awg. applied dental materials (9th ed.), 2008. page 137-162. singapore: blackwell. 5. anita, ly. pengaruh penambahan pati garut (marantha arundinaceae l.) pada alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan alginat. skripsi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. 2011. 6. powers, jm. sakaguchi, rl. craig’s :restorative dental materials, 2006. page 272-278. usa : mosby elsevier. 7. handayani, nt. pengaruh penambahan pati ubi kayu (manihot utillisima) pada bahan cetak alginat terhadap stabilitas dimensi cetakan alginat. kripsi, fakultas kedokteran gigi universitas gajah mada yogyakarta. 2007. 8. purnomo, mt., agustantina, th., & soekartono, rh. (2009, juli des). setting time akibat penurunan rasio air dan bubuk bahan cetak alginat. material dental journal, 2 (2). correspondence: muhammad nurul amin, biomedical/orthodontic department, dentistry faculty of jember university, e-mail: m_nurul_amin.fkg@unej.ac.id idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 81 the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker of oral disease prospek heat shock protein (hsp) sebagai biomarker penyakit gigi dan mulut muhammad nurul amin1 1biomedical/orthodontic department, dentistry faculty of jember university abstract the prevalence of oral diseases is increasing and caused by many factors. it can be caused by environmental, genetic, malignancy or side effects of dental treatment. the research detect these disease has been done, but still not getting satisfactory results. heat shock proteins (hsp) are intracellular proteins that mediate the cytoprotective function and other essential functions. this protein is expressed and synthesized under conditions of stress/harmful or nonstress. the oral disease is a form of adverse conditions, and the course will also trigger hsp expression. keyword: heat shock protein (hsp), biomarker, oral disease abstract prevalensi penyakit gigi dan mulut semakin meningkat dan disebabkan oleh banyak factor. hal tresebut dapat disebabkan lingkungan, genetic, keganasan ataupun efek samping perawatan gigi. penelitian untuk mendeteksi penyakit-penyakit tersebut sudah banyak dilakukan, tetapi masih belum memberikan hasil yang memuaskan. heat shock proteins (hsp) adalah protein intraselular yang memediasi fungsi sitoprotektif dan fungsi penting lainnya. protein ini diekspresikan dan disintesis dibawah kondisi stress/berbahaya ataupun nonstress. sedangkan penyakit gigi dan mulut merupakan salah satu bentuk kondisi yang merugikan dan tentu saja akan memicu ekspresi hsp. kata kunci: heat shock protein (hsp), biomarker, penyakit gigi dan mulut introduction heat shock proteins (hsps) are a family of highly homologous chaperone proteins that are induced in response to environmental, physical and chemical stressesand that limit the consequences of damage and facilitate cellular recovery. 1,2,3 the stresses that can trigger this response vary widely, and include heat or cold, osmotic imbalance, toxins, heavy metals and pathophysiological signals such as cytokines and eicosanoids. the cell-stress response is an evolutionarily ancient, ubiquitous and essential mechanism for cell survival. 2,3 hsps are expressed both constitutively (cognate proteins) and under stressful conditions (inducible forms). in addition to heat shock, a variety of stressful situations including environmental (ultraviolet radiation or heavy metals), pathological (infections or malignancies), or physiological (growth factors or cell differentiation) stimuli induce a marked increase in hsp synthesis, known as the stress response.3,4 muhammad nurul amin, the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker… 70 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 exposure of cells to potentially damaging stresses such as uv or nutrient withdrawal induces signals able to mediate cell death, or alternatively, survival pathways that allow cells to tolerate and/or to recover from the damage imposed. this paradoxical activation of both pro and antiapoptotic events in response to the same stimulus ensures that neither aberrant cellular survival nor inappropriate cell death arises and, in doing so, averts the onset and persistence of the pathological state. 5 the activation of heat shock gen heat shock factor (hsf) is present in the cytoplasm as a latent monomeric molecule that is unable to bind to dna. under stressful conditions, the flux of non native proteins (which are non-functional, prone to aggregation, protease-sensitive, and bind to chaperones) leads to phosphorylation (p) and trimerisation of hsf. the trimmers translocate to the nucleus, bind the promoter regions of heat shock protein (hsp) genes and mediate hsp gene transcription. the activity of hsf trimers is downregulated by hsps (e.g. hsp 70) and the heat shock binding protein 1 (hsbp1) that is found in the nucleus. 6 figure 1. regulation of transcription of heat shock protein genes by heat shock factor. 6 the family of heat shock protein the primary function of the hsps appears to serve as molecular chaperones in which they recognize and bind to nascent polypeptide chains and partially folded intermediates of proteins, preventing their aggregation and misfolding, or as chaperonins that directly mediate protein folding. the classification of hsps is based on their related function and size (molecular mass). using the nomenclature adopted after the cold spring harbor meeting of 1996, family names are written in uppercase, e.g., hsp70, whereas members of a family are conventionally written as hsps, e.g., hsp70. major classes of muhammad nurul amin, the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker… 104 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 hsps include the small hsps, hsp40, 60, 70, 90, and 110 families. in mammalian species, the hsp60 (chaperonin) family consists of mitochondrial hsp60 (mt-hsp60) and cytosolic hsp60 (t-complex polypeptide-1).7 table 1. key members of the heat shock protein family in humans (2,4,6) the expression and potential therapeutic application of heat shock protein the network of heat shock or stress proteins represents an emerging paradigm for the coordinated, multistep regulation of apoptotic signaling events to provide protection from and to facilitate cellular recovery after exposure to damaging stimuli. heat shock proteins (hsps) constitute a highly conserved and functionally interactive network of chaperone proteins, some of which are constitutively expressed and others of which are rapidly induced in response to a variety of chemical, environmental, and physiological stresses. their collective ability to disaggregate, refold, and renature misfolded proteins offsets the otherwise fatal consequences of damaging stimuli. this protective function of hsps has been suggested to reflect their ability to suppress several forms of cell death, including apoptosis.5,6 hsp member location description small hsp ubiquitin cytoplasm/nucleus facilitates targeting and removal of denatured proteins hsp10 mitochondria cofactor for hsp60 hsp27 cytoplasm/nucleus involved in intracellular actin dynamics β-crystallin cytoplasm involved in cytoskeletal stabilisation hsp40 hsp40 cytoplasm/nucleus regulates activity of hsp70, binds non-native protein hsp47 endoplasmic reticulum processing of pro-collagen hsp60 hsp60 mitochondria molecular chaperone hsp70 hsp72 cytoplasm/nucleus highly stress inducible, protects against ischemia hsp73 cytoplasm/nucleus constitutively expressed molecular chaperone hsp75 mitochondria induced by stress including hypoxia hsp90 hsp90 cytoplasm (migrates to nucleus) part of the steroid receptor complex hsp110 hsp110 nucleolus/cytoplasm thermal tolerance hsp105 cytoplasm protein refolding muhammad nurul amin, the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker… 74 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 figure 2. regulation of the extrinsic pathway by hsps.5 hsps regulate at multiple points within the signaling pathways activated by ligation of a cell surface death receptor by the appropriate ligand. these include the maintenance of prosurvival signals generated via tnfmediated activation of nf-κb and suppression of proapoptotic signaling events, e.g., jnk activity and bid cleavage. integration of the extrinsic and intrinsic pathways is mediated via the caspase-8–mediated cleavage and activation of bid as well as activation of jnk, which can impact on numerous molecules that regulate mitochondrial integrity (shown in the shaded area). 5 hsps regulate several aspects of the intrinsic apoptotic pathway. these include both direct mediators — e.g., bax — and indirect regulators — e.g., akt — of mitochondrial membrane permeabilization to prevent momp as well as events downstream of mitochondrial disruption to regulate apoptosome assembly. caspase-independent cell death may also be affected via hsp-mediated suppression of aif activity and inhibition of lysosome permeabilization and cathepsin release.5 several studies showing the expression of hsp in some oral disease are summarized in table 2 muhammad nurul amin, the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 73 table 2. evidence for the involvement of hsp/chaperonin in oral disease hsp disease hsp 10 growth factor of osteoclasts (m. tuberculosis chaperonin 10) (7) hsp 27 osteoclastic resorption – calcium release (8) ameloblastomas, salivary gland cancer, dysplastic lesions (oral cancer), squamous cell carcinoma (9) oral tongue squamous cell carcinoma (10) hsp 60 ameloblastomas (9) periodontitis (11) cronic periodontitis (+ microbial hsp 65) (12) hsp 70 dental caries (13) ameloblastomas , salivary gland cancer , squamous cell carcinoma (9) oral squamous cell carcinoma (14,15) dysplastic lesion and oral squamous cell carcinomas (16) cancer of gingivo-buccal and tongue (17) hsp 90 salivary gland cancer (9) hsp 110 salivary gland cancer (9) conclusion hsp may be a candidate as an oral disease biomarker and further research is needed to prove it again references 1. helen m. beere. journal of cell science 117 (13) 2641-2651 published by the company of biologists 2004 2. ranford j., anthony r.m. coates and brian henderson. chaperonins are cellsignalling proteins: the unfolding biology of molecular chaperones. expert reviews in molecular medicine 15 september 2000 issn 1462-3994 ©2000 cambridge university press. http://wwwermm. cbcu.cam.ac.uk 3. sørensen, j. g., torsten nygaard kristensen and volker loeschcke. the evolutionary and ecological role of heat shock proteins. ecology letters, (2003) 6: 1025–1037 4. min-fu tsan and baochong gao. cytokine function of heat shock proteins. am j physiol cell physiol 286: c739–c744, 2004;) 5. beere, h. m. death versus survival: functional interaction between the apoptotic and stress-inducible heat shock protein pathways. j. clin. invest. 115:2633– 2639 (2005) 6. pockley, a. g., heat shock proteins in health and disease: therapeutic targets or therapeutic agents? expert reviews in molecular medicine / 3 / pp 1 21 7. sørensen, j. g., torsten nygaard kristensen and volker loeschcke. the evolutionary and ecological role of heat shock proteins. ecology letters, (2003) 6: 1025–1037 8. gaston, j. s. h. heat shock proteins and innate immunity clin exp immunol 2002; 127:1–3 9. ciocca, d. r and stuart k. calderwood. heat shock proteins in cancer: diagnostic, prognostic, predictive, and treatment implications. cell stress & chaperones (2005) 10 (2), 86–103 10. anxun wang, xiqiang liu, shihu sheng, hui ye, tingsheng peng, fei shi, david l crowe and xiaofeng zhou. dysregulation of heat shock protein 27 expression in oral tongue squamous cell carcinoma. bmc cancer 2009, 9:167 muhammad nurul amin, the prospect of heat shock protein (hsp) as biomarker… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 107 11. gregory j. seymour, pauline j. ford, erica gemmell, kazuhisa yamazaki. infection or inflammation: the link between periodontal disease and systemic disea inside dentistry vol. 2 (special issue 1) 12. hasan a., d sadoh, r palmer, m foo, m marber,* and t lehner.the immune responses to human and microbial heat shock proteins in periodontal disease with and without coronary heart disease. clin exp immunol. 2005 december; 142(3): 585–594. 13. kaur r., hardeep kataria, sushil kumar, and gurcharan kaur. caries experience among females aged 16–21 in punjab, india and its relationship with lifestyle and salivary hsp70 levels. eur j dent. 2010 july; 4(3): 308–313 14. markopoulos a. k., eleni deligianni, demetrios z. antoniades. hsp70 in oral squamous cell carcinoma heat shock protein 70 membrane expression in oral cancer: a possible new target in antineoplastic therapy? chemotherapy 2009;55:211-214 15. tavassol f., oliver f starke, horst kokemüller, gerd wegener, corinna cm müller-tavassol, nils-claudius gellrich, andré eckardt prognostic significance of heat shock protein 70 (hsp70) in patients with oral cancer. head & neck oncology 2011, 3:10 16. kaur j., a srivastava, r ralhan. expression of 70-kda heat shock protein in oral lesions: marker of biological stress or pathogenicity. oral oncology volume 34, issue 6, november 1998, p: 496-501. 17. shukla s., atul pranay, anil k. d'cruz, pankaj chaturvedi, shubhada v. kane, surekha m.zingde. immunoproteomics reveals that cancer of the tongue and the gingivobuccal complex exhibit differential autoantibody response. cancer biomarkers volume 5, number 3 / 2009. korespondensi: any setyawati, 1bagian konservasi gigi, pspdg universi tas muhammadiyah yogyakarta e-mail: evakg_96.co.id 90 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak pada kasus fraktur (laporan kasus) any setyawati1 1bagian konservasi gigi, pspdg universitas muhammadiyah yogyakarta abstrak laporan kasus ini menginformasikan bahwa restorasi estetik dengan penguat pasak dapat dilakukan dalam 1 kali kunjungan pada kasus fraktur gigi anterior.pasien wanita 21 tahun mengalami kecelakaan sehingga gigi anteriornya fraktur. gigi 11 fraktur ellis kelas iii dan mengalami disto torsi. gigi 12 mengalami fraktur ellis kelas ii. satu bulan sebelumnya, 11 telah dilakukan perawatan saluran akar dan 12 telah dilakukan kaping pulpa. 11 dilakukan pengambilan gutta perca, preparasi saluran pasak, dan diinsersikan pasak fabricated jenis unimetric sebagai penguat, kemudian dilakukan restorasi langsung menggunakan resin komposit warna a3. 12 dilakukan preparasi pembuatan bevel, selanjutnya dilakukan restorasi langsung menggunakan resin komposit warna a3. dalam 1 kali kunjungan gigi 11 dan 12 yang mengalami fraktur berhasil dilakukan restorasi estetik, penggunaan penguat pasak pada 11 dilakukan dalam 1 kali kunjungan, sehingga tidak perlu beberapakali kunjungan untuk memperbaiki penampilan, dan pasien sangat puas. hasil restorasi baik, saat dilakukan kontrol satu minggu setelah restorasi estetik menggunakan penguat pasak, tidak terdapat keluhan rasa sakit, gingiva sekitar gigi normal. gigi dapat berfungsi dengan baik serta dapat mengembalikan rasa percaya diri pada pasien. kata kunci : restorasi estetik, pasak, 1 kali kunjungan, fraktur. aesthetic restoration in one visit with the use of post in case of fracture (case report) abstract this case report informs that the aesthetic restoration with post inone visit treatmenton the caseof fractureanterior teeth. 21 years old female patient had an accident that fractured her anterior teeth. tooth 11 had ellis type fracture class iii and had a torque movement. tooth 12 had ellis type fracture class ii. one month earlier, on tooth 11 there had been root canal treatment performed and on tooth 12 pulp caping had been performed. tooth 11 had gutta percha making, post canal preparation, and post insertion using fabricated unimetric post as a reinforcement, then restoration was carried out directly using a composite resin a3 color. on any setyawati: restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 94 tooth 12 there wasalso a preparation of bevel making, then restoration was performed directly using a composite resin a3 color. aesthetic restorations using post reinforcement for teeth 11 which suffered fractures in one visit only, somemore visits to improve the appearance will not be necessary, and patient was very satisfied. the restoration showed a good result on control visit one week later, there was no pain symptom after esthetic restorations using dowel reinforcement, also gingiva in normal condition. teeth show good function and also raised self confidence of patient as well. key words: aesthetic restoration, post, one visit, fracture. pendahuluan pada masa sekarang ini pasien datang dengan keluhan ingin diperbaiki giginya supaya lebih indah dipandang mata.hal ini sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran gigi yang mengarah pada perawatan cosmetic dentistry1. trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan jaringan pulpa, memerlukan penanganan operatif dengan segera. pada gigi yang mengalami fraktur dengan pulpa terbuka seringkali diperlukan pengambilan jaringan pulpa karena pulpa akan mengalami nekrosis bila tidak dilakukan perawatan 2. gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar memiliki struktur jaringan lemah, disebabkan pembuatan jalan masuk ke kamar pulpa dan saluran akar memerlukan pengambilan jaringan yang banyak 3. gigi akan mengalami penurunan kadar kelembaban sehingga menjadi rapuh, oleh karena itu diperlukan pasak dengan ukuran yang tepat masuk ke dalam saluran akar untuk mendukung restorasi 4. penggunaan pasak pada gigi yang sebelumnya telah dirawat endodontik dimaksudkan agar gigi menjadi lebih kuat dalam menahan tekanan pengunyahan 5. pemilihan pasak merupakan hal yang perlu diperhatikan. pasak buatan pabrik memberi keuntungan yaitu dapat dipasang dalam satu kunjungan. konfigurasi pemukaan pasak yang bergerigi memberi keuntungan lebih retentif dibandingkan permukaan pasak yang halus, bersifat pasif karena tidak diulirkan sehingga kemungkinan pecahnya akar karena tekanan pasak menjadi lebih kecil dibandingkan pasak berulir 5. pasak dapat dilekatkan dengan semen atau disekrupkan. pasak yang dilekatkan dengan semen dapat menyediakan retensi yang cukup secara klinik dan dianggap tidak terlalu menyebabkan stress pada sisa dentin 6. pasak buatan pabrik dengan gerigi pada bagian permukaannya, terbuat dari baja tahan karat atau titanium 7. jenis pasak buatan pabrik tapered serrated, dapat digunakan untuk gigi anterior atau posterior 8. bentuk pasak yang meruncing mempunyai keunggulan yaitu saat dilakukan preparasi saluran pasak, pengurangan dentin tidak banyak karena bentuk pasak sesuai dengan bentuk alami saluran akar 9. any setyawati: restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak 94 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar perlu dilakukan restorasi. merestorasi gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar merupakan hal yang sulit karena sebagian besar jaringan mahkota gigi tersebut yang biasanya digunakan sebagai retensi bangunan restorasi telah rusak disebabkan oleh karies, restorasi sebelumnya, trauma atau perawatan endodontik itu sendiri 10. mahkota gigi anterior yang mengalami kerusakan karena karies atau rusak karena trauma yang melibatkan sudut incisal dapat diperbaiki dengan resin komposit 2. resin komposit merupakan bahan restorasi yang dapat langsung diaplikasikan, sewarna gigi yang saat ini banyak digunakan sebagai bahan restorasi karena memenuhi persyaratan estetik dan mastikasi, serta mempunyai daya tahan yang baik 11. kasus pasien wanita 21 tahun datang dengan keluhan ingin dilakukan perawatan dengan segera supaya 2 gigi depannya yang patah karena kecelakaan bisa utuh lagi seperti semula.pasien malu dengan keadaan giginya tersebut (gambar 1). gb 1. dua gigi depan pasien yang patah satu bulan sebelumnya, kedua gigi tersebut telah dirawat sarafnya dan sudah tidak ada keluhan sakit pada gigi-gigi tersebut.pada pemeriksaan objektif terlihat gigi 11 patah dengan area patahan bagian palatinal meluas sampai servik, mengalami disto torsi dan telah dilakukan perawatan saluran akar (gambar 2). gb. 2. 11 bagian palatinal patah meluas sampai servik dan disto torsi perkusi, palpasi dan tes vitalitas gigi 11 negatif. diagnosa gigi 11 adalah fraktur ellis kelas iii (gambar 3). gigi 12 terlihat patah hampir ½ mahkota, kedalaman dentin, dan telah dilakukan kaping pulpa. diagnosa gigi 12 adalah fraktur ellis kelas ii (gambar 4). tidak ada keluhan sakit pada gigigigi tersebut. gb. 3. 11 fraktur ellis kelas iii any setyawati: restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 95 gb. 4.fraktur ellis kelas ii penatalaksanaan kunjungan 1 : gigi 11 dilakukan pengambilan gutta perca perca menggunakan gates gliden drill, dilanjutkan preparasi saluran pasak menggunakan pesos reamer. pemilihan pasak menggunakan pasak fabricated jenis unimetric sebagai penguat. pasak dengan ukuran yang sesuai dengan diameter saluran akar diinsersikan, selanjutnya dilakukan sementasi pasak menggunakan semen resin.pasak telah selesai dilakukan sementasi (gambar 5). gb. 5. pasak telah selesai dilakukan sementasi selanjutnya dilakukan restorasi langsung menggunakan resin komposit warna a3. gigi 11 telah selesai dilakukan restorasi. gigi 12 dilakukan preparasi dengan pembuatan bevel pada bagian cavosurface, selanjutnya dilakukan restorasi menggunakan resin komposit warna a3. gigi 11 dan 12 telah selesai dilakukan restorasi (gambar 6). dalam 1 kali kunjungan gigi 11 yang mengalami fraktur berhasil dilakukan restorasi estetik menggunakan penguat pasak sehingga tidak perlu beberapakali kunjungan dan gigi 12 dilakukan restorasi langsung.pasien sangat puas karena 2 giginya telah utuh kembali dalam 1 kali kunjungan sehingga dapat memperbaiki penampilan. gb. 6. 11 dan 12 telah selesai dilakukan restorasi kunjungan 2 : hasil restorasi baik, saat dilakukan kontrol satu minggu setelah restorasi estetik menggunakan penguat pasak, tidak terdapat keluhan rasa sakit, gingiva sekitar gigi normal. gigi dapat berfungsi dengan baik serta dapat mengembalikan rasa percaya diri pada pasien. pembahasan gigi pasca perawatan saluran akar biasanya telah banyak kehilangan jaringan keras gigi sehingga perlu digunakan retensi tambahan berupa pasak yang masuk ke dalam saluran akar untuk menambah kekuatan pada restorasi 12. keputusan penggunaan inti pasak any setyawati: restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak 94 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 tergantung pada beberapa faktor antara lain : ketebalan struktur gigi disekeliling saluran akar, diameter saluran akar, bentuk anatomi akar, tulang pendukung serta fungsi gigi di dalam mulut 10. pada kasus ini, berdasarkan radiograf ketebalan akar cukup untuk dilakukan pemasangan pasak, bentuk akar tapered, oleh karena itu pemilihan pasak yang digunakan untuk kasus ini adalah pasak jenis tapered serrated (unimetric). pasak unimetric merupakan pasak pasif dan mempunyai disain bentuk tapered. pasak jenis ini dapat beradaptasi dengan baik pada bentuk saluran akar.pasak ini mempunyai bentuk retensi pada bagian kepala pasak untuk mencegah kekuatan rotasi.pasak ini terbuat dari nikel titanium 13. pasak unimetric yang digunakan pada kasus ini merupakan pasak yang mempunyai permukaan tidak halus yaitu serrated. pemilihan permukaan pasak serrated pada kasus ini dengan pertimbangan pasak serrated mempunyai retensi yang lebih besar dibandingkan permukaan pasak yang halus (smooth). hal ini sesuai dengan pendapat bahwa permukaan pasak serrated lebih retentif dibandingkan permukaan pasak halus 10. permukaan pasak bergerigi menyediakan retensi mekanik bagi semen sehingga ikatan antara pasak dengan dinding saluran akar lebih kuat 6. penggunaan pasak sebagai faktor retensi dapat berhasil dengan baik jika memenuhi hal-hal berikut seperti panjang pasak minimal sama panjang dengan mahkota klinis, diameter pasak sesuai diameter saluran pasak, menyisakan guta perca ± 4 mm 9. pasak yang berbentuk tapered dapat beradaptasi dengan baik pada dinding saluran akar yang berbentuk tapered. pada akar yang berbentuk tapered bila digunakan pasak berbentuk parallel akan berbahaya karena tekanan yang dihasilkan pada daerah 1/3 apikal dapat menyebabkan fraktur akar meskipun pasak berbentuk parallel mempunyai retensi yang lebih besar daripada pasak berbentuk tapered 10. bentuk pasak yang meruncing mempunyai keunggulan yaitu saat dilakukan preparasi saluran pasak, pengurangan dentin tidak banyak karena bentuk pasak sesuai dengan bentuk alami saluran akar 9. pemilihan pasak merupakan hal yang perlu diperhatikan. pasak buatan pabrik memberi keuntungan yaitu dapat dipasang dalam satu kunjungan. konfigurasi pemukaan pasak yang bergerigi memberi keuntungan lebih retentif dibandingkan permukaan pasak yang halus, bersifat pasif karena tidak diulirkan sehingga kemungkinan pecahnya akar karena tekanan pasak menjadi lebih kecil dibandingkan pasak berulir. pemilihan pasak pabrik jenis pasak pasif merupakan hal yang penting karena pasak pasif tidak menimbulkan efek meregang yang cenderung menyebabkan akar terbelah 5. bahan restorasi yang baik dan dapat mengembalikan estetik merupakan kebutuhan masyarakat dewasa ini. resin komposit sinar memiliki berbagai macam keuntungan seperti estetik yang baik, memiliki resistensi yang baik terhadap keadaan kelas iv, melekat any setyawati: restorasi estetik 1 kali kunjungan dengan penggunaan pasak idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 95 dengan mudah pada permukaan gigi, dan mudah dimanipulasi 14. kesimpulan dan saran restorasi menggunakan penguat pasak dapat dilakukan 1 kali kunjungan dengan cara melakukan restorasi menggunakan resin komposit, segera setelah pemasangan pasak sehingga keluhan estetik segera dapat diatasi. disarankan untuk tetap melakukan pemeriksaan awal dengan teliti sehingga fungsi gigi tetap dapat dicapai. daftar pustaka 1. andang, m.a., and hidayat, t., bleaching dan direct composit veneer pada gigi anterior yang mengalami perubahan warna, jurnal kedokteran gigi, 2002; 14 : 37-43. 2. kidd, e.m., smith, b.g.n and pickard, h.m., manual konservasinrestoratif menurut pickard (terj.), edisi 6, widya medika, jakarta, 2000; 23-24, 158. 3. grossman, l.i., oliet, s. and del rio, c.e., ilmu endodontik dalam praktik, 2nd ed, egc, jakarta. 1995. 4. bence, r., buku pedoman endodontik klinik (terj.), edisi 1, ui press, jakarta, 1990. 5. walton, r.e., and torabinejad, m., prinsip dan prektek ilmu endodonsi, 2nd ed, egc, jakarta.1998. 6. pitt ford, t.r., restorasi gigi (terj.), 2nd ed, egc, jakarta, 1993. 7. baum, l., phillips, r.w., and lund, m.r., buku ajar ilmu konservasi gigi (terj.), edisi 3, egc, jakarta, 1997; 677-688. 8. robbins, j.w., restoration of the endodontically treated teeth,dental clinic america, 2002; 46(2);367-380. 9. qualtrough, a.j.e., and mannocci, f., tooth colored post system a review, oper. dent., 2003; 28(1):86-90. 10. shillingburg, h.t., and kessler, j.c., restoration of the endodontically treated tooth, pp. 13-40, quintessence publishing co, chicago. 1982. 11. crim, g.a., microleakage of three resin placement technique, j.am.dent.assoc., 1991; 4:69-72. 12. tarigan, r., perawatan pulpa gigi (endodonti), widya medika, jakarta, 1994; 34-48. 13. www.maillefer.com/posts.htm 14. susanto, a.a., pengaruh ketebalan bahan dan lamanya waktu penyinaran terhadap kekerasan permukaan resin komposit sinar, majalah kedokteran gigi (dent.j.), 2005; 38:32-35. 31 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur management of allergic stomatitis accompanied by perioral dermatitis triggered erna sung1, desiana radithia2 1 residen ilmu penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi, universitas airlangga 2 dosen ilmu penyakit mulut, fakultas kedokteran gigi, universitas airlangga korespondensi: drgpearly@gmail.com abstrak pendahuluan: reaksi hipersensitivitas tipe i merupakan reaksi alergi yang dipicu oleh aktivasi ige. hipersensitivitas tipe i dapat berupa reaksi anafilaktik sistemik atau reaksi lokal yang ditandai oleh inflamasi dan kerusakan epitel mukosa. telur ayam dikenal sebagai makanan yang sering memicu alergi akibat kandungan protein di dalamnya merangsang reaksi sistem imun secara berlebihan pada pasien tertentu. tujuan: laporan kasus ini bertujuan membahas penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral yang disebabkan oleh alergi telur ayam. kasus: seorang wanita berusia 18 tahun datang dengan keluhan utama bibir terasa perih dan tebal serta terdapat sariawan di lidah yang terasa perih bila disentuh. keluhan dirasakan sejak pasien mengkonsumsi telur 3 hari sebelumnya. pasien memiliki riwayat alergi terhadap telur dan makanan laut. pemeriksaan ekstraoral menunjukkan edema, deskuamasi dan hiperpigmentasi di sekitar bibir. pemeriksaan intraoral menunjukkan deskuamasi pada mukosa labial dan mukosa bukal, serta bercak putih yang terasa sakit pada dorsum dan lateral lidah. tatalaksana: pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar ige total. pasien dirawat dengan obat kumur anti-inflamasi non steroid dan dirujuk untuk pemeriksaan alergi lebih lanjut, serta diberikan krim kortikosteroid topikal untuk mengatasi hiperpigmentasi dan rasa tebal pada daerah perioral. pasien dianjurkan menghindari alergen. perbaikan dicapai dalam 3 minggu dan pemeriksaan alergi menunjukkan positif alergi terhadap telur. simpulan: klinisi harus memahami berbagai manifestasi reaksi hipersensitivitas agar dapat menegakkan diagnosis dengan tepat dan menemukan pemicunya sehingga dapat memberikan perawatan yang tepat. kata kunci: alergi makanan, hipersensitivitas tipe 1, stomatitis alergika, dermatitis perioral abstract introduction: type i hypersensitivity is allergic reaction triggered by the activation of ige. type i hypersensitivity reaction may occur as a generalized anaphylaxis or as a localized reaction characterized by inflammation and epithelial damage. chicken eggs are known as a common trigger of food allergy due to the protein content that stimulates excessive immune reaction in certain patients. purpose: this case report aimed to discuss about management of allergic stomatitis accompanied by perioral dermatitis triggered by chicken egg. case: an 18 year-old woman complained of thick sensation and tenderness on the lips, and sore on the tongue. complaints arose since the patient consumed a fried egg three days before. the patient had a history of allergy to eggs and seafood. extraoral examination showed oedema, desquamation and hyperpigmentation surrounding the lips. intraoral examination showed desquamation on the labial and buccal mucosa, as well as painful white patches on the dorsal and lateral of tongue. case management: haematological examination showed elevated total ige level. patient was treated with non 32 erna sung, desiana radithia | penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur steroidal anti-inflammatory mouthwash and referred for further allergy tests, and was given a topical corticosteroid cream to reduce hyperpigmentation dan thick sensation of the perioral region. patient was strictly advised to avoid allergen. improvement was achieved within 3 weeks and allergy tests showed positive on allergy to eggs. conclusion: clinicians must comprehend the various manifestations of hypersensitivity reactions in order to establish the right diagnosis and find out the source of trigger to give the appropriate therapy. keywords: food allergy, type i hypersensitivity, allergic stomatitis, perioral dermatitis pendahuluan alergi makanan adalah suatu reaksi adversi terhadap suatu makanan atau komponen makanan yang melibatkan sistem imun.1 meskipun setiap makanan dapat memicu respon alergi, hanya beberapa famili protein yang menyebabkan sebagian besar reaksi alergi.2 telur ayam adalah salah satu sumber protein yang penting dan banyak dikonsumsi di seluruh dunia.3 telur juga merupakan salah satu penyebab alergi makanan paling umum pada bayi dan anak-anak, jarang terjadi pada orang dewasa.4,5 meta-analisis terbaru tentang prevalensi alergi telur memperkirakan alergi telur mempengaruhi 0,5 sampai 2,5% anakanak.4,6 protein telur yang paling alergenik terkandung dalam putih telur (gal d1-4) dibandingkan kuning telur (gal d5).4,6 alergi telur terjadi ketika proteinnya atau alergen dikenali host sebagai benda asing sehingga terjadinya respon penolakan oleh sistem imun terhadap alergen tersebut.3 gell dan coombs mengklasifikasikan alergen ke dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas yang telah direvisi oleh janeway dan traver pada 1995, yaitu reaksi tipe i dimediasi ige (anafilaksis), tipe ii atau reaksi sitotoksik, tipe iii atau reaksi kompleks imun, dan tipe iv atau reaksi dimediasi sel (hipersensitivitas tipe lambat).7,8 alergi telur umumnya dimediasi oleh ige (hipersensitivitas tipe i) yang biasanya dimulai beberapa menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan tertentu yang mempunyai kandungan alergen, dan alergi telur dikarakteristikkan dengan adanya antibodi ige spesifik terhadap alergen protein telur.1,4,9 alergi telur juga berkaitan dengan tipe lain dari alergi yang dimediasi ige, kebanyakan terjadi pada populasi dewasa.6 manifestasi klinis yang terjadi pada alergi makanan bersifat individual dan bervariasi dalam derajat/beratnya reaksi alergi, gejala dan tanda yang muncul berbeda-beda bergantung pada jenis organ sasaran dan lokasi terjadinya reaksi inflamasi, dapat bersifat tunggal atau merupakan kombinasi dari berbagai gejala pada beberapa organ sasaran pada suatu waktu yang bersamaan dan pada beberapa kasus dapat terjadi reaksi anafilaksis yang fatal.1 pada laporan kasus ini akan membahas tentang penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral yang disebabkan alergi telur ayam. kasus seorang wanita berusia 18 tahun datang ke rumah sakit gigi dan mulut (rsgm) universitas airlangga surabaya pada tanggal 11 september 2015 dengan keluhan bibir terasa perih dan tebal serta ada bercak putih di lidah yang terasa perih bila disentuh. keluhan tersebut muncul sejak 3 hari yang lalu setelah pasien mengkonsumsi telur. untuk mengatasi rasa perih, 33 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 pasien mengoleskan madu pada bibirnya, namun tidak ada perbaikan. pasien memiliki riwayat alergi terhadap telur dan makanan laut, biasanya reaksi alergi yang dialami berupa bengkak dan rasa gatal pada mata, dan belum pernah terjadi di bagian tubuh lainnya. pasien pernah berobat ke dokter untuk mengatasi keluhan di matanya, dan diberikan obat tetes mata yang mengandung dexametasone sodium phosphate 1 mg, neomysin sulfate 3.5 mg dan polymixin b sulfate 6000 iu (alletrol®) dengan dosis 2 tetes 3 kali sehari hingga keluhannya sembuh. obat tetes hanya digunakan apabila muncul keluhan pada matanya. pada kasus ini, pasien tidak menggunakan obat tetes mata karena reaksi alergi yang timbul tidak terjadi pada mata. pemeriksaan klinis ekstra oral, pada bibir atas dan bawah terlihat adanya pembengkakan, dan di daerah perioral bibir atas terdapat deskuamasi berwarna putih, berbatas jelas, permukaan kasar dan sakit, sedangkan pada daerah perioral bibir bawah terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman disertai deskuamasi, berbatas jelas, permukaan kasar dan sakit (gambar 1a). pada palpasi kelenjar limfe submandibularis dextra dan sinistra teraba, kenyal, dapat digerakkan dan tidak sakit. pemeriksaan klinis intra oral, pada mukosa labial superior dan inferior serta mukosa bukal dextra dan sinistra terlihat adanya deskuamasi, multipel, berwarna putih, batas difus dan tidak sakit. pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval dengan ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, terasa sakit (gambar 1b). pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan terasa sakit (gambar 1c). tatalaksana kasus berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, pasien didiagnosis sementara stomatitis alergika dengan diagnosis banding fixed food eruption. pasien dirujuk untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap dan ige total, kemudian diresepkan obat kumur anti inflamasi non steroid yang mengandung chlorine dioxide, zinc dan aloe vera digunakan berkumur 3 kali sehari sebanyak 10 ml selama 60 detik kemudian dibuang dan juga dioleskan pada daerah perioral selama 3 hari. pasien diintruksikan untuk menghindari makanan yang bersifat alergen terutama telur dan makanan laut serta meningkatkan asupan cairan. pada kunjungan kedua, pasien merasa lidahnya telah sembuh dan tidak perih setelah 2 hari pemakaian obat kumur yang diresepkan, bibirnya tidak terasa tebal lagi namun masih terdapat garis kehitaman pada tepi bibir bawah sehingga pasien merasa tidak nyaman. pasien menggunakan obat kumur secara teratur dan tidak mengkonsumsi telur selama 1 minggu. oleh karena kesibukannya sebagai mahasiswa baru, pasien hanya bisa berobat ke rsgm unair pada hari tertentu saja. pemeriksaan klinis ektra oral, pada daerah perioral bibir atas masih terdapat deskuamasi, berbatas jelas mengikuti bentuk vermilion border bibir atas dan tidak sakit, pada daerah perioral bibir bawah terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman disertai deskuamasi, tidak sakit. pemeriksaan klinis intra oral, pada mukosa labial inferior dan mukosa bukal bilateral masih terdapat sedikit deskuamasi multipel, berwarna putih dengan tepi irreguler, tidak sakit. pada mukosa labial superior tidak ada abnormalitas, dan lesi pada lidah telah sembuh 34 erna sung, desiana radithia | penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur (gambar 2a&b). hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan laju endap darah (led) 11-23 mm/jam (n ≤ 12 per jam), eosinofil 3% (n 1-2%), segmen 72% (n 54-62), ige total 206 iu/ml (n <100 iu/ml), dan hasil laboratorium lainnya dalam batas normal. diagnosis pada kunjungan ini adalah stomatitis alergika disertai dermatitis perioral dengan dugaan alergi telur. pasien diinstruksikan untuk melanjutkan pemakaian obat kumur dan menghindari makanan yang mengandung telur serta dirujuk untuk melakukan pemeriksaan alergi (skin prick test) di poli tht rsud dr. soetomo surabaya. pada kunjungan ketiga, pasien merasa bibirnya sudah membaik, namun garis kehitaman pada tepi bibir bawah belum menghilang. pasien masih menggunakan obat kumur secara teratur dan telah melakukan pemeriksaan alergi di poli tht rsud dr. soetomo surabaya dan diberikan obat loratadine 10 mg sebanyak 10 tablet dengan dosis 1 tablet per hari. pemeriksaan klinis ekstra oral, pada daerah perioral bibir bawah masih terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman berbatas jelas disertai deskuamasi, tidak sakit. pada pemeriksaan intra oral tidak ditemukan kelainan. hasil pemeriksaan alergi menunjukkan bahwa pasien positif terhadap beberapa alergen (tabel 1). alergen kuat adalah debu rumah, daging ayam dan putih telur ayam. alergen sedang adalah susu sapi, kuning telur ayam, udang dan bandeng. alergen ringan adalah pindang dan pisang. berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis definitif pada kasus ini adalah stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur. pengobatan yang diberikan adalah krim mometasone furoate 0.1% yang dioleskan tipis pada daerah perioral yang mengalami hiperpigmentasi, digunakan satu kali per hari hingga hiperpigmentasinya memudar. pasien diintruksikan untuk menghindari alergen yang menunjukkan hasil positif pada skin prick test dan kontrol 1 minggu kemudian. tabel 1. hasil pemeriksaan alergi alergen + ++ +++ debu rumah  daging ayam  susu sapi  putih telur ayam  kuning telur ayam  udang  bandeng  pindang  pisang  keterangan : + = urtikaria dengan diameter ≤ 2 mm ++ = urtikaria dengan diameter 2-4 mm +++ = urtikaria dengan diameter 4-6 mm pada kunjungan keempat, pasien datang tidak sesuai dengan waktu kontrol yang ditentukan yaitu 1 minggu setelah perawatan terakhir. pasien mengatakan bahwa garis kehitaman pada tepi bibir bawahnya telah sembuh sekitar 8 hari yang lalu. pasien tidak mengkonsumsi obat yang diresepkan dari poli tht dengan alasan selama ini tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan, pasien hanya menggunakan obat oles secara teratur dan telah dihentikan pemakaiannya sejak hiperpigmentasinya memudar. alergi tidak pernah kambuh lagi sejak pasien menghindari makanan penyebab alergi. pada pemeriksaan klinis ekstra oral dan intra oral tidak ditemukan 35 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 adanya abnormalitas (gambar 3). pasien diinstruksikan untuk menghentikan penggunaan obat oles dan tetap menghindari makanan yang bersifat alergen. pembahasan berdasarkan klasifikasi yang diusulkan oleh european academy of allergy and clinically immunology (eaaci), alergi telur ayam adalah suatu reaksi adversi dengan mekanisme imunologi patogenik yang disebabkan oleh asupan atau kontak dengan telur dan proteinnya.3 putih telur mengandung 23 glikoprotein; ovomucoid (gal d1, 11%), ovalbumin (gal d2, 54%), dan ovotransferrin (gal d3, 12%), lysozyme (gal d4, 3.4%) merupakan protein putih telur yang alergenik.6 ovomucoid resisten terhadap pemanasan dan degenerasi enzim pencernaan sehingga ovomucoid merupakan protein yang paling alergenik, sedangkan ovalbumin merupakan protein paling banyak dalam putih telur.4 beberapa alergen lainnya yang diidentifikasi dalam kuning telur, meliputi vitellenin (apovitellenin i) dan apoprotein b (apovitellenin vi), meskipun perannya dalam alergi makanan masih belum jelas.4 alergi telur ayam merupakan alergi makanan yang dimediasi ige paling umum pada anakanak.10 alergi ini cenderung bermanifestasi dibawah usia 2 tahun dan 50% pasien mampu mencapai toleransi pada usia 3-4 tahun, 6074% pada usia 5 tahun.3 frekuensi alergi telur 3 kali lebih tinggi pada anak-anak daripada orang dewasa.11 pada umumnya manifestasi klinis alergi makanan melibatkan kulit (gatal, urtikaria, eczema dan bercak eritematous), saluran cerna (bengkak dan gatal pada bibir, mulut atau tenggorok, mual, muntah, kram perut dan diare), serta saluran napas (bersinbersin, ingus yang encer dan bening, ataupun sesak nafas).1 pada kasus ini, seorang wanita berusia 18 tahun mengeluhkan rasa tebal dan perih pada bibir dan timbul bercak putih perih pada lidah muncul sejak 3 hari yang lalu setelah pasien mengkonsumsi telur, dimana pada pemeriksaan klinis terdapat plak putih pada dorsum lidah dan papula multipel berwarna putih yang terasa perih serta adanya deskuamasi pada mukosa mulut, dan adanya peradangan pada daerah perioral berupa deskuamasi dan hiperpigmentasi mengikuti bentuk bibir disertai rasa perih. pada pemeriksaan darah lengkap dan kadar ige total didapatkan hasil adanya peningkatan led dan eosinofil dan serum ige total, dan spt menunjukkan hasil positif terhadap telur dan beberapa alergen lainnya. berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang maka kami mendiagnosis sebagai stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur. hipersensitivitas segera (tipe i) merupakan reaksi alergi akibat aktivasi subset th2 dari sel t-helper cd4+ oleh antigen lingkungan, yang menyebabkan produksi antibodi ige yang akan berikatan dengan sel mast. apabila molekul ige tersebut mengikat alergen dari protein telur, sel mast akan terpicu untuk melepaskan mediator yang mempengaruhi permeabilitas vaskular dan menginduksi kontraksi otot polos pada berbagai organ secara sementara, juga memperpanjang inflamasi. reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau sebagai kelainan lokal. bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk pajanan antigen. pajanan sistemik terhadap antigen protein 36 erna sung, desiana radithia | penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur atau obat dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. reaksi lokal biasanya terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti pada kulit (kontak, menyebabkan utikaria), saluran pencernaan (ditelan, me-nyebabkan diare), atau lambung (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).12 reaksi alergi terhadap telur dimediasi imunoglobulin e merupakan karakteristik dari reaksi alergi makanan tipe ini. kegagalan perkembangan toleransi terhadap makanan yang masuk melalui mulut menyebabkan produksi antibodi ige spesifik yang berlebihan. antibodi ige berikatan dengan reseptor afinitas tinggi fcɛri pada sel mast dan basofil, serta reseptor afinitas rendah fcɛrii (cd23) pada makrofag, monosit, limfosit dan platelet. ketika alergen telur menembus barrier mukosa dan berikatan dengan antibodi ige pada sel mast dan basofil, sel-sel ini melepaskan berbagai mediator inflamasi antara lain vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula, mediator lipid yang baru disintesa, dan sitokin.3,10,12,13 degranulasi sel mast menyebabkan pelepasan histamin dan substansi lainnya yang dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan menyebabkan pembengkakan jaringan lunak (angioedema)14, seperti pada kasus ini menyebabkan rasa tebal pada bibir pasien dan inflamasi lokal berupa stomatitis alergika pada lidah dan mukosa mulut, sehingga menimbulkan gejala yang khas dari hipersensitivitas segera.12,15 reaksi yang dipicu ige mempunyai dua fase yang jelas yaitu reaksi segera, ditandai oleh vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos, biasanya terjadi 5 sampai 10 menit setelah pemajanan terhadap alergen dan akan mereda dalam 60 menit. kedua, reaksi fase lambat, yang biasanya mulai 2 sampai 8 jam kemudian dan mungkin berlangsung beberapa hari dan ditandai oleh inflamasi dan kerusakan jaringan seperti kerusakan epitel mukosa. sel radang yang dominan adalah neutrofil, eosinofil dan limfosit terutama sel th2. 12 manifestasi alergi telur pada kasus ini berupa stomatitis alergika dan dermatitis perioral. stomatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang dapat disebabkan oleh alergen, seperti obat-obatan, makanan dan bahan kedokteran gigi. manifestasi oral dari stomatitis alergika diawali dengan adanya vesikula multipel yang akan menjadi ulser yang ditutupi fibrin dengan tepi eritematous disertai inflamasi dan rasa nyeri. pada umumnya reaksi alergi pada mukosa mulut berupa ulser multipel yang dapat terjadi diseluruh bagian rongga mulut16, namun pada kasus ini manifestasinya berupa plak dan papula putih yang nyeri pada lidah dan deskuamasi disertai hiperpigmentasi pada daerah perioral. dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang ditandai dengan inflamasi, kekambuhan kronik dan lesi eksim yang gatal.17 dermatitis atopik pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh bagian atas, fleksura, bibir dan tangan.18 lesi berupa papula/plak eritematosa, kering, berskuama dan terdapat likenifikasi. pada kulit berwarna gelap, hipopigmentasi paska inflamasi maupun hiperpigmentasi dapat terjadi, hiperpigmentasi terutama terjadi di daerah likenifikasi.17 stomatitis alergika dan dermatitis atopik pada daerah perioral ini kami klasifikasikan ke dalam hipersensitivitas tipe i reaksi fase lambat, karena inflamasi dan kerusakan 37 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 epitel terjadi beberapa jam setelah pemajanan alergen dan berlangsung beberapa hari disertai adanya peningkatan kadar ige total. sitokin yang dilepaskan dari sel mast, basofil dan sel th2 yang teraktivasi sangat berperan pada inflamasi yang berhubungan dengan reaksi fase lambat.13 sitokin tersebut meliputi tnf, il-1, il-4, il-5, il-13, ccl3, ccl4, dan berbagai colony-stimulating factor seperti il-3 dan granulocyte-monosit colony-stimulating factor (gm-csf). tnf mengaktivasi ekspresi molekul adhesi endotel dan bersama dengan sejumlah kemokin untuk infiltrasi neutrofil dan monosit. sitokin il-5 yang dihasilkan sel th2 mengaktivasi eosinofil dan merekrutnya ke daerah inflamasi reaksi fase lambat. il-5 merupakan sitokin eosinophil-activating poten, yang meningkatkan kemampuan eosinofil untuk melepaskan konten granula.13 granula eosinofil mengandung major basic protein dan eosinophil cationic protein yang bersifat toksik terhadap parasit tetapi juga menyebabkan nekrosis sel epitel.12,13 di samping il-5, il-3 dan gm-csf berkontribusi pada pengaktifan eosinofil pada inflamasi alergi melalui kapasitasnya untuk memperpanjang kelangsungan hidup eosinofil dan memicu aktivasi eosinofil.19 eosinofil yang teraktivasi, seperti halnya sel mast dan basofil, memproduksi dan melepaskan mediator lipid, diantaranya ltc4 dan paf yang meningkatkan inflamasi.12,13 reaksi fase lambat ini dapat terjadi tanpa didahului reaksi hipersensitivitas segera.13 imunoglobulin e (ige) adalah antibodi yang berperan pada proses alergi.1 pemeriksaan kadar ige total diperlukan untuk mendeteksi penyakit alergi tipe i dan penyakit non alergi (infeksi parasit/jamur, immunodefisiensi, keganasan contohnya leukemia-limfoma).1,16,20 pemeriksaan kadar ige total sering dikerjakan pada evaluasi awal penderita alergi, total namun pemeriksaan tersebut tidak memastikan alergen karena hanya mengukur kadar ige dalam serum darah penderita. kadar total ige yang tinggi hanya memberikan indikasi bahwa pasien memiliki bakat atau kecenderungan yang kuat untuk mengalami reaksi alergi.1 peningkatan eosinofil menunjukkan adanya reaksi alergi atau infeksi parasit (terutama cacing) di dalam tubuh. sementara peningkatan nilai led disebabkan oleh meningkatnya viskositas plasma terjadi pada kondisi infeksi akut dan kronis.16,21 skin prick test (spt) merupakan prosedur in vivo standar yang cukup aman dan dapat mendeteksi adanya ige terhadap protein spesifik yang terdapat pada makanan. pada umumnya spt dianggap positif bila didapatkan bintul dengan diameter ≥ 2-3 mm dibandingkan diameter kontrol negatif dan dapat disertai eritema berdiameter 10 mm atau lebih disekelilingnya. hasil positif terhadap alergen tertentu pada spt semata-mata menunjukkan bahwa pada penderita didapatkan ige spesifik terhadap alergen tersebut.1 pada kasus ini, pasien mempunyai alergi terhadap debu, daging ayam, putih telur ayam dengan nilai spt +3, dan +2 untuk kuning telur, susu sapi, bandeng dan udang, sedangkan pindang dan pisang +1. semakin besar ukuran bintul yang timbul, semakin besar pula kemungkinannya individu tersebut bereaksi dengan komponen makanan yang dicurigai tersebut, namun demikian hal ini tidak bisa diartikan sebagai prediktor beratnya manifestasi klinis yang muncul.1 penatalaksanaan untuk kasus ini, pasien disarankan untuk menghindari konsumsi telur dan produk makanan yang mengandung telur dan 38 erna sung, desiana radithia | penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur diberikan perawatan yang bersifat simptomatis karena reaksi alergi yang dialami berupa reaksi lokal, pasien tidak mengalami functio laesa dan masih bisa beraktivitas. peresepan obat kumur yang mengandung chlorine dioxide, zinc dan aloe vera sebagai terapi simptomatis. chlorine dioxide menghasilkan oksigen yang dapat membantu proses penyembuhan jaringan. oksigen penting untuk metabolisme sel, khususnya produksi energi melalui adenosine triphosphate (atp). oksigen mencegah infeksi pada ulser, merangsang angiogenesis, meningkatkan diferensiasi, migrasi dan re-epitelisasi keratinosit, meningkatkan proliferasi fibroblas dan sistesis kolagen, serta memicu kontraksi ulser. selain itu, kadar produksi superoksida yang diperlukan oleh leukosit polimorfonuklear untuk membunuh bakteri sangat bergantung pada kadar oksigen.22 zinc merupakan ko-enzim yang berperan dalam proliferasi sel, penyembuhan luka, proteksi terhadap radikal bebas, proteksi terhadap infeksi, regenerasi epitel dan sistem imunitas.23 kandungan aloe vera dalam obat kumur memiliki efek simptomatis yaitu sebagai anti inflamasi diharapkan dapat mengurangi keluhan pasien. aloe vera dapat menjadi agen anti inflamasi melalui kemampuannya menghambat sitokin pro inflamasi.23 p e m b e r i a n k o r t i k o s t e r o i d t o p i k a l dimaksudkan untuk mengatasi dermatitis atopik pada daerah perioral. kortikosteroid telah dikenal dan dikembangkan pada tahun 1952 sebagai terapi topikal pada berbagai dermatosis karena keunggulannya, terutama sebagai anti-inflamasi, anti-alergi dan anti proliferasi.17 kortikosteroid topikal merupakan obat lini pertama pada dermatitis atopik sedang dan dermatitis atopik berat.17,24 kortikosteroid topikal potensi sedang atau tinggi efektif untuk dermatitis atopik dan eksim pada orang dewasa dan anak-anak.25 kortikosteroid topikal yang diresepkan pada kasus ini adalah krim mometasone furoate 0,1%. mometasone furoate 0,1% merupakan kortikosteroid topikal potensi sedang yang menekan pembentukan, pelepasan dan aktivitas mediator inflamasi endogen termasuk prostaglandin, kinin, histamin, enzim liposomal dan sistem komplemen; memodifikasi respon imun tubuh.26 keberhasilan dalam penatalaksanaan reaksi alergi ini bukan hanya ditentukan oleh perawatan yang diberikan, tetapi diperlukan juga kerjasama pasien dalam mematuhi instruksi yang diberikan. simpulan penatalaksanaan alergi makanan dapat berhasil dengan baik bila klinisi memahami tentang manifestasi klinis dan patogenesis reaksi hipersensitivitas terhadap makanan sehingga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dan pemilihan perawatan yang tepat. selain itu, dibutuhkan juga kepatuhan pasien dalam perawatan dan menghindari alergen makanan yang menjadi penyebabnya. referensi 1. tjokroprawiro, a., setiawan, p.b., santoso, d., soegiarto, g. buku ajar ilmu penyakit dalam. edisi ke-2. surabaya: airlangga university press. pp 13-67, 2015. 2. wang, j., sampson, h.a. 2011. food allergy. j clin invest, 121(3):827–35. 3. martorell, a., alonso, e., boné, j., echeverría, l., lópez, m.c., martín, f., nevot, s., plaza, a. 2013. position 39 insisiva dental journal, vol. 6 no.1 bulan mei tahun 2017 document: ige-mediated allergy to egg protein. allergol immunopathol (madr), 41(5):320–36. 4. tan, j.w., joshi, p. 2014. egg allergy: an update. j paediatr child health, 50(1):11– 5. 5. ünsel, m., sin, a.z., ardeniz, ö., erdem, n., ersoy, r., gulbahar, o., mete, n., kokuludağ, a. 2007. new onset egg allergy in an adult. j investig allergol clin immunol, 17(1):55–8. 6. caubet, j.c., wang, j. 2011. current understanding of egg allergy. pediatr clin north am, 58(2):1–6. 7. murphy. janeway’s immunobiology. 7th ed. new york: garland science; pp555-580, 2008. 8. atkinson, j.c., moutsopoulus, n., pillemer, s.r., imanguli, m.m., chalacombe, s. immunologic diseases. in: glick m, editor. burket’s oral medicine. 12th ed. shelton: pmph-usa, (20):516–9. 9. savage, j.h., wood, r.a. natural course. in: sicherer sh, editor. food allergy practical diagnosis and management. boca raton: crc press, pp. 268–71, 2014. 10. nowak-wegrzyn, a., burks, a.w. reactions to foods. in: adkinson nf, bochner bs, burks w, busse ww, holgate st, lemanske rf, et al., editors. middleton’s allergy and practice. 8th ed. philadelphia: elsevier inc., pp.1310–38, 2014. 11. baumgartner, s., schubert-ullrich, p. egg allergen. in: jedrychowski l, wicher hj, editors. chemical and biological properties of food allergens. new york: crc press, pp. 213–9, 2010. 12. kumar, v., abbas, a.k., aster, j.c. robbins basic pathology. 9th ed. philadelphia: elsevier inc., pp. 110-114, 2013. 13. abbas, a.k., lichtman, a.h., pillai, s. ige-dependent immune responses and allergic disease. in: cellular and molecular immunology. 7th ed. philadelphia: elsevier inc., pp. 425–38, 2012. 14. field, a., longman, l. tyldesley’s oral medicine. 5th ed. new york: oxford university press, pp.168, 2003. 15. kresno, s.b. imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. 5th ed. jakarta: fkui, pp161-170, 398-415, 2013. 16. indrawati, e., harijanti, k. 2014. management of allergic stomatitis due to daily food consumption. dentofasial, 13(2):129–34. 17. diana, i.a., boediardja, s.a., soebaryo, r.w., sutedja, e., lokanata, m.d., sugito, t.l., danarti, r., prihanti, a.t., rahmayunita, g., astriningrum, r. dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. jakarta: badan penerbit fkui, pp. 16-136, 2014. 18. evina, b. 2015. clinical manifestations and diagnostic criteria of atopic dermatitis. j major, 4(4):23–30. 19. steinke, j.w., rosenwasser, l.j., borish, l. cytokines in allergic inflammation. in: middleton’s allergy and practice. 8th ed. philadelphia: elsevier inc., pp. 71–3, 2014. 20. wardhana, datau, e. a. 2010. recurrent aphthous stomatitis caused by food allergy. acta med indones, 42(4):236–40. 21. kemenkes ri. pedoman interpretasi data klinik. jakarta: depkes, pp.19–21, 2011. 22. guo, s., dipietro, l.a. 2010. factors affecting wound healing. j dent res, 40 erna sung, desiana radithia | penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur 89(3):219–134. 23. moslemi, d., babaee, n., damavandi, m., pourghasem, m., moghadamnia, a.a. 2014. oral zinc sulphate and prevention of radiation-induced oropharyngealmucositis in patients with head and neck cancers: a double blind, randomized controlled clinical trial. int j radiat res, 12(3):2. 24. kapadia, n., ghouri. s. 2008. efficacy, safety and tolerability of mometasone furoate 0,1% cream, ointment and lotion in childhood eczema. j pakistan assoc dermatologist, 18:93–6. 25. ference, j.d., last, a.r. 2009. choosing topikal corticosteroids. am fam physician, 79(2):135–40. 26. wolter kluwer health. mometasone furoate, 2009, (online), (http://www. drugs.com/ppa/mometasone-furoate.html, diakses 30 maret 2016). 46 insisiva dental journal, vol. 6 no. 1 bulan mei tahun 2017 gambar 1a. pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. b. pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. c. pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. gambar 2a&b. pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh gambar 3. pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. gambar 1 a. pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. b. pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. c. pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. 46 insisiva dental journal, vol. 6 no. 1 bulan mei tahun 2017 gambar 1a. pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. b. pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. c. pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. gambar 2a&b. pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh gambar 3. pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. gambar 2a&b. pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh 46 insisiva dental journal, vol. 6 no. 1 bulan mei tahun 2017 gambar 1a. pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. b. pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. c. pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. gambar 2a&b. pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh gambar 3. pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. gambar 3. pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. korespondensi: tita ratya utari, faculty of medical and health sciences, university of muhammadiyah yogyakarta. hp 08122970687, e-mail: tita_utari@yahoo.com 96 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur menggunakan incline plane lepasan (laporan kasus) tita ratya utari1, nova abdillah2 1lecturer, study program of dentistry 2student, study program of dentistry abstrak crossbite anterior adalah keadaan dimana terdapat hubungan labiolingual yang tidak normal antara satu atau lebih gigi insisivus maksila dengan mandibula. problem pada masa tumbuh kembang ini seringkali terjadi pada masa gigi bercampur dan perawatan dini sangat disarankan karena maloklusi ini tidak dapat terkoreksi dengan pertumbuhan dan bertambahnya usia. beberapa tekhnik yang berbeda telah digunakan untuk koreksi crossbite anterior.seorang anak perempuan berusia 10 tahun mengeluhkan kondisi gigi depannya dan ketidaknyamanan dalam menggigit. didiagnosa maloklusi angle klas ii dental dengan crossbite anterior (over jet : 2 mm, overbite 5 mm) dan gigi anterior bawah yang berjejal. pasien dirawat dengan removable inclined plane. dataran yang miring (inclined plane) akan menstimulasi gerakan ke depan dari insisivus maksila yang crossbite. gaya dari otot otot memberikan tekanan yang cukup untuk pergerakan insisivus maksila.setelah 4 bulan perawatan crossbite anterior telah terkoreksi dan perawatan masih dilanjutkan untuk mencapai tujuan perawatan selanjutnya. kata kunci: anterior crossbite, removable incline plane anterior crossbite correction in mixed dentition with removable inclined plane (case report) abstract anterior crossbite is the term used to describe an abnormal labiolingual relationship between one or more maxillary and mandibular incisor teeth. this developmental problems frequently seen in the mixed dentition and correction in early mixed dentition is highly recommended as this kind of malocclusion do not diminish with age. different techniques have been used to correct anterior crossbite. ten years old javanese female complained about esthetic problems and biting discomfort. she tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 100 diagnosed as class ii dental malocclusion with anterior crossbite (over jet : 2 mm, overbite 5 mm) and crowding of lower anterior teeth. this patient was treated with removable inclined plane. the inclined plane stimulates the forward movement of maxillary incisors which are in crossbite. muscle force provides sufficient force for maxillary incisor movement. after 4 month of treatment anterior crossbite has already corrected and this treatment is currently undergoing further refinements. key words : anterior crossbite, removable incline plane pendahuluan selama masa gigi bercampur, terutama pada anak anak usia sekitar 6 th dental anterior crossbite yang melibatkan 1 atau 2 gigi permanen merupakan kasus yang seringkali dijumpai di klinik baik pada klinik gigi umum, spesialis gigi anak maupun di klinik terapi bicara dan para ahli menyarankan untuk diperbaiki secepat mungkin.klinisi harusdapat mengidentifikasi, mendiagnosa dan mencegah masalah oklusi tersebut.1 crossbite anterior adalah keadaan dimana satu atau beberapa gigi depan atas terletak di sebelah lingual dari gigi depan bawah jika rahang dalam oklusi sentrik. perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur sangat direkomendasikan karena maloklusi ini tidak dapat terkoreksi dengan pertumbuhan ataupun bertambahnya usia. crossbite anterior yang tidak dirawat akan menyebabkan fungsi abnormal gigi insisivus bawah, kompensasi insisivus mandibula mengarah pada pengurangan tulang alveolar bagian labial dan atau resesi gingiva. koreksicrossbiteanterior merupakan tujuan utama dariperawatan dini pada tipe maloklusiini,karena jika tidakdirawat dapat menyebabkan maloklusi kelas iiiyang parah dan hanya memungkinkan untuk dirawat dengan kombinasi metode perawatan ortodontik dan bedah ortognatik.2,3 etiologi crossbiteanterior : (a) pertumbuhan yang abnormal dari rahang akibat faktor herediter atau trauma waktu kelahiran menyebabkan rahang atas pertumbuhannya terhambat dan menjadi kecil dibandingkan dengan rahang bawah. hal ini mengakibatkan semua gigi-gigi di rahang atas jatuh di sebelah lingual dari rahang bawah. (b) kelainan pada articulatio mandibularis, otot-otot pengunyahan atau kelainan neuromuscular dapat menyebabkan kelainan fungsi pengunyahan yang dapat menyebabkan seseorang mengunyah dengan cara crossbite. (c) pertumbuhan incisivus atas yang terhalang oleh incisivus bawah untuk maju ke depan. tidak adanya koordinasi antara waktu keluarnya incisivus atas dan incisivus bawah, incisivus atas erupsinya terlambat, maka incisivus ini tidak mempunyai kesempatan untuk maju ke depan karena terhalang oleh incisivus bawah yang sudah panjang. (d) kekurangan tempat dapat menyebabkan terjadinya tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur 98 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 crossbite. jika pada pasien dilakukan ekstraksi premature dari gigi desidui menyebabkan pergeseran dari gigi-gigi yang tinggal maka kekurangan tempat bagi gigi yang akan tumbuh dapat menyebabkan gigi ini mengambil tempat dengan posisi yang crossbite. (e) persistensi dari gigi desidui dapat menyebabkan gigi pengganti erupsi dengan mengambil posisi yang crossbite. keadaan ini dapat terjadi pada gigi-gigi anterior dan gigi-gigi posterior. (f) bad habit seperti tidur di atas satu lengan, bertopang dagu.4 terdapat beberapa pendekatan yang memungkinkan dan direkomendasikan untuk perawatan simple anterior dental crossbiteyaitu : (1)terapi tongue blade. dental crossbite sederhana yang hanya melibatkan 1 gigi dapat dikoreksi dgn cara ini. prognosis dan keberhasilan prosedur ini sangat tergantung pada kooperatif pasien dan pengawasan orang tua.tidak ada control yang tepat terhadap jumlah dan arah gaya yang diberikan. (2) lower incline plane. perawatan anterior dental crossbite yang melibatkan 1 atau lebih gigi dapat dilakukan dengan menggunakan akrilik inkline plane yang disemenkan.teknik ini memungkinkan pembukaan gigitan jika dipakai lebih dari 3 minggu.(3) mahkota komposit atau stainless steel. metode dengan sementasi mahkota stainless steel terbalik pada insisivus yang tertahan pada posisi lingual dengan sudut 45° terhadap oklusal plane. metode ini untuk mengatasi kelemahan pada metode inkline plane dan sulit untuk diterapkan pada kasus gigi insisivus maksila yang sedang partial erupsi. (4) hawley retainer dengan auxiliary spring. alat ini digunakan pada kasus dengan pergerakan gigi yang ringan pada pediatric dentistry.pada prosedur ini prognosis tegantung pada kooperatif pasien dan pengawasan orang tua. (5) labial dan lingual arch wires. penggunaan labial dan atau lingual arch wire telah terbukti sukses. kelemahan dari penggunaan alat ini adalah biaya yang mahal dan pelatihan tambahan diperlukan untuk dapat menggunakan alat ini secara efisien.5 removable lower incline planemerupakan alat fungsional lepasan sederhana yang bekerja seperti incline plane. salah satu keuntungan alat ini adalah sekaligus bisa digunakan untuk retensi setelah perawatan aktif dan memungkinkan untuk ditambahkan gigi akrilik jika diperlukan, sehingga bisa digunakan gigi tiruan lepasan pada rahang bawah pada kasus dimana terjadi premature loss pada gigi desidui.2,3 tujuan dari laporan kasus ini untuk menunjukkan metode yang murah dan mudah untuk mengatasi crossbite anterior pada masa gigi bercampur. kelemahan metode ini adalah alat ini dapat dilepas sehingga membutuhkan kerjasama yang baik dengan pasien dan orang tuanya. laporan kasus riwayat kasus seorang anak perempuan berumur 10 tahun datang bersama ibunya mengeluhkan gigi-giginya tidak rapi terutama gigi depan atas “nyakil” karena tumbuh di belakang gigi-gigi depan bawah. secara umum kesehatannya dan oral higiene baik. tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 99 pasien dan ibunya merasa khawatir keadaan seperti itu akan bertahan sampai dewasa jika didiamkan saja, sehingga ingin dirawat. diagnosa pemeriksaan ekstra oral menunjukkan profil pasien cembung dengan bentuk muka yang simetris. pada pemeriksaan intra oral pasien memiliki jaringan mukosa normal, bentuk lidah dan palatum normal. kebersihan mulut pasien sedang. pada pemeriksaan fungsional tidak terdapat kelainan, tmj normal tidak terdapat klicking maupun rasa nyeri. analisis studi model menunjukkan hubungan molar kanan dan kiri klas ii, overbite 5,5 mm, overjet -2 mm, garis median segaris. gigi anterior atas dan bawah berdesakan dan susunan tidak teratur. terdapat gigi 11 dan 21 yang tumbuh ke arah lingual atau berada pada di belakang gigi 31 dan 41.gigi 12 dan 22 labioversi, gigi 42 linguoversi. gambar 1. foto extra oral sebelum perawatan gambar 2. foto intra oral pasien sebelum perawatan (29/01/2010) tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur 100 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 gambar 3. study model pasien tampak oklusal pemeriksaan lanjutan hasil pemeriksaan rontgen foto panoramik menunjukkan pada rahang atas terdapat benih gigi 15, 17, 27 yang posisinya normal, benih gigi 13 dan 23 yang posisinya tumbuh ke mesial, benih gigi 18 dan 28 belum muncul. pada rahang bawah terdapat benih gigi 38, 37, 35, 34, 44, 45, 47, 48 yang posisinya normal, terdapat benih gigi 33 dan 43 yang posisinya torsiversi. tidak ada kelainan (lesi) periapikal, tulang pendukung baik dan tidak terdapat sisa akar gigi. gambar 4. foto panoramik sebelum perawatan etiologi etiologi pada kasus ini kemungkinan karena persistensi gigi 51 dan 61 menyebabkan gigi 11 dan 21 arah pertumbuhanya ke sebelah lingual sehingga seluruh bagian mahkotanya tertutup oleh gigi 31 dan 41. tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 101 tujuan perawatan tujuan perawatan pada pasien ini adalah menghilangkan crossbite anterior untuk mencegah terjadinya maloklusi klas iii yang parah dan memperbaiki estetik wajah. kemajuan perawatan tahap pertama perawatan adalah koreksi crossbite anterior dengan inclined bite plane lepasan yaitu berupa akrilik pada sisi lingual gigigigi anterior rahang bawah yang ditebalkan hingga membentuk sudut 45° dengan sudut kemiringan pada permukaan incisal gigi-gigi anterior rahang bawah. plat ini dilengkapi dengan labial arch dengan u loop pada 73 dan 83 dengan kawat stainless wire  0,7 mm, c klamer diletakkan pada gigi 16 dan 26 dengan stainless wire  0,7 mm. gambar 5. desain alat pasien saat insersi inclined bite plane (04/05/2010) pasien diinstruksikan untuk memakai alat sepanjang hari dan kontrol satu minggu sekali.pasien ini sangat kooperatif dalam memakai plat ortodonsi ini, terbukti pada saat kontrol pertama pada hari ke 10 (14/5/2010), plat fungsional inclined bite plane masih retentive, stabil dan sudah terbentuk over jet sebesar 1 mm, dan overbite sebesar 1 mm. ujung dataran inclined bite plane sudah menempel di palataum sehingga dilakukan pengurangan ujung dataran inclined bite plane.tidak ditemukan peradangan pada mukosa. tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur 102 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 gambar 6. foto intraoral saat kontrol i (14/05/2010) kontrol ke 2 (21/5/2010) overjet sudah mengalami peningkatan menjadi 1,8 mm namun gigi-gigi posterior belum oklusi. kontrol ke 3 (28/5/2010) overjet sudah ideal yaitu 2 mm, gigi molar pertama permanen kanan kiri ra & rb sudah beroklusi. kontrol ke 10 (30/10/2010) overjet 2 mm dan overbite 5 mm, gigi 12 masih labioversi, space untuk gigi 12 agar masuk ke dalam lengkung ideal masih belum mencukupi. gigi 22 sudah masuk ke dalam lengkung ideal. gigi 42 sudah berada pada lengkung ideal gigi 33 tumbuh sebagian dan torsi, gigi 34 juga tumbuh sebagian. tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 103 gambar 7. gambar pasien saat kontrol ke ix (30/10/2010) crossbite anterior sudah terkoreksi dan alat sudah semakin tidak retentif, sehingga perawatan dilanjutkan pada tahap kedua menggunakan plat ekspansi untuk mendapat ruang yang dibutuhkan untuk koreksi gigi yang masih malposisi. pembahasan kasus crossbite anterior pada gigi permanen dapat menyebabkan peningkatan keparahan kasus, sehingga penanganan dini yang bertujuan untuk menstimulasi kesimbangan pertumbuhan dan perkembangan oklusal sangat diindikasikan.6 keuntungan utama perawatan dini anterior crossbite adalah adanya kesempatan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan rahang atas dengan alat yang sederhana dan tidak mahal untuk mencegah dibutuhkannya ortognatik surgery di kemudian hari. memilih alat untuk koreksi crossbite anterior perlu mempertimbangkan jumlah vertical overbite. jika ½-2/3 atau lebih dari panjang mahkota dan melibatkan ¾ gigi depan maka disarankan untuk menggunakan removable inclined plane (bruckl appliance). jika vertical overbite kurang dari ½ dari panjang mahkota, maka lebih baik tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur 104 idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 menggunakan plat lepasan dilengkapi proktraksi spring atau screw untuk mengkoreksi maloklusi tersebut.7 incline plane digunakan jika terdapat cukup ruang untuk proklinasi gigi insisivus atas. secara klinik dapat digunakan pada kasus dimana insisivus atas pada posisi crossbite lebih dari separuh vertical overbite. gerakan gigi terjadi dari hasil gaya resultan penutupan otot dan interaksi incline plane. base akrilik dari incline plane harus cukup luas.8 pada kasus ini gigi insisivus sentral rahang atas hampir 2/3 mahkota tertutup oleh insisivus sentral dan lateral rahang bawah. tidak terdapat overlap antara gigi insisivus sentral dengan insisivus lateral rahang atas sehingga terdapat cukup ruang untuk proklinasi gigi insisivus sentral atas. perawatan menggunakaninclined plane lepasan dengan kemiringan 45° pada kasus ini menunjukkan hasil yang memuaskan dimana dalam 10 hari perawatan crossbite anterior terkoreksi, over jet mula mula -2 menjadi 1 mm dan overbite mula mula 5,5 menjadi 1 mmdan dalam waktu 2 minggu gigi molar pertama permanen rahang atas dan bawah kanan kiri sudah bisa beroklusi. derajat kemiringan incline yang disarankan pada insisivus bawah sebaiknya adalah 45° terhadap oklusal plane. pada saat penutupan insisivus atas, dimana awalnya oklusi dibelakang insisivus bawah, bertemu/menggigit pada incline plane maka tekanan pada gigitan akan terbagi menjadi 2 gaya vektor yaitu tekanan proklinasi / memajukan gigi insisivus atas dan tekanan mengintrusi insisivus. semakin curam dataran, semakin besar tekanan ke depan dari insisivus maksila.8 pada saat insersi, diperlukan penggunaan articulating paper untuk mendeteksi angulasi yang tepat dan penggrindingan akrilik incline plane. observasi secara periodik akan menunjukkan kebutuhan penggrindingan incline plane.9 kerjasama yang baik antara dokter gigi dan pasien merupakan salah satukondisi yang palingpenting bagi keberhasilan perawatan menggunakan alat lepasan.pasien pada kasus ini anak perempuan berusia 10 tahun sangat kooperatif dalam perawatan dan mau memakai alat.faktor yang berperan penting tidak hanya usia anak, tetapi juga motivasi untuk perawatan, bagaimana anak menerima problem tersebut, dimana anak perempuan lebih bersemangat untuk perawatan dibandingkan laki laki.10 memulai perawatan lebih awal memungkinkan untuk koreksi beberapa kelainan dentoalveolar, sehingga memungkinkan untuk mencegah perkembangan kelainan yang lebih parah dan memperpendek waktu perawatan saat periode gigi permanen.7 perawatan menggunakan removable inclined plane pada kasus ini selain murah dan sederhana juga menghasilkan kemajuan perawatan dengan cepat. perawatan ini merupakan kompetensi seorang dokter gigi dari pada merujuk pada spesialis ortodonsi untuk perawatan selanjutnya namun demikian penekanan utama perlu diberikan pada diagnosis dan evaluasi dari maloklusi. tita ratya utari: perawatan crossbite anterior pada masa gigi bercampur idj, volume 1,no. 1, tahun 2012 103 simpulan penanganan dini pada kasus crossbite anterior dapat memicu pertumbuhan rahang atas dan menghindari masalah yang akan dihadapi jika keadaan ini dibiarkan sampai pasien dewasa. perawatan dengan menggunakan removable inclined plane (bruckl appliance) dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam mengoreksi crossbite anterior dengan cepat.faktor kooperatif dan motivasi yang tinggi dari pasien dan keluarga pasiensangat diperlukan untuk keberhasilan perawatan. daftar pustaka 1. orlando mt., josé vb., tatiana bk., ana l. r. á., matheus mp., the anterior dental cross-bite: the paradigmof interception in orthodontics, rev. clín. pesq. odontol., 2010; vol 6 (1) : 71-78. 2. arvystas m.g., the rationale for early orthodontic treatment. am j orthod dentofacial orthop: 1998; 133:15-8. 3. vadiakas g, viazis ad., anterior crossbite correction in the early deciduous dention. am j orthod dentofacial orthop; 1992; 102:160-2. 4. mokhtar m.. penuntun kuliah orthodonti. bagian orthodoni, fkg u.s.u medan. 1970. 5. lee bd., correction of crossbite. dent clin north am, 1978; 22:647-68. 6. tausche e., luck o., harzer w., prevalence of malocclusions in the early mixed dentition and orthodontic treatment need.eur j orthod; 2004; 26:237-44. 7. patti a., perier g., preface. in: clinical success in early orthodontic treatment. quintessence, p. 2005; 8. 8. adams p., the design, construction and use of removable orthodontic appliances. 5th ed. bristol, p. 1984 ;111-2. 9. irena j., andra l., andris a., anterior crossbite correction in primary and mixed dentition with removable inclined plane (bruckl appliance), stomatologija, baltic dental and maxillofacial journal, 2008;10:140-144. 10. kiyak a.h., patients’ and parents’ expectations from early treatment. am j orthod dentofacial orthop; 2006;129:s50-54. a fossa canina abscess originated from first maxillary primary molar: a case report management abses fosa canina yang berasal dari gigi molar satu desidui: laporan kasus dalam perawtannya abdul rochim1 1 oral and maxillofacial surgery department faculty of dentistry jember university abstract a possible complication of fossa canina infections is reactive thrombosis of the vena angular is, which can lead to cavernous sinus phlebothrombosis. according to the literature there are different opinions about the treatment protocol of fossa canina abscesses. this study reports the unusual case of odontogenic infection in children. a four years old girl patient arrived at a dental clinic with her mother and sister. the patient presented with massive swelling and redness in the region of left eye. according to the subjective data obtained from her mother and sister, the swelling occurs in the morning, six hours before being taken to the dentist. we suspect that the left maxillary first primary molar caused the case. management of this case is open bur and there was bleeding from the pulp without pain. after 4 min, swelling in the lower eyelid decreased. the condition is getting better after 39 min before the patient took the drug. the patient still get medicine for healing efforts. keyword: fossa canine abscess, open bur abstrak pada umumnya infeksi rongga mulut penyebab utamnya ialah infeksi odontogen yang bnrsumber dari pulpa gigi, jaringan periodontal atau jaringan peri koronal. penelitia ini melaporkan kasus infeksi odontogen yang tidak umum pada anak-anak. pasien anak berumur 5 tahun berkelamin wanita datang keklinik gigi bersama ibunya. pasien ini menderita bengkak dan warna merah pada daerah infra orbital da menyebar sampai kelopak mata bawah. pada allo anamneses, pembengkakan terjadi di pagi hari, enam jam sebelum dibawa ke dokter gigi. saat pemeriksaan klinis intraoral kami menemukan karies pada proksimal (distal) dari gigi susu molar pertama kiri. penanganan kasus ini adalah dengan open bur (trepanasi) dan terjadi pendarahan dari ruang pulpa tanpa rasa sakit. setelah 4 menit, bengkak pada kelopak mata bawah berkurang, dan setelah 39 menit keadaannya menjadi h baik saat pasien menun ggu di apotik untuk mengambil obat. pasien tetap mendapatkan obat untuk upaya penyembuhan. kata kunci: abses fosa kanina, fase serous, penanganan introduction canine fossa abscess is one of the odontogenic infections which is located in the small space between the elevator labii superior and the levator anguli oris muscles. the common etiologi from infected root canals of pre molars and especially those canines of the maxilla are considered to be responsible for the development of abscesses correspondence: abdul rochim, oral and maxillofacial surgery department faculty of dentist ry jember university, e -mail: akmalbafagih@yahoo.co.id abdu l roch i m, a fossa canina abscess originat ed from first maxillary p rimary molar… of the canine fossa. this study reports the unusual case of canine fossa abscess in the children. case report a 4 years old girl patient referring to our clinic with complaints of swelling and pain in her left maxillary with her mother and her sister. the patient presented localized swelling and redness in infra orbitalis region spreading toward the lower eyelid. according to the subjective data obtained from her mother and sister, the sweling occurs in the morning, six hours before being taken the dentist. we suspect the caries on the proximal (distal) of the left maxillary first primarry molar by intra oral examinatio. figure 1 : extra oral examination (at 12.11 pm) figure 2 : intra oral examination (at 12.12 pm) figure 3: intra oral examination (at 12.13 pm) management patient having performed the assessment, the following interventions were carried out. management of this case is open bur and there was bleeding from the pulp without pain. after 4 min, swelling in the lower eyelid decreased. the condition is getting better after 39 min before the patient took the drug. the patient still get medicine for healing efforts. 90 abdu l roch i m, a fossa canina abscess originat ed from first maxillary p rimary molar… discussion odonfectogenic infection can occur locally or spread rapidly. the presence of necrotic teeth will cause the bacteria to penetrate from the pulp chamber to the apicalis. apicalis foramen of the pulp can not drain the infected pulp. in adition, the infection spreads rapidly into the space or other tissues close to the necrotic tooth structure. this study reports unusul case of odontogenic infection. we find the case of canine fossa abscess in serous phase. generally, this phase lasts aproximately 36 hours, and is characterized by local inflammatory edema, hyperemia or redness with elevated temperature, and pain. in this case, the canine fossa abscess develops rapidly than usual aproximately 7-8 hours and the patient is getting better (aproximately 35 minutes) after opening bur the teeth. the patient still get medicine for healing effort. conclution the study report concludes that the canine fossa abscess develops faster than usual (aproximately 7-8 hours) and patient is getting better (aproximately 35 minutes) after opening bor the teeth. references 1. fragiskos, f.d. oral surgery: odonto genic infection. chapter 9. new york.: springer berlin heidelberg. 2007. figure 4: management of this case is open bur and there was bleeding from the pulp with out pain (at 12.15 pm) figure 5 : management of this case is open bur and there was bleeding from the pulp with out pain (at 12.18 pm) figure 6 : after 4 minutes (at 12.19 pm), swelling in the lower eyelid was reduced. figure 7 : the condition is getting better after 39 minutes (at 12.50 pm) before the patient took the drug. abdu l roch i m, a fossa canina abscess originat ed from first maxillary p rimary molar… 2. lopez piriz, r, aguilar, l. gimenes, m.j. management of odontogenic infection of pulpa and periodontal origin. med oral patol oral cir bucal, 12:e154-159 3. mc donald, r.e. averi, d.r. dean, j.a. dentistry for the child and adolescent. 8th ed. st louis: mosby. 2000. 88-90. correspondence: nanik sugianti, denstistry faculty of jember university, e-mail: niknoksopink@yahoo.com idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 5 effect extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural tooth bleaching agent on external discoloration case efekekstrak rosella (hibiscussabdarifa) sebagai bahan alternative pemutih gigi alami pada kasus pewarnaan eksternal nanik sugianti1 1denstistry faculty of jember university, jember indonesia abstract background: tooth bleaching is one effort that has long been known in the science of dentistry. unfortunately material used to whiten tooth until now they are still nature are toxic to tissues of the mouth cavity. whereas with traditional natural materials exploration in indonesia, give all one plant used as a safe teeth bleaching, rosella (hibiscus sabdariffa). the research to find out effect extract rosella (hibiscus sabdariffa) to external discoloration. methods: an experimental research with pre and post controlled group design. the sample consist of 12 teeth which divided into two groups. the first group, as control, were soaked in aquadest and the second group, as treatment were soaked in extract rosella (hibiscus sabdariffa) for 3 days. colour analysis is conductedbycielab method. the colected data were analized by pairing t-test. discussion: rosella (hibiscus sabdariffa) containing bioactive compounds, saponins that foam can bind colourants. with the power of his work which can bind the colourants can be used to whiten teeth. in addition, vitamin c (ascorbic acid) that high can cause email erosion. the compound is capable of damaging colour substance molecules become neutral color so that the color and causing bleaching effects. conclusion: rosella (hibiscus sabdariffa) can be used as an alternative natural tooth bleaching agent because it contains the active agent of saponin and vitamin c are high. key words: rosella, tooth bleaching, external discoloration abstrak pendahuluan: pemutihan gigi merupakan salah satu upaya yang sudah lama dikenal dalam ilmu kedokteran gigi. sayangnya bahan yang digunakan untuk memutihkan gigi hingga saat ini masih banyak yang bersifat toksik terhadap jaringan rongga mulut. padahal dengan eksplorasi bahan alam tradisional yang banyak terdapat di indonesia, didapatkanlah satu tanaman yang aman dimanfaatkan sebagai pemutih gigi, yaitu rosella (hibiscus sabdarifa). penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak rosella pada kasus diskolorasi eksternal. metode: jenis penelitian ini merupakan eksperimental laboratoris dengan pre dan post test group design. sampel terdiri dari 12 gigi yang dibagi menjadi dua kelompok. kelompok pertama, merupakan kelompok kontrol yang direndam pada aquades sedangkan kelompok kedua, merupakan kelompok perlakuan yang drendam dalam ekstrak rosella (hibiscus sabdariffa) selama 3 hari. analisis warna menggunakan metode cielab. data yang diperoleh dianalisis menggunakan t-test berpasangan. diskusi: rosella (hibiscus sabdariffa) mengandung senyawa bioaktif saponin yakni busa yang dapat mengikat zat warna. dengan daya kerjanya nanik sugianti, effect extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural… 6 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 yang dapat mengikat zat warna maka dapat digunakan untuk memutihkan gigi. selain itu, kandungan vitamin c (asam askorbat) yang tinggi dapat menyebabkan pengikisan email. senyawa tersebut mampu merusak molekulmolekul zat warna sehingga warna menjadi netral dan menyebabkan efek pemutihan. kesimpulan: rosella (hibiscus sabdariffa) bisa digunakan sebagai bahan alternatif pemutih gigi alami karena mengandung bahan aktif, yaitu saponin dan vitamin c yang tinggi. kata kunci: rosella, pemutih gigi, diskolorasi ekternal background currently whiten tooth has become the needs of the public. staining on the teeth is the problem æsthetics psychology that can affect a person. of the color of a tooth that changes will reduce wonderfulness appearance and reduce the confidence. therefore, a sunny smile with teeth that white is everyoneyearn. this causes the increasing needs of dental aestheticservice, especially bleaching teeth. bleaching tooth is one effort that has long known in the science of dentistry1. unfortunately material used to whiten tooth until now they are still nature are toxic to tissues of the mouth cavity. whereas with traditional natural materials exploration in indonesia, to give a safe plant is utilized as a teeth bleaching1,2. rosella ( hibiscussabdariffa ) is this herbal plants known as the world diamond, the plants because it has medicinal is high . rosella in indonesian society has long been used as traditional medicine. and now many experts on the world health experts who did research on rosella benefits for health 3. these plants containing antosianin, protosatekuat acid, ascorbic acid, an extract saliks, cardiac glikosida, flavonoid, saponin, alkaloid, sardenoleda, anthocyanins delphinidin-3-o-sambubioside, cyanidin-3-o-sambu bioside, dry rosella containing flavonoid gossypetin, hibiscetine and sabdaretine. the main pigment previously reported as hibiscin has been identified as daphniphylline. a small number of myrtillin (delphinidin 3monoglucoside), chrysanthenin (cyanidin 3monoglucoside), and delphinidin also lies on this plant4. the flower petals known contain important substances needed by the body, such as vitamine c, vitamine a, essencial proteins, calcium and18 amino acids, include darginina and legnin that’s benefit body cells rejuvenation4. rosella (hibiscussabdariffa) con tainning bioactive compounds, saponins that foam can bind colourants. with a capacity of a substance which can bind the colourants can be used to whitten teeth2. in addition, a high vitamin c can help the process allegedly whitening the teeth. based on the above background, the author is interested in researching the effect of extracts rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural teeth bleaching agent on external discoloration case. figure 1. rosella (hibiscussabdariffa) nanik sugianti, effect extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 7 methods this researh is experimental laboratories. selected this type of research because the samples and more controlled, scalable treatment and influence treatment more trustworthy. as for the design of the research is the pre and post test controlled group design to tooth5. the population of this research is the dental insisivus, premolars and molar with crown and root criteria intact (no caries). number of samples used in this study is based on the formula daniel (2005) is 4, but in this study, the number of samples that are used by 50% more than the minimal sample. so, number of sample used in this study are 6 samples for each observation (sub group). in this study there are two research groups, namely the control group and group treatment (test). so the total sample is needed are 12 sample teeth6. dental samples are divided into two groups, namely the control group and group treatment (test). group i (control): dental sample soak in aquadest for three days. group ii (treatment): dental sample soak in extract rosella for three days. the sample collection used technique purpossivesampling, the sample collection is conducted based on the considerationwith specific criteria based on the applied research purposes 5. dental colouranalyzed by cielab method. data were analyzed by pairing t-test with trust level is 95% (p>0,05). figure 2. dental colour analyzed by cielab method result the observations obtained the mean lightness level for control group is 52.166, whereas the mean for treatment group is 53 (table 2 table 1. dental lightness level on group control and treatment before soak in extract rosella lightness level sampel insisivus 1 insisivus 2 premolar 1 premolar 2 premolar bawah molar kontrol 26 53 59 52 59 64 perlakuan 37 41 55 46 51 40 table 2. dental lightness level on group control and treatment after soaked in extract rosella for three days lightness level sampel insisivus 1 insisivus 2 premolar 1 premolar 2 premolar bawah molar mean kontrol 26 53 59 52 59 64 52.166 perlakuan 55 45 57 61 54 49 53.5 nanik sugianti, effect extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural… 8 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 figure 3. dental lightness level on group control and treatment before soak in extract rosella figure 4. dental lightness level on group control and treatment after soaked in extract rosella for discussion this research was conducted to determine the effect of extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural teeth bleaching agent. dental colour was analyzed by cielab method. a labcolor space is a coloropponent space with dimension l for lightness and aand b for the coloropponent dimensions, based on nonlinearly compressed cie xyz color space coordinates. the coordinates of the hunter (1948)l, a, bcolor space are l, a, and b. however, lab is now more often used as an informal abbreviation for the cie (1976)l*, a*, b*color space (also called cielab, whose coordinates are actually l*, a*, and b*). thus the initials lab by themselves are somewhat ambiguous. the color spaces are related in purpose, but differ in implementation 8,9,10. this is a dental sample that meets the criteria of the research sample. test analysis of the statistical significance of the group shows the value of control and treatment before and after soaked extract rosella is 0.001, means there is a significant difference in tooth color treatment group before and after soaked in extracts rosella. types of this plant contain saponins bioactive compounds, which. foam can bind colourants. with his power that can bind the colourants and dirt on the surface of the teeth so it can be used to whiten teeth 2. in addition, vitamin c (ascorbic acid) can cause email erotionso that the teeth be more white discharge way of hydroxyl number c 2 and 3 which donates h together with the electrons headed for a variety of oxidants such as free radicals compounds diffuse through email to get to the dentin tubuli and serves as a strong oxidizing agent that can produce free radicals are highly reactive. the compound is capable of damaging substance molecules become neutral color so that the color and causes the effect of bleaching 7. conclusion there are effect soaking extract rosellaon tooth color, it can be observed from the differences the brightness of the color of the teeth on the control group and treatment, which is a color of sample to a group of treatment teeth whiter than a control group. rosella (hibiscus sabdariffa) can be used as an alternative natural tooth bleaching agent because it contains the active agent of saponin and vitamin c are high. nanik sugianti, effect extract rosella (hibiscussabdariffa) as an alternative to natural… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 9 references 1. anonymous. pemutih gigi dari tanaman gelagah. makasar: kajian pustaka farmasi. 2010. serial online http:// kajianpustakafarmasi.blogspot.com/p/farmakogno si-fitokimia_24.html november 21, 2011 2. xiang ling, liem. 2010. pemutih gigi. serial online http://pemutihgigi.com/ november 21, 2011 3. anonymous. 2007. industri pengelolahan rosella. serial online http://www.rosellaonline.net/2007/12/budidaya-tanamanrosella-petani-binaan.html november 20, 2011 4. wikipedia. 2012. rosella. serial online http://id.wikipedia.org/wiki/rosela december 1, 2011 5. notoatmojdo, s. 2005. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. 6. daniel, w. w. 2005. biostatistic a foundation for analysis in the health sciences. eight edition. georgia: wiley. 7. wikipedia. 2010. ascorbic acid. serial online http://en.wikipedia.org/wiki/ascorbic_aci d january 3, 2012 8. anonymous. 2011. pengembangan metode pengukuran warna menggunakan kamera ccd (charge coupled device) dan image processing. bogor: institut pertanian bogor. serial online http:// repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5 1961/f11rnu1_bab%20ii%20tinjauan% 20pustaka.pdf?sequence=6 january 3, 2012 9. wikipedia. 2007. lab color space. serial onlinehttp://en.wikipedia.org/wiki/lab_ color_space 3 january 2012 10. jeff. 2011. cie / lab (l*a*b) coding. serial online http://en.kioskea.net/ contents/video/cie-lab.php3 january 3, 2012 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 27 metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini the method of choosing appropriate toothpaste for early aged children sukanto1 1fakultas kedokteran gigi universitas jember, jember indonesia abstrak karies gigi pada anak usia dini masih banyak terjadi. sebagian penyebabnya adalah kebersihan gigi yang kurang, anak belum bisa memelihara kesehatan gigi dan mulutnya secara mandiri. salah satu bahan bantu untuk membersihkan gigi adalah pasta gigi. pemilihan bahan tersebut harus tepat, agar menghasilkan kebersihan yang optimal dan tidak memberikan dampak negatif. produk dipasaran yang ditawarkan umumnya mengaku yang terbaik, dengan keunggulan yang ditonjolkan masing-masing, mulai dari mengandalkan merk, kemasan yang menarik, harga rendah, kualitas yang ditonjolkan. hal tersebut mengharuskan konsumen terutama orang tua harus pandai dalam memilih pasta gigi yang tepat untuk anak. pemilihan pasta gigi sebaiknya mempertimbangkan komposisi, perkembangan usia anak, kriteria yang diperlukan sesuai usia, variasi produk dan efek samping. kesimpulannya, kriteria pasta gigi yang dipilih: warna, bau dan rasa disukai anak, kemasan menarik dan aman bagi tubuh. kata kunci: pasta gigi, anak usia dini, karies. abstract dental caries in early-aged children still occurs frequently. one of its causes is the less dental hygiene, children are still incapable to maintain their oral and dental health independently. one of the material to help in cleaning teeth is toothpaste. the choose of this material should be appropriate in order to obtain optimum dental hygiene and not result in negative impacts. the products available in the market generally claim themselves as the best one by showing their excellences e.g. brand, interesting package, low price, and quality. those necessitate the customer especially parents to be selective in choosing appropriate toothpaste for their children. the choose of toothpaste should consider some aspects including the composition, development of child age, criteria required based on the age, product variant, and side effect. in conclusion, the criteria of the chosen toothpaste: colors, scent and taste liked by children, interesting and safe package. keywords: toothpaste, early-aged children, caries sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… 28 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 pendahuluan upaya meningkatkan kesehatan gigi pada usia dini sangat penting karena merupakan salah satu unsur penting sebagai penunjang untuk mendukung kesehatan umum. contohnya, apabila gigi sakit maka anak sulit atau tidak mau makan, berarti asupan gizi kurang atau terganggu selan jutnya dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. salah satu cara mening katkan kesehatan gigi adalah memelihara kebersihan gigi dan mulut. pemeliharaan kesehatan gigi anak melibatkan interaksi antara anak, orang tua dan dokter gigi. orang tua sangat berperan dalam membentuk perilaku anak. orang tua sebagian besar beranggapan bahwa geligi anak tidak pen ting, karena hanya bersifat sementara dan akan diganti oleh geligi tetap, sehingga mereka tidak memperhatikan mengenai kebersihan geliginya. kondisi gigi anak akan mempengaruhi dan menentukan kondisi gigi dewasa. salah satu tujuan pemeliharaan keber sihan gigi dan mulut adalah untuk mencegah terbentuknya plak. plak merupakan lapisan lengket yang melekat erat pada gigi yang mengandung bakteri dan sisa makanan. plak dapat dihilangkan dengan metode mekanis ataupun kimia. metode menghilangkan plak secara mekanis merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak. metode tersebut antara lain salah satunya adalah menggosok gigi. pengunaan pasta gigi pada waktu menggosok gigi merupakan penunjang yang penting walaupun menggosok gigi tidak selalu harus menggunakan pasta gigi. fungsi pasta gigi yang digunakan pada saat menggosok gigi adalah untuk membantu menghilangkan plak, memoles permukaan gigi, memperkuat gigi, menghilangkan atau mengurangi bau mulut, memberikan rasa segar pada mulut serta memelihara kesehatan gusi. produsen pasta gigi telah menawarkan promosi gencar melalui media cetak maupun elektronik. berbagai macam nama dagang dengan keunggulan yang ditonjolkan masingmasing, mulai dari mengandalkan merk, kemasan yang menarik, harga rendah, dan berkualitas. pada prinsipnya semua promosi produk pasta gigi semua mengaku yang terbaik. hal tersebut mengharuskan konsu men terutama para orang tua harus hati-hati dan teliti dalam memilih pasta gigi yang tepat untuk anak, utamanya anak usia dini, karena pada usia anak-anak tersebut belum bisa memelihara kesehatan gigi dan mulutnya secara mandiri. kehatihatian tersebut didasar kan pada pemikiran bahwa ada beberapa komponen pasta gigi yang tidak boleh tertelan dalam jumlah yang melampaui batas toleransi tubuh, karena dapat mengakibatkan efek samping negatif, contohnya adalah komponen fluoride dan sodium lauril sulfat. pemilihan pasta gigi untuk anak ada beberapa yang perlu diketahui, khususnya oleh orang tua diantaranya adalah komposisi pasta gigi dan usia anak. pertimbangan kriteria pemilihan pasta gigi yang diperlukan untuk anak, variasi produk pasta gigi yang terdapat di pasaran dan efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan pasta gigi tersebut. tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pedoman dalam memilih dan menyesuaikan beberapa produk pasta gigi yang ada di pasaran dengan kebutuhan perawatan kesehatan gigi dan mulut anak usia dini. manfaatnya adalah agar dapat dijadikan pedoman dalam memilih dan menyesuaikan beberapa produk pasta gigi yang ada di pasaran dengan kebutuhan perawatan kesehatan gigi dan mulut anak usia dini. tinjauan pustaka pasta gigi anak menurut badan standar nasional-sni 16-4767-1998 adalah produk semi padat yang terdiri dari campuran bahan penggosok, bahan pembersih dan bahan tambahan yang digunakan untuk membantu membersihkan gigi anak tanpa merusak gigi maupun membran mukosa dari mulut. berdasarkan sni 16-4767-1988 tentang pasta gigi anak, pasta gigi anak seharusnya tidak mengandung sukrosa atau karbohidrat sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 29 terfermentasi, dan kadar fluor bebas maksimal yang diperbolehkan adalah 500 – 1000 ppm. sedangkan berdasarkan peraturan menteri kesehatan no. 445/menkes/ per/v/1998. lampiran 1#34 disebutkan bahwa batas maksimum garam fluoride dan turunannya dalam sediaan hygiene mulut adalah 0,15 % atau setara dengan 1500 ppm, jumlah ini sesuai dengan aturan asean cosmetic directive 76/768/eec annex iii bagian i, aturan fda amerika serikat dan iso 11609 (dentamedia,2012). berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh public interest research and advocacy centre lembaga konsumen jakarta (kkj pirac), pada 9 merek pasta gigi anak, menunjukkan bahwa hanya satu merek yang kandungan fluornya dibawah atau sama dengan sni (paling tinggi 1000 ppm), sisanya diatas standard. hal tersebut membahayakan karena diatas standard, dan disarankan agar sni menurunkan syarat kandungan fluor dalam pasta gigi menjadi 250-500 ppm. penelitian yang dilakukan oleh prof.dirk vanden berghe dari universitas antwerpen swedia, di indonesia menunjuk kan 30-40% pasta gigi ditelan oleh anak pada saat menggosok gigi. hal ini terjadi pada pasta gigi yang diberi rasa buah. (dentamedia, 2012). hardaningsih (2009), senyawa fluoride adalah suatu garam senyawa fluoride yang terdapat di alam dapat berupa sodium fluoride, calcium flupride, amonium fluoride, aluminium fluoride, ammonium fluorosilikat, amonium fluorofosfat, hexadesil ammonium fluoride, magnesium fluoride dan lain-lain. dampak buruk pemasukan senyawa fluor ke dalam tubuh antara lain fluorosis pada gigi. ciri-cirinya adalah gigi menjadi keras dan mudah pecah (cracking).bentuk yang paling ringan adalah adanya flek atau noda putih kecil-kecil yang tidak terlalu tampak, sedangkan kerusakan pada tingkat sedang dan parah tampak noda coklat atau hitam, berlubang dan retak pada gigi. resiko ini dapat terjadi pada anak dalam masa pembentukan gigi yaitu pada periode waktu 3 bulan sampai 8 tahun. pada anak berusia lebih dari 8 tahun sudah tidak ada lagi resiko ini. menggosok gigi dengan menggunakan pasta gigi dengan cara yang benar dapat mencegah timbulnya plak dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan gigi dan mulut. pasta gigi yang mengandung fluor bisa memperbaiki dan mempertahankan struktur gigi karena resisten terhadap kerusakan dan pembusukan serta merangsang remineralisa si. bahan-bahan khusus yang ada pada pasta gigi membantu membersihkan dan membuat gigi lebih berkilau. pasta gigi dapat membuat mulut dan nafas lebih segar (tyasrini,dkk. tanpa tahun). aisyah(2011), pasta gigi yang tersedia hampir semua mengandung lebih dari satu bahan aktif dan dipromosikan dengan beberapa keuntungan bagi pengguna. umum nya pasta gigi yang beredar di pasaran saat ini adalah kombinasi dari bahan abrasif, deterjen dan satu atau lebih bahan terapeutik. komposisi umum dan kandungan bahan aktif yang biasa terkandung dalam pasta gigi antara lain sebagai berikut. bahan abrasif (2050%), contohnya: silika atau silika hidrat, sodium bikarbonat, aluminium oksida, dikalsium fosfat dan kalsium karbonat. air (2040%), humectant atau pelembab (20-35%) yaitu sorbitol, manitol, gliserin, propilen glikol, alpha hydroxy acids (aha), propilen glikol, asam laktat dan surfaktan. bahan perekat (1-2%), yaitu bahan yang larut dalam air seperti carragcenates, alginate, dan sodium karboksil metal selulosa, dan bahan yang tidak larut dalam air seperti magnesium, aluminium silikat, dan koloid silika. bahan yang biasa digunakan adalah karboksil metal selulosa, amilosa, alginate, derivat sintetis selulosa, sorbitol dan polyethylene glycol (peg). surfectan atau deterjen (1-2%), bahan penambah rasa (0-2%), bahan terapeutik (0-2%) yaitu: fluoride, bahan desensitisasi, bahan anti-tartar dan bahan antimikroba. sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… 30 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 hasil berdasarkan survey dipasaran didapat komposisi pasta gigi anak sebagai berikut. tabel 1. komposisi berbagai nama dagang pasta gigi anak yang ada dipasaran tabel 2. daftar mineral yang diizinkan digunakan dalam suplemen makanan dengan pembatasan, berdasarkan sk kepala badan pengawas obat dan makanan ri. no.hk.00.05. 23.3644. tanggal 9 agustus 2004. tentang ketentuan pokok pengawasan suplemen makanan. pembahasan memperhatikan pernyataan dirk vanden berghe bahwa 30-40% pasta gigi ditelan oleh anak pada saat menggosok gigi, yang terjadi pada pasta gigi yang diberi rasa buah. (dentamedia, 2012) dan hardiningsih (2009) tentang dampak buruk senyawa fluoride bila masuk tubuh secara berlebih. maka pemakaian pasta gigi pada anak harus hatihati dan teliti. memperhatikan budaya atau ada kebiasaan keluarga menggunakan pasta gigi berfluoride secara bersama-sama dalam keluarga, mulai dari anak-anak sampai orang tua. hal tersebut kemungkinan karena praktis dan menghemat, dengan membeli pasta gigi satu tube yang berukuran besar (ukuran merk pepsodent anak pepsodent kids kodomo enzim anak formula junior zwitsal cussons master kids tooth paste komposisi -sorbitol -water -hydrated silica -peg-32 -sodium lauryl sulfate /sls -flavor -cellulose gum -sodium monofluorophosphate -sodium saccharine -hydrolyzed casein -calcium gluconate ci 73360 -ci77492 -ci77891 aktif: 0,4%sodium monofluorophos phate calcium gluconate hydrolyzed casein aktif:sodium fluoride 0,11% -sorbitol -silica water -xylitol -propylene glycol -titanium dioxide -sls -flavor -xhantan gum -sodium poliaccrilate -algin methylparaben buthylparaben -sodium saccharine -sodium fluoride 0,11% -water(aqua) -hydrated silica -sorbitol sol -xylitol -glycerin -ethoxylate stearyl fatty acid -carragenan -aroma amyloglucosidase -titanium dioxide -disodium phosphate -sodium benzoate -sodium saccarinate -citric acid -sodium fluoride -glucose oxidase -potassium thiocyanate laktoperoksidas e -sorbitol -purified water -hydrated silica -silica -peg 600 -sls -flavor -sodium carboxymethyl cellulose -sodium saccharine -xhantan gum -cocoamido propylbetaine -methylparaben -mica -titanium dioxide -d&c red no 33 (ci 17200) -fd&c red 40 (ci16035) vit a + pro v-b5 + vit e aktif :sodium mono fluoro phosphate 0,4% aktif: sodium monofluorophospate 0,76% -sorbitol -silica -peg-8 -sls -cellulose gum aroma -sodium monofluorop hosphate 0,342% -sodium saccharine -dicalcium phosphate dehydrate methylparaben -ci 45410 -ci 16035 -ci42090 sorbitol aqua silica sls xylitol carboxymethyl hydroxyethylcellulose titanium dioxide sodium monoflourophosphate flavour sodium benzoate calcium glycerophosphate lactic acid sucralose no nama batas maksimum/hari keterangan 1. 2. fluor silika 0,7 mg 1,5 mg 3,0 mg 2,4 mg untuk balita untuk remaja untuk dewasa, ibu hamil dan ibu menyusui dalam bentuk kombinasi. sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 31 famili). padahal kadar fluoride yang terkandung dalam pasta gigi tersebut melebihi takaran kadar fluoride untuk anakanak. hal ini juga berpotensi menjadikan asupan fluoride kedalam tubuh menjadi berlebih, dengan demikian hal tersebut sebaiknya mendapat perhatian dari orang tua. menurut hardaningsih (2009), pasta gigi anak-anak tidak diperlukan mencantumkan penandaan kadar fluoride bila kandungan fluoridenya kurang atau sama dengan 1% atau 1000ppm. pada produk yang disurvey ada yang tidak mencantumkan kadar fluoridenye yaitu enzim anak dan master kids(tabel 1). apakah benar kedua merek tersebut kadar fluoridenya tidak melebihi batas?. memperhatikan pernyataan dirk vanden berghe bahwa dari hasil pene litiannya menyatakan bahwa ada perbedaan antara nilai yang dicantumkan dan nilai yang sebenarnya terkandung dalam pasta gigi anak (dentamedia,2012). berdasarkan tabel 1, ada beberapa pasta gigi anak kadar fluoridenya yang dicantumkan lebih besar dibanding standar sni-16-47671998, yaitu maksimal 1000 ppm atau 0,1%. produk tersebut adalah pepsodent anak (0,4% =4000ppm), pepso dent kids (0,11%= 1100ppm), formula junior (0,4%= 4000ppm), zwitsal (0,76%=7600 ppm), cusson (0,342%=3420ppm), kodomo (0,11% =1100ppm). menurut peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan ri no.hk.00.05-.42.1018 tahun 2008 tentang bahan kosmetik selain kadar yang dibatasi, ada penandaan-penandaan yang harus dicantumkan pada kemasan pasta gigi berfluoride yaitu sebagai berikut. satu: mengandung senyawa fluoride. dua: untuk pasta gigi yang mengandung fluoride 0,10,15% fluoride, kecuali telah ada penandaan kontra indikasi untuk anak-anak (misalnya: hanya digunakan untuk dewasa), maka wajib mencantumkan pernyataan sebagai berikut. “anak-anak usia 6 tahun dan dibawahnya gunakan seukuran biji kacang polong (diameter 6mm) untuk penyikatan gigi yang diawasi untuk memperkecil kemungkinan tertelan. dalam hal ini asupan fluorife dari sumber lainnya konsultasikan dengan dokter gigi atau dokter” (hardaningsih, 2009). berdasarkan tabel 1, terdapat beberapa pasta gigi anak yang kandungan fluoridenya bahkan melebihi dari 0,15%(1500ppm). memperhatikan kondisi tersebut, seandainya terpaksa menggunakan pasta gigi tersebut maka untuk mengantisipasi efek samping yang kurang baik, kemungkinan jumlah atau ku-antitasnya yang dikurangi yaitu menjadi lebih kecil dari ukuran kacang polong. ukuran tersebut misalnya menjadi setengah (3mm) atau seperempat ukuran biji kacang polong (1,5mm). hal tersebut dengan asumsi sebagai berikut. jika kadar 0,1-0,15% adalah 6mm, berarti jika 0,2-0,3% adalah 3 mm, dan jika 0,3-0,45% adalah 1,5mm dan seterusnya. roslan, dkk.(2009), deterjen yang banyak terdapat dalam pasta gigi di pasaran adalah sodium lauryl sulfat (sls) yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan, mengemulsi (melarutkan lemak) dan mem berikan busa sehingga pembuangan plak, debris, material alba dan sisa makanan menjadi lebih mudah. penggunaan sls yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi pada rongga mulut, ulserasi yang parah, penurunan kelarutan saliva serta perubahan sensitivitas rasa. batas pemakaian sls yang dibenarkan dalam pasta gigi adalah 1-2%, pemakaian yang melebihi dari batas tersebut dapat menyebabkan terjadinya efek-efek tersebut sedangkan pemakaian rata-rata sls dalam pasta gigi di pasaran adalah sebanyak 1,55%. rasa dari suatu pasta gigi mempunyai peranan penting agar dapat diterima oleh masyarakat, sehingga perlu dipilih bahan perasa yang baik, yang dapat memberikan kesegaran pada mulut sekaligus member sihkan gigi. biasanya pasta gigi mengguna kan pemanis buatan untuk memberikan cita rasa yang beraneka ragam. misalnya rasa mint, stroberi, kayu manis bahkan rasa permen karet untuk pasta gigi anak. tambahan rasa pada pasta gigi akan membuat menyikat gigi menjadi menye nangkan. ada tidak merekomendasikan pasta gigi yang mengandung gula, tetapi sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… 32 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 pasta gigi yang pemanis buatan, misalnya saccharin (roslan, dkk,.2009). kriteria pasta gigi yang diperlukan untuk anak menurut cahyani (2009) dan candriyani (2009), anak bukan miniatur orang dewasa sehingga tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. anak membutuhkan perhatian khusus sesuai dengan tahapan perkemba ngannya. penggunaan pasta gigi anak tidak dapat disamakan dengan pasta gigi dewasa, karena memang kebutuhannya berbeda. pada anak-anak, khususnya usia 3-5 tahun, cara berpikir anak usianya sangat memusat (egosentris) dan cara pikirnya tidak dapat dibalik. anak-anak memandang sesuatu seperti apa adanya. berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kemungkinan dalam memilih pasta gigi anak akan lebih memilih yang mereka sukai. karena itu pasta gigi anak harus memiliki kriteria sebagai berikut: a. disukai, baik warna, bau, rasa. karena itu pasta gigi anak yang diproduksi di pasaran memiliki berbagai macam rasa dan bau, mulai dari rasa jeruk, strawberry, anggur, rasa permen karet dan lain sebagainya. selain itu pasta gigi anak dibuat berwarna warni tidak hanya putih juga bertujuan menarik minat anak. b. memiliki kemasan yang menarik. kemasan yang menarik dapat berupa gambar-gambar lucu yang berwarna warni, ataupun bentuk dari kemasan yang unik juga dapat mempengaruhi minat anak terhadap pasta gigi. c. aman, komposisinya sesuai dengan kriteria standar nasional. pada usia anak, kemampuan refleks penelanan pada anak sudah lebih baik, sehingga anak sudah dapat berkumur dan meludahkan cairan yang terdapat dalam mulutnya. oleh karena pasta gigi yang beredar di pasaran memiliki rasa yang disukai maka tetap dikhawatirkan anak akan menelan pasta gigi. kesimpulan berdasarkan uraian dan penje-lasan diatas, kemungkinan metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini adalah sebagai berikut. a. jenis pasta gigi harus sesuai dengan usia anak. pastikan bahwa pasta gigi tersebut tercantum penandaan untuk anak-anak. b. perhatikan komposisi penyusun pasta gigi anak sebisa mungkin tidak melebihi batas yang diijinkan standart nasional indonesia. sni-pom ri. c. perhatikan apabila pasta gigi tersebut disukai anak-anak tetapi kadar fluoride melebihi sni, maka sebaiknya perhatikan jumlah pemakaian dan harus dalam pengawasan dan pemakaian dalam jumlah yang sedikit. mendahulukan aspek keamanan pemakaian untuk kesehatan dibanding kesukaan ataupun kemasan yang menarik d. apabila asupan fluoride dari air minum, makanan atau sumber air pada daerah tempat tinggal kandungan fluoride cukup tinggi maka pilihlah pasta gigi dengan kadar fluoride rendah. e. apabila sumber air konsumsi pada daerah tempat tinggal tingkat keasamannya rendah maka gunakan pasta gigi dengan kandungan fluoride yang lebih tinggi. f. pengawasan dan pembimbingan dalam pemakaian pasta gigi pada waktu mengosok gigi agar tidak tertelan. g. apabila rasanya manis, maka pilihlah pemanis selain gula. orang tua disarankan untuk lebih teliti ketika membeli produk pasta gigi, sebelum membeli orang tua hendaknya melihat kadar fluor yang terkadung dalam pasta gigi tersebut, sesuai dengan standar yang telah ditentukan atau tidak. namun, apabila orang tua sudah terlanjur membeli pasta gigi anak yang memiliki kadar fluor diatas standar yang diperbolehkan, maka orang tua tidak perlu membuang pasta gigi tersebut. pasta gigi tersebut masih dapat digunakan, namun penggunaannya dianjurkan sedikit saja, yakni sebesar kacang polong atau lebih kecil. pada usia ini refleks menelannya tinggi dan pasta sukanto, metode pemilihan pasta gigi yang tepat untuk anak usia dini… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 31 gigi anak memiliki banyak rasa yang disukai anak, maka pemakaian pasta gigi tersebut hendaknya dalam pengawasan orang tua atau pengasuh untuk menghindari tertelannya pasta gigi. daftar pustaka 1. aisyah s. perbedaan daya ham-bat pasta gigi yang mengandung propolis dan bunga cengkeh terhadap streptococcus mutans (in vitro). 2011. medan. skripsi. fakultas kedokteran gigi usu. tidak diterbitkan. [on line] http//www.reprository.usu.ac.id .[13 desember 2011] 2. badan standarisasi nasional bsn. pasta gigi anak. sni 16-4767-1988. [online] http//www.pustan.bpkimi.kemenperin.go .id. [ 13 desember 2011] 3. badan pengawas obat dan makanan ri. no. hk. 00. 05. 23. 3644. tanggal 9 agustus 2004. tentang ketentuan pokok penga-wasan suplemen makanan. 4. badan pengawas obat dan makanan ri no. hk. 00. 05. 42. 1018 tahun 2008 tentang bahan kosmetik 5. cahyani, purwanti budi. hubu-ngan pengetahuan ibu tentang stimulasi dengan perkembangan motorik kasar anak usia 3-5 tahun di boyolali. surakarta. skripsi. fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah surakarta. 2009. tidak diterbitkan. [on line] http//www.etd.eprints.ums.ac.id [ 08 januari 2012] 6. chandriyani. 2009. nilai anak, stimulasi psikososial, dan perkem bangan kognitif anak usia 2-5 tahun pada keluarga rawan pa ngan di kabupaten banjar nega ra, jawa tengah. bogor. skripsi. departemen ilmu keluar ga dan konsumen fakultas ekologi manu sia institut pertanian bogor. tidak diterbit kan. [online] http://reposi tory.ipb.ac.id. [08 januari 2012] 7. dentamedia (2012), kadar fluor pasta gigi untuk anak di indonesia membaha yakan.pdgi on line. www.pdgi-online. com. 13-maret 2012. 8. hardaningsih (2009). manfaat dan resiko fluoride dalam pasta gigi. majalah infopom republik indonesia.issn no.1829-9334. volume 10.no.2 maret 2009. 9. roslan, anis nadhia bt; jenny sunariani dan anis irmawati. 2009. penurunan sensitivitas rasa manis akibat pemakaian pasta gigi yang mengandung sodium sauryl sulphate 5%. jurnal pdgi vol. 58, no. 2, mei 2009, hal. 10-13 | issn 0024-9548 10. tyasrini, endah; djaja rusmana& widya. perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dan pasta gigi nonherbal dalam menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus, streptococcus ßhemoliticus dan candida albicans in vitro. bandung. bagian mikrobiologi, fakultas kedokteran, universitas kristen maranatha. correspondence: nurul husna wulansari, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, e-mail: halohusna@hotmail.com 10 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis) pada proses penyembuhan luka gingiva tikus wistar (rattus norvegicus) melalui pengamatan kepadatan serabut kolagen dan ketebalan epitel test utilization of leaf binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis) gingival wound healing process wistar rats (rattus norvegicus) through observation density of the collagen fibers and the thickness of epithelium wika putri adriani1, idha ardianingtiyas2, nurul husna wulansari3, dian nur’aini safitri4, ike primalia ap5, erlina sih mahanani6 1fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian histologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta abstrak rongga mulut sebagai bagian integral tubuh, sering mengalami trauma saat melakukan fungsinya. trauma ini dapat terjadi secara disengaja maupun tidak, yang pada akhirnya akan menimbulkan luka pada mukosa mulut. perlukaan pada jaringan akan menyebabkan terjadinya reaksi radang. reaksi radang merupakan tahap awal dari serangkaian proses penyembuhan luka. daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) mengandung flavonoid, saponin, dan alkaloid yang dapat berpengaruh pada proses penyembuhan luka. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (ten) steenis) pada penyembuhan luka di gingiva melalui pengamatan kepadatan serabut kolagen dan ketebalan epitel, serta untuk membandingkan efektifitas penggunaan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis) dan povidone iodine pada penyembuhan luka di gingiva. sampel penelitian menggunakan tikus jantan galur wistar (rattus norvegicus) berusia 3 bulan sebanyak 30 ekor dibagi menjadi 3 kelompok : kelompok i (kontrol negatif), kelompok ii (povidone iodine), kelompok iii (binahong). tikus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki berat badan 150-250 gram dan telah diadaptasikan selama 1 minggu. perlakuan dibuat pada gingiva rahang bawah dengan luka gores sonde, dengan panjang ± 3mm dan kedalaman hingga tulang alveolar. luka pada kelompok ii diberi povidon iodine 1cc, sedangkan pada kelompok iii diberi tumbukan binahong 1gram, masing-masing selama 3 menit secara topikal. dekapitasi dilakukan sesuai hari perlakuan 1, 3,5 hari masing-masing 3 ekor tikus. penghitungan kepadatan serabut kolagen dilakukan pada preparat histologi trikom mallory dan ketebalan epitel dilakukan pada preparat histologi he. data kepadatan kolagen dan ketebalan epitel dianalisis dengan one way anova dilanjutkan dengan tes lsd untuk mengetahui perbandingan antar kelompok. hasil tes lsd kepadatan serabut kolagen menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antar kelompok sesuai hari perlakuan. sedangkan hasil tes lsd ketebalan epitel menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara masing-masing kelompok perlakuan dibandingkan dengan normal. namun, tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan. penelitian ini mengindikasikan bahwa pemberian tumbukan binahong secara topikal dapat meningkatkan kepadatan kolagen dan ketebalan epitel, sehingga mempercepat proses penyembuhan luka pada gingiva tikus wistar. kata kunci : kolagen, epitel, binahong nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 11 abstract the oral cavity as an integral part of the body, often experience trauma when performing its functions. trauma can occur intentionally or not, that will eventually lead to injury to the oral mucosa. tissue injury will cause an inflammatory reaction. inflammation is an early stage of a series of wound healing process. binahong leaves (anredera cordifolia (ten.) steenis) contain flavonoids, saponins, and alkaloids that can affect the wound healing process. this study aims to determine the utilization of test leaves binahong (anredera cardifolia (ten) steenis) on wound healing in the gingiva through the observation of collagen fiber density and thickness of the epithelium, as well as to compare the effectiveness of the use of leaf binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis) and povidone iodine in wound healing in the gingiva. the samples used male wistar rats (rattus norvegicus) aged 3 months to 30 tail is divided into 3 groups: group i (negative control), group ii (povidone iodine), group iii (binahong). mice used in this study has a 150-250 gram weight and has been adapted for 1 week. the treatment is made on the mandibular gingiva with scratches sonde, with the length and depth of up to ± 3mm of alveolar bone. injuries to the povidone iodine group ii were given 1cc, whereas in group iii was given 1gram binahong collision, each topically for 3 minutes. conducted in accordance dekapitasi treatment 1 day, 3.5 days each 3 rats. calculation of the density of collagen fibers performed on histological preparations tricom mallory and epithelial thickness made on histological preparations he. data density of collagen and epithelial thickness were analyzed by one way anova followed by lsd test to find out the comparison between groups. lsd test results of the density of collagen fibers showed a significant difference between groups according to day of treatment. while the thickness of the epithelium of the lsd test results indicate a significant difference between each treatment group compared to normal. however, no significant differences between treatment groups. this study indicates that administration of topical binahong collisions can increase the density of collagen and the thickness of the epithelium, thus speeding up the process of wound healing in wistar rat gingival. key words: kolagen, epitel, binahong pendahuluan penyembuhan luka adalah suatu proses dimana jaringan yang rusak dikembalikan sebisa mungkin ke keadaan yang normal, dan kontraksi luka adalah proses penyusutan area luka tersebut. hal ini terutama tergantung kepada kemampuan perbaikan dari jaringan, jenis dan luasnya kerusakan, dan keadaan kesehatan umum jaringan tersebut (nayak, 2006). reaksi radang merupakan tahap awal dari serangkaian proses penyembuhan luka. akhir dari proses radang ini mengawali tahap penyembuhan selanjutnya yaitu penyembuhan epitel, penyembuhan jaringan ikat, maturasi dan remodeling. namun demikian proses radang yang berkepanjangan juga akan menghambat proses penyembuhan. proses penyembuhan luka terutama pada tahap radang, sering kali membutuhkan bantuan obat anti radang guna membatasi reaksi ini agar tidak berkepanjangan. dewasa ini, obat tradisional yang sering disebut obat herbal semakin popular dan umumnya berasal dari tumbuhan. daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)merupakan salah satu tanaman dari familia basellaceae yang memiliki kandungan seperti flavonoid, saponin, dan alkaliod yang dapat bermanfaat pada proses penyembuhan luka. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (ten) steenis) pada penyembuhan luka di gingiva melalui pengamatan kepadatan jaringan kolagen dan ketebalan epitel, serta untuk membandingkan efektifitas penggunaan daun nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… 12 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis) dan povidone iodine pada penyembuhan luka di gingiva. metode penelitian pembuatan tumbukan daun binahong dilakukan dengan cara menumbuk 5 lembar daun binahong segar dengan menggunakan mortil sampai didapatkan tumbukan halus dan berlendir. tumbukan halus ditimbang dengan berat 1gram. penumbukan dilakukan sesaat sebelum melakukan topikal aplikasi pada luka. tiga puluh ekor tikus galur wistar (rattus norvegicus) berusia 3 bulan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok i (kontrol negatif), kelompok ii (povidone iodine), kelompok iii (binahong). tikus yang digunakan dalam penelitian ini sehat dan belum pernah mendapat perlakuan, memiliki berat badan 150-250gram dan telah diadaptasikan selama 1 minggu. perlakuan dibuat pada gingiva rahang bawah dengan luka gores sonde, dengan panjang ± 3mm dan kedalaman hingga mencapai permukaan tulang alveolar. luka pada kelompok ii diberi povidon iodine 1cc, sedangkan pada kelompok iii diberi tumbukan binahong 1gram, masing-masing selama 3 menit secara topikal. aplikasi pada kedua kelompok tersebut dilakukan setiap pagi dan sore dengan selisih waktu 8 jam selama 1, 3, 5 hari. setelah perlakuan selesai, diambil 3 ekor tikus dari masing-masing kelompok sesuai hari perlakuan untuk didekapitasi dengan cara memotong leher tikus. jaringan luka beserta sedikit jaringan disekitarnya diambil dan dimasukkan dalam tabung tertutup yang berisi larutan buffer formalin 10% maksimum selama 24 jam. setelah fiksasi, dialkukan dekalsifikasi selama 2 hari. dilanjutkan prosedur pengecatan he dan trikrom mallory, yang kemudian dilanjutkan dengan clearing xylol untuk memberikan warna bening pada jaringan dan dilakukan prosedur mounting agar preparat awet dan menambah kejernihan. preparat kemudian ditutup deck glass dan diberi label. pengukuran kepadatan kolagen dan ketebalan epitel daerah luka pada sediaan mikroskopik dilakukan menggunakan optilab. pengukuran kepadatan kolagen berdasarkan skor yang dilakukan dengan mikroskop fase kontras dengan perbesaran 10x pada 1 lapang pandang (gambar 1). sedangkan pengukuran ketebalan epitel daerah luka pada sediaan mikroskopik dilakukan menggunakan optilab imageraster dengan perbesaran 10x pada 1 lapang pandang (gambar 2). parameter skoring histopatologi untuk kepadatan serabut kolagen (berdasarkan perhitungan 1 lapang pandang, pada objek perbesaran 10x) 0 = tidak ditemukan adanya serabut kolagen pada daerah luka 1 = serabut kolagen pada daerah luka rendah 2 = serabut kolagen pada daerah luka sedang 3 = serabut kolagen pada daerah luka padat 4 = serabut kolagen pada daerah luka sangat padat gambar 1.a (skor 0) gambar 1.b (skor 1) nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 13 gambar 1.c (skor 2) gambar 1.d (skor 3) gambar 1.e (skor 4) gambar 2. cara pengukuran ketebalan lapisan epitel (μm) gingiva. pengukuran dilakukan dari lapisan basal hingga keratin secara tegak lurus. analisis data kepadatan serabut kolagen dan ketebalan epitel menggunakan one way anova dilanjutkan dengan tes lsd antar kelompok sesuai hari perlakuan. nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… 14 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 hasil hasil penelitian ini diuji menggunakan one way anova dilanjutkan dengan tes lsd (least significant difference test) antar kelompok sesuai hari perlakuan. hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok pada semua uji perlakuan. tabel 1. hasil tes one way anova kepadatan serabut kolagen pada kelompok kontrol negative, povidone iodine, binahong dan normal sum of squares df mean square f sig between groups 62.085 3 20.695 30.261 .000 within groups 58.815 86 .684 total 120.9 89 hasil tes anova menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna pada kepadatan serabut kolagen. untuk menunjukkan perbedaan antar masing-masing kelompok, dilanjutkan dengan tes lsd yang dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. hasil tes lsd pada kelompok kontrol, povidone iodine, dan binahong multiple comparisons dependent variable : kepadatan serabut kolagen lsd (i)perlakuan (j)perlakuan mean difference (i-j) std.error sig kontrol negative povidone iodine -.2963 .22507 .192 binahong -.81481* .22507 .000 normal -2.92593* .3183 .000 povidone iodine kontrol negative .2963 .22507 .192 binahong -.51852* .22507 .024 normal -2.62963* .3183 .000 binahong kontrol negative .81481* .22507 .000 povidone iodine .51852* .22507 .024 normal -2.11111* .3183 .000 normal kontrol negative 2.92593* .3183 .000 povidone iodine 2.62963* .3183 .000 binahong 2.11111* .3183 .000 analisis data dengan tes lsd kepadatan serabut kolagen pada kelompok kontrol negative, povidone iodine, binahong dan normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara binahong, kontrol negative, povidone iodine dan normal. namun tidak ada perbedaan yang bermakna antara povidone iodine dengan kontrol negative. nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 15 tabel 3. hasil tes one way anova kepadatan serabut kolagen pada kelompok kontrol negative, povidone iodine dan binahong anova ketebalan epitel sum of squares df mean square f sig between groups 8486.256 3 2828.752 55.648 .000 within groups 4371.635 86 50.833 total 12857.891 89 hasil tes anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan ketebalan serabut kolagen. untuk menunjukkan perbedaan antar masing-masing kelompok, dilanjutkan dengan test lsd yang dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. hasil tes lsd pada kelompok kontrol, povidone iodine, dan binahong multiple comparisons dependent variable : kepadatan serabut kolagen lsd (i)perlakuan (j)perlakuan mean difference (i-j) std.error sig kontrol negative povidone iodine -1.68778 1.94047 .387 binahong -3.76074 1.94047 .560 normal -33.81667* 2.74423 .000 povidone iodine kontrol negative 1.68778 1.94047 .387 binahong -2.07296 1.94047 .288 normal -32.12889* 2.74423 .000 binahong kontrol negative 3.76074 1.94047 .560 povidone iodine 2.07296 1.94047 .288 normal -30.05593* 2.74423 .000 normal kontrol negative 33.81667* 2.74423 .000 povidone iodine 32.12889* 2.74423 .000 binahong 30.05593* 2.74423 .000 analisis data dengan tes lsd ketebalan epitel pada kelompok kontrol negative, povidone iodine, binahong dan normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara masing-masing kelompok perlakuan dibandingkan dengan normal. namun, tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan. diskusi hasil pengamatan secara umum menunjukkan nilai rerata kepadatan serabut kolagen dan ketebalan epitel lebih tinggi pada kelompok binahong. penyembuhan luka lebih cepat pada kelompok binahong kemungkinan disebabkan adanya kandungan flavonoid, saponin, dan alkaloid. flavonoid dan saponin yang terdapat pada daun binahong mampu berefek sebagai anti radang. flavonoid seperti kaemferol, quercetin, isoquercetin, dan rutin memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan basofil sehingga menjaga stabilitas membran sel,sekaligus mampu menghancurkan radikal bebas oksigen dan melindungi molekul-molekul dalam gugus amin, nurul husna wulansari, uji pemanfaatan daun binahong (anredera cardifolia (tenore) steenis)… 16 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 asam amino, dan nukleotida dari oksidasi untuk melepaskan mediator radang (rachmawati,nur dkk). saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kuman (anonim,2008b). sedangkan alkaloid merupakan senyawa basa nitrogen asal tumbuhan yang bersifat fisiologi aktif. alkaloid berfungsi sebagai anti demam (anti piretikum), anti cacing (anthelmintikum), obat atau zat pemulih (analeptiltum), anti parasit (anti plasmodium), anti radang (anti inflamasi) (hidayat, 2008) povidone iodine merupakan salah satu antiseptik golongan iodophore yang dapat membunuh bakteri gram positif dan gram negatif (termasuk resisten antibiotik), jamur/ragi, virus dan protozoa. analisis data dengan tes lsd kepadatan serabut kolagen pada kelompok kontrol negative, povidone iodine, binahong dan normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara binahong, kontrol negative, povidone iodine dan normal. namun tidak ada perbedaan yang bermakna antara povidone iodine dengan kontrol negative. hal ini dapat terjadi karena pada povidone iodine hanya memiliki kandungan antiseptik dan tidak memiliki kandungan anti radang. sedangkan pada hasil analisis data dengan tes lsd ketebalan epitel menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok povidone iodine, binahong dan kontrol negative terhadap normal. dan jika dilihat dari nilai rerata setiap kelompok perlakuan menunjukkan bahwa nilai rerata binahong untuk ketebalan epitel lebih tinggi dibandingkan dengan povidone iodine dan kontrol negatif. hal ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan epitel pada kelompok binahong lebih cepat. kesimpulan pemberian tumbukan daun binahong secara topikal efektif dalam proses penyembuhan luka gingiva. daun binahong juga terbukti lebih efektif dalam mempercepat penyembuhan luka dibandingkan dengan povidone iodine. daftar pustaka 1. ebadi m. pharmacodynamic basis of herbal medicine, usa, florida: crg press, 2002. 2. dorland. kamus kedokteran dorland. jakarta: egc, 2000. 3. iffah, riikhlatul. pengaruh perubahan konsentrasi ekstrak daun sirih merah (piper crocatum) terhadap radang mukosa mulut (kajian in vivo pada rattus norvegicus), yogyakarta: laporan skripsi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, 2009. 4. feri manoi, balittro. binahong (anredera cordifolia) sebagai obat. bogor: pusat penelitian dan pengembangan perkebunan, 2009. 5. atiningtyas haris, rif. efrktivitas penggunaan iodin 10%, iodin 70 %, iodin 80%, dan nacl dalam percepatan proses penyembuhan luka pada punggung tikus jantan sprague dawley, surakarta: laporan skripsi universitas muhammadiyah surakarta, 2009 6. arifin, helmi dkk. pengaruh pemberian akut ekstrak etanol daun capo (blumea bulsamifera (l) dc) terhadap gambaran morfologi dan histologi hati mencit putih jantan, sumatera utara: laporan skripsi fakultas mipa universitas andalas, 2007. 87 karsinoma sel skuamosa sebagai salah satu kanker rongga mulut dan permasalahannya the problems of squamous cell carcinoma as one of oral cancer ana medawati1 1departemen biomedis kedokteran gigi, program studi pendidikan dokter gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: anamedawati@yahoo.com.sg abstrak jenis kanker di jaringan lunak rongga mulut yang memiliki angka kejadian terbanyak adalah jenis karsinoma sel skuamosa. karsinoma sel skuomosa bisa terjadi di berbagai tempat, seperti di bibir, dasar mulut, lidah, maupun bagian lainnya di rongga mulut. penyakit kanker ini jika tidak ditangani secara serius dapat mengakibatkan kematian penderitanya, sehingga diperlukan tindakan nyata untuk menanggulangi penyakit ini. gambaran kanker ini sangat bervariasi, untuk itu perlu dipastikan penegakan diagnosis dan terapi yang tepat untuk keberhasilan penyembuhannya. kata kunci : karsinoma sel skuomosa, sel kanker, jaringan lunak abstract the most common type of cancer in oral soft tissue is squamous cell carcinoma. it could be occured in various place in oral soft tissue, such as lips, floor of the mouth, tongue and other parts. in the end of stage this squamous cell carcinoma could lead to mortality, so it is necessary to handled seriously early. the microscope view of squamous cell carcinoma vary widely. it is important to determine the diagnosis properly and giving appropiate therapy for healing. key word : squamous cell, cancer cell, oral sof tissue pendahuluan kanker merupakan penyakit seluler yang ditandai dengan ciri adanya sifat pertumbuhan yang tidak terkendali diikuti proses invasi ke jaringan dan penyebaran atau metastasis ke bagian organ tubuh yang lain.1 hampir semua kasus kanker disebabkan oleh mutasi atau aktivasi abnormal gen selular yang mengendalikan pertumbuhan sel dan mitosis sel. gen abnormal disebut onkogen. di dalam semua sel ditemukan antionkogen yang menekan aktivasi dari onkogen tertentu. inaktivasi dari antionkogen dapat memungkinkan aktivasi dari onkogen dan mengarah kepada kanker. hanya sejumlah kecil dari sel yang bermutasi mengarah pada kanker. namun kemungkinan mutasi dapat berkali-kali lipat bila seseorang terpapar dengan radiasi ionisasi (sinar-x, sinar gamma, bahan radioaktif, sinar ultraviolet), bahan kimia seperti pewarna aniline dan asap rokok, bahan iritan fisik, herediter, dan virus.2 daerah rongga mulut merupakan satu dari sepuluh lokasi tubuh yang paling sering terserang kanker. kanker mulut menempati peringkat ketiga sesudah kanker lambung dan leher rahim. ada beberapa jenis kanker rongga mulut, namun jenis yang paling tinggi (90%) merupakan karsinoma sel skuamosa.3 berdasarkan uraian di atas, untuk memecahkan masalah karsinoma sel skuamosa perlu diketahui diagnosis dan terapi yang tepat dalam penyembuhannya. siklus sel kanker siklus sel terdiri atas dua tahap, yaitu fase interfase dan mitosis. tahap interfase terdiri atas fase g1 (prasintesis), fase s (sintesis dna) dan fase g2 (pasca duplikasi 88 ana medawati karsinoma sel skuamosa sebagai salah satu kanker rongga mulut dan permasalahannya dna). tahap mitosis terdiri atas empat fase, yaitu profase, metafase, anafase dan telofase.4 siklus sel dibagi menjadi 4 fase yang berlangsung selama 20-24 jam, yaitu fase g1 (gap 1), fase s (sintesis), fase g2 (gap 2) dan fase mitosis. pada fase g1 terjadi sintesis rna yang kemudian diikuti oleh sintesisi protein sehingga sitoplasma akan bertambah banyak dan sel akan tumbuh selama 9 jam. fase kedua adalah fase s, merupakan proses sintesis dna dan terjadi pembentukan molekul histon yang pada umumnya berlangsung selama 10 jam. fase g2 merupakan fase akhir dalam pertumbuhan sel, dalam fase ini masih terjadi sintesis rna dan kemudian akan disusul oleh fase mitosis.5 . fase terakhir dalam proses proliferasi adalah fase m (mitosis) yang merupakan fase tersingkat karena hanya berlangsung selama 30-60 menit.6 karsinoma sel skuomosa karsinoma sel skuamosa dapat terjadi pada bibir bawah, dasar mulut, bagian ventral dan lateral lidah, area retromolar, tonsil dan lateral palatum lunak.7 besarnya karsinoma sel skuamosa yang terjadi berbeda-beda, yaitu sekitar 30%-40% terjadi pada bibir bawah, pada lidah sekitar 25%, sedangkan pada dasar mulut sekitar 20%.8 karsinoma yang terjadi pada lidah sekitar 75% pada bagian lidah yang mobil terutama di pinggirpinggir lidah dan 25% terjadi di basis lidah.9 sebagian besar dari karsinoma sel skuamosa merupakan karsinoma sel skuamosa yang berdiferensiasi sedang maupun karsinoma yang tanpa diferensiasi.10 metastasis limfogen dapat terjadi pada lebih dari setengah jumlah kasus karsinoma lidah. metastasis kontralateral dan bilateral dimungkinkan melalui pembuluh limfe yang menyeberangi garis median.9 lokasi terjadinya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut dibagi berdasarkan letak anatomisnya. bagian lateral, ventral lidah dan perbatasan dengan dasar mulut adalah tempat yang paling mudah terkena kanker.8 diagnosis keluhan yang membawa penderita karsinoma lidah ke dokter adalah adanya pembengkakan atau ulkus yang teraba, rasa nyeri pada lidah, warna putih atau merah pada lidah, rasa nyeri menyebar ke leher atau telinga, terdapat pembengkakan di leher dan meraskan kesukaran atau rasa nyeri pada waktu menelan9. secara klinis kanker lidah dapat termanifestasi dalam berbagai cara. seringkali merupakan kanker eksofitik dan biasanya berhubungan dengan ulserasi yang dalam dengan tepi yang menonjol. bercak leukoplakia dapat terlihat berdekatan. beberapa kanker lidah tidak menimbulkan gejala dan ditandai dengan komponen eritoplakia. 11 gambaran klinis karsinoma sel skuamosa meliputi eksofitik, endofitik, leukoplakia (bercak putih), eritroplakia (bercak merah), eritroleukoplakia (kombinasi bercak merah dan putih). pertumbuhan eksofitik (lesi superfisial) dapat berbentuk bunga kol atau papiler, dan mudah berdarah. untuk pertumbuhan endofitik biasanya terdapat batas tegas antara lesi dan jaringan normal, invasinya dapat merusak tulang yang dapat menyebabkan nyeri dan penampakan pada radiografnya adalah radiolucency yang hampir sama dengan penyakit osteomyelitis.12 penampakan klinis berupa ulser dengan diameter kurang dari 2 cm, kebanyakan berwarna merah dengan atau tanpa disertai komponen putih, licin, halus dan memperlihatkan elevasi yang minimal. karakteristik dari lesi karsinoma yang berlubang dengan dasar merah dan ditutupi oleh krusta karena hiposalivasi.7 penampakan klinis karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang paling sering terlihat adalah leukoplakia dan eritroplakia. karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang telah berinfiltrasi sampai ke jaringan ikat hanya menyebabkan sedikit perubahan pada permukaan tetapi timbul sebagai daerah yang berbatas tegas dengan hilangnya mobilitas jaringan.8 ada tiga teknik untuk 89 mendiagnosis karsinoma sel skuamosa pada pasien yaitu: biopsi, apusan cairan sel, dan pewarnaan toluidin biru. biopsi merupakan penegakan diagnosis yang paling efektif. meskipun pada apusan cairan sel memakai banyak sel yang didiagnosa peluang kesalahan ada sekitar 15%. beberapa ahli menganjurkan penggunaan toluidin biru untuk mendiagnosis karsinoma sel skuamosa. namun, teknik ini juga memiliki kemungkinan adanya kesalahan diagnosis.13 karsinoma sel skuamousa berasal dari displasi epitel dan secara histologi tampak sebagai pulau-pulau yang invasif . invasi sel ditandai dengan perluasan yang tidak beraturan dari lesi epitelium menuju membran basal, sampai jaringan ikat subepitelial. serbuan sel kemungkinan dapat meluas sampai ke lapisan bawah jaringan adiposa, otot, atau tulang yang dapat merusak jaringan asli selama perkembangannya. jejas sel dapat mengelilingi dan merusak pembuluh darah serta dapat menyerang lumen vena atau nodus limfatikus. pembengkakan berat atau respon imun sel sering terjadi pada epitelium yang diserang, dan terjadi nekrosis. jejas epitelium dapat menginduksi pembentukan pembuluh darah baru yang disebut angiogenesis.12 invasi karsinoma sel skuamosa karsinoma sel skuamosa menyebar melalui saluran limfa.12 perkembangannya mampu menembus kapsul jaringan ikat limfonodi.8 perkembangannya juga mengakibatkan limfonodi terasa terikat dan sulit untuk digerakkan.12 hal ini dapat dideteksi secara klinis dengan palpasi digital dengan karakteristik sukar digerakkan dan membesar.11 perluasan invasi dapat bersifat kontralateral dan bilateral. karsinoma sel skuamosa yang terdapat pada bibir bawah dan dasar mulut akan menginvasi nodus submental, sedangkan untuk karsinoma yang berada didaerah posterior mulut akan menginvasi nodus jugular superior. karsinoma juga mampu menginvasi organ tubuh seperti tulang.12 organ lainnya yang dapat terinvasi karsinoma adalah jantung dan hati.8 proliferasi karsinoma sel skuamosa inisiasi dan promosi mempunyai peranan penting dalam perkembangan kanker. promotor pada umumnya menimbulkan kerusakan jaringan dan mempercepat proses karsinogenesis. pada perkembangan karsinoma sel skuamosa terjadi melalui beberapa tahap yaitu metaplasi, displasi dan karsinoma in situ. metaplasi adalah arah diferensiasi epitel berubah. pada rangasangan yang terus menerus epitel metaplastik menunjukan aktivitas proliferasi ysng meningkat dan diferensiasi yang menurun. inti sel menjadi lebih besar dan kromatin tampak berubah tekstur. berdasarkan perubahan morfologiknya dispalsia dibedakan menjadi tingkatan ringan, sedang dan berat.9 terapi karsinoma sel skuamosa saat ini perawatan kanker rongga mulut masih menggunakan cara yang konvensial, seperti keoterapi, radioterapi, imunoterapi, pembedahan dan terapi kombinasi. perawatan secara konvensional belum menunjukkan peningkatan lamanya hidup penderita secara signifikan, oleh sebab itu diperlukan strategi terapi baru untuk menghambat pertumbuhan sel kanker secara efektif dan efisien tanpa efek samping yang besar.14 terapi karsinoma sel skuamosa dapat melibatkan satu atau beberapa terapi sekaligus, terdiri dari : pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. lokasi dan luas dari lesi berpengaruh dalam pemilihan terapi yang tepat. terapi yang paling sering digunakan adalah terapi menggunakan radioterapi. 13 kanker rongga mulut pada lidah mempunyai invasi lokal dan metastasis regional yang tinggi ke limfonodi servikal, dan sering menyebabkan rekurensi lokal 90 ana medawati karsinoma sel skuamosa sebagai salah satu kanker rongga mulut dan permasalahannya setelah pembedahan radikal akibat terjadinya invasi dan metastasis mikro sel kanker dari lokasi primer.15 kesimpulan berdasarkan pembahasan mengenai karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, maka perlu dilakukan penentuan dan penegakan diagnosis yang benar dan tepat sehingga mendapatkan terapi yang tepat yang mampu menghambat sekaligus mampu membunuh pertumbuhan sel kanker. daftar pustaka 1. king, roger. cancer biology. london: pearson.p.1. 2001 2. guyton, arthur c., hall, john e. buku ajar fisiologi kedokteran. ed. 9. jakarta : egc. 1997. h. 49-50. 3. sudiono, janti. pemeriksaan patologi untuk diagnosis neoplasma mulut. jakarta: egc.2008.h.1-17 4. junqueira, l carlos., carneiro, jose., kelley,robert o. histologi dasar. ed.9 jakarta: egc 1997. h.59-60 5. lodish, h., berk, a., matsudaira, p., kaiser, c. a., krieger, m., scott, m. p. molecular cell biology (5th ed). new york: w. h. freeman and company, 2204.pp. 854 6. fuller, g.m., & shields, d., molecular basis of medical cell biology, 1st ed, appleton & lange, cohnecticut, 1998. h. 106-23. 7. wood, normank., & goaz, paul w. differential diagnosis of oral and maxillofacial lession. usa: mosby,.1997.p.588 8. sapp, philips., eversole, lewis r., wysocki., george. contemporary oral and maxillofacial pathology. 2nd ed. mosby. 2004. h.183-200. 9. velde, van de c. j. h., bosman, f.t., wagener, d. j. onkologi. ed. 5. yogyakarta : gadjah mada university press. 1999 10. tambunan, gani w., diagnosis dan tata laksana sepuluh jenis kanker terbanyak di indonesia. jakarta: egc.1991.h.185-198 11. pindborg, jens. kanker dan prakanker rongga mulut. jakarta. egc : 1991. h.77-83 12. neville, b. w., damm, d. d., allen, c. m., & bouquot, j, e. 2002. oral and maxillofacial pathology (2nd ed). philadelphia, pennsylvania: w. b. saunders company, pp. 356-358 13. sonis, s. t., fazio, r. c., & fang, l. 1995. principle and practice of oral medicine (2nd ed). philadelphia, pennsylvania : w. b. saunders company, pp. 403 14. supriatno, (2007). oligonukleotid sphase kinase associated protein-2 (skp2) antisense menginduksi hambatan proliferasi dan peningkatan aktivitas apoptosis pada sel kanker leher dan kepala. maj.ked gigi. bag.oral medicine. fakultas kedokteran gigi. ugm. 15. supriatno, & yuletnawati, s. (2006). aktivitas antikanker cepharantine pada kanker lidah manusia in vitro (tinjauan proliferasi, invasi dan metastasis sel). maj. ked. gi, 13(2): 141-145. 73 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 perbedaan efektivitas penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dengan ayam kampung terhadap durasi perdarahan (in vivo) effectiviteness of hen eggshell’s powder and freerange eggshell’s powder influent the duration of bleeding (in vivo) muhammad aminullah majedi, erlina sih mahanani, dyah triswari school of dentistry, medical and health faculty, muhammadiyah university of yogyakarta abstrak latar belakang : kandungan terbesar pada cangkang telur ayam ras dan adalah kalsium. kalsium sangat berperan dalam proses hemostasis. cangkang telur yang selama ini hanya sebagai bahan yang dibuang akan dimanfaatkan untuk mengurangi limbah. tujuan : penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antara pemberian bubuk cangkang telur ayam ras dengan ayam kampung terhadap durasi perdarahan pada ekor tikus rattus norvegicus. metode : rattus norvegicus jantan umur 3 bulan, berat 150-200 gr diberikan perlukaan pada ekornya sepanjang 1cm, kedalaman 0,1 cm dengan blade dan diberikan penambahan bubuk cangkang telur ayam ras atau kampung pada daerah bekas sayatan, kemudian dihitung durasi perdarahannya. hasil : rata-rata durasi perdarahan pada kelmpok penambahan bubuk cangkang telur ayam ras yaitu 5,471 menit, ayam kampung 8,096 menit sedangkan adalah tanpa perlakuan 12,234 menit. uji analitik dengan menggunakan one way anova α=0,05 diperoleh p=0,000 yang berarti ada pengaruh penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dan ayam kampung terhadap durasi perdarahan pada ekor tikus rattus norvegicus. kesimpulan : kesimpulan penelitian ini adalah bubuk cangkang telur ayam ras dan ayam kampung berpengaruh terhadap durasi perdarahan dan bubuk cangkang telur ayam ras yang paling cepat menghentikan perdarahan. kata kunci : cangkang telur, ayam ras, ayam kampung, kalsium, durasi perdarahan. abstract background: one of the most substances in hen’s eggshell and free-range hen’s eggshell is calcium. calcium is very important homeostasis mechanism. eggshell can be used to decrease the bleeding duration and reduce the waste. objective: the study aims to determine the effectiveness of hen eggshell’s powder and free-range eggshell’s powder to decrease the duration of bleeding in rats rattus norvegicus. method : the subject in research is male rattus norvegicus was down by making cut one centimeter long incision and depth is 0,1 centimeter using by scalpel and blade and was given hen eggshell’s powder and free-range eggshell’s powder on the duration of bleeding. result : the result shown the average duration bleeding time are group of adding hen eggshell’s powder is 5,471 minutes, free-range eggshell’s powder is 8,096 minutes and negative control is 12,234 minutes. the data was analized using one way anova α=0,05 showed p<0,05 is mean adding hen and free-range eggshell’s powder can accelerate bleeding duration. conclusion :hen eggshell’s powder is more effective then free-range eggshell’s powderin decreasing bleeding duration. key words :eggshell, hen’s eggshell, free-range’s eggshell, calcium, bleeding duration, 74 erlina sih mahanani | perbedaan efektivitas penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dengan ayam kampung... pendahuluan perdarahan sering kita temukan pada praktek kedokteran gigi 1, perdarahan terjadi karena tekanan dalam pembuluh darah lebih tinggi daripada diluar pembuluh darah2, pembuluh darah disusun oleh sel endotel dan apabila sel endotel ini rusak maka jaringan ikat di bawah endotel seperti kolagen, serat elastin dan membran basalais akan terbuka sehingga terjadi aktivitas trombosit3. salah satu faktor penyebab utama perdarahan pada pencabutan gigi adalah karena faktor trauma terhadap jaringan yang diakibatkan oleh alatalat dan obat antikoagulan4. proses tubuh untuk mengatasi kehilangan darah disebut dengan hemostasis3, darah berfungsi untuk peredaran oksigen, menyalurkan nutrisi ke seluruh bagian tubuh dan untuk sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi5. sistem hemostasis mencerminkan keseimbangan antara mekanisme prokoagulan dan anti koagulan.kelima komponen utama yang terlibat adalah trombosit, faktor koagulan, inhibitor koagulasi, fibronolisis dan pembuluh darah6.salah satu unsur bagian dari proses hemostasis adalah kalsium, kalsium adalah penyusun mineral tubuh, kalsium berfungsi dalam proses pembentukan tulang, pembekuan darah, untuk kontraksi dan relaksasi otot, mengaktifkan enzim-enzim tertentu antara lain lipase, atpase, dan mempengaruhi permeabilitas membrane sel-sel. kadar kalsium dalam darah sekitar 10mg/100ml7.pada anak-anak penyerepan kalsium lebih baik daripada orang dewasa dan itu lebih diutamakan untuk pembentukan tulang dan gigi.makanan dan minuman yang mengandung kalsium adalah susu, kacang kedelai, sayuran berwarna hijau kuning telur dan lain-lain8. cangkang telur merupakan lapisan luar dari telur yang berfungsi untuk melindungi semua bagian telur dari luka atau kerusakan, mineral yang terkandung didalamnya sebagian besar yaitu kalsium dan sebagian kecil terdapat seperti magnesium(mg), fosfor(p), zat besi (fe) dan sulfur(s)9. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari bubuk cangkang telur dan mengetahui antara bubuk cangkang telur ayam rasatau bubuk cangkang telur ayam kampung yang lebih cepat mampu menghentikan perdarahan pada ekor tikus rattus norvegicus. metode desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris in vivo.penelitian ini dilakukan pada tikus rattus norvegicus sebagai subyek penelitian.tikus rattus norvegicus yang dijadikan subyek penelitian yang berjenis kelamin jantan, berat sekitar 150-200 gram, berumur tiga sampai empat bulan, dalam kondisi sehat dan tidak pernah menjadi subyek penelitian. penelitian ini dilakukan di laboratorium biomedik fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta pada bulan juli 2012. kelompok pelakuan pada penelitian ini ada tiga yaitu, kelompok yang tidak diberikan perlakuan, kelompok yang diberi penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dan kelompok yang diberi penambahan bubuk cangkang telur ayam kampung. tikus rattus norvegicus yang dijadikan sample pada penelitian ini berjumlah 30 ekor dan masing-masing kelompoknya berjumlah sepuluh ekor. tikus rattus norvegicus dipelihara dalam kandang yang bersih dan nyaman, diberi pakan dan dijaga kesehatannya sebagai syarat sebuah etik pada hewan penelitian. cangkang telur ayam ras dan ayam kampung dibersihkan dan dijemur sampai kering di bawah sinar matahari langsung dan setelah itu dijadikan serbuk dengan menggunakan blender, setelah itu disaring agar berat dan bentuk serbuk sama besar dan masing-masing serbuk disimpan pada tempat kedap udara. tikus rattus norvegicus dijemur selama lima menit, ini bertujuan agar volume darah yang terjadi mengalami kenaikan dan di75 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 peroleh waktu perdarahan yang maksimal. ekor tikus rattus norvegicus diberikan kapas alkohol untuk mengurangi rasa sakit saat diberikan perlukaan dan sebagai kode etik sebuah penelitian, setelah itu ekor tikus diberi perlukaan pada sepertiga pangkal ekornya dengan panjang satu centimeter dan kedalaman 0,1 centimeter, dan segera berikan perlakuan bubuk cangkang telur ayam rasa tau bubuk cangkang telur ayam kampung atau tidak diberikan apapun, catat waktu dengan menggunakan stopwatch dari darah pertama menetes sampai darah tidak terserap pada kertas saring. data yang dihasilkan kemudian dianalisa dengan menggunakan uji one way anova dan uji tukay. hasil gambar 1 : data rata-rata setiap kelompok berdasarkan gambar satu, didapatkan durasi rata-rata pada kelompok tanpa perlakuan sebesar 12,234 menit, pada kelompok subyek yang diberikan perlakuan bubuk cangkang telur ayam ras sebesar 5,471 menit dan kelompok subjek yang diberikan perlakuan penambahan bubuk cangkang telur ayam kampung sebesar 8,096 menit. data tersebut diuji normalitas dan homogenitas dengan metode kolmogorovsmirnov dan bartlet test dan selanjutnya dilakukan uji one way anova, akan tetapi data harus normal dan homogen sebelum diuji one way anova. 0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 kelompok tanpa perlakuan bubuk cangkang telur ayam ras bubuk cangkang telur ayam kampung 76 erlina sih mahanani | perbedaan efektivitas penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dengan ayam kampung... hasil uji kolmogorov-smirnov dengan lillefors significance sebesar 0,061 untuk durasi kelompok tanpa perlakuan, 0,198 untuk durasi perdarahan kelompok penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dan 0,2 untuk durasi perdarahan pada kelompok penambahan bubuk cangkang telur ayam kampung, ini berarti semua nilai sig pada masing-masing kelompok > 0,05, yang berarti semua distribusi data normal. hasil uji bartlet test untuk menguji normality data, didapatkan hasil dengan nilai sig (p-value) sebesar 0,369. nilai sig tersebut > 0,05 yang berarti varian ketiga kelompok itu sama atau homogen dan uji one way anova dapat dilakukan. tabel 1 : uji one way anova sum of square dƒ mean square f sig between groups 232,506 2 116,253 38,774 ,000 within groups 80,951 27 2,998 total 313,457 29 dari hasil uji one way anova didapatkan nilai p(p-value) sebesar 0,000, nilai ini berarti < 0,05, sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna pada penelitian ini setelah diberikan variabel pengaruh. setelah uji one way anova, selanjutnya dilakukan uji tukay untuk mengetahui perbedaan pada masing-masing kelompok dan mengetahui keefektivitasan terhadap durasi perdarahan. tabel 2 : uji tukay kelompok perlakuan kelompok perlakuan mean difference std error sig tanpa perlakuan ayam ras 6,76300* ,77436 ,000 ayam kampung 4,13800* ,77436 ,000 ayam ras tanpa perlakuam -6,76300* ,77436 ,000 ayam kampung -2,62500* ,77436 ,006 ayam kampung tanpa perlakuan -4,13800* ,77436 ,000 ayam ras 2,62500* ,77436 ,000 hasil uji tukay beda durasi antara kelompok tanpa perlakuan dengan kelompok penambahan bubuk cangkang telur ayam ras diperoleh p-value sebesar 0,000 < α (0,05), yang mempunyai arti ada perbedaan yang nyata antara durasi perdarahan pada kelompok tanpa perlakuan dengan durasi perdarahan kelompok yang diberi bubuk cangkang telur ayam ras. hasil uji tukay beda durasi antara kelompok yang diberi bubuk cangkang telur ayam kampung dengan durasi perdarahan pada kelompok tana perlakuan diperoleh p-value sebesar 0,000 < α (0,05), yang mempunyai arti ada perbedaan yang nyata durasi perdarahan antara kelompok yang diberi bubuk cangkang telur ayam kampung dengan kelompok tanpa perlakuan. hasil uji tukay beda durasi perdara77 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 han antara kelompok penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dengan kelompok yang diberi bubuk cngkang telur ayam kampung diperoleh p-value sebesar 0,006 < α (0,05), yang mempunyai arti ada perbedaan yang nyata durasi perdarahan antara kelompok yang diberi bubuk cangkang telur ayam ras dengan kelompok yang diberi bubuk cangkang telur ayam kampung. diskusi hasil penelitian menunjukkan bahwa bubuk cangkang telur ayam ras dapat mempercepat durasi perdarahan daripada bubuk cangkang telur ayam kampung.hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh wardhana (2011)10 yang menujukkan bahwa penambahan cangkang telur ayam ras dapat mempercepat waktu pembekuandarah dengan cara dilihat secara mikroskopik. berdasarkan uji kandungan kalsium yang berada pada cangkang telur ayam ras dan ayam kampung yang dilakukan oleh peneliti pada laboratorium penelitian dan pengujian terpadu (lppt) universitas gadjah mada yogyakarta pada tanggal 13 april 2012 dengan metode aas-nyala didapatkan persentase kandungan kalsium pada cangkang telur ayam ras sebesar 73,98% dan kandungan kalsium pada cangkang telur ayam kampung adalah 47,73 %. hasil uji menunjukkan bahwa sepertiga lebih kandungan yang berada pada cangkang telur ayam ras dan ayam kampung adalah kalsium. kalsium adalah salah satu aktivator dalam pembekuan darah.kalsium mengubah protrombin menjadi thrombin melalui jalur ekstrinsik atau jalur instrinsik. apabila tidak ada ion kalsium, pembekuan darah akan terganggu atau bahkan tidak berjalan6. kalsium melalui jalur ekstrinsik dan instrinsik dalam proses pembekuan darah3. kalsium berfungsi dalam proses pembentukan tulang dan gigi, berperan dalam pembekuan darah, atp-ase, dan mempengaruhi permeabilitas membrane selsel. kadar kalsium dalam darah sekitar 10mg/100ml, nilai kadar ini harus tetap dipertahankan agar organ tubuh berfungsi dengan baik, hormon paratiroid mengatur kestabilan kadar kalsium dengan bantuan osteoblast untuk pembentukan tulang dan gigi dan dengan osteoklas berperan dalam proses perombakan kalsium pada tulang dan gigi dan kalsium akan dilepaskan untuk dimasukkan kedalam darah7. menurut penelitian ika dyah kuriniati (2007)11, makanan dan minuman yang mengandung kalsium seperti susu kedelai dapat mempercepat durasi pembekuan darah dibandingkan subyek yang diberi susu tanpa kalsium. kalsium pada susu kedelai yang diduga dapat mempercepat pembekuan darah tersebut melalui perannya dalam faktor keempat dalam pembekuan darah. pemberian suplementasi kalsium dan vitamin d dapat memberikan perbedaan dalam jumlah sel osteosit dan berat tulang alveolar.kalsium selain berfungsi dalam pembentukan protrombin menjadi trombin juga sebagai unsur pembentukan tulang dan gigi dan berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi otot12. konsumsi kalsium pada tahu dan tempe setiap hari dapat mengurangi angka kejadian osteoporosis atau penyakit yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada wanita post menopause. angka penurunan kejadian osteoporosis ini didukung oleh asupan kalsium setiap hari dan berolahraga rutin setiap hari, walaupun hanya berjalan kaki13. selain itu konsumsi kalsium pada tahu dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah, salah satu kandungan dalam tahu tersebut yang dipercaya sangat berperan adalah kalsium14. menurut penelitian yang dilakukan oleh annisa (2010)15, pemberian susu berkalsium tinggi mempunyai peran penting terhadap angka kejadian hipertensi pada usia lanjut, ini berkaitan dengan fungsi kalsium untuk kontraksi dan relaksasi otot serta berpengaruh terhadap permeabilitas selsel. berdasarkan hasil penelitian dan tinjauan pustaka yang diperoleh, subyek yang diberi78 erlina sih mahanani | perbedaan efektivitas penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dengan ayam kampung... kan bubuk cangkang telur ayam ras mampu menghentikan perdarahan lebih cepat daripada yang diberikan bubuk cangkang telur ayam kampung dan kelompok subyek yang tidak diberikan apapun, karena kandungan yang terdapat pada cangkang telur ayam ras terdapat kalsium sebesar 73,98%. kandungan kalsium lebih dari setengah komposisi total cangkang telur tersebut yang membuat perdarahan lebih cepat berhenti daripada cangkang telur yang hanya memiliki kandungan kalsium sebesar 47,73 % atau kurang dari setengah komposisi total cangkang telur ayam kampung. kesimpulan penambahan bubuk cangkang telur ayam ras dan bubuk cangkang telur ayam kampung mempunyai pengaruh terhadap durasi perdarahan pada ekor tikus rattus norvegicus. pada subyek yang diberikan bubuk cangkang telur mempunyai waktu perdarahan lebih cepat dengan durasi rata-rata 5,471 menit, bubuk cangkang telur ayam kampung 8,0960 menit dan tanpa diberikan perlakuan 12,234 menit. penambahan subyek yang diberi bubuk cangkang telur lebih cepat durasi perdarahannya karena kalsium pada cangkang telur ayam ras lebih banyak daripada ayam kampung. saran hasil limbah olahan seperti cangkang telur hendaknya jangan langsung dibuang dan diharapkan dapat dimanfaatkan lebih maksimal, seperti bubuk cangkang telur dapat dijadikan suatu penanganan terhadap perdarahan, ini dapat mengurangi keberadaan limbah di sekitar kita.penelitian ini dapat dilanjutkan dengan meneliti bentuk sedian cangkang telur seperti apa yang dapat diberikan kepada manusia dan kandungan apa yang mampu menghentikan perdarahan selain kalsium yang berada pada cangkang telur. daftar pustaka 1. pedersen, gardon w. (1996). buku ajar praktis bedah mulut. jakarta : egc. 2. sherwood. (2001). fisiologi kedokteran. jakarta : egc. 3. setiabudy, rahajuningsih. (2009). hemostasis dan thrombosis edisi keempat. jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 4. nooh, naser. (2009). the effect of aspirin on bleeding after extraction of teeth. the saudi dental journal (2009) 21, 51 – 67. 5. bakta, i made. (2007). hematologi klinik ringkas. jakarta : egc. 6. guyton. (2007).fisiologi manusia dan mekanisme penyakit . jakarta : egc. 7. tirtawinata, tien ch. (2006).makanan dalam perspektif alqur'an dan ilmu gizi. jakarta : balai penerbit 8. stoda, rebecca. (2010). nutrition for a healthy mouth 2nd. philadelphia : wolter kluwer. 9. soeparno, rihastuti, indratiningsih, triatmojo. 2011.dasar teknologi hasil ternak.yogyakarta : gajah mada university press. 10. wardhana, luis krisna. (2011). kulit telur bisa bekukan darah. diakses pada tanggal 5 april 2012 dari http://news.liputan6.com/read/354990/ku lit-telur-bisa-bekukan-darah 11. kurniati, ika dyah. (2007). pengaruh konsumsi susu kedelai terhadap waktu pembekuan darah. karya tulis ilmiah strata satu, universitas muhammadiyah yogyakarta. yogyakarta 12. al-farozy, anwarusyamsi. (2007). hubungan antara asupan susu dengan kadar densitas masa tulang. karya tulis ilmiah strata satu, universitas muhammadiyah yogyakarta. yogyakarta. 13. utomo, margo., meikawati, wulandari dan putri, kusuma zilfa. (2010). faktorfaktor yang berhubungan dengan 79 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 kepadatan tulang pada wanita postmenopause. jurnal kesehatan masyarakat indonesia vol 6 no 2. 14. oboh, ganiyu. (2005). cougulant modulate the hypocholesterokemic effect of tofu (cougulated soymilk. brazil : african journal of biotechnology, vol. 5 (3) 15. annisa. (2010). pengaruh konsumsi susu tinggi kalsium terhadap tekanan darah lanjut usia. karya tulis ilmiah strata satu, universitas muhammadiyah yogyakarta. yogyakarta. 57 prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan (kajian di rumah sakit gigi dan mulut pendidikan asri medical center yogyakarta) prevalance of traumatic stomatitis in removable orthodontic users (studies in the education dental hospital of asri medical center yogyakarta ) fahma aldihyah kunsputri1, dwi suhartiningtyas2 1student of medical faculty and health science muhammadiyah university of yogyakarta 2oral bio medic department of medical faculty and health science muhammadiyah university of yogyakarta abstrak estetika penting bagi banyak orang terkait dengan penampilan dan interaksi sosial. alat ortodonsi lepasan menjadi pilihan sebagian orang untuk memperbaiki keadaan gigi-geliginya. akan tetapi alat ini juga memiliki kekurangan, salah satunya adalah stomatitis traumatic tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan. metode penelitian menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. penelitian dilakukan di rsgm-p amc yogyakarta. subjek penelitian adalah pasien pemakai alat ortodonsi lepasan yang memenuhi kriteria inklusi. jumlah subjek penelitian sebanyak 34 orang. hasil penelitian statistik deskriptif prevalensi stomatitis traumatik akibat pemakaian alat ortodonsi sebanyak 6 orang (17,6%), pasien yang mengalami stomatitis karena sebab lain sebanyak 5 orang (14,7%), dan yang tidak mengalami stomatitis sebanyak 23 orang (67,6%). dari hasil penghitungan diatas, dapat disimpulkan bahwa prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan di rsgm-p amc yogyakarta adalah 17,6%. kata kunci: prevalensi stomatitis, stomatitis traumatik, alat ortodonsi lepasan. abstract aesthetics are very important to many people because its related with appearance and social interaction. removable orthodontics is choose by the people to correct their teeth. however, this appliance also has disadvantages such as traumatic stomatitis. the purpose of this study is to know the prevalence of traumatic stomatitis in removable orthodontic user. methods of this study is observational descriptive using cross sectional approach. the study was conducted in edc amc yogyakarta. subjects were patients using removable orthodontic appliance who met the inclusion criteria. the study subject is 34 people. the results of this study showed the prevalence of patients with traumatic stomatitis caused by orthodontic appliance are six people (17.6%), patients with stomatitis due to other causes are five people (14.7%), and no stomatitis are 23 people (67.6%). from the above calculation, it can be concluded that the prevalence of traumatic stomatitis in removable orthodontic users is 17.6%. keywords: prevalence of stomatitis, traumatic stomatitis, removable orthodonti 58 fahma aldihyah kunsputri | prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan ... pendahuluan stomatitis adalah peradangan jaringan mukosa mulut yang disebabkan oleh beberapa faktor. faktor – faktor tersebut antara lain alergi, trauma, stress, bad habit, auto immune, sistem endokrin, psikologi, herediter, dan defisiensi nutrisi (lewis & lamey, 1998). bagi mereka yang sedang melakukan perawatan ortodonsi stomatitis bukanlah hal yang baru. pemakaian alat ortodonsi merupakan penyebab paling umum terjadinya stomatitis traumatik. ketidaknyamanan penggunaan alat, alergi bahan alat ortodonsi, terjepitnya mukosa, dll dapat memicu timbulnya stomatitis traumatik. secara umum perawatan ortodonsi dapat diklasifikasikan dalam alat mekanis dan alat myofungsional, dimana alat mekanis dan alat myofungsional dapat di subklasifikasikan dalam pesawat lepasan dan pesawat cekat (bhalajhi, 1997). berdasarkan pemakaiannya, alat ortodonsi dibedakan menjadi dua yaitu alat lepasan (removable) dan alat cekat (fixed). alat cekat adalah alat yang dicekatkan pada gigigeligi dengan perantara band dan bracket, sehingga tidak dapat dibuka dan dipasang sendiri oleh pasien. alat cekat mempunyai konstruksi yang komplek, terdiri dari komponen aktif lengkung kawat (arch wire), section wire dan auxillaris serta komponen aktif berupa band, bracket dan tube. alat lepasan adalah alat yang dipasang dan dibuka sendiri oleh pasien, dan pada umumnya alat lepasan ini mempunyai konstruksi yang sederhana. alat ini terdiri dari plat dasar yang dilengkapi dengan klamer, komponen aktif berupa spring, lengkung labial, dan sekrup (houston, 1990). alat ortodonsi lepasan dipilih oleh sebagian orang karena memiliki kelebihan seperti harganya yang lebih murah dibandingkan alat yang cekat, alat mudah dilepas sendiri oleh pasien sehingga mudah dibersihkan, tidak memberikan tekanan yang besar didalam rongga mulut dan pengaplikasiannya mudah (foster, 1998). perawatan ortodonsi juga mempunyai peranan penting dalam penambahan dan pengubahan populasi mikroorganisme di dalam mulut. lesi mukosa oral adalah salah satu resiko intra-oral dari pemakaian alat ortodonsi (baricevic, 2011). kemunculan penyakit mulut seperti kandidiasis, angular cheilitis, kelainan jaringan periodontal dan radang jaringan mukosa biasanya muncul pada pengguna alat ortodonsi lepasan dengan kondisi kebersihan mulut yang buruk. akkaya (1990) telah meneliti bahwa penggunaan alat ortodonsi lepasan dapat menimbulkan stomatitis dengan prevalensi 8.9%. metode penelitian penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan penelitian non eksperimental yang bersifat survey deskriptif dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah semua pemakai alat ortodonsi lepasan yang masih dirawat di rsgmp amc yogyakarta. sampel penelitian adalah pasien pemakai alat ortodonsi lepasan di rsgm-p amc yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi. jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 34 orang. pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. sebagai kriteria inklusi adalah pasien pemakai alat ortodonsi lepasan rahang atas dan rahang bawah di rsgm-p amc yogyakarta yang berumur kurang dari 30 tahun dan bersedia ikut serta pada penelitian ini. sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien yang hanya memakai alat ortodonsi lepasan satu rahang dan pasien yang tidak bersedia ikut serta dalam penelitian. sebagai variabel pengaruh adalah alat ortodonsi lepasan, sedang variabel terpengaruhya adalah stomatitis traumatik. variabel tak terkendali yakni kondisi sistemik pasien, desain alat, lama pemakaian, malposisi gigi geligi dan motivasi pasien. alat yang digunakan pada penelitian ini adalah diagnostic sets. penelitian dil59 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 aksanakan dengan mengumpulkan data pasien pemakai alat ortodonsi lepasan dan pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi, setelah itu pasien menandatangani informed consent. selama masa pelaksanaan, semua sampel yang mengalami stomatitis diamati. pemeriksaan lebih lanjut dilakukan dengan anamnesa mengenai stomatitis yang didapat, apakah dari faktor trauma pemakaian alat ortodonsi atau faktor lain. penelitian dilakukan rsgm-p amc yogyakarta dan dilakukan pada bulan agustus hingga november 2011. data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik deskriptif. hasil penelitian hasil penelitian mengenai pasien yang mengalami stomatitis traumatik akibat alat ortodonsi lepasan dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. karakteristik data subyek pemakai alat ortodonsi lepasan. ortodonsi lepasan di rsgm-p amc yogyakarta, dilakukan uji statistik deskriptif menggunakan program spss 15 ( tabel 2). penyebab stomatitis jenis kelamin jumlah (n) l p trauma alat ortodonti 2 4 6 sebab lain 3 2 5 tidak terkena stomatitis 4 19 23 total (n) 34 dari tabel.1dapat diketahui bahwa selama penelitian berlangsung, subyek yang mengalami stomatitis akibat trauma alat ortodonsi berjumlah 6 orang (2 laki-laki dan 4 perempuan), subyek yang terkena stomatitis akibat sebab lain berjumlah 5 orang (2 laki-laki dan 3 perempuan) dan 23 subyek lainnya tidak mengalami stomatitis. untuk mengetahui prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat. tabel 2. hasil uji statistik deskriptif prevalensi stomatitis traumatik pada pemakai alat ortodonsi lepasan berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa prevalensi stomatitis akibat trauma alat ortodonsi sebesar 17,6%. pada stomatitis akibat sebab lain mencapai 14,7% dan 67,6% tidak mengalami stomatitis. variabel frekuensi presentasi persentasi valid total presentasi tidak stomatitis 23 67,6 67,6 67.6 trauma alat ortodonsi 6 17,6 17,6 85,3 sebab lain 5 14,7 14,7 100 total 34 100 100 60 fahma aldihyah kunsputri | prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan ... diskusi trauma merupakan penyebab paling umum dari stomatitis. tekanan dari alat ortodonsi, permukaan basis ortodonsi yang kasar, cengkeraman tepi-tepi protesa alat ortodonsi yang tidak pas, adalah penyebab stomatitis traumatic pada pemakai alat ortodonsi lepasan. pemakai alat ortodonsi lepasan di rsgm-p amc yogyakarta yang diamati mempunyai keluhan adanya stomatitis dan rasa tidak nyaman pada rongga mulut baik karena trauma alat ortodonsi maupun karena sebab lain. gambaran klinis dari stomatitis traumatik yang diamati berupa ulkus tunggal dan memiliki bentuk yang tidak teratur. penyebab akan jelas terungkap melalui anamnesa dan pemeriksaan klinis. hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan lewis mao & phillip jl (1998), bahwa stomatitis traumatic memiliki gambaran klinis berupa ulkus tungal dengan bentuk yang tidak teratur. pada tabel 2 memperlihatkan adanya pemakai alat ortodonsi lepasan yang mengalami stomatitis traumatik akibat trauma dari alat ortodonsi sebanyak 6 orang (17,6%) dari jumlah total 34 subyek. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi stomatitis traumatik cukup tinggi pada pemakai alat ortodonsi lepasan. bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian akkaya (1990) yang menyebutkan penggunaan alat ortodonsi lepasan dapat menimbulkan stomatitis dengan prevalensi 8,9%. hal ini terjadi akibat banyak faktor yang memicu terjadinya stomatitis traumatik. faktor yang berperan dalam terjadinya terjadinya stomatitis traumatik antara lain tekanan dari alat ortodonsi, permukaan basis ortodonsi yang kasar, cengkeraman tepi-tepi protesa alat ortodonsi yang tidak pas, pergantian plat, penambahan spring, kebiasaan buruk, serta faktor lain yang terkait dengan terjadinya stomatitis. tekanan yang berlebihan pada alat ortodonsi dapat menyebabkan alat menjadi sesak, sehingga sulit untuk memakai dan melepas alat ortodonsi akibatnya gesekan alat dan jaringan periodontal dapat menyebabkan trauma pada jaringan periodontal pasien. hal ini sesuai dengan pendapat teodora pc, dkk (2012) yang mengatakan pemberian kekuatan yang berlebih pada alat ortodonsi dapat menimbulkan resorbsi akar dan trauma pada jaringan periodontal. untuk itu pemberian tekanan pada alat ortodonsi harus sesuai dengan status kesehatan jaringan mulut tiap pasien. penggunaan resin akrilik sebagai basis alat ortodonsi lepasan sering dihubungkan dengan terjadinya stomatitis traumatik. hal ini terjadi karena plat yang kasar, tepi-tepi plat yang tidak pas dan tajam membuat perlukaan pada jaringan periodontal meningkat. selain itu, pemakaian alat ini juga meningkatkan pertumbuhan mikrooorganisme terutama spesies kandida albikans yang akan memberikan pengaruh terjadinya stomatitis. kedua hal ini sesuai dengan pendapat mahmoudabadi (2005) yang mengatakan terdapat peningkatan yang signifikan terbentuknya koloni kandida pada pemakai alat ortodonsi terutama alat ortodonsi lepasan dan kvam, dkk (1989) yang mengatakan permukaan yang tajam tepi-tepi cengkeraman alat ortodonsi menyebabkan terjadinya stomatitis pada rongga mulut dengan 47% pasien mengalami ulserasi karena alat cekat. selain berbagai faktor diatas, faktor lain yang terkait seperti umur, jenis kelamin, ketrampilan operator dan lokasi dari stomatitis traumatik oleh karena alat ortodonsi lepasan juga berperan penting dalam mekanisme timbulnya stomatitis. pada tabel 3 diketahui bahwa stomatitis traumatik maupun stomatitis jenis lain tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. stomatitis terjadi pada kedua jenis kelamin yang hasilnya hampir sama. hal ini sesuai dengan pendapat burket (1994) yang mengatakan bahwa jenis stomatitis tidak dipengaruhi jenis kelamin. sesuai dari hasil anamnesis, pria mengalami stomatitis jenis lain oleh karena pria kurang hati-hati dalam memakai alat ortodonsi sehingga jaringan mukosa mulut terjepit di dalam kawat. per61 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 mukaan basis dan tepi-tepi cengkeraman yang kasar juga menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya stomatitis traumatik. dari hasil penelitian diketahui bahwa lokasi yang sering terjadi stomatitis traumatik oleh karena alat ortodonsi adalah mukosa pipi. dari hasil anamnesis rata-rata pasien tidak melepas alat ortodonsi mereka sewaktu makan dan juga saat berbicara alat ortodonsi dan mukosa saling bergesekan sehingga terjadi perlukaan pada mukosa pipi dan menimbulkan suatu stomatitis traumatik. langlais & miller (1998) juga mengatakan mukosa pipi, mukosa bibir, tepi perifer lidah dan palatum merupakan lokasi yang sering dijumpai stomatitis traumatik (lampiran 1). ketrampilan operator dalam memilih bahan dan pembuatan desain alat juga berperan penting dalam terjadinya stomatitis traumatik karena alat ortodonsi. bahan – bahan yang dipilih hendaknya tidak menimbulkan trauma dan alergi pada pasien. ketepatan pemberian kekuatan, kontrol rutin dan desain alat yang baik akan mengurangi faktor resiko terjadinya trauma pada mukosa mulut. selain itu, kekooperatifan pasien merupakan kunci keberhasilan perawatan ortodonsi, hendaknya pasien mendengarkan anjuran-anjuran dari operator dan memahami resikoresiko yang mungkin timbul selama pemakaian alat ortodonsi serta menjaga kebersihan rongga mulutnya. dengan motivasi pasien yang tinggi, kecanggihan alat ortodonsi, kemampuan operator yang memadai serta terjalin komunikasi yang baik antara operator dan pasien maka tidak ada alasan bahwa pemakaian alat ortodonsi lepasan membahayakan kesehatan jaringan mulut. perawatan ortodonsi jika direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat dapat memberikan manfaat kepada pasien, yaitu memperbaiki maloklusi yang menimbulkan gangguan fungsi, estetis, dan kesehatan rongga mulut. kesimpulan prevalensi stomatitis traumatik pada pasien pemakai alat ortodonsi lepasan di rumah sakit gigi dan mulut pendidikan asri medical center (rsgm-p amc) yogyakarta adalah 17,6% . saran dari penelitian diatas, disarankan: 1. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi stomatitis traumatik dengan membandingkan dua populasi yang berbeda antara pemakai alat ortodonsi lepasan dan alat ortodonsi cekat dengan jumlah sampel yang sama maupun lebih besar. 2. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lesi-lesi lain terkait dengan pemakaian alat ortodonsi lepasan dan alat ortodonsi cekat. daftar pustaka 1. akkaya, s. (1990). prevalensi stomatitis [abstrak]. an evaluation of appliance hygiene index on patients wearing removable orthodontic appliance abstracts.. 2. bahirah, s. (2004). evaluasi pasca perawatan ortodontik . cv. sagung seto: jakarta. hal. 3. 3. baricevic m, et al. (2011). oral mucosal lesions during orthodontic treatment. international journal of paediatric dentistry,21: 96-102. 4. bhalajhi si. (1997). orthodontics: the art and science. 1 ed. new delhi. 5. burket, l. (1994). oral medicine, diagnosis and treatment. edisi 9. phidelphia: j.b. lippincott company : 27-29. 6. bathbalogh m, fehrenbarch m j. (2006). dental embryology, histology, and anatomy 2nd ed. elsevier saunder: missouri. 7. foster t. d. (1997). buku ajar ortodonsi. edisi 3. jakarta: egc. 8. harty f & ogston r. (1995). kamus kedokteran gigi. jakarta: egc. 62 fahma aldihyah kunsputri | prevalensi stomatitis traumatik pemakai alat ortodonsi lepasan ... 9. hibino k, wong r. w. k, hagg u. & samaranayake l. p. (2009). the effects of orthodontic appliances on candida in the human mouth. international journal of paediatric dentistry, 19: 301308. 10. houston, w. j. b. (1990). diagnosis ortodonti (terj). edisi 3. jakarta: egc. 11. kvam e, bondevik o, gjerdet nr. (1989). traumatic ulcers and pain in adults during orthodontics treatment. norway. community dent oral epidemiology, 17(3):154-7 (abstrak). 12. langlais r. p. & miller c. s. (2000). atlas berwarna: kelainan rongga mulut yang lazim. jakarta: hipokrates. 13. lewis m. a. o. & lamey p-j. (1998). tinjauan klinis penyakit mulut. jakarta: widya medika. 14. lubis, a (1999). persiapan perawatan ortodonti, penerbit tempo, kesehatan gigi anda, jakarta. hal 19 15. mahmoudabadi az, drucker db, mandall m, et all. (2005). isolation and identification of candida spesies from orthodontics patient. manchaster, available at: http://www.biomed2.man.ac.uk/druckerd b/posters/poster-potrait%20.ali.pdf 16. melamed,f.(2001).aphtousstomatitis.califor nia:ucla. (http://www.med.ucla.edu/modules/wfse ction/article.php?articleid=207) 17. monica ag. (2007). changes of the marginal periodontium as a result of labial tooth movement in monkeys. j. periodontal, 52: 314-320. 18. prabhu s. r. (2008). oral diseases and disorders: differential diagnosis. edisi 1. new delhi: jaype brothers medical publishers. 19. samorodnitzky-naveh. g. r, geiger. s. b and levin l. (2007). patients’ satisfaction with dental esthetics. j am dent assoc, 138: 805-808. http://jada.ada.org. [on-line] (diakses 8 april 2011). 20. syahputra, a. (2005) kelainan rongga mulut akibat penggunaan pesawat ortodonti. medan: usu repository. 21. taek oh-keun, dkk. (2004). properties of super stainless stells for orthodontics applications. http://www.wileyinterscience.com 22. teodora p c, dkk. risk and complication associated with orthodontics treatment. (diakses pada 20 april 2012). correspondence: iwan dewanto, lecturer faculty of medicine and health sciences, muhammadiyah university yogyakarta, e-mail: iwanjoe1314@yahoo.co.id 58 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city gambaran pelaksanaan kontrol infeksi pada praktik dokter gigi di kota yogyakarta iwan dewanto1 , medi septario2 1lecturer faculty of medicine and health sciences, muhammadiyah university yogyakarta, 2dental student of faculty of medicine and health sciences, muhammadiyah universityyogyakarta, abstract dentist as a health worker claimed to be responsible widely in a variety of existing public health efforts, especially in the dental clinic. infection control is an effort to control and prevent the spread of infectious diseases in practice setting. this study aimed to describe the implementation of infection control in dental practices in the yogyakarta city in the availability and utilization of facilities and infrastructure. a crosssectional study was conducted in yogyakarta city with subjects of 30 dentist who has independent private practice chosen by simple random sampling. observational techniques using check list was applied to assess the implementation of infection control. results showed existing deficiencies of control infection in the components of equipment, dentist, and room. it can be concluded that the implementation of infection control in the yogyakarta city has not gone well, it is source of concern as the possibility of infectious disease transmission in dental clinic occured. this because the level of awareness is still lacking and the dentist thinks will impact the length of the culture is still neglected. key words: dentists, the yogyakarta city, infection control abstrak dokter gigi didefinisikan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang dituntut untuk bertanggung jawab secara luas dalam berbagai upaya kesehatan masyarakat yang ada, maupun dalam bidang ilmu kesehatan gigi secara khusus di klinik gigi. kontrol infeksi adalah upaya untuk mengendalikan dan mencegah terjadinya penyebaran penyakit infeksi dalam praktik. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan kontrol infeksi pada praktik dokter gigi di kota yogyakarta dalam hal ketersediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana, serta pelaksanaan kontrol infeksi. desain penelitian ini adalah crosssectional dengan bentuk survey. cara pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling yaitu praktik swasta mandiri di wilayah kota yogyakarta. metode penelitian menggunakan teknik observasional dengan instrumen check list yang diisi oleh surveyor dan questioner yang diisi oleh responden. data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. subjek penelitian adalah 30 dokter gigi di kota yogyakarta. hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana, serta pelaksanaan kontrol infeksi masih terdapat kekurangan pada beberapa komponen yaitu kontrol infeksi alat, kontrol infeksi iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 59 dokter, dan kontrol infeksi ruangan. ceklist yang digunakan untuk pelaksanaan observasi diambil dari center of disease (cdc) tahun 2002. kuesioner untuk menilai pengetahuan dokter gigi dibuat oleh peneliti. berdasarkan kuesioner yang menilai pengetahuan dokter gigi tentang kontrol infeksi tentang penggunaan autoklave di dapatkan 83,33% drg mengisi telah melakukan, namun dalam observasi yang menilai implementasinya ternyata hanya 53,33% drg yang melakukannya. begitu juga tentang cuci tangan sebelum dan seudah praktek, di dalam kuesioner sebanyak 90% drg mengisi telah melaksanakannya, namun berdasarkan observasi hanya 53,33% saja yang melakukannya. dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kontrol infeksi di kota yogyakarta belum berjalan baik, dikarenakan tingkat kesadaran dokter gigi masih kurang dan budaya berfikir akan dampak panjangnya masih terabaikan, sehingga kemungkinan penularan penyakit infeksi antara dokter gigi dengan pasien maupun pasien dengan pasien dapat terjadi. kata kunci : dokter gigi, kota yogyakarta, kontrol infeksi introduction infection is the process whereby a person (host) is accessible by the pathogen agents (infectious) that grow and reproduce themselves, which causing danger to the host (asih and setiawan, 2000). this is important for the dentist in relation to the emergence of public concern with the increasing rate of hiv, hepatitis b and other infectious diseases.. infection control is part of a quality standard in practice setting. dentists are obliged to prevent cross infection by decontaminating the medical equipments appropriately and correctly (sunoto, 2005). dental personnel are generally exposed by a large number of microorganisms from the patients’ blood and saliva infection control in dentistry aims to treat patients as if they were infected with the disease that can not be cured. the american dental association (ada) has advocated the use of infection control procedures in dentistry practice since many years ago. the use of an effective infection control procedures within dental practices and dental laboratories will be able to prevent dental personnel and patient from the spread of disease contamination (yuwono, 2000). basic guidelines for infection control is based on the statement “not to disinfecting when you can sterilizing.” infection is a very real danger in the dental practice and sterilization is the most important component of infection control. sterilization is defined as damage or eliminate all forms of life with special regard to microorganisms. efforts to sterilize in this case is the main measures to avoid transmission of infection (yuwono, 2000). various efforts have been made to increase the degree of public health status through health services, disease control, environmental health, development of community health insurance. in accordance with the action plan for creating a healthy yogyakarta city, the government has established a communicable-non communicable disease control program. based on data from the health profile of the city of yogyakarta in 2007, infectious diseases in the city of yogyakarta, such as hiv, hepatitis b and other infections is increasing., the number of hiv cases has increased by 11 cases (as many as 15 cases in 2005, the year 2006 becoming 26 cases). dentists as a health worker are required to participate in realizing the city of yogyakarta healthy program 2007 2011 (din kes di yogyakarta province, 2007). dental professional has a high risk of contaminated from the infection while on treatment for patients. transmission of the disease can be ascertained when realize that most human microbial pathogens iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city 60 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 could be isolated from the secretion of the oral cavity. as a result of frequent exposure to microorganisms in the blood and saliva, the incidence of certain infectious diseases is clearly higher among the dental profession than other population. but many dentists fail to recognize or understand the potential infection which was carried by saliva and blood during the treatment. ignoring the actions and procedures can result harm to others, including family and patients this risk is often overlooked because sparks from the patients’ oral cavity are not visible (yuwono, 2000). in carrying out their profession, dentists have possibility to contact directly or indirectly with the microorganisms in saliva and blood of patients. this research was conducted to determine the dentist's actions in preventing transmission of infectious diseases in yogyakarta city. this study is to determine the appropriateness of the standard operational procedure for control infection in order to prevent dental infections. material and method picture 1. conceptual framework research design the type of research was a descriptive method with cross sectional approach. location and time of research this research was conducted in private dental practices in the yogyakarta city in december 2008. population and sample the population is all private dentist in city of yogyakarta and sample was 30 1. infection control of equipment 2. infection control of patient 3. infection control of room and surface 4. infection control of dentist spread of the infection dentist patient patient patient direct indirect droplet airborne indirect airborne infection control value 1. dentist knowledge 2. cost 3. equipment iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 61 private dental practices and choose randomly. instrument questionere for dental knowledge infection control disease was develeop by writer observation for infection control it is from cdc check list (2002). research variables controlled variables in this study is the time the afternoon practice. cost, facilities, accessibility of the practice its not assesed in this research. research implementation there are two phases of implementing this research: first is the preparation and implementation phases. preparation stage include development of checklist and questionnaire, permit to the related parties, and personal approach to the respondents. second phase include direct observation of the implementation of infection control which are performed by dentists by fill in a check list by the surveyor, and infection control knowledge questionnaire fill by the dentist. data analysis techniques tabel . data scoring for availablity and utilization equipment for control infection interval (%) criteria 0 – 33.33 available 33.34 – 66.66 available but not in use 66.67 – 100 available and in use tabel . data scoring for implementation of infection control in this study, the authors use a favorable rating category. favorable category is defined as positive characteristics of the measured attributes. results from the infection control knowledge questionnaire filled by the dentists used to support the contents of the check list. descriptive analysis was applied to calculate the average score of the implementation of infection control. results tabel. implementation of control infection that did not completely done keterangan sterilization for equipment self protection patient protection room sterilization implementat ion of infection control 1. autoclave or use alkohol for diagnostic set, drill and sharp equipments 2. clean and desinfected handpiece, scaler, three way syringe, saliva ejector each patient 1. handwashing before and after treating the patient 2. always use handscoon and change it each patient 3. always use mask and change it after treating the patient 4. use eye protector/google and clean, desinfected it 5. use clothing practice and take off clothing practice after leave practice room __ 1. always use cover protection or desinfected the dental unit ( button, lamp handle) and bhange it each patient 2. clean and desinfected room before and after practice 3. throw medic trash(handscoon, mask) into safety plastic place 4. throw the medical liquid waste to specific drain for sanitation process interval (%) criteria 0 – 33.33 not done 33.34 – 66.66 done but not complete 66.67 – 100 done completly iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city 62 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 a. observation 1. availability and utilization of facilities and infrastructure a. equipment sterilization in general, b. infection control equipment found is autoclave sterilization, dry heat or alcohol 70%, 16.67% is not available, 0% is available but not used, 83.33% available and used. c. self protection the components of self protection found are gloves, masks, goggles, clothing practices, washing hands with soap, towels or tissue, hand washing facilities are not available 13.33%, 10% is available but not used, 76.67% available and used. d. patient protection patient's infection control component found are disposable cups, disposable syringes and needles, diagnostic equipment which is proportional to the number of patients per day is 0% is not available, 0% is available but not used, 100% available and used. e. room sterilization room infection control component found are medical waste disposal, protective surface of the dental unit, a disinfectant solution space is not available 11.31%, 22,2% is available but not used, 66.67% available and used. 2. implementation of infection control a. sterilization equipment use autoclave or dry heat and alcohol as a means of sterilizing materials and sharp tools, diagnostic set, and condition for clean or desinfected bur, hand piece, scaler, air syringe, saliva ejector in each turn of the patients was 1.67% not done, 73.33% done but incomplete, 25% done completely. b. self protection always washing hands before and after treatment, always use and replace gloves, always use and replace the mask, use of goggles in each treatment and washing and desinfecting after use , always use the practice clothes and take it off when you leave the practice room is not done 34%, 38% done but incomplete, 28% done completely. c. patient protection disposable syringes and needles, using a disposable cup or washing and sanitizing the used glass is 0% is not done, 0% done but not completely, 100% done completely. d. room sterilization always use surface protective or decontaminate dental unit (the unit button, the lights handle) in every turn of the patient, clean and sanitize the room before or after practice with liquid waste into the sewer which is connected to the sanitation system is 20% not done, 15% done but incomplete, 65% done completely. iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 63 b. questionaire tabel 5. questionare for dentist knowledge to infection control no. keterangan ya (%) tidak (%) 1. having a seminar or course about control infection in dental. 83.33 16.67 2. sufficient budget for infection control in private practice 86.67 13.33 3. be aware in dental practice is potential for transmission infectius dissease 100 0 4. understand potential risk from hazardouss dental equipment for transmission infectius dissease 100 0 5. sterilized the sharp equipment, diagnostic set, drill/bur with autoclave or dry heat. 73.33 26.67 6. sterilized the drill with gel heat autoclave or desinfected with alkohol 70%. 93.33 6.67 7. handwashing before and after have dental treatment for the patient. 90 10 8. cut the hand nail, maintain in short and clean 100 0 9. always usehandscoon for dental treatment. 80 20 10. change handscoon every turn of the patient 90 10 11. always use mask for dental treatment. 83.33 16.67 12. change mask every turn of the patient 26.67 73.33 13. use google/eye protector for dental treatment. 10 90 14. wash and desinfected the google after it use. 23.33 76.67 15. use dental practice clothing for dental treatment. 66.67 33.33 16. take off the dental practice clothing after practice. 66.67 33.33 17. clean and wash dental practice room with water and detergent. 93.33 6.67 18. clean and wash gargle glass with water and detergent. 93.33 6.67 19. use disposable plastic for gargling. 23.33 76.67 20 use surface cover and change it every turn of the patient (dental unit button, light handle ). 13.33 86.67 21. desinfected button surface and light handle every turn of the patient. 26.67 73.33 22. clean and desinfected handpiece, scaler, three way syringe every turn of the patient. 80 20 23. use disposable syringe and needle each dental treatment of the patient. 100 0 24. throw the medical waste like handscoon, mask, surface cover, needle, blade scalpel into specific trash place. 93.33 6.67 25 throw the medical liquid waste into specific drain for sanitation process. 100 0 iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city 64 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 3. knowledge related to infection control a. equipment sterilization the research results showed that out of 30 subjects, which included in infection control tools are sharp sterilize tools, diagnostic equipment, using autoclave or dry heat, sterilize the bur using autoclave or desinfect using 70% alcohol. wash and sanitize goggles, clean and sanitize handpiece, scaler, air syringes in every turn of the patient. a total of 68.33% implement such action but 31.67 % does not. b. self protection the results showed that out of 30 subjects, which included infection control for doctor is attending a seminar or to receive training related to infection control, allocating budget for adequate infection control, knowing that dental clinic is potential place of the transmission of infectious diseases, understanding that sharp tools, diagnostic tools and bur have potential transmission of infectious diseases, washing hands before and after treatment to the patient, the fingernails are clean and short, wearing and replacing gloves in every turn of the patient , wearing a mask, changing the mask in each turn of the patient, wearing goggles in each treatment, wearing practice clothes, take off practice clothes when leaving the practice room. a total of 75.89% of the respondents done the actions, 11.24% did not perform. c. patient protection results showed that control infection for patient is washing gargling cup using water and detergent, which as much as 93.33% complete this action. 6.67 % did not. 23.33% provided disposable glass 76.67% did not. all dentists used disposable syringes and needles on each turnover of patients. d. room sterilization included in the control infection for room is washing and cleaning the room using water and detergent, use and replace the protective surface of the lamp handle and unit button on every turn of the patient, decontaminate the lamp handle and unit button on every turn of the patient, disposed of medical waste such as gloves, mask, surface cover, needles, scalpel blades into a strong plastic bag, dispose of liquid waste into the sewer system connected to a special sanitary water splash. a total of 65.33% perform these actions, 34.67% did not perform. these data show that the dentist attention to infection control practices for the room and environtment are still lacking. iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 65 tabel . observation for implementation infection control versus questioner no category observation % questioner % 1. equipment sterilization use autoclave/ dry heat sterilization and alcohol 53.33 use autoclave/ dry heat sterilization and alcohol 83.33 clean and desinfected handpiece, scaler, three way syringe, saliva ejector every turn of the patient. 93.33 clean and desinfected handpiece, scaler, three way syringe, saliva ejector every turn of the patient. 80 2. self protection handwashing before and after dental treatment 53.33 handwashing before and after dental treatment 90 use handscoon and change it every turn of the patient. 36.67 use handscoon and change it every turn of the patient. 85 use face mask and change it every turn of the patient. 80 use face mask and change it every turn of the patient. 55 use goggles/eye protection and change it every turn of the patient. 6.67 use goggles/eye protection and change it every turn of the patient. 16.66 use dental practice clothing and change it every turn of the patient. 13.33 use dental practice clothing and change it every turn of the patient. 66.67 3. room sterilization and environtment use surface cover and change it every turn of the patient. (dental unit button, light handle ). 20 use surface cover and change it every turn of the patient. (dental unit button, light handle ). 20 clean and desinfected practice room before and after practice 30 clean and desinfected practice room before and after practice 93 throw the medical waste like handscoon, mask, surface cover, needle, blade scalpel into specific trash place. 3.3 throw the medical waste like handscoon, mask, surface cover, needle, blade scalpel into specific trash place. 93.33 throw the medical liquid waste into specific drain for sanitation process. 6.67 throw the medical liquid waste into specific drain for sanitation process. 100 discussion a. observation availability of facilities and infrastructure a. equipment sterilization components included are sterilizing by autoclave or dry heat, and alcohol, 16. 67% are not available, 0% is available but not used, 83.33% available and used. it indicates that the availability and utilization of facilities and infrastructure on the sterilization of instruments is good. this statement is supported by dentists through a questionnaire that 68.33% respondents performed equipment infection control. autoclave is a tool used to sterilize objects with moist heat pressure. alcohol is also used for simple sterilization, and most of dentist use simple autoclave for circulation of unwrapping equipments. this maiwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city 66 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 chine has a 12 minutes of sterilizing time at 134o c and during that time should not be opened (harty and ogston, 1995). transmission of infection can occur through blood and saliva-exposed equipment. therefore, it is needed to inhibit the transmission using sterilization tools, such as an autoclave that prevent direct exposure to all forms of microbial life (yuwono, 2000). there are 16.67% dentists does not provide sterilization equipment, so the transmission from patient to dentist and patient to patient is vulnerable. b. self protection components included are gloves, masks, goggles, clothing practices, hand washing soap, towels or tissue, 13.33% hand washing facilities are not available, 10% is available but not used, 76.67% available and used. it is showed that the attention of dentists in the city of yogyakarta is good. this statement is supported by dentists through a questionnaire that as many as 66.67% dentists perform self protection. personal protection included washing hands, use gloves, face mask, eye glass/google, and a medical coat. hand-washing procedures performed with antiseptic soap under running water. requirements to be met; gloves are not irritate hands, leak proof, and provide high sensitivity. using masks is intended to protect the nasal mucosa and saliva-blood splash contamination on the eye because the eye conjunctiva is one of the entry ports of most viral infections. while clothing practice is recommended to use when treating patients which should be buttoned at all times (pintauli.s, 2003). people who work in the field of dentistry having potential risk after treating the patient. most of the dentist and his assistant did not recognize the existence of pathogenic microorganisms in saliva and blood during the treatment. hands of a doctor or an assistant can be an effective tool to transmit the infection from patient to dentist or assistant vice versa (anonymous, 2008). there were 13.3% dentists who still does not provide and use personal protection. it shows the risk of transmission in the practice room of a dentist. hepatitis b, tuberculosis, herpes simplex infection is the most common infectious disease caused by lack of self protection. in addition, the swine flu (h1n1) disease has now emerged and become a pandemic, can be transmitted through the hands, nose, eyes and mouth (anonymous, 2009). so it is important for a dentist to provide self protection for themselves. c. patient protection components included in the patient's infection control are using of syringes, disposable needles and washing or disinfecting used gargling glass, and diagnostic tools which equal to to the number of patients per day. based on the availability and utilization of facilities and infrastructure, showing that the attention of dentists in the city of yogyakarta to the protection of patients is good. this statement is supported by dentists through a questionnaire that they perform protection for patients from transmission of infectious diseases. d. room sterilization components included in control infection for room is the medical waste disposal, protective surface of dental unit, disinfecting solution; 11.31% is not available, 2:22% is available but not used, 66.67% available and used. based on the availability and utilization of facilities and infrastructure, showing that the attention of dentists in the city of yogyakarta is good. this statement iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 67 is supported by dentists through a questionnaire that as many as 65.33% respondents performed infection control for room. the proper way to treat the liquid waste is directly linked to the special sanitation systems, poured with large amounts of water splash. this mechanism is intended to prevent environmental pollution (yuwono, 2000). surface dental protection shielding can be done by covering the surface with paper, plastic, aluminum foil and replaced on every patient (oka, 2008). this closure is useful for reducing the need for disinfection materials and also protecting the surface of the dental unit. infection control for room is important because some diseases can be transmitted through the existing air space (airborne ), one of which is currently considered as harmful is deadly bird flu.the virus is still a close relative with type a influenza virus. viruses can be carried in feces, saliva, food and drinking water containers, pens, and all surface soils (ananta.p, 2007). b. implementation of infection control e. equipment sterilization of the 30 dentists in the city of yogyakarta, which uses an autoclave or dry heat or alcohol as a means of sterilizing materials for sharp tools, diagnostic tools, and clean and sanitize bur handpiece, scaler, air syringe, saliva ejector in each turn of the patients was 1.67% not done, 73.33% done but incomplete, 25% done completely. based on its implementation, shows that the attention of dentists in the city of yogyakarta on infection control is poor. this is not in accordance with the statement through the questionnaire that as much as 68.33% dentists performed equipment sterilization. it indicates that the level of awareness about the dangers of dental disease is still lacking. f. self protection of the 30 dentists in the city of yogyakarta who always washing hands before and after treatment, always use and replace gloves, always use and replace the mask, use goggles and washing and disinfecting it after use , always use the practice clothes and take it off when you leave the practice room is not done by 34% respondents, 38% done but incomplete, 28% done completely. based on its implementation, it shows that the attention of dentists in the city of yogyakarta to the protection of themselves is poor. this is not in accordance with the statement through the questionnaire that as much as 75.89% respondents performed protection to themselves. it indicates that the level of awareness about the dangers of dental disease is still lacking. gloves is a means of microorganisms transmission in the respiratory tract and mouth. mask works to prevent aerosols that can infect the respiratory tract. goggles should always be used because it protects the eyes from the spray of saliva or blood due to the use of the handpiece and scaler (sunoto, 2005). g. patient protection of the 30 dentists in the city of yogyakarta, who use disposable syringes and needles, using a disposable gargling cup or washing and sanitizing the used cup, using disposable syringes and needles are: 0% is not done, 0% done but not completely, 100% done completely. based on its implementation, it shows that the attention of dentists in the city of yogyakarta to the protection of patients is good. this is supported by a statement through a questionnaire that 100% dentists performed this action. h. sterilization room iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city 68 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 of the 30 dentists in the city of yogyakarta, who always use surface protection or decontaminate dental unit (button of the unit, the handle lights) every turn of the patient, clean and sanitize the room before or after practice, to clean and sanitize handpiece, scaler, air syringe, saliva ejector in every turn of the patient, the liquid waste into the sewer which is connected to a sanitation system; 20% not done, 15% done but incomplete, 65% done completely. based on its implementation, it shows that the attention of dentists in the city of yogyakarta on the room rather not good. conclution 1. availability and utilization of facilities and infrastructure for control infection: a. there are several dentist who does not provide and perform equipment sterilization which increasing risk of the infection transmission between doctor and patient or patient with the patient. b. there are several dentist who does not provide and perform self protection which increasing risk of the infection transmission between doctor and patient. c. there are several dentist who does not provide and perform protection of patients, which likelihood the infection transmission through the tools and materials in direct contact with patients. d. there are several dentist who does not provide and perform room so the possibility of infection transmission between doctor and patient or patient with the patient is occurred. 2. the process of implementation of infection control in dental practices in the city of yogyakarta are: a. implementation of infection control on the sterilization of instruments are not perfect yet, so the possibility of infection transmission between doctor and patient or patient with the patient is occurred. b. implementation of infection control to the self protection are not perfect yet, so the possibility of infection transmission between doctor and patient is occurred. c. implementation of infection control to the protection of patients is good so the possibility of infection transmission is very small. d. implementation of infection control on the sterilization room was poor/moderate so the possibility of infection transmission between doctor and patient or patient with the patient is occurrred. suggestion 1. for dentists a. the dentist should increase knowledge about infection control, especially regarding self protection, sterilization and medical waste management through seminars, text books, journals and training on infection control. b. the dentist should comply with minimum standards relating to infection control. 2. for public health a. health department and indonesian dental association should conduct training on dental infection control for dentist b. health departement and indonesia dental association should conduct routine surveillance in infec-tion control. 3. for other similar research a. it is necessary to conduct similar research in the hospitals in yogyakarta province. b. it is necessary to conduct similar research in other cities or provinces. iwan dewanto, infection control implementation at private dental practice in yogyakarta city idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 69 references 1. aswar, s., 1996, penyusun skala psikologi, yogyakarta ; pustaka pelajar. 2. budiharto, e., 2003, metodologi peneli tian kedokteran, jakarta; penerbit buku kedokteran egc. 3. cottone, ja., 1991, the global challenge of hepatitis b: implication for dental personel. j am dent assoc 130 : 509-20. 4. departemen kesehatan ri, 2007, tindakan-tindakan pencegahan penularan infeksi virus hepatitis b (vhb) pada operator dalam pelayanan perawatan gigi dan mulut, http://www.jurkesgi.com., download at 1 mei 2007. 5. dinas kesehatan propinsi diy, 2007, profil kesehatan propinsi d. i. yogyakarta tahun 2007, yogyakarta: dinas kesehatan propinsi. 6. dorland,w.a.n., 2005. kamus kedokte ran dorland. ed. 29. jakarta : egc, pp.336. 7. hadi, s., 1986, metodology research 3. yogyakarta: yayasan penerbitan fakul tas psikologi ugm. 8. inglis, tj., 1996, microbiology and infection. new york : churchill livingstone, p.44-6. 9. iskandar, b. dan yuliarsi, y., 1993, mencegah terjadinya infeksi silang dalam praktik dokter gigi, mi kedokteran gigi fkg trisakti, 2 : 725-731. 10. kartono, k., 1996, pengantar metodologi riset sosial, bandung: mandar maju. 11. kohn, wg, harte ja, malvitz dm, collins as, cleveland jl, eklund kj., 2004, guidelines for infection control in dental health setting – 2003, j am dent assoc, 135, 33-47. 12. miller, ca, palenik cj, infection control & management of hazardous materials for the dental team (3rd ed.), 2005, st. louis, missouri: westline industrial drive. 13. oka., 2008, sterilisasi dan desinfeksi diunduh oktober 2008, dari http:// abudinathoe.multiply.com/journal/item /32 14. pintauli, s., 2003, dokter gigi sebagai manajer kesehatan di puskesmas, http:// library.usu.ac.id /mobules., diunduh tanggal 20 desember 2008. 15. setiawan., dan yasmin., 2000, pence gahan infeksi & praktik yang aman. jakarta : egc. 16. sumawinata, n., 1995, kamus kedokte ran gigi (terj.), jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 17. sunoto, r.i., 2005, tindakan pencega han penularan penyakit infeksi pada praktik dokter gigi, jurnal pdgi, 55 th ed, 12 : 302-311. 18. sutikno., 2009, pandemi flu burung diunduh 16 agustus 2009, dari http:// www.sutikno.org 19. yuwono, l., 2000, mengendalikan penyebaran infeksi pada praktik dokter gigi (terj.), jakarta: widya medika. 20. wisnuwardhani, d.s., 1995, pengenda lian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan, persatuan pelayanan kristen untuk kesehatan di indonesia, jakarta, pp. 99-106. correspondence: yani corvianindya rahayu, department of oral biology, faculty of dentistry, university of jember, e-mail: ryanicorvianindya@yahoo.com 34 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer agents by induction of apoptosis potensi xanthones kulit buah manggis sebagai anti kanker rongga mulut melalui mekanisme apoptosis yani corvianindya rahayu1 1department of oral biology, faculty of dentistry, university of jember abstract the pericarp of mangosteen (garcinia mangostana l.) is rich in various xanthones that are known to possess unique biological activities. the aim of this study was to determine of antiproliferative and cytotoxic activities of mangosteen xanthones. the researchers found that all tested xanthones inhibited the growth of the cancer cells. they observed cytotoxic properties against three human cancer cell lines, epidermoid carcinoma of the mouth, breast cancer, and small-cell lung cancer. the specific xanthones include alpha-mangostins, showed that mangosteen xanthones not only inhibit the proliferation of target cells but also induce their death by apoptosis that involves the activation of the caspase cascade. to establish a more precise mechanism of action, a cell free biochemical kinase assay against multiple cyclins/cdks involved in cell cycle progression; the most significant inhibition in the cell free based assays was cdk4, a critical component of the g1 phase.through molecular modeling α-mangostin against the atp binding pocket of cdk4, and propose three possible orientations that may result in cdk4 inhibition. histopathological evaluation and biochemical analysis of tumors that received mangosteen xanthones indicate the induction of apoptosis in tumors, which resulted in the repression of their growth and the reduction of their sizes. the study concluded that mangosteen xanthones potentially as an agent for cancer prevention and the combination therapy with anti-cancer drugs. keywords: xanthones, mangosteen, anticancer, apoptosis abstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana l.) diketahui banyak mengandung senyawa xanthones yang mempunyai beragam aktivitas biologi yang bermanfaat. tujuan dari penulisan ini adalah mengulas tentang aktivitas sitotoksik dan anti-proliferatif xanthones mangosteen, terutama dalam menghambat pertumbuhan sel cancer. beberapa peneliti mengobservasi sitotoksisitas human cancer cell lines, yaitu: epidermoid carcinoma rongga mulut, kanker payudara dan kanker paru. hasilnya menunjukkan bahwa dalam alphamangostins tidak hanya menghambat proliferasi sel target namun juga menginduksi kematian sel melalui apoptosis, yang melibatkan aktivasi caspase cascade. untuk mengetahui meknisme kerjanya, metode a cell free biochemical kinase assay terhadap multiple cyclins/cdks yang terlibat dalam progresi siklus sel. proses inhibisi yang paling signifikan dalam cell free based assays adalah cdk4, dimana merupakan komponen penting (critical component) pada fase g1. melalui mekanisme molekular α-mangostin pada atp yang berikatan dengan pocket cdk4, akan menghasilkan 3 kemungkinan orientasi yang akan menyebabkan inhibisi cdk4. pada evaluasi histopathological dan analisis biokimia dari jaringan tumor diketahui bahwa xanthone mngosteen dapat yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 35 menginduksi apoptosis pada tumor, dengan adanya penekanan pertumbuhan dan penurunan ukuran dari jaringan tumor. dari hasil review dapat disimpulkan bahwa xanthone mangosteen berpotensi sebagai agen pencegahan terhadap kanker dan sebagai terapi kombinasi bersamaan dengan obat-obatan anti kanker. kata kunci: xanthones, kulit buah manggis, anti-kanker, apoptosis introduction oral cancer is one of the 10 most frequently occurring cancers world-wide. the 5-year survival rate of less than 50% has not substantially improved over the past several decades, since many oral carcinomas respond poorly to chemotherapy approaches and their responses to radiation therapy have been highly variable. 1,2 oral squamous cell carcinoma is a type of cancer, that usually develops on the squamous or epithelial cells, that cover the lips and the oral cavity. the malignant or cancerous cells are usually found on the floor of the mouth or on the surface of the tongue. these cancerous cells also originate on the lower lips and palate or the tonsillar area of the oral cavity. the squamous cell carcinoma is believed to develop from the keratinizing or malpighian epithelial cells, as the presence of keratin has been observed in the malignant cells. it is one of the most prevalent types of oral and pharyngeal cancers. 3 the pericarp of mangosteen (garcinia mangostana l.) is rich in various xanthones that are known to possess unique biological activities. the researchers found that all tested xanthones inhibited the growth of the cancer cells. they observed cytotoxic properties against three human cancer cell lines, epidermoid carcinoma of the mouth, breast cancer, and small-cell lung cancer. the specific xanthones include alphama ngostins, showed that mangosteen xanthones not only inhibit the proliferation of target cells but also induce their death by apoptosis that involves the activation of the caspase cascade.4 some research for anti cancer agents from plant sources, all the polyphenols and terpenoids tested which exhibited an antiproliferative effect, were observed to induce apoptosis by targeting mitochondria with a decreased membrane potential, leading to the activation of the intrinsic apoptotic signal transduction. in some cases, the early responsive signaling cascades including protein kinases mapk and akt referring to growth and survival, respectively, were down regulated. reports indicated a potent antiproliferative activity of 4 xanthones (αmangostin, β-mangostin, γ-mangostin, and methoxy β-mangostin) from the pericarps of mangosteen against human leukemia hl60 cells. interestingly, α-mangostin was observed to induce mitochondrial dysfunction. moreover, it induced cell-cycle arrest and apop-tosis in human colon cancer dld-1 cells.5 in this review, we discuss the mecha nism of anti-cancer effect of xanthones and the potentiality of chemopreventive agents for oral cancer. mangosteen xanthones the mangosteen (garcinia mangostana) is a tropical fruit considered to be one of the finest tasting fruits in the world and has earned the popular title "the queen of fruit." the mangosteen tree is found predominantly in southeast asia in countries like cambodia, china, indonesia, malaysia, singapore, taiwan and thailand. xanthones are a class of plant derived nutrients or "phytonutrients." they have been demonstrated in numerous scientific studies to hold tremendous nutritional value. found to exhibit strong antioxidant activity xanthones disarm free radicals in the body and enhance and support your body's immune system. although xanthones exist in small amounts throughout nature, it is found in concentrated amounts in the pericarp of the mangosteen fruit. 5 yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… 36 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 figure 1. the garcinia mangostana linn tree (a), the appearance of mangosteen fruit (b) and the chemical structures of xanthones included in the pericarps (c) there are over 20 known forms of xanthones naturally occurring in the pericarp, the two most widely studied are alpha mangostin and gamma mangostin. accor ding to the research, the most concentrated source of xanthones found in nature is in the pericarp (rind) of the mangosteen fruit. the majority of clinical studies on xanthones specify that the xanthones used were from the mangosteen pericarp. phytochemical studies have shown that they contain a variety of secondary metabolites, such as oxygenated and prenylated xanthones. recent studies revealed that these xanthones exhibited a variety of biological activities containing anti-inflammatory, anti-bacterial, and anti-cancer effects.7 oral squamous cell carcinoma oral squamous cell carcinoma is a type of cancer, that usually develops on the squamous or epithelial cells, that cover the lips and the oral cavity. the malignant or cancerous cells are usually found on the floor of the mouth or on the surface of the tongue. these cancerous cells also originate on the lower lips and palate or the tonsillar area of the oral cavity. the squamous cell carcinoma is believed to develop from the keratinizing or malpighian epithelial cells, as the presence of keratin has been observed in the malignant cells. it is one of the most prevalent types of oral and pharyngeal cancers. the most important risk factors of oral squamous cell carcinoma are tobacco smoking and alcohol consumption. many studies have shown that smoking and excessive intake of alcohol are the leading causes of this disease. more than 90% of the people affected by this disease have been found to smoke and/or drink alcohol. in addition, squamous cell carcinoma of the tongue may be caused by chronic dental caries, chewing tobacco and betel quid. besides this, oral human papilloma virus (hpv) can also be responsible for causing oral squamous cell carcinoma. the common symptom of oral squamous cell carcinoma is the appearance of scaly or ulcerated plaque or lesions in the oral cavity. sometimes, a red patch of lesions, known as erythroplakia, can be observed. appearance of leukoplakia, a patch of white tissue on the mucous membrane of the mouth is also very common. besides these, a sore on the lips or gums, a lump on the lips or the gums, a white or red patch on the gum, tongue and tonsils yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 37 and swelling of the jaw are some other symptoms of this cancer. a sore throat can also be a symptom of squamous cell carcinoma of the tonsils. oral lesions or ulcers are usually detected during a physical examination of the lips and oral cavity. but all these lesions and plaque are not necessarily malignant or cancerous, which necessitates further tests, to ensure a proper diagnosis of the disease. one of the most important tests, is a biopsy of the affected area. in addition to this, laryngoscopy, bronchoscopy and esophagoscopy are also carried out to detect and exclude cancers of the larynx, bronchial tubes and esophagus. in addition to these, chest x-ray and ct scan of the head, chest and neck are performed to properly diagnose the stages of the disease. the commonly used treatment options for oral squamous cell carcinoma are surgery and radiation therapy. surgery is usually carried out in the early stage of the disease. sometimes, chemotherapy is used, particularly if the disease spreads to other areas like the lungs, bones, pericardium and heart. squamous cell carcinoma of the lips and tongue are treated by surgically removing the affected area. however, surgical reconstruction of lips is required to enable individuals to carry out normal oral activities. oral squamous cell carcinoma can significantly increase the risk of both head and neck cancer, accounting for almost 90% of all head and neck cancers. almost 30,000 people are affected each year by this disease in the united states. as it has been observed that this cancer largely affects those individuals who indulge in excessive smoking and alcohol consumption, so controlling these risk factors can play a significant role in preventing the occurrence and reducing the severity of the disease3. mechanism apoptosis of squamous cell carcinoma the apoptotic potential of cancer cells in correlation to their proliferative dynamics profoundly affects malignant phenotypes, and it appears that pathways governing cell proliferation and cell death are interconnected. failure to enter apoptosis allows transformed cells to enter further cell divisions and acquire further mutations. in the present review, we focus on genetic alterations of caspases and their regulators, underlining the role of these molecules in cancer development. deregulation of caspase expression and/or activity could be a result of various factors, including genetic alterations, promoter methylation, alternative splicing and posttranslational modifications. we show examples that different mutation could have profound effects on caspases activity. caspase-3 mutation was investigated in squamous cell carcinoma of the head and neck (scchn). 8,9,10 the majority of currently available anticancer drugs act at least in part through induction of apoptosis, therefore, a defect in the apoptotic propensity of tumours affects their response to treatment. as described above, a number of anticancer therapies are being tested that influence the expression and/or activity of factors that regulate apoptosis. targeting caspases and apoptotic machinery will play an increasingly important role in future modern cancer therapy, and approaches are being developed that allow “on demand” activation of expression. this will be achieved using sirna technology, the small molecule inhibitors, as well as peptides and peptidomimetics. these approaches may eventually replace the traditional chemo and radiation therapies, and result in more efficient cancer treatments that are devoid of side effects.11 mechanism of α-mangostin-inducing apoptosis in our previous study, it was demonstrated that α-mangostin activated caspase-9 and 3 but not -8 in hl60 cells, indicating that αmangostin may mediate the mitochondrial pathway in the apoptotic process. parameters of mitochondrial dysfunctions such as swelling, loss of membrane potential, decrease in yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… 38 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 intracellular atp, ros accumulation, and cytochrome c/aif release, matsumoto was observed within 1 or 2 h after the treatment, indicating that α-mangostin preferentially targets mitochondria in the early phase. interestingly, replacement of hydroxyl group by methoxy group remarkably decreased the potency to cause mitochondrial dysfunction. it was also shown that the cytotoxicity was correlated with the decrease in the mitochondrial membrane potential. furthermore, we demonstrated that α-mangostin induced a cell cycle arrest at g1/s and the subsequent apoptosis via the intrinsic pathway in dld-1 cells, while a cell cycle arrest by γ-mangostin was at s phase. the changes in expression of cell cycle regulatory proteins were shown in. α-mangostin induced apoptosis was mediated by a caspase independent pathway via mitochondria with the release of endo-g, a known 30-kd nuclease residing in mitochondria, is able to induce nucleosomal dna fragmentation. 12,13 figure 2. schematic diagram shows the possible effect of xanthones on the apoptosis pathways. xanthones induce apoptosis occurrence, preferentially activate the mitochondrial pathway, support intracellular atp decrease, cytochrome c/aif release, caspase-9 and caspase-3 activation, endonuclease-g release. furthermore, xanthones also influence cancer cells apoptosis via mir-143/erk5/c-myc pathway, no inhibition, cell-cycle arrest, sarcoendoplasmic reticulum ca2+-atpase inhibition, and intracellular ros accumulation.14 mitogen activated protein kinases (mapks) and akt kinase are key regulatory proteins in cells. mapks are a widely conserved family of serine/threonine protein kinases involved in many cellular processes such as cell proliferation, differentiation, motility, and death. akt, another serine / threonine protein kinase, is associated with cell survival, growth, and glycogen metabolism. various phytochemicals have been shown to modulate the signaling pathways of mapks and/or akt, leading to growth inhibition and cell death. erk1/2 may play a dual role, acting first as a cellular adaptive response at the initial phase and then as a cytotoxic response at the later stage. as reported, the decline in perk1/2 after the later peak may be associated with the apoptotic machinery. on the other yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 39 hand, in the akt signaling the level of p-akt was markedly reduced at 6 h following αmangostin treatment, coincident with the occurrence of apoptosis. therefore, downregulation of akt signaling could participate in the mechanism of apoptosis induced by αmangostin. 15 the cell cycle is normally regulated by a number of proteins, including p53, p21waf, the cyclin-dependent kinases (cdks) and their activators, the cyclins. the dysregu lation of cell cycle machinery and checkpoint signaling pathways is a hallmark of malig nant cells. thus, modulation of cell cycle progression is one of the major strategies for both chemoprevention and chemotherapy. treatment of mangosteen results in a direct inhibition of the proliferation and viability of various cancer cell types in vitro, as manifested by the significant arrest of cells at various phases of the cell cycle. by the inactivation of the signaling cascades involving erk1/2 and akt at 3 h-treatment. the cell cycle regulatory proteins cyclin d1 and cdc2 were also down-regulated at 3 h treatment. 14,15 figure 3: an overview: how xanthones induce cell-cycle arrest. xanthones block the cell cycle by activation or inhibition of cyclins, cdks, inhibitor of cdks, transcription factors or oncoproteins in cancer cells. 14 discussion apoptotic cell death is controlled by proapoptotic caspases, proteases that are synthesized as inactive precursors and activated by proteolytic processing . the apoptotic cascade can be initiated via two major pathways, involving either the release of cytochrome c from the mitochondria (mitochondrial pathway) or activation of death receptors in response to ligand binding (death receptor pathway). upon triggering of either pathway, caspases, the final executioners of apoptosis, are activated, causing degradation of cellular proteins and leading to typical morphological changes such as chromatin conden sation, nuclear shrinkage, and the formation of apoptotic bodies. both pathways are differentially involved in the cellular response to diverse apoptotic stimuli. the majority of chemotherapeutic agents trigger the yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… 40 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 mitochondrial pathway, but the death receptors have also been reported to be involved in chemotherapy-induced apoptosis. 11 death ligands such as tnf-α or cd95l recruit, via the adapter molecule fadd, cytoplasmic mono-meric initiator caspase-8 to their sur-face receptors, resulting in dimeri-zation and activation of caspase-8. active caspase-8 cleaves and activates downstream effector caspases including caspase-3, -6 or 7, which degrade a broad range of cellular proteins and trigger the appearance of the apoptotic morphology . on the other hand, mitochondria are important regulatory sites of the apoptotic process. defects in mitochondrial function result in release of cytochrome c, which can associate with apaf-1 (apoptosis protease activating factor) and procaspase-9. the observation that chemical inhibition of caspase-9 blocks hypoxiainduced apoptosis points to a role of the complex in hypoxia-induced apoptosis. this activation complex results in autoprocessing of caspase-9 and further activation of down-stream caspases, such as caspase-3. activation of caspase-3 has been linked to the proteolytic cleavage of cellular substrates including poly-adp-ribosepolymerase (parp), and is also necessary for the nuclear changes and chromatin condensation associated with apoptosis. 12 the anti-proliferative effects of the xanthones were associated with cell-cycle arrest by affecting the expression of cyclins, cdc2, and p27; g1 arrest by α-mangostin and β-mangostin, and s arrest by γ-mangostin. αmangostin found to induce apoptosis through the activation of intrinsic pathway following the downregulation of signaling cascades involving map kinases and the serine/threonine kinase akt. conclusions new strategies for cancer treatment are being developed, and one of the most promising treatment strategies involves the application of chemopreventive agents. the search for novel and effective cancer chemopreventive agents has led to the identification of various naturally occurring compounds. the potential chemopreventive and chemotherapeutic activities of xanthones have been demonstrated in different stages of carcinogenesis (initiation, promotion, and progression) and are known to control cell division and growth, apoptosis, inflammation, and metastasis. carcinogenesis prevention is considered to be a promising alternative strategy for the treatment of cancer. based on this information, this review presents compelling evidence for the use of mangosteen not only to prevent but also to treat cancer due to the similar molecular targets that affect tumor initiation, promotion, and progression. taken together, these results support that mangosteen can modulate various molecular pathways involved in multiple processes of carcinogenesis including the inactivation of carcinogens, the induction of apoptosis, the initiation of cell cycle arrest, and the suppression of metastasis. although there is compelling evidence to suggest that xanthones from mangosteen may be a remarkable candidate for chemopreventive and chemotherapeutic strategies due to its efficacy and pharmacological safety, further research must be conducted before the compounds can be employed as an agent for the chemoprevention/treatment of cancer. references 1. parkin dm, pisani p, ferlay j: estimates of the worldwide incidence of eighteen major cancers in 1985. int j cancer 1993, 54:594-606. 2. parkin dm, pisani p, ferlay j: global cancer statistics. ca cancer j clin 1999, 49:33-36. 3. chandramita bora .http://www.buzzle. com/articles/oral-squamous-cell-carcino ma.html 4. watanapokasin r, jarinthanan f, jerusalmi a, suksamrarn s, nakamura y, et al. potential of xanthones from tropical fruit mangosteen as anti-cancer agents: caspase-dependent apoptosis induction yani corvianindya rahayu, potential of mangosteen xanthones as anti-oral cancer… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 41 in vitro and in mice. appl biochem biotechnol. 2010 oct;162(4):1080-94. 5. nakagawa y, iinuma m, naoe t, nozawa y, akao y. characterized mechanism of α-mangostin-induced cell death: caspase-independent apoptosis with release of endonuclease-g from mitochondria and increased mir-143 expression in human colorectal cancer dld-1 cells. bioorg. med. chem. 2007;16:5620– 5628 6. mangosteen & xanthones frequently asked questions (faq's).http://livingby heart.tripod.com/xresearch/id74.html 7. akao y, nakagawa y, iinuma m, noza wa y. anti-cancer effects of xanthones from pericarps of mangosteen. int j mol sci. 2008 march; 9(3): 355–370. 8. maddika s, ande sr,panigrahi s,paranjothy t,weglarczyk k, zuse a, et al. cell survival, cell death and cell cycle pathways are interconnected: implications for cancer therapy. drug resist updat 2007;10:13–29. 9. mandruzzato s, brasseur f, andry g, boon t, van der bruggen p. a casp-8 mutation recognized by cytolytic t lymphocytes on a human head and neck carcinoma. j exp med 1997;186:785– 93. 10. lakhani sa,masud a, kuida k, et al. caspases 3 and 7: key mediators of mitochondrial events of apoptosis. science 2006;311:847–51. 11. ghavami s , hashemi m, ande sr, yeganeh b, et al. apoptosis and cancer: mutations within caspase genes; j med genet 2009;46:497-510 12. nagaraj ns, vigneswaran n, zacharias w. hypoxia-mediated apoptosis in oral carcinoma cells occurs via two independent pathways, molecular cancer 2004, 3:38 13. matsumoto k, akao y, yi h, ohguchi k, ito t, tanaka t, kobayashi e, iinuma m, nozawa y. preferential target is mitochondria in α-mangostin-induced apoptosis in human leukemia hl60 cells. bioorg. med. chem. 2004;12: 5799–5806. 14. akao y, nakagawa y, iinuma m, nozawa y. anti-cancer effects of xanthones from pericarps of mangosteen. int j mol sci. 2008 march; 9(3): 355– 370. 15. pedraza-chaverri j, cardenas-rodriguez n, orozco-ibarra m, et al. medicinal properties of mangosteen (garcinia mangostana) food chem toxicol. 2008;46 (10): 3227–39. 68 status kesehatan gingiva pada penderita sindrom down di balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (bbrsbg) temanggung gingival health status in down sindrom patient at balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (bbrsbg) temanggung catra reizena werdiningsih1, hartanti2 1student of dentistry, faculty of medicine and health science, muhammadiyah university of yogyakarta, 2lecture of dentistry, faculty of medicine and health science, muhammadiyah university of yogyakarta abstrak gingivitis adalah salah satu bentuk penyakit pada gingiva yang paling sering dijumpai. hampir semua bentuk penyakit pada gingiva disertai peradangan atau inflamasi oleh karena bakteri dari plak yang berakumulasi di daerah gingiva. proses peradangan yang terbatas pada epitel mukosa di sekitar leher gigi dan tulang alveolar. peradangan pada gingiva ini membuat perubahan warna pada gingiva dari merah muda menjadi merah tua sampai keunguan, kecenderungan meningkat untuk berdarah, pembengkakan serta disertai rasa sakit. penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi kasus gingivitis pada penderita sindrom down di balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (bbrsbg) temanggung. penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental yang bersifat analisa deskriptif dengan pendekatan cross sectional, subyek penelitian yaitu penderita sindrom down di bbrsbg temanggung. pengumpulan data diperoleh dari hasil pemeriksaan status kesehatan gingiva, yang diukur menggunakan indeks gingiva. data kemudian diolah dan dianalisis secara statistik dan hasilnya dilihat dari tabel frekuensi data (mean). kasus gingivitis pada penderita sindrom down di bbrsbg temanggung ini berjumlah 19 responden (100%). dari semua responden (100%) masuk dalam kategori gingivitis ringan.dari 19 responden tersebut sebagian besar terlihat kondisi rongga mulut seperti gigi geligi yang rusak, rongga mulut kotor, susunan gigi geligi yang tidak teratur, lidah besar dan berfisure, palatum sempit. kondisi ini dipengaruhi akibat skor iq yang rendah antara 25-75 yang membuatnya tidak mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan dirinya. kata kunci: gingivitis, indeks gingiva, sindrom down abstract gingivitis is a form of gingival disease in the most frequently encountered. almost all forms of diseases of the gingiva accompanied by inflammation or inflammation caused by bacteria from plaque that accumulates in the gingiva. inflammatory process is limited to the mucosal epithelium around the neck of the tooth and alveolar bone. inflammation of the gingiva is making changes in gingival color from pink to dark red to purple, an increased tendency for bleeding, swelling and painful. this study aims to look at the prevalence of gingivitis in people with down syndrome at the balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (bbrsbg) temanggung. this research was a non-experimental research that is descriptive analisis with cross sectional approach, the subjects of the research were a down syndrome patient in bbrsbg temanggung. the collection of data were obtained from the examination gingival health status, measured using the gingival index. the data was then processed and statistically analyzed and the results are seen from frequencies table of data (mean). case of gingivitis in people with down syndrome in bbrsbg temanggung totaled 19 respondents (100%). all of respondents (100%) in the category of mild gingivitis. from 19 respondents the most oral condition looks like the teeth is decay, bad oral higiene, crowded teeth, big tongue and fissured, small palatum. this condition influence cause of iq score is 25-27 so can not make the patient respect to self cleansing. key words: gingivitis, gingival index, down's syndrome. 69 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 pendahuluan world health organization (who) 1978 menyatakan bahwa penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang paling luas penyebarannya pada manusia. gingivitis mengenai lebih dari 80% anak usia muda, sedangkan hampir semua populasi dewasa sudah pernah mengalami gingivitis, periodontitis atau keduanya1. gingivitis merupakan bentuk penyakit pada gingiva yang paling sering dijumpai2. hampir semua bentuk penyakit gingiva disertai dengan adanya kondisi peradangan atau inflamasi oleh karena iritasi bakteri dari plak yang berakumulasi di sekitar gingiva3. etiologi penyakit periodontal terdiri dari faktor primer dan sekunder. penyebab primer adalah iritasi bakteri yaitu akumulasi plak. sedangkan untuk faktor sekunder dibagi menjadi 2 yaitu faktor lokal dan sistemik. faktor lokal pada lingkungan gingiva merupakan presdiposisi dari akumulasi plak dan menghalangi pembersihan plak. faktorfaktor lokal meliputi restorasi yang keliru, kavitas karies, tumpukan sisa makanan, susunan gigi geligi yang tidak teratur, kebiasan bernafas melalui mulut, geligi tiruan sebagian lepasan yang desainnya tidak baik. faktor sistemik adalah faktor yang mempengaruhi tubuh secara keseluruhan misalnya; faktor nutrisional, hormonal, hematologi dan genetik. ada sejumlah penyakit genetik yang meningkatkan kerentangan terhadap penyakit periodontal yaitu salah satunya sindrom down4. sindrom down adalaha bnormalitas kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia. penderita sindrom down adalah individu yang dapat dikenali fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat jumlah kromoson 21 yang berlebih. diperkirakan 20% penderita sindrom down dilahirkan dari ibu yang berumur di atas 35 tahun5. kondisi rongga mulut pada penderita sindrom down biasanya mulut selalu terbuka, ujung lidah yang besar. mata, hidung, dan mulut tampak kotor dan gigi-geligi rusak. hal ini disebabkan karena ketidaksadaran untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri apalagi untuk kebersihan giginya6. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan gingiva pada penderita sindrom down di bbrsbg temanggung. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental yang bersifat analisa deskriptif dengan pendekatan cross-sectional, subyek penelitian yaitu penderita sindrom down di bbrsbg temanggung. subyek penelitian yang diambil sebanyak 19 responden umur antara 15-30 tahun. dengan kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi penderita sindrom down usia 15-30 tahun, bersedia ikut serta dalam penelitian. kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi mempunyai penyakit sistemik, penderita sindrom down yang tidak mau menjadi subyek penelitian. status kesehatan gingiva diukur dengan gingival index (gi) yang merupakan ukuran pengukuran kesehatan gingiva yang diperoleh melalui pengamatan visual, palpasi dan probing. indeks gingiva berkembang untuk menilai keparahan gingivitis dan lokasinya pada 4 daerah pemeriksaan yaitu mesial, bukal/fasial, distal dan lingual/palatal1.4. pengukuran indeks gingiva (gi) pada penelitian ini dengan cara probing. keempat daerah pemeriksaan diprobing kemudian dicatat dan diberi skor sesuai dengan keparahan kondisinya. pemeriksaan ini dilakukan pada tiap regio. setelah didapatkan hasil untuk tiap regio, kemudian dijumlah skor tiap-tiap regio dan hasil seluruh penjumlahan dibagi jumlah daerah pemeriksaan serta jumlah gigi yang diperiksa. 70 hartanti | status kesehatan gingiva pada penderita sindrom down di balai besar rehabilitasi sosial bina grahita hasil penelitian hasil penelitian untuk karakteristik responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini. tabel 1 distribusi umur responden no. umur (tahun) jumlah (orang) persentase (%) 1. 15 3 15,8 2. 16 3 15,8 3. 17 1 5,3 4. 18 5 26,3 5. 19 2 10,5 6. 20 1 5,3 7. 21 2 10,5 8. 22 1 5,3 9. 25 1 5,3 total 19 100,0 berdasarkan tabel 1 responden yang paling banyak dijumpai adalah responden umur 18 tahun sebanyak 5 orang (26,3%). secara berurutan diikuti responden umur 15 dan 16 tahun masing-masing sebanyak 3 orang (15,8%); umur 19 dan 21 tahun masingmasing sebanyak 2 orang (10,5%); dan terakhir adalah umur 17, 20, 22 dan 25 tahun masing-masing sebanyak 1 orang (5,3%). tabel 2 skor indeks gingiva no. skor indeks gingiva jumlah (orang) persentase (%) 1. 0,1 3 15,8 2. 0,2 12 63,2 3. 0,3 1 5,3 4. 0,4 1 5,3 5. 0,5 1 5,3 6. 0,7 1 5,3 total 19 100 berdasarkan tabel 2 skor indeks gingiva paling banyak dijumpai adalah 0,2 sebanyak 12 orang (63,2%), diikuti skor indeks gingiva 0,1 sebanyak 3 orang (15,8%). responden berjumlah 1 orang dengan masingmasing jumlah skor indeks gingiva sebanyak 0,3; 0,4; 0,5; dan 0,7. 71 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 tabel 3 status kesehatan gingiva no. status kesehatan gingiva jumlah (orang) persentase (%) 1. gingivitis ringan 19 100 2. gingivitis sedang 0 0 3. gingivitis berat 0 0 berdasarkan tabel 3 status kesehatan gingiva seluruh responden sebanyak 19 orang (100%) termasuk dalam kategori gingivitis ringan, sedangkan untuk responden dengan kategori gingivitis sedang maupun berat tidak diperoleh (0%). diskusi berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa semua subyek penelitian (100%) yaitu 19 penderita sindrom down yang paling sering dijumpai adalah responden umur 18 tahun sebanyak 5 orang (26,3%). sementara untuk umur yang lain dijumpai satu atau dua orang saja. morinushi takanobu dkk (2006) menyatakan bahwa semakin bertambah umur responden semakin tinggi pula tingkat terjadinya gingivitis7. skor indeks gingiva yang paling banyak dijumpai adalah 0,2 sebanyak 12 orang (63,2%), kemudian skor terendah adalah 0,1 sebanyak 3 orang (15,8%) dan skor tertinggi adalah 0,7 sebanyak 1 orang (5,3%). dari hasil pemeriksaan indeks gingiva dapat disimpulkan bahwa semua subyek penelitian yang berjumlah 19 responden masuk dalam kategori gingivitis ringan dengan tanda klinis inflamasi ringan, sedikit perubahan warna, sedikit oedema, tidak ada perdarahan pada saat dilakukan probing. masuk dalam kategori gingivitis ringan karena hasil skor indeks gingiva antara 0,1-1,0. dalam penelitian ini tidak ditemukan gingivitis kategori sedang dan kategori berat. indeks gingiva diketahui bahwa semua responden masuk dalam kategori gingivitis ringan ini disebabkan karena setiap dua bulan sekali rutin diadakan pemeriksaan gigi dan mulut bagi semua penghuni bbrsbg termasuk juga penderita sindrom down. pada penelitian ini memang nampak kondisi seperti yang telah disebutkan. hampir semua responden memiliki ciri yang khas seperti lidah yang besar dan berfisure, palatum yang sempit, rongga mulut yang kotor, serta gigi geligi yang rusak. secara fisik terlihat wajah responden yang hampir mirip satu sama lain. kesimpulan berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian tentang ststus kesehatan gingiva pada penderita sindrom down di balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (bbrsbg) temanggung dapat ditarik kesimpulan yaitu prevalensi gingivitis pada penderita sindrom down di bbrsbg temanggung adalah 19 responden (100%) masuk dalam kategori gingivitis ringan. saran adapun saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan hasil penelitina tersebut antara lain : 1. bagi pengelola lembaga bbrsbg temanggung hendaknya lebih mengadakan penyuluhan dan simulasi secara berkala pada penderita sindrom down dengan melibatkan peran serta guru atau orang tua pendamping dan tenaga kesehatan sebagai narasumber. 2. bagi tenaga kesehatan bbrsbg hendaknya lebih meningkatkan lagi 72 hartanti | status kesehatan gingiva pada penderita sindrom down di balai besar rehabilitasi sosial bina grahita pemeriksaan gigi dan mulut bagi penderita sindrom down secara rutin agar penyakit gigi dan mulut dapat terhindarkan. 3. bagi petugas kesehatan hendaknya mengadakan penyuluhan dan simulasi secara berkala ke lembaga atau sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus khususnya penderita sindrom down ini. 4. bagi guru atau orang tua pendamping hendaknya tetap menerapkan home care agar kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut penderita sindrom down tetap terjaga. 5. bagi pemerintah hendaknya lebih memfasilitasi alat-alat dan bahan kedokteran gigi yang masih terbatas di lembaga bbrsbg temanggung guna peningkatan kesehatan gigi dan mulut. daftar pustaka 1. manson, j.d., dan eley, b.m. (1993). buku ajar periodonti (edisi 2). (anastasias., penerjemah). jakarta: hipokrates, 1-4, 23-32, 44-53, 67, 9596. 2. newman, m.g., takei, h.h., carranza, f.a. (2002). clinical periodontology (9th ed.). new york: elsevier. 46-63. 3. carranza. (1990). glickman’s clinical periodontology (5th ed.). w.b. saunders co., philadelphia, 46-48, 61-64. 4. fedi, p.f., vernino, a.r., gray, j.l. (2005). silabus periodonti (4th ed.). (amaliya, penerjemah). jakarta: egc, 1-15. 5. soetjiningsih. (1995). tumbuh kembang anak. jakarta: egc, 211-221. 6. suryo. (2005). genetika manusia. yogyakarta: gadjah mada university press, 259-271. 7. morinushi, takanobu., et al. (2006). a comparison of gingival health of children with down syndrome to healthy children residing in an institution. spec care dentist 2006; (26) 1; 13-19. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 43 research article prevalensi premature loss gigi desidui pada anak usia 9-10 tahun prevalence of premature loss of deciduous teeth in 9-10-year-old children wustha farani1,*, aryani dewi2 1departemen kedokteran gigi anak, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: june 28th, 2018; reviewed date: july 15th, 2018; revised date: august 28th, 2018 ; accepted date: october 1st, 2018 doi : 10.18196/di.7295 abstrak premature loss pada gigi desidui merupakan keadaan gigi desidui yang hilang atau tanggal sebelum gigi penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan karena karies, trauma dan kondisi sistemik. premature loss dapat menyebabkan pengurangan panjang lengkung gigi dan migrasi gigi antagonis yang menyebabkan rotasi, berjejal dan impaksi gigi permanen. tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi premature loss gigi desidui pada anak usia 9-10 tahun. desain penelitian ini adalah deskriptif dengan studi penelitian cross-sectional. populasi penelitian berjumlah 216 anak dan berdasarkan kriteria inklusi didapatkan 63 anak yang menjadi responden penelitian. penelitian ini dilakukan di sd it insan utama dengan cara melihat kondisi gigi yang mengalami premature loss. hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 63 anak usia 9-10 tahun di sd it insan utama, 41.2% mengalami premature loss pada gigi molar satu (m1), 37.3% pada gigi kaninus (c) dan 21.6% pada gigi molar dua (m2). premature loss pada anak laki-laki sebanyak 38 anak (60.3%) sedangkan pada anak perempuan sebanyak 25 anak (39.7%). prevalensi tertinggi premature loss adalah pada anak usia 9 tahun, yaitu sebanyak 36 anak (57.1%) dari 63 sampel anak, serta prevalensi tertinggi pada regio posterior sebanyak 18 anak (58.1%). kesimpulan dari penelitian ini yaitu prevalensi premature loss pada anak usia 9-10 tahun di sd it insan utama adalah sebesar 29.16%. kata kunci: gigi desidui; premature loss; anak usia 9-10 tahun abstract premature loss in deciduous teeth is a condition of missing deciduous teeth before the eruption of the permanent teeth, caused by caries, trauma, and systemic conditions. premature loss can cause a reduction in dental arch length and migration of antagonist's teeth, which cause rotation, crowding, and impaction of permanent teeth. the study aimed to determine the prevalence of premature loss of deciduous teeth in 9-10-year-old children. the design of this study was descriptive with a cross-sectional study. the population of the study was 216 children, based on inclusion criteria, 63 children were the respondents of the study. this research was conducted at sd it insan utama by observing the condition of the teeth experiencing premature loss. the results showed that 63 respondents based on the age, 41.2% has a premature loss in deciduous first molars, 37.3% in deciduous canines, and 21.6% in deciduous second molars. premature loss based on gender showed that premature loss in boys is 38 children (60.3%), while in girls are 25 children (39.7%). the highest prevalence of premature loss is in 9year-old children, as many as 36 children (57.1%) of 63 child samples, and the highest prevalence is in the posterior region of 18 children (58.1%). it can be concluded that the prevalence of premature loss in children aged 9-10 years at sd it insan utama is 29.16%. keywords: deciduous teeth; premature loss; 9-10 year-old children * corresponding author, e-mail: drg_wustha@yahoo.com wustha farani, aryani dewi | prevalensi premature loss gigi desidui pada anak usia 9-10 tahun 44 pendahuluan gigi desidui mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pada anak.1 menurut heilborn et al. (2016) gigi desidui mempunyai peranan penting dalam perkembangan pada lengkung maksila, otot wajah dan membentuk oklusi permanen yang normal.2 premature loss pada gigi desidui merupakan keadaan gigi desidui yang hilang atau tanggal sebelum gigi penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan karena karies, trauma dan kondisi sistemik.3 hal ini paling sering terjadi dikarenakan kurangnya kebersihan pada mulut, luka atau lesi. karies gigi dapat mempengaruhi gigi desidui dan menyebabkan gigi desidui tidak dapat dipertahankan dalam lengkungnya.4 hasil penelitian ahamed., et al., (2012) pada anak usia 5-10 tahun di kota chidambaram india menunjukkan prevalensi premature loss gigi desidui sebesar 16,5% dengan persentase premature loss molar pertama 60,36%, molar kedua 29.72%, insisivus 6,30% dan kaninus 3,60%.5 menurut cavalcanti et al., (2008) prevalensi premature loss paling banyak pada anak usia 9 tahun 27,2% dan paling banyak premature loss pada gigi molar desidui mandibula 74,3%.6 premature loss dapat menyebabkan pengurangan panjang lengkung gigi dan migrasi gigi antagonis yang menyebabkan rotasi, berjejal dan impaksi gigi permanen. selain itu, pengurangan panjang lengkung gigi lebih besar pada mandibula daripada di maksila jika molar kedua desidui yang hilang, daripada gigi molar pertama.7 beragamnya dampak yang dihasilkan oleh premature loss serta tidak adanya referensi terbaru terkait prevalensi premature loss menjadikan penelitian mengenai prevalensi premature loss gigi desidui pada anak usia 9-10 tahun perlu dilakukan. material dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. penelitian dilaksanakan di sd it insan utama dengan total responden berjumlah 216 anak, 63 anak yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu anak yang berusia 9-10 tahun. gigi desidui yang telah hilang (premature loss) pada bagian anterior dan/atau posterior, sudah atau belum mengalami penutupan ruang pada gigi bagian anterior dan/atau posterior dan anak yang kooperatif dan bersedia menjadi sampel penelitian. kriteria ekslusi adalah gigi desidui yang tidak mengalami premature loss dan anak yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian. metode pengukuran pada penelitian ini menggunakan odontogram dengan melihat kondisi gigi yang premature loss. gigi yang termasuk premature loss adalah gigi yang telah dicabut atau hilang sebelum waktunya serta gigi karies yang telah menyisakan akar gigi pada gigi anterior maupun posterior. hasil tabel 1. hasil pemeriksaan premature loss gigi desidui premature loss jumlah persentase (%) ya 63 29.16 tidak 153 70.83 total 216 100 tabel 2. jumlah premature loss berdasarkan lokasi gigi desidui gigi jumlah persentase (%) kaninus (c) 53 6 5.88 63 3 2.94 73 12 11.76 83 17 16.67 molar 1 (m1) 54 3 2.94 64 8 7.84 74 12 11.76 84 19 18.63 molar 2 (m2) 55 2 1.96 65 3 2.94 75 8 7.84 85 9 8.82 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 45 berdasarkan tabel 1, dapat diketahui jumlah anak yang mengalami premature loss sebanyak 63 anak (29.16%) dan anak yang tidak mengalami premature loss sebanyak 153 anak (70.83%). berdasarkan tabel 2, didapatkan jumlah gigi yang mengalami premature loss terbanyak adalah gigi molar pertama (m1) sebanyak 41.17%, kemudian disusul gigi kaninus (c) 37.25% serta yang paling sedikit adalah gigi molar kedua (m2) sebanyak 21.56%. berdasarkan tabel 3. dapat diketahui prevalensi premature loss regio anterior sebanyak 25 anak, diantaranya pada anak laki-laki sebanyak 21 anak (84.0%), pada anak perempuan sebanyak 4 anak (16.0%), pada regio posterior sebanyak 31 anak, diantaranya pada anak laki-laki sebanyak 12 anak (38.7%), pada anak perempuan sebanyak 19 orang (61.3%), serta pada regio anterior dan posterior sebanyak 7 anak, diantaranya pada anak laki-laki sebanyak 5 anak (71.4%) dan pada anak perempuan 2 anak (28.6%). total prevalensi premature loss pada anak laki-laki sebanyak 38 anak (60.3%) sedangkan pada anak perempuan sebanyak 25 anak (39.7%). berdasarkan tabel 4. dapat diketahui prevalensi premature loss pada anak usia 9 tahun regio anterior sebanyak 12 anak (33.3%), regio posterior sebanyak 18 anak (50.0%), serta regio anterior dan posterior sebanyak 6 anak (16.7%), prevalensi premature loss pada anak usia 10 tahun regio anterior sebanyak 13 anak (48.1%), regio posterior sebanyak 13 anak (48.1%), serta regio anterior dan posterior sebanyak 1 anak (3.7%). sedangkan jumlah total premature loss pada anak usia 9 dan 10 tahun yaitu sebanyak 25 anak (39.7%) pada regio anterior, 31 anak (49.2%) pada gigi posterior serta 7 anak (11.1%) pada regio anterior dan posterior. tabel 3. hasil prevalensi premature loss berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin regio total anterior posterior anterior dan posterior laki-laki 21 12 5 38 84.0% 38.7% 71.4% 60.3% perempuan 4 19 2 25 16.0% 61.3% 28.6% 39.7% total 25 31 7 63 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% tabel 4. hasil prevalensi premature loss berdasarkan usia usia regio total anterior posterior anterior dan posterior 9 tahun 12 18 6 36 33.3% 50.0% 16.7% 100.0% 48.0% 58.1% 85.7% 57.1% 10 tahun 13 13 1 27 48.1% 48.1% 3.7% 100.0% 52.0% 41.9% 14.3% 42.9% total 25 31 7 63 39.7% 49.2% 11.1% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% wustha farani, aryani dewi | prevalensi premature loss gigi desidui pada anak usia 9-10 tahun 46 pembahasan premature loss merupakan suatu keadaan dimana gigi desidui mengalami tanggal sebelum waktunya, dapat disebabkan karena karies, trauma atau kondisi sistemik. premature loss dapat menyebabkan perubahan dalam hubungan gigi yang berdekatan menjadi crowding atau berjejal serta dapat menyebabkan permasalahan ruang.8 gigi yang tanggal sebelum waktunya dapat menyebabkan erupsi gigi pengganti lebih cepat atau lebih lambat, premature loss pada anak juga dapat mengakibatkan gigi rotasi, ekstrusi gigi antagonis, gigi berjejal, kelainan pertumbuhan kraniofasial, impaksi gigi pengganti serta pengurangan lengkung rahang.2 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, anak laki-laki lebih banyak mengalami premature loss daripada anak perempuan, hal ini selaras dengan penelitian ahamed, et al (2012) yang mengatakan bahwa prevalensi premature loss lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan kemungkinan disebabkan karena skor karies (dmft) pada anak lakilaki lebih tinggi serta dapat dipengaruhi oleh status sosio-ekonomi yang berakibat dalam pemberian asupan nutrisi yang lebih lama daripada anak perempuan.5 penelitian cavalcanti, et al (2008) juga menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih banyak mengalami premature loss daripada anak perempuan, karena anak laki-laki lebih banyak aktifitas fisik dibandingkan anak perempuan.6,9,10 anak usia 9 tahun yang mengalami premature loss berdasarkan penelitian diatas didapatkan sebanyak 36 anak (57.10%) dan anak usia 10 tahun yang mengalami premature loss sebanyak 36 anak (42.90%) yang mengalami premature loss. hasil penelitian didapatkan anak usia 9 tahun lebih banyak mengalami premature loss daripada anak usia 10 tahun. hal ini sepedapat dengan penelitian cavalcanti, et al (2008) yang mengatakan bahwa, kejadian premature loss lebih banyak terjadi pada anak usia 9 tahun dibandikan dengan anak usia 10 tahun, yaitu sebesar 15.2% pada anak usia 9 tahun dan 5.4% pada anak usia 10 tahun.6 gigi yang mengalami premature loss terbanyak adalah gigi m1, hal ini sesuai penelitian di brazil, yang dilakukan oleh cavalcanti, et al (2008) bahwa premature loss terbanyak terjadi pada molar satu (m1), yang kemungkinan disebabkan oleh karies, dental trauma, maupun resorpsi akar yang terlalu dini (premature root resorption).6 menurut gómez, et al (2016) tingginya angka presentase premature loss pada gigi molar dapat disebabkan karena adanya plak pada gigi, konsumsi makanan manis dan soda, pengetahuan ibu tentang kesehatan gigi serta frekuensi sikat gigi anak yang akan mengakibatkan karies pada gigi anak. kehilagan gigi desidui yang berada pada urutan kedua adalah molar dua (m2), hal ini sependapat dengan penelitian herawati, et al (2015) menyatakan bahwa persentase kehilagan gigi desidui yang kedua adalah molar dua (m2), yaitu sebanyak 39.1%, dapat terjadi karena gigi m2 mempunyai pit dan fissure lebih banyak pada permukaan oklusal yang menyebabkan mudah menempelnya sisa makanan, akumulasi plak kemudian terbentuk karies.3,8,11 kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan pada anak usia 9-10 tahun dapat diambil kesimpulan bahwa prevalensi premature loss pada anak usia 9-10 tahun adalah sebesar 29.16%. daftar pustaka 1. song, k., nam, o., kim, m., lee, h., & choi, s. management of premature loss of primary molars with flexible denture. j. korean acad. pediatric dent. 2016; 43(2), 187–19. 2. heilborn, jc., küchler, ec., fidalgo, tks., antunes, laa., & costa, mc. early primary tooth loss: prevalence, insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 47 consequence and treatment. int j dent, 2011; 10(3); 126-130. 3. herawati, h., sukma, n., & utami, r. d. relationship between deciduous teeth premature loss and malocclusion incidence in elementary school in cimahi. journal of malocclusion and health, 2015; 1(2) 156-164. 4. carvalho, tm., miranda, af. preventive orthodonthics: space maintainers in the early loss of deciduous tooth – clinical case report. ec dental science, 2017; 10(5): 143-148. 5. ahamed ss., reddy vn., krishnakumar r., mohan mg., sugumuran dk., rao ap. prevalence of early loss of primary teeth in 5-10 year old school children in chidambaram town. cotemp clin dent, 2012; 3(1): 27-30. 6. cavalcanti, al., alencar, crb., medeirosbezerra, pk., granvillegarcia, af. prevalence of early loss of primary molars in school children in campina grande, brazil. pediatric dentistry, 2008; 28(1): 113-116. 7. murshid sa., al-labani ma., aldhorae ka., & rodis omm. prevalence of prematurely lost primary teeth in 5–10 year-old children in thamar city, yamen: a cross-sectional study. jurnal of international society of preventive & community dentistry. 2016; 6 (2): s126-s130. 8. lópez-gómez sa, villalobos-rodelo jj, ávila-burgos l, casanova-rosado jf, vallejos-sánchez aa, lucasrincón se, patiño-marín n, medinasolís ce. relationship between premature loss of primary teeth with oral hygiene, consumption of soft drinks, dental care, and previous caries experiences. scientific reports, 2016; 1-7. 9. mc donald, re., avery, dr., & dean, ja. dentistry for child and adolescent (8th ed.). st. louis: mosby. 2004; 631632. 10. mc donald re., avery dr., & dean ja. dentistry for the children and adolescent (9th ed.). st louis: mosby. 2011. 11. nelson sj, major m. ash jr. wheeler’s. dental anatomy, physiology and occlusion (9th ed). st.louis: saunders elsevier.s. 2011. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 31 research article efektivitas ekstrak bawang putih (allium sativum) terhadap bakteri aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab gingivitis effectiveness of garlic (allium sativum) extract against aggregatibacter actinomycetemcomitans as an etiology of gingivitis triagus nursasongko sutiyono1, risyandi anwar2,*, zita aprillia2 1fakultas kedokteran gigi, universitas muhammadiyah semarang, jalan kedungmundu no 22 semarang, indonesia. 2departemen kedokteran gigi anak, fakultas kedokteran gigi, universitas muhammadiyah semarang, jalan kedungmundu no 22 semarang, indonesia. received date: july 31st, 2019; reviewed date: august 10th, 2019; revised date: august 26th, 2019 ; accepted date: october 31st, 2019 doi : 10.18196/di.8204 abstrak gingivitis merupakan tahap pertama dalam perkembangan penyakit periodontal, yang disebabkan oleh plak gigi. bakteri yang ditemukan dalam plak tersebut adalah aggregatibacter actinomycetemcomitans (aa). perawatan gingivitis dapat dilakukan dengan berkumur larutan chlorhexidine 0,2. bawang putih (allium sativum) mengandung senyawa allicin yang memiliki efek antibakteri. tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas ekstrak bawang putih (allium sativum) terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri aa sebagai penyebab gingivitis. penelitian true eksperimental laboratoris dengan rancangan penelitian “post-test only control group design”. pengujian kemampuan antibakteri ekstrak bawang putih dengan menggunakan metode difusi sumuran. pembuatan ekstrak dengan metode maserasi dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan chlorhexidine 0,2% sebagai kontrol positif. pengulangan dilakukan 6 kali setiap konsentrasi dilanjutkan pengamatan zona hambat bakteri. hasil penelitian menunjukkan nilai rerata zona hambat ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan bakteri aa dengan konsentrasi 50% sebesar 11,50 mm, konsentrasi 25% sebesar 8,17 mm, dan kontrol positif sebesar 7,22 mm namun konsentrasi 12,5% tidak menghambat pertumbuhan bakteri aa. sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 50% merupakan konsentrasi paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri aa. kata kunci: aggregatibacter actinomycetemcomitans; ekstrak bawang putih; gingivitis abstract gingivitis is the first stage in periodontal disease, caused by dental plaque. the bacteria found are aggregatibacter actinomycetemcomitans (aa). treatment of gingivitis can be conducted by gargling a 0.2% solution of chlorhexidine. garlic contains allicin compounds that have an antibacterial effect. this research aims to identify the effectiveness of garlic (allium sativum) extract in inhibiting the growth of aa as an etiology of gingivitis. this research used a true experimental laboratory with a post-test only control group design. the antibacterial ability of garlic extract was tested using a well diffusion method. the extract production was carried out by utilizing a maceration method with a concentration of 12.5%, 25%, 50%, and chlorhexidine 0.2% as a positive control. repetition was conducted 6 times at each concentration, followed by observation of bacterial inhibitory zones. the result showed that the average of the inhibitory zone of garlic extract against the growth of aa bacteria with a concentration of 50% was 11.50 mm, while the concentration of 25% was 8.17 mm, and positive control was 7.22 mm. the concentration of 12.5% did not inhibit the growth of aa. it can be concluded that the concentration of 50% is the most effective concentration in inhibiting the growth of aa. keywords: aggregatibacter actinomycetemcomitans; garlic extract; gingivitis * corresponding author, e-mail: drg.risyandi@unimus.ac.id triagus nursasongko sutiyono, risyandi anwar, zita aprillia | efektivitas ekstrak bawang putih (allium sativum) terhadap bakteri aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab gingivitis 32 pendahuluan penyebab utama gingivitis yaitu plak gigi yang berkaitan dengan kebersihan rongga mulut yang buruk. salah satu bakteri yang ditemukan dalam plak tersebut diantaranya adalah aggregatibacter actinomycetemcomitans (aa).1 gingivitis yang tidak dirawat dapat berlanjut menjadi periodontitis kronis yang menyebabkan kerusakan jaringan gingiva, sampai menimbulkan hilangnya perlekatan gigi dan tulang alveolar, sehingga gigi mudah terlepas.2 gingivitis dapat dirawat secara mekanik atau kimiawi. perawatan secara mekanik dapat dilakukan dengan scaling.3 perawatan gingivitis secara kimiawi dapat dilakukan dengan cara kumur-kumur dengan larutan chlorhexidine 0,2%.4 penggunaan chlorhexidine 0,2% memiliki efek samping seperti nyeri, sensasi terbakar, gangguan pengecapan dan diskolorisasi gigi.5 bawang putih (allium sativum) telah dikenal sebagai tanaman obat sejak sekitar tahun 300 sm oleh bangsa cina, dan suku-suku pengelana asia tengah.6 penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air bawang putih memiliki aktivitas bakteriostatik terhadap bakteri porphyromonas gingivalis dan aggregatibacter actinomycetemcomitans,7 tetapi belum ada data spesifik yang menunjukkan efektivitas daya hambat ekstrak air bawang putih dibandingkan dengan chlorhexidine 0,2%. oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas daya hambat ekstrak air bawang putih (allium sativum) dibandingkan dengan chlorhexidine 0,2% terhadap bakteri aggregatibacter actinomycetemcomitans sebagai penyebab gingivitis pada anak. material dan metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian true experimental, dengan rancangan penelitian post test only control group design. pengujian kemampuan antibakteri ekstrak bawang putih dengan menggunakan metode difusi sumuran. teknik sampling yang digunakan adalah metode simple random sampling. sampel berupa bakteri aa. kriteria inklusi sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi bawang putih yang masih segar sebelum dan saat dilakukan penelitian, serta sudah dikupas dari kulitnya terlebih dahulu. penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kimia organik jurusan kimia fmipa universitas jendral achmad yani (unjani) bandung dan laboratorium mikrobiologi universitas muhammadiyah semarang. variabel bebas yang diteliti adalah ekstrak air bawang putih dengan konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50% dengan kontrol positif chlorhexidine 0,2%. pembuatan ekstrak air bawang putih umbi bawang putih dipotong tipistipis kemudian dihaluskan hingga menjadi pasta, dan timbang sebanyak 250 g. pasta bawang putih direndam dengan pelarut aquades 500 ml dengan perbandingan antara bawang putih dan pelarut 1 : 2 dan didiamkan minimal 1 x 24 jam. pemisahan maserat dengan kasa dilakukan untuk mendapatkan filtrat bawang putih. filtrat dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental. pengenceran dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi 12,5%, 25% dan 50%. pembuatan kultur bakteri sampel bakteri aa diambil dari media brain heart infusion (bhi) dengan menggunakan ose steril di atas api spiritus dan digoreskan ke media mueller hinton agar (mha) secara tipis-tipis. selanjutnya cawan petri diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator dengan suhu 37oc. pembuatan suspensi bakteri uji yang dibandingkan dengan 0,5 mcfarland diambil 100 μl. uji daya hambat pertumbuhan bakteri metode uji daya hambat pertumbuhan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode difusi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 33 sumuran. sebanyak 6 buah cawan petri yang berisi media mha plate diinokulasi dengan bakteri aa. sebuah lubang berdiameter 8 mm dibuat tepat ditengah media agar yang telah diinokulasi secara tegak lurus. ekstrak air diinjeksikan ke dalam lubang tersebut. inkubasi semua cawan selama 1 x 24 jam dengan suhu 37°c. lakukan pada masing-masing kelompok uji dengan pengulangan masingmasing 6 kali. lebar zona bening yang terbentuk dihitung dengan menggunakan jangka sorong. lebar tersebut merupakan lebar zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri aa. hasil hasil penelitian uji daya hambat bakteri ekstrak air bawang putih terhadap pertumbuhan bakteri aa menunjukkan adanya zona hambat yang disajikan pada tabel 1. konsentrasi 25% memiliki ratarata lebar zona hambat terkecil, yaitu 8,17 mm dan konsentrasi 50% memiliki ratarata lebar zona hambat terbesar, yaitu 11,5 mm, sedangkan pada konsentrasi 12,5% tidak terbentuk zona hambat. hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak air bawang putih semakin besar pula daya hambat yang dimiliki terhadap bakteri aa. setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen sehingga dilakukan uji non-parametrik kruskall-wallis. berdasarkan tabel 2 hasil uji statistik kruskall-wallis diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keempat kelompok. perbandingan zona hambat pada masing-masing kelompok perlakuan dapat diketahui dengan menggunakan uji mann-whitney. hasil analisis post hoc dengan uji mannwhitney pada tabel 3 menunjukkan bahwa perbandingan masing-masing kelompok uji memiliki nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan daya hambat yang signifikan antara masing-masing kelompok uji. tabel 1. hasil uji daya hambat bakteri replikasi diameter zona hambat (mm) k+ 12,5% 25% 50% i 7,33 0,00 9,00 12,00 ii 7,33 0,00 8,00 12,00 iii 7,00 0,00 8,00 10,00 iv 7,67 0,00 8,00 11,00 v 7,00 0,00 8,00 12,00 vi 7,00 0,00 8,00 12,00 rata-rata 7,22 0,00 8,17 11,50 tabel 2. uji kruskall-wallis kelompok n mean rank sig. ket. kontrol + 6 9.50 .000 signifikan 12,5% 6 3.50 25% 6 15.50 50% 6 21.50 tabel 3. uji mann-whitney kontrol + 12,5% 25% 50% kontrol + .002 .002 .003 12,5% .002 .01 .002 25% .002 .001 .002 50% .003 .002 .002 pembahasan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumuran yang berisi agen antimikroba. hasil uji daya hambat bakteri menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak bawang putih maka semakin tinggi pula daya hambat terhadap bakteri aa. hal ini sesuai dengan penelitian wiryawan et al., yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bawang putih, maka aktivitas anti bakterinya cenderung meningkat.8 rata-rata lebar zona hambat kelompok kontrol positif chlorhexidine 0,2% sebagai pembanding memiliki rata-rata yang lebih rendah yaitu 7,22 mm dibandingkan dengan zona hambat yang dihasilkan oleh kelompok ekstrak air bawang putih konsentrasi 25% dan 50% terhadap pertumbuhan bakteri aa. ekstrak air bawang putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri aa karena ekstrak air bawang putih mengandung senyawa organosulfur seperti flavonoid, dan allicin.9,11 allicin (diallyl thiosulfinate) merupakan salah satu senyawa triagus nursasongko sutiyono, risyandi anwar, zita aprillia | efektivitas ekstrak bawang putih (allium sativum) terhadap bakteri aggregatibacter actinomycetemcomitans penyebab gingivitis 34 organosulfur yang terdapat di dalam hancuran bawang putih segar, mempunyai bermacam-macam aktivitas mikrobia.9 allicin tidak terdapat dalam bawang putih sebelum bawang putih ditumbuk atau dipotong. perlukaan pada bawang putih akan mengaktifkan enzim alliinase yang akan memetabolisme alliin menjadi allicin.12 mekanisme antibakteri dari bawang putih masih perlu diteliti lebih lanjut, namun diduga dengan merusak dinding sel dan menghambat sintesis protein. alisin mempunyai permeabilitas yang tinggi dalam menembus membran fosfolipid dinding sel bakteri. gugus thiol pada allicin kemudian akan bereaksi dengan enzim-enzim yang mengandung sulfuhidril yang menyusun membran sel. hal ini diduga dapat menyebabkan struktur dinding sel bakteri akan rusak dan mengalami lisis.8 kesimpulan ekstrak bawang putih konsentrasi 50% merupakan konsentrasi paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri aa. daftar pustaka 1. newman, m. g. et al. carranza’s clinical periodontology. 11 ed. missouri: elsevier saunders. 2012. 2. nowicki, e. m. et al. microbiota and metatranscriptome changes accompanying the onset of gingivitis, mbio, 2018; 9(2): 1–17. 3. karimbux, n. clinical cases in periodontics. chichester: wileyblackwell. 2012. 4. biswas, g. et al. “evaluation of the efficacy of 0 . 2 % chlorhexidine versus herbal oral rinse on plaque induced gingivitisa randomized clinical trail,” iosr-jnhs, 2014; 3(2): 58–63. 5. kaur, p. et al. “evaluation and comparison of short term side effects of 0.2% and 0.12% chlorhexidine mouthwash,” jamdsr, 2015; 3(3): 26–28. 6. alam, m. k., hoq, m. o. dan uddin, m. s. “medicinal plant allium sativum a review,” j med pla stu, 2016; 4(6): 72–79. 7. shetty, s. et al. “an in-vitro evaluation of the efficacy of garlic extract as an antimicrobial agent on periodontal pathogens: a microbiological study,” ayu, 2013; 34(4): 445–451. 8. wiryawan, k. g., suharti, s. dan bintang, m. “kajian antibakteri temulawak, jahe dan bawang putih terhadap salmonella typhimurium serta pengaruh bawang putih terhadap performans dan respons imun ayam pedaging,” media peternakan, 2005; 2(2): 52–62. 9. hernawan, u. e. dan setyawan, a. d. “review: senyawa organosulfur bawang putih (allium sativum l.) dan aktivitas biologinya,” biofarmasi, 2003; 1(2): 65–76. 10. cushnie, t. p. t. dan lamb, a. j. “review: antimicrobial activity of flavonoids,” int j antimicrob agents, 2005; 26(5): 343–356. 11. sabir, a. “pemanfaatan flavonoid di bidang kedokteran gigi,” dental j. fkg-unair, 2003; 36: 81–87. 12. londhe, v. p. et al. “review role of garlic (allium sativum) in various diseases: an overview,” jpro, 2011; 1(4): 129–134. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 37 research article apigenin daun rasamala (altingia excelsa nornha) sebagai antibakteri enterococcus faecalis apigenin leaf of rasamala (altingia excelsa nornha) as antibacterial of enterococcus faecalis risyandi anwar* departemen kedokteran gigi anak, fakultas kedokteran gigi, universitas muhammadiyah semarang, jalan kedungmundu no 22 semarang, indonesia. received date: july 24th, 2018; reviewed date: august 10th, 2018 revised date: october 5th, 2018 ; accepted date: october 31st, 2018 doi : 10.18196/di.7294 abstrak penyakit pulpa dan periapikal pada anak merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada kasus penyakit gigi dan mulut. penyakit ini disebabkan salah satunya oleh bakteri enterococcus faecalis. daun rasamala (altingia excelsa nornha) dipercaya sebagai antikanker dan antibakteri. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa dari daun rasamala yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri enterococcus faecalis. penelitian dilakukan dengan cara eksperimental laboratorik menggunakan bakteri enterococcus faecalis. ekstrak etil asetat dipisahkan senyawanya dengan berbagai teknik kromatografi yang dipandu dengan uji antibakteri. hasil penelitian menunjukkan satu senyawa, yaitu apigenin. senyawa apigenin diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri enterococcus faecalis dan menunjukkan nilai mic 15,63 µg/ml. analisis data menggunakan uji anacova dengan tingkat kemaknaan α=0,05. kesimpulan dari penelitian ini adalah senyawa dari daun rasamala, yaitu apigenin memiliki aktivitas sebagai antibakteri enterococcus faecalis. kata kunci: altingia excelsa; antibakteri; apigenin; enterococcus faecalis abstract pulp and periapical disease in children is one of the most common diseases in dental and oral diseases. enterococcus faecalis is one of the bacteria that causes this disease. rasamala (altingia excelsa nornha) leaves are believed to be anticancer and antibacterial. this research aimed to identify the compound of rasamala leaves that have antibacterial activity against enterococcus faecalis. the method of this research was a true experimental laboratory design using enterococcus faecalis bacteria. the ethyl acetate extract was separated its compound by various chromatographic techniques. the research was revealed one compound, which was apigenin. apigenin compound were was tested on their the antibacterial activity against enterococcus faecalis and showed mic values of 15,63 µg/ml. the data were analyzed by anacova assay with the level of significance α=0.05. this research was concluded that the compound from rasamala leaves, apigenin, has a strong antibacterial activity in enterococcus faecalis bacteria. keywords: altingia excelsa; antibacterial; apigenin; enterococcus faecalis pendahuluan karies gigi masih merupakan penyakit gigi dan mulut yang paling umum dijumpai pada anak-anak di indonesia. menurut who global oral health, indeks * corresponding author, e-mail: drg.risyandi@unimus.ac.id karies gigi global diantara anak usia 12 tahun adalah 1,6 gigi yang berarti rata-rata perorang mengalami kerusakan gigi lebih dari satu gigi.1 hasil survei riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi risyandi anwar | apigenin daun rasamala (altingia excelsa nornha) sebagai antibakteri enterococcus faecalis 38 penduduk yang mempunyai masalah gigi mulut adalah 23,4%, dengan prevalensi nasional karies aktif adalah 43,4%. penderita karies gigi di indonesia memiliki prevalensi sebesar 50–70% dengan penderita terbesar adalah golongan balita.2 karies gigi desidui yang tidak dirawat dapat dengan cepat meluas dan menyebabkan terbukanya pulpa.3 pulpa yang terbuka menjadi jalan masuk mikroorganisme yang dapat menyebabkan inflamasi, dan bila berlanjut mengakibatkan pulpa menjadi non vital. gigi desidui dengan infeksi karies yang mencapai pulpa memerlukan perawatan endodontik. keadaan klinis gigi yang memiliki lesi periapikal atau infeksi saluran akar biasanya ditemukan rasa sakit pada waktu malam hari, dengan ataupun tanpa rangsangan. secara klinis, dapat ditemukan abses periapikal atau fistula, mobilitas gigi yang abnormal, sensitif pada perkusi atau tekanan.4 pada saluran akar gigi desidui, dapat ditemukan bakteri aerob, anaerob dan bakteri fakultatif. salah satu bakteri yang paling banyak ditemukan adalah enterococcus faecalis. gigi yang nekrotik perlu dilakukan perawatan saluran akar.5 perawatan saluran akar atau pulpektomi pada gigi desidui dilakukan dengan cara pengambilan jaringan pulpa, preparasi biomekanis, pemberian bahan dressing antar kunjungan, dan pengisian saluran akar. pada gigi desidui nekrotik yang terinfeksi, umumnya dilakukan perawatan dalam tiga kali kunjungan. pada setiap kunjungan diberikan bahan sterilisasi untuk mengurangi gejala infeksi, seperti infeksi periapikal.6 bakteri di dalam saluran akar gigi perlu diketahui, sehingga bahan dressing dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri tersebut.7 penggunaan beberapa antibakteri sebagai sterilisasi saluran akar telah digunakan untuk mengeliminasi pertumbuhan bakteri yang masih ada setelah preparasi biomekanis saluran akar dan hal ini berhubungan dengan penyembuhan periradikular.8 rockle’s, tri kresol formalin (tkf), cresophane, dan chkm adalah beberapa antibakteri saluran akar pada gigi anak. sterilitas saluran akar atau berkurangnya jumlah bakteri dalam saluran akar gigi dapat diperiksa dengan kultur bakteri.9 penggunaan antibiotika yang kurang tepat dan tidak adekuat dapat membuat bakteri patogen menjadi resisten dan munculnya mikroba resisten ini penyebab utama kegagalan perawatan endodontik pada anak.10 resistensi bakteri terhadap antibiotik saat ini semakin meningkat dan menjadi masalah utama dalam mengatasi penyakit infeksi.11-12 oleh karena itu, penelitian untuk mencari agen antibakteri baru perlu dilakukan, salah satunya melalui eksplorasi bahan alam yang berasal dari tanaman obat. tanaman obat merupakan salah satu sumber daya alam potensial yang dapat dimanfaatkan secara tradisional. beberapa tanaman obat mengandung senyawa antibakteri. senyawa antibakteri diantaranya fenol dan senyawa fenolat, kuinon, flavon, flavonol, tanin, kumarin, terpenoid, alkaloid, lektin, dan polipeptida serta campurannya.13 pada saat ini, perdagangan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan di seluruh dunia mencapai nilai us$ 50 milyar setiap tahunnya.13 hal ini menunjukkan betapa pentingnya pencarian obat-obatan yang berasal dari tumbuhan dalam upaya penanggulangan penyakit terutama penyakit-penyakit yang mematikan salah satunya sebagai antibakteri. salah satu famili dalam tumbuhan yang banyak diteliti untuk pengobatan antibakteri adalah hamamelidaceae. famili hamamelidaceae terdiri atas 30 genus dan 140 spesies. tumbuhan famili hamamelidaceae tersebar di eropa, asia, amerika, dan afrika. beberapa tumbuhan dari famili hamamelidaceae yang pernah diteliti sebagai antibakteri di antaranya adalah liquidambar orientalis, liquidambar styraciflua.14,15 indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dengan lebih dari 30 ribu spesies tumbuhan insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 39 memiliki khasiat sebagai obat, menjadikan alasan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit secara tradisional dengan pemanfaatan tanaman obat tersebut, salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat adalah daun altingia excelsa nornha yang berasal dari genus altingia yang mempunya famili hammamelidaceae dan lebih dikenal sebagai rasamala.16 secara tradisional altingia bermanfaat sebagai obat penurun panas, penambah vitalitas, anti inflamasi dan obat batuk.16 sedangkan pada masyarakat jawa barat, daun rasamala biasanya digunakan sebagai obat batuk dan obat sakit perut.16 secara ilmiah beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan manfaat rasamala, diantaranya berpotensi sebagai antitkanker, dan antibakteri. 16,17 mengacu pada pemanfaatan rasamala secara tradisional, dan ditunjang oleh hasil penelitian dalam menggali potensi rasamala, maka bukanlah tidak mungkin bahwa rasamala dapat berpotensi sebagai antibakteri saluran akar gigi dan kelainan periapikal gigi desidui, sehingga penelitian lebih lanjut dalam menggali potensi rasamala sebagai upaya pencarian obat-obatan antibakteri sangat penting dilakukan. material dan metode bahan sampel yang digunakan adalah daun rasamala dari pegunungan wayang windu, pangalengan, bandung dan dideterminasi di laboratorium taksonomi tumbuhan, departemen biologi, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas padjadjaran. subjek penelitian ini adalah bakteri enterococcus faecalis. ekstraksi daun rasamala daun kering rasamala (2 kg) dimaserasi dengan metanol pada suhu kamar selama 24 jam dan dilakukan penampungan maserat sebanyak tiga kali. maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sampai diperoleh maserat pekat metanol (150 g). maserat pekat metanol dilarutkan dalam air, kemudian dipartisi dengan nheksana dan dihasilkan ekstrak n-heksan dan air. ekstrak n-heksan dipisahkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator, dihasilkan ekstrak pekat n-heksan (130 g). lapisan air yang diperoleh kemudian dipartisi dengan etil asetat dihasilkan ekstrak etil asetat dan air. ekstrak etil asetat dipisahkan dan dipekatkan dengan rotary evaporator, dihasilkan ekstrak pekat etil asetat (120 g). masing-masing ekstrak dilakukan uji antibakteri terhadap bakteri enterococcus faecalis. isolasi senyawa teraktif ekstrak etil asetat (120 g) dipisahkan dengan kromatografi cair vakum (kcv) pada fasa diam silika gel g60 dengan fasa gerak n-heksana-etil asetat -metanol dengan gradien 10% (v/v). setelah digabungkan berdasarkan analisis kromatografi lapis tipis (klt) diperoleh lima fraksi utama (a-e), dan kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri ke lima fraksi tersebut. berdasarkan nilai mic berbagai fraksi hasil uji antiproliferasi tersebut, yang mempunyai potensi sebagai antibakteri adalah fraksi c. fraksi c (26 g) dipisahkan lebih lanjut dengan kcv pada fasa diam silika gel g60 dengan fasa gerak n-heksana-etil asetat-metanol dengan gradien 10% (v/v). setelah digabungkan berdasarkan analisis klt diperoleh lima fraksi (c1-c5), dan kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri ke lima fraksi tersebut, dan menunjukkan bahwa fraksi c5 memberikan aktivitas potensi sebagai antibakteri. fraksi c5 (6 g) dipisahkan lebih lanjut dengan kromatografi kolom (kk) pada fasa diam silika gel (70-230 mesh) dengan fasa gerak n-heksan-etil asetat bergradien 5% sehingga diperoleh lima fraksi utama c5a-c5e. pada c5a dihasilkan padatan amorf dan direkristalisasi lebih lanjut dengan campuran n-heksana: metanol (4 : 1), diperoleh senyawa 1 berbentuk kristal putih (8 mg). risyandi anwar | apigenin daun rasamala (altingia excelsa nornha) sebagai antibakteri enterococcus faecalis 40 penentuan struktur senyawa senyawa hasil isolasi ditetapkan sifat fisiknya meliputi warna dan titik lelehnya. struktur kimia senyawa ditentukan berdasarkan data-data spektroskopi meliputi ultraviolet (uv), inframerah (ir), resonansi magnetik inti (nmr), dan perbandingan dengan data spektra yang diperoleh dari literatur. uji antibakteri enterococcus faecalis pengujian aktivitas antibakteri ekstrak maupun isolat terhadap enterococcus faecalis dilakukan dengan metode dilusi.19 parameter yang digunakan adalah kekeruhan yang terjadi akibat pertumbuhan bakteri uji pada konsentrasi tertentu yang disebabkan oleh aktivitas antibakteri ekstrak dan isolat, dibaca dengan alat elisa reader pada panjang gelombang 630 nm (biorad, japan). hasil untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak terhadap bakteri e. faecalis dilakukan dengan metode dilusi cair.18 aktivitas antibakteri ekstrak terhadap bakteri e. faecalis, dinyatakan dengan nilai mic, dengan mengacu pada kriteria tingkat aktivitas antibakteri ekstrak bahan alam dalam pengujian sifat antibakteri seperti yang tercantum dalam tabel 1.19 hasil uji antibakteri ekstrak menunjukan ekstrak etil asetat merupakan ekstrak teraktif (tabel 1), sehingga ekstrak etil asetat dilanjutkan untuk diisolasi. dengan dipandu uji antibakteri, terhadap ekstrak etil asetat dilakukan metode pemisahan dan pemurnian hingga diperoleh satu senyawa. senyawa 1 padatan putih, t.l. 298-301 °c, uv (meoh) λmaks nm 254 (log ɛ 3,2) dan 364 (log ɛ 2,8); ir (kbr) υmaks cm-1 3429, 1651, 1437, 1020; 1h-nmr (aseton-d6, 500 mhz) 6,27 (1h, d, j = 2,0 hz, h-6), 6,54 (1h, d, j = 2,0 hz, h-8), 8,15 (2h, d, j = 9,1 hz, h-2'; h-6'), 7,02 (1h, d, j = 9,1 hz, h-3'; h-5'). 13c-nmr (aseton-d6, 125 mhz) δc (ppm): 165,0 (c-2), 104,0 (c-3), 176,0 (c-4), 163,0 (c-5), 99,1 (c-6), 157,8 (c-7), 94,5 (c-8), 157,8 (c-9), 108,0 (c10), 123,9 (c-1ʹ), 130,5 (c-2ʹ, c-6ʹ), 116,3 (c-3ʹ, c-5ʹ), 163,0 (c-4ʹ). struktur kimia senyawa 1 senyawa 1 diperoleh berupa padatan putih dengan titik leleh 298-301°c. spektrum uv senyawa 1 menunjukkan adanya dua pita serapan pada λmaks 254 dan 364 nm. spektrum ir senyawa 1 menunjukkan adanya gugus -oh yang teramati pada vmaks 3429 cm -1 dan regang co pada vmaks 1020 cm -1. adanya kerangka flavon ini didukung pula oleh spektrum 1h nmr yang menunjukkan adanya dua proton yang terjodoh secara meta pada δh 6,34(1h, d, 1,9) dan pada δh 6,11 (1h, d, 1,9) pada cincin b. spektrum 13c nmr menunjukkan adanya 15 sinyal karbon. berdasarkan data dept 135, kelima belas karbon tersebut terdiri atas tujuh metin sp2 yang beresonansi pada daerah δc 96,1 – 129,4 ppm, enam karbon kuartetner sp2 teroksigenasi yang beresonansi pada medan lemah δc 159,8 – 165,9 ppm, serta satu gugus karbonil yang beresonansi pada δc 183,5 ppm. data nmr senyawa 1 dibandingkan dengan senyawa apigenin dari tanaman desmotachia bipinnata (l),21 memiliki kesesuaian yang sangat tinggi, sehingga senyawa 3 diidentifikasi sebagai apigenin (gambar 1). tabel 1. nilai mic berbagai ekstrak daun rasamala. ekstrak mic (µg/ml) methanol 89,41 n-heksan 107,85 etil asetat 14,45 air 108,02 o ooh ho oh 1 3 7 5 9 1' 3' 5' gambar 1. struktur apigenin (1) insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 41 untuk mengetahui aktivitas antibakteri senyawa 1 terhadap bakteri e. faecalis dan dilakukan juga dengan metode dilusi cair.19 aktivitas antibakteri senyawa 1 terhadap bakteri e. faecalis, dinyatakan dengan nilai mic, dengan mengacu pada kriteria tingkat aktivitas antibakteri senyawa bahan alam dalam pengujian sifat antibakteri, yang menghasilkan mic sebesar 15,63 µg/ml.20 pembahasan apigenin (4',5,7-trihydroxyflavone), adalah anggota dari flavon dan masuk dalam subklas flavonoids. trihydroxyflavone atau apigenin adalah suatu zat alami yang terdapat dalam bioflavonoid yang banyak ditemukan pada buah dan sayur. apigenin memiliki toksisitas lebih rendah bila dibandingkan dengan flavonoids lain.21 apigenin memiliki sejumlah fungsi biologis diantaranya sebagai anti-mutagenic, antiinflammatory, anticarcinogenic, anti-viral, dan free-radical scavenging properties. apigenin memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif seperti e. coli, s. aureus, bacillus aureus, dan pseudomonas aeruginosa. senyawa kimia apigenin diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif sama baiknya dengan gram negatif. efek antibakteri dari apigenin yang dikombinasikan dengan ampisilin atau gentamisin menunjukkan efek bakterisidal yang kuat terhadap bakteri patogen dalam rongga mulut.19 apigenin mempunyai aktivitas antibakteri lebih signifikan pada s. thyphimurium dan p. mirabilis. aktivitas antibakteri ini dimungkinkan karena kandungan kimia alami dari apigenin dan juga permeabilitas membran sel.21 kesimpulan kesimpulan dari penelitian ini adalah senyawa apigenin yang berhasil disolasi dari daun rasamala mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri enterococcus faecalis. daftar pustaka 1. erik, p. continuous improvement of oral health in the 21st century – the approach of the who global oral health programme. geneva: who. 2013. 2. soendoro dkk. riset kesehatan dasar; riskesdas. jakarta: balitbang kemenkes ri. 2013. 3. love, robert & jenkinson, h.f.. invasion of dentinal tubules by oral bacteria. critical reviews in oral biology and medicine : an official publication of the american association of oral biologists. 2002; 13(2) :171-183. 4. jeffrey, a.d. mc donald and avery: dentistry for the child and adolence. elsevier. 2012. 5. grossman, l.l., oliet, s., dan rio, c. e. d. ilmu endodontik dalam praktek (terj). jakarta: egc. 1995. 6. bastawi, a.e. pulp treatment, dalam handbook of clinical pedodontics, kenneth d. snawder, 177-178, the c.v. mosby company, missouri. 1980. 7. silva, l.a.b., nelson-filho, p., faria, g., souza-gugelmin, m.c.m., and ito, i.y. bacterial profile in primary teeth with necrotic pulp and periapical lesions. braz dent j. 2006; 17(2): 144-148. 8. sjogren,u., figdor,d., spangberg,l., and sundqvist, g., the antimicrobial effect of calcium hydroxide as a short-term intracanal dressing. int endod j. 1991; 24: 119-125. 9. sathorn,c., parashos,p., and messer, h., antibacterial efficacy of calcium hydroxide intracanal dressing : a systematic review and meta-analysis. int endod j. 2007; 40: 2-10. 10. refdanita, dkk. pola kepekaan kuman terhadap antibiotika di ruang rawat intensif rumah sakit fatmawati jakarta tahun 2001 – 2002. makara, j kesehatan. 2004; 8(02) : 41-48. 11. r.o elsayed, n.h bakr and y.e ibrahim. quality of root canal risyandi anwar | apigenin daun rasamala (altingia excelsa nornha) sebagai antibakteri enterococcus faecalis 42 treatment performed by undergraduate dental student at the university of khourtoum sudan. australian endodontic journal. 2011; 37(2):5660. 12. pazelli,l.c., freitas,a.c., ito,i.y., souza-gugelmin,m.c.m., medeiros,a.s., dan nelson-filho,p. prevalence of microorganisms in root canals of human deciduous teeth with necrotic pulp and chronic periapical lesions. pesqui odontol bras. 2003; 17(4): 367-371. 13. g.m. cragg and d.j newman. plant product as antimicrobial agent. clin microbiol. rev. 2005; 12(4): 564-582. 14. g. okmen, z. cantekin, m.i. alam, o. turkcan, and y. ergun. antibacterial and antioxidant activities of liquidambar orientalis mill. various extracts against bacterial pathogens causing mastitis. turkish journal of agriculture food science and technology. 2017; 5(8): 883-887. 15. g. f. f. mancarz, a. c. p. lobo, m. b. baril, f. a. franco, and t. nakashima. antimicrobial and antioxidant activity of the leaves, bark and stems of liquidambar styraciflua l. (altingiaceae). int.j. curr. microbiol. app. sci. 2016; 5(1), 306-317. 16. anwar, r. bioactive compound from rasamala (altingia excels noronha) leaves as c-myc protoncogene expression supressor of human tongue cancer cell. dentino. 2018; iii(2). 17. pangestika, a.r.. aktivitas antibakteri minyak atsiri daun rasamala ( altingia excelsa nornha ). bogor. institut pertanian bogor. skripsi. 2017. 18. wardhana, d.f., rukmo, m., dan budi, a.t. daya antibakteri kombinasi metronidazol, siprofloksasin dan minosiklin terhadap enterococcus faecalis. jurnal ilmu konservasi gigi unair 2008; 1(1) : 2328. 19. m. m. rahman, a. i. gray, p. khondkar, and s. d. sarker. antibacterial and antifungal activities of the constituents of flemingia paniculata. pharmaceutical biology, 2008; 46(5), 356-359. 20. s. ramya, p.j. jepachanderamohan, n. alaguchamy, m. kalayanasundaram, and r. jayakumararaj. in vitro antibacterial prospective of crude leaf extracts of melia azedarach linn. against selected bacterial strains. ethnobotanical leaflets. 2009; 13(2): 54-58. 21. e.r. saad, m.a. radwan, s.a.e. mohamed, and s.m. sherby. antibacterial screening of some essential oils, monoterpenoids and novel n-methyl carbamates based on monoterpenoids against agrobacterium tumefaciens and erwinia carotovora. archives of phytopathology and plant protection. 2008; 41(6): 451-461. 27 pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak dan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas the effect of glass fiber and polyethylene fiber addition on impact and transverse strength of denture base material heat polymerized acrylic resin rachel ferasima, m. zulkarnain, hubban nasution faculty of dentistry university of sumatera utara jl. alumni no. 2 kampus usu medan 20155 telp. 061 8216131, fax. 061 8213421 abstract heat polymerized acrylic resin is denture base material that easily broken because of it’s low impact and transverse strength and need to be reinforced with fiber. this study is aimed to observe the impact and transverse strength of denture base material heat polymerized acrylic resin reinforced with glass and polyethylene fiber, the effect of glass and polyethylene fiber addition of denture base impact and transverse strength and the correlation between impact and transverse strength of denture base material heat polymerized acrylic resin reinforced with glass and polyethylene fiber. this study used heat polymerized acrylic resin that reinforced with chopped strand glass fiber and polyethylene fiber. the result of this study showed that the addition of 1% glass fiber and 1% polyethylene fiber can increase the impact and transverse strength and showed positive correlation between impact and transverse strength so that denture base will not easily broken. key words: reinforced fiber, denture base abstrak resin akrilik polimerisasi panas merupakan bahan basis gigitiruan yang mudah patah karena memiliki kekuatan impak dan transversal yang rendah sehingga perlu ditambahkan serat penguat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan impak dan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dengan penambahan serat kaca dan serat polietilen, pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak dan transversal basis gigitiruan dan korelasi antara kekuatan impak dan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas. penelitian ini menggunakan serat kaca dan serat polietilen bentuk potongan kecil yang ditambahkan ke dalam resin akrilik polimerisasi panas. penelitian ini menyimpulkan bahwa penambahan serat kaca 1% dan serat polietilen 1% dapat meningkatkan kekuatan impak dan transversal dan terdapat korelasi positif antara kekuatan impak dan transversal sehingga basis gigitiruan tidak mudah patah. kata kunci: serat penguat, basis gigitiruan 28 rachel ferasima | pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak.... pendahuluan bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas memiliki kelemahan yaitu memiliki sifat mekanis yang rendah. sifat mekanis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah kekuatan impak, kekuatan transversal dan kekuatan fatigue. kekuatan impak dan transversal yang rendah pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas menyebabkan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas menjadi mudah patah.1-3 oleh karena itu, diperlukan bahan penguat. serat penguat yang umum digunakan adalah serat kaca. serat kaca dalam komposisinya mengandung silikon dioksida. ikatan kovalen yang kuat dan struktur kimia yang isotropik pada si2o3 menyebabkan serat kaca menjadi lebih padat dan kuat sehingga mampu menyerap beban yang diterima oleh resin akrilik polimerisasi panas. selain silikon dioksida, terdapat boron trioksida yang dapat meningkatkan stabilitas hidrolitik permukaan serat kaca sehingga serat kaca sangat sedikit menyerap air dan secara tidak langsung mengurangi penyerapan air oleh bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang menyebabkan peningkatan kekuatan impak dan transversal. serat kaca memiliki kelebihan antara lain memiliki stabilitas termal yang baik, tahan terhadap kelembaban dan bahan kimia, namun serat kaca memiliki kekurangan antara lain warna putih pada serat kaca yang kurang natural akibat proses pembuatannya dan komposisi silikon dioksida, alumunium serta magnesium pada serat kaca, memiliki berat molekul yang relatif besar serta memiliki kekuatan yang relatif rendah bila dibandingkan dengan serat penguat lain. berdasarkan bentuknya, serat kaca dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu batang, anyaman dan potongan kecil.4,5 penelitian yang dilakukan oleh watri d. (2010) pada resin akrilik polimerisasi panas (qc 20) yang ditambah dengan serat kaca bentuk potongan kecil konsentrasi 1%, 1,5% dan 2% menyatakan bahwa peningkatan kekuatan impak dan transversal yang seimbang diperoleh dari resin akrilik polimerisasi panas dengan penambahan serat kaca 1%. penambahan serat kaca dengan konsentrasi 2% dapat menyebabkan penurunan kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas.6 serat lain yang dapat ditambahkan pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah serat polietilen. serat polietilen memiliki kelebihan antara lain biokompatibel terhadap jaringan rongga mulut, lebih ringan bila dibandingkan dengan serat kaca, tidak rapuh, tidak mudah mengalami fatigue, tahan terhadap air, bahan kimia, abrasi dan kelembaban serta memiliki kekuatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan serat kaca karena memiliki ikatan intramolekul yang sangat kuat dan derajat kristalisasi yang tinggi. serat polietilen memiliki kualitas estetik yang lebih baik karena serat polietilen memiliki warna putih natural yang berasal dari proses polimerisasi pembentukan serat polietilen. namun, ikatan intramolekul yang sangat kuat pada serat polietilen menyebabkan serat polietilen menjadi sangat sulit menyerap air sehingga sulit untuk berikatan dengan bahan lain.2,3 krishnarao t. (2012) dalam penelitiannya menyatakan kekuatan impak yang dihasilkan dari resin akrilik polimerisasi panas (trevalon) yang ditambah dengan serat polietilen (lotus polytwist) konsentrasi 2% lebih besar dari kekuatan impak yang dihasilkan dengan penambahan serat kaca (st. gobin vetrotex) konsentrasi 2%.2 hal 29 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 tersebut juga sesuai dengan gutteridge (1988 cit. karacaer o., 2003) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa penambahan serat polietilen bentuk potongan kecil konsentrasi 1% pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dapat meningkatkan kekuatan impak dan transversal.7 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak dan transversal serta korelasi antara kekuatan impak dan transversal yang dihasilkan dari bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dengan penambahan serat kaca dan serat polietilen. bahan dan cara jenis penelitian ini eksperimen laboratoris yang dilakukan di unit uji laboratorium dental fkg usu, laboratorium prostodonsia fkg usu dan laboratorium penelitian fmipa usu pada bulan maret-april 2013. ukuran sampel yang digunakan adalah 80 mm x 10 mm x 4 mm untuk uji kekuatan impak dan 65 mm x 10 mm x 2,5 mm untuk uji kekuatan transversal. besar sampel pada penelitian ini adalah 60 buah. pada penelitian ini digunakan resin akrilik polimerisasi panas (qc 20), serat kaca bentuk potongan kecil ukuran 3 mm (fiber e-glass chopped strand) konsentrasi 1%, serat polietilen bentuk potongan kecil ukuran 3 mm (asrene) konsentrasi 1% dan gips keras tipe iii (moldano). pada penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok tanpa serat, kelompok dengan penambahan serat kaca 1% dan kelompok dengan penambahan serat polietilen 1%. pembuatan mold dilakukan dengan mencampurkan gips keras dengan perbandingan 300 gr : 90 ml air menggunakan spatula selama 15 detik. setelah itu model induk dibenamkan pada adonan gips keras yang telah diletakkan pada kuvet bawah. setelah gips mengeras, permukaan gips diolesi vaselin dan kuvet atas disatukan dengan kuvet bawah dan diisi adonan gips keras dengan perbandingan 300 gr gips keras : 90 ml air di atas vibrator. setelah adonan gips mengeras, kuvet dibuka dan model induk dikeluarkan dari kuvet. setelah kering permukaan gips keras pada kuvet bawah dan kuvet atas diolesi dengan cold mould seal, kemudian dibiarkan selama 20 menit. pengisian akrilik dilakukan dengan mencampurkan polimer ke dalam monomer dengan perbandingan 3 gr : 1,5 ml. setelah adonan mencapai fase dough, adonan dimasukkan ke dalam mold. resin akrilik polimerisasi panas ditutup dengan plastik selopan, kuvet atas dipasangkan dan kuvet ditekan perlahan-lahan dengan pres hidrolik mencapai 1000 psi, lalu kuvet dibuka, akrilik yang berlebih dipotong dengan lekron. kuvet atas ditutup kembali, dipres dengan tekanan 2200 psi. baut kuvet dipasang untuk mempertahankan kuvet atas dan kuvet bawah agar beradaptasi dengan baik dan dibiarkan selama 15 menit. penambahan serat dilakukan dengan merendam serat kaca dan serat polietilen bentuk potongan kecil 3 mm sebanyak 0,045 gr (1 mold) ke dalam monomer selama 10 menit dalam suatu wadah kemudian ditiriskan, lalu dimasukkan ke dalam polimer dengan perbandingan serat : polimer = 0,045 gr : 3 gr. setelah itu dilakukan penambahan 1,5 ml monomer ke dalam campuran polimer dan serat, lalu diaduk perlahan-lahan. setelah adonan mencapai dough stage kemudian 30 rachel ferasima | pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak.... adonan dimasukkan ke dalam mold dan dilakukan prosedur yang sama dengan prosedur pembuatan mold, kemudian dilakukan proses kuring pada waterbath dengan suhu 70oc selama 90 menit dan 100oc dan selama 30 menit. kuvet dibiarkan di dalam waterbath selama 30 menit untuk proses pendinginan, selanjutnya kuvet diletakkan di bawah air mengalir selama 15 menit dan dibiarkan dingin hingga mencapai suhu kamar dan sampel dikeluarkan dari kuvet, kelebihan akrilik dibuang dan dirapikan dengan bur fraser, dihaluskan dengan kertas pasir waterproof nomor 600. sampel direndam dalam larutan akuades selama 48 jam dengan suhu 37oc. pengukuran kekuatan impak dilakukan dengan alat amslerotto walpret werke gmbh. pengukuran kekuatan transversal dilakukan dengan menggunakan alat torsee’s electronic system universal testing machine. data dianalisis menggunakan uji anova, lsd dan korelasi pearson. hasil kekuatan impak terkecil resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat adalah 3,75 x 10-3 j/mm2, terbesar adalah 5,5 x 10-3 j/mm2. kekuatan impak terkecil kelompok dengan penambahan serat kaca 1% adalah 5,75 x 10-3 j/mm2, terbesar adalah 8,5 x 10-3 j/mm2. kekuatan impak terkecil kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% adalah 4,5 x 10-3 j/mm2, terbesar adalah 8,0 x 10-3 j/mm2 (tabel 1). tabel 1. kekuatan impak bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat, dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen no kekuatan impak (x 10-3 j/mm2) tanpa serat serat kaca 1% serat polietilen 1% 1 5,0 9,0 4,5** 2 4,75 6,0 6,0 3 4,5 7,0 8,0* 4 5,5* 7,25 7,0 5 4,0 8,5* 4,5** 6 4,5 7,0 6,25 7 5,5* 7,5 6,0 8 3,75** 5,75** 5,0 9 4,5 6,5 5,5 10 5,0 6,0 7,5 rerata dan sd kekuatan impak kelompok tanpa penambahan serat adalah 4,70 x 10-3 j/mm2 dan 0,46 x 10-3 j/mm2. rerata dan sd kekuatan impak kelompok dengan penambahan serat kaca 1% adalah 7,05 x 10-3 j/mm2 dan 1,21 x 10-3 j/mm2. rerata dan sd kekuatan impak kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% adalah 6,03 x 10-3 j/mm2 dan 1,08 x 10-3 j/mm2 (tabel 2). 31 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 tabel 2. rerata dan sd kekuatan impak bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat, dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen kelompok kekuatan impak (x 10-3 j/mm2) n x ± sd tanpa serat 10 4,70 ± 0,46 serat kaca 1% 10 7,05 ± 1,21 serat polietilen 1% 10 6,03 ± 1,08 kekuatan transversal terkecil resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat adalah 780,0 kg/cm2, terbesar adalah 1177,2 kg/cm2. kekuatan transversal terkecil kelompok dengan penambahan serat kaca 1% adalah 946,8 kg/cm2, terbesar adalah 1848,0 kg/cm2. kekuatan transversal terkecil kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% adalah 945,6 kg/cm2, terbesar adalah 1296,0 kg/cm2 (tabel 3). tabel 3. kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat, dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen no kekuatan transversal (kg/cm2) tanpa serat serat kaca 1% serat polietilen 1% 1 850,8 946,8** 1122,0 2 1177,2* 1186,8 1237,2 3 1111,2 1092,0 1192,8 4 1076,4 1207,2 945,6** 5 835,2 996,0 1110,0 6 967,2 1291,2 1128,0 7 1060,8 1334,4 993,6 8 927,6 1365,6 1296,0* 9 780,0** 1142,4 1012,8 10 823,2 1848,0* 1203,6 rerata dan sd kekuatan transversal kelompok tanpa penambahan serat adalah 960,96 kg/cm2 dan 48,90 kg/cm2. rerata dan sd kekuatan transversal kelompok dengan penambahan serat kaca 1% adalah 1241,04 kg/cm2 dan 124,02 kg/cm2. rerata dan sd kekuatan transversal kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% adalah 1124,16 kg/cm2 dan 79,75 kg/cm2 (tabel 4). 32 rachel ferasima | pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak.... tabel 4. rerata dan sd kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat, dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen kelompok kekuatan transversal (kg/cm2) n x ± sd tanpa serat 10 960,96 ± 48,90 serat kaca 1% 10 1241,04 ± 124,02 serat polietilen 1% 10 1124,16 ± 79,75 hasil uji lsd menunjukkan adanya perlakuan yang bermakna antar kelompok perlakuan yaitu kelompok tanpa penambahan serat dan kelompok dengan penambahan serat kaca 1% p = 0,001 (p < 0,05), kelompok tanpa penambahan serat dan kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% p = 0,023 (p < 0,05) serta kelompok dengan penambahan serat kaca 1% dan kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% p = 0,010 (p < 0,05) (tabel 5). tabel 5. pengaruh penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen terhadap kekuatan impak bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas kelompok kekuatan impak (x 10-3 j/mm2) n x ± sd p tanpa serat 10 4,70 ± 0,46 0,001* serat kaca 1% 10 7,05 ± 1,21 serat polietilen 1% 10 6,03 ± 1,08 rerata kekuatan impak yang berbeda adalah antara: tanpa serat dengan serat kaca 1% = 0,001* tanpa serat dengan serat polietilen 1 % = 0,023* serat kaca 1% dengan serat polietilen 1% = 0,010* hasil uji lsd menunjukkan adanya perlakuan yang bermakna antar kelompok perlakuan yaitu kelompok tanpa penambahan serat dan kelompok dengan penambahan serat kaca 1% p = 0,001 (p < 0,05), kelompok tanpa penambahan serat dan kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% p = 0,004 (p < 0,05) serta kelompok dengan penambahan serat kaca 1% dan kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% p = 0,002 (p < 0,05) (tabel 6). 33 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 tabel 6. pengaruh penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen terhadap kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas kelompok kekuatan transversal (kg/cm2) n x ± sd p tanpa serat 10 960,96 ± 48,90 0,002* serat kaca 1% 10 1241,04 ± 124,02 serat polietilen 1% 10 1124,16 ± 79,75 rerata kekuatan impak yang berbeda adalah antara: tanpa serat dengan serat kaca 1% = 0,001* tanpa serat dengan serat polietilen 1 % = 0,004* serat kaca 1% dengan serat polietilen 1% = 0,002* hasil uji korelasi pearson menyatakan korelasi positif yang signifikan antara kekuatan impak dan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah serat kaca 1% dengan signifikansi p = 0,012 dan r = 0,777 serta korelasi positif yang signifikan antara kekuatan impak dan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah serat polietilen 1% dengan signifikansi p = 0,034 dan r = 0,743 (tabel 7). tabel 7. korelasi antara kekuatan impak dan kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen kelompok korelasi kekuatan impak dan kekuatan transversal r p serat kaca 1% 0,777 0,012* serat polietilen 1% 0,743 0,034* diskusi kekuatan impak dan transversal yang bervariasi dari 10 sampel dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembuatan sampel yang tidak dapat dikendalikan selama penelitian berlangsung antara lain kandungan monomer sisa yang bertindak sebagai plasticizer dan teknik pengadukan yang manual yang menyebabkan terperangkapnya udara di dalam matriks resin akrilik polimerisasi panas sehingga terjadi porous yang dapat mempengaruhi kekuatan impak dan transversal resin akrilik polimerisasi panas.8,9 penambahan serat kaca pada resin akrilik polimerisasi panas dapat meningkatkan kekuatan impak dan transversal. hal tersebut 34 rachel ferasima | pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak.... disebabkan karena adanya transfer beban antara serat kaca dengan matriks polimer akibat adanya adhesi. saat beban diaplikasikan, modulus young dari ikatan antar atom polimer resin akrilik polimerisasi panas berada pada titik terendah. patahnya basis gigitiruan disebabkan adanya deformasi permanen akibat modulus young resin akrilik polimerisasi panas yang sudah berada di atas ambang batas stress point. penambahan serat kaca menyebabkan peningkatan ambang batas stress point dari resin akrilik polimerisasi panas karena serat kaca menyerap sebagian beban yang diterima oleh basis gigitiruan sehingga kekuatan impak yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dan basis gigitiruan tidak mudah patah.2,10 penambahan serat polietilen pada resin akrilik polimerisasi panas dapat meningkatkan kekuatan impak dan transversal karena adanya transfer beban yang terjadi antara serat polietilen dengan matriks polimer saat beban diaplikasikan.2 namun, pada penelitian ini ditemukan adanya beberapa nilai kekuatan impak kelompok dengan penambahan serat polietilen yang lebih rendah dari kelompok kontrol. serat polietilen yang memiliki ikatan intramolekul yang sangat kuat menyebabkan serat polietilen sulit untuk menyerap monomer resin akrilik polimerisasi panas sehingga adhesi yang dihasilkan menjadi kurang baik dan menyebabkan terjadinya celah antara permukaan serat dengan matriks polimer sehingga kekuatan yang dihasilkan menjadi berkurang. selain itu, semakin banyak ruang kosong yang terbentuk mengindikasikan adanya pengerutan pada matriks polimer saat polimerisasi dan terbentuk semakin banyak stress concentration point di dalam matriks polimer yang dapat menurunkan ikatan antara matriks polimer dengan permukaan serat sehingga kapasitas penyerapan beban oleh serat polietilen menjadi menurun dan kekuatan impak yang dihasilkan menjadi lebih rendah daripada kelompok kontrol.2,10 pada penelitian ini, kekuatan impak yang dihasilkan oleh kelompok dengan penambahan serat kaca lebih tinggi dari kekuatan impak yang dihasilkan oleh kelompok dengan penambahan serat polietilen. hal tersebut dapat disebabkan karena ikatan intramolekul yang sangat kuat pada serat polietilen menyebabkan serat polietilen sangat sulit menyerap monomer resin akrilik polimerisasi panas sehingga adhesi yang terbentuk antara serat polietilen dengan matriks polimer kurang baik sehingga kekuatan yang dihasilkan menjadi berkurang. penggunaan plasma dapat menghasilkan adhesi yang lebih baik antara serat polietilen dengan matriks polimer dibandingkan dengan penggunaan monomer. plasma merupakan gas terionisasi yang mengandung ion-ion dan elektron yang dapat memodifikasi energi permukaan serat polietilen menjadi lebih tinggi karena ion pada plasma dapat meningkatkan pembentukan ikatan hidrofilik dari gugus atom karbonil (c=o) pada permukaan serat polietilen. pembentukan lebih banyak ikatan hidrofilik dari gugus atom karbonil pada permukaan serat polietilen menyebabkan terbentuknya ikatan kimia yang lebih baik antara serat polietilen dengan matriks polimer dan terjadi pencampuran yang lebih homogen antara serat polimer dengan polimer.11-13 adanya perlakuan yang bermakna pada kelompok dengan penambahan serat kaca 1% disebabkan karena adanya silikon dioksida (si2o3) sebagai komposisi utama pada serat kaca. si2o3 terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur kimia yang isotropik yaitu empat atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral disekitar atom 37 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 pusat silikon. ikatan kovalen yang kuat dan struktur kimia yang isotropik pada si2o3 menyebabkan serat kaca menjadi lebih padat dan kuat sehingga mampu menyerap beban yang diterima oleh resin akrilik polimerisasi panas.2,4,5 penggunaan silane-coupling agent dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kekuatan impak dan transversal secara terus menerus setelah resin akrilik polimerisasi panas ditambah dengan serat kaca. silanecoupling agent dapat memodifikasi energi permukaan serat kaca menjadi lebih tinggi. elektron dari atom oksigen pada gugus hidroksil yang terdapat pada permukaan serat kaca berikatan dengan atom silikon dari molekul silane dan membentuk muatan positif yang kemudian mengeliminasi atom hidrogen pada permukaan serat kaca sehingga gugus methoxy pada silane terhidrolisis dan terbentuk ikatan kimia yang lebih baik antara serat kaca dengan matriks polimer yang menyebabkan terjadinya pencampuran yang lebih homogen antara serat kaca dengan polimer.2,14 adanya perlakuan bermakna pada kelompok dengan penambahan serat polietilen 1% disebabkan karena serat polietilen memiliki rantai molekul yang lurus dan panjang serta memiliki gaya intramolekul yang sangat kuat. selain gaya intramolekul yang kuat, serat polietilen memiliki derajat kristalisasi yang tinggi. semakin tinggi derajat kristalisasi mengindikasikan semakin tingginya kekuatan mekanis yang dimiliki oleh serat polietilen. hal tersebut menyebabkan serat polietilen menjadi kuat sehingga mampu menyerap beban yang diterima oleh resin akrilik polimerisasi panas.2,11,12 korelasi positif yang signifikan antara kekuatan impak dan transversal pada resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah dengan serat kaca menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kekuatan yang signifikan baik pada kekuatan impak maupun kekuatan transversal. hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh watri d. (2010) yang dalam penelitiannya menambahkan serat kaca konsentrasi 1%, 1,5% dan 2% pada resin akrilik polimerisasi panas. penelitian tersebut menyimpulkan bahwa korelasi positif antara peningkatan kekuatan impak dan transversal diperoleh dari penambahan serat kaca konsentrasi 1% pada resin akrilik polimerisasi panas. penambahan serat kaca konsentrasi 2% dapat menurunkan kekuatan transversal resin akrilik polimerisasi panas.6 korelasi positif yang signifikan antara kekuatan impak dan transversal pada resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah dengan serat polietilen menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kekuatan yang signifikan baik pada kekuatan impak maupun kekuatan transversal. hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh gutteridge. gutteridge (1988 cit. karacaer o., 2003) yang dalam penelitiannya menambahkan serat polietilen konsentrasi 1% dan 3% pada resin akrilik polimerisasi panas menyimpulkan bahwa penambahan serat polietilen dengan konsentrasi 1% memberikan korelasi positif antara kekuatan impak dan transversal pada resin akrilik polimerisasi panas.7 hal ini disetujui oleh krishnarao t. (2012) yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan serat penguat pada resin akrilik polimerisasi panas tidak boleh melebihi konsentrasi 2% karena akan menurunkan kemampuan pembasahan serat penguat oleh monomer resin akrilik polimerisasi panas sehingga dapat mempengaruhi kekuatan yang dihasilkan.2 36 rachel ferasima | pengaruh penambahan serat kaca dan serat polietilen terhadap kekuatan impak.... kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai rerata kekuatan impak resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat kaca adalah 4,70 x 10-3 j/mm2, dengan penambahan serat kaca adalah 7,05 x 10-3 j/mm2 dan dengan penambahan serat polietilen adalah 6,03 x 10-3 j/mm2; nilai rerata kekuatan transversal resin akrilik polimerisasi panas tanpa penambahan serat kaca adalah 960,96 kg/cm2, dengan penambahan serat kaca adalah 1241,04 kg/cm2 dan dengan penambahan serat polietilen adalah 1124,16 kg/cm2; ada pengaruh penambahan serat kaca dengan p = 0,001 (p < 0,05) dan penambahan serat polietilen dengan p = 0,023 (p < 0,05); terhadap kekuatan impak bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas; ada pengaruh penambahan serat kaca dengan p = 0,001 (p < 0,05) dan penambahan serat polietilen dengan p = 0,004 (p < 0,05) terhadap kekuatan transversal bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas; ada korelasi antara kekuatan impak dan kekuatan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dengan penambahan serat kaca dan penambahan serat polietilen yaitu korelasi positif yang signifikan dengan r = 0,777 antara kekuatan impak dan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah serat kaca (p = 0,012) dan korelasi positif yang signifikan dengan r = 0,743 antara kekuatan impak dan transversal pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas yang ditambah serat polietilen (p = 0,034). kekurangan dari penelitian ini adalah sulit terjadinya pencampuran yang homogen antara serat dengan polimer resin akrilik polimerisasi panas yang disebabkan oleh teknik pengadukan yang manual serta adhesi yang kurang maksimal antara permukaan serat dengan matriks polimer. hal tersebut disebabkan karena penelitian ini tidak menggunakan silane-coupling agent pada serat kaca dan plasma pada serat polietilen, melainkan hanya menggunakan monomer resin akrilik polimerisasi panas. oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan silane-coupling agent pada serat kaca dan plasma pada serat polietilen yang ditambahkan ke dalam resin akrilik polimerisasi panas. daftar pustaka 1. elshereksi, n.w. mechanical and environmental properties of denture base poly (methyl methacrylate) filled by barium titanate. tesis tidak diterbitkan. penang: universiti sains malaysia, 2006. 2. mowade, t.k., dange, s.p., thakre, m.b. & kamble, v.d. 2012. effect of fiber reinforcement on impact strength of heat polymerized polymethyl methacrylate denture base resin: in vitro study and sem analysis. j adv prost, (4): 30-6. 3. van noort, r. introduction to dental materials. edisi ke-3. london: elsevier. pp 216-213, 2007. 4. monaco, c. clinical and scientific aspect of inlay fixed partial denture. tesis tidak diterbitkan. italia: university of siena, 2005. 5. rahmawati, r. struktur padatan silikon dioksida, 2009., (online), (http://oke.or.id/downloadsmanager/struktur%20padatan.pdf, diakses 12 januari 2013). 37 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 6. watri, d. pengaruh penambahan serat kaca pada bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas terhadap kekuatan impak dan transversal, 2010., (online), (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123 456789/21739/4/chapter%20ii.pdf, diakses 12 januari 2013). 7. karacaer, o., polat, t.n., tezvergil, a., lassila, l.v.j. & vallittu, p.k. 2003. the effect of length and concentration of glass fibers on the mechanical properties of an injectionand a compression-molded denture base polymer. j prosthet dent, 90: 385-393. 8. vojvodic, d., matejicek, f., schauperl, z., mehulic, k. & bagic-cukovic, i. 2008. flexural strength of e-glass fiber reinforced dental polymer and dental high impact strength resin. strojarstvo, 50 (4): 221-230. 9. bayraktar, g., duran, o. & guvener, b. 2003. effect of glass fibre reinforcement on residual methyl methacrylate content of denture base polymers. j dent, 31 (1): 297-302. 10. anusavice, j.k. buku ajar ilmu bahan kedokteran gigi. terjemahan oleh johan arief budiman. jakarta: egc, 2003: 197-198, 202. 11. sharma, k.g. easily processable ultra high molecular weight polyethylene with narrow molecular weight distribution. tesis tidak diterbitkan. belanda: universiteit eindhoven, 2005. 12. cheng, j.j. mechanical and chemical properties of high density polyethylene: effects of microstructure on creep characteristics. tesis tidak diterbitkan. university of waterloo, 2008. 13. rhee, k.y., oh, t.y. & paik, y.n. 2004. tensile behaviour of polyethylene fiber composites with polyethylene fiber surface-modified using iron irradiation. j mater sci, 39: 1809-1811. 14. yang, l. & thomason, j.l. 2013. effect of silane coupling agent in mechanical performance of glass fibre. j mater sci, 48: 1947-1954. 51 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 erasi, kementerian sosial republik indonesia, pusat data dan informasi kesejahteraan sosial, jakarta. 16. stolbova, k., hahn, a., benes, b., andel, m. and treslova, l., 1999., gustometry of diabetes mellitus patients and obese patients, int tinnitus j; 5(2): 135-140. 17. dey, c.k. and inamdar, r.s., 2011. a gender based comparative study of different taste parameters in diabetics, indian j app bas med sci; 13b(17) : 1-11. 18. song, s.h. dan hardisty, c.a., 2009. early onset type 2 diabetes mellitus: a harbinger for complications in later years—clinical observation from a secondary care cohort, q j med; 102:799–806. 19. nathan, d.m., 1993., long-term complications of diabetes mellitus, n engl j med; 328(23) : 1676-85. 20. finkelstein, j.a. and schiffmann, s.s., 1999. workshop on taste and smell in the elderly: an overview, physiol behav; 66(2): 173-176. 21. greenberg, m.s., glick, m. and ship, j.a., 2008. burket’s oral medicine, edisi ke-11, b.c. decker inc. 22. boyce, j.m. and shone, g.r., 2006. review : effects of ageing on smell and taste, postgrad med j ;82:239–241. 23. yullizar, d., 2005. pedoman pemeriksaan laboratorium untuk penyakit diabetes mellitus, departemen kesehatan republik indonesia, jakarta. 24. saudek, c.d. and brick, j.c., 2009. the clinical use of hemoglobin a1c, j diabetes sci technol;3(4):629-634. 25. vennemann, m.m., hummel, t., and berger, k., 2008. the association between smoking and smell and taste impairment in the general population (abstract), j neurol ; 255(8):pp11211126. 26. abdollahi, m., rahimi, r., and radfar, m., 2008. current opinion on druginduced oral reactions : a comprehensive review, j contemp dent pract; 9(3): 1-31. perancah hidogel untuk aplikasi rekayasa jaringan tulang hydrogel scaffold for bone tissue engineering application erlina sih mahanani school of dentistry, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding : erlinasihmahanani@yahoo.co.id abstrak pendahuluan. tulang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri. kasus defek tulang yang kecil dapat diperbaiki sendiri, tetapi pada critical defect membutuhkan campur tangan pembedahan untuk merekontruksi jaringa tulang. sejak akhir dekade lalu, rekayasa jaringan telah digunakan dan dikembangkan dalam kedokteran regeneratif, termasuk di dalamnya adalah regenerasi tulang. tujuan. tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan tinjauan secara komprehensif dari perancah hidrogel tentang kelebihannya, osteokonduktivitas, sifat fisik, degradasi, dan juga kemampuan mengontrol pelepasan substrat akan didiskusikan dalam artikel ini. diskusi. perancah, sel, dan faktor pertumbuhan adalah tiga komponen dalam rekayasa jaringan untuk menentukan keberhasilan dari suatu rekontruksi jaringan. perancah hidrogel perancah yang biodegradable dan biomaterial 3 dimensi dengan kemampuan menyerap air yang banyak tetapi dapat mempertahankan stabilitas dimensinya. kesimpulan. perancah hidrogel memiliki peran yang sangat luas dalam aplikasi rekayasa jaringan tulang. kata kunci: hidrogel, perancah, tissue engineering, regenerasi tulang. abstract introduction. bones have ability to repair. in case small defect, bone can be repaired by themself, but large defect needs surgery application to reconstruct the bone tissue. since the last decade, tissue engineering has been used and developed in regenerative medicine, including in bone regeneration. objective. the aim of this article is to provide the comprehensive overview of hydrogel scaffold with their advantages, osteoconductivity, properties, degradation charactheristic, furthermore the ability to control the substrate release are discussed in this review. discussion. scaffold, cells, and growth factors are three components in tissue engineering to determine the sucsess of reconstruction. hydrogel scaffolds are the biodegradable scaffold and three-dimentional biomaterial with ability to absorb large amounts of water minewhile maintaining their dimentional stability. conclusion. hydrogel scaffolds have played role in wide range of bone tissue engineering application. keyword: hydrogel, scaffold, tissue engineering, bone regeneration 52 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . erlina sih mahanani perancah hidogel untuk aplikasi rekayasa jaringan tulang pendahuluan kerusakan tulang atau defek tulang dapat diakibatkan oleh benrmacam-macam sebab, seperti trauma, penyakit degeneratif, pengangkatan tumor, dan juga kecacatan pada masa pertumbuhan atau pembentukannya. tulang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan oleh dirinya sendiri pada kasus-kasus defek kecil atau ringan.1 kerusakan tulang yang cukup besar atau melibatkan jaringan yang luas, tidak dapat sembuh sendiri tanpa adanya intervensi tindakan medis sering disebut critical defect. defek ini ternyata tidak dapat diperbaiki sendiri oleh tulang. intervensi pembedahan diperlukan untuk merekontruksi critical defect supaya tulang dapat berfungsi kembali.2,3 rekontruksi tulang dengan intervensi pembedahan memerlukan suatu bahan yang dapat membantu berjalannya keberhasilan rekontruksi tersebut. teknologi rekayasa jaringan saat ini berkembang pesat untuk memfasilitasi regenerasi jaringan sesuai dengan yang diperlukan. secara garis besar teknologi rekayasa jaringan melibatkan tiga faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan rekontruksi jaringan. ketiga faktor tersebut adalah perancah, sel dan molekul signal.4 hidrogel adalah salah satu perancah yang banyak digunakan dan merupakan suatu teknologi biopolimer dengan crosslinking fisik maupun kimiawi. perancah hidrogel terbuat dari bahan yang sangat dekat dengan tubuh manusia, strukturnya menyerupai matriks ekstraselular. teknologi hidrogel banyak digunakan dalam bidang kedokteran karena memiliki kemampuan menyerap air, memiliki tempat untuk suatu substrat lain dimuatkan, sehingga berfungsi sebagai agen pembawa atau delivery vehicle untuk molekul bioaktif. perancah hidrogel terbuat dari bahan hidrogel memiliki struktur 3 dimensi dan berpori sehingga dapat dilekati sel untuk pertumbuhan jaringan.5 perancah hidrogel sangat sesuai untuk kebutuhan teknologi rekayasa jaringan sehingga ketiga faktor dapat dikolaborasikan dan jaringan yang dituju dapat merekonstruksi kerusakannya.6,7 artikel ini ditujukan untuk memberikan tinjauan dan ulasan terhadap kemampuan perancah hidrogel dalam memperbaiki kerusakan jaringan tulang. diskusi bidang rekayasa jaringan atau tissue engineering saat ini sedang berkembang sangat pesat dan merupakan teknologi yang berperan dalam keberhasilan rekonstruksi jaringan supaya jaringan yang rusak dapat berfungsi kembali. keberhasilan rekayasa jaringan sangat ditentukan oleh 3 faktor yang telah banyak dikemukaan oleh peneliti-peneliti terdahulu. ketiga faktor tersebut adalah perancah atau scaffold , sel (dalam hal ini stem cell sering digunakan), dan molekul signal seperti pada bagan di gambar 1.4,8,9 perancah merupakan bahan biomaterial yang berperan sebagai tempat, lingkungan untuk tumbuh, berkembang, dan berdiferensiasinya sel sesuai dengan target jaringan yang akan direkonstruksi. perancah harus memiliki desain yang sesuai untuk tumbuhnya sel yang bersangkutan baik dari segi porusitasnya, profil dan lamanya terdegradasi dengan sendirinya, serta kemampuannya dimuati suatu bahan yang berfungsi memberikan molekul signal untuk dimanfaatkan oleh sel yang terdapat dalam perancah maupun sel disekitarnya.1,10. perancah yang ditujukan untuk merekonstruksi jarin53 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 pendahuluan kerusakan tulang atau defek tulang dapat diakibatkan oleh benrmacam-macam sebab, seperti trauma, penyakit degeneratif, pengangkatan tumor, dan juga kecacatan pada masa pertumbuhan atau pembentukannya. tulang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan oleh dirinya sendiri pada kasus-kasus defek kecil atau ringan.1 kerusakan tulang yang cukup besar atau melibatkan jaringan yang luas, tidak dapat sembuh sendiri tanpa adanya intervensi tindakan medis sering disebut critical defect. defek ini ternyata tidak dapat diperbaiki sendiri oleh tulang. intervensi pembedahan diperlukan untuk merekontruksi critical defect supaya tulang dapat berfungsi kembali.2,3 rekontruksi tulang dengan intervensi pembedahan memerlukan suatu bahan yang dapat membantu berjalannya keberhasilan rekontruksi tersebut. teknologi rekayasa jaringan saat ini berkembang pesat untuk memfasilitasi regenerasi jaringan sesuai dengan yang diperlukan. secara garis besar teknologi rekayasa jaringan melibatkan tiga faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan rekontruksi jaringan. ketiga faktor tersebut adalah perancah, sel dan molekul signal.4 hidrogel adalah salah satu perancah yang banyak digunakan dan merupakan suatu teknologi biopolimer dengan crosslinking fisik maupun kimiawi. perancah hidrogel terbuat dari bahan yang sangat dekat dengan tubuh manusia, strukturnya menyerupai matriks ekstraselular. teknologi hidrogel banyak digunakan dalam bidang kedokteran karena memiliki kemampuan menyerap air, memiliki tempat untuk suatu substrat lain dimuatkan, sehingga berfungsi sebagai agen pembawa atau delivery vehicle untuk molekul bioaktif. perancah hidrogel terbuat dari bahan hidrogel memiliki struktur 3 dimensi dan berpori sehingga dapat dilekati sel untuk pertumbuhan jaringan.5 perancah hidrogel sangat sesuai untuk kebutuhan teknologi rekayasa jaringan sehingga ketiga faktor dapat dikolaborasikan dan jaringan yang dituju dapat merekonstruksi kerusakannya.6,7 artikel ini ditujukan untuk memberikan tinjauan dan ulasan terhadap kemampuan perancah hidrogel dalam memperbaiki kerusakan jaringan tulang. diskusi bidang rekayasa jaringan atau tissue engineering saat ini sedang berkembang sangat pesat dan merupakan teknologi yang berperan dalam keberhasilan rekonstruksi jaringan supaya jaringan yang rusak dapat berfungsi kembali. keberhasilan rekayasa jaringan sangat ditentukan oleh 3 faktor yang telah banyak dikemukaan oleh peneliti-peneliti terdahulu. ketiga faktor tersebut adalah perancah atau scaffold , sel (dalam hal ini stem cell sering digunakan), dan molekul signal seperti pada bagan di gambar 1.4,8,9 perancah merupakan bahan biomaterial yang berperan sebagai tempat, lingkungan untuk tumbuh, berkembang, dan berdiferensiasinya sel sesuai dengan target jaringan yang akan direkonstruksi. perancah harus memiliki desain yang sesuai untuk tumbuhnya sel yang bersangkutan baik dari segi porusitasnya, profil dan lamanya terdegradasi dengan sendirinya, serta kemampuannya dimuati suatu bahan yang berfungsi memberikan molekul signal untuk dimanfaatkan oleh sel yang terdapat dalam perancah maupun sel disekitarnya.1,10. perancah yang ditujukan untuk merekonstruksi jarin gan tulang harus memiliki porusitas yang sesuai dengan osteoblas, memiliki sifat osteokonduksi yang baik, dapat terdegradasi dalam waktu yang sesuai dengan diferensiasi sel osteoblas sampai osteoblas mampu mensekresikan matriks extraselularnya. hal ini akan berhubungan dengan sifat mekanis dan kimiawi dari perancah. selain itu perancah harus memenuhi syarat untuk memiliki sifat biokompatibilitas, dan osteoinduksi dengan dipadukan bahan maupun protein lain yang dimuatkan dalam perancah.1,7,11 sel merupakan bagian penting dalam rekonstruksi jaringan yang akan bekerja membangun jaringan yang rusak. sel memerlukan lingkungan yang sesuai untuk hidup, berproliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel tulang atau osteoblas. perancah berfungsi menyediakan lingkungan untuk sel sehingga sel menetap di tempat yang akan direkonstruksi dan menjalankan fungsinya untuk membangun jaringan tulang baru. tanpa adanya sel osteoblas yang bekerja dengan baik maka jaringan tulang tidak akan terbentuk. beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan perancah untuk dilekati sel antara lain bentuk permukaan, kekasarannya, adesi molekul permukaan perancah, iso electrict point bahan perancah, hidrophobisitas bahan, dan lain-lain. faktor-faktor tersebut merupakan bahan pertimbangan untuk mendisain perancah.1,8,9. sel yang digunakan dalam tissue engineering bisa berupa sel yang ditambahkan dari luar, diinkorporasikan dengan perancah, maupun mengandalkan sumber sel yang ada dalam jaringan tersebut. sel yang sering digunakan adalah stem cell. hal ini disebabkan stem cell atau sel punca merupakan sel yang masih asli dan belum terdefernsiasi menjadi fungsi sel yang lain. sel punca dapat dideferensiasikan menjadi sel lain sesuai dengan jaringan yang akan direkonstruksi. sel punca dengan diberi stimuli dapat berdiferensiasi menjadi sel lemak, sel tulang, sel saraf, sel otot, maupun sel jantung, sehingga kemampuan berdiferensiasi dan menjadi berbagai sel dewasa inilah maka sel punca fleksibel untuk tujuan memperbaiki jaringan (javaid, 2012).3,12. berdasar sumbernya sel punca dapat berasal dari darah yang disebut hematopoeitic stem cell, lemak hasil liposuction, dari sumsum tulang (bone marrow), dari tali pusat. sel punca bersumber tali pusat dapat diisolasi dari darah tali pusatnya (umbilical cord blood), dari wharton jelly maupun dari tali pusatnya.13 molekul signal merupakan bagian yang tidak kalah penting, karena berperan memberi stimuli sel untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel tulang. kandungan molekul signal diperlukan selama berlangsungnya proses rekonstruksi tulang, sehingga tidak boleh terlepas ke jaringan dengan cepat, karena akan menjadi tidak efektif dan pada saat stimuli tersebut masih diperlukan, molekul signal sudah habis terlepas. oleh karena itu perlu desain delivery vehicle yang sesuai untuk melepaskan molekul signal sedikit demi sedikit sampai terbentuknya sel osteoblast yang telah mampu mensekresikan matriks tulang. delivery vehicle didisain pada perancah sehingga degradasi perancah dapat sesuai dengan kecepatan yang diharapkan.1,4. proses degradasi menjadi bagian terlepasnya signal molekul, semakin pelan perancah terdegradasi makin pelan pula pelepasan molekul signal ke lokasi rekonstruksi tulang. peneliti-peneliti telah melaporkan proses pelepasan molekul signal seiring dengan terlepasnya ikatan silang (crosslinking) pada perancah. skema proses pelepasan molekul signal disajikan pada gambar 2.7,9,14,15. 54 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . erlina sih mahanani perancah hidogel untuk aplikasi rekayasa jaringan tulang gambar 1. bagan 3 komponen tissue engineering.9 bahan molekul signal dimuatkan pada perancah dengan terjebak pada ikatan silang maupun menempel pada pori-pori perancah. lama terlepasnya ikatan silang pada perancah ini dapat didisain sehingga terlepasnya molekul signal dapat dikontrol juga.7 55 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 gambar 1. bagan 3 komponen tissue engineering.9 bahan molekul signal dimuatkan pada perancah dengan terjebak pada ikatan silang maupun menempel pada pori-pori perancah. lama terlepasnya ikatan silang pada perancah ini dapat didisain sehingga terlepasnya molekul signal dapat dikontrol juga.7 kesimpulan berbagai sisi menunjukkan bahwa perancah hydrogel memiliki sifat fisik berporipori, dapat dilakukan crosslinking untuk memperkuatan ikatan di dalamnya, dapat dimuati bahan yang berfungsi sebagai molekul signal, degradasi dan pelepasan molekul signal dapat dikontrol, biokompatibel, biodegradable, sehingga perancah hidrogel memiliki peran yang luas dan sesuai untuk aplikasi rekayasa jaringan untuk regenerasi jaringan tulang. daftar pustaka 1. blackwood, k.a., bock, n., dragvill, t.r., and woodruff, m.a., scaffolds for growth factor delivery as applied to bone tissue engineering, international journal of polymer science volume, 2012, 1-25. 2. spicer p.p., kretlow j.d., young s, jansen j.a., kasper f.k., mikos a.g., evaluation of bone regeneration using the rat critical size calvarial defect, nature protocols 2012; 7: 1918–1929 3. javaid m.a., and kaartinen m.t., mesenchymal stem cell-based bone tissue engineering, international dental journal of student’s research, oct 2012-jan 2013, volume 1, issue 3 4. tabata ,y., 2003, tissue regeneration based on drug delivery technology, topics in tissue engineering e-book, eds. n. ashamma khi & p. ferretti, 1-32. 5. drury j.l., and mooney d.j., hydrogels for tissue engineering: scaffold design variables and applications, biomaterials; 2003; 24 (24): 4337–4351 6. matsui m., and tabata y., 2012, enhance angiogenesis by multiple release of platelet-rich plasma contents and basic fibroblast growth factor from gelatin hydrogel, acta biomaterilia, 8(5), 1792-801. 7. kurita j, miyamoto m, ishii y, aoyama j, takagi y, naito z, tabata y, ochi m,and shimizu k, enhanced vascularization by controlled release of platelet-rich plasma impregnated in biodegradable gelatin hydrogel, ann thorac surg, 2011;92:837– 44. 8. yang s, leong kf, du z, chua ck, the design of scaffolds for use in tissue engineering. part i. traditional factors, tissue engineering, 2001; 6(7), 9. partap, s., plunkett, n. a., and o’brien f. j., (2010). bioreactors in tissue engineering, tissue engineering, daniel eberli (ed.), isbn: 978-953-307-079-7, intech, available from:http://www.intechopen.com/books/ tissue-engineering/bioreactors-in-tissue engineering. 10. saito, t., and tabata, t., 2012, preparation of gelatin hydrogels incorporating low-molecular-weight heparin for anti-fibrotic therapy, acta biomater.8(2):646-52. 11. tabata, y., 2011, biomaterial design of culture substrates for cell research, inflamation and regeneration, vol 31 no. 2, 137-145. 12. lehman g, palmero p, vcacciotti l, pecci r, campagnolo l, bedini r, siracusa g, bianco a, camaioni a, montanaro l, design, production and biocompatibility of nanostructured porous hap and si-hap ceramics as three-dimensional scaffolds for stem cell culture and differentiation, ceramics-silikaty, 2010; 54 (2); 90-96 56 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . erlina sih mahanani perancah hidogel untuk aplikasi rekayasa jaringan tulang 13. saputra, v., 2006. dasar-dasar stem cell dan potensi aplikasinya. cermin dunia kedokteran, -(153), pp. 21-25. 14. sunarso, sutarno, tsuru k, ana id, and ishikawa k, effect of crosslinking to the mechanical property of apatite gelatin hybrid for bone substitution purposes, indo. j. chem., 2011, 11 (3), 267 – 272. 15. hennink we., and vannostrum cf, novel crosslinking methods to design hydrogels, advanced drug delivery reviews, 2012; 64: 223–236 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 serial ekstraksi: prosedur interseptif terhadap penanganan masalah maloklusi dental serial extraction: interseptive procedure for handling dental malocclusion problems rudi satria darwis1, lila vininingtyas2 1,2 kedokteran gigi, fakultas kedokteran universitas jenderal achmad yani bandung jawa barat korespondensi: rudi_darwis@ymail.com abstrak pendahuluan: masalah ruangan (space problems) merupakan salah satu etiologi timbulnya masalah maloklusi dental. gigi berjejal merupakan maloklusi yang timbul akibat diskrepansi ruangan antara lengkung gigi dan lengkung rahang pasien. diperlukan upaya preventif dan interseptif untuk pencegahan kekurangan ruangan sejak fase tumbuh kembang dan gelilgi campuran. serial ekstraksi merupakan prosedur preventif yang dilakukan dengan cara melakukan pencabutan gigi secara berurutan dan berencana terhadap gigi sulung dan permanen. metode: studi pustaka membahas mengenai berbagai pertimbangan prosedur serial ekstraksi, meliputi indikasi, kontraindikasi, diagnosis, dan tata laksana urutan pencabutan gigi. hasil: prosedur interseptif serial ekstraksi merupakan hal yang bermanfaat untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan prosedur korektif, dan mengurangi timbulnya gigi berjejal. kesimpulan: serial ekstraksi dapat membantu mengatasi masalah kekurangan ruangan untuk mencegah timbulnya masalah maloklusi kompleks, serta memberikan kemudahan untuk dokter gigi dan pasien. kata kunci: interseptif, maloklusi, ortodonti, serial ekstraksi abstract introduction: space problems is one of the essential factor etiologi of the dental malocclusion. crowding and crocked teeth mostly caused by discrepantion between tooth size and arch length of the jaw. interseptif procedure such as serial extraction has advantaged to pull down or eliminated some corrective procedures the malocclusion cases. method: there are several considerations for serial extraction. indication, contraindication, cases selection and sequence of teeth to be extraction will be shown in this paper. result: serial extraction by sequenlly extracting of primary and or permanent teeth is an initial preventive and interseptive programs to decreased further serious malocclusion. conclusion: serial extraction has an advantaged for patients and dentist and become one of interseptive procedure for prevent further maocclussion. keywords: interceptive, malocclusion, orthodontic, serial extracti rudi satrya darwis, lila viningtyas │serial ekstraksi: prosedur interseptif terhadap penanganan masalah maloklusi dental pendahuluan gigi crowding merupakan suatu keadaan ketidaksejajaran dari lengkung gigi yang menyimpang dari oklusi ideal.1,2 ketidaksesuaian yang terjadi pada crowding merupakan kombinasi antara ukuran gigi, tulang wajah, dan jaringan lunak seperti pipi, bibir, maupun lidah dapat menjadi masalah maloklusi.2 maloklusi dapat berdampak pada estetika seseorang yang kurang memuaskan. maloklusi juga dapat menyebabkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah.1,3 tindakan untuk mencegah terjadinya maloklusi dapat dilakukan dengan prosedur preventif dan interseptif.4,5 fase preventif-interseptif dalam ortodonti dapat merupakan tindakan pencegahan sebelum terjadinya maloklusi, biasanya dilakukan pada periode gigi sulung, dapat seperti kontrol karies, space maintenance, perawatan terhadap perlekatan frenulum abnormal, serial ekstraksi dan lain-lain.4 salah satu perawatan dalam prosedur interseptif adalah serial ekstraksi.4,7,8 serial ekstraksi adalah sebuah rencana untuk pencabutan satu atau lebih gigi sulung secara dini yang berurutan, untuk meningkatkan kesejajaran benih gigi permanen, dan pada akhirnya melakukan pencabutan gigi permanen untuk memelihara rasio yang tepat antara ukuran gigi dan rahang yang tersedia. serial ekstraksi dilakukan dengan cara pencabutan dengan waktu yang sesuai dan direncanakan dari gigi sulung dan permanen dalam tahap geligi campuran dengan disproporsi dentoalveolar.4,6,7 serial ekstraksi jika dilakukan secara tepat sesuai pertimbangan tertentu akan memberikan keuntungan pada pasien. 7,8 oleh karena itu, penting bagi dokter gigi untuk memahami perawatan interseptif seperti serial ekstraksi terhadap anak dengan tahap geligi campuran untuk mencegah berkembangnya suatu maloklusi. konsep serial ekstraksi adalah koreksi crowding yang terjadi pada tahap geligi campuran, terutama pada usia 5 – 6 tahun. serial ekstraksi harus dilakukan dengan analisis kasus yang tepat untuk mencapai kesuksesan prosedur perawatan. 9,10 11 tujuan utama dari serial ekstraksi adalah meningkatkan jumlah ruangan yang tersedia untuk erupsi gigi permanen dan membuat gigi-gigi permanen mengatur posisi normal dengan sendirinya.4,7 gigi tersebut selanjutnya akan mendapatkan posisi yang stabil dibandingkan dengan gigigeligi yang mendapatkan perawatan ortodonti ketika tahap gigi permanen.12,13 serial ekstraksi dicapai melalui dua fase, yaitu fase reversibel dan irreversibel. fase reversibel adalah fase transisi yang bertujuan melakukan pencabutan pada gigi sulung. fase selanjutnya adalah fase irreversibel yang melingkupi pencabutan terhadap gigi premolar pertama permanen, yang mungkin dapat dilakukan atau tidak dilakukan oleh dokter gigi karena adanya beberapa pertimbangan. serial ekstraks gigi sulung, dapat mengurangi kemungkinan pencabutan gigi premolar permanen untuk mengatasi masalah kekurangan ruangan. 10 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 serial ekstraksi dapat diikuti dengan perawatan ortodonti mekanik aktif.10,13,14 perawatan crowding insisif bawah permanen dengan melakukan serial ekstraksi dan kombinasi alat nance lingual arch memperlihatkan hasil yang efektif dalam menjaga panjang lengkung rahang ketika transisi tahap geligi campuran ke gigi permanen.14 keuntungan dari serial ekstraksi adalah (1) menyediakan pergerakan gigi secara fisiologis, (2) menurunkan waktu retensi dan kunjungan perawatan cekat, (3) kerusakan terhadap tulang alveolar dan struktur periodontal yang lebih rendah, (4) dapat digunakan untuk pasien dengan disabilitas yang tidak dapat dirawat dengan perawatan ortodonti mekanik dan (5) pemeliharaan oh baik. selain itu terdapat kerugian dari serial ekstraksi yaitu (1) meningkatkan overbite, (2) tipping lingual insisif bawah, (3) pembentukan jaringan parut pada ruangan pascapencabutan, (4) terdapat sisa ruangan, (5) membutuhkan kooperatif pasien, dan (6) tendensi terjadinya kebiasaan buruk seperti tongue thrusting pada pasien.4,7,13 pertimbangan klinis untuk serial ekstraksi berikut ini adalah beberapa indikasi yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan serial ekstraksi. indikasi serial ekstraksi yang pertama dilihat dari derajat crowding gigi.7,11,10 proffit menyebutkan bahwa crowding dengan derajat berat dapat dilakukan serial ekstraksi, sedangkan crowding dengan derajat berat dapat dilakukan perawatan serial ekstraksi, namun dengan tambahan terapi alat ortodonti aktif.8,13 crowding dengan derajat sedang dapat dilakukan pada fase akhir dari tahap geligi campuran.15 pendapat beberapa ahli menyatakan bahwa diskrepansi minimal yang dapat dilakukan serial ekstraksi adalah 5 – 10mm4,8 serial ekstraksi harus mempertimbangkan hubungan molar dalam berbagai jenis maloklusi yang menjadi indikasi ideal untuk serial ekstraksi.11 serial ekstraksi hanya terbatas pada kelainan maloklusi kelas i dental, diperlukan pertimbangan lain untuk jenis maloklusi lain pada hubungan molar kelas ii dan kelas iii.11 7 crowding skeletal dengan diskrepansi 5mm, dan kelas ii divisi 2 dan kelas iii masih menjadi perdebatan mengenai keefektifannya sehingga menjadi kontraindikasi dalam prosedur ini. keadaan ketiadaan gigi secara kongenital (anodonsia/oligodonsia), celah bibir atau palatum, karies luas pada gigi molar pertama permanen, dan deep bite atau overbite yang berat merupakan kasus yang sulit terhadap serial ekstraksi4,8,11 penatalaksanaan serial ekstraksi tahap penentuan diagnosis dimulai dari pemeriksaan klinis yang terdiri dari pemeriksaan fotografi ekstraoral terutama profil wajah dan pemeriksaan intraoral, pemeriksaan radiografis yang terdiri dari foto panoramik dan sefalometri, dan analisis dental melalui model studi.7,9,12, 13 pemeriksaan intraoral menilai hubungan molar, derajat crowding, maloklusi yang terdapat pada tiap rahang, termasuk rudi satrya darwis, lila viningtyas │serial ekstraksi: prosedur interseptif terhadap penanganan masalah maloklusi dental overjet dan overbite, restorasi dan keadaannya, karies, dan jenis gigi baik gigi sulung maupun permanen.9,13 pemeriksaan radiografis melalui foto panoramik bertujuan untuk menilai ada atau tidaknya gigi secara kongenital, supernumerari gigi, analisis gigi campuran, menilai usia gigi, pembentukan akar, kemungkinan pola erupsi, patologi tulang.4 foto sefalometri merupakan penilaian tambahan untuk analisis hubungan skeletal dan arah pertumbuhan.4,17 analisis geligi campuran seperti analisis moyer’s dapat digunakan untuk memprediksi jumlah ruangan yang dibutuhkan untuk gigi yang belum erupsi dengan menghubungkan ukuran insisif mandibula permanen dengan kombinasi ukuran caninus dan premolar sebelum tindakan serial ekstraksi.4,8,18 prosedur analisis moyer’s diawali dengan mengukur mesio-distal gigi empat insisif mandibula, menentukan jumlah ruangan yang diperlukan untuk kesejajaran gigi dengan cara menentukan lebar dari alveolar crest insisif sentral dan lateral tiap regio, berikan tanda pada model ukuran pada saat gigi insisif telah sejajar. tambahkan jumlah ruangan setelah gigi insisif sejajar, dan ukur lebar kaninus sulung, molar pertama dan kedua sulung dari tanda tersebut hingga distal gigi molar kedua sulung. hasil pengukuran dimasukkan pada ukuran empat gigi insisif mandibula dalam tabel moyer’s dan hasilnya adalah prediksi ukuran gigi kaninus, premolar satu, dan premolar dua, lalu kurangi dengan ukuran kaninus, molar pertama dan kedua sulung.4,8 metode-metode serial ekstraksi terbagi menjadi metode tweed, dewel, nance, dan grewe.4 metode tweed digunakan pada usia 7,5 – 8,5 tahun yang menunjukkan diskrepansi antara gigi dan tulang rahang.7 urutan metode tweed adalah dc4 (molar pertama sulung, kaninus sulung, dan premolar pertama permanen).4,7 pencabutan kaninus sulung yang menghambat erupsi kaninus permanen, dan gigi premolar sudah berada pada tahap eruptif (mahkota diatas tulang alveolar secara radiografis). 4 metode dewel dilakukan jika terdapat crowding ringan pada regio anterior dan adanya eksfoliasi dini kaninus sulung secara unilateral atau bilateral.7 urutan metode dewel adalah cd4 (kaninus sulung, molar pertama sulung, dan premolar pertama permanen). metode ini ideal dilakukan pada usia 8,5 tahun, dimana kaninus sulung diekstraksi dengan tujuan memberikan ruangan untuk kesejajaran gigi anterior yang crowding, selanjutnya usia 9,5 tahun ketika crowding insisif teratasi dan premolar pertama dalam perkembangan akar, maka molar pertama sulung dapat diekstraksi. selanjutnya, ketika premolar erupsi, premolar diekstraksi untuk memberikan kesejajaran bagi kaninus permanen.4,7 metode nance merupakan metode dengan urutan modifikasi dari metode tweed yaitu d4c (molar pertama sulung, premolar pertama permanen, kaninus sulung). ekstraksi dari molar pertama permanen dimulai pada usia 8 tahun.4 grewe membagi urutan rencana ekstraksi berdasarkan kondisi klinis yang berbeda, (1) maloklusi kelas i insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 dengan premature loss kaninus sulung mandibular. pembahasan serial ektraksi sebagai tindakan interseptif konsep dari serial ekstraksi adalah koreksi dari crowding yang terjadi pada tahap geligi campuran.9,10 dokter gigi harus memperhatikan analisis dan pemilihan kasus yang tepat untuk rencana perawatan yang akan dilakukan, untuk melakukan ekstraksi maupun tidak dalam menangani masalah crowding tersebut.11 serial ekstraksi masih menjadi kontroversi apakah perawatan ini dapat dikerjakan tunggal atau merupakan perawatan tambahan yang selanjutnya diikuti fase perawatan aktif.11 alat yang biasa digunakan dengan prosedur serial ekstraksi adalah maxillary and mandibular lingual arches, headgear cekat atau lepasan, dan removable hawley’s appliance.7 pasien dengan crowding insisif bawah permanen yang dirawat dengan nance lingual arch dan serial ekstraksi memperlihatkan hasil yang efektif dalam menjaga panjang lengkung rahang ketika transisi tahap geligi campuran ke gigi permanen. terdapat perubahan spontan setelah serial ekstraksi pada crowding anterior, namun diperlukan follow-up dan perawatan ortodonti mekanik aktif untuk mendapatkan ruangan, stabilisasi interdigitasi, dan kesejajaran akar dan kestabilan oklusi jangka panjang.10,13,14,20 keberadaan overjet dan overbite yang besar tidak disarankan dengan tindakan ini, karena kehilangan gigi posterior karena pencabutan memiliki kecenderungan bergerak kearah mesial sehingga memperparah deep bte 7,11 hubungan molar kelas ii pada tahap awal dapat diertimbangkan untuk serial ekstraksi apabila terdapat crowding pada gigi anterior bawah, namun dengan penuh pertimbangan dan harus diikuti dengan alat ortodonti mekanik untuk menjaga interdigitasi gigi posterior. urutan gigi yang akan diekstraksi dapat berbeda-beda sesuai dengan indikasi dari metode-metode yang sebelumnya disebutkan. dokter gigi harus berhati-hati dalam memilih urutan gigi yang akan diekstraksi untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi sebagai efek dari serial ekstraksi. serial ekstraksi seharusnya tidak dilakukan tanpa adanya penentuan diagnosis yang adekuat karena berbagai macam efek samping yang cukup serius dan merugikan.11,22,23 kesimpulan serial ekstraksi adalah salah satu perawatan ortodonti interseptif yang memiliki banyak pertimbangan dalam pelaksanaannya. dokter gigi harus mengetahui pertimbanganpertimbangan sebelum melaksanakan serial ekstraksi seperti indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, penentuan diagnosis dengan berbagai pemeriksaan yang akurat, dan berbagai metode-metode urutan pencabutan gigi dalam perawatan serial ekstraksi sesuai dengan indikasinya, untuk meminimalisir efek samping dari pertumbuhan yang bermacam-macam akibat keberagaman faktor-faktor yang mempengaruhinya. follow up secara rudi satrya darwis, lila viningtyas │serial ekstraksi: prosedur interseptif terhadap penanganan masalah maloklusi dental berkelanjutan merupakan bagian dari perawatan serial ekstraksi agar mendapatkan hasil dengan kestabilan yang baik dan sesuai dengan harapan orang tua pasien, pasien dan dokter gigi. daftar pustaka 1. hassan r, rahimah ak. occlusion, malocclusion and method of measurement. orofacial science. 2007;2:3-9. 2. gul-e-erum, fida m. pattern of dental malocclusion in orthodontic patients in rwanda: a retrospective hospital based study. j ayub med coll abbottabad. 2008;20(1):43-47. 3. singh g, textbook of orthodontics, 2nd ed, jaypee brothers medical publisher, new delhi, 2007. 4. prabhakar rr, saravanan r, karthikeyan mk, vishnuchandran c, sudeepthi. prevalence of malocclusion and need for early orthodontic treatment in children. j clin diagn res. 2014;85:zc60-zc61. 5. karaiskos n1, wiltshire wa, odlum o, brothwell d, hassard th. preventive and interceptive orthodontic treatment needs of an inner-city group of 6and 9-year-old canadian children. j can dent assoc. 2006;71(9):649. 6. naragond a, kenganal s. serial extraction: a review. iosr journal of dental and medical sciences. 2012;3(2):40-47. 7. proffit wr, fields hw, sarver dm, contemporary orthodontics, 4th ed, mosby elsevier, philadelphia, 2007. 8. rodrigues r, rodrigues m, pedron pv, cláudia a, ricardo, siqueira ks. serial extraction: 20 years of follow-up. j appl oral sci. 2012;20(4):486-92. 9. lara ts, santos cco, filho og, garib dg, bertoz fa. serial extraction: variables associated to the extraction of premolars. dental press j orthod. 2011;16(5):135-4. 10. vagdhevi hk, pavithra us, vighnesh vr. controversies with serial extraction procedure as an early treatment modality to intercept the malocclusion – a review. imperial journal of interdisciplinary research. 2016;2(1):140-145. 11. filho hl, maia lh, lau tcl, souza mmg, maia lc. early vs late orthodontic treatment of tooth crowding by first premolar extraction: a systematic review. the angle orthodontist. 2015;85(3):510-517. 12. hashim ha. management of crowded class 1 malocclusion with serial extraction: report of a case. the journal of contemporary dental practice. 2010;11(4):1-9. 13. brennan mm, gianelly aa. the use of lingual arch in the mixed dentition to resolve incisor crowding. am j orthod dentofacial orthop. 2000 jan;117(1):81-5. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=karaiskos%20n%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=wiltshire%20wa%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=wiltshire%20wa%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=odlum%20o%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=brothwell%20d%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=brothwell%20d%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=hassard%20th%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16271161 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10629524 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10629524 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 14. gianelly aa. treatment of crowding in the mixed dentition. am j orhod dentofacial orthop. 2002; 121(6):569-71 15. kjellgren b. serial extraction as a corrective procedure in dental orthopaedic therapy. european journal of orthodontics. 2007;29(1):37-50 16. norman f. serial extraction. the angle orthodontist. 1965;35(2):149-157. 17. feldman e, kennedy db, aleksejuniene j, hannam ag, yen eh. mandibular changes secondary to serial extractions compared with late premolar extractions and controls. am j orthod dentofacial orthop. 2015;148(4):633-40. 18. sholapurmath sm, benni db, mandroll p. applicability of two mixed dentition analysis in children of jangam community of belgaum city. world j dent. 2012;3(4):324-329. 19. yoshihara t matsumoto y, suzuki j, sato n, oguchi h. effect of serial extraction alone on crowding: spontaneous changes in dentition after serial extraction. am j orthod dentofacial orthop. 2000;118(6):611-6 20. ngan p, alkire rg, fields h jr. management of space problems in the primary and mixed dentitions. j am dent assoc. 1999; 130(9):1330-9. 21. ringenberg qm. serial extraction in class ii malocclusions. the angle orthodontist. 1978;48(4):311-316. 22. artun j, garol jd, little rm. long-term stability of mandibular incisors following successful treatment of class ii, division 1, malocclusions. the angle orthodontist. 1996;66(3):229-238. 23. azamian z, shirban f. treatment options for class iii malocclusion in growing patients with emphasis on maxillary protraction. scientifica. 2016:1-9. correspondence: rudy joelijanto, departement of orthodontic faculty of dentistry unversity of jember, e-mail: kaditya_rakan@yahoo.co.id 108 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 oral habits that cause malocclusion problems maloklusi yang terjadi akibat kebiasaan buruk pada anak rudy joelijanto1 1departement of orthodontic faculty of dentistry unversity of jember abstract oral habits that place pressure on the teeth may slowly move the teeth out of place. the aim of this study was to review the literature for articles referring the most common oral habits that cause malocclusion. the oral bad habits that cause malocclussion problems include: thumb sucking, it is a normal habit for babies, but causes serious orthodontic problems if it continues long after the eruption of permanent teeth. prolonged thumb sucking can create crowded, crooked teeth, or bite problems and speech problems. protrusion and displacement of front teeth are usual results of thumb sucking. lip-biting or fingernail biting, both habits can shift the teeth out of alignment. tongue thrusting, some children thrust their tongue forward, pressing it against the lips with a force that can result in teeth malocclusions such as ‘open bite’ or teeth protrusion (overjet). while parents can not do much to prevent an orthodontic problem caused by hereditary factors, they can help their kids to avoid the need for braces, by maintaining good oral hygiene and avoiding bad oral habits that could cause teeth malocclusion problems. modern orthodontics are usually able to treat most teeth malocclusions successfully, but prevention can help the family to avoid the large cost of orthodontic treatment and the child will not have to wear dental braces and feel uncomfortable. keywords : oral habits, malocclusion, orthodontic treatment abstrak adanya kebiasaan buruk yang menimbulkan tekanan pada gigi-gigi dapat secara perlahan akan menggerakkan gigi ke luar lengkungnya. tujuan dari penulisan ini adalah mengulas berbagai artikel tentang kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menimbulkan maloklusi. kebiasaan buruk (oral bad habits) meliputi diantaranya: menghisap jempol (thumb sucking), meskipun kebiasaan ini sesuatu yang normal pada bayi, namun dapat menyebabkan masalah orthodontik yang serius. hal ini terutama bila terus berlanjut hingga periode erupsi gigi permanennya. kebiasaan ini dapat menimbulkan gigi berdesakan, miring, atau munculnya masalah oklusi dan bicara. selain protrusi dan displacement gigi anterior. menggigit bibir (lipbiting or fingernail biting), juga dapat mengganggu dan merubah letak gigi pada lengkung yang benar. cara menelan yang salah (tongue thrusting), yaitu dengan menjulurkan ujung lidah dan menekan pada bibir, kebiasaan ini dapat mengakibatkan maloklusi seperti gigitan terbuka (open bite) atau protrusi. pada beberapa kasus dapat timbul karena adanya faktor herediter, orang tua dapat membantu tindakan pencegahan pada anak-anaknya dengan pemeliharaan kesehatan mulutnya dan menghilangkan kebiasaan buruknya agar tidak terjadi maloklusi. ortodontik modern saat ini umumnya dapat menangani kasus maloklusi dengan sukses. namun tetap diperlukan tindakan pencegahan dari pihak keluarga untuk menghindari besarnya biaya yang diperlukan pada perawatan ortodontik dan ketidaknyamanan pada penggunaan alat ortodontik. kata kunci : oral habits, malocclusion, orthodontic treatment rudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 87 introduction there are various bad habits in the children’s mouth, i.e mouth breathing, tongue thrusting, finger biting, finger biting, finger sucking, lip sucking. bad habits on someone can stand independently or occur together with other bad habits. it means the same patients may occur some bad habits.1 based on research, that performed to 92 children of yayasan bahtera bandung with 6-12 years of age, reported that about 50% of children have a oral habits, with the proportion of thumb sucking habit 43.8%, lip biting and lip sucking 34,8%, and tongue thrusting 8.7%, nail biting as well as mouth breathing each 6.55%. 2 oral bad habits that are abnormal often associated with disorders of growth of the jaw, teeth malposition, respiratory disorder, difficulty speaking, muscle imbalances, and face psychological problems2. in dentistry, there are three major problems that occur frequently, i.e. caries, periodontal disease, and malocclusion. prevention of caries and periodontal disease has been a lot of done but prevention against malocclusion still requires serious research. 3 the aim of this study was to review about malocclusion caused by oral bad habits and how to prevent increased malocclusion caused by oral bad habits. the occurrence of malocclusion in children occlusion according to dewanto (1993) is teeth surface of the upper jaw contact to occlusal surface of lower jaw teeth at the time of the upper jaw and lower jaw closes. an occlusion is the change in the relationship of teeth surface (maxilla) in the upper jaw and lower jaw (mandible) that occurred during the movement of the mandible and ended with full contact to the teeth of both jaw . an occlusion occurs due to the interaction between the dental system, skeletal system, and muscular system. an occlusion of teeth is not a state condition during the mandible movement, so there are various forms of an occlusion such as: centric, eccentric, habitual, supra-infra, mesial, distal, lingual. 4 malocclusion is abnormality of teeth arrangement or abnormality of the relationship between the upper jaw and lower jaw. the word of “malocclusion” literally means as bad bite. this condition can be either irregular bites, crossbite, or overbite. malocclusion can also be tilted teeth, protrusion, or crowded. this can interfere with the appearance, phonetic, or mastication. malocclusion still remains one of the major problems in oral health in indonesia, especially in the children’s oral and dental health. many factors that can lead to the occurrence of malocclusion in children. in addition to dental caries, the behavior in children has an sufficient important role in the process of malocclusion. such behavior can be either oral and dental health measurement as well as a bad habit. bad habits in the child, particularly oral bad habits, if continued until the age where permanent teeth begin to erupt, it will lead to the risk of malocclusion. malocclusion can lead to the occurrence of speaking disorder, where most letters of the alphabet need teeth to pronounce clearly. results of studies about the relationship with malocclusion disorder in adolescents with an average age of 18 years old that occurred as much disruption with an mesial occlusion 33,8% of students, 27,8% with mandible over jet, 25.6% with incisal open bite and 12.8% with lateral crossbite. malocclusion can also lead to the occurrence of mastication disorders in which the occurrence of pain in jaw when chewing. studies results of oktavia on the high school student in medan shown that there were difficulties in mastication in individuals with malocclusion amounted to 11.8%, food stuck up 35.1%, pain when chewing 22.3%, any discomfort when chewing 44.1%. malocclusion in addition to have an impact on the phonetic and mastication, malocclusion can also have an impact on the aesthetic and affect social relationship of the child. the results showed as much as 41,89% children have difficulties to associate, easily offended of 47,22%, lazy to go out home of 16,71%. rudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… 86 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 bad habits can occur to child in the growth and development. there are finger sucking, mouth breathing, lip sucking and biting, jaw pushing forward, tongue thrusting, or nail biting. the habit is more commonly known as oral habit. oral habit is normal behavior in infants. usually temporary and disappear by itself at the age of about 3-4 years. oral habit will not cause a problem which means the mouth cavity at that time, because basically the body can give a response to the stimulus from the outside since in the womb. this response is a sign that the psychological development of the child has already started, which is visible from the spontaneous or repetitive reaction. problems will arise when recurring oral habit that continues until the child enters school age where this habit continued to do because parents are less regard for their children. oral bad habits is a perversity oral activities and surroundings that continuously occur, which is one of the environmental factors that causes malocclusion. malocclusion is a form of relationship of the upper and lower jaw which deviate from the standard form that is accepted as a normal form, malocclusion can be caused by imbalance of dentofacial. 5 classification of malocclusion a. protrusion protrusion is a tooth that its position is forward. protrusion can be caused by heredity, bad habits as finger sucking and lower lip sucking, pushing the tongue forward, wrong habit of swallowing as well as mouth breathing. b. intrusion and extrusion intrusion is the movement of the teeth away from the occlusal. the movement of the intrusion requires good control of forces. extrusion is the movement of the teeth near occlusal plane. c. crossbite crossbite is a state if the jaw is in centric relation. there are abnormalities of the teeth in a direction transverse of maxilla teeth to the mandible teeth that can affect the whole or half-jaw, teeth, or a single tooth only. based on the location, cross bite can be divided into two: 1) anterior crossbite a state of centric relations in the jaw, but there are one or more anterior teeth maxilla that its position is next to the lingual of mandible anterior teeth. 2) posterior crossbite abnormal relationship of bucolingual from one or more mandible. posterior teeth d. deep bite deep bite is a condition where the distance of maxilla incisivus incisal contact to the mandible incisivus incisal in the vertical direction is more than 2-3 mm. in the case of deep bite, posterior teeth is often linguo version or tilted to the mesial and mandible incisivus often crow ded, linguoversion, and supraocclusion. e. open bite open bite is condition if there is presence of a occlusal or incisal space of the teeth when the upper jaw and lower jaw in centric occlusion. open bite according to the location are : 1) anterior open bite class i angle of anterior open bite occurs because of upper jaw narrowing, forward inclination of anterior teeth , and supraocclusion of anterior teeth, whereas division of class ii angle caused by bad habits or hereditary. 2) posterior open bite on premolar and molar region 3) combination of anterior and posterior (a total of open bite) exists in both the anterior and posterior, unilaterally or bilaterally. f. crowded crowded is a condition when teeth arranged outside the normal arrangement. crowed due to basal arch are smaller than coronal arch. basal arc is a place of processus alveolaris which are teeth lied on, coronal arch is the most width of the coronal teeth or the number of the most masrudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 87 sive of mesiodistal teeth crown. the degree of severity of crowded teeth are: 1) mild crowded there are little of crowded teeth, often occur in mandible anterior teeth, and considered as normal variation . this no need a treatment. 2) severe crowded there are severe crowded teeth so that may lead to bad oralhygiene. classification of oral bad habit in children 1. mouth breathing mouth breathing can be classified into three as follows: a. obstructif : children who have had interruptions in inhale air through the nose (nasal passage). b. habitual : this is due to habit although abnormal disorder has been eliminated c. anatomical: when the anatomy of upper and lower lip is short so it can’t be closed perfectly without effort to close it. children who are mouth breathing usually narrowfaced, anterior teeth forward to the labial direction, and the lips open with the lower lip lies behind the upper incisive. due to lack of normal muscular stimulation of the tongue and because of the excess pressure on the caninus and in the molar area due to the orbicularis oris and buccinators muscles, then segment buccal of maxilla contracted and result in shaped v of maxilla and palatal height. so according to some opinions, mouth breathing tend to present clinically has long faced and narrow. when this is performed continously, it can result in abnormalities in the anterior teeth of upper jaw (protrusive) and the anterior bite will be open (open bite). 2. thumb sucking habit thumb sucking is a habit that is common in children. the habit of thumb sucking that prolonged can cause malocclusion. according to profit (2000) 6, characteristics malocclusion related to the combination of pressure directly from the thumb and change patterns of pressure cheeks and lips. cheek pressure on the mouth corner is the highest pressure, the pressure of cheek muscle to the posterior teeth of upper jaw increased due to the contraction of buccinators muscles during sucking at the same time so it makes maxilla into shaped v. 6 3. tongue thrusting habit tongue thrusting habit can caused by improper bootlefeeding and is usually accompanied by other bad habits such as thumb sucking, lip biting, and nail biting. if this habits occur continously, it will cause an open bite and incomplete overbite as well as the position of tongue tip more anterior than normal. 4. objects biting habit areconsits of : a. nail biting this oral bad habit which is position of upper and lower incisive teeth have pressured by nail. according to finn (1971), the habit of nail biting habit is normal in children who previously have a habit of finger biting. in addition, according to alexander and lane (1990), etiology of nail biting due to stress, imitation of family members, hereditary, the transfer from the habit of finger sucking, and fingernail is not neat. in some cases these habits can cause atrision in the lower anterior teeth. 7 b. finger biting finger sucking habits in children occurs at age 1-2 years. if left constantly until the age of 5 years or more can result in abnormalities in the position of the teeth. the fingers will press the upper jaw teeth forward and the lower jaw inward, so it appears to be protrusive.5 children bad habits in addition to the above are : 1. bruxism this is a bad habit of scraping upper jaw and lower jaw teeth, it can arise at childhood as well as adults. usually this is done at the time of sleep at night and they don't realize that they have a bad habit. rudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… 86 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 bruxism is often occured by women compared to men. bruxism can cause abrasion (wear out) of teeth surface in the upper jaw and lower jaw, both in decidous teeth and permanent teeth. email layers (outer layer of the teeth) that protects the surface of the tooth is missing, so it make pain in the teeth. when this habit was continued and prolonged, can cause damage to the periodontal tissue (tissue that supports teeth), malocclusion, teeth fracture due to excessive pressure, and abnormalities in the temporo mandibular joint (joints that connect the lower jaw and head bones). for the treatment of these cases, the dentist will make certain tools that are specially designed and built in accordance with the arrangement of patients teeth, these tools are called night guard and used while sleeping at night. this tool will form the boundary between the teeth upper jaw and lower jaw so there will be pitted against each other. use this tool will prevent further damage on teeth and assist patients in stopping bad habits. when the main cause of bruxism is stressed out, then doing a consultation with a psychologist is the one thing that can help in eliminating these bad habits. 2. sustaining chin habit due to excessive pressure on joints are prolonged or continuously, it can cause the disc (meniscus) tear and suffered a dislocation is in front of condilus. in circumstances like this, the opening movement of mouth caused the condilus to move forward and pressing the disc in front of it. if this is occurs continously, condilus can just skip the disc and clash with bone causing a either a cliking sound. this can also occur in the opposite movement. often, this sound is not accompanied by pain so that the patient does not realize that the sound is a symptom of temporomandibular joint disorders. discussion oral bad habits have a great impact on malocclusion, particularly during the period of mixed teeth. one of them is the habit of finger sucking habit, it leads to permanent insisivus upper teeth protrusion and also inhibit the development of mandible arch. a bad habit that is often carried out repeatedly by the children can result in teeth and a their support tissue, which are include: 1. sucking thumb thumb sucking is not a cause or a symptom of a physical problem or psichologic. some cases show the thumb sucking habit can be a problem because there is the possibility of misalignment of permanent teeth if a child aged five or six years still doing the thumb sucking habit . this oral habit can cause change field of incisal incisors, which retroclination on the lower jaw incisor and teeth proclination on the upper jaw incisor jaw thus increasing overjet and creating a unilaterally crossbite bucal as it relates to the shift of the mandible. it can also change the ratio between the top and bottom anterior face height. as a result, anterior teeth position is much more advanced than the lower teeth, and going on an open bite. 8,9 finger sucking habit arising in children aged 1 to 2 years. and if it is left continuously until the age of 5 years or more can result in abnormalities in the position of the teeth. finger sucking habit can cause abnormality cavum oris and surrounding structures, anatomically can cause anterior open bite that is a form of upper and lower anterior teeth abnormalities and there is overlapping when an occlusion, thus formed a gap open when an occlusion. at the time of sucking finger pressure changes occur in the cavum oris. this is because while sucking, tongue was pushed down by the finger so that it is separate from the palatum. then the orbicularis muscle contraction and buccinators continually separate causes leading to make colaps maxillaris arch so it occurs crossbite, i.e. a disorder in which the superior teeth on sis buccal go deeper into than the inferior teeth. 8 2. mouth breathing rudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 87 if the child has nasal cavities disorder, then he/she will breathe through the mouth cavity. the habit of breathing from the mouth can cause malocclusion with retrution of the upper anterior teeth with, or crowded or protrusion. breath pathway has two way that are the nose cavity and the mouth cavity, one individual has its own variations in breathing, one of which is by from mouth cavity often use on the nose. breathing in this manner can change posture bone jaw, head and tongue, and this can change the pressure balance of jawbone and tooth position. breathe in the mouth can decrease the position of the mandible and the tongue, as well as extend the head, facial height will increase and the posterior teeth will experience super-eruption (excessive eruptions) occur a little vertical growth of the mandible ramus, anterior open bite, overjet, as well as increasing the pressure of the buccal area of muscles caused by constriction on maxila arch. breathing from the nose also has risk but rather is an infection resulting from prolonged chronic inflammation of nasal mucosa caused by allergen materials. 9 3. bruxism this is a bad habit of scraping upper jaw and lower jaw teeth, it can arise at childhood as well as adults. usually this is done at the time of sleep at night and they don't realize that they have a bad habit. bruxism is often occured by women compared to men. in children, sometimes this habit arise in the time of teeth development. in adults bruxism usually occurs due to malocclusion (good relationship between the upper jaw and lower jaw teeth), stress, anger, pain, or frustrating. bruxism can cause abrasion (wear out) of teeth surface in the upper jaw and lower jaw, both in decidous teeth and permanent teeth. email layers (outer layer of the teeth) that protects the surface of the tooth is missing, so it make pain in the teeth. when this habit was continued and prolonged, can cause damage to the periodontal tissue (tissue that supports teeth), malocclusion, teeth fracture due to excessive pressure, and abnormalities in the temporo mandibular joint (joints that connect the lower jaw and head bones). 4. lip sucking lip sucking is a abnormal habit that is conducted continuously either consciously or unconsciously. generally conducted on the lower lip. the habit of lip sucking often bring up the bad habits of other new that is tongue sticking. the presence of oral bad habits are no longer considered as normal in children aged up to three years.1 the habit of lip sucking more rare compared to other oral bad habits, but abnormal sucking habits whatever its shape may cause malocclusion. the cause of someone has a habit of lip sucking allegedly due to environmental factors and psychological factors. some researchers reported that there is manifestation in the mouth cavity due to the habit of lip sucking that is over a fairly large overjet, second molar relationships, as well as the existence of open-bite anterior and posterior crossbite. sucking is often a compensation activity stemming from excessive overjet and difficulty of closing the lips at the moment of swallowing. 1 5. tongue thrusting the habit of tongue thrusting is a form of ingestion, which pushes the tongue forward or lateral or between the teeth during ingestion. the habit of tongue thrusting shows the tongue movement against teeth development during the ingestion and at the time of the break. there is also an opinion that the habit tongue stick (tongue thrust) is the habit of tongue pushing and pressing anterior teeth (general definition) or tongue in thrust out and lying between the upper and lower incisal anterior teeth surface (conservative definition). this habit illustrates imbalances of orofacial muscle. 10 the habit of tongue thrusting can become a bad habit if the tongue pushes the upper and lower teeth because it could rudy joelijanto, oral habits that cause malocclusion problems… 88 idj, volume 1, no. 2, tahun 2012 lead to an open bite and many other malocclusion. if the tongue cannot work well, a patient may not be able to swallow appropiately and trouble swallowing pills tablet drug. some of the typical symptoms are shown in the tongue thrusting habit include: 10 b. the patient has over jet or open bite c. patients speak unclearly d. the patient breathe through the mouth. e. lip licking before ingestion f. face grinning when swallowing 6. lip biting habit lip biting habit is a habit which is conducted repeatedly in the lower lip. lip biting will cause the upper teeth to move in anterior abnormally. lip biting in the lower teeth will also move the lower jaw teeth towards the lingual and upper jaw teeth to the anterior. as a result of lower lip biting is protrusion of upper jaw anterior teeth, lower jaw anterior teeth retrusion, soft tissue inflamation and anterior open bite. 11 conclusion child bad habit is a perversity activities and surroundings that are continuous, which is one of the environmental factors cause malocclusion and complaints on the part of the mouth such as dry mouth, mucocel, perleche and stomatitis. there are various of bad habits, include mouth breathing, tongue thrusting, finger biting, finger sucking, lip sucking. references 1. yuniasih en, soenawan h, 2006. menghilangkan kebiasaan menghisap bibir dengan alat bumper. jurnal kedokteran gigi universitas indonesia. edisi khusus kppikg xiv. 2. trasti. 2007. pertumbuhan dan pekemba ngan orokraniofacial yang normal. fakul tas kedokteran gigi universitas indone sia. 3. enarti. 2010. http://eprint.ui.ac.id/ 1281 12-r17-pro-176-hub%20 antra pendahu luan. pdf 4. dewanto h. 2004. aspek-aspek epidemiologi maloklusi. yogyakarta: gajahmada university press. 5. suanto c. 2010. need and demand serta akibat dari maloklusi pada siswa smu negeri. 6. proffit wr, fields hw. 2000. contemporary orthodontics. 4th edition. mosby inc, st.louis. 154-158 7. finn sb. 1962. clinical pedodontics. 2nd edition. philadelphia and london. w.b. saunders co. 325-328, 311-312. 8. dionne w. 2001. little thumbs. los angeles: pelican publishing company. 9. stuani as, maria bbs, maria da cps, mirian anm. 2006. anterior open bite chephalometric evaluation of dental pattern. 10. jusuf l. 2005. kebiasaan men-julurkan lidah dan penanggula-ngannya. medan: universitas sumatra utara. 11. astuti l, ratna s. 2007. pemakaian lip bumper pada anak-anak dengan kebiasaan jelek menggigit bibir bawah dan menghisap ibu jari. dental journal kedokteran gigi fkg-uht. vol 1 no 2. 45 pengaruh konsentrasi ekstrak mint yang dimasukkan dalam resin komposit microfine terhadap kekerasan resin komposit microfine dwi aji nugroho1 , noviana eka saptaningtyas2 1 staf pengajar, departemen biomaterial program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2 mahasiswa, program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, abstrak latar belakang: resin komposit microfine adalah salah satu jenis resin komposit yang memiliki daya serap yang tinggi terhadap cairan, tetapi mempunyai bau yang tidak enak. oleh karena itu, ekstrak mint (cairan) perlu dimasukkan pada resin komposit tersebut. sifat mekanis resin komposit dapat diketahui salah satunya melalui uji kekerasan. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak mint yang dimasukkan dalam resin komposit microfine terhadap kekerasan resin komposit microfine. metode penelitian: penelitian ini menggunakan 20 sampel yang terdiri atas: 5 sampel kelompok i, resin komposit tanpa ekstrak mint; 5 sampel kelompok i, resin komposit dideponir ekstrak mint konsentrasi 0,05 ml; 5 sampel kelompok iii resin komposit dideponir ekstrak mint konsentrasi 0,1 ml, dan 5 sampel kelompok iv, resin komposit dideponir ekstrak mint konsentrasi 0,15 ml. selanjutnya, setiap sampel dilakukan uji kekerasan dengan micro vickers hardness tester. data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan anava satu jalur dan lsd0,05 ( least significance difference ). hasil: data uji kekerasan yang diperoleh adalah: kelompok i, 130,83 + 0,46; kelompok ii, 122,03 + 0,55; kelompok iii, 127,17 + 0,62; kelompok iv, 130,13 + 0,46. analisis data anova satu jalur menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kelompok pertama dengan kelompok kedua dan ketiga. analisis data lsd menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok i dan iv. kesimpulan: terdapat pengaruh konsentrasi ekstrak mint 0,05 ml dan 0,1 ml yang dimasukkan dalam resin komposit microfine terhadap kekerasan resin komposit microfine. kata kunci : komposit microfine, ekstrak mint, kekerasan micro vickers. abstract background: composite resin microfine are kind of composite resin that have bad smell and can absorb highly with liquid, so that mint extract is entered into composite resin. mechanical characteristic of composite resin can be discovered by hardness test. the aim of research was to know influence mint extract level that was entered composite resin microfine to their hardness. methods: this research used 20 sample that consisted of 5 sample for each group. group i, composite resin without mint extract; group ii, 0,05 ml mint extract was deponired into composite resin microfine; group iii, 0,1 ml mint extract was deponired into composite resin microfine; group iv, 0,15 ml mint extract was deponired into comnposite resin microfine. sample were tested by micro vickers hardness tester. data can be analyzed by one way anova and lsd0,05( least significance difference ). results: the hardness values obtained were: group i, 130,83 + 0,46; group ii, 122,03 + 0,55; group iii, 127,17 + 0,62; group iv, 130,13 + 0,46. the result of anova test showed that there were significant differences among mint extract level. the lsd test showed no significant differences between group i and group iv. conclusion: it was concluded that mint extract which was entered composite resin microfine influence to their hardness. keywords: composite resin microfine, mint extract, hardness. 46 dwi aji nugroho | pengaruh konsentrasi ekstrak mint yang dimasukkan dalam resin komposit .... pendahuluan resin komposit merupakan suatu bahan yang berwarna menyerupai gigi dan dipakai untuk menambal gigi. bahan tambalan tersebut dapat digunakan pada bagian gigi yang mendapat tekanan, misalnya permukaan tepi insisal dan permukaan oklusal.1 meskipun demikian, bahan tambalan tersebut memiliki bau yang kurang enak, sehingga sering mengganggu kenyamanan pasien.2 daun mint( mentha arvensis l.) berhubungan dengan aroma dan kesegaran. daun tersebut terdiri atas mentol sebagai bahan aktif, sehingga cocok untuk pembuatan permen mentol dan permen karet untuk menghindari bau mulut. bahkan, pasta gigi sekarang dibuat dengan menambahkan mint, yang dikombinasikan dengan fluorin dan cengkeh.3 bahan resin komposit terdiri atas matriks, inorganic filler, coupling (interfacial) agent. klasifikasi resin komposit berdasarkan ukuran , bentuk dan distribusi partikel bahan pengisi, terdiri dari beberapa jenis yaitu macrofine, fine, microfine, hybrid, dan flowable. resin komposit microfine berisi partikel spherical colloidal silica berdiameter 0,01 – 0,12 µm dengan volume filler 35 % 50 % . volume partikel bahan pengisi yang kecil menyebabkan kekuatan resin komposit microfine lebih lemah dibandingkan resin komposit tipe lainnya.2 selain itu, resin komposit microfine memiliki daya serap terhadap liquid yang lebih tinggi daripada resin komposit jenis hybrid.4 oleh karena itu, penulis menambahkan ekstrak mint dalam penelitian ini untuk memberikan aroma mint pada tambalan resin komposit. ekstrak mint yang dimasukkan ke dalam resin komposit microfine berpengaruh terhadap kekerasan resin komposit. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak mint yang dimasukkan ke dalam resin komposit microfine terhadap kekerasan resin komposit microfine. metode penelitian penelitian ini menggunakan 20 sampel, yang dibagi menjadi 4 kelompok. kelompok i (kontrol), resin komposit microfine diaplikasikan dalam cetakan fiberglass berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 10 mm dan tebal 2 mm. selanjutnya, ditutup dengan seluloid strip dan disinar dengan light cure panjang gelombang 480 µ m. sampel penelitian kelompok ii, kelompok iii dan kelompok iv adalah sama, tetapi diberi perlakuan dengan memasukkan ekstrak mint ke dalam resin komposit sebelum disinar. ekstrak mint dimasukkan dengan menggunakan syringe 3 ml yang dideponirkan sebanyak 0,15 ml pada kelompok ii, 0,1 ml pada kelompok iii dan 0,05 ml pada kelompok iv. selanjutnya, sampel ditutup dengan seluloid strip dan disinar dengan light cure panjang gelombang 480 µ m. sampel penelitian dilakukan uji kekerasan dengan menggunakan alat micro vickers hardness tester. selanjutnya, nilai kekerasannya dihitung dengan menggunakan rumus: hv = 1.854p/d12.5 data yang diperoleh dianalisis dengan anova satu jalur dan lsd0,05. hasil penelitian data penelitian yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan micro vickers dimasukkan dalam rumus: hv = 1.854p/d12.5 hasil perhitungan dari rumus tersebut tertera pada tabel 1. 47 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 tabel 1. nilai uji kekerasan hv = 1.854p/d12 resin komposit microfine tabel 1 menunjukkan bahwa nilai ratarata kekerasan resin komposit microfine semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak mint, dari 0,05 ml sampai 0,15 ml. meskipun demikian, nilai rata-rata kelompok kontrol adalah 26.17 dan nilai kekerasan terendah pada kelompok penambahan ekstak mint 0,05 ml. selanjutnya, data dianalisis dengan anova satu jalur. tabel 2. ringkasan anova satu jalur nilai kekerasan resin komposit microfine. sumber variasi jk db kk f sig. antar kelompok 9.6 3 3.2 11.45 0.00 dalam kelompok 4,7 16 0.3 total 14,3 19 tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan ekstrak mint 0,05 ml,0,1 ml, dan 0,15 ml terhadap kekerasan resin komposit microfine. selanjutnya, dilakukan data dianalisis dengan lsd0,05. tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai kekerasan resin komposit microfine yang signifikan pada kelompok penambahan ekstrak mint 0,05 ml terhadap kontrol, kelompok 0,1 ml terhadap kontrol, kelompok 0,05 ml terhadap kelompok penambahan ekstrak mint 0,1 ml dan 0,15 ml. pembahasan perubahan kekerasan pada resin komposit memiliki sifat cenderung menyerap air, proses penyerapan air pada matriks resin maupun bahan pengisi terjadi secara bersamaan bis-gma yang terdapat pada matriks resin memiliki gugus hidroksi ( -oh ) yang bermuatan negative pada senyawa metrakilatnya, sehingga mampu menarik dan menyerap air ke dalam komposit secara difusi.6 sampel kontrol 0.05ml 0.1ml 0.15ml 1 25.57 23.50 25.77 25.90 2 26.67 24.50 25.97 26.80 3 26.33 24.90 25.60 25.77 4 25.80 24.77 24.37 25.63 5 26.47 24.37 25.47 26.03 total 130.83 122.03 127.17 130.13 rata-rata 26.17 24.41 25.43 26.03 sd 0.46 0.55 0.62 0.46 48 dwi aji nugroho | pengaruh konsentrasi ekstrak mint yang dimasukkan dalam resin komposit .... tabel 3. ringkasan hasil pengujian lsd0,05 beda nilai rata – rata kekerasan resin komposit microfine pada tiap kelompok perendaman. *terdapat perbedaan signifikan air yang berkontak dengan resin komposit terhidrolisis menyebabkan degradasi antara bahan pengikat dan bahan pengisi sehingga terbentuk celah-celah pada bahan tumpatan di daerah antara matrikx dan bahan pengisi.2 hal tersebut menyebabkan ekstrak mint yang mengandung menthol dapat mengisi selah – celah kosong pada resin komposit.3 menthol ini berperan penting dalam proses kekerasan resin komposit ini yaitu sebagai penghubung antar rantai polimer satu dan lainnya ( cross link ) sehingga dapat memperkuat antar lapis atau rantai.7 selain itu, adanya ikatan rangkap dan oh pada material resin komposit ini khususnya pada matriks bis-gama merupakan ikatan kimia yang mudah berinteraksi dengan ikatan lainnya yaitu antar matriks resin bis –gama yang terdapat pada resin komposit dengan menthol yang terkandung dalam minyak atsiri daun mint.6 hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna pada resin komposit yang ditambah ekstrak mint dengan konsentrasi 0,05 ml,0,1 ml dan 0,15 ml. rata-rata nilai kekerasan resin komposit sebelum ditambah ekstrak mint sebesar 26,17, yang kemudian menurun sebesar 24.41 pada konsentrasi 0,05 ml dan meningkat lagi mendekati kontrol yaitu 26,46 pada konsentrasi 0,15 ml. penuruna kekerasan ini mungkin dipengaruhi akibat terjadinya penambahan air yang terdapat pada ekstrak mint. penyerapan air oleh resin komposit menyebabkan pembengkakan pada matriks terputusnya ikatan matriks dan partikel pengisi sehingga partikel pengisi terlepas. hal ini mengakibatkan penurunan kekerasan permukaan resin komposit.8 kesimpulan kesimpulan penelitian yang telah dilakukan di atas adalah terdapat pengaruh konsentrasi ekstrak mint 0,05 ml dan 0,1 ml yang dimasukkan dalam resin komposit microfine terhadap kekerasan resin komposit microfine. daftar pustaka 1. kidd, edwina, a.m., and joystonbeychal, sally.1992. dasar-dasar karies: penyakit dan penanggulangannya. diterjemahkan oleh: n.sumawinata dan s.faruk, jakarta: egc 2. craig, powers jm, wataha jc.2006. dental materials – properties and manipulation. 9th ed. washington : mosby elsevier 3. sudjanarti, d.2012.mengenal daun mint diakses pada 25 april 2012 dari http://geraiavailmalang.blogspot.com kelompok i (kontrol) ii (0,05ml) ii (0,1ml) iv (0,15ml) i (kontrol) 1.76* .732* 142 ii (0,05ml) -1.76* -1.028* -1.618* iii (0,1ml) -.732* 1.028* -.59 iv (0,15ml) -.142 1.618* .59 49 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 4. el hejazi,a., 2001, water sorption and solubility of hybrid and microfine resins-composite filling materials, saudi dental journal; 13: 139-142. 5. hayden, h.w., and moffat, w.g., wulff, j., 2005. the structure and properties of materials. new york: john wiley and sons, inc. 6. powers, j.m., sakaguchi, j.l.,2006, craig’s restorative dental materials. india : elsevier inc 7. dreyfuss, p., fetters, l.j., gent, a.n., 2008, chemistry of composite resin, macromolecules, 11: 1036-1038. 8. mccabe, j.l, angus a.w.g., 1993, applied dental materials. 9th edition. oxford: blackwell publishing ltd, 209. muhammad bakhrul lutfianto | penatalaksanaan kasus ameloblastoma unikistik dan multikistik 20 litrature review penatalaksanaan kasus ameloblastoma unikistik dan multikistik the maintenance of ameloblastoma unicystic and multicystic muhammad bakhrul lutfianto* departemen bedah mulut, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: august 7th, 2018; reviewed date: september 4th, 2018; revised date: march 28th, 2019; accepted date: april 12nd, 2019 doi : 10.18196/di.8102 abstrak ameloblastoma adalah suatu tumor epitelial odontogenik yang berasal dari jaringan pembentuk gigi yaitu jaringan pembentuk email yang tidak mengalami diferensiasi pada saat proses pembentukan gigi. beberapa karakter yang sering dijumpai adalah bersifat jinak, tumbuh lambat, penyebarannya lokal invasif dan destruktif serta mengadakan proliferasi ke dalam stroma jaringan ikat. tumor ini mempunyai kecenderungan untuk kambuh apabila tindakan operasi tidak memadai. studi pustaka kali ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan ameloblastoma multikistik dan unikistik untuk mendapatkan penatalaksanaan kasus yang memadai dan hasil perawatan yang optimal. kata kunci: ameloblastoma multikistik; ameloblastoma unikistik; penatalaksanaan kasus abstract ameloblastoma is an odontogenic epithelial tumor originating from tooth-forming tissue, which is an email tissue that does not undergo differentiation during the process of forming teeth. some of the characters that are often encountered are benign, slow-growing, locally invasive and destructive, and proliferation into the connective tissue stroma. this tumor tends to recurrent if surgery is inadequate. this literature study would discuss the management of multicystic and unicystic ameloblastoma to obtain adequate case management and optimal treatment outcomes. keywords: multicystic ameloblastoma; unicystic ameloblastoma; case management pendahuluan ameloblastoma sampai saat ini masih menjadi subjek yang sangat menarik pada kajian-kajian literatur internasional. sayangnya, sampai saat ini penatalaksanaan yang paling disepakati adalah tindakan agresif, belum ada konsensus tentang faktor biologis neoplasma ini dan bagaimana perawatan terbaiknya. opini yang masih kontroversial, khususnya di waktu * corresponding author, e-mail: bakhrul.lutfianto@yahoo.com terdahulu, telah meninggalkan suatu pendidikan/ilmu namun sekaligus menjadi hal yang masih membingungkan, hal ini akan diwariskan pada generasi selanjutnya khususnya bagi ahli bedah untuk mengambil hikmah dan mengembangkannya sebagai suatu bukti klinis yang kuat. menurut pendapat saya, neoplasma ini membutuhkan pendekatan yang agresif dan dapat diobati (curable). meskipun demikian, sejumlah metoda insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 21 pendekatan yang direkomendasikan, berkisar dari enukleasi sederhana dan kuretase sampai reseksi. di bawah ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan ameloblastoma multikistik dan unikistik. pembahasan penatalaksanaan dan prognosis ameloblastoma tipe solid atau multikistik ameloblastoma tipe solid atau multikistik secara radiologis, cenderung terlihat menginfiltrasi di antara trabekula tulang kanselus intak pada perifer tumor sebelum terjadi resorpsi tulang. tepi tumor yang sebenarnya dapat terlihat secara radiografis ataupun klinis. usaha untuk menghilangkan tumor dapat dilakukan dengan kuretase, meskipun akan meninggalkan pulau-pulau kecil tumor di dalam tulang, yang di kemudian hari akan menimbulkan kekambuhan. harus disadari bahwa hal ini adalah penyakit persisten yang berbentuk tumor dimana tidak bisa dikontrol sepenuhnya sejak awal. saat sejumlah kecil tumor tertinggal, bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum penyakit persisten ini menjadi nyata secara klinis maupun radiografis, dan membutuhkan waktu juga bagi ahli bedah untuk memberitahukan kepada pasien agar diobati.1 berkaitan dengan sifat infiltratif dan agresifitas yang tinggi terutama pada ameloblastoma solid atau multikistik, saya merekomendasikan reseksi tumor 1 cm linier pada tulang sehatnya (gambar 1). tepian tulang linier ini harus dikonfirmasi dari spesimen radiografis intra operasi. tepi jaringan lunak merupakan manajemen terbaik berkaitan dengan prinsip tepian barier anatomis dimana area yang tidak terlibat ini akan dikorbankan sebagai batas tepian spesimen. ketika batas seluruh jaringan lunak dan keras dibuktikan negatif secara histologis, pasien dianggap sembuh dari neoplasma ini. sayangnya, setiap penanganan yang kurang agresif dihawatirkan pasti persisten dan ditemukan pada suatu waktu pasca operasi. meskipun adakalanya ameloblastoma yang ada bersifat radiosensitif, namun sebaliknya, tumor jinak ini harus dilakukan terapi bedah kuratif, terapi radiasi masih dipertanyakan dalam upaya penyelamatan pasien dengan kasus ini. penatalaksanaan dan prognosis ameloblastoma unikistik ameloblastoma unikistik sering terlihat pada pasien usia muda, dengan 50% tumor-tumor ini didiagnosa selama dekade kedua kehidupan. rata-rata umur pasien yang dilaporkan adalah 22,1 tahun, bandingkan dengan varian solid atau multikistik sebesar 40,2 tahun. lebih dari 90% jenis tumor ini ditemukan pada mandibula, khususnya pada regio molar/ramus.2 tahun 1970, vickers dan gorlin mempublikasikan penemuan mereka berkaitan dengan perubahan histologis neoplastik dari epitel ameloblastoma. perubahan-perubahan histologis itu adalah (1) hiperkromatisme inti sel basal pada epitel pelapis kavitas kistik, (2) palisading (berjajar seperti pagar) dan polarisasi inti sel basal spitel pelapis kavitas kistik, dan (3) vakuolisasi (pembentukan vakuola) sitoplasma, khusus pada sel basal pelapis kistik (gambar 2). hal ini menandakan penampakan histopatologis awal dari neoplasia. ameloblastoma unikistik mengacu pada pola proliferasi epital yang telah digambarkan pada kista dentigerus rahang dimana tidak memperlihatkan kriteria histologis ameloblastoma.1 kesatuan pemahaman yang dapat dibagi menjadi beberapa pertimbangan berdasarkan pada penampakan klinis, radiografis, dan patologis. banyak kasus, jenis ameloblastoma ini ditangani lebih konservatif daripada jenis solid atau multikistik dengan derajat kesembuhan yang sama.1 radiolusensi unilokular, menyerupai kista dentigerus, merupakan ciri terbanyak pada gambaran radiografis (gambar 2). kebanyakan ameloblastoma unikistik terlihat radiolusensi unilokular. muhammad bakhrul lutfianto | penatalaksanaan kasus ameloblastoma unikistik dan multikistik 22 gambar 1. (a) penanganan ameloblastoma pada pasien memerlukan reseksi disartikulasi mandibula kiri. (b) efektivitas tepi tulang harus selalu dievaulasi dengan radiografis.1 gambar 2. area radiolusensi unilokular sebaiknya didiganosis bandingkan dengan kista dentigerus atau kista odontogenik yang lain gambar 3. gambaran histopatologis dari lesi gambar 2 memperlihatkan ameloblastoma unikistik luminal. terlihat gambaran hiperkromatisme inti sel basal pada epitel pelapis kavitas kistik, (2) palisading (berjajar seperti pagar) dan polarisasi inti sel basal spitel pelapis kavitas kistik, dan (3) vakuolisasi (pembentukan vakuola) sitoplasma, khusus pada sel basal pelapis kistik. teknik pewarnaan haematotoksilin eosin, diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x. tiga varian histopatologis dari ameloblastoma unikistik ialah dideskripsikan dan berakibat pada penanganan dan prognosis. pada jenis ameloblastoma unikistik luminal, tumor dibatasi permukaan luminal kista. lesi terdiri atas dinding kista fibrosa dengan dilapisi oleh epitel ameloblastik. ameloblastoma unikistik intraluminal terdiri atas 1 (satu) atau lebih nodula ameloblastoma, proyeksi dari pelapis kistik ke dalam lumen kista. nodula-nodula, relatif besar atau kecil, mengisi lumen kista, dan harus dicatat adanya pola pleksiformis menyerupai pola yang terlihat pada ameloblastoma unikistik. pada varian ketiga, dikenal sebagai ameloblastoma unikistik mural, dinding fibrosa kista terinfiltrasi oleh jenis ameloblastoma folikuler atau pleksiformis. luas dan dalamnya infiltrasi ameloblastik sangat bervariasi.1 patogenetika, ameloblastoma unikistik terlihat mempunyai kapasitas proliferatif di antara odontogenic keratocyst dan ameloblastik solid / multikistik.1 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 23 penanganan dan prognosis ameloblastoma unikistik penampakan klinis dan radiografik pada kebanyakan kasus ameloblastoma unikistik menyiratkan bahwa lesi tersebut adalah suatu kista odontogeik, seringnya adalah kista dentigerus. dalam keadaan ini, ahli bedah sebaiknya secara rutin membuka lesi “kistik” itu dan mencari proliferasi luminal dari tumor tersebut. jika memungkinkan, pemeriksaan histopatologi prosesnya harus dilakukan dengan frozen section. hal ini khususnya dilakukan jika berhadapan dengan kista yang besar. dengan diagnostik histologis ameloblastoma unikistik, ahli bedah dapat meminta ahli patologi untuk mendapatkan multiple sections pada berbagai tempat dari spesimen untuk mengklasifikasikan lebih dalam secara tepat varian dari ameloblastoma unikistik. ketika elemenelemen ameloblastik dibatasi oleh lumen dari kista dengan atau tanpa perluasan intralumen tumor, enukleasi sangat dimungkinkan sebagai tindakan kuratif kasus ini. ketika dinding kista diganggu oleh tumor seperti pada varian mural atau unikistik, penanganan bedah yang tepat cukup kontroversial. jika diagnosis ini dibuat pascaoperasi, ahli bedah dapat berharap untuk memakai pemeriksaan tindak lanjut indefinitif (indefinite followup examinations) pada pasien. jika preoperasi biopsi insisional menghasilkan diagnosis ameloblastoma unikistik mural, ahli bedah dapat merekomendasikan reseksi tumor mengacu fakta bahwa varian ini adalah ameloblastoma unikistik yang mempunyai persistensi tinggi daripada ameloblastoma unikistik luminal atau intraluminal. penanganan varian luminal atau intraluminal dari ameloblastoma unikistik adalah enukleasi dan kuretase. rerata rekurensi dari selurun ameloblastoma unikistik dilaporkan sebanyak 10-20% setelah enukleasi dan kuretase. angka ini lebih rendah signifikan daripada enukleasi dan kuretase pada ameloblastoma tipe solid atau multikistik. pertanyaan kemudian timbul adalah kapan waktunya mereseksi ameloblastoma unikistik. ada tiga hal yang memerlukan tindakan tersebut. pertama adalah ameloblastoma unikistik rekuren. suatu tumor yang kambuh setelah enukleasi dan kuretase yang meskipun dilakukan dengan sangat baik sebaiknya dilakukan pendekatan dengan reseksi yang lebih agresif. kedua adalah ameloblastoma jenis mural. jenis ini merupakan ameloblastoma unikistik yang lebih agresif dibandingkan jenis luminal dan intraluminal berkaitan dengan adanya tumor pada dinding kista dan lebih dekat ke tulang sekelilingnya. hal ini terlihat secara logis untuk melakukan pendekatan bedah pada tumor ini, serupa halnya pada ameloblastoma tipe solid atau multikistik. indikasi akhir untuk dilakukan reseksi adalah penanganan masa tumor yang besar.1 penatalaksanaan yang tepat masih diperdebatkan. tingkat rekurensi berkisar antara 55-90% setelah perawatan secara konsevatif.2,3 mengingat besarnya tingkat rekurensi tersebut, pendekatan secara radikal (reseksi) dapat dipertimbangkan sesuai indikasi, meskipun berakibat hilangnya sebagian tulang rahang, bridging plate titanium dapat digunakan untuk mengganti sebagian tulang yang hilang dan berfungsi sebagai alat rekonstruksi. dapat juga rekonstruksi dengan memasang tandur ahli tulang kalau mungkin bisa dikerjakan. indikasi perawatan ditentukan berdasarkan luas dan besarnya jaringan yang terlibat, struktur histologis dari tumor dan keuntungan yang didapat.4,5 menurut ohishi indikasi perawatan konservatif adalah pada penderita usia muda dan ameloblastoma unikistik. sedangkan indikasi perawatan radikal adalah ameloblastoma tipe solid dengan tepi yang tidak jelas, lesi dengan gambaran soap bubble, lesi yang tidak efektif dengan penatalaksanaan secara konservatif dan ameloblastoma ukuran besar.6 penatalaksanaan secara radikal berupa reseksi segmental, hemimandibulektomi dan reseksi marginal (reseksi enblok). muhammad bakhrul lutfianto | penatalaksanaan kasus ameloblastoma unikistik dan multikistik 24 rekonstruksi mandibula adalah ditinjau dari fungsi dan kosmetik, organ ini mempengaruhi bentuk wajah, fungsi bicara, mengunyah dan menelan. beberapa cara yang dapat dipakai antara lain dengan menggunakan bahan aloplastik, misalnya bridging plate titanium autogenous dan bone grafting misalnya cangkok tulang iga, krista iliaka dan tibia serta dapat juga secara kombinasi aloplastik material dengan autogenous bone grafting. perawatan pasca operasi reseksi mandibula yaitu medikasi antibiotik dan analgetik, tidak perlu intermaksila fiksasi. hindarkan trauma fisik pada muka atau rahang karena dapat menyebabkan fraktur mandibula. jaga oral hygiene hingga luka operasi sembuh sempurna. diet lunak dipertahankan 4-6 minggu. jika diperlukan dapat dibuatkan prostesa gigi setelah dipertimbangkan bahwa telah terjadi internal bone remodelling tulang mandibula, lebih kurang 6 bulan pasca operasi.7,8 kesimpulan ameloblastoma solid atau multikistik, direkomendasikan untuk dilakukan reseksi tumor 1 cm linier pada tulang sehatnya. daftar pustaka 1. miloro m. peterson’s principle of oral and maxillofacial surgery. london: bc decker inc. 2004; 504-583. 2. neville bw. damn dd. alen cm. boiqout je. chi ac. oral and maxillofacial pathology. 3rd edition. philadelphia: wb sauders co. 2009; 512-518. 3. gorlin rj. goldman hm, thoma's oral pathology. st.louis: cv mosby company. 2011; 481-489. 4. laskin dm. carlson er. clinician’s handbook of oral and maxillofacial surgery. 2nd edition. usa: quintessence publishing. 2019; 568-570 5. kruger g.o., text book of oral surgery. (4th ed.). st. louis: mosby co. 1974; 568-570. 6. sampson de, pogrel ma., management of mandibula ameloblastoma the clinical basis for tratment alogaritm. j oral maxillofacial surgery, 1999; 57(9): 1074-1077 7. rankow e.m., an atlas of surgery of the face, mounth and neck, philadelphia: wb sauders co. 1962; 76-95. 8. keith d.a., atlas of oral and maxillofacial surgery, wb sauders co. 1992; 99-101. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=sampson%20de%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=10484108 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=pogrel%20ma%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=10484108 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 9 research article gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi description of knowledge on orthodontic treatment according to islam in dentistry students bayu ananda paryontri1, alya adisiyasha2,* 1departemen ortodonsia, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: september 25th, 2018; reviewed: october 10th, 2018; revised date: november 10th, 2018 ; accepted date: desember 11st, 2018 doi : 10.18196/di.8100 abstrak perawatan ortodontik bertujuan untuk menunjang kebersihan gigi dan mulut, memperbaiki fungsi mastikasi, fonetik, dan estetik. hukum merapikan gigi dengan perawatan ortodontik dalam perspektif islam dapat diketahui berdasarkan tujuannya. pertama, bila merapikan gigi dengan tujuan estetika saja maka termasuk dalam kategori mengubah ciptaan allah dan diharamkan. sedangkan, jika ingin merapikan gigi dengan indikasi medis dan alasan kesehatan serta memperbaiki fungsi maka hukum diperbolehkan. namun bila maloklusi gigi tidak mempengaruhi dalam fungsi dan hanya menganggu dalam penampilan, perawatan ortodontik tidak boleh dilakukan. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik dalam islam pada mahasiswa kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta (umy). metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional, dengan jumlah keseluruhan sampel 100 responden. hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam, sebagian besar mahasiswa kedokteran gigi umy memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 91 responden (91%) dan pada kategori sedang sebanyak 9 responden (9%). kesimpulan penelitian ini adalah mahasiswa kedokteran gigi memiliki pengetahuan yang baik terhadap perawatan ortodontik menurut islam. kata kunci: estetik; hukum ortodontik; ortodontik islam abstract orthodontic treatment aims to support dental and oral hygiene, improve the function of mastication, phonetics, and aesthetics. the law of correcting teeth with orthodontic treatment in the islamic perspective can be known based on its purpose. first, if someone corrects the teeth with the purpose of aesthetic, it is included in the category of changing god's creation and is forbidden. meanwhile, if someone wants to correct the teeth with medical indications, health reasons, and to improve the function, it is permitted. however, if the dental malocclusion does not affect the function and only interferes with the appearance of orthodontic care, it should not be done. the purpose of this study was to determine the description of knowledge on orthodontic treatment according to islam of the dentistry students in the universitas muhammadiyah yogyakarta (umy). the method of this research was descriptive observational with a cross-sectional design with a total sample of 100 respondents. the results showed that the level of knowledge of orthodontic treatment according to islam, most umy dentistry students have good knowledge, as many as 91 respondents (91%), and in the medium category as many as nine respondents (9%). it could be concluded that umy dentistry students have good knowledge of orthodontic treatment according to islam. keywords: aesthetics; law of orthodontic; islamic orthodontics * corresponding author, e-mail: alyaadisiyasha@gmail.com bayu ananda paryontri, alya adisiyasha | gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi 10 pendahuluan masyarakat indonesia semakin menyadari bahwa fungsi gigi tidak hanya berperan dalam mastikasi namun berfungsi juga untuk menunjang penampilan. hal ini seiring dengan berkembangannya ilmu dan perawatan ortodontik guna memenuhi kebutuhan serta tuntutan masyarakat.1 motivasi seseorang dalam menjalani perawatan ortodontik cukup beragam, salah satunya yaitu karena perawatan ortodontik terutama alat ortodontik cekat sudah menjadi trend dalam hal estetika.2 maloklusi pada bidang kedokteran gigi dapat diperbaiki melalui perawatan ortodontik sehingga kemampuan fonetik, mastikasi, dan estetik dapat meningkat dengan prinsip memperbaiki susunan gigi.3 maloklusi secara harfiah diartikan sebagai kondisi oklusi yang tidak baik, atau menyimpang dari normal, yang mencegah gigi berkontak secara ideal.4 penelitian yang dilakukan pada pasien ortodontik rsgm fkg unhas menunjukkan maloklusi berat dan butuh perawatan adalah sebesar 40%.5 maloklusi yang tidak dirawat dapat menimbulkan berbagai masalah seperti resiko karies dan penyakit periodontal, gangguan pada sendi temporomandibular, hingga tampilan wajah yang buruk.6 perawatan ortodontik diperlukan untuk merawat maloklusi karena akan didapat gigi yang disejajarkan dengan baik sehingga lebih mudah untuk menjaga kebersihan serta kesehatan gigi dan mulut.7 selain itu perawatan ortodontik dapat meningkatkan fungsi mastikasi, fonetik, dan estetik. meskipun begitu dalam prosesnya perawatan ortodontik terjadi beberapa perubahan bentuk baik pada rahang maupun jaringan lunak pada wajah8 dan pada dasarnya allah subhanahu wa ta’ala melarang umat-umatnya untuk mengubah bentuk yang telah allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan, rasulullah shallallahu alaihi wa sallam besabda: “allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang minta ditato, yang mencukur alis dan yang minta dicukur alisnya, serta yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan allah.” (hadits riwayat bukhari 4886 dan muslim 2125). hukum merapikan gigi dengan perawatan ortodontik dalam perspektif islam dapat diketahui berdasarkan tujuannya. pertama, bila merapikan gigi dengan tujuan estetika saja maka termasuk dalam kategori mengubah ciptaan allah dan diharamkan. sedangkan jika ingin merapikan gigi dengan indikasi medis dan alasan kesehatan serta memperbaiki fungsi, maka hukum diperbolehkan. maloklusi yang bersifat destruktif karena dapat menganggu fungsi mastikasi, fonasi, meningkatkan risiko karies serta penyakit periodontal dapat dilakukan perawatan ortodontik dan hukumnya boleh dalam islam. namun bila maloklusi gigi tidak mempengaruhi dalam fungsi dan hanya menganggu dalam penampilan, perawatan ortodontik tidak boleh dilakukan karena masuk dalam kategori mengubah ciptaan allah yang diharamkan.9 haramnya merapikan gigi dengan tujuan yang hanya untuk estetika menjadi poin penting yang seharusnya diketahui para dokter gigi maupun calon dokter gigi sehingga penelitian untuk mengetahui gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik dalam islam pada mahasiswa kedokteran gigi menarik untuk dilakukan. material dan metode penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional dan jenis data kuantitatif menggunakan kuesioner. penelitian ini dilakukan pada bulan januari – april 2019 di program studi pendidikan kedokteran gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan umy. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa kedokteran gigi umy angkatan 2015, 2016, 2017, dan 2018. subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif kedokteran gigi umy angkatan 2015 hingga 2018 periode tahun ajaran insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 11 2018/2019, beragama islam, dan bersedia menjadi partisipan penelitian bersifat sukarela. penentuan subjek penelitian menggunakan teknik stratified random sampling yaitu sampel diambil dengan membagi populasi menjadi beberapa strata dimana sifat setiap strata adalah homogen, sedangkan antarstrata terdapat sifat yang berbeda. subjek dalam penelitian ini berjumlah 100 mahasiswa. variabel penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu pengetahuan terhadap perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy. instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner pengetahuan, informed consent, alat tulis, dan komputer dengan software spss 15.0. penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif yaitu bentuk dan analisis yang menyampaikan sebaran berupa frekuensi yang disajikan dalam bentuk tabel ataupun bentuk narasi. deskripsi data terhadap variabel tunggal dalam penelitian ini berdasarkan nilai rata-rata (mean) pada tiap item pertanyaan dengan skor terendah 1 (sangat tidak setuju) dan skor tertinggi 5 (sangat setuju). hasil tabel 1. gambaran karakteristik responden no. karakteristik responden jumlah persentase (%) 1 usia ≤ 20 > 20 61 39 61 39 2 jenis kelamin laki-laki perempuan 16 84 16 84 3 status penggunaan pernah tidak permah 38 62 38 62 4 angkatan 2015 2016 2017 2018 28 24 25 23 28 24 25 23 total 100 100 tabel 2. gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy pengetahuan jumlah persentase (%) sedang baik 9 91 9 91 total 100 100 tabel 3. gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy berdasarkan usia usia pengetahuan sedang baik ≤20 >20 5 4 56 35 total 9 91 tabel 4. gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin pengetahuan sedang baik laki-laki perempuan 3 6 13 78 total 9 91 tabel 5. gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy berdasarkan angkatan angkatan pengetahuan sedang baik 2015 2016 2017 2018 2 3 1 3 26 21 24 20 total 9 91 tabel 6. gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi umy berdasarkan riwayat penggunaan piranti ortodontik status penggunaan pengetahuan sedang baik pernah tidak pernah 4 5 34 57 total 9 91 tabel 1 menunjukkan bahwa usia terbanyak responden adalah kelompok usia ≤ 20 tahun yang berjumlah 61 responden (61%). berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar responden adalah perempuan yang berjumlah 84 responden (84%). berdasarkan angkatan, sebagian bayu ananda paryontri, alya adisiyasha | gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi 12 besar responden adalah mahasiswa angkatan 2015 yang berjumlah 28 responden (28%). berdasarkan status atau riwayat penggunaan behel/perawatan ortodontik, sebagian besar responden sebelumnya tidak pernah menggunakan behel atau menjalani perawatan ortodontik yang berjumlah 62 responden (62%). berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan pada kategori baik sebesar 91 responden (91%). tabel 3 menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran gigi umy yang mempunyai pengetahuan dengan kategori baik didominasi oleh kelompok usia ≤ 20 tahun. tabel 4 menunjukkan bahwa jenis kelamin mahasiswa kedokteran gigi umy yang mempunyai pengetahuan kategori baik terbanyak adalah mahasiswa perempuan sebanyak 78 orang. tabel 5 menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran gigi umy yang mempunyai pengetahuan kategori baik terbanyak adalah angkatan 2015 yang berjumlah 26 orang. tabel 6 menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran gigi umy yang mempunyai pengetahuan kategori baik terbanyak adalah kelompok yang tidak ada riwayat penggunaan piranti ortodontik yaitu sejumlah 57 orang. pembahasan berdasarkan hasil penelitian didapatkan 91 mahasiswa (91%) memiliki gambaran pengetahuan yang baik tentang perawatan ortodontik menurut islam dan 9 mahasiswa (9%) memiliki gambaran pengetahuan sedang tentang perawatan ortodontik menurut islam. pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat menjadi dasar seseorang dalam berperilaku dengan berpikir manfaat yang akan terjadi dengan adanya tindakan tersebut.10 sehingga, pengetahuan yang tinggi pada mahasiswa kedokteran gigi mengenai perawatan orthodontik dalam islam dapat menjadi dasar dalam berperilaku sebagai seorang calon dokter gigi. secara keseluruhan pengetahuan mahasiswa kedokteran gigi masuk ke dalam kategori baik dan faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media, dan keterpaparan informasi.11 pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, karena bimbingan untuk memahami suatu hal adalah pendidikan.12 pengetahuan yang baik didapat dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yaitu jenis kelamin, usia, dan pendidikan.13 berdasarkan dari pernyataan yang diajukan kepada responden terdapat 3 jawaban yang berada pada interval pengetahuan sedang yaitu pernyataan nomor 2, 8, dan 9. peryataan nomor 2 yaitu membahas tentang tujuan pemakaian kawat kaitannya untuk menjaga kesehatan serta kebersihan gigi dan mulut, hal ini sesuai karena gigi yang disejajarkan dengan baik memudahkan untuk menjaga kebersihan serta kesehatan gigi dan mulut.7 meskipun saat perawatan ortodontik pembentukan plak dapat meningkat, hingga terbentuknya kalkulus, lesi white spot, dan gingivitis.14 rata-rata responden mempunyai pengetahuan yang sedang yaitu pada kuesioner nomor 8 tentang diperbolehkannya pemakaian kawat gigi/ behel menurut hadist riwayat al-bukhari dan muslim yang berbunyi “allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang minta ditato, yang mencukur alis dan yang minta dicukur alisnya, serta yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan allah.” pernyataan kuesioner nomor 9 yang masih berkaitan dengan hadistt tersebut pada pernyataan nomor 8 dimana laki-laki diperbolehkan menggunakan kawat gigi/behel. pemakaian kawat gigi/behel menurut islam dapat diketahui hukumnya berdasarkan tujuan dari pemakaiannya, dimana hal ini sudah dibahas oleh majelis ulama indonesia kota bandung memutuskan bahwa pemakaian behel gigi untuk tujuan pengobatan, insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 13 menormalkan gigi yang tumbuhnya tidak normal, dan mencegah dari timbulnya penyakit maka hukumnya halal, sementara pemakaian behel gigi untuk tujuan kecantikan tanpa indikasi medis dengan merubah bentuknya yang asli maka hukumnya haram.9 responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap 12 penyataan kuesioner yaitu nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. pernyataan kuesioner nomor 1 tentang perawatan ortodontik adalah pemakaian kawat gigi/behel dimana perawatan ortodontik cekat lebih dikenal dengan sebutan behel yaitu pemasangan alat berupa kawat gigi untuk perawatan gigi maloklusi.15 peryataan nomor 3, 4, 5 dan 7 sesuai dengan tujuan pokok perawatan ortodontik antara lain untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal dari bentuk muka yang disebabkan oleh kelainan rahang dan gigi yang berhubungan dengan faktor estetis. sementara berdasarkan faktor fungsi yaitu meningkatkan fungsi pengunyahan yang betul, mencegah dan menghilangkan cara pernafasan yang abnormal dari segi perkembangan gigi, dan mengoreksi cara bicara yang salah. selain itu tujuan pokok perawatan ortodontik lainnya adalah meningkatkan kebersihan gigi dan mulut sehingga meningkatkan daya tahan gigi terhadap karies dan pencegahan kerusakan gigi terhadap penyakit periodontal.16 responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap pernyataan kuesioner nomor 6 tentang menjaga kesehatan serta kebersihan gigi dan mulut dianjurkan bagi seluruh umat islam, hal ini sesuai dengan salah satu hadist, “apabila tidak akan memberatkan ummatku, maka aku akan perintahkan kepada mereka untuk bersiwak (menyikat gigi) setiap kali berwudhu”. (hadist riwayat bukhari nomor 887 dan muslim 252). responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap pernyataan kuesioner nomor 10 tentang diperbolehkannya perawatan ortodontik untuk tujuan pengobatan dan nomor 11 tentang diperbolehkannya perawatan ortodontik untuk memperbaiki susunan gigi yang tidak teratur, hal ini sesuai dengan asy-syaikh shalih bin fauzan bin abdillah al-fauzan hafizhahullah berkata dalam fatwanya, semisal gigi nampak jelek dan ada kebutuhan untuk meratakan gigi ataupun dilakukan dalam rangka pengobatan atau menghilangkan ketidaknormalan atau keperluan lainnya, maka hukumnya tidak mengapa/ mubah. responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap pernyataan kuesioner nomor 13 tentang tidak diperbolehkannya perawatan ortodontik menurut islam untuk tujuan kecantikan tanpa indikasi medis dengan mengubah susunan gigi yang asli. hal ini dianggap hal yang sia-sia dan termasuk mengubah ciptaan allah. “rasulullah melaknat orang-orang yang memasang tato, menajamkan giginya, mencabut alis matanya, dan mengubah ciptaan allah.” (hr. an-nasa’i 5253). responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap pernyataan kuesioner nomor 14 dan 15 tentang diperbolehkannya perawatan ortodontik menurut islam kaitannya untuk memperbaiki fungsi bicara dan pengunyahan. hal ini merupakan tujuan medis perawatan ortodontik sebagai cara untuk memperbaiki fungsi pengunyahan maupun fungsi bicara dan hukumnya diperbolehkan secara syar’i.9 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 100 mahasiswa kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta mengenai gambaran pengetahuan perawatan ortodontik menurut islam, maka dapat diambil kesimpulan secara umum, bahwa sebagian besar mahasiswa kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta memiliki pengetahuan yang baik tentang perawatan ortodontik menurut islam. daftar pustaka 1. ardhana, w. identifikasi perawatan ortodontik spesialistik dan umum. bayu ananda paryontri, alya adisiyasha | gambaran pengetahuan terhadap perawatan ortodontik menurut islam pada mahasiswa kedokteran gigi 14 majalah kedokteran gigi: 2013; 20(1): 1-8. 2. yohana, w. the importance oral health for the patient with fixed orthodontic appliance. 2007. 3. notoatmojo, s. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. bandung: rineka cipta, 2007. 4. scheid, r. c., dan weiss, g. woelfel. anatomi gigi (8 ed.). jakarta: egc. ppl 265-266, 2013. 5. rosani, f. penilaian maloklusi berdasarkan handicapping malocclusion assessment index (hma) pada pasien ortodontik di rsgm fkg unhas. unhas repository. (online), 2012. (http://repository.unhas.ac.id/handle/1 23456789/1029, diakses 20 juli 2018) 6. mitchell, l. an introduction to orthodontics (3 ed.). new york: oxford university press. 2007. 7. phulari, b. s. orthodontics principles and practice. new delhi: jaypee brothers medical publisher. 8. 2011. 8. proffit, w. r., w, h., fields, m, d., dan sarver. contemporary orthodontics (4 ed.). st.louis: mosby. 2007. 9. majelis ulama indonesia. tindakan kedokteran gigi pada saat puasa. bandung: bidang fatwa mui kota bandung. 2018. 10. walgito. pengantar psikologi umum. jakarta: percetakan andi. meliono, i. (2007). mpkt modul. fk ui. 2004. 11. meliono, i. mpkt modul. fk ui. 2007. 12. mubarak. promosi kesehatan: sebuah pengantar proses mengajar dalam pendidikan. yogyakarta: graha ilmu. 2007. 13. zuliyani. gambaran tingkat pengetahuan anak remaja tentang bahaya rokok di smp 2 sanden bantul. universitas muhammadiyah yogyakarta. 2016. 14. yatkin, s. z. appropiate oral hygiene motivation method for patint with fixed appliance. angle ortho, 2007; 77(6):1085-1089. 15. cozzani, g. garden of orthodontics. illionis: quitessence publishing co. 2000. 16. sulandjari, h. buku ajar ortodonsia i kgo i. yogyakarta: universitas gadjah mada. 2008. fauziah karimah, hartanti | perawatan crown lengthening pada gigi anterior pasca terjadi fraktur 58 case report perawatan crown lengthening pada gigi anterior pasca terjadi fraktur crown lengthening treatment in anterior teeth post fracture fauziah karimah1, hartanti2,* 1program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2departemen periodonsia, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: mei 25st, 2018; reviewed date: june 7th, 2018; revised date: august 28th, 2018 ; accepted date: october 11st, 2018 doi : 10.18196/di.7298 abstrak fraktur gigi anterior yang parah akibat trauma sering menyisakan sedikit struktur gigi yang menjadi tantangan dokter gigi untuk merestorasi. retensi yang minimal memungkinkan terjadinya kegagalan restorasi, sehingga kebanyakan dokter akan lebih memilih melakukan pencabutan. crown lengthening adalah prosedur pembedahan untuk mengekspose mahkota klinis yang tersisa sebagai usaha untuk meningkatkan retensi restorasi. tujuan laporan kasus ini adalah untuk mengevaluasi hasil restorasi pasca dilakukan crown lengthening. laporan kasus seorang perempuan usia 20 tahun mengalami fraktur gigi anterior maksila pasca kecelakaan yang dialaminya 2 minggu lalu. gigi 21 fraktur dengan garis patahan horizontal 1/3 servikal mengenai pulpa. status periodontal baik dan tidak ditemukan kelainan pada gambaran radiograf. penatalaksanaan dilakukan scalling dan root planning pada regio gigi 21 sebelum pembedahan. gingiva dipotong sedalam 2 mm pada seluruh permukaan menggunakan blade nomor 15 dilanjutkan penutupan luka bekas pembedahan dengan periodontal dressing. perawatan saluran akar dilakukan dan diikuti dengan restorasi pasak fiber serta inti dengan resin komposit. porcelain fused to metal diinsersikan sebagai restorasi mahkota akhir. hasil restorasi akhir gigi 21 menunjukkan retensi yang memadai untuk restorasi mahkota porcelain fused to metal. mahkota yang diinsersi dapat bertahan setelah 6 bulan observasi dan pasien merasa cukup puas dengan hasil perawatan. kesimpulan dari kasus ini, prosedur crown lengthening dapat menunjang restorasi akhir yang retentif pada kasus fraktur gigi anterior yang kehilangan sebagian besar struktur mahkota. kata kunci: bedah periodontal; crown lengthening; gigi anterior abstract anterior tooth fracture that left minimal tooth structure might be dilemmatic for the dentist to make a restoration. since it has less retention for the final restoration, dentists usually decide to extract the teeth without considering its aesthetics aspect. crown lengthening is a procedure to expose clinical crowns that may enhance retention in the final restoration. the purpose of this study was to evaluate a restoration result after the crown lengthening procedure. the case reported 20 years old woman who came to the dental hospital with a fracture in the upper incisive after a motorbike accident. teeth 21 was fractured into 1/3 cervical without periodontal tissue damage. the pulp was necrosed, and there was no periapical disorder from radiograph imaging. case management by scaling and root planning in region 21 was done before the surgery. gingival of teeth 21 was incised circumferentially about ±2 mm in depth using blade no 15 and universal curettage while the surgical wound was covered with a periodontal pack. root canal treatment was done, followed by fiber post and composite resin core restoration. at last, porcelain fused to a metal crown was inserted for the final restoration. result: final restoration of porcelain fused to the metal crown remained until six months of observation, and the patient was satisfied with the result of the treatment. the conclusion is that the crown lengthening procedure can be beneficial to create more retention for final restoration in fracture anterior teeth with less tooth structure. keywords: periodontal surgery; crown lengthening; anterior teeth * corresponding author, e-mail: hartanti@umy.ac.id insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 59 pendahuluan crown lengthening adalah suatu prosedur reseksi periodontal yang memiliki tujuan menghilangkan sebagian jaringan pendukung periodontal untuk menambah terbukanya mahkota klinis gigi. ini adalah prosedur yang lazim dilakukan pada beberapa indikasi perawatan restoratif.1 kasus yang sering ditemukan oleh dokter gigi adalah mahkota klinis yang pendek karena karies, erosi, malformasi, fraktur, atrisi, pengurangan gigi berlebih, erupsi yang tidak sempurna, eksostosis dan variasi genetik. panjang mahkota klinis yang pendek harus dinaikkan atau dipanjangkan ketika karies atau margin dari gigi yang fraktur berada pada subgingiva, sehingga mahkota gigi dapat memiliki retensi dengan restorasinya.2 crown lengthening merupakan prosedur pembedahan untuk memberikan retensi mahkota yang memadai.3 crown lengthening digolongkan pembedahan estetik, hal ini dilakukan untuk meningkatkan estetik pada gigi anterior maksila atau untuk untuk menyediakan struktur gigi yang adekuat untuk retorasi yang baik. crown lengthening meliputi beberapa teknik diantaranya gingivektomi atau gingivoplasti, prosedur flap apikal dan bisa melibatkan resesi tulang dan mendorong erupsi gigi dengan atau tanpa fiberotomi.4 pada kasus poket dengan kedalaman 5 mm atau lebih pada gingival yang berkeratin, prosedur gingivektomi diperlukan.3 dalam melakukan crown lengthening memerlukan beberapa pertimbangan diantaranya aspek biologis dan anatomi giginya. pada aspek biologis perlu memerhatikan dimensi antara puncak tulang alveolar crest dan batas free gingiva. dimensi rata-rata 2,75 3,00 mm. batas restorasi tidak boleh lebih dari 3 mm dari puncak alveolar crest. jika lebih akan menyebabkan inflamasi, iritasi marginal gingiva, ketidaknyamanan pasien, mudah berdarah, estetik buruk, dan jaringan periodontal rusak. pada aspek anatomi gigi perlu memerhatikan panjang dan bentuk dari akar crown and root ratio, akar tidak boleh terekspos berlebihan maksimal 3 mm dari cemento enamel junction (cej), ketinggian dari furkasio, smile line (gigi anterior), adanya interdental space, posisi bibir apakah terdapat hipertonus otot, hipermobilitas bibir.5 pada kasus fraktur dengan sisa struktur gigi minimal yang membuat retensi minimal memungkinkan terjadinya kegagalan restorasi, sehingga kebanyakan dokter akan lebih memilih melakukan pencabutan, namun crown lengthening sebagai usaha yang cukup jarang dilakukan untuk meningkatkan retensi restorasi menjadi menarik untuk dipelajari. laporan kasus pasien perempuan usia 20 tahun mengalami fraktur gigi anterior maksila pasca kecelakaan yang dialaminya 2 minggu lalu. pemeriksaan ekstraoral tidak ada kelainan, pada pemeriksaan intraoral terlihat gigi 21 fraktur dengan garis patahan horizontal 1/3 servikal dengan pulpa terbuka. status jaringan periodontal baik dan status kebersihan gigi (ohi) baik dengan indeks plak dan kalkulus yang minimal. gingiva berwarna pink, konsistensi kenyal dan teksturnya stipling. probing depth minimal dan tidak ada mobilitas gigi pada gigi 21. penatalaksanaan pada kasus ini perlu memperhatikan aspek periodontal dan aspek restoratif. prosedur pembedahan crown lengthening akan dilakukan untuk mengoptimalkan hubungan antara jaringan periodontal, gigi dan restorasi yang akan dibuat. gambar 1. sebelum crown lengthening fauziah karimah, hartanti | perawatan crown lengthening pada gigi anterior pasca terjadi fraktur 60 sebelum melakukan proses pembedahan dilakukan scalling dan root planning pada gigi 21 dan pada region gigi anterior. insisi dengan blade no 15 pada semua permukaan gigi 21 dengan kedalaman ±2 mm dari margin gingival, kuretase dilakukan untuk membantu menghaluskan gingival setelah diinsisi. daerah luka diirigasi dengan salin yang dicampur dengan povidon iodin, dan dilanjutkan penutupan area luka dengan periodontal dressing. follow up dilakukan 1 minggu setelahnya, periodontal dressing dibuka dan dilakukan irigasi menggunakan campuran salin dan povidon iodin. restorasi dilakukan setelah 2 minggu pasca pembedahan dimana fase remodeling gingival pasca pembedahan tercapai. restorasi rebuild up menggunakan gic rmgi fuji 2 lc yang sebelumnya telah dilakukan retraksi gingival menggunakan silk dan larutan adrenalin. dilakukan perawatan saluran akar pada gigi tersebut dengan teknik stepback dan diisi dengan gutta perca dan endametason sebagai sealer. follow up dilakukan setelah 1 minggu pasca pengisian saluran akar. saluran akar hermetic dan tepi tumpatan dengan margin gingival terlihat baik. dilanjutkan dengan pemasangan pasak fiber fabricated dan core build up dengan resin composite solare-x a3, dan pemasangan mahkota jaket porcelain fused to metal untuk restorasi akhirnya. pembahasan prosedur pembedahan crown lengthening membantu dalam restorasi pada gigi yang memiliki karies yang luas maupun fraktur yang menyisakan sedikit struktur gigi.2 crown lengthening ini bertujuan untuk mengekspos mahkota klinis yang pendek untuk tujuan restorasi.4 dalam proses pembedahan perlu memperhatikan aspek biologi dimana perlu memerhatikan dimensi antara puncak tulang alveolar crest dan batas free gingiva. dimensi rata-rata 2,75 3,00 mm. batas restorasi tidak boleh lebih dari 3 mm dari puncak alveolar crest. jika lebih akan menyebabkan inflamasi, iritasi marginal gingiva, ketidaknyamanan pasien, mudah berdarah, estetik buruk, dan jaringan periodontal rusak.5 penyembuhan luka setelah pembedahan crown lengthening harus diperhatikan. waktu penyembuhan yang optimal adalah 6 minggu samapai 6 bulan, tetapi jika akan dilakukan perawatan restorasi lebih baik dilakukan pada tahap remodeling awal dengan tetap mengobservasi tahap penyembuhan luka pasca pembedahan.6 selain itu kebersihan mulut dan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti merokok dan minum makan yang panas setelah pembedahan perlu diperhatikan, sehinga tidak mengganggu tahap penyembuhan luka.7 gambar 2. setelah pembedahan. gambar 3. aplikasi periodontal dressing insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 61 gambar 4. gigi 21 setelah 1 minggu pasca pembedahan gambar 5. rebuild up gigi 21 dengan gic gambar 6. foto rontgen setelah rebuild up gambar 7. perawatan saluran akar terlihat hermetis. gambar 8. pasak fiber dan core build up dengan rk solare-x gambar 9. mahkota jaket pfm fauziah karimah, hartanti | perawatan crown lengthening pada gigi anterior pasca terjadi fraktur 62 gambar 10. foto rontgen follow up 6 bulan kesimpulan crown lengthening sangat bermanfaat untuk membantu membuat restorasi pada gigi yang rusak dan menyisakan struktur gigi yang sedikit ataupun fraktur, sehingga restorasi memiliki retensi yang cukup adekuat pada gigi dan adaptasi dengan jaringan periodontal baik. daftar pustaka 1. danesh-mayer, michael. surgical crown lengtheningbuilding a solid foundation restoration excellence. australasian dental practice, 2012; 23(4): 58-62. 2. tomar, n., bansal, t., bhandari, m., sharma, a. the perio-estheticrestoration approach for anterior rehabilitation. j indian soc periodontol, 2013; 17 (4): 535-538. 3. de oliveira ps, chiarelli f, rodrigues ja, shibli ja, zizzari vl, piattelli a, iezzi g, perrotti v. aesthetic surgical crown lengthening procedure. case rep dent. 2015; 437-412. 4. milavec s and gaspirc, b. case report: clinical crown lengthening: laser-assisted versus conventional surgery therapy. j. la&ha, 2014; 2014(1): 42-44. 5. lai, jim. y., silvestri, l., girard, b. anterior esthetic crown lengthening surgery. j can dent assoc, 2001; 67(10): 600-603. 6. assaf, m. esthetic crown lengthening for upper anterior teeth: indications and surgical techniques. i j pre clin dent res, 2014; 1(2): 49-53. 7. newman, m. g., takei, h., klokkevold, p. r., & carranza, f. a. clinical periodontolgy. saunders: elsevier. 2014. 9 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 persepsi dosen pembimbing klinik dalam pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton kepada mahasiswa perception of clinical supervisor in giving feedback training with pendleton methods to students nyka dwi febria1, mora claramita2, widyandana3 1medical education departement of dentistry, medical and healt science faculty umy 2,3 department of medical education, faculty of medicine, gadjah mada university korespondensi : nica_dentist@yahoo.com abstrak: latar belakang: umpan balik sangat dibutuhkan dalam pendidikan sarjana dan pendidikan klinik. umpan balik yang diberikan didalam pendidikan klinik digunakan untuk memberikan penguatan atas tindakan yang dilakukan atau memberikan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan dalam melakukan suatu tindakan perawatan kepada pasien. umpan balik yang diberikan oleh dosen bervariasi antara satu dosen dengan dosen yang lainnya. sehingga diperlukan pelatihan untuk pemberian umpan balik tersebut. tujuan: tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pelatihan pemberian umpan balik dosen pembimbing klinik kepada mahasiswa. metode: jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimental. subyek penelitian terdiri dari 32 dosen yang memenuhi kriteria inklusi, yang terdiri dari dokter gigi umum sebayak 25 orang, dokter gigi spesialis sebanyak 3 orang, dan dokter gigi s2 sebanyak 4 orang. hasil: 96,6% menyatakan siap untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa setelah mengikuti pelatihan, pertanyaan kedua menyatakan waktu untuk pelatihan cukup sebesar 84,4%, pertanyaan ketiga menyatakan pelatihan umpan balik yang diberikan merupakan hal yang baru sebesar 84,4%, pertanyaan keempat menyatakan materi umpan balik dengan metode pendleton merupakan hal yang baru sebesar 100%, dan pertanyaan kelima menyatakan materi yang diberikan cukup lengkap sebesar 96,9%. kesimpulan: pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton kepada dosen pembimbing klinik di kedokteran gigi memberikan pengalaman dan pengetahuan yang baru untuk digunakan dalam pembimbingan fase klinik kepada mahasiswa. kata kunci: pelatihan umpan balik, dosen pembimbing klinik, pendleton abstract: feed back is necessary in undergraduate degree and clinical program. in clinical program, the feed back is given in order to affirm procedure which had been done or correcting an error when patient is treated. the feed back given may vary betwen one supervisor dentist to another. therefore, a training is needed for assessing the feed back. purpose: the purpose of this study was to give a feed back training from clinical supervisor to clinical student. method: the type of study was a quasimailto:nica_dentist@yahoo.com 10 nyka dwi febria, mora claramita, widyandana │persepsi dosen pembimbing klinik dalam pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton kepada mahasiswa experimental. the subject of the study consists of 32 supervisors who fulfill inclusion criteria. the 32 subjects consist of 25 general practitioner dentists, 3 specialist dentists, and 4 general practitioner dentist who had taken master degree. results: result of this study was 96,6% of subjects declare that they are ready to give feed back to clinical student after join the training, second question showed that 84,4% of the subjects declare that time given for training is sufficient, third question showed that 84,4% subjects declare that feed back training which given was a new material, fourth question showed that 100% subjects declare that feed back material using pendleton method was new thing and fifth question showed that 96,6% of subjects declare that the material given is comprehensive. conclusion : the training for assesing feed back using pendleton method for clinical supervisor dentists in dental school gives new experience and knowledge to be implemented in clinical advisory phase to clinical student. keyword: giving feedback training, clinical supervisor, pendleton pendahuluan pendidikan mahasiswa kedokteran gigi pada fase klinik diperlukan bimbingan dari dosen. pembimbingan tersebut dilakukan di klinik ketika mahasiswa melakukan tindakan kepada pasien. pembimbingan dilakukan dengan pemberian umpan balik terhadap tindakan mahasiswa. salah satu komponen penting dalam pembimbingan klinik adalah pemberian umpan balik kepada mahasiswa oleh dosen1. pembelajaran klinik memberikan pengalaman bagai mahasiswa untuk berinteraksi secara langsung kepada pasien. pengamatan dilakukan oleh dosen pembimbing klinik selama mahasiswa mengerjakan tindakan kepada pasien. pengamatan tersebut digunakan untuk memberikan umpan balik yang efektif dalam hal kelebihan dan kekurangan yang dilakukan oleh mahasiswa2. umpan balik yang diberikan dosen pembimbingan klinik diharapkan positif sehingga dapat meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam melakukan perawatan kepada pasien. umpan balik yang positif tersebut dapat dilakukan dengan berbagai variasi penyampaian. salah satu metode yang digunakan adalah pendleton. metode pendleton digunakan karena terjadi interaksi dua arah antara dosen dan mahahasiswa. mahasiswa dapat mengambil hal-hal baik yang sudah dilakukan dan mengkoreksi hal-hal yang kurang selama melakukan perawatan kepada pasien. sedangkan dosen pembimbing klinik diharapkan dapat memperkuat keterangan yang disampaikan oleh mahasiswa dengan menambahkan umpan balik yang sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa3. berdasarkan fakta-fakta diatas penulis ingin melakukan pelatihan pemberian umpan balik kepada dosen pembimbing klinik sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pemberian umpan balik kepada mahasiswa. metode penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimental dengan metode post test design. subyek penelitian adalah semua dosen pembimbing klinik kedokteran gigi institut ilmu kesehatan (iik) bhakti wiyata kediri. kriteria inklusi responden pada penelitian ini adalah dosen pembimbing klinik dan bersedia menjadi responden dengan mengisi lembar persetujuan mengikuti pelatihan dari tahap awal hingga akhir. 11 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 kriteria ekslusi dalam penelitian ini dosen pembimbing klinik yang tidak mengikuti jalannya penelitian. terdapat 55 orang dosen kedokteran gigi iik bhakti wiyata kediri. dosen yang mengikuti pelatihan sebanyak 32 orang dosen. sebanyak 23 dosen yang lainnya sedang dalam masa studi dan berhalangan hadir sehingga dikeluarkan (drop out). 32 orang dosen terdiri dari dokter gigi umum sebayak 25 orang, dokter gigi spesialis sebanyak 3 orang, dan dokter gigi s2 sebanyak 4 orang. pengumpulan data diawali dengan memberikan pengarahan tentang jalannya penelitian dan memberikan lembar persetujuan tindakan mengikuti penelitian. kemudian dosen diberikan modul dan materi tentang umpan balik dengan metode pendleton yang dimodifikasi oleh pakar. pemberian umpan balik kepada mahasiswa dipraktekkan secara langsung oleh dosen pembimbing klinik selama 4 hari. dosen diberikan kuesioner penelitian setelah selesai dilakukan pelatihan. persepsi dosen pembimbing klinik diukur dari kuesioner yang disebarkan pada akhir pelatihan pemberian umpan balik terstruktur dengan metode pendleton yang dimodifikasi. kuesioner tersebut terdiri dari 5 pertanyaan tertutup dan 3 pertanyaan terbuka. hasil data diambil dari dosen pembimbing klinik sebanyak 32 orang. persepsi dosen pembimbing klinik terhadap pelatihan yang diberikan diukur dari kuesioner yang disebarkan pada akhir pelatihan pemberian umpan balik terstruktur dengan metode pendleton yang dimodifikasi. kuesioner tersebut terdiri dari 5 pertanyaan tertutup dan 3 pertanyaan terbuka. tabel 1. persepsi pelatihan no keterangan ya tidak keterangan n % n % 1 setelah mengikuti pelatihan ini, apakah anda sudah merasa siap untuk memeberikan umpan balik terstruktur dengan model pendleton yang dimodifikasi kepada mahasiswa? 31 96,9 1 3,1 2 apakah waktu yang diberikan untuk memberikan seluruh materi pelatihan sudah cukup? bila tidak, berapa waktu yang anda rasa cukup? 27 84,4 5 15, 6 1. 3 hari 2. 2/3x pertemuan 3. 1 hari setiap bulan secara kontinyu 4. 1 minggu 5. praktek di keseharian, karena kondisi mahasiswa berbeda 3 apakah materi umpan balik yang diberikan pada pelatihan merupakan hal yang baru bagi anda? 27 84,4 5 15, 6 12 nyka dwi febria, mora claramita, widyandana │persepsi dosen pembimbing klinik dalam pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton kepada mahasiswa 4 apakah materi pemberian umpan balik dengan metode pendleton yang dimodifikasi merupakan hal yang baru bagi anda? 32 100 0 0 5 menururt anda, apakah materi yang diberikan pada pelatihan ini sudah lengkap? bila tidak, materi apa yang sebaiknya ditambahkan? 31 96,9 1 3,1 memancing self asessment mahasiswa kurang kuesioner persepsi pelatihan terdiri atas 5 pertanyaan tertutup. hal yang dievaluasi mengenai persepsi dosen pembimbing klinik terhadap pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton yang dimodifikasi. pertanyaan pertama menyatakan 96,6% menyatakan siap untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa setelah mengikuti pelatihan, pertanyaan kedua menyatakan waktu untuk pelatihan cukup sebesar 84,4%, pertanyaan ketiga menyatakan pelatihan umpan balik yang diberikan merupakan hal yang baru sebesar 84,4%, pertanyaan keempat menyatakan materi umpan balik dengan metode pendleton merupakan hal yang baru sebesar 100%, dan pertanyaan kelima menyatakan materi yang diberikan cukup lengkap sebesar 96,9%. pertanyaan kedua tentang waktu pelatihan, 5 orang menyatakan kurang (15,6%) dan mereka menyarankan agar pelatihan 2 sampai 3 kali pertemuan, 1 hari setiap bulan secara kontinyu, 1 minggu, praktek di keseharian. pertanyaan kelima tentang materi yang diberikan pada pelatihan pemberian umpan balik, 1 orang menyatakan kurang, diperlukan penambahan point memancing self asessment mahasiswa. pertanyaan no 6-8 dari evaluasi peserta merupakan pertanyaan terbuka. pertanyaan ke enam yang paling disukai pada pelatihan pemberian umpan balik adalah menambah pengetahuan tentang umpan balik (44%), strategi penyampaian materi (44%), bahan evaluasi diri (dosen) (9%) dan pembicara (3%). pertanyaan ke tujuh tentang yang tidak disukai pada pelatihan pemberian umpan balik ini adalah kurang adanya contoh berupa interaksi terhadap mahasiswa secara langsung (10%), penataan ruangan dan sarana prasarana (9%), role play (6%), materi yang terlalu banyak dalam waktu yang singkat (9%) dan tidak ada atau suka dengan pelatihan ini (66%). pertanyaan kedelapan tentang masukan dan saran dalam penelitian ini adalah menambah praktek dan pelibatan mahasiswa secara langsung (31%), pelatihan dilakukan secara rutin dan waktu ditambah (31%), tidak ada masukan dan saran (25%) dan penataan ruang dan sarana prasarana (13%). pembahasan penelitian ini bertujuan untuk memberikan pelatihan umpan balik dosen pembimbing klinik kepada mahasiswa. dampak yang diharapkan pada pelatihan adalah dapat memberikan pengalaman kepada dosen pembimbing klinik untuk dapat memberikan umpan balik kepada 13 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 mahasiswa dengan baik. hasil penelitian didapatkan bahwa 96,6% menyatakan siap untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa setelah mengikuti pelatihan. kesiapan dosen pembimbing klinik dalam memberikan umpan balik kepada mahasiswa sangat dibutuhkan untuk dapat membimbing mahasiswa dalam pendidikan klinik. teori operant conditioning mengatakan bahwa memasukkan unsur penguatan (reinforce) maka akan memperkuat respon yang akan ditimbulkan4. penguatan pada pelatihan diberikan ketika narasumber memberikan masukan terhadap umpan balik yang dilakukan oleh dosen pembimbing klinik. pertanyaan kedua menyatakan waktu untuk pelatihan cukup sebesar 84,4%, waktu yang digunakan untuk pelatihan dalam penelitian ini 5 hari dengan pemberian materi dan penjelasan modul dari pakar selama 1 hari. sedangkan 4 hari dosen pembimbing klinik memberikan umpan balik dengan metode pendleton yang dimodifikasi secara langsung kepada mahasiswa dengan pengamatan dari peneliti. umpan balik merupakan informasi yang diberikan secara spesifik terhadap suatu tindakan yang dilakukan dibandingkan dengan teori yang sudah ditetapkan sebagai suatu acuan untuk tindakan tertentu5. pertanyaan ketiga menyatakan pelatihan umpan balik yang diberikan merupakan hal yang baru sebesar 84,4%. dari hasil pelatihan tersebut memberikan hasil bahwa dosen pembimbing klinik memerlukan pelatihan untuk dapat memberikan umpan balik kepada mahasiswa. sehingga pelatihan tersebut dapat meningkatkan performa mahasiswa dalam melakukan tindakan medis kepada pasien. performa kilnik mahasiswa dapat meningkat dengan adanya umpan balik yang diberikan tersebut6. perbaikan terhadap suatu tindakan medis kepada pasien dengan berdasarkan prosedur yang ada membutuhkan suatu umpan balik dari dosen pembimbing klinik untuk dapat meningkatkan kualitas kerja mahasiswa7. pertanyaan keempat menyatakan materi umpan balik dengan metode pendleton merupakan hal yang baru sebesar 100%. umpan balik dengan model pendleton mempunyai 4 langkah yaitu a) mahasiswa mengatakan perfoma baik yang sudah dilakukan, b) dosen pembimbing klinik menyetujui dan mengeksplorasi performa yang baik tersebut, c) mahasiswa mengatakan performa yang kurang dan yang diperlukan perbaikan, d) dosen pembimbing klinik mengatakan hal-hal yang diperlukan perbaikan. penelitian ini memodifikasi dengan menambahkan 1 langkah yaitu berupa rencana aksi yang akan dilakukan untuk lebih meningkatkan hasil kinerja mahasiswa. motode pendleton memiliki kelebihan berupa memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang dilakukan oleh mahasiswa3. kelebihan ini dapat mendorong mahasiswa untuk dapat menilai hasil kinerja yang dilakukan. sehingga diharapkan mahasiswa akan lebih memahami tindakan yang dilakukan. pertanyaan kelima menyatakan materi yang diberikan cukup lengkap sebesar 96,9%. materi diberikan berupa penjelasan dari pakar tentang umpan balik, pemberian modul sebagai pedoman untuk melakukan umpan balik, dan dosen melakukan umpan balik secara langsung kepada mahasiswa yang dilakukan selama 4 hari. pelatihan penggunaan umpan balik dengan metode pendleton selama 4 hari tersbut akan mendorong terjadinya meaningful learning dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior knowledge) peserta, sehingga menghindari miscoception4. 14 nyka dwi febria, mora claramita, widyandana │persepsi dosen pembimbing klinik dalam pelatihan pemberian umpan balik dengan metode pendleton kepada mahasiswa keterbatasan dalam penelitian ini adalah pelatihan yang diberikan umpan balik secara langsung oleh pakar, tidak adanya role play simulasi kepada mahasiswa sesungguhnya dengan berbagai karakter mahasiswa yang berbeda-beda dikarenakan keterbatasan waktu yang ada dan waktu pelaksanaan pelatihan yang pendek sehingga kurang memberikan kesempatan untuk peserta dalam berlatih memberikan umpan balik. simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelatihan pemberian umpan balik diperlukan untuk dapat memberikan pengalaman kepada dosen pembimbing klinik dalam memberikan umpan balik terhadap pekerjaan mahasiswa. metode pendleton merupakan pengetahuan baru yang didapatkan dalam pelatihan ini. metode ini memberikan kesempatan untuk mahasiswa mengemukakan kelebihan dan kekurangan dalam tindakan yang dilakukan. tugas dari dosen pembimbing klinik memberikan penguatan atas tindakan hal yang dilakukan dan diungkapkan mahasiswa. saran berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa saran yaitu: 1. dapat dilakukan pelatihan dengan melibatkan mahasiswa secara langsung dengan dipandu oleh pakar. 2. dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dilakukan penilaian pemberian umpan balik di dalam pendidikan klinik. daftar pustaka 1. hesketh ea, laidlaw jm, developing the teaching instinct: 1:feedback. med teacher. 2002;24:245-8. 2. branch, w.t & paranjape, a. 2002. feedback and reflection: teaching methods for clinical settings. academic medicine. vol.77:11851188 3. cantillon, p. & sargeant, j. 2008. giving feedback in clinical settings. bmj (clinical research ed.), pp. 12921294 4. ormrod, j.e., 2012. human learning 6th ed., new jersey: pearson 5. van de ridder, j.m.m., stokking, k.m., mcgaghie, w.c., cate, o.t.j. 2008. what is feedback in clinical education?. medical education. p. 189–197 6. veloski, j., boex, j.r., gasberger, m.j., evans, a., wolfson, d.b. 2006. systematic review of the literature on assessment, feedback and physicians’ clinical performance: beme guide no 7. medical teacher 28, 2, pp 117128 7. grantchrov, t.p & reznick, r.k. 2008. teaching procedural skills. universiti of toronto 1 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (penelitian pada pelajar smak “x” bandung) the relationship between the perception of late adolescence using fixed orthodontic appliance and interest towards ofmalocclusion treatment (experiment was held on students of smak “x” bandung) jolanda1, cindy maria2, marlin himawati3 1 mahasiswa program pendidikan profesi dokter gigi, fakultas kedokteran gigi, universitas kristen maranatha, bandung 2 dosen fakultas psikologi, universitas kristen maranatha, bandung 3 bagian ortodonsia, rsgm universitas kristen maranatha, bandung abstrak abstrak: persepsi adalah proses mengorganisir dan menginterpretasi informasi sensori untuk memberikan makna. persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dapat dilihat dari aspek estetik dan aspek fungsional. bagi remaja, salah satu hal yang paling penting adalah penampilan fisik. penampilan fisik terutama dapat dilihat dari penampilan wajah, tidak terlepas dari penampilan gigi dan mulut. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi pelajar smak “x” bandung. jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan rancangan penelitian cross-sectional dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. besar sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 41 orang.tabulasi silang antara persepsi dan minat memperlihatkan minat responden paling banyak dalam kategori minat sedang baik persepsi dari aspek estetik maupun aspek fungsional. analisis data dari penelitian menggunakan chi-square test dengan α = 0,05. hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi tidak signifikan dengan p = 0,456. kata kunci: persepsi, minat, remaja, alat ortodontik cekat, maloklusi. abstract abstract: perception is the process of organizing and interpreting sensory information to provide meaning. perceptions about the use of fixed orthodontic appliance can be seen from aesthetic and functional aspects. for late adolescence, one of the most important thing is the physical appearance. appearance can be seen mostly from the face, which is related to the teeth and mouth. the purpose of this study is to determine the relationship between the perception of late adolescence using fixed orthodontic appliance and interest towards of malocclusion treatment in smak "x" students in bandung. this research was an analytic cross-sectional study design and the sampling technique used a purposive sampling. the amount of sample which met the inclusion and exclusion criteria was 41 students.cross-tabulation between perception and interests showed that the most interests of the respondent was seen in the moderate category in perception of both functional and aesthetic aspects. the data was analyzed using chi-square test with α = 0,05. the relationship between the perception of late adolescence using fixed orthodontic appliance and interest towards of malocclusion treatment did not show a significant result with p = 0,456. 2 jolanda, cindy maria, marlin himawati │hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (penelitian pada pelajar smak “x” bandung) key words: perception, interest, adolescent, fixed orthodontic appliance, malocclusion pendahuluan salah satu hal yang paling penting bagi remaja adalah penampilan fisik. penampilan fisik terutama dapat dilihat dari penampilan wajah, tidak terlepas dari penampilan gigi dan mulut.1 remaja menyadari bahwa kesan pertama sangat dipengaruhi oleh penampilan.2 pada masa pubertas, remaja menjadi sangat memperhatikan tubuh.3,4 menurut witherington, remaja usia 15 sampai 18 tahun paling banyak berada di tingkat sekolah menengah atas (sma) yang merupakan saat eksplorasi diri dan memiliki minat yang sangat tinggi.3,5 penghayatan remaja mengenai penampilan wajah memengaruhi perkembangan psikologis dari masa anak hingga dewasa.6 penampilan dari wajah terbukti digunakan sebagai pedoman untuk menyimpulkan berbagai karakteristik mengenai seseorang, termasuk kepribadian, integritas, kompetensi sosial, kompetensi intelektual, dan kesehatan mental yang menunjukan hasil hubungan interpersonal yang lebih baik dan kepercayaan diri yang lebih tinggi.7,8 salah satu komponen yang paling penting dari penampilan wajah adalah gigi dan mulut.8 menurut penelitian shaw et al., disimpulkan bahwa individu cenderung menghina penampilan gigi yang buruk daripada penampilan yang lain, seperti pakaian, berat badan, telinga, dan lainlain.9 individu yang mempunyai susunan gigi yang kurang baik memerlukan penggunaan alat ortodontik cekat sebagai perawatan terhadap maloklusi.10 persepsi adalah proses mengorganisir dan menginterpretasi informasi sensori untuk memberika makna.4 persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dapat dilihat dari aspek estetik dan aspek fungsional. persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dari aspek estetik biasanya merupakan motivasi utama individu terutama remaja dalam mencari perawatan maloklusi.8 sebagian besar minat terhadap perawatan maloklusi pada kalangan remaja didorong oleh kepedulian pribadi mengenai penampilan yaitu dari aspek estetik.11 minat adalah suatu keadaan ketika seseorang mempunyai perhatian terhadap sesuatu dan disertai keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikan lebih lanjut.12 menurut baldwin, sebanyak 80% individu yang menerima perawatan ortodontik ternyata mengabaikan pertimbangan dari aspek fungsional, namun perawatan ortodontik mempunyai tujuan lainnya seperti meningkatkan kesehatan dari aspek fungsional,13,14 maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi pelajar smak “x”bandung. metode penelitian jenis penelitian yang digunakan adalah analitik. penelitian dilaksanakan pada bulan mei 2015 di smak “x” bandung. populasi pada penelitian yaitu semua pelajar smak “x” bandung yang belum pernah menggunakan alat ortodontik cekat berjumlah 41 orang. metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. kriteria inklusi untuk penelitian yaitu usia remaja (15-18 tahun) dan bersedia menjadi subjek penelitian yang dibuktikan dengan kesediaan untuk mengisi surat persetujuan sebagai subjek penelitian. kriteria eksklusi yaitu pelajar yang sedang atau telah menjalani perawatan ortodontik cekat. pada instrumen penelitian, kuisioner untuk mengukur variabel persepsi berjumlah dua puluh pernyataan yang dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek estetik dan aspek fungsional dengan 3 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 masing-masing aspek terdiri dari sepuluh pernyataan yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori proffit10 (tabel 1). kuisioner untuk mengukur minat terdiri dari sepuluh pernyataan yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori walgito12 (tabel 2). kuisioner disusun berdasarkan skala likert dengan pilihan jawaban sebanyak empat, mulai dari sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai. pernyataan-pernyataan terdiri dari item positif (favorable) dan negatif (unfavorable). skor terendah yang diperoleh untuk variabel persepsi adalah 10 dan skor tertinggi adalah 40 untuk tiap aspek. pada variabel minat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. interval skor untuk kategori rendah adalah 10-20, kategori sedang 21-30, dan kategori tinggi 31-40. tabel 1. alat ukur persepsi10 aspek indikator item favorable / unfavorable estetik perbaikan deviasi dentofacial penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat memperbaiki tampilan yang kurang menarik pada gigi, mulut, dan wajah. favorable penggunaan alat ortodontik cekat membuat saya mendapat julukan yang menghina gigi dan mulut saya. unfavorable ketertarikan sosial makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat menurunkan kualitas kehidupan sosial. unfavorable saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat memperbaiki hubungan interpersonal saya. favorable penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat memperbaiki kelas sosial di lingkungan. favorable saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat mengubah pandangan negatif orang terhadap saya. favorable kepercayaan diri penggunaan alat ortodontik cekat membuat kepercayaan diri saya terhadap gigi dan mulut meningkat. favorable penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat menurunkan rasa percaya diri. unfavorable saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat meningkatkan popularitas saya di lingkungan. favorable makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat meningkatkan rasa puas terhadap keadaan gigi dan mulut. favorable fungsional pergerakan penggunaan alat ortodontik cekat bagi unfavorable 4 jolanda, cindy maria, marlin himawati │hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (penelitian pada pelajar smak “x” bandung) rahang normal a. koordinasi otot baik b. tidak ada rasa nyeri saya dapat meningkatkan masalah pergerakan otot saat menggerakkan rahang karena susunan gigi yang kurang beraturan. saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat mengurangi rasa sakit saat menggerakkan rahang karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable tmj normal makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat memperbaiki kelainan pada sendi rahang yang mengganggu aktivitas karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable fungsi pengunyahan baik penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat memperburuk masalah pengunyahan karena susunan gigi yang kurang beraturan. unfavorable fungsi penelanan baik makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat memperbaiki masalah penelanan karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable fungsi bicara baik saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat memperbaiki masalah pada fungsi bicara karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable pencegahan terhadap trauma makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya benturan pada gigi yang dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah. favorable pencegahan terhadap karies penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya gigi berlubang karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable pencegahan terhadap gingivitis makna penggunaan alat ortodontik cekat bagi saya dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya gusi berdarah karena susunan gigi yang kurang beraturan. unfavorable pencegahan terhadap penyakit periodontal saya menghayati penggunaan alat ortodontik cekat dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kegoyangan gigi karena susunan gigi yang kurang beraturan. favorable 5 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 tabel 2. alat ukur minat12 indikator item favorable / unfavorable perhatian saya sering memperhatikan teman saya yang menggunakan alat ortodontik cekat. favorable saya acuh tak acuh terhadap alat ortodontik cekat yang digunakan oleh teman saya. unfavorable keinginan mengetahui saya ingin tahu lebih banyak tentang alat ortodontik cekat. favorable saya mencari tahu informasi mengenai alat ortodontik cekat. favorable saya jarang bertanya mengenai alat ortodontik cekat pada teman yang menggunakan. unfavorable keinginan mempelajari saya berusaha untuk memahami manfaat-manfaat alat ortodontik cekat. favorable saya tidak tertarik untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan alat ortodontik cekat. unfavorable keinginan membuktikan lebih lanjut saya tidak tertarik untuk melakukan perawatan dengan alat ortodontik cekat. unfavorable saya berusaha mencari perawatan dengan alat ortodontik cekat. favorable saya ingin menggunakan alat ortodontik cekat. favorable prosedur pengambilan data dilakukan dengan cara membuat rumusan pernyataan dalam kuisioner dan melakukan uji validitas dan reliabilitas kuisioner. uji validitas pada penelitian menggunakan korelasi product moment (pearson) dan cronbach alpha untuk menghitung koefisien reliabilitas. kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas digunakan pada sejumlah sampel yang telah ditentukan. pengisian kuisoner kurang lebih dilakukan selama 25 menit. data yang diperoleh, diolah dan dianalisis berdasarkan distribusi frekuensi dalam bentuk tabel dan grafik. pengujian hipotesis dengan menggunakan chi-square test dengan kriteria pengujian jika nilai p ≤ 0,05 maka h1 diterima, sedangkan jika nilai p> 0,05 maka h1 ditolak. 6 jolanda, cindy maria, marlin himawati │hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (penelitian pada pelajar smak “x” bandung) hasil penelitian tabel 3. distribusi frekuensi persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi kategori minat rendah sedang tinggi total persepsi estetik 2 (12%) 14 (82%) 1 (6%) 17 (100%) fungsional 6 (33%) 12 (67%) 0 18 (100%) fungsional dan estetik 2 (33%) 4 (67%) 0 6 (100%) total 10 30 1 41 berdasarkan hasil distribusi frekuensi persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi, (tabel 3) diketahui sebanyak 2% responden yang termasuk kategori minat rendah dengan persepsi estetik, 82% responden yang termasuk kategori minat sedang dengan persepsi estetik, dan 6% responden termasuk kategori minat tinggi dengan persepsi estetik. sedangkan untuk persepsi fungsional, sebanyak 33% responden yang termasuk kategori minat rendah, 67% responden yang termasuk kategori minat sedang, dan tidak ada responden yang termasuk dalam kategori minat tinggi. untuk persepsi estetik dan fungsional sebanyak 33% responden termasuk kategori minat rendah, 67% responden termasuk kategori minat sedang, dan tidak ada responden yang termasuk kategori tingkat tinggi. analisis data diuji dengan menggunakan chi-square test dengan derajat kemaknaan α = 0,05. hasil analisis statistik menunjukan bahwa nilai p 0,456 maka h1 ditolak, kesimpulan h1 ditolak, yang artinya tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (tabel 4) 7 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 tabel 4. hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi diskusi hasil penelitian yang dilakukan pada seluruh subjek yang terdiri dari 41 pelajar smak “x” bandung menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi pada pelajar smak “x” bandung. subjek penelitian yang memiliki persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dari aspek estetik dan persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dari aspek fungsional paling banyak dalam kategori minat sedang terhadap perawatan maloklusi, yang berarti pelajar smak “x” bandung mempunyai cukup perhatian terhadap penggunaan alat ortodontik cekat dan memiliki keinginan yang cukup untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikan lebih lanjut perawatan terhadap maloklusi. menurut sujanto, minat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan, pengamatan, tanggapan, persepsi, dan sikap. persepsi yang diterima melalui alat indera akan diolah, dinilai dan diinterpretasikan dalam otak sebagai suatu informasi. jika dari proses penilaian dan penginterpretasian menghasilkan penilaian yang positif maka penilaian akan berjalan terus menjadi hal yang menarik dan disenangi sehingga menjadi informasi yang menetap sehingga menjadi sesuatu yang diminati. sebaliknya, jika proses penilaian dan penginterpretasian menghasilkan penilaian yang negatif, maka penilaian akan berjalan terus menjadi hal yang tidak menarik sehingga informasi akan diabaikan karena tidak diminati.15 pengetahuan, pengamatan, tanggapan, dan sikap merupakan faktor lain yang memengaruhi minat sehingga dapat memengaruhi hasil penelitian yang dilakukan. pengetahuan mengenai manfaat penggunaan alat ortodontik cekat dapat memengaruhi minat responden terhadap perawatan maloklusi. pengetahuan yang kurang mengenai manfaat penggunaan alat ortodontik cekat menyebabkan minat yang rendah terhadap perawatan maloklusi. pengamatan, tanggapan, dan sikap yang negatif terhadap penggunaan alat ortodontik cekat dapat memengaruhi minat responden untuk melakukan perawatan maloklusi sehingga responden kurang mempunyai perhatian terhadap penggunaan alat ortodontik cekat dan kurang memiliki keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikan lebih lanjut perawatan terhadap maloklusi. tingkat keparahan maloklusi pada subjek penelitian sebagai variabel pengganggu juga dapat memengaruhi hasil penelitian karena tidak semua subjek penelitian memiliki tingkat keparahan yang sama. tingkat keparahan maloklusi pada subjek penelitian yang berbeda-beda menyebabkan minat terhadap perawatan maloklusi yang berbeda juga, sesuai dari kebutuhan akan perawatan maloklusi dari subjek penelitian. simpulan simpulan pada penelitian yaitu tidak terdapat hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi pada pelajar smak “x” bandung. variabel penelitian nilai p hubungan antara persepsi tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi 0,456 8 jolanda, cindy maria, marlin himawati │hubungan antara persepsi remaja tentang penggunaan alat ortodontik cekat dan minat terhadap perawatan maloklusi (penelitian pada pelajar smak “x” bandung daftar pustaka 1. bishara se. textbook of orthodontics. philadelphia: w.b. saunders company; 2001. 2. hurlock eb. adolescent development. 5th ed. new york: mcgraw-hill book co; 1980. 3. santrok jw. perkembangan remaja. edisi keenam. jakarta: penerbit erlangga; 2003. 4. king l. psikologi umum sebuah pandangan apresiatif. jakarta: mcgraw hill education and salemba empat; 2010. 5. sobur a. psikologi umum dalam lintasan sejarah. bandung: cv pustaka setia; 2013. 6. ukra a, bennani f, farella m. psychological aspects of orthodontics in clinical practice. part two: general psychological wellbeing. elsevier. 2012; 3: 6977. 7. khan m, fida m. assessment of psychosocial impact of dental aesthetics. journal of the college of physicians and surgeons pakistan. 2008; 18(9): 559-564. 8. jeremiah hg, bister d, newton jt. social perceptions of adults wearing orthodontic appliances: a cross-sectional study. european journal of orthodontics. 2011; 33: 476-482. 9. shaw wc, meek sc, jones ds. nicknames, teasing harassment and the salience of dental features among school children. british journal of orthodontics; 1980: 7: 75-80. 10. proffit wr, fields hw, sarver dm. contemporary orthodontics. 4th ed. philadelphia: mosby elsevier; 2007. 11. moura c, cavalcanti al, gusmao es, soares rsc, moura ftc, santillo pmh. negative selfperception of smile associated with malocclusions among brazilian adolescents. european journal of orthodontics. 2013; 35: 483-490. 12. wicaksono hy. kreativitas dalam pembelajaran musik. 2009; 28(1). 13. livas c, delli k. subjective and objective perception of orthodontic treatment need: a systematic review. european journal of orthodontics. 2012; 1-7. 14. fawzan aa. reasons for seeking orthodontic treatment in qassim region: a pilot study. international dental journal of students research. 2013; 1(3): 58-62. 15. ardi m, aryani l. hubungan antara persepsi terhadap organisasi dengan minat berorganisasi pada mahasiswa fakultas psikologi uin suska. fakultas psikologi uin sultan syarif kasim riau. 2011; 153-163. 38 efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans the effect of an essential oils basil leaves (ocimum basilicum l.) as an inhibitor agent for formation of streptococcus mutans biofilms like rosita dwi susanto1, archadian nuryanti2, ivan arie wahyudi2 1 pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran gigi universitas gajah mada 2 bagian biomedika, fakultas kedokteran gigi universitas gajah mada abstrak kemangi (ocimum basilicum l.) merupakan tanaman yang sering digunakan untuk obat tradisional. kandungan eugenol dalam minyak atsiri daun kemangi memiliki efek antibakteri terhadap bakteri gram positif. streptococcus mutans adalah bakteri anaerobik fakultatif gram positif di dalam rongga mulut yang banyak ditemukan dalam plak biofilm. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans. penelitian ini dimulai dari pengadaan daun kemangi, kemudian dilakukan destilasi uap air hingga didapat minyak atsiri. konsentrasi minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1%, 0,5%, 0,25%, 0,125%, dan 0,0625% dengan menggunakan pelarut peg 400 2,5%. uji agen penghambat pembentukan biofilm dilakukan pada microplate round bottom 96 wells dengan pewarnaan kristal violet 0,5%. pembacaan nilai absorbansi menggunakan microplate reader dengan panjang gelombang 595nm. data yang didapat diolah menggunakan rumus penghambatan pembentukan biofilm. daya penghambatan pembentukan biofilm dinyatakan sebagai nilai ic50 yang dianalisis menggunakan metode probit pada program spss versi 16. hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi minyak atsiri daun kemangi 0,0625%, 0,125%, 0,25%, 0,5%, dan 1% dapat menghambat pembentukan biofilm s. mutans sebesar 4,451%, 40,121%, 80,416%, 88,586%, dan 94,812%. kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) memiliki efek sebagai agen penghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans dengan ic50 pada konsentrasi 0,168%. kata kunci : kemangi, penghambatan, biofilm, streptococcus mutans, ic50 abstract basil (ocimum basilicum l.) is a plant that is widely used for traditional medicine. eugenol content in the essential oils of basil leaves have antibacterial effect against gram-positive bacteria. streptococcus mutans is an anaerobic facultative gram-positive bacteria in the oral cavity which is most commonly found in biofilms. the aim of the research was to identify the effect of an essential oils basil leaves (ocimum basilicum l.) as an inhibitor agent for formation of streptococcus mutans biofilms. this research started from the collection of kg basil leaves, then distilled using steam destilation method until gotten the essential oils. essential oils were prepared in this research at the concentration of 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, and 0.0625% using peg 400 2.5% as suspending agent. biofilm formation inhibition test carried out with microplate round bottom 96 wells then stained with crystal violet 0,5 %. absorbance values reading was using microplate reader with wavelengths 595nm. the data was processed using the formula of inhibition biofilms formation. the ability of inhibition biofilms formation was determined as a value of the ic50 wich was analyzed by probit method on the program spss 16. the results of research showed that at the concentration of 0.0625%, 0.125%, 0.25%, 0.5%, and 1% essential oils basil leaves can inhibits 4.451%, 40.121%, 80.416%, 88.586%, and 94.812% s. mutans biofilms formation. as conclusion, essential oils basil leaves (ocimum basilicum l.) had the ability as an inhibitor agent for formation of streptococcus mutans biofilms that indicated by the ic50 of 0.168%. key words : basil, inhibitory, biofilm, streptococcus mutans, ic50 39 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 pendahuluan streptococcus adalah bakteri anaerobik fakultatif, yang merupakan agen utama dalam metabolisme plak. banyaknya spesies bakteri yang ditemukan pada plak gigi, dari semuanya itu hanyalah streptococcus mutans yang menunjukkan hubungan yang jelas dengan awal pembentukan karies gigi1. sifat acidogenic dan aciduric (berhubungan dengan toleransi terhadap asam) streptococcus mutans, bersama dengan kemampuannya untuk mensintesis glukan ekstraseluler, merupakan faktor utama dalam pembentukan biofilm kariogenik 2. telah terbukti bahwa jumlah streptococcus mutans yang lebih dari 105 cfu/ml di saliva berhubungan dengan resiko karies yang tinggi 3. biofilm bakteri merupakan komunitas mikrobial yang kompleks yang ditemukan pada semua permukaan mukosa manusia dan hewan. komunitas bakteri yang tinggal di dalam tubuh manusia terdiri atas puluhan sampai ratusan spesies yang berbeda atau phylotypes, seperti yang terlihat di usus, vagina, dan oral biofilm. perubahan pada ekologi biofilm dapat menyebabkan radang usus, vaginitis, dan karies gigi. interaksi antar spesies bakteri yang berada dalam biofilm berpengaruh terhadap komposisi dari komunitas. sebagai akibatnya, perubahan dari populasi mikroorganisme berpengaruh baik menjadi biofilm yang menguntungkan atau sebaliknya mengakibatkan suatu penyakit. komunitas bakteri dalam keadaan menguntungkan, membatasi bakteri yang berpotensi bahaya dari kolonisasi, atau melindungi host dari penyakit. namun, beberapa penyakit yang disebabkan mikroorganisme muncul pada saat kondisi host sedang sehat, dan pergeseran populasi dapat berefek padavirulensi spesies4. kemangi merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat, antara lain sebagai obat, pestisida nabati, penghasil minyak atsiri, sayuran dan minuman penyegar [5]. tanaman kemangi memiliki khasiat merangsang penyerapan, peluruh keringat (diaphoretic), diuretik, pelancar peredaran darah, penghilang rasa sakit (analgesik), dan pembersih racun 6. minyak atsiri merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi dan mempunyai peranan penting bagi tanaman itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia. minyak atsiri mempunyai aktivitas farmakologis yang beragam antara lain analgesik, antipiretik, antiseptik, dan banyak juga yang memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur yang kuat7. minyak atsiri daun kemangi tersusun atas senyawa hidrokarbon, alkohol, ester, phenol (eugenol 1-19 %, iso-eugenol), eter phenolat (metil clavicol 3-31%, metil eugenol 1-9%), oksida dan keton8. minyak atsiri daun kemangi mengandung eugenol yang merupakan turunan senyawa fenol yang memiliki efek antiseptik dan bekerja dengan merusak membran sel bakteri9. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans. hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai kegunaan tumbuhan kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen antiplak. metodologi penelitian bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kemangi (ocimum basilicum l.) didapat dari imogiri, bakteri streptococ40 like rosita dwi susanto | efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat.... cus mutans, media bhi, sukrosa 2%, standar mcfarland v {(15 x 108) cfu/ml}, minyak atsiri daun kemangi, pelarut peg 400, chlorhexidine gluconate 0,2% minosep®, larutan saline, aquadest steril, kristal violet 0,5%, etanol 96%. alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi rangkaian alat destilasi uap air, micropippetsocoorex® ukuran 5-50 µ l, 50-200 µ l, blue tip, yellow tip, white tip, syringe 1ml terumo®, tabung eppendorf, tabung falcon®, laminar air flow, lampu bunsen, microplate round bottom 96wells iwaki®, microplate flatbottom 96wells iwaki®, tabung reaksi, inkubator, autoklaf, spidol, dan biorad microplate reader benchmark. penelitian diawalai dengan identifikasi tanaman untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan benar tanaman kemangi. kemudian dilakukan destilasi uap air untuk mendapatkan minyak atsiri. daun kemangi dipetik kemudian dicuci hingga bersih. daun kemangi yang telah dicuci tersebut kemudian dipotong-potong. potongan-potongan kecil tersebut kemudian dimasukkan ke atas angsang dandang destilasi yang sudah berisi air sebanyak 6 liter yang dihubungkan dengan alat pendingin (kondensor) yang terhubung dengan alat pemisah minyak atsiri (penampung destilat). pemanasan dilakukan di atas kompor gas selama 6 jam dengan suhu 100oc. langkah selanjutnya adalah uji agen penghambat pembentukan biofilm. uji ini menggunakan metode mikrodilusi. bakteri disiapkan dengan membuat suspensi dalam media bhi dan digunakan standar mcfarland v {(15x108) cfu/ml}. kemudian dilakukan pengenceran serial dari larutan stok 4% dengan konsentrasi dari masing-masing minyak atsiri: 1%, 0,5%, 0,25%, 0,125%, 0,0625%dalam media bhi + sukrosa 2%. sebagai kontrol pelarut digunakan peg 400 2,5% dan kontrol positif digunakan chlorhexidine gluconate 0,12% minosep®. larutan uji diletakkan pada microplate round bottom 96wells, dengan volume total 100µl tiap sumuran dengan menggunakan micropippet. sumuran uji berisi larutan minyak atsiri uji dengan penambahan suspensi bakteri 10%, sedangkan sumuran blanko berisi larutan minyak atsiri uji dengan penambahan saline 10%tanpa ditambahkan suspensi bakteri. microplate round bottom 96wellskemudian diinkubasi selama 24jam pada suhu inkubator 37oc. microplate round bottom 96wells dikeluarkan dari inkubator kemudian larutan uji dibuang dan dicuci dengan air mengalir sebanyak 3 kali. microplate round bottom 96wells dikeringkan kemudian dalam setiap sumuran ditambahkan pewarna kristal violet 0,5% sebanyak 150µ l dan didiamkan selama 15 menit. microplate round bottom 96wells dicuci lagi dengan air mengalir 3 kali, didiamkan selama 15 menit. kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 200µ l dan didiamkan selama 15 menit. tahap akhir adalah sebanyak 150µ l larutan dalam microplate round bottom 96wells dipindahkan ke microplate flat bottom 96 wells dengan menggunakan syringe 1ml. hasil uji berupa optical density (od) dibaca dengan alat biorad microplate reader benchmark dengan panjang gelombang 595nm, di laboratorium parasitologi fakultas kedokteran ugm 10. daya penghambatan pembentukan biofilm streptococcus mutans ditunjukkan dengan harga ic50 yaitu konsentrasi minyak atsiri yang dapat menghambat pembentukan biofilm sebanyak 50%. rumus yang digunakan untuk menghitung persen penghambatan adalah sebagai berikut 10 : 41 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 % penghambatan = 1– x 100% dengan keterangan: od sampel: optical density minyak atsiri + peg 400 + suspensi bakteri; od blanko sampel: optical density minyak atsiri + peg 400 + saline; od pelarut: optical density kontrol pelarut peg 400 + suspensi bakteri; od blanko pelarut: optical density kontrol pelarut peg 400 + saline. harga ic50 didapat dari analisis metode probit pada program spss versi 16. hasil dan pembahasan hasil identifikasi tanaman di laboratoriun taksonomi tumbuhan, fakultas biologi, ugm, yogyakarta, menyatakan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar tanaman kemangi (ocimum basilicum l.). tanaman kemangi sebanyak 50 ikat kemudian diambil daun urutan ketiga hingga kelima dari pucuk teratas. daun seberat 3,66kg didestilasi dengan metode uap air sehingga didapat minyak atsiri sebanyak 2,1ml. hasil uji penghambatan pembentukan biofilm dapat dilihat dalam tabel i. hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) mampu menghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans. dari tabel tersebut terlihat bahwa semakin besar konsentrasi, semakin tinggi pula daya hambat pembentukan biofilmnya. hasil analisis probit menunjukkan bahwa konsentrasi minyak atsiri daun kemangi yang dapat menghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans sebanyak 50% adalah 0,168%. tabel i. data uji minyak atsiri daun kemangi sebagai agen penghambat pembentukan biofilm kadar minyak atsiri (%) % penghambatan pembentukan biofilm replikasi 1 replikasi 2 replikasi 3 replikasi 4 rerata ± sd 1 91,358 95,087 96,475 96,330 94,812 ± 2,386 0,5 90,258 89,925 90,641 83,519 88,586 ± 3,390 0,25 63,985 71,321 93,011 93,347 80,416 ± 15,039 0,125 15,445 53,980 89,502 1,555 40,121 ± 39,694 0,0625 0,044 3,059 12,387 2,314 4,451 ± 5,444 kontrol + 84,319 85,188 69,218 79,575 ± 8,980 kontrol 0,380 0,591 0,296 0.422 ± 0.152 42 like rosita dwi susanto | efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat.... larutan uji setelah dilakukan inkubasi selama 24jam, cairan yang ada di dalam wells dibuang kemudian dicuci 3x, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bahanbahan lain yang ada di dalam wells agar yang tersisa hanyalah biofilm yang menempel di dinding wells. biofilm yang menempel ini kemudian diwarnai oleh kristal violet 0,5%. metode pewarnaan kristal violet telah secara luas digunakan untuk menghitung biofilm bakteri, serta merupakan metode pewarnaan yang murah dan cepat dibanding metode kuantifikasi biofilm lainnya 11. pada protokol untuk kuantifikasi biofilm statis dalam microtitter plate menyebutkan bahwa kristal violet tidak hanya mewarnai sel, namun juga setiap material yang menempel pada permukaan plate, termasuk komponen matriks. penambahan etanol untuk melarutkan kristal violet yang telah mewarnai biofilm yang menempel, kemudian larutan dipindah ke microtitter plate yang baru dan dibaca absorbansinya menggunakan microplate reader 12. pelarut yang dipakai untuk melarutkan minyak atsiri daun kemangi adalah peg 400 2,5%, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya [8], yang membandingkan beberapa pelarut yang kemudian didapat hasil bahwa pelarut peg 2,5% dapat mencampur minyak atsiri daun kemangi dengan baik membentuk sistem emulsi yang baik dan jernih dibanding dengan pelarut lainnya. polyethylene glycol atau peg merupakan polieter hidrofilik yang netral, digunakan dalam berbagai kegunaan dan aplikasi termasuk sebagai agen non toksik, pelumas non imunogenik, atau sebagai pembawa dalam formulasi farmasi 13. peg memiliki karakteristik hidrofilik karena ikatan hidrogen yang terkandung didalamnya 14. peg tidak akan berikatan dengan streptococcus mutans sebab streptococcus mutans bersifat hidrofobik. interaksi hidrofobik memainkan peranan penting dalam perlekatan mikroorganisme ke berbagai permukaan dan memfasilitasi pembentukan biofilm 15. oleh karena itu setelah inkubasi, saat cairan dalam plate dibuang, streptococcus mutans yang telah menempel pada dinding plate tetap menempel dan tidak ikut terbuang. pengujian daya penghambatan pembentukan biofilm streptococcus mutans memberikan nilai ic50 sebesar 0,168%, ic50 adalah konsentrasi dimana minyak atsiri dapat menghambat 50% pembentukan biofilm. nilai ic50 sering digunakan untuk uji penghambatan pembentukan biofilm. semakin kecil nilai ic50 maka semakin efektif pula sampel tersebut dalam menghambat pembentukan biofilm16. hasil dari penelitian ini menunjukkan hubungan linier antara konsentrasi minyak atsiri dengan daya hambat pembentukan biofilm. atau dengan kata lain semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri, semakin besar pula daya hambat pembentukan biofilmnya. biofilm yang seharusnya terbentuk dan menempel pada dinding plate dihambat pembentukannya oleh minyak atsiri. mekanisme penghambatannya masih belum diketahui secara pasti. minyak atsiri daun kemangi mengandung eugenol. eugenol diyakini memiliki aktivitas antibiofilm 17. hidrokarbon monoterpena seperti eugenol dapat menginaktifkan enzim, bereaksi dengan aktivitas membran sel, atau mengganggu fungsionalitas material genetik, produksi energi, dan sintesis komponen struktur18. kemampuan eugenol dalam menginaktifkan enzim ini, kemungkinan menyebabkan terganggunya aktivitas enzim glukosiltransferase yang digunakan streptococcus mutans untuk mensintesis sukrosa dalam media menjadi glukan. glukan merupakan media 41 idj, vol. 2 no. 1 tahun 2013 perlekatan bakteri, apabila jumlahnya sedikit, mengakibatkan pembentukan biofilm terhambat 10. senyawa fenol pada minyak atsiri daun kemangi memiliki aktivitas antibakteri, hal ini mengakibatkan terganggunya komunikasi “quorum sensing” pada koloni bakteri untuk membentuk biofilm 10. kemungkinan mekanismenya dimulai dari pertumbuhan bakteri yang dihambat oleh senyawa fenol yang mengakibatkan jumlah bakteri berkurang sehingga kemampuan koloni bakteri untuk saling berkomunikasi dalam “quorum sensing” menjadi terhambat. hal ini membuat terganggunya produksi lapisan eksopolisakarida (eps) oleh bakteri yang berfungsi untuk menjaga integritas biofilm, sehingga berakibat terhambatnya pembentukan biofilm. rumus persentase penghambatan yang digunakan merupakan modifikasi dari rumus quave 10. rumus tersebut menghitung optical density pada jam ke-0 dan jam ke-18 setelah inkubasi. hal ini tidak dapat dilakukan oleh peneliti, sebab proses pembacaan optical density dilakukan di laboratorium parasitologi fakultas kedokteran ugm sedangkan penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran hewan ugm, sehingga membutuhkan waktu antara selesai inkubasi (saat dikeluarkan dari inkubator) dengan pembacaan optical density. kemungkinan hal ini berpengaruh terhadap hasil yang didapat, dimana hasil yang didapat oleh peneliti adalah tidak begitu homogen. penelitian ini memberi hasil standar deviasi yang tinggi pada konsentrasi minyak atsiri 0,125% dan 0,0625% yang disebabkan oleh range hasil yang terlalu jauh. persentase penghambatan pembentukan biofilm dengan range yang jauh ini kemungkinan dikarenakan pipeting bakteri streptococcus mutans yang tidak sama jumlahnya atau ada yang tertinggal pada tip. hal ini mengakibatkan hasil yang didapat nilainya bervariasi. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) memiliki efek sebagai agen penghambat pembentukan biofilm streptococcus mutans dengan ic50 pada konsentrasi 0,168%. daftar pustaka 1. fischetti, v.a., 2006, gram-positive pathogens, asm press, washington, 335, 561. 2. koo, h., 2003, inhibition of streptococcus mutans biofilm accumulation and polysaccharide production by apigenin and tt-farnesol, journal of antimicrobial chemotherapy, vol.52: 782–789. 3. leal, s.c., mickenautsch, s., 2010, salivary streptococcus mutans count and caries outcome – a systematic review, j minim interv dent., vol. 3 (4): 137-147. 4. kreth j., zhang y., herzberg m.c., 2008, streptococcal antagonism in oral biofilms: streptococcus sanguinis and streptococcus gordonii interference with streptococcus mutans, journal of bacteriology, vol. 190 (13): 4632-4640. 5. hadipoentyanti, e., wahyuni, s., 2008, keragaman selasih (ocimum spp.) berdasarkan karakter morfologi, produksi dan mutu herba, jurnal littri 14(4): 141 – 148. 44 like rosita dwi susanto | efek minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) sebagai agen penghambat.... 6. hariana, a., 2008, tumbuhan obat dan khasiatnya, seri 2, penerbit swadaya, depok, 26. 7. mukhtar, m.h., adnan, a.z., pitra m.w., 2007, uji sitotoksisitas minyak atsiri daun kamanggi (ocimum basilicum l.) dengan metoda brine shrimp lethality bioassay, j. sains tek far., vol. 12 (1): 1-4. 8. maryati, fauzia, r.t., rahayu, t., 2007, uji aktivitas antibakteri minyak atsiri daun kemangi (ocimum basilicum l.) terhadap staphylococcus aureus dan escherichia coli, jurnal penelitian sains & teknologi, vol. 8, no. 1, 2007: 30 – 38. 9. siswandono, s., 1995, prinsip-prinsip rancangan obat, universitas airlangga, surabaya, 249-251. 10. ardani, m., sylvia, u.t.p., hertiani, t., 2010, efek campuran minyak atsiri daun cengkeh dan kulit batang kayu manis sebagai antiplak gigi, majalah farmasi indonesia 21 (3): 191-201. 11. li, x., yan, z., xu, j., 2003, quantitative variation of biofilms among strains in natural populations of candida albicans, microbiology 149: 353-362. 12. narisawa, n., furukawa, s., ogihara, h., yamasaki, m., 2005, estimation of the biofilm formation of escherichia coli k-12 by the cell number, journal of bioscience and bioengineering vol. 99 (1): 78-80. 13. fee, c.j., alstine, j.m.v., 2005, pegproteins: reaction engineering and separation issues, department of materials and process engineering university of waikato, hamilton, 3. 14. kao, m.j., tien, d.c., jwo, c.s., tsung, t.t., 2005, the study of hydrophilic characteristics of ethylene glycol, journal of physics: conference series 13: 442-445. 15. tahmourespour, a., kermanshahi, r.k., salehi, r., nabinejad, a., 2008, the relationship between cell surface hydrophobicity and antibiotic resistance of streptococcal strains isolated from dental plaque and caries, iranian journal of basic medical sciences, vol. 10 (4): 251-255. 16. hertiani, t., pratiwi, s.u.t., kuswahyuning, r., irianto, i.d.k., adityaningrum, d., pranoto, b., ardani, m., prasasti, d., 2009, eksplorasi minyak atsiri sebagai alternatif bahan aktif pasta gigi anti plak berdasarkan aktivitas antibakteri dan inhibitor biofilm pada streptococcus mutans secara in vitro, laporan penelitian, fakultas farmasi ugm, yogyakarta, 32. 17. niu, c., gilbert, e.s., 2004, colorimetric method for identifying plant essential oil components that affect biofilm formation and structure, applied and environmental microbiology, vol. 70 (12): 6951-6956. 18. davidson, p.m., 2001, chemical preservatives and naturally antimicrobial compounds sit celikel, n., kavas, g., 2008, antimicrobial properties of some essential oils against some pathogenic microorganisms, czech j. food sci., vol. 26 (3): 174-181. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 1 research article efektivitas topikal aplikasi dadih terhadap inflamasi gingiva the effectiveness of topical application of curd on gingival inflamation vanny fergiana mulyadi, nurul syifa putri wesha, satria yandi, valendriyani ningrum* fakultas kedokteran gigi universitas baiturrahmah, jl. raya by pass km 14, kuranji, padang, indonesia. received date: august 28th, 2019; reviewed date: october 16th, 2019; revised date: march 4th, 2020 ; accepted date: march 11st, 2020 doi : 10.18196/di.9110 abstrak dadih adalah produk fermentasi susu kerbau dengan menggunakan bambu dan merupakan makanan khas sumatera barat. dadih mengandung lactobacillus casei yang merupakan probiotik yang memiliki kemampuan untuk menghambat perlekatan bakteri patogen, merusak reseptor toksin dan menghancurkan toksin. kandungan antioksidan dan probiotik tersebut mampu mengatasi peradangan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas topikal aplikasi dadih pada inflamasi gingiva. penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan hewan uji tikus wistar. tiga puluh tiga tikus galur wistar yang mengalami inflamasi gingiva setelah diinduksi secara traumatik dibagi dalam tiga kelompok. kelompok 1 diberi perlakuan aplikasi dadih topikal, kelompok 2 kontrol positif dengan aplikasi kenalog dan kelompok 3 kontrol negatif dengan menggunakan plasebo. perubahan klinis dievaluasi dengan indeks gingiva loe dan silness dengan mengamati penyembuhan inflamasi gingiva selama sebelas hari. hasil penelitian menunjukkan jumlah gingiva hewan uji yang sembuh pada kelompok topikal aplikasi dadih (8 ekor), kontrol positif (8 ekor) dan kontrol negatif (3 ekor). hasil uji kruskal wallis (p 0,04) secara signifikan menunjukkan adanya perbedaan efektivitas dari ketiga kelompok tersebut dan analisis post hoc dengan uji mann whitney (p 1,00) menunjukkan efektivitas yang sama pada kelompok topikal aplikasi dadih dan kontrol positif. dapat disimpulkan bahwa topikal aplikasi dadih memiliki efek signifikan dalam penyembuhan inflamasi gingiva yang setara dengan kontrol positif. kata kunci: dadih; inflamasi gingiva; probiotik; herbal abstract curd is a product of buffalo milk fermentation using bamboo and is a traditional product of west sumatra. it contains lactobacillus casei, which is a probiotic that could inhibit the attachment of pathogenic bacteria, damage the toxin receptors, and destroy the toxin. the antioxidants and probiotic contents can overcome inflammation. this study aims to determine the effectiveness of the topical application of curd on gingival inflammation. this study is an experimental study using a wistar rat test. thirty-three wistar strain rats that experienced gingival inflammation upon being traumatically induced were divided into three groups. group 1 was treated with topical application of curd, while group 2 was positive control with kenalog application, and group 3 was negative control using a placebo. clinical changes were evaluated with the silness and the loe gingival index by observing the healing process of gingival inflammation for eleven days. the result showed that the number of the recovered rats of gingival test in the group of topical application of curd was 8 rats, while positive control group showed 8 recovered rats, and negative control group showed 3 rats. the kruskal wallis test results (p 0.04) significantly showed the differences in the effectiveness among the three groups while the post hoc analysis with the mann whitney test (p 1.00) showed the same effectiveness between the group of topical application of curd and the positive control group. it can be concluded that the topical application of curd has a significant effect in the healing process of gingival inflammation, which is equivalent to the positive control. keywords: curd, gingival inflammation, probiotics, herb * corresponding author, e-mail: valend888@gmail.com vanny fergiana mulyadi, nurul syifa putri wesha, satria yandi, valendriyani ningrum | efektivitas topikal aplikasi dadih terhadap inflamasi gingiva 2 pendahuluan inflamasi gingiva adalah peradangan pada gingiva yang disebabkan mikroorganisme yang membentuk suatu koloni pada permukaan gigi.1 tanda-tanda klinis perubahan warna lebih merah dari normal, gusi bengkak dan berdarah pada tekanan ringan.2,3 etiologi inflamasi gingiva yang merupakan bagian dari penyakit periodontal adalah adalah bakteri. interaksi ekologis antara inang dan mikroba menentukan tingkat keparahan penyakit. tidak seperti banyak penyakit menular, penyakit periodontal tampaknya merupakan infeksi yang dimediasi oleh pertumbuhan berlebih dari organisme komensal, bukan oleh perolehan patogen eksogen.4 prevalensi inflamasi pada gingiva sebanyak 93.9%.5 perawatan inflamasi gingiva yaitu menghilangkan plak dan kalkulus dengan scalling, memperbaiki faktor retensi plak dan perawatan medikasi dengan obat antiinflamasi dan antibiotik. obat-obatan anti inflamasi memiliki efek samping seperti reaksi alergi, perdarahan saluran cerna, hipertensi, gastritis, gagal ginjal, miopati, osteoporosis dan efek samping pada organ kardiovaskular.6,7 pengobatan dari bahan alami yang potensial masih sangat berpeluang untuk dikembangkan untuk meminimalisir efek samping tersebut, salah satu bahan tersebut adalah dadih. dadih merupakan produk fermentasi susu kerbau yang difermentasikan di dalam tabung bambu dan berasal dari sumatera barat. proses fermentasi dilakukan oleh bakteri asam laktat yang secara alami ada di dalam susu kerbau.8 dadih mengandung 16 jenis asam amino dari 20 asam amino yang ada di alam. bakteri asam laktat yang telah berhasil diisolasi dalam dadih di identifikasi sebanyak 36 strain.9 kandungan bakteri asam laktat di dalam dadih mempunyai kemampuan dalam memproduksi substrat antimikroba yang bersifat antagonistik terhadap bakteri patogen kususnya bakteriosin. bakteri asam laktat pada dadih yang paling banyak dijumpai adalah lactobacillus casei. selain itu, dadih berguna sebagai antioksidan dan antibakteri.10, 11 probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat meningkatkan kesehatan manusia dengan menghasilkan berbagai nutrisi untuk inangnya, mencegah infeksi yang dan memodulasi respons imunologis.12 probiotik mendatangkan banyak manfaat untuk kesehatan rongga mulut, secara langsung berinteraksi dengan plak gigi dan dapat mencegah terjadinya pembentukan plak dengan cara melawan dan terlibat dengan bakteri yang melekat secara langsung. probiotik secara tidak langsung dapat meningkatkan sistem imun.13 sehingga efektivitas dadih terhadap penyembuhan inflamasi gingiva menarik untuk diketahui. material dan metode penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan hewan uji tikus wistar. sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu penelitian ini sudah mendapatkan keterangan lulus kajian etik. sampel yang digunaan adalah tikus wistar sebanyak 33 ekor dan dibagi kedalam 3 kelompok yaitu 11 ekor untuk kelompok perlakuan dadih, 11 ekor untuk kelompok kontrol negatif dan 11 ekor untuk kelompok kontrol positif. tikus yang digunakan dengan kriteria sehat (gerak aktif, rambut tidak kusam, rontok, atau botak), memiliki berat badan 180 – 200 gram, berusia sekitar 2-3 bulan. pembuatan pasta dadih dengan cara memanaskan susu kerbau dengan suhu 70oc selama 20-30 menit. dinginkan susu kerbau dalam suhu 30oc. bersihkan bagian dalam tabung bambu terlebih dahulu, kemudian masukkan susu kerbau yang telah didinginkan kedalam tabung bambu. tutup dengan daun pisang dan ikat dengan karet gelang. simpan pada suhu ruang 2 x 24 jam. induksi inflamasi gingiva dilakukan secara traumatik yang dimulai dengan melakukan tindakan intramuskular pada otot paha insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 3 belakang dengan dosis 0,2 ml / 200 gram berat bb. selanjutnya, semua tikus mendapatkan pengolesan h2o2 35% pada gingiva 2 kali sehari selama 3 hari berturutturut hingga terjadi inflamasi gingiva. tahap penelitian dimulai dengan membagi tikus wistar kedalam 3 kelompok yaitu kelompok yang diberi dadih sebagai kelompok perlakuan, kenalog in orabase sebagai kelompok kontrol positif dan plasebo sebagai kelompok kontrol negatif. tahap penelitian selanjutnya dilakukan dengan mengoleskan dadih, kenalog dan plasebo dengan cotton bud 1 kali tiap 5 menit sebanyak 3 kali sehari pada masingmasing kelompok tikus wistar. pengamatan jumlah tikus yang sembuh diamati hingga hari ke-11. penyembuhan inflamasi gingiva dapat dilihat secara klinis dengan mengamati perubahan gingiva dari inflamasi menjadi normal yaitu perubahan warna yang tadinya merah (rubor) menjadi pink coral dan berkurangnya bengkak. perubahan klinis dievaluasi dengan indeks gingiva loe dan silness (1963).14 hasil jumlah tikus wistar yang sembuh pada hari ke-11 pada kelompok perlakuan dadih adalah sebanyak 8 ekor, kelompok kontrol positif sebanyak 8 ekor dan kelompok kontrol negatif tikus sembuh sebanyak 3 ekor (grafik 1). grafik 1. jumlah tikus wistar yang sembuh uji normalitas menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal, sehingga selanjutnya dilakukan uji kruskal wallis. hasil uji kruskal wallis menunjukkan hasil p = 0,04 (p < 0,05) yang artinya terdapat perbedaan efektivitas penyembuhan inflamasi gingiva pada ketiga kelompok perlakuan tersebut. analisis statistik selanjutnya dilanjutkan dengan uji mannwhitney untuk mengetahui perbedaan antar dua kelompok. hasil analisis statistik memperlihatkan nilai p = 1,00 yang bermakna tidak ada perbedaan pada kelompok topikal aplikasi dadih dan kenalog. berdasarkan hasil analisis tersebut maka dadih dan kenalog secara statistik memiliki efektivitas yang sama. pembahasan efektivitas dadih sama dengan kontrol positif menunjukkan bahwa dadih berpeluang dikembangkan menjadi salah satu bahan terapi alternatif dalam penyembuhan inflamasi gingiva. hal tersebut dikarenakan peran dari probiotik yang terkandung pada dadih dapat berperan sebagai antibiotik, anti-inflamasi dan mempercepat penyembuhan luka.15, 16 pengobatan penyakit periodontal dengan antibiotik konvensional belum efektif, sehingga diperlukan pengobatan alternatif yang mengandung peptida dan protein antimikroba, yang dapat bersifat bakterisidal dan memblokir efek inflamasi dari toksin bakteri.17 sementara itu, probiotik yang terkandung pada dadih mampu memodulasi sistem kekebalan inang, menghambat aktivitas bakteri patogen, atau bertindak terhadap produk mikroba.18, 19 bakteriosin, yang diproduksi oleh probiotik merupakan peptida antimikroba yang menunjukkan potensi signifikan terhadap bakteri lain, stabil dan dapat memiliki aktivitas pada spektrum sempit atau luas.20 selain memiliki mekanisme melawan patogen, probiotik memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidup pada organ, meningkatkan penyerapan dan kinerja nutrisi.21, 22 hasil penelitian ini juga didukung oleh sebuah studi yang menyatakan bahwa pada probiotik memiliki mekanisme antiinflamasi melalui penekanan signal sitokin sehingga mampu melawan infeksi.23 pengurangan sitokin proinflamasi dalam 8 8 33 3 8 0 5 10 dadih kenalog placebo j u m l a h t i k u s y a n g s e m b u h sembuh tidak sembuh vanny fergiana mulyadi, nurul syifa putri wesha, satria yandi, valendriyani ningrum | efektivitas topikal aplikasi dadih terhadap inflamasi gingiva 4 menjadi bukti pendekatan probiotik memerangi peradangan di rongga mulut.24 produk probiotik yang telah dikembangkan dalam bentuk susu atau obat kumur mampu mengurangi efek peradangan gingiva yang diinduksi plak.25, 26 kemampuan dadih dalam mempercepat penyembuhan luka pada studi ini didukung oleh penelitian baquerizo dkk. (2014),27 bahwa salah satu sifat probiotik mampu membantu penyembuhan luka. studi khodaii dkk. (2019),28 menjelaskan bahwa terjadi penurunan aktivitas inflamasi, peningkatan jumlah kolagen secara signifikan, dan kecepatan epitelisasi pada kelompok hewan uji yang diberi perlakuan berupa salep probiotik. kesimpulan pemberian topikal aplikasi dadih dapat dikembangkan menjadi bahan terapi alami dalam penyembuhan inflamasi gingiva. penelitian ini masih perlu dikembangkan melalui pendekatan ilmiah lebih lanjut. daftar pustaka 1. cobb, c.m. microbes, inflammation, scaling and root planing, and the periodontal condition. j. dent. hyg. 2008; 82(suppl 3): 4-9. 2. rajendran a, sivapathasundharam b. shafer's textbook of oral pathology. elsevier health sciences; 2014. 3. carvajal p, gómez m, gomes s, costa r, toledo a, solanes f, et al. prevalence, severity, and risk indicators of gingival inflammation in a multicenter study on south american adults: a cross sectional study. j appl oral sci. 2016; 24(5): 524-34. 4. cekici a, kantarci a, hasturk h, van dyke te. inflammatory and immune pathways in the pathogenesis of periodontal disease. periodontol 2000. 2014; 64(1): 57-80. 5. li y, lee s, hujoel p, su m, zhang w, kim j, et al. prevalence and severity of gingivitis in american adults. am j dent. 2010; 23(1): 9-13. 6. wongrakpanich s, wongrakpanich a, melhado k, rangaswami j. a comprehensive review of nonsteroidal anti-inflammatory drug use in the elderly. aging dis. 2018; 9(1): 143-50. 7. roshi d, toçi e, burazeri g, schröderbäck p, malaj l, brand h. users' knowledge about adverse effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs in tirana, albania. mater sociomed. 2017; 29(2): 138-42. 8. rizqiati, h., sumantri, c., noor, r. r., damayanthi, e., & rianti, e. i. isolation and identification of indigenous lactic acid bacteria from north sumatra river buffalo milk. jurnal ilmu ternak dan veteriner, 2015; 20(2): 87-94. 9. sunarlim, r. potensi lactobacillus sp. asal dari dadih sebagai starter pada pembuatan susu fermentasi khas indonesia. buletin teknologi pasca panen, 2016; 5(1): 69-76. 10. kodariah, r., armal, h. l., wibowo, h., & yasmon, a. the effect of dadih in balb/c mice on pro-inflammatory and anti-inflammatory cytokine productions. journal of the medical sciences (berkala ilmu kedokteran), 2019; 51(4): 292-300. 11. hasim, m. a., & andrianto, n. fatimah and faridah dn. antioxidant production of lactic acid bacteria isolated from indonesian traditional fermented buffalo milk (dadih). iosr journal of pharmacy and biological sciences, 2017; 12(5): 76-82. 12. markowiak p, śliżewska k. effects of probiotics, prebiotics, and synbiotics on human health. nutrients. 2017; 9(9): 1021. 13. haukioja a. probiotics and oral health. eur j dent. 2010; 04(03): 348-355. 14. löe h, silness j. periodontal disease in pregnancy i. prevalence and severity. acta odontol scand. 1963; 21(6): 53351. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 5 15. rodrigues kl, caputo lrg, carvalho jct, evangelista j, schneedorf jm. antimicrobial and healing activity of kefir and kefiran extract. int j antimicrob agents . 2005; 25(5): 404-8. 16. quigley emm. therapies aimed at the gut microbiota and inflammation: antibiotics, prebiotics, probiotics, synbiotics, anti-inflammatory therapies. gastroenterol clin n.. 2011; 40(1): 207-222. 17. gorr s-u, abdlhosseini m. antimicrobial peptides and periodontal disease. j clin periodontol . 2011; 38(s11): 126-141. 18. oelschlaeger ta. mechanisms of probiotic actions – a review. int. j. med. microbiol. 2010; 300(1): 57-62. 19. jones se, versalovic j. probiotic lactobacillus reuteribiofilms produce antimicrobial and anti-inflammatory factors. bmc microbiology. 2009; 9(1): 35. 20. cotter pd, ross rp, hill c. bacteriocins — a viable alternative to antibiotics? nat. rev. microbiol. 2013; 11(2): 95-105. 21. mcfarland lv. evidence-based review of probiotics for antibiotic-associated diarrhea and clostridium difficile infections. anaerobe. 2009; 15(6): 27480. 22. edens, f. w. an alternative for antibiotic se in poultry: probiotics. braz. j. poult. sci. 2003; 5(2): 75-97. 23. lee js, paek ns, kwon os, hahm kb. anti-inflammatory actions of probiotics through activating suppressor of cytokine signaling (socs) expression and signaling in helicobacter pylori infection: a novel mechanism. j gastroenterol hepatol. 2010; 25(1): 194-202. 24. twetman s, derawi b, keller m, ekstrand k, yucel-lindberg t, stecksén-blicks c. short-term effect of chewing gums containing probiotic lactobacillus reuteri on the levels of inflammatory mediators in gingival crevicular fluid. acta odontol scand. 2009; 67(1): 19-24. 25. slawik s, staufenbiel i, schilke r, nicksch s, weinspach k, stiesch m, et al. probiotics affect the clinical inflammatory parameters of experimental gingivitis in humans. eur j clin nutr. 2011; 65(7): 857-863. 26. noordin, k., & kamin, s. the effect of probiotic mouthrinse on plaque and gingival inflammation. ann dent um. 2007; 14(1): 19-25. 27. baquerizo nole kl, yim e, keri je. probiotics and prebiotics in dermatology. j am acad dermatol. 2014; 71(4): 814-821. 28. khodaii, z., afrasiabi, s., hashemi, s. a., ardeshirylajimi, a., & natanzi, m. m. accelerated wound healing process in rat by probiotic lactobacillus reuteri derived ointment. j basic clin physiol pharmacol. 2019; 30(3). insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 25 case report periodontitis kronis dan penatalaksaan kasus dengan kuretase treatment of chronic periodontitis with curettage ika andriani1,*, firda alima chairunnisa2 1 departemen periodonsia, program studi kedokteran gigi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: october 17th, 2018; reviewed date: november 4th, 2018; revised date: february 24th, 2019 ; accepted date: march 12nd, 2019 doi : 10.18196/di.8103 abstrak periodontitis adalah penyakit multifaktorial yang menyebabkan peradangan pada jaringan periodontal. secara umum penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri plak pada permukaan gigi, dimana plak berupa lapisan tipis biofilm yang berisi kumpulan mikroorganisme patogen seperti porphyromonas gingivalis, actinobacillus actinomycetemcomitans, prevotela intermedia, tannerella forsythia serta fusobacterium nucleatum yang merupakan deposit lunak. eliminasi bakteri dengan kuretase akan menurunkan peradangan periodontal. tujuan laporan kasus ini adalah menjelaskan respon imun terhadap penyakit periodontitis kronis serta penatalaksanaan kasus dengan kuretase. kasus seorang pasien laki-laki berusia 52 tahun mengeluhkan gigi kotor dan gusi sering berdarah terutama ketika menyikat giginya. pemeriksaan intra oral gingiva memerah, tepi bulat dan mengkilap, bleeding on probing positif pada semua regio, probing depth gigi 18-16 rata-rata sebesar 5 mm, terjadi resesi gingiva pada palatal gigi 18 sebesar 4 mm, resesi gingiva 17 pada bagian bukal sebesar 5 mm dan resesi gingiva 16 pada bagian bukal sebesar 6 mm. hasil pengukuran oral hygiene index sebesar 8,3 (kategori buruk) dan plak indeks sebesar 99%. pemeriksaan radiografis menunjukkan adanya kerusakan tulang alveolar arah horisontal pada gigi 15, 16, 17, 18. penatalaksanaan kasus dilakukan scaling, root planing dan kuretase. kesimpulan dari laporan kasus ini yaitu bakteri plak merupakan penyebab primer dari penyakit periodontal. perawatan dengan kuretase untuk mengurangi dan menghilangkan penyebab peridontitis serta memperbaiki perlekatan dan merangsang terbentuknya perlekatan baru. kata kunci: kuretase; peridontitis kronis abstract periodontitis is a multifactorial disease that causes inflammation of the periodontal tissue. in general, periodontal disease is caused by plaque bacteria on the tooth surface. plaque is a thin layer of biofilm containing a deposition of pathogenic microorganisms, such as porphyromonas gingivalis, actinobacillus actinomycetemcomitans, prevotela intermedia, tannerella forsythia, and fusobacterium nucleatum, which are soft deposits. bacterial elimination with curettage will reduce periodontal inflammation. the purpose of this case report was to explain the immune response to chronic periodontitis and the management of the cases with curettage. the case reported a 52-year-old male patient who complained of dirty teeth and gums, which often bleeding, especially when brushing his teeth. examination of the intraoral gingiva was red, round, and shiny edge; bleeding on positive probing in all regions; probing depth of teeth 18-16 on average by 5 mm; gingival recession in tooth palatal 18 by 4 mm; gingival recession 17 on the buccal part as large as 5 mm; and 16 gingival recession in the buccal section of 6 mm. the results of the oral hygiene index measurement were 8.3 (bad category), and index plaque was 99%. radiographic examination showed horizontal alveolar bone damage in teeth 15, 16, 17, and 18. management of the case was performed by scaling, root planing, and curettage. it could be concluded that plaque bacteria is the predominant factor of periodontal disease. treatment with curettage can reduce and eliminate the causes of periodontitis, improve attachment, and stimulate the formation of new attachments. keywords: curettage; chronic periodontitis * corresponding author, e-mail: ikaandriani@yahoo.com ika andriani, firda alima chairunnisa | periodontitis kronis dan penatalaksaan kasus dengan kuretase 26 pendahuluan periodontitis merupakan faktor resiko yang berperan terhadap gangguan fungsi pengunyahan dan hilangnya gigi, kelainan yang sering dijumpai dan terjadi pada manusia.1 perawatan periodontitis dengan initial fase therapy yang terdiri dari scaling, root planing, peningkatan oral hygiene, bahkan mungkin diperlukan penyesuaian oklusal.2 secara umum penyakit periodontal disebabkan oleh bakteri plak pada permukaan gigi, dimana plak berupa lapisan tipis biofilm yang berisi kumpulan mikroorganisme patogen seperti porphyromonas gingivalis, actinobacillus actinomycetemcomitans, prevotela intermedia, tannerella forsythia serta fusobacterium nucleatum yang merupakan deposit lunak.1 gingivitis dan poket gingiva terjadi karena rusaknya perlekatan gingiva (loss of gum attachment) dengan akar gigi menandakan adanya periodontitis ringan. kerusakan jaringan karena infeksi jaringan periodontal mengandung bahan-bahan toksik (berasal dari bakteri maupun respon inflamasi). bakteri secara langsung dapat merusak jaringan inang yang dapat menghasilkan bermacam-macam toksin (terutama protease). respons inflamasi yang terjadi secara masif dapat merusak jaringan serta menghasilkan bahan-bahan toksik prooksidatif. respons inflamasi menyebabkan keadaan inflamasi akut yang mengakibatkan kerusakan jaringan.3 sedangkan kerusakan progresif ligamen periodontal dan tulang alveolar (alveolar bone loss) menyebabkan gigi goyang dan mudah tanggal menandakan periodontitis parah. kebersihan mulut yang jelek ditandai adanya timbunan plak bakterial pada karang gigi subgingival berkorelasi positif dengan keparahan periodontitis. inflamasi merupakan barisan pertama pada sistem pertahanan tubuh terhadap jejas bakterial. netrofil menandakan respon fagosit terutama untuk memfagositosis dan menghancurkan antigen bakterial. netrofil memproduksi bahan-bahan toksik prooksidatif seperti oksidan/ radikal bebas serta enzim-enzim hidrolitik dan proteolitik yang merupakan mekanisme penghancuran bakteri. bahanbahan untuk membunuh bakteri ini juga dapat merusak molekul-molekul inang dan menyerang dan di sekitar daerah inflamasi.3 netrofil sebagai respons terhadap infeksi bakteri menghasilkan bahan-bahan toksik prooksidatif sebagai berikut. 1. reactive oxygen species (ros), berupa radikal bebas dan oksidan, seperti asam hipoklorit (hocl), radikal superoksid (o2-), radikal hidroksil (oh-), hidrogen dan peroksida (h2o2). bahan yang bersifat toksik ditujukan untuk mengoksidasi molekul bakterial. 2. fosfatase, proteolitik dan glukorodinase, lipase dan arilsulfatase merupakan enzim-enzim yang berasal dari lisosom. asam nukleat, fosfolipid, dan senyawa-senyawa yang mengandung fosfat pada bakteri diserang oleh enzim fosfatase. enzim proteolitik menghidrolisis glukoprotein bakteri seperti katepsin dan lisozim. glukoronidase memiliki peran untuk mencerna karbohidrat. lipase berperan untuk mencerna lipid dan yang dapat menghancurkan senyawa aromatik mengandung sulphur pada bakteri merupakan enzim arilsulfatase. 3. metal (zn) yaitu enzim matrix metalloproteinases (mmps) terkandung dalam enzim proteinase. mediator proinflamatori (il-1 dan tnfα) yang menginduksi produksi mmps dihasilkan oleh netrofil yang merupakan stimulasi bakterial. enzim utama penghancur matrik ekstraselular yang utamanya tersusun atas kolagen merupakan mmps.3 adanya poket sering menandakan sebagai adanya penyakit periodontal. proses bertambah dalamnya sulkus gingiva merupakan definisi poket periodontal dan gambaran klinis dari penyakit periodontal.2 kuretase tertutup dan flap kuretase merupakan prosedur untuk menghilangkan faktor-faktor etiogenik pada poket periodontal untuk menghilangkan adanya lesi. jaringan patogen dan debris yang berada dalam poket periodontal harus segera dihilangkan sehingga tidak meluas insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 27 menjadi lebih parah. kuretase merupakan perawatan alternatif poket periodontal.2 tujuan laporan kasus ini adalah menjelaskan respon imun terhadap penyakit periodontitis kronis serta penatalaksanaan kasus dengan kuretase. laporan kasus seorang pasien laki-laki berusia 52 tahun datang ke rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta mengeluhkan giginya terasa kasar dan kotor terutama pada gigi depan bawahnya. keluhan tersebut di rasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. pasien belum pernah datang kedokter gigi untuk melakukan perawatan dan pembersihan karang gigi. pasien pernah mengeluhkan gusinya mudah berdarah ketika sikat gigi. pasien menyikat gigi 2 kali sehari pada pagi dan sore hari namun cara menyikat gigi pasien masih salah. berdasarkan dari anamnesa yang telah dilakukan diketahui bahwa pasien tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik. pada pemeriksaan intraoral terdapat gingiva berwarna kemerahan, papila interdental membulat, tekstur unstippling, konsistensi lunak pada gingiva posterior bukal dan lingual rahang bawah, serta pada gingiva anterior palatal dan posterior bukal dan palatal rahang bawah, bleeding on probing positif pada semua regio, probing depth gigi 18-16 rata-rata sebesar 5 mm, terdapat resesi gingiva pada bagian bukal gigi 18 sebesar 4 mm, resesi gingiva 17 pada bagian bukal sebesar 5 mm dan resesi gingiva 16 pada bagian bukal sebesar 6 mm. hasil pengukuran oral hygiene index sebesar 8,3 (kategori buruk) dan plak indeks sebesar 99%. pemeriksaan radiografis menunjukkan adanya kerusakan tulang alveolar arah horisontal pada gigi 15, 16, 17, 18. diagnosis klinis kasus diatas adalah periodontitis kronis. prognosis baik karena pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, pasien memiliki motivasi yang tinggi untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya dan kooperatif. gambar 1. klinis rahang atas. gambar 2. klinis rahang bawah. gambar 3. klinis samping. dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terdapat gingiva berwarna kemerahan, mudah berdarah, hasil pengukuran oral hygiene index sebesar 8,3 (kategori buruk) dan plak indeks sebesar 99%. sehingga pada kunjungan pertama dilakukan skeling supragingiva, subgingiva ika andriani, firda alima chairunnisa | periodontitis kronis dan penatalaksaan kasus dengan kuretase 28 dan root planing. setelah dilakukan skeling kemudian dilakukan kuretase tanpa menggunakan anestesi lokal, kuretase dilakukan dengan menggunakan kuret gracey berwarna putih untuk permukaan bukal dan lingual gigi premolar dan molar, kuret gracey berwarna hitam untuk permukaan mesial gigi posterior dan kuret gracey berwarna coklat untuk permukaan distal gigi posterior. cara menggunakan kuret gracey yaitu masukkan kuret kedalam sulkus gingiva searah aksis gigi sampai dasar poket, dan bagian yang tajam dari kuret gracey diletakkan pada daerah epitel sulkuler, kemudian lakukan pengerokan beberapa kali sampai jaringan granulasi terangkat semua dan tidak terdapat jaringan granulasi lagi. gambar 4. paska scalling dan kuretase. gambar 5. paska scalling dan kuretase rb kemudian dilakukan irigasi dengan menggunakan povidon iodin dan salin. pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya dengan cara menggosok gigi minimal 2 kali sehari setiap pagi dan malam hari sebelum tidur, berkumur setiap selesai makan, makan – makanan yang bergizi dan perbanyak makan buah serta kontrol 2 minggu paska dilakukan perawatan. pada saat dilakukan kontrol yaitu 2 minggu setelah dilakukan perawatan pasien sudah tidak ada keluhan gusi mudah berdarah, dan pasien merasa lebih nyaman setelah dilakukan perawatan. dari pemeriksaan intraoral terdapat perbaikan gingiva berwarna merah muda, papila interdental runcing, tekstur stippling, konsistensi kenyal, pada gingiva anterior labial rahang atas, serta terdapat perbaikan gingiva posterior bukal kanan rahang atas. hasil pengukuran oral hygiene index sebesar 2,1 (kategori baik) dan plak indeks mengalami penurunan yaitu dari 99% menjadi 72%. pembahasan periodontitis disebabkan oleh bakteri yang merupakan penyakit infeksi pada jaringan penyangga gigi. periodontitis juga menyebabkan kerusakan tulang alveolar, ligamen periodontal, sehingga membentuk poket, menyebabkan resesi atau keduanya.4 penyakit periodontal sendiri memiliki etiologi dan patogenesis yang multifaktorial, adanya bakteri patogen yang berperan tidak cukup menyebabkan terjadinya kelainan.5 periodontitis kronis disebabkan oleh bakteri gram negatif, bakteri anaerob dan bakteri mikroaerofilik yang terdapat pada daerah subgingiva dan menyebabkan adanya prostat prostaglandin pro-inflamasi dan sitokinin yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada jaringan periodontal.6 bakteri patogen penyebab terjadinya penyakit periodontal seperti aggregatibacter actinomycetemcomitan treponemadenticola, dan tannerella insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8 (1), mei 2019 29 forythia dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi pada jaringan periodontal.7, 8 respon imun dan inflamasi yang datang penting dalam perkembangan penyakit periodontal bersifat merusak jaringan dan juga dipengaruhi oleh lingkungan, faktor genetik dari penderita dan pola hidup.9 sistem imun bertujuan melindungi integritas dan individu serta mencegah invasi organisme dan zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya yang merupakan sistem koordinasi respons biologi.10 bakteri plak merupakan penyebab primer dari penyakit periodontal. hasil dari produk bakteri dapat mengubah metabolisme dan menghambat pertumbuhan dari jaringan sel inang. sistem imun melibatkan interaksi yang kompleks antara molekul regulasi dan sel. kerusakan jaringan diakibatkan oleh produk-produk dari bakteri. sel darah putih atau leukosit mempunyai peranan penting terhadap respons keradangan. setiap bahan infeksius yang mungkin ada, leukosit menyediakan pertahanan yang kuat dan cepat. pada infeksi yang disebabkan bakteri maupun mikroba lain yang infeksius dan toksik, dapat dijumpai peningkatan leukosit. pada radang akut leukosit yang berperan yaitu neutrofil dan monosit, sedangkan pada radang kronik yang berperan yaitu makrofag dan limfosit. neutrofil merupakan pertahanan awal saat terjadinya inflamasi , yang menyebabkan peningkatan pada jumlah neutrofil. peranan neutrofil sangat penting dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi bakterial. neutrofil merupakan fagosit utama terhadap bakteri ekstraseluler dalam sistem pertahanan tubuh. peningkatan neutrofil, terjadi karena adanya peradangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri. neutrofil polimorfonuklear merupakan sel pertama yang muncul dalam jumlah besar pada jam pertama terjadinya peradangan. hal ini disebabkan karena neutrofil terdapat dalam jumlah banyak dalam sirkulasi darah dan juga adanya mobilitasnya yang tinggi. selain itu, pada awal reaksi radang yang telah aktif, neutrofil merupakan faktor yang mempengaruhi. dengan proses yang disebut fagositosis, neutrofil memiliki kemampuan untuk bergerak aktif seperti amoeba dan mampu menelan berbagai zat. proses fagositosis dibantu oleh zat-zat opsonin tertentu yang membuatnya lebih mudah dimasukkan oleh leukosit dan melapisi obyek untuk dicernakan.11 mekanisme terjadinya pertahanan tubuh untuk melawan bakteri pada plak gigi dan yang terdapat pada epithelium junctional dan sulkus gingiva adalah ketika neutrofil mengeluarkan enzim lisosom dan granulasi seperti lisozim, elastase, kolagenase, myeloperoxidase selama terjadi fagositosis atau setelah nekrosis sehingga menyebabkan kerusakan jaringan sekitar.12 perawatan periodontitis kronis dengan kedalaman poket 5 mm, keadaan jaringan terinflamasi, non fibrotik, oedematous, kontur gingiva membulat seperti kasus diatas dilakukan perawatan kuretase untuk menangani keadaan tersebut. perawatan kuretase bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan terjadinya poket periodontal serta memperbaiki perlekatan dan merangsang terbentuknya perlekatan baru.13 prosedur perawatan kuretase dilakukan menggunakan kuret gracey untuk gigi posterior, bagian yang tajam dari kuret gracey di arahkan pada daerah epitel sulkuler kemudian dilakukan pengerokan pada sepanjang jaringan lunak sehingga jaringan granulasi seperti fibroblastik dan proliferasi angioblastik, serta kalkulus yang berisi akumulasi bakteri dapat terangkat.2 setelah dilakukan perawatan kuretase akan terjadi proses perbaikan pada epitel sulkuler yang berlangsung antara 2 sampai 7 hari, sedangkan untuk perbaikan epitel cekat terjadi selama 5 hari, pengerutan margin gingiva terjadi selama 1 minggu dan penyembuhan sempurna terjadi antara 2 minggu atau 3 minggu setelah kuretase. penyembuhan tersebut dipengaruhi oleh ika andriani, firda alima chairunnisa | periodontitis kronis dan penatalaksaan kasus dengan kuretase 30 beberapa faktor seperti faktor sistemik, sistem kekebalan tubuh pasien, dan kepedulian pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya.13 kesimpulan bakteri plak merupakan penyebab primer dari penyakit periodontal. penyakit periodontal sendiri memiliki etiologi dan patogenesis yang multifaktorial, adanya bakteri patogen yang berperan tidak cukup menyebabkan terjadinya kelainan. pada infeksi yang disebabkan bakteri maupun mikroba lain yang infeksius dan toksik, dapat dijumpai peningkatan leukosit. pada radang akut leukosit yang berperan yaitu neutrofil dan monosit, sedangkan pada radang kronik yang berperan yaitu makrofag dan limfosit. penanganan periodontitis kronis dengan melakukan perawatan kuretase bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan terjadinya poket periodontal serta memperbaiki perlekatan dan merangsang terbentuknya perlekatan baru. daftar pustaka 1. ermawati, tantin. periodontitis dan diabetes melitus. stomatognatic. j.k.g unej. 2012; 9(3): 152 – 154. 2. dinyati, m., andi m a. kuretase gingiva sebagai perawatan poket periodontal. makassar dent j. 2016; 5(2): 58-64. 3. susilawati, i dewa ayu. periodontal infection is a “silent killer”. stomatognatic. j.k.g unej. 2011; 8(1): 21-26. 4. carranza, fa. clinical periodontology. edisi ke-9. philadelphia: wb saunders. pp160183, 2006; 349-350. 5. kuswandani, o. sandra. academic stress influences periodontal health condition and interleukin-1 beta level. journal of dentistry indonesia, 2014; 21(1): 16-20. 6. armitage, gc. periodontal diagnoses and classification of periodontal diseases. periodontology, 2000; 34: 921. 7. gumus, pinar. the role of tlrs in the pathogenesis of periodontal diseases. journal of dental science and therapy, 2016; 1(1): 3-6. 8. hajishengallis, g., john, dl. microbial manipulation of receptor crosstalk in innate immunity. national institute of health, 2011; 11(3): 187200. 9. ekaputri, s & masulili, s.l.c. cairan sulkus gingiva sebagai indikator keadaan jaringan periodontal. maj ked.gr., 2010; 17(1): 81-86. 10. munasir, z., respons imun terhadap infeksi bakteri. sari pediatri, 2001; 2(4): 193 – 197. 11. nuarita, r., praharani, d., kusumawardani, b., pengaruh penyakit periodontal selama masa kehamilan terhadap jumlah total leukosit dan hitung jenis leukosit. stomatognatic j.k.g unej, 2012; 9 (3): 125 – 130. 12. kornman, ks. mapping the pathogenesis of periodontitis: a new look. j periodontol. 2008; 79(8): 1560-1568. 13. witjaksono, w., roselinda, a., tp, kannan. clinical evaluation in periodontitis patient after currettage. dent j (majalah kedokteran gigi), 2006; 39(3): 102-106. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 53 literature review biokompatibilitas material titanium implan gigi titanium biocompatibility on dental implant cut yulian fitriani*, awaluddin wibawa departemen bedah mulut dan maksilofasial, fakultas kedokteran gigi, universitas indonesia, jalan salemba raya no.4 jakarta pusat, indonesia. received date: october 7th, 2019; reviewed date: october 14th, 2018; revised date: november 8th, 2019; accepted date: november 12nd, 2019 doi : 10.18196/di.8208 abstrak titanium merupakan bahan material yang sudah umum digunakan dalam kedokteran gigi, contohnya sebagai kawat dan implan gigi. implan gigi sudah banyak digunakan tidak hanya untuk kebutuhan penggantian gigi yang hilang, akan tetapi juga banyak digunakan untuk mendukung rekonstruksi kraniofasial dan untuk kebutuhan perawatan ortodonsi. pemilihan bahan dasar titanium diyakini karena memiliki sifat biokompatibilitas yang baik. beberapa studi menunjukkan bahwa ketika titanium ditanamkan dalam tulang, jaringan sekitar akan bereaksi terhadap titanium pada tahap awal, dan kekuatan ikatan tulangnya besar. pemasangan implan gigi berbahan dasar titanium mengaktivasi sistem imun yang menimbulkan reaksi antara host dan bahan biomaterial. pada proses osseointegrasi terjadi identifikasi dari badan asing titanium oleh sistem imun dan berkembangnya lingkungan yang mendukung proses pembentukan tulang. hingga saat ini titanium dipercaya masih efektif digunakan sebagai bahan dasar implan gigi. kata kunci: biokompatibilitas; implan; osseointegrasi; titanium abstract titanium has been well-known as a commonly used material in dentistry, such as for dental braces and implants. a dental implant has been applied in dentistry not only for prosthetic reasons but also for craniofacial reconstruction and orthodontic needs. titanium has been commonly chosen due to its good biocompatibility properties. several studies showed that when titanium was implanted into the bone, surrounding soft tissues reacted in the first stage and showed a strong bone bonding. titanium-based dental implant placement activates the immune system that induces reaction between host and biomaterial. on the osseointegration process, the immune system identifies titanium and then supports the bone formation process. today, titanium is still deemed as one of the most effective biomaterials for dental implants. keywords: biocompatibility; implant; osseointegration; titanium pendahuluan saat ini, alat-alat kedokteran yang terbuat dari bahan logam sudah banyak beralih menggunakan keramik atau polimer karena banyaknya inovasi pada kedua bahan tersebut serta biokompatibiltas yang sangat baik. meskipun demikian, lebih dari * corresponding author, e-mail: cut.yulian@gmail.com 70% alat alat implan sampai saat ini masih menggunakan logam sebagai bahan utamanya. hal ini karena logam masih diyakini memiliki kekuatan yang cukup baik. teknologi pemasangan implan sudah seringkali digunakan dalam bidang kedokteran gigi. pengunaannya seringkali cut yulian fitriani, awaluddin wibawa | biokompatibilitas material titanium implan gigi 54 dimanfaatkan untuk menggantikan gigi yang hilang, baik hilang seluruhnya maupun sebagian.1 lebih dari 30 tahun, implan gigi sudah banyak digunakan tidak hanya untuk kebutuhan penggantian gigi yang hilang, akan tetapi juga banyak digunakan untuk mendukung rekonstruksi kraniofasial dan untuk kebutuhan perawatan ortodonsi.2 secara khusus, sampai saat ini implan gigi masih mengandalkan bahan titanium, baik titanium murni maupun paduannya dengan logam lain sebagai bahan utamanya. ketahanannya terhadap korosi serta kekuatannya masih menjadi alasan mengapa titanium ini masih digunakan sebagai bahan utama implan.1 penggunaan implan sebagai pengganti gigi yang ditanamkan secara invasif ke dalam tulang alveolar rahang tentunya akan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi karena implan tersebut dianggap sebagai benda asing yang menginvasi tubuh. setelah bahan ditanamkan, reaksi segera terjadi antara jaringan hidup dan permukaan material. dengan kata lain, reaksi pertama akan mempengaruhi biokompatibilias bahan.2 kompatibilitas permukaan dan kimia yang baik terhadap jaringan diketahui berdasarkan adanya bukti substansial dari berbagai penelitian dasar yang telah dilaksanakan. namun, mekanisme biokompatibilitas titanium yang sangat baik belum sepenuhnya dipahami, sehingga kajian mengenai titanium sebagai bahan implan gigi serta komponenkomponen biokompatibilitas dari material titanium perlu untuk diulas. pembahasan biokompatibilitas merupakan kemampuan adaptasi suatu material pada suatu jaringan dengan aplikasi yang spesifik.3 proses adaptasi tersebut digambarkan sebagai kondisi yang saling berhubungan antara biomaterial dengan lingkungan fisiologis dan tidak menimbulkan efek negatif lainnya.1 pertimbangan mendasar dari biokompatibilitas suatu material selalu berkaitan dengan respon antara jaringan dan sel host. selain itu juga dipertimbangkan efek-efek seperti sitotoksisitas, genotoksisitas, mutagenesitas, imunogenesitas dan karsinogenesitas.4 beberapa reaksi yang penting dalam biokompatibilitas adalah adsorpsi dari molekul, adsorpsi protein, adhesi sel, adhesi bakteri, aktivasi makrofag, pembentukan jaringan dan inflamasi.1 studi mengenai biokompatibiltas dianggap penting. suatu material yang ditanamkan dalam rongga mulut sebaiknya aman bagi jaringan mulut dan tidak menimbulkan efek berbahaya. komposisi material, struktur material, lokasi dan interaksi terhadap jaringan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi biokompatibilitas suatu material.1 terdapat lima klasifikasi tentang pemahaman biokompatibilitas, yaitu : (1) suatu keadaan tidak mengalami toksik sebagai efek dari sistem biologi host, (2) kemampuan material beradaptasi dengan respon imun dalam sebuah aplikasi spesifik, (3) membandingkan hasil respons material implan dengan efek samping respons jaringan host, (4) berhubungan dengan kemampuan biomaterial melakukan fungsinya tanpa menimbulkan kerusakan lokal dan efek sistemik terhadap host, (5) kapasitas adaptasi implan protesa dalam badan yang memiliki korelasi dengan pengaruh terhadap hormon, sel dan jaringan tanpa menimbulkan perubahan.5 komponen biokompatibilitas respons jaringan dan sel host pada biokompatibilitas material memiliki efek diantaranya: sitotoksisitas, genotoksisitas, mutagenesitas, karsinogenesitas dan imunogenesitas. kemampuan dalam merusak secara sistem biologi dan kimia merupakan gambaran pada toksisitas material. toksisitas lokal dapat menimbulkan reaksi alergi pada area aplikasi yang berhubungan dengan insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 55 kerusakan sel individu seperti nekrosis atau apoptosis.4 sedangkan kemampuan material memicu respon imun berhubungan dengan efek imunogenesitas.5 pada reaksi alergi, material tersebut menjadi pemicu interaksi respons imun dengan kehadiran mikroorganisme pada lokasi aplikasi. setiap subjek dapat berbeda kepekaannya. konsentrasi dari substansi material selain dapat menyebabkan reaksi alergi juga menyebabkan toksisitas pada sel dan jaringan.5,6 genotoksisitas memberikan gambaran perubahan yang terjadi pada sintesis protein dalam rangkaian perubahan sekuen basa pada sintesis dna. untuk menghindari kerusakan sel atau apoptosis secara berlanjut pada kondisi genotoksin dapat dilakukan terapi gen. mutagenesitas menggambarkan sebagai suatu perubahan sekuen kodon dan antikodon dalam sintesis dna sebagai akibat dari pertumbuhan sel dengan pembelahan yang tidak sesuai dan tumor maligna dilaporkan sebagai salah satu pemicu.4 sementara itu, karsinogenesitas merupakan keadaan sebagai hasil hasil dari beberapa mutasi.4 titanium titanium adalah sejenis logam yang memiliki sifat reaktif yang tinggi; secara pasif telah siap untuk membentuk lapisan pelindung oksida yang menjadikannya resisten terhadap korosi. sifat baik yang dimiliki titanium seperti: memiliki kekuatan tinggi, modulus elastisitas yang tinggi, dan kepadatan yang rendah serta ringan. sifat fisis, biologis dan mekanis dari titanium baik untuk digunakan sebagai material kedokteran gigi.6 titanium sebagai material implan gigi lebih dari 25 tahun, titanium telah digunakan baik untuk endoosseus maupun subperiosteal implan. bagian dari implan dibuat dari titanium murni maupun logam campuran titanium. baik titanium murni ataupun logam paduan titanium harus didasari sifat fisis, biologis dan mekanis yang baik untuk dapat digunakan sebagai implan gigi.1,2 titanium murni memiliki densitas yang rendah, yaitu sekitar 4,5 g/cm3 serta memiliki sifat mekanis yang bisa dianggap sesuai dengan tulang, yaitu modulus elastik rendah, ringan, high strength dan high resilient. paduan titanium memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan titanium murni. paduan tersebut menunjukkan sifat mekanis yang lebih baik dibandingkan titanium murni dengan terbentuknya solid solution yang berasal dari paduan logam lainnya. titanium murni juga memiliki titik leleh 1700c yang membuatnya sulit dileburkan. paduannya dengan logam lain dapat menurunkan temperatur leburnya sehingga akan lebih mudah berinteraksi dengan oksigen, hidrogen dan nitrogen.1 kelebihan implan gigi yang terbuat dari titanium yaitu: (1) biokompatibilitas yang sangat baik karena sifat resistensi korosinya tinggi dan lapisan oksida yang melindungi jaringan lunak maupun jaringan keras rongga mulut, (2) berat jenis rendah dan memiliki kekuatan tinggi, (3) dapat dipakai dalam jangka waktu yang sangat lama, (4) dapat bertahan pada suhu yang tinggi, (5) bersifat osseointegrasi, (6) tidak toksik dan tidak menimbulkan alergi, dan (7) dapat dicampur dengan logam lain. sedangkan kekurangan implan gigi dari titanium yaitu: (1) tidak dapat diwarnai (2) mahal, dan (3) bersifat paramagnet.7 biokompatibilitas titanium titanium merupakan logam yang mulai banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi terutama sebagai implan gigi. terdapat tiga jenis titanium yang digunakan adalah titanium murni / commercial pure titanium (cpti), logam campur titanium, serta titanium plasma sprayed (tps). titanium dipilih karena memiliki sifat biokompatibilitas yang baik disamping sifat fisik dan mekaniknya yang juga sangat baik.8,9 titanium juga menunjukkan sifat unik, yaitu osseointegrasi. osseointegrasi merupakan suatu proses pembentukan antar permukaan cut yulian fitriani, awaluddin wibawa | biokompatibilitas material titanium implan gigi 56 langsung antara implan dan tulang tanpa mempengaruhi jaringan lunak. tidak ada jaringan parut, tulang rawan atau serat ligamen antara tulang dan permukaan implan. kontak langsung dari tulang dan permukaan implan dapat diverifikasi secara mikroskopis.10 osseointegrasi menunjukkan karakter jaringan keras titanium yang sangat baik dan merupakan syarat material implan yang baik. titanium akan membentuk lapisan titanium oksida (tio2) yang pasif dan stabil terhadap pengaruh kondisi sekitarnya sehingga mempunyai resistensi yang baik terhadap korosi serta biokompatibilitas baik pada suhu ruang, suhu oral dan suhu tubuh. lapisan ini menahan korosi dan dapat melakukan selfhealing jika lapisan ini rusak. lapisan tio2 ini disebut juga passive layer karena tidak larut dalam tubuh dan mencegah terlepasnya ion-ion logam untuk bereaksi dengan jaringan tubuh. lapisan tio2 langsung terbentuk dalam rentang waktu 30 mili detik saat titanium terpapar oleh udara, air atau elektrolit lainnya.8 lapisan ini juga memudahkan proses osseointegrasi, yaitu proses penyatuan fungsi dan struktur antara titanium dengan permukaan tulang.6 dari segi sifat fisis, titanium memiliki termal ekspansi 50% lebih rendah dari stainless steel, memiliki konduktifitas termal yang rendah serta mudah dibentuk karena bersifat lunak.6,7 dari segi sifat mekanis, titanium murni memiliki berat 60% lebih ringan dari aluminium dan besi serta 50% lebih ringan dari tembaga.6 jika dibandingkan dengan stainless steel, titanium memiliki tensile strength yang sama, namun elastisitasnya lebih baik. titanium murni dan logam campur titanium juga memiliki kemampuan resistensi terhadap korosi yang sangat baik seperti platinum.6,7 penggunaan titanium murni sebagai implan gigi sangat baik karena biokompatibilitas yang baik, resisten terhadap korosi, kekuatan yang baik serta elastisitas modulus yang rendah.11 implan gigi juga menggunakan jenis logam campur titanium, yaitu ti-6al-4v dengan kandungan 90% titanium yang dicampur dengan logam lain seperti 6% aluminium, 4% vanadium dan 0,25% besi. logam campur titanium ini memiliki kekuatan 60% lebih kuat dari titanium murni namun membutuhkan biaya yang lebih tinggi.6 beberapa studi telah mengkonfirmasi biokompatibilitas dari bahan titanium ini, seperti studi tentang kemampuan pembentukan kalsium fosfat dalam cairan tubuh yang disimulasikan; evalusi aktivitas dan kalsifikasi osteoblas; evaluasi histologis dan molekular-biologis dari titanium yang ditanamkan pada hewan, seperti pembentukan tulang, rerata kontak tulang dan kekuatan ikatan tulang; dan beberapa hasil klinis. hal ini menunjukkan bahwa ketika titanium ditanamkan dalam tulang, jaringan sekitarnya bereaksi terhadap titanium pada tahap awal, dan kekuatan ikatan tulangnya besar. faktorfaktor penting yang mengatur kompatibilitas jaringan keras adalah adhesi dan proliferasi sel sel osteogenik karena kekasaran permukaan, tingkat keterbatasan dan sebagainya. pembentukan tulang terjadi melalui proses inflamasi, periode induksi osteoblas, dan periode pembentukan tulang. permukaan implan titanium dan reaksi antar permukaan titanium dengan tulang telah dikarakteristikkan untuk menjelaskan pentingnya morfologi permukaan, tingkat keterbatasan dan energi untuk osseointegrasi. ikatan antara logam dan jaringan lunak juga penting dalam penyangga implan gigi, jangkar implan ortodontik, perangkat transdermal dan sekrup fiksator eksternal. dalam perangkat ini, logam menembus dari dalam ke luar jaringan. oleh karena itu, ikatan yang tidak cukup baik dari jaringan lunak membuat invasi bakteri yang menghasilkan peradangan yang diikuti dengan implan yang mulai longgar, bergerak, dan bahkan mengalami kegagalan implantasi. dalam kasus implan gigi, peristiwa ini disebut peri-implantitis.12 telah diketahui bahwa titanium insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 57 menunjukkan kompatibilitas jaringan lunak yang baik hanya dalam kasus implantasi lengkap, sementara ikatan kimiawi jaringan lunak dengan titanium tidak ditemukan.12 secara khusus, meskipun terdapat signifikansi adhesi epitel junction ke titanium dalam implan gigi, hal ini masih belum terselesaikan. saat ini ikatan epitel junctional ke titanium dicoba oleh penahan mekanis dengan permukaan titanium yang dibuat kasar atau berlekuk, karena sulitnya adhesi kimia jaringan lunak dengan logam.12 sedangkan dari aspek imunobiokompatibilitas, telah ditemukan pada sebuah studi bahwa bahan titanium memicu aktivasi dari sistem imun.13 beberapa dari sistem imun bawaan (innate immune system) yang terlibat dan mengalami peningkatan adalah komplemen, makrofag, dan neutrofil. pada regio sekitar tulang yang ditanamkan titanium, presensi dari neutrofil terlihat lebih lama yang diasumsikan karena peran penting dari makrofag. makrofag telah diketahui dapat menekan apoptosis dari neutrofil sehingga proses inflamasi kronis dapat berlangsung. disamping itu, presensi dari neutrofil saat penanaman titanium juga berhubungan dengan pembentukan jaringan tulang yang aktif disekitar implan dan kebutuhan vaskularisasi untuk mendukung proses pembentukan tersebut, hal ini disebabkan neutrofil diketahui berpartisipasi dan memicu vaskularisasi pada hipoksia jaringan yang tertransplantasi dan invasi tumor.11,13 hubungan host dan biomaterial sebagian besar dikontrol oleh makrofag. pada sebuah studi didapatkan bahwa adanya peningkatan cd11b setelah 28 hari yang menunjukkan bagaimana makrofag dan sel imun peradangan yang lain sangat terlibat pada reaksi implan titanium. lebih jauh lagi, biomarker ini telah terbukti terlibat dalam proses fusi makrofag, di lingkungan dimana resorpsi tulang telah ditekan yang berarti fusi makrofag bukan merupakan bagian dari proses pembentukan osteoklas, tetapi lebih kepada pembentukan fbgc (foreign body giant cell), yang merupakan indikator dari reaksi benda asing.13 tendensi akan penurunan cd14 mendukung temuan bahwa fbgcs berhenti untuk mengekspresikan cd14 setelah fusi makrofag terjadi. fbgc dapat mengekspresikan fenotip makrofag m1 dan m2, tergantung dari lingkungan, mirip dengan prekursor mononuklear mereka.13 oleh karena itu, inflamasi karena imun tipe kronis pasti muncul seumur hidup secara in vivo pada implan titanium pada tulang, seperti yang telah dijelaskan pada sebuah studi imunologi adanya fenotip makrofag m2 yang tinggi pada sisi titanium bahkan selama periode inflamasi mengindikasikan adanya aktivasi dari sistem imun dalam hubungannya dengan titanium sejak tahap penyembuhan awal (beberapa hari pertama). ditemukan bahwa setelah 28 hari melewati periode inflamasi c5a reseptor-1 mengalami peningkatan secara signifikan yang mengindikasikan adanya aktivasi dari imunitas bawaan yang bertahan lama yang merupakan proses aktivasi berkelanjutan dari sistem komplemen.13 kesimpulan titanium merupakan material logam yang sudah sering digunakan dalam kedokteran gigi, yaitu sebagai kawat dan implan gigi karena sifat biokompatibilitas yang baik secara fisik maupun mekanik. daftar pustaka 1. hanawa, t. titanium-tissue interface reaction and its control with surface treatment. front. bioeng. biotechnol, 2019; 7:170. 2. hanawa, t. transition of surface modification of titanium for medical and dental use. in titanium in medical and dental applications, 2018; 95-113 woodhead publishing. 3. zhang, x., & williams, d. definitions of biomaterials for the twenty-first century. elsevier. 2019. 4. angelieri, f., joias, r. p., bresciani, e., noguti, j., & ribeiro, d. a. orthodontic cements induce cut yulian fitriani, awaluddin wibawa | biokompatibilitas material titanium implan gigi 58 genotoxicity and cytotoxicity in mammalian cells in vitro. dent res j, 2012; 9(4): 393-398. 5. song, g., wu, y., wang, f., shao, y., jiang, j., fan, c., et al . development and preparation of a lowimmunogenicity porcine dermal scaffold and its biocompatibility assessment. j mater sci: mater med, 2015; 26(4): 170. 6. koizumi, h., takeuchi, y., imai, h., kawai, t., & yoneyama, t. application of titanium and titanium alloys to fixed dental prostheses. j prosthodont res., 2019; 63(3): 266270. 7. o’brien wj. dental materials and their selection. 3rd ed. canada : quintessance books. 2002. 8. smeets, r., stadlinger, b., schwarz, f., beck-broichsitter, b., jung, o., precht, c., et al. impact of dental implant surface modifications on osseointegration. biomed res. int., 2016; 2016: 6285620. 9. asri, r. i. m., harun, w. s. w., hassan, m. a., ghani, s. a. c., & buyong, z. a review of hydroxyapatite-based coating techniques: sol–gel and electrochemical depositions on biocompatible metals. j mech behav biomed, 2016; 57: 95-108. 10. rupp, f., liang, l., geis-gerstorfer, j., scheideler, l., & hüttig, f. surface characteristics of dental implants: a review. dent. mater, 2018; 34(1): 4057. 11. anderson, j. m., rodriguez, a., & chang, d. t. foreign body reaction to biomaterials. in seminars in immunology, 2008; 20(2): 86-100. 12. agarwal, r., & garcía, a. j. surface modification of biomaterials. in principles of regenerative medicine. academic press. 2018. 13. christoffersson, g., vågesjö, e., vandooren, j., liden, m., massena, s., reinert, r. b., ... & phillipson, m. vegf-a recruits a proangiogenic mmp-9–delivering neutrophil subset that induces angiogenesis in transplanted hypoxic tissue. blood, 2012; 120(23): 46534662. yusrini pasril, dita okasari | pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis 26 research article pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis the antibacterial effect of red rose extract (rosa damascena mill) on the growth of enterococcus faecalis yusrini pasril1,*, dita okasari2 1departemen konservasi gigi, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: february 7th, 2020; reviewed date: march 18th, 2020 revised date: may 1st, 2020; accepted date: may 21st, 2020 doi : 10.18196/di.9114 abstrak ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) mengandung tannin, geraniol, nerol, citronellol, flavonoid yang memiliki efek antibakteri. enterococcus faecalis mampu bertahan hidup pada lingkungan dengan ph tinggi dan bertahan dalam saluran akar yang bisa menginvasi tubuli dentin. agen antibakteri tersebut menghambat bakteri dengan mengganggu aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel terganggu dan sel mengalami lisis. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium in vitro. konsentrasi ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) yang digunakan yaitu 25%, 50%, 75%, dan 100%. kalsium hidroksida ca(oh)2 digunakan sebagai kontrol positif dan aquades digunakan sebagai kontrol negatif. uji daya anti bakteri menggunakan metode difusi sumuran pada cawan petri selama 24 jam dengan suhu inkubasi 37°c. pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) diketahui melalui uji kruskal wallis. hasil penelitian didapatkan rata-rata zona radikal yang terbentuk pada ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dengan konsentrasi 25% sebesar 4,048 mm, konsentrasi 50% sebesar 5,165 mm, konsentrasi 75% sebesar 6,185 mm, konsentrasi 100% sebesar 8,895 mm, dan pada kontrol positif sebesar 5,5 mm. dapat disimpulkan bahwa ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) memiliki pengaruh daya antibakteri terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis dan konsentrasi terbaik yaitu 100%. kata kunci: bakteri enterococcus faecalis; ekstrak bunga mawar merah; rosa damascena mill; metode difusi abstract red rose extract (rosa damascena mill) contains tannin, geraniol, nerol, citronellol, flavonoids, which have antibacterial effects. enterococcus faecalis is able to survive in high ph environments and survive in root canals that can invade dentinal tubules. these antibacterial agents inhibit bacteria by interfering with the activity of peptidoglycan transpeptidase so that cell wall formation is disrupted and cells undergo lysis. this study aims to determine the antibacterial power of red rose extract (rosa damascena mill) on the growth of enterococcus faecalis. this research is an experimental study of in vitro laboratory. the concentration of red rose extract (rosa damascena mill) used is 25%, 50%, 75%, and 100%. calcium hydroxide ca(oh)2 is used as a positive control, and aquades is used as a negative control. antibacterial power test uses the method of diffusion of wells on petri dishes for 24 hours with an incubation temperature of 37 ° c. the effect of the antibacterial power of red rose (rosa damascena mill) extract was known through the kruskal wallis test. the results showed an average radical zone formed in red rose extract (rosa damascena mill) with a concentration of 25% by 4.048 mm, a concentration of 50% by 5.165 mm, a concentration of 75% by 6.185 mm, a concentration of 100% by 8.895 mm, and at a positive control of 5.5 mm. it can be concluded that the extract of a red rose (rosa damascena mill) has the effect of antibacterial power on the growth of enterococcus faecalis, and the best concentration is 100%. keywords: enterococcus faecalis bacteria; red rose extract; rosa damascena mill; diffusion method * corresponding author, e-mail: yusrinipasril@yahoo.com insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 27 pendahuluan kesehatan gigi dan mulut adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena gigi dan mulut merupakan pintu gerbang untuk masuknya bakteri dan kuman ke dalam tubuh. menurut riset kesehatan dasar tahun 2018, presentase penduduk indonesia yang memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut yaitu 57,6% dan masalah terbesar di indonesia yaitu gigi berlubang, gigi rusak, atau sakit dengan presentase 45,3%. kerusakan gigi yang tidak dilakukan perawatan dapat menyebabkan gigi nekrosis atau kematian pada pulpa. gigi yang sudah nekrosis dapat dipertahankan dengan perawatan saluran akar.¹ perawatan saluran akar ada tiga tahap (triad endodontic) antara lain preparasi biomekanis, sterilisasi saluran akar, dan pengisian saluran akar (obturasi).2 preparasi biomekanis terdiri dari pembersihan dan pembentukan saluran akar. tujuan dari pembersihan saluran akar atau debridemen yaitu untuk membuang iritan dari saluran akar. sterilisasi meliputi irigasi dan disinfeksi saluran akar. obturasi atau pengisian saluran akar menggunakan bahan gutta percha yang bertujuan untuk menutup saluran akar secara tiga dimensi dari kamar pulpa sampai apeks.3 enterococcus faecalis merupakan bakteri gram positif yang berbentuk ovoid. bakteri ini bersifat fakultatif anaerob yang dapat hidup dan berkembang biak dengan oksigen maupun tanpa oksigen. bakteri enterococcus faecalis mampu bertahan hidup pada lingkungan dengan ph tinggi dan bertahan dalam saluran akar yang bisa menginvasi tubuli dentin yang menyebabkan bakteri enterococcus faecalis menjadi bakteri patogen dan menyebabkan kegagalan perawatan saluran akar. enterococcus faecalis lebih banyak ditemukan pada infeksi sekunder dibandingkan dengan infeksi primer.4 infeksi sekunder yaitu infeksi pada saluran akar yang telah dilakukan perawatan saluran akar. setiap kegagalan perawatan saluran akar selalu ada hubungannya dengan enterococcus faecalis.5 ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) mengandung tannin, geraniol, nerol, citronellol, flavonoid yang memiliki efek antibakteri. flavonoid merupakan agen antibakteri yang melawan berbagai mikroorganisme patogen. senyawa lain pada ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) yaitu tannin. tannin mampu mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. penelitian sebelumnya tentang “efektivitas ekstrak kelopak mawar merah (rosa damascena) terhadap jamur candida albicans” dengan konsentrasi ekstrak 12,5%, 25%, 50%, dan 100% diketahui mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan candida albicans dan konsentrasi hambat minimum ekstrak kelopak mawar merah terhadap pertumbuhan candida albicans adalah pada konsentrasi 100%.6 penelitian tentang ”antibacterial and antifungal activity of rosa damascena mill essential oil, different extracts of rose petals” oleh shohayeb (2014)7 untuk menilai aktivitas antimikroba pada ekstrak rosa damascena mill dengan pelarut yang berbeda secara kuantitatif terhadap 3 jenis jamur (penicillium notatum, aspergillus niger dan candida albicans), bakteri gram positif, dan bakteri gram negatif. hasil yang didapatkan yaitu bakteri gram positif (staphylococcus aureus, bacillus subtilis dan streptococcus pyogenes) lebih sensitif dibandingkan dengan bakteri gram negatif.7 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis. material dan metode penelitian ini menggunakan desain eksperimental laboratorium in vitro. pembuatan ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dilakukan di laboratorium farmasi fkik universitas yusrini pasril, dita okasari | pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis 28 muhammadiyah yogyakarta dan pengujian daya antibakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta. variabel pengaruh yang digunakan yaitu ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100%, dan kalsium hidroksida sebagai kontrol positif, serta aquades steril sebagai kontrol negatif. variabel terpengaruh yang digunakan yaitu enterococcus faecalis. langkah pertama yang dilakukan yaitu membuat ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dengan metode maserasi. kemudian membuat suspense enterococcus faecalis dengan cara mengambil satu ose enterococcus faecalis menggunakan ose steril lalu dimasukkan ke dalam bhi dan kemudian diinkubasi selama 24 jam. selanjutnya, memasukkan kapas lidi steril ke dalam suspensi bakteri lalu mengoleskan pada permukaan media pada setiap cawan petri; dan melakukan sumuran pada setiap cawan petri dengan diameter 5 mm dan kedalaman 5 mm. uji daya antibakteri menggunakan metode difusi. ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dengan konsentrasi yang berbeda diteteskan ke dalam lubang sumuran menggunakan pipet tetes sebanyak 2-3 tetes. kemudian masukkan cawan petri ke inkubator selama 24 jam pada suhu 37°c. untuk mengukur zona radikal digunakan sliding caliper. selanjutnya pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) diketahui melalui uji kruskal wallis. hasil tabel 1 merupakan hasil pengukuran diameter zona radikal dengan enam kali pengulangan pada ekstrak 25%, 50%, 75%, 100%, kalsium hidroksida sebagai kontrol positif dan aquades sebagai kontrol negatif. hasil rata-rata diameter zona radikal pada ekstrak 25% yaitu 4,048 mm, rata-rata diameter zona radikal pada ekstrak 50% yaitu 5,165 mm, rata-rata diameter zona radikal pada ekstrak 75% yaitu 6,185 mm, rata-rata diameter zona radikal pada ekstrak 100% yaitu 8,895 mm. rata-rata diameter zona radikal pada kalsium hidroksida sebesar 5,5 mm dan rata-rata tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata diameter zona radikal pada ekstrak 75% dan ekstrak 100%. rata-rata diameter zona radikal pada kalsium hidroksida lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata diameter zona radikal ekstrak 25% dan ekstrak 50%. hasil uji normalitas shapiro wilk (jumlah sampel< 50) menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal karena nilai signifikan p < 0,05 yaitu pada kalsium hidroksida memiliki nilai signifikan 0,031. hal ini disebabkan karena zona radikal kalsium hidroksida pada perlakuan pertama memiliki rata-rata 7,28 mm. pada ekstrak 25% memiliki nilai signifikan 0,665, ekstrak 50% memiliki nilai signifikan 0,467, ekstrak 75% memiliki nilai signifikan 0,897 dan ekstrak 100% memiliki nilai signifikan 0,131. tabel 2 menunjukkan bahwa nilai p=0,000 atau nilai (p) < 0,05 sehingga h0 ditolak yaitu terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan yang satu dengan kelompok perlakuan yang lainnya. semakin tinggi konsentrasi ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill), maka semakin besar diameter zona radikal. tabel 1. hasil pengukuran diameter zona radikal zona radikal (mm) cawan petri ekstrak ca(oh)2 aquades 25% 50% 75% 100% 1 3,21 5,21 6 9,25 7,28 0 2 3,58 5,58 6,33 7,93 5,2 0 3 4,11 5,18 6,48 9,18 5,5 0 4 4,33 5,1 5,85 9,43 4,7 0 5 4,33 5,16 6,3 9,15 5,06 0 6 4,73 4,76 6,15 8,43 5,26 0 rerata 4,048 5,165 6,185 8,895 5,5 0 tabel 2. uji non parametrik kruskal wallis zona radikal chi-square df asymp. sig 25,094 4 ,000 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 29 pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat daya antibakteri pada ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis yang dibuktikan dengan adanya zona radikal pada cawan petri. dari analisis data tersebut, kelompok yang memiliki daya antibakteri paling tinggi yaitu pada kelompok ekstrak 100% dan kelompok yang memiliki daya antibakteri paling rendah yaitu pada kelompok ekstrak 25%. hasil uji non parametrik kruskal wallis memiliki nilai signifikan sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa kelompok perlakuan yang satu dengan kelompok perlakuan yang lainnya memiliki perbedaan yang signifikan. enterococcus faecalis menyebabkan infeksi endodontik dan berperan dalam peradangan periradikular karena faktor virulensinya.8 enterococcus faecalis dapat menempel pada dinding saluran akar, berkumpul, dan membentuk komunitas pada biofilm yang memungkinkan bakteri menjadi 1000 kali lebih tahan terhadap fagositosis, antibodi, dan antimikroba dari organisme yang tidak memproduksi biofilm.9 zat agregasi, karbohidrat, dan gugus pengikat fibronektin akan memfasilitasiperlekatan organisme ke kolagen tipe i dan protein matrik ekstraseluler berada pada dentin.10 flavonoid adalah senyawa polifenolik yang diproduksi sebagai metabolit sekunder dari tanaman.11 kelompok flavonoid yang umum adalah difenilpropana yang memiliki satu atau lebih gugus fenolik.12 flavonoid merupakan agen antibakteri yang melawan berbagai mikroorganisme patogen. flavonoid memiliki kemampuan yang komplek dengan protein ekstraseluler yang mengganggu membran bakteri dan merusak dinding sel bakteri.13 senyawa lain pada ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) yaitu tannin.14 tannin mampu mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. akibatnya sel tidak dapat beraktivitas sehingga pertumbuhannya terhambat atau mati. efek antibakteri tannin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi fungsi materi genetik.15 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% memiliki pengaruh daya antibakteri terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis. semakin tinggi konsentrasi ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill), maka semakin tinggi pula diameter zona radikal atau semakin besar daya antibakteri terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis. daftar pustaka 1. triharsa, s., & mulyawati, e. perawatan saluran akar satu kunjungan pada pulpa nekrosis disertai restorasi mahkota jaket porselin fusi metal dengan pasak fiber reinforced composit (kasus gigi insisivus sentralis kanan maksila). maj. kedokt. gigi indones., 2013; 20(1): 71-77. 2. bachtiar, z. a. perawatan saluran akar pada gigi permanen anak dengan bahan gutta percha. jurnal pdgi, 2016; 65(2): 60-67. 3. ariani, n. g. a., & hadriyanto, w. perawatan ulang saluran akar insisivus lateralis kiri maksila dengan medikamen kalsium hidroksidachlorhexidine. maj. kedokt. gigi indones., 2013; 20(1): 52-57. 4. nurdin, d., & satari, m. h. peranan enterococcus faecalis terhadap persistensi infeksi saluran akar. in prosiding dies forum, 2011; 52: 6976). 5. mallick, r., mohanty, s., behera, s., sarangi, p., nanda, s., & satapathy, s. k. (2014). enterococcus faecalis: a yusrini pasril, dita okasari | pengaruh daya anti bakteri ekstrak bunga mawar merah (rosa damascena mill) terhadap pertumbuhan enterococcus faecalis 30 resistant microbe in endodontics. int j contemp dent med rev, 2014; 2014 (article id 011114): 1-2. 6. sudiarti, d., & hidayah, n. efektivitas ekstrak kelopak mawar merah (rosa damascene) terhadap jamur candida albicans. bioshell, 2017; 5(1): 306312. 7. shohayeb, m., abdel-hameed, e. s. s., bazaid, s. a., & maghrabi, i. antibacterial and antifungal activity of rosa damascena mill. essential oil, different extracts of rose petals. glob. j. pharmacol., 2014; 8(1): 1-7. 8. jain, h., mulay, s., & mullany, p. persistence of endodontic infection and enterococcus faecalis: role of horizontal gene transfer. gene reports, 2016; 5(dec): 112-116. 9. kamaruzzaman, n. f., tan, l. p., mat yazid, k. a., saeed, s. i., hamdan, r. h., choong, s. s., ... & gibson, a. j. targeting the bacterial protective armour; challenges and novel strategies in the treatment of microbial biofilm. materials, 2018; 11(9): 1705. 10. brodowska, k. m. natural flavonoids: classification, potential role, and application of flavonoid analogues. eur. j. biol. res, 2017; 7(2): 108-123. 11. arifin, b., & ibrahim, s. struktur, bioaktivitas dan antioksidan flavonoid. jurnal zarah, 2018; 6(1): 21-29. 12. das, a., & satyaprakash, k. antimicrobial properties of natural products: a review. pharma. innov. j, 2018; 7: 532-537. 13. ajizah, a. sensitivitas salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun psidium guajava l. bioscientiae, 2018; 1(1): 31-38. 14. nayebi, n., khalili, n., kamalinejad, m., & emtiazy, m. a systematic review of the efficacy and safety of rosa damascena mill. with an overview on its phytopharmacological properties. complement. ther. med., 2017; 34: 129-140. 15. liu, m., feng, m., yang, k., cao, y., zhang, j., xu, j., ... & fan, m. transcriptomic and metabolomic analyses reveal antibacterial mechanism of astringent persimmon tannin against methicillin-resistant staphylococcus aureus isolated from pork. food chem., 2020; 309: 125692. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 53 literature review premature loss dan perkembangan rahang premature loss and jaw development laelia dwi anggraini1,*, rinaldi budi utomo2, sunarno3, dan dibyo pramono2 1program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, kasihan, bantul, indonesia. 2fakultas kedokteran gigi, universitas gadjah mada, jalan denta, sinduadi, mlati, sleman, yogyakarta, indonesia. 3fakultas teknik, universitas gadjah mada, jalan grafika, sinduadi, mlati, sleman, yogyakarta, indonesia. received date: mei 21st, 2018; reviewed date: june 10th, 2018; revised date: august 26th, 2018 ; accepted date: october 31st, 2018 doi : 10.18196/di.7297 abstrak premature loss adalah kondisi dimana gigi desidui yang sudah tanggal sebelum waktunya sementara gigi permanen pengganti belum tumbuh. kehilangan gigi desidui yang terlalu dini akan berpengaruh pada keberhasilan erupsi gigi apabila ada pengurangan ruang pada lengkung gigi. kondisi premature loss terkait pula dengan perkembangan rahang. rahang adalah bagian dari struktur total kepala dan setiap rahang bisa mempunyai hubungan posisional yang bervariasi terhadap struktur lain dari kepala, variasi semacam itu bisa terjadi pada ketiga bidang yaitu sagital, vertikal, dan lateral. setiap kondisi patologis yang mempengaruhi pertumbuhan rahang bisa menimbulkan efek besar terhadap oklusi gigi. pertumbuhan maksila dipengaruhi oleh pertumbuhan otak, pertumbuhan tulang cranial dan nasal septal memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan maju mundur maksila. mandibula merupakan tulang kraniofasial yang sangat mobile dan merupakan tulang yang sangat penting karena terlibat dalam fungsi-fungsi vital antara lain pengunyahan, pemeliharaan jalan udara, berbicara, dan ekspresi wajah. gerakan pertumbuhan mandibula pada umumnya dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di maksila. pertumbuhan prosesus alveolaris sangat aktif selama erupsi dan berperan penting selama erupsi serta terus memelihara hubungan oklusal selama pertumbuhan vertikal maksila dan mandibula. kesimpulan dari telaah literatur ini yaitu kondisi rongga mulut karena premature loss secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada tumbuh kembang rahang. kata kunci: perkembangan rahang; premature loss abstract premature loss is a condition where deciduous teeth are prematurely lost while permanent replacement teeth have not yet erupted. losing a deciduous tooth too early will affect the teeth eruption if a diminishment of space were to happen on the dental arch. the condition of premature loss also affects jaw development. the jaw is a part of the whole structure of the head, with each jaw capable of having a positional relationship that varies towards the other structures of the head. those variations can occur on three planes, which are the sagittal, vertical, and lateral planes. every pathological condition that affects the development of the jaw can also have a significant impact on dental occlusion. maxillary growth correlates with brain growth. the growth of the cranial and nasal septal bone has significant effects on the maxilla’s forward and backward movements. the mandible is a craniofacial bone that is very mobile and very important because it is involved in several vital functions such as chewing, maintaining the airway, talking, and facial expression. the process of mandibular growth, in most cases, is affected by changes that occur in the maxilla. the development of the alveolar process is very active during eruptions and plays a vital role throughout the eruptions. it also maintains the occlusal relationship throughout the vertical growth of the maxilla and the mandible. it can be concluded that the condition of the oral cavity caused by premature loss will directly or indirectly affect the development of the jaw. keywords: jaw development; premature loss * corresponding author, e-mail: laelia.dwi@umy.ac.id laelia dwi anggraini, rinaldi budi utomo, sunarno, dibyo pramono | premature loss dan perkembangan rahang 54 pendahuluan premature loss adalah kondisi dimana gigi desidui yang sudah tanggal sebelum waktunya sementara gigi permanen pengganti belum tumbuh. penyebabnya selain karena trauma yang mengakibatkan gigi tanggal awal, juga karies yang parah sehingga menyebabkan gigi harus dicabut. selain itu, adanya kelainan kongenital menyebabkan gigi tidak tumbuh (anodonsia), di samping juga karena penyakit periodontal yang parah menyebabkan gigi goyah (luksasi) dan harus dicabut sebelum waktunya. terdapatnya keganasan neoplasma juga menyebabkan gigi harus dicabut sebelum waktunya. selain itu, adanya penyakit sistemik yang mengganggu pola tumbuh kembang rahang juga menyebabkan gigi tanggal sebelum waktunya.1 hal ini terjadi karena terdapat perbedaan waktu tanggal gigi desidui dan waktu tumbuh gigi permanen. pembahasan pola pertumbuhan gigi desidui dan gigi permanen dapat dicermati pada gambar 1 yang menjelaskan tentang pola pertumbuhan gigi permanen, dimana gigi desidui cm1m2 akan digantikan gigi permanen cm1m2. adanya perbedaan lebar ini disebut dengan lee way space yang besarnya untuk rahang atas 1,7 mm dan rahang bawah 0,9 mm. gambar 2 menunjukkan periodisasi pertumbuhan gigi desidui. periode ini ditandai dengan pertumbuhan gigi incisivus sentral rahang bawah pada usia 6 bulan, diikuti gigi incisivus sentral rahang atas pada usia 8 bulan, dan seterusnya sampai semua gigi diharapkan tumbuh sebelum usia 33 bulan. gambar 3 menunjukkan periodisasi pertumbuhan gigi permanen. periode ini ditandai dengan pertumbuhan gigi permanen, ialah incisivus sentral rahang bawah pada usia 6 tahun, diikuti gigi incisivus sentral rahang atas pada usia 7 tahun, dan seterusnya sampai semua gigi diharapkan tumbuh sebelum usia 21 tahun. penatalaksanaan dari premature loss pada gigi anak membutuhkan pertimbangan yang sangat cermat dari dokter gigi karena konsekuensi dari pengaturan ruang pada lengkung gigi akan mempengaruhi perkembangan gigi hingga dewasa. kehilangan gigi desidui yang terlalu dini akan berpengaruh pada keberhasilan erupsi gigi apabila ada pengurangan ruang pada lengkung gigi. gambar 1. pola pertumbuhan gigi desidui dan gigi permanen gambar 2. periodisasi pertumbuhan gigi desidui gambar 3. periodisasi pertumbuhan gigi permanen insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 55 adapun pada sisi yang lain, intervensi yang tepat pada waktunya terhadap ruang pada lengkung rahang dapat mempertahankan ruang untuk erupsi gigi permanen. kunci dari manajemen pertahanan ruang pada desidui adalah mengetahui masalah yang mana yang harus dirawat.2 kehilangan caninus atau molar pertama desidui menyebabkan pergeseran mesial/distalgigi sebelahnya. kehilangan gigi incisivus jarang berpengaruh terhadap tumbuh kembang rahang.3 premature loss menyebabkan terjadinya perubahan pada panjang lengkung gigi.2 lengkung gigi yang tadinya cukup untuk menampung gigi yang akan tumbuh, menjadi berkurang karena pergeseran gigi di sampingnya sehingga memperkecil area kosong yang ada. kehilangan gigi juga mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi pengunyahan, anak menjadi tidak dapat makan dengan baik karena beberapa gigi tidak dapat berfungsi maksimal. beberapa pasien anak yang ditemui mempunyai gangguan estetis, anak menjadi tidak percaya diri, sehingga mengganggu penampilan. terdapatnya gangguan bicara sehingga anak tidak dapat mengucapkan kata dengan jelas, kadang mendesis karena gigi anteriornya tidak ada. ketidakberadaan gigi juga menyebabkan perkembangan kebiasaan buruk pasien, misal pasien menjadi mengunyah satu sisi sehingga sisi lainnya penuh karang gigi. munculnya masalah psikologis lainnya, ialah anak menjadi rendah diri serta tidak percaya diri. adapun secara klinis, tampak pergeseran gigi menempati ruang yang ada.3 rahang adalah bagian dari struktur total kepala dan setiap rahang bisa mempunyai hubungan posisional yang bervariasi terhadap struktur lain dari kepala, variasi semacam itu bisa terjadi pada ketiga bidang yaitu sagital, vertikal, dan lateral. posisi rahang juga dihubungkan dengan basis anterior kranium dan masingmasing rahang dapat bervariasi dalam hubungannya terhadap kranium.2 rahang memiliki dua komponen yaitu tulang alveolar yang merupakan tempat gigi-geligi dan tulang basal yang membentuk struktur utama rahang. pembagian tulangtulang rahang menjadi komponen basal dan alveolar bersifat artifisial karena keduanya berasal dari tulang yang sama, tetapi pembagian tersebut dapat diterima karena mengalami perkembangan dan memiliki fungsi yang berbeda. setiap kondisi patologis yang mempengaruhi pertumbuhan rahang bisa menimbulkan efek besar terhadap oklusi gigi.4 malformasi kongenital baik bawaan maupun dapatan, trauma, serta infeksi selama tahuntahun pertumbuhan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan rahang.5 pertumbuhan maksila dipengaruhi oleh pertumbuhan otak, pertumbuhan tulang cranial dan nasalseptal memberikan pengaruh signifikan terhadap pergerakan maju mundur maksila dari lahir hingga umur 7 tahun. setelah umur tujuh tahun hingga dewasa, pengaruh-pengaruh tersebut berkurang secara drastis seiring pertumbuhan sutural dan pertumbuhan permukaan intramembranosa. pertumbuhan postnatal maksila seluruhnya terjadi dengan osifikasi intramembran karena tidak terdapat kartilago.6 pertumbuhan maksila terjadi melalui dua cara yaitu aposisi sutura yang menghubungkan maksila dengan kranium dan basis kranial serta remodeling tulang. sementara maksila tumbuh ke bawah dan depan, permukaan anteriornya mengalami remodeling. hampir seluruh permukaan anterior maksila mengalami resorpsi kecuali daerah disekitar spina nasalis anterior. saat terjadi pertumbuhan maksila ke arah bawah dan depan, ruang antara sutura yang terbuka diisi oleh proliferasi tulang. aposisi terjadi pada kedua sisi sutura sehingga tulang tempat perlekatan maksila bertambah besar, tepi posterior maksila yang merupakan daerah tuberositas mengalami aposisi sehingga menambah ruang untuk tempat erupsi gigi molar permanen. aposisi permukaan terjadi di laelia dwi anggraini, rinaldi budi utomo, sunarno, dibyo pramono | premature loss dan perkembangan rahang 56 sebelah anterior lengkung tulang maksila, dimana panjang maksila akan bertambah setelah umur dua tahun yang terjadi akibat dari tuberositas maksila dan dengan pertumbuhan sutura sepanjang tulang palatal.7 mandibula merupakan tulang kraniofasial yang sangat mobile dan merupakan tulang yang sangat penting karena terlibat dalam fungsi-fungsi vital antara lain pengunyahan, pemeliharaan jalan udara, berbicara, dan ekpresi wajah. mandibula adalah tulang pipih berbentuk u dengan mekanisme pertumbuhan melalui proses osifikasi endokondral maupun aposisi periosteal (osifikasi intramembranosa) dan di mandibula merupakan tempat melekatnya otot-otot serta gigi. pertumbuhan mandibula ada dua macam yaitu: a). pola pertama, bagian posterior mandibula dan basis kranium tetap, sementara dagu bergerak ke bawah dan ke depan; b). pola kedua, dagu dan korpus mandibula hanya berubah sedikit sementara pertumbuhan sebagian besar terjadi pada tepi posterior ramus, koronoid dan kondilus mandibula. gerakan pertumbuhan mandibula pada umumnya dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di maksila. dagu bergerak ke bawah dan depan hanya sebagai akibat pertumbuhan kondilus dan tepi posterior ramus mandibula. korpus mandibula bertambah panjang melalui aposisi tepi posteriornya, sementara ramus bertambah tinggi melalui osifikasi endokondral pada kondilus dan remodeling tulang. selain tumbuh ke bawah dan ke depan, mandibula juga tumbuh ke lateral melalui aposisi permukaan lateral korpus, ramus, dan alveolaris mandibula. untuk mengimbangi aposisi lateral, terjadi resorpsi pada permukaan lingualnya. pembentukan prosesus alveolaris dikontrol oleh erupsi gigi dan resorpsi bila gigi tanggal ataupun diekstraksi. gigi pada kedua lengkung tidak menjadi protrusi ketika maksila dan mandibula tumbuh dan berpindah tempat karena adanya relasi interkuspal gigi. pertumbuhan prosesus alveolaris sangat aktif selama erupsi dan berperan penting selama erupsi serta terus memelihara hubungan oklusal selama pertumbuhan vertikal maksila dan mandibula.4 penyebab kehilangan atau penyempitan ruang adalah meliputi a. premature loss dari gigi desidui, dimana masing-masing dari gigi mempunyai pengaturan ruang tersendiri dari hubungan oklusal yang didapatkan dari aksi kekuatan individual. jika relasi antar gigi terjadi altered, drifting atau tipping, maka akan terjadi kehilangan ruang atau penambahan ruang; b. kekuatan ke arah mesial dari erupsi gigi posterior, dimana ada kecenderungan yang sangat kuat dari gigi untuk bergerak ke arah mesial bahkan saat pertama kali erupsi di dalam mulut. fenomena ini disebut mesial drifting tendency. c. distal adjustment dari gigi anterior mandibula, saat insisivus permanen rahang bawah erupsi, gigi kaninus susu berpindah ke arah distal dan bukal pada kasus premature loss, dimana ukuran sebuah gigi dalam lengkung rahang yang mengecil, gigi kaninus susu dapat tanggal lebih dini karena tekanan resorpsi dari gigi insisivus lateral yang ektopik. d. ankylosis, ankylosis biasanya terjadi antara umur 6 dan 12 tahun yang itandai dengan membran periodontal yang hilang dan formasi tulang yang membentuk gabungan antara lamina dura dan sementum.8 penggabungan tulang ini mencegah gigi erupsi, sedangkan gigi yang lain dalam lengkung gigi tetap erupsi.9 gigi-gigi yang berdekatan bisa saling mendesak atau berpindah ke ruang oklusal dari gigi yang ankylosis dan mengurangi panjang lengkung rahang.10 e. congenital missing teeth, kehilangan gigi secara kongenital lebih sering ditemukan pada gigi permanen daripada gigi desidui.11 evaluasi ortodonti sangat dibutuhkan pada saat penentuan apakah ruang harus dipertahankan untuk pertimbangan ortodonti atau prostodonti atau ditutup.12 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 7 (2), november 2018 57 kesimpulan kesimpulan dari tulisan ini adalah kondisi rongga mulut karena premature loss secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada tumbuh kembang rahang. daftar pustaka 1. cameron. caries in children, handbook of pediatric dentistry, cv mosby, usa. chapter 1. 2013. 2. das, beena, dan azher. oral health status of 6 and 12 year old school going children in bangalore city: an epidemiological study, j. indian soc pedod prevent dent, kamataka, india. 2009; 27(1). 6-8. 3. finn. pediatric dentistry, mosby & co, usa, 2014;161-166. 4. kidd, e. a.m. dan bechal, s.j, dental caries dasar-dasar karies, penyakit dan penanggulangannya, egc, jakarta. 2009; 18-76. 5. mc. donald dan avery. dentistry for the child and adolescent, ed. 9, mosby co., st. louis, missouri. 2015; 221-223. 6. nanda. biomechanic in clinical orthodonsia, saunders co., st. louis, missouri. 2004; 21-23. 7. snawder, k.d., handbook of clinical pedodontics, st louis, missouri, usa. 2017; 242-275. 8. pinkham. pediatric dentistry, edisi 4, wb saunders and co, philadelphia. 2013; 242-256. 9. koch, g., kreiborg, s., & andreasen, j. o. eruption and shedding of teeth. pediatric dentistry. a clinical approach. 3rd ed. oxford: wiley-blackwell, 2017; 40-54. 10. aludden, h. c., & jensen, t. dentoalveolar segmental osteotomy combined with orthodontic treatment for an impacted and ankylosed upper canine: a case report. open journal of stomatology, 2016; 6(4): 97-102. 11. rakhshan, v. congenitally missing teeth (hypodontia): a review of the literature concerning the etiology, prevalence, risk factors, patterns and treatment. dental research journal, 2015; 12(1): 1-13. 12. widyastuti, y., & kemal, y. perawatan ortodontik pada pasien periodontal kompromi. makassar dental journal, 2015; 4(3): 98-102. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 35 research article formularium tata laksana preventif dan promotif di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta formulary of preventive and promotive management in dental and oral hospital universitas muhammadiyah yogayakarta novitasari r. astuti1,*, pipiet o. kusumastiwi1, iwan dewanto1, adike d. salecha2, karlina agustiyana2 1departemen ilmu kesehatan gigi masyarakat, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: august 11st, 2019; reviewed date: august 20th, 2019; revised date: september 26th, 2019 ; accepted date: october 21st, 2019 doi : 10.18196/di.8205 abstrak tahun 2018, 57,6% penduduk indonesia memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut. fakta ini menunjukkan perlunya upaya preventif dan promotif untuk menurunkan angka tersebut. penelitian ini bertujuan membuat formularium tata laksana preventif dan promotif di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm umy), menilai komunikasi terapeutik mahasiswa profesi, dan mengetahui efektivitas formularium tata laksana preventif dan promotif. jenis penelitian ini adalah mixed method, jenis quasi eksperimental dengan rancangan pre-test post-test with control group dengan 140 responden yang dipilih dengan metode consecutive. pengukuran skor plak dengan metode loe dan silness. analisis data menggunakan paired sample t-test. hasil penelitian menunjukkan terbentuknya standar formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif, keterampilan komunikasi mahasiswa profesi terhadap pasien adalah baik (74%), serta terdapat perbedaan indeks plak dengan nilai signifikansi 0,000. kesimpulan penelitian menunjukkan adanya standar formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif, keterampilan komunikasi mahasiswa profesi dokter gigi terhadap pasien di rsgm umy adalah baik dan terdapat perbedaan indeks plak sebelum dan sesudah diberikan formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif pada pasien perawatan scaling. kata kunci: formularium tata laksana preventif dan promotif; indeks plak; komunikasi terapeutik abstract in 2018, 57.6% of the indonesia’s population has oral and dental health problems. this fact showed the urgency for preventive and promotive efforts to reduce the percentage. this research aims to formulate preventive and promotive management procedures at the dental and oral hospital of universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm umy), to assess the therapeutic communication of professional students, and to find out the effectiveness of preventive and promotive governance formularies. this research is a mixed-method, a quasi-experimental design with a pre-test and post-test with control group design. 140 respondents were selected by a consecutive method. measurement of plaque scores was conducted using the loe and silness method. data were analyzed by using paired sample t-test. the results showed that there was the formation of preventive and promotive management education formulary standards, communication skills of professional students to patients was good (74%), and there were differences in the plaque with a significance value of 0,000. it can be concluded that there was a standard formulary of preventive and promotive management education, the communication skills of dentistry profession students to patients at rsgm umy were good, and there were differences in the plaque index before and after the formulary of education on preventive and promotive management in scaling treatment patients. keywords: preventive and promotive governance formulary; plaque index; therapeutic communication * corresponding author, e-mail: ovi_umy@yahoo.com novitasari ratna astuti, pipiet okti kusumastiwi, iwan dewanto, adike dica salecha, karlina agustiyana | formularium tata laksana preventif dan promotif di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta 36 pendahuluan penyakit gigi dan mulut masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat indonesia, tidak terkecuali karies dan penyakit periodontal.1 besarnya angka karies gigi dan penyakit periodontal di indonesia yang cenderung meningkat mencerminkan persepsi dan perilaku masyarakat tentang kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut masih kurang.2 riset kesehatan dasar (riskesdas) kementrian kesehatan ri tahun 2018 melaporkan bahwa penduduk indonesia yang memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut rerata 57,6%.3 fakta ini menunjukkan untuk menurunkan angka tersebut diperlukan upaya promotif dan preventif, tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif yang sesuai dengan paradigma sehat serta menjaga kebersihan gigi dan mulut sebagai perilaku pemeliharaan dari masing-masing individu. perilaku kebersihan mulut tambahan seperti flossing dan menyikat interdental sangat direkomendasi meskipun bukti keefektifannya kurang.4 kebersihan gigi dan mulut adalah kunci untuk mencegah dan menjaga kesehatan periodontal, termasuk mencegah karies gigi.5 pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut tersebut sangat erat kaitannya dengan kontrol plak atau menghilangkan plak secara teratur karena plak gigi merupakan salah satu faktor yang dominan dalam perkembangan penyakit periodontal dan karies.1,6 data pasien pembersihan karang gigi (scaling) di rsgm umy menjadi salah satu indikator keberhasilan perawatan scaling yakni penurunan indeks plak pada kunjungan mahasiswa profesi pada tahun 2017 terdapat 4062 orang, dengan rata-rata setiap bulan terdapat 339 orang. salah satu tahapan dari perawatan scaling adalah pemberian komunikasi informasi dan edukasi (kie) dalam upaya preventif dan promotif oleh mahasiswa profesi. sebagai dokter gigi selain memberikan perawatan pada individu pasien, juga harus mampu untuk fokus memberikan promosi kesehatan.7 berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, tidak terdapat penurunan indeks plak yang signifikan antara kunjungan pertama dan kedua. salah satu faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah beragamnya penyampaian kie oleh mahasiswa profesi dan belum ada standar kie setelah perawatan scaling dalam bentuk formularium tata laksana preventif dan promotif, oleh sebab itu penting dilakukan penyusunan formularium tata laksana preventif dan promotif di rsgm umy. penelitian ini bertujuan membuat formularium tata laksana preventif dan promotif di rsgm umy, menilai komunikasi terapeutik mahasiswa profesi, dan mengetahui efektivitas formularium tata laksana preventif dan promotif (indeks plak sebelum dan sesudah perawatan scaling). material dan metode jenis penelitian ini adalah penelitian mixed method, penelitian kuantitatif dan kualitatif. penelitian kualitatif dilakukan sebelum intervensi yaitu pengumpulan data awal mengenai jalannya komunikasi terapeutik mahasiswa profesi dan pasien di rsgm umy, penyusunan formularium tata laksana preventif dan promotif rsgm umy dengan panel expert saat dan setelah intervensi. panel expert saat intervensi berlangsung dilakukan untuk menilai jalannya implementasi formularium tata laksana preventif dan promotif di rsgm umy. sedangkan panel expert setelah intervensi dilakukan untuk melakukan evaluasi jalannya implementasi formularium tata laksana preventif dan promotif di rsgm umy. penelitian kuantitatif dilakukan untuk membandingkan penurunan plak gigi pasien scaling di rsgm umy sebelum dan sesudah intervensi serta menilai komunikasi terapeutik mahasiswa profesi dengan pasien. penelitian kuantitatif yang dilakukan menggunakan rancangan eksperimental semu (quasi eksperimental) dengan pre-test post-test with control group insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 37 design. penelitian ini dilaksanakan di rsgm umy. populasi pasien scaling di rsgm umy dan subjek penelitian kuantitatif dengan kriteria inklusi yaitu umur 18 55 tahun, mendapatkan perawatan scaling, scaling dilakukan oleh mahasiswa profesi rsgm umy. kriteria eksklusi yaitu pasien tidak dapat hadir pada kunjungan ke-2, pasien tidak bersedia untuk menjadi subjek penelitian, pasien merupakan keluarga mahasiswa profesi. subjek penelitian sebanyak 105 mahasiswa profesi dokter gigi umy dan 140 pasien scaling yang dipilih melalui metode consecutive dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu 70 kelompok kontrol dan 70 intervensi. masing masing kelompok diperiksa plak gigi pasien pada kunjungan i dan ii dan dibandingkan. rancangan ini untuk mengetahui apakah implementasi formularium tata laksana preventif promotif dapat menurunkan indeks plak pasien scaling rsgm umy dan untuk menilai komunikasi terapeutik mahasiswa profesi dengan pasien. pengukuran skor plak dengan metode loe dan silness menggunakan kuesioner komunikasi terapeutik, form indeks plak (loe and sillnes). masing – masing kelompok dilakukan pemeriksaan indeks plak gigi pasien pada kunjungan i dan ii dan pada kelompok intervensi diberikan formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif setelah perawatan scaling dilakukan dalam rentang waktu 15-30 hari. waktu 15-30 hari tersebut tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh sehingga dapat dilihat perbedaan antara skor pada pengukuran pertama dan pengukuran kedua.8 analisis data menggunakan paired sample t-test. hasil karakteristik responden mahasiswa profesi dokter gigi yang diteliti yaitu mayoritas berusia 23 tahun (46,7%) dan mayoritas berjenis kelamin perempuan (76,2%). keterampilan komunikasi mahasiswa profesi program pendidikan dokter gigi umy menunjukkan hasil sebagian besar responden mempunyai keterampilan komunikasi yang baik (74%). berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan dengan beberapa expert melalui focus group discussion (fgd) dan wawancara dengan beberapa perwakilan mahasiswa profesi kedokteran gigi umy dari setiap angkatan serta referensi jurnal dan textbook maka dapat ditetapkan suatu prosedur komunikasi teraputik antara mahasiswa dan pasien dalam bentuk formularium tata laksana preventif dan promotif khususnya pasien scaling di rsgm umy. bentuk formularium edukasi pasca perawatan scaling pasien yang telah dimodifikasi peneliti adalah sebagai berikut: 1) menyikat gigi minimal 2x sehari pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. 2) memilih sikat gigi dengan kepala sikat yang tidak terlalu kecil agar mudah diaplikasikan di rongga mulut (untuk dewasa dengan panjang 2,5 cm dan untuk anak-anak 1,5 cm). 3) pegangan sikat fleksibel/mudah digenggam. 4) bulu sikat yang lembut. 5) menggunakan pasta gigi yang mengandung fluoride. 6) ukuran pasta gigi sebesar biji jagung. 7) mengganti sikat gigi setiap 3 4 bulan sekali atau segera diganti jika sudah mulai rusak. 8) mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis. 9) mengurangi kebiasaan merokok dan jika memungkinkan berhenti merokok. 10) kontrol 1 minggu setelah perawatan pembersihan karang gigi. 11) periksa kesehatan gigi dan mulut setiap minimal 6 bulan sekali ke dokter gigi.9 berdasarkan analisa data dengan menggunakan uji paired sample t-test didapatkan hasil nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti h0 ditolak. hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan indeks plak sebelum dan sesudah diberikan formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif di rsgm umy. adapun rata rata plak indeks mengalami penurunan sebelum 31,32 dan sesudah 18,89. novitasari ratna astuti, pipiet okti kusumastiwi, iwan dewanto, adike dica salecha, karlina agustiyana | formularium tata laksana preventif dan promotif di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta 38 pembahasan berdasarkan hasil uji paired sample t-test didapatkan hasil nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan indeks plak sebelum dan sesudah perawatan scaling dengan pemberian formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif pada pasien di rsgm umy. keberhasilan formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif dalam menurunkan indeks plak meningkat menjadi lebih baik dalam penelitian ini didukung oleh beberapa hal yaitu responden yang kooperatif saat dilakukan pemeriksaan dan memperhatikan dengan seksama informasi yang diberikan serta keterampilan komunikasi terapuetik yang jelas dan benar dari mahasiswa profesi saat menyampaikan edukasi tata laksana preventif dan promotif pasca perawatan scalling pada kunjungan pertama. sebanyak 60-70% diagnosa dan rencana perawatan medis adalah berdasarkan informasi dari hasil anamnesis.10 hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan komunikasi mahasiswa profesi dokter gigi umy dengan pasien di rsgm sebanyak 74% berada dalam kategori baik. keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga medis dalam menerapkan komunikasi.11 berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah adanya pendidikan dan pelatihan skills lab komunikasi yang diterapkan di pendidikan profesi dokter gigi umy selama jenjang pendidikan s1. kurangnya keterampilan komunikasi terapeutik dapat disebabkan oleh kurangnya pengalaman seorang tenaga medis.12 evaluasi tentang efek komunikasi dokter gigi dengan pasien mempunyai korelasi yang signifikan dan menunjukkan bahwa komunikasi antar professional di bidang kedokteran gigi mempengaruhi kepuasan pasien.13 pelatihan merupakan salah satu aspek yang dapat meningkatkan kemampuan konseling dan komunikasi yang lebih baik.14 dan pengalaman mengikuti pelatihan komunikasi terapuetik memiliki hubungan yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik dengan pasien.15 penurunan indeks plak gigi disebabkan karena peneliti memberikan pendidikan kesehatan gigi dan mulut khususnya tentang cara menggosok gigi yang benar.16 diantara 5 model kognitif untuk memprediksi menyikat gigi, flossing dan berkumur, teori perilaku yang direncanakan dan model pendekatan proses tindakan kesehatan adalah prediktor terbaik perilaku kesehatan gigi dan mulut individu.17 pada penelitian ini, pemberian formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif khususnya perawatan scalling pada pasien merupakan salah satu bentuk pendidikan kesehatan. kesimpulan kesimpulan penelitian menunjukkan terbentuknya standar formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif, keterampilan komunikasi mahasiswa profesi dokter gigi terhadap pasien di rsgm umy adalah baik dan terdapat pengaruh yang signifikan formularium edukasi tata laksana preventif dan promotif terhadap indeks plak pasien perawatan scaling. daftar pustaka 1. thomson, w. m., sheiham, a., & spencer, a. j. sociobehavioral aspects of periodontal disease. periodontol. 2000. 2012; 60(1), 54-63. 2. valm, a. m. (2019). the structure of dental plaque microbial communities in the transition from health to dental caries and periodontal disease. j. mol. biol. 2019; 431(16): 29572969. 3. kementerian kesehatan republik indonesia. hasil utama riskesdas insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 39 2018. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan; 2018; 9396. 4. sambunjak, d., nickerson, j. w., poklepovic, t., johnson, t. m., imai, p., tugwell, p., & worthington, h. v. flossing for the management of periodontal diseases and dental caries in adults. cochrane database syst. rev. 2011; 12: cd008829. 5. kumar, s., tadakamadla, j., & johnson, n. w. effect of toothbrushing frequency on incidence and increment of dental caries: a systematic review and meta-analysis. j. dent. res. 2016; 95(11: 1230-1236. 6. mitchell, l., mitchell, d. a., & mccaul, l. kedokteran gigi klinik. edisi, 5. terj. jakarta: egc. 2014; 186-209. 7. gallagher, j., & field, j. c. the graduating european dentist— domain iv: dentistry in society. eur. j. dent. educ. 2017; 21(suppl. 1): 2527. 8. harris, r., vernazza, c., laverty, l., lowers, v., brown, s., burnside, g., ... & steele, j. presenting information on dental risk: prefer study protocol for a randomised controlled trial involving patients receiving a dental check-up. contemp. clin. trials commun. 2018; 11: 1-9. 9. nasfiannoor, m. pendekatan statistika modern untuk ilmu sosial. jakarta: salemba humanika. 2009. 10. rezaei, f., & askari, h. a. checking the relationship between physicians’ communication skills and outpatients’ satisfaction in the clinics of isfahan alzahra (s) hospital in 2011. j. edu. health promot. 2014; 3: 105. 11. diana, r. s., & ekowati, w. hubungan pengetahuan komunikasi terapeutik terhadap kemampuan komunikasi perawata dalam melaksanakan asuhan keperawatan di rumah sakit elisabeth purwokerto. jurnal keperawatan soedirman. 2006; 1(2), 53-60. 12. taviyanda, d. perbedaan persepsi pasien terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pegawai tetap dengan perawat pegawai kontrak di ruang dewasa kelas iii rs. baptis kediri. jurnal penelitian stikes kediri. 2010; 3(2), 72-77. 13. hamasaki, t., kato, h., kumagai, t., & hagihara, a. association between dentist – dental hygienist communication and dental treatment outcomes. j. health commun. 2017; 32(3), 288-297. 14. kounenou, k., aikaterini, k., & georgia, k. nurses’ communication skills: exploring their relationship with demographic variables and job satisfaction in a greek sample. procedia. soc. behav. sci. 2011; 30: 2230-2234. 15. soelarso, h., soebekti, r. h., & mufid, a. peran komunikasi interpersonal dalam pelayanan kesehatan gigi (the role of interpersonal communication integrated with medical dental care). dental journal (majalah kedokteran gigi). 2005; 38(3): 124-129. 16. pantow, c. b., warouw, s. m., & gunawan, p. n. pengaruh penyuluhan cara menyikat gigi terhadap indeks plak gigi pada siswa sd inpres lapangan. e-gigi. 2014; 2(2): 1-6. 17. dumitrescu, a. l., dogaru, b. c., duta, c., & manolescu, b. n. (2014). testing five social-cognitive models to explain predictors of personal oral health behaviours and intention to improve them. oral health prev. dent. 2014; 12(4): 345-355. 28 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 distribusi frekuensi fraktur gigi permanen di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta frequency distribution of permanent tooth fractures in dental hospitals of muhammadiyah university of yogyakarta wustha farani1, wasi’a nurunnisa2 1 dosen program studi kedokteran gigi fkik umy 2 mahasiswa program studi kedokteran gigi fkik umy korespondensi: drg_wustha@yahoo.com abstract traumatic dental injuries can affect people of all ages ranging from children, adolescents, adults, and the elderly. traumatic dental injuries can affect of hard dental tissues and periodontal tissues in oral cavity. each country has a different frequency of injuries each year. traffic accidents often occur in developing countries, this is the most common cause of dental fracture. the purpose of this study was to determine the frequency of dental fractures that often occur. the type of this research is descriptive observational with cross sectional design. the subjects consisted of 114 patients at rsgm umy. this data collection uses secondary data of patients in 2016. based on the data obtained were analyzed using statistical package for science (spss). data processing used descriptive statistics to determine the frequency and percentage of dental fractures in the age, sex, etiology and type of teeth involved. keywords: distribution of traumatic frequency, classification of ellis & davey abstrak cedera dapat mengenai di berbagai kalangan usia mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia. cedera dapat mempengaruhi pada jaringan keras dan jaringan pendukung di rongga mulut. setiap negara memiliki frekuesi cedera yang berbeda-beda setiap tahunnya. di negara berkembang sering terjadi kecelakaan lalu lintas, hal ini menjadi penyebab paling umum fraktur gigi. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi fraktur gigi yang sering terjadi. jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan desain cross sectional. subyek penelitian terdiri dari 114 pasien di rsgm umy. pengambilan data menggunakan data sekunder pasien di tahun 2016. berdasarkan data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistical package for science (spss). pengolahan data menggunakan statistik deskriptif untuk mengetahui frekuensi dan persentase fraktur gigi pada kelompok usia, jenis kelamin, etiologi dan jenis gigi yang terlibat. kata kunci: distribusi frekuensi trauma, klasifikasi ellis & davey mailto:drg_wustha@yahoo.com 31 wustha farani, wasi’a nurunnisa │distribusi frekuensi fraktur gigi permanen di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta pendahuluan indonesia merupakan negara berkembang, di negara berkembang kecelakaan lalu lintas adalah penyebab paling umum terjadinya trauma1. dalam praktik dokter gigi dapat dijumpai beberapa kasus cedera. mereka datang dengan berbagai macam cedera pada jaringan keras atau gigi maupun jaringan pendukungnya2. traumatic dental injuries (tdi) sebagai penyebab terjadinya fraktur. trauma gigi merupakan sebuah kasus yang mempunyai tingkat prevalensi relatif tinggi. pada dasarnya setiap negara memiliki prevalensi trauma gigi dengan jumlah yang berbeda – beda setiap tahunnya3. trauma gigi dapat mengenai di berbagai kalangan usia mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia4. prevalensi trauma gigi berdasarkan usia di nigeria, 146 pasien yang berusia 16 hingga 78 tahun didapatkan kejadian trauma tertinggi terjadi dikelompok usia 2534 tahun dengan persentase 40,4% sejumlah 59 pasien, sedangkan pasien yang memiliki persentase terendah yaitu kelompok usia lebih dari 65 tahun sebesar 4,8%2. frekuensi trauma gigi pada anak usia 8 hingga 12 tahun didapatkan hasil usia 9 tahun memiliki persentase tertinggi sebesar 47,37%, diikuti dengan usia 10 tahun sebesar 24,56%, dan yang terendah pada usia 11 tahun sebesar 7,02%5. international association dental traumatology melaporkan usia anak yang sering terjadi trauma antara usia 8 dan 12 tahun6. berdasarkan jenis kelamin, laki – laki memiliki potensi trauma gigi lebih besar dibandingkan perempuan. perbandingan kejadian trauma gigi dari jenis kelamin laki – laki dengan perempuan adalah 2:17. frekuensi terjadinya fraktur gigi anterior berdasarkan jenis kelamin pada pasien dewasa, laki – laki sebesar 76 (53,1%) dan 67 (46,9%) untuk perempuan. hasil tersebut menunjukan laki – laki memiliki frekuensi terjadinya fraktur gigi lebih tinggi dari pada perempuan8. menurut klasifikasi world health organization (who) penelitian yang dilakukan pada 1.275 orang, usia 7 hingga 18 tahun menunjukkan 6% mengalami infraksi email (retak), 17,4% fraktur email, 18,2% fraktur email-dentin, 2,6% complicated fracture, fraktur mahkota-akar sebesar 0,7% uncomplicated dan 0,9% complicated, fraktur 1/3 servical sebesar 0,3%, 1/3 bagian tengah (middle) 0,6%, dan 1/3 apikal 0,3%7. hasil penelitian di turkey distribusi trauma gigi sehubungan waktu cedera dengan waktu perawatan darurat pada fraktur email-dentin relatif tinggi. pada gigi sulung terdapat 145 kasus sedangkan gigi permanen 229 kasus. data tersebut menunjukan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan fraktur email9. berdasarkan penelitian di targu mure, romania frekuensi jenis trauma gigi sulung dan permanen tertinggi pada insisivus sentral maksila sebesar 55,3%, insisivus lateral maksila 28%, kaninus maksila 5,8%, insisivus sentral mandibula 4,3%, insisivus lateral mandibula 2,4%, dan kaninus mandibula 1%. 30 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 beberapa penelitian menunjukkan bahwa gigi anterior insisivus sentral maksila yang memiliki trauma tertinggi10. pada gigi posterior cenderung mengalami fraktur vertikal. prevalensi tertinggi yaitu gigi premolar kedua rahang atas (27%) dan gigi molar (25%)11. terdapat beberapa klasifikasi antara lain klasifikasi world health organization (who) berdasarkan jaringan keras, jaringan periodontal, tulang pendukung, dan gingiva atau oral mucosa3. selain klasifikasi world health organization (who), terdapat klasifikasi ellis dan davey membagi menjadi 9 kelas yang terdiri dari kelas 1 hingga kelas 8 untuk gigi permanent sedangkan kelas 9 untuk gigi sulung12. fraktur gigi terbagi menjadi dua yaitu fraktur longitudinal yang sering terjadi pada semua tipe gigi dan fraktur horizontal pada gigi anterior. penyebab kasus fraktur longitudinal disebabkan oleh prosedur dental dan tekanan oklusal, seperti akibat dari kebiasaan mengunyah es, permen keras, karies yang merusak kekuatan gigi dan preparasi kavitas yang berlebihan13. sedangkan etiologi dari fraktur horizontal terbagi menjadi trauma gigi yang tidak disengaja, trauma gigi yang disengaja dan iatrogenik tdi. trauma gigi yang tidak disengaja meliputi jatuh, benturan, kegiatan fisik seperti olahraga, kecelakaan lalu lintas, penggunaan gigi yang tidak tepat, menggigit benda yang keras, adanya penyakit seperti epilepsy dan keterbatasan fisik. adapun trauma gigi yang disengaja seperti kekerasan fisik. sedangkan iatrogenik tdi yang sering terjadi seperti kerusakan mahkota atau bridges, avulsi hingga nekrosis pulpa3. upaya pencegahan trauma gigi sangat diperlukan oleh masyarakat, dalam hal ini upaya yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan pendidikan atau pengetahuan dan pengasuhan dari orang tua14. oleh karena itu, penulis ingin memberikan gambaran mengenai kejadian fraktur email dentin tanpa pulpa terbuka di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta (rsgm-umy). rumah sakit ini menyediakan perawatan kesehatan gigi, sehingga terdapat kasus – kasus mengenai fraktur gigi dari berbagai kalangan usia. metode penelitian ini merupakan observasional deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frekuensi terjadinya fraktur email dentin tanpa pulpa terbuka pada gigi permanen di rsgm umy tahun 2016. jenis data penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapatkan dari rekam medis pasien yang telah dilakukan pemeriksaan klinis oleh dokter gigi muda di rsgm umy. kriteria inklusi penelitian adalah pada gigi permanen pasien di rsgm umy periode tahun 2016. kriteria ekslusi penelitian adalah gigi karies, dentinogenesis imperfecta dan displasia dentin. 31 wustha farani, wasi’a nurunnisa │distribusi frekuensi fraktur gigi permanen di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dimulai dari pengumpulan data, selanjutnya analisis data menggunakan statistical package for science (spss) version 17 pengolahan data deskriptif dalam bentuk frekuensi dan persentase. hasil penelitian penelitian ini dilakukan di rsgm umy periode tahun 2016 dengan jumlah 114 pasien yang mengalami fraktur ellis kelas 2 dan terdapat 148 kasus yang telah memenuhi kriteria inklusi. tabel 1. distribusi frekuensi fraktur gigi berdasarkan jenis kelamin dan usia usia (tahun) laki – laki perempuan n % n % n % 6-11 13 11,4% 12 10,5% 25 21,9% 12-16 14 12,3% 6 5,3% 20 17,5% 17-25 35 30,7% 26 22,8% 61 53,5% 26-35 4 3,5% 2 1,8% 6 5,3% 46-55 1 0,9% 1 0,9% 2 1,8% jumlah 67 58,8% 47 41,2% 114 100% tabel 1. menunjukan frekuensi terjadinya fraktur gigi pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang memiliki nilai tertingi yaitu usia 17-25 tahun. cenderung mengalami penurunan pada usia dewasa hingga lansia. pasien jenis kelamin laki-laki memiliki nilai terjadinya fraktur gigi lebih besar dari pada perempuan. gambar 1. distribusi frekuensi etiologi trauma gigi permanen gambar 1. menunjukan frekuensi etiologi trauma gigi tertinggi akibat tidak disengaja sebesar 67,5%. etiologi disengaja dan iatrogenik memiliki frekuensi terendah sebesar 0,9%, sedangkan yang tidak diketahui atau tanpa keterangan sebesar 30,7%. 0.0% 20.0% 40.0% 60.0% 80.0% 67.5% 0.9% 0.9% 30.7% etiologi trauma gigi etiologi trauma gigi 32 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 gambar 2. distribusi frekuensi fraktur ellis kelas 2 pada gigi anterior gambar 2. menunjukan hasil fraktur gigi anterior memiliki frekuensi total sebesar 97,3%. gigi anterior yang sering terjadi fraktur gigi yaitu gigi insisivus sentral maksila kanan sebesar 43,2%. diikuti dengan gigi insisivus sentral maksila kiri sebesar 33,1%. pada gigi insisivus lateral maksila kiri memiliki frekuensi sebesar 6,8% dan 4,1% pada gigi insisivus lateral maksila kanan. frekuensi fraktur tertinggi gigi rahang bawah yaitu gigi insisivus sentral mandibula kiri sebesar 2,7%. gigi insisivus lateral mandibula kiri, gigi insisivus sentral mandibula kanan, dan gigi insisivus lateral mandibula kanan mempunyai frekuensi yang sama dengan persentase 2,0%. sedangkan gigi rahang atas dengan kedudukan frekuensi terendah sebasar 0,7% yaitu gigi caninus maksila kiri dan caninus mandibula kanan. 43.2% 33.1% 6.8% 4.1% 2.7% 2.0% 2.0% 2.0% 0.7% 0.7% gigi anterior gigi insisivus sentral maksila kanan gigi insisivus sentral maksila kiri gigi insisivus lateral maksila kiri gigi insisivus lateral maksila kanan gigi insisivus sentral mandibula kiri 33 wustha farani, wasi’a nurunnisa │distribusi frekuensi fraktur gigi permanen di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta gambar 3. distribusi frekuensi fraktur ellis kelas 2 pada gigi posterior gambar 3. menunjukan total frekuensi fraktur gigi posterior hanya sebesar 2,7% yaitu gigi premolar kedua maksila kanan 1,4% dan 0,7% gigi molar satu mandibula kanan serta gigi molar kedua mandibula kanan. pembahasan berdasarkan hasil penelitian didapatkan kejadian fraktur ellis kelas 2 di tahun 2016 sejumlah 114 pasien dengan 148 kasus. kasus fraktur ellis kelas 2 di rsgm umy memiliki jumlah kasus yang lebih tinggi dari pada kelas yang lain. penelitian lain menyatakan jenis trauma yang sering terjadi umumnya yaitu fraktur email dentin lebih tinggi daripada fraktur mahkota komplit & gigi avulsi. fraktur email dentin akan cenderung memiliki rasa sensitivitas gigi, sehingga mendorong mereka untuk mengobati15. frekuensi fraktur gigi tertinggi pada usia 17-25 tahun dengan total persentase 53,5%. dalam kategori umur menurut depkes (2009) usia 17-25 tahun termasuk dalam kategori remaja akhir. remaja lebih sering terjadi trauma dan akan mengalami penurunan pada usia lebih dari 30 tahun3. pasien dewasa yang mengalami fraktur gigi akan konsultasi kedokter gigi dengan alasan estetika buruk akibat trauma serta perubahan warna pada gigi, diikuti adanya rasa sakit2. usia 21-30 tahun atau kategori dewasa akan lebih banyak melakukan aktivitas fisik dan perilaku yang berisiko dibandingkan dengan usia > 40 tahun cenderung relatif berkurang aktivitas fisik dan lebih sedikit melakukan perilaku yang beresiko15. sesuai dengan penelitian ini usia 46-55 tahun atau kategori lansia memiliki frekuensi terendah hanya sekitar 1,8%. 1.4% 0.7% 0.7% gigi posterior gigi premolar kedua maksila kanan gigi molar satu mandibula kanan gigi molar kedua mandibula kanan 34 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 frekuensi terjadinya fraktur gigi berdasarkan jenis kelamin pada laki – laki dengan persentase 58,5% lebih tinggi daripada perempuan yaitu sebesar 41,2%. anak laki – laki akan cenderung lebih aktif daripada perempuan, sehingga mempunyai resiko lebih tinggi terhadap trauma3. etiologi yang sering terjadi pada penelitian ini akibat tidak disengaja dengan persentase 67,5%. sedangkan etiologi disengaja dan iatrogenik hanya 0,9%. etiologi tidak disengaja meliputi jatuh, benturan, kegiatan fisik seperti olahraga, kecelakaan lalu lintas, penggunaan gigi yang tidak tepat, dan menggigit benda yang keras. iatrogenik merupakan penyebab dari kesalahan operator dan etiologi disengaja meliputi kekerasan fisik3. etiologi trauma gigi mempunyai keterkaitan dengan usia pasien, dimana pada anak-anak penyebab utama fraktur gigi kebanyakan disebabkan karena jatuh dan olahraga. berbeda dengan remaja atau dewasa biasanya karena kecelakaan lalu lintas. seperti di negara berkembang, kecelakaan lalu lintas adalah penyebab paling umum terjadinya trauma1. jenis gigi anterior permanen yang banyak mengalami fraktur yaitu gigi insisivus sentral maksila kanan sebesar 43,2% diikuti dengan gigi insisivus sentral maksila kiri sebesar 33,1%. sesuai dengan penelitian yang lain bahwa gigi anterior permanen anak-anak yang sering mengalami fraktur yaitu gigi insisivus sentral maksila kanan dan kiri. hal ini dikarena gigi insisivus sentral maksila secara anatomis lebih protusif dibandingkan gigi yang lain sedangkan insisivus pada mandibula lebih sedikit terjadi trauma karena hubungan mandibula non rigid dengan basis crani yang memungkinkan akan terjadi gerakan fleksibel5. fraktur gigi permanen pada pasien dewasa menunjukan hasil yang sama dengan hasil penelitian ini15. gigi posterior memiliki frekuensi lebih rendah dari pada gigi anterior yaitu sebesar 2,7%, meliputi gigi premolar kedua maksila kanan, gigi molar satu mandibula kanan, dan gigi molar dua mandibula kanan. trauma gigi posterior biasa terjadi saat mastikasi, selain itu usia mempengaruhi kekuatan fisiologis gigi. kelompok usia > 45 tahun lebih rentan terhadap fraktur gigi karena proses penuaan dan perubahan kekuatan fisiologis dari gigi2 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. jumlah pasien yang melakukan pemeriksaan di rsgm umy periode tahun 2016 pasca mengalami fraktur gigi sebesar 114 pasien dan terdapat 148 kasus fraktur ellis kelas 2. 2. frekuensi fraktur ellis kelas 2 berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki yang mengalami fraktur gigi sebanyak 67 pasien, sedangkan perempuan sebanyak 47 orang. sehingga frekuensi farktur gigi pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. 3. fraktur ellis kelas 2 berdasarkan usia yang memiliki frekuensi 35 wustha farani, wasi’a nurunnisa │distribusi frekuensi fraktur gigi permanen di rumah sakit gigi dan mulut universitas muhammadiyah yogyakarta tertinggi pada rentang usia 17-25 tahun yaitu sebanyak 61 orang (53,5%). 4. berdasarkan etiologi trauma gigi yang sering terjadi yaitu akibat faktor tidak disengaja dengan persentase 67,5%. etiologi tidak disengaja meliputi jatuh, kecelakaan, benturan, kegiatan fisik, dan menggigit benda yang keras. 5. jenis gigi yang sering mengalami cedera yaitu pada regio anterior, dimana gigi insisivus sentral maksila kanan memiliki nilai tertinggi dengan persentase 43,2%. diikuti gigi insisivus sentral maksila kiri sebanyak 33,1%. daftar pustaka 1. andersson, l. (2013). epidemiology of traumatic dental injuries. joe, 39 (38). s2-s5. 2. ajayi, d.m., abiodun-solanke, i.m., sulaiman, a.o., & ekhalufoh e.f. (2012). a retrospective study of traumatic injuries to teeth at a nigerian tertiary hospital. journal of clinical practice, 15 (3). 320325. 3. andreasen, j.o., andreasen, f.m., & andersson, l. (2007). traumatic injuries to the teeth (4th ed.). denmark: a blackwell munksgaard. 4. kademani, d. & tiwana, p (2016). atlas of oral & maxillofacial surgery. china: elsevier saunders. 5. ikaputri, a., sutadi, h., & fauziah, e. (2014). distribusi frekuensi trauma gigi permanen anterior pada anak usia 8 – 12 tahun. jurnal kedokteran gigi. 6. mcdonald, r., avery., & dean. (2011). dentistry for the child and adolescent (9th ed). mosby elsevier 7. koch, g. & poulsen, s. (2003). pediatric dentistry. oxford: blackwell munksgaard. 8. enabulele j.e & mohammed b.e., (2017). socio-demographic distribution of adult patients who seek oral health treatment following trauma to anterior teeth. j trauma care, 3 (1). 1017. 9. unal, m., oznurhan, f., kapdan, a., aksoy, s., & dürer, a. (2014). traumatic dental injuries in children. experience of a hospital in the central anatolia region of turkey. european journal of paediatric dentistry, 15 (1). 17-22. 10. kovács, m., pãcurar, m., petcu, b., & bukhari, c. (2012). prevalence of traumatic dental injuries in children who attended two dental clinics in târgu mure between 2003 and 2011. ohdm, 11 (3). 116-124. 11. loomba, k., loomba, a., bains, r., & bains, v., (2010) a proposal for classification of tooth fractures basedon treatment need. journal of oral science, 52 (4). 517-529. 12. rao, a. (2012). principles and practice of pedodontics (3rd ed). india: jaypee 13. walton, r.e. & torabinejad, m. (2008). prinsip dan praktik ilmu endodonsia (3rd ed.) (n. sumawinata, penerjemah). jakarta: egc. (2001). 14. cameron, a.c. & widmer, r.p. (2008). handbook of pediatric dentistry (3rd ed.). usa: mosby elsevier. 36 insisiva dental journal, vol. 7 no. 1 bulan mei tahun 2018 15. enabulele, j.e., oginni, a.o., sede, m.a., & oginni, f.o. (2016). pattern of traumatised anterior teeth among adult nigerians and complications from late presentation. bmc res notes 9 (70). 1-6. wustha farani1, wasi’a nurunnisa2 abstract keywords: distribution of traumatic frequency, classification of ellis & davey abstrak kata kunci: distribusi frekuensi trauma, klasifikasi ellis & davey pendahuluan metode hasil penelitian gambar 1. distribusi frekuensi etiologi trauma gigi permanen gambar 3. distribusi frekuensi fraktur ellis kelas 2 pada gigi posterior pembahasan kesimpulan daftar pustaka any setyawati | manajemen one visite restorasi estetik pada kasus rudimenter gigi anterior 60 case report manajemen one visite restorasi estetik pada kasus rudimenter gigi anterior management of one visite aaesthetic restoration in anterior rudimentary teeth case any setyawati* program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: august 16th, 2020; reviewed date: september 1st, 2020 revised date: september 24th, 2020; accepted date: october 5th, 2020 doi : 10.18196/di.9219 abstrak pendahuluan: rudimenter merupakan kelainan bentuk gigi yaitu bentuk gigi kecil meruncing dan berukuran lebih kecil dari normal, biasanya terjadi pada gigi anterior. hal ini sangat mengganggu penampilan pasien. perawatan biasanya dilakukan indirect restoration dengan pemasangan mahkota dan multi visite sehingga perawatannya lama. hal ini sering dikeluhkan oleh pasien. tujuan: laporan kasus ini menginformasikan bahwa kasus gigi rudimenter dapat dilakukan perawatan dengan one visite aesthethic direct restoration. prosedur: pasien wanita 24 tahun dengan keluhan terganggu penampilannya karena gigi 12 dan 22 mengalami rudimenter, ingin dirawat segera dan keberatan dengan kunjungan yang berulang. manajemen dilakukan untuk menganalisa lebar mesiodistal gigi 12 dan 22 yang mengalami rudimenter dan lebar mesiodistal ruang yang tersedia pada area 12 dan 22, serta pencocokan warna dengan shade guide. preparasi menggunakan bur terpedo untuk retensi dan resistensi. langkah selanjutnya dilakukan pemasangan polytetraflouroethylene (ptfe), pengaplikasian bonding, penyinaran light emitting diode (led) selama 20 detik. pengaplikasian resin komposit warna a2 dan penyinaran led selama 40 detik. hasil: terlihat anomali rudimenter gigi 12 dan 22 terkoreksi, tampak bentuk anatomi gigi 22 dan 21 kembali normal. hasil kontrol: tidak ada keluhan sakit, tampak sewarna gigi, terlihat kerapatan tepi baik, countour, embrassure dan kontak area sesuai anatomi gigi, gingiva tampak normal. gigi dapat berfungsi dengan baik. kesimpulan: gigi rudimenter berhasil dirawat dengan one visite esthethic direct restoration. pasien sangat puas karena bentuk giginya menjadi normal kembali. kata kunci: one visite; restorasi estetik; gigi rudimenter abstract introduction: rudimenter is a tooth deformity which is a small, tapered tooth shape smaller than normal, usually occurs in the anterior teeth. this is very disturbing to the patient's appearance. treatment is usually done with indirect restoration by placing a crown and multi visite so that the treatment is long. this is often complained by patients. aim: this case report informs that rudimentary teeth cases can be treated with one visite aesthetic direct restoration. procedure: a 24-year-old female patient complaining of impaired appearance because teeth 12 and 22 were rudimentary, wanted immediate treatment and objected to repeated visits. management was carried out to analyze the mesiodistal width of teeth 12 and 22 which were rudimentary and the width of the mesiodistal space available in areas 12 and 22, as well as color matching with the shade guide. preparation uses a terpedo bur for retention and resistance. the next step is the installation of polytetraflouroethylene (ptfe), bonding application, light emitting diode (led) for 20 seconds. application of a2 color composite resin and led for 40 seconds. results: the rudimentary anomalies of teeth 12 and 22 were corrected, the anatomical shapes of teeth 22 and 21 returned to normal. control results: no complaints of pain, tooth-colored appearance, good edge density, countour, embrassure and contact area according to tooth anatomy, gingiva looked normal. teeth can function properly. conclusion: rudimentary teeth were successfully treated with one visite aesthetic direct restoration. the patient is very satisfied because his teeth are back to normal. * corresponding author, e-mail: any.setyawati@gmail.com insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 61 keywords: one visite; aaesthetic restoration; rudimentary teeth pendahuluan aesthetic restoration penting untuk menunjang fungsi klinis gigi. aesthetic restoration merupakan seni dan sains. aesthethic restoration merupakan restorasi yang dilakukan untuk memperbaiki estetik gigi diantaranya mengoreksi kelainan bentuk gigi menjadi normal kembali melalui suatu restorasi. kelainan bentuk gigi, termasuk kelainan ukuran dan bentuk dapat disebabkan karena adanya gangguan pada masa pertumbuhan dan perkembangan gigi. adanya anomali atau kelainan pada gigi dapat berupa kelainan jumlah, ukuran, dan bentuk gigi.1 gigi rudimenter adalah kelainan gigi dengan bentuk tidak normal, yaitu gigi berbentuk seperti kerucut dan berukuran lebih kecil dari normal (pegshaped teeth).2 gigi rudimenter termasuk ke dalam kelainan ukuran gigi yaitu mikrodonsia, dimana bentuk gigi ini secara fisik lebih kecil dari pada normalnya. banyak sekali kasus tentang mikrodonsia, yang paling sering terjadi di insisivus lateral maksila dan molar tiga. prevalensi mikrodonsia berkisar antara 0.8% 8.4% yang biasa terjadi pada kasus klinik. salah satu manifestasinya adalah reduksi diameter mesiodistal dan ini berkaitan dengan bentuk gigi yang rudimenter.3 restorasi estetik dapat menjadi salah satu pilihan untuk penatalaksanaan kasus gigi rudimenter.1 keluhan terbanyak dari masyarakat mengenai estetik gigi yang mempengaruhi senyuman biasanya berkaitan dengan permasalahan gigi anterior, baik itu karena karies atau kelainan perkembangan gigi.4 pada saat gigi rudimenter lateral tumbuh, hal ini dapat mengganggu secara estetik, dan terlihat lebih kecil dibanding gigi sebelahnya, hal ini dapat diatasi dengan beberapa terapi pilihan. dalam hal ini banyak pilihan yang dapat dilakukan diantaranya yaitu merapikan lengkung gigi, restorasi direk resin komposit, restorasi indirek dengan pembuatan mahkota jaket, ekstraksi maupun implant. pasien kadang menginginkan perawatan yang tidak berulang dimana restorasi indirek memerlukan kunjungan yang berulang dan multi visite. beberapa faktor dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan restorasi pada gigi insisivus lateral rudimenter. restorasi pada gigi rudimenter harus dapat mengedepankan estetik dan mencegah terjadinya masalah periodonsium. alternatif minimal intervensi prosedur adalah restorasi direk menggunakan resin komposit.5 pada kasus gigi rudimenter biasanya dilakukan perawatan dengan pemasangan mahkota jaket untuk mengoreksi anomali yang terjadi. laporan kasus ini bertujuan menginformasikan bahwa gigi rudimenter dapat dilakukan perawatan restorasi estetik direk menggunakan resin komposit dengan satu kali kunjungan (one visite). laporan kasus pasien wanita 24 tahun dengan keluhan terganggu penampilannya (gambar 1) karena gigi 12 (gambar 2) dan 22 (gambar 3) mengalami rudimenter, ingin dirawat segera dan keberatan dengan kunjungan yang berulang. pasien telah selesai perawatan ortho dan memasuki tahap pemakaian retainer, sehingga gigi yang akan dikoreksi bisa dibebaskan terlebih dahulu dari kawat ortho dan bracket. mula-mula dilakukan pengukuran lebar mesiodistal gigi yang mengalami rudimenter serta lebar mesiodistal ruang yang tersedia pada area 22 dan 12, kemudian dilakukan pencocokan warna dengan shade guide (gambar 4) dan diperoleh warna yang sesuai dengan gigigigi di sebelahnya yaitu warna a2, selanjutnya dilakukan minimal intervensi dengan melakukan preparasi untuk membuat kekasaran pada permukaan email pada sisi mesial dan distal gigi 22 (gambar any setyawati | manajemen one visite restorasi estetik pada kasus rudimenter gigi anterior 62 5) dan gigi 12 (gambar 6) dengan bur terpedo. langkah selanjutnya dilakukan pemasangan polytetrafluoroethylene (ptfe) pada gigi 12 (gambar 7) dan gigi 22 (gambar 8), selanjutnya prosedur pengetsaan bonding generasi 7 dengan penyinaran led selama 20 detik. pengaplikasian resin komposit warna a2 (gambar 9) dengan teknik layer by layer dan penyinaran led selama 40 detik. hasil akhir terlihat anomali rudimenter gigi 12 dan 22 terkoreksi (gambar 10), tampak gigi 22 (gambar 11) dan gigi 21 (gambar 12) bentuknya kembali normal baik dari sisi contour, contact proximal dan embrassure. sebelum perawatan: gambar 1. tampak depan gambar 2. gigi 12 rudimenter gambar 3. gigi 22 rudimenter tahapan perawatan: gambar 4. pencocokan warna gambar 5. preparasi gigi 22 gambar 6. preparasi gigi 12 gambar 7. ptfe pada 12 gambar 8. ptfe pada 22 gambar 9. aplikasi resin komposit hasil akhir: gambar 10. tampak depan gambar 11. gigi 22 gambar 12. gigi 12 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 63 pembahasan kasus rudimenter yang terjadi pada gigi anterior akan mengganggu penampilan terutama saat tersenyum. senyuman adalah salah satu komponen penting dalam persepsi diri, karena senyuman dapat secara langsung menunjukkan ekspresi dan daya tarik seseorang.4 pada kasus ini, rudimenter terjadi pada gigi 12 dan 22 sehingga sangat mengganggu penampilan terutama saat pasien tersenyum. gigi 12 dan 22 tampak kecil meruncing, serta terdapat celah antara gigi-gigi tersebut. celah pada gigi yang terjadi karena adanya gigi rudimenter dapat dikoreksi dengan restorasi estetik direk menggunakan resin komposit, dilakukan dengan menutup celah dan membentuk ulang bentuk anatomi gigi rudimenter yang kurang sesuai dengan bentuk anatomi gigi yaitu bentuk gigi yang meruncing dan berukuran lebih kecil dari normal. hal ini sesuai dengan pendapat bahwa defek estetik pada gigi rudimenter gigi insisivus lateralis maksila berkaitan dengan malformasi bentuk gigi dan diastema dengan gigi sebelahnya, sehingga perawatan yang dilakukan memiliki 2 tujuan utama yaitu membentuk ulang bentuk anatomi gigi rudimenter dan menutup celah yang terjadi karena adanya gigi rudimenter tersebut.5 pada dasarnya ada 2 cara mengisi atau menutup celah yang ditimbulkan yaitu dengan mengurangi lengkung gigi atau menambah ukuran gigi. pada kasus ini, pilihan kedua yaitu menambah ukuran gigi menjadi lebih tepat, dimana mengisi celah tersebut dengan menambah ukuran gigi4. pada kasus ini mengisi celah yang terjadi pada gigi rudimenter 12 dan 22 dapat mengoreksi celah yang terjadi yaitu menambah ukuran gigi dengan cara menambah ukuran lebar mesiodistal gigi 12 dan 22 serta membentuk ulang bentuk anatomi yang kurang sesuai yaitu dengan membentuk sisi ke arah labial sehinggga bentuk gigi menjadi sesuai mendekati bentuk anatomi normal gigi 12 dan 22.6 pada kasus ini pilihan perawatannya adalah restorasi direk dengan invasif yang minimal yaitu pembentukan dengan bahan resin komposit pacakble warna a2 sesuai dengan pencocokan warna sebelumnya menggunakan shade guide yaitu diperoleh warn a2. hal ini sesuai dengan pendapat bahwa terapi restorative menggunakan resin komposit menjadi pilihan klinis, sejak adanya terapi minimal invasif yang dapat meningkatkan ketahanan dari restorasi tersebut. suksesnya restorasi adhesive direk tergantung pada formasi dan stabilitas dari lapisan hybrid.7 pembentukan dinding mesial dan distal menggunakan polytetrafluoroethylene (ptfe). ptfe ini sangat tipis, elastis dan mudah diaplikasikan. oleh karena sangat tipis maka bisa membentuk dinding sisi proksimal baik bagian distal maupun mesial dengan sangat rapat dengan gigi di sebelahnya. hal ini sangat sesuai digunakan untuk kasus yang memerlukan kerapatan yang adekuat untuk dinding pada sisi proksimal.8 pada kasus ini digunakan resin komposit untuk mengkoreksi gigi rudimenter secara direk. pasien membutuhkan perawatan satu kali kunjungan sehingga penggunaan resin komposit pada kasus ini sangat disarankan. hal ini sesuai dengan pendapat bahwa penggunaan resin komposit dapat digunakan untuk kasus gigi yang mengalami anomali karena dapat membantu membentuk ulang untuk memperbaiki bentuk anatomi gigi. resin komposit dapat mendukung secara mekanis karena mempunyai retensi tambahan melalui micromekanical interlocking dari resin tag. material ini memiliki tekstur yang halus mengkilap setelah dilakukan finishing dan polishing pasca penumpatan sehingga bagus dari sisi estetik.7 kelebihan penggunaan resin komposit pada kasus ini adalah minimal intervensi sehingga pengurangan jaringan gigi yang sehat bisa minimal. pada kasus gigi dengan rudimenter yaitu bentuk gigi meruncing dan berukuran lebih kecil dari normal, maka minimal intervensi sangat diperlukan pada kasus ini karena preparasi bisa dilakukan seminimal mungkin mengurangi jaringan any setyawati | manajemen one visite restorasi estetik pada kasus rudimenter gigi anterior 64 yang sehat yaitu dengan membentuk dinding yang kasar pada sisi mesial dan distal serta sedikit ke arah sisi labial untuk menambah retensi utama.9 hal ini sesuai dengan pendapat bahwa restorasi resin komposit mempunyai kelebihan bila digunakan untuk merawat gigi yang mengalami anomali, yaitu gigi tersebut tidak perlu pengurangan atau hanya sedikit pengurangan pada email untuk menambah retensi, dimana bila tidak dilakukan preparasi maka hanya diperlukan asam fosfat untuk meningkatkan kekuatan antara email dan komposit yaitu dengan pembentukan micropit, dan dapat mempertahankan struktur email, sedangkan bila diperlukan preparasi maka dilakukan dengan minimal intervensi yaitu dengan melakukan preparasi dengan mengkasarkan sedikit permukaan email pada dinding mesial, distal serta sedikit labial.10 resin komposit sendiri memiliki banyak kelebihan, diantaranya restorasi resin komposit menunjukkan sifat fisik, integritas marginal dan estetika yang baik. jika dibandingkan dengan restorasi ceramic, resin komposit tidak memiliki potensi untuk mengalami fraktur yang besar akibat dari pergesekan gigi antagonis (abrassive wear).11 restorasi gigi rudimenter indirek memiliki kelebihan yaitu stabilitas warna yang baik, bisa disesuaikan dengan warna gigi asli sehingga lebih estetis, tahan terhadap staining baik internal maupun eksternal, dan marginal fit yang dapat disesuaikan dengan anatomi gigi sehingga tepat saat diinsersikan, tetapi mempunyai kekurangan yaitu sifat abrasif yang tinggi contohnya pada bahan ceramic. restorasi secara indirek memerlukan preparasi gigi yang cukup banyak sehingga mengurangi banyak jaringan gigi yang sehat dan memerlukan anastesi lokal dalam pengerjaannya karena dapat menimbulkan rasa nyeri pada pasien saat dilakukan preparasi. dari sisi biaya, harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan restorasi direk serta memerlukan waktu kunjungan yang berulang (multi visite) karena tidak bisa dilakukan dalam satu kali kunjungan. restorasi gigi rudimenter direk umumnya mengggunakan bahan resin komposit dan adhesive, merupakan bahan yang paling konservatif karena sedikit jaringan gigi sehat yang dikurangi, prosedur tersebut tidak membutuhkan lokal anastesi, dapat dilakukan dalam 1 kali kunjungan (one visite) dan harga yang lebih murah daripada restorasi indirek. kekurangan dari bahan ini adalah resin komposit berpeluang untuk terjadinya diskolorasi terutama pada pasien yang tidak bisa menjaga oh dan memiliki kebiasaan merokok, serta dapat terjadi kebocoran tepi restorasi seiring berjalannya waktu dalam jangka lama. restorasi direk memiliki banyak teknik yang dapat digunakan dan dapat disesuaikan dengan kompetensi operator sehingga bisa memaksimalkan kinerja dan hasil restorasi yang didapatkan.12 restorasi dengan bahan bonding dan resin komposit adalah perawatan yang ideal untuk gigi rudimenter. walaupun termasuk dalam teknik yang konservatif, bahan tersebut bisa langsung diaplikasikan ke gigi. pemilihan teknik dan bahan restorasi tergantung kepada indikasi setiap kasus, kondisi objektif gigi pasien, kemampuan teknis operator, derajat motivasi, kondisi dental pasien, kebiasaan pasien dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut, dan tingkat sosial-ekonomi pasien.13 berdasarkan pertimbangan kelebihan dan kekurangan resin komposit serta kondisi pasien maka untuk kasus ini dilakukan restorasi estetik secara direk satu kali kunjungan. kesimpulan perawatan one visite restorasi estetik direk menggunakan resin komposit dapat menjadi pertimbangan dalam merawat kasus gigi rudimenter karena secara estetik dapat langsung terkoreksi baik dari sisi bentuk anatomi gigi dan warna gigi, dapat dilakukan dalam satu kali kunjungan sehingga lebih efisien dari sisi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 65 waktu kunjungan dan secara biaya, pasien puas dengan hasil perawatan. daftar pustaka 1. limothai p, leevailoj c. aesthetic treatment of anterior spacings in a patient with localized microdontia using no-prep veneers combined with periodontal surgery: a clinical report. m dent j. 2019;39:115-125. 2. deshpande a, macwan c. research and reviews: journal of dental sciences. 2013;1(3):4. 3. kiran s. aesthethic correction of microdontia with composite resin bonding technique. ijddmr. 2015;4(2):274-276. 4. alberton sb, alberton v, de carvalho rv. providing a harmonious smile with laminate veneers for a patient with peg-shaped lateral incisors. j conserv dent jcd. 2017;20(3):210–3. 5. gupta sp. management of anterior spacing with peg lateral by interdisciplinary approach: a case report. orthod j nepal. 2019;9(1):67– 73. 6. tirone f, salzano s, rolando e. adhesive aesthetic treatment of nonsyndromic maxillary anterior microdontia in young high-demanding patients: a case series. int j esthet dent. 2016;11(4):520–37. 7. novais vr. conservative technique for restoration of anterior teeth: clinical case report. j dent health oral disord ther [internet]. 2017;7(4):318-323. 8. sattar mm, patel m, alani a. clinical applications of polytetrafluoroethylene (ptfe) tape in restorative dentistry. br dent j. 2017;222(3):151–8. 9. management of peg-shaped lateral with new minimal invasive restorative technique componeer: a case report. indian j dent adv. 2018;10(1):53-55. 10. kulshrestha r. interdisciplinary approach in the treatment of peg lateral incisors. j orthod endod. 2016;2(1):1-5. 11. lameira c, mestrener sr, pini n, salomão fm, pesqueira aa, fagundes tc. conservative approach for treatment of maxillary lateral incisor agenesis with the deciduous tooth retained: 18-month follow-up. oper dent. 2018;43(2):121–7. 12. yazicioglu o. treatment approach for restoring teh peg-shaped incisors. jdent department of conservative dent. 2016;26(1):117-123 13. scarpelli ac, reboucas aps, compart t, novaes-júnior jb, paiva sm, pordeus ia. seven-year follow-up of aesthetic alternative for the restoration of peg-shaped incisors: a case study of identical twins. gen dent. 2008;56(1):74–7. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 20-25 20 case report penatalaksanaan bedah periapikal molar pertama maksila pada instrumen endodontik patah surgical management of separated endodontic instrument in the periapical of maxillary first molar regia aristiyanto1, aqilla tiara kartikaningtyas2,* 1departemen konservasi gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia 2rsud abdul wahab sjahranie, jalan palang merah indonesia, samarinda, indonesia received date: may 22nd, 2020; reviewed date: march 24th, 2021; revised date: april 8th, 2021; accepted date: may 4th, 2021 doi : 10.18196/di.v10i1.8877 abstrak instrumen endodontik patah merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada perawatan saluran akar. pengambilan intrumen yang patah dari saluran akar merupakan prosedur yang sulit, terutama ketika menembus hingga periapikal. laporan kasus ini bertujuan menyajikan penatalaksanaan bedah pengambilan instrumen endodontik patah pada periapikal gigi molar pertama maksila. seorang pria berusia 29 tahun dirujuk ke departemen konservasi gigi karena mengeluhkan sakit yang tumpul dan intermiten pada gigi molar pertama kiri atas dan bertambah sakit ketika menggigit. pasien menjelaskan telah menjalani perawatan saluran akar yang tidak lengkap sekitar 2 bulan yang lalu. pemeriksaan klinis menunjukkan terdapat tumpatan sementara pada permukaan oklusal molar pertama kiri atas dan respon positif pada pemeriksaan perkusi. berdasarkan pemeriksaan radiograf periapikal, terdapat sebuah segmen file patah yang ekstrusi keluar dari akar mesio bukal dengan obturasi saluran akar yang tidak hermetis pada saluran akar. pengambilan instrumen patah dilakukan dengan bedah periapikal (teknik retrograde), selanjutnya dilakukan reseksi akar mesiobukal. penatalaksanaan instrumen endodontik patah hingga daerah periapikal dengan bedah periapikal merupakan pilihan perawatan yang menunjukkan hasil dan prognosis yang baik. kata kunci: instrumen endodontik patah; molar satu rahang atas; bedah endodontik; reseksi akar abstract separated endodontic instrument is one of the most common complication in root canal treatment. separated instrument removal from root canal is a difficult procedure, especially when the separated instrument extends beyond apex. this case report presents the surgical management of separated endodontic instrument removal from the periapical region the mesiobuccal root of maxillary first molar. a 29-year-old male patient was referred to conservative dentistry department because complained dull intermittent pain and got worse when biting to his maxillary left first molar. patient gave a history that the patient had undergone incomplete root canal treatment about 2 months ago. clinical examination showed the presence of temporary filling material on occlusal surface of maxillary left first molar and was symptomatic with positive response on percussion. according to periapical radiograph examination, there was a separated file segment extruding beyond the mesiobuccal root of maxillary left first molar with non-hermetic obturation in root canal. separated instrument removal was performed use periapical surgery (retrograde technique), then root resection was performed to mesiobuccal root. management of fractured endodontic instrument beyond the apex by periapical surgery showed favorable result and prognosis. keywords: separated endodontic instrument; maxillary first molars; endodontic surgery; root resection * corresponding author, e-mail: regia230388@gmail.com regia aristiyanto, aqilla tiara kartikaningtyas | penatalaksanaan bedah periapikal molar pertama maksila pada instrumen endodontik patah 21 pendahuluan instrumen patah merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi selama perawatan saluran akar.1,2,3 insidensi yang pernah dilaporkan adalah 0,92% hingga 4%.4,5,6, faktor yang dapat menyebabkan instrumen endodontik patah dalam saluran akar adalah faktor operator, faktor anatomi (akses kavitas, anatomi saluran akar), faktor instrumen (material, desain, proses manufaktur dan eror), serta faktor teknik (teknik instrumentasi, irigasi, penggunaan ulang instrumen).7 prognosis perawatan pada gigi dengan instrumen patah dalam saluran akar tergantung beberapa faktor, yaitu adanya lesi periapikal, adanya mikroba dalam saluran akar saat instrumen patah, serta kualitas obturasi.3 penatalaksanaan terbaik instrumen patah adalah mengeluarkan instrumen patah tersebut agar memungkinkan prosedur debridemen dan obturasi saluran akar yang baik.7 beberapa peralatan dan teknik telah diperkenalkan untuk mengeluarkan instrumen patah dari saluran akar dengan teknik orthograde,8,9,10 namun, pada kondisi klinis tertentu, mengeluarkan intstrumen yang patah dengan teknik orthograde tidak memungkinkan untuk dilakukan, sehingga penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah meninggalkan instrumen dalam saluran akar, melakukan bypass atau penatalaksanaan bedah. keputusan klinis terkait penatalaksanaan instrumen patah dalam saluran akar ditentukan oleh banyak faktor, yaitu panjang instrumen yang patah, tipe dan jenis instrumen, ketebalan struktur dentin, anatomi saluran akar (diameter, panjang dan kurvatur), lokasi gigi dalam lengkung rahang, kondisi jaringan periapikal dan periodontal, tahap preparasi saluran akar saat intrumen patah, lokasi intrumen patah dalam saluran akar, serta faktor pasien.7 pada kasus iatrogenik seperti intrumen patah pada area sepertiga apikal saluran akar dan ekstrusi hingga periapikal, prosedur bedah diindikasikan karena penatalaksanaan pengambilan intrumen patah secara orthograde dapat menyebabkan banyak komplikasi.11 laporan kasus seorang pria berusia 29 tahun dirujuk ke departemen konservasi gigi karena mengeluhkan sakit yang tumpul dan intermiten pada gigi molar pertama kiri rahang atas dan bertambah sakit jika untuk menggigit. pasien menjelaskan bahwa pasien telah menjalani perawatan saluran akar sekitat 2 bulan yang lalu, namun perawatan saluran akar tersebut belum selesai. pemeriksaan klinis menunjukkan terdapat tumpatan sementara pada permukaan oklusal gigi molar pertama kiri rahang atas (gigi 26) dan tidak terdapat pembengkakan pada gingiva di sekitar gigi tersebut. tes mobilitas dan palpasi negatif, sedangkan tes perkusi positif. berdasarkan pemeriksaan radiograf periapikal, terdapat sebuah segmen file patah yang ekstrusi keluar dari akar mesiobukal dengan obturasi saluran akar yang tidak hermetis pada saluran akar (gambar 1). pasien tidak dicurigai memiliki penyakit sistemik. berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiograf, diagnosis yang ditetapkan adalah previously initiated therapy dengan periodontitis apikalis simtomatik. rencana perawatan adalah reseksi akar mesiobukal. gambar 1. radiograf pre-operatif menunjukkan terdapat intrumen endodontik patah pada akar mesiobukal yang ekstrusi hingga periapical insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 20-25 22 gigi 26 dilakukan isolasi dan pembongkaran tumpatan sementara, kemudian dilakukan pengambilan gutta percha pada saluran akar palatal dan distobukal gambar 2. a) isolasi, pembukaan akses dan pengambilan gutta percha pada saluran akar; b) radiograf pasca pengambilan gutta percha; c) radiograf pasca obturasi saluran akar. menggunakan file retreatment (protaper universal retreatment file, dentsply, switzerland) (gambar 2a), kemudian dilakukan pemeriksaan radiograf periapikal untuk mengevaluasi pengambilan bahan obturasi pada saluran akar (gambar 2b). selanjutnya dilakukan preparasi saluran akar pada saluran akar mesiobukal, distobukal dan palatal menggunakan file rotari (protaper next, dentsply, switzerland), irigasi saluran akar menggunakan sodium hipoklorit 2,5% dan edta 17% (glyde, dentsply, switzerland). medikasi saluran akar menggunakan kalsium hidroksida (ultracal xs, ultradent, usa) dan dijadwalkan 1 minggu kemudian untuk kunjungan berikutnya. selanjutnya dilakukan obturasi seluruh saluran akar dengan gutta percha dan siler berbasis epoksi resin (ah plus, dentsply, switzerland). setelah obturasi saluran akar, gigi 26 dilakukan restorasi permanen dengan resin komposit (filtek bulk fill, 3m espe, usa) dan pemeriksaan radiograf periapikal (gambar 2c). pasien dijadwalkan untuk perawatan reseksi akar mesiobukal. pasien menandatangani lembar persetujuan tindakan medis sebelum dilakukan tindakan bedah reseksi akar mesiobukal. area bedah didisinfeksi dengan iod gliserin, kemudian dilakukan anestesi pada bagian bukal dan palatal area bedah dengan anestesi infiltrasi menggunakan 2% lidocaine hcl (pehacain, phapros, indonesia). selanjutnya pembuatan full thickness semilunarflap menggunakan blade nomor 15 pada mukosa bukal yang menutupi akar mesiobukal (gambar 3a). dilanjutkan pengurangan tulang bagian bukal akar mesiobukal dengan bur tulang bentuk bulat menggunakan straight low speed hand piece hingga file patah terlihat (gambar 3b) dan file yang patah diambil (gambar 3c), kemudian dilakukan reseksi akar mesiobukal sebanyak 3 mm. dilakukan preparasi dan obturasi dengan teknik retrograde menggunakan mineral trioxide aggregate (proroot mta, dentsply, switzerland). area bedah dilakukan kuret dan irigasi menggunakan larutan saline steril untuk membersihkan area bedah (gambar 3d). selanjutnya aplikasi bone graft (gamacha, swayasa prakarsa, indonesia) (gambar 3e) dan flap mukoperiosteal direposisi, kemudian dilakukan penjahitan dengan silk 3.0 nonabsorbable (silk, onemed, indonesia) (gambar 3f). satu minggu pasca bedah, pasien kontrol dan dilakukan evaluasi. pasien tidak ada keluhan. pemeriksaan perkusi, palpasi dan mobilitas negatif. dilakukan hecting aff benang, kemudian irigasi dengan saline steril untuk membersihkan area pasca bedah, kemudian pemeriksaan radiograf untuk regia aristiyanto, aqilla tiara kartikaningtyas | penatalaksanaan bedah periapikal molar pertama maksila pada instrumen endodontik patah 23 mengevaluasi perawatan (gambar 5). berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiograf saat kontrol 1 minggu pasca bedah, perawatan dapat dinyatakan berhasil. pasien diinstruksikan untuk kontrol secara regular setiap 6 bulan untuk mengevaluasi perawatan dalam jangka panjang. gambar 3. a) pembuatan fullthickness semilunar flap; b) pengurangan tulang; c) pengambilan instrumen patah; d) kuretase dan irigasi area bedah; e) aplikasi bone graft; f) reposisi dan penjahitan flap. gambar 4. instrumen endodontik patah yang telah diambil dari akar mesiobukal gigi 26 gambar 5. radiograf pasca bedah endodontik (reseksi akar) dan pengambilan instrumen endodontik patah pembahasan periodontitis apikalis yang persisten pada kasus instrumen endodontik patah dapat disebabkan oleh infeksi persisten di dalam saluran akar yang kompleks dan adanya benda asing yang menimbulkan reaksi inflamasi.12 adanya instrumen yang patah menghambat akses alat endodontik ke arah apikal dan prosedur disinfeksi saluran akar, sehingga menyebabkan infeksi persisten dalam saluran akar.3 pengambilan instrumen dari sistem saluran akar merupakan pilihan utama pada kasus intrumen patah karena memungkinkan melakukan prosedur disinfeksi saluran akar yang optimal, sehingga memberikan prognosis yang lebih baik.7 lokasi patahnya instrumen menentukan tingkat kesulitan dan keberhasilan pengambilan intrumen patah. lokasi sepertiga apikal memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding sepertiga tengah atau sepertiga koronal,7,13 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 20-25 24 sehingga pada kasus tertentu, pengambilan file patah pada sepertiga apikal membutuhkan pendekatan bedah dengan teknik retrograde, terutama pada kasus adanya ekstrusi instrumen patah ke periapikal.14 pertimbangan teknis pemilihan tindakan bedah endodontik pada kasus instrumen patah di sepertiga apikal dan ekstrusi ke arah apikal adalah tingkat kesulitan atau kegagalan jika pengambilan instrumen dilakukan secara orthograde, sedangkan pertimbangan biologis pemilihan tindakan bedah endodontik adalah adanya benda asing yang dapat memicu respon inflamasi.15 jenis bedah endodontik telah banyak dilaporkan, seperti replantasi intensional, hemiseksi, reseksi akar dan bedah periapikal. tidak ada prosedur bedah endodontik yang diindikasikan khusus untuk sebuah situasi klinis karena terdapat beberapa faktor yang harus dievaluasi untuk menentukan jenis bedah endodontik yang sesuai, seperti faktor anatomi, lokasi instrumen patah dalam saluran akar, adanya penyakit periapikal, kondisi jaringan periodontal, serta pengalaman operator dan kelengkapan alat.7,16 pada kasus reseksi akar, pemotongan sebanyak 3 mm dinyatakan cukup untuk menghilangkan ramifikasi dan saluran akar lateral terinfeksi.15 aplikasi root-end filling material pasca reseksi akar berfungsi untuk mencegah infeksi ulang dari jaringan periapikal.17 penggunaan mta sebagai root-end filling material telah dilaporkan memiliki hasil yang baik.18,19 kesimpulan penatalaksanaan pengambilan instrumen endodontik patah hingga periapikal dengan bedah periapikal (teknik retrograde) merupakan pilihan perawatan yang menunjukkan hasil dan prognosis yang baik. daftar pustaka 1. avoaka-boni mc, désiré kaboré w, gnagne-koffi y, djolé s, kouadio k. frequency of complications during endodontic treatment: a survey among dentists of the town of abidjan. saudi endod j. 2020;10(1): 45–50. 2. ali sa, hussain m, shahzad m, nafees h. frequency of procedural errors during root canal treatment performed by house officers in private teaching dental hospital. j liaquat univ med heal sci. 2019;18(1): 55–9. 3. vouzara t, chares m el, lyroudia k. separated instrument in endodontics: frequency, treatment and prognosis. balk j dent med. 2018; 22(3): 123–32. 4. akhtar s, siddiqui f, sheikh a, rashid s, khurshid z, najeeb s, et al. frequency of procedural errors during root canal treatment performed by interns. br biotechnol j. 2016;12(1):1– 8. 5. caballero-flores h, nabeshima ck, binotto e, machado mel. fracture incidence of instruments from a singlefile reciprocating system by students in an endodontic graduate programme: a cross-sectional retrospective study. int endod j. 2019;52(1):13–8. 6. machado r, de souza c, colombelli mf, picolli ap, junior js, cosme-silva l, et al. incidence of protaper universal system instrument fractures a retrospective clinical study. eur endod j. 2018;3(2):77–81. 7. rambabu t. management of fractured endodontic instruments in root canal: a review. j sci dent. 2014;4(2):40–8. 8. bürklein s, donnermeyer d, wefelmeier m, schäfer e, urban k. removing fractured endodontic niti instruments with a tube technique: influence of pre-treatment with various agents on adhesive forces in vitro. materials (basel). 2020;13(1):8–15. 9. gupta r, sharma t, charles n, bedi r. clinical approach to the management of fractured instruments using ultrasonics and the instrument retrieval system under the dental operating regia aristiyanto, aqilla tiara kartikaningtyas | penatalaksanaan bedah periapikal molar pertama maksila pada instrumen endodontik patah 25 microscope. int j med biomed stud. 2020;4(3):116–21. 10. yang q, shen y, huang d, zhou x, gao y, haapasalo m. evaluation of two trephine techniques for removal of fractured rotary nickel-titanium instruments from root canals. j endod. 2017;43(1):116–20. 11. setzer fc, karabucak b. surgical endodontics. essent endodontology prev treat apical periodontitis. 2019;345–85. 12. nair pnr. on the causes of persistent apical periodontitis: a review. int endod j. 2006;39(4):249–281. 13. mcguigan mb, louca c, duncan hf. clinical decision-making after endodontic instrument fracture. br dent j. 2013;214(8):395–400. 14. sheethi kv, sheoran k, singh tv. surgical removal of fractured endodontic instrument extending beyond the periapex of mesiobuccal root of maxillary second molar through the maxillary sinus. j clin diagnostic res. 2017; 11(10):zd04–5. 15. ruddle cj. surgical endodontic retreatment. j calif dent assoc. 1991;19(5):61–67. 16. chopra s, bansal p, bansal p. essix appliancean innovation modification for use as temporary bridgea case report. j adv med dent scie res. 2020; 8(1):184–6. 17. bansode p v, pathak sd, wavdhane mb, khedgikar sb, sakharkar r. retrograde root end filling materials. 2016; 15(11):60–4. 18. shetty s, hiremath g, yeli m. a comparative evaluation of sealing ability of four root end filling materials using fluid filtration method: an in vitro study. j conserv dent. 2017;20(5): 307–10. 19. hosoya n, takigawa t, horie t, maeda h, yamamoto y, momoi y, et al. a review of the literature on the efficacy of mineral trioxide aggregate in conservative dentistry. dent mater j. 2019; 38(5):693–700. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 59 case report penatalaksanaan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui corona perforation treatment in primary teeth pulpectomy nendika dyah ayu murika sari1,*, sandy christiono2 1fakultas kedokteran gigi, universitas muhammadiyah surakarta, jalan kebangkitan nasional no.101, laweyan, surakarta, indonesia. 2departemen kedokteran gigi anak, fakultas kedokteran gigi, universitas islam sultan agung, jalan raya kaligawe km.4 semarang, indonesia. received date: august 31st, 2019; reviewed date: september 10th, 2019; revised date: october 26th, 2019 ; accepted date: october 31st, 2019 doi : 10.18196/di.8209 abstrak perforasi iatrogenik merupakan salah satu resiko yang sering terjadi dalam perawatan endodontik yang disebabkan oleh kesalahan operator. perforasi dapat terjadi pada apeks, lateral atau korona. perawatan untuk perforasi dapat dilakukan dengan bedah atau non bedah. prognosis dari perforasi endodonti dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah waktu terjadinya perforasi, lokasi perforasi dan besarnya perforasi. tujuan laporan kasus ini untuk melaporkan perawatan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui. kasus seorang anak laki-laki usia 6 tahun datang bersama ibunya dengan keluhan gigi bawah belakang kanan sering sakit tibatiba sejak tiga bulan yang lalu. diagnosis pada gigi molar pertama kanan rahang bawah adalah karies profunda kelas i dengan pulpitis irreversible. perawatan yang dilakukan adalah pulpektomi. dalam proses perawatan terjadi perforasi korona di mesial yang disebabkan oleh trauma bur preparasi saat dilakukan pembukaan atap pulpa. perawatan pulpektomi tetap dilanjutkan dengan menutup daerah perforasi dengan zinc phosphat cement dan diakhiri dengan tumpatan tetap stainless steel crown (ssc). kesimpulan dari laporan kasus ini yaitu perawatan perforasi korona dengan non bedah pada pulpektomi gigi decidui mempunyai prognosis yang baik. perawatan dilakukan dengan bahan tumpatan yang memiliki ketahanan terhadap saliva dan tidak mengiritasi pulpa ataupun gingiva. kata kunci: perforasi endodontik; perforasi korona; pulpektomi decidui abstract perforation is one of the risks frequently occurring in endodontic treatment due to iatrogenic cause. perforation may occur in apex, lateral, or corona. perforation treatment can be conducted both surgically and nonsurgically. the prognosis of endodontic perforation is influenced by several factors, including the timing of perforation, the location of the perforation, and perforation size. this study aims to report corona perforation treatment in the pulpectomy of primary teeth. a case a six-year-old boy visited the clinic accompanied by his mother with spontaneous pain in the mandibular posterior tooth since three months ago. upon a clinical and radiological examination, it was diagnosed as a case of irreversible pulpitis due to a carious lesion in the mandibular right first primary molar. pulpectomy treatment was carried out in this case. during the treatment process, corona perforation occurred in mesial due to the misaligned use of rotary burs in access preparation of the roof of the pulp chamber. pulpectomy treatment remained to be continued by covering the perforation area with zinc phosphate cement and followed by permanent restoration with a stainless steel crown (ssc). it can be concluded that non-surgical corona perforation treatment in primary teeth pulpectomy has a good prognosis. the treatment is conducted using restoration material, which is resistant to saliva and does not irritate pulp or teeth. keywords: endodontic perforation; corona perforation; primary teeth pulpectomy * corresponding author, e-mail: nendika.dyahayu@gmail.com nendika dyah ayu murika sari, sandy cristiono | penatalaksanaan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui 60 pendahuluan perforasi merupakan salah satu resiko yang sering terjadi dalam perawatan endodontik.1 perforasi ditandai dengan adanya hubungan antara gigi dengan jaringan pendukung gigi atau permukaan gigi eksternal.2 secara umum perforasi dapat dibedakan berdasarkan proses terjadinya, yaitu perforasi iatrogenik dan perforasi patologi.2,3 perforasi iatrogenik terjadi karena kesalahan operator, sedangkan perforasi patologi terjadi karena proses karies yang meluas dan adanya resorpsi.1-4 perforasi akar oleh bur dan rimer yang digerakkan oleh mesin merupakan kegagalan yang sering terjadi.5 faktor yang mempengaruhi terjadinya perforasi iatrogenik antara lain adalah posisi gigi yang salah seperti inklinasi gigi yang berubah, identifikasi bentuk dan letak saluran akar yang kurang tepat serta adanya restorasi yang mempersulit akses ke saluran akar.6-9 perforasi akar berdasarkan letak terjadinya dibagi menjadi 3 yaitu perforasi apeks, perforasi lateral (ditengah-tengah akar) dan perforasi akar daerah korona. perforasi apeks biasanya disebabkan karena instrumentasi saluran akar yang melewati konstriksi apeks.10 perforasi apeks atau yang biasa juga dikenal dengan perforasi sepertiga apikal disebabkan karena pengukuran panjang kerja yang tidak benar atau tidak dapat mempertahankan panjang kerja sehingga menyebabkan perforasi pada foramen apikal.10,11 penggunaan file yang terlalu agresif juga dinilai menjadi penyebab terjadinya perforasi ini.11 perforasi lateral atau perforations of the middle third terjadi saat dilakukan preparasi saluran akar.11 perforasi ini biasanya disebabkan karena operator kurang mampu mempertahankan file sesuai dengan kelengkungan akar saat melakukan preparasi,10,11 penggunaan file yang terlalu besar ataupun salah identifikasi bentuk lengkung saluran akar.11 sedangkan perforasi akar dikorona atau perforations of the coronal third biasanya terjadi selama open akses ketika operator berupaya untuk mencari orifice.10,11 kesalahan operator dalam mengidentifikasi atap pulpa dan adanya kalsifikasi pada ruang pulpa menjadi faktor penyebab terjadinya perforasi di korona.11 berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan hasil perawatan, perforasi akar dibedakan menjadi tujuh yaitu fresh perforation, old perforation, small perforation, large perforation, coronal perforation, crestal perforation dan apical perforation. fresh perforation adalah perforasi yang langsung dilakukan perawatan setelah terjadi perforasi. old perforation adalah perforasi yang tidak langsung dilakukan perawatan setelah terjadi perforasi. dalam kasus ini kemungkinan telah terjadi infeksi bakteri. small perforation adalah kerusakan mekanik pada jaringan masih minimal, lebih kecil dari file nomor 20. sedangkan large perforation terjadi pada saat atau setelah preparasi dengan kerusakan signifikan pada jaringan dan kesulitan untuk isolasi saliva atau terjadi kebocoran korona pada restorasi sementara.12 coronal perforation terjadi dari koronal sampai tulang crestal dan perlekatan epitel dengan minimal kerusakan yang mendukung jaringan dan akses yang mudah. crestal perforation terjadi dari perlekatan epitel hingga tulang crestal. sedangkan apical perforation adalah perforasi yang terjadi dari apikal sampai tulang cristal dan perlekatan epitel. diantara ketujuh jenis perforasi yang mempunyai prognosis baik adalah fresh perforation, small perforation, coronal perforation dan apical perforation.12 perforasi dapat didiagnosis melalui perdarahan langsung, perdarahan tidak langsung dengan paper point, foto rontgen, dan dengan apex locator.13 apex locator menjadi alat yang dinilai mampu untuk mendeteksi adanya perforasi akar. foto rontgen periapikal dibutuhkan untuk mengetahui lokasi terjadinya perforasi yang ditunjukkan adanya gambaran insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 61 radiolusen antara gigi dengan jaringan periodontal.14 foto rontgen ini akan mendapatkan hasil yang semakin pasti apabila didukung dengan cone-beam computed tomography (cbct). dengan cbct, lokasi terjadinya perforasi dapat terlihat sangat jelas dan mampu menjadi pedoman kuat untuk menentukan diagnosis serta prognosis dari perforasi yang terjadi.15,16 prognosis dari perforasi endodonti dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah waktu terjadinya perforasi, lokasi perforasi dan besarnya perforasi.14 perforasi menjadi salah satu penyebab kegagalan perawatan endodonti. sekitar 2-12% perforasi disebabkan oleh kesalahan operator.3 perforasi harus didiagnosis secara cepat dan dilakukan perawatan secara tepat. perforasi yang tidak dilakukan perawatan dengan tepat akan mengakibatkan infeksi lebih lanjut seperti inflamasi hingga terjadi abses.3,8 perawatan non bedah dengan menumpat bagian perforasi menggunakan bahan yang tidak mudah terkikis saliva merupakan alternatif perawatan untuk perforasi korona.11,15 tujuan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan perawatan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui. laporan kasus seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang ke rumah sakit islam gigi dan mulut (rsigm) sultan agung semarang bersama ibunya untuk memeriksakan gigi belakang bawah kanan. menurut ibunya anaknya sering mengeluh gigi sakit tiba-tiba sejak tiga bulan yang lalu. sakit yang dirasakan mengganggu aktivitas anaknya. anak menjadi susah makan karena saat makan gigi terasa lebih sakit. sudah diberi obat namun sakit hilang timbul. belum pernah diperiksakan ke dokter gigi sebelumnya. ibu pasien ingin gigi anaknya dirawat agar tidak sakit lagi. pemeriksaan objektif pada gigi 84 terdapat kavitas oklusal dengan kedalaman pulpa tertutup, sondasi (+), perkusi (-), palpasi (-), mobilitas (-), drag (-) dan vitalitas (+). pemeriksaan radiografis terlihat adanya kavitas pada oklusal dengan kedalaman pulpa, tidak terlihat area radiolusen pada daerah periapikal. diagnosis yang ditegakkan pada gigi 84 adalah karies profunda dengan pulpitis irreversible. rencana perawatan adalah pulpektomi devital dengan tumpatan tetap stainless steel crown (ssc). kunjungan pertama pada tanggal 23 desember 2014 dilakukan pemeriksaan subjektif, objektif dan penunjang. orang tua pasien diberi penjelasan tentang keadaan gigi anaknya, rencana perawatan yang meliputi prosedur perawatan serta waktu perawatan. setelah orang tua pasien menyetujui seluruh prosedur perawatan, orang tua pasien menandatangani informed consent. gigi dibersihkan dari jaringan nekrotik yang dilanjutkan dengan pembukaan akses kavitas dan pembukaan atap pulpa. saat dilakukaan pembukaan gambar 1. gambaran klinis kunjungan pertama gambar 2. gambaran radiografis kunjungan pertama nendika dyah ayu murika sari, sandy cristiono | penatalaksanaan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui 62 atap pulpa terjadi bleeding, pembukaan atap pulpa dihentikan dan dilanjutkan dengan devital menggunakan bahan devital dan ditutup dengan tumpatan sementara cavit. kunjungan kedua pada tanggal 30 desember 2014 dilakukan pemeriksaan subjektif dan objektif kemudian dilanjutkan dengan pembukaan tumpatan sementara yang dilanjutkan dengan foto rontgen untuk menghitung panjang kerja. setelah didapatkan panjang kerja masing masing saluran akar yaitu saluran akar distal dan saluran akar mesiobuccal, dilanjutkan dengan preparasi saluran akar, setiap pergantian file dilakukan irigasi dengan saline. setelah preparasi, saluran akar dilakukan sterilisasi dengan chresophene dan ditutup dengan tumpatan sementara cavit. kunjungan ketiga pada tanggal 7 januari 2015 dilakukan pemeriksaan subjektif dan objektif kemudian dilanjutkan dengan pembukaan tumpatan sementara yang dilanjutkan dengan pencarian saluran akar mesiolingual. setelah dilakukan pembuaan dengan bur kemudian terjadi bleeding , pembukaan atap pulpa dihentikan dan dilanjutkan dengan devital menggunakan bahan devital pada akar mesiolingual. pada akar distal dan mesiobuccal dilakukan sterilisasi dengan paper point kemudian ditumpat dengan tumpatan sementara cavit. kunjungan keempat pada tanggal 23 februari 2015 dilakukan pemeriksaan subjektif dan objektif kemudian dilanjutkan dengan pembukaan tumpatan sementara. pada saat dilakukan eksplorasi saluran akar mesiolingual terjadi bleeding, kemudian dilakukan foto rontgen. dari gambaran rontgen terlihat adanya perforasi korona pada mesial gigi 84. perawatan dilanjutkan dengan sterilisasi chkm (chlorophenol kamfer menthol) pada kedua saluran akar yaitu saluran akar distal dan mesial kemudian ditumpat dengan tumpatan sementara cavit serta memastikan daerah perforasi tertutup dengan baik. gambar 3. gambaran perforasi korona kunjungan kelima pada tanggal 2 maret 2015 dilakukan pemeriksaan subjektif dan objektif kemudian dilanjutkan dengan pembukaan tumpatan sementara. perawatan dilanjutkan dengan obturasi saluran akar menggunakan zinc oxide eugenol formokresol menggunakan lentulo low speed dan saluran akar diisi sampai sebatas orifice. kavitas selanjutnya ditumpat dengan zinc phospat cement dan dilanjutkan dengan foto rontgen untuk melihat hasil pengisian saluran akar serta daerah yang perforasi (gambar 4). kunjungan keenam pada tanggal 6 april 2015 untuk dilakukan penumpatan akhir yaitu dengan stainless steel crown (ssc). pasien kontrol pada kunjungan ketujuh yaitu tanggal 18 april 2015 dilakukan pemeriksaan subjektif, objektif dan radiografis. pemeriksaan radiografis tampak daerah perforasi pada daerah korona saluran akar mesial telah terpreparasi saat dilakukan preparasi tumpatan stainless steel crown (ssc). gambar 4. setelah obturasi dan penutupan perforasi dengan zinc phospat cement insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 63 gambar 5. post restorasi stainless steel crown gambar 6. kontrol post ssc pembahasan pada kasus ini, perforasi yang terjadi merupakan perforasi iatrogenik. operator melakukan kesalahan yaitu pada saat pencarian orifice terlalu mengarah ke lateral sehingga bur mengikis gigi dan terjadi perforasi korona (gambar 4). perforasi korona terjadi dari korona sampai tulang crestal dan perlekatan epitel dengan minimal kerusakan yang mendukung jaringan dan akses yang mudah.19 perforasi yang terjadi di korona paling sering disebabkan karena kesalahan operator saat melakukan pembukaan atap pulpa.10,11 pemeriksaan radiografi sebelum dilakukan pembukaan atap pulpa mutlak menjadi syarat utama untuk mengetahui bentuk akar, kedalaman pulpa dan letak percabangan akar. dalam sebuah penelitian mengatakan bahwa paling banyak anatomi saluran akar gigi molar sulung antara 2 hingga 4.19,20 keberhasilan pulpektomi yang terjadi perforasi dipengarui oleh beberapa faktor. faktor tersebut antara lain adalah waktu terjadinya perforasi, ukuran dan tempat terjadinya perforasi.12,21,22 pemeriksaan radiografi harus segera dilakukan untuk mengetahui letak serta ukuran daerah perforasi. foto rontgen bisa dengan periapikal atau jika menginginkan hasil yang pasti letak dan ukuran perforasi dapat menggunakan rontgen cbct.14-16 gambaran rontgen tersebut dapat dijadikan salah satu pedoman untuk menentukan perawatan dan prognosis.15,16 keberhasilan manajemen perforasi dapat dicapai dengan perawatan segera dan sedini mungkin dengan bahan yang digunakan sesuai dengan lokasi dan ukuran dari perforasi tersebut.23 penelitian pada anjing, perforasi akar yang dirawat segera akan menghasilkan hasil yang baik. respon penyembuhan yang baik dibuktikan apabila langsung dilakukan perawatan pada tempat perforasi.24 sedangkan penyembuhan periodontal pada monyet saat terjadi perforasi akar, disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan tinggi apabila di obturasi langsung dan dengan tehnik aseptik yang bagus. untuk meminimalkan infeksi yang muncul akibat dari perforasi maka waktu terbaik untuk memperbaiki adalah sesaat setelah terjadi perforasi.25 fresh perforations terjadi biasanya diikuti dengan perdarahan. perdarahan harus dikontrol terlebih dahulu dengan memberikan tekanan pada daerah perdarahan atau diirigasi dengan isolasi yang memadai. perdarahan dapat dikontrol dengan menggunakan hemostatic agent seperti memberikan kalsium hidroksida pada saturan akar dan didiamkan selama kurang lebih 4-5 menit, kemudian diirigasi dengan naocl, prosedur ini diulangi sebanyak 2-3 kali.23 ukuran perforasi mempengaruhi dari hasil perawatan. menurut penelitian pada gigi molar mandibula anjing, pada perforasi kecil menunjukkan respon penyembuhan yang lebih baik nendika dyah ayu murika sari, sandy cristiono | penatalaksanaan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui 64 dibandingkan pada perforasi yang lebih besar.25 perforasi yang besar dapat menyebabkan masalah yang lebih lanjut karena memungkinkan iritasi bakteri yang terus menerus pada daerah perforasi.25,26 lokasi perforasi mempengaruhi prognosis dari perawatan selanjutnya. perforasi yang berada dekat antara tulang crestal dan perlekatan epitel akan memungkinkan kontaminasi bakteri dari lingkungan mulut dengan sulkus gingiva. perforasi pada apikal tulang crestal dan perlekatan epitel dianggap memiliki prognosis paling baik.12,21 kecekatan dalam perawatan perforasi dalam kasus ini akan membuat resiko keterlibatan jaringan periodontal berkurang sehingga membuat prognosis baik.21 perawatan untuk perforasi ada 2 macam yaitu perawatan secara non bedah dan perawatan secara bedah.6,17 dalam perawatan non bedah bahan yang biasa digunakan adalah amalgam, cavit, indium foil, zinc-oxide cements, ethoxybenzoic acid cement, composites dan glass ionomers yang telah terbukti dapat bertahan hingga bertahun tahun.4,27 ethoxybenzoic acid cement merupakan bahan semen gigi yang komponen utamanya adalah asam benzoat etoksi, dirancang untuk menghasilkan efek pengerasan dalam mulut. semen ini terdiri dari bubuk dasar (seng oksida, alumunium oksida) dan cairan asam (asam benzoat etoksi) yang di campur. fungsinya memiliki ketahanan terhadap saliva, tidak mengiritasi pulpa dan gingiva.27-29 pilihan bahan ditentukan oleh letak serta besarnya perforasi. untuk perforasi supracrestal diperlukan bahan yang tidak mudah terkisis oleh cairan mulut atau abrasi dan erosi oleh makanan, pasta gigi atau obat kumur. bahan yang tahan terhadap abarasi dan erosi antara lain adalah amalgam, emas, komposit atau restorasi logam cor. margin restorasi logam cor dapat diperluas sampai daerah perforasi.30-32 pemilihan restorasi akhir pada kasus ini adalah stainless steel crown (ssc) karena ssc merupakan salah satu bahan yang tidak mudah terkikis oleh saliva sehingga tepat untuk menutup area perforasi agar tidak terkontaminasi bakteri. kesimpulan perawatan perforasi korona dengan non bedah pada pulpektomi gigi decidui dilakukan dengan menutup daerah perforasi menggunakan zinc phospat cement dan dilanjutkan penumpatan akhir dengan stainless steel crown (ssc) memiliki prognosis baik karena stainless steel crown (ssc) memiliki ketahanan terhadap saliva dan tidak mengiritasi pulpa ataupun gingiva. daftar pustaka 1. ree, m., & schwartz, r. management of perforations: four cases from two private practices with medium-to long-term recalls. j. endod. 2012; 38(10): 1422-1427. 2. american association of endodontists. glossary of endodontic terms. 9th ed. chicago: american association of endodontists. 2016; 150. 3. estrela, c., decurcio, d. d. a., rossifedele, g., silva, j. a., guedes, o. a., & borges, á. h. root perforations: a review of diagnosis, prognosis and materials. braz oral res. 2018; 32(e73): 133-146. 4. r, krishna., sn, ali., d, pannu., me, peacock., dl, bercowski. an orderly review of dental root resorption. ijmds. 2015; 4(1): 669-673. 5. grossman, louis i., abyono, rafiah., rio, carlos e del., oliet, seymour., ilmu endodontik dalam praktek ed 11. jakarta: egc. 1995 6. lanker, a., fathey, w., samar, s., imranulla, m., & pasha, s. nonsurgical management of iatrogenic lateral root perforation: a case report. j res med sci. 2018; 6(5): 1804-1807. 7. tsesis, i., & fuss, z. v. i. diagnosis insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 65 and treatment of accidental root perforations. endod topics. 2006; 13(1): 95-107. 8. tabassum, s., & khan, f. r. failure of endodontic treatment: the usual suspects. eur j dent. 2016; 10(01): 144-147. 9. hargreaves, kenneth m., cohen, stephen., berman, louis h., cohen’s pathways of the pulp 11th ed. st. louis: elservier. 2011; 324-86. 10. walton, richad e., mahmoud, torabinejad. prinsip & praktik ilmu endodontia ed 3. jakarta: egc. 2008. 11. saed, s. m., ashley, m. p., & darcey, j. root perforations: aetiology, management strategies and outcomes. the hole truth. br dent j. 2016; 220(4): 171-180. 12. fuss, z., & trope, m. root perforations: classification and treatment choices based on prognostic factors. dent traumatol. 1996; 12(6): 255-264. 13. fuss, z., tsesis, i., & lin, s. root resorption–diagnosis, classification and treatment choices based on stimulation factors. dent traumatol. 2003; 19(4): 175-182. 14. mani, a., shoba, k., aman, s., & abhilash, r. non surgical endodontic management of calcified maxillary central incisor complicated by iatrogenic root perforation. iosrjdms. 2019; 18(5): 28-30. 15. abella, f., morales, k., garrido, i., pascual, j., duran-sindreu, f., & roig, m. endodontic applications of cone beam computed tomography: case series and literature review. g ital endod. 2015; 29(2): 38-50. 16. mcclammy, t. v. endodontic applications of cone beam computed tomography. dent clin north am. 2014; 58(3): 545-559. 17. kaushik, a., talwar, s., yadav, s., chaudhary, s., & nawal, r. r. management of iatrogenic root perforation with pulp canal obliteration. saudi endod. j. 2014; 4(3): 141-144. 18. ramaprabha balasubramaniam, d., krishnan, a., & jayakumar, s. restoring the dignity: case reports of root perforation management. int. j. appl. dent. sci. 2017; 3(3): 171-174. 19. mahesh, r., & nivedhitha, m. s. root canal morphology of primary mandibular second molar: a systematic review. saudi endod. j. 2020; 10(1): 1-6. 20. lavanya, s., & sujatha, s. detection of mb2 canal in maxillary primary second molar using cone beam computerized tomography (cbct)an in vitro study. int. j. pharm. sci. res. 2016; 8(4): 220-223. 21. tsesis, i., & fuss, z. v. i. diagnosis and treatment of accidental root perforations. endod topics. 2006; 13(1): 95-107. 22. dotto, r. f., barbosa, a. n., dotto, s. r., & hermes, c. r. sealing of root perforation with glass ionomer cement: a case report. stomatos. 2014; 20(38): 35-46. 23. senthilkumar, v., & subbarao, c. management of root perforation: a review. j. adv. pharm. educ. res.. 2017; 7(2): 54-57. 24. hegde, m., varghese, l., & malhotra, s. tooth root perforation repair–a review. oral health dent manag. 2017; 16(2): 1-4. 25. indurkar, m. s., & maurya, a. s. effective seal completes the deal: periodontal management of an iatrogenic endodontic perforation. . interdiscip. dent. 2016; 6(2): 87-90. 26. da silva, g. f., guerreiro‐tanomaru, j. m., sasso‐cerri, e., tanomaru‐ filho, m., & cerri, p. s. histological nendika dyah ayu murika sari, sandy cristiono | penatalaksanaan perforasi korona pada pulpektomi gigi decidui 66 and histomorphometrical evaluation of furcation perforations filled with mta, cpm and zoe. int endod j. 2011; 44(2): 100-110. 27. mohammadi, z., & dummer, p. m. h. properties and applications of calcium hydroxide in endodontics and dental traumatology. int endod j. 2011; 44(8): 697-730. 28. sharma, s., kumar, v., & logani, a. management of long-standing perforation with mineral trioxide aggregate using metronidazolecontaining collagen as an internal matrix. saudi endod. j.. 2017; 7(2):123-127. 29. aminov, l., moscalu, m., melian, a., salceanu, m., hamburda, t., & vataman, m. clinical-radiological study on the role of biostimulating materials in iatrogenic furcation lesions. rev. med. chir. soc. med. nat. iasi. 2012; 116(3): 907-913. 30. mohan, s. m., gowda, e. m., & shashidhar, m. p. clinical evaluation of the fiber post and direct composite resin restoration for fixed single crowns on endodontically treated teeth. med j. armed forces india. 2015; 71(3): 259-264. 31. parveen, s., hossain, m., sheikh, m. a. h., & abdin, m. j. repair of iatrogenic furcal perforation with glass ionomer cement. bangabandhu sheikh mujib med. univ. j.. 2018; 11(1), 7074. 32. wycall, b. t. root perforations. gen. dent. 2003; 51(3): 242-244. 34 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . fuad fatkhurrohman, ana medawati efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik the effectifity siwak wood etanolic (savadora persica l.) extract with percolation methode againts growth of staphylococcus aureus isolate 248 that multiantibiotic resistance fuad fatkhurrohman1, ana medawati2 1pns, dokter gigi puskesmas bejen, kabupaten temanggung, jawa tengah. 2dosen departemen biomedis kedokteran gigi, program studi pendidikan dokter gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta. corresponding: drg.fuad@gmail.com abstract siwak (salvadore persica) is one of alternatif plant which contains antimicroba. siwak wood contains subject of active antimicribial, such as saponin, terpenoid, and fenol which effective in killing and inhibiting some the growth of oral aerob and anaerob bactery also as non fungal. the research has purpose to search the effectivity of siwak wood etanol extract antibactery with percolation method to isolat 248 s. aureus growth to amicacyn, amoxicilyn, amphycilyin,eritromicyn, canamicyn, chloramphenicol, mesilynam, penicilyn g, sefepym, seltadizym, sefotacsym, seftriacson, sefurocym, and tetraciclyn. this research was experimental study (in vitro) in microbiology laboratory of medical faculty of gadjah mada university yogyakarta, trough antibactery potention test of liquid dilution method. siwak stick was made etanol extract using percolation method and made various concetration from 0, 09 up to 25%. antibactery capacity was determined by measurement of minimal killing value measuarement was based on the smallest consentration which can be kill bactery continuously by observation the growing of isolat 248 s. aureus colony. the result shows that siwak wood etanol extract with percolation method has minimal killing value in 25% concentration to isolat 248 s. aureus. key word : antibactery, salvadora persica, s.aureus, abstrak siwak (salvadora persica) merupakan salah satu tanaman alternatif yang mengandung antimikroba. ekstrak siwak dengan metode perkolasi mengandung senyawa aktif antimikrobial, seperti saponin, terpenoid, dan fenol. kandungan tersebut efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri mulut aerob dan anaerob serta antifungal. penelitian ini bertujuan mengkaji efektifitas anti bakteri ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan s. aureus isolat 248 yang resisten terhadap amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksim, dan tetrasiklin. penelitian ini termasuk penelitian laboratorium bersifat eksperimental yang dilakukan secara observasional in vitro di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada dengan uji potensi antibakteri metode dilusi cair. bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi yang telah diencerkan pada konsentrasi 25 % hingga 0,09 %. daya antibakteri ditentukan dengan menilai (kbm ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi. 35 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik the effectifity siwak wood etanolic (savadora persica l.) extract with percolation methode againts growth of staphylococcus aureus isolate 248 that multiantibiotic resistance fuad fatkhurrohman1, ana medawati2 1pns, dokter gigi puskesmas bejen, kabupaten temanggung, jawa tengah. 2dosen departemen biomedis kedokteran gigi, program studi pendidikan dokter gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta. corresponding: drg.fuad@gmail.com abstract siwak (salvadore persica) is one of alternatif plant which contains antimicroba. siwak wood contains subject of active antimicribial, such as saponin, terpenoid, and fenol which effective in killing and inhibiting some the growth of oral aerob and anaerob bactery also as non fungal. the research has purpose to search the effectivity of siwak wood etanol extract antibactery with percolation method to isolat 248 s. aureus growth to amicacyn, amoxicilyn, amphycilyin,eritromicyn, canamicyn, chloramphenicol, mesilynam, penicilyn g, sefepym, seltadizym, sefotacsym, seftriacson, sefurocym, and tetraciclyn. this research was experimental study (in vitro) in microbiology laboratory of medical faculty of gadjah mada university yogyakarta, trough antibactery potention test of liquid dilution method. siwak stick was made etanol extract using percolation method and made various concetration from 0, 09 up to 25%. antibactery capacity was determined by measurement of minimal killing value measuarement was based on the smallest consentration which can be kill bactery continuously by observation the growing of isolat 248 s. aureus colony. the result shows that siwak wood etanol extract with percolation method has minimal killing value in 25% concentration to isolat 248 s. aureus. key word : antibactery, salvadora persica, s.aureus, abstrak siwak (salvadora persica) merupakan salah satu tanaman alternatif yang mengandung antimikroba. ekstrak siwak dengan metode perkolasi mengandung senyawa aktif antimikrobial, seperti saponin, terpenoid, dan fenol. kandungan tersebut efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri mulut aerob dan anaerob serta antifungal. penelitian ini bertujuan mengkaji efektifitas anti bakteri ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan s. aureus isolat 248 yang resisten terhadap amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksim, dan tetrasiklin. penelitian ini termasuk penelitian laboratorium bersifat eksperimental yang dilakukan secara observasional in vitro di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada dengan uji potensi antibakteri metode dilusi cair. bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi yang telah diencerkan pada konsentrasi 25 % hingga 0,09 %. daya antibakteri ditentukan dengan menilai (kbm ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi. pengukuran kbm didasarkan pada konsentrasi terkecil yang masih dapat membunuh bakteri, dengan melihat pertumbuhan koloni s. aureus isolat 248 pada agar darah. hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi memiliki kbm pada konsentrasi 25 % terhadap s. aureus isolat 248. hal ini membuktikan bahwa ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi memiliki pengaruh dalam menghambat pertumbuhan s. aureus isolat 248. penelitian dilakukan sebanyak tiga seri penelitian dengan tujuan agar diperoleh hasil yang lebih reliabel. kata kunci : antibakteri, salvadora persica, s. aureus, pendahuluan penggunaan antibiotik sekarang ini telah membuat beberapa kuman penyebab penyakit menjadi resisten. hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang bersumber dari pengguna (pasien) maupun tenaga kesehatan. penggunaan antibiotik yang berlebihan dan kurang terarah mendorong terjadinya perkembangan resistensi bakteri di masyarakat. pengguna an antibiotik harus memperhatikan petunjuk pemberian, pemilihan antibiotik, dosis, dan lama pengobatan. petunjuk pemberian menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan perkiraan kuman yang paling sering menginfeksi dan tingkat infeksinya. pemilihan antibiotik akan berkaitan dengan spektrum antibiotik sebagai perwujudan kebutuhan daya anti-bakteri dalam menghambat atau membu nuh bakteri yang patogen. selain itu, pemilihan antibiotik yang benar akan bermanfaat dalam mencegah terbunuhnya mikroorganisme nontarget dan timbulnya multiresistensi, serta biaya lebih efektif dan efisien.1 kasus resistensi bakteri pada akhirakhir ini meningkat seiring dengan ditemukannya antibiotika baru. kini sekitar 40% dari bakteri staphylococcus aureus yang dapat diisolasi di rumah sakit, diketahui kebal terhadap semua antibiotik, kecuali terhadap vankomisin. tapi suatu saat bakteri ini akan membentuk mutan (bakteri yang bermutasi dan mempunyai sifat-sifat baru) yang juga kebal terhadap gempuran vankomisin seperti vancomycinresistant staphylococcus aureus (vrsa) dan vancomycin-resistant enterococcus (vre). timbulnya resistensi tersebut mengakibatkan kegagalan dalam penanggu langan penyakit infeksi. sehingga untuk mengatasinya diperlukan obat pengganti yang umumnya selain lebih mahal juga lebih tinggi toksisitasnya. mahalnya harga obat memberi kemungkinan banyak pasien hanya membeli obat sebatas kemampuan nya, sehingga jumlahnya kurang dari dosis yang diperlukan.2 salah satu alternatif untuk menang gulangi mahalnya harga obat adalah pemakaian tanaman obat yang mengandung sifat antibakteri. salah satu tanaman antimikroba yang menjadi alterna tif adalah tanaman siwak (salvadora persica). penggunaan siwak (salvadora persica) sudah banyak dikenal oleh masyarakat muslim sejak berabad-abad yang lalu yang pada awalnya banyak digunakan oleh masyarakat arab. pada awalnya, pertimbangan penggunaannya banyak dikarenakan oleh faktor sosial dan agama. hasil penelitian kayu siwak mengham bat aktivitas bakteri mulut yang aerob dan anaerob. sebab, ekstrak siwak mengan dung properti antimikrobial terutama antibakterial yang sangat efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri dan antifungal.3 hal ini didukung pula dari penelitian yang 36 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . fuad fatkhurrohman, ana medawati efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik melaporkan bahwa komponen kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh dalam menghilangkan plak dan mereduksi virulensi bakteri periodontopathogenic.4 hal ini sesuai dengan penelitian tentang analisa kandungan batang kayu siwak kering (salvadora persica) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% kemudian dilanjutkan dengan eter lalu diteliti kandungannya melalui prosedur kimia exhaustive chemical procedure (ecp) menunjukkan bahwa siwak mengandung zat-zat kimia, seperti : trimetilamin, alkaloid yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin c, serta sejumlah kecil tanin, saponin, flavonoid dan sterol.5 staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi seperti pada jerawat, bisul, pneumonia dan lainnya. staphylococcus aureus merupakan penye bab kedua terbesar peradangan rongga mulut setelah bakteri streptococcus alpha. staphylococcus aureus menyebab kan berbagai jenis peradangan pada rongga mulut, seperti parotitis, cellulitis, angular cheilitis dan periodontal abscess.2 kuman yang resisten terhadap antibiotika semakin lama semakin banyak. diantara isolat yang diteliti di laboratorium mikrobiologi klinik fkui ditemukan bahwa myt hycillin resistant staphylococcus aureus (mrsa) dari tahun ke tahun selalu meningkat.6 methycillin resistant staphylococcus aureus (mrsa) merupakan suatu strain yang multiresisten terhadap berbagai jenis antibiotik. hal ini sangat penting dalam bidang kedokteran gigi untuk dapat dimanfaatkan untuk menghambat pertum buhan bakteri staphylococcus aureus yang resisten multiantibiotik, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji tingkat efektifitas siwak (salvadora persica) dalam menghambat pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus yang resisten multi antibiotik. dengan demikian daya guna siwak dapat dikembangkan sebagai salah satu alternatif untuk penanggulangan penyakit infeksi terutama di rongga mulut, khususnya pada kasus infeksi staphylococcus aureus yang resisten multiantibiotik. metode penelitian subyek penelitian ini adalah bakteri s. aureus isolat 248 yang resisten terhadap amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksim, dan tetrasiklin yang dibiakkan pada media agar darah. pengujian dilakukan dengan pengulangan tiga kali untuk setiap sampel kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. kelompok perlakuan merupakan pengenceran ekstrak etanol kayu siwak dengan konsentrasi 25 % b/v, 12,5 % b/v, 6,25 % b/v, 3,12 % b/v, 1,56 % b/v, 0,78 % b/v, 0,38 % b/v, 0,19 % b/v dan 0,09 % b/v. kelompok kontrol terdiri dari kontrol positif yaitu suspensi bakteri dalam bhi-ds dan kontrol negatif yaitu sisa pengenceran ekstrak etanol kayu siwak. daya antibakteri pada masing-masing konsentrasi diukur dengan melihat pertumbuhan bakteri dalam agar darah. pembuatan bahan ekstrak kayu siwak dilakukan di laboratorium biologi fakultas farmasi universitas gadjah mada yogyakarta. pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode perkolasi dengan bahan pelarut etanol 70 %. pembuatan ekstrak 37 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 melaporkan bahwa komponen kimiawi ekstrak kayu siwak sangat ampuh dalam menghilangkan plak dan mereduksi virulensi bakteri periodontopathogenic.4 hal ini sesuai dengan penelitian tentang analisa kandungan batang kayu siwak kering (salvadora persica) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% kemudian dilanjutkan dengan eter lalu diteliti kandungannya melalui prosedur kimia exhaustive chemical procedure (ecp) menunjukkan bahwa siwak mengandung zat-zat kimia, seperti : trimetilamin, alkaloid yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin c, serta sejumlah kecil tanin, saponin, flavonoid dan sterol.5 staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi seperti pada jerawat, bisul, pneumonia dan lainnya. staphylococcus aureus merupakan penye bab kedua terbesar peradangan rongga mulut setelah bakteri streptococcus alpha. staphylococcus aureus menyebab kan berbagai jenis peradangan pada rongga mulut, seperti parotitis, cellulitis, angular cheilitis dan periodontal abscess.2 kuman yang resisten terhadap antibiotika semakin lama semakin banyak. diantara isolat yang diteliti di laboratorium mikrobiologi klinik fkui ditemukan bahwa myt hycillin resistant staphylococcus aureus (mrsa) dari tahun ke tahun selalu meningkat.6 methycillin resistant staphylococcus aureus (mrsa) merupakan suatu strain yang multiresisten terhadap berbagai jenis antibiotik. hal ini sangat penting dalam bidang kedokteran gigi untuk dapat dimanfaatkan untuk menghambat pertum buhan bakteri staphylococcus aureus yang resisten multiantibiotik, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji tingkat efektifitas siwak (salvadora persica) dalam menghambat pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus yang resisten multi antibiotik. dengan demikian daya guna siwak dapat dikembangkan sebagai salah satu alternatif untuk penanggulangan penyakit infeksi terutama di rongga mulut, khususnya pada kasus infeksi staphylococcus aureus yang resisten multiantibiotik. metode penelitian subyek penelitian ini adalah bakteri s. aureus isolat 248 yang resisten terhadap amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksim, dan tetrasiklin yang dibiakkan pada media agar darah. pengujian dilakukan dengan pengulangan tiga kali untuk setiap sampel kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. kelompok perlakuan merupakan pengenceran ekstrak etanol kayu siwak dengan konsentrasi 25 % b/v, 12,5 % b/v, 6,25 % b/v, 3,12 % b/v, 1,56 % b/v, 0,78 % b/v, 0,38 % b/v, 0,19 % b/v dan 0,09 % b/v. kelompok kontrol terdiri dari kontrol positif yaitu suspensi bakteri dalam bhi-ds dan kontrol negatif yaitu sisa pengenceran ekstrak etanol kayu siwak. daya antibakteri pada masing-masing konsentrasi diukur dengan melihat pertumbuhan bakteri dalam agar darah. pembuatan bahan ekstrak kayu siwak dilakukan di laboratorium biologi fakultas farmasi universitas gadjah mada yogyakarta. pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode perkolasi dengan bahan pelarut etanol 70 %. pembuatan ekstrak dibagi dalam dua tahap. tahap pertama adalah pembasahan. 450 gr serbuk kayu siwak ditambahkan pelarut etanol 70 % sebanyak ½ sampai banyak dari bobot serbuk, sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan hati-hati. biarkan terendam selama 2 jam. tahap kedua disebut dengan perkolasi. pada tahap ini bagian bawah perkolator diisi dengan kapas kemudian diberi kertas saring diatasnya. tambahkan serbuk kayu siwak yang sudah dibasahi dan tambahkan pelarut sampai kurang lebih ¾ perkolator. biarkan selama semalam. keesokan harinya kran perkolator dibuka perlahan. perkolat ditampung dalam wadah yang disediakan. perhatikan pelarut di atas serbuk dalam perkolator, jika hampir mencapai permukaan serbuk tambahkan pelarut lagi. perkolasi dilanjutkan sampai cairan di atas serbuk jernih. perkolat yang diperoleh diuapkan dalam cawan porselin dengan pemanasan di atas penangas air disertai dengan pengurangan tekanan hingga diperoleh ekstrak kental seberat 45 gr. uji daya antibakteri diukur dengan menentukan khm dan kbm yang menggunakan metode dilusi cair. konsentrasi awal diperoleh dengan mengencerkan ekstrak etanol kayu siwak melalui perbandingan 1 gr ekstrak dengan aquades steril 1 ml (berat/volume), sehingga dihasilkan konsentrasi awal sebesar 50%. siapkan 11 tabung yang diberi nomor kemudian dimasukkan aquades sebanyak 1 ml masing-masing pada tabung 1-9. konsentrasi pengenceran awal sebesar 50% dimasukkan pada tabung 1 sehingga didapat konsentrasi perlakuan sebesar 25%. dari tabung 1 diambil 1 ml dan masukkan ke dalam tabung 2, campur hingga homogen. dari tabung 2 diambil 1 ml untuk dimasukkan ke tabung 3 dan seterusnya sampai tabung 9 (konsentrasi terkecil). diambil 1 ml dari tabung 9 lalu dimasukkan ke dalam tabung 10 dan digunakan sebagai kontrol negatif. 1 ml suspensi bakteri 106 cfu/ml dimasukkan ke dalam tabung 1-9 dan tabung 11 untuk kemudian sebagai kontrol positif. semua tabung diinkubasi pada 37 0c selama 18-24 jam. dengan menggunakan ose steril, setiap tabung diambil satu ose dan digoreskan pada agar darah kemudian diinkubasi pada 37 0c selama 18-24 jam. hasil hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 25% dari percobaan i dan iii didapatkan hasil negatif (-). sedangkan pada percobaan ii didapatkan hasil positif (+) yang disebabkan karena dalam penentuan suspensi bakteri yang berdasarkan standar mac farland bersifat subyektif. sehingga kbm rata-rata pada penelitian ini adalah 25 %, seperti terlihat pada tabel . penentuan kbm dilakukan dengan pengamatan pada media agar, yaitu dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan koloni bakteri staphylococcus aureus isolat 248 pada goresan agar darah. hasil negatif (-) pada tabel menyatakan bahwa pada konsentrasi tersebut tidak ada pertumbuhan koloni bakteri staphylococcus aureus isolat 248 pada goresan agar darah. konsentrasi bahan uji dalam persen (%) adalah konsentrasi ekstrak kayu siwak dengan metode perkolasi setelah dicampur dengan suspensi bakteri 106 cfu/ml (v/v). kontrol positif penelitian ini adalah tabung berisi suspensi bakteri 106 cfu/ml dan kontrol negatif berisi sisa ekstrak. 38 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . fuad fatkhurrohman, ana medawati efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik tabel 1. efek antibakteri ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica) dengan metode perkolasi terhadap s. aureus isolat 248 secara in vitro tabung kekonsentrasi bahan uji (%) i ii iii 1 25% + 2 12,5% + + + 3 6,25% + + + 4 3,12% + + + 5 1,56% + + + 6 0,78% + + + 7 0,39% + + + 8 0,19% + + + 9 0,09% + + + 10 kontrol positif (suspensi bakteri 106 cfu/ml) + + + 11 kontrol negatif (sisa ekstrak) keterangan : + : terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada media agar darah. : tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada media agar darah. pengamatan penelitian ini dilakukan percobaan sebanyak tiga kali agar diperoleh hasil yang lebih konsisten. pembuatan konsentrasi ekstrak dalam 9 tingkatan dengan pertimbangan bahwa konsentrasi tersebut sudah mewakili konsentrasi ekstrak tertinggi sampai terendah. pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica) dengan metode perkolasi memiliki daya antibakteri terhadap staphylococcus aureus isolat 248 secara in vitro. bakteri uji yang digunakan adalah staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik terhadap 14 jenis antibiotik, yaitu : amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksin dan tetrasiklin. uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode dilusi cair. dipilih metode ini karena memiliki kelebihan dibandingkan metode difusi yaitu lebih peka dan terjamin homogenitas antara media, bahan uji dan suspensi bakteri, sehingga bahan uji lebih mudah berinteraksi dengan bakteri karena suspensi bakteri tersebar merata. dengan metode dilusi cair ini dapat 39 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 tabel 1. efek antibakteri ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica) dengan metode perkolasi terhadap s. aureus isolat 248 secara in vitro tabung kekonsentrasi bahan uji (%) i ii iii 1 25% + 2 12,5% + + + 3 6,25% + + + 4 3,12% + + + 5 1,56% + + + 6 0,78% + + + 7 0,39% + + + 8 0,19% + + + 9 0,09% + + + 10 kontrol positif (suspensi bakteri 106 cfu/ml) + + + 11 kontrol negatif (sisa ekstrak) keterangan : + : terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada media agar darah. : tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada media agar darah. pengamatan penelitian ini dilakukan percobaan sebanyak tiga kali agar diperoleh hasil yang lebih konsisten. pembuatan konsentrasi ekstrak dalam 9 tingkatan dengan pertimbangan bahwa konsentrasi tersebut sudah mewakili konsentrasi ekstrak tertinggi sampai terendah. pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica) dengan metode perkolasi memiliki daya antibakteri terhadap staphylococcus aureus isolat 248 secara in vitro. bakteri uji yang digunakan adalah staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik terhadap 14 jenis antibiotik, yaitu : amikasin, amoksisilin, ampisilin, eritromisin, kanamisin, kloramfenikol, mesilinam, penisilin g, sefepim, seftazidim, sefotaksim, seftriakson, sefuroksin dan tetrasiklin. uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode dilusi cair. dipilih metode ini karena memiliki kelebihan dibandingkan metode difusi yaitu lebih peka dan terjamin homogenitas antara media, bahan uji dan suspensi bakteri, sehingga bahan uji lebih mudah berinteraksi dengan bakteri karena suspensi bakteri tersebar merata. dengan metode dilusi cair ini dapat diketahui kadar hambat minimal (khm) dan kadar bunuh minimal (kbm). namun selama penelitian ini dilakukan, khm sulit teramati akibat terbentuknya suspensi yang keruh yaitu berupa ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi yang berwarna gelap (hitam). sehingga untuk memastikan ada tidaknya pertumbuhan bakteri, pada penelitian ini dilakukan penggoresan larutan uji ke media kultivasi yang sesuai (agar darah). hasil pengamatan yang diperoleh adalah kbm ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus isolat 248. hasil pengamatan penelitian kbm mendapatkan konsentrasi 25% dari bahan uji menunjukkan tidak ditemukan pertumbuhan bakteri pada agar darah. hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri staphylococcus aureus isolat 248 pada media agar darah yang digores dengan larutan konsentrasi tersebut. proses penggoresan dilakukan secara aseptik agar tidak terjadi kontaminasi dari mikroba atau spora fungi yang ada di udara. jika tidak, hasil goresan akan terganggu dimana pada media akan tumbuh bakteri lain yang tidak diteliti. penggunaan kontrol positif berisi suspensi bakteri 106 cfu/ml dan kontrol negatif berisi sisa pengenceran sangat dibutuhkan dalam metode ini. kedua kontrol tersebut dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan tabung uji untuk memastikan ada tidaknya pertumbuhan bakteri dan steril tidaknya media uji. kontrol negatif berisi sisa pengenceran ekstrak tidak boleh ditemukan adanya pertumbuhan koloni bakteri pada media agar darah yang digores dengan kontrol negatif. jika terdapat pertumbuhan koloni bakteri, menunjukan ekstrak yang dijadikan bahan uji terdapat kontaminasi bakteri atau tidak sterilnya bahan uji. sebaliknya, jika pada kontrol positif harus ditemukan pertumbuhan bakteri karena pertumbuhan tersebut menunjukan bakteri dapat tumbuh pada media uji penelitian yaitu agar darah. senyawa aktif dalam ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi yang diduga memiliki daya antibakteri adalah saponin, terpenoid, dan fenol. kandungan tersebut efektif dalam membunuh dan menghambat beberapa pertumbuhan bakteri mulut aerob dan anaerob serta antifungal.3,4 saponin mempunyai rasa yang pahit, bau yang tajam, dan obat yang mengandung saponin biasanya bersifat sternutatory dan mengiritasi membran mukosa. ketika melalui proses hidrolisis saponin menghasilkan aglycone yang disebut sapogenin. karena aglycone mempunyai jumlah yang besar dari atom karbon (c27 to c30) sehingga membuat saponin bersifat lipofilik dan larut dalam air. saponin yang mempunyai sifat racun sering disebut sapotoksin.7 sifat fitokimia saponin memiliki spektrum yang luas terhadap aktivitas antifungal dan antibakteri, menurunkan kolesterol darah, dan menghambat pertumbuhan sel kanker. kandungan saponin dimungkinkan memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan cara penghambatan pertumbuhan bakteri karena sifatnya seperti sabun. sehingga tegangan permukaan antara dinding sel bakteri dengan cairannya dapat diturunkan. selain itu, saponin mampu mengiritasi bakteri dengan mempengaruhi permeabilitas dinding sel bakteri.8 terpenoid adalah metabolit sekunder yang paling besar tersebar pada semua tumbuhan. dari zaman dahulu hingga 40 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . fuad fatkhurrohman, ana medawati efektifitas ekstrak etanol kayu siwak (salvadora persica l.) dengan metode perkolasi terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotik sekarang penggunaan terpenoid sebagai parfum, penyedap rasa, pembunuh serangga dan sebagai anti jamur di bidang kedokteran.9 terpenoid diperoleh dari biosintesis isopren. terpenoid terdiri atas beberapa macam-macam senyawa, mulai dari minyak atsiri, yaitu monoterpen, dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpena yang lebih sukar menguap dan senyawa triterpenoid dan sterol yang tidak menguap dan pigmen karotenoid. secara kimia, terpenoid larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan.10 terpenoid merupakan senyawa hidrokarbon mengandung isoprene dan bisa berupa siklik ataupun non-siklik. kandungan dari siklik terpenoid yaitu αpinene, bersama dengan β-pinene, limonene, dan terpinolene, menunjukkan mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri pada agar darah.11 senyawa fenol adalah aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. beberapa ribu senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya. flavonoid merupakan golongan terbesar, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah besar.10 akan tetapi, ekstrak etanol kayu siwak yang dijadikan sebagai bahan uji penelitian tidak menunjukan adanya zat aktif flavonoid. sehingga, senyawa fenol yang terdapat pada bahan uji adalah selain flavonoid. penggunaan fenol dalam dunia kedokteran sebagai antiseptikum. karena, fenol mempunyai sifat mengkoagulasikan protein. keaktifan fisiologis dari fenol ini dapat mengikis jaringan, mengkoagulasi protein, dan pada kulit mengakibatkan lepuhlepuh.12 kemampuan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak etanol kayu siwak dikatakan memiliki daya antibakteri tidak lepas dari kemampuannya menembus dinding sel bakteri staphylococcus aureus. staphylococcus aureus sebagai bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan dinding sel bakteri gram negatif, yaitu terdiri atas selaput sitoplasmik, lapisan peptidoglikan tebal yang terkuat dengan asam teikoat dan lapisan luar bervariasi yang disebut simpai.13 selain itu, dinding sel staphylococcus aureus memiliki sifat lebih polar jika dibandingkan dinding sel bakteri gram negatif, sehingga lebih mudah ditembus oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1. ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab kedua terbesar peradangan rongga mulut yang resisten multiantibiotika, yaitu staphylococcus aureus isolat 248. 2. ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi mampu menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotika pada konsentrasi 25 % b/v in vitro. saran penelitian ini dilakukan secara in vitro, sehingga meskipun daya antibakteri ekstrak 41 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 sekarang penggunaan terpenoid sebagai parfum, penyedap rasa, pembunuh serangga dan sebagai anti jamur di bidang kedokteran.9 terpenoid diperoleh dari biosintesis isopren. terpenoid terdiri atas beberapa macam-macam senyawa, mulai dari minyak atsiri, yaitu monoterpen, dan seskuiterpen yang mudah menguap, diterpena yang lebih sukar menguap dan senyawa triterpenoid dan sterol yang tidak menguap dan pigmen karotenoid. secara kimia, terpenoid larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan.10 terpenoid merupakan senyawa hidrokarbon mengandung isoprene dan bisa berupa siklik ataupun non-siklik. kandungan dari siklik terpenoid yaitu αpinene, bersama dengan β-pinene, limonene, dan terpinolene, menunjukkan mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri pada agar darah.11 senyawa fenol adalah aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. beberapa ribu senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya. flavonoid merupakan golongan terbesar, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah besar.10 akan tetapi, ekstrak etanol kayu siwak yang dijadikan sebagai bahan uji penelitian tidak menunjukan adanya zat aktif flavonoid. sehingga, senyawa fenol yang terdapat pada bahan uji adalah selain flavonoid. penggunaan fenol dalam dunia kedokteran sebagai antiseptikum. karena, fenol mempunyai sifat mengkoagulasikan protein. keaktifan fisiologis dari fenol ini dapat mengikis jaringan, mengkoagulasi protein, dan pada kulit mengakibatkan lepuhlepuh.12 kemampuan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak etanol kayu siwak dikatakan memiliki daya antibakteri tidak lepas dari kemampuannya menembus dinding sel bakteri staphylococcus aureus. staphylococcus aureus sebagai bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan dinding sel bakteri gram negatif, yaitu terdiri atas selaput sitoplasmik, lapisan peptidoglikan tebal yang terkuat dengan asam teikoat dan lapisan luar bervariasi yang disebut simpai.13 selain itu, dinding sel staphylococcus aureus memiliki sifat lebih polar jika dibandingkan dinding sel bakteri gram negatif, sehingga lebih mudah ditembus oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1. ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab kedua terbesar peradangan rongga mulut yang resisten multiantibiotika, yaitu staphylococcus aureus isolat 248. 2. ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi mampu menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus isolat 248 yang resisten multiantibiotika pada konsentrasi 25 % b/v in vitro. saran penelitian ini dilakukan secara in vitro, sehingga meskipun daya antibakteri ekstrak etanol kayu siwak dengan metode perkolasi dapat dibuktikan, tetapi belum dapat digunakan langsung sebagai obat standar untuk mengobati penyakit-penyakit dengan kasus multiresistensi. hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi in vitro dan in vivo. maka, perlu dilakukan penelitian lanjutan secara in vivo untuk mengetahui manfaat kayu siwak yang lebih mendalam pada pengobatan. selain itu, hasil penelitian ini perlu diteliti lebih lanjut dengan memisahkan dan menentukan zat senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri pada ekstrak etanol kayu siwak. daftar pustaka 1. darmansyah, iwan. drugs for dental use, diakses dari www.els.fk.umy.ac.id, pada 1 oktober 2006. 2. rozie, p.l., regina, t.c.t., & juni, h.. efektifitas minyak atsiri lengkuas putih (alpinia galanga) terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus 302 yang resisten multiantibiotik. indonesian jurnal of dentistry. 12(1): 24-29. (2005) 3. al-lafi, t. & ababneh, h. the effect of the extract of the miswak (chewing sticks) used in jordan and the middle east on oral bacteria [versi elektronik]. research journal, university of wales college of medicine, dental school, periodontology department, cardiff, uk. (1995) 4. darout, ismail a. antimicrobial anionic components in miswak extract [versi elektronik]. journal pharmacology, department of odontology, faculty of dentistry, university of bergen, bergen, norway. (2000). 5. el-mostehy, dr. m. ragaii, a.a. aljassem, i.a. al-yassin, a.r. el-gindy, e. shoukry. siwak-as an oral health device (preliminary chemical and clinical evaluation) [versi elektronik]. journal pharmacology, department of odontology, faculty of dentistry, university of kuwait, kuwait. (1998) 6. nurmartono. mrsa -supebugs in indonesian hospital "undercover case" , diakses dari www. innappni. or.id/index.php?name= news&file =article &sid = 102, pada1 oktober 2006. 7. james, e.r., marilyn, k.s., & varro, e.s. pharmacognosy and pharmacobiotechnology. usa. p. 55, 144-146, 79-90, 138-140. (1996) 8. davidson, michael.w . saponin, diakses dari www. micro. magnet. fsu.edu/phytochemicals/pages/saponin.h tml, pada 30 mei 2007. 9. obst, john.r. special (secondary) metabolites from wood, diakses dari www.fpl.fs.fed.us, pada 7 mei 2007. 10. harboune, j.b. metode fitokimia, penuntun dan cara modern menganalisa tumbuhan. bandung : itb. p. 1-20, 4749, 69-73, 103-107, 123-131. (1987) 11. sikkema, jan., bont, jan.a.m.de., poolman, bert. mechanisms of membrane toxicity of hydrocarbons. microbiological reviews. p. 201–222. (1995) 12. riawan, s.. kimia organik. jakarta: binarupa aksara. p. 86-90. (1990) 13. jawetz, ernest., joseph, melnick., & edward, adelberg. (1996). medical microbiology 20nd ed (terjemahan). jakarta : egc. sri utami, dayu irma prasepti | hubungan status karies gigi dengan oral health related quality of life pada mahasiswa 46 research article hubungan status karies gigi dengan oral health related quality of life pada mahasiswa the relationship between dental caries status and oral health related quality of life among students sri utami1,*, dayu irma prasepti2 1departemen ilmu kesehatan gigi masyarakat, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: august 31st, 2019; reviewed date: september 10th, 2019; revised date: september 26th, 2019 ; accepted date: october 1st, 2019 doi : 10.18196/di.8207 abstrak berdasarkan data who 2012, di seluruh dunia 60-90% anak-anak sekolah dan 96% orang dewasa memiliki karies gigi yang sering menimbulkan rasa sakit serta dapat mempengaruhi kualitas hidup, dengan prevalensi dan keparahannya yang bervariasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status karies gigi dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life) pada mahasiswa. jenis penelitian ini adalah observational analitik dengan menggunakan desain cross sectional. subjek penelitian berjumlah 110 responden yang diambil menggunakan teknik multistage random sampling. subjek penelitian merupakan mahasiswa prodi ilmu ekonomi univesitas muhammadiyah yogyakarta berusia 20-21 tahun. status karies gigi diukur menggunakan indeks dmf-t (who) sedangkan dampak kualitas hidup diukur menggunakan ohip-14 (who). analisis data menggunakan uji korelasi spearman’s. hasil uji spearman’s menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status karies gigi dengan quality of life (r=0,2, p=0,04). mean dmf-t 5,5 (tinggi) dan status ohip-14 sebesar 59 % (buruk). hal tersebut menunjukkan bahwa status karies gigi mahasiswa adalah tinggi dan kualitas hidup terkait status karies tersebut adalah buruk. dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status karies gigi dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut pada mahasiswa, semakin tinggi karies gigi maka akan semakin buruk kualitas hidupnya. kata kunci: dmf-t; karies gigi; ohip-14; oral health related quality of life (ohrqol) abstract based on who in 2012, 60-90% of school children and 96% of adults have dental caries, which often causes pain and can affect the quality of life, with various prevalence and severity. this study aims to determine the correlation between dental caries status with oral health-related quality of life (ohrqol) among students. this study is observational analytics using a cross-sectional design carried out among 110 economics students at universitas muhammadiyah yogyakarta. the respondents were 20-21 years old and were selected using a multistage random sampling technique. dental caries status was measured using the dmf-t index (who), while the quality of life impact was measured using ohip-14 (who). data were analyzed using spearman’s correlation. based on spearman's test, the coefficient correlation (r) was 0.195, and the p-value was 0.041 (<0.05); thus, there was a significant correlation between dental caries status and quality of life. the mean value of dmf-t was 5,5 (high), and ohip-14 status was 59 % (worse). it indicated that the dental caries status of respondents was high, while the oral health-related quality of life was worse. it can be concluded that there is a significant correlation between dental caries status and oral health-related quality of life among students. in other words, the higher the dental caries status is, the worse the quality of life will be. keywords: dmf-t; dental caries ohip14;oral health related quality of life (ohrqol) * corresponding author, e-mail: sri.utami@umy.ac.id insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 47 pendahuluan kualitas hidup manusia sudah menjadi perbincangan sejak ribuan tahun yang lalu. tahun 1970, kualitas hidup sebagai konsep sasaran dan tujuan masyarakat mulai kembali diperbincangkan oleh publik, kemudian sempat kehilangan perhatiannya akibat terdiferensiasinya definisi dan pendekatan kualitas hidup kearah yang berbeda-beda.1 negara-negara berkembang saat ini memantau kualitas hidup masyarakatnya secara berkala, hasil dari pengukuran tersebut digunakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi suatu kebijakan politik ataupun perkembangan kesejahteraan masyarakatnya, atau dapat juga digunakan oleh para peneliti untuk melihat hubungan antara berbagai aspek dalam masyarakat.2 kualitas hidup adalah persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma yang sesuai dengan tempat hidup orang tersebut serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kepedulian selama hidupnya.3 penelitian kesehatan yang berkaitan dengan kualitas hidup di bidang kedokteran telah menghasilkan pengembangan berbagai instrumen individual, masing-masing dimaksudkan untuk mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan berdasarkan populasi yang spesifik misalnya usia, status dan kondisi.4 kulitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life) merupakan penilaian seseorang mengenai dampak dari gangguan rongga mulut yang dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup secara keseluruhan.5 penelitian dampak penyakit gigi dan mulut terhadap kualitas hidup antara kehilangan hari kerja dan hari sekolah.6 dampak tersebut bisa menjadi serius tergantung frekuensi dan durasinnya yang nantinya akan mempengaruhi presepsi kehidupan individu secara keseluruhan.7 indeks dmf-t masyarakat indonesia menunjukkan hasil sebesar 4,6 dengan nilai masing-masing d-t=1,6; m-t = 2,9; dan f-t = 0,08 yang berarti kerusakan gigi penduduk indonesia 460 buah gigi per 100 orang.8 sebanyak 60-90% anakanak sekolah dan hampir 100% orang dewasa memiliki karies yang sering menimbulkan rasa sakit serta dapat mempengaruhi kulitas hidup, dengan prevalensi dan keparahannya yang bervariasi. karies merupakan penyakit universal yang dapat terjadi pada semua usia, ras, sosial-ekonomi, dan jenis kelamin. salah satu faktor yang meningkatkan resiko terjadinya karies gigi adalah rendahnya pengetahuan terhadap penyakit gigi dan mulut. jenis kelamin mempengaruhi pengetahuan individu tentang kesehatan gigi dan mulut, selain itu pengetahuan juga mempengaruhi perilaku individu untuk datang ke dokter gigi ketika mereka mengalami rasa sakit.9 hasil penelitian sebelumnya juga menunjukan, bahwa masih kurangnya pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa fakultas non kesehatan terhadap kesehatan mulut, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang terhadap penyakit mulut.10 kondisi kesehatan gigi dan mulut yang tidak sehat dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi-fungsi sehingga aktivitas kerja dan belajar jadi menurun. karies yang sudah parah nantinya akan mempengaruhi kesehatan dan kulitas hidup yang menyebabkan rasa sakit, sulit tidur dan makan, menurunya indeks masa tubuh, tidak masuk sekolah bahkan rawat inap serta biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan karies yang parah akan lebih tinggi daripada kasus karies yang awal.11 hubungan status karies gigi dengan kualitas hidup khususnya pada mahasiswa non kesehatan pun menarik untuk diteliti. material dan metode jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa universitas muhammadiyah yogyakarta (umy), sedangkan subyek penelitian adalah sri utami, dayu irma prasepti | hubungan status karies gigi dengan oral health related quality of life pada mahasiswa 48 mahasiswa prodi ilmu ekonomi, sebanyak 110 mahasiswa. teknik pengambilan sampel menggunakan multistage random sampling. tahap pertama yang dilakukan dalam pengambilan sampel adalah pengambilan satu fakultas dari semua fakultas di umy secara random dan kemudian tahap kedua adalah pengambilan sampel prodi secara random dan didapatkan prodi ekonomi. tahap ketiga adalah pengambilan 110 responden, sesuai dengan perhitungan sample size, di prodi ilmu ekonomi dengan menggunakan teknik simple random sampling. variabel yang diteliti adalah kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life) diukur menggunakan kuesioner who ohip-14 dengan luaran data berskala kategorik dan variabel status karies gigi yang diukur menggunakan indeks dmf-t. sebanyak 110 subyek penelitian mengisi lembar informed consent dan kemudian diukur status karies gigi nya menggunakan indeks dmf-t. tahap berikutnya adalah mengukur kualitas hidup menggunakan kuesioner who ohip-14. data yang telah lengkap kemudian dianalisis menggunakan analisis korelasi spearman untuk mengetahui hubungan antara status karies gigi dengan oral health related quality of life (ohrqol). hasil karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan mean dmf-t pada tabel 1 menunjukkan bahwa berdasarkan usia, mean dmf-t tertinggi adalah 3,9 pada usia 20 tahun. sedangkan berdasarkan jenis kelamin mean dmf-t tertinggi adalah 4,1 pada jenis kelamin perempuan. karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan status ohip-14 pada tabel 2 menunjukkan bahwa status ohip-14 tertinggi pada usia 20 tahun dengan status baik sebanyak 10 (9%), status sedang sebanyak 20 (18,1%) dan status buruk sebanyak 46 (41,8%). tabel 1. karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan mean dmf-t karakteristik f % skor total dmf-t mean dmf-t kategori who usia 20 tahun 77 70 430 3,9 sedang 21 tahun jenis kelamin 33 30 181 1,6 rendah laki-laki 30 27 160 1,4 rendah perempuan 80 73 451 4,1 tinggi sedangkan status ohip-14 tertinggi pada jenis kelamin perempuan dengan status baik sebanyak 10 (9%), status sedang sebanyak 22 (20%) dan status buruk sebanyak 50 (45,4 %). berdasarkan nilai mean dmf-t pada tabel 3 tampak bahwa nilai mean dmf-t pada penelitian ini adalah 5,5 dan berdasarkan kriteria who termasuk dalam kategori tinggi. sedangkan berdasarkan status kualitas hidup responden (status ohip-14) pada tabel 4 dapat dilihat bahwa status kualitas hidup (status ohip-14) tertinggi adalah status buruk yaitu sebanyak 65 responden (59%). tabel 2. karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan status ohip-14 karakteristik status ohip-14 baik n (%) sedang n (%) buruk n (%) usia 20 tahun 10 (9) 20 (18,1) 46 (41,8) 21 tahun 4 (3,6) 12 (10,9) 18 (16,3) jenis kelamin laki-laki 6 (5,4) 10 (9) 14 (12,7) perempuan 10 (9) 22 (20) 50 (45,4) tabel 3. karakteristik responden berdasarkan nilai mean dmf-t total subjek d-t m-t f-t mean dmf-t kategori who 110 3,3 1,3 0,9 5,5 tinggi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 49 tabel 4. status kualitas hidup responden (status ohip-14) total subjek status ohip-14 baik n (%) sedang n (%) buruk n (%) 110 13 (12) 32 (29) 65 (59) tabel 5. hasil analisis uji spearman’s ohip-14 dmf-t r 0,195 p 0,041 n 110 berdasarkan hasil analisi uji spearman’s correlation pada tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai r = 0,195 dan nilai p = 0,041 yang bermakna bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status karies gigi dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life), dimana semakin tinggi karies gigi maka semakin buruk kualitas hidup. pembahasan berdasarkan hasil penelitian pada 110 mahasiswa prodi ilmu ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta dengan usia 20 21 tahun menunjukan bahwa nilai mean dmf-t yaitu 5,5 dengan nilai masing-masing d-t yaitu 3,3, m-t 1,3 dan f-t yaitu 0,9 dan berdasarkan kriteria indeks dmf-t who berada pada kategori tinggi, hal ini kemungkinan karena kurangnya pengetahuan mahasiswa untuk menjaga kesehatan gigi dan berdasarkan hasil survei pendahuluan, banyak mahasiswa yang belum mengetahui cara menyikat gigi yang benar dan belum rutin memeriksakan kondisi rongga mulutnya ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali. status karies gigi pada orang dewasa usia 35 44 tahun menunjukkan bahwa nilai mean dmf-t yaitu 9,8 dan berdasarkan kriteria indeks dmf-t who berada pada kategori sangat tinggi, sehingga dapat disimpulkan kesadaran masyarakat pada usia dewasa untuk memeriksakan, menambalkan atau menumpat gigi masih kurang.12 status karies gigi pada mahasiswa prodi ilmu ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta yang tertinggi terjadi pada umur 20 tahun dengan nilai mean dmf-t yaitu 3,9 dan berdasarkan kriteria who berada pada kategori sedang, hal ini kemungkinan karena mahasiswa kurang memiliki kesadaran untuk menerapkan kebiasaan baik dalam memelihara kebersihan mulut sehari-hari dan berdasarkan hasil wawancara kuisioner sebagian mahasiswa jarang menyikat gigi setelah makan dan cara penyikatan gigi yang salah. status karies gigi pada mahasiswa asal kota ternate di kota manado menunjukan nilai mean dmf-t yaitu 3,1 dan berdasarkan kriteria indeks dmf-t who berada pada kategori sedang.13 pengaruh umur terhadap status karies gigi disebabkan oleh beberapa hal yaitu berkurangnya produksi air ludah dan lebih lama terpapar makanan dan minuman manis dalam proses pengunyahan yang dapat menyebabkan kerusakan gigi semakin banyak dan semakin parah. salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh mahasiswa yaitu dengan memperbaiki tingkat kesehatan rongga mulut yang salah satunya dapat dilakukan dengan ikut serta dalam pelayanan konseling oleh dokter gigi yang dilakukan dalam kunjungan rutin ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali.14 berdasarkan hasil penelitian pada mahasiswa prodi ilmu ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta menunjukan bahwa nilai mean dmf-t yang tertinggi pada jenis kelamin perempuan yaitu 4,1 dengan prosentase sebanyak 73% dan berdasarkan kriteria who berada pada kategori sedang, hal ini kemungkinan karena persentase saat dilakukan penelitian ini lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki. status karies gigi pada jenis kelamin perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan oleh pengaruh hormonal, asupan makanan dan erupsi gigi yang lebih awal pada perempuan yang menjadikan prevalensi karies gigi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.15 prevalensi karies gigi pada anak perempuan sri utami, dayu irma prasepti | hubungan status karies gigi dengan oral health related quality of life pada mahasiswa 50 lebih tinggi dibandingkan dengan anak lakilaki, karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat sehingga gigi anak perempuan lebih lama di dalam rongga mulut dan lebih lama berhubungan dengan faktor langsung terjadinya karies gigi, antara lain gigi, saliva, mikroorganisme, makanan dan waktu.16 berdasarkan hasil penelitian status ohip-14 tertinggi pada usia 20 tahun dengan status baik sebanyak 10 atau 9%, status sedang sebanyak 20 atau 18,1% dan status buruk sebanyak 46 atau 41,8%, hal ini kemungkinan karena pada mahasiswa banyak yang merasa terganggu waktu kuliah atau belajarnya akibat rasa sakit yang ditimbulkan dari permasalahan gigi dan mulutnya sehingga menurunkan kualitas hidup mereka. status ohip-14 yang sangat mempengaruhi pada dewasa muda adalah dimensi rasa sakit fisik dan ketidaknyaman psikis.17 karies gigi menimbulkan rasa sakit yang spontan, jika karies gigi tidak segera diatasi maka akan terjadi abses yang akan menimbulkan rasa sakit yang sangat, sehingga menyebabkan gigi tersebut harus dicabut dengan demikian fungsi pengunyahan tidak berjalan dengan optimal dan kualitas hidup menjadi terganggu.18 berdasarkan penelitian status ohip-14 tertinggi pada jenis kelamin perempuan dengan status baik sebanyak 10 atau 9%, status sedang sebanyak 22 atau 20% dan status buruk sebanyak 50 atau 45,4%, hal ini kemungkinan karena persentase perempuan pada penelitian ini lebih banyak dari pada laki-laki dan berdasarkan hasil wawancara kuisioner perempuan lebih banyak mengeluhkan rasa sakit akibat yang ditimbulkan dari karies gigi. persentase kualitas hidup baik lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. 19 kualitas hidup laki-laki jauh lebih baik dibandingkan perempuan karena adanya prevalensi depresi dan kecemasan yang lebih besar pada perempuan dari pada laki-laki, dan terdapat perbedaan sekresi hormon, tekanan psikososial, dan tipe perilaku antara laki-laki dengan perempuan. 20 berdasarkan penelitian status kualitas hidup (status ohip-14) pada 110 mahasiswa prodi ilmu ekonomi universitas muhammadiyah menunjukan bahwa tertinggi adalah status buruk sebanyak 65 responden atau 59%, hal ini kemungkinan karena karies gigi sering menimbulkan rasa sakit sehingga muncul ketidaknyamanan pada mahasiswa saat menjalankan aktivitasnya sehari-hari. responden sering mengeluhkan rasa sakit fisik yang ditimbulkan karena permasalahan di rongga mulutnya dan tidak nyaman ketika mengunyah makanan, ketika seseorang merasakan sakit di rongga mulutnya dan ketidaknyamanan ketika dia mengunyah sudah tentu dia tidak bisa menikmati makananya dan bahkan memutuskan untuk menghentikannya dan secara tidak sadar mereka akan kehilangan asupan gizi kedalam tubuh mereka. 21 hasil uji spearman’s pada penelitian ini adalah nilai kekuatan korelasi (r) adalah 0,195 dan nilai p adalah 0,041 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara status karies gigi dengan kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life), dimana semakin tinggi karies gigi maka semakin buruk kualitas hidup, hal ini kemungkinan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran mahasiswa tentang menjaga kesehatan gigi dan mulut. hasil penelitian sebelumnya juga menunjukan, bahwa masih kurangnya pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa fakultas non kesehatan terhadap kesehatan mulut, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang terhadap penyakit mulut.10 terdapat korelasi yang signifikan antara karies gigi terhadap kulitas hidup (r = 0,519 dan p = 0,000), hubungan yang diperoleh berupa hubungan negatif yaitu semakin dalam kavitas karies gigi seseorang maka kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut semakin menurun.22 terdapat hubungan antara status karies gigi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 8(2), november 2019 51 yang dinilai menggunakan dmf-t dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life) yang dinilai menggunakan kuisioner ohip-14. 23 kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara status karies gigi dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (oral health related quality of life) pada mahasiswa, semakin tinggi status karies gigi maka semakin buruk kualitas hidupnya. daftar pustaka 1. pennacchini, m., bertolaso, m., elvira, m. m., & de marinis, m. g. a brief history of the quality of life: its use in medicine and in philosophy. clin. ter. 2011; 162(3): e99-e103. 2. shackman, g., liu, y. l., & wang, x. measuring quality of life using free and public domain data. soc. res. update. 2005; 47: 1-4. 3. bennadi, d., & reddy, c. v. k. oral health related quality of life. j. int. soc. prev. community dent. 2013; 3(1): 16. 4. costanza, r., fisher, b., ali, s., beer, c., bond, l., boumans, r., ... & gayer, d. e. quality of life: an approach integrating opportunities, human needs, and subjective well-being. ecol. econ. 2007; 61(2-3): 267-276. 5. locker, d., & allen, f. what do measures of ‘oral health‐related quality of life’measure?. community dent. oral epidemiol. 2007; 35(6): 401-411. 6. batista, m. j., perianes, l. b. r., hilgert, j. b., hugo, f. n., & sousa, m. d. l. r. d. the impacts of oral health on quality of life in working adults. braz. oral res. 2014; 28(1): 1-6. 7. tampubolon, n. s., pidato pengukuhan "dampak karies gigi dan penyakit periodontal terhadap kualitas hidup". usu repository. 2005; 1-18. 8. departemen kesehatan ri. riset kesehatan dasar 2013. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan ri. 2013; 118-199. 9. carneiro, l., kabulwa, m., makyao, m., mrosso, g., & choum, r. oral health knowledge and practices of secondary school students, tanga, tanzania. int. j. dent. 2011; 11: 1-7. 10. sharda, a. j., & shetty, s. a comparative study of oral health knowledge, attitude and behaviour of non‐medical, para‐medical and medical students in udaipur city, rajasthan, india. int. j. dent. hyg. 2010; 8(2): 101-109. 11. bagińska, j., rodakowska, e., wilczyńska-borawska, m., & jamiołkowski, j. index of clinical consequences of untreated dental caries (pufa) in primary dentition of children from north-east poland. adv. med. sci. 2013; 58(2): 442-447. 12. notohartojo, i. t., & ghani, l. pemeriksaan karies gigi pada beberapa kelompok usia oleh petugas dengan latar belakang berbeda di provinsi kalimantan barat. buletin penelitian kesehatan. 2015; 43(4): 257-264. 13. radiah, m. c., & mariati, n. w. gambaran status karies dan pola pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada mahasiswa asal ternate di manado. jurnal e-gigi (eg). 2013; 1(1); 45-51. 14. pratiwi, r. a., adhani, r., & ramadhani, k. hubungan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keikutsertaan pelayanan konseling gigi di puskesmas kabupaten hulu sungai utara. dentino. 2017; 2(1): 6871. 15. wowor, v. e. hubungan antara status kebersihan mulut dengan karies siswa sekolah menengah atas negeri 1 manado. e-gigi. 2013; 1(2): 3-7. 16. suwelo, i. karies gigi pada anak dengan berbagai faktor etiologi. sri utami, dayu irma prasepti | hubungan status karies gigi dengan oral health related quality of life pada mahasiswa 52 jakarta: egc. 1992. 17. xavier, a. impact of dental caries on quality of life of adolescents according to access to oral health services: a cross sectional study. braz. j. oral sci. 2016; 15(1): 1-7. 18. ozdemir, d. dental caries and preventive strategies. wjeis. 2014; 4(4): 20-24. 19. kosasih, p.w., dan jubhari, e.h., kondisi gigi yang masih lengkap mempengaruhi kualitas hidup manula di kota makasar, dentofasial. 2014; 13(3): 165-169. 20. amurwaningsih, m., nisaaâ, u., & darjono, a. analisis hubungan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (ohrqol) dan status kecemasan dengan status nutrisi pada masyarakat usia lanjut. majalah ilmiah sultan agung. 2020; 48(1), 46-54. 21. septiani, y., & novianti, s. hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan kualitas hidup (terkait kesehatan gigi dan mulut) lansia di desa cimari kecamatan cikoneng kabupaten ciamis tahun 2014. journal unsil. 2014; 2(1): 1-13. 22. rianti, n. a. hubungan karies gigi terhadap kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan gigi dan mulut pada remaja usia 12-14 tahun di smp negeri 2 jumantono kabupaten karanganyar. skripsi ums. 2016. 23. ingle, n. a., chaly, p. e., & zohara, c. k. oral health related quality of life in adult population attending the outpatient department of a hospital in chennai, india. j. int. oral health. 2010; 2(4): 45-56. tantin ermawati, rendra chriestedy p, nadie fatimatuzzahro, astrid ganadya n.i | efek gel ekstrak biji kopi robusta (coffea canephora) terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit jaringan gingiva tikus periodontitis 46 research article efek gel ekstrak biji kopi robusta (coffea canephora) terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit jaringan gingiva tikus periodontitis the effect of robusta coffe bean extract gel (coffea canephora) on the number of macrophages and lymphocyte gingival tissue in periodontitis rat tantin ermawati1,*, rendra chriestedy p1, nadie fatimatuzzahro1, astrid ganadya n.i2 1departemen biomedik, fakultas kedokteran gigi, universitas jember, jalan kalimantan 37, jember, indonesia. 2fakultas kedokteran gigi, universitas jember, jalan kalimantan 37, jember, indonesia received date: june 22nd, 2020; reviewed date: july 8th, 2020 revised date: august 8th, 2020; accepted date: september 1st, 2020 doi : 10.18196/di.9217 abstrak periodontitis adalah inflamasi kronis yang disebabkan infeksi bakteri salah satunya p. gingivalis. produk bakteri berupa lipopolisakarida (lps) mampu meningkatkan sekresi sitokin proinflamatori sehingga terjadi peningkatan jumlah sel makrofag dan limfosit. hal ini menyebabkan kerusakan jaringan periodontal yang lebih lanjut. biji kopi robusta memiliki kandungan polifenol, alkaloid dan saponin yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian gel ekstrak biji kopi robusta terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit pada gingiva model tikus periodontitis. jenis penelitian yang digunakan adalah the posttest only control group design. dua puluh ekor tikus dibagi menjadi 5 kelompok yakni kelompok normal, periodontitis, periodontitis yang diterapi gel aloclair, kelompok periodontitis yang diterapi 0,025 g/ml gel ekstrak biji kopi robusta, dan kelompok periodontitis yang diterapi 0,05 g/ml gel ekstrak biji kopi robusta selama 7 hari perlakuan. tikus didekapitasi dan dilakukan pengecatan he untuk melihat jumlah sel makrofag dan limfosit. hasil menunjukkan pemberian gel ekstrak kopi robusta dapat menurunkan jumlah sel makrofag dan limfosit sama dengan aloclair pada model tikus periodontitis yang diinduksi p. gingivalis. gel ekstrak biji kopi 0,05 g/ml lebih efektif menurunkan limfosit dibandingkan 0,025 g/ml kata kunci: kopi robusta; limfosit; makrofag; periodontitis; p. gingivalis abstract periodontitis is a chronic inflammation caused by a bacterial infection, one of which is p. gingivalis. bacterial products in the form of lipopolysaccharide (lps) can increase proinflammatory cytokine secretion, resulting in increased macrophages and lymphocyte cells. increased number of macrophages and lymphocytes in inflammation cause further periodontal tissue damage. meanwhile, robusta coffee beans contain polyphenols, alkaloids, and saponins, which function as anti-inflammatory and antioxidants. this research aimed to determine robusta coffee bean extract gel's effect on the number of macrophage and lymphocyte cells in the rat periodontitis model's gingival tissue. this research type was the posttest only control group design. twenty rats were divided into five groups: normal group, periodontitis group, periodontitis group treated with aloclair gel, periodontitis group treated with 0,025 g/ml extract gel of robusta coffee bean, and periodontitis group treated with 0,05 g/ml robusta coffee bean extract gel for seven days of treatment. the rats were decapitated. the specimens were then processed histologically and stained with he to determine the number of macrophage and lymphocyte cells in the gingiva. the results showed that robusta coffee bean extract gel could reduce the number of macrophages and lymphocyte cells in the rat periodontitis model induced by p. gingivalis as effective as aloclair. coffee bean extract gel 0.05 g/ml was more effective at reducing lymphocytes than 0.025 g / ml. keywords: robusta coffee; lymphocytes; macrophages; periodontitis; porphyromonas gingivalis * corresponding author, e-mail: tantin.ermawati@unej.ac.id insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 47 pendahuluan periodontitis adalah inflamasi kronis yang disebabkan infeksi bakteri salah satunya bakteri p. gingivalis. bakteri ini memiliki komponen endotoksin yaitu lipopolisakarida (lps) yang dapat mengikat reseptor cd14/tlr-4, meningkatkan sekresi sitokin proinflamatori yaitu il-1α, il-1β, il-6 dan il-8 sehingga dapat memodulasi sistem imunitas melalui proses inflamasi. sel radang yang berperan penting dalam respon inflamasi antara lain makrofag dan limfosit.1 makrofag merupakan sel mononuklear yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh. pada saat terjadi inflamasi, terjadi peningkatan dua setengah kali lebih banyak.2 makrofag berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme dan melepaskan reactive oxygen species (ros). senyawa ros bersifat toksik pada mikroorganisme dan mengaktifkan enzim matrix metalloproteinase–8 (mmp-8) yang menyebabkan destruksi pada jaringan periodontal. selain itu terdapat limfosit yang merupakan sel imunitas pada inflamasi kronis. jumlah limfosit pada inflamasi mengalami peningkatan dan menyebabkan kerusakan pada kolagen, fibronektin, dan laminin yang berkontribusi pada destruksi lokal jaringan gingiva.3,4 gel berbahan dasar kopolimer, poloksamer dan monogliserida menyebabkan bahan obat mudah diaplikasikan dan diserap oleh jaringan. selain itu, gel memiliki kemampuan biokompatibilitas dan bioavailabilitas yang tinggi sehingga akan memudahkan adhesi pada poket periodontal dan dapat dengan cepat dihilangkan melalui jalur katabolisme sehingga dapat mengurangi risiko reaksi alergi host.5 saat ini telah dikembangkan gel yang berbahan dasar ekstrak biji kopi. ekstrak biji kopi robusta dapat menurunkan jumlah sel makrofag dan limfosit secara in vitro.6 kopi merupakan bahan alam yang telah terbukti sebagai antiinflamasi. produksi kopi di indonesia mencapai 637.539 kg terutama kopi robusta.7 biji kopi robusta mengandung senyawa antioksidan antara lain flavonoid, polifenol, dan proantosianidin.8 senyawa polifenol telah terbukti menunjukkan efek imunomodulator, antioksidan, dan menurunkan adhesi sel imunitas.9 selain itu, terdapat asam klorogenat yang telah terbukti dapat menurunkan infiltrasi makrofag, metabolit asam arakanoid termasuk pge2 dan tnf-α, sehingga berfungsi sebagai anti inflamasi.10 gel ekstrak biji kopi robusta dengan konsentrasi 0,025 g/ml dan 0,05 g/ml dapat menurunkan sekresi tumor necrosis factor (tnf)–α pada tikus yang diinduksi periodontitis.11 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian gel ekstrak biji kopi robusta terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit pada model tikus periodontitis. material dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah the posttest only control group design. ekstrak biji kopi robusta diperoleh menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol. selanjutnya pembuatan gel dimulai dengan mengembangkan 2 gram cmc-na 2% pada 98 ml air panas diaduk pada mortar hingga terbentuk massa gel. setelah itu, ekstrak biji kopi robusta diambil 5 gr dan ditambahkan basis gel 15 gr, sehingga didapatkan 20 gr gel ekstrak biji kopi robusta 0,025 g/ml. selanjutya, ekstrak biji kopi robusta diambil 23 gr dan ditambahkan basis gel 23 gr, sehingga didapatkan 46 gr gel ekstrak biji kopi robusta 0,05 g/ml penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus wistar jantan dengan umur 2-3 bulan, berat badan 180-200 gram. sampel dibagi menjadi 5 kelompok yaitu, kelompok normal (k1), kelompok periodontitis+gel plasebo (k2), kelompok tantin ermawati, rendra chriestedy p, nadie fatimatuzzahro, astrid ganadya n.i | efek gel ekstrak biji kopi robusta (coffea canephora) terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit jaringan gingiva tikus periodontitis 48 periodontitis+terapi gel aloclair (k3), kelompok periodontitis+terapi gel ekstrak biji kopi robusta 0,025 g/ml (k4) dan kelompok periodontitis+terapi gel ekstrak biji kopi robusta 0,05 g/ml (k5). induksi periodontitis melalui injeksi bakteri p. gingivalis pada sulkus gingiva bagian bukal gigi molar satu kanan bawah sebanyak 0,05 ml diberikan 3 kali dalam sehari selama 14 hari menggunakan tuberculine syringe 30 gauge.11 hewan coba didekapitasi, rahang bawah diambil dan difiksasi dengan buffer formalin 10% selama 24 jam, kemudian didekalsifikasi dengan asam formiat 10% selama 14 hari. selanjutnya dilakukan prosesing jaringan, pemotongan jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 6 µm dan dilakukan pengecatan hematoxylin–eosin. hasil gambaran histologis jaringan gingiva tikus ditunjukkan pada gambar 1. hasil penelitian mengenai efek pemberian gel ekstrak biji kopi robusta terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit pada gingiva tikus periodontitis, diperoleh adanya penurunan jumlah makrofag dan limfosit setelah diberi perlakuan gel ekstrak biji kopi robusta yang ditunjukkan pada gambar 2. gambar 1. gambaran mikroskopis makrofag (panah merah) dan limfosit (panah hitam) dengan pengecatan he pada gingiva tikus periodontitis dengan perbesaran 400x gambar 2. grafik batang yang menunjukkan rerata jumlah makrofag dan limfosit pada tikus periodontitis yang diberi perlakuan. *p<0,05 dibandingkan dengan kelompok kontrol data jumlah makrofag dan limfosit dilakukan uji one-way anova didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05). selanjutnya hasil analisis lsd menunjukkan bahwa kelompok perlakuan gel ekstrak biji kopi robusta 0,025 g/ml (k4) dan 0,05 g/ml (k5) berbeda signifikan dengan kelompok k2 (plasebo), dan tidak berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan gel aloclair (k3). jumlah limfosit berbeda bermakna antara kelompok perlakuan gel ekstrak biji kopi robusta 0,025 g/ml (k4) dengan kelompok kopi robusta 0,05 g/ml (k5), sedangkan jumlah makrofag tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok tersebut pembahasan pada penelitian tikus diinduksi p. gingivalis untuk membuat kondisi periodontitis. tikus dinyatakan periodontitis apabila terdapat tanda-tanda klinis peradangan pada jaringan periodontal yang meliputi kemerahan pada gingiva, pembesaran pada margin gingiva, kegoyangan pada gigi dan resorpsi tulang alveolar.12 hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rerata jumlah sel makrofag dan limfosit antara k1 (tikus normal tidak dilakukan induksi p.gingivalis) dengan k2, k3, k4 dan k5. perbedaan ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan (k2, k3, k4 dan k5), dilakukan induksi bakteri p. gingivalis yang menyebabkan kondisi inflamasi. hal insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 49 ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa terjadi peningkatan makrofag dan limfosit pada kondisi periodontitis.2 peningkatan jumlah makrofag dan limfosit disebabkan karena p. gingivalis mampu menstimulasi sitokin pro-inflamasi seperti il-6, il-17, il-8 dan tnf-α yang dapat meningkatkan aktivasi dari sel makrofag dan limfosit.13,14 hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah makrofag dan limfosit kelompok k4 dan k5 memiliki perbedaan yang signifikan terhadap k2 (p<0,05). hal ini membuktikan bahwa pemberian gel ekstrak biji kopi robusta mampu menurunkan jumlah sel makrofag dan limfosit dibanding dengan kelompok yang hanya diberi plasebo. gel ekstrak biji kopi robusta diketahui memiliki sifat anti inflamasi dengan komponen zat aktif antara lain polifenol, kafein dan saponin. hasil tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa zat – zat yang terkandung dalam gel ekstrak biji kopi robusta berperan dalam menghambat produksi tnf-α, il-6, dan cox-2 melalui inhibisi jalur nf-κb.15 polifenol secara spesifik bertindak sebagai inhibitor enzimatik tirosin dan serin-threonine protein kinase yang berperan penting dalam pembentukan dan aktivasi dari sel limfosit t dan b.16,17 selain itu, kafein dan saponin dapat menghambat proliferasi dan aktivitas fagositik dari makrofag dan limfosit.18,19,20 pada penelitian ini, didapatkan data bahwa kelompok gel ekstrak biji kopi robusta (k4 dan k5) memiliki kemampuan yang sama dengan gel aloclair (k3). hal tersebut disebabkan gel aloclair telah terbukti memiliki sifat anti inflamasi. lidah buaya memiliki asam amino yang terdiri dari phenylalanine dan tryptophane yang bersifat sebagai anti inflamasi dan dapat memodulasi proliferasi sel makrofag dan limfosit.21,22 jumlah makrofag tidak berbeda bermakna (p>0,05) antara kelompok yang diberi gel ekstrak biji kopi robusta 0,025 g/ml (k4) dan gel ekstrak biji kopi robusta 0,05 g/ml (k5). hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian gel ekstrak biji kopi robusta konsentrasi 0,025 g/ml dan 0,05 g/ml mampu menurunkan jumlah sel makrofag. jumlah limfosit berbeda signifikan antara k4 dan k5 (p<0,05). hal tersebut menunjukkan bahwa gel ekstrak biji kopi robusta dengan konsentrasi 0,05 g/ml lebih efektif dibandingkan 0,025 g/ml dalam menghambat peningkatan jumlah sel limfosit pada gingiva tikus periodontitis. hal ini dimungkinkan karena ekstrak yang memiliki dosis rendah belum dapat memberikan efek yang signifikan sesuai dengan kemampuan senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut. sehingga semakin rendah konsentrasi, semakin rendah pula senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut.23 kesimpulan pemberian gel ekstrak biji kopi robusta mampu menurunkan jumlah sel makrofag dan limfosit pada tikus periodontitis. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terimakasih kepada lp2m universitas jember yang telah mendukung kegiatan penelitian ini. daftar pustaka 1. newman m, takei h, klokkevold p, carranza f. newman and carranza’s clinical periodontology. 13th ed. philadelphia: w.b. saunders ltd; 2018. 2. golijanin r, kujundžić b, milosavljević z. morfometrijska analiza kolagena i inflamatornih ćelija u periodontalnoj bolesti. vojn pregl. 2015;72(3):219–224. 3. talwar a, amunulla a, venkatesan r, ramakrishnan h, arun k, sudarshan s. lymphocyte subpopulation in healthy and diseased gingival tissue. j indian soc tantin ermawati, rendra chriestedy p, nadie fatimatuzzahro, astrid ganadya n.i | efek gel ekstrak biji kopi robusta (coffea canephora) terhadap jumlah sel makrofag dan limfosit jaringan gingiva tikus periodontitis 50 periodontol. 2008;12(2):45–50. 4. figueredo cm, lira-junior r, love rm. t and b cells in periodontal disease: new functions in a complex scenario. int j mol sci. 2019;20(16):1–13. 5. garg s. local drug delivery systems as an adjunct to cure periodontitis the novel dental applicant. pharm methods. 2015;6(1):01–08. 6. xue n, zhou q, ji m. chlorogenic acid inhibits glioblastoma growth through repolarizating macrophage from m2 to m1 phenotype. sci rep. 2017;7(august 2016):1–11. 7. bakhtiar f. produksi kopi turun dalam 5 tahun terakhir, apa yang harus dilakukan? [internet]. 17 mei. 2017. available from: https://paktanidigital.com/artikel/prod uksi-kopi-indonesiaturun/#.ybcztegzbiu 8. artho ln, wuisan j, najoan j. penyembuhan luka insisi pada kelinci. j e-biomedik. 2015;3(3):743– 748. 9. tangney cc, rasmussen he. polyphenols, inflammation, and cardiovascular disease. curr atheroscler rep. 2013;15(5):324. 10. hwang sj, kim yw, park y, lee hj, kim kw. anti-inflammatory effects of chlorogenic acid in lipopolysaccharidestimulated raw 264.7 cells. inflamm res. 2014;63(1):81–90. 11. ermawati t, meilawaty z, harmono h. inhibition activity of robusta coffee beans polyphenol extract on the production of tnf-α neutrophil cells. maj kedokt gigi indones. 2018;4(2):114–9. 12. xu x, chen h, zang x, zhai z, liu x, qin a, et al. simvastatin prevents alveolar bone loss in an experimental rat model of periodontitis after ovariectomy. j transl med. 2014;12(1):1–9. 13. ermawati t, gandini abdi nagari dfi, praharani d, sari ds. effect of lipopolysaccharide induction of porphyromonas gingivalis on osteoclast and osteoblast cell number of wistar rats’ (rattus norvegicus) alveolar bone. int j appl pharm. 2019;11(special issue 4):64-67. 14. glowczyk i, wong a, potempa b, et al. inactive gingipains from p. gingivalis selectively skews t cells toward a th17 phenotype in an il-6 dependent manner. front cell infect microbiol. 2017;7(apr):1-16. 15. tajik n, tajik m, mack i, enck p. the potential effects of chlorogenic acid, the main phenolic components in coffee, on health: a comprehensive review of the literature. european journal of nutrition. 2017;56(7):22152244. 16. rius c, abu-taha m, hermenegildo c, et al. trans-but not cis-resveratrol impairs angiotensin-ii–mediated vascular inflammation through inhibition of nf-κb activation and peroxisome proliferator-activated receptor-γ upregulation. j immunol. 2010;185(6):3718-3727. 17. kang ch, jayasooriya rgpt, dilshara mg, et al. caffeine suppresses lipopolysaccharidestimulated bv2 microglial cells by suppressing akt-mediated nf-κb activation and erk phosphorylation. food chem toxicol. 2012;50(12):4270-4276. 18. hwang jh, kim kj, ryu sj, lee by. caffeine prevents lps-induced inflammatory responses in raw264.7 cells and zebrafish. chem biol interact. 2016;248(march):1-7. 19. al reef t, & ghanem, e. caffeine: well-known as psychotropic substance, but little as https://paktanidigital.com/artikel/produksi-kopi-indonesia-turun/#.ybcztegzbiu https://paktanidigital.com/artikel/produksi-kopi-indonesia-turun/#.ybcztegzbiu https://paktanidigital.com/artikel/produksi-kopi-indonesia-turun/#.ybcztegzbiu insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 51 immunomodulator. immunobiology. 2018;223(12):818-825. 20. hassan hs, sule im, musa ma, musa yk, abubakar sm, hassan sa. antiinflammatory activity of crude saponin extracts from five nigerian medicinal plants. african j tradit complement altern med. 2012;9(2):250-255. 21. egesie ug, chima ke, galam nz. anti-inflammatory and analgesic effects of aqueous extract of aloe vera (aloe barbadensis) in rats. african j biomed res. 2011;14(3):209-212. 22. chindo na. benefits of aloe vera subtanceas anti-inflamatory of stomatitis. indian j dermatol. 2015;4(3):84. 23. lingga ar, pato u, rossi e. uji antibakteri ekstrak batang kecombrang (nicolaia speciosa horan) terhadap staphylococcus aureus dan eschericia coli. jom faperta. 2016;3(1). 97 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 4. hwang yk, chun js, yoo pd ma jy, hyun, bh, kim su, chang kt, lee sh. 2014. occlusal reduction of unilateral molars influences change of stress-related hormones in rats. scand. j. lab. anim. sci.,31 (2). 5. taga h, yukio azuma, kiyoshi maehara, shuichi nomura. 2012. effects of changes in vertical occlusal dimension on heart rate fluctions in guinea pigs. in vivo 26: 177-182 6. guyton ac, hall. textbook of medical physiology. 10th ed. new york: wb saunders company. 2007. 7. corwin ej. patofisiologi. jakarta: egc. 2009 8. suarsana, n., i dharmawan, i gorda,b pontjo priosoeryanto. 2011. tepung tempe kaya isoflavon meningkatkankadar kalsium, posfor dan estrogen plasma tikus betina normal. jurnal veteriner. vol. 12 no. 3: 229 – 234 9. ekuni d, yoneda t, endo y, kasuyama k, irie k, mizutani s, azuma t, tomofuji t, morita m, occlusal disharmony accelerates the initiation of atherosclerosis in apoe knockout rats. 2014. journal lipids in health and disease. 13:144 10. breivik t, thrane ps, murison r, gjerno p. emotional stress effect on immunity, gingivitis and periodontitis. 1996. 11. yoshihara t, taneichi r, yawaka y,. occlusal disharmony increases stress response in rats. 2009. neuroscience letters volume 452, issue 2, 181–184 12. liu w, eunice y. yuen, zhen y,. 2010. regulation of the gdi-rab4 complex and glucocorticoid-inducible kinase (sgk) pionic acid (ampa) receptors via serum-amino-3-hydroxy-5-methyl4-isoxazolepro increases synaptic the journal of biochemical chemistry. 285:6101-6108. 13. walwadkar ds, suryakar a.n., katkam r.v., kumbar k.m. and r.d. ankush. 2006. oxidative stress and calciumphosphorus levels in rheumatoid arthritis. indian journal of clinical biochemistry. 21 (2) 134-137 14. de nijs rnjtl. glucocorticoidinduced osteoporosis in rheumatic disease. thesis. university medical centre utrecht. the netherland 15. saliba w, el hadad b. 2009. calcium and phosphorus homeostasis. journal of the american board of family medicine 16. canalis e, mazziotti g, giustina a, bilezikian jp.. 2007. glucocorticoidinduced osteoporosis: pathophysiology and therapy. journal of osteoporosis. 18(10):1319-28 efek kontrol glikemik teradap penyakit periodontal penderita diabetes mellitus the effect of glycemic control on periodontal disease in diabetic patient hartanti bagian periodonsia program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding : hartantisoeharno@yahoo.com abstrak penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi yang pada umumnya menimbulkan peradangan sebagai efek kontrol level glikemik pada penderita diabetes. keparahan periodontitis pada penderita diabetes mellitus meningkatkan resiko pada kontrol glikemik yang buruk. studi ini mendukung penampakan klinis sebelumnya dan membuktikan secara epidemiologi terjadinya periodontitis yang parah adalah faktor resiko untuk kontrol glikemik yang buruk. tnf α dan citokin lain ditemukan terkait dengan kerusakan periodontal telah dilaporkan menganggu aksi insulin dan berakibat perubahan metabolik selama terjadinya infeksi. analisa yang ditunjukkan disini mendukung kejadian periodontitis yang parah sebagai faktor resiko akibat kontrol glikemik yang buruk. kata kunci: periodontitis, glicemic, control, diabete mellitus abstract periodontal disease is common infection induced inflammatory disease among the effect of treatment of periodontal disease on the level of glicemic control of diabetes. severe peridontitis in persons with diabetes mellitus increased the risk of poor glycemic control. this study supports earlier clinical impressions and provides epidemiological evidence that severe periodontitis is a risk factor for poor glycemic control, but the mechanisms explaining this relationship have not yet been clarified. tnf-α and other cytokines found to be associated with destructive periodontitis have been reported to interfere with insulin’s actions and lead to metabolic alterations during infections. the analiyses presented here support considering severe periodontitis as a risk factor for poor glycemc control. key words: periodontitis, glicemic, control, diabete mellitus 98 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . hartanti efek kontrol glikemik teradap penyakit periodontal penderita diabetes mellitus pendahuluan penyakit diabetes mellitus, biasa disebut dengan penyakit gula atau kencing manis, merupakan penyakit kronis yang akan diderita pasien seumur hidupnya. diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme karbohidrat karena defisiensi insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah dan adanya gula dalam urine (glukosuria).1 kondisi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes mellitus akan memberikan dampak yang luas antara lain penyakit jantung, stroke, kerusakan pembuluh darah peripheral, retinopati diabetes, nefropatik diabetes, serta neuropati diabetes, dan salah satu yang tercatat adalah penyakit periodontal.1 penyakit periodontal adalah suatu keadaan peradangan dan degenerasi dari jaringan lunak dan tulang penyangga gigi dan bersifat kronis, kumulatif dan progressive. etiology penyakit ini sangat komplek, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. umumnya penyebabnya adalah faktor lokal, namun akan menjadi lebih parah dengan keadaan sistemik yang kurang menguntungkan antara lain diabetes mellitus.2 diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit sistemik yang dapat berperan sebagai faktor resiko bagi terjadinya periodontitis dan akan memperparah kondisi kesehatan periodonsium.3 beberapa studi menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara penyakit diabetes mellitus dengan kondisi inflamantori oral atau periodontitis. keduanya saling mempengaruhi. diabetes mellitus meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit periodontal, sebaliknya periodontitis memperburuk kontrol glikemik pada orang dengan riwayat diabetes. pengobatan periodontal dapat mempengaruhi control glikemik, dengan mengurangi beban bakteri dan respon inflamatori.3 tinjauan pustaka diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan hyperglikemia oleh defisiensi insulin yang absolute dan relative.4 seseorang disebut diabetes mellitus, bila kadar gula darah (glukosa) pada plasma vena diatas 200 mg/dl dan darah kapiler diatas 200 mg/dl. sedangkan kadar glukosa darah saat puasa diatas 126 mg/dl (plasmavena) dan diatas 110 mg/dl (darah kapiler). tingginya kadar gula darah adalah akibat ketidak normalan sekresi insulin dan aksi insulin. 1 insulin merupakan hormon protein yang disekresi oleh sel beta langerhans di pancreas. fungsi insulin sendiri sebagai reseptor bagi sel untuk menerima glukosa. tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk dalam sel sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat.1 insulin dapat mempengaruhi pembuluh darah secara langsung dan tidak langsung. pengaruh secara langsung, dengan mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi. sedangkan pengaruh tidak langsung dengan menurunkan kadar glukosa darah pada tingkat selular, mengurangi sekresi citokin proinflamasi.5 penyakit periodontal sendiri disebabkan oleh bakteri dalam plak gigi dan terdapat 10 spesies telah diidentifikasi sebagai bakteri pathogen pada penyakit periodontal, terutama bakteri batang gram negative. actinobacillus actinomycetescomitans, porphyromonas gingivalis dan bacteriodes dihubungkan dengan periodontitis. lesi periodontitis 99 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 pendahuluan penyakit diabetes mellitus, biasa disebut dengan penyakit gula atau kencing manis, merupakan penyakit kronis yang akan diderita pasien seumur hidupnya. diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme karbohidrat karena defisiensi insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah dan adanya gula dalam urine (glukosuria).1 kondisi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes mellitus akan memberikan dampak yang luas antara lain penyakit jantung, stroke, kerusakan pembuluh darah peripheral, retinopati diabetes, nefropatik diabetes, serta neuropati diabetes, dan salah satu yang tercatat adalah penyakit periodontal.1 penyakit periodontal adalah suatu keadaan peradangan dan degenerasi dari jaringan lunak dan tulang penyangga gigi dan bersifat kronis, kumulatif dan progressive. etiology penyakit ini sangat komplek, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. umumnya penyebabnya adalah faktor lokal, namun akan menjadi lebih parah dengan keadaan sistemik yang kurang menguntungkan antara lain diabetes mellitus.2 diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit sistemik yang dapat berperan sebagai faktor resiko bagi terjadinya periodontitis dan akan memperparah kondisi kesehatan periodonsium.3 beberapa studi menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara penyakit diabetes mellitus dengan kondisi inflamantori oral atau periodontitis. keduanya saling mempengaruhi. diabetes mellitus meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit periodontal, sebaliknya periodontitis memperburuk kontrol glikemik pada orang dengan riwayat diabetes. pengobatan periodontal dapat mempengaruhi control glikemik, dengan mengurangi beban bakteri dan respon inflamatori.3 tinjauan pustaka diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan hyperglikemia oleh defisiensi insulin yang absolute dan relative.4 seseorang disebut diabetes mellitus, bila kadar gula darah (glukosa) pada plasma vena diatas 200 mg/dl dan darah kapiler diatas 200 mg/dl. sedangkan kadar glukosa darah saat puasa diatas 126 mg/dl (plasmavena) dan diatas 110 mg/dl (darah kapiler). tingginya kadar gula darah adalah akibat ketidak normalan sekresi insulin dan aksi insulin. 1 insulin merupakan hormon protein yang disekresi oleh sel beta langerhans di pancreas. fungsi insulin sendiri sebagai reseptor bagi sel untuk menerima glukosa. tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk dalam sel sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat.1 insulin dapat mempengaruhi pembuluh darah secara langsung dan tidak langsung. pengaruh secara langsung, dengan mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi. sedangkan pengaruh tidak langsung dengan menurunkan kadar glukosa darah pada tingkat selular, mengurangi sekresi citokin proinflamasi.5 penyakit periodontal sendiri disebabkan oleh bakteri dalam plak gigi dan terdapat 10 spesies telah diidentifikasi sebagai bakteri pathogen pada penyakit periodontal, terutama bakteri batang gram negative. actinobacillus actinomycetescomitans, porphyromonas gingivalis dan bacteriodes dihubungkan dengan periodontitis. lesi periodontitis menunjukkan inflamasi gusi dan juga destruksi dari ligament periodontal dan tulang alveolar. hal ini akan menyebabkan hilangnya tulang dan migrasi apical dari pertemuan epitel sehingga terjadi pocket periodontal.4 artikel terbaru menunjukkan bahwa periodontitis dapat mempengaruhi kerentanan penyakit sistemik melalui 3 cara yaitu dengan faktor resiko yang ditanggung bersamasama, oleh adanya biofilm subgingival yang bertindak sebagai reservoir bakteri gram negative dan melalui periodontium yang bertindak sebagai mediator inflamasi .4 jenis diabetes dm tipe 1 : diabetes yang timbul karena adanya kerusakan sel-sel beta pada pancreas. pada penderita timbul defisiensi insulin secara absolute, yang disebabkan adanya reaksi outoimune karena kerusakan sel beta langerhans di pancreas. penderita biasanya mudah mengalami ketoacidosis dan terjadi fluktuasi kadar gula darah plasma. jika tidak dirawat akan timbul manifestasi dan gejala : polyuria, polydipsia, dan polypagi, pruritis, kelemahan dan kelelahan.1,5 dm tipe 2 : penderita memiliki insulin dalam jumlah normal atau berlebih namun terjadi kekurangan jumlah reseptor insulin sehingga glukosa sulit masuk dalam sel. akibatnya sel kekurangan glukosa dan terladi peningkatan kadar gula darah. 1 dm gestational : dm yang timbul selama kehamilan (glucosa intolerance). anak yang lahir dari ibu dengan dm gestational beresiko mengalami kegemukan dan diabetes pada usia muda.1 dm tipe lain: meliputi dm defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrim pancreas, endikrinopati dan lainlain.1 komplikasi diabetes mellitus hiperglikemia yang terjadi pada diabetes mellitus bertanggung jawab terhadap timbulnya berbagai komplikasi. hyperglycemia menghasilkan terbentuknya formasi advanced glycation end product (ages) non ensimatik pada makromolekul jaringan. akumulasi dari ages dalam plasma dan jaringan lunak pada penderita diabetes dapat dihubungkan pada timbulnya komplikasi diabetic. terdapat beberapa spekulasi bahwa terbentuknya age yang berlebihan pada jaringan gingival menyebabkan permeabilitas vascular yang lebih besar, kerapuhan serat kolagen dan terjadi kerusakan baik pada jaringan ikat nonmineralisasi dan tulang.3 komplikasi jangka panjang dapat terjadi pada dm tipe 1 dan 2. komplikasi makrovaskuler termasuk penyakit jantung, penyakit cerebrovascular dan penyakit peripheral vascular. komplikasi mikrovascular termasuk retinophaty, nephrophaty dan neuropathy. komplikasi oral menunjukkan adanya luka yang sukar sembuh dan xerostomia, seperti halnya meningkatnya penyakit periodontal. 5 penyakit periodontal telah ditetapkan sebagai komplikasi diabetes urutan keenam. menurut bridges dan kawan-kawan bahwa diabetes dapat mempengaruhi semua pa100 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . hartanti efek kontrol glikemik teradap penyakit periodontal penderita diabetes mellitus rameter periodontal, termasuk skor bleeding, probing depth, hilangnya perlekatan dan tanggalnya gigi.6 penelitian terbaru telah dilakukan untuk menentukan jika keberadaan penyakit periodontal mempengaruhi kontrol dari diabetes sendiri. menurut grossi dan kawan-kawan bahwa keefektifan kontrol infeksi periodontal pada penderita diabetes akan mengurangi tingkat ages dalam serum. tingkat pengendalian glikemik merupakan faktor kunci. kadar glukosa pada penderita diabetes mellitus yang terkontrol dengan baik dapat menyebabkan penurunan terjadinya infeksi 6 pengaruh diabetes mellitus terhadap jaringan periodontal menurut grossi dan genco terbentuknya advanced glycation end product (age) merupakan senyawa kimiawi yang berasal dari glukosa, secara irreversible, dan terbentuknya secara pelan tetapi kontinyu seiring peningkatan kadar glukosa darah. penimbunan age dapat terjadi di dalam plasma dan jaringan, termasuk jaringan gingival pada penderita diabetes mellitus.3 sel-sel pada endothelial, otot polos, neuron dan monosit memiliki sisi pengikat (binding site) age pada permukaannya yang dinamakan reseptor age (rage). ikatan antara age dengan sel-sel endothelial menyebabkan terjadinya lesi vaskuler, trombosis, dan vasokonstriksi pada penderita dm. age yang telah berikatan dengan monosit akan meningkatkan kemoktasis dan aktivasi monosit yang diiringi dengan meningkatnya jumlah sitokin proinflamatori yang dilepas, seperti tnf-α, il-1 dan il-6. ikatan age dengan rage pada fibroblast mengakibatkan gangguan remodeling jaringan ikat, sedangkan ikatan age dengan kolagen mengakibatkan menurunnya solubilitas dan laju pembaharuan kolagen.3 buruknya control gula darah dan meningkatnya pembentukan advanced glaycation end products menginduksi stress oksidan pada gingival sehingga memperparah kerusakan jaringan periodontal. 3 beberapa penelitian yang menunjukkan pengendalian diabetes mellitus untuk memperbaiki kondisi penyakit jaringan periodontal telah banyak dilalukan. penelitian yang dilakukan di arab saudi misalnya menunjukkan hubungan antara penyakit periodontal dengan tingkat/kadar glukosa darah pada penderita dm tipe ii, dimana tingkat keparahan penyakit periodontal semakin meningkat dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah dan meningkatnya community periodontal index of treatment needs (cpitn) score.7 penelitian lainnya, menunjukkan efek instruksi oral hygiene pada penderita dm type ii dapat memberi efek positif pada kontrol metabolik penderita dimana score fasting blood glucosa level (fbgl) dan score gingival crevicular fluid (gcf) berkurang.8. penelitian dari debora c dan kawan-kawan menunjukkan terapi non surgical pada pasien dm terbukti efektif menurunkan kadar gukosa dan menurunkan parameter klinik adanya infeksi periodontal.6 menurut christgau dan kawan-kawan terapi secara mekanik tidak akan memberi efek terhadap kadar glukosa hemoglobin (hba1) jika control diabeticnya kurang/jelek. 8 pembahasan penyakit periodontal berat seringkali muncul bersamaan dengan diabetes mellitus. diabetes juga merupakan faktor penye101 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 rameter periodontal, termasuk skor bleeding, probing depth, hilangnya perlekatan dan tanggalnya gigi.6 penelitian terbaru telah dilakukan untuk menentukan jika keberadaan penyakit periodontal mempengaruhi kontrol dari diabetes sendiri. menurut grossi dan kawan-kawan bahwa keefektifan kontrol infeksi periodontal pada penderita diabetes akan mengurangi tingkat ages dalam serum. tingkat pengendalian glikemik merupakan faktor kunci. kadar glukosa pada penderita diabetes mellitus yang terkontrol dengan baik dapat menyebabkan penurunan terjadinya infeksi 6 pengaruh diabetes mellitus terhadap jaringan periodontal menurut grossi dan genco terbentuknya advanced glycation end product (age) merupakan senyawa kimiawi yang berasal dari glukosa, secara irreversible, dan terbentuknya secara pelan tetapi kontinyu seiring peningkatan kadar glukosa darah. penimbunan age dapat terjadi di dalam plasma dan jaringan, termasuk jaringan gingival pada penderita diabetes mellitus.3 sel-sel pada endothelial, otot polos, neuron dan monosit memiliki sisi pengikat (binding site) age pada permukaannya yang dinamakan reseptor age (rage). ikatan antara age dengan sel-sel endothelial menyebabkan terjadinya lesi vaskuler, trombosis, dan vasokonstriksi pada penderita dm. age yang telah berikatan dengan monosit akan meningkatkan kemoktasis dan aktivasi monosit yang diiringi dengan meningkatnya jumlah sitokin proinflamatori yang dilepas, seperti tnf-α, il-1 dan il-6. ikatan age dengan rage pada fibroblast mengakibatkan gangguan remodeling jaringan ikat, sedangkan ikatan age dengan kolagen mengakibatkan menurunnya solubilitas dan laju pembaharuan kolagen.3 buruknya control gula darah dan meningkatnya pembentukan advanced glaycation end products menginduksi stress oksidan pada gingival sehingga memperparah kerusakan jaringan periodontal. 3 beberapa penelitian yang menunjukkan pengendalian diabetes mellitus untuk memperbaiki kondisi penyakit jaringan periodontal telah banyak dilalukan. penelitian yang dilakukan di arab saudi misalnya menunjukkan hubungan antara penyakit periodontal dengan tingkat/kadar glukosa darah pada penderita dm tipe ii, dimana tingkat keparahan penyakit periodontal semakin meningkat dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah dan meningkatnya community periodontal index of treatment needs (cpitn) score.7 penelitian lainnya, menunjukkan efek instruksi oral hygiene pada penderita dm type ii dapat memberi efek positif pada kontrol metabolik penderita dimana score fasting blood glucosa level (fbgl) dan score gingival crevicular fluid (gcf) berkurang.8. penelitian dari debora c dan kawan-kawan menunjukkan terapi non surgical pada pasien dm terbukti efektif menurunkan kadar gukosa dan menurunkan parameter klinik adanya infeksi periodontal.6 menurut christgau dan kawan-kawan terapi secara mekanik tidak akan memberi efek terhadap kadar glukosa hemoglobin (hba1) jika control diabeticnya kurang/jelek. 8 pembahasan penyakit periodontal berat seringkali muncul bersamaan dengan diabetes mellitus. diabetes juga merupakan faktor penye bab penyakit periodontal yang berat. dapat juga terjadi sebaliknya adanya penyakit periodontal akan memperparah kondisi diabetes. penyakit periodontal mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit sistemik termasuk dm. kebanyakan penelitian mempelajari hubungan antara infeksi oral dan penyakit sistemik yang berkaitan dengan penyakit periodontal sebagai infeksi oral yang paling umum. ditetapkan bahwa diabetes mellitus kemungkinan besar menjadi penyebab penyakit periodontal dibandingkan dengan non diabetes. salah satu mekanisme yang memungkinkan mengenai mengapa diabetes dapat menyebabkan penyakit periodontal adalah adanya penimbunan glucosemediated age yang mempengaruhi migrasi dan aktivitas fagositosis dari mononuclear dan polymorphonuclear phagochytic cells.6 dm cenderung meningkatkan suseptibilitas terjadinya infeksi termasuk infeksi oral serta menurunkan efektifitas sel-sel yang bekerja untuk membunuh bakteri. peningkatan inflamasi pada dm disebabkan adanya peningkatan kadar level mediator inflamatori pada cairan gingival crevicular di kantong periodontal pada pasien dm yang tidak terkontrol, dibanding orang tanpa dm atau yang diabetnya terkontrol. sitokin proinflamatori (tnf-α) memainkan peranan penting dalam proses ini. periodontitis dihubungkan dengan meningkatnya level tnf-α. meningkatnya tnf-α dapat menyebabkan terbunuhnya sel-sel yang memperbaiki tulang dan jaringan ikat dan dapat mengeksaserbasi resistensi insulin dan memperburuk kondisi glikemik.1,9 perubahan pada jaringan periodontal penderita diabetes sering terjadi pada penderita yang tidak terkontrol atau kurang baik kontrolnya termasuk buruknya kontrol kadar gula darah dan meningkatnya pembentukan age. age sendiri merupakan senyawa yang terbentuk dari glukosa seiring meningkatnya kadar glukosa darah. penimbunan age bisa terjadi dalam plasma dan jaringan, termasuk gingival.6 meningkatnya kadar gula darah dan peningkatan age menginduksi stress oksidan pada gingival sehingga kerusakan jaringan periodontal makin hebat.6 kesimpulan keparahan periodontitis mempunyai resiko dalam perkembangan diabetes, dan pengawasan infeksi penyakit periodontal sangat penting untuk jangka panjang pada penderita diabetes mellitus. di dalam mulut penderita diabetes mellitus dapat meningkatkan jumlah bakteri sehingga menyebabkan adanya kelainan jaringan periodontal. penelitian pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terjadinya penyakit jaringan periodontal yang lebih parah. kontrol diabetes meliputi cara perawatan periodontitis kronis yang telah terjadi pada penderita diabetes. perawatan tersebut bertujuan untuk mencegah keparahan lebih lanjut dari penyakit periodontal dan untuk mencegah kelainan sistemik yang lebih parah. penanganan ataupun pengawasan penderita diabetes dengan kontrol kadar gula darah akan mempengaruhi keberhasilan perbaikan klinis. kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus yang terkontrol baik akan menurunkan terjadinya infeksi. jadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan penyakit periodontal pada penderita diabetes mellitus dengan mengendalikan kadar glukosa darah. semakin rendah kadar gula darah pada penderita da102 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . hartanti efek kontrol glikemik teradap penyakit periodontal penderita diabetes mellitus betes mellitus makin baik kondisi jaringan periodontalnya. daftar pustaka 1. anonim, mengenali diabetes atau kencing manis, otc digest, edisi 2, tahun i, 9 oktober 2006. 2. agtini md, epidemiologi dan etiologi penyakit periodontal, cermin dunia kedokteran no. 72, 1991. 3. saidina hamzah dalimunthe, hubungan timbal balik antara periodontitis dengan diabetes mellitus, dentika dental journal vol 8, no. 2, 2003: 120-125 4. li x, kolltveit km, tronstad l, and olsen i, systemic diseases caused by oral infection, clin microbial review 2000 oct; 13(4); 547-549. 5. debora c. matthews, dds, dip. perio,msc.the relationship between diabetes and periodontal disease, j can dent assoc. 2002; 68(3):161-164. 6. debora c rodrigues, mario taba jr, athur b. novaes jr, sergio l.s, souza, and marcio f.m grisi, effect of non surgical periodontal therapy on glicemic control in patient with type 2 diabetes mellitus,j periodontal 2003; 74; 1361 1367 7. almas k, al-qahtani m, al-yami m, et. al. the relationship between periodontal disease and blood glucosa level among type ii diabetic patients. j contemp dent pract 2001 nov;(2)4: 018125. 8. almas k, al-lazzam s, al-quadairi a, the effect of oral hygiene instructions on diabetic type 2 male patients with periodontal diseases, j contemp dent pract 2003 august; (4)3:040-051. 9. anonim, mulut jendela penyakit sistemik, ethical digest, no 40 tahun v, juni 2007 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 26-31 26 research article prevalensi maloklusi anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta the prevalence of malocclusion in 9-11 year-old children in sd it insan utama yogyakarta wustha farani 1* , moh irvan abdillah 2 1,2 program studi kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta 1,2 jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, diy. indonesia, kode pos 55183 received date: november 19 th , 2019; reviewed date: july 01 st , 2020; revised date: april 24 th , 2021; accepted date: may 27 th , 2021 doi : 10.18196/di.v10i1.7534 abstrak maloklusi adalah ketidaksesuaian dari hubungan rahang atau gigi yang tidak normal. maloklusi dapat menyebabkan terjadinya resiko karies dan penyakit periodontal. derajat keparahan malokulusi berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologi individu. riskesdas tahun 2013 melaporkan sebanyak 25,9% penduduk indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut. prevalensi maloklusi di indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar. tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi maloklusi gigi pada anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu dilakukan dengan cara mendeskripsikan data prevalensi maloklusi gigi pada anak usia 9-11 tahun. populasi penelitian berjumlah 216 anak, berdasarkan kriteria inklusi didapatkan 149 anak yang menjadi responden penelitian. penelitian ini dilakukan dengan cara melihat kondisi gigi yang mengalami maloklusi. hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 149 anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama, maloklusi kelas i sebanyak 82 anak dengan prevalensi 57,3%, maloklusi kelas ii sebanyak 62 anak dengan prevalensi 41,6%, maloklusi kelas iii sebanyak 5 anak dengan prevalensi 3,3%. maloklusipada anak laki-laki sebanyak 49 orang (59.8%) dan pada anak perempuan sebanyak 33 orang (40.2%). prevalensi tertinggi maloklusi kelas isebanyak 82 anak (57.3%). kesimpulan dari penelitian ini adalah total prevalensi maloklusi pada semua kategori pada anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yoyakarta sebesar 61.7% untuk anak laki-laki dan 38.3% untuk anak perempuan. prevalensi paling besar terdapat pada maloklusi kelas i. kata kunci: anak ; maloklusi; prevalensi; 9-11 tahun abstract malocclusion is the incorrect and abnormal relation between jaws and tooth. malocclusion may cause tooth decay and periodontal diseases. the severity stages of malocclusion vary from low to high which display individual biological variation. riskesdas in 2013 reported 25,9% of indonesian population suffered from tooth and mouth problems. the prevalence of malocclusion in indonesia is very high, which is 80% of the total population, and it may be categorized into a very high rate oral problem. the aim of this research is to discover the prevalence of tooth malocclusion on 9-11 years-old children in islamic primary school of insan utama yogyakarta.this research’s design is descriptive. this research was performed by describing the data of tooth malocclusion’s prevalence on 9-11 years old children. there were 216 children identified as the research population and 149 children were selected as the research’s respondents based on the inclusion criteria. the research was conducted by observing teeth that suffered from malocclusion.the research result showed that out of 149 9-11 years old children in the islamic primary school of insan utama, 82 children were categorized into class i malocclusion 57,3% prevalence rate, 62 children were categorized into class ii malocclusion 41,6% prevalence rate, and 5 children were categorized into class iii malocclusion 3,3% prevalence rate. the ——— * corresponding author, e-mail: drg_wustha@yahoo.com wustha farani, moh irvan abdillah l prevalensi maloklusi anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta 27 malocclusion occurred to 49 boys (59,8%) and 33 girls (40,2%). the highest malocclusion prevalence rate was the class 1 malocclusion with 82 children (57,3%).the research concludethat 61,7% prevalence rate occurred to boys, while the rest of 38,3% occurred to girls. the highest prevalence rate was found in class 1 malocclusion keywords: children; malocclusion; prevalence; 9-11 years old pendahuluan maloklusi adalah tidak sesuainya hubungan rahang atau gigi yang tidak normal. maloklusi dapat menyebabkan terjadinya resiko karies dan penyakit periodontal. derajat keparahan malokulusi berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologi individu. 1 maloklusi terjadi akibat dari tidak adanya hubungan yang seimbang antara gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot disekitarnya tidak memberikan keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang kurang baik. 2 berdasarkan riset kesehatan dasar nasional tahun 2013 melaporkan sebanyak 25,9% penduduk indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut. 3 maloklusi merupakan masalah gigi terbesar kedua, 80% dari penduduk indonesia mengalami maloklusi. 4 maloklusi gigi-geligi dapat menyebabkan timbulnya masalah ketidak percayaan diri karena keprihatinan yang meningkat tentang penampilan gigi selama masa anak-anak dan remaja. 1 maloklusi yang sudah tampak pada gigi bercampur jika tidak dilakukan perawatan sejak dini akan berakibat semakin parah pada periode gigi tetapnya. untuk mencegah dan menanggulangi hal ini sangat diperlukan perawatan ortodontik sejak dini pada anak. 5 maloklusi bisa menyebabkan terjadinya masalah periodontal, gangguan fungsi menelan, pengunyahan, masalah bicara dan psikososial yang berkaitan dengan estetika. 6 maloklusi juga dapat menyebabkan terjadinya risiko karies dikarenakan gigi yang berjejal sehingga sulit untuk membersihkannya. 7 terjadinya maloklusi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, biasanya karena faktor herediter atau keturunan dan perkembangan kerusakan dari sumber yang tidak diketahui, misalnya dari trauma. trauma bisa saja diakibatkan karena trauma prenatal, cedera saat lahir, dan trauma postnatal. kebiasaan buruk dan penyakit juga bisa menyebabkan maloklusi. 8 pengaruh faktor tersebut dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan maloklusi. 9 faktor keturunan memiliki pengaruh yang paling utama terhadap maloklusi misalnya bentuk, jumlah dan ukuran gigi yang tumbuh tidak sesuai dengan lengkung rahang sehingga menyebabkan gigi berjejal. 5 dokter gigi yang merawat maloklusi membutuhkan informasi tentang etiologiuntuk mencegah dan mengobati masalah oklusi. pengetahuan tentang faktor lingkungan juga bisa untuk mencegah pengaruh lanjutan dari faktor lingkungan pada oklusi gigi. maloklusi akibat faktor lingkungan seperti menyedot ibu jari dapat dicegah jika kebiasaan dihentikan sebelum usia 5 tahun atau pada anak yang mengalami perkembangan cranio facial dan oklusal normal. oleh karena itu, pengetahuan tentang penyebab maloklusi pasien penting untuk diagnosis dan perawatan yang tepat bagi pasien tersebut. 10 premature loss adalah kehilangan gigi desidui sebelum waktu erupsinya. 11 penyebab utama terjadinya premature loss adalah karies, trauma, kelainan bawaan, erupsi ektopik dan pertimbangan ortodontik. 12 premature loss merupakan faktor utama yang dapat menyebabkan maloklusi pada bidang sagital, melintang, dan vertikal, juga dapat dikaitkan dengan pengurangan panjang lengkung gigi dan migrasi gigi antagonis yang menyebabkan rotasi, berjejal dan impaksi pada gigi permanen. 13 perkembangan gigi dan oklusi memasuki tahap gigi campuran pada usia 6 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 26-31 28 12 tahun, yaitu terjadi penggantian gigi decidui menjadi gigi tetap. 6 anak yang mengalami maloklusi merasa tidak perlu untuk dilakukan perawatan dikarenakan motivasi anak usia sekolah untuk merawat giginya sangatlah kurang, sehingga disini peran orang tua sangatlah penting dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. 4 berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah berapa prevalensi maloklusi gigi pada anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta. material dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. penelitian dilaksanakan di sd it insan utama yogyakarta dengan total responden berjumlah 216 anak, 149 anak yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu anak yang berusia 9-11 tahun di sd it insan utama yogykarta dan bersedia menjadi responden. penelitian ini dilakukan pada bulan februari 2019. metode pengukuran pada penelitian ini menggunakan pemeriksaan intra oral dengan melihat kondisi gigi berdasarkan kriteria maloklusi angel kelas i yaitu posisi tonjol mesio bucal gigi molar 1 permanen atas berada pada bucal groove gigi molar permanen 1 rahang bawah, maloklusi angel kelas ii yaitu posisi tonjol mesio bucal molar 1 permanen rahang atas berada antara molar 1 dan premolar 2 rahang bawahatau lebih mesial dari bucal groove, dan angel kelas iii yaitu posisi tonjol mesio bucal molar 1 permanen rahang atas berada antara molar 1 dan molar 2 permanen rahang bawah. hasil jumlah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini berjumlah 149 anak terdiri dari 92 anak laki-laki (61.7%) dan 57 anak perempuan (38.3%). tabel 1. distribusi frekuensi prevalensi maloklusi pada siswa sd it insan utama yogyakarta klasifikasi maloklusi jumlah kasus prevalensi kelas 1 82 57,3 % kelas 2 62 41,6% kelas 3 5 3,3% berdasarkan tabel 1 dapat diketahui total diagnosis klasifikasi maloklusi kelas i sebanyak 82 anak dengan prevalensi 57,3%, total maloklusi kelas ii sebanyak 62 anak dengan prevalensi sebesar 41,6%, total maloklusi kelas iii sebanyak 5 anak dengan prevalensi sebesar 3,3%. pada tabel 2, didapatkan bahwa frekuensi pasien anak maloklusi kelas i dengan jenis kelamin laki – laki adalah sebanyak 49 orang (59.8%) dan dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 33 orang (40.2%), frekuensi pasien anak maloklusi kelas ii dengan jenis kelamin laki – laki adalah sebanyak 40 orang (64.5%) dan perempuan 22 orang (35.5%), frekuensi pasien anak maloklusi kelas iii dengan jenis kelamin laki – laki adalah 3 orang (60%) dan perempuan 2 orang (40%). tabel 2. klasifikasi maloklusi berdasarkan jenis kelamin maloklusi jenis_kelamin total laki-laki perempua n kelas 1 49 33 82 (59.8%) (40.2%) (100%) kelas 2 40 22 62 (64.5%) (35.5%) (100%) kelas 3 3 2 5 (60.0%) (40.0%) (100%) jumlah 92 57 149 (61.7%) (38.3%) (100%) berdasarkan tabel 3. dapat diketahui frekuensi maloklusi kelas i pada pasien anak yang berusia 9 tahun adalah sebanyak 28 orang (34.1%), frekuensi pasien anak wustha farani, moh irvan abdillah l prevalensi maloklusi anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta 29 berusia 10 tahun adalah sebanyak 25 orang (30.5%) dan frekuensi pasien anak berusia 11 tahun adalah sebanyak 29 orang (35.4%). pada maloklusi kelas ii pada pasien anak yag berusia 9 tahun adalah sebanyak 27 orang (43.5%), frekuensi pasien anak berusia 10 tahun adalah sebanyak 22 orang (35.5%) dan frekuensi pasien anak berusia 11 tahun adalah sebanyak 13 orang (21.0%). pada maloklusi kelas iii pada pasien anak yag berusia 9 tahun dan 10 tahun tidak ada yang memiliki kelainan maloklusi kelas iii dan frekuensi pasien anak berusia 11 tahun adalah sebanyak 5 orang (100%). diskusi penelitian tentang prevalensi maloklusi pada anak usia 9-11 tahun yang telah dilakukan pada anak di sd it insan utama yogyakarta dimana jumlah sampel adalah 149 anak dengan usia 9-11 tahun, teknik pengumpulan sampel dengan cara random sampling, maka didapatkan 149 anak sebagai responden yang termasuk dalam kriteria inklusi. hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan klasifikasi maloklusi kelas 1 sebanyak 82 anak dengan prevalensi 57,3%, total maloklusi kelas ii sebanyak 62 anak dengan prevalensi sebesar 41,6%, total maloklusi kelas iii sebanyak 5 anak dengan prevalensi sebesar 3,3%. faktor lokal yang mempengaruhi meliputi anomali jumlah gigi, anomali bentuk gigi, anomali ukuran gigi dan pencabutan dini gigi desidui. 14 faktor umum meliputi faktor kongenital, gangguan metabolisme, malnutrisi, kebisaan buruk, lingkungan dan faktor keturunan. 15 berdasarkan hasil penelitian yang tersaji pada tabel 3, terdapat maloklusi baik kelas i, kelas ii, kelas iii pada kelompok laki-laki dan perempuan yang tersebar pada usia 9-11 tahun. hal tersebut dapat diasumsikan bahwa maloklusi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, baik perempuan maupun laki-laki memiliki kemungkinan yang sama mengalami maloklusi. hasil ini serupa dengan yang disimpulkan thilander et al. (2013) pada penelitiannya, yaitu tidak terdapat perbedaan jenis kelamin yang dapat teramati pada maloklusi kelas i, ii dan iii, tetapi maloklusi kelas ii dan iii dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu faktor lokal dan faktor umum. 16 pada penelitian ini dengan melibatkan subjek anak usia 9-11 tahun, maloklusi kelas ii dan iii dikategorikan pada maloklusi yang lebih membutuhkan perawatan dibandingkan maloklusi kelas i. pada penelitian ini sebanyak 41,6% kelompok maloklusi kelas ii tidak merasa memerlukan perawatan dan pada maloklusi kelas iii sebanyak 3,3% tidak merasa memerlukan perawatan. keadaan ini mungkin terjadi karena faktor usia anak yang belum memiliki kesadaran bahwa dirinya memerlukan perawatan ortodontik, atau belum memiliki pengetahuan tentang perawatan ortodontik. tabel 3. prevalensi maloklusi bedasarkan usia usia total 9 tahun 10 tahun 11 tahun klasifikasi maloklusi kelas i 28 25 29 82 (34,1%) (30,5%) (35,4%) (100,0%) klasifikasi maloklusi kelas ii 27 22 13 62 (43,5%) (35,5%) (21,0%) (100,0%) klasifikasi maloklusi kelas iii 0 0 5 5 (0,0%) (0,0%) (100,0%) (100,0%) total 55 47 47 149 (36,9%) (31,5%) (31,5%) (100,0%) insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(1), mei 2021, 26-31 30 kesimpulan prevalensi maloklusi pada anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta adalah sebanyak 57,3 % untuk maloklusi angel kelas 1; 41, 6 % maloklusi angel kelas 2 dan 3,3 % maloklusi angel kelas 3. prevalensi maloklusi pada anak laki-laki adalah 61,7 % sedangkan pada anak perempuan adalah 38,3 %. tingkat prevalensi maloklusi jauh lebih rendah dari hasil data riskesdas tahun 2013. daftar pustaka 1. susilowati. prevalensi maloklusi gigi anterior pada siswa sekolah dasar (penelitian pendahuluan di sd 6 maccora walihe, sidrap): makassar dent j. 2016; 5(3):97-101. 2. demmajannang t, erwansyah e. gambaran indeks bolton pada pasien yang dirawat dengan piranti ortodontik lepasan di rumah sakit gigi mulut universitas hasanuddin overview of bolton index on patients treated with removable orthodontic appliance in dental hospital of hasanuddin university. j dentomaxillofacial sci. 2013 oct 30;12(3):175. 3. laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) nasional. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia; 2013. 4. aditya my, baehaqi moh, sri praptiningsih r. pengaruh pengetahuan orang tua tentang ortodonsi preventifdengan perilaku pencegahan maloklusipadagigi anak, odonto dent j. 2015 nov 12;2(1):46. 5. wijayanti p. gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun (studi pendahuluan di sd at-taufiq, cempaka putih, jakarta). 2014;5. 6. wahyuningsih s, hardjono s, suparwitri s. perawatan maloklusi angle klas i dengan gigi depan crowding berat dan cross bite menggunakan teknik begg pada pasien dengan kebersihan mulut buruk. maj kedokt gigi indones. 2014 dec 1;21(2):204. 7. zou j, meng m, law cs, rao y, zhou x. common dental diseases in children and malocclusion. int j oral sci. 2018;10(1):7. 8. premkumar s. textbook of orthodinticse-book. elsevier health sciences; 2015. 9. premkumar s. manual of pediatric dentistry. jaypee brothers medical publisher (p) limited; 2014. 10. joelijanto r. oral habits that cause malocclusion problems. insisiva dent j maj kedokt gigi insisiva. 2012;1(2). 11. bansal m, gupta n, gupta p, arora v, thakar s. reasons for extraction in primary teeth among 5-12 years school children in haryana, india-a cross-sectional study. j clin exp dent. 2017;9(4):e545. 12. lucas-rincón se, robles-bermeo nl, lara-carrillo e, et al. interproximal caries and premature tooth loss in primary dentition as risk factors for loss of space in the posterior sector: a cross-sectional study. medicine (baltimore). 2019;98(11):e14875. 13. murshid sa, al-labani ma, aldhorae ka, rodis om. prevalence of prematurely lost primary teeth in 5– 10-year-old children in thamar city, yemen: a cross-sectional study. j int soc prev community dent. 2016;6(suppl 2):s126. 14. shrestha a, marla v, shrestha s, maharjan ik. developmental anomalies affecting the morphology of teeth – a review. rsbo. 2015;12(1):68–78. 15. buku ajar ortodonti / joko kusnoto, fajar h. nasution, haryanto a. gunadi | opac perpustakaan nasional ri. [internet]. [cited 2021 apr 22]. wustha farani, moh irvan abdillah l prevalensi maloklusi anak usia 9-11 tahun di sd it insan utama yogyakarta 31 available from: https://opac.perpusnas.go.id/detailopac .aspx?id=956015# 16. rythén m, thilander b, robertson a. dento-alveolar characteristics in adolescents born extremely preterm. eur j orthod. 2013;35(4):475–82. 103 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 betes mellitus makin baik kondisi jaringan periodontalnya. daftar pustaka 1. anonim, mengenali diabetes atau kencing manis, otc digest, edisi 2, tahun i, 9 oktober 2006. 2. agtini md, epidemiologi dan etiologi penyakit periodontal, cermin dunia kedokteran no. 72, 1991. 3. saidina hamzah dalimunthe, hubungan timbal balik antara periodontitis dengan diabetes mellitus, dentika dental journal vol 8, no. 2, 2003: 120-125 4. li x, kolltveit km, tronstad l, and olsen i, systemic diseases caused by oral infection, clin microbial review 2000 oct; 13(4); 547-549. 5. debora c. matthews, dds, dip. perio,msc.the relationship between diabetes and periodontal disease, j can dent assoc. 2002; 68(3):161-164. 6. debora c rodrigues, mario taba jr, athur b. novaes jr, sergio l.s, souza, and marcio f.m grisi, effect of non surgical periodontal therapy on glicemic control in patient with type 2 diabetes mellitus,j periodontal 2003; 74; 1361 1367 7. almas k, al-qahtani m, al-yami m, et. al. the relationship between periodontal disease and blood glucosa level among type ii diabetic patients. j contemp dent pract 2001 nov;(2)4: 018125. 8. almas k, al-lazzam s, al-quadairi a, the effect of oral hygiene instructions on diabetic type 2 male patients with periodontal diseases, j contemp dent pract 2003 august; (4)3:040-051. 9. anonim, mulut jendela penyakit sistemik, ethical digest, no 40 tahun v, juni 2007 pandangan islam terhadap karakter dokter gigi islamic view towards the character of dentist laelia dwi anggraini departemen kedokteran gigi anak program studi pendidikan dokter gigi, fkik, universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding: laelia_dentist@yahoo.com abstrak islam adalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (habluminallah) dan mengatur hubungan manusia dengan manusia (habluminannas). ajaran dan pemikiran islam jelas berperan dalam bidang kesehatan, baik secara konsep, filosofi, substansi, maupun dalam tataran praktis. dokter gigi muslim adalah seorang dokter gigi yang siap dengan akhlak, etika, dan norma yang ditetapkan sesuai al-quran dan sunah rasul, dalam pelayanannya terhadap pasien. tindakan pelayanan medisnya sesuai dengan moral dan etik islam. akhlak seorang dokter gigi muslim harus menjunjung tinggi adab rasulullah saw yaitu: siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas/pintar). identitas seorang dokter gigi muslim sebaiknya memiliki karakter ikhlas, musyarokah (tolong-menolong), mujaddid (pembaru), amanah (dapat dipercaya dan bertanggung jawab), tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), adalah (adil), dan tawazun (keseimbangan/ proporisonal). kata kunci: islam, akhlak, dokter gigi muslim abstract islam is religion, regulates human relationship with god (hablumminallah) and govern the relationship with human (hablumminannas). islamic tought and teaching, clearly play a role in health sector, in the concept of health, the philosophy, the subtance and the practical level of health. muslim dentist is a dentist who is concern with morals, ethics, and norm are established in accordance the qur'an and the sunnah of prophet muhammad. they are: siddiq (thruthful), amanah (trustworty and responsible), fathanah (smart/clever), and tabligh (conveying). the identity of moslems dentist should have a sincere character, musyarokah (mutual help), mujadid (reformer), amanah (trustworty and responsible), tasawuth (moderate), tasamuh (tolerant), adalah (fair) and tawazun (balance/proportionality) keywords: islam, akhlaq (moral), moslem dentist 104 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . laelia dwi anggraini pandangan islam terhadap karakter dokter gigi pendahuluan ilmu kedokteran islam adalah ilmu kedokteran yang memiliki karakter baik dan spesifik karena asal usul ilmu tersebut adalah al-quran yang merupakan kalam ilahi. hal ini dikemukakan oleh tokoh-tokoh kedokteran muslim pada zaman keemasan kedokteran islam. omar amin hoesin mengungkapkan empat periode zaman periode kedokteran islam sebagai berikut: zaman sebelum islam, zaman penerjemahan, zaman keemasan, zaman kekacauan.1 faktor pendukung kedokteran islam adalah banyaknya penerjemahan buku-buku kedokteran, lahirnya cendekiawan muslim dukungan kafilah, pembangunan sekolah dan universitas, berdirinya rumah sakit dan polikliniknya, serta poliklinik keliling1 tokoh – tokoh islam yang memberikan kontribusi di bidang kedokteran adalah ar-razi, ishaq yuda, ibn al-yazzar, haly abbas atau ali abbas, ibnu sina, hasdy bin shapruf, ibn qasim al-zahrawi al-qurtubi, al-biruni, al-kindi, al-farabi, al-ghazali, ibn bajjah, ibn thufail, ibnu rusyd dan muhammad iqbal2,3 islam adalah agama dari langit, yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (habluminallah) dan mengatur hubungan manusia dengan manusia (habluminannas) dalam aspek kehidupan manusia seperti sosial, budaya, politik, hukum, kesehatan dan lainya. bidang kesehatan menganut nilai-nilai islam yang hal tersebut sangat penting penting. tuntunan dalam ajaran islam banyak yang mencerminkan nilai-nilai kesehatan, diantaranya melalui cara hidup yang sehat. banyak tokoh islam berjasa dalam karya bidang kesehatan dan kedokteran. ilmu kedokteran islam inilah yang telah menciptakan figur dokter muslim.3 dokter gigi muslim adalah seorang dokter yang siap dengan akhlak, etika, dan norma yang ditetapkan sesuai al-quran dan sunah rasul.4 tujuan atau ruang lingkup tulisan tujuan dari penulisan literatur review ini adalah untuk memberi wawasan bagi dokter gigi yang memeluk agama islam untuk dapat menerapkan prinsip ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari khususnya saat berhadapan dan merawat pasien maupun keluarganya. sehingga konsep dokter gigi muslim yang indah dapat selalu menghiasi akhlaq setiap dokter gigi yang memeluk agama islam yang rahmatan lil alamin, khususnya dalam implementasi/ penerapan dalam praktek kedokteran gigi. diskusi peran ajaran islam dalam bidang kesehatan secara konseptual dan filosofis, islam sesungguhnya telah menuntun dan mengatur agar umat manusia pada jalan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dunia dan akhirat, serta mengakomodasi seluruh nilai-nilai positif yang ada dalam segenap aspek kehidupan yang diperlukan manusia, termasuk kesehatan, keselamatan dan keamanan.3 al ghazali menyatakan islam ialah tunduk kepada allah dan berserah diri hanya kepadanya dengan menegakkan hubungan antara manusia dengan tuhannya atas dasar “mendengar dan taat”. hal tersebut sesuai pengertian dari segi bahasa yang berarti menggambarkan misi islam yang dibawa oleh seluruh nabi dengan berserah diri, patuh dan tunduk kepada allah dengan tulus 105 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 pendahuluan ilmu kedokteran islam adalah ilmu kedokteran yang memiliki karakter baik dan spesifik karena asal usul ilmu tersebut adalah al-quran yang merupakan kalam ilahi. hal ini dikemukakan oleh tokoh-tokoh kedokteran muslim pada zaman keemasan kedokteran islam. omar amin hoesin mengungkapkan empat periode zaman periode kedokteran islam sebagai berikut: zaman sebelum islam, zaman penerjemahan, zaman keemasan, zaman kekacauan.1 faktor pendukung kedokteran islam adalah banyaknya penerjemahan buku-buku kedokteran, lahirnya cendekiawan muslim dukungan kafilah, pembangunan sekolah dan universitas, berdirinya rumah sakit dan polikliniknya, serta poliklinik keliling1 tokoh – tokoh islam yang memberikan kontribusi di bidang kedokteran adalah ar-razi, ishaq yuda, ibn al-yazzar, haly abbas atau ali abbas, ibnu sina, hasdy bin shapruf, ibn qasim al-zahrawi al-qurtubi, al-biruni, al-kindi, al-farabi, al-ghazali, ibn bajjah, ibn thufail, ibnu rusyd dan muhammad iqbal2,3 islam adalah agama dari langit, yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (habluminallah) dan mengatur hubungan manusia dengan manusia (habluminannas) dalam aspek kehidupan manusia seperti sosial, budaya, politik, hukum, kesehatan dan lainya. bidang kesehatan menganut nilai-nilai islam yang hal tersebut sangat penting penting. tuntunan dalam ajaran islam banyak yang mencerminkan nilai-nilai kesehatan, diantaranya melalui cara hidup yang sehat. banyak tokoh islam berjasa dalam karya bidang kesehatan dan kedokteran. ilmu kedokteran islam inilah yang telah menciptakan figur dokter muslim.3 dokter gigi muslim adalah seorang dokter yang siap dengan akhlak, etika, dan norma yang ditetapkan sesuai al-quran dan sunah rasul.4 tujuan atau ruang lingkup tulisan tujuan dari penulisan literatur review ini adalah untuk memberi wawasan bagi dokter gigi yang memeluk agama islam untuk dapat menerapkan prinsip ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari khususnya saat berhadapan dan merawat pasien maupun keluarganya. sehingga konsep dokter gigi muslim yang indah dapat selalu menghiasi akhlaq setiap dokter gigi yang memeluk agama islam yang rahmatan lil alamin, khususnya dalam implementasi/ penerapan dalam praktek kedokteran gigi. diskusi peran ajaran islam dalam bidang kesehatan secara konseptual dan filosofis, islam sesungguhnya telah menuntun dan mengatur agar umat manusia pada jalan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dunia dan akhirat, serta mengakomodasi seluruh nilai-nilai positif yang ada dalam segenap aspek kehidupan yang diperlukan manusia, termasuk kesehatan, keselamatan dan keamanan.3 al ghazali menyatakan islam ialah tunduk kepada allah dan berserah diri hanya kepadanya dengan menegakkan hubungan antara manusia dengan tuhannya atas dasar “mendengar dan taat”. hal tersebut sesuai pengertian dari segi bahasa yang berarti menggambarkan misi islam yang dibawa oleh seluruh nabi dengan berserah diri, patuh dan tunduk kepada allah dengan tulus bertujuan membawa ketertiban, kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan batin sejalan dengan fitrah manusia untuk selalu cenderung kepada kesucian, kebenaran dan kedamaian.3 ilmu kesehatan umumnya dapat dikelompokan menjadi dua yang pertama adalah ilmu kedokteran (medicine), yaitu ilmu yang mempelajari tentang kesehatan secara individu, pelayanan kuratif dan rehabilitatif, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan serta indikator bebas dari penyakit atau tidak sakit, tidak cacat dan produktif. adapun ilmu kesehatan masyarakat lebih memfokuskan pada objek individu, pelayanan kuratif dan rehabilitatif.3 topik mengenai kesehatan tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang penyakit. konsep penyebab munculnya penyakit berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penemuan penemuan baru dibidang kesehatan dan kedokteran. dimensi kesehatan dalam ajaran islam utamanya mencakup seluruh ibadah rukun islam. secara konsepsional dapat dijelaskan hubungan bersuci dengan kesehatan, shalatkesehatan, puasa-kesehatan, serta hajikesehatan. ajaran dan pemikiran islam jelas berperan dalam bidang kesehatan, baik secara konsep, filosofi, substansi, maupun dalam tataran praktis. para pemikir islam berkontribusi besar melalui karya-karyanya dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kesehatan masyarakat dan kedokteran.3 kondisi dokter gigi saat ini saat ini banyak terjadi penurunan profesionalitas seorang dokter gigi yang mana dokter gigi seharusnya memiliki kompetensi sesuai standar, memberikan pelayanan sesuai prosedur, dan memiliki sikap altruisme (mementingkan pasien). masa sekarang ini, banyak dokter yang memiliki sifat materialistik. dokter gigi tersebut menjadikan lahan profesi dokter sebagai lahan mencari keuntungan yang banyak. permasalahannya adalah ketika kegiatan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak jujur dan bertentangan dengan etika dan moral. selain itu, banyak dokter gigi masa kini yang kurang memiliki empati terhadap masalah pasien. padahal seorang dokter gigi seharusnya memahami bahwa pasiennya adalah manusia yang terdiri dari jasmani dan rohani. jasmani dan rohani dapat saling mempengaruhi dalam membangun kesehatan diri seseorang. sehat yang dimaksud adalah mampu berfungsi secara personal dan sosial.2 dokter gigi sesungguhnya bukanlah orang yang mengobati pasien ketika mereka sakit. dokter gigi hanya bertindak sebagai orang yang membantu proses kesembuhan pasien karena sebenarnya, setiap individu telah diberi allah swt suatu mekanisme alami untuk menyembuhkan diri dari penyakit yang diderita. dokter gigi hanya membantu mengoptimalkan mekanisme itu. seorang dokter gigi muslim harus memahami bahwa tidak ada kekuatan melainkan dari allah swt semata. dokter gigi muslim harus memasrahkan segala hasil usahanya kepada allah swt semata. dokter gigi muslim yang sesungguhnya akan selalu bertindak berdasarkan alqur’an dan al-hadist dalam pelayanannya terhadap pasien. mereka tidak akan melakukan pelayanan medis yang bertentangan dengan moral dan etik islam. selain itu, dokter gigi muslim tidak akan sombong terhadap status sosial yang didapatnya atas profesinya tersebut di masyarakat. dokter gigi muslim 106 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . laelia dwi anggraini pandangan islam terhadap karakter dokter gigi bekerja bukan semata-mata untuk mencari harta ,tetapi juga pengabdian dan kerja sosial. seorang dokter gigi boleh mencari penghidupan dari profesinya tapi tidak boleh menuntut upah berlebih karena sebenar nya dokter tidak diupah\digaji tapi mendapat reward \penghargaan atau tanda terima kasih2. seorang dokter gigi muslim dapat dilihat dari pemikiran, sikap dan kebiasaannya sehari-hari dokter gigi muslim akan bertindak berdasarkan ayat al-qur’an dan sunah rasul baik dalam pelayanan maupun pengambilan keputusan. dokter gigi muslim adalah dokter ideal yang ditambah dengan ketaatannya kepada allah swt yang ditunjukkan dalam profesinya. sikap seorang dokter gigi muslim menurunkan kekhawatiran masyarakat terhadap banyaknya praktek kedokteran yang bertentangan dengan islam dan menimbulkan polemik (pro-kontra).2 prinsip kedokteran gigi islam pembentukan karakter dokter gigi muslim yang tidak berorientasi pada materi atau hal hal lain yang bersifat keduaniawian tapi berorientasi pada allah swt, dengan keikhlasan dan profesionalisme dalam bekerja, akan membantu terwujudnya masyarakat dengan taraf kesehatan yang tinggi. ikhlas bahwa apapun yang ia lakukan selama menjalani profesinya didasarkan pada perintah allah untuk mengamalkan ilmu dan menolong yang lemah serta professional dalam menjalankan pekerjaannya seduai dengan kompetensi ilmu kedokteran gigi yang ia miliki tanpa mengurangi standar kualitas sedikitpun. itu semua dilakukan karena ia menyadari bahwa keberadaan allah swt yang mengawasi kita setiap perilakunya dan akan meminta pertanggung jawaban kelak.3 “janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mengetahui pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertaggungjawabanya” ( al-isra’: 36) “ tidak boleh menjadi dokter kecuali orang yang berpengalaman “ ( hr. bukhari). maka tidak diragukan lagi, kebenaran dokter gigi muslim mempunyai mental dan sikap yang baik. dokter gigi muslim adalah seorang muslim itu sendiri, sehingga teladan yang paling utama adalah rasulullah saw. akhlak seorang dokter gigi muslim harus menjunjung tinggi adab rasulullah saw dan berperoman pada al-quran dan hadist. dokter gigi muslim harus mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh rasul yaitu : siddiq ( jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas/ pintar) selain dokter gigi muslim, pandangan silam dalam kesehatan yaitu melalui ajaran agama dengan ranah kesehatan yaitu diperintahkan untuk tersuci dari fungsinya dalah menjaga kesehatan jasmani dan rohani serta lingkungan. pada rukun iman yang intinya adalah keyakinan dan kepercayaan, maka sangat penting dalam menjaga kesehatan mental spiritual dengan nilai-nilai positif dan tidak sombong, sifat sifat tersebut perlu ada dalam pribadi dokter gigi muslim.2 identitas seorang dokter gigi muslim sebaiknya memiliki karakter ikhlas, musyarokah (tolong-menolong), mujaddid (pembaru), amanah ( dapat dipercaya dan bertanggung jawab, tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), adalah (adil), dan tawazun (keseimbangan/ proporisonal). secara khusus tujuan dokter gigi, memberikan tindakan preventive, kuratif, dan rehabilitatif pada pasien baik pribadi maupun dalam komunitas adalah: a. hifdh ad din : lebih menjaga aqidah 107 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 bekerja bukan semata-mata untuk mencari harta ,tetapi juga pengabdian dan kerja sosial. seorang dokter gigi boleh mencari penghidupan dari profesinya tapi tidak boleh menuntut upah berlebih karena sebenar nya dokter tidak diupah\digaji tapi mendapat reward \penghargaan atau tanda terima kasih2. seorang dokter gigi muslim dapat dilihat dari pemikiran, sikap dan kebiasaannya sehari-hari dokter gigi muslim akan bertindak berdasarkan ayat al-qur’an dan sunah rasul baik dalam pelayanan maupun pengambilan keputusan. dokter gigi muslim adalah dokter ideal yang ditambah dengan ketaatannya kepada allah swt yang ditunjukkan dalam profesinya. sikap seorang dokter gigi muslim menurunkan kekhawatiran masyarakat terhadap banyaknya praktek kedokteran yang bertentangan dengan islam dan menimbulkan polemik (pro-kontra).2 prinsip kedokteran gigi islam pembentukan karakter dokter gigi muslim yang tidak berorientasi pada materi atau hal hal lain yang bersifat keduaniawian tapi berorientasi pada allah swt, dengan keikhlasan dan profesionalisme dalam bekerja, akan membantu terwujudnya masyarakat dengan taraf kesehatan yang tinggi. ikhlas bahwa apapun yang ia lakukan selama menjalani profesinya didasarkan pada perintah allah untuk mengamalkan ilmu dan menolong yang lemah serta professional dalam menjalankan pekerjaannya seduai dengan kompetensi ilmu kedokteran gigi yang ia miliki tanpa mengurangi standar kualitas sedikitpun. itu semua dilakukan karena ia menyadari bahwa keberadaan allah swt yang mengawasi kita setiap perilakunya dan akan meminta pertanggung jawaban kelak.3 “janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mengetahui pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertaggungjawabanya” ( al-isra’: 36) “ tidak boleh menjadi dokter kecuali orang yang berpengalaman “ ( hr. bukhari). maka tidak diragukan lagi, kebenaran dokter gigi muslim mempunyai mental dan sikap yang baik. dokter gigi muslim adalah seorang muslim itu sendiri, sehingga teladan yang paling utama adalah rasulullah saw. akhlak seorang dokter gigi muslim harus menjunjung tinggi adab rasulullah saw dan berperoman pada al-quran dan hadist. dokter gigi muslim harus mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh rasul yaitu : siddiq ( jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas/ pintar) selain dokter gigi muslim, pandangan silam dalam kesehatan yaitu melalui ajaran agama dengan ranah kesehatan yaitu diperintahkan untuk tersuci dari fungsinya dalah menjaga kesehatan jasmani dan rohani serta lingkungan. pada rukun iman yang intinya adalah keyakinan dan kepercayaan, maka sangat penting dalam menjaga kesehatan mental spiritual dengan nilai-nilai positif dan tidak sombong, sifat sifat tersebut perlu ada dalam pribadi dokter gigi muslim.2 identitas seorang dokter gigi muslim sebaiknya memiliki karakter ikhlas, musyarokah (tolong-menolong), mujaddid (pembaru), amanah ( dapat dipercaya dan bertanggung jawab, tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), adalah (adil), dan tawazun (keseimbangan/ proporisonal). secara khusus tujuan dokter gigi, memberikan tindakan preventive, kuratif, dan rehabilitatif pada pasien baik pribadi maupun dalam komunitas adalah: a. hifdh ad din : lebih menjaga aqidah dokternya, pasein yang dirawat, dan komunitas muslim. b. hifdth an nafs : harga diri atau kehormatan pasien yang dirawat. artinya menjaga rahasia seorang pasien sangat penting adanya dan itu adalah bagian etika dari seorang dokter muslim c. hidfth al aql : memberikan perlindungan dokter sebagai penanggung jawaban terhadap akal sehat pasien yang terganggung dan emosionalnya. d. hidfth al maal : dokter saat bekerja tidak saja mempertimbangkan efektivitasnya saja tetapi juga harus mempertimbangkan efisiensi dan keekonomisan tindakan terapi atau diagnosis inilah teori etika islam yang dapat dipraktikan dalam ilmu kedokteran gigi, tetapi semuanya itu harus diikuti oleh kaidah dasar bioetika itu sendiri. kaidah dasar bioetika ini berhubungan dengan moral seorang dokter gigi tetapi dia bukan sebagai filsuf (filsafat). kaidah dasar bioetika dokter berupa: a. menghormati martabat pasien yang diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri b. berbuat baik. seorang dokter muslim harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. istilah berbuat baik adalah bersikap ramah tamah atau menolong c. tidak berbuat merugikan. praktik kedokteran harus memilih pengobaan yang paling kecil resikonya dan paling besar manfaatnya d. keadilan. pandangan terhadap kondisi ekonomi, status tidak boleh mengubah sikap terhadap pasienya. kesehatan pasien adalah hal yang menjadi perhatian utama dokter, maka dari itu seorang dokter gigi muslim yang dikatakan baik adalah jika ia mampu menerapkan prinsip prinsip/ dasar –dasar islam ke pengetahuan yang dimilikinya serta dapat mengaplikasikan ya sesuai kaiadah menurut kewajiban dan hal seorang dokter. tidak lupa pula bahwa seorang dokter gigi mempunyai kode etik tersendiri dan kode etik itu berkaitan dengan sumpah dokter gigi sehingga kewajibanya dari seorang dokter gigi adalah menjadi care-provider untuk pasien-pasiennya berlandaskan ajaran yang dianutnya (islam) profil dan etika dokter gigi muslim dokter gigi muslim adalah dokter yang mempunyai kompetensi dan kemapuan pengetahuan kedokteran mutakhir dan dapat mengimplementasikan nilai nilai islam dalam praktek dan kehidupan sehari-hari. berikut ini adalah etika dari kedokteran islam, ialah belas kasih, kompeten, autonomi, dan tidak diskriminasi. seorang dokter muslim seharusnya memberikan nasihat moral kepada pasiennya dan juga mengikuti perkembangan ilmu. halhal yang harus dimiliki oleh seorang dokter muslim ialah kesopanan, kepuasan, kesetiaan, dan optimisme.4 seorang dokter gigi muslim berkewajiban menolong orang lain dengan meluruskan niat bahwa menolong orang lain itu adalah hak allah dan meyakini bahwa penyembuhan itu adalah hak allah. etika dokter gigi muslim terhadap allah adalah dengan berdoa agar ilmu yang dimiliki diridhainya. etika dokter muslim terhadap pasien ialah memiliki pengetahuan / ilmu tentang penyakit pasiennya, berlaku lemah lembut dan moralitas diperhatikan terhadap pasienya. 108 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . laelia dwi anggraini pandangan islam terhadap karakter dokter gigi etika dokter gigi muslim terhadap sejawat dokter gigi muslim, antara lain memenuhi kewajibannya terhadap allah swt, menyadari kebesaran-nya, menaati perintahnya, menjauhi laranganyanya, dan baik daam keadaan sendiri maupun beramai ramai. seorang dokter gigi harus membantu mengobati dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian. ia harus optimis, tidak boleh kecil hati, tersenyum dan tidak bermuka masam, penuh cinta, kasih sayang, tidak penuh kebencian, sabar, dan tidak mudah marah. seroang dokter gigi harus tenang, tidak terburu-buru mengambil keputusan (dalam penegakan diagnosis) meskipun dia benar dan harus sungguh-sungguh mengetahui bahwa kehidupan adalah ditangan allah, diberikan hanya oleh-nya dan kematian adalah akhir dari sebuah kehidupan dan awal kehidupan yang lain. seorang dokter harus dapat menjadi contoh yang baik dengan menjaga kesehatanya sendiri serta memiliki kejujuran ketika dia berbicara menulis, atau memberikan kesaksian. seorang dokter harus memilki pengetahuan yang cukup mengenai ilmu hukum agama yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. dokter gigi muslim harus menjauhi jalan jalan pengobatan yang dilarang oleh islam. implementasi nilai islam dalam praktek dokter gigi implementasi nilai nilai islam dengan pendidikan kedokteran gigi dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain: input nilainilai islam dalam kurikulum, kegiatan keislaman sebagai ekstrakulikuler, penciptaan lingkungan dan budaya islami. input nilai nilai islam dalam kurikulum yaitu memasukkan aspek ajaran islam (aqidah, syari’ah, dan akhlak). pendidikan dokter gigi muslim pada pesantren dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri mahasiswa melalui serangkain kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga mereka mampu memahami, mengalami, dan menginterbrasikan nilai yang menjadi core values seorang dokter muslim yang dijalankan ke dalam kepribadianya. pola pendidikan pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang sinergis dengan karakter dokter gigi muslim. pesantren mempunyai falsafah kelembagaan, pendidikan, dan pembelajaran yang menanamkan kerakteristik muslim. mengintegrasikan dan mengimplementasikan secara menyeuruh dalam kehidupan sehari-hari. integritas karakter itu baik dalam kehidupan. kesimpulan dokter gigi muslim adalah seorang dokter gigi yang siap dengan akhlak, etika, dan norma yang ditetapkan sesuai al-quran dan sunah rasul, dalam pelayanannya terhadap pasien. tindakan pelayanan medisnya sesuai dengan moral dan etik islam. akhlak seorang dokter gigi muslim harus menjunjung tinggi adab rasulullah saw yaitu : siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas/pintar). identitas seorang dokter gigi muslim sebaiknya memiliki karakter ikhlas, musyarokah (tolong-menolong), mujaddid (pembaharu), amanah (dapat dipercaya dan bertanggung jawab, tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), adalah (adil), dan tawazun (keseimbangan/ proporisonal). daftar pustaka 1. saiful. 2008. euthanasia menurut perspektif hukum islam, hukum 109 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 etika dokter gigi muslim terhadap sejawat dokter gigi muslim, antara lain memenuhi kewajibannya terhadap allah swt, menyadari kebesaran-nya, menaati perintahnya, menjauhi laranganyanya, dan baik daam keadaan sendiri maupun beramai ramai. seorang dokter gigi harus membantu mengobati dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian. ia harus optimis, tidak boleh kecil hati, tersenyum dan tidak bermuka masam, penuh cinta, kasih sayang, tidak penuh kebencian, sabar, dan tidak mudah marah. seroang dokter gigi harus tenang, tidak terburu-buru mengambil keputusan (dalam penegakan diagnosis) meskipun dia benar dan harus sungguh-sungguh mengetahui bahwa kehidupan adalah ditangan allah, diberikan hanya oleh-nya dan kematian adalah akhir dari sebuah kehidupan dan awal kehidupan yang lain. seorang dokter harus dapat menjadi contoh yang baik dengan menjaga kesehatanya sendiri serta memiliki kejujuran ketika dia berbicara menulis, atau memberikan kesaksian. seorang dokter harus memilki pengetahuan yang cukup mengenai ilmu hukum agama yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. dokter gigi muslim harus menjauhi jalan jalan pengobatan yang dilarang oleh islam. implementasi nilai islam dalam praktek dokter gigi implementasi nilai nilai islam dengan pendidikan kedokteran gigi dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain: input nilainilai islam dalam kurikulum, kegiatan keislaman sebagai ekstrakulikuler, penciptaan lingkungan dan budaya islami. input nilai nilai islam dalam kurikulum yaitu memasukkan aspek ajaran islam (aqidah, syari’ah, dan akhlak). pendidikan dokter gigi muslim pada pesantren dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri mahasiswa melalui serangkain kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga mereka mampu memahami, mengalami, dan menginterbrasikan nilai yang menjadi core values seorang dokter muslim yang dijalankan ke dalam kepribadianya. pola pendidikan pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang sinergis dengan karakter dokter gigi muslim. pesantren mempunyai falsafah kelembagaan, pendidikan, dan pembelajaran yang menanamkan kerakteristik muslim. mengintegrasikan dan mengimplementasikan secara menyeuruh dalam kehidupan sehari-hari. integritas karakter itu baik dalam kehidupan. kesimpulan dokter gigi muslim adalah seorang dokter gigi yang siap dengan akhlak, etika, dan norma yang ditetapkan sesuai al-quran dan sunah rasul, dalam pelayanannya terhadap pasien. tindakan pelayanan medisnya sesuai dengan moral dan etik islam. akhlak seorang dokter gigi muslim harus menjunjung tinggi adab rasulullah saw yaitu : siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas/pintar). identitas seorang dokter gigi muslim sebaiknya memiliki karakter ikhlas, musyarokah (tolong-menolong), mujaddid (pembaharu), amanah (dapat dipercaya dan bertanggung jawab, tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), adalah (adil), dan tawazun (keseimbangan/ proporisonal). daftar pustaka 1. saiful. 2008. euthanasia menurut perspektif hukum islam, hukum pidana, dan etika kedokteran. uin. yogyakarta 2. arawi, thalia a. 2010. the moslem physician and the ethics od medicine. j ima; november 42(3):111– 116. 3. riyadi s. 2009. peran ajaran dan pemikiran islam dalam bidang kesehatan, www gizikia.depkes.go.id diakses 20 juni 2012 4. romadhon ya. 2013. pola pikir etika dalam praktik kedokteran. bagian kedokteran keluarga. fakultas kedokteran ums. surakarta. a 5. fadli m. peran pesantren mahasiswa dalam membentuk karakter dokter muslim. www.stidnatsir.ac.id diakses 15 juni 2012. 6. nilasari, v. 2009. peran dokter muslim dalam mengantisipasi kemiskinan pada sektor kesehatan. fk unisba. majalah mimbar vol xxv no 1 (jan-juni 2009) p.79-88. 7. abidin, za. 2009. profil dokter islami, www.eprint.umm.ac.id. diakses 17 juni 2012 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 11 research article perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% wt dan semen resin nanofiller komposit the differences of shear strength between composite nanosisal resin cement 60% wt and composite nanofiller resin cement dwi aji nugroho1, iqban aditia2,* 1departemen dental material, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. received date: november 14th, 2019; reviewed date: december 9th, 2019 revised date: february 5th, 2020 ; accepted date: march 31st, 2020 doi : 10.18196/di.9112 abstrak resin komposit adalah bahan restorasi yang sering digunakan karena bersifat estetis tinggi. filler anorganik seperti glass silica sebagai salah satu komposisi penting dalam resin komposit memiliki kelemahan berupa nondegradable, proses energinya tergantung pada bahan bakar fosil, serta emulsi polutannya tinggi dan membahayakan kesehatan dan lingkungan membuat filler alami sebagai bahan pengisi alternatif diperlukan. salah satu serat alami yang dapat digunakan adalah serat sisal (agave sisalana). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser antara semen resin komposit nanosisal 60% wt dan semen resin nanofiller komposit. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris. serat sisal selanjutnya diubah menjadi ukuran nano. nanosisal dicampur dengan bis-gma, udma, tegdma, dan champhorquinone. semen resin nanofiller komposit (allcem core) sebagai kontrol. sampel berjumlah 10 dibagi menjadi dua kelompok. gigi premolar dipreparasi tumpatan kelas v lalu ditumpat menggunakan dua bahan tersebut. kekuatan geser sampl diuji menggunakan universal testing machine (utm). analisis data menggunakan uji independent sample ttest. hasil menunjukkan semen resin nanosisal komposit 60% memiliki rata-rata kekuatan geser 13,10 mpa, dan semen resin nanofiller komposit 4,92 mpa. analisis data menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,000). kekuatan geser semen resin nanosisal komposit 60% lebih besar dibandingkan dengan semen resin nanofiller komposit. kata kunci: nanofiller; nanosisal; kekuatan geser; resin komposit abstract composite resin is a restoration material frequently used as it is aesthetically high. inorganic fillers, such as glass silica as one of the important compositions in composite resins, have disadvantages in the form of non-degradable energy processes that depend on fossil fuels. it is also a high pollutant emulsion that endangers the health and the environment making natural fillers as alternative fillers needed. one of the natural fibers that can be used is sisal fiber (agave sisalana). this study aims to determine the difference in shear strength between 60% wt nanosisal composite resin cement and composite nanofiller resin cement. this research is experimental laboratory research. sisal fibers are converted to nano size. nanosisal is mixed with bis-gma, udma, tegdma, and champhorquinone. composite nanofiller resin cement (allcem core) is as a control. ten samples were divided into two groups. premolar teeth were prepared with a class v lift and were compressed using these two ingredients. the sample of the shear strength was tested using universal testing machine (utm). data were analyzed by using the independent sample t-test. the results showed that 60% of composite nanosisal resin cement had an average shear strength of 13.10 mpa and 4.92 mpa of composite nanofiller resin cement. data analysis showed a significant difference (p = 0,000). the shear strength of composite nanosisal resin cement was 60% greater than that of composite nanofiller resin cement. keywords: nanofiller; nanosisal; shear strength; composite resin * corresponding author, e-mail: iqbanaditia24@gmail.com dwi aji nugroho, iqban aditia | perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% wt dan semen resin nanofiller komposit 12 pendahuluan resin komposit merupakan bahan restorasi gigi yang telah lama digunakan untuk menggantikan struktur gigi yang hilang maupun rusak dan memiliki kemampuan dapat menghasilkan warna serta kontur gigi yang baik sehingga meningkatkan faktor estetik dalam hal restorasi.1 resin komposit terdiri atas matriks, filler (bahan pengisi) anorganik dan coupling agent. selain ketiga komponen tersebut, terdapat komponen tambahan yaitu aktivator, pigmen, inisiator dan ultraviolet absorben.2 resin komposit dengan filler memiliki kekuatan mekanis yang jauh lebih baik daripada resin komposit tanpa filler.3 semakin besar volume filler yang digunakan pada resin komposit maka semakin besar pula kekuatan mekanisnya.4 filler yang digunakan untuk komposit berasal dari material glass. material glass adalah bahan yang kuat, keras dan stabil dalam lingkungan. material glass ini diformulasikan agar memiliki sifat kekerasan, kekuatan dan sifat kimiawi yang memadai sebagai filler komposit.5 glass filler yang paling sering dipakai adalah barium glass.2 material glass silica yang merupakan komponen utama dalam resin komposit ternyata mempunyai beberapa kelemahan yaitu, proses pengolahan yang bersifat polutan, tidak dapat diperbarui dan konsumsi energi yang tinggi sehingga diikuti oleh konsumsi bahan bakar fosil yang tinggi pula. selain itu, proses produksi glass silica bersifat abrasif sehingga tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan.6 oleh karena itu, untuk menghilangkan segala macam kelemahan dari glass silica maka diperlukan filler pengganti yang ramah lingkungan dan tidak membahayakan bagi kesehatan salah satunya adalah serat alami (natural fiber). salah satu serat alam yang dapat dikembangkan adalah serat sisal (agave sisalana), namun penggunaannya masih terbatas pada bidang kelautan dan pertanian. penggunaan serat sisal ini antara lain digunakan sebagai tali, benang, karpet, dan kerajinan karena kekuatannya yang baik dan tahan lama. serat sisal adalah suatu serat keras yang berasal dari proses ekstraksi daun tanaman sisal (agave sisalana) yang memiliki densitas yang rendah, kekuatan spesifik dan modulusnya yang tinggi, tanpa risiko kesehatan, serta tersedia melimpah dan merupakan bahan alam terbarukan. di india, sisal tumbuh liar sebagai pagar dan terdapat di sepanjang rel kereta api. setiap tahunnya, produksi sisal mencapai hampir 4,5 juta ton tiap tahunnya.7 serat sisal dipilih karena jumlahnya banyak, konsumsi energi yang rendah, lebih ramah lingkungan karena mampu terdegradasi secara alami, harganya pun lebih murah dibandingkan glass silica.8 material dan metode penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris murni dan dilaksanakan di ruang skills lab program studi kedokteran gigi umy, laboratorium mikrobiologi umy, dan laboratorium bahan teknik jurusan teknik mesin sekolah vokasi ugm yogyakarta. jenis sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semen resin nanosisal komposit 60% dan semen resin nanofiller komposit (allcem core). cetakan logam berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm yang digunakan sebagai pegangan gigi saat dilakukan uji geser dan cetakan fiberglass bentuk kerucut terbalik (diameter atas = 5 mm, diameter bawah 2 mm, dan tinggi = 3 mm) untuk penempatan semen resin. pembuatan nanosisal dilakukan dengan cara serat sisal dipotong dengan gunting sampai ukuran panjang helaian 5 cm dan ditimbang seberat 3 gram. setelah itu langkah pertama yang dilakukan adalah scouring, serat direndam dalam larutan naoh sebanyak 15 gram yang dilarutkan dalam 250 ml air pada suhu 80ºc selama dua jam sambil diaduk dengan magnetic stirrer. perlakuan ini dilakukan tiga kali untuk membersihkan dari kotoran atau kandungan selain selulosa dalam serat sisal. selanjutnya, serat disaring dan dicuci insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 13 menggunakan aquades hingga ph menjadi netral. serat sisal kemudian dikeringkan dengan hair dryer sampai kering dan disimpan. langkah kedua adalah serat dilakukan bleaching untuk membuat ruang diantara selulosa sehingga mudah untuk dipisahkan mikrofibrilnya. naoh sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 50 ml aquades dan ditambahkan larutan h2o2 50% sebanyak 25 ml kemudian dikocok dan ditambahkan aquades hingga keseluruhan campuran larutan mencapai 250 ml. proses bleaching dilakukan pada suhu 80ºc selama dua jam dan diaduk dengan magnetic stirrer dan diulang sebanyak empat kali. setiap tahap bleaching selesai, serat disaring dan dicuci dengan aquades. selanjutnya, serat dikeringkan menggunakan hair dryer. serat yang telah kering tersebut kemudian dihaluskan dengan grinder. hidrolisis asam pada serat yang sudah halus dilakukan pada suhu 50ºc selama 50 menit dengan menggunakan 65 wt% sulphuric acid sambil diaduk dengan magnetic stirrer. kandungan serat yang dihasilkan selama proses kimiawi tersebut sekitar 5-6 wt%. suspensi dicairkan dengan balok es untuk menghentikan reaksi. kemudian dilakukan pencucian dengan menggunakan centrifuge pada suhu 10ºc dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. dialisis terhadap aquades dilakukan untuk menghilangkan asam bebas pada dispersi. dispersi nano-whisker yang sempurna didapatkan dengan tahap sonifikasi. dispersi di saring dengan fritted glass filter nomor 1 untuk menghilangkan sisa agregat, dan selanjutnya adalah tahap freeze-dried. tahap freeze-dried menggunakan freeze dryer sehingga didapatkan nanosisal dalam bentuk serbuk semi padat. persiapan sampel dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan serta pengumpulan gigi yang akan digunakan sebagai sampel. sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah gigi premolar gambar 1. gigi premolar post ekstraksi bebas karies sebanyak 10 gigi, yang akan dibagi menjadi dua kelompok dan tiap kelompok terdiri dari 5 gigi. gigi premolar dipreparasi kelas v sampai kedalaman dentin. preparasi dilakukan dengan menggunakan round bur dan inverted bur. serbuk akrilik dicampurkan dengan cairannya dan diaduk merata. selanjutnya, adonan resin akrilik dimasukkan kedalam cetakan logam sampai penuh, kemudian gigi premolar yang telah dipreparasi ditanam ke dalam cetakan yang telah berisi resin akrilik tersebut secara perlahan. setelah resin akrilik kering, cetakan dilepas. pembuatan sampel dilakukan dengan cara nanosisal semi padat ditimbang dengan timbangan digital seberat 0,003 gram (60%) dan dicampur dengan 0,5 gram bis-gma, 0,02 ml tegdma, 0,02 gram udma, 0,09 gram champorquinon.. setelah pencampuran dengan bahan tersebut, diperoleh adonan semen resin nanosisal komposit. gambar 2. cetakan fiberglass dan cetakan logam dwi aji nugroho, iqban aditia | perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% wt dan semen resin nanofiller komposit 14 gigi yang telah dipreparasi dibersihkan dengan cavity cleanser, selanjutnya diberi perlakuan pengolesan bahan etsa (asam fosfat 37%) sebanyak 1 kali oles menggunakan microbrush selama 15 detik. spesimen dicuci menggunakan three-way syringe secara perlahan selama 20 detik dan diangin-anginkan dengan menggunakan three-way syringe dan jangan sampai terlalu kering (moist). bahan bonding dioleskan pada permukaan spesimen yang teretsa sebanyak 1 kali oles selama 10 detik menggunakan microbrush, setelah itu diangin-anginkan, kemudian disinar menggunakan visible light cure tegak lurus bidang preparasi selama 20 detik. sampel ditumpat dengan bahan semen resin komposit nanosisal dan disinar dengan visible light cure selama 40 detik dengan jarak selapis pita seluloid. hasil ini disebut sebagai kelompok a. semen resin nanofiller komposit sintetis diambil dari tube dengan menggunakan plastis instrument. gigi yang telah dipreparasi dibersihkan dengan cavity cleanser, selanjutnya diberikan perlakuan pengolesan bahan etsa (asam fosfat 37%) sebanyak 1 kali oles menggunakan microbrush selama 15 detik. spesimen dicuci menggunakan three-way syringe secara perlahan selama 20 detik dan diangin-anginkan dengan menggunakan three-way syringe jangan sampai terlalu kering (moist). gambar 3. gigi premolar setelah ditanam di resin gambar 4. pencampuran bahan pembuatan semen resin nanosisal bahan bonding dioleskan pada permukaan spesimen yang teretsa sebanyak 1 kali oles selama 10 detik menggunaan microbrush, setelah itu diangin-anginkan, kemudian disinar menggunakan visible light cure tegak lurus bidang preparasi selama 20 detik. sampel ditumpat dengan bahan semen resin komposit nanofiller dan disinar dengan visible light cure selama 40 detik dengan jarak selapis pita seluloid. hasil ini disebut sebagai kelompok b. uji kekuatan geser antara kelompok a dan b dilakukan dengan menggunakan universal testing machine (pearson pake, london) dengan meletakkan subjek penelitian pada meja sampel dan difiksasi, di atas meja terdapat beban telah terfiksasi. gambar 5. pengaplikasian semen resin pada permukaan gigi insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 15 gambar 6. pengukuran kekuatan geser menggunakan universal testing machine kemudian mesin dinyalakan sehingga beban tersebut akan bergerak turun hingga menggeser resin komposit dengan kecepatan geser 0,5 mm/menit dan beban 2 kn berdasarkan ketentuan iso tr 1140521 dan iso 4049 standards. data yang didapatkan berupa satuan n kemudian dirubah kedalam mpa dengan rumus : kekuatan geser (τ) = f / 𝝅𝒓𝟐 keterangan : f = besarnya kekuatan yang diaplikasikan pada specimen (n) π = 3,14 ; 22/7 r = jari-jari lingkaran pada spesimen (mm) hasil berikut hasil dari uji kekuatan tekan dari masing-masing sampel. tabel 1 menunjukkan nilai rata-rata dan hasil pengukuran kekuatan geser dengan satuan mpa dari masing-masing sampel uji. hasil tersebut menunjukkan nilai kekuatan tertinggi untuk semen resin nanosisal komposit 60% adalah 13,10 mpa dan semen resin nanofiller komposit adalah 4,92 mpa. selanjutnya data dari nilai kekuatan geser tersebut dilakukan uji normalitas menggunakan uji saphiro-wilk (sampel < 50). tabel 1. hasil uji kekuatan geser resin komposit dalam mpa kekuatan geser (mpa) semen resin nanosisal komposit 60% (kelompok a) semen resin nanofiller komposit (kelompok b) 1 10,23 4,92 2 13,10 4,06 3 12,92 3,70 4 8,47 3,30 5 10,59 1,90 mean 11,07 3,58 std. deviasi 1,95 1,11 hasil perhitungan uji normalitas data pada tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi data tiap kelompok perlakuan adalah normal dikarenakan nilai signifikansi atau p > 0,05. setelah itu, data dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui variansi datanya. hasil dari uji homogenitas pada tabel 3 didapatkan nilai signifikansi atau p > 0,05 menunjukkan data yang didapatkan memiliki variansi yang sama. setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa sebaran data normal dan variansi data sama maka uji selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu uji statistic parametrik independent sample ttest. data yang didapatkan dari uji independent sample t-test tersebut menunjukkan nilai signifikansi atau p = 0,000 (p < 0,05) yang memiliki arti bahwa data kekuatan geser antara bahan semen resin nanosisal komposit 60% dan semen resin nanofiller komposit memiliki perbedaan yang bermakna. tabel 1. uji normalitas kekuatan geser kelompok shapiro wilk statistik df sig. nanosisal 60% ,911 5 ,475 nanofiller ,971 5 ,883 tabel 2. hasil uji homogenitas dengan levene test levene statistic df1 df2 sig. 2,424 1 8 ,158 dwi aji nugroho, iqban aditia | perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% wt dan semen resin nanofiller komposit 16 pembahasan sampel dengan semen resin nanosisal komposit 60% memiliki kekuatan geser yang lebih besar dibandingkan dengan sampel semen resin nanofiller komposit. dari hasil uji kekuatan geser didapatkan rata-rata kekuatan geser semen resin nanosisal komposit 60% sebesar 11,07 mpa sedangkan pada semen resin nanofiller komposit sebesar 3,58 mpa. hal yang dapat mempengaruhi kekuatan geser dari suatu bahan adalah karena perlekatan dari bahan tersebut kurang baik. perlekatan yang kurang baik dapat disebabkan karena adanya kebocoran mikro pada interface bonding. kebocoran mikro ini biasanya disebabkan karena shrinkage polimerisasi komposit, perlekatan dan pembasahan yang buruk, stres termal, dan beban mekanis. proses polimerisasi yang menghasilkan shrinkage menyebabkan timbulnya stress yang dapat melebihi kekuatan ikatan disekitar gigi, hal ini dapat mengakibatkan kegagalan perlekatan antar permukaan (interface bonding) antara permukaan gigi dengan bahan komposit sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebocoran mikro. resin komposit yang mengalami shrinkage selama polimerisasi akan menghasilkan kekuatan yang berbeda dengan kekuatan perlekatan, sehingga dapat mengganggu perlekatan terhadap permukaan gigi yang berdampak pada menurunnya kekuatan geser.9 semen resin nanosisal komposit dapat mengurangi terjadinya shrinkage saat polimerisasi, selain itu komposit dengan tambahan bahan serat alami sebagai filler juga memiliki keuntungan yaitu dapat meningkatkan sifat mekanis, meningkatkan resistensi terhadap panas, mengurangi thermal expansion, dan mengurangi creep.10 semen resin komposit nanosisal mengandung volume filler sebesar 60% sedangkan pada semen resin komposit nanofiller (allcem core) mengandung volume filler sebesar 70%. ilie & hickel (2011),14 mengemukakan bahwa volume filler pada resin komposit bila lebih dari 60% akan mengakibatkan kerusakan yang lebih tinggi, dan menyebabkan penurunan sifat mekanik. hal inilah yang mungkin mempengaruhi kekuatan geser dari semen resin komposit itu sendiri. bis-gma pada resin komposit memiliki viskositas yang lebih tinggi sehingga harus memerlukan bahan tambahan untuk mengencerkannya. bahan tersebut berupa monomer lain yang kekentalannya lebih rendah (berat molekul rendah), seperti trietilenglikol dimetakrilat (tegdma).3 akan tetapi, apabila kandungan tegdma didalam semen resin komposit nanofiller berlebihan atau tidak seimbang, maka dapat menyebabkan peningkatkan polimerisasi shrinkage yang berdampak terjadinya kebocoran mikro antara permukaan gigi dengan resin komposit pada saat polimerisasi.9 semen resin nanosisal komposit mengandung udma di dalamnya sedangkan pada semen resin nanofiller komposit tidak ada kandungan udma. udma dapat membentuk polimer cross-link yang padat sehingga dapat meningkatkan kekuatan mekanis. pada saat polimerisasi bahan tersebut akan meregang atau tertarik sehingga dapat mencegah rantai individual bergeser satu sama lain dan apabila stress akibat polimerisasi hilang, rantai polimer cross link dapat kembali ke posisi awal dan objek kembali kebentuk semula. udma memiliki berat molekul yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan derajat polimerisasi.11 mekanisme adhesi antara bonding dengan gigi dimulai pada saat melakukan pengetsaan dengan menggunakan asam fosfat pada email yang nantinya akan menghasilkan energi permukaan yang tinggi pada permukaan email sehingga menyebabkan demineralisasi mineral penyusun pada email. energi permukaan yang tinggi ini akan meningkatkan efisiensi wetting (pembasahan) oleh resin yang bersifat hidrofobik sehingga akan memperluas dan memperkuat bidang ikatan (interface bonding). pada prinsipnya pengetsaan dentin akan melarutkan smear insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 17 layer pada permukaan dentin dan mendemineralisasi dentin yang akan mengakibatkan terbukanya mikropit.12 nanosisal dan polimer epoksi juga merupakan bahan organik, sehingga kedua material ini dapat berikatan dengan baik. jenis ikatan yang dapat terjadi pada interface bonding polimer epoksi dan serat alami terdiri dari mechanical bonding yang merupakan mekanisme ikatan yang saling mengunci terjadi pada dua permukaan yaitu resin dan serat yang kasar namun beban harus paralel terhadap interface. electrostatic bonding terjadi karena adanya gaya tarik antara dua permukaan yang berbeda muatan listrik dalam skala atomik. tetapi ikatan ini akan sempurna bila tidak adanya gas pada permukaan serat. chemical bonding merupakan ikatan yang terjadi akibat adanya energi yang lebih bersifat kimia, ikatan ini diperoleh dari sekumpulan ikatan kimia yang berperan pada luas penampang serat sesuai jenis ikatan kimia yang ada pada serat maupun resin.13 semen resin allcem core memiliki kandungan filler yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis semen resin lain dengan merek yang berbeda.15 kandungan filler pada semen resin akan memberikan pengaruh terhadap kekuatan mekanis dari semen resin komposit. semakin tinggi volume filler pada resin komposit maka akan semakin tinggi pula tingkat porusitasnya yang berpengaruh pada menurunnya kekuatan geser.16 hal inilah yang dapat menyebabkan nilai dari kekuatan geser semen resin nanofiller komposit lebih rendah dibandingkan dengan semen resin nanosisal komposit. hasil rata-rata kekuatan geser dari semen resin nanosisal komposit 60% yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 11,07 mpa yang berarti memerlukan gaya geser sebesar 11,07 n untuk setiap mm2 bahan semen resin nanosisal komposit 60% yang diaplikasikan pada gigi agar bahan tersebut lepas ikatannya dengan gigi. sedangakan hasil rata-rata kekuatan geser dari semen resin nanofiller komposit yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 3,58 mpa yang berarti memerlukan gaya geser sebesar 3,58 n untuk setiap 𝑚𝑚2 bahan semen resin nanofiller komposit yang diaplikasikan pada gigi agar bahan tersebut lepas ikatannya dengan gigi. kesimpulan terdapat perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% dan semen resin nanofiller komposit (allcem core, fgm). semen resin nanosisal komposit 60% menghasilkan kekuatan geser lebih kuat dibandingkan dengan semen resin nanofiller komposit (allcem core, fgm). daftar pustaka 1. powers jm, sakaguchi rl. craig’s restorative dental materials. philadelphia: elsevier mosby; 2012. 2. anusavice kj. buku ajar ilmu bahan kedokteran gigi (l. juwono, trans.) (edisi 10). jakarta: penerbit buku kedokteran egc; 2004. 3. o'brien wj. dental materials and their selection (third ed.). chicago: quintessence publishing co; 2002. 4. thomaidis, s., kakaboura, a., mueller, w. d., & zinelis, s. mechanical properties of contemporary composite resins and their interrelations. dent. mater. j. 2013; 29(8): e132-e141. 5. gladwyn m, bagby m. clinical aspects of dental materials : theory, practice, and cases (3rd ed.). philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2009. 6. joshi, s. v., drzal, l. t., mohanty, a. k., & arora, s. are natural fiber composites environmentally superior to glass fiber reinforced composites?. composites part a: applied science and manufacturing. 2004; 35(3): 371376. 7. kusumastuti, a. aplikasi serat sisal sebagai komposit polimer. jurnal kompetensi teknik. 2009; 1(1): 27-32. 8. munandar, i., & savetlana, s. dwi aji nugroho, iqban aditia | perbedaan kekuatan geser antara semen resin nanosisal komposit 60% wt dan semen resin nanofiller komposit 18 kekuatan tarik serat ijuk (arenga pinnata merr). jurnal ilmiah teknik mesin. 2013; 1(3): 52-58. 9. garg n, garg a. textbook of operative dentistry. 1st ed. new delhi: jaypee brothers medical publishers; 2010. 10. kaczmar, j. w., pach, j., & kozlowski, r. use of natural fibres as fillers for polymer composites. int. polym. sci. technol. 2007; 34(6): 45-50. 11. papakonstantinou, a. e., eliades, t., cellesi, f., watts, d. c., & silikas, n. evaluation of udma's potential as a substitute for bis-gma in orthodontic adhesives. dent. mater. j. 2013; 29(8): 898-905. 12. van meerbeek, b., de munck, j., yoshida, y., inoue, s., vargas, m., vijay, p., ... & vanherle, g. adhesion to enamel and dentin: current status and future challenges. oper. dent. 2003; 28(3): 215-235. 13. betan, a. d., soenoko, r., & as, a. pengaruh persentase alkali pada serat pangkal pelepah daun pinang (areca catechu) terhadap sifat mekanis komposit polimer. jurnal rekayasa mesin. 2014; 5(2): 119-126. 14. ilie, n., & hickel, r. resin composite restorative materials. aust. dent. j. 2011; 56: 59-66. 15. onay, e. o., korkmaz, y., & kiremitci, a. effect of adhesive system type and root region on the push‐out bond strength of glass–fibre posts to radicular dentine. int. endod. j. 2010; 43(4): 259-268. 16. pickering, k. l., efendy, m. a., & le, t. m. a review of recent developments in natural fibre composites and their mechanical performance. compos. part a appl. sci. manuf. 2016; 83: 98-112. 76 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . rexsy ajie nuperdanna sriyono, ika andriani daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis antibacterial power ethanol extract skin mangosteen (garcinia mangostana linn.) against bacteria porphyromonas gingivalis rexsy ajie nuperdanna sriyono1, ika andriani2 1 program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian periodonsia program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding: ikaandriani@yahoo.com abstract based on the indonesian household health survey, the prevalence of periodontal disease reaches 60 % in indonesian community. one of the pathogen bacteria that involved in periodontitis is porphyromonasbgingivalis. mangosteen (garciniamangostana linn.) is the plants that have the ability to inhibit or kill porphyromonasgingivalis is which is its skin extract contains active compounds such as saponins , flavonoids and tannins. the purpose of this study was to examine the antibacterial effect of the ethanol extract of mangosteen peel (garciniamangostana linn.) against the growth of porphyromonasngingivalis .mangosteen peel extract was obtained by maceration method using ethanol solvent . the antibacterial activity assays was used to investigate the effectivity of ekstract ekstract mangosteen were used concentration of 50 % , 25 %, 12.5 %, 6.25 %, 3.125 %, 1.563 %, 0.781 %, 0.39 %, 0.195 %, and 0.0975 %. results showed that extracts of mangosteen peel (garciniamangostana linn.)has mic and mbc against porphyromonasgigngivalis each at a concentration of 25 % and 50 % . keyword : mangosteen peel, porphyromonas gingivalis, periodontitis abstrak hasil laporan survei kesehatan rumah tangga (skrt), prevalensi penyakit periodontal mencapai 60% pada masyarakat di indonesia. salah satu bakteri pathogen yang berpengraruh dalam periodntitis adalah porphyromonas gingivalis. manggis (garcinia mangostana,) memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, flavonoid dan tanin. tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis.ekstrak kulit manggis diperoleh dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol. pengujian aktivitas antibakteri meneliti efektivitas ekstrak dengan konsentrasi ekstraks kulit manggis 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,563%, 0,781%, 0,39%, 0,195%, dan 0,0975%.hasil pengujian aktivitas antibakteri, menunjukkan bahwa ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki khm dan kbm terhadap porphyromonas gigngivalis masing-masing pada konsentrasi 25% dan 50%.dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki efek bakterisidal terhadap porphyromonas gingivalis. kata kunci : kulit manggis, porphyromonas gingivalis, periodontitis 77 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis antibacterial power ethanol extract skin mangosteen (garcinia mangostana linn.) against bacteria porphyromonas gingivalis rexsy ajie nuperdanna sriyono1, ika andriani2 1 program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian periodonsia program studi pendidikan dokter gigi fkik universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding: ikaandriani@yahoo.com abstract based on the indonesian household health survey, the prevalence of periodontal disease reaches 60 % in indonesian community. one of the pathogen bacteria that involved in periodontitis is porphyromonasbgingivalis. mangosteen (garciniamangostana linn.) is the plants that have the ability to inhibit or kill porphyromonasgingivalis is which is its skin extract contains active compounds such as saponins , flavonoids and tannins. the purpose of this study was to examine the antibacterial effect of the ethanol extract of mangosteen peel (garciniamangostana linn.) against the growth of porphyromonasngingivalis .mangosteen peel extract was obtained by maceration method using ethanol solvent . the antibacterial activity assays was used to investigate the effectivity of ekstract ekstract mangosteen were used concentration of 50 % , 25 %, 12.5 %, 6.25 %, 3.125 %, 1.563 %, 0.781 %, 0.39 %, 0.195 %, and 0.0975 %. results showed that extracts of mangosteen peel (garciniamangostana linn.)has mic and mbc against porphyromonasgigngivalis each at a concentration of 25 % and 50 % . keyword : mangosteen peel, porphyromonas gingivalis, periodontitis abstrak hasil laporan survei kesehatan rumah tangga (skrt), prevalensi penyakit periodontal mencapai 60% pada masyarakat di indonesia. salah satu bakteri pathogen yang berpengraruh dalam periodntitis adalah porphyromonas gingivalis. manggis (garcinia mangostana,) memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, flavonoid dan tanin. tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis.ekstrak kulit manggis diperoleh dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol. pengujian aktivitas antibakteri meneliti efektivitas ekstrak dengan konsentrasi ekstraks kulit manggis 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,563%, 0,781%, 0,39%, 0,195%, dan 0,0975%.hasil pengujian aktivitas antibakteri, menunjukkan bahwa ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki khm dan kbm terhadap porphyromonas gigngivalis masing-masing pada konsentrasi 25% dan 50%.dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki efek bakterisidal terhadap porphyromonas gingivalis. kata kunci : kulit manggis, porphyromonas gingivalis, periodontitis pendahuluan hasil laporan survei kesehatan rumah tangga (skrt), prevalensi penyakit periodontal mencapai 60% pada masyarakat di indonesia. penyakit periodontal menduduki peringkat kedua setelah karies. 1 periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang dan resorpsi tulang alveolar. penyebab periodontitis adalah iritasi bakteri patogen seperti porphyromonas gingivalis (p.g), prevotella intermedia (p.i), bacteriodes forsytus (bi) dan actinobacillus actinomycetemcomitans (a.a).2 penyebab periodontitis sekunder, yaitu kesehatan mulut yang jelek, perokok aktif, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi, usia, masa kehamilan, faktor genetic dan penyakit sistemik yang mengakibatkan kerusakan progresif pada jaringan periodontal, tulang alveolar disertai pembentukan poket, resesi atau keduanya.3 porphyromonas gingivalis merupakan bakteri berpigmen hitam gram negatif obligat anaerob. bakteri gram negatif memiliki lapisan-lapisan dinding sel yang lebih kompleks dibandingkan bakteri gram positif baik secara struktur maupun kimianya. secara struktur, dinding bakteri gram negatif mengandung dua lapisan eksternal pada membran sitoplasma.4 dinding sel gram negatif mengandung tiga komponen yang terletak pada lapisan luar yaitu peptidoglikan, lipoprotein, membran luar dan lipopolisakarida.5 salah satu tumbuhan yang memiliki potensi untuk menghambat atau membunuh bakteri adalah manggis (garcinia mangostana,). ekstrak kulit manggis memiliki kandungan senyawa aktif berupa saponin, flavonoid dan tanin. kulit buah manggis yang dikategorikan sebagai limbah, memiliki kandungan 62,05% air, 1,01% abu, 0,63% lemak, 0,71% protein, 1,17% gula dan 35,61% karbohidrat. berbagai hasil penelitian menunjukkan kulit buah manggis kaya akan antioksidan terutama antosianin, xanthone, tannin dan asam fenolat yang berguna sebagai anti bakteri, anti peradangan, meningkatkan kekebalan tubuh dan aktivitas sitotoksik.6 penelitian poeloengan tahun 2010, hasil pemeriksaan fitokimiawi pada kulit manggis menunjukkan bahwa ekstrak kulit manggis mengandung alkaloid, saponin, triterpenoid, tannin, fenol, flavonoid, glikosid dan steroid. ekstrak kulit manggis pada konsentrasi 3,125% mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif (staphylococcus aureus dan staphylococcus epidermidis) tapi tidak menghambat bakteri gram negatif (s.typhimurium dan e.coli). meningkatkan konsentrasi ekstrak kulit manggis bisa memperluas area penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri.7 berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti ingin mengkaji daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis, khusunya kadar hambat minimum (khm) dan kadar bunuh minimum (kbm). bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen laboratoris tentang daya antibakteri ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn) terhadap porphyromonas gingivalis in vitro. penelitian ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta untuk pengujian ekstrak kulit manggis terhadap porphyromonas gingivalis dan proses ekstraksi kulit manggis dilakukan di laboratorium penelitian fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. . 78 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . rexsy ajie nuperdanna sriyono, ika andriani daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis tahap pembuatan ekstrak kulit manggis diawali dengan proses pencucian kulit manggis. kulit manggis yang telah bersih dan terbebas dari kotoran, selanjutnya mengalami proses pemisahan antara bagian kulit yang keras (bagian terluar dari kulit manggis) dengan kulit bagian lunak. kulit manggis bagian lunak ini yang dijadikan sebagai bahan baku utama. kulit manggis lalu dipotong dalam ukuran yang kecil dan tipis kemudian kulit manggis dijemur dengan ditutupi kain berwarna hitam untuk menghindari paparan sinar matahari langsung. penjemuran dilakukan selama 8 jam atau sampai kering. setelah kering kulit buah manggis diblender sampai halus. kulit manggis yang telah halus, dimaserasi dengan etanol 70% selama 72 jam, dan tetap disimpan dalam ruang yang sejuk agar senyawa dalam kulit manggis tidak rusak. selanjutnya, larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring. serbuk yang masih tersisa setelah proses maserasi, digunakan lagi untuk remaserasi. remaserasi dibutuhkan untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimum. larutan yang didapat dari maserasi dan remaserasi kemudian disaring lagi dengan vacuum rotary evaporator dengan kecepatan 200 rpm, pemanas waterbath 50oc sampai diperoleh ekstrak pekat. bakteri porphyromonas gingivalis yang diperoleh dari stok kultur laboratorium daerah kota yogyakarta diisolasi di laboratorium mikrobiologi fkik umy dengan cara diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oc. beberapa koloni bakteri diambil dengan menggunakan ose lalu dmasukkan ke dalam nacl lalu diinkubasikan selama 2-4 jam pada suhu 37oc. larutan tersebut kemudian diencerkan dengan cara dimasukkan ke dalam bhi (brain heart infusion) hingga diperoleh jumlah kuman yang sesuai dengan jumlah larutan standar brown iii dengan konsentrasi kuman 108 cfu/ml. larutan diencerkan lagi hingga 106 cfu/ml. penelitian ini dilakukan 3 kali percobaan, di setiap percobaan menggunakan 12 tabung reaksi dengan volume 5 ml. dimasukkan aquades sebanyak 1 ml mulai dari tabung ke-2 sampai tabung ke-10. setelah itu dimasukkan larutan ekstrak 100% ke dalam tabung ke-1. pada tabung ke-2 juga dimasukkan 1 ml larutan dan dicampur hingga homogen. setelah itu diambil 1 ml dari tabung ke-2 dan dimasukkan ke dalam tabung ke-3 dengan menggunakan pipet ukur. begitu seterusnya hingga didapatkan pengenceran serial dari tabung ke-1 sampai tabung ke-10. sisa pengenceran dari tabung ke10 diambil sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung ke-11 sebagai kontrol sterilitas larutan (kontrol negatif), sedangkan tabung ke-12 hanya berisi suspensi bakteri uji (kontrol positif). setelah pengenceran serial selesai, dimasukkan 1 ml larutan bhi cair yang berisi suspensi bakteri uji dengan konsentrasi 106 cfu/ml ke dalam tabung ke-1 sampai tabung ke10 sehingga volume akhir masing-masing tabung menjadi 2 ml. konsentrasi larutan ekstrak kulit manggis yang dicampur dengan larutan bhi berturut-turut dari tabung ke-1 sampai ke-10 adalah tabung ke-1 50%, tabung ke-2 25%, tabung ke-3 12,5%, tabung ke 4 6,25%, tabung ke-5 3,125 %, tabung ke-6 1,563%, tabung ke 7 0,781%, tabung ke-8 0,390%, tabung ke 9 0.195%, tabung ke-10 0,0975%. semua tabung selanjutnya diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oc. pengamatan dilakukan setelah proses inkubasi selama 24 jam selesai dengan cara membandingkannya dengan kontrol positif. kadar hambat minimal didapat dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dengan konsentrasi terendah. tabung-tabung yang tidak memperlihatkan pertumbuhan kuman selanjutnya ditanam pada media nutrient agar. setelah ditanam pada media nutrient agar, diinkubasikan lagi selama 24 jam pada suhu 79 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 tahap pembuatan ekstrak kulit manggis diawali dengan proses pencucian kulit manggis. kulit manggis yang telah bersih dan terbebas dari kotoran, selanjutnya mengalami proses pemisahan antara bagian kulit yang keras (bagian terluar dari kulit manggis) dengan kulit bagian lunak. kulit manggis bagian lunak ini yang dijadikan sebagai bahan baku utama. kulit manggis lalu dipotong dalam ukuran yang kecil dan tipis kemudian kulit manggis dijemur dengan ditutupi kain berwarna hitam untuk menghindari paparan sinar matahari langsung. penjemuran dilakukan selama 8 jam atau sampai kering. setelah kering kulit buah manggis diblender sampai halus. kulit manggis yang telah halus, dimaserasi dengan etanol 70% selama 72 jam, dan tetap disimpan dalam ruang yang sejuk agar senyawa dalam kulit manggis tidak rusak. selanjutnya, larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring. serbuk yang masih tersisa setelah proses maserasi, digunakan lagi untuk remaserasi. remaserasi dibutuhkan untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang optimum. larutan yang didapat dari maserasi dan remaserasi kemudian disaring lagi dengan vacuum rotary evaporator dengan kecepatan 200 rpm, pemanas waterbath 50oc sampai diperoleh ekstrak pekat. bakteri porphyromonas gingivalis yang diperoleh dari stok kultur laboratorium daerah kota yogyakarta diisolasi di laboratorium mikrobiologi fkik umy dengan cara diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oc. beberapa koloni bakteri diambil dengan menggunakan ose lalu dmasukkan ke dalam nacl lalu diinkubasikan selama 2-4 jam pada suhu 37oc. larutan tersebut kemudian diencerkan dengan cara dimasukkan ke dalam bhi (brain heart infusion) hingga diperoleh jumlah kuman yang sesuai dengan jumlah larutan standar brown iii dengan konsentrasi kuman 108 cfu/ml. larutan diencerkan lagi hingga 106 cfu/ml. penelitian ini dilakukan 3 kali percobaan, di setiap percobaan menggunakan 12 tabung reaksi dengan volume 5 ml. dimasukkan aquades sebanyak 1 ml mulai dari tabung ke-2 sampai tabung ke-10. setelah itu dimasukkan larutan ekstrak 100% ke dalam tabung ke-1. pada tabung ke-2 juga dimasukkan 1 ml larutan dan dicampur hingga homogen. setelah itu diambil 1 ml dari tabung ke-2 dan dimasukkan ke dalam tabung ke-3 dengan menggunakan pipet ukur. begitu seterusnya hingga didapatkan pengenceran serial dari tabung ke-1 sampai tabung ke-10. sisa pengenceran dari tabung ke10 diambil sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung ke-11 sebagai kontrol sterilitas larutan (kontrol negatif), sedangkan tabung ke-12 hanya berisi suspensi bakteri uji (kontrol positif). setelah pengenceran serial selesai, dimasukkan 1 ml larutan bhi cair yang berisi suspensi bakteri uji dengan konsentrasi 106 cfu/ml ke dalam tabung ke-1 sampai tabung ke10 sehingga volume akhir masing-masing tabung menjadi 2 ml. konsentrasi larutan ekstrak kulit manggis yang dicampur dengan larutan bhi berturut-turut dari tabung ke-1 sampai ke-10 adalah tabung ke-1 50%, tabung ke-2 25%, tabung ke-3 12,5%, tabung ke 4 6,25%, tabung ke-5 3,125 %, tabung ke-6 1,563%, tabung ke 7 0,781%, tabung ke-8 0,390%, tabung ke 9 0.195%, tabung ke-10 0,0975%. semua tabung selanjutnya diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oc. pengamatan dilakukan setelah proses inkubasi selama 24 jam selesai dengan cara membandingkannya dengan kontrol positif. kadar hambat minimal didapat dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dengan konsentrasi terendah. tabung-tabung yang tidak memperlihatkan pertumbuhan kuman selanjutnya ditanam pada media nutrient agar. setelah ditanam pada media nutrient agar, diinkubasikan lagi selama 24 jam pada suhu 37oc. kadar bunuh minimal ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan bakteri pada media nutrient agar dengan konsentrasi terendah. setelah penelitian selesai, data hasil peneitian disajikan menggunakan tabel. penelitian ini dianalisa secara deskriptif. hasil pada penentuan kadar hambat minimal (khm), yang dilihat ialah tabung yang mulai berubah menjadi jernih dengan cara membandingkan tabung yang diberi perlakuan dengan kontrol.hasil penentuan tentang khm dari ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingvalis dapat diliat pada tabel 1. dari tabel 1 diperoleh hasil bahwa ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki daya antibakteri terhadap bakteri porphyromonas gingivalis pada tabung ke-1 dan ke-2 dengan konsentrasi 50% dan 25%. tabung yang menjadi kontrol negatif juga tetap jernih, menandakan bahwa ekstrak kulit manggis tidak terkontaminasi. dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki khm terhadap bakteri porphyromonas gingivalis pada konsentrasi 25%. hasil penentuan tentang kadar bunuh minimal (kbm) dari ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingvalis dapat diliat pada tabel 2. tabel 2 menunjukkan untuk penentuan kbm ekstrak etanol kulit buah manggis (garcinia mangostana linn.) pada konsentrasi 50% terhadap porphyromonas gingivalis tidak dijumpai pertumbuhan bakteri (steril). sedangkan pada konsentrasi 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,563%, 0,781%, 0,39%, 0,195%, dan 0,097% ditemukan pertumbuhan bakteri. dari tabel 2 diatas disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn.) memiliki kbm terhadap bakteri porphyromonas gingivalis pada konsentrasi 50%. tabel 1. hasil penelitian kadar hambat minimal (khm) ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostanana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis. tabung kekonsentrasi bahan uji i ii iii 1 50% 2 25% 3 12,5% + + + 4 6,25% + + + 5 3,125% + + + 6 1,563% + + + 7 0,781% + + + 8 0,39% + + + 9 0,195% + + + 10 0,097% + + + 11 kontrol negatif (sisa pengenceran) 12 kontrol positif (suspensi bakteri 106 cfu/ml) + + + 80 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . rexsy ajie nuperdanna sriyono, ika andriani daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis keterangan : tanda negatif (-) : menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis dengan melihat adanya kejernihan pada tabung. tanda positif (+) : menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis dengan melihat adanya kekeruhan pada tabung. tabel 2. hasil penelitian kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostanana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis. tabung kekonsentrasi bahan uji i ii iii 1 50% 2 25% + + + 3 12,5% + + + 4 6,25% + + + 5 3,125% + + + 6 1,563% + + + 7 0,781% + + + 8 0,39% + + + 9 0,195% + + + 10 0,097% + + + 11 kontrol negatif (sisa pengenceran) 12 kontrol positif (suspensi bakteri 106 cfu/ml) + + + keterangan : tanda negatif (-) : ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis pada media tsa. tanda positif (+) : ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis pada media tsa. pembahasan hasil pengamatan khm dan kbm dilakukan 3 kali pengulangan dengan hasil yang cukup konsisten. hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang valid dan untuk menghindari bias, sehingga didapatkan khm dan kbm ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn) terhadap porphyromonas gingivalis. khm dilihat dari konsentrasi minimal bahan coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam dan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri secara makroskopik yang dapat dilihat dari hasil biakan pada tabung yang mulai berubah menjadi jernih dengan menggunakan metode dilusi. dari hasil pengamatan menunjukkan pada konsentrasi 25% & 50% larutan terlihat cukup jernih. larutan terlihat agak keruh diduga karena warna ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) yang dari awal berwarna cukup gelap dan pada konsentrasi 25% dan 50% ekstraknya masih cukup pekat. penentuan kbm dilihat dari konsentrasi minimal bahan uji pada biakan padat trypticase soy agar (tsa) dimana tidak terlihat pertumbuhan bakteri atau seluruh 81 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 keterangan : tanda negatif (-) : menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis dengan melihat adanya kejernihan pada tabung. tanda positif (+) : menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis dengan melihat adanya kekeruhan pada tabung. tabel 2. hasil penelitian kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostanana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis. tabung kekonsentrasi bahan uji i ii iii 1 50% 2 25% + + + 3 12,5% + + + 4 6,25% + + + 5 3,125% + + + 6 1,563% + + + 7 0,781% + + + 8 0,39% + + + 9 0,195% + + + 10 0,097% + + + 11 kontrol negatif (sisa pengenceran) 12 kontrol positif (suspensi bakteri 106 cfu/ml) + + + keterangan : tanda negatif (-) : ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis pada media tsa. tanda positif (+) : ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis pada media tsa. pembahasan hasil pengamatan khm dan kbm dilakukan 3 kali pengulangan dengan hasil yang cukup konsisten. hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang valid dan untuk menghindari bias, sehingga didapatkan khm dan kbm ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn) terhadap porphyromonas gingivalis. khm dilihat dari konsentrasi minimal bahan coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam dan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri secara makroskopik yang dapat dilihat dari hasil biakan pada tabung yang mulai berubah menjadi jernih dengan menggunakan metode dilusi. dari hasil pengamatan menunjukkan pada konsentrasi 25% & 50% larutan terlihat cukup jernih. larutan terlihat agak keruh diduga karena warna ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) yang dari awal berwarna cukup gelap dan pada konsentrasi 25% dan 50% ekstraknya masih cukup pekat. penentuan kbm dilihat dari konsentrasi minimal bahan uji pada biakan padat trypticase soy agar (tsa) dimana tidak terlihat pertumbuhan bakteri atau seluruh bakteri mati pada media perbenihan. dari hasil penelitian terlihat setelah bakteri disuspensikan dan diinkubasikan selama 24 jam, pada konsentrasi 50% tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri (steril). penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak kulit buah manggis (garcinia magostana linn.) memiliki daya antibakteri secara in-vitro terhadap porphyromonas gingivalis dengan khm sebesar 25% dan kbm sebesar 50%. dengan demikian hipotesis penelitian diterima. terdapat beberapa perbedaan hasil penelitian efek antibakteri ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap beberapa bakteri, tadtong et al. (2009) menemukan khm terhadap streptococcus mutans, porphyromonas gingivalis, dan streptococcus pyogenes sebesar 0.01 mg/ml serta pada staphylococcus aureus sebesar 0.1 mg/ml dengan menggunakan metode dilusi agar dan ekstrak yang dimodifikasi8. penelitian sitaresmi . (2014) didapatkan bahwa ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn.) dapat menghambat pertumbuhan bakteri plak supragingiva dengan konsentrasi minimal 0,78% dengan menggunakan metode difusi paper disk. perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya metode, asal tanaman, bakteri, dan bahan yang digunakan9 pada penelitian ini khm 25% dan kbm 50% adalah karena asal tanaman manggis (garcinia mangostana linn.) yang berbeda kemungkinan akan memberikan hasil uji yang berbeda pula. keadaan geografis dari masing–masing daerah yang berbeda–beda kemungkinan menyebabkan kadar senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri dalam kedua tanaman, sepertin tanin, flavonoid, dan saponin tidak sama antara satu dengan yang lain. selain itu, cara yang dilakukan untuk melakukan ekstraksi juga bisa berpengaruh dalam hasil pengujian ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana linn). flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang mempunyai kecenderungan untuk mengikat protein, sehingga mengganggu proses metabolisme7, dapat menyebabkan perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri.10 menurut maliana et. al (2013), hasil uji fitokimia ekstrak etanol kulit buah manggis (garcinia mangostana linn.) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, alkaloid, terpenoid, polifenol, kuinon, dan tanin. alkaloid menghambat sintesis dna dengan cara berikatan dengan dna sel yang menyebabkan fungsi sel terganggu diikuti kematian sel. alkaloid bersifat toksik sehingga dapat melawan sel yang berasal dari organisme asing.11 saponin merupakan zat aktif yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel. apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri, maka bakteri tersebut akan rusak atau lisis. dengan turunnya tegangan dinding sel bakteri, dapat menyebabkan dinding sel tidak selektif dalam meloloskan zat-zat terlarut dan zat-zat lain. zatzat tersebut dapat mengubah sifat fisik dan kimiawi selaput sel dan dapat menghalangi fungsi normalnya sehingga akan menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri tersebut.5 tanin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi mampu bertindak sebagai antibakteri dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma bakteri sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein bakteri.7 pertumbuhan bakteri yang terhambat merupakan akibat dari suatu zat antibakteri yang mampu melakukan penghambatan terhadap sintesis dinding sel bakteri, penghambatan terhadap fungsi membran, penghambatan terhadap sintesis protein dan penghambatan terhadap sintesis asam nukleat.5 uji coba efek antibakteri terhadap 82 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . rexsy ajie nuperdanna sriyono, ika andriani daya antibakteri ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) terhadap bakteri porphyromonas gingivalis porphyromonas gingivalis menggunakan ekstrak etanol kulit manggis (garcinia mangostana linn.) secara keseluruhan tanpa memisah-misahkan senyawa yang terkandung di dalamnya sehingga tidak diketahui zat aktif mana yang paling berperan dalam memberikan efek antibakteri. kesimpulan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangistan linn.) mempunyai daya antibakteri terhadap porphyromonas gingivalis yang bersifat bakterisid. daftar pustaka 1. depkes ri, profil kesehatan indonesia 2010, 2011 2. cobb, charles m. microbes, inflammation, scaling and root planning, and the periodontal condition. journal of dental hygiene: jdh/american dental hygienists' association, 2008 3. widyastuti, ratih, periodontitis: diagnosis dan perawatannya. jurnal ilmiah dan teknologi kedokteran gigi, 2009, vol.6 no.1 4. murray, hackett, et al., proteomics of porphyromonas gingivaliswithin a model oral microbial community.bmc microbiology, 2002. 5. jawetz m,.. mikrobiologi kedokteran.edisi 23. alih bahasa : huriwati hartanto dkk. jakarta: ecg., 2005 6. perrmana, a.w.. kulit buah manggis dapat menjadi minuman instan kaya antioksidan. warta litbang deptan, 2010, 32(2) 7. poeloengan, m., praptiwi, praptiwi.. uji aktivitas ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana linn). media litbang kesehatan ,2010, vol. 20 (2): 65-69 8. sarin tadong, et al., antityrosinase and antibacterial activities of mangosteen pericarp extract. journal of health research. 2009, vol. 23 (2) 9. sitaresmi kristiara, daya hambat ekstrak kulit manggis (gacinia mangostana l) terhadap pertumbuhan bakteri plak supragingiva, skripsi, 2014 (http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk 1/660/gdlhub-gdl-s1-2014-sitaresmik32995-5.-abstr-k.pdf , diakses 28 september 2014) 10. sabir a.. aktivitas antibakteri flavonoid propolis trigona spp. terhadap bakteri streptococcus mutans (in vitro). makassar,indonesia : dent.j 2005, (3): 135-141 11. maliana, y., khotimah, s., diba, f.. aktivitas antibakteri kulit garcinia mangostana linn. terhadap pertumbuhan flavobacterium dan enterobacter dari coptotermes curvignathus holmgren. protobiont, 2013: vol.2(1) : 7 – 11. 9 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 9. junior a.a.g., lopes m.w.v., gaspar g.s., dan braz r., 2009, comparative study of flexural strength and elasticity modulus in two types of direct fiber reinforced systems, braz oral res. 23 (3):236-240. 10. li w., swain m.v., li q., ironside j., dan steven g.p., 2004, fibre reinforced composite dental bridge part i: experimental investigation. biomaterials 25 (2004) 4987-4993 11. malone w.f.p., maroso d.j., dan morgano s.m., 1995, resin bonded retainers (maryland bridge), j. dent. res. 26: 227-319. 12. mallick pk, 2008, fiber-reinforced composites: materials, manufacturing, and design, 3th edition. crc press, taylor & francis group, boca raton, fl 13. miettinen v.a., narva k.k., dan vallittu p.k., 1999, water sorption, solubility and effect of post curing of glass fiber reinforced polymers. biomaterials 20(1): 187-94. 14. polacek p., dan jancar j., 2008, effect of filler on the adhesion strength between ud fiber reinforced and particulate filled composites, composites science and technology 68:251-259 15. septommy c., 2013, pengaruh posisi dan fraksi volumetrik fiber polyethylene terhadap kekuatan fleksural fiber reinforced composite. tesis s-2 ilmu kedokteran gigi universitas gadjah mada. 16. turker s.b., dan sener i.d., 2008, replacement of maxillary central incisor using polyethylene fiber reinforced composite resin fixed partial denture: a clinical report, j. prosthet. dent. 100: 254-258. 17. vakiparta m., yli-urpo a., dan vallitu p.k., 2004, flexural properties of glass fiber reinforced composite with multiphase biopolymer matrix. j. mater. sci: materials in medicine 15:7-11 18. vallittu p.k., 2001, 2nd international symposium on fiber reinforced plastics in dentistry, nijmegen, the netherlands. 19. yanti d., amalia h., dan sugiatno e., 2011, perbedaan kekuatan fleksural fiber reinforced composite dengan struktur leno weave dan long longitudinal polyethylene pada gigi tiruan cekat adhesive. j. ked. gigi vol.2 no.4 hal. 230-235. hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah the relationship between dental plaque and the severity of dental caries among preschool children sri utami school of dentistry, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta corresponding: utami_kg@yahoo.com abstrak latar belakang: karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang utama di seluruh dunia, prevalensi dan morbiditasnya sangat tinggi. karies gigi pada anak-anak usia prasekolah merupakan penyakit karies gigi yang sangat destruktif, sehingga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan gigi-gigi permanennya. prevalensi karies pada anak-anak usia 2-4 tahun di negara-negara yang sedang berkembang mencapai 18 % , sedangkan pada anak-anak usia 3-6 tahun di kota yogyakarta mencapai 84,1 %. faktor kebersihan mulut seperti adanya akumulasi plak merupakan faktor risiko terjadinya karies gigi pada anak-anak dan terdapat hubungan antara karies gigi anak dan indeks plak. tujuan: tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies anak usia prasekolah. metode penelitian: jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan cross sectional. subjek penelitian adalah 583 anak-anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di taman kanak-kanak (tk) di kabupaten sleman. teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling, dengan pengambilan subyek penelitian secara acak proporsional. tingkat keparahan karies diukur dengan menggunakan indeks dmf-s dan plak gigi diukur dengan menggunakan indeks plak o’leary. analisis data menggunakan uji logistic regression. hasil: hasil penelitian ini didapatkan bahwa usia 5 tahun merupakan usia anak yang paling banyak menderita karies gigi kategori parah (52,3%) dan pada anak laki-laki (50,8%). nilai or adalah 3,3 (p=0,000, 95% ci=2,134-4,824). kesimpulan: plak gigi merupakan faktor risiko terhadap tingkat keparahan karies gigi pada anak usia prasekolah. anak-anak dengan indeks plak gigi yang tinggi mempunyai risiko 3,3 kali lebih besar untuk menderita karies gigi yang parah bila dibandingkan dengan anak-anak yang indeks plak nya rendah. kata kunci: karies gigi, plak gigi, anak usia prasekolah abstract background: dental caries is a major dental and oral health problem worldwide with a very high prevalence of morbidity. dental caries in preschool children is a disease which is extremely destructive; thus, this impacts on the growth and development of the permanent teeth. the prevalence of caries in children aged 2-4 years in countries has reached 18%, while the prevalence of ecc in children aged 3-6 years in the city of yogyakarta has reached 84.1%. oral hygiene factors such as the accumulation of plaque were a risk factor for dental caries in children, there was a relationship between dental caries and plaque index. objective: the objective of this study was to determine the relationship between dental plaque and the severity of dental caries among preschool children. methods: this was an observational using a cross-sectional design. subjects were 583 children aged 410 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . sri utami hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah 6 years who attended kindergarten (tk) in sleman, and selected using simple random sampling. the severity of dental caries was measured using the dmf-s index, while dental plaque was measured using the o’leary plaque index. data analysis used logistic regression. result: the result showed that children aged 5 years were the most suffering from severe dental caries (52,3%), and most of them were boys (50,8%). the odds ratio value (or) was 3,3 (p=0,000, 95% ci=2,134-4,824). conclusions: dental plaque is a risk factor of dental caries severity among preschool children (or=3,3). it conclude that children with higher dental plaque index have 3,3 times greater risk of suffering severe dental caries than children with low dental plaque index. key words: dental caries, dental plaque, preschool children pendahuluan karies gigi merupakan penyakit mulut yang prevalensi dan morbiditasnya sangat tinggi, tidak ada satu wilayah di dunia yang bebas dari karies gigi. karies gigi menyerang semua orang, semua umur, baik laki-laki maupun perempuan, semua suku, ras dan pada semua tingkatan status sosial ekonomi1. karies gigi di negara-negara yang sedang berkembang mulai mengalami peningkatan, terutama pada anak usia prasekolah 2. karies gigi pada anak usia prasekolah menjadi suatu masalah kesehatan masyarakat karena prevalensi dan morbiditasnya tinggi, serta perkembangan penyakitnya yang sangat cepat sehingga menyebabkan kerusakan pada gigi desidui3. karies gigi desidui merupakan satu-satunya penyakit kronis yang paling sering diderita oleh anakanak, 5 kali lebih sering dibanding penyakit asma, 7 kali lebih sering dibandingkan penyakit hay fever serta 14 kali lebih sering dibanding penyakit bronkhitis kronis 4. prevalensi nasional anak usia 1-9 tahun yang mempunyai masalah gigi-mulut adalah sebesar 28,4 % 5. prevalensi karies gigi pada anak usia 3-6 tahun di kota yogyakarta adalah sebesar 84.1% dengan angka deft rata-rata sebesar 5.80, yang berarti bahwa setiap anak menderita karies sebanyak 6 gigi. hampir semua kasus karies tersebut (99.77%) tidak dilakukan perawatan, bahkan 10% dari kelompok anak usia 3 tahun telah menderita abses dan tinggal akar gigi 6. masalah penyakit gigi dan mulut pada saat sekarang dapat menggambarkan perbedaan sifat-sifat faktor risiko antar negara maupun antar daerah dalam satu negara. faktor risiko tersebut antara lain kondisi kehidupan masyarakat, gaya hidup, faktor lingkungan dan implementasi program kesehatan gigi dan mulut yang bersifat preventif 7. karies gigi anak usia prasekolah merupakan penyakit yang kompleks dan multifaktorial, yang disebabkan oleh berbagai faktor risiko. faktor risiko utama penyakit karies gigi meliputi faktor diet dan faktor modifikasi, yaitu gaya hidup, status sosial ekonomi, kepatuhan dalam diet, serta kebiasaan dan perilaku sehat seperti faktor kebersihan mulut 8. status kebersihan gigi dan mulut pada anak-anak umumnya lebih buruk dibandingkan dengan status kesehatan gigi dan mulut orang dewasa, faktor kebersihan mulut berpengaruh terhadap kejadian karies, jika seseorang tidak menjaga kebersihan mulutnya, maka akan terbentuk plak pada gigi, yang merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya karies 9. produksi asam oleh plak gigi merupakan faktor pencetus terjadinya karies gigi, dan merupakan faktor risiko yang paling penting terhadap proses demineralisasi gigi 10. kontrol plak gigi pada anak-anak usia 11 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 6 years who attended kindergarten (tk) in sleman, and selected using simple random sampling. the severity of dental caries was measured using the dmf-s index, while dental plaque was measured using the o’leary plaque index. data analysis used logistic regression. result: the result showed that children aged 5 years were the most suffering from severe dental caries (52,3%), and most of them were boys (50,8%). the odds ratio value (or) was 3,3 (p=0,000, 95% ci=2,134-4,824). conclusions: dental plaque is a risk factor of dental caries severity among preschool children (or=3,3). it conclude that children with higher dental plaque index have 3,3 times greater risk of suffering severe dental caries than children with low dental plaque index. key words: dental caries, dental plaque, preschool children pendahuluan karies gigi merupakan penyakit mulut yang prevalensi dan morbiditasnya sangat tinggi, tidak ada satu wilayah di dunia yang bebas dari karies gigi. karies gigi menyerang semua orang, semua umur, baik laki-laki maupun perempuan, semua suku, ras dan pada semua tingkatan status sosial ekonomi1. karies gigi di negara-negara yang sedang berkembang mulai mengalami peningkatan, terutama pada anak usia prasekolah 2. karies gigi pada anak usia prasekolah menjadi suatu masalah kesehatan masyarakat karena prevalensi dan morbiditasnya tinggi, serta perkembangan penyakitnya yang sangat cepat sehingga menyebabkan kerusakan pada gigi desidui3. karies gigi desidui merupakan satu-satunya penyakit kronis yang paling sering diderita oleh anakanak, 5 kali lebih sering dibanding penyakit asma, 7 kali lebih sering dibandingkan penyakit hay fever serta 14 kali lebih sering dibanding penyakit bronkhitis kronis 4. prevalensi nasional anak usia 1-9 tahun yang mempunyai masalah gigi-mulut adalah sebesar 28,4 % 5. prevalensi karies gigi pada anak usia 3-6 tahun di kota yogyakarta adalah sebesar 84.1% dengan angka deft rata-rata sebesar 5.80, yang berarti bahwa setiap anak menderita karies sebanyak 6 gigi. hampir semua kasus karies tersebut (99.77%) tidak dilakukan perawatan, bahkan 10% dari kelompok anak usia 3 tahun telah menderita abses dan tinggal akar gigi 6. masalah penyakit gigi dan mulut pada saat sekarang dapat menggambarkan perbedaan sifat-sifat faktor risiko antar negara maupun antar daerah dalam satu negara. faktor risiko tersebut antara lain kondisi kehidupan masyarakat, gaya hidup, faktor lingkungan dan implementasi program kesehatan gigi dan mulut yang bersifat preventif 7. karies gigi anak usia prasekolah merupakan penyakit yang kompleks dan multifaktorial, yang disebabkan oleh berbagai faktor risiko. faktor risiko utama penyakit karies gigi meliputi faktor diet dan faktor modifikasi, yaitu gaya hidup, status sosial ekonomi, kepatuhan dalam diet, serta kebiasaan dan perilaku sehat seperti faktor kebersihan mulut 8. status kebersihan gigi dan mulut pada anak-anak umumnya lebih buruk dibandingkan dengan status kesehatan gigi dan mulut orang dewasa, faktor kebersihan mulut berpengaruh terhadap kejadian karies, jika seseorang tidak menjaga kebersihan mulutnya, maka akan terbentuk plak pada gigi, yang merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya karies 9. produksi asam oleh plak gigi merupakan faktor pencetus terjadinya karies gigi, dan merupakan faktor risiko yang paling penting terhadap proses demineralisasi gigi 10. kontrol plak gigi pada anak-anak usia prasekolah yang paling efisien adalah dengan menyikat gigi. anak-anak yang tidak menyikat giginya sebelum tidur mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian karies. pengukuran plak gigi merupakan prosedur utama yang harus dilakukan untuk mengetahui faktor risiko dan tingkat keparahan karies 9. metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. subyek penelitian adalah 583 anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di taman kanak-kanak (tk) di kabupaten sleman. pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan cara simple random sampling. pengambilan acak yang pertama adalah pengambilan sampel kecamatan berdasarkan jumlah kepadatan penduduk. kelompok kecamatan yang pertama adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk ≥ 2500 jiwa/km2 (kecamatan depok, mlati, gamping, ngaglik, godean), kelompok kecamatan kedua adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk 1500-2500 jiwa/km2 (kecamatan seyegan, berbah, kalasan, ngemplak, sleman, tempel), dan kelompok kecamatan ketiga adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk < 1500 jiwa/km2 (kecamatan moyudan, minggir, prambanan, turi, pakem, cangkringan). masing-masing kelompok kecamatan tersebut kemudian diambil 1 kecamatan secara acak, dan didapatkan 3 kecamatan yaitu kecamatan mlati, tempel dan moyudan. langkah berikutnya adalah pengambilan secara acak sekolah tk yang berada di masing-masing kecamatan tersebut sampai didapatkan jumlah siswa sesuai proporsi jumlah subyek penelitian. proporsi pengambilan subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1. kriteria inkusi pada penelitian ini adalah: 1) lahir dan bertempat tinggal di wilayah kabupaten sleman, 2) anak komunikatif dan kooperatif, sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah adanya kasus multiple extraction dengan indikasi selain karies gigi dan anak bebas karies. instrumen penelitian adalah indeks dmf-s untuk mengukur tingkat keparahan karies dan indeks plak o’leary untuk mengukur plak gigi. pengukuran indeks dmf-s dan indeks plak dilakukan oleh 4 orang enumerator (perawat gigi). kalibrasi antar enumerator dilakukan dengan uji interrater reliability (uji kappa). nilai koefisien kappa untuk pengukuran indeks dmf-s adalah 100% (p=0,00), dan 78,9% (p=0,001) untuk pengukuran indeks plak gigi, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi 4 enumerator dalam mengukur indeks dmf-s dan indeks plak adalah sama. hasil pengukuran indeks dmf-s merupakan jumlah total permukaan gigi anak yang menderita karies, ditumpat karena karies dan indikasi cabut karena karies. tingkat keparahan karies dikategorikan berdasarkan american academy of pediatric dentistry. hasil pengukuran indeks plak o’leary merupakan persentase akumulasi plak pada permukaan gigi baik posterior maupun anterior. analisis data uji yang digunakan pada penelitian ini adalah uji logistic regression dengan menghitung nilai odds ratio (or). keputusan hipotesis penelitian didasarkan pada taraf signifikansi p < 0,05. 12 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . sri utami hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah tabel 1. proporsi pengambilan subyek penelitian kecamatan proporsi (%) jumlah sampel jumlah sekolah mlati 47,2 275 11 tempel 33,5 195 5 moyudan 19,3 113 3 total 100 583 19 tabel 2. karakteristik subyek penelitian kategori karies karakteristik jumlah (%) parah n (%) tidak parah n (%) usia 4 tahun 34(5,8) 25 (5,6) 9 (6,6) 5 tahun 318 (54,5) 234 (52,3) 84 (61,8) 6 tahun 231 (39,6) 188 (42,1) 43 (31,6) jenis kelamin laki-laki 293 (50,3) 227 (50,8) 66 (48,5) perempuan 290 (49,7) 220 (49,2) 70 (51,5) tabel 3. hasil uji simple logistic regression variabel b or 95 % ci p value plak gigi 1,2 3,3 2,134-4,824 0,000 konstanta 0,7 overall percentage: 76,7% hosmer-lemeshow test: 0,110 hasil penelitian 1. karakteristik subyek penelitian karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 2. hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah subyek penelitian paling banyak adalah anak usia 5 tahun (54,5%), dan rasio antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir sama. karies kategori parah paling banyak adalah pada usia 5 tahun (52,3%) dan jenis kelamin laki-laki (50,8%). 13 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 tabel 1. proporsi pengambilan subyek penelitian kecamatan proporsi (%) jumlah sampel jumlah sekolah mlati 47,2 275 11 tempel 33,5 195 5 moyudan 19,3 113 3 total 100 583 19 tabel 2. karakteristik subyek penelitian kategori karies karakteristik jumlah (%) parah n (%) tidak parah n (%) usia 4 tahun 34(5,8) 25 (5,6) 9 (6,6) 5 tahun 318 (54,5) 234 (52,3) 84 (61,8) 6 tahun 231 (39,6) 188 (42,1) 43 (31,6) jenis kelamin laki-laki 293 (50,3) 227 (50,8) 66 (48,5) perempuan 290 (49,7) 220 (49,2) 70 (51,5) tabel 3. hasil uji simple logistic regression variabel b or 95 % ci p value plak gigi 1,2 3,3 2,134-4,824 0,000 konstanta 0,7 overall percentage: 76,7% hosmer-lemeshow test: 0,110 hasil penelitian 1. karakteristik subyek penelitian karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 2. hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah subyek penelitian paling banyak adalah anak usia 5 tahun (54,5%), dan rasio antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir sama. karies kategori parah paling banyak adalah pada usia 5 tahun (52,3%) dan jenis kelamin laki-laki (50,8%). 2. hasil analisis hubungan plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah hasil uji simple logistic regression untuk mengetahui hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah dapat dilihat pada tabel 3. berdasarkan analisis, dapat dilihat bahwa or variabel plak gigi adalah 3,3 (p=0,000), hasil tes hosmer-lemeshow (p=0,110), sehingga dapat disimpulkan bahwa plak gigi berhubungan dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah. persamaan regresi yang didapat mempunyai kalibrasi yang baik, tidak ada perbedaan antara nilai yang di prediksi dengan nilai yang diobservasi. pembahasan berdasarkan karakteristik subyek penelitian, usia 5 tahun merupakan usia yang paling banyak menderita karies gigi kategori parah (52,3%) dan pada anak lakilaki (50,8%). hal tersebut disebabkan oleh beberapa kemungkinan, di antaranya pada anak usia yang lebih tua, biasanya tingkat kemandirian lebih tinggi dibandingkan dengan anak usia di bawahnya. bertambahnya usia anak tidak diikuti oleh kenaikan tingkat keparahan karies gigi anak. hasil penelitian didapatkan bahwa nilai or adalah 3,3 (p=0,000, 95% ci=2,1344,824), sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak dengan indeks plak gigi yang tinggi mempunyai risiko 3,3 kali lebih besar untuk menderita karies gigi yang parah bila dibandingkan dengan anak-anak yang indeks plak nya rendah. faktor kebersihan mulut seperti adanya akumulasi plak merupakan faktor risiko terjadinya karies gigi pada anak-anak, terdapat hubungan antara karies gigi anak dan indeks plak11,12. faktor risiko utama terjadinya karies gigi meliputi substrat, susceptible tooth, cariogenic microorganism dan plak gigi (lingkungan), serta waktu. keempat faktor utama tersebut saling berinteraksi dalam menginisiasi proses karies. substrat, meliputi sukrosa, fruktosa dan glukosa dan jenis karbohidrat lain yang bisa difermentasikan mempunyai peran penting terhadap inisiasi dan perkembangan proses karies. sukrosa menyebabkan keseimbangan proporsi bakteri dalam mulut terganggu. lingkungan yang cocok bagi bakteri kariogenik untuk berkembang biak adalah pada saat aliran saliva berkurang dan kontak antara plak gigi dengan substrat meningkat11. kontrol diet akan meminimalisasi kontak antara makanan/substrat dengan plak gigi, sehingga bakteri plak tidak mampu melakukan fermentasi dan proses demineralisasi bisa dicegah. pengukuran plak gigi merupakan salah satu prosedur utama yang harus dilakukan untuk mengetahui faktor risiko karies gigi. plak gigi merupakan lapisan semitransparan pada permukaan gigi yang terdiri dari polisakarida dan organisme patogen12. karies gigi anak merupakan penyakit multifaktorial, karakteristiknya adalah adanya infeksi bakteri yang diinduksi oleh adanya substrat, sehingga apabila kontrol diet bisa dilakukan maka proses demineralisasi email bisa dikendalikan. konsumsi karbohidrat rendah dan diet makanan yang tidak mudah melekat pada permukaan gigi akan menurunkan risiko terhadap kejadian karies. selain diet, faktor saliva dan paparan fluor juga berperan penting dalam proses karies gigi. faktor saliva, yang meliputi sekresi saliva dan kapasitas buffer yang optimal juga menurunkan risiko karies13. pa14 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . sri utami hubungan antara plak gigi dengan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah paran fluor, seperti penggunaan pasta gigi berfluoride akan meningkatkan proses remineralisasi, karena ikatan kimiawi antara kalsium dalam jaringan gigi dengan fluor lebih tahan terhadap bakteri plak, beberapa penelitian menyatakan bahwa ada korelasi antara indeks plak dengan keparahan karies gigi anak14. karies gigi pada anak-anak selama ini belum bisa dieradikasi, akan tetapi hanya bisa dikontrol pada tingkat yang sangat rendah. peran orang tua dalam membimbing dan mengajarkan perilaku dan pola kebersihan gigi dan mulut merupakan faktor yang sangat penting dalam mengurangi tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah, terutama status kebersihan mulut anak7. kesimpulan indeks plak merupakan faktor risiko terhadap tingkat keparahan karies gigi pada anak usia prasekolah. anak-anak dengan indeks plak yang tinggi mempunyai risiko 3,3 kali lebih besar menderita karies yang parah bila dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai indeks plak yang rendah. saran kegiatan promotif dan preventif perlu dilakukan secara rutin di sekolah-sekolah tk untuk menurunkan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah. penelitian ini dapat dilanjutkan dengan meneliti persepsi, kepercayaan serta perilaku orang tua dalam mengajarkan kebiasaan dan perilaku kesehatan gigi dan mulut anak usia prasekolah. daftar pustaka 1. moses, j.m., rangeeth, b.n. dan gurunathan, d., 2011, prevalence of dental caries, socio-economic status and treatment needs among 5 to 15 year old school going children of chidambaran, jornal of clinical and diagnostic research, 5 (1): 146-151 2. tinanoff, n., kanellis, m.j. dan vargas, c.m., 2002, current understanding of epidemiology, mechanism and prevention of dental caries in preschool children, pediatric dentistry, 24 (6): 543-551 3. borutta, a., wagner, m. dan kneist, s., 2010, early childhood caries: a multifactorial disease, ohdmbsc , 9 (1): 32-38 4. depoala, d.p., clakrson, j.j., gluch, j.i., roach, k. dan wang, x., 2010, update on early childhood caries, the colgate oral care report, 20 (2): 1-3 5. departemen kesehatan r.i., 2008, riskesdas indonesia tahun 2007, jakarta 6. kuswandari, s., 2006, profil kesehatan gigi anak prasekolah di kota yogyakarta, majalah kedokteran gigi, xiii, 2 7. petersen, p.e., bourgeois, d., ogawa, h., estupinan-day, s. dan ndiaye, c., 2005, the global burden of oral disease and risk to oral health, bulletin of the world health organization, 83: 661-669 8. pretty, i.a., 2006, caries detection and diagnosis: novel technologies, journal of dentistry, 34: 727-739 9. shimizu, k., igarashi, k., dan takahashi, n., 2008, chairside evaluation of ph lowering activity and lactic acid production of dental plaque: correlation with caries experience and incidence in preschool children, quintessence international, 30 (2): 151-158 15 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 paran fluor, seperti penggunaan pasta gigi berfluoride akan meningkatkan proses remineralisasi, karena ikatan kimiawi antara kalsium dalam jaringan gigi dengan fluor lebih tahan terhadap bakteri plak, beberapa penelitian menyatakan bahwa ada korelasi antara indeks plak dengan keparahan karies gigi anak14. karies gigi pada anak-anak selama ini belum bisa dieradikasi, akan tetapi hanya bisa dikontrol pada tingkat yang sangat rendah. peran orang tua dalam membimbing dan mengajarkan perilaku dan pola kebersihan gigi dan mulut merupakan faktor yang sangat penting dalam mengurangi tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah, terutama status kebersihan mulut anak7. kesimpulan indeks plak merupakan faktor risiko terhadap tingkat keparahan karies gigi pada anak usia prasekolah. anak-anak dengan indeks plak yang tinggi mempunyai risiko 3,3 kali lebih besar menderita karies yang parah bila dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai indeks plak yang rendah. saran kegiatan promotif dan preventif perlu dilakukan secara rutin di sekolah-sekolah tk untuk menurunkan tingkat keparahan karies gigi anak usia prasekolah. penelitian ini dapat dilanjutkan dengan meneliti persepsi, kepercayaan serta perilaku orang tua dalam mengajarkan kebiasaan dan perilaku kesehatan gigi dan mulut anak usia prasekolah. daftar pustaka 1. moses, j.m., rangeeth, b.n. dan gurunathan, d., 2011, prevalence of dental caries, socio-economic status and treatment needs among 5 to 15 year old school going children of chidambaran, jornal of clinical and diagnostic research, 5 (1): 146-151 2. tinanoff, n., kanellis, m.j. dan vargas, c.m., 2002, current understanding of epidemiology, mechanism and prevention of dental caries in preschool children, pediatric dentistry, 24 (6): 543-551 3. borutta, a., wagner, m. dan kneist, s., 2010, early childhood caries: a multifactorial disease, ohdmbsc , 9 (1): 32-38 4. depoala, d.p., clakrson, j.j., gluch, j.i., roach, k. dan wang, x., 2010, update on early childhood caries, the colgate oral care report, 20 (2): 1-3 5. departemen kesehatan r.i., 2008, riskesdas indonesia tahun 2007, jakarta 6. kuswandari, s., 2006, profil kesehatan gigi anak prasekolah di kota yogyakarta, majalah kedokteran gigi, xiii, 2 7. petersen, p.e., bourgeois, d., ogawa, h., estupinan-day, s. dan ndiaye, c., 2005, the global burden of oral disease and risk to oral health, bulletin of the world health organization, 83: 661-669 8. pretty, i.a., 2006, caries detection and diagnosis: novel technologies, journal of dentistry, 34: 727-739 9. shimizu, k., igarashi, k., dan takahashi, n., 2008, chairside evaluation of ph lowering activity and lactic acid production of dental plaque: correlation with caries experience and incidence in preschool children, quintessence international, 30 (2): 151-158 10. walsh, l.j., 2008, dental plaque fermentation and its role in caries risk assessment, international dentistry, 8 (5): 34-40 11. zafar, s., harnekar, s.y. dan siddiqi, a., 2006, early childhood caries: etiology, clinical considerations, consequences and management, international dentistry sa. , 11 (4): 2436 12. koposova, n., widstrom, e., eisemann, m., koposov, r., dan eriksen, h.m., 2010, oral health and quality of live in norwegian and russian school children: a pilot study, stomatologija, baltic dental and maxillofacial journal, 12: 10-16 13. poureslami, h.r. dan amerongen, w.e., 2009, early childhood caries (ecc) an infectious transmisible oral disease, indian journal of pediatrics, 76: 191194 14. asmawati dan pasolon, f.a., 2005, analisis hubungan karies gigi dan status gizi anak usia 10-11 tahun di sd athirah, sdn i bawakaraeng dan sdn iii bangkala, dentofasial, 6 (2): 78-84 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 39 research article perbandingan kayu manis dan kopi putih terhadap perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin comparison between cinnamon and white coffee towards color change of cold polymerized acrylic resin hastoro pintadi1,*, tika kartika putri2 1departemen prosthodonsia, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, indonesia. 2rumah sakit gigi dan mulut, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan hos cokroaminoto no. 17a, pakuncen, wirobrajan, yogyakarta, indonesia. received date: november 19th, 2019; reviewed date: march 11th, 2020 revised date: june 26th, 2020; accepted date: july 1st, 2020 doi : 10.18196/di.9216 abstrak resin akrilik merupakan resin yang memiliki kejernihan luar biasa, warna dan sifat optik tetap stabil di bawah kondisi mulut normal dan secara klinis juga cukup stabil terhadap panas. kayu manis dan kopi putih merupakan bahan minuman yang dapat menyebabkan perubahan warna pada resin akrilik. tujuan: mengetahui perbandingan kayu manis dan kopi putih terhadap perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin. jenis: jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratories dengan rancangan postest control group design. subyek yang digunakan adalah lempeng resin akrilik polimerisasi dingin dengan bentuk bulat dengan diameter 26 mm dan tebal 2 mm (iso 1567) yang direndam dalam kayu manis dan kopi putih untuk mengevaluasi bahan yang paling banyak merubah warna resin akrilik dalam 2,5 hari. uji perubahan warna dengan spektrofotometer, uji analisis data menggunakan independent sample t-test. hasil: dari uji δe*ab = [(δl*ab)2 + (δl*ab)2 + (δl*ab)2]1/2 didapatkan nilai rata-rata kromatisitas perubahan warna tertinggi pada perendaman dengan kayu manis yaitu 7,93368 sedangkan paling rendah pada perendaman dengan kopi putih yaitu 5,15632. hasil nilai uji parametrik secara statistika didapatkan hasil signifikan berpengaruh. kesimpulan: terdapat perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin pada perendaman dengan kayu manis dan kopi putih. kata kunci: kayu manis; kopi putih; resin akrilik polimerisasi dingin abstract acrylic resin is a resin with exceptional clarity, its color and optical properties remain stable under normal oral conditions, and it is also relatively stable against heat clinically. cinnamon and white coffee are beverage ingredients that can cause discoloration of acrylic resin. objective: to determine the comparison of cinnamon and white coffee to the color change of cold polymerized acrylic resin. methods: the research type was an experimental laboratory with a posttest control group design. the subjects used were round shape cold polymerized acrylic resin plates with a diameter of 26 mm and a thickness of 2 mm (iso 1567), which were immersed in cinnamon and white coffee to evaluate the most color-changing acrylic resin material in 2.5 days. the color change test was carried out with a spectrophotometer, while the data were analyzed using an independent sample t-test. results: from the δe * ab = [(δl * ab) 2 + (δl * ab) 2 + (δl * ab) 2] 1/2 test, the highest average chromaticity value for color change was obtained in cinnamon immersion, namely 7,93368, while the lowest was immersion with white coffee, namely 5,15632. from the statistical parametric test, the results showed a significant effect. conclusion: there was a color change of cold polymerized acrylic resin on immersion with cinnamon and white coffee. keywords: cinnamon, white coffee, cold polymerized acrylic resin * corresponding author, e-mail: phastoro@ymail.com hastoro pintadi, tika kartika putri | perbandingan kayu manis dan kopi putih terhadap perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin 40 pendahuluan gigi tiruan mempunyai beberapa fungsi diantaranya meningkatkan kemampuan dalam mengunyah, berbicara, memberikan dukungan untuk otot wajah, dan meningkatkan penampilan wajah. pada gigi tiruan terdapat dua macam, yaitu gigi tiruan tetap dan gigi tiruan lepasan. gigi tiruan lepasan/removable denture dibagi menjadi dua, yaitu gigi tiruan lengkap dan gigi tiruan sebagian.1 basis gigi tiruan yang ideal harus memiliki ciri-ciri fisikal yang sesuai diantaranya yaitu biokompatibilitas, estetik yang baik, radiopak, mudah diperbaiki, dan juga harus cukup kuat agar dapat berfungsi pada beban pengunyahan yang maksimal.2 resin akrilik yaitu resin yang memiliki kejernihan luar biasa, warna dan sifat optik tetap stabil dibawah kondisi mulut normal dan secara klinis juga cukup stabil terhadap panas.3 resin akrilik yang digunakan dalam kedokteran gigi banyak macamnya, salah satunya resin akrilik polimerisasi dingin. resin akrilik polimerisasi dingin disediakan dalam bentuk bubuk dan cairan.4 resin akrilik ini memiliki keuntungan yaitu lebih ekonomis, waktu kerja lebih sedikit, dan distorsi lebih kecil. adapun kerugiannya yaitu warnanya kurang stabil, monomer sisa lebih besar, dan kurang kuat.5 selama resin akrilik terpapar oleh bahan makanan dan minuman, resin akrilik cenderung menyerap berbagai kontaminan yang dapat merubah fisik dan penampilannya. tanaman kayu manis (cinnamomum burmanii) merupakan salah satu komoditi rempah yang menjadi barang dagangan utama sejak zaman kolonial dan sudah lama dikembangkan di indonesia. tanaman kayu manis dapat diolah menjadi berbagai macam produk yaitu dalam bentuk bubuk, minyak atsiri atau oleoresin. kulit kayu manis dalam bentuk asli seperti potongan atau bubuk dapat digunakan sebagai bumbu masakan daging dan ikan, juga sebagai campuran dalam minuman (teh, kopi, dan kakao). selain itu kulit batangnya juga mengandung tanin, dan daunnya mengandung alkaloid dan polifel.6 dalam industri makanan, pemberi rasa dan aroma pada industri makanan, minuman, farmasi, rokok, dan kosmetika, umumnya menggunakan oleoresin dari kayu manis yang sama dengan bubuknya. kayu manis juga dapat digunakan untuk bahan pembuat sirup dan rasa pedas sebagai penghangat tubuh karena berbau wangi dan berasa manis.7 kopi ditemukan sekitar pada tahun 1000 sm yaitu sebagai tanaman liar dataran tinggi ethiopia, afrika. kopi di indonesia berawal dari gubernur belanda di malabar mengirimkan bibit kopi arabika kepada gubernur belanda di batavia, namun gagal tumbuh akibat banjir hebat melanda batavia. kopi putih saat ini sudah meluas penyebarannya dan banyak diminati masyarakat. kopi memiliki banyak kandungan yang berguna bagi tubuh, salah satunya yaitu kafein yang berguna dalam penekanan pertumbuhan sel kanker, disamping rasa dan aromanya yang banyak disukai masyarakat. cairan kopi atau zat pembawa warna tanin dari kopi hitam merupakan faktor ekstrinsik terhadap perubahan warna. kopi putih juga banyak mengandung zat aktif (tanin) yang sama dengan kopi lainnya. kopi dapat menghasilkan perubahan warna yang lebih banyak dibandingkan teh, soda dan air.8 kandungan kayu manis dan kopi putih tidak hanya memiliki manfaat, beberapa bahan yang terkandung didalamnya juga dapat menghasilkan warna atau membuat perubahan warna. sehingga kemungkinan, kayu manis dan kopi putih dapat menghasilkan warna atau terjadi perubahan warna pada resin akrilik polimerisasi dingin, apabila dikonsumsi dalam waktu tertentu. material dan metode jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratories dengan rancangan posttest control group design. penelitian dilakukan di laboratorium insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 41 biokimia fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan umy untuk membuat larutan kopi dan kayu manis. perendaman sampel dengan menggunakan inkubator dilakukan di laboratorium biokimia fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan umy. pembuatan saliva buatan di laboratorium biokimia fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan umy. laboratorium teknik tekstil fti uii untuk menguji warna dengan menggunakan alat spektofotometer. penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 desember 2018 sampai 3 januari 2019. sampel penelitian ini menggunakan 3 sediaan yaitu kayu manis 60 gram menggunakan air mendidih sebagai perebus, kopi putih 60 gram menggunakan air mendidih 100ºc sebagai pengencer dan saliva buatan. subyek penelitian ini menggunakan lempeng resin akrilik polimerisasi dingin dengan bentuk bulat dengan diameter 26 mm dan tebal 2 mm (iso 1567). jumlah perlakuan yaitu 1 perlakuan untuk kayu manis, 1 perlakuan untuk kopi putih dan 1 perlakuan yang direndam dalam saliva sebagai kontrol. penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yaitu tahapan persiapan meliputi pembuatan lempeng resin akrilik polimerisasi dingin, pembuatan resin akrilik polimerisasi dingin dibuat dengan bentuk bulat dengan diameter 26 mm dan tebal 2 mm. pada pembuatan lempeng resin akrilik dingin yaitu dengan cara polimer dan monomer resin akrilik dingin dicampur dalam stellon pot dengan perbandingan sesuai pabrik, perbandingan 3:1. saat mencapai fase dough masukkan adonan resin akrilik ke dalam cetakan yang sebelumnya diolesi cms. setelah proses selesai tunggu sampai resin akrilik polimerisasi dingin mencapai setting. selanjutnya lempeng resin akrilik polimerisasi dingin di polishing dan finishing. setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan larutan kayu manis, dengan cara kayu manis bubuk 60 gram direbus dengan 600 ml air sampai mendidih dengan suhu 100ºc. saring dan tuangkan air dari perebusan kayu manis ke dalam wadah. penelitian ini dilanjutkan dengan pembuatan larutan kopi putih yaitu kopi putih yang dibuat melalui proses pembekuan atau pendinginan -40ºc. kopi putih juga melalui proses pemanggangan setengah matang. kopi putih dimasukkan ke dalam mesin sehingga menjadi bubuk. kopi putih bubuk 60 gram dilarutkan kedalam 600 ml air mendidih dengan suhu 100ºc. selain pembuatan itu, pada penelitian ini juga membutuhkan saliva buatan dengan ph 6,7 menurut van houver yang dibuat di laboratorium biokimia fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan umy. elaksanaan penelitian yaitu semua sampel sebanyak 30 direndam dalam saliva buatan dan diinkubasi dengan suhu 37ºc selama 24 jam dengan cara meletakkan lempeng akrilik sejajar dengan dasar wadah sehingga tidak tumpang tindih dan ditutup dengan menggunakan almunium foil. setelah direndam saliva selama 24 jam, 30 sampel dicuci dan dikeringkan. selanjutnya dibagi beberapa kelompok yaitu 1 kelompok sebagai kontrol direndam dalam saliva buatan, sedangkan 20 sampel lainnya dibagi menjadi 2 kelompok perendaman yaitu larutan kayu manis dan larutan kopi putih. setiap kelompok diberi 10 sampel. cara perendaman sampel yaitu diinkubasi didalam inkubator dengan suhu 37ºc. sampel direndam dalam larutan kayu manis dan larutan kopi putih sampai semua bagian lempeng akrilik tercelup, setelah itu tempat perendaman ditutup rapat dan diinkubasi didalam inkubator dengan suhu 37ºc. perendaman dilakukan selama 2,5 hari. sampel dikeluarkan kemudian dicuci dan dikeringkan dan dilihat menggunakan spektofotometer untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi. hasil dari pengukuran nilai warna pada perendaman sampel dengan saliva ditetapkan sebagai kelompok kontrol. perbedaan antara 2 warna dapat ditentukan dari rumus warna: δe*ab = [(δl*ab)2 + (δl*ab)2 +(δl*ab)2] δe*ab = [(l*0 ̶ l*1) 2 + (a*0 ̶ a*1) 2 + (b*0 ̶ b*1) 2 ] hastoro pintadi, tika kartika putri | perbandingan kayu manis dan kopi putih terhadap perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin 42 hasil hasil penelitian perbandingan perendaman resin akrilik polimerisasi dingin dalam kopi putih dan kayu manis selama 2,5 hari pada 3 kelompok yang terdiri dari tiap kelompok 10 sampel diukur menggunakan alat spektrofotometer sehingga didapatkan nilai kromartisitas sebagai berikut: tabel 1. nilai kromatis resin akrilik sampel larutan kopi putih kayu manis 1 4,2721 8,4606 2 3,9430 3,8599 3 4,2658 10,9663 4 4,8375 7,2359 5 3,2327 7,4985 6 3,4440 8,9759 7 9,3139 7,8870 8 8,1224 11,7684 9 7,9480 8,3828 10 2,1838 4,3015 total 51,5632 79,3368 rata-rata 5,15632 7,93368 berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa nilai kromatisasi δe*ab (l*a*b) resin akrilik polimerisasi dingin yang direndam dalam kopi putih dan kayu manis mengalami perbedaan. nilai rata-rata kromatisasi perubahan warna tertinggi pada perendaman dengan kayu manis yaitu 7,93368, sedangkan yang terendah yaitu pada perendaman dengan kopi putih 5,15632. perbandingan perendaman resin akrilik polimerisasi dingin dalam kopi putih dan kayu manis diuji normalitas terlebih dahulu sebelum diuji analisis data sebagai berikut: tabel 2. ringkasan hasil uji satistik nilai kromatisasi resin akrilik polimerisasi dingin t df sig. (2-tailed) -2.350 18 0.021 tabel 2 di atas menunjukkan bahwa t hitung adalah -2.350 dengan probabilitas 0.021. oleh karena probabilitas <0.05 maka terdapat perbedaan rerata perubahan warna bermakna antara kelompok yang direndam dengan kopi putih dan kayu manis. gambar 1. plat akrilik sebelum perendaman kayu manis dan kopi putih gambar 2. plat akrilik sesudah perendaman kayu manis gambar 3. plat akrilik sesudah perendaman kopi putih pembahasan penelitian ini dilakukan pengujian perendaman resin akrilik polimerisasi dingin dalam kopi putih dan kayu manis untuk mengetahui perbandingan perubahan warna yang terjadi pada sampel. perendaman dilakukan dengan 3 kelompok selama 2,5 hari. hasil pengukuran nilai rata-rata kromatisasi dengan menggunakan alat spektrofotometer dan dievaluasi dengan system commission international de l’eclairage (cie l*a*b* yang berdasarkan pada 3 parameter warna yaitu insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 43 l*, a*, b*. l* adalah lightness, a* adalah representasi warna merah-hijau, b* adalah representasi warna kuning-biru. untuk memperoleh nilai perubahan warna atau nilai kromatisasi maka digunakan rumus sebagai berikut ∆e*ab =[ (∆l*ab)2 + (∆l*ab)2 + (∆l*ab)2 ] 1/2 didapatkan hasil pada kelompok kopi putih dan kayu manis mengalami perubahan warna. hasil perhitungan uji normalitas menunjukkan bahwa nilai kromatisasi perendaman dengan kopi putih dan kayu manis menunjukkan bahwa distribusi pada setiap kelompok perlakuan adalah normal, maka selanjutnya dilakukan uji analisis data parametrik. hasil uji homogenitas didapatkan nilai probabilitas yaitu 0,753, karena nilai probabilitas>0,05 maka ketiga varian adalah sama. hasil uji hipotesis nilai kromatisasi resin akrilik polimerisasi dingin menunjukkan bahwa nilai probabilitas 0.021. oleh karena probabilitas <0.05 maka terdapat perbedaan rerata perubahan warna bermakna antara kelompok yang direndam dengan kopi putih dan kayu manis. hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu kopi putih lebih banyak merubah warna dibandingkan dengan kayu manis. berdasarkan nilai rata-rata data sampel menunjukkan bahwa kayu manis lebih tinggi dibandingkan dengan kayu putih. perubahan warna ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang telah dianalisis menggunakan uji parametrik yang juga diperkuat oleh beberapa pernyataan peneliti dan para ahli sebelumnya. perendaman resin akrilik di dalam suatu larutan dapat menyebabkan terjadi perubahan warna. hal ini disebabkan adanya proses penyerapan air pada resin akrilik polimerisasi dingin yang terjadi secara difusi, dimana berpindahnya suatu substansi melalui rongga, atau melalui substansi kedua. molekul air menembus massa poli metil metrakilat dan menempati posisi diantara rantai polimer, rantai polimer yang terganggu dipaksa memisah. sehingga, menimbulkan efek yaitu massa terpolimerisasi mengalami sedikit ekspansi dan molekul air mempengaruhi kekuatan rantai polimer. melemahnya ikatan makromolekul tersebut kemungkinan menyebabkan terlepasnya pigmen dari lempeng resin akrilik polimerisasi dingin sehingga memudarkan warna lempeng resin akrilik heat cured.9 kedua bahan ini yaitu kopi putih dan kayu manis mengandung tanin yang dapat menghasilkan perubahan warna pada resin akrilik polimerisasi dingin. kandungan tanin memiliki peran penting dalam perubahan warna tersebut. biji kopi (green coffee) adalah biji kopi yang berwarna hijau sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk, dan kulit arinya serta telah mengalami pengeringan sehingga mengandung kadar air di bawah 12%.10 kopi mempunyai kandungan selain asam yaitu mengandung senyawa asam galat golongan tanin yang mempunyai gugus kromofor. gugus kromofor dapat menyebabkan suatu zat atau molekul terlihat berwarna karena gugus ini berupa cincin aromatik (benzena).11 sedangkan pada kayu manis mengandung tannin yang merupakan pewarna alami yang mempunyai sifat larut dalam air, tidak dapat mengkristal dan bersenyawa dengan protein dari larutannya.12 zat warna tanin juga akan diserap oleh resin akrilik melalui porositas dan akan menyebabkan perubahan warna. hal ini sesuai dengan pernyataan togatorop yang menyatakan bahwa pada senyawa tanin mengandung polifenol yang bersifat asam sehingga dapat menganggu reaksi hidrolisis antara fenol dan ester polimetil metakrilat pada plat resin akrilik sehingga terjadi banyak rongga atau porus pada permukaan plat resin akrilik. hal ini menyebabkan adanya difusi cairan kopi yang masuk kedalam plat resin akrilik akibatnya terjadi perubahan volume larutan kopi yang dapat mengakibatkan perubahan warna pada plat resin akrilik karena terjadi peningkatan absorbsi zat tannin.13 hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan beberapa peneliti yang menemukan bahwa kopi menghasilkan hastoro pintadi, tika kartika putri | perbandingan kayu manis dan kopi putih terhadap perubahan warna resin akrilik polimerisasi dingin 44 perubahan warna yang lebih banyak dibandingkan dengan teh, soda dan air.8 kopi putih yang digunakan pada penelitian ini merupakan kopi putih kemasan, sehingga tidak hanya terdapat kopi putih murni tetapi juga campuran bahan-bahan lain salah satunya yaitu gula. selain itu, pada kemasan ini hanya mengandung kopi putih murni sebanyak 19% per kemasan. penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa penambahan gula pasir menunjukkan penurunan kadar total fenol dan kadar tanin yang paling besar, sehingga kemungkinan juga terjadi penurunan kadar tanin pada kopi putih yang menyebabkan kopi putih tidak dapat menghasilkan perubahan warna lebih banyak atau lebih maksimal.14 kopi putih kemasan yang digunakan pada penenilitian ini hanya mengandung 38% kopi putih murni dari berat keseluruhan yaitu 60 gram, sehingga yang terkandung didalam kemasan ini kurang lebih hanya 11,4 gram kopi putih murni sehingga kemungkinan kadar tanin lebih sedikit dibandingkan dengan kayu manis, karena kayu manis yang digunakan adalah kayu manis murni. penelitian sebelumnya dalam 10 gram kopi robusta mengandung tanin sebanyak 3,1%, sehingga kemungkinan kadar tanin yang terdapat pada penelitian ini pun tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya.15 selain itu takaran atau banyaknya bubuk kayu manis yang dipakai jumlahnya cukup banyak, karena dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya yaitu pada takaran 4 gram kayu manis yang dipakai sudah dapat menghasilkan warna coklat.16 penelitian ini menggunakan kayu manis sebanyak 60 gram, kualitas kayu manis dipengaruhi oleh sejumlah faktor salah satunya yaitu metode pemotongan dan produksi, tetapi tidak terdapat atau belum ditemukan perbedaan yang terlalu berpengaruh pada kandungan dalam kayu manis kecuali sinnamaldehide.17 hasil nilai uji parametrik secara statistk didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,021 yang berarti bahwa terdapat perbedaan rerata perubahan warna bermakna antara kelompok yang direndam dengan kopi putih dan kayu manis. kesimpulan perendaman resin akrilik polimerisasi dingin dengan kayu manis memiliki nilai rata-rata kromatisitas perubahan warna tertinggi sebesar 7,93368 sedangkan perendaman dengan kopi putih menghasilkan nilai kromatisasi terendah sebesar 5,15632. perubahan warna lempeng resin akrilik polimerisasi dingin pada kayu manis lebih banyak dibandingkan pada kopi putih. daftar pustaka 1. wahjuni s, & mandanie sa. fabrication of combined prosthesis with castable extracoronal attachments (laboratory procedure). journal of vocational health studies. 2017;1(2):75-81. 2. kangsudarmanto y, rachmadi p, i wayan akf. perbandingan perubahan warna heat cured acrylic basis gigi tiruan yang direndam dalam klorheksidin dan effervescent (alkaline peroxide). dentino jkg. 2014;2(2):205-209. 3. naini, a. pengaruh berbagai minuman terhadap stabilitas warna resin akrilik. stomatognatik (j.k.g. unej). 2011;8(2):74-77. 4. gladwin m, & bagby m. clinical aspects of dental materials (3 ed.). lippincott williams & wilkins. 2004:56-59. 5. goenharto, s. bahaya bagi teknisi dental laboratorium pada pembuatan peranti ortodonti lepas. jurnal pdgi. 2016;65(1):6-11. 6. kementrian kesehatan ri. 100 top tanaman obat indonesia. badan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan tradisional. 2011. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(2), november 2020 45 7. ferry y. prospek pengembangan kayu manis (cinnamomum burmanii l) di indonesia. j sirinov. 2013;1:11-20. 8. supiyana, sidiqa an, sukma n. perbedaan diskolorisasi resin komposit hybrid yang direndam dengan larutan kopi hitam dan kopi putih. jurnal material kedokteran gigi. 2013;2(2):161-168. 9. anusavice, & rawls rh. science of dental materials (eleventh ed). saunders. 2003:734-746. 10. nopitasari i. proses pengolahan kopi bubuk (campuran arabika dan robusta) serta perubahan mutunya selama penyimpanan. ipb bogor. 2010:1-92. 11. ifwandi, sari d v, lismawati. pengaruh perendaman elemen gigi tiruan resin akrilik dalam larutan daun sirih (piper betle linn) terhadap perubahan warna. cakradonya dent j. 2013;5(2):542-618. 12. kusstianti n, karyaningrum ea, wilujeng yb. pengaruh penggunaan bubuk kayu manis dan cengkeh sebagai warna rambut beruban. prosiding seminar nasional vokasi indonesia. 2018:1. 13. togatorop sr, rumampuk fj, wowor snv. pengaruh perendaman plat resin akrilik dalam larutan kopi dengan berbagai kekentalan terhadap perubahan volume larutan kopi. jurnal e-gigi. 2017;5(1):19-23. 14. andriani m, amanto sb, gandes. pengaruh penambahan gula dan suhu penyajian terhadap nilai gisi minuman teh hijau. jurnal teknologi hasil pertanian. 2012;5(1):40-47. 15. chismirina s, andayani r, ginting r. pengaruh kopi arabika (coffea arabica) dan kopi robusta (coffea canephora) terhadap viskositas saliva secara in vitro. cakradonya dent j. 2014;6(2):678-744. 16. utarid gr. pengaruh proporsi tepung pati singkong dan bubuk kayu manis (cinnamomum burmannii) terhadap sifat dan masa simpan fisik masker wajah tradisional. e-jurnal. 2018;7(2):93-99. 17. praputri e, & sundari e. pengambilan minyak atsiri berdasarkan ketinggian pengulitan dan dari bagian tanaman kayumanis yang terbuang. jurnal teknos-2k. 2008;8(1):55-58. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 1-6 1 research article the comparison between black cumin extract and betel leaf extract as antifungal potential to candida albicans on acrylic resin denture base hastoro pintadi, urai rifaldy aryandi* department of prosthodontics, school of dentistry, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia. received date: november 27th, 2019; revised date: june 22th, 2021; accepted: january 19th, 2022 doi: 10.18196/di.v10i1.7535 abstract porosity in acrylic resin denture base causes a rough surface and can absorb fluid, leading to plaque. candida albicans can stick to a plaque on the denture base and engender denture stomatitis. denture base submersion has to be carried out in traditional plant solutions to prevent denture stomatitis. traditional plants such as black cumin and betel leaf are considered to have anti-fungal properties. this study aims to identify the comparison of antifungal properties between black cumin and betel leaf extract to candida albicans on the acrylic resin denture base. this study is an experimental laboratory. treatment group 1 used aquadest as a control negative, treatment group 2 used a black cumin extract with a concentration of 0.25%, while treatment group 3 used betel leaf extract with a concentrate of 50%. in every group, 9 acrylic resin pieces were soaked for 8 hours. the colony calculation was then conducted and analyzed using the mann-whitney test to compare the average difference level between the two tested groups. there was no significant difference level among a total colony of candida albicans in the treatment group with a concentration of 0.25% black cumin and the treatment group with a 50% concentration of betel leaf. the result showed that the black cumin extract is no more effective in hindering the growth of candida albicans on the acrylic resin denture base than betel leaf extract. keywords: antifungal; black cumin; betel leaf; candida albicans; dentures introduction dentures are instrument imitations used to replace missing teeth and prevent negative impacts.1 denture generally uses a polymer-based material, including polymethyl methacrylate (pmma) or acrylic resin. acrylic resin naturally has some weaknesses such as dimension instability, color change, and porosity that cause rough surface and liquid absorption.2 acrylic resin absorbs water when contacting saliva and shapes plaque where microorganisms gather, such as candida albicans. it can lead to cleaning difficulty and harm oral and dental hygiene. plaque causes microorganisms and reacts to the * corresponding author, e-mail: filter34@gmail.com membrane mucosa of the oral cavity, causing denture stomatitis.3 candida albicans is a commensal organism that can lead to opportunistic infection due to supportive predisposition factors. frequent causes of local candida albicans infection are dentures, especially poor denture cleaning procedures.6 prevention of denture stomatitis, including infection candida albicans, is highly essential. denture base submersion in a cleaning solution is an effective method to prevent it. however, the cleaning solution circulating in the community, such as chlorhexidine, is less affordable. thus, it needs affordable alternative materials for base denture cleaning. the alternative hastoro pintadi, urai rifaldy aryandi | the comparison between black cumin extract and betel leaf extract as antifungal potential to candida albicans on acrylic resin denture base 2 material can be obtained from traditional plants that play as anti-fungal properties such as black cumin (nigella sativa) and green betel leaves (piper betel l.).4 black cumin seeds are often used as traditional medicine in the middle east and asian countries to handle many diseases such as microorganism infection. black cumin contains anti-fungal properties such as thymoquinone, thymohydroquinone and thymol. such materials are the main components of black cumin essential oil and have excellent antifungal properties in hindering candida albicans.5 furthermore, saponin compounds have also been reported to have an ability as an antifungal property.2 moreover, green betel leaves are experimentally known to have various pharmacological properties, such as antimicrobial, anti-fungal, and others. 6 the antifungal property in green betel leaf is found in the hydroxychavicol compound.7 furthermore, the green betel leaves also contain several bioactive compounds as an antifungal property, such as alkaloids and flavonoids, which can hinder the formation of pseudohyphae and disturb nucleic acid biosynthesis. materials and methods this research is an experimental laboratory study conducted in the microbiology faculty of medicine and health sciences laboratory, universitas muhammadiyah yogyakarta and research and testing integrated laboratory (lppt) gajah mada university. this study employed 27 samples for 3 groups; 9 samples for each group. the treatment group utilized the acrylic resin denture base submersion in aquadest for 8 hours. treatment group 2 utilized the acrylic resin denture base submersion in black cumin extract concentration of 0.25% for 8 hours. meanwhile, treatment group 3 utilized the acrylic resin denture base submersion in green betel leaf extract concentration of 50% for 8 hours after being contaminated with candida albicans for 24 hours. the acrylic resin denture base started with making a plate from modeling wax with a diameter of 10 mm and a thickness of 2 mm. the total was 27 plates using wax. the wax was used to create the unpolished plate sample of acrylic resin. furthermore, the production of black cumin and green betel leaf extract was carried out using the maceration method. 600 grams of black cumin seeds and green betel leaves were cleaned and dried for 48 hours at a temperature of 45o c. the dried black cumin seed and green betel leaves were ground using a pollinator machine. the two kinds of powder were mixed with methanol and then were stirred for 30 minutes. it was left for 24 hours and filtered. the process was repeated three times. after that, the filtration was done and evaporated. the evaporation produced a thick extract. next, the thick extract was poured into a porcelain cup and heated until the black cumin and green betel leave extract was obtained. the black cumin extract was then diluted with dimethyl sulfoxide to reach 0.25% concentration, while the green betel leave extract was diluted with dimethyl sulfoxide to reach 50% concentration. candida albicans colony was prepared by taking the candida albicans using ose sterile and then planting it into sabouraud ' dextrose agar. it was then incubated for 24 hours at 37o c. the suspension of candida albicans was customized with a solution standard of mcfarland. acrylic resin disc with a diameter of 10 mm and a thickness of 2 mm totaling 27 pieces were soaked using aquadest for 48 hours and then sterilized using 70% alcohol. acrylic resin disc was soaked in sterile saliva for 1 hour and then rinsed with phosphate-buffered saline (pbs) twice, respectively. it was put into a reaction tube containing candida albicans suspension and incubated for 24 hours. it was then soaked in a reaction tube containing aquadest, black cumin extract of 0.25% concentration and green betel leave extract insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 1-6 3 of 50% concentration previously containing candida albicans suspension for 8 hours. after that, each acrylic resin disc was put into a reaction tube containing 10 ml aquadest, then was shaken with a vortex mixer for 1 minute and diluted up to 10-3. furthermore, it was put into sabouraud's dextrose agar and incubated for 48 hours at 37o c. the calculation of the total colony of candida albicans was conducted using a calculator. the data were analyzed using shapiro wilk and levene's test. test data analysis using spss showed that distributed data were not normal and homogeneous; thus, the mann-whitney test was conducted. result the study on the comparison between black cumin and green betel leave extract as antifungal properties towards the growth of candida albicans on the acrylic resin denture base has been carried out in the microbiology laboratory faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta with 27 subjects. the total and average data are as follows: table 1. data in the study group n amount average aquadest 9 708 78.6667 black cumin extract 9 595 61.1111 green betel leave extract 9 399 44.3333 furthermore, a normality test was conducted to identify the data distribution. the total number of the data was 27 samples. therefore, the shapiro-wilk test (small number of the sample) was conducted to identify whether the data distribution was normal. the shapiro-wilk column showed the data distribution of candida albicans colony in aquadest and black cumin extract concentration of 0.25% revealed the significance value of 0.498 and 0.114 (p>0.05), respectively. it indicated that the data were normally distributed. meanwhile, the treatment group of green betel leave extract of 50% concentration showed the significance value of 0.002 (p <0.05), indicating the data were not normally distributed. thus, the mannwhitney test's non-parametric hypothesis was conducted to identify the comparison between black cumin and green betel leave extract. furthermore, the homogeneity test was conducted using levene's test to identify whether the analyzed data were homogeneous or heterogeneous. the results showed that the total colony of candida albicans on all three treatment groups had a significance value of 0.787 (p> 0.05), indicating that the data were homogeneous. moreover, the non-parametric hypothesis using the man whitney test was conducted. the result of the mann-whitney test showed a significance value of 0.659 (p>0.05); thus, h0 was accepted. it can be concluded that there was no significant difference between the total colony of candida albicans in the treatment group of black cumin extract of 0.25% concentration and the treatment group of the green betel leave extract of 50% concentration. table 2. the results of the mann whitney test the number of candida albicans asymp. sig. (2-tailed) .659 exact sig. [2*(1-tailed sig.)] .666 b discussion the study shows no significant mean difference between the total colony of candida albicans in the treatment group of black cumin extract and the green betel leave extract (p>0.05). therefore, it is not in line with the hypothesis revealing that black cumin extract more effectively hinders the growth of candida albicans on acrylic resin denture base compared to green betel leave extract. hastoro pintadi, urai rifaldy aryandi | the comparison between black cumin extract and betel leaf extract as antifungal potential to candida albicans on acrylic resin denture base 4 less effectiveness of the black cumin extract of 0.25% in hindering the growth of candida albicans colony is influenced by the low-level concentration from the black cumin extract. it is in line with ornay et al., 8, denoting that substance concentration influences the effectiveness of the antifungal agent. low extract concentration results in low active ingredients working as an antifungal that can cause low antifungal ability. this statement is in line with research conducted by rahmawati et al.,9 revealing that black cumin extract with 10% concentration contains more fungal agents than black cumin extract with 20% concentration. furthermore, another study conducted by dharma and subaryanti10 showed that on the examination of the diameter of inhibition activity, the black cumin extract with a concentration of 20% and 30% has no inhibition zone compared to the black cumin extract with concentrations of 40%, 50%, and 60%. therefore, it can be concluded that lowlevel concentration of the black cumin extract results in low active ingredient as an antifungal agent. the result of this study is not in line with research conducted by nagham adil ghani11, revealing that the black cumin extract with 0.25% concentration showed the most effective ability in hindering the growth of the candida albicans colony due to the different areas of the black cumin seeds. the difference in the effectiveness of the plants could be influenced by the origin of the plants, agro-climate factors, and phytochemical contents in the used extract.12 the research used black cumin seeds earned from iraq, while this research used black cumin seeds from indonesia. furthermore, according to dharma and subaryanti,10 the difference in climate and land nutrition could influence active ingredient level from simplicia. furthermore, according to suryadi et al., 13 black cumin can grow in jordan with a subtropical climate and indonesia with a tropical climate. therefore, the different environments will influence the plant response in nutrient absorption in the land as well as the bioactive production. both statements align with research conducted by mahfur14, revealing that black cumin originating from indonesia did not contain essential oil, while those originating from habasyah and india contained essential oil. in addition, this research also used green betel leaf originating from indonesia. the betel leaves are mostly distributed in tropical and subtropical countries worldwide, including indonesia.15 as all of the plants originated from indonesia, they did not influence nutrient absorption and bioactive production response. thus, it can be concluded that the different environments influence the active ingredient level of the plants. the black cumin and green betel leave extract contain chemical compounds with the same antifungal agent, namely essential oil. the essential oil for the black cumin contains derivative compounds such as thymoquinone, thymohydroquinone, dithymoquinone, p-cymene, carvacrol, 4terpineol, t-anethol, sesquiterpene longifolene, α-pinene, and thymol.16 out of the 10 compounds, three compounds showed good antifungal properties, especially in hindering the growth of candida albicans, namely thymoquinone, thymohydroquinone and thymol.5 it is in line with the study conducted by halamova et al., 17 evaluating the antifungal activity of thymoquinone, thymohydroquinone and dithymoquinone in vitro used the microdilution method at 6 species of rotting milk yeast. it revealed that thymoquinone and thymohydroquinone showed antifungal properties that could hinder the development of candida albicans. thymoquinone is known to have an action mechanism as an antifungal activity by hindering the cell formation, destroying membrane cytoplasm, and changing the nucleus to amorphous (no shape).18 furthermore, thymol, also known to have antifungal activity, also has an action insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 11(1), may 2022, 1-6 5 mechanism in hindering the growth of candida albicans by poisoning protoplasm, destroying and penetrating the cell wall, as well as precipitating cell proteins. 9 besides essential oil, saponin also can help hinder the growth of candida albicans. the action mechanism of saponins works by conducting protein denaturation and breaking down the membrane cell that leads to the dead cell.2 green betel leave is also known to contain an essential oil that has a derivative compound in the form of hydroxychavicol, p-cymene, α-terpinol, terpinyl acetate, methyl eugenol, caryophyllenes, chavibetol, allylpyrocatechol diacetate, stearaldehyde, anethole, eugenol, safrole, ursolic acid, 3β-acetyl ursolic, and βsitosterol. hydroxychavicol is the only derivative compound of essential oil that plays a role as an antifungal agent. 7 ali et al., 19 stated that hydroxychavicol has an action mechanism in resisting candida albicans by damaging the cell membrane structure that obstructs the permeability barrier. furthermore, singburaudom20 added that hydroxychavicol also has an action mechanism in hindering biofilm growth and reducing biofilm formation carried out by candida albicans as well as preventing the formation of glucan, which is not watersoluble. other contents that can hinder the growth of candida albicans include alkaloids and flavonoids. alkaloids could hinder the growth of candida albicans by obstructing the biosynthesis of nucleic acid. meanwhile, flavonoids have an action mechanism by impeding pseudohyphae formation during pathogenesis. conclusion based on the results of this study, it can be concluded that the black cumin extract was not more effective in hindering the growth of candida albicans colony on the acrylic resin denture base than the green betel leave extract. references 1. gosal aa, siagian kv, wowor vns. hubungan kebiasaan menyikat gigi dan status kesehatan gingiva pada pengguna gigi tiruan sebagian lepasan di kelurahan batu kota. pharmacon. 2015;4(4): 82-89. https://doi.org/10.35799/pha.4.2015.10196 2. hanoem e, imam b, pranoto kp. the effectiveness of nigella sativa seed extract in inhibiting candida albicans on heat cured acrylic resin. dental journal (majalah kedokteran gigi). 2011; 44(3): 137-140. https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v44.i 3.p137-140 3. albarrag am, alothman oy, elsharawy ma, al rez mf, fouad h, hashem m, et al. effect of nigella sativa extracts on candida species adhesion to acrylic denture base material and on nanomechanical properties of the denture material. science of advanced materials. 2017; 9(5): 775-781. https://doi.org/10.1166/sam.2017.3023 4. naeini a, shayegh ss, shokri h, davati a, khazaei a, akbari a. in vitro antifungal effect of herbal mixture (nigella sativa, foeniculum vulgare and camellia sinensis) against candida species isolated from denture wearers. journal of herbmed pharmacology. 2017; 6(2): 74-79. 5. shokri h. a review on the inhibitory potential of nigella sativa against pathogenic and toxigenic fungi. avicenna journal of phytomedicine. 2016; 6(1): 21-33. 6. bajpai v, sharma d, kumar b, madhusudanan kp. profiling of piper betle linn. cultivars by direct analysis in real time mass spectrometric technique. biomedical chromatography. 2010; 24(12): 12831286. https://doi.org/10.1002/bmc.1437 https://doi.org/10.35799/pha.4.2015.10196 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v44.i3.p137-140 https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v44.i3.p137-140 https://doi.org/10.1166/sam.2017.3023 https://doi.org/10.1002/bmc.1437 hastoro pintadi, urai rifaldy aryandi | the comparison between black cumin extract and betel leaf extract as antifungal potential to candida albicans on acrylic resin denture base 6 7. kumar n, misra p, dube a, bhattacharya s, dikshit m, ranade s. piper betle linn. a maligned panasiatic plant with an array of pharmacological activities and prospects for drug discovery. current science. 2010; 99: 922-932. 8. ornay akd, prehananto h, dewi ass. daya hambat pertumbuhan candida albicans dan daya bunuh candida albicans ekstrak daun kemangi (ocimum sanctum l.). jurnal wiyata. 2017; 4(1): 78-83. 9. rahmawati a, al-anwary n, sasongkowati r. pengaruh pemberian infusa jintan hitam (nigella sativa linn) terhadap pertumbuhan jamur candida albicans. analis kesehatan sains. 2012; 1(1): 16-20. 10. dharma st, subaryanti. uji anti jamur ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa l.) terhadap candida albicans. sainstech farma. 2015; 8(2): 28-32. https://doi.org/10.37277/sfj.v8i2.385 11. mashhadian, naser vahdati and hassan rakhshandeh. “antibacterial and antifungal effects of nigella sativa extracts against s. aureus, p. aeroginosa and c. albicans. pakistan journal of medical sciences;(2005); 21: 47-52. 12. hasan na, nawahwi mz, malek ha. antimicrobial activity of nigella sativa seed extract. sains malaysiana. 2013; 42(2): 143-147. 13. suryadi r, ghulamahdi m, kurniawati a. respon pertumbuhan dan produksi jintan hitam (nigella sativa l.) dengan pemupukan nitrogen dan fosfor. j. agron. indonesia. 2015; 3(43): 227-234. https://doi.org/10.24831/jai.v43i3.11249 14. mahfur. perbandingan profil kromatogram minyak atsiri jinten hitam (nigella sativa l.) yang berasal dari habasyah, india, dan indonesia dengan menggunakan metode kromatografi gas. surakarta; 2012. 15. vikash c, shalini t, verma nk, singh dp, chaudhary sk, asha r. piper betel: phytochemistry, traditional use & pharmalogical activity-a review. international journal of pharmaceutical research and development; 2012;4:216-23. 16. sultana s, asif hm, akhtar n, iqbal a, nazar h, rehman ru. nigella sativa: monograph. journal of pharmacognosy and phytochemistry. 2015; 4: 103-106. 17. halamova k, kokoska l, flesar j, sklenickova o, svobodova b, marsik p. in vitro antifungal effect of black cumin seed quinones against dairy spoilage yeasts at different acidity levels. journal of food protection. 2010; 73 (12): 2291–2295. https://doi.org/10.4315/0362-028x73.12.2291 18. işcan g, işcan a, demircia f. anticandidal effects of thymoquinone: mode of action determined by transmission electron microscopy (tem). natural product communications. 2016; 11(7): 977-978. https://doi.org/10.1177/1934578x160 1100726 19. ali i, khan fg, suri ka, gupta bd, satti nk, dutt p, et al. in vitro antifungal activity of hydroxychavicol isolated from piper betle l. annals of clinical microbiology and antimicrobials. 2010; 9(7): 1-9. https://doi.org/10.1186/1476-0711-9-7 20. singburaudom n. hydroxychavicol from piper betel leave is an antifungal activity against plant pathogenic fungi. jbiopest. 8(2):8292. https://doi.org/10.37277/sfj.v8i2.385 https://doi.org/10.24831/jai.v43i3.11249 https://doi.org/10.4315/0362-028x-73.12.2291 https://doi.org/10.4315/0362-028x-73.12.2291 https://doi.org/10.1177/1934578x1601100726 https://doi.org/10.1177/1934578x1601100726 https://doi.org/10.1186/1476-0711-9-7 26 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . yudhanto krisna adhi, alfini octavia perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy the difference of caries index level to gender status in children with special needs in grade 1-4 sdlb widya mulya, bantul, diy yudhanto krisna adhi1, alfini octavia2 1 mahasiswa pspdg, fkik ,umy 2 dosen kedokteran gigi anak. pspdg, fkik, umy corresponding : octavia_alfini@ymail.com abstract background.oral health in children with special needs, usually need more treatment than those in normal . this is going to get worse if their parents have lack of knowledge and attention. commonly in our society children with special needs is still considered as a second class civil. this circumstance could inhibit their growth, development and potency. purpose. the purpose of this study is to know the difference of caries index level between boys and girls in grades 1-4 sdlb using caries index def t and dmf t. methods.this study has been done to 22 student of 1-4 grades of widya mulya, pundong, bantul, diy. subjects consisted of 12 boys and 10 girls. the method was observational with cross sectional design. when the subjects were examined, the caries index( def-t and dmf-t) has recorded with odontogram sheet. the the severity of caries between boys and girls was compared. result. the score of def-t in boys 1-4 grades are 4,33 and the girls 3,2. the score of dmf-t in boys 3 and the girls 3,2. conclusion. the result of this research was found that the caries index between boys and girls sdlb 1-4 graders at widya mulya, pundong, bantul, diy was not different significantly keywords : caries index level, children with special needs abstrak latar belakang.kesehatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus butuh penanganan yang lebih daripada anak normal lainnya. hal ini akan bertambah buruk dengan fakta yang sering ditemukan bahwa orang tua anak berkebutuhan khusus memliki pengetahuan dan perhatian yang kurang memadai. di masyarakat pada umumnya anak berkebutuhan khusus masih dianggap sebagai manusia kelas dua, sehingga hal ini dapat menghambat perkembangan dan potensi dalam dirinya. tujuan . tujuan dari penelitian ini untuk melihat perbedaan tingkat kejadian karies berdasarkan jenis kelamin pada kelas 1-4 sdlb dengan menggunakan indeks karies def-t dan dmf-t. metode. penelitian ini menggunakan subjek 22 anak kelas 1-4 sdlb di widya mulya, pundong, bantul, diy. subjek terdiri dari 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan. subjek tersebut diperiksa indeks kariesnya yang dicatat dengan lembar odontogram yang digunakan sebagai pembanding tingkat keparahan karies antara laki-laki dan perempuan. data yang didapat kemudian dianalisis menggunakan kruskal wallis karena diketahui sebaran yang tidak normal. hasil . nilai def-t pada anak laki-laki 4,33 sedangkan pada anak perempuan 3,2. nilai dmf-t pada anak laki-laki 3 dan pada anak perempuan 3,2. kesimpulan. kesimpulan dari penelitian ini diketahui bahwa tidak ada perbedaan tingkat kejadian karies yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy. kata kunci: tingkat kejadian karies, anak berkebutuhan khusus. 27 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy the difference of caries index level to gender status in children with special needs in grade 1-4 sdlb widya mulya, bantul, diy yudhanto krisna adhi1, alfini octavia2 1 mahasiswa pspdg, fkik ,umy 2 dosen kedokteran gigi anak. pspdg, fkik, umy corresponding : octavia_alfini@ymail.com abstract background.oral health in children with special needs, usually need more treatment than those in normal . this is going to get worse if their parents have lack of knowledge and attention. commonly in our society children with special needs is still considered as a second class civil. this circumstance could inhibit their growth, development and potency. purpose. the purpose of this study is to know the difference of caries index level between boys and girls in grades 1-4 sdlb using caries index def t and dmf t. methods.this study has been done to 22 student of 1-4 grades of widya mulya, pundong, bantul, diy. subjects consisted of 12 boys and 10 girls. the method was observational with cross sectional design. when the subjects were examined, the caries index( def-t and dmf-t) has recorded with odontogram sheet. the the severity of caries between boys and girls was compared. result. the score of def-t in boys 1-4 grades are 4,33 and the girls 3,2. the score of dmf-t in boys 3 and the girls 3,2. conclusion. the result of this research was found that the caries index between boys and girls sdlb 1-4 graders at widya mulya, pundong, bantul, diy was not different significantly keywords : caries index level, children with special needs abstrak latar belakang.kesehatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus butuh penanganan yang lebih daripada anak normal lainnya. hal ini akan bertambah buruk dengan fakta yang sering ditemukan bahwa orang tua anak berkebutuhan khusus memliki pengetahuan dan perhatian yang kurang memadai. di masyarakat pada umumnya anak berkebutuhan khusus masih dianggap sebagai manusia kelas dua, sehingga hal ini dapat menghambat perkembangan dan potensi dalam dirinya. tujuan . tujuan dari penelitian ini untuk melihat perbedaan tingkat kejadian karies berdasarkan jenis kelamin pada kelas 1-4 sdlb dengan menggunakan indeks karies def-t dan dmf-t. metode. penelitian ini menggunakan subjek 22 anak kelas 1-4 sdlb di widya mulya, pundong, bantul, diy. subjek terdiri dari 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan. subjek tersebut diperiksa indeks kariesnya yang dicatat dengan lembar odontogram yang digunakan sebagai pembanding tingkat keparahan karies antara laki-laki dan perempuan. data yang didapat kemudian dianalisis menggunakan kruskal wallis karena diketahui sebaran yang tidak normal. hasil . nilai def-t pada anak laki-laki 4,33 sedangkan pada anak perempuan 3,2. nilai dmf-t pada anak laki-laki 3 dan pada anak perempuan 3,2. kesimpulan. kesimpulan dari penelitian ini diketahui bahwa tidak ada perbedaan tingkat kejadian karies yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy. kata kunci: tingkat kejadian karies, anak berkebutuhan khusus. pendahuluan anak-anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. penelitian yang dilakukan di provinsi pomerania barat, polandia, pada 365 anak berumur 11-13 tahun dan 14-16 tahun diketahui insidensi karies anak retardasi mental sebesar 100 % dan dibandingkan dengan anak normal 1. salah satu referensi menyatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus diantaranya anak dengan retardasi mental menunjukan tingkat status periodontal dan oral hygiene yang rendah1. pada umumnya anak masih berkebutuhan khusus dianggap sebagai manusia kelas dua, sehingga hal ini dapat menghambat perkembangan dan potensi dalam dirinya. diperkirakan angka kejadian tunagrahita berat yang mempunyai iq dibawah 70 sekitar 0,3 % dan dari data tersebut sekitar 0,1 % memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya2. anak berkebutuhan khusus baik lakilaki atau perempuan butuh dukungan sosial dari lingkungan sosial agar mereka mampu mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin3. berdasarkan fakta diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak–anak berkebutuhan khusus dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut memerlukan perhatian dan dukungan dari orang tuanya. penelitian tentang tingkat karies gigi (dmf-t) dengan pengaruh aliran saliva pada 60 anak yang mengalami sindoma down antara umur 4-25 tahun di down syndrome center kelantan, malaysia hasilnya diketahui bahwa def -t sebesar 4,2 (sedang) dan dmf-t termasuk tinggi sebesar 4,7 4. penelitian ini mengambil subyek pada anak kelas 1-4 sdlb karena pada rentang kelas tersebut masih dapat ditemukan anak dengan gigi bercampur dan anak dewasa tetapi masih seperti anak-anak. pada penelitian di kota meksiko menggunakan sampel 320 anak pada usia 6-9 tahun dari penelitian tersebut terungkap bahwa prevalensi karies berdasarkan indeks def-t usia 6-7 tahun sebesar 50,2% dan dmf-t sebesar 13,8 %, usia 8-9 tahun indeks def-t sebesar 63 % dan dmf-t sebesar 34,3 %, selain itu diketahui bahwa prevalensi karies pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak lakilaki5. metode desain penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan desain penelitian crossectional deskriptif. subjek dalam penelitian hanya diamati satu waktu lalu dilakukan perbandingan keparahan tingkat karies antara laki-laki dengan perempuan. subyek yang digunakan dalam penelitian sejumlah 22 anak yang dibagi menjadi 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan. 22 anak yang digunakan sebagai sampel diambil dari kelas 1-4 sdlb yang masih dapat ditemukan gigi desidui dan dan permanen. penelitian ini untuk melihat perbedaan tingkat kejadian karies pada anak kelas 1-4 sdlb berdasarkan jenis kelamin yang dilakukan di slb widya mulya, pundong, bantul, diy. penelitian diawali dengan memberikan penjelasan tentang alur penelitian yang akan dilaksanakan kepada anak-anak kelas 1-4 sdlb widya mulya dan pada guru sebagai pendamping yang sebelumnya telah disetujui melalui informed consent oleh orang tua siswa. selanjutnya dilakukan persamaan persepsi para pemeriksa agar tidak bias 28 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . yudhanto krisna adhi, alfini octavia perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy dalam hasil penelitian dalam mengukur indeks def-t dan dmf-t. alatalat yang digunakan, yaitu alat diagnostik yang telah disterilkan, sarung tangan, masker, kapas, alkohol, bengkok, dan alkohol. pemeriksaan dilakukan dengan cara guru membantu memanggil anak sdlb dari kelas 1 sampai kelas 4 untuk memasuki ruang periksa. selanjutnya pemeriksa akan mencatat indeks karies baik def-t dan dmft pada subjek pemeriksaan. semua data yang didapat dicatat pada lembar odontogram yang nantinya digunakan untuk melakukan analisis data untuk membandingkan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan. untuk klasifikasi perhitungan menggunakan klasifikasi who6, sebagai berikut sangat rendah : 0,0-1,1, rendah : 1,2-2,6, sedang : 2,7-4,4, tinggi : 4,56,5, sangat tinggi: > 6,6. analisis data menggunakan uji mann-whitney. hasil penelitian subjek yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan dari kelas 1-4 sdlb di slb widya mulya didapatkan 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan dari kelas 1-4 sdlb. nilai def-t dan dmf-t pada subjek laki-laki dan perempuan kelas 1-4 sdlb telah didapatkan. berdasarkan hasil tabel 1 dapat dilakukan perhitungan indeks def-t dari siswa lakilaki kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks def-t :∑ def-t semua sampel ∑sampel yang diperiksa : d + e + f : 31+21 : 4,33 12 12 hasil mengenai indeks karies (def-t) pada subjek laki-laki kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus di slb widya mulya bantul didapatkan hasil 4,33 yang termasuk kedalam kategori sedang dengan mengacu menurut perhitungan who. berdasarkan hasil table 2 dapat dilakukan perhitungan indeks def-t dari siswa perempuan kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks def-t :∑ def-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + e + f : 26+6 : 3,2 10 10 hasil mengenai indeks karies (def-t) pada subjek perempuan kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus di slb widya mulya bantul didapatkan hasil 3,2 dengan mengacu menurut perhitungan who jumlah tersebut temasuk kedalam kategori sedang. berdasarkan hasil table 3 dapat dilakukan perhitungan indeks dmf-t dari siswa laki-laki kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks dmf-t : ∑ dmf-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + m + f : 28+8 : 3 12 12 hasil mengenai indeks karies (dmf-t) pada subjek laki-laki kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus berdasarkan perhitungan menurut who didapatkan hasil 3 yang termasuk kategori sedang. berdasarkan hasil tabel 4 dapat dilakukan perhitungan indeks dmf-t dari siswa perempuan kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks dmf-t : ∑ dmf-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + m + f : 30+2 : 3, 2 10 10 29 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 dalam hasil penelitian dalam mengukur indeks def-t dan dmf-t. alatalat yang digunakan, yaitu alat diagnostik yang telah disterilkan, sarung tangan, masker, kapas, alkohol, bengkok, dan alkohol. pemeriksaan dilakukan dengan cara guru membantu memanggil anak sdlb dari kelas 1 sampai kelas 4 untuk memasuki ruang periksa. selanjutnya pemeriksa akan mencatat indeks karies baik def-t dan dmft pada subjek pemeriksaan. semua data yang didapat dicatat pada lembar odontogram yang nantinya digunakan untuk melakukan analisis data untuk membandingkan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan. untuk klasifikasi perhitungan menggunakan klasifikasi who6, sebagai berikut sangat rendah : 0,0-1,1, rendah : 1,2-2,6, sedang : 2,7-4,4, tinggi : 4,56,5, sangat tinggi: > 6,6. analisis data menggunakan uji mann-whitney. hasil penelitian subjek yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan dari kelas 1-4 sdlb di slb widya mulya didapatkan 12 anak laki-laki dan 10 anak perempuan dari kelas 1-4 sdlb. nilai def-t dan dmf-t pada subjek laki-laki dan perempuan kelas 1-4 sdlb telah didapatkan. berdasarkan hasil tabel 1 dapat dilakukan perhitungan indeks def-t dari siswa lakilaki kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks def-t :∑ def-t semua sampel ∑sampel yang diperiksa : d + e + f : 31+21 : 4,33 12 12 hasil mengenai indeks karies (def-t) pada subjek laki-laki kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus di slb widya mulya bantul didapatkan hasil 4,33 yang termasuk kedalam kategori sedang dengan mengacu menurut perhitungan who. berdasarkan hasil table 2 dapat dilakukan perhitungan indeks def-t dari siswa perempuan kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks def-t :∑ def-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + e + f : 26+6 : 3,2 10 10 hasil mengenai indeks karies (def-t) pada subjek perempuan kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus di slb widya mulya bantul didapatkan hasil 3,2 dengan mengacu menurut perhitungan who jumlah tersebut temasuk kedalam kategori sedang. berdasarkan hasil table 3 dapat dilakukan perhitungan indeks dmf-t dari siswa laki-laki kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks dmf-t : ∑ dmf-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + m + f : 28+8 : 3 12 12 hasil mengenai indeks karies (dmf-t) pada subjek laki-laki kelas 1-4 sdlb dengan berkebutuhan khusus berdasarkan perhitungan menurut who didapatkan hasil 3 yang termasuk kategori sedang. berdasarkan hasil tabel 4 dapat dilakukan perhitungan indeks dmf-t dari siswa perempuan kelas 1-4 sdlb sebagi berikut: indeks dmf-t : ∑ dmf-t semua sampel ∑ sampel yang diperiksa : d + m + f : 30+2 : 3, 2 10 10 tabel 1. nilai def-t pada subjek siswa laki-laki kelas 1-4 sdlb no kelas ∑ subjek decay (d) extoliasi (e) filling (f) 1 1 5 26 6 0 2 2 2 3 14 0 3 3 4 0 1 0 4 4 1 2 0 0 jumlah 12 31 21 0 tabel 2. nilai def-t pada subjek perempuan kelas 1-4 sdlb widya mulya bantul no. kelas ∑ subjek decay (d) extoliasi (e) filling (f) 1 1 1 9 1 0 2 2 1 6 1 0 3 3 3 4 0 0 4 4 5 7 4 0 jumlah 10 26 6 0 tabel 3. nilai indeks karies dmf-t subjek laki-laki kelas 1-4 sdlb widya mulya bantul no. kelas ∑ subjek decay (d) missing (m) filling (f) 1 1 5 7 2 0 2 2 2 2 1 0 3 3 4 16 5 0 4 4 1 3 0 0 jumlah 12 28 8 0 30 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . yudhanto krisna adhi, alfini octavia perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy tabel 4. nilai dmf-t anak kelas 1-4 sdlb dengan subjek perempuan di slb widya mulya bantul no. kelas ∑ subjek decay (d) missing (m) filling (f) 1 1 1 0 0 0 2 2 1 4 0 0 3 3 3 5 2 0 4 4 5 21 0 0 jumlah 10 30 2 0 tabel 5. uji shapiro-wilk antara sebaran jenis kelamin anak dengan indeks def-t dan dmf-t tabel 6. uji mann-whitney def-t dmf-t mann-whitney u 42,000 39,000 wilcoxon w 97,000 117,000 z -1,218 -1423 asymp. sig. (2-tailed) ,223 ,155 exact sig. [2*(1-tailed sig.)] ,254 a ,180 a hasil mengenai indeks karies (dmf-t) pada subjek perempuan kelas 1-4 sdlb dengan berdasarkan berkebutuhan khusus perhitungan menurut who didapatkan hasil 3, 2 yang termasuk kategori sedang. subjek data yang kurang dari 50 sehingga untuk tes normalitas ini diharuskan untuk menggunakan shapiro-wilk. tes ini dilakukan untuk mengetahui sebaran data antara jenis kelamin anak di slb widya mulya bantul dengan data indeks karies deft dan dmf-t yang didapat. jenis kelamin nilai signifikansi laki-laki 0,000 perempuan 0,000 31 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 tabel 4. nilai dmf-t anak kelas 1-4 sdlb dengan subjek perempuan di slb widya mulya bantul no. kelas ∑ subjek decay (d) missing (m) filling (f) 1 1 1 0 0 0 2 2 1 4 0 0 3 3 3 5 2 0 4 4 5 21 0 0 jumlah 10 30 2 0 tabel 5. uji shapiro-wilk antara sebaran jenis kelamin anak dengan indeks def-t dan dmf-t tabel 6. uji mann-whitney def-t dmf-t mann-whitney u 42,000 39,000 wilcoxon w 97,000 117,000 z -1,218 -1423 asymp. sig. (2-tailed) ,223 ,155 exact sig. [2*(1-tailed sig.)] ,254 a ,180 a hasil mengenai indeks karies (dmf-t) pada subjek perempuan kelas 1-4 sdlb dengan berdasarkan berkebutuhan khusus perhitungan menurut who didapatkan hasil 3, 2 yang termasuk kategori sedang. subjek data yang kurang dari 50 sehingga untuk tes normalitas ini diharuskan untuk menggunakan shapiro-wilk. tes ini dilakukan untuk mengetahui sebaran data antara jenis kelamin anak di slb widya mulya bantul dengan data indeks karies deft dan dmf-t yang didapat. jenis kelamin nilai signifikansi laki-laki 0,000 perempuan 0,000 pada uji normalitas shapiro-wilk berlaku nilai signifikansi p> 0,05 yang berarti sebaran normal. tetapi dari data diatas diketahui nilai signifikansi 0,000 dengan kata lain nilai signifikansi p< 0,05 sehingga dapat disimpulkan sebaran antara jumlah anak laki-laki dan perempuan dengan indeks karies def-t tidak normal. uji normalitas tidak normal sehingga untuk uji data perbandingan menggunakan uji mann-whitney. uji mann-whitney menggunakan nilai signifikansi p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan dan sebaliknya bila p > 0,05 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan. berdasarkan tabel 6 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara indeks karies def-t berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb dengan nilai signifikansi 0,223 yang dimana bila p > 0,05 menunjukan bila tidak ada perbedaan yang signifikan. dillihat dari tabel 6 diatas dapat disimpulkan bahwa dari uji mann-whitney hasil signifikansi untuk perbedaan dmf-t dikelas 14 sdlb di slb widya mulya berdasarkan jenis kelamin tidak ditemukan perbedaan berarti dengan nilai signifikansi 0,155 (p > 0,05). pembahasan penelitian ini tidak terdapat nilai signifikansi yang berarti antara perbedaan tingkat kejadiaan karies pada kelas 1-4 sdlb widya mulya bantul. tetapi, bila dilihat dari perbandingan tingkat karies dari kelas 1-4 sdlb widya mulya terdapat perbedaan kejadian karies antara anak laki – laki dan perempuan. tingkat kejadian karies def-t pada anak laki – laki dari kelas 1-4 sdlb menunjukan angka 4,33 dan pada perempuan 3,2 walaupun masih dalam rentang sedang. sedangkan dari data tingkat kejadian karies dmf-t pada anak laki-laki menunjukan angka 3 dan pada perempuan 3,2. hasil penelitian tentang tingkat kejadian dmf-t dan def-t ada perbedaan dengan hipotesis yang telah peneliti buat, karena adanya faktor internal dari anak berkebutuhan khusus antara anak laki-laki dengan perempuan yaitu delay eruption. pada anak normal terjadi perbedaan erupsi pada gigi anak perempuan dan laki-laki, erupsi gigi pada anak perempuan biasanya lebih cepat dari pada laki-laki, seperti penelitian yang dilakukan di india yang melibatkan 2371 laki-laki dan 2636 perempuan dalam rentang umur 5-14 tahun yang hasilnya menunjukan bahwa erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dari pada laki-laki7. hal ini tidak ditemukan pada anak dengan tunagrahita dimana adanya gangguan dalam erupsi giginya. semestinya anak perempuan lebih cepat erupsi giginya daripada anak laki-laki tetapi karena adanya gangguan pada tingkat genetiknya sehingga mengakibatkan delayed eruption. ini sesuai pada modul dari southern association of institutional dentists yang ditulis oleh brooks dkk, berjudul oral manifestations in genetic syndromes with mental retardation bahwa ada pengaruh antara anak berkebutuhan khusus dengan keterlambatan erupsi pada gigi dikarenakan gen dari autosomal resesif. keterlambatan erupsi ini mengakibatkan angka kejadian karies pada gigi desidui antara laki-laki dan perempuan tidak teralu signifikan, hal ini dikarenakan gigi desidui memiliki email yang lebih rentan terkena karies dan waktu pergantian gigi yang terlambat yang menyebabkan gigi terpapar mikroorganisme lebih lama daripada anak normal lainya, ditambah dengan pembersihan gigi yang tidak maksi32 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . yudhanto krisna adhi, alfini octavia perbedaan tingkat kejadian karies pada anak berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin di kelas 1-4 sdlb widya mulya, pundong, bantul, diy mal akan mengakibatkan perhitungan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan menjadi bias dan tidak teralu signifikan. penyebab lainnya karena partisipasi orang tua anak laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai buruh lebih dari 70 %, sehingga hal ini membatasi waktu untuk mengajarkan anak dalam menjaga kesehatannya. anak berkebutuhan khusus membutuhkan bimbingan yang lebih dari orang tua untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. hal ini sesuai dengan jurnal tentang an investigation of the caries experience of children with an intellectual disability living in a residential center or at home. disini menyebutkan bahwa partisipasi keluarga dan meningkatkan kepedulian pada anak dapat berkebutuhan khusus mempengaruhi kesehatan gigi dan mulutnya secara memuaskan8. dampak lain dari kurangnya pengetahuan mendalam dari orang tua terhadap kebersihan gigi dan mulut anak, menyebabkan gigi menjadi rentan terjadi karies. pengetahuan orang tua secara tidak langsung berpengaruh terhadap jenis makanan yang di makan dan kebiasaan menggosok gigi setelah makan pada anak tunagrahita. kebiasaan – kebiasaan ini sesuai dengan jurnal tentang dental caries assosiated with dietery and toothbrushing habits of 6 to 12 years old mentally retarded children in taiwan. menyebutkan bahwa adanya hubungan signifikan antara karies pada anak dengan berkebutuhan khusus mengkonsumsi makanan yang manis dan tidak memiliki kebiasaan menyikat gigi setelah makan9. penyebab inilah yang dapat mempengaruhi tidak adanya perbedaan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan pada anak berkebutuhan khusus di slb widya mulya. kesimpulan penelitian yang dilakukan di slb widya mulya dengan mengambil responden pada kelas 1-4 sdlb untuk dilihat tingkat kejadian karies berdasarkan jenis kelamin dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dengan perempuan dengan berkebutuhan khusus sedang dan ringan. saran a. perlu dilakukan di sekolah slb dengan jumlah siswa yang lebih banyak sehingga mengurangi terjadinya kesalahan dalam penelitian. b. perlunya membandingkan tingkat kejadian karies di slb widya mulya dengan slb lainnya. c. perlu adanya penelitian yang mendalam tentang faktor-faktor penyebab tingkat karies pada anak berkebutuhan khusus. daftar pustaka 1. r. kozak. 2004. dental and periodontal status and treatment needs of institutionalized mentally retarded children from the province of west pomerania. annales academiae medicae stetinensis 50(2):149-156 2. salimah,siti. 2010. retardasi mental. departemen ilmu kedokteran gigi anak fakultas kedokteran gigi usu, hlm 2 3. sembiring, dra. sri alem br.. 2002. penataan lingkungan sosial bagi penderita dimensia (pikun) dan rta 33 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . idj, vol. 2 no. 2 tahun 2013 mal akan mengakibatkan perhitungan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan menjadi bias dan tidak teralu signifikan. penyebab lainnya karena partisipasi orang tua anak laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai buruh lebih dari 70 %, sehingga hal ini membatasi waktu untuk mengajarkan anak dalam menjaga kesehatannya. anak berkebutuhan khusus membutuhkan bimbingan yang lebih dari orang tua untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. hal ini sesuai dengan jurnal tentang an investigation of the caries experience of children with an intellectual disability living in a residential center or at home. disini menyebutkan bahwa partisipasi keluarga dan meningkatkan kepedulian pada anak dapat berkebutuhan khusus mempengaruhi kesehatan gigi dan mulutnya secara memuaskan8. dampak lain dari kurangnya pengetahuan mendalam dari orang tua terhadap kebersihan gigi dan mulut anak, menyebabkan gigi menjadi rentan terjadi karies. pengetahuan orang tua secara tidak langsung berpengaruh terhadap jenis makanan yang di makan dan kebiasaan menggosok gigi setelah makan pada anak tunagrahita. kebiasaan – kebiasaan ini sesuai dengan jurnal tentang dental caries assosiated with dietery and toothbrushing habits of 6 to 12 years old mentally retarded children in taiwan. menyebutkan bahwa adanya hubungan signifikan antara karies pada anak dengan berkebutuhan khusus mengkonsumsi makanan yang manis dan tidak memiliki kebiasaan menyikat gigi setelah makan9. penyebab inilah yang dapat mempengaruhi tidak adanya perbedaan tingkat kejadian karies antara anak laki-laki dan perempuan pada anak berkebutuhan khusus di slb widya mulya. kesimpulan penelitian yang dilakukan di slb widya mulya dengan mengambil responden pada kelas 1-4 sdlb untuk dilihat tingkat kejadian karies berdasarkan jenis kelamin dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dengan perempuan dengan berkebutuhan khusus sedang dan ringan. saran a. perlu dilakukan di sekolah slb dengan jumlah siswa yang lebih banyak sehingga mengurangi terjadinya kesalahan dalam penelitian. b. perlunya membandingkan tingkat kejadian karies di slb widya mulya dengan slb lainnya. c. perlu adanya penelitian yang mendalam tentang faktor-faktor penyebab tingkat karies pada anak berkebutuhan khusus. daftar pustaka 1. r. kozak. 2004. dental and periodontal status and treatment needs of institutionalized mentally retarded children from the province of west pomerania. annales academiae medicae stetinensis 50(2):149-156 2. salimah,siti. 2010. retardasi mental. departemen ilmu kedokteran gigi anak fakultas kedokteran gigi usu, hlm 2 3. sembiring, dra. sri alem br.. 2002. penataan lingkungan sosial bagi penderita dimensia (pikun) dan rta (retardasi mental). usu digital library, universitas sumatera utara, hlm 1-12 4. normastura a.r., z. norhayati, y. azizah, dan m.d. mohd khairi. 2013. saliva and dental caries in down syndrome children. sains malaysiana 42 (1) hlm 59-63 5. valladares , perla r. beltrán, hector cocom-tun, juan f. casanova-rosado, ana a. vallejos-sánchez, carlo e. medina-solís, dan gerardo maupomé. 2006. caries prevalence and some associated factors in 6-9-yearold schoolchildren in campeche, mexico. artikel ilmiah (17), 25-33. 6. suwargiani, drg anne agustina. 2008. indeks def-t dan dmf-t masyarakat desa cipondoh dan desa mekarsari kecamatan trimulya kabupaten karawang. makalah tidak diterbitkan, fakultas kedokteran gigi, universitas padjadjaran, bandung hlm 16 7. lakshmappa, ambika, mahima veeranna guledgud, karthikeya patil. 2011. eruption times and patterns of permanent teeth in school children of india. indian journal of dental research vol: 22, hlm 755-763 8. aytepe, f. zaenep dds, phd,e., e. bahar tuna dds, phd, banu ilhan dds phd, didem oner ozdas dds, esra yamac dds. 2009. an investigation of the caries experience of children with an intellectual disability living in a residential center or at home. journal of disability and oral health. 9. liu hsiu-yueh, shun-te huang, szuyu hsuao, chun-chih chen, wen – chia hu, ya-yin yen. 2009. dental caries assosiated with dietery and toothbrushing habits of 6 – to 12 – years-old mentally retarded children in taiwan. j dent sci. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 31 literature review estimasi usia dental berdasarkan pendekatan biomolekuler dental age estimation based on the biomolecular approach rosalina intan saputri* fakultas kedokteran gigi, universitas kristen maranatha, jalan surya sumantri 65, sukawarna, sukajadi, kota bandung 40164, indonesia. received date: april 5th, 2020; reviewed date: mei 14th, 2020; revised date: mei 18th, 2020; accepted date: mei 20th, 2020 doi : 10.18196/di.9115 abstrak estimasi usia merupakan bagian penting dalam proses identifikasi dalam praktik forensik. gigi merupakan bagian dari tubuh manusia yang paling kuat dan tahan terhadap pengaruh lingkungan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu variabel estimasi usia, terutama pada individu yang telah meninggal. awalnya, studi maupun aplikasi metode estimasi usia dental umumnya menggunakan perubahan morfologi yang diamati dari gambaran radiograf berdasarkan pertumbuhan gigi geligi. seiring dengan kemajuan teknologi, metode biomolekuler mulai berkembang dan digunakan dalam estimasi usia dental. tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memaparkan metode biomolekuler terkini yang dapat diaplikasikan pada gigi. estimasi usia dental menggunakan pendekatan biomolekuler dapat diamati dari modifikasi dna, protein, atau epigenetik. penelitian berkatian dengan aspartic acid racemization dan metilasi dna dengan sampel dental mulai meningkat sebagai metode yang dapat digunakan dalam aplikasi pada kasus forensik. meskipun masih terdapat kelemahan seperti metodologi yang tidak konsisten dan akurasi yang kurang dibandingkan dengan perubahan morfologi, metode biomolekuler dapat memberikan kontribusi potensial pada estimasi usia dental. kata kunci: analisis biomulekuler; biologi molekuler; estimasi usia; estimasi usia dental; odontologi forensik abstract age estimation is an essential part of the identification process in forensic practice. teeth are one of the most durable pieces of the human body. therefore, teeth were used as age estimation variables, especially for the deceased. initially, dental age estimation methods were mainly based on the morphological changes in tooth development, which could be observed in radiographs. later on, as the advancement of technology, molecular methods began to develop and adopted in dental age estimation. this review presents current methods of biomolecular, which could be applied in dental age estimation. dental age estimation using changes in biomolecular could be observed by modification of dna based, protein-based, and epigenetic. study regarding methods such as aspartic acid racemization and dna methylation with dental sample has gradually increased as the applicable method in forensic casework. even though the drawbacks such as inconsistency of methodology or less of accuracy compare to morphological methods, biomolecular methods are becoming a potential contribution for dental age estimation. keywords: biomolecular analysis; molecular biology; age estimation; dental age estimation; forensic odontology * corresponding author, e-mail: rosalina.saputri@gmail.com rosalina intan saputri | estimasi usia dental berdasarkan pendekatan biomolekuler 32 pendahuluan identifikasi individu merupakan salah satu bagian dari bidang odontologi forensik, seperti pada kasus kecelakaan masal, investigasi hukum, tindakan kriminal, maupun proses diagnosis dalam perawatan tertentu di bidang kesehatan.1 usia adalah salah satu informasi yang penting dalam proses identifikasi, terutama jika identitas individu tersebut tidak diketahui atau tidak terdokumentasi.2,3 tidak hanya pada korban meninggal, penentuan usia menjadi penting dalam hal pemenuhan hak asasi manusia, terutama pada kasus imigrasi penduduk (refugee) dan pencarian suaka (asylum seeker).3 perkembangan studi tentang estimasi usia dalam bidang forensik pada awalnya menggunakan pendekatan metode melalui pemeriksaan pada tulang dan gigi.3,4 gigi mejadi parameter penting yang dapat digunakan untuk estimasi usia atau dikenal dengan metode estimasi usia dental. hal ini dikarenakan gigi memiliki ciri-ciri morfologi yang berbeda seiring dengan pertambahan usia yang disebabkan oleh proses seperti kalsifikasi email dan dentin, perkembangan mahkota, dan perkembangan akar hingga terbentuk sempurna.5,6 metode estimasi usia dental yang banyak diteliti adalah analisis melalui pengamatan pertumbuhan gigi geligi pada radiograf. metode ini dipilih karena mudah dilakukan dan tidak invasif, terutama pada kasus estimasi usia individu yang masih hidup.7,8 namun, akurasi pada metode ini mengalami penurunan pesat setelah semua perkembangan gigi selesai.9 selain itu, penggunaan radiograf yang berkaitan dengan paparan radiasi menjadi salah satu kekurangan dalam penelitian yang bertujuan untuk pengembangan berbagai metode estimasi usia dental.4 pendekatan biomolekuler dalam studi estimasi usia dental saat ini mulai berkembang.10,11 perkiraan usia berdasarkan pada perubahan biomolekuler seiring dengan pertambahan usia individu dapat diamati dari modifikasi molekuler berbasis dna, modifikasi molekuler berbasis protein, maupun modifikasi epigenetik.4 berbagai metode molekuler tersebut memiliki akurasi, keuntungan, serta kekurangan masing masing. namun, dengan adanya pendekatan biomolekuler yang dapat diaplikasikan pada gigi, metode tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan informasi dalam estimasi usia dental dan sebagai alternatif jika metode radiograf tidak dapat digunakan.12,13 pembahasan penerapan analisis biomolekuler terhadap estimasi usia pada gigi estimasi usia menggunakan pendekatan biomolekuler dapat dilakukan berdasarkan analisis perubahan pada sekuens dna sel, dna mitokondrial (mtdna), dan juga perubahan epigenetik, yang tidak mempengaruhi dna.14 jaringan di rongga mulut, maupun gigi memiliki berbagai sel yang dapat menjadi sumber material genetik.1 beberapa metode yang dapat diaplikasikan pada gigi dan dapat menunjukan korelasi dengan usia kronologis antara lain adalah aspartic acid racemization (aar), mutasi dna mitokondrial, pemendekan telomer, advanced glycation end-products (ages), dan metilasi dna. aspartic acid racemization (aar) aar masih menjadi metode estimasi usia yang paling berkualitas dalam aplikasi forensik, dengan batas error kurang lebih 3 tahun.13,15–17 metode ini menganalisis proses rasemisasi, yaitu konversi asam amino dalam dua bentuk stereoisomerik yaitu l dan d.18,19 organ dalam tubuh manusia lebih banyak menggunakan asam amino l dalam sitesis protein, sedangkan asam amino d/daspartic acid (d-asp) terakumulasi seiring dengan pertambahan usia.19 jumlah dari dasp menunjukan korelasi dengan usia pada berbagai jaringan pada tubuh manusia.15,19 poses penuaan pada jaringan enamel, dentin, dan kartilago menunjukan tingkat rasemisasi yang lebih tinggi, dan juga insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 33 tingkat korelasi antara rasio d-asp/l yang lebih tinggi, dibandingkan tulang.15 analisis aar juga dapat dilakukan pada jaringan tubuh lain seperti otak, mata, paruparu, kulit, dan darah (eritrosit).19 gambar 1. bagian dentin yang digunakan untuk mementukan rasio d-asp/l oleh ohtani dan yamamoto.17 (kiri) garis hitam menandakan garis pemotongan gigi. (kanan) gambaran potongan melintang dari permukaan gigi yang telah dipotong. pemeriksaan aar pada enamel dan dentin dapat dilakukan dengan metode kromatografi gas/cair dan dikombinasikan dengan mass spectrometry.20,21 hasil yang paling baik ditunjukan dari sampel utuh dentin pada akar gigi monoradikular, karena keseluruhan dentin lebih mudah diambil sebagai sampel.22 akan tetapi, studi dari wochna et al. menunjukan bahwa 2-3 mg dentin sudah dapat untuk memberikan hasil yang memadai pada metode ini.17 proses rasemisasi terhenti pada saat kematian karena penurunan suhu tubuh secara drastis. namun, kondisi penguburan, seperti suhu disekitar jenazah, juga dapat mempengaruhi nilai l/d-asp karena protein yang masih dapat larut.13,17 oleh karena itu, analisis aar dari enamel dapat menjadi pilihan yang lebih baik karena protein pada enamel terlindungi oleh stuktur kristalin yang lebih kuat terhadap pengaruh lingkungan, walaupun korelasi antara raseminasi pada enamel tidak sebaik pada dentin.13,22 tidak ada perbedaan hasil aar dari gigi sebelah kiri atau kanan, sedangkan tingkat rasemisasi lebih tinggi pada bagian lingual dari mahkota gigi dibandingkan bagian buccal karena bagian lingual lebih banyak terpapar pada suhu tinggi.22 jumlah asam amino d-asp juga dapat termodifikasi karena penyakit yang berhubungan dengan penuaan seperti katarak, alzheimer, osteoarthritis, dan pada kondisi jenazah yang terbakar.18,19 meskipun demikian, aar masih menjadi metode pilihan untuk estimasi usia individu, terutama untuk identifikasi usia saat kematian (age-at-death).19,22 mutasi dna mitokondrial dna mitokondrial (mtdna) telah umum digunakan untuk proses identifikasi manusia dan dapat diekstraksi dari dentin, sementum, pulpa, bahkan kalkulus pada gigi.23–25 pertambahan usia dapat dilihat dari pengukuran dari penghapusan mtdna (mtdna deletion).18,26 proses produksi energi dalam mitokondria melibatkan oksidasi dari glukosa dan lipid untuk memproduksi adenosine triphosphate (atp) dan melepaskan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada mtdna. kerusakan ini berupa akumulasi penghapusan, secara khusus merupakan penghapusan base-pair 4977 atau disebut common deletion.18 selain itu, ditemukan hubungan antara penuaan dengan mutasi mtdna pada regio a189g, t408a dan t414g pada jaringan seperti sel-sel buccal maupun otot skeletal.27 gambar 2. rantai respirasi dan sintesis atp pada mitokondria. seluruh protein yang diperlukan untuk aktivitas mtdna dikode pada nukleus, disintesis pada sitosil, dan disalurkan ke dalam mitokondria.28 rosalina intan saputri | estimasi usia dental berdasarkan pendekatan biomolekuler 34 pada metode ini, sampel dari mtdna diekstraksi dari dentin dan pulpa, kemudian dilakukan amplifikasi pada hypervariable region 2 (hv2).26,29 hasilnya, ditemukan penurunan dari jumlah mtdna pada dentin pada kelompok usia yang lebih tua, sehingga terdapat korelasi negatif yang tinggi antara usia dengan amplifikasi mtdna.26,29 sedangkan pada sampel mtdna yang diekstraksi dari pulpa didapatkan korelasi yang lebih rendah dibandingkan dengan dentin.26 kelemahan dari metode adalah tidak memiliki akurasi setinggi metode aar, terutama rendahnya akurasi pada usia ekstrim di bawah 20 tahun dan di atas 70 tahun.18,26 sedangkan kelebihan metode ini adalah ukuran sampel yang kecil yang hanya membutuhkan sebagian fragmen kecil dari dentin (200mg), proses yang lebih mudah, dan terjangkau bagi laboratorium forensik.26 pemendekan telomer telomer terletak pada bagian akhir kromosom dan berfungsi untuk mempertahankan integritas kromosom tersebut.18,30 telomer berhubungan dengan penuaan karena (1) sebagian kecil dari telomer dna hilang setiap pembelahan sel, (2) telomer mengalami pemendekan karena kerusakan oksidatif , dan (3) ketika panjang telomer mencapai batas kritis tertentu, sel akan memasuki tahap senescence dan/atau apoptosis.30 pada gigi, dna telomerik banyak didapatkan pada pulpa gigi.31,32 dna telomerik pada pulpa dua kali lebih banyak dibandingkan pada gingiva31 dan secara signifikan lebih banyak ditemukan pada gigi molar dibandingkan gigi lainnya.32 pemendekan telomer terbukti memiliki korelasi yang kuat dengan pertambahan usia.31–33 namun, studi pada rumus perhitungan estimasi usia yang didapatkan dari pemendekan telomer masih menunjukan standar error yang besar sehingga metode ini tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai metode tunggal dalam estimasi usia yang krusial untuk keperluan identifikasi.32 selain itu, beragamnya metode yang digunakan untuk pengukuran pemendekan temoler menyebabkan proses reproduktivitas yang kurang dari metode ini.4,34 advanced glycation end-products (ages) ages adalah hasil dari reaksi maillard, yaitu reaksi reduksi glukosa dan glisin, yang bereaksi dengan kelompok amino bebas dari protein seperti residu lisin atau arginin. ages yang terbentuk dari intake makanan dan diproduksi dari proses metabolisme tubuh akan dikeluarkan (ekslusi) oleh tubuh.18,35 ketidakseimbangan antara produksi dan ekslusi menyebabkan ages akan terakumulasi seumur hidup pada jaringan yang berbeda-beda.35 akumulasi ini dapat diukur dari perubahan warna dengan colorimeter atau spectrophotometer.18 ages dapat ditemukan hampir di seluruh jaringan gigi dan rongga mulut, seperti dentin, pulpa, jaringan periodontal, oral mukosa, dan juga saliva.36–38 akumulasi ages pada dentin mengakibatkan perubahan warna dari kolagen dentin menjadi lebih coklat dan struturnya menjadi lebih keras.37 keberadaan ages juga berkorelasi dengan beberapa penyakit, seperti diabetes, penyakit jantung, arthritis, trauma, dan penyakit neurodegeneratif.35,36 ages yang ditemukan pada jaringan periodontal memiliki hubungan dengan inflamasi jaringan periodontal, seperti pada kasus periodontitis.38 oleh karena itu, estimasi usia menggunakan akumulai ages akan terganggu karena adanya penyakit sistemik.38 selain itu, metode ini memberikan hasil estimasi usia dengan deviasi yang besar terutama pada gigi dengan lesi karies atau gigi yang terbakar karena kondisi-kondisi tersebut menyebabkan perubahan warna dari dentin.37,38 metilasi dna (dna methylation) metilasi dna adalah proses modifikasi dari karbon atom 5’ pada residu insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 35 sitosin yang diikuti oleh guanin sehingga disebut dengan dinukleotida cpg(s)/cpgsites.4,14 pada genom, metilasi terjadi pada regio yang kaya akan cpg disebut dengan cpg island.4 protein dan metyl-cpgbonding domain akan berikatan secara spesifik pada cpg island, menginduksi represi dan aktivasi transkripsional.14 seiring bertambahnya usia, pola metilasi dna secara bertahap menunjukan hipometilasi maupun hipermetilasi dna pada bagian dari promoter-associate cpg island tertentu.4 hubungan antara metilasi dna dan penuaan dapat dideskripsikan dalam dua bagian yaitu epigenetic drift dan epigenetic clock. bagian epigenetic drift menunjukan berbagai variasi perubahan pada individu seiring pertambahan usia karena pengaruh lingkungan, sebaliknya bagian epigenetic clock hanya berhungan sangat erat dengan pertambahan usia, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi usia kronologis individu.39 seiring kemajuan teknologi, lebih banyak studi yang menunjukan bermacammacam biomarker metilasi dna dan model prediksi usia dari berbagai jaringan seperti darah, saliva, semen, buccal swabs, dan gigi.39 studi pada gigi, menunjukan akurasi estimasi usia dari cpg-sites pada (biomarker) gen elovl2, fhl2, dan penk yang diambil dari pulpa, dentin dan sementum.40 penelitian lain juga menunjukan hasil yang sama dengan pengamatan pada biomarker aspa, pde4c, dan edaradd dari dentin yang terbukti memiliki korelasi untuk memprediksi usia.41 estimasi usia dengan metode kombinasi dari metilasi dna, usia skeletal, dan usia dental dapat menambah akurasi hingga 0,04-0,11 tahun dibandingkan hanya dengan menggunakan kombinasi usia skeletal dan usia dental.12 penelitian lebih lanjut diharapkan tidak hanya mengidentifikasi lebih banyak marker metilasi dna dari jaringan yang berhubungan dengan usia, namun juga mengembangkan standar untuk analisis estimasi usia yang lebih akurat.39 tipe lain dari modifikasi epigenetik yang berhubungan dengan penuaan adalah chromatin remodelling, modifikasi posttranslational histone, dan noncoding rna.11,14 namun studi berkaitan tentang estimasi usia, terutama pada gigi dan rongga mulut lebih banyak berfokus pada analisis metilasi dna. gambar 3. pathway metilasi dna. proses metilasi dna dikatalisasi oleh enzim dnamethyltransferases (dnmt3a dan dnmt3b). pola metilasi tetap bertahan karena adanya dnmt1 sepanjang proses replikasi. demetilisasi dna pasif terjadi jika aktifitas dnmt1 menghilang. sedangkan demetilisasi aktif terjadi karena protein tet1-3 merubah 5-methylcytosine menjadi derivate 5-hydrxymethulcytosine (5hmc).42 kesimpulan berbagai metode dengan pendekatan biomolekuler telah banyak dikembangkan dalam penelitian maupun aplikasinya dalam estimasi usia dental. metode-metode tersebut dapat digunakan jika informasi estimasi usia dental berdasarkan pertumbuhan morfologi terbatas. aar dan metilasi dna masih menjadi metode estimasi usia yang paling sering digunakan karena kelebihan dari segi akurasi. namun, metode biomolekuler pada dental masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan prosedur paling optimal dalam memprediksi usia yang lebih akurat sesuai dengan karakteristik pada masing-masing populasi. daftar pustaka 1. krishan, k., kanchan, t., garg, a.k. dental evidence in forensic identification – an overview, methodology and present status. open dent j, 2015; 9: 250–256. rosalina intan saputri | estimasi usia dental berdasarkan pendekatan biomolekuler 36 2. brough, a.l., morgan, b., rutty, g.n. postmortem computed tomography (pmct) and disaster victim identification. radiol med, 2015; 120(9): 1–9. 3. franklin, d., flavel, a., noble j., swift l., karkhanis s. forensic age estimation in living individuals : methodological considerations in the context of medico-legal practice. research and reports in forensic medical science, 2015; 5: 53-66. 4. freire-aradas, a., phillips, c., lareu, m.v. forensic individual age estimation with dna: from initial approaches to methylation tests. forensic sci rev, 2017; 29(2): 121144. 5. berkovitz, b.k.b., holland, g.r., moxham, b.j., oral anatomy, histology, & embryology. edinburgh: elsevier. pp. 442-450, 2018. 6. fehrenbach, m.j., popowics, t. illustrated dental embryology, histology, and anatomy (4th ed.). missouri: elsevier saunders. pp. 5176, 2016. 7. kumar, r., athota, a., rastogi, t., karumuri, s.k. forensic radiology: an emerging tool in identification. j indian acad oral med radiol, 2015; 27(3): 416–422. 8. marroquin, t.y., karkhanis, s., kvaal, s.i., vasudavan, s., kruger e., tennant, m. age estimation in adults by dental imaging assessment systematic review. forensic sci int, 2017; 275: 203-211. 9. jeon, h. m., jang, s. m., kim, k. h., heo, j. y., ok, s. m., jeong, s. h., & ahn, y. w. dental age estimation in adults: a review of the commonly used radiological methods. j oral med pain., 2014; 39(4), 119-126. 10. divakar, k.p. forensic odontology : the new dimension in dental analysis. int j biomed sci, 2017; 13(1): 1–5. 11. bekaert, b., kamalandua, a., zapico, s.c., van de voorde, w., decorte, r. improved age determination of blood and teeth samples using a selected set of dna methylation markers. epigenetics, 2015; 10(10): 922-930. 12. shi, l., jiang, f., ouyang, f., jun, z. genetics dna methylation markers in combination with skeletal and dental ages to improve age estimation in children. forensic sci int genet, 2017; 33: 1–9. 13. griffin, r.c., chamberlain, a.t., hotz, g., penkman, k.e., collins, m.j. age estimation of archaeological remains using amino acid racemization in dental enamel a comparison of morphological, biochemical, and known ages‐at‐death. am j phys anthropol, 2009; 140(2): 244-252. 14. thomas, c., zapico, s.c. epigenetics: its role in aging, diseases, and biological age estimation. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. washington dc: crc press taylor & francis group. pp. 245254, 2017. 15. zapico, s.c., ubelaker, d.h. applications of physiological bases of ageing to forensic sciences . estimation of age-at-death. ageing res rev, 2013; 12: 605–617. 16. hassan, q., rakha, a., bashir m.z. aspartic acid racemization with correlation to age : a forensic perspecive. jcpsp, 2017; 27(5): 283– 287. 17. ohtani, s., yamamoto, t. age estimation by amino acid racemization in human teeth. j forensic sci, 2010; 55(6): 1630–1633. 18. zapico, s.c., thomas, c., zoppis, s. age estimation based on molecular biology approaches. age estimation: a multidisciplinary approach. 2019; 2019: 213-223. 19. zapico, s.c., thomas, c., menéndes, s.t. aspartic acid racemization on aging. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 9(1), mei 2020 37 washington dc: crc press taylor&francis group, pp. 11-20, 2017. 20. wochna, k., bonikowski, r., śmigielski, j., berent, j. aspartic acid racemization of root dentin used for dental age estimation in a polish population sample. forensic sci med pathol, 2018; 4(3): 285-294. 21. torres t, ortiz je, fernández e, et al. quaternary geochronology aspartic acid racemization as a dating tool for dentine : a reality. quat geochronol 2014; 22: 43–56. 22. ajmal, m. amino acid racemization from tooth for age estimationan overview. malays j. forensic sci., 2012; 3(1): 41–45. 23. higgins, d., rohrlach, a.b., kaidonis, j., townsend, g., austin, j.j. differential nuclear and mitochondrial dna preservation in post-mortem teeth with implications for forensic and ancient dna studies. plos one, 2015; 10(5): e0126935, 1– 17. 24. kanzawa-kiriyama, h., saso, a., suwa, g., saitou, n. ancient mitochondrial dna sequences of jomon teeth samples from sanganji, tohoku district, japan. j. anthropol. sci., 2013; 121(2): 89–103. 25. ozga, a.t., nieves-colón, m.a., honap, t.p., sankaranarayanan, k., hofman, c.a., milner, g.r., lewis jr., c.m., stone, a.c., warinner, c. successful enrichment and recovery of whole mitochondrial genomes from ancient human dental calculus. am j phys anthropol, 2016; 160(2): 220–228. 26. zapico, s.c., ubelaker, d.h. relationship between mitochondrial dna mutations and aging. estimation of age-atdeath. j gerontol a biol sci med sci, 2016; 71(4): 445–450. 27. gordon, r., zapico, s.c. mitochondrial dna mutations and mitochodrial diseases. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. washington dc: crc press taylor&francis group. pp. 193200, 2017. 28. gustafsson, c.m., falkenberg, m., larsson, n.g. maintenance and expression of mammalian mitochondrial dna. annu rev biochem, 2016; 85: 133-160. 29. zapico, s. c., & ubelaker, d. h. relationship between mitochondrial dna mutations and aging. estimation of age-at-death. j. gerontol. a biol. sci, 2016; 71(4), 445-450. 30. thomas c., zapico, s.c. role of telomeres in aging. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. washington dc: crc press taylor&francis group. pp. 141149, 2017. 31. kumei, y., akiyama, h., onizuka, t., kobayashi, c. variation of telomeric dna content in gingiva and dental pulp. arch oral biol, 2011; 56(1): 1641–1645. 32. márquez-ruiz, a.b., gonzálezherrera, l., valenzuela, a. usefulness of telomere length in dna from human teeth for age estimation. int j legal med, 2018; 132(2): 353-359. 33. takasaki, t., tsuji, a., ikeda, n., ohishi, m. age estimation in dental pulp dna based on human telomere shortening. int j legal med, 2013; 117(4): 232–234. 34. adserias-garriga, j. forensic application of telomere shortening in age-at-death estimation. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. washington dc: crc press taylor&francis group. pp. 171184, 2017. 35. simm, a., santos, a.n. advanced glycation endproducts: an introduction. dalam zapico, s.c. mechanisms liking aging, disease and biological age estimation. washington dc: crc press rosalina intan saputri | estimasi usia dental berdasarkan pendekatan biomolekuler 38 taylor&francis group. pp. 59-67, 2017. 36. ilea, a., băbţan, a.m., boşca, b.a., crişan, m., petrescu, n.b., collino, m., sainz, r.m., gerlach, j.q., câmpian, r.s. advanced glycation end products (ages) in oral pathology. arch oral biol, 2018; 93: 22–30. 37. miura, j., nishikawa, k., kubo, m., fukushima, s., hashimoto, m., takeshige, f., araki, t. accumulation of advanced glycation end-products in human dentine. arch oral biol, 2014; 59(2): 119–124. 38. greis, f., reckert, a., fischer k., ritztimme, s. analysis of advanced glycation end products (ages) in dentine : useful for age estimation? int j legal med, 2018; 132(3): 799–805. 39. jung, s.e., shin, k.j., lee, h.y. dna methylation-based age prediction from various tissues and body fluids. bmb rep, 2017; 50(11): 546–553. 40. giuliani, c., cilli, e., bacalini, m.g., pirazzini, c., sazzini, m., gruppioni, g., franceschi, c., garagnani, p., luiselli, d. inferring chronological age from dna methylation patterns of human teeth. am j phys anthropol, 2016; 159(4): 585–595. 41. bekaert, b., kamalandua, a., zapico, s.c., van de voorde, w., decorte, r. a selective set of dna-methylation markers for age determination of blood, teeth and buccal samples. forensic sci int genet suppl ser, 2015; 5: e144–e145. 42. ambrosi, c., manzo, m., baubec, t. dynamics and context-dependent roles of dna methylation. j mol biol, 2017; 429(10): 1459-1475. insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 71 literature review perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier treatment of mandible brown tumor in patients with tertiary hyperparathyroidism (hpt) agatha tunggadewi p*, arsa hadiyatama waskitoaji, wisnu riyadi, bambang tri hartomo jurusan kedokteran gigi, fakultas kedokteran, universitas jenderal soedirman, jl. dr. soeparno, karangwangkal, grendeng, kecamatan purwokerto utara, kabupaten banyumas, jawa tengah 53122, indonesia. rumah sakit gigi dan mulut universitas jenderal soedirman, jl. dr. soeparno, karangwangkal, grendeng, kecamatan purwokerto utara, kabupaten banyumas, jawa tengah 53122, indonesia. received date: received date july 9th, 2020; revised date october 18th, 2021; accepted november 11st, 2021 doi : 10.18196/di.v10i1.9301 abstrak hiperparatiroidisme (hpt) merupakan kondisi yang disebabkan oleh meningkatnya produksi dan sekresi hormon paratiroid (pth). tipe hpt diklasifikasikan menjadi tiga dan hpt tersier merupakan yang paling jarang terjadi. kerusakan tulang merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada hpt tersier yaitu sebesar 25% dari total pasien hpt dan brown tumor merupakan salah satu bagian dari komplikasi tersebut. lesi ini sering terjadi pada tulang kortikal, termasuk mandibula. pemeriksaan klinis, radiografis, histopatologi, dan biokimia serum dilakukan dalam upaya diagnosis brown tumor. perawatan brown tumor dilakukan melalui dua pendekatan yaitu bedah dan non-bedah. tujuan dari penulisan telaah pustaka ini adalah menjelaskan pentingnya diagnosis dan perawatan yang tepat pada kondisi brown tumor pada mandibula oleh dokter gigi sehingga kerusakan yang lebih parah dapat dicegah. pemilihan jenis perawatan lesi brown tumor yang tepat didapatkan melalui pemeriksaan yang komprehensif sehingga didapatkan hasil perawatan yang memuaskan. telaah pustaka ini berjenis telaah pustaka naratif. pencarian pustaka dilakukan melalui sumber elektronik seperti pubmed, google scholar, dan clinical key dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. kesimpulan dari telaah pustaka ini adalah pemeriksaan klinis, laboratoris, histologis, serta radiografis yang baik menghasilkan diagnosis yang tepat sehingga dapat mencegah keparahan dan mengurangi kerusakan akibat lesi tersebut. kata kunci: brown tumor; enukleasi; hiperparatiroid; hormon paratiroid; paratiroidektomi. abstract hyperparathyroidism (hpt) is caused by the increased production and secretion of parathyroid hormone (pth). hpt is classified into three, and tertiary hpt is the least common. bone damage is the most common complication in tertiary hpt, which is 25% of the total hpt patients and brown tumor is one of these complications. these lesions manifest in cortical bone, including the mandible. clinical, radiographic, histopathological, and serum biochemical examinations were performed to diagnose brown tumors. brown tumor treatment is carried out through two approaches, surgical and non-surgical methods. the purpose of this literature review is to explain the importance of proper diagnosis and treatment of brown tumors in the mandible so that further damage can be prevented. the type of treatment for brown tumors is selected through a comprehensive examination to obtain satisfactory treatment results. this literature review was conducted through electronic sources such as pubmed, google scholar, and clinical key with certain inclusion and exclusion criteria. based on the result of this study, it can be concluded that good clinical, laboratory, histological, and radiographic examination of brown tumors will result in the right diagnosis so that further damage can be prevented and reduced. keywords: brown tumor, enucleation, hyperparathyroidism, parathyroid hormone, parathyroidectomy. * corresponding author, e-mail: agathatunggadewi@gmail.com agatha tunggadewi p, arsa hadiyatama w.a, wisnu riyadi, bambang tri h | perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier 72 pendahuluan hormon paratiroid (pth) diproduksi serta disekresi oleh kelenjar paratiroid dan aktivitasnya diregulasi oleh kadar kalsium bebas pada serum.1 kadar pth dapat meningkat oleh berbagai penyebab antara lain defisiensi vitamin d, gagal ginjal kronis, dan kondisi keganasan.2 kondisi kadar pth yang meningkat dinamakan hiperparatiroidisme. hiperparatiroidisme (hpt) berdasarkan etiologinya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu hpt primer, hpt sekunder, dan hpt tersier. hpt primer ditandai dengan peningkatan kadar pth oleh karena abnormalitas dari salah satu atau kedua kelenjar paratiroid.2 hpt sekunder utamanya disebabkan oleh kerusakan ginjal kronis sehingga terjadi gangguan homeostasis kalsium dan vitamin d pada serum sementara hpt tersier merupakan kelanjutan dari kondisi hpt sekunder.3 hiperparatiroidisme (hpt) tersier ditandai dengan aktivitas otonom kelenjar paratiroid dalam mensekresi hormon paratiroid (pth).4 kondisi pada hpt tersier ini umumnya timbul akibat kegagalan fungsi ginjal dan menetap meskipun fungsi ginjal sudah kembali melalui transplantasi ginjal.5 hiperparatiroidisme pada umumnya ditandai dengan dekalsifikasi tulang (1020% total pasien hpt) dan terbentuknya batu ginjal (10-25% total pasien hpt).6 kadar pth yang meningkat dapat memengaruhi keseimbangan aktivitas osteoblas dan osteoklas.5 keseimbangan aktivitas osteoblas dan osteoklas yang terganggu menyebabkan peningkatan aktivitas destruksi tulang. kondisi ini menjadi penyebab tingginya komplikasi berupa kerusakan tulang yaitu sebesar 25% dari total pasien hpt. manifestasi klinis dari kerusakan tulang tersebut dapat berupa osteoporosis yang terjadi secara menyeluruh, demineralisasi tulang yang progresif, central giant cell granuloma, dan terbentuknya kista osteitis fibrosa (brown tumor).1 brown tumor (bt) atau osteitis fibrosa cystica merupakan lesi yang disebabkan oleh adanya aktivitas sel raksasa berlebih pada tulang. lesi ini ditandai dengan tingginya resorpsi tulang yang terlokalisir dan selanjutnya akan terisi dengan jaringan fibrous.7 prevalensi terjadinya lesi ini adalah sebesar 0,1% dari total pasien hiperparatiroidisme.8 diagnosis brown tumor didapatkan melalui berbagai pemeriksaan yaitu pemeriksaan klinis, laboratoris, histologis, dan radiologis. hasil dari berbagai pemeriksaan inilah yang dapat membedakan lesi brown tumor dengan lesi lainnya seperti central giant cell granuloma (cgcg) dan ameloblastoma.9, 10, 11, 12 brown tumor pada rongga mulut muncul sebagai lesi eksofilik disertai rasa nyeri, berekspansi secara lambat, memiliki konsistensi yang keras, dan tidak bergerak saat dipalpasi. lesi ini bersifat ekspansif, destruktif, dan dapat menyebabkan gangguan pengunyahan, pernafasan, dan sensori pada regio maksilofasial. hal tersebut menjadi alasan pentingnya diagnosis dan pemilihan perawatan yang tepat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan perawatan dan mencegah kerusakan yang lebih parah akibat lesi ini. berbagai literatur menyebutkan keberhasilan perawatan brown tumor baik melalui pendekatan non-bedah, bedah, maupun keduanya. jenis perawatan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti usia pasien, perluasan lesi, lokasi lesi, dan keparahan kondisi hiperparatiroid pada masingmasing pasien. 1,3,8,13,14,15,16,17 tujuan dari penulisan telaah pustaka ini adalah untuk membahas pentingnya diagnosis dan pemilihan perawatan yang tepat pada kondisi brown tumor mandibula oleh dokter gigi sehingga dapat meningkatkan keberhasilan perawatan dan mencegah kerusakan yang lebih parah akibat lesi brown tumor. material dan metode telaah pustaka merupakan jenis telaah pustaka naratif atau tradisional. pencarian pustaka dilakukan secara insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 73 komprehensif dan sistematik melalui sumber (database) elektronik seperti pubmed, google scholar, dan ebscohost. pencarian literatur melalui sumber data tersebut dilakukan menggunakan beberapa kata kunci seperti “brown tumour”, “brown tumors”, “tumor coklat”, “osteitis fibrosa cystica”, “mandibula”, “mandible”, “destruksi mandibula”, “hyperparathyroidism”, “hiperparatiroid”, “hiperparatiroid tersier”, “adenoma”, “paratiroidektomi”, “enukleasi”, “kuretase”, dan “penyembuhan luka”. kriteria inklusi dari literatur yang digunakan sebagai sumber pada artikel review ini di antaranya adalah (1) laporan kasus brown tumor pada regio mandibular pada pasien dengan hiperparatiroidisme tersier, (2) literature diterbitkan antara tahun 2012 hingga 2021, (3) literatur diterbitkan dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris, (4) literatur tersedia dalam versi lengkap, dan (5) literatur memuat hasil pemeriksaan, jenis perawatan, dan hasil perawatan pada kasus secara lengkap. kriteria eksklusi dari literatur yang digunakan pada artikel review ini di antaranya adalah (1) literatur dalam bentuk artikel penelitian, (2) lesi brown tumor tidak terjadi pada regio maksilofasial, (3) tidak adanya kondisi hiperparatiroid pada pasien, (4) informasi yang tidak lengkap dari pasien (umur, jenis kelamin, jenis hiperparatiorid, lokasi lesi, dan keterangan pemeriksaan dari pasien baik pemeriksaan klinis, laboratoris, histologis, maupun radiografis), serta (5) adanya penyakit lain pada pasien yang dapat memengaruhi keparahan lesi pada rongga mulut. hasil hormon paratiroid (pth) diproduksi dan disekresi oleh kelenjar paratiroid. pth bersama dengan vitamin d3 (1.25-dihydroxycholecalciferol) dan kalsitonin berperan dalam mengatur kadar kalsium dan fosfat dalam serum.13 mekanisme peningkatan kadar kalsium dalam serum ini adalah dengan meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal, meningkatkan absorpsi kalsium pada usus halus, serta menurunkan reabsorpsi fosfat.18 pelepasan kalsium dan fosfat terjadi karena adanya ikatan pth dengan osteoblas pada tulang, kemudian menstimulasi produksi receptor activator of nuclear factor kappab ligand (rankl) serta menurunkan aktivitas osteoprotegerin. rankl akan menstimulasi maturasi dan aktivitas resorpsi oleh osteoklas sehingga terjadi pelepasan kalsium pada pada tulang.5 mekanisme peningkatan kadar kalsium plasma ini dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. mekanisme peningkatan kadar kalsium plasma oleh pth hiperparatiroid merupakan kondisi yang disebabkan oleh produksi dan sekresi hormon paratiroid (pth) yang berlebih.13 hiperparatiroid ditandai dengan dekalsifikasi tulang (10-20% total pasien hpt) dan terbentuknya batu ginjal yang mengandung kalsium (10-25% total pasien hpt).6 hiperparatiroid berdasarkan etiologinya terbagi menjadi hiperparatiroid primer, sekunder, dan tersier. hiperparatiroid (hpt) primer ditandai dengan peningkatan sekresi pth oleh karena abnormalitas dari salah satu atau lebih kelenjar paratiroid. adenoma merupakan salah satu jenis abnormalitas yang paling sering terjadi yaitu sebesar 85% dari total kasus hpt primer. hpt primer pada pemeriksaan darah rutin agatha tunggadewi p, arsa hadiyatama w.a, wisnu riyadi, bambang tri h | perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier 74 menunjukkan tanda hiperkalsemia dan hipofosfataemia.9 hiperparatiroid (hpt) sekunder merupakan salah satu komplikasi pada gagal ginjal kronik.19 penyakit ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam memetabolisme vitamin d3 sehingga terjadi gangguan ekskresi fosfat yang menyebabkan kadar fosfat meningkat dalam darah (hiperfosfatemia), menurunnya absorpsi kalsium, dan defisiensi vitamin d3.20 menurunnya absorpsi kalsium pada usus halus dan defisiensi vitamin d3 menyebabkan hipokalsemia kronis. kondisi tersebut menyebabkan kelenjar paratiroid bekerja lebih keras dalam memproduksi pth dan mengalami hyperplasia.1 hiperparatiroid (hpt) tersier merupakan penyakit yang timbul akibat hpt sekunder yang berkepanjangan dan 30% dari total kasus terjadi pada pasien dengan transplantasi ginjal. penyakit ini ditandai dengan aktivitas otonom kelenjar paratiroid dalam mensekresi hormon paratiroid (pth).4 kadar pth terus meningkat pada kondisi ini meskipun fungsi ginjal pasien sudah kembali. peningkatan kadar pth tersebut disebabkan karena kelenjar paratiroid yang sudah mengalami hiperplasia gagal untuk melakukan penyembuhan. hpt tersier ditandai dengan peningkatan kadar alkalin fosfatase dan pth.9 kondisi hiperparatiroid (hpt) dapat menimbulkan berbagai komplikasi salah satuya gangguan muskuloskeletal. gangguan muskuloskeletal muncul karena ketidakseimbangan aktivitas osteoblas dan osteoklas akibat aktivitas pth. beberapa penyakit muskuloskeletal yang dapat timbul adalah osteoporosis, central giant cell granuloma, dan brown tumor.14 brown tumor brown tumor (osteitis fibrosa cystica) merupakan lesi non-neoplastik yang terbentuk akibat abnormalitas metabolisme tulang pada pasien hiperparatiroid (hpt).1,3,10,13 brown tumor ditemukan pada 3% kasus hpt primer dan 1,5-1,7% kasus hpt sekunder dan tersier. lesi ini muncul akibat peningkatan hormon paratiroid (pth) yang menyebabkan peningkatan aktivitas resorpsi oleh osteoklas secara lokal, utamanya pada tulang kortikal.21 berbagai laporan kasus menyebutkan rata-rata usia pasien hiperparatiroidisme dengan lesi brown tumor adalah 41 tahun (rentang usia antara 19 hingga 68 tahun) dengan 68% kasus terjadi pada wanita.3,10,13,16 diagnosis brown tumor ditegakkan melalui berbagai macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan klinis, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi.10 lesi brown tumor pada rongga mulut umumnya berkembang pada mandibula sebagai manifestasi tunggal selain itu lesi ini juga dapat berkembang pada maksila sehingga terbentuk manifestasi multipel.1,14,16 beberapa tanda lesi brown tumor pada rongga mulut di antaranya pembengkakan baik tunggal maupun multipel (91% kasus), rasa nyeri (36,3% kasus), kegoyangan dan tanggalnya gigi (31,8% kasus), dan jaringan lunak di sekitar lesi mudah berdarah (13,6% kasus). berbagai tanda lesi brown tumor pada rongga mulut di antaranya adalah pembengkakan yang meluas ke jaringan di sekitarnya (100% kasus), rasa nyeri (36,3% kasus), kegoyangan dan tanggalnya gigi (31,8% kasus), jaringan lunak di sekitar lesi mudah berdarah (13,6% kasus), serta keterbatasan membuka mulut (13,6% lasis).3,10,13,14 pembengkakan oleh lesi brown tumor berisi masa berwarna merah kecoklatan yang rapuh. warna merah kecoklatan ini berasal dari vaskularitas yang ada di dalam lesi, hemoragi, dan deposit hemosiderin. warna merah insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 75 kecoklatan ini mendasari mengapa lesi ini disebut dengan brown tumor atau tumor coklat.18,22,23,24 manifestasi oral brown tumor dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. manifestasi oral lesi brown tumor15 brown tumor dalam gambaran histopatologi tampak sebagai massa jaringan lunak yang terdiri atas kumpulan sel raksasa multinukleat yang menyerupai osteoklas pada stroma fibrovaskular. masa ini terletak pada rongga menyerupai lesi kista yang dikelilingi oleh jaringan ikat, dan hemoragi pada pusat lesi yang disebabkan oleh mikrofraktur sehingga terjadi pelepasan hemosiderin.3,9,25 gambaran histologi brown tumor dapat dilihat pada gambar 3. pemeriksaan laboratoris diperlukan dalam menentukan diagnosis brown tumor. pemeriksaan klinis brown tumor dikaitkan dengan kondisi hiperparatiroid.26 pasien dengan kondisi hiperparatiroid tersier pada umumnya menunjukkan kadar kalsium yang meningkat atau normal (normal: 8,410,2 mg/dl), peningkatan kadar pth (normal: 10-65 pg/ml), penurunan kadar vitamin d dan fosfat (normal: 2,5-4,5 mg/dl), dan peningkatan kadar alkalin fosfatase (normal: 440147 iu/l).3,9,10,13 gambar 3. gambaran histology brown tumor menunjukkan kumpulan sel raksasa berinti banyak.9 pemeriksaan radiologi pada brown tumor umumnya dilakukan menggunakan orthopantomogram (opg). pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak, tepi, ukuran, jumlah lesi, dan keterlibatan struktur sekitar.14 gambaran radiografis brown tumor pada beberapa literatur laporan kasus menunjukkan adanya lesi osteolitik monolokular (25% kasus) atau multilokular (75% kasus) dengan batas jelas. brown tumor yang terletak pada mandibula pada umumnya mengakibatkan penurunan densitas tulang rahang (59% kasus), ekspansi dan penipisan tulang kortikal (54,4% kasus), hilangnya lamina dura pada gigi di sekitar lesi (41% kasus), dan adanya gambaran salt and pepper atau ground-glass (22,7% kasus).1,3,10,13,21,24,27 lesi brown tumor juga sering kali menyebabkan resorpsi pada akar gigi di regio sekitar lesi sehingga menciptakan gambaran floating teeth (36,3% kasus).3,10,14,28 gambaran radiografi brown tumor dapat dilihat pada gambar 4. diagnosis banding brown tumor brown tumor sering dikaitkan dengan beberapa lesi tulang lainnya terkait dengan etiologi dan gambaran klinis serta radiografisnya. dua lesi yang sering dikaitkan dengan brown tumor adalah central giant cell granuloma (cgcg) dan ameloblastoma.10,13 agatha tunggadewi p, arsa hadiyatama w.a, wisnu riyadi, bambang tri h | perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier 76 central giant cell granuloma (cgcg) merupakan lesi non-neopalastik yang hanya terjadi pada 7% kasus lesi benigna pada rahang. lesi cgcg dan brown tumor memberikan gambaran radiografis berupa lesi multiokular dengan erosi bagian apikal gigi di sekitar lesi. hal ini menyebabkan cgcg menjadi salah satu lesi yang sering dikaitkan dengan brown tumor.9,13 kadar pth umumnya mengalami peningkatan yang lebih tinggi pada kondisi cgcg di bandingkan dengan brown tumor.12 selain itu, riwayat medis pasien juga diperlukan untuk mengetahui jenis hiperparatorid (hpt) yang diderita pasien tersebut. lesi cgcg pada umumnya timbul pada kondisi hpt primer sedangkan brown tumor dapat timbul pada ketiga jenis hiperparatiroid (hpt).10 gambar 4. radiografi panoramic lesi brown tumor menunjukkan gambaran radiolusensi multilokular yang berekspansi (a) serta hilangnya lamina dura dan resorpsi akar pada gigi di sekitar lesi sehingga menciptakan gambaran floating teeth (b)28,29 ameloblastoma juga menjadi salah satu diagnosis banding dari brown tumor. kedua lesi ini pada umumnya terletak pada ramus dan korpus mandibula serta timbul pada pasien 30-50 tahun.10 pemeriksaan laboratorium dan radiografi dibutuhkan untuk membedakan antara kedua lesi ini. ameloblastoma merupakan kista odontogenik sehingga pada gambaran radiografinya menunjukkan adanya keterlibatan struktur gigi, selain itu pada ameloblastoma tidak menunjukkan adaya abnormalitas kadar pth, kalsium, dan fosfat pada pemeriksaan laboratories.11 perbedaan antara brown tumor, cgcg, dan ameloblastoma dapat dilihat pada tabel 1. penatalaksanaan brown tumor brown tumor merupakan lesi ekspansif yang dapat terjadi pada tulang kraniofasial. meskipun tingkat kejadian brown tumor tergolong rendah namun lesi ini perlu menjadi perhatian karena sifatnya yang ekspansif dan destruktif sehingga rentan menimbulkan deformitas pada struktur terkait.13,25,30 brown tumor pada rongga mulut dapat menyebabkan deformitas pada wajah, dislokasi gigi, dan ekspansi pada tulang kortikal sehingga tulang menjadi lebih tipis.13,16,18,22,27 kondisi tersebut menjadi alasan mengapa diagnosis dini dan perawatan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi parahnya kerusakan akibat lesi.10,30 perawatan brown tumor dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, baik secara bedah maupun non-bedah bergantung pada tingkat keparahan penyakit ini.18 noleto (2020) menyatakan perawatan pada brown tumor juga harus mempertimbangkan kondisi hiperparatiroid (hpt) pasien sebagai penyebab timbulnya lesi. berbagai penelitian menyatakan pentingnya kontrol kadar pth sebagai salah satu strategi perawatan brown tumor pada hpt tersier. salah satu perawatan yang dapat dilakukan adalah melalui prosedur paratiroidektomi.13,14,15,22 a b insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 77 paratiroidektomi dianjurkan menjadi perawatan utama dengan tujuan menghilangkan kondisi hpt sebagai penyebab terjadinya brown tumor. paratiroidektomi diindikasikan bagi kelenjar paratiroid yang mengalami hyperplasia serta menimbulkan lesi yang ekspansif, menimbulkan rasa sakit, dan rentan terhadap infeksi.9,14,15,18,26 tabel 1. perbedaan antara brown tumor, cgcg, dan ameloblastoma prosedur paratiroidektomi dapat membantu mengontrol kadar pth dan menghambat pelepasan kalsium dan fosfat pada tulang sehingga terjadi peningkatan densitas tulang pada lesi. hal ini didukung oleh can dkk. dan torres dkk. pada penelitiannya yang menyatakan bahwa kontrol kadar pth dapat membantu mengurangi keparahan bahkan terjadi penyembuhan spontan lesi brown tumor.18,26,31 berbagai kasus menunjukkan keberhasilan perawatan brown tumor hanya dengan manajemen kadar pth melalui prosedur paratiroidektomi. lesi brown tumor terlihat mengecil dan mengalami penyembuhan tanpa adanya komplikasi dan kekambuhan pada beberapa kasus pasien tersebut (36,3% kasus).3,7,8,13,14,15 kontrol kadar pth dalam rangka perawatan brown tumor juga dapat dilakukan dengan pemberian medikasi berupa kalsitonin dosis 100 iu/ml dan kortikosteroid dosis 20 mg/ml yang diinjeksikan ke dalam lesi. kalsitonin berperan dalam menghambat resorpsi brown tumor cgcg ameloblastoma gambaran klinis berupa perbesaran pada posterior mandibula dengan konsistensi keras berupa perbesaran pada posterior mandibula dengan konsistensi keras berupa perbesaran pada mandibula dengan konsistensi keras prevalensi berdasarkan umur dapat terjadi pada semua rentang umur pasien dapat terjadi pada semua rentang umur pasien banyak terjadi pada pasien berumur 30-50 tahun gambaran histopatologi tampak sebagai massa jaringan lunak yang terdiri atas kumpulan sel raksasa multinukleat yang menyerupai osteoklas pada stroma fibrovaskular, deposit hemosiderin sehingga bagian inti lesi berwarna merah kecoklatan. tampak sebagai massa jaringan lunak yang terdiri atas kumpulan sel raksasa multinukleat yang menyerupai osteoklas pada stroma fibrovaskular, tidak selalu disertai dengan deposit hemosiderin pada inti lesi. terdapat gambaran sel epitel odontogenik yang mengalami proliferasi, sel tumor berbagai bentuk dengan inti hiperkromatik di basal dan tersusun palisading pada bagian tepi, tidak terdapat gangguan pada aktivitas sel raksasa. gambaran radiografi lesi osteolitik monolokular atau multilokular dengan batas jelas, ekspansi dan penipisan tulang kortikal, resorpsi akar dan hilangnya lamina dura gigi di sekitar lesi, serta terdapat gambaran “groundglass” atau “salt and pepper”. lesi osteolitik monolokular atau multilokular dengan batas jelas, ekspansi dan penipisan tulang kortikal, resorpsi akar dan hilangnya lamina dura dan pergeseran gigi, serta gambaran “wispy septation” atau septa tipis di dalam lesi. lesi ekspansil dengan penipsan korteks pada buccal dan lingual plane, terdapat keterlibatan gigi yang menimbulkan lesi, akar gigi yang terlibat terlihat menumpul, serta terdapat gambaran “soap bubble” atau “honey comb” agatha tunggadewi p, arsa hadiyatama w.a, wisnu riyadi, bambang tri h | perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier 78 tulang dengan menghambat aktivitas mediator lokal yang mengontrol metabolisme kalsium sedangkan kortikosteroid intralesi bekerja dengan menghambat aktivitas sel raksasa pada lesi.3,8,21 perawatan ini direkomendasikan menjadi perawatan utama karena sederhana, murah, dan tidak invasif sehingga struktur yang terlibat dapat dipertahankan.18 hemodialisis dan transplantasi ginjal juga dapat menjadi pilihan perawatan brown tumor dengan tujuan mengembalikan fungsi ginjal. kedua perawatan ini bertujuan untuk menormalkan kadar pth dalam serum.18,23 beberapa literatur laporan kasus pasien menunjukkan tidak optimalnya perawatan lesi brown tumor yang hanya dilakukan melalui prosedur manajemen kadar pth pada tubuh. beberapa kasus pasien tersebut menunjukkan kegagalan perawatan brown tumor yang ditandai dengan pembengkakan yang semakin parah dan munculnya pembengkakan pada regio ekstraoral yang disertai dengan gangguan sistemik seperti rasa lelah dan nyeri pada tubuh. hal ini menjadi alasan perlunya perawatan brown tumor yang dilakukan secara lokal melalui tindakan bedah.4,9 tindakan bedah berupa kuretase dan enukleasi dapat dilakukan dalam perawatan brown tumor.10,13,21 perawatan ini menjadi pilihan perawatan utama jika lesi brown tumor tidak mengalami penyembuhan setelah perawatan nonbedah, berkembang secara progresif, menimbulkan deformitas pada wajah, dan pasien menginginkan penyembuhan yang lebih cepat.9,16,31 enukleasi dan kuretase merupakan tindakan bedah yang sering dilakukan dalam perawatan brown tumor.6,10,21 enukleasi merupakan pengangkatan lesi baik dari lapisan pembungkus maupun isinya sementara kuretase merupakan pemisahan lesi dari jaringan sekitar dengan pemotongan. enukleasi diindikasikan pada lesi yang ekspansif dan tingkat rekurensinya tinggi sementara kuretase diindikasikan pada lesi yang kecil dan tidak ekspansif.10,32 tindakan bedah berupa enuklasi atau kuretase memberikan hasil yang baik pada perawatan brown tumor di mana lesi mengalami penyembuhan setelah dilakukannya normalisasi kadar pth dan perawatan bedah (36,3% kasus).4,9,10,16,21 kesimpulan brown tumor pada mandibular merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan kondisi hiperparatiroidisme tersier di mana lesi ini bersifat ekspansif, destruktif, dan dapat menyebabkan gangguan sensori pada regio maksilofasial. pemeriksaan klinis, laboratoris, histologis, serta radiografis yang baik menghasilkan diagnosis yang tepat sehingga perawatan lesi brown tumor dapat dilakukan secara tepat. jenis perawatan lesi brown tumor dipilih berdasarkan kondisi sistemik pasien serta keparahan dan perluasan dari lesi sehingga pemilihan jenis perawatan yang tepat dapat mencegah keparahan dan mengurangi kerusakan akibat lesi tersebut. daftar pustaka 1. nunes tb, bologna sb, witzel al, nico mms, lourenço sv. a rare case of concomitant maxilla and mandible brown tumours, papillary thyroid carcinoma, parathyroid adenoma, and osteitis fibrosa cystica, case reports in dentistry. 2016. https://doi.org/10.1155/2016/5320298 2. choi jh, kim kj, lee yj, kim sh, kim sg, jung ky, et al. primary hyperparathyroidism with extensive brown tumors and multiple fractures in a 20-year-old woman, endocrinology and metabolism. 2015;30(4):614–619. https://doi.org/10.1155/2016/5320298 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 79 https://doi.org/10.3803/enm.2015.30. 4.614 3. singhal a, chandra b, seth s. unusually large brown tumor of mandible in a case of secondary hyperparathyroidism mimicking cherubism, indian journal of nuclear medicine. 2019;33(2):359–362. 4. talukder s, behera a, bhadada sk, mitra s. giant mediastinal parathyroid adenoma presenting as bilateral brown tumour of mandible: a rare presentation of primary hyperparathyroidism, british medical journal,2017;1–5. https://doi.org/10.1136/bcr-2017220722 5. palla b, burian e, fliefel r, otto s. systematic review of oral manifestations related to hyperparathyroidism, clinical oral investigation.2018;22(1):1–28. https://doi.org/10.1007/s00784-0172124-0 6. brabyn p, capote a, belloti m, zylberberg i. hyperparathyroidism diagnosed due to brown tumors of the jaw: a case report and literature review, journal of oral and maxillofacial surgery. 2017;75(10):2162–9. https://doi.org/10.1016/j.joms.2017.03 .013 7. jafari-pozve n, ataie-khorasgani m, jafari-pozve n, ataie-khorasgani m, ataie-khorasgani m, jafari-pozve s. maxillofacial brown tumors in secondary hyperparathyroidism: a case report and literature review. j res med sci. 2014;19(11):1099–102. 8. zou h, song l, jia m, wang l, sun y. brown tumor of multiple facial bones associated with primary hyperparathyroidism: a clinical case report., medicine. 2018;97(33):1–4. https://doi.org/10.1097/md.00000000 00011877 9. dorigatti de ávila é, de molon rs, cabrini gabrielli ma, hochuli-vieira e, sgavioli massucato em, de mellofilho fv, et al. unusually rapid growth of brown tumour in the mandible after parathyroidectomy associated with the presence of a supernumerary parathyroid gland, journal of craniomaxillofacial surgery, 40(1):e19–23. https://doi.org/10.1016/j.jcms.2011.01 .001 10. guéroult am, cameron m. rare brown tumour of the mandible secondary to tertiary hyperparathyroidism in a renal transplant recipient, british medical journal.2019;12(9):10–13. https://doi.org/10.1136/bcr-2019231231 11. effiom oa, ogundana om, akinshipo ao, akintoye so. ameloblastoma: current etiopathological concepts and management, oral disease. 2018; 24(3):307–316. https://doi.org/10.1111/odi.12646 12. gulati d, bansal v, dubey p, pandey s, agrawal a. central giant cell granuloma of posterior maxilla: first expression of primary hyperparathyroidism, case report of endocrinology. 2015. https://doi.org/10.1155/2015/170412 13. noleto j, ramos is, rocha j, garcia i. salvador roberto, b. a rare case of regression of brown tumors of tertiary hyperparathyroidism after parathyroidectomy and renal transplant: a 5-year follow-up, annual maxillofacial surgery. 2016;6(1):125. 10.4103/2231-0746.186123 14. baral r, ojha b, bajracharya d, bhattacharyya s, roy s, singh s. brown tumour of jaw bone: a diagnostic attribute of hyperparathyroidism, journal of nepal society of periodontology and oral implantology. 2017;1(2):72–74. https://doi.org/10.3803/enm.2015.30.4.614 https://doi.org/10.3803/enm.2015.30.4.614 https://doi.org/10.1136/bcr-2017-220722 https://doi.org/10.1136/bcr-2017-220722 https://doi.org/10.1007/s00784-017-2124-0 https://doi.org/10.1007/s00784-017-2124-0 https://doi.org/10.1016/j.joms.2017.03.013 https://doi.org/10.1016/j.joms.2017.03.013 https://doi.org/10.1097/md.0000000000011877 https://doi.org/10.1097/md.0000000000011877 https://doi.org/10.1016/j.jcms.2011.01.001 https://doi.org/10.1016/j.jcms.2011.01.001 https://doi.org/10.1136/bcr-2019-231231 https://doi.org/10.1136/bcr-2019-231231 https://doi.org/10.1111/odi.12646 https://doi.org/10.1155/2015/170412 https://dx.doi.org/10.4103%2f2231-0746.186123 agatha tunggadewi p, arsa hadiyatama w.a, wisnu riyadi, bambang tri h | perawatan brown tumor pada mandibula pasien dengan hiperparatiroid (hpt) tersier 80 https://doi.org/10.3126/jnspoi.v1i2.23 553 15. yucesoy t, kilic e, dogruel f, bayram f, alkan a, akcan ac, et al. spontaneous and excellent healing of bilateral brown tumors in mandible after endocrinal therapy and subtotal parathyroidectomy: case report with 4-year follow-up, case report in dentistry. 2018. https://doi.org/10.1155/2018/8070131 16. lajolo c, patini r, limongelli l. brown tumors of the oral cavity : presentation of 4 new cases and a systematic literature review. oral surgery, oral medicine, oral pathology, and oral radiology. 2020;129(6):575-584. https://doi.org/10.1016/j.oooo.2020.02 .002 17. selcuk aa. a guide for systematic reviews: prisma, turkish arch otorhinolaryngol, 2019;57(1):57–58. https://doi.org/10.5152/tao.2019.4058 18. bezerra, pinto, as. brown tumor: a late complication of secondary hyperparathyroidism, biomedical journal of science and technology research, 2018;6(3):5274–5277. https://doi.org/10.26717/bjstr.2018. 06.001351 19. cozzolino m, galassi a, conte f, mangano m, di lullo l, bellasi a. treatment of secondary hyperparathyroidism: the clinical utility of etelcalcetide, therapeutics and clinical risk management. 2017;13:679–689. https://doi.org/10.2147/tcrm.s1084 90 20. elhafeez sa, bolignano d, d’arrigo g, dounousi e, tripepi g, zoccali c. prevalence and burden of chronic kidney disease among the general population and high-risk groups in africa: a systematic review, british medical journal, 2018;8(1). http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen2016-015069 21. popovik-monevska d, bozovikdvojakovska s, popovski v, benedetti a, grchev a, koneski f. 2018, brown tumour in the mandible and skull osteosclerosis associated with primary hyperparathyroidism – a case report, open access maced journal of medical science, 6(2):406–409. https://doi.org/10.3889/oamjms.2018. 086 22. sia hk, hsieh mc, yang lh, tu ste. 2012, maxillary brown tumor as initial presentation of parathyroid adenoma: a case report, kaohsiung journal medical science. 2012;28(7):400–403. https://doi.org/10.1016/j.kjms.2012.02 .008 23. wilson jj, schwartz hc, tehrany gm. 2013, brown tumor of the posterior maxilla as initial manifestation of primary hyperparathyroidism: case report, journal of oral and maxillofacial surgery, 71(5):886–890. https://doi.org/10.1016/j.joms.2012.11 .013 24. altay c, erdogan n, eren e, altay s, karasu s, uluç e. 2013, computed tomography findings of an unusual maxillary sinus mass: brown tumor due to tertiary hyperparathyroidism, journal of clin imaging science, 3(1):1–5. https://doi.org/10.4103/21567514.122325 25. rao kri, priya ns, rao k, ashwin dp. 2016, brown tumor of mandible in association with primary hyperparathyroidism, indian journal of oral science, 7(1):54. https://doi.org/10.4103/09766944.176385 26. shindo m, lee ja, lubitz cc, mccoy kl, orloff la, tufano rp, et al, 2016, the changing landscape of primary, secondary, and tertiary https://doi.org/10.3126/jnspoi.v1i2.23553 https://doi.org/10.3126/jnspoi.v1i2.23553 https://doi.org/10.1155/2018/8070131 https://doi.org/10.1016/j.oooo.2020.02.002 https://doi.org/10.1016/j.oooo.2020.02.002 https://doi.org/10.1155/2015/170412 https://doi.org/10.1155/2015/170412 https://doi.org/10.1155/2015/170412 https://doi.org/10.2147/tcrm.s108490 https://doi.org/10.2147/tcrm.s108490 http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen-2016-015069 http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen-2016-015069 https://dx.doi.org/10.3889%2foamjms.2018.086 https://dx.doi.org/10.3889%2foamjms.2018.086 https://doi.org/10.1016/j.kjms.2012.02.008 https://doi.org/10.1016/j.kjms.2012.02.008 https://doi.org/10.1016/j.joms.2012.11.013 https://doi.org/10.1016/j.joms.2012.11.013 https://dx.doi.org/10.4103%2f2156-7514.122325 https://dx.doi.org/10.4103%2f2156-7514.122325 http://dx.doi.org/10.4103/0976-6944.176385 http://dx.doi.org/10.4103/0976-6944.176385 insisiva dental journal: majalah kedokteran gigi insisiva, 10(2), november 2021, 71-81 81 hyperparathyroidism: highlights from the american college of surgeons panel, “what’s new for the surgeon caring for patients with hyperparathyroidism.”, j am coll surg, 222(6):1240–1250. https://doi.org/10.1016/j.jamcollsurg.2 016.02.024 27. pechalova pf, poriazova eg. 2013, brown tumor at the jaw in patients with secondary hyperparathyroidism due to chronic renal failure, acta medica, 56(2):83–86. https://doi.org/10.14712/18059694.20 14.29 28. pati ar, mubeen, vijayalakshmi kr, singh c. 2014, diagnosis and clinicoradiological presentation in an aggressive maxillary brown tumour, journal of clinica; diagnostic and research, 8(5):13–15. https://doi.org/10.7860/jcdr/2014/75 11.4358 29. verma p, verma kg, verma d, patwardhan n. 2014, craniofacial brown tumor as a result of secondary hyperparathyroidism in chronic renal disease patient: a rare entity, journal of oral and maxillofacial pathology, 18(2):267–270. https://doi.org/10.4103/0973029x.140779 30. gedik gk, ata o, karabagli p, sari o. 2014, differential diagnosis between secondary and tertiary hyperparathyroidism in a case of a giant-cell and brown tumor containing mass, journal of nuclear medicine, 17(3):214–217. https://doi.org/10.1967/s00244991014 7 31. can ö, boynueǧri b, gökçe am, özdemir e, ferhatoǧlu f, canbakan m, et al. brown tumors: a case report and review of the literature, case reports nephrol dial. 2016;6(1):46–52. https://doi.org/10.1159/000444703 32. masthan kmk, anitha n, krupaa j, manikkam s. ameloblastoma., journal of pharmatology bioallied science, 2015; 7(5): 167–170. https://doi.org/10.4103/09757406.155891 https://doi.org/10.1016/j.jamcollsurg.2016.02.024 https://doi.org/10.1016/j.jamcollsurg.2016.02.024 https://doi.org/10.14712/18059694.2014.29 https://doi.org/10.14712/18059694.2014.29 https://doi.org/10.7860/jcdr/2014/7511.4358 https://doi.org/10.7860/jcdr/2014/7511.4358 https://dx.doi.org/10.4103%2f0973-029x.140779 https://dx.doi.org/10.4103%2f0973-029x.140779 https://doi.org/10.1967/s002449910147 https://doi.org/10.1967/s002449910147 https://dx.doi.org/10.1159%2f000444703 http://dx.doi.org/10.4103/0975-7406.155891 http://dx.doi.org/10.4103/0975-7406.155891