31 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No.1 Bulan Mei Tahun 2017 Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur Management of Allergic Stomatitis Accompanied By Perioral Dermatitis Triggered Erna Sung1, Desiana Radithia2 1 Residen Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga 2 Dosen Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga Korespondensi: drgpearly@gmail.com Abstrak Pendahuluan: Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang dipicu oleh aktivasi IgE. Hipersensitivitas tipe I dapat berupa reaksi anafilaktik sistemik atau reaksi lokal yang ditandai oleh inflamasi dan kerusakan epitel mukosa. Telur ayam dikenal sebagai makanan yang sering memicu alergi akibat kandungan protein di dalamnya merangsang reaksi sistem imun secara berlebihan pada pasien tertentu. Tujuan: Laporan kasus ini bertujuan membahas penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral yang disebabkan oleh alergi telur ayam. Kasus: Seorang wanita berusia 18 tahun datang dengan keluhan utama bibir terasa perih dan tebal serta terdapat sariawan di lidah yang terasa perih bila disentuh. Keluhan dirasakan sejak pasien mengkonsumsi telur 3 hari sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap telur dan makanan laut. Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan edema, deskuamasi dan hiperpigmentasi di sekitar bibir. Pemeriksaan intraoral menunjukkan deskuamasi pada mukosa labial dan mukosa bukal, serta bercak putih yang terasa sakit pada dorsum dan lateral lidah. Tatalaksana: Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar IgE total. Pasien dirawat dengan obat kumur anti-inflamasi non steroid dan dirujuk untuk pemeriksaan alergi lebih lanjut, serta diberikan krim kortikosteroid topikal untuk mengatasi hiperpigmentasi dan rasa tebal pada daerah perioral. Pasien dianjurkan menghindari alergen. Perbaikan dicapai dalam 3 minggu dan pemeriksaan alergi menunjukkan positif alergi terhadap telur. Simpulan: Klinisi harus memahami berbagai manifestasi reaksi hipersensitivitas agar dapat menegakkan diagnosis dengan tepat dan menemukan pemicunya sehingga dapat memberikan perawatan yang tepat. Kata kunci: alergi makanan, hipersensitivitas tipe 1, stomatitis alergika, dermatitis perioral Abstract Introduction: Type I hypersensitivity is allergic reaction triggered by the activation of IgE. Type I hypersensitivity reaction may occur as a generalized anaphylaxis or as a localized reaction characterized by inflammation and epithelial damage. Chicken eggs are known as a common trigger of food allergy due to the protein content that stimulates excessive immune reaction in certain patients. Purpose: This case report aimed to discuss about management of allergic stomatitis accompanied by perioral dermatitis triggered by chicken egg. Case: An 18 year-old woman complained of thick sensation and tenderness on the lips, and sore on the tongue. Complaints arose since the patient consumed a fried egg three days before. The patient had a history of allergy to eggs and seafood. Extraoral examination showed oedema, desquamation and hyperpigmentation surrounding the lips. Intraoral examination showed desquamation on the labial and buccal mucosa, as well as painful white patches on the dorsal and lateral of tongue. Case management: Haematological examination showed elevated total IgE level. Patient was treated with non 32 Erna Sung, Desiana Radithia | Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur steroidal anti-inflammatory mouthwash and referred for further allergy tests, and was given a topical corticosteroid cream to reduce hyperpigmentation dan thick sensation of the perioral region. Patient was strictly advised to avoid allergen. Improvement was achieved within 3 weeks and allergy tests showed positive on allergy to eggs. Conclusion: Clinicians must comprehend the various manifestations of hypersensitivity reactions in order to establish the right diagnosis and find out the source of trigger to give the appropriate therapy. Keywords: food allergy, type I hypersensitivity, allergic stomatitis, perioral dermatitis PENDAHULUAN Alergi makanan adalah suatu reaksi adversi terhadap suatu makanan atau komponen makanan yang melibatkan sistem imun.1 Meskipun setiap makanan dapat memicu respon alergi, hanya beberapa famili protein yang menyebabkan sebagian besar reaksi alergi.2 Telur ayam adalah salah satu sumber protein yang penting dan banyak dikonsumsi di seluruh dunia.3 Telur juga merupakan salah satu penyebab alergi makanan paling umum pada bayi dan anak-anak, jarang terjadi pada orang dewasa.4,5 Meta-analisis terbaru tentang prevalensi alergi telur memperkirakan alergi telur mempengaruhi 0,5 sampai 2,5% anak- anak.4,6 Protein telur yang paling alergenik terkandung dalam putih telur (Gal d1-4) dibandingkan kuning telur (Gal d5).4,6 Alergi telur terjadi ketika proteinnya atau alergen dikenali host sebagai benda asing sehingga terjadinya respon penolakan oleh sistem imun terhadap alergen tersebut.3 Gell dan Coombs mengklasifikasikan alergen ke dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas yang telah direvisi oleh Janeway dan Traver pada 1995, yaitu reaksi tipe I dimediasi IgE (anafilaksis), tipe II atau reaksi sitotoksik, tipe III atau reaksi kompleks imun, dan tipe IV atau reaksi dimediasi sel (hipersensitivitas tipe lambat).7,8 Alergi telur umumnya dimediasi oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) yang biasanya dimulai beberapa menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan tertentu yang mempunyai kandungan alergen, dan alergi telur dikarakteristikkan dengan adanya antibodi IgE spesifik terhadap alergen protein telur.1,4,9 Alergi telur juga berkaitan dengan tipe lain dari alergi yang dimediasi IgE, kebanyakan terjadi pada populasi dewasa.6 Manifestasi klinis yang terjadi pada alergi makanan bersifat individual dan bervariasi dalam derajat/beratnya reaksi alergi, gejala dan tanda yang muncul berbeda-beda bergantung pada jenis organ sasaran dan lokasi terjadinya reaksi inflamasi, dapat bersifat tunggal atau merupakan kombinasi dari berbagai gejala pada beberapa organ sasaran pada suatu waktu yang bersamaan dan pada beberapa kasus dapat terjadi reaksi anafilaksis yang fatal.1 Pada laporan kasus ini akan membahas tentang penatalaksanaan stomatitis alergika disertai dermatitis perioral yang disebabkan alergi telur ayam. KASUS Seorang wanita berusia 18 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 11 September 2015 dengan keluhan bibir terasa perih dan tebal serta ada bercak putih di lidah yang terasa perih bila disentuh. Keluhan tersebut muncul sejak 3 hari yang lalu setelah pasien mengkonsumsi telur. Untuk mengatasi rasa perih, 33 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No.1 Bulan Mei Tahun 2017 pasien mengoleskan madu pada bibirnya, namun tidak ada perbaikan. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap telur dan makanan laut, biasanya reaksi alergi yang dialami berupa bengkak dan rasa gatal pada mata, dan belum pernah terjadi di bagian tubuh lainnya. Pasien pernah berobat ke dokter untuk mengatasi keluhan di matanya, dan diberikan obat tetes mata yang mengandung dexametasone sodium phosphate 1 mg, neomysin sulfate 3.5 mg dan polymixin B sulfate 6000 IU (Alletrol®) dengan dosis 2 tetes 3 kali sehari hingga keluhannya sembuh. Obat tetes hanya digunakan apabila muncul keluhan pada matanya. Pada kasus ini, pasien tidak menggunakan obat tetes mata karena reaksi alergi yang timbul tidak terjadi pada mata. Pemeriksaan klinis ekstra oral, pada bibir atas dan bawah terlihat adanya pembengkakan, dan di daerah perioral bibir atas terdapat deskuamasi berwarna putih, berbatas jelas, permukaan kasar dan sakit, sedangkan pada daerah perioral bibir bawah terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman disertai deskuamasi, berbatas jelas, permukaan kasar dan sakit (Gambar 1A). Pada palpasi kelenjar limfe submandibularis dextra dan sinistra teraba, kenyal, dapat digerakkan dan tidak sakit. Pemeriksaan klinis intra oral, pada mukosa labial superior dan inferior serta mukosa bukal dextra dan sinistra terlihat adanya deskuamasi, multipel, berwarna putih, batas difus dan tidak sakit. Pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval dengan ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, terasa sakit (Gambar 1B). Pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan terasa sakit (Gambar 1C). TATALAKSANA KASUS Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, pasien didiagnosis sementara stomatitis alergika dengan diagnosis banding fixed food eruption. Pasien dirujuk untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap dan IgE total, kemudian diresepkan obat kumur anti inflamasi non steroid yang mengandung chlorine dioxide, zinc dan aloe vera digunakan berkumur 3 kali sehari sebanyak 10 ml selama 60 detik kemudian dibuang dan juga dioleskan pada daerah perioral selama 3 hari. Pasien diintruksikan untuk menghindari makanan yang bersifat alergen terutama telur dan makanan laut serta meningkatkan asupan cairan. Pada kunjungan kedua, pasien merasa lidahnya telah sembuh dan tidak perih setelah 2 hari pemakaian obat kumur yang diresepkan, bibirnya tidak terasa tebal lagi namun masih terdapat garis kehitaman pada tepi bibir bawah sehingga pasien merasa tidak nyaman. Pasien menggunakan obat kumur secara teratur dan tidak mengkonsumsi telur selama 1 minggu. Oleh karena kesibukannya sebagai mahasiswa baru, pasien hanya bisa berobat ke RSGM Unair pada hari tertentu saja. Pemeriksaan klinis ektra oral, pada daerah perioral bibir atas masih terdapat deskuamasi, berbatas jelas mengikuti bentuk vermilion border bibir atas dan tidak sakit, pada daerah perioral bibir bawah terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman disertai deskuamasi, tidak sakit. Pemeriksaan klinis intra oral, pada mukosa labial inferior dan mukosa bukal bilateral masih terdapat sedikit deskuamasi multipel, berwarna putih dengan tepi irreguler, tidak sakit. Pada mukosa labial superior tidak ada abnormalitas, dan lesi pada lidah telah sembuh 34 Erna Sung, Desiana Radithia | Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur (Gambar 2A&B). Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan laju endap darah (LED) 11-23 mm/jam (N ≤ 12 per jam), eosinofil 3% (N 1-2%), segmen 72% (N 54-62), IgE total 206 IU/ml (N <100 IU/ml), dan hasil laboratorium lainnya dalam batas normal. Diagnosis pada kunjungan ini adalah stomatitis alergika disertai dermatitis perioral dengan dugaan alergi telur. Pasien diinstruksikan untuk melanjutkan pemakaian obat kumur dan menghindari makanan yang mengandung telur serta dirujuk untuk melakukan pemeriksaan alergi (skin prick test) di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pada kunjungan ketiga, pasien merasa bibirnya sudah membaik, namun garis kehitaman pada tepi bibir bawah belum menghilang. Pasien masih menggunakan obat kumur secara teratur dan telah melakukan pemeriksaan alergi di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan diberikan obat Loratadine 10 mg sebanyak 10 tablet dengan dosis 1 tablet per hari. Pemeriksaan klinis ekstra oral, pada daerah perioral bibir bawah masih terdapat makula linear berwarna coklat kehitaman berbatas jelas disertai deskuamasi, tidak sakit. Pada pemeriksaan intra oral tidak ditemukan kelainan. Hasil pemeriksaan alergi menunjukkan bahwa pasien positif terhadap beberapa alergen (Tabel 1). Alergen kuat adalah debu rumah, daging ayam dan putih telur ayam. Alergen sedang adalah susu sapi, kuning telur ayam, udang dan bandeng. Alergen ringan adalah pindang dan pisang. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis definitif pada kasus ini adalah stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur. Pengobatan yang diberikan adalah krim mometasone furoate 0.1% yang dioleskan tipis pada daerah perioral yang mengalami hiperpigmentasi, digunakan satu kali per hari hingga hiperpigmentasinya memudar. Pasien diintruksikan untuk menghindari alergen yang menunjukkan hasil positif pada skin prick test dan kontrol 1 minggu kemudian. Tabel 1. Hasil pemeriksaan alergi Alergen + ++ +++ Debu rumah  Daging ayam  Susu sapi  Putih telur ayam  Kuning telur ayam  Udang  Bandeng  Pindang  Pisang  Keterangan : + = Urtikaria dengan diameter ≤ 2 mm ++ = Urtikaria dengan diameter 2-4 mm +++ = Urtikaria dengan diameter 4-6 mm Pada kunjungan keempat, pasien datang tidak sesuai dengan waktu kontrol yang ditentukan yaitu 1 minggu setelah perawatan terakhir. Pasien mengatakan bahwa garis kehitaman pada tepi bibir bawahnya telah sembuh sekitar 8 hari yang lalu. Pasien tidak mengkonsumsi obat yang diresepkan dari poli THT dengan alasan selama ini tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan, pasien hanya menggunakan obat oles secara teratur dan telah dihentikan pemakaiannya sejak hiperpigmentasinya memudar. Alergi tidak pernah kambuh lagi sejak pasien menghindari makanan penyebab alergi. Pada pemeriksaan klinis ekstra oral dan intra oral tidak ditemukan 35 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No.1 Bulan Mei Tahun 2017 adanya abnormalitas (Gambar 3). Pasien diinstruksikan untuk menghentikan penggunaan obat oles dan tetap menghindari makanan yang bersifat alergen. PEMBAHASAN Berdasarkan klasifikasi yang diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinically Immunology (EAACI), alergi telur ayam adalah suatu reaksi adversi dengan mekanisme imunologi patogenik yang disebabkan oleh asupan atau kontak dengan telur dan proteinnya.3 Putih telur mengandung 23 glikoprotein; ovomucoid (Gal d1, 11%), ovalbumin (Gal d2, 54%), dan ovotransferrin (Gal d3, 12%), lysozyme (Gal d4, 3.4%) merupakan protein putih telur yang alergenik.6 Ovomucoid resisten terhadap pemanasan dan degenerasi enzim pencernaan sehingga ovomucoid merupakan protein yang paling alergenik, sedangkan ovalbumin merupakan protein paling banyak dalam putih telur.4 Beberapa alergen lainnya yang diidentifikasi dalam kuning telur, meliputi vitellenin (apovitellenin I) dan apoprotein B (apovitellenin VI), meskipun perannya dalam alergi makanan masih belum jelas.4 Alergi telur ayam merupakan alergi makanan yang dimediasi IgE paling umum pada anak- anak.10 Alergi ini cenderung bermanifestasi dibawah usia 2 tahun dan 50% pasien mampu mencapai toleransi pada usia 3-4 tahun, 60- 74% pada usia 5 tahun.3 Frekuensi alergi telur 3 kali lebih tinggi pada anak-anak daripada orang dewasa.11 Pada umumnya manifestasi klinis alergi makanan melibatkan kulit (gatal, urtikaria, eczema dan bercak eritematous), saluran cerna (bengkak dan gatal pada bibir, mulut atau tenggorok, mual, muntah, kram perut dan diare), serta saluran napas (bersin- bersin, ingus yang encer dan bening, ataupun sesak nafas).1 Pada kasus ini, seorang wanita berusia 18 tahun mengeluhkan rasa tebal dan perih pada bibir dan timbul bercak putih perih pada lidah muncul sejak 3 hari yang lalu setelah pasien mengkonsumsi telur, dimana pada pemeriksaan klinis terdapat plak putih pada dorsum lidah dan papula multipel berwarna putih yang terasa perih serta adanya deskuamasi pada mukosa mulut, dan adanya peradangan pada daerah perioral berupa deskuamasi dan hiperpigmentasi mengikuti bentuk bibir disertai rasa perih. Pada pemeriksaan darah lengkap dan kadar IgE total didapatkan hasil adanya peningkatan LED dan eosinofil dan serum IgE total, dan SPT menunjukkan hasil positif terhadap telur dan beberapa alergen lainnya. Berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang maka kami mendiagnosis sebagai stomatitis alergika disertai dermatitis perioral akibat alergi telur. Hipersensitivitas segera (tipe I) merupakan reaksi alergi akibat aktivasi subset TH2 dari sel T-helper CD4+ oleh antigen lingkungan, yang menyebabkan produksi antibodi IgE yang akan berikatan dengan sel mast. Apabila molekul IgE tersebut mengikat alergen dari protein telur, sel mast akan terpicu untuk melepaskan mediator yang mempengaruhi permeabilitas vaskular dan menginduksi kontraksi otot polos pada berbagai organ secara sementara, juga memperpanjang inflamasi. Reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau sebagai kelainan lokal. Bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk pajanan antigen. Pajanan sistemik terhadap antigen protein 36 Erna Sung, Desiana Radithia | Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur atau obat dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. Reaksi lokal biasanya terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti pada kulit (kontak, menyebabkan utikaria), saluran pencernaan (ditelan, me-nyebabkan diare), atau lambung (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).12 Reaksi alergi terhadap telur dimediasi imunoglobulin E merupakan karakteristik dari reaksi alergi makanan tipe ini. Kegagalan perkembangan toleransi terhadap makanan yang masuk melalui mulut menyebabkan produksi antibodi IgE spesifik yang berlebihan. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor afinitas tinggi FcɛRI pada sel mast dan basofil, serta reseptor afinitas rendah FcɛRII (CD23) pada makrofag, monosit, limfosit dan platelet. Ketika alergen telur menembus barrier mukosa dan berikatan dengan antibodi IgE pada sel mast dan basofil, sel-sel ini melepaskan berbagai mediator inflamasi antara lain vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula, mediator lipid yang baru disintesa, dan sitokin.3,10,12,13 Degranulasi sel mast menyebabkan pelepasan histamin dan substansi lainnya yang dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan menyebabkan pembengkakan jaringan lunak (angioedema)14, seperti pada kasus ini menyebabkan rasa tebal pada bibir pasien dan inflamasi lokal berupa stomatitis alergika pada lidah dan mukosa mulut, sehingga menimbulkan gejala yang khas dari hipersensitivitas segera.12,15 Reaksi yang dipicu IgE mempunyai dua fase yang jelas yaitu reaksi segera, ditandai oleh vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos, biasanya terjadi 5 sampai 10 menit setelah pemajanan terhadap alergen dan akan mereda dalam 60 menit. Kedua, reaksi fase lambat, yang biasanya mulai 2 sampai 8 jam kemudian dan mungkin berlangsung beberapa hari dan ditandai oleh inflamasi dan kerusakan jaringan seperti kerusakan epitel mukosa. Sel radang yang dominan adalah neutrofil, eosinofil dan limfosit terutama sel TH2. 12 Manifestasi alergi telur pada kasus ini berupa stomatitis alergika dan dermatitis perioral. Stomatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang dapat disebabkan oleh alergen, seperti obat-obatan, makanan dan bahan kedokteran gigi. Manifestasi oral dari stomatitis alergika diawali dengan adanya vesikula multipel yang akan menjadi ulser yang ditutupi fibrin dengan tepi eritematous disertai inflamasi dan rasa nyeri. Pada umumnya reaksi alergi pada mukosa mulut berupa ulser multipel yang dapat terjadi diseluruh bagian rongga mulut16, namun pada kasus ini manifestasinya berupa plak dan papula putih yang nyeri pada lidah dan deskuamasi disertai hiperpigmentasi pada daerah perioral. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang ditandai dengan inflamasi, kekambuhan kronik dan lesi eksim yang gatal.17 Dermatitis atopik pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh bagian atas, fleksura, bibir dan tangan.18 Lesi berupa papula/plak eritematosa, kering, berskuama dan terdapat likenifikasi. Pada kulit berwarna gelap, hipopigmentasi paska inflamasi maupun hiperpigmentasi dapat terjadi, hiperpigmentasi terutama terjadi di daerah likenifikasi.17 Stomatitis alergika dan dermatitis atopik pada daerah perioral ini kami klasifikasikan ke dalam hipersensitivitas tipe I reaksi fase lambat, karena inflamasi dan kerusakan 37 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No.1 Bulan Mei Tahun 2017 epitel terjadi beberapa jam setelah pemajanan alergen dan berlangsung beberapa hari disertai adanya peningkatan kadar IgE total. Sitokin yang dilepaskan dari sel mast, basofil dan sel TH2 yang teraktivasi sangat berperan pada inflamasi yang berhubungan dengan reaksi fase lambat.13 Sitokin tersebut meliputi TNF, IL-1, IL-4, IL-5, IL-13, CCL3, CCL4, dan berbagai colony-stimulating factor seperti IL-3 dan granulocyte-monosit colony-stimulating factor (GM-CSF). TNF mengaktivasi ekspresi molekul adhesi endotel dan bersama dengan sejumlah kemokin untuk infiltrasi neutrofil dan monosit. Sitokin IL-5 yang dihasilkan sel TH2 mengaktivasi eosinofil dan merekrutnya ke daerah inflamasi reaksi fase lambat. IL-5 merupakan sitokin eosinophil-activating poten, yang meningkatkan kemampuan eosinofil untuk melepaskan konten granula.13 Granula eosinofil mengandung major basic protein dan eosinophil cationic protein yang bersifat toksik terhadap parasit tetapi juga menyebabkan nekrosis sel epitel.12,13 Di samping IL-5, IL-3 dan GM-CSF berkontribusi pada pengaktifan eosinofil pada inflamasi alergi melalui kapasitasnya untuk memperpanjang kelangsungan hidup eosinofil dan memicu aktivasi eosinofil.19 Eosinofil yang teraktivasi, seperti halnya sel mast dan basofil, memproduksi dan melepaskan mediator lipid, diantaranya LTC4 dan PAF yang meningkatkan inflamasi.12,13 Reaksi fase lambat ini dapat terjadi tanpa didahului reaksi hipersensitivitas segera.13 Imunoglobulin E (IgE) adalah antibodi yang berperan pada proses alergi.1 Pemeriksaan kadar IgE total diperlukan untuk mendeteksi penyakit alergi tipe I dan penyakit non alergi (infeksi parasit/jamur, immunodefisiensi, keganasan contohnya leukemia-limfoma).1,16,20 Pemeriksaan kadar IgE total sering dikerjakan pada evaluasi awal penderita alergi, total namun pemeriksaan tersebut tidak memastikan alergen karena hanya mengukur kadar IgE dalam serum darah penderita. Kadar total IgE yang tinggi hanya memberikan indikasi bahwa pasien memiliki bakat atau kecenderungan yang kuat untuk mengalami reaksi alergi.1 Peningkatan eosinofil menunjukkan adanya reaksi alergi atau infeksi parasit (terutama cacing) di dalam tubuh. Sementara peningkatan nilai LED disebabkan oleh meningkatnya viskositas plasma terjadi pada kondisi infeksi akut dan kronis.16,21 Skin prick test (SPT) merupakan prosedur in vivo standar yang cukup aman dan dapat mendeteksi adanya IgE terhadap protein spesifik yang terdapat pada makanan. Pada umumnya SPT dianggap positif bila didapatkan bintul dengan diameter ≥ 2-3 mm dibandingkan diameter kontrol negatif dan dapat disertai eritema berdiameter 10 mm atau lebih disekelilingnya. Hasil positif terhadap alergen tertentu pada SPT semata-mata menunjukkan bahwa pada penderita didapatkan IgE spesifik terhadap alergen tersebut.1 Pada kasus ini, pasien mempunyai alergi terhadap debu, daging ayam, putih telur ayam dengan nilai SPT +3, dan +2 untuk kuning telur, susu sapi, bandeng dan udang, sedangkan pindang dan pisang +1. Semakin besar ukuran bintul yang timbul, semakin besar pula kemungkinannya individu tersebut bereaksi dengan komponen makanan yang dicurigai tersebut, namun demikian hal ini tidak bisa diartikan sebagai prediktor beratnya manifestasi klinis yang muncul.1 Penatalaksanaan untuk kasus ini, pasien disarankan untuk menghindari konsumsi telur dan produk makanan yang mengandung telur dan 38 Erna Sung, Desiana Radithia | Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur diberikan perawatan yang bersifat simptomatis karena reaksi alergi yang dialami berupa reaksi lokal, pasien tidak mengalami functio laesa dan masih bisa beraktivitas. Peresepan obat kumur yang mengandung chlorine dioxide, zinc dan aloe vera sebagai terapi simptomatis. Chlorine dioxide menghasilkan oksigen yang dapat membantu proses penyembuhan jaringan. Oksigen penting untuk metabolisme sel, khususnya produksi energi melalui adenosine triphosphate (ATP). Oksigen mencegah infeksi pada ulser, merangsang angiogenesis, meningkatkan diferensiasi, migrasi dan re-epitelisasi keratinosit, meningkatkan proliferasi fibroblas dan sistesis kolagen, serta memicu kontraksi ulser. Selain itu, kadar produksi superoksida yang diperlukan oleh leukosit polimorfonuklear untuk membunuh bakteri sangat bergantung pada kadar oksigen.22 Zinc merupakan ko-enzim yang berperan dalam proliferasi sel, penyembuhan luka, proteksi terhadap radikal bebas, proteksi terhadap infeksi, regenerasi epitel dan sistem imunitas.23 Kandungan aloe vera dalam obat kumur memiliki efek simptomatis yaitu sebagai anti inflamasi diharapkan dapat mengurangi keluhan pasien. Aloe vera dapat menjadi agen anti inflamasi melalui kemampuannya menghambat sitokin pro inflamasi.23 P e m b e r i a n k o r t i k o s t e r o i d t o p i k a l dimaksudkan untuk mengatasi dermatitis atopik pada daerah perioral. Kortikosteroid telah dikenal dan dikembangkan pada tahun 1952 sebagai terapi topikal pada berbagai dermatosis karena keunggulannya, terutama sebagai anti-inflamasi, anti-alergi dan anti proliferasi.17 Kortikosteroid topikal merupakan obat lini pertama pada dermatitis atopik sedang dan dermatitis atopik berat.17,24 Kortikosteroid topikal potensi sedang atau tinggi efektif untuk dermatitis atopik dan eksim pada orang dewasa dan anak-anak.25 Kortikosteroid topikal yang diresepkan pada kasus ini adalah krim mometasone furoate 0,1%. Mometasone furoate 0,1% merupakan kortikosteroid topikal potensi sedang yang menekan pembentukan, pelepasan dan aktivitas mediator inflamasi endogen termasuk prostaglandin, kinin, histamin, enzim liposomal dan sistem komplemen; memodifikasi respon imun tubuh.26 Keberhasilan dalam penatalaksanaan reaksi alergi ini bukan hanya ditentukan oleh perawatan yang diberikan, tetapi diperlukan juga kerjasama pasien dalam mematuhi instruksi yang diberikan. SIMPULAN Penatalaksanaan alergi makanan dapat berhasil dengan baik bila klinisi memahami tentang manifestasi klinis dan patogenesis reaksi hipersensitivitas terhadap makanan sehingga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dan pemilihan perawatan yang tepat. Selain itu, dibutuhkan juga kepatuhan pasien dalam perawatan dan menghindari alergen makanan yang menjadi penyebabnya. REFERENSI 1. Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B., Santoso, D., Soegiarto, G. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga University Press. pp 13-67, 2015. 2. Wang, J., Sampson, H.A. 2011. Food allergy. J Clin Invest, 121(3):827–35. 3. Martorell, A., Alonso, E., Boné, J., Echeverría, L., López, M.C., Martín, F., Nevot, S., Plaza, A. 2013. Position 39 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No.1 Bulan Mei Tahun 2017 document: IgE-mediated allergy to egg protein. Allergol Immunopathol (Madr), 41(5):320–36. 4. Tan, J.W., Joshi, P. 2014. Egg allergy: An update. J Paediatr Child Health, 50(1):11– 5. 5. Ünsel, M., Sin, A.Z., Ardeniz, Ö., Erdem, N., Ersoy, R., Gulbahar, O., Mete, N., Kokuludağ, A. 2007. New onset egg allergy in an adult. J Investig Allergol Clin Immunol, 17(1):55–8. 6. Caubet, J.C., Wang, J. 2011. Current understanding of egg allergy. Pediatr Clin North Am, 58(2):1–6. 7. Murphy. Janeway’s immunobiology. 7th ed. New York: Garland Science; pp555-580, 2008. 8. Atkinson, J.C., Moutsopoulus, N., Pillemer, S.R., Imanguli, M.M., Chalacombe, S. Immunologic diseases. In: Glick M, editor. Burket’s oral medicine. 12th ed. Shelton: PMPH-USA, (20):516–9. 9. Savage, J.H., Wood, R.A. Natural course. In: Sicherer SH, editor. Food allergy practical diagnosis and management. Boca Raton: CRC Press, pp. 268–71, 2014. 10. Nowak-Wegrzyn, A., Burks, A.W. Reactions to foods. In: Adkinson NF, Bochner BS, Burks W, Busse WW, Holgate ST, Lemanske RF, et al., editors. Middleton’s allergy and practice. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Inc., pp.1310–38, 2014. 11. Baumgartner, S., Schubert-Ullrich, P. Egg Allergen. In: Jedrychowski L, Wicher HJ, editors. Chemical and biological properties of food allergens. New York: CRC Press, pp. 213–9, 2010. 12. Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. Robbins basic pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Inc., pp. 110-114, 2013. 13. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. IgE-dependent immune responses and allergic disease. In: Cellular and molecular immunology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Inc., pp. 425–38, 2012. 14. Field, A., Longman, L. Tyldesley’s oral medicine. 5th ed. New York: Oxford University Press, pp.168, 2003. 15. Kresno, S.B. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. 5th ed. Jakarta: FKUI, pp161-170, 398-415, 2013. 16. Indrawati, E., Harijanti, K. 2014. Management of allergic stomatitis due to daily food consumption. Dentofasial, 13(2):129–34. 17. Diana, I.A., Boediardja, S.A., Soebaryo, R.W., Sutedja, E., Lokanata, M.D., Sugito, T.L., Danarti, R., Prihanti, A.T., Rahmayunita, G., Astriningrum, R. Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp. 16-136, 2014. 18. Evina, B. 2015. Clinical manifestations and diagnostic criteria of atopic dermatitis. J Major, 4(4):23–30. 19. Steinke, J.W., Rosenwasser, L.J., Borish, L. Cytokines in allergic inflammation. In: Middleton’s allergy and practice. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Inc., pp. 71–3, 2014. 20. Wardhana, Datau, E. A. 2010. Recurrent aphthous stomatitis caused by food allergy. Acta Med Indones, 42(4):236–40. 21. Kemenkes RI. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Depkes, pp.19–21, 2011. 22. Guo, S., DiPietro, L.A. 2010. Factors affecting wound healing. J Dent Res, 40 Erna Sung, Desiana Radithia | Penatalaksanaan Stomatitis Alergika Disertai Dermatitis Perioral Akibat Alergi Telur 89(3):219–134. 23. Moslemi, D., Babaee, N., Damavandi, M., Pourghasem, M., Moghadamnia, A.A. 2014. Oral zinc sulphate and prevention of radiation-induced oropharyngealmucositis in patients with head and neck cancers: a double blind, randomized controlled clinical trial. Int J Radiat Res, 12(3):2. 24. Kapadia, N., Ghouri. S. 2008. Efficacy, safety and tolerability of mometasone furoate 0,1% cream, ointment and lotion in childhood eczema. J Pakistan Assoc Dermatologist, 18:93–6. 25. Ference, J.D., Last, A.R. 2009. Choosing topikal corticosteroids. Am Fam Physician, 79(2):135–40. 26. Wolter Kluwer Health. Mometasone Furoate, 2009, (Online), (http://www. drugs.com/ppa/mometasone-furoate.html, diakses 30 Maret 2016). 46 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No. 1 Bulan Mei Tahun 2017 Gambar 1A. Pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. B. Pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. C. Pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. Gambar 2A&B. Pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh Gambar 3. Pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. Gambar 1 A. Pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. B. Pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. C. Pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. 46 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No. 1 Bulan Mei Tahun 2017 Gambar 1A. Pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. B. Pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. C. Pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. Gambar 2A&B. Pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh Gambar 3. Pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. Gambar 2A&B. Pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh 46 Insisiva Dental Journal, Vol. 6 No. 1 Bulan Mei Tahun 2017 Gambar 1A. Pada kunjungan pertama, terlihat adanya deskuamasi dan sakit pada daerah perioral. B. Pada dorsum lidah terdapat plak putih berbentuk oval, ukuran 5x10 mm, berbatas jelas, tepi irreguler, sakit. C. Pada lateral lidah terdapat papula warna putih, multipel, diameter ± 1 mm, berbatas jelas dengan tepi reguler, dan sakit. Gambar 2A&B. Pada kunjungan ke-2, lesi di lidah telah sembuh Gambar 3. Pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar. Gambar 3. Pada kunjungan ke-4, hiperpigmentasi pada perioral infra labial telah memudar.