dinasti politik dalam pilkada di indonesia 111 citation : susanti, martien herna. 2017. “dinasti politik dalam pilkada di indonesia”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, 111-119. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 111-119 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x dinasti politik dalam pilkada di indonesia martien herna susanti1 1program studi ilmu politik fakultas ilmu sosial universitas negeri semarang, indonesia email: martienhernasusanti@mail.unnes.ac.id abstrak kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang pilkada. oligarki di tubuh partai politik dapat dilihat dari kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik lebih didasarkan atas keinginan elit partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon. secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat hingga mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik. dalam konteks masyarakat juga terdapat upaya menjaga status quo di daerahnya dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana. regulasi yang lemah untuk memangkas dinasti politik turut menjadi penyebab meluasnya dinasti politik dalam pilkada. praktik politik dinasti juga ditengarai menjadikan lemahnya fungsi checks and balances hingga berdampak pada tindakan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah beserta kerabatnya. tahun 2017 ini merupakan paruh kedua babak baru pemilihan kepala daerah, setelah paruh pertama pada tahun 2015. sistem pemilukada memang baru, namun wajah-wajah lama yang tidak lain merupakan keberlanjutan dari dinasti politik mewarnai perhelatan pilkada ini yang dikhawatirkan dapat mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. kata kunci: dinasti politik, demokrasi, pilkada abstract the presence of political dynasties in power struggles from regional to national level is inseparable from the role of political parties and the regulation of the regional head elections. oligarchy on the body of a political party can be seen from the tendency of candidates nominating by political parties based more on the wishes of party elites, not through democratic mechanisms by considering the ability and integrity of the candidates. simultaneously, political dynasties continue to establish solid networks of power so they can dominate and kill democracy within political parties. in the context of society, there is also an effort to maintain the status quo in the region by encouraging families or people close to the head of the region to replace the incumbent. weak regulation to trim political dynasties has contributed to the widespread political dynasty in the regional head elections. the practice of dynastic politics is also suspected to make the weakness of checks and balances function to the effect of corruption acts committed by the head of the region and their relatives. in the year 2017 is the second half of a new round of regional head elections, after the first half in 2015. the regional head elections system is new, but the old faces that are nothing but the continuity of the political dynasty characterize this pilkada event which is feared could threaten the phase of democratic transition towards consolidation of democracy. keyword: political dynasties, democracy, the regional head elections journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 112 martien herna susanti pendahuluan dinasti politik telah lama hadir di negara-negara demokrasi dan meningkatkan kekhawatiran terjadinya ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik yang dapat mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis dalam politik yang disebut dengan kekuasaan melahirkan kekuatan. hal ini mengingatkan kembali kekhawatiran mosca, bahwa setiap kelas menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, bahkan ketika posisi politik terbuka untuk semua, kedudukan keluarga penguasa akan dianugerahi berbagai keuntungan (synder, dkk, 2009:115). dalam demokrasi yang ideal, seharusnya rakyat memiliki peluang yang lebih besar untuk terlibat dalam proses politik. artinya sangat terbuka ruang partisipasi bagi seluruh masyarakat untuk ikut berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik mulai dari level regional hingga nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. kenyataannya, masyarakat masih terhalang oleh status atau hak-hak sosialnya sebagai akibat dari adanya fenomena political dinasty. jika demokrasi memiliki arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka dinasti politik ini telah menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan kerabat kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan. tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di daerah tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang pilkada. oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. selama ini terdapat kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik berdasarkan keinginan elit partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon. secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah maupun pusat. sehingga dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik. dalam konteks masyarakat sendiri juga muncul sinyalemen upaya menjaga status quo di daerahnya dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana. regulasi yang lemah untuk memangkas dinasti politik turut menjadi penyebab meluasnya dinasti politik dalam pilkada. hadirnya undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang pilkada sebenarnya memberikan angin segar dalam membatasi dinasti politik dengan menggunakan pendekatan larangan konflik kepentingan. pasal 7 poin q “warga negara indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (q). tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. dalam p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 113dinasti politik dalam pilkada di indonesia penjelasan uu ini diuraikan secara rinci pihak-pihak yang dianggap memiliki konflik kepentingan dengan petahana, bahwa yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana: tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. dalam perjalanannya ketentuan tersebut dibatalkan melalui putusan mk nomor 34/ puu-xiii/2015, dengan alasan “konflik kepentingan dengan petahana”, hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis dan asumtif, seolah-olah setiap calon yang mempunyai hubungan darah maupun hubungan perkawinan dengan petahana dipastikan akan membangun dinasti politik yang akan merusak tatanan bangsa, tanpa mempertimbangkan lagi sisi kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas calon yang bersangkutan secara objektif. hubungan darah merupakan kodrat ilahi yang hakiki dan asasi, yang menurut agama manapun secara universal diakui sebagai hubungan yang sakral dan bukan sebagai hubungan yang menghalangi untuk berkiprah dalam pemerintahan, demikian halnya dengan hubungan karena perkawinan. putusan mk ini telah membuka jalan para kelompok dinasti politik untuk turut berkontestasi dalam pilkada tanpa harus menunggu selama 5 (lima) tahun kedepan. terlepas dari putusan mk di atas, perlu dikaji lagi apakah dengan pembiaran dinasti politik yang ada juga bukan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia di bidang politik(political right) dikarenakan tidak memiliki cukup sumber kekuasaan yang telah terkooptasi dan didominasi oleh petahana. kondisi ini dapat dilihat dari kemenangan dinasti politik di berbagai perhelatan pilkada indonesia yang tidak terlepas oleh kekuatan finansial yang dimiliki. pragmatisme masyarakat benar-benar dimanfaatkan oleh dinasti politik melalui politik uang (money politic). berikut adalah pandangan choi atas fenomena money politic dalam pilkada di indonesia, bahwa “more specially, both within and outside the shell of formally democratic political instutions, we have observed the emergence of decentralized money politics. money politics has emerged as a key issue in local politics in postsoeharto”. sekalipun, choi hanya berkomentar ihwal politik lokal, namun sebagian pihak melihat politik uang adalah kecenderungan yang terjadi di level nasional. politik uang adalah salah satu dampak dari eksisnya elit politik yang ada disebabkan mereka memiliki sumber daya ekonomi yang lebih. dengan demikian sebuah dinasti politik akan menguatkan perannya dengan sumber daya ekonomi yang dimilikinya agar kepentingankepentingan keluarga yang telah dimiliki tidak beralih ke orang lain (choi, 2007:320) dinasti politik dinasti politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda. dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 114 martien herna susanti kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. dinasti politik merupakan musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya. marcus mietzner (2009) dalam paper yang berjudul indonesia’s 2009 elections: populisme, dynasties and the consolidation of the party system, menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer indonesia. praktik politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi, antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances, menjadi lemah. dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi politik. dalam konteks indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. sehingga mereka relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung memperebutkan kekuasaan (mietzner, 2009:20). menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. hal ini sebagaimana dijelaskan oleh turner (dalam bathoro, 2011:118), bahwa suatu jaringan mempunyai pengaruh penting terhadap dinamika transisi kekuasaan politik yang bisa berdampak terhadap tertutupnya rekrutmen politik. robert a dahl (1982: 10-11) dalam bukunya yang berjudul “dilemma of pluralist democracy: autonomy vs control” mengemukakan beberapa kriteria mewujudkan suatu sistem demokratis yang terkonsolidasi, yaitu: 1) control over government decisions about policy is constitutionally vested in electedofficials, 2) elected officials are chosen in frequent and fairly conducted elections in which coercion is comparatively uncommon, 3) practically all adults have the right to vote in the election of office, 4) practically all adults have the right to run for elective offices in the government, thoughage limits may be higher for holding office than for the suffrage, 5) citizens have a right to express themselves without the danger of severe punishment onpolitical matters broadly defined, including criticism of officials, the government, the regime,the socioeconomic order, and the prevailing ideology, 6) citizens have a right to seek out alternative sources of information. moreover, alternativesources of information exist and are protected by law, dan 7) to achieve their various rights, including those listed above, citizens also have a right toform relatively independent associations or organizations, including independent politicalparties and interest groups. kriteria democtaric political order yang dikemukakan oleh robert a dahl dapat dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam mewujudkan demokrasi dalam suatu pemerintahan yang demokratis. sentimen negatif atas dinasti politik ini tidak terlepas dari berbagai kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan dinasti politiknya. kasus terakhir di penghujung tahun 2016, misalnya terjadi di kabupaten klaten. kasus ini terbilang cukup unik, karena melibatkan dua keluarga suami istri yang bergantian memimpin kabupaten klaten selama p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 115dinasti politik dalam pilkada di indonesia 20 tahun. secara kronologis dapat dijelaskan, bahwa pada tahun 2000 hingga 2005 kabupaten klaten dipimpin oleh h. haryanto wibowo berpasangan dengan wisnu hardono yang diusung dari partai pdip. tahun 2005 sampai dengan 2015 h. sunarna, se., m.hum, berdampingan dengan samiadji, se., mm yang disung oleh partai golkar. kemenangan ini mengejutkan karena klaten dikenal sebagai basisnya pdip. periode kedua, selama sunarna berdampingan dengan hj. sri hartini, se yang merupakan istri mantan bupati sebelumnya yaitu h. haryanto menang dalam perhelatan pilkada yang diusung dari tiga partai yaitu pdip, demokrat, dan pks. guna mengisi kevakuman jelang pilkada muncul plt yakni drs. jaka sawaldi, mm yang memimpin klaten antara 22 desember 2015 hingga 17 februari 2016. dalam pilkada tahun 2016, hj. sri hartini, se terpilih menjadi bupati klaten didampingi hj. sri mulyani yang merupakan istri bupati sebelumnya yaitu sunarna. kali ini partai pengusungnya adalah pdip dan nasdem. tampuk kekuasaan orang nomer satu di klaten tidak berlangsung lama, karena sri hartini ditangkap kpk dalam sebuah operasi tangkap tangan pada akhir desember 2016. otomatis sri mulyani menggantikan sri hartini menjadi bupati klaten (2016-2021). untuk mengurai kasus di atas, kiranya dapat diperoleh titik temu dengan mengaitkannya berdasarkan analisis ikrar nusa bakti yang ditulis dalam kolom seputar indonesia 1 juni 2010 berjudul “polemik istri pejabat maju pilkada”. dalam tulisannya ikrar nusa bakti mengemukakan analisisnya tentang faktor-faktor penyebab munculnya fenomena adanya istri-istri bupati yang maju untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. pertama, para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh masyarakat setempat, seperti dalam kasus di kabupaten bantul atau di kediri, namun kedua bupati tersebut tidak dapat ikut pilkada karena masa jabatannya sudah dua kali. oleh karena itu, masyarakat menginginkan agar istri bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila istri mantan bupati menang, berarti mantan bupati akan berada di belakang istrinya sebagai “sang penuntun”. jika masa bakti lima tahun istrinya selesai, mantan bupati pun akan maju lagi karena tidak dilarang oleh undang-undang. kedua, istri pertama dan istri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya. motif politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi pertarungan tersebut. ketiga, pembentukan dinasti politik baru di daerah. pada tahap awal suami yang maju, tahap kedua istrinya,dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan tersebut. bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. persoalan akan muncul jika ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan karena kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut (https://ikrarnusabhakti.wordpress.com/2010/06/01/polemik-istri-pejabatmaju-pilkada/, diunduh tanggal 30 maret 2017). journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 116 martien herna susanti konsolidasi demokrasi dan pilkada dalam kajian akademik, demokrasi menurut schumpeter (dalam huntington 1991: 5) adalah sebuah metode yang memiliki prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu. perjalanan demokrasi indonesia tahun 2017 ini merupakan paruh kedua babak baru pemilihan kepala daerah, yakni pemilukada serentak yang sebelumnya telah dilaksanakan tahun 2015. pemilukada serentak tahun 2017 ini diselenggarakan di 7 (tujuh) provinsi dan 94 kabupaten/kota. sistem pemilukada memang baru, namun wajah-wajah lama yang turut serta dalam pemilukada serentak menunjukkan belum adanya sesuatu yang benar-benar baru dari mekanisme pemilukada serentak ini. masih adanya dinasti politik yang mewarnai pemilukada serentak, sontak memberikan pelajaran berharga bagi keberlangsungan demokrasi di indonesia. menurut karyudi sutajah putra (suara merdeka, tanggal 18 oktober 2013), berjudul “kompetisi politik dinasti”, dinasti politik merebak dikarenakan tiga faktor, yakni kekuatan modal financial, kekuatan jaringan, dan posisi dalam partai. selama ini belum ada pembatasan oleh undang-undang terhadap berkembangnya dinasti politik di satu wilayah ataupun dalam parpol, sehingga berkembangnya dinasti politik sulit disalahkan. pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada institusi pemerintahan saja. ted robert gurr (1996:5) misalnya sangat menekankan keberadaan institusi eksekutif. menurut gurr, demokrasi mengandung empat unsur: 1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. pendapat ini semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah aktor politik. hal inilah kiranya yang masih menjadi paradigma berpikir para elit politik lokal yang hanya fokus pada kedudukan eksekutif. sehingga pertarungan dalam pilkada menjadi sebuah kompetisi yang sangat penting untuk diperebutkan bahkan menjadi pertaruhan bagi dinasti politik untuk terus mempertahankan kekuasaan yang sudah diraihnya. tidak tanggung-tanggung pada pilkada 15 februari 2017, setidaknya ada 12 kandidat yang diketahui berasal dari dinasti politik yang terbangun di daerah masing-masing. pertama, andika hazrumy yang maju menjadi calon wakil gubernur banten. andika merupakan anak kandung mantan gubernur banten, ratu atut chosiyah, yang menjadi terpidana di kpk. andika yang sebelumnya merupakan anggota dpr ri periode 2014-2019 dicalonkan oleh dpp partai golkar banten yang dipimpin oleh ratu tatu chasanah, adik kandung atut. kedua, adik mantan wakil bupati mesuji ismail ishak, adam ishak. ia akan maju menjadi calon wakil bupati mesuji. ketiga, kabupaten barito kuala, sepasang kandidat bupati dan wakil bupatinya merupakan kerabat hasanuddin murad, bupati barito kuala, yang saat ini menjabat. keempat, noormiliyani yang mencalonkan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 117dinasti politik dalam pilkada di indonesia diri sebagai bupati merupakan istri dari hasanuddin. sementara itu, rahmadian noor yang menjadi calon wakil bupati merupakan keponakan hasanuddin. kelima, calon gubernur gorontalo, hana hasanah fadel, yang merupakan istri dari mantan gubernur gorontalo, fadel muhammad. keenam, calon bupati musi banyuasin, dodi reza alex noerdin, yang merupakan anak dari mantan bupati muba yang kini menjabat sebagai gubernur sumatera selatan, alex noerdin. ketujuh, calon bupati lampung barat, parosil mabsus, yang merupakan adik dari bupati lampung barat saat ini. delapan, mukhlis basri; calon bupati pringsewu, siti rahma, yang merupakan anak dari wakil gubernur lampung bachtiar basri. sembilan, calon wali kota batu, dewanti rumpoko, yang merupakan istri dari wali kota batu eddy rumpoko. sepuluh, calon bupati landak, karolin margret natasa, yang merupakan anak dari gubernur kalimantan barat kornelis. sebelas, serta calon bupati maluku tengah, tuasikal abua, yang merupakan adik dari mantan bupati maluku tengah, abdullah tuasikal. dua belas, wali kota cimahi atty suharti masih terdaftar sebagai petahana. padahal, statusnya di komisi pemberantasan korupsi adalah menjadi tersangka bersama suaminya, muhammad itoc tochija. itoc juga pernah duduk di kursi wali kota cimahi untuk periode 2002-2007. kenyataan di atas menarik untuk dikaji. boleh jadi sebagian orang menganggap wajar hal tersebut muncul, namun sebagian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi. demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. munculnya fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat politik (o’donnel dan schmitter, 1993: 24-6). unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi. kesimpulan dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat di sebuah daerah. saat jaringan tersebut mendukung dinasti politik yang berkuasa, akan memungkinkan lahirnya kekuasaan absolut. kalau kekuasaan itu absolut, logikanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. fenomena di atas, boleh jadi sebagian orang menganggap wajar, namun sebagian lagi menganggap journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 118 martien herna susanti hal itu distorsi atau tekanan terhadap demokrasi. demokrasi yang pada dasarnya, menuntut konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan demokrasi yang mendukung. munculnya fenomena dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat politik. unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju demokrasi. referensi buku huntington, sp. 1991. gelombangdemokratisasi ketiga. jakarta: pt. intermasa. varma, sp. 2007. teori politik modern, jakarta: rajawali press. jurnal agustino, leo & mohammad agus yusoff. 2010. pilkada dan pemekaran daerah dalam demokrasi lokal di indonesia : local strongmen dan roving bandits. jurnal debat: malaysian journal of history, politics & strategic studies volume 37 th 2010, p 86104. choi, nankyung, 2007. local elections and democracy in indonesia : the riau archipelago, dalam journal of contemporary asia volume 37 no 3 august 2007. halaman: 326345. gurr, ted, r. (1996) why men rebel. princeton, n.j.: princeton university press. mietzner, marcus. 2009. indonesia’s 2009 elections: populism, dynasties and the consolidation of the party system. journal of contemporary asia synder, dkk. 2009. political dynasties. los angeles: the review of economic studies (2009), edisi: 76, hal. 115–142. undang-undang undang-undang no. 1 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota putusan mk mk nomor 34/puu-xiii/2015 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 119dinasti politik dalam pilkada di indonesia majalah, surat kabar dan berita online https://ikrarnusabhakti.wordpress.com/2010/06/01/polemik-istri-pejabat-majupilkada/, diunduh tanggal 30 maret 2017ikrar nusa bhakti, polemik istri pejabat maju. ikrar nusa bhakti. 2010. polemik istri pejabat maju pilkada. seputar indonesia, tanggal 1 juni 2010. karyudi sutajah putra dalam suara merdeka “kompetisi politik dinasti”, tanggal 18 oktober 2013. tribun.news.com, tanggal 14 september 2012. 51 citation : kosasih, achmad. 2018. “optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 51-62. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 51-62 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.776 received 3 june 2018 revised 3 june 2018 accepted 3 june 2018 optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja achmad kosasih1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: kosasih1957@gmail.com abstrak pelatihan dan motivasi mempunyai peran penting untuk organisasi atau perusahaan dalam mencapai tujuannya. apabila dikelola dengan baik, keduanya dapat meningkatkan kinerja pegawai. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) seberapa besar hubungan yang terjadi antara intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai; (2) seberapa besar hubungan yang terjadi antara motivasi berprestasi terhadap kinerja pegawai; (3) untuk mengetahui seberapa besar hubungan yang terjadi antara intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian asosiatif dengan metode analisis korelasi product moment dan analisis regresi. hasil penelitian menunjukkan: (1) terdapat hubungan yang signifikan antara variabel intensitas pelatihan terhadap kinerja pegawai dengan nilai koefisien 0,327; (2) terdapat hubungan yang signifikan antara variabel motivasi berprestasi dengan kinerja pegawai dengan nilai koefisien 0,610; dan (3) terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas pelatihan serta motivasi berprestasi secara simultanterhadap kinerja pegawai dengan nilai koefisien 0,625. kata kunci: pelatihan, motivasi berprestasi, kinerja pegawai abstract training and motivation have an important role for organization or company in achieving its goals. if managed well, they can improve employee performance. this study aims to determine the correlation between: (1) training intensity with employe performance; (2) achievement motivation with the employe performance; and (3) training intensity and achievement motivation onthe employe performance. the method used in this research is associative research method, with product moment correlation analysis and regression analysis. the result of this research showed: (1) there is a significant relationship between training intensity toward employee performance, with coefficient value 0.327; (2) there is a significant correlation between achievement motivation towardemployee performance, with coefficient value 0,610; and (3) there is alsosignificant relationship between training intensity and achievement motivation simultaneously toward employee performance, with coefficient value 0.625. keywords: training, achievement motivation, employee performance pendahuluan sebagian besar organisasi menganggap pelatihan sebagai salah satu media yang mampu menjembatani antara pengetahuan/keterampilan yang harus dimiliki seorang pegawai dengan kebutuhan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. organisasi atau perusahaan yang ditopang oleh individu-individu yang kompeten diyakini dapat mengantarkan perusahaan mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. sebaliknya, jika keadaan sumberdaya manusia dalam organisasi atau perusahaan berada journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 52 achmad kosasih di bawah standar rata-rata kompetensi yang dibutuhkan, maka akan sulit bagi organisasi atau perusahaan guna mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. akan tetapi, banyak juga organisasi yang telah mengadakan pelatihan bagi para pegawainya namun kurang dapat mengimplementasikan hasil-hasil pelatihan yang telah didapat dalam ruang lingkup pekerjaannya masing-masing, dan dengan demikian orientasi dari diadakannya pelatihan itu tak tercapai. sebagai akibatnya, organisasi atau perusahaan masih kesulitan mencapai tujuan-tujuannya karena tak terpenuhinya standar kompetensi minimal yang dibutuhkan. keadaan demikian, salah satunya disebabkan oleh masih lemahnya sistem identifikasi serta analisis kebutuhan standar kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pegawai. akibatnya, banyak pelatihan yang tidak dirancang secara sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu yang ada dan terlibat dalam organisasi atau perusahaan. di sisi lain, pelatihan yang diadakan oleh kebanyakan organisasi cenderung hanya mengikuti trend tanpa memperhatikan urgensi pelatihan tersebut. selain pelatihan hal lain yang diyakini memilikihubunganyang signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai adalah motivasi. oleh sebagian besar orang, motivasi masih dipercaya sebagai salah satu faktor dominan dalam meningkatkan kinerja seorang pegawai. motivasi biasanya dibangkitkan oleh keinginan seorang pegawai untuk meraih sesuatu yang dianggap bisa meningkatkan performansi diri atau pendapatannya. sementara itu, tinggi rendahnya motivasi seorang pegawai secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lingkungan kerja, prospek hasil yang dicapai, kesempatan yang cukup untuk meraih kemajuan untuk pribadi dan kariernya, reward yang diterimanya sebagai akibat dari motivasi yang tinggi, dan lain sebagainya. lingkungan kerja yang mendukung dan perolehan reward yang memadai akan berimplikasi pada tingginya motivasi seorang pegawai untuk bekerja secara dinamis. sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak memberikan kesempatan untuk pengembangan pribadi dan karier pegawai akan menurunkan motivasi kerja dan sekaligus menurunkan kinerja kerjanya. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelatihan dan motivasi memiliki peran penting dan strategis bagi organisasi/perusahaan dalam mencapai tujuannya. intensitas pelatihan yang diberikan bisa meningkatkan kualitas sdm pegawai dan memberikan pemahaman yang memadai tentang pentingnya meningkatkan kinerja dalam meraih tujuan perusahaan atau organisasi. sementara itu, perilaku motivasi berprestasi pegawai sebagai akibat dari rangsangan/reward yang diberikan dapat meningkatkan kinerja pegawai secara berkesinambungan. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 53optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja berdasarkan latar belakang di atas, tujuan yang ingin dicapai penelitian ini ialah untuk mengetahui: (1) seberapa besar hubungan intensitas pelatihan terhadap kinerja pegawai pdam tirta kerja raharja; (2) seberapa besar hubungan motivasi berprestasi terhadap kinerja pegawai pdam tirta kerja raharja; dan (3) seberapa besar hubungan intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi pegawai pada kinerja pegawai pdam tirta kerja raharja. ada berbagai penelitian terdahulu yang menjelaskan mengenai pentingnya peran pelatihan bagi peningkatan kinerja pegawai. hasil dari penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan kinerja (suryani & linda, 2017; kahpi, khurosaini dan suhendra, 2017; anggereni, 2017, wiratama & sintaasih, 2013; subari & riady, 2015; sultana [et al], 2012; tanujaya, 2015; nuhalis, 2007; athar & shah, 2013). dari berbagai penelitian tersebut bisa terlihat betapa pelatihan yang berkesinambungan dapat meminimalisir kesenjangan kompetensi. selain pentingnya pelatihan yang berkesinambungan, motivasi juga punya pengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai (subari dan riady, 2015; suryani & linda, 2017; kahpi, khurosaini &suhendra, 2017; tanujaya, 2015; alfiandri, 2010; rispati [et al.], 2013; kosasih, 2017; aruan, 2013). berdasarkan penelitian-penelitian tersebut motivasi dapat berperan penting dalam meningkatkan kinerja pegawai sehingga pegawai dapat lebih optimal atau memiliki motivasi untuk melayani pelanggan dengan sepenuh hati. kerangka teori kinerja kinerja berperan penting dalam mengolah tingkat pencapaian keberhasilan tujuan dan target perusahaan. menurut bernardin dan russeldalam ruky (2001), kinerja ialah catatan terkait hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi mengenai pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. untuk mendorong tingkat kinerja karyawan, salah satu faktor yang sangat menentukan adalah lingkungan kerja yang menyenangkan. penilaian kinerja yang dilakukan seobjektif mungkin bisa memberikan umpan balik positif dari karyawan guna memperbaiki kinerja mereka. sementara itu, perilaku manajemen yang dapat menunjukkan kinerja yang komunikatif, persuasif beserta terstruktur prosedur dan sistem kerjanya, sangat baik dalam membangun budaya pencapaian keberhasilan tujuan dan sasaran perusahaan melalui tingkat kinerja yang optimal dari karyawan. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 54 achmad kosasih indikasi yang memperlihatkan adanya peningkatan kinerja yang dilakukan para karyawan dapat dilihat melalui produktivitas kerja mereka. secara kualitatif, tingkat kenaikan kinerja dilihat melalui rasio di antara keluaran terhadap masukan. produktivitas merupakan ukuran bagaimana baiknya suatu sumberdaya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang diinginkan (herjanto, 1999). menurut moeheriono dalam abdullah (2014),ada enam ukuran indikator kinerja di mana masing-masing organisasi bisa mengembangkannya sesuai dengan misinya, yaitu efektif,efisien, kualitas, ketepatan waktu, produktivitas dan terakhir keselamatan. sementara itu dasar yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengembangan indikator kinerja adalah (1) apa yang diukur ditentukan oleh apa yang dianggarkan; (2) kebutuhan para pelanggan diterjemahkan menjadi prioritas strategis serta rencana strategis yang mengindikasikan apa yang harus diukur; dan (3) memberikan perbaikan terhadap karyawan maupun tim dengan mengukur hasil dari prioritas strategis, memberikan kontribusi demi perbaikan lebih lanjut dengan mengusahakan motivasi karyawan dan tim, dan memberi informasi apa yang telah berjalan dan tidak berjalan. pelatihan menurut dessler (2007), pelatihan adalah proses mengajari karyawan baru atau lama mengenai keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka. namun demikian dewasa ini tujuan pelatihan telah berkembang semakin luas. perusahaan atau organisasi harus menekankan pentingnya pelatihan dilaksanakan untuk mendapatkan tingkat penguasaan tugas secara baik dan benar. karyawan atau pegawai dituntut dapat menyesuaikan diri pada perubahan teknologi yang semakin cepat, memperbaiki kualitas produk dan jasa, mendorong produktivitas untuk tetap bersaing. perbaikan mutu sering kali menuntut pelatihan pendidikan, karena program perbaikan mutu ini mengandaikan karyawan mampu menggunakan kemampuan berpikir kritis, menghasilkan peta, grafik, menganalisis data, dan lain-lain. karyawan juga menggunakan/memperoleh keterampilan dalam membangun tim, mengambil keputusan dan komunikasi. singkatnya, ekspansi dari peran pelatihan mencerminkan kenyataan bahwa permainan persaingan ekonomi mempunyai aturan baru. artinya, perusahaan dan organisasi dituntut tak lagi menjadi sekedar efisien. pertumbuhan pada dewasa ini menuntut bahwa perusahaan harus cepat dan tanggap, dan itu menuntut tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan bagi mutu, keragaman, penyesuaian, kenyamanan, dan ketepatan waktu. pemenuhan standar baru ini menuntut suatu angkatan kerja yang lebih dari sekedar terlatih secara teknis, namun juga yang dapat menganalisis serta memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan, bekerja secara produktif dalam tim dan mampu mengantisipasi perubahan yang selalu terjadi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 55optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja motivasi berprestasi sardiman (2010) menyebutkan bahwa “motif” merupakan daya upaya yang mendorong individu guna melakukan sesuatu. motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek guna melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai tujuan. berawal dari kata-kata “motif” itu, motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. menurut uno (2014) motif dapat dibedakan menjadi tiga macam: (1) motif biogenetic, yaitu motif yang dari kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnya makan, minum, bernafas dan lain sebagainya; (2) motif sosigenetik, yaitu motif-motif yang berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan di mana orang tersebut berada; dan (3) motif teologis, yaitu motif untuk hidup agar sesuai dengan tuntunan agamanya atau adanya hubungan interaktif antara manusia dan tuhannya. menurut mcdonald motivasi ialah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling yang didului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan dalam sardiman (2010). dari pengertian tersebut, ada tiga elemen penting: (1) motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu; (2) motivasi ditandai dengan munculnya, rasa feeling, afeksi seseorang. dalam hal ini, motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia; dan (3) motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. artinya, motivasi merupakan respon dari sebuah aksi, yaitu tujuan. sementara itu, mccelland mengemukakan bahwa produktivitas seseorang dapat dapat ditentukan oleh virus mental yang ada dalam dirinya. virus mental ini adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang mampu meningkatkan prestasinya secara maksimal. virus mental itu terdiri dari tiga aspek: (1) need of achievement (kebutuhan untuk berprestasi), yaitu dorongan untuk mengungguli atau berprestasi berkaitan dengan seperangkat standar, bergulat demi sukses; (2) need of affiliation (kebutuhan memperluas pergaulan), yaitu keinginan untuk membangun hubungan antarpribadi yang ramah; dan (3) need of power (kebutuhan akan kekuasaan), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku menurut kehendak/keinginannya (mangkunegara, 2004). metode penelitian penelitian ini menggunakan metode penelitian asosiatif untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara dua variabel atau lebih. analisis pengolahan data bersifat kuantitatif dengan menggunakan metode analisis korelasi product moment dan analisis regresi. populasi yang menjadi objek penelitian ialah pegawai pdam tirta kerja raharja, sementara sampling dilakukan terhadap 45 responden dengan teknik probability sampling secara acak sederhana. data-data penelitian diperoleh melalui: (1) kuesioner, yang journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 56 achmad kosasih didesain dengan menggunakan teknik skala likert; (2) wawancara, untuk menjaring data tentang fenomena yang terkait dengan intensitas pelatihan, motivasi berprestasi dan kinerja pegawai; dan (3) observasi, dilakukan untuk mengetahui data dokumenter yang ada di perusahaan. untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, penelitian akan difokuskan kepada dua variabel bebas (independent variable) dan satu variabel terikat (dependent variable). variabel bebas terdiri dari (1) intensitas pelatihan (x1) dan motivasi berprestasi (x2), yaitu variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. sementara variabel terikat adalah kinerja pegawai (y), yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. hasil dan pembahasan deskripsi data dari 45 responden yang terlibat dalam penelitian ini, sebanyak 75,6 persen responden adalah laki-laki, sebanyak 22,2 persen adalah perempuan, sementara itu sisanya sebanyak 2,2 persen tak memberi informasi perihal jenis kelamin. adapun tingkat pendidikan responden sebanyak 4,4% adalah berpendidikan sltp, 48,9% berpendidikan smu, sebanyak 13,3% berpendidikan d3 dan 28,9% berpendidikan s1, sementara jumlah responden yang tidak memberikan jawaban untuk tingkatan pendidikan sebanyak 4,4%. masa kerja responden berkisar antara 1 tahun sampai + 40 tahun, dengan tingkat kecenderungan terbesar ada pada kisaran 10 tahun sampai dengan 25 tahun masa kerja. responden yang memiliki masa kerja 1-4,9 tahun berjumlah sebanyak 15,6%, masa kerja 5-9,9 tahun sebanyak 4,4%, masa kerja 10-14,9 tahun sebanyak 20%, masa kerja 15-19,9 tahun sebanyak 37,8%, masa kerja 20-24,9 tahun adalah sebanyak 17,8% dan responden yang memiliki masa kerja hingga 35 tahun ke atas sebanyak 2,2%. usia responden berkisar antara 25 tahun hingga mencapai kurang lebih 50 tahun. angka terbesar berada pada range 40-44,9 tahun (44,4 %), kisaran usia 25-29,9 tahun sebesar 6,7%, kisaran usia 30-34,9 tahun sebesar 11,1%, 35-39,9 tahun sebesar 22,2% dan usia responden lebih dari 45 tahun ke atas sekitar 8,9%, sisanya sebesar 6,7% tidak memberikan jawaban. analisis korelasi analisis dilakukan guna menjawab hipotesis penelitian yang menyebutkan bahwa ada tidaknya hubungan antara variabel intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai, ada tidaknya hubungan antara variabel motivasi dengan kinerja pegawai dan ada tidaknya hubungan secara simultan di antara ketiga variabel tersebut. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 57optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja tabel 1. analisis korelasi antara intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai intensitas pelatihan (x1) kinerja pegawai (y) pearson correlation intensitas pelatihan (x1) kinerja pegawai (y) 1.000 327* 327* 1.000 sig. (2-tailed) intensitas pelatihan (x1) kinerja pegawai (y) 028 028 n intensitas pelatihan (x1) kinerja pegawai (y) 45 45 45 45 * correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). berdasarkan tabel 1. di atas, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi yang terjadi antara variabel intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai adalah sebesar 0,327. tabel 2. analisis korelasi antara motivasi dengan kinerja pegawai kinerja pegawai (y) motivasi (x2) pearson correlation kinerja pegawai (y) motivasi (x2) 1.000 610* 610* 1.000 sig. (2-tailed) kinerja pegawai (y) motivasi (x2) 000 000 n kinerja pegawai (y) motivasi (x2) 45 45 45 45 * correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). berdasarkan tabel 2. di atas, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi yang terjadi antara variabel motivasi dengan kinerja pegawai adalah sebesar 0,610. sementara secara bersama-sama, ada tidaknya hubungan antara intensitas pelatihan dan motivasi dengan kinerja pegawai diperoleh nilai koefisien 0,625. uji hipotesis dari tabel nilai-nilai r product moment diperoleh nilai r tabel sebesar 0,294 pada tingkat signifikansi 5% dan n = 45. karena r hitung (0,327) > r tabel (0,294) maka terdapat hubungan positif dan signifikan antara intensitas pelatihan terhadap kinerja pegawai. sementara itu, motivasi berprestasi juga berhubungan positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai, karena r hitung (0,610) > r tabel (0,294) pada tingkat signifikansi 5% dan n = 45. sedangkan secara simultan, terdapat hubungan positif dan signifikan antara variabel intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi terhadap kinerja pegawai pdam journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 58 achmad kosasih tirta kerja raharja, di mana r hitung (0,625) > r tabel (0,924) pada tingkat signifikansi 5% dan n = 45. tabel 3. hasil analisis korelasi variabel korelasi (r hitung) r tabel interpretasi keterangan intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai (hipotesis 1) 0,327 0,294 rendah signifikan motivasi berprestasi dengan kinerja pegawai (hipotesis 2) 0,610 0,294 kuat signifikan intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi dengan kinerja pegawai (hipotesis 3) 0,625 0,294 kuat signifikan pembahasan meskipun nilai koefisien korelasi yang terjadi antara variable intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai menunjukkan gejala causal effect yang positif, namun kedua variabel tersebut belum memiliki nilai keberartian cukup signifikan, salah satunya ditandai dengan harga koefisien korelasinya yang rendah sebesar 0,327. fenomena ini sebenarnya merupakan suatu gejala yang mengarah kepada keinginan kuat pegawai pdam tirta kerta raharja menjadikan pelatihan sebagai salah satu media untuk mencapai kondisi kinerja yang optimal, dengan berbekal pada kompetensi tinggi. harapan mereka dapat dilihat dari komentar-komentar yang disampaikan pada saat wawancara. ada di antara mereka yang memberikan pernyataan bahwa jika mereka mendapat pelatihan secara intens maka mereka akan memberikan jawaban yang sesuai dengan yang mereka ingin katakan tentang pentingnya pelatihan bagi peningkatan kinerja. muatan positif bisa diartikan sebagai suatu keselarasan yang diidamkan oleh para pegawai di lingkungan pdam tirta kerta raharja untuk menjadikan pelatihan sebagai kendaraan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka terhadap pencapaian kinerja yang optimal. mereka menyadari bahwa untuk menjadi pdam tirta kerta raharja sebagai perusahaan dinamis, mampu memberi pelayanan yang optimal kepada para pelanggannya sekaligus menjawab keinginan stakeholders, dan memperbaiki citra dirinya secara berkesinambungan, maka tidak ada kata lain selain kompetensi sdm. faktanya memang memberikan gambaran yang jelas, bahwa pada satu sisi karyawan membutuhkan pelatihan sebagai media peningkatan kemampuan dan keterampilan, sementara di sisi lain perusahaan belum mampu menyelenggarakan pelatihan yang merata. oleh karena itu, tidak heran jika beberapa komentar yang diberikan oleh p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 59optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja responden memberikan pernyataan bahwa meskipun sudah bekerja lebih dari belasan tahun namun belum pernah memperoleh pelatihan seperti yang diharapkan. sementara itu, nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan antara variabel motivasi berprestasi dengan kinerja pegawai, memberikan sinyalmen hubungan dan pengaruh yang positif dan signifikan di antara keduanya. motivasi berprestasi yang ditimbulkan sebagai akibat dari sudah terpenuhinya secara baik kebutuhan dan keinginan karyawan, akan secara berarti meningkatkan kinerja mereka. nilai koefisien korelasi sebesar 0,610 menggambarkan jika pihak pdam selaku manajemen yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan karyawan telah secara baik melaksanakan kewajibannya, memberikan apa yang seharusnya menjadi hak karyawan. keadaan seperti ini tentu saja tak secara serta merta terjadi begitu saja. tentunya alasan kuat mengapa perusahaan melakukan hal tersebut. secara teori, jelas perusahaan telah memperoleh apa yang diharapkannya dan merasa puas. karena itu, perusahaan akan memberikan yang terbaik bagi para karyawannya. jika karyawan memperoleh apa yang dibutuhkan dan diinginkannya maka karyawan akan bekerja dengan penuh motivasi untuk meraih prestasi. jadi, meskipun pada saat ini kinerja perusahaan digambarkan kurang baik, namun baik perusahaan ataupun pegawai sepakat bahwa gunameraihkinerja yang tinggi maka karyawan perlu bekerja dengan penuh motivasi untuk meraih apa yang menjadi tujuan dan sasaran perusahaan. sedangkan pengaruh intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi secara simultan memberikan gambaran yang jelas bahwa keduanya berpengaruh terhadap peningkatan kinerja pegawai. mengenai hal ini, perusahaan dituntut menjaga agar kemampuan karyawan bisa selalu diasah lewat intensitas pelatihan dan senantiasa memberikan stimulus yang baik terhadap karyawan untuk meningkatkan kinerja karyawan. hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah stimulus apa yang tepat bagi karyawan yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang beragam. hal itulah yang harus menjadi pertimbangan perusahaan agar pemberian stimulus dapat tepat guna dan memberikan efek positif yang berarti. ada pegawai yang kebutuhannya ialah kebutuhan dasar sehingga perlakuannya bagaimana agar secara psikologis kebutuhan materinya terpenuhi. namun di sisi lain, ada pegawai yang mungkin secara materi sudah terpenuhi, namun kebutuhan aktualisasi belum terpenuhi dengan baik sehingga perusahaan bisa memberi kesempatan agar ia bisa mengaktualisasikan diri seperti yang diinginkannya. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 60 achmad kosasih penutup kesimpulan secara kuantitatif, instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini mempunyai nilai validitas yang cukup baik, yang ditandai dengan kecilnya jumlah pernyataan-pernyataan yang tak memenuhi syarat, yang nilai korelasinya terhadap nilai total lebih kecil dari 0,3. sedangkan untuk tingkat kepercayaan (reliabilitas), instrumen ini telah diuji yang hasilnya menunjukkan angka reliabilitas yang cukup baik, yaitu sebesar 0,772. angka tersebut mempunyai pengertian bahwa instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data bagi kebutuhan penelitian ini memiliki tingkat kepercayaan sebesar 77,2%. hubungan yang terjadi antara dua variabel bebas yang diteliti dengan satu variabel terikatnya menunjukkan hubungan positif dan signifikan. nilai koefisien korelasi antara intensitas pelatihan dengan kinerja pegawai sebesar 0,327 memberi interpretasi hubungan yang rendah di antara keduanya, sedangkan antara motivasi berprestasi dengan kinerja pegawai memberikan interpretasi hubungan yang kuat karena nilai koefisien korelasinya sebesar 0,610 masuk dalam kategori hubungan yang kuat. begitu pula hubungan antara dua variabel bebas yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja pegawai, di mana interpretasi hubungan yang kuat diperlihatkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,625. berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ketiga hipotesis memiliki tingkat signifikansi yang telah teruji secara statistik. hal ini menunjukkan intensitas pelatihan dan motivasi berprestasi sangat bermanfaat bagi peningkatan kinerja pegawai pdam tirta kerja raharja. saran untuk meningkatkan kinerja pegawai, perusahaan harus terus melakukan pelatihan secara berkesinambungan dan merata terhadap semua pegawai sehingga kesenjangan kompetensi dapat diminimalisir. pelatihan untuk para pegawai perlu didesain dengan baik agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan perusahaan, dan karenanya diperlukan standar kompetensi. sementara untuk menjaga dan meningkatkan motivasi kerja para pegawai, perusahaan harus mampu meyakinkan para pegawainya bahwa perusahaan sangat appreciate terhadap performa kerja pegawai. sebab itu, pemberian reward kepada pegawai yang berprestasi, tersedianya kesempatan pengembangan karier, jaminan masa depan kepada pegawai yangdilakukan secara konsisten dan transparan, ialah syarat mutlak bagi penciptaan kondisi kerja yang kondusif dan dinamis. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 61optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja referensi abdullah, ma’ruf. (2014). manajemen dan evaluasi kinerja karyawan. yogyakarta: aswaja pressindo. alfiandri. (2010). “pengaruh gaya kepemimpinan dan motivasi berprestasi terhadap kinerja pegawai dinas kebudayaan dan pariwisata kota pekanbaru”. jurnal ilmu administrasi negara, 10(1): 37-47. anggereni, ni wayan eka sri. (2017). “pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan pada lembaga perkreditan desa (lpd) kabupaten buleleng”. e-journal jurusan pendidikan ekonomi, 10(2): 1-10. aruan, d. a. (2013). “pengaruh pelatihan kerja dan motivasi terhadap kinerja karyawan pt. sucofindo (persero) surabaya”. jurnal ilmu manajemen, 1(2): 566-574. athar, rida dan faiza maqbool shah. (2015). “impact of training on employee performance (banking sector karachi)”. osr journal of business and management (iosrjbm), 17(11): 58-67. dessler, gray. (2007). manajemen sumber daya manusia (jilid 2). jakarta: pt. indeks. herjanto, eddy. (1999). manajemen produksi & operasi. jakarta: grasindo. kahpi, heri sapari, aan khurosaini dan indra suhendra. (2017). “pengaruh pelatihan dan motivasi berprestasi terhadap kinerja pegawai dengan kompetensi sebagai variabel intervening (studi empiris pada pegawai perusahaan daerah air minum kabupaten lebak)”. jurnal riset bisnis dan manajemen tirtayasa, 1(1): 1-9. kosasih, achmad. (2017). “pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten”. journal of government and civil society, 1(2): 159-190. mangkunegara, a.a. anwar prabu. (2004). manajemen sumber daya manusia perusahaan. bandung: pt. remaja rosdakarya. nuhalis. (2007). “pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja pegawai badan diklat provinsi nanggrue aceh darussalam.” jurnal ichsan gorontalo, 2(1): 563-571. rispati [et al.]. (2013). “pengaruh pelatihan kerja dan motivasi terhadap kinerja karyawan (studi kasus pada karyawan hotel grasia semarang)”. diponegoro journal of social and politic, 2(3), 1-8. ruky, achmad s. (2001). sistem manajemen kinerja. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. sardiman. (2011). interaksi motivasi belajar mengajar. jakarta: rajawali pers. simamora, henry. 2006. manajemen sumber daya manusia. yogyakarta: stie ykpn. subari, subari dan hanes riady. (2015). “influence of training, competence and motivation on employee performance, moderated by internal communications”. american journal of business and management, 4(3): 133-145. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 62 achmad kosasih sultana, afshan. (2012). “impact of training on employee performance: a study of telecommunication sector in pakistan”. interdisciplinary journal of contemporary research in business, 4(6): 646-661. suryani, arna dan rahma linda. (2017). “pengaruh pelatihan dan penempatan terhadap motivasi serta dampaknya terhadap kinerja pegawai perusahaan daerah air minum (pdam) tirta batang hari jambi”. j-mas, 2(1): 92-104. tanujaya, lia riantika. (2015). “pengaruh pelatihan kerja dan motivasi kerja pada kinerja karyawan departemen produksi pt. coronet crown”. agora, 3(1): 1-7. uno, hamzah b. (2014). teori motivasi dan pengukurannya: analisis di bidang pendidikan. jakarta: bumi aksara. wiratama, i nyoman jaka alit dan desak ketut sintaasih. (2013). “pengaruh kepemimpinan, diklat, dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan pdam tirta mangutama kabupaten badung”. jurnal manajemen, strategi bisnis, dan kewirausahaan, 7(2): 126-134. peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten 191 citation : muljadi. 2017. “peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, 191-201. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 191-201 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten muljadi1 1program studi manajemen universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: moeljadi72@gmail.com abstrak potensi desa di banten yang berjumlah 1273 perlu diberdayakan,lembaga keuangan mikro syari’ah bmt merupakan merupakan lembaga keuangan mikro syari’ah yang sasarannya pada ekonomi rakyat berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan sistem bagi hasil. tujuan utamanya meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil, sebagai bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan.bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.potensi bumdes akan semakin prospektif apabila disinergikan dengan lembaga keuangan mikro syari’ah baitul maal wat tamwil (lkms bmt). lembaga keuangan syari’ah ini terbukti mampu beradaptasi dengan masyarakat desa. konsep sdsb, satu desa satu bmt. untuk mewujudkan tersebut maka perlu 5 pilar yaitu. bina akhlak, bisa saudara, bina sinergi, bina dana dan bina pasar dan produk unggulan. kata kunci: desa, lembaga keuangan mikro syari’ah, bumdes abstract potential villages in banten amounting to 1,273 and need to be empowered, shari’ah micro financial institution baitul maal wat tamwil (lkms bmt) is a microfinance institution syari’ah targeted at people’s economy trying to develop productive businesses and investments with profit-sharing system. the main objective is to improve the economic quality of micro and small entrepreneurs, as part of efforts to alleviate poverty. village owned enterprises (bumdes) is a business entity which is completely or partially owned by the village through direct participation derived from the wealth of the village separated to manage assets, services and other businesses for the greatest benefit of the small town community. potential bumdes will be more prospective when synergized with shari’ah microfinance institutions baitul maal wat tamwil (lkms bmt). this syari’ah financial institution proved able to adapt with the village community. the concept of sdsb, one village one bmt. to achieve this it is necessary to have 5 pillars in support of the process, fostering behavior, fostering brotherhood, building synergy, building funds and market development, and excellent products. keyword: village, shari’ah micro financial institution, village owned enterprises (bumdes), pendahuluan provinsi banten pada awalnya adalah bagian dari provinsi jawa barat, sesuai dengan uu no. 23 tahun 2000, maka lahirnya provinsi baru yang bernama banten, pada tanggal 4 oktober 2000. ekspetasi rakyat banten begitu besar terhadap lahirnya “bayi” mungil yang bernama banten ini. sejarah sudah membuktikan kejayaan kerajaan banten dulu, hingga pernah membuka hubungan diplomatik dengan kerjaan inggris. sebuah journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 192 muljadi pengakuan internasional terhadap kerajaan banten waktu itu. kejayaan banten di inginkan oleh rakyat banten dengan lahirnya provinsi ini di negara republik indonesia. tahun 2017, usia provinsi banten sudah menginjak ke 17 tahun, usia yang yang bukan dikatakan balita lagi, beranjak dewasa, usia yang sudah mengalami 4 kali pemilihan gubernur, yang seharusnya rakyat sudah merasakan manisnya pembagunan seperti harapan rakyat banten. harapan-tinggal harapan, masyarakat banten secara riil belum merasakan hasil pembangunan secara menyeluruh, apalagi yang berhubungan dengan pengusaha kecil dan mikro. dengan motto iman dan taqwa, banten selayaknya memperjelas mau di bawa kemana visi banten. iman di artikan secara harfiyah adalah pecaya pada tuhan, taqwa berarti melaksanakan segala perintah dan larangan tuhan. cukup “fantastis” motto banten, rasanya seperti di negeri yang akan adil dan makmur. visi yang berat tapi kenyataannya itulah punya banten, disadari ataupun tidak visi ini akan mengangkat provinsi banten sebagai provinsi yang mengangkat agama sebagai landasan dalam menjalankan segala program-programnya. banten dengan jumlah desa yang menurut dara statistik tahun 2015 berjumlah 1.273. angka yang sangat besar bagi sebuah provinsi, kabupaten pandeglang dan lebak yang paling banyak desanya. padeglang 322 desa, kabupaten lebak 340 desa. kabupaten serang 314 desa, kabupaten tangerang 346 desa. potensi banten tidak hanya industry tetapi bidang agraris merupakan potensi yang luar biasa. jumlah penduduk provinsi banten tahun 2015 yaitu 11.955.243 orang, angka yang mendekati 12.000.000 (12 juta) penduduk yang sangat tinggi. data statistic ini mempunyai potensi yang strategis, apabila jumlah desa dikaitakan dengan jumlah pendudukan 12 jutaanm perlu pengelolaan yang baik. kemudian yang menarik adalah ketika bumdes yang pada dasarnya tidak berbadan hukum dapat mengelola dana, dan ini yang menarik dalam sebuah badan usaha. maka untuk menghilangkan salah “prasangka buruk”kementerian desa pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi memastikan bahwa badan usaha milik desa atau bumdes akan berbadan hukum koperasi, dan regulasi terbaru akan disahkan akhir tahun 2016. direktur jenderal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa (ppmd) kementerian desa pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi ahmad erani yustika mengatakan pihaknya telah melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas mengenai dasar hukum bumdes dengan berbagai pihak.”pertemuan itu untuk membahas substansi peraturan menteri desa no 4/2015 tentang bumdes, dalam kaitannya dengna uu no. 6/2014 tentang desa dan uud 1945,’ dari berbagai diskusi itu, menurut drrjen ppmd, permendes no.4/2015 tidak menyalahi uu desa meski ketentuan itu memperbolehkan bumdes berbentuk perseroan terbatas (pt).akan tetapi, jika bercermin pada semangat pasal 33 uud 1945, maka badan hukum yang paling tepat untuk bumdes adalah koperasi karena mengandung asas kolektifitas di dalamnya.”permendes itu disahkan sebelum ahmad erani yustikamasuk sebagai dirjen. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 193peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten kalau beliau (ahmad erani) sudah masuk dan permendes itu dibuat, tidak akan di ajukan. sebuah bumdes berbentuk pt yang berarti padat modal, maka terbuka kesempatan dikuasai oleh orang-perorang yang memiliki banyak modal sehingga menghilangkan misi sosial dari bumdes sebagaimana yang terjadi pada bumn saat ini. oleh karena itu sudah ada titik temu pandangan bahwa koperasi bisa menjadi pilihan atau satu-satunya model badan hukum bumdes. karena itu, dalam revisi regulasi tersebut, kementerian desa akan memastikan bahwa bumdes mengusung spirit koperasi. jika sebuah bumdes berbentuk pt, maka menurutnya, harus ada ketentuan yang menyatakan bahwa saham dari pt tersebut hanya dimiliki oleh koperasi, sehingga asas kolektifitas dalam badan usaha tersebut tetap terjaga (bisnis.com,08-11-2016). kaitannya dengan undang-undang no. 6 tahun 2014 tentang desa, maka desa mempunyai potensi yang sangat prospektif seperti terdapat 4 pasal yang menjelaskan mengenai badan usaha milik desa, yaitu pasal 87, pasal 88, pasal 89, dan pasal 90. badan usaha milik desa sering di singkat bumdes. dijelaskan dalam bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. bumdes dibentuk oleh pemerintah desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. potensi bumdes akan semakin prospektif apabila disinergikan dengan lembaga keuangan mikro syari’ah baitul maal wat tamwil (lkms bmt). lembaga keuangan syari’ah ini terbukti mampu beradaptasi dengan masyarakat desa. menurut aziz (2008) bahwa baitul maal wat tamwil merupakan lembaga keuangan mikro syari’ah yang sasarannya pada ekonomi rakyat berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan sistem bagi hasil. tujuan utamanya meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil, sebagai bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan. bmt berdiri dengan gagasan fleksibilitas dalam menjangkau masyarakat kalangan bawah, yaitu lembaga ekonomi rakyat kecil . bmt di percaya oleh rakyat karena bmt terus melayani kebutuhan rakyat kecil bawah. lkms dan bumdes 2.1 lkms bmt berbicara tentang lembaga keuangan mikro syari’ah atau di indonesia lebih dikenal dengan baitul maal wat tamwil (bmt) tidak akan berhenti walaupn undang-undang lkm telah di syahkan. miris memang, lkm berkembang sampai ribuan, tetapi belum menjadi prioritas utama dalam program pemerintah, itulah indonesia. masih risih untuk mengatakan bahwa pemerintah memihak kepada rakyat, belum terlihat dalam aksi yang journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 194 muljadi sebenarnya, ketika pengusaha mikro berusaha mandiri tanpa ada sentuhan pemerintah yang “serius”. mungkin bisa dikatakan memprihatinkan,trilyunan rupiah di gelontorkan hanya bagi pengusaha besar yang dibayarkan melalui kredit di bank-bank besar. gambaran yang memprihantikan hasil survey bank dunia pada tahun 2010 bahwa hampir separuh dari 234,2 juta penduduk di indonesia tidak memiliki akses atas layanan lembaga keuangan formal, dari jumlah itu, sekitar 35 juta orang hanya terlayani lembaga keuangan non-formal seperti koperasi simpan-pinjam. tapi, ada sekitar 40 juta orang yang sama sekali tidak tersentuh layanan jasa keuangan dalam bentuk apapun. setidaknya itulah gambaran memprihatinkan. masih kata bank dunia, setidaknya ada empat layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat, yakni penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk dana pensiun. keempat aspek dalam lingkup pengelolaan sistem keuangan ini menjadi prasyarat mendasar untuk menggapai kehidupan masyarakat yang lebih baik (amin aziz, 2012). ada pertanyaaan, bagaimana mungkin begitu banyak orang di indonesia tak terjangkau layanan jasa keuangan? menurut amin aziz (ketua umum pinbuk pusat) dalam artikelnya, setidaknya, ada dua penyebab ditengok dari sisi penawaran dan permintaan. sisi penawaran berbicara soal kendala seperti adanya ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) dimana bank tidak memiliki info terkait profil risiko konsumen. bank enggan mengurusi konsumen kecil karena tidak sesuai antara biaya dengan keuntungan yang diperoleh. sedangkan dari sisi permintaan, persoalan yang muncul bisa karena faktor pemahaman konsumen terhadap kecanggihan produk perbankan dan keuangan. atau, bisa juga karena hambatan legal seperti syarat agunan yang tak memadai untuk mendapatkan kredit.kenyataan bahwa masih banyaknya anggota masyarakat yang belum terjangkau layanan jasa keuangan memperlihatkan bahwa sistem keuangan belum berfungsi dengan optimal. padahal, suatu sistem keuangan yang ideal seharusnya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. bila sebagian besar masyarakat sudah dapat memanfaatkan fasilitas jasa keuangan, dampak terhadap perekonomian pun akan sangat besar. banyak fakta membuktikan bahwa ada hubungan sebab-akibat yang kuat antara penguatan sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran suatu negara. mengapa ini bisa terjadi? secara umum kebijakan yang paling efisien untuk mengatasi kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. percepatan pertumbuhan ekonomi berperan sebagai syarat dasar yang paling strategis bagi peningkatan kualitas kehidupan rakyat. elemen penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi adalah mengoptimalkan kontribusi sektor keuangan dengan membuka akses layanan jasa keuangan seluas mungkin kepada masyarakat dan pelaku usaha seperti umkm. artinya, harus ada upaya untuk mendorong pemanfaatan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 195peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten sektor keuangan dalam perekonomian masyarakat. inilah esensi utama yang namanya inklusi keuangan (financial inclusion). 2.2 inklusi keuangan inklusi keuangan adalah kegiatan menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun nonharga terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. yang dimaksud hambatan harga adalah prasyarat seperti mesti menyetor dana dengan besaran tertentu ketika membuka rekening di bank, misalnya. padahal tidak semua lapisan masyarakat bisa memenuhi syarat minimal itu. sedangkan hambatan nonharga biasanya berupa persyaratan administratif seabrek yang terkadang dianggap memberatkan konsumen.sekarang tinggal bagaimana agar program inklusi keuangan yang penting itu menjadi agenda dan komitmen nasional. pemerintah dan bank indonesia (bi) adalah figur yang berkepentingan agar inklusi keuangan ini berjalan sukses. persoalannya, tinggal bagaimana keduanya membangun koordinasi. dari sinilah meluncur pemikiran untuk membuat sebuah “strategi nasional inklusi keuangan” (snik).nah, di bawah payung snik inilah diharapkan akan berlangsung kolaborasi cantik antara pemerintah dan bi yang bermuara pada perekonomian yang semakin bertumbuh dan terkikisnya angka kemiskinan serta kehidupan rakyat yang kian sejahtera (amin azis, 2012) berkaitan dengan inklusi keuangan dalam pelayanan jasa keuangan lembaga keuangan mikro syari’ah (lkms) baitul maal wat tamwil (bmt) merupakan salah satu alternatif dalam menjawab permasalahan tersebut. bmt atau baitul maal wat tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), dengan menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. dalam menjalankan aktivitasnya sistem pengelolaan bmt dilakukan dengan pola yang digunakan dengan memberikan modal, perhitungan untung rugi (bisnis) dan bantuan modal tanpa keuntungan (sosial), dengan landasan hukum islam (syari’ah). bmt sebenarnya mempunyai keunggulan dengan konsep yang bersumber dari agama islam sebagai agama mayoritas di indonesia, namun hal ini perlu dikritisi bahwa apakah pengaruh agamamampu menjamin dan memberikan solusi yang meyakinkan terhadap perkembangan bmt (antonio, 2010). 2.3 visi dan misi bmt visi bmt mengarah pada upaya untuk mewujudkan bmt menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi allah swt, memakmurkan kehidupan anggota journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 196 muljadi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. titik tekan perumusan visi bmt adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kulitas ibadah. misi bmt adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran-berkemajuan, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan di ridhoi allah swt. dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi bmt bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi islam. tujuan bmt tujuan didirikannya bmt adalah meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa bmt berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat (m ridwan, 2005). masyarakat dan pengusaha mikro dan kecil merupakan fokus utama bmt untuk meningkatkan taraf hidupnya agar lebih sejahtera dan mandiri. kemudian peran yang lain yaitu memberikan pinjaman atau modal kepada pengusaha mikro dan kecil serta mendampinginya sehingga mereka setahap demi setahap para pengusaha mikro dan kecil dapat berkembang menjadi pegusaha mikro menjadi pengusaha kecil, kemudian menjadi pengusaha menengah. perkembangan lembaga keuangan mikro syariah (lkms) selama sepuluh tahun ini tercatat paling menonjol dalam dinamika keuangan syariah di indonesia. berbagai lkms tersebut lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan baitul maal wat tamwil (bmt). masing-masing bmt biasa memiliki nama, yang diperlihatkan pada papan nama dan identitas lainnya. ada lkms yang menyebut diri sebagai koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (kspps), dan yang secara lengkap menyatakan diri sebagai kspps bmt dengan nama tertentu. 2.4 badan usaha milik desa (bumdes) desa sebagai sebuah tingkatan dalam struktur pemerintahan menjadi pada dasarnya memiliki potensi yang besar untuk menjadi pusat perekonomian yang dapat diandalkan. karena setiap desa memiliki berbagai sumber daya yang unik sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. secara keseluruhan jumlah desa yang ada di indonesia mencapai 74.954 di tahun 2017. jumlah tersebut juga merupakan penambahan 200 desa baru di tahun 2017. sebelumnya di tahun 2014 jumlah desa (diluar kelurahan) jumlahnya sebanyak 73.707 (bps pusat, 2014). besarnya jumlah desa yang ada tersebut memerlukan pengelolaan dan instrumen tersendiri yang dapat dimanfaatkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi desa. salah satu instrumen yang dapat digunakan saat ini adalah badan usaha milik desa (bumdes). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 197peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten hasil dari peneltian nugroho (2017) mengungkapkan bahwa keberadaan bumdes, berdasarkan regulasi yang ada telah diatur dalam undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah khususnya pasal 213. regulasi lain yang mengatur soal bumdes ini adalah uu no.6 tahun 2014 tentang desa dan pp no.43 tentang peraturan pelaksanaan uu no.6 tahun 2014 tentang desa. regulasi tersebut kemudian dilengkapi dengan peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi ri no.4 tahun 2015 tentang pendirian, pengurusan dan pengelolaan dan pembubaran badan usaha milik desa.berangkat dari berbagai regulasi yang telah ada tersebut, maka hal penting yang harus dilakukan adalah optimalisasi atas keberadaan bumdes tersebut sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. dalam kerangka inilah, maka pemetaan potensi desa menjadi dasar dalam pengembangan bumdes. selama ini bps dan kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi telah mengadakan survei potensi desa. data inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk dapat memberikan berbagai bentuk bantuan program yang juga terkait dengan keberadaan bumdes di daerah tersebut.berdasarkan hasil survei potensi desa 2014, menunjukkan bahwa desa-desa/ kelurahan di seluruh indonesia memiliki berbagai jenis bentuk industri kecil yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai produk unggulan. melalui keberadaan produk unggulan tersebut, maka diharapkan desa-desa tersebut dapat menjadi pusat-pusat produksi atas berbagai komoditas tersebut. keberadaan berbagai jenis industri kecil dan mikro tersebut, pada dasarnya merupakan salah satu bentuk nyata atas sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing desa. keberadaan industri kecil dan mikro tersebut diharapkan mampu menghasilkan berbagai macam bentuk produk dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya bahan baku dari desa tersebut, serta melibatkan sebanyak mungkin tenaga kerja dari desa itu pula. dengan demikian, produk yang dihasilkan dan dipasarkan dapat dinikmati oleh seluruh warga desa. peran bumn dalam kerangka kegiatan bumn, maka program yang termasuk csr seringkali dikenal dengan nama program kemitraan dan bina lingkungan (pkbl). program ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penerapan dari csr. namun pkbl lebih banyak berfokus pada pemberian pinjaman ataupun mikro-kredit pada pengusaha kecil yang potensial. misalnya, pemberian dana pinjaman pada komunitas pengrajin kulit dan lain sebagainya (riyanto, 2012). melalui kemitraan dengan bumn, diharapkan bumdes akan mendapatkan bantuan tidak hanya terbatas pada aspek permodalan serta pengelolaan organisasi yang profesional. namun lebih dari itu yang terpenting adalah akses terhadap pasar terutama untuk produk-produk yang dihasilkan oleh bumdes tersebut. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 198 muljadi kemitraan ini semakin penting mengingat adanya dana desa yang digulirkan oleh pemerintah juga dapat dikelola melalui bumdes. sebagai unit usaha dan bisnis tingkat desa, besarnya dana desa dapat menjadi modal pengembangan bisnis. bahkan pada bumdes yang baru akan didirikan, dana desa menjadi dana stimulus pembentukan bumdes. sejak dicairkan 2015 hingga pertengahan 2017, dana desa sudah menstimulasi pembentukan 18.446 bumdes di berbagai daerah di indonesia (agregasi sindonews.com, 2017). nugroho (2017) mengungkapkan pengelolaan dana desa melalui bumdes yang menjadi mitra bumn, diharapkan menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengurangi berbagai penyelewengan pemanfaatan dana desa. penyelewengan dana desa pada dasarnya muncul sebagai akibat lemahnya partisipasi masyarakat. melalui bumdes, dimana mekanisme pembentukan dan operasionalnya telah diatur dalam berbagai regulasi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, maka pemanfaatan dana desa menjadi lebih terkendali, dimana pada akhirnya memberikan manfaat maksimal bagi warga desa. peran lkms bmt dalam kerangka bumdes pakar ekonomi syariah dan bmt, aries muftie (2016) mengatakan, baitul maal wa tamwil atau bmt adalah lembaga keuangan yang menjadi jalur utama arus masuknya uang ke pedesaan agar perekonomian tetap hidup. “sebuah negara maju, pastilah lembaga keuangannya juga besar dan bagus. maka bmt sebagai lembaga keuangan desa juga berfungsi sama agar desa menjadi maju. meskipun sebuah desa punya sumber daya alam dan manusia yang bagus tapi kalau lembaga keuangan desa lemah maka mereka tak akan bisa menciptakan bisnis. “uang itu kan darah dalam kehidupan masyarakat, darah dipompa dari jantung ke vena, jantung itu bi vena itu perbankan. tapi kalau dari jantung darah itu tidak sampai ke desa atau ujung-ujung tubuh,maka jari jemari akan putus karena tidak ada suplai oksigen masuk,”. karena itu, agar uang itu sampai ke desa dibutuhkan saluran arteri yaitu bmt agar uang mengalir sampai ke desa. karena menurut aries, tanpa ada uang ke desa, maka ekonomi desa akan mati dan akan memunculkan dampak yang lebih buruk lagi.”yang jelas dampaknya pertama akan muncul urbanisasi, sdm desa akan pindah ke kota mencari uang,”. desa harusnya jadi ketahanan pangan, energi dan air. namun, karena terjadi urbanisasi maka semua itu hilang dan melemahkan negara, sehingga yang terjadi adalah dibukanya kran impor lebih besar lagi.”selain itu, desa itu unsur religi dan budayanya kuat. kalau warganya banyak pindah ke kota, maka akan lemah dan berubah jadi gaya hidup hedonisme,”. hilangnya ke-3 (ketiga) hal itu menurut aries, bakal membahayakan kehidupan negara. “jelas sekali, karena desa adalah sumbernya petani, dan petani bukan hidup di metropolitan. karena itu, kongres umat islam atau kui p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 199peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten mencanangkan gerakan sdsb atau satu desa satu bmt yang tujuannya setiap desa dapat menjadi desa emas, sebuah desa yang masyarakatnya mendapatkan award desa emas,”. konsep desa emas adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan peradaban desa yang tangguh, mandiri, bermartabat, sejahtera dan membawa dampak kepada pembangunan bangsa, yaitu desa membangun indonesia. kemudian untuk mewujudkan itu semua perlu 5 pilar. antara lain; pertama, adalah bina akhlak, yang diajarkan dan diterapkan sasarannya terkait pengelolaan sda yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan bahkan seharusnya melestarikan.”kedua, adalah bina saudara, sehingga semua warga desa setelah akhlak atau karakternya diperbaiki, maka mereka harus bersaudara dan dibuat kelompok usaha bersama,”.dengan demikian, dalam hal kelompok kehutanan atau kelompok kebun, mereka diajarkan cara mengelola kebun dan hutan yang baik secara gotong royong dan ta’awun atau tanggung renteng. termasuk jimpitan dan membuat dana trust fund. “yang ketiga, adalah bina sinergi. setelah mereka merasa bersaudara dan berkelompok sesuai fokus usahanya, selanjutnya disinergikan dengan membentuk koperasi yang beranggotakan seluruh warga desa atau minimal seluruh kk di desa tersebut,” jelas.menurut aries, dari kelompok-kelompok tadi akan menjadi sbu koperasi desa. kopdes ini menjadi koperasi plasma yang bermitra dan sinergi dengan bums atau bumn sebagai inti, dimana di industri hilir plasma memiliki share sebesar maksimal 40% sementara di hulu khususnya pengelolaan tanah, hutan, dan kebun 80% dikelola oleh plasma atau rakyat. “jadi inti atau konglomerasi hanya boleh 20% mengelola kebun atau hutan sebagai contoh atau demplot. jadi bila korporasi kebun atau hutan meningkat maka otomatis plasma atsu kopdes juga meningkat, oleh karenanya rakyatpun terangkat,” keempat, adalah bina dana, kata aries. setelah antara kopdes dengan bumn dan bums bisa sinergi maka perlu dana dan investasi, lanjutnya. “karena itu harus ada bumdes, lembaga keuangan desa seperti bmt yang mengumpulkan dana untuk investasi. dan perlu dibentuk gabungan bumdes bmt ini sebagai apex bumdes yang menampung dana-dana ke desa dalam bentuk pt khususnya mv sehingga bisa melakukan crowdfunding, menerbitkan sukuk dan ipo. jadi konglomerasi di tahun 2020 adalah berbasis desa,”.adapun yang kelima, menurut aries, adalah bina pasar dan produk unggulan. setelah pengumpulan dan berhasil maka perlu disiapkan pasar baik fisik maupun virtual (epasardesa) yang menjual produk-produk unggulan desa, khususnya hasil hutan, kebun dan dai sabusa (daging ikan sayur buah susu) yg dijual sudah dalam bentuk ready to eat, atau konsep from seed to plate. kemudian dalam penelitian dzikrulloh dan arif rachman (2016) bahwa sinergitas antara bmt dengan bumdes dapat diterapkan dengan berbagai model atau pola yang sangat menguntungkan bagi pihak terkait. sinergi yang dapat terbentuk antara lain: sebagai bait al-mal, bmt memosisikan diri sebagai lembaga yang menghimpun dan journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 200 muljadi menyalurkan dana umat yang berasal dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf tunai (ziswaf). penyalurannya diaplikasikan kepada yang berhak (mustahiq) zakat, sesuai aturan agama dan manajemen keuangan modern. dalam mengelola dana ziswaf, bmt tidak mendapatkan keuntungan finansal, tapi dibolehkan memperoleh ganti biaya operasional sewajarnya, baik dalam konteks sebagai ‘amil (zis) atau nadzir (wakaf). bmt sebagai bait at-tamwil merupakan institusi keuangan yang menjadi intermedi aryantara shahibul mal (pemilik dana) dan mudharib (pelaku usaha) sehingga usaha pokoknya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan/tabungan dan menyalurkan lewat pembiayaan usaha rakyat yang produktif dan menguntungkan dalam skala mikro sesuai sistem syariah. bmt sebagai mudharib (pelaku usaha), bumdes sebagai mudharib sekaligus shahibul mal (pemilik dana)bumdes sebagai mediator bumdes sebagai pasar barang bagi produk jual beli bmt, bmt sebagai investor utama pembangunan asset desa. proses sinergitas diharapkan dapat memiliki dampak yang cukup besar sebagai stimulator pembangunan desa berkelanjutan, asumsi lain menjelaskan bahwa sinergitas ini sangat menguntungkan bagi seluruh komponen dalam perekonomian. kesimpulan perhatian pemerintah banten sangat di perlukan untuk membangun banten ke depan, pengusaha kecil dan mikro banten perlu di bantu, tidak hanya dalam program-program seremonial, tanpa ada pendampingan yang serius maka lkms bmt akan berkembang sangat lambat, untuk meningkatkan perkembangan lkms bmt maka perlu kerjasama antara bumdes yang berada di banten, kemitraan antara bumn dan bumdes perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatdengan konsep sdsb, satu desa satu bmt. untuk mewujudkan tersebut maka perlu 5 pilar yaitu. bina akhlak, bisa saudara, bina sinergi, bina dana dan bina pasar dan produk unggulan. kemudian yang terpending adalah harus ada sinergi antara bmt dan bumdes bmt sebagai mudharib (pelaku usaha), bumdes sebagai mudharib sekaligus shahibul mal (pemilik dana) bumdes sebagai mediator bumdes sebagai pasar barang bagi produk jual beli bmt, bmt sebagai investor utama pembangunan asset desa. referensi agregasi sindonews.com. (2017, juli 18). aries, mufti, 2016. bmt itu arteri agar uang sampai ke desa, media icmi, jakarta aziz, m. amin. 2007. kegigihan sang perintis, pinbuk press, jakarta. aziz, m.amin. 2006, tata cara pendirian bmt, pusat komunikasi ekonomi syari’ah, jakarta aziz, m.amin. 2008.the power al-fatehah, pinbuk press , jakarta. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 201peran lembaga keuangan mikro syari’ah bmt dalam meningkatkan bumdes dan akses keuangan di banten bps pusat. (2014). statistik potensi desa indonesia 2014. jakarta, dki, indonesia: badan pusat statistik. dzikrullah, arif rachman eka permana, 2016. sinergitas baitul maal wa tamwil (bmt) dengan badan usaha milik desa (bumdes) sebagai alternatif penguatan umkm masyarakat pedesaan, jurnal dinar ekonomi syariah vol. 1 no. 1 agustus nugroho, 2017. direktur riset visi teliti saksama, jurnal kementrerian desa dan transmigrasi ridwan, muhammad. 2005.manajemen baitul maal wa tamwil, uii pess, yogyakarta. riyanto, s. (2012, januari 9). http://www.republika.co.id/page/about. retrieved september 20, 2017. diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas 121 citation : wahyono, eko & meutia, fadhillah sri. 2017. “diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, 121-133. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 121-133 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas eko wahyono1 & fadhillah sri meutia2 1mahasiswa doktoral sosiologi pedesaan, institut pertanian bogor, indonesia email: ekowahyono10@gmail.com 2mahasiswa doktoral sosiologi, universitas indonesia email: dhilameutia@yahoo.com abstrak diskursus mengenai demokrasi selalu bergulir dalam berbagai lintasan dan pergulatan waktu. demokrasi bukan bersifat final tetapi selalu mencari bentuk dalam setiap konteks sosial dan budaya masyarakat indonesia. demokrasi pancasila yang sering kali dianggap sebagai sebuah barang jadi pun menemui berbagai tantangan dan bahkan perlawanan dari berbagai kelompok. hal ini tidak terlepas dari beragam dan heterogennya masyarakat indonesia, kontestasi etnisitas, politik dan budaya yang selalu mewarnai trajektori demokrasi pancasila. banyak negara multietnis yang sudah luluh lancah dan bubar karena perbedaan ideologi masing-masing kelompok. namun fakta empirisnya, di tengah-tengah banyak runtuhnya negara multietnis pada pascaperang dunia kedua, seperti indonesia misalnya, masih kokoh berdiri dengan segala gejolaknya. menarik untuk melihat lagi konstruksi dan dekonstruksi yang membentuk demokrasi di indonesia dalam lintas sejarah dan perspektif. kata kunci: demokrasi, pancasila, etnisitas abstract discourses on democracy are always rolling in various trajectories and time battles. democracy is not final, but will always seek form in every social and cultural context of indonesian society. pancasila democracy which is often regarded as a finished item encounters various challenges and even resistance from various groups. this cannot be separated from the variety and heterogeneity of indonesian society, ethnicity, political, and cultural contestation that will always adorn the trajectory of pancasila democracy. many multiethnic countries have been decimated and dispersed because of the ideological differences of each group, the empirical facts in the midst of the multi-ethnic state collapse in the post-second world war still stand firm with all its turmoil. it is interesting to see again the construction and deconstruction that shape democracy in indonesia in cross-history and perspective. keyword: democration, pancasila, ethinicity pendahuluan indonesia sebagai negara-bangsa sudah melewati pergulatan yang sangat panjang. pergumulan dari berbagai macam negara, peradaban, agama, sekte dan juga ideologi tumpang tindih, beberapa samar, ada yang bertahan dan ada juga yang menghilang eksistensinya.merentang sejarah, tercatat ada agama asli masyarakat indonesia, hindu, budha, islam, kristen, katolik & konghuchu. ideologi komunis, sosialis, kapitalis juga pernah tumbuh dan berkembang di indonesia. negara dan peradaban eropa, arab, gujarat, india dan china silih berganti memberi pengaruhnya pada bumi nusantara. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 122 eko wahyono & fadhillah sri meutia dari geneologi sejarah ini jelas tidak bisa dinafikan bahwa indonesia memang “ditakdirkan” menjadi masyarakat majemuk dan multikultur. hal ini menjadi dasar bahwa perlu ada hal khusus dalam memperlakukan segala hal yang ada di indonesia. jika salah dalam merumuskan kebijakan, tidak menutup kemungkinan bahwa indonesia akan mengikuti “ajal” negara negara multikultur lainya (bosnia, yugoslavia dll).mengelola masyarakat majemuk tentu tidak sama dengan negara negara yang cenderung homogen (jepang, korea, china dll) baik pengelolaan sosial, ekonomi dan politik. tanpa menihilkan bidang lain, hal cukup penting dan menuntut perhatian lebih dari masyarakat multikultur adalah pada bidang politik, sosial dan ekonomi. furnifall (2009) menyebutkan bahwa ciri khas masyarakat majemuk adalah tidak ada kehendak yang sama antar golongan atau suku, tentu hal ini meliputi tiga hal tersebut. tanpa ada saluran yang tepat, sebuah konflik dan perpecahan akan sangat mudah tersulut. penting adanya kontrak sosial yang bersifat general dan berlaku untuk semua golongan dan dilakukan dengan seadil-adilnya. dasar kebijakan tentu tidak boleh didasarkan hanya dari agama, golongan, suku tertentu, meskipun tak dapat dihindarkan juga nilai-nilai tersebut termanifestasikan dalam nilai-nilai universal tersebut. indonesia memiliki pengalaman yang romantis sekaligus memilukan dalam perjalananya sebagai negara yang mencari bentuk demokrasi yang mampu mengayomi semua masyarakatnya dan menuntun menuju pintu kesejahteraan. demokrasi dan musyawarah adalah “takdir” yang harus dijalani, kenapa? karena sejauh tidak ada (belum) sistem yang tepat selain kedua hal tersebut dalam konteks masyarakat majemuk. selanjutnya hal yang urgent untuk di rumuskan bersama adalah demokrasi yang seperti apa? demokrasi dari siapa dan untuksiapa? pada saat ini kita masih terjebak pada elektoralisme, yang justru membuat kemandekan demokrasi. wiradi (2015), menyatakan bahwa demokrasi indonesia perlu dimaknai ulang bukan hanya sekedar menjadi alat untuk kontestasi kekuasaan tetapi juga harus menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat. seperti halnya bahwa demokratisasi sebuah negara memiliki hubungan yang erat dengan tingkat perekonomianya. jika perekonomian masyarakat masihtermarjinalkan dan belum mendapat tempat yang layak, maka harus ada redefinisi. demokrasi yang ada sekarang di indonesia seharusnya mampu menuju kearah emansipasi kemanusiaan. hadiz (dalam wiradi 2015) menyebutkan bahwa demokrasi pada kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi kalangan predatoris, sebagaimana rezim otoritarian yang anti demokrasi. harapan otentitas demokrasi indonesia adalah jika kesejahteraan rakyat terwujud dan jika ayat 3 pasal 33 uud 1945 dilaksanakan, yakni bila “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 123diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas dengan demikian terwujudnya demokrasi atas kedaulatan rakyat atas dasar kebersamaan dalam asas kekeluargaan. selanjutnya kedaulatan ekonmi juga mampu diraih dimana segala bui dan tanah air mampu dikelola sendiri oleh masyarakat. sejatinya dalam tataran filosofis dan konsep kenegaraan indonesia sudah final. landasan filosofis uud 45 dan pancasila sudah cukup sebagai ide yang jenius, merangkul semua golongan. problematikanya adalah bagaimana menurunkan cita-cita yang sudah dirumuskan para sesepuh bangsa dan putra-putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini kedalam kebijakan dan praksis yang mampu menaungi semua tumpah darah. itu adalah perjalanan yang tidak pernah usai, karena indonesia akan selalu dalam tantangan zaman, godaan, dinamika, ujian yang tidak lepas dalam konteks ruang dan waktu. masalah yang ada tentu tidak sama dengan masalah indonesia pada satu abad yang lalu. inilah proses yang harus di jalani oleh bangsa indonesia dan mungkin memang tidak akan pernah berakhir. kerangka teori dalam buku politik multikultur, j.s miller menyatakan bahwa institusi merdeka nyaris mustahil muncul di negara yang terdiri dari bangsa yang berlainan. di antara orangorang yang tidak memiliki kesamaan, baik dalam bicara dan membaca susah untuk hidup bersama. meskipun pasca pd i sejumlah kecil pemikir barat menyebutkan bahwa demokrasi masih bisa tumbuh dalam negara multikultur. isu mengenai relasi antaretnik menjadi isu yang masih sangat penting, baik pada level lokal, nasionl maupun global. di satu sisi keberagaman etnis bisa menjadi identitas pembentuk bangsa, namun disisi lain etnisitas dan relasi antar etnis sangat erat kaitanya dengan masalah pembangunan di negara belahan dunia manapun, khususnya dalam suatu negara yang memiliki etnisitas beragam. huntington (1997: 28) menyebutkan bahwa, “in this new world the most pervasive, importan, and dangerous conflicts will not be between social classes, rich and poor, or other economically defined groups, but between peoples belonging to different cultural entities. tribal wars and ethic conflicts will be occurred within civilizations. violoence between states and gropus from diffrerent civilizations, however, carries with it potential for escalation as other states and groups from these civilizations rally to the support of their kin countries.” seiring dibukanya keran demokrasi dan derasnya isu mengenai otonomi daerah kesadaran etnik dan kelompok pun juga meningkat. eskalasi kebangkitan identitas etnik yang pada orde sebelumnya dikerangkeng oleh jeruji besi sentralistik menemukan jalanya di era otonomi daerah dan desentrlisasi, kasus ini dikaji oleh sofjan syaf (2014) di kendari sulawesi tenggara. selanjutnya kajian yang dilakukan rahman (2015), menunjukkan gejolak politik etnis yang mengarah etnosentris dan chauvinism menggeliat di myanmar. disini muncul pertentangan dari kaum minoritas rohingya yang tidak diakui sebagai journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 124 eko wahyono & fadhillah sri meutia warga negara serta kebijakan kebijakan negara yang cenderung pro kepada etnik dan agama dominan. halabo (2016) melakukan kajianya di ethiopia dimana rezim feudal berusaha membuat nation-state dari semua etnik yang ada di ethiopia, akan tetapi terdapat gejolak dari bawah baik dari esm (ethiopian state movement) yang berhaluan marxislenin, tplf (tigary people liberation front) serta eprdf ( ethiopian peoples revolutionary democratic front) yang menuntut diterapkanya sistem federal berdasarkan etnisitas dan disahkanya hak etnis sebagai penentuan etnis masing-masing. berangkat dari tiga hasil penelitian ini, akan dikaji bagaimana politik etnik ikut campur dalam ruang-ruang politik yang sarat akan kepentingan. menarik untuk dikaji bahwa kajian mengenai politik etnik ini sangat relevan untuk dikaji dan dikembangkan, terutama di negara-negara yang memiliki multientik sebagai penopang utama integrasi nasional. diantara ketiga negara ini (indonesia, ethiopia dan myanmar) sebenarnya sudah merdeka dan berdaulat dalam waktu yang relatif sudah cukup dewasa, namun ketiganya juga dibayang bayangi kerentanan yang mendalam terkait eksistensinya sebagai bangsanegara. kasus etnisitas di ethiopia pada aras tertentu memiliki beberapa kesamaan dengan kasus-kasus etnik yang ada di indonesia, diantara nya adalah beberapa suku etnis ingin melepaskan diri dari negara kesatuan. hal ini berbeda dengan kasus di myanmar(rohingya) karena etnis ini menjadi etnis yang termarjinalkan sekaligus teresklusi dari etnis-etnis utama di myanmar. sehingga secara politis tidak akan mempu melakukan perlawanan ataupun melakukan tindakaan separatisme karena tidak memiliki kekuatan baik secara sosial maupun politis. sebagai pisau analisis untuk membedah kasus etsinisitas di tiga negara ini, akan digunakan kerangka analisis sosiologi etnisitas (malesevic). kerangka teori sosiologi etnisitas dianggap sebagai kerangka teoritis yang tepat dibandingkan dengan pendekatan teoritis lainya. dengan memakai pendekatan ini bisa dikaji relasi yang bergeliat, tumpang tindih yang berpraksis dalam sebuah arena kontestasi politik yang sarat akan kepentingan, seperti yang diungkapkan malasevic (2004: 160), “ethnic relations are explained with reference to a set of very diverse factors, such as being a political resource of elites, genetic and memetic make up, class position, status privilege, economic utility and selfinterest, functional necessity and group solidarity, actor’s self-definition of the situation, theft of group enjoyment, discursive practices and so on.” malasevic membangun sembilan konsep utama yang dibangun atas dasar kerangka sosiologi, sembilan konsep tersebut adalah teori sosiologi klasik dan etnisitas, neo marxis :kapitalis, kelas dan kultur, fungsionalis : etnisitas, modernisasi dan sosial integrasi, sosiobiologi: grup etnik, teori pilihan rasional: etnik grup dalam peningkatan individu, teori elit : etnisitas dan politik sumberdaya, neo weberian: etnisitas dan status sosial dan yang terakhir teori dekonstruksi etnisitas. akan tetapi tidak semua konsep ini digunakan secara integral, ada beberapa konsep kunci yang akan dipakai yang dianggap relevan dengan tiga kasus di tiga negara berbeda ini. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 125diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas metode penelitian penulis menggunakan metode penelitian komparatif (comparative study) dalam penulisan artikel ini. pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah expost facto. dengan menggunakan pendekatan expost facto, penulis berharap tujuan dari penelitian ini dapat menetapkan kondisi kontrol eksperimental untuk menciptakan situasi di mana efek single variable dapat dipelajari (lord, 1973). penggunaan metode penelitian komparatif dengan pendekatan expost facto sering kali menjelaskan atau mendeskripsikan hubungan kausal antara suatu peristiwa dengan keadaan realita. analisis dan data dalam penulisan artikel ini bersumber dari buku-buku, jurnal nasional dan internasional, dokumen-dokumen lain, dan observasi yang dilakukan penulis baik langsung maupun tidak langsung. data-data dari berbagai sumber tersebut merupakan hal-hal yang terkait dengan demokrasi dan etnisitas serta pergolakannya dalam bangsa indonesia. analisis komparasi dalam artikel ini memakai berbagai pandangan pakar yang sudah ahli dan fokus dalam masalah demokrasi internasional dan indonesia. analisis mengenai demokrasi dan etnisitas ini merupakan studi kepustakaan yang dilakukan dari berbagai sumber, seperti jurnal, buku dan makalah. data sejarah dan data penelitian ini digunakan untuk menunjukkan bagaimana etnisitas ikut mewarnai kontestasi demokrasi di indonesia. data yang tersedia di intepertasi dan memakai penjelasan teoritik. pendapat para ahli dari lintas generasi dan berbagai pandangan juga dipakai untuk mempertajam analisis demokrasi dalam kerangka etnisitas di negara multikultur. hasil dan pembahasan 4.1 etnisitas dalam arena negara multietnik dalam bukunya imagined communities (2008), ben anderson melemparkan pertanyaan kristis dan reflektif (meskipun selanjutnya tidak diuraikan jawabanya secara terperinci). pertanyaan tersebut adalah mengapa nasionalisme tidak tumbuh pada masa majapahit? apakah mungkin nasionalisme tumbuh pada saat itu? jika memang ada “nasionalisme” pada zaman majapahit mengapa kekuatan hindu-buddha tidak memberikan perlawanan keras ketika islam mempersiapkan jalan menuju penguasaan nusantara di tepi kehancuran majapahit?1 jauh setelah kerajaan majapahit berkuasa di nusantara, perjuangan bangsa indonesia melawan kolonialisme belanda merupakan bukti nyata bahwa dalam berbagai kelompok etnik ynag jumlahnya beragam ternyata mampu bersatu ketika memiliki keprihatinn 1 hal ini menjadi kajian reflektif bersama mengenai nasionalisme yang didengungkan di indonesia dan di ethipia sebagai negara yang mempunyai beragam etnik. namun terkadang atas nama nasionalisme, pemerintah lewat slogan ataupun “keotoriteranya” memakai kalimat sakti ini untuk menancapkan dominasi etnis tertentu kepada etnis lainya. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 126 eko wahyono & fadhillah sri meutia yang sama. jelas nasionalisme terbentuk dari berbagai latar belakang yang berbeda, di indonesia hal ini diikat oleh rasa kesatuan “bhineka tunggal ika”. meskipun gejolak etnisitas terkadang mengalami puncaknya di indonesia, akan tetapi setidaknya belum ada kasus seperti di rohingya myanmar. satusatunaya “noda” separatisme di indonesia adalah keluarnya timor timur dari bangsa indonesia. di ethiopia gejolak etnisitas meruncing dan mencapai klimaksnya pada keluarnya eritrea sebagai negara yang merdeka. tentu ada variabel lain yang juga ikut mendeterminasi kasus ini. sudah banyak kasus di dunia mengenai terpisah nya negara karena perbedaan etnisitas, seperti yugoslavia dan cekoslavia.entitas multietnik di negara ini jelas di satu sisi bisa memicu terjadinya konflik.2di sisi lain keberagaman etnisitas dapat dikembangkan menjadi unsur-unsur pembentuk identitas nasional. 4.2 demokrasi sebagai transformasi hefner (2001) menyatakan bahwa konsep kunci dari teori modernisasi adalah bahwa demokrasi sulit untuk dijalankan tanpa adanya modernisasi yang menuntut adanya homogenisasi kebudayaan politis. tanpa adanya hal ini, negara wajib memberikan supremasinya pada sebuah budaya atau nilai umum kepada warganya yang heterogen. huntington (1968), menyatakan bahwa integrasi nasional harus mengutamakan “kepentingan nasional bersama” dengan demikian otoritas politik tradisional, etnisitas, agama dan kesukuan harus diredam dengan otoritas politik nasional yang sekuler dan tunggal. tanpa adanya redaman dari otoritas negara, ego yang tinggi dari masing-masing hal tersebut bisa mengacaukan tatanan masyarakat heterogen yang tentu memiliki ego tinggi dalam “keakuanya” serta menganggap yang bukan satu golongan adalah liyan. pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa indonesia, memiliki fungsi juga sebagai otoritas politik nasional. sebagai warisan jenius nusantara, pancasila diposisikan sebagai nilai bersama yang melampaui otoritas agama, etnik dan kesukuan. sukarno (2015) menyatakan bahwa dalam pancasila terdapat tiga sifat: nasionalis, islamis dan marxis. 3 meskipun pada piagam jakarta telah dihapus tujuh kata “wajib menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”, sejatinya nilai-nilai islam secara tersirat sudah terejawantahkan dalam teks pancasila. dengan penghapusan kata ini, ego agama dalam otoritas nasional mampu diredam, demi kesatuan dan keadilan nasional seluruh bangsa indonesia. 2 indira yasmine dalam bukunya sistem sosial indonesia menyebutkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik etnis muncul ke permukaan adalah : (1) perubahan konstelasi politik pada masa reformasi dan iklim kebebasan, (2) tidak merata pembangunan di indonesia, (3) identitas etnis yang didalamnya termasuk nili budaya dan adat istiadat masih menjadi faktor penting dalam kehidupn masyarakat, terutama di pedesaan. 3 dalam bukunya negara paripurna (2015), yudi latif menguraikan bahwa pancasila ketiga ideologi ini mampu bekerja sama menjadi satu ombak-topan yang tidak mampu ditahan terjanganya, dan ini yang menjadi tantangan dan tanggung jawab semua warga negara indonesia. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 127diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas hal ini merupakan wujud transformasi demokrasi bangsa indonesia, dan juga wujud perubahan dari kolonialisme dan sistem feodalisme kerajaan yang sudah berlangsung selama ratusan, bahkan ribuan tahun. sebelum kedatangan kolonial belanda, di masyarakat indonesia sudah mengenal sistem kasta yang menjadi penghalang dalam berdemokrasi. di era kolonial sendiri, masyarakat pribumi di golongkan pada posisi paling bawah diantara bangsa eropa dan bangsa asia lainya. 4.3 demokrasi dalam konteks keindonesiaan indonesia digadang gadang sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia. pemilu presiden maupun pilkada dianggap sebagai sebuah kesuksesan besar sehingga indonesia layak disebut sebagai negara demokrasi. melalui metode pemilihan langsung ini, kedaulatan seolah-olah benar-benar di tangan rakyat. akan tetapi revrisond baswir (2015) menyatakan bahwa hal ini adalah penyebaran ajaran demokrasi liberal di indonesia. dalam demokrasi liberal, demokratis atau tidaknya pemilu dapat dilihat dari metode penyelenggaraanya. struktur sosial dan ekonomi yang menjadi konteks penyelenggaraan pemilu cenderung terabaikan. pasal 1 ayat 2 dan pasal 33 uud 1945 mengejawantahkan bahwa wajib memperhatikan demokrasi sosial dan demokrasi politik. demokrasi menurut swasono (2010) adalah demokrasi apabila rakyat bisa berdaulat serta berdaulat secara ekonomi. segala sumberdaya yang ada di alam indonesia mampu semua nya dikelola mandiri. furnifall sendiri menyatakan bahwa cukup susah untuk membangun demokrasi di tengah-tengah masyarakat multikultur dan majemuk. dalam masyarakat majemuk komunitas cenderung diorganisasikan untuk produksi alih-alih kehidupan sosial, permintaan sosial terionlisasi dan setiap golongan masyarakat, permintaan sosial menjadi tidak teratur dan inefektif, sehingga dalam setiap golongan, antar anggotanya tidak bisa hidup sepenuhnya seperti warga homogen. hal ini mewujud pada nasionalismedan demokrasi golongan itu sendiri, yang memperlawankan satu komunitas satu dengan komunitas lain dan memperparah ketidakstabilannya, dengan demikian meningkatkan kebutuhan untuk dipersatukan kekuatan yang dipaksa dari luar. amanat uud 1945 sangat konkret dalam menyuarakan keadilan bersama, yakni, “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah indonesia” dalam berbagai aspek kehidupan bangsa indonesia. pada zaman orde baru, etnis jawa mendapatkan supremasi superioritasnya dalam berbagai aspek kenegaraan dan masyarakat. secara kultur dan struktur seperti ada upaya “jawanisasi” indonesia baik dalam sendi-sendi kehidupan. namun seiring terbukanya keran demokrasi dan desentralisasi di indonesia, kebangkitan politik etnis di indonesia pun tampil di permukaan. hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memperlakukan identitas dan etnisitas dalam alam demokrasi indonesia? journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 128 eko wahyono & fadhillah sri meutia 4.4 demokrasi dan politik etnik yang tidak terpisahkan sepanjang orde baru, politik etnik posisinya dibawah belenggu kekuasaan militer. syaf (2014) secara terperinci menyatakan bahwa pasca reformasi politik etnik mendapatkan “tahtanya”. struktur masyarakat yang terdiri dari dari masyarakat multietnik dan terbukanya akses demokrasi liberatif memicu tindakan aktor lokal yang akan memakai kedekatan etnisitas dalam mengumpulkan pundi-pundi modal kuasa atas ekonomi ataupun politik. pergulatan politik identitas membangkitkan semangat keidentitas etnik seorang aktor di era desentralisasi. demokrasi tidak berada pada ruang hampa, tarikan antar kepentingan selalu berkelindan dalam ruang dan waktu. selanjutnya tridakusuma (2015), menjelaskan bahwa ruang-ruang publik dalam masyarakat multikultur akan penuh sesak dengan berbagai ideologi dan etnisitas. tridakusuma melakukan kajian pada masyarakat etnik jawa yang bertransmigrasi, sebagai individu tentu seseorang tidak akan terlepas dari konteks darimana ia berasal. namun hal yang perlu disadari adalah ketika ruang publik diisi oleh berbagai macam golongan, seseorang tentu tidak bisa memaksakan nilai dan aturan yang menjadi basic value etnisnya untuk dijadikan juga sebagai aturan etnik lain. perlu ada nilai yang sama dan universal dan tidak memihak pada etnis tertentu. 4.5 nasib demokrasi indonesia (furnifall dan halabo) furnifall (2009) tidak begitu optimis dengan masa depan politis dan ekonomis masyarakat-masyarakat majemuk. ia bisa mengidentifikasikan masalah-masalah secara politis, untuk mengintegrasikan masyarakat, dan secara ekonomi untuk mengorganisir tuntunan baru. secara kodrati masyarakat majemuk tidak mampu mengatasi masalah yang menyatukan potongan-potongan societal menjadi satu kesatuan yang utuh. tesis furnifall ini terbantahkan pada demokrasi di indonesia, meskipun tidak sepenuhnya salah. nyatanya sampai pada saat ini bangsa indonesia masih berdiri dan tidak ada pecahan dan serpihan yang sampai “meluluhlantahkan” kesatuan indonesia. hal ini berbeda dengan tesis yang dinyatakan oleh halabo (2014) bahwa terdapat sekte-sekte dan bagian federal negara yang terpisah dari ethiopia. dibandingkan dengan kondisi di ethiopia, etnis di indonesia jauh lebih kompleks, jika di ethiopia semua wilayah negara disatukan oleh daratan, indonesia memiliki hal yang jauh lebih kompleks yakni masingmasing etnis tersebar di berbagai pulau dan dipisahkan oleh lautan.4 jika boleh jujur, masalah disintegrasi di indonesia jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan ethiopia. yang pertama, dalam satu bangsa ethipia, mayoritas berkulit sama, masih dalam satu pulau yang sama dan budaya yang relatif sama serta hanya memiliki dua agama mayoritas (islam&kristen). dapat kita bayangkan di indonesia memiliki ratusan jumlah etnik, 4 beberapa tesis menyatakan bahwa indonesia tidak dipisahkan oleh laut. tapi justru sebaliknya bahwa negara indonesia adalah negara kelautan/maritim yang di dalamnya tersebar pulau-pulau. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 129diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas ratusan kepercayaan & keyakinan dan ratusan bahasa. dengan ini semua demokrasi di indonesia masih bisa berjalan dengan baik apabila dibandingkan dengan ethipia yang carut marut akibat masalah etnisitas. meskipun sering kali terjadi konflik sektarian, rasial dan berbau agama, namun itu adalah sebuah dinamika, dan kita tidak boleh menafikkan itu. funifall sendiri menyatakan bahwa bangsa yang majemuk seperti indonesia akan susah menjadi bagian yang menyatu. lagi-lagi hal ini terbantahkan oleh perjalanan waktu bangsa indonesia. sampai kini, indonesia masih menyatu dalam ikatan etnis nasional yang bernama indonesia. perbedaan ini menjadi dasar untuk menjadi negara demokratis. tanpa adanya perbedaan, tentu demokrasi itu sendiri juga tidak bisa di jalankan. 4.6 paradigmatik ilmu pengetahuan furnivall dalam bukunya yang berjudul hindia belanda: studi tentang ekonomi majemuk lebih cenderung memakai paradigma konstruktifis dimana secara ontologis terdapat realitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik, yakni pada era kolonial belanda di hindia belanda. secara epistemologi buku ini cukup subjektif karena posisi furnifall sebagai pegawai pemerintah belanda, sehingga pengetahuan dalam buku ini tidak lepas dari posisi kacamata seorang birokrat yang memberikan informasi secara terperinci dan mendetail terkait daerah jajahanya. secara metodologis furnivall memakai pendekatan dialektis mengenai apa yang sudah dikaji. wiradi dalam bukunya menilik demokrasi, menggunakan pendekatan paradigma kritis, dimana pada ontologinya dilakukan kajian yang realism historis yang dibentuk oleh nilai sosial dan politik. secara epistemology buku ini bersifat transaksional/subjektif yang diperantarai nilai penulis. sebagai salah satu pakar agrarian tentu wiradi tidak akan diam dan menulis “apa adanya” mengenai ketidakadilan demokrasi di indonesia. kajian ini juga bersifat kritis-reflektif. metodologi yang digunakan dialogis-dialektis. yadi latif dalam bukunya negara paripurna cenderung menggunakan paradigma konstruktifis, dimana pancasila dikonstruksikan sebagai pelengkap dan sistem demokrasi yang paling sesua dengan alam indonesia. secara epistemologi terdapat temuan-temuan yang sengaja untuk diciptakan dalam upaya membangun argumentasinya. swasono dengan bukunya indonesia dan doktrin kesejahteraan sosial, cenderung memakai pendekatan paradigma konstruktifis, dimana secara ontology penulis berusaha mengkonstruksikan suatu hal secara spesifik. dalam hal ini swasono mengkontruksikan bahwa rakyat akan sejahtera bila kedaulatan rakyat dan ekonomi akan tercapai. secara epistemologi temuan –teuan diciptakan dan dirangkai secara subjektif. secara metdologi menggunakan pendekatan dialektis. etnisitas merupakan sebuah fakta sosial yang keberadaanya nyata dalam kehidupan indonesia. realitas etnik di indonesia dapat menjadi penghalang kemajuan sosial apabila journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 130 eko wahyono & fadhillah sri meutia hanya mementingkan ego golonganya sendiri. tindakan seseorang tidak akan pernah lepas dari nuansa etnisitas. dalam proses demokrasi posisi etnik memang tidak bisa dilepaskan secara politis. etnisitas ini yang kemudian di pakai dalam berpolitik, dengan menggunakan saluran ini aktor bisa memanfatkan identitas keetnikanya untuk meraup kemenangan di era demokrasi. pada saat keran demokrasi dan desentralisasi terbuka lebar, politik etnik di indonesia semakin menguat dan merupakan alat yang sangat strategis untuk dimanfaatkan di arena politik. tabel 1. pola pemetaan berbagai perspektif sumber: olahan penulis dari berbagai sumber p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 131diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas penutup 5.1 kesimpulan menihilkan kompleksitas dari keberagaman etnik sama saja dengan mengingkari kodrat alam. tanpa keberagaman, sebuah rantai makanan pun tidak bisa di jalankan. indonesia, myanmar dan ethiopia memang diberkahi keragaman etnik yang terangkai dalam sebuah negara. berkaca dari kasus ketiganya terdapat pertarungan antar aktor dengan memakai perbedaan etnis dalam upaya memenangkan kuasa atas simbolik, ekonomi dan politik. indonesia pada dasarnya sudah teruji melewati goncangan dan ujuian konflik antar etnik. pada dasarnya (reflektif tiga negara multietnik), bukan keberagaman dan perbedaanlah yang menjadikan konflik. akan tetapi “ego” dan “syahwat” yang sudah dicampuri kepentingan politik serta perebutan sumber daya yang kemudian menjadikan sebuah konflik serta perpecahan. hal ini juga belum ada tindakan yang tepat dalam memperlakukan perbedaan-perbedan antar etnik di tengah negara kesatuan. demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat sebagaidasar pijakan demokrasi di indonesia penting untuk diperhatikan. paham ini di dasarkan pada asas kekeluargaan dan paham kebersamaan, jelas kepentingan masyarakat adalah kepentingan yang utama diatas kepentingan golongan etnis, kesukuan, agama dan ras. untuk dapat mengakomodir semua kepentingan dan kebutuhan masyarakat, perlu adanya sebuah konsensus sosial yang melampaui ego golongan. pancasila adalah jawaban atas segala bentuk demokrasi yang sudah dijalani bangsa ini selama berpuluh-puluh tahun. melalui saluran ini perwakilan atau utusan golongan dapat tersalurkan aspirasinya. dalam kedaulatan ekonomi, hal yang utama adalah kedaulatan ekonomi dimana ada “daulat rakyat”, dimanaa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua, bumi air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. peran rakyat haruslah bersifat sentral substansial bukan marginal-residual. demokrasi pancasila merupakan landasan ontologis, aksiologi dan epistemology yang kuat di tengah hikuk pikuk pencarian panjang sistem yang tepat bagi bangsa indonesia. demokrasi pancasila bukanlah suatu hal yang statis tetapi bersifat statis sesuai perkembangan zaman. dilihat dari beragamnya etnis, agama dan kepercayaan yang diberikan oleh tuhan kepada bangsa indonesia. demokrasi pancasila adalah “takdir” yang harus dijalani dan dijadikan sebagai pedoman dan falsafah hidup dalam kehidupan bermasyarakat di indonesia. tidak hanya melampaui nilai-nilai primordial, akan tetapi demokrasi pancasila juga adalah hasil kristalisasi semua agama, etnis dan suku yang ada di indonesia. demokrasi ini juga tidak liberalis dan juga tidak komunis, tapi keduanya di kombinasikan secara apik dimana paham kebersamaan dalam asas kekeluargaan serta kepentingan masyarakat (negara, umum) adalah kepentinga yang utama, bukan pada kepentingan pribadi atau golongan. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 132 eko wahyono & fadhillah sri meutia 5.2 saran penulis menyadari bawa artikel ini masih memiliki banyak kekurangan, dan perlu adanya penelitian selanjutnya. penelitian yang lebih komprehensif yang lebih berskala luas dan langsung berdasar kepada keadaan masyarakat mengenai penerapan pancasila dalam peristiwa demokrasi di indonesia dan kesesuiannya dengan ke autentikannya dengan nilai-nilai demokrasi yang asli dari indonesia. kontestasi demokrasi di indonesia akan selalu menarik untuk di kaji, bahkan sebelum kemerdekaan banyak peneliti internasional yang melakukan kajian nya di indonesia. bagi peneliti selanjutnya, kajian-kajian terkait etnisitas masih sangat relevan untuk terus dikaji di indonesia. etnisitas memiliki keterkaitan yang amat kuat dengan demokrasi. meskipun pada awalnya para pendiri republik indonesia sudah meletakkan pilar-pilar demokrasi dalam pancasila namun dalam perjalannya terdapat banyak gejolak bahkan pertentangan didalamnya. bagi peneliti selanjutnya bisa mengkaji demokrasi terkait etnisitas yang bersifat lokalitas. di beberapa lokasi di indonesia bahkan pilkada sangat di determinasi oleh kalangan etnik tertentu. pada level nasional, sangat minim kajian demokrasi yang dikaitkan dengan etnisitas. penelitian ini cukup penting sebagai salah satu kajian khas indonesia dan negara dengan masyarakat majemuk. bagi pemerintah sebagai stakeholder, demokrasi di indonesia tidak berjalan dalam ruang hampa. jaringan-jaringan politik nasional seringkali dibentuk oleh jaringanjaringan lokal yang sudah terbentuk sebelumnya. seperti penelitan sujadmiko (2014), terkait minimnya orang sunda di kancah politik nasional yang sangat dipengaruhi oleh jaringan lokal, dukungan pemda dan dukungan masyarakat. kasus etnis sunda memberi pelajaran berharga bahwa demokrasi nasional sangat dipengaruhi jaringan etnis dan budaya lokal. referensi abdilah, ubed. 2002. politik identitas etnis: pergulatan tanpa tanda identitas. magelang. ikapi. anderson, benedict. 2008. komunitas terbayang. yogyakarta. pustaka pelajar. denzin, n.k & y.s lincoln (eds). 2000. handbook of qualitative research (second edition). thousand oaks. sage publ. inc. furnifal, js. 2009. hindia belanda: studi tentang ekonomi majemuk. jakarta: freedom istitute. halabo, tt. 2015. “ethnic federal system in ethiopia: origin, ideology and paradoxes”. international journal of political science and development. vol. 4 (1), pp. 1-5. hefner, r.w. 2013. politik multikulturalisme. yogyakarta: impulse-kanisius. latif, yudi. 2011. negara paripurna: historis, rasionalitas dan aktualitas. jakarta: pt. gramedia. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 133diskursus demokrasi pancasila dalam lintas perspektif etnisitas lord, h. g. 1973. expost facto studies as a research method. new york: syracuse city school district. malasevic, s. 2004. the sociology of etnicity. london sage publication ltd rahman atikur. 2015. “ethno-political conflict: the rohingya vulnerability in myanmar”. international journal of humanities & social science studies (ijhsss), volumeii, issue-i, july 2015, page no. 288-295. sjaf, s. 2014. politik etnik: dinamika politik lokal di kendari. jakarta: yayasan obor indonesia. sujatmiko ig. 2014. keterwakilan etnis di politik nasional: kasus etnis sunda di republik indonesia. jurnal masyarakat pusat kajian sosiologi ui. swasono, sri-edi. 2010. indonesia dan doktrin kesejahteraan sosial: dari klasik dan neoklasik sampai the end laisez-faire. jakarta. perkumpulan. prakarsa. tridakusumah, a.c. etal. 2015. social identity, ethnicity and internal mobility in indonesia. paper. wiradi, g. 2015. menilik demokrasi. yogyakarta: penerbit tanah air beta. wirutomo, paulus. 2012. sistem sosial indonesia. depok. ui press. 19 citation : amiludin. 2018. “politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 19-32. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 19-32 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.712 received 17 april 2018 revised 20 mei 2018 accepted 30 mei 2018 politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan amiludin1 1 program studi ilmu hukum, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: amiludin@umt.ac.id abstrak tanah yang dibutuhkan oleh manusia pada era sekarang tidak terlepas dari berbagai macam kepentingan yang berakibat kepada terjadinya politik pertanahan. kebijakan negara dalam membuat sebuah regulasi tidak terlepas dari kepentingan terutama dengan adanya desentralisasi dari pusat ke daerah sehingga terbentuknya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. akibat kewenangan pusat yang diambil daerah terkait pertanahan membawa berbagai macam permasalahan terutama konversi atau alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di setiap daerah yang alasan dari konversi tersebut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersumber dari berbagai macam perundangundangan terkait pertanahan dan kewenangan pemerintah daerah dalam hal pertanahan. politik hukum dalam pertanahan yang terjadi akibat tidak adanya keseragaman peraturan yang terjadi antara pusat dan daerah yang mengarah kepada kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan pemerintah daerah terutama untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa melihat akibat daripada konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang berujung kepada krisis pangan bagi masyarakat. kata kunci: politik hukum, otonomi daerah, pertanahan abstract land needed by humans in the current era cannot be separated from various kinds of interests that result in the occurrence of land politics. state policy in making a regulation cannot be differentiated from the interests, especially with the decentralization from central to regional so that the constitution of law number 32 of 2004 on regional autonomy.as a outcome of central authority led by state-linked areas bring a mixture of troubles, particularly the conversion or transition of farming estate to non-agricultural in each area, which is the intellect of the changeover to increase local revenue. this writing uses normative legal research methods that are sourced from various laws related to the land and the authority of the local government in terms of land. legal politics in the land that occurs due to the absence of uniformity of regulations that occur between the center and the region that leads to policies that are more concerned with the interests of local governments, especially to increase local revenues without seeing the consequences of the conversion of agricultural land to non-agricultural that led to the food crisis for the community. keywords: political law, regional autonomy, land journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 20 amiludin pendahuluan pembangunan yang terus digalakan baik pemerintah pusat ataupun daerah dengan tujuan untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat(chapple, 2014; kanbur & zhuang, 2013). berakibat kepada kebutuhan tanah yang semakin meningkat baik untuk keperluan indsutri, sosial ataupun komersial. pembangunan yang membutuhkan tanah tidak terlepas dari berbagai macam kepentingan-kepentingan yang kadang bisa bertentangan satu sama lain seperti yang terjadi di beberapa daerah termasuk daerah ibukota sendiri yang harus melakukan penggusuran kepada masyarakat akibat tanah yang semakin sempit(budi harsono, 1975; ulya, 2017).dan berdasarkan fakta yang ada dalam jangka waktu 14 tahun setelah era reformasi, alih fungsi lahan pertanian dan hutan sangat massif. setiap tahun laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian diperkirakan mencapai 110. 000 hektar. dari perspektif ketahanan pangan hal ini sangat berbahaya apabila proses alih fungsi lahan pertanian menjadi industri ataupun perumahan tanpa peraturan dari pemerintah pusat ataupun daerah(limbong, 2014). disektor pertanian pemerintah daerah justru melihat perlindungan lahan pertanian pangan bekelanjutan sebagai hambatan dalam mendapatkan pad dari sektor pertanian dan pemerintah daerah lebih tertarik untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi industri, kawasan perumahan dan lain-lain(anwar, 1993; santosa, gede, ketut, & dinata, 2011; utomo, rifai, & thahir, 1992). akibat hal tersebut, pemerintah pusat membuat sebuah regulasi dalam hal pembatasan dan penanganan terkait alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dengan dibuatnya sebuah undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan sebagai regulasi operasional, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan (lp2b) akan tetapi peraturan pemerintah ini seperti tidak berjalan efektif karena praktek alih fungsi masih terjadi dimana-mana. sebagai contoh di kalimantan barat sekitar 1,1 juta hektar area dari 1,7 juta hektar hutan gambut berubah fungsi selam periode 2010-2012(limbong, 2014). salah satu faktor yang disinyalir menjadi penyebab kekacauan ini adalah otonomi daerah yang telah berakibat hadirnya raja-raja kecil di daerah yang telah mendatangkan implikasi luas dalam dinamika pembangunan di daerah(chalid, 2005; nurcholish, 2005). otonomi daerah pada hakikatnya adalah untuk mempercepat proses pemerataan pembangunan yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah, pengalihan ini berdasarkan undang-undang pemerintah daerah nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 sebagai acuan dalam pelaksanaan otonomi daerah di indonesia. dalam pelaksanaannya otonomi daerah ternyata belum bisa menghasilkan keinginan pemerintah pusat terkait pembangunan yang ada didaerah, dalam konteks agraria p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 21politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan otonomi daerah justru mengakibatkan kemandegan dan kekacauan yang merugikan daerah maupun nasional sehingga berakibat timbulnya konflik pertanahan(bachriadi, 2004; chalid, 2005; rachman, 2018; suhendar & winarni, 1998). konflik yang terjadi adalah karena tidak adanya regulasi yang mengatur lebih tegas akibat ulah perusahaan yang telah merampas tanah hak masyarakat. perusahaan berdalih bahwa telah mendapatkan izin dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dan terjadi tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sikap ego sectoral(suradisastra, 2011). salah satu bidang pemerintah pusat yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota adalah bidang pertanahan. keputusan presiden nomor 34 tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan menyerahkan sembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah seperti izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan serta tanah absente. dalam perjalanan pembangunan politik, politik pembangunan ekonomi, dan lebih khusus politik pembangunan hukum pertanahan, kita sebagai bangsa belum mampu memahami dan melaksanakan isi amanah. amanah yang tersurat dalam pasal 33 ayat (3) uud negara ri 1945 mengandung dasar dan sekaligus arahan bagi politik pembangunan hukum pertanahan dan sumber daya alam lainnya. amanah tersebut kemudian dijabarkan dengan semangat yang konsisten dan progresif ke dalam undangundang no.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang disebut juga dengan undang-undang pokok agraria (uupa). penjabaran ke dalam uupa masih dalam tataran asas-asas hukum yang harus dikembangkan ke dalam berbagai peraturan pelaksanaan yang lebih kongkret sehingga dapat lebih operasional untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat indonesia(ismail, 2012). dalam tulisan ini penulis berusaha mencoba menggambarkan politik pertanahan dan otonomi daerah yang terjadi di era sekarang ini dan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam menanggulangi permasalahan agrarian terutama mengenai alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. tinjauan pustaka politik hukum penjelasan politik hukum sudah banyak diterangkan oleh para ahli dalam berbagai literature, tetapi dalam substansi yang penulis ambil disini adalah mengenai kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan membuat hukum baru maupun dengan mengganti hukum lama dalam rangka tujuan negara(hartono, 1991; journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 22 amiludin mahfud, 1998; nusantara, 1988; syaukani & thohari, 2004). dengan demikian politik hukum merupakan salah satu cara dalam memberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan uud 1945. padmo wahjono (1983)dalam bukunya indonesia negara berdasarkan atas hukum, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan politik hukum adalah kebijakan dasar yang akan dibentuk mulai dari arah, bentuk, maupun isi hukum itu sendiri. selain itu juga padmo wahjono memperjelas definisi tersebut dengan menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan negara terkait kriteria dalam pembentukan hukum baik dari segi penerapan dan juga penegakan hukum itu sendiri(wahjono, 1983). dalam penjabaran diatas penulis berpendapat bahwa secara tidak langsung menjadikan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. politik hukum ada yang bersifat permanen yang mana pemberlakuan prinisp pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan pergantian hukum kolonial belanda dengan hukum nasional. adapun yang bersifat periodik adalah hukum dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu(stevens, 1978; weingast, 1997). dalam politik hukum terdapat tiga cakupan, pertama kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara. kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atau lahirnya produk hukum. ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan. secara metodologis ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan bahwa hukum sebagai produk politik, penulis berpendapat bahwa kebenaran ilmu sosial masih bersifat relative dan tidak bersifat mutlak. kebenaran ilmu sosial tergantung pada asumsi dan konsep yang akan dipergunakan seperti asumsi dan konsep yang memandang bahwa hukum adalah produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya bahwa politik adalah produk dari hukum. artinya bahwa secara ilmiah hukum dapat mendeterminasi politik atau sebaliknya politik determinan atas hukum(de sousa santos, 1995; posner, 1979; somers, 1993). pernyataan hukum sebagai produk politik adalah benar apabila melihat berdasarkan pada das sein (kenyataan) dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislative maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab hukum merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 23politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan pandangan hukum sebagai produk politik akan menjadi lain apabila melihat dari segi das sollen (keinginan, keharusan) apabila hukum tidak diartikan sebagai undangundang. seperti diketahui bahwa hubungan antara hukum dengan politik bisa dilihat berdasarkan das sein dan das sollen. begitu juga hukum bisa diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mencakup undang-undang, bisa juga diartikan sebagai putusan pengadilan, dan bisa juga diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan. politik hukum pertanahan kebijakan dasar dari sebuah poitik hukum adalah dengan cara menerapakan peraturan yanga baru ataupun dengan cara mengganti peraturan lama yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. politik hukum agrarian dalam hal ini adalah pertanahan mengatur bagaimanan negara membuat sebuah regulasi tentang kebijakan negara dalam memberlakukan hukum nasional dan mengganti hukum produk kolonial belanda. kebijakan negara setelah indonesia merdeka langsung bergerak cepat terkait dengan pengaturan tanah agar tidak terjadi konflik baik secara horizontal maupun vertical. pasal 33 uud 1945 adalah dasar konstitusi dalam pembentukan regulasi terkait pertanahan yang pada tanggal 24 sepetember 1960 berdasarkan keputusan dari parelement bahwa undang-undang pokok agaria menjadi dasar hukum dalam hal pertanahan di negara ini.terkait dengan sejarah penguasaan tanah dari masa ke masa penulis akan menjelaskan dalam beberapa bagian, diantaranya adalah sebagai berikut: a. sebelum zaman penjajahan bangsa ini telah mengenal hukum sebelum adanya penjajah, seperti ketentuan yang mengatur terkait pertanahan dalam masyarakat, hukum ini tidak tertulis atau disebut dengan hukum adat. dalam masyarakat adat terdapat perkumpulan atau persekutuan hukum dalam satu wilayah tertentu (rechtsgemeenshaap, beschikkingskring). dalam persekutuan hukum ini terdapat lingkungan yang teratur, kekal, dan mempunyai kekuasan sendiri baik secara jasmani maupun rohani(ragawino, 2008). dalam persekutuan hukum adat mempunyai hak dan wewenang mengatur wilayah atau tanah dalam daerah persekutuan masing-masing. hak persekutuan hukum ini menurut van vollenhoven disebut sebagai beschikkingsrecht. b. zaman penjajahan pada masa ini tepatnya pada tahun 1602-1799 voc (verreenigde oost indische compagnie) sebagai salah satu badan swasta yang dibentuk oleh pemerintah hindia belanda yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan. selain perdagangan voc journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 24 amiludin juga mempunyai hak terhadap bagian-bagian tanah tertentu yang dikuasai dengan cara penaklukan atau dengan berdasarkan perjanjian yang dibuatnya. pemberlakuan hukum barat pada masyarkat pribumi dalam hal pertanahan tanpa mengindahkan hukum adat yang ada sehingga menimbulkan kekacauan dan pemberontakan serta peperangan. penjajah semakin menguasai pertanahan di indonesia dan membuat sebuah kebijakan seperti sewa tanah yang dilakukan petani kepada kepala desa, dan memaksa para petani untuk menanam 1/5 (seperlima) dari tanah yang disewakan dengan tanaman yang sudah ditentukan untuk dipasarkan di eropa(boedi harsono, 1997; muchsin, koeswahyono, & soimin, 2007). tahun 1870 pemerintah belanda mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan kebijaksanaan mengenai keagrarian yakni agrarische wet tahun 1870 no. 55. undang-undang ini lahir atas desakan dari pemodal besar swasta yang menginginkan jaminan agar dapat berkembang di hindia belanda. selain itu juga perkembangan dalam agrarische wet digabung menjadi satu dengan pasal 62 rr yang kemudian menjadi pasal 51 is (indische staatregeling). untuk melaksanakan aw sendiri pemerintah hindia belanda mengeluarkan keputusan dan peraturan salah satunya adalah koninklijk besluit atau lebih dikenal dengan nama agrarisch besluit (ab) yang mana dalam hal ini membuat pernyataan bahwa apabila orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendomnya maka tanah tersebut adalah tanah negara atau biasa disebut dengan pernyataan domein (domein verklaring). c. zaman kemerdekaan indonesia sejalan dengan kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa indonesia, secara berangsurangsur terjadi usaha perombakan dan perubahan untuk mengganti perundangundangan milik colonial belandan terkait pertanahan dengan undang-undang yang sesuai dengan alam kemerdekaa menuju kesejahteraan bangsa indonesia. tahun 1948 terbit undang-undang no 13 tahun 1948 yang menghapuskan hak kebendaan yang dipunyai oleh pengusaha di atas tanah swapraja dan pada tahun 1958 keluar undang-undang no 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah tanah partikelir. setelah mengalami proses yang cukup lama, maka pada tahun 1960 keluarlah undang-undang no 5 tahun 1960 yang dimuat dalam lembaran negara no 104, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. dengan keluarnya undang-undang ini maka terjadilah suatu perombakan yang fundamental dalam hukum agraria indonesia. dalam pelaksanaannya terdapat berbagai macam ketentuan seperti pasal 19 uupa tentang pendaftaran tanah, pemerintah membuat peraturan dengan diterbitkannya p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 25politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan pp. no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. untuk mengatur luas minimum atau maksimum tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga atau badan hukum makan diterbitkanlah perpu no 56 tahun 1960 dan menjadi undang-undang no 1 tahun 1961 tentang penetapan luas tanah pertanian. pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebelumnya diatur dalam peraturan presiden no 36 tahun 2005 dan disempurnakan kembali menjadi undang-undang no 12 tahun 2012 dan peraturan presiden no 71 tahun 2012. otonomi daerah akibat kesenjangan yang terjadi disetiap daerah mulai dari pembangunan dan kesejahteraan yang berbeda dan akibat tidak meratanya alokasi investasi antar wilayah yang memicu tuntutan otonomi daerah. otonomi daerah pertama kali dilakukan pada januari 2001 yang mana perwujudan dari pelaksanaan ini adalah desentralisasi atau penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus sendiri rumah tangganya(cheema & rondinelli, 1983). salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada pemerintah daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena pad ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah(fauzan, 2006; sriyana, 1999; yani, 2002). menurut uu nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 5 “otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” pemberlakuan undang-undang no. 22 tahun 1999 dan undang-undang no. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di indonesia dijadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam penyusunan pelaksanaan apbd. misi pelaksanaann otonomi daerah adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah serta memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipaasi dalam pembangunan. dalam penyelenggaran otonomi daerah yang luas maka dibutuhkan sebuah tanggung jawab dalam hal kewenangan dan kemampuan dalam mencari potensi keuangan setiap daerah dengan dukungan dari pemerintah pusat. terkait hal ini kewenangan keuangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah, dan untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang lebih baik maka diperlukan sebuah kemampuan journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 26 amiludin untuk meningkatkan pad, baik dengan cara memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. selain hal itu agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan lebih baik maka dibutuhkan sebuah strategi seperti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya,kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun dprd sebagai pemegang kekuasaan legislatif, mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat serta membangun sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitias menyelesaikan masalah(chalid, 2005; nurcholish, 2005). metode penelitian dalam penulisan ini metode yang digunakan adalahpenelitian hukum normatif, yang mana dalam hal ini adalah mengkaji undang-undang yang berkaitan dengan pembahasan terkait politik hukum pertanahan dan otonomi daerah, sumber data yang penulis dapatkan dalam penulisan ini adalah bahan hukum primer seperti undang-undang pokok agrarian, undang-undang otonomi daerah dan bahan hukum sekunder penulis dapatkan dari berbagai literature seperti buku, dan jurnal yang berkaitan dengan pembahasan. pemgolahan dan pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara menginventatisir dan mengidentifikasi peraturan perundang-undangan sesuai dengan permasalahan penelitian. sehingga teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara studi kepustakaan.analisa data dalam penulisan ini adalah dengan cara deskripsi kualitatif, yakni menggambarkan hasil yang didapatkan dan diuraikan secara utuh dalam pembahasan. pembahasan penulis akan lebih menegaskan pembahasan dalam tulisan ini bahwa masalah pertanahan di negara ini tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum semata, melainkan harus melalui pendekatan yang lain secara komprehensif baik melalui politik, sosial budaya, ekonomi dan ekologi. pendekatan yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan cara pencegahan dan merumuskan regulasi dari hilir ke hulu ketika merumuskan kebijakan operasional keagrariaan dan membuat lembaga otoritas p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 27politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan pertanahan yang kuat dan berwibawa dalam menentukan keberhasilan penerapan regulasi, kebijakan pertanahan dan efektivitas koordinasi antarlembaga terkait. keputusan politik untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah di awal abad ke 21 ternyata membawa implikasi luas diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, termasuk di bidang pertanahan. kebijakan desentralisasi dan otonomi penuh telah menimbulkan berbagai perbedaan pemahaman dan pelaksanaan dalam bidang pengelolaan pertanahan, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. kebijakan desentralisasi dan otonomi itu telah memunculkan berbagai persoalan di bidang pertanahan seperti perencanaan wilayah, kelembagaan pertanahan, sumber daya manusia, keuangan dan mencuatnya berbagai macam konflik tanah yang berakar pada kebijakan masa lalu. lebih dari itu banjir impor kebutuhan pangan dan ancaman krisis pangan adalah dampak nyata dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. ditengah berbagai masalah tumpang tindih regulasi pertanahan dan kemunculan raja raja kecil di daerah, seperti adanya dua kebijakan pokok dalam pengelolaan pertanahan saat ini yakni kebijakan pertanahan perkotaan dan kebijakan pertanahan perdesaan atau pertanian. diperlukan politik hukum dan politik pertanahan yang kuat, sebagai contoh adalah dengan cara mengkaji kembali secara serius semua regulasi terkait hubungan pusat dan daerah. baik undang-undang maupun peraturan daerah pelaksanaan dibawahnya. selain hal itu diperlukan juga sikap yang jelas dan tegas dari pemerintah pusat dalam mengontrol pelaksanaan seluruh peraturan perundangundangan oleh pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten ataupun kota. dalam konsep hukum tatanegara dan adiministrasi negara, dikenal pengawasan secara preventif dan pengawasan secara represif. maksud dari pengawasan preventif adalah bagaimana melakukan tindakan pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemberian kuasa kepada pemerintah daerah baik gubernur, bupati ataupun walikota untuk membatalkan setiap rancangan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. sedangkan pengawasan represif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pemerintah pusat adalah dengan membatalkan peraturan daerah yang sudah berjalan. konteks pengawasan di pertanahan, undang-undang pokok agraria harus kembali dinaikan dan mempertegas posisinya sebagai undang-undang pokok keagrarian di negeri ini yang berdasarkan pada pasal 33 undang-undang dasar 1945. telepas dengan kelemahan yang terdapat dalam undang-undang pokok agraria maka uupa ini harus menjadi acuan dasar dalam pembuatan undang-undang lain yang terkait dengan pengatuaran pertanahan seperti undang-undang perkebunan, pertanian dan kehutanan. pasal 33 undang-undang dasar 1945 yang menjadi landasan dalam pembentukan undang-undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960 dan menjadi acuan utama negara journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 28 amiludin dalam menguasai dan mengatur pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang disebut sebagai hak menguasai negara. tetapi hak menguasai negara tidak identik dengan hak milik yang dimiliki oleh rakyat, negara tidak memiliki tanah karena negara ada setelah rakyat ada dan yang memiliki tanah itu adalah rakyat yang sudah ada sebelum negara ini ada atau terbentuk. hak menguasai negara adalah hak rakyat pada tingkat negara sebagai organisasi tertinggi sehingga negara tidak memiliki kewenangan untuk menjual atau menggadaikan tanah. masalah agraria akan muncul ketika kewenangan hak menguasi negara diperhadapkan dengan hak milik individu dan hak komunal atau hak ulayat. rakyat yang sudah ada sebelum negara ada mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti hak hidup, hak ekonomi, hak politik, hak sosial budaya dan hak ekologis. berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah bahwa dalam otonomi daerah yang menganut paham negara integralistik harus dikembangkan otonoi daerah dengan kemandirian yang integral. setiap daerah masing-masing diberikan kemandirian untuk mengelola dan mengatur serta mengurus daerahnya masing-masing tetapi tetap harus berada dalam status sebagai bagian negara integral dan terpadu dalam lingkungan negara kesatuan republik indonesia. ketentuan negara dalam negara tidak terdapat dalam undang-undang otonomi daerah ataupun secara konstitusi sehingga prinsip yang harus digunakan oleh pemerintah daerah adalah menjadikan pusat sebagai titik sentral dalam membuat sebuah kebijakan terkait peraturan yang akan atau telah dibuat oleh pemerintah daerah sehingga politik pertanahan yang bermuara pada keadilan agraria tidak akan pernah terwujud apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah gagal dalam menjalankan regulasi yang jelasjelas sudah mengatur kewengangan masing-masing. pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur pertanahan di daerah untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat di daerahnya masing-masing, dan pemerintah pusat juga harus mampu melakukan pengawasan dan memastikan bahwa seluruh regulasi di bidang pertanahan berjalan dan acuan dasar itu semua harus berdasarkan kerangka pengawasan yang mana menjadikan undang-undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960 sebagai undangundang pokok yang menjabarkan keinginan pasal 33 undang-undang dasar 1945 secara tegas, jelas dan murni, sehingga stabilitas negara dalam hal pertanahan tidak selalu menimbulkan konflik yang berkepanjangan. jika dicermati lebih dalam, pokok permasalahan bukanlah kepada tuntutan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (pad), tetapi pada penataan penggunaan tanah atau perencanaan tata guna tanah (land use planning) yang tidak tuntas dan pengusaan tanah yang timpang. jika akar masalah ini dibenahi dengan baik maka penataan dan penggunaan tanah bisa teratasi dan cita-cita bangsa dan negara terkait kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 29politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan selain hal tersebut bentuk implementasi dari pembangunan pertanahan yang dilakukan oleh badan pertanahan nasional adalah dengan cara konsolidasi tanah. konsolidasi tanah dapat diartikan sebagai penguatan nilai dan fungsi tanah sebagai hasil penataan bentuk, luas, dan letak sehingga menjadi tertib dan teratur yang mendukung pemanfataan tanah secara efektif, efesien, dan berkelanjutan sesuai potensinya. secara operasional, konsolidasi tanah dimaksudkan sebagai salah satu dari kebijakan pertanahan mengenai penataan penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan rencana tata ruang wilayah (rtrw). dalam proses pembangunannya konsolidasi tanah dilengkapi pula dengan perencanaan prasarana, sarana, fasilitas dan utilitas umum yang diperlukan sesuai potensi lokal yang bersangkutan melalui peran serta aktif para pemilik tanah atau penggarap tanah maupun para stakeholder atau pihak lain untuk menunjang perwujudan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan. kebijakan otonomi daerah menuntut penerapan paradigma baru dalam pengelolaan pertanahan. perubahan paradigma dari pemerintahan sentralistik otoriter menjadi desentralisasi dan otonomi penuh yang demokratis menuntut penyesuaian seperti konsolidasi tanah harus dilaksankan sesuai dengan arahan dalam rencana tata ruang wilayah (rtrw). hukum sebagai fenomena sosial yang dinamis harus terus menerus menyesuaikan diri dalam proses yang bermutu. sebab keberadaan dan keberagaman hukum tidak terlepas dari pengaruh lembaga sosial lainnya seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. dalam teori sosiologi hukum, substansi hukum mencerminkan kepentingan dan polapola interaksi sosial yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. pembentukan hukum justru mengakomodasi kepentingan dan pola interaksi sosial yang ada maupun yang bakal terjadi di masa yang akan datang. dalam konteks pertanahan, pembuatan hukum dan kebijakan pertanahan harus mengarah pada upaya peningkatan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif, dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat. dengan demikian, pembuatan perda tentang rencana tata ruang wilayah harus mampu menghasilkan rumusan yang serasi dan seimbang antara tujuan pembangunan dengan hak-hak rakyat di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi. secara operasional, pembangunan pertanahan harus mampu menyelaraskan tanah dalam konteks nilai ekonomi dan fungsi sosial yang ditujukan bagi kemakmuran rakyat melalui penataan pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat, sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 30 amiludin kesimpulan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata membawa implikasi luas diberbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dibidang pertanahan. kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai perbedaan pemahaman dan pelaksanaan dalam bidang pengelolaan pertanahan, terutama tingkat provinsi dan kabupten atau kota. setelah adanya penyerahan sembilan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten dan kota perihal pertanahan seperti pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, ganti rugi, penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, tanah absente, penetapan dan penyelesaian tanah ulayat, pemanfaatan tanah kosong dan pemberian izin membuka tanah ternyata pelaksanaan hal tersebut ternyata belum berhasil dalam hal percepatan pembangunan di setiap daerah. dalam konteks agraria otonomi daerah menjadi salah satu faktor penghambat dan kekacauan yang bisa merugikan daerah maupun nasional yang berakibat kepada timbulnya konflik horizontal termasuk konflik pertanahan yang sering terjadi di masyarakat yang disinyalir akibat adanya pemberian izin pemerintah daerah kepada korporasi yang telah merampas hak atas tanah masyarakat. akibat dari tumpang tindih peraturan di bidang pertanahan diperlukan politik hukum dan politik pertanahan yang kuat dengan cara mengkaji dan menganalisa kembali secara serius dan seksama semua regulasi yang terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah serta menjadikan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang uupa menjadi undang-undang pokok dalam konteks pertanahan yang tidak bisa digantikan oleh peraturan operasional. referensi anwar, a. (1993). dampak alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian di sekitar wilayah perkotaan. jurnal perencanaan wilayah dan kota, nomor, 10. bachriadi, d. (2004). tendensi dalam penyelesaian konflik agraria di indonesia: menunggu lahirnya komisi nasional untuk penyelesaian konflik agraria (knupka). jurnal dinamika masyarakat, 3(3), 497–521. chalid, p. (2005). otonomi daerah: masalah, pemberdayaan, dan konflik. kemitraan. chapple, k. (2014). planning sustainable cities and regions: towards more equitable development. routledge. cheema, g. s., & rondinelli, d. a. (1983). decentralization and development: policy implementation in developing countries. sage publications. de sousa santos, b. (1995). toward a new common-sense law, science and politics in the paradigmatic transition. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 31politik hukum pertanahan dan otonomi daerah: kebijakan dan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah terkait pertanahan fauzan, m. (2006). hukum pemerintahan daerah: kajian tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. uii press. harsono, boedi. (1997). hukum agraria indonesia; sejarah pembentukan uupa, isi dan pelaksanaannya, jilid 1. jakarta, indonesia: djambatan publishing. harsono, budi. (1975). hukum agraria indonesia. djambatan. hartono, s. (1991). politik hukum menuju satu sistem hukum nasional. alumni. ismail, n. (2012). arah politik hukum pertanahan dan perlindungan kepemilikan tanah masyarakat. jurnal rechts vinding: media pembinaan hukum nasional, 1(1), 33–51. kanbur, r., & zhuang, j. (2013). urbanization and inequality in asia. asian development review, 30(1), 131–147. https://doi.org/10.1162/adev_a_00006 limbong, b. (2014). opini kebijakan agraria. penerbit margaretha pustaka. mahfud, m. (1998). politik hukum di indonesia. lp3s. muchsin, koeswahyono, i., & soimin. (2007). hukum agraria indonesia dalam perspektif sejarah. refika aditama. nurcholish, h. (2005). teori dan praktik pemerintahan dan otonomi daerah. gramedia widiasarana indonesia. nusantara, a. h. g. (1988). politik hukum indonesia. yayasan lembaga bantuan hukum indonesia. posner, r. a. (1979). the ethical and political basis of the efficiency norm in common law adjudication. hofstra l. rev., 8, 487. rachman, n. f. (2018). rantai penjelas konflik-konflik agraria yang kronis, sistemik, dan meluas di indonesia. bhumi: jurnal agraria dan pertanahan, (37), 1–14. ragawino, b. (2008). pengantar dan asas-asas hukum adat indonesia. bandung: universitas padjadjaran. santosa, i., gede, m. a., ketut, i., & dinata, k. (2011). dampak alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan beras. somers, m. r. (1993). citizenship and the place of the public sphere: law, community, and political culture in the transition to democracy. american sociological review, 587– 620. sriyana, j. (1999). hubungan keuangan pusat-daerah, reformasi perpajakan dan kemandirian pembiayaan pembangunan daerah. economic journal of emerging markets, 4(1), 102–113. stevens, r. b. (1978). law and politics: the house of lords as a judicial body, 1800-1976. univ of north carolina pr. suhendar, e., & winarni, b. (1998). petani dan konflik agraria. akatiga. suradisastra, k. (2011). revitalisasi kelembagaan untuk mempercepat pembangunan sektor pertanian dalam era otonomi daerah. jurnal pengembangan inovasi pertanian, 4(2), 2011. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 32 amiludin syaukani, i., & thohari, a. a. (2004). dasar-dasar politik hukum. divisi buku perguruan tinggi, rajagrafindo persada. ulya, h. (2017). hubungan reforma agraria dengan pengentasan kemiskinan di pedesaan (studi kasus desa pangradin, kecamatan jasinga, kabupaten bogor, provinsi jawa barat). bogor agricultural university. utomo, m., rifai, e., & thahir, a. (1992). pembangunan dan alih fungsi lahan. lampung: universitas lampung. wahjono, p. (1983). indonesia, negara berdasarkan atas hukum. ghalia indonesia. weingast, b. r. (1997). the political foundations of democracy and the rule of the law. american political science review, 91(2), 245–263. yani, a. (2002). hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di indonesia. depok: raja grafindo persada. analisis kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang 203 citation : aditya, toddy. 2017. “analisis kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, 203-216. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 203-216 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x analisis kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang toddy aditya1 1program studi ilmu pemerintahan universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: clubfor.six@gmail.com abstrak penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran bagaimana kualitas pelayanan di posyandu kota tangerang, yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (ukbm) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dan dalam hal ini dilaksanakan oleh kader posyandu dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dengan subjek penelitian di posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang. metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif, instrument penelitiannya menggunakan cara observasi langsung dan wawancara pada masyarakat, kader posyandu dan petugas kesehatan, yang berada di wilayah posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang. hasil penelitian menunjukkan pelayanan di posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang, masih harus ditingkatkan. agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan lebih optimal, oleh karena itu perlu juga di lengkapi fasilitasnya. perlu adanya pembinaan dan koordinasi peran kader posyandu, dengan tokoh masyarakat, aparat di kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang, guna untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan pengetahuan masyarakat secara optimal. kata kunci: pelayanan, pelayanan publik, posyandu abstract the purpose of this study is to describe how the quality of service in integrated health in tangerang city, which is one form of power sourced public health efforts (ukbm) are managed and organized from, by, for and with the community and in this case carried out by cadres posyandu with technical support from health workers with the object of research in north village poris plawad cipondoh districts tangerang. the method used to answer the problem in this study is to use qualitative methods, research instrument using direct observation and interview means to the community, health posts and cadres of health workers, who are in the territory of the village gulls poris plawad cipondoh northern district of tangerang. the results showed that the service at posyandu camar kelurahan poris plawad utara cipondoh sub-district, tangerang city, still needs to be improved. in order for the public to get more optimal health services, therefore it is necessary also in complete facilities. there needs to be guidance and coordination of posyandu cadres role, with community leaders, government employee in poris plawad utara village cipondoh sub-district, tangerang city, in order to improve the quality of health and public knowledge optimally. keyword: service, public service, posyandu pendahuluan tugas pokok pemerintah sebagai organisasi publik adalah membuat kebijakan publik yang bersifat umum, sedangkan fungsi yang lain menyangkut fungsi pengaturan, fungsi pemberdayaan, fungsi pembangunan dan fungsi pelayanan. fungsi pengaturan journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 204 toddy aditya pemerintah bertindak sebagai regulator yang dimaksudkan sebagai usaha menciptakan kondisi yang tepat agar menjadi kondusif bagi keberlangsungnya berbagai aktifitas, selain terciptanya tatanan sosial yang baik di berbagai kehidupan masyarakat, fungsi pemberdayaan dimaksudkan agar mendorong kemandirian masyarakat, fungsi pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran dalam masyarakat dan fungsi pelayanan diharapkan dapat membuahkan keadilan dalam masyarakat. salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, adalah dalam bidang kesehatan. pemerintah melakukan berbagai upaya agar dapat newujudkan masyarakat yang sehat. salah satu bentuk upaya tersebut adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan. pengertian pelayanan kesehatan disini adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara tersendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegahdan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. berbagai fasilitas kesehatan sudah diberikan oleh pemerintah, seperti mendirikan rumah sakit, puskesmas, posyandu, yang siap melayani masyarakat dalam hal kesehatan. pemerintah sudah mengupayakan berbagai hal demi kesehatan masyarakat, namun beberapa tahun belakangan ini yang menjadi sorotan masyarakat indonesia khususnya dunia kesehatan adalah gizi buruk, busung lapar, wabah penyakit pernafasan, serta yang paling tragis adalah banyaknya balita yang meninggal akibat para orang tua yang tidak peduli dengan kesehatan anak-anaknya dalam merawat para balita yang kekurangan gizi. dari peristiwa yang terjadi, masyarakat seharusnya mengetahui atau menyadari bahwa hal tersebut benar-benar telah merajarela di lingkungan yang mereka tempati. pelayanan publik pada hakikanya adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. posyandu merupakan salah satu fasilitas yang diberikan pemerintah dalam bidang kesehatan, yang mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan proses pengelolaannya mulai dari bayi, balita sampai memberikan pelayanan kepada ibu hamil. setiap organisasi pelayanan publik bertugas melayani dan memuaskan pihak penerima layanan, untuk itu kualitas pelayanan perlu diperhatikan. dalam kerangka pemikiran akan dijelaskan mengenai proses berpikir peneliti dalam rangka mengadakan penelitian kualitatif. kualitas dimulai dari memahami benar pentingnya kualitas pelayanan itu sendiri karena kebutuhan pelanggan yang semakin kompleks dan diakhiri dengan kualitas pelayanan yang memuaskan penerima pelayanan (masyarakat). berkaitan dengan kebutuhan akan kesehatan, masyarakat membutuhkan adanya pelayanan posyandu yang mudah, cepat, dan jelas p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 205analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang mirisnya masyarakat baru mengetahui peristiwa tersebut setelah menjadi hot news di berbagai media massa seperti koran ataupun majalah, media elektronik sepeti televisi atau radio dan juga media yang sedang hangat-hangatnya yaitu media online yang berupa internet. padahal seharusnya lingkungan terdekatlah yang mengetahui apa yang tengah terjadi di dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, mulai dari dalam keluarga, lebih meluas menjadi rukun tetangga dan rukun warga hingga mencapai aparat perangkat kelurahan. fenomena seperti ini jelas tidak menguntungkan dalam mengatasi kesehatan yang terjadi di masyarakat sekitar terutama mayoritas balita yang membutuhkan perhatian lebih dalam pengawasan pertumbuhannya. sangat disayangkan fenomena yang seperti ini terjadi, mungkin sangat sulit terhindarkan untuk waktu yang singkat. fenomena ini dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang masih terkesan ortodoks terutama dalam bidang kesehatan, disinilah peran pentingnya posyandu di tengah kehidupan masyarakat tinggal. posyandu sebagai salah satu fasilitas yang diberikan oleh pemerintah merupakan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi, anak balita dan meningkatkan angka kelahiran. pelayanan yang ada diutamakan bagi masyarakat luas terutama kelompok khusus yaitu ibu dan balita. program posyandu menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri dalam upaya pemecahan masalah kesehatan yang dialaminya. ditengarai bahwa kegiatan di posyandu, setelah krisis ekonomi menimpa indonesia pada tahun 1998 sempat “tenggelam”. hal ini disebabkan oleh karena menurunnya dukungan pemerintah terhadap posyandu dan berdampak pada penurunan pelayanan posyandu yang cukup signifikan yaitu dari 54 % pada tahun 1998 menjadi 40 % pada tahun 2000. keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan posyandu juga masih belum maksimal. penurunan kegiatan posyandu berdampak buruk pada pada pemahaman orang tua mengenai pentingnya imunisasi untuk anak dan balita. dan sebagian besar ibu balita (95,7 %) tahu tentang arti kms, tetapi mereka jarang menggunakan informasi yang ada di dalam kms untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan kesehatan anak (sumber : departemen kesehatan republik indonesia, 2013). secara umum dapat digambarkan bahwa pelaksanaan kegiatan posyandu dibeberapa daerah termasuk di kota tangerang sudah berjalan dengan baik. di posyandu yang tersebar di kelurahan poris plawad utara, dengan sampling posyandu camar di rt 04/ 05 yang telah kami lakukan penelitian dengan persentase target imunisasi lengkap untuk bayi yang dilakukan melalui posyandu sudah 96 % tercapai, kunjungan bayi baru lahir (kn) 48,46%, kunjungan ibu hamil (k4) 41,34 %. di kelurahan poris plawad utara pelaksanaan kegiatan posyandu dengan sistem 5 meja sudah berjalan dengan baik. jumlah balita yang berumur 0-6 bulan sebanyak 1,54% dan yang berumur diatas 6 bulan sebanyak journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 206 toddy aditya 98,46% dari keseluruhan jumlah balita. balita yang datang keposyandu 82,25% dan 52,01% balita rata-rata bb naik. (sumber : posyandu camar kelurahan poris plawad utara, 2016) karena keterbatasan yang dimiliki penulis, maka penulis membatasi permasalahan hanya dalam konteks kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh, dan mengenai sistem pemanfaatan 4 meja dari sistem 5 meja. agar penelitian yang penulis lakukan menjadi lebih fokus terhadap masalah yang akan diteliti, maka pada penelitian ini akan penulis buat rumusan masalah penelitiannya yaitu sebagai berikut : sejauh mana kualitas pelayanan posyandu terhadap masyarakat ? kerangka teori 2.1 konsep kualitas pelayanan kualitas harus diawali dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan pencapaian kualitas pelayanan yang baik. kemampuan suatu organisasi dalam memberikan serta memenuhi harapan pelanggan menunjukkan kualitas pelayanan suatu organisasi tersebut, maka penilaian pelanggan mengenai pelayanan yang telah diterima pelanggan akan memberikan gambaran mengenai kualitas pelayanan. penelitian tentang kualitas pelayanan sertifikasi tanah ini akan menyangkut pemberian pelayanan kepada masyarakat (publik) sebagai langkah reformasi pelayanan menuju pelayanan publik yang prima. dalam perspektif total quality management (tqm), kualitas dipandang secara lebih luas, dimana tidak hanya aspek hasil saja yang ditekankan, melainkan juga meliputi proses, lingkungan dan manusia. hal ini jelas tampak dalam definisi yang dirumuskan goetsch dan davis (1994) dalam tjiptono (2003:4) yaitu bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. menurut wycof dalam arif (2007:118), kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu harapan pelayanan dan pelayanan yang diterima. apabila jasa yang diterima sesuai yang diharapkan maka kualitas jasa dapat dipersepsikan baik dan memuaskan. jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas ideal. sebaliknya, jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas jasa dapat dipersepsikan buruk. dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa untuk memenuhi harapan pelanggan secara konsisten. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 207analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, namun dari beberapa definisi tersebut terdapat kesamaan dalam elemen-elemennya menurut tjiptono (2003:3) adalah sebagai berikut: a. kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. b. kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan. c. kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya,apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat mendatang). sementara itu ada pakar pemasaran, seperti parasuraman, zeithaml dan bitner yang melakukan penelitian khusus terhadap beberapa jenis jasa, yang dikutip oleh tjiptono (2003:27-28), berhasil mengidentifikasi sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa dimana dalam perkembangan selanjutnya kesepuluh faktor tersebut dapat dirangkum menjadi hanya lima dimensi pokok. kelima dimensi pokok tersebut meliputi: a. bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. b. kehandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. c. daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staff untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. d. jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staff serta bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. e. empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para masyarakat. 2.2 konsep pelayanan publik untuk menelaah pelayanan publik secara konseptual, perlu dibahas pengertian kata demi kata mengenai definisi pelayanan publik yang akan dijelaskan menurut moenir (2000:16-17) pelayanan didefinisikan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. dalam beberapa literatur definisi pelayanan seringkali disamakan dengan jasa, hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh philip kotler dalam tjiptono (1997:23-24) yang mendefinisikan pelayanan atau jasa sebagai: “setiap tindakan atau perbuatan yang ditawarkan oleh suatu pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan tertentu. produksi jasa bisa berhubungan dengan produksi fisik maupun tidak.” journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 208 toddy aditya gronroos dalam ratminto dan winarsih (2005:2) mendefinisikan pelayanan sebagai suatu aktifitas atau serangkaianaktifitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan/konsumen” pengertian pelayanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan kepada masyarakat umum atau biasa disebut pelayanan publik. menurut moenir (2000:26-27) pelayanan publik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya, sedangkan dalam kepmenpan no.63/kep/m.pan/7/2003 pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam pelayanan umum juga perlu memperhatikan beberapa faktor yang memberi kontribusi terhadap pelaksanaan pelayanan publik yang baik. hal-hal yang mendukung pelayanan publik menurut moenir (2000:88-123) sebagai berikut : a. faktor kesadaran, yang menjiwai perilaku yang memandu kehendak dalam lingkungan organisasi kerja yang tidak menganggap sepele, melayani dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin. b. faktor aturan, dalam arti ketaatan dan penggunaan kewenangan bagi penunaian hak, kewajiban dan tanggungjawab. adanya pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta kemampuan berbahasa yang baik dengan pemahaman pelaksanaan tugas yang cukup. adanya kedisiplinan pelaksanaan yang dilengkapi dengan kepatuhan, ketertiban dan disiplin (disiplin waktu dan disiplin kerja), keinsyafan dan bertindak adil. c. faktor organisasi, organisasi pelayanan yang bersistem simbiotik yang mengalir kesemua komponen sibernetik, metodik dan prosedural. pilihan prosedur dan metode sesuai dengan uraian pekerjaan tugas yang menyangkut standar, waktu, alat yang digunakan, bahan dan kondisi pekerjaan, yang dilengkapi dengan mekanisme prosedural yang dibuat atas dasar penelitian/kepentingan lingkungan. demikian pula akan dipilih metode untuk penyelesaian pekerjaan tahap demi tahap. d. faktor pendapatan, yang merupakan imbalan bagi para fungsionaris yang diukur layak dan patuh. e. faktor kemampuan dan ketrampilan, bagi petugas sangat diperlukan ketrampilan melaksanakan tugas yang pada umumnya menggunakan empat unsur, yaitu otot, saraf, perasaan dan pikiran dengan bobot berbeda sesuai dengan jenis tugasnya. dalam p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 209analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang bidang pelayanan yang menonjol dan paling cepat di rasakan oleh orang-orang yang menerima layanan adalah ketrampilan pelaksanaannya. mereka inilah yang membawa “bendera” terhadap kesan atas baik buruknya layanan. f. faktor sarana pelayanan, yang menyangkut segala peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas utama dan pembantu pelaksanaan pekerjaan. 2.3 sistem pelayanan 5 meja posyandu merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan angka kematian bayi, anak balita dan meningkatkan angka kelahiran. pelayanan yang ada diutamakan bagi masyarakat luas terutama kelompok khusus yaitu ibu dan balita. program posyandu menggunakan pendekatan partisipatif masyarakat agar mereka dapat menolong diri mereka sendiri dalam upaya pemecahan masalah kesehatan yng dialaminya. kegiatan yang ada diposyandu dikenal dengan sistem pelayanan 5 meja dimana setiap meja fungsinya berbeda-beda, yaitu : (1) meja 1 fungsinya adalah untuk pendaftaran dan pencatatan, (2) meja 2 adalah untuk penimbangan balita, (3) meja 3 berfungsi untuk pengisian kms oleh petugas, (4) meja 4 untuk penyuluhan kesehatan, pelayanan pmt, pemberian oralit, vitamin a, tablet zat besi dan lain – lain, (5) meja 5 berfungsi memberikan pelayanan kesehatan dasar, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak. keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan posyandu juga masih belum maksimal. penurunan kegiatan posyandu berdampak buruk pada pada pemahaman orang tua mengenai pentingnya imunisasi untuk anak dan balita. dan sebagian besar ibu balita (95,%) tahu tentang arti kms, tetapi mereka jarang menggunakan informasi yang ada di dalam kms untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan kesehatan anak. untuk meja 1 s/d 4 dilaksanakan oleh kader kesehatan dan untuk meja 5 dilaksanakan oleh petugas kesehatan diantaranya: dokter, bidan, perawat, juru imunisasi dan sebagainya. kegiatan lain setelah kegiatan pelayanan di dalam posyandu adalah, mencatat hasil kegiatan dalam register balita, membahas bersama-sama kegiatan lain atas saran petugas, menetapkan jenis kegiatan yang dilaksanakan misalnya; penyuluhan kb, makanan pendamping asi, pemanfaatan pekarangan atau peragaan keterampilan. pada pelaksanaan kegiatan posyandu idealnya semua pos pelayanan menggunakan sistem 5 meja ini untuk mempermudah dalam pemberian pelayanan dan pencatatan. selain itu dengan sistem 5 meja kita dapat melibatkan peran serta masyarakat menjadi kader posyandu. pada dasarnya semua balita yang datang ke posyandu diharapkan dapat memanfaatkan semua fasilitas pelayanan yang di berikan pada sistem 5 meja ini dikarenakan balita mengalami tumbuh kembang sehingga perlu dipantau oleh tenaga kesehatan maupun orang tua. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 210 toddy aditya metode penelitian penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci (sugiyono, 2005). untuk memperoleh informasi data primer dari petugas pelayanan kesehatan posyandu, maka dalam penelitian ini menggunakan key informan (informan kunci) yang kemudian key informan akan menunjuk siapa yang akan dipilih sebagai informan selanjutnya yang dianggap tahu, dapat dipercaya dan mengetahui permasalahan secara mendalam serta bersumber dari data sekunder. teknik pengumpulan data merupakan salah satu tahap terpenting dalam penelitian. karena dengan adanya teknik pengumpulan data akan diperoleh data yang disajikan sebagai hasil penelitian, sedangkan teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah, wawancara atau interview, observasi langsung. sedangkan untuk teknik analisis data menggunakan model analisis milles dan hubberman. hasil dan pembahasan 4.1 bukti langsung (tangibles) bukti langsung (tangibles) atau bukti fisik, yaitu kemampuan posyandu camar untuk menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. penampilan, kemampuan prasarana dan sarana fisik juga keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan oleh pemberi jasa. untuk menunjang kelancaran dan menjamin kualitas suatu pelayanan, perangkat keras maupun perangkat lunak merupakan hal sangat vital, karena itulah seharusnya instansi yang bergerak dalam pelayanan masyarakat dilengkapi dengan peralatan yang memadai untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. diharapkan dengan adanya peralatan tersebut pelayanan yang diberikan oleh posyandu dapat semakin baik dan maksimal. peralatan tersebut berupa perangkat keras, seperti meja, kursi, ruang tunggu, loket, tv, perangkat lunak seperti komputer dan aplikasinya. tetapi tidak tercipta pada posyandu camar yang terkesan diabaikan oleh pemerintah setempat. sebagai sebagai pusat pelayanan kesehatan, posyandu telah memiliki gedung posyandu yang kurang representatif untuk kegiatan pelayanan. dibangun pada tahun 2005 dari biaya apbd berlantai 1 kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh, seluas 16 m2. ruangan posyandu yang sangat kecil juga tidak reprensetatif untuk kegiatan seperti imunisasi bagi balita juga pemeriksaan ibu hamil yang sulit untuk meletakan alat peraga saat dilakukannya kegiatan tersebut. karena kurangnya luas ruangan yang sangat mempengaruhi kinerja para kader juga bidan untuk menjalankan sistem 5 meja tersebut, maka dari itu harus adanya peran aktif pemerintah setempat terutama dari pihak kelurahan yang lebih paham tentang kondisi lingkungan sekitar agar terciptanya pelayanan yang maksimal. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 211analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang sebagai institusi pelayanan publik, posyandu camar saat ini belum memiliki prasarana yang menunjang kegiatan pelayanan yang meliputi : sarana kegiatan lapang (alat ukur dan perekam data lapangan), sarana alat pengolahan data yang berbasis teknologi informasi, sarana-sarana kerja maupun sarana mobilitas, kurangnya sarana penunjang tersebut dapat mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan yang akan membuat penurunan kualitas. prasarana yang tidak mendukung mempengaruhi minat penggunan pelayanan yang dating, juga kinerja yang diberikan kepada pengguna pelayanan maupun fasilitas-fasilitas pelayanan pendukung lainnya yang diharapkan mampu memberikan kepuasan bagi pengguna layanan (masyarakat). kesimpulan hasil wawancara dengan para nara sumber adalah bahwa kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan kegiatan posyandu yang mereka laksanakan setiap bulannya, maka kegiatanpun terhambat oleh sarana dan prasarana. selain peralatan, fasilitas penunjang pelayanan turut menunjang tercapainya kualitas pelayanan yang dapat memberikan kepuasaan ataupun menunjukkan ketidakpuasan bagi pihak yang dilayani. dalam hal menyediakan fasilitas pelayanan, posyandu camar kelurahan poris plawad utara telah berupaya untuk melakukan yang terbaik. dalam menjaga sarana dan prasarana yang ada di posyandu camar para kader menjaga dan merawatnya dengan baik, guna menjaga nilai guna untuk menjangkau puluhan tahun agar menghemat biaya pembelanjaan sarana dan prasarana. serta menerima sumbangan peralatan dari berbagai pihak seperti tokoh masyarakat, pihak perusahaan dan kelompok usaha kecil. 4.2 kehandalan (reliability) kehandalan (reliability) yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan sesuai dengan apa yang ditawarkan. pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan harapan pemohon yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pemohon tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan akurasi yang tinggi. pos pelayanan terpadu (posyandu) merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (ukbm) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh kesehatan dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi. kehandalan posyandu kelurahan poris plawad utara dalam melayani kebutuhan pemohon (masyarakat), dapat ditunjukkan dengan berusaha memberikan pelayanan yang cepat dan tepat waktu sesuai dengan spopp (standar prosedur operasi pengaturan dan pelayanan). berdasarkan hasil kesimpulan wawancara yang dilakukan peneliti, journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 212 toddy aditya diketahui bahwa kehandalan kader posyandu camar kelurahan poris plawad utara sudah baik. proses penyelesaian pekerjaannya sudah cepat dan tertib, serta sesuai dengan spopp yang berlaku. kehandalan yang sudah dimiliki oleh kader posyandu camar kelurahan poris plawad utara harus tetap dipertahankan atau bahkan harus ditingkatkan lagi agar lebih optimal dalam menjaga kesehatan masyarakat dilingkungan sekitarnya. adapun indikator kehandalan dari hasil wawancara antara lain mengenai prosedur pelayanan yang kami berikan kepada pemohon (masyarakat) dengan standar yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah terutama puskesmas sudah jalankan dengan baik, seperti ketepatan waktu dalam mengimunisasi balita, memberikan vitamin dan lancar memberikan pemeriksaan bagi ibu hamil. untuk prosedur mendapatkan pelayanan dari posyandu cukup foto kopi ktp, kartu keluarga (kk), juga ada surat pengatar dari puskesmas. kelengkapan pendataan untuk menunjang kelancaran dalam proses kegiatan posyandu, dalam pemprosesan data juga sudah lumayan dan cepat karena para petugas posyandu saling melakukan koordinasi satu sama lainnya apabila ada kesalahan data ataupun ada data yang kurang. 4.3 daya tanggap (responsiveness) daya tanggap (responsiveness), yakni respon atau kesigapan para kader untuk membantu masyarakat dan memberikan pelayanan dengan tanggap dan cepat, yang meliputi kesigapan dan kecepatan dalam melayani. daya tanggap di posyandu camar sangat penting dalam memberikan pelayanan dan aspirasi pemohon (masyarakat), karena posyandu camar merupakan pusat pelayanan kesehatan yang paling menjangkau keadaan masyarakat disekitarnya, terutama bagi masyarakat kelas menengah kebawah. daya tanggap posyandu camar juga dapat terlihat dari tanggapan kader dalam menanggapi kebutuhan pemohon (masyarakat). posyandu camar harus memahami apa yang menjadi kebutuhan pemohon (masyarakat). dalam pelaksanaan pelayanan para kader harus senantiasa berorientasi pada publik, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. pelayanan yang diberikan oleh kader harus berdasarkan pada prinsip new public service, salah satu prinsipnya yaitu mengutamakan kepentingan umum (publik). berdasarkan kesimpulan hasil wawancara, menunjukkan bahwa kesigapan kader posyandu camar kelurahan poris plawad utara dalam menanggapi keluhan pemohon (masyarakat) sudah cukup baik, di posyandu camar selalu berusaha untuk mencari tahu dan memahami apa yang menjadi keinginan pemohon (masyarakat). meskipun sejauh ini di posyandu camar jarang menerima keluhan dari pemohon, posyandu camar tetap memberikan kesempatan kepada pemohon untuk menyampaikan keluhan-keluhan serta harapan-harapan mereka di dalam kotak saran yang telah disediakan oleh kader p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 213analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang posyandu camar. keluhan-keluhan dan harapan-harapan dari pemohon (masyarakat) dijadikan sebagai acuan untuk dapat menjadi lebih baik lagi dalam melayani. 4.4 jaminan (assurance) jaminan (assurance), mencakup kemampuan kader atas pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, ketrampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap posyandu. sumber daya manusia (sdm) atau kader merupakan faktor utama dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi pemohon (masyarakat) sebagai pengguna jasa. hal ini berarti, kualitas pelayanan tergantung dari kemampuan kader dalam memberikan pelayanan kepada pemohon (masyarakat). kesimpulan hasil wawancara dengan narasumber mengenai indikator jaminan adalah bahwa sdm (sumber daya manusia) memang merupakan faktor pendorong untuk dapat mewujudkan pelayanan yang baik, kemudian sumber daya manusia yang tersedia didukung dengan adanya latihan-latihan atau training yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. kualitas sdm dapat dilihat dari kinerja yang sudah baik karena para kader posyandu juga selalu berkonsultasi dengan dokter dan bidan untuk menambah pengetahuan dalam bidang kesehatan, serta penempatan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuan para kader posyandu, hal ini akan dapat meningkatkan kualitas. bukan hanya sekedar kualitas sdm saja yang menjadi keutaman para kader dalam memberikan pelayanan asuransi terbaik kepada pelanggan setianya, tetapi faktor kesopanan dan keramahan juga menjadi prioritas yang harus dijalankan guna menjaga keharmonisan kepada masyarakat, kesimpulan yang dapat diberikan penulis adalah bahwa kemampuan koordinasi antar kader dalam memberikan pelayanan kepada pemohon (masyarakat) sudah baik. pemohon tidak banyak mengeluhkan mengenai kemampuan kader posyandu camar, ini memberikan bukti bahwa kualitas sdm sudah baik dan perlu ditingkatkan lagi agar lebih baik. dalam memberikan jaminan atas pelayanan kepada pemohon (masyarakat), selain kemampuan ada hal penting yaitu jaminan keamanan terhadap pelayanan yang diberikan oleh posyandu camar, yaitu keamanan dalam menjaga keselamatan masyarakat. dengan menempatkan kader posyandu untuk dapat bertanggung jawab atas beberapa orang ibu hamil dan beberapa orang anak yang akan dilayani. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 214 toddy aditya 4.5 empati (empathy) empati (emphaty) meliputi perhatian secara individual yang diberikan posyandu kepada masyarakat, seperti kemudahan dalam berkomunikasi dengan kader, serta usaha posyandu untuk memahami keinginan dan kebutuhan pemohonnya. dengan adanya komunikasi yang dibangun oleh para kader posyandu camar akan memberikan suatu nilai plus yang akan menjadikan pandangan positif kepada individual tersebut. dengan hubungan dan komunikasi yang baik antara kader dan pemohon dapat membantu kader untuk mengetahui apa yang menjadi keluhan dan apa yang menjadi harapan dari pemohon serta keluhan dan harapan kader dalam melayani pemohon agar pelayanan dapat berjalan dengan baik. dengan memposisikan pemohon sebagai pihak yang harus dilayani dengan baik, maka kader posyandu camar senantiasa selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik yang bersifat individual dan tulus memberikan informasi serta membantu pemohon (masyarakat) yang membutuhkan bantuan. untuk mengerti dan memahami keinginan dari banyak orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan dengan berbagai karakter yang berbeda-beda memang bukan hal yang mudah. untuk itu, kader posyandu camar selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi pemohon (masyarakat). 4.6 sistem pelayanan 5 meja posyandu pelayanan sistem 5 (lima) meja di posyandu, yaitu sebagai berikut : a. meja 1 (pendaftaran), balita didaftar dalam formulir pencatatan balita. bila anak sudah punya kms berarti bulan lalu sudah pernah ditimbang, nama dan umurnya dicatat pada secarik kertas. secarik kertas ini diselipkan di kms, kemudian ibu balita diminta membawa anaknya menuju tempat penimbangan. berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber kader posyandu camar kelurahan poris plawad utara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada pelayanan meja pertama ini, pelayanan yang di berikan sudah baik. b. meja 2 (penimbangan balita), penimbangan balita menggunakan timbangan dengan menggunakan sarung timbangan atau sering disebut dacin. berdasarkan hasil wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan di meja 2 belum dapat memberikan pelayanannya secara optimal, karena terkait faktor anak balita yang terkadang kurang kooperatif ketika akan dilakukan penimbangan. c. meja 3 (pencatatan), pengisian hasil penimbangan berat badan di kms. buku kms balita yang bersangkutan. pada penimbangan pertama isilah semua kolom yang tersedia pada kms. bila ada kartu kelahiran, catatlah bulan lahir anak dari kartu tersebut. setelah anak ditimbang tuliskan titik berat badannya pada titik temu garis tegak dengan garis datar/garis umur.lalu hasil dari penimbangan berat badan tersebut selain dicatat di kms, dicatat pula di sip/buku register. berdasarkan hasil wawancara p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 215analisa kualitas pelayanan posyandu camar kelurahan poris plawad utara kecamatan cipondoh kota tangerang dengan nara sumber dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan di meja 3 sudah baik. d. meja 4 (penyuluhan kesehatan dan pemberian makanan tambahan), penyuluhan kesehatan tersebut antara lain adalah asi ekslusif, pemberian vitamin a, bahaya infeksi saluran pernafasan, gejala malaria, campak dan demam berdarah. berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan di meja 4 belum optimal, dikarenakan tempat atau ruangan yang kurang memadai untuk melakukan penyuluhan. e. meja 5 (yankes), pelayanan kesehatan dan pengobatan pada meja 5 dilakukan oleh petugas kesehatan oleh dokter, bidan, perawat, juru imunisasi dan sebagainya. berdasarkan hasil wawancara dengan nara sumber, bahwa pelayanan di meja 5 sudah baik. terkadang hanya kesulitan untuk dapat menghadirkan dokter ataupun bidan yang memahami tentang pengobatan. pada pelaksanaan kegiatan posyandu idealnya semua pos pelayanan menggunakan sistem 5 meja ini untuk mempermudah dalam memberikan pelayanan dan pencatatan. selain itu dengan sistem 5 meja kita dapat melibatkan peran serta masyarakat menjadi kader posyandu.. pada dasarnya semua balita yang datang ke posyandu diharapkan dapat memanfaatkan semua fasilitas pelayanan yang diberikan pada sistem 5 meja ini dikarenakan balita mengalami tumbuh kembang sehingga perlu dipantau oleh tenaga kesehatan maupun orang tua. penutup 5.1 kesimpulan posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (ukbm) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. ukbm adalah wahana pemberdayaan masyarakat, yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat, dengan bimbingan dari petugas puskesmas, lintas sektor dan lembaga terkait lainnya. pengintegrasian layanan sosial dasar di posyandu adalah suatu upaya mensinergikan berbagai layanan yang dibutuhkan masyarakat meliputi perbaikan kesehatan dan gizi, pendidikan dan perkembangan anak, peningkatan ekonomi keluarga, ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan sosial. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 216 toddy aditya 5.2 saran a. perlu adanya sarana dan prasaranan yang memadai guna menunjang pelayanan yang dilaksanakan di posyandu tersebut. b. menyediakan perawatan fasilitas yang ada di posyandu tersebut, demi kelancaran kegiatan di posyandu. c. tenaga kesehatan merupakan sesuatu hal yang penting di posyandu, untuk itu kegiatan promosi posyandu harus lebih di tingkatkan. d. pembukuan di posyandu camar harus lebih baik lagi agar data-base yang dibuat lebih teratur. referensi diana. 2003. total quality management. andi: yogyakarta. fandy tjiptono dan gregorius chandra dalam bukunya services, quality dan satisfaction. h. b. sutopo. 2002. metode penelitian kualitatif, dasar teori dan terapannya dalam penelitian. uns press: surakarta. moenir. 2000. manajemen pelayanan umum di indonesia. bumi aksara: jakarta. pedoman umum pengelolaan posyandu, departemen kesehatan republik indonesia, 2013. peraturan pemerintah kota tangerang nomor 3 tahun 2009 tentang perangkat daerah. peraturan walikota tangerang nomor 50 tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja kelurahan. ratminto & atik septi winarsih. 2006. manajemen pelayanan. pustaka pelajar: yogyakarta. tjiptono.1997. prinsipprinsip total quality service. andi: yogyakarta. tse dan wilton sebagaimana dikutip oleh fandy tjiptono (2008 :19) dalam buku strategi pemasaran. undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 5 no. 1 pages 1 144 april 2021 issn 2579-4396 1 30 the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan muhammad ananda alifiarry1, bevaola kusumasari1 (1 department of public policy and management, faculty of social and political sciences, universitas gadjah mada, indonesia) 31 50 urban resilience strategy in the climate change governance in makassar city, indonesia ihyani malik1, andi luhur prianto2, abdillah abdillah2, zaldi rusnaedy3, andi annisa amalia4 (1 department of public administration, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (2 department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (3 department of government studies, universitas pancasakti makassar, indonesia) (4 department of architecture, faculty of engineering, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 51 62 collaboration governance in the development of natural based tourism destinations muchamad zaenuri11, yusrim musa1, muhammad iqbal2 (1 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan, province of china) 63 78 analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district sri andri yani1, etika khairina1, suswanta1, mochammad iqbal fadhlurrohman1 (1 governmental studies, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 90 the influence of social media (instagram) of bantul’s general election commissions on voters participation in the 2019 elections agus priyanto1, eko priyo purnomo1,2, mochammad iqbal fadhlurrohman1, herry fahamsyah1, etika khairina1 journal of government civil society daftar isi (table of content) (1 departement of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 91 106 model implementation trap of policy new student acceptance zoning system in makassar city nuryanti mustari1, rudi hardi1, amir muhiddin1 (1 department of government studies, faculty of social and political sciences, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 107 126 collaborative urban governance model in environmental management of industrial area tri sulistyaningsih1, saiman1, nofianda fatimah azzahra1, nanda adityawan2, mohammad jafar loilatu3 (1 department of government studies, universitas muhammadiyah malang indonesia) (2 civil engineering, sepuluh nopember institute of technology, surabaya, indonesia) (3 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 127 144 towards an integration of immigration and customs agency in indonesia: a step-by-step process ridwan arifin1, intan nurkumalawati1 (1 diploma program of immigration administration, polytechnic of immigration, indonesia) 51 citation : zaenuri, m., musa, y., & iqbal, m. (2021). collaboration governance in the development of natural based tourism destinations. journal of government and civil society, 5(1), 51–62. journal of government and civil society vol. 5, no. 1, april 2021, pp. 51-62 doi: 10.31000/jgcs.v5i1.2839 received 27 july 2020  revised 29 march 2021  accepted 31 march 2021 collaboration governance in the development of natural based tourism destinations muchamad zaenuri1*, yusrim musa1, muhammad iqbal2 1 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 2 department of political science national cheng kung university, taiwan, province of china *email correspondence: muchamadzaenuri@umy.ac.id abstract this article aims to explain the governance of collaboration between local government, village government, the private sector and the community in the management of posong temanggung natural attractions. lack of mutual trust and commitment is a prominent issue. after going through qualitative research using descriptive techniques, it can be seen that collaboration that has been built among stakeholders is still embryonal; there is no formal collaboration tied to the memorandum of understanding. from the research conducted, it was found that there was an intensive dialogue between stakeholders, mutual trust between stakeholders, a high level of commitment, and a reasonably even sharing of understanding. but, four things that have not been created a formal relationship, so there needs to be a process of transformation towards partnership and sustainability in a formal bond.this study recommends that the government be the main actor in building collaboration with the public and private sectors. the government must provide space for them to contribute in making the tourism village of posong. keywords: collaboration governance, tourism destinations, posong, temanggung abstrak artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tata kelola kolaborasi antara pemerintah daerah, pemerintah desa, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata alam posong temanggung. hal ini dikarenakan permasalahan kolaborasi diantara stakeholder tersebut terdapat berbagai kendala. kurangnya kepercayaan dan komitmen bersama menjadi permasalahan yang mengemuka. setelah melalui penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik deskriptif dapat diketahui bahwa kolaborasi yang terbangun diantara stakeholder masih bersifat embrional, belum ada kerjasama formal yang diikat dengan nota kesepahaman. dari penelitian yang dilakukan diperoleh temuan bahwa sudah ada dialog yang intensif diantara stakeholder, saling percaya diantara pemangku kepentingan, komitmen yang sudah tinggi, dan terdapat berbagi pemahaman yang cukup merata. namun dari keempat hal tersebut belum tercipta hubungan yang bersifat formal, sehingga perlu ada proses transformasi menuju kemitraan dan berkelanjutan dalam suatu ikatan yang bersifat formal.rekomendasi dalam penelitian ini adalah pemerintah harus menjadi aktor utama dalam membangun kolaborasi dengan masyarakat dan swasta. pemerintah harus memberikan ruang bagi mereka untuk memberikan kontribusi dalam membangun desa wisata posong. kata kunci: tata kelola kolaborasi, destinasi wisata, posong, temanggung. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 52 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal introduction the development of natural attractions as a tourist destination for an area that has exotic natural conditions is a necessity to sustain sustainable tourism. management of tourism destinations that rely on natural forces is indeed very suitable for regions that have good natural potential (damanik, 2012). likewise, if the tourist destination can develop, it certainly gives a trickle-down effect for the welfare of the community around the tourist attraction (damanik, 2010). so far, all local governments in indonesia have taken the right step by preparing a strategic plan that takes into account the strengths, weaknesses, opportunities and threats facing the region (purwanti, 2009; zaenuri, 2012). besides, various efforts have been taken to advance the world of tourism by increasing the management of tourist destinations by involving or inviting parties outside the government (study et al. 2016), including the community around tourism objects (adikampana, 2017). the involvement of non-governmental tourism actors in developing tourist destinations is a necessity (zaenuri, 2018). the government certainly cannot be a single actor in advancing tourist destinations, along with the increasing participation of the public and private parties in tourism activities.although the involvement of non-government tourism actors brings excellent benefits, there are still obstacles or problems that need to be sought jointly. the lack of shared vision (zaenuri, 2015b) is a fundamental problem, most of which are contractual (dwiyanto, 2012), and are usually short-term, and there is no periodic monitoring and evaluation. some of these problems become a problem when various stakeholders on tour must work together in the form of a hybrid organization. the conceptual problem has been answered through a collaborative governance approach which has recently been developed by experts who are included in the new public governance paradigm (osborne, 2010). likewise, various research topics using collaborative perspectives have varied widely, including small industry topics (dewi, 2012), community-based (sufianty, 2013; purmada, 2016), networks (haryono, 2012), and planning (sopari, 2014, yuliani, 2017). collaborative governance is a governance process that involves all stakeholders with different characteristics in work relationships to achieve common goals. then anshell and gash (2007: 544) define governance collaboration as “governing governance in which one or more public institutions directly involve non-state stakeholders in collective decision-making processes that are formal, consensus-oriented and deliberative and aimed at to create or implement public policies or manage public assets “. from these two understandings, it can be seen that collaborative governance involves various stakeholders who have common interests. still, their characteristics are different, so there needs to be a transformation process (zaenuri, 2028), to create conditions where collaboration runs synergistically and harmoniously. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 53collaboration governance in the development of natural based tourism destinations experts who discuss collaboration transformation in the earliest (embryonal) phenomenon are anshell and gash (2007), where the collaborative process consists of various stages to obtain results that are still temporary, there is no permanent institutional agreement. these stages are as follows: figure 1. model of collaborative governance source: anshell and gash (2007) the concept of collaborative governance, in principle, involves various stakeholders in some issues. in the tourism context, collaboration does not have to be bound in a formally regulated institution. the tourism actors who together provide services and provide services to tourists are also included in the category of collaboration. the concept of anshell and gash (2007) is very appropriate to be used to explain collaborative governance in tourist destinations. the development of tourist destinations stems from cooperation that has no ties at all developing into activities that have a common goal. temanggung regency is one of the regencies in indonesia with its strategic location and excellent natural conditions, has also practised collaboration. temanggung regency has a unique geographical location because it is flanked by leading national tourist attractions (borobudur temple) and preeminent central java provinces (dieng plateau), so as a transit of domestic and foreign tourists (kompasiana, 2018). the study of tourism potential for the region is essential (rusita, 2016) because if it is realized, it can improve the regional economy (nurmansah, 2014). the leading tourism potential of temanggung regency is nature-based tourism. the tourism potentials include the umbul jumprit tourism area, liyangan site, kledung rest area, and posong nature tourism object. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 54 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal lately, one of the leading tourist destinations that are much in demand by tourists is the nature tourism posong (laman temanggung, 2017). the attraction of this natural tourist destination is the beauty of the typical natural scenery of the mountains if in the morning can see the sunrise from a height and when the afternoon with sunny weather can see the golden sunset with a beam of light that divides mount sumbing and sindoro (bernas, 2019, and bonvoyage , 2019). the beautiful scenery is seen when tourists are on a wide and green expanse of kledung savanna. the management of posong nature tourism destinations was initially managed independently by the surrounding community and the local village government. the increasing number of visitors or tourists to posong makes this tourist destination attract the interest of other tourism actors to participate in the development of tourist destinations, including the private sector. from the interviews, it can be seen that posong natural tourism destinations are institutionally managed jointly between the surrounding communities who are members of the tourism awareness group (pokdarwis), the village government represented by bumdes as working partners of the community, and the district culture and tourism office (disbudpar) temanggung which is the implementing elements of the regional government in the field of culture and tourism as a facilitator and regulator remain essential. as illustrated in the following picture: figure 2. posong tourism object stakeholders sources: siakwah, musavengane & leonard (2020) the problems faced by the four stakeholders cannot be separated from problems as commonly faced by hybrid organizations. lack of trust among stakeholders and a lack of shared commitment to advance tourism objects are specific problems in posong natural tourism objects (widyasti, 2013). in this connection, it is worth asking the question of the level of trust among stakeholders and the extent to which mutual commitment has been established. both of these can be used to arrange collaborative governance in developing posong tourism objects. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 55collaboration governance in the development of natural based tourism destinations besides, through the analysis of existing information sources, the fundamental research problem is because the posong tourism village has not developed well. after all, it is not included in the criteria for being an independent tourism village or developing institutions, products, services (facilities & infrastructure), and management. there is still a lack of value, and it needs improvement and quality improvement (novandaya&wijaya, 2020). it is also facing problems such as the problem of cooperation between stakeholders that is still not optimal. research method this research uses a descriptive qualitative approach. the researcher also describes matters related to study in detail, while this research is a research conducted to describe collaboration governance in the development of natural based tourism destinations. to determine the subject in this study, a purposive sampling technique was used. this study emphasizes the quality of informants and not the quantity or number of informants. the unit of analysis in this study institutionally includes the office of culture and tourism of temanggung regency, the government of tlahab village, kledung subdistrict, temanggung regency, posong nature tourism actors and tourism-aware community groups.the research locations of this unit of analysis are the head of the temanggung regency culture and tourism office at the temanggung regency office of culture and tourism, the tlahap village head, the hamlet head, posong nature tourism park owners, bumdes representative, pokdarwis representative, representative from the tlahap village community in tlahap village kledung district, temanggung regency. data collection techniques were carried out through interviews with informants who have been determined in this study. another way is by documentation, which is used for data collection by collecting various kinds of documents or notes that can explain following the concept being studied. observations were also made by direct observation at the study site. results and dissucsion according to ansell and gash (2007), collaborative governance is a new way of organizing government that involves stakeholders uniting in the same forum to reach a mutual agreement. then ansell and gash further stated that collaborative governance is a concept of adjustment in government administration. more than one public institution and non-government actors carry out a formal public policy formulation process that focuses on mutual agreement, following the policy public’s implementation and management. in the above statement, ansell and gash emphasize six basic collaborative governance assessments, the first official forum initiated by public institutions. second, the parties that take part in forum must include non-government actors. third, participants journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 56 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal must be directly involved in policy formulation. fourth, the forum must be formal and meet regularly held. fifth, the decisions taken must be based on mutual agreement. sixth, this collaboration must be oriented towards the public interest (lestari &farahnisa, 2020). the process of collaborative governance according to ansell and gash (2007), namely face-to-face dialogists, building trust, building commitment to the process, sharing understanding (and then the formation of interim results (intermediate outcome).to understand posong nature tourism management in a collaborative governance perspective, this perspective needs to be further elaborated and understood so that later the results can be developed into an applicable model for the management of nature tourism objects. the translation of perspective is obtained through observation, interviews and documentation from various respondents or informants. this section presents an elaboration of the results of the research in the field, regarding collaboration in the management of posong nature tourism objects in tlahap village, kledungsubdistrict, temanggung regency, in a collaboration perspective. face to face dialogue face-to-face dialogue between stakeholders is fundamental and important in building collaborative governance. because in this face-to-face dialogue stage, it is needed by the stakeholders to reach a mutual agreement or consensus and identify opportunities for mutual benefit in collaboration. according to anshell and gash, the face-to-face dialogue is a joint forum so that the relevant stakeholders can convey the activities and obstacles encountered in collaboration. this face-to-face dialogue is a place or means of trust in uniting a program that is determined jointly between stakeholders.in this research, the collaboration between the government, private sector and community in the management of posong nature tourism objects, that in the face-to-face dialogue that is conducted between stakeholders in the form of an fgd (forum discussion group). the initial development of posong nature tourism object was the result of a discussion forum that involved many parties. starting from the people who are members of jogorekso nature lovers group, as the party who first discovered posong, then culture and tourism office by accepting proposals from the jogorekso nature lovers group and forwarding it to the leadership, and of course the tlahab village government who was then a community partner in expressing aspirations to the temanggung regency government. there was a discussion about the initial formation of posong, departing from the same view among members of the discussion at that time, namely from the leadership of the temanggung regency culture and tourism office who wanted a new tourism object and at the same time there was a proposal from the jogoreksotlahap nature lover group. regarding the existence of an exciting place to be developed, namely posong, and from the discussion process, the posong natural tourism object was formed. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 57collaboration governance in the development of natural based tourism destinations after the nature tourism object posong stands or is built and opened commercially to the public, over time, many complaints from visitors and even the surrounding community regarding the posong nature tourism object, the forms of complaints from the people around posong include their complaining that posong is quite well known in the world of tourism. still, it is very small inland and only 1000 m in the area and the facilities are also inadequate. because of the many complaints felt by visitors and the community, then at 2017, an initiative from the private sector arose for permission to expand from posong nature tourism objects. expansion of the posong nature tourism park, beginning with a face-to-face process or face-to-face dialogue between mr h. hariyanto as the private sector and the village government. the face-to-face process was carried out to obtain permission to expand posong nature tourism object from the tlahap village government. not only that, but the process of face-to-face dialogue also took place between mr. h. hariyanto and mr. h. hasyim as the regent of temanggung regency who at the time gave support to mr. h. hariyanto to expand the posong nature tourism object. according to research that has been done, face-to-face dialogue is an important thing, so that each stakeholder can express their aspirations, to reach a mutual agreement. like posong nature tourism object and posong nature tourism park, both of these tourism objects are the result of face-to-face dialogue process between stakeholders. then the initial stage of collaboration in management of the posong nature tourism object has gone well. trust building according to anshel and gash, the emergence of collaborative governance innovation is one of them caused by a lack of trust among stakeholders. the principle in building trust, among others, fosters mutual trust based on professionalism or social relations and the belief that actors rely on the information or the efforts of other actors in a network, to achieve common goals. so in this study, the government entrusted information or the efforts of other actors, namely the private sector and the community in achieving common goals. therefore to preserve trust, continuous communication and coordination are needed. the relationship that occurs between the government and the private sector in building trust is coordinating, that is seen when the temanggung regency culture and tourism office participates in solving problems that have occurred in posong nature tourism objects and also contributes to promoting posong nature tourism objects. this can also be seen by the village government issuing policy regarding the rules of developing posong nature tourism, that the developer must be a native of tlahap village, and it is proven that the developer of posong nature tourism park is mr h. hariyanto who is a native tlahap village community. not only that, in building trust among stakeholders in the journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 58 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal management of the posong park tourism object, but there is also a transactional phenomenon that involves the owner of the posong nature tourism park with the tlahab village government, namely the provision of profit-sharing from the private party to the village government amounting to 25 million rupiahs and it is still done today. the collaborative process that occurs in the management of posong nature tourism objects, that every actor is good enough in carrying out their duties and obligations in the management of posong nature tourism objects. it can be concluded that the collaborative process in building trust is that there is already sufficient coordination between stakeholders. each actor has carried out their duties based on their functions and portions, the actors have carried out the agreement at the beginning. commitment to the process according to anshel and gash, commitment to the process (commitment to the process) is a determinant of the success of the collaborative governance process. with commitment, it raises the belief that the collaboration process can create benefits for each party and the public interest. the collaborative process in the management of posong nature tourism objects in terms of commitment to the process carried out by the government, private sector and the community has the same goal, namely the welfare of the tlahap villagers by empowering them, by including them in the management of posong nature tourism objects. the collaboration between stakeholders has been going quite well, this is evidenced by the clarity of the procedures set forth by temanggung regency culture and tourism office, that they did not interfere in management of the posong nature tourism object. this was also stated by tlahap village government; they were very empowering to community; some started selling, motorcycle taxi drivers and homestay service providers. the community also said that they felt tremendously benefited financially because they felt they were involved in the management of this posong nature tourism object. they, the community there is a guide, motorcycle taxi drivers, food vendors providing homestay, coffee farmers, and almost all elements of the tlahap village community feel the positive impact of this collaboration. so with this clear procedure, then in the commitment stage towards the process regarding the management of posong nature tourism objects, it can already be said to be going well and avoiding overlapping interests. shared understanding according to anshel and gash, sharing understanding (shared understanding) is the collaboration of stakeholders in uniting the understanding or perception of the goals that they can achieve together. shared understanding is a common perception of knowledge or understanding needed to overcome problems. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 59collaboration governance in the development of natural based tourism destinations the process of mutual understanding in the management of posong nature tourism object has been running quite optimal. this can be seen from the training held by the temanggung regency culture and tourism office and was followed by the people of tlahap village, the crew of the taman posong nature tourism regarding natural tourism guides. by holding such training, the community will increase their knowledge in the field of tourism. did not rule out the possibility of the coaching event; there was a transfer of knowledge between the participants and the performers. not only that the village government also often holds meetings, deliberations with residents, and from the forum, the people’s aspirations can be accommodated and can be implemented immediately. the private sector, which is a community of tlahap village, also often holds meetings with bumdes which are held once a month. the joint understanding effort undertaken by the private sector with the temanggung regency government is a visit from the department to evaluate the lack of posong nature tourism park. so from the facts above, the stakeholders in the management of posong nature tourism object, in the process of mutual understanding have been well developed. intermediate outcomes according to anshel and gash, the intermediate outcomes phase means that collaboration is very likely to occur when the goals and benefits of the collaboration process show results. the results of the collaboration process are interpreted to be able to build momentum that can lead to successful collaboration. this success provides feedback into the collaborative process, encouraging an excellent cycle to build trust and commitment in the management of this posong nature tourism object, that the purpose of this collaboration is the existence of benefits obtained from stakeholders with the method of empowering the primary human resources of tlahap village as one of its stakeholders. from the explanation of several sources above, the provisional results are that the income of the tlahab, private and community villages experienced a significant increase. there were also village regulations produced, namely regarding only the original human resources of the tlahap village alone, who could be involved in the management of posong natural tourism objects. not only that, after the collaboration between stakeholders in the management of posong nature tourism objects, but the most recent physical result was also the initiation of the construction of a tic (tourism information center) for tourism in tlahap village, especially posong. the availability of these facilities and infrastructure is expected to be able to increase the effectiveness of posong nature tourism management activities, while also being able to reduce or minimize the technical problems that exist in the posong natural tourism object area. human resources involved in the management of posong nature tourism objects have now been incorporated in several forums, such as the natural tourism journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 60 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal management communication forum and the indonesian tour guide association. the two forums were formed or the result of the involvement of the teamanggung district office of culture and tourism in the context of the management of posong nature tourism objects. from the facts above, it can be seen that each stakeholder has its primary duty or role. so that for the interim results of the collaborative process in the management of posong nature tourism objects, it has been going well to encourage the creation of cycles, a commitment to better collaboration. all of these processes have been going well, but there is no formal partnership with sharing resources or risks so that the bond is still weak and allows it to change formations. conclusion from the research conducted, it was found that there was an intensive dialogue between stakeholders, mutual trust between stakeholders, a high level of commitment, and a reasonably even sharing of understanding. but of the four things not shown the existence of partnerships, so there needs to be a process of transformation towards partnership and sustainability with facilitation from the local government. research that focuses on collaborative governance processes that include face-to-face dialogue, trust-building, commitment to the process, shared understanding) and intermediate outcomes, concludes as follows: (1) face to face dialogue in the management of the natural attractions of posong has been going well. this face-to-face dialogue process is a prerequisite for collaboration, and almost every other element indirectly takes place face-to-face; (2) trust-building in the management of posong nature tourism objects already looks good with the coordination between stakeholders. in this stage, the actors have carried out their duties following their portion, based on the cooperation agreement; (3) commitment to the process in the management of posong nature tourism objects has also been going very well. this can be seen from the commitment shown by the stakeholders, namely the commitment to lift the local economy through the empowerment of local communities; (4) shared understanding in the management of posong nature tourism objects is also very well addressed by the stakeholders. this can be seen from the training, socialization and deliberations conducted routinely by stakeholders; (5) intermediate outcomes in the management of posong natural tourism objects have also been seen; namely, a forum that houses the community on tourism increased income of the community and stakeholders and the presence of infrastructure and infrastructure that supports the management of posong natural tourism objects. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 61collaboration governance in the development of natural based tourism destinations references adikampana, i. m., 2017, pariwisata berbasis masyarakat. bali: cakra press. agranoff, robert and michael mcguire, 2003, collaborative public management: new strategis for local government, washington dc: george town university press. ansell, chris and alison gash, 2007. “collaborative governance in theory and practice”, journal of public administration research and theory 18: 543-571. damanik, janianton, 2010, “merancang format baru pariwisata yang menyejahterakan rakyat”, pidato pengukuhan jabatan guru besar pada fisipol ugm, yogyakarta. damanik, janianton dan frans teguh, 2012, manajemen destinasi pariwisata, sebuah pengantar ringkas, yogyakarta: kepel press. dewi, t.d, 2012, faktor-faktor yang mempengaruhi collaborative governance dalampengembanganindustri kecil, (studikasustentangkerajinanreyogdan pertunjukanreyog di kabupatenponorogo). tesis, perpustakaan.uns.ac.id. hadiwiyono, surya s. 2012. perencanaan pariwisata perdesaan berbasis masyarakat (sebuah pendekata nkonsep), yogyakarta: graha ilmu. haryono, nanang. 2012. “jejaring untuk membangun kolaborasi sektor publik.” th iv. nomor 1: 47–53. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapersadmpd0fda03369full.pdf. kristian, yudi. 2017. “pengelolaan objek wisata oleh dinas pariwisata kabupaten kutai barat di danau aco kampung linggang melapeh, kecamatan linggang bigung.” 5: 5404–17. lestari, r. m., & farahnisa, t. (2020). collaborative governance antara pemerintah desa dengan warga desa dalam pengelolaan cerobong sampah dan bank sampah di desa kramatwatu. ijd-demos, 2(3). novandaya, z., &wijaya, h. b. (2020). pengaruh faktor suplai terhadap kepuasan pengunjung pada objek wisata posong kabupaten temanggung (doctoral dissertation, universitas diponegoro). nurmansyah, agung. 2014. “potensi pariwisata dalam perekonomian indonesia agung nurmansyah 1 1.” iii(1): 44–61. purmada, dimas kurnia, wilopo, and luchman hakim. 2016. “pengelolaan desa wisata dalam perspektif community based tourism (studi kasus pada desa wisata gubugklakah, kecamatan poncokusumo, kabupatenmalang).”jurnal administrasi bisnis 32(2): 15–22. purwanti, nuruldwi, 2009, strategipemulihan citra wisataalam, pacabencana di indonesia, yogyakarta: gava media rusita, rahmat walimbo, yunita sari, melda yanti. 2016. “studi potensi objek dan daya tarik wisata alam air terjun wiyono di taman hutan raya wan abdul rahman, provinsi lampung.” info teknik 17(2): 165–86. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 62 muchamad zaenuri, yusrim musa, and muhammad iqbal siakwah, p., musavengane, r., & leonard, l. (2020). tourism governance and attainment of the sustainable development goals in africa. tourism planning & development, 17(4), 355-383. sopari, hery, ngakan putu oka, dan darmawan salman, 2014, “model kolaborasi perencanaan antara balai taman nasional pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari”, a model of planning collaboration betweeen wakatobi national park authority and wakatobi regency government in sustainable natural resource management.” 14(2): 189–98. studi, program et al. 2008. “pengembangan obyek wisata panorama ( studi kasus di desa wisata tlahab kecamatan kledung kabupaten temanggung ).” sufianti, ely, dewi sawitri, krishnai nur pribadi, and tommy firman. 2013. “collaborative process in communicative-based planning within uncollaborative society.” mimbar, the journal of social and development 29 (2): 133–44. sunaryo, bambang, 2013, kebijakan pembangunan destinasipariwisata, konsepdanaplikasinya di indonesia, yogyakarta: gava media. tresiana, novita. 2017. “collaborative management of the teluk kiluan”, tourism : 77–84. widyasti, f.r, 2013, “strategipromosiwisatapadadinaskebudayaan, pariwisata, pemudadanolah raga kabupatentemanggung”, skripsi, tidakdipublikasikan. yoeti, oka a. 2008. perencanaan dan pengembangan pariwisata. jakarta: pt. percetakan penebar swadaya. yuliani, s., &rosyida, d.p.g, 2017, “kolaborasi dalam perencanaan program kota tanpa kumuh (kotaku) di kelurahan semanggi kota surakarta”. jurnal wacana publik, volume 1 no 2 hlm 33-47. zaenuri, muchamad, sumartono, soesilo zauhar and andy fefta wijaya, 2015a, “tourism affair management with collaborative governance approach, tourism affairs management studies in sleman regency, yogyakarta”, international journal of management and administrative sciences, vol 2, no. 06, p. 01-14. zaenuri, muchamad, sumartono, soesilozauhar and andy fefta wijaya,2015b, “the need of shared vision in tourism sustainable development”, journal of administrative sciences and policy studies,vol.3,no.2,pp.1-26. zaenuri, muchamad. 2018. tata kelolapariwisata-bencanaberbasis collaborative governance konsep, analisisdanpemodelan. yogyakarta: explore. zaenuri, muchamad, 2012, perencanaan strategis kepariwisataan daerah, konsep dan aplikasi. yogyakarta: e-gov publishing. zaenuri, m., atmojo, m. e., & iqbal, m. (2020). penataan kelembagaan bumdes berbasis pariwisata. abdimas altruis: jurnalpengabdiankepadamasyarakat, 2(2), 28-36. 00.pdf cover dalam.pdf 1: tampak penuh 2 (mitologi yunani) 1 – 28 raining on rainbows: a comparative study of lgbt anti-discrimination ordinances between the local governments of marikina, manila, and mandaluyong in the philippines francia denise arizabal1, ashley vocae aspa1, jazztin jairum manalo1 (1 department of political science, university of santo tomas, philippines) 29 – 45 entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia elyta1, jamaliah2, mohammad zaki ahmad3 (1 faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2 faculty of economics and business, universitas tanjungpura, indonesia) (3 college of law, government and international studies, universitas utara malaysia, malaysia) 46 – 65 collaborative governance in reviving msmes in the post-pandemic covid19: pacitan regency case study muhammad eko atmojo1, awang darumurti1, nita ariba hanif1 (1 governmental science study program, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 66 – 78 mapping the potential of conflict between villages in the bima district syarif ahmad1, ibnu khaldun2, seta basri3, ahmad chumaedi4 (1 universitas mbojo bima, indonesia) (2 sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (stkip) tamsis bima, indonesia) (3 political science graduate program, universitas nasional, indonesia) (4 government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 79 – 95 meta-analysis: trends of digital democracy research publications muhammad ali1, muhammad aprian jailani1, rendi eko budi setiawan2, cahyadi kurniawan3 (1 public administration, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) (2 governmental science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3 governmental science, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 96 – 108 the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation ikhsan1, ikhwan rahmatika latif1, vellayati hajad1, effendi hasan2, muntaha mardhatillah1, herizal3 (1 department of state administration study, universitas teuku umar, indonesia) (2 faculty of social science and political science, universitas syiah kuala, indonesia) (3 department of political science and public administration, erciyes university, turkey) 109 – 118 eco-theology in indonesian islam: ideas on stewardship among muhammadiyah members frans wijsen1, ahmad afnan anshori1 (1 empirical and practical religious studies, radboud university nijmegen, netherlands) 119 – 139 to what extent political education can influence young voters’ perceptions? ridho al-hamdi1, nur sofyan2 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of communication science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 140 – 158 population and civil registration public services digital transformation during the covid-19 pandemic ria angin1, putri robiatul adawiyah1 (1 government studies,universitas muhammadiyah jember, indonesia) 66 journal of government and civil society vol. 7, no. 1, april 2023, pp. 66-78 doi: 10.31000/jgcs.v7i1.6799 received 28 august 2022  revised 11 april 2023  accepted 12 april 2023 citation : ahmad, s., khaldun, i., basri, s., & chumaedi, a. (2023). mapping the potential of conflict between villages in the bima district. journal of government and civil society, 7(1), 66–78. https:// doi.org/10.31000/jgcs.v7i1.6799 mapping the potential of conflict between villages in the bima district syarif ahmad1*, ibnu khaldun2, seta basri3, ahmad chumaedi4 1 universitas mbojo bima, indonesia 2 sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (stkip) tamsis bima, indonesia 3 political science graduate program, universitas nasional, indonesia 4 government science study program, universritas muhammadiyah tangerang, indonesia *email correspondence: syarifahmad1975@gmail.com abstract this study aims to determine the map of potential inter-village conflicts, identify various factors triggering inter-village conflicts and formulate strategies for handling inter-village conflicts that occur in bima regency, west nusa tenggara province. to answer research problems, qualitative methods with descriptive analysis are used, while case studies are used to limit this study to the specificity of certain characteristics and limitations of certain areas. bima regency consists of 18 sub-districts where conflicts between villages have the potential to occur in 5 sub-districts, namely; woha sub-district, monta sub-district, belo sub-district, bolo sub-district and sape sub-district. the trigger factors for conflict include the abuse of narcotics and drugs (drugs), liquor (miras), and differences of understanding between individual citizens. the actors involved in inter-village conflicts are educated college graduates who are unemployed and village elites who lose in contesting the village head election. keywords: mapping potential conflicts between villages abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta potensi konflik antarkampung, mengidentifikasi berbagai faktor pemicu terjadinya konflik antarkampung dan perumusan strategi penanganan konflik antarkampung yang terjadi di kabupaten bima provinsi nusa tenggara barat. untuk menjawab permasalahan penelitian, digunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif, sementara studi kasus digunakan untuk membatasi studi ini pada kekhususan karakteristik dan keterbatasan wilayah tertentu. kabupaten bima terdiri dari 18 kecamatan di mana konflik antar kampung berpotensi terjadi terjadi pada 5 kecamatan, yaitu; kecamatan woha, kecamatan monta, kecamatan belo, kecamatan bolo dan kecamatan sape. faktor-faktor pemicu terjadinya konflik antara lain yakni dipicu oleh penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (narkoba), minuman keras (miras), dan selisih paham antar individu warga. adapun para aktor yang ikut terlibat dalam konflik antarkampung yaitu kaum terdidik lulusan perguruan tinggi yang menganggur dan elit-elit desa yang kalah dalam kontestasi pemilihan kepala desa. keywords: pemetaan potensi konflik antarkampung 67mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x introduction the social conflicts in bima, which take the shape of inter-village tensions, are not latent problems that are the outcome of ideological, tribal, or racial conflicts. instead, these conflicts are caused directly by one another (anwar & al-hasyimiyyah, 2019; ridwan, ahmad, firmanto, & mustakim, 2021). personal disagreements were the root cause of the inter-village conflict that erupted in bima. these disagreements then escalated into group conflicts inside the community, which eventually led to inter-village conflicts and even inter-village hostilities (zuber & haryono, 2018). according to the data kept by kesbangpol and the bima resort police, there have been 15 incidents of violence between villages in the bima regency between the years 2019 and 2021. these confrontations were caused by personal issues and involved both groups of villagers and individual villagers. the relevant parties, which in this case are the local governments and the police, have not been carrying out the prevention of intervillage conflicts in a systematic and comprehensive manner. this is a process that begins with the early detection of post-conflict events and moves on to the resolution of those events. in point of fact, it appears that the people who live in the bima regency regard confrontations between villages as not only acceptable but necessary. every conflict that arises between villages uses the same method of resolution, which is carried out based on customs and uses a formalization approach to the charter of harmony between residents. this is done without figuring out the underlying cause of the conflict or developing a model of inter-village conflict resolution that involves conflicting parties in a methodical manner. therefore, there will always be new disputes between villages (villagers), particularly between villages that have already been at odds with one another in the past. in addition, this fight between the several villages resulted in material losses, injured victims, and even fatalities (czaika & kis-katos, 2009; islam, 1974). the most concrete illustration of the violence between residents of waro village and residents of tangga baru village, located in the monta subdistrict, is the burning down of residential homes. despite the fact that every single resident of the fighting villages did not take part in the conflict between the villages, this event generated long-lasting pain and anxiety for all parties concerned, including those who were not actively involved in the conflict. in 2020-2021, there were two incidents of conflict between villagers with high escalation, triggered by cases of murder. first, the murder of talabiu villagers committed by padolo villagers, woha district, resulted in revenge actions carried out by talabiu villagers by destroying padola village residents’ houses by all talabiu village youths, woha district. second, the murder committed by tangga baru villagers against young residents of waro village, monta district, bima regency, resulted in the burning of a number of houses committed by waro villagers against the homes of tangga baru villagers. based on data from the bima resort police, the potential for inter-village conflicts during 2019-2021 journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 68 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi that occurred in bima regency was spread across 5 (five) sub-districts of 18 sub-districts, namely monta, woha, belo, bolo and sape districts. the phenomenon of inter-village conflict in bima regency is very worrying, because in addition to having an effect on social disharmony, it also has an impact on the economy, it is necessary to map the potential for inter-village conflict in bima regency, west nusa tenggara, so that a complete picture of the root of the problem, actors and issues can be obtained participate in the background of the conflict. furthermore, policies for preventing and overcoming inter-village conflicts can be formulated by local governments. social conflict conflict theory states that conflict is a fundamental state inherent in people’s lives, and serves to encourage the achievement of social integration and improve or stabilize existing social order (billon & waizenegger, 2007). conflicts can also occur due to differences in interests or when the aspirations of opposing parties cannot be achieved (kurniawati, 2012), (kurniawati, 2012)conflicts between communities and the state (zuhdan, 2013), 2017 (tahir, 2017)(mashuri, 2017; zulkarnaen & suzanna, 2018)interethnic conflicts ((t. setiawan, de jong, scheepers, & sterkens, 2021)between communities and corporations (or companies) (suharko, 2017) or individual conflicts that (suharko, 2017)develop into acts of collective violence in retaliation (hartoyo, 2019).(hartoyo, 2019) (mitchell, 1981) mentions three aspects of conflict that are interrelated, namely attitudes, behavior s, situations. attitudes refer to various psychological attributes that arise when individuals or social entities enter into a conflict situation. behavior refers to the act of influencing the opposing party to change its goals. it refers to a situation in which there are two or more social entities that have conflicting goals. in addition to being triggered by conflicts of opinions, ideas, and beliefs (eldridge, 1979) conflicts can also be caused by position (or position) and resources ((mack & snyder, 1957). another opinion about the causes of conflict was put forward by ignas kleden, who mentioned three factors that influence conflict, namely limited space resources, gaps in the economic realm, and differences inherent in primoridal identity (kleden, 2002). in kleden’s view, these three factors cannot be seen in isolation, but must be viewed as a whole in relation to each other. mapping conflicts and seeking resolution askandar (2000) states that one thing that can be done is to do conflict mapping. this effort can be an effort to analyze conflicts from various existing efforts, and can subsequently become a foothold in managing or resolving a conflict (wehr, 2019) wehr 69mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x further proposed five dimensions that can be used in order to map conflicts (suharko, 2017). first, it describes the history of the conflict, covering the origin and various important things that occur in the process of conflict. second, the background in the conflict, covering the economic, political, physical and geographical contexts. third, map all parties involved in the conflict, both directly and indirectly, including the main actors and supporters. fourth, problems or issues that cause conflict, which are identified based on facts, values, interests, or based on things that are unrealistic. fifth, the dynamics in conflict, which in this case includes various events that initiate the conflict to climax. sixth, find alternative ways as a way out for all conflicting parties. mapping a conflict to its extent will help in: (1) understanding conflict situations better; (2) looking at the relationship between the parties involved in the conflict; (3) understand the location of power (power relations); (4) valuation of actions that have been taken by the parties involved in the conflict (fisher, 1990). meanwhile, in solving a conflict, two approaches are known related to conflict resolution: (1) litigation, which is carried out through the judiciary; and (2) the search for alternative solutions, such as negotiation, mediation, appointing a third party who can be neutral, or by involving certain parties who have a higher position (intervention) (carneiro, novais, & neves, 2014). in some conditions, there are also efforts to resolve conflicts by combining both approaches (kurniawati, 2012) where litigation resolution is strengthened by negotiation, and prevention efforts are carried out through an empowerment activity (iradat & haeril, 2021; widhagdha & hidayat, 2020). beyond the two approaches above, there is also conflict resolution based on local wisdom. in the midst of ethnic and cultural diversity, local wisdom possessed by the indonesian people can certainly be used as social capital, both to prevent and to resolve a conflict (hartoyo, sindung, teuku, & sunarto, 2020). conflict resolution with this cultural approach can also produce win-win solutions for parties involved in conflicts (manik &; (manik & suharno, 2020)and therefore can be used as an option in resolving conflicts (dermawan & abidin, 2017). research method this research uses a qualitative approach through descriptive analysis, with the intention to limit the study to the specificity of the context with the characteristics and limitations of the region. this is in accordance with (moleong, 2017)explained about qualitative research, namely research that intends to understand phenomena about what is experienced by research subjects (behavior, perception, motivation, action, etc.) holistically and by way of description in words and language, in a specific, natural context utilizing a variety of natural methods. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 70 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi (creswell, 2015) states that one of the special characteristics of qualitative research is to explore problems and develop a detailed understanding of central phenomena. while (nasution, 2003) revealed that the qualitative approach has several characteristics, such the nature setting, purposive sampling, the researcher as a key instrument, analytical descriptive in nature, inductive data analysis, idiographic interpretation, and prioritizing the meaning behind the data. the method used in this study ialah case study. according to (emzir, 2012) case study is qualitative research that seeks to find meaning, investigate processes, gain a deep understanding and understanding of individuals, groups, or situations. based on this view, this study aims to conduct a mapping of the conflict thatoccurred in bima regency, west nusa tenggara. the type of research data consists of primary data and secondary data. primary data is data obtained directly from the source through the results of direct interviews of researchers with data sources or research informants. secondary dataobtained through other sources, both oral and written, can be used in an effort to answer research problems. according (riyanto, 2007) primary data is information obtained by a researcher or investigator directly from his symptoms, while secondary data is information obtained by a researcher, but through other sources, both oral and written. thus, the primary data used in this study are data from observations and in-depth interviews obtained from data sources (research informants), namely in the form of views or answers from informants involved in the research, consisting of: community leaders, village governments, local governments, police, youth leaders, and religious leaders. to obtain research informants, snowball sampling technique is used, which is a method of sampling in chains, which at first the number is small and then grows like a snowball rolling; the farther the bigger. the principle or essence of snowball sampling technique is data mining through in-depth interviews to obtain the maximum possible data from one respondent and then roll to the next respondent who meets the criteria (hamidi, 2010(hamidi, 2010) 71mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x discussion of research findings based on data description and mapping of research findings as follows: figure 1. research framework analysis conflicting issues the results showed that conflicted issues include: (1) issues of injustice in law enforcement; (2) the issue of inequality in regional development; and (3) social and psychological issues of society. the issue of injustice in law enforcement can be illustrated from the process of handling conflicts that tend to ignore the values and local wisdom of the community. the findings of this study confirm that conflicts motivated by injustice in law enforcement, especially when enforcing conflict handling, actually have the potential to prolong conflicts between villages. at this point, the values that are believed and embraced by the community, especially in viewing a conflict and how it is resolved, can rub against the values used by law enforcement officials in enforcing laws guided by positive law. this finding is in line with the study of dermawan and abidin (2017) which states that the values adopted by local communities or local wisdom can be used as an option / alternative in resolving conflicts, especially because local wisdom is considered capable of producing win-win solutions for parties involved in the conflict (manik & suharno, 2020). hartoyo et al. (2020) also emphasizes that local wisdom living in the midst of indonesian society can be a social capital both to prevent and resolve conflicts. another finding in this study is the desire of local communities in law enforcement efforts with a soft approach, such as with a persuasive approach, and especially towards parties involved in conflict. the community considers that law enforcement that tends to be repressive in handling conflicts actually makes the community disappointed. as a journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 72 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi result, the community judged that the security forces had treated them unfairly. law enforcement efforts carried out in handling inter-village conflicts should begin with prevention efforts, for example by identifying early trends in community social behavior and building synergies with all components at the village level, especially by involving youth groups and community leaders. the importance of using soft approaches in the context of conflict resolution is also supported by the studies of i. p. setiawan and (i. p. setiawan & suryanti, 2021) nashir (latief & nashir, 2020)soft approaches to resolve a conflict is the most ideal approach, especially because it adheres to the principles of human rights (ham). through this soft approach, it is hoped that the parties involved in the conflict are willing to open up so that it is possible to build dialogue. furthermore, the study of hartoyo et al. (2020) explained that the use of a structural approach (law enforcement) has not been able to resolve or prevent conflicts in the short and medium term (hartoyo et al., 2020) meanwhile, in relation to the importance of early conflict prevention efforts, the findings in this study are supported by the study of nulhaqim, hardhing, irfan, & jatnika ((nulhaqim, hardhing, irfan, & jatnika, 2017) capacity building is expected to sharpen responses to conflict mitigation so that conflicts can be overcome or even prevented early (early warning system) (sukandar, karib, hutagalung, cholid, & rasyid, 2015). another issue of inter-village conflict in bima regency is related to inequality in regional development policies. this issue is one of the issues that also became the background behind the eruption of social conflicts between villages in bima regency. regional development policies in agriculture, which in fact are unable to provide answers to the various demands of community needs, cause people to be disappointed and ultimately have an impact on the anarchy of certain community groups. economic inequality due to inappropriate development policies, and then giving birth to social conflicts, is in line with the findings in sumartias (sumartias & rahmat, 2013) where social and economic factors can be one of the factors causing the outbreak of social conflicts in the midst of people’s lives. another study, which also shows economic factors as one of the causes of social conflict is found in suharko’s (2017) study, which clearly illustrates how communities must face corporations in fighting for water resources. the struggle to meet economic needs further encourages the community totake various actions that can trigger the birth of conflict, which in this study is related to social and psychological issues of the community. the findings of this study show that the main actors involved in inter-village conflicts in bima regency are mostly or on average young people of labor force age, namely aged 15 years and over. theinequality of regional development policies indirectly affects the social situation of people who do not have permanent jobs or are unemployed (not working) in young population groups. this means that regional and village development policies have not centered on improving the ability and creativity 73mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x of youth groups so that this group stutters when it has to respond to development policies rolled out. on the other hand, economic empowerment for young age groups has not been carried out comprehensively. the importance of empowering the potential of young people, as part of social conflict prevention, is also supported by (iradat & haeril, 2021) which shows how village institutions and village governments collaborate in organizing youth empowerment activities as part of conflict mitigation efforts. the empowerment activities in question include ducks, goats, workshops, and so on. this is also reinforced by the study of (widhagdha & hidayat, 2020)which explains that social conflicts can be reduced along withthe promotion of empowerment activities for young people. conflict provoking factors the findings of this study show that the trigger factors for inter-village conflicts in bima regency are triggered by drug and liquor abuse, as well as disputes between individuals as villagers. based on the results of interviews, conducted on several informants, drugs and liquor became one of the factors that dragged youth groups into social conflicts. drug consumption damages psychological conditions and encourages users to carry out various actions that violate social norms, give birth to social disharmony, and damage the joints of social life of society. it is common knowledge that instances of substance misuse and alcoholism have taken root at the level of the youth in the community, and the police have recently dealt with a variety of drug cases. abuse of drugs in the community, particularly among young people’s organizations, might be regarded as a sign that young people are unable to deal with the challenging aspects of life and the bad influences that permeate different facets of social life. the gap between the expectations placed on young people and the realities of life that they must navigate might inspire them to take acts that contribute to social problems. francis (2006) states that one of the causes of conflict is the human person itself, which is when there is a mismatch between personal goals or social values and the behavior they perform, including changes in perceptual values. this change will affect the order of social life, and in turn has the potential to create social disharmony. this issue is also very relevant to the presentation described above, which is related to the empowerment of youth groups in the context of conflict mitigation. in this context, youth empowerment is proven to reduce the potential for conflict to break out(iradat & haeril, 2021; widhagdha & hidayat, 2020). disagreements between individuals are another aspect that can set the stage for conflict, in addition to the consumption of alcoholic beverages and illegal drugs, which can also set the stage. during the course of the research, both observations and other documents were gathered, and they all pointed to disagreements being a primary cause of conflict. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 74 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi disagreements between individuals gradually grow to become disputes between community groups and are the root cause of the majority of inter-village conflicts involving youth groups in the bima regency. this finding is in line with hartoyo’s study (2019) which states that individual conflicts have the potential to develop into conflicts that are collectivef, because they are based on the desire to retaliate. another study that also supports this finding is the study of francis (2006), which states that misunderstandings (due to misunderstandings related to sentences, language that is difficult to understand, or incomplete information) can lead to conflict. beyond these factors, the study of (nulhaqim et al., 2017) things can trigger conflicts between individuals until they can eventually develop into social conflicts; these trivial things include the sound of motor exhaust, jealousy, or friction between boats. actors involved in conflict the results showed that the main actors involved in social conflicts in bima regency were educated youth groups who had just graduated from high education. they seem to feel prestige as scholars and ashamed to become farmers so they end up preferring to be unemployed. these educated youths became the new elites in their respective villages, andthey became the main actors behind the emergence of inter-village conflicts. thus, unemployment and limited employment opportunities for high education graduates in several villages are one of the main factors thattrigger inter-village conflicts in bima. this finding is in line with what francis (2006) mentioned, that the mismatch between expectations (having a certain job as a college graduate) and the reality that exists in the village (being a farmer), in turn will affect the order of social life and potentially create social disharmony. thus, youth empowerment that holds a myriad of potentials must be a concern for local governments (including local community leaders) in order to mitigate social conflicts (iradat & haeril, 2021; widhagdha & hidayat, 2020). the need for youth empowerment (involvement) activities, which in this study are the actors behind social conflicts in bima regency, can be carried out in various ways as supported by various studies that have been conducted. in addition to economic empowerment (iradat & haeril, 2021; widhagdha & hidayat, 2020)young people can also be involved in the formulation of regional development policies at the village level ((rampengan, 2020)given encouragement to actively participate in karang taruna activities (angkasawati, 2018; wantu, djaafar, & sahi, 2021) or other positive activities (haryati, armawi, & supraja, 2016). on the other hand, the openness and accommodation of local governments (ranging from village level governments to regional or district levels) to the expectations of young people will place them as a group that cares and actively realizes social order(gahung, gosal, & singkoh, 2017; prasojo & fauziah, 2015). 75mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x conclusion the mapping of potential inter-village conflicts in bima regency consists of five subdistricts of 18 villages: woha, monta, belo, bolo, and sape. although sape sub-district has the potential for inter-village conflict, any personal conflict that arises does not involve village solidarity. this isdifferent from the reality in woha, monta, belo, and bolo subdistricts. in general, the issues that trigger conflict are (1) injustice in law enforcement efforts; (2) policy inequality in regional development; and (3) employment that is closely related to social and psychological aspects. the trigger factors for conflicts between villages are the spread of liquor and drugs and disagreements between community members which usually occur at weddings with organ tunggal entertainment. the actors behind the conflict are rural youth, especially educated people who do not yet have permanent jobs and elites at the village level as political implications before and after the village head election (pilkades). references angkasawati, a. (2018). partisipasi pemuda dalam karang taruna desa (studi di desa ngubalan kecamatan kalidawir kabupaten tulungagung). publiciana, 11(1), 14–34. anwar, m. j., & al-hasyimiyyah, s. a.-a. (2019). conflict reconciliation bima:(local wisdom based ethnographic study). international journal of innovative science and research technology, 4(2). askandar, k. (2000). conflict and conflict management in southeast asia: trends and patterns. kajian malaysia, xviii(1 & 2), 1–29. billon, p. l., & waizenegger, a. (2007). peace in the wake of disaster? secessionist conflicts and the 2004 indian ocean tsunami. transactions of the institute of british geographers, 32(3), 411–427. carneiro, d., novais, p., & neves, j. (2014). conflict resolution and its context: from the analysis of behavioural patterns to efficient decision-making (2014th edition). new york: springer. creswell, j. w. (2015). riset pendidikan: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi riset kualitatif & kuantitatif. yogyakarta: pustaka pelajar. czaika, m., & kis-katos, k. (2009). civil conflict and displacement: village-level determinants of forced migration in aceh. journal of peace research, 46(3), 399–418. dermawan, i., & abidin, z. (2017). pemetaan konflik sosial masyarakat di aceh selatan (studi deskriptif konflik sosial masyar. jurnal ilmiah mahasiswa fakultas ilmu sosial & ilmu politik, 2(1). retrieved from http://jim.unsyiah.ac.id/fisip/article/view/2360 eldridge, a. f. (1979). images of conflict. new york: st. martin’s press. emzir. (2012). metodologi penelitian kualitatif: analisis data. jakarta: rajagrafindo pers. fisher, b. a. (1990). teori-teori komunikasi: perspektif mekanistis, psikologis, interaksional dan pragmatis. pt remaja rosdakarya. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 76 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi francis, d. (2006). teori dasar transformasi konflik sosial. jakarta: quills. gahung, e. a., gosal, t. a. m. r., & singkoh, f. (2017). peran pemerintah dalam pemberdayaan pemuda di desa liwutung kecamatan pasan kabupaten minahasa tenggara. jurnal eksekutif, 1(1). retrieved from https://ejournal.unsrat.ac.id/ index.php/jurnaleksekutif/article/view/15433 hamidi. (2010). metode penelitian kualitatif (pendekatan praktis penulisan proposal dan laporan penelitian). malang: umm press. hartoyo, h. (2019). muakhi (brotherhood) and its practices related to preventing communal conflict in multicultural societies. masyarakat, kebudayaan dan politik, 32(3), 227–239. https://doi.org/10.20473/mkp.v32i32019.227-239 hartoyo, h., sindung, h., teuku, f., & sunarto, s. (2020). the role of local communities in peacebuilding in post-ethnic conflict in a multi-cultural society. journal of aggression, conflict and peace research, 12(1), 33–44. https://doi.org/10.1108/jacpr-06-20190419 haryati, s., armawi, a., & supraja, m. (2016). peran pemuda dalam mengelola kawasan ekowisata dan implikasinya terhadap ketahanan masyarakat desa (studi tentang pemuda pengelola desa wisata kandri, kecamatan gunungpati, kota semarang, provinsi jawa tengah). jurnal ketahanan nasional, 22(2), 117–136. https://doi.org/ 10.22146/jkn.11986 iradat, t., & haeril, h. (2021). resolusi konflik berbasis pemberdayaan masyarakat di desa rato kecamatan lambu kabupaten bima. journal of governance and local politics (jglp), 3(1), 48–62. https://doi.org/10.47650/jglp.v3i1.181 islam, a. k. m. (1974). a bangladesh village: conflict and cohesion: an anthropological study of politics. kleden, i. (2002). conflict in indonesia: a sociological review. the jakarta post. kurniawati, t. (2012). konflik dalam penentuan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah propinsi kalimantan timur. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 16(1), 16–25. https://doi.org/10.22146/jsp.10909 latief, h., & nashir, h. (2020). local dynamics and global engagements of the islamic modernist movement in contemporary indonesia: the case of muhammadiyah (20002020). journal of current southeast asian affairs, 39(2), 290–309. https://doi.org/ 10.1177/1868103420910514 mack, r. w., & snyder, r. c. (1957). the analysis of social conflict—toward an overview and synthesis. conflict resolution, 1(2), 212–248. manik, t. s., & suharno, s. (2020). runggu or local wisdom-based conflict resolution: the role of the pengituai kuta. masyarakat, kebudayaan dan politik, 33(4), 413–420. https://doi.org/10.20473/mkp.v33i42020.413-420 mashuri. (2017). kesejarahan desa-desa pesisir dalam serat sindujoyo. manuskripta, 7(2), 89–117. https://doi.org/10.33656/manuskripta.v7i2.96 77mapping the potential of conflict between villages in the bima district p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x mitchell, c. r. (1981). the structure of international conflict. macmillan. moleong, l. j. (2017). metodologi penelitian kualitatif. bandung: pt. remaja rosdakarya. nasution, s. (2003). metode penelitian naturalistik kualitatif. bandung: tarsito. nulhaqim, s. a., hardhing, d., irfan, m., & jatnika, d. c. (2017). konflik sosial di kampung nelayan: studi kasus di pantai utara kota cirebon, jawa barat. sosio konsepsia: jurnal penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, 6(2), 197–209. https:/ /doi.org/10.33007/ska.v6i2.677 prasojo, r. a., & fauziah, l. (2015). peran pemerintah-masyarakat dalam pembangunan desa sedatigede kecamatan sedati kabupaten sidoarjo: jkmp (jurnal kebijakan dan manajemen publik), 3(1), 49–64. https://doi.org/10.21070/jkmp.v3i1.180 rampengan, p. l. (2020). partisipasi pemuda dalam pembangunan desa di kelurahan budaya pampang kecamatan samarinda utara kota samarinda. jurnal paradigma (jp), 9(1), 33–38. https://doi.org/10.30872/jp.v9i1.4382 ridwan, r., ahmad, a., firmanto, t., & mustakim, m. (2021). horizontal conflict resolution model in bima society. 2nd annual conference on education and social science (access 2020), 456–460. atlantis press. riyanto, y. (2007). metodologi penelitian (kualitatif dan kuantitatif). surabaya: unesa universty press. setiawan, i. p., & suryanti, m. s. d. (2021). keterlibatan asean dalam menangani konflik myanmar (studi kasus: konflik etnis rohingya 2017 – 2019). politicos: jurnal politik dan pemerintahan, 1(2), 83–97. https://doi.org/10.22225/politicos.1.2.2021.83-97 setiawan, t., de jong, e. b. p., scheepers, p. l. h., & sterkens, c. j. a. (2021). support for interreligious conflict in indonesia: tests of theories on interethnic threat and distrust versus contact. journal of pacific rim psychology, 15, 1834490921993295. https:// doi.org/10.1177/1834490921993295 suharko, s. (2017). masyarakat adat versus korporasi: konflik sosial rencana pembangunan pabrik semen di kabupaten pati jawa tengah periode 2013-2016. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 20(2), 97–116. https://doi.org/10.22146/jsp.24776 sukandar, r., karib, f., hutagalung, n. v., cholid, s., & rasyid, i. (2015). kapasitas lembaga dan dinamika pencegahan konflik: studi kasus kalimantan barat dan nusa tenggara barat. jakarta: snpk (the habibie center). sumartias, s., & rahmat, a. (2013). faktor-faktor yang memengaruhi konflik sosial. jurnal penelitian komunikasi, 16. https://doi.org/10.20422/jpk.v16i1.24 tahir, m. (2017). analisis konflik antar desa samili dengan masyarakat desa dadibou di kecamatan woha kabupaten bima tahun 2016. jurnal pendidikan ips, 7(1), 49–54. wantu, s. m., djaafar, l., & sahi, y. (2021). partisipasi pemuda dalam pembangunan dasar di desa kaliyoso kecamatan dungalio kabupaten gorontalo. jurnal abdidas, 2(2), 407–410. https://doi.org/10.31004/abdidas.v2i2.266 journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 78 syarif ahmad, ibnu khaldun, seta basri, ahmad chumaedi wehr, p. (2019). conflict regulation. taylor & francis group. widhagdha, m. f., & hidayat, r. (2020). pemberdayaan masyarakat sebagai strategi resolusi konflik sosial. jurnal pemberdayaan masyarakat, 8(1), 82–91. https://doi.org/ 10.37064/jpm.v8i1.7139 zuber, a., & haryono, b. (2018). conflict resolution between of renda villagers and ngali, belo subdistrict, bima regency of the province of west nusa tenggara (ntb). sodality: jurnal sosiologi pedesaan, 6(2). zuhdan, m. (2013). manajemen konflik berbasis komunitas: studi kasus community oriented policing (cop) di malioboro yogyakarta. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 17(2), 130–143. https://doi.org/10.22146/jsp.10879 zulkarnaen, i., & suzanna, e. (2018). aceh: conflict development after the helsinki agreement. in emerald reach proceedings series: vol. 1. proceedings of micoms 2017 (pp. 589–593). emerald publishing limited. https://doi.org/10.1108/978-1-78756793-1-00095 00. halaman prelims.pdf cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) 1 – 28 raining on rainbows: a comparative study of lgbt anti-discrimination ordinances between the local governments of marikina, manila, and mandaluyong in the philippines francia denise arizabal1, ashley vocae aspa1, jazztin jairum manalo1 (1 department of political science, university of santo tomas, philippines) 29 – 45 entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia elyta1, jamaliah2, mohammad zaki ahmad3 (1 faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2 faculty of economics and business, universitas tanjungpura, indonesia) (3 college of law, government and international studies, universitas utara malaysia, malaysia) 46 – 65 collaborative governance in reviving msmes in the post-pandemic covid19: pacitan regency case study muhammad eko atmojo1, awang darumurti1, nita ariba hanif1 (1 governmental science study program, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 66 – 78 mapping the potential of conflict between villages in the bima district syarif ahmad1, ibnu khaldun2, seta basri3, ahmad chumaedi4 (1 universitas mbojo bima, indonesia) (2 sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (stkip) tamsis bima, indonesia) (3 political science graduate program, universitas nasional, indonesia) (4 government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 79 – 95 meta-analysis: trends of digital democracy research publications muhammad ali1, muhammad aprian jailani1, rendi eko budi setiawan2, cahyadi kurniawan3 (1 public administration, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) (2 governmental science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3 governmental science, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 96 – 108 the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation ikhsan1, ikhwan rahmatika latif1, vellayati hajad1, effendi hasan2, muntaha mardhatillah1, herizal3 (1 department of state administration study, universitas teuku umar, indonesia) (2 faculty of social science and political science, universitas syiah kuala, indonesia) (3 department of political science and public administration, erciyes university, turkey) 109 – 118 eco-theology in indonesian islam: ideas on stewardship among muhammadiyah members frans wijsen1, ahmad afnan anshori1 (1 empirical and practical religious studies, radboud university nijmegen, netherlands) 119 – 139 to what extent political education can influence young voters’ perceptions? ridho al-hamdi1, nur sofyan2 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of communication science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 140 – 158 population and civil registration public services digital transformation during the covid-19 pandemic ria angin1, putri robiatul adawiyah1 (1 government studies,universitas muhammadiyah jember, indonesia) 96 journal of government and civil society vol. 7, no. 1, april 2023, pp. 96-108 doi: 10.31000/jgcs.v7i1.6441 received 17 june 2022  revised 10 march 2023  accepted 27 march 2023 citation : ikhsan, latif, i. r., hajad, v., hasan, e., mardhatillah, m., & herizal. (2023). the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh’s poverty alleviation. journal of government and civil society, 7(1), 96–108. https://doi.org/10.31000/jgcs.v7i1.6441 the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh’s poverty alleviation ikhsan1, ikhwan rahmatika latif1, vellayati hajad1*, effendi hasan2, muntaha mardhatillah1, herizal3 1 department of state administration study, universitas teuku umar, indonesia 2 faculty of social science and political science, universitas syiah kuala, indonesia 3 department of political science and public administration, erciyes university, turkey *email correspondence: vellayati.hajad@utu.ac.id abstract this article examines the financial management of the government of aceh, which is supported by special autonomy funds. it is a war compensation and recovery from the tsunami disaster following the signing of a peace accord between the free aceh movement (gam) and the government of indonesia for development to increase the acehnese people’s well-being, disbursed by the central government. but the governance of the special autonomy fund it runs has not been able to help aceh get out of poverty according to national standards. the article employed a descriptive qualitative approach, then purposive sampling used by the authors as the technique to identify people to interview about aceh’s poverty and special autonomy fund issues. open publications, whether they be official government documents such as rules or decisions, newspapers or magazines, or scientific references such as books or journals were secondary data used by authors. the findings revealed that the management of the special autonomy fund lacks a mature grand design, such that the management rules change annually and are also influenced by the tug-of-war between the aceh government and the region/city governments. then, the principle of accountability was not properly implemented, so these two findings were unable to affect the substance of the poverty sector in aceh, causing aceh’s poverty to consistently fall below the national average. keywords: poverty alleviation, special autonomy fund, aceh government abstrak artikel ini mengkaji masalah pengelolaan keuangan pemerintah aceh yang ditopang oleh dana otonomi khusus. dana otonomi khusus ini merupakan untuk pemulihan dari bencana tsunami dan kompensasi perang setelah penandatanganan kesepakatan damai antara gerakan aceh merdeka (gam) dan pemerintah indonesia yang bertujuan untuk pembangunan peningkatan kesejahteraan rakyat aceh, yang dikucurkan oleh pemerintah pusat. namun tata kelola dana otsus yang dijalankannya belum mampu membantu aceh keluar dari zona kemiskinan sesuai standar nasional. artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, kemudian purposive sampling digunakan oleh penulis sebagai teknik untuk mengidentifikasi orang-orang yang akan diwawancarai tentang masalah kemiskinan dan dana otonomi khusus aceh. publikasi terbuka, baik berupa dokumen resmi pemerintah seperti peraturan atau keputusan, surat kabar atau majalah, atau referensi ilmiah seperti buku atau jurnal merupakan data sekunder yang digunakan oleh penulis. temuan menunjukkan bahwa pengelolaan dana otsus tidak memiliki grand design yang matang, sehingga aturan pengelolaannya berubah setiap tahun dan juga dipengaruhi oleh tarik ulur antara pemerintah aceh dengan pemerintah daerah/kota. kemudian, prinsip akuntabilitas tidak diterapkan dengan baik, sehingga tidak mampu mempengaruhi permasalahan substantif sektor kemiskinan di aceh dan menyebabkan kemiskinan aceh secara konsisten berada di bawah rata-rata nasional. kata kunci: pengentasan kemiskinan, dana otonomi khusus, pemerintah aceh 97the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x introduction the grant of special autonomy can be interpreted as the central government’s strategy to re-embrace aceh, which wishes to secede, by attempting to accommodate the acehnese people’s demands in order to eliminate resistance and the desire for independence through a unique local government system that can be used to resolve various problems (dewi, munawiyah, & nurzalikha, 2018; sorens, 2012; zeccola, 2011). the government of the republic of indonesia translates special autonomy into the notion of asymmetrical decentralization, which is the delegation of particular competences, one of which is financial management. in the past, the central government took care of the finances of the different regions (moeliono, wollenberg, & limberg, 2012; shoesmith, franklin, & hidayat, 2020). this meant that the results of regionally owned resources were not redistributed proportionately to the regions that made them, leaving the regions that made them with a small piece of the development cake while the central government got the majority (kamaluddin, 2014; ostwald, et al., 2016; pierskalla & sacks, 2017; sambanis & milanovic, 2014). figure 1. show that financial management of special autonomy funds is generally associated with issues of health policy, budget control, and employment, as illustrated in figure 1. there is still a scarcity of research on the relationship between the management of special autonomy funds and poverty. figure 1. the literature map on the management of special autonomy funds source: vosviewer application so related to the aceh issue, the central government responded by enacting law number 11 of 2006 concerning the aceh government, also abbreviated as uupa/loga (lele, 2021 & rusjana, 2022). barter & wangge (2022) & sanur (2020), one of the important points of special autonomy is the financing for the implementation of the law journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 98 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal on the governing of aceh (loga), namely: aceh and district/city revenues include regional revenue and financing. regional income, as referred to in paragraph (1), comes from: (a) locally-generated revenue; (b)the balancing fund; (c) the special autonomy fund; and; (d) other legitimate income. article 179, paragraph (2), letter c: the special autonomy fund, which is the aceh government’s money. it’s used to pay for things like infrastructure development and maintenance, people’s economic empowerment, poverty relief, and funding for education, social, and health. the special autonomy fund mentioned in paragraph (1) is valid for a period of 20 (twenty) years, with specifics for the first to fifteenth years. the amount is equivalent to 2% (two percent) of the ceiling of the national general allocation fund. for the sixteenth through twentieth years, the amount is equivalent to 1% (one percent) of the ceiling of the national general allocation fund. according to latif et al., (2021), this is an effort by the central government to carry out peace-building in aceh, one of which is by disbursing special autonomy funds as war compensation for achieving peace between gam (gerakan aceh merdeka) and the government of the republic of indonesia. the utilization of special autonomy funds can improve the performance of the aceh government (sha, 2014 & cardozo, 2011). iriyani (2021), the use of special autonomy funds as mandated in the law is used to finance 7 (seven) developments in the province of aceh, namely infrastructure, economy, poverty, education, social and health, including the implementation of aceh’s privileges. granting special autonomy can deal with the problem of disintegration, but special autonomy has yet to be able to answer a substantial problem, namely the absolute handling of poverty (gerri, 2021). aceh’s special autonomy is seen as being able to reduce poverty more quickly if it is encouraged by good government governance. special autonomy in aceh will increase the efficiency of resource allocation because the local government is closer to the citizens than the central government, so the regional government is expected to have accurate information and solve problems more quickly (mietzner, 2012; sugiharjo, 2022). furthermore, special autonomy is a strategy for overcoming the problem of social welfare or poverty (prabowo, 2021). enders (2012), found that there is a relationship between the granting of special autonomy and changes in the economic development index. there was a reduction in the poverty rate in the province of papua by 10% after implementing the special autonomy status. this figure is the most significant poverty reduction in the last decade (yasin, 2022). determining the success or failure of economic development is not determined by the form of local government management but also by the form of local government organizations. (adiputra,2018; pilcher & perrin, 2012). after the implementation of special autonomy in aceh, discovered that with the adoption of special autonomy in aceh, the fact that government expenditure increased dramatically since 2009 was not accompanied by an increase in community welfare, 99the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x despite the fact that unemployment had decreased (barter & wangge, 2022; kis-katos & sparrow, 2015; miller, 2012). this suggests that the influence of special autonomy and revenue sharing (oil and gas funds) on poverty reduction initiatives and welfare figures in aceh has been negligible (gonschorek, schulze, & sjahrir, 2018; setiawan, ulfa, & purwaningsih, 2020). poverty can be defined as a state of backwardness, income disparity, and gaps between demographic groups (ikhsan & pribadi, 2015). according to thorbecke (2013) & leeuwen & földvári, (2016), poverty also limits one’s ability to obtain a job, legal protection, a sense of security, and access to basic necessities such as clothing, food, and shelter, and also prevents one from gaining access to education, health, decisionmaking, and management of the government. based on data from badan pusat statistik (2019) indonesia’s poor population was 22.77 million in 2017, or 10.64 percent of the overall population. in the same year 2017, the number of poor people in aceh was 872,610, or 16.89 percent of the total population, an increase of 31 thousand persons over the previous year, bringing the total to 841 thousand people (16.43 percent). when looking at indonesia’s bps statistics in aggregate, aceh is the poorest region in sumatra (15,68%), despite the fact that aceh is the area with the highest aceh’s revenue and expenditure budget (apba) (latifah, 2020). this is an outlier, the high poverty rate in aceh demonstrates that the management of special autonomy funds in aceh is still very poor, as the aceh government’s development performance has had little impact on lowering poverty in aceh over the last decade (abrar, juanda, firdaus, & hakim, 2020; heger & neumayer, 2019; iskandar, 2017). figure 2. shows the poverty rate in each province. figure 2. trends in the poor percentage indonesia source: central bureau of statistics (2019) journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 100 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal in this article, the author applies devas, (1989) regional financial management theory, which promotes the concepts of accountability, honesty, effectiveness, efficiency, and control, to investigate problems in the management of special autonomy funds. this theory serves as the starting point for the author’s examination of what contributes to aceh’s poverty trap, at the same time, special autonomy funds are disbursed every year so abundantly by the central government. this paper tries to answer the question of how the special autonomy fund supports the aceh government’s financial management. is it working properly, or are still experiencing issues? to answer this question, the author employs mangkoesoebroto’s theory (2012) of government spending to support devas’ theory in analyzing aceh province’s financial management issues. research method the article employed a descriptive qualitative approach (creswell, 2019). additionally, this article offers a case study to demonstrate how the management of special autonomy funds contributes to poverty reduction throughout the fiscal years 2008–2018. interviews and documentation were used to collect data. interviews were conducted with purposively selected informants and selected informants who were familiar with the research problem. the informants are the aceh bappeda’s head, aceh provincial social service staff, provincial parliament members, non-governmental organizations (gerak and mata), and community leaders. informants were then asked open, free, and transparent questions in order to collect the necessary data. the documentation method of data collection is a technique for locating data on research topics through notes, transcripts, books, journals, newspapers, magazines, and official documents from the central statistics agency (bps), aceh regional development planning agency, and aceh provincial social service. all of the data is then analyzed by displaying it to facilitate categorization, reducing it to retrieve research-related data, and finally verifying the results of the entire research process. results and discussion poverty alleviation in accordance with the mandate of the loga (uupa), the receipt of special autonomy funds for aceh is an effort to improve the welfare of the acehnese people, who have been devastated by the protracted tsunami and armed-conflict. to have a substantial influence on the people of aceh, the central government’s disbursement of special autonomy funds must be managed with diligence, transparency, and accountability. the governor of aceh, the aceh bappeda, and the aceh people’s representative council are the key political actors in the management of the special autonomy fund for poverty. they are the actors who determine the design of poverty reduction programs, the portion of the budget for poverty, and also play a role in the success of the program implementation process in the 101the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x field. as a result, collaboration and synergy of viewpoints are required in order to find solutions to poverty alleviation. the field dynamics, the issue of poverty, only emerge when elections are approaching. however, the light dimmed when the election period ended. in fact, these actors frequently disagree on the programs and budgets that should be allocated to alleviate poverty. however, efforts to disburse special autonomy funds have not been able to eradicate poverty in aceh. the findings of the authors indicate that the budget allocation for special autonomy funding focuses on seven areas: infrastructure, economic empowerment of the people, reduction of poverty, education, social, health, and privileges governance. all of the allocated fields have been realized with varying percentages. the following information is displayed in the table 1. table 1. the allocation and realization of aceh special autonomy fund source: ministry of home affairs (2020) according to the data presented above, the poverty rate in aceh remains high, and the-income disparity remains constant and has not improved as long as special autonomy funds are authorized. on the other hand, according to plt (pelaksana tugas), the governor of aceh, nova iriansyah, stated that “the acehnese people had gotten numerous benefits as a result of the distribution of special autonomy funding. this is demonstrated by the fact that the poverty rate has decreased from 23.53 percent in 2008 to 15.68 percent in 2018”. (interviewed on january 2020). referring to the governor of aceh’s statement, it may be observed in the development of the percentage of impoverished people as an indicator of the aceh government’s performance in poverty reduction programs and activities. this is depicted in the figure 3. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 102 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal figure 3. trends in the poor percentage source: central bureau of statistics (2019) in comparison to other regions, especially sumatera, the aceh special autonomy fund, which has received a total of rp64.9 trillion from 2008 to 2018, has not been able to catch up with efforts to lower poverty levels. in 2018, the poverty rate in aceh reached 15.68 percent, or 819.44 thousand people, making it the poorest province in the sumatra area, as stated by a 2019 bps report. in addition, when considered nationally, the percentage of poor individuals in aceh is still far lower than the national average and ranks sixth from the bottom. low realization of special autonomy funds in the sphere of poverty reduction is one of the factors contributing to acehs’ high poverty rate. in 2018, just 13.36 percent of the authorized rp. 462.34 billion was realized in the sector of poverty alleviation, or rp. 61.75 billion (laucereno, 2018). moreover, the achieved output is only 16.36 percent. this demonstrates that the aceh government’s poverty-reduction efforts have not been properly implemented. this is depicted in the figure 4. 103the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x figure 4. the sums received from the special autonomy fund, the balance fund, and aceh’s original income (20082018) source: lhp bpk ri on lkpd aceh 2008-2018 the figure 3 above depicts the progress of revenue realization in the apba in the form of aceh’s original income (paa), balancing funds, and special autonomy funds from 2008 to 2018, with very low realization. it demonstrates that the management of special autonomy funds has many issues, and thus poverty alleviation is not yet complete. management of special autonomy funds cannot be made accountable since, in practice, there is no overarching management strategy. the in-question design is the master plan for the utilization of the special autonomy fund for aceh at the outset of the special autonomy fund’s allocation. although the design was finalized after seven years, aceh has been receiving special autonomy funds since 2008, and they have undergone numerous modifications since then. for instance, the initial design was through governor regulation no. 78 of 2015, and a year later it was changed again in qanun no. 10 of 2016, which requires implementing regulations for the management of the special autonomy fund, which is also characterized by tug-of-war management, in that 60 percent of the management is regulated by the province, and the remaining 40 percent is managed by the district/city. however, shortly thereafter, the policy was altered through qanun no. 10 of 2016, and the provinces were given sole responsibility for the management and administration of special autonomy funding. the determining factors for successful management of special autonomy funds are: (1) accountability for special autonomy fund management; (2) effectiveness and efficiency of government-designed programs; and (3) the resources managing the special autonomy funds are an important determinant, if managing actors such as the governor, bappeda, and the dpra are able to design programs that have a direct impact on poverty reduction, journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 104 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal then poverty can be reduced. but, in other hand there determinant factor for the successful management management of special autonomy funds are: (1) the lack of a centralized database to aid regional leaders in making development-related decisions and policies. (2) there is no government regulation that specifies the procedures for executing the special autonomy fund’s responsibility. (3) the accountability report for special autonomy funding is still included in the same document as the acehs’ revenue and expenditure (apba) accountability report. this makes it difficult to track and evaluate the use of special autonomy funding. therefore, it indicates that the management of special autonomy funds is not yet effective. the aceh administration has never disclosed any expenditures from the special autonomy fund. in fact, special autonomy grants have been distributed since 2008. publication is essential for the review and public accountability of the use of special autonomy funds. the lack of a grand design for managing special autonomy funds for poverty alleviation has also resulted in the dismantling of regulations and many development projects that are redundant or do not function properly. indeed, it has the potential to become a source of corruption for bureaucrats and the acehnese elite. even though it was finally finished in 2015, the grand design could not be put into place properly because districts and provinces were fighting over who had the right to manage the special autonomy funds. this made it hard to achieve the goals and objectives of the special autonomy funds. in agreement with what teuku riefky had stated, he remarked, “there are also projects that have been abandoned or built.” for instance, 80 (eighty) percent of the newly constructed structures have been finished, but their construction has not been continued. one such building is the aceh cowhide cracker factory, which is located in the ujong kareung neighborhood of the mesjid raya district in aceh besar. no one is currently working at the facility, which, according to the sign, is owned by the aceh government. during irwandi yusuf’s first term as aceh governor (2007-2012), the complex was expanded to include four buildings, all of which were built during this time. according to one of the local community leaders, the apba, which is part of the special autonomy fund, is used as a source of development funding. “because it was built with apba funds, the factory should be able to create more jobs, allowing poverty alleviation in the surrounding area to be carried out successfully.” (interviewed on march 15, 2019). this shows that almost all of the special autonomy fund-funded efforts to fight poverty have used the money to build physical things or improve infrastructure, but have not touched the substance of the sector. in fact, there are no laws and regulations that explicitly regulate the use of the special autonomy fund in aceh, so that the special autonomy fund is still seen only as a “source of funds” but not as a “fund allocation.” as a result, there is no separate planning for the management of these funds, which makes it hard to hold people accountable. 105the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x it was determined, based on the findings of the evaluation of the management and utilization of special autonomy revenues, that during the years 2013–2017, the realization of the special autonomy fund for education in aceh province was an average of 22.4 percent per year. this information was obtained from the findings of the evaluation. during the years 2013–2017, the province of aceh saw an annual growth rate of 12.4 percent on average in the health sector. it is very evident that this stipulation on the administration of the earnings from the special autonomy fund will not have any bearing whatsoever on the fight against poverty and the improvement of people’s welfare. through the use of this special autonomy fund, what ends up happening is that it leaves a hole in the process of obtaining incentives from the projects that are being carried out; it establishes a collusive relationship; it is not oriented toward long-term development; it does not aim to create prosperity; and it does not attempt to encourage economic growth that is beneficial to the poor. as a consequence of this, the resulting buildings are of poor quality, many of the projects are either left unfinished or abandoned, and the majority of the funds are allocated to low-scale projects that have no bearing on the community. conclusion the special autonomy fund was established by the indonesian government to support the financial management of the aceh government and to serve as a stimulus for welfare creation, poverty eradication, and unemployment reduction. since the 2008-2023 receipts, the poverty rate in aceh province has remained high, at 15.68%, making aceh the poorest province in sumatra. using devas’ (1989) theory of regional financial management, it can be seen that there is no accountability in the management of special autonomy funds, so both programs and expenditures in program implementation cannot be tracked through the system; the designed poverty alleviation program is not yet effective and efficient because it only provides a small portion of the budget for poverty alleviation; and the government of aceh makes no efforts to increase human resources managing the special autonomy fund, so the program designed is no longer effective. likewise, the aspect of supervision that has not been optimally carried out has made the management of special autonomy funds potentially a source of corruption for aceh’s bureaucrats and elites. so it can be concluded that the abundant special autonomy funds in aceh cannot be used by the government to eradicate poverty in aceh province. this study has limitations in that it only examines the dynamics of actors managing budget funds from the management side of the special autonomy fund budget. further research is urgently required to examine the dynamics of the actors managing the special autonomy fund in order to identify problems. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 106 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal references abrar, m., juanda, b., firdaus, m., & hakim, d. b. (2020). the impact of special autonomy funds on poverty of human development and unemployment in aceh. international journal of innovation, creativity, and change, 12(10), 713–734. adiputra, i. m. p., utama, s., & rossieta, h. (2018). transparency of local government in indonesia. asian journal of accounting research. barter, s. j., & wangge, h. r. (2022). indonesian autonomies: explaining divergent selfgovernment outcomes in aceh and papua. publius: the journal of federalism, 52(1), 55–81. https://doi.org/10.1093/publius/pjab009 creswell, j. w. (2019). research design, pendekatan metode kualitatif, kuantitatif dan campuran (4th ed.). yogyakarta: pustaka pelajar. devas, n. (1989). keuangan pemerintah daerah indonesia. jakarta: ui-press. dewi, e., munawiyah, m., & nurzalikha, s. (2018). returning government policy for poverty reduction in aceh. budapest international research and critics institute (bircijournal)/ : humanities and social sciences, 1(4), 40–49. https://doi.org/10.33258/ birci.v1i4.89 enders, j., de boer, h., & weyer, e. (2013). regulatory autonomy and performance: the reform of higher education re-visited. higher education, 65(1), 5-23. gerri. (2021). subnational favoritism in development grant allocations: empirical evidence from decentralized indonesia. world development, 139(1), 76–89. https:// doi.org/10.1016/j.worlddev.2020.105299 gonschorek, g. j., schulze, g. g., & sjahrir, b. s. (2018). to the ones in need or the ones you need? the political economy of central discretionary grants “ empirical evidence from indonesia. european journal of political economy, 54, 240–260. https://doi.org/ 10.1016/j.ejpoleco.2018.04.003 heger, m. p., & neumayer, e. (2019). the impact of the indian ocean tsunami on aceh’s long-term economic growth. journal of development economics, 141, 102365. https:// doi.org/10.1016/j.jdeveco.2019.06.008 ikhsan, i., & pribadi, u. (2015). dampak kebijakan otonomi khusus terhadap pengurangan kemiskinan di provinsi aceh. journal of governance and public policy, 2(1). https://doi.org/10.18196/jgpp.2015.0027 iriyani, s. (2021). chapter 5 provincial autonomy and forest management unit legislation in aceh province, indonesia: a review of regulatory asynchronies author links open overlay panel. iskandar, i. (2017). effect of human development index fund on economic growth through a special autonomy. jurnal ekonomi pembangunan: kajian masalah ekonomi dan pembangunan, 18(1), 50. https://doi.org/10.23917/jep.v18i1.2920 kamaluddin. (2019). manajemen pengelolaan keuangan. https://doi.org/10.31219/osf.io/ rgzdt 107the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x kis-katos, k., & sparrow, r. (2015). poverty, labor markets and trade liberalization in indonesia. journal of development economics, 117, 94–106. https://doi.org/10.1016/ j.jdeveco.2015.07.005 latif, i. r., mutiarin, d., & nurmandi, a. (2021). the quality of peace in post-conflict situation: a comparative study between armed conflicts in aceh and bangsamoro. global: jurnal politik internasional, 22(2), 221. https://doi.org/10.7454/global.v22i2.430 latifah, l. (2020). relationship of revenue, expenditure, capital, grand, and tax’s with financial performance of nangroe aceh darussalam province. account and financial management journal, 5(11). https://doi.org/10.47191/afmj/v5i11.02 laucereno, s. f. (2018). ini data kemiskinan ri 5 tahun terakhir menurut bps. retrieved march 10, 2023, from sabtu, 28 jul 2018 website: https://finance.detik.com/beritaekonomi-bisnis/d-4138150/ini-data-kemiskinan-ri-5-tahun-terakhir-menurut-bps lele, g. (2021). asymmetric decentralization, accommodation and separatist conflict: lessons from aceh and papua, indonesia. territory, politics, governance, 10(1), 1–19. https://doi.org/10.1080/21622671.2021.1875036 mangkoesoebroto, g. (2012). ekonomika publik (edisi keti). yogyakarta: bfe. mietzner, b. (2012). chapter ending the war in aceh leadership, patronage and autonomy in yudhoyono’s indonesia. in autonomy and ethnic conflict in south and south-east asia. london: routledge. miller, m. a. (2012). self-governance as a framework for conflict resolution in aceh. in autonomy and armed separatism in south and southeast asia. https://doi.org/10.1355/ 9789814379984-005 moeliono, m., wollenberg, e., & limberg, g. (2012). between state and society: decentralization in indonesia. in the decentralization of forest governance: politics, economics and the fight for control of forests in indonesian borneo. https://doi.org/ 10.4324/9781849772952 muhammad rusjana, m. r. (2022). revocation of norm law no 11 of 2006 about aceh government. de lega lata: jurnal ilmu hukum, 7(1), 115–129. https://doi.org/ 10.30596/dll.v7i1.7830 ostwald, k., tajima, y., & samphantharak, k. (2016). indonesia’s decentralization experiment: motivations, successes, and unintended consequences. journal of southeast asian economies (jseae), 33(2), 139-156. pierskalla, j. h., & sacks, a. (2017). unpacking the effect of decentralized governance on routine violence: lessons from indonesia. world development, 90, 213–228. https:/ /doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.09.008 pilcher, r., & perrin, b. (2012). performance measurement in indonesia: the case of local government. pacific accounting review. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 108 ikhsan, ikhwan rahmatika latif, vellayati hajad, effendi hasan, muntaha mardhatillah, herizal prabowo, p. a. (2021). special autonomy policy evaluation to improve community welfare in papua province indonesia. international journal of excellence in government, 2(1), 24–40. sambanis, n., & milanovic, b. (2014). explaining regional autonomy differences in decentralized countries. comparative political studies, 47(13), 1830–1855. https:// doi.org/10.1177/0010414013520524 sanur, d. (2020). implementasi kebijakan otonomi khusus di aceh [implementation of special autonomy policies in aceh]. jurnal politica dinamika masalah politik dalam negeri dan hubungan internasional, 11(1), 65–83. https://doi.org/10.22212/ jp.v11i1.1580 setiawan, d., ulfa, k., & purwaningsih, t. (2020). poor aceh: the impact of special autonomy as effort poverty reduction in aceh. dia jurnal ilmiah administrasi publik, 18(2), 1–14. https://doi.org/10.30996/dia.v18i2.3654 sha, r. (2014). education and social change in post-conflict and post-disaster aceh, indonesia author links open overlay panel. shah, r., & lopes cardozo, m. (2014). education and social change in post-conflict and post-disaster aceh, indonesia. international journal of educational development, 38(1), 2–12. https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2014.06.005 shoesmith, d., franklin, n., & hidayat, r. (2020). decentralised governance in indonesia’s disadvantaged regions: a critique of the underperforming model of local governance in eastern indonesia. journal of current southeast asian affairs, 39(3), 359– 380. https://doi.org/10.1177/1868103420963140 sorens, j. (2012). secessionism: identity, interest, and strategy. mcgill-queen’s press-mqup. sugiharjo, d., suriani, s., & seftarita, c. (2022). the effect of education and health on poverty reduction in aceh province, indonesia: moderating role of special autonomy fund. international journal of finance, economics and business, 1(4), 292–302. https:// doi.org/10.56225/ijfeb.v1i4.78 thorbecke, e. (2013). multidimensional poverty: conceptual and measurement issues. the many dimensions of poverty, 3–19. https://doi.org/10.1057/9780230592407_1 van leeuwen, b., & földvári, p. (2016). the development of inequality and poverty in indonesia, 1932–2008. bulletin of indonesian economic studies, 52(3), 379–402. https:// doi.org/10.1080/00074918.2016.1184226 yasin. (2022). two decades of fiscal decentralization: implications on the regional development in indonesia. zeccola, p. (2011). dividing disasters in aceh, indonesia: separatist conflict and tsunami, human rights and humanitarianism. disasters, 35(2), 308–328. https://doi.org/ 10.1111/j.1467-7717.2010.01213.x 00. halaman prelims.pdf cover dalam daftar isi 146 – 163 new public management (new public comparison meta-analysis developed and developing country policies) dyah mutiarin2, misran1 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 164 – 183 policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project rizki hegia sampurna1, 2, chih-chieh chou1 (1 department of political science, national cheng kung university (ncku), taiwan) (2 department of public administration, universitas muhammadiyah sukabumi (ummi), indonesia) 184 197 national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign hertanto1, handi mulyaningsih2, asep nurjaman3 (1 departement of government science, universitas lampung, indonesia) (2 departement of sociology, universitas lampung, indonesia) (3 departement of government science, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 198 213 ethnic identity and local politics: study on regional head election in merauke regency 2020 misran1, wahdania sardi1, zuly qodir1 (1 department of government affairs and administration, jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 214 – 236 stakeholder collaboration model for ecotourism development: a case study from batu city, east java province i gede eko putra sri sentanu1, ardian prabowo1, klara kumalasari1, aulia puspaning galih1, rendra eko wismanu1 (1 departement of public administration, universitas brawijaya, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 237 – 262 farmers social movement studies: a systematic literature review for a conceptual model wahyudi1 (1 department of sociology, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 263 – 276 factors affecting trust in e-government ulung pribadi1, muhammad iqbal2, fittia restiane3 (1 post-graduate program universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan) (3 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 184 journal of government and civil society vol. 5, no. 2, oktober 2021, pp. 184-197 doi: 10.31000/jgcs.v5i2.4110 received 7 february 2021  revised 22 september 2021  accepted 28 september 2021 citation : hertanto, mulyaningsih, h., & nurjaman, a. (2021). national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign. journal of government and civil society, 5(2), 184–197. https://doi.org/10.31000/jgcs.v5i2.4110 national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign hertanto1*, handi mulyaningsih2, asep nurjaman3 1 departement of government science, universitas lampung, indonesia 2 departement of sociology, universitas lampung, indonesia 3 departement of government science, universitas muhammadiyah malang, indonesia *email correspondence: hertanto.1960@fisip.unila.ac.id abstract social media has become an easy means for spreading fake news, negative content and black campaigns. the purpose of this study is to examine national insight and political attitudes of rural youth towards negative campaigns in general elections and regional head elections. the method used is in-depth interviews through structured focus group discussions (fgd) with students and the younger generation in rural south lampung. the results showed that they realized the importance of pancasila as a unifying tool for the nation. the rural youth have national insight and political attitudes against the strategy and spread of negative campaigns with primordial sentiments (ethnicity, religion, race, and intergroup). this finding is very important for maintaining harmony in lampung and can be a model for other regions in indonesia. keywords: national insight, political attitudes, social media, negative campaigns abstrak media sosial menjadi sarana mudah untuk penyebaran berita bohong, konten negatif dan kampanye hitam. tujuan penelitian ini untuk mengkaji wawasan kebangsaan dan sikap politik generasi muda perdesaan terhadap kampanye negative dalam pemiliham umum dan pemilihan kepala daerah. metode yang digunakan adalah wawancara mendalam melalui diskusi kelompok terfokus (fgd) terstruktur dengan mahasiswa dan generasi muda di perdesaan lampung selatan. hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka menyadari pentingnya pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. generasi muda perdesaan memiliki wawasan kebangsaan dan sikap politik menolak terhadap strategi dan penyebaran kampanye negative yang bernuansa sentimen primordial (suku, agama, ras, dan antargolongan). temuan ini sangat penting untuk menjaga kerukunan di lampung dan dapat menjadi model bagi daerah lain di indonesia. kata kunci: wawasan kebangsaan, sikap politik, media sosial, kampanye negatif introduction the challenge of elections in the era of information and communication technology (ict) is the development of hoaxes and black campaigns (djuyandi et al., 2018); (purnawati & fajar, 2019); (nisa et al., 2020); (turistiati, 2016). meanwhile, today’s youth are the millennial generation who are tied to social media (arisandy et al., 2019); (juditha & darmawan, 2018); (rais et al., 2018); (achmad et al., 2020). furthermore, young people are the most active part of society, the future of the country is in their hands. therefore, 185national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x youth studies are relevant and relevant as research material. national insight (barida, 2017); (muladi, 2019); (tachyudin et al., 2020); (widisuseno & sudarsih, 2019) and youth political attitudes occupy a special place in youth studies. regarding media use among youth, a study of 100 youth facebook users in nigeria to see the relationship between political attitudes and political participation. the results showed a significant relationship between the use of facebook and political participation (dagona et al., 2013). however, another empirical study conducted on 768 students in moscow using four indicators, namely value, emotional, cognitive, and strategic, showed that students in moscow were young citizens who had low political interest and were less active in politics(litvinova et al., 2020). this shows that there are differences in political attitudes between youth in developing and developed countries. however, national insight cannot grow by itself, but learning needs to be processed early. awareness of the need for unity and integrity resulted from knowledge of the reality of a heterogeneous nation, which gave birth to a sense of love for the homeland. the implementation of national insight into the dynamics of indonesia’s political history in education is implemented by internalizing community values such as respect for differences, cooperation, love for the homeland, tolerance, freedom of responsibility, and solidarity (setiawan et al., 2020). furthermore, ethnically polarized developing countries usually have high levels of intra-ethnic social capital but low levels of inter-ethnic social capital that can trigger conflict. violent conflict can be avoided by strengthening interethnic social capital (miedema, 2010). moreover, indonesia, as a country with a large young generation (novrizaldi, 2021); (dewi et al., 2021), we assume that there is no difference in national insight between urban and rural areas. since many information technology devices such as television and cell phones have been accessed anywhere, information can reach all corners of the region in indonesia. in addition, the rapid development of information technology (espino-díaz et al., 2020); (rahiem, 2020); (tropea & de rango, 2020). allows the rural youth to access various information and knowledge easily. this fact is exploited by political parties, candidates (executive and legislative), and successful teams in winning general election campaigns (elections) and regional head elections. candidates in elections convey their campaigns through advertisements in print mass media, electronic mass media, social media, or online media. this social media campaign is regulated in general election commission (kpu) regulation number 13 of 2020, which stipulates that political parties or coalitions of political parties, candidate pairs, campaign teams, and other parties prioritize the campaign method of limited meetings and face-to-face meetings and dialogue through social media (including online media). journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 186 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman the importance of this regulation is linked to the 2018 simultaneous regional elections in 171 regions covering 17 provinces, 39 cities, and 115 districts. in 2019 there will be simultaneous general elections that elect dpr, dpd, dprd, and elect the president and vice president directly. meanwhile, the regional head election (pilkada) 2020 ((marisa et al., 2020); (gelgel et al., 2020); (wasisto & prayudi, 2020) will be held in 270 regions consisting of 9 provinces, 224 regencies, and 37 cities (ristyawati, 2020). meanwhile, eight are held in lampung province, namely in bandar lampung city, metro city, south lampung regency, central lampung regency, east lampung regency, way kanan regency, pesawaran regency, and pesisir barat regency. this five-year democracy event was originally scheduled to be held in september 2020 but was later postponed to december 9, 2020, due to the covid-19 pandemic (international institute for democracy and electoral, 2020); (rapeli & saikkonen, 2020). these three political events challenge the future of national and local democracy in provinces, districts, and cities. the politicization of religion, ethnicity and primordial sentiments can threaten the consolidation of democracy (pamungkas & arifin, 2019). however, in implementing campaigns using social media, hoaxes and black campaigns are unavoidable with ethnic, religious, racial, and intergroup nuances (juditha, 2019). this is contrary to the campaign rules from the kpu. in this case, juditha (2019) said that social media is an easy means to spread fake news, negative content, and black campaigns. therefore, there need to be regulations, but the kpu has not regulated the dissemination of campaign content, which people outside the campaign team can do due to the rise of negative campaigns, black campaigns, hoaxes, and hate speech with nuances of primordial sentiments can lead to socio-political vulnerability, intolerance, discrimination, and the potential to divide society (ekawati et al., 2019). in a pluralistic society (pamungkas & arifin, 2019), the number of hoaxes and negative campaigns with primordial nuances is very dangerous for the lampung people, especially young people who are easily provoked. many cases of conflict involving rural youth in lampung province stem from primordial issues such as ethnicity, religion, and between groups. thus, nationality and political attitudes play a very important role in responding to the spread of hoaxes (fake news), black campaigns, negative campaigns, and hate speech (intolerance) on social media. for this reason, it is important to examine how the political insight of the young generation in rural areas regarding ideology, solidarity, and election campaigns. this research is very important because it can increase knowledge related to handling conflicts in multi-ethnic indonesia. in addition, the government also needs to pay attention to content related to ethnicity, race, religion on social media not to ignite conflict. 187national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x research method this study uses a quantitative method with a descriptive approach. a descriptive study in which the researcher tested the relationship between variables only once during the study. this research is based on empirical experience that collects data in numbers that can be calculated and in numeric form. the constructionist critical paradigm approach is expected to provide empowerment and awareness, both for the community and rural youth, about their rights and obligations in the political communication process. this study uses primary data and secondary data. primary data was obtained through a questionnaire from 47 people consisting of 20 women and 27 men. while the sample criteria are teenagers, students aged between 15 to 19 years, with a high school education level, and domiciled in natar district, south lampung regency. in-depth interviews also carried out data collection to seek information related to the transformation of national values that could be obtained. while secondary data is obtained through documentation studies, particularly related literature searches in articles, books, and document data on election results. data from interviews and questionnaires were grouped, tabulated, and analyzed for further conclusions to be drawn after cross-checking the data. data analysis uses a likert scale which, according to sugiyono (2020), is used to measure attitudes, opinions, and perceptions of a person or group of people about social phenomena. each answer is given a score, so the respondent must describe or support the statement (sugiyono, 2020). in this study, the national insight is detailed in indicators of knowledge about (1) pancasila as the ideology of the nation; (2) insights into the spread of hate speech with primordial sentiments and intolerance on social media; (3) insights into the spread of state anti-ideology campaigns on social media; (4) insights into the spread of campaigns against the prevailing political system. national insight is also detailed in indicators of knowledge about the diversity and plurality of the population of indonesia and lampung, as well as tolerance and social solidarity. results and discussion national insight in general, the knowledge of the rural young generation about national and state insights tends to be good. their political insight towards pancasila as the state ideology is shown through negative attitudes towards the spread of hate speech with nuances of ethnic, religious, racial, and intergroup sentiments; and intolerance. the majority of respondents disagreed (74.47%), disagreed (6.38%), and strongly disagreed (2.13%) (see table 1). this national political insight is also supported by the respondents’ disapproval of the spread of the anti-ideology campaign of the state (pancasila) on social media, namely disagreeing (68.01%), disagreeing (10.64%), and strongly disagreeing (6.38%). journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 188 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman according to (muladi, 2019) the national perspective is the perspective of the indonesian nation regarding itself and its environment, prioritizing regional unity and unity in the implementation of social, national, and state life. meanwhile, according to (tim pokja lemdiklat polri, 2018), the national perspective includes: developing an attitude of pluralism and human rights for indonesian unity; indonesia’s participation in foreign policy; and carrying out political commitments to government institutions and political parties. table 1. national insight on state ideology and primordialism the national insight (table 1) is in line with the respondent’s attitude towards the spread of the campaign against the prevailing political system (anti-republic of indonesia) on social media, namely disagreeing (74.47%), disagreeing (6.38%), and strongly disagreeing. agree (4.26%). the statement supports even this political attitude perspective that pancasila is a unifying tool for the indonesian nation as the state ideology. the majority of respondents strongly agreed (85.11%) and agreed (14.89%), and not a single respondent expressed disagreement (see table 1). thus pancasila, as the ideology of the nation and state, has strong legitimacy among the rural youth generation. ideology is a set of attitudes, beliefs, and values related to human nature and society that drive their behavior in political, economic, and social affairs (plano et al., 1989). this fact is also supported by findings that explain a correlation between the understanding of nationality and the attitude or character of youth (kusmayadi, 2017). 189national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x social solidarity social solidarity is an emotional and moral feeling formed in relationships between individuals or groups based on mutual trust, common goals and ideals, solidarity, and a sense of acceptance (riadi, 2018). solidarity is a characteristic of feeling solidarity, one feeling the same fate, and a feeling of loyalty from friends among fellow members of society, which is very necessary for the life of society, nation, and the state as citizens of a nation-state. table 2. national insight on social solidarity the national political insight of the rural young generation towards social solidarity is shown through a positive attitude towards the diversity (plurality) of the indonesian nation and the people of lampung. the majority strongly agree (74.47%) and agree (19.15%) that the indonesian population is a diverse society in social, cultural, religious, ethnic, customs, and language fields. at the same time, the rest did not answer (6.38%) (see table 2). journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 190 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman the statement also supports this national political insight that the people of lampung are a diverse society in the social, cultural, religious, ethnic, customary, and linguistic fields. most respondents stated that they strongly agree (27.66%) and agree (70.21%). at the same time, the rest did not answer (6.38%) (see table 2). this national political perspective is also supported by the statement that they feel comfortable neighbors with members of other religions. the majority of respondents strongly agreed (6.38%) and agreed (51.06%). thus, most of them realize that the people of indonesia and lampung are diverse communities in the social, cultural, religious, ethnic, customary, and linguistic fields (see table 2). this national political insight is also supported by the statement that they feel comfortable neighbors with people of different ethnic groups. the majority of respondents strongly agreed (6.38%) and agreed (65.97%) to be neighbors with different ethnicities. at the same time, others disagree (31.91%) (see table 2). political attitudes toward black and negative campaigns political attitudes are a reaction to a feeling of individual psychological tendencies in the form of support/agree or reject/disagree, which becomes collective behavior in a political system. in other words, political attitudes are the perception of a person or group to respond to political problems around them by supporting (pro) or rejecting (contra). attitudes shape the way a person or group feels and responds to political symptoms. attitude links various inherent beliefs and encourages a person to respond to an object or situation in a certain way. political attitudes depend on political issues, leaders, ideas, institutions, or events (plano et al., 1989). attitudes may not manifest in real political actions, but attitudes tend to change over time, change circumstances, and are influenced by various motives (hatemi & verhulst, 2015). meanwhile, the campaign is political communication to make the names of candidates and political parties better known by their constituents. campaign relates to how a candidate packs the content of his campaign message so that it is interpreted as an achievement by the audience to make an image. the campaign’s content is generally about the work program, vision, and mission of the candidate or political party. campaign media in lectures, propaganda, advertisements in mass media, social media, leaflets, brochures, and flyers. however, in practice, there is often a form of communication that emphasizes the weakness of the opponent is arguing, behaving, personality, and his ability to rule (lilleker, 2006), which is later known as negative campaigning or campaigns that attack other candidates or political parties who are opponents in a contest whose contents are lies without facts, this is what is then called the black campaign (doly, 2020). 191national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x social media is the most often used to spread negative campaigns. social media is the most widely used negative campaign tool in terms of its massive reach and use by all levels of society (irawan, 2019). the rural young generation gets information about general election campaign and regional head elections, including social media. according to respondents, social media is most often used to spread hate speech with nuances of ethnic, religious, racial, and intergroup sentiments; and intolerance is facebook (fb) 76.59%. the rests are twitter and instagram. meanwhile, the social media that most frequently spread campaigns against the prevailing political system was facebook (76.59%). in this study, political attitudes towards black and negative campaigns by candidates (executive and legislative) and political parties, in general elections or regional head elections, are detailed in the assessment indicators of younger generation of (1) campaign strategies of political parties or candidates using primordial issues and ethnic, racial, religious, ethnic sentiments; (2) the strategy of political parties or candidates using negative campaigns that spread personal or group disgrace, tarnish and horror; and (3) the strategy of political parties or candidates using “black” campaigns that spread lies and slander. the political attitude of the majority of respondents stated that they strongly disagreed (27.66%) and disagreed (48.94%). meanwhile, the rest agreed (21.28%) and did not answer (2.28%). this political attitude is also supported by the statement of the majority of respondents who strongly disagree (57.46%) and disagree (38.29%) with the political party/candidate strategy that uses negative campaigns (spreading disgrace and personal ugliness). at the same time, the rest agreed (4.26%) (see table 3). this national political attitude insight was also supported by the statement of the majority of respondents who strongly disagreed (74.47%) and disagreed (23.40%) on the strategy of political parties/candidates using “black” campaigns (spreading lies and slander). in contrast, the rest agreed (2.13%). thus, the national political insight of the rural youth generation is in a good category. journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 192 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman table 3. political attitudes toward black and negative campaigns the phenomenon of national insight and the political attitude of the rural youth generation above shows a positive perception of the prevailing political system in indonesia. they support the state ideology, with tolerance and solidarity towards the diversity of fellow citizens and local citizens, without being based on primordial negative sentiments. on the contrary, they show negative attitudes by rejecting the black and negative campaign campaigns by political parties and candidates in the general and regional head elections. elections and regional head elections involve citizens in the political process, knowledge of their influence on public attitudes towards government, and the role of individuals, which have important implications for the democratic government system. this form of individual and collective participation has an equally strong socializing effect, while the relationship between participation and attitudes is reciprocal (quintelier & hooghe, 2012). political attitudes are feelings that can influence individual and group political actions and can impact the political process. the rise of negative campaigns and black campaigns cannot be avoided in general elections in indonesia. it cannot be denied that the black campaign has a very, very bad impact on the political education of the community, especially the younger generation. 193national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x the phenomenon that occurs is the use of ethnicity, religion, race, and intergroup issues in politics. the issue of religion is familiar in every general election and regional head election. it raises several perspectives and the assumption that all of these are a form of politicizing religion or the embodiment of religious values in politics. there must always be differences of opinion in a pluralistic society such as in lampung. the differences and diversity that exist in lampung can lead to conflict and division if not addressed wisely. on the other hand, plurality and solidarity can become the glue in society if they are managed properly without uniformity. therefore, it is hoped that the public and the younger generation will always respond carefully and intelligently to all the news they get, whether negative campaign campaigns or black campaigns. thus, every implementation of electoral democracy in the regions can be realized honestly, fairly, directly, publicly, freely, secretly, and with integrity. all parties involved should be able to maintain harmony in the life of the nation and state. society, government, political parties, candidates, election organizers, and the younger generation must be clever at digesting the information obtained. it is hoped that it will not be easily provoked for the sake of national integration. the spread of fake news or hoaxes is thought to be a new model to become a new campaign model for the formation of political opponents in general elections and regional head elections (wahyu, 2021). social media plays a significant role in the 2020 regional elections because of the covid-19 pandemic situation. advertising and social media content can be directed to specific areas to influence voter attitudes and behavior. however, the people of lampung have local wisdom that can ward off various provocations against negative campaigns and black campaigns. the people of lampung have the motto “sai (sang) bumi ruwa jurai,” which is the basis for local wisdom in the life of society, nation, and state. the phrase sai bumi ruwa jurai is also used as the slogan of lampung province, which in indonesian means “one earth, two kinds”(nastiti, 2018). in general, local wisdom can be understood as local ideas that are wise, full of wisdom, of good value, which are embedded and followed by members of the community. the slogan sai bumi ruwa jurai is interpreted as a spirit of unity and mutual respect in the lampung tribal community, both from saibatin and pepadun, advancing lampung province as the home of the lampung people. the phrase ruwa jurai also refers to the kinship relationship between the indigenous people of lampung and the immigrants who live in lampung province. the immigrants come from javanese, sundanese, balinese, south sumatra, batak, minang, chinese, and bugis ethnic groups(pahrudin & hidayat, 2010). in this case, this kinship becomes a spirit of unity between the natives and immigrants to build lampung province. this local wisdom, among other things, affects the national insight and political attitudes of the lampung rural generation towards negative campaigns and social solidarity. journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 194 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman this local wisdom of lampung is in line with the multiculturalism of indonesia, which is based on the concept of “bhineka tunggal ika.” on the one hand, indonesia recognizes the “pluralist model” by recognizing the rights of various ethnic-cultural groups to maintain their respective identities. on the other hand, indonesia also anticipates the “cosmopolitan model” by encouraging individuals from various identity groups to interact and participate in the public space by upholding beliefs, values, symbols, and citizenship consensus (latif, 2021). conclusion lampung is an area rich in cultural, ethnic, racial, linguistic, religious and regional diversity. therefore, lampung, like indonesia, does not only need formal rules but also needs social capital, namely national insight in realizing unity and integrity. the findings of this study indicate that the younger generation in south lampung has a high level of national insight. this will have implications for harmonization between groups that can create stability and social integration in lampung. furthermore, the existence of high social capital of inter-group harmony will have implications for the elite to be more moderate in politics, so that black campaigns and hoaxes can be anticipated when the election takes place. the findings of this study are also in line with the lampung people's “sang bumi ruwa jurai” which is the basis for local wisdom in the life of society, nation and state. the slogan “sang bumi ruwa jurai” is interpreted as a spirit of unity and mutual respect in the lampung tribal community, both saibatin and pepadun, in advancing lampung province as a common home for the lampung people. the phrase ruwa jurai also refers to the kinship relationship between the indigenous people of lampung and other residents who come and settle in lampung province. references achmad, r. w., poluakan, m. v., dikayuana, d., wibowo, h., & raharjo, s. t. (2020). potret generasi milenial pada era revolusi industri 4.0. focus/ : jurnal pekerjaan sosial, 2(2), 187. https://doi.org/10.24198/focus.v2i2.26241 arisandy, d., rizkika, d. p., & astika, t. d. (2019). eksistensi bahasa indonesia pada generasi milenial di era industri 4.0. pendidikan bahasa dan sastra indonesia, 3(2), 247–251. garuda.ristekbrin.go.id barida, m. (2017). inklusivitas vs eksklusivitas: pentingnya pengembangan wawasan kebangsaan dalam mewujudkan kedamaian yang hakiki bagi masyarakat indonesia. universitas ahmad dahlan, 5(february), 1403–1409. http://lpp.uad.ac.id/ wp-content/uploads/2017/05/268-muya-barida1403-1409.pdf 195national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x dagona, z. k., karick, h., & abubakar, f. m. (2013). youth participation in social media and political attitudes in nigeria. journal of sociology, psychology and anthropology in practice, 5(1), 1–7. dewi, s., listyowati, d., & napitupulu, b. e. (2021). bonus demografi di indonesia: suatu anugrah atau petaka. journal of information system, applied, management, accounting and research, 2(3), 17–23. djuyandi, y., herdiansah, a. g., & alkadrie, j. f. (2018). sosialisasi dampak negatif black campaign terhadap keamanan pemilihan kepala daerah tahun 2018 di provinsi jawa barat. jurnal pengabdian kepada masyarakat, 2(7), 581–584. doly, d. (2020). penegakan hukum kampanye hitam (black campaign) di media sosial: pembelajaran pemilihan umum presiden tahun 2019. kajian, 25(i), 1–18. http:// jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1885 ekawati, e., hanafi, r. i., soebhan, s. r., sambodo, m. t., yanuarti, s., raharjio, s. n. i., haripin, m., mengko, d. m., & aisah putri budiatri. (2019). peta sosial politik menjelang pemilu serentak 2019: survei pandangan ahli (pp. 1–250). lipi press. https://eservice.lipipress.lipi.go.id/press/catalog/book/211 espino-díaz, l., fernandez-caminero, g., hernandez-lloret, c. m., gonzalez-gonzalez, h., & alvarez-castillo, j. l. (2020). analyzing the impact of covid-19 on education professionals. toward a paradigm shift: ict and neuroeducation as a binomial of action. sustainability (switzerland), 12(14), 1–10. https://doi.org/10.3390/su12145646 gelgel, n. m. r. a., apriani, k. d., & ginting, r. t. (2020). communication strategies in the 2020 local election stages socialization during the covid-19 pandemic. jurnal komunikasi ikatan sarjana komunikasi indonesia, 5(2), 10–17. hatemi, p. k., & verhulst, b. (2015). political attitudes develop independently of personality traits. plos one, 10 (3), 134072. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0118106 international institute for democracy and electoral. (2020). elections and covid-19. international idea technical, 1, 1–5. https://doi.org/10.31752/idea.2020.11 irawan, f. d. (2019). pengaruh terpaan kampanye negatif di instagram terhadap partisipasi politik pemilih pemula. universitas muhammadiyah malang. http:// eprints.umm.ac.id/53365/ juditha, c. (2019). buzzer di media sosial pada pilkada dan pemilu indonesia buzzer in social media in local elections and indonesian elections. prosiding seminar nasional komunikasi dan informatika, 3, 199–212. https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/snki/ article/view/2557/1255 juditha, c., & darmawan, j. (2018). penggunaan media digital dan partisipasi politik generasi milenial. jurnal penelitian komunikasi dan opini publik, 22(2), 94–109. https:/ /jurnal.kominfo.go.id/index.php/jpkop/article/view/1628 journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 196 hertanto, handi mulyaningsih, and asep nurjaman kusmayadi, y. (2017). hubungan antara pemahaman sejarah nasional indonesia dan wawasan kebangsaan dengan karakter mahasiswa (studi pada mahasiswa pendidikan sejarah fkip universitas galuh ciamis). agastya: jurnal sejarah dan pembelajarannya, 7(2), 1. https://doi.org/10.25273/ajsp.v7i2.1486 latif, y. (2021). berkaca dari amerika. kompas, surat kabar harian. lilleker, d. (2006). key concepts in political communication (sage key concepts series). sage publication. litvinova, t., vershinina, o., & moskvitin, g. (2020). social and political attitudes of moscow students on the background of the all-russia and regional youth studies. social sciences, 9(9), 1–18. https://doi.org/10.3390/socsci9090153 marisa, h., pornauli, a., indra, a., & aurora, a. (2020). the regional head elections (pilkada) 2020 during covid-19 pandemic: a projection. joels: journal of election and leadership, 1(2), 64–68. https://doi.org/10.31849/joels.v1i2.4424 miedema, t. e. (2010). violent conflict and social capital in ethnically-polarized developing countries. proquest dissertations and theses, 440. https://search.proquest.com/ dissertations-theses/violent-conflict-social-capital-ethnically/docview/870476690/se2?accountid=41849 muladi. (2019). wawasan kebangsaan (4 konsesus dasar berbangsa dan bernegara). nastiti, l. b. (2018). lampung, provinsi dengan dua suku masyarakat yang berbeda. dirjen kebudayaan kemdikbud. nisa, c. u., disemadi, h. s., & roisah, k. (2020). aspek hukum tentang black campaign pada platform media sosial instagram. mahkamah/ : jurnal kajian hukum islam, 5(1– 21), 1. https://doi.org/10.24235/mahkamah.v5i1.6032.g2966 novrizaldi. (2021). hasil survei penduduk 2020 peluang indonesia maksimalkan bonus demografi. kemenko pmk. https://www.kemenkopmk.go.id/hasil-survei-penduduk2020-peluang-indonesia-maksimalkan-bonus-demografi pahrudin, a., & hidayat, m. (2010). budaya lampung dan penyelesaian konflik sosial keagamaan. pustaka ali imron. pamungkas, a. d., & arifin, r. (2019). demokrasi dan kampanye hitam dalam penyelenggaraan pemilu di indonesia. jurnal syariah dan hukum, 17(9), 16–30. plano, j. c., riggs, r. e., & robbin, h. s. (1989). kamus analisa politik. cv rajawali. purnawati, l., & fajar, e. n. (2019). peran kpu dalam mengatasi black campaign ( studi pada 1 kantor kpu 1 kabupaten. jurnal publiciana, 13(1), 29–51. https://doi.org/10.36563/p.v13i1.204 quintelier, e., & hooghe, m. (2012). political attitudes and political participation: a panel study on socialization and self-selection effects among late adolescents. international political science review, 33(1), 63–81. https://doi.org/10.1177/0192512111412632 197national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x rahiem, m. d. h. (2020). technological barriers and challenges in the use of ict during the covid-19 emergency remote learning. universal journal of educational research, 8(11b), 6124–6133. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.082248 rais, n. s. r., dien, m. m. j., & dien, a. y. (2018). kemajuan teknologi informasi berdampak pada generalisasi unsur sosial budaya bagi generasi milenial. jurnal mozaik, 10(2), 61–71. rapeli, l., & saikkonen, i. (2020). how will the covid-19 pandemic affect democracy? democratic theory, 7(2), 25–32. https://doi.org/10.3167/dt.2020.070204 riadi, m. (2018). pengertian, jenis dan bentuk solidaritas sosial. kajianpustaka.com. ristyawati, a. (2020). efektivitas pelaksanaan pilkada serentak 2020 pada masa pandemi darurat covid-19 di indonesia. crepido, 2(2), 85–96. https://doi.org/10.14710/ crepido.2.2.85-96 setiawan, j., aman, & wulandari, t. (2020). understanding indonesian history, interest in learning history and national insight with nationalism attitude. international journal of evaluation and research in education, 9(2), 364–373. https://doi.org/10.11591/ ijere.v9i2.20474 sugiyono. (2020). metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (mixed methods) (sutopo (ed.); revisi). alfabeta. tachyudin, m., cahyono, h., & utami, p. s. (2020). penguatan civic literasi dalam membentuk wawasan kebangsaan. civic-culture: jurnal ilmu pendidikan pkn dan sosial budaya, 4(2), 31–39. http://publikasi.stkippgri-bkl.ac.id/index.php/cc/article/view/ 434 tim pokja lemdiklat polri. (2018). bela negara (handayani, n. widyayoko, d. rusdian, & a. a. susanto (eds.)). lembaga pendidikan dan pelatihan polri. tropea, m., & de rango, f. (2020). covid 19 in italy: current state, impact and ict based solutions. iet smart cities, 2(2), 74–81. https://doi.org/10.1049/ietsmc.2020.0052 turistiati, a. t. (2016). fenomena black campaign dalam pemilihan kepala daerah 2015. transparansi jurnal ilmiah ilmu administrasi, 8(2), 208–215. https://doi.org/ 10.31334/trans.v8i2.72.g64 wahyu. (2021). melawan hoaks pemilu. kompas. wasisto, a., & prayudi. (2020). antisipasi implikasi demokratis pilkada serentak tahun 2020. info singkat dpr, 12(no. 12), 28. https://sdip.dpr.go.id/search/detail/category/ info singkat/id/1080 widisuseno, i., & sudarsih, s. (2019). penguatan wawasan kebangsaan sebagai upaya pencegahan paham radikalisme dan intoleransi di kalangan pelajar sekolah menengah atas negeri 3 salatiga kotamadia salatiga. harmoni, 3(1), 24–28. kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia 23 kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) nazmudin1) 1)stisip banten raya, indonesia abstrak supaya kerukunan dan toleransi antar umat beragama bisa menjadi alat pemersatu bangsa, maka kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar, maka diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk permasalahan yang mengganjal antar masing-masing kelompok umat beragama. karena mungkin selama ini konflik yang timbul angtar umat beragama terjadi karena terputusnya jalinan informasi yang benar di antara pemeluk agama dari satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif. kata kunci : kerukuanan, toleransi, kemajemukan, dan pemersatu bangsa abstract in order harmony and inter-religious tolerance can be a means to unite the nation, the plurality must be managed properly, it is necessary that an effective way of inter-religious dialogue for a wedge issue between the respective religious communities. because of possible conflicts arising during this angtar religious communities occurs because the breakdown of the fabric of information true among adherents of one party to the other party so that the resulting negative prejudices. keywords: in order harmony, inter-religious tolerance, the plurality and unite the nation pendahuluan masyarakat indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi konfik. indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. multikultural masyarakat indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. adapun agama yang diakui oleh pemerintah indonesia saat era reformasi sekarang ini adalah agama islam, katolik, protestan, hindu, budha, dan kong huchu. agama yang terakhir inilah merupakan hasil era reformasi pada pemerintahan abdurrahman wahid (gus dur). dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masyarakat indonesia. dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong. journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 23-39 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x citation : nazmudin. 2017. “kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri)”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 23-39. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 24 nazmudin oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan kehidupanantarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegarayang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari “ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi tiba-tiba” yang masih terjadi di era reformasi saat ini.maka dari itu, tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya menciptakan kerukunan antar umat beragama di lingkungan masyarakat indonesia. kerangka teori kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makana “baik” dan “damai”. hakikatya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (depdikbud, 1985:850). bila pemaknaan tersebutdijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. kerukunan (dari ruku, bahasa arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopangrumah; penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orangwalaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan. pada bagian lain, mengenai istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tentram. adapun langkahlangkah untuk mencapai seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. kerukunan antarumat beragama bermakna rukun dan damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspekkehidupan, seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama. dalam islam pun mengajarkan bahwa manusia ditakdirkan allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. bahkan ajaran islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama. dalam konteks ini juga sebagaimana telah dikemukakan oleh maftuh basuni(2008: 79), bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu haus dipelihara terus dari waktu ke waktu. kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengmalan ajaran agmanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 25kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) dengan demikian, bahwa kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa diartikan dengan toleransi antar umat beragama. dalam toleransiitu sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan antar umat beragama. selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak saling mengganggu. metode penelitian pentingnya dalam membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama, ada lima prinsip yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari: (1) tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat; (2) adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang berbuat baik kepada sesama; (3) adanya perbedaan mendasar ajaran tentang yang diajaran agama-agama. di antaranya, perbedaan kitab suci, nabi, dan tata cara ibadah; (4) adanya bukti kebenaran agaama; (5) tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu agama atau suatu kepercayaan. dari landasan lima prinsip ini, hal yang harus lebih ditunjukkan oleh semua umat beragama adalah untuk melihat persamaan-persmaan dalam agama yang diyakini seperti dalam hal perdamaian, kemanusiaan, membantu program pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa, atau membantu program pemerintah agar rakyat mendukung dan mengawasi program pemerintah dalam memberantas kasus-kasus koupsi di indonesia.point-point inilah yang sudah dilakukan oleh tokoh-tokoh lintas agama pada era reformasi saat ini. di dalamnya terdiri dari tokohagama islam, katolik, protestan, hindu, budha, dan kong huchu.hal ini jauh lebih bermanfaat daripada berkutat dalam perdebatan akan hal-hal perbedaan dari ajaran agama dengan semangat menguji keyakinan sendiri dengan keyakinan orang lain. perbedaan, dalam hal apa, adalah rahmat tuhan yang harus disyukuri, karena jika tuhan menghendaki keseragaman niscaya dia dapat melakukannya. perbedaan hendaknya dijadikan media untuk berlomba dalam lapangan kemanusiaan dan penegakkan keadilan. persoalan kerukunan dan toleransi ini tidak sedikit sering menimbulkan konflik antar umat beragama di berbagai daerah di indonesia. untuk memahami interaksi antar individu yang dapat melahirkan konflik maupun solidaritas antar sesama, tentunya dalam hal inisebagaimana merujuk pada teori knflik george simmel yang dikutip oleh ritzer dan goodman (2003), bahwa kejadian konflik dikarenakan interaksi antar individu yang mempunyai “kekuatan emosional” yang kemudian membangun ikatan solidaritas antar sesama. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 26 nazmudin di samping itu, beberapa temuan juga telah dibuat dengan dialog antar tokoh pemimpin tokoh agama-agama dan tokoh masyarakat guna menyelesaikan resolusi konflik dalam rangka membangun kepercayaan, pengertian dan hubungan kerja sama, atau berfokus pada pencarian kesepakatan yang digambarkan sebagai negoisiasi. sebab, dalam proses negoisiasi di dalam konteks desain resolusi konflik, peran pihak ketiga sebagai negoisiator/abitrator/mediator menjadi sangat sentral dalam bertindak sebagai penengah dan fasilitator sebuah gagasan kompromi di antara para pihak yang terlibat konflik. oleh sebab itu, sosok negoisiator merupakan pihak yang dipercaya oleh pihakpihak yang berkonflik, karena tujuan pokok mediasi adalah menemukan solusi praktis di dalam menyelesaikan masalah. lalu, seperti apakah rekam jejak kerukunan dan toleransi antar umat beragama di indonesia yang dikaji dengan metode kualitatif. hasil dan pembahasan 4.1 hubungan kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam konteks kepentingan negara dan bangsa, kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara kesatuan republik indonesia berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. oleh karena itu, kerukunan hidup antarumat beragama merupakan prakondisi yang harus diciptakan bagipembangunan di indonesia (mukti ali : 1975: 42 ). masalah kerukunan hidup antar umat beragama dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di indonesia., pendeta weinata sairin (1996:183) memberikan komentar sebagai berikut: “kerukunan antarumat beragam di indonesia, merupakan satu-satunya pilihan. tidak ada pilihan lain, kecuali harus terus mengusahakannya dan mengembangkannya. sebagai bangsa kita bertekan untuk mempertahankan negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan uud 1945.kita juga telah bertekad untuk terus membangun masyarakat, bangsa dan negara kita, agar menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa kehilangan kepribadian kita.dalam konteks itu, agama-agama mempunyai tempat dan perananyang vital dan menentukan dalam kehidupan kita bermasyarakat berbangsa dan bernegara”. demikian pentingnya kerukunan hidup antarumat beragama dalam proses pembangunan bangsa, hal ini disebabkan karena merekalah yang merencanakan, melaksanakan dan merasakan hasil pembangunan tersebut. seluruh umat beragama di indonesia adalah subjek dari pembangunan bangsa indonesia. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 27kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa indonesia.nilai-nilai religius harus dapat memberikan motivasi positif dan menjadi arah tujuan dalam seluruh kegiatan pembangunan di indonesia. persatuan dan kerjasama antar umat beragama mutlak diperlukan.namun adalah soal hubungan antarumat beragama adalah soal yang sangat peka. banyak kejadian yang kadang-kadang mengarah kepada permusuhan dan penghancuran asset nasional disebabkan isu yang dikaikan dengan hubungan antaragama (di samping unsur lainnya yang sering disebut sara,suku,agama, rasa dan antar golongan),walaupun sebenarnya setiap umat agama mengajarkan kerukunan antar manusia dan antarumat beragama. dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama, sejak beberapa tahun yang lalu departemen agama mengembangkan pendekatan tiga kerukunan (trilogi kerukunan) yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah sangat diperlukan bagi terciptanya stabilitas nasional dalam rangka pembangunan bangsa.kerukunan ini harus didukung oleh kerukunan antarumat beragama dan kerukunan intern umat beragama. kerukunan yang dimaksud bukan sekedar terciptanya keadaan dimana tidak ada pertentangan intern umat beragama, pertentangan antarumat beragama atau antar umat beragama dengan pemerintah. kerukunan yang dikehendaki adalah suatu kondisi terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang nyata, dengan tetap menghargai adanya perbedaan antarumat beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama yang diyakininya, tanpa menggangu kebebasan penganut agama lain. jadi “ kerukunan yang kita cita-citakan bukanlah sekedar “rukun-rukunan” melainkan suatu kerukunan yang benar-benar otentik dan dinamis (suparman usman, 2007 : 58-59). dalam pandangan weinata sairin, dengan kerukunan otentik dimaksudkan bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan situasional. tapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni, karena ia didorong oleh sesuatu keyakinan imaniah yang dalam sebagai perwujudan dari ajaran agama yang diyakini (ppkhb, 1979 : 39). sedangkan kerukunan dinamis dimaksudkan bukan sekedar kerukunan yang berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain dalam suasana hidup bersama tapi tanpa saling menyapa. melainkan kerukunan yang didorong oleh kesadaran bahwa, walaupun berbeda, semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama yang satu, yaitu mengusakan kesejahteraan lahir dan bathin yang sebesarbesarnya bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri). karena itu mestinya bekerja sama, bukan hanya sama-sama bekerja. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 28 nazmudin kerukunan adalah proses yang dinamis yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama, dengan cara menanamkan pengertian akan nilai dan kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama, mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah kepada kerukunan hidup beragama, dan menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup beragama. kerukunan demikian inilah yang diharapkan sehingga dapat berfungsi sebagai fondasi yang kuat bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. kondisi iniada gilirannya akan sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan seluruh umat beragama di indonesia. tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama di indonesia adalah tugas bersama seluruh umat beragama di indonesia dan pemerintah. setiap individu dan kelompok umat beragama dalam kesehariannya selalu terlibat dan berhubungan satu sama yang lain dalam berbagai kepentingan, perlu memahami secra benar dan tepat akan arti kerukunan hidup umat beragama, bagi kepentingan mereka. nampaknya, amatlah jelas bagaimana kita mesti bekerja sama dengan penganut agama non-islam. dengan semanagat kerja sama, tanpa menghilangkan dan mengurangi bobot kualitas iman kita, jalinan antarumat beragama menjadi sangat penting terutama dalam rangka memperkokoh integritas bangsa. wajarlah kalu kemudian pemerintah menggalakan pentingnya kerukunan umat beragama melalui program tri kerukunan, yaitu kerukunan antarumat beragama , kerukunan inter umat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. dalam kaitan ini pula, kiranya masih tetap relevan gagasan mukti ali (mantan menteri agama) tentang perlunya dilakukan dialog antar agama yang dikemukakan pada pidato di istana negara 1971. tujuan dialog antarumat beragama itu sendiri adalah: 1. meneliti sebab-sebab yang mendorong munculnya gaangguan pada hubungan yang baik antarumat beragama di indonesia. 2. mencari cara-cara dan sarana-sarana yang akan membantu memperbaiki hubungan yang damai antar agama di indonesia. sejak tahun 1971 itulah, dialog antar agama menjadi program resmi pemerintah indonesia, dan sudah beberapa kali diadakan di sejumlah kota di indonesia. begitu pun dengan upaya pembinaan kerukunan umat beragama, di indonesia pada era reformasi berdasarkan peraturan berasama menteri agama dan menteri dalam p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 29kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 dibentuk forum kerukunan umat beragama (fkub). fkub adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan fasilitas oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. fkub adalah wadah yang merupakan tempat dimusyawarahkannya berbagai masalah keagamaan lokal dan dicarikan jalan keluarnya. fkub ini akan bertugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan masyarakat, menampung dan menyalurkan aspirasi oramas keagamaan dan masyarakat dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang kagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayakan masyarakat. dalam rangka menumbuhkan, memelihara dan membiasakan kerukunan hidup umat beragama salah satu tugas fkub adalah melakukan forum dialog. dalam forum dialog tersebut semua pihak dapat saling mendengarkan informasi dari pihak lain dan dapat saling mengemukakan permasalahannya masing-masing. dalam masalah dialog ini mukti ali(1975 : 54)menulis :”dialog adalah suatu proses dimana individu dan kelompok belajar untuk menghilangkan saling curiga dan saling takut dan berusaha untuk mengembangkan hubungan-hubungan yang didasarkan kepada saling percaya mempercayai. dialog adalah merupakan hubungan yang sejuk dan ditunjukan untuk hidup bersama, berbuat bersama dan mendirikan dunia baru bersama”. untuk menjaga kerukunan hidup antar umat beragama salah satunya dengan dialog antar umat beragama. salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat yang modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluarlitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan. untuk itulah kita harus saling menjaga kerukunan hidup beragama. secara historis, banyak terjadi konflik antar umat beragama pada era reformasi, misalnya konflik horizontal di poso antar umat islam dan kristen, konflik ahmadiyah dengan warga banten. begitupun konflik vertikal-horizontal yang dilakukan oleh salah satu pejabat cagub dki jakarta periode 2017-2022 basuki tjahya purnama (ahok) yang telah menyinggung tafsir agama lain yaitu agama islam atau kasus penodaan agama sehingga mengundang reaksi dari jutaan umat islam indonesia yang biasa disebut dengan aksi bela islam 212. jadi jelasnya, agama di sini terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik tersebut. sangatlah ironis konfik yang terjadi tersebut padahal suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati. untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama. menurut muchoyar h.s. (2008), dalam menyikapi perbedaan agama terkait dengan toleransi antar umat beragama agar dialog antar umat beragama terwujud maka memerlukan 3 konsep yaitu: journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 30 nazmudin 1. setuju tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki akidah masing-masing sehingga agama saling bertoleransi dengan perbedaan tersebut. 2. setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama memiliki kesamaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan matabat umatnya. 3. setuju untuk berebda, maksudnya dalam hal perbedaan disikapi dengan damai bukan untuksaling menghancurkan. oleh karena itu, tema dialog antar umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah peribadatan tetapi lebih baik ke masalah kemanusiaan seperti moralitas, etika, dan nilai spiritual, supaya efektif dalam dialog antar umat beragama juga menghindari latar belakang agama dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. dialog tidak harus menghasilkan kesepakatan, dalam arti secara bersama-sama menyepakati untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang sama. dalam dialog biasa muncul kesepakatan untuk sepakat. lukman harun (1991 : 163)dalam hal ini antara lain menulis : “ada banyak konflik keagamaan atau pertentangan-pertentangan yang difanatikan oleh agama. maka dari pada itu berguna sekali suatu dialog dimana orang-orang bertemu sebagai sesama manusia, dimana orang-orang berhadap muka, wajah menemui wajah, dimana orang mengakui engkau seharga dengan saya, walaupun agamamu berbeda dengan agamaku. agak jarang orang-orang yang berbeda agamanya akan mencapai suatu persetujuan mengenai kebenaran religious (keagamaan). sering kali yang dapat dicapai hanya suatu “agree to disagree” suatu persetujuan bahwa kita tidak setuju. kesaksian yang satu menghadapi kesaksian yang lain. praktek dialog antarumat beragama telah sering dilakasanakan, baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, dalam rangka mendiskusikan berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan serta sebagai perbedaan diantara umat beragama. umpamanya pada tanggal 30 maret sampai 1 april 1982 di kolombo diadakan dialog islam-kristen yang disebut “fourty three nations in historic moslem-christian dialogue” (empat puluh tiga bangsa dalam dialog islam-kristen yang bersejarah). salah satu ungkapan dari laporan akhir dialog itu antara lain disebutkan “pengalaman dialog muslim-kristendi kolombo dengan diskusinya yang jujur dan terbuka telah membina saling pengertian yang lebih erat dan tekad untuk bekerja sama demi kepentingan perdamaian, keadilan, kemanusiaan dan dengan itu memberikan teladan mengenai komitmen bersama untuk mencapai maksud “tuhan untuk manusia”(umar hasyim, 1970 : 342). sementara itu, sebagaimana dipaparkan oeleh umar hasyim (1970 : 342), bahwa untuk mendapatkanhasil dialog yang positif harus dikembangkan sikap toleransi di antara p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 31kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) umat beragama, di samping setiap umat beragama harus menguasai dan memahami ajaran agamnya secara lengkap dan benar. sebab dialog tanpa dilandasi toleransi tidak akan mempunyai makna yang berarti, ia akan menghasilkan kerukunan yang semu. menurut umar hasyim, “dialog adalah bentuk dan perwujudan yang tulus dari sikap toleransi terhadap keyakinan lain dan penghargaan secara sadar akan keagamaan keyakinan atau etnis. dialog mesti berlangsung dengan penuh kesetaran”. demikian juga bila dialog tidak dilandasi oleh pemahaman yang lengkap dan benardari ajaranajaran agamanya masing-masing, maka hasil dialog kemungkinan tidak akan ditempa(atau mungkin ditentang) oleh pemeluk umat beragama yang bersangkutan. wacana kerukunan hidup umat beragama dan dialog sebagaimana digambarkan di atas, nampaknya mudah dilaksanakan namun dalam kenyataannya, untuk melaksanakan dialog sebagai bagian dari upaya pembinaan kerukunan umat beragama, kadang-kadang tidak selalu mendapatkan hasil yang diharapkan. ada beberapa faktoryang menjadi kendala terhadap keberhasilan dialog tersebut. umpamanya, masih adanya sikap curiga (tidak mempercayai) diantara pemeluk umat beragama mengenai motif dan tujuan diadakan dialog, atau adanya sebagaian dari pemeluk agama tertentu yang dipandang telah melanggar rambu-rambu (perundang-undangan atau kesepakatan) yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh umat beragama. 4.2 kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam perundang-undangan di indonesia di indonesia pada era reformasi saat ini ada enamagama yang diakui oleh pemerintah. perbandingan pemeluk keenam agama tersebut, islam 87,01 %, kristen protestan 6,96%, khatolik 2,91%, hindu 1,69%, budha 0,72 %, konghuchu 0,05 %, aliran lainnya 0,13 %, dan tidak terdeteksi 0,4 %. untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan umat beragama dibentuksatu departemen yaitu departemen agama, bertugas untuk menyelenggarakan sebagiantugas pemerintah dan pembangunan di bidang agama. a. agree in disagreement menurut mukti ali (1975 : 4), ada beberapa pemikiran untuk mencapai kerukunan hidup beragama. pemikiran itu mengemukakan bahwa kerukunan tersebut dapat dicapai melalui (1) sinkritisme = semua agama adalah sama, (2) reconception = meninjau kembali agama sendiri dalam menghadapi orang lain, (3) sintesa = menciptakan agama baru dari elemen-elemen berbagai agama, (4) penggantian = agama lain diganti dengan agama yang ia peluk, (5) agree in disagreement = setuju dalam perbedaan. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 32 nazmudin jadi, cara agree in disagreement-lah yang paling baik untuk mencapaii kerukunan hidup umat beragama. menurut cara ini orang harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan benar. namun harus diakui bahwa di samping terdapat perbedaan antar agama, banyak pula persamaannya. berdasarkan pengertian itulah sikap saling hormat-menghormati ditimbulkan, serta tidak boleh paksa-memaksa satu sama lain. dengan dasar inilah, maka kerukunan dalam kehidupan umat beragama dapat diciptakan. b. kerukunan dan toleransi hidup beragama 1) tiga kerukunan hidup beragama dalam rangka melaksanakan tugas departemen agama, telah ditetapkan pembinaan”tiga kerukunan hidup beragama”, yaitu : 1). kerukunan intern umat beragama, 2). kerukunan antar umat beragama, 3). kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. 2) arah pembinaan kerukunan hidup beragama arah pembinaan kerukunan hidup beragama dalam gbhn disebutkan “kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap tuhan yme, makin dikembangkan, sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat”.” kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa, tidak merupakn agama”. 3) kegiatan pembinaan kerukunan hidup beragama a) kegiatan dalam rangka kerukunan intern umat beragama dengan bentuk : musyawarah intern umat beragama b) kegiatan dalam rangka kerukunan antar umat beragama dengan bentuk : observasi, studi kasus, kerjasama sosial kemasyarakatan, kegiatan bersama antar umat beragama, penulisan monografi. c) kegiatan dalam rangka kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah dengan bentuk : pekan organisasi antar umat beragama dengan pemerintah. c. wadah musyawarah antar umat beragama 1) majelis umat beragama a) islam : majlis ulama indonesia (mui) b) protestan : dewan gereja indonesia (dgi) c) katolik : majlis agung wali gereja indonesia (mawi) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 33kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) d) hindu : parisada hindu dharma e) budha : pewalian umat budha indonesia (walubi). f) konghuchu : majelis tinggi agama khonghucu indonesia (matakin) 2) musyawarah antar umat beragama namun demikian, bermula dilatarbelakangi dari ketegangan antar umat beragama yang diawali dengan peristiwa “meulaboh” (peristiwa pendirian gereja di tengahtengah perkampungan umat islam), pemerintah mengadakan musyawarah antar umat beragama pada tanggal 30 november 1967.musyawarah dihadiri utusan dari islam, kristen, katolik, hindu, budha. musyawarah mengusahakan satu pertanyaan, yang antara lain memuat penyataan “tidak menjadi umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing”. golongan islam menerima pernyataan tersebut.namun golongan kristen dan katolik menolaknya.musyawarah hanya menghasilkan kesepakatan membentuk badan konsultan antar agama yang membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah agama (suparman usman, 1991 : 41). demikian pula dengan kasus-kasus konfilk antar agama di era reformasi seperti halnya dalam kasus tolikara, kasus medan ini sangat kuat. begitu pula dengan kasus di singkil, aceh. hal ini menunjukkan bagaimana tekanan umat islam terhadap mayoritaskristen/minoritas kristen yang ada di sana begitu kentara. hal ini terlihat dalam perjanjian yang terjadi di antara kelompok umat islam dan kristen mengenai pembatasan jumlah gereja yang boleh dibangun. menurut hemat penulis, dalam hal perjanjian mengenai pembatasan jumlah gereja yang terjadi sejak 1979 dan diperbarui pada 2001 tidaklah logis. sebab, dalam kurun waktu selama itu, jumlah umat kristen dan luas wilayah yang dihuni oleh mereka pastilah bertambah. konsekuansinya, penambahan jumlah gereja sangat dibutuhkan. selain itu, dalam melihat kasus ini adanya keterlibatan organisasi islam dalam mobilisasi massa pada kasus singkil semakin menunjukkan peran agama dalam soal tindak kekerasan ini. berdasarkan bukti-bukti tersebut dan beberapa fakta lainnya yang ditemukan di lapangan, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa memang agama memainkan peran yang sangat penting di dalam dua kasus kekerasan tersebut. meskipun demikian, tidak menampik adanya faktor lain yang dapat mengeskalasi kedua konflik tersebut, misalnya faktor ekonomi dan kekuasaan. dalam hal ini, bahwa kemungkinan adanya kecemburuan sosial antara warga asli dan pendatang di singkil sangat besar. semuanya itu disebabkan kebun sawit di singkil banyak dimiliki oleh para pendatang dari tapanuli yang kebanyakan dari mereka beragama journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 34 nazmudin kristen. adanya kecemburuan sosial pendatang-pribumi ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari program transmigrasi oleh pemerintah. begitu pula, dominasi gereja baru yang banyak bermunculan di papua tidak menutup kemungkinan bagi hadirnya konflik antar-agama di sana. oleh karena itu, indonesia tak kurang memiliki contoh-contoh keberhasilan penanganan konflik besar dan kecil—dari ambon, tolikara-papua, medanhingga sinkil-aceh atau daerah-daerah lainnya. namun papua mungkin adalah ujian terberat saat ini karena dipicu dari masalah kecil yaitu kelompok kristen merasa keberatan dengan pengeras suara. selain menangani kasus tolikara hingga tuntas, tugas membangun papua sebagai tanah damai—bagi seluruh masyarakat papua, terlepas dari latar belakang agamanya—merupakan salah satu tugas besar indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya. setiap dari kita berhutang untuk memberikan sumbangan ke arah itu. kembali ke kasus tolikara, sumbangan terkecil adalah tidak memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. yang diperlukan adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. khususnya untuk kita yang berada di luar papua, baik muslim ataupun kristen, klaim-klaim keagamaan yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus tolikara sebagai pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di papua. setelah itu, kita dapat membantu mendesak pemerintah untuk lebih serius berpikir—dan bertindak—mengenai papua, dengan satu catatan penting: papua telah kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus diprioritaskan. tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai negara kesatuan republik indonesia. dengan demikian, point terakhir ini mengingatkan kita akan pentingnya melakukan analisis yang melampaui kategori agama, bahkan dalam konflik-konflik agama. di indonesia yang, menurut konstitusi, mencita-citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama kelompok-kelompok agama tak berhenti pada agamanya sendiri. solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama. dalam pendekatan ini, di indonesia khususnya pada era reformasi ini dihimbau bagi daerah-daerah harus memiliki wadah organisasi untuk mengurusi lintas agama yang biasa disebut dengan forum komunikasi antarumat beragama (fkub) berdasarkan peraturan berasama menteri agama dan menteri dalam p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 35kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006. berdasarkan penelitian ternyata kasus tolikarapapua ini karena disebabkan di antaranya belum terbentuk fkub. sehingga ke depan segera dibentuk fkub tingkat provinsi maupun fkub tingkat kabupaten. 3) wadah musyawarah antar umat beragama dalam rangka pembentukan musyawarah antar umat beragama telah ditempuh berbagai cara secara bertahap, melalui pertemuan penjajakan, pertemuan kerja dan pertemuan pembentukan. pertemuan puncak untuk meresmikan pembentukan wadah musyawarah diadakan pada tanggal 30 juni 1980, dihadiri oleh wakilwakil dari majlis agama, departemen dalam negeri, departemen penerangan, gubernur ibu kota jakarta. d. perundang-undangan kerukunan dan toleransi antar umat beragama 1) pancasila dasar kerukunan hidup antar umat beragama dapat dilihat dalam pedoman penghayatan danpengalaman pancasila sebagai tertuang dalam tap mpr no.ii/ mpr/1978 (mui, 1988 : 33). selanjutnya dapat dilihat pula dalam butir-butir pengalaman sila pertama pancasila. 2) undang-undang dasar 1945 kerukunan dan toleransi antar umat beragama terdapat dalam pasal 29 ayat 1 dan 2, uud 1945. 3) garis-garis besar haluan negara (gbhn) kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam gbhn disebutkan dalam tap mpr no.ii/mpr/1988, bab iv huruf d, angka 1 ayat b dan ayat f. 4) undang-undang dan peraturan lain perundang-undangan yang berkaitan dengan kerukunan antar umat beragama adalah:uu no. 1/pnps/1965 tanggal 15 januari 1965, tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama. a) keputusan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no. 01/ber/ mdn-mag/1969 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya. b) instruksi menteri agama no. 4 tahun 1978 tentang kebijakan mengenai aliran kepercayaan. c) instruksi menteri agama no. 14 tahun 1978 tentang tindak lanjut journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 36 nazmudin d) keputusan menteri agama no. 70 tahun tahun 1978 tentang pedoman penyiar agama. e) keputusan menteri agama no. 77 tahun 1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di indonesia (mui, 1978 : 10). f) keputusan menteri agama dan menteri dalam negeri no. 1 tahun 1979 tentang tata cara penyiar agama dan bantuan luar negeri. g) instruksi menteri agama no. 8 tahun 1979 tentang pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran dalam islam yang bertentangan dengan ajaran islam. h) surat edaran menteri agama no. ma/432/1981 tentang penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. i) khusus di jawa barat ada instruksi gubernur no. 28 tahun 1990 tentang petunjuk prlaksanaan percepatan target tahun kedua pelita v pada bab iii, petunjuk khusus angka 11. e. sanksi pidana sanksi pidana berkaitan dengan masalah keagamaan terdapat dalam pasal 156, 156a dan 157.pasal 156 menyebutkan, bahwa barangsiapa menyatakan dimuka umum perasaan kebencian atau penghinaan terhadap agama(pemeluk agama) dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. selanjutnya pasal 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun mereka yang menunjukakan sikap permmusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama, atau dengan maksud agar supaya orang yidak menganut suatu agama pun. sedangkan pasal 157 menegaskan bahwa dipidana penjara selama-lamanya dua tahun enam bulan, barang siapa yang memperlihatkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap agama (pemeluk agama). f. keputusan dan fatwa mui keputusan dan fatwa mui berkaitan dengan hubungan antara agama di indonesia antara lain : 1) keputusan tanggal 15 januari 1976, yang antara lain menyebutkan; menyambut baik garis kebijakan yang telah dikemukakan oleh presiden soeharto, menhankam/ pangab, menteri agama, dan kaskopkamtib yang artinya menyatakan “tidak boleh menyebarkan agama kepada mereka yang sudah beragama lain”. 2) keputusan musyawarah nasional ii mui no. 05/kep/munas ii/1980 yang menegaskan : p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 37kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) a) perkawianan wanita muslimah dengan laki-laki non islam haram. b) perkawinan antara laki-laki muslim dan wanita kitabiyah, seelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, hukumnya haram. 3) keputusan komisi fatwa mui 7 maret 1981, tentang perayaan natal bersama yang menyatakan : a) perayaan natal di indonesia meskipun tujuan merayakan dan menghormai nabi isa as. akan tetapi natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas (pertimbangan nash quran dan hadist,pen) b) mengikuti upacara natal bersama bagi umat islam hukumnya haram. c) agar umat islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan allah swt. dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal. penutup 5.1 kesimpulan begitu urgennya hidup antar umat beragama adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dalam kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar agama menjadi pemersatu bangsa indonesia yang secara tidak langsung memberikan stabilitas dan kemajuan negara. cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama yang di dalamnya membahas tentang hubungan antar sesama umat beragama. selain itu ada beberapacara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama antara lain : 1. menhilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain. 2. jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan kesalahan tetapi salahkan orangnya. 3. biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan mengganggu umat lain yang sedang beribadah 4. hindari diskriminasi terhadap agama lain. di indonesia terdapat enam agama yang diakui pemerintah, yaitu : islam, kristenkhatolik, kreisten protestan, hindu,budha, dan konghucu. hubungan di antara pemeluk-pemeluk agama tersebut telah diatur dalam perundang-undangan antara lain sebagai berikut : 1. tidak ada paksaan dalam agama, setiap pemeluk agama bebas melaksanakan ibadat menurut agamanya masing-masing. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 38 nazmudin 2. penyebaran agama tidak dibenarkan kepada mereka yang sudah memeluk suatu agama. demikian pula penyebaran agama tidak dibenarkan dengan cara intimidasi, bujukan, rayuan, pemberian materi,penyebaran pamphlet, bulletin, majalah atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah. 3. pendirian rumah ibadat harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk yang berlaku, antara lain disesuaikan dengan kebutuhan penduduk domisili setempat, dengan jumlah pemeluk agama minimal 40 kepala keluarga. 4. bantuan luar negeri yang berkaitan dengan pembinaaan dan penyiaran agama, hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan menteri agama. 5. peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan, kehadiran pemeluk agama lain tidak boleh bertentangan ajaran agamanya. 6. setiap orang yang mengeluarkan perasaan atau melakukan penghinaan, kebencian, permusuhan atau menodai agama atau pemeluk agama tertentu diancam dengan pidana penjara. 5.2 rekomendasi oleh karena itu, kalau setiap pemeluk agama konsekwen berpegangan teguh melaksanakan ajaran agama dengan baik, serta menaati perundang-undangan yang berlaku, maka akan tercipta kerukunan yang baik antara pemeluk umat baragama, serta akan terhindar dari pertentangan, perselisihan atau bentrokan yang dapat mengganggu persatuan bangsa dan stabilitas nasional. untuk menumbuhkan, memelihara dan mmbina kerukunan hidup dan toleransi antar umat beragama di indonesia, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. setiap pemeluk agama agar memahami secara benar, taat dan patuh menjalankan syari’at agamanya. 2. hindarkan adanya prasangka yang buruk, baik di antara intern umat beragama, di antara pemeluk-pemeluk agama atau di antara pemeluk umat peragama dan pemerintah. 3. pemerintah hendaknya benar-benar mengayomi semua pemeluk agama/umat beragama secara adil. adil bukan dalam arti menyamaratakan, tapi dalam arti memberikan kedudukan, bagian atau fasilitas serta perlakuan sesuai dengan kenyataan dan kondisi yang ada. 4. setiap pemimpin, tokoh masyarakat, tokoh agama,penegak hukum, hendaklah memberikan contoh suri teladan yang baik kepada masyarakat, agar mereka menaruh kepercayaan dan menaati kepemimpinannya. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 39kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun keutuhan negara kesatuan republik indonesia (nkri) kemudian, saran yang dapat diberikan untuk masyarakat di indonesia supaya menanamkan sejak dini pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama agar terciptanya hidup rukun antar sesama sehingga masyarakat merasa aman, nyaman, dan sejahtera. referensi ali, h. mukti. 1975. kehidupan beragama dalam proses pembangunan bangsa. bandung: proyek pembinaan mental agama. hasyim, umar. 1970. toleransi dan kemerdekaan beragama dalam islam sebagai dasar menuju dialog dan kerukunan antar agama. surabaya : pt. bina ilmu. mui.tap mpr no. ii/mpr/1978tentang garis-garis besar haluan negara. jakarta. 1988. proyek pembinaan kerukunanan hidup beragama. 1979. pedoman dasar kerukunan hidup beragama. jakarta: departemen agama. rahmat, jalaludin. 2001. psikologi komunikasi. bandung: remaja rosdakarya. ritzer george dan douglas j. goodman. 2003. sociological theory. new jersey: mcgraw hill education. jurnal, majalah dan website harun, lukman. 1991. jurus untuk hidup rukun. panjimas. jakarta. mui.1989. kumpulan fatwa mui.jakarta : pustaka panjimas. usman, suparman. 1991.”kerukunan dan toleransi antar umat beragama menurut islam dan perundang-undangan di indonesia”. dalam al-qalam: majalah ilmiah bidang keagamaan dan kemasyarakatan. serang : penerbit saudara serang. usman, suparman. 2007. “kerukunan suatu kebutuhan dan keniscayaan “. dalam dinamika umat.banten: kanwil depag provinsi banten. edisi 51/vi/2007. www.academia.edu 2 (mitologi yunani) 1 34 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis (magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 35 46 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 (1government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 47 61 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 (1magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 63 78 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 (1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 91 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 (1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  47 citation : angriawan, ferry dan dyah mutiarin. 2019. “efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, 47-61. journal of government and civil society vol. 3, no. 1, april 2019, pp. 47-61 doi: 10.31000/jgcs.v3i1.1036 received 10 october 2018  revised 8 april 2019  accepted 22 april 2019 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: ferryangriawanpku@gmail.com 2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: dyahmutiarin@umy.ac.id abstrak penelitian ini dilakukan untuk melihat sampai sejauhmana efektivitas pengawasan dari bpom di pekanbaru terhadap peredaran makanan yang di jual oleh pedagang umkm di kota pekanbaru. perkembangan makanan import ilegal di kota pekanbaru itu bisa dikatakan banyak yang beredar tanpa memiliki izin edar oleh bpom, sebab letak kota pekanbaru juga begitu strategis yang memungkinkan untuk masuknya makanan tersebut. apalagi disana ada pusat perbelanjaan yang terletak ditepian sungai siak yang memudahkan barang makanan dari malaysia, singapura dan china. untuk itu di perlukan pengawasan yang begitu ketat dari bpom di pekanbaru. metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, instrument penelitiannya menggunakan cara wawancara kepada pegawai bpom dan instansi terkait, observasi kelapangan, dan dokumentasi seperti melihat hasil-hasil penemuan dan mendengar cerita dari masyarakat. hasil penelitian menunjukan belum begitu berjalan dengan efektif pengawasan dari bpom di pekanbaru, hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah sarana dan prasarana, masih kurangnya tenaga ahli didalam melakukan pengawasan. sehingga membuat peredaran makanan berkembang, dikarenakan kekurangan jumlah sumber daya manusia dari bpom di pekanbaru dan kurangnya menjalin kerjasama dengan instansi terkait didalamnya. kata kunci: efektivitas, pengawasan, bpom abstract this research was conducted to see how far the effectiveness of bpom’s supervision in pekanbaru on the circulation of food sold by umkm traders in the city of pekanbaru. the development of illegally imported food in the city of pekanbaru can be said that many are circulating without having a circulation permit by bpom, because the location of pekanbaru city is also so strategic that it allows for the entry of these foods. moreover, there is a shopping center located on the banks of the siak river which facilitates food items from malaysia, singapore and china. for this reason, it needs strict supervision from bpom in pekanbaru. the method used to answer the problems in this study uses descriptive qualitative methods, the research instrument uses interview methods to bpom employees and related agencies, field observations, and documentation such as seeing the findings and hearing stories from the community. the results of the study showed that the supervision of bpom in pekanbaru was not yet effective, this was due to a lack of facilities and infrastructure, there was still a lack of experts in supervising. so as to make food circulation grow, due to a shortage of human resources from bpom in pekanbaru and a lack of cooperation with relevant agencies in it. keywords: effectiveness, supervision, bpom journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 48 ferry angriawan dan dyah mutiarin pendahuluan perdagangan merupakan salah satu kegiatan yang memiliki peranan yang sangat strategis. terutama dengan kemajuannya tingkat industry pada saat ini yang dianggap sangat pesat sehingga nantinya bisa menimbulkan terjadinya kegiatan pasar bebas, yang bisa menimbulkan persaingan antara produsen-produsen semakin ketat yang ingin menarik hati konsumen agar menggunakan barang produksi yang ditawarkan. berdasarkan teknologi yang makin maju, pentingnya upaya pemerintah dalam melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilakukan dengan cara mengatur, mengawasi, dan mengendalikan produksi, distribusi, serta peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya (syafrina, 2016). oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk melindungi pemenuhan konsumsi pangan yang aman, bermutu dan bergizi seimbang (asri, 2016; nurcahyo, 2018; tanor, 2017). berdasarkan undang-undang no. 18 tahun 2012 tentang pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. untuk itu perlunya pengawasan pangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, pengolahan dan pendistribusian telah memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan, sehingga mendapatkan izin edar dan telah diberi label dengan jujur dan tepat. produk olahan impor wajib mendapatkan izin masuk dan beredar di indonesia (nurhayati, 2008). dengan melihat seperti kasus produk pangan impor yang bisa beredar secara ilegal yang ada di provinsi riau terutama kebanyakan beredarnya di kota pekanbaru yaitu disuatu tempat perbelanjaan di kota pekanbaru yang bernama pasar bawah dan masih banyak juga dijual oleh pedagang-pedagang umkm yang ada di kota pekanbaru. apalagi letak kota pekanbaru ini sangat strategis untuk masuknya barang makanan import tersebut secara ilegal. produk yang banyak beredar di kota pekanbaru ini berasal dari negara-negara seperti malaysia, singapura dan china, sehingga disini diperlukan pengawasan dan pemeriksaan lebih lanjut oleh bpom di pekanbaru yang sesuai dengan peraturan presiden nomor 80 tahun 2017. bahkan jika diliat dari sample makanan tersebut ada yang bungkus dari makanan tersebut bertulisan china yang susah dimengerti oleh masyarakat provinsi riau terutama masyarakat kota pekanbaru dan juga ditemukan makanan yang telah melewati masa kadaluarsa pada makanan import tersebut. ditambah lagi peredaran makanan import p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 49efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ini kebanyakan beredar dibulan akan memasukin bulan ramadhan dan hari raya idul fitri. berdasarkan tabel 1.1 menunjukan hasil temuan pangan import dari bpom di pekanbaru yang ditemukan dalam 3 tahun terakhir belangan ini yaitu sebagai berikut : tabel 1. temuan pangan import no tahun sarana tms pj item nilai 1 2015 11 3 26 rp. 58.885.000 2 2016 20 1 34 rp. 6.619.484.000 3 2017 7 4 156 rp. 724.062.000 jumlah 56 8 216 sumber: bpom di pekanbaru berdasarkan temuan yang tertera pada tabel diatas, temuan terbanyak itu terdapat pada tahun 2017 dengan jumlah item sebanyak 156 dengan jumlah nilai yang tidak begitu banyak dibandingkan pada tahun 2016 dengan jumlah temuan item hanya 34 tetapi jumlah nilai yang dihasilkan sebesar rp.6.619.484.000 dan yang terendah temuan itu pada tahun 2015 dengan jumlah item 26 dan dengan jumlah nilai yang begitu rendah dibandingkan 2 tahun setelahnya. dengan adanya permasalahan ini, bpom di pekanbaru rencananya setiap tahunnya akan membandingkan kinerjanya dengan bpom di mataram. diambilnya perbandingan dengan bpom di mataram ini karena bpom di mataram memiliki hasil kinerja yang baik setiap tahunnya. dengan demikian, dapat dilakukan pengawasan yang lebih efektif lagi oleh bpom di pekanbaru untuk tercapainya program kerja yang telah disusun oleh bpom di pekanbaru agar sistem pengawasan yang efektif bisa dicapai. sehingga peredaran makanan import ilegal yang dijual belikan oleh pedagang umkm di kota pekanbaru bisa ditertibkan dengan baik agar terjaminnya kesehatan bagi masyarakat. berdasarkan latar belakang diatas, tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) bagaimana efektivitas pengawasan bpom kepada pedagang umkm terhadap bahayanya barang makanan yang diimport secara ilegal ini terhadap masyarakat; (2) serta apa saja faktor-faktor penghambat efektivitas pengawasan bpom terhadap makanan yang masuk secara ilegal yang diimpor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 50 ferry angriawan dan dyah mutiarin ada berbagai penelitian terdahulu yang menjelaskan mengenai pengawasan makanan import ilegal ini terhadap masyarakat. hasil dari penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa diperlukan pengawasan oleh bpom dalam mengawasi peredaran makanan impor dan juga memberi hukuman yang telah sesuai dengan undang-undang kepada pelaku usaha ( febiola, 2017; erhian, 2013; dan jumpa malum simarmata, 2016). kerangka teori efektivitas pengawasan pengawasan yang efektif diperlukan suatu cara agar semua kegiatan itu berjalan dengan apa yang menjadi tujuan organisasi. menurut effendy (2003) efektivitas adalah komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. sehingga, menurut emerson dalam handayaningrat (1994:16) yang menyatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. sedangkan georgopolous dan tannembaum (1985:50), mengemukakan efektivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan, dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar sasaran. dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuan. menurut handoko (2009: 373), untuk menjadi efekitf, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya 1) mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, 2) tepat waktu, 3) dengan biaya yang efektif, 4) tepat-akurat, dan 5) dapat diterima oleh yang bersangkutan. semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif pengawasan. karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dapat lebih diperinci sebagai berikut : 1. akurat yaitu informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. data yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada. 2. tepat waktu, informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera. 3. objektif dan menyeluruh. informasi harus mudah dipahami dan bersifat obyektif serta lengkap. 4. terpusat pada titik pengawasan strategis. sistem pengawasan harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang di mana penyimpangan-penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang akan mengakibatkan kerusakan paling fatal. 5. realistis secara ekonomis. biaya pelaksanaan sistem pengawasan harus lebih rendah, atau paling tidak sama, dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 51efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru 6. realistis secara organisasional. sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi. 7. terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. informasi pengawasan harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena (1) setiap tahap dari proses pekerjaan dapat mempengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi, dan (2) informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang melakukannya. 8. fleksibel. pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari lingkungan. 9. bersifat sebagai petunjuk dan operasional. sistem pengawasan efektif harus menunjukkan, baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil. 10.diterima para anggota organisasi. sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi. sehingga jika dapat terpenuhi semua kriteria yang disebutkan handoko (2009) diatas, itu bisa membuat sistem pengawasan menjadi lebih efektif. dan bisa dilihat dari beberrapa kinerja organisasi yang lain apabila diliat dari setiap organisasi apakah sudah sistem pengawasannya jika dilhat dari kereteria diatas. faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan, berikut akan dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut : menurut mulyadi (2007: 770), mengemukakan beberapa faktorfaktor yang mempengaruhi pengawasan adalah : 1. perubahan yang selalu terjadi baik dari luar maupun dari dalam organisasi. 2. kompleksitas organisasi memerlukan pengawasan yang formal karena adanya desentralisasi kekuasaan. 3. kesalahan/penyimpangan yang dilakukan anggota organisasi. sistem pengawasan bpom dapat dilakukan dengan 7 kategari antara lain regulasi, standarisasi, registrasi, inspeksi, sampling dan public warning dan layanan konsumen (ratih anggaraini giri putri, 2019). balai pengawas obat dan makanan (bpom) melakukan pengawasan terhadap peredaran produk makanan dan minuman kemasan melalui pengawasan pre-market dan post-market (sulistiawati, 2017). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 52 ferry angriawan dan dyah mutiarin peran pemerintah keberadaan pemerintah dan kehadiran pemerintah merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan masyarakat, baik dalam suatu kelompok maupun sebagai individu. kehadiran pemerintah kebijakan yang buruk maka akan berakibat sebaliknya. oleh karena itu peran pemerintah mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan masyarakat. ( ike andini, 2013). peran pemerintah itu sendiri sebagai lembaga yang berhak membuat dan melaksanakan kebijakan. kebijakan yang baik maka akan membawa akibat yang baik, sedangkan kebijakan yang buruk maka akan berakibat sebaliknya. ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut (irfan islamy, 2009) : 1. adanya pengaruh tekanan dari luar, 2. adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme), 3. adanya pengaruh sifat-sifat pribadi, 4. adanya pengaruh dari kelompok luar, dan 5. adanya pengaruh keadaan masa lalu. jadi, dengan adanya suatu kebijaksanaan publik adalah : (1) kebijaksanaan publik untuk dilaksanakan dalam bentuk riil, bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakasanaan publik untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan didasarkan pada keputusan publik itu sendiri ( herbani pasolong, 2010). organisasi publik setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin selalu dicapai atau bisa dikatakan pembuatan organisasi hanyalah wadah untuk mencapai tujuan tertentu. unsur organisasi meliputi : struktur organisasi, anggota organisasi, interaksi yang terpolakan hingga terjadi koordinasi yang baik, serta tujuan yang ingin diwujudkan oleh orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi. (miftah : 2008). organisasi publik dikembangkan dari teori organisasi, oleh karena itu untuk memahami organisasi publik dapat ditinjau dari sudut pandang teori organisasi. menurut fahmi (2013:1) organisasi publik merupakan sebuah wadah yang memiliki multi peran dan didirikan dengan tujuan mampu memberikan serta mewujudkan keinginan berbagai pihak, dan tidak terkecuali kepuasan bagi pemiliknya. sedangkan menurut stephen p. robbins dalam fahmi (2013:2) organisasi publik ialah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau sekelompok tujuan. pengertian organisasi publik berkenaan dengan proses pengorganisasian. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 53efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru perry and rainey (1988) membedakan organisasi publik dan privat berdasarkan tiga karakteristik yaitu kepemilikan, pengaruhnya pada masyarakat secara langsung, dan keterbukaan pada pengaruh dari luar. tetapi balfour dan wechsler (1996) merumuskan bahwa komitmen organisasional di organisasi publik terdiri dari : 1. identifikasi; 2. afiliasi; dan 3. pertukaran. publik governance menurut dwi wahyuningsih (2012;1) public governance adalah suatu konsep yang merepresentasikan kemampuan pemerintah membantu kemampuan warga masyarakatnya secara inklusif, tanpa diskriminasi, memenuhi kepuasan individual dan kemakmuran material. kemudian juga tentang public governance merujuk pada seperangkat nilai, institusi, aturan, kepercayaan dan teknologi melalui mana pemerintah dan masyarakat mengelola urusan publik untuk mencapai keteraturan sosial yang diharapkan, sesuai konstitusi negara. public governance mengandung sejumlah nilai etis, seperti kewarganegaraan (citizenship), perwakilan, akuntabilitas, persamaan, dan keadilan, serta memadukan nilai-nilai pasar seperti utilitas, kompetisi, efisiensi, kemitraan, dan profitabilitas.public governance melibatkan 3 aktor pelaku utama, yaitu negara atau pemerintah (states), sektor swasta atau dunia usaha (private sector), dan masyarakat (society), setiap pelaku dalam public governance memiliki peran dan fungsinya masing-masing. menurut ( ngobo dan fouda, 2012) public governance yang baik mengarah pada lingkungan yang transparan untuk melakukan urusan publik, menjadi promotor kebijakan pasar bebas, keadilan, dan peraturan hukum. berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan/administrasi/publik governance yang baik dari segi hukum dapat terbagi 2 golongan atau kategori : (1). prinsip-prinsip yang menyangkut penggunaan prosedur; (2). prinsip-prinsip yang menyangkut kebenaran fakta-fakta. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode penelitian deskripif kualitatif, yakni menggambarkan atau menjelaskan permasalahan yang ada dengan memberikan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan. penelitian ini juga memusatkan pada permasalahan-permasalahan yang ada pada saat penelitian dilakukan (pada saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual. objek penelitian pada penelitian ini yaitu kepala bidang pemeriksaan dan penindakan, kepalasa seksi farmamin dinas kesehatan provinsi riau, seksi analisis dan informasi pasar dinas perdagangan, koperasi dan ukm provinsi riau, subbit 1 reskrimsus polda riau, dan pedagang umkm. datadata penelitian ini diperoleh melalui : (1) wawancara, untuk mendapatkan data serta bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, (2) observasi, melihat langsung journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 54 ferry angriawan dan dyah mutiarin pedagang yang berjualan makanan import di pusat perbelanjaan, dan (3) dokumentasi, mengumpulkan dokumen seperti catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan dan kebijakan. untuk menganalisis dari hasil wawancara dari penelitian ini, penelitian ini menggunakan teknik analisis yang di kemukakan oleh miles dan huberman (1984) dalam (sugiyono 2017:246). meraka mengatakan ada 3 cara aktivitas dalam analisis data yaitu : (1) data reduction yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya; (2) data display yaitu penyajian daya yang bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya; dan (3) conclusion drawing/verification yaitu temuan yang baru sebelumya belum pernah ada. hasil dan pembahasan efektivitas pengawasan mengawasi kegiatan yang benar pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, memalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. bahkan melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. pengawasan juga dapat mendektesi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. dalam kaitannya dengan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh bpom di pekanbaru yang mengawasi kegiatan peredaran makanan dan pengujian kelayakan makanan yang akan diedarkan itu terdapat pada keputusan presiden nomor 80 tahun 2017 tentang bpom. sebagai salah satu organisasi pemerintah yang mengawasi peredaran makanan dan melihat mutu makanan baik makanan dalam maupun makanan luar, bpom di pekanbaru tentunya memiliki kekuasaan dan wewenang untuk hal tersebut. apalagi makanan import yang masuk di kota pekanbaru yang dibeli dijual oleh pedagang umkm di kota pekanbaru itu memerlukan pengawasan yang extra oleh bpom di pekanbaru. berdasarkan hasil capaian kerja bpom tahun 2017 untuk kinerja persentase makanan yang memenuhi syarat adalah 82,67%. hasil ini apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2015 sebesar 94,09% dan capaian kerja tahun 2016 sebesar 85,78% menunjukan terjadinya penurunan capaian kinerja dalam kriteria cukup. dengan didapatkannya data seperti ini, buktinya bahwa kinerja dari bpom di pekanbaru itu masih belum bisa dikatakan efektif, dan ini diperlukan perubahan target pada tahun 2019 agar kinerja dari bpom di pekanbaru bisa menjadi efektif. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 55efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru serta juga dilihat dari kerjasama bpom di pekanbaru dengan instansi terkait seperti dinas kesehatan provinsi riau, dinas perdagangan, koperasi dan ukm dan subbit 1 reskrimsus polda riau masih kurang dalam melakukan kerjasama. bpom di pekanbaru dalam 1 tahun belakangan hanya 2 kali turun kelapangan dengan dinas perdagangan, koperasi dan ukm provinsi riau, itu ketika turun kelapangan hanya ketika dikabari oleh bpom di pekanbaru, dan dengan dinas kesehatan provinsi riau hanya 1 kali sama juga dengan dinas perdagangan, koperasi dan ukm provinsi riau. dengan hasil ini bisa dikatakan kerja dalam pengawasan makanan tersebut bisa dikatakan menjadi kurang efektif apabila instansi lain kurang diajak ketika turun kelapangan. kesimpulan hasil wawancara dengan para narasumber adalah bahwa bpom di pekanbaru lebih harus mencari kelemahan apa yang didapatkan dilapangan, sebab ada beberapa sistem pengawasan seperti meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait agar lebih ditingkatkan dan memberitahu kepada pelaku usaha dalam mengolah makanan yang baik dan memberitahu juga bahayanya makanan import ilegal tersebut bagi masyarakat. untuk itu jika dijalankan cara seperti ini, maka bisa jadi kinerja dari bpom di pekanabaru ini berjalan dengan efektif, dan tidak ada jumlah makanan yang tersebar yang memiliki bahan berbahaya. tepat waktu tepat waktu adalah informasi harus dikumpulkan disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera. dalam kaitannya dengan tepat waktu seperti penyampaian hasil pelaporan informasi yang didapatkan oleh bpom dari masyarakat harus diselesaikan dengan cepat dan tidak memakan waktu yang cukup lama untuk menganalisis kasusnya. dan juga bpom ketika turun kelapangan harus lebih sering lagi sebab letak kota pekanbaru itu terletak dengan posisi yang strategis dan juga terdapat pusat perbelanjaan yang besar disana sehingga para pedagang umkm tersebut untuk menarik masyarakat agar berbelanja ditoko mereka dan tentunya mencari cara lain agar masyarakat membeli barang makanan yang mereka jual. dilihat dari ketepatan waktu bpom di pekanbaru pemberian laporan dari bpom di pekanbaru terhadap perencanaan, penganggaran dan evaluasi itu dilaporkan dengan cepat dan efektif. buktinya jika dilihat dari ketepatan waktu pelaporan ini bpom di pekanbaru dikategorikan dengan hasil yang memuaskan. itu artinya pada indikator ketepatan waktu pelaporan ini berjalan dengan efektif. agar ketepatan pelaporan dokumen ini berjalan dengan tetap efektif, pimpinan dari bpom di pekanbaru seharusnya memonitor dan evaluasi bulanan terhadap kegiatan berjalan sehingga dapat diantisipasi nantiny jika kendala/ masalah yang dapat memperlambat pelaksanaan kegiatan pelaporan. supaya data-data ketika dilapangan mengawasi pedagang umkm yang journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 56 ferry angriawan dan dyah mutiarin mengimpor makanan secara ilegal bisa tetap tercatat dengan baik dan bisa diantisipasi apa yang perlu dilakukan oleh bpom di pekanbaru untuk kedepannya. bpom di pekanbaru juga melakukan kerjasama dengan subbit 1 reskrimsus polda riau menangani makanan import ilegal ini, mereka melakukan kerjanya dengan cepat dan tepat. apabila mereka mendapatkan data bagi yang kedapatan makanan import ilegal ini di kota pekanbaru, mereka langsung cepat turun kelapangan, sehingga dengan ini bpom di pekanbaru jika dilihat dari perencanaan, penganggaran dan evaluasi bisa bernilai baik, mereka bekerja cepat dan dananya pun telah dianggarkan. tetapi ketika ditanyai masalah data penemuan di lapangan kepada subbit 1 reskrimsus polda riau, tidak ada. mereka beralasan bahwa data tersebut tercecer atau salah letak dan tidak ditemui kembali. kesimpulan dari indikator tepat waktu ini, kinerja dari bpom di pekanbaru ini dalam mengawasi makanan import ilegal yang dijual oleh pedagang umkm di kota pekanbaru itu sudah berjalan dengan efektif. mereka melaporkan data dengan cepat dan melakukan perencanaan untuk kedepannya cepat sehingga menghasilkan kriteria yang sangat memuaskan dengan tercapainya semua pencapaian tugas bpom di pekanbaru. hal ini harus terus dipertahankan agar kedepannya tetap berjalan seperti ini, sehingga pemimpin bpom di pekanbaru harus terus memonitor dan mengevaluasi kembali kinerja dari pegawainya. biaya yang efektif biaya pelaksaan pengawasan itu harus lebih rendah, atau paling tidak sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut. berkenaan dengan pengawasan makanan import ilegal yang diawasi oleh bpom, biaya pengawasan yang dikeluarkan untuk pengawasan di lapangan harus sesuai dengan ketetapan dan undang-undang yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan presiden nomor 80 tahun 2017 tentang bpom yang terletak pada pasal 52 tentang pendanaan untuk bpom, yang mana pendanaan ini dibebankan kepada anggaran pendapatan atau belanja negara. biaya diperlukan untuk mendukung kegiatan pengawasan, terutama pengawasan secara langsung sudah menjadi rahasia umum bahwa kejelasan pengurusan administrasi lembaga pemerintah belum sepenuhnya berjalan dengan baik birokrasi yang berbelit-belit menyebabkan indikasi adanya praktek korupsi dalam sistem administrasi. jika dilihat dari penggunaan dana oleh bpom di pekanbaru dalam 2 tahun belakangan ini, realisasi penyerapan anggaran untuk tahun anggaran 2017 sebesar rp. 35.513.694.370 atau 90.98%, besaran anggaran ini bila dibandingkan dengan realisasi penyerapan anggaran tahun 2016 sebesar rp. 36.540.243.365 atau 91,37%. itu artinya terjadi penurunan persentase penyerapan anggaran sebesar 0,39%, dan bisa dikatakan bpom p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 57efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru di pekanbaru menggunakan biaya disetiap kegiatannya cukup baik, terjadi penurunan dari tahun 2016 dibandingkan tahun 2017. walaupun dalam penggunaan dana bpom di pekanbaru telah baik, tetapi ada beberapa rencana internal yang belum berjalan secara optimal. hal ini disebabkan karena masih adanya perencanaan yang tidak sesuai dengan realisasi, pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan pda (plan of action). sedangkan secara eksternal adanya penghematan anggaran da nada beberapa kegiatan terpadu pusat bpom yang tidak terlaksana, adanya lelang terlambat dilaksanakan dan pembelian lewat e-catalog yang sering bermasalah. jadi, jika dilihat dari indikator biaya yang efektif, penggunaan biaya dari bpom di pekanbaru ini sudah berjalan dengan efektif. tetapi hanya saja ada beberapa sarana dan prasarana yang belum terpenuhi dan masih adanya beberapa rencana dari renstra yang belum berjalan dengan optimal. tepat akurat akurat adalah informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. data yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada. yang artinya bpom di pekanbaru harus mengkoreksi kembali pengaduan dari masyarakat mengenai adanya makanan import ilegal yang dijual oleh pedagang umkm atau pun obat-obatan yang tidak memiliki izin edar. sehingga jika data tersebut benar adanya baru bisa bpom di pekanbaru mengambil tindakan untuk turun kelapangan. sebelumnya bpom di pekanbaru juga telah mensosialisasikan pemberian informasi jika adanya makanan import ilegal atau obat-obatan yang tidak memiliki izin edar beredar di masyarakat bisa memberikan informasinya melalui media sosial. jika dilihat dari tingkat jumlah layanan publik adanya kenaikan capaian kerja yang tidak normal, sehingga membuat bpom di pekanbaru lebih memanfaatkan kecanggihan teknologi sekarang ini menggunakan media sosial. jika dilihat dengan kesimpulan dan hasil wawancara untuk indikator ini, penerimaan yang akurat bisa dikatakan baik yang diterima oleh bpom di pekanbaru secara langsung, tetapi dengan kemajuan teknologi sekarang ini, diharapkan masyarakat lebih pandai menggunakan media sosial untuk media pengaduan ketika menjumpai makanan import ilegal yang dijual oleh pedagang umkm agar bpom di pekanbaru bisa segera cepat turun kelokasi yang ditujukan. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 58 ferry angriawan dan dyah mutiarin diterima yang bersangkutan tentang indikator dapat diterima yang bersangkutan, yang bersangkutan disini adalah anggota bpom di pekanbaru mengenai tata cara pengawasan yang baik, yaitu adalah sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi. disini peran dari pimpinan bpom di pekanbaru sangan dibutuhkan, sebab harus melihat langsung kinerja dari pegawainya sendiri dan melihat hasil laporan kerja mereka. apabila ada salah satu pegawai dari bpom di pekanbaru yang masih kurang mengerti dengan beban kerjanya, maka hal tersebut harus diberikan pelatihan khusus agar sistem pengawasan bisa berjalan dengan lancar. ditambah lagi juga masih kurangnya sarana dan prasarana dari bpom di pekanbaru untuk melakukan pengawasan, karena pengawasan terhadap makanan import ilegal ini yang dijual oleh pedagang umkm kota pekanbaru harus diawasi dengan ketat. sebab ditakutkan makanan ini bisa masuk melalui pelabuhan-pelabuhan tikus untuk barang makanan tersebut masuk. jika terjadinya kekurangan dalam sarana dan prasarana ini tidak dipenuhi dengan cepat, ditakutkan peredaran makanan import ilegal ini makin banyak dijual oleh pedagang umkm di kota pekanbaru. karena dilihat dari nilai sakip bpom di pekanbaru yang bersumber dari laporan kerja bpom di pekanbaru, itu masih berada di kategori cukup baik, sehingga nantinya harus lebih ditingkatkan lagi kinerjanya untuk kedepan agar bisa mencapai capaian kerja yang efektif. faktor-faktor penghambat perubahan yang selalu terjadi dari dalam maupun luar organisasi pengawasan yang dilakukan oleh bpom di pekanbaru belum mencapai kata efektif, itu karena perubahan-perubahan yang terjadi didalam internal bpom di pekanbaru sendiri. misalnya dengan perubahan pada pergantian pimpinan bpom di pekanbaru, bisa saja peraturan yang ditelah dibentuk oleh pimpinan bpom sebelumnya tidak lagi dijalankan, sebab perbedaan prinsip dari setiap pemimpin dalam memimpin suatu organisasi. maka dari itu perubahan dari setiap kepemimpinan itu begitu mempengaruhi sistem pengawasan dari bpom di pekanbaru itu sendiri, dan juga bisa saja data-data yang mereka telah ada karena pergantian pemimpin ini bisa hilang atau tercecer yang tidak dijumpai lagi. sedangkan dari eksternal bpom di pekanbaru itu sendiri para pedagang umkm di kota pekanbaru telah cerdik dalam masalah perdagangan ini. mereka mengganti jenis makanan tersebut dengan kemasan lain dengan alasan agar mereka bebas dari pantauan bpom di pekanbaru, karena mereka pernah kedapatan menjual makanan import ilegal. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 59efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru kompleksitas organisasi yang formal karena desentralisasi kekuasaan semakin besar sebuah organisasi semakin memerlukan pengawasan yang lebih formal dan hati-hati. pengawasan harus dilakukan oleh bpom di pekanbaru harus sangat lebih diperketat lagi. sebab perkembangan makanan import ilegal itu ketika dilapangan banyak berkembang dan masuknya pun begitu mudah ke kota pekanbaru. meskipun bpom di pekanbaru telah melakukan kerjasama dengan dinas-dinas terkait didalamnya, tentunya itu belum cukup untuk mengawasi peredaran makanan import ilegal di lingkungan masyarakat. dilihat dari indikator tepat waktu dan akurat, itu masih bisa dikatakan agak sedikit belum efektif, meskipun dalam pelaporan kinerjanya sudah efektif, tetapi ketika dilihat kelapangan belum berjalan dengan efektif. karena mereka sedikit lama untuk turun kelapangan melihat langsung makanan import ilegal tersebut. hal ini membuat para pedagang umkm tersebut dapat menyembunyikan barangnya terlebih dahulu agar ketika bpom di pekanbaru turun kelapangan tidak menjumpai adanya informasi tersebut. kesalahan/penyimpangan yang dilakukan anggota organisasi sistem pengawasan memungkinkan setiap manajer/pimpinan suatu intansi organisasi mendeteksi kesalahan-kesalahan yang ada sebelum menjadi kritis. dengan kata lain bahwa setiap pemimpin harus lebih teliti melihat tingkah laku dari para pegawainya, ditakutkan para pegawai ini nantinya melakukan perbuatan menyimpang yang menyalahi aturan yang bisa melanggar hukum. sebab jika dilihat dilapangan, ada beberapa pegawai dari bpom di pekanbaru yang melakukan tindakan menyimpang ini, yang bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam mengamankan kasus makanan import ilegal ini. mereka melakukan ini untuk mengamankan para pedagang umkm tersebut agar tidak terjerat hukum yang berlaku terhadap mereka mengimport barang makanan ilegal. hal ini dikarenakan para pedagang umkm tersebut ada yang masih memiliki hubungan darah atau keluarga dan juga tetangga sebelah rumah. dengan ini sangat mencoreng sekali perilaku yang tidak mencerminkan sikap baik dalam bekerja, tetapi ini terjadi sudah beberapa tahun belakangan, dan sekarang belum dijumpai kembali mengenai permasalhan ini. tetapi jika diselidiki lebih dalam lagi hal serupa pun bisa saja ditemukan kembali. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 60 ferry angriawan dan dyah mutiarin penutup kesimpulan peredaran makanan import ilegal yang dijual oleh pedagang umkm di kota pekanbaru harus dapat diselesaikan dengan baik oleh bpom di kota pekanbaru. jika dilihat dari beberapa indikator tadi, sebenarnya masih belum berjalannya sistem pengawasan yang dikatakan efektif. sebab masih ada banyak kekurangan yang dilakukan oleh bpom di pekanbaru, seperti halnya kurang lengkapnya sarana dan prasarana, kurangnya sdm yang berkualitas dan agak lambatnya mereka dalam menangani pengaduan dari masyarakat. kasus ini jika dibiarkan, maka akan menjadi sangat berbahaya bagi kesehatan anakanak di kota pekanbaru, karena makanan tersebut kebanyakan yang menyukainya adalah anak-anak. dan juga harag dari makanan tersebut pun bisa didapatkan dengan hargayang murah tetapi dengan tidak mengetahui kandungan apa yang terdapat didalam makanan tersebut. dan juga agar meningkatkan kerjasama dengan dinas-dinas terkait didalamnya agar masalah ini dapat cepat terselesaikan. saran 1. meningkatkan kerjasama dengan dinas-dinas terkait mengenai makanan import ilegal ini, 2. meningkatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, 3. menambah tenaga kerja yang berkualitas agar bisa mengemban beban kerja dengan baik. referensi asri. (2016). legal protection to the consumer on non-halal. journal ius, iv, agustus. dwi wahyuningsih, rutiana, dkk. 2012. public governance : pemerintah dan masyarakat saling menguatkan dalam kepedulian sinergitas. surakarta. uns press. effendy, onong uchjana. 2003. ilmu, teori, dan filsafat komunikasi. bandung:pt. citra aditya bakti fahmi, irham.2013. perilaku organisasi. teori, aplikasi dan kasus. bandung: alfabeta. handayaningrat, soewarno. (1994). pengantar studi ilmu administrasi dan manajemen. jakarta : cv.haji masagung. handoko, t. hani, 2009 “manajemen sumber daya manusaia”, cetakan ix jilid i bpfe ugm, yogyakarta keputusan presiden nomor 80 tahun 2017 tentang tentang badan pom. miftah, thoha, 2008, birokrasi pemerintahan indonesia di era reformasi, kencana pranada media group, jakarta. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 61efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru nurcahyo, e. (2018). pengaturan dan pengawasan produk pangan olahan kemasan. jurnal magister hukum udayana, volume 7 n, 402–417. https://doi.org/10.24843/ jmhu.2018.v07.i03.p nurhayati, i. (2008). pengawasan makanan terhadap peredaran produk pangan olahan impor. pasolong, harbani. 2010. teori administrasi publik. bandung: alfabeta. ratih anggaraini giri putri, p. (2019). pengawasan terhadap peredaran makanan impor yang tidak bersertifikasi halal oleh badan pengawas obat dan makanan (bpom). kertha semaya, [s.l.], p. 1-18, vol. 7 nom, 1–18. retrieved from https://ojs.unud.ac.id/ index.php/kerthasemaya/article/view/46480 sulistiawati, h. (2017). strategi pengawasan balai besar pengawas obat dan makanan (bbpom) dalam peredaran produk makanan dan minuman kemasan di samarinda. ejournal ilmu pemerintahan, 6(1), 227–240. sugiyono. 2017. metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. bandung: alfabeta. syafrina, m. (2016). penegakan hukum terhadap tindak pidana peredaran obat impor yang tidak memiliki izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil balai besar pengawas obat dan makanan di pekanbaru. jom fakultas hukum volume iii nomor 2, iii, 1–15. tanor, s. c. e. (2017). penerapan hukum terhadap pelaku usaha yang menjual produk impor ilegal menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999. lex crimen, vi(9), 83– 88. undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. copyright (c) 2019 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00.pdf 00. halaman prelims daftar isi 2 (mitologi yunani) 107 125 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 127 143 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 (1master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 145 161 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1, adie dwiyanto nurlukman2 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 163 177 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 (1government science study program, stisip yuppentek, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 179 190 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p (communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  127 citation : sofi, kohen and dyah mutiarin. 2018. “collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, 127-143. journal of government and civil society vol. 2, no. 2, september 2018, pp. 127-143 doi: 10.31000/jgcs.v2i2.1028 received 5 october 2018 revised 18 october 2018 accepted 23 october 2018 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 1 master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: kohensofi15@gmail.com 2 department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: mutiarin@yahoo.com abstract the law no. 6 of 2014 article 1 mention about the village-owned enterprises as the business entity which the capital is owned by the village in order to be managed for community welfare.the government of village should be able to see the potential of the village to be managed along with the community and private sector to maintain its sustainability. the successful of ponggok village to establish and run the village-owned enterprises tirta mandiri brings the ponggok village as one of the richest village in indonesia with the 9.6 billion rupiah income per year.this research aims to see how the ability of the collaborative governance to push accountability and transparency factors in managing the village-owned enterprises in 2016.this research used the method of collaborative governance through the data collection and interview towards the related actors.according to the data, the collaborative governance in the management of ponggok village-owned enterprises involved three actors such as the government of the village, community and private sector.collaborative governance be able to push the accountability and transparency in the management of village-owned enterprises by those collaborative actors.the result of collaborative governance can be felt by the villagers in form of welfare. keywords: accountability, collaborative governance, ponggok village, transparency, village-owned enterprises introduction the implementation of law no. 6 of 2014 on villages explains that the political and constitutional commitments are present to empower the village community to become a strong, advanced, independent and democratic society in order to provide justice, prosperity and achieve prosperity community (eko, 2015). in 2017 is the period of granting village funds from the central government to the village in the beginning of 2015 on the transfer of village funds, under control of the village government. stated in the ministry of home affairs regulation no. 113 of 2014 in article 1 in point one that the village is a village and an adat village or called by another name, hereinafter referred as the village, is a legal community that has the territorial boundaries to regulate and conduct the government affairs, the interests of local communities based on community initiatives, origins, and / or traditional rights recognized by the unitary state of the journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 128 kohen sofi and dyah mutiarin republic of indonesia. in the implementation, the village is expected to be able to manage their own households with the given authority and the village government is able to be responsible in managing the village funds that have been given by the central government. mentioned in the ministry of home affairs regulation no. 113 of 2014 on article 1 point nine village funds that funds derived from the state budget revenue and expenditure devoted to the village that is transferred through the regional revenue and expenditure budget and used to finance the implementation of government, the implementation development, the community fostering, and the community empowerment. article 77 of the village law mentioned that the management of village property held under the principles of public interest, functional, transparency, efficiency, effectiveness, accountability and legal certainty of value. in the next point is explained that the village property is to improve the welfare, standard of living of the village community and increase the income of the village. it is clear enough that the regulation in the management of village property must be based on several things such as accountability and transparency in its management. it aims to avoid deviation and requiring the participation of the society which means that it does not rule out the principles that have been arranged and for the common good. in 2015 bum desa tirta mandiri reached rp 6.1 billion with a profit of rp 3 billion and in 2016 they target annual revenue of rp 9 billion then by the end of the year they exceeded the target of about 9.4 billion. absolutely, it is not a small value for just a village. in the management is should be governed properly and correctly so that there is no deviation occurs. the success of ponggok village to increase the original income of the village will accelerate the establishment of a strong, independent village and improve the welfare of the community in the village. this condition makes bum desa ponggok as the national pilot(humas jateng, 2017). table 1. revenue bum desa ponggok 2014-2016 no year total revenue 1 2014 rp. 3.000.000.000 2 2015 rp. 6.500.000.000 3 2016 rp. 9.600.000.000 data managed by the writer in 2017 in accordance to the law no. 6 of 2014 on villages in article 87 explained that the village bum is formed by the village government to utilize all the economic potentials, the economic institutions, and the potential of natural resources and human resources, in p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 129collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 its activities is not only oriented to financial gain but also oriented to support improve the welfare of community village. the management of income can be done by focusing on increasing efforts to explore local revenue sources by maintaining the sustainability of public services and improving the welfare of the community (tarigan & lastria, 2013). the explanation explained that local revenue sources should be founded and managed as well as to gain the people’s welfare. the village government is work with community institutions to achieve common goals that will advance the village and strengthen the village economy through the management of the bum desa. it is important to examine how the collaboration of the village government and the existing community institutions through the bum desa. so the collaborative governance research in the management of bum desa ponggok district polanharjo klaten regency central java province in 2016 focused on how the principle of accountability and transparency performed by the village government. it starts from the early stages of planning till the stage of activity that can be accountable and can be known by the village community. so it is necessary to research more about how collaborative governance promotes accountability and transparency in the management of ponggok village owned enterprise, polanharjo sub-district, klaten regency, central java province in 2016. literature review in article 87 of the village law, village owned enterprises (bum desa) is managed in the spirit of kinship and cooperation and results of its efforts to assist community development, empowerment of village communities, and assist the poor through grants, social assistance, and revolving fund activities set forth in the village revenue and expenditure budget (article 89 of the village law). putra gives some examples of the successfulness of bum desa and bumi as bumd that are the association of the village.(putra, 2015) 1. bum desa sukamah, magemendung sub-district, bogor regency, west java, has assets of billions of rupiah with three business units that provide clean water facilities, villageowned market management and the savings and loan for small traders. 2. bum desa as the local authority of the village scale capable and effective run by the village. bum desa maju makmur, minggirsari village, blitar regency, east java. this bum desa cooperates with local government and successfully runs fertilizer distribution business and has credit to the customers as much as 173 people with profit hundreds of millions rupiah and has a customer savings of 61 people with a profit of 81 million rupiah. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 130 kohen sofi and dyah mutiarin 3. bum desa as the village-scale local authority that emerged due to the development of village and village community initiative. bum desa bleberan, playen sub-district, gunung kidul regency, yogyakarta, encouraged the resurrection of the people after the earthquake that struck in 2006. the village is able to manage sri gethuk waterfall and rancang kencono cave as a tourist attraction. the water source is managed by bum desa to fulfill the water needs of the local people till the management of tourism and savings and loans. the value of water management benefits (spamdes) reached 80 million rupiah, tourism management in 2012 contributed up to 327 million rupiah and the management of savings and loans with a small capital of about 2 million rupiah. the impacts are wide open field work start from rampant stalls, snack industry and marketing personnel attractions and young people community or karang taruna. 4. the successfulness of the establishment of bum desa karangrejek, gunungkidul, yogyakarta in 2009 is engaged in water service business which has contributed a lot to the karangrejek village. one of the examples is the village revenues recorded through bum desa revenue till 2015 is 300,082,348 million rupiah, and the use of 2.5% total profit is given to the underprivileged community in form of scholarships, providing stationery, bags, and for the infrastructure development. required solid management for the sustainable enterprises that have been established and not just for commercial purposes but bum desa can be a social institution in providing services. (hidayat, 2016) 5. bleberan tourism village in playen sub-district, gunungkidul regency, yogyakarta. successfully formed the bum desa and divided into several business units such as package of tourist village, clean water management, and the business unit of village economy in form of saving and loan with profit reached rp 1 billion. this successfulness has had an impact on the village’s original revenue. having natural resources is not enough to get a blessing for the village community but the attractiveness that must be observed so that the uniqueness of the village really attract tourists. (zamroni, anwar, yulianto, rozaki, & edi, 2015) 6. besides the successfulness, there are some failure or discontinuity of the village owned enterprises. one of the examples is in bojonegoro district. in 2016 there was 419 bum desa, after mapping by badan pengedayaan masyarakat dan pemerintah desa (bpmpd) in 2013, there is only 21 bum desa left in bojonegoro regency. it can not be denied that it is not enough if only the village elite actor who runs the role in the formation of bum desa, it is required to the participation of the community so that the journey does not experience any obstacles or stop in the middle of the road. because if it was managed properly, then bum desa will bring the village towards the better in the economy of the village community, the creation of employment in the village, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 131collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 increase the original income of the village so that the village is able to provide welfare to the community (budiono, 2015). in addition to putra’s description above, fajarsidik with the title of research exploring the local potential to realize the independence of the village explained that in 2010-2014 bleberan tourism village experienced an increase in pendapatanaslidesa (pad). however, the management of bumdes is considered less effective because the management is not transparent and unaccountable (sidik, 2015) purwanti in subarsono explained that collaborative governance is based on the purpose of solving the problems jointly from the bound party. the party is not only the government and non-governmental institutions since the principle of good governance should involve civil society in the formulation and decision-making process (subarsono, 2016). collaborative governance is a government created with the involvement of public bodies and non-governmental organizations in the process of formal decision-making, consensus-oriented deliberations, and there is a division of tasks in implementing public policy or managing public programs, as well as public assets (ansell & gash, 2008). collaborative governance exists as the alternative to the previous traditional systems (bingham & o’leary, 2008) and also as an alternative to the failures of previous system (ansell & gash, 2008). it can be concluded that the existence of collaborative governance is to complete the previous systems that are not implemented properly. collaborative governance is categorized as “new governance” which prioritizes networking and cooperation with the private sector (salamon, 2002). suradji explains about the collaborative governance in the management of border areas between countries in riau islands that the collaboration is unlimited by time or period, as long as there is still a business between parties then the collaboration is still needed. this is similar to what does explained by anderson & mc farlane (2000) which defines collaboration as a process of interaction among some continuous people. (muhammad, 2017) in collaborative governance, state actors, as well as non-state actors, have equal standing in achieving the goal even though both have their own interests. collaboration shows that the one that plays an important role in generating a policy is not only government but also the private sector. in addition, collaboration implies that in the decision-making process, non-state power holders also have separate responsibilities (ansell & gash, 2008). there are several definitions of collaborative governance according to experts such as ansell and gash, which define the collaborative governance as “a governing arrangement where one or more public agencies engage non-state stakeholders in a collective decisionjournal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 132 kohen sofi and dyah mutiarin making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement public policy or manage public programs or assets “(ansell & gash, 2008). in this case, ansell and gash explained that in collaborative governance, the government includes non-state or non-state actors in the formal decision-making process, consensusoriented and deliberative. ansell and gash include 6 criteria in the definition of collaborative governance, such as: 1. the forums are initiated by public institutions and institutions 2. forum participants also include as non-state actors 3. participants directly participate in the decision-making process and should not refer to the public actors 4. forums are organized formally and held together 5. the forum aims to make decisions through consensus or collective agreement 6. collaboration focused on public policy and public management on the other hand, emerson, nabatchi, and balogh try to define collaborative governance in a broader scope through the side of the public administration, planning, public management and environmental management. according to emerson, nabatchi, and balogh, the processes and public policy structures in decisions making process and management engage people constructively and transcend boundaries of public institutions, levels of government, and/or public, private and civic environments. it does not limit collaborative governance to the involvement of government and non-state actors and may be in the form of intergovernmental cooperation or multi-partner governance. (emerson, nabatchi, & balogh, 2012) research method according to the object and the method of analysis used, this research is qualitative descriptive. this type of research aims to describe the real picture of the phenomenon that occurs in collaborative governance in the management of ponggok village owned enterprise of polanharjo sub-district, klaten regency of central java province in 2016. refers to the moleong’s opinion, the qualitative research is research which uses a naturalistic approach to search and finding understanding of phenomena in a contextually specific setting(moleong, 2005). qualitative research is a study with the natural background, to interpret the phenomenon that occurs and done by the involving of various methods that exist. this research to explain the collaborative governance in the involvement of state actors (government) and non-state actors (private, public institutions or other nonp-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 133collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 governmental institutions) that have mutual interests, together participate in the policymaking process to achieve a particular goal, whereby the parties will complement each other to address the weaknesses of previous government systems as traditional and less effective. findings and discussion village deliberation forum followed by village government and village owned enterprises members the management of village owned enterprises that carried out after the village consultation is conducted by ponggok village government which is attended by badan permusisar desa (bpd), and the community that consisting of farmer group, community shop, education figure, religious figure, women representative group and the craftsman group to discuss and agree on the strategically linked to the rural development. it did for the common interest and to achieve the ponggok community welfare. the cooperation between stakeholders has resulted in an advantage for a villageowned enterprise which is in form or part of village development.village owned enterprise tirta mandiri has several business units managed by ponggok village community, which are real sector and financial sector. the real sector is divided into the business of ponggok banners, water management, fishing pond rental, renting of the stall and village shops, and car rentals, while for the financial sector of tirta mandiri village owned enterprises has a rolling effort for the poor and capital loans for middle-class citizens. for more details can be seen in table 2. table 2. tirta mandiri village owned enterprises business businessof bumdesa real sector tourism (umbul ponggok) clean water management (pab) fishing rental rental stall and village shop car rental businessof bumdesa financial sector rolling loans for the poor people capital modal for middle class community source: data managed by the researcher on 2017 from those two business sectors above shows how the collaboration between ponggok village government, the community, and the manager cooperate to achieve people welfare. as explained by ansel and gash about the forums that initiated by public institutions journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 134 kohen sofi and dyah mutiarin and these institutions are running well in ponggok village which in the management of village-owned enterprises tirta mandiri. the village deliberation forum is followed by village governments and community institutions ponggok village government in conducting activities related to the development of the village always prioritizes the participation of the community in the discussion of village deliberation, at least the representative of the community such as karang taruna putra telaga, musical arts community group, community group of makam taguars, and sinoman group. these groups are expected to be able to introduce or inform the village community about the policies that made by the village government and on the existence of tirta mandiri village owned enterprises.it shows that the involvement of non-state actors is needed for village development. the cooperation and the involvement of all actors will determine the successfulness of the village development. it is suitable with what has been mention by ansel and gash on the second point the discussion process started from the bottom which is the head of neighbourhood village ponggok that brought the results of the discussions that had been produced with the community to be discussed with the hamlets in ponggok village, then brought into the village meeting, which was attended by other elements such as bpd, community representatives and village governments. so this information can be accepted by ponggok village government. if there is the information about the development of the village or the problems in the village, can be directly informed to the village government. the system is called rt-rw net, so every rt-rw is given an internet connection, through village e-mail and whatsapp ponggok village. the coordination between stakeholders in decision making process coordination among stakeholders is needed in making a village work program, this has been done in order to have a compatibility in achieving the common interest of the community welfare. ponggok village government in developing village owned enterprises “tirta mandiri” coordinates with parties that have the interest to carry out the sustainable development of village owned enterprises “tirta mandiri” in ponggok village. consider as very important because the coordination is done for long-term development, not for the moment only. this coordination was conducted between ponggok village government, bank bni, ponggok village community and ponggok village institutions. it shows in the figure 1 how the coordination between stakeholders takes place: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 135collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 figure 1. the attendance of village government in promoting investment to the community source: figure made by the writer based on rpjmdes desa ponggok 2016 figure 1 explains that the participants directly participate in the decision-making process as to how to build synergy between village government, bank and village institution as the planning team. various roles in the team include the role of drivers which is to develop ideas related to village development, provide direction, and discover new things, the role of the planner is to calculate the needs of what is needed by the team in developing the village business progress, plan strategies and compile schedule, role of enabling which capable of solving existing or facing problems, managing existing means or resources, disseminating ideas and negotiating, role of exec to produce output and coordinating and maintaining the team, the last is the controller taking notes, auditing and evaluating progress the team what are the drawbacks. the assets owned by the village government of ponggok are not just one but there are some village assets managed by the village owned enterprise “tirta mandiri” which is: tourism (umbul ponggok), clean water management (pab), fishing pond rental, culinary kiosk rental and village shop, car rental, revolving loans for residents, capital loans for middle-class citizens and village owned enterprises “tirta mandiri” sell shares to the public and are given 3 investment options. it is a form of investment managed by the village owned enterprise “tirta mandiri” which is offered to the entire ponggok village community. this share can be owned by every ponggok village community from the minimum nominal purchase rp 100.000 to rp. 5.000.000 to be invested to the “village ownership” tirta mandiri. every single family or one family card is only allowed to buy one share in the form of justice in order to avoid social jealousy. village government as the guarantor of community and institution loans to the bank with village assets and community assets. the loan that used for community capital and institutions is invested in the “mandiri” state owned enterprise (tirta mandiri). the proceeds from the investment of this community are used to: pay the bank installment, pay the community installment on the other side if there are other loans, journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 136 kohen sofi and dyah mutiarin income or income through dividends meaning that profit sharing is done proportionally and village institutions. the village of umbul ponggok has recorded a total of 653 family cards (kks), ponggok village residents who have made investments to village ownership “tirta mandiri” as many as 350 family card (kk), and every single family card (kk) can only invest one name or one time as there should be no two names who invest in one family card (kk). it is to avoid social jealousy among the people of ponggok village. the 350 sold were large shares purchased by the people of ponggok village, although there was small and medium share available, but the public chose to buy large shares on the advice of the ponggok village government because of its goal of equity and accelerated development of ponggok village. the expectation from the village government that all of its people join to invest is intended for the entire community to enjoy the benefits gained by the village government through the business units managed by the village owned enterprise “tirta mandiri”. the community that owns the shares can directly know the development of the village owned enterprise because it is the right of the people who own shares in it. starting from 2016 ponggok village government, especially the village owned enterprise “tirta mandiri” report to the village government not in the end of the year anymore, to avoids the mistake in calculating the income of the village owned enterprise “tirta mandiri”. this report is given at the end of the month and should be monthly. seeing a very significant development in the income earned then the village owned enterprise “tirta mandiri” initiative to report the responsibility in monthly and in a transparent form means the public can know the income each month. the village deliberative forum is held in formal and meetings are held together in the implementation of village development planning, will be followed by the village government as the executor of activities and village tools such as ponggok village deliberation council, as well as elements of ponggok village community. those present were firstly give the information to the ponggok village government to attend the village development deliberation activities routinely carried out by the ponggok village government. it held at the ponggok village hall and aims to discuss the development of ponggok village. we can see in the figure 3 how the relationship between ponggok village government and ponggok village community in building ponggok village: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 137collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 figure 2. the linkage of community participation in the development planning process source: figure made by the writer based on the interview the figure 2 shows that before the village discussion forum which was executed by ponggok village government, the head of village came down to the field directly informally, communicated to the community to know the development of ponggok village. on the other hand, to see directly ponggok village government and society needs. after the ponggok village government got a picture of the community needs, then the village consultation forum was held and carried out jointly by the village government and all elements of the community in ponggok village. the inputs of the community village will be re-discuss in the village meeting about the needs of village development. planning phase involving direct community participation indicates that the village government wants to answer the needs of the community ponggok village, not just doing the development. the community knows directly about the development of the village and the community can also evaluate the activities conducted by the ponggok village government. from the village deliberation, it shows that every activity is undertaken by ponggok village government always involves elements of society and institutions in ponggok village, so that the community will know all the activities undertaken by the government of ponggok village. besides being held together, the process also held formally even though before the stakeholders held informal deliberations in the form of communication with the community. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 138 kohen sofi and dyah mutiarin village deliberate forum implemented to achieve the common goals ponggok village deliberation shows in the figure 3. figure 3. deliberation for the common goals source: figure made by the writer based on rpjmdes desa ponggok 2016 figure 3 shows that, after getting information from the community, the village government do the ponggok village deliberation, the purpose is to choose which proposals that become the priority scale or basic need for immediate development. after achieving the common goals between all elements of the community and the government of ponggok village, the ponggok village government will undertake village development in accordance with the mutually agreed outcomes. in the proposed development process, the implementation and evaluation related to the development of the ponggok village government involve the community to find out how much the development has been done, then the results of the development can be directly evaluated and maintained by the ponggok village government and the community itself. cooperation by the ponggok village government through village owned enterprise “tirta mandiri” in collaboration with pt. bank negara indonesia (persero) is to improve the quality of human resources, in the development of management and systems in services. bni parties provide the opportunities for the employees training and work p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 139collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 experience in the management of village owned enterprises “tirta mandiri” to be managed optimally and do not encounter obstacles. after getting the education from the bank bni, its expected to manage professionally, transparently and accountable. the form of cooperation between the village owned enterprises “tirta mandiri” and bank bni can be seen that currently the village owned enterprise “tirta mandiri” is the recipient of corporate social responsibility (csr) every year. it’s shows in corporate social responsibility 2016. the ultimate goal of the non-formal and formal forums undertaken by the ponggok village government to reach a collective agreement, so that development is on target in accordance with the needs of all parties and can be felt directly by the ponggok village government and its people. the forums or discussions conducted by the ponggok village government are not only done at that time but before the village consultation conducted. the ponggok village government firstly held discussions in each neighborhood and hamlet together with the people of ponggok village to obtain information directly. the goal is to gain input directly from the community and see the condition of the field. although the discussion is not formal, but the result of this discussion becomes an important note for ponggok village government. focus collaboration to public policy and public management the collaboration of ponggok village government with all parties involved in the development of ponggok village managed to produce some excellent products besides village owned enterprises, such as smart card products with the purpose of one home one graduate, it starts since 2016 which each student or student is given a scholarship from ponggok village government of rp. 300,000 per month. this smart card facilitates access to formal and nonformal education. for non-formal communities given the opportunity to attend english language tutoring for tourism development needs. after giving the smart card of ponggok village, government also provides health card which is to provide health facility for ponggok village community. for that, the village government of ponggok give a special card for the mother who is pregnant and toddler called card of mother and child (kia). the function is giving health service for pregnant mother, lactating and toddler, and the last is giving entrepreneurship card as service card of society business activity ponggok village that wants to develop theirs business. see the chart below how the process of collaboration that focuses on public policy: journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 140 kohen sofi and dyah mutiarin figure 4. collaboration of focus public policy and management public source: figure made by the writer based on rpjmdes desa ponggok 2016 conclusion in conclusion, ponggok village has now become a national pilot village with revenues of 9.6 billion. although previously had experienced constraints due to lack of human resources. one of the supporting factors for the successfulness of the ponggok village is the existence of collaborative governance between village government, bum des and private parties. collaborative governance had been successful in promoting the accountability and transparency of the village-owned enterprises and also the village government throughout village consultations. with the deliberation of the village, the programs that can answer the needs of society. village-owned enterprises tirtamandiriponggok demonstrated their accountability in managing assets gradually and sustainably through being accountable was given to the local government and society. in addition, the collaborative governance also encourages the transparency of the management village-owned enterprises tirtamandiri through planning, implementation, and evaluation by involving the related parties. the results of the collaborative governance in the ponggok village are the smart card, the healthy card, the card for mother and child, and the entrepreneurial card. besides, there are other excellent programs of the ponggok village that have been successfully created. in the implementation management of village-owned enterprises tirta mandiri, the ponggok government along with the management agency village-owned enterprises has been served in accordance with what is mentioned by ansel and gash. such as the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 141collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 forum is initiated by public agencies which are followed by village government and member of village-owned enterprises, participants in the forum include nonstate actors such as community institutions, participants engage directly in decision making and are not merely ‘‘consulted’’ by public agencies as from the coordination among stakeholders, the forum is formally organized and meets collectively, the forum aims to make decisions by consensus that is for the ponggok community and the last is the focus of the collaboration is on public policy or public management. in this study, the writer limits the research in the management of village owned enterprises only discusses the stages of management planning that has been implemented in village owned enterprises tirta mandiri. the study focused on how the principle of accountability and transparency be done by the village government, in the planning stages that can be accountable and can be known by the village community. for the future researcher, the writer suggest to research more about how to manage village owned enterprises on its implementation in the field? as well as any constraints faced by the village government or village officials who implement the management of village funds, and find solutions to the constraints faced by therefore need to be carried out research in ponggok village district polanharjoklaten regency central java province in 2016. suggestion 1. the village government of ponggok, especially the village owned enterprise “tirta mandiri” should open the opportunity to collaborate with the village near ponggok and see the potential of the village in developing the village business. so that the village near ponggok will get the benefits of business development owned by ponggok village. 2. ponggok village community participation is necessary for the development of ponggok village’s businesses, whether in the planning, implementation, and evaluation of the program. the principles of accountability and transparency conducted by the ponggok village government will have an impact on the spirit of community motivation in the village business development, especially the owned enterprises village. 3. training in the management of the village owned enterprise is obliged to be followed because it is related to the development of the village-owned business. if the management of the village-owned enterprise “tirta mandiri” is not managed accountably and transparently it will adversely affect its development. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 142 kohen sofi and dyah mutiarin references ansell, c., & gash, a. (2008). collaborative governance in theory and practice. journal of public administration research and theory, 18(4), 543–571. https://doi.org/10.1093/ jopart/mum032 bingham, l. b., & o’leary, r. (2008). legal framework for governance and public management. in big ideas in collaborative public management (pp. 247–269). new york: me sharpe. budiono, p. (2015). implementasi kebijakan badan usaha milik desa (bumdes) di bojonegoro (studi didesa ngringinrejo kecamatan kalitidu dan desa kedungprimpen kecamatan kanor). jurnal politik muda, 4, 116–125. eko, s. (2015). regulasi baru desa baru (ide, misi dan semangat uu desa). kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi republik indonesia. emerson, k., nabatchi, t., & balogh, s. (2012). an integrative framework for collaborative governance. journal of public administration research and theory, 22(1), 1–29. https:// doi.org/10.1093/jopart/mur011 hidayat, m. (2016). pengelolaan badan usaha milik desa. jurnal analisis kebijakan. jurnal analisis kebijakan, 01, 49. humas jateng. (2017, february 19). bumdes umbul ponggok bantu entaskan kemiskinan. pemerintah provinsi jawa tengah. retrieved from www.jatengprov.go.id moleong, l. j. (2005). metode penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya. muhammad, a. s. (2017). collaborative governance model in managing international borders in riau islands province using partial least squares method, 21(november), 166–179. putra, a. s. (2015). badan usaha milik desa/ : spirit usaha kolektif desa (7th ed.). jakarta: kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi republik indonesia. salamon, l. m. (2002). the tools of government/ : a guide to the new governance (first). oxford university press. sidik, f. (2015). menggali potensi lokal mewujudkan kemandirian desa. jkap (jurnal kebijakan dan administrasi publik), 19(2), 115–131. https://doi.org/https://doi.org/ 10.22146/jkap.7962 subarsono, a. (2016). kebijakan publik dan pemerintan kolaboratif isu-isu kontenporer. yogyakarta: gava media. tarigan, e. p. a., & lastria, n. (2013). standar akuntansi pemerintahan dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. jkap (jurnal kebijakan dan administrasi publik), 17(1), 29–45. https://doi.org/10.1017/ cbo9781107415324.004 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 143collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 zamroni, s., anwar, m. z., yulianto, s., rozaki, a., & edi, a. c. (2015). desa mengembangkan penghidupan berkelanjutan. (a. u. fauzan, ed.) (01 ed.). yogyakarta: ire yogyakarta. copyright (c) 2018 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00. halaman prelims 00. halaman prelims 00. halaman prelims daftar isi daftar isi 02. collaborative governance 146 – 163 new public management (new public comparison meta-analysis developed and developing country policies) dyah mutiarin2, misran1 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 164 – 183 policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project rizki hegia sampurna1, 2, chih-chieh chou1 (1 department of political science, national cheng kung university (ncku), taiwan) (2 department of public administration, universitas muhammadiyah sukabumi (ummi), indonesia) 184 197 national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign hertanto1, handi mulyaningsih2, asep nurjaman3 (1 departement of government science, universitas lampung, indonesia) (2 departement of sociology, universitas lampung, indonesia) (3 departement of government science, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 198 213 ethnic identity and local politics: study on regional head election in merauke regency 2020 misran1, wahdania sardi1, zuly qodir1 (1 department of government affairs and administration, jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 214 – 236 stakeholder collaboration model for ecotourism development: a case study from batu city, east java province i gede eko putra sri sentanu1, ardian prabowo1, klara kumalasari1, aulia puspaning galih1, rendra eko wismanu1 (1 departement of public administration, universitas brawijaya, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 237 – 262 farmers social movement studies: a systematic literature review for a conceptual model wahyudi1 (1 department of sociology, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 263 – 276 factors affecting trust in e-government ulung pribadi1, muhammad iqbal2, fittia restiane3 (1 post-graduate program universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan) (3 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 263 citation : pribadi, u., iqbal, m., & restiane, f. (2021). factors affecting trust in e-government. journal of government and civil society, 5(2), 263–276. https://doi.org/doi: 10.31000/jgcs.v5i2.4848 journal of government and civil society vol. 5, no. 2, oktober 2021, pp. 263-276 doi: 10.31000/jgcs.v5i2.4848 received 7 july 2021  revised 25 august 2021  accepted 4 october 2021 factors affecting trust in e-government ulung pribadi1*, muhammad iqbal 2, fittia restiane3 1 post-graduate program universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 2 department of political science national cheng kung university, taiwan 3 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia * email correcpondence: ulungpribadi@umy.ac.id abstract this study examined perceived usefulness, information quality, and privacy and security to predict trust in egovernment. this study used a survey data collection method and a random sampling technique with 100 residents who visit the local government’s public services website as respondents. a likert scale was used to create the questionnaires. sem-pls looked at the data to see if it was valid and reliable, as well as test hypothesis and regression. this study found that perceived usefulness, information quality, and privacy and security had a positive and significant effect on trust in e-government with p-values of 0.000, 0.001 and 0.000, respectively. the influence of the three independent variables towards the dependent variable was moderate (r-square = 0.494). finally, the limitations and implications of these findings are examined. keywords: trust in e-government, perceived usefulness, information quality, privacy and security, indonesia abstrak studi ini menguji manfaat yang dirasakan, kualitas informasi, dan privasi dan keamanan untuk memprediksi kepercayaan pada e-government. penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data survei dan teknik random sampling dengan 100 orang warga yang mengunjungi website layanan publik pemerintah daerah sebagai responden. sebuah skala likert digunakan untuk membuat kuesioner. sem-pls melihat data untuk melihat apakah itu valid dan reliabel, serta menguji hipotesis dan regresi. studi ini menemukan bahwa persepsi manfaat, kualitas informasi, dan privasi dan keamanan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan pada e-government dengan nilai p masing-masing 0,000, 0,001 dan 0,000. pengaruh ketiga variabel bebas terhadap variabel terikat adalah sedang (r-square = 0,494). akhirnya, keterbatasan dan implikasi dari temuan ini diperiksa.. kata kunci: kepercayaan pada e-government, manfaat yang dirasakan, kualitas informasi, privasi dan keamanan, indonesia. introduction governments of many countries, both central and local governments, have used egovernment recently in order to improve access and basic services for their citizens. the implementation of various types of e-government is a means of cooperation between the government and its stakeholders to achieve effectiveness, efficiency, transparency, economic growth, public participation, and sustainable development (panthee & sharma, 2019; liywalii & tembo, 2019; shkarlet et al., 2020; mosud & govender, 2020; glyptis et journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 264 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane al., 2020; dias, 2020; ingrams et al., 2020; horák et al., 2021; nofal et al., 2021; kamarudin et al., 2021). trust in e-government is the key to the successful implementation of digital technology in the government. therefore, many scholars have conducted studies regarding trust in e-government (alzahrani et al., 2017; bayaga et al., 2020). ejdys et al. evaluated trust in e-government in poland in the case of the electronic filing of tax returns (ejdys et al., 2019). aljazzaf evaluated the people intention to trust e-government in kuwait in using the government’s web to convey data and administrations (aljazzaf, 2019). abu shanab used the personal model and the technical model to predict the level of trust in egovernment in qatar (abu shanab, 2019). mensah and adams examined political trust on the adoption of e-government services between foreign and chinese students (mensah & adams, 2020). al-shargabi et al. examined the cloud computing model for building trust in e-government web service in jordan (al-shargabi et al., 2020). nofal et al. has conducted a study on trust and transparency in the adoption of e-government services by citizens in jordan (nofal et al., 2021). kamarudin et al. predicted that performance expectancy, social influence, and facilitating conditions, and trust influenced the adoption of e-government services in the telecenters in rural areas in malaysia (kamarudin et al., 2021). scholars have also studied the issue of trust in e-government in indonesia. supriyanto et al. developed the design of an inclusive security model on e-government for building public e-government trust on data and information (supriyanto et al., 2019). tjen et al. explored the impact of trust, the is, and prior experience of taxpayers in using online tax filing (e-filing) (tjen et al., 2019). assegaff et al. evaluated the factors affecting the trust of millennial citizens in e-government in jambi, indonesia. they found that software quality, trust in the internet, reliance on applications influenced the generation behavior (assegaff et al., 2021). trust in e-government the meaning of trust is the willingness of one party to obey the wishes and actions of the other party based on expectations (abu shanab, 2019). trust in e-government refers to citizens’ confidence that they are protected from fraud, doubt, and harm in using icts (munyoka & maharaj, 2019). trust in e-government is a technology solution presented by government agencies (ejdys et al., 2019). trust in e-government is a reciprocal relationship between government agencies that provide public services and the private sector and citizens who expect government employees to be trusted (bayaga et al., 2020). trust in e-government is reflected in government-to-citizen relationships, where citizens trust the government to act in a right and fair manner (pérez-morote et al., 2020). trust p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 265factors affecting trust in e-government is the main prerequisite for developing the willingness and participation of citizens to use e-government (khan et al., 2020; khan et al., 2021). this study is based on theories that have been developed so far to explain the factors that influence a person’s use of e-government. scholars (dwivedi et al., 2017; ospina and pinzón, 2018; mustafa et al., 2020) identified a theory of reasoned action (tra), a technology acceptance model (tam), a theory of planned behavior (tpb), the diffusion of innovation (doi), a unified theory of acceptance and use of technology (utaut), and a unified model of e-government adoption (umega). attitude and subjective norm were essential elements in the tra. the tam was developed as a tra adaption to represent users’ adoption of is. the first fundamental component, perceived usefulness, was defined as the subjective likelihood of potential users. other basic design, such as perceived ease of use, pointed at which the potential user with ease of use of the target gadget. subjective norm, attitude, and perceived behavioral control were the tpb’s conceptions. attitude, subjective norm, perceived behavioral control, perceived ease of use, perceived usefulness, compatibility, resource enabling conditions, technology facilitating conditions, and selfefficacy were among the constructs studied by the dtpb. relative advantage, compatibility, image, trial-ability, visibility, ease of use, result, demonstrability, and voluntariness of usage were all constructs of the idt. image, perceived utility, perceived ease of use, work relevance, result demonstrability, and subjective norm were all factors in the tam 2. compatibility, intricacy, and trial-ability were all advantages for the doi. performance expectancy, effort expectancy, social influence, and facilitating factors were all present in the utaut. finally, the umega included performance and effort expectations, as well as social impact, perceived risk, attitude, and facilitating conditions. perceived usefulness and trust in e-government santhanamery and ramayah have demonstrated that perceived usefulness influences the link between trust in the system (correctness, response time, system support, availability, and security) and e-filing system usage intention in malaysia (santhanamery & ramayah, 2018). aljazzaf evaluated trust in e-government in kuwait. he found that perceived usefulness affects trust in e-government (aljazzaf, 2019). abu shanab showed predictor variables of perceived usefulness, security and privacy concerns, and information quality and trust in e-government as a dependent variable (abu shanab, 2019). tsui discovered that, in addition to playing a complete mediating function, perceived usefulness is likely to be the most important ex-post factor influencing users’ intention to continue using egovernment services in taiwan (tsui, 2019). in a study conducted in china, chen and komlan discovered that perceived usefulness and perceived ease of use have a substantial impact on behavioral intentions to utilize e-government services (chen & aklikokou, 2020). uthaman and vasanthagopal analyzed the mediating effect of perceived ease of use, perceived usefulness, satisfaction, and trust on behavioral intentions of beneficiaries journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 266 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane to use e-government in india (uthaman & vasanthagopal, 2020). nofal et al. evaluated e-government adoption in jordan. they found that the higher the perceived usefulness, the more frequent the adoption of e-government (nofal et al., 2021). information quality and trust in e-government information quality, according to khan et al., refers to citizens’ perceptions of the fullness and correctness of e-government information. in pakistan, they discovered that the higher citizens’ perceptions of high-quality information, the more trust they have in e-government (khan et al., 2021). losanta et al. designed and developed the local egovernment and information quality to build trust of businessman in using e-government services in thailand (losanta & deshmukh, 2019). website quality influenced trust in egovernment (aljazzaf, 2019). service quality influenced attitude and intention to use egovernment (nofal et al., 2021). kaushik and mishra examined the effect of perceived information quality and technology anxiety on the e-government adoption process in india (kaushik & mishra, 2019). abu-shanab also showed information quality as predictor variable of trust in e-government as dependent variable (abu shanab, 2019). furthermore rasool et al. assessed that the information quality of websites/portals is vital importance of citizens’ use of e-government in pakistan (rasool et al., 2019). the national public procurement agency (nppa) at indonesian government agencies uses the website as a service to citizens to share information related to regulations, organizational profiles, and functions. the quality of information (iq) on the government websites had become one of the main determinants of user satisfaction (putri & ruldeviyani, 2019). the drivers of continuous use intention for food delivery software applications were investigated using an expanded utaut2 model that augments information quality (lee et al., 2019). privacy and security and trust in e-government privacy is the right to control private property. the preservation of personal information, avoiding sharing personal information with others, anonymity, secure archiving of personal data, and informed permission are all examples of privacy. security is a state of being safe. the administrative and technical procedures connected with securing data and information from possible losses, unauthorized access, destruction, use, or disclosure are referred to as security. in the context of e-government, privacy and security relates to information and administrative data (munyoka & maharaj, 2019). the collection, control, and understanding of information privacy concerns among internet users increased trust of the internet (toi) and perceived risks, which in turn drove the adoption of e-government in virginia (liu & carter, 2018). risk and security were the threats of social networks in e-government in azerbaijan (alguliyev et al., 2018). technological risks, such as security and privacy, as well as performance risk, are seen to p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 267factors affecting trust in e-government be major variables that affect trust in e-government (ejdys et al., 2019). perceived security and privacy had an effect on trust in e-government in kuwait (aljazzaf, 2019). information quality, perceived usefulness, security, and privacy concerns, as independent variables, affect trust in e-government in jordanian citizens (abu shanab, 2019). privacy and security affected the continuous use intention e-government services in korea (cho et al., 2019). privacy and security risks were the determinants of e-government services adoption in south africa (bayaga et al., 2020). a study validated the effect of organizational privacy assurance on individual privacy concerns, privacy control and risk perception, trustworthiness and non-self-disclosure behavior in rwanda (mutimukwe et al., 2020). perceived privacy influenced trust in using social media for e-government services in pakistan (khan et al., 2021). research method data collection to collect primary data on citizen use of e-government, a survey approach design was devised. as a research tool, this study used a self-managed organized questionnaire to collect primary data. this study examined citizens who access e-government managed by the department of communication and information, pringsewu regency, lampung province, indonesia (www.pringsewukab.go.id). this study chose this location with the consideration that this district is less developed so that the government must inform citizens about e-government (setiawan, n.d.; oktiani & gunawibawa, 2019; pratiwi et al., 2020). sampling technique simple random sampling, as a form of non-probability sampling, was used in this research. simple random sampling is taking sample members from the population which is done randomly without any pay attention to the existing strata in the population (sugiyono, 2017). the target respondents of this study were citizens of the regency who using the e-government. this study used the slovin formula for taking samples with error sampling 10%. based on information from the government agency, the population was 36,130 between january august 2020. this study, using the slovin formula, determined the number of respondents was 100. measurement and analysis technique quantitative survey questions were used for collecting data. questionnaires were created using a likert scale. the respondents’ opinions were measured using likert scales, with 1 indicating strong disagreement, 2 indicating strong disagreement, 3 indicating neutrality, 4 indicating agreement, and 5 indicating strong agreement. data was analyzed journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 268 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane by sem-pls for the purposes of assessing validity and reliability, as well as testing hypothesis and regression. research model and hypotheses based on the literature review, the following research model and hypotheses were developed: figure 1. research model hypotheses of this study h1. perceived usefulness positively and significantly influences citizens trust in e government. h2. information quality positively and significantly influences citizens trust in e government. h3. privacy and security positively and significantly influence citizens’ trust in e government. the explanation of the above statement is as follows. first, the more positive individual perceived usefulness towards technology, the more intent is to trust in e-government. second, the more there is an information quality of the ict, the more positive the individual’s trust in e-government will be. third, the higher the privacy and security of personal data, the more positive citizens’ trust in e-government. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 269factors affecting trust in e-government results demographic profile of respondents the profile of respondents (n=100) was as follows: the number of female respondents was 59% and male was 41%. respondents who were 20 to 35 years old were 76%, 36 to 51 years old were 22%, and 52 years old and over were 2%. respondents who have a diploma or bachelor’s level of education were 54%. the second largest number of respondents who had a junior or senior high school education level were 52%. finally, the least number of respondents who have a masters and doctoral level of education were 4%. the experience of using an electronic-based government system was dominated by users for less than 1 year, i.e. 59%. users between 1 to 3 years were 27%. users over 3 years were 13%. validated research model cronbach’s alpha supports internal consistency model measures. when cronbach’s alpha is 0.70 or greater, it means that construct indicators were dependable (nunnally, 1978). table 1 shows a high degree of reliability across all variables (perceived usefulness = 0.816, information quality = 0.798, privacy and security = 0.919, and trust in egovernment = 0.741). tabel 1. composite reliability and cronbach’s alpha the validity of the indicators that have been established as questionnaires is shown in figure 2. if the value of an indicator was larger than 0.5, it was considered valid (chin, 1998). figure 2 shows that all of the values were greater than 0.5, indicating that all of the indications were valid. journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 270 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane figure 2. validated research model the findings of hypothesis testing are also shown in figure 2. when the p-value was less than 0.05, the hypotheses were accepted (henseler et al., 2009). as shown in figure 2, the h1 hypothesis, stating that perceived usefulness positively and significantly influenced trust in e-government, was supported (p-value=0.000). it could be interpreted that the higher the perceived usefulness by users, the more positive the trust in e-government. the h2 hypothesis, which stated that information quality influenced trust in e-government in a positive and substantial way, was confirmed (p-value=0.001). it might be deduced that the higher the website’s information quality, the higher the level of trust in e-government. the h3 hypothesis, which indicated that privacy and security had a positive and significant impact on trust in e-government, was confirmed (p-value=0.000). it is reasonable to conclude that the higher the level of personal data privacy and security, the better the level of trust in e-government. the original sample shows the strong influence of the independent variable on the dependent variable. figure 2 shows the effect of perceived usefulness on trust in egovernment is 29.2%. information quality has a 25.7 percent impact on e-government trust. and the impact of privacy and security on e-government confidence is 38.5 percent. regression analysis revealed the degree of influence of the variables, which were categorized into three r-square scales: 19% 33% low (weak), >33% 67 percent moderate, and >67% strong (substantial) (chin, 1998). figure 2 depicts the results of the regression analysis. trust in e-government was influenced by perceived usefulness, information quality, privacy and security in 49.4% of cases. it means that independent factors had a moderate amount of control over the dependent variable. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 271factors affecting trust in e-government the critical findings of this study are that the impact of the variables of perceived usefulness and privacy and security is more important than the variable of information quality on trust in e-government in the case in this area. in addition, the effect of the three independent variables on the dependent variable is half of the other independent variables not examined. this study empirically evaluated variables of perceived usefulness, information quality, and privacy and security in predicting trust in e-government. this study confirmed that perceived usefulness influences trust in e-government (p-value=0.000) in the case of citizens’ using local government website of public services in indonesia. therefore, this study justifies some founding of scholars in the difference cases in other countries (santhanamery & ramayah, 2018; aljazzaf, 2019; abu shanab, 2019; tsui, 2019; chen & aklikokou, 2020; uthaman & vasanthagopal, 2020; nofal et al., 2021). in the instance of citizens using local government websites for public services in indonesia, this study also justified that information quality influences trust in e-government (p-value=0.001). as a result, this research validates the establishment of some scholars in other countries (khan et al., 2021; losanta & deshmukh, 2019; aljazzaf, 2019; nofal et al., 2021; kaushik & mishra, 2019; abu shanab, 2019; rasool et al., 2019; putri & ruldeviyani, 2019; lee et al., 2019). this study also proved that privacy and security influences trust in e-government in the case of citizens utilizing local government websites for public services in indonesia (pvalue=0.000). as a result, this study supports the work of several experts in other nations (munyoka & maharaj, 2019; liu & carter, 2018; alguliyev et al., 2018; ejdys et al., 2019; aljazzaf, 2019; abu shanab, 2019; cho et al., 2019; bayaga et al., 2020; mutimukwe et al., 2020; khan et al., 2021). conclusion the critical findings of this study are that the impact of the variables of perceived usefulness and privacy and security is more important than the variable of information quality on trust in e-government in the case in this area. in addition, the effect of the three independent variables on the dependent variable is half of the other independent variables not examined. this study empirically evaluated variables of perceived usefulness, information quality, and privacy and security in predicting trust in e-government. this study confirmed that perceived usefulness influences trust in e-government (p-value=0.000) in the case of citizens’ using local government website of public services in indonesia. the practical implications are as follows: first, leaders of local government agencies must devise new techniques, such as intense and reinforced socialization of citizens over the perceived utility of the local government’s public-services website. secondly, the journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 272 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane government agencies encourage employees who manage the local government website to develop privacy and security of data so that citizens increase their trust in government and in the website. third, local government agencies need to take advantage of the culture of the indonesian people, such as being obedient, helping, respecting other parties, to build cooperation and trust in e-government. finally, agencies must transform themselves into more networked and collaborative organizations in order for citizens to have a more positive attitude toward e-government. this study has limitations and recommendations for future studies. limitations of this study are that the number of research variables is not large, only one area is used as a case, the number of respondents is not too many, and the research period is relatively short. recommendations for further research are as follows. firstly, future studies could combine the basic constructs with other utaut or umega constructs, such as performance and effort expectancy, perceived risk, facilitating condition, and so on. the objective of adding constructs is to see if they are applicable to the case at hand. furthermore, next studies would include many local government agencies and more citizens to see the consistency of their behavior. finally, longitudinal data may be used in future studies to validate the performance of the proposed model. references abu shanab, e. (2019). predicting trust in e-government: two competing models. electronic government, an international journal, 15(1), 1–15. https://doi.org/ 10.1504/eg.2019.10015730 alguliyev, r., aliguliyev, r., & yusifov, f. (2018). role of social networks in e-government: risks and security threats. online journal of communication and media technologies, 8(4). https://doi.org/10.12973/ojcmt/3957 aljazzaf, z. m. (2019). evaluating trust in e-government: the case of kuwait. iccta ’19: 5th international conference on computer and technology applications, istanbul, turkey, april 16 —17, 2019, 140–144. https://doi.org/10.1145/3323933.3324059 al-shargabi, b., al-jawarneh, s., & hayajneh, s. m. a. (2020). a cloudlet based security and trust model for e-government web services. journal of theoretical and applied information technology, 98(01), 27–37. alzahrani, l., al-karaghouli, w., & weerakkody, v. (2017). analysing the critical factors influencing trust in e-government adoption from citizens’ perspective: a systematic review and a conceptual framework. international business review, 26(1), 164–175. https://doi.org/10.1016/j.ibusrev.2016.06.004 assegaff, s., andrianti, a., & astri, l. y. (2021). evaluation of the factors influencing the trust of millennial citizens in e-government. journal of physics: conference series, 1898(1), 012009. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1898/1/012009 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 273factors affecting trust in e-government bayaga, a., kyobe, m., & ophoff, j. (2020). criticism of the role of trust in e-government services. 2020 conference on information communications technology and society (ictas), 1–6. https://doi.org/10.1109/ictas47918.2020.233973 chen, l., & aklikokou, a. k. (2020). determinants of e-government adoption: testing the mediating effects of perceived usefulness and perceived ease of use. international journal of public administration, 43(10), 850–865. https://doi.org/10.1080/ 01900692.2019.1660989 chin, w. w. (1998). the partial least squares approach to structural equation modeling. in g. a. marcoulides (ed.), modern methods for business research (pp. 295–358). lawrence erlbaum associates. cho, s. h., oh, s. y., rou, h. g., & gim, g. y. (2019). a study on the factors affecting the continuous use of e-government services—focused on privacy and security concerns-. 2019 20th ieee/acis international conference on software engineering, artificial intelligence, networking and parallel/distributed computing (snpd), 351– 361. https://doi.org/10.1109/snpd.2019.8935693 dias, g. p. (2020). global e-government development: besides the relative wealth of countries, do policies matter? transforming government: people, process and policy, 14(3), 381–400. https://doi.org/10.1108/tg-12-2019-0125 dwivedi, y. k., rana, n. p., janssen, m., lal, b., williams, m. d., & clement, m. (2017). an empirical validation of a unified model of electronic government adoption (umega). government information quarterly, 34(2), 211–230. https://doi.org/ 10.1016/j.giq.2017.03.001 ejdys, j., ginevicius, r., rozsa, z., & janoskova, k. (2019). the role of perceived risk and security level in building trust in e-government solutions. information management, xxii(3), 220–235. https://doi.org/10.15240/tul/001/2019-3-014 glyptis, l., christofi, m., vrontis, d., giudice, m. d., dimitriou, s., & michael, p. (2020). e-government implementation challenges in small countries: the project manager’s perspective. technological forecasting and social change, 152, 119880. https:// doi.org/10.1016/j.techfore.2019.119880 henseler, j., ringle, c. m., & sinkovics, r. r. (2009). the use of partial least squares path modeling in international marketing. in r. r. sinkovics & p. n. ghauri (eds.), advances in international marketing (vol. 20, pp. 277–319). emerald group publishing limited. horák, j., bokšová, j., & bokša, m. (2021). implementation of egovernment from the perspective of public administration. international advances in economic research, 27(1), 87–89. https://doi.org/10.1007/s11294-021-09816-5 ingrams, a., manoharan, a., schmidthuber, l., & holzer, m. (2020). stages and determinants of e-government development: a twelve-year longitudinal study of global cities. international public management journal, 23(6), 731–769. https:// doi.org/10.1080/10967494.2018.1467987 journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 274 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane kamarudin, s., omar, s. z., zaremohzzabieh, z., bolong, j., & osman, m. n. (2021). factors predicting the adoption of e-government services in telecenters in rural areas: the mediating role of trust. asia-pacific social science review, 21(1), 20–38. kaushik, k., & mishra, r. (2019). predictors of e-government adoption in india: direct and indirect effects of technology anxiety and information quality. int. j. business information systems, 31(3), 305–321. khan, s., rahim, n. z. ab., & maarop, n. (2020). a systematic literature review and a proposed model on antecedents of trust to use social media for e-government services. international journal of advanced and applied sciences, 7(2), 44–56. https://doi.org/ 10.21833/ijaas.2020.02.007 khan, s., umer, r., umer, s., & naqvi, s. (2021). antecedents of trust in using social media for e-government services: an empirical study in pakistan. technology in society, 64, 101400. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2020.101400 lee, s. w., sung, h. j., & jeon, h. m. (2019). determinants of continuous intention on food delivery apps: extending utaut2 with information quality. sustainability, 11(11), 3141. https://doi.org/10.3390/su11113141 liu, d., & carter, l. (2018). impact of citizens’ privacy concerns on e-government adoption. proceedings of the 19th annual international conference on digital government research: governance in the data age, 1–6. https://doi.org/10.1145/ 3209281.3209340 liywalii, e., & tembo, s. (2019). the impact of ethical issues on e-government implementation: a case of zambia. international journal of information science, 9(2), 27–39. https://doi.org/10.5923/j.ijis.20190902.01 losanta, p. w., & deshmukh, s. n. (2019). design and development the framework for local egovernment and information quality in thailand. international journal of scientific research in computer science applications and management studies, 8(2). mensah, i. k., & adams, s. (2020). a comparative analysis of the impact of political trust on the adoption of e-government services. international journal of public administration, 43(8), 682–696. https://doi.org/10.1080/01900692.2019.1645687 mosud, o., & govender, i. (2020). critical issues affecting e-government implementation in nigeria: a case of housing development agency. african journal of gender, society and development (formerly journal of gender, information and development in africa), 9(4), 33–58. https://doi.org/10.31920/2634-3622/2020/v9n4a2 munyoka, w., & maharaj, m. s. (2019). privacy, security, trust, risk and optimism bias in e-government use: the case of two southern african development community countries. south african journal of information management, 21(1), 1–9. https:// doi.org/10.4102/sajim.v21i1.983 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 275factors affecting trust in e-government mustafa, a., ibrahim, o., & mohammed, f. (2020). e-government adoption: a systematic review in the context of developing nations. international journal of innovation, 8(1), 59–76. https://doi.org/10.5585/iji.v8i1.343. mutimukwe, c., kolkowska, e., & grönlund, å. (2020). information privacy in e-service: effect of organizational privacy assurances on individual privacy concerns, perceptions, trust and self-disclosure behavior. government information quarterly, 37(1), 101413. https://doi.org/10.1016/j.giq.2019.101413 nofal, m. i., al-adwan, a. s., yaseen, h., & alsheikh, g. a. a. (2021). factors for extending e-government adoption in jordan. periodicals of engineering and natural sciences, 9(2), 471–490. nunnally, j. c. (1978). psychometric theory. mcgraw-hill. oktiani, h., & gunawibawa, e. y. (2019). tata kelola website desa dan kapasitas pengelola dalam memproduksi konten sebagai media informasi dan promosi potensi desa (studi pada pengelolaan dan kompetensi pengelola website desa di kecamatan pringsewu, kabupaten pringsewu). laporan akhir penelitian dasar universitas lampung, 1–64. ospina, m. l. c., & pinzón, b. h. d. (2018). theoretical perspectives on usage of egovernment service: a literature review. twenty-fourth americas conference on information systems, 1–10. panthee, m., & sharma, d. y. k. (2019). review of e-government implementation. international journal of recent research aspects, 6(1), 26–30. pérez-morote, r., pontones-rosa, c., & núñez-chicharro, m. (2020). the effects of egovernment evaluation, trust and the digital divide in the levels of e-government use in european countries. technological forecasting and social change, 154, 119973. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2020.119973 pratiwi, r., saputra, r. h., & waziana, w. (2020). sosialisasi internet sehat dan aman (insan). jurnal pkm pemberdayaan masyarakat, 1(2), 27–32. putri, m. e., & ruldeviyani, y. (2019). prioritization strategy for government’s website information quality: case study: indonesia national public procurement agency. proceedings of the 2019 international conference on information technology and computer communications itcc 2019, 37–44. https://doi.org/10.1145/ 3355402.3355409 rasool, t., warraich, n. f., & rorissa, a. (2019). citizens’ assessment of the information quality of e-government websites in pakistan. global knowledge, memory and communication, 69(3), 189–204. https://doi.org/10.1108/gkmc-03-2019-0033 santhanamery, t., & ramayah, t. (2018). trust in the system: the mediating effect of perceived usefulness of the e-filing system. in s. saeed, t. ramayah, & z. mahmood (eds.), user centric e-government (pp. 89–103). springer international publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-59442-2_5 journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 276 ulung pribadi, muhammad iqbal, and fittia restiane setiawan, a. (n.d.). e-government dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat kabupaten pringsewu lampung. jurusan sistem informasi stmik pringsewu lampung, 1–16. shkarlet, s., oliychenko, i., dubyna, m., ditkovska, m., & zhovtok, v. (2020). comparative analysis of best practices in e-government implementation and use of this experience by developing countries. administratie si management public, 34, 118–136. https:// doi.org/10.24818/amp/2020.34-07 sugiyono. (2017). metode penelitian kualitatif. untuk penelitian yang bersifat: eksploratif, enterpretif, interaktif, dan konstruktif. bandung: alfabeta supriyanto, a., diartono, d. a., hartono, b., & februariyanti, h. (2019). inclusive security models to building e-government trust. 2019 3rd international conference on informatics and computational sciences (icicos), 1–6. https://doi.org/10.1109/ icicos48119.2019.8982457 tjen, c., indriani, v., & wicaksono, p. t. (2019). prior experience, trust, and is success model: a study on the use of tax e-filing in indonesia. journal of the australasian tax teachers association, 14(1), 1–24. tsui, h.-d. (2019). trust, perceived useful, attitude and continuance intention to use e-government service: an empirical study in taiwan. ieice transactions on information and systems, e102.d(12), 2524– 2534. https://doi.org/10.1587/ transinf.2019edp7055 uthaman, vijaya. s., & vasanthagopal, r. (2020). the mediating roles of perceived ease of use, perceived usefulness, satisfaction and trust on relationship between egovernance service quality and behavioural intention: a study among beneficiaries of common service centre’s in india. 04th international conference on marketing, technology & society 2020, 1–4. 2 (mitologi yunani) 107 125 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 127 143 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 (1master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 145 161 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1, adie dwiyanto nurlukman2 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 163 177 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 (1government science study program, stisip yuppentek, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 179 190 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p (communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  145 citation : fadli, yusuf and adie dwiyanto nurlukman. 2018. “government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, 145-161. journal of government and civil society vol. 2, no. 2, september 2018, pp. 145-161 doi: 10.31000/jgcs.v2i2.1022 received 5 october 2018 revised 28 october 2018 accepted 28 october 2018 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1*, adie dwiyanto nurlukman2 1 government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: fadli8daglish@gmail.com 2 government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: adiedwiyanto@gmail.com abstract the pendulum of the development at the global level moves to the extent of collaborative work between government, society and third parties. today, in indonesia a collaboration model is also implemented with the aim of presenting long-standing welfare in coastal areas. the poverty that surrounds coastal communities is an anomaly in the midst of the abundance of wealth stored in the sea of indonesia. the regional government of tangerang regency encourages to collaborate with external parties to resolve the troubles. this article tries to use the modified triplehelix model as an analytical framework, which is useful for knowing the role of actors involved in creating development innovation. this study uses qualitative methods to see and find out how political, social, and academic actors interact and integrate into overcoming public problems that arise from the perspective of collaborative governance. the findings of the study found, first, collaborative work is useful to improve governance, second, to provide opportunities for actors to find effective solutions, and thirdly, to increase trust between government and citizens. this article argues that the success of collaborative work depends on the synergy between actors and the extent to which each program can demonstrate its sustainability. keywords: collaborative work, triple-helix model, coastal area, tangerang regency introduction community participation is one of the key supporting elements in sustainable development. the form of community involvement can also take the form of empowerment with its involvement in decision making (arnstein, 1969; irvin & stansbury, 2004). community participation can lead to the government in reaching honest decisions and in conformity with the needs of existing problems in the evolution. in this era of openness, the government must set out to involve other sectors as a form of collaboration, especially the community in order to promote innovation in policy. in terms of development, the approach of the single subject of the government as the only actor, has been proven to close the spaces of innovation in development policies which result in failure to achieve the objectives of development (evans, 1996; krueger, 1990). whereas in fact development is an overall transformation of society towards a better direction (stiglitz, 2002). based on these arguments, it is impossible that development journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 146 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman will proceed without a shared change from the community and the government in the form of policy innovation (etzkowitz & leydesdorff, 2000). local government collaboration, in which all efforts and responsibilities are shared with all stakeholders involved, is an increasingly popular approach to addressing problems in the community (warm, 2011). through a collaborative approach, it is ensured that cooperation has been carried out between the governmentcommunitythird parties, and this is a key element in the development agenda which also encourages efforts to modernize the government in the regions (akbar, pilcher, & perrin, 2012). however, in the development process the government will play a significant role. they are “drivers” of development, which means that policies that come from the government have a big impact on development. the government plays a central role both in creating economic and institutional conditions that can adapt to the market and bureaucracy. so the key to the role of government in development is to guide policy (martini, tjakraatmadja, anggoro, pritasari, & hutapea, 2012). in the case of the development sector in coastal area of tangerang regency, the role of local governments can be seen by their policies to support sectors that live in coastal areas, such as being facilitators and providers of funds. the government has a responsibility to create macroeconomic conditions conducive to accelerating and expanding investment. participation or involvement of civil society or more popular with forms as nongovernmental organizations have become more significant in current development. participation in this development can be based on the adoption of the triple helix model, by involving academic groups as government assistants or partners, so that development becomes closer to its objectives. community development can be done by involving other sectors, organizations and government agencies to work in partnership to improve the quality of the community to participate in fostering the concept of good governance. in terms of developing coastal areas in tangerang regency, we can find variant actors who can contribute to poverty. the actors involved are the government, community groups and academics. each actor has their own duties and functions. the regime has tried to respond by emphasizing services, supporting infrastructure, increasing training opportunities and shifting policies that can sustain growth. the triple-helix model is known to be a framework at the national policy level to encourage innovation in development. this paper tries to modify the triple-helix model to be adopted at the regional level. “national level” terminology will be replaced by the term “region” which represents various actors and activities, which focus on the activities of grassroots development initiatives in the region. therefore, the main focus of the integrated framework focuses on the interactions that occur, as demonstrated by actors in the region which aims to support and facilitate and explore the process of knowledge development, learning collaborative social interaction, and elaborating values local wisdom p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 147government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities in the grassroots to encourage development initiatives in an effort to prevent obstacles with the transfer of scientific knowledge that is considered new. (rho, 2014; wellbrock, roep, & wiskerke, 2012). civil society in terms of development has an important role as social capital. guidance on social capital, usually has been seen as a duty of policy in economic reform; but unlike economic policies or even economic institutions, social capital is not easily made or shaped by public policy (fukuyama, 2001). this means that social capital or civil society is an instant informal norm that promotes cooperation between individuals. cooperation cannot be made by policy, which is reflected in the sense of individual selfishness.this paper attempts to analyze using the analytical framework developed by wellbrock et al. (2012) to examine collaborative management efforts in the development of coastal areas in tangerang regency through community empowerment efforts. literature review government collaboration through adoption of triple-helix model the conception of collaborative work between the government and other sectors in encouraging development began to be an interesting study. one form of collaboration is a collaboration between government industry and universities or known as the triple helix model (etzkowitz&leydesdorff, 2000; farinha & ferreira, 2013; leydesdorff&etzkowitz, 1996). collaboration as outlined in the triple helix model is believed to be one of the solutions to encourage the growth of innovation in regions that have been the main carrying capacity in regional development. (johnson, 2008). government collaboration is an interesting phenomenon in the dynamics of government studies. forms of government collaboration that open space for other parties to engage in public management in the form of collaboration can result in governance accountability in the public sphere (gazley, 2010). in developmental studies, the components of diversity and sustainability that occur are empowered in decision making with social and environmental conditions in the community. in this case, community participation is one of the main factors for sustainable development(koontz, 2006). development encourages change in several sectors not only in economic growth. in development, this is always related to several parties and other sectors, which sometimes also have their own interests. these differences in interests then become a barrier to achieving the common goal of development.collaboration is one solution to overcome conflicts of interest. the triple helix concept is a theoretical framework for programs and policies that encourage mutually supportive relations between public-private (jacobs, 2006). however, despite the concept of collaborative work created by the triple helix in making and regulating the direction of innovation in regional development, still, this journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 148 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman does not remove its own interests which influence cooperation among the elements within it (johnson, 2008). the triple helix framework is actually made in the structure following the level of the central government, while the study of its application in adopting the work of government collaboration at the regional level to encourage innovation in regional development is still very limited, especially in rural areas (wellbrock, roep, & wiskerke, 2012). although basically, the argument regarding the development push in the region at this time, should be more emphasized to rural areas that have had access to networks, business, knowledge improvement, and innovations that are still very minimal (shucksmith, 2010; singh & siahpush, 2014). based on the argument of wellbrock et al., (2012), in encouraging rural area development by implementing the triple helix conception in its entirety it is impossible. this is based on entities in different rural areas.differences in roles are more informal, but still have important values, especially in matters that are paternalistic and ethnic (castells, 1997; reimer & markey, 2008). therefore, to adopt the triple helix model so that it can be applied in promoting development in rural areas, a component of the framework needs to be adjusted to take into account the diversity of actors and activities that contribute to place-based development in rural areas (wellbrock et al., 2012). community empowerment there are many definitions for empowerment and some of them, empowerment means releasing an individual’s internal power to achieve extraordinary results. empowerment has received attention in many disciplines, especially on development literature. one definition, defines empowerment as construction that connects individuals and competencies, natural assistance systems, and proactive behavior towards social policies and social change. based on this opinion empowerment requires a reaction from existing policies or social phenomena (rappaport, 1987; zimmerman & rappaport, 1988). another definition defines empowerment as a process of transition from a state of helplessness to a state of relative control over one’s life, destiny and environment. “the common theme among these definitions is that individuals get “control” or “control” of their environment (sadan, 1997). some definitions of empowerment do not only link the empowerment process at the individual level but also in terms of group or community level. empowerment at the community level may include participation in organizational actions in others such as collective action from community members. the community is the perfect environment for raising awareness, to help each other, to develop social skills, to carry out problem-solving, and to experience interpersonal influence. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 149government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities amanah&farmayanti(2014) argue, empowerment relates to unequal structures and to overcome these inequalities, empowerment is carried out so as to be able to increase strength, access, and also the ability to act, because in the unequal structure there are those who have the power, opportunity, and willingness to fulfill their needs. while there are other parties, which are very difficult to meet the needs because they have limited power because the system and structure are not in favor of the needs of others or the community, therefore, those who are difficult to fulfill the needs due to limited power that is the target of the empowerment process. in this case community empowerment is expressed in the community’s ability to create a new human, existential, economic, social and political values for its inhabitants, as an alternative to dysfunctional values that penetrate into society from capitalist economics, such as separate intensive consumption. from everyday life(friedmann, 1987). another definition of empowerment states that empowerment is an activity that is carried out continuously, dynamically and energetically to encourage the involvement of all existing potentials evolutionarily by involving all these potentials (suhendra & kadmasasmita, 2006). from the above definitions, it can be seen that empowerment is a series of activities carried out systematically, dynamically, energetically by utilizing the power or ability of the community to be transformed into an independence so that inequality no longer occurs which causes limitations in action. coastal area development the discourse on the development of coastal areas is an interesting topic to be discussed in the effort of equitable development and poverty alleviation (dahuri & dutton, 2000; rudyanto, 2004). coastal poverty, even resulting in the economic marginalization of coastal areas. however, even though economically marginalized, coastal areas with their superiority, especially in terms of their fishing industry, cannot be underestimated in food security, nutrition, livelihoods, rural development, and poverty alleviation (jentoft & chuenpagdee, 2015). inversely proportional to the poverty that occurs, it turns out that the fishing industry which is owned by the coastal region is precisely one of the sectors of the food industry that is experiencing the fastest development (bostock et al., 2010; ting et al., 2015). this shows that the coastal area with the fisheries sector has significant potential if it can be managed properly. the coastal area is the largest area owned by indonesia with abundant resources in the form of natural resources and human resources around the coastal area. in addition to the economic and ecological value of the coastal region, it cannot be denied that the geographical area of the deep coast is a meeting area between land and sea, towards the terrestrial coastal area covering the land area in the form of both dry and submerged journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 150 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman areas which are still influenced by the properties of the sea. whereas the seaside coastal areas cover the sea which is still affected by natural processes that occur on land such as sedimentation and freshwater flow as well as things caused by landed human activities such as deforestation and pollution (dahuri, 2003). the complexity of the function and role of the coastal region, encouraging the occurrence of various activities that involve the utilization of resources within the coastal area, so that in the coastal area management process must know in detail about the characteristics of coastal areas in each region, because coastal areas have different characteristics due to geographical conditions the region. research methods the method used in this article is to use a qualitative approach. through qualitative research methods, researchers must be able to explain things related to research subjects. qualitative research is a method used to explore and understand the meaning of individuals or groups of people who are thought to originate from social problems or humanitarian problems (creswell & creswell, 2017). researchers use qualitative methods in this study to see and analyze the collaborative work of the government in empowering coastal communities. the analysis in this study attempts to adopt the phenomenon of coastal area development through the perspective of government collaboration based on the modification of the triple-helix scheme model based on the opinion of wellbrock et al. (2012).wellbrock et al. (2012). the phenomenon of coastal area development through community empowerment is based on coastal community empowerment programs carried out by the government of tangerang regency policies through the coastal community development movement program (gerbang mapan). result the role of local governments in the development of coastal areas the implementation of the autonomy policy for the local government is expected to improve regional administration which aims to accelerate the realization of public welfare through improving services, empowerment, and community participation, as well as improving regional competitiveness by taking into account the principles of democracy, equality, justice and peculiarities of a region. the right of autonomy granted to the government to make the local government have full authority to make and implement policies, but still within the permissible limits in accordance with the rights that have been granted to local governments in the regulations. through this autonomy right, the local government has the main role to express its desire p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 151government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities in the regional development efforts that can be carried out in the form of development policies. functions as government policy makers can also be expressed in the form of development plans. in practice, the government takes careful planning with hope in practical work as expected or achieving a goal. involve all stakeholders not only in planning, but also in the implementation and supervision that must be carried out. the plan provides the goals and objectives to be achieved and the plan also sets out the steps to achieve these goals as well as possible. therefore, without a plan there is no clear goal to achieve. the main reason for planning is to provide direct objectives for individual actions from various government agencies in achieving the main objectives. the government takes their role in development by providing policies that can support development. the coastal community development movement program is one of the twenty-five priority programs in tangerang regency that were formed due to several strategic issues that exist in the tangerang regency area and are outlined in the form of the 2013-2018 regional medium term development plan (rpjmd) which refers to the law no. 23 of 2014 concerning local government and is adjusted to the vision and mission of the regional head. as stipulated in law number 23 of 2014 concerning government in article 261 paragraph (4) which states that regional development planning uses a political approach carried out in translating the elected regional head’s vision and mission into a mediumterm development planning document discussed with the dprd. in the preparation of the plan, the document refers to the national medium-term development plan, the provincial medium-term development plan and the national and provincial spatial plans, therefore the medium-term development planning of the regions is compiled based on national issues that are adapted to the regional head’s vision and mission. therefore, the 2013-2018 regional medium term development plan was prepared based on strategic issues in the tangerang regency area. the coastal community development movement program, known as gerbang mapan, is the flagship program of the tangerang regency government contained in the 20132018 regional medium term development plan (rpjmd) and involves a joint collaboration with the center for coastal and marine resources studies, bogor agricultural institute (pkspl ipb) in preparing plans and strategies through roadmap of the gerbang mapan. gerbang mapan is a program that targets the coastal population of tangerang regency as the object of its development, it is necessary to know about the flow of accountability from the implementation of the program activities, in order to find out the extent of the involvement of stakeholders involved in the effort to succeed the three development pillars of gerbang mapan itself which is acceleration economic development, accelerating infrastructure development, and strengthening community empowerment. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 152 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman based on theroadmapof gerbang mapan, which is compiled based on strategic issues contained in the coastal area by observing the three pillars of development, which are discussed based on needs and excavation of the potential of the coastal area of tangerang regency between the community, village, sub-regency, and involving the bogor agricultural institute it was found to be involved 20 (two twenty related regional work units (skpd) from the tangerang regency government in the success of the coastal community development movement program (gerbang mapan). the executors and partners involved in the coastal community development movement from the road map which contains the three pillars of development in the mapan gate, among others consist of: marine and fisheries office, bina marga and aquaticoffice, bkp3m, tourism office, environment agency ( blh), forestry office, sanitation office, youth and sports office, cooperative office, public planning office, national unity and community protection office (diskesbanglinmas), regional planning agency (bappeda), health office, pu cipta karya, pu pengairan, bpbd, sar, pmi, local revenue office, regional secretariat, industry and trading office, agriculture office, office of social affairs, and involving village parties, village community empowerment institutions, educational institutions, and private parties(pkspl ipb, 2013). however, based on the results of the study, it was found that in the implementation of gerbangmapan did not involve all parties as stated in the road map that had been agreed as a reference for the implementation of the coastal community development movement in carrying out economic and community development and procurement of supporting infrastructure for the coastal areas of tangerang regency. the government’s decision to make the marine and fisheries office as the leading sector of gerbangmapan, is considered very inappropriate because administratively in the existing governance structure, the marine and fisheries office has equal position with other agencies so that they cannot regulate other services because of the similarity should be incorporated in building coastal areas through gerbang mapan in accordance with the roadmap that has been compiled. the lack of involvement of other agencies and other partners in the gerbangmapan program has caused the flow of implementation and monitoring of the sustainability of the program to be considered as less influential on the success of the program as measured by the success of establishing three pillars of development in gerbang mapan in accelerating economic growth, infrastructure development and strengthening community empowerment in developing coastal areas especially coastal communities in the tangerang regency. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 153government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities the inconsistency between all parties involved in the implementation of the gerbangmapan program can be concluded because the egocentrism attitude between the local government work units (skpd) in tangerang regency is to synergize in carrying out and running the flagship program of tangerang regency so that in its implementation the activities in the coastal community development movement cannot run optimally because it is only coordinated by one party only, which is charged to be the responsibility of the tangerang regency fisheries office in implementing the coastal community development movement program. community empowerment in coastal community development movement program the gerbangmapan program was originally a program that emerged based on strategic issues in the tangerang regency region by referring to the second mission of the tangerang regencygovernment to improve and develop the regional economy and the economy of the community towards increasing regional and community competitiveness that contained in the regional mediumterm development plan 2013-2018.therefore, the gerbangmapan program in carrying out its development is centered on the community and coastal areas, which are expected to have a direct impact on improving the economy of the community accompanied by an increase in community empowerment in managing the potential and resources in the coastal area of tangerang regency. in the implementation of the gerbang mapanprogram, in the aspect of human development is emphasized more by way of empowering the community by referring to the road map that has been made with the government of tangerang regency by involving the center for coastal and marine resources studies (pkspl) from the bogor agricultural institute to support the needs of coastal communities to achieve the condition of the people who are empowered, independent, and prosperous both materially and immaterially. by knowing and being aware of its potential, it is hoped that it can overcome the problems faced so that it can achieve fulfillment of needs by adhering to the management principles of the gerbang mapanprogram, independent, sustainable, and prosperous. in the implementation of activities empowering coastal communities in gerbang mapan is directed to make the community empowered in accordance with their abilities and potential in order to create economic and social capacity enhancement of the community. especially the coastal community of tangerang regency which still depends on the livelihoods of fishermen, both capture fishermen and pond fishermen, as well as the processing industry. in this case, the steps taken by the fisheries and maritime service in conducting the qualifications for the gerbang mapan recipient group in the coastal area of tangerang regency are to ensure that the implementation of economic improvement activities through empowerment can be truly targeted and accountable so that it can journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 154 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman stimulate other groups to participate actively in a series of fisheries activities without relying on the assistance that will be provided by the government from the implementation of the gerbang mapan which is carried out alone but motivated by its own initiative in utilizing and managing the potential available in the coastal area of tangerang. in the activity of empowering the community to improve the ability to manage the existing potential, it can also be accompanied by increasing the ability and skills of the community in productive economic business activities to create prosperity in people’s lives. a form of basic capacity enhancement carried out in activities to improve the economy through community empowerment in gerbang mapan which is carried out to community working groups which include fishpond groups, mangrove cultivation groups, and fishery products processing groups.but, the implementation of government agency alignments to some coastal communities, especially cultivation groups, is deemed incompatible with the goal of establishing a gerbangmapanroadmap by gathering communities and village groups to conduct focusgroupdiscussion (fgd) to formulate community needs with plans to be carried out by the tangerang regency government in implementing the flagship program of gerbangmapan but emphasizes more on the compatibility between the results of the fgd and the priority programs of the gerbang mapan. although the classification of activity focus contained in the framework of the implementation of gerbangmapan is based on the roadmapare divided into 4 stages consisting of 2014 as the year of planning and preparation of the road map, in 2015 focused on implementing the priority program results formulated from the roadmap by involving the community so that it was chosen to focus on the fields of pond and mangrove cultivation, clean water supply, and processing groups, in 2016 is focused on improving the capacity and capabilities of the cultivation and mangrove groups, processing groups, and coastal teaching program, while in 2017 it focused onthe implementation and stages of achieving the targets of the activities of mangrove cultivation groups, processing groups, and coastal teaching program(pkspl ipb, 2013). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 155government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities figure 1. implementation stages focus of gerbang mapan analysis and discussion a form of government collaboration that opens space for other parties to be involved in public management. in development studies, a key component of sustainability from development is the involvement of stakeholders in decision-making by shaping social and environmental conditions in the community (a collaboration between government and society). in this case the collaboration model is in the form of a modified triple-helix model based on the argument wellbrock et al. (2012) to apply the triple helix conception based on the entities (actors) in the area. therefore, to adopt the triple helix model so that it can be applied in promoting development at the regional level, a component of the framework needs to be adjusted to take into account the diversity of actors and activities that contribute to place-based development at the regional level(wellbrock et al., 2012). journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 156 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman in the development of coastal areas in tangerang regency, we can find actors who contribute directly or indirectly to the problem of poverty. these actors are the government, community groups, and academic organizations which in this case are represented by the center for coastal and marine resources studies (pkspl) bogor agricultural institute. each actor has their own work desk. the government has tried to respond by emphasizing the general policy of coastal development by providing services, supporting infrastructure, increasing training opportunities, and changing policies that can support development. during the development process, the government plays an important role. they are “drivers” of development, which means that policies that come from the government have a big impact on development. the government plays a central and pervasive role both in building economic and institutional conditions such as market regulation and bureaucracy. so the key role of government in development is the direction of their policies. the main function of the government as a foothold in the development of coastal areas through its policies has been stated quite well through what is contained in the 20132018 regional medium term development plan. in the tangerang regency regional medium term development plan (rpjmd) 20132018, the gerbangmapan program is a program formulated to realize the mission of the tangerang regency government in enhancing and developing the regional economy to create competitiveness between regions and communities with the aim of increasing growth, and the role of increasing regional economies in the regional economy and supporting economic activities with several existing targets including increasing economic growth and equity, reducing poverty, and increasing employment opportunities. civil society participation or more popular through the community groups has become more significant in current developments. in this case, community participation should be emphasized as an assistant or government partner, so that the course of development policy becomes closer to its objective. a community empowerment process that involves many people, organizations, and government agencies to work in partnership for improving thecommunities and foster good governance. based on the results of research, community participation based on civil society is very limited. the problem of the low quality of education is a major problem that has an impact on the limited knowledge of coastal communities. so that its main function in coastal development is very limited. in general, society is still more involved as an object of development than as a subject. empowerment programs that exist in coastal community development policies through empowerment programs are still dominant emphasizing development at the base level, so that innovations that are expected to emerge from the empowerment process become very minimal and tend to be limited. so that one of the causes of the condition of the tangerang coastal regency community is still lagging behind in development due to the undeveloped economic activities of the community caused by the lives of helpless people. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 157government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities an interesting finding from the coastal area development program through community empowerment is the involvement of academic groups, in this case the center for coastal and marine resources studies, bogor agricultural institute (pkspl ipb). in its implementation, the coastal community development program, the aspect of human development is emphasized by way of empowering the community by referring to the road map that was created with the tangerang regency government by involving the center for coastal and marine resources studies (pkspl) from bogor agricultural institute.the involvement of these academic groups in general has an impact on the development policy through the established gate roadmap which has an impact in supporting the fulfillment of the needs of coastal communities to achieve the conditions of an empowered, independent, and prosperous society both materially and immaterial by knowing and being aware of the potential that they have so as to overcome problems faced so that it can achieve fulfillment of needs by adhering to the management principles of the mapan gate program, namely mandiri, sustainable, and prosperous. although the implementation of the pkspl ipb involvement is still very minimal, because it is more focused only on making the roadmap. based on this, the results of the study show that coordination and collaboration between local governments, community groups and academic organizations is still very minimal. all parties work by only being fixated on their respective duties and roles and very minimal in coordination with each other. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 158 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman table 1. summary of the role and form of collaboration between governmentcommunity-academic activity government civil society academic roles and forms of collaboration roadmap policy makers to support the development program and leading sector for the collaboration process as the main target and actor in the implementation of the development program as an assistant in planning and knowledge sharing in the empowerment process realization in general, policies regarding development have been thoroughly arranged. the sharing program process is still very minimal and only fixated on one side of the fisheries and maritime affairs office community involvement is still minimal and more only acts as an object. in the process of implementing the program only based on certain groups and not comprehensive to all coastal areas collaboration is limited to the creation of road maps and has not yet been formulated to sharing knowledge in real terms to solve problems in the form of community empowerment conclusion the involvement of other sectors outside the government in the form of community participation and knowledge sharing in the form of community empowerment from academic groups is very important in coastal area development programs. collaboration carried out by the tangerang regency government with the coastal and marine resources study center,bogor agricultural institute (pkspl ipb), is a pattern that has begun to be well developed, only a more in-depth collaboration is needed, especially in terms of implementing empowerment programs. participation from the community that is still very minimal needs to experience optimization, especially in terms of suppressing fundamental problems that still occur in society. this paper seeks to build a framework for modification of the triple-helix model in the level of regional development based on the collaboration of entities in the area of coastal area development based on research results which are then developed to further p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 159government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities direct researchers to a specific set of variables for deeper analysis. based on the analysis through the existing framework, this paper recommends several things. the role of government in implementing policies must be increased, especially in the case of socialization must be improved and updated to maximize its function. policies to boost basic levels such as knowledge and education must be carried out because these problems are fundamental problems to maximize development community involvement. the role of academic groups can be more optimized, especially to carry out ongoing guidance and consultation to the community through an empowerment process, which aims to strengthen the readiness and independence of the community in order to maximize the function of civil society in the development of coastal areas in tangerang regency. reference akbar, r., pilcher, r., & perrin, b. (2012). performance measurement in indonesia: the case of local government. pacific accounting review, 24(3), 262–291. amanah, s., &farmayanti, n. (2014). pemberdayaansosialpetani-nelayan, keunikanagroekosistem, dan dayasaing. yayasan pustakaobor indonesia. arnstein, s. r. (1969). a ladder of citizen participation. journal of the american institute of planners, 35(4), 216–224. bostock, j., mcandrew, b., richards, r., jauncey, k., telfer, t., lorenzen, k., … gatward, i. (2010). aquaculture: global status and trends. philosophical transactions of the royal society of london b: biological sciences, 365(1554), 2897–2912. dahuri, r. (2003). keanekaragamanhayatilaut: asetpembangunanberkelanjutan indonesia. gramediapustaka utama. dahuri, r., & dutton, i. m. (2000). integrated coastal and marine management enters a new era in indonesia. integrated coastal zone management, 1(1), 1–16. etzkowitz, h., &leydesdorff, l. (2000). the dynamics of innovation: from national systems and “mode 2” to a triple helix of university–industry-government relations. research policy, 29(2), 109–123. evans, p. (1996). government action, social capital and development: reviewing the evidence on synergy. world development, 24(6), 1119–1132. farinha, l., & ferreira, j. j. (2013). triangulation of the triple helix: a conceptual framework. triple helix association, working paper, 1. friedmann, j. (1987). from social to political power: collective self-empowerment and social change. graduate school of architecture and urban planning, university of california, los angeles. fukuyama, f. (2001). social capital, civil society and development. third world quarterly, 22(1), 7–20. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 160 yusuf fadli and adie dwiyanto nurlukman gazley, b. (2010). linking collaborative capacity to performance measurement in government-nonprofit partnerships. nonprofit and voluntary sector quarterly, 39(4), 653–673. irvin, r. a., & stansbury, j. (2004). citizen participation in decision making: is it worth the effort? public administration review, 64(1), 55–65. jentoft, s., &chuenpagdee, r. (2015). interactive governance for small-scale fisheries. global reflections. dordrecht, ma: springer. johnson, w. h. (2008). roles, resources and benefits of intermediate organizations supporting triple helix collaborative r&d: the case of precarn. technovation, 28(8), 495–505. koontz, t. m. (2006). collaboration for sustainability? a framework for analyzing government impacts in collaborative-environmental management. sustainability: science, practice and policy, 2(1), 15–24. krueger, a. o. (1990). government failures in development. journal of economic perspectives, 4(3), 9–23. leydesdorff, l., &etzkowitz, h. (1996). emergence of a triple helix of university— industry—government relations. science and public policy, 23(5), 279–286. martini, l., tjakraatmadja, j. h., anggoro, y., pritasari, a., &hutapea, l. (2012). triple helix collaboration to develop economic corridors as knowledge hub in indonesia. procedia-social and behavioral sciences, 52, 130–139. pkspl ipb. (2013). final report gerbangmapan. kabupaten tangerang: pemerintahkabupaten tangerang. rappaport, j. (1987). terms of empowerment/exemplars of prevention: toward a theory for community psychology. american journal of community psychology, 15(2), 121– 148. rho, w.-j. (2014). triple helix for social innovation: the saemaulundong for eradicating poverty. journal of contemporary eastern asia, 13(1). rudyanto, a. (2004). kerangkakerjasamadalampengelolaansumberdayapesisir dan laut. makalahdisampaikan pada sosialisasi nasional program mfcdp, 22. sadan, e. (1997). developing a theory of empowerment. e. sadan, empowerment and community planning: theory and practice of people-focused social solutions, 137–168. stiglitz, j. e. (2002). towards a new paradigm for development: strategies, policies and processes. suhendra, k., &kadmasasmita, a. d. (2006). perananbirokrasidalampemberdayaan masyarakat. alfabeta. ting, k.-h., lin, k.-l., jhan, h.-t., huang, t.-j., wang, c.-m., & liu, w.-h. (2015). application of a sustainable fisheries development indicator system for taiwan’s aquaculture industry. aquaculture, 437, 398–407. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 161government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities warm, d. (2011). local government collaboration for a new decade: risk, trust, and effectiveness. state and local government review, 43(1), 60–65. wellbrock, w., roep, d., &wiskerke, j. (2012). an integrated perspective on rural regional learning. european countryside, 4(1), 1–16. zimmerman, m. a., & rappaport, j. (1988). citizen participation, perceived control, and psychological empowerment. american journal of community psychology, 16(5), 725– 750. * acknowledgment this research was supported by ministry of research, technology, and higher education of the republic of indonesia in the lecturer research grant program (2018). copyright (c) 2018 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00. halaman prelims 00. halaman prelims 00. halaman prelims daftar isi daftar isi 03. government collaboration cover cover (tampak depan) daftar isi 03. government collaboration 2 (mitologi yunani) 33 citation : chumaedi, achmad. 2018. “pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 33-50. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 33-50 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.717 received 17 april 2018 revised 30 may 2018 accepted 3 june 2018 pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran achmad chumaedi1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: memedchumeidy80@gmail.com abstrak tulisan ini ingin mengelaborasi pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat beserta pandangannya terhadap revolusi iran 1979. ideologi atau pemikiran muthahhari pada dasarnya cenderung pada ideologi perjuangan dalam menentang peradaban barat yang dalam pandangannya telah menghancurkan segi-segi moral manusia. muthahhari mengemukakan bahwa salah satu prinsip ideologi islam adalah persamaan derajat serta tidak adanya diskriminasi. demokrasi yang dijalankan bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan, dengan pertimbangan rakyat akan menerima pemerintah sebagai bagian dari amanat yang diberikan oleh allah. artinya, prinsip keadilan yang diterapkan di berbagai sektor kehidupan didasarkan pada universalitas hukum ilahi. sebab itu revolusi iran pada prinsipnya merupakan sebuah upaya untuk mengubah tatanan moral masyarakat iran melalui penegakan syariat islam. bagi muthahhari keberhasilan revolusi iran merupakan buah dukungan dari spiritualitas dan moralitas masyarakat iran secara keseluruhan. gerakan yang membawa iran ke pentas dunia ini telah menghasilkanide-ide besar dan menimbulkan reaksi dari barat yang cemas. gerakan ini mampu mengajarkan orang lain (bangsa) agar berdiri sendiri serta mempunyai pikiran dan ajaran yang mandiri. kata kunci: negara, masyarakat, revolusi iran, ulama, murtadha muthahhari abstract this paper want to elaborate murtadha muthahhari’s thought about state, society, and its views on iranian revolution. muthahhari’s thought basically tends toward the ideology of struggle against western civilization which is in his view destroyed the moral aspects of iranian people. muthahhari argues that one of the principle of islamic ideology is equality and also the absence of discrimination. democracy aims to create just and prosperous society, with the consideration that people will accept government as part of the mandate given by god. the principles of justice applied in various sector of life based on the universality of divine law. therefore, iranian revolution in principle is an attempt to change the moral order of iranian society through the enforcement of syariat islam. in murtadha muthahhari’s view the success of the iranian revolution is a fruit of support from the spirituality and morality of iranian society as whole. the movement that brought iran to the world stage that has generated great ideas and caused anxious reaction from west. this movement is able teach others nation to stand on their own and have independent thoughts. keyword:state, society, iranian revolution, ulama, murtadha muthahhari journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 34 achmad chumaedi pendahuluan demokrasi dalam arti kedaulatan rakyat adalah prinsip dasar dan landasan bagi pembentukan kekuasaan negara. selama kedaulatan rakyat belum mendapat tempat yang layak dalam kehidupan ekonomi, politik dan budaya maka selama itu pula sejarah akan memberikan alat-alat perlawanan untuk menegakannya (dahlan, 2000). sementara dalam pandangan muthahhari demokrasi merupakan sebuah kebutuhan pada suatu pemerintahan. dalam pemerintahan demokrasi, masyarakat dapat melaksanakan tanggung jawab yang menyeluruh sesuai takdir (muthahhari, 1982). lebih jauh, tujuan didirikannya negara islam, dalam hal ini adalah negara iran, adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, selain juga untuk melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan-ketertiban, dan berupaya membangun di mana setiap warganegara bisa ikut berpartisipasi menyumbangkan kemampuan-kemampuannya demi kesejahteraan bersama. sebagai suatu gerakan islam yang paling dramatis di abad ke-20, revolusi iran menjadi bukti keberhasilan dalam mengembalikan sekaligus juga menerapkan prinsip-prinsip ajaran islam dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. gerakan ini tidak hanya dilakukan kelompok masyarakat menengah ke atas, tetapi meliputi seluruh lapisan masyarakat iran. muthahhari menyebutnya sebagai gerakan nyata yang menentang konsep penafsiran materialistik terhadap sejarah dan materialisme dialektika yang menempatkan ekonomi sebagai landasan bagi bangunan dan juga gerakan sosial(dalam donohue & esposito [eds.], 1984). sementara itu, di antara pemikir barat, foucault menyatakan revolusi iran sebagai revolusi posmodern pertama dalam sejarah, dan castells menganggapnya sebagai ’exclusion of the excluders by the excluded’ (dalam yasmin, 2015). bagaimanapun juga gerakan islamisme dan revolusi yang dimotori oleh ayatullah khomeini ini membuka mata dunia untuk melihat, memahami, dan menempatkan revolusi dalam konteks positif; revolusi ini juga menjadikan islam sebagai sumber semangat juang dan sebagai suatu sarana untuk mengekspresikan ketidakpuasan kaum pribumi terhadap campur tangan barat. salah satu fenomena yang menarik dicermati pada revolusi ini ialah penggunaan bahasa islam guna mengekspresikan ketidakpuasan politik masyarakat (muhammad, 2012). perjuangan yang memakan waktu panjang ini adalah gerak langkah rakyat iran untuk membangun kembali islam yang kaffah, di mana islam merupakan satu bagian di dalam budaya masyarakat secara keseluruhan. kuntowijowo (1991) menyatakan bahwa islam memiliki karakter yang revolusioner lantaran senantiasa menghendaki transformasi struktural. islam berupaya merombak struktur-struktur ketidakadilan dalam masyarakat. itulah sebabnya gerakan kelas dalam islam tidak untuk mengantarkan kelas mustad’afin p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 35pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran menegakkan keditaktoran baru, melainkan untuk melakukan transformasi dalam kerangka menciptakan struktur-struktur baru yang lebih adil. bersama para ulama (mullah), muthahhari di dalam dewan revolusi iran berusaha mengedepankan islam sebagai basis kekuatan di segala bidang sekaligus mengupayakan independensi institusi iran dari intervensi barat. konstruksi dalam gagasan itu sejalan dengan keinginan masyarakat muslim dewasa ini, yaitu ingin menegakkan kembali ideologi islam di dunia. bagaimanapun juga islam bukanlah sekumpulan dogma dan ritual semata, melainkan berisi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran hidup (berbangsa dan bernegara) yang paripurna (al-maududi, 1994). di dalam konteks tulisan ini, ada berbagai penelitian terdahulu yang sudah mengkaji pemikiran murtadha muthahhari. namun, dalam tulisan-tulisan tersebut belum ditemui pembahasan mengenai pemikiran murtadha muthahhari kaitannya dengan negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran.tulisan karya basit (2008) membahas tentang pandangan muthahhari yang berkaitan filsafat sejarah; penelitianzulfata (2016) berusaha mengkontekstualisasi pemikiran filsafat ilmu muthahhari pada perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini; penelitian nur (2016) mengemukakan pandangan etika murtadha muthahhari yang berangkat dari al-qur’an dan hadis yang dijiwai dengan filsafat wilayatul faqih; penelitian barsihannor (2011) membahas pemikiran muthahhari secara umum; penelitian harahap (2015) memaparkan penjelasan muthahhari terkaitkebenaran tauhid; tulisan ahmar (2006) menjelaskan pemikiran muthahhari mengenai keadilan ilahi yang merupakan perpaduan antara rasional dan spiritual yang terlihat pada penggunaan metode berpikir serta metode pendekatan analisisnya; tulisan sanusi (2012) menjelaskan terkait pemikiran muthahhari mengenai manusia sebagai subjek dakwah di mana pengetahuan serta keimanan yang dimilikinya dapat melahirkan kesadaran diri; penelitian asmawi (2013) menjelaskanpemikiran pendidikan islam multikultural murtadha muthahhari pada madrasah aliyah negeri 2 model palu; penelitian sabara (2016) yang mengupas pemikiran tasawuf muthahhari dengan fokus pembahasannya pada relasi dan kesatuan antara ilmu, ima dan akhlak dalam bingkai pemikiran tasawuf. adapun berbagai penelitian yang berkaitan dengan revolusi islam iran dan berbagai aspek yang ada di dalamnya, dapat disebutkan antara lain penelitian yang dilakukan oleh rochmat (2009) yang membahas iran pascakematian imam khomeini; penelitian sudrajat (1996) serta kurdi (2007) mengupas peran imam khomeini dalam revolusi iran; penelitian emroni (2008) membahas tentang bagaimana nuansa tasauf pada revolusi iran yang ikut menjadikan sistem pemerintahan iran sarat dengan muatan-muatan tasauf; penelitian yang dilakukan pramono (2017) mencoba menjelaskan proses perubahan politik yang terjadi di iran secara kronologis dari masa kekuasaan reza pahlavi sampai pembentukan negara islam. dalam tulisan-tulisan tersebut, tidak ditemui pembahasan journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 36 achmad chumaedi mengenai bagaimana pandangan sosok murtadha muthahhari terhadap revolusi islam iran. tinjauan pustaka biografi singkat murtadha muthahhari (1920-1979) lahir pada 2 februari 1920 di fariman, sebuah kota di propinsi khurasan di bagian iran timur (bagir, 1993). ayahnnya, syaikh muhammad husein muthahari, adalah seorang ulama yang terkemuka dan dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat baik di khurasan itu sendiri maupun di iran (nasution, 1992). pendidikan muthahhari diawali dari ayahnya sendiri kemudian dilanjutkan masuk ke madrasah khanah maktab (sekolah dasar tradisional) di fariman. sejak kecil, sudah tampak bakat dan kecintaannya kepada ilmu kalam atau teologi. pada 1932, ketika usianya 12 tahun, muthahhari pindah ke masyhad untuk mempelajari dasar-dasar pengetahuan ilmu keislaman secara formal. di sana muthahhari mulai menemukan kecintaannya terhadap filsafat, teologi dan tasauf. kecintaan tersebut, melekat pada dirinya di sepanjang hidupnya serta membentuk pandangannya yang menyeluruh mengenai agama (hasan, 1987). muthahhari juga mempelajari nahjul balagah, di bawah bimbingan mirza ali asysyirozi dan mendapat bimbingan dari ayatullah burujerdi ahli tasauf dan filsafat. pada 1950, muthahhari mendalami asy-syifa karya ibnu sina dan filsafat materialisme dari sayyid muhammad husein tabatabai seorang mufasir serta ahli filsafat. pada 1950, muthahhari pindah dari qum ke teheran dan menetap di sana. di teheran, muthahhari menikah dengan putri ayatullah ruhani dan ia mengajar di madrasa-yi marvi. selain membina reputasi di bidang pendidikan, muthahhari juga aktif dalam organisasi keislaman. pada 1960, ia menjadi pemimpin kelompok ulama teheran, yaitu anjaman-i mahanayi dini (bagir, 1993). enam tahun sebelumnya, muthahhari diminta untuk mengajar filsafat pada fakultas teologi dan ilmu keislaman di universitas teheran. karier akademisnya di universitas teheran dijalaninya selama 22 tahun dengan berbagai tantangan dan kendala yang ada, terutama karena kedekatannya dengan imam khomeini. ketika imam khomeini menjalani masa pembuangannya, muthahhari tetap berhubungan dengan imam khomeini baik secara langsung maupun tidak. ketika revolusi iran mendekati klimaks kemenangannya pada musim dingin 1978, muthahhari adalah salah satu tokoh yang ikut mengunjungi imam khomeini di paris. pada pertemuan tersebut muthahhari ditunjuk sebagai ketua dewan revolusi islam yang berisikan sembilan orang. dewan revolusi islam inilah yang berperan penting bagi revolusi iran, di samping tujuannya untuk merancang dan memperbaharui konstitusi islam iran. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 37pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran pengabdian muthahhari pada revolusi islam merupakan pengabdian yang tulus dari seorang ulama sekaligus intelektual. pada masa pengabdiannya tersebut, muthahhari dibunuh secara tragis pada 1 mei 1979 oleh kelompok furqon, yaitu kelompok yang menyatakan diri sebagai pendukung gerakan islam progresif yang bebas dari apa yang mereka sebut sebagai pengaruh dari penyimpangan para ulama (bagir, 1993). corak pemikiran untuk mengetahui corak pemikiranmuthahhari, pertama-tama perlu untuk mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi muthahhari selama masa hidupnya, kemudian latar belakang sosial yang sedikit banyak juga turut memengaruhi corak pemikirannya. perjuangan yang dilakukan muthahhari selama lebih dari 20 tahun menjadi harapan bagi masyarakat untuk menghidupkan kembali budaya islam yang sudah lama diubah oleh pemerintahan bani qajar yang otoriter. berawal dari universitas, muthahhari mulai mengikuti ragam kegiatan diskusi filsafat, sosiologi, sosial, dan politik. akan tetapi, ideologi atau pemikiran muthahhari pada dasarnya cenderung pada ideologi perjuangan menentang peradaban barat yang dalam pandangannya telah menghancurkan dimensi moral manusia. selama memperjuangkan moral ia mengikuti berbagai kegiatan sosial yang menurutnya adalah sebuah proses kearifan ilahi, bahwa dunia mempunyai banyak fenomena baik yang buruk dan yang baik maupun yang sempurna dan tak berguna. dalam membangun proses kearifan ilahiah inilah muthahhari menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan bukan ketidaksempurnaan, kebajian sekaligus keindahan dan bukan keburukan, kebergunaan dan bukan kesia-siaan (muthahhari, 2002). selain itu, perjuangan yang diupayakan muthahhari juga ialah perjuangan wacana untuk membela islam daru serangan bertubi-tubi terhadap pikiran-pikiran dan islam di berbagai bidang, baik pokok maupun cabangnya. perjuangan itu, lalu diturunkan menjadi perjuangan jangka panjang guna menyingkirkan ideologi yang dipaksakan dan tujuan jangka pendek, antara lain (1) mengukur kondisi sosial dan tingkat kepekaan keagamaan masyarakat sebagai persiapan melaksanakan tujuan-tujuan jangka panjang; (2) menciptakan suasana yang membantu pemisahan islam dari urusan-urusan rakyat serta menggantinya dengan nasionalisme (bagir, 1993). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 38 achmad chumaedi metode penelitian penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library research)yang bersifat deskriptif analitis. secara deskriptif, penelitian ini hendak menjelaskan pandangan murtadha muthahhari mengenai negara, masyarakat dan revolusi islam iran. data primer yang digunakan ialah buku-buku yang ditulis oleh muthahhari, sementara data sekunder berasal dari buku-buku dan artikel jurnal yang membahas pemikiran muthahhari. datadata yang terkumpul kemudian diolah dengan cara dianalisis dan diinterpretasi. setelah menganalisis pemikiran muthahhari tentang konsep negara, masyarakat dan revolusi islam iran, hasil analisis tersebut diinterpretasikan untuk memperoleh makna yang memadai (explanatory). selanjutnya, untuk memperoleh hasil yang komprehensif terkait objek penelitian ini, digunakan pendekatan sosio-historis guna mengetahui fenomena sosial, sejarah perjalanan hidup, latar belakang internal dan eksternal yang memengaruhi pemikiran muthahharisehingga peneliti bisa menemukan kesinambungan pandangan muthahhari terhadap konsep, negara, masyarakat, dan revolusi islam iran. diskusi dan pembahasan pemikiran tentang negara negara dalam islam ialah bagian dari ciri-ciri sifat universal islam di mana sistem pengaturannya berbentuk lembaga formal. kata baldatun dimaknai sebagai negara yang baik, dengan penduduk yang baik pula dan mendapat ampunan allah. ada beberapa karakteristik utama yang menyangkut konsepsi negara islam, yang bisa digali dari kitab suci al-qur’an: (1) tak ada seorang pun, bahkan keseluruhan penduduk negara dapat menggugat kedaulatan, sebab hanya tuhan yang memiliki kedaulatan dan manusia hanya subjek; (2) tuhan merupakan pemberi hukum yang sejati dan wewenang legislasi mutlak ada pada-nya. dalam hal ini, umat islam tak dapat berlindung pada legislasi yang sepenuhnya mandiri, juga tak bisa mengubah hukum yang telah diletakkan tuhan sekalipun hukum tersebut diputuskan secara mufakat; (3) negara dalam islam harus berlandaskan pada hukum yang diturunkan tuhan kepada manusia melalui rasulullah. pemerintahan yang menyelenggarakan negara seperti ini akan diberi hak agar ditaati dalam kemampuannya sebagai agen politik yang diciptakan untuk menegakkan hukum (al-maududi, 1994). menurut muthahhari iran merupakan negara teokratis (muthahhari, 1896). pemerintah islam mempunyai kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah kekuasaan allah, karena tiap peraturan yang berlaku harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan syariat keagamaan. tetapi, terbentuknya pemerintahan dan pelaksanaannya harus sesuai kehendak rakyat. pemerintah ialah wakil umat guna mengurusi kepentingan agama dan dunia agar tak bertentangan dengan ajaran dalam al-quran dan hadis. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 39pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran bagi muthahhari, negara adalahsuatu lembaga yang di dalamnya terdapat ketergantungan antarsesama manusia untuk mewujudkan kerukunan dan harmoni. dengan asumsi tersebut, muthahhari memandang negara sebagai sebuah lembaga yang mengatur masyarakat untuk lebih memperjuangkan nilai demokrasi, di mana nilai suatu revolusi yang diusung lebih ditujukan bagi kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas. republik islam iran sendiri ialah negara yang mendukung proses reformasi konstitusi untuk menjalankan syariat islam di mana al-qur’an dan hadis menjadi rujukan utama dalam menjalani roda pemerintahan dan pengembangan demokrasi sebagai bagian dari cita-cita politik. bagi muthahhari demokrasi merupakan suatu hal yang sangat diminati oleh setiap individu meskipun demokrasi islam berlainan dengan demokrasi barat. islam sendiri baru mengenal istilah demokrasi pada akhir abad ke-19 ketika negara-negara islam sedang menghadapi kolonialisme, ditindas dan diperintah penguasa tiran. dalam kondisi itu, muncul gagasan demokrasi yang berasal dari barat, yang menaruh penghargaan terhadap ham, menekankan suatu kebebasan berpendapat sekaligus partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan (rakhmat, 1993). menurut muthahhari, pemerintahan yang demokratis itu bisa terwujud jika ada pengakuan akan kesamaan martabat manusia yang memungkinkan masyarakat menggunakan hak pilihnya. muthahhari mengemukakan bahwa salah satu prinsip ideologi islam adalah persamaan derajat serta tidak adanya tindakan diksriminasi (muthahhari, 1991). demokrasi yang dijalankan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan dalam memahami keberadaannya masing-masing untuk dapat menerima hasil musyawarah tersebut, dengan pertimbangan rakyat akan menerima pemerintah sebagai bagian dari amanat allah. jika amanat tersebut diabaikan oleh pemerintah, rakyat akan menjadi penentang (oposisi) guna menyerang rezim yang berkuasa. muthahhari mengutip ayah al-qur’an yang artinya: sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semua enggan memikulnya, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. sesungguhnya manusia itu amat zalim serta amat bodoh (kadir, 2015; muthahhari, 1993). sementara tentang nasionalisme, muthahhari memposisikan nasionalisme sebagai penyeimbang. dalam pandangan ulama syiah, nasionalisme adalah suatu pemahaman yang rumit untuk dibicarakan lantaran nasionalisme iran tidak terlalu berkaitan dengan permasalahan kebangsaan sebagaimana persoalan kemerdekaan. karena itu, jarang sekali iran membincangkan tentang kesatuan bangsa dan malah sebaliknya, hal yang sering ditemukan ialah tuntutan demokrasi, parlementarisme, dan rule of law (enayat, 1988). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 40 achmad chumaedi karena itu, tidak mengherankan jika para ulama dan kaum intelektual dari syiah banyak yang menentang nasionalisme budaya iran. pada konteks ini, upaya yang dilakukan oleh muthahhari, bersama dengan ali syariati, adalah mendirikan lembaga pendidikan husainiyyah irsyad yang menitikberatkan perhatiannya pada pendidikan dan dakwah islam untuk menyemaikan apa yang disebut “islam yang benar” kepada masyarakat, khususnya para pemuda iran. lembaga pendidikan ini dengan lantang menentang keyakinan mengenai keutamaan peradaban islam pra-islam dengan menunjukkan ketidakadilan sosial serta kemerosotan moral dinasti sassan. muthahhari menyimpulkan jika proses islamisasi di iran tidak asli, karena islam dipaksakan dengan jalan kekerasan; islam sendiri merupakan budaya asing bagi mayoritas masyarakat iran. karena itu, muthahhari berpendapat jika proses islamisasi di iran tidak terjadi dalam waktu sekejap melainkan berlangsung secara bertahap. menyangkut nasionalisme, muthahhari melihat terdapat dua sisi dari sikap nasionalisme, yaitu sisi positif dan negatif. pada sisi positifnya, nasionalisme akan menimbulkan solidaritas hubungan baik antarsesama dan membawa manfaat bagi kehidupan berbangsa. dalam konteks ini, nasionalisme tidak bertentangan dengan logika. namun demikian, nasionalisme juga bisa membawa sisi negatif yang dapat membangkitkan diskriminasi, mengabaikan masalah kebajikan serta menanamkan sikap berat sebelah, dan karenanya nasionalisme tak sesuai dengan moralitas serta kemanusiaan. pemikiran tentang masyarakat menurut muthahhari masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi hukum yang sama, dan hidup bersama (muthahhari, 2002). kebutuhan bersama serta ikatan-ikatan tertentu dalam kehidupan manusia telah mempersatukan manusia dan memberi setiap individu adanya rasa kesatuan. muthahhari mengumpamakannya seperti para penumpang yang tengah bepergian bersama dalam satu mobil dengan tujuan yang sama dan sama-sama berharap bisa tiba di tujuan dengan selamat serta bersama-sama menerima nasib yang diberikan allah (muthahhari, 1992). untuk mewujudkan demokratisasi dalam negara, pemimpin punya peranan yang penting. karena itu, yang diharapkan oleh masyarakat iran adalah pemimpin yang adil, yang dapat memimpin negara dengan keikhlasan hati. bagi muthahhari, para nabi merupakan pemimpin di muka bumi yang diutus allah. mereka bertugas melaksanakan kepemimpinan allah di muka bumi. nubuwwah ialah perpanjangan kekuasaan allah di dunia. setelah masa kenabian berakhir, seiring wafatnya rasul muhammad saw. maka pemimpin umat yang sah adalah yang melanjutkan khittah nabawiyah (garis kenabian). dalam pandangan muthahhari keluarga nabi ditunjuk oleh allah untuk melanjutkan tugas kepemimpinan berdasarkan minhaj para nabi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 41pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran keluarga nabi (ahl al-bayt) sendiri menjalani tiga fungsi. pertama, mereka menjadi model keteladanan dalam perilaku. kedua, melaksanakan kepemimpinan allah pada bidang sosial dan politik (wilayah ‘ammah). ketiga, memimpin kafilah kerohanian. menurut muthahhari setiap zaman mempunyai pemimpin seperti nabi (rakhmat, 1991). hubungan negara dan masyarakat masyarakat dan negara adalah dua institusi yang terus-menerus mengalami perkembangan dinamis, mencari relasi menciptakan keadilan, dan membuat suatu kesepakatan bersama. dalam negara, masyarakat memiliki peran kekuasaan untuk membuat peraturan atau undang-undang. menurut muthahhari, al-qur’an telah menjelaskan bahwa masyarakat dan bangsa (bukan hanya individu yang hidup dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhannya yang bersesuaian dengan proses sejarah tertentu. sebab itu, terdapat kesepakatan secara bersama dalam mewujudkan hukum yang bisa mengatur kehidupan masyarakat di dalam negara. dalam pandangan islam kedaulatan tertinggi merupakan kekuasaan tuhan yang bersifat absolut. sementara itu dalam kehidupan bernegara, masyarakat yang ideal ialah masyarakat yang mampu mewujudkan persamaan dan kesetaraan tanpa membedabedakan status sosial. artinya tidak ada individu yang mengalami suatu tindakan diskriminasi hanya karena perbedaan status sosial atau profesinya, sebab setiap manusia atau individu adalah khalifah di muka bumi. karena itu, pedoman ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah melalui prinsip musyawarah untuk menunjang kehidupan demokrasi. sebagai negara islam, iran adalah negara yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan pada berbagai sektor kehidupan. akan tetapi, cakupannya itu didasarkan pada universalitas hukum ilahi yang harus ditegakkan dan ditaati oleh setiap orang dan para pemimpinnya. konteks sosio-historis revolusi iran revolusi iran pada 1979 ialah bentuk revolusi sosial modern yang menjadi upaya dalam menghilangkan tradisi sekulerisme yang mewujud dalam penindasan hak-hak rakyat. sekularisme inilah yang menggerakkan perubahan sosial-ekonomi dalam masyarakat iran. dalam proses modernisasi yang dialami berbagai bangsa-bangsa di dunia, sekularisasi terjadi dengan sendirinya sebab tak bisa ditolak lagi. oleh sebab itu, modernisasi dan sekularisme bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama (dalam donohue & esposito [eds.], 1984). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 42 achmad chumaedi sekularisasi itu sendiri ditandai tiga (3) aspek. pertama, pemisahan politik dari agama dan struktur. kedua, ekspansi politik dalam menjalankan fungsi-fungsi pengaturan di bidang sosial-ekonomi yang awalnya dijalankan oleh agama. ketiga, transvaluasi budaya politik yang menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai rasional, pragmatis dan nontransendental. ketiga aspek tersebut bersifat universal dan tidak pernah terlepas dalam pertumbuhan berbagai masyarakat modern di bagian dunia mana pun. pada prinsipnya, revolusi iran terjadi dalam kurun waktu yang lama, pada waktu bangsa iran sudah menanti-nantikan datangnya perubahan, hingga akhirnya pada februari 1979 menjadi kenyataan historis. untuk memahami latar peristiwa revolusi iran, ada tiga faktor pendukung di baliknya, yaitu faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor sosial-budaya. faktor ekonomi. ketika shah reza pahlevi berkuasa, pembangunan pada bidang ekonomi lebih dititikberatkan pada pembangunan di sektor industri. dalam sektor ini, ada tiga aspek yang amat menonjol, yaitu konstruksi mobil, elektronik, dan peralatan rumah tangga (sahbudi, 1989). pembangunan dalam sektor industri terutama dibiayai dari hasil produksi minyak. namun demikian, lantaran besarnya biaya pembangunan industri, pemerintah shah merasa perlu menarik modal asing. karena itu, pemerintah memberi fasilitas keringanan bagi perusahaan-perusahaan asing yang bersedia menanamkan modal di iran untuk menggenjot pembangunan (tamara, 1980). pusat-pusat industri di iran terletak di kota-kota besar iran seperti teheran, abedan (pengilangan minyak), isfahan (pengilangan minyak terbesar serta pabrik baja), tabriz (pabrik mesin diesel), arak (pabrik mesin industri), rezaih (pabrik traktor dan mesin pertanian), dan sar chesmeh (pusat industri tembaga). seluruh unit industri terutama dibangun di kota-kota tersebut dan jumlahnya juga semakin berkembang. kemajuan yang sangat pesat dalam sektor industri telah memberikan andil yang besar bagi pemerintah shah sebagaimana juga terjadi di negara lainnya. pada konteks ini, industri yang dikembangkan shah bukanlah industri padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin;kemajuan yang pesat justru terjadi di sektor industri padat modal yang mengalami penurunan dan kemudian menjadi penyebab timbulnya pengangguran (sahbudi, 1989). inilah bentuk kesalahan shah dalam menata sektor ekonomi.kesalahan inidiperparah juga dengan kecerobohan menerima barat sebagai mitra iran. secara keseluruhan pembangunan pada sektor industri tidak mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.kondisi iran semakin tergantung pada negara lain, dan kalkulasi akhir mencatat hutang pemerintah shah sampai awal 1979 mencapai sekitar $20 juta. pembangunan sektor industri yang ternyata tidak dapat memenuhi sasaran menimbulkan aspek negatif yang cukup luas, seperti tidak berkembangnya sektor pertanian, terjadinya ketimpangan-ketimpangan tingkat pembangunan, dan tingkat hidup p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 43pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran antara daerah dan pusat, serta jurang yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin. akibatnya, timbul ketidakpuasan golongan kelas menengah terhadap rezim shah. kondisi itupun membebani masyarakat bawah yang tidak menikmati hasil industrialisasi yang digagas shah. dengan satu komitmen, rakyat selanjutnya shah agar memperbaiki tingkat perekonomian. tetapi karena tak pernah digubris, tuntutan itu pun berubah menjadi bagian dari revolusi yang berhasil melengserkan shah dari kekuasaannya. faktor politik. peran politik shah sangat menentukan bagi perkembangan kekuatan di balik layar penguasa iran yang ditandai dengan peran pertahanan dan keamanan yang lebih banyak mendapatkan porsi. melalui persediaan persenjataan (perang), shah mencari formula utama untuk mengusung kekuatan rezim. senjata-senjata tersebut merupakan hasil sumbangan dari amerika serikat yang pada saat itu merupakan mitra iran. akibatnya, kekuasaan tak bisa dikendalikan dan impian mewujudkan negara yang adil dan makmur tidak bisa terwujud. dalam membangun sektor pertahanan-keamanan shah mendirikan benteng yang sangat kuat yang selalu mendampinginya di dalam setiap aktivitas politiknya dan tak terkecuali digunakan juga untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal di wilayah arab dan kelompok oposisi yang menentang pemerintah. pemerintahan shah juga memiliki pasukan khusus pengawal kerajaan (the imperial guard) yang ditugasi menjaga shah dan polisi rahasia (sazman e etelaat va amniyaat keshvar) yang amat ditakuti oleh rakyat iran. polisi ini juga merupakan badan intelijen dan tidak segan-segan akan menindak lawan-lawan politik shah. di bidang politik dalam negeri, shah menghapuskan peran ulama (mullah) dengan cara-cara refresif, sementara di bidang politik luar negeri iran mempunyai ketergantungan kepada as. kondisi ini kemudian mengarahkan iran membangun hubungan dengan israel dan menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara yang selama ini menjadi musuh iran. akibatnya, sebagian besar rakyat iran sangat kecewa. kekecewaan rakyat iran atas shah, khususnya atas hubungan yang sudah dibangun dengan israel, berbuntut pada pemberontakan intelektual. faktor sosial-budaya. sekitar 98% penduduk iran adalah penganut islam dan pengaruh islam di berbagai bidang sangat kuat sebelum shah menduduki kursi kepemimpinan. pada 1925-1941, ketika shah berkuasa, pengaruh dari kebudayaan barat mulai masuk ke iran, dan pengaruh tersebut bertambah besar sewaktu anak shah berambisi menjadikan iran sebagai negara industri terkemuka di dunia. semakin banyaknya sektor industri yang telah berinvestasi di iran semakin banyak pula pengaruh perubahan kebudayaan. meluasnya pengaruh budaya barat tersebut menjelma dalam bentuk film, musik pop, narkoba, tempat-tempat hiburan sangat terasa di kalangan generasi muda penduduk kota. bagi kalangan agamawan hal itu dianggap journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 44 achmad chumaedi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai islam yang sudah mengakar dalam masyarakat iran (sahbudi, 1989). namun demikian, tak semua produk kebudayaan barat ditentang kalangan agamawan. mereka hanya menentang setiap bentuk kebudayaan barat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran islam sebagaimana ucapan imam khomeini yang tidak keberatan mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai bulan dan mendirikan instalasi atom (irving, 1980). sementara itu, dalam pemikirannya di bidang politik gagasan yang paling menonjol dalam pemikiran imam khomeini ialah gagasannya mengenai wilayatul faqih (tata kelola fiqih) yang pada dasarnya menuntut kepemimpinan pada umumnya, termasuk kepemimpinan politik, harus berada di tangan yang terpercaya (al-hadar, 2014; karnen, 2015). semenjak shah berkuasa pengaruh islam dikurangi sementara unsur-unsur kebudayaan barat mulai dimasukkan untuk membangkitkan kembali kebudayaan praislam. bagaimanapun juga kebudayaan parsi atau kebudayaan kuno iran telah lama mengakar dan ingin dimanfaatkan shah untuk memperkokoh kekuasaannya. akibatnya, pengaruh westernisasidianggap dapat memperkokoh kekuasaan shah. di antara berbagai kebijakan shah dalam konteks ini adalah (1) mengubah penanggalan hijriah menjadi penanggalan parsi sebagai kalender shahanshahi; (2) membanggakan iran sebagai negara para raja dan membanggakan dirinya sebagai keturunan cyprus agung; (3) berusaha membangkitkan kepercayaan-kepercayaan kuno seperti zoroastrianisme sertananichisme yang merupakan kepercayaan asli bangsa parsi. meskipun salah satu tujuannya ialah untuk membangkitkan kembali nasionalisme iran, tapi langkah-langkah tersebut malah menimbulkan kekecewaan rakyat iran, terutama para pemimpin agama yang mulai menganggap shah sedang berusaha memisahkan islam dari iran. padahal, rakyat serta para pemimpin agama merasa bahwa iran dan islam tidak bisa dipisahkan. artinya, identitas iran adalah identitas islam. kebijakan-kebijakan shah baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya, ternyata menimbulkan gejolak di kemudian hari sehingga mengakibatkan keruntuhannya. shah berusaha memodernisasi iran, tapi ia enggan memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya. akibatnya, berbagai kebijakan shah perlahan-lahan menggerogoti kekuasaannya sendiri. shah sendiri tak mengantisipasi hal tersebut, bahwa ia akan mendapat perlawanan dari rakyatnya sendiri. namun anggapan itu tak pernah digubrisnya dan dianggap sepi. demonstrasi di kota suci qum pada tanggal 9 januari 1978 menjadi suatu awal dari pergolakan panjang sebagai perwujudan rasa ketidakpuasan rakyat atas pemimpinnya. para penentang shah melakukan aksi secara sporadis hingga makin meluas dan bertambah besar. peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana tameng monarki shah tak bisa p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 45pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran dipertahankan lagi. hasilnya adalah kemenangan kelompok oposisi di bawah kepemimpinan ayatullah khomeini. pandangan muthahhari terhadap revolusi iran revolusi iran yang dikobarkan ayatullah khomeini dan para pengikutnya pada 1979 ialah salah satu peristiwa besar yang terjadi di timur-tengah. revolusi tersebut dapar meruntuhkan shah dari kekuasaannya. menurut muthahhari, kata revolusi (dalam bahasa arab inqilab) bermakna perubahan sosial, menggulingkan pemerintahan atau mengubah pola. pada konteks filsafat kata inqilab menandakan terjadinya perubahan dasar secara keseluruhan (muthahhari, 1982). revolusi yang menggemparkan dunia ini berhasil mengubah tatanan moral masyarakat iran; judi, diskotik, hiburan malam, sudah berubah menjadi pengajian-pengajian, ceramah, serta tegaknya syariat islam. berkat para ulama, iran berhasil menjadi negara yang selaras dengan nafas islam; negara yang diimpikan rakyat ini merupakan hasil kerja para ulama dan intelektual muslim. selain imam khomeini tercatat nama-nama seperti murtadha muthahhari, dr. baheshti, ayatullah shariat madari, dan ayatullah teleghani. muthahhari sendiri tampil sebagai salah satu tokoh penting dalam dewan revolusi iran, sebuah lembaga yang bertugas mempersatukan berbagai kelompok dan berbagai ideologi yang menentang semua kebijakan shah yang dianggap telah menyalahi aturan konstitusi iran. dalam pandangan muthahhari, ada tiga faktor untuk menafsirkan revolusi. pertama, revolusi yang terjadi adalah wujud dari cinta kebebasan. kedua, revolusi tersebut hanya bersifat ekonomi dan materi. ketiga, revolusi tersebut semata-mata bersifat agama (muthahhari, 1990). bagi muthahhari, keberhasilan revolusi ini merupakan buah dukungan dari spiritualitas dan moralitas masyarakat iran secara keseluruhan. gerakan yang membawa iran ke pentas dunia ini sudah menghasilkan ide-ide besar dan menimbulkan reaksi dari barat yang mulai cemas. gerakan ini dapat mengajarkan orang lain (bangsa) agar berdiri sendiri serta mempunyai pikiran dan ajaran yang mandiri. bagi muthahhari, revolusi iran tidak sama dengan revolusi perancis atau revolusi boslhevik rusia. revolusi yang terjadi di iran, tak sebatas dilakukan oleh kaum buruh, petani, mahasiswa, intelektual, kaum borjuis semata, akan tetapi meliputi seluruh lapisan masyarakat iran, yaitu mereka yang kaya dan miskin, laki-laki serta perempuan, muridmurid sekolah dan para sarjana, penjaga gudang dan buruh pabrik, pekerja profesional dan petani miskin, ulama dan guru. ulama dan guru. mereka berkumpul bersama-sama menjadi satu dan bersatu-padu(dalam donohue & esposito [eds.], 1984). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 46 achmad chumaedi menurut muthahhari, revolusi ini merupakan gerakan transparansi yang menentang konsepsi penafsiran materialistik atas sejarah serta menentang konsep materialisme dialektika yang menempatkan ekonomi sebagai suatu landasan untuk bangunan dan gerakan sosial. gerakan yang terjadi di iran tidaklah semata-semata hanya unsur ekonomi, akan tetapi lebih kepada persoalan identitas dan paradigma dalam pengembangan syariat islam sebagai pedoman hidup berbangsa-bernegara. tujuam revolusi iran adalah menegakkan demokrasi dan menghapus kolonialisme sekaligus menegakkan hak-hak asasi manusia dan melenyapkan ketidakadilan dan penindasan. muthahhari mengutip kisahdari imam husein yang mengemukakan ajaran pokok islam tentang pembaharuan (muthahhari, 1986).pertama, tanda-tanda jalan menuju (keridaan) allah yang sudah hilang harus ditegakkan kembali seperti sedia kala. kalimat ini menunjukkan adanya ajaran-ajaran yang murni dan adanya keharusan untuk kembali kepada ajaran-ajaran tersebut. bidah harus dibuang serta kedudukannya diganti oleh ajaran-ajaran yang benar dan asli. dengan kata lain ini adalah pembaharuan yang mendasar dalam pemikiran, kesadaran dalam beragama dan semangat untuk membangun islam yang rahmatan lil ‘alamin. kedua, pembaharuan-pembaharuan yang mendasar, tuntas serta berjangka panjang yang akan bisa menarik perhatian para pengamat dan menanamkan benih kesejahteraan untuk semua orang, baik di kota maupun di desa. hal ini merupakan pembaharuan kondisi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. ketiga, orang yang dianiaya harus dijamin keselamatannya dari penindasan dan kesewenang-wenangan. ini merupakan pembaharuan dalam bidang hubungan antarsesama manusia. keempat, perintah-perintah allah yang selama ini dianggap sepi atau tidak diperhatikan, harus dihidupkan kembali sehingga memperoleh kehidupan tertinggi dalam rangka mengatur kehidupan sosial masyarakat. bagi muthahhari, apa yang terjadi di iran sepanjang50 tahun terakhir bisa disimpulkan sebagai berikut (muthahhari, 1986). 1. despotisme absolut yang keji. 2. penolakan terhadap segala jenis kemerdekaan. 3. jenis baru kolonialisme, yaitu kolonialisme yang tak nampak berbahaya, yang meliputi aspek politik, ekonomi, dan budaya. 4. menjauhkan agama dari politik (mengucilkan agama dari politik). 5. suatu upaya membawa iran kembali ke masa kebodohan (jahiliyah) dan upaya menghidupkan kembali kebudayaan majuzi (terlihat dari penggantian kalender hijriah menjadi majuzi). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 47pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran 6. mengubah dan merusak kultur islam yang kaya dan menggantikannya dengan kultur iran yang samar-samar. 7. pembunuhan keji atasorang-orang muslim iran, penahanan dan penganiayaan tahanan-tahanan politik berdasarkan persangkaan. 8. disikriminasi dan perpecahan yang terus meningkat antara golongan-golongan yang ada dalam masyarakat. 9. dominasi anasir-anasir nonmuslim atas unsur-unsur islampada pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya. 10. pelanggaran atas hukum islam baik secara langsung atau dengan mengekalkan korupsi dalam kehidupan sosial-budaya. 11. propaganda kepada literatur parsi (pendukung semangat islam), dengan alasan membersihkan bahasa parsi dari terminlogi asing. 12. memutuskan hubungan dengan negara-negara islam serta membina hubungan dengan negara-negara non-muslim, bahkan dengan israel yang jelas-jelas anti-islam. revolusi iran sendiri mampu melahirkan konstitusi baru guna menjunjung tinggi syariat islam dalam memperjuangkan mazhab syi’ah sebagai otoritas. bagi muthahhari, semangat revolusi ini akan selalu terpelihara dan lestari jika beberapa hal berikut ini dapat diperhatikan. pertama, keadilan senantiasa dapat ditegakkan, di mana pemerintah mengambil langkah yang nyata dan praktis guna menegakkan keadilan islam untuk mengatasi kesenjangan atau diskriminasi. kedua, kebebasan harus dihormati dalam artinya yang wajar dan rasional untuk berpikir, berkata dan menulis, termasuk juga kebebasan berpendapat bagi masyarakat. kesimpulan bagi muthahhari, negara adalah suatu lembaga yang di dalamnya terdapat ketergantungan antarsesama manusia untuk mewujudkan kerukunan dan harmoni. dengan asumsi tersebut, muthahhari memandang negara sebagai sebuah lembaga yang mengatur masyarakat untuk lebih memperjuangkan nilai demokrasi, di mana nilai suatu revolusi yang diusung lebih ditujukan bagi kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas. sementara itu pemerintahan yang demokratis bisa terwujud apabila terdapat pengakuan atas kesamaan martabat manusia yang memungkinkan masyarakat menggunakan hak pilihnya. muthahhari menyatakan bahwa salah satu prinsip dalam ideologi islam adalah persamaan derajat dan tidak ada diksriminasi. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 48 achmad chumaedi menurut muthahhari, al-qur’an telah menjelaskan bahwa masyarakat dan bangsa (bukan hanya individu yang hidup dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhannya yang bersesuaian dengan proses sejarah tertentu. sebab itu, terdapat kesepakatan secara bersama dalam mewujudkan hukum yang bisa mengatur kehidupan masyarakat di dalam negara. sebagai negara islam, iran adalah negara yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan pada berbagai sektor kehidupan. tapi, cakupannya itu didasarkan pada universalitas hukum ilahi yang harus ditegakkan dan ditaati oleh setiap orang dan para pemimpinnya. bagi muthahhari keberhasilan revolusi ini merupakan buah dukungan dari spiritualitas dan moralitas masyarakat iran secara keseluruhan. gerakan revolusi iran, yang mengantarkan iran ke panggung dunia internasional, menghasilkan ide-ide besar dan menimbulkan reaksi dari barat yang mulai cemas. gerakan ini dapat mengajarkan orang lain (bangsa) agar berdiri sendiri serta mempunyai pikiran dan ajaran yang mandiri. bagi muthahhari, revolusi iran tidak sama dengan revolusi perancis atau revolusi boslhevik rusia. referensi ahmar, mawardi. (2006). “pemikiran murtadha muthahhari tentang keadilan ilahi”. al-fikra (jurnal ilmiah keislaman), 5(2): 292-348. al-hadar, husein ja’far. (2014). “falsafat politik wilayah al-faqih”. ilmu ushuluddin, 2(2):89-108. al-maududi, abdul a’la. (1994). hukum dan konstitusi: sistem politik islam. bandung: mizan. al-maududi, abul a’la. (1994). hukum dan konstitusi sistem politik islam. bandung: mizan. asmawi, muh nur. (2013). “pemikiran pendidikan islam multikultural murtadha muthahhari dalam kitab al-ta`lîm wa al-tarbiyah fî al-islâm dan penerapannya pada madrasah aliyah negeri 2 model palu”. istiqra’ (jurnal penelitian ilmiah), 1(1): 58-72. bagir, haidar (ed.). (1993). murtadha muthahhari: sang mujahid, sang mujtahid. bandung: yayasan muthahhari. barsihannor. (2011). “murtadha muthahhari”. jurnal al-hikmah, 12(1): 1-10. basit, abdul. (2008). “filsafat sejarah menurut murtadha muthahhari”. ibda’, 6(1): 165180. dahlan, muhidin m. (2000). sosialisme religius: suatu jalan keempat? yogyakarta: kreasi wacana. donohue, john j. dan dan john l. esposito (eds.). (1984). ensiklopedi masalah-masalah islam dan pembaharuan. jakarta: rajawali press. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 49pemikiran murtadha muthahhari tentang negara dan masyarakat serta pandangannya terhadap revolusi islam iran donohue, john j. dan esposito, john l (eds.). (1984). islam dan pembaharuan: ensiklopedi masalah-masalah. jakarta: rajawali pers. emroni. (2008). “nuansa tasawuf dalam revolusi di iran”. jurnal darussalam, 7(2): 1528. enayat, hamid. (1988). reaksi sunni dan syiah: pemikiran politik islam modern menghadapi abad ke-20. bandung: penerbit pustaka. harahap, sumper mulia. (2015). “paradigma tauhidi murtadha muthahhari”. studi multidisipliner, 2(2): 77-90. hasan, haidar rifai. (1987). manusia serba dimensi dalam pandangan murtadha muthahhari. dalam dawam rahardjo (ed.). insan kamil: konsepsi manusia menurut islam. jakarta: pustaka grafiti. irving, clive. 1980. wejangan ayatullah khomeini. walsy. kadir, abd. (2015). “syiah dan politik: studi republik islam iran”. jurnal politik profetik, 5(1): 1-15. karnen, zul. (2015). “budaya struktur pemerintahan republik islam iran”. jurnal alazhar indonesia seri humaniora, 3(1): 1-19. kuntowijoyo. 1991. paradigma islam: interpretasi untuk aksi. bandung: mizan. kurdi, sulaiman. (2007). “peranan elit ulama di negeri para mullah (studi pemikiran khomeini tentang wilayatul faqih)”. hermeneia (jurnal kajian islam interdisipliner), 6(1): 129-160. muhammad. (2012) “dinamika masyarakat muslim dalam sejarah: kajian gerakan revolusi islam di iran”. jurnal salam (jurnal studi masyarakat islam), 15(1): 157-169. muthahhari, murtadha. (1982). the concept of islamic republic: an analysis of the revolution in iran. teheran: bonyad be’thet. muthahhari, murtadha. (1986). gerakan islam abad xx. jakarta: beunebi cipta. muthahhari, murtadha. (1990). risalah pergerakan islam. jakarta: amanah press. muthahhari, murtadha. (1991). falsafah kenabian. jakarta: pustaka hidayah. muthahhari, murtadha. (1992). masyarakat dan sejarah: kritik islam atas marxisme dan teori lainnya. bandung: mizan. muthahhari, murtadha. (1993). islam menjawab tuntutan zaman. bandung: yayasan muthahhari. muthahhari, murtadha. (2002). manusia dan alam semesta: konsepsi islam tentang jagad raya. jakarta: lentera basritama. nasution, harun. (1992). ensiklopedi islam indonesia. jakarta: djambatan. nugroho, anjar. (2007). “pengaruh pemikiran islam revolusioner ali syari’ati terhadap revolusi iran”. profetika (jurnal studi islam), 15(2): 190-207. nur, muhamad. (2016). “kritik murtadha muthahhari atas konsep moralitas barat”. jurnal didaktika islamika, 8(2): 39-66. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 50 achmad chumaedi pramono, budi. (2017). “perubahan politik oleh faktor agama”. jurnal politik, 13(1): 19761992. rakhmat, jalaluddin. (1991). kepemimpinan islam murtadha muthahhari. banda aceh: gua hira. rakhmat, jalaluddin. (1993). islam dan kekuasan: aktor dan instrumen. dalam imam aziz (ed.). agama, demokrasi dan keadilan. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. rochmat, saefur. (2009). “belajar dari iran (dialektika agama dan politik pasca khomeini)”. jurnal pendidikan dan kebudayaan, 16(1): 102-108. sabara. (2016). “pemikiran tasawuf murtadha muthahhari: relasi dan kesatuan antara intelektualitas (ilmu), spiritualitas (iman) dan moralitas (akhlak)”. al-fikr, 20(1): 147166. sahbudi, riza m. (1989). dinamika revolusi iran: dari jatuhnya shah hingga wafat ayatullah khumeini. jakarta: pustaka hidayah. sanusi, irfan. (2012). “pemikiran muthahhari tentang manusia masa depan sebagai subyek dakwah”. jurnal ilmu dakwah, 6(19): 76-100. sudrajat, ajat. (1996). “imam al-khumaini dan negara republik islam iran”. cakrawala pendidikan, 1(15): 35-45. tamara, nasir. (1980). revolusi iran. jakarta: sinar kasih. yasmine, shafira elnanda. (2015). “arab spring: islam dalam gerakan sosial dan demokrasi timur tengah”. masyarakat, kebudayaan dan politik, 28(2): 106-113. zulfata. (2016). “kontekstualisasi filsafat ilmu murtadha munthahhari dalam membidik epistemologi uin ar-raniry aceh”. jurnal ilmiah islam futura, 16(1): 128-141. pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 159 citation : kosasih, achmad. 2017. “pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten”. journal of government and civil society, vol. 1, no.2, 159-190. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 159-190 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten achmad kosasih1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: kosasih1957@gmail.com abstrak penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena belum optimalnya kinerja pegawai pdam di propinsi banten. salah satu faktor yang melatarbelakanginya adalah rendahnya tingkat kepuasan kerja pegawai yang disebabkan belum optimalnya kepemimpinan transformasional, rendahnya budaya organisasi dan terbatasnya motivasi kerja pegawai. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten. pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan deskriptif dan verifikatif. sampel penelitian adalah 284 pegawai pdam di propinsi banten dengan ukuran populasi 1.092 pegawai. teknik analisis yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). hasil penelitian menemukan bahwa terdapat pengaruh langsung kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 23,32%, pengaruh langsung budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 8,12% dan pengaruh langsung motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 10,28%. secara simultan, pangaruh variabel bebas terhadap kepuasan kerja pegawai adalah 69,02%, sisanya sebesar 30,98% merupakan faktor lain yang tidak diteliti namun turut memengaruhi kepuasan kerja pegawai. sementara pengaruh kepuasan kerja pegawai terhadap kinerja pegawai adalah 81,70%, sisanya 18,30% merupakan faktor lain yang tidak diteliti tetapi turut berpengaruh. kata kunci: kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, motivasi kerja, kepuasan kerja, kinerja pegawai. abstract this research is motivated by the performance of pdam employees in banten province which is not yet optimal. one of the factors is the low level of employee satisfaction which is caused by the lack of transformational leadership, the low of organizational culture and the low of employee work motivation. this study aims to determine and analyze the influence of transformational leadership, organizational culture and employee work motivation on employee satisfaction and its implications on the performance of pdam employees in banten province. this study use descriptive and verification approach. the sample used in this research is 284 pdam employees in banten province with population size 1,092 employees. the analysis method of this study is the path analysis. the results of this study found that there is a direct influence of transformational leadership on employee satisfaction (23.32%), the direct influence of organizational culture on employee satisfaction (8.12%) and the direct influence of employee work motivation on employee satisfaction (10,28%). simultaneously, the influence of independent variable on employee satisfaction is 69,02%, and the other factors that is not studied in this research but also affect the employee satisfaction is 30.98%. the effect of employee satisfaction on employee performance is 81.70%, while the other factors that is not studied in this research but also affect the employee satisfaction is 18.30%. keywords: transformational leadership, organizational culture, work motivation, job satisfaction, employee performance. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 160 achmad kosasih pendahuluan salah satu faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan sebuah organisasi adalah sumber daya manusia. sebuah perusahaan yang memiliki sumber daya manusia memadai akan memiliki peluang besar dalam pencapaian tujuan perusahaan. sebaliknya, perusahaan yang tidak memiliki kekuatan pada sumber daya manusia akan sulit menghadapi persaingan dan mencapai tujuan perusahaan. selain itu, lingkungan di luar organisasi yang tidak menentu dan berubah-ubah semakin menegaskan perlunya kesiapan sumber daya manusia sekaligus pengelolaannya dalam organisasi. sebagaimana dijelaskan griffin (2002: 414) bahwa manajemen sumber daya manusia diperlukan dalam konteks lingkungan yang kompleks dan selalu berubah. tiga komponen utama yang sangat penting dari konteks tersebut adalah kepentingan strategis manajemen sumber daya manusia serta lingkungan hukum dan sosial dari manajemen sumber daya manusia. kepentingan strategis sumber daya manusia terutama bertujuan untuk memberikan added value bagi perusahaan agar perusahaan dapat menghadapi persaingan yang semakin ketat. sebagaimana dijelaskan yuniarsih dan suwatno (2011: 13) bahwa peran strategis sdm dalam organisasi bisnis dapat dielaborasi dari segi teori sumber daya di mana salah satu fungsi perusahaan mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk menghadapi kepentingan pasar sebagai faktor eksternal yang utama. dalam rangka memelihara dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia, perusahaan perlu melakukan penilaian kinerja . melalui penilaian kinerja yang lebih menantang dan terukur dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, perusahaan bisa mengetahui sejauh mana kualitas yang dimiliki sumber daya manusianya. sementara itu, salah satu faktor yang sangat memengaruhi kinerja individu ialah kepuasan kerja. apabila pegawai merasa puas dalam melaksanakan kerja maka kinerjanya akan meningkat. sebaliknya, jika pegawai merasa kurang puas dalam bekerja maka kinerja yang dicapai akan menurun. salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan kerja ialah kepemimpinan transformasional, yang merupakan proses membangun komitmen pada sasaran organisasi dan memberikan kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. kreitner dan kinicki (dalam wibowo, 2013: 505) menjelaskan jika manajer dapat memberi pengaruh yang signifikan dengan meningkatkan kepuasan kerja. hal senada juga dinyatakan ivancevich [et. al] (2007: 198) yang menyimpulkan bahwa perilaku (behaviour) pemimpin dan pengaruhnya mampu memengaruhi kepuasan kerja sekaligus kinerja para pengikutnya. selain dipengaruhi kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja pegawai juga dipengaruhi oleh budaya organisasi. luthans (2011) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor penting dalam mempertahankan budaya organisasi: memperluas perusahaan, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 161pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten membuat keuntungan dan membuat perubahan yang meningkatkan efektivitas atau menambah kepuasan kerja. adapun faktor lainnya yang memengaruhi kepuasan kerja pegawai ialah motivasi kerja. sebagaimana dinyatakan robbins (2002: 55) bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi menciptakan ketegangan dan merangsang dorongan dalam diri individu. dorongan ini lalu menghasilkan pencarian untuk menemukan tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai dapat menciptakan rasa puas sekaligus menurunkan ketegangan. karena itu, pegawai yang memiliki motivasi kerja tinggi akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi. berdasarkan latar belakang masalah di atas, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimana kepemimpinan transformasional pdam di propinsi banten; (2) bagaimana budaya organisasi pdam di propinsi banten; (3) bagaimana motivasi kerja pegawai pdam di propinsi banten; (4) bagaimana kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten; (5) bagaimana kinerja pegawai pdam di propinsi banten; (6) seberapa besar pengaruh kepemimpinan transformasioal terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten; (7) seberapa besar pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten; (8) seberapa besar pengaruh motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten (9) seberapa besar pengaruh secara simultan kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten; dan (10) seberapa besar pengaruh kepuasan kerja pegawai terhadap kinerja pegawai pdam di propinsi banten. kerangka teori 2.1 manajemen sumber daya manusia sumber daya manusia merupakan hal terpenting dalam organisasi. apabila organisasi mempunyai sumber daya manusia dengan kompetensi yang memadai serta didukung sumber daya peralatan, teknologi, finansial dan lainnya, maka tujuan organisasi akan tercapai. jadi, sumber daya manusia memiliki posisi yang sangat penting dalam organisasi. tyson (2006: 63) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai suatu bentuk penekanan pada pengembangan orang sebagai aset yang dikontrol melalui biaya dan manajemen penempatan orang pada strategi bisnis. dessler (2011: 5) menjelaskan bahwa manejemen sumber daya manusia adalah kebijakan dan praktik dalam menentukan aspek manusia atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan dan melakukan penilaian. sementara itu, armstrong dan taylor (2014: 5) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai sebuah strategi, terintegrasi dan berkaitan dengan pendekatan karyawan dan pengembangan dari seorang pekerja di dalam organisasi. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 162 achmad kosasih berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu pengelolaan sumber daya manusia secara efektif pada sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 2.2 kepemimpinan transformasional priadana dan hadian (2013: 415) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah karakter kepemimpinan yang berorientasi perubahan pada tataran nilai. kepemimpinan transformasional mampu mengajak publik untuk secara teguh menghadapi tujuan-tujuan yang lebih hakiki ketimbang sekedar pemenuhan kepentingan atau kebutuhan jangka pendek. menurut gibson [et. al.] (2006: 355), kepemimpinan transformasional adalah kemampuan memberi inspirasi dan motivasi kepada para pengikut untuk mencapai hasilhasil yang lebih besar daripada yang direncanakan secara orisinal dan untuk imbalan internal. definisi ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan para pengikutnya untuk mencapai visi dan memberi penghargaan yang besar kepada mereka. melalui kepemimpinan transformasional, para pengikut akan merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpinnya; mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan. menurut bass (dalam yukl, 2010: 305), kepemimpinan transformasional mengubah dan memotivasi para pengikutnya dengan cara: (a) membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas; (b) membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan tim dan organisasi daripada kepentingan pribadi; dan (c) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya yang lebih tinggi. burns (dalam armstrong dan taylor, 2014: 644) mendeskripsikan bahwa kepemimpinan transformasional meliputi aktivitas memotivasi orang agar bekerja keras dalam mencapai tujuan besar; kepemimpinan yang baik berimplikasi pada tindakan moral di dalam merespon nilai dan kebutuhan seseorang di jalan yang kondusif untuk membangun human relation. berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan yang dimiliki pemimpin dalam memberikan dorongan kepada para pengikutnya untuk melakukan perubahan dan bekerja keras dalam mencapai tujuan organisasi. 2.3 budaya organisasi budaya organisasi merupakan hal yang penting dalam organisasi. budaya organisasi dibentuk dari perilaku individu dan kelompok dalam organisasi; perilaku tersebut merupakan kesepakatan bersama yang menjadi komitmen karyawan dalam organisasi dan menjadi petunjuk bagi anggota organisasi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 163pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten robbins dan judge (2014: 256) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya. ivancevich [et. al.] (2007: 44) mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai dan ekspektasi. sementara schein (dalam ivancevich [et. al.], 2007) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid dan oleh karena itu untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sebuah kebiasaan yang sudah menjadi keyakinan dan kesepakatan bersama sehingga melekat yang dijadikan sebagai panutan bagi karyawan baru. 2.4 motivasi kerja kata motivasi berasal dari kata latin movere, yang berarti menggerakkan. dalam konteks sekarang, motivasi (motivation) merepresentasikan proses-proses psikologis yang menyebabkan rangsangan dan kegigihan terhadap sebuah kegiatan yang dilakukan secara sukarela yang diarahkan pada suatu tujuan (kreitner dan kinicki, 2014: 212). robbins (2002: 55) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan kebutuhan inidividu. suatu kebutuhan (need) adalah kekurangan secara fisik atau psikologis yang membuat keluaran tertentu terlihat menarik. sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi menciptakan ketegangan dan merangsang dorongan dalam diri individu. dorongan ini kemudian menghasilkan suatu pencarian untuk menemukan tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai akan memuaskan kebutuhan dan menyebabkan penurunan ketegangan. sementara itu, robbins dan judge (2014) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas arah dan ketekunan usaha untuk mencapai suatu tujuan. intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. namun demikian, intensitas yang tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. ketekunan merupakan ukuran mengenai berapa lama orang bisa mempertahankan usahanya. berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah hasrat atau keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan yang menantang. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 164 achmad kosasih 2.5 kepuasan kerja kreitner dan kinicki (2014: 169) menjelaskan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. definisi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah keadaan di mana seseorang bisa merasa cukup puas dengan salah satu aspek pekerjaannya dan merasa kurang puas dengan satu atau beberapa aspek lainnya. menurut george dan jones (2012: 71), kepuasan kerja adalah sekumpulan perasaan dan kepercayaan seseorang tentang pekerjaannya di mana tingkat kepuasannya dapat berubah dari kepuasan yang tinggi menjadi ketidakpuasan yang tinggi. sementara wibowo (2013: 132) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai tingkat perasaan seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat kerjanya. pekerja dengan kepuasan kerja tinggi mengalami perasaan positif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas pekerjaan. pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami perasaan negatif ketika mereka berpikir tentang tugas atau mengambil bagian dalam pekerjaan mereka. berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah perasaan senang dan tidak senang dalam melakukan tugas-tugas organisasi. 2.6 kinerja rivai (2011: 15) mendefinisikan kinerja sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. armstrong dan baron (dalam wibowo, 2013) menjelaskan bahwa kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. sementara itu, mangkunegara (2010: 9) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik dalam hal kualitas maupun kuantitas yang dicapai sumber daya manusia per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. campbell (dalam armstrong dan taylor, 2014) meyakini bahwa kinerja adalah output dari beberapa faktor berikut ini: (a) pengetahuan tentang kenyataan dan sesuatu (bagian dari pengetahuan deklaratif); (b) pengetahuan tentang bagaimana sesuatu dikerjakan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 165pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten dan keahlian untuk mengerjakannya (bagian dari prosedur pengetahuan dan keahlian); dan (c) motivasi untuk bekerja, berusaha dan tetap melakukan pekerjaan (bagian dari motivasi). berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja sumber daya manusia baik dalam hal kualitas maupun kuantitas dalam periode waktu tertentu. 2.7 hipotesis penelitian penelitian ini terdiri dari variabel independen (kepemimpinan transformasional, budaya kerja dan motivasi kerja pegawai), variabel intervening (kepuasan kerja pegawai) dan variabel dependen (kinerja pegawai). 1) terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten. 2) terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten. 3) terdapat pengaruh motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten. 4) terdapat pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten. 5) terdapat pengaruh kepuasan kerja pegawai terhadap kinerja pegawai pdam di propinsi banten. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan analisis deskriptif dan verifikatif. data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh secara langsung dari kuesioner dan wawancara. teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan kuesioner. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 284 pegawai pdam di propinsi banten dengan keseluruhan ukuran populasi 1.092 pegawai. dari berbagai metode yang dapat digunakan untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode analisis jalur (path analysis). hasil dan pembahasan 4.1 uji kualitas data 4.1.1 hasil uji validitas hasil uji validitas terhadap item pertanyaan untuk masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 1, 2, 3, 4 dan 5 berikut ini. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 166 achmad kosasih tabel 1. hasil uji validitas instrumen variabel kepemimpinan transformasional (x1) sumber: data primer diolah kembali. tabel 2. hasil uji validitas instrumen variabel budaya organisasi (x2) sumber: data primer diolah kembali. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 167pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten tabel 3. hasil uji validitas instrumen variabel motivasi kerja pegawai (x3) sumber: data primer diolah kembali. tabel 4. hasil uji validitas instrumen variabel kepuasan kerja (y) sumber: data primer diolah kembali. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 168 achmad kosasih tabel 5. hasil uji validitas instrumen variabel kinerja pegawai (z) sumber: data primer diolah kembali. 4.1.2 hasil uji reliabilitas berdasarkan hasil pengujian reliabilitas terhadap tiga variabel penelitian maka diperoleh hasil sebagai berikut ini. tabel 6. hasil uji reliabilitas sumber: data primer diolah kembali. hasil uji reliabilitas di atas menjelaskan bahwa semua variabel termasuk kategori reliabel karena skornya > 0,70. dengan demikian, instrumen penelitian yang digunakan masing-masing variabel pada penelitian ini dinyatakan reliabel dan benar-benar sebagai alat ukur yang andal serta memiliki tingkat kestabilan yang tinggi; jika dilakukan secara berulang maka hasil dari pengujian instrumen tersebut akan menunjukkan hasil yang tetap. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 169pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 4.1.3 hasil uji normalitas alat ukur hasil perhitungan data menunjukan bahwa semua variabel mengikuti distribusi normal dengan p-value > 0.05 sebagaimana diperlihatkan pada tabel 5 berikut ini. tabel 7. uji normalisasi alat ukur (one-sample kolmogorov-smirnov test) 4.2 hasil penelitian 4.2.1 variabel kepemimpinan transformasional (x1) hasil penelitian terhadap variabel kepemimpinan transformasional (x1) dilakukan melalui hasil perhitungan terhadap masing-masing pernyataan pendukung variabel kepemimpinan transformasional sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8. berikut ini. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 170 achmad kosasih tabel 8. rekapitulasi variabel kepemimpinan transformasional (x1) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 171pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 172 achmad kosasih 4.2.2 variabel budaya organisasi (x2) hasil penelitian terhadap variabel budaya organisasi (x2) dilakukan melalui hasil perhitungan terhadap masing-masing pernyataan pendukung variabel budaya organisasi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 9. berikut ini. tabel 9. rekapitulasi variabel budaya organisasi (x2) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 173pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 174 achmad kosasih 4.2.3 variabel motivasi kerja pegawai (x3) hasil penelitian terhadap variabel motivasi kerja pegawai (x3) dilakukan melalui hasil perhitungan terhadap masing-masing pernyataan pendukung variabel motivasi kerja pegawai sebagaimana dapat dilihat pada tabel 10. berikut ini. tabel 10. rekapitulasi variabel motivasi kerja pegawai (x3) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 175pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 176 achmad kosasih p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 177pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 4.2.4 variabel kepuasan kerja pegawai (y) hasil penelitian terhadap variabel kepusasan kerja pegawai (y) dilakukan melalui hasil perhitungan terhadap masing-masing pernyataan pendukung variabel kepusasan kerja pegawai sebagaimana dapat dilihat pada tabel 11. berikut ini. tabel 11. rekapitulasi variabel kepuasan kerja pegawai (y) journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 178 achmad kosasih p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 179pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 4.2.5 variabel kinerja pegawai (z) hasil penelitian terhadap variabel kinerja pegawai (z) dilakukan melalui hasil perhitungan terhadap masing-masing pernyataan pendukung variabel yang bisa dilihat pada tabel 12. berikut ini. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 180 achmad kosasih tabel 12. rekapitulasi variabel kinerja pegawai (z) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 181pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 182 achmad kosasih 4.3 pembahasan 4.3.1 gambaran kepemimpinan transformasional (x1) hasil penelitian terhadap variabel kepemimpinan transformasional (x1) berada pada kriteria cukup baik menuju baik. nilai rata-rata tertinggi pada variabel ini adalah dimensi karisma dengan kategori baik. karisma atau kekuasaan pribadi mencerminkan kemampuan pemimpin untuk berinteraksi dengan orang lain. adapun dimensi dengan nilai rata-rata terendah adalah dimensi rangsangan intelektual. hal ini terlihat dari kurangnya kreativitas pimpinan dalam mengarahkan pegawai untuk meningkatkan produktivitas. pimpinan kurang memberikan pengertian kepada seluruh pegawai agar terbuka dalam berkomunikasi, terutama menyikapi persoalan di dalam perusahaan. belum optimalnya kepemimpinan di pdam di propinsi banten juga disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh pdam di propinsi banten sebagaimana berikut ini. a. persaingan pasar yang semakin meningkat seiring kehadiran perusahaan swasta dalam industri air minum. b. sumber daya manusia yang masih kurang memadai dan tidak kompeten (± 57% pegawai pdam di propinsi banten berpendidikan slta dan ± 38% pegawai telah berusia 41-50 tahun). c. perkembangan wilayah industri dan pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi nampaknya kurang diantisipasi oleh pimpinan pdam sehingga pdam mengalami kesulitan mengembangkan jaringan dan perluasan cakupan layanan. d. banyaknya industri yang masih menggunakan air tanah. selain berdampak pada kerusakan lingkungan, hal ini juga merugikan pdam yang masih terbatas dalam hal penambahan jumlah langganan dari golongan industri. e. sumber air baku pdam sebagian besar masih mengandalkan kondisi air sungai di wilayahnya masing-masing. karena debit air semakin terbatas dan tercemar limbah industri, biaya produksi air menjadi tinggi. f. belum bisa menetapkan tarif dengan full cost recovery secara merata. penetapan penyesuaian tarif air juga sering kali mengalami hambatan karena harus dilakukan melalui surat keputusan kepala daerah (bupati/wali kota) sebagai pemilik perusahaan dan persetujuan dprd. g. tidak transparannya proses rekuitmen direksi. dalam konteks ini, bupati/wali kota sering kali menggunakan hak prerogatifnya dengan menunjuk jajaran direksi yang tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. dampaknya, sering kali muncul rasa tidak puas dari kalangan pegawai internal pdam yang sejatinya memiliki pengalaman dan kompetensi namun tidak mendapat kesempatan menjabat direksi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 183pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 4.3.2 gambaran budaya organisasi (x2) hasil penelitian terhadap variabel budaya organisasi (x2) berada pada kriteria cukup baik menuju baik. nilai rata-rata tertinggi pada variabel ini adalah dimensi perhatian terhadap rinci, sementara dimensi dengan nilai terendah adalah dimensi orientasi tim. lemahnya kerja sama tim ini membuat anggota tim harus menghadapi tantangan lebih besar yang semakin sulit ditangani. selain itu, para pimpinan unit kerja masih cenderung lebih mementingkan kepentingan unit kerjanya daripada kepentingan perusahaan secara umum sehingga hampir pada setiap penyelesaian permasalahan yang ada harus selalu menunggu keputusan atau instruksi dari pimpinan tertinggi. adapun dimensi dengan nilai rata-rata terendah kedua adalah dimensi orientasi hasil di mana mayoritas pegawai masih belum berorientasi pada hasil kerja. artinya, dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, hal terpenting adalah lebih kepada bagaimana bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut tanpa memperhatikan kualitas hasil pekerjaan. pegawai yang bekerja berdasarkan orientasi proses biasanya kurang fokus pada perolehan hasil. berbeda dengan tipe pegawai yang berorientasi pada hasil akhir di mana yang cenderung berupaya menjaga kualitas hasil pekerjaannya. 4.3.3 gambaran motivasi kerja pegawai (x3) hasil penelitian terhadap variabel motivasi kerja pegawai (x3) berada pada kriteria cukup baik menuju baik. nilai rata-rata tertinggi pada variabel ini adalah dimensi kebutuhan berafiliasi, sementara dimensi dengan nilai terendah adalah dimensi kebutuhan akan kekuasaan. sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk berafiliasi, berinteraksi dan bisa diterima di lingkungan kerjanya. kebutuhan ini berhubungan erat dengan pekerjaan dan mengarahkan tingkah laku manusia pada usaha untuk mencapai tujuan. sementara itu, kebutuhan berkuasa adalah kebutuhan untuk menguasai dan memengaruhi situasi dan orang lain agar menjadi dominan dan berada pada posisi tertentu melebihi orang lain. kebutuhan ini menyebabkan orang yang bersangkutan kurang mempedulikan perasan orang lain. antusiasme mayoritas pegawai juga belum terlihat, terutama dalam aspek menguasai, memengaruhi situasi dan orang lain agar menjadi dominan serta dapat menduduki posisi tertentu yang lebih baik. salah satu penyebabnya adalah terbatasnya posisi jabatan yang bisa diraih seorang pegawai. seorang pegawai akan menduduki posisi jabatan tertentu hanya jika ada pejabat di atasnya yang pensiun atau diberhentikan. kalaupun terjadi mutasi atau promosi maka faktor utama yang menjadi penilaian adalah lamanya masa kerja dan loyalitas terhadap pimpinan, bukan berdasarkan kemampuan atau prestasi kerjanya. kondisi inilah yang menyebabkan pegawai kurang antusias bersaing dalam prestasi kerja agar bisa menduduki jabatan tertentu, tetapi pegawai hanya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan keseharian sesuai tugas pokoknya. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 184 achmad kosasih 4.3.4 gambaran kepuasan kerja pegawai (y) hasil penelitian terhadap variabel kepuasan kerja (y) berada pada kriteria cukup baik menuju baik. dimensi dengan rata-rata nilai tertinggi adalah dimensi pekerjaan, sementara dimensi dengan nilai terendah adalah rekan kerja. belum optimalnya kerja sama antarpegawai dapat dilihat dari rendahnya antusiasme bekerja dalam tim. penyebabnya adalah pegawai merasa bahwa kepuasan yang didapat dari kerja kelompok kurang bisa dirasakan hasilnya. berbeda halnya jika bekerja secara individu di mana keberhasilan menyelesaikan sebuah pekerjaan akan memberi kepuasan tersendiri dan hasilnya dapat langsung dilihat. adapun nilai dengan rata-rata terendah adalah mengenai suasana tempat kerja yang mendukung dalam membangun rasa hormat dari rekan sekerja. hal ini terlihat dari sebagian besar pegawai merasa kurang puas dengan suasana di tempat kerja, khususnya dalam hubungannya dengan sesama rekan kerja dan atasan. pegawai cenderung lebih menyukai bekerja secara individu dan enggan bekerja secara kelompok. atasan atau pegawai senior ingin selalu dihormati dan merasa lebih pintar atau lebih tahu dari bawahannya hingga kurang menghargai dan sering kali tidak mau menerima masukan, ide atau pendapat dari rekan kerja bawahannya. nilai dengan rata-rata terendah kedua adalah pada pernyataan gaji yang diterima sudah mencukupi kebutuhan hidup saya dan keluarga. hal ini sedikit berbeda dengan temuan di lapangan di mana pada umumnya gaji yang diterima pegawai sudah cukup besar, bahkan di atas umk, selain menerima gaji hingga 13 kali dalam setahun, pegawai juga mendapat tunjangan hari raya (thr) yang besarannya antara 1 sampai 4 kali gaji, insentif sisa hasil usaha (shu) setiap tahun, tunjangan kesehatan pegawai dan keluarganya serta tunjangan lainnya yang diberikan untuk memotivasi pegawai demi meningkatkan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan dan masyarakat. 4.3.5 gambaran kinerja pegawai (z) hasil penelitian terhadap variabel kinerja pegawai (z) berada pada kriteria cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai terbesar adalah dimensi kuantitas, yaitu jumlah hasil kerja yang didapat dalam suatu periode waktu yang ditentukan. dimensi dengan nilai terendah adalah dimensi kehadiran. nilai dengan rata-rata terendah pertama adalah pernyataan saya selalu berupaya datang dan pulang tepat waktu, sementara nilai dengan rata-rata terendah kedua adalah pernyataan saya selalu berupaya melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal yang ditetapkan. tingkat kehadiran juga pegawai pada umumnya sudah baik. hanya saja, tingkat keterlambatan kerja masih sangat tinggi dan belum optimalnya dalam memanfaatkan jam kerja. akibatnya, waktu untuk melayani para pelanggan menjadi berkurang karena pegawai jarang berada di tempatnya. selain itu, masih ada pegawai yang saat jam kerja p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 185pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten mengisi kegiatannya dengan aktivitas yang bukan merupakan tugas pokoknya, seperti mengobrol sambil minum kopi dan merokok di warung kopi atau kantin, mengobrol di kantor pada saat jam kerja, membaca koran pada jam sibuk, meninggalkan kantor pada saat jam kerja untuk mengurus hal lain di luar lingkup tugas, menyerahkan pekerjaan kepada orang lain yang bukan tugasnya, menunda pekerjaan dan lain-lain. masalah lainnya adalah pembagian tugas dan beban kerja yang tidak merata antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. hal ini terlihat dari masih adanya pegawai yang sangat sibuk bekerja karena beban kerjanya banyak, sementara ada pegawai yang terlihat santai tidak melakukan pekerjaan apa pun. begitu juga dalam menangani keluhan dari pelanggan dan perbaikan kebocoran pipa yang masih sering terlambat dikerjakan. kondisi tersebut disebabkan masih lemahnya sistem pengawasan yang ada, belum optimalnya penerapan sop secara konsisten, belum adanya standar pelayanan dan sistem penilaian kinerja pegawai yang terukur dan menantang yang dapat memacu pegawai untuk meningkatkan prestasi kerjanya. 4.3.6 pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja pegawai variabel kepemimpinan transformasional (x1) memiliki pengaruh langsung sebesar 23,32%, pengaruh tidak langsung melalui hubungannya dengan budaya organisasi (x2) sebesar 7,98%, dan pengaruh tak langsung melalui motivasi kerja (x3) sebesar 3,62%, sehingga total pengaruhnya sebesar 34,92%. berdasarkan hasil pengolahan data terlihat variabel kepemimpinan transformasional (x1) berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja. hal ini berarti kepuasan kerja pegawai sangat dipengaruhi oleh peran pimpinan. hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan baron dan byrne (2005) bahwa terdapat dua kelompok faktor yang memengaruhi kepuasan kerja. faktor pertama adalah faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan, peranan pimpinan dan iklim kerja. faktor kedua adalah faktor individual atau karakteristik karyawan. pada faktor individual, terdapat dua predictor penting terhadap kepuasan kerja: status dan senioritas. status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin kemungkinan akan mendorong pegawai mencari pekerjaan lain. wexley dan yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitianpenelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik faktor pekerjaan maupun individu. faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, seperti gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan dari pimpinan, teman sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja, kesempatan karir (promosi jabatan) dan faktor individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya, journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 186 achmad kosasih dengan demikian, penelitian ini membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional berkontribusi dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai pdam. semakin baik peran pimpinan dalam memperhatikan dan mengawasi pegawai maka kepuasan kerja akan semakin meningkat. sebaliknya, jika pimpinan kurang memberi perhatian kepada pegawai maka kepuasan kerja akan menurun. 4.3.7 pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai variabel budaya organisasi (x2) mempunyai pengaruh langsung sebesar 8,12%, pengaruh tidak langsung melalui hubungannya dengan kepemimpinan transformasional (x1) sebesar 7,98% dan pengaruh tidak langsung melalui motivasi kerja pegawai (x3) sebesar 2,05%. total pengaruhnya adalah 18,15%. budaya organisasi memberikan kontribusi pengaruh yang terbesar kedua pada kepuasan kerja. tapi, jika dilihat dari nilai koefisien jalur, nilai budaya organisasi memberikan kontribusi paling rendah terhadap kepuasan kerja. untuk membangun budaya organisasi yang kuat, dibutuhkan proses yang tidak mudah dilalui, karena perubahan dalam organisasi menyangkut perubahan orang-orang yang berada di dalam organisasi, termasuk di dalamnya perbedaan persepsi, keinginan, sikap dan perilaku. dalam menyiapkan perubahan, pegawai diharapkan merasa aman dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya sehingga pegawai bersedia menerima perubahan dengan tulus tanpa ada rasa takut atau terpaksa. budaya yang kuat terbentuk karena nilai-nilai, gaya kepemimpinan yang kuat serta pemerataan dan identitas. pemerataan memperlihatkan sejauh mana setiap anggota organisasi mempunyai nilai-nilai yang sama, sementara identitas menunjukkan tingkat komitmen anggota organisasi pada nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi. budaya organisasi yang kuat akan memicu pegawai untuk berpikir, berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai organiasi. kesesuaian antara budaya organisasi dengan anggota organisasi yang mendukungnya akan menimbulkan kepuasan kerja sehingga mendorong pegawai untuk meningkatkan kinerja agar semakin lebih baik lagi. 4.3.8 pengaruh motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai variabel motivasi kerja pegawai (x3) mempunyai pengaruh langsung sebesar 10,28%, sedangkan pengaruh tidak langsung melalui hubungannya dengan kepemimpinan transformasional (x1) sebesar 3,62% dan pengaruh tidak langsung melalui budaya organisasi (x2) sebesar 2,05%. total pengaruhnya adalah sebesar 15,96%. motivasi memberikan kontribusi terlemah terhadap kepuasan kerja pegawai. namun demikian, secara langsung motivasi memberikan pengaruh terbesar kedua terhadap kepuasan kerja. motivasi berperan bagi keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan. karena itu, seorang pemimpin atau manajer harus memiliki teknik untuk memelihara p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 187pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten kinerja dan kepuasan kerja pegawainya, salah satunya dengan memotivasi mereka agar melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. motivasi merupakan kesediaan mengeluarkan tingkat upaya tinggi ke arah tujuan organisasi yang dikondisikan kemampuan upaya itu untuk memenuhi kebutuhan individual. 4.3.9 pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai kontribusi semua variabel bebas, yaitu kepemimpinan transformasional (x1), budaya organisasi (x2) dan motivasi kerja pegawai (x3) dalam menentukan variasi kepuasan kerja pegawai (y) adalah sebesar 69,04%, sedangkan faktor lain yang tidak diteliti dan turut memengaruhi kepuasan kerja sebesar 30,96%. kepuasan kerja merupakan keadaan emosional pegawai di mana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja pegawai dengan tingkat nilai balas jasa yang diinginkan bagi pegawai bersangkutan. oleh karena itu, ada banyak faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja pegawai yang perlu jadi bahan pertimbangan oleh para eksekutif di pdam. faktor penting yang utama adalah faktor kepuasan finansial yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas dan promosi jabatan. faktor lainnya adalah kepuasan fisik yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik pegawai. hal ini meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, kondisi ruangan/suhu, penerangan dan lain sebagainya. adapun faktor yang terakhir adalah kepuasan sosial yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antarsesama pegawai maupun dengan atasan. hal ini meliputi rekan kerja yang kompak, pimpinan yang adil dan bijaksana serta pengarahan dan perintah yang wajar. 4.3.10 pengaruh kepuasan kerja pegawai terhadap kinerja pegawai besarnya kepuasan kerja pegawai (y) dalam menentukan variasi kinerja pegawai (z) adalah sebesar 81,70%, sedangkan faktor lain yang tidak diteliti dan turut mempengaruhi kinerja pegawai adalah sebesar 18,30%. dengan demikian, kepuasan kerja pegawai berpengaruh secara signifikan kepada kinerja pegawai. semakin besar tingkat kepuasan maka semakin meningkat kinerja para pegawai pdam. tanpa adanya kepuasan kerja, pegawai akan bekerja tidak seperti yang diharapkan perusahaan. akibatnya, kinerja pegawai menjadi rendah sehingga tujuan perusahaan secara maksimal tidak akan tercapai. salah satu upaya yang dapat ditempuh oleh manajer atau atasan untuk memotivasi pegawai adalah dengan menciptakan kepuasan kerja meskipun tidak mudah. hasil penelitian ini mendukung temuan riset yang dilakukan krenhauser dan sharp (dalam journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 188 achmad kosasih luthans, 2011: 264) yang menyatakan terdapat hubungan dan pengaruh langsung dari kepuasan kerja terhadap kinerja di mana kepuasan kerja yang tinggi pada gilirannya akan meningkatkan kinerja. penutup 5.1. kesimpulan gambaran kepemimpinan transformasional secara keseluruhan dapat digambarkan cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai rata-rata tertinggi adalah dimensi karisma, sementara dimensi dengan nilai rata-rata terendah adalah dimensi rangsangan intelektual. budaya organisasi berada pada kategori cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai rata-rata tertinggi adalah dimensi perhatian terhadap rinci, sementara dimensi dengan nilai rata-rata terendah adalah dimensi orientasi pada tim. motivasi kerja pegawai berada pada kategori cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai rata-rata tertinggi adalah dimensi kebutuhan berprestasi, sementara dimensi dengan nilai rata-rata terendah adalah dimensi kebutuhan akan kekuasaan. kepuasan kerja berada pada kategori cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai rata-rata tertinggi adalah dimensi pekerjaan, sementara dimensi dengan nilai rata-rata terendah adalah dimensi rekan kerja. adapun dua aspek lainnya yang masih lemah adalah suasana perusahaan yang belum mendukung dalam membangun rasa hormat dari rekan sekerja dan gaji yang diterima belum mencukupi kebutuhan hidup para pegawai. kinerja pegawai berada pada kategori cukup baik menuju baik. dimensi dengan nilai terbesar adalah dimensi kuantitas, yaitu jumlah hasil kerja yang didapat dalam satu periode waktu yang ditentukan, sementara dimensi dengan nilai terendah adalah dimensi kehadiran. kepemimpinan transformasional memberi pengaruh yang paling dominan terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten dengan total pengaruh 34,9%. budaya organisasi berada di urutan terbesar kedua pengaruhnya terhadap kepuasan kerja pegawai dengan total pengaruh 18,5%. motivasi kerja memberikan kontribusi ketiga dalam hal pengaruhnya terhadap kepuasan kerja pegawai dengan total pengaruh 15,9%. secara simultan, kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai pdam di propinsi banten sebesar 69,04%. sedangkan faktor lain yang tidak diteliti dan turut memengaruhi kinerja, seperti lingkungan kerja, kompensasi, komunikasi dan lain sebagainya, pengaruhnya sebesar 30,96%. adapun besar pengaruh kepuasan kerja pegawai terhadap kinerja pegawai pdam di propinsi banten adalah sebesar 81,70%, sementara faktor lain yang tidak diteliti dan turut memengaruhi kinerja pegawai pdam di propinsi banten adalah sebesar 18,30%. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 189pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten 5.2. saran dalam upaya peningkatan kapabilitas kepemimpinan transformasional, diperlukan upaya peningkatan kompetensi konseptual dan kompetensi teknis melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan, konkret dan berkesinambungan. di samping itu, pimpinan perlu meningkatkan insentif bagi pegawai berprestasi dan terus menerus mengembangkan kreativitas. untuk mengembangkan budaya organisasi yang lebih kondusif diperlukan peningkatan nilai-nilai budaya organsasi, terutama yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut pegawai dan nilai-nilai budaya yang mendukung kepuasan pegawai. selain itu, dalam membangun budaya organisasi, pimpinan perlu terus menerus mengembangkan kerja sama tim dan memotivasi pegawai agar berorientasi pada hasil kerja. dalam peningkatan motivasi kerja, perlu ada upaya peningkatan motivasi secara berkesinambungan, baik yang menyangkut motivasi yang datang dari diri pegawai maupun motivasi yang datang perusahaan. di samping itu, perusahaan harus terus menerus memberikan arahan dan kesempatan pada pegawai untuk membangun kebersamaan dalam kelompok kerja dan partisipasi sosial. dalam peningkatan kepuasan kerja, perusahaan perlu melakukan upaya peningkatan kepuasan kerja pegawai secara terus menerus baik dalam bentuk finansial maupun nonfinansial. di samping itu, perusahaan perlu terus menerus membangun rasa hormat dari rekan kerja serta meningkatkan gaji dan tunjangan sesuai dengan kemampuan perusahaan. peningkatan kepuasan kerja pegawai juga harus mampu mendorong kerja produktif dan menerapkan sistem penilaian kinerja pegawai yang lebih menantang. dalam peningkatan kinerja, perlu adanya upaya peningkatan secara terus menerus terkait kegiatan perencanaan.kerja dan pelaksanaan program kerja. di samping itu, perusahaan juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap disiplin jam kerja pegawai, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja sesuai jadwal dan standarisasi kerja yang telah ditetapkan. referensi armstrong, michael and stephen taylor. 2014. armstrong’s handbook of human resource management practice. kogan page. baron, robert a. dan donn byrne. 2005. psikologi sosial (jilid 1). jakarta: erlangga. brown, andrew. 1998. organizational culture. financial times mamagement. decenzo, david a. and stephen p. robbins. 2010. fundamentals of human resource management. wiley. dessler, gary. 2011. manajemen sumber daya manusia. jakarta: pt. indeks. george, jennifer m. and gareth r. jones. 2012. understanding and managing organizational behavior. pearson. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 190 achmad kosasih gibson, james l., john m. ivancevich and robert konopaske. 2006. organizations: behavior, structure, processes. mcgraw-hill education. griffin, ricky w. 2002. manajemen (jilid 1). jakarta: erlangga. handoko, hani t. 2012. manajemen. yogyakarta: bpfe. ivancevich, john m., robert konopaske dan michael t. matteson. 2007. perilaku dan manajemen organisasi (jilid 1). jakarta: erlangga. kreitner, robert dan angelo kinicki. 2014. perilaku organisasi. jakarta: salemba empat. luthans, fred. 2011. organizational behavior: an evidence-based approach. mcgraw hill. mangkunegara, anwar prabu. 2010. evaluasi kinerja sdm. bandung: pt> remaja rosdakarya. mathis, robert l. and john h. jackson. 2011. human resource management. jakarta: salemba empat. mondy, r. wayne. 2008. manajemen sumber daya manusia. jakarta: erlangga. priadana, sidik dan dedi hadian. 2013. paradigma kepemimpinan di indonesia. bandung: logoz publishing. rivai, veithzal. 2011. performance appraisal. jakarta: rajawali pers. robbins, stephen p. 2002. perilaku organisasi. jakarta: erlangga. robbins, stephen p., dan timothy a. judge. 2014. perilaku organisasi. jakarta: salemba empat. sedarmayanti. 2011. manajemen sumber daya manusia. bandung: refika aditama. tyson, shaun. 2006. essentials of human resource management. routledge. wexley, kenneth n. and gary a. yukl. 1977. organizational behavior and personnel psychology. r. d. irwin. wibowo. 2013. manajemen kinerja. jakarta: rajawali pers. yukl, gary.2010. kepemimpinan dalam manajemen. jakarta: pt. indeks. yuniarsih, tjutju dan suwatno. 2011. manajemen sumber daya manusia: teori, aplikasi dan isu penelitian. bandung: alfabeta. studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c 1 studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c dini aulia rizky1) 1)program studi ilmu pemerintahan universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email : diniaulia_rizky@yahoo.co.id abstrak lembaga pemasyarakatan terus berupayamencapai visi, misi dan tujuan dalam memberikan pembinaan bagi narapidana, akan tetapi seringkali upaya tersebut terkendala permasalahan di lapangan, sehingga memerlukan peranan pegawai di setiap unit kerja. persoalan yang diangkat adalah apakah faktor kepemimpinan, kekompakan tim, budaya kerja dan kemampuan berwirausaha atau intensitas berwirausaha pada setiap tingkatan jabatan memiliki pengaruh terhadap upaya mancapai visi, misi dan tujuan organisasi. penelitian ini merupakan studi komparasi yang melibatkan tiga lembaga pemasyarakatan. metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan spss (statistical product and service solutions) ver. 17.0 for windows. berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil uji komparasi persepsi gaya kepemimpinan, persepsi kerja tim, persepsi kultur organisasi dan intensi berwirausaha pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c yang memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai tinggi berada pada lapas c, nilai ini diperlihatkan oleh nilai tengah atau mean dari lima jawaban skala likert, sehingga nilai yang jauh di atas angka 2,5 merupakan nilai yang tinggi. ini berarti bahwa lapas c akan mampu dengan mudah mencapai visi, misi dan tujuan lembaga pemasyarakatan dibandingkan lapas a dan b. kata kunci : lembaga pemasyarakatan, gaya kepemimpinan, kerja tim, kultur organisasi dan intensi berwirausaha. abstract prisons organization continuesfor striving to achieve the vision, mission, and goals in providing guidance for the inmates, but often these efforts hampered by problems in the field, so it takes the role of employees in each work unit. the issue raised is whether the factor of leadership, teamwork, work culture and entrepreneurship skills or intensity of entrepreneurship at every level of position has an influence on the efforts to achieving the vision, mission and goals of the organization. this research is a comparative study involving three prisons organization. the method applied is a quantitative method by using spss (statistical product and service solutions) ver. 17.0 for windows. the results of comparison test perceptions of leadership style, perception of teamwork, perceptions of organizational culture and intentions entrepreneurial employee’s correctional institution a, b and c, which showed that a significant difference in the high value that are in prisons c, these values are shown by the mean or the mean of five likert response scale, so the value is well above the 2.5 is a high value. this meant that prisons c will be able to easily reach the vision, mission and objectives of prisons organization than a and b. keywords: prisons organization, style of leadership, team work, organizational culture and entrepreneurial intentions journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 1-21 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x citation : rizky, dini aulia. 2017. “studi perbandingan gaya kepemimpinan, kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 1-21. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 2 dini aulia rizky pendahuluan dalam pasal 2 uu no. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. terdidiknya para narapidana ini merupakan tanggung jawab dari para petugas lapas di setiap unit kegiatan kerja. kerapkali pembinaan bagi narapidana yang tercantum dalam berbagai program kerja lapas menemui berbagai kendala di lapangan, di antaranya adalah program yang bekerjasama dengan departemen pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan formal bagi narapidana dibawah umur 12-18 tahun (yatiman, 2005).selain itu, dalam program pelatihan pengajuan pembebasan bersyarat pada lapas wanita yang mengajarkan para narapidana yang telah memasuki tahapan setengah masa hukuman, yang terkendala dari sisi tertib administrasi (sulistianingsih,2007). program kerja pembinaan asimilasi bagi narapidana melalui pengembangan kewirausahaan yang masih membutuhkan masukan pelatihan yang efektif (ferly, 2008). kendala-kendala di atas memerlukan peranan luas dari semua pihak yang saling bersinergi, sehingga peneliti bermaksud melakukan penelitian dalam mengurai permasalahan tersebut. peniliti berfokus kepada persoalan kepemimpinan, kekompakan tim(team work), budaya kerja dan kemampuan berwirausaha atau intensi berwirausaha pada setiap tingkatan jabatan pada masing-masing pegawai pada beberapa lapas. adapun pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1) apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap gaya kepemimpinan pada tiga lapas, dalam upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga? 2) apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap kekompakan tim pada tiga lapas, dalam upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga? 3) apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap budaya organisasi pada tiga lapas, dalam upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga? 4) apakah terdapat perbedaan intensi berwirausaha pada pegawai di tiga lapas, dalam upaya memberikan bekal pembinaan kewirausahaan bagi para narapidana? kerangka teori kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai (stoner, 1996). kepemimpinan yang baik adalah sebuah sikap dimana “pemimpin memahami perilakunya, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 3studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c sifat-sifat bawahannya dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu”. pendekatan ini mengisyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnosis dalam memahami perilaku manusia. dimana pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu membuat para bawahan –dalam hal inipara pegawai–, dapat menjalankan fungsinya.sehingga dalam konteks pembinaan di lapas, para narapidana dapat berjalan dengan baik dan profesional (fred, 1964). dengan demikian program kerja di bawah kepemimpinan yang benar akan berjalan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang akan dicapai. membangun kelompok tim yang baik adalah salah satu kesuksesan suatu organisasi, perbedaaan karakter dan sifat dalam satu tim bukan suatu kendala apabila orang-orang menghayati adanya perbedaan tersebut dan menyadari akan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka perbedaan itu justru dapat digunakan sebagai suatu sumber kekuatan yang bisa mendukung terjadinya kemajuan dan pembaharuanpembaharuan (tumph & reiner, 1985). tim yang kompak dalam sebuah lembaga mampu menopang semua beban dan tanggung jawab yang diemban. kekompakan tim akan membuat kerja dalam suatu organisasi akan lebih efektif dan efisien sehingga program kerja akan dengan mudah dilaksanakan karena setiap orang bekerja sesuai dengan tujuan dan tanggung jawabnya masing-masing (maxwell, 2008). budaya organisasi yang kondusif akan mampu menciptakan situasi kerja yang nyaman, disiplin tinggi dan memperoleh hasil kerja sesuai target. budaya organisasi merupakan lingkungan eksternal yang memberikan dukungan dalam mencapai program kerja sesuai target dan sasaran. perlunya budaya organisasi yang mendukung dilandasi dari kesadaran pada masing-masing anggota yang ada dalam organisasi, semakin baik budaya organisasi yang di miliki maka akan semakin baik pula upaya pencapaiaan program kerja (pabundu, 2006). kondisi yang tidak kalah pentingnya adalah intensi berwirausaha, yaitu sejauh mana kemampuan seseorang dikatakan memiliki jiwa kewirausahaan (indiarti, 2008). dimana setiap lapas memiliki tujuan akhir pada para narapidana agar kelak ketika mereka keluar dari lapas mereka telah mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, sehingga dalam mensukseskan tujuan tersebut, mereka yang mendidik juga harus memilki jiwa kewirausahaan yakni para pegawai lapas. dengan demikian jiwa-jiwa kewirausahaan yang akan dibentuk melalui program kerja pelatihan kewirausahaan akan lebih efektif dijalankan. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 4 dini aulia rizky kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa dan bersaahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya atau kiprahnya. seorang yang memiliki jiwa dan sikap wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. dari waktu-ke waktu, hari demi hari, minggu demi minggu selalu mencari peluang untuk meningkatkan usaha dan kehidupannya. ia selalu berkreasi dan berinovasi tanpa berhenti, karena dengan berkreasi dan berinovasi lah semua peluang dapat diperolehnya. wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya. pada hakekatnya semua orang adalah wirausaha dalam arti mampu berdiri sendiri dalam menjalankan usahanya dan pekerjaannya guna mencapai tujuan pribadinya, keluarganya, msaayarakat , bangsa dan negaranya, akan tetapi banyak diantara kita yang tidak berkarya dan berkarsa untuk mencapai prestasi yang lebih baik untuk masa depannya, dan ia menjadi ketergantungan pada orang lain, kelompok lain dan bahkan bangsa dan negara lainnya. istilah kewirausahaan, kata dasarnya berasal dari terjemahan entrepreneur, yang dalam bahasa inggris di kenal dengan between taker atau go between. pada abad pertengahan istilah entrepreneur digunakan untuk menggambarkan seseorang actor yang memimpin proyek produksi, konsep wirausaha secara lengkap dikemukakan oleh josep schumpeter, yaitu sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. orang tersebut melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang baru atau pun yang telah ada. dalam definisi tersebut ditekankan bahwa wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut. sedangkan proses kewirausahaan adalah meliputi semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang dengan menciptakan suatu organisasi. metode penelitian metode penelitian yang digunakan sesuai dengan karakter atau sifat permasalahan dan tujuan penelitian adalah deskriptif. menurut winarno surahman (1978), sifat yang dapat dipandang ciri metode deskriptif adalah : 1). memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masalah sekarang, pada masalah-masalah yang aktual. 2). data yang dikumpulkan, mula-mula disusun dan dijelaskan, kemudian dianalisa (sering disebut metode analitis). sedangkan tujuan metode deskriptif ini menurut cresswell (2003), pertama, untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu, dimana frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. kedua, untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 5studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c sehubungan dengan pelaksanaan penelitian mengenai studi perbandingan gaya kepemimpinan, kekompakan tim, budaya organisasi dan intensi berwirausaha pada lembaga permasyarakatan a, b, c. maka penulis perlu menetapkan metode dan pendekatan penelitian yang penulis pilih adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif.melalui penelitian ini penulis berharap akan mendapatkan umpan balik dari suatu aktifitas dalam proses tersebut, sehingga dapat dapat digunakan untuk evaluasi perbaikan kerja pada ketiga lapas. dalam menentukan populasi dan sampel penelitian, peneliti menentukan populasi berada pada masing-masing lembaga pemasyarakatan yaitu para pegawai dengan kriteria dan syarat-syarat tertentu sehingga layak dianggap sebagai obyek penelitian ini. dari batasan pengertian yang demikian, maka yg dimaksudkan populasi dalam penelitian ini adalah pegawai dimasing-masing lapas yang dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil. menurut data, jumlah tersebut 434 orang dan semuanya masih aktif bekerja dilingkungan lembaga permasyarakatan pemuda, 471 pada lapas wanita, 423 pada lapas anak pria. dari jumlah populasi di atas kemudian peneliti menetapkan sampel sebanyak 65 orang dengan pertimbangan mencukupi 15% dari total populasi. hal ini sesuai dengan pendapat winarno surachmad yang menyatakan “bila populasi cukup homogen terhadap populasi dibawah seratus dapat dipergunakan sampel sebesar 50% dan diatas seratus 15% untuk menjamin ada baiknya sampel selalu ditambah sedikit lagi jumlah matematis tadi” (winarno surachmad, 1985: 100). hasil dan pembahasan dari 100 kuesioner yang disebar di setiap lapas terkumpul kembali seluruhnya (65%). seluruh kuesioner yang terkumpul akan dipergunakan dalam analisis data selanjutnya.data penelitian yang diperoleh dari kuesioner yang disebar adalah data yang berskala ordinal. untuk analisis lebih lanjut, data mentah tersebut harus dinaikkan terlebih dahulu menjadi skor baku dalam skala interval.pengolahan data penelitian dilakukan melalui analisis analisis komparasi untuk menguji hipotesis penelitian. semua proses pengolahan data dan perhitungan dalam penelitian ini menggunakan alat bantu perangkat lunak spss (statistical product and service solutions) ver 17.0 for windows. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 6 dini aulia rizky 4.1 hasil uji validitas dan realibilitas pengolahan data valid dihasilkan: tabel 1. communalities, factor loadings and cronbach’s alpha dari gaya kepemimpinan no item variables communality factor loading 6 mendukung anggota menyelesaikan masalah secara bersama ,336 ,485 9 saya tidak memilih untuk bekerja dengan orang yng tidak disukai, tidak populer, walaupun melakukan hal tersebut sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan saya ,450 ,671 32 saya tidak siap dengan hasil dari tindakan saya ,346 ,588 percent of variance 59.414 cronbach’s alpha .734 tabel 2. communalities, factor loadings and cronbach’s alpha dari kerja tim no item variables communality factor loading 1 iib1pertemuan antar pegawai dilaksanakan secara teratur dan setiap pegawai harus menghadirinya ,331 ,481 4 iib4kami berbicara tentang berbagai konflik dan ketidak setujuan sampai semua selesai. ,307 -,455 5 iib5para pegawai saling mendengarkan secara hati-hati satu sama lain. ,236 ,485 8 iib8setiap pegawai mencari cara untuk memberikan konstribusi untuk kemajuan lapas. ,248 ,498 10 iib10kami dengan bebas memberi nilai lebih atas pekerjaan yang berhasil dengan baik. ,335 ,579 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 7studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c 15 iib15tujuan unit kerja kurang di jalankan oleh anggota unit kerja. ,451 ,671 16 iib16apatis atau kurang komitmen untuk mencapai tujuan. ,373 ,522 17 iib17kurang inovasi, inisiatif dan ketakutan dalam ambil resiko. ,364 ,514 18 iib18rapat (pertemuan) staff tidak efektif. ,374 ,417 20 iib20komunikasi buruk, orang takut berbicara, tidak mau mendengarkan atau tidak mau berbicara satu sama lain. ,638 ,799 percent of variance 42.734 cronbach’s alpha .688 tabel 3. communalities, factor loadings and cronbach’s alpha dari kultur organisasi no item variables communality factor loading 7 iia7setiap pegawai diijinkan untuk menggunakan metode kerjanya sendiri. ,389 ,624 9 iia9para pegawai di lapas ini tidak mengeluh menghadapi situasi yang tidak biasa ,450 ,671 10 iia10di lapas ini kesalahan tidak terlalu besar dapat dimaklumi (ditolerir) ,335 ,579 13 iia13dalam lapas sedikit perhatian terhadap masalah pribadi pegawai ,482 ,362 17 iia17pengambilan keputusan di lapas ini dipaksakan ,464 ,514 percent of variance 31.524 cronbach’s alpha .895 journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 8 dini aulia rizky tabel 4. communalities, factor loadings and cronbach’s alpha dari intensi berwirausaha no item variables communality factor loading 1 ketika masalah muncul di akhir hari kerja yang melelahkan, saya masih memiliki energi cadangan ,231 ,481 6 mendukung anggota menyelesaikan masalah secara bersama ,286 ,535 7 tidak perlu selalu bersikap ilmiah dan rasional dalam manajemen selama seseorang memiliki tekad untuk melakukan apa yang ingin diselesaikan ,389 ,624 8 saya tidak mengalami kesulitan meyakinkan orang untuk mempercayai kemampuan saya untuk berhasil ,248 ,498 9 saya tidak memilih untuk bekerja dengan orang yng tidak disukai, tidak populer, walaupun melakukan hal tersebut sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan saya ,450 ,671 10 saya tidak perlu menghabiskan waktu dan uang untuk melakukan analisa pasar. asal produknya laku terjual maka saya akan terus menjualnya/membuatnya ,335 ,579 11 saya bekerja sekeras orang – orang yang saya kenal ,387 ,622 12 saya tidak melihat perlunya membaca koran setiap hari ,386 ,621 13 saya tidak takut untuk menginvestasikan uang saya pada sesuatu hal yang telah saya perhitungkan untungnya ,048 14 saya percaya kesulitan dan rintangan dapat diubah menjadi kesempatan yang dapat dimanfaatkan ,307 ,554 15 kesehatan dan energi saya menstimulasi orang di sekitar saya ,451 ,671 16 saya tidak bisa meninggalkan bisnis saya terlalu lama karena tidak ada orang lain yang dapat menjalankannya ,273 ,522 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 9studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c 17 saya tidak merasa sakit hati ketika orang menyampaikan kritik negatif terhadap kinerja saya ,264 ,514 18 saya memiliki ketakutan dan kelemahan yang tidak dapat diselesaikan ,174 ,417 19 ketika saya melakukan sesuatu, saya pastikan bahwa saya melakukan dengan sebaik – baiknya ,279 ,528 20 saya bekerja paling baik ketika saya sendiri, tanpa pengawasan dan supervisi dari siapapun ,638 ,799 21 saya tidak menyukai bekerja sebagai ketua kelompok, saya lebih suka menjadi anggota ,273 ,522 22 saya meragukan kemampuan saya dalam menghadapi kondisi baru yang belum teruji ,292 ,541 23 saya sendirilah yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu kejadian, bukan takdir maupun keberuntungan ,554 ,745 24 saya sering sakit ,356 ,597 25 saya tidak menyukai hasil yang bukan berasal dari usaha saya sendiri meskipun hasil itu bagus ,336 ,580 26 saya menunggu orang lain untuk mencetuskan ide dan bertindak ,252 ,502 27 saya merasa tidak ada salahnya berkonsultasi dengan ahli mengenai bagaimana saya sebaiknya menjalankan usaha saya ,291 ,539 28 saya akan mempertimbangkan melakuan sesuatu yang beresiko apabila ada kemungkinan untuk sukses 30 – 40 % ,266 ,516 29 menurut saya, konsumen yang memprotes produk saya sebagai orang negatif yang banyak omong ,252 ,502 30 saya akan mempertimbangkan melakukan sesuatu yang beresiko apabila ada kemungkinan untuk sukses sebesar 60 – 100 % ,213 ,462 journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 10 dini aulia rizky 31 stress dan ketegangan mengurangi efisiensi saya ,337 ,581 32 saya tidak siap dengan hasil dari tindakan saya ,346 ,588 33 saya bisa tegas sebagai ketua dengan cara membuat orang mau mengikuti saya ,357 ,512 34 saya tidak akan membiarkan kegagalan mempengaruhi saya ,241 ,534 percent of variance 31.524 cronbach’s alpha .919 faktor loading menandakan besarnya validitas pada instrumen pengukuran faktor analisis. dari item pertanyaan variabel-variabel yang ada. sedangkan percent of variance adalah besarnya persentase korelasi item pertanyaan yang ada. percent of variance yang dapat dinyatakan valid adalah di atas 30. jumlah chronbach alfa menentukan realibilitas pada item-item pertanyaan yang telah dinyatakan valid. chronbach alfa diatas 0,6 dapat dikatakan bahwa item tersebut realibel. hasil uji validitas dan realibilitas yang didapat adalah pada variabel gaya kepemimpinan terdapat pada item 6, 9 dan 32 dengan cronbach alfa 0,734. pada variabel kerja tim, item 1,4,5,8,10,15,16,17,18,20 dengan cronbach alfa 0,688. pada variabel kultur organisasi, item 7, 9,10,13 dan 17. pada variabel intensi berwirausaha, item 1, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34 dengan cronbach alfa 0,919. dengan demikian item-item pertanyaan tersebut pada masing-masing variabel dapat digunakan untuk melakukan analisis berikutnya. 4.2 responden menurut jenis kelamin responden menurut jenis kelamin, pada lapas a terdapat responden perempuan sebesar 24,6%, laki-laki 75,4% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas a. responden menurut jenis kelamin pada lapas b, responden perempuan sebesar 35,4%, laki-laki 64,6% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas b. responden menurut jenis kelamin pada lapas c, responden perempuan sebesar 32,3%, laki-laki 67,7% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas c. 4.3 responden menurut status marital responden menurut status marital di lapas a terdapat responden belum menikah sebesar 70,8%, menikah 29,2% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas a. responden menurut status marital di lapas b terdapat responden belum menikah p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 11studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c sebesar 64,6%, menikah 35,4% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas b. responden menurut status marital di lapas c terdapat responden belum menikah sebesar 55,3%, laki-laki 44,7% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas c. dapat disimpulkan bahwa distribusi responden terbesar menurut status marital pada lapas a, b dan c didominasi oleh pegawai yang telah menikah. 4.4 responden menurut kelompok usia responden menurut kelompok usiaa di pada lapas a terdapat responden usia 20-29 sebesar 53,8%, 30-39 sebesar 38,5%, dan 40-49 sebesar 7,7% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas a. responden menurut kelompok usia di lapas b terdapat responden usia 20-29 sebesar 32,3%, 30-39 sebesar 46,1%, dan 40-49 sebesar 21,6% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas b. responden menurut kelompok usia di lapas c terdapat responden usia 20-29 sebesar 56,9%, 30-39 sebesar 38,4%, dan 40-49 sebesar 4,7% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas c. kesimpulannya bahwa responden menurut kelompok usia pada lapas a didominasi oleh umur 20-29 tahun demikian pula pada lapas c, dan pada lapas b umur 30-39 tahun. 4.5 distribusi responden menurut pendidikan responden menurut kelompok pendidikan terakhir pada lapas a terdapat responden pendidikan smu/ smk sebesar 30,8%, pendidikan d3 sebesar 20%, pendidikan s1 sebesar 44,6% dan pendidikan s2 sebesar 4,6% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas a. responden menurut kelompok pendidikan terakhir di lapas b terdapat responden pendidikan smu/ smk sebesar 21,5%, pendidkan d3 sebesar 13,9%, pendidikan s1 sebesar 58,4% dan pendidikan s2 sebesar 6,2% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas b. responden menurut kelompok pendidikan terakhir di lapas c terdapat responden pendidikan smu/ smk sebesar 44,6%, pendidikan d3 sebesar 20%, pendidikan s1 sebesar 30,8% dan pendidikan s2 sebesar 4,6% dengan total seluruhnya adalah 65 responden pada lapas c. dapat disimpulkan bahwa responden menurut pendidikan terakhir, pada lapas a didominasi oleh pendidikan s1demikian pula pada lapas b, dan pendidikan sma/smk pada lapas c. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 12 dini aulia rizky 4.6. gaya kepemimpinan tabel 5. uji komparasi gaya kepemimpinan lapas a dan b orgnss n mean sig. (2tailed) leadshipstyle lapas a 65 3.3913 .697 .646 lapas b 65 3.3457 .697 .644 dari tabel 5, variabel gaya kepemimpinan diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,646 > 0,05 dimana dengan demikian secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan b terhadap variabel gaya kepemimpinan. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,3913 dan lapas b sebesar 3,3457. sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai visi, misi dan tujuan organisasi pada lapas a dan b memiliki kesamaan yang lebih banyak, persepsi pegawai pada lapas keduanya memiliki pandangan yang agak sedikit sama terhadap gaya kepemimpinan pemimpin mereka dalam upaya memberikan pengarahan maupun mendampingi pada para pegawai, serta membuat kebijakan. tabel 6. uji komparasi variabel gaya kepemimpinan lapas a dan c orgnss n mean sig. (2tailed) totlidershipstyle lapas a 65 3.3913 .923 .000 lapas c 65 4.5221 .923 .000 dari tabel 6, variabel gaya kepemimpinan diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat ada perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan c terhadap variabel gaya kepemimpinan. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,3913 dan lapas c sebesar 4,5221. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,5221.sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai visi, misi dan tujuan organisasi pada lapas a dan c memiliki perbedaan yang lebih banyak, persepsi pegawai pada lapas keduanya memiliki pandangan berbeda terhadap gaya kepemimpinan pemimpin mereka dalam upaya memberikan pengarahan maupun mendampingi pada para pegawai, serta membuat kebijakan. dilihat dari nilai mean yang tinggi di peroleh oleh lapas c, dengan demikian lapas c memiliki pandangan yang kuat terhadap gaya kepemimpinan mereka, dalam hal ini seorang pemimpin dari pandangan pegawai lapas c, mampu menjadi panutan maupun contoh sosok manusia yang ideal dalam usaha mancapai visi, misi dan tujuan lapas. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 13studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c tabel 7. uji komparasi variabel gaya kepemimpinan lapas b dan c orgnss n mean sig. (2tailed) totlidershipstyle lapas b 65 3.3457 .763 .000 lapas c 65 4.5221 .763 .000 dari tabel 7, variabel gaya kepemimpinan diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05. dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas b dan c terhadap variabel gaya kepemimpinan. mean/ nilai tengah lapas b sebesar 3,3457 dan lapas c sebesar 4,5221. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,5221.sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai visi, misi dan tujuan organisasi pada lapas b dan c memiliki perbedaan yang lebih banyak, persepsi pegawai pada lapas keduanya memiliki pandangan berbeda terhadap gaya kepemimpinan pemimpin mereka dalam upaya memberikan pengarahan maupun mendampingi pada para pegawai, serta membuat kebijakan. hasil uji komparasi persepsi gaya kepemimpinan lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c. ini berarti bahwa persepsi gaya kepemimpinan pada lapas c sangat kuat, kemudian persepsi gaya kepemimpinan yang sedang pada lapas a, dan persepsi rendah pada lapas b. kuatnya gaya kepemimpinan dalam suatu lembaga memperlihatkan bahwa lembaga tersebut sangat dipengaruhi oleh pemimpin mereka, baik dalam setiap kebijakan maupun dalam segala hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan di lapas c. kuatnya kepemimpinan suatu lembaga akan mempengaruhi keunggulan lembaga itu sendiri. kekuatan kepemimpinan menghasilkan berbagai kebijakan dan operasionalisasi kerja yang dibimbing oleh visi dan misi yang akan dijadikan dasar pencapaian tujuan. visi yang dijalankan secara konsisten harus menuntut perubahan budaya yang lebih berorientasi pada mutu baik proses maupun hasil. visi tercipta dari kreativitas pikir pemimpin sebagai refleksi profesionalisme dan pengalaman pribadi atau sebagai hasil elaborasi pemikiran mendalam dengan pengikut/personel lain, yaitu berupa ide-ide ideal tentang cita-cita organisasi di masa depan yang ingin diwujudkan bersama. visi menggambarkan masa depan yang ideal, barangkali menyiratkan ingatan budaya yang sekarang dan aktivitas, atau barangkali menyiratkan perubahan). journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 14 dini aulia rizky 4.7 kerja tim tabel 8. uji komparasi variabel kerja tim lapas a dan b orgnss n mean sig. (2tailed) timwork lapas a 65 3.3290 .305 .306 lapas b 65 3.2716 .305 .302 dari tabel 8, variabel kerja tim diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,306 > 0,05 dimana dengan demikian secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan b terhadap variabel kerja tim. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,3290 dan lapas b sebesar 3,2716. sehingga hasil perhitungan analisis tersebut menggambarkan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan pada kedua lapas, dalam upaya mancapai visi, misi dan tujuan lembaga keduanya memiliki persepsi kerja tim yang hampir terdapat persamaan. tabel 9. uji komparasi variabel kerja tim lapas a dan c orgnss n mean sig. (2tailed) timwork lapas a 65 3.3290 .011 .000 lapas c 65 4.0566 .011 .000 dari tabel 9, variabel kerja tim diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan c terhadap variabel kerja tim. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,3290 dan lapas c sebesar 4,0566. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,0566.sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai visi, misi dan tujuan organisasi pada lapas a dan c memiliki perbedaan yang lebih tinggi, persepsi pegawai pada lapas keduanya memiliki pandangan berbeda terhadap kerja tim mereka. dilihat dari nilai mean yang tinggi di peroleh oleh lapas c, dengan demikian lapas c memiliki pandangan yang kuat terhadap kerja tim mereka, dalam hal ini persepsi kerja tim seperti kekompakan tim memiliki daya ikat yang kuata yang mampu dilakukan dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan lembaga. kerja tim yang kuat akan mampu menopang dan meringankan segala hambatan dan tantangan yang dihadapi. tim yang kompak akan mampu menjadikan lembaga yang unggul di bandingkan lembaga yang lain. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 15studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c tabel 10. uji komparasi variabel kerja tim lapas b dan c orgnss n mean sig. (2tailed) timwork lapas b 65 3.2716 .071 .000 lapas c 65 4.0566 .071 .000 dari tabel 10, variabel kerja tim diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas b dan c terhadap variabel kerja tim. mean/ nilai tengah lapas b sebesar 3,2716 dan lapas c sebesar 4,0566. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,0566. sehingga persepsi kerja tim pegawai lapas c terhadap kerja tim lebih unggul dari pada lapas b. hasil uji komparasi persepsi kerja tim lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c. ini berarti bahwa persepsi kerja tim pada lapas c sangat tinggi dibandingkan lapas a dan b. kuatnya kerja tim dalam suatu lembaga memperlihatkan bahwa lembaga tersebut memiliki kekompakan yang kuat dalam membangun tim kerja. hal tersebut dapat mempengeruhi performan yang unggul dibandingkan lembaga yang lain. 4.8 budaya organisasi tabel 11. uji komparasi variabel budaya organisasi lapas a dan b orgnss n mean sig. (2tailed) budaya organisasi lapas a 65 3.2435 .791 .409 lapas b 65 3.3111 .791 .410 dari tabel 11, variabel budaya organisasi diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,409 > 0,05 dimana dengan demikian secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan b terhadap variabel budaya organisasi. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,2435 dan lapas b sebesar 3,3111.dengan demikian data ini dapat menganalisis bahwa tidak terdapat perbedaan yang jauh antara lapas a dan b dalam memberikan persepsi terhadap budaya organisasi mereka. kedua lapas memiliki kemampuan yang hampir sama dalam upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 16 dini aulia rizky tabel 12. uji komparasi variabel budaya organisasi lapas a dan c orgnss n mean sig. (2tailed) kultur organisasi lapas a 65 3.2435 .918 .000 lapas c 65 3.7181 .918 .000 dari tabel 12, variabel budaya organisasi diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas a dan c terhadap variabel budaya organisasi. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,2435 dan lapas c sebesar 3,7181. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 3,7181. sehingga dapat diperoleh analisis bahwa dalam melakukan persepsi terhadap budaya organisasi lapas c lebih diminan dibanding lapas a, analisis ini dapat dilihat pada jumlah mean di kedua lapas. lapas c memandang budaya organisasi mereka sebagai organisasi yang memiliki keunggulan. keunggulan suatu budaya organisasi diantarannya adalah dari sisi profesionalismen dimana pada lapas c memiliki profesionalisme yang lebih baik dibandingkan pada lapas a, ini berarti pula bahwa lapas c akan mudah dan lebih cepat dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi. tabel 13. uji komparasi variabel budaya organisasi lapas b dan c orgnss n mean sig. (2tailed) budaya organisasi lapas b 65 3.3111 .693 .000 lapas c 65 3.7181 .693 .000 dari tabel 3.14, variabel budaya organisasi diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata persepsi pegawai lapas b dan c terhadap variabel budaya organisasi. mean/ nilai tengah lapas b sebesar 3,3111 dan lapas c sebesar 3,7181. perbedan ini di dominasi persepsi pegawai pada lapas c, dengan nilai 3,7181. hasil uji komparasi persepsi budaya organisasi lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c. ini berarti bahwa persepsi budaya organisasi pada lapas c kuat. kuatnya budaya organisasi dalam suatu lembaga memperlihatkan bahwa lembaga tersebut memiliki profesionalisme, kondisi manajemen dan integritas yang tinggi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 17studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c 4.9 intensi berwirausaha tabel 14. uji komparasi variabel intensi kewirausahaan lapas a dan b orgnss n mean sig. (2tailed) intensi berwirausaha lapas a 65 3.1261 .463 .540 lapas b 65 3.2111 .463 .542 dari tabel 3.15, variabel intensi berwirausaha diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,540 > 0,05 dimana dengan demikian secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata pegawai lapas a dan b terhadap variabel intensi berwirausaha. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,1261 dan lapas b sebesar 3,2111.hasil analisis yang diperoleh menggambarkan bahwa intensi berwirausaha pada pegawai lapas a dan b tidak memiliki perbedaan yang berarti, upaya memberikan bekal pembinaan kewirausahaan bagi para narapidana tidak memiliki perbedaan, sehingga antara keduanya tidak dapat menjadi lapas yang unggul yang dijadikan rujukan dalam standarisasi pembinaan jiwa kewirausahaan bagi narapidana. tabel 15. uji komparasi variabel intensi berwirausaha lapas a dan c group statistics orgnss n mean sig. (2tailed) intensi berwirausaha lapas a 65 3.1261 .873 .000 lapas c 65 4.8301 .873 .000 dari tabel 5.16, variabel intensi berwirausaha diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata pegawai lapas a dan c terhadap variabel intensi berwirausaha. mean/ nilai tengah lapas a sebesar 3,1261 dan lapas c sebesar 4,8301. perbedan ini di dominasi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,8301.hasil analisis diperoleh bahwa pegawai lapas c memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi dibandingkan pegawai lapas a. dengan demikian lapas c dapat dijadikan sebagai lembaga pemasyarakatan yang mampu memberikan pembinaan bekal kewirausahaan bagi para narapidana. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 18 dini aulia rizky tabel 16. uji komparasi variabel intensi berwirausaha lapas b dan c group statistics orgnss n mean sig. (2tailed) intensi berwirausaha lapas b 65 3.2111 .820 .000 lapas c 65 4.8301 .820 .000 dari tabel 15, variabel intensi berwirausaha diperoleh nilai sig (2-tailed) untuk equal variances assumed sebesar 0,000 < 0,05 dimana dengan demikian secara statistik terdapat perbedaan signifikan dari nilai rata-rata pegawai lapas b dan c terhadap variabel intensi berwirausaha. mean/ nilai tengah lapas b sebesar 3,2111 dan lapas c sebesar 4,8301. perbedan ini di dominasi pegawai pada lapas c, dengan nilai 4,8301. hasil uji komparasi intensi berwirausaha lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c. ini berarti bahwa intensi berwirausaha pada lapas c sangat memiliki jiwa kewirausahaan atau intensi kewirausaahan yang tinggi. tingginya intensi berwirausaha seseorang dalam lembaga memperlihatkan bahwa lembaga unggul dalam melakukan bekal pelatihan kewirausahaan terhadap narapidana. tabel 17. klasifikasi lapas a, b dan c berdasarkan nilai mean item lapas a lapas b lapas c gaya kepemimpinan sedang rendah tinggi kerja tim rendah sedang tinggi kultur organisasi rendah sedang tinggi intensi berwirausaha rendah sedang tinggi dari tabel 16 dapat digambarkan bahwa gaya kepemimpinan tertinggi di antara lapas a, b dan c diperoleh lapas c, kemudian tingkatan sedang diperoleh lapas a dan rendah lapas b. demikian pula pada kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha keunggulan diperoleh lapas c, tingkat rendah pada lapas a dan sedang lapas b. dalam kaitan analisis dengan data penyebaran responden, dapat diperoleh gambaran bahwa jenis kelamin, status marital, kelompok usia, pendidikan terakhir dan lamanya bekerja pada lembaga pemasyarakatan tidak mempengaruhi seseorang untuk memiliki jiwa berwirausaha atau intensi berwirausaha. seperti pendidikan terakhir pada lapas c didominasi oleh mereka yang berpendidikan smu/smk, akan tetapi intensi berwirausaha ini dimiliki dominan pada pegawai di lapas c. demikian pula dengan kelompok usia, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 19studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c distribusi kelompok usia termuda yaitu umur 20-29 tahun didominasi oleh lapas c, sedangkan intensi berwirausaha didominasi oleh lapas c, dengan demikian usia juga tidak mempengaruhi seseorang untuk memiliki jiwa berwirausaha. dari gambaran status marital yang ada pada responeden juga tidak mempengaruhi, dimana ketiga lapas yang memperlihatkan persentase responden tertinggi telah menikah, tidak menjamin seseorang untuk memiliki jiwa kewirausahaan/ intensi berwirausaha. responden dengan jenis kelamin yang didominasi oleh jumlah laki-laki pada semua lapas, juga menggambarkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh pada kemampuan berwirausaha., demikian pula dengan lamanya bekerja. perbedaan yang terjadi pada tiap lapas akan memberikan pengaruh bagi terwujudnya pencapaiaan visi misi dan tujuan lembaga pemasyarakatan. kondisi empat variabel tersebut akan berbanding lurus dengan kondisi yang ada pada masing-masing lapas. artinya lapas yang memiliki nilai rendah pada setiap variabel maka akan berpengaruh lamban dalam upaya pencapaian visi, misi dan tujuan lembaga. demikian pula sebaliknya, lapas yang memiliki nilai semakin tinggi maka akan cepat mencapai visi, misi dan tujuan lapas. sehingga perlu dilakukan suatu program pembenahan terkait kondisi ini. kesimpulan dari hasil analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. hasil uji komparasi persepsi gaya kepemimpinan lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c, hal ini dapat dilihat dari nilai mean. dengan demikian lapas c memiliki pandangan yang kuat terhadap gaya kepemimpinan mereka, yaitu dalam hal mendukung anggota dalam menyelesaikan masalah (item kuesioner 6) serta dalam berbaur dengan para bawahan secara intensif (item kuesioner 9), dalam hal ini seorang pemimpin dari pandangan pegawai lapas c, mampu menjadi panutan maupun contoh sosok manusia yang ideal dalam usaha mancapai visi, misi dan tujuan lapas. 2. hasil uji komparasi persepsi kerja tim lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c. ini berarti bahwa persepsi kerja tim pada lapas c sangat tinggi dibandingkan lapas a dan b yaitu dalam hal pertemuan yang dilakukan berkala (item kuesioner 1), membicarakan permasalah secara tuntas (item kuesioner 4), serta tujuan unit kerja yang dijalankan sesuai prosedur kerja (item kuesioner 15). sehingga upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga dapat dengan mudah dicapai. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 20 dini aulia rizky 3. hasil uji komparasi persepsi budaya organisasi lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c yaitu dalam hal pemberian perhatian pegawai yang satu terhadap pegawai yang lainnya (item kuesioner 10). ini berarti bahwa persepsi budaya organisasi pada lapas c kuat. sehingga upaya mencapai visi, misi dan tujuan lembaga dapat dengan mudah dicapai. 4. hasil uji komparasi intensi berwirausaha lapas a, b dan c, memperlihatkan bahwa perbedaan yang signifikan dengan nilai mendominasi berada pada lapas c yaitu dalam hal bahwa pegawai di lapas c senang bekerja keras (item kuesioner 11), dan dalam hal tidak akan membiarkan kegagalan mempengaruhi para pegawai (item kuesioner 34). ini berarti bahwa intensi berwirausaha pada pegawai lapas c, memiliki jiwa kewirausahaan atau intensi kewirausaahan yang tinggi. tingginya intensi berwirausaha seseorang dalam lembaga memperlihatkan bahwa lembaga unggul dalam melakukan bekal pelatihan kewirausahaan terhadap narapidana. referensi anon. 2010. mengolah data statistik hasil penelitian dengan spss 17. penerbit andi dan wahana komputer, yogyakarta. antonio, muhammad syafii. 2007. muhammad saw: the super leader super manager. prophetic leadership and management center, jakarta. culla, adi suryadi. 2006. rekonstruksi civil society: wacana dan aksi ornop di indonesia. penerbit lp3es, jakarta. dewayana, wildhan. 2009. intervensi sebagai upaya mencari alternatif dalam pembangunan yang dilanda krisis: suatu refleksi mengenai hakikat pembangunan berdasar pandangan hettne, seers, dan todaro. makalah. program pascasarjana universitas indonesia enoch, markum dan wilman dahlan. 2009. materi perkuliahan: kuesioner perilaku kepemimpinan kouzes dan posner, program pascasarjana universitas indonesia. hariandja, marihot tua efendi. 1994. kepemimpinan dalam organisasi gereja hkbp: kasus hkbp bandung barat ditinjau dari sudut pandang teori dan perilaku organisasi. tesis. program pascasarjana universitas indonesia. ife, jim and frank tesoriero. 2008. community development. penerbit pustaka pelajar, yogyakarta. kouzes dan posner. 2004. the leadership challenge: tantangan kepemimpinan. edisi ketiga. penerbit erlangga, jakarta. muladi dan adi sujatno. 2008. traktat etis kepemimpinan nasional. penerbit rmbooks, jakarta. neuman, w. lawrence. 2006. social research methods: qualitative and quantitative approach. pearson international edition, united states of america. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 21studi perbandingan gaya kepemimpinan kerja tim, kultur organisasi, dan intensi berwirausaha pada pegawai lembaga pemasyarakatan a, b dan c priyatno, dwi. 2009. mandiri belajar sps: untuk analisis data dan statistik. penerbit buku kita, jakarta. riduwan. 2009. metode dan teknik menyusun tesis. penerbit alfabeta, bandung rivai, veithzal dan arviyan arifin. 2009. islamic leadership: membangun superleadership melalui kecerdasan spiritual. cetakan pertama. penerbit pt bumi aksara, jakarta. robbins dan judge. 2008. perilaku organisasi. penerbit salemba empat, jakarta. sahabudin. 2010. perencanaan strategik lembaga kemanusiaan nasional pkpu dengan pendekatan balanced scorecard. tesis. program pascasarjana institut pertanian bogor. santoso, singgih. 2010. mastering spss 18. penerbit elex media komputindo-kompas gramedia group, jakarta. sarwono, jonathan. 2006. analisis data menggunakan spss. penerbit andi, yogyakarta. sugiyono, prof. dr. 2010. statistika untuk penelitian. penerbit alfabeta, bandung sugiyono, prof. dr. 2009. metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. cetakan ke-8. penerbit alfabeta, bandung. timpe, a. dale. 1999. seri manajemen sumber daya manusia: kepemimpinan. penerbit gramedia, jakarta. uyanto, stanislaus. s, ph.d. 2009. pedoman analisis dengan spss. penerbit graha ilmu, yogyakarta. wijana, i nyoman. 1999. karakteristik kepemimpinan efektif: studi kasus pada ditjen bimas hindu dan budha departemen agama. tesis. program pascasarjana universitas indonesia. yukl, gary. 2007. kepemimpinan dalam organisasi. cetakan 2. penerbit pt indeks, jakarta. 107 125 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 127 143 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 (1master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 145 161 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1, adie dwiyanto nurlukman2 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 163 177 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 (1government science study program, stisip yuppentek, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 179 190 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p (communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  107 citation : sarofah, riska, titin purwaningsih and nurhakim. 2018. “analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, 107-125. journal of government and civil society vol. 2, no. 2, september 2018, pp. 107-125 doi: 10.31000/jgcs.v2i2.1027 received 5 october 2018 revised 18 october 2018 accepted 26 october 2018 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: ika.sarofah@gmail.com 2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: titin.p.widodo@gmail.com 3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: nurhakim.umt@gmail.com abstract the characteristic of a democratic country is implementation of election. in indonesia it has include in national and local levels. local elections held simultaneously in 2015, 2017 and 2018. one of the city conducting the election is yogyakarta city. in the specifically this research explain about electoral governance in electoral integrity perspective. all stages of election which consists of pre-election, election period and post-election. this research use qualitative research method through interview and documentation. the results of this study indicated that electoral governance in yogyakarta city has integrity in accordance with the principles of electoral integrity applied in the stages of election implementation include pre-election, election process and post-election. in this research are not use all of the indicators to analyse the stages of election. this is because adjusted with the findings of research with information obtained through several sources. the first, at the planning and program, the indicators analyse include the implementation of democratic principles, transparency and accountability. the second, socialization and voter information, indicators analyse include the implementation of democratic principles, transparency and professionalism. the third, campaigns, indicators analyse include transparency, accountability, code of ethics and supervision. the fourth, voting and vote counting, the indicators analyse include democratic principle, professionalism, institutional safeguards and supervision. the fifth, the resolution of election disputes, indicators analyse are ethical codes and accountability. keywords: election, electoral integrity, electoral commission of yogyakarta, electoral supervisory committee of yogyakarta introduction elections is one of the instrument embodiments of the democratic country. implementation of elections should ensure direct, public, free, fair and fair democratic principles. elections must also put forward the principle of equality before of law and equal opportunity principle. this principle of equality can be realized if there is active participation in the holding of elections from the public and political parties. every election process must also be well prepared by election organizers to ensure the success of democratic parties both at national and local level (harahap, 2016; mcallister & white, 2015; p. norris, 2012). journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 108 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim the concurrent election 2015, 2017, and 2018 is a form of transitional execution of local election. the purpose of three stages in the local democratic equated the election cycle and the period of governance of the regional head in indonesia based on the calculation of the tenure of provincial and district/city heads throughout in indonesia, the ministry of home affairs divided three rounds in local election such as first-round regional elections in 269 area, second year in 101 area, and third year in 172 area. table 1. the implementation of the concurrent local election in indonesia no local election total 1 province 33 2 city 93 3 regency 416 total 542 source: http://kpu-ri.go.id based on the above table, the total regions conducting simultaneous elections in 2015, 2017 and 2018 amounted to 542. the implementation of the regional head election must be able to realize the integrity of the implementation and the results of holding the direct election through the strengthening of election organizers (rinaldo, 2016). the implementation of the simultaneous election in indonesia, the election supervisory body has compiled the index of election vulnerability with one of the dimensions of the variables of the holding of elections in which it contains the integrity of the organizer, the professionalism of the election commission and the violence against the organizer (bawaslu, 2017). with percentage as follows: figure 1. index of electoral vulnerability 2017 based on organizing dimension source: electoral supervisory agency of indonesia p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 109analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 yogyakarta city has a low level of vulnerability whereas its has a high chances of conflict when viewed the results of election in yogyakarta city 2017 with total of polling place is 794 and the resulted of vote is not more than 2%. calculation results of polling place (form c1) of yogyakarta as follows: 49.7% 50.3% imam priyono d putranto and achmad fadly h. haryadi suyuti and heroe suyuti figure 2. the result of vote in yogyakarta city 2017 source: electoral commission of yogyakarta the election supervisory board (bawaslu) of diy received violation findings during the voting process simultaneously in diy. violations occurring in a number of polling places (tps) dominated by procedural violations and data accuracy. most violations dominated by invalid permanent voters list as well as the expulsion of polling place controller (ptps) by kpps. the expulsion took place at tps 1 and 4 gunungketurpakualaman yogyakarta(bawaslu, 2017). in addition, the malpractice of the election was also found in the preparation stage of the election which found 1,546 ballots damaged and can not be used in the voting process (harianjogja, 2017). table 2. total of election violations in yogyakarta city 2017 no type of violation total of violations 1 administrative 23 2 criminal 0 3 etics 3 4 other law violations 4 total 30 source: electoral supervisory committee of yogyakarta journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 110 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim based on the above table election supervisory agency of special region of yogyakarta (panwaslu, 2017) report showed that the total of violations that occurred in the city of yogyakarta as many as 30. administrative violations as much as 23, no criminal violation, violations of ethics as much as 3 and other law violations as many as 4. the report showed that the holding of elections in the yogyakarta city was still encountered many violations. some violations such as vote inflation, code of ethics, professionalism, accountability, transparency and other procedural issues in yogyakarta city illustrate that the general election in 2017 still has many problems. the problems that arise are closely related to the principles of integrity of the election to be achieved by election organizers. the more people witness the election violations the more negative they tend to judge the electoral process(cho, y., & kim, 2016). election quality can be found through credible and independent election organizers(ruiz-rufino, 2018). the demand for election organizers to apply election integrity standards at every stage of the election will ensure the quality of electoral administration. the process of free and fair elections can be a measure for those who will hold power and guarantees for the holding of electoral qualities(olugbemiga afolabi, 2017). however, free and fair elections are not sufficient to ensure the quality of elections, as there are other principles including the implementation of democratic principles, codes of ethics, professionalism, institutional safeguards, oversight, transparency and accountability(ace electoral knowledge network, 2013). the role of the election commission and election supervisory committee of yogyakartais to realize elections with integrity was very important. this will ensure consistency to produce transparency and accountability elections based on integrity aspect. implementation of indicators of electoral integrity will affect the quality of elections that have implications on the implementation of elections in accordance with the principles of democratics(edet, bassey, & ita, 2016). reason for choosing the electoral integrity indicator in this research was for increase public participation in voter turnout, public involvement in government administration and able to reduce mass protest activity. in addition, election integrity is an important aspect in a democratic system in particular. the consequences of the absence of elections with integrity are very serious, even at a certain point may lead to the delegitimization of elected governments and ultimately trigger the political instability of a state. the electoral integrity indicator is also very comprehensive for analysing election governance(rahmatunnisa, 2017). this research took focus on the analysis of electoral governance in every stage of the general election that uses indicators of election integrity in yogyakarta city. this research is expected to be able to contribute to other regions that will conduct the election. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 111analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 literature review elections as democratic instruments democracy and elections are two interrelated concepts. all democratic systems are supported through the holding of periodic elections while elections can not succeed in political systems other than democracy(gutiérrez, 2012).the challenge of democracy also requires a deep understanding of electoral reform, building democratic institutions and strengthening substantive democracy not only procedural(hamalai l., egwu s., 2017).therefore, citizens’ dissatisfaction with the democratic process will pose a threat to the stability and legitimacy of a democratic political system (donovan & karp, 2017). electoral governance is often equated with the actual electoral administration in the process that electoral governance is not just talking about administrative matters. there are several stages in the governance of the election is first, the determination of election organizers, second, the application of norms in the implementation of elections. third, the settlement of disputes in the election. with this section, electoral governance is not merely about the administration of elections(medina torres, 2015). electoral governance is an effort to realize the credibility of the election. electoral governance”as a set of related activities that involves rule making, rule application, and rule adjudication”. electoral governance has a function in realizing and maintaining a broad election framework in every election activity where voting and electoral competition. normatively, based on democratic measures, direct election offers a number of benefits as well as expectations for the growth, deepening and expansion of local democracy: 1. opening the space of participation. 2. political competition 3. actualizing political rights 4. gain an aspirational, competent and legitimate leader 5. political legitimation electoral cycle based on the experienced of elections around the world that there issued such as violations at the time of elections, voting, and violence that are widely found throughout the world, it was necessary to establish the context of international standards that must be met by the organizers of the election(dahana, rosalin, & wiannastiti, 2016; hyde, & marinov, 2018). an evaluation index has been developed to compare the quality of elections in some provinces or electoral districts within a country (james, n.d.) journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 112 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim the electoral cycle is a tool used to understand the preparation of elections and the process of elections. the election cycle was developed by the european commission (ec), the international institute for democracy and electoral assistance (international idea) and the united nations development program (undp) in responded to understanding the long-term challenges of electoral implementation(ace electoral knowledge network, 2013). election cycle is one of the instruments that ensures that the implementation of general election is an ongoing and continuous activity. in general, the electoral cycle is divided into 3 periods, including pre-electoral period, electoral period, post-electoral period. some stages of universally valid election organizers ,namely: 1. legal framework 2. planning and implementation 3. training, education, and election socialization 4. voter registration 5. electoral campaign 6. election day and counting 7. verification of result 8. post-election electoral integrity definition of integrity comes from english as integration which means perfection or whole, besides the word integrity also means from the latin word “integer” which means intact or complete. integrity is a mindset and character that conforms to prevailing norms and regulations that are produced through a long process(pippa norris & grrmping, 2017; sugihariyadi, 2015). electoral integrity approaches both broadly and narrowly must contain at least universal component of suffrage including free, competitive and fair (clark, 2017). this concept of integrity emerged to answer two issues, namely political violence in the election and administrative violations committed by the election organizers (vickery, 2012). conceptualization related to electoral integrity can be distinguished through 3 things, namely process based approach, concept based approach or combination between them (van ham, 2015). concept-based approach defines election integrity as an effort to realize the ideal standard of democracy, while the process-based approach defines election integrity through election stages both pre, period and after election.according to mozaffar and schedler in rahmatunnisa (2017) that process based approach is another term of electoral governance. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 113analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 an organizer of an election with integrity means having an organizer element that is honest, transparent, accountable, meticulous and accurate in carrying out theirs duties and authorities(nurrahmawati, 2017). many challenges faced by electoral management bodies vary widely and differ of many countries in the election. election organizers are held as institutions that provide accountability both vertically and horizontally during the election process by requesting elites to comply with existing regulations and guarantee the right of citizens to vote during the electoral process (kerr & lührmann, 2017). respecting the principles of democratic elections. 1. code of ethics 2. professionalism 3. institutional safeguards 4. supervision and law enforcement 5. transparency 6. accountability based on the theoretical framework, researchers used the electoral cycle variables developed by european commission (ec), the international institute for democracy and electoral assistance (international idea) and the united nations development program (undp) as a tool to understand the process of organizing elections (aceproject .org, 2015). in addition electoral cycle is also developed by norris (2016) which explains the steps in the election stage. variable electoral cycles include pre-election (planning and budgeting, recruitment and election information, data collection and voter registration, campaign), election period (voting and vote counting), post-election (announcement of results, validation and resolution of election disputes). this research uses process-based approach and concept-based approach in measuring election integrity. this approach has advantages in understanding and measuring electoral integrity more comprehensively in considering all aspects from before, during and after polling day. the indicators used in this study are indicators according to the electoral knowledge network (2013) with indicators such as respecting democratic elections, codes of conduct, professionalism, institutional safeguards, supervision and enforcement, transparency and accountability. therefore, at the end of this study will examine the success of all stages of elections in applying electoral integrity. research method this research used the qualitative method. qualitative research is the methods that explore and interpret the meaning that by some individuals or groups of people are journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 114 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim considered to come from social or humanitarian problems. this qualitative research process begins by asking questions, procedures, collecting specific data from participants, analysing data in a general and special way to interpret the meaning of the data(sugiyono, n.d.). this research was conducted in yogyakarta city as one of the cities that held the election simultaneously in 2017. the locations that became the main research object is the electoral commission of yogyakarta and electoral supervisory committee of yogyakarta. research used the primary and secondary manifold data. a series of data collection techniques conducted by researchers in this study include interviews and documentation. in the process of obtaining accurate data then the authors perform data collection techniques through in-depth interviews (in-depth interview) with the speakers associated with the object of research. discussion/analysis specifically, this article will discuss the governance of local election in yogyakarta city in 2017. the dimensions used are adjusted to the operational definition in this article, among others, preparation, election period and post-election. the following research findings can be described as follows: table 3. description of research results dimensions variables (electoral cycle) electoral integrity indicators pre-election program and budget planning 1. democratic principles 2. transparency 3. accountability voter information and registration 1. democratic principles 2. transparency 3. professionalism campaign 1. transparency 2. accountability 3. code of ethics 4. supervision electoral period voting and calculation 1. professionalism 2. institutional safeguards 3. supervision post-election electoral dispute resolution 1. code of ethics 2. accountability source: processed by authors p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 115analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 based on the findings in the field that each stage of the election such as pre-election, election period and post-election can be analyzed using electoral integrity indicator. this study specifically discusses the implementation of local election in yogyakarta city 2017. in this study did not use all indicators of electoral integrity to analyse the stage of organizing the election. this is because adjusted with the findings of research with information obtained through several sources. the first, in the planning and program stages, the indicators analyzed include the implementation of democratic principles, transparency and accountability. the second, socialization and voter information, indicators analyzed include the implementation of democratic principles, transparency and professionalism. the third, campaigns, indicators analyzed include transparency, accountability, code of ethics and supervision. the fourth, voting and vote counting, indicators analyzed include professionalism, institutional safeguards and supervision. the fifth, election dispute settlement, indicators analyzed include ethics code and accountability. program and budget planning details of budget planning process prepared based on the needs at each stage of the general election. expenditure components that are regulated include: 1. total of voters and polling place. 2. total of organizing personnel, security and involvement. 3. total of candidate 4. geographical factors we can analyse the democratic principle in this stage within theimplementation of local election in yogyakarta city budget drafting process.it come from the yogyakarta city budgets which began with the preparation of proposed grant funds by the commission to be submitted to the regional government budget team and commission a of the yogyakarta city council. then will be given input in the form of budget revision to the commission of yogyakarta city which proceeds with the signing of nphd which is also used as evidence that the budget has been legally legalized. local election budgeting process in yogyakarta city also involves the community to take part in monitoring the budget that has been planned by the electoral commission of yogyakarta. they proposed a budget of 14.9 billion. it conveyed to the community through the seminar and delivered in detail the spread of budget use to make sure the budget transparency. the distribution of election funds in yogyakarta city 2017 are the need for the voting committee rp. 6,095,311,250 (41%), electoral commission activities amounted journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 116 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim to rp. 4,473,986,075 (30%), the implementation of campaign activities amounted rp. 2,829,575,000 (19%), and budget for district election committee of rp. 1.518.630.000 (10%). financial accountability by electoral commission of yogyakarta city can be seen through report of budget usage/spending of election. in the mayor election of yogyakarta city managed to save a budget of 31% or rp. 4.600.000.000 (four billion six hundred million rupiah). this efficiency can be done due to the following factors: table 4. efficiency budget of election in yogyakarta city no reasons of budget efficiency 1 the election goes one round 2 total of mayor and vice mayor candidate are two 3 efficiency in terms of spending as it uses e-catalogs 4 procurement process using e-procurement, it got the best price 5 salary for election organizer is not use national standard source: processed by author based on the above table the form of accountability that can be observed through accountability report electoral commission of yogyakarta with budget savings of 31% and received full appreciation by commission a regional house of representative yogyakarta city. forms of efficiency included the election which only lasts for one round, the candidate pair only amounts twocandidate, the use of e-procurement that can assist in selecting expenditure needs of election administration, and salary election officials are adjusted to yogyakarta minimum wage standards. voter information and registration the most significant indicators of electoral integrity to get attention to the socialization and voter registration stages include democratic principles. we can be analyse that the socialization process existed in the mayor election of yogyakarta city is very diverse and involves various stakeholders. this can be seen from the first, the dissemination of socialization carried out to the lowest level in the community such as village communities. the second, the involvement of students as agent of change in socialization activities. electoral commission of yogyakarta city is very successful by cooperating with several universities in yogyakarta city. in addition to helping the achievement of yogyakarta city election commission students are also believed to provide socialization with the concept of young people today so it is expected to motivate the public to use the right to vote in election in the city of yogyakarta city. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 117analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 the third, the involvement of novice voters in socialization activities in schools. this activity is considered to be very less participation in the process of socialization. several interviews conducted by beginner voters are still very rare that incorporated in the activities of sub-district electoral committee and commissioner of electoral commission of yogyakarta. some activities undertaken by the electoral commission of yogyakarta to ensure voters have been registered as permanent voters, to ensure the process of voter registration the electoral committee use 3 strategy with monitoring and evaluation the voter data, optimization of voter registration information system and approach the minority group. in ensuring resource professionalism the electoral commission is regularly held meetings origination, work meeting and technical guidance to electoral committee. it aims to provide a qualified understanding of the lower level of election organizers so that their performance and knowledge are in accordance with the stages of the general election. some of the activities carried out include: table 5. capability development of electoral committee no explanation 1 working meeting of sub-district selection committee. 2 working meeting of the voting committee 3 financial technical guidance for sub-district selection committee 4 technical guidance for updating voter data 5 technical guidance of sub-district sidalih application 6 technical guidance on logistics and distribution source: electoral commission of yogyakarta city through the table above shows that there should be understanding of the duties and functions of each election organizer. in the process of updating the data of voters need good cooperation between all the committee in sub-district. coordination will generate reliable data voters and minimize errors on matching the data. national commission also conducted training for sidalih operators related to the use of sidalih, then commissioners and sidalih operators who have followed the technical guidance then give committee at the sub-district level. the level of professionalism of election organizers in yogyakarta city can also be analysethrough the provision of socialization and simulation with approaches for minority groups. local election organizers are required to be able to provide the target of equal socialization. the city of yogyakarta succeeded in getting the award from the national commission because it consistently paid attention to disability-friendly electoral process. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 118 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim campaign campaign methods in accordance with the regulations of the election implementation include limited meetings, face-to-face meetings and dialogues, general campaign dissemination, installation of campaign props, and other activities that do not violate campaign and regulatory restrictions. indicators of electoral integrity used in governance ofthe regional head election are transparency, accountability, code of conduct and supervision. transparency of campaign implementation can be analyse through campaign marking process made by each candidate pair of mayor and vice mayor. the marking of the yogyakarta city election campaign in 2017 is implemented based on electoral commission regulation no. 8 of 2015 that campaign fund is a number of fees in the form of money, goods and services used by candidate pairs and/or parties or coalitions of political parties proposing candidate pairs to finance the election campaign. campaign proposed by the candidate pairs may come from political party contributions or other non-binding contributions including individual donations or private law. figure 3. campaign funds source: interview data based on the campaign fund reporting flow above indicates that the electoral commission of yogyakarta is only a facilitator in reporting campaign funding for each candidate pair as well as political party/coalition of political parties. the electoral commission of yogyakarta city seeks to ensure that election participants are disciplined in reporting campaign funds adjusted to the time specified. electoral commission of yogyakarta city received campaign fund report from each candidate pair with details of imam priyono and ahmad fadly candidate pair of rp. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 119analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 532.100.000,(five hundred thirty two million one hundred thousand rupiah) and the pair haryadi suyuti and heroe poerwadi for rp.560.000.000,(five hundred sixty million rupiah). the campaign funds report is then submitted to the electoral commission of yogyakarta city and accessible to all communities and media. this is to ensure the implementation of the principle of transparency in the campaign fund reporting process of each candidate. beside that the accountability principle can be measured with the accuracy of the data on campaign finance reports of each pair of candidates who have submitted to the electoral commission of yogyakarta and has been examined by a public accounting firm. campaign fund reports do not have the problem until the inspection stage by the accounting firm. it can prove that the principle of accountability has been implemented by the participants of the election. local election fund has also been adjusted to the prevailing rules. in this case, the role of the electoral commission to coordinate with election participants has also been successful in order to make campaign fund reports in accordance with existing regulations. violations found during the campaign period are the installation of the campaign during the quiet period. several places are controlled by the electoral committee including the area of hayam wuruk purwanggan, kricak, sardjito and gedongtengen. electoral agency supervisory committee of yogyakarta city to control because the billboard design that is installed is not in accordance with the submitted by the successful team of each candidate pair. we analyse that the stages of the campaign have been conducted supervision process by supervisory electoral committee of yogyakarta city. however, the main problem that arises in the supervision stage is the low level of supervision conducted by the community. usually, the reports are part of the supervisory findings. so committee should strive to increase community participation in monitoring process at campaign stage. voting and vote counting based on the decision of electoral commission of yogyakarta city number 206 / kpu/kota-013.329631/iv/2017 stipulates the mayor and vice mayor of yogyakarta city won by candidate number 2, h. haryadisuyuti and drs. heroepoerwadi, ma. the process of voting in the 2017 election in the city of yogyakarta has no significant problems but found some events that forced to re-voting some polling stations in the district. some principles that can be analyzed in the voting and recapitulation process are the democratic principle, professionalism, institutional safeguards and supervision. in the election of the city of yogyakarta managed to achieve participation of 70%. the election commission has succeeded in achieving the target according to the plan. the journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 120 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim voting process in each polling place must be implemented based on all procedures that have been arranged by national electoral commission. all polling place must report by it-based voting process. the voting process needs to be recorded in the form of an introductory video with the background of the polling place number, the video of the committee chairman and the witnesses of the candidates. the role of witnesses in the voting process is very important and ensures the smoothness of the voting process. problems that occur in some districts such as andurajen district, umbulharjo and gondokusuman. in gondokusuman sub-district the voting in polling place has no problem-related to the valid ballot. the recommendation from the district supervisory committee not to reopen the ballot has been agreed upon by all witnesses, pps and the election supervisory yogyakarta city is one of the areas that become “pilot project” implementation of itbased supervision on voting process. the flow of reporting is to record the voting process from the introduction of each witness and pps to the voting process. then the video is uploaded on youtube and directly monitored by electoral supervisory committee. electoral dispute resolution the case of alleged violation of the code of ethics with 3 cases occurred in yogyakarta city so that the trial was conducted by the electoral organizing committee (dkpp) held at electoral supervisory special region of yogyakarta. the case number, in this case, is 60 / dkpp-pke-vi/2017, 61/dkpp-pke-vi/2017, 62/ dkpp-pke-vi/2017. the chief of sub-district electoral supervisory agency special region of yogyakarta in 3 sub-district who experienced this problem was as follows: table 6. alleged violation of code of ethics of yogyakarta city in the 2017 election no name sub-district description complaints 1 ari nupiksojati chief of danurajen sub-district electoral committee. violation of the principle of transparency and accountability by not following up on the recommendations submitted by the election supervisory committee to reopen the unauthorized ballot during the plenary recapitulation of the vote. 2 suwendro chief of umbulharjo sub-district electoral committee. 3 setia edi ariwijaya chief of gondokusuman sub-district electoral committee source: the honorary board of the election organizers p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 121analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 based on the above complaints each sub-district election committee denied not follow the recommendations of the supervising committee districts. chairman of the sub-district election committee has acted openly and transparently in the process of implementation of the plenary recapitulation of votes district level. some denial is evidenced by the presence of da2-kwk model form the district andurajen, umbulharjo and gondokusuman. genesis in gondokusuman based session held honorary council election organizers actually implement the recommendation of the supervisory committee of districts did not reopen the invalid ballot papers. disputes over the results of the yogyakarta city election with a margin of no more than 5% resulted in the pair of imam priyono and achmadfadli submitting a dispute to the constitutional court. several election disputes filed by candidate pair number 1 (28/ php.kot-xv/2017) include: table 7. election dispute lawsuit election of yogyakarta city 2017 no the lawsuit dispute details of vote count dispute 1 the use of voice mail information (suket). the use of voice mail in yogyakarta reaches 1,030 letters. 2 permanent voter list issues the voters are still registered in the permanent voters list with the dead as many as 468 and moved from yogyakarta as many as 1149 voters. 3 sues the decision of the election commission of yogyakarta number 6/kpts/kpu-kota013.329631/2017 regarding the determination of recapitulation of the result of vote counting and the election result of mayor and vice mayor of yogyakarta in 2017. the acquisition of the number 1 vote is 99,146 votes with the difference of 1,187 with pair number 2 with the total 100,333 votes. the issue of dpt greatly affects the sound counting of the difference of almost 967 votes. source: interview result with electoral commission of yogyakarta city based on the above table some of the lawsuit which became the material of dispute report of pair number 1, among others, the use of voice ballot (suket), the problem of voter list remains and sued the result of recapitulation of polling result. the permanent voter list (dpt) becomes the main problem causing the dispute to the constitutional court. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 122 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim the trial held in the constitutional court resulted in the rejection of all applications filed by pair number 1. figure 4. result of dispute resolution in the constitutional court source: constitutional court after the result of the dispute was adjudicated and it was decided that all requests had been decided by refusing all the claims submitted by candidate number 1. this adjusted to the weakness of the evidence submitted by pair number 1. therefore, the dispute was successfully resolved by the constitutional court based on clarification from the electoral commission of yogyakarta city. conclusions electoral governance in yogyakarta city 2017 has integrity in accordance with the principles of electoral integrity applied in the stages of election implementation including pre-election, election and post-election process. the first, the process of program planning and budget of local election that has been paying attention to democratic principles through the participation of various stakeholders both executives, legislative and society. the budget process is also carried out openly through dissemination of budget dissemination of election to society. in addition, the financial accountability report of electoral governance of yogyakarta city kpu can also be accessed by the whole community. in the use of this budget also it managed to save 31%. the second, the process of socialization and voter information is carried out by taking into account the involvement of the community to take part in socializing and slipping community activities to make room for the district election committee and the commissioner in providing socialization. access to socialization is also done by the commission so that all people of yogyakarta city get information about the stages of the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 123analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 election, and the permanent voters list. this socialization also strongly considers access for the disability. participation chooses for the disability increases, it also deals with the professionalism of local election organizers. but in the process of socialization is still very low participation by young voters. the third, the process of campaign implementation in yogyakarta is very smooth and there are no significant problems. all candidates are able to comply with existing rules in the form of campaign schedules and reporting campaign funds are orderly. however, related to the campaign props are still installed by each candidate until it has entered the calm period of the election. the fourth, the process of voting and recapitulation of votes. in this process in 3 subdistricts experiencing problems are andurajen, gondokusuman and umbulharjo. problems were found related to the opening of the ballot back to the calculation at the polling station. while the recapitulation process has been at the sub-district level. the consistency of the oversight committee and district agency committee in this process is still very far from expected. the fifth, the settlement of local electoral disputes took place in yogyakarta city with reports of alleged misuse of ballot papers, voters list and vote acquisition. in addition, there is also the problem of alleged code violations committed by the sub-district polling committee at the 3 districts. however, all of these disputes are unsuccessfully proven by the applicant, namely pair number 1. therefore, local election organizers must be able to improve their performance by observing the good coordination between the sub-district committee, the voting committee and electoral commission of yogyakarta city. recommendation 1. electoral supervisory committee is necessary to develop participatory oversight through community involvement, especially on voting and vote counting processes. 2. there needs to be a common perception in terms of determining a valid ballot. 3. the election supervisory committee and the sub-district should be able to improve understanding related to the regulation and procedure of electoral implementation. 4. for the election participants should be able to show the evidence of conjecture submitted to the constitutional court. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 124 riska sarofah, titin purwaningsih and nurhakim references ace electoral knowledge network. (2013). the ace encyclopaedia/ : electoral integrity, 1–204. bawaslu. (2017). kerawanan pemilu ( ikp ). cho, y., & kim, y. c. (2016). procedural justice and perceived electoral integrity: the case of korea’s 2012 presidential election. democratization, 23(7), 1180-1197, 23(7). clark, a. (2017). identifying the determinants of electoral integrity and administration in advanced democracies: the case of britain. european political science review, 9(3), 471– 492. https://doi.org/10.1017/s1755773916000060 dahana, a., rosalin, k., & wiannastiti, m. (2016). in search of leaders with chinesecharacteristics: a reflection of indonesia’s 2014 general election. humaniora, 7(2), 251. https://doi.org/10.21512/humaniora.v7i2.3528 donovan, t., & karp, j. (2017). electoral rules, corruption, inequality and evaluations of democracy. european journal of political research, 56(3), 469–486. https://doi.org/ 10.1111/1475-6765.12188 edet, l. i., bassey, m. e., & ita, v. e. (2016). perceptions of election quality and institutionalization of democracy in nigeria/ : an overview of the 2011 general elections, 10(2), 131–149. gutiérrez, m. t. m. and p. (2012). quality management systems and their contribution to the integrity of elections. in international institute for democracy and electoral assistance (idea). hamalai l., egwu s., o. j. . (2017). the 2015 elections and the future of electoral democracy in: nigeria’s 2015 general elections. palgrave macmillan, cham., 5(2). harahap, h. (2016). evaluasi pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015, 1(01), 17–23. harianjogja. (2017). no title. retrieved from http://www.harianjogja.com/baca/2017/ 01/19/pilkada-kota-jogja-1-546-surat-suara-dinyatakan-rusak-785721 hyde, s. d., marinov, n., hyde, s. d., & marinov, n. (2018). international organization foundation information and self-enforcing democracy/ : the role of international election observation published by/ : cambridge university press on behalf of the international organization foundation stable url/ : http://www.jstor., 68(2), 329– 359. james, t. s. (n.d.). building better elections/ : the role of human resource management practices, (september 2017), 1–21. kerr, n., & lührmann, a. (2017). public trust in elections: the role of media freedom and election management autonomy. electoral studies, 50(170), 1–24. https://doi.org/ 10.1016/j.electstud.2017.08.003 mcallister, i., & white, s. (2015). electoral integrity and support for democracy in belarus, russia, and ukraine. journal of elections, public opinion and parties, 25(1), 78–96. https:/ /doi.org/10.1080/17457289.2014.911744 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 125analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 medina torres, l. e. dan e. c. r. (2015). electoral governance/ : more than just electoral administration. mexican law review, 8. norris, p. (2012). are there global norms and universal standards of electoral integrity and malpractice? comparing public and expert perceptions. paper presented at the ipsa ecp workshop on challenges of electoral integrity, 7 july, madrid. norris, p., & grrmping, m. (2017). populist threats to electoral integrity: the year in elections, 2016-2017. ssrn electronic journal, 2016–2017. https://doi.org/10.2139/ ssrn.2965729 nurrahmawati. (2017). integritas penyelenggara pemilu dalam perpektif peserta pemilu (studi deskriptif komisi independen pemilihan aceh pada pilkada gubernur/wakil gubernur aceh 2017). jurnal politik indonesia, 2(1), 27–36. olugbemiga afolabi, s. (2017). interrogating the credibility of elections in africa: implications for democracy, good governance and peace?. journal of pan african studies, 10(1). panwaslu. (2017). election violations in yogyakarta city 2017. rahmatunnisa, m. (2017). mengapa integritas pemilu penting/ ? jurnal bawaslu, 3(1). rinaldo, e. p. (2016). dalam penyelenggaraan pemilihan kepala badan pengawas pemilihan umum provinsi lampung. fiat justisia journal of law, 10(3), 473– 488. retrieved from http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat ruiz-rufino, r. (2018). when do electoral institutions trigger electoral misconduct?. democratization,25(2), 331–350. sugihariyadi, m. (2015). menakar profesionalisme penyelenggaraan pemilu 2014 di kota garam/ :, 9(1), 107–128. sugiyono. (n.d.). memahami penelitian kuantitatif, kualitatif dan r & d. bandung: alfabeta. van ham, c. (2015). getting elections right? measuring electoral integrity. democratization, 22(4), 714–737. https://doi.org/10.1080/13510347.2013.877447 vickery, c. and e. s. (2012). assessing electoral fraud in new democracies: refining the vocabulary. washington: dc: ifes. copyright (c) 2018 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00. halaman prelims 00. halaman prelims 00. halaman prelims daftar isi daftar isi 01. analysis of local electoral governance cover cover (tampak depan) daftar isi 01. analysis of local electoral governance 63 citation : kumara, dedek. 2018. “tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 63-87. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 63-87 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.762 received 29 may 2018 revised 5 june 2018 accepted 5 june 2018 strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan dedek kumara1 1program studi manajemen, universitas pamulang, indonesia email: kumara.dedek@gmail.com abstrak penelitian ini ingin melihat lebih jauh bagaimana perpustakaan daerah dapat meningkatkan pelayanannya terhadap masyarakat melalui pengembangan rencana strategis. penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kondisi lingkungan internal dan eksternal perpustakaan daerah kota tangerang selatan; (2) mengidentifikasi rumusan strategi berbasis analisis swot bagi perencanaan strategis jangka pendek dan jangka panjang perpustakaan daerah kota tangerang selatan; dan (3) menganalisis proses strategi perpustakaan daerah kota tangerang selatan. model dan metode peneltian ini bersifat deskriptif-kualitatif. metode analisis data yang digunakan bersifat induktif, mengacu pada miles & huberman model. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan lingkungan eksternal dilakukan dengan cara memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang perpustakaan, meningkatkan jumlah pengguna, dan menjadikan perpustakaan sebagai pusat informasi bagi masyarakat. sedangkan pengembangan lingkungan internal dilakukan dengan cara meningkatkan pelayanan perpustakaan, optimalisasi perawatan koleksi, dan memberikan formasi yang sesuai pada sdm yang ada. adapun strategi intensif dapat dilakukan melalui penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk, sementara strategi alternatif dapat dilakukan dengan menambah tenaga pustakawan perpustakaan. kata kunci: analisis swot, perencanaan strategis, perpustakaan daerah abstract this research would like to see further how regional libraries can improve their services to the public through the development of strategic plans. this study aims to: (1) know the internal and external environmental conditions of south tangerang city regional library; (2) identify the strategy formulation based on swot analysis for short and long term strategic planning of south tangerang city regional library; and (3) analyzing the strategy process of south tangerang city regional library. model and method of this research is descriptivequalitative. the data analysis method used is inductive, referring to miles & huberman model. data collection techniques used were participative observation, in-depth interviews, and documentation. the results of this study indicate that the development of the external environment is pursued by providing opportunities for the community to follow education and training about the library, increasing the number of users, and make the library as the information center for the community. while the development of the internal environment is pursued by improving library services, optimization of collection maintenance, and provide appropriate formation on existing human resources. the intensive strategy can be done through market penetration, market development, and product development, while alternative strategies can be done by adding librarians. keywords: swot analysis, strategic planning, regional library journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 64 dedek kumara pendahuluan proses manajemen strategis digunakan secara efektif oleh berbagai organisasi nirlaba dan organisasi pemerintah, seperti palang merah, kamar dagang, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, fasilitas umum, perpustakaan, dan badan-badan pemerintah. konsepkonsep manajemen dan perencanaan strategis diperlukan secara luas dan digunakan untuk memampukan berbagai organisasi pemerintah bekerja secara lebih efektif dan efisien (david, 2010). perencanaan strategis menentukan tahapan perencanaan lain dalam perusahaan. perencanaanstrategis tergantung pada pendefinisian misi perusahaan yang jelas, penetapan tujuan perusahaan yang menunjang perancangan portofolio bisnis yang baik, dan pengkoordinasian strategi fungsional (kotler & amrstrong, 2003). menurut franklin (dalam yusri, 2011) organisasi nonprofit harus menggunakan pendekatan yang lebih strategis, lebih efisien, dan lebih efektif untuk mendorong kinerja organisasi yang lebih baik. salah satu organisasi nonprofit yang melaksanakan perencanaan strategis adalah perpustakaan.sebagai organisasi yang berkecimpung dalam pengelolaan, penyimpanan, dan penyebaran informasi, perpustakaan harus menyadari setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitar lingkungan perpustakaan. perpustakaan mempunyai arti sebagai suatu tempat yang didalamnya terdapat kegiatanpenghimpunan, pengolahan, dan penyebarluasan (pelayanan) segala macam informasi, baik yang tercetak maupun yang terekam dalam berbagai media, seperti buku, majalah, surat kabar, film, kaset, tape recorder, video, komputer, dan bahan pustaka lainnya (pawit, 2005). menurut endang (2009) perpustakaanmerupakan suatu usaha jasa yang memberikanlayanan dengan menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh masyarakat secara tepat dan merata sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati informasi yang disediakan oleh perpustakaan. sementara menurut djumargio (2010) perpustakaan merupakanmedia yang menghubungkan antara sumber informasi dan ilmu pengetahuan melalui koleksi yang dimilikinya dengan para pemustaka. perpustakaan mempunyai peran sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antara pemustaka dan dengan penyelenggara perpustakaan sehingga terwujud dalam kelompok pembaca. perpustakaan adalah fasilitator untuk melakukan pendidikan sepanjang hayat, yaitu dengan memfasilitasi kemauan dan semangat belajar secara berkesinambungan dan penyediaan berbagai jenis layanan, seperti layanan sirkulasi, layanan referensi, layanan pendidikan, layanan perpustakaan keliling, layanan kerja sama antarperpustakaan (muljono, 2007). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 65strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan di samping itu, peningkatan kebutuhan informasi pelajar dan masyarakat daerah merupakan suatu aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh perpustakaan daerah dalam menghadapi kenyataan, di mana perpustakaan bukan satu-satunya lembaga penyedia informasi bagi seluruh pelajar dan masyarakat, karena masyarakat dapat mencari informasi yang mereka butuhkan melalui internet (yusri, 2011). dalam konteks peranpengembangan strategis perpustakaan daerah kota tangerang selatan, peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana latar belakang perpustakaan daerah dapat melayani jasa terhadap masyarakat melalui rencana strategis dari perpustakaan. karena itu, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui kondisi lingkungan internal dan eksternal perpustakaan daerah kota tangerang selatan; (2) mengidentifikasi rumusan strategi berbasis analisis swot bagi perencanaan strategis jangka pendek dan jangka panjang perpustakaan daerah kota tangerang selatan; dan (3) menganalisis proses strategi perpustakaan daerah kota tangerang selatan. beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini antara lain dilakukan oleh fahmi (2011)yang membahas tentang perencanaan strategis pada perpustakaan stain padangsidimpuan yang bertujuan untuk:(1) mengetahui kondisi lingkungan internal dan eksternal perpustakaan padangsidimpuan; (2) menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi perpustakaan padangsidimpuan; dan (3) mengidentifikasi rumusan strategi berbasis analisis swot bagi perencanaan strategis jangka pendek dan jangka panjang pada perpustakaan padangsidimpuan. penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan rodiah (2011) terhadap perpustakaan daerah kota bekasi. tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengidentifikasi pengelolaan perpustakaan oleh kapusda kota bekasi yang ditinjau dari penerapan fungsi manajemen strategis dan fungsi perencanaan. kerangka teoretis perencanaan perencanaan merupakan jembatan yang penting antara masa kini dan masa depan yang mampu meningkatkan kemungkinan tercapainya hasil yang diinginkan. perencanaan adalah awal dari proses di mana seorang individu atau sebuah bisnis bisa mengubah impian menjadi kenyataan (pencapaiaan). perencanaan memampukan orang untuk menghindari jebakan bekerja sangat keras tetapi mendapatkan sangat sedikit (david, 2010). menurut steurt dan moran (dalam fahmi, 2011), perencanaan adalah inti dari seluruh kegiatan manajemen, karena efektivitas perencanaan direfleksikan pada setiap bagian proses pengembangan sebuah organisasi. perencanaan menentukan proses pengembangan dan pemeliharaan yang cocok antara sasaran serta kemampuan organisasi dan peluang yang berubah-ubah (kotler & amstrong, 2003). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 66 dedek kumara perencanaan memampukan perusahaan untuk mempertimbangkan berbagai faktor yang relevan dan berfokus pada hal penting. perencanaan membantu perusahaan untuk melakukan perubahan yang dibutuhkan dan menyimpan sumberdayanya, menghindari pemborosan atau menyia-nyiakan sumberdaya ekologis, memperolehlaba yang sesuai, dan digolongkan sebagai perusahaan efektif dan bermanfaat (david, 2010). menurut kotler dan armstrong (2003) proses perencanaan sama pentingnya dengan rencana yang dihasilkan. perencanaan mendorong manajemen untuk berpikir secara sitematis mengenai apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang mungkin akan terjadi. perencanaan memaksa perusahaan untuk mempertajam tujuan dan kebijakannya, menciptakan koordinasi usaha-usaha perusahaan secara lebih baik, dan memberikan standar pengontrolan kinerja yang lebih jelas. strategi strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan jangka panjang, yaitu aksi potensial yang membutuhkan keputusan manajemen puncak dan sumberdaya perusahaan dalam jumlah yang besar. selain itu, strategi memengaruhi perkembangan jangka panjang perusahaan yang berorientasi ke masa yang akan datang. strategi mempunyai konsekuensi multifungsional atau multidivisional dan perlu mempertimbangkan baik faktor eksternal maupun internal yang dihadapi perusahaan (david, 2010). menurut kotler dan armstrong (2003) perusahaan atau organisasi harus melakukan pekerjaan yang lebih baik dari para pesaingnya dalam rangka memuaskan konsumen. jadi, strategi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan strategi pesaing. merancang strategi-strategi yang bersaing dimulai dengan melakukan analisis pesaing secara lengkap. sementara menurut weelan dan hunger (dalam juanita, 2009), strategi diartikan sebagai rencana utama yang komprehensif yang menyatakan bagaimana perusahaan mencapai misi dan tujuannya dengan cara memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan ketidakunggulan dengan memperkecil kerugian. proses perencanaan strategis proses strategis digunakan untuk memahami posisi strategis dari organisasi, memahami apa yang terjadi disekitar lingkungan organisasi dan memastikan hal tersebut berpengaruh atau tidak terhadap organisasi, memahami kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) organisasi serta memperkirakan apa yang diinginkan stakeholder. proses strategi mengarahkan untuk membentuk suatu gambaran dari lingkungan yang memengaruhi organisasi untuk menentukan pilihan elemen strategis dari keseluruhan proses manajemen strategis (dalam wedhasmara, 2008). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 67strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan kegiatan yang paling penting dalam proses analisis adalah memahami seluruh informasi yang terdapat pada suatu kasus, menganalisis situasi untuk mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan apa yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah (rangkuti, 2013). menurut wahyudi (dalam fahmi, 2011) pokok masalah dari proses perencanaan strategis adalah bagaimana menghubungkan organisasi dengan lingkungannya dan menciptakan strategi yang cocok untuk mencapai misi organisasi. proses strategi merupakan hal penting yang harus dikerjakan untuk menentukan bagaimana mencapai tujuan organisasi. organisasi dapat membangun sinergi melalui perencanaan. sinergi terjadi manakala setiap orang bersatu sebagai tim yang tahu apa yang ingin dicapainya. dengan menetapkan dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan yang jelas, karyawan dan manajer dapat bekerja bersama kearah tujuan yang diinginkan. sinergi perencanaan dan strategi dapat menghasilkan keunggulan kompetitif yang solid (david, 2010). kotler (2003) mendefinisikan perencanaan strategis sebagai proses untuk mengembangkan dan memelihara strategi yang cocok antara sasaran serta kemampuan organisasi dan peluang yang berubah-ubah. perencanaan strategis menentukan tahapan perencanaan lain dalam perusahaan. perencanaan strategis tergantung pada pendefinisian misi dan visi perusahaan yang jelas, penetapan tujuan perusahaan, perancangan portofolio bisnis yang baik, dan pengkoordinasian strategi yang fungsional. bryson (dalam fahmi, 2011) mendefinisikan bahwa perencanaan strategis mencakup beberapa langkah atau tahapan yang masing-masing saling terkait. langkah-langkah dalam proses perencanaan strategis atau bryson’s strategis change cycle adalah memprakarsai dan menyepakati suatu perencanaan strategis, mengidentifikasi mandat organisasi, memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi, menilai lingkungan internal dan eksternal untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, mengidentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi, merumuskan berbagai strategi untuk menangani isu-isu tersebut, meninjau dan mengadopsi berbagai rencana strategis, menciptakan visi organisasi yang efektif untuk masa depan, mengembangkan proses implementasi yang efektif, penilaian kembali strategi-strategi dan proses perencanaan strategis. perencanaan strategi yang sangat baik secara teknis tidak akan ada banyak gunanya jika tidak diimplementasikan. banyak organisasi cenderung mencurahkan banyak waktu, uang, dan usaha untuk mengembangkan rencana strategis, menjadikan sarana dan lingkungan yang dengannya rencana tersebut diimplementasikan sebagai hal sekunder untuk dipikirkan kemudian. perubahan berlangsung melalui implementasi dan evaluasi, bukan melalui rencana (david, 2010). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 68 dedek kumara perpustakaan umum perpustakaan umum adalah sebuah perpustakaan atau sistem yang mencakup akses untuk sumber dan layanan perpustakaan yang gratis untuk semua kalangan, daerah, dan wilayah geografis yang didukung oleh masyarakat (dalam rodiah, 2011).menurut sulistyo dan basuki (dalam asep, 2003) perpustakaan adalah ruangan, bagian sebuah gedung yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca. semua koleksi atau bahan pustaka yang ada diperpustakaan disusun berdasarkan sistem tertentu dan digunakan untuk kepentingan belajar melalui kegiatan membaca dan mencari informasi bagi segenap masyarakat yang membutuhkannya (pawit, 2007). perpustakaan tidak terlepas dari kata dasar pustaka yang berarti buku atau kitab. dalam perkembangannya, perpustakaan adalah tempat untuk menyimpan bahan pustaka dalam bentuk cetak maupun noncetak yang diolah dan disajikan kepada pemakai. perpustakaan pun dapat berfungsi sebagai pemberian informasi kepada pemakai untuk kepentingan riset dan pembelajaran (indayati, 2008). berdasarkan uu no. 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, jenis perpustakaan ada lima: perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan khusus. salah satu yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah perpustakaan umum. perpustakaan umum dalam melayani masyarakat tidak mengenal batasan (endang, 2009). sedangkan pawit (2007) mendefinisikan bahwa perpustakaan umum lebih disifati oleh karakteristik masyarakat penggunanya yang sangat heterogen, yang meliputi semua batas usia dan semua tingkatan. jadi, tidak dibatasi oleh karakteristik sosiodemografi. menurut sulistyo (dalam endang, 2009) perpustakaan umum terdiri dari perpustakaan propinsi sampai desa atau kelurahan. pendirian perpustakaan umum dibiayai oleh pemerintahan daerah, pemerintahan pusat atau organisasi lain yang diberikan kuasa untuk menjalankannya. perpustakaan umum didirikan oleh dana umum dengan tujuan untuk melayani masyarakat. sedangkan fungsi perpustakaan berdasarkanundang-undang no. 43 adalah sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. analisis swot swot adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif. analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan yang kemudian dikelompokkan menjadi empat komponen dasar:(1) strength, yaitusituasi atau kondisi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 69strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan yang merupakan kekuatan organisasi; (2)weakness, yaitu situasi atau kondisi kelemahan organisasi; (3)opportunity, yaitu situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar organisasi dan memberi peluang bagi organisasi untuk berkembang di masa depan; dan (4) threat, yaitu situasi atau kondisi yang merupakan ancaman terhadap organisasi yang datang dari luar dan dapat mengancam eksistensi organisasi dimasa depan (dalam hendrawan, 2012). pearce dan robinson (dalam yusri, 2011) mendefinisikan bahwa swot adalah singkatan dari strengths (ancaman), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman). kekuatan dan kelemahan yang dimaksud adalah kekuatan dan kelemahan yang secara internal dimiliki oleh organisasi, sedangkan peluang dan ancaman ialah faktor eksternal yang berada dilingkungan yang dihadapi organisasi tersebut. analisis swot adalah sebuah alat pencocokan penting yang membantu para manajer mengembangkan empat jenis strategi, strategi so (kekuatan-peluang), strategi wo (kelemahan-peluang), strategi st (kekuatan ancaman), dan strategi wt (kelemahanancaman). mencocokkan faktor-faktor eksternal dan internal utama merupakan bagian tersulit dalam mengembangkan matriks swot dan membutuhkan penilaian yang baik dan tidak ada satupun panduan yang paling benar. kotler dan keller (2010) mendefinisikan bahwa keseluruhan evaluasi tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman perusahaan disebut analisis swot. analisis lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) unit bisnis harus mengamati kekuatan lingkungan makro yang utama dan faktor lingkungan mikro yang signifikan, yang memengaruhi kemampuannya dalam menghasilkan laba. analisis lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) membantu menemukan peluang yang menarik dan kemampuan memanfaatkan peluang tersebut. setiap bisnis harus mengevaluasi kekuatan dan kelemahan internalnya. menurut arnold (dalam yusri, 2011) proses analisis swot terdiri dari tiga tahap sebagaimana berikut ini. 1. mengidentifikasi dan membuat daftar kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. proses ini difokuskan pada pekerjaan internal yang dilakukan organisasi sehingga dapat memperlihatkan kekuatan dan kelemahannya, kemudian melihat hal-hal di luar organisasi yang memengaruhi secara langsung. 2. membangun matriks swot, yaitu dengan memasukkan seluruh faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman ke kolomnya masing-masing. 3. membuat alternatif-alternatif strategi dari penyesuaian logis faktor yang terdapat dalam kolom-kolom matriks swot. ada empat kategori dasar penyesuaian yang dihasilkan matriks: so (strengths-opportunities), st (strengths-threats), wo (weaknessesopportunities), dan wt (weaknesses-threats). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 70 dedek kumara berikut ini adalah tabel matriks swot yang digunakan dalam pembuatan alternatifalternatif strategi sebagaimana telah disebutkan diatas. tabel 1. matriks swot ifas strenghts (s) weaknesses (w) efas tentukan 5-10 faktor kekuatan internal tentukan 5-10 faktor kelemahan internal opportunities (o) tentukan 5-10 faktor peluang eksternal strategi so ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang strategi wo ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang treaths (t) tentukan 5-10 faktor kelemahan eksternal strategi st ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman strategi wt ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman sumber: rangkuti (2013) metode penelitian model dan metode peneltian ini bersifat deskriptif-kualitatif. pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling (penarikan contoh bertujuan). informan dalam penelitian ini adalah kepala kantor perpustakaan daerah kota tangerang selatan, kasie pembinaan dan pemberdayaan, kasie pengolahan dan pengembangan bahan pustaka, kasie pelayanan dan sistem informasi, kepala sub. bagian tata usaha, dan stafahli perpustakaan daerah kota tangerang selatan.pihakpihak tersebut dianggap penting dan memiliki keterkaitan dengan perencanaan strategis pengembangan perpustakaan daerah kota tangerang selatan. metode analisis data yang digunakan bersifat induktif, dengan mengacu pada model miles & huberman. adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. hasil dan pembahasan internal factor evaluation kekuatan menurut david (2010), kekuatan adalah sumber daya, keterampilan, atau keungulankeungulan lainnya yang berhubungan dengan para pesaing perusahaan dan kebutuhan pasar yang dapat dilayani oleh perusahaan yang diharapkan dapat dilayani. kekuatan adalah kompetisi khusus yang memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan di p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 71strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan pasar.kekuatan yang terdapat padaperpustakaan daerah kota tangerang selatan yang dapat dimanfaatkan atau dikembangkan sebagai modal landasan utama dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi perpustakaan dapat diidentifikasikan sebagai berikut. 1. keberadaan tata kerja, tugas dan fungsi kelembagaan.berdasarkan peraturan daerah kota tangerang selatan no. 6 tanggal 30 desember tahun 2010 tentang organisasi perangkat daerah serta peraturan wali kota tangerang selatan no. 28 tahun 2011 tentang tugas pokok, fungsi dan tata kerja kantor perpustakaan daerah, telah dirinci bagaimana susunan, organisasi dan tata kerja kantor perpustakaan derah secara jelas. dengan job description yang jelas diharapkan seluruh pegawai perpustakaan daerah telah memahami tugas dan fungsinya masing-masing. 2. koleksi perpustakaan daerah dengan berbagai macam dan bentuknya yang dihimpun, disusun, dan diatur sesuai dengan sistem klasifikasi dan katalogisasi bagi perpustakaan. koleksi itu didalamnya terkandung berbagai cabang ilmu pengetahuan dan informasi untuk semua orang dalam pengertian umum, seperti anak, remaja, dewasa, pria, dan wanita. koleksi perpustakaan adalah khasanah bangsa yang harus dipelihara, dimanfaatkan, dan dikembangkan untuk menunjang kehidupan agar lebih mudah dan sejahtera. tabel 2. jumlah koleksi buku perpustakaan daerah kota tangsel sumber jumlah judul eksemplar hibah dindik 50 3.117 apbd 2011 517 884 apbd-p 2011 432 1.235 hibah provinsi perpustakaan umum 2011 600 1.200 hibah provinsi perpustakaan 725 1.450 hibah perpusnas 300 600 apbd 2012 buku ilmu pengetahuan umum 1.482 8.332 apbd 2012 ensiklopedia 165 908 apbd 2013 buku ilmu pengetahuan umum 644 3.220 apbd 2013 buku ilmu pengetahuan dan teknologi 537 2.685 apbd 2013 ensiklopedia 29 103 apbd 2014 buku ilmu pengetahuan umum 783 2511 apbd 2014 buku kesusastraan 371 1854 apbd 2014 buku ilmu pengetahuan sosial 307 1535 apbd 2014 buku ensiklopedia 9 9 jumlah 6.951 29.643 sumber: apbd perpustakaan daerah 2011-2014 journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 72 dedek kumara tabel 3. jumlah koleksi buku perpusda berdasarkan klasifikasi no klas judul eksemplar 1 f 1.046 4.063 2 referensi 30 136 3 000 382 1.537 4 100 502 1.863 5 200 217 392 6 300 1.102 3.975 7 400 78 457 8 500 490 1.765 9 600 1.763 5681 10 700 383 1.368 11 800 263 677 12 900 346 1.156 sumber : apbd perpustakaan daerah 2012-2014 3. pelayanan perpustakaan. kegiatan utama perpustakaan daerah adalah pelayanan. tanpa pelayanan,perpustakaan hanya gudang buku. dalam rangka penyelenggaraan pelayanan perpustakaan perlu diketahui secara jelas arah serta tujuan yang ingin dicapai. tabel 4. pelayan perpustakaan daerah kota tangsel no jenis pelayanan indikator pelayanan 1 pelayanan di gedung perpustakaan layanan sirkulasi, layanan referensi, layanan bercerita (story telling) 2 pelayanan perpustakaan keliling 7 kecamatan, 49 kelurahan, 5 desa 3 perpustakaan digital e-katalog 4 publikasi, sosialisasi, dan bimtek tingkat sekolah, kecamatan, kelurahan, taman bacaan, tempat ibadah, dan skpd 5 lomba perpustakaan dan lomba berceria tingkat sd, sltp dan slta, lomba perpustakaan sekolah, taman bacaan, rumah ibadah, dan skpd sumber: perpustakaan daerah kota tangerang selatan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 73strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan tabel 5. daftar jumlah pengunjung perpustakaan daerah kota tangsel (2011-2013) tahun jumlah pengunjung 2011 32.179 2012 50.922 2013 155.555 2014 156.685 sumber: perpusda 2014 4. sarana dan prasarana perpustakaan. semua fasilitas dan perlengkapan yang dimiliki merupakan daya dukung dan kekuatan dalam penyelenggaraan perpustakaan, baik dari segi jumlah, jenis, ukuran, model, tipe maupun persyaratan lainnya yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan perubahan zaman.semua asset yang berupa sarana dan prasarana perlu disesuaikan, sementara yang telah ada digunakan dengan baik. 5. alokasi anggaran apbd untuk perpustakaan daerah kota tangerang selatan yang dianggarkan setiap tahun. kelemahan kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, keterampilan, dan kapabilitas yang secara efektif menghambat kinerja perusahaan. keterbatasan tersebut dapat berupa fasilitas, sumberdaya keuangan,kemampuan manajemen, dan keterampilan pemasaran (david, 2010). antara kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perpustakaan daerah dapat dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan. pada unsur yang memiliki kekuatan disatu sisi, maka sisi yang lain menjadi kelemahan. kelemahan yang dapat diidentifikasiadalah sebagai berikut. 1. dukungan kualitas sdm yang kurang memadaidilihat dari sisi arahan rancangan peraturan wali kota tentang organisasi dan tata kerja kantor perpustakaan daerah. selain itu, beban kerja dan ruang lingkup pekerjaan yang harus ditangani mengalami penumpukan beban pekerjaan pada personil tertentu. disisi lain, seluruh formasi jabatan belum seluruhnya memiliki staf pendukung sesuai dengan uraian tugas. 2. kurangnya sdm perpustakaan yang sesuai dengan kualifikasi.dari sisi kualitas, sdm kantor perpustakaan daerah kota tangerang selatan memerlukan peningkatan kompetensi dan profesionalisme karena tidak seluruh personil memiliki latar belakang pustakawan. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 74 dedek kumara 3. belum meratanya pengembangan perpustakaan di daerahdalam hal penyediaan sumber informasi dan bahan bacaan yang sehat dan bermutu. secara tidak langsung,perpustakaan ikut berperan dalam menyelenggarakan pendidikan, terutama yang bersifat nonformal. 4. kurangnya sarana dan prasarana perpustakaan keliling.pelayanan perpustakaan keliling merupakan suatu keharusan karena pada umumnya perpustakaan berlokasi di pusat kota, sementara masyarakat yang harus dilayani tersebar sampai ke pinggiran kota, dengan pertimbangan geografis dan kesibukan masyarakat sehari-hari yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk datang ke gedung perpustakaan daerah. 5. kurangnya publikasi dan sosialisasi minat dan budaya bacapublikasi dan sosialisasi merupakan keharusan agar masyarakat memahami fungsi dan manfaat perpustakaan sekaligus dapat memanfaatkannya. 6. belum adanya gedung perpustakaan.belum adanya gedung perpustakaan yang permanen menyebabkan tidak optimalnya layanan kunjungan masyarakat kota tangerang selatan ke perpustakaan daerah. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 75strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan tabel 6. matriks internal factor evaluation faktor-faktor internal utama bobot peringkat skor bobot kekuatan 1. keberadaan tata kerja, tugas, dan fungsi kelembagaan 2. koleksi perpustakaan yang dihimpun, diatur, dan disusun sesuai dengan sistem klasifikasi dan katalogisasi perpustakaan 3. pelayanan perpustakaan 4. sarana dan prasarana yang dimiliki perpustaan 5. alokasi anggaran apbd setiap tahunnya untuk perpustakaan daerah 6. lokasi perpustakaan yang strategis 7. mendapatkan tambahan koleksi atau hibah bahan pustaka dari perpustakaan nasional 8. layanan teknis perpustakaan membuat koleksi perpustakaan terpelihara dan lestari 9. bekerja sama dengan program csr dari pihak swasta 0,10 0,07 0,08 0,13 0,06 0,14 0,07 0,05 0,07 3 2 2 3 2 4 2 1 2 0,30 0,14 0,16 0,39 0,12 0,56 0,14 0,05 0,14 kelemahan 1. sdm yang kurang memadai 2. sdm yang tidak sesuai dengan formasi 3. belum berkembangnya perpustakaan di daerah 4. kurangnya publikasi dan sosialiasi minat dan budaya baca 5. belum adanya gedung perpustakaan 6. hampir semua koleksi perpustakaan berbentuk bahan pustaka cetak 7. pemeliharaan dan perawatan koleksi perpustakaan belum optimal 8. perpustakaan tidak melanggan jurnal ilmiah baik cetak maupun online 9. jenis layanan perpustakaan masih terbatas pada layanan sirkulasi dan referensi 0,03 0,02 0,01 0,03 0,06 0,03 0,02 0,01 0,02 4 3 4 2 1 2 4 4 3 0,12 0,06 0,04 0,06 0,06 0,06 0,08 0,04 0,06 total 1,00 48 2,58 journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 76 dedek kumara external factor evaluation peluang peluang merupakan kesempatan untuk mendorong seseorang memulai usaha (rangkuti, 2013). kondisi eksternal yang mendukung dan dapatdimanfaatkan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi perpustakaan daerah kota tangerang selatan selatandapat diidentifikasikansebagai berikut. 1. besarnya partisipasi masyarakat terhadap perpustakaan yang tercermin dari partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan sosialisasi perpustakaan di tingkat kelurahan dan perpustakaan keliling. 2. banyaknya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan perpustakaan dari perpustakaan nasional ri. 3. perkembangan ilmu pengetahuan sertaperkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang baik secara langsung maupuntidak langsung ikut memengaruhi kinerja perpustakaan. 4. adanya perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus, dan tbm. 5. letak geografis yang mudah dijangkau. ancaman ancaman adalah suatu kecendrungan atau perkembangan yang tidak menguntungkan dalam lingkungan yang akan menyebabkan kemerosotan kedudukan perusahaan. adapun ancaman terhadap perpustakaan daerah kota tangerang selatan adalah sebagai berikut. 1. munculnya pusat-pusat data informasisebagai pesaing yang dikelola oleh lembagalembaga swasta dan berorientasi profit yang kemunculannya cenderung meningkat. 2. munculnya sejumlah pusat-pusat hiburan, seperti pusat rekreasi, acara televisi yang dikelola secara proporsional yang dapat memengaruhi masyarakat dalam mengapresiasi dan merespon kinerja perpustakaan. 3. kurangnya budaya minat baca. kurangnya manfaat dan pemahaman masyarakat akan perpustakaan merupakan kegiatan yang harus ditingkatkan dalam pelayanan perpustakaan. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 77strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan tabel 7.external factor evaluation faktor-faktor eksternal utama bobot peringkat skor bobot peluang 1. partisipasi masyarakat terhadap perpustakaan tangsel 2. banyaknya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan perpustakaan 3. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. kondisi geografis yang mudah dijangkau 5. berkembangnya perpustakaan sekolah, masyarakat dan perpustakaan khusus 6. adanya peningkatan jumlah pengguna terutama mahasiswa yang dapat ikut meningkatkan citra dan manfaat perpustakaan 7. koleksi buku teks merupakan koleksi perpustakaan yang paling diminati oleh pengguna 8. perkembangan program studi akan mendorong peningkatan jumlah koleksi yang berkaitan 9. perpustakaan menjadi acuan bagi masyarakat tangsel dalam pemenuhan informasi 0,07 0,04 0,05 0,04 0,14 0,08 0,05 0,12 0,06 3 1 2 2 4 4 2 3 2 0,21 0,04 0,10 0,08 0,56 0,48 0,10 0,18 0,16 ancaman 1. timbulnya pusat-pusat informasi 2. timbulnya pusat-pusat hiburan dan rekreasi 3. kurangnya budaya minat baca 4. kurangnya ketersediaan fasilitas internet 0,07 0,09 0,12 0,07 3 2 1 4 0,21 0,18 0,12 0,28 total 1,00 33 2,70 matriks swot faktor linkungan internal dan eksternal pada tahap ini diperiksa dengan cermat. dalam proses ini, data yang mendukung masing-masing faktor tersebut dikelompokkan ke dalam tabel lembar kerja kekuatan-kelemahan (s-w) dan tabel lembar kerja peluangancaman (o-t). lembar kerja swot ini menggambarkan setiap kondisi perpustakaan. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 78 dedek kumara faktor lingkungan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah faktor lingkungan internal, yaitu struktur organisasi, staf, koleksi dan akses, layanan teknis dan layanan pengguna, gedung dan keuangan. sementara faktor lingkungan eksternal adalah populasi pengguna, kebutuhan informasi pengguna, kebijakan lembaga induk, program studi, insfrastruktur teknologi, dan alokasi anggaran. selanjutnya adalah melakukan analisis data dengan menggunakan model perumusan matriks swot yang berbentuk table ifas (internal strategic factors analysis summary) dan efas (external strategic factors analysis summary) yang digunakan untuk menyususn seluruh faktor strategi swot. matriks swot akan menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu dengan strategi so (kekuatan-peluang), strategi wo (kelemahanpeluang), strategi st (kekuatang-ancaman), dan strategi wt (kelemahan-ancaman). tabel 8. matriks swot ifas perpustakaan daerah tangsel ifas strenghts (s) weaknesses (w) 1. keberadaan tata kerja, tugas dan fungsi kelembagaan 2. koleksi perpustakaan yang dihimpun, diatur, dan disusun sesuai dengan sistem klasifikasi dan katalogisasi perpustakaan 3. pelayanan perpustakaan 4. sarana dan prasarana yang dimiliki perpustaan 5. alokasi anggaran apbd setiap tahunnya untuk perpustakaan daerah 6. lokasi perpustakaan yang strategis 7. mendapatkan tambahan koleksi atau hibah bahan pustaka dari perpustakaan nasional 8. layanan teknis perpustakaan membuat koleksi perpustakaan terpelihara dan lestari 9. bekerja sama dengan program csr dari pihak swasta 1. sdm yang kurang memadai 2. sdm yang tidak sesuai dengan formasi dan kualifikasi 3. belum berkembangnya perpustakaan di daerah 4. kurangnya publikasi, sosialisasi dan budaya baca 5. belum adanya gedung perpustakaan 6. hampir semua koleksi perpustakaan berbentuk bahan pustaka cetak 7. pemeliharaan dan perawatan buku belum maksimal 8. perpustakaan tidak melanggan jurnal ilmiah baik cetak maupun online 9. jenis layanan masih terbatas pada sirkulasi dan referensi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 79strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan tabel 9. matriks swot efas perpustakaan daerah tangsel efas opportunities (o) treaths (t) 1. partisipasi masyarakat terhadap perpustakaan tangsel 2. banyaknya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan perpustakaan 3. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. kondisi geografis yang mudah dijangkau 5. berkembangnya perpustakaan sekolah, masyarakat dan perpustakaan khusus 6. adanya peningkatan jumlah pengguna terutama mahasiswa yang dapat ikut meningkatkan citra dan manfaat perpustakaan 7. koleksi buku teks merupakan koleksi perpustakaan yang paling diminati oleh pengguna 8. perpustakaan menjadi acuan bagi masyarakat tangsel dalam pemenuhan informasi 9. perkembangan program studi akan mendorong peningkatan jumlah koleksi yang berkaitan 1. timbulnya pusat-pusat informasi 2. timbulnya pusat-pusat hiburan dan rekreasi 3. kurangnya budaya minat baca 4. kurangnya ketersediaan fasilitas internet journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 80 dedek kumara strategi so strategi wo 1. tata kerja, tugas, dan fungsi berdasarkan peraturan daerah kota tangerang selatan nomor 6 tahun 2010, maka perpustakaan daerah dapat memberikan pelatihan dan pendidikan ilmu perpustakaan kepada masyarakat kota tangerang selatan (s1, o2) 2. menambah koleksi bahan pustaka rutin setiap tahun seiring berkembangnya perpustakaan sekolah, masyarakat, dan perpustakaan khusus. (s5, 05) 3. meningkatkan pelayanan perpustakaan kepada pustakawan terutama mahasiswa dan pelajar (s3, o6) 1. membuka lowongan pekerjaan yang sesuai formasi dengan cara melakukan penerimaan cpns (w1, o1) 2. meningkatkan layanan bimbingan teknis perpustakaan kepada masyarakat kota tamgerang selatan (w4, o3) 3. lokasi kota tangerang selatan yang mudah dijangkau, maka untuk sementara pelayanan perpustakaan dapat di sediakan di lokasi-lokasi pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, dan pusat hiburan (w5, 05) strategi st strategi wt 1. tersedianya fasilitas akses internet dapat meningkatkan sarana dan prasarana perpustakaan daerah kota tangerang selatan (s4, t4) 2. program csr (corporate social responsibility) yang bekerja sama dengan pihak swasta dapat memberikan informasi bagi masyarakat kota tangerang selatan (s9, t1) 1. mengadakan lomba strory telling, ruang perpustakaan, dan ilmu perpustakaan di setiap sekolah (sd, smp, sma) dan taman baca masyarakat, maka dapat meningkatkan budaya minat baca dan berkembangnya perpustakaan di kota tangerang selatan (w3, t3) 2. memberikan pelayanan perpustakaan di pusat-pusat hiburan dan rekreasi ( w9, t2) matriks ie selain menggunakan matriks swot, penelitian ini juga menggunakan matriks ie. menurut david (2010) matriks ie memposisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan sel. matriks ie menempatkan divisi-divisi organisasi dalam sebuah diagaram sistematis. selain itu, setiap lingkaran menunjukkan persentase hasil laba dari setiap divisi. parameter yang digunakan meliputi parameter kekuatan internal dan pengaruh eksternal yang dihadapi. tujuan penggunaan model ini adalah untuk memperoleh strategi bisnis di tingkat korporat yang lebih detail (rangkuti, 2013). matriks ife didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu skor bobot ife total pada sumbu x dan skor bobot total efe pada sumbu y (david, 2010). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 81strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan pada sumbu x matriks ie perpustakaan daerah kota tangerang selatan diperoleh skor bobot ife total sebesar 2,58 yang menunjukkan posisi internal yang sedang, sementara pada sumbu y skor bobot efe total sebesar 2,70 yang menunjukkan posisi eksternal yang sedang. matriks ie dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yang mempunyai implikasi strategi yang berbeda-beda.berdasarkan total skor bobot ife dan efe pada perpustakaan daerah kota tangerang selatan maka masuk ke dalam divisi sel v (david, 2010). skor bobot total ife kuat 3,0 – 4,0 sedang 2,0 – 2,99 lemah 1,0 – 1,99 3,0 2,0 1,0 i ii iii iv v vi vii vii ix menurut david (2010), yang masuk ke dalam sel v dapat ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan. dalam hal ini,perpustakaan daerah kota tangerang selatan melakukan strategi intensif, yaitu dengan cara penetrasi pasar, pengembangan pasar,dan pengembangan produk.penetrasi pasar yang harus dilakukan adalah menambah tenaga pustakawan atau memberi latihan kepada sumber daya yang sudah tersedia. pengembangan pasar perpustakaan daerah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang fungsi dan manfaat perpustakaan daerah ke masyarakat kota tangerang selatan. sedangkan untuk pengembangan produk perpustakaan daerah dapat dilakukan dengan cara menambah bahan pustaka baik cetak maupun noncetak, menerbitkan bibliografi koleksi, dan koleksi khusus. tahap keputusan strategi perpustakaan daerah kota tangerang selatan teknik-teknik tahap pencocokan yang dibahas dalam penelitian ini memaparkan berbagai alternatif strategi yang bisa ditempuh. berdasarkan isu-isu strategis maka formulasi strategi yang dipilih dan dikembangkan oleh perpustakaan daerah kota tangerang selatan adalahdengan membangun gedung baru perpustakaan dan menambah gedung perpustakaan (david, 2010). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 82 dedek kumara tabel 10. qspmperpustakaan kotatangerang selatan alternatif strategi menambah tenaga pustakawan memberikan pelatihan kepada sdm yang tersedia faktor-faktor internal utama bobot as tas as tas kekuatan 1. keberadaan tata kerja, tugas, dan fungsi kelembagaan 2. koleksi perpustakaan yang dihimpun, diatur, dan disusun sesuai dengan sistem klasifikasi dan katalogisasi 3. pelayanan perpustakaan 4. sarana dan prasarana perpustakaan 5. alokasi anggaran apbd setiap tahunnya untuk perpustakaan daerah 6. lokasi perpustakaan yang strategis 7. mendapatkan tambahan koleksi atau hibah bahan pustaka dari perpusnas 8. layanan teknis perpustakaan membuat koleksi perpustakaan terpelihara dan lestari 9. bekerja sama dengan program csr dari pihak swasta 0,10 0,07 0,08 0,13 0,06 0,14 0,07 0,05 0,07 3 4 4 3 2 3 0,30 0,28 0,32 0,18 0,10 0,21 2 3 3 4 3 1 0,20 0,21 0,24 0,24 0,15 0,07 kelemahan 1. sdm yang kurang memadai 2. sdm yang tidak sesuai dengan formasi dan kualifikasi 3. belum berkembangnya perpustakaan di daerah 4. kurangnya publikasi dan sosialiasi minat dan budaya baca 5. belum adanya gedung perpustakaan 6. hampir semua koleksi perpustakaan berbentuk bahan pustaka cetak 7. pemeliharaan dan perawatan koleksi perpustakaan belum maksiimal 8. perpustakaan tidak melanggan jurnal ilmiah baik cetak maupun online 9. jenis layanan masih terbatas pada layanan sirkulasi dan referensi 0,03 0,02 0,01 0,03 0,06 0,03 0,02 0,01 0,02 1 2 4 2 4 2 2 2 0,03 0,04 0,04 0,06 0,24 0,08 0,02 0,04 2 1 3 3 2 1 1 3 0,06 0,02 0,03 0,09 0,12 0,02 0,01 0,06 total 1,00 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 83strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan tabel 11. qspm perpustakaan kota tangerang selatan alternatif strategi menambah tenaga pustakawan perpustakaan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja yang sudah ada faktor-faktor eksternal utama bobot as tas as tas peluang 1. partisipasi masyarakat terhadap perpustakaan tangsel 2. banyaknya kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan perpustakaan 3. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. kondisi geografis yang mudah dijangkau 5. berkembangnya perpustakaan sekolah, masyarakat dan perpustakaan khusus 6. adanya peningkatan jumlah pengguna terutama mahasiswa yang dapat ikut meningkatkan citra dan manfaat perpustakaan 7. koleksi buku teks merupakan koleksi perpustakaan yang paling diminati oleh pengguna 8. perpustakaan menjadi acuan bagi masyarakat tangsel dalam pemenuhan informasi 9. perkembangan program studi akan mendorong peningkatan jumlah koleksi yang berkaitan 0,07 0,04 0,05 0,04 0,14 0,08 0,05 0,12 0,06 3 1 2 2 4 4 2 3 2 0,21 0,04 0,10 0,08 0,56 0,48 0,10 0,18 0,16 1 2 3 1 2 3 1 4 3 0,07 0,08 0,15 0,04 0,28 0,24 0,05 0,48 0,18 ancaman 1. timbulnya pusat-pusat informasi 2. timbulnya pusat-pusat hiburan dan rekreasi 3. kurangnya budaya minat baca 4. kurangnya ketersediaan fasilitas internet 0,07 0,09 0,12 0,07 3 2 1 4 0,21 0,18 0,12 0,28 4 3 2 1 0,28 0,27 0,24 0,07 total 1,00 4,64 3,95 journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 84 dedek kumara berdasarkan tabel 11 di atas, antara jumlah keseluruhan daya tarik total sebesar 4,64 dengan 3,95, analisis tersebut mengindikasikan perlunya menambah tenaga pustakawan. penutup kesimpulan kesimpulan yang dihasilkan penelitian ini dalam menganalisis strategi perpustakaan daerah kota tangerang selatan adalah sebagai berikut. 1. peningkatanjenis produk dan jasa perpustakaan dapatdilakukandengan memperluas fasilitas produksi dan teknologi melalui pengembangan lingkunganeksternal dan internal. pengembangan lingkungan eksternal dilakukandengan cara memberikan kesempatan kepada masyarakat untukmengikuti pendidikan dan pelatihan tentang perpustakaan, meningkatkan jumlah pengguna khususnya mahasiswa dan masyarakat tangerang selatan, dan menjadikan perpustakaan sebagai pusat informasi bagi masyarakat. sementarapengembangan lingkungan internal dilakukandengan cara meningkatkan pelayanan perpustakaan, optimalisasi perawatan koleksi perpustakaan, dan memberikan formasi yang sesuai bagi sdm yang dimilikiperpustakaan daerah kota tangerang selatan. 2. selain menggunakan matriks swot, penelitian ini menggunakan juga matriks ie yang memposisikan berbagai divisi organisasi dalam tampilan sembilan sel. matriks ie menempatkan divisi-divisi organisasi dalam sebuah diagaram sistematis di mana setiap lingkaran menunjukkan persentase hasil laba dari setiap divisi. parameter yang digunakan meliputi kekuatan internal perusahaan dan pengaruh eksternal yang dihadapi. matriks ie dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yang mempunyai implikasi strategi yang berbeda-beda.pada perpustakaan daerah kota tangerang selatan, total skor bobot ife dan efe masuk dalam divisi sel v, yaitu dengan strategi menjaga dan mempertahankan (hold and maintain). dalam hal ini,perpustakaan daerah kota tangerang selatan dapatmelakukan strategi intensif melaluipenetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk. penetrasi pasar yang harus dilakukan perpustakaan adalahdengan menambah tenaga pustakawan atau memberi latihan kepada sumberdaya yang sudah tersedia. pengembangan pasar perpustakaan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang fungsi dan manfaat perpustakaan daerah ke masyarakat. sedangkan untuk pengembangan produk perpustakaan dapat dilakukan dengan menambah bahan pustaka baik cetak maupun noncetak, menerbitkan bibliografi koleksi, dan koleksi khusus. 3. analisis dan institusimenjadi landasan bagi pengambilan keputusan perumusan strategi. teknik-teknik tahap pencocokan yang dibahas dalampenelitian ini memaparkan berbagai alternatif strategi yang bisa ditempuh. berdasarkan dari isuisu strategis maka formulasi strategi yang dipilih dan dikembangkan oleh perpustakaan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 85strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan daerah kota tangerang selatan adalahmenambah tenaga pustakawan dan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja yang sudah tersedia. keterbatasan penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan sebagai berikut ini. 1. terbatasnya akses data yang dimiliki perpustakaan daerah kota tangerang selatan. 2. kurangnya sumberdaya manusia yang memiliki wawasan dan pengetahuan memadai tentang ilmu perpustakaan. 3. kurang optimalnya pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan. 4. gedung perpustakaan daerah kota tangerang selatan kurang sesuai dengan snp (standard nasional perpustakaan) baik di tingkat propinsi maupun kota. rekomendasi keberadaan perpustakaan daerah kota tangerang selatan sebagai salah satu lembaga pemerintah di bidang edukasi sudah sesuai dengan konsep yang ada, yaitu berusaha mengembangkan wawasan dan informasi bagi masyarakat kota tangerang selatan. berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan. 1. perpustakaan daerah kota tangerang selatan dapat terus mengembangkan dan meningkatkan program-program yang sesuai dengan moto kota tangerang selatan, yaitu cerdas, modern, dan religius. untuk itu, diperlukan upaya pembinaan, sosialiasi, dan publikasi secara terus menerus untuk memastikan bahwa program berjalan tepat sasaran sesuaidengan tujuan yang disepakati. perpustakaan daerah kota tangerang selatan sebagai satuan kerja perangkat daerah (skpd) dapat membantu pemerintah dalam membangun sistem edukasi sehingga dapat memberikan wawasan, informasi, dan manfaat yang lebih besar kepada para pemustaka dan masyarakat kota tangerang selatan. 2. perpustakaan daerah kota tangerang selatan dapat meningkatkan fasilitas, pelayananserta sarana dan prasarana agar dapat menarik budaya minat baca atau masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan. 3. perpustakaan daerah kota tangerang selatan dapat bekerja sama dengan pihak csr (corporate soccial responsibility) dari perusahaan swasta. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 86 dedek kumara referensi asep, r. (2003). “pengaruh renovasi di perpustakaan fakultas kedokteran gigi universitas indonesia”. skripsi. depok: fakultas kedokteran gigi universitas indonesia. bappeda. (2011). rencana pembangunan jangka menengah daerah kota tangerang selatan tahun 2011-2016. kota tangerang selatan: bappeda. bpad. (2013). profil-profil perpustakaan di provinsi banten. badan perpustakaan dan arsip daerah. kota tangerang selatan: bpad. bps kota tangerang selatan. (2014). kota tangerang selatan dalam angka(tangerang selatan in figures). kota tangerang selatan: bps. david, f. (2010). manajemen strategis: konsep. jakarta: salemba empat. endang, s. (2009). “sikap murid sekolah dasar terhadap layanan perpustakaan keliling pemerintahan kota depok: studi kasus di kecamatan cimanggis”. skripsi. depok: fakultas ilmu budaya universitas indonesia. fahmi, y. (2011). “perencanaan strategis perguruan tinggi islam: studi kasus pada perpustakaan stain padangsidimpuan”. tesis. depok: fakultas ilmu budaya universitas indonesia. hendrawan, f. (2012). “analisis swot teknik situational crime prevention pada kawasan perumahan industri pt. chevron pacific indonesia di duri residential industrial area”. skripsi. depok: fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas indonesia. indayati. (2008). “faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca mahasiswa di perpustakaan universitas merdeka madiun”. jurnal sosial, 9(2): 87-100. juanita, s. (2009). “model perencanaan strategis sistem informasi atau teknologi untuk perguruan tinggi”. tesis. depok: fakultas ilmu komputer universitas indonesia. kotler, philip dan gary amstrong. (2001). dasar-dasar pemasaran. jakarta: pt. indeks. kotler, philip dan kevin keller. (2008) manajemen pemasaran. jakarta: erlangga. muljono, p. (2007). “peran perpustakaan umum dalam meningkatkan kualitas masyarakat pengguna: kasus di dki jakarta”. jurnal pendidikan dan kebudayaan, no. 067, tahun ke-13. pawit, m. (2007). pedoman penyelenggaraan perpustakaan sekolah. jakarta: kencana. rangkuti, f. (2013). teknik membedah analisis swot cara perhitungan bobot, rating dan ocai. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. renstra perpusda. (2012). rencana strategies perpustakaan daerah kota tangerang selatan. tangerang selatan: perpusda kota tangerang selatan. rodiah, n. (2011). “pengelolaan perpustakaan umum: studi kasus di kantor perpustakaan daerah kota bekasi”. skripsi. depok: fakultas ilmu budaya universitas indonesia. rosady, r. (2010). metode penelitian public relations dan komunikasi. jakarta: rajawai pers. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 87strategi pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan daerah kota tangerang selatan sugiyono. (2012). metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. bandung: alfabeta. sutarno, n. (2006). manajemen perpustakaan: suatu pendekatan praktik. jakarta: agung seto. wedhasmara, a. (2008). “perencanaan strategis sistem informasi pada organisasi pemerintah daerah: studi kasus pemerintah daerah kabupaten purwakarta”. tesis. depok: fakultas ilmu komputer universitas indonesia. 2 (mitologi yunani) 1 – 28 raining on rainbows: a comparative study of lgbt anti-discrimination ordinances between the local governments of marikina, manila, and mandaluyong in the philippines francia denise arizabal1, ashley vocae aspa1, jazztin jairum manalo1 (1 department of political science, university of santo tomas, philippines) 29 – 45 entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia elyta1, jamaliah2, mohammad zaki ahmad3 (1 faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2 faculty of economics and business, universitas tanjungpura, indonesia) (3 college of law, government and international studies, universitas utara malaysia, malaysia) 46 – 65 collaborative governance in reviving msmes in the post-pandemic covid19: pacitan regency case study muhammad eko atmojo1, awang darumurti1, nita ariba hanif1 (1 governmental science study program, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 66 – 78 mapping the potential of conflict between villages in the bima district syarif ahmad1, ibnu khaldun2, seta basri3, ahmad chumaedi4 (1 universitas mbojo bima, indonesia) (2 sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (stkip) tamsis bima, indonesia) (3 political science graduate program, universitas nasional, indonesia) (4 government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 79 – 95 meta-analysis: trends of digital democracy research publications muhammad ali1, muhammad aprian jailani1, rendi eko budi setiawan2, cahyadi kurniawan3 (1 public administration, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) (2 governmental science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3 governmental science, universitas muhammadiyah mataram, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 96 – 108 the abundance of special autonomy funds: an ironic portrait of aceh's poverty alleviation ikhsan1, ikhwan rahmatika latif1, vellayati hajad1, effendi hasan2, muntaha mardhatillah1, herizal3 (1 department of state administration study, universitas teuku umar, indonesia) (2 faculty of social science and political science, universitas syiah kuala, indonesia) (3 department of political science and public administration, erciyes university, turkey) 109 – 118 eco-theology in indonesian islam: ideas on stewardship among muhammadiyah members frans wijsen1, ahmad afnan anshori1 (1 empirical and practical religious studies, radboud university nijmegen, netherlands) 119 – 139 to what extent political education can influence young voters’ perceptions? ridho al-hamdi1, nur sofyan2 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of communication science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 140 – 158 population and civil registration public services digital transformation during the covid-19 pandemic ria angin1, putri robiatul adawiyah1 (1 government studies,universitas muhammadiyah jember, indonesia) 29 citation : elyta, jamaliah, & ahmad, m. z. (2023). entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia. journal of government and civil society, 7(1), 29–45. https://doi.org/10.31000/jgcs.v7i1.6367 journal of government and civil society vol. 7, no. 1, april 2023, pp. 29-45 doi: 10.31000/jgcs.v7i1.6367 received 5 june 2022  revised 3 march 2023  accepted 27 march 2023 entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia elyta1*, jamaliah2, mohammad zaki ahmad3 1 faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia 2 faculty of economics and business, universitas tanjungpura, indonesia 3 college of law, government and international studies, universitas utara malaysia, malaysia *email correspondence: elyta@fisip.untan.ac.id abstract entrepreneurship is an economic activity carried out by the community on a small to medium scale. entrepreneurship can involve the community to strengthen the community’s economy through income obtained from entrepreneurial products made. however, there is a need for entrepreneurial strategies and innovations to adapt to environmental developments and community needs. this study aims to analyze entrepreneurial innovation in strengthening economic security at the temajuk border, west kalimantan, indonesia, with the latest implementation of community-based entrepreneurship training in the temajuk border area. this study uses the development method and the type of r&d research with data collection through interviews, observations, and literature studies. the results of this study found that entrepreneurial innovation at the border of temajuk sambas, west kalimantan, indonesia, carried out with pre-training, implementation, and post-training stages can increase community entrepreneurial knowledge and can strengthen economic security in border communities. keywords: innovation, entrepreneurship, economic security, temajuk abstrak kewirausahaan merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam sekala kecil hingga menegah, kewirausahaan dapat melibatkan masyarakat untuk memperkuat perekonomian masyarakat melalui pendapatan yang di dapat dari produk wirausaha yang di buat. akan tetapi perlu adanya strategi dan inovasi kewirausahaan agar beradaptasi dengan perkembangan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis inovasi kewirausahaan dalam penguatan economy security di perbatasan temajuk kalimantan barat indonesia dengan keterbaruan yaitu pada pelaksanaan pelatihan kewirausahaan berbasis masyarakat di kawasan perbatasan temajuk. penelitian ini menggunakan metode pengembangan dan jenis penelitian r&d dengan pengambilan data melalui wawancara, observasi, dan studi literatur. hasil penelitian ini menemukan bahwa inovasi kewirausahaan di perbatasan temajuk sambas kalimantan barat indonesia dilakukan dengan tahapan pra-pelatihan, pelaksanaan, dan pasca-pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan berwirausaha masyarakat dan dapat memperkuat keamanan ekonomi di masyrakat perbatasan. kata kunci: inovasi, kewirausahaan, keamanan ekonomi, temajuk journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 30 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad introduction sovereignty for a country is an essential element for the country’s independence and running the wheels of government. a sovereign state does not recognize any unit superior to its power. in other words, the state monopolizes power (waheed, 2017). a sovereign state also creates good security within the state itself because no party can intervene. after the cold war, security issues changed from high politics to general political issues. the concept of security has shifted from traditional security to non-traditional security issues, especially those oriented to people, which have developed into multidimensional ones such as economic, social, and environmental, which are related and cannot be separated from one another (buzan, 1991). contrary to the traditional notion of security which focuses on security created by military strength, human security focuses more on the well-being and well-being of individuals or groups (iqbal, 2006). outside of the military setting, human security occurs as a result of security risks such as disease, starvation, pollution, crime, and domestic violence (newman, 2001). human security has been disputed in the literature, and numerous interpretations have been provided (mcdonald, 2002). on the other hand, human security does not ignore state security. on the contrary, human security aligns with state and individual security (bajpai, 2003). one part of human security is economic security, which is because the economy plays an essential role in the movement of the wheels of government in a country and supports people’s daily lives (carter & poast, 2017). economic security is one of the concepts that developed after the cold war. this issue has become one of the most crucial issues for every country at this time, and there has been a shift in the view of world countries regarding security which is no longer through the military or traditional but from the point of view of human security, placing economic security as one of the critical factors for current security (best, 2017). the changing focus of countries in the world, from increasing military power to increasing economic power, shows the importance of the economic dimension in human security. the economy becomes a tool to influence other countries and their policies (lee, 2022; andruseac, 2015). economic resilience does not only address the problem of poverty. some threats to economic security include unemployment, access to income-generating resources, and homelessness (saputro & meirinaldi, 2021). economic resilience is critical since it is one of the primary components of national resilience. while discussing national security, we cannot ignore a country’s economic capacity. undoubtedly, a strong economy is one part of a country’s infrastructure (ronis, 2010). economic security at the border between countries is a critical study because it intersects with issues of state sovereignty and territorial integrity (mundle, 2010; coyle, 2018). therefore, studying borders between countries has left a niche for economic security issues. likewise, with the problem of economic resilience in the form of poverty experienced by p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 31entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia the border community of temajuk, sambas regency is rich in potential that can overcome this problem. one of the potentials of the temajuk border community in sambas regency that will be developed is tourism. temajuk is one of the villages directly adjacent to sarawak, malaysia. temajuk is located in paloh district, sambas regency, west kalimantan, indonesia. the paloh region has eight villages: matang danau village, tanah hitam village, malek village, nibung village, sebubus village, and temajuk village (malik, 2014). located on the coastline, this village has its natural beauty. however, based on a brief survey by the research team, there are problems in the temajuk temajuk border area, namely: (1) tourism business actors such as homestays, resort cafes, fishermen, and creative industries improve the community’s economy, especially the community around tourism. the temajuk sambas border tourism entrepreneurs need more information about obtaining capital; (2) business actors in the temajuk sambas border do not master technology for marketing. tourism business actors in the temajuk sambas border are less able to master technology. this is due to limited signal and internet access in various temajuk sambas border areas. thus there needs to be adequate marketing for consumers to fulfill their needs online; (3) lack of entrepreneurial experience and lack of courage for tourism business actors to innovate, lack of courage for tourism business actors to innovate is another reason that attacks the mentality of tourism business actors and makes it difficult for them to develop; (4) in the economic sector, people in border areas still depend on neighboring countries to fulfill their daily needs. in other words, neighboring countries control economic activities in border areas; (5) the economic condition of the border communities is still quite vulnerable. apart from being economically dependent on neighboring countries for work, many border communities are unskilled laborers in neighboring countries. this is based on the fact that job opportunities and salaries are high in neighboring countries compared to their own country. given the indications of complex problems at the temajuk sambas border, especially in the community’s economy, there must be acceleration through research development through the potential innovations of the temajuk village border area in strengthening economic resilience at the temajuk border, west kalimantan, indonesia. the potential in the temajuk border area is enormous. however, if it is not managed and innovated by the current community market, the existing potential will not be appropriately created. innovation needs to be built and developed for the success of running a business (foer, 2016), especially for the people in the border area of temajuk, which has excellent potential for tourism development. according to rufaidah e. and kodri in their book strategy for innovation and entrepreneurial creativity in the revolutionary era 4.0, there are several stages that reflect the ability of a person with creative and innovative traits. these stages include the ability journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 32 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad to start a business (start-up), the ability to do something new (creative), the ability and willingness to seek opportunities (opportunity), the ability and courage to take risks (riskbearing), and the ability to develop ideas and manage them owned resources (foer, 2016). innovation in developing these problems is a product of entrepreneurial innovation in tourism, which is an advantage of temajuk village. from the results of field research, researchers see that temajuk village has a long coastline and a beautiful geographical shape with clear water and white paris, which can attract tourists. the development of this potential must be carried out by creating an innovative product, a series of activities to transfer knowledge, technology, and other innovations expected to form community self-reliance in improving their welfare through a sustainable community development approach. they can get references on effective and efficient business incubator best practices (herson, 2012). entrepreneurship development in indonesia has become an integral part of communitybased development, making citizens the main actors in managing entrepreneurship. local community involvement is the key to maintaining existing cultural values and norms. through this entrepreneurial sector, it is proven to have an impact on improving the economic quality of the local community so that it helps overcome poverty problems (setiawan, 2019). this creates an interconnected symbiosis between the progress of the entrepreneurial sector and the economy (srikanth., kumar & reddy, 2020). the realization of a sovereign economy in indonesia, especially in border areas, is one of the objectives of developing entrepreneurial independence to realize the economic sovereignty of border communities. the development of economic strength through entrepreneurship does not only target individual local community sectors but also organizations and other practice groups. so in the innovation of entrepreneurship-based economic sovereignty, people must be able to innovate and keep up with changing times, including in indonesia’s border areas. entrepreneurial independence is considered one of the sectors to increase regional income. optimizing this potential is based on the idea that entrepreneurship or the entrepreneurial sector is a sector that can improve the regional and national economy (baskaran, chandran & ng, 2019). we need a way to create entrepreneurial-based economic sovereignty on this border. independence in entrepreneurship, especially in tourism, is the aim of innovation in creating economic stability in the border area of temajuk village. furthermore, various studies related to entrepreneurship and innovation training in improving the economy have been carried out, among other things. the studies carried out in previous research aimed to identify the potential of smes in medan that can manage and develop markets and create business training assistance models for entrepreneurs (bismala., andriany & siregar, 2019). furthermore, another study has been conducted to p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 33entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia determine the role of business training in building university startups. the study results in show that business training plays an essential role for universities in encouraging student creativity and innovation in entrepreneurship (lutfiani., rahardja & manik, 2020). another study investigated the impact of product innovation and creativity on community economic resilience in the kapok craft sector. in this study, innovation in kapok product entrepreneurs is one of the entrepreneurs that can increase the economic resilience of the jorok batu limbak community (yulianni., izmuddin & putri, 2020). as well as another study entitled “economic development of inter-state border regions in riau province” is to find models and strategies to accelerate economic growth in border areas between countries in riau province. shows that the strategic location does not make the location a priority for developing border areas between countries to be more advanced than mainland riau. the population density in regencies/cities in border areas is relatively lower than in other districts in riau province (bakce, syahza & asmit, 2019). the novelty of the author’s research from previous studies is to focus on entrepreneurial innovation to strengthen economic resilience in indonesia’s border areas. compared to several studies on entrepreneurship training, there are differences in research studies, such as research objects, analytical methods, methodological approaches, and research locations. the similarities lie in the limited resources, facilities, and infrastructure and the capacity of government policies to support business incubator economic institutions. input from the initial survey and several studies that have been conducted provide elaboration and enrichment of insight into the research focus. based on the background of previous research and the problems raised, this study aims to analyze entrepreneurial innovation in strengthening economic resilience in the temajuk border, west kalimantan, indonesia, by implementing the latest entrepreneurship training in community-based entrepreneurial innovation using the development method. research method development research is systematic research used to develop the design, evaluation, validation, practicality, and effectiveness of products or programs formed (seels & richey, 1994; johnson, 2016). developer research is divided into two types. first, it focuses on product design and evaluation to see the description, development, and implementation of products or programs. second, focus on program evaluation or product development (richey, nelson & klein, 1996; siegmann & dart, 2007). development research is developing and validating a product, referred to as the r&d cycle process (borg & gall, 1983). development research aims to strengthen the empirical foundations for creating better products, learning and non-learning tools, and new models. richey and client’s statement journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 34 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad is more complete as follows (richey & klein, 2007). development research combines quantitative and qualitative research designs (richey & klein, 2007). in this research, the development research method was chosen to create an innovative model for potential development in the field of entrepreneurship to strengthen economic resilience at the temajuk border, west kalimantan, indonesia. development innovation is needed to increase entrepreneurship owned by people in the region. border area to strengthen the economy of the people of the border area. this data was obtained by interview, observation, and literature study. the location of this research is temajuk, a village in paloh district, sambas regency, west kalimantan province, indonesia. temajuk is a region in northern malaysia that needs help to promote tourism potential to boost the economy of border villages. this research starts from april 2021november 2021. results, discussion, and analysis entrepreneurial innovation in strengthening economic security at the temajuk border of west kalimantan, indonesia border areas are urban neighborhoods that are physically near to other countries and the high seas, both geographically and demographically (afrakhteh & karimi, 2015). indonesia’s geography is utilized as optimally as possible by developing all potential regional resources to produce prosperity and security. the economy can play an essential role in maintaining the sovereignty and independence of citizens in a region (rudy, 2022). appropriate economic policies can help increase production and productivity in border areas, strengthen economic sustainability, and encourage regional investment (nelles & durand, 2014). several policies that can help achieve this goal include infrastructure development, tax, credit incentives for companies investing in border areas, and support for developing local economic sectors such as tourism and agriculture by increasing production and productivity, the government can increase citizens’ income and their ability to maintain sovereignty and independence in border areas. acceleration of economic development in border areas must be carried out as soon as possible so that the economic gap with neighboring countries can be reduced. acceleration is carried out through customs facilities or incentives and infrastructure development in a broad sense; to make investment more manageable. the government needs to immediately establish special economic zones for these border areas (zou., bhuiyan., crovella & paiano, a, 2023). the border economy is closely related to indonesia’s territorial sovereignty. indonesia’s border areas have a strategic role in maintaining indonesia’s sovereignty and territorial integrity, especially considering indonesia’s location as an archipelagic country that has many islands and extended maritime boundaries. by increasing the border region’s economy, indonesia can strengthen its presence in the region and strengthen state sovereignty. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 35entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia improving the economy of border areas can be done by utilizing the potential of natural resources, developing the local economic sector, and promoting investment and trade in border areas. by improving the border economy, entrepreneurs can help increase citizens’ income and their ability to maintain sovereignty and independence in border areas. in addition, the border economy can help strengthen connectivity and interaction between border areas, thereby increasing coordination and collaboration in overcoming various challenges faced by border areas. to spur economic activity in the border area, a free trade zone is needed between residents in the border area, where border residents from the two countries can carry out economic and trade activities as usual interactions carried out by residents in traditional markets without the need to be limited by state regulations that instead reduce the economic and trading activities of the population. of course, there will be follow-up problems, whether criminal or otherwise, but these must be anticipated and controlled (tabloiddiplomasi.org, 2011). in addition, a strong economy in border areas can also help prevent infiltration and other illegal activities in border areas, such as the smuggling of prohibited goods, human trafficking, and so on. in this case, a strong economy can be a form of security and defense in border areas. therefore, the indonesian government has an essential role in strengthening the economy of border areas, such as providing support in the form of incentives, training, and infrastructure needed. the government can also facilitate cooperation between border areas with other regions in indonesia and neighboring countries to develop trade, investment, and tourism in border areas. thus, indonesia can strengthen its territorial sovereignty and provide benefits for the welfare of the people in border areas. model design until the cold war, the provision of entrepreneurship training is one of the most influential in the economy of indonesia. many indonesian people choose to be entrepreneurs so that it becomes an economic field for them. if the entrepreneur can develop, it will become a job opportunity for other people to be recruited as employees. entrepreneurship can be expressed as an individual entrepreneur who organizes and manages a business, and also entrepreneurship is a skill that can be learned (özmen, 2016). there must be an actual business program at a college or university to develop an entrepreneurial spirit. the provision and inculcation of the entrepreneurial spirit in the community can motivate them to carry out entrepreneurial activities. entrepreneurship has high-profit margins and competitive advantages. entrepreneurship has a vital role in economic growth and development. as individuals, institutions, and countries without innovative thinking, generating new ideas, products journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 36 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad and services suffer from global competition. so that the primary source, if you want to be a prosperous business is knowledge about management and innovation. so, you must be able to focus on innovative entrepreneurship, especially in the small and medium enterprises sector, to achieve excellence. businesses with efficient innovation, entrepreneurial culture, and entrepreneurial management (drucker, 2012). guidance on entrepreneurship in the community, especially those in the regions, really needs to be done to be entrepreneurs and create their economic fields and jobs, of course with knowledge about innovation in entrepreneurship. critically involved fostering and a robust civil society are fought as cornerstones of democratization and development, especially in some free or non-free democracies (hammett & jackson, 2018). the process of developing entrepreneurship in the temajuk border area community does not only involve the local community and the government but also involves other parties such as academics, ngos, and the private sector, which are used to establish cooperation in advancing entrepreneurship as an economic improvement for border communities. the strategies needed in entrepreneurial innovation to strengthen economic security in border areas include: based on the design, the entrepreneurial innovation model for strengthening economic security at the temajuk border of west kalimantan indonesia is formed as follows 1). providing training and materials on entrepreneurial innovation. 2). mentoring entrepreneurs in the development of business innovation. 3) ensuring that innovative products in the border areas are used as national pride, strengthening the marketing of community business products. figure 1. entrepreneurial innovation model in strengthening economic resilience on the temajuk border, west kalimantan, indonesia source: processed by the author’s p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 37entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia implementation of the entrepreneurial innovation model in strengthening economy security in the temajuk border of west kalimantan, indonesia entrepreneurship pretraining stage this pre-entrepreneurship training stage is related to the formulation of innovations by community conditions and entrepreneurial potential. innovation is about creating the future and ensuring sustainable growth. therefore, innovation must be applied in entrepreneurship to keep up with changes in the world market and achieve business excellence (bozkurt, 2016). in addition, to become a successful and value-oriented entrepreneur, entrepreneurs must be confident, take risks, be brave and willing, and competitors about innovation. they must have the ability to see opportunities (yeboah-assiamah, 2014). in the entrepreneurship process, support from various parties in providing education and empowerment is essential so that these entrepreneurs can increase their knowledge in doing business. for example, what we did, the lecturers provided grants and training to the community in entrepreneurship. the purpose of this empowerment is to provide training and more profound knowledge to people who will become entrepreneurs. figure 2. level of community knowledge related to entrepreneurship in pretraining source: processed by the author’s during the pre-training, the level of understanding of the temajuk community was relatively low regarding entrepreneurship; therefore, the lecturer facilitators and other related parties (private, ngo) presented material on entrepreneurship starting with the first, initial steps to build a business efforts to grow a business start from the awareness and belief that entrepreneurship provides opportunities for success. second, steps to run a business, after planning, the next step is to start a business. at this step, the company journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 38 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad starts running based on a predetermined design from the production process to the marketing process. third, the early development step begins when the business starts running for some time. companies that are beginning to develop begin to face several obstacles, for example, limited sources of funds and technology. fourth, the next step of business development, a business that continues to experience growth, proves that the company has successfully run its business. stages of training implementation entrepreneurship in community development, it is hoped that they will understand business processes in predetermined business fields. furthermore, there will be training on capital carried out by entrepreneurship training participants. in addition, in developing a business, planning, preparation, and development of models are needed to support facilities’ implementation of entrepreneurship training. hatching business through the provision of facilities and infrastructure can not be done well. the structure and infrastructure are lacking adequate. the administration has not been done in an orderly and neat manner, access to the business network and information and capital networks or financing. to successfully manage entrepreneurship, each element is involved in entrepreneurial activities and must coordinate and manage (müftüoðlu, 2000). successful entrepreneurship requires more than opportunity and capital. it is a consistent process that contains planning, planning, expansion of thinking, attraction, and risk-loving (mazzarol, 2011). cohesive approaches thus, entrepreneurship is dangerous because it does not know what they are doing or how they are doing it, nor do they have a methodological, systematic management process. their definition of sustainable entrepreneurship is based on the underlying motivations, aims, and functions of economic and non-market purposes (schaltegger & wagner, 2011). sustainability-oriented entrepreneurship provides a framework for focusing on sustainability innovation through sustainable enterprise. individuals or institutions undertaking entrepreneurial activities must decide how to follow a strategy considering the advantages and disadvantages, market conditions, and the sector it wishes to operate. how entrepreneurs achieve, success is like the example image below. a business fed with innovative and creative thinking and essential management functions can declare an entrepreneurial organization. in these organizations, entrepreneurial considerations, innovative approaches, and management skills are critical. no matter how successful it is in processes and management if businesses do not use innovation, they cannot survive in the future (drucker, 2012). in creating new products or methods, business processes and others are one of the primary sources of innovation activities. thus, the business gets success and value as long as the company determines the basis and sub-strategy in innovation and entrepreneurship. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 39entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia so, to provide opportunities for integration of innovation and entrepreneurship with strategy, companies need to undertake procedures that focus on keys such as top management support, flexible organizational structure, and a culture that contributes to innovation and entrepreneurship (hisrich & kearney, 2014). post-training stage entrepreneurship achieving success in the field of entrepreneurship is not only the task of the government. through entrepreneurship training, it will also require the support of several parties, namely higher education institutions, the business world, and the community. if these parties can coordinate well in agro-ecotourism entrepreneurship training, they can grow and develop. based on the training that has been given, it is known that the participants feel that the training materials provided are by the needs so that they can support the work being done. the results of the post-training satisfaction questionnaire can be seen in the following diagram with information from s.s. (strongly agree), s (agree), n (neutral), t.s. (disagree), and sts (strongly disagree) that the material is very appropriate. figure 3. level of satisfaction with training materials source: processed by the author’s this operational procedure includes entrepreneurship training as a form of interaction of entrepreneurship training participants facilities and learning resources for giving birth to entrepreneurship knowledge, skills, and competencies. after theoretical training, after completing the skills, they are allowed to practice entrepreneurship to improve their competence, skills, success, cooperation, and create business opportunities the results from the training. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 40 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad after this training, the knowledge of the participating communities increased, as shown in the following diagram. figure 4. level of community knowledge related to entrepreneurship in pretraining and post-training source: processed by the author’s the diagram above shows that of the 28 people who attended the training before and after experiencing changes, almost all those who participated understood the knowledge provided. in the pre-training, only part of the community understood the business incubator that had been applied and the theories provided. so that it has a good impact on the community, they are interested in disseminating their knowledge to others and have higher motivation, responsibility, creativity, innovation, and self-confidence. this can be seen in the following image. figure 5. job completion rate after getting training source: processed by the author’s p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 41entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia after attending the training, the participants completed the work more efficiently and quickly. in addition, it can foster an entrepreneurial spirit and public awareness about cleanliness and protecting the environment in improving the quality of production. these people are finally motivated to start a business through entrepreneurship because it can be a source of income and new jobs for those who will later recruit employees. the role of the community can facilitate economic growth. so that political development can be directed to enable economic development to run. conclusion entrepreneurial innovation in strengthening economic security at the temajuk border, west kalimantan, indonesia, is the right step in increasing the security economy in the border area. with entrepreneurial innovation in the temajuk area, it is hoped that the community can increase its entrepreneurial potential and create independent community entrepreneurs. according to the findings of this study, entrepreneurial innovation in strengthening economic resilience has never been carried out on the border of temajuk sambas, west kalimantan, indonesia. therefore the researchers suggest several steps in implementing innovation in the temajuk border area in the tourism sector, namely by providing entrepreneurship and management training by providing further assistance in implementing tourism innovation and implementing innovation independently by the people of temajuk village. references andruseac, g. (2015). economic security new approaches in the context of globalization. centre for european studies working papers.vol. vii, no. 2. accessed from https:// ideas.repec.org/a/jes/wpaper/y2015v7i2p232-240.html. afrakhteh, h & karimi, k. (2015). potentialities and threats of border area development: case of aras areas of iran. asia-pacific journal of rural development, 25(2), 99–110. accessed from https://doi.org/10.1177/1018529120150206. bajpai, k. (2003). the idea of human security. international studies, 40(3), 195–228. accessed from doi: 10.1177/002088170304000301. baskaran, a., chandran, v., & ng, b.-k. (2019). inclusive entrepreneurship, innovation and sustainable growth: role of business incubators, academia and social enterprises in asia. science, technology and society, 24(3), 385–400. accessed from https:// doi.org/10.1177/0971721819873178. bakce, d., syahza, a & asmit, b. (2019) “pembangunan ekonomi wilayah perbatasan antar-negara di provinsi riau”, unri conference series: agriculture and food security, 1, pp. 182-189. accessed from doi: 10.31258/unricsagr.1a24. journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 42 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad best, j. (2017). security, economy, population: the political economic logic of liberal exceptionalism. security dialogue, 48(5), 375–392. accessed from https://doi.org/ 10.1177/0967010617712683. borg & gall (1983). educational research, an introduction. new york and london. longman inc. accessed from https://www.worldcat.org/title/educational-researchan-introduction/oclc/557863038. bozkurt, ö. (2016). giriþimcilik kültürü” (ed. kahraman çatý), giriþimcilik ve ýnovasyon yönetimiss. 3148. ankara: nobel akademik yayýncýlýk eðitim danýþmanlýk. accessed from https://doi.org/10.29106/fesa.424780. bismala, l., andriany, d & siregar, g. (2019). model pendampingan inkubator bisnis terhadap usaha kecil dan menengah (ukm) di kota medan. proseding seminar nasional kewirausahaan, 1(1), 2019, hal 38-44. accessed from https://doi.org/ 10.30596/snk.v1i1.3574. buzan, b. (1991). new patterns of global security in the twenty-first century. international affairs, vol.67 no.3. accessed from https://www.jstor.org/stable/ 2621945. carter, d. b & poast, p. (2017). why do states build walls? political economy, security, and border stability. journal of conflict resolution, 61(2), 239–270. accessed from https://doi.org/10.1177/0022002715596776. coyle, j. j. (2018). russia’s border wars and frozen conflicts. springer international publishing. accessed from https://doi.org/10.1007/9783-319-52204-3. drucker, p. (2012). yönetim. (ý. gülfidan, çev.) ýstanbul: optimist yayýnlarý. accessed from https://docplayer.biz.tr/15823210-yonetimin-sinirlari-peter-drucker-cevirenilker-gulfidan.html. foer, a. a. (2016). a vocabulary for conversing about entrepreneurship, innovation, and antitrust. the antitrust bulletin, 61(4), 479–493. accessed from https://doi.org/ 10.1177/0003603x16676143. hammett, d & jackson, l. (2018). developing a ‘civil’ society in partial democracies: in/ civility and a critical public sphere in uganda and singapore. political geography. volume 6 pages 145-155. accessed from https://doi.org/10.1016/j.polgeo.2017.08.004. herson, j. (2012). employment, entrepreneurship, innovation: 2030. world futures review, 4(2), 162–169. accessed from https://doi.org/10.1177/194675671200400220. hisrich, r. d & kearney, c. (2014). managing innovation and entrepreneurship. sage publications. accessed from https://sk.sagepub.com/books/managing-innovationand-entrepreneurship. iqbal, z. (2006). health and human security: the public healthimpact of violent conflict. international studies quarterly, 50 (3), 631–649. accessed from https://doi.org/ 10.1111/j.1468-2478.2006.00417.x. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 43entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia johnson, k. e. (2016). practitioner and professional development research. language teaching research, 20(2), 143–145. accessed from https://doi.org/10.1177/ 1362168816629508. lee, s. h. (2022). asean’s economic security and regional economic cooperation: past, present, and future. asian journal of comparative politics, 7(1), 10–28. accessed from https://doi.org/10.1177/20578911211032135. lutfiani, n., rahardja, u & manik, i.s.p. (2020). peran inkubator bisnis dalam membangun startup pada perguruan tinggi. jurnal penelitian ekonomi dan bisnis, 5 (1), 2020, hal: 77 – 89. doi: 10.33633/jpeb.v5i1.2727. accessed from http:// publikasi.dinus.ac.id/index.php/jpeb/article/view /2727/ 1869. mazzarol, t. (2011). cases in entrepreneurship and innovation. prahran: tilde university press. accessed from https://catalogue.nla.gov.au/record/5917508. malik, f. (2014). profil pariwisata kabupaten sambas kawasan perbatasan provinsi kalimantan barat 2013 (studi kasus perbatasan indonesia-malaysia). kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif. accessed from https://www.kemenparekraf.go.id/ a s s e t _ a d m i n / a s s e t s / u p l o a d s / m e d i a / o l d _ a l l / jdp%20vol_1%20no_1%202014%20profil%20pariwisata%20kabupaten%20sambas%20kawasan%20perbatanan%20provinsi%20kalimantan%20barat%202013%20(studi%20kasus%20perbatanan%20indonesia%20%20malaysia).pdf. mcdonald, m. (2002). human security and the construction of security. global society, 16(3), 277–295. accessed from https://www.academia.edu/3495498/ human_security_and_the_construction_of_security_global_society_2002. müftüoðlu, t. (2000). giriþimcilik. (ed. y. odabaþý,) eskiþehir: anadolu üniversitesi açýköðretim fakültesi yayýnlarý. accessed from https://avys.omu.edu.tr/storage/ app/public/hakant/133878/anadolu%20%c3%bcni.%20giri%c5%9fimcilik.pdf. mundle, s. (2010). countervailing power and missing institutions: a political economy perspective on resource security. south asian survey, 17(1), 45–56. accessed from https://doi.org/10.1177/097152311001700105. newman, e. (2001). human security and constructivism. international studies perspectives, 2(3), 239–251. accessed from https://www.jstor.org/stable/44218167. nelles, j & durand, f. (2014). political rescaling and metropolitan governance in crossborder regions: comparing the cross-border metropolitan areas of lille and luxembourg. european urban and regional studies, 21(1), 104–122. accessed from https://doi.org/10.1177/0969776411431103. özmen, h. ý. (2016). giriþimcilik kavramý ve giriþimciliðin geliþimi. (ed. kahraman çatý) giriþimcilik ve ýnovasyon yönetimi ss. 3-30. ankara: nobel akademik yayýncýlýk eðitim ve danýþmanlýk. accessed from https://dergipark.org.tr/tr/pub/ fesa/issue/44215/424780. ronis, s.r. (2010). economic security neglected dimension of national security?, center for strategic conferencing institute for national strategies studies, national defense journal of government and civil society, vol. 7, no. 1, april 2023 44 elyta, jamaliah, mohammad zaki ahmad university press. accessed from https://ndupress.ndu.edu/portals/68/documents/ books/economic-security.pdf. richey, r.c., nelson, w.a & klein, j.d. (1996). developmental research; studies of instructional design and development. david. h.j. (ed). handbook of research on educational communications and technology. (1 st ed, pp. 1099-1130). britania raya: routledge. accessed from https://docplayer.net/1955042-developmental-researchstudies-of-instructional-design-and-development.html. richey, r. c. & klein, j. d. (2007). design development and research methods, strategies, and issues. london. lawrence erlbaum associates publishers. accessed from https:/ /doi.org/10.4324/9780203826034. rudy, k. (2022). military economy and economic growth: bidirectional effects in transition economies of eurasia. global journal of emerging market economies, 14(3), 285–300. accessed from https://doi.org/10.1177/09749101211067296. saputro, g.e & meirinaldi, m, (2021). pengaruh stabilitas makro ekonomi, stabilitas keamanan dan pertumbuhan industri strategis terhadap pertumbuhan ekonomi. vol. 23 no. 1 (2021): pandemi covid 19, stabilitas keamanan, daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. accessed from https://doi.org/10.37721/ je.v23i1.757. schaltegger, s & wagner, m. (2011). sustainable entrepreneurship and sustainability innovation: categories and interactions. bus. strategy environ. 20, 222–237. accessed from https://doi.org/10.1002/bse.682. siegmann, l & dart, j. (2007). book review: doing development research. evaluation journal of australasia, 7(1), 62–63. accessed from https://doi.org/10.1177/ 1035719x0700700114. seels, b. b & richey, r. c. (1994). teknologi pembelajaran: definisi dan kawasannya. penerjemah dewi s. prawiradilaga dkk. jakarta: kerjasama iptpi lptk un. accessed from http://library.fip.uny.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=884. setiawan, w.l. (2019). desa agro-ekowisata, sebuah konsep terobosan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. koran sinar pagi. accessed from https:// www.koransinarpagijuara.com /2019/12/09/desa-agro-ekowisata-sebuah-konsepterobosanpembangunan-berkelanjutan-berwawasan-lingkungan/. srikanth, m., kumar, g. n & reddy, w. r. (2020). entrepreneurship, innovation, and economic development: an indian experience. sedme (small enterprises development, management & extension journal), 47(3), 279–292. accessed from https://doi.org/10.1177/09708464211042100. tabloiddiplomasi.org. (2011).zona perdagangan bebas dapat memacu kegiatan ekonomi wilayah perbatasan”, tabloid diplomasi, no. 45, tahun iv. accessed from https:// www.tabloiddiplomasi.org/zona-perdagangan-bebas-dapat-memacu-kegiatanekonomi-wilayah-perbatasan/. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 45entrepreneurship innovation in strengthening economic security on the temajuk border of west kalimantan indonesia waheed, a. w. (2017). state sovereignty and international relations in pakistan: analysing the realism stranglehold. south asia research, 37(3), 277–295. https:// doi.org/10.1177/0262728017725624. yeboah-assiamah, e. (2014). business ethics in islam: assessing traders’ understanding of islamic work ethics; perspectives of muslim market women in kumasi central market, ghana. journal of studies in social sciences, 9. accessed from https:// infinitypress.info/index.php/jsss/article/download/882/395. yulianni, t., izmuddin, i & putri, a. (2020). pengaruh inovasi dan kreativitas produk terhadap ketahanan ekonomi masyarakat pada industri kerajinan kapuk. ekonomika syariah: journal of economic studies. vol. 4, no. 1, januari-juni 2020. accessed from https://www.researchgate.net/publication/ 343258509_pengaruh_inovasi_dan_kreativitas_produk_terhadap_ketahanan_ekonomi_masyarakat_pada_industri_kerajinan_kapuk. zou, f., bhuiyan, m. a., crovella, t & paiano, a. (2023). analyzing the borderlands: a regional report on the colombia–ecuador border on political, economic, social, legal, and environment aspects. international migration review, 0(0). accessed from https:/ /doi.org/10.1177/01979183221149019. 00. halaman prelims.pdf cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) 1 – 15 analysis of the impact of policy and political economics in the development of the rattan craft industry in cirebon haryono1, titik sumarti2, didin s. damanhuri3, sofyan sjaf2 (1 mahasiswa pascasarjana program studi sosiologi pedesaan ipb, indonesia) (2 department of communication and community development sciences, faculty of human ecology, ipb university, indonesia) (3 department of economics and environmental resources, faculty of economics and management, ipb university, indonesia) 16 – 31 village law, village government, and community empowerment: the case study in sub-district of kedawung, cirebon ros awaliyah rosadah1, muhammad iqbal bin samadi2 (1 d3 hospitality study program, faculty of economics, universitas 17 agustus 1945 cirebon, indonesia) (2 universiti kuala lumpur-royal college, malaysia) 32 – 49 does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? faisal nomaini1, sofyan effendi2, oemar madri bafadhal3, anang dwi santoso4 (1,3 department of communication science, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia) (2,4 department of public administration, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia) 50 – 70 transparency of local financial management: evidence from local governments in indonesia toni nurhadianto1, slamet sugiri2 (1 department of accounting, institut informatika dan bisnis darmajaya, indonesia) (2 department of accounting, universitas gadjah mada, indonesia) 71 – 88 diffusion of ideology and role of local party control to understand aceh post-war vellayati hajad1, susetiawan2 (1 department of pubic administration, universitas teuku umar, indonesia) (2 department of social development, universitas gadjah mada, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 89 – 103 the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency pahrudin hm1, agus mustawa2, riant nugroho3, abdul halim4 (1 departement of governance science, faculty of social and political sciences, universitas nurdin hamzah, jambi, indonesia) (2 student of post graduate program of political science, faculty of social and political sciences, universitas andalas, padang, indonesia) (3 masyarakat kebijakan publik indonesia (makpi), jakarta, indonesia) (4 faculty of ushuluddin and religious study, uin sulthan thaha saifuddin, jambi, indonesia) 104 – 120 non-pharmaceutical intervention policies in overcoming covid-19 in aceh: a cross-sectional online survey saddam rassanjani1, aryos nivada2, ratnalia indriasari3, iqbal ahmady4 (1 department of government studies, universitas syiah kuala, indonesia) (2,4 department of government politics, universitas syiah kuala, indonesia) (3 jaringan survei inisiatif, indonesia) 121 – 137 the transparency honorary board of election organizers in the violations trial of the election ethics code organizers in indonesia lulu qurrata a’yun1, nuryanti mustari2, ahmad harakan3, nursaleh hartaman4 (1,2,3,4 department of government studies, faculty of social and political sciences, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 138 – 161 rent-seeking practices in the budget policymaking processes at local government: case studies in indonesia salahudin salahudin1, achmad nurmandi2, kisman karinda3, tinuk dwi cahyani4 (1 department of government studies, universitas muhammadiyah malang, indonesia) (2 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3 government studies, universitas muhammadiyah luwuk, indonesia) (4 department of law, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 162 182 muhammadiyah social movement: networking and philanthropy in handling covid-19 in indonesia dian eka rahmawati1, cahya wulan2 (1 departement of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 master of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 89 citation : pahrudin hm, mustawa, a., nugroho, r., & halim, a. (2022). the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency. journal of government and civil society, 6(1), 89–103. https://doi.org/10.31000/jgcs.v6i1.5776 journal of government and civil society vol. 6, no. 1, april 2022, pp. 89-103 doi: 10.31000/jgcs.v6i1.5776 received 19 january 2021  revised 31 march 2022  accepted 14 april 2022 the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency pahrudin hm1*, agus mustawa2, riant nugroho3, abdul halim4 1 departement of governance science, faculty of social and political sciences, universitas nurdin hamzah, jambi, indonesia 2 student of post graduate program of political science, faculty of social and political sciences, universitas andalas, padang, indonesia 3 masyarakat kebijakan publik indonesia (makpi), jakarta, indonesia 4 faculty of ushuluddin and religious study, uin sulthan thaha saifuddin, jambi, indonesia *email correspondence: pahrudinhm9@gmail.com abstract this study aims to analyze the implementation of pertisun as a policy innovation in merangin regency. the autonomy performance gives the regions sufficient flexibility in managing their territory. its form is regional development programs based on community inputs. various studies show that many people’s desires are not accommodated in conventional mechanisms, thus requiring innovative ways. merangin regency has pertisun as a mechanism to pick up people’s aspirations, especially in remote areas. innovation is an idea, product, information technology, institution, behaviour, values, and new practices or objects that individuals or society perceive as something new. according to van metter and van horn, six the performance of public policy implementation, namely: policy size and purpose, resources, characteristics of implementing agents, attitudes and variables affect tendencies of the implementers, inter-organizational communication and implementing activities, and economic, social and political environment. this study was conducted using a qualitative research approach in merangin regency. this study found that the implementation of the pertisun program has been going well as innovative policy in absorbing people’s aspirations. the pertisun program has been able to increase the role of the community in development activities, especially public aspiration in the development planning stage. keywords: policy implementation, policy innovation, local government, pertisun abstrak penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pertisun sebagai inovasi kebijakan di kabupaten merangin. kinerja otonomi memberikan keleluasaan yang cukup bagi daerah dalam mengelola wilayahnya. wujudnya adalah program pembangunan daerah yang berbasis masukan masyarakat. berbagai penelitian menunjukkan bahwa keinginan banyak orang tidak terakomodasi dalam mekanisme konvensional, sehingga membutuhkan cara-cara yang inovatif. kabupaten merangin memiliki pertisun sebagai mekanisme penampung aspirasi masyarakat khususnya di daerah terpencil. inovasi adalah ide, produk, teknologi informasi, institusi, perilaku, nilai, dan praktik atau objek baru yang dirasakan oleh individu atau masyarakat sebagai sesuatu yang baru. menurut van metter dan van horn, enam kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap dan variabel yang memengaruhi kecenderungan pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksana, serta ekonomi, lingkungan sosial dan politik. penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif di kabupaten merangin. kajian ini menemukan bahwa implementasi program pertisun telah berjalan dengan baik sebagai kebijakan inovatif dalam menyerap aspirasi masyarakat. program pertisun mampu journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 90 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan pembangunan, khususnya aspirasi masyarakat dalam tahap perencanaan pembangunan. kata kunci: implementasi kebijakan, inovasi kebijakan, pemerintah daerah, pertisun introduction research on policy innovation related to how the public’s aspirations can be accommodated properly by the local government, especially in merangin regency, jambi province, is interesting. first, the decentralisation policy based on law no. 22 of 1999, law no. 32 of 2004, and updated through law no. 23 of 2014 makes local governments have a significant role in development by increasing the share of community participation (hm & darminto, 2021; hm, 2019; sururi, 2016; mariana, 2015). in this era of regional autonomy, the development paradigm has shifted from top-down to bottom-up, which puts the community as the leading actor in the development process at every stage, including planning, implementation, and evaluation. development is no longer linear, involving government officials and involving the community. regulations related to public participation in government are further strengthened by government regulation of the republic of indonesia number 45 of 2017 concerning community participation in the implementation of regional government. as a manifestation of democratic governance, the community is given broad opportunities to participate in planning development by the community’s collective needs as stated in article 261, paragraph 1 of regional development planning using a technocratic, participatory, political, and top-down and bottom-up approach. then it is explained in paragraph 3 that the participatory process, as referred to in paragraph (1), is implemented by involving various stakeholders. participatory in his explanation is the community’s right to be involved in every stage of the regional development planning process and is inclusive of marginalized groups through special communication channels to accommodate the aspirations of community groups who do not have access to policymaking. second, the paradigm shift in participatory development prioritisestizes active community involvement requires the birth of various constructive breakthroughs within the framework of accommodating the people’s real aspirations (kristanto, 2018; geraldy, 2017; scupola & zanfei, 2016). multiple studies show many community aspirations and needs that are not accommodated through formal and procedural channels. the people’s genuine aspirations can only be obtained through ways out of the ordinary, even with a new dimension known as an innovative policy. in semarang city (kristanto, 2018), for example, ‘lapor ,hendi’ is an online-based application intended for people who have aspirations or problems with public services. ‘lapor hendi’ also provides tools to report to governors, ministries of home affairs and even the president. it also provides geber pandanaran (joint movement for women’s empowerment and child protection) and p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 91the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency geber septi (joint movement for school care and anti bullying). in the same context, geraldy’s study (2017) reveals that the bojonegoro regency government has made innovations in absorbing community aspirations through dialogue activities with the community every friday at the malowopati hall. ‘the sobo pendopo’ dialogue is one of the most suitable methods for absorbing people’s aspirations and material for making decisions. in simple terms, any bojonegoro citizen may ask questions, express opinions, ideas, criticisms and input to the bojonegoro regency government. on the other hand, regents, deputy regents, regional secretaries, related offices, heads of restricted work units (opd) directly provide responses and answers related to questions or criticisms submitted by the community. the study conducted by indriani etc. (2021) also shows that the development planning model that has been applied so far has a tokenism nuance, a development planning system that emphasises government participation. however, in development planning, the government does not prevent the community from being involved in the development planning process. however, people do not have freedom and are limited in expressing their ideas and needs. therefore, development planning innovation is needed to make the community more involved. meanwhile, scupola & zanfei (2016) study also shows shared innovations in the digitalization of the roskilde university library. the transition from the new public management approach to the network governance model implies a more excellent distribution of knowledge and innovation across different organizational levels in public administration. the interactions between these organizational levels significantly influence the development of new public services. users play different roles at different stages in the innovation process, with relatively more significant involvement in small incremental changes. user-based innovation has increased significantly with ict diffusion and web-based public services. complex innovations are facilitated by face-to-face meetings between civil servants and users. changes in governance modes affect the balance between the various actors involved, affecting the nature and intensity of innovation. the transition to a network governance approach requires information policies that are enduring over time and are designed to enhance collaboration between different actors (public and private). third, merangin regency is the area with the third-largest population (372,205 people), as well as the most significant size (7,679 km2) in jambi province (hm & senjaya, 2021). most of the merangin regency area is rural, with agriculture and plantations as the business fields that most of the population is engaged in. the characteristics of the room attached to merangin regency certainly require a different approach to finding out the community’s needs so that they can enjoy development programs. it is essential to do this so that development programs do not match the community’s needs because there are no channels to convey their aspirations. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 92 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim merangin regency has made policy innovations in absorbing people’s aspirations through ‘perjalanan pejabat tidur di dusun (pertisun)’ program/the sleeping officials travel program in hamlet. the regent of merangin launched this program; in essence, it functions and is helpful to accommodate the various aspirations and feelings of the people in rural areas. through this pertisun program, officials can directly listen to the community’s aspirations and know firsthand the conditions. the findings and aspirations of the rural communities can be programmed into development plans. in addition to serving the community directly, the regent, on that occasion, could find out the actual conditions related to government services in the gathering. the pertisun activity, which was held at night with the concept of an open dialogue between the regent and the community, became an activity that was highly anticipated by the community. based on the description above, it can be seen that the implementation of autonomy gives local governments have more expansive space to manage their territory. the provincial government realises the management through development programs derived from community aspirations. in an effort for local governments to obtain constructive development inputs, it is necessary to innovate activities that can accommodate the pure aspirations of the community. what the provincial government did in the era of autonomy was manifested in the form of public policy. to create a good state of life and overcome problems in society, the public policy goes through a series of stages. according to soebarsono (as cited in hm, 2020), the public policy process is interpreted as a series of intellectual activities carried out by actors in political and academic activities. as part of the public policy process, policy implementation is defined as the method used to formulate and determine a public policy can be implemented and achieve the desired goals (nugroho, 2018, p.728). the problem is that it turns out that the policy can not consistently be implemented and achieve the expected goals. guidelines recommended being chosen by policymakers are not guaranteed to be successful in implementation. many variables influence the success of policy implementation, both individually and in groups or institutions. implementing a program involves the effort policy makers to influence behaviour or implement bureaucrats to be willing to provide services and regulate behavioural groups’ behaviour. in this regard, several parties have tried to present their views on the factors considered to influence the implementation of a public policy. in the context of this study, the researcher used the concept of policy implementation proposed by donal van metter dan carl van horn. according to van metter dan van horn (six variables affect public policy implementation performance: (1) policy size and purpose. (2). resources. (3) characteristics of implementing agents. (4) attitudes and tendencies (disposition) of the implementers. (5). inter-organizational communication and implementing activities. (6). economic, social and political environment. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 93the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency specifically, the policies carried out by local governments are innovations. public policy innovation does not just emerge from the vacuum of social and academic activities that underlie it. public policy innovation stems from a shift in the government paradigm from the government to the governance paradigm, shifting the locus from all-government to stakeholders in governance. as a result of this paradigm shift, the government’s focus has shifted to the function of facilitator and regulator rather than as a provider and implementer of programs and activities. therefore, effective governance is shown by producing various innovative public policies that can accelerate the role of other stakeholders, namely the private sector, business actors and civil society organizations, in managing public affairs. innovation is an idea, product, information technology, institution, behaviour, values, and new practices or objects that individuals or society can perceive as something new. as an organization, the public sector can adopt innovation through the following stages (suwarno, 2008): (1) pioneering (initiation). the pioneering set consists of agenda-setting and matching phases. this is the initial stage of recognizing the situation and understanding the problems that occur in the organization. at the agenda-setting stage, identifying and prioritizing needs and concerns is carried out. furthermore, a search is carried out in the organizational environment to determine where the innovation will be applied. this stage often takes a very long time. at this stage, it is usually recognised that there is a performance gap or performance gap. this gap triggers the process of seeking innovation in organizations. (2) matching. the problem has been identified at this stage, and adjustments or equalization are made with the innovation to be adopted. this stage ensures the feasibility or feasibility of the innovation to be applied in the organization. (3) implementation. at this stage, pioneering has resulted in a decision to seek and accept innovations that are considered to solve organizational problems. this implementation phase consists of (1) redefinition, (2) clarification and (3) routinization phases. in the redefinition phase, all adopted innovations begin to lose their foreign character. innovation has gone through the re-invention process, so that it is closer to accommodating the needs of the organization. in this phase, both innovation and organization redefine each other and undergo a change process to adapt to each other. in general, there is at least a change in the organizational structure and leadership in the organization. the clarification phase occurs when the innovation is widely used in the organization and affects all elements of the organization in their daily work. this clarification phase takes a long time, because it affects the organisation’s culture as a whole, so that not a few then fail in its implementation. the adoption process that is too fast becomes counter-productive due to excessive resistance. the routinization phase is where innovation is considered part of the organization. innovation no longer characterizes a new product or a new way because it has become a routine part of the organization’s operations. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 94 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim based on it, this paper is intended to analyze the implementation of pertisun as part of policy innovation to accommodate the aspirations of the people in the merangin regency. this is also in line with the desire to create an independent village by increasing public awareness of its development role (hartati etc, 2020). this study uses a qualitative research approach by interviewing eleven informants based on their involvement with the phenomenon that is the topic of research. as required in qualitative research, the data is collected from several sources, namely: through documents and archive records, interviews, direct observation (participant observation) and other physical devices related to the participation of society in development planning (crabtree & miller (ed.), 1992, p.14-17). this research data is qualitative and consists of primary data and secondary data. most preliminary data were collected through interviews, direct observation and participant observation. in contrast, a small portion of other data was obtained from documents and physical devices related to the topic. after the data is collected, the data analysis is done qualitatively: reducing data, displaying data, and making conclusions (miles & huberman (ed.), 1992). results and discussion pertisun as an innovative policy in merangin regency as formulated in law number 25 of 1999, regional development is stipulated as an integral part of national development, which is carried out based on the principle of regional autonomy in the regulation of national resources to improve the welfare of the people free from corruption collusion and nepotism. autonomous regions, as formulated in law number 25 of 1999 designated as a government unit with the authority and responsibility to organise the public interest based on openness, community participation, and accountability to the community (aminah, 2014, p.50-51). regulations on regional government that accommodate the regional autonomy policy system have undergone several changes because the umbrella regulations on regional government are required to adapt to the dynamics of state administration and developing government. it has undergone several changes starting from law number 22 of 1999 concerning regional government, then revised to law number 32 of 2004 and further refined in 2014 to law number 23 of 2014 concerning regional government. local governments are encouraged to innovate regionally, by being given the freedom to issue innovative policies to improve the performance of local government administration. this is undoubtedly a form of response to increasingly complex community problems. the necessity to create innovations in the administration of local government is a constitutional mandate that must be implemented. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 95the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency through innovation in the form of reforming the administration of local government in absorbing the community’s aspirations, it is hoped that it can improve the quality of public services to the community by prioritizing transparency, efficiency, effectiveness and accountability. in-law number 23 of 2014 concerning regional government is emphasised in chapter xxi of regional innovation in article 386 paragraph 1 to improve the performance of regional government administration; local governments can innovate. in paragraph 2, the innovation, as referred to in paragraph (1), is all forms of reform in regional government administration. in developing the region, the merangin regency government needs innovaparto advance its part to compete against other areas in indonesia. therefore, the pertisun program (perjalanan pejabat tidur di dusun) which was launched by the regent of merangin al haris1 in mid-2016 was intended as a regional innovation in absorbing the aspirations of the people in merangin regency. as for the reasons behind the formation of the pertisun program, the regent of merangin al haris in full explains the bases in the quote below: “i call this program pertisun, the travel of sleeping officials in the dusun. why did i make this pertisun program? first, i see a distance between the community and the government. meanwhile, there need to be harmonious relationships and emotional connections between the government and the community in developing the area. so therefore, i want the heads of my offices, especially the heads of offices related to basic public services such as the education officer, the health office and the head of the public works office, so that they understand the condition of the community. so that with officials going down to carry out pertisun to villages or hamlets, it is hoped that conducive and harmonious conditions can be created within the community. second, i also conducted this pertisun to test the reports of the heads of regional apparatuses (opd) in the ranks of the merangin regency government. have the programs so far touched the community or not? then whether the service has been felt well by the community or not. i can test this through direct dialogue with the community at every opportunity for the pertisun program”. rogers (as cited in sururi, 2016) revealed that innovation has five attributes. first, it has a relative advantage, so in this context, the author sees that the creation of the pertisun program impacts financial benefits because, in its implementation, the pertisun program can reduce the use of the financial budget in running the government. however, the number is not so large; it has succeeded in increasing the efficiency of using resources. financially in carrying out government affairs. second, think about conformity; the 1 as of july 7, 2021, al haris has become the governor of jambi as a result of the regional head election 2020 journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 96 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim pertisun program is an alternative means of absorbing people’s aspirations and existing systems such as musrenbang. the third is complicated; in this case, the pertisun program does not have any difficulties implementing it; in fact,t the pertisun program can simplify the work of officials in absorbing the community’s aspirations. fourth, it is possible to try, during the data collection process in this research, that the pertisun program has been implemented in many villages/hamlets, and all of them are going well. fifth, it is easy to observe that the pertisun program in its implementation has been going well; it’s just that the note is that there is no certainty and clarity of time in realizing what has been conveyed by the community. implementation of pertisun in merangin regency according to van metter and van horn, six variables affect the performance of policy implementation; the six variables are as follows: (1) policy size and purpose. the performance of policy implementation can be measured by the success of the size and policy objectives that are realistic with the current sociocultural level at the policy implementer level. when the size of the policy or policy objectives are too ideal (even utopian) to be implemented at the citizen level, it will be challenging to realise public policies to the point that they can be successful. based on the results of research on the regional innovations of the pertisun program, from the aspect of the size and objectives of the policy, namely: first, to think about the purpose of accommodating the aspirations and suggestions of the community towards the wheels of government. second, respond directly to public complaints. third, see firsthand the situation and condition of villages/hamlets and sub-districts within the merangin regency area. fourth is the establishment of friendship between officials and the community. the implementation of pertisun is carried out by dividing the group of officials into three: merangin regent, deputy of merangin regent and regional secretary of merangin regency. every time he spends the night in the village/hamlet, the regent will bring all the heads of the offices, heads of divisions and sub-district heads to the sub-district area. especially heads of offices related to public services, such as heads of public works offices, heads of health offices, directors of education offices, etc. the goal is that they understand the condition of the community and do not violate each other or throw responsibilities in dealing with problems that exist in the community. the pertisun program is very effective in absorbing people’s aspirations. because they can interact directly and have a dialogue with the community. in addition, it was able to witness now the actual situation and conditions concerning government services in the community. the community’s aspirations that have been submitted will be used as notes p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 97the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency for improvement, which will be accommodated in the following budget discussion. but if it’s urgent, the regent ask for it to be done immediately. it can be concluded from the results of the research above that al haris deliberately designed the regional innovation of the pertisun program as an alternative, non-formal means to accommodate the aspirations of the community, even though there is already an official forum to accommodate the aspirations of the community such as the development plan deliberation (musrenbang). however, the process of absorbing community aspirations through the musrenbang plan, especially at the village level, has not been carried out optimally, thus requiring a new way of absorbing community aspirations. unlike the case with pertisun, the process of absorbing community aspirations can be much more effective because the regent and officials present can dialogue and discuss directly with the community the problems faced by the local village community. in additicommunity’s enthusiasmommunity is also very high in participating in pertisun activities because all social strata can follow these activities. then regarding the form of meetings between officials and the community during the implementation of pertisun, it can be done in various states meetings to the traditions and abilities of the local village community. there are meetings held with open dialogue in the field, meetings at the homes of community leaders and so on. however, it is clear that whatever form of engagement is held, it does not reduce its essence as a means to accommodate the aspirations of the community. (2). resources. the success of the policy implementation process is highly dependent on the ability to utilize the available resources. humans are the most critical resource in determining a successful implementation process. but apart from human resources, nonhuman resources also need to be considered, such as financial and time resources. regarding human resources or the officials who implement the pertisun program are the regent of merangin, deputy regent of merangin, regional secretary of merangin regency, head of regional apparatus organizations (opd) and related government officials within the scope of the merangin regency government. the regent of merangin al haris also said the same thing, saying that the pertisun program was divided into three working groups. first, the regent’s group; second, the group of the deputy regent; and third, the group of the regional secretary. then al haris added that every time i run this pertisun i always bring all the officials. be it the heads of the cadres, the leaders of the sub-districts and the sub-district heads because they all have a job. in addition, in the implementation of the pertisun program, the staff of the government bureau of the merangin secretariat are also assisted as the implementing committee for dialogue/audience activities with community leaders, leaders/members of social and community organizations, who have the task of preparing the administration for journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 98 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim implementing activities, delivering letters to participants in each sub-district in merangin regency, prepares consumption and equipment needed in activities and makes reports on the results of actions. then no less important than human resources, financial resources also significantly affect the success of implementing a policy, including the implementation of the pertisun program. the pertisun program does not have a specific budget, it only comes from the budget of each regional apparatus organization (opd). those who join pertisun must apply for official travel notes as accommodation while carrying out pertisun activities by applicable procedures. this is in line with the head of the merangin regency bappeda when in an interview that so far, in conducting pertisun, officials have only relied on the financial budget from official travel. because this pertisun, if in its official form, can be said to be a kind of working visit, it is packaged into a more intelligent and interactive format with the community. another source of funding for the pertisun program is sharing funds, namely funds for dialogue/audience activities with community leaders, leaders/members of social and community organizations in merangin regency, where this activity is intended to back up pertisun activities so that they run smoothly. based on the explanation above, it can be said that in terms of human resources, the implementers work in teams that are divided into three sections, where there are six people in one group, and each team is led by the regent deputy regent and regional secretary. so that in carrying out pertisun activities, there are no significant obstacles, because the implementers of the pertisun program already have sufficient competence and capability, plus the heads of the pertisun run pertisun together with the regent, then, of course, they will carry out their duties as public servants as well as possible. as for financial resources, the implementation of the pertisun program is sourced from the financial budget of each opd and funds for sharing dialogues/audiences with community leaders, leaders/members of social and community organisations in the merangin regional secretariat of government. with this modest budget, it is sufficient to support the smooth implementation of the pertisun program. because in essence, the pertisun program does not really require a large amount of money to run it, unlike other government programs that provide cash assistance, basic necessities, etc. (3). characteristics of implementing agents. the focus of attention on implementing agencies includes formal organizations and informal organizations that will be involved in implementing public policies. this is very important because the performance of public policy implementation will be very much influenced by the right characteristics and matches the implementing agent. in looking at the characteristics of implementing agents, this discussion certainly cannot be separated from the bureaucratic structure. bureaucratic structure is defined as the characteristics, norms and patterns of relationships that occur p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 99the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency repeatedly in executive bodies that have both potential and real relationships with what they have by implementing policies. van metter and van horn present several elements that may affect an organization in implementing policies: (1) competence and size of the staff of an agency; (2) the level of hierarchical oversight of sub-unit decisions and processes within implementing agencies; (3) an organization’s political resources (eg. support among members of the legislature and executive); (4) the vitality of an organization; (5) the level of “open” communications, which is defined as a free horizontal and vertical communication network and a relatively high degree of freedom in communicating with individuals outside the organization; (6) formal and informal links of an agency with “decision makers” or “decision implementers”. in pertisun mechanism, the agents in implementing its program are policy makers, such as the regent, deputy regent, regional secretary and the head of the opd. in addition, the head of the government department and his employees also take part in implementing the pertisun program. this program has the aim of accommodating community aspirations, responding directly to community complaints, seeing firsthand the situation and conditions of the village, gathering and so on. so it is very appropriate if the program implementing agents are people who act as policy makers, because when they find a problem that is being faced by the community, then the problem can be acted upon directly. however, most of the problems found will be analyzed first, if they are not included in the government’s work plan this year, it will be used as a note of improvement that will be accommodated in the next budget discussion. (4). attitudes and tendencies of the implementers. the attitude of acceptance or rejection of the implementing agency will greatly affect the success or failure of the performance of public policy implementation. this is very likely to happen because the policies implemented are not the result of local residents’ formulations and are well acquainted with the problems and problems they feel. in the dimension of assessment regarding the disposition of the implementers, there are two important elements that need to be considered because they greatly affect the performance of policy implementation, namely, cognition (understanding) and response (support/approval) of implementing agents. the pertisun program implementers are very aware of and understand the purpose of the establishment of the pertisun program regional innovation, because the main purpose of the pertisun program is to accommodate aspirations and stay in touch with the community. (5). inter-organizational communication and implementing activities. coordination is a mechanism as well as the main requirement in determining the success of policy implementation. the better the coordination and communication between the parties involved in an implementation process, the assumption is that very small errors will occur and vice versa. communication really determines the success of achieving the goals of journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 100 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim the pertisun program implementation. effective implementation occurs when decision makers already know what they are doing. in the context of implementing the pertisun program, the head of bappeda merangin said that the role as coordinator or the leading sector is the bureau of government section of the merangin secretariat, but it is limited to administrative and technical matters, the rest when the pertisun team is in the field it will be directly led by the regent. the head of tabir ilir sub-district, muhamad yunus also stated that they not communicate formally, actually there was no communication, yesterday we were only informed by telephone, that the regent will conduct pertisun to tabir ilir sub-district. and thank god the pertisun activities went smoothly. then after the peritusn activity, no special meeting was held, but what was clear was that the regent’s promise to build electricity and the pustu had been communicated when it was on the pertisun agenda. for example, like building electricity, the village head has to communicate with bappeda, while the pustu problem communicates with the health office. based on the results above, it can be concluded that the leading sector of the pertisun program is played by the bureau of the merangin secretariat of government. its main task is to coordinate administrative matters to all opd heads. however, from the findings in the field, the form of coordination carried out is not clear enough, because there is no standard sop as a guideline for the implementation of the pertisun program. besides, the current pertisun program is also being implemented unscheduled, this is evidenced by the fact that a new schedule has not been made, so that pertisun is only run based on the regent’s free time. (6). economic, social and political environment. the last thing that needs to be considered in order to assess the performance of policy implementation is the extent to which the external environment contributes to the success of the implementation that has been determined. includes economic resources in the policy implementation environment, the extent to which interest groups provide support for policy implementation, what is the nature of public opinion in the environment and whether political elites support policy implementation. regarding the influence of economic, social or political conditions on the achievement of the goals of the pertisun program, the village head of rantau iimau manis said that the community is very grateful to the regent. because no regent has ever been to rantau palembang hamlet since merangin regency was founded. the community was also very enthusiastic and proud of the presence of the regent in our place. the impact of pertisun on participatory development in merangin regency the regent of merangin initiated the change, starting with increasing community participation in development planning. through the pertisun program, the regent hopes p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 101the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency that every project or development program that will be built and made is right on target and in accordance with the needs of the local community. as bappeda head said, pertisun as policy innovation intended for accomodating public aspirations because the merangin regency area is the largest area in jambi province, with a very diverse topography of merangin. the essence of the pertisun program is as a means to absorb people’s aspirations, therefore we hope that the side effects of it activities can be to build a positive mindset and culture for the community, that it is important to participate in the development planning process. in line with the statement above, the community leader of rantau limau manis village, mr. al ghazali said that after it implemented, the mindset of the community has begun to open, with the implementation of the pertisun program, the community is aware that educational, religious and information facilities must be proposed to the government to be included in the regional budget. table 1. data of people participation on development in merangin regency (20162021) source: processed data from various sources, 2016-2021. in addition, the existence of the pertisun program is also in line with the spirit of the central government to develop villages by disbursing substantial funds to villages throughout indonesia. in an interview with the tabir ilir sub-district head, muhamad yunus, he said, with the village fund policy, now village development is self-managed, meaning that the community is directly involved in village development. he continued, on behalf of the government, public participation is highly expected in terms of maintaining the infrastructure that has been built by the government. however, even though there is already a system such as self-management, but in its implementation it has not had much impact on increasing community participation, and is also limited to certain types of development. in addition, not all elements of society have the opportunity to be involved in the development process with the self-managed system, because village elites still tend to use it to involve only their family and relatives, so that it seems discriminatory in carrying it out. the development results of pertisun are: tabir ilir bridge, lake of depati iv, street of sungai putih village, street of empang journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 102 pahrudin hm, agus mustawa, riant nugroho, & abdul halim benao pamenang, merangin geopark areas, street & bridge of rantau suli (jangkat), bumdes, street of air liki-ngaol, pauh lake, suspension bridges, waterfall sigirincing, educational assistances, assistances for the construction of places of worship. from the results of the research above, it can be seen that through the innovation of the pertisun program it has brought a slight change in approach in the context of regional development, where people in rural areas are involved in the development process, precisely at the development planning stage. pertisun which is implemented openly has given space to the community to actively participate in development planning and to cover deficiencies in the existing development system, so that the people who are involved in the development planning process are the first step in realizing participatory development. conclusion as innovative policy in absorbing people aspirations in merangin regency, the implementation of pertisun program has been going well, based on six variables that affect the performance of policy implementation. in fostering community participation, pertisun activities are carried out openly, which can be followed by all levels of society. the pertisun program has been able to increase the role of the community in development activities, especially community participation in the development planning stage. references aminah, siti. (2014). kuasa negara pada ranah politik lokal. jakarta: kencana prenada media group. crabtree, benjamin f. and william l. miller (ed.), (1992). doing qualitative research, london: sage publications. creswell, john w. (2007). qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions, second edition, thousand oaks, london, new delhi: sage publications. denzin, norman k. and yvonna s. lincoln (2009). handbook of qualitative research, yogyakarta: pustaka pelajar, 2009. geraldy, galang (2017). ‘the sobo pendopo dialogue: manifestation of deliberation democracy in bojonegoro district’. jurnal sosiologi reflektif, vol. 12, no. 1 (2017), 3754. doi: https://doi.org/10.14421/jsr.v12i1.1315. hartati. hm, pahrudin & rahmi, elita (2020). ‘political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia’. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 145-158 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2461. hm, pahrudin (2019). ‘the role of the merangin regency government through welfare policy in the globalization era’. the journal of society and media 2019, vol. 3(2) 216236. doi:10.26740/jsm.v3n2.p216-236. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 103the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency hm, pahrudin (2020). globalisasi dan kebijakan publik. jakarta: kencana prenada media group. hm, pahrudin & senjaya, burlian (2021). ‘implementation of the policy for capacity building of village apparatus in merangin regency, jambi’. the journal of society and media vol. 5, no. 1 (2021). doi: https://doi.org/10.26740/jsm.v5n1.p218-238 hm, pahrudin & darminto, citra (2021). ‘the impact of local government policies on people’s welfare in the regional autonomy era: a case study of jambi city, indonesia’. kasetsart journal of social sciences 42 (2021) 732–737. https://doi.org/10.34044/ j.kjss.2021.42.4.04. imanuddin, muhammad (2015). ‘inovasi pelayanan publik di indonesia’. ringkasan disertasi. universitas diponegoro semarang. indriani, claudia. sulaiman, asang & hans, amril (2021). ‘tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di desa pali, tana toraja’. development policy and management review (dpmr), volume 1 issue 1, july 2021. retrieved from https://journal.unhas.ac.id/ index.php/dpmr/article/download/18597/7481. kristanto, yuliana (2018). ‘inovasi pelayanan publik dalam rangka mewujudkan e government (studi kasus pelaksanaan aplikasi lapor hendi)’. iplg: journal of public administration and local governance, vol. 2, no. 1, 2018. doi: http://dx.doi.org/ 10.31002/jpalg.v2i1.637 mariana, dede (2015). ‘partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan’. cosmogov: jurnal ilmu pemerintahan. vol. 1, no. 2 (2015). doi: https://doi.org/10.24198/ cosmogov.v1i2.11834 miles, matthew b. & huberman, a. michael (1992). analisis data kualitatif, translated by: tjetjep rohendi rohidi. jakarta: universitas indonesia press. nugroho, riant (2018). public policy. jakarta: elex media komputindo. scupola, ada & zanfei, antonelo (2016). ‘governance and innovation in public services: the case of digital library’. government information quarterly, volume 33, issue 2, april 2016, 237-249. https://doi.org/10.1016/j.giq.2016.04.005 sururi, ahmad (2016). ‘inovasi kebijakan publik (tinjauan konseptual dan empiris)’. sawala: jurnal administrasi negara, vol. 4, no. 3, 2016. https://doi.org/10.30656/ sawala.v4i3.241 solekhan, moch. (2014). penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis partisipasi masyarakat, malang: setara press. suwarno, yogi (2008). inovasi di sektor publik. jakarta: stia lan press. 00.pdf cover dalam 1: tampak penuh daftar isi (jgcs volume 6 nomor 1) 2 (mitologi yunani) 89 citation : fadli, yusuf. 2018. “pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni)”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 89-106. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 89-106 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.777 received 5 may 2018 revised 6 june 2018 accepted 28 june 2018 pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) yusuf fadli1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: fadli8daglish@gmail.com abstrak salah satu ciri pemikiran politik islam era klasik adalah tidak mempersoalkan kedudukan agama dan negara, apakah terintegrasi atau terpisah. perdebatan yang terjadi di era klasik berkisar pada wajibnya pendirian sebuah negara, cara memilih kepala negara, dan syarat-syarat yang harus dimiliki kepala negara. selain itu, pemikiran politik yang berkembang juga cenderung merupakan respon terhadap kondisi sosial politik yang terjadi. kemunculan paham sunni sendiri merupakan bentuk kegelisahan terhadap cara pandang yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang cenderung mendiskreditkan posisi sahabat nabi yang dianggap oleh sebagian kalangan yang berseberangan telah melakukan pengkhianatan. bagi kalangan sunni, kepemimpinan setelah wafatnya nabi muhammad bersifat terbuka–tidak terbatas hanya menjadi milik ahl bayt. apa pun latar belakangnya, jika dianggap layak dan kompeten maka ia bisa diusulkan menjadi pemimpin. jadi, penunjukan atau pengangkatan khalifah sebagai penguasa yang sah tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang dimiliki calon pemimpin. kata kunci: politik islam, sunni, agama dan negara, khalifah abstract one of the characteristics of islamic political thought in classical era is not questioning the position of religion and state, whether integrated or separated. the debate that occurred in the classical era revolves around the mandatory establishment of a state, how to choose the head of state, and the conditions that must be owned by the head of state. furthermore, the development of political thought also tends to be a response to the existing sociopolitical conditions. the emergence of sunni itself is a form of anxiety over the perspective constructed by groups which tend to discredit the prophet’s companion’s position which is considered by some opposing circles to have committed treason. for the sunnis, the leadership after the prophet muhammad’s death was open–not limited to the possession of ahl bayt. whatever the background, if deemed feasible and competent then he can be proposed to be a leader. thus, the appointment of the caliph as a legitimate ruler depends on the specific qualities of the future leader. keywords: political islam, sunni, religion and state, caliph pendahuluan diskursus mengenai politik islam dalam sejarah merupakan tema yang sampai sekarang masih tetap menarik diperbincangkan. hal ini terlihat betapa dalam praktik politik negara-negara berpenduduk muslim terjadi tarik-menarik dan perdebatan panjang. secara garis besar, terdapat beberapa perdebatan yang kerap kali melingkari perjalanan politik islam. pertama adalah soal “kekuasaan politik”, khususnya yang terjadi pada era klasik dan pertengahan. situasi ini kemudian menciptakan fragmentasi dalam tubuh umat islam yang pada gilirannya melahirkan dua kelompok besar: syiah dan sunni journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 90 yusuf fadli (makmun, 2006). persoalan berikutnya adalah mengenai kedudukan “islam, negara, dan demokrasi” yang berlangsung pada abad modern, khususnya pascakeruntuhan dinasti turki usmani (zuhraini, 2014). setidaknya ada tiga paradigma yang merupakan respon dari pergumulan politik islam di era modern, yaitu paradigma integralistik/formalistik, paradigma sekular/liberal, dan paradigma moderat (effendy, 2011; al-munawar, 1999). bagi islam, dinamika di atas pada perjalanannya nanti melahirkan banyak pemikir yang mencoba menuangkan ide-ide baik untuk mengatasi persoalan ataupun mengukuhkan argumentasi kelompoknya masing-masing. berbagai rumusan hubungan islam dan politik tersebut sesungguhnya merupakan hasil sistematisasi ajaran-ajaran islam dan tradisi kaum muslim di bidang politik. artinya, baik aspek normatif maupun historis sama-sama memberikan kontribusi dalam membangun pola hubungan itu. polapola itu muncul sejalan dengan kepesatan ekspansi islam sehingga menimbulkan masalahmasalah baru, khususnya tentang tata cara pengaturan negara, di samping konsekuensi logis munculnya kelompok-kelompok kepentingan. kelompok-kelompok ini, baik yang berbasis sosial budaya atau sosial keagamaan tertentu, merasa ikut memberi kontribusi dalam proses pengembangan islam. data historis menunjukkan bahwa banyak sekali fenomena persaingan kelompok pemikiran keagamaan, baik teologi maupun fikih, dalam merebut pengaruh dan patronase dengan penguasa. interaksi antara agama dan politik dalam sejarah islam bisa dilacak sejak era nabi muhammad. pada satu sisi, nabi bertugas sebagai seorang pemimpin tertinggi keagamaan, dan pada waktu yang bersamaan nabi juga berhasil mempraktikkan pemerintahan dan ketatanegaraan dengan membangun komunitas politik. puncaknya adalah ketika berdirinya negara madinah yang diikuti oleh perjanjian madinah (dustur al-madinah) yang dilakukan atas dasar konsensus politik–tanpa didahului oleh pertumpahan darah–antara penduduk mayoritas kota yatsrib (kaum anshor) dengan warga minoritas pendatang dari kota mekah (kaum muhajirin) (sjadzali, 1999). setelah nabi wafat, problem pertama yang muncul dalam republik yang baru tersebut ialah konflik politik. pemicunya adalah kekosongan kepemimpinan sepeninggal nabi; hingga menjelang wafatnya, nabi tidak pernah secara tegas dan jelas menunjuk siapa penggantinya setelah beliau wafat (ritaudin, 2009). perselisihan pertama terjadi ketika secara sepihak kaum anshor berkumpul di saqifah bani sa’idah dan menunjuk sa’ad bin ubadah (kalangan anshor) sebagai pemimpin pengganti nabi muhammad. melihat gelagat tersebut, kaum muhajirin membuat manuver, dan di bawah kendali umar bin khattab mereka mencoba mengalihkan forum menjadi milik kaum muhajirin dengan menyodorkan abu bakar shiddiq (muhajirin) sebagai orang yang layak ditunjuk menggantikan nabi, bukan sa’ad bin ubadah (anshor). pada akhirnya, pertemuan di saqifah tersebut sepakat menunjuk abu bakar menjadi pemimpin baru bagi negara madinah. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 91pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) intrik yang berlangsung di saqifah tidak luput dari perhatian keluarga nabi muhammad (ahlul bayt), khususnya para pengikut ali bin abi thalib yang merupakan saudara sedarah dengan nabi muhammad. kalangan ahl bayt mengatakan bahwa nabi telah menetapkan pemimpin dan bahkan pemimpin-pemimpin sepeninggalnya (amini, 2005). artinya, kepemimpinan setelah nabi menurut ahl bayt harus diserahkan kepada ali, karena semua persoalan kerohanian dan agama merujuk kepadanya. sebagai landasannya, mereka mengklaim bahwa nabi pernah menyampaikan hadis yang berbunyi: “barangsiapa yang menjadikan aku sebagai tuannya, maka ali adalah tuannya” (man kuntu maulahu fa’aliyyu maulahu) yang disampaikan di gadir khumm selepas pelaksanaan hajji wada’ dua bulan sebelum nabi meninggal dunia (katsir, 2002). para loyalis ali bersikeras bahwa ali adalah orang yang paling layak menggantikan posisi nabi sebagai pemimpin umat islam dalam negara madinah. namun demikian, kegagalan strategi kalangan ahl bayt dalam menaikkan ali ke tampuk kekuasaan membawa kekecewaan berkepanjangan. dalam bentuk paling nyata, kekecewaan tersebut berbentuk gerakan boikot dari ali dan pendukungnya terhadap upacara pembaitan abu bakar menjadi khalifah. pascaera khalifah rasyidah, konflik politik di atas berkembang menjadi perpecahan yang serius, karena masing-masing kelompok yang berbeda pandangan politik tersebut membangun diferensiasi teologis dalam kelompoknya masing-masing. para pendukung pertemuan saqifah yang menunjuk abu bakar menjadi khalifah menyusun landasan teologis yang di era berikutnya dikenal sebagai sunni, sementara para pendukung ali membangun konsepsi teologis yang kemudian dikenal dengan aliran syi’ah (thabathaba’i, 1989). selain itu, dalam dua bagian besar itu juga kemudian muncul aliran-aliran baru yang berkontribusi terhadap semakin meruncingnya perpecahan di internal umat islam saat itu. para pendukung ali yang kecewa terhadap kepemimpinan ali dalam menghadapi tindakan “makar” mu’awiyah kemudian mendeklarasikan gerakan khawarij sebagai wadah baru dalam perjuangannya. tak lama berselang, lahir aliran mu’tazillah, kelompok yang menjadi barisan paling keras menentang cara pandang kaum khawarij. dari dialektika ekstrim kedua kelompok tersebut nantinya lahir aliran murji’ah sebagai jalan tengah (sjadzali, 1999). dari masing-masing kelompok di atas, nantinya hadir para pemikir dan cendekiawan yang menerangkan tentang berbagai aspek yang menjadi pembeda di antara mereka dengan yang lainnya, baik dalam aspek teologi, fikih, sosial, kebudayaan, dan politik. tulisan ini akan berfokus pada cara pandang islam sunni dalam melihat problematika politik dalam islam. dalam beberapa hal, seperti sistem pemerintahan dan kepemimpinan, kalangan sunni memiliki preferensi kuat dan titik temu dengan pemikiran politik yang dikembangkan oleh para intelektual islam di era klasik. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 92 yusuf fadli tinjauan pustaka kepemimpinan dalam islam dalam berbagai studi literatur islam, pembahasan tentang teori kepemimpinan dalam islam telah melintasi zaman, tempat, dan aliran ideologi dari para pemikir. dalam alqur’an, setidaknya terdapat beberapa kata yang dapat dipadankan dengan kata pemimpin: imam (q.s. al-baqarah: 124; q.s. al-furqan: 74); ulil amri (q.s. an-nisa: 59); awliya (q.s. ali imran: 28) disebutkan sebanyak 42 kali; malik (q.s. at thaaha: 114; q.s. al mu’minun: 16) diulang sebanyak 5 kali; sulthan dan khalifah (q.s. al baqarah: 30; q.s. as-shad: 26) dicatat sebanyak 127 kali yang dalam hadis nabi muhammad dikenal juga dengan istilah ra’in, amir, dan maula. dalam memandang kepemimpinan dalam islam, antara mazhab syiah dan sunni memiliki beberapa perbedaan, khususnya dalam hal pendefinisian seorang pemimpin (imam/khalifah), syarat seorang pemimpin, tata cara pemilihan seorang pemimpin, sumber legitimasi seorang pemimpin, dan lain-lain. untuk itu, terdapat dua perspektif yang bisa diajukan dalam tulisan ini, yaitu teori tentang imamah yang disusun oleh kalangan syiah imamiyah (pengikut syiah imam dua belas) dan kepemimpinan dalam perpektif sunni yakni (khalifah). imamah dan khilafah istilah imamah berarti kekuasaan atau kekuatan yang ditaati atau diikuti. perkataan ini merujuk kepada kata a-m-m yang berarti pergi menuju, bermaksud kepada atau berkehendak (munawwir, 1984). pada awalnya, kata imamah merupakan sebuah istilah yang netral. bahkan, dalam literatur klasik perkataan imamah dan khilafah digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama, yakni kepemimpinan, pemerintahan, dan negara. dalam pengertiannya yang lebih khusus, teori tentang imamah kemudian dibahas dalam pemikiran religius-politik syiah (khususnya syi’ah imamiyah) yang berkembang pada abad ke-2 h. dalam keyakinan syiah, imamah adalah sebuah sistem kepemimpinan yang mengintegrasikan kekuasaan politik dan agama dalam satu institusi kepemimpinan umat (humaidi, 2009; rusli, 2015; zulkarnain, 2011). dalam konsep imamah terdapat figur imam (pemimpin) sebagai pemegang otoritas tertinggi yang akan membimbing umat menuju kebenaran hakiki sebagaimana dahulu allah swt. menunjuk dan menugaskan para nabi di tengah-tengah umat (thabathaba’i, 1992). bagi kalangan syiah, imamah tidak menjadi wilayah pembahasan manusia biasa yang sering kali terjebak dalam akal dan hawa nafsu. akan tetapi, keberadaan imam sama dengan tugas para nabi, dan karenanya imamah harus berdasarkan pada dalil dan teks agama (muthahhari, 2002). imamah tidak diputuskan melalui musyawarah (konsultasi), melainkan harus berdasarkan wasiat (hughes, 1982). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 93pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) para penganut syiah meyakini bahwa sebelum wafat, nabi muhammad sudah menunjuk ali bin abi thalib (kerabat dan menantu nabi) sebagai penggantinya. selain faktor kedekatan tersebut, spiritualitas dan kepemimpinan ali dianggap sepadan dengan nabi muhammad. karena itu, kepemimpinan umat islam setelah imam ali harus diturunkan kepada anak beliau, yaitu imam hasan al-mujtaba, imam husain, dan dilanjutkan oleh sembilan keturunan imam husain, yaitu ali zainal abidin, muhammad al-baqir, ja’far shadiq, musa kazhim, ali ridha, muhammad al-jawad, ali al-hadi, hasan al-askari, dan muhammad al-mahdi (jafri, 1979). jadi, kepemimpinan mengikuti garis keturunan ali bin abi thalib yang memiliki hubungan darah dengan nabi muhammad yang segala tindak tanduknya terjaga dari segala keburukan. beberapa syarat yang harus melekat dalam diri seorang imam adalah (a) merupakan pilihan dan diangkat oleh allah, bukan diangkat oleh masyarakat umum; (b) memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara laduni dari sisi tuhan; dan (c) terjaga dari segala kesalahan, kekeliruan dan dosa (amin & siregar, 2015). dari pembahasan sederhana tersebut, dapat disimpulkan bahwa keyakinan terhadap konsep imamah dalam tradisi syiah merupakan salah satu hal yang paling mendasar dan wajib untuk diikuti, karena imamah melanjutkan kepemimpinan nabi yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia, pemelihara dan penjelas bagi hukum allah di muka bumi. dalam memimpin sebuah negara, seorang imam juga memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai kemakmuran negara dan rakyatnya. para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam, yaitu pertama, menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat islam; kedua, memerangi musuh yang mengancam keamanan negara dan bangsa; ketiga, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib; dan keempat, menjaga keamanan dan keadilan warganya (akbar, 2017). sementara itu, secara etimologis, akar kata khilafah berasal dari huruf kha, lam, dan fa’ yang memiliki tiga makna inti: menggantikan, belakang, dan perubahan. al-qur’an menggunakan dua bentuk jamak untuk kata tersebut, yaitu khulafa dan khala’if yang terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti belakang. perkataan khilafah juga merupakan derivasi dari kata kerja khalafa yang berarti datang kemudian, antonim dari kata salafa atau taqadamma yang memiliki arti telah berlalu. dalam perjalanannya, kata khalifah lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam islam sepeninggal nabi muhammad saw. namun demikian, jika merujuk kepada surat al-baqarah ayat 30, khalifah adalah wakil allah di muka bumi, dan sebagai wakil allah, manusia merupakan salah satu perangkat untuk pengelolaan bumi. dengan kata lain, allah telah memberi kepercayaan kepada manusia untuk menggunakan potensinya dalam menjaga dan memelihara bumi. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 94 yusuf fadli menurut al-shadr (dalam fachruroji, 2008), kepercayaan allah terhadap manusia dengan kekhalifahan di bumi disebabkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang unik di antara unsur-unsur lain di alam semesta yang berperan sebagai wakil allah di bumi, dan melalui kekhalifahan ini ia lalu menjadi mulia sehingga para malaikat bersujud kepadanya. lebih jauh lagi, dalam ayat al qur’an banyak diterangkan bahwa ukuran kemuliaan di sisi tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. artinya, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid dan khalifah (fadli, 2017). pemikiran politik islam era klasik: periode dan karakteristik era klasik dalam peradaban islam merujuk pada tahun 650-1250 m, atau lebih tepatnya sejak era nabi muhammad hingga era dinasti abbasiyah (sunanto, 2003). sejarawan kemudian membagi abad klasik menjadi dua periode. periode yang pertama adalah abad kemajuan yang dimulai pada 650-1000 m, sebuah era yang diwarnai dengan penaklukan (perluasan wilayah kekuasaan), integrasi dan konsolidasi kekuatan politik islam, dan abad keemasan dalam islam. periode kedua disebut sebagai era disintegrasi politik islam yang dimulai pada 1000-1250 m. era ini sudah bermula menjelang berakhirnya dinasti umayyah dan memuncak pada dinasti abbasiyah. pada saat itu, institusi politik (kekhalifahan) mengalami degradasi kepercayaan publik dan berakhir kepada wilayah pinggiran (daerah) yang memilih untuk mendirikan dinasti sendiri secara terpisah dari kekuatan pusat (nasution, 2008). pada saat permulaan islam (era nabi dan khulafaur rasyidin) hingga masa dinasti umayyah (661-750), pemikiran yang berkaitan dengan politik islam belum begitu kuat muncul di kalangan kaum intelektual islam. salah satu faktor penyebabnya adalah fokus dinasti umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan. pada masa dinasti abbasiyah, pemikiran politik islam mulai dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual dinasti abbasiyah yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan di berbagai bidang. tulisan ini akan lebih banyak membicarakan pemikiran politik islam yang berlangsung pada era ini. adapun cendekiawan yang muncul pada era ini antara lain 1. ibn abi rabi’ (833-842 m), penulis suluk al-malik fi tadbir al-mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan). 2. al-farabi (870-950 m), penulis ara ahl al-madinah al-fadhilah (pandang-pandangan para penghuni negara utama), tahshil al-sa’adah (jalan mencapai kebahagian), dan al-siyasah al-madaniyah (politik kenegaraan). 3. al-mawardi (975-1059 m), penulis al-ahkam al sulthaniyah fi al-wilayah al-diniyah (peraturan-peraturan pemerintahan). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 95pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) 4. al-ghazali (1058-1111 m) penulis ihya ulum al-din (menghidupkan kembali ilmuilmu agama), al-tibr al-masbuk fi nashihah al-mulk (batangan logam mulia tentang nasihat untuk raja), al-iqtishad fi ali’tiqad (moderasi dalam kepercayaan), dan kimiya-yi sa’adah. salah satu ciri utama dari pemikiran politik islam di era klasik adalah kentalnya pengaruh pemikiran dari para filsuf yunani kuno, seperti plato dan aristoteles, kendatipun kualitas pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir lainnya (arfiansyah, 2010; butterworth, 1992). hal ini terlihat dari bagaimana para pemikir islam ketika merumuskan pemikiran tentang negara dan pemerintahan yang lebih menonjolkan aspek logika daripada aspek agama, meskipun mereka tetap memasukkan nilai-nilai yang berasal dari ajaran islam (syarif, 2008). dalam teori politiknya, plato menyatakan bahwa manusia secara individu tidak mungkin dapat memenuhi seluruh kepentingan hidupnya secara sendiri. karena itu, diperlukan kerja sama dan kebersatuan antarindividu. sebagai makhluk rasional dan sosial, kerja sama tersebut melahirkan sebuah ikatan yang semakin kuat dan berujung pada terbentuknya institusi negara. teori ini kemudian diadopsi para pemikir politik islam sebagai konstruksi filosofis terbentuknya negara. ciri berikutnya dari pemikiran politik islam era klasik adalah tidak dipersoalkannya kedudukan agama dan negara, apakah terintegrasi atau terpisah. perdebatan yang terjadi pada masa ini hanya berkisar pada wajibnya pendirian sebuah negara, cara pengangkatan jabatan kepala negara, dan syarat-syarat kepala negara. selain itu, pemikiran politik yang berkembang pada era klasik lebih banyak berpijak pada kondisi nyata sosial-politik. pemikiran mereka lebih banyak dilahirkan sebagai respon terhadap kondisi sosial politik yang terjadi. bahkan, ada yang mendasari gagasannya pada pemberian legitimasi pada sistem pemerintahan yang ada atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi (syarif, 2008). metode penelitian penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif analitis. secara deskriptif, penelitian ini hendak menjelaskan pemikiran politik islam di era klasik dari perspetif sunni yang berkisar pada kepemimpinan dalam islam serta hubungan antara agama dan negara. data-data penelitian yang diperoleh kemudian dianalisis dan diinterpretasi untuk memperoleh makna yang memadai (explanatory). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 96 yusuf fadli diskusi dan pembahasan historiografi kemunculan sunni secara sederhana, penyebutan istilah sunni merujuk pada istilah ahlusunnah wal jama’ah, yaitu salah satu mazhab dalam islam yang menisbatkan struktur keagamaan (kalam), sistem nilai (tasawuf), dan tata cara ritual ibadahnya (fikih) kepada teks-teks al qur’an, sunnah nabi muhammad dan para sahabatnya (khususnya khulafa’ur rasyidin) serta generasi tabi’in-tabi’in (abbas, 2010; zahrah, 2010; enayat, 1988). dari sini dapat dipahami bahwa terminologi ahlussunnah disandarkan pada perilaku nabi muhammad, dan terminologi wal jama’ah disandarkan pada amalan para sahabat nabi dan generasi tabi’in. jika diringkas maka ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut nabi muhammad, para sahabat dan tabi’in. di masa kini. perkataan ahlussunnah wal jama’ah diucapkan dengan perkataan yang berbeda-beda, tetapi tetap memiliki maksud yang serupa; terkadang orang menyebutnya dengan istilah sunni, ahlussunnah, asy’ari, atau asy’ariah. bahkan, di indonesia disingkat menjadi aswaja. dalam sejarah peradaban islam, aliran sunni pada mulai berkembang di kawasan khurasan yang ketika itu menjadi salah satu daerah yang tidak dikuasai oleh kelompok syiah (black, 2006). mazhab ahlussunnah mulai populer dan mengkristal pada abad ke-3 hijriyah atau era terkhir bani umayah dan awal dari kekuasaan bani abbasiyah (black, 2006). hal ini tidak terlepas dari konteks fragmentasi zaman itu yang didominasi oleh pemikiran aliran syiah, khawarij, mu’tazillah, dan murji’ah yang sudah terlebih dahulu menjalin hubungan dengan beberapa penyelenggara kekuasaan. gerakan ahlussunah ini kemudian dipimpin oleh seorang ulama besar di bidang ushuluddin (kalam/ teologi), yakni abul hasan ‘ali asy’ari (873-935 m); di bidang fikih, mazhab ahlussunnah mengikuti imam syafi’i (767-819 m), sementara di bidang tasawuf kelompok ahlussunnah meneladani imam ghazali (1058-1111 m) (amin, 2017). anthony black (2006) mengatakan bahwa kelompok sunni baru muncul pada penggal terakhir dari dinasti ummayah dan permulaan dinasti abbasiyah. pembangunan gerakan ini dimulai dengan menyasar persoalan seputar urusan syariat (fikih). secara jelas dikatakan bahwa tahap pertama hadirnya kelompok sunni dimulai dari pengumpulan, penyortiran, dan penulisan ulang hadis-hadis nabi untuk membentuk sumber data yang otoratif bagi praksis islam setelah al-qur’an, terutama pada 720-770 m (black, 2006). para ulama sunni era awal beranggapan bahwa perluasan wilayah dan kemajemukan umat islam saat itu memiliki konsekuensi pada dialektika pemikiran yang sangat beragam. karena itu, diperlukan sebuah ketelitian dan kehati-hatian dalam penggunaan teks-teks keagamaan seperti al-qur’an dan hadis. selain itu, kalangan ulama di masa awal menunjukkan sikap kritis terhadap kepemimpinan dinasti ummayah, sementara kegiatannya berfokus pada teks-teks hadis yang berkenaan dengan persoalan spriritual, hukum, dan moralitas pribadi; hanya sedikit yang menyinggung persoalan politik, dan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 97pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) baru setelah itulah masalah wewenang politik mulai dibahas dalam ajaran sunni (black, 2006). sebagaimana telah disinggung sebelumnya, embrio kelahiran institusi ini dapat dilacak sesaat setelah musyawarah di saqifah yang hasilnya mengecewakan ali dan para pengikutnya. dukungan sebagian umat islam kepada abu bakar yang saat itu diformalisasikan melalui bai’at (ikrar kesetiaan), secara otomatis membelah umat islam dalam posisi saling berhadapan, antara pendukung abu bakar dengan pendukung ali ibn abi thalib (ja’farian, 2009). pada gilirannya nanti, kelompok sunni mengalami beberapa fase sebelum menjadi sebuah aliran yang mapan seperti sekarang. tahap yang pertama adalah tahap kepemimpinan khulafa’ur rasyidin (abu bakar, umar, utsman, dan ali) yang mereka yakini sebagai model kepemimpinan politik yang sah setelah nabi wafat, bukan seperti yang dipropagandakan oleh kalangan syiah (zahrah, 2010). kemunculan paham sunni merupakan bentuk kegelisahan terhadap cara pandang yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang cenderung mendiskreditkan posisi sahabat nabi yang dianggap oleh sebagian kalangan yang berseberangan telah melakukan pengkhianatan. bagi kalangan syiah, terpilihnya abu bakar yang dilanjutkan dengan kepemimpinan umar dan usman, merupakan bentuk pembangkangan serius terhadap perintah allah dan nabi muhammad. ali bin abi thalib dalam pandangan mereka merupakan sosok yang paling tepat menggantikan posisi nabi, tidak hanya karena peristiwa ghadir khum, akan tetapi mereka begitu meyakini bahwa darah ahl bayt yang mengalir dalam tubuh ali dan seluruh keturunannya di masa depan merupakan jaminan bagi kesucian pikiran dan hati dalam proses kepemimpinannya (thabathaba’i, 1989). selain itu, keistimewaan posisi ali di sisi nabi muhammad diibaratkan seperti kedudukan harun pada musa yang diposisikan sebagai pendamping jalannya tugas kenabian musa. jadi, bagi aliran syiah, kemurnian al-qur’an, hadis, keseimbangan semesta, keselamatan umat islam secara umum, hanya akan mampu diemban oleh ali dan keturunannya (ali, 2007). secara singkat, salah satu prinsip yang membedakan syiah dengan sunni adalah kalangan syiah meyakini bahwa ali dan keturunannya (kelak disebut para imam) mewarisi kema’suman (suci dari dosa) dari nabi muhammad sehingga seharusnya tonggak kepemimpinan spiritual dan politik harus diteruskan oleh ali dan keturunannya. sementara kalangan sunni berpendapat bahwa kepemimpinan setelah nabi wafat bersifat terbuka–tidak terbatas hanya menjadi milik ahl bayt. apa pun latar belakangnya, jika dianggap layak dan kompeten maka ia bisa diusulkan menjadi pemimpin. perkembangan pemikiran politik islam sunni pada era khalifah rasyidah dan era dinasti umayah, belum dikenal pemikiran politik islam yang dirumuskan secara sistematis. ia baru muncul pada periode dinasti abbasyiah journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 98 yusuf fadli (hakiki, 2012). akan tetapi, prosedur pengangkatan khulafaur rasyidin melalui ijma’ oleh sahabat dan kaum muslimin menjadi dasar bagi penyusunan teoretisasi politik islam di masa depan, khususnya para pemikir politik dari kalangan sunni. terdapat beberapa titik tolak penting dalam membicarakan sejarah perpolitikan islam, mulai dari wafatnya nabi muhammad tanpa wasiat mengenai penggantinya, perundingan di saqifah bani saidah; pelaksanaan syura’ kali pertama untuk mencari pengganti kedudukan nabi muhammad, hingga peristiwa tahkim (arbitrase) antara ali dan muawiyah (nasution, 1986). berbagai dampak dan analisis dari kejadian-kejadian tersebut mengantarkan umat islam kepada sebuah fakta yang tak terbantahkan, yaitu polarisasi kekuatan umat di masa setelahnya. karakteristik politik dari pemikir kalangan sunni biasanya menunjukkan keberpihakan kepada penguasa. pendapat dan argumentasi yang mereka bangun kerap kali menjadi alat legitimasi untuk menjustifikasi kekuasaan khalifah saat itu. misalnya konsep kekhalifahan yang dipaparkan oleh al-mawardi dalam kitabnya al-ahkam as-sulthaniyah, yang menyatakan bahwa fungsi khalifah bukan hanya pengganti kepemimpinan saja, melainkan sebagai pengganti fungsi kenabian (al-mawardi, 2014). ini dijadikan penguasa untuk membenarkan tindakan apa pun yang dilakukan olehnya. ciri lain pemikiran politik sunni adalah pemberian hak istimewa bagi suku quraisy yang mutlak harus dimiliki oleh calon kepala negara (al-mawardi, 2014). pandangan mereka dilandasi pada hadis nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat islam itu harus berasal dari suku quraisy. karakteristik umum dan signifikan dari pemikiran sunni adalah bahwa tak ada prosedur baku untuk memecat khalifah. pendekatan mereka yang kering–dan tentu saja legalistik–bertolak belakang dengan teori imamah yang cenderung metafisik yang diyakini oleh para pengikut syiah dan sebagai filsuf. pandangan ahlusunnah mengenai khalifah dikembangkan lebih jauh lagi oleh pengikut as-syafi’i, yaitu abu hasan al al-mawardi (974-1058 m). ia berusaha mengatasi kesenjangan yang cukup tajam antara kepemimpinan agama dan kekuasan koersif dengan cara menghubungkan kembali para penguasa de facto–para sulthan dan amir–dengan kekhalifahan abbasiyah. ia berusaha menjelaskan hubungan antara keduanya dalam kerangka syariat sehingga memasukkan kembali keduanya dalam sistem agama. proyek intelektual ini muncul dari kehendak khalifah yang baru diangkat. khalifah itulah yang menugaskan al-mawardi untuk melakukan negosiasi dengan penguasa buwaihi dan menjalankan berbagai misi diplomatik antara 1030-1040. lembaga negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. pengangkatan kepala negara untuk memimpin umat islam adalah wajib menurut ijma’. jika kepemimpinan negara ini wajib diadakan maka kewajibannya bersifat kifayah, seperti berjihad dan mencari ilmu pengetahuan; p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 99pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) jika ada orang yang menjalankan dari kalangan orang yang berkompeten maka kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada seorang pun yang menjabatnya maka kewajiban ini dibedakan kepada dua kelompok manusia, yaitu kepada orang-orang yang mempunyai wewenang memilih kepala negara bagi ummat islam dan kepada orangorang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan ini. eksistensi negara mengenai asal mula sebuah negara, dikatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya secara sendiri-sendiri. lebih lanjut, plato menyatakan bahwa negara terbentuk karena kerja sama antarmanusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. persekutuan hidup dan kerja sama yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik itu kemudian membentuk negara. teori ini kemudian juga disepakati dan diadopsi oleh para pemikir politik islam, seperti ibn arrabi, al-farabi, dan al-mawardi. ibn arabi memulai pembahasannya tentang negara atau kota berdasarkan kenyataan sosial, bahwa manusia adalah jenis makhluk yang saling memerlukan sesamanya untuk mencukupi segala kebutuhannya dan tidak mungkin seorang diri memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada bantuan atau berdampingan dari dan dengan orang lain. karena itu, satu sama lain saling membutuhkan untuk mendapat kebutuhan hidup. keinginan mencukupi kebutuhan agar bertahan hidup, dan untuk memperolehnya memerlukan kerja sama, mendorong mereka berkumpul di suatu tempat agar bisa saling tolongmenolong dan memberi. proses itulah yang membawa terbentuknya kota-kota, dan akhirnya menjadi negara. al-farabi (870-950 m) juga berpendapat bahwa setiap manusia secara alami membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat ia penuhi sendiri, demi mempertahankan (keberadaan)-nya dan mencapai kesempurnaan tertingginya. segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan dan diditribusikan dalam sebuah asosiasi. al-mawardi (975-1059m) juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan tidak mungkin seseorang mampu mencukupi hajat hidupnya sendiri kecuali berhubungan dengan orang lain. namun, agak sedikit berbeda dengan ibn arabi dan al-farabi, al-mawardi memperkuat teori terbentuknya negara tersebut dengan mengutip surat an-nahl ayat 71, yang artinya: allah melebihkan sebagian kamu rizki dari yang lain. atas dasar inilah kemudian pemenuhan kebutuhan yang satu dipenuhi oleh yang lain. untuk memenuhi semua kebutuhan itulah kemudian manusia membuat kesepakatan atas dasar kepentingan bersama dan dipedomani oleh aturan-aturan yang mengikat journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 100 yusuf fadli mereka, yaitu syariat agama, dalam sebuah institusi atau lembaga yang disebut negara (al-daulah, al-shultanah, al-khalifah, dan lain-lain) (hatamar, 2000). bagi al-mawardi, sebuah negara islam dinilai baik apabila memenuhi beberapa persayaratan berikut ini (hatamar, 2000). 1. agama keyakinan agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang mampu mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia. syarat ini merupakan sendi utama sebagai pilar utama sekaligus sebagai pengontrol dan pengendali keinginan-keinginan manusia yang bermacam-macam. 2. penguasa karismatik seorang penguasa diharuskan mempunyai karisma, berwibawa, dan dapat diteladani. syarat ini merupakan penopang pilar negara di mana ia menjadi alat pemersatu dari aspirasi-aspirasi yang berbeda. penguasa karismatik dapat membina dan menata negara untuk mencapai sasaran-sasaran yang luhur, yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, menjaga agar agama dihayati dan dijalankan, melindungi jiwa, kekayaan dan kehormatan warga negara, serta menjamin eksistensi negara dari ancaman-ancaman yang timbul baik dari internal maupun eksternal. 3. keadilan merata keadilan merupakan syarat yang sangat penting, sebab dengan keadilan yang merata akan tercipta keakraban sesama warga negara, menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan rakyat serta menumbuhkan karya dan prestasi masyarakat. 4. keamanan yang kuat dan menjamin dengan adanya keamanan yang kuat dan menjamin maka rakyat akat merasa tenang dan tidak ada rasa takut. keamanan merupakan syarat utama berlangsungnya penyelenggaraan sebuah negara. apabila rasa aman dan tenang tercipta maka rakyat akan semakin taat kepada pemimpinnya. 5. kesuburan tanah kesuburan tanah dapat menjamin kebutuhan pangan warga negara. adanya kepastian berusaha dan mencari kebutuhan hidup bagi rakyat, negara harus menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha negara dan rakyat sehingga rakyat dapat hidup layak dan sejahtera. syarat ini merupakan tujuan dan implementasi dari syarat-syarat sebelumnya 6. harapan kelangsungan hidup kelangsungan hidup generasi dengan generasi selanjutnya sangat bergantung pada sistem penataan negara oleh pengelola dan penyelenggara negara dengan kualifikasi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 101pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) sebagaimana terdapat secara berurutan pada sendi-sendi sebelumnya. generasi sekarang merupakan pewaris dari generasi sebelumnya, dan generasi yang menciptakan sejarah bagi masa setelahnya. dalam hal bentuk negara, ibn arabi sependapat dengan aristoteles yang berpendirian bahwa sistem monarki adalah sistem pemerintahan terbaik. alasannya, raja memiliki segala keutamaan sebagai seorang pemimpin melebihi keutamaan yang dimiliki oleh warga biasa. bahkan, raja merupakan hukum, sumber, dan pelaksanaan hukum, karena ia memiliki kemampuan dan kekuatan politik yang lebih dari apa pun. ibn arabi mengutip ayat al-qur’an (surat al-an’am ayat 165) yang berarti: dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian atas kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-nya kepadamu. jadi, dasar otoritas dan kekuasaan seorang pemimpin adalah mandat dari tuhan, atau merupakan tugas yang diberikan tuhan dengan kedudukan istimewa berupa keutamaan dan keunggulan (sjadzali, 1999). dalam menjelaskan mengenai bentuk-bentuk negara, al-farabi membaginya berdasarkan ideologi sebagaimana berikut ini. 1. negara ideal/utama (al-madinah al-fadillah), yaitu negara yang didirikan oleh warga negara yang mempunyai tujuan kebahagiaan. 2. madinah al-jahilah (negara jahiliyah), yaitu negara yang tidak mempunyai ideologi yang tinggi. artinya, negara tidak mempunyai tujuan yang ideal sama sekali atau menganut ideologi yang bertentangan dengan kebahagiaan. 3. madinah al-fasiqah (kota/negara fasik), yaitu negara yang pandangan-pandangan para warganya adalah pandangan kota ideal. mereka mengetahui kebahagiaan dengan meyakini adanya allah, benda-benda langit, akal aktif, dan perbuatan mereka layaknya penduduk kota ideal. akan tetapi, mereka melakukan dengan alasan-alasan di luar nilai-nilai yang mereka anut dan yakini, seperti untuk memperoleh jabatan, penghormatan, dan gengsi sesama mereka. 4. madinah al-mubaddilah (negara yang bertukar kebutuhan), yaitu negara yang pada awalnya sama dengan negara utama namun kemudian berganti menjadi perilaku yang menyimpang dan menyeleweng, jauh dari cita-cita negara ideal. 5. madinah al-dallah (negara sesat), yaitu negara yang warganya memprediksi kebahagiaan sejati setelah mati akan tetapi mereka berperilaku yang berujung pada kepalsuan, penipuan, dan pengelabuan. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 102 yusuf fadli kepemimpinan dalam islam tema sentral dalam wacana politik islam pada masa klasik adalah tentang kepemimpinan. dalam tradisi islam, terdapat dua pendekatan yang digunakan ketika berbicara mengenai kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah (fachruroji, 2008). konsep immah menjadi sebuah konsep yang dimiliki oleh kalangan syiah dan konsep khilafah lebih dekat pada kalangan sunni. istilah imamah berarti kekuasaan atau kekuatan yang ditaati atau diikuti (amin, 2017). menurut black (2006), pengertian imam adaah hujjah tuhan; ia adalah pilar dari jagat raya, “pintu gerbang” yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada tuhan. pengetahuan mengenal wahyu ilahi tergantung kepadanya (black, 2006). sebagai sebuah konsep, perdebatan tentang imamah diawali para pendukung ali bin abi thalib yang kemudian menjadi aliran syiah. hal ini mencuat ketika ali tidak dipilih menjadi khalifah menggantikan nabi muhammad. kalangan syiah mereduksi konsep imamah hanya menjadi milik keturunan nabi muhammad semata yang dalam hal ini adalah milik ali yang selanjutnya akan diwariskan kepada anak-cucunya. mereka berlindung di balik kema’shuman nabi menurut mereka juga menurun kepada keturunan setelahnya. kelompok sunni kemudian melakukan perlawanan atas klaim teologi yang dilakukan oleh kaum syiah. ulama sunni membangun konseptualisasi tentang khilafah sebagai tandingan imamah. dalam pandangan sunni, khalifah sebagai penguasa yang sah dalam mengatur rakyatnya, penunjukkannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki oleh penguasa. dalam pandangan abul hasan al-asy’ari (873-935 m), seorang teolog sunni, khilafah diperlukan untuk menegakkan agama dan menjaga ketertiban dunia, sementara mendirikan imamah adalah kewajiban syar’i. ia kemudian mendasarkan pemikirannya pada q.s. al-nisa ayat 59 yang berisi perintah untuk taat kepada allah, rasul dan pemerintah. tampak baginya, politik dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi dan memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda: menciptakan kehidupan masyarakat yang teratur. al-mawardi juga menyatakan bahwa khilafah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. dengan demikian, seorang imam adalah pemimpin agama di satu pihak dan pemimpin politik di lain pihak. pemilihan kepala negara (khalifah) merupakan masalah yang sangat urgen dan vital bagi eksistensi negara. namun, islam tidak mengatur secara jelas bagaimana seharusnya suksesi kepemimpinan dilakukan sehingga mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan islam. dalam melihat perdebatan dan konflik yang melingkupi terpilihnya abu bakar sesaat setelah nabi wafat, al-asy’ari memandang bahwa kepemimpinan abu bakar adalah sah dan harus ditaati. terpilihnya abu bakar bukan tanpa alasan, karena sudah memenuhi beberapa unsur yang diperlukan dalam pemilihan seorang pemimpin: landasan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 103pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) teologis (al-qur’an dan hadis), kapabilitas dan kompetensi, kesepakatan (ijma) para sahabat, dan ikrar setia dari masyarakat (bai’at) (amin, 2017). al-farabi menekankan tentang keharusan kehadiran kepala negara dalam sebuah sistem masyarakat. kepala negara diibaratkan sama kedudukannya seperti jantung dalam tubuh manusia, sebagai sumber dan pusat koordinasi antarorgan di dalam tubuh, sehingga manusia mencapai derajat kesempurnaan. oleh karena itu, kedudukan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan juga bersifat etis sebagai pengendali way of life. lebih jauh, al-farabi mengatakan bahwa kehancuran sebuah negeri disebabkan oleh faktor moralitas pemimpinnya (sjadzali, 1999). dari segi kapasitas, al-farabi membagi tiga golongan manusia yang memiliki potensi untuk diangkat atau ditunjuk sebagai pemimpin. 1. manusia yang memiliki kapasitas yang memandu dan menasehati, yaitu yang disebut sebagai al-khawwas. jenis manusia seperti ini wajib menduduki posisi pemimpin utama karena secara natural memiliki bakat memimpin dan menjadi teladan bagi semua orang. 2. manusia yang berperan sebagai penguasa subordinat yang memimpin sekaligus dipimpin, yang oleh al farabi disebut dengan al-khassah. manusia jenis ini memiliki teori-teori yang spesifik, keyakinan akan kebenaran dan mengajarkannya kepada orang lain. akan tetapi, mereka lebih cocok untuk memimpin satu kota saja. 3. manusia yang dikuasai sepenuhnya atau tanpa kualifikasi yang disebut sebagai alammah. mereka memiliki kemampuan teoretis dan kekuatan yang amat terbatas. al-farabi kemudian merinci tentang kriteria yang harus dimiliki seorang kepala negara: (1) sempurna anggota badannya; (2) besar pengertiannya dalam memahami; (3) bagus daya tangkapnya; (4) sempurna ingatannya; (5) cakap dan bijak dalam bicara; (6) mencintai pengetahuan; (7) tidak serakah dalam minuman, makanan dan berhubungan seks; (8) cinta akan kebenaran dan benci kebohongan; (9) cinta keadilan dan benci kezaliman; (10) tidak hidup dalam kemewahan dan suka berfoya-foya; (11) sanggup menegakkan keadilan, optimis dan berbesar hati; dan (12) kuat pendirian, penuh keberanian, antusias, dan tidak berjiwa kerdil. bagi al-mawardi, imam atau khalifah (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. karena itu, tanpa imam akan timbul suasana chaos. manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. al-mawardi menyatakan hal-hal pokok sebagai berikut ini. 1. imamah adalah suatu kepemimpinan yang dibentuk sebagai pengganti rasulullah, dengan tugas memelihara agama dan mengendalikan kehidupan dunia. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 104 yusuf fadli 2. imamah dapat dibentuk melalui pemilihan oleh ahl al-hal wa al-aqd (majelis yang mampu memecahkan persoalan dan menetapkan kebijakan) atau al-ikhtiyar (dewan pemilih) yang terdiri atas individu-individu yang memenuhi persyaratan tertentu. 3. apabila seorang imam telah menjalankan tugas dan kewajibannya maka rakyat wajib menyatakan setia dan taat kepadanya, mematuhi dan mendukung kebijakan politiknya, dan membelanya dari pihak yang ingin menyingkirkan atau menjauhkannya. akan tetapi, seorang imam dapat dilengserkan dari kedudukannya jika ia menyimpang dari keadilan. 4. kepala negara harus berbangsa arab dari suku quraisy, termasuk wazir tafwidh (pembantu kepala negara) dalam urusan penyusunan kebijaksanaan harus beretnis arab, dan pengisian jabatan kepala negara dan pembantunya yang strategis perlu ditegakkan persyaratan-persyaratan tertentu. hak prerogatif bagi suku quraisy menurutnya didukung oleh sabda rasulullah: dahulukanlah orang quraisy, dan janganlah kalian mendahuluinya. dalam masalah pemecatan seorang imam, al-mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya. pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat subhat). kedua, cacat tubuh, yang dalam hal ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). selain itu, juga cacat organ tubuh dan cacat tindakan. sementara itu, ada cacat yang tidak menghalangi seseorang diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan. penutup setelah nabi muhammad wafat, problem pertama yang menghinggapi umat islam adalah konflik politik. pemicunya adalah kekosongan kepemimpinan sepeninggal nabi muhammad. hingga menjelang wafatnya, nabi tidak pernah secara tegas dan jelas menunjuk siapa penggantinya jika beliau wafat. setelah kepemimpinan empat khalifah berlalu, konflik politik yang mendera umat islam semakin berkembang menjadi perpecahan yang serius, karena masing-masing kelompok yang berbeda pandangan politik tersebut membangun diferensiasi teologis dalam kelompoknya masing-masing, baik dari segi teologi, fikih, sosial, kebudayaan, dan politik. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 105pemikiran politik islam klasik (studi awal atas perspektif sunni) kemunculan paham sunni sendiri merupakan bentuk kegelisahan terhadap cara pandang yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang cenderung mendiskreditkan posisi sahabat nabi yang dianggap oleh sebagian kalangan yang berseberangan telah melakukan pengkhianatan. bagi kalangan sunni, kepemimpinan setelah wafatnya nabi muhammad bersifat terbuka–tidak terbatas hanya menjadi milik ahl bayt. apa pun latar belakangnya, jika dianggap layak dan kompeten maka ia bisa diusulkan menjadi pemimpin. jadi, penunjukan atau pengangkatan khalifah sebagai penguasa yang sah tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang dimiliki calon pemimpin. referensi abbas, s. (2010). i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah. jakarta: pustaka tarbiyah baru. akbar, idil. (2017). “khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi)”. journal of government and civil society, 1(1): 95-109. ali, s. m. (2007). hussain the king of marytyrs raja para syuhada. jakarta: lentera hati. al-mawardi, i. (2014). al ahkam al sulthaniyah: hukum-hukum penyelenggaraan negara dalam syariat islam. bekas: darul falah. al-munawar, said agil. (1999). “fikih siyasah dalam konteks perubahan menuju masyarakat madani”. jurnal ilmu sosial keagamaan, 1(1): 38-39. amin, n. (2017). paradigma teologi politik sunni, melacak abu al hasan al asy’ari. yogyakarta: pustaka pelajar. amin, s., & siregar, f. m. (2015). pemimpin dan kepemimpinan dalam al-qur’an. tanzil: jurnal studi al-qur’an, 27-40. amini, i. (2005). semua perlu tahu. jakarta: al huda. arfiansyah. (2010). “pemikiran politik islam: sebuah tinjauan sejarah terhadap arus pemikiran islam klasik sampai awal abad ke 20”. substantia, 12(2): 255-276. black, a. (2006). pemikiran politik islam: dari masa nabi hingga masa kini. jakarta: serambi. butterworth, c. e. (1992). “political islam: the origins”. annals of the american academy of political anf social science, 524: 26-37. effendy, b. (2011). islam dan negara: transformasi gagasan dan praktik politik islam di indonesia. jakarta: democracy project. enayat, h. (1988). reaksi politik sunni dan syiah: pemikiran politik islam modern menghadapi abad ke-20. bandung: pustaka. fachruroji, moch. (2008). “trilogi kepemimpinan islam: analisis teoritik terhadap konsep khilafah, imamah dan imarah.” jurnal ilmu dakwah, 4(12): 289–304. fadli, yusuf. (2017). “islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi”. journal of government and civil society, 1(1): 41-63. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 106 yusuf fadli hakiki, kiki muhamad. (2012). “mengkaji ulang sejarah politik kekuasaan abbasiyah”. jurnal tapis, 9(1): 113-134. hughes, t. p. (1982). dictionary of islam. new delhi: cosmo publication. humaidi, m. nurul. (2009). “kepemimpinan dalam perspetif shi’ah: kajian atas konsep imamah”. humanity, 5(1): 36-41. ja’farian, r. (2009). sejarah islam: sejak wafat nabi saw hingga runtuhnya dinasti bani umayyah. jakarta: lentera. jafri, h. m. (1979). origin and early development of shi’a islam. new york: longman. katsir, i. (2002). bidayah wa nihaya: masa khulafa’ur rasyidin. jakarta: darul haq. makmun, a. r. (2006). sunni dan kekuasaan politik. ponorogo: ponorogo press. munawwir, a. w. (1984). al-munawwir (kamus arab-indonesia). surabaya: pustaka progressif. muthahhari, m. (2002). manusia dan alam semesta. jakarta: al-huda. nasution, h. (1986). teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. jakarta: ui press. nasution, h. (2008). islam ditinjau dari berbagai aspeknya. jakarta: ui press. ritaudin, m. sidi. (2009). “spirit islam politik periode al-khulafa al-rasyidun bagi negara kesatuan republik indonesia”. jurnal tapis, 5(10): 1-18. rusli, ris’an. (2015). “imamah: kajian doktrin syi’ah dan perdebatan pemikiran islam klasik”. intizar, 21(2): 201-223. sjadzali, m. (1999). islam dan tata negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. jakarta: ui press. sunanto, m. (2003). sejarah islam klasik: perkembangan ilmu pengetahuan islam. jakarta: kencana. syarif, m. i. (2008). fiqh siyasah: doktrin dan pemikiran politik islam. jakarta: erlangga. thabathaba’i, m. (1989). islam syi’ah: asal-usul dan perkembangannya. jakarta: grafiti press. thabathaba’i, m. (1992). inilah islam. bandung: pustaka hidayah. zahrah, m. a. (2010). aliran politik dan aqidah dalam islam. jakarta: gaya media pratama. zuhraini. (2014). “islam: negara, demokrasi, hukum dan politik”. analisis: jurnal studi keislaman, 14(1): 29-57. zulkarnain. (2011). “konsep al-imamah dalam perspektif syiah”. jurnal tapis, 7(13): 118. 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 5 no. 1 pages 1 144 april 2021 issn 2579-4396 1 30 the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan muhammad ananda alifiarry1, bevaola kusumasari1 (1 department of public policy and management, faculty of social and political sciences, universitas gadjah mada, indonesia) 31 50 urban resilience strategy in the climate change governance in makassar city, indonesia ihyani malik1, andi luhur prianto2, abdillah abdillah2, zaldi rusnaedy3, andi annisa amalia4 (1 department of public administration, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (2 department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (3 department of government studies, universitas pancasakti makassar, indonesia) (4 department of architecture, faculty of engineering, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 51 62 collaboration governance in the development of natural based tourism destinations muchamad zaenuri11, yusrim musa1, muhammad iqbal2 (1 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan, province of china) 63 78 analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district sri andri yani1, etika khairina1, suswanta1, mochammad iqbal fadhlurrohman1 (1 governmental studies, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 90 the influence of social media (instagram) of bantul’s general election commissions on voters participation in the 2019 elections agus priyanto1, eko priyo purnomo1,2, mochammad iqbal fadhlurrohman1, herry fahamsyah1, etika khairina1 journal of government civil society daftar isi (table of content) (1 departement of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 91 106 model implementation trap of policy new student acceptance zoning system in makassar city nuryanti mustari1, rudi hardi1, amir muhiddin1 (1 department of government studies, faculty of social and political sciences, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 107 126 collaborative urban governance model in environmental management of industrial area tri sulistyaningsih1, saiman1, nofianda fatimah azzahra1, nanda adityawan2, mohammad jafar loilatu3 (1 department of government studies, universitas muhammadiyah malang indonesia) (2 civil engineering, sepuluh nopember institute of technology, surabaya, indonesia) (3 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 127 144 towards an integration of immigration and customs agency in indonesia: a step-by-step process ridwan arifin1, intan nurkumalawati1 (1 diploma program of immigration administration, polytechnic of immigration, indonesia) 63 citation : yani, s. a., khairina, e., suswanta, & fadhlurrohman, m. i. (2021). analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district. journal of government and civil society, 5(1), 63–78. journal of government and civil society vol. 5, no. 1, april 2021, pp. 63-78 doi: 10.31000/jgcs.v5i1.3161 received 7 october 2020  revised 31 march 2021  accepted 2 april 2021 analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district sri andri yani1, etika khairina1, suswanta1, mochammad iqbal fadhlurrohman1 1 governmental studies, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email correspondence: soes_umy@yahoo.com abstract this article aim to analyze bureaucratic reform in the west pasaman district government, which is related to the last stage of the 2020-2025 bureaucratic reform grand design. this projection is an opportunity to demonstrate the dedication of the bureaucracy to good governance. on the other hand, there is one thing that cannot be denied, such as the fact that the government still leaves a lot of work that has not been completed according to the target and public services that are not yet community-oriented. the performance of the west pasaman district government’s bureaucracy is still considered low. this study uses a descriptive research method that is supported by a literature study approach by tracing the actual data for this research material. the results of this study discuss two aspects of bureaucratic reform, namely reform of mindset and work culture. improving the mindset is used to improve the performance of the bureaucracy in order to think in a visionary direction to create a productive, innovative, and competitive bureaucracy, for this reason, the mindset is adapted from the concept of dynamic governance (thinking ahead, thinking again, thinking across. while the work culture is aimed at creating bureaucracy agile and fast, considering the west pasaman bureaucracy consists of two ethnicities (mandahiling, minang) so that it affects the work culture of each. keywords: bureaucratic reform, mindset / work culture, dynamic governance abstrak artikel ini bertujuan untuk menganalisis reformasi birokrasi di pemerintahan kabupaten pasaman barat terkait tahapan terakhir grand design reformasi birokrasi 2020-2025. proyek ini merupakan peluang untuk menunjukkan dedikasi birokrasi terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. di sisi lain, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, seperti masih banyaknya pekerjaan yang belum diselesaikan pemerintah sesuai target dan pelayanan publik yang belum berorientasi pada masyarakat. kinerja birokrasi pemerintah kabupaten pasaman barat dinilai masih rendah. penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang didukung dengan pendekatan studi pustaka dengan menelusuri data aktual untuk bahan penelitian. hasil penelitian ini membahas dua aspek reformasi birokrasi, yaitu reformasi pola pikir dan budaya kerja. perbaikan pola pikir digunakan untuk meningkatkan kinerja birokrasi agar berpikir secara visioner untuk mewujudkan birokrasi yang produktif, inovatif, dan berdaya saing. pola pikir tersebut diadaptasi dari konsep tata kelola yang dinamis (berpikir ke depan, berpikir ulang, berpikir melintas). adapun budaya kerja ditujukan untuk menciptakan birokrasi yang gesit dan cepat, mengingat birokrasi pasaman barat terdiri dari dua suku (mandahiling, minang) sehingga memengaruhi budaya kerja masing-masing. kata kunci: reformasi birokrasi, pola pikir/budaya kerja, tata kelola dinamis journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 64 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman introduction in overcoming the various issues faced by the indonesian government, reform of governance / bureaucratic reform in various fields such as politics, social economy and law must be carried out, bureaucratic reform can be understood as an effort to restore public confidence in the government. reasons the implementation of good governance must be followed by a series of reforms in the public sector, including the sector ministries and institutions that are tasked with assisting the president in solving several problems in this country and regional heads as local governments who are also in control of the success of decentralization. (faedlulloh, yulianto, & karmilasari, 2019) explains one of the main problem areas related to bureaucratic reform, namely mindset and work culture. service delivery in practice is still far from expectations in good governance, in the realm or aspects of mindset and work culture / culture set, bureaucrats do not have a mindset that serves the community, has not achieved results-oriented performance, and the bureaucracy is not yet fully effective and efficient as well as productive and professional. so this paper will focus on the area or domain of the mindset and work culture of the bureaucracy / public officials in public sector reform. changes in public sector management and the concept of public sector reform in the aim of creating good governance (good governance), one of the efforts to lead to this concept is to change the government’s view towards a result orientation and prioritize the public as customers who must fulfil their fundamental rights. (abdul kadir, 2019) bureaucratic reform is not just a change in the format of ministries and institutions. however, it includes changes in the tools used to support the running of these public institutions or organizations in an economically efficient and effective and transparent manner so that the ideals of good governance can be materialized. in (editopo ashari) structuring apparatus resources is the main thing that must be done in optimizing effective and efficient government administration. organizing apparatus resources in the institutional sector / central officials and institutions / regional officials is an integral part of making improvements, based on the above problems, one of the main problems of apparatus resources is the mindset and work culture (culture set). these statements are essential in this paper. the system of government change in the sector of state institutions and state officials experienced changes in the period of president jokowi and ma’ruf amin (2019-2024) and the number of regional heads with an entrepreneur/entrepreneur background. changes in the rules of state institutions and state officials of the indonesian government are essentially an effort to implement good governance and change the old mindset with a new mindset to create innovations in solving public problems. west pasaman regency is one of the districts in west sumatra which is located on the border of west sumatra and north sumatra. the people in west pasaman consist of three tribes, namely the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 65analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district mining, mandahiling and javanese tribes. the presence of several tribes in west pasaman positively influences the mindset and work culture of each apparatus, for example, the javanese people have a work culture of “ewuh pakeuh”, namely the work culture of the primo ethnicities, and their mandating work culture is known as “got ipas” which means “want fast”. done. based on these differences in work culture, west pasaman regency needs to pay attention to the development of public sector apparatus resources considering that the work culture of each ethnicity must foster a creative and innovative work culture that can contribute to west pasaman regency. the implementation of bureaucratic reform that is being carried out in all institutions/agencies, especially in the west pasaman district government, really requires a change in mindset/mindset that can support improved governance to achieve good governance. the west pasaman district government is expected to be able to respond to public problems with various innovations that can be created to resolve and adjust dynamic public interests. therefore, the west pasaman district government must ensure that the position holders, as leaders and regional officials have a mindset and work culture that can create innovation so that they can provide solutions in holding government tasks. this paper is rooted in the thought that while implementing public sector reform, both institutional, implementation and apparatus resources are problems that need to be improved, namely the mindset and work culture / culture-set in line with the issuance of regulations on the handover of authority to take care of the respective regions that initiate various the background of regional heads in indonesia, therefore along with the flow of development in every aspect of life, the government needs apparatus/human resources who have a solution-oriented mindset or way of thinking, and competencies that produce performance. it is hoped that a variety of different backgrounds in state institutions and state / public officials can improve the mindset that is one of the areas in bureaucratic reform to realize good governance. with the ability and mindset, the government is encouraged to review current policies and strategies, update targets and goals, and formulate new steps to prepare for the future. this paper will analyze the steps that can be taken in implementing bureaucratic reform in the west pasaman regency government. so to explain this, the author will use a theory that is closely related to the implementation of bureaucratic reform, namely dynamic governance offered by neo and chen (2007), this theory will answer the facts in the bureaucracy/administration, especially those related to public problems that require a pattern. thinking/mindset and work culture so that it leads to solutions. the mindset and work culture will open up public officials to see the policies that have been implemented to be evaluated and redesigned to improve quality in achieving goals. the mindset is intended so that public officials can innovate in thinking about public problems but are still in line or relevant to dynamic changes (fitriana, 2017). journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 66 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman change is a thing or phenomenon that cannot be avoided, including changes that occur in the government sector. therefore these changes need to be responded quickly by the government. in short, dynamic governance can be understood as the ability of the government to continue to adapt and be able to adapt quickly to changes that occur to remain consistent/relevant so that the goals set can be achieved. to adapt quickly to change requires integrity, pragmatism, a market that is used as a foundation to be able to move in the government and is accompanied by an organizational / work culture such as stability and independence. furthermore, the concept of dynamic governance is known in the concept of dynamic governance (andhika, 2017; rachmandiansyah & aisjah, 2015) which includes thinking across. this concept is used to learn ideas from other people. to achieve goals and perfect a policy requires free-thinking and a desire to adopt the thoughts of others to create innovation in innovative leadership. this is also in line with the expectations conveyed by president jokowi, who wants the bureaucracy to be friendly to services and needs to interpret more deeply and critically in overseeing the work of the bureaucracy. so that in the next 2025 all aspects or domains of bureaucratic problems and government administration can be well ordered as expected. literature review febriana, (2014) human resource management is an activity program to obtain human resources, develop, maintain, and utilize them to support the organization in achieving its goals. (dolongseda, gosal, & kimbal, 2017) in essence, the structuring/reform of the bureaucracy, including ministries in indonesia prioritizes the importance of rationalization in creating an effective and efficient bureaucracy through a balanced division of labour. (ratu megalia & syamsuddin, 2014) facing the era of globalization, the main problem is the limited quality of human resources to participate in the implementation of development both nationally and internationally. fathya, (2017) structuring human resources in the context of bureaucratic reform, human resources are not only seen as a component of reform but are part of changes in the government area. organizing human resources is an essential element that needs to be done in reforming or rearranging the government system. many writings and researches talk about public sector structuring or reform. (akny, 2014) reform originates from a change in the administrative paradigm that relates to aspects of legal norms in government. (artini, 2016) this is based on first, power in carrying out public service functions in the context of state administration is placed in the power (executive) as the executor of the role. second, power in the administration of government comes from the formal authority given to a person or party in a particular field. third, the given authority is based on the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 67analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district law, which becomes the basis for carrying out administrative functions through the delegation of powers granted by the state. febriana, (2014) apparatus as state and government administrators are obliged to be responsible for formulating and implementing strategic steps and creative efforts to realize the welfare of society in a just, democratic and dignified manner. (saleh, 2017) there are at least two logical consequences for the use of the normative approach. first, this approach will relate to the content and functions that exist in government management which is understood as a normalized sequence of activities. second, the normative approach provides specific techniques for specific functions that are carried out and applied to an organization. (setyaningrum, 2012) along with the development of life, the central and regional governments need apparatus or human resources who have a mindset and work culture so that they can overcome public sector problems that have become problems so far. to realize good governance, changes need to be made (thaha, 2015) there are three ways to achieve results in making changes, namely: reengineering, local government, innovation. (sudrajat, 2015) in line with the principles of professionalism and objectivity in the necessary civil service law, therefore bureaucratic reform in local government circles needs to be reorganized, including the background of leaders. (kadmasasmita, 2017) to increase the leader’s innovation, it is necessary to have an institution that understands and lives the innovation before implementing this innovation. organizations need to be aware of obstacles and efforts in implementing innovation, learn quickly to face every challenge, be able to build innovative leadership and entrepreneurial insight. (purnamasari, munjin, & ratnamulyani, 2019) in structuring government administration, it is necessary to have the right number of human resources apparatus, professional and competent. artini, (2016) the government is not only a facilitator and service provider but as a dynamist and entrepreneur. talking about the entrepreneurial government, (andari, saragih, & mulyani, 2018) the performance of regional heads led with entrepreneur and non-entrepreneurs backgrounds is different. (zerbinati & souitaris, 2005) in his writing talking about the entrepreneurial spirit in the european government public sector, he further explained that the european government does not budget the apbd for local governments, since the 1980s the european government has closed most of the coal mines and steel factories so that regional heads (council) must think about the fate of unemployed people, regional heads are demanded to be creative and innovative in seeking income for the region and for advancing their regions. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 68 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman furthermore (korosec & berman, 2006) the government as a manager must support for the development of new programs including increasing awareness of obtaining supporting resources for local / city governments and coordinating efforts in implementing local government programs. speaking of mindset in public sector reform, according to (faedlulloh et al., 2019) bureaucrats must have a visionary mindset. the bureaucracy must be responsive to situations and interests so that its existence remains relevant in every change. (meynhardt & diefenbach, 2012) public sector organizations in several countries have shifted to cultivating private principles and incorporating the entrepreneurial spirit in the public sector. (sepehrnia, 2015)examines the effect of the professional background of regional heads on local government performance. the statistical results show that the performance of local governments led by a background of entrepreneurs is significantly different from the performance of local governments led by non-entrepreneurs. regional governments led by regional heads with an entrepreneurial background have better performance than regional governments led by non-entrepreneurs. fitriana, (2017) dynamic governance is a combination of culture with the capability to produce change. (rachmandiansyah & aisjah, 2015) the concept of dynamic governance is a concept that is believed to manage government activities well. (adhyatma kusuma, 2015) dynamic governance is a combination of cultures and capabilities that will lead to change. (tuah & putra, 2020) the government must move dynamically to plan and implement innovative policies to answer problems related to government quality. while the mindset and work culture in organizations can be influenced by ethnicity(aldri frinaldi & embi, 2015; frinaldi, 2013). according to aldri frinaldi & embi, (2015) in their study, the javanese ethnic / ethnic asn has a work culture of ewuh pakewuh so that it has nrimo habits, and does not contribute suggestions / ideas. whereas in another study talking about the work culture of the mandahiling ethnic, the result is that the mandahiling ethnic group has a work culture of giot ipas or wants to finish it quickly (frinaldi, 2013). research method this study uses a qualitative method to analyze the mindset and work culture in an effort to reform the bureaucracy. qualitative methods will describe and interpret in detail to get a clear and systematic understanding. the approach in this research uses a literature study approach by examining data related to the concept of bureaucratic reform in indonesia which is then adjusted to a study case (darmalaksana, 2020). data collection was obtained through the collection of west pasaman hr (bureaucracy) data and the results of studies related to western pasaman governance. after collecting the data, it will then be analyzed qualitatively by means of triangulation (reducing data, displaying data, and drawing conclusions (wahidmurni, 2017). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 69analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district bureaucratic reform the term management is more often used for the term human in the process of managing people in an organization (malik abdul aziz, 2015.) the structuring of human resource management is strategic to organize humans as the main actors. (rumzi samin, 2016) the human resource management unit plays a vital role in managing people so that the organization or institution has a performance that is by the needs of the government or organization, and it is more than just personnel management which is a routine activity that produces documents to recruit and finance employees. the first objective of structuring human resources is to use the performance that has been paid by the organization or institution effectively for the benefit of the organization or institution. (j, idris, & burhanuddin, 2017) productive employees can help institutions or organizations achieve their goals in carrying out their functions. reform in the human resources or apparatus management section aims to create and implement better, more competent management of the apparatus and to support government efforts to improve the quality of state administration. dynamic governance the concept of dynamic governance was first formulated by neo & chen (2007: 52) that dynamic governance is a pattern of how various policies work, selected institutions and structures can adapt to positions that are changing very rapidly so that policies remain relevant in achieving goals. neo & chen conveyed that culture is very influential in governmental activities; culture can synergize with strong organizational capabilities, thus creating a dynamic government that allows change. (andhika, 2017) dynamic governance is the government’s ability to adjust public policies and programs and change the way these public policies are formulated and implemented. (rachmandiansyah & aisjah, 2015) dynamic governance emphasizes the adaptation of government governance to environmental changes. the bad habit that is always shown, especially in regional governments, places a leader on a paternalistic basis, in return for political support. (andhika, 2017; fitriana, 2017; rachmandiansyah & aisjah, 2015) the basic concept of dynamic governance is to combine culture and the capability to think ahead, think again, and think across borders to produce change—the real one. thinking ahead (thinking ahead) is the ability to identify environmental factors that affect the implementation of development. this will encourage the government to revisit the prepared policies. thinking again (think back) the ability to review the current policy. whether the policy being implemented has met expectations or not, does it need a redesign for good results and quality in the future? thinking across (thinking across borders) the ability to adopt thoughts, opinions from outside and other actors to do something. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 70 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman analysis and discussion in indonesian governance, one of the efforts that must be made is bureaucratic reform. bureaucratic reform is believed to be able to eliminate pathologies or diseases of the bureaucracy, both central and indonesian (kurdi, 2020). the loss of public trust in government officials (bureaucracy) was one of the reasons for the implementation of bureaucratic reform. in the administration of public services, the government is more power-oriented and neglects its duties as public servants. the case study was conducted in the west pasaman government, it was based on the patrimonial approach to the bureaucracy. patrimonial bureaucracy is a concept of political culture which in society has strong roots in a culture which is influenced by family relationships (rohilie, 2015). in the concept of west pasaman regency regional government, the patrimonial approach is very dominant. the socio-cultural process creates community groups and can influence the course of recruitment in bureaucratic positions. the phenomenon is that the west pasaman district bureaucracy consists of two ethnicities (mandahiling and minang), when the regional head election is won from one of the ethnic/ethnic groups, the bureaucracy in each agency is dominated by the winning ethnicity/ethnicity so that cultural differences and ways of working affect the results of public services. the differences that occur are one of the causes of the low ability of the bureaucracy to meet public needs, the initiative and ability to respond to every problem is very inadequate. the west pasaman district government is considered to be the only cause of distortion in public administration. in this case, it is difficult to create a government with good performance. one of the reform designs established by the government to improve and enhance the performance of the bureaucracy is the mindset and work culture. therefore, this study wants to see what the future of bureaucratic reform will look like in the regional government of the west pasaman regency. how the mindset and work culture of the west pasaman regional government in solving a problem or how the bureaucracy can bridge the improvement of bureaucratic performance through bureaucratic reform can be realized. reform of mindset / mind-set: dynamic governance at the local level of west pasaman regency the long-term goal of bureaucratic reform is to provide policy direction for the implementation of the bureaucracy at the ministerial, institutional and local government levels to run effectively, efficiently, measurably and consistently, be integrated and institutionalized. procreation as a public service must be oriented towards the satisfaction of the community as customers and able to adapt to change. the performance of the bureaucracy is often faced with fundamental problems such as the absence of an exact mechanism for overcoming problems in the form of challenges to the development of the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 71analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district community situation and the work of the bureaucracy. on the other hand, the government has created a grand design for bureaucratic reform (2010-2025). the grand design for bureaucratic reform is a master plan containing the policy directions for the implementation of national bureaucratic reform for the period 2010-2025. at the same time, the bureaucratic reform road map is a form of operationalization of the bureaucratic reform grand design which is compiled and carried out every 5 (five) years and is a detailed plan of bureaucratic reform from one stage to the next for five years with clear annual targets and is used as a reference for the government. regions in implementing reforms in the regions include west pasaman regency. west pasaman district needs to rearrange the bureaucratic process from the highest level to the lowest level and make breakthroughs (innovation breakthrough) with gradual, concrete, realistic, serious steps, think outside the box/routine. in the context of capacity building, the fundamental and essential thing to reconsider the achievement of the goals of bureaucratic reform is the aspect or domain of the mindset. understanding in-depth the mindset and work culture of the bureaucracy is essential for improving bureaucracy and governance in indonesia. the stereotype of western post a society about the bureaucracy that is convoluted, rigid, inefficient and does not prioritize society is a formidable challenge to improve the image of the bureaucracy itself in the eyes of the public. in west pasaman, there is a striking difference between the activities and performance of public and private sector organizations. innovation by playing a mindset has not been realized in the mindset of the west pasaman bureaucrats/apparatus. therefore reform in the aspect of mindset must be fought for. when talking about thought patterns and work culture in state administration, chen and neo’s thoughts about dynamic governance in which there are steps of thinking (think ahead, think again and think across) are still relevant. every bureaucratic apparatus, including public officials, should return to ethics and morality, in the sense that the bureaucratic apparatus / public officials should work based on morality and humanity by changing the way of thinking and point of view as a form of innovation in their leadership. the west pasaman apparatus must have a visionary mindset and mindset or think hard and be responsive to the situation so that it remains relevant to all changes and global dynamics. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 72 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman thinking ahead thinking ahead is the thinking capacity of public officials and public administrators in formulating future conditions that may have an impact on the institution. the west pasaman government must review policies and formulate strategic steps to prepare for changes in the future. rapid change due to globalization and advances in information communication and technology must be able to be responded to and utilized by the apparatus, considering that digital progress can be an opportunity and opportunity to carry out service and implementation activities easily and can be accessed quickly by anyone. public organizations should be moreswiftand quick to act than private organizations, considering that private organizations can provide a much more accurate and useful service to their customers by utilizing information, communication and technology. several public sector activities in west pasaman have utilized ict known as egovernment, in providing services and also as a solution to various public problems. however, in practice, it is not optimal because there are still obstacles and problems in several fields, both in terms of human resources and networks. several public officials as leaders who have to think ahead with the capacity to think ahead and can take advantage of the sophistication of ict so that they find innovations in their leadership, such as tri risma (mayor of surabaya). the mayor of surabaya has a mindset and work culture that can be imitated and applied by western pasaman. tri risma succeeded in building surabaya by utilizing the sophistication of ict as evidenced by digital-based services (egovernment) in almost every service. then he also created a work culture towards bureaucratic entrepreneurs. the mentality and high moral standards and consistent and robust commitment can be realized if the regional head has the characteristics of a bureaucratic entrepreneur (urbanus & maichal, 2015). furthermore, the mayor of bandung (ridwan kamil), innovation in the city of bandung which is implemented by ridwan kamil can be an example for other regions and cities to implement innovation and leadership of ridwan kamil. the mayor of bandung also took advantage of the sophistication of ict in his leadership as evidenced by the development of the bandung smart city. (pitriyanti, 2018) bandung smart city can provide adequate public services for its people and transparent bureaucratic management. smart city development, such as the provision of public services such as licensing services, can be accessed through the gampil (gadget mobile application for license) application service and hay u, in the field of taxation through e-satria (selfassessment tax reporting). from think ahead, collaborative governance was born that encourages the achievement of policy objectives. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 73analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district thinking again think again (think again) is the ability to face the present reality with future strategies. existing policies or programs will be redesigned by comparing and rethinking the successes and failures of ongoing programs with the desired intent. in the context of governance, thinking again is to see whether the policies that have been implemented are by expectations than about the improvements for the ongoing policies. through thinking again, it will encourage the bureaucracy and public apparatus always to analyze and carry out evaluations on an ongoing basis based on the current situation and identify problems which can then be used as formulations for other policies as solutions for the public. therefore, the character of the bureaucracy is a character that must be owned by public organizations in the administration of government. it is not enough to create a program or policy but not to rethink the challenges and obstacles as well as the potential to develop it towards progress so that it can follow every development that exists by the because it needs to be reviewed and evaluated every result. in the context of advances in information and technology in the public sector, e-government needs to be reexamined, not only left ualonew, and it must be evaluated to find updates and solutions to the problems in it. for example, when e-procurement was applied, it was necessary to think about continuous renewal, how to prevent cheating from occurring in the process, how to make public goods procurement free from agents who obstruct the effectiveness of the system. all of that must be present in mind and find a solution. thinking across thinking across borders is the ability to cross existing boundaries, both in conditions and conditions such as traditional and ancient culture and learn from the experiences of others, which then the results can be applied according to local conditions and local conditions. to create innovations for government improvement, the apparatus must contribute ideas obtained from the learning process from direct experience or practice. (faedlulloh et al., 2019) the substance is present-outside, future-inside, which can then be interpreted as a policy strategy, brilliant thinking still belongs to other organizations or countries. it will be applied and become ours too. being interested in other people’s innovations and programs is not just an operational perspective but instead thinking about how that person might find different solutions to the same problem. in the concept of dynamic governance, sectoral/regional ego is no longer compatible. to improve the quality of public sector performance, there is no need to exalt and be ashamed to admit the success of other organizations and then be reluctant to apply and apply in their organizations/regions. for example, the concept of a public service mall journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 74 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman that is spread across several cities in indonesia is inspired by the public service hall in georgia. another example is the concept of reinventing government which developed countries have previously practised so that they have succeeded in creating an image of the government as an excellent servant—gradually starting to incorporate this concept into the administration of the indonesian government. thinking across is different from the copy-paste system, by taking and practising everything and everything, but thinking across has to be able to put the problem in its place, and it must be able to see the suitability of your needs with the local conditions at that time. reform of mindset and work culture: encouraging innovation in the implementation of west pasaman regency government simplifying services requires innovation in its implementation so that it enters into structural reforms. the government must serve the community and provide excellent service to community members. therefore the bureaucracy has a responsibility to simplify the service process and provide access to public services. to maintain the quality of service, the government must adapt to change and take advantage of digital sophistication to encourage innovation in providing services to the community. the concept of dynamic governance is relevant to the bureaucratic reform that is being rolled out by the government, where dynamic governance is the application of innovation in the delivery of public services. in this concept, one of the vital principles associated with carrying out bureaucratic reform is that the government belongs to the community in the sense that the government must be oriented towards the community then the government must always have strategic steps so that it is always relevant to change. this is because change is an absolute thing that must happen in life so that it will cause different public problems which then demand the government always to be ready for these changes. partnering with the media in west pasaman is one of the innovations made by west pasaman regency, in encouraging public openness, the role of both online and print media is needed so that the public can find out the latest and latest information in government so that anyone can access it through an available application. furthermore, the west pasaman regency government must also be able to create innovations. the way the bureaucracy works must be changed and out of the zone, usually using an approach, from instructions to switching to incentives. west pasaman district can take ideas or learn from regional service models and even other countries but with a note that they can adapt to their respective environments or regions. mpp is an example of structural reform in the bureaucracy by providing inter-agency services under one service roof. mpp is a breakthrough towards service improvement to simplify services, mpp is not only providing a stand for each agency but rather a step towards achieving reform itself. suppose mpp is designed to meet in person and come to the place of direct service. in p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 75analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district that case, e-government is present in the form of electronic and online services; anyone with interest can easily access any desired service. every city and region in indonesia both central and local governments have electronic-based services such as in public goods procurement (e-procurement), budgeting (e-budgeting), elections (e-voting), planning (e-planning) and many other services, which is provided to serve the community 24 hours such as lapor, sirup, gampil, e-satria etc. this type of electronic-based service is in the village and was created as a form of innovation and simplifying services to bring the objectives of bureaucratic reform closer to better governance and community-oriented bureaucracy. conclusion the changes that are inevitable due to global developments require blood governments to prepare strategic steps. the main objective of bureaucratic reform is to improve governance in indonesia, restore public trust. however, bureaucratic reforms that are held in every institution / agency and all aspects indirectly also aim to prepare every government administrator to be ready to face the uncertainty of change. bureaucratic reform can be understood as a strategy used to regulate and develop good governance. bureaucratic reform must be carried out in every aspect and institution/agency because the government is responsible for implementing bureaucratic reform, including the west pasaman district government. however, the administration of government in the form of bureaucratic reform still leaves problems and problems, especially those related to the mindset and work culture/culture set. therefore, dynamic governance is essential to be applied in carrying out bureaucratic reform. dynamic governance expects a change, which can then be interpreted as a merger between mindset/work culture and capabilities. there is a process of thinking in making changes, namely thinking ahead, thinking again and thinking across. from the aspect of the government apparatus mindset, west pasaman regency is influenced by their background, while the work culture is influenced by the ethnicity and ethnicity of each apparatus. of the ethnic groups in west pasaman (mining, mandahiling and java) each has a different work culture. meanwhile, from the aspect of capability, the way that the west pasaman regency government can take is to partner with print and online media to organize public openness through the use of ict known as e-government so that when e-government is known to the public and gets information disclosure in west pasaman, that’s where bureaucratic reform can be realized. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 76 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman references abdul kadir, j. (2019). desain reformasi birokrasi melalui role model pelayanan publik berbasis smart pada pemerintahan kota bima (studi pada dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu (dpmptsp) kota bima abdul. journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/cbo9781107415324.004 akny, a. b. (2014). mewujudkan good governance melalui reformasi birokrasi di bidang sdm aparatur untuk peningkatan kesejahteraan pegawai. jurnal jejaring administrasi publik, vi(1), 416–427. aldri frinaldi, & embi, m. a. (2015). budaya kerja ewuh pakewuh di kalangan pegawai negeri sipil etnik jawa (studi pada kabupaten pasaman barat, provinsi sumatera barat). humanus, 15(2), 472–473. andari, t., saragih, a., & mulyani, s. (2018). analisis perbedaan kinerja belakang entrepreneur dan non-. tria andari arna saragih sri mulyani, 4, 69–86. andhika, l. r. (2017). evolusi konsep tata kelola pemerintah: sound governance, dynamic governance dan open government. jurnal ekonomi dan kebijakan publik, 8(2), 87–102. https://doi.org/10.22212/jekp.v8i2.867 artini, y. d. (2016). pengembangan karir sdm aparatur berbasis kompetensi untuk reformasi birokrasi. darmalaksana, w. (2020). metode penelitian kualitatif studi pustaka dan studi lapangan. pre-print digital library uin sunan gunung djati bandung, 1–6. retrieved from http:/ /digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/metode penelitian kualitatif.pdf dolongseda, e., gosal, r., & kimbal, a. (2017). reformasi birokrasi pada dinas kependudukan dan pencatatan sipil pemerintahan kabupaten kepulauan sangihe. (2). faedlulloh, d., yulianto, & karmilasari, v. (2019). bureaucratic reform in the second period: promoting agenda for structural reform and mindset. lppm unila-institutional repository. fathya, v. n. (2017). reformasi manajemen sdm aparatur di indonesia. jurnal ilmu pemerintahan, 10(1), 49–56. febriana, d. (2014). pengembangan sistem manajemen sumberdaya aparatur dalam pemerintahan negara republik indonesia. jejaring administrasi publik, 6(1), 428–438. fitriana, m. k. (2017). peran peraturan daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi. frinaldi, a. (2013). budaya kerja “giot ipas” dalam kalangan pegawai negeri sipil etnik mandailing (studi pada kabupaten pasaman barat, provinsi sumatera barat. humanus, 91(5), 1689–1699. https:// doi.org/10.1017/cbo9781107415324.004 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 77analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district j, s., idris, m., & burhanuddin. (2017). penerapan etika administrasi negara dalam pelayanan kenaikan pangkat di kantor badan kepegawaian dan diklat daerah kabupaten gowa. jurnal administrasi publik, 3(1). kadmasasmita, a. d. (2017). innovation and innovative leadership. (1), 49–57. korosec, r. l., & berman, e. m. (2006). municipal support for social entrepreneurship. public administration review, 66(3), 448–462. https://doi.org/10.1111/j.15406210.2006.00601.x kurdi, m. (2020). mengembangkan pola pikir pns sebagai pelayan publik. (04), 36–42. malik abdul aziz, m. m. (n.d.). penataan sumber daya manusia aparatur di pemerintah kota salatiga. meynhardt, t., & diefenbach, f. e. (2012). what drives entrepreneurial orientation in the public sector? evidence from germany’s federal labor agency. journal of public administration research and theory, 22(4), 761–792. https://doi.org/10.1093/jopart/ mus013 pitriyanti, d., & diponegoro, u. (2018). kepemimpinan ridwan kamil di koa bandung tahun 2013-2018/ : kajian inovasi kebijakan kepemimpinan adaptif kajian terhadap inovasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan tidak hanya bagi organisasi swasta melainkan publik . pola rekrutmen kepe. purnamasari, i., munjin, r. a., & ratnamulyani, i. a. (2019). penataan sumber daya manusia aparatur daerah berbasis kompetensi. jurnal governansi, 5(1), 70. https:// doi.org/10.30997/jgs.v5i1.1707 rachmandiansyah, a., & aisjah, s. (2015). analisis spending review sebagai keputusan manajerial sesuai surat edaran direktur jenderal perbendaharaan nomor se-2 / pb / 2015. ratu megalia, & syamsuddin, a. (2014). ( studi tentang implementasi kebijakan reformasi sumber daya kediklatan pada badan diklat kementerian dalam negeri ri ). (1), 127–144. rohilie, h. f. (2015). merancang masa depan reformasi birokrasi pemerintah daerah sebagai upaya menciptakan birokrasi yang responsif. jurnal transformative, 1(2), 123–133. retrieved from https://transformative.ub.ac.id/index.php/jtr/article/view/ 115 rumzi samin. (2016). reformasi birokrasi. bulletin du cancer, 89(1), 23–28. saleh, k. a. (2017). mengelola hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien dalam politik desentralisasi. ilmu dan budaya, 40(55), 6289–6304. sepehrnia, j. (2015). relationship between inter organizational entrepreneurship and productivity among employees in general directorate of cooperation , labour and social welfare of tehran province. 3(1), 443–456. setyaningrum, d. (2012). pengaruh pengawasan fungsional dan legislatif terhadap kinerja pemerintah daerah di indonesia tahun 2011-2012. 1–26. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 78 sri andri yani, etika khairina, suswanta, and mochammad iqbal fadhlurrohman sudrajat, t. (2015). perwujudan good governance melalui format reformasi. dinamika hukum, 9(2), 118–125. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20884/ 1.jdh.2009.9.2.220 thaha, r. (2015). penataan kelembagaan pemerintahan daerah. 2(1), 39– 62. tuah, d., & putra, f. (2020). kapabilitas dynamic governance dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi provinsi kepulauan riau tahun 2012 – 2017. 04. urbanus, c. b., & maichal. (2015). karakteristik bureaucratic entrepreneur pada walikota surabaya. 13–24. wahidmurni. (2017). pemaparan metode penelitian kualitatif. âåñòíèê ðîñçäðàâíàäçîðà, 4, 9–15. zerbinati, s., & souitaris, v. (2005). entrepreneurship in the public sector: a framework of analysis in european local governments. entrepreneurship and regional development, 17(1), 43–64. https://doi.org/10.1080/0898562042000310723 00.pdf cover dalam.pdf 1: tampak penuh the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program 135 citation : nadim, showkot jahan & nurlukman, adie dwiyanto.. 2017. “the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, 135-157. journal of government and civil society vol. 1, no. 2, september 2017, pp. 135-157 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program showkot jahan nadim1, adie dwiyanto nurlukman2 1ph.d. student of departement of public administration, gyeongsang national university, south korea email: jahan.nadim1946@gmail.com 2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: adiedwiyanto@gmail.com abstract women empowerment is one of the most discussing issues in the present world, especially in the developing country. bangladesh is one of the developing countries with almost 50% women of it’s total population. in labor force women participation is arround 57.30%, and facing many kinds of obstacles like they have family burden, social burden, religion burden mostly in rural area. empowerment can be defined by giving power and authority to take decision in every part of life, including household, economic, social, political etc. women empowerment can be considered as a weapon for alleviating poverty. since achieving independence, poverty has been dominating in bangladesh. for alleviating poverty, it is important to take apart by government and non-government organizations. in this regarding that women can play a vital role with those organization. the purpose of the research, to analyze the real effect of women empowerment on poverty reduction and make recommendation for developing the situation. keywords: women empowerment, poverty, village development program introduction the topic of women’s empowerment in poverty alleviation is one of the important studies, especially since the establishment of gender equality and women’s empowerment as one of the main points of the millennium development goals (mdgs). investments with gender equality result in the highest returns that involve almost all the development scope (oecd, 2008). women usually invest a higher proportion than men, especially in matters relating to family and social life of the community. there is still discrimination against women in bangladesh, who are still considered only for domestic work at home, and this has impacted on the assumption that women are not allowed to work outside their homes. not to mention many other cases of discrimination for women who limit them to develop their potential. generally, women are more involved in informal work compared to men, women receive lower payments, social threats and challenges, lack of a good working environment, and limitations in making opinions on decisions. in fact, in order to promote mutual prosperity, demanding that all good men and women, girls and boys have the opportunity to realize their potential and participate fully in all aspects of life (klugman, et al., 2014). but the social and religious journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 136 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman cultures of bangladesh consider women to be ‘physically weaker’ than men and hence women are limited to joining economic activities outside of their homes. previous research has shown that 24% of women experience restrictions from their families to go to school, 30.40% become victims in early marriage, 53.60% are illiterate, and 20% have no knowledge of empowerment (hossain, 2011). in fact, in bangladesh, the potential of women to participate, especially in helping economic growth is quite large, almost up to about 50% of the population and almost counterbalance the population of men in bangladesh . according to household income and expenditure survey 2005 (bbs, 2010), 25.1% of the total population lives below the extreme poverty line in bangladesh. it has fallen to 17.6% in 2010 which indicates that the poverty situation is increasing day by day. but among this large population, it is estimated that 28 million people live in poverty (shiree, 2011). the majority of these populations are women. this needs to be confirmed adding them to the national labor force for the growth of the country’s development. the conception of women’s empowerment is used to understand what is needed to change the condition of women who still experience discrimination and poor problems. in developing countries, there are many reasons for the helplessness of women. this control is exhibited by men over women, men over men, and by social, economic and political class dominant over those who are less powerful. the term “women empowerment” has become popular in land development since the 1980s. it is acknowledged that women’s empowerment is needed in relation to sustainable economic growth and poverty reduction (chaudhary, 2009). the general objective of this research is to analyze the potential effect of women’s empowerment on poverty reduction in bangladesh. as well as in particular this article aims to analyze present women’s empowerment activities in rural bangladesh and discover how this empowerment activity of women is making an impact on poverty reduction. literature preview there are numerous definitions for empowerment and organizational change, some of which are described below, but in general the definition of empowerment leads to an attempt to maximize the potential of the individual. this is in line with the statement that the empowerment is a process of transition from a state of powerlessness to a state of relative control over one’s life, destiny, and environment. “the common theme between these definitions is that individuals get “mastery” or “control” over their environment (sadan, 1997). the terminology of the process as expressed in the definition is not stand alone and focuses on the “individual,” but the extent to which the ability to control is used for the social environment. which then the definition of the word “process” is more p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 137the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program directed to a construct that connects individuals and competencies, natural relief systems, and proactive behavior to social policy and social change (rappaport, 1981). in another definition, rowland (1995, p 102) argues that empowerment goes beyond access to decision-making; it should also include a process that directs people to consider themselves capable and entitled to occupy the decision-making space. this opinion reinforces the assertion that empowerment can not only be seen on the basis of the process, but must also see the impact that occurs primarily in the utilization of these capabilities and potentials in the face of problems that occur in social life. empowerment means maximizing the individual’s internal ability to achieve extraordinary results and this is an effort to increase productivity and increase one’s commitment to his social environment. to address the complexity and speed of the challenges faced in today’s environment, the success depends on how much power can be given to everyone participating in solving the problem (parizi, 2002). although in general, the definition of empowerment is increasingly emphasizing bringing people into decision-making procedures, which indirectly place them to have the right access to political structures and decision-making in economic and political zones. poverty alleviation is directly linked to economic empowerment, it is actually the type of individual associated with empowerment plus the first step towards empowering women. it is acknowledged that women’s empowerment is needed in relation to economic growth and sustainable poverty reduction. the conception of women’s empowerment is used to understand the conditions of impoverished and impoverished poor women. in developing countries, there are many reasons to weaken women. controls are exhibited by men over women, men over men, and by dominant social, economic and political classes over the less powerful. 2.1 women empowerment the conception of women empowerment is used to understand what is needed to change the condition of poor permeable and powerless women. the situation of women in reality in the third world and the developing countries does not seem to be very encouraging. they have very small opportunities and few choices in making decisions for their lives. in developing countries, there are many reasons for disempowerment of women, poverty is the most one of them. according to zulfiqar (2017) states that women’s empowerment can be gained by the number of factors like access to educational opportunities, participation in the political process and dispensation of economic opportunities and micro-credit programs. there can be several forms of empowerment required by women according to their needs and demands. basically as revealed by mayoux (2000) that empowerment can be grouped into three types: economic empowerment, increased well-being, as well as political journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 138 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman empowerment. the division of the type is motivated because in some research results, especially in the study of development economics, empowerment is one of the main driving factors to help the reduction of poverty. 2.1.1 economic empowerment economic empowerment is the capacity of women as well as men in order to participate in, contribute to help and benefit via growth processes with measures which know ones signal connected with their contributions, respect it is dignity as well as make this possible to negotiate the fairer distribution involving the benefits of growth (eyben, et al, 2003). economic empowerment increases women’s access to economic resources and also opportunities, including jobs, financial services, property along with productive assets, skills development and also market information. women’s economic participation and also empowerment are fundamental in order to strengthening women’s rights and enabling women to get control in excess of the lives as well as exert influence within society (swedish ministry pertaining to foreign affairs, 2006). women economic power furthermore enhances the current “wealth” as well “wellbeing” regarding nations. negash (2006) women who control his or her cash tend for getting fewer children, as well as fertility rates have shown to end up being inversely related to national income growth. women also are further able-and generally added willing as compared to male counterparts-to send daughters as well as sons to school, even when they earn less than men. the another host of studies indicates the item putting earnings inside women’s hands may be the intelligent thing to be able to do speed up development along with the program of overcoming poverty. women usually reinvest a much higher segment throughout the families and also communities as compared to men, spreading wealth beyond themselves. the own economic empowerment regarding women is usually a prerequisite sustainable development, pro-poor growth plus the achievement associated with each of the millennium development goals (mdgs). gender equality along with empowered women tend to be catalysts pertaining to multiplying development efforts. investments with gender equality yield the highest returns involving just about all development investments (oecd, 2008). women usually invest a higher proportion connected with it is income throughout it is families as well as communities than men. a previous study throughout brazil showed how the likelihood of the child’s survival increased coming from 20% as soon as own mother controlled household income. woman employment, via adding to the incomes of low income households, could possibly help play a great particularly keys to press role in this respect. the item is, therefore, not surprising. this raising female participation with the labor the stress is a declared policy goal with bangladesh. women’s participation at the workplace, leadership role on p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 139the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program the political and social arenas and also admittance to credit is actually regarded just as empowerment involving women. women empowerment would be the reflection regarding gender equality that is to be the precursor for shipting own country forward, towards middle funds status, towards inclusive along with sustainable development. 2.1.2 social empowerment social empowerment is the system of accessing possibilities, in addition to resources in order to make individual choices and have some control over our environment like education, health, nutrition, safe water, sanitation, housing, shelter and since and technology. it is actually all about carrying ways to help change society and so it one’s own place inside that is respected and taken to the terms in that while the person as well as a group wants in order to live, not at terms dictated by others. the sense regarding autonomy and also self-value can be a important and direct, contributory factor intended for enabling someone to participate inside politics and get optimum advantage involving services, including health along with education. economic empowerment, towards the other hand, enables marginalized people to think beyond immediate daily survival in addition to assert greater control more than their resources and life choices, especially decisions with investments with health, housing and education. women are also being desired from an ideal point of view in the decision making process which is very important in the context balanced development of the country (islam, 2006). human capabilities, like decent health and also literacy, offer anyone ones freedom to engage throughout economic activities and participate inside political as well as social life (sen, 1999). capability pertaining to knowledge incorporates not single skills but also a significant self-awareness. empowerments in addition to new knowledge are usually interactive processes in which people’s growing awareness of the changes they want in their life stimulates them to seek the knowledge and information. 2.1.3 political empowerment political empowerment of women becomes more important in a development context where power within can’t be much helpful to women are not strong and empowered from a political point of view. friedmann (1992) presumes power in three forms: social, political and psychological power. individual power and psychological power results from developments in social and political power. social power is intendant to include skill and knowledge that at household level enhance production as well as provides bases for political power. political power in turn is understood to be a mechanism for the influence policies that determine micro and macro structures as well as process. following to friedmann (1992) political power could be influenced from collective action. it is similar to kabeer’s (1999) journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 140 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman and rowlands (1997) conception of “power within” and hence, it would include individual attributes of self-reliance and self-homage. friedman raises the strategy of collective social power that can impact political power in the form of impacting social policies. once the political system involving policy producing in addition to legal formation are influenced this would turn into personal empowerment as well as (friedmann’s terminology) psychological power. young (1993) additionally gave strength at political power. from political power she means women taking “control involving their lives, in order to set the agendas, to be able to organize, to each some other as well make prerequisites to the state intended for assist along with in society itself to help change”. the idea suggests how the way for the empowerment is during political change. own justification this young (1993) provides is actually the item there is usually a “need in order to transform women’s position throughout most of these a way which the advance will be sustained”. as soon as political change can be initiated from women, this would assistance them always be empowered individually inside their personal receptivity. hence, political empowerment is seen as necessary for individual and personal empowerment. johnson (1992, cited in rowlands, 1997) also argues that women’s empowerment in the form of bigger control over the issues in their daily lives is necessary, but more important is their control over political formation. she does not view empowerment of the individual and political levels to be related so that change at one level could influence and bring change at another level. rather, she emphasizes to women’s involvement in political procedure and gaining control of these macro-structures to initiate an empowering change at the individual level. research method the study was conducted based quantitative method. primary and secondary data were used to fulfill the objectives of the study. a structured questionnaire was followed to collect data from the study area. the sample size was 200. the researcher made a single question sheet for each respondent. therefore, all question sheets were given among the respondents. data was collected through a structured questionnaire. the questionnaire focused on some variables like the mobility, economic security, ability to make purchases, involvement in major decisions, political awareness, income generating activities, poverty reducing activities, etc. all samples were asked randomly where all of them were women. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 141the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program discussion and analysis 4.1 characteristics of respondents the characteristics of the respondents are 46% of them belong to the age group of 3035 and 20% belong to the age group of 36-41. 18% of respondents are under 24-29 age group where 13% are over 41 age group. 03% of respondents are belongs to 18-23 age group. among respondents, 05% of them had no education, 29.5% of respondents could only sign, 30.5% had the education level of class i to v, 23% had vi to x (high school) level and 24% had above the class xi to xii level of education. the majority of the respondents were housewife with 82% of total respondents, office worker and self employed business also seen. it is seen that 82% of respondents are housewife. 9% respondents has self employed business where as teacher 5%. office worker also shown although its only 01% and some 03% respondents is doing (day labor, seasonal worker) what i included as others. moreover, according marital status all respondents are married. it also tried to know respondents family size by number of family members. 40% respondents have 5 members in family where 24% has 06 members. 14% respondents have 07 members, 12% has 04 members and only 08% has more than 07 members in a family. house ownership is also important regarding to empowerment. in survey it is seen that 65% respondents has own house , where 33% respondents house ownership belongs to the family. it is seen in the survey area there are also 02% lives in rented house. income is the most important in terms of poverty reduction. its tried to know respondents present monthly income by this survey. 52 % respondents income below 2000 tk. monthly which present more hen half of respondents. 32% of respondents income is between 2001-5000tk. more then 14000tk income has only 02% respondents which is height income among those respondents. 4.2 level of women empowerment in this part it has tried to know about present women empowerment situation in the study area. frequency analysis used as analysis methods to find the level of women empowerment. moreover, some question had tried to measure respondents’ satisfaction level on a related area. for this reason, 5-point likert scale used to measure their opinion. 4.2.1 knowledge about women empowerment the respondents were asked they really know about women empowerment or not. it was seen that total 98% of the respondents heard about that, which means they already understand about women empowerment from the village meeting, which is 34%. 23.5% respondents got awareness through ngo. it shows that they attend in a village meeting and ngo. those organizations play an active role to empower women. it can be seen in the table below. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 142 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman table 1. the source of respondents knowledge about women empowerment 4.2.2 the impact of empowerment it is important to see after empowering what kind of improvement happened in the respondent’s life. this open-ended question was asked to respondents to know what kind of improvement they got after empowerment. 38% of the respondents answered that economic status has changed after become they empowered. social status has changed according to 31% respondents. 21% said role in the family has improved where 09% in the work place. in the other sector only 01% seen in term of improvement. table 2. empowerment and daily life 4.2.3 income generating activities income generating activities are important to reduce poverty. in these regards, respondents were asked they have income generating activities or not. it is seen that 89% of respondents have income generating activities where 22% of respondents don’t have any income generating activities. the respondents were asked what kind of income generating activities they do. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 143the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program table 3. kind of income generating activities 4.2.4 income source it is important to know respondents really had any income source before three years ago or not. by comparing three years ago income with present income we can see the actual effect of empowerment. it is seen that all respondents had income source. as we can see before 3years ago most of the respondents had below 2000 tk monthly income with the 90 percentage of total respondent. only 10 percentages of respondents had more than 2000.tk. income per month table 4. monthly income (three years ago and present time) *(1$ = 79 tk.) after three years, it’s seen that respondent’s monthly income has been increased. most of the respondents with 52 present income about 2000tk, where three years ago, it was 90% of respondents. before three years there were no respondents who earn above 14000tk, but at this time there are 2% of respondents. through these comparisons we can see the improvement of respondent’s income. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 144 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman 4.2.5 support from family male members in the survey time the respondents were asked do they have support from their husband or family others male member. it is seen that 94% respondents said yes and only 06% of respondents said it no, so in the society male can play a significant role to empower women. support can be given in various ways. respondents were asked how the male members support them for their empowerment. in the table it is seen that 47% of respondent get motivation, support from their male family member. financial support also gets 33% of the respondents. moreover, 19% of the respondents said that their male family members help them by doing household work like, cooking, child caring, etc. table 5. getting support from male member 4.2.6 level of decision making ability in the household household decision making ability can be seen as a good indicator of women empowerment. the family is considered as a primary level and most important institution of women empowerment. during the survey the respondents measure their level of decision making ability in their family. it is seen that 19% of total respondents has a very strong level of decision making ability and 72% have strong decision making ability in their family. 3% also found where they have little ability to take decision in their family. figure 1. level of household decision making ability p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 145the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program 4.2.7 women empowerment activities in the village area, also urban area they had village meeting, they joined in women association, mothers club etc. in this regards the respondents were asked do they attained in some group activities for developing village like women association, village meeting, etc. it is seen that 89% of the respondents attend group activities where only 11% respondents not. regarding to regional development program, it has tried to know what kind of group activities they usually attend. it is seen that most of the respondents attend in ngos activities with 42% of total respondents. 26% respondents usually attend in cooperative group activities. here also we can see the women association group activities where 23% of respondents usually attend. table 6. women empowerment activities the respondents were asked how much they participate in the group activities. it is seen that 51% of the respondents participate actively in their group activities. 31% of respondents attend very actively where 18% of respondents neutral. we can see here women participate actively in the various organizations. it has tried to know the respondents opinion value in their group activities. it has observed 45% respondents answered they can express their opinion frequently. 43% of respondents express their opinion very frequently where 10% of respondents express their opinion often. there are also 2% respondents who measured her opinion value as journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 146 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman very often. here we can see most of the respondents have their opinion value in the organization meeting. 4.2.8 barriers of mobility the respondents were asked during survey they have any kind of barriers to go outside from home or not. accept only 10 of the respondents they don’t have any barriers to go outside. it is seen that 95% respondents have the freedom to go outside from whom, which is most important for empowering women. among the total respondents only 10% of the respondents have barriers to go outside. they were asked what kind of barriers they have. it is seen that there are 2 barriers they have. one of the family barriers another one is religion. table 7. barriers 4.2.9 political affiliation as earlier chapter it has been discussed that political empowerment is important to take a control over their daily lives. to investigate the respondents were asked do they have any political affiliation or not. it is seen that 77% of respondents have political affiliation and 23% respondents have no political affiliation. table 8. political affiliation it is seen that in the study area women are aware about their voting power. when they were asked, did they attend in the last national election. 93% of them answered they attained last national election. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 147the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program 4.3 level of poverty reduction 4.3.1 importance of the empowerment women empowerment is considered as a special tool for reducing poverty, especially in developing countries.. the respondents were asked through self-assessment question which is “reducing poverty, women empowerment is important”, do they agree or not. it is seen that 63% of them were agreed with this. they think really women empowerment have an effect to minimize poverty. moreover, 30% of respondents were strongly agreed with women empowerment is important for reducing poverty. it was also observed that 07% of the respondents were neutral. table 9. importance of the empowerment for reducing poverty it has observed in the field study women empowerment have good effect on poverty reduction. according to the respondents it has a good effect with 44% of total respondents of it. 36% of respondents said it has fair effect where 16% of respondents said it has excellent effect on poverty. only 4% of respondents seen who mention women empowerment have a poor effect on poverty. table 10. reasons of the importance of women empowerment journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 148 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman the respondents were asked if they agree or strongly agree with this then mention the reason. the reason why they agree, come out through their comments. the findings are summarized below shortlya. it is observed that 42% of total respondent’s seems women empowerment is important for their self-dependence. according to them women empower increase self-dependent capacity, which is important for women to get a strong position in the society. b. 31% of the respondents were answered they can play an active role to develop their family situation. c. women’s right can be ensured by empowering women. according to 23% of respondents. d. 20% of respondent’s emphasis on self-initiations. they can do work with their selfinitiations. e. women empowerment can make an equal distribution in the society. 16%of the respondents answered. equal distribution can reduce poverty. f. it is seen that 7% of respondents answered women empowerment can play active role in social development. 4.3.2 role to reduce poverty the respondents were asked do they have really any role to reduce poverty or not. it is seen that 94% of the respondents has role to reduce poverty where 6% of the respondents have no role. the respondents were asked what kind of role they are playing to reduce poverty. among them, 52% of respondents are playing their role by motivating others. they motivate others for involving with some income generating activities, go to school, start an entrepreneurship, etc. 42% of respondents they play their role by giving financial support to others. another 06% of respondents involve with others activities which can also help to reduce poverty. it has observed there are some obstacles to play role to reduce poverty. the respondents have lack of decision making problem, lack of supporting opportunity, lack of participating opportunity. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 149the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program table 11. kind of role and problem to play a role 4.3.3 ngo interventions for empowering women the non-government organization is working at the root level to empower women and reduce poverty especially in rural area. all over the bangladesh there are almost 1300 ngos which are working to reduce poverty and to improve rural living standards. it is seen that 90% of the total respondents have membership in the ngo or village organization. it observed that ngo have been playing an active role to empower women by giving some empowerment training and by providing some credit for improving their life. figure 2. membership in ngo/village organization respondents were asked in what kind of organization they have membership. it was requested to mention the organization name. it is seen that all of them are involved with ngo. 52% of respondents have membership in sagorika unnoyon songstha which is local ngo. dip unnoyon songstha also another local ngo where 36% of respondents belongs to this. cdsp, brac and hid bangladesh have 2%, 3% and 7% of respondents. it is seen that in the study area local ngos playing role more effectively than others. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 150 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman it has tried to know what kind of training provided by ngo for empowering women through agriculture and poultry training. 27% of respondents took agriculture training where 28% poultry training. because of core rural area ngos think it is the better way to minimize the poverty by these kind of training. entrepreneurship and health & sanitation training also provided by ngo. those trainings can improve the respondents living standards and income level. table 12. types of training courses of ngo 4.3.4 micro credit and government support figure 3. level of impact of micro credit/government support on poverty reduction it is seen that 90% of respondents took micro credit/government support where 10% not. the respondents were asked after taking these support what is the impact of this support on poverty situations. it is observed that most of the respondents said that it has a good and a fair impact with 45% and 27% of total respondents. 21% respondents said it has an excellent impact on poverty reduction. only 7% of respondents said it has poor p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 151the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program impact on poverty reduction. we can see most of the respondents answered it has a good impact on poverty reduction. 4.4 correlation between women empowerment and poverty reduction this part is trying to analysis the effect of women empowerment on poverty reduction. to find the real effect of women empowerment on poverty reduction, the correlation coefficient will used with p value. the p value used to find it statistically significant or not. as variable empowerment, education, training, group participation, political affiliation, credit, income and poverty were used. in the study it was attempted to find a correlation between empowerment and income as well as poverty. education used to find a correlation with empowerment, income and poverty. thereafter, training used as independent variable where empowerment, income and poverty dependent variables. group participation used as independent variables to find a correlation with empowerment, income and poverty. political affiliation as independent variable where empowerment, income and poverty is dependent variable. here credit is independent variable and empowerment, income as well poverty dependent variable. table 13. correlation analysis between women empowerment and poverty reduction journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 152 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman women empowerment can increase income. there is a positive correlation between empowerment and income. whereas r = 0.421 and p value .000. empowerment and poverty also have a significant relationship which is r = 0.519 and p value .000. it was tried to know how is the respondent’s education have an impact on empowerment or not. we can see there is a positive correlation between education and empowerment, where r= 0.527 and p value being .000 its indicate there is a significant relation between two variables. it is seen that there is a significant relationship between education and income whereas r = 0.298 and pvalue .000 it’s indicate education and income have a significant relation. it’s also important for empowerment as well as poverty. between education and poverty pearson correlation is being = 0.309 where p value .000 training and empowerment have a significant relationship, here r = 0.268 and p value being .000. there is also a significant relationship between training and income increase with r = 0.496 and p value .000. it is seen, training and poverty has also significant relationship where r = 0.463 and p value being .000. it was tried to know the group participation is important regarding empowerment and poverty reduction. group participation and empowerment has a significant relation with r = 0.318 and p value .000 group participation also have the relationship between income and poverty. participation and income shows r = 0.269 and p value being .000. participation and poverty indicate a significant relationship with r = 0.256 and p value .000. political affiliation has a significant relation with empowerment where r = 0.292 and p blue being .000. it is seen, political affiliation has a relationship with an income increase with r = .233 and p value .001. political affiliation and poverty has a relationship where correlation r = 0.229 and p value being .001. it is seen that micro credit has a significant relationship between empowerment, income and poverty. between microcredit and empowerment r = 0.283 and p value being .000. microcredit and income indicate good relation where r = 0.316 and p value .000. microcredit and poverty also have a significant relationship with correlation r = 0.372 and p value .000 which indicates a good relationship between these two variables. 4.5 discussion the research result findings shown that women empowerments have a positive effect on poverty reduction. still women have some problem to be empowered which is little evident from the study findings. it is seen that in result analysis, 98% of respondents has awareness about women empowerment. when they asked where they knew about this, 57.5 percent of respondents mentioned about village meeting and ngo. 17.5% respondents knew from family. we can say, it is a good effort from those organizations who are playing role to make awareness among the women. table 4.2 mentions about women empowerment impact on respondents daily life. 38% respondents told empowerment p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 153the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program changed their economic status where 31% told empowerment changed their social status. its seen from this, women empowerment has good impact on respondents daily life. income generating activities are also important for poverty reduction. among 200 respondents 178 respondents are involved with income generating activities. it is good to see, but we need to involve anther respondents in the income generating flow for overall progress. income source has a good effect on daily life and in term of poverty reduction as well. training its compared with three years ago income and present income for understanding what is the change after getting training or empowered. it is seen, their income increased. before getting training their income was mostly below 2,000.tk with 90% of total respondents and after their income increased. we found their income increased significantly. it is evident that training has an effect on income. in the study area there are some ngo and organization who are providing income generating training. education is the most important part for empowerment. in this study, it is tried to find out respondents education level as well as its effect on empowerment. it is seen that most of the respondents have high school, primary level education. the respondents were asked about their family support. family support is important for women empowerment. if the family gives some space to women, then it will be easy to be empowered. 94% respondents said they got their family support in terms of their empowerment. another 06% of respondents has problem with this. the result show the respondents participate in group activities for developing village and they participated actively in group activities. group participation is important for developing own self. women usually participate in women association, cooperative, ngo, and village meeting. ngo participation is higher than others, women association as well as cooperative. respondents also attend at village meeting. by group participation women can share their ideas with others and they also can get another new idea from others. during village development programfor participating in the villege meeting every family were asked to attened in meeting. absence of men many women participate in meeting. usually in meeting as a leader one men as well as women selected. which was very different with that period. respondents were asked to measure their opinion, the expression value. according to respondents 51% participate actively in the group meeting. 31% of total respondents participate very actively where 18% respondents were neutral. sharing is the important for overall development. in the survey area ngo has activities in term of empowering women. ngos are providing education, agriculture, poultry, entrepreneurship, fishculture, forestration, vocational, health and sanitation etc. however, there are significant relationship between women empowerment and income increase. which indicates women empowerment can increase the income level here p value being less than .05 that’s indicated significant evidence against the null hypothesis. journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 154 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman it is proved that empowerment has an effect on income increase. education is much important regarding empowerment. there is a very strong relationship between education and empowerment. that’s indicat the necessity of education for empowering wome. educaion also important to increase income where as between two variables shows a significant relationship. it was observed educated people can earn more than illiterate people. so, for income increasing education is important. if income increase poverty must be reduced. training also has a good impact on empowerment. actually, if women get training they will be know how to develop their skill. in terms of income increase training play a significant role. it is tried to know the training really can increase income or not in this study it proved there is a strong positive relationship between training and income. training is important to reduce poverty by developing human skill. if women participate in group activities they will empower and their income will increase or not? according this question it tried to know and found through correlation. it is seen in results part ,there are good relationship between tow variable where it can said group participation can empowered women. group participation and income increase also show significant relationship, which give the positive evidence about group activities and income incriease. poverty and group participant has a relationship where it can be said group participation is important interms of reducing poverty. political affiliation also has a relationship with empowerment. sometimes it helps to empower women even though in study area increase income and helps to be empowered. these results show there is a positive significant relationship between two variables but not so strong relationship. by this evidence it can be said political affiliation has relationship with income increase even thoug its not strong. nowadays microcredit seems as a good tool for reducing poverty. in this regards it has tried to know, is there a relationship with empowerment, income and poverty. credit and empowerment has a good relationship where it can be said credit can empower women. moreover, income and poverty has a significant relationship with credit. it is evident after taking credit, income can be increased as a result poverty will be reduced. to full-fill the research title it is tried to know what is the effect of women empowerment on poverty reduction. it is seen there are a strong positive significant relationship between two variables. women empowerment is related to social, economic as well as political. women represent half of the population of the country. it can be a good technique to reduce poverty by empowering women. it is proved from this study, women empowerment can reduce poverty effectively. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 155the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program conclusion the major objective of the study was to identify the effect of empowerment in poverty reduction in the rural society of bangladesh. there are 66 % people lives in a rural area in bangladesh (world bank, 2014). rural area needs to be developed to make balance with the urban area. moreover, rural area supper lake of opportunity in terms of empowerment and poverty. education found as a most important variable regarding to empowerment. it is seen the study area upper class x only 12% respondents where most of them only primary educated and only can sign. lack of education is a barrier to empowerment in the study area. however, in terms of increasing income training play a significant role. the study result shows that effectively. some ngo were found in the survey who providing various training, including income generating training. respondents strongly believe that if they get more training their income will be increased. it is also evident from the analysis where their income before three years and after three years was analyzed. moreover, group participation develops women’s capacity to be empowered. in the study area 89% respondents joined group activities and they found it positively in terms of their self development which helps them to express their opinion. training can increase awareness about empowerment among the respondents. political affiliation is important in terms of leadership. it is shown that in the study area respondents have political affiliation, but this dose not mean their active participation in political activities. however, most of the respondents believe that women empowerment is essential in terms of their entire development. poverty can be reduced through the empowerment. the study found respondents have obstacles on the way of empowerment like, social, religion, economic as well as family barriers. it is evident from the above discussions women empowerment have a positive impact on poverty reduction. as we saw in the early chapter if women can be empowered, then poverty will be reduced gradually. most of the respondents seem women empowerment is one of the important tools to reduce poverty. 5.1 recommendation keeping in mind the prevailing problems as discussed in the study findings the following recommendations are made according to village development program for further consideration. a. involve in executive sector in the study it was found that empowerment has an effective linkage with education, training, formation of groups and involvement, which economically and socially increase the capacity of women. as a result of that their economic situation has journal of government and civil society, vol. 1, no. 2, september 2017 156 showkot jahan nadim & adie dwiyanto nurlukman improved. but proper utilization of resources and its distribution is not supporting the empowerment process more effectively. from policy and implementation level these issues should be addressed properly. the study indemnify that women’s participation in executive sector/policy level is important to develop women’s status. it should be ensured whether women are not outside the project. president park (south korea) spoke often how women’s positive participation in village development program would improve their status. the government should keep the present women empowerment trend for developing more in this sector. b. involve in legislative committee when we are talking about women empowerment, we need to give more focus about women’s right and involve them into policy making level specially related with empowering and poverty reducing activities. women should be added at policy making level for ensuring their right. it is proved that more engagement of women in the poverty reducing activity increase more possibility interm of poverty alleviation and as well empowerment. so, the government should have to confirm women’s participation in legislative committee in the women empowering and poverty redacting project. c. increase the government support the government should support women’s organization to improve women status in organization level. so, it is established that governmental support is very much important for any kind of development. government should pay more attention in women empowerment as a strategy of poverty reduction. references bbs. (2010). household income and expenditure survey (hies) 2005. bangladesh bureau of statistics. chowdhury, o. h. (1997). pushti, daihik bikash o daridra (nutrition, physical development and poverty. dhaka: bangladesh institute of development studies (bids). eyben, r. (2003), “donors as political actors: fighting the thirty years war in bolivia”, ids working paper 183, institute of development studies (ids), brighton, www.ntd. co.uk/ idsbookshop/details.asp?id=737. friedmann (1992), questioning empowerment: working with women in honduras, oxfam publications, oxford. hossain, m. a. (2011). socio-economic obstacles of women empowerment in rural bangladesh: a study on puthia upazila of rajshahi district. research on humanities and social sciences, 1-12. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 157the impact of women empowerment on poverty reduction in rural area of bangladesh: focusing on village development program kabeer, n. (1999a). targeting women or transforming institutions? policy from ngo anti poverty efforts. in eade, d. (ed.) development with women. london: oxfam, p. 32-45 khan, s. (2006), problems of professional women in bangladesh. paper presented at a seminar organized by the business and professional women’s club in dhaka, p-3 klugman, j., hanmer, l., twigg, s., hasan, t., mccleary-sills, j., & santamaria, j. (2014). voice and agency : empowering women and girls for shared prosperity. washington dc: the world bank group. mayoux, l. (2000). micro-finance and the empowerment of women : a review of the key issues. social finance working paper no. 23. international labour organization. parizi, m. i. (2002). management of organizational behavior. tehran: management training researches institution. rappaport, j. (1981). in praise of paradox: a social policy of empowerment over prevention. american journal of community psychology, 1–25. rowlands, j. (1997). questioning empowerment: working with women in honduras. oxford: oxfam. sadan, e. (1997). empowerment. tel aviv: hakibbutz hameuchad publishers. sen p. (1999) ‘enhancing women’s choices in responding to domestic violence in calcutta: a comparison of employment and education’, the european journal of development research 11(2) shiree. (2011). the state of extreme poverty in bangladesh: learning and outcomes from the shiree programme. shiree. swedish ministry pertaining to foreign affairs, 2006, papers presented at the national seminar on poverty alleviation through women empowerment, oxford university press zulfiqar, b. (2017, october 14). women & economy: the politics of empowerment in pakistan. diambil kembali dari support imran khan: http://www.supportimrankhan.org/ articles/story.aspx?&id=53 1 citation : widyatama, bastian. 2018. “applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, 1-18. journal of government and civil society vol. 2, no. 1, april 2018, pp. 1-18 doi: 10.31000/jgcs.v2i1.643 received 13 february 2018 revised 24 february 2018 accepted 26 february 2018 applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region bastian widyatama1 1park chung hee school of policy and saemaul, yeungnam university, south korea email: bastianwidyatama@gmail.com abstract kingdon’s multiple streams, a framework to analyze agenda-setting process is widely considered as a ‘universal’ theoretical framework because of its flexibility to be applied. therefore, it is necessary to investigate the validity of this ‘universal’ term.by using the case of the establishment of law no.13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region, this research aims to apply and examine the kingdon’sframework. the research has been done by using the qualitative method. interviewing key persons and interpreting written documents are main techniques in data collection process. as the result, this framework remains applicable in the yogyakarta case. there are 3 factors that brought yogyakarta issues into the central government’s agenda encompass problem, policy, and politics. politics is the most dominant factor indicated byyogyakartans strong political movement and sultanate of yogyakarta’s political approach. in addition, sultanate of yogyakarta canalso bediscussed as a policy entrepreneur. as the conclusion, this research has a significant contribution to kingdon’s multiple streams framework which is still able to explain social phenomena in policy making studies although there are some concerns that need to be explored further, particularly regarding the role of media and policy entrepreneur. keywords: agenda setting, policy, law no.13 of 2012, sultanate of yogyakarta introduction in the democratic era, every policy is usually created to solve certain public problems. in the real world, government as the policymaker is not able to solve all matters which arisein society. it is in line with the condition where the public demands have been continuing to increase. in this regard, there are only several problems which are prioritized by the government in the policy-makingprocess. to successfully take precedence over, several actors from outside government attempt to boost certain issues (halligan in peters and savoie, 1995). this kind of circumstance happens because the government also has limitation to pick up social problems. hence, actors outside government also play an important role to influence policy-making process even though they do not have authority to make a decision in policy-making. the kingdon’s work on multiple streams framework asserts that policy-making process is not always linear as a traditional concept explained. it means that there are many dynamics in this process where the ambiguity and uncertainty conditions exist as kingdon mentioned. as a universal theoretical framework, it is necessary to probe the flexibility of kingdon’s work since it is only applicable for particular regions such as in the united journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 2 bastian widyatama states and some of the european and asian countries. moreover, cairney and jones (2015) confirm that multiple streams framework is a well-known theory but little applied. therefore, this study presents to fulfill the vacuity of the application of kingdon’s work by applying this framework in yogyakarta case. the establishment of law no.13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region can be lifted as a proper case to apply multiple streams framework. it cannot be separated from the fact that this law needed more than 10 years to be authorized by the central government since the problem emerged in 1998. that was the year when sultan hamengkubuwono ix (sultan hb ix) died which led to the political polemic (sesung, 2013). moreover, during those years (1998-2012), many political dynamics occurredfrom proposing policy drafts to negotiation between two leaders, the president of republic of indonesia (susilo bambang yudhoyono) and the governor of yogyakarta (sultan hb x). according to the brief explanation above, it is not easy to enter particular issues or problems into the central government’s agenda. hence, there should be some factors that are able to promote those issues on the government’s agenda. later, the government can pay attention to the public issue and consider it as a problem that should be overcome through public policy. the kingdon’s multiple streams framework will absolutely help the author to find out the factors that may have affected the agenda-setting process. in this regard, the general objective of this paper is to apply and examine the kingdon’s multiple streams framework by using yogyakarta case. more than that, this paper is also intended to give an academic contribution towards kingdon’s work. literature review a policy is an essential thing to be created in a bid to obtain certain goals. however, there are many definitions of public policy. thomas dye defined public policy as something chosen by the government to do or not to do (howlett and ramesh, 1995). the government becomes the most important stakeholder in decision making because of its authority and function. in detail, there are phases of the policy-making process that usually identified as policy cycle. those encompass agenda setting, policy formulation, policy adoption, policy implementation, policy assessment, policy adaptation, policy succession, and policy termination (dunn, 2012). agenda setting is the most substantial phasein policy-making process because it will determine the problem that will be discussed. from many problems that exist in social life, only a few of them are able to get into this first step. it happens because government as decision maker also has limitation to accommodate all societal needs. this circumstance depends on how the government considers certain condition or issue as a problem that needs to be solved immediately. if not, then the issue cannot enter into policy cycle and the government will not provide any solution to resolve it. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 3applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region in detail, agenda-setting is the process by which the owner of the agenda (government) organizes activities in the priority scale based on the interests of the proprietor of the agenda (santoso, 2010). some scholars also explain agenda setting as a process to determine the main problem in order to be addressed by the government (jones, 1977), a selection process of matters be overcome by the government (meltsner, 1976), and a process of searching and filtering issues (hogwood and gunn, 1984). government as the decision maker will examine any problem or issue that has been accepted as aproblem by the public in agenda setting. therefore, the competition of various interests to get priority in the public agenda often a fierce battle, where each interest must fight for getting priority(birkland in fischer at.al, 2007). to understand how an issue is able to enter into the government’s agenda, there is a well-known theoretical framework named multiple streams. this explains how an issue can be considered a public agenda through three streams i.e. problem stream, policy stream, and political stream (kingdon, 1984). problem stream is a process to identify and define the issue which is perceived to be serious and critical to be addressed by the government as a policymaker. policy stream is involved in the process of formulation and adopting policy alternatives or solutions. then, politics stream consists of three major components encompass national mood, organized political interest, and the government’s dynamics. political events such as demonstration, the voice of interest group, and election highly enable to influence policy outcome. the main argument is those three streams need to occur simultaneously and converge together at a critical point or ‘policy window’ if a mere problem wants to be transformed into concrete policy. nevertheless, problem and politics streams are considered can significantly influence government’s agenda, while the alternatives to solve the problems come from policy stream (sabatier and wolman in zhou and feng, 2014).this framework comes from the reason that the policy-making process is often irrational and dynamic because of the ambiguity in policy environment (zahariadis, 2003). in more detail, ambiguity can be defined as the condition in which government does not really know the problem that should be overcome. it also happens in public where they are not able to specifya problem. the multiple streams framework actually is the development of garbage can model that explainedthe condition where there are many actors, objectives, and views in the policy environment. so, it will contribute to how policy is made in ambiguity environment as mentioned above (turpin and marais, 2004). therefore, this framework is able to examine some issues such as how policymakers’ attention is captured, how problems are formed, and the problem-solution matching process (john, 1998). journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 4 bastian widyatama problem stream a problem sometimes comes from certain issues that are not really defined as a public problem in which many people do not sensean issue as their problem. therefore, if the problems come from a specific group of people, they must have the skill to alter an issue into a public problem. they have to understand that in order to reach government’s attention, the problems must be urgent and significant (birkland, 1997). the problems fade from government’s view if people pay attention to the problems only for short period time or temporarily. if correlated with policy entrepreneurs, they can take a role to transform certain issue or their interest into a public problem to get legitimacy ofthe public and attract the government’s attention. it means that they have to convince the government that the issues they articulate are urgent and significant. policy stream in this process, some actors such as government, advocates, and academics compile a list of alternative proposals to solve the problems. hence, this stream is also called as solution stream. it means that policy communities are able to provide alternatives to the government in order to respond the problems. in this term, policy entrepreneur can also be seen as an actor who provides a solution to government. moreover, government as a decision maker has authority to choose the highly favored one that might be provided by some actors. in the case that there is no specific list of alternatives provided by policy communities, the government is capable to adapt and modify certain policies that have the same issue. politics stream the last, politics stream consists of two major components encompass national mood and organized political forces.kingdonemphasized that this stream is one of the most pivotal streams which can strongly influence the government’s agenda. even if there is an actor who has access or link directly in governmental bodies, the bargaining process will be more powerful. slightly different from policy stream which builds consensus by persuading, the political stream builds consensus through bargaining (jenkins, 1995).related to the policy entrepreneurs, they can effectively influence government to pay attention to certain issues if they have a link with persons inside governmental bodies. even, if interest group does not link with a person inside government, the issuecan easilybecome government’s agenda if persons inside government also have same interest with policy entrepreneur’s interest. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 5applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region figure 1. kingdon’s multiple streams model policy window and policy entrepreneur policy window can be defined as a chance or opportunity for certain issues to be considered as solemn problems that need to be solved immediately (kingdon, 1984). this policy window opens when 3 streams mentioned above could work simultaneously. if one of those streams is absence, it will be difficult to elevate an issue to government’s agenda. due to the period of policy window to open is short, the policy entrepreneur needs to seize the opportunity to facilitate the work of 3 streams in one time (kendall 2000; petchey et.al 2008; oborn et.al 2011 in zhou and feng, 2014). therefore, policy entrepreneur should act quickly to utilize such condition or the opportunity to promote the issues in government’s agenda will pass (zahariadis, 2007). this framework also stresses the existence of policy entrepreneur who can encourage the government to approve certain problems as its agenda. in addition, policy entrepreneur can be defined as an actor who is willing to invest time and energy to champion an idea or a proposal in order to make certain issues move on the agenda and into a position of enactment (kingdon in budiarto, 2009).another definition, policy entrepreneurs are actors who with tenacity, knowledge, and power try to further their own policy end in government’s agenda to solve certain problems (kingdon, 1984; jones, 1994). there are three qualities for an actor to be considered as successful policy entrepreneur such as influential to speak for others, persistence, and must be well-known for its political journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 6 bastian widyatama connections or negotiating skills. in many studies, policy entrepreneur is able to play its role in both problem and policy stream, even in politics stream (e.g. crow 2010; houston & richardson 2000; lindquist et al. 2010). to reach the policy outcome, policy entrepreneurs should have a strong figure to boost the issue. it means that it is notable for policy entrepreneur to have bargaining power against the government as a decision maker. research method the method that is used in this research is qualitative because thisis fit to interpret any data from many sources. even it enables the author to gather description data, either written or spoken from the unit analysis which becomes the research object (moleong, 2008). in this regard, data is collected by using field research. it means that author conducted an in-depth interview with some actors as representative of sultanate of yogyakarta. the data from interviewees will be the most pivotal thing in this research, while written documents, picture, and statistic are applied to the complementary data (lofland and lofland, 1984). furthermore, the author also utilized written documents as secondary data. existing studies, mass media, and the law no.13 of 2012 itself will surely be complementary data besides interview result. according to those data sources, there are 2 main steps that were carried out in data collection process. first, the author collected data from written documents such as mass media, existing study, policy drafts, and others. second, the author conducted an in-depth interview with some key persons. the function of the latter step was to confirm the earlier data that author obtained from written documents. analysis the long journey of the establishment of law no.13 of 2012 could not be separated from factors that boosted diy issues into the central government’s agenda. there are 3factors which played important role in the agenda-setting process encompass problem, policy, and politics. in this regard, problem, policy, and politics streams happened sequentially. problem stream occurred when sultan hb ix passed away in 1988 and escalated in 1998 when pakualam viii also passed away. later, policy stream started to exist in 2002 when yogyakarta province local assembly (dprd diy) tried to propose policy draft to the central government. furthermore, politics stream rose since 1998 in the time thatyogyakartans surrounded dprd diy asking for sultan hb x as a new governor of diy. those three factors workedconcurrently until they found its moment when sby releasedthe controversial statement in 2010. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 7applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region problem stream: the governor position of yogyakarta the issue thatcame up as a problem was in the filling position of governor and vice governor mechanism. it appeared when yogyakarta leaders passed away in 1988(sultan hb ixas a governor) and 1998 (pakualam viii as vice governor). the politicalsituationwas perplexedbecause there was no specific regulation that could tackle this political oddity, including the law no.3 of 1950 on yogyakarta special region establishment. according toanother law on principality of local government (law no.5 of 1974), the position of governor and vice governor should be elected by legislative. however, when such discourse spurted, yogyakartans agreed to refuse the idea. they wantgovernor position should be from the enthroned king in sultanate of yogyakarta. moreover, that moment could be the starting point how the polemic on the privilege of yogyakartaemerged. as the implication, sultan hb x became the single candidate for governor position and inaugurated by the president through presidential decree. due to this political situation, dprd diy considered the filling mechanism issue as a problem that should be overcome by the central government (novasari, 2010). interestingly, there was an assumption that the main problem of yogyakarta was not the status of ‘special’ itself, but the status and position of sultan hb x and pakualam ix in the governmental system (marcelina, 2014). the filling governor mechanism problemwas escalatedto the next level onthe debate between appointment and election.the appointment and election issue caused a horrendous schism in yogyakarta society. there were 2 groups known aspro-penetapan (pro-appointment) and pro-pemilihan(pro-election). pro-appointment is those who agreed if enthroned kings in sultanate of yogyakarta and puro pakualaman (called pakualam)would be inaugurated automatically as governor and vice governor of yogyakarta. on the opposite side, pro-election argues that the governor and vice governor position should be elected directly by thepublic as it is undertaken in other provinces(ardiyanti and darmawan, 2014). in addition, they assert that public has right to elect and to be elected. policy stream: appointment vs election in the case of yogyakarta, there were some policy drafts (ruuk diy) that had been sent to the central government in a bid to deal with the problems. all policy drafters were agreed that privilege of yogyakarta should be arranged appropriately by law so that this regionis able to have its legal foundation. mostly, those policy drafts had the similar alternative to surmount the problem. however, the distinction between them was the filling governor and vice governor mechanism. in this regard, policy draft from department of politics and government (dpp), gadjah mada university had different notion where journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 8 bastian widyatama the governor and vice governor should be elected by people whilst sultan and pakualam have a higher political position than the governor. furthermore, the various types of ruuk diy could be categorized into 3 perspectives.first is conservative. conservative group is those who wanted to preserve the feudalistic culture of sultanate of yogyakarta. they suggested sultan and pakualam become the governor and vice governorautomatically.second is transformative. they made serious effort to do change in yogyakarta governmental system by combining political aspect as a contributive and constructive domain. in detail, they wantedthe two kings still have the highest position in yogyakarta although the governor and vice governor would be opened for public. the third is critical-liberal. they argued that change should always happen in accordance with the ‘trending politics’ which is ongoing currently. hence, they also wanted to conduct an election for the governor and vice governor position(rosari, 2011). many policy drafts that appeared in public affectedthe complexity of how the central government would decide the fix one. however, in 2010, the central government decided to send ruuk diy on its own version to national assembly (dpr). in that version, the central government still suggested undertaking election process (kompas online 16th december edition, 2010). the secretary of state said that the policy draft from the central government was the final one and he hoped that various types of policy draft could enrich the discussion in dpr (republika online 10th december edition, 2010). in short, the central government persevered to keep going in its political standpoint in which governor and vice governor position should be elected. on the other hand, most yogyakartans and policy drafters aspired to conduct appointment rather than election process. this kind of situation led to the high political tension between jakarta (capital city) and yogyakarta. politics stream: the yogyakartans political movement the yogyakartans political movements from 1998 to 2012demonstratedan important role to initiate occurrences in problem and policy stream. in problem stream, the masses successfully identify their own interest as a public problem. they unconsciously blew up appointment and election issue into public where they required their kings become the governor and vice governor automatically. on the other side, they are able to encourage local government and some academic groups to pay attention to theyogyakarta issue. as the result, drpd diy and some academics offered policy draft to the central government for the first time in 2002 and 2003. since that time, many stakeholders tried to offer and convince dpr as the decision maker institution by using their own versions of policy draft. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 9applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region afterwards, the political contestation between central and local was an aftermathof strong grassroots movement in yogyakarta.there was an also strong disparity between yogyakarta under sultan hb x as enthroned king and the central government under the president sby (rachman, 2014). moreover, local media also tended to exaggerate the movements of the pro-appointment group in comparison withthe pro-election group. the domination of the pro-appointment activities affected to the pro-election group which became marginalized. it also took place inthe national level where the national mood was created with the position that all of yogyakartans supported appointment mechanism and stood against the central government. for example, kompas as a national media had a tendency to support the pro-appointment group by blowing up the appointment issue compared to another one (bangsawan, 2012). it is also noteworthy that the movements of yogyakartans cannot be detached from the relationship culture between king and people, mainly in javanese culture (gatara, 2009). there is a strong relationship between both of them in which they express mutual respect and responsibility. in javanese culture, people believe that a king is willing to provide prosperity for people. on the other hand, people will serve their king with loyalty. related tothe movements conducted by yogyakartans, this relationship can be the main reason why they voluntarily are ready for their king to fight for the privilege of yogyakarta. the president’s controversial statement: opening policy window looking back on the first time the yogyakarta issue came into view in 1998, each stream denoted its work. problem stream arose together with politics stream whenyogyakartans conducted a rally in front of dprd diy and asked their representatives to fix the filling governor mechanism problem. then, the policy stream followed those streams in 2002 when dprd diy made effort to offer policy draft to the central government. since that time, those 3 streams turned on but they never found its moment to open the policy window until 2010. this period can be said as uncertainty because the central government never indicated a clear signal to earnestly discussthe yogyakarta matter. the president’s controversial statement in 2010 could be indicated as the chance when three streams were coupled. indeed, it was a moment in which president sby felt depressed. however, his pronouncementsignified a strong political standpoint and a confirmation that the central government still wanted to conduct election rather than appointment process. by then, the political pressure and national mood regarding yogyakarta problem were getting stronger. as the impact, the discussion on yogyakarta significantly grew up at the national level and became the most necessary discussion in the central government’s agenda to be addressed. then, this discussion ended in 2012 when yogyakarta and jakarta agreed to implement law no.13 of 2012. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 10 bastian widyatama figure 2. the application of yogyakarta case in kingdon’s framework wait and see: the sultanate of yogyakarta’s political strategy as policy entrepreneur interestingly, sultanate of yogyakarta as policy entrepreneur did not bring out any significant political pressure to the central government. in the other words, sultanate of yogyakarta is not too active. hence, this local monarchy institution only holds on to a principle of ‘wait and see’. wait and see means that sultan hb x and his families would respond all the political situation if they need to respond it. otherwise, they always ‘throw’ the yogyakarta issue into public in order to gain public attention. even though its roles are not really prominent, sultanate of yogyakarta is still consistent with its interest since the problem appeared in 1998. this institution still desires to conduct appointment rather than election. no matter how it yet can be identified the roles of sultanate of yogyakarta in the case of proposing recommendation. this local institution was always asked to provide a suggestion for all policy drafters, including policy draft from academics, local and national legislatures, and other stakeholders. in addition, when policy draft entered in dpr discussion, sultanate of yogyakarta (sultan hb x) was invited to provide notion and explanation regarding yogyakarta issue. implicitly, sultanate of yogyakarta still struggled to goal its interest in which governor and vice governor position should come from p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 11applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region enthroned kings. sultan hb x affirmed that its interest was also in line with yogyakartans’ interest. the political process ended when sultan hb x and sby had a meeting directly to determine the fate of yogyakarta. the formal meeting happened in june 2012 after the powerful speech from sultan hb x in may 2012 (he declared that governor and vice governor post must be from two local monarchy institutions in yogyakarta). however, such speech rose due to the uncertain political situation regarding the policy draft discussion in dpr. that moment was recorded as the most powerful political approach from sultanate of yogyakarta in order to ‘tame’ the central government’s political standpoint. the political effort from sultanate of yogyakarta was not in vain because it activated negotiation process between those two stakeholders. as the result of it, the central government approved sultan hb x’s interest (ardiyanti and darmawan, 2014). on the other hand, sultan hb x likewise agreed if sultan hb and pakualam will not be a member of political party. in detail, sultan hb and pakualam will be appointed by dprd diy and inaugurated by the president in every 5 years. discussion the case of law no.13 of 2012 establishment can be the best example how kingdon’smultiple streams framework (msf) is still relevant to be applied. compared to advocacy coalition framework (acf) introduced by sabatier, kingdon’s work is fitter to depict the case of yogyakarta. kingdon argued that the process of agenda setting sometimes happens in ambiguity and uncertainty situation. on the other hand, the case of yogyakarta obviously reflects what kingdon argued about uncertainty and ambiguity. it needed more than10 years to make an issue enter into the central government’s agenda. since the public defined the main problem of yogyakarta, there was uncertainty condition where the central government never paid attention to yogyakartans’ aspiration. however, the ambiguity can be explained by the condition of society who was trapped by the filling governor position mechanism issue. it made the debate only focused on that concern regardless other important issues such as the land status, culture, and others. furthermore, yogyakarta case can be taken into consideration as the additional research which proves the flexibility of kingdon’s theory. the multiple streams theory has been applied to multiple cases in the world (see sharp 1994, woods and peake 1988). many studies successfully apply kingdon’s multiple streams because this theory facilitates researcher to capture the social phenomenon of an ‘idea whose time has come’. jones et al. (2015) also identify 311 meaningful msf applications produced from 2000-2014 where most of them cited kingdon’s theory. therefore, it is reasonable enough to say that msf is universal policymaking concept which can be applied. once jones et al. (2015) stated journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 12 bastian widyatama that the study of msf is prolific, global in reach, highly diverse, and very well received. thus, the existence of this study (yogyakarta case) can be taken into the application of msf as it is said by cairney and jones (2015) that msf is a well-known theory but little applied. the case of yogyakarta reinforces the argument from teodorovic (2008) who stated that traditional policy-making concept (linear process) might not accurately reflect all situations (chow, 2014). it can be seen from policymaking process which contains the randomness. moreover, this situation might be affected by external factors such as timing, the national mood, and political ideologies (black, 2001). according to the analysis provided on the previous parts, there was randomness in the establishment process which was influenced by the timing. none predicted that the yogyakarta issue would appear in 1998 when there was no explicit regulation in filling governor post mechanism. the long discussion period (19982012) also showed the vagueness of timing. at that time, mostyogyakartans hoped that the law could be authorized before 2008, but it was in 2012. the process of formation, selection, and rejection of policy drafts in policy stream vividly depicts that policymaking process is not always linear. the establishment of law no.13 of 2012 successfully captures the chaotic policymaking process for more than 10 years until politics stream found its timing to force the government’s political standpoint. in more details, the case of yogyakarta shows that politics stream has a pivotal role to open policy window. even, this stream consistently dominates over problem and policy stream in the process of the formulation after the policy window opened. hence, the case of yogyakarta is in line with what sabatier (1991) and wolman (1992) explicated that problem and politics stream independently are able to open policy window when the alternatives will come from policy stream. zhou and feng (2014) studies also showed that politics stream powerfully has a strong effect to influence the government’s agenda. interestingly, what happened during 19982012 in yogyakarta fortuitously reflects what zahariadis (2003) explains the likelihood of each stream to open its window independently such as problem or politics window. if looking back at this case, it can be identified that problem window opened in 1998, 2003, and 2007 when there were political turbulences in yogyakarta. yet, this situation was not strong enough to draw the government’s attention. the opening of policy window in 2010 could not be dissociated from the role of sultanate of yogyakarta in which this local monarchy institution is considered as a policy entrepreneur. what this local monarchy institution did was to promote and advocate the yogyakarta issue to the central government as the earmark of a policy entrepreneur. kingdon explained that policy entrepreneur could be in or out of government, interest groups, or research organizations. things that must be underlined here are the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 13applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region characteristic of policy entrepreneurs who have the willingness to invest their resources such as time, energy, reputation, and money in the hope of a future return. according to the brief explanation above, what sultanate of yogyakarta invested during the establishment period bears the favorable future through the emergence of law no.13 of 2012 which accommodates all of sultanate of yogyakarta interests. however, the political skill inside sultanate of yogyakarta becomes the most prominent proficiency as the policy entrepreneur compared to its creativity and energy to promote change. therefore, slightly different from the argumentation of zahariadis (2007), sultanate of yogyakarta was not only active in problem and policy stream but also politics stream. instead, this institution played a crucial role in politics stream as the most dominant factor in the establishment of the law. there were also some scholars that had identified the correlation between policy entrepreneurs and the given context where they emerge. the main argument from the existing studies is that policy change can be affected by key contextual variables and by what policy entrepreneurs do within those contexts (mintrom, 2000; mintrom and vergari, 1998). when the contextual variables indicate that policy change is likely to happen, then the role of policy entrepreneur will not give significant impacts. otherwise, the role of policy entrepreneur will be impactful when the given contextual variables indicate that the likelihood of policy change is small (mintrom and norman, 2009). interestingly, policy studies from balla (2001) and shipan and volden (2006) also showed the similar pattern. according to this argumentation, this study also supports what those scholars have been done. in the case of yogyakarta, the role of sultanate of yogyakarta was pivotal since the central government (the contextual variable) did not seem to allow and accept the interest from yogyakartans and some policy drafters, specifically in the filling governor post mechanism, for more than 10 years. therefore, the role of sultanate of yogyakarta significantly escalated after the president’s controversial statement in 2010. nonetheless, studying policy entrepreneur is challenging as this concept is broadly defined by many scholars. consequently, it is not easy to label sultanate of yogyakarta with the specific theoretical term as the policy entrepreneur. there was only study from maxwell (2003) who tried to categorize the types of policy entrepreneur. yet, he first stated that policy entrepreneur he mentioned is a researcher. according to his thought, he divided policy entrepreneur into 4 types encompass as story-teller, networker, engineer, and fixer. unfortunately, those terms are not fitted to be applied to sultanate of yogyakarta as a local monarchy institution, not the researcher. still and all, the role of sultanate of yogyakarta suitably represents what kingdon (1995) asserted on policy entrepreneur as ‘the surfers waiting for the big wave’ not poseidon-like masters of the seas. according to this, the author has mentioned ‘wait and journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 14 bastian widyatama see’ as the political strategy of sultanate of yogyakarta. it is well-described when sultanate of yogyakarta would only present to the public giving the official statements in particular moments. there were 2 kinds of ‘waves’ that can be identified consist of political movements from yogyakarta which clearly declared their impulse to sultan palace and strong resistance from the central government (including the president’s controversial speech in 2010). if there is looseness for the author to provide a term for sultanate of yogyakarta as the policy entrepreneur, ‘booster’ is a fit label for this case. this term cannot be separated from the role of sultanate of yogyakarta itself. as the passive actor, what this local monarchy institution could carry out was to boost and support the yogyakartans’ interests. hence, satires and political decisions that came from sultanate of yogyakarta were always in line with the majority of yogyakartans desires. this situation can be also found out from the timing chosen by sultanate of yogyakarta when this institution intended to declare some political decisions. sultanate of yogyakarta would always examine the political support or response from yogyakartans first regarding some issues. when sultanate of yogyakarta presumed that political support from yogyakartans was huge, then this local monarchy institution bravely boost and articulate the interests of yogyakartans to the central government, even by bringing out some threats. otherwise, the circumstance might be different if sultanate of yogyakarta does not have enough strong legitimacy and support (even dissimilar interest) from the people. furthermore, the fruitfulness of sultanate of yogyakarta as the policy entrepreneur can be seen from the strategies that they chose. what sultanate of yogyakarta undertook as a ‘passive’ policy entrepreneur exactly reflects what zahariadis (2014) explained that entrepreneurs who use salami tactics, higher order symbols, and appropriate framing are more likely to be successful. the utilization of symbols and threats by sultanate of yogyakarta were the facts that distinguish this actor from policy entrepreneurs in other studies. this institution is not ‘expert’ (borrowing simon maxwell’s term to explain researcher) in the policymaking process. the high political power and legitimacy from people are the keys how this local monarchy institution maximizes its role as a policy entrepreneur. hence, the more politically powerful supporters, the easier it will be for policy entrepreneur to gain resources needed (cohen, 2012). conclusion according to the yogyakarta case above, the kingdon’s multiple stream framework as the ‘universal’ tool to analyze the agenda-setting process is still able to explain particular social phenomena. nevertheless, it cannot be separated from the fact that this framework is abstract enough to be applied. in addition, this framework allows an analyst to interpret p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 15applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region deeper meanings through analysis that is conducted in each stream (dudley, parsons, radaelli, and sabatier, 2000). this flexibility is necessary for policy paradigm since researchers are not seeking statistical excellence, but for the best interpretation in each stream (stout and steven, 2000). reinforcing other studies regarding the role of politics stream, this study also shows that politics stream played the most important role in a bid to perfectly open the policy window. the intensive yogyakartans movement and political satires from sultanate of yogyakarta are keys how the yogyakarta issue was able to enter into the central government’s agenda. moreover, sultanate of yogyakarta as policy entrepreneur can be labeled as a booster. interestingly, this policy entrepreneur has strong legitimacy from people so that it is easy for this local monarchy institution to deliver significant political pressure to the central government. in addition, there should be further studies regarding kingdon’s multiple streams framework, especially in the concern of policy entrepreneur and the role of mass media. since the term of policy entrepreneur is widely defined by many scholars, it should be necessary to understand the difference of policy entrepreneur characteristic without ruling out of the basic definition of it. lastly, there was the role of mass media in the case of yogyakarta, but it was not apparently captured by kingdon’s multiple streams framework since kingdon never mentioned about mass media. even though, elder and cobb (1983) stated that media is able to escalate issues on the policy agenda and increase the chances to be picked up by the government as the consideration (in chow, 2014). this circumstance is perfectly explained by the yogyakarta case where this issue always became the newspapers’ headline during the long certain period. however, those limitations in kingdon’s msf should prompt academics as pivotal topics that need to be explored more. references ardiyanti, aulia and darmawan, ikshan. (2014). pertentangan antara kelompok propemilihan dan pro-penetapangubernurdalam proses formulasi ruu keistimewaan daerah istimewa yogyakarta (diy) tahun 2010-2012. jakarta: universitas indonesia. (undergraduate thesis) balla, steven j. (2001). interstate professional associations and the diffusion of policy innovations. american politics research, 29, pp. 221-245. bangsawan, d. pandu yoga. (2012). media dan isukeistimewaan diy: analisis framing terhadapberitakeistimewaan diy pada hariankompas dan koran tempo periodedesember 2010 – januari 2011. surakarta: universitassebelasmaret. (undergraduate thesis) journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 16 bastian widyatama birkland, t.a. (1997). after disaster: agenda setting, public policy, and focusing events. washington dc: george town university press. black, nick. (2001). evidence based policy: proceed with care. british medical journal, 323 (7307), pp. 275-279. retrieved from http://www.bmj.com/content/323/7307/ 275. budiarto, milla. (2009). your land is my land: exploring land policy in tangerang, indonesia using kingdon’s multiple stream model. louisiana: louisiana state university. (master thesis) cairney, paul and jones, michael d. (2015). kingdon’s multiple streams approach: what is the empirical impact of this universal theory? policy studies journal, vol. 00, no.00, pp.1-22. chow, anthony. (2014). understanding policy change: multiple streams and national education curriculum policy in hong kong. journal of public administration and governance, vol. 4, no.2, pp. 49-64. cohen, nissim. (2012). policy entrepreneurs and the design of public policy: the case of the national health insurance law in israel. journal of social research and policy, vol. 3, issue. 1, pp. 1-22. crow, d. a. (2010). policy entrepreneurs, issue experts, and water rights policy change in colorado, review of policy research, 27(3), 299–315. dudley, geoffrey, parsons, wayne, radaelli, claudio m, and sabatier, paul. (2000). symposium: theories of the policy process. journal of european public policy, vol. 7, no. 1, pp. 122-140. dunn, william. (2012). public policy analysis. new york: routledge. fischer, frank et.al. (eds). (2007). handbook of public policy: theory, politics, and methods. boca raton: crc press, fl. gatara, a.a. sahid. (2009). ilmupolitik: memahami dan menerapkan. bandung: pustaka setia. hogwood, brian w. and lewis e. gunn. (1984). policy analysis for the real world. uk: oxford university press. houston, d.j. &richardon, l.e. jr. (2000). the politics of air bag safety: a competition among problem definitions, policy studies journal, 28(3), 485–501. howlett, michael and ramesh.(1995).studying public policy: policy cycles and policy subsystem. toronto: oxford university press. jenkins, j.c. (1995). the politics of social protest: comparative perspective on states and social movements. minneapolis: university of minnesota press. john, peter. (1998). analysis public policy. london: pinter. jones, michael, holly michael peterson, jonathan pierce, nicole herweg, amiel bernal, and holly lamberta et al. (2015). a river runs through it: a multiple streams metareview. policy studies journal, vol. 44 (1), pp. 13-36. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 17applying kingdom’s multiple streams framework in the establishment of law no. 13 of 2012 concerning the privilege of yogyakarta special region jones, charless o. (1977). an introduction to the study of public policy. california: duxburry press. jones, bryan d. (1994). reconceiving decision-making in democratic politics: attention, choice, and public policy. chicago: university of chicago press. kingdon, j. (1984). agendas, alternatives, and public policies. boston: little, brown, and company. kompas online 16th december edition. (2010). inilahkeistimewaan diy versipemerintah. retrieved from http://sains.kompas.com-/read/2010/12/16/17415751/ inilah.keistimewaan.diy.versi.pemerintah. lindquist, e., mosher-howe, k.n. & liu, x. (2010). nanotechnology … what is it good for? (absolutely everything): a problem definition approach, review of policy research, 27(3), 255–271. lofland, j and lofland, l.h. (1984). analyzing social settings. belmont, ca: wadsworth publishing company, inc. marcelina, shella. (2014). penetapangubernur daerah istimewa yogyakarta menurutpandanganpartaidemokrat. yogyakarta: universitas islam negeri sunankalijaga yogyakarta. (undergraduate thesis) maxwell, simon. (2003). policy entrepreneurship: does evidence matter? overseas development institute article. retrieved from https://www.-odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/events-documents/2640.pdf. meltsner, arnold j. (1976). policy analysts in the bureaucracy. ca: sage publication. mintrom, michael. (2000). policy entrepreneur and school choice. washington, dc: georgetown university press. mintrom, michael and norman, phillipa. (2009). policy entrepreneurship and policy change. the policy studies journal, vol. 37, no. 4, pp. 649-667. mintrom, michael and vergari, sandra. (1998). policy networks and innovation diffusion: the case of state education reforms. the journal of politics, vol. 60, no. 1, pp. 126148. moleong, lexy j. (2008). metodepenelitiankualitatif: edisirevisi. bandung: remajarosdakarya. novasari, wahyu surya. (2010). eksistensi status keistimewaan daerah istimewa yogyakarta dalamperspektifketatanegaraan indonesia. yogyakarta: universitas gadjah mada. (master thesis) peters, b.g, and savoie, d.j (eds). (1995). governance in a changing environment. montreal: mcgill-queen’s university press. rachman, ariefaulia. (2014). dinamikakerukunanumatberagamadalamkepemimpinankesultanan yogyakarta. akademika, vol.19, no.1, pp.90-116. journal of government and civil society, vol. 2, no. 1, april 2018 18 bastian widyatama republika online 10th december edition. (2010). draft keistimewaan diy final. retrieved from http://en.republika-.co.id/berita/en/islam-in-archipelago/17/01-/30/ nasional/um-um/14/10/11/nasional/jabodetabek-nasional/-14/10/06/nasi-onal/ jabodetabek-nasional/17/09/01/ramadhan/-berita-rama-dhan/10/-09/08/ internasional/global/17/06/24/du-nia-islam-/islam-nusantara/17/08/23/regional/ nusantara/11/10-/09/-nasional/umum/17/10/01/breaking-news/nusantara/10-/ 12/-10/151374-draf-ruu-keistimewaan-diy-final rosari, aloysius soni (ed). (2011). “monarkiyogya” inkonstitusional? jakarta: kompas media nusantara. sabatier, p. (1991). toward better theories of the policy process, ps: political science and politics, vol. 24, no.2, pp. 147-156. santoso, purwo. (2010). analisiskebijakanpublik (modul pembelajaran). yogyakarta: polgovuniversitas gadjah mada. sesung, rudianto. (2013). hukumotonomi daerah: negara kesatuan, daerah istimewa, dan daerah otonomikhusus. bandung: refikaaditama. sharp, e.b. (1994). paradoxes of national anti-drug policymaking. in d.a. rochefort and r.w. cobb (eds), the politics of problem definition: shaping the policy agenda. lawrence. ks: university press of kansas. shipan, charles r and volden, craig. (2006). bottom-up federalism: the diffusion of antismoking policies from u.s cities to states. american journal of political science, vol. 50 (4), pp. 825-843. stout, karen evans, and steven, byron. (2000). the case of the failed diversity rule: a multiple streams analysis. educational evaluation and policy analysis, vol. 22, no. 4, pp. 341-355. turpin, sm, and marais, ma. (2004). decision-making: theory and practice. orion journal, vol. 20, no.2, pp. 143-160. wolman, harold. (1992). understanding cross national policy transfers: the case of britain and the us, governance, vol. 5, no.1, pp. 27-45. woods, b.d and peake, j.s. (1988). the dynamics of foreign policy agenda setting. the american political science review, vol. 92, no.1, pp. 173-184. zahariadis, n. (2003). ambiguity and choice in public policy: political decision making in modern democracies. washington d.c: georgetown university press. zahariadis, n. (2007). ‘the multiple streams framework’ in p. sabatier (ed). theories of the policy process. cambridge ma: westview. zahariadis, n. (2014). “ambiguity and multiple streams” in p.sabatier and c.m. weible (eds.). theories of the policy process (3rd edition), boulder, co: westview press. zhou, nan and feng, feng. (2014). applying multiple streams theoretical framework to college matriculation policy reform for children of migrant workers in china. public policy and administration research, vol.4, no.10, pp. 1-11. 2 (mitologi yunani) 1 – 15 analysis of the impact of policy and political economics in the development of the rattan craft industry in cirebon haryono1, titik sumarti2, didin s. damanhuri3, sofyan sjaf2 (1 mahasiswa pascasarjana program studi sosiologi pedesaan ipb, indonesia) (2 department of communication and community development sciences, faculty of human ecology, ipb university, indonesia) (3 department of economics and environmental resources, faculty of economics and management, ipb university, indonesia) 16 – 31 village law, village government, and community empowerment: the case study in sub-district of kedawung, cirebon ros awaliyah rosadah1, muhammad iqbal bin samadi2 (1 d3 hospitality study program, faculty of economics, universitas 17 agustus 1945 cirebon, indonesia) (2 universiti kuala lumpur-royal college, malaysia) 32 – 49 does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? faisal nomaini1, sofyan effendi2, oemar madri bafadhal3, anang dwi santoso4 (1,3 department of communication science, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia) (2,4 department of public administration, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia) 50 – 70 transparency of local financial management: evidence from local governments in indonesia toni nurhadianto1, slamet sugiri2 (1 department of accounting, institut informatika dan bisnis darmajaya, indonesia) (2 department of accounting, universitas gadjah mada, indonesia) 71 – 88 diffusion of ideology and role of local party control to understand aceh post-war vellayati hajad1, susetiawan2 (1 department of pubic administration, universitas teuku umar, indonesia) (2 department of social development, universitas gadjah mada, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 89 – 103 the implementation of pertisun as a policy innovation in absorbing public aspirations in merangin regency pahrudin hm1, agus mustawa2, riant nugroho3, abdul halim4 (1 departement of governance science, faculty of social and political sciences, universitas nurdin hamzah, jambi, indonesia) (2 student of post graduate program of political science, faculty of social and political sciences, universitas andalas, padang, indonesia) (3 masyarakat kebijakan publik indonesia (makpi), jakarta, indonesia) (4 faculty of ushuluddin and religious study, uin sulthan thaha saifuddin, jambi, indonesia) 104 – 120 non-pharmaceutical intervention policies in overcoming covid-19 in aceh: a cross-sectional online survey saddam rassanjani1, aryos nivada2, ratnalia indriasari3, iqbal ahmady4 (1 department of government studies, universitas syiah kuala, indonesia) (2,4 department of government politics, universitas syiah kuala, indonesia) (3 jaringan survei inisiatif, indonesia) 121 – 137 the transparency honorary board of election organizers in the violations trial of the election ethics code organizers in indonesia lulu qurrata a’yun1, nuryanti mustari2, ahmad harakan3, nursaleh hartaman4 (1,2,3,4 department of government studies, faculty of social and political sciences, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 138 – 161 rent-seeking practices in the budget policymaking processes at local government: case studies in indonesia salahudin salahudin1, achmad nurmandi2, kisman karinda3, tinuk dwi cahyani4 (1 department of government studies, universitas muhammadiyah malang, indonesia) (2 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3 government studies, universitas muhammadiyah luwuk, indonesia) (4 department of law, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 162 182 muhammadiyah social movement: networking and philanthropy in handling covid-19 in indonesia dian eka rahmawati1, cahya wulan2 (1 departement of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 master of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 32 journal of government and civil society vol. 6, no. 1, april 2022, pp. 32-49 doi: 10.31000/jgcs.v6i1.5384 received 30 november 2021  revised 28 march 2022  accepted 30 march 2022 citation : nomaini, f., effendi, s., bafadhal, o. m., & santoso, a. d. (2022). does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? journal of government and civil society, 6(1), 32–49. https://doi.org/10.31000/jgcs.v6i1.5384 does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? faisal nomaini1*, sofyan effendi2, oemar madri bafadhal3 , anang dwi santoso4 1,3 department of communication science, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia 2,4 department of public administration, faculty of social and political sciences, universitas sriwijaya, indonesia *email correspondence: faisalnomaini@fisip.unsri.ac.id abstract the purpose of this study is to illustrate how sub-district governments manage performance during a time of crisis, specifically the covid-19 pandemic. when the pandemic struck, the government, which had been criticized for its excessive concentration on routine and administrative affairs, was at a loss for how to respond. covid-19 requires the government to perform double duty since it must continue to deliver ordinary public services while also working harder to contain the spread of covid-19 at all levels. thus, performance management is critical for assuring organizational performance and managing the performance of its personnel in the face of increasing work stress and work-related weariness. this study employed a qualitative method and a case study approach in the north indralaya sub-district government. the study’s findings indicate that, aside from implementing workfrom-home policies and increasing the use of information and communication technologies in public services, the sub-district government has made few modifications to performance management. as a practical consequence, adaptive and evidence-based performance management must be implemented to enable a more rapid response to the dynamics of society as a result of the covid-19 pandemic. due to the qualitative nature of the current study, a future study may examine the same issue using quantitative research, assessing the influence of current performance management on employee satisfaction, performance, and motivation. keywords: performance management, sub-districts, covid-19 abstrak tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana pemerintah kecamatan mengelola kinerja pada masa krisis, khususnya pandemi covid-19. ketika pandemi melanda, pemerintah yang dikritik karena konsentrasinya yang berlebihan pada urusan rutin dan administrasi, memiliki sedikit pengetahuan tentang bagaimana meresponsnya. covid-19 menuntut pemerintah untuk melakukan tugas ganda, karena harus terus memberikan pelayanan publik biasa sambil juga bekerja lebih keras untuk menahan penyebaran covid-19 di semua tingkatan. dengan demikian, manajemen kinerja sangat penting untuk memastikan kinerja organisasi dan mengelola kinerja personelnya dalam menghadapi peningkatan stres kerja dan kelelahan terkait pekerjaan. penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus di pemerintah kecamatan indralaya utara. temuan studi menunjukkan bahwa, selain menerapkan kebijakan bekerja dari rumah dan meningkatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan publik, pemerintah kecamatan hanya melakukan sedikit modifikasi pada manajemen kinerja. sebagai konsekuensi praktis, manajemen kinerja yang adaptif dan berbasis bukti harus diterapkan untuk memungkinkan respons yang lebih cepat terhadap dinamika masyarakat akibat epidemi covid-19. karena sifat kualitatif dari studi saat 33does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x ini, studi masa depan dapat memeriksa masalah yang sama menggunakan penelitian kuantitatif, menilai pengaruh manajemen kinerja saat ini terhadap kepuasan, kinerja, dan motivasi karyawan. kata kunci: manajemen kinerja, kecamatan, covid-19 introduction the covid-19 pandemic is one of the most sudden disruptions to organizations in recent decades. it forces organizations and employees to work in situations of unprecedented uncertainty(bruinen de bruin et al., 2020; ruck keene, 2020; stukalo & sisihova, 2020). this kind of pandemic results in a wide range of significant economic, social, and political disruptions as it disrupts the nature of work, creates ambiguity and shift for organizations,s and changes employees’ perceptions of the working environment and conditions.(bodrud-doza, shammi, bahlman, islam, & rahman, 2020; suryahadi, al izzati, & suryadarma, 2020; venuleo, gelo, & salvatore, 2020). in such a situation, the government takes various responses by adapting performance management practices to ensure the continuity of the organization. this brings employees to work overload situations that trigger stress and fatigue and ultimately affect the employee’s physical and psychological condition(behrens & naylor, 2020; george & tarr, 2021; lionardo, kurniawan, ivana, & nasirin, 2020). government employees, due to the covid-19 pandemic, are reported to have higher work stress and fatigue problems. this is triggered because they have to work overtime to respond to various problems that arise due to the covid-19 pandemic(azizi, atlasi, ziapour, abbas, & naemi, 2021; collings, mcmackin, nyberg, & wright, 2021). on the other hand, they must also continue to complete administrative matters and the routine services they provide to the community. therefore, there is a great demand for studies that explore performance management, especially workload and work intensity to formulate appropriate performance management strategies. (azizi et al., 2021; collings et al., 2021). the government has formulated a series of policies to improve business continuity and various performance management to address the challenges of covid-19. among these responses are work from home policies, the use of information and communication technology y ,and changes in public service processes (azizi et al., 2021; collings et al., 2021). another challenge relates to communication within organizations and between public organizations in the covid-19 pandemic situation. employee communication patterns to ensure organizational performance is disrupted because covid-19 forces people to reduce physical interactions and until covid-19 strikes, working mediated by technology is not easily accepted by public organizations (siddiqi et al., 2021). as a consequence, academics have made responses in the form of a collection of literature on performance management in crises ranging from natural disasters, economic journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 34 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso crises, and also pandemics. (azizi et al., 2021; collings et al., 2021; zhong, li, ding, & liao, 2021). the psychological aspect of employees is one of the most explored spaces. crisis situations have disrupted the psychological condition of employees by causing stress, frustration, anxiety y,texcesseses,sive fearofofatiguef all of which ultimately interfere with the achievement of organizational goals. as a practical consequence, organizations, in crisis situations, must manage their workloads and work rhythms and provide an adequate variety of work resources (azizi et al., 2021; collings et al., 2021; zhong et al., 2021). in addition, another research gap that this research will try to fill is how to manage performance in the covid-19 pandemic situation. this aspect is crucial because in a pandemic situation, society is very dependent on the government and therefore the professionalism and contribution of the government’s human resources are important, especially to meet the ever-increasing demands. (rogerson & rogerson, 2020; tung, 2021; wilson, 2020). the burden on government employees increases as they are required to handle the business they have never done before (shammi, bodrud-doza, towfiqul islam, & rahman, 2020; zhu, 2020). one of them is an activity to navigate complex and layered health protocols in a situation full of uncertainty. as a consequence, work assignments, work, roads, and non-work demands increase. on the other hand, routine public services must also continue to be carried out. on the other hand, in conditions of poor performance management, the consequence is an inappropriate response. if it is not responded to with good performance management, it is feared that the crisis will become more and more poorly managed. on the other hand, performance governance in the public sector has long been criticized for its inefficiency and ineffectiveness, failure in performance management, and failure to set goals, set standards, and evaluate performance achievements according to needs. (ahyaruddin & akbar, 2017; t christensen, lægreid, & stigen, 2006; dascalu, marcu, & hurjui, 2016; radnor & mcguire, 2004). another challenge is the gap in the availability of skilled human resources to achieve the performance burden they bear due to changes in the perspective of generations y and z towards working under public organizations. in the covid-19 pandemic situation, public organizations can’t increase the number of personnel even though the work they do is increasing therefore effective performance management is the key to achieving performance. effective performance management refers to the strategy of an organization that supports the achievement of performance despite unexpected surges in work and disruptions. as a consequence of this increase in workload, there is work stress which leads to various kinds of disturbances, and in the end, government employees do not work effectively to deal with covid-19. the ministry of administrative reform and bureaucratic reform released circular letter no. 19 of 2020 about adjustment of the work system of state civil apparatus in efforts to prevent the spread of covid-19 in government agencies. the covid-19 35does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x pandemic was declared a non-natural national catastrophe on march 16, 2020. for the state civil apparatus, this circular letter is meant as a guideline for government agencies to work from home to prevent and minimize the spread of covid-19. in indonesia, concerning the management of government employees, the ministry of administrative reform and bureaucratic reform published circular letter no. 19 of 2020 concerning the adjustment of the work system of state civil apparatus in efforts to prevent the spread of covid-19 in government agencies. this letter was issued on march 16, 2020, in response to the covid-19 epidemic being declared a non-natural national calamity. this circular letter is designed to serve as a guidance for government agencies in carrying out their official responsibilities while working from home for the state civil apparatus to avoid and minimize the spread of covid-19. the following circular letter regulates human resource management amid the covid19 pandemic: circular letter of the minister of administrative and bureaucratic reform no. 34 of 2020 concerning amendments to the circular letter of the minister of empowerment of state apparatus and bureaucratic reform no. 19 of 2020 concerning adjustment of the work system of the state civil apparatus in efforts to prevent the spread of covid-19 in government age the policy regulates a variety of issues, including the expansion of the period during which employees can perform official tasks from home/residence (work from home) and changes to the work system. the third circular letter is the minister of administrative and bureaucratic reform’s circular letter no. 38 of 2020 on the protocol for the implementation of work from home for state civil apparatus for the prevention of covid-19 spread in government agencies. this policy amends the minister of administrative and bureaucratic reform’s circular letter no. 34 of 2020 concerning amendments to the minister of administrative and bureaucratic reform’s circular letter no. 19 of 2020 concerning adjustment of the state civil apparatus’s work system in efforts to prevent the spread of covid-19 in government agencies. this guideline is intended to provide direction to work unit leaders and asn who conduct work-from-home activities. meanwhile, the policy’s objectives are to (1) ensure that asn meets work and performance targets when performing official tasks at home/residence; (2) ensure that public services continue to operate successfully; and (3) safeguard asn from the risk of covid-19 transmission. departing from practical and academic needs related to performance management in crises, especially for public organizations, this study aims to explore how a government agency manages organizational performance by responding to various regulations containing various demands from the central government to district governments, adapting to various kinds of environmental changes that also change people’s expectations of how they should work and how leaders in the organization exercise discretion to respond to these changes. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 36 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso this research takes a case study in the district government of north indralaya. in the study of public organizations, the sub-district is a unique level of government because it is a meeting place for the lower levels of government, namely the villages (kelurahan) and the government level at the district/city level, becoming an important link for various kinds of public interests. (silalahi, 2015; yayat, 2017). in the covid-19 situation, the government at the sub-district level has a role as a hub from the village (kelurahan) level and the district/city government level. the current study employed the dimensions of performance management by the united states office of personnel management (2008) which divides several key components of performance management including planning, monitoring, developing, rating, and rewarding. research method this study aims to explore human resource management in a crisis, namely the covid19 pandemic by taking a case study in north indralaya district, ogan ilir regency. to achieve this goal, the research design employed in this study was a qualitative design with a case study method. meanwhile, the study approach is an approach that is intended to carry out an in-depth investigation of an individual, group, or event to explore the causes of a case and the principles that underlie it. (creswell, 2003). case study strategies involve people, groups, events, decisions, policies, and institutions that can be studied holistically(yin, 2018). the qualitative case study design was chosen because its purpose is to explore and understand the meaning of several individuals and groups of people and their response to an issue or problem. in this case, this research is intended to understand the organizational response, namely ogan ilir district which implements various regulatory frameworks regarding hr management in crises, and also the various actions of leaders who take discretion in crises. as this research wants to know the response of the north ogan ilir district in designing and implementing human resource management in a crisis, the unit of analysis in this study is the organization in this case the north indralaya district government. meanwhile, the informants of this research were various kinds of leaders and staff related to human resource management. some of the informants in this study are contained in table 1. 37does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x table 1. research informants this study used both primary and secondary data. the primary data came from interviews and observations, while secondary data came from several laws and rules guiding performance management. this study used in-depth interviews, observation, and documentation to acquire data. interviews were conducted with the table 1 informants. each informant was recruited for a specific reason. an interview guide was used to elicit replies from each source. we acquired permission from the ogan ilir regency’s national unity and political agency before conducting the interview. after journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 38 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso clearance, we submitted study suggestions to north indralaya sub-district government. we meet with each informant after approval. we recorded interviews with consent. we also used field notes to outline key themes from each of our interviewees. furthermore, observations were made of how government employees in north indralaya sub-district government work and interact with coworkers and the community. during a crisis, many regulations and policies controlling human resource management were documented. data collection, reduction, presentation, and conclusion drafting were all guided by the miles and huberman (1994) interactive model. these are (1) collecting data: this stage involves transcribing interviews, scanning documents, entering data, sorting and organizing data by source; (2) data reduction: data categorization, direction, and organization help to generate a more exact picture of the results of observations; (3) data presentation: data are presented in the form of tables, graphs, and correlations. the data is organized and formatted in a way that makes it easy to grasp; (4) conclusion: in the absence of strong evidence, the preliminary judgments may change. qualitative study conclusions can address the initial problem formulation. results and discussion performance management in the covid-19 situation by north indralaya district as this paper aims to explore government performance management, in this case, the north indralaya district government in the covid-19 situation, this section of the discussion will describe performance management in terms of performance management stages, namely (1) planning, (2) monitoring, (3) developing, (4) ranking, (5) rewarding. performance management is the process of a management process established to link organizational goals with individual goals in such a way that both individual goals and company goals can be aligned. this explanation emphasizes that within an organization’s scope of work, it is not only the individual goals of the workers/employees that are achieved but also that the workers/employees also play a role in achieving organizational goals. which at the same time can make him motivated and get greater satisfaction from these achievements. to fulfill this alignment, a company/organization must be able to define concretely the results to be achieved, employee behavior, and employee characteristics needed to implement strategies, and develop measurement and feedback systems that will be provided regarding the results of employee performance. planning the main thing in the planning dimension is about setting performance expectations and goals for a group and or individual so that they strive to achieve organizational goals. the basic difference between private organizations and public organizations generally lies in the foundations set for the implementation of performance management 39does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x on their employees. public organizations, which in this case are the government, generally have one standard basis in the form of central government regulations as the main reference in implementing performance management. based on the results of the interviews, we found several important things, related to employee performance planning. the first is that performance appraisal indicators are set based on statutory regulations, in this case, are regulations related to asn management and also the main tasks and functions of the sub-district. this is then translated into each organizational structure from the head of district, secretary to the district, head of subdivision, and head of section to staff. performance achievements are compiled based on the main tasks and functions assigned to each section/field. another finding is related to the assessment process which is measured in stages. these findings indicate that there is no change in the performance planning of both individuals and organizations even in a crisis where everything should be changed due to a reduction in resources, such as budgets, and additional burdens such as new tasks in managing covid-19. monitoring the second dimension in performance management is the monitoring dimension. conceptually, the theory of monitoring in performance management is consistency in measuring performance and providing continuous feedback to employees and workgroups to find out their progress in achieving organizational goals. monitoring is also often referred to as a control and supervision mechanism. sondole(2015)explained that supervision is a way for an organization to achieve effective and efficient performance, and further supports the realization of the organization’s vision and mission. while jufrizen (2016) defines supervision as an overall activity that compares or measures what is being or has been implemented with criteria, standard norms, or plans that have been previously determined. the importance of monitoring and control in an organization is because employees who always receive direction and control from superiors tend to make fewer mistakes or deviations compared to employees who are not controlled by the leadership. (kadarisman, 2013). based on the results of interviews, we found that monitoring was carried out at every level of the money leadership element and carried out direct monitoring of working employees. monitoring is carried out regularly every day. the reference for this monitoring activity is the employee performance target (skp) which was made at the beginning of the year. the reference is synchronized based on the observations of each leader. in addition, the monitoring process is also carried out based on the main tasks and functions attached to certain fields or sections. in this regard, the monitoring process can be very subjective because it is carried out only by the leadership. like and dislike factors, more or less, will journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 40 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso contribute to the achievement of employee performance. therefore, it is feared that the results will be very subjective. development the third dimension of performance management is the development dimension. development in performance management is increasing employee capacity through training, assigning tasks that require new skills or require great responsibility, improving work processes, or other methods. (united states office of personnel management, 2008). the development dimension has even become one of the central topics in the branch of management science and has developed into a separate study, one of which is human resource management. the emergence of a separate study regarding the dimensions of development, one of which is suspected that through development, namely the development of employee capacity, organizational performance will move in a better and more positive direction. siagian(2013)explained that development in the context of human resource management can be interpreted as the management and utilization of existing resources in individuals (employees). regarding employee performance development, we found some interesting findings. the sub-district applies a pattern of training and capacity building that has been organized by the district government. this is because there has been a job analysis and workload analysis that has been carried out to map employee competencies. so, the sub-district cannot be free in terms of employee development. however, there is still little room left for employee development from the small available budget. the leadership provides flexibility for employees to participate in training by prioritizing the suitability between the type of training and the capacity of the employee. in addition, it relates to employee development in the covid-19 era. employee development by the directives of the central and local governments, and the existence of counseling collaborations between the subdistrict government and various agencies regarding the acceleration of covid-19 prevention, both as organizers and as participants. rating the third dimension that will be discussed in performance management is the ranking dimension. dwiyanto(2002)argues that ranking is an assessment method by sorting the ranks of employees starting from the lowest to the highest based on their abilities. uguy and achayat(2003)explained that the ranking method is also called the man-to-man comparison method, which is an assessment method by arranging people who are judged based on their level of various traits or characteristics being assessed. ranking in the performance management process is not only considered to find out who is the best among 41does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x the people to be assessed but to find out whether the person has performed according to the performance plan that has been made previously. about ranking or ranking, although this is not a characteristic of the indonesian bureaucracy, the sub-district government imposes a ranking through an assessment and assigns a value weight to the quantity and quality of the employee’s work through the employee’s skp. the assessment ranking is also carried out through dp3 which is a component of the work behavior assessment, especially asn. the ranking mechanism is not carried out by giving individual ratings because the work system in government institutions is different from private/private institutions. with regards to covid-19, this mechanism is still being implemented during the covid-19 pandemic and has not undergone any changes in its implementation. rewards the rewards dimension, which is the last dimension in a series of dimensions in performance management, has a core point about how an organization rewards employees for their achievements, dedication, contribution, or achieving a target that has been achieved. veithzal (2004) explains that reward is an incentive or motivation to improve a person’s performance which is generally manifested in the form of financial (monetary incentives) such as the provision of incentives, allowances, bonuses, and commissions. the reward aspect in an organization is important because it is the main impetus for a person to become an employee, it also has a great influence on work enthusiasm and enthusiasm. the reward program is important for organizations because it reflects the organization’s efforts to retain human resources as a major component and is an important cost component for competitors. the research findings show that rewards in the form of rewards, incentives, and so on following the rules set by the district government in its implementation. rewarding that is personal from the leadership element is the leadership’s discretion by considering the employee’s performance achievement and the excess workload carried out by the employee. in addition, the punishment mechanism that is applied if there is a violation follows the stages of punishment from the applicable laws and regulations. the leader gives a direct warning if there is a violation before applying the punishment method according to the stages in the regulations. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 42 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso discussion this paper aims to explore performance management in crises and to obtain a simple formula for what governments can learn when dealing with similar issues. our research findings show and confirm various previous studies that many organizations, including public organizations, do not have an adaptive performance management system, they have a rigid performance management system that focuses too much on administrative matters (adler, 2021; aguinis & burgi-tian, 2021a; mai, 2020). the findings that subdistrict governmengovernmentshange how they manage performance shows that they do not consider performance management to have a strategic role, and also proves that what is important is the administrative system (aguinis & burgi-tian, 2021b; celentano et al., 2021). as our research findings show that about outcomes, the sub-district government has not made much effort to change performance appraisals of both individuals and organizations. the literature has stated that covid-19 carries at least a double burden for individual government employees(shammi et al., 2020). on the one hand, they are faced with routine public services that must be carried out and on the other hand, they must be involved in handling covid-19 cases. the sub-district government, in this case only acts as a hub, without being burdened with the responsibility to participate in monitoring and participating in preventing the covid-19 pandemic. this must then be changed, that the consequences of this double burden, in addition to pouring out the task load of the main tasks and functions, the burden related to reducing and monitoring the covid-19 pandemic must also be used as the basis for employee performance. in this setting, the covid-19 pandemic crisis compels the central government to establish performance management systems to ensure more accountability, accountability, and improved outcomes. however, the sub-district government identified several obstacles to reaching this goal in this study. from a financial perspective, this study discovered without budgetary resources, it is impossible to provide the necessary personnel, technology, materials, and other components for developing and utilizing performance measurement. a lack of strategic planning contributed to the delays. due to their diminutive size and proximity to the issue, sub-district governments may appear to wield greater influence than they do. the following comparison is between the degree of difficulty and ease of comprehension. clarity and consistency in goals, as well as a straightforward task, make monitoring and implementing performance management easier. if a task is difficult to quantify, it is likely to be opposed by employees due to the amount of front-line judgment required and the lack of structure. due to goal ambiguity and task complexity, performance measurement is difficult to apply successfully in subdistrict governments. 43does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x from setting goals, governments, like private organizations, must learn that many things in government are no longer relevant and must be reduced or even stopped because they are no longer relevant when dealing with covid-19. routine planning patterns, including performance planning, can no longer follow the old patterns that depend on work routines, performance planning must be more dynamic following the development of various external factors, such as the covid-19 pandemic which has consequences on the understanding of performance, how to assess it and what are the consequences(camilleri, 2021; may 2020). there should be a discussion related to the alignment of what priorities should be done first, second and so on and also what is no longer a priority and should be as soon as possible not to be included as part of employee and organizational performance. employee performance regulation is also needed because the pandemic exacerbates employee stress and fatigue(aguinis & burgi-tian, 2021b; lee, 2021). this is because there is an increase in stress levels due to an increased workload. another problem is the lack of communication, feedback, and support which can usually be done easily because employees can interact face-to-face. another contributing factor is the increase in time pressure due to additional working hours for certain jobs that require a quick response, such as handling covid-19 (aguinis & burgi-tian, 2021b). research findings show that performance appraisals are made for administrative purposes such as promotions and payroll. it ignores the other benefits of performance appraisals namely communicating organizational priorities and reinforcing them, supporting employee development, planning and maintaining individual and organizational quality and performance, and important information for decision making. this should be fatal because performance management in crises increases the role that is not stated in the main tasks and functions or called organizational citizenship behavior (ocb), which is a descriptive behavior that contributes to the overall effectiveness of the organization.(aguinis & burgi-tian, 2021b, 2021a). in crises, ocbs are very important because they must contribute both in thought and action to help the organization survive. therefore, to conclude this discussion. the covid-19 pandemic is valuable for two things. the first is a valuable moment for the government to evaluate its overall performance and start to cut various performance measurements that are not important to do. second, this is a moment to document various activities in dealing with crises to be used as knowledge when facing similar crises. for this reason, an adaptive performance management system is a current need, a system that can measure employee performance for their innovation and speed in learning for organizational survival.(aguinis & burgitian, 2021b; azizi et al., 2021). in addition, the performance appraisal system must also come from multiple sources to facilitate communication and feedback regarding employee performance. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 44 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso conclusion the study aims at illustrating the performance management of sub-district governments during a time of crisis, specifically the covid-19 epidemic. this study examines the subdistrict government, which serves as a liaison between the district/city administration and the government at the lowest level, namely the villages. apart from the sub-district government enforcing performance control through the introduction of work-from-home policies and the increased use of technology to communicate and offer public services, little has changed in terms of government performance management. even if performance management should have been altered since it faces at least a dual duty, namely containing the spread of covid-19 while continuing to carry out normal public service functions. finally, the implementation of adaptive and evidence-based performance management may be considered for the sub-district government to survive and transition from the performance appraisal function as an administrative measurement to a performance management function capable of assisting the sub-district government in achieving organizational performance in the event of a covid-19 pandemic. adaptable performance measurement is critical for sub-district government to deal with emergencies, minimize job stress and burnout, solve problems more creatively, and demonstrate individuals’ and organizations’ adaptive aptitude as evidence of their ability to deal with crises. acknowledgement the research/publication of this article was funded by the dipa of the public service agency of universitas sriwijaya 2021. sp dipa-023.17.2.677515 /2021, on november 23, 2020. by the rector’s decree number: 0010/ un9/ sk.lp2m.pt/2021, on april 28, 2021". references abdelhafiz, a. s., mohammed, z., ibrahim, m. e., ziady, h. h., alorabi, m., ayyad, m., & sultan, e. a. (2020). knowledge, perceptions, and attitude of egyptians towards the novel coronavirus disease (covid-19). journal of community health, 45(5), 881– 890. https://doi.org/10.1007/s10900-020-00827-7 adler, s. (2021). performance management in the year of covid-19: carpe diem. industrial and organizational psychology, 14(1–2), 168–172. https://doi.org/10.1017/ iop.2021.27 aguinis, h., & burgi-tian, j. (2021a). measuring performance during crises and beyond: the performance promoter score. business horizons, 64(1), 149–160. https://doi.org/ 10.1016/j.bushor.2020.09.001 45does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x aguinis, h., & burgi-tian, j. (2021b). talent management challenges during covid-19 and beyond: performance management to the rescue. brq business research quarterly. https://doi.org/10.1177/23409444211009528 ahyaruddin, m., & akbar, r. (2017). akuntabilitas dan kinerja instansi pemerintah: semu atau nyata? jurnal akuntansi & auditing indonesia, 12(2), 105–117. https://doi.org/ 10.20885/jaai.vol21.iss2.art3 azhar sani adhan, e. e. s. (2017). pengukuran kinerja instansi pemerintah dengan pendekatan balanced scorecard (studi kasus pada dinas kesehatan kota bandung). international journal of productivity and performance management, 2(2), 1–10. https:// doi.org/10.1108/ijppm-02-2015-0029 azizi, m. r., atlasi, r., ziapour, a., abbas, j., & naemi, r. (2021). innovative human resource management strategies during the covid-19 pandemic: a systematic narrative review approach. heliyon, 7(6). https://doi.org/10.1016/ j.heliyon.2021.e07233 behrens, l. l., & naylor, m. d. (2020). “we are alone in this battle”: a framework for a coordinated response to covid-19 in nursing homes. journal of aging and social policy, 32(4–5), 316–322. https://doi.org/10.1080/08959420.2020.1773190 bodrud-doza, m., shammi, m., bahlman, l., islam, a. r. m. t., & rahman, m. m. (2020). psychosocial and socio-economic crisis in bangladesh due to covid-19 pandemic: a perception-based assessment. frontiers in public health, 8. https://doi.org/10.3389/ fpubh.2020.00341 briscoe, d. r., & claus, l. m. (2008). employee performance management. in policies and practices in multinational enterprises. performance management systems: a global perspective (pp. 15–39). bruinen de bruin, y., lequarre, a.-s., mccourt, j., clevestig, p., pigazzani, f., zare jeddi, m., … goulart, m. (2020). initial impacts of global risk mitigation measures taken during the combatting of the covid-19 pandemic. safety science, 104773. https:// doi.org/10.1016/j.ssci.2020.104773 camilleri, m. a. (2021). evaluating service quality and performance of higher education institutions: a systematic review and a post-covid-19 outlook. international journal of quality and service sciences, 13(2), 268–281. https://doi.org/10.1108/ijqss-03-20200034 celentano, j., sachdev, d., hirose, m., ernst, a., & reid, m. (2021). mobilizing a covid19 contact tracing workforce at warp speed: a framework for successful program implementation. american journal of tropical medicine and hygiene, 104(5), 1616–1619. https://doi.org/10.4269/ajtmh.20-1665 journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 46 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso chan, e. y. y., dubois, c., fong, a. h. y., shaw, r., chatterjee, r., dabral, a., … wong, c. s. (2021). reflection of challenges and opportunities within the covid-19 pandemic to include biological hazards into drr planning. international journal of environmental research and public health, 18(4), 1–13. https://doi.org/10.3390/ijerph18041614 christensen, t, lægreid, p., & stigen, i. m. (2006). performance management and public sector reform: the norwegian hospital reform. international public management journal, 9(2), 113–139. https://doi.org/10.1080/10967490600766987 christensen, tom, laegreid, p., & rykkja, l. h. (2016). organizing for crisis management: building governance capacity and legitimacy. public administration review, 76(6), 887–897. https://doi.org/10.1111/puar.12558 collings, d. g., mcmackin, j., nyberg, a. j., & wright, p. m. (2021). strategic human resource management and covid-19: emerging challenges and research opportunities. journal of management studies, 58(5), 1378–1382. https://doi.org/ 10.1111/joms.12695 creswell, j. w. (2003). research design qualitative quantitative and mixed methods approaches. research design qualitative quantitative and mixed methods approaches. https://doi.org/10.3109/08941939.2012.723954 dascalu, e. d., marcu, n., & hurjui, i. (2016). performance management and monitoring of internal audit for the public sector in romania. amfiteatru economic, 18(43), 691– 705. retrieved from https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.084983353668&partnerid=40&md5=845521a935a88d5fae22fafccb0557a6 dwiyanto, a. (2002). reformasi birokrasi publik di indonesia. yogyakarta: pusat studi kependudukan dan kebijakan universitas gadjah mada. garavaglia, c., sancino, a., & trivellato, b. (2021). italian mayors and the management of covid-19: adaptive leadership for organizing local governance. eurasian geography and economics, 62(1), 76–92. https://doi.org/10.1080/15387216.2020.1845222 george, a. j., & tarr, j.-a. (2021). addressing australia’s collaboration ‘problem’: is there a brave new world of innovation policy post covid-19? australian journal of public administration. https://doi.org/10.1111/1467-8500.12470 grote, d. (2000). public sector organizations:today’s innovative leaders in performance management. public personnel management, 29(1), 1–20. https://doi.org/10.1177/ 009102600002900101 janjua, a., attique, f., raza, a., & akbar, w. (2019). effective performance management of local governments in khyber pakhtunkhwa, pakistan. international journal of productivity and performance management, 68(1), 26–45. https://doi.org/10.1108/ ijppm-11-2017-0300 jufrizen. (2016). efek mediasi kepuasan kerja pada pengaruh kompensasi terhadap kinerja karyawan. jurnal ilmiah manajemen dan bisnis, 17(1). 47does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x kadarisman, m. (2013). manajemen pengembangan sumber daya manusia. jakarta: rajawali press. lane, l. m. (1994). public sector performance management. review of public personnel administration, 14(3), 26–44. https://doi.org/10.1177/0734371x9401400303 lee, c. (2021). work and learning balance for the post-covid-19 era: insights from the republic of korea. education in the asia-pacific region, 58, 259–277. https://doi.org/ 10.1007/978-981-16-0983-1_18 lionardo, a., kurniawan, r., ivana, & nasirin, c. (2020). local government income revenue: a brief study of the policy impact of pandemic covid-19 on tourism recovery. in proceedings of the international conference on industrial engineering and operations management. mai, k. t. (2020). covid-19 and performance: beyond a social construction. journal of accounting and organizational change, 16(4), 663–668. https://doi.org/10.1108/jaoc08-2020-0118 miles, m. b., & huberman, a. m. (1994). qualitative data analysis/ : an expanded sourcebook. sage . parker, l. d., jacobs, k., & schmitz, j. (20119). new public management and the rise of public sector performance audit: evidence from the australian case. accounting, auditing & accountability journal, 32(1), 280–306. https://doi.org/10.1108/s07312199(2010)0000022004 pyun, h. o., edey gamassou, c., goldfinch, s., yamamoto, k., massey, a., tallaki, m., … mcdermott, a. (2018). transdisciplinary public leadership theory: between the extremes of “traditional public administration” and “new public management.” public management review, 0(1), 79–94. https://doi.org/10.1111/1467-8500.12330 radnor, z., & mcguire, m. (2004). performance management in the public sector: fact or fiction? international journal of productivity and performance management, 53(3), 245– 260. https://doi.org/10.1108/17410400410523783 rogerson, c. m., & rogerson, j. m. (2020). covid-19 tourism impacts in south africa: government and industry responses. geojournal of tourism and geosites, 31(3), 1083– 1091. https://doi.org/10.30892/gtg.31321-544 ruck keene, a. (2020). capacity in the time of coronavirus. international journal of law and psychiatry, 70. https://doi.org/10.1016/j.ijlp.2020.101560 shammi, m., bodrud-doza, m., towfiqul islam, a. r. m., & rahman, m. m. (2020). covid-19 pandemic, socioeconomic crisis and human stress in resource-limited settings: a case from bangladesh. heliyon, 6 (5). https://doi.org/10.1016/ j.heliyon.2020.e04063 siagian, s. (2013). manajemen sumber daya manusia. bumi aksara. jakarta: bumi aksara. journal of government and civil society, vol. 6, no. 1, april 2022 48 faisal nomaini, sofyan effendi, oemar madri bafadhal, & anang dwi santoso siddiqi, d. a., abdullah, s., dharma, v. k., shah, m. t., akhter, m. a., habib, a., … chandir, s. (2021). using a low-cost, real-time electronic immunization registry in pakistan to demonstrate utility of data for immunization programs and evidencebased decision making to achieve sdg-3: insights from analysis of big data on vaccines. international journal of medical informatics, 149. https://doi.org/10.1016/ j.ijmedinf.2021.104413 silalahi, e. s. (2015). peran aparat pemerintah dalam meningkatkan tertib administrasi kependudukan di keluragan suunter jaya kecamatan tanjung priok jakarta utara. journal of government, 1(1), 1–28. retrieved from https:// webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:bdsuqohoci4j:https:// media.neliti.com/media/publications/9138-id-perlindungan-hukum-terhadap-anakdari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id sondole, e. (2015). pengaruh disiplin kerja, motivasi dan pengawasan terhadap kinerja karyawan pada pt. pertamina (persero) unit pemasaran vii pertamina bbm bitung. jurnal emba, 1(3). stukalo, n., & simakhova, a. (2020). covid-19 impact on ukrainian higher education. universal journal of educational research, 8(8), 3673–3678. https://doi.org/10.13189/ ujer.2020.080846 suryahadi, a., al izzati, r., & suryadarma, d. (2020). estimating the impact of covid19 on poverty in indonesia. bulletin of indonesian economic studies, 56(2), 175–192. https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1779390 tung, l. t. (2021). success in combating a pandemic: role of fast policy responses. world development perspectives, 21. https://doi.org/10.1016/j.wdp.2020.100285 uguy, l. s., & achayat, a. p. (2003). penilaian kinerja pegawai negeri sipil. jakarta: universitas terbuka. united states office of personnel management. (2008). performance management. washington d.c.: united states office of personnel management. venuleo, c., gelo, o. c. g., & salvatore, s. (2020). fear, affective semiosis, and management of the pandemic crisis: covid-19 as semiotic vaccine? clinical neuropsychiatry, 17(2), 117–130. https://doi.org/10.36131/cn20200218 wilson, s. (2020). pandemic leadership: lessons from new zealand’s approach to covid19. leadership, 16(3), 279–293. https://doi.org/10.1177/1742715020929151 yayat, r. (2017). kualitas pelayanan publik bidang administrasi kependudukan di kecamatan gamping. jurnal ilmiah magister ilmu administrasi (jimia), (2), 56–65. retrieved from http://eprints.uny.ac.id/17523/1/skripsi full.pdf yin, r. k. (2018). case study research: design and methods (2nd edition). thousand oaks, ca: sage publications, inc. 49does covid-19 pandemic transform the performance management of north indralaya sub-district government? p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x zhong, y., li, y., ding, j., & liao, y. (2021). risk management: exploring emerging human resource issues during the covid-19 pandemic. journal of risk and financial management, 14(5), 228. https://doi.org/10.3390/jrfm14050228 zhu, s. (2020). human resource management strategy and new mode of internet plus in covid-19. in l. s. oladokun s.o. (ed.), e3s web of conferences (vol. 218). edp sciences. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202021801040 00.pdf cover dalam 1: tampak penuh daftar isi (jgcs volume 6 nomor 1) 2 (mitologi yunani) 145 158 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2, elita rahmi1 (1faculty of law, universitas jambi, indonesia) (2departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia) 159 179 policy of a merit system to make a good and clean government in the middle of bureaucratic politicization yahya pandega putra1, 2, eko priyo purnomo1, 2, suswanta suswanta1, 2, aulia nur kasiwi1, 2 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 181 199 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 (1faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia) (3faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia) 201 218 using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy riska rahayu1, 2, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 219 228 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1, budiyono budiyono1, djonet santoso1 (1sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 229 247 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1, helen dian fridayani2 (1departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2departement of political science, national cheng kung university, taiwan) 249 272 land administration policy in bantul and sleman districts subekti widiyasno1, dyah mutiarin 1, herdin arie saputra1, ikhwan rahmatika latif1 (1department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 273 291 increasing local own-source revenue through the development of the regional tourism sector harries madiistriyatno1, ida musdafia ibrahim2, dudung hadiwijaya3 (1program studi magister manajemen sekolah tinggi manajemen immi, indonesia) (2program studi manajemen sekolah tinggi ilmu ekonomi y.a.i, indonesia) (3program studi manajemen, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 229 citation : atmojo, muhammad eko, helen dian fridayani. 2020. “the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment.” journal of government and civil society 4(2):229–247. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 229-247 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2674 received 31 may 2020  revised 23 september 2020  accepted 26 september 2020 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1*, helen dian fridayani2 1 departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 2 departement of political science, national cheng kung university, taiwan *email correspondence: muhammadekoatmojo05@gmail.com abstract kulon progo regency is one of the districts that has many innovations, one of which is community empowerment in collaboration with a modern shop abbreviated as the shop name owned by the people (tomira). this research was motivated by the achievements of the kulon progo district government in carrying out development and innovation in the development of the kulon progo region by fully involving the kulon progo district community through community empowerment. this initiative was taken by the government of kulon progo regency to improve community empowerment and protect the people of kulon progo regency from various economic threats. considering that in the past few years many modern shops have mushroomed in each district/city, so this is what makes kulon progo regency move quickly to empower the community by collaborating between msmes or cooperative with modern shops. this study uses a qualitative method which case study approach. with the empowerment that has been done, the original products of kulon progo regency or local products can be traded in modern stores so that local products in kulon progo regency can compete with national products in these modern stores. the existence of such cooperation will indirectly improve the image of kulon progo regency and lift the original products of kulon progo regency. the lifting of the original products of kulon progo regency will have a positive impact on the community, where indirectly the economy of the community will increase so that there will be prosperity for the community. keywords: innovation, cooperative, traditional store, modern stores, community empowerment abstrak kabupaten kulon progo adalah salah satu kabupaten yang memiliki banyak inovasi, salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat bekerja sama dengan toko modern disingkat nama toko yang dimiliki oleh masyarakat (tomira). penelitian ini dilatarbelakangi oleh pencapaian pemerintah kabupaten kulon progo dalam melakukan pengembangan dan inovasi dalam pengembangan wilayah kulon progo dengan melibatkan sepenuhnya masyarakat kabupaten kulon progo melalui pemberdayaan masyarakat. inisiatif ini diambil oleh pemerintah kabupaten kulon progo untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan melindungi masyarakat kabupaten kulon progo dari berbagai ancaman ekonomi. menimbang bahwa dalam beberapa tahun terakhir banyak toko-toko modern telah menjamur di setiap kabupaten/kota, jadi inilah yang membuat kabupaten kulon progo bergerak cepat untuk memberdayakan masyarakat dengan berkolaborasi antara umkm atau bekerjasama dengan toko-toko modern. penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dengan metode yang digunakan adalah dokumentasi. dengan pemberdayaan yang telah dilakukan, produk asli kabupaten kulon progo atau produk lokal dapat diperdagangkan di toko modern sehingga produk lokal di kabupaten kulon progo dapat bersaing dengan produk nasional di toko modern ini. adanya kerjasama tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan citra kabupaten kulon progo dan mengangkat produk asli kabupaten kulon progo. pencabutan produk asli kabupaten journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 230 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani kulon progo akan berdampak positif bagi masyarakat, di mana secara tidak langsung perekonomian masyarakat akan meningkat sehingga akan ada kesejahteraan bagi masyarakat. kata kunci: inovasi, koperasi, toko tradisional, toko modern, pemberdayaan masyarakat introduction the phenomenon of the emergence of the retail market in indonesia is a small part of the existence of trade liberalization in indonesia, the existence of multinational corporate (mnc) companies which have been operating in many ways has led to competition among industry players (sidauruk, apriani, & hamudy, 2019). competition in theory will be able to provide benefits to consumers because they will benefit from price competition so that they will get the lowest price (tang, chen, & chiu, 2018). but on the other hand, competition will also result in practices that lead to unfair competition. monopolistic practices on a number of goods or markets will also have a huge impact on the sustainability of the business carried out by small communities who depend on small businesses for their livelihoods, especially if the retail has penetrated into the countryside (kusnadi, 2013). seeing the state of the growth of modern shops which are controlled by a certain company, it is clear that it has an effect or impact on the local economy in the village which is mushroomed by modern shops, in this case the ones that will be directly affected by the growth of outlets both indomaret and alfamart are grocery stores and traditional markets. the presence of networked minimarkets such as indomaret and alfamart has created unrest in the village community which has led to the emergence of various rejections in diy. however, it is different from kulon progo. the regent has a strategy to protect local traders, namely by “bela-beli kulon progo” so called “tomira”. tomira is a model of local economic empowerment with modern packaging. tomira is one of the solutions to the mushrooming of modern minimarkets in various regions and cities in indonesia. imagine, if not properly regulated, it is not uncommon to erode the local economy of the local community (pandaya, 2018, p. 14). to save the local micro, small and medium enterprises (msmes), the kulon progo regency local government initiated a program called the people’s owned store (tomira). with the tagline bela beli kulon progo, the kulon progo regency local government-issued local regulation no. 11 of 2011 which regulates the protection of traditional markets and the arrangement of shopping centers and modern shops. the consequence of this regulation is that all modern minimarkets with a distance of fewer than 1,000 meters must make a choice, namely not being extended, closed or taken over by a cooperative (pandaya, 2018). with the rise of modern stores networking in the midst of the community and even near the traditional markets, challenging unrest in the competition of traditional markets, traditional grocery stores and also local products kulon progo (kristianto, 2015, p. 25). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 231the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment one strategy to bring profits in the economic sector in a region is to do regional branding. regional branding that is managed well by an area can bring benefits in various fields. this is because regional branding is attached to the regions that use it and as a promotional area. one area that uses regional branding is kulon progo district. kulon progo has the potential of high economic value from products produced in terms of markets, industry, mining, tourism, and agriculture (susilo & rijanta, 2017, p. 5). this makes kulon progo be introduced to the wider community through the regional branding of the bela beli kulon progo movement. regional branding of the bela beli kulon progo movement is carried out with the aim of attracting tourists both domestic and foreign tourists and triggering the economy both from natural resources and human resources in the kulon progo district (fatimah, 2019, p. 129). it suggests that both present day stores and conventional markets are expected to help network advancement so the nearby government ought to oversee them carefully (suroso, 2016, p. 190). bela beli kulon progo was originally a commitment to the independence of the kulon progo district government in the context of alleviating poverty by the regent of kulon progo. which eventually became a promotional media to provide information, education, and facilitate the wider community, especially the kulon progo community. in moving the commitment to independence, through a government policy that has been planned by the kulon progo district government has now been running for the last 3 years. precisely since march 25, 2013, the bela beli kulon progo declaration was formalized, carrying the vision and mission of the kulon progo regent dr. hasto wardoyo, sp.og (k) is a form of creative ideas and innovation, in developing employment opportunities from the economic sector and the development of natural and human resources to increase people’s purchasing power of local regional products. reporting from the people’s sovereignty of jogja through bela beli program, kulon progo regent, dr. hasto wardoyo sp.og (k) won the ‘buy indonesia cakra buana banji award 2016’ which was held by the indonesian islamic business forum (iibf) at the smesco building in jakarta in 2016. it shows that an innovative program supporting local products can help improve regional prosperity and economic improvement and the importance of government communication are key to the success of the program implemented so that what becomes a problem of poverty in kulon progo regency can be reduced. regional economic independence in kulon progo regency is a form of an economic protection policy that is based on the development and empowerment of msmes. regional economic development is one of the objectives used by local governments to improve the level of economic community based on territorial and environmental resources in a sustainable manner. regional economic independence in kulon progo regency has dimensions of work performance measurement, namely human resources, institutions, cooperation, and spatial construction. this effort is used to optimize human resources and natural resources for the common interest (susilo, e. g. b., & rijanta, 2017, p. 9). journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 232 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani kulon progro was chosen as the target of the study because the first, the poverty index in kulon progo was the smallest compared to 4 districts/cities in yogyakarta province. second, the regent of kulon progo has the initiative and innovation in order to improve welfare in his district. thus, the results of this study can provide an overview of what the kulon progo district government has done in tackling poverty and can also be a best practice in other regions. kulon progo regency government is one of the regional governments that have a policy on protecting community empowerment or protecting people’s economy. this was triggered by the number of modern shop establishments in kulon progo regency. considering this will greatly threaten msme products as well as traditional markets in kulon progo regency. therefore, the kulon progo regency government made a very appropriate step to explore cooperation, especially for modern shops that were located near the traditional market area. this is as expressed by (triyono, 2014, p. 114) that to maintain the welfare of the community there needs to be community development in which there is a relationship between the company, government, and community to improve the welfare of the citizens. in addition, the collaboration was carried out because of the rise of modern shops in kulon progo regency, so that there was a concern for the sustainability of traditional markets, grocery stores, and smes products in kulon progo regency. some of the steps taken by the kulon progo regency local government are one form of the spirit of development in the kulon progo regency which is focused on “bela-beli kulon progo”. with this reflection of development, it will greatly help the community and also the region in improving the economy and welfare of the community. therefore, the purpose of this study is to analyze how the kulon progo government strategy is to keep local traders from dying and losing their competitiveness with modern shops such as alfamart and indomaret. the paper divides into several parts, part one provides the introduction why this research is conduct, part two presents the literature review and related study, next part come out with the method that used to examine the topic idea, fourth part provides the finding and discussion, and the last section presents the conclusion. literature review and related studies discussing about the rural political economy in indonesia does take into account the scope of a country’s public policy. it is this state influence to the village which is carried out officially which has many implications for the major changes associated with village independence in assisting its own economy. broadly speaking, villages are socio-economic entities that are independent and equally free from state regulation (jati, 2014). the development of various economic facilities, of course, requires spaces which in reality are increasingly narrow (clark & record, 2017). finally, what is being sacrificed is the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 233the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment traditional open space, all of which are essentially reserved for all citizens of a community in the region. thus, the traditional open space has become a commodity. the notion of traditional open space as public space has shifted to become private property. the global economic order has declared the boundaries of open space as public property so that the traditional open space market was born (françois, niculescu, badini, & diarra, 2009). it must be admitted, an area that is truly complex and intricate, because it does not want to rule the clash between commercial and humanist approaches (schedelik, nölke, mertens, & may, 2020). the spatial layout of an area is actually a cultural embodiment of a community with a variety of characters, traits, uniqueness, uniqueness, and personality. therefore, first of all, what needs to be implemented is the culture of various communities and the influence of the values, norms, lifestyles, activities and symbols they adhere to on spatial planning in the region. there are several points that can be learned (schedelik et al., 2020), which are: 1) the process of material economic redistribution itself runs in a balanced and equal manner by utilizing social capital among fellow citizens; 2) the distribution of funds in rural areas which is still micro means minimal economic inequality occurs. that is what we can see from the development of local wisdom in regulating the redistribution of the economy in villages such as granaries, banjars, and so on. this means that with this local wisdom, the economy is regulated by the countryside in a fair and balanced manner (wood & schnyder, 2020). as for the potential natural resources owned by the village itself, it actually has the potential for large economic resources in the form of customary exploitation (brata, 2016). in the regime of regulating economic resources at the rural level, it is known as the term common pool resources (brata, 2016). this term itself is defined as a form of joint management carried out by each member of the community. in this co-management mechanism, each member of the community has his own means of ensuring that his own natural resources are evenly distributed (clark & record, 2017). the active role shown by the community in ensuring the availability of the community is an effective way of securing economic resources in a balanced manner. common pool resources are actually part of the three regimes for regulating economic resources, such as the state way and the market way (dowdle, 2020). the state way itself puts forward the existence of state regulation in the redistribution arrangement. regulations by the state itself can be more flexible and carried out simultaneously and gradually (smiley & emerson, 2020). this is the characteristic of a country to carry out a single monopoly on these public services. this means that the state consecrates the role of the state itself in making these arrangements. that is what makes the role of society itself then isolated in this arena because the economy itself is included in the domain of the state in full and absolute terms (wood & schnyder, 2020). the community no longer has any other choice journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 234 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani but to choose the management of resources controlled by the state (geraghty, n.d.). the market as the second actor in regulating economic resources does provide many options for people to choose, but it is also adjusted to the rationality of prices that are so high (smiley & emerson, 2020). the existence of massive and large resource ownership owned by the village has become a polemic. state domination has been running in the village before stepping on globalization in the current 21st century. the autonomy and independence of the village as an independent entity were then eroded by state influence. at least this can be indicated by the pattern of penetration undertaken by the state to subordinate it as an object of state regulation (geraghty, n.d.). this, practice of state hegemony is not new in statevillage relations. it can actually be seen going back to the time of dutch colonialism. discussing the basic economic theory of capitalism, the figure of adam smith with his famous book “the wealth of nations” can be said to be the father of capitalism. in discussing the basic theory of capitalism is by knowing the basic characteristics of the system, namely maximizing individual profit through economic activities intended to help the public interest. the meaning of capitalism for the public interest, by adam smith is illustrated very clearly: what we hope for our dinner does not come from the miracle of the butcher, the cook or the baker, but from what they respect and pursue as an interest. personal. in fact, he does not think for the progress of the public even he does not know how much he has a share in advancing it. in fact, what he respects and pursues is his own gain. the basic idea of capitalism was also conveyed by max weber, by saying that capitalism is a system of commodity production based on wage labor to be sold and traded for profit (bellanca, 2013). for weber, the more basic characteristic of capitalism is the exchange system in the market (mayer, sager, kaufmann, & warland, 2017). the system in this market has a logical consequence in the form of rationalization which refers to how to get the maximum profit. currency exchange rates have created a very sharp exchange rate instability which in turn led to the creation of a very large era in the world of money (moseley, n.d.). it has no existence outside the global economy and it is the main money markets. referring to the decree of the minister of finance of the republic of indonesia no.01/ km.12/2001, capitalization is defined as the determination of the book-keeping value of all expenditures to acquire fixed assets until they are ready for use, to increase capacity or efficiency and/or extend their technical life in order to add values. these assets. observing the ministerial decree above, capitalization is a way for capitalism to launch its objectives by accumulating capital or transforming use value into exchange value. therefore, it can be said that capitalization is a form of transformation from a relationship that was originally free from tradable things to a relationship that is commercial in nature (geraghty, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 235the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment n.d.). it is in this connection that the assumption arises that globalization is seen as capitalism in its most recent form because strong and rich countries will practically control the world economy and small countries are increasingly powerless because they are unable to compete (wood & schnyder, 2020). research method in accordance with the problem that the author will examine in this study is the kulon progo regency government innovation in realizing community empowerment through modern stores, the method used is using qualitative through case study approach. a contextual investigation is an exploration technique including a very close, top to bottom, and definite assessment of a specific case (baxter, susan jack, & jack, 2008). moreover, data collection techniques are carried out by looking for primary data and theoretical references that are relevant to the case or problem found. additional, reference theory and documents relating to the topic obtained by means of research literature studies serve as the basic foundation and main tool for research practice in the middle of the field in this study (dodge, 2011). this research was conducted with the object of the government and the kulon progo community. data search was conducted from july 2019 until march 2020. findings and discussion the strategies in subduing capitalism through tomira (bela-beli kulon progo) tomira is a model of local economic empowerment with modern packaging. tomira is one of the solutions to the mushrooming of modern minimarkets in various regions and cities in indonesia. imagine, if not properly regulated, it is not uncommon to erode the local economy of the local community (pandaya, 2018, p. 14). to save the local micro, small and medium enterprises (msmes), the kulon progo regency local government initiated a program called the people’s owned store (tomira). with the tagline bela beli kulon progo, the kulon progo regency local government-issued local regulation no. 11 of 2011 which regulates the protection of traditional markets and the arrangement of shopping centers and modern shops. the consequence of this regulation is that all modern minimarkets with a distance of fewer than 1,000 meters must make a choice, namely not being extended, closed or taken over by a cooperative (pandaya, 2018). local governments involve cooperatives as collaborative partners in the development of msmes. local government efforts to encourage cooperatives to play an active role in acquiring franchise stores show that cooperatives play an important role in the pillars of people’s economy. the cooperative operates as the main marketing chain to encourage the people of kulon progo to buy local specialty products. ownership that is fully managed by the cooperative makes the original products of the region as superior products. the improvement and journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 236 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani improvement of cooperation partners with cooperatives in kulon progo regency is the establishment of people’s owned stores (tomira). the establishment of tomira is the efforts of the regional government in protecting and empowering msmes based on regent regulations. tomira is used as the main alternative in increasing regional product marketing and driving cooperatives in kulon progo. the intervention of the local government to create an independent creative economy must be accompanied by public awareness, especially the younger generation to love the special products made in their own regions. kulon progo regency’s economic independence is evident from the kulon progo defense and buying program. the role of regional local product protection from modern shop products is used as economic development empowerment in kulon progo regency. the community-owned shop or traditional store that so called (tomira) policy program is a product development model for cooperatives and small and medium businesses. the economic independence of a region is also very dependent on the ability of its cooperative penetration. in addition, the independence of the cooperative-based economy has contributed to the gross domestic product (gdp) which has reached 4.48% (wardoyo, 2016) based on regional regulation number 11 of 2011 article 1 explains that the arrangement is an effort of the regional government to regulate and organize the existence of traditional markets, shopping centers, and modern shops in a location so that they develop harmoniously, mutually beneficial, and mutually reinforcing. the wisdom of the local government is to move cooperatives as partners in the acquisition of the establishment of networked shops such as alfamart and indomaret. the ability of the kulon progo regional government to issue a policy to protect the creative economy is directed towards the community. this strategy embodies economic independence and serves as a benchmark for the success of the economic welfare of the people. table 1. growth of tomira in kulon progo regency source: kulon progo regency cooperative office 2018. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 237the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment from table 1. it can be seen that from 2014 until nowadays tomira has experienced a very significant increase where every year there has been an increase in 3 acquisition processes and also partnership cooperation with cooperatives in kulon progo. as for the growth of tomira (people-owned shop) from the results of taking over and partnership cooperation conducted with smes in kulon progo. next is the development of tomira results take over and partnership collaboration. tomira or people’s shop is a modern shop owned by cooperatives in kulon progo regency. the cooperative was chosen as a form of business actor originating from the community, so that it is expected that people’s welfare can be improved through the tomira modern store, considering that the cooperative in running the tomira modern store also involves the kulon progo regency smes as suppliers of local products, this is in line with the principles and objectives of empowerment as stipulated in chapter ii of kulon progo regent’s regulation number 63 year 2010. tomira supports poverty alleviation programs in kulon progo regency in the form of profit allowance for sme mentoring activities and community social assistance, providing home renovations, scholarships for the underprivileged, and other social activities. this partnership is a form of implementation of law no. 20 concerning smes, article 25 no. 1 concerning the government, regional government, business world, and the community facilitates, supports, and stimulates partnership activities that need, trust, support and benefit each other. bela beli kulon progo program so called tomira is significant in increasing people’s income. the community can benefit 10 percent through tomira (gustaman, 2019, p. 166). this can be interpreted that the bela beli kulon progo program can help the government in poverty alleviation in kulon progo regency. however, in the implementation of the program, of course, it has inhibiting and driving factors in implementing the program. and of course, the kulon progo government has a strategy in its implementation. this fosters the spirit of the business of batik artisans. in lendah subdistrict, ngentakrejo and gulu rejo villages, which are famous for batik tourism villages, now have 50 batik entrepreneurs with craftsmen between 20-40 artisans per businessman. this has increased dramatically, before the batik business was only around 2 entrepreneurs, increasing to 50 entrepreneurs. while the strategies undertaken to subduing capitalism through tomira are as follows: 1. the lack of spirit in this community will continue to be improved by various approaches, both formal and informal. a formal approach can be made with regent regulations, regent instructions, regent circular letters, and other technical instruments. the informal approach can be in the form of social institutions at the regency, village, pedukuhan, rt/rw, dasawisma to families. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 238 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani 2. always increase the promotion of kulon progo products indirectly or directly in conventional and modern ways. it can also be included in government events. 3. encourage innovation and increase the quality and trust of the community. with guidance and assistance with related skpd. the increase in community income through the bela-buy and buy kulon progo program in this study is also supported by previous research (kristianto, 2015, p. 26) which states that the bela-beli kulon progo program is able to answer the needs of the kalibawang community. they are able to find opportunities to improve their standard of living with the resources owned by the majority of farmers and agricultural land owned. meanwhile, according to (pratiwi, 2016) bela-beli kulon progo program is one of the kulon progo regency government innovation programs to support the development of smes. promotion policy is carried out by providing hr training assistance, capital access assistance, equipment assistance, and marketing assistance. according to (asshofi, 2016, p. 41) based on the results of his research, there was a positive impact with the bela-beli kulon progo program from the declaration of 2013 to 2016, namely an increase in the people’s economy and an increase in sales of regional production. this is stated in regional regulation no. 11 of 2011 was formulated by the kulon progo regency government by observing the rapid development of the trade sector and msmes. the increasing development of trade and sme economic activities is a logical consequence of the liberalization of trade segmentation which is now also taking place in kulon progo regency (rasbin, 2018). the development and phenomenon of the establishment of supermarkets have brought such a huge impact on society from the socio-economic side. the development and the establishment of supermarkets can potentially cause a negative effect on the existence and sustainability of small traders and businesses in traditional markets (wardoyo, 2016, p. 21). the segmentation of community needs in kulon progo regency prefers modern stores to traditional markets. the ability of traditional traders to reach urban consumers is a marketing alternative to limiting modern stores in kulon progo (susilo & rijanta, 2017, p. 7). the business strategy used to optimize the performance of smes is by opening up the industrialization area. this area reaches all community creative business units that are involutive in nature. efforts to develop a creative economy in an area aim to empower the use of local products for the needs of local residents. implementation of the kulon progo regent policy, dr. h. hasto wardoyo, sp.og (k) to elevate local msme products as pillars of people’s economy and economic independence (hadiyati, 2011, p. 8). this is done to foster a business climate for cooperatives and msmes. the cooperative is used as a benchmark for the development and economic growth of the community, especially in meeting other economic needs (hadiyati, 2011, p. 11). this p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 239the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment partnership as implementation and law. 20 of 2008 concerning smes which states that local government, the business world, and the community facilitate and support the people’s economy. the implementation of local regulation no. 11 of 2011 can encourage the entrepreneurial spirit of the kulon progo community for local businesses. protection of local governments in limiting the establishment of alfamart and indomaret is a form of preventive action from the government to its people (wuryandani & meilani, 2013, p. 110). the kulon progo government provides protection to traditional markets and businesses within it. this effort is a follow up to the local government in limiting the amount and regulating the distance between traditional markets and modern shopping centers such as alfamart and indomaret. toko milik rakyat or tomira has independence as a local partner of the kulon progo regency government. local partners from the modern store alfamart and indomaret are cooperative business entities and smes in kulon progo regency. cooperation of modern stores with regional local partners is carried out thoroughly, optimally, and continues through the development of a conducive business climate. the local government of kulon progo has formed a cooperative partner with the cooperative to acquire the alfamart and indomaret modern stores as people’s owned stores (tomira). as stated by local regulation policy objective no. 11/2011 to empower the community economy in partnership with the management of business, micro, small and medium enterprises (smes) cooperatives (hadiyati, 2011). thus, it can become the minimarket of the people of kulon progo. the realization is by building a creative economic protection policy for people’s owned stores (tomira). thus can be said that involving community participation through empowering smes will have an impact on the development of the local economy as well (rifa’i, 2013, p. 135). the cooperation and collaboration in managing tomira the management and collaboration of people’s owned stores (tomira) with cooperative business entities have a positive impact on the development of cooperatives, msmes, and communities in kulon progo regency (kristianto, 2015, p. 25). the impact of the cooperation in managing the people’s owned store (tomira) with the cooperative business entity in terms of the development of the cooperative is that there is a pride that the cooperative has its own modern shop (tomira). stimulate the growth of a variety of new products with standards (pirt, ipr, halal mui, etc.). cooperative members actively participate in developing their products (kristianto, 2015, p. 23). cooperatives can have a modern shop that does not have to be with large capital. as a training ground for the management of modern shops for the village community. increasing the amount of money in circulation in the regions and increasing shu for cooperative members. the impact of collaboration in managing the people’s owned store (tomira) with the journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 240 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani cooperative business entity in terms of the development of msmes is that there is a transfer of knowledge, skills from large business actors in business management. improving the quality of local products so they can enter the modern store (wuryandani & meilani, 2013, p. 111). market expansion is included in tomira. whereas the cooperation in managing the people’s owned store (tomira) with the cooperative business entity for the community is that the community further increases the trust in local products. in addition, tomira business model is also different, that is monopsony is no longer in manufacturing management, meaning there are other suppliers, which are no longer called royalty payments, other than that the use of store management operational systems, supply chain management, and merchandise costs and management fee (rasbin, 2018). apart from the supply of manufactured goods, there is also the supply and sale of local products of the umkm kulon progo regency and the status of suppliers of local products is equivalent to that of the manufacturing companies, which are both as suppliers. with a parallelized system, the hope is the formation of quality and marketable local products in the modern market. this partnership is a form of implementation of law no. 20 concerning smes, article 25 no. 1 concerning the government, local government, business world, and the community facilitates, supports, and stimulates partnership activities that need each other, trust, strengthen and benefit. the kulon progo regional government policy involves cooperatives as collaborative partners in the development of smes (rasbin, 2018) local government efforts to encourage cooperatives to play an active role in acquiring franchise stores show that cooperatives play an important role in the pillars of a people’s economy. the cooperative operates as the main marketing chain to encourage the kulon progo citizens to produce local specialty products. the principal issue in territorial improvement lie in its accentuation on advancement strategies that depend on the uniqueness of the district concerned (endogenous improvement) by utilizing the capability of hr, institutional, and nearby physical assets. this direction will prompt taking activities exuding from the region in the advancement procedure to make new business openings and invigorate financial movement (sitompul & sumule, 2016). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 241the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment table 2. progress of tomira from results of take over and partnership collaboration source: kulon progo regency cooperative office 2018 from table 2 we can know that the number of smes (micro, small and medium enterprises) that have collaborated is 252 members. from these data that the lowest turnover of tomira is tomira samigaluh with a total of rp 4,703,700 and the highest is tomira diponegoro with a total of rp 15,352,000. the purpose of this policy is to empower the community economy in a partnership with cooperatives and smes so that it can become the minimarket of the people of kulon progo. the real thing is by building a people’s own shop (tomira) program. this was also agreed upon through the signing of a memorandum of understanding between alfamart managers, sumber alfaria trijaya tbk company and the kulon progo regency local government on monday, september 1, 2014, to work together to develop community economic empowerment in partnership with cooperatives and smes through the tomira (community owned stores) program. all products produced by the kulon progo community must be sold in tomira. in principle, only products that are not owned or produced by kulon progo may be imported from journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 242 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani outside of kulon progo. so it is seen that the kulon progo regency government has involved various sectors of community business through the tomira program, this is as said by (ondang, singkoh, & kumayas, 2019, p. 1) that in empowering the community through empowering the smes the government is able to involve various business sectors of the community in its neighborhood the obstacles in tomira’s implementation there are several obstacles encountered in the implementation of tomira smes cooperation with modern stores in the kulon progo regency area, such as the constraints of cooperation between cooperatives “modern stores tomira “with suppliers (alfamart and indomaret); lack of human resources given that tomira previously was alfamart and indomaret modern stores, this has an impact on the lack of knowledge of human resources owned by tomira, because previously the concept of a modern store in kulon progo regency was a franchise, whereas now it is held by cooperatives, there are differences in accounting between tomira who conceptualize bookkeeping cooperatives with the bookkeeping concept of franchising because the standard presentation of financial statements cooperatives have been regulated in legislation, as well as the existence of cooperative rules following law number 25 of 1992. these constraints make human resources from cooperatives experience difficulties in presenting financial statements. so there is often a mismatch after reporting to the cooperative as the owner of tomira; 20% space for local products wherein the beginning of the establishment of a modern tomira store, local government has a high enthusiasm to be able to trade local products kulon progo regency as much as 20% of all products traded in every tomira modern store in kulon progo, so that local products can be known to the community and a good economic wheel for smes, products local as much as 20% will be given a separate shelf in the modern shop tomira. it should be noted that a space of 20% for local products is contained in a cooperative cooperation agreement in the establishment of a modern tomira store, but unfortunately, the space of 20% has not yet been reached or not maximized, this is due to local products that do not yet exist or do not meet the requirements. in addition to the problem of the lack of space for local products, the development of local products for kulon progo regency smes cannot be as fast as products in modern franchise stores, which are easily known in the community; the cooperative as a modern shop owner also had difficulty in managing this modern store at the beginning, namely regarding taxation. at first, the kulon progo regency cooperative was not familiar with tax payments in carrying out its cooperative activities, so taxation was one of the matters not understood by the related cooperatives, especially the majority of cooperative members were mostly elderly people, this became an obstacle for cooperatives in running the tomira modern store, besides that, tomira’s modern store has cooperated with alfamart and p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 243the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment indomaret as suppliers who are already familiar with taxation, because these two modern store brands are already classified as big companies, so inevitably the tax has certainly penetrated into tomira’s modern store, besides that in terms of turnover cooperatives in running tomira’s modern shop are more than 4.8 billion rupiah, so the cooperative is subject to 10% pkp or taxable entrepreneurs that must be paid every month to the state treasury, of course in addition to the lack of knowledge of this taxation, the imposition of this tax is felt to burden the cooperative. even so, the implementation of regional regulation no. 11 of 2011 is to provide the legal basis and broadest business opportunities for business actors by providing guarantees of protection to traditional markets and msmes. regional regulation number 11 of 2011 aims to create order, balance, and fairness in the conduct of trade businesses, both for sellers and buyers. in addition, the implementation of this regional regulation can also encourage the entrepreneurial spirit of the kulon progo community for local businesses. local government protection in limiting the establishment of networked stores in kulon progo in the form of a preventive measure that is guaranteeing protection to traditional markets and businesses, micro, small and medium enterprises. this effort is a follow up of the regional government in limiting the amount and regulating the distance between traditional markets and modern shopping centers such as alfamart and indomaret. the relocation and spacing of the establishment of network shops will affect the market climate in kulon progo. traders will not feel disadvantaged in a market economy both in terms of marketing and product competitiveness. management of local special products is very much needed in empowering the creative industries and household crafts in kulon progo. business continuity that is self-produced by small industry players is very necessary for the welfare of the community. the regional government has a “bela-beli kulon progo” program. this effort is used by the kulon progo government to further stimulate the market economy in the regions. conclusion through the tomira program that was conceived and is an innovation by the government of kulon progro, it seems able to minimize the trade capitalization carried out by modern stores such as alfamart and indomaret. the tomira program actually provides many benefits for the community including being able to provide welfare with a profit of 10 percent per sale, maintaining and elevating regional smes to continue to exist, also as a district can reduce poverty through this program. the implementation of local regulation no. 11 of 2011 can encourage the entrepreneurial spirit of the kulon progo community to protect local businesses. alfamart and indomaret represent one form of preventive action from the government to its people. the kulon progo government provides protection to traditional markets and business protection there. this effort is a journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 244 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani follow up to the regional government in the number and allocation between traditional markets and modern spending centers such as alfamart and indomaret. the policy of the kulon progo regency government in the effort to empower and protect its regional specialty products. this policy is ideal for economic development in an area. the needs of people in urban areas who are highly consumptive must be commensurate with the productivity of their local industries. this is very useful in reaching out to the marketing of small industries and home industries, so as to open up jobs for the community. the economic development of a region must be accompanied by preventive measures from the government apparatus directed at the community. the government must strive to optimize the productivity of creative industries and household crafts. the increase in creative economic growth in kulon progo regency is one of the main solutions of the regional government in overcoming the economic problems of the community. local governments involve cooperatives as collaborative partners in the development of msmes. local government efforts to encourage cooperatives to play an active role in acquiring franchise stores show that cooperatives play an important role in the pillars of people’s economy. the cooperative operates as the main marketing chain to encourage the people of kulon progo to buy local specialty products. tomira supports poverty alleviation programs in kulon progo regency in the form of profit allowance for smes mentoring activities and community social assistance, providing home renovations, scholarships for the underprivileged, and other social activities. this partnership is a form of implementation of law no. 20 concerning smes, article 25 no. 1 concerning the government, local government, business world, and the community facilitates, supports, and stimulates partnership activities that need, trust, support and benefit each other. the regional government of kulon progo regency, as the holder of power, the regional government has a big role to overcome the obstacles that arise in the implementation of tomira cooperation, which is by creating legal products, so that there will be forced efforts that are felt so that the existing problems can be minimized. then to realize the welfare of the people, then it would be nice if the government descended directly in providing financial assistance to sme actors, as well as simplifying procedures in making licensing of a product. because it is undeniable that in this day and age the value of a currency is very small to be utilized, even sometimes there is no value, it certainly makes it difficult for businesses, especially smes to develop their products. limitations of study the most significant limitation of this study is the limited on qualitative method through case study approach. in addition, internet surveys have not been included much in the study. in the future studies, therefore, different findings could be obtained by comparing p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 245the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment the findings of studies in different publications. considering the rapid development of capitalism in local product, it is estimated that studies of smes development for subduing the capitalism may give different results in different places and at different times. for this reason, it is necessary to continually revisit and update the relevant studies. references asshofi, m. k. (2016). kebijakan bela beli bupati hasto wardoyo prespektif nomokrasi islam. universitas islam neger sunan kalijaga. baxter, p., susan jack, & jack, s. (2008). qualitative case study methodology: study design and implementation for novice researchers. the qualitative report volume, 13(4), 544–559. https://doi.org/10.2174/1874434600802010058 bellanca, n. (2013). capitalism. handbook on the economics of reciprocity and social enterprise, (may), 59–68. https://doi.org/10.4337/9781849804745.00013 brata, i. b. (2016). kapitalisasi ruang terbuka tradisonal sebagai komoditas. inovasi ipteks perguruan tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (11), 129–137. clark, j. k., & record, m. (2017). local capitalism and civic engagement: the potential of locally facing firms. public administration review, 77(6), 875–887. https://doi.org/ 10.1111/puar.12791 dodge, p. r. (2011). managing school behavior: a qualitative case study. proquest dissertations and theses, 175. retrieved from http://ezphost.dur.ac.uk/ login?url=https://search.proquest.com/docview/874973680?accountid=14533% 0ahttp://openurl.ac.uk/ukfed:dur.ac.uk?genre=dissertations+%26+theses&issn= &title=managing+school+behavior%3a+a+qualitative+case+study&volume= &issue=&date=201 dowdle, m. (2020). michael dowdle national university of singapore. (84), 142–143. fatimah, n. (2019). agencies in the community economic movement. 313(icorsia 2018), 129–132. françois, m., niculescu, n., badini, z., & diarra, m. (2009). le beurre de karité au burkina faso/ : entre marché domestique et filiè res d’exportation. cahiers agricultures, 18(4), 369–375. https://doi.org/10.1684/agr.2009.0315 geraghty, m. (n.d.). aboriginal community & consumer engagement strategy. gustaman, f. a. (2019). the development of “tomira” village cooperatives (koperasi unit desa/kud) in kulon progo regency. 313(icorsia 2018), 167–169. https://doi.org/ 10.2991/icorsia-18.2019.40 hadiyati, e. (2011). kreativitas dan inovasi berpengaruh terhadap kewirausahaan usaha kecil. jurnal manajemen dan kewirausahaan, 13(1), 8–16. jati, w. r. (2014). globalisasi dan kemiskinan desa: analisa struktur ekonomi. jurnal penelitian politik, 11(2), 17–26. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 246 muhammad eko atmojo and helen dian fridayani kristianto, f. a. n. (2015). partisipasi masyarakat kecamatan kalibawang dalam gerakan “ bela-beli kulon progo .” 12(1), 19–28. kusnadi, d. (2013). implementasi kebijakan penataan ritel tradisional dan modern di kota jambi. th v. nomor, 1, 294–302. mayer, h., sager, f., kaufmann, d., & warland, m. (2017). the political economy of capital cities. the political economy of capital cities, 1–182. https://doi.org/10.4324/ 9781315545837 moseley, f. (n.d.). marx ’ s economic theory and contemporary. economic theory, 1–12. ondang, c., singkoh, f., & kumayas, n. (2019). peranan pemerintah daerah dalam pemberdayaan usaha mikro kecil menengah (umkm) di kabupaten minahasa (suatu studi di dinas koperasi dan ukm). jurnal jurusan ilmu pemerintahan, 3(3), 1–10. pandaya, y. d. (2018). strategi komunikasi pemasaran toko milik rakyat (tomira) dalam meningkatkan omzet penjualan. universitas muhammadiyah yogyakarta. pratiwi, l. (2016). strategi pemerintah daerah dalam pengembangan umkm kabupaten kulon progo. universitas gadjah mada. rasbin, a. . (2018). strategi pengembangan ekonomi kreatif di indonesia. jakarta: yayasan obor indonesia. rifa’i, b. (2013). efektivitas pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (umkm) krupuk ikan dalam program pengembangan labsite pemberdayaan masyarakat desa kedung rejo kecamatan jabon kabupaten sidoarjo. kebijakan dan manajemen publik, 1(1), 130–136. schedelik, m., nölke, a., mertens, d., & may, c. (2020). comparative capitalism, growth models and emerging markets: the development of the field. new political economy, 0(0), 1–13. https://doi.org/10.1080/13563467.2020.1807487 sidauruk, r., apriani, t., & hamudy, m. (2019). achievement, obstacles, and challenges in the development of creative economy’s best product in the city of bandung and badung district. jurnal bina praja, (21), 87–97. https://doi.org/10.21787/ jbp.11.2019.87-97 sitompul, r. f., & sumule, o. (2016). the modelling of strengthening indicators development in regional innovation system and its effect on the gross domestic product. jurnal bina praja, 8(2), 317–329. https://doi.org/10.21787/jbp.08.2016.317329 smiley, k. t., & emerson, m. o. (2020). a spirit of urban capitalism: market cities, people cities, and cultural justifications. urban research and practice, 13(3), 330–347. https:// doi.org/10.1080/17535069.2018.1559351 suroso. (2016). public policy in managing modern stores for community development. jurnal bina praja, 8(2), 187–197. https://doi.org/10.21787/jbp.08.2016.187-197 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 247the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment susilo, e. g. b., & rijanta. (2017). kajian implementasi “bela-beli kulon progo” (kasus: air-ku, batik geblek renteng, dan tomira. jurnal bumi indonesia, 6(3), 1–9. tang, j. w., chen, m. l., & chiu, t. h. (2018). an exploratory study on local brand value development for outlying island agriculture: local food system and actor-network theory perspectives. sustainability (switzerland), 10(11). https://doi.org/10.3390/ su10114186 triyono, a. (n.d.). pemberdayaan masyarakat melalui community development program posdaya (pos pemberdayaan keluarga) pt. holcim indonesia tbk pabrik cilacap. wardoyo, h. (2016). bela beli kulon progo. kulon progo. wood, g., & schnyder, g. (2020). intro: comparative capitalism research in emerging markets–a new generation. new political economy, 0(0), 1–5. https://doi.org/10.1080/ 13563467.2020.1807488 wuryandani, d., & meilani, h. (2013). peranan kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di provinsi daerah istimewa yogyakarta. jurnal ekonomi dan kebijakan publik, 4(1). 146 – 163 new public management (new public comparison meta-analysis developed and developing country policies) dyah mutiarin2, misran1 (1 department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 164 – 183 policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project rizki hegia sampurna1, 2, chih-chieh chou1 (1 department of political science, national cheng kung university (ncku), taiwan) (2 department of public administration, universitas muhammadiyah sukabumi (ummi), indonesia) 184 197 national insights and youth political attitudes in rural lampung against negative campaign hertanto1, handi mulyaningsih2, asep nurjaman3 (1 departement of government science, universitas lampung, indonesia) (2 departement of sociology, universitas lampung, indonesia) (3 departement of government science, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 198 213 ethnic identity and local politics: study on regional head election in merauke regency 2020 misran1, wahdania sardi1, zuly qodir1 (1 department of government affairs and administration, jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 214 – 236 stakeholder collaboration model for ecotourism development: a case study from batu city, east java province i gede eko putra sri sentanu1, ardian prabowo1, klara kumalasari1, aulia puspaning galih1, rendra eko wismanu1 (1 departement of public administration, universitas brawijaya, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 237 – 262 farmers social movement studies: a systematic literature review for a conceptual model wahyudi1 (1 department of sociology, universitas muhammadiyah malang, indonesia) 263 – 276 factors affecting trust in e-government ulung pribadi1, muhammad iqbal2, fittia restiane3 (1 post-graduate program universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan) (3 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 164 journal of government and civil society vol. 5, no. 2, oktober 2021, pp. 164-183 doi: 10.31000/jgcs.v5i2.4132 received 14 february 2021  revised 14 september 2021  accepted 16 september 2021 citation : sampurna, r. h., & chou, c.-c. (2021). policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project. journal of government and civil society, 5(2), 164–183. https:// doi.org/10.31000/jgcs.v5i2.4132 policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project rizki hegia sampurna1, 2*, chih-chieh chou1 1 department of political science, national cheng kung university (ncku), taiwan 2 department of public administration, universitas muhammadiyah sukabumi (ummi), indonesia *email correspondence: rizkicdn@gmail.com abstract this case study seeks to understand the policy-making of the jakarta bay reclamation project through the analytical lens of the policy networks. it posits that different policy networks would possibly produce or condition different policy outcomes in the project. the study uses a qualitative secondary data analysis. the study found: first, policy changes in the project, from initiation to implementation and finally termination, might be explained through the formation and transformation of different types of policy networks. overall, the networks were characterized by fluctuating interactions among actors and the persistent power struggle between economic, environmental, and societal interests. second, the networks’ type changes were possible due to two factors: (1) the political context of the 2017 gubernatorial election; and (2) the influences of environmental and societal ideas. keywords: issue networks, jakarta bay reclamation, policy community, policy networks, power relations abstrak studi kasus ini berupaya untuk memahami pembuatan kebijakan proyek reklamasi teluk jakarta melalui lensa analitik policy networks. studi ini berasumsi bahwa jenis policy networks yang berbeda mungkin akan menghasilkan atau mengkondisikan hasil kebijakan yang berbeda dalam proyek tersebut. hasil studi ini menemukan beberapa temuan. pertama, perubahan kebijakan dalam proyek, dari inisiasi hingga implementasi dan akhirnya penghentian, dapat dijelaskan melalui pembentukan dan transformasi berbagai jenis policy networks. secara keseluruhan, networks tersebut ditandai oleh interaksi yang berfluktuasi di antara para aktor dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus antara kepentingan ekonomi dan lingkungan dan masyarakat. kedua, perubahan jenis networks tersebut kemungkinan disebabkan oleh dua faktor: (1) konteks politik pilgub 2017; dan (2) pengaruh gerakan pemikiran lingkungan dan sosial. kata kunci: issue networks, policy community, policy networks, relasi kekuasaan, reklamasi teluk jakarta introduction the jakarta bay reclamation project continues to be a contested policy issue in indonesia. it covers an extended period, going through different political administrations, from the soeharto administration to the current one of jokowi. it began in 1995 when president soeharto issued presidential decree no. 52 of 1995 on the project’s initiation (pt. kapuk naga indah 2012, pp. 1-2; himawan, 2016). and since then, there have been many different, even conflicting, policies or regulations issued by other government institutions 165policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x (velarosdela, 2018). in addition, due to its multidimensional nature, the project also involves diverse actors from a wide range of sectors; government, private and societal actors who belong to the economic and urban planning sector to that of environment and fishery (lembagabantuanhukum jakarta, 2019; hereafter lbh). as such, it is not surprising that it continues to attract much attention from the public and academia. accordingly, such a complex and multifaceted issue invites scholars from a wide range of disciplines to offer insightful explanations and understanding about it. until recently, studies mainly focused their analyses on a thorough examination or assessment of the project’s impacts, negative or positive, or cost and benefit. they mostly come from disciplines such as civil engineering, environmental studies, fisheries, and marine sciences, and so on (arsyad, 2008; rudianto, 2014; supartono et al., 2015; ramadhan et al., 2016; irianto et al., 2017; colven, 2017; salim et al., 2019). nevertheless, a few policy studies offer insights into the complexity of the policymaking process of the jakarta reclamation project. these studies mainly focus their analysis on two themes. first, the overlapping and contradictory regulations of the project among different departments, of either the central government or provincial government of jakarta (mutia and asteria, 2008; karim n.d.). second, conflicting economic and political interests among government and other actors underpin the power struggle in the reclamation project (mutia and asteria 2008; mahdi 2017; rahmawati and firman 2019; adharani et al. 2019). we argue that the concept of policy networks would offer alternative insights about the issue and thus enrich and further expand the extant policy discourses. in that relation, the study seeks to explain the policy outcomes of the jakarta reclamation project as an empirical case through the analytical lens of the policy networks. to that end, the study attempts to (1) identify the type of policy networks, and their changes; (2) analyze the effect of different types of the policy networks on the reclamation policy; (3) explore what constitutes changes in the policy networks. literature review policy networks the concept of policy networks continues to develop along with its diverse epistemologies, methodologies, and approaches. the earlier conception of policy networks developed by marsh and rhodes and smith was understood as a model of interest group representation (marsh, 1998, p. 5-7). supporting that view, daugbjerg and marsh (1998) argue that policy networks “are crucial political structures through which we are governed or ruled (p. 55).” following a typical political analysis of “who gets what and how,” rhodes unequivocally states that policy networks talk about the actors, the interests they pursue, and the way or mechanism of the policy formulation and implementation (rhodes, 1997, p. 10). journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 166 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou another group of scholars focuses on the patterns of governance. for instance, klijn, koppenjan, and termeer (1995, p. 439) characterized policy networks as patterns of relationships between interdependence actors involved in processes of public policymaking. to them, the concept centered on interdependence as a keyword in the network approach. they argue that as a game about policy-making, the effects of policy networks lie in the effective management of the network (p. 441-443). as rhodes (2007) argues that the essence of policy networks is “institutional linkages between governmental and other actors structured around shared interests in public policy making and implementation (p. 2).” this earlier band of heavily british-minded scholars treated the policy networks as a form of governance that focused their analysis on institutional linkages between government and other actors. or later on, known as the structural approach. later scholars shift the approach from structural to more societal orientation and public participation. for instance, coleman and skogstad focused on those actors excluded from and critical to the exclusive policy-making circles (skogstad, 2005, p. 3). similarly, laumann&knoke (cited in yi &scholz, 2016, p. 254) view policy networks as a set of actors with significant concern about a substantive area, whose preferences and actions on policy events must be taken into account by the other domain participants. börzel advances the approach by bringing more analytical functions to it by specifying the policy networks into interest intermediation or governance (börzel, 2002, p. 255-258; bevir and richards, 2009, p. 4). this band of scholars views the policy networks as a typology of interest intermediation rather than a form of governance (richardson, 2000). more importantly, there has been inconclusive debate about the analytical utility of the policy networks. as a model, it has been under severe criticism for its lack of analytical function. policy scholars have attempted to better operationalize the model through different approaches (marsh, 1998, p. 185-190). marsh and rhodes’ structural approach, for instance, has been known for three characteristics. first, it is essentially structural and downplays the importance of agents. second, the structure of the network affects policy outcomes. third, it suggests that exogenous factors affect the change in both policy networks and policy outcomes. the underlying assumption is that the driving force of change in the network and the effect lies in broader economic and political instability and differences in knowledge. in contrast, dowding (1995) criticizes the structural model as failing to collect sufficient detail about the interactions within the networks. proposing a rational approach, he argues that resource exchange among agents within the networks affects the outcomes. therefore, for dowding, such a model might rather be considered a metaphor (dowding, 1995, p. 137-138). in response, marsh and smith (2001, p. 535-538) later developed a more comprehensive model, paying attention to structure and agent and capturing the iterative interaction between policy networks and outcomes, which they called a dialectical model. in essence, these approaches posit that both network structure, agency, and their 167policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x interactions relatively significantly affect the policy outcome. in sum, as marsh and smith (2000) declare, policy networks refer to the fact that relatively small groups make a great deal of policy of closely linked actors. classifying policy networks: policy community and issue networks marsh and rhodes (1992) developed a generic classificatory scheme of policy networks as a continuum that distinguishes policy community and issue network. there are four dimensions along which networks vary; interest, membership, interdependence (vertical and horizontal), and resources. but the empirical investigation is concerned with the degree to which anyone or set of characteristics is present (marsh and rhodes, 1992, p. 250-252). both policy community and issue networks are seen as types of relationships between interest groups and government. networks can vary along a continuum according to the closeness of the relationship within them. the policy community is at one end of the continuum consisting of stable, exclusive and close networks; while issue networks are at the other end, composed of multiple, inclusive, or loosely networks (rhodes, 1997, p. 44-45). furthermore, peterson (2003, p. 4) simplified the model by focusing on three key dimensions to determine policy networks in a specific sector. first, the relative stability of a network’s membership. it concerns whether the same actors tend to dominate decisionmaking over time or is membership fluid and dependent on the specific policy issue under discussion. second, the network’s relative insularity. it concerns whether it is a conspiracy that excludes outsiders or is it highly permeable by a variety of actors with different objectives or not. third, the strength of resource dependencies. it concerns whether network members depend heavily on each other for valued resources such as money, expertise, and legitimacy. are most actors self-sufficient and thus relatively independent of one another? notwithstanding criticism from many scholars about the risk of oversimplification, the network’s typology has a relatively demonstrated explanatory function on the policy outcomes (marsh and rhodes, 1992, p. 250). we assume that networks, as atkinson and coleman (1992) argue, “are governed by sets of rules which determine how decisions are made and who participates in policy making (p. 172).” a similar position taken by marsh and smith (2000, p. 4) argues that policy networks as the structure can determine the roles actors play within the networks and choose an issue over others as an agendasetting stage in the policy-making process. accordingly, many researchers used this typology as either an independent or intervening variable in their studies to analyze policy outcomes at a given policy issue or sector. for instance, adopting peterson’s approach, bomberg (1998, p. 167-184) examined different effects in european environmental policy caused by the issue networks. journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 168 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou theoretical propositions drawing mainly on the literature, we argue that we could explain policy outcomes of the jakarta reclamation project by using the policy networks as an analytical lens. as such, the study posits the following theoretical propositions to examine the jakarta reclamation case empirically at hand: (1) relative stability of networks’ membership, relative insularity, and strength of resource dependency together would affect formation and transformation of policy networks; (2) the formation and transformation of policy networks would likely affect policy outcomes of the reclamation project; (3) in sum, it argues that changes in the type of policy networks as are embedded in its three dimensions would likely produce policy changes in the reclamation project. the propositions are illustrated as follows: figure 1. theoretical propositions source: compiled from different sources research method the debates in the study of policy networks also centered on the methodological distinction between qualitative and quantitative analyses (börzel, 2002, p. 255). as the study aims at both explaining the uniqueness of the case and generalizing its analytical themes in terms of policy networks, it accordingly follows a kind of crucial single case study (george and bennett, 2005, p. 101-102; yin in bickman and rog, 2009, p. 256-257; yin, 2018). practically, this case study uses a qualitative secondary data analysis. it uses the extant qualitative reports, mainly in text data, and re-analyzes them through the policy networks’ perspectives. the study uses and analyses secondary data collected mainly from online newspapers, relevant organizations’ websites, previous studies, and other sources in the following forms (hakim, 2000, p. 24-25). first, official documents from government and non169policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x government organizations include laws, regulations, decrees, statement declarations, etc. second, media-based data such as news items, talk shows, dialogue, and debates are covered by print and electronic (elliott and squire, 2017). we focus on the reports or news items covering the pre-and postperiods of the 2017 gubernatorial election, from 2015 to 2019. we present the data in a historical or chronological narrative and then interpret them with reference to the extant studies, particularly in light of theories of policy networks (george and bennett, 2005, p. 157-159; yin, 2018). by that, we could reach a fresh understanding of the case. to ensure the validity of its findings, the study adheres to strict methodic-ness, seeks multiple sources of data, and looks for counterexamples (yin, 2011, p. 78-82). results and discussion the long road of reclamation policy: an endless power struggle we could identify three periods of the jakarta reclamation policy. this periodization is based on two criteria. first, it is based on policy outcomes to either implement the reclamation project or stop it. second, it is based on the relative significance of policy sectors. for instance, at a particular point in time, the reclamation was put under the command of the environmental industry. resultantly, those actors in this sector, such as the ministry of environment and ministry of marine and fishery, got more political leverage. while at the other period, it was considered under the domain of urban development and planning. the actors from this sector, such as the provincial government, developer companies, the national board of urban planning and development, might gain a more decisive role. the first period of reclamation policy began from its initiation in 1995 to 2003. to implement presidential decree no. 52/1995 and provincial regulation no. 8/1995, the reclamation project was initially implemented through a joint project by provincial government and developer company kapuk naga indah ltd. in 2003, the ministry of environment and forestry took a decisive role by stating that the reclamation was not feasible and had to stop through ministerial decree no. 14/2003 (himawan, 2016; setiaji, 2019). so, the reclamation policy changed. the main actors during this period were mainly the ministry of environment and forestry, the provincial government, and the developer company. the second period started from 2007 to 2016. this period began with the companies’ decision to sue the ministry of environment in 2007. it ended with the decision to coordinating the ministry of maritime affairs to resume implementing the reclamation project in 2016. during this period, the policy outcome was to continue the implementation of the project. except for a brief interval in 2016 when a joint committee chaired by the journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 170 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou coordinating ministry of maritime affairs consisted of the ministry of environment, ministry of marine and fishery, and provincial government issued the decree to temporarily halt the project (kemaritimandaninvestasi, 2016a; simbolon, 2016). mostly upheld explanations behind this brief policy change are twofold: firstly, the then minister of maritime affairs, rizal ramli, has been well known for his strong leadership, the outspoken activist and somehow proenvironmentalist agenda; and secondly, resultantly the civil societies and fishery communities had more chance to have their voices taken into account in the policy making process. the minister admitted that the reclamation project had potential floods (kemaritimandaninvestasi, 2016b). the minister also showed his political will to listen to public concerns such as jakarta bay fishermen or fishery communities (kemaritimandaninvestasi, 2016c). moreover, the ministry of environment insisted that this reclamation project did not fully comply with the environmental impact assessment (eia) requirement and thus needed re-evaluation (gabrillin, 2016). but the tide changed when luhut binsar pandjaitan took over the post of coordinating ministry of maritime affairs. the moratorium was revoked, and the project was once again given a go-ahead instruction (fadhilah, 2016; harahap, 2016). during this period, the policy-making involved more diverse actors and more dynamic political interactions. the third period started from 2017 to the moment the newly elected governor eventually stopped the project in 2018. it dated back to the 2017 gubernatorial election, during which the contending candidate, aniesbaswedan, made a commitment to halt the project if he got elected. during the campaign, he took a side with civil societies such as the indonesian forum for the environment (wahanalingkunganhidup indonesia/ walhi), people’s coalition for fisheries justice (koalisi rakyat untukkeadilanperikanan/ kiara), indonesian center for environment law (icel), and some others who often worked together under the platform of koalisiselamatkanteluk jakarta (kstj/ save the jakarta bay coalition). on many occasions, he unequivocally refused to continue the reclamation project as it brought about environmental damages and negative impacts to coastal and fishery communities (fadhil, 2016; pratiwi, 2017; putera, 2017). as he got elected in 2018, he abolished the extent of problematic regulations and issued governor decree no 58/2018 to form a kind reclamation management board (bkp) to re-evaluate the reclamation project thoroughly. as such, the governor meant to restructure the networks and demonstrate his authoritative position on it (agung, 2018a; nailufar, 2018). the policy was also intended to materialize the governor’s campaign promise to accommodate the environmental agenda and societal interests. but the policy was again severely criticized by civil societies as a half-hearted alignment to the environmental plan and the interests of the jakarta fishing communities. for instance, kstj even decided to continue the project rather than stop it (damarjati, 2018). the governor responded that such a decree was a must-to-do 171policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x step to stop the reclamation (azhar, 2018) legally. experts agreed that such a decree was indeed a necessary initial step to resolve the timely complicated reclamation issue (agung, 2018b). after a few months of investigation, validation, and verification processes, the board recommended the governor to put the project to a halt. by the end of 2018, the new governor formally sealed the reclamation project, symbolizing policy change in the long journey of jakarta bay reclamation (pradewo, 2018; sari, 2018). using the analytical lens of policy networks, we could see that all these twists and turns in the jakarta reclamation project reflect the underpinnings power relations of the networks. the very concept of policy networks captures this kind of power relationship between the actors in the policy-making arena (skogstad, 2005, p. 3). even atkinson, coleman, and skogstad further classified different types of power relationships between state and non-state actors such as “state-directed networks, clientele pluralist networks, corporatist networks (cited in skogstad, 2005, p. 4).” in this case, the power relationships were seen as blatant conflicting interests between actors in the economic camp and those in the environmental and societal one (mutia and asteria, 2008, p. 5). studies even posit that the political economy aspects of the reclamation project have attracted much public attention than its pure economic or environmental one (mahdi 2017, p. 41-43). this power relationship demonstrated masculine or patriarchal power syndrome and thus unfriendly to the environment, local communities, families, and women aspirations (rahmawati and firman, 2019, p. 57-59). the power struggle was further fueled by overlapping and sometimes contradictory laws and regulations (mutia and asteria, 2008, p. 4; karim n.d., p. 3). for instance, some limitations give different authorities to different institutions on the reclamation policy such as presidential decree no. 52/1995 and no. 122/2012 on reclamation in coastal areas and small islands, government regulation no. 5/2010 on navigating, law no. 23/2014 on local government, and so on (mutia and asteria, 2008, p. 5). thus, by stopping the project, the governor indeed rebalanced the power of the extant reclamation regime and changed the very nature of the established policy networks (henaldi, 2018). borrowing marsh’ word, the governor is an agent who ultimately “…bargain, conflict and break up networks (marsh and rhodes, 1992, p. 195).” explaining the reclamation policy outcomes through the policy networks the above results shed light on some critical points. first, the policy formation of jakarta’s reclamation is vertically multilayer and horizontally complex. vertically, it involves different government institutions such as ministries and agencies of the provincial government of jakarta. horizontally, it involves diverse actors from other sectors and policy agendas, ranging from government institutions, developer companies, civil societies, media, and even academia. applying peterson’s approach is therefore helpful because it journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 172 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou helps explain the varying strength of different actors in different policy sectors and agendas. its emphasis on resource dependencies helps identify which actors have a more decisive role in the policy formulation and implementation and further explain why. second, the long on/off policy indicates that actors cannot exercise a firm and stable policy position in an extended period. third, the reclamation policy is characterized by continuing, even sometimes rapid changes and fierce power struggles between two actors’ camps. thus, the networks were unstable. furthermore, drawing on peterson’s approach, we might explain the formation and transformation of the policy networks across different project periods. first, in terms of the relative stability of a network’s membership, it is argued that the provincial government (the governor) and developer companies had been the dominant actors in the reclamation policy during the first period. until finally, in 2003, the ministry of environment rebalanced the power structure and took a decisive role by arbitrarily declaring it as not feasible and had to stop. but the point is it was a tight interaction and involved very limited actors. there were only three actors directly involved, and the rest were by and large excluded from the policy-making process. while more diverse actors got involved in the policy-making process in the second period, the dominant actors were relatively still the same and limited. especially those actors who champion economic agenda such as the ministry of maritime affairs, provincial government and developer companies, had a more decisive role in the critical phase of policy formulation and implementation. those environmental and societal champions gained a more significant role in the last period by forming a joint strategic pact with the newly elected governor. by issuing governor decree no 58/2018, the newly elected governor changed the network structure into a loosely network with multi actors who could put influences into policy formulation. the coordinating ministry of maritime, ministry of environment, governor, and developer companies were not the only actors who had a decisive say. civil societies such as walhi, lbh, knti, and others also exercise public control over government policy. second, in terms of the network’s relative insularity, it is argued that in the first and second periods, the insularity was highly exclusionary. many actors, mainly from civil societies and other less relevant institutions were not adequately considered board. their positions were primarily at the periphery of policy networks. even if they exercised their power, they were overpowered, and more authoritative and influential actors stepped aside. the ministry of marine affairs and fisheries and ministry of environment and forestry, for instance, had been consistently critical of the environmental impact of the reclamation project (andinni, 2016; hidayat, 2016; tim, 2018). while in the last period, it was more permeable, wherein many diverse actors with different interests had relatively equal access to the policy process. through the 2017 gubernatorial election, those actors 173policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x who had been critical to the reclamation project could channel their agenda. and finally, got due roles to advocate their different interests. third, the strength of resource dependencies might answer why a particular actor was more dominant than the others. it is argued that in the first and second periods, the economic interests of developer companies were dominant due to an asymmetric resources exchange between them and government institutions; provincial government, and ministries. the companies’ resources are mainly financial resources, technical or technological expertise of reclamation projects, legal standing, and the government ambition to generate more incomes by establishing new business hubs, urban development, coastal recreation, and so on. at the same time, the companies’ alliance with the government was also entirely independent from civil societies. during this period, the interaction was very tight in that civil societies, let alone the public, were hardly able to access the policymaking process. the relationship was asymmetric in terms of resource dependencies. meanwhile, the new governor, ministry of environment, ministry of marine and fishery, and civil societies gained a significant role in the last period. he was able to rebalance the resources of companies and coordinate the ministry of maritime affairs. their resources were in the form of legitimacy and intellectual expertise, primarily in critical studies or thoughtful opinions from academia. in this regard, think tanks such as the coalition of inter-disciplinary experts (koalisipakarinterdisiplin) played a role by diffusing objective information, forming public opinion, and thus promoting knowledgebased policy. the reclamation policy was one of the demarcating platforms between the contending candidate who sided with civil societies and the incumbent who sided with the companies and those actors from the economic camp (kompas.com tv, 2016; metrotvnews, 2017). accordingly, when the contender won the election, it was interpreted as a public mandate to terminate the reclamation project (cnn indonesia, 2018). the newly elected governor and his strategic allies from the environmental and societal camp gained more political leverages to directly challenged the minister of maritime affairs (ambari, 2017; redaksi, 2017). initially, the minister and companies threatened to sue the new governor if he dared to revoke the permits (kuwado, 2017). but the governor did not bow to their threat (metrotvnews, 2018). in sum, the interactions pattern during this period was fluid, loosely, and based on relatively similar resource dependencies. the actors’ composition and position of different networks types in the jakarta reclamation policy can be seen in the following table: journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 174 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou table 1. actors composition and position in jakarta bay reclamation source: proposed by authors based on data analysis is it not too heuristic to conclude such networks types and make them fit into the policy changes or outcomes? apart from peterson’s analytical lens above, we could comprehend the network’s changes and policy changes in the jakarta reclamation project from the following evidence. first, changes in compositions and boundaries of the networks. as atkinson and coleman (1992, p. 172) argue, the inclusion of new actors into the network or their changing positions from relatively peripheral positions to the core ones would indicate changes of the policy networks. this is particularly true regarding the 175policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x “attentive public” who were previously excluded from the networks. it is evident from the table above that in the second period, the networks were dominated by actors who primarily pursued economic interests. at the same time, those actors who advocate the environmental and societal interests were either in peripheral positions such as the ministry of marine affairs and fisheries, ministry of environment and forestry, or being excluded from the networks at all such civil societies walhi, knti, lbh, etc. contrastingly, in the third period, those “‘attentive public” could join the networks or exert more influence on the policy-making agenda. second and most evidently, the changes in terms of resources and interests. perhaps the most important indicators of any policy changes are interests (skogstad, 2005, p. 8). the demarcating characteristic between different types of policy networks is policy interest. economic interests of big corporates dominated the policy agenda in the first and second periods; while in the third one, the environmental and societal plan were able to rebalance the power structure of the networks. it is also true in terms of resources. technological and technical expertise, which companies previously monopolized, become dispersed relatively equally among many actors within the networks and without. the actors’ position and interactions of the issue networks that took place in the third period of the jakarta reclamation policy might be better illustrated in the following figure: figure 2. actors’ position and interactions of the issue networks source: proposed by authors based on data analysis journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 176 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou the figure demonstrates two differentiating dimensions in identifying actors’ position and interactions in the issue networks of the jakarta reclamation project. the actors were positioned according to either economic or environmental and societal welfare policy interests on the y-axis. the preceding discussion shows us that civil societies, the ministry of environment and forestry, the ministry of marine and fishery, and the governor of jakarta were positioned as pro-environment and societal interest. in contrast, developer companies and the ministry of maritime affairs were set as champions of economic interest. but a more interesting discussion is on interactions among actors. since civil societies and the governor were on the environment and societal welfare, their relations with developer companies and the ministry of maritime affairs must be logically rivalry. and vice versa. but it is not the case with the ministry of environment and forestry and ministry of marine and fishery. although they were based on the environment and societal interest, their relations to developer companies and the ministry of maritime affairs were quite different. while they took a rivalry stance toward developer companies, they seem uncritical and powerless against the ministry of maritime affairs, which strongly advocated the economic interest. at the same time, notwithstanding their support for civil societies, they kept a distance from the governor. on the x-axis, it is evident that the governor and ministry of maritime affairs had a more decisive role in the policy-making process of the reclamation project. conclusion we might argue that the model of policy networks by marsh and rhodes is helpful to explain this empirical case. it helps us comprehend the actors, interests and power relations in the very complex policy making of the jakarta reclamation project. moreover, the model also serves to analyze the context and conditions of policy changes across different periods of the reclamation project as follows. first, policy changes in the project might be explained through the formation and transformation of different types of policy networks. the policy change from implementation to stop in the first period i (1995-2003) was conditioned by formation of the policy community. whilst, brief policy changes in the second period (2003-2017) were conditioned by transformation from the policy community with relatively small number of actors to that one with more actors. and finally, the termination of the project in 2018 was conditioned by formation of the issue networks. overall, the network was consistently characterized by fluctuating interactions among actors and persistent power struggle between economic and environment and societal interests. second, the changes in the types of policy networks were possibly due to two factors: (1) political context of 2017 gubernatorial election and new political legitimacy of provincial government; (2) ideational factors in that the environmental and societal ideas penetrated public discourses and were able to exert influences into the policy formulation and implementation. 177policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x references agung, bintoro. (2018, june 13). beda visiahokdananiessoalreklamasiteluk jakarta. cnn indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180613173851-20305939/beda-visi-ahok-dan-anies-soal-reklamasi-teluk-jakarta agung, bintoro. (2018, june 1). pengamat: fungsipergubaniesuntukrancangperdareklamasi. cnn indonesia. https:// www.cnnindonesia.com/nasional/20180614153040-20-306107/pengamat-fungsipergub-anies-untuk-rancang-perda-reklamasi andinni, alfaniroosy. (2016, april 13). menteri susi dan dpr sepakathentikanreklamasi jakarta. cnn indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/2016041320445120-123794/menteri-susi-dan-dpr-sepakat-hentikan-reklamasi-jakarta ambari, m. (2017, may 8). pemerintahlanggarhukumlagidalamproyekreklamasiteluk jakarta? mongabay. https://www.mongabay.co.id/2017/05/08/pemerintahlanggar-hukum-lagi-dalam-proyek-reklamasi-teluk-jakarta/ arsyad, a. (2008). coastal reclamation projects in indonesia: the weaknesses which lead to severe socio-environmental impacts. proceedings international conference on environmental research and technology, universitisains malaysia, 426-429. https://www.semanticscholar.org/paper/coastal-reclamation-projects-inindonesia%3a-the-lead-arsyad/7669ee472bbdeee642aacf16cc80e4c3d31e99f atkinson, michael m. & coleman, william d. (1992). policy networks, policy communities and the problems of governance. governance 5 (2), 154-180. https:// doi.org/10.1111/j.1468-0491.1992.tb00034.x azhar, m sholahadhin. (2018, june 15). anies: janganberimajinasisoalreklamasi. medcom.id. https://www.medcom.id/nasional/metro/nbw7pd3b-anies-janganberimajinasi-soal-reklamasi bevir, mark & richards, david. (2009). decentring policy networks: a theoretical agenda. public administration 87 (1), 3-14 https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.2008.01736.x bomberg, elizabeth. (1998). issue networks and the environment: explaining european union environmental policy. in david marsh (eds.), comparing policy network, (pp. 167-184) open university press. börzel, tanja. a. (2002). organizing babylon: on the different conceptions of policy networks. public administration 76 (2), 253-273. https://doi.org/10.1111/14679299.00100 cnn indonesia. (2018, september 26). blakblakangubernuraniessoalpencabutanizinpulaureklamasi i exclusive interview [video]. youtube. https://www.youtube.com/watch?v=vcyrhyswclc colven, emma. (2017). understanding the allure of big infrastructure: jakarta’s great garuda sea wall project. water alternatives 10 (2), 250-264. http://www.wateralternatives.org/index.php/alldoc/articles/vol10/v10issue2/354-a10-2-4/file journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 178 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou damarjati, danu. (2018, june 13). koalisiselamatkanteluk jakarta kecampergub bkp reklamasianies. detiknews. https://news.detik.com/berita/d-4067111/koalisiselamatkan-teluk-jakarta-kecam-pergub-bkp-reklamasi-anies daugbjerg, carsten and marsh, david. (1998). explaining policy outcomes: integrating the policy network approach with macro-level and micro-level analysis. in david marsh (eds.), comparing policy network, (pp. 52-74) open university press. dowding, keith. (1995). model or metaphor? a critical review of the policy network approach. political studies 43 (1), 136-158. https://doi.org/10.1111/j.14679248.1995.tb01705.x dowding, k. (1995). model or metaphor? a critical review of the policy network approach. political studies, 43(1), 136–158. https://doi.org/10.1111/j.14679248.1995.tb01705.x elliott, h., & squire, c. (2017). narratives across media as ways of knowing. forum qualitative sozialforschung/ forum: qualitative social research 18 (1), 1-5. http:// dx.doi.org/10.17169/fqs-18.1.2767 fadhilah, uminur. (2016, july 27). pengamatsebut rizal ramlididepakkarenaterkaitreklamasi. republika. https://www.republika.co.id/ berita/nasional/politik/16/07/27/oayopi366-pengamat-sebut-rizal-ramli-didepakkarena-terkait-reklamasi fadhil, haris. (2016, november 9). anies-sandi janji akan hentikanreklamasiteluk jakarta. detiknews. https://news.detik.com/berita/d-3341506/anies-sandi-janjiakan-hentikan-reklamasi-teluk-jakarta gabrillin, abba. (2016, april 10). menterisiti: reklamasiteluk jakarta harusperbaikikajiandampaklingkungan. kompas.com. https:// n a s i o n a l . k o m p a s . c o m . c o m / r e a d / 2 0 1 6 / 1 0 / 0 4 / 1 5 4 7 0 1 7 1 / menteri.siti.reklamasi.teluk.jakarta.harus.perbaiki.kajian.dampak.lingkungan george, alexander l. and bennett, andrew. (2005). case studies and theory development in the social sciences. mit press. hakim, catherine. (2000). research design. routledge. harahap, riza. (2016, july 28). peneliti: pencopotan rizal ramlikagetkanpublik. antaranews. https://www.antaranews.com/berita/575454/peneliti-pencopotanrizal-ramli-kagetkan-publik haas, peter m. (1992). introduction: epistemic communities and international policy coordination. international organization 46 (1), 1-35. https://www.jstor.org/stable/ 2706951 hay, colin. (1998). the tangled webs we weave: the discourse, strategy and practice of networking. in david marsh (eds.), comparing policy network, (pp. 33-51) open university press. 179policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x henaldi, widi. (2018, october 9). hentikanreklamasibernilairatusantriliun, aniessindir cara kerjaahok: pakai cara koboy. tribunnews. https://www.tribunnews.com/ nasional/2018/10/09/hentikan-reklamasi-bernilai-ratusan-triliun-anies-sindir-carakerja-ahok-pakai-cara-koboy hidayat, avit. (2016, april 15). menteri susi hentikanproyekreklamasiteluk jakarta. tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/762963/menteri-susi-hentikan-proyekreklamasi-teluk-jakarta/full&view=ok hidayat, avit. (2016, september 10). beginikritikwalhikepadamenteriluhuttentangreklamasi. tempo.co. https:// metro.tempo.co/read/803308/begini-kritik-walhi-kepada-menteri-luhut-tentangreklamasi/full&view=ok himawan, adhitya. (2016, october 22). inilahsejarahpanjangmegaproyekreklamasiteluk jakarta. suara.com. https:// www.suara.com/bisnis/2016/10/22/150106/inilah-sejarah-panjang-megaproyekreklamasi-teluk-jakarta huda, mas alamil. (2016, october 20). pak aniesjangangusur kamal muaradanhentikanreklamasi. republika. https://nasional.republika.co.id/berita/ ofbs3a382/pak-anies-jangan-gusur-kamal-muara-dan-hentikan-reklamasi ipb university. (2018, july 16). the existence of jakarta bay is important to maintain. https://ipb.ac.id/news/index/2018/07/the-existence-of-jakarta-bay-is-important-tomaintain/8e835ec011ec0edfa90e016390dafd0e irianto, harieko, hartati, sri turni, &lilissadiyah. (2017). fisheries and environmental impacts in the great jakarta bay ecosystem. indonesian fisheries research journal 23 (2), 69-78. http://dx.doi.org/10.15578/ifrj.23.2.2017.69-78 junita, nancy. (2017, october 24). reklamasiteluk jakarta: anies-sandi vs luhut.” jakarta bisnis. https://jakarta.bisnis.com/read/20171024/77/702416/reklamasi-telukjakarta-anies-sandi-vs-luhut kahler, m. (ed.). (2009). networked politics: agency, power, and governance. cornell university press. karim, muhamad. n.d.pokok-pokokpikiranreklamasiteluk jakarta dan pengelolaanpesisir dan laut indonesia. (pp. 14). https://acch.kpk.go.id/images/ ragam/makalah/pdf/reklamasi/pokok-pikiran-reklamasi-teluk-jakarta-danpengelolaan-pesisir-dan-laut-indonesia-muhamad-karim.pdf kemaritimandaninvestasi. (2016, april 18). rizal ramlipastikan moratorium proyekreklamasi. https://maritim.go.id/rizal-ramli-pastikan-moratorium-proyekreklamasi/ kemaritimandaninvestasi. (2016, april 18). rizal ramli: proyekreklamasimemangberesiko. https://maritim.go.id/rizal-ramli-proyekreklamasi-memang-beresiko/ journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 180 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou kemaritimandaninvestasi. (2016, mei 4). rizal ramlidengaraspirasinelayanteluk jakarta.”. https://maritim.go.id/rizal-ramli-dengar-aspirasi-nelayan-teluk-jakarta-2/ kementerianlingkunganhidupdankehutanan (klhk). (2017). reklamasipantai utara jakarta. kementerianlingkunganhidupdankehutanan. klijn, erik hans, koppenjan, joop&termeer, katrien. (1995). managing networks in the public sector: a theoretical study of management strategies in policy networks. public administration 73 (3), 437-454. https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.1995.tb00837.x koalisipakarinterdisiplin. (2017). selamatkanteluk jakarta. rujak center for urban studies. https://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2017/10/ makalah-kebijakan-selamatkan-teluk-jakarta.pdf kompas.com tv. (2016, april 30). ahok: secarahukum, reklamasitidakbisadihentikan [video]. youtube. https://www.youtube.com/watch?v=l0osszjxogw kisby, ben. (2007). analysing policy networks: towards an ideational approach. policy studies 28 (1), 71-90. https://doi.org/10.1080/01442870601121502 kuwado, fabian januarius. (2017, july 11). luhutingatkananiesbaswedanwajiblanjutkanreklamasi. kompas.com. https:// n a s i o n a l . k o m p a s . c o m . c o m / r e a d / 2 0 1 7 / 0 7 / 1 1 / 2 1 0 6 5 8 4 1 / luhut.ingatkan.anies.baswedan.wajib.lanjutkan.reklamasi lembagabantuanhukum (lbh) jakarta. (2019, september 10). memaknaireklamasiteluk jakarta. https://www.bantuanhukum.or.id/web/memahami-proyek-reklamasitelukjakarta/ nailufar, nibras nada. (2018, november 27). perkembanganpulaureklamasi di tangangubernuranies. kompas.com. https://megapolitan.kompas.com.com/read/ 2018/11/27/09093061/perkembangan-pulau-reklamasi-di-tangan-gubernuranies?page=all mahdi, imam. (2017) reklamasiteluk jakarta: sebuahprespektifkekuasaandalamekonomipolitik. jurnaltransformasi global 4 (1), 3845. https://transformasiglobal.ub.ac.id/index.php/trans/article/view/66/56 marsh, david. (1998). the development of the policy network approach. in david marsh (eds.), comparing policy network, (pp. 3-20) open university press. marsh, david. (1998). the utility and future of policy network analysis. in david marsh (eds.), comparing policy network, (pp. 185-198) open university press. marsh, david & rhodes, r. a. w. (1992). policy communities and issue networks. in david marsh and r.a. w. rhodes (eds.), policy networks in british government, (pp. 249-268) clarendon press. marsh, david & smith, martin j. (2000). understanding policy networks: towards a dialectical approach. political studies, 48 (1), 4-21. https://doi.org/10.1111/14679248.00247 181policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x marsh, david & smith, martin j. (2001). there is more than one way to do political science: on different ways to study policy networks. political studies, 49 (3), 528541. https://doi.org/10.1111%2f1467-9248.00325 metrotvnews. (2018, february 21). menkoluhut: reklamasikini ada di tanganpemprov dki. [video]. youtube. https://www.youtube.com/watch?v=q-um3_pr73y metrotvenew. (2017, april 12). ahok vs aniesdebatsoalreklamasi [video]. youtube. https://www.youtube.com/watch?v=yotuiov-fdu mutia, elokfaiqotul&asteria, donna. (2008). jakarta bay reclamation policy: an analysis of political ecology. e3s web of conferences 52 (00014), 1-8.https://doi.org/10.1051/ e3sconf/20185200014 mutia, elokfaiqotul, herdiansyah, herdis&haryanto, joko tri. (2019). conflict of jakarta bay reclamation: government knowledge and respond. journal of physics: conference series (1363), 1-6. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/ 1363/1/012099 peterson, j. (2003). policy networks. reihepolitikwissenschaft/ political science series 90, 129. https://www.ihs.ac.at/publications/pol/pw_90.pdf pradewo, bintang. (2018, september 26). akhirnya, aniesresmihentikanpengerjaanreklamasi 13 pulau. jawa pos. https:// www.jawapos.com/jpg-today/26/09/2018/akhirnya-anies-resmi-hentikanpengerjaan-reklamasi-13-pulau/ pratiwi, priska sari. (2017, october 18). menagihjanjianies-sandi hentikanreklamasiteluk jakarta. cnn indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/2017101808512020-249171/menagih-janji-anies-sandi-hentikan-reklamasi-teluk-jakarta pt. kapuk naga indah. (2012). analisisdampaklingkungan (andal) reklamasipantaikapuk naga indah. jakarta. https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/ wp-content/uploads/2017/05/andal%20pulau%20cde.pdf putera, andridonnal. (2017, october 10). janjianies-sandi hentikanreklamasidanperkembanganterkini. kompas.com. https:// megapolitan.kompas.com.com/read/2017/10/10/15281411/janji-anies-sandihentikan-reklamasi-dan-perkembangan-terkini?page=all rahmawati, restu&firman. (2019). reklamasiteluk jakarta ditinjaudariperspektifekofeminisme. aristo 7 (1), 46-63. http://dx.doi.org/ 10.24269/ars.v7i1.1303 ramadhan, a., firdaus, m., wijaya, r. a., &muliawan, i. (2016). estimasikerugiannelayandanpembudidayaikanakibatreklamasi di teluk jakarta. jurnalsosialekonomikelautandanperikanan 11(1), 1-11. redaksi. (2017, december 8). soalreklamasi, nelayanteruslakukan ‘perlawanan’ kepemprov dki. edunews. http://www.edunews.id/news/soal-reklamasi-nelayanterus-lakukan-perlawanan-ke-pemprov-dki journal of government and civil society, vol. 5, no. 2, oktober 2021 182 rizki hegia sampurna & chih-chieh chou rhodes, r.a.w. (1997). understanding governance: policy networks, governance, reflexivity and accountability. open university press. rhodes, r.a.w. (2007). understanding governance: ten years on. organization studies 28 (8), 1-22. https://doi.org/10.1177%2f0170840607076586 richardson, jeremy. (2000). government, interest groups and policy change. political studies 48 (5), 1006-25. https://doi.org/10.1111/1467-9248.00292 rudianto, andigustitantu. (2014). an analysis of coastal land conflict in the north of jakarta coastal area: a general algebraic modelling system approach. journal of coastal conservation 18 (1), 69-74. https://doi.org/10.1007/s11852-013-0298-4 salim, wilmar, bettinger, keith, & micah fisher. (2019). maladaptation on the waterfront: jakarta’s growth coalition and the great garuda. environment and urbanization asia 10 (1), 63-80. https://doi.org/10.1177%2f0975425318821809 sari, nursita. (2018, september 26). gubernur dki hentikanproyekreklamasi, izin 13 pulaudicabut. kompas.com. https://megapolitan.kompas.com.com/read/2018/09/ 26/17081541/gubernur-dki-hentikan-proyek-reklamasi-izin-13-pulau-dicabut setiaji, hidayat. (2019, june 17). jejaksuramreklamasi jakarta: dari politiksampaikasussuap. cnbc indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/ 20190617122502-4-78733/jejak-suram-reklamasi-jakarta-dari-politik-sampai-kasussuap simbolon, christian dior. (2016, april 25). sk moratorium reklamasiteluk jakarta hakgubernur dki. media indonesia. https://mediaindonesia.com/read/detail/ 42198-sk-moratorium-reklamasi-teluk-jakarta-hak-gubernur-dki skogstad, grace. (2005, june 2). policy networks and policy communities: conceptual evolution and governing realities. (first draf, workshop on “canada’s contribution to comparative theorizing”). annual meeting of the canadian political science association university of western ontario, ontario. https://www.researchgate.net/ publication/228811682 supartono, j. haluan, m.f.a. sondita&manuwoto. (2015). jakarta north coast development impact on fishery activities. asian journal of scientific research, 9 (1), 14-23. http://dx.doi.org/10.3923/ajsr.2016.13.23 tim. (2018, september 30). menteri lhk akuisudah bahas reklamasidengananies. cnn indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180930181655-20-334469/ menteri-lhk-akui-sudah-bahas-reklamasi-dengan-anies utomo, citra pulandi. (2017, november 13). reklamasiteluk jakarta, ancamanataurestorasilingkungan? kumparan. https://kumparan.com/citrapulandi-utomo/reklamasi-teluk-jakarta-ancaman-atau-restorasi-lingkungan1510561112007 velarosdela, rindinuris. (2018, december 17). perjalananpanjangreklamasiteluk jakarta, darisoehartohinggaanies. kompas.com. https://megapolitan.kompas.com/read/ 183policy networks: actors, interests, and power relations in the jakarta reclamation project p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 2018/12/17/12524161/perjalanan-panjang-reklamasi-teluk-jakarta-dari-soehartohingga-anies?page=all y adharani et al. (2019). jakarta bay reclamation: the challenge between policy, environmental and social impacts. iop conf. series: earth and environmental science, 306: 1-8. 10.1088/1755-1315/306/1/012025 yi, h., &scholz, j. t. (2016). policy networks in complex governance subsystems: observing and comparing hyperlink, media, and partnership networks. policy studies journal, 44 (3), 248-279. yin, robert k. (2018). case study research and applications: design and methods, (6th ed.). sage. yin, robert k. (2011). qualitative research from start to finish. the guilford press. yin, robert k. (2009). how to do better case studies (with illustrations from 20 exemplary case studies). in leonard bickman and debra j. rog (eds.), the sage handbook of applied social research methods, (pp. 254-282) sage publications. 2 (mitologi yunani) 145 158 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2, elita rahmi1 (1faculty of law, universitas jambi, indonesia) (2departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia) 159 179 policy of a merit system to make a good and clean government in the middle of bureaucratic politicization yahya pandega putra1, 2, eko priyo purnomo1, 2, suswanta suswanta1, 2, aulia nur kasiwi1, 2 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 181 199 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 (1faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia) (3faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia) 201 218 using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy riska rahayu1, 2, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 219 228 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1, budiyono budiyono1, djonet santoso1 (1sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 229 247 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1, helen dian fridayani2 (1departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2departement of political science, national cheng kung university, taiwan) 249 272 land administration policy in bantul and sleman districts subekti widiyasno1, dyah mutiarin 1, herdin arie saputra1, ikhwan rahmatika latif1 (1department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 273 291 increasing local own-source revenue through the development of the regional tourism sector harries madiistriyatno1, ida musdafia ibrahim2, dudung hadiwijaya3 (1program studi magister manajemen sekolah tinggi manajemen immi, indonesia) (2program studi manajemen sekolah tinggi ilmu ekonomi y.a.i, indonesia) (3program studi manajemen, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 181 citation : elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan. 2020. “smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic.” journal of government and civil society 4(2):181–199. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 181-199 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2715 received 18 june 2020  revised 10 august 2020  accepted 25 september 2020 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1*, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 1 faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia 2 faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia 3 faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia *email correspondence: elyta@fisip.untan.ac.id abstract this article aims to develop the concept of human security through economic safeguards for micro, small, and medium enterprises (msmes) in the face of the covid-19 pandemic. the analysis was carried out using a qualitative approach. this article has found an effort to secure the economy for micro, small, and medium enterprises (msmes) in the face of the covid-19 pandemic by integrating the hard skills and soft skills approaches. the hard skill approach is an effort made through technical matters, namely primary education in online-based entrepreneurship and training in business management based on information, communication, and technology. primary education on entrepreneurship and training in the form of technical supervision and management of ict-based businesses in dealing with the covid-19 pandemic. the soft skill approach is the provision of understanding and communication skills, especially the ability to conduct diplomacy so that people can have good diplomacy skills and through empathy-buying so that people through empathy can trust again to increase their purchasing power, especially to products from msmes. by the author, this method is called smart human security. keywords: covid-19, smart human security, micro small and medium enterprises abstrak artikel ini bertujuan untuk mengembangkan konsep human secuity melalui pengaman ekonomi terhadap usaha mikro kecil dan menengah (umkm) dalam menghadapi pandemi covid-19. analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif. artikel ini telah menemukan upaya pengamanan ekonomi bagi usaha mikro kecil dan menengah (umkm) dalam menghadapi pandemi covid-19 dengan mengintegrasikan antara pendekatan hard skill dan soft skill. pendekatan hard skill merupakan upaya yang dilakukan melalui hal-hal teknis yaitu pendidikan dasar dalam berwirausaha berbasis online dan pelatihan pengelolaan usaha berbasis information, communication, and technology. pendidikan dasar mengenai kewirausahaan dan pelatihan-pelatihan berupa teknis manajemen dan pengelolaan usaha berbasis ict dalam menghadapi pandemi covid-19. pendekatan soft skill merupakan pemberian pemahaman dan kemampuan komunikasi khususnya kemampuan dalam melakukan diplomasi agar masyarakat dapat memiliki keahlian berdiplomasi dengan baik serta melalui empathy-buying agar masyarakat melalui empatinya dapat kembali percaya untuk meningkatkan kembali daya belinya terutama kepada produk dari umkm. oleh penulis, cara tersebut disebut sebagai smart human security. kata kunci: covid-19; smart human security; usaha mikro kecil dan menengah journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 182 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan introduction human security is a case study of international development that is focused on directing towards human welfare (sudiar, 2018). security issues related to individuals or human security in indonesia are no longer only related to military security, such as war and conflict. now, this is also related to the condition of human security, including the economic security aspect of society. these conditions make individuals determine their well-being. based on this, the scope of the human security concept has a close correlation between one sector and another (ardiyanti & anwar, 2018). human security appropriately shows individuals as the main focus on the global development agenda, a concept that was initially related to economics. as a result, securing society through this concept means building human capacity to overcome problems, including hunger, discrimination, illiteracy, poverty, disease, restrictions on political freedom, violence, and the economy. this paper focuses on economic issues for micro, small, and medium enterprises (msmes) in the face of the covid-19 pandemic. the economy of a country is supported by the optimization of micro, small and medium enterprises, after this referred to as msmes. this is because the individual has sought welfare independently and automatically indicated an impact on the economy of a country. according to the law of the republic of indonesia, number 20, the year 2008 explains the definition of msmes that is a small company owned and managed by someone or owned by a small group of people with a certain amount of wealth and income. the ministry of cooperatives and small and medium enterprises of the republic of indonesia, in 2017, reported that msmes had a share of 99.99% or 62.9 million units of the total msme actors in indonesia. while large businesses only have a market share of 0.01% or 5,400 units. microbusinesses absorb around 107.2 million workers (89.2%), small businesses 5.7 million (4.74%), and medium businesses 3.73 million (3.11%), while large businesses absorb around 3.58 million. based on this accumulation, msme absorbs 97% of the national workforce, while large businesses only absorb about 3% of the total national workforce (haryanti & hidayah, 2019). furthermore, the development of msmes in indonesia currently faces challenges in developing and managing businesses due to a lack of access to capital. an sme needs to have a budget to start and establish industries, both for the production, operation, and marketing of industrial products. the production results that will be developed and marketed by msmes then face other challenges, this has resulted in 97.36% of msme entrepreneurs being limited in marketing industrial products on a local scale (global business guide indonesia, 2018). bringing up ideas and starting a business was allegedly not too difficult for smes, but maintaining the industry with proper management so that it could compete was the researcher’s attention. the challenge is the availability of competent local businessmen resources, infrastructure to access markets on a broader p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 183smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic scale, and the selling points of the industrial products to compete with the products of other industries. msmes are increasingly felting these problems in the face of the covid-19 pandemic that has been felt since the end of 2019. covid-19, which was initially known as the coronavirus, has initially been an epidemic in wuhan, china, at the end of 2019. the virus then spread rapidly throughout the world is infected by the virus and makes its status become a pandemic. the situation was determined by the world health organization (who) on march 11, 2020. the pandemic then became an opponent in the maintenance of human security at the global level. the ongoing covid-19 pandemic was allegedly able to have a long-term impact on the economic slowdown in indonesia. in general, indonesia’s economic growth has declined due to covid-19 pandemic. according to the minister of finance, sri mulyani indrawati, this year’s percentage of global economic growth is projected to slow down to 2.8%. this condition is similar to the global financial crisis that occurred in 2008 (fauzia, 2020). the deteriorating condition of the indonesian economy is also a result of the weakening of economic conditions at the global level in the face of the covid-19 pandemic. besides, government policies to prevent the spread of covid-19 through work from home, self-quarantine, or physical distancing make people less likely to leave the house. this has a national impact on the weak purchasing power of the people in the offline market. changes in policies that prioritize people with underdeveloped economies, including in the border region, do not have a significant impact on the economic conditions of the people so that they still experience poverty (herlan & elyta, 2020). faced with this, the government has formed policy coordination between monetary authorities such as bank indonesia (bi), the financial services authority (ojk), and business actors in the real sector, such as msmes. this was done to maintain the strengthening of the indonesian economy so that it remained on the development goals and the country’s economy. the policy adopted is prioritizing development in five sectors, namely human resources, infrastructure development, economics, regulation or regulation, and simplification of bureaucracy. it is meanwhile related to the health sector fully submitted to the ministry of health to rearrange the budget needed during the covid-19 period. in the microeconomic sector, msme is the most vulnerable sector because its daily economic income relies on daily money circulation (julaika, 2020). for this reason, msme actors must be sensitive to social-economic changes that occurred in the covid-19 pandemic. reduced demand in the offline market or physical market occurs because of directives from the government to implement physical restrictions (physical distancing) and reduce activities outside the home during the covid-19 pandemic has not subsided. the purchasing power of the people turning to online media is a challenge and opportunity for smes. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 184 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan to increase the economic security of msmes in dealing with covid-19, the researchers analyzed the condition through aspects of hard skills and soft skills. developing hard skills requires a focus on msme development strategies so that they can then be useful for the country’s economy in building sustainable msme competitiveness in the domestic and international markets. in addition to hard skills, msme resource development strategies are equipped with soft skills. soft skill development is not always interpreted as self-ability because it also requires a broader definition to bring competitive advantage. to achieve these soft skills, the strategy for developing msmes is carried out by diplomacy training and provides insights on the morality that business actors must possess and selfspirituality in entrepreneurship during the covid-19 pandemic. previous studies that have been carried out related to efforts in the economic sector conducted in the face of a virus or pandemic outbreak are studies conducted in the european region. the study examines economic governance to respond to unprecedented economic challenges due to the coronavirus outbreak. based on the study found a collective action by the state government by implementing policies through the european central bank to continue the unconventional monetary policy to overcome the crisis, primarily through asset purchases. the political implications of the two union economic and monetary asymmetries discussed in this introduction are striking in the current context. the policy and institutional effects of this asymmetry remain the subject of increasingly fierce debate (howarth & verdun, 2020). other studies have been carried out by analyzing the emergency governance of international organizations by combining security theory (securitizing) with a legal approach in exceptional circumstances. the research shows how the who’s extraordinary response to the severe acute respiratory syndrome 2003 was the sars virus. the emerging crisis then paved the way for the institutionalization of emergency powers in the organization and contributed to securitizing the 2009 outbreak of swine flu as a global pandemic. however, the who crisis administration has also triggered the internal and external processes of constitutional conflict (hanrieder & kreuder-sonnen, 2014). this paper is the development of the concept of human security by focusing on msme economic security against covid-19 through hard skills and soft skills. research methods this study uses qualitative research methods to demonstrate qualitative frame sampling. the process of collecting data is done by studying literature from articles in journals, online news, and books relating to human security and covid-19. furthermore, the data components are analyzed with the scope of the data collection, reduction, data presentation, and interactive conclusions drawn during and after data collection. after seeing the studies that have been mentioned and looking at the background of the problem p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 185smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic in this study, the novelty of this research is that the researcher conducts an analysis using the concept of human security by focusing on msme economic security against covid-19 through hard skills and soft skills. results, discussion, and analysis evolution of security concepts: from traditional security concepts to human security concepts until the cold war, which at that time divided the world into two opposing camps under the power of two superpowers, the united states and the soviet union, the concept of security was understood only in discussions relating to the military. security is traditionally defined as a safe condition that is felt from war and military, so it is called traditional security. the conventional concept of security assumes that the object of reference to security is the state, and the structure of international anarchist systems can explain why a country tends to increase its military capability to secure its sovereignty. this situation raises suspicion in interactions between nations that stem from the security dilemmas faced by all countries. in anticipating what is done by each country, a miscalculation can create conflict and even war between nations (baylis, smith, & owens, 2012). thus it is clear the traditional security concept is interpreted as safe from outside attacks and safe from efforts to break the territorial integrity. so it can be explained that in the conventional theory, security is more interpreted as an effort to protect the territorial integrity of the country from threats that arise from outside, the definition of security is only aimed at how the state strengthens itself in its efforts to deal with threats from outside. here the state (country) is the subject and object of efforts to pursue security interests. traditional security issues are perceived and handled in the context of interstate relations, namely to maintain and protect the security of a country from threats (especially military threats) coming from other countries (this is called traditional security) so that a country’s military capability to defend itself is a must in a traditional security perspective. meanwhile, the copenhagen school tries to broaden the object of a referent object to security issues by no longer talking about state security but also concerning human security (buzan, weaver, & wilde, 1998). thus the concept of human security marks a shift in international relations, namely changes in norms about the relationship between state sovereignty to individual security and broader human rights. the concept of human security is known to be known through a report from the united nations (un) or known as the united nations (un) through one of its bodies, namely the united nations development program (undp). based on the report contains the term human security journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 186 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan (human security), which is different from the concept of security that was previously widely known. the concept of human security has a focus, which is to protect the sovereignty of the country, which is different from traditional security concepts, which only focus on protecting citizens from war and conflict. undp put forward the main thought of the concept of human security. is that the end of the cold war should also change the security paradigm from nuclear security to human security. this un agency believes that there are more conflicts within countries (within nations) than between countries (international disputes). for many humans, feelings of insecurity are born more from everyday life than due to specific world events. in the final analysis, human security is synonymous with children who do not die, diseases that do not spread, work that is not stopped, ethnic conflicts that do not lead to violence. human security is not dealing with weapons instead of dealing with human life and dignity. the copenhagen school and undp then included aspects beyond traditional awareness of security studies such as hunger, land and forest fires, dehumanization, poverty, infectious diseases such as hiv/aids, sars, and bird flu, narcotics, human rights (ham) and so on as part of security studies. the security study was initiated as a response and response to dealing with humanistic issues in human security such as the problems of victims of post-conflict and post-violence displacement, trafficking of women and children, food crisis, terrorism, and illegal trafficking, cases of violations of human rights (ham), and others (undp, 2018). based on the opinions of the experts, it is clear that security can no longer only revolve around traditional security; indeed conventional security threats are essential, but human security is urgent, the state can be threatened if individuals are threatened, efforts to achieve security are no longer solely by using military force, a lawsuit against traditional perspectives gives birth to new values and norms that the essence of security is human security. the new security perspective is based on the demand to prioritize human security, non-military issues not only threaten individuals who live in a country but also threaten the integrity of the state, therefore, human security is essential to be adopted. pandemic covid-19 impacts on society at the end of 2019, the world was shocked by the news of a coronavirus outbreak in the city of wuhan, china. this causes an increase in pneumonia cluster sufferers or commonly called wet lungs caused by the coronavirus. the coronavirus that attacks has a massive number in a group of viruses. the name corona is derived from the crown-like shape the virus has, in the body of the virus it contains a genetic nucleus that is found surrounded by a layer called a protein nail. there are many types of coronaviruses, and each of them gives different symptoms. symptoms caused by breathing problems and can also be bleeding in the digestive system called gastrointestinal, which can become p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 187smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic more severe, such as pneumonia. the level of danger of symptoms is determined by the type of virus because not all coronaviruses are at the same danger level. some symptoms can cause severe illness, such as acute respiratory syndrome. according to the science alert report, who previously called the corona virus an acute respiratory disease with the name 2019-ncov. but the who finally gave where covid also turned out to be an abbreviation of corona virus disease, and 19 meant 2019 (kurnia, 2020). in 2003 the coronavirus was first discovered in china and the middle east. meanwhile, the coronavirus novel was found in a group of people with pneumonia in china and is thought to have close contact with marine and terrestrial animals that were used as food by people in the area. this coronavirus is a virus that spreads from those who are infected to the closest family and close relatives, including health workers who serve them also. currently, the coronavirus has spread to many countries, as evidenced by the many cases that have occurred, the spread is thought to be due to animal circulation, and then this virus can infect or spread to humans if interacting at close range. this virus also mutates and causes overflow or transmission to humans; another thing that can increase the risk of contracting is direct contact with animals that carry the coronavirus, for example, murska, camels, and mongoose. shelter animals infected with the coronavirus do not yet know how to move the coronavirus, but indeed can be transmitted through fluids when infected with sneezing or coughing or through a virus contaminated place. people infected with covid-19 can be further examined using polymerase chain reaction (pcr), which is an examination using genetic fingerprints. until now, there has not been found an antidote that can eradicate this virus, and what is at present is drugs and equipment to support the infected body so that it can withstand the effects of the covid-19 virus. speaking of vaccines, a particular vaccine for this virus is still under development and even then only for how to prevent the virus from being too aggressive in its transmission. although this virus is still limited in terms of spread it has been determined that minimum cleanliness must be met to protect our bodies from being infected such as wearing a mask, avoiding people affected with sneezing or coughing, wearing a mask is one of the things that may be mandatory and always maintain personal hygiene we or by applying other self-protective equipment. the easiest is still to wash your hands with soap. another action we can take is to minimize direct contact with animals. if you want to cook animal meat, then try to cook it thoroughly, and if you feel unwell, then immediately seek first aid such as eating medicine yourself or going to the nearest clinic. then remember any place that was visited during the trip then consult with the doctor you met. unwittingly this is thought to be able to keep humans from covid-19 contamination in its spread, which can be said to be very fast. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 188 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan additional interventions, including expanded critical care capabilities and herd immunity. longitudinal serological studies are needed to determine the level and duration of immunity to the covid-19 pandemic. even if there is a real elimination, monitoring of the acceleration of handling of the covid-19 pandemic must be maintained because the covid-19 pandemic is predicted to last until the end of 2024 (kissler, tedijanto, goldstein, grad, & lipsitch, 2020). for this reason, msme entrepreneurs need to adapt and innovate to be able to continue their business. smart human security indonesia’s economic security of msmes in the face of the covid-19 pandemic integrates two approaches that refer to the concept of human security. the plan is hard and soft skills and the embodiment of smart human security. this paper explains that smart human security is a combination of hard skills through physical strength and soft skills through persuasion and feel connectivity. smart human security is carried out by strengthening the capacity of msmes by combining elements of hard skills and soft skills in a mutually reinforcing way. thus, smart human security is a strengthening of msme economic security by combining elements of hard skills and soft skills for msmes in dealing with covid-19. the smart human security model is further elaborated in the following explanation. human security through hard skill training in micro, small and medium enterprises in dealing with covid-19 the msme economic safeguard strategy within the scope of hard skills can be developed through technical matters such as education and training for msme players online. provision of knowledge to smes is made by providing training that can improve hard skills in the form of primary education on entrepreneurship and training in the way of technical management and business management. the training is explained as follows: 1. basic education in entrepreneurship based on online information, communication, and technology (ict) msme creative efforts in indonesia have experienced positive growth in the last three years, which has helped to increase employment absorption. this sector created employment for 16.4 million people in 2017. this shows the enormous potential of empowering well-managed local businesses when msmes are successfully developed and then has an impact on increasing competence to compete at the national and international level so that msmes can become economic backers indonesian which can be seen in the following diagram. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 189smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic figure 1. growth of smes in indonesia in 2015-2017 source: (global business guide indonesia, 2018) the development of the indonesian economy, especially in the digital economy has been developing in the last ten years. it is projected that by 2020 indonesia’s digital economy will grow to 500 trillion rupiahs and reach 2,000 trillion rupiahs by 2025 (warta ekonomi, 2020). but with the advent of the covid-19 virus, it has had an impact on the world economic sector. this is due to china as the country where the virus began to spread the axis of world trade. in addition to the global economy, the national economy is also affected by the virus. the impact on the national economy sector is no exception to the digital economy sector. with the existence of physical distancing and work from home policies, people make economic and business activities online and then also provide opportunities for the development of the digital economy. physical distancing policy is to maintain physical distance between individuals without being socially separated. work from home policy means that people are encouraged to work from home. the field of work that continues to work in the office is to work in public services and health. whereas other work, including business economics, also did not escape the policy of working from home by switching to the utilization of the digital economy. hard skills are science, technology, and technical skills. the msmes’ economic safeguard strategy facing the covid-19 pandemic through hard skills in the form of basic education in entrepreneurship collaborates between science and practice or training as a form of developing msmes in participation in public life. basic education training in entrepreneurship contains basic knowledge to start a business. smes are positioned as participants to receive entrepreneurial material and turn on the resources of local entrepreneurs with technical expertise in the business as well as stimulate innovation and creativity of local entrepreneurs’ resources to start doing business without being hampered by the impact of the covid-19 pandemic. basic education is carried out online through applications such as zoom, google meet, as well as social media such as whatsapp and telegram. it is also done through a call for a paper or webinar program (seminar journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 190 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan through the website). thus, smes are motivated to learn about the importance of the digital world in economic and business development, including through basic education in online-based entrepreneurship. 2. business management training based on information, communication, and technology (ict) indonesia’s creative sector in 2018 has reached 6.25% and employs 16.70 million workers. creative economy agency (bekraf) makes work patterns to increase readiness in several industries such as investment in fashion, handicraft, and application and game development, in addition to culinary sub-sector. the level of investment readiness released by bekraf has a function that assesses the level of investment sector readiness and anticipates the lifestyle of technology and competition in the market (global business guide indonesia, 2018). efforts to prevent the spread of the impact of covid-19 have brought business opportunities as well as threats to smes. for this reason, a development strategy to support the economic security of msmes in the face of the covid-19 pandemic is to expand knowledge and provide information to the public in managing and managing their businesses so that msmes can prepare themselves by designing strategies to deal with open access to international markets by bringing in investors to increase their excellence and capital in running their business even though they were affected by the covid-19 pandemic. among these is through the unified communication (uc) innovation that is suitable for companies or startups that develop online business platforms. with the increase in social and economic competition, it has an effect on msmes that are still weak. the decline in the selling value of the resulting product so that there is a shift in market share to other businesses that are considered more attractive or more affordable because of the similarity of production results but have different marketing tariffs. the strategy is when the product is in demand and productive to be marketed to the target market segment with consideration of market interest and safety of the product on consumer health. this means that msmes first analyze the demand and the consumer market. meanwhile, smes do not yet master the technology for marketing. it is undeniable that the mastery of technology for marketing today is essential in the modern economy (elyta & razak, 2019). based on the training that has been carried out, the participants of the smes are taught to manage their businesses based on information, communication, and technology (ict). ict is an approach that refers to all technologies used to handle telecommunications, broadcast media, intelligent building management systems, audiovisual processing and transmission systems, and network-based control and monitoring functions. thus, ict is p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 191smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic different from it (information and technology) because the scope of ict is broader. in other words, it is part of ict. ict encompasses internet-supported and mobile environments that are powered by wireless networks. it also includes traditional technologies, such as mobile phones, radios, and television broadcasts, where they are still widely used today along with cutting-edge ict pieces such as artificial intelligence and robotics (asociación europeyou, 2019). ict components have continued to develop for decades and continue to experience innovation as a form of adaptation to the development of the digital economy. the widespread use of ict now in the transition era between traditional industries and the industrial revolution 4.0 era is part of modernization, which is demanded by the people in the covid-19 pandemic. during this period of community transformation, there were profound changes that permeated through almost all aspects of community life and society as a whole. the conditions for geographical decentralization of each company’s products are created, and the global presence of products and services in the worldwide market is ensured. the msme then exploits all business opportunities and opportunities in such new circumstances, creating loyal customers, and increasing the overall efficiency of the business. however, to optimize ict, it is known that the smes then face the following challenges. table 1. challenges when smes sell their products outside the country source: (radivojevic, djekic, & spasic, 2019) the impact of ict has seen a positive influence on the company’s daily operations in the market. new business concepts, management methods, and the functioning of business entities emerged. communicating with consumers is much faster, much more straightforward, where purchases are realized at a much lower cost. large amounts of data and documents become globally accessible, allowing it to be sent to the farthest places in the world. for this reason, the reason for ict-based business management training is essential for msmes because generally, the people who act as entrepreneurs journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 192 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan convey information through their products to consumers with a broader range, for example, related to price and product quality. to compete in the global arena, msmes must adapt themselves to upgrade themselves so that they can understand and use ict for the digital economy properly. human security through soft skill training in micro, small and medium enterprises in dealing with covid-19 collaboration in ineffective creative business groups shows essential interpersonal skills or soft skills in managing a business. thus soft skills are self-management skills that can optimally increase competence in interacting with others and regulating self-attitude in acting. based on the aspects that have been described, the researcher identifies that two soft skills are most needed in managing msmes to support the digital economy of msmes in facing the covid-19 pandemic, namely through diplomacy and morality-empathy skills in entrepreneurship. that is, to improve competence as an embodiment of the msme development strategy during the covid-19 pandemic, then it is done through the development of hard skills and soft skills. the development has been carried out and is going well following the norms prevailing in society related to ethics in dealing with other smes in the international market. furthermore, the msme development strategy on the soft skills aspect to support the digital economy of msmes in dealing with covid-19 is carried out by providing understanding and communication skills, especially the ability to conduct diplomacy so that the public can have good diplomacy skills. the strength of diplomacy and empathybuying applied to develop msmes in this study is explained in soft skills training in the following aspects: 1. diplomacy (communication skills in entrepreneurship) at the g20 extraordinary conference (summit) summit, the country’s leaders agreed to fight covid-19 and counter its impact on the weakening of the world economy. all g20 member countries will allocate research funds of usd 4 billion or around 64 trillion rupiahs for the discovery of the covid-19 vaccine (setyaka, 2020). global economic growth (peg), according to international institutions, has decreased between 0.9% 1.25%, which was estimated to be 3.3% (forbes, 2020). facing the global and national economic impact of the covid-19 pandemic, the government has made economic policies, namely through trimming the state budget (apbn) and the regional budget (apbd), which are not prioritized budget plans. some non-priority budgets, such as meeting budgets and official travel budgets, can be diverted. the budget is then allocated for the needs of sectors that are directly affected by covid-19, such as the health and economic sectors. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 193smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic besides, to adjust the policy of physical and work limitation from home, which helped make msme actors unable to maximize their business through direct meetings between buyers and sellers, the government then formed a policy that helped affected msme conditions. based on the research, it is known that the system is through a decrease in interest and postponement of installments below the value of 10 billion rupiahs separately for msmes provided by the state through the financial services authority (ojk) for a year. the policy was strengthened through government regulations instead of laws (perpu) on state financial policies and financial system stability for handling covid-19. meanwhile, on a global scale, there are more than 200 countries, including indonesia, facing the covid-19 pandemic. the dynamics of the global economy began to face an investment crisis, a decline in the number of tourist visits, to the disruption of the export and import process. these things also have an impact on msmes. this is due to policies that demand that people stay at home and reduce outside activities. schools were closed, employees mostly had to work at home, tourist attractions and entertainment had to be closed. with the cessation of this activity, small stalls around the location will stop their income. in addition to domestic economic policies, macroeconomic, political relations also become the spotlight of the indonesian government. it is not only diplomatic relations between indonesia and china that are affected but also between indonesia and other countries and even between china and other countries. the regional quarantine policy (lockdown) has an impact on the world economy and also indirectly impedes economic development for smes. but the opportunity behind the policy of physical restrictions and reducing the activity outside the home, people at various levels are required to be able to optimize the use of digital information technology that is connected via the internet. this is directly an application of the industrial revolution 4.0. bilateral relations between countries must still be established even though the internet network. likewise, trade practices must be able to optimize the use of e-commerce because, during this covid-19 pandemic, the public cannot rely on face-to-face transactions so that it switches to digital business transactions. thus knowledge of the internet network and the maximization of products offered through digital containers is essential. this needs to be also done by smes so that communication can be established smoothly and be able to re-increase the number of consumer demand. based on the opinions that have been presented by researchers, the policy becomes diplomacy, including the ability to communicate well in diplomacy, having a role in developing the economy. in the development of msmes, the state undertakes economic diplomacy between countries involved, such as carrying out commercial activities, through e-commerce. this ability is what researchers try to develop in the community, especially journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 194 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan smes. technical expertise alone is not enough to compete in international markets. still, msmes are required to have competence in building images, building relationships, and attracting market share through good diplomacy in global markets. good and appropriate dissemination and understanding of diplomacy in the business world without causing conflict is applied to develop msmes. economic diplomacy is closely related to the economic problems faced by one country with other countries relating to the economy or politics of a country. it cannot be separated from the domestic issues of a country with those influenced by various business circles or business actors (suwarno, 2019: 24). economic diplomacy is defined as a way of interacting with each country to reach a mutual agreement. because in creative endeavors, the community is required to have these soft skills so that msmes are ready to face the international market with the capabilities they have based on the digital economy amid the covid-19 pandemic. diplomacy is essential because business actors will deliver it to the team and the management of the business unit. soft skills have a generic nature and are independent of work or industry. they have better self-management, self-motivation, empathy, and social skills (tsey et al., 2018). then this diplomacy training began by focusing on the self-management of local entrepreneurs in their ability to communicate well to convey the intentions and objectives of the business both in the selection of business partners and the marketing of business results. the understanding carried out in the form of socialization by gathering the business community as well as those who are just about to start a business as participants in this training to be given materials related to diplomacy and information about entrepreneurship. equipped with good communication skills through training provided, the smes feel the ease in conducting diplomacy through communication in the future entrepreneurship. this digital-based diplomacy had an impact on the development of msmes in the face of the covid-19 pandemic. 2. empathy-buying strengthening the economy in entrepreneurship is essential for the national interest (brown & grävingholt, 2016). the business world is a very fierce field of competition; some individuals or groups do anything for profit. however, only business players with professional spirit can win. business actors have confidence in consumers, as well as consumers and confidence in international market opportunities. to get support, trust and profit are to increase empathy. it cannot be separated from the life and success of the owner of life; empathy gives psychic strength to local entrepreneurs. soft skill in economic security, one of which is seen when facing the covid-19 pandemic is through government policies in implementing physical distancing and implementing p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 195smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic quarantine. market activity has also been affected by the policy. besides, the public response to the policy would become panic-buying. in the first week of implementing the policy, the public bought up goods in the market so that the goods would run out quickly. not only the necessities, the availability of masks as protective equipment also became scarce and caused the price to be very high. in the following week, the community had begun to calm down, and panic-buying no longer occurred as in the first week of the implementation of the quarantine policy. based on data obtained from the study, it was found that production decreased by 35% due to lockdown, which means that every month this policy spends 3 points on annual gross domestic product (gdp) (sibony, 2020). since march 2020, countries in the world have implemented a lockdown policy, namely the policy of isolating the population and its territory from and to certain countries or from one region to another in a country. the locking up of the area is applied in total by various countries in europe and india and partially as used in indonesia where the people work and study at home and by instructing social restrictions (social distancing) or by who is now replaced by the term physical restrictions (physical distancing). besides, other policies through a ban to gather many people and make a minimum distance of 1.5 meters between people. the policy then encouraged people to apply the use of internet technology as a realization of the industrial revolution 4.0 into aspects of their lives during the pandemic. the world government took the policy based on the rapid rate of spread and deaths from covid-19. the widespread of the covid-19 virus is beginning to influence consumer confidence in its purchasing power and the domestic business economy. the decline is because people are worried about the availability of jobs as well as income conditions. these two things are interrelated. based on research, the drop in purchasing power confidence from the public is a psychological impact of covid-19. based on the results of a survey conducted by bank indonesia, it is known that the level of consumer purchasing power confidence during the covid-19 pandemic is as follows. figure 2. consumer confidence index (ikk), economic condition index (ike), and covid-19 period economic expectation index (iek) source: (nasional kontan, 2020) journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 196 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan from this index, other phenomena then emerge as the impact of the cessation of faceto-face activity in several shops and business centers. it also impacts msmes. the sector experienced a shortage of demand, and the number of buyer visits dropped dramatically (latief, 2020). thus, consumer purchasing power confidence determines a country’s economic stability. the better the trust held by the public or consumers, the better the country’s economic conditions. this includes also relating to the relationship between purchasing power and poverty levels, political power to guaranteeing the welfare of the people of the country (herlan & elyta, 2020). for this reason, many msme entrepreneurs began to look for other steps to continue to support their businesses, such as by producing fabric masks by government directives to be used by the community. these aspects mean that msmes increase self-confidence by gaining strength or courage to compete and accept the challenges and risks that may be faced. the trick is to make exciting innovations in ways that do not violate the norms of society both in managing and marketing business results, especially during the covid-19 pandemic, which led to reduced consumer confidence in buying. for this reason, the main goal of msme entrepreneurs in running a creative business is to increase sales to gain more profit through ways that are carried out to include empathy values as a form of self-soft skills. this makes the strategy applied in the development of local entrepreneur’s resources, namely soft skills through empathy-buying aspects. empathy-buying means that people also buy products from smes as a form of empathy and for the sake of building economic security. because in a state of crisis due to covid19, families with low incomes experience financial difficulties that depend on the government or social institutions. aside from being a form of public awareness to fight panic-buying, empathy-buying is also a part of business exchange. the smes who implement the creations in their business are trying to strengthen their economic security. the government and social, humanitarian institutions have supported this empathybuying through solidarity funding to msme actors affected by covid-19. the empathy has supported the strengthening of economic security amid the covid-19 pandemic. conclusions economic safeguards to msmes in dealing with the effects of the covid-19 pandemic were carried out implicates by smart human security. the msme financial safeguard strategy within the scope of hard skills can be developed through technical matters such as through basic education in online-based entrepreneurship and ict-based business management training. provision of knowledge to smes is made by providing training that can improve hard skills in the form of basic education implicates on entrepreneurship and training in the way of technical management and management of ict-based businesses in the face of the covid-19 pandemic. meanwhile, the msme economic p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 197smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic safeguard strategy in the scope of soft skills can be developed to support the digital economy of msmes in dealing with covid-19 by providing understanding and communication skills, especially the ability to conduct diplomacy so that people can have good diplomacy skills and through empathy buying so that the community through empathy, he can trust again to increase his purchasing power, especially to products from msmes. references ardiyanti, d., & anwar, a. (2018). the dilemma of human security on palm oil plantation in indonesia. jurnal hubungan internasional, 7(1), 60–68. https://doi.org/ 10.18196/hi.71125 asociación europeyou. (2019). what is information and communication technology? retrieved from europeyou website: http://europeyou.eu/es/what-is-information-andcommunication-technology/ baylis, j., smith, s., & owens, p. (2012). a review of “the globalization of world politics: an introduction to international relations.” comparative strategy, 31(5), 636. https:/ /doi.org/10.1080/01495933.2012.731976 brown, s., & grävingholt, j. (2016). the securitization of foreign aid. the securitization of foreign aid, 1(45). https://doi.org/10.1007/978-1-137-56882-3 buzan, b., weaver, o., & wilde, j. de. (1998). security: a new framework for analysis. american political science review, 93(4), 1010–1011. https://doi.org/10.2307/2586187 fauzia, m. (2020). sri mulyani akibat corona ekonomi global sama seperti krisis. kompas. retrieved from https://money.kompas.com/read/2020/03/02/190302126/ sri-mulyani-akibat-corona-ekonomi-global-sama-seperti-krisis-2008?page=all forbes. (2020). morgan stanley or goldman? down 35%, now ms stock will win. retrieved from forbes website: https://www.forbes.com/sites/greatspeculations/ 2020/04/03/morgan-stanley-or-goldman-down-35-now-ms-stock-will-win/ #15d33b164bc7 global business guide indonesia. (2018). indonesia’s creative industry set to become the next economic powerhouse. retrieved from global business guide indonesia website: h t t p : / / w w w . g b g i n d o n e s i a . c o m / e n / m a n u f a c t u r i n g / a r t i c l e / 2 0 1 8 / indonesia_s_creative_industry_set_to_become_the_next_economic_powerhouse_11835.php hanrieder, t., & kreuder-sonnen, c. (2014). who decides on the exception? securitization and emergency governance in global health. security dialogue, 45(4), 331–348. https://doi.org/10.1177/0967010614535833 haryanti, d. m., & hidayah, i. (2019). potret umkm indonesia: si kecil yang berperan besar. retrieved from ukm indonesia website: https://www.ukmindonesia.id/bacaartikel/62 journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 198 elyta, warjio, and ahmad azrin bin adnan herlan, h., & elyta, e. (2020). model of gawai dayak based-social capital in the border of sajingan besar of west kalimantan. sosiohumaniora, 22(1), 46–54. https://doi.org/ 10.24198/sosiohumaniora.v22i1.26042 howarth, d., & verdun, a. (2020). economic and monetary union at twenty: a stocktaking of a tumultuous second decade: introduction. journal of european integration, 42(3), 287–293. https://doi.org/10.1080/07036337.2020.1730348 julaika, h. (2020). halau dampak covid-19 ke umkm, pemerintah terbitkan 8 kebijakan. media indonesia. retrieved from https://mediaindonesia.com/read/detail/301109halau-dampak-covid-19-ke-umkm-pemerintah-terbitkan-8-kebijakan kissler, s. m., tedijanto, c., goldstein, e., grad, y. h., & lipsitch, m. (2020). projecting the transmission dynamics of sars-cov-2 through the postpandemic period. block caving – a viable alternative? , 21 (1), 1–9. https://doi.org/10.1016/ j.solener.2019.02.027 kurnia, t. (2020). alasan who beri nama virus corona wuhan jadi covid-19. liputan 6. retrieved from https://www.liputan6.com/global/read/4177117/alasan-whoberi-nama-virus-corona-wuhan-jadi-covid-19 latief, h. (2020). solidarity-buying: pengaman sosial masa pandemik. retrieved from ibtimes website: https://ibtimes.id/solidarity-buying-pengaman-sosial-masapandemik/ nasional kontan. (2020). hati-hati tekanan daya beli akibat wabah covid-19. nasional kontan. retrieved from https://nasional.kontan.co.id/news/hati-hati-tekanan-dayabeli-akibat-wabah-covid-19 radivojevic, j., djekic, t., & spasic, k. (2019). influence of information-communication technology on small and medium enterprises and their business. setyaka, v. (2020). covid-19 dan pengamanan dunia. retrieved from kabar kampus website: http://kabarkampus.com/2020/04/covid-19-dan-pengamanan-dunia/ sibony, a.-l. (2020). the uk covid-19 response: a behavioural irony? european journal of risk regulation, (april), 1–11. https://doi.org/10.1017/err.2020.22 sudiar, s. (2018). pendekatan human security dalam studi perbatasan negara. jurnal hubungan internasional, 7(2), 152–160. https://doi.org/10.18196/hi.72139 tsey, k., lui, s. m. (carrie), heyeres, m., pryce, j., yan, l., & bauld, s. (2018). developing soft skills: exploring the feasibility of an australian well-being program for health managers and leaders in timor-leste. sage open, 8(4), 1–13. https://doi.org/ 10.1177/2158244018811404 undp. (2018). indonesia’s human development index series but inequality remains. retrieved from undp website: http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/ home/presscenter/pressreleases/2017/03/22/indonesia-s-human-developmentindex-rises-but-inequality-remains-.html p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 199smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic warta ekonomi. (2020). covid-19 makin ganas, ekonomi digital makin berkembang? retrieved from warta ekonomi website: https://www.wartaekonomi.co.id/ read276709/covid-19-makin-ganas-ekonomi-digital-makin-berkembang islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi 41 islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi yusuf fadli1) 1)program studi ilmu pemerintahan universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email : fadli8daglish@gmail.com abstrak artikel ini menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara islam, perempuan dan politik dalam pasca orde baru. khususnya bagaimana keterlibatan gerakan perempuan nahdlatul ulama (nu) dalam memperjuangkan keseteraan gender yang dilandasi pada nilai-nilai islam. pasca reformasi, gerakan wanita nu masuk ke dalam wilayah politik untuk memperbaiki kondisi sosial wanita yang telah lama ditepikan. dengan latar belakang inilah kajian ini dijalankan dengan fokus utama ialah gerakan wanita nahdlatul ulama dan keterlibatan wanita nu dalam politik indonesia. kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk kajian pustaka dengan kaedah analisis deskriptif. kajian ini menggunakan teori partisipasi politik dan konsep feminisme. dapatan kajian menunjukkan bahwa nu berhasil meningkatkan perwakilan wanita dalam politik, khususnya di dpr ri (parlemen). namun, keberhasilan wanita nu tersebut belum dapat memperbaiki kondisi wanita secara keseluruhan, karena ia merupakan sebuah proses yang memerlukan masa dan kesabaran. kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pelajar, masyarakat dan pemerintah yang berminat terhadap kajian gerakan wanita nu dalam politik pasca reformasi 1998 dan dapat membantu pihak pemerintah indonesia dalam membuat kebijakan, khususnya yang terkait dengan pembangunan wanita indonesia. kata kunci : islam, perempuan, politik, orde baru, nu, feminisme abstract this article describes how the relationship between islam, women and politics of post-new order. especially how women’s movement of nahdlatul ulama involvement in the fight for gender equality which is based on islamic values. post-reformation era, the women movement of nu stepped in into political realm to improve the social condition of women which had been marginalized for a long time. based on this background, this study focuses the women movement in nu and the partaicipation of nu women in indonesian politics. the aim of this study is to examine the background of nu women, to discover factors that encourage them to support the idea of gender equality and to assess the role of nu women in indonesian politics. this study applies the qualitative approach in collecting secondary sources with a descriptive analysis. this study also uses political partaicipation theory and feminism concept. the findings show that the women of nu has successfully improved the women representatives in politics, especially in dpr ri (parliament). yet, they are still struggling in improving the condition of women as a whole, because it’s a process that needs time and patience. hopefully, this study gives a good contribution to student, community and government who are interested in the study of women movement of nu in the post-1998 reformation politics. furthermore, this study helps the government to determine its policy in indonesia, partaicularly in integrating women into development. keywords : islam, women, politics, new order, nu, feminism citation : fadli, yusuf. 2017. “islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 41-63. journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 41-63 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 42 yusuf fadli pendahuluan wacana mengenai keterlibatan wanita dalam wilayah politik merupakan permasalahan yang masih menjadi isu utama di berbagai belahan dunia. pada negaranegara yang sistem demokrasinya telah mapan sekalipun, persoalan perempuan dan politik selalu menjadi topik penting dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum. terlebih lagi di dalam negara yang sedang membangun, di mana budaya patriarki1 masih sangat kental, maka tema wanita dan politik senantiasa memicu perdebatan sengit. hal tersebut di latar belakangi oleh beragam kepentingan, mulai dari politik, historis, agama hingga tradisi dalam masyarakat. hal tersebut, tidaklah mengherankan, karena memang dalam masyarakat kita terdapat satu “aksioma” bahkan telah menjadi “ortodoksi”, di mana dianggap bahwa kaum pria merupakan pemimpin bagi wanita atau lelaki lebih berhak menjadi pemimpin dibandingkan kaum wanita. ketidakadilan terhadap kaum wanita merupakan praktik kuno umat manusia. dalam sejarah panjang sejarah umat manusia telah dikonstruksikan bagaimana dunia politik atau dunia publik (public world) merupakan aktivitas yang didominasi kaum lelaki, tidak banyak yang mencatat keberhasilan kaum wanita dalam tugas kepemimpinan politik (mulia dan anik 2005:1). catatan sejarah lebih banyak menggambarkan mengenai kedudukan dan peranan kaum wanita yang secara sosio-budaya berada dalam lingkungan domestik atau rumah tangga (seperti mengurus suami, anak-anak, memasak dan lain sebagainya). sehingga pada era selanjutnya, wanita yang ingin mandiri dan ikut berpolitik menjadi satu fakta yang tidak dapat diterima, bahkan menurut betty friedan (1963), cita-cita yang terdapat dalam diri seorang wanita untuk ikut terlibat dalam sektor publik dipandang sebagai perilaku yang menyalahi kodrat sebagai wanita (friedan 1963:61). dalam melukiskan mengenai representasi politik wanita di asia, kuzuki iwanaga (2008) menyebutnya sebagai satu bentuk paradoks politik, karena jumlah wanita di kawasan ini adalah setengah dari populasi penduduk di asia dan dalam setiap pemilihan umum mereka menjadi penyumbang suara terbanyak, akan tetapi pada saat yang sama wanita hanya menempati peranan dan posisi marginal serta tidak strategis dalam berbagai tingkatan struktur pemerintahan (iwanaga 2008:1-2). apabila dibandingkan dengan kawasan dunia ketiga lainnya seperti amerika latin, representasi politik wanita 1 patriarki ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum lelaki sebagai kumpulan mengendalikan dan berkuasa ke atas wanita. sistem patriarki boleh diterapkan mulai dari peringkat keluarga, masyarakat dan negara. pada patriarki, lelaki lebih dominan dalam semua hal seperti sumber daya manusia, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. segala aturan yang digunakan dalam sistem patriarki didasarkan kepada kepentingan pihak laki-laki (bapak). (mulia, 2007: xiii). ada pun yang berpendapat bahwa asal patriarki berkaitan dengan mula adanya sistem kepemilikan peribadi dan pewarisan yang berhujung kepada pengaturan jenis jantina wanita dalam satuan keluarga monogami. namun hal ini kemudian dikritik kerana hanya memandang subordinat wanita hanya berlaku pada sektor ekonomi dan tidak menjelaskan kesenjangan gender dalam masyarakat pra dan pasca-kapitalis. (felsky dalam beilharz, ed., 2005:18). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 43islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi di kawasan asia adalah lebih rendah. bahkan ada fakta yang lebih menarik, di negaranegara asia yang telah maju dalam pembangunan ekonomi (misalnya jepang, tiongkok, taiwan, korea selatan dan malaysia), di mana banyak dari kalangan wanita yang telah berhasil secara pendidikan dan jabatan profesional, ternyata dalam hal keterlibatan mereka di bidang politik masih belum dianggap kokoh. dan sebaliknya, pada negara-negara asia yang pembangunan ekonominya lebih rendah (seperti laos, vietnam, pakistan, indonesia dan filipina), representasi politik wanita nampak lebih tinggi (iwanaga 2008:23). dalam undang-undang dasar, sebenarnya tidak ada larangan bagi wanita indonesia untuk berpartisipasi dalam segala bidang. dalam beberapa pasal yang terkait dengan persoalan hak asasi, tidak pernah ditemui perkataan yang membedakan jenis kelamin seseorang, tetapi istilah yang digunakan ialah warganegara. dalam pasal 27 undangundang dasar 1945 secara jelas disebut bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pekerjaan yang layak serta memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. begitu juga tentang persyaratan menjadi presiden, tidak pernah ada dicantumkan syarat yang membatasi hak wanita untuk menjadi pemimpin. perkara ini dijelaskan dalam pasal 6 ayat 1 uud 1945: “presiden ialah warganegara indonesia”. pasal di atas mengandung dua ketentuan yang bersifat umum, pertama, wanita dibolehkan menjadi presiden atau pemimpin politik dan kedua, kedudukan wanita dan lelaki adalah setara di hadapan undang-undang. dengan demikian, berlandaskan hal tersebut seharusnya tidak ada tindakan diskriminasi terhadap peranan sosial dan politik kaum wanita. dari aspek legal formal di atas sudah terdapat pengakuan negara terhadap hak-hak setiap warganegara, tetapi permasalahan yang kemudian timbul adalah prinsip-prinsip bernegara tentang kesetaraan sering kalah oleh realitas sosial-politik yang ada. dalam masyarakat, masih berlaku satu upaya untuk mengingkari hak-hak wanita yang telah diakui oleh negara, baik dalam aspek sosial, politik, budaya, ekonomi, agama dan lain sebagainya. sebagai contoh, sulit untuk dihindari tentang kenyataan yang menggambarkan bahwa posisi subordinat kaum wanita di indonesia berlaku karena didasarkan kepada teks-teks keagamaan. pada sebagian masyarakat, pemaknaan terhadap peranan wanita dalam bidang politik dibangun dari penafsiran terhadap teks al qur’an dan hadis nabi muhammad saw, yang dilakukan secara harfiah dan parsial. hujah-hujah agama kerap dijadikan landasan pembenaran untuk mengekalkan status quo, di mana kaum laki-laki diberi kesempatan berperanan secara dominan dalam ruang publik, sementara wanita ditempatkan pada ruang domestik dan dipersepsikan sebagai sosok yang tidak layak menjadi pemimpin. mayoritas penduduk indonesia adalah beragama islam, maka pandangan keagamaan cukup memberikan dampak yang luas bagi masyarakat. sebagai contoh, pada akhir 1999 megawati soekarno putri pernah dicalonkan sebagai presiden, akan tetapi kemudian journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 44 yusuf fadli muncul penentangan terhadap rencana pencalonan tersebut, baik dari partai politik ataupun dari ormas yang berlatarbelakang islam konservatif.2 penolakan tersebut bersumber dari perdebatan tentang dibolehkan atau tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin negara dalam konteks syari’ah islam. adapun dalil yang dikemukakan, pertama: adanya teks hadis yang menyatakan: “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (h.r. bukhari). selain itu, terdapat ayat al qur’an: “ar-rijalu qoawamuna ‘ala an-nisa” (surah al nisa’: 34) yang bermakna “lelaki ialah pemimpin bagi kaum wanita”. kata qowwamun ditafsirkan sebagai “pemimpin”, “penanggung jawab”, “penguasa”, “pelindung”, sehingga ayat ini dijadikan justifikasi bagi kepemimpinan kaum laki-laki ke atas kaum wanita. laki-laki dipandang lebih memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. keunggulan pria adalah suatu yang bersifat kodrati dan mustahak, dengan demikian pria merupakan pemimpin dalam rumah tangga (domestik) dan menjadi pemimpin di sektor publik (kepala negara).3 dalam argumentasi kelompok penentang, pencalonan megawati sebagai calon presiden indonesia dianggap sebagai wujud penentangan terhadap nilai-nilai agama islam, sehingga pencalonan menjadi wanita menjadi pemimpin memiliki sifat haram. berlandaskan kepada latar belakang ini, artikel ini berusaha menjelaskan bagaimana hubungan antara islam, perempuan dan politik, mengingat di banyak negara, khususnya ngera-negara di eropa, keterlibatan perempuan dalam politik justru memberikan dampak yang positif bagi pembangunan. kerangka teori 2.1. partisipasi politik dalam menganalisis sebuah sistem politik, maka masalah partisipasi politik menjadi salah satu indikator yang dapat mengukur kemajuan dari proses yang berlangsung di negara tententu. tersebarnya partisipasi politik di sebuah negara merupakan ciri khas dari modernisasi politik. masyarakat modern akan selalu berfikir dan aktif bergerak mencari mekanisme agar individu dan juga kelompoknya dapat memberikan kesan dan tekanan kepada pemerintah dalam setiap kebijakan yang akan diputuskan. proses memberikan kesan inilah yang kemudian disebut sebagai wujud partisipasi politik. 2 partai persatuan pembangunan (ppp), salah satu partai politik yang berasas islam yang menolak megawati menjadi calon presiden. ppp mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi kepala negara. pendapat sama juga disuarakan oleh kongres umat islam indonesia (kui). dalam kongres ini lahir satu rekomendasi yang dihasilkan oleh komisi d yang membidangi masalah sosial, politik dan pertahanan dan keamanan. komisi ini memberi rekomendasi yang melarang wanita untuk menjadi presiden (mulia 1998). 3 fatimah memissi, wanita dalam islam, bandung: pustaka, 1994. hal. 62. hal ini juga boleh dilihat dalam muhammad anas qasim ja’far, mengembalikan hak-hak politik perempuan sebuah perspektif islam, jakarta:azan, 2001. boleh juga dilihat dalam nasaruddin umar, argumen kesetaraan jender perspektif al-qur’an, jakarta:paramadina, 1999. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 45islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi para sarjana yang mengkaji tentang partisipasi politik telah mempercayai bahwa partisipasi politik adalah salah satu hal mendasar dalam demokrasi. bahkan tercetus satu ungkapan, bahwa partisipasi warga negara dalam suatu negara merupakan jantung dari demokrasi (verba, schlozman dan brady 1995:1). robeth dahl (2005) mengungkapkan bahwa partisipasi merupakan bagian yang sangat menentukan sampai sejauh mana demokrasi mampu memberi dampak terhadap sistem politik pemerintahan. kebebasan sipil dan politik merupakan faktor yang tidak dapat ditinggalkan dari kontruksi demokrasi. sehingga tiga dimensi utama demokrasi politik mencakupi: persaingan atau kompetisi, partisipasi, kebebasan politik dan sipil (dahl 2005:52). melihat betapa penting partisipasi politik, maka demokrasi akan kehilangan makna apabila keupayaan warga negara untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses bernegara itu disekat atau ditiadakan. partisipasi politik masyarakat timbul secara luas disebabkan oleh beberapa hal: 1) moderasi yang terjadi dalam semua bidang yang kemudian menyebabkan masyarakat banyak berpartisipasi dalam politik. 2) perubahan dalam struktur kelas sehingga timbul persoalan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik yang mengakibatkan perubahan dalam cara partisipasi politik. 3) pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. ide demokratisasi telah menyebar ke negaranegara baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi secara matang. 4) konflik antar kelompok pemimpin politik. bila timbul konflik antara elit, maka yang dicari adalah rakyat. 5) keterlibatan pemerintah dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. perkara tersebut seringkali memicu hadirnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik (gatara dan dzulkiah 2007:89-90). dalam teori demokrasi klasik, dikatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama (partisipasi politik) untuk menetapkan tujuan serta masa depan rakyat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang kekuasaan. jadi, partisipasi politik merupakan perwujudan dari penggunaan kuasa politik yang paling sah oleh rakyat. partisipasi politik masyarakat yang tinggi dianggap sebagai penanda bahwa mereka memahami masalah politik dan ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. dan mereka ikut memberikan alternatif jalan keluar terhadap masalah yang timbul, sesuai dengan peraturan dan nilai-nilainya (conway 2000). dalam teori ini, partisipasi politik dipercayai merupakan alat untuk mendapatkan kebijakan yang diharapkan (conway 2000:3). dengan perkataan lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai dampak, yang dinamakan political efficacy (miriam 1998:3). semakin tinggi partisipasi politik menunjukkan peringkat demokrasi yang semakin baik. mengikut kepada teori ini partisipasi politik dari warga negara menjadi sentral bagi kestabilan demokrasi. teori partisipasi politik model ini dikemukakan oleh para sarjana seperti herbert mcclosky, gabriel almond, norman h. nie dan sidney verba journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 46 yusuf fadli (miriam 1998:4), mereka banyak mengamati perkembangan partisipasi politik dalam dunia barat. dalam model partisipasi politik di atas, dapat dirujuk empat konsep dasar: aktivitas atau aksi; anggota masyarakat biasa atau warga negara; sukarela; dan bersifat politik. aktifitas atau aksi dalam partisipasi politik adalah suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh seseorang. perkara ini bermakna bahwa aksi dari partisipasi tidak hanya dalam wujud pemikiran, ide, sikap atau kecenderungan. misalnya, seseorang yang hanya memiliki perasaan tidak suka terhadap kebijakan negara, tidak dapat disebut sebagai bentuk partisipasi politik. tetapi apabila seseorang itu memilih dalam pemilu, mengajukan surat ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan harga minyak, maka itu adalah bentuk dari aktifitas atau partisipasi politik. partisipasi politik dalam bentuk aksi juga harus dilakukan oleh anggota masyarakat biasa atau warga negara biasa, artinya mereka bukan termasuk bagian dari elit pemerintahan. apabila terjadi aksi yang dilakukan oleh elit pemerintah yang bersifat politis, maka hal tersebut tidak dapat dinamakan sebagai bentuk pastisipasi politik. karena kalangan elit tersebut merupakan para pembuat kebijakan dalam sistem politik yang ada. aksi yang dilakukan masyarakat biasa juga harus memiliki kecenderungan politis, ini dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan politik. keputusan tersebut berkenaan dengan kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan untuk orang-perorang atau satu kelompok tertentu saja dalam masyarakat. selanjutnya partisipasi politik merupakan tindakan yang dibuat secara sukarela, berarti para pelaku tidak dipaksa untuk melakukannya dan mereka tidak dibayar (verba, schlozman dan brady 1995:38-39). kegiatan politik yang termasuk dalam partisipasi politik mempunyai bentuk yang beragam. kaase dan marsh mengemukakan bahwa partisipasi politik terdiri dari dua bentuk, yaitu konvensional dan non konvensional. bentuk konvensional melibatkan berbagai aktifitas warga negara biasa untuk memberikan pengaruh kepada hasil akhir (outcomes) dari sebuah proses politik yang sesuai dengan prosedur atau peraturan yang berlaku, seperti voting, menjadi kandidat yang dipilih untuk duduk dalam jabatan politik tertentu, berkempanye, aktifitas sosial dan menghubungi pejabat publik. kegiatan dalam bentuk ini merupakan bentuk legal yang sesuai dengan aturan hukum (nie dan verba 1975:3). sedangkan partisipasi politik non konvensional yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan oleh warga negara biasa untuk mempengaruhi outcomes politik yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku dalam sebuah rezim (mujani 2007:258). huntington dan nelson (1994) juga menganggap kegiatan yang terdapat unsur destruktif seperti demonstrasi, teror, pembunuhan politik, mogok kerja, boikot atau merusak fasilitas publik dapat disebut sebagai bentuk partisipasi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 47islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi tabel 1. bentuk partisipasi politik unsur item a. voting 1. memilih satu partai politik pada pemilu b. kerja kampanye 2. meyakinkan orang lain untuk memilih partai politik tertentu 3. membantu satu partai politik secara sukarela, misalnya menyebarkan brosur, mengorganisasi kampanye 4. menghadiri kampanye partai politik 5. menggunakan simbol partai pada pakaian, sepeda motor, rumah dan lainnya dengan tujuan kampanye c. menghubungi 6. menghubungi pejabat publik atau elit lokal atau nasional untuk kepentingan umum d. kerja sosial 7. bekerjasama dengan orang lain dalam satu komunitas untuk memecahkan masalah secara bersama 8. mengorganisasi anggota masyarakat untuk memecahkan masalah masyarakat 9. menghadiri pertemuan masyarakat untuk memecahkan masalah masyarakat e. petisi 10. mengorganisasi petisi 11. menandatangani petisi f. protes 12. demonstrasi 13. boikot 14. mogok 15. menduduki bangunan publik 16. memblokir lalu lintas 17. merusak fasilitas publik (sumber: mujani 2007: 260; budiardjo, 1998: 7) 2.2. feminisme terminilogi “feminisme” berasal dari kata “femina” yang berarti memiliki sifat kewanitaan, di era modern “feminisme” dimaknai juga sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan pria (sumiarni, 2004:57). sedangkan menurut maggie humm (1992), “feminisme” adalah gabungan dari doktrin persamaan hak bagi kaum wanita (gerakan yang terorganisasi untuk memperoleh hak-hak wanita) dengan ideologi yang bertujuan berlakunya satu transformasi sosial untuk menciptakan keadaan yang setara (humm 1992:1). bashin dan khan (1995) menjelaskan bahwa feminisme sebagai ruh gerakan wanita merupakan satu kesadaran atas penindasan dan pemerasan kaum wanita yang berlangsung dalam satu sistem sosial, baik di tempat kerja ataupun dalam keluarga, hal itu juga diikuti oleh tindakan sadar dari wanita maupun lelaki untuk merubah keadaan tersebut (bashin dan khan 1995:5). menurut definisi ini, seseorang yang dapat mengenali journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 48 yusuf fadli berlakunya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, ialah seorang feminis (bashin dan khan 1995:6). dalam membincangkan penindasan ke atas wanita menarik untuk membahas buku “the feminine mystique” yang ditulis betty friedan (1963), buku kemudian menjadi kitab suci bagi kaum feminis modern. the feminine mystique ditulis dalam konteks amerika pada tahun 1950-an (pasca perang dunia ii), yang menemukan fakta bahwa pasca perang dunia ii banyak kaum wanita yang mendapat gangguan mental karena diwajibkan menjadi ibu rumah tangga. para ibu rumah tangga yang berasal dari kelas menengah kulit putih, disebut oleh friedan telah mengalami “brainwash” (cuci otak) oleh budaya yang meyakini bahwa “wanita mulia” hanya dapat ditemukan ketika mereka berhasil mengurus rumah, suami dan anak-anak. menurut friedan, peranan tradisional tersebut telah membuat para wanita terkurung dalam dunia yang sempit dan kehilangan kesempatan mendapatkan kesenangan hidup dalam pekerjaan dan mesti menjalani hidup untuk kebahagiaan orang lain. sehingga friedan sangat mendukung wanita yang tidak mau menikah (berumah tangga) dan mempunyai anak, karena bagi friedan seharusnya wanita juga memiliki hak pendidikan, beraktivitas dalam dunia yang lebih luas dan bebas mengembangkan diri menjadi apapun, sebagaimana yang dilakukan oleh para pria. friedan menguraikan bahwa banyak wanita (walaupun berpendidikan tinggi dan tidak punya masalah keuangan) merasa tidak bahagia dalam hidup tetapi tidak mampu merumuskan apa yang menjadi masalah mereka, perkara demikian di sebut friedan sebagai “the problem that has no name” atau “masalah yang tidak memiliki nama” (friedan 1963:13-29). beliau menjelaskan secara terperinci tentang apa yang menjadi sebab dari masalah tersebut. melalui penelitian yang mencakup banyak teori, pertanyaan dan statistik, friedan menyalahkan gambaran ideal dari seorang wanita yang disebut sebagai feminine mystique. the mystique feminine merupakan bentuk modern dari rumus tua bagi perbudakan domestik yang dilakukan secara nyata dan berkelanjutan. wanita pada masa kini secara sukarela masuk ke dalam perangkap mystique feminine yang menyatakan bahwa “sebaikbaik tempat bagi wanita ialah di rumah”. feminine mystique mendapat momentum, ketika rumah tangga telah menjadi “agama”, di mana setiap wanita harus hidup di dalamnya atau mereka akan dianggap telah menentang kodrat mereka sebagai wanita. friedan berusaha membuktikan bahwa feminine mystique telah membatasi kesempatan wanita untuk mengembangkan identitas mereka sendiri, yang nantinya akan menjadi masalah bagi wanita dan keluarga mereka. friedan melihat feminine mystique sebagai satu rekayasa sosial yang gagal pada perang dunia ii dan perang dingin. banyak wanita tidak punya pilihan kecuali diikat dalam rumah tangga atau dirantai di kilang atau kesibukan pekerjaan di kantor. dalam tulisannya yang lain friedan menjelaskan mengenai problem ini dengan: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 49islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi “berdasarkan prasangka lama yang menyamar dalam dogma pseudo-ilmiah baru, (the feminine mystique) mendefinisikan wanita hanya berhubungan dengan urusan seksual, istri dari lelaki, ibu, objek cinta, mesin cuci piring dan pusat pelayanan keperluan fisik dan istilah wanita tidak pernah didefinisikan dalam istilah manusia ataupun sebagai pribadi dirinya sendiri. ini menjadi satu-satunya tujuan dalam memuliakan wanita untuk pemenuhan rasa “feminin” yaitu melalui seksual yang pasif, melayanani suami dan anakanak dengan cinta dan ketergantungan pada manusia untuk semua keputusan di dunia luar rumah: “dunia para lelaki” (friedan, 1970: 268). friedan kemudian membuat perbandingan antara ibu rumah tangga dengan para tawanan kamp konsentrasi nazi. wanita telah dikurangi peranannya oleh kewajiban seperti memperhatikan makanan anak-anak, melayani kepuasaan primitif biologis, tidak memiliki privasi, tidak memperoleh bantuan dari dunia luar. mereka juga dipaksa untuk menghabiskan hari-hari mereka dalam kerja yang hanya mencipta kelelahan, di mana pekerjaan itu tidak menggunakan konsentrasi pikiran dan tidak memberi harapan bagi kemajuan atau pengakuan orang lain, malah kadang ia tidak bermakna dan selalu dibatasi oleh keperluan orang lain (friedan, 1963:306). salah satu yang menyebabkan ketidakadilan terhadap kaum wanita adalah terjadinya kesenjangan gender yang disebabkan oleh ketidaktahuan sebagian masyarakat terhadap konsep gender yang sebenarnya. konsep gender kerapkali disamakan dengan konsep “seks”, walaupun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu “jenis kelamin”. konsep seks, bagi para feminis, adalah satu sifat yang terberi (given), alamiah, dibawa sejak lahir dan tidak bisa dirubah. konsep seks hanya terkait dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti wanita itu bisa hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan lelaki tidak. secara umum menurut analisis kaum feminis, bahwa kodrat wanita selama ini bukan ditentukan oleh faktor biologis tetapi ditentukan oleh faktor budaya dalam masyarakat. bagi mereka kesenjangan peranan dan relasi gender perlu dikaji kembali, tetapi permasalahannya adalah alternatif yang ditawarkan oleh kaum feminis ternyata berbedabeda, sehingga timbul berbagai aliran dengan alternatif teorinya masing-masing. dalam dua dekade terakhir kelompok feminis menciptakan beberapa teori yang secara khas menjelaskan kedudukan wanita dalam kehidupan masyarakat. feminis berusaha menentang sistem patriarki dan berbagai stereotip gender lainnya yang beredar dalam masyarakat. perspektif feminis terhadap perbedaan peran gender lelaki dan wanita secara umum dapat dibagi kepada tiga kelompok, antaranya feminisme liberal, feminisme sosialis dan feminisme radikal. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 50 yusuf fadli metode penelitian kajian ini lebih bersifat deskriptif analitis dengan maksud untuk membuat gambaran secara sistematik, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungkait antara fenomena yang akan diselidiki. metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik kualitatif. untuk memperoleh data-data dalam penyelidikan ini, penyelidik menggunakan buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar maupun bahan-bahan dari sumber elektronik yang relevan dengan masalah utama penyelidikan. hasil dan pembahasan 4.1. islam dan kesetaraan gender al-qur’an memberikan pandangan progresif dalam melihat posisi dan eksistensi perempuan dalam kehidupan. dimana dijelaskan bahwa kedudukan pria dan wanita di hadapan allah swt adalah sama, karena yang dinilai adalah amal perbuatannya, sebagaimana firman-nya “barangsiapa mengerjakan amal saleh baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan” (qs. an nahl [16]: 97). kandungan dari ayat tersebut adalah bahwa allah swt memerintahkan umat manusia (pria atau wanita) agar senantiasa berupaya berbuat kebaikan kepada siapa saja, sehingga dapat mencapai kedudukan yang mulia dan terhormat di hadapan allah swt. dalam ayat al qur’an banyak diterangkan bahwa ukuran kemuliaan di sisi tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin, “hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi allah ialah orang yang paling takwa. sesunggguhnya allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (q.s. al-hujurat [49]:13). al-qur’an juga tidak menganut faham “the second sex” yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau “the first ethnic”, yang mengistimewakan suku tertentu. pria dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid dan khalifah, “barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (q.s. al-nisa’ [4]:124). tidak hanya sampai di situ, al qur’an juga menjelaskan mengenai sosok ideal dari seorang perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma’rah) yang digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah), (q.s. al-mumtahanah[60]:12), seperti dilukiskan dalam sosok ratu balqis yang mempunyai kerajaan “superpower” (arsyun ‘azhim), “sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 51islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (q.s. al-naml [27]:23). pribadi perempuan dalam al-qur’an juga harus memiliki kemandirian ekonomi (alistiqlal al-iqtishadi) (q.s. al-nahl [16]:97), seperti pemandangan yang disaksikan nabi musa di madyan, wanita mengelola peternakan, “dan tatkala ia sampai di sumber air negeri mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menahan ternaknya. musa berkata: `apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?` kedua wanita itu menjawab: `kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya’ (q.s. al-qashash [28]:23). perempuan muslim juga harus memiliki kemandirian di dalam menentukan pilihanpilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami bagi wanita yang sudah kawin, “dan allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman istri fir’aun, ketika dia berkata, “ya tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (q.s. al-tahrim [66]:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (q.s. al-tahrim [66]:12). al-qur’an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan “oposisi” terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran, “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada allah dan rasul-nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh allah; sesungguhnya, allah maha perkasa, lagi maha bijaksana.” (q.s. al-tawbah [9]:71). bahkan al-qur’an menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan, “mengapa kamu tidak mau berperang di jalan allah, dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak, yang semuanya berdo’a: ‘ya rabb-kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (mekah), yang zalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau’.” (q.s. al-nisa’ [4]:75). bercermin dari cara pandang al-qur’an di atas, kedudukan perempuan dalam islam bukanlah subordinat dari kalangan pria, akan tetapi merupakan mitra yang sejajar dalam menghadapi tantangan kehidupan. sikap optimistis al-qur’an dalam mendorong kaum perempuan untuk beraktifitas dalam ruang publik tentu akan menambah argumentasi bahwa islam bukanlah sebuah agama yang bertentangan dengan kemajuan zaman. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 52 yusuf fadli 4.2. partisipasi politik wanita nu indonesia pasca tumbangnya soeharto pada tahun 1998 merupakan negara demokrasi terbesar ke tiga selepas india dan amerika serikat. selain itu, sejak dahulu indonesia disebut sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sebanyak 207. 2 juta dari total populasi penduduk sekitar 237. 641. 326 jiwa pada tahun 2010, atau sekitar 87, 18 % (badan pusat statistik 2010). sebagai sebuah negara demokrasi, indonesia dituntut untuk menghargai kebebasan dan hak asasi manusia secara adil dan merata. ini bermakna bahwa indonesia harus bisa menjamin partisipasi politik bagi semua warga negara. partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang tidak mudah dan menantang, khususnya dalam bidang-bidang masyarakat yang secara tradisional dimarjinalkan, seperti peranan wanita dalam wilayah publik. wanita indonesia seringkali berada di bawah bayang-bayang dominasi kaum pria, padahal jumlah mereka adalah separuh dari jumlah populasi penduduk indonesia yaitu sekitar 118. 010. 413 jiwa atau sekitar 49, 66 % (badan pusat statistik 2010). budaya politik dominan yang dibangun oleh orde baru telah sejak lama membuat eksistensi, posisi dan peranan wanita indonesia senantiasa berada di bawah bayangbayang dominasi negara yang militeristik. pada era reformasi, demokratisasi yang dijalankan serta merta membuka kesempatan bagi kaum wanita indonesia untuk memperjuangkan kembali kesetaraan gender di setiap tingkat. kemajuan ekonomi, teknologi dan pendidikan yang diperoleh kaum wanita sejauh ini, menjadikan gerakan wanita lebih mandiri dari intervensi pemerintah. terbukanya peluang tersebut, dimanfaatkan oleh gerakan wanita indonesia untuk perubahan yang lebih baik. muslimat dan fatayat yang merupakan organisasi wanita otonom nahdlatul ulama, tidak mau kehilangan momentum dalam kerja-kerja memperbaiki kondisi dan kedudukan wanita. langkah mereka tidak hanya meliputi satu bidang saja, tetapi gerakan mereka juga menyentuh berbagai segi kehidupan dalam masyarakat. bagi melihat sepak terjang wanita nu, seperti mengenai peranan wanita nu dalam memperjuangkan keterwakilan wanita di parlemen dengan sistem kuota 30 persen bagi wanita. selain itu, akan dijelaskan juga mengenai prestasi dari anggota parlemen wanita yang berlatar belakang nu. secara historis keterlibatan kalangan wanita nu dalam politik diwakili oleh muslimat nu. di mana muslimat telah aktif terlibat dalam percaturan politik sejak pemilu pertama indonesia digelar pada tahun 1955. pada saat itu, terdapat lima anggota muslimat nu terpilih menjadi anggota parlemen pada peringkat pusat. namun pada masa soeharto, keterlibatan muslimat dalam percaturan politik berkurang dan tenggelam dalam jargon pembangunan dan stabilitas ala orde baru. peranan wanita dikurung dalam sangkar emas “ibuisme”, dimana bagi soeharto peranan utama wanita didefinisikan hanya p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 53islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi sebagai ibu dan istri. sehingga tempat utama wanita adalah rumah-rumah mereka untuk mendampingi suami dan mengurus generasi masa depan indonesia (zein 2008:5). 4.3. perjuangan affirmative action affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara dari sekian banyak pilihan kebijakan untuk meningkatkan peran wanita dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. sebenarnya masih terdapat banyak pilihan yang dapat dilakukan terkait dengan kebijakan affirmative action di bidang politik, menurut pippa norris affirmative action selain menempatkan wanita dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, juga dapat dilakukan dengan memberi pelatihan khusus, dukungan keuangan dan publikasi yang seimbang ke atas wanita (norris 2002:2). tentu saja tujuan akhir dari affirmative action adalah peningkatan perwakilan politik wanita dan tercapainya kesetaraan gender dalam semua tingkat. tuntutan terhadap perkara tersebut semakin meluas ketika dalam pemilu pertama di era reformasi pada tahun 1999, menghasilkan persentase wanita yang duduk di parlemen lebih rendah dibandingkan dengan pemilu 1997 pada era otoritarianisme orde baru. tabel 2. jumlah anggota dpr menurut jenis kelamin periode institusi pria wanita jumlah anggota dpr jumlah % jumlah % 1950-1955 dpr 236 96.3 9 3.7 245 1955-1960 dpr 272 94.1 17 5.9 289 1956-1959 dpr 488 95.1 25 4.9 513 1971-1977 dpr 460 92.7 36 7.3 496 1977-1982 dpr 460 94.1 29 5.9 489 1982-1987 dpr 460 92.2 39 7.8 499 1987-1992 dpr 500 88.5 65 11.5 565 1992-1997 dpr 500 89.0 62 11.0 562 1997-1999 dpr 500 90.3 54 9.7 554 1999-2004 dpr 500 91.6 46 8.4 546 2004-2009 dpr 487 88.5 63 11.5 550 2009-2014 dpr 459 81.9 101 18.0 560 (agustina 2009:165) data di atas menunjukkan bahwa perwakilan wanita di parlemen (dpr ri) sejauh ini masih rendah. perwakilan wanita yang paling rendah adalah pada dpr periode 19501955 (3.7%) dan paling tinggi pada periode 1987-1992, 2004-2009 yang mencapai 11.5% dan periode 2009-2014 mencapai 18.0%. perwakilan wanita di dpr ri rata-rata hanya journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 54 yusuf fadli 8% dalam 12 periode dpr ri. hal ini sangat kontras dengan populasi wanita (49.68%) yang seimbang dengan pria (50.31%) (sensus penduduk 2010). kenyataan minimnya wanita dalam parlemen tersebut, menguatkan asumsi yang mengatakan terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat perwakilan wanita dalam institusi-institusi yang anggotanya dipilih, yaitu: (1) sistem pemilihan umum, (2) peranan dan organisasi partai politik dan (3) penerimaan budaya, termasuk tindakan mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib atau sukarela (sasiana dan dian 2010:145). dari ketiga faktor tersebut, sistem pemilu merupakan faktor yang seharusnya dikawal oleh negara karena secara langsung akan berpengaruh kepada tingkat perwakilan wanita, seperti peraturan pemilu yang mewajibkan setiap partai politik untuk menerapkan suatu jumlah minimal bagi calon wanita dan partai politik wajib menempatkan calon wanita tersebut pada nomor urut pemilihan atau daerah pemilihan yang berpeluang untuk dimenangkan. di sinilah kuota mengambil peran penting dalam meningkatkan representasi wanita. ide utama di balik sistem kuota adalah merekrut wanita untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak cuma menjadi “penanda” dalam kehidupan politik. kuota bagi wanita merupakan suatu jumlah tertentu dari anggota sebuah institusi, baik dalam daftar calon anggota parlemen atau suatu lembaga negara. tujuannya adalah untuk memastikan bahwa wanita, paling tidak, menjadi satu “minoritas kritis” yang terdiri dari 30 atau 40 persen. dan kuota ini diterapkan sebagai tindakan sementara saja, ini akan diterapkan sampai halangan-halangan terhadap masuknya wanita dalam politik dapat disingkirkan. apabila kedua-dua pihak (lelaki dan wanita) sudah berada dalam garis start yang sama, maka sistem kuota sudah tidak diperlukan. pemberian kuota kepada wanita bukanlah satu bentuk diskriminasi kepada pihak-pihak tertentu, karena hal ini hanya untuk mempercepat ketertinggalan wanita dalam politik yang disebabkan oleh konstruksi masyarakat patriarki, tidak diberlakukan selamanya. sekalipun pemberian kuota dikatakan sebagai bentuk diskriminasi, maka ini merupakan bentuk diskriminasi positif, karena keberadaan wanita dalam dunia publik sejak lama dimarjinalkan oleh sistem yang berjalan. beberapa tahun menjelang pemilu 2004, para aktivis wanita dari lsm, organisasi masyarakat, akademisi mula menuntut agar partai politik meningkatkan jumlah anggota wanita di parlemen. kalangan aktivis wanita berkeinginan memasukkan ketentuan mengenai kuota 30 persen bagi wanita dicantumkan secara formal dalam salah satu pasal dalam undang-undang pemilu. advokasi terhadap kuota 30 persen didasarkan kepada keyakinan bahwa pemberlakukan sistem kuota akan menjadi cara paling cepat bagi mengatasi masalah rendahnya perwakilan wanita di parlemen. transisi demokrasi mesti memberikan ruang kepada wanita untuk dapat berjuang membangkitkan wanita indonesia secara keseluruhan agar tidak tertinggal dengan eksistensi gerakan wanita di luar negeri yang juga mengalami perubahan sistem daripada otoritarianisme kepada p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 55islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi demokrasi. seperti yang dinyatakan dahlerup (2006), bahwa penerapan sistem kuota dalam banyak negara di seluruh dunia seperti afrika selatan, rwanda dan afghanistan telah mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen secara drastis (dahlerup 2006:18). dalam nahdlatul ulama, keinginan kaum wanita untuk terlibat dalam politik sebenarnya telah dikukuhkan dalam musyawarah nasional alim ulama nahdlatul ulama yang diselenggarakan pada 17-21 november 1997, di mana ditetapkan keputusan nomor 004/munas/11/1997 mengenai kedudukan wanita dalam islam. keputusan tersebut mengakui bahwa “islam memberikan hak yang sama kepada setiap wanita dan lelaki seperti telah ditegaskan dalam al-qur’an dan hadits, namun dalam realitasnya pengaruh budaya patriarki telah mengandaskan prinsip tersebut sehingga menjadikan wanita tersubordinasi dan terdiskriminasi dalam peranan-peranan publik. selanjutnya para ulama memutuskan “dalam konteks peranan dalam dunia publik menurut prinsip islam, wanita diizinkan untuk melakukan peranan-peranan tersebut dengan konsekuensi bahwa mereka memiliki kemampuan dan memiliki kapasitas untuk menduduki peranan sosial dan politik tersebut. dengan perkataaan yang lain, kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka, terutama peranannya dalam masyarakat yang majemuk ini, dengan tetap memperhatikan bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita. berlandaskan kepada dukungan dari kalangan ulama nu, muslimat dan fatayat menunjukkan keinginan yang sama dalam isu tersebut. kedua-dua organisasi tersebut mendorong sepenuhnya peningkatan representasi wanita di parlemen, pada mereka semakin banyak perempuan dalam parlemen, akan menciptakan situasi yang lebih baik bagi wanita. dukungan tersebut tergambar dalam pernyataan maria ulfah anshor (ketua fatayat), yang mengatakan bahwa politik bukan hanya dunia kaum lelaki (kompas 23 januari 2003). selain itu, khofifah indar parawansa (ketua muslimat), menyatakan muslimat telah mendesak dpr ri untuk menyetujui kuota 30 persen untuk wanita di parlemen (kompas, 18 februari 2003). khofifah telah aktif membahas tentang perlunya kuota 30 persen wanita di parlemen sejak beliau menjadi menteri di kementerian pemberdayaan perempuan pada era presiden abdurrahman wahid (1999 -2001). setelah melalui perjuangan panjang, para aktivis wanita yang didukung oleh beberapa anggota parlemen wanita berhasil meloloskan kuota 30 persen tercantum dalam salah satu pasal undang-undang, yaitu undang-undang no. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum. dalam pasal 65 ayat (1) undang-undang tentang pemilihan umum, disebutkan: “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota dpr ri, dprd provinsi (dprd tk i), dan dprd kabupaten/kota (dprd tk ii) untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 56 yusuf fadli dalam mewujudkan kuota 30 persen, muslimat dan fatayat membangun afiliasi dengan berbagai kekuatan politik yang ada, seperti partai politik, organisasi wanita dan lsm. pada tingkat nasional, muslimat dan fatayat menjalin kerjasama dengan organisasi lain seperti yayasan kalyanamitra, forum indonesia untuk perempuan dan islam (fipi), asosiasi perempuan indonesia untuk keadilan (apik), yayasan solidaritas perempuan, yayasan jurnal perempuan, kowani, kaukus perempuan parlemen, kaukus perempuan politik indonesia, pusat pemberdayaan perempuan dalam politik (p3-pol), gerakan pemberdayaan suara perempuan (gpsp), himpunan wanita karya (hwk) dan jaringan perempuan dan politik. pada tingkat provinsi, khususnya di jawa timur, muslimat dan fatayat bergabung dengan forum perempuan jawa timur untuk politik (fpj pol) yang melakukan pendidikan kepada para pemilih dan diskusi publik dengan para calon wanita. tujuannya untuk mendorong para pengundi untuk memilih wanita dalam pemilu. muslimat dan fatayat tidak hanya aktif dalam kempanye untuk pemilu dan mendorong pemilih untuk memilih calon wanita, tetapi juga mendorong anggota muslimat dan fatayat untuk menjadi calon anggota parlemen melalui partai politik yang ada. selain itu, fatayat nu, khususnya di jawa timur juga melakukan negosiasi dengan partai politik agar menempatkan anggota mereka menjadi calon potensial anggota legislatif. walaupun jumlah wanita belum terlalu signifikan dalam parlemen, tetapi eksistensi mereka dalam dpr ri ikut memberikan warna tersendiri dalam perjalanan politik lembaga legislatif. persentasi wanita yang duduk di parlemen pasca pemberlakuan sistem kuota 30% juga menunjukkan hasil yang positif, di mana 11.5% wanita berhasil menduduki kursi parlemen pada pemilu 2004.4 dari kalangan nu, terdapat aktivis gerakan wanita yang terpilih menjadi anggota parlemen, beberapa antaranya ialah: maria ulfah anshor (2007-2009) pernah terpilih menjadi anggota parlemen dari partaikebangkitan bangsa (pkb). sedangkan khofifah indar parawansa (1992-1997) telah menjadi anggota parlemen dari partai persatuan pembangunan (ppp) dan pada tahun 1999 menjadi anggota parlemen dari pkb, sebelum akhirnya dilantik menjadi menteri pemberdayaan wanita pada era gus dur. selain itu, ida fauziah juga masih lagi aktif sebagai ahli parlemen dari pkb sejak pilihan raya 1999-sekarang. dari segi kuantitas anggota legislative perempuan yang berlatarbelakang nu tidak sebanyak anggota parlemen wanita daripada partai politik lain (lihat tabel 4.2), tetapi 4 data keterwakilan wanita dari inter-parliamentary union (ipu) pada 31 januari 2006 menunjukkan, indonesia berada pada urutan ke 89 dari 186 negara, jauh di bawah afghanistan: 27,3% (no.24), vietnam: 27,3% (no.24), timor leste: 25,3% (no.28), pakistan: 21,3% (no.41), china: 20,3% (no.48), singapore: 16% (no.66), filipin: 15,3% (no.67), bangladesh: 14,8% (no.70), korea selatan: 13,4% (no.75). juga masih di bawah syrian arab republic: 12% (no.86). tercatat negara-negara asia di bawah indonesia, antaranya: thailand: 10,8% (no.93), malaysia: 9,1% (no.103), jepang: 9,0% (no.104), india: 8,3% (no.108) dan ada 11 negara yang tidak memiliki wanita dalam parlemen (sumbung 2006). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 57islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi dari segi kualitas wanita nu tidak kalah jika dibandingkan dengan anggota parlemen pria. untuk mengukur kualitas anggota parlemen wanita, dapat dilihat dari : memahami perspektif gender, aktif dan masuk dalam struktur partai, bekerjasama dengan kelompok di luar parlemen, aktif dalam gerakan wanita, memiliki kemampuan berbicara di hadapan orang ramai, memiliki hubungan dengan media. sedangkan menurut cetro (centre for electoral reform), kualitas anggota parlemen wanita dapat dilihat dari adanya kepedulian tinggi kepada isu demokrtisasi, isu wanita yang terkait dengan pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, anti kekerasan dan pembangunan ekonomi. tingkat kepedulian itu dibuktikan lewat aktivitas mereka selama ini dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan memiliki integritas yang tinggi yang tergambar dalam isu pemberantasan korupsi. berpijak pada kriteria kualitas tersebut, anggota parlemen dari nu yang bergabung dalam pkb diakui oleh sejumlah organisasi non pemerintah sebagai anggota parlemen yang berkualitas. organisasi independen pemantau pemilu selanjutnya memasukkan mereka dalam daftar anggota parlemen berkualitas, antaranya maria ulfah anshor,5 badriyah fayumi,6 khofifah indar parawansa,7 safira machrusah, tari siwi utami, anisah mahfudz, nursyahbani katja sungkana, saidah sakwan dan lainnya. mereka adalah aktivis yang telah lama menjadi bagian dari gerakan wanita di indonesia (cetro 2004; masdar 2010:254). kemampuan mereka didasari pada pemahaman teologis yang berasal dari pendidikan dalam institusi pesantren dan perguruan tinggi islam. selain itu, mereka juga memahami permasalahan sosial dan perkembangan yang berlaku dalam dunia internasional dalam memandang isu wanita. sebenarnya wanita nu yang berada dalam parlemen tidak hanya ada dalam pkb, selain itu ada juga yang menjadi wakil rakyat dari partai golkar dan partai persatuan pembangunan (ppp).8 5 pernah menjabat sebagai ketua umum pp fatayat nu pada 2005-2009. kepeduliannya dalam membela hakhak wanita memperoleh beberapa penghargaan, antaranya: women of the year dari antv (11 maret 2005), saparinah sadeli award untuk penelitian “fikih absorsi alternatif bagi penguatan hak reproduksi perempuan” (24 agustus 2004) dan penghargaan cetro sebagai calon legislatif wanita berkualitas pada pemilihan umum 2004 (9 maret 2004). 6 badriyah fayumi merupakan dosen di universitas islam negeri di jakarta yang memiliki kepedulian kepada keadilan dan kesetaraan pendidikan, khususnya madrasah dan pesantren, pembangunan wanita dan politik anggaran yang berpihak kepada rakyat miskin. ia menjadi ketua bidang da’wah pp fatayat nu, anggota forum kajian kitab kunig (fk3), puan amal hayati, redaktur ahli majalah noor, penasihat yayasan mahasina yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah. ia juga aktif menulis, karyanya wajah baru relasi suami istri, kajian kitab uqudullujain (fk3, lkis-yogya), tubuh, seksualitas dan kedaulatan perempuan (lkis, yogya), mengaji islam perempuan dalam literatur klasik islam (gramedia). 7 pernah menjabat menteri negara pemberdayaan perempuan pada era gus dur. khofifah juga pernah menjadi anggota dpr ri dari ppp tahun 1992-1998, dan anggota dpr ri dari pkb 1999-2000 dan terpilih kembali pada 2004-2009. selain menjadi anggota parlemen, khofifah pernah menjabat ketua muslimat nu sejak 2000. dia sudah lama berjuang dalam isu-isu wanita, salahsatunya ialah dukungannya terhadap ruu anti pornoaksi dan pornografi yang akhirnya menjadi uu pornografi. 8 dari partai golkar, ada aisjah hamid baidlowi (ketua umum muslimat mu 1995-2000) dan faridah effendy, sedangkan dari partai persatuan pembangunan ialah lena maryana mukti, mahsusoh ujiati (ketua fatayat nu dan ketua ikatan pelajar putri nu) dan machfudhoh aly ubaid (anak dari kh abdul wahab chasbullah pendiri nu). journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 58 yusuf fadli tabel 3. anggota dpr ri wanita dari nahdlatul ulama era reformasi no nama partai periode daerah pemilihan 1 ida fauziyah pkb 1999-2004 2004-2009 2009-2014 jawa timur 2 khofifah indar parawansa pkb 1999 2004-2009 jawa timur 3 umroh mahfudzah tholchah pkb 1999-2004 jawa timur 4 tari siwi utami pkb 1999-2004 jawa timur 5 sugiharti pkb 2002-2004 jawa tengah 6 safira machrusah pkb 1999-2004 jawa tengah 7 anisah mahfudz pkb 2004-2009 jawa timur 8 anna mu’awanah pkb 2004-2009 2009-2014 jawa timur 9 badriyah fayumi pkb 2004-2009 jawa tengah 10 maria ulfah anshor pkb 2006-2009 jawa barat 11 nursyahbani katja sungkana pkb 2004-2009 jawa timur 12 zunnatul mafruchah pkb 2004-2006 yogyakarta 13 saidah sakwan pkb 2006-2009 jawa tengah 14 ulha soraya pkb 2009 jawa timur 15 chusnunia pkb 2009-2014 lampung 16 gitalis dwina tarina pkb 2009-2014 jawa barat 17 lily chodijah wahid pkb 2009-2014 jawa timur 18 masitah pkb 2009-2014 jawa timur 19 mirati dewaningsih pkb 2009-2014 maluku 20 peggi patricia pattipi pkb 2009-2014 papua 21 aisjah hamid baidlowi p. golkar 2009-2014 jawa timur 22 faridah effendy p. golkar 2009-2014 jawa timur 23 lena maryana mukti ppp 2009-2014 jakarta 24 mahsusoh ujiati ppp 2009-2014 jawa timur 25 machfudhoh aly ubaid ppp 2009-2014 jawa timur (dari berbagai sumber) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 59islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi partisipasi wanita nu di dpr ri sejak awal reformasi telah menunjukkan kinerja yang amat positif, mereka memainkan peranan yang cukup penting. pada persidangan mpr ri/dpr ri, ida fauziyah telah mencatatkan sejarah dalam perjalanan politik di indonesia. beliau menjadi anggota parlemen paling muda dan aktivis wanita pertama yang pernah memimpin sidang umum mpr/dpr ri. pada masa itu, beliau baru berusia 30 tahun, namun meski baru pertama tampil di kancah politik nasional, ida terlihat berhasil mengesankan banyak pihak dalam kemampuannya memimpin sidang umum tersebut. ida fauziyah sebelum menjadi anggota parlemen sudah populer di kalangan aktivis wanita, khususnya dalam perjuangan kesetaraan wanita di bidang politik.9 dalam periode ini, anggota parlemen wanita berlatar nu menjadi pilar utama bagi diluluskan sejumlah legislasi (undang-undang) di dpr ri, antaranya uu no.23/2002 tentang perlindungan anak dan paket uu politik. terkait pembahasan uu perlindungan anak, mereka memberikan perhatian serius. menurut mereka, uu ini merupakan satu hal yang amat penting dan strategis namun nyaris luput dari perhatian publik. padahal, sebagai problem sosial, masalah anak-anak di indonesia masih menempati urutan teratas. salah satu pasal penting yang diperjuangkan wanita dalam uu ini adalah tentang hak asuh dan adopsi anak. bagi mereka, seseorang yang akan mengasuh dan mengadopsi anak “harus” satu agama dengan anak yang akan diasuhnya (bukan hanya kata “selayaknya”) yang diusulkan pemerintah. ini untuk melindungi keberadaan anak-anak yatim, khususnya dalam hak mereka untuk menjalankan pendidikan agama yang sesuai dengan keyakinan mereka. selama kurun waktu 2004-2006, para wanita berlatar belakang nu di legislative berperan aktif mengesahkan undang-undang, beberapa di antaranya adalah undangundang no. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang menggantikan undangundang no. 62 tahun 1958. uu ini menghilangkan diskriminasi terhadap warga negara yang dilandaskan kepada perbedaan ras, etnik, gender dan kelas sosial. uu ini juga mengakui hak wanita untuk memberikan status warganegara kepada anak-anak mereka, berarti kaidah one person doctrine in the family dalam undang-undang lama telah hilang. peranan wanita nu juga nampak dalam uu no. 21 tahun 2007 tentang penghapusan perdagangan manusia. perjuangan mereka dititikberakan kepada usaha pencegahan human traficking, pemberian advokasi kepada korban dan saksi serta menambah hukuman kepada pelaku perdagangan manusia. menurut mereka tindakan kriminal perdagangan manusia ialah perkara yang tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai ilahiah yang terdapat dalam agama islam. karena kedatangan islam ke muka bumi untuk memuliakan manusia, dan islam memang melarang segala tindakan yang merendahkan martabat manusia. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 60 yusuf fadli tabel 4. legislasi sensitif gender 2004-2009 no peraturan undang-undang yang berhasil disahkan isu gender di dalamnya 1 undang-undang no.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional memasukkan gender gap development index 2 undang-undang no.12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan ri hak wanita atas anaknya dalam perkawinan beda negara lebih tegas, demikian juga dengan status warganegara anak 3 undang-undang no.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban memasukkan perlindungan untuk saksi dan korban kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia 4 undang-undang no.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pembuatan catatan kelahiran secara gratis 5 penubuhan unit khidmat wanita dan anak di balai polis dengan peraturan polis no.10 tahun 2007 menjadikan unit ini mandiri dan tidak mudah diintervensi, memandang kekerasan terhadap wanita dan anak masih tinggi. 6 undang-undang ri no.21 tahun 2007 tentang pencegahan tindak pidana perdagangan orang melindungi dan menangani masalah terutama wanita yang didagangkan 7 undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik memasukkan 30% wanita di dalam pendirian partai serta kepengurusan di peringkat nasional. 8 uu no.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah memasukkan affirmatif action 30% dengan pasal yang lebih jelas dari uu pemilu sebelumnya, serta memasukkan sistem zipper. 9 undang-undang no.39 tahun 2008 tentang kementerian negara meningkatkan derajat kementerian negara pemberdayaan perempuan ri 10 undang-undang no. 27 tahun 2009 tentang mpr, dpr, dpd dan dprd menimbang keterwakilan wanita di alat kelengkapan parlemen. 11 uu kesehatan no. 36 tahun 2009 memasukkan pasal hak reproduksi wanita dan anggaran dana promosi untuk kesehatan wanita. (sumber: adriana 2010:29) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 61islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi walaupun secara kuantitas, anggota perempuan di legislative tidak menghalangi mereka untuk berjuang sekuat tenaga menghadirkan undang-undang ataupun peraturan yang ramah terhadap kaum wanita. fakta di atas menunjukkan bahwa partisipasi politik wanita nu dilakukan melalui dua jalur utama, melalui jalur eksekutif dan perjuangan politik di parlemen, dan kehadiran mereka memberikan warna yang khas dalam sejarah perjuangan gerakan wanita di indonesia. kesimpulan dalam kajian ini didapati bahwa dukungan wanita nu terhadap ide feminisme dan kesetaraan gender berangkat dari kemampuan nu dalam mengintegrasikan pemahaman teologis dengan sosiologis untuk menjawab persoalan yang timbul. secara agama, mereka melakukan reinterpretasi ke atas kitab dan penafsiran teks-teks keagamaan yang bias gender. secara sosiologis, gerakan wanita nu berangkat dari fakta mengenai kondisi wanita indonesia yang masih terdiskriminasi dan tertindas oleh kontruksi budaya dan struktur kekuasaan. selain itu, realitas yang berlaku dalam dunia internasional yang sedang menngangkat harkat kaum wanita di seluruh dunia. persatuan bangsa-bangsa bersatu bersama dengan elemen masyarakat civil society menelurkan program-program yang mesti diadopsi oleh seluruh negara. proses liberalisasi pemikiran yang berlaku dalam kalangan muda nu, menjadi faktor yang ikut mendorong suburnya ide kesetaraan gender dalam tubuh nu. referensi agustina, heriyani. 2009. keterwakilan perempuan di parlemen dalam perspektif keadilan dan kesetaraan gender. dlm. siti hariti sastriyani (pnyt.). gender and politics. hlm.163170. yogyakarta: tiara wacana. badan pusat statistik. 2010. hasil sensus penduduk 2010: data agregat per provinsi. bashin, kamla dan khan, nighat said. 1995. persoalan pokok mengenai feminisme dan relevansinya. terj. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. budiardjo, miriam. 1998. partisipasi dan partai politik: suatu pengantar. dlm miriam budiardjo (pnyt.). partisipasi dan partai politik: sebuah bunga rampai. jakarta: yayasan obor indonesia. conway, m. margaret. 2000. political participation in the united states. washington: congressional quarterly press. dahl, robert. 2005. perihal demokrasi: menjelajahi teori dan praktek demokrasi secara singkat. terj. jakarta: yayasan obor indonesia. dahlerup, drude. 2006. introduction. dlm drude dahlerup. (pnyt.). women, quotas and politics. hlm. 3-31. new york: routledge. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 62 yusuf fadli friedan, betty. 1963. the feminine mystique. england: penguin books. ___________. 1970. television and the feminine mystique. dlm barry g. cole (pny.). the television: a series of readings from tv guide magazine. hlm. 267-275. new york: free press. gatara, a. said dan moh. dzulkiah said. 2007. sosiologi politik: konsep dan dinamika perkembangan kajian. bandung: cv. pustaka setia. humm, maggie. 1992. feminisms: a reader. harvester wheatsheaf. iwanaga, kazuki. 2008. women and politics in asia: a comparative perspective. dlm kazuki iwanaga (pnyt.). women’s political and participation and representation in asia obsttacles and challenges. hlm. 1-22. nias press. ja’far, muhammad anas qasim. 2001. mengembalikan hak-hak politik perempuan sebuah perspektif islam. jakarta: azan. kartika, sandra (pnyt.). 1999. konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan: panduan bagi jurnalis. jakarta: lspp. masdar, umaruddin (pnyt.). 2010. mengabdi tiada henti: rekam jejak fkb dpr ri 20042009. yogyakarta: pustaka tokoh bangsa. mernissi, fatimah. 1994. wanita dalam islam. terj. bandung: pustaka. mujani, saiful. 2007. muslim demokrat: islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di indonesia pasca orde baru. jakarta: gramedia pustaka utama. mulia, musdah dan anik farida. 2005. perempuan dan politik. jakarta: gramedia. ____________. 1998. konsep kepemimpinan perempuan dalam islam: kesaksian dari kongres umat islam indonesia. paper diskusi dalam seminar nu, p3m, jakarta. 25 nopember. ____________. 2007. benarkah agama melawan perempuan? jurnal perempuan. kami punya sejarah. 52 (3): 77-89. nie, norman h dan sidney verba. 1975. political participation. dlm fred i. greenstein & nelson w. polsky. handbook of political science. mass: addison-wesley publishing company. norris, pippa. 2002. breaking the barriers: positive discrimiation policies for women. dlm jyette clausen & charkes s. maier. has the liberalism failed women? parity, quotas, and political representation. hlm. 1-31. london: st. martin press. sanaf, erfanto & jazuni (pnyt.). 2004. mendayung di pusaran: kiprah fraksi kebangkitan bangsa majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia 1999-2004. jakarta: fkb. sasiana, sali dan dian cahyaningrum. 2010. implementasi pasal tentang affirmative action dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota dpr, dpd, dan dprd (studi di provinsi maluku utara). kajian. vol. 15. no. 1 (3): 141-170. sumbung, titi. 2006. legal review: hak politik perempuan. paper diskusi interaktif kementerian negara pemberdayaan perempuan ri. jakarta. 8 nopember. sumiarni, endang. 2004. jender dan feminisme. yogyakarta: wonderful publishing company. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 63islam, perempuan dan politik: argumentasi keterlibatan perempuan dalam politik di indonesia pasca reformasi umar, nasaruddin. 1999. argumen kesetaraan jender perspektif al-qur’an, jakarta: paramadina. verba, sidney., kay lehman schlozman & henry e. brady. 1995. voice and equality. civic voluntarism in american politics. cambridge: harvard university press. zein, wahidah br siregar. 2008. responses of muslimat and fatayat to the quota for women in the 2004 elections. fakultas da’wah iain sunan ampel surabaya. 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 5 no. 1 pages 1 144 april 2021 issn 2579-4396 1 30 the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan muhammad ananda alifiarry1, bevaola kusumasari1 (1 department of public policy and management, faculty of social and political sciences, universitas gadjah mada, indonesia) 31 50 urban resilience strategy in the climate change governance in makassar city, indonesia ihyani malik1, andi luhur prianto2, abdillah abdillah2, zaldi rusnaedy3, andi annisa amalia4 (1 department of public administration, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (2 department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) (3 department of government studies, universitas pancasakti makassar, indonesia) (4 department of architecture, faculty of engineering, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 51 62 collaboration governance in the development of natural based tourism destinations muchamad zaenuri11, yusrim musa1, muhammad iqbal2 (1 department of government affairs and administration universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 department of political science national cheng kung university, taiwan, province of china) 63 78 analysis of mind patterns and work culture in government of west pasaman district sri andri yani1, etika khairina1, suswanta1, mochammad iqbal fadhlurrohman1 (1 governmental studies, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 90 the influence of social media (instagram) of bantul’s general election commissions on voters participation in the 2019 elections agus priyanto1, eko priyo purnomo1,2, mochammad iqbal fadhlurrohman1, herry fahamsyah1, etika khairina1 journal of government civil society daftar isi (table of content) (1 departement of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 91 106 model implementation trap of policy new student acceptance zoning system in makassar city nuryanti mustari1, rudi hardi1, amir muhiddin1 (1 department of government studies, faculty of social and political sciences, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 107 126 collaborative urban governance model in environmental management of industrial area tri sulistyaningsih1, saiman1, nofianda fatimah azzahra1, nanda adityawan2, mohammad jafar loilatu3 (1 department of government studies, universitas muhammadiyah malang indonesia) (2 civil engineering, sepuluh nopember institute of technology, surabaya, indonesia) (3 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 127 144 towards an integration of immigration and customs agency in indonesia: a step-by-step process ridwan arifin1, intan nurkumalawati1 (1 diploma program of immigration administration, polytechnic of immigration, indonesia) 1 citation : alifiarry, m. a., & kusumasari, b. (2021). the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan. journal of government and civil society, 5(1), 1–30. journal of government and civil society vol. 5, no. 1, april 2021, pp. 1-30 doi: 10.31000/jgcs.v5i1.2991 received 24 august 2020  revised 8 december 2020  accepted 15 march 2021 the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan muhammad ananda alifiarry1, bevaola kusumasari1* 1 department of public policy and management, faculty of social and political sciences, universitas gadjah mada, indonesia *email correspondence: bevaola@ugm.ac.id abstract most of the research on social movement and digital advocacy through hashtags is concentrated on the identifications of social media usage. there is limited research concerning the comprehensive understanding and analysis on how it can develop and interact with social networks. this research aims to further identify the process of the successful social movement that has been mobilized by indonesian’s musicians and public by using a hashtag as a form of advocacy in thwarting the music draft bill and in understanding the role of the actors and public engagement behind this social movement. we have analyzed #tolakruupermusikan as a social movement that formed into digital advocacy by referring to the literature review that was conducted by the previous studies. this research will map out the actors and public engagement behind the movement. in each criterion, the result has been aligned with the conceptual framework in application of #tolakruupermusikan as a social movement, the use of online petition as a digital advocacy tool, and the network structure of #tolakruupermusikan to find the actors and understanding the engagements of the public. the implication of this study is to show the success of a social movement to assess policy making and policy failure. keywords: policy formulation, social movement, digital advocacy, collective identity, music draft bill abstrak sebagian besar penelitian tentang gerakan sosial dan advokasi digital melalui tagar terkonsentrasi pada identifikasi penggunaan media sosial. penelitian kecil mempertimbangkan pemahaman dan analisis yang komprehensif tentang bagaimana hal itu dapat berkembang dan berinteraksi dengan jaringan sosial. penelitian ini bertujuan untuk lebih mengidentifikasi proses keberhasilan gerakan sosial yang telah dimobilisasi oleh musisi dan masyarakat indonesia, dengan menggunakan tagar sebagai bentuk advokasi dalam menggagalkan ruu permusikan dan memahami peran para aktor dan keterlibatan publik di balik gerakan sosial ini. kami telah menganalisis #tolakruupermusikan sebagai gerakan sosial yang terbentuk menjadi advokasi digital dengan mengacu pada tinjauan literatur yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya. penelitian ini akan memetakan aktor dan keterlibatan publik di balik gerakan tersebut. pada setiap kriteria, hasilnya telah diselaraskan dengan kerangka konseptual dalam penerapan #tolakruupermusikan sebagai gerakan sosial, penggunaan petisi online sebagai alat advokasi digital, serta struktur jaringan #tolakruupermusikan untuk menemukan para pelaku dan memahami keterlibatan para pelaku. masyarakat. implikasi dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan keberhasilan suatu gerakan sosial dalam menilai pembuatan kebijakan dan kegagalan kebijakan. kata kunci: formulasi kebijakan, gerakan sosial, advokasi digital, identitas bersama, ruu permusikan journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 2 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari introduction as we know, the development of technology through social media platforms has significantly changed the way people express their aspirations to achieve their rights as a form of freedom of expression. in addition, the development of information and communication technologies has created a wealth of new opportunities by offering connected and open access for users to share and gain information (johansson & scaramuzzino, 2019). the social media platform, twitter, has increased its role in political discourse as social media has become more popular in many nations. (bruns & burgess, 2011). this political discourse was also used by a coalition, called the koalisi nasional tolak ruu permusikan (national coalition to reject the music draft bill) / kntl ruup in creating a social movement on social media to protest the music draft bill that has been released by the house of representatives in late 2018, in the form of the hashtag #tolakruupermusikan. social movements and protests may also have an effect on a broader variety of policy processes, such as agenda-setting, policy initiation, policy formulation, policy implementation, and feedback loops (silva, 2015). the importance of this is that social movements may have varying policy consequences (kolb, 2007). the house of representatives as a policy maker cannot pass a draft law on the basis of the policymaking process carried out by the music ecosystem in indonesia. the role of the public in this social movement, #tolakruupermusikan, is quite large. it is very interesting to examine how the social movement of this music draft bill attracts the attention of the public and important figures in the music industry, as well as activists of the music protest itself. this has become an interesting phenomenon. a hashtag that is used as a social movement proves that the internet’s growth has created considerable interest in digital platforms. this growth has expanded to include the realm of politics and even has even impacted politics and policy decisions (chadwick & howard, 2009). it was generally accepted that social media was essential to the dissemination of political groups’ data and statements (chadwick a. , 2013). moreover, social media provides digital advocacy including the use of a hashtag to promote a common cause, sharing information and encouraging supporters (steinberg, 2016). it is widely accepted that there are often flaws in public policies. various explanations have been put forth involving numerous practical and political obstacles intrinsic to their conception and implementation (fotaki, 2010). in accordance with the existing statements, as the debate on new forms of political participation offered by new digital technologies is thriving (koc-michalska, lilleker, & vedel, 2016), most contributions tend to address social media as organizing agents and amplifying vehicles of collective action whose political force unfolds essentially on the streets, such as in the classical examples of the p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 3the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan arab spring, the indignados, and the occupy wall street movement (barisione, michailidou, & airoldi, 2017). thus, many parties and organizations use a hashtag-based feature to carry out their movements on social media. a hashtag is a short word or phrase that follows the hash or pound sign (#), such as #stopdiabetes, #hiv, or #marchforbabies, that is used on social media platforms to brand advocacy movements, archive messages for the movement, and allow those not personally connected to a user to see and comment on messages that use the hashtag (bruns & burgess, 2011). it can be concluded that a growing body of literature has discussed the opportunities that organizations have to advocate for their social movements on social media. most of these studies, however, only examine the prevalence of social media, or whether organizations use social media for advocacy purposes. previous studies have barely explained comprehensively how a social movement can thwart a public policy that has been released as a draft bill. research on who the players are, what their position behind the activism is, and how the social movement in a social network can be developed, is a compelling subject. given the background of this research, the research questions are the following: “how was the social movement applied in the case of #tolakruupermusikan as a form of digital advocacy? who are the actors behind #tolakruupermusikan and how does the public engage through this movement?”. this study responds to the research by silva (2015) that highlights social movements and protests that can affect a wider array of political processes including agenda-setting, policy-making, and policy implementation (silva, 2015). this study shows that a hashtag-based feature can carry out social movements on social media which effects the policy making of the music draft bill by causing its failure. this research is uses the concept of social movements, digital advocacy, and collective identity as an analytical framework. furthermore, the analysis of this research will focus on the social movement that was made by the public, which was driven by kntl ruup, on social media; which effects the policy making of the music draft bill and caused its failure. the role of the public in this movement is quite large, and it is very interesting to examine how a draft bill attracts the attention of the public and important figures in the music industry as well as activists of the music draft protest themselves. the academic and practical implication of this research is to assess the policy framework made by the house of representatives (dpr ri) relating to the prosperity of the music ecosystem in indonesia and to provide input for subsequent research both related to artwork and the sustainability of the lives of music activists. this research intensifies the situation with the new evolving policy making that draws several stakeholder personalities, which is the case with the rejection of the music draft bill, by involving the public opinion using the hashtag #tolakruupermusikan. this study also discusses what factors have journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 4 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari influenced the success of musicians in rejecting the music draft bill, so that the bill was rejected on april 17th, 2019. the purpose of this study is to further identify the process of a successful social movement that was mobilized by indonesian musicians and the public, using a hashtag as a form of advocacy in thwarting the music draft bill and in understanding the role of actors and public engagements behind the social movement. in addition, the purpose of this research is to find out how the impact of #tolakruupermusikan, as a social movement, lead the public opinion to deliver a protest against dpr ri and advocating it through online petition. lastly, the paper has four parts. first, it reviews the previous relevant academic literature on this case and gives a brief explanation on the context of #tolakruupermusikan. second, the research methodology and data collection analysis are discussed. third, the results are analyzed. and fourth, the conclusion is stated and followed by further research attempts. social movement robert & kloss (1979) reveal that antony giddens defines a social movement as a group of people who are involved in seeking solutions or in hindering a process of social change. the concept of a social movement itself was initially used in the early 19th century, where it retained a very specific meaning, notably: the movement carried out by the new working class, which behaves as a network for non-formal interactions between individuals and groups / organizations engaged in collective action based on a common identity (sills, 1968; saunders, 2007). the movement leads to shaping public opinion through its participation in the debate on political and social issues, and the subsequent introduction of some of the ideas of the movement into the mainstream popular perception (kusumasari & kusumaningrum, 2019). social movements normally exist in conflict with organizations whose objectives and views often conflict and generally arise not long after a situation has been created by social unrest. the paradigm of this social movement study, from the perspective of classical social psychology, is then reexamined by the new social movement study paradigm. according to this paradigm, the phenomenon of social movements that occurred around 1960 was more appropriate to enter the 1970s. in europe and america, individual and collective behavior in the various movements that occurred were actions that were no longer a collection of people who behaved irrationally, as understood in the classic paradigm above (rusmanto, 2012). while new social movements flexibly defined appropriate targets for the continued mobilization of protests, agitation aimed at government institutions remains especially prominent; this represents the significance that continues to be assigned to politics in terms of promoting or stalling social change (kusche, 2016). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 5the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan currently, we are witnessing the spread of social resistance movements or social movements in an effort to oppose and encourage changes in public policy and change in politics and society in general, both at the local, national, and global levels (manalu, 2007). in a democratic country, collective action and oppositional political activism are the hallmarks of any society and pose challenges to inequality and exclusion and injustice rooted in people’s oppression. they involve political and collective action, resist oppression, and have their own networks (millward & takhar, 2019). along with the developments in technology and information, the increasingly central role of social media in the contemporary social movement as a form of protest, from the g20 protests to the arab spring revolutions and the occupy movement to black lives matter, has ignited renewed interest in the temporality of digital protest communication (poell, 2019). the intensive use of these medias as networks is said to have shifted the pace and temporal orientation of protest communication, potentially changing how demonstrations are mobilized, maintained, debated, represented and remembered (barassi, 2015; kaun, 2016; merrill & lindgren, 2018; petrick, 2017; smit, heinrich, & broersma, 2018). networks not only make a difference in traditional modes of political action; they also make a difference in respect to protests and social movements (crossley, 2016). with the increasingly prevalent and rapid adoption of social media platforms, and the networks discussed above, more research is beginning to address the intersection of social movements and advocacy functions. digital advocacy in the form of protest nowadays, the use of social media has increased rapidly alongside the development of technology. this medium has become a very important modern form of political communication, along with the fact that social media has gained popularity with the possibilities it offers for representatives, organizations, and most importantly, ordinary citizens (karaduman, 2012). as a key framework for public engagement and community organizing (mcnutt, 2011), advocacy encompasses practices and methods such as lobbying, direct mobilization, public education, policy advocacy and coalition building (almog-bar & schmid, 2014; dunlop & fawcett, 2008; fitzgerald & mcnutt, 1999; guo & saxton, 2014; jansson, 1994). terms such as digital advocacy, digital activism, online social movement, cyber activism, and e-advocacy are now springing up in literature (fitzgerald & mcnutt, 1999). for the purposes of this study, the phrase digital advocacy is used to describe social movement tools, tactics and strategies based on conventional activism, which integrate different social media technologies in the context of social movements. digital advocacy in professional practice, non-profit organizations and local groups has been slowly taking place over time, with drawbacks as well as advantages of integrating social media technology into advocacy (dunlop & fawcett, 2008; guo & saxton, 2014). journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 6 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari for example, according to greenberg & macaulay (2009) and guo & saxton (2014), given emerging research on the use of technology for advocacy, non-profit organizations have not used the full potential of social media to their advantage. ultimately, although some in community mobilization have embraced social media and digital advocacy, many believe that social media platforms have led to greater apathy, often referred to by the term digital slacktivism (knibbs, 2013). digital slacktivism leads to a growing movement where individuals use social media for campaigning instead of traditional boots on the ground, organizing and acting (knibbs, 2013). given the evidence that digital advocacy within social work is underused, other research shows that social media platforms , such as facebook, can be extremely useful for communicating with key stakeholders and for increasing awareness (guo & saxton, 2014; lovejoy, waters, & saxton, 2012; waters, burnett, lamm, & lucas, 2009). guo and saxton (2014), for instance, performed an assessment of 188 civil rights and advocacy organizations to see how organizations use twitter for advocacy objectives, and they found that organizations provide public education, raise awareness, and engage in the building of coalitions and calls for action. social media platforms also provide opportunities for community building and mobilization as individuals separated by geographical or even socio-political boundaries can show up together in virtual communities and take action through tools, such as online petitions, and mobilize in real time through organized and online protests (hoefer, 2012; schoech, 2013). thus, before the advent of digital protests, few social movement researchers studied how audiences accessed, interpreted or recognized this communication (earl & rohlinger, introduction: media, movements, and political change. , 2012), and this work is seldom carried out, even though it is a common topic of political communication concern. earl (2015) argues that digital protests have led social movements to examine what new media work has done in so many fields of sociology: it has prompted an increasing rapprochement between sociology and communication (castells, 2012). collective identity as with any social phenomenon, defining collective identity and social movements can be complicated due to the divergence of opinions that exists. from the 1980s onward, movement scholars have increasingly emphasized the importance of collective identity as a factor that stimulates participation in protest (stelekenburg, 2013). they argued that the generation of a collective identity is vital to the emergence of a movement (taylor & whittier, 1992 ). collective identity refers to social processes and events not reflecting existing social structures (laws, conventions, and institutions) but emerging in a “spontaneous” sort of way (imhonopi, onifade, & urim, 2013). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 7the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan in many societies, collective behavior and social movements were instrumental in engendering social change, including regime change, and in impacting the policy space. ginneken (2003) stated that collective identity is an action that is neither conforming (in which actors follow prevailing norms) nor deviant (in which actors violate those norms). the solidity of a collective is essential in determining the success of a social movement (gamson, 1992). this collective identity is constructed over time as participants come to share their beliefs and begin to see themselves as a collective (porta & diani, 1999; melucci, 1996). we live in an era where everything is sophisticated. services linking to the internet, endorsing people and organizations capable of creating their own media, can initiate the movement itself; this has become crucial. moreover, a social movement on the part of a relatively large number of people is more or less a persistent and organized effort to bring about or to resist social change (imhonopi, onifade, & urim, 2013). this concept suggests that the primary goal of a successful social movement is to set the parameters for discourse that surround its cause. effectiveness throughout this identity would determine the extent to which movements can induce change in their chosen issues (kusumasari & kusumaningrum, 2019). social movements, on the other hand, a type of collective identity, is a collective action that has purposeful direction and enjoys internal order. a social media-based movement ultimately involves a focus on inter-collective communication with the public. social media platforms, as a means of communication, offer a series of separate messages that are organized and fairly short, such as tweets, statuses, photos, or videos that can be easily shared by a collective action on twitter, instagram, facebook, and youtube (saxton, niyirora, guo, & waters, 2015). aside from that, social media has delivered a new innovation in communication and public interaction. this breakthrough is one of their most innovative instruments, namely hashtags. the uses of hashtag on digital advocacy as mentioned in the previous paragraph, a hashtag is a tool that significantly facilitates the way the public communicates; a hashtag may signify a topic or theme. twitter users seek to settle these conflicts as soon as they have been detected – and such efforts often show the value of hashtags as coordination mechanisms: users constantly seek to keep their hashtag free of unwanted or unnecessary distractions, and to optimize the scope of the desired hashtag for all users (bruns & burgess, 2011). in the early stages of adoption, following the launch of the 2006 hashtag, twitter had almost none of the extended functionality that it has today. twitter users were asked to answer the question, “what are you doing?” they followed the accounts of their friends who used 140 characters or less, and little else, to fill their timelines (burgess, 2011). journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 8 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari then, as time went by, the use of hashtags on twitter developed in mid-2007 by san francisco-based technologist chris messina, both on twitter itself and in a post on his personal blog, entitled “groups for twitter, or a proposal for twitter tag channels” (messina, 2007). messina called his idea a “rather messy proposal” for “improving contextualization, content filtering and exploratory serendipity within twitter” by creating a system of “channel tags” using the pound or hash (#) symbol, allowing people to follow and contribute to conversations on particular topics of interest, and it became a very successful innovation; the hashtag’s original intended meaning as an “invention” has long since become subverted and exceeded through popular use, largely attributable to its stripped-down simplicity and the absence of top-down regulation around its use. there is no limit or classification system for twitter hashtags, so all a user needs to do to create or reference one is to type the pound/hash symbol followed by any string of alphanumeric characters (burgess, 2011). according to bruns and burgess (2011), in the first place, for instance, hashtags can be used to mark tweets relevant to specific known themes and topics; we have already encountered this in the example of the australian leadership #spill. they stated that an ad hoc and non-supervised hashtag emergence disadvantage is that competing hashtags may emerge in different regions of the twittersphere (for example, #eqnz and #nzeq for coverage of the 2010 and 2011 christchurch earthquakes), or that the same hashtag may be used for vastly different simultaneous events (for example, # spill for the bp oil spill in the gulf of mexico in the first half of 2010, as well as the australian labor party leadership challenge). with the presence of a hashtag, these networks/communities can easily arise in response to emergencies and crises, or they can be more stable, long-term communities of practice or knowledge that develop to spread ideas, news, or opinions on a given topic (saxton, niyirora, guo, & waters, 2015). throughout indonesia, social movements have formed their hashtags, for example: #jogjaoradidol, #sahkanruupks, #gagalkanomnibuslaw, etc. case study: #tolakruupermusikan on the august 15, 2018, the dpr ri, under the supervision of the president of the republic of indonesia, had created a draft bill regarding music in indonesia. the bill noted that music, as part of culture, functions as a record of the value of life and the historical footprint of indonesian civilization which is an important asset in promoting culture that needs to be nurtured, preserved and developed; that at present times, there are still problems in the music scene, related to the implementation, protection, data collection, and filing so that a comprehensive arrangement can be done, in order for the music to develop continuously and to provide benefits for the progress of the nation; that p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 9the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan the existing laws and regulations have not been able to fulfill legal developments and community dynamics so that a legal umbrella is needed that can achieve good governance and provide legal certainty; that, based on considerations of the draft bill on august 15, 2018, referred to in letter a, letter b, and letter c, it is necessary to form a law on the regulation (dewan perwakilan rakyat indonesia, 2018). the draft bill, namely ruu permusikan, as of august 15, 2018, which was circulated amongst the public, was a proposed idea initiated by dpr ri, that hailed from bkd dpr ri (afifiyah, 2019). furthermore, this draft was then suggested officially by the legislative body of dpr ri as an initiative of dpr ri in the yearly meeting of dpr ri on the october 2, 2018; and dpr ri aimed to finish the draft before their end of commission, which falls on the october 1, 2019 (afifiyah, 2019). however, since the draft law was submitted by the indonesian parliament, it garnered a very massive yet varying response from music activists in indonesia. for instance, various top musicians such as cholil mahmud, from the band efek rumah kaca and danilla riyadi, made a coalition called: koalisi nasional tolak ruu permusikan / kntlruup (national coalition rejecting the bill). more than 250 prominent musicians also took part in the coalition. in general, this bill contains articles that overlap with several existing laws, such as copyright law, handover act on print and record works, and ite law (perwitasari, 2019). the indonesian music scene currently still has problems regarding the implementation, protection, data collection, archiving, and the well-being of musicians. the low welfare of musicians is partly due to the fact that music is not considered a profession, which implies that there are no standard fees or insurance. the music bill contains several articles that are considered controversial and at least 19 articles that were problematic. starting from editorial obscurity or the sound of the article, the obscurity of “who” and “what” is regulated, to the fundamental problem of guaranteeing freedom of expression in music. some problematic articles were criticized by the kntlruup, including articles 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, and 51 (perwitasari, 2019). however, the most controversial articles are articles 5, 18, 19, 32, 42, and 50. article 5 contains the prohibition of musicians from committing violence and breaking the law, making pornographic content, provoking conflicts between groups and degrading human dignity. musicians view this article as shackling freedom of expression and creativity. article 18 contains the involvement of a music promoter in every music show which must have a license. this article is considered problematic for independent music performances. article 19 contains the obligation to involve indonesian musicians as companions in every musical performance from abroad. this article does not consider that not all musicians from abroad are willing to co-exist with local musicians. article 32 contains the need for musicians to conduct competency tests to be recognized as a music actor profession, which of course is journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 10 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari seen as hampering a musician’s career. article 42 contains the obligation of entertainment business actors to provide traditional music where it is deemed that not all entertainment venues are suitable for playing traditional music. article 50 regulates imprisonment and fines for violations of article 5. these controversial articles can hinder the creativity of musicians in indonesia and it is from these conditions that various rejection of the music bill have emerged. according to an article written by cholil mahmud, the notions that unite musicians before the draft law on draft law (ruu-p) are articles on the restraint of freedom of expression in article 4 paragraph 1, article 5, and article 50 (mahmud, 2019). many agreed, including cholil mahmud, that freedom of expression is absolute, according to the mandate of the 1945 constitution article 28 and article 3 of the culture promotion act. the musicians, who are members of the kntlruup, have also analyzed academic manuscripts and draft bills, and they have dissected articles per article, and they have finally stated their refusal. this reason was also revealed by cholil mahmud through his article, as one of the members joined in the coalition; this draft law could potentially curb freedom of expression. he found the draft bill had another face, namely regulation on certification, licensing and musical competence. it contains articles that discussed topics of certification, licenses and competencies for musicians. however, not only the arrangement was in context, but the discussion from article to article was quite systematic, in-depth, comprehensive and tended to stray too far. on the other hand, the articles that regulated other music activities, such as the process of creation, reproduction, distribution and consumption, were only discussed as needed, not considered profound and seen as if they were a supplement, or additional attachments (mahmud, 2019). anang hermansyah, a national musician and member of the indonesian house of representatives commission 10, announced to formally withdraw the proposed draft bill at the indonesian parliament’s legislation body (baleg), on march 9, 2019, which was only two days before the national music day (wardhani, 2019). anang stated that this step was carried out in response to input and responses from all parties involved in the very massive music industry in indonesia (wardhani, 2019). finally, on june 17, 2019, the music draft bill was thwarted from the list of the house of representative’s (dpr ri’) priority national legislation program (prolegnas). research method this study utilized a case study method to develop an in-depth analysis of the social movement process by the public on social media, which effected the policy making of music draft bill into failure by a social movement, namely #tolakruupermusikan. the context of this study stresses the development of technology in social networking as a p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 11the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan social movement and the appraisal of a music draft bill that has been labeled as a policy failure. the role of the public in this social movement process was quite large, and it was very interesting to examine how the social movement process of this music bill attracted the attention of the public and many figures in the music industry, as well as activists of the music who refused so that this draft bill was canceled. a lot of social movements in indonesia take the form of hashtags, as a form of digital advocacy, such as: #sahkanruupks or #gagalkanomnibuslaw. to date, however, these movements have still not succeeded in bringing the policy down from the house of representative’s (dpr ri) priority legislation agenda and in making it a policy failure. the research was undertaken using two methods at its heart, namely social network analysis and qualitative content analysis. the researcher chooses a multi-method analysis approach; it has been argued that mixed methods research can be useful in nursing and health science because of the complexity of the phenomena studied (ostlund, kidd, wengstrom, & rowa-dewar, 2010). in addition, using a specific case will help the researcher to investigate a real-life phenomenon in a comprehensive way (yin, 2009). social network analysis (sna) is now widely used in the field of online research, particularly in social media such as twitter, instagram, and facebook. sna is becoming an important tool for investigators, but all the necessary information is often available in a distributed environment (ghali, panda, hassanien, abraham, & snasel, 2012). the first method undertaken to assess the role of social media, such as twitter, is to perform social network analysis in social movements. the process uses gephi language programming framework for text analysis. twitter is a relatively recent platform for social networking, providing researchers with rich data to explore a multitude of issues. released as a networking tool in 2006 that would enable users to let friends know what they were up to, twitter quickly assumed an expanded role. the research would use the hashtag “#” for an advanced search in the content post because this symbol is used to analyze the social movement on the topic we focused on. the study did a network mapping with the data, that was collected from twitter, which can provide valuable information about the presence of the users in this #tolakruupermusikan. metadata, which was carried out from social media networks, revealed information about individual participants and their connection, which can be assessed by the number and nature of connected actions (himelboim, smith, rainie, shneiderman, & espina, 2017). mapping the relationships of the message regarding a certain issue allows the identification of users who are part of highly connected subnetworks or clusters (himelboim, mccreery, & smith, 2013). in order to do such mapping networking and to deepen the study of the actor’s role in pursuing this movement through social media, this study will analyze the hashtag #tolakruupermusikan as the main source of observing data. the timeframe used by the author in analyzing this movement is from february 1, 2019, to february 7, 2019. in data journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 12 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari retrieval performed by the author, the tool used is twint. this tool that is created to crawl from tweets on twitter, and tweets can be taken based on the username or keywords that have been determined, and the keywords used are: #tolakruupermusikan; with a total of 8,834 tweets in a week. after the process of retrieving data through twint, pandas api is a tool used in the python programming language that is useful for carrying out data manipulation and analysis processes. this happens because each line that has many mentions or hashtags, is made into each line that contains only one mention or hashtag. then with this pandas api, the username is used as a source in the visualization of the “network” and mentions and hashtags as the target. then tableau desktop becomes a software for data analysis and reporting. tableau, in the form of a desktop application, can present visualizations (wesley, eldridge, & terlecki, 2011). gephi also becomes a tool for visualizing social network analysis and for calculating “centrality measurements” of the data that has been taken (cherven, 2015). this study also uses a word cloud to deepen the research. a word cloud is a kind of weighted list to visualize language or text data, which gains increasing attention and more application opportunities as the big data time approaches (jin, 2017). in order to do the research, the researcher was using a software, named orange 3 to do the mapping. moreover, those phases, as supporting data, contributed to helping the researcher sort out the words that often appear as a form of social movement to the music draft bill itself. findings and discussion application of #tolakruupermusikan as a social movement while some users used the hashtag shortly after its phenomenon, twitter-related activity increased over time with the #tolakruupermusikan. more people got involved, and as time progressed, more tweets were sent. this activity developed in peaks of tweet volumes, which became more frequent in later movement stages (figure 2). the increasing number of hashtag users suggests that engagement with this movement has been sustained over time among an increasingly wide user base, while inflating activity suggests that this social movement has been driven by attention bursts. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 13the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan table 1. list of actors who brought #tolakruupermusikan in the beginning looking at the beginnings of the #tolakruupermusikan social movement itself, it can be seen in table 1 that it started on january 29, 2019, stated by ordinary people who have less power than public figures or official accounts in general with the account name: journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 14 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari @sayahanyazakie. this fact shows that this hashtag, #tolakruupermusikan, is original because the keywords used in this hashtag are purely from public unrest, and this is also not a hashtag whose keywords were agreed upon by a collective movement such as the kntl ruup, public figures, or even musicians themselves who were clearly affected. usually, as a movement forms into hashtag, they will discuss it first the keyword itself before the hashtag is introduced to the public and goes viral. meanwhile, it is precisely the well-known accounts such as public figures, musicians and the collective kntl ruup (who have driven its case by this hashtag) who emerged after the existence of this organic hashtag, which was then moved together to turn this case into a form of protest. we may conclude that this account, @sayahanyazakie, became the first originator of the keyword “tolak ruu permusikan,” which was ultimately used by the public to protest the released music draft bill. in addition to the phenomenon that has been described earlier in this chapter, #tolakruupermusikan eventually developed into a social movement and was used by the public and musicians to deliver their protest on twitter, followed by this hashtag. this hashtag was well mobilized and #tolakruupermusikan had enlivened the traffic on twitter from february 1, 2019, to february 7, 2019. this social movement succeeded in getting many actors involved in delivering their aspirations during that time period. in the end, they were also able to influence their followers on twitter from replies, likes, and retweets, making the engagement of #tolakruupermusikan viral. the traffic of #tolakruupermusikan on twitter even though the hashtag was first seen on january 29, 2019, and it finished its role as a movement on june 17, 2019, the research found a specific time period of this movement that really made a change to this policy. in this section, supported by the data provided from february 1 to february 7, it is shown in figure 1 that the greatest number of tweets was recorded on february 4, 2019. however, how those tweets translate into interaction with other accounts or people needs to be analyzed through engagement number. engagement shows the number of every provided means of interaction on a tweet (simply measured, 2014). formula of tweet engagement is defined as: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 15the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan figure 1. number of tweets per day figure 2. number of engagements per day according to mcadam et al. (2001), we can consider a social movement as a success if the movement involved a scale shift. that would be the process whereby a small or local action becomes a significant social movement. it diffuses along pre-existing interaction lines and jumps through brokering into new, previously unconnected spheres (mcadam, tarrow, & tilly, 2001; tilly & tarrow, 2007). as seen in figures 1 and 2, there is a significant scale shift on that day. the number of tweets and engagements during that time period shows that this social movement was not only brought by the artists, kntl ruup, or even mass media, but also by the ordinary people (public) that were involved in delivering their protests with this hashtag. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 16 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari figure 2 shows the highest engagement was recorded on february 4, 2019. on that day, the number of replies reached 1,573 tweets; 28,620 tweets of retweets; and 24,810 likes. not only that, the issue sparked discussion between users and influenced a broader amount of users in the form of twitter engagements (replies, retweets, and likes), with a total number of 55,003 engagements. based on the goals of this research, analyzing the movement, the volume of twitter data mined by early february, the time period that filled the twitter’s traffic of its hashtag. the early days of this hashtag’s traffic, january 29-31, 2019, was not used for the study because it showed only the pioneer who made this keyword into a hashtag. in addition, most of the data did not make #tolakruupermusikan a social movement. online petition for digital advocacy according to the previous section, to prove the answer of the digital advocacy that was brought by #tolakruupermusikan as a social movement, kntl ruup as a coalition has made an online petition to ask the public for the validation of this advocacy. based on our research, an important finding about the effects of the construction of our social network analysis is an account called “@changeorg_id.” the online petition platform provides a space for the public to participate in creating change (hamid, 2015). in principle, the implementation of a public policy will have an impact on society (lindner & riehm, 2011). a petition is a formal request to an authority that is usually co-signed by a group of supporters, and it has emerged to become a powerful tool for the public to make a positive impact on society (noshokaty, deng, & kwak, 2016). public concern about the music bill issue was spread through online petitions and aimed to achieve policy action to thwart the issue. this illustrates the use of online petitions as a digital advocacy tool. figure 3. an online petition shared by actor p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 17the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan figure 4. an online petition of #tolakruupermusikan one of the members of kntlruup, a singer named danilla riyadi, a representative of the coalition of kntlruup, was taking advantage of change.org as the platform to mobilize the public by signing a petition that she made to tear down the draft bill. she posted the link of the petition on her twitter that the researcher would attach in figure 3. based on figure 3, we can see that danilla riyadi’s tweet also made the traffic of #tolakruupermusikan on february 4th, 2019, was increased and it was one of the reason why the scale shift in figure 1 and 2, on february 4th, was shifting dramatically. by seeing the tweet itself, even though she did not put the keyword of #tolakruupermusikan, it had driven the netizens on twitter to sign the petition because of her fame as an artist and also made the “#tolakruupermusikan” and “@changeorg_id” carried by her tweet, that became viral and the traffic of this hashtag reached 5,636 tweets, on february 4, 2019. this online petition (figure 4) is considered successful because it achieved the ultimate goal of encouraging policy action with the 313,417 supporters who signed the petition. policy actions include the making, changing, or withdrawing of a policy. the ultimate goal of advocacy activities also includes policy implementation within government. however, this online petition fronted by danilla riyadi proved successful in bringing this petition to its original purpose as a form of rejection, and the petition has been notified by the policy maker (the house of representatives), who has officially removed the music bill from the list of the national priority legislation program (prolegnas). the data discussed is successful in answering the first research question. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 18 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari the public’s voice in this movement to find the context of the tweet, there are plenty of ways to display text data such as word cloud, semantic network analysis, and looking for tweets with the most engagements. tweets need to be preprocessed in to obtain as much meaningful text information as possible. data preprocessing is done by cleaning stop words and text lemmatizing. both steps are preceded by tokenization or splitting the sentences into words. stop words are not relevant in observing the main idea of a tweet or sentence; hence, stop word removal is an important step to get cleaner data. removing prefixes and suffixes can be done by stemming or lemmatizing. this is done to not confuse multiple forms of a single word as multiple, different words. the difference between stemming and lemmatizing is that stemming tends to find the base form of a word more aggressively using the computational algorithm. this often leads to misleading the interpretation of a word, or even error in figuring the word itself. lemmatizing is a less aggressive way of finding the stem word, using both computational algorithm and a collection of stored dictionary of corpuses, as different forms of text often lead to different context, too (muller & guido, 2017). this preprocessing phase uses the second method because of the nature of tweets, which uses a much more informal form of sentences or words. figure 5. word cloud of tweets’ engagement p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 19the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan figure 6. semantic network graph regarding the critics to music draft bill about the freedom of expression after the data is cleaned, the most used words are displayed in a word cloud. word clouds provide initial analyses on how the words might show context in a form of key information or expression (bletzer, 2015). figure 5 shows that the most words lead to invitation to fill out petition in change.org regarding to the #tolakruupermusikan movement. moreover, concern towards the possible violation in the right of expression– particularly in music and art production–is also shown in corpuses such as “kebebasan” (freedom), “dibatasi” (repression), “membatasi” (limit), “kreativitas” (creativity), “berkarya” (creation), “berekspresi” (expression), and “bermusik” (playing music). it is possible to look for a definitive context in some of the most mentioned words by using semantic network analysis (drieger, 2013). it uses the same approach as network analysis by processing unstructured text data and by later defining words as nodes and the interconnectivity in sentences as edges. an edge or connectivity is formed if two words are used side-by-side; hence, a semantic relationship can be observed (drieger, 2013). the engagement formula that has been mentioned is able to unveil some of the most important tweets related to #tolakruupermusikan. this study seeks to answer the research question on the public engagement to this case. from the several figures and graphs that have been shown above, we can see that the public engagement to this case is quite massive. in figure 6, there is a unique structure in the social network analysis carried out by the researcher. this structure represents the word “kebebasan” (freedom) and the word “berekspresi” (expression). this section describes the notion of twitter as social media that affects the freedom of expression of each user. we can conclude that the figures below show the linearity of public engagement through this movement. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 20 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari figure 7. top ten most popular tweets sorted by engagements this figure shows general information on twitter that can be observed by looking at tweets with the most engagement numbers. figure 7 shows the top ten tweets with the most engagements. every tweet in the top ten were posted in february 2019. most of the tweets displayed, as far the top first tweet, lean towards informing the masses regarding the issue and the importance in supporting the movement by at the filling out an online petition form. the other tweets are from individuals showing solidarity in the movement, with no tweets from the other side of the spectrum gained such amount of engagements. from the figure above, several important individuals–mostly musicians and public figures– are shown as some of the most important pressure groups in regard to #tolakruupermusikan as a social movement. actors that structured #tolakruupermusikan in twitter one of the ways of activism that stresses socialization of the group against the #tolakruupermusikan, is the actors behind this social movement, who have also used twitter as a media to deliver their arguments against the bill with the purpose of influencing public opinion. in its delivery they mobilized this as a form of social movement. in accordance with the question, “who are the actors behind #tolakruupermusikan?” p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 21the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan in this last section the researcher analyzes the actors behind this social movement. in this segment, we examine how the network, based on followers, likes, retweets, and posts on twitter, can be built through trend analysis according to the accounts that has the most influence in #tolakruupermusikan movement. table 2. top 10 actors on #tolakruupermusikan the results of the listed 10 users has shown that actors who come from different backgrounds have the most significant influence on the #tolakruupermusikan. the account in table 2 impacts the construction of the social network that was created on twitter in #tolakruupermusikan due to the broad impact on-post from the distribution of tweets, and also from likes and retweets. the actor with the most influence on twitter’s #tolakruupermusikan is arian arifin, known on twitter as “@aparatmati” a vocalist from a hard-rock indonesian band named seringai. arian arifin has posted 167 tweets of content that uses #tolakruupermusikan. the number of followers also influences the tweets exchanged with other accounts on the network. the link between #tolakruupermusikan ‘s 10 powerful actors to the network structure is the amount of interaction with other actors that can be measured via the centrality network, that we can see below in figure 8. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 22 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari figure 8. mentions and hashtags social network analysis in figure 8, actor-based analysis was conducted using social network analysis (sna). sna is able to visualize a connection between actors–not only the most important onesbut also every user that is detected through engagements in provided data–in a form of nodes and edges (chen, et al., 2008). computational calculation in sna can be observed both visually and by using statistical data such as degree and centrality (himelboim, 2017). based on figure 8, the sna has shown the most mentioned account regarding the issue, which consists of change.org and dpr ri accounts. dpr ri as the main actor of the music draft bill was confronted directly on social media, by seeing that the other actors were mostly artists from the indonesian music industry. figure 8 shows that a cluster on the left side of the hashtag is mostly dominated by artists and musicians who posted the tweets about #tolakruupermusikan. as the group that will be affected the most while also having a high amount of social media exposure, it comes as no surprise. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 23the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan table 3. centrality network of 10 top actors the size of the spread and magnitude of the effect of one account on another account can be shown by the results of our analysis (figure 8) of the central network involving the three most important network components, namely the actor’s centrality based in-degree, betweenness, and eigenvector, which can be seen in table 3. in-degree centrality measures how much a node is targeted with messages (and @mentions) and is typically used to make a network significant (hanneman & riddle, 2005). betweenness centrality measures the frequency at which a single node lies on the shortest path that links other nodes in the network (liu, sidhu, & valente, 2017). eigenvector centrality not only considers overall connections but also connections to other relevant nodes (hanneman & riddle, 2005). in this analysis, the intensity or consistency of the ties between network members will be assessed (arnold, 2011). its connection between 10 prominent actors of the #tolakruupermusikan movement to the network structure is the amount of interaction with other actors that can be measured via the centrality network. in addition, they were mostly artists and musicians, who have a large number of followers. the greater the number in each group, the greater the distribution of other links for the three central network measurements. generally, accounts with a high degree of centrality seem more likely to become opinion leaders (liu, sidhu, & valente, 2017). however, we can see how those actors positioned themselves in the discourse map, by looking at the inand out-degree numbers. accounts with a zero outdegree number mostly were subjected as the pressured group, such as @dpr_ri and @ananghijau, as a part of the parliament. on the other hand, accounts like @kntlruup and @aparatmati led the number of out-degree. they were actively involved in, not only journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 24 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari engaging with the issue, but also tweeting, expressing their stance, and protesting against the music draft bill. the creation of a set of relations of the network to nodes can be seen from the total value of betweenness centrality. measurement of the number of sets of relations of the network against other actors can be achieved through a scale of 0-1 on the results of betweenness centrality. through these numbers the research concluded that the structure of the network developed to other actors. additionally, actors such as @efekrumahkaca, @aparatmati, and @kntlruup who not only reported with out-degree numbers but also in-degree numbers have their betweenness number above 0. this shows that apart from being a pure opinion leaders, they also acted as intermediary figures in the dialogue between two separate groups. finally, closeness centrality can be defined as a node that compares its average farness to all other nodes. when increasing the number in the proximity centrality, it can be inferred that the account contributes to the network spreading established from one account to the other. with the analysis and results of the centrality network measurement on the ten most prominent accounts in the #tolakruupermusikan movement, we can infer that the network created in that movement is also influenced by a huge amount of message propagation to one account to another. conclusion this research has found that the public reaction to a hashtag-based feature such as #tolakruupermusikan (that was born organically by ordinary people) can become a social movement. this movement has successfully impacted the agenda setting and policy formulation process of the house of representatives. the findings in this study has clarified key points in a hashtag affiliated movement: the social movement that was applied to digital advocacy in the form of protest, the actors behind the #tolakruupermusikan movement on twitter, and the public engagement through this movement. the research finding suggest that every actor has a role to play in contributing to the movement including education, being a source of criticism, becoming a source of information, expanding news, and allocating resources. in addition, by exploring the overall content of #tolakruupermusikan tweets on twitter and the supporting factors in spreading the message through trend analysis on influential actors, this study has researched how the hashtag was formed by social network data analysis. looking at the results of classifying messages on twitter’s #tolakruupermusikan, we found facts in the community’s response to this campaign that dominated critique of the government’s decision through this music draft bill. we have found in our social network analysis that the structure of networks is affected by influential actors who have a strong engagement with other accounts based on various factors such as likes and retweets, through their protests. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 25the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan as a result, the major limitation of this study is how we take an in-depth analysis of the structure of social networks by using other measurements in the analysis of social networks that required a great amount of data. whilst having this research analyzing the network structure in the #tolakruupermusikan movement, researchers discovered that there are actors who can play a major role in this social movement as well as how these actors correlate with other emerging issues. meanwhile, on the government side, which is also categorized as the actor behind this policy, we didn’t find any response from the government, dpr ri, towards music draft bill. the implication of this study suggests that the importance of involving various stakeholders to address public policy problems which is complicated in nature. therefore, a multi-stakeholder partnership is crucial because by mobilizing many stakeholders in the public policy process, it promotes a participatory approach that encourages a dialogue to improve the quality of the decision making process and supports successful government policy formulation. references afifiyah, s. (2019, february 6). anang cerita awal mula gagasan ruu musik. retrieved april 26, 2019, from tagar news: https://www.tagar.id/anang-cerita-awal-mulagagasan-ruu-musik almog-bar, m., & schmid, h. (2014). advocacy activities of nonprofit human service organizations: a critical review. nonprofit and voluntary sector quarterly, 43(1), 1135. arnold, g. (2011, april 1). the impact of social ties on coalition strength and effectiveness: the case of the battered women’s movement in st louis. social movement studies, 10, 131-150. barassi, v. (2015). social media, immediacy and the time for democracy: critical reflections on social media as ‘temporalizing practices’. in l. dencik, & o. l. (eds.), critical perspectives on social media and protest: between control and emancipation. london: rowman & littlefield. barisione, m., michailidou, a., & airoldi, m. (2017). understanding a digital movement of opinion: the case of #refugeeswelcome. information, communication & society, 120. bletzer, k. (2015). visualizing the qualitative: making sense of written comments from an evaluative satisfaction survey. journal of educational evaluation for health professions(12), 12. bruns, a., & burgess, j. (2011). the use of twitter hashtags in the formation of ad hoc publics. paper presented at the 6th european consortium for political research general conference. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 26 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari burgess, j. (2011, june 8). “a (very) short history of social media taglines.”. retrieved from creativity/machine: http://creativitymachine.net/2011/06/08/a-very-shorthistory-of-social-media-taglines/ castells, m. (2012). networks of outrage and hope: social movements in the internet age. . malden, ma: polity press. chadwick, a. (2013). the hybrid media system: politics and power. oxford: oxford university press. chadwick, a., & howard, p. n. (2009). routledge handbook of internet politics. new york: routledge taylor & francis group. chen, s., ross, t. j., zhan, w., myers, c. s., chuang, k.-s., heishman, s. j., . . . yang, y. (2008). group independent component analysis reveals consistent resting-state networks across multiple sessions. brain research, 1239, 141-151. cherven, k. (2015). mastering gephi network visualization: produce advanced network graphs in gephi and gain valuable insights into your network datasets. birmingham: packt pub. crossley, n. (2016). networks, interaction, and conflict: a relational sociology of social movements and protest. social theory and social movements, 155-173. dewan perwakilan rakyat indonesia. (2018, agustus 15). rancangan undangundang republik indonesia nomor … tahun … tentang permusikan. jakarta, dki jakarta, indonesia. drieger, p. (2013). semantic network analysis as a method for visual text analysis. procedia social and behavioral sciences(4), 17. dunlop, j. m., & fawcett, g. (2008). technology-based approaches to social work and social justice. . journal of policy practice, 7(2-3), 140-154. earl, j. (2015). citasa: intellectual past and future. information, communication & society., 18, 478–491. earl, j., & rohlinger, d. a. (2012). introduction: media, movements, and political change. . research in social movements, conflicts and change., 1–13. fitzgerald, e., & mcnutt, j. g. (1999). electronic advocacy in policy practice: a framework for teaching technologically based practice. . journal of social work education, 35(3), 331341. fotaki, m. (2010). why do public policies fail so often? exploring health policy-making as an imaginary and symbolic construction. gamson, w. a. (1992). talking politics. cambridge: cambridge university press. ghali, n., panda, m., hassanien, a. e., abraham, a., & snasel, v. (2012). social networks analysis: tools, measures and visualization. computational social networks: mining and visualization, 1. ginneken, j. v. (2003). collective behaviour and public opinion – rapid shifts in opinion and communication. mahwah, nj: erlbau. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 27the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan greenberg, j., & macaulay, m. (2009). npo 2.0? exploring the web presence of environmental nonprofit organizations in canada. global media journal-canada edition, 2(1), 63-88. guo, c., & saxton, g. d. (2014). tweeting social change: how social media are changing nonprofit advocacy. nonprofit voluntary sector quarterly, 43(1), 57-79. hamid, u. (2015). digital nation movement: dinamo. jakarta: bentang pustaka. hanneman, r. a., & riddle, m. (2005). introduction to social network methods. riverside, ca: university of california riverside. himelboim, i. (2017). social network analysis (social media). the international encyclopedia of communication research methods, 1-15. himelboim, i., mccreery, s., & smith, m. (2013). birds of a feather tweet together: integrating network and content analyses to examine cross ideology exposure on twitter. journal of computer-mediated communication, 154-174. himelboim, i., smith, m. a., rainie, l., shneiderman, b., & espina, c. (2017). classifying twitter topic-networks using social network analysis. social media + society(https:/ /doi.org/10.1177/2056305117691545). hoefer, r. (2012). advocacy practice for social justice. chicago: lyecum. imhonopi, d., onifade, c. a., & urim, u. m. (2013). collective behaviour and social movements:a conceptual review. research on humanities and social sciences, 3(10). jansson, b. (1994). social policy: from theory to policy practice. belmont, ca: brooks/ cole. jin, y. (2017). development of word cloud generator software based on python. procedia engineering, 788-792. johansson, h., & scaramuzzino, g. (2019). the logics of digital advocacy: between acts of political influence and presence. new media & society, 21(7), 1528–1545. karaduman, h. (2012). usage of social media by political actors: an analysis on the usage of twitter by leaders of political parties in turkey. journal of medianali, 6(12), 2-13. kaun, a. (2016). crisis and critique: a brief history of media participation in times of crisis. london: zed books ltd. knibbs, k. (2013, may 15). slacktivists unite! social media campaigns aren’t just feel good back patting. retrieved from digital trends: http://www.digitaltrends.com/ socialmedia/slacktivists-unite-social-media-campaigns-arent-just-feel-goodbackpatting/ koc-michalska, k., lilleker, d., & vedel, t. (2016). civic political engagement and social change in the new digital age. new media and society, 18(9), 1807–1816. kolb, f. (2007). protest and opportunities: the political outcomes of social movements. frankfurt: campus verlag. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 28 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari kusche, i. (2016). social movements and sociological systems theory. social theory and social movements, 75-91. kusumasari, b., & kusumaningrum, h. (2019). application of the resource mobilization theory in indonesia’s environmental movements. journal of comparative asian development, 17(2), 78–98. lindner, r., & riehm, u. (2011). broadening participation through e-petitions? an empirical study of petitions to the german parliament. policy & internet, 3(1), 1-23. liu, w., sidhu, a. b., & valente, t. w. (2017). social network theory. the international encyclopedia of media effects, 4. lovejoy, k., waters, r. d., & saxton, g. d. (2012). engaging stakeholders through twitter: how nonprofit organizations are getting more out of 140 characters or less. public relations review, 38 , 313-318. mahmud, c. (2019, february 12). bukan ruu permusikan, tapi ruu sertifikasi musisi. retrieved april 26, 2019, from tirto.id: https://tirto.id/bukan-ruu-permusikan-tapiruu-sertifikasi-musisi-dgg4 manalu, d. (2007). kasus perlawanan masyarakat batak vs pt. indi indorayon utama, di porsea, sumatera utara. gerakan sosial dan perubahan kebijakan publik, 27-50. mcadam, d., tarrow, s. g., & tilly, c. (2001). dynamics of contention. new york, ny: cambridge university press. mcnutt, j. (2011). is social work advocacy worth the cost? issues and barriers to an economic analysis of social work political practice. research on social work practice, 21(4), 397403. . melucci, a. (1996). challenging codes: collective action in the information age. . cambridge: cambridge university press. merrill, s., & lindgren, s. (2018). the rhythms of social movement memories: the mobilization of silvio meier’s activist remembrance across platforms. . social movement studies, 1–18. messina, c. (2007, august 25). “groups for twitter; or a proposal for twitter tag channels.” . retrieved from factorycity: http://factoryjoe.com/blog/2007/08/25/groups-fortwitter-or-a-proposal-for-twitter-tag-channels/ millward, p., & takhar, s. (2019). social movements, collective action and activism. sociolgy, 1-12. muller, a., & guido, s. (2017). introduction to machine learning with phyton. sebastopol: o’reilly media. noshokaty, a. e., deng, s., & kwak, d.-h. k. (2016). success factors of online petitions: evidence from change.org. hazaii international conference on system sciences, 19791985. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 29the application of social movement as a form of digital advocacy: case of #tolakruupermusikan ostlund, u., kidd, l., wengstrom, y., & rowa-dewar, n. (2010). combining qualitative and quantitative research within mixed method research designs: a methodological review. international journal of nursing studies, 1-3. perwitasari, n. h. (2019, february 3). 260 musisi nyatakan menolak ruu permusikan. retrieved april 26, 2019, from tirto.id: https://tirto.id/260-musisi-nyatakan-menolakruu-permusikan-dfpj petrick, k. (2017). occupy and the temporal politics of prefigurative democracy. triplec: communication, capitalism & critique. open access journal for a global sustainable information society, 15(2), 490–504. poell, t. (2019). social media, temporality, and the legitimacy of protest. social movement studies, 1-16. porta, d. d., & diani, m. (1999). social movements: an introduction. oxford: blackwell. robert, r. e., & kloss, r. m. (1979). social movement between the balcony and the barricade. america: mosby company. rusmanto, j. (2012). gerakan sosial: sejarah perkembangan teori antara kekuatan dan kelemahannya. palangkaraya: zifatama publishing. saunders, c. (2007). using social network analysis to explore social movements: a relational approach. social movement studies, 6(3), 227–243. saxton, g. d., niyirora, j. n., guo, c., & waters, r. d. (2015). #advocatingforchange: the strategic use of hashtags in social media advocacy. advances in social work, 154-169. schoech, d. (2013). community practice in the digital age. in m. weil, m. reisch, & m. l. ohmer, the handbook of community practice (pp. 809-826). thousand oaks, ca: sage. sills, d. l. (1968). international encyclopedia of the social sciences. (vol. 14). united states of america: the macmillan company and the free press. silva, e. (2015). social movements, protest, and policy. revista europea de estudios latinoamericanos y del caribe = european review of latin american and caribbean studies, 27-39. simply measured. (2014). how to analyze the metrics that matter. the complete guide to twitter analytics. smit, r., heinrich, a., & broersma, m. (2018). activating the past in the ferguson protests: memory work, digital activism and the politics of platforms. new media & society,, 20(9), 3119–3139. steinberg, s. b. (2016). #advocacy: social media activism’s power to transform law. kentucky law journal, 105(3). stelekenburg, j. v. (2013). collective identity. the wiley-blackwell encyclopedia of social and political movements, 1-7. journal of government and civil society, vol. 5, no. 1, april 2021 30 muhammad ananda alifiarry & bevaola kusumasari taylor, v., & whittier, n. (1992 ). collective identity in social movement communities: lesbian feminist mobilization. in a. morris, & c. mueller, frontiers of social movement theory. . new haven, ct: yale university press. tilly, c., & tarrow, s. g. (2007). contentious politics. boulder, co: paradigm publishers. wardhani, a. k. (2019, march 8). tarik draft uu permusikan, anang hermansyah singgung pendapatan dari youtube artikel ini telah tayang di tribunnews.com dengan judul tarik draft uu permusikan, anang hermansyah singgung pendapatan dari youtube. retrieved april 2019, from http://www.tribunnews.com/seleb/2019/03/08/tarik-draft-uupermusikan-anang-hermansyah-singgung-pendapatan-dari-youtube waters, r. d., burnett, e., lamm, a., & lucas, j. (2009). engaging stakeholders through social networking: how nonprofit organizations are using facebook. public relations review, 35, 102-106. wesley, r., eldridge, m., & terlecki, p. (2011). an analytic data engine for visualization in tableau. proceedings of the 2011 international conference on management of data sigmod ’11. doi:10.1145/1989323.1989449 , 1185-1193. yin, r. k. (2009). case study research: design and methods. thousand oaks, ca: sage. thousand oaks, california: sage. acknowledgement muhammad ananda alifiarry as the author, would like to thank to allah swt (god almighty) and ario setra setiadi, drs., m.m., ph.d, cpm., dipm, acim., chrm., bella agustuti, s.t., emmanuel pradipta, s.ip., karina ramadhanty budiman, s.ip., karunia saputra hidayat, s.e., muhammad rifqi satria, muhammad riga pratama, rahmat putra perdana marsaoli, s.ip., warih aji pamungkas, s.t., dr. wuryantari setiadi, m.si, for their mental support, review, and thoughtful comments. 00.pdf cover dalam.pdf 1: tampak penuh 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 3 nomor 2 halaman 93 152 september 2019 issn 2579-4396 93 104 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar junaedi (department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 105 116 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta muhammad quranul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 (1prodi studi pemerintahan, universitas indo global mandiri, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia) 117 – 128 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar aswar annas1, zaldi rusnaedy2 (1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti makasar, indonesia) 129 – 138 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang arif ginanjar (program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia)) 139 152 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat rendy adiwilaga (program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  129 citation : ginanjar, arif. 2019. “analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, 129-138. journal of government and civil society vol. 3, no. 2, september 2019, pp. 129-138 doi: 10.31000/jgcs.v3i2.1816 received 10 agustus 2019  revised 30 oktober 2019  accepted 30 oktober 2019 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang analysis on policy implementation of the house renovation program in tangerang city arif ginanjar1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: arif74ginanjar@gmail.com abstrak pembangunan perumahan dan permukiman merupakan salah satu aspek dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. pembangunan perumahan dan permukiman yang layak juga dapat menunjang pembangunan, terutama dalam bidang sosial dan ekonomi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan dalam kebijakan program bedah rumah di kecamatan cipondoh dan hambatan apa saja yang ditemukan selama pelaksanaannya. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. data primer dalam penelitian diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam, sementara data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. menggunakan teknik analisis ini, pengujian keabsahan data dilakukan dengan menggunakan triangulasi sumber data. hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan program bedah rumah di kecamatan cipondoh sudah berjalan dengan baik. dalam hal ini, terdapat peningkatan perbaikan rumah dari tahun ke tahun. selain itu, masyarakat juga sudah dilibatkan dalam pelaksanaan program ini, mulai dari tahap awal perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan. hambatan dalam pelaksanaan program ini adalah minimnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah daerah. kata kunci: kebijakan publik, partisipasi masyarakat, pemberdayaan, program bedah rumah abstract housing and settlement development is one aspect of improving people’s welfare. development of decent housing and settlements can also support development, especially in the social and economic fields. this study aims to determine the implementation of house renovation program policies in cipondoh district and what obstacles were found during its implementation. this research is a qualitative descriptive study. primary data in this study were obtained through observation and in-depth interviews, while secondary data were obtained through documentation studies. using this analysis technique, data validity testing is performed using triangulation of data sources. the results showed the implementation of the house rehabilitation program in cipondoh district had been going well. in this case, there is an increase in home improvement from year to year. in addition, the community has also been involved in the implementation of this program, starting from the initial stages of planning to implementation in the field. the obstacle in implementing this program is the lack of budget provided by the local government. keywords: public policy, community participation, empowerment, house renovation program journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 130 arif ginanjar pendahuluan perumahan serta permukiman merupakan salah aspek mendasar dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat(boonyabancha, 2005; gebre, 2003; soesilowati, 2007). tetapi, persoalan ini tak dapat terlepas dari berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat serta kebijakan pemerintah terkait mengelola perumahan dan permukiman (arlansyah, 2017; sasanto & khair, 2010). selain untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, perumahan dan permukiman juga dapatmemberi arah pada pertumbuhan wilayah serta persebaran penduduk yang rasional dan untuk menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan lainlain(batudoka, 2005; keman, 2005; syarifuddin, 2005). di samping bersifat multisektor, pembangunan perumahan dan permukiman juga hasilnya langsung menyentuh pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat serta sekaligus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi (lestari & djumiko, 2017; mangeswuri & purwanto, 2012). di indonesia, pembangunan peruma han dan permukiman diselenggarakan berdasarkan prinsip: (1) pemenuhankebutuhan rumah layak yang menjaditugas sertatanggungjawab masyarakat; (2) dukungan dari pemerintah diberikan melalui penciptaan iklim sehinggamemungkinkan masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah yang layak. oleh karena itu, pembangunan perumahan dan permukiman sejatinya dapat menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat(probondaru, 2018; sulaiman, 2017; waha & sondakh, 2014). pemerintah kota tangerang dalamrangka meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, kini berupaya melibatkan masyarakat ikut dalam program pembangunan daerah. melalui program tangerang berbenah,terdapat lima lingkup yang menjadi fokus kegiatan pemkot tangerang: (1) pembangunan penerangan jalan umum; (2) jalan lingkungan; (3) drainase; (4) bedah rumah; dan (5) pembangunan sarana sanitasi. semua dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan usulan dari mayarakat yang membutuhkan dan dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat kota tangerang. prosesnya dimulai dari usulan masyarakat, lalu musyawarah pembangunan (musrembang) baik itu di tingkat kelurahan, kecamatan maupun tingkat kota. di tingkat kelurahan, kelembagaan program tangerang berbenah dilakukan lewat organisasi lurah, badan keswadayaan masyarakat dan kelompok swadaya masyarakat. di tingkat kecamatan, dilakukan melalui organisasi camat pjok kecamatan, sementara di tingkat kota melalui tim koordinasi penanggulan kemiskinan daerah (tkpkd). program “tangerang berbenah” mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah daerah (rpjmd) 2013-2018 guna mewujudkan visi kota tangerang live (liveable, investable, visitable, e-city). adapun tujuan dari program tangerang berbenah: (1) meningkatkan peranan masyarakat, terutama kelompok miskin, dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan keberlanjutan pembangunan; (2) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 131analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang melembagakan sistem pengelolaan pembangunan partisipatifdengan mendayagunakan potensi dan sumberdaya lokal yang ada; (3) mengembangkan kapasitas kelembagaan dan kesewadayaan masyarakat dalam hal memfasilitasi pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan; dan (4) mempercepat ketersediaan infrastruktur yang diprioritaskan sekaligus dibutuhkan masyarakat kota tangerang. program bedah rumah untuk masyarakat kurang mampu sendiri sebenarnya telah berjalan semenjak 2014 dan hingga 2017 telah menyelesaikan perbaikan untuk sebanyak 2.314 unit rumah di kota tangerang.salah satu daerah yang melaksanakan program bedah rumah ialah kecamatan cipondoh, karena masih banyak warga kurang mampu sertamembutuhkan bantuan pemerintah. sementara itu, rehabilitasi rumah tidak layak huni di kecamatan cipondoh semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu sebanyak 55 unit rumah pada 2015, lalu sebanyak 118 unit rumah pada 2016. tabel 1. penanganan bedah rumah di kota tangerang (2014-2017) tahun bedah rumah 2014 52 unit 2015 1.107 unit 2016 1.405 unit 2017 2.314 unit total 4.877 unit pada 2016 tersebut dari 335 unit rumah yang seharusnya direhabilitasi berdasarkan usulan dari masyarakat, hanya terealisasi sebanyak 118 unit. salah satu rintangannya adalah keterbatasan anggaran, yaitu 20 juta untuk rumah rusak berat serta 10 juta untuk rumah yang rusaknya ringan. namun demikian, ternyata anggaran tersebut jauh dari memadai, karena harus juga ditopang oleh dana swadaya masyarakat. selain itu tidak semua penerima manfaat mempunyai anggaran sendiri untuk menambah kekurangan yang ada. berdasarkan pemaparan singkat di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kebijakan program bedah rumah di kecamatan cipondoh dan hambatan apa saja selama pelaksanaan kebijakan tersebut. penelitian ini dibatasi hanya pada aspek pelaksanaan kebijakan program bedah dumah dalam rangka meningkatkan kualitas permukiman penduduk di kecamatan cipondoh. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 132 arif ginanjar kerangka pemikiran pada berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara berbeda-beda, karena dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara pandang yang bervariasi. dari berbagai definisi, kebijakan publik mempunyai lingkup yang sangat luas. (hogwood & gunn, 1984) menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan yang menunjukkan pengertian berbeda. kebijakan publik sendiri dibuat sebagai reaksi terhadap masalah publik yang muncul dan kemampuan guna menyelesaikan masalah-masalah publik merupakan titik sentral dalam kebijakan publik (lemay, 2002). kebijakan publik juga bisa didefinsikan sebagai serangkaian kegiatan yang sadar, terarah, serta terukur yang dilakukan pemerintah yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam bidang tertentu yang mengarah pada tujuan tertentu (ramdhani & ramdhani, 2017). karena tidak bersifat permanen, kebijakan publik dibuat sekali untuk rentang waktu tertentu sebagai solusi atas permasalahan yang ada dan kepentingannya hanya bersifat melayani masyarakat (godin, rein, & moran, 2006) dalam hal pelaksanaannya, kebijakan publik mengacu pada mekanisme, sumberdaya, dan hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan program kebijakan (mthethwa, 2012). pelaksanaan kebijakan publik sendiri merupakan pelaksanaan secara jelas terhadap apa yang sudah ditetapkan oleh pembuat kebijakan (pemerintah) dan memiliki dampak tertentu. adapun lima unsur inti pada pelaksanaan kebijakan publik mencakup: (1) spesifikasi rincian program; (2) alokasi sumberdaya; (3) keputusan (jann & wegrich, 2007). pelaksanaan kebijakan publik juga dilakukan berdasarkan norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (affandi & warjito, 2015; haerul, hakib, & hamdan, 2016). sementara itu, suatu kebijakan publik akan efektif apabila dilaksanakan dan memberikan dampak positif untuk masyarakat(islamy, 2010). artinya, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota-anggota masyarakatbersesuaian dengan yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. karena itu, pemerintahperlu memastikan pelaksanaan kebijakan supaya efektif dilakukan melalui rancangan program yangmemadai dan strukturasi dalam proses pelaksanaannya (pulzl & treib, 2007). metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. data primer dalam penelitian diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam, sementara data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. sebanyak 15 informan yang dipilih secara purposive sampling dilibatkan dalam penelitian ini. menggunakan teknik analisis ini, pengujian keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber data. pemilihan lokus dalam penelitian terutama didasari pertimbangan tidak tercapainya target rehabilitasi rumah p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 133analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang di kecamatan cipondoh pada 2016 dari yang seharunya bisa direhabilitasi sebanyak 335 unit rumah. pada kenyataannya, hanya sebanyak 118 unit yang dapat direhabilitasi. hasil dan pembahasan implementasi program bedah rumah di kecamatan cipondoh program bedah rumah atau rehabilitas rumah tidak layak huni adalah program pemerintah kota tangerang untuk yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang rumahnya tidak layak huni. hal ini dilakukan supaya masyarakat miskin dapat memiliki rumah layak huni dan meningkatkan kualitas perukiman penduduk di kota tangerang. di kecamatan cipondoh, program ini pertama kali dilakukan pada 2015, dengan tujuan mengatasi sebagian persoalan kemiskinan di perkotaan, tersediannya rumah yang lebih layak huni, adanya kenyamanan bertempat tinggal, meningkatkan kualitas kesehatan lingkungandan meningkatkan kemampuan keluarga dalam melaksnakan peran dan fungsi keluarga miskin. tabel 2. rekapitilasi usulan infrastruktur rumah tidak layak huni (rtlh) di kecamatan cipondoh (2016) no kelurahan usulan rumah tidak layak huni (rtlh) usulan realisasi 1 poris plawad 35 10 2 poris plawad indah 22 16 3 poris plawad utara 15 10 4 cipondoh 30 7 5 cipondoh makmur 23 16 6 cipondoh indah 25 13 7 gondrong 42 7 8 ketapang 23 17 9 kenanga 67 13 10 petir 53 9 total 335 118 sumber: kecamatan cipondoh (2016) journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 134 arif ginanjar dalam pelaksanaan, ditemukan kendala dalam merealisasikan program bedah rumah yang berlangsung di kecamatan cipondoh. untuk menganalisisnya peneliti menggunakan tiga (3) pilar penilaian implementasi program sebagaimana dikemukakan charles o’jones (1996) meliputi organisasi, interpretasi,dan penerapan. ketiganya akan dipaparkan secara terpisah dalam pembahasan berikut ini. organisasi program bedah rumah merupakan program yang melibatkan berbagai unsur pemerintahan, baik itu jajaran pemerintah kota tangerang, aparat kecamatan, aparat kelurahan, badan keswadayaan masyarakat (bkm) dan kelompok swadaya masyarakat (ksm). dalam hal ini, pemerintah kota tangerang juga melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kota tangerang menuju kota layak huni. pada pelaksanaannya, semua pelaksanaan dilimpahkan kepada pihak badan keswadayaan masyarakat (bkm) yang berkontrak langsung dengan dinas perumahan dan permukiman kota tangerang. dalam hal ini, pihak dinas tidak dapat melaksanakan semua pelaksanaan dilapangan, sedangkan di kelurahan dan kecamatan hanya mendampingi kegiatan serta melihat progresnya. dari tahap awal pelaksanaan program bedah rumah, pihak bkm membuat laporan anggaran dan laporan pelaksanaan kegiatan yang berbentuk proposal; proposal tersebut diajukan untuk rumah yang akan dibedah, lalu kembali berkoordinasi dengan pihak dinas perumahan dan permukiman kota tangerang. pada priode 2015 dan 2016,pedoman yang digunakan hanya melihat peraturan walikota dan dasar-dasar yang mana yang mendapat program bedah rumah, sementara pada periode 2017 dilakukan klarifikasi ulang oleh pihak akedemisi (perguruan tinggi) yang berkerja sama dengan pemerintah kota tangerang. dari klarifikasi pihak akedemisi itu sendiri terkadang tidak sinkron dengan keadaan dilapangan, karena yang dilihat hanya aspek bangunannya saja yang aladin (atap, lantai dan dinding). namun demikian, keterlibatan dari masing-masing pihak yang terkait dengan program bedah rumah sebenarnya sudah berjalan dengan baik dan lancar pada umumnya. interprestasi peneliti melihat bahwa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan secara teknis ialah pihak badan keswadayaan masyarakat (bkm) dan secara keseluruhan yang bertanggungjawab program bedah rumah sekota tangerang ialah dinas perumahan dan permukiman kota tangerang. semua pihak seperti kecamatan dan kelurahan juga bertanggungjaawab dibidangnya masing-masing. adapun kinerja dari pelaksanaan sudah berjalan dengan baik.akan tetapi, kinerja tersebut dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu pihak badan keswadayaan masyarakat (bkm) dan kelompok masyarakat yang p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 135analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang jiwa sosialnya yang sangat tinggi untuk memabantu warga sekitarnya untuk gotong royong mulai dari pembokaran dan pembangunan.menyangkut koordinasi pelaksanaan program bedah rumah itu sendiri,kerja sama yang terjalin antara pihak badan keswadayaan masyarakat dengan dinas perumahan dan permukiman serta aparat kecamatan dan kelurahan berjalan dengan baik. adapun pendapat dari beberapa informan mengenai pelaksanaan program bedah rumah salah satunya mengatakan bahwa dana untuk bantuan bedah rumah priode 2015 dan 2016, hanya sebesar 20 juta untuk rumah yang rusak berat dan 10 juta untuk rumah yang rusak ringan, belum cukup untuk membiayai proses rehabilitas rumah. pada 2017, anggaran untuk program bedah rumah berubah menjadi 20 juta 100 ribu untuk rumah rusak berat dan untuk rumah rusak ringan sebesar 10 juta 100 ribu. apabila dana tersebut kurang maka pihak dinas tidak memberikan dana tambahan, melainkan harus diupayakan secara swadaya baik secara individu maupun kelompok. tetapi,tidak semua penerima manfaat memiliki swadaya sendiri. adapun keseluruhan anggaran semuanya diberikan kepada badan keswadayan masyarakt (bkm) dandibelanjakan oleh badan keswadayaan masyarakat untuk rumah-rumah yang akan diperbaiki. penerapan program bedah rumah sangat tepat sasaran bagi warga yang mendapatkan program bedah rumah, karena yang mendata warga yang berhak menerima manfaat program itu ialah pihak rt/rw dan badan keswadayaan masyarakat (bkm). setelah pihak kelurahan mengklarifikasi, nominal yang diberikan sebesar 20 juta untuk rumah rusak berat dan 10 juta untuk rumah rusak ringan dianggap kurang tepat, karena tak sesuai dengan kebutuhan para penerima bantuan. terlebih, harga bahan-bahan atau peralatan sudah sangat mahal, berbeda dengan 10 tahun sebelumnya. pada priode 2017,dilakukan klarifikasi ulang dari pihak akedemisi perguruan tinggi yang melakukan survei masyarakat yang mendapatkan program bedah rumah. dengan adanya program ini sebenarnya sangat membantu masyarakat yang kurang dan berpenghasilan rendah. dengan adanya program, kualitas permukiman penduduk pun menjadi lebih baik lagi. selain itu, dari segi ekonomi masyarakat yang awalnya perekonomiannya sangat rendah, setelah rumahnya dibedah dan menjadi lebih layak, sudah bisa membuka usaha dirumahnya sendiri (peningkatan ekonomi). selain itu, sosialisasi terhadap pelaksanaan program bedah rumah itu sendiri sebenarnya ada dari pihak dinas perumahan dan permukiman dan berkerja sama dengan pihak kecamatan dan kelurahan. dalam hal ini, pihak kecamatan memberi tahu persyaratan apasaja yang dibutuhkan untuk memperoleh bantuan dari program bedah rumah. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 136 arif ginanjar hambatan program bedah rumah di kecamatan cipondoh hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan program bedah rumah ialah tersedianya data dan anggaran. untuk data, dari pihak dinas perumahan dan permukiman dengan studi badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda) dan badan pusat statistik (bps) datanya berbeda-beda, karena kreterianya juga berbeda, sedangkan pihak badan keswadayaan masyarakat (bkm) hambatannya adalah masalah anggaran yang diberikan oleh dinas yang kurang besar anggarannya untuk satu rumah. namun untuk anggaran priode 2017 yang diberikan oleh pemerintah hanya 20 juta 100 ribu untuk rumah rusak berat dan 10 juta 100 ribu untuk rumah rusak ringan.anggaran yang diberikan oleh pihak dinas dipegang oleh badan keswadayaan masyarakat (bkm), karena badan keswadayaan masyarakat (bkm) dan dinas bekerja sama dalam pelaksanaan program ini. pihak dinas sebenarnya hanya mengutamakan atap, lantai dan dinding. namun demikian, warga yang menerima manfaat dari bantuan ini membongkar total rumahnya, khususnya karena mendapat bantuan rehabilitas rumah dari pemerintah. hanya saja, ketika biaya yang diberikan itu tidak mencukupi, sebagian besar warga merasa kesulitan untuk melanjutkan pembangunan rumah yang sedang berjalan. penutup kesimpulan pelaksanaan program bedah rumah sudah berjalan dengan baik dan semuanya sudah bertanggung jawab di bidangnya masing-masing, mulai dari pembuatan proposal, realisasi di lapangan, hingga laporan pertanggung jawaban. keterlibatan masing-masing pihak yang terkait dengan program ini sudah berjalan dengan baik. hanya saja, jumlah anggaran yang disediakan oleh pemerintah kota tangerang dinilai penerima bantuan masih belum memadai karena berbagai alasan. akan tetapi, pada sisi lain, program bedah rumah sudah sangat tepat karena dapat menyejahterakan masyarkat penerima bantuan. hambatan yang ditemui selama pelaksanaan program adalah mengenai ketersediaan data dan anggaran. perbedaan data yang tersedia juga memberikan kendala tersendiri. di samping itu, keterbatasan anggaran yang disediakan juga menjadi kendala tersendiri. pada periode 2017, juga ditemukan kendala karena ada perbedaan hasil temuan antara badan keswadayaan masyarakat (bkm) dengan pihak akademisi yang bekerja sama dengan pemerintah. saran karena anggaran yang dikeluarkan masih terbilang belum cukup menurut para penerima manfaat, pemerintah kiranya perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap berbagai variabel sehingga bisa menemukan formulasi besaran anggaran yang tepat bagi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 137analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang program bedah rumah. selain itu adanya perbedaan data antara beberapa instansi juga perlu mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya supaya pelaksanaan program bedah rumah bisa semakin berjalan efektif dan efisien ke depannya. referensi affandi, m. i., & warjito. (2015). implementasi peraturan daerah kabupaten asahan nomor 11 tahun 2011 tentang pajak daerah dalam pencapaian target pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan. jurnal administrasi publik, 6(2), 92–113. arlansyah, r. (2017). analisis kebijakan pemerintah dalam penataan ruang kota berbasis lingkungan (studi di kelurahan bumi waras kota bandar lampung). muhammad, fathoni. batudoka, z. (2005). kota baru dan aspek permukiman mendepan. jurnal smartek, 3(1), 27–36. boonyabancha, s. (2005). baan mankong: going to scale with “slum” and squatter upgrading in thailand. environment dan urbanization, 7(1), 21–46. gebre, y. (2003). resettlement and the unnoticed losers: impoverishment disasters among the gumz in ethiopia. human organization, 62(1), 50–61. godin, r. e., rein, m., & moran. (2006). the public and its policies. in the oxford handbook ff public policy (pp. 3–35). new jersey: oxford university press. haerul, hakib, h., & hamdan. (2016). implementasi kebijakan program makassar tidak rantasa di kota makassar. jurnal administrasi publik, 6(2), 21–34. hogwood, b. w., & gunn, l. a. (1984). policy analysis for the real world. london: oxford university press. islamy, i. (2010). prinsip-prinsip perumusan kebijakan negara. jakarta: bumi aksara. jann, w., & wegrich, k. (2007). theories of the policy cycle. in handbook of public policy analysis theory, politics, and methods. new york: crc press taylor & francis group. keman, s. (2005). kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. jurnal kesehatan lingkungan, 2(1), 29–42. lemay, m. c. (2002). public administration: clashing values in the administration of public policy. belmont: wardsworth/ thompson learning. lestari, d. s. s., & djumiko. (2017). perkembangan perumahan dan permukiman sebagai penentu arah dan bentuk kebutuhan permukiman di pinggiran kota. e-jurnal teknik sipil dan arsitektur, 21(25), 1–13. mangeswuri, d. r., & purwanto. (2012). perkembangan ketersediaan dan kebutuhan perumahan di batam. jurnal ekonomi & kebijakan publik, 3(2). mthethwa, r. m. (2012). critical dimensions for policy implementation. african journal of public affairs, 5(2), 36–4. probondaru, i. p. (2018). problematika pelaksanaan hunian berimbang di indonesia. hukum pidana dan pembangunan hukum, 2(1), 1–6. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 138 arif ginanjar pulzl, h., & treib, o. (2007). implementing public policy. in handbook of public policy analysis theory, politics, and methods (pp. 89–107). new york: crc press taylor & francis group. ramdhani, a., & ramdhani, m. a. (2017). konsep umum pelaksanaan kebijakan publik. jurnal publik, 11(1), 1–12. sasanto, r., & khair, a. s. (2010). analisis kebijakan pemerintah dalam penanganan permuliman ilegal di bantaran sungai (studi kasus: bantaran kali pesanggrahan kampung baru, kedoya utara kebon jeruk). jurnal planesatm, 2(1), 146–152. soesilowati. (2007). kebijakan perumahan dan permukiman bagi masyarakat urban. jurnal ekonomi dan manajemen dinamika, 16(1), 105–124. sulaiman. (2017). tinjauan yuridis terhadap tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (undang–undang nomor 01 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman). hakam/ : jurnal kajian hukum islam dan hukum ekonomi islam, 1(1). syarifuddin. (2005). kondisi fisik perumahan penduduk di pesisir pantai teluk palu. jurnal smartek, 3(3), 190–198. waha, c., & sondakh, j. (2014). pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi masyarakat miskin di perkotaan (suatu kajian dalam perspektif hak asasi manusia). jurnal lppm bidang ekososbudkum, 1(2), 86–102. 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) 1 34 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis (magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 35 46 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 (1government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 47 61 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 (1magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 63 78 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 (1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 91 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 (1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  79 citation : arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar. 2019. “public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr)”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, 79-91. journal of government and civil society vol. 3, no. 1, april 2019, pp. 79-91 doi: 10.31000/jgcs.v3i1.1377 received 2 march 2019  revised 11 april 2019  accepted 23 april 2019 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia email: arsidtangsel2017@gmail.com 2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia email: ida.widianingsih@unpad.ac.id 3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia email: hnurasa@yahoo.com 4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia email: entang.am0405@gmail.com abstract as a strategic commodity, indonesia’s constitution mandates the management of clean water to the local government through the local water supply utility (pdam) which is also regulated in pp no. 122/2015 concerning drinking water supply systems. however, the availability of inadequate clean water as well as the limited ability to manage clean water have caused the minimum service target to be optimal in providing clean water. using mark moore’s public value theory, this study aims to determine how the public value of pdam tkr (tirta kerta raharja) in tangerang district. this study uses a qualitative approach. data collection techniques used were observation, in-depth interviews, and documentation studies. the results of the study show that pdam tkr’s public value has not been internalized optimally, and it requires adaptation to changes in the organizational environment. in addition, the diverse customer characteristics of pdam tkr require specific strategies to respond to their needs. keywords: clean water service, public value, pdam tkr (tangerang district) abstrak sebagai komoditas yang strategis, konstitusi indonesia mengamanatkan pengelolaan air bersih kepada pemerintah daerah melalui perusahaan daerah air minum (pdam) yang juga diatur dalam pp no. 122/2015 tentang sistem penyediaan air minum. akan tetapi, ketersediaan air bersih yang belum memadai serta keterbatasan kemampuan mengelola air bersih menyebabkan tidak optimalnya target pelayanan minimum dalam penyediaan air bersih. menggunakan teori nilai publik (public value) milik mark moore, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana public value pada pdam tkr kabupaten tangerang. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. hasil penelitian menunjukkan bahwa public value pdam tkr belum terinternalisasi secara optimal, dan dibutuhkan adaptasi terhadap perubahan di lingkungan organisasi. selain itu, karakteristik pelanggan pdam tkr yang beragam membutuhkan strategi khusus dalam merespon kebutuhan mereka. kata kunci: pelayanan air bersih, public value, pdam tkr (kabupaten tangerang) journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 80 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar introduction local water supply utility (pdam), as a local government-owned enterprise that provides services and public benefits in the water sector, was formed through law no. 5 of 1962. in the current era of decentralization, the regulation is strengthened by pp no . 122/2015 concerning drinking water supply systems to ensure the availability of quality drinking water at affordable prices for the wider community. at present, pdam is a regional owned enterprise (bumd) that has a “dual function”, namely balancing business interests while fulfilling obligations in serving the general public. in 2017, the coverage of clean water services in indonesia has only reached 70.04% of all population (ministry of pupr, 2018). this is reinforced by data from the pdam performance evaluation in 2017 carried out by bppspam and bpkp toward 378 pdams in regencies/cities in indonesia. the data is a recapitulation of the performance of 378 pdams in 2014, 2015 and 2016 from financial, service, operational and human resources aspects. the evaluation results showed that 209 pdams (55.3%) were declared healthy, 103 pdams (27.2%) were declared unhealthy and 66 pdams (17.5%) were declared ill (ministry of pupr, 2017). basically, the ability to provide drinking water is very possible, because until 2018 the recorded capacity is 38.000 liters per second. the ministry of pupr targets the completion of the service gap for clean water coverage (28%) within two years until 2019 through a protected pipeline and non-network pipeline network. this is also to support the 20152019 rpjmn which mandates the achievement of 100% safe access to drinking water for all indonesian people in 2019 (ministry of pupr, 2018). to make it happen, the government needs 253.8 trillion from various funding sources: the state budget, regional budgets, dak, business entities through the scheme of public private partnership (ppp), banking, csr, and the community. in tangerang district itself, the need for clean water has increased sharply along with the rapid population growth and the increasing number of investors both locally and internationally, increasing housing, apartments, hotels, factories, luxury housing. although there is a tendency for an increase in the number of customers and an increase in the coverage of clean water services in tangerang district, the service coverage of pdam tkr (tirta kerta raharja) in tangerang district is still far below the mdgs (68.90%) or national target (pdam tkr kabupaten tangerang, 2015). in 2015, the production capacity of clean water at pdam tkr was recorded at 5.270 liters per second; the community (domestic customers) is allocated approximately 2.270 liters per second (43%) which includes customers in 20 sub-districts from 29 sub-districts in the tangerang district. meanwhile, special customers that working with pdam tkr receive water distribution of approximately 3.000 liters per second (57%) as explained in figure 1 below. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 81public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) 68,90% 29,39% 33,66% 30,17% 0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% target mdgs pada tahun 2015 2014 2015 2016 pelanggan pdam tkr kab. tangerang yang baru dapat terlayani di wilayahkab. tangerang figure 1. served customers of pdam tkr (data form pdam tkr tangerang district 2016) of the 57% distribution for special customers, a total of 2.800 liters per second is allocated to meet the needs of clean water in dki jakarta (15%). pdam tkr itself has collaborated with the dki jakarta provincial government since 1993 and will continue (tangerangcorner, 2018). meanwhile, based on rpjmd document for 2013-2017, the direct connection subscribers will reach 30.17% of domestic customers (community), where the figure is still below the 40% target as stated in the tangerang district rpjmd 2013-2017. interestingly, based on the results of evaluation of pdam region ii performance conducted in 2015 by the bppspam, pdam tkr is a pdam that has the title “healthy”. the pdam performance assessment is carried out in a comprehensive manner, covering various aspects. the status, then, has implications for increasing the contribution of pdam tkr to tangerang district pad. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 82 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar table 1. net profit report and contribution of pdam tkr in tangerang district pad (2011-2015) uraian realisasi kinerja 2011 (audited) 2012 (audided) 2013 (audited) 2014 (audited) 2015 (audited) laba bersih (rp.000) 56.471.417 72.627.858 79.645.183 84.771.166 88.580.450 setoran pad (rp.000) 7.972.700 8.470.712 19.609.521 21.504.199 23.916.721 source: pdam tkr 2015 the positive balance sheet of pdam tkr can be related to the strategic position of tangerang district which is one of the dki jakarta province buffer zones and provides an opportunity for the business development of pdam tkr to distribute clean water to various parties specifically in dki jakarta province. the map of pdam tkr water distribution can be seen in figure 2 below. figure 2. the map of pdam tkr water distribution sumber: pdam tkr 2015 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 83public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) from the problems raised as described above, this research will focus on the importance of public value in the management of pdam tkr in tangerang district which are classified as healthy but face the complexity of problems related to the high acceleration of regional development. literature review public value the concept of public value in indonesia refers to the desired public value through the establishment of a public service agency (blu), namely advancing public welfare and educating the life of the nation. the concept of public value requires that leaders of service organizations realize public value through the dynamics of the strategic triangle. that is, in order to create public value, public managers need to understand the three main components of the strategy trilogy which are distinguishing features of public services with services provided by the private sector (weinberg & lewis, 2009; yotawut, 2018; de jong, 2015; cwiklicki, 2016; benington, 2009). first, services, the main principles of public service through quality services to meet the needs of the community with the right principles, such as openness, justice and legal certainty. second, benefits, which include poverty reduction, public health, order and comfort of the city. in this case, the benefits generated by public services are thick with public interests that do not seek profit. the public service will be ambiguous if it is driven by corporate principles, because the benefits of public services prioritize social benefits, sustainable environment, and public order. third, trust. every public service organization is formed to maintain and increase public trust in the government by means of more tangible participation and involvement. basically, the creation of public value was built based on the strategic triangle popularized by mark moore (1995). according to this conception, the task of public managers has something in common in many respects with the task of private sector managers, such as creating economic value for shareholders through the programs implemented. according to moore (1995) public organizations are considered to create public value if the benefits received by society are greater than the costs incurred, including in terms of the use of legal aspects that force service users to comply with statutory provisions. in addition, the creation of public value is based on the assumption that public value can be achieved when the decision-making process is based on the existence of a close relationship between the institutional, political and corporate dimensions to ensure joint commitment between the parties in harmony to achieve a common goal. departing from the theory, to produce public value, public managers are faced with three key questions as follows. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 84 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar 1. for what organizations are formed? 2. to whom is the organization responsible? 3. how do we know that an organization has successfully achieved its objectives? to answer the three questions above, public managers need to understand the strategic triangle. this concept is built on a conception of the creation of public value in which the activities of public organizations receive a politically legitimate, operationally and administratively feasible). providing excellent services and issuing outcomes that are good from the presence of the company and gaining trust from customers will create good public value. the concept of creating public value itself is visualized by the strategic triangle as follows. figure 3. strategic triangle (mark moore, 1995) based on figure 3 above, it can be said that services have a position that is substantially very valuable. meanwhile, every organization must also have a vision and mission as the reason why the organization was formed. however, often government leaders are less able to define what organizational goals and objectives are so that the legitimacy and politically sustainable, operational and administratively feasible are not able to create public value. however, the output of the public value in the form of service, outcomes, and trust cannot be produced by the organization. on the other hand, the existence of a public service body will be tested if there is a change in the government regime. if the organization is maintained by the new government based on the results of democratic and honest elections, it can be said that the public organization has passed one stage of the test as an entity that is expected to create public value (prasodjo, 2017; hayat, 2014). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 85public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) the success of public service agencies in creating public values is largely determined by the effectiveness of organizations managed with distinctive core competency (kosasih, 2017 & 2018; suweni, et al, 2013). to achieve high organizational capacity, the leadership of the organization must continue to improve and develop the capabilities of its staff, including employees who are directly involved in the provision of public goods/services. innovation and creativity of employees is needed by public sector organizations in making public services more qualified and oriented to the community. according to moore (1995), the success of public sector organizations can be measured by the following factors. 1. efficiency, effectiveness, and affordability of services by the community; 2. programs that are appropriate and in accordance with the conditions of the community; 3. the ability of leaders of public organizations articulate the organization’s vision and mission into measurable organizational goals and objectives; 4. reducing dependency or minimizing the burden on the community. research method this study uses a qualitative approach to explore what is the cause of ineffective management of pdam tirta kerta raharja (tkr). data collection is done through indepth interviews and observations. informants in this study were selected based on criteria and characteristics: (1) understanding the operational activities of the pdam’s clean water services; (2) integrates with the activities carried out by pdam tkr; (3) have time to be asked for information by researchers; (4) subjects that do not package information, but relatively provide true information. infoman interviewed was divided into internal and external groups at pdam tkr. there were 6 internal informants from pdam tkr, which included the board of directors, the head of engineering, the head of the general administration of finance, the head of the subdivision of public relations, the head of subsection relationship, and the subdivision of distribution. meanwhile, there were 10 informants from external pdam tkr, which included the pdam supervisory agency, the water and sanitation development work unit in tangerang district, domestic customers, and nondomestic customers. the data analysis refers to the interactive model of miles-huberman (1994), which consists of collecting data in the field, reducing data, presenting data, and finally drawing conclusions. for the validity of the data in this study using triangulation, namely by combining data and information obtained from one source with another source by journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 86 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar examining the suitability of the evidence originating from these sources to obtain understanding and interpretation of problem of the study. discussion/analysis operationally and administrative feasibility aspect basically, pdam tkr already have a strategic planning concept that is either a corporate plan or a business plan. strategies in the corporate plan and business plan, called the corporate budget work plan (rkap) are prepared annually and are used as operational work plans and investment programs that will be carried out by pdam tkr for the next one year. this rkap is also a work guideline that must be followed by the management of pdam tkr in achieving its stated objectives. as a pdam with a healthy title, pdam tkr has the potential to provide an opportunity for optimal improvement of clean water services, both in terms of quality, quantity, and continuity. this is related to the technical and nontechnical facilities and infrastructure in the company that are quite good. in addition, the program or strategy in the field of human resources (hr) is a special concentration of pdam pdam. in order to serve diverse customers, pdam pdam prioritize the responsiveness and responsibility of employees in creating good service. responsiveness of employees in terms of serving diverse customers is needed; the higher the work responsiveness of pdam tkr employees, the higher the excellent service provided to customers, for example by responding and handling complaints properly. responsibility of employees must also be good in terms of carrying out tasks so that the public services provided do not necessarily violate the provisions set by the organization. that is, employees have the responsibility of carrying out the decrees made and determined by the board of directors. in this case, researchers argue that human resources (hr), methods or approaches, completeness of tools (machines), and materials are service strategies that cannot be separated each other. when referring to the concept of public value, it can be said that the operationally aspect and administrative feasibility of pdam tkr still have many shortcomings, due to lack of reliable human resources that have not been able to serve customers well. this is due to the lack of intense employee training programs and the placement of human resources that are not in accordance with their fields of expertise. creates public value aspect the creation of public value is based on the assumption that public value can be achieved when the decision making process is based on the existence of a close relationship between the institutional, political and corporate dimensions to ensure that there is a p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 87public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) joint commitment between the parties involved in achieving the goals together. in this case, pdam tkr has made every effort to be able to create good public value, starting from institutional aspects, political policies to corporations that are carried out professionally by the company. to find out the public value of pdam tkr, there are three aspects in the theory of public value: service, outcomes, and trust. in providing services for diverse customers, pdam tkr strives to provide excellent service, one of which is carried out through onlinebased services that are easily accessible, such as water meter reading using android meter reading, bill payments, new connection services, complaints through contact center, and the implementation of installation for new subscription connections has been fully stocked. this online-based service is one of the efforts of pdam tkr to provide the best service for its customers. however, the reality in the field shows that customer satisfaction is still not a major concern, which for example can be seen from the number of complaints from customers related to water distribution to homes, disruption to water meters, plots (pipe connections from water meters to customers) or leaks in customer pipes and poor water quality. this customer complaint is usually delivered by calling directly to pdam tkr office or reporting directly to pdam tkr customer service department. unfortunately, this customer complaint is often delayed by pdam tkr; there are customers who must repeatedly contact pdam tkr or come back repeatedly until the complaint is followed up. in addition to complaints from domestic customers (communities), there are also complaints from various companies that work with pdam tkr. meanwhile, the main function of pdam is to prioritize public service delivery in providing clean water needs (social functions) in addition to seeking profit as a function of the company or business functions; another function is to provide services and provide public benefits in the drinking water sector for the public interest. therefore, the aim of pdam is not only to seek profit, but also to create maximum benefits for the community. based on the main functions of local water supply utility (pdam), pdam tkr as a public service company, the outcomes in the management and service aspects that are held must be felt directly, both economically and socially for the community in helping supply drinking water. creating public value for pdam tkr, in addition to providing good service, the benefits directly felt by the community as outcomes for the company are one of the ways in which public values are formed. meanwhile, as a public company in terms of outcomes (results), the presence of pdam tkr has also been felt by the people living in the coastal areas of tangerang district, such as mauk subdistrict, teluk naga, kosambi, and kronjo, which need clean water and water drink good in their lives. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 88 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar the benefits felt by the people in this coastal area are one of the outcomes that can be felt from the presence of pdam tkr. in addition, clean water services at affordable prices are also one of the outcomes that can be felt by customers in fulfilling clean water needs (as a social function) in addition to seeking profit as a function of the company or business functions. pdam tkr has also undergone other social functions by fulfilling clean water needs through tank cars in various areas that experience drought every dry season. however, this study also found that there are still regions that have not yet benefited from the presence of pdam tkr, such as sukamulya subdistrict which has not yet connected the water pipeline. as a company that provides clean water needs (social functions), of course these shortcomings must be addressed immediately so that the public value of pdam tkr can be realized well. the other dimension is trust. in general, trust is the existence of trust by the first party (one party) to the second party (another party) that the second party will behave that can bring positive results for the first party. the substance of trust can be divided into two; (1) the honesty of the partner (trust is the partner’s honesty) which includes the trust of the first party to his partner that his partner will fulfill his pledged promise; and (2) the good deed of the partner to what extent the first party believes that the second party is truly interested in the welfare of the first party. therefore, customer trust in the company includes how company behaves (honesty, integrity, capability, consistency, and various other performances that can shape customer trust). to create public value, the trusts that obtained from customers are closely related to services and outcomes so giving rise to trust and obtaining public value for pdam tkr. in general, pdam tkr get a fairly good public value from their customers so that it has a good impact on the trust of pdam tkr from customers. one of them is proven or can be seen from the number of pdam tkr customers’s which continues to increase every year. customers who increase every year certainly cannot be separated from the hard work of the company to serve customers well so that trust can grow in the community. the automatic increase in the number of customers provides benefits for pdam tkr because of an increase in net income every year. this new customer contributes greatly to the increase in profit of pdam tkr so that pdam tkr can improve its services for the community and ultimately get trust from the community. in addition to increasing the number of customers every year, trust can be seen from customer complaint report data which decreases every year as can be seen in table 2 below. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 89public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) table 2. customer complaint report no tahun laporan keluhan teknis laporan keluhan nonteknis jumlah total 1 2014 7.093 393 7.486 2 2015 4.698 475 5.173 3 2016 1.277 3.510 4.787 source: pdam tkr 2016 from table 2 above, it can be seen how for three consecutive years customer complaints against pdam tkr decline. this means that customers have put their trust in pdam tkr, where complaints can be responded quickly so that they can create good public value for pdam tkr. however, this study also found that there were still areas where the level of trust in pdam tkr was reduced, such as some customers who disconnect due to several reasons, poor response to customer complaints, slow handling of damaged water connections. from these explanations, services, outcomes, and trust are an inseparable unit. if one of them is good, it will affect the others. likewise, on the contrary, if one of them is bad, it will have a negative impact on the other. so, the public value of the company (pdam tkr) must be seen as a whole. at pdam tkr, the public value built in the eyes of the community has not reached its maximum, especially because there are still various aspects that need to be improved, both from the management and service aspects to create excellent service. conclusion in improving the service of public companies, besides having to pay attention to excellent management and service, the activities of public organizations must politically legitimate, operationally and administratively feasible so as to creates positive public value that originating from service, outcomes, and trust. in this study, the public value of pdam tkr has not been internalized optimally, and it requires adaptation to various changes within the organization. in addition, the diverse customer characteristics of pdam tkr require specific strategies to respond to their needs. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 90 arsid, ida widianingsih, heru nurasa dan entang adhy muhtar references benington, j. (2009). “creating the public in order to create public value?” international journal of public administration , 32(3-4): 232–249. http://doi.org/10.1080/ 01900690902749578. cwiklicki, marek. (2016). “comparison of public value measurement frameworks”. zarz¹dzanie publiczne, 1(35): 20-32. de jong, jorrit. (2015). “instruments of value: using the analytic tools of public value theory in teaching and practice”. public management review, 19: 605-620. doi: 10.1080/ 14719037.2016.1192162 hayat. (2014). “konsep kepemimpinan dalam reformasi birokrasi: aktualisasi pemimpin dalam pelayanan publik menuju good governance”. jurnal borneo administrator, 10(1): 59-84. kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. (09 april 2018). cipta karya mengalokasikan dak tahun 2018 rp. 2.160 miliar untuk air minum. diakses dari: https://www.pu.go.id/berita/view/15556/cipta-karya-mengalokasikan-dak-tahun2018-rp-2-160-miliar-untuk-air-minum kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. (2017). buku kinerja pdam 2017. jakarta: bppspam kementerian pupr. kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. (22 februari 2018). ditjen cipta karya gandeng kemenko perekonomian untuk capai target 100% akses air minum. diakses dari: https://www.pu.go.id/berita/view/15353/ditjen-cipta-karya-gandengkemenko-perekonomian-untuk-capai-target-100-akses-air-minum kosasih, achmad. (2017). “pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di propinsi banten”. journal of government and civil society, 1(2): 159-190. kosasih, achmad. (2018). “optimalisasi pelayanan publik melalui peningkatan kinerja pegawai pada pdam tirta kerta raharja”. journal of government and civil society, 2(1): 51-62. moore, mark h. (2015). creating public value: strategic management in government. harvard university press. pdam tkr kabupaten tangerang lanjutkan suplai 15 persen air bersih dki jakarta. (14 februari 2018). diakses dari: https://tangerangcorner.com/pdam-tkr-kabupatentangerang-lanjutkan-suplai-15-persen-air-bersih-dki-jakarta/ prasodjo, tunggul. (2017). “paradigma humanis dalam pelayanan publik”. jurnal ilmiah ilmu administrasi publik, 7(1): 38-45. suweni, jefri maikel, dkk. (2013). “analisis pengaruh faktor kemampuan manajerial pemberian insentif dan komunikasi pemimpin terhadap prestasi kerja”. jurnal pelopor, 6(2): 11-21. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 91public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) weinberg, mark l. & marsha s. lewis. (2009). “the public value approach to strategic management”. museum management and curatorship, 24(3): 253-269. yotawut, mayuree. (2018). “examining progress in research on public value”. kasetsart journal of social sciences, 39(1): 168-173. copyright (c) 2019 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00.pdf 00. halaman prelims daftar isi 107 125 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 127 143 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 (1master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 145 161 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1, adie dwiyanto nurlukman2 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 163 177 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 (1government science study program, stisip yuppentek, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 179 190 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p (communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  163 citation : widyawati, tito inneka and toddy aditya. 2018. “coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, 163-177. journal of government and civil society vol. 2, no. 2, september 2018, pp. 163-177 doi: 10.31000/jgcs.v2i2.1048 received 25 oktober 2018 revised 31 oktober 2018 accepted 1 november 2018 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 1government science study program, stisip yuppentek, indonesia email: tw_inneka@rocketmail.com 2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: clubfor.six@gmail.com abstract flooding is a threatening problem both in the city and in the countryside. one of the flood-prone cities is tangerang city. the cause of flooding is overflowing from the kali and blockage of existing drainage. various efforts have been made to prevent flood disasters, the badan penanggulangan bencana daearah (bpbd) of tangerang city which is an agency that has the task to assist the disaster, in coordination with the tangerang city government in order to overcome the problems of frequent floods.the purpose of this study is to analyze how the coordination of badan penanggulangan bencana daerah (bpbd) in flood prevention in tangerang city. the research method used is qualitative research. the results of the study show that the coordination of the regional disaster management agency (bpbd) is well underway and in accordance with the managerial hierarchy, rules and procedures, and plans and goal setting. keywords: coordinating, regional disaster, flood, tangerang introduction natural disasters are disasters caused by natural symptoms such as floods, hurricanes, landslides, earthquakes, tidal waves, tsunamis, and so on. there are two namely possibilities of natural disasters, first, because of natural processes that come from the bowels of the earth whose presence is beyond the limits of human capacity. second, because of human attitude to nature that does not take into account all the possibilities that will occur due to his actions. natural disasters that almost hit every season in indonesia are floods. based on the value of losses and frequency of occurrence of flood disasters, there is a significant increase. flood disasters are strongly influenced by natural factors in the form of rainfall that is above normal and there are high tides of sea water. besides that, human factors became the important role such as improper land use (settlements in river banks, catchment areas, deforestation), garbage disposal into rivers, and settlement construction in floodplain areas (abbas, amjath-babu, kächele, usman, & müller, 2016). flooding is caused by high above normal rainfall, so the water transfer system which consists of natural rivers and creeks and the existing drainage system and artificial flood storage canal is unable to accommodate the accumulation of rainwater so it overflows. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 164 tito inneka widyawati and toddy aditya the ability of the water drain system is not always the same, but changes due to sedimentation, narrowing of the river due to natural phenomena and human behavior, clogged garbage and other obstacles. flood disasters include natural disasters that are almost certain to occur during the arrival of the rainy season. natural disasters not only cause physical injury or injury, but also cause psychological or psychological effects, loss of property and lives of the people they love, making some victims of natural disasters experience stress or mental disorders, it will be dangerous especially for children who is disturbed by his soul development. given this extraordinary impact, natural disaster management must be carried out using appropriate principles and methods. in addition, natural disaster management must also be comprehensive not only in the event of a disaster, but in pre-disaster prevention and rehabilitation and reconstruction after a disaster. this is done with the aim that natural disasters do not cause too many adverse effects for victims of natural disasters (difrancesco& tullos, 2015). various efforts have been made by the government to tackle the problem of flooding, this is directly proportional to the funds that have been depleted for this flood problem, but still have not managed to overcome the threat of flooding. this will be increasingly difficult to overcome by looking at the poor condition of flood handling infrastructure that has been built by the government such as drainage channels, so that development for the need of development carried out on the grounds of handling floods is only a routine without a solution.(asumadu-sarkodie, owusu, & jayaweera, 2015) the government is responsible for managing disaster management including the focus of reconstruction and rehabilitation from post-disaster. guaranteed fulfillment of the rights of communities and refugees affected by disasters fairly and in accordance with service standards must be sought immediately, this is to anticipate more victims. recovery of conditions from the impact of disasters and allocation of budget for disaster management in an adequate and ready-to-use state budget and expenditure in reconstruction and rehabilitation should be a guarantee for disaster victims. with the enactment of law number 24 of 2007 concerning disaster management, the implementation of disaster management is expected to be better, because the government and regional government are responsible for the implementation of disaster management. disaster management is carried out in a pre-disaster manner, during emergency and post-disaster response(sayers et al., 2015). various efforts have been made to prevent flood disasters in the city of tangerang, the regional disaster management agency (bpbd) of tangerang city, which is the agency that has the task to assist the disaster, in coordination with the tangerang city government in order to overcome the problem of frequent floods. the efforts that have been taken by the tangerang city government are by building embankments and plots so that floods can be overcome. good coordination between the regional disaster management agency p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 165coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation (bpbd) of the city of tangerang and the city government is expected to be able to overcome the problem of flooding that occurred in the city of tangerang. literature review coordination concept all groups or organizations working towards the goal always need an administrative process. this process is in the form of a series of activities ranging from the incorporation of people into a group, planning all activities that must be carried out and what goals must be achieved, dividing tasks, authority, and responsibility for controlling all activities and resources and assessing work result. according to fayol, who was quoted by hasibuan, stated that the management functions were (hasibuan, 2011): 1. planning 2. organizing 3. commanding 4. coordinating 5. controlling from the above opinion, it can be seen that coordination is one of the management functions that are closely related to other management functions. thus, coordination has a very important goal, because it can direct all actions and contribute to the achievement of planned organizational goals. with coordination, the management of an organization can run smoothly. without coordination, individuals and existing units will lose their grip on their roles. etymologically, the term coordination comes from foreign words, namely: “cum” which means different, and “ordinate” which means the preparation or placement of something that is necessary (westra, 1983). the definition of coordination was put forward by usman (2011), “coordination is an important part between members or organizational units whose work is interdependent. the more work of individuals or different units but are closely related, the greater the likelihood of coordination problems. furthermore, the coordination definition is expressed by muhammad and rois (2016), as follows: “coordination can be defined as the process of integrating goals and activities on separate units (departments or functional fields) a organization to achieve organizational goals efficiently. the need for coordination depends on the nature and needs of the communication in carrying out the task and the degree of interdependence of the various implementing units. a high degree of coordination is very useful for nonroutine and unpredictable work, environmental factors are always changing and journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 166 tito inneka widyawati and toddy aditya interdependence is high. coordination is also very much needed for organizations that set high goals. muhammad and rois also revealed that there are three types of interdependence between organizational units, namely: 1. pooled interdependence, if the organizational units are not interdependent with each other in carrying out daily activities but depend on the implementation of the work of each unit that is satisfactory for an end result. 2. sequential interdependence, where an organizational unit must do its work before the other unit can work. 3. reciprocal interdependence is a relationship between giving and receiving between organizational units. these three interdependent relationships can be described as shown in the following diagram: figure 1. three dependencies of organizational units coordination terms according to hasibuan (2011) there are 4 (four) coordination requirements, namely as follows: 1. sense of cooperation, this must be seen from the point of view of parts of the work area, not people per person. 2. rivalry, in large companies competition is often held between parts, so that these parts are competing to achieve progress. 3. team spirit, meaning each other in each part must respect each other. 4. esprit de corps, meaning that the parts that are included or appreciated, will generally add to a vibrant activity. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 167coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation the strength of an organization is determined by its spirit or spirit. this spirit is determined by the goals and ways to achieve that goal and this includes doctrine. in addition to the spirit of coordination must also have formal aspects namely methods, techniques intended to pursue / achieve these goals. who acts as the coordinator? the coordinator must be carried out by everyone who has subordinates. coordination cannot be ordered, forced, but it will be better by persuasive (requests and requests) to subordinates. because in a persuasive way it will be more internalized, obeyed by subordinates, because they feel valued and respected. so by arousing his feelings(thieken et al., 2016). types of coordination the types of coordination are expressed by many experts, including the types of coordination proposed by george r. terry cited by moekijat (1994), as follows: 1. internal coordination,is coordination that deals with the integration of activities, ideas and people in a company. 2. external coordination,is the integration of activities of a company with the activities of other companies and with the strengths and external conditions of the company. 3. vertical coordination, in vertical coordination the combination of activities is between successive levels of the organizational structure. 4. horizontal coordination, horizontal coordination relates to activities at the organizational level and is slightly more difficult to achieve than vertical coordination. terry (1982) explains that the scope of coordination can be viewed from the angle of its fields, namely: 1. coordination in individuals 2. coordination between individuals from a group 3. coordination between groups within a company 4. coordination between companies and various events in the world. ndraha explained that in the government there is external (between state or interstatal) coordination and internal coordination between the government and the governed, which is not governed by the government but the component is like a producer or seller in relation to customers or consumers. (ndraha, 2003) dann sugandha (1991) also expressed his opinion regarding the types of coordination, as follows: journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 168 tito inneka widyawati and toddy aditya 1. according to the scope, consists of: a. internal coordination, which is coordination between officials or between units within an organization. b. external coordination, namely coordination between officials from various organizations or between organizations. 2. according to the direction, consists of: a. horizontal coordination, which is coordination between officials or between units that have the same level of hierarchy in an organization, and between officials from equal organizations or organizations of the same level. b. vertical coordination, namely coordination between officials and lower level units by their superior officials or direct supervisor level units, as well as branches of an organization or parent organization. c. diagonal coordination, which is coordination between officials or units with different functions and different levels of hierarchy. d. functional coordination, which is coordination between officials, between units, or between organizations based on the similarity of functions, or because the coordinator has certain functions. 3. according to the government regulation of the republic of indonesia number 6 of 1998, consists of: a. functional coordination, which is between two or more agencies that have closely related programs. b. institutional coordination, which is the coordination of several agencies that handle a particular business in question. c. territorial coordination, which is the coordination of two or more regions with certain programs. while the types of coordination are based on permendagri number 33 of 2008 concerning guidelines for the working relations of regional device organizations in the implementation of regional government, article 9, as follows (permendagri number 33 of 2008, article 9): 1. hierarchical coordination (intersectoral) which is carried out in organizational units by the leadership below 2. functional (cross-sectoral) coordination carried out between agencies from different sectors that are related based on their functions in carrying out activities; and p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 169coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation 3. institutional (multisectoral) coordination, coordination carried out with other relevant agencies based on institutional linkages. in general, organizations that coordinate can be distinguished on several ways, one of which is through what the organization will coordinate. 1). organizational units that coordinate depend on the similarity of the media used, usually the similarity in the type of funding or similarity in the people who carry it out. 2). organizational units that coordinate by sharing ways because of the same function. 3). organizational units that coordinate in the same working area: at national, regional or local levels. 4). organizational units that coordinate due to special task areas, namely coordinating a particular program or project implementation. approaches to achieving effective coordination communication is the key to effective coordination. coordination directly depends on the acquisition, dissemination and processing of information. the greater the task uncertainty that is coordinated, the more need for information. basically coordination is information processing. three approaches to achieving effective coordination according to muhammad and rois (2016), namely as follows: 1. the first approach is with basic management techniques.by using these basic management techniques, managerial hierarchies, plans and objectives are general directors of activities and rules and procedures. 2. the second approach is to increase potential coordination.it becomes necessary if various organizational units become interdependent and broader in size and function. 3. the third approach is to reduce the need for coordination. in some situation it is inefficient to develop additional coordination methods. this can be done by providing additional resources for the organizational units or regrouping organizational units so that tasks can be independent. these three approaches to achieving effective coordination can be seen in the following figure: journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 170 tito inneka widyawati and toddy aditya figure 2. three approaches for effective coordination an explanation of the three approaches to effective coordination, explained handoko (2009), is as follows: 1. basic coordinating mechanisms the basic mechanisms for achieving coordination are vital components of management which can be briefly described as follows: a. managerial hierarchy. the chain of command, the flow of information and work, formal authority, a clear relationship of responsibility and accountability can foster integration if clearly formulated and carried out with the right direction. b. rules and procedures. rules and procedures are managerial decisions that are made to handle routine events, so that they can also be efficient tools for routine coordination and supervision. c. plan and goal setting. its development can be used for coordination through directing all organizational units towards the same goals. this is necessary if the rules and procedures are no longer able to process all the information needed to coordinate the activities of organizational units. 2. improving potential coordination if the basic coordination mechanism is not enough, investment in additional mechanisms is needed. potential coordination can be increased in two events, vertical and sideways (horizontal), along with an explanation: a. vertical information system. vertical information systems are devices through which data is channeled through organizational levels. communication can occur inside p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 171coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation or outside the chain of command. management information systems have been developed in activities such as marketing, finance, production and international operations to improve the information available for planning, coordination and supervision. b. lateral (horizontal) relationships. through cutting the chain of command, lateral relations allow information to be exchanged and decisions made at the hierarchical level where the information needed is available. there are several lateral relations, which can be specified as follows: 1) direct contact between individuals who can improve work effectiveness and efficiency. 2) the role of the liaison, which handles communication between departments thereby reducing the length of the communication channel. 3) panitya and task force. panitya is usually formally organized with regularly scheduled meetings. the task force is formed when needed for special problems. 4) integration of roles, carried out by a product or project manager, needs to be created if a particular product, service or project requires a high level of coordination and continuous attention from someone. 5) the role of managerial liaison, who has the power to approve the formulation of the budget by units that are integrated and implemented. this is necessary if the integration position described in the above role does not effectively coordinate certain tasks. 6) matrix organization, first developed in the space industry. but lately the concept of matrix organization has been developed mainly in construction companies, contractors, consulting firms, accounting firms, and other organizations working with many projects that have limited and concurrent turnaround times, requiring coordination and high technical achievement, and requires a variety of special skills and expertise. 3. reducing the need for coordination if the basic coordinating mechanisms are insufficient, potential coordination can be enhanced by the use of the above methods. but the need for very large coordination can lead to overloading and even expand coordination mechanisms. the most constructive step that can be taken in dealing with this case is to reduce the need for coordination. there are two methods for reducing organizational needs, namely: journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 172 tito inneka widyawati and toddy aditya a. creation of additional resources. additional resources provide allowances for work units. the addition of labor, raw materials or time, reduced assignments and reduced problems. b. creation of tasks that can stand alone. this technique reduces the need for coordination by changing the character of organizational units. task groups that can stand alone are given full responsibility of one operating organization (company). determination of the right coordination mechanism an important consideration in determining the best approach for coordination is to adjust the capacity of the organization to coordinate with coordination needs. how much information does the organization need to carry out its operations? how much information processing capability? if the need is greater than ability, the organization must determine a choice: improve potential coordination or reduce blindness. conversely, too much information processing capability relative to needs is economically inefficient, because to create and maintain these mechanisms is expensive. failure to match information processing capabilities with needs will cause a decrease in achievement. handoko (2009) research methods in this research process, the author uses qualitative methods, by collecting data through observation and interviews, or commonly referred to as primary data, and using secondary data. qualitative research is research that produces analytical procedures that do not use statistical analysis procedures or other ways of quantification. the purpose of qualitative research is that researchers conduct intensive research, researchers participate long in the field, record carefully what is happening, do reflective analysis of various documents found in the field, and make detailed research reports(sugiyono, 2011). data collection techniques used in this research are: data collection by observation, data collection with interviews, data collection techniques with documents, and triangulation. the informant retrieval technique in this study was carried out with the use of key informants (key informants), namely people who have knowledge and are able to explain the actual situation about the object of research to get the data needed and get specific data. informants are people who are in the scope of research, meaning that people can provide information about the situation and background conditions of the study. so, he must have a lot of experience about the research problem and voluntarily become a source of information even though not formally, they can provide their insights from the values, attitudes, buildings, processes and culture that are the background of), p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 173coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation suggesting that there are 3 steps in data analysis, namely data reduction, data display and conclusion drawing verification. results and discussion coordination is an attempt to harmonize different activities in an effort to achieve the goals that have been set beforehand. therefore, the implementation of coordination is important, because coordination is needed to avoid the occurrence of irregularities in the plans that have been set. coordination of the regional disaster management agency (bpbd) in flood mitigation in the city of tangerang can be done using a basic coordination mechanism, namely the existence of management hierarchies, rules and procedures, and plan and goal setting. there are three flood disaster management activities in tangerang city, namely: 1. pre-disaster stages of tangerang city flood disaster management pre-disaster stages disaster management consists of prevention in the event of potential disasters and prevention when there is no potential disaster. pre-disaster activities are carried out based on the principles of vulnerability. this vulnerability is a condition of a community or community that leads to or causes an inability to face the threat of danger. this level of vulnerability is divided into three, namely physical vulnerability, social vulnerability and economic vulnerability. physical vulnerability describes a physical condition (infrastructure) that is prone to certain hazard factors. this vulnerability condition can be seen from various indicators such as percentage of built area, building density, percentage of emergency construction buildings, electricity network, ratio of road length, telecommunications network, clean water network and railroad. social vulnerability describes the social condition of the level of social fragility in the face of danger. in vulnerable social conditions, if a disaster occurs, it can be ascertained that it will cause a large loss. some indicators of social vulnerability include population density, population growth rate, and the percentage of old-age children under five. while economic vulnerability describes a condition of the level of economic fragility in the face of danger. some indicators of economic vulnerability include the percentage of households working in the vulnerable sector (sectors that are vulnerable to termination of employment) and the percentage of poor households. 2. stages of emergency response for tangerang city flood disaster management. emergency response is a stage in disaster management which consists of a series of activities to deal with the adverse effects of disasters that occur, namely the activities of rescue and evacuation of victims, protection of property, fulfillment of basic needs, protection of refugee management, rescue and recovery of infrastructure. all of these emergency response activities were carried out in a coordinated manner by the tangerang city regional disaster management agency (bpbd) along with related journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 174 tito inneka widyawati and toddy aditya agencies in the city of tangerang, among others, the social service, the health service, and the tangerang city police. 3. post-disaster phase of tangerang city flood disaster management. post-disaster stages are stages that consist of rehabilitation and reconstruction after a disaster by providing comprehensive needs in the form of both physical and humanitarian aspects. coordination of the tangerang city bpbd in flood mitigation 1. management hierarchy the management hierarchy is the chain of command, the flow of information and work, formal authority, the relationship of responsibility and accountability that can clearly foster integration if clearly formulated and carried out with the right direction. the hierarchy of management in the coordination of disaster management by the regional disaster management agency (bpbd) of tangerang city includes a command function carried out by bpbd to members coordinating, communicating and monitoring, as well as submitting reports of members of the coordination to bpbd as the coordinator of the tangerang city flood disaster management process. the coordination process for flood relief in the city of tangerang began with the delivery of information by teams formed from the bpbd, namely the trc rapid reaction team. this trc has the task of monitoring flood-prone areas, whether there is a potential for flooding or there is no potential for flooding. if a potential flood occurs, the report made by trc based on field observations is supported by community information, reported to the head of bpbd and then carried out communication to the relevant agency for actions related to flood disaster management. in its coordination function, the regional disaster management agency (bpbd) of tangerang city conducted monitoring and evaluation in every disaster activity. the overall evaluation is done once a year. for monitoring mitigation activities carried out in the third and sixth months, rehabilitation evaluation and monitoring is carried out once when the activity ends, while for emergency response, monitoring and evaluation is carried out every day periodically during the emergency response period, namely in the morning, afternoon and evening in evacuation posts. this monitoring was carried out by the chief executive of bpbd. 2. rules and procedures rules and procedures are managerial decisions that are made to handle routine events, so that they can also be efficient tools for routine coordination and supervision. regulations and procedures in coordination by the regional disaster management agency (bpbd) in flood mitigation in tangerang city include understanding members of the coordination p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 175coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation regarding all regulations and procedures related to disaster management and the suitability between actions when in the field and existing regulations. current disaster management since the enactment of law no. 24 of 2007 concerning disaster management has undergone a paradigm shift, from being initially only oriented to emergency response, currently not only emergency response but oriented to pre-disaster, emergency and post-disaster response. with the enactment of law no. 24 of 2007 helped clarify the authorities in disaster management. each disaster management activity refers to law no. 24 of 2007, tangerang city regulations no.85 of 2016, and the tangerang city bpbd simple sop, regarding bpbd disaster management activities. 3. plan and determination of goals the plan and determination of objectives is that development can be used for coordination through directing all organizational units towards the same goals. this is necessary if the rules and procedures are no longer able to process all the information needed to coordinate the activities of organizational units. planning and achieving goals in coordinating disaster management are reflected in each coordination meeting between bpbd as coordinator with relevant agencies, gathering information between one coordination member and another in the form of coaching and training, as well as commitment in determining disaster management objectives. in each disaster management activity, namely pre-disaster, emergency response and post-disaster, there are always coordination meetings or large meetings led by bpbd. disaster management planning is carried out through the preparation of data on disaster risk in an area within a certain time based on an official document containing the program of disaster management activities. this includes the introduction and assessment of disaster threats, an understanding of the vulnerability of the community, an analysis of the possible impact of disasters, the choice of disaster risk reduction measures, the determination of the mechanism of disaster preparedness and mitigation, as well as the allocation of tasks, authority and available resources. planning and setting goals in handling floods are unavoidable in the process of coordinating disaster management. planning and goal setting are one of the factors that support coordination to work well and effectively. conclusions and recommendations conclusion bpbd coordination in flood prevention in tangerang city can be seen from the command function carried out by bpbd to members coordinating, communicating and monitoring, as well as submitting reports of member coordination to bpbd as coordinator in the tangerang city flood disaster management process. disaster management is based journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 176 tito inneka widyawati and toddy aditya on the enactment of law no. 24 of 2007 concerning disaster management experiencing a paradigm shift, from being initially only oriented to emergency response, currently not only emergency response but oriented to pre-disaster, emergency and post-disaster response. then the planning and achievement of objectives in coordinating disaster management is reflected in each coordination meeting activity between bpbd as coordinator with relevant agencies, gathering information between one coordination member with another in the form of coaching and training, and commitment in determining disaster management objectives. recommendations coordination will be better with the improvement of the quality of its human resources. because the main key in coordination is human resources. coordination in the pre-disaster stages, preferably carried out to the kelurahan and kecamatan parties, in the disaster response stage coordination must be carried out with all opd including tni and polri, and in the post disaster phase bpbd should coordinate with the cleaning department. references abbas, a., amjath-babu, t. s., kächele, h., usman, m., & müller, k. (2016). an overview of flood mitigation strategy and research support in south asia: implications for sustainable flood risk management. international journal of sustainable development & world ecology, 23(1), 98–111. asumadu-sarkodie, s., owusu, p. a., & jayaweera, m. p. c. (2015). flood risk management in ghana: a case study in accra. advances in applied science research, 6(4), 196–201. difrancesco, k. n., & tullos, d. d. (2015). assessment of flood management systems’ flexibility with application to the sacramento river basin, california, usa.international journal of river basin management, 13(3), 271–284. handoko, t hani. 2009. manajemen. yogyakarta. bpfe-yogyakarta hasibuan, malayu s.p. 2011. manajemendasar, pengertian, danmasalah. jakarta : pt. bumiaksara muhammad, helmi dan rois arifin. 2016. pengantar manajemen. malang: empat dua. ndraha, taliziduhu. 2003. kybernology (ilmu pemerintahan baru). jakarta: rineka cipta. sayers, p., galloway, g., penning-rowsell, e., yuanyuan, l., fuxin, s., yiwei, c., … guan, y. (2015). strategic flood management: ten ‘golden rules’ to guide a sound approach. international journal of river basin management, 13(2), 137–151. sidik, machpud. 2001. optimalisasipajak daerah danretribusi daerah dalamrangkameningkatkankemampuankeuangan daerah.jakarta :balaipustaka p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 177coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation sugandha, dann. 1991. koordinasi alat pemersatu gerak administrasi. jakarta: intermedia. terry, george r. 1982. principle of management. illinois : richard d irwin,inc thieken, a. h., kienzler, s., kreibich, h., kuhlicke, c., kunz, m., mühr, b., …pisi, s. (2016). review of the flood risk management system in germany after the major flood in 2013. ecology and society, 21(2). usman, husaini. 2011. manajemen, teori, praktek, dan riset pendidikan. jakarta : pt. bumi aksara westra, patriata. 1989. ensiklopedi administrasi. jakarta: gunung agung. winardi. 2007. manajemen perilaku organisasi edisi revisi. jakarta :kencanaprenada media group. copyright (c) 2018 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00. halaman prelims 00. halaman prelims 00. halaman prelims daftar isi daftar isi 04. coordination of regional cover cover (tampak depan) daftar isi 04. coordination of regional 2 (mitologi yunani) 1 34 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis (magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 35 46 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 (1government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 47 61 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 (1magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 63 78 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 (1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 91 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 (1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  35 citation : abadi, surya jaya, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani. 2019. “civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, 35-46. journal of government and civil society vol. 3, no. 1, april 2019, pp. 35-46 doi: 10.31000/jgcs.v3i1.1236 received 26 januari 2019  revised 29 march 2019  accepted 21 april 2019 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 1 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: suryajayaa11@gmail.com 2 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: atmojoeko91@gmail.com 3 government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: helen.2016@pasca.umy.ac.id abstract bureaucratic reform is an effort to reform and change fundamentally in a system of governance that involves institutional aspects (organization), management (business process) and human resources apparatus to realize good governance. the lack of civil servants within the bantul regency government, such as teachers, health workers and technical personnel, are caused by the presence of retired employees and the enactment of the civil servants candidate (cpns) moratorium policy which causes the workload (abk) figures of an organization and employees to be heavier than before which can affect public service quality. the method used in this study is descriptive qualitative. the results showed that the performance of civil servants in the education, youth and sports department was very good, besides that the arrangement of work plans was also in accordance with the standards of the organization. however, there are some obstacles, especially in the timeliness of completing assignments, and the ideas or initiatives of civil servants in delivering ideas are still lacking. meanwhile, the factors that influence civil servants performance in carrying out their tasks are lack of human resources, the presence of seniority and the lack of awareness of asn about the importance of implementing education and training. keywords: bureaucratic reform, state civil apparatus, employee performance abstrak reformasi birokrasi adalah upaya untuk mengubah secara fundamental suatu sistem pemerintahan yang melibatkan aspek kelembagaan (organisasi), manajemen (proses bisnis) dan aparatur sumberdaya manusia untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. kurangnya jumlah pegawai negeri yang dialami oleh pemerintah daerah kabupaten bantul, seperti guru, tenaga kesehatan, dan tenaga teknis, terutama disebabkan karena masa pensiun dan diberlakukannya kebijakan moratorium calon pegawai negeri sipil (cpns) sehingga angka beban kerja (abk) organisasi dan karyawan menjadi lebih berat dari sebelumnya yang selanjutnya dapat memengaruhi kualitas layanan publik. penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai negeri sipil di dinas pendidikan, pemuda dan olahraga sangat baik. selain itu, pengaturan rencana kerja juga sesuai dengan standar organisasi. namun, ada beberapa kendala, terutama dalam ketepatan waktu menyelesaikan tugas dan gagasan atau inisiatif pegawai negeri dalam menyampaikan gagasan yang masih kurang. sementara itu, faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mereka adalah kurangnya sumberdaya manusia, iklim senioritas, dan kurangnya kesadaran asn tentang pentingnya melaksanakan pendidikan dan pelatihan. kata kunci: reformasi birokrasi, aparatur sipil negara, kinerja pegawai journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 36 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani introduction bureaucratic reform is one of the fundamental reforms and changes in the system of governance that concerns on institutional aspects (organization), management (business process), and human resources of the apparatus. bureaucratic reform is carried out to realize good governance. bureaucratic reform is a strategic step to build state apparatus to be more efficient and effective in carrying out the general tasks of government and national development, therefore the goals and targets set can be achieved effectively and efficiently (www.menpan.go.id). the state civil apparatus (asn) is a profession for civil servantsand government employees with employment agreements (pppk) as contained in law no. 5 of 2014 concerning state civil apparatus. the state civil apparatus which is located as an element of the state apparatus has the function as the executor of public policy and public servants. meanwhile, the role of state civil apparatus is very important, such as a planner, executor, and supervisor of the implementation of general tasks of government and national development through the implementation of professional public policies and services, free from political intervention, and clean from the practices of corruption, collusion and nepotism, an efficient and accountable public service will be created. this was also stated by atmojo (2016) who said that in order to realize good and clean government, the state civil apparatus needed professionalism in carrying out their duties as public servants. in the framework of bureaucratic reform, it is necessary to conduct organizational structuring and structuring of civil servants (rightsizing) to optimize the performance of human resources and efficiency of the existing employee budget. therefore on august 24, 2011 the stipulation of the civil servants candidate (cpns)moratorim policy in a joint regulation of the minister of state for administrative reform and bureaucratic reform, minister of home affairs, and minister of finance number 02/spb/m.pan-rb/8/2011, number 800-632 in 2011, number 141/pmk.01/2011 concerning temporary delays in acceptance of cpns. the aim of the policy is to overcome the ineffective and inefficient growth of civil servants by organizing the organization and structuring of the asn as well as reducing the budget for employee in the regions and national scope. bantul regency government has submitted proposal to the menpan-rb bureaucratic reform team for the new cpns formation in functional positions such as teacher staff, health workers (http://old.solopos.com). in addition to requiring teachers and health workers, the government also requires the required technical staff, but the number of technical employee needed is not as much as teachers and health workers (http:// old.solopos.com). of the three laborers the most needed teachers, this is due to the impact of the cpns moratorium policy and the large number of elementary school asn teachers appointed through presidential instruction in period i (1976), period ii (1977) and period iii (1978) who will retire from 2017 to 2019 (http://jogja.tribunnews.com). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 37civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 in 2016, the number of asns in bantul regency which will and/or have entered retirement period is 441 (four hundred forty one) people. the number of asns entering retirement period 1 july to 1 december 2016 were 223 consisting of teachers, functional health positions and general functional positions (dahlan, 2016).the lack of civil servants within the bantul regency government, especially teachers, health workers and technical servants caused by several factors including the existence of retired employees and the existence of a cpns moratorium policy, therefore the bantul regency government cannot recruit civil servants. with the lack of civil servants, the workload (abk) of an organization and employees will be heavier than before and can also affect the quality of public servants. from the explanations, it is known that the number of civil servantsare the most needed. therefore this study will focus on how the civil servants performance of the education, youth and sports department in bantul regency in 2017. theoretical framework human resource management according to mangkunegara (in permansari, 2013) human resources (hr) in companies need to be managed professionally to realize a balance between the needs of employees with the demands and capabilities of the company’s organization, this balance is the main key for the company to develop productively and naturally. so, an employee or employee is an important resource that is a mandatory company or organization. it is also in accordance with what was stated by rivai (in rozalinda, 2016) in the management of hr employee is the main wealth (assets) of the company that must be maintained properly so that the factor that becomes a concern in hr management is the human. human resource management (hr) according to mangkunegara (in iskarim, 2017) is a planning, organizing, coordinating, implementing, and overseeing the procurement, development, remuneration, integration, maintenance, and separation of labor in order to achieve organizational goals. according to batteman and snell hr management is a process and an effort to recruit, develop, motivate, and evaluate the overall hr needed by the company in achieving its objectives (rozalinda, 2016).rivai and sagala also added, while the final goal to be achieved in hrm is basically an increase in efficiency, increased effectiveness, increased productivity, low levels of employee transfers, low absenteeism, high employee job satisfaction, high service quality, low complaints from customers and increased company business (yusuf, 2015). to achieve its objectives there are several activities in hrm. meanwhile, the indicators are: hr planning, recruitment, selection, training and development, job performance assessment, compensation, safety maintenance of workers, employee relations. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 38 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani employee performance nawawi termed performance as a work, namely a result of the implementation of a work both physical and non-physical (patiran, 2010). according to istiningsih performance is the work of employees both in terms of quality and quantity based on predetermined work standards (sriwidodo & haryanto, 2010). thus, according to mangkunegara, defining employee performance (work performance) is as a result of work in quality and quantity achieved by an employee in carrying out his duties in accordance with the responsibilities given to him (kusuma, 2013).dessler argues that employee performance is a work achievement, which is a comparison between work results that can be seen clearly from the work standards set by the organization (fauza & wismantoro, 2014). sherman and gomes said that “job performance is the number of successful role achievement”. that is, work performance / performance is the number or measure of success for something achieved (prihantoro, 2012). according to timple (in kusuma, 2013), performance factors consist of internal factors and external factors: 1. internal factors, which are factors that are related to a person’s characteristics. for example, a person’s performance is either caused by having a high ability, while someone has a poor performance due to having a low ability and that person has no effort to improve his abilities. 2. external factors, which factors that influence a person’s performance from the environment, such as behavior, attitudes, and actions of coworkers, subordinates or leaders, work facilities and organizational climate. research methodology this study uses descriptive qualitative methods. qualitative research methods are usually referred to as naturalistic research methods, because the research is carried out in natural settings, also called qualitative methods because the data collected and the analysis are more qualitative (sugiyono, 2014). this research will be conducted at the bantul regency youth and sports education office. data collection techniques in this study used non-participant observation, interviews, and documentation. while data analysts use the method of miles and huberman (2007) tjepjep rohendi rohidi’s translation in nurliana (2013) said there are 3 kinds of interactive data analyst models that can be used, namely; (a) data reduction; (b) data presentation; (c) draw conclusions/verifications. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 39civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 results and discussion the state civil apparatus performance in order to realize good public services, it must be supported by competent and professional apparatus resources. given the apparatus resources are the most important organs in the wheels of government. to realize this, it must be supported by the existence of bureaucratic reform in the field of staffing. zulchaidir (2011) states that one of the efforts made by the government in increasing the capacity of the apparatus is to carry out “bureaucratic reform” in the field of staffing which is believed to lead to a condition of the government bureaucracy that is expected by the public.with the realization of competent and professional apparatus resources, it will greatly affect the performance of the state civil apparatus in each agency or bureaucracy. therefore there are several indicators that can be done to see the performance of the state civil apparatus in the department of education, youth and sports of bantul regency, including the following: first, quality of work is a result that can be measured by the effectiveness and efficiency of a work carried out by human resources (hr) in terms of achieving organizational goals well and efficiently. based on the results of asn works in the department of education, youth and sports, bantul regency is already good, with the existence of rewards and high awareness of the responsibility of individual asn assignments to obtain optimal work results targeted by the organization. this is supported by government agency performance accountability report 2017 data which shows the main performance indicators of the education, youth, and sports department of bantul regency. table 1. key performance indicators 2017 no. key performance indicators 2017 target realization 1. drop rate of elementary school/mi 0.02 0.01 2. drop rate of middle school / mts 0.02 0.02 3. graduation percentage of elementary school/mi 100 100 4. graduation percentage of junior high school /mts 100 100 5. apk sd/mi 96.15 97.73 6. apk smp/mts 95.15 99.76 7. apm sd/mi 84.2 88.25 8. apm smp/mts 67.7 77.01 9. continuing numbers of elementary school/mi 100 106.62 10. continuing numbers of junior high school/mts 100 105.96 11. average school length 8.84 9.4 12. apk paud 98.75 108.68 13. provincial level sports achievement percentage (popda / student sports week) followed 26 31.4 14. number of pioneer youth 4 5 source: lakip dept. of education, youth, and sports of bantul regency in 2017 journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 40 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani based on the table data above shows that the achievement of the main performance indicators of the bantul regency in 2017 can almost be realized with 100% even more except for the elementary schooldropout rate indicator which is only realized 0.01 of the 0.02 target. meanwhile, the highest realization was in the junior high school indicator of 77.01 from the target of 67.7 and the paudof 108.68 from the target of 98.75. based on the performance measurement of the achievement of the main performance indicators of the education,youth and sports department in 2017, it can be concluded that at 14 the target indicators are very high with an average achievement of 110.69%. in addition, there is also a match between the results of the civil servants work and the goals of the organization and the benefits of the work of the civil servants. meanwhile, the purpose of the department of education, youth, and sports of bantul regency is to realize of quality education in noble character, intelligence, excellence, independence and character, improving the quality of civil servantsmore effective, efficient, transparent, and high accountability in realizing educational equity. in the target or expectation of the achievement of the resulting performance is the improvement of the quality of attitudes and mental learners, increasing early childhood education, increasing the quality of basic education and increasing the quality and quantity of education, youth, and sports department civil servants. while the benefits of the work of asn are very helpful for the organization, especially in matters such as the implementation of tasks and problems solving faced by the existence of good cooperation between asns. secondly, the accuracy of the work plan arrangement (renja) of the education, youth, and sports department is already good, this is because there are already those who are handling the problem of scheduling program implementation activities in each of their respective fields. the implementation of activities in the work program in the department of education, youth, and sports of bantul regency itself can be seen from the results of evaluations carried out in the third or fourth quarter where if the budget absorption of an activity reaches 50-60 percent, it can be said that the activity has been carried out implemented, the budget was allocated to activities that were not yet possible and could be implemented so that the budget could still be absorbed. the timeliness of asns in completing its work can be appropriate if there are no technical and administrative problems such as revisions, especially physical work due to delays in proposing to units that charge, there is an auction. in the case of education, youth, and sports department already have the service standards such as in terms of managing diplomas and others that in theory only require 30 minutes as long as the conditions in terms of management have been completed. in work discipline with the existence of the reward it is very influential for work discipline and asn work performance. from the explanations, it can be said that the arrangement of the work plan (renja) by the department of education, youth, and sports of bantul regency is p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 41civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 good, this can be seen by the civil servants that handling the problem of scheduling program implementation activities in each of their respective fields. the suitability of the work plan with the results of performance is already in conformity where we can see also in the 2017 government performance report of department of education, youth, and sports, bantul regency. meanwhile, the timeliness of asn in completing its tasks still has problems, usually technical and administrative problems such as revisions, delays in proposing to units with the auction. in terms of the discipline of work asn is good especially with the existence of rewards that can affect discipline in work and work performance of the asn. third, giving ideas in dealing with problems that exist in the department of education, youth, and sports of bantul regency uses directives from direct leaders in terms of solving the problems. while the asn initiative in carrying out this task is relatively relative because each asn has different initiatives depending on the motivation of each asn’s performance. the way in the aspect of initiative giving ideas in solving problems faced is still lacking, this can be seen where direct direction is given from the leadership in terms of resolving the problems faced fourth, the asn authority has been regulated in the governor regulation, therefore each asn already knows what to do and also becomes its responsibility. in addition, the autonomy has also been described by each field in department of education, youth, and sports, bantul regency. each asn has also shown that in carrying out the authority and additional tasks each asn has done it responsibly. in the ability of asn to manage the resources or potential that exists in the organization itself it is already good, this is supported by the effectiveness of budget accountability and resource efficiency. fifth, communication within the organization is an activity that is always present because communication is a tool used by employees, both formally and informally, to discuss, exchange the ideas, make reports to superiors, provide direction to subordinates and so on. where communication is used in the service environment using two-way communication. officials of asn services also always maintain communication with other organizations asn well and cooperation between asn in organizations is also well established as in the case of implementation of authority or problems that exist in their respective fields. from a number of previous explanations, it can be said that the communication between asns at the service is good by using two-way communication, both vertical two-way communication such as communication between leaders and asn and vice versa, horizontal two-way communication such as communication between asns and diagonal two-way communication such as communication between the heads of fields. it is said to be good because with two-way communication the information received is clearer and more accurate so that it can minimize the occurrence of misunderstandings in carrying out tasks and also be able to build a democratic climate in journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 42 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani the work environment because it allows each party to express their responses and opinions. likewise, external communication between asns and cooperation between asns can be said to be good. factors affecting the performance of the state civil apparatus there are two factors that affecting the state civil apparatus performance, which are the internal and external factors. internal factors internal factors will greatly affect the performance of civil servants, especially in the age factor. the benchmarks that can influence the performance of the state civil apparatus in the bantul regency in department of education, youth, and sports are age factors, educational background, and the tasks factors. first, the age factor is inversely proportional to asn’s performance, such as increasing age, the performance of asn will decrease which can be caused by several factors such as productivity where at a young age skills, speed, strength are better than old age apart from the economy where the elderly, especially those who are already married, are economically different from young age. from the results of interviews with head of ptk (supardi, 2018) mentioning that asns aged 30-40 years were 17 or 10%, asns aged 41-50 years were 37 or 23% and asns aged 51-60 years were 111 or 67%. thus the asn of 51-60 years reached the highest percentage of 67% totaling 111 asn, while the age of 30-40 years asn was the lowest percentage of 10%, amounting to 17 asns. from some of the explanations above, it can be seen that the age of asn in the department of education, youth, and sports of bantul regency is dominated by asns aged between 51-60 years, namely 111 or 67%. age ranges from 51 to 60 years including old age even though it is still classified as productive age, where the productive age is between the ages of 15-65 years. second, the level of education or educational background of the asn can affect performance where the knowledge, experience, skills and insights that can be obtained when studying in high school or college and so on are different as well as the formation of characters in each asn. asn education level in the department of education, youth, and sports of bantul regency, asn with junior high school education is only 1 or 1%, sma / smk is 33 or 20%, d-iii is 5 or 3%, s1 is 80 or 48%, s2 is 45 or 27% and s3 is only 1 or 1%. thus, asn with education level s3 and smp each only number 1 with the lowest percentage of 1%, while the asn s1 has the highest percentage of 48% which is as much as 80 asn. from a number of explanations above, it can be seen that asn with s1 education level is the most dominant with a percentage of 48%, it can be said that asn in the department of education, youth, and sports of bantul regency is fairly good based on asn education level. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 43civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 third, the difficulties faced by asn in implementing tasks are the lack of asn where there is an imbalance between the number of human resources and the workload that must be carried out and the culture of seniority in carrying out the work. it is known that there is an influence from authority in the asn performance, where the availability of asn performance will become easier because asn can know what to do in carrying out its work. almost all of the asns already knew what was being handled by each and there was a match between the education, skills or abilities possessed by the authorities carried out by each asn. meanwhile, the difficulties faced in implementing the authorities are: first, the lack of asn in carrying out the work. second, there is still a culture like seniority at work. third, in terms of carrying out tasks which most have to partner with other organizations, which is the problem of time or schedule which must match the time and schedule between each organization. external factors whereas for external factors that can affect the performance of the state civil apparatus in the bantul regency in department of education, youth, sports are as follows: education and training (diklat), leadership and organizational culture. the following is an explanation of external factors which can affect the performance of the state civil apparatus in the bantul regency youth and sports education office. first, education and trainingis an effort in developing human resources especially to develop intellectual abilities and personality of a person to be more professional in carrying out their work so that organizational goals can be achieved and have relevance to employee performance. there are 3 asns in the department of education, youth, and sports of bantul regency with groups iii/c and iii/d as well as the types of education and training that are followed, namely training iv leadership (pim iv). there are 12 activities of the department of education, youth, and sprots of bantul regency to develop asn. the activities consisted of a number of education and training such as the prospective school principals, basic training for childhood education, education and training for kindergarten heads, education and training for childhood management, education and training for school supervisors and several workshops/seminars such as workshop to increase the capacity of principals and official apparatus resources, increase teacher competencies, supervisors and school administration staff, training candidates for functional position credit rating and functional position credit rating. the benefits of implementing the education and training for asn are being able to improve the capabilities or skills and competencies possessed by asn according to their respective positions or fields. the implementation of this training itself has an impact on asn in terms of facilitating or facilitating work in accordance with their respective positions or fields. the implementation of education and training can also affect asn’s performance journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 44 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani such as in terms of discipline, leadership and patterns in team building and collaboration. as for the inhibiting factors in the implementation of training, one of them is still a lack of awareness or understanding of asn about the importance of implementing education and training. second, leadership is the behavior of individuals who lead the activities of a group or organization to achieve shared goals or organizational goals. in the aspect of leadership in this study will explain the model or pattern of leadership used in the organization, how the model and pattern of leadership in influencing the performance of asn. the leadership style used by the leaders at the education, youth, and sports department uses a democratic leadership style in which it is believed that this leadership style can develop the asn mindset where they will be free to create as long as they do not violate the rules or vision and mission of its department. in influencing asn performance it is believed that the model factor or leadership pattern can influence the performance of asn where a leader who is loved, respected and can inspire asn especially in the department of education, youth, sports of bantul regency. its department leadership prioritizes a democratic leadership style which will give the asn more freedom to create additionally as long as it does not deviate from the organization’s vision and mission. the model or pattern of leadership is very influential on the performance of the asn of the department of education, youth, and sports of bantul regency. third, the organizational culture of a system of shared meaning that is believed by all employees to distinguish an organization from other organizations. this system of shared meaning is a set of characteristics that are held in high esteem by the organization. there are several organizational cultures in the department of education, youth, and sprots in bantul, such as work discipline, a culture of cooperation in each field, and a culture of service that is fast, friendly and has a lot of levies that were just announced in the previous year. organizational culture is considered to influence the performance of the asn, one example of which is the discipline of asn where there will be differences in the results of the asn work output between asns that are not disciplined in work and asn whose work discipline. the influence of organizational culture on asn performance is quite large where the work environment is conducive and good, the performance produced by asn will be good too because the work environment and performance of the asn affect each other. in organizational culture there are factors of leadership where the leader can also bring cultural factors within the organization. from the several explanations above, it can be said that organizational culture can affect the performance of asn. meanwhile, examples of organizational culture such as work environment, discipline of asn, and atmosphere in organizations such as cooperation between asns. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 45civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 conclusion asn performance of the department of education, youth, sports of bantul regency in 2017 in terms of the quality of asn work to obtain optimal work outcomes targeted by the organization, the ability of asn to implement the authority and to manage existing resources or potential, as well as patterns of communication between leaders and asns and fellow asns between heads of fields are good. the aspects of accuracy are fairly good, where in the arrangement of work plans and the compatibility with the objectives of the organization but there are several obstacles in the timeliness of completing tasks such as technical and administrative issues. meanwhile, in terms of asn initiatives in conveying ideas or ideas in solving problems faced, they are still lacking. the factors that influence asn performance are measured based on internal factors such as age, level of education and external factors such as education and training (diklat), leadership and organizational culture. the number of asn of the department of education, youth, and sports of bantul regency in 2017 with the most dominant age of 51-60 years is 111 or 67% and asn based on s1 education level is the most dominant 80 or 48% and the organizational culture in the department of education, youth, and sports in bantul regency a culture of discipline and a culture of service that is friendly, fast and free of charges. meanwhile, several constraints that exist in asn in carrying out their tasks are lack of human resources and a sense of seniority and lack of awareness of asn about the importance of implementing education and training. references atmojo, muhammad eko. (2016). analisis proses promosi jabatan aparatur sipil negara studi kasus: proses promosi jabatan stuktural eselon ii di pemerintah daerah daerah istimewa yogyakarta tahun 2014. aristo jurnal, vol 7, juli. cyntara, r. (2018, februari 14). pemkab bantul usulkan rekrut 2.643 cpns. (b. suryani, editor) retrieved april 10, 2018, from solopos: http://old.solopos.com cyntara, r. (2017, juli 15). ribuan guru dan tenaga medis dibutuhkan, kapan lowongan dibuka? (m. d. natalia, editor) retrieved april 10, 2018, from solopos: http:// old.solopos.com dahlan, y. (2016, mei 16). tahun ini, 441 pns kabupaten bantul telah/akan pensiun. retrieved from badan kepegawaian daerah kabupaten bantul: https:// bkd.bantulkab.go.id fauza, d. h., & wismantoro, y. (2014). analisis faktot-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai negeri sipil pada badan pertahanan nasional kabupaten boyolali. media, 22(1), 72-89. iskarim, m. (2017). rekrutmen pegawai menuju kinerja organisasi yang berkualitas dalam perspektif msdm dan islam. manageria: journal of islamic education management, 2(2). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 46 surya jaya abadi, muhammad eko atmojo dan helen dian fridayani kusuma, d. m. (2013). kinerja pegawai negeri sipil (pns) di kantor badan kepegawaian daerah kabupaten kutai timur. e-journal administrasi negara, 1(4), 1388-1400. nurliana (2013). pengelolaan alokasi dana desa (add) dalam pembangunan fisik di desa sukomulyo kecamatan sepaku kabupaten penajam paser utara. journal administrasi negara,volume 1. no 3. osm. (2017, maret 12). bantul krisis guru pns sd. (oda, editor) retrieved april 10, 2018, from tribunjogja: http://jogja.tribunnews.com. patiran, a. (2010). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai negeri sipil (pns). fokus ekonomi, 5(2), 32-43. permansari, r. (2013). pengaruh motivasi dan lingkungan kerja terhadap kinerja pt. anugrah raharjo semarang. management analysis journal, 2(2), 1-19. prihantoro, a. (2012). peningkatan sumber daya manusia melalui motivasi, disiplin, lingkungan kerja, dan komitmen. value added\ majalah ekonomi dan bisnis, 8(2), 78-98. reformasi birokrasi. (n.d.). retrieved april 10, 2018, from kementrian pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi: https://www.menpan.go.id rozalinda, r. (2016). konsep manajemen sumber daya manusia: implementasi pada industri perbankan syariah. al-masraf, 1(1), 107-124. sriwidodo, u., & haryanto, a. b. (2010). pengaruh kompetensi, motivasi, komunikasi dan kesejahteraan terhadap kinerja pegawai dinas pendidikan. jurnal manajemen sumberdaya manusia, 4(1), 47-57. sugiyono, 2014. metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. alfabeta, bandung. yusuf, b. (2015). manajemen sumber daya manusia di lembaga keuangan syariah. (m. n. al arif, ed.) jakarta: pt rajagrafindo persada. zulchaidir (2011). proses rekrutmen pimpinan birokrasi pemerintah daerah di kabupaten sleman dan kota parepare. jurnal studi pemerintahan, volume 2 nomor 2 agustus. copyright (c) 2019 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00.pdf 00. halaman prelims daftar isi 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 3 nomor 2 halaman 93 152 september 2019 issn 2579-4396 93 104 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar junaedi (department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 105 116 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta muhammad quranul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 (1prodi studi pemerintahan, universitas indo global mandiri, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia) 117 – 128 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar aswar annas1, zaldi rusnaedy2 (1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti makasar, indonesia) 129 – 138 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang arif ginanjar (program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia)) 139 152 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat rendy adiwilaga (program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  93 citation : junaedi. 2019. “implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, 93-104. journal of government and civil society vol. 3, no. 2, september 2019, pp. 93-104 doi: 10.31000/jgcs.v3i2.1881 received 31 agustus 2019  revised 21 oktober 2019  accepted 22 oktober 2019 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar implementation of special protection policies for child friendly cities program in makassar junaedi department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia email: junaediunismuh@gmail.com abstrak artikel ini membahas tentang implemetasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar. jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan tipe penelitian yang digunakan adalah tipe studi kasus dengan jumlah informan sebanyak 6 orang.teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.analisis hasil mengunakan analisis dari indikator yang diambil dari kementerian pemberdayaan dan perlindungan anak berdasarkan klaster 5 tentang perlindungan khusus yaitu: korban kekerasan & eksploitasi, korban pornografi & situasi darurat, penyandang disabilitasi dan abh (anak berhadapan dengan hukum), terorisme, stigma. analisis tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan kota layak anak di kota makassar (studi kasus perlindungan khusus) sudah terlaksana dengan merata walaupun masih ada hambatan atau kendala yang dihadapi oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. hal tersebut terjadi karena aparat hukum yang memiliki persepsi yang berbeda, serta kurangnya pemahaman masyarakat. kata kunci: implementasi kebijakan, kota layak anak, perlindungan khusus abstract this article discusses the implementation of special protection policies in child-friendly city programs in makassar. this study is a qualitative research which used 6 people as the informants. data collection for this article included three steps: observation, interview and documentation. to analyze the data, the researcher used some indicators taken from the ministry of empowerment and child frotection based on cluster 5 on special protection, namely: victims of violence & exploitation, victims of pornography & emergency situations, disabled’ people & abh (children facing with law), terrorism and stigma. the result showed that the implementation of child worthy city policies in makassar (a case study of special protection) has been carried out although there are still many obstacles faced by the women’s empowerment and child frotection agency. this happens because law enforcement officials have different perceptions, as well as a lack of public understanding. keywords: policy implementation; child worthy city; special protection pendahuluan di indonesia permasalahan perlindungan terhadap anak sekarang ini menjadi salah satu isu utama yang diperbincangkan.berbagai permasalahan dan kasus yang menjadikan anak sebagai korban banyak terjadi beberapa tahun belakangan ini.permasalahan tersebut diantaranya adalah perlakuan diskriminasi, kekerasan, eksploitasi dan penelantaran journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 94 junaedi terhadap anak. berdasarkan survei kekerasan terhadap perempuan dan anak 2006 oleh bps yang dimuat dalam profil anak tahun 2013 oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (kpp & pa), menunjukkan bahwa sebesar 3% anakanak indonesia mendapat kekerasan dalam lingkungan keluarga dalam berbagai bentuk. hal ini berarti bahwa setiap 100 anak indonesia terdapat 3 anak yang mengalami tindak kekerasan.masalah-masalah tersebut menyedot banyak perhatian baik pemerintah ataumasyarakat, sehingga hadir kebijakan yang lebih dikenal sebagai kota layak anak(kla) untuk menangani masalah anak tersebut. kla merupakan hasil deklarasi globala world for children pada un special on children yang dilaksanakan pada mei 2002 (ratri, 2014). deklarasi tersebut tak terlepas dari the earth summit di rio de janeiro (1992) dan konferensi habitat ii di istanbul (1996) yang memberikan kerangka kerja konseptual untuk pembangunan kawasan perkotaan berkelanjutan (corsi, 2002). program kota ramah anak di indonesia dimulai pada 2006 dengan kota surakarta sebagai permulaan, selanjutnya kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak memperkenalkan inisiatif ini ke 10 kota lain di tahun 2007 dan 20 kota lainnya di tahun 2010 (sutama, 2016).indonesia kemudian menjamin hak setiap anak untukmemperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasiekonomi dan setiap pekerjaan yangmembahayakan dirinya, sehingga dapatmengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral,kehidupan sosial dan mental spiritualnya.namunkenyataanya di lapangan, hak-hak anak tersebutbelum terpenuhi secara sistematik danberkelanjutan (rumtianing, 2016). di kota makassar, berdasarkan data dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kota makassar, setidaknya ada 1.160 kasus kekerasan anak di kota makassar selama tahun 2017.untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan yang baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai (hamudy, 2015). oleh karena itu, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka diperlukan pengadilan secara khusus.dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945.dibutuhkan pendampingan secara berkelanjutan demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan (rumtianing, 2016). undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memang belum memberikan pasal-pasal tentang pengaruh hedonisme dan dampak teknologi dari pengaruh globalisasi yang semakin meluas, bahkan dalam konsideran sekalipun. undangundang perlindungan anak baru mencantumkan pasal-pasal perlindungan khusus, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 95implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar pasal 59 menyebutkan: “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran” (rumtianing, 2016). berdasarkan peraturan menteri nomor 13 tahun 2011 tentang panduan pengembangan kabupaten/kota layak anak mengenai kabupaten/kota layak anak yang selanjutnya disingkat kla adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak (nugroho, 2019). berdasarkan peraturan walikota makassar nomor 2 tahun 2017 tentang kota layak anak mengenai rencana aksi daerah kebijakan kota layak anak yang selanjutnya disebut rad adalah dokumen rencana yang memuat program/kegiatan secara terintegrasi dan terukur yang dilakukan oleh perangkat daerah dalam jangka waktu tertentu, sebagai instrumen dalam mewujudkan kota, kecamatan, kelurahan layak anak.payung hukum tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah kota makassar mempunyai tekad yang kuat untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. kebijakan kota layak anak merupakan tanggung jawab bersama bukan hasilkerja satu instansi saja, sehingga perlu sinergitas antara satuan kerja pemerintah daerah(skpd) dengan skpd lainnya diantaranya yaitu bappeda, dinas kesehatan, dinascatatan sipil, badan pemberdayaan perempuan dan anak, dinas pendidikan, kepolisianserta elemenlemen lain. terdapat 31 indikator yang harus dipenuhi oleh pemerintahuntuk memperoleh predikat kota layak anak. 31 indikator tersebutdiklasifikasikan dalam lima kluster di antaranya yaitu kluster hak sipil dan kebebasan,kluster lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, kluster kesehatan dasar dankesejahteraan, kluster pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya dankluster upaya-upaya perlindungan khusus (ratri, 2014). kerangka teori implementasi kebijakan grindle (1980) mengungkapkan bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. sedangkan van meter dan horn dalam (wibawa, 1994) berpendapat bahwa implementasi kebijakan journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 96 junaedi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai sasaran. grindle menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai jika tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siapkan dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran. menurut lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua segmen. pertama,implementation= f (intention, output, outcome). sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat.kedua, implementasi adalah persamaan fungsi dari implementation = f (policy, formator, implementor, initiator, time). penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan, kemudian hasil yang dicapai dan diimplementasikan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (sabatier, 1986). urgensi implementasi kebijakanmengacu padapandangan beberapa tokoh bahwa setiapkebijakan yang telah dibuat harusdiimplementasikan.oleh sebab itu,implementasi kebijakan diperlukan diperlukan berbagai pandangan.berdasarkan perspektif masalah kebijakan,sebagaimana yang diperkenalkan oleh edwards iii, implementasikebijakan diperlukan karena adanyamasalah kebijakan yang perlu diatasi. edwards iii memperkenalkanpendekatan masalah implementasi denganmempertanyakan faktorfaktor apa yangmendukung dan menghambat keberhasilanimplementasi kebijakan (akib, 2012). smith berpendapat tidak jauh berbeda dengan edward iii bahwa ketikakebijakan telah dibuat, kebijakan tersebutharus diimplementasikan dan semaksimal mungkin hasilnya sesuai dengan apa yang cita-citakan oleh pembuat kebijakan. jikadivisualisasikan akan terlihat bahwa suatukebijakan memiliki tujuan yang jelassebagai wujud orientasi nilai kebijakan.tujuan implementasi kebijakandiformulasi ke dalam program aksi danproyek tertentu yang didesain dandibiayai.program dilaksanakan sesuaidengan perencanaan.implementasi kebijakan umumnya dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteksimplementasi. keseluruhan implementasikebijakan dievaluasi dengan caramengukur output program berdasarkantujuan kebijakan. output program dilihatmelalui dampaknya terhadap sasaran yangdituju baik individu dan kelompok maupunmasyarakat.output implementasikebijakan adalah adanya perubahan oleh kelompok sasaran (akib, 2012). demi memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yaitui: (1) adanya perhatian anggota masyarakat terhadap kewenangan pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi peraturan yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud ketika kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 97implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar (akib & tarigan, 2008). keberhasilan kebijakan juga dapat dilihat berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. pada perspektif proses, program pemerintah dianggap berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup diantaranya cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil ketika program memberikan dampak seperti yang harapkan. suatu program bisa saja berhasil dilihat dari perspektit proses, tetapi bisa jadi gagal jika ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau berlaku sebaliknya (akib & tarigan, 2008).kegagalan implementasi kebijakan biasanya dilatarbelakngi oleh pola perumusan kebijakan yan sangat struktural,dimana satu kelompok aktor menjadi superornidat dan kelompok yang lain tentu sajamenjadi subornidat (salaputa, dkk, 2013). metode penelitian artikel ini berangkat dari hasil penelitian yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. pendekatan penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (moleong 2007, 6).teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu, wawancara, observasi dokumentasi, dan studi dokumentasi yang dilakukan mengenai perlindungan khusus pada program kota layak anak. adapun jumlah informan pada penelitian ini sebanyak 6 orang yang terdiri dari kepala bidang pemenuhan hak dan perlindungan anak, kasi perlindungan khusus anak, kasi kesra kecamatan biringkanaya, staf kasi ekbang kelurahan pai, serta masyarakat yang berjumlah dua orang. hasil dan pembahasan kota layak anak terbagi menjadi 5 klaster yang akan dibahas tentang perlindungan khusus.program kota layak anak di kota makassar di laksanakan langsung oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk di kota makassar sendiri program kota layak anak baru dilaksanakan selama 3 tahun oleh pemerintah kota makassar beserta badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.undangundang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memang belum memberikan pasal-pasal tentang pengaruh hedonisme dan dampak teknologi dari pengaruh globalisasi yang semakin meluas, bahkan dalam konsideran sekalipun. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 98 junaedi undang-undang perlindungan anak baru mencantumkan pasal-pasal perlindungan khusus, pasal 59 menyebutkan: “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewa jiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”(rumtianing, 2016) pelaksanaan implementasi kebijakan kota layak anak (studi kasus perlindungan khusus) dapat di ukur atau analisis mengunakan indikator menurut kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tahun 2018 yaitu : 1. korban kekerasan & eksploitasi 2. korban pornografi & situasi darurat. 3. penyandang disabilitasi 4. abh (anak berhadapan dengan hukum), terorisme, stigma. korban kekerasan & eksploitasi kekerasan merupakan tindakan pelanggaran yang dilakukan secara fisik bisa berupa penyerangan, menyakiti yang mengakibatkan penderitaan dan berimbas kepada mental seseorang(giovannoni & becerra, 1979; briere, 1992; cynthia, 1999; bernstein, et.al., 1994).sedangkan eksploitasi merupakan suatu tindakan memanfaatkan seseorang sehingga perlakuannya sewenang-wenang terhadap seseorang karena keinginan sendiri.begitu pula di makassar, kasus eksploitasi anak masih banyak, bahkan masih banyak anak-anak dijadikan pekerja untuk menghasilkan uang bagi beberapa oknum, termasuk orang tua mereka sendiri.tindakan kekerasan masih banyak dilakukan terhadap anak bahkan dari 3 tahun terakhir,kasus tersebut meningkat tetapi di tahun 2018 belum jelas berapa banyak anak korban kekerasan dan eksploitasi. terkait korban kekerasan dan eksploitasi dalam perlindung khusus sepenuhnya sudah dilakukan oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak begitu pula dengan pemerintah daerah mulai dari pembinaan terhadap korban kekerasan dan juga korban eksploitasi.karena sudah berdasarkan ketentuan tapi tidak bisa dipungkiri masih banyak anak-anak yang menjadi korban meskipun pemerintah dan badan perlindungan anak sudah mengadakan pembinaan. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 99implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar korban pornografi & situasi darurat pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi atau dipertunjukan di muka umum, yang berisi tentang kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat (roland, 1983; la fontaine, 1990; russel, 1984; gomes-schwartz, et.al, 1990; finkelhor & browne, 1985). dalam hal ini di makassar sendiri remaja dan anak-anak di bawah umur pun mudah terpengaruh dengan hal-halyang menjurus ke arah negatif akibat kurangnya pengawasan dan kontrol dari orang tua mereka. imanugerah (2017) berpendapat bahwa penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa (seperti majalah, internet, vcd, dan lain-lain) dengan teknologi canggih sudah tidak dapat dibendung lagi remaja yang sedang berada dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media tersebut. misalnya remaja semakin mengakses situs porno atau melihat gambargambar porno maka remaja akanmerasa tertantang untuk menirukannya setelah remaja tersebut mulai terangsang. urgensi tentang situasi darurat atau state of emergency adalah dimana suatu situasi dalam keadaan berbahaya sehingga masyarakat harus berantisipasi dan harus diamankan sesegera mungkin.biasanya, keadaan ini muncul pada masa bencana alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan perang.makassar sendiri belum pernah mengalami situasi darurat yang berlebihan kalaupun ada seperti kebakaran, banjir, begal dan perang dan memberikan dampak besar bagi warga terlebih lagi untuk anak. korban pornografi dan situasi darurat dalam perlindungan khusus sudah sepenuhnya ditindaki oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta pemerintah dengan cara penyuluhan dan pengawasan serta sosialisasi terhadap anak korban pornografi serta orang tuanya pun di berikan penyuluhan, dan untuk masalah situasi darurat dari pihak pemerintah juga sangat cepat memberikan bantuan kepada orang tua dan anak-anak dari pihan badan perlindungan anak juga cepat tanggap dalam hal tersebut untuk turun langsung melihat keadaan anak-anak bahkan mereka membawa anak-anak yang terkena situasi darurat ke tempat aman dan di berikan pembinaan agar tidak trauma. penyandang disabilitas penyandang disabilitas didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan.penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 100 junaedi sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. banyak anak-anak penyandang disabilitas di makassar, dimana semuanya masih butuh perhatian dari pemerintah dan pihak-pihak lain yang bersangkutan, mereka butuh orang-orang dalam mensupport,perlindungan, mereka tidak seperti anak-anak kebanyakan yang lebih bisa membuka diri terhadap lingkungan sekitar. penyandang disabilitas dalam hal perlindungan khusus sepenuhnya sudah diterapkan oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan khusus dan pemerintah dengan tersedianya fasilitas-fasilitas untuk penyandang disabilitas di rumah sakit, jalur khusus yang disediakan untuk penyandang disabilitas serta untuk pelayanan didahulukan, baik badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan juga pemerintah dalam hal ini tidak membedakan antara penyandang disabilitas dan juga anak normal lainnya. abh (anak berhadapan dengan hukum), terorisme, dan stigma anak berhadapan dengan hukum (abh) adalah suatu masalah dimana anakyang bersangkutan berhadapan dengan proses peradilan. biasanya anak yang berhadapan dengan hukum mendapat suatu masalah yang serius seperti membunuh, mencuri, pengguna narkoba sampai menjadi anggota kelompok terorisme sehingga harus dibawa ke jalur hukum.sehingga dampaknya mengarah ke stigma dimana anak yang telah berhadapan dengan hukum dianggap ternoda dan mempunyai perilaku tercela yang tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. layyin dalam (rumtianing, 2016) berpendapat bahwa dalam proses penyidikan guna melindungi hak asasi manusia, anak mempunyai beberapa hak diantaranya hak untuk segera diperiksa, penyidik wa jib wa jib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, penyidik tidak memakai pakaian dinas, tahanan dipisahkan dari orang dewasa, kebutuhan jasmani dan rohani serta sosial harus dipenuhi. abh, terorisme, stigma dalam kota layak anak studi kasus perlindungan khusus sepenuhnya diserahkan kepada pihak berwajib kecuali anak tersebut memang masih dibawah umur akan mendapatkan pendampingan dan pembinaan sebelum dikembalikan kepada orang tuanya tapi masih dalam pengawasan. adapun yang menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan kota layak anak (studi kasus perlindungan khusus) 1. faktor pendukung a. kerja sama antara skpd pada dasarnya dalam melaksanakan suatu program kota layak anak sangat dibutuhkan kerjasama antara skpd dimana agar program tersebut berjalan dengan baik. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 101implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar b. masyarakat sebagai perantara dukungan dan bantuan dari masyarakat sangat diperlukan oleh pemerintah dan badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak terkait dengan kota layak anak, karena dapat membantu dalam menangani hal-hal yang tidak tersorot oleh pemerintah. apresiasi dari masyarakat memberikan hal positif bagi kelangsungan program yang dijalankan oleh pemerintah.kerja sama antara skpd yang saling bekerja sama sehingga berjalan dengan lancar serta masyarakat yang mendukung agar program ini berjalan dan sukses sehingga program kota layak anak sukses. kerja sama antara skpd dan masyarakat menjadi hal penting dalam pengimplementasian perlindungan khusus kepada anak sehingga selaras agar program pemerintah di kota makassar ini dapat tercapai. 2. faktor penghambat a. aparat hukum di dalam penanganan masalah kota layak anakdi perlindungan khusus dibutuhkan bantuan aparat hukum tetapi tidak sedikit aparat hukum memiliki permahaman yang berbeda-beda ada yang mengerti dengan aturan-aturan yang ada dan sikap yang seharusnya ditunjukkan dan ada pula aparat yang tidak mengerti aturan yang ada sehingga tidak dapat menempatkan diri di dalam situasi masalah. b. kurangnya pemahaman masyarakat permasalahan yang dihadapi olen pemerintah atau instansi yang terkait yaitu karena kurang pahamnya masyarakat tentang program yang diterapkan oleh pemerintah setempat.aparat hukum yang memiliki persepsi yang berbeda-beda serta pemahaman yang masin kurang dan juga masyarakat yang kurang paham dengan kota layak anak dikarenakan sosialisasi yang tidak merata dan lansia yang tidak paham dengan program yang pemerintah laksanakan serta kinerja pemerintah dalam program ini.persepsi serta pemahaman aparat hukum menjadi hal pokok dalam pengimplementasi perlindungan khusus kepada anak agar pembinaan yang diterapkan dapat ber jalan dengan sesuai selain itu pemahaman masyarakat harus di tingkatkan agar program kota layak anak dalam hal perlindungan khusus bisa tercapai karena dukungan masyarakat sangat diperlukan untuk menyukseskan program ini. kesimpulan implementasi kebijakan kota layak anak di kota makassar (studi kasus perlindungan khusus) yang terbagi dalam empat poin.korban kekerasan &eksploitasi sepenuhnya sudah dilakukan oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan begitu pula journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 102 junaedi dengan pemerintan daerah mulai dari pembinaan terhadap korban kekerasan dan juga korban eksploitasi tapi tidak bisa dipungkiri masih banyak anak-anak yang menjadi korban meskipun pemerintah dan badan perlindungan anak sudah mengadakan pembinaan. korban pornografi & situasi darurat sudah sepenuhnya ditindaki oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak serta pemerintah dengan cara penyuluhan dan pengawasan serta sosialisasi terhadap anak korban pornografi serta orang tuanya pun di berikan penyuluhan, dan untuk masalah situasi darurat dari pihak pemerintah juga sangat cepat memberikan bantuan kepada orang tua dan anak-anak dari pihak badan perlindungan anak juga cepat tanggap dalam hal tersebut untuk turun langsung melihat keadaan anak-anak bahkan mereka membawa anak-anak yang terkena situasi darurat ke tempat aman dan diberikan pembinaan agar tidak trauma. penyandang disabilitas sepenuhnya sudah diterapkan oleh badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan khusus dan pemerintah dengan tersedianya fasilitasfasilitas untuk penyandang disabilitas di rumah sakit, jalur khusus yang disediakan untuk penyandang disabilitas serta untuk pelayanan didahulukan, baik badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dan juga pemerintah dalam hal ini tidak membedakan antara penyandang disabilitas dan juga anak normal lainnyaabh, terorisme, stigma sepenuhnya diserahkan kepada pihak berwajib kecuali anak tersebut memang masih dibawah umur akan mendapatkan pendampingan dan pembinaan sebelum dikembalikan kepada orang tuanya tapi masih dalam pengawasan. faktor penghambat dari implementasi kebijakan perlindungan khusus terdiri dari dua hal. pertama, aparat hukum yang memiliki persepsi yang berbeda-beda serta pemahaman yang masih kurang dan juga masyarakat yang kurang paham dengan kota layak anak dikarenakan sosialisasi yang tidak merata dan lansia yang tidak paham dengan program yang pemerintah laksanakan serta kinerja pemerintah dalam program ini. persepsi serta pemahaman aparat penegak hukum menjadi hal pokok dalam pengimplementasi perlindungan khusus kepada anak agar pembinaan yang diterapkan dapat berjalan lancar.selain itu, pemahaman masyarakat harus ditingkatkan agar program kota layak anak dalam hal perlindungan khusus bisa tercapai karena dukungan masyarakat sangat diperlukan untuk menyukseskan program ini. referensi akib, h., & tarigan, a. (2008). artikulasi konsep implementasi kebijakan: perspektif, model dan kriteria pengukurannya. jurnal kebijakan publik. akib, h. (2012). implementasi kebijakan: apa, mengapa dan bagaimana. jurnal ilmiah i. rumtianing, i. (2016). kota layak anak dalam perspektif perlindungan anak. jurnal ilmiah pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, 27(1). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 103implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar bernstein, d. p., fink, l., handelsman, l., foote, j., lovejoy, m., wenzel, k., . . . ruggiero, j. (1994). initial reliability and validity of a new retrospective measure of child abuse and neglect. the american journal of psychiatry, 151(8), 1132-1136. briere, j. n. (1992). interpersonal violence: the practice series, no. 2. child abuse trauma: theory and treatment of the lasting effects. thousand oaks, ca, us: sage publications, inc. corsi, marco. (2002). the child friendly cities initiative in italy. environment & urbanization, vol. 14(2).169-179. cynthia crosson-tower. 1999. understanding child abuse and neglect, fourth edition. united states of america: allyn and bacon, inc. finkelhor, david & browne, angela., 1985. the traumatic impact of child sexual abuse: a conceptualization. vol. 55 (4).530-541. giovannoni, jeanne m.; becerra, rosina m., 1979.defining child abuse. new york:the free press. gomes-schwartz, b., horowitz, j. m., & cardarelli, a. p. (1990). sage library of social research, vol. 179. child sexual abuse: the initial effects. thousand oaks, ca, us: sage publications, inc. grindle, merilee s. (1980). politics and policy implementation in the third world, princnton university press, new jersey. hamudy, moh. ilham a. 2015. upaya mewujudkan kota layak anak di surakarta dan makassar. jurnal bina praja. 7(2).149-160. imanugerah, y. z., lestari, r., & psi, s. (2017). hubungan antara intensitas mengakses media pornografi dengan perilaku seksual pranikah pada remaja (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah surakarta). la fontaine, j. (1990). family life series.child sexual abuse. oxford, england: polity press. moleong, lexy j. 2007. metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). bandung: pt. remaja rosdakarya. nugroho, agung murti. 2019. child-friendly kampong: quality of play value criteria for children’s identity and play place in malang, indonesia. the 1st international conference on environmental sciences (ices2018). ratri, d. k. (2014).implementasi peraturan walikota nomor 36 tahun 2013 tentang kebijakan kota layak anak. journal of gover. roland, c. summit. 1983. the child sexual abuse accomodation syndrome. child abuse and neglect.vol. 7.177-193. rumtianing, i. (2016). kota layak anak dalam perspektif perlindungan anak. jurnal ilmiah pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, 27(1). russell, deh., 1984. sexual exploitation rape, child sexual abuse, and workplace harassment. washington: sage publications, inc. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 104 junaedi sabatier, p. a. (1986). top-down and bottom-up approaches to implementation research: a critical analysis and suggested synthesis. journal of public policy, 6(1), 21-48. salaputa, i., madani, m., & prianto, a. l. (2013).peran aktor dalam penyusunan agenda kebijakan pemekaran wilayah kecamatan di kabupaten maluku tengah. otoritas: jurnal ilmu pemerintahan, 3(1). sutama, i made. 2016. realizing child’s right through child friendly city initiative in indonesia. proceeding icce (international conference on child-friendly education), 26-33. wibawa, s. (1994). kebijakan publik. proses dan analisis, intermedia, jakarta. peraturan kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tahun 2018 tentang indikator kota layak anak peraturan menteri nomor 11 tahun 2011 mengenar kebijakan kota layak anak peraturan menteri nomor 13 tahun 2011 tentang fanduan pengembangan kabupaten/ kota layak anak mengenai kabupaten/kota layak anak peraturan walikota nomor 2 tahun 2017 tentang nota layak anak mengenar rencana aksi daerah kebijakan kota layak anak 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 3 nomor 2 halaman 93 152 september 2019 issn 2579-4396 93 104 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar junaedi (department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 105 116 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta muhammad quranul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 (1prodi studi pemerintahan, universitas indo global mandiri, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia) 117 – 128 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar aswar annas1, zaldi rusnaedy2 (1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti makasar, indonesia) 129 – 138 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang arif ginanjar (program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia)) 139 152 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat rendy adiwilaga (program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  105 citation : kariem, muhammad quranul dan dwian hartomi akta padma eldo. 2019. “sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, 105-116. journal of government and civil society vol. 3, no. 2, september 2019, pp. 105-116 doi: 10.31000/jgcs.v3i2.1726 received 9 july 2019  revised 17 oktober 2019  accepted 18 oktober 2019 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta the political attitudes of the special region of yogyakarta parliament (dprd) on leadership succession discourse in yogyakarta palace muhammad qur’anul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 1program studi ilmu pemerintahan universitas indo global mandiri palembang, indonesia email : mquranul@uigm.ac.id 2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia email : dwianhartomieldo@upstegal.ac.id abstrak pasca pengesahkan peraturan daerah istimewa nomor 2 tahun 2015 tentang tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur daerah istimewa yogyakarta oleh dprd, memicu sebuah persoalan. pasal 18 huruf m terkait syarat yang harus dipenuhi oleh calon gubernur dan wakil gubernur adalah harus menyerahkan salah satunya daftar riwayat hidup istri. dengan ini berarti, secara tersirat calon gubernur diy adalah harus seorang laki-laki. keraton yogyakarta langsung merespon dengan mengeluarkan dhawuh raja serta mengangkat puteri pertama sultan hamengku buwono x sebagai puteri mahkota kasultanan ngayogyakarta hadiningrat. pengangkatan tersebut dianggap bertentangan dengan paugeran kraton dan perdais no. 2 tahun 2015 terkait tatacara pemilihan gubernur dan wakil gubernur. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pandangan politik anggota dprd diy terhadap wacana suksesi di kraton yogyakarta. metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan melakukan wawancara pada pimpinan fraksi di dprd diy. hasil penelitian menunjukkan bahwa padangan politik fraksi di dprd daerah istimewa yogyakarta terbagi menjadi tiga dalam memandang regulasi tersebut, menyetujui suksesi, menolak suksesi, dan perdais, dan pandangan abstain terhadap wacana suksesi. kesimpulannya adalah, tujuh fraksi yang ada di dprd daerah istimewa yogyakarta, mempunyai penafsiran masing–masing terhadap uuk dan perdais, hal ini akan menilbulkan persoalan, ketika melakukan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam mekanisme politik yang ada di dprd daerah istimewa yogyakarta. keywords: kraton, kepemimpinan, politik, daerah istimewa yogyakarta abstract after the ratification of the special region regulation no. 2 of 2015 concerning procedures for filling in the position of the governor and deputy governor of the special region of yogyakarta by the dprd triggered a problem. article 18 letter m related to the conditions that must be fulfilled by the candidates for governor and deputy governor are that they must submit the curriculum vitae of their wife. by this, it is implied that the candidate for governor of diy must be a man. the yogyakarta palace responded immediately by issuing dhawuh raja and appointed sultan hamengku buwono x’s first princess as the crown princess of the ngayogyakarta hadiningrat sultanate. the appointment was considered to be in contradiction with the court palace and special region regulation no. 2 of 2015 concerning procedures for the election of governors and deputy governors. the purpose of this study was to determine the political views of the members of the yogyakarta journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 106 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo special region parliament on the succession discourse in the sultan’s palace. the research method used was a descriptive qualitative research method, by conducting interviews with the leaders of the factions in the yogyakarta special region parliament. the results showed that the political views of the factions in the dprd the special region of yogyakarta were divided into three in viewing the regulation, approving succession, rejecting succession, and perdais, and abstaining from the discourse of succession. the conclusion is that the seven factions in the dprd of the special region of yogyakarta have their respective interpretations of the uuk and special region regulation, this will cause problems, when filling the positions of the governor and deputy governor in the political mechanism in the dprd of the special region of yogyakarta. keyword: palace, leadership, politics, special region of yogyakarta pendahuluan daerah istimewa yogyakarta adalah salah satu daerah yang bersifat istimewa di negara kesatuan republik indonesia. keistimewaan tersebut didukung oleh konstitusi (uud 1945), yang dalam pasal 18b ayat 2 menyebutkan bahwa negara menghormati dan mengakui daerah – daerah yang berciri khusus atau bersifat istimewa yang diatur oleh undang – undang. yogyakarta mempunyai kewenangan istimewa diluar hal yang telah diatur dalam undang – undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. beberapa hal diatur dalam undang – undang keistimewaan (uuk), salah satu diantaranya adalah tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diy dengan cara penetapan. dalam uuk, menjelaskan kedudukan sri sultan hamengku buwono yang bertakhta berhak atas jabatan gubernur dan kanjeng gusti adipati arya paku alam sebagai wakil gubernur. tata cara pengisian jabatan tersebut, haruslah melalui proses politik yang ada di dprd diy. persoalan timbul, ketika peraturan daerah istimewa nomor 2 tahun 2015 tentang tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diy disahkan pada awal tahun 2015, dimana terdapat polemic salah satu pasal 18 huruf m yang berbunyi “calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara republik indonesia yang harus memenuhi syarat: menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak......”. adanya redaksi pada salah satu pasal yang berbunyi demikian menimbulkan tafsir yang berbeda-beda disetiap kalangan, karena jika demikian secara tersirat menyebutkan bahwa sultan hamengku buwono yang bertakhta haruslah seorang laki – laki. tafsir terhadap pasal tersebut berarti menutup peluang bagi kaum perempuan untuk menjadi gubernur diy. sebab, di dalamnya hanya mencantumkan kata “istri” dan tidak ada kata “suami”. artinya, gubernur diy harus laki-laki pasca terbitnya perda nomor 2 tahun 2015 terkait tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diy, kondisi internal kraton menjadi berubah. karena salah satu pasal yang menjelaskan terkait pengumpulan daftar riwayat istri tersebut. sebagai pemimpin tertinggi kraton diy yang diberi keleluasaan untuk memilih siapa p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 107sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta yang akan melanjutkan takhta kerajaan, sultan merasa terlalu dicampuri urusan internalnya oleh dprd yang mana bertugas menyusun perda tersebut. kondisi saat ini adalah kesultanan yogyakarta tidak memiliki putra mahkota, karena memang anak dari sultan hamengkubuwono x seluruhnya berjenis kelamin perempuan. kondisi seperti ini yang membuat masyarakat bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi penerus takhta kesultanan sekaligus menjabat gubernur diy selanjutnya. terjadinya kondisi seperti ini gubernur diy yang menjabat sebagai raja kraton tidak berdiam diri semata dan langsung melakukan reaksi dengan di keluarkannya sabdatama. sabdatama berbunyi (1) tak seorang pun bisa mendahului wewenang raja kraton (2) tak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan ihwal mataram. terlebih aturan mengenai raja, termasuk aturan pemerintahannya. yang bisa memutuskan hanya raja (3) siapa pun yang sudah diberi jabatan harus mengikuti perintah raja yang memberikan jabatan (4) siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan melaksanakan perintah dan bisa dipercaya. ucapannya harus bisa dipercaya,tahu siapa jati dirinya, dan menghayati asalusulnya. bagian ini sudah ada yang mengatur. bila ada pergantian, tidak boleh diganggu (5) siapa saja yang menjadi keturunan kraton, laki-laki atau perempuan, belum tentu diperbolehkan melaksanakan wewenang kraton. yang diberi wewenang sudah ditunjuk. jadi tidak ada yang diperbolehkan membahas atau membicarakan takhta mataram, terlebih para pejabat kraton, khawatir terjadi kekeliruan (6) sabdatama ini dimunculkan sebagai patokan untuk membahas apa saja, termasuk aturan kraton dan negara (7) sabdatama yang lalu terkait dengan perda istimewa dan dana istimewa (8) jika undangundang keistimewaan butuh direvisi, dasarnya sabdatama. itulah perintah yang harus dimengerti dan dilaksanakan. keluarnya sabdatama raja ini merupakan salah satu bentuk reaksi yang serius dilakukan oleh kraton karena bisa dipahami bahwa sabdatama merupakan perintah tertinggi yang ada di kraton. inti dari sabdatama itu adalah terkait menegaskan kewenangan khususnya dan tidak diizinkanya pihak lain untuk ikut campur terkait urusan internal kraton termasuk untuk pewaris tahtanya kelak. sultan yang berkedudukan sebagai raja kraton serta gubernur diy yang berberan sebagai eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan mengeluarkan sabdatama yang mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak mencoba untuk melakukan campur tangan ataupun intervensi ke kraton, termasuk dprd. dprd diy sebagai lembaga legislatif yang bertugas mengawasi berjalanya roda pemerintahan di diy menjadi lembaga yang sulit untuk melakukan tugasnya sendiri ketika sabdatama tersebut dikeluarkan. setelah sabdatama itu dikeluarkan ternyata mengundang persoalan yang berbenturan dengan realitas bahwa sultan hamengku buwono x sebagai gubernur yang seharusnya menaati dan menjalankan peraturan perundang – udangan yang ada termasuk dalam journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 108 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo syarat yang harus melengkapi persyaratan yang tertuang pada perda no. 2 tahun 2015. adanya sabdatama serta perda tersebut menjadi aturan yang dianggap sah dan berlaku di kraton dan juga diy secara keseluruhan. tidak lama setelah sabdatama dikeluarkan, pada tanggal 5 mei 2015, secara mengejutkan sultan hamengku buwono x mengangkat puteri sulungnya, bernama gkr. pembayun menjadi puteri mahkota kasultanan ngayogyakarta hadiningrat, dengan gelar gusti kanjeng ratu mangkubumi hamemayu hayuning bawono langgeng ing mataram. secara tradisi jika putri mahkota sudah diangkat, maka dengan sah putri mahkota tersebut resmi menjadi penerus tahta kepemimpinan di kraton yogyakarta. diangkatnya putri mahkota oleh sultan tersebut masih berbenturan dengan perda no. 2 tahun 2015 terkait gubernur dan wakil gubernur yang masih berlaku sampai saat sekarang ini dengan salah satu pasalnya masih menafsirkan bahwa raja kraton harus seorang laki-laki. dprd diy sebagai unsur legislative yang bertugas dalam pembuatan aturan, mempunyai peran yang sangat sentral dalam persoalan ini. karena kaidah aturan dalam undang – undang keistimewaan dan peraturan daerah istimewa nomor 2 tahun 2015 yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diy. secara administrative dan politik menjadi acuan yang harus digunakan dalam rangka melaksakan aturan tersebut untuk pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang dalam hal ini merupaksan salah satu keistimewaan yang diberikan kepada diy. padangan politik setiap fraksi – fraksi di dprd diy menjadi kunci utama dalam rangka check and balance pada penafsiran yang berbeda terkait perda no. 2 tahun 2015 ini. oleh karena itu, menarik untuk ditinjau dari pandangan politik anggota dewan terhadap wacana suksesi tersebut yang disesuaikan dengan peraturan perundang – undangan yang ada, setiap fraksi di dprd diy menentukan suksesi atau penetapan gubernur dan wakil gubernur daerah istimewa yogyakarta. pada dasarnya sikap merupakan terjemahan dari attitude yang mempunyai arti sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan, tetap disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan pandanganya terhadap objek tersebut (gerungan, 1981). oleh karena itu sikap memankan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab dalam menghadapi pilihanya seseorang dipengaruhi oleh sikapnya (winkel, 1983). tidak jauh berbeda dari penjelasan sebelumnya louis thrustone, rensis likert, dan charles osgood menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan tidak mendukung atau memihak pada objek tersebut. secara spesifik, sikap diformulasikan sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (azwar, 1995). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 109sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta mengenai hal komponen sikap (luthans, 1985) berpendapat bahwa komponen dasar dari sebuah sikap adalah; emosi, pengetahuan, dan perilaku. selain itu sikap juga memiliki fungsi sikap yang tergolong dalam empat bagian (ahmadi, 2007) diantaranya; 1. sikap berfungsi merupakan alat untuk menyesuaikan diri 2. sikap berfungsi sebagai alat pengatur tingkah laku yang dapat dimiliki secara spontan 3. sikap berfungsi sebagai alat pengukur pengalaman-pengalaman seseorang dari luar maupun dari dalam diri seseorang 4. sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang sikap juga akan mempengaruhi cara kita dalam kehidupan bermasyarakat, karena sebagai makhluk social tidak akan terlepas dari interaksi sesame manusia. maka dari itu tidak heran jika dalam mengambil keputusan sekalipun harus bisa menentukan sikap, termasuk dalam menentukan pilihan politik serta juga afiliasi politik yang ada. selain itu azwar menjelaskan, sikap memiliki tiga komponen, di antaranya adalah: 1. komponen kognitif komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap 2. komponen afektif komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. 3. komponen perilaku kompoen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. teori ini relevan dengan padangan politik dprd diy dalam menentukan sikap politiknya terkait dengan suksesi kepemimpinan di keraton yogyakarta. pandangan politik mendukung dan tidak mendukung dari setiap pimpinan fraksi mengambarkan teori sikap, dengan komponen koginitif berarti pengetahuan tentang paugeran keraton sebagai landasan budaya dan peraturan perundang – undangan sebagai landasan yuridis formal. pengetahuan kognitif ini lah yang akan melandasi sikap yang diambil dari setiap fraksi, sejauh mana pemahana dua substansi hukum tersebut. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 110 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo selanjutnya adalah komponen afektif, yang berarti persoalan emosional subjektif setiap anggota fraksi terkait dengan suksesi kepemimpinan di keraton. komponen afektif akan melandasi attitude (tata krama, budaya dan adat istiadat) yang dimiliki masing – masing individu untuk memberikan penilaian secara kultural dengan perspekif emosional. terakhir adalah komponen perilaku, yang merupakan output atau bagian terakhir dua komponen pembentuk perilaku (koginitif dan afektif), komponen ini dapat memberikan judgement (pernyataan sikap dan padangan) pribadi anggota dprd yang akan mencerminkan sikap fraksi dalam memandang suksesi dan peraturan perundang – undangan secara umum. dengan teori ini, maka pandangan sikap dapat diketahui dari proporsi politik fraksi partai politik, dimana yang mempengaruhi pandangan dan perilaku sepakat atau tidak sepakat fraksi adalah komponen pembentuk koginitf dan afektif. oleh karena itu, teori ini akan dapat menggabarkan secara jelas pandangan fraksi yang diambil. mengenai perihal kekuasaan, andrew heywood (2014) mengatakan, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamademen peraturan – peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. konsep – konsep pokok dalam politik antara lain adalah negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), pembagian (distribution) atau alokasi. menurut jrp french & bertram raven (dalam syafiie, 2013:128-129) terdapat lima sumber kekuasaan, yaitu adalah legitimate power, coersive power, expert power, dan reverent power. kekuasaan seorang raja dicirikan sebagai legitimate power, dimana kekuasaan diperoleh melalui sebuah pengangkatan oleh penguasa sebelumnya. dalam hal ini, putra mahkota (anak raja) biasanya mendapatkan kekuasaan ‘turunan’ dari seorang raja yang merupakan ayahnya. pada prinispnya kekuasaan dibagi menjadi beberapa cabang, menurut montesquieu (dalam syafiie, 2013:135) terdapat tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif yaitu adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili (badan peradilan). eksekutif dan legislatif sebagai pembuat undang – undang, eksekutif menjalankan peraturan perundang – undangan tersebut, dan legislative melakukan pengawasan pelaksanannya., sedangkan dalam elemen yudikatif sebagai penegak aturan hukumnya. konsep ini membentuk sebuah pola keseimbangan kekuasaan, yang dalam implementasinya akan mewujudkan check and balance diantara tiga pilar trias politika tersebut. maka dari itu, tidak boleh diantara tiga pilar itu menjadi dominan, dalam hal ini eksekutif tidak dapat melakukan penafsiran – penafsiran terhadap peraturan perundang p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 111sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta – undangan sesuai dengan akomodasi kepentingan nya tersendiri. dprd diy dalam hal ini juga tidak bisa serta merta melakukan penafsiran politik sebuah peraturan perundang – undangan, karena penafsiran politik tidak akan ‘sinkron’ dengan preferensi hukum, karena pada hakekatnya, hukum itu bersifat mutlak. jadi kesimpulannya, sikap politik adalah suatu reaksi perasaan yang mengandung aspek konginitif, afektif, dan perilaku dalam rangka menanggapi suatu hal atau dengan menentukan kebijakan – kebijakan yang dapat membawa kebaikan kepada masyarakat. teori sikap dan teori politik akan digunakan sebagai instrument analisis, dikomparasikan dengan aturan perundang – undangan, yaitu dalam uuk diy dan perdais no. 2 tahun 2015 tentang tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, sehingga diperoleh analisis real mengenai pandangan dprd diy. terkait model kepemimpinan, (thoha, 2010) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawaan. namun jika dilihat dari definisi dasar mengenai kepemimpinan adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinanya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggungjawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan (hasibuan, 2011). salah satu bentuk kepemimpinan yang selalu diharapkan oleh semua pihak adalah kepemimpinan transformasional yang artinya adalah model kepemimpinan yang memiliki kemampuan yang dimiliki pemimpin dalam memberikandorongan kepada para pengikutnya untuk melakukan perubahan dan bekerja keras dalam mencapai tujuan organisasi (kosasih,2017). meskipun hal tersebut biasanya sangat mudah diterapkan di instansi pemerintah setataran dinas ataupun lembaga di daerah pamudji (dalam djaenuri, 2015:11-14) mengungkapkan terdapat enam teori kepemimpinan, yaitu teori sifat (traits theory), teori lingkungan (environmental theory), teori pribadi dan situasi (personal-situation theory), teori interaksi dan harapan (interactionexpectation theory), teori humanistic (humanistic theory), dan teori tukar menukar (exchange theory). kepemimpinan seorang raja dekat dengan konsep teori sifat, yang menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat tertentu, atau perangai tertentu, dimana dengan hal – hal tersebut ia akan menjadi seorang pemimpin yang efektif dan berhasil. artinya bahwa pemimpin itu telah memiliki sifat-sifat tersebut sejak ia dilahirkan, teori ini disebut juga dengan teori genetis dimana disimpulkan bahwa pemimpin itu dilahirkan, dan tidak dapat dibentuk (leaders are born and not made). undang – undang nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan daerah istimewa yogyakarta, mengamanatkan bahwa yang menjadi gubernur daerah istimewa yogyakarta haruslah seorang yang bertakhta sebagai sultan hamengku buwono. seseorang yang dinobatkan menjadi raja haruslah seorang yang ditunjuk menjadi putra journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 112 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo mahkota yang merupakan bagian keluarga kerajaan untuk melanjutkan takhta kepemimpinan. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode deskripstif kualitatif, dengan menggunakan model studi kasus (case study). wawancara sebagai instrumen untuk mendapatkan data, dengan menggunakan teknik analisis dengan empat tahapan, yaitu pengumpulan, reduksi data, display data, dan tahap penarikan kesimpulan (haris, 2012). penelitian ini akan menjabarkan pendapat – pendapat yang mencerminkan sikap politik anggota drpd diy disetiap fraksi, terhadap wacana suksesi kepemimpinan di daerah isitmewa yogyakarta. untuk jenis data yang digunakan terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu adalah jenis data primer dan sekunder. data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian. data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara setiap fraksi dalam sikap politik anggota dprd diy periode 20142019 terhadap wacana suksesi kepemimpinan di keraton yogyakarta. kedua adalah data sekunder yang dalam penelitian ini adalah arsip–arsip mengenai sikap fraksi atau anggota dprd diy terhadap wacana suksesi kepemimpinan, peraturan perundang undangan, pandangan akhir fraksi raperdais dan artikel atau berita terkait hal tersebut. unit analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi – fraksi partai politik yang ada di dprd diy masa bakti 2014 2019, yang berjumlah 7 fraksi dari 9 partai politik. total unit analisa data berjumlah 4 orang yang perwakilan resmi disetiap fraksi (ketua fraksi / sekretaris fraksi) dan 2 wakil ketua dprd diy. teknik pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini adalah dengan teknik wawancara, dan dokumentasi. teknik wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan–keterangan lebih lanjut dari daftar wawancara yang diajukan kepada responden. responden dalam penelitian ini adalah anggota dprd diy periode 2014 – 2019. setelahnya, analisis akan dilakukan dengan teknik analisa data dengan empat tahapan agar menghasilkan interpetasi kualitatif yang ilmiah. hasil dan pembahasan pandangan politik terhadap potensi pelanggaran peraturan perundang–undangan berbagai macam pandangan yang diberikan oleh total 7 fraksi yang ada di dprd diy mengenai potensi pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan dalam suksesi kepemimpinan keraton diy. fraksi pan mengatakan itu sangat mungkin terjadi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 113sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta dalam pelanggaran perundang undangan karena memang perubahan nama bertentangan dengan uuk dan perdais yang selama ini berlaku di yogyakarta. pada uuk telah dijelaskan pada pasal 18 ayat 1 huruf m serta pasal 3 ayat 1 huruf m pada perdais tahun 2015 sudah menjelaskan bahwa sultah sebagai raja sekaligus gubernur diy haruslah seorang laki-laki. pandangan pandangan yang sama juga diberikan dari fraksi dari partai golkar, dengan argumen karena memang nomeklatur gelar sultan diatur oleh uuk, dalam konteks peraturan perundang undangan sultan memang harus laki-laki dan tidak ada yang menjelaskan dalam peraturan perundang undangan itu bahwa sultan itu boleh seorang perempuan. pada fraksi kebangkitan demokrasi menambahkan bahwa perubahan gelar itu belum disampaikan secara resmi di publik, sehingga wajar terjadi apabila ada gejolak yang terjadi di masyarakat terkait prosesi kepemimpinan sulatan selanjutnya. ada yang menarik pandangan yang diberikan oleh fraksi yang lain, karena ternyata fraksi gerindra mengatakan bahwa gerindra tidak akan ada potensi pelanggaran terhadap prosesi tersebut, karena perubahan gelar merupaka hak sipil yang dimiliki gkr pembayun dan kalaupun gkr pembayun menjadi ratu dan gubernur itu telah sesuai dengan uuk dan perdais yang berlaku sampai saat ini. pendapat tersebut diperkuat oleh pandangan pandangan dari fraksi pdi perjuangan yang mengatakan memang tidak akan berpotensi melanggar undang undang sebab perubahan gelar dan gubernur perempuan itu tidak masalah untuk menghormati intoleransi keluarga keraton sendiri. meskipun semua fraksi memberikan sikap dan pandanganya terkait potensi pelanggaran perundang undangan, namun fraksi pks tetap memberikan tanggapan yang cukup jelas terkait masalah ini. dari fraksi pks sendiri beranggapan tidak bisa menafsirkan ini akan menjadi konflik atau tidak karena cara pandang uuk masih sesuai konteks. sikap politik wacana revisi uuk dan perdais no. 2 tahun 2015 pasca bergulirnya berita terkait prosesi keberlanjutan kepemimpinan keraton di publik, yang mana masih berbeda pandanganya terkait pengganti sultan sebagai raja keraton serta gubernur diy yang memperbolehkan sultan itu adalah seorang perempuan. semenjak isu itu munjul di permukaan maka ada mulai berpandangan untuk merevisi uuk dan perdais, karena memang untuk kondisi saat ini sultan tidak memiliki anak laki-laki untuk dijadikan putra mahkota penerus pimpinan kesultanan yogyakarta. fraksi partai amanat nasional dan kebangkitan demokrasi secara tegas menjelaskan bahwa tidak perlu diadakan revisi uuk dan perdais, karena yang perlu diketahui bahwa untuk merevisi uuk dan perdais itu tidak gampang. untuk merevisi uuk dan perdais journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 114 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo itu membutuhkan proses yang sangat panjang, karena memang tidak sesedarhana itu pula untuk merevisinya. pendapat yang sama juga diberikan dari fraksi persatuan demokrat yang memang tidak perlu dilakukan revisi uuk dan perdais, karena mereka beranggapan sultah sudah seharusnya menghormati uuk karena memang tanggungjawabnya lebih diberikan kepada jabatan gubernur yang diembannya. meskipun tiga fraksi mengatakan tidak perlu melakukan revisi terkait uuk namun fraksi pdi perjuangan dan gerindra sepakat untuk perlu adanya revisi terkait uuk dan perdais. karena mereka berpandangan dengan merevisi uuk dan perdais itu menunjukkan bentuk menghormati paugeran keraton. selain itu fraksi gerindra juga menambahkan bahwa memang sudah saatnya perlu adanya revisi terkait uuk dan perdais karena harus menyesuaikan kondisi sat ini yang mana dengan direvisinya uuk dan perdais nanti bisa mengakomodasi ketentuan-ketentuan internal yang ada dikeraton. pandangan fraksi terhadap wacana suksesi kepemimpinan di keraton yogyakarta dalam pandangan politik mengenai implementasi uuk dan paugeran dari fraksi partai amanat nasional, partai golkar dan fraksi kebangkitan demokrasi berpandangan bahwa uuk baku karena sudah jelas, tidak ada tafsiran lain karena memang sudah mensyaratkan secara implisit bahwa gubernur harus laki-laki maka dari itu selayaknya menghormati peraturan perundang-undang tersebut dalam proses berpolitik. pandangan dari fraksi gerindra dan pdi perjuangan ini berbeda dari fraksi lain yaitu undang-undang keistimewaan bisa ditafsirkan karena ada kata ‘antara lain’ serta uuk ini tidak bisa dipolitisasikan maka sangat dimungkinkan gubernur itu seorang perempuan. kemudian pandangan lain juga diberikan oleh fraksi persatuan demokrat dengan partai partai persatuan pembangunan dan partai demokrat yaitu dalam uuk itu jelas bahwasanya sultan haruslah memahami konteks peraturan perundang-undangan sebagai suri tauladan bagi masyarakat. dan pandangan terakhir dari partai keadilan sejahtera dengan menyatakan tidak tahu karena cara pandang terhadap uuk masih sesuai konteks. pandangan fraksi terhadap pandangan politik mengenai transparansi pemilihan sultan hamengku buwono fraksi partai amanat nasional menyatakan bahwa masyarakat/ publik harus tahu karena pada dasarnya publik berhak tahu segalanya dan pandangan sama juga diberikan oleh partai golkar serta fraksi kebangkitan demokrasi menyatakan bahwa publik harus tahu untuk sekedar tahu akan tetapi tanpa ada komentar dan masyarakat membatasi diri dalam hal ini yang berkaitan dengan internal keraton. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 115sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta pandangan berikutnya dari partai gerindra dan pdi perjuangan menyatakan bahwa tidak berhak tahu karena berurusan dengan internal keraton yang tidak bisa diganggu gugat dan harus menghormati proses tersebut serta keraton merupakan negara yang telah berdiri sebelum nkri ada. pandangan dari fraksi persatuan demokrat menyatakan bahwa publik harus tahu karena informasi suksesi juga merupakan hak publik. kemudian pandangan lain dari partai keadilan sejahtera menyatakan bahwa tidak menjawab karena pandangan terhadap undang-undang keistimewaan masih sesuai konteks. penutup pandangan politik anggota dprd diy terbagi menjadi tiga dalam penelitian ini, yang pertama adalah pandangan mendukung wacana suksesi, kedua adalah pandangan menolak wacana suksesi, dan pandangan ketiga tidak menanggapi wacana suksesi. terdapat pandangan yang inkonsisten dari beberapa fraksi mengenai wacana suksesi kepemimpinan tersebut, dari pandangan awal yang mendukung terkait mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur berdasarkan undang-undang keistimewaan. dari tujuh fraksi di dprd diy, dua fraksi (fraksi pdi perjuangan dan gerindra) berubah pandangan, empat fraksi (pan, gabungan demokrat & pkb, gabungan nasdem & ppp, dan golkar) mempunyai pandangan yang tetap, dan fraksi pks menyatakan tidak mempunyai pandangan. tidak hanya itu, ketidakjelasan posisi sultan hamengku buwono x sebagai raja dan disisi lain sebagai gubernur membuat tumpeng tindih (overlapping) kewenangan yang tidak baik dalam rangka tata kelola pemerintahan. referensi abu, ahmadi. 2007. psikologi sosial. jakarta : rineka cipta azwar, saifuddin. 1995. pandangan manusia teori dan pengukurannya, pustaka pelajar : yogyakarta djaenuri, muhammad aries. 2015. kepemimpinan, etika, & kebijakan pemerintahan, ghalila indonesia : bogor gerungan, w. a. 2004. psikologi sosial, bandung: pt refika aditama hediansyah, haris. 2012. metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial, salemba humanika : jakarta heywood, andrew. 2014. politik edisi keempat, pustaka pelajar : yogyakarta kosasih, achmad. 2017. pengaruh kepemimpinan transformasional, budaya kerja organisasi dan motivasi kerja pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai pdam di provinsi banten. journal of government & civil society vol. 1 no. 2 tahun 2017 hal (111-119). journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 116 muhammad quranul kariem & dwian hartomi akta padma eldo luthans, fred, (1985) organizational behavior, 5th ed, singapore, mc graw-hill book. syafiie, inu kencana. 2013. ilmu pemerintahan edisi revisi kedua, mandar maju : bandung thoha, miftah, 2010. kepemimpinan dalam manajemen, jakarta : rajawali pers. winkel, w.s. 1983. psikologi pengajaran. jakarta: pt. gramedia widia sarana indonesia. undang–undang dasar 1945 amademen keempat undang–undang nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan daerah istimewa yogyakarta peraturan daerah istimewa nomor 2 tahun 2015 tentang tata cara pengisian jabatan, pelantikan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur peraturan dprd diy nomor 1 tahun 2014 tentang tata tertib bahan acara nomor 2 tahun 2015 tentang rancangan peraturan daerah istimewa, tentang tata cara pengisian jabatan, pelantikan, kedudukan, tugas, dan wewnang gubernur dan wakil gubernur 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia 81 e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia adie dwiyanto nurlukman1) 1program studi ilmu pemerintahan universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email : adiedwiyanto@gmail.com abstrak pemanfaatan perkembangan teknologi untuk penigkatan kualitas pelayanan publik perlu dilakukan sebagai upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, cepat, dan tepat. kebijakan e-procurement merupakan salah satu inovasi pemanfaatan teknologi dalam upaya memperbaiki pengadaan barang dan jasa pemerintahan yang selama ini rawan korupsi. tulisan ini mencoba menganalisis upaya optimalisasi inovasi dalam penyelenggaran kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintahan melalui e-procurement di indonesia berjalan selama kurang lebih satu dekade. berdasarkan kepada hasil penelitian, perlu adanya integrasi dan kolaborasi yang baik antara kebijakan pengadaan yang, stakeholder yang terlibat, dan peran unit layanan pengadaan (ulp) untuk mencapai optimalisasi dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintahan melalui e-procurement. kata kunci: pengadaan barang dan jasa pemerintahan, inovasi pemerintahan, e-procurement abstract utilization of technological developments for improving the quality of public services needs to be done in an effort to create transparent, accountable, quick, and appropriate governance. e-procurement policy is one of technology utilization innovations in the effort to improve the public procurement that have been prone to corruption. this paper tries to analyze the efforts to optimize innovation in the implementation of government procurement of goods and services through e-procurement in indonesia that has been running for about a decade. based on the results of the research, there needs to be good integration and collaboration between procurement policies, stakeholders involved, and the role of the procurement services unit (ulp) to achieve optimization in the implementation of government procurement policies through e-procurement. keyword: public procurement, government innovation, e-procurement. pendahuluan efek teknologi pada kehidupan manusia telah menjadi berlangsung lama. kehidupan sosial manusia telah berkembang dan meningkat dalam hal untuk berkomunikasi, perjalanan, membangun struktur, membuat produk, menyembuhkan penyakit, penyediaan makanan serta memenuhi kebutuhan dan keinginannya, sehingga melalui teknologi orang telah mengubah dunia (yiðit, 2013). kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berbasis implementasi e-governance saat ini juga merupakan salah satu tuntutan publik untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, murah, dan berkualitas. karena selama ini pelayanan yang diselenggarakan oleh journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 81-93 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x citation : nurlukman, adie dwiyanto. 2017. “e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 81-93. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 82 adie dwiyanto nurlukman pemerintah masih dianggap belum dapat memuaskan masyarakat sepenuhnya. ketidakpuasan masyarakat ini dapat dilihat berdasarkan data yang dikeluarkan oleh penelitian yang dilakukan oleh kemitraan dalam bentuk indonesia governance index (igi) yang dirilis pada tahun 2012. berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat terlihat kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang ada di indonesia masih terbilang sangat rendah(kemitraan, 2013). disamping kualitas pelayanan yang rendah dalam penyelenggaraan pemerintahan, kasus-kasus korupsi pun sering kali juga terjadi. hal ini semakin mendorong harus adanya inovasi yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya pelayanan publik menyadari pentingnya sektor pelayanan umum sebagai salah satu indikator dalam melihat hubungan antara kepercayaan masyarakat terhadap aparat birokrasi, dan lebih penting lagi terhadap pemerintah. salah satu bentuk inovasi tersebut adalah adanya implementasi e-governance sebagai upaya modernisasi dan inovasi bentuk pelayanan publik agar menjadi semakin baik. salah satu bentuk inovasi penyelenggaraan pemerintahan berbasis e-governance yang hampir sepenuhnya melalui pemanfaatan tenologi informasi dan komunikasi (it) adalah dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintahan atau dikenal dengan eprocurement. implementasi kebijakan e-procurement di indonesia dimulai pada tahun 2006 ditandai dengan layanan pengadaan secara elektronik (lpse) dikembangkan oleh pusat pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa bappenas pada tahun 2006 sesuai inpres nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi (yulianto, 2010). tetapi e-procurement dalam bentuk program pemerintah baru dimulai pada tahun 2008 dengan diciptakannnya inaproc, yang merupakan sistem e-procurement nasional, dalam rangka untuk mendapatkan dan memberikan barang dan jasa secara elektronik (nurmandi & sunhyuk, 2015). inaproc merupakan sistem pengadaan secara elektronik yang dikembangkan oleh lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah (lkpp) yang dibentuk pemerintah pada tahun 2007 melalui keputusan presiden no. 106 tahun 2007. lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah (lkpp) merupakan perkembangan dari lembaga pusat pengadaan yang sebelumnya berada di bawah bapennas. latar belakang diterapkannya pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara elektronik atau e-procurement di indonesia adalah karena tingginya tingkat korupsi yang terjadi di bidang ini. karena berdasarkan data kpk, 44% kasuskorupsi yang ditangani kpk merupakan kasus pengadaan barang dan jasa (wibawa, 2014). data tersebut diperkuat dengan data pada tahun 2005 korupsi pengadaan barang menempati posisi tertinggi dengan 66 kasus, diikuti oleh sektor anggaran dewan berjumlah 58 kasus, dan infrastruktur 22 kasus (haryati, anditya, & wibowo, 2010). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 83e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia saat ini pelaksanaan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) sudah berjalan selama hampir satu dekade sejak awal penggunaannya melalui layanan pengadaan secara elektronik (lpse) pada tahun 2006. dalam perkembangan perjalanan kebijakan ini tentunya juga terjadi perubahan sejak awal di implementasikannya termasuk kepada sistem dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya di indonesia. oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk menganalisa mengenai sejauhmana perkembangan implementasi pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara elektronik (e-procurement) secara konseptual dalam upayanya untuk melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama untuk meningkatkan efektifitas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan. tinjauan pustaka melalui dorongan adanya inovasi dalam pemerintahan memungkinkan pemerintahan akan berjalan dengan baik dan berorientasi riil ke masyarakat. pemanfaatan perkembangan teknologi menjadi salah satu cara sebagai upaya dalam meningkatkan performa dalam pemerintahan saat ini. dengan berbagai permasalahan yang ada, pemanfaatan terhadap perkembangan teknologi melalui inovasi dalam sektor publik terutama dalam hal pelayanan akan terlaksana secara lebih murah dan lebih mudah di akses bagi siapapun (oecd, 2009a) (proskuryakova, abdrakhmanova, & pitlik, 2013) pengaruh perkembangan teknologi terhadap kehidupan sosial juga berpengaruh kepada lembaga-lembaga sosial dalam kehidupan masyarakat tidak terkecuali lembaga pemerintahan. salah satu bentuk pengaruh perkembangan teknologi dalam perkembangan pemerintahan adalah lahirnya istilah e-governance. secara pengertian egovernance adalah pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (it) oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan stakeholders. tujuan dari pemanfaatan it dalam konsep e-governance adalah sebagai salah satu upaya penyederhanaan aturan dan prosedur untuk memberikan pelayanan yang efisien, transparan, dan akuntabel (mohanty, 2005) pemanfaatan teknologi dalam pelayanan pemerintahan dalam bentuk e-governance sudah tidak dapat dihindari lagi. dengan menerapkan sistem berbasi e-governance dipercaya dapat memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini dianggap buruk dengan prosedural yang rumit, lama, mahal, dan cenderung koruptif. salah satu implementasi dari e-governance yang diadopsi oleh indonesia ada pemanfaatan sistem teknologi berbasis online dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintahan atau yang dikenal dengan e-procurement. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 84 adie dwiyanto nurlukman beberapa studi dan penelitian mengenai penerapan e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan telah dilakukan dan memperlihatkan hasil yang cenderung baik(vaidya, sajeev, & callender, 2006)(nurmandi & sunhyuk, 2015), walaupun masih terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki dan ditambahkan dalam upya optimalisasi e-procurement. secara sederhana e-procurement adalah kombinasi 2 kata, yaitu electronic dan procurementyang bermakna kepada pemanfaatan perkembangan teknologi terutama dalam telekomunikasi dan informasi (ict) (electronic) dalam pengadaan barang dan/ atau jasa (procurement)(vaidya, sajeev, & callender, 2006) (edquist & hommen, 1998) (croom & bandon-jones, 2004). pemanfaatan teknologi teleomunikasi dan informasi (ict) dalam e-procurement dilatarbelakangi oleh keinginan dan agenda kerja pemerintah yang sangat terikat dengan kepastian terutama dalam hal waktu. oleh karenanya kecepatan dan ketepatan merupakan hal yang menjadi prioritas dalam penerapan sistem berbasi eprocurement(edquist & hommen, 1998) kerangka teori dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan untuk melihat baik atau buruknya pelaksanaan e-procurement tersebut. secara umum faktor yang mempengaruhi e-procurement dapat dilihat dari bagaimana manajemen manusia pelaksana e-procurement dan juga infrastruktur dari teknologi informasi yang dimiliki oleh pemerintah. penelitian yang telah dilakukan oleh vaidya dkk. (2006),menempatkan sebelas critical factor yang mepengaruhi keberhasilan pelaksanaa e-procurement. kesebelas critical factor tersebut antara lain adalah 1)pemilihan dan pelatihan terhadap petugas pelaksana, 2)kesesuian dengan pengguna (supplier), 3)integrasi sistem, 4)gambaran umum dari manajemen pengadaan (business case), 5)rekayasa ulang proses, 6)keamanan dan keotentikan, 7)dukungan atasan, 8)manajemen perubahan, 9)tolak ukur pencapaian, 10)strategi pelaksanaan e-procurement, dan 11)standarisasi teknis (vaidya, sajeev, & callender, 2006). kesebelas faktor penting tersebut sangat mempengaruhi cara pandang implementasi dan dampak yang dihasilkan dari e-procurement. tidak jauh berbeda dengan critical factor yang dikemukakan oleh vaidya dkk (2006), hasil penelitian yang dilakukan oleh nurmandi dan sunhyuk (2015) yang dilakukan dibeberapa wilayah di indonesia terdapat enam faktor yang dapat mempengaruhi implementasi dari e-procurement, yaitu 1)kepemimpinan, 2)kualitas sumberdaya manusia, 3)perencanaan dan manajemen, 4) kebijakan dan peraturan, 5)integrasi sistem, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 85e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia dan 6)infrastruktur dan standarisasi. keenam faktor tersebut secara signifikan sangat berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan publik e-procurement. dengan didasarakan kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam mencapai efektifitas dan efisiensi, tujuan dari pelaksanaan e-procurement dalam sektor pemerintahan merupakan sebuah upaya dalam mereformasi proses pelayanan dari pengadaan barang dan jasa dari pemerintahan. dalam hal tersebut, bentuk perubahan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintahan yang sebelumnya bersifat tradisional kemudian berganti dengan memanfaatkan ict merupakan salah satu bentuk inovasi pemerintahan(uyarra, 2010). karena memang pada dasarnya pemerintah merupakan agen publik yangberperan untuk mendorong dan mempertahankan inovasi sebagai upaya memperbaiki pembangunan ekonomi (patanakul & pinto, 2014).inovasi yang dilakukan pemerintah dapat ditempuh dengan kebijakn yang merupakan hak utama dari pemerintah. artikel ini mencoba untuk menganalisi pelaksanaan e-procurement yang dilakukan pemerintah di indonesia sebagai kebijakan inovasi sektor pemerintahan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. metode penelitian penelitian yang dilakukan dalam artikel ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif yang akan dianalisis secara deskriptif. metode deskriptif “memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang pada masalah-masalah aktual dengan mengumpulkan data yang disusun, dijelaskan kemudian dianalisa” (winarno, 1990). dalam penelitian kualitatif data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi) dan dilakukan secara terus-menerus sampai datanya jenuh. teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. data utama atau primer dari penelitian ini didapatkan dengan cara wawancara terbatas dengan beberapa sumber yang pernah terlibat dalam pelaksanaan e-procurement dan pendamping pembentukan ulp di beberapa daerah di indonesia. untuk berbagai data sekunder seperti literatur-literatur kajian sejenis dan rujukan-rujukan yang bernilai akademik (buku, jurnal dan laporan-laporan karya ilmiah seperti tesis dan disertasi), dokumen-dokumen berbagai peraturan perundangan yang relevan, serta sumber-sumber tertulis. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 86 adie dwiyanto nurlukman hasil dan pembahasan 5.1 kebijakan pelaksanaan e-procurement pengadaan barang dan jasa pemerintahan berfokus kepada semua aktivitas pemerintah yang biasanya disebut sebagai pengeluaran dan apa belanja negara atas barang dan jasa (dawar & evenett, 2011). dalam rangka melaksanakan fungsinya, pemerintah perlu membeli barang, aktivitas jasa dan pekerjaan lainnya.dalam hal ini kegiatan pemerintah tersebut disebut sebagai pengadaan publik (atau sebagai kontrak pemerintah pengadaan pemerintah atau kontrak publik) (unodc, 2013). berbeda dengan pengadaan sektor privat, pengadaan di sektor publik dalam hal ini pengadaan barang dan jasa pemerintahan. pengadaan barang dan jasa pemerintahan merupakan salah satu refleksi kinerja pemerintahan dalam penggunaan anggaran, oleh karenannya sangat kental sekali sebagai sebuah proses politik dalam keputusannya (nurmandi & sunhyuk, 2015). salah satu kunci dari keberhasilan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara elektronik dapat ditinjau dari kebijakannya. fungsi kebijakan dalam e-procurement adalah sebagai sebuah basic framework dalam implementasinya terutama kaitannya dengan otonomi daerah. peraturan yang ada mengenai pelaksanaan e-procurement di indonesia sebetulnya sudah banyak dikeluarkan dalam rangka untuk mendukung keberhasilan pelaksanaannya. tetapi pada kenyataanya masih banyak kasus tumpang tindihnya peraturan yang mengatur berbagai aspek pengadaan pemerintah karena selama ini hanya berdasar kepada peraturan presiden ataupun keputusan presiden yang kurang kuat secara hukum menjadi salah satu sumber kesimpang siuran, ketidakjelasan interprestasi, dan kesenjangan antara kebijakan pokok dengan pelaksanaannya (the world bank, 2001). meskipun pada dasarnya terdapat berbagai tujuan pemerintah, disamping pengadaan publik yang harus juga dipenuhi. tetapi dalam hal kebijakan pengadaan publik haruslah tetap diatur hal-hal yang bersifat prinsipil sebagai basic framework(dawar & evenett, 2011). karena tingginya tingkat integrasi sistem secara positif terkait dengan efisiensi dan efektivitas dari implementasi dari e-procurement(nurmandi & sunhyuk, 2015). penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik melalui sistem e-procurement sebenarnya sudah tertuang dan berpedoman kepada peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 perubahan peraturan presiden nomor 70 tahun 2012. tetapi secara teknis penyelenggaraan sistem e-procurement, peraturan presiden tersebut belum mengatur secara detail dan spesifik mengenai prosedural dan hal-hal teknis dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintahan. oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk membuat standar operasional prosedur (sop) dalam pelaksanaan pengadaan pada ulp. dalam sop tersebut setidaknya ada 3 tahapan yang harus p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 87e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia diperhatikan secara detail dalam pelaksanaannya yaitu: 1) penerimaan, kompilasi dan pengumuman rencana umum pengadaan, 2) persiapan pengdaan barang/jasa, dan 3) proses pelelangan (b_trust, 2015). ketiga tahapan ini merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan secara detail dan spesifik, mengingat proses pengadaan barang dan jasa pemerintahan merupakan suatu kegiatan yang sangat rawang akan penyalahgunaan termasuk korupsi. dengan cara online kemungkinan tatap muka dalam proses tendering (tawar menawar) sangat minim bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. dengan hal tersebut potensi untuk terjadinya kolusi dan nepotisme dalam tendering yang selama ini terjadi sangat mungkin untuk ditekan atau dihilangkan. kelebihan lain dalam pemanfaatan ict dalam pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan dengan sistem e-procurement adalah semua proses rangkaian kerja seluruhnya dapat terekam dan terlacak sehingga dapat mudah untuk ditelusuri jika dalam pelaksanaannya terjadi penyalahgunaan dalam proses pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan nantinya. jaminan akan kecepatan dan ketepatan dalam sistem e-procurement sangat dipengaruhi kepada rangkaian kerja yang terdapat dalam pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan. secara umum tahapan dari rangkaian kerja dalam e-procurement meliputi pencarian (barang/jasa), penetapan, proses negosiasi, pemesanan, bukti pembelian, dan kualitas barang (croom & bandon-jones, 2004). secara umum proses tersebut tidaklah dengan pengadaan barang dan/jasa secara tradisional, hanya saja dengan mengadopsi sistem e-procurement yang berbasis pada ict, proses tersebut berlangsung secara online atau dunia maya. dengan bergantung kepada infrastruktur ict yang baik, pelasanaan e-procurement juga akan berjalan baik. permasalahan yang terjadi adalah masih terbatasnya penggunaan internet di indonesia. penggunaa internet di indonesia umumnya adalah merupakan kelompok masyarakat kelas mengenah ke atas. dengan adanya kebijakan e-procurement yang secara keseluruhan berbasis kepada internet dianggap sebagai sebuah kebijakan dislriminatif karena di anggap membatasi kelompok usaha kecil untuk berpartisipasi dalam proses tender, yang umumnya belum tersentuh dengan perkembangan internet. dalam lingkup tatakelola pemerintahan, proses pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan merupakan suatu hal yang sangat penting terutama orientasi kerja dan tujuan dari pelaksanaan pemerintahan. pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan dapat secara langsung merepresentasikan kepada kinerja pemerintah dalam memenuhi keinginan dari masyarakat, terutama jika melihat dari segin penggunaan sumber dana pemerintah yang digunakan dalam proses pengadaan barang dan/atau jasa pemerintahan (iisd, 2012) journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 88 adie dwiyanto nurlukman 5.2 stakeholders dalam implementasi e-procurement dalam pelaksanaan setiap kebijakan pasti selalu ada pihak-pihak yang terlibat baik yang secara langsung mempengaruhi kebijakan tersebut, termasuk dalam hal inisiasi dan pembuatan kebijakan, ataupun secara tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan. pihak tersebut biasa disebut sebagai stakeholders. stakeholders dalam kebijakan publik bisa bebentuk organisasi yang mugkin memiliki pengaruh positif atau negatif. termasuk di dalam organisasi pemerintah dan swasta bisnis dari semua lingkungan, pemerintah daerah, masyarakat umum, dan organisasi masyarakat (riege & lindsay, 2006). pelaksanaan kebijakan e-procurement juga tidak lepas dari pengaruh stakeholders yang ada. oleh karena itu, untuk mencapai kesuksesan dalam pelaksanan kebijakan e-procurement dibutuhkan sinergisitas dari stakeholders yang terlibat. stakeholders yang terlibat dalam implementasi kebijakan e-procurement dapat di kategorikan menjadi 2 jenis, yaitu 1) yang merupakan bagian dari internal pemerintah seperti, lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintahan dan unit layanan pengadaan (ulp) yang merupakan satuan kerja perangkat daerah (skpd) di pemerintah daerah. 2) stakeholders yang merupakan bagian dari eksternal pemerintah seperti konsultan, lembaga kontraktor, dan lain-lain. keberadaan lembaga-lembaga pemerintah yang ada dalam upaya mendukung pelaksanaan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintahan sebenarnya sudah ada sebagai landasan penyelenggaraan lembaga tersebut. lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintahan dibentuk berdasarkan presiden nomor 106 tahun 2007 tentang lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah (lkpp) yang kemudian mengalami penguatan kewenangan yang dimiliki melalui peraturan presiden nomor 157 tahun 2014. melalui peraturan presiden tersebut lkpp memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, aturan dan prosedur pengadaan barang/jasa. oleh karena itu, ketentuan peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 yang mewajibkan setiap kementerian, lembaga, daerah, dan institusi (k/l/d/i) membentuk unit layanan pengadaan barang/jasa (ulp) menjadi domain daripada lkpp (b_trust, 2015). secara tata organisasi unit layanan pengadaan (ulp) di atur berdasarkan kepada peraturan menteri dalam negeri republik indonesia nomor 99 tahun 2014 tentang pedoman pembentukan unit layanan pengadaan barang/jasa pemerintah di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. dalam permendagri tersebut secara tegas memposisikan ulp sebagai pelaksana utama pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara elektronik untuk provinsi dan kota/kabupaten di indonesia yang berkedudukan langsung di bawah sekretariat daerah dalam bentuk biro atau bagian dan bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah. dalam permendagri tersebut diatur juga mengenai struktur dari ulp dan juga tugas dan kewenangannya, yang terdiri p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 89e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia dari ketua, sekretariat, dan kelompok kerja. yang menjadi titik utama dalam hal ini adalah keberadaan kelompok kerja yang terdiri dari 1) kelompok kerja bidang barang; 2) kerja bidang pekerjaan konstruksi; 3) kelompok kerja bidang jasa konsultansi; dan 4) kelompok kerja bidang jasa lainnya. walaupun sudah diatur keberadaan kelompok kerja ini sepenuhnya didasarkan atas kebutuh daerah yang bersangkutan dan sebagai pedoman pelaksana dari keberadaan struktur ini diperlukan sebuah dasar hukum berupa keputusan gubernur dan bupati/walikota. 5.3 peran dan pelaksanaan unit layanan pengadaan (ulp) di daerah unit layanan pengadaan (ulp) adalah merupakan lembaga baru yang harus dimiliki oleh setiap daerah. kewajiban adanya unit ini adalah merupakan amanat dari peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. adanya unit ini dalam setiap pemerintah daerah merupakan ujung tombak dari pelaksanaan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. seperti yang sudah dijelaskan, pengadaan barang dan jasa pemerintahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk di perhatikan. pengadaan barang dan jasa pemerintahan merupakan salah satu bentuk refleksi dari orientasi kerja pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. karena dari penggunaan aktivitas apbn atau apbd masyarakat bisa mengetahui ke arah mana penggunaan uang pemerintah tersebut digunakan dan dikeluarkan. oleh karenanya akuntabilitas dan tranparansi dari sistem prosedural pengadaan barang dan jasa pemerintahan menjadi sebuah poin utama bagi kinerja unit layanan pengadaan (ulp) baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten. secara umum pembentukan unit layanan pengadaan (ulp) sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintahan secara elektronik diatur dengan berpedoman kepada peraturan menteri dalam negeri republik indonesia nomor 99 tahun 2014 tentang pedoman pembentukan unit layanan pengadaan barang/jasa pemerintah di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. permendagri tersebut secara langsung mengintruksikan bahwa unit layanan pengadaan (ulp) di daerah baik tingkat provinsi ataupun kota/kabupaten merupakan suatu kewajiban yang berkedudukan langsung di bawah sekretarian daerah dalam bentuk bagian ataupun biro. mengenai tugas dan fungsi ulp juga secara tertulis dalam permendagri tersebut. dalam permendagri tersebut terdapat 6 kewenangan dan 14 tugas dari ulp yang semuanya tentunya berkaitan langsung dengan tugasnya sebagai penjamin pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota secara transparan, terintegrasi dan terpadu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 90 adie dwiyanto nurlukman kebijakan yang mewajibkan pembentukan unit layanan pengadaan (ulp) merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki manajemen pengadaan barang dan jasa di lingkup pemerintahan deraha. pengorganisasian pengadaan barang dan jasa pemerintah saat ini memiliki berbagai kelemahan, antara lain, tidak efektif, efisien, sering terjadi duplikasi kegiatan, tidak ekonomis, kesulitan melakukan kontrol, kesulitan melakukan pembinaan personil, fokus kerja personil yang terbagi, serta sering terjadi perbedaan penerapan sistem atau metode dalam melakukan proses pengadaan barang dan jasa. hal lain yang perlu diperhatikan dengan adanya unit layanan pengadaan (ulp) adalah hubungan dan koordinasi ulp dengan lembaga skpd lain di daerah. oleh karenanya standar operasional prosedur (sop) yang mengatur mengenai peran, fungsi, dan alur keja dari keberadaan ulp ini harus diatur dalam bentuk peraturan yang cukup kuat mengingat peraturan tersebut tidak hanya mengikat ulp sebagai payung utam lembaga pengadaan barang dan jasa pemerintahan, tetapi juga mengikat lembaga skpd lain yang merupakan pemilik pekerjaan pengadaan barang dan jasa. standar operasional prosedur (sop) ini disusun dalam bentuk keputusan kepala daerah dan ditujukan sebagai pedoman bagi ulp dalam rangka menjalankan tugasnya melaksanakan pengadaan barang dan jasa pemerintah. tetapi walaupun sudah dilandasi dengan peraturan, realita yang terjadi masih sering terjadi konflik mengenai hubungna dan koordinasi antara ulp dengan lembaga lainnya baik di luar ataupun di dalam struktur pemerintahan. permasalahan yang umumnya terjadi adalah mengenai pejabat penanda tangan surat, karena seringkali dalam hal ini terjadi benturan akibat dari status ataupun tingkat kepangkatan dari pejabat ulp lebih rendah dengan lembaga lain yang melakukan pengadaan barang dan jasa. hal ini merupakan permasalahan tata kelola struktural yang sering terjadi dalam pejalana ulp sebagai ujung tombak e-procurement di daerah. penutup 6.1 kesimpulan pemanfaatan perkembangan teknologi terutama dalam hal telekomunikasi dan informasi dalam pemerintahan merupakan suatu dorongan tersendiri dalam upaya menciptakan penyelenggaraan pemerintahanyang lebihbaik terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan . terlepas dari masih kurang optimalnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement). keberanian dari pemerintah untuk berinovasi dari sistem lama pengadaan yang sangat rawan terhadap penyalahgunaan, berganti kepada sistem pengadaan secara elektronik yang mendorong adanya p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 91e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia transparansi, akuntabel, dan cepat untuk efektifitas dan efesiensi pengadaan barang dan jasa pemerintahan. beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksaan kebijakan e-procurement tidak terlepas dari payung hukum kebijakan ini yang masih terlalu bias dan kurang menguatkan berakibat kepada proses integrasi yang masih lemah dalam pelaksanaannya. konflik egoisme dan kepentingan pribadi masih terlihat karena adanya kelemahan peraturan yang ada. 6.2 saran dalam upaya untuk mencapai optimalisasi dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik diperlukaan beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: 1. penguatan peraturan mengenai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa melalui pembuatan undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa secara elektronik. 2. perbaikan sistem struktur tata laksana unit layanan pengadaan (ulp) agar tidak terjadi miss-koordinasi terutama mempertegaskewenangan ulp dalam hal kaitannya hubungan antar lembaga yang ada baik di tingkat provinsi ataupun kota/kabupaten dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.. 3. meningkatkan sistem dan proses perekrutan sumber daya ulp yang didasarkan kepada kualifikasi dan kompetensi. secara kualifikasi, sumberdaya ulp harus lebih menegaskan posisi struktural ulp terutama status kepangkatan ketua sebagai upaya mengurangi potensi konflik kewenangan, dan secara kompetensi sumberdaya ulp haruslah orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik dalam ict. referensi b_trust. (2015). catatan kritis pengadaan barang/jasa: cerita pengadaan barang/jasa di 6 daerah. bandung: bandung trust advisory group. croom, s., & bandon-jones, a. (2004). e-procurement: key issues in e-procurement implementation and operation in the public sector. 13th international purchasing & supply education & research association (ipsera) conference. catania, italy. dawar, k., & evenett, s. (2011). government procurement. dalam j.-p. chauffour, & j.c. maur, preferential trade agreement policies for development: a handbook (hal. 367 385). washington dc: the world bank. denhardt, j. v., & denhardt, r. b. (2007). the new public service: serving, not steering. terdapat unsur destruktif seperti demonstrasi, teror, pembunuhan politik, mogok kerja, boikot atau merusak fasilitas publik dapat disebut sebagai bentuk partisipasi. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 92 adie dwiyanto nurlukman new york: e. sharpe, inc. edquist, c., & hommen, l. (1998). government technology procurement and innovation theory. linköping : departement of technological and social change, linköping university. haryati, d., anditya, a., & wibowo, r. a. (2010). pengadaan barang/jasa secara elektronik e-procurement) pada pemerintah kota yogyakarta. yogyakarta: fakultas hukum universitas gajah mada. iisd. (2012). procurement, innovation, green growth: the story continues. mantoba: international institute for sutainable development. kemitraan. (2013). indonesia governance index 2012: tantangan tata kelola pemerintahan di 33 provinsi. jakarta: the partneship fo governance reform (kemitraan). mohanty, i. (2005). workingpaper.dikutip dari center for good governance: http:// www.cgg.gov.in/workingpapers/egovpaperarc.pdf nurmandi, a., & sunhyuk, k. (2015). making e-procurement work in a decentralized procurement system: a comparison. international journal of public sector management volume 28, 198 220. oecd. (2009a). rethinking e-government services: user-centred approaches. oecd publishing, 2009. patanakul, p., & pinto, j. k. (2014). examining the roles of government policy on innovation. journal of hight technology management research, 97-107. proskuryakova, l., abdrakhmanova, g., & pitlik, h. (2013). public sector e-innovation: egovernment and its impact on corruption. moscow: national research university higher school of economics (hse). riege , a., & lindsay, n. (2006). knowledge management in the public sector: stakeholder partnerships in the public policy development. journal of knowledge management, 2439. the world bank. (2001). indonesia country procurement assesment report: reforming the public procurement system. jakarta: world bank office. uyarra, e. (2010). opportunities for innovation through local government procurement (a case study of greater manchester). london: national endowment for science, technology and the arts (nesta). vaidya, k., sajeev, a. s., & callender, g. (2006). critical factors that influence eprocurement implementation success in the public sector. journal of public procurement, 70-99. wibawa, d. a. (2014, mei 28). e-procurement : pencegahan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. dikutip dari badan pendidikan dan pelatihan kementrian keuangan : http:/ /www.bppk.kemenkeu.go.id/berita-ap/147-publikasi/artikel/artikel-anggaran-danperbendaharaan/19286-e-procurement-pencegahan-korupsi-dalam-pengadaanbarang-dan-jasa p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 93e-procurement: inovasi penyelenggaraan pemerintahan dalam pengadaan barang dan jasa berbasis e-government di indonesia winarno, s. (1990). pengantar penelitian ilmiah (dasar, metode, dan teknik). bandung: tarsito. yiðit, ö. (2013). science, technology and social change course’s effects on technological literacy levels of social studies pre-service teachers. 12(3). yulianto, a. (2010, januari 14). sejarah lembaga pengadaan secara elektronik (lpse). dikutip dari lembaga pengadaan secara elektronik (lpse): http://lpse.blogdetik.com/2010/ 01/14/sejarah 2 (mitologi yunani) 1 34 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis (magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 35 46 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 (1government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 47 61 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 (1magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 63 78 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 (1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 91 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 (1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  63 citation : primadi, agam dan titin purwaningsih. 2019. “institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung)”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, 63-78. journal of government and civil society vol. 3, no. 1, april 2019, pp. 63-78 doi: 10.31000/jgcs.v3i1.1099 received 4 desember 2018  revised 8 april 2019  accepted 22 april 2019 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: agamprimadi08@gmail.com 2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: titin.p.widodo@gmail.com abstrak kontestasi politik di tingkat daerah provinsi kepulauan bangka belitung menghasilkan dimanika politik yang dinamis, salah satunya adalah perolehan suara partai golkar pasang surut. hal ini berdampak terhadap perolehan suara pesta demokrasi yang terlaksana di lingkungan provinsi kepulauan bangka belitung. secara spesifik, penelitian ini bertujuan menganalisis pelembagaan partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung pascakekalahan di pemilihan gubernur tahun 2017. selain itu, penelitian ini berupaya melihat carut-marutnya proses rekrutmen politik di internal partai. penelitian ini mengunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, serta pemanfaatan data sekunder dan primer. kekalahan calon dari partai golkar disebabkan institusionalisasi partai politik di internal partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung belum berjalan maksimal dan baik. selain itu, ada juga beberapa faktor lainnya. pertama, pengambilan kebijakan rekrutmen calon gubernur dan wakil gubernur pada pemilihan tahun 2017 masih diwarnai dengan pelanggaran konstitusi partai dalam arti proses rekrutmen tidak dilakukan berdasarkan mekanisme aturan ad/art partai. pengurus golkar di level daerah tidak dilibatkan dalam proses penjaringan, seleksi, dan penetapan calon gubernur di tubuh partai golkar. kedua, adanya “politik dagang sapi” dalam proses rekrutmen mengisyaratkan kecendrungan uang masih sangat kuat dalam mendapatkan rekomendasi dari level pusat dan dukungan dari level pengurus partai di daerah. kata kunci: institusionalisasi partai politik, oligarki politik, elit politik, partai golkar. abstract political contestation in bangka belitung province produces a dynamic political situation, one of which is the vote acquisition of the ups and downs of the golkar party. this has an impact on the vote acquisition of democratic parties carried out in bangka belitung province. specifically, this study aims to analyze the institutionalization of the golkar party in the province of bangka belitung in the aftermath of the governor’s election in 2017. in addition, this study seeks to see the chaotic process political parties recruitment within the party. this research uses qualitative methods with techniques for collecting data on interviews, observations, and the use of secondary and primary data. the defeat of golkar party candidates is due to the institutionalization of political parties internally in the golkar party that has not run optimally and good. in addition, there are also several other factors. first, the recruitment of the governor and deputy governor candidates’ recruitment policy in the 2017 election is still tinged with violations of the party’s constitution in sense that the recruitment process is not based on the mechanism of the party’s ad/art. the golkar party administrators at the regional level were not involved in the selection and determination of governor candidates. secondly, the existence of “politik dagang sapi” in the recruitment process suggests that the money tendency is still very strong in getting recommendations from the central level and support from the level of party managers in the region. keywords: institutionalization of political parties, political oligarchs, political elites, golkar party journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 64 agam primadi dan titin purwaningsih pendahuluan kehadiran partai politik secara resmi berawal dari maklumat 3 november tahun 1945 tentang pembentukan partai politik yang dikeluarkan oleh wakil presiden drs. moh. hatta. lahirnya berbagai macam partai politik menjadi awal perkembangan demokrasi di indonesia, karena partai politik adalah salah satu syarat berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis. diawal pembentukannya ini, jumlah partai politik di indonesia sangat banyak dan tergolong pada sistem kepartaian multipartai.sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama(towar ikbal tawakkal, 2009). dimasa orde baru (orba) mengalami perubahan, terjadi pemangkasan sehingga hanya ada dua partai politik yakni partai demokrasi indonesia dan partai persatuan pembangunan. selain kedua partai tersebut, muncul organisasi yang berperan sangat aktif dalam perpolitikan saat itu yakni organisasi kekaryaan atau golongan karya. keberadaan dan eksistensi organisasi ini dalam proses demokrasi masa orde baru dilegalkan melalui uu no. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya, sehingga pemerintah hanya mengakui dua buah partai politik yakni partai persatuan pembangunan (ppp) dan partai demokrasi indonesia (pdi) serta satu organisasi sosial yakni golongan karya. organisasi golongan karya kemudian menjadi sangat eksis dalam berbagai kegiatan kenegaraan kemudian berevolusi menjadi sebuah partai di indonesia. melalui peraturan presiden (perpres) no. 193/1964 yang dikeluarkan presiden soekarno, partai golkar lahir dan berkiprah di nasional dengan dibekali pelembagaan partai yang matang. kehadiran partai golkar memunculkan dinamika baru dikancah perpolitikan. eksistensi partai golkar berhasil menjadi salah satu partai dengan perolehan suara yang signifikan. meski demikian, kejayaan partai golkar mengalami kemunduran yang ditandai dengan menurunnya perolehan suara partai di tingkat nasional pada pemilu legislatif tahun 1999. pada pemilu legislatif tahun 1999, partai golkar menduduki posisi kedua dalam perolehan suara nasional dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah atau mengalami penurunan sebesar 0,86 dibanding pemilu legislatif tahun 1997. penurunan elektabilitas partai golkar di era reformasi pada kenyataannya tidak sama dengan asumsi sejumlah orang yang menganggap bahwa reformasi 1998 akan melumpuhkan partai golkar secara struktural hingga level akar rumput. faktanya, selama pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009 perolehan suara partai golkar masih tinggi dalam perhitungan nasional. (holil, 2009:42).perolehan ini tidak terlepas dari keutuhan perolehan suara, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang secara substansial menyumbang perolehan suara di tingkat nasional. (tanjung, 2007: 64). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 65institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) hal demikian juga terjadi di provinsi kepulauan bangka belitung. partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung lahir seiring dengan terbentuknya provinsi pada tahun 2000. pimilihan legislatif 2009 mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. dominasi partai golkar di legislatif mematahkan stigma miring terhadap indikasi penurunan elektabilitas dan perolehan suara. berikut hasil pileg 2009 terinci dalam tabel 1. berikut. tabel 1. perolehan suara / kursi parpol pemilu 2009 provinsi kepulauan bangka belitung no nama partai politik perolehan suara perolehan kursi 1 partai hati nurani rakyat 21.661 suara 3 kursi 2 parti gerakan indonesia raya 21.707 suara 2 kursi 3 partai keadilan sejahtera 42.320 suara 5 kursi 4 partai amanat nasional 26.579 suara 3 kursi 5 partai golongan karya 71.995 suara 7 kursi 6 partai persatuan pembangunan 37.967 suara 7 kursi 7 partai bulan bintang 33.060 suara 3 kursi 8 partai demokrasi indonesia perjuangan 88.141 suara 8 kursi 9 partai demokrat 47.381 suara 7 kursi jumlah 464.240 suara 45 kursi sumber : kpu provinsi kepulauan bangka belitung. kerangka teori institusionalisasi partai politik parpol menjadi jembatan penghubung politis antara pemilik kekuasaan, yaitu rakyat, dengan pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan. selain itu fungsinya juga menjadi sentral dalam sebuah negara demokrasi. (harjanto, 2011). perubahan penting yang dialami indonesia dalam menjalankan proses demokratisasi antara lain munculnya berbagai macam partai politik. di era reformasi setelah dibukanya kebebasan mendirikan partai politik, nuansa politk bangsa sangat disesaki oleh aktivitas partai politik (solikhin, 2017). sebagai tuntutan organisasi yang modern partai politik dituntut untuk memiliki etika kepemimpinan yang demokratis dan kolegial, etika organisasi, dan etika pertanggungjawaban kepada masyarakat yang semuanya dilembagakan dalam mekanisme internal partai yang disepakati bersama (syamsuddin, 2016). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 66 agam primadi dan titin purwaningsih pelembagaan partai politik adalah proses dalam pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang sistematik dan terpola dalam mendukung prinsip dasar demokrasi (imansyah, 2012). netherlands institute for multiparty democracy (imd) melihat pelembagaan berdasarkan demokrasi internal, keutuhan internal, identitaspolitik berkaitan dengan ideologi partai, ketangguhan organisasi dan kapasitas berkampanye(romli, 2016). teori pelembagaan partai politik vicky randall dan lars svasand (2002), dimana dalam tulisannya randall dan svasand membagi tingkat pelembagaan partai politik menjadi empat dimensi. yang pertama yaitu dimensi kesisteman (sistemness), kedua dimensi identitas nilai (value infusion), ketiga dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy), dan keempat dimensipengetahuan atau citra publik (reification)(eristyawan, 2014). menurut huntington (1968:12), institusionalisasi partai politik adalah sebuah proses pengorganisasian dan prosedur untuk mendapatkan value (nilai) dan stability (stabilitas) tertentu. ketika partai politik telah berhasil memformulasi dan menginternalisasi nilainilai organisasionalnya serta dalam periode waktu tertentu terdapat stabilitas internal, maka partai politik tersebut dapat dikatakan telah terlembagakan dengan baik. samuel p. huntington, dalam buknya “political order in changing societies” memaknai pelembagaan (lembaga politik) sebagai proses dengan mana organisasi dan tata cara memperoleh nilai baku dan stabil. tingkat pelembagaan setiap sistem politik dapat ditentukan dari segi kemampuan untuk menyesuaikan diri, kompleksitas, otonomi dan keterpaduan. selain itu, pelembagaan dapat diukur dari ukuran ukuran ; pertama, penyesuaian diri, kedua, kekakuan, ketiga, kompleksitas, keempat kesederharnaan, kelima, otonomi-subordinasi, dan keenam, persatuan-perpecahan. gagasan utama tentang konteks pelembagaan partai politik dalam sistem politik untuk menyumbang terciptanya political order yang dapat digunakan sebagai kerangka analisis adalah seperti pada tabel sebagai berikut : p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 67institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) tabel 2. analisis pelembagaan partai politik gagasan utama samuel p.huntington konteks pelembagaan partai politik 1. tertib politik 2. sistem politik 3. stabilitas politik 4. partisipasi politik pelembagaan partai politik 1. nilai baku 2. stabil parameter pelembagaan partai politik kemampuan partai politik : 1. menyesuaikan diri (usia organisasi, usia generasi, fungsi) 2. kompleksitas 3. otonomi 4. keterpaduan organisasi dan tata cara implikasi parameter pelembagaan partai politik 1. kemampuan menyesuaikan diri terhadap peruabahan (tidak sebatas melaksanakan fungsi partai) 2. diferesiasi sub-unit organisasi (hirarkifungsional) 3. tidak tergantung dari organisasi politik dan metode perilaku yang lain 4. keutuhan organisasi efek implikasi parameter pelembagaan partai politik 1. kemampuan partai dalam mengelola organisasi internal (stabilitas internal, demokrasi internal, konsensus) 2. hubungan antar-partai 3. peran dalam sistem politik sumber : huntington, political order in changing societies sedangkan menurut basedau dan stroh (2008) ada empat dimensi pelembagaan partai, jika di uraikan adalah sebagai berikut: pertama, roots in society ( mengakar dalam masyarakat), maksudnya adalah partai ini memiliki akar yang stabil dalam masyarakat. kedua, autonomy (independen dalam mengambil keputusan), maksudnya adalah kebebasan partai politik dari pengaruh luar partai dalam mengambil setiap keputusan dan kebijakan partai. ketiga, level of organization ( alat organisasi yang selalu bekerja untuk kepentingan partai di setiap tingkat kepengurusan), maksudnya adalah kepengurusan ditingkat atas hingga kepengurusan di tingkat bawahnya bekerja untuk kepentingan partai guna membesarkan partai dan memberikan kemenangan dalam pemilu. keempat, coherence (kekompakan para anggota partai), maksudnya adalah journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 68 agam primadi dan titin purwaningsih kekompakan anggota partai dalam parlemen, sehingga tidak terjadi pembelotan dari anggota partai dan tetap berpegang teguh pada kebijakan partai yang telah diambil. tabel 3. pelembagaan partai politik stability value infusion external roots in society autonomy internal level of organization coherence sumber : basedau dan stroh (2008) empat dimensi pelembagaan partai politik tersebut, terdapat indikator untuk mengukur pelembagaan partai politik. sehingga dalam penelitian ini, teori yang digunakan peneliti adalah teori institusionalisasi menurut basedau dan stroh. partai golkar bangka belitung telah beberapa kali mengikuti pemilu, serta perolehan suara kursi di dprd provinsi kepulauan bangka belitung pada pileg 2014 cukup stabil, hal ini juga demikian terjadi di pileg 2009, partai golkar meraih 7 kursi di dprd provinsi kepulauan bangka belitung. partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung juga telah mengalami pergantian ketua sebanyak 4 kali sejak provinsi kepulauan bangka belitung terbentuk. hal ini menunjukkan bahwa terjadi dinamika yang sangat menarik di internal partai. fenomena serta kondisi partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung tersebut tentunya akan sangat relevan jika di analisis melalui indikator pelembagaan partai politik menurut basedau dan stroh. oligarki politik sejarah oligarki merupakan sejarah yang identik dengan dua hal, pertama oligarki menandaskan superioritas orang berpunya, kedua oligarki identik dengan bagaimana sepak terjang mereka di dunia politik dalam posisinya sebagai elit. dalam perkembangannya, teorisasi soal oligarki dalam kacamata ekonomi politik perlahan-lahan mulai bias dan bercampur aduk dengan teori elit. (winters, 2011:40). sumber daya kekuasaan sebagaimana yang diklasifikasikan oleh winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang menggunakannya. sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis. pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan koersi (pemaksaan), keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah basis kekuatan material. empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. sedangkan sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 69institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) dalam konteks demokrasi, keterlibatan oligark dalam politik praktis melalui pemilu juga menarik untuk ditelaah meskipun oligarki dengan demokrasi sangat berbeda. di mana oligark meletakkan konsentrasi kekuasaan pada kekayaan (klaim terhadap kepemilikan dan kekayaan), sedangkan demokrasi meletakkan konsentrasi pada persebaran kekeuasaan nonmaterial (hak, prosedur, dan tingkat partisipasi). winters (2011) menjelaskan tentang sumber daya kekuasaan yang menurutnya ada lima bentuk kekuasaan individu yang penting, yaitu : 1. kekuasaan berdasarkan hak politik formal; 2. jabatan resmi dalam pemerintah atau organisasi; 3. kekuasaan pemaksaan/koersif; 4. kekuasaan mobilisasi; 5. kekuasaan material. sedangkan dalam konteks pilkada, apabila elit politik memiliki kelima sumber kekuasaan tersebut, maka ia dapat berbuat apapun untuk mencapai tujuan politiknya. lebih jauh, dari pandangan tersebut dapat dijelaskan bahwa munculnya calon tunggal pada pemilukada kabupaten landak dan beberapa daerah lainnya dikarenakan terdpaat oligarki di tubuh partai politik karena para elit memiliki 5 (lima) sumber kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh winters. tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi mereka juga memiliki sumber daya yang maksimal untuk memobilisasi massa guna memperoleh dukungan politik. winters (2011) dalam studinya, membagi oligarki dalam beberapa tipe, antara lain: 1. oligakri panglima (warring oligarchy) 2. oligarki penguasa kolektif (ruling oligarchy) 3. oligarki sultanistik (sultanistik oligarchy) 4. oligarki sipil (civil oligarchy) teori oligarki dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai kekuatan finansial yang menjadi salah satu kekuatan hidayat arsani untuk dapat mendapatkan rekomendasi dari partai politik sebgai kendaraan untuk maju dalam pesta demokrasi pada tahun 2017 di provinsi kepulauan bangka belitung. kekuatan uang menjadi pengaruh terkuat dalam mendapatkan rekomendasi tersebut. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 70 agam primadi dan titin purwaningsih elit politik kata elit dapat diartikan dalam berbagai konteks yang berarti terbaik, istimewa, paling mulia atau hal yang terbaik dari sesamanya. pereto (dalam varma,1975) menjelaskan bahwa elit secara sederhana dapat diartikan sebagai individu yang memiliki kemampuan istimewa atau lebih dalam kegiatan tertentu seperti pengetahuan politik atau bisnis besar. pareto juga membagi istilah elit kedalam dua hal. pertama, a governing elite yaitu sekumpulan pemimpin yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran dalam mengatur masyarakat. kedua, a non-governing elite yaitu sebagai pengingat atau pengkritik dari kelompok elit itu sendiri. dalam pengetahuan sosial kontemporer, kata elit mengacu pada kelompok-kelompok yang memiliki status tinggi dalam masyarakat karena alasan apapun. (patrick dan brendan 1987). elite non politik ini seperti: elite keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya. perbedaan tipe elite lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elite politik maupun elite mesyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah di tingkat lokal. dalam sirkulasi elite, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. sirkulasi elite menurut pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan kedua, pergantian terjadi di antara elite dengan penduduk lainya. pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a). individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elite yang sudah ada, dan atau (b). individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. asumsi teori elit mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori : 1) sekelompok kecil manusia yang memiliki kemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan mereka disebut : (a.) elite yang berkuasa dan (b.) elite yang tidak berkuasa. 2). sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. (varma 1975). sedangkan baswedan (2006) memetakan elite politik indonesia berdasarkan kurun waktu tertentu. berikut digambarkan dalam tabel. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 71institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) tabel 4. formasi dan sirkulasi rulling elite indonesia versi anies baswedan fase pembentukan elite fase maturitas elite periode tren/ jalur rekruitmen periode maturitas rulling elite 1990-an – 1930-an pendidikan modern 1940-an – 1960-an intelektual 1940-an – 1960-an perjuangan fisik 1970-an – 1990-an angkatan bersenjata 1960-an – 1990-an organisasi massa/politik 2000-an – 2020-an aktivis 1990-an – sekarang pasar/dunia bisnis 2020-an – ? enterpreneur/ bisnisman sumber: tabel ini dikembangkan oleh alfan alfian berdasarkan opini “siapakah rulling elite indonesia” karya anies baswedan (kompas, 31 oktober 2006). pembentukan ruling elite indonesia versi baswedan (2006) ditentukan atas dasar dua hal, perekrutan anak-anak muda dan tren utama bangsa. tren utama bangsa ini berubah dari satu masa ke masa berikutnya seiring dengan perjalanan sejarah. anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite. di sinilah kerangka path dependence (historical institutionalism) jadi relevan dan powerful. metode penelitian penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. menurut bogdan dan taylor, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau secara lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (moleong,2006:4). sedangkan lokasi penelitian ini dilakukan di kantor dpd i dan dpd ii partai golkar bangka belitung. sementara itu, informan dalam penelitian ini adalah ketua dpd i partai golongan karya, ketua kpud provinsi kepulauan bangka belitung, ketua dpd ii partai golkar, sekertaris partai, pengurus harian partai dan elit partai yang dianggap dapat memberikan informasi yang valid dan relevan dengan topik penelitian. data penelitian yang dilakukan diperoleh dari: pertama, wawancara, untuk mendapatkan data dan informasi dan ide melalui tanya jawab. kedua, observasi, menganalisis langsung dinamika politik di internal partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung, dan ketiga, dokumentasi, mengumpulkan dokumen seperti buku harian partai, sejarah partai, hasil perolehan suara partai, peraturan dan kebijakan partai. untuk menganalisis hasil penelitian yang dilakukan penulis mengunakan unit analisis seperti yang di gampang dalam hamidi (2005: 75-76) menyatakan bahwa unit analisis adalah journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 72 agam primadi dan titin purwaningsih satuan yang diteliti yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian. dari cara mengungkap unit analisis data dengan menetapkan kriteria responden tersebut, peneliti dengan sendirinya akan memperoleh siapa dan apa yang menjadi subjek penelitiannya. dalam hal ini peneliti akan mencoba menemukan informan awal yakni orang yang pertama memberi informasi yang memadai ketika peneliti mengawali aktivitas pengumpulan data. adapun yang menjadi informan awal dari penelitian ini adalah hendra apollo selaku ketua dpd i partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung. hasil dan pembahasan roots in society konsep roots in society adalah sebuah pemahaman publik terhadap partai itu sendiri. oleh karena itu, partai politik harus mampu mencitrakan diri kepada publik yang berorientasi kepada kepercayaan yang tinggi dari publik terhadap partai. jika dimata publik memiliki citra yang baik dan positif, maka akan berdampak terhadap internal partai, misalnya dalam hal dukungan konstituen dalam pagelaran pesta demokrasi periodik. namun jika dimata publik partai memiliki citra yang tidak diinginkan, maka konsekuensinya adalah partai akan ditinggalkan oleh publik. faktanya, banyak sekali partai yang terus berupaya untuk tampil sebagai partai yang pro rakyat. upaya pencitraan yang dilakukan oleh partai politik dapat implementasikan melalui proses proses politik maupun fenomena bencana alam. hal ini diharapkan dapat meningkatkan popularitas partai. kiprah partai dalam masyarakat kiprah partai golkar di provinsi kepulauan bangka belitung dalam konteks pemilu, partai golkar sangat familiar, hal ini ditegaskan melalu perolehan suara yang mengantarkan beberapa elit parti menduduki jabatan anggota dprd. kiprah partai golkar dimasyarakat diwujudkan melalu kegiatan kegiatan partai, baik itu dilakukan secara kelembagaan dan individu elit dan anggota partai. selain itu melalui reses, anggota dprd dari partai golkar selalu menyerap aspirasi masyarakat dan melakukan pendekatan persuasif diluar jadwal reses. melalui diskusi lokal dan pasar murah di moementum momentum juga merupakan strategi partai golkar meningkatkan eksistensi di masyarakat. anggota dan elit partai golkar bisa memanfatkan kegiatan kegiatan dan momentum dalam meningkatkan eksistensi dan hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. dalam kegiatan kegiatan keagamaan, elit dan anggota partai selalu hadir ditengah tengah masyarakat. hal ini merupakan sebuah pencitraan berorientasi kepada eksisntensi partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 73institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) kiprah partai dalam politik lokal partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung dalam kancah politik lokal menjadi salah satu partai yang tidak bisa dianggap remeh oleh partai lain. dalam pelaksanaan pesta demokrasi ditingkat lokal baik pemilihan legislatif maupun pemilukada. partai golkar adalah suatu partai yang mendapatkan dukungan dari masyarakat. terbukti, partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung berhasil mengantarkan kadernya sebanyak 7 (tujuh) orang di dprd provinsi kepulauan bangka belitung pada pileg tahun 2014. bahkan salah satunya meraih perolehan suara tertinggi dan menjabat wakil ketua dprd provinsi kepulauan bangka belitung. sedangkan pada level eksekutif partai golkar berhasil mengantarkan riza herdavid (wakil ketua bidang perekonomian) sebagai wakil bupati bangka selatan periode 2015-2020. selain itu sejak partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung terbentuk telah berhasil mengantarkan hudarni rani (ketua golkar pertama) sebagai gubernur bangka belitung, kemudian dilanjutkan eko maulana ali ( mantan ketua kedua) sebagai gubernur bangka belitung dua periode. selain itu, hidayat arsani ( mantan ketua ketiga ) sebagai wakil gubernur berpasangan dengan rustam effendi sebagai gubernur. dengan demikian, partai golkar bangka belitung memiliki cukup kekukuatan di kancah politik lokal dan memiliki citra yang bagus. strategi partai melaluimelalui fraksi fraksi di dprd selalu memperjuangan aspirasi masyarakat bangka belitung. selain itu, anggota dprd dari partai golkar selalu merespon cepat isu isu aktual di masyarakat dan selalu mengambil langkah solutif dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. sedangkan dilevel eksekutif kader golkar selalu merumuskan kebijakan kebijakan yang pro rakyat. autonomy otonomi pengambilan keputusan dalam hal pengambilan keputusan, partai golkar selalu berpedoman kepada mekanisme partai yang telah di rumuskan bersama. pertama, dalam pengambilan keputusan, partai golkar selalu berdasarkan aturan ad/art partai. baik dalam pengambilan kebijakan kebijakan partai dalam perhelatan konstestasi politik ditingkat lokal seperti pilkada (pemilihan kepala daerah). kedua, selain kebijakan aturan ad/art, partai selalu berpedoman kepada aturan aturan yang dibuat pemerintah dan lembaga penyelanggara pemilu seperti bawaslu dan kpu. dpd i partai memiliki otoritas dalam menyeleksi seluruh tahapan pilkada untuk seterusnya diberikan ke tingkat yang lebih tinggi kedudukannya. kemandirian dalam pengambilan keputusan masih diwarnai dengan kepentingan kepentingan segelintir elit partai. biasanya intervensi yang dilakukan elit elit partai bisa saja tidak sejalan dengan keinginan dan kehendaki partai itu sendiri. kepentingan elit ini kemudian bisa saja bermain untuk mengkhendaki kepentingan kepentingan di journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 74 agam primadi dan titin purwaningsih inginkan partai. intervensi dan campur tangan kepentingan elit dalam pengambilan keputusan menjadi partai tidak independen dalam pengambilan keputusan. ketelibatan elit ini dikarena mereka sebagai donator dalam kemajuan partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung. oleh karena itu, otonomi dalam pengambilan partai tidak sepenuhnya dimiliki partai golkar. otonomi partai golkar tidak lepas dari intervensi internal partai. persoalan kepentingan dan dominasi elit tidak bisa dihapuskan dalam proses pengambilan keputusan partai. peran “politik dagang sapi” dalam partai rekrutmen kandidat di pemilihan gubernur dan wakil gubernur di internal partai golkar diwarnai dengan kekuaatan kekuasaan dan uang. “politik dagang sapi” adalah istilah yang disebutkan oleh ketua dpd i. sikap otoriter yang digunakan hidayat arsani sewaktu memimpin partai memberikan dinamika tersendiri di internal partai. proses dialogis dan mekanisme partai seringkali tidak dipatuhi oleh hidayat arsani. menjelang pilgub 2017 di provinsi kepulauan bangka belitung, suhu politik di internal partai golkar tidak mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi di partai politik lain yang ada di bangka belitung. hal ini dikarenakan hidayat arsani tidak melalukan rekrutmen secara terbuka untuk umum yang bersedia mencalonkan diri di partai golkar. berikut hasil wawancara dengan hendra apollo ketua dpd i partai golkar bangka belitung : “dalam proses rektumen kandidat di pilgub, partai golkar tidak melalukan secara terbuka sesuai dengan mekasnime ad/art, hal ini karena hidayat arsani sewaktu menjabat sebagai ketua sangat otoriter, apabila ada yang membantah akan di pecat dari partai, realitas tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh klientisme dalam partai masih sangat tinggi. dimana kader partai seperti hidayat arsani tidak didasarkan atas ideologi dan konstitusi partai. selain itu, otoriterisme kepemimpinan menyebabkan anggota secara luas tidak dilibatkan, sikap pragmatisme ini kemudian menempatkan pengurus partai yang lain hanya sebagai pelengkap struktural. kekuatan organisasi kekuatan organisasi dapat dilihat melalui keutuhan internal organisasi partai golkar dari level dpp sampai dpd ii. sejauh partai golkar dibentuk tidak ada gejolak di internal partai. meskipun ada sedikit kritik dari anggota maupun simpatisan. hal itu merupakan upaya kader untuk menata kembali partai golkar sesuai dengan prinsip partai. selain itu, upaya meredam gejolak yang ada, partai selalu memberdayakan seluruh anggota, melibatkan seluruh anggota disetiap perumusan kebijakan yang ada di dpd i golkar bangka belitung. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 75institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) faksi-faksi yang muncul itu hanya momentum misalnya di pengambilan kebijakan terhadap arah partai kedepan, dan kekecewaan terhadap kebijakan partai. hal ini senantiasa ditanggapi sebagai bagian dari dinamika politik di internal partai. secara keseluruhan, faksi-faksi yang muncul tidak menggangu keutuhan organisasi dan harmonisai seluruh kader golkar. sumber keuangan partai sejak terbentuknya partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung delapan belas tahun yang lalu. dalam upaya menghidupkan roda partai, uang operasional didapatkan melalui sumbangan-sumbangan dari eksternal partai maupun internal partai. selain itu, sumber keuangan partai didapatkan melalui iuran partai. tabel 5. sumber keuangan partai no sumber jumlah 1 iuran partai 50.000/bulan 2 fraksi golkar 1.800/suara 3 sumbangan simpatisan 100jt-200jt sumber: diolah oleh penulis meski demikian, tidak semua kader partai golkar yang menaati seluruh kewajiban iuran yang sudah ditetapkan oleh partai. kenyataan ini kemudian memunculkan ketidakpedulian kader terhadap masa dengan masa depan partai. hal ini menyebabkan leluasanya oknum eksternal yang membantu biaya operasional partai mengintervensi kebijakan kebijakan yang dirumuskan oleh partai. coherence kekompakan di internal partai proses demokratisasi di dalam internal partai golkar mengalami kemunduran, hal ini disebabkan oleh otoritarisme ketua partai dalam proses penentuan kandidat di pilgub 2017. kebijakan yang tidak mengakomodir seluruh masukan dari pengurus setingkat dibawah dpp. dalam artian, proses pembuatan keputusan dalam hampir semua partai politik dapat disimpulkan tidak bersifat kolektif karena dalam praktek pembuatan keputusan berada pada satu tangan penguasa partai (personalistik) dan/ atau sekelompok kecil elit partai yang sangat loyal kepada sang penguasa (oligarkhi). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 76 agam primadi dan titin purwaningsih kenyataan itu menghasilkan konflik di dalam internal partai, sebagian dari pengurus memutuskan untuk keluar dari partai. menurut hasil wawancara dengan ketua dpd i partai golkar mengatakan : “ada banyak kader yang sesungguhnya tidak sepakat dengan majunya hidayat arsani sebagai gubernur. namun pengurus dpc tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi pengurus dpd i. harus kita aku sehingga banyak kader yang tidak sejalan di keluarkan dari partai dan mengundurkan diri” sikap kritis pengurus dan kader dalam menyikapi kebijakan dan persoalan masalah dinamika di internal menimbulkan sikap antipati terhadap proses pemenangan partai di pilgub 2017. ketidakharmonisan ini disampaikan oleh h. marsidi selaku ketua dpd ii kabupaten bangka selatan. berikut hasil wawancara: “bagaimana mau harmonis, kami tidak pernah dilibatkan dalam proses apapun, bahkan ketua dpd ii bangka barat di pecat oleh ketua lama karena tidak sejalan dengan beliau, kamu ikut saja kebijakan apapun daripada posisi kami tercancam”. pemecatan secara faksa yang dilakukan hidayat arsani menyisakan konflik yang mendalam di internal partai, sehingga kader partai menjadi tidak kompak antara kader dan pengurus harian dan situasi di internal menjadi tidak harmonis dengan calon gubernur dan wakil gubenur. penutup kesimpulan berdasarkan pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekalahan calon dari partai golkar di akibatkan karena institusionalisasi partai politik di internal partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung belum berjalan dengan maksimal dan baik. selain itu ada beberapa faktor kekelahan diantaranya sebagai berikut : pertama, dalam hal pengambilan kebijakan rekrutmen calon gubernur dan wakil gubernur di pemilihan tahun 2017 masih diwarnai dengan pelanggaran konstitusi partai dalam artian pengurus partai dalam rekrutmen tidak berdasarkan mekanisme aturan ad/art partai. pengurus golkar di level daerah tidak dilibatkan dalam proses penjaringan, seleksi, dan penetapan calon gubernur ditubuh partai golkar. kedua, adanya “politik dagang sapi” dalam proses rekrutmen mengisyaratkan kecendrungan uang masih sangat kuat dalam mendapatkan rekomendasi dari level pusat dan dukungan dari level pengurus partai di daerah. selain itu, sikap otoriter hidayat arsani yang menyebabkan antipati kader partai yang menyebabkan pengurangan suara dan dukungan dari internal partai itu sendiri. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 77institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) ketiga, adanya pembelotan kader dalam proses pemenangan di pilgub 2017 di provinsi kepulauan bangka belitung. hal ini didasari oleh sikap kritis kader dan pengurus harian partai terhadap kebijakan partai yang mengusung hidayat arsani sebagai calon gubernur. pembelotan kader dan pengurus ini di asumsikan oleh penulis karena pelembagaan partai yang tidak berjalan maksimal. saran 1. melaksanakan proses rekrutmen politik dengan memperhatikan mekanisme partai, ad/art, dan konstitusi partai yang berlaku. 2. menata lembaga internal partai berdasarakan aturan partai. 3. melakukan proses kaderidasi bertahap yang berorientasi kepada distribusi ideologi kepada seluruh anggota, kader, pengurus harian partai. referensi basedau, m & stroh, a. (2008). mearusing party institusioalizaton in developing countries: a new research instrument applied to 28 african political parties, giga research programme: legitimacy and efficiency of political systems. number 69. baswedan, a. (2006) “siapakah rulling elite indonesia” dalam harian kompas. eristyawan, f. n. (2014). pelembagaan partai kebangkitan bangsa studi kasus kemerosotan suara pada pemilihan umum. jurnal unair, 2(3). harjanto, n. (2011). politik kekerabatan dan institusionalisasi partai politik di indonesia. analisis csis: politik dan kekerabatan di indonesia, 40(2), 138–159. huntington, sp, & nelson, j. (1994). partisipasi politik di negara berkembang. jakarta:rineka cipta. holil, m. (2009) dinamika politik islam golkar di era orde baru. tangerang: gaya media pratama. imansyah, t. (2012). regulasi partai politik dalam mewujudkan penguatan peran dan fungsi kelembagaan partai politik. jurnal rechts vinding: media pembinaan hukum nasional, ,1((3)), 375–395. moelong, l. (2006). metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi. bandung: remaja rosdakarya. romli, l. (2016). reformasi partai politik dan sistem kepartaian di indonesia. journal politica, 2(2), 199–220. solikhin, a. (2017). menimbang pentingnya desentralisasi partai politik di indonesia. journal of governance, 2(1). syamsuddin, h. (2016). demokratisasi partai dan dilema sistem kepartaian di indonesia. jurnal penelitian politik, 3(1), 67–76. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 78 agam primadi dan titin purwaningsih towar ikbal tawakkal, g. (2009). peran partai politik dalam mobilisasi pemilih studi kegagalan parpol pada pemilu legislatif di kabupaten demak 2009. (doctoral dissertation, universitas diponegoro. tandjung, a. (2007). the golkar way : survival partai golkar di tengah turbulensi politik era transisi (jakarta: gramedia pustaka utama. varma, sp. (1975). teori politik modern, jakarta: raja grafindo persada. winters, j. (2011) oligarki, jakarta: gramedia pustakan utama. copyright (c) 2019 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00.pdf 00. halaman prelims daftar isi 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 3 nomor 2 halaman 93 152 september 2019 issn 2579-4396 93 104 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar junaedi (department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 105 116 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta muhammad quranul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 (1prodi studi pemerintahan, universitas indo global mandiri, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia) 117 – 128 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar aswar annas1, zaldi rusnaedy2 (1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti makasar, indonesia) 129 – 138 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang arif ginanjar (program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia)) 139 152 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat rendy adiwilaga (program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  139 citation : adiwilaga, rendy. 2019. “disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, 139-152. journal of government and civil society vol. 3, no. 2, september 2019, pp. 139-152 doi: 10.31000/jgcs.v3i2.1995 received 1 oktober 2019  revised 1 november 2019  accepted 2 november 2019 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat employee discipline as an effort to suppress bureaucratic pathology in the department of water resources and mining of west bandung regency rendy adiwilaga1 1program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia email: rendyadiwilaga@gmail.com abstrak pada dasarnya, aparatur negara dalam meningkatkan kualitas perlu mendorong perbaikan kesejahteraan dan keprofesionalan, serta memberlakukan sistem karir berdasarkan prestasi kerja, dengan prinsip pemberian reward and punishment. peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai negeri sipil adalah suatu landasan hukum untuk menjamin pegawai negeri dan dapat dijadikan dasar untuk mengatur penyusunan aparatur negara yang baik dan benar. pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini, menggunakan metode deskriptif dengan memusatkan perhatiannya terhadap masalah – masalah yang aktual melalui proses pengumpulan, penyusunan atau pengklasifikasian, pengolahan, dan penafsiran data. guna menjabarkan masalah bagaimana pelaksanaan disiplin pegawai dan upaya-upaya apa saja yang diterapkan untuk meningkatkan disiplin pegawai, serta kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan peraturan disiplin pegawai berdasarkan peraturan pemerintah di atas. hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan disiplin pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap masih belum optimal. pemberian sanksi berdasarkan peraturan pemerintahnomor 53 tahun 2010 telah diterapkan oleh kasubag kepegawaian dan umum, akan tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. hal ini dikarenakan perlu didengar alasan-alasan dari pegawai bersangkutan sebelum dijatuhkan sanksi. rendahnya pengawasan dan kurangnya pembinaan sehingga perlu diadakannya pembinaan serta motivasi pegawai dalam mengoptimalkan peningkatan kinerja pegawai dan juga harus diimbangi dalam hal kesejahteraan pegawai baik sarana dan prasarana sehingga tujuan yang tercantum dalam peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 dapat tercapai. kata kunci: disiplin, pegawai negeri sipil, reward & punishment abstract basically, the state apparatus in improving quality needs to encourage the improvement of welfare and professionalism, and to implement a career system based on work performance, with the principle of rewarding and punishment. government regulation no. 53 of 2010 concerning discipline of civil servants is a legal basis to guarantee civil servants and can be used as a basis for regulating the preparation of a good and correct state apparatus. the approach used in this paper uses a descriptive method by focusing its attention on the actual problems through the process of collecting, compiling or classifying, processing, and interpreting data. in order to describe the problem of how the implementation of employee discipline and what efforts are implemented to improve employee discipline, as well as what obstacles arise in the implementation of employee discipline rules based on the government regulation above. the results showed that the implementation of the discipline of civil servants and non-permanent employees was still not optimal. sanctions based on government regulation number journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 140 rendy adiwilaga 53 year 2010 have been implemented by the head of personnel and general affairs, but it did not work as it should. this is because reasons need to be heard from the relevant employee before being penalized. the lack of supervision and the lack of guidance so that it is necessary to hold guidance and motivation of employees in optimizing employee performance and must also be balanced in terms of employee welfare both facilities and infrastructure so that the goals listed in government regulation no. 53 of 2010 can be achieved. keywords: discipline, civil servants, rewards & punishment pendahuluan terwujudnya aparatur negara menuju pola administrasi yang sempurna sangat bergantung kepada kualitas pegawai negeri maupun honorer, serta mutu kerapian organisasi aparatur itu sendiri (light, 2006). dapat diketahui bahwa kedudukan pegawai negeri sipil adalah sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya misi dari pemerintah guna mewujudkan cita–cita pembangunan nasional, sebagaimana yang telah tercantum di dalam pembukaan undang–undang dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai melalui pembangunan nasional yang direncanakan dengan terarah dan realistis serta dilaksanakan secara bertahap. tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata dan berkesinambungan antara materil dan spiritual yang berdasarkan pada pancasila di dalam wadah negara kesatuan republik indonesia. kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung pada kesempurnaan pegawai. dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional diatas diperlukan adanya kesetiaan dan ketaatan dari pegawai, pada pancasila dari dan undang-undang dasar 1945, negara dan pemerintah bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdayaguna dan berhasil guna, berkualitas tinggi, mempunyai kesadaran tinggi akan tanggung jawabnya sebagai aparatur negara, abdi negara, serta abdi masyarakat. untuk mewujudkan pegawai negeri sebagaimana tersebut diatas maka perlu adanya pembinaan dengan sebaik-baiknya atas dasar sistem karir dan sistem prestasi kerja melalui reformasi birokrasi (sedarmayanti, 2010). berdasarkan paparan (susanto, 1974), sistem karir adalah suatu sistem kepegawaian dimana suatu pengangkatan pertama didasarkan atas kecakapan yang bersangkutan, sedangkan di dalam pengembangan selanjutnya yang dapat menjadi pertimbangan adalah masa kerja, kesetiaan pengabdian serta syarat-syarat objektif lainnya. adapun sistem prestasi kerja adalah sistem kepegawaian, dimana pengangkatan seseorang untuk menduduki suatu jabatan atau untuk kenaikan pangkat didasarkan atas kecakapan dan prestasi kerja yang dicapai oleh pegawai. kecakapan tersebut harus dibuktikan dengan lulus dalam ujian dinas dan prestasi di buktikan secara nyata dan sistem prestasi kerja p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 141disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat ini tidak memberikan penghargaan terhadap masa kerja (becker, huselid, becker, & huselid, 1998; waldman, 1994) seiring didorongnya upaya reformasi birokrasi, pendayagunaan aparatur negara terus ditingkatkan terutama berkaitan dengan kualitas, efiensi pelayanan dan pengayoman pada masyarakat serta kemampuan profesional dan kesejahteraan aparat, kesemuanya sangat di perhatikan dalam menunjang pelaksanaan tugas. undang – undang pokok kepegawaian yaitu uu no. 43 tahun 1999 yang bertujuan menghadirkan kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri sipil. karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat yang madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur adil dan bermoral tinggi diperlukan pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila dan undang-undang dasar 1945. guna mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan menuju kesempurnaan dan keprofesionalan pegawai sesuai undang-undang peraturan pemerintah maka sikap kedisiplinan pegawai yang ada di lingkungan pemerintahan harus diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah yang berhubungan dengan kedisiplinan pegawai (sedarmayanti, 2010). terlebih dewasa ini, pasca reformasi dan diberlakukannya undangundang baru tentang pemerintahan daerah, banyak daerah-daerah pemekaran baru yang terbilang masih membutuhkan penyesuaian dan adaptasi melalui proses re-birokrasi (fernanda, 2006; prasojo & kurniawan, 2008; widhyharto, 2008). salah satu wilayah yang terbilang muda dan menjadi cetakbiru daerah pemekaran baru ialah kabupaten bandung barat. saat ini manajemen pemerintahan yang ada di wilayah kabupaten bandung barat mengacu pada peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang “kesanggupan pegawai negeri sipil untuk mentaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang–undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin”. dalam pelaksanaan peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai negeri sipil, pemerintah kabupaten bandung barat telah membuat dan memberikan surat edaran bupati melalui sekretaris daerah kabupaten bandung barat nomor: 800/1412-bkd tentang peningkatan kehadiran dan disiplin pegawai negeri sipil dimana peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 adalah suatu landasan hukum untuk menjamin pegawai negeri sipil dan dapat dijadikan dasar untuk mengatur penyusunan aparatur negara yang baik dan benar. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 142 rendy adiwilaga pegawai negeri bukan saja unsur aparat negara tetapi juga merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, oleh karena itu dalam pelaksanaan pembinaan pegawai negeri bukan saja dilihat dari diperlakukan sebagai aparatur negara, tetapi juga dilihat dan diperlakukan sebagai warga negara. hal ini mengandung pengertian, bahwa dalam melaksanakan pembinaan hendaknya sejauh mungkin diusahakan adanya keserasian antara kepentingan dinas dan kepentingan pegawai negeri sipil sebagai perorangan, dengan ketentuan bahwa apabila ada perbedaan antara kepentingan dinas dan kepentingan pegawai negeri sipil sebagai perorangan, maka kepentingan dinaslah yang harus di utamakan. salah satu sub kerja birokrasi di kabupaten bandung barat yang cukup dinamis perkembangan kinerja nya yakni dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan. dari berbagai macam permasalahan yang terjadi di dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat, permasalahan birokrasi menjadi permasalahan utama, khususnya dalam kedisiplinan pegawai dan kurangnya pengawasan kinerja guna menunjang kedisiplinan pegawai, yaitu pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap yang khususnya bekerja di instansi tersebut, dimana ada beberapa faktor yang menghambat untuk meningkatkan kedisiplinan pegawai berdasarkan peraturan pemerintah no.53 tahun 2010 seperti kurangnya pengawasan terhadap absensi pegawai khususnya pejabat yang berada tepat pada tugas dan fungsinya yaitu dalam hal ini adalah kasubag kepegawaian dan umum, kurangnya perhatian atasan terhadap bawahan terutama kesejahteraan pegawai tidak tetap menyangkut hak honorarium yang diberikan 3 (tiga) bulan sekali serta sarana dan prasarana pegawai sebagai motivasi kerja yang menunjang tentang tingkat kedisiplinan pegawai yang pada khususnya tugas dan fungsinya di lingkungan dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat, adapun perbaikan kinerja pegawai negeri yang diberikan pemerintah kabupaten bandung barat mutlak diperlukan. dengan kondisi kompleks yang dihadapi pemerintah kabupaten bandung barat dalam melaksanakan kedisiplinan pegawai memerlukan perhatian yang serius dan tanggung jawab yang tinggi. kerangka pemikiran disiplin kerja dalam konteks birokrasi di indonesia merupakan tindakan atau perilaku seseorang terhadap tanggung jawab kegiatan kerjanya, dimana disiplin kerja adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap memenuhi peraturan sesuai dengan peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai. pembahasan disiplin pegawai berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, luput dari kekhilafan dan kesalahan (faustino, 2003; hasibuan, 2010). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 143disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat oleh karena itu setiap organisasi atau instansi perlu memiliki berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh para pegawainya, standar yang harus dipenuhi. disiplin merupakan tindakan manajemen memotivasi kinerja untuk mendorong para pegawai memenuhi tuntutan berbagai ketentuan tersebut (arvey, davis, & nelson, 1984; bandyopadhyay, 2009; franklin & pagan, 2006; soss, fording, & schram, 2011). dengan perkataan lain, tujuan dari disiplin pegawai adalah untuk memberikan pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para pegawai lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. pengertian disiplin kerja keith davis dalam (mangkunegara, 2001), mengemukakan bahwa “dicipline is management action organization standards”. berdasarkan pendapat keith davis, disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. sedangkan menurut sutopo yuwono, disiplin adalah sikap kejiwaan seseorang atau kelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau mematuhi keputusan yang telah ditetapkan. selanjutnya alfred r. lateiner dan i.s levine memberikan definisi antara lain disiplin merupakan suatu kekuatan yang selalu berkembang di tubuh para pekerja yang membuat mereka dapat mematuhi keputusan dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. (handoko & sukanto, 1996), mendefinisikan pengawasan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh para manajer untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh karyawan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh organisasi atau perusahaan. (robbins, 1996), mengartikan pengawasan sebagai proses pemantauan aktivitas organisasi untuk memastikan apakah aktivitas sesuai dengan yang direncanakan dan sebagai proses mengoreksi setiap penyimpangan yang muncul. di dalam peraturan pemerintah ketaatan dan kepatuhan dalam peraturan pemerintah terutama tentang kedisiplinan pegawai itu harus mutlak ditaati tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka pegawai pemerintah yang melanggar akan dikenakan sanksi hukuman disiplin (hukdis) sesuai sanksi yang ada dalam peraturan pemerintah, sementara ketaatan pegawai khususnya yang ada di lingkungan dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat kurang taat dan patuh terhadap peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai. dimana ada beberapa hambatan yang terjadi tentang kedisplinan pegawai untuk menunjang kedisiplinan pegawai serta mengacu kepada peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 144 rendy adiwilaga gambar 1. diagram alur berpikir metode penelitian penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. menurut (nazir, 1988), disebutkan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, dan suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi gambaran atau suatu lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. menyambung pernyataan sebelumnya, simangunsong menegaskan bahwa penelitian kualitatif sendiri memiliki pandangan bahwa fokus sebuah penelitian terletak pada pencarian makna (meanings) sehingga harus disadari bahwa makna yang dibangun dalam penelitian kualitatif berangkat dari perumusan masalah yang disusun menjadi “tematema yang bersifat subyektif dan jamak” (simangunsong, 2016). dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang kenyataan yang ada di lapangan pada saat penelitian sedang berlangsung. data yang diperoleh dikumpulkan, kemudian di interprestasikan satu sama lain sehingga diperoleh suatu rumusan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang sedang diteliti. penelitian dilaksanakan di kantor dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat dengan menghimpun hasil wawancara dari beberapa informan seperti halnya kepala dinas, kepala subbagian kepegawaian umum, kepala subbagian penyusunan program, sekretaris dinas, serta seluruh kepala seksi dan jajaran staf sebagai verifikator dari pernyataan-pernyataan yang sebelumnya disampaikan oleh jajaran pimpinan di dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 145disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat hasil penelitian dan pembahasan pelaksanaan peraturan disiplin di lingkungan dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat terkait pelaksanaan peraturan disiplin yang ditetapkan di lingkungan dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat, penulis kemudian mencoba secara deduktif melakukan proses coding yang didasarkan pada observasi dan kajian di lapangan, dengan mengkomparasikan aturan pp no, 53 tahun 2010 dengan kenyataan di lapangan. kewajiban-kewajiban pns menurut pp nomor 53 tahun 2010 (pasal 3) kenyataan yang ditemui pada dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan 1 mengucapkan sumpah/janji pns pns seluruhnya telah mengucapkan sumpah/janji pns 2 mengucapkan sumpah/janji jabatan seluruh pejabat telah mengucapkan sumpah/janji jabatan 3 setia dan taat sepenuhnya kepada pancasila, uud 1945, nkri dan pemerintah seluruh pegawai bersikap sesuai dengan peraturan ini 4 menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan tergantung pada peraturan yang sedang digunakan 5 melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada pns dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab pegawai melaksanakan seluruh tugas kedinasan, namun masih kurang optimal 6 menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pns sikap/perilaku pegawai telah sesuai dengan kewajiban ini 7 mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan untuk hal-hal kedinasan, pegawai telah sesuai mengikuti kewajiban ini 8 memegang rahasia jabatan menurut sifatnya menurut perintah harus dirahasiakan para pegawai melaksanakan kewajiban ini 9 bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara para pegawai melaksanakan kewajiban ini 10 melaporkan dengan segala kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil para pegawai melaksanakan kewajiban ini journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 146 rendy adiwilaga 11 masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja seluruh pegawai masih belum melaksanakan kewajiban ini 12 mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan capaian kerja masih dibawah sasaran 13 menggunakan dan memelihara barangbarang milik negara dengan sebaikbaiknya sebagian masih belum bisa menggunakan barang milik daerah dan sebagian yang sudah mendapatkan enggan memelihara karena alasan tidak tersedianya anggaran 14 memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat dinas bukan merupakan dinas pelayanan, akan tetapi dinas teknis 15 membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas hal ini masih jarang dilaksanakan oleh pejabat, pengarahan masih minim dilaksanakan 16 memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karir kesempatan ini selalu diberikan 17 menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang terkadang ada peraturan kedinasan yang tidak ditaati, contoh: apel pagi dan ketepatan jam kerja hasil observasi, dokumen dan wawancara yang dihimpun dari dinas bina marga, sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat, implementasi kedispilinan pegawai yang sesuai dengan peraturan pemerintah no.53 tahun 2010 menunjukan hasil yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut. banyak aspek yang mempengaruhi kedisiplinan pegawai di dinas bina marga, sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat sehingga implementasi dari pp nomor 53 tahun 2010 menjadi tidak maksimal. terkait penjabaran permasalahan tersebut, kemudian akan di bahas pada bagian-bagian selanjutnya. disiplin preventif di lingkungan dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat disiplin preventif merupakan suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, serta aturan-aturan yang telah digariskan oleh perusahaan atau organisasi. tujuan dasarnya adalah untuk menggerakkan pegawai berdisiplin diri dengan cara preventif, pegawai dapat memelihara dirinya terhadap peraturan-peraturan organisasi. disiplin preventif merupakan sistem yang berhubungan dengan kebutuhan kerja untuk semua bagian sistem yang ada di dalam organisasi. praktek di lapangan yang terjadi bahwa upaya-upaya peningkatan disiplin pegawai ditunjukkan dengan cara-cara formal seperti surat edaran. pemerintah melalui badan kepegawaian daerah menerbitkan surat edaran nomor: 800/1412-bkd yang berisikan tentang peningkatan kehadiran dan kedisiplinan pegawai, dalam rangka p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 147disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat meningkatkan dan kehadiran pegawai di lingkungan pemerintahan kabupaten bandung barat, adapun isi surat edaran tersebut adalah sebagai berikut: 1. kepada seluruh pegawai pemerintah daerah kabupaten bandung barat yang berada di komplek perkantoran mekarsari, wajib mengikuti apel pagi setiap hari senin pada pukul 08.00 wib sampai dengan selesai; 2. kepada seluruh pegawai wajib mengisi daftar hadir pada masing-masing skpd, bilamana tidak hadir dibuktikan dengan keterangan jelas dan/atau bilamana sakit dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, daftar hadir secara periodik dilaporkan kepada bapak sekretaris daerah c.q. kepala bkd kabupaten bandung barat, selanjutnya pemerintah kabupaten bandung barat akan memberikan penghargaan dan sanksi/reward and punishment sesuai peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai; 3. sanksi atau punishment akan dikenakan berupa sanksi administrasi yaitu sanksi pemotongan tambahan penghasilan (tpp) sesuai dengan peraturan bupati nomor 2 tahun 2012 tanggal 13 januari tahun 2012 tentang penghasilan pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintahan kabupaten bandung barat bab iv pasal 12 ayat (1) dan sanksi kepegawaian berdasarkan peraturan pemerintah no. 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil. dalam wawancara yang dilakukan dengan kasubag kepegawaian, menjelaskan bahwa pns dan pegawai tidak tetap di lingkungan dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat sudah melaksanakan nilai kedisiplinan sesuatu dengan peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan. namun jika kemudian berbicara sudah optimal atau belum, penulis menilai bahwa pelaksanaannya belum optimal. pasalnya, masih banyak pegawai yang tidak terlalu memusingkan reward and punishment. hal ini berangkat dari situasi dimana pelaksanaan pendisiplinan pegawai di lingkungan dinas baru berbentuk tulisan dan janji, juga teguran-teguran dengan opsi pemberian kesempatan hak jawab terlebih bagi pegawai tidak tetap. ketidaktegasan dalam pemberian sanksi tersebut mengakibatkan hilangnya ketegasan dan wibawa pejabat pemegang wewenang di lingkungan kedinasan. kemudian, pelaksanaan disiplin pegawai juga tidak diimbangi dengan hal-hal teknis seperti akomodasi angkutan umum, serta sarana kendaraan dinas yang memadai. yang terjadi di wilayah bandung barat ialah, belum representatif nya sarana akomodasi angkutan umum yang dapat mempermudah akses jalan guna menunjang ketepatan waktu pegawai yang diharuskan masuk pukul 07.00 pagi dan harus mengikuti apel pagi setiap harinya. berikut merupakan data kehadiran pegawai pada tahun 2018: journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 148 rendy adiwilaga table 1.2. rekapitulasi absensi kehadiran pegawai dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kab. bandung barat bulan januari – april 2018 no bulan hari efektif % absensi kehadiran 1 januari 25 48.37% 2 februari 25 58.57% 3 maret 26 60.83% 4 april 24 70.45% 5 rata-rata 59.5% sumber: profil dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kab. bandung barat, 2019 dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah rata-rata kehadiran pegawai di lingkungan dinas hanya berkisar 59.5% dari jumlah keseluruhan 246 pegawai sehingga tingkat kehadiran di dinas bina marga sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat bisa dibilang kurang optimal. kesejahteraan pegawai juga kurang diperhatikan seperti contoh hak pegawai tidak tetap yang dibayar 3 (tiga) bulan sekali, sementara pegawai dituntut untuk bekerja dengan baik serta bertanggung jawab. kendala yang terjadi sehubungan dengan penegakan disiplin preventif, diantaranya dapat dilihat dari seringnya beberapa kepala seksi ataupun kepala bidang tidak memberikan contoh kepada pegawainya. meskipun ketidak hadiran pimpinan lebih dikarenakan perintah atasan lebih tinggi ataupun kepala dinas secara lisan, namun kesadaran pegawai terhadap hal ini nampaknya masih rendah, kesadaran pegawai yang rendah ini dipicu karena pemahaman mereka masih terbatas pada contoh pimpinan maupun rasa takut kepada pimpinan. padahal sebagai pegawai mereka terikat akan tugas pokok dan fungsi. disiplin korektif di dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggarn lebih lanjut. yang berguna dalam pendisiplinan korektif: 1. peringatan pertama dengan mengkomunikasikan semua peraturan terhadap pegawai. 2. sedapat mungkin pendisiplinan ditetapkan supaya karyawan dapat memahami hubungan peristiwa yang dialami oleh pegawai. 3. konsisten yaitu para pegawai yang melakukan kesalahan yang sama maka hendaknya diberikan sanksi yang sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 149disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat 4. tidak bersifat pribadi maksud nya tindakan pendisiplinan ini tidak memandang secara individual tetapi setiap yang melanggar akan dikenakan sanksi yang berlaku bagi dinas bina marga, sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat. pelaksanaan disiplin korektif di dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat dalam mewujudkan sikap kedisiplinan pegawai menurut peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai sudah dilaksanakan tetapi perlu adanya keseimbangan dalam menjalankan aturan yang sudah ditetapkan, di dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan dalam hal pengawasan dan pembinaan serta perhatian terhadap pegawai juga sanksi yang di berikan belum berjalan dengan baik perlu adanya tahap-tahap perbaikan dalam sistem organisasi atau dinas tertulis di peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 tentang kedisiplinan pegawai negeri sipil di pasal 7 (tujuh) yakni berupa tingkat hukuman disiplin terdiri dari : 1. hukuman disiplin ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis; 2. hukuman disiplin sedang, yakni penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dan penurunan pangkat selama 1 tahun; 3. hukuman disiplin berat, yakni penurunan pangkat selama 3 tahun pemindahan dan penurunan jabatan, pembebasan jabatan pemberhentian hormat dan tidak hormat. sanksi yang diberikan kurang tegas terhadap pegawai yang melanggar walaupun sudah ditetapkan pada pasal 7, faktanya di lapangan, hanya point 1 yang dilaksanakan, yaitu hanya teguran, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas sehingga ketaatan pegawai dalam peraturan pemerintah rendah keprofesionalan kerja pun tidak berjalan dengan baik sehingga kualitas kerja pun belum optimal. dalam wawancara pada kasi geologi bidang pertambangan dinas bina marga sumber daya air dan pertambangan, pada dasarnya aturan sudah dilaksanakan tetapi di dalam membentuk suatu keprofesionalan kerja peraturan yang ditetapkan harus tegas jangan hanya teguran teguran lisan. namun sayangnya kondisi ini yang kemudian menjadi kebiasaan pejabat struktural sehingga menjadikan kinerja pegawai lebih berbentuk rendahnya keprofesionalan kerja, dimana kemudian hal tersebut mempengaruhi kualitas kerja. kendala dalam penegakan disiplin secara korektif adalah banyaknya ditemui alasanalasan pegawai yang dipanggil untuk dikenakan sanksi lebih kepada persoalan pribadi dan hal-hal yang berhubungan dengan rasa dan alasan manusiawi. seperti alasan keluarga merupakan alasan yang paling sering ditemui. dengan mengingat kaidah serta journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 150 rendy adiwilaga norma dan asas moralitas maka alasan keluarga merupakan alasan yang paling jitu untuk menghindari penerapan sanksi sebagai upaya penerapan disiplin secara korektif. simpulan dan saran simpulan dari hasil pembahasan yang diuraikan pada bagian sebelumnya, diperoleh kesimpulan substansial sebagai berikut: 1. pelaksanaan disiplin pegawai di lingkungan dinas bina marga, sumber daya air, dan pertambangan kabupaten bandung barat sebagai bagian dari implementasi peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 yang saat ini terjadi, disiplin dan pengawasan terhadap pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap masih belum optimal. karena secara kualitatif hal ini dapat dilihat dari banyaknya pegawai yang kerap terlambat atau bahkan minim inovasi khususnya dalam pengembangan program. 2. pemberian sanksi berdasarkan pp nomor 53 tahun 2010 telah diterapkan oleh kasubag kepegawaian dan umum sesuai dengan tupoksi dan kewenangan yang dimiliki, akan tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya, hal ini dikarenakan masih adanya kesempatan dari pegawai bersangkutan untuk menjelaskan (hak jawab) sebelum dijatuhkan sanksi. 3. rendahnya pengawasan dan kurangnya pembinaan sehingga perlu diadakannya pembinaan yang intensitasnya lebih tinggi, serta motivasi pegawai dalam mengoptimalkan peningkatan disiplin pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap juga harus diimbangi dalam hal kesejahteraan pegawai baik sarana dan prasarana sehingga apa yang ada dalam isi dari peraturan pemerintah no 53 tahun 2010 dapat tercapai. saran saran yang dapat diberikan berdasakan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. pada dasarnya, diperlukan perubahan dalam sistem kehadiran pegawai di instansi atau dinas dari dulunya sistem paraf atau tandatangan menjadi sistem sidik jari atau system finger print dan sistem tersebut harus dimasukan dalam anggaran yang ada di instansi tersebut, karena dalam hal untuk menunjang serta meningkatkan kinerja pegawai harus adanya evaluasi, pembinaaan, pengawasan, serta kesejahteraan pegawai, serta sistem yang tepat sehingga tidak bisa di manipulasi. 2. untuk mengimbangi serta menggerakan pegawai menuju taat aturan dalam hal ini bersikap disiplin, pemerintah daerah dan seluruh kepala skpd pemerintah daerah harus mempermudah akses – akses yang dibutuhkan para pegawai untuk menjalani p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 151disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat sikap disiplin. seperti halnya akomodasi kendaraaan umum, kendaraan dinas sama dengan halnya tiap-tiap kepala skpd harus dan dapat memenuhi kebutuhan serta memberikan hak pegawai yang layak. 3. kurangnya pembinaan terhadap pegawai negeri sipil dalam membangun sikap disiplin juga menjadi masalah utama, sehingga intensitas pembinaan pegawai negeri sipil termasuk di dalamnya pegawai tidak tetap perlu ditingkatkan, karena bagi pejabat struktural wajib membina bawahannya agar mampu mewujudkan visi misi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah. referensi arvey, r. d., davis, g. a., & nelson, s. m. (1984). use of discipline in an organization: a field study. journal of applied psychology, 69(3), 448. bandyopadhyay, j. (2009). water, ecosystems and society: a confluence of disciplines. sage publications india. becker, b. e., huselid, m. a., becker, b. e., & huselid, m. a. (1998). high performance work systems and firm performance: a synthesis of research and managerial implications. research in personnel and human resource management. citeseer. faustino, c. g. (2003). manajemen sumber daya manusia. yogyakarta: penerbit andi. fernanda, d. (2006). paradigma new public management (npm) sebagai kerangka reformasi birokrasi menuju kepemerintahan yang baik (good governance) di indonesia. jurnal borneo administrator, 2(3). franklin, a. l., & pagan, j. f. (2006). organization culture as an explanation for employee discipline practices. review of public personnel administration, 26(1), 52–73. handoko, h. t., & sukanto, r. (1996). organisasi perusahaan. edisi kedua yogyakarta: bpfe. hasibuan, m. s. (2010). manajemen sumber daya manusia. bumi aksara. light, p. c. (2006). the tides of reform revisited: patterns in making government work, 1945–2002. public administration review, 66(1), 6–19. mangkunegara, a. p. (2001). manajemen sumber daya manusia perusahaan (cetakan ketiga). bandung: pt. remaja rosdakarya offset. nazir, m. (1988). metodepenelitian. jakarta: ghalia indonesia. prasojo, e., & kurniawan, t. (2008). reformasi birokrasi dan good governance: kasus best practices dari sejumlah daerah di indonesia. jurnal antropologi indonesia. robbins, s. p. (1996). perilaku organisasi: edisi bahasa indonesia jilid i dan ii. jakarta, pt prin halindo. sedarmayanti, m. s. d. m. (2010). reformasi birokrasi dan manajemen pegawai negeri sipil. refika aditama, jakarta. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 152 rendy adiwilaga simangunsong, f. (2016). metodologi penelitian pemerintahan. alfabeta, bandung. soss, j., fording, r., & schram, s. f. (2011). the organization of discipline: from performance management to perversity and punishment. journal of public administration research and theory, 21(suppl_2), i203–i232. susanto, p. a. s. s. (1974). komunikasi dalam teori dan praktek (vol. 1). binacipta. waldman, d. a. (1994). the contributions of total quality management to a theory of work performance. academy of management review, 19(3), 510–536. widhyharto, d. s. (2008). menakar perilaku profesional dalam rangka meningkatkan kinerja aparatur birokrasi. civil service journal, 2(1 juni). 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) &journal of governmentcivil society jgcs issn 2579-4396 e-issn 2579-440x journal of government and civil society volume 3 nomor 2 halaman 93 152 september 2019 issn 2579-4396 93 104 implementasi kebijakan perlindungan khusus pada program kota layak anak di kota makassar junaedi (department of government studies, universitas muhammadiyah makassar, indonesia) 105 116 sikap politik dprd daerah istimewa yogyakarta terhadap wacana suksesi kepemimpinan di kraton yogyakarta muhammad quranul kariem1, dwian hartomi akta padma eldo2 (1prodi studi pemerintahan, universitas indo global mandiri, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti tegal, indonesia) 117 – 128 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar aswar annas1, zaldi rusnaedy2 (1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia) (2program studi ilmu pemerintahan universitas pancasakti makasar, indonesia) 129 – 138 analisis dalam implementasi kebijakan program bedah rumah di kota tangerang arif ginanjar (program studi ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia)) 139 152 disiplin pegawai sebagai upaya menekan patologi birokrasi di dinas binamarga sumber daya air dan pertambangan kabupaten bandung barat rendy adiwilaga (program studi ilmu pemerintahan, universitas bale bandung, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  117 citation : annas, aswar & zaldi rusnaedy. 2019. “evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, 117-128. journal of government and civil society vol. 3, no. 2, september 2019, pp. 117-128 doi: 10.31000/jgcs.v3i2.1948 received 13 september 2019  revised 27 oktober 2019  accepted 28 oktober 2019 evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar evaluation of spatial planning and building reclamation of metro tanjung bunga beach in makassar city aswar annas1, zaldi rusnaedy2 1institut teknologi digital dan pariwisata amanna gappa makassar, indonesia email: aswarannas.msi@gmail.com 2program studi ilmu pemerintahan, universitas pancasakti, indonesia. email: zaldi.rusnaedy.s@unpacti.ac.id abstrak penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menaganalisis evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar. penelitian ini menganalisis dari tiga perspektif, yaitu: strategi pemerataan, efektivitas, dan responsivitas dalam evaluasi kebijakan. metode penelitian ini menggunakan deskriftif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar dari pendekatan strategi pemerataan yaitu pemerintah kota makassar lebih mengutamakan kepentingan pihak swasta dalam bentuk privatisasi dibandingkan dengan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, sehingga yang terjadi adalah penggusuran dan kerusakan ekosistem lingkungan. dari aspek efektivitas dalam evaluasi kebijakan, pemerintah kota makassar dalam mengimplementasikan kebijakan tidak melibatkan masyarakat atau kebijakan tersebut tidak didasari sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat. dari aspek responsivitas dalam evaluasi kebijakan dianggap belum tepat karena hanya melahirkan penggusuran, penghilangan lahan kelola masyarakat, pengalihan profesi, serta pemerintah kurang memiliki kepekaan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kebijakan reklamasi pantai. kata kunci: evaluasi kebijakan; tata ruang dan bangunan; reklamasi pantai abstract this study aims to understand and analyze the evaluation of spatial planning policies and reclamation buildings at metro tanjung bunga beach in makassar. this study analyzes from three perspectives, namely: equity strategy, effectiveness, and responsiveness in policy evaluation. this research method uses qualitative descriptive with data collection techniques through interviews, observation, and documentation. the results of this study explain that the spatial and building reclamation policy of metro tanjung bunga beach in makassar from the approach of equalization strategy namely the makassar government prioritizes the interests of the private sector in the form of privatization compared to the welfare and progress of the community, so that what happens is eviction and damage to the environmental ecosystem. from the aspect of effectiveness in policy evaluation, the makassar government in implementing policies does not involve the community or the policy is not based on socialization to all levels of society. from the aspect of responsiveness in the evaluation of policies considered not appropriate because it only gave birth to evictions, the removal of community managed land, the transfer of the profession, and the government lacked sensitivity in solving various beach reclamation policy issues. keywords: policy evaluation; spatial planning and building; beach reclamation journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 118 aswar annas & zaldi rusnaedy pendahuluan kebijakan tata ruang dan pembangunan di indonesia harus dapat memperhatikan dan mengedepankan keseimbangan antara aspek ekonomi, social, dan lingkungan hidup (fitriana, 2008). tata ruang dan bangunan yang dinamis tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan. selain itu harus mampu dipertanggungjawabkan dengan baik dengan memperhatikan etika pembangunan (akbar, alam, & rusli, 2012; muliati, 2012; rahardiansah, 2018). proses kebijakan tata ruang tersebut juga harus memperhatikan aspek perencanaan, implementasi hingga evaluasi. peneliti secara spesifik membahas terkait dengan evaluasi kebijakan public. evaluasi kebijakan publik sebagai responsivitas dari tindakan reklamasi pantai yang sekarang ini marak dilokalisasikan oleh pihak pemerintah maupun swasta. perlu menjamin bahwa tata ruang yang dilaksanakan sudah sesuai dengan regulasi dan rencana. hal ini tidak dapat dipungkiri perlu adanya keterlibatan dari semua pihak (samadikun, 2007; senasaputro, 2012). konsep tata ruang kota berkelanjutan adalah pengaturan penggunaan ruang perkotaan secara lebih efisien dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (biang, 2008). secara khusus dalam kawasan metro tanjung bunga (mtb) kota makassar yang pembangunannya dimulai pada tahun 1997. reklamasi tersebut diidentifikasi telah memberi pengaruh secara langsung terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di wilayah tersebut. pesatnya pembangunan kawasan pantai mtb kota makassar ditandai dengan maraknya reklamasi pantai yang memerubah struktur sosial masyarakat. kondisi awal kawasan mtb sebelum pembangunan reklamasi pantai ditandai dengan intensitas pola penggunaan lahan yang masih rendah dan didominasi areal pertanian dan pertambakan yang merupakan kegiatan produksi komunitas yang dilakukan dengan keberadaan satu buah pasar tradisional berlokasi di kelurahan sambung jawa yang digunakan komunitas untuk melakukan transaksi ekonomi. kawasan pinggiran kota sebagai bentuk ekspresi pemerintah dan swasta dalam mengembangkan kawasan pantai menjadi wilayah bisnis dan tempat rekreasi telah dilakukan pengalihan penggunaan lahan, dari awalnya kawasan hijau persawahan (pertanian/non pertanian) menjadi wilayah bisnis pekotaan (apartemen, hotel, dan perumahan). pengembangan kawasan reklamasi mtb menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pembangunan fisik yang sangat pesat. peran swasta dalam mempelopori wilayah pesisir pantai yang pada awalnya sebagai lahan bebas, kini telah menjadi sebuah wilayah operasional beberapa perusahaan untuk menjalankan bisnisnya. beberapa perusahaan tersebut diantaranya: pt. gowa makassar tourism devlopment (gmtd), pt. puncak bumi gemerlang, pt. marlo indoland, pt. yasmin, pt. sinar cacau pratus, pt. bosowa p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 119evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar property, pt. pelaksana jaya mineral, dan sejumlah perusahan lainnya berjumlah 14 perusahaan besar. terdapat dua kecamatan pesisir yang menjadi lokasi reklamasi, yaitu kecamatan mariso dan kecamatan wajo. adapun kecakupan wilayah operasional kecamatan mariso meliputi; kelurahan lette, penabungan, dan bontomarannu. wilayah kecamatan wajo, pt. gmtd menekankan pada konsep 3 utama, yaitu: 1) pengembangan kawasan tepi pantai selat makassar pada lokasi tanjung bunga dengan kegiatan rekreasi, bisnis, jasa, dan perkotaan; 2) pengembangan kawasan pemukiman tanjung bunga; 3) pengembangan sistem transportasi untuk menghubungkan kota makassar dan kota di sekitarnya. sejak tahun 2003, kawasan mtb mengalami percepatan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pt. gmtd, pt. puncak bumi gemerlang, pt. cpi, pt. marlo indoland, pt. yasmin, pt. sinar cacau pratus, pt. bosowa property, dan pt. pelaksana jaya mineral. berbagai fasilitas baik sosial maupun ekonomi yang dikembangkan, yaitu: sekolah dian harapan yang dibangun di atas lahan seluas 1,5 ha, masjid raya tanjung bunga yang dibangun di atas lahan 1 ha. fasilitas perdagangan yakni mall gtc merupakan grosir terbesar di kawasan timur indonesia (kti) yang dibuka sejak tanggal 10 oktober 2003. selain mall gtc makassar, beberapa centra perniagaan juga dibangun yaitu: ruko somba opu blok a, ruko somba opu blok aa, dan ruko somba opu blok b, serta rumah kantor (rukan gajah mada). fasilitas warisan yakni pusat rekreasi pantai akkarena yang dibuka pada tahun 1998. sarana dan prasarana penunjang wisata antara lain; foadcord, playland, dermaga akkarena, menara air, plazaa oval, meja billiard, tamantaman, poliklinik, ruang bilas, gedung pemerintahan (gedung kenegaraan), area latihan ofroad, area parkir jetski, banana boat, dan speed boad. pesatnya pembangunan reklamasi pantai kawasan mtb mengindikasikan terjadinya pergeseran struktur ruang kawasan dan pola ruang kawasan dari kondisi awalnya. indikasi ini terlihat dengan berkurangnya lahan-lahan pertanian dan areal pertambahan komunitas lokal yang telah beralih fungsi menjadi kegiatan perkotaan. pergeseran pemanfaatan lawan kawasan mtb diidentifikasi cukup signifikan dari kondisi awal, yaitu: (1) lahan rekreasi tahun 1996 dengan luasan 4 ha mengalami perubahan menjadi 29 ha. (2) pemukiman 19,35 ha mengalami perubahan menjadi 27,42 ha. (3) sawah dari 889,4 ha mengalami penurunan luasan menjadi 15 ha. (4) tambak dari 108,14 ha mengalami penurunan menjadi 5 ha (5) lahan kosong 160 ha mengalami penurunan luasan menjadi 85,32 ha. (6) fasilitas sosial-ekonomi 5,72 ha mengalami peningkatan menjadi 17 ha. di samping itu pada aspek prasarana transportasi (jalan raya) awalnya hanya dengan panjang 6,5 km mengalami penambahan panjang 17,8 km. demikian pula halnya dengan perkembangan jumlah penduduk mengalami peningkatan yang awalnya dihuni penduduk 4.571 jiwa tahun 1996, pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar 52.803 jiwa. pesatnya perkembangan kawasan mtb saat ini mengindikasikan journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 120 aswar annas & zaldi rusnaedy kuatnya penguasaan lahan yang di lakukan oleh pt.gmtdc. dengan demikian modal produksi komunitas lokal yang selama in mengandalkan kondisi lingkungan, telah tergantikan oleh modal produksi korporasi. terjadinya alih fungsi lahan atau reklamasi serta beroperasinya aktifitas baru pada kawasan mtb kota makassar menyebabkan perubahan konstruksi hidup dari waktu ke waktu. hal demikian ditandai dengan keberadaan mall sebagai pusat grosir terbesar kti yang menyerap tenaga lokal sesuai tenaga latar belakang formal yang dimiliki. proses pembangunan reklamasi kawasan mtb berawal dengan pembangunan jalur transportasi yang menghubungkan kawasan mtb dengan pusat kawasan kota makassar dan pembangunan jalur transportasi yang menghubungkan jalur jalan lingkar barat. hal demikian menimbulkan masalah yaitu: (1) pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi tempat bisnis, perdangangan jasa, pelabuhan industri, perkantoran, pergudangan. (2) menciptakan penggusuran warga busung sebanyak 45 kepala keluarga yang tinggal di atas tanah 10 ha serta pembangunan rumah warga yang berada di kawasan pesisir pantai akan terancam penggusuran. (3) reklamasi mengubah bentang alam sekaligus merusak lingkungan ekosistem mangrove, serta memicu lahirnya abrasi. (4) reklamasi merubah pola hidup pencaharian masyarakat pesisir pantai yang awalnya adalah nelayan, pembuat perahu, penjual ikan menuju masyarakat yang tidak berprofesi. (5) reklamasi membatasi akses publik terhadap kawasan pesisir karena kawasan yang direklamasi akan menjadi zona komersil, sehingga masyarakat yang berkunjung dikenakan biaya retribusi. (6) reklamasi mendegradasi budaya lokal masyarakat pesisir serta merusak situs budaya seperti benteng roterdam, makam kerajaan tallo. proses reklamasi ini berjalan relatif cepat dan diikuti dengan berbagai kegiatan pembangunan lainnya. sehingga mengindikasikan proses perubahan ruang yang sangat signifikan berdasarkan fungsi-fungsi ruang yang ada saat ini. kondisi ini merupakan miles stone perubahan pembangunan reklamasi spasial yang mengkondisikan proses perubahan kehidupan. metode penelitian artikel ini berangkat dari hasil penelitian yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. pendekatan penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (moleong 2007, 6). teknik pengumpulan data yang di-gunakan adalah yang menjadi telaah dalam pembahasan ini (bungin, 2001) menggu-nakan: dokumentasi, rekaman, arsip, wawancara, observasi, dan partisipasi langsung. informan penelitian ini terdiri dari pihak pemerintah, pengembang, lsm dan masyarakat pesisir terdampak. adapun diantaranya adalah dinas tata ruang dan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 121evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar bangunan kota makassar, dinas pekerjaan umum, pt. gmtd, pt catur, walhi sulawesi selatan dan solidaritas perempuan anging mammiri. hasil dan pembahasan strategi pemerataan dalam evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan (trb) reklamasi pantai metro tanjung bunga (trb) kota makassar strategi pemerataan fasilitas sejauh ini strategi pemerataan fasilitas belum dilaksanakan dengan baik karena pembangunan reklamasi pemerintah hanya lebih mementingkan para penambang dibandingkan masyarakat yang berdomisili di area pesisir pantai mtb kota makassar untuk difasilitasi dalam perealiasasian pembangunan dengan alasan bahwa pihak swasta mampu membawa wilayah tersebut lebih produktif dibandingkan dari biasanya atau penambahan apbd kota makassar. kebijakan reklamasi pantai mtb kota makassar diimplementasikan tidak berdasarkan prosedur yang tepat karena pemerintah tidak memiliki undang-undang tersendiri mengenai kebijakan ini, melainkan proyek kebijakan reklamasi pantai mtb kota makassar hanya berpatokan pada rtrw no. 4 tahun 20152023. pemerintah menjalankan kebijakan ini tidak bersifat pembangunan partisipatif berkelanjutan terhadap masyarakat setempat dan kondisi lingkungan pesisir pantai mtb kota makassar. pelaksanaan pemerataan yang belum maksimal memberikan perubahan yang sangat signifikan terhadap kondisi masyarakat pesisir pantai mtb kota makassar. menurut harton dan hant (nari, 2009) konsekuensi dari perubahaan akibat tidak terealisasinya pemerataan fasilitas adalah: (1) efek soial yang semerauk, penemuan dan invensi, (2) kadar perubahan yang tidak merata, (3) timbulnya maslah sosial baru, (4) disorganisasi dan demoralisasi, dan (5) panis dan manisnya perubahan sangat terasa. kurangnya peran pemerintah kota makassar dalam menjalankan kebijakan reklamasi pantai berbasis lingkungan mengakibatkan kondisi pesisir pantai mengalami pencemaran. strategi pemerataan edukatif strategi pemerataan edukatif sejauh ini belum terlihat ada upaya pemerintah untuk melakukan hal tersebut, terkusus bagi masyarakat profesi nelayan. reklamasi pantai mtb kota makassar dinilai masih jauh dari standarisasi pembangunan berbasis lingkungan. karena pada kenyataannya, konstruksi bangunan memberikan pengaruh terhadap perubahan air laut, pencemaran udara, penghilangan mangrove, abrasi, dll. pemerintah kota makassar tidak menjalankan master planning pembangunan berdasarkan pemeliharaan lingkungan dan penanggulangan prosedur limbah-limbah reklamasi pantai mtb kota makassar. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 122 aswar annas & zaldi rusnaedy meskipun masyarakat melihat dari sisi edukasi pembangunan pantai losari dimana bangunannya bersifat pengombinasian antara kearifan lokal dan modernisasi tetapi demikian tidak mampu dijadikan tolok ukur, karena hanya memberikan penguatan edukasi tentang keberagaman masyarakat kota makassar. bahkan pemerintah kota makassar tidak pernah hadir dalam memberikan pelatihan, pembinaan, pengawalan, dan bantuan alat keselamatan penumpang terhadap masyarakat korban penggusuran yang saat ini beralih profesi sebagai tukang perahu penyebrangan para wisatawan ke pulau lae-lae. pemerintah juga belum terlibat aktif dalam memberikan peningkatan keamanan pengunjung di wilayah pantai losari, sehingga hampir setiap saat terjadi, penggangguan kendaraan, pencopetan, pemukulan, dan maraknya pengamen liar. seharusnya kebijakan harus diperhatikan dalam bentuk, menurut (mudyahardjo, 2014). (a) pemberian pendidikan senantiasa berlangsung dan dijelaskan keseluruh elemen kebijakan yang kegiatannya tidak berlangsung sembarang, tetapi berkelanjutan dan sistematis. (b) lingkungan kebijakan dan masyarakat berlangsung dalam sebagian dari persoalan lingkungan hidup, pendidikan tidak berlangsung dalam lingkungan hidup yang tergelar dengan sendirinya. strategi pemerataan kekuasaan strategi pemerataan kekuasaan dalam kebijakan reklamasi pantai kota makassar, sejauh ini. pemerintah dengan pihak swasta (cpi) melakukan pembangunan reklamasi pantai hanya melahirkan pengaruh buruk terhadap masyarakat pesisir. ruang kelola mereka dihilangkan serta menghadirkan pencemaran lingkungan. pemerintah kota makassar hanya memberikan kekuasaan terhadap pihak swasta tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi masyarakat dan lingkungan. pemerintah kota makassar dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan reklamasi pantai tidak melibatkan masyarakat setempat. pemerintah kota makassar pada hari ini telah apatis dalam mendistribusikan kekuasaan terhadap masyarakat dan kurang peka dalam menangani permasalahan lingkungan yang ada. pemerintah juga telah melahirkan bentuk pendiskriminasian antara masyarakat busung sampai pada hari ini masyarakat busung setelah digususr belum diberikan insentif dalam bentuk apapun, sedangkan masyarakat tanjung pada hari ini belum dilakukan penggusuran bahkan masih diberikan kekuasaan dan hak untuk melanjutkan kehidupan serta mengelola wilayah mereka karena dianggap wilayah tersebut telah memberikan sumbangsih besar apbd bagi kota makassar dari sektor pariwisata. seharusnya kebijakan pemerintah kota makassar diselenggarakan dengan memberi kekuasaan secara merata: (1) membentuk keputusan kebijakan yang dibahas secara bersama, (2) menetapkan kebijakan dan menjalankan kebijakan secara bersama, (3) p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 123evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan secara bersama, (4) memberikan pertimbangan dan mendengarkan pendapat terhadap rencana kebijakan yang terkait, (5) mengusulkan pemberian dan pendapatan hak, dan (6) meminta laporan pertanggungjawaban diantara pelaku kebijakan (fadhil, 2013). efektivitas tata ruang dan bangunan (trb) dalam evaluasi kebijakan reklamasi pantai metro tanjung bunga (mtb) kota makassar tingkat kepuasan pemerintah kota makassar telah melakukan koordinasi kepada semua elemen yang terlibat dalam kebijakan reklamasi pantai yang selama ini dinilai telah melahirkan diskriminasi. pemerintah akan senantiasa melakukan pengawasan dan revitalisasi wilayah pesisir pantai mtb, yang hingga saat ini dianggap telah melahirkan berbagai persoalan baik sosial-kemanusiaan maupun pencemaran lingkungan. pemerintah kota makassar berupaya memberikan insentif bagi masyarakat terdampak reklamasi pantai yang menjadi korban dari kebijakan tersebut. masyarakat terdampak reklamasi terbagi menjadi dua kekuatan, antara yang pro dan kontra dengan kebijakan tersebut. masyarakat yang merasa mendapatkan dampak langsung kebijakan ini senantiasa menilai kebijakan reklamasi pantai tidak efektif, sedangkan masyarakat yang berada diarea perkotaan makassar senantiasa menilai bahwa kebijakan ini sangat menguntungkan untuk kemajuan kota makassar. sejauh ini pihak swasta semakin bertambah untuk mengajukan izin melakukan pengelolaan di wilayah pesisir pantai mtb kota makassar. perlunya penyelenggaraan koordinasi dilakukan pemerintah sebagai upaya meretas masalah dalam melaksanakan kebijakan reklamasi pantai mtb, agar tingkat kepuasan dari pelaku kebijakan dapat dirasakan. para pelaku kebijakan membagi kerja dalam fungsifungsi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kebijakan merek. mereka menciptakan kebutuhan akan adanya koordinasi aktivitas kerja kebijakan yang dibagi. koordinasi menjadi penting karena merupakan rangkaian proses penataan kelompok secara teratur guna mempersatukan tindakan dalam implementasi kebijakan untuk mengejar tujuan dan kemanfaatan secara bersama (djatmiko, 2004). produk kreatif pemerintah masih apatis untuk memberikan dan menghidupkan produk kreatif, terkhusus masyarakat terdampak reklamasi pantai. pemerintah dianggap tidak memberikan perhatian bagi masyarakat yang tergusur, sehingga kenyataannya masyarakat tersebut masih menunggu bantuan dari pemerintah kota makassar. sampai saat ini, pemerintah belum memberikan upaya terapi bagi masyarakat yang mengalami journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 124 aswar annas & zaldi rusnaedy trauma akibat penggusuran. untuk sementara waktu, masyarakat diberikan pembinaan oleh lsm terkait upaya membangkitkan produk kreatif dengan cara membuat aneka kue tradisional. pemerintah dinilai telah menghadirkan diskriminasi antara masyarakat dengan pihak swasta, yang senantiasa memberikan perlindungan kepada pihak swasta untuk melakukan pembangunan komersil di wilayah pesisir pantai mtb. demi melaksanakan dan mewujudkan produk kreatif terhadap masyarakat, seharusnya pemerintah menggelar pelatihan. menurut salusu (1996) melakukan pelatihan dapat dilakukan yaitu (1) melakukan pembelajaran sendiri, yaitu pemerintah harus memberikan sarana dan prasana atau memberikan petunjuk terhadap masyarakat sesuai dengan kompetensi setiap warga, serta mengarahkan masyarakat untuk mempelajarinya, (2) melaksanakan pembelajaran secara bersama, yaitu dapat berupa lokakarya atau pelatihan biasa yang dianggap bermanfaat sesuai kemampuan dan karakter, (3) memberi seminar dan lokakarya, biasanya dilakukan diantara pelaku kebijakan dan melibatkan organisasi lain yang diutus sebagai pengikut kegiatan. intensitas pemerintah dan pihak swasta akan senantiasa bekerjasama untuk menjalankan kebijakan tersebut yang lebih mengutamakan pada aspek mutu dan kepentingan masyarakat. pemerintah akan senantiasa mengkaji secara administratif maupun teknis bilamana ingin memberikan rekomendasi izin pengelolaan terhadap pihak swasta untuk beraktifitas di wilayah pesisir pantai mtb. pemerintah akan mendirikan pembangunan pengelolaan limbah dan saluran air bersih agar mampu menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan. pemerintah berupaya meningkatkan sosialisasi terhadap masyarakat dan pihak swasta untuk mengawal kebijakan reklamasi pantai secara efisien dan transparan. pihak swasta akan senantiasa merealisasikan prosedur kinerja dalam menjalankan pembangunan berbasis keselamatan, kesehatan, kerja (k3). pemerintah akan intens mengawal kinerja pihak swasta dalam pembangunan proyek mereka. pemerintah juga selalu melibatkan keamanan khusus, satpol pp, dan tni untuk terlibat langsung mengawal kebijakan reklamasi pantai mtb. sekiranya pemerintah kota makassar dalam menjalankan intensitas kerjasama antara seluruh pelaku kebijakan maka hal-hal yang berpotensi untuk mengganggu keberhasilankebijakan tersebut tidak akan terjadi. kerjasama adalah suatu usaha bersama-sama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama terkhusus dalam persoalan kebijakan (soekanto, 2012). madani (2011) mengedentifikasi lima bentuk kerjasama kebiijakan yaitu: (a) kerukunan adalah yang menyangkut gotong-royong dan tolong menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan kebijakan, (b) tawar menawar (bargaining) adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih, (c) kooptasi p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 125evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar (cooptation) adalah suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dan stabilitas organisasi yang bersangkutan, (d) koalisi (coalition) adalah kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan tujuan yang sama, (e) join venture adalah kerja sama dalam pengusahaan proyek proyek tertentu. responsivitas tata ruang dan bangunan (trb) dalam evaluasi kebijakan reklamasi pantai metro tanjung bunga (trb) kota makassar daya tanggap (responsivitas) pemerintah kurang responsif dalam melihat beberapa permasalahan yang ada akibat pengimplementasian kebijakan reklamasi pantai mtb. kebijakan reklamasi pantai dinilai telah menghadirkan penggusuran dan pengrusakan lingkungan. pemerintah belum memberikan akomodasi dalam bentuk apapun terhadap masyarakat yang tergususur. reklamasi pantai juga dinilai telah menghilangkan kebudayaan dan kehidupan masyarakat pesisir pantai. pemerintah menjalankan kebijakan reklamasi pantai tidak sesuai dengan prosedur. pemerintah mengimplementasikan kebijakan tanpa didasari dengan bentuk sosialisasi terhadap masyarakat pesisir pantai. pemerintah kota makassar dalam menyelenggrakan kebijakan reklamasi pantai mtb dinilai belum maksimal, sehingga daya tanggap masyarakat menangkap kebijakan tersebut tidak berbasis pada aspek kesejahteraan. dalam menyelenggarakan sebuah kebijakan hendaknya pelaku kebijakan senantiasa meperhatikan standar kebiijakan yang menurut ratminto dan winarsih (2013) standar pelayanan untuk mencapai kebijakan efektif adalah: (a) prosedur pelayanan kebijakan yang dilakukan bagi pemberi dan penerima kebijakan termasuk pengaduan, (b) waktu penyelesaian kebijakan yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian kebijakan pelayanan termasuk pengaduan, (c) baiaya kebijakan pelayanan termasuk rinciannya yang ditetpkan dalam pemeberian kebijakan pelayanan, (d) produk pelayanan kebijakan yang akan diterima sesuai dengan ketetntuan yang telah ditetapkan, (e) sarana dan prasarana kebijakan pelayanan yang memadai oleh pelaku kebijakan, (f) kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan. journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 126 aswar annas & zaldi rusnaedy pertanggungjawaban (responsibility) sejauh ini pemerintah senantiasa berpatokan pada rtrw no. 4 tahun 2015-2023 sebagai dasar hukum kebijakan reklamasi. pemerintah akan berupaya mengarahkan kebijakan reklamasi pantai pada pembangunan infrastruktur dan suprastruktur secara positif. pemerintah telah melakukan pembangunan pengelolaan saluran limbah dan air bersih untuk memecahkan masalah pencemaran lingkungan. pemerintah akan intens mengkaji manfaat pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta yang terlibat dalam kebijakan ini baik secara administratif maupun teknis. pemerintah kota makassar akan berkoordinir dengan pihak provinsi sulawesi-selatan terkait dengan permasalahan penggusuran. pemerintah akan melibatkan pengamanan khusus, satpol pp, dan tni terkait menjaga rasa aman terhadap area pesisir pantai mtb. seharusnya pemerintah kota makassar lebih aktif melakukan bentuk pengarahan terhadap pelaku kebijakan untuk senantiasa bersinergi dalam menjalankan kebijakan ini. pengarahan dilakukan sebagai usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran kebijakan dan sasaran anggota-anggota kebijakan tersebut. oleh karena itu para pelaku kebijakan itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut (fahmi, 2011). kesimpulan berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini, maka kesimpulan yang didapatkan adalah: 1. strategi pemerataan kebijakan dari aspek: (a) strategi pemerataan fasilitas kebijakan, pemerintah kota makassar hanya mengutamakan pihak swasta untuk melakukan pembangunan infrastruktur, dimana menggunakan aturan rtrw sebagai landasan hukum. pemerintah melakukan realisasi kebijakan tidak didasari sosialisasi terhadap masyarakat. pemerintah kota makassar melakukan kebijakan tidak memperhatikan kondisi lingkungan dan masyarakat, sehingga arah kebijakan reklamasi pantai mtb telah menciptakan penggusuran, penghilangan lahan kelola masyarakat, pengalihan profesi, serta menimbulkan pencemaran lingkungan. (b) strategi pemerataan edukatif, sejauh ini pemerintah kota makassar belum memberikan pelatihan, dedikasi pembangunan kemampuan, pemberian terapi dari kondisi trauma yang telah menimpa masyarakat. kebijakan telah melahirkan penggusuran, penghilangan lahan kelola, dan pengalihan profesi masyarakat nelayan. serta terjadinya pencemaran lingkungan, pengrusakan terumbu karang, abrasi, pengurangan air bersih dan perubahan mata angin. (c) strategi pemerataan kekuasaan, kebijakan reklamasi pantai melahirkan diskriminasi, pemerintah kota makassar hanya memperuntuhkan kekuasaan terhadap pihak swasta untuk melakukan pengelolaan lahan sementara sebagian masyarakat p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 127evaluasi kebijakan tata ruang dan bangunan reklamasi pantai metro tanjung bunga kota makassar dihilangkan lahan kelola sosial mereka. pemerintah kota makassar juga menciptakan perbedaan terhadap masyarakat busung dan tanjung dalam pemeberiaan hak-hak kelola hidup 2. efektivitas kebijakan efektivitas kebijakan dinilai belum maksimal karena masih melahirkan permasalahan baik dari segi: (a) tingkat kepuasan, masyarakat menilai kebijakan reklamasi pantai mengalihkan dan menghilangkan kehidupan mereka, sehingga sebagian masyarakat masih aktif berkoordinasi untuk melakukan protes agar pemenuhan hak-hak mereka terealisasi. meskipun pemerintah menganggap pembangunan kebijakan reklamasi pantai senantiasa memberikan kemajuan kota makassar. (b) produk kreatif, pemerintah belum melakukan upaya afiliasi terhadap masyarakat dalam memberikan pelatiihan, modal ekonomi kreatif, pengembangan skill, serta pembinaan untuk menciptakan kreatifitas. sehingga masyarakat masih mengalami kesemarautan hidup. (c) intensitas, sejauh ini pemerintah akan aktif melakukan ajakan terhadap masyarakat demi menghadirkan rasa kepekaan dalam menjaga dan merawat sarana publik. 3. responsivitas kebijakan hal ini dinilai belum efektif dan maksimal karena masih menghadirkan beberapa permasalahan, seperti. (a) responsivitas atau daya tanggap, sejauh ini masyarakat menilai kebijakan reklamasi pantai mtb hanya memberikan dampak negatif. seperti dihilangkannya lahan kelola masyarakat, mata pencahariaan masyarakat, tempat tinggal, serta kebudayaan atau tradisi masyarakat. masyarakat menilai pemerintah abai terhadap kondisi ini, mereka belummendapatkan, modal usaha, tempat tinggal baru, dan pekerjaan. sehingga sementara waktu mereka melanjutkan kehidupan di gedung ccc. (b) responsibilitas atau pertanggung jawaban, pemerintah telah berupaya melakukan bentuk pertanggungjawaban seperti aspek lingkungan. pemerintah kota makassar mendirikan penampungan limbah dan air bersih. pemerintah akan senantiasa mengkaji kegiatan pihak swasta dari segi administratif maupun teknis. pemerintah kota makassar dan pemerintah provinsi sulawesi selatan akan selalu berkoordinasi untuk memecahkan masalah penggusuran masyarakat. referensi akbar, k., alam, a. s., & rusli, a. m. (2012). implementasi kebijakan tata ruang tentang kawasan pendidikan tinggi terpadu di kota makassar. government: jurnal ilmu pemerintahan, 5(1), 37–46. biang, f. d. (2008). dampak pembangunan jalan metro tanjung bunga terhadap komunitas nelayan di kota makassar (doctoral dissertation, program pasca sarjana universitas diponegoro). journal of government and civil society, vol. 3, no. 2, september 2019 128 aswar annas & zaldi rusnaedy bungin, burhan. (2001). metode penelitian sosial. format-format kuantitatif dan kualitatif. surabaya.: airlangga university press djatmiko, h yayat. 2004. perilaku organisasi. alfabeta: bandung fadhil, muhammad. 2013. kinerja dprd dalam melaksanakan kekuasaan legislasi. jurnal administrasi. vol. 2, no. 3:3 fahmi, irham. (2011). manajamen pengambilan keputusan. bandung: alfabeta. fitriana, e. d. (2008). implementasi kebijakan tata ruang wilayah dalam mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan (studi di kabupaten magetan). administrasi publik, 2(2), 217–223. madani, muhlis, 2011. dimensi interaksi aktor dalam proses perumusan kebijakan publik. yogyakarta : graha ilmu. moleong, lexy j. 2007. metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). bandung: pt. remaja rosdakarya. mudyahardjo, redja. (2014). pengantar pendidikan. jakarta: pt. rajagrafindo persada. muliati. (2012). reklamasi kawasan teluk palu ditinjau dari aspek hukum tata ruang. ejurnal katalogis, 3(12), 172–187. nari, maskur. (2009). dinamika sosial pemekaran daerah dan perubahan struktur sosial masyarakat. makassar: universitas negeri makassar, program pascasrjana ilmu sosiologi unm. peraturan daerah no. 4 tahun 2015. tentang tata ruang kota makassar. tahun 20152023. peraturan presiden no. 122 tahun 21012. pasal 15 mengenai reklamasi pantai peraturan walikota makassar no. 99 tahun 2009. tentang rencana strategi (renstra) dinas tata ruang dan bangunan kota makassar. tahun 2009-20014. rahardiansah, t. (2018). konflik kebijakan dalam pembangunan reklamasi teluk jakarta/ : analisis kebijakan pergub nomor 58 tahun 2018 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja badan koordinasi pengelolaan reklamasi pantura jakarta. hukum pidana dan pembangunan hukum, 1(1). ratminto, & winarsih, s atik. (2013). manajamen pelayanan. yogyakarta: pustaka pelajar salusu, j. (1996). pengambilan keputusan stratejik. jakarta: pt. gramedia widarsana. samadikun, b. p. (2007). dampak pertimbangan ekonomis terhadap tata ruang kota jakarta dan bopunjur. budi prasetyo samadikun, 2(1), 34–38. senasaputro, b. b. (2012). konsep implementasi kebijakan penataan kawasan reklamasi pantai berwawasan lingkungan berkelanjutan. in seminar nasional scan#3:2012 (pp. 26–36). soekanto, soerjono. (2012). sosiologi suatu pengantar. jakarta: pt. raja grafindo persada. sugiono. (2005). memahami penelitian kualitatif. alfabeta: bandung. suryabrata, sumadi. (2014). metodologi penelitian. jakarta: pt. raja grafindo persada. 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi 2 (mitologi yunani) 145 158 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2, elita rahmi1 (1faculty of law, universitas jambi, indonesia) (2departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia) 159 179 policy of a merit system to make a good and clean government in the middle of bureaucratic politicization yahya pandega putra1, 2, eko priyo purnomo1, 2, suswanta suswanta1, 2, aulia nur kasiwi1, 2 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 181 199 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 (1faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia) (3faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia) 201 218 using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy riska rahayu1, 2, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 219 228 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1, budiyono budiyono1, djonet santoso1 (1sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 229 247 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1, helen dian fridayani2 (1departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2departement of political science, national cheng kung university, taiwan) 249 272 land administration policy in bantul and sleman districts subekti widiyasno1, dyah mutiarin 1, herdin arie saputra1, ikhwan rahmatika latif1 (1department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 273 291 increasing local own-source revenue through the development of the regional tourism sector harries madiistriyatno1, ida musdafia ibrahim2, dudung hadiwijaya3 (1program studi magister manajemen sekolah tinggi manajemen immi, indonesia) (2program studi manajemen sekolah tinggi ilmu ekonomi y.a.i, indonesia) (3program studi manajemen, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 219 citation : ramadhan, adityo pratikno, budiyono, djonet santoso. 2020. “indonesia universal health coverage implementation on university students.” journal of government and civil society 4(2):219– 228. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 219-228 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2612 received 12 may 2020  revised 13 september 2020  accepted 17 september 2020 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1*, budiyono budiyono1, djonet santoso1 1 sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia *email correspondence: ramadhan.adityo@gmail.com abstract this research aimed to investigate the percentage of university students at the university of bengkulu, indonesia, who participated in the national health insurance program, and why the students did or did not participate in the national health insurance program. this research was performed with the inductive approach and sampled 366 university undergraduate students from eight faculties at the university of bengkulu, indonesia. the data collection was conducted by survey technique using a questionnaire. the results show that only 58.2% of university students who participated in the national health insurance program and their parents played an important role in determining whether they participated in the program. pseudo universal health coverage would probably happen in indonesia since some students participated in the national health insurance program. however, their premium payments were overdue, so that their insurance coverage became inactive. the unique finding of this research is that 1.96 percent of students mentioned that they did not participate in the national health insurance program because they perceived this program categorized as usury, which is forbidden in islam. keywords: health, national health insurance, social policy, universal health coverage abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase mahasiswa universitas bengkulu yang mengikuti program jaminan kesehatan nasional, dan mengapa mahasiswa mengikuti atau tidak mengikuti program jaminan kesehatan nasional. penelitian ini dilakukan dengan pendekatan induktif dan mengambil sampel 366 mahasiswa sarjana dari delapan fakultas di universitas bengkulu, indonesia. pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei menggunakan kuesioner. hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 58,2% mahasiswa yang mengikuti program jaminan kesehatan nasional dan orang tuanya yang berperan penting dalam menentukan keikutsertaan mereka dalam program tersebut. pertanggungan kesehatan universal semu mungkin akan terjadi di indonesia karena beberapa pelajar berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan nasional. namun, pembayaran premi mereka terlambat, sehingga pertanggungan asuransinya menjadi tidak aktif. temuan unik dari penelitian ini adalah 1,96 persen mahasiswa menyatakan tidak mengikuti program jaminan kesehatan nasional karena menganggap program ini termasuk riba yang dilarang dalam islam. kata kunci: kesehatan, jaminan kesehatan nasional, kebijakan sosial, jaminan kesehatan universal. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 220 adityo pratikno ramadhan, budiyono, and djonet santoso introduction indonesia has implemented the national social health insurance program since the 1st of january 2014 and the indonesian government is targeting to reach universal health coverage in 2019 (pisani et al., 2017). by 2019, all indonesian citizens will have participated in the national social health insurance program under the social security administrative body for health or refer as bpjs. however, the indonesian government had already estimated in 2017 that the universal health coverage (uhc) would not reach the target in 2019. this can be seen from indonesian presidential decree no. 59/2017 about the implementation of sustainable development goals in indonesia, stating that the target of indonesia uhc is 95% in 2019. reaching the uhc target is not easy, particularly for indonesia, a large population country. thus, it takes time and incremental process to reach uhc (lagomarsino et al., 2012). indonesian government mentioned in their uhc report that the informal sector, of which unfortunately dominates indonesia’s labour market, is the main barrier to reaching the uhc since it is harder to persuade people working in this sector to participate in the national health insurance program (national team for the acceleration of poverty reduction, 2015). furthermore, research about universal health coverage in indonesian has been conducted by previous researchers. trisnantoro et al., (2014) discussed indonesia universal health coverage in the dimension of financial and health access. mboi, (2015) explained the process of establishing universal health coverage in indonesia. reich et al., (2016) investigated the universal health coverage process in 11 countries, including indonesia. meanwhile, fossati, (2017) explored the political process in the national and local government for establishing universal health coverage in indonesia. wiseman et al., (2018) examined the equity impact of indonesia universal health coverage reform. wasir et al., (2019) defined pricing and reimbursement policy in indonesia universal health coverage system in indonesia, and sharma et al., (2020) explored the main actors and priority setting of indonesia universal health coverage. most of the aforementioned research were performed by academics, however, research concerning universal health coverage in relation to academics or university student is limited. within 10 years, university students will have a vital role in the development of the country. thus, it is necessary to conduct research about university students’ involvement in the universal health coverage (uhc) program in indonesia, including the participation rate of university students in the uhc program. this research aimed to investigate the percentage of students at the university of bengkulu participating in the national health insurance program and why they did or did not participate in the program. to achieve this objective, the research was conducted p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 221indonesia universal health coverage implementation on university students on one population where undergraduate students in a university were chosen as the population. this paper is divided into five sections, started by the introduction explaining the uhc implementation and uhc barriers in indonesia and the research objective. then, the research location overview that briefly describes the research location is presented, followed by the research method. the results and the analysis are discussed in two subsections: the reasons for not participating and participating in national health insurance. finally, the conclusion and recommendation are also provided. research location overview this research was conducted at the university of bengkulu, one of the state universities in indonesia, located in the province of bengkulu. the province has a population of 1.8 million people, a poverty rate of 15.43% of the population (bps, 2018). since the percentage poverty rate in bengkulu province is above the indonesia national percentage of poverty rate (9,8% of the total population) (world bank, 2018), bengkulu province is categorized as a province with a high poverty rate. also, this research was performed in bengkulu because it has the highest poverty rate in sumatera island. on the other hand, uhc is one of the crucial social safety nets for poor people. thus, the uhc is urgently needed by the poor, but others also need it to protect them from falling into the poverty zone. the research regarding uhc and the poor has been performed by many scholars. hence, this research investigate from a different angle, which is the uhc implementation on university students (consisting of not only the poor but also the middle and upper-class people). the university of bengkulu is the largest and the best in bengkulu, and the students are varying in terms of socio-economic status. thus, this research was performed at the university of bengkulu. the university of bengkulu was established in 1982 and currently has eight faculties, 44 undergraduate departments, 21 master degree departments, and two doctoral degree departments. this university is located in bengkulu province, sumatera island, one of five big islands in indonesia. the university of bengkulu is the only public university in bengkulu province under the ministry of education and culture. the university has almost 14 thousand undergraduate students, and all the samples of this research were undergraduate students. they are not only from bengkulu province but also from other provinces in indonesia. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 222 adityo pratikno ramadhan, budiyono, and djonet santoso research method in the beginning, this research conducted a library study to find the cutting edge theory, research and current condition of the universal health coverage implementation in indonesia, particularly bengkulu province. next, this research employed an inductive approach, an approach that builds theory, to address the aim of this research. also, the survey study was used in this research as a research method and this is descriptive research based on bhattacherjee (2012). the population of the research was the undergraduate students of the university of bengkulu. the samples were 366 students, from the aggregate of 10% of the total number of undergraduate students intake in the 2017 academic year on every faculty in the university of bengkulu). however, the research samples consisted not only students from the 2017 intake year but also students from 2015, 2016, 2018 intake years. the students involved in this research were between 17 to 22 years old. every faculty had a different number of students in the samples. depending on the current total number of students in that faculty, the bigger the number of students, the more samples of students were taken from that faculty. the student samples were chosen randomly; however, the student’s academic year intake was still considered. therefore, the total number of student samples based on the intake year was generally equal. data collection in this research was conducted using questionnaires administered to the respondents. the questionnaires were divided into two types: a questionnaire for those who joined the national health insurance program and those who did not. the questionnaires for those who joined the national health insurance program had 12 questions, while the other had nine questions. the first six questions were about the respondents’ background, such as age, intake year, gender, faculty, student number, and date when the survey was conducted. this research used three enumerators, undergraduate students, for data collection. subsequently, data were counted, tabulated, and transformed into percentages before being analysed. the data collection process was conducted from august to september 2018. results this research found that only 58,2% of students participated in the national health insurance. this result was very surprising and out of expectation because university students are known as a well-educated citizen, familiar with technology, such as gadget and internet, and connected to each other. thus, they were supposed to be well-informed about government programs, including national health insurance. this research also investigated why students participated or not in the national health insurance program. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 223indonesia universal health coverage implementation on university students the reasons for not participating in the national health insurance several open questions were provided in the questionnaires to examine why the students did not participate in the national health insurance program. hence, the respondents answered the questions by filling the blank and crossing one of the options provided in the questionnaires. the students’ answers revealed six different reasons why students did not participate in the program. table 1. the reasons students are not participating in the national health insurance program source: authors the majority of students (35.95%) did not participate in the national health insurance program because they had no time to go to the bpjs office to do the registration. it takes 30 minutes by car or motorcycles and around one hour by public transportation from the campus to the bpjs office. furthermore, in the bpjs office, there was often a long queue for the insurance registration process, and it took approximately one hour in the queue to reach the registration desk. moreover, the bpjs office was only open on weekdays and served during office hours, which conflicted with the university students’ class schedules. however, bpjs has programmed national health insurance online registration. people do not need to go to the bpjs office to register because it can be done through a smartphone application. 26,8% students did not participate because they were not well-informed about the national health insurance program. this is bizarre because the information regarding the national health insurance is available in every indonesia online news, social media and advertisements in some famous indonesian websites. the missing link might happen somewhere here. however, since finding the missing link was not the focus of this research, there will be no further explanation about it. furthermore, 16,9% did not participate in the national health insurance program because they followed their parents’ path and did journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 224 adityo pratikno ramadhan, budiyono, and djonet santoso not participate. this finding reveals that parents gave a domino effect in terms of students’ national health insurance participation. when the parents decided not to participate, their children would likely follow their decision as well. also, 16,34% of the students were not interested in joining (without providing specific reasons) and thus did not participate. this research reveals an unique finding, that 1,96% of students said they did not participate in the national health insurance program because they perceived the national health insurance categorized as usury. in islamic teachings, usury is forbidden and if someone performs or involves usury, he or she commits a great sin. however, not all muslims agree that the national health insurance categorized as usury. nevertheless, if some muslims in indonesia believe that the national health insurance program involves usury, indonesia will never reach the target of universal health coverage as a country with the biggest muslim population. a small number of students (1.96%) did not mention their reason for not participating in the program. this research also explored whether the students who did not participate plan to participate in the national health insurance in the future. it was found that 80.39% students said they intend to participate in the future, while 19.61% did not. the reason for participating in national health insurance besides investigating non-participation, this research also asked why students participated in the national health insurance program. table 2. the reasons students participated in national health insurance source: authors the data presented in table 2 reveal that some students were already well-informed of the national health insurance, indicated by their answers that most students participated in the national health insurance because of the insurance benefits. again, parents played a decisive role in determining whether the students participated in the national health insurance program. this finding is in line with the results presented in the previous section; some students did not participate because they followed their parents. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 225indonesia universal health coverage implementation on university students this research also investigated the impact on insurance participation as there is a type of national health insurance membership obtained through self-funding contribution. individuals in this category must pay the insurance premium by themselves. this type of membership leads to a problem of overdue premium payment. when it is overdue, the health insurance coverage will be inactive, and the membership of the national health insurance will be inactive as well. the members must pay the overdue contribution and the penalty fees to reactivate the coverage and membership. this research also revealed the number of students who participated in the national health insurance with overdue contribution payment (7.98%). furthermore, this research further investigated the reason why the students were overdue. it was revealed that 35.3% of the students did not know the schedule of payment and where to pay it; 29.4% could not afford to pay the insurance contribution; 17.6% would pay the insurance contribution once they needed the health service in a health facility; 17.6% refused to reveal their reasons of overdue payment. however, more attention was needed for the finding related to a group of people who could not afford the insurance premium. since they could not pay the premium, then they were not covered by the health insurance program and could not access health services. if the overdue premium problem due to the inability to pay is unresolved, it will create a pseudo uhc in indonesia. it means indonesia may reach uhc, but, in reality, many people are not yet covered by the national health insurance due to the overdue premium payment. another question that was asked to the students in this research was about carrying national health insurance card. according to the regulation of bpjs, the office managing the national health insurance, in order to obtain health insurance services, every member must show their card to the administrative officers in the health facilities when they need health service. otherwise, they can obtain health services but are not covered by insurance. this research found that 38,97% of the students participated in the national health insurance program. however, they did not bring their health insurance cards when they were filling the research questionnaires. discussion from the results, some points can be drawn for discussion. first, information has a vital role in the implementation of uhc. people will decide to participate or not participate because of information they have. this is consistent with banerjee et al., (2019) who mentioned that information plays decisive role to achieve universal health coverage. second, parents have a domino effect in the uhc participation of their children. if the parents participate in the uhc program, then more likely the children will participate. third, the premium payment is an issue in national health insurance. many members of national health insurance had overdue premium payment. this is in line with agustina journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 226 adityo pratikno ramadhan, budiyono, and djonet santoso et al (2019), who argued that only a small number of people in wealth quintile q2-q3 participated in the uhc program. furthermore, the wealth quintile q1 participated in uhc because they have a premium payment subsidized by the government and wealth quintile q5 participated in uhc because they have the ability to pay the premium on time (agustina et al., 2019). however, this research found that some students performed overdue payment because of the unaffordability reason. then, it is probably that not all people in q1 wealth quintile are subsidized by government. this argument is consistent with reich et al., (2016), who argued that the uhc system in indonesia is still patchy because many of poor people did not have access to the uhc service; thus the system needs improvement and development. the problems of uhc implementation in indonesia, such as overdue premium payment and people who do not participate in national health insurance due to unaffordability reason, must be solved immediately. otherwise, this situation will undermine economic development since the uhc brings healthier people and eventually, good economic development as well (frenk & de ferranti, 2012). conclusion indonesia is currently striving to reach the target of uhc. some challenging issues emerge and must be resolved immediately, such as findings of this research: the low number of participants, the shortage information of uhc programs, the overdue premium payment and the reluctance of people to participate in uhc with unclear reasons. this research also found that some respondents perceived national health insurance as usury, an activity forbidden in islam. it entails further research to examine why they categorized national health insurance as usury and investigate how many people have a similar perception. second, this research also found that 19.61% of the students who did not participate in the national health insurance program stated that they were still unwilling to participate in the future. the reason was unknown, and further investigation is necessary to find their unwillingness reasons. furthermore, this research found that parents were important determinant factors for students to participate or not in the national health insurance program. finally, uhc in indonesia also has a problem concerning the premium payment. this research found an appellation, called pseudo uhc. this term will emerge to perfectly describe the condition when indonesia reaches the uhc target, but many people are not yet covered by the national health insurance program due to overdue premium payment. consequently, they are no longer covered by the insurance until they have paid the premium. suppose the overdue premium case happens due to the member’s unaffordability, which often occurs in low-income families. in that case, this will deteriorate the poor’s lives because they will not have access to health services when needed. thus, they cannot work and eventually will be trapped in poverty condition. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 227indonesia universal health coverage implementation on university students references agustina, r., dartanto, t., sitompul, r., susiloretni, k. a., suparmi, achadi, e. l., taher, a., wirawan, f., sungkar, s., sudarmono, p., shankar, a. h., thabrany, h., susiloretni, k. a., soewondo, p., ahmad, s. a., kurniawan, m., hidayat, b., pardede, d., mundiharno, … khusun, h. (2019). universal health coverage in indonesia: concept, progress, and challenges. the lancet, 393(10166), 75–102. https://doi.org/10.1016/ s0140-6736(18)31647-7 banerjee, a., finkelstein, a., hanna, r., olken, b. a., ornaghi, a., & sumarto, s. (2019). the challenges of universal health insurance in developing countries: evidence from a large-scale randomized experiment in indonesia. nber working paper, 37. bhattacherjee, a. (2012). social science research: principles, methods, and practices. in textbooks collection. book 3. (2nd editio). textbooks collection. https://doi.org/ 10.1186/1478-4505-9-2 bps. (2018). national statistic board: poverty rate in bengkulu province 2010-2018. https:/ /bengkulu.bps.go.id/dynamictable/2016/10/03/6/penduduk-miskin-provinsibengkulu-2010-2018-kondisi-maret-.html fossati, d. (2017). from periphery to centre: local government and the emergence of universal healthcare in indonesia. contemporary southeast asia, 39(1), 178–203. https:/ /doi.org/10.1355/cs39-1f frenk, j., & de ferranti, d. (2012). universal health coverage: good health, good economics. the lancet, 380(9845), 862–864. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(12)61341-5 lagomarsino, g., garabrant, a., adyas, a., muga, r., & otoo, n. (2012). moving towards universal health coverage: health insurance reforms in nine developing countries in africa and asia. the lancet, 380(9845), 933–943. https://doi.org/10.1016/s01406736(12)61147-7 mboi, n. (2015). indonesia: on the way to universal health care. health systems and reform, 1(2), :91-97. https://doi.org/10.1080/23288604.2015.1020642 national team for the acceleration of poverty reduction. (2015). the road to national health insurance. in secretariat of the vice president of the republic of indonesia. http:/ /www.anc.org.za/show.php?id=6013 pisani, e., kok, m. o., & nugroho, k. (2017). indonesia’s road to universal health coverage: a political journey. health policy and planning, 32(2), 267–276. https://doi.org/ 10.1093/heapol/czw120 reich, m. r., harris, j., ikegami, n., maeda, a., cashin, c., araujo, e. c., takemi, k., & evans, t. g. (2016). moving towards universal health coverage: lessons from 11 country studies. the lancet, 387(10020), 811–816. https://doi.org/10.1016/s01406736(15)60002-2 journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 228 adityo pratikno ramadhan, budiyono, and djonet santoso sharma, m., teerawattananon, y., luz, a., li, r., rattanavipapong, w., & dabak, s. (2020). institutionalizing evidence-informed priority setting for universal health coverage: lessons from indonesia. inquiry (united states), 57. https://doi.org/ 10.1177/0046958020924920 trisnantoro, l., marthias, t., & harbianto, d. (2014). universal health coverage assessment indonesia. in global network for health equity (ghne) (issue december). https://doi.org/10.13140/rg.2.1.1174.7683 wasir, r., irawati, s., makady, a., postma, m., goettsch, w., buskens, e., & feenstra, t. (2019). use of medicine pricing and reimbursement policies for universal health coverage in indonesia. plos one, 14(2), 1–19. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0212328 wiseman, v., thabrany, h., asante, a., haemmerli, m., kosen, s., gilson, l., mills, a., hayen, a., tangcharoensathien, v., & patcharanarumol, w. (2018). an evaluation of health systems equity in indonesia: study protocol. international journal for equity in health, 17(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12939-018-0822-0 world bank. (2018). the world bank in indonesia: overview. https://www.worldbank.org/ en/country/indonesia/overview acknowledgement the authors thank sustainable development goals center universitas bengkulu as for the publication funding for this research. the authors would also like to thank dwi pebriani watu mesa, wica meirani, and yuniche ilhami as enumerators for this research. the authors would also like to thank elizar, ph.d for her assistance as english language reviewer. 2 (mitologi yunani) 107 125 analysis of local electoral governance under electoral integrity perspective in yogyakarta city 2017 riska sarofah1, titin purwaningsih2, nurhakim3 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2departement government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 127 143 collaborative governance in the management of village owned enterprises ponggok sub district polanharjo district klaten central java 2016 kohen sofi1, dyah mutiarin2 (1master studies of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration,universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 145 161 government collaboration in empowerment? a collaborative framework for the government in empowering coastal communities yusuf fadli1, adie dwiyanto nurlukman2 (1government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 163 177 coordination of regional disaster management agency (bpbd) tangerang city in flood mitigation tito inneka widyawati1, toddy aditya2 (1government science study program, stisip yuppentek, indonesia) (2government science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 179 190 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p (communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  179 citation : nashrudin p, achmad. 2018. “the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis)”. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, 179-190. journal of government and civil society vol. 2, no. 2, september 2018, pp. 179-190 doi: 10.31000/jgcs.v2i2.1040 received 15 oktober 2018 revised 23 oktober 2018 accepted 1 november 2018 the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) achmad nashrudin p1 1communication science study program, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia email: nashrudin.achmad@gmail.com abstract this study aims to find out how radar banten reports on the practice of political economy and how the neutrality and professionalism of radar banten in the banten gubernatorial election 2017. as long as the 2017 banten gubernatorial election contestation takes place, radar banten, as with other local media, play a role in disseminating various news related to the contestation. this research is qualitative research with the method of framing analysis. the data analysis method used in this study is the analysis of media political economy, content analysis, framing analysis and discourse analysis. the results of this study showed that the news presented by radar banten tended to favor one of the candidates. this also shows that radar banten is not neutral and unprofessional in presenting the news related to the banten gubernatorial election 2017. keyword: framing, media, media political economy, campaign, banten gubernatorial election 2017 introduction the development of local media at this time has been influenced by market fundamentalism dogma which tends to direct the content of the media. as a result, mainstream media at the local level is more of an industry producing entertainment information commodities rather than being a means of public aspirations. rating is everything. in fact, pages or duration are always measured by exchange rates. in this situation, local media can only be accessed by parties who have economic and political power. this can be seen from most media spaces that are “filled” with bureaucracy or local politicians. portraits of local media are finally mired in industries that are more concerned with the market will and are no longer compliant with the principles of public interest. market logic, which emphasizes the function of entertainment and profit orientation (capital), makes local media like a funnel for investors and local politicians. the contents of local media no longer represent the lower middle class who are considered unable to contribute to the existence of local media businesses. in contrast, local media are more familiar with entrepreneurs, politicians and bureaucrats. as a result, the content of the media feels tight by the agenda-setting of that group. the existence of local media, as mandated by political reform, should be able to foster public sphere that enables lower-middleclass people to gain access and opportunities so that they can open insights, aspirations and desires to participate in the discourse of journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 180 achmad nashrudin p common interests. however, these noble ideals are not easily realized, because private media are not interested in collaborating with the lower classes, and feel more comfortable working with the elite, something that is believed to guarantee the existence of business as well as a mutual effort to maintain the perpetuation of power politics and economics at the local level. the portrait of the media that we see and feel at the moment is inseparable from the context of macro, meso, and micro. in the macro context, we can see how the development of globalization and capitalism is still gripping the media business so strongly. the grip also occurs at the meso level, especially related to the process of production and the consumption of media. the example is local media news that is rarely critical and confrontational with the authorities and local elites. the news tends to be generated due to closeness, order, and other forms of advertorial. thus, the media which are actually able to present the reality has gone astray, and the severity is increasingly plunged into the interests of media engineering that represents the economic and political rulers. in the end, consumers were forced to believe the news presented by the media. in fact, often the news that presented is believed to be the only source of information. we certainly hope that the media can re-understand its identity as a portrayal of reality even if it has to face the economic and political interests of certain groups. on the other hand, the revolving reforms in 1998 brought dramatic changes in the media landscape in indonesia; the media system shifts from an authoritarian system to a libertarian characterized by a strong market role. in this position, because the controller is a market, market fundamentalism also thrives. deddy n. hidayat (2003) mentions that market fundamentalism adheres to the dogma that there is nothing sacred except the market and everything becomes a market-regulated commodity. in the market rules, everything is a commodity. consequently, the public interest is ignored, because it is faced with economic or political pressure. this market mechanism makes the media vulnerable to the power of capital. according to dedi n. hidayat (2003), this could lead to conditions in which the market dictates the public interest. public issues such as unemployment, health and others, can be categorized as issues that do not contain news value because they do not concern the interests of the majority group of purchasing power consumers. for this reason, separate analysis of the content of the news is needed to find out the background of writing an event. thus, the community is expected to be more mature in addressing news or media, including news that is closely related to the banten gubernatorial election (pilgub) or the dynamics of local politics. radar banten, as a local mass media in banten province, is a medium that is already familiar in the banten community. the number of readers is estimated to have reached 55 thousand people. every year, the radar banten circulation rises by 17%. the daily is also widely distributed in eight cities and districts in banten province. in the context of p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 181the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) this research, radar banten had to face the challenges of professionalism and neutrality during the banten gubernatorial election 2017. one of the challenges happened when one of the gubernatorial candidates reported radar banten to the press council because it was considered not neutral or in favor of one candidate pair. although the allegations were not proven, radar banten continued to face the challenges of neutrality and professionalism amid the dynamics of warm local politics that developed during the banten gubernatorial election 2017. research method this study uses a qualitative approach. qualitative research aims to understand social or human problems based on the creation of a complete holistic picture, formed with words, and report the informant’s beam in detail and arranged in a natural setting (cresswell, 2002). according to fraenkel & wallen (1990), qualitative research focuses on the ongoing process, while according to lincoln & guba (in cresswell, 2002) qualitative research is a developing design in terms of results, understanding, and interpretations negotiated with human data sources, because the reality of the subject is what researchers want to understand. bodgan and taylor (1975) define qualitative methodology as a research procedure that produces descriptive data in the form of written and oral words from people and observable behavior. this approach is directed to the background and the individual holistically. this study uses a constructivist paradigm; in the technique of collecting data, the constructivism paradigm tends to use involved observation techniques, empirical text analysis, and imperative secondary data which generally takes place in ethnographic studies, case studies, ethnomethodology in qualitative groups (hamad, 2005). according to gamson and modigliani (in eriyanto, 2005), media discourse can be conceptualized as an interpretive packaging device that gives meaning to an issue. the internal structure in the packaging is an idea that tries to organize or understand relevant events. mulyana (in eriyanto, 2005) states that the constructivism approach is both analytical and critical. this research is directed to see how far radar banten in constructing news of the candidacy of banten gubernatorial election 2017 through framing efforts, especially during the campaign period (november 2016 to january 2017).framing analysis is used to see how an event/reality is constructed by the media that selects and highlights certain aspects of reality. the method of framing analysis that used in this study is gamson and modigliani’s model.the data collected in this study only reaches the text level, while the journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 182 achmad nashrudin p analysis unit is the news column. at the text level, the analysis unit that used is a news item that highlights the activities of the banten gubernatorial election 2017, including campaign activities carried out during november 2016 to january 2017. in this study, the selection of informants is based on characteristics that are commonly used in qualitative research. in the context of this study, spradley (in sugiyono, 2008) suggested that informants involved in this kind of research are people who have deep or broad involvement and understand in journalism, the process of making news, news management. in addition, the informant also understands the (local) political constellation in banten, understands the context and substance of the subject study, and objective in giving views on every aspect of the research’s issue. furthermore, data is analyzed based on text or news that has relevance to the object of research. according to patton (in moleong, 2006), data analysis is the process of arranging data sequences, organizing data into a pattern, category and basic description unit. from this understanding, patton distinguishes between the study of data and interpretation, which gives significant meaning to the study, explains the pattern of description, and looks for relationships between the dimensions of the description. the data analysis method used in this study is the analysis of media political economy, content analysis, frame analysis, and discourse analysis.according to sobur (2004), the study of politics and ideology is at the level of “preferably”, and therefore is normativesubjective. therefore, the views built tend to be based on ideological assumptions, and are very likely to fail in seeing the real reality, or even close their eyes to the reality and the changes that are taking place. at this point, reviewing media texts through framing analysis becomes relevant. the study of news framing itself is part of discourse analysis, namely the study of language/language use. discourse is linguistic communication that is seen as an exchange between the speaker and the listener and as a problem activity where its shape is determined by its social goals (in eriyanto, 2006). discourse analysis focuses on the natural structure of spoken language as contained in discourses, such as conversations, interviews, comments, and utterances. robert n. entman, one of the experts who laid the foundations of framing analysis for the study of media content, defined framing as a selection of various aspects of reality that were accepted and made the event more prominent in a text of communication, such as presenting specifically definitions of problems, interpretations cause and effect, moral evaluation, and offer of settlement as the problem is described. framing analysis is the latest version of the discourse analysis approach, especially for the interests of analyzing media texts. the frame is defined as a conceptual structure or set of beliefs that organize political views, policies, discourses, and provides standard p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 183the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) categories to appreciate reality or events. goffman (1974) presupposes frames as strips of behavior that guide individuals in reading reality. in a communication perspective, framing analysis is used to dissect media or ideologies in constructing reality. this analysis looks at the selection strategy, prominence, and linking facts to the news so that they can be more meaningful, more interesting, more meaningful or more memorable, to guide the interpretation of the audience according to their perspective. in other words, framing is an approach to find out how perspective used by journalists when selecting issues and writing news. dedi mulyana (in eriyanto, 2005) states that framing is used to see the socio-cultural context of a discourse, especially a relationship between news and ideology. framing analysis can also be used to see who controls who in the power structure, which party gets benefits and which is disadvantaged, who is the oppressor and the oppressed, which political actions are constitutional and vice versa, which policies should be supported by the community and not supported, etc. result and discussions radar banten news in the practice of political economy robert w. mcchesney (1997) argues that political economy has two aspects. first, as a media liaison with a communication system on a community structure. the purpose is to examine how the media (and communication systems) and content reinforce, challenge, or even influence existing classes (community stratification) and social relations. second, political economy communication shows how ownership encourages performance (such as advertising) and government policies that influence the behavior of the media and the news in it. in the context of a society that is starting to grow and stretching economically, community participation usually has not spread evenly. in general, the community is still passive, and other groups that are much smaller are actually active. in a society that is relatively well developed both economically and politically, the role of elite groups can initially be a stimulus for the participation of other community groups. they expect the involvement of elite groups in giving encouragement and roles that can influence nonelite groups. as stated by gaetano mosca (in wijaya, 1986), elite groups are believed to be a group of people who are strong and economically dominant at first. in the next development, their influence will spread to the political field. in the local context, the practice of the media-political economy has little influence on the practice of journalism and radar banten’s media business. in fact, the closeness between journalists and certain political leaders can affect the advertising spot. according to editor in chief radar banten, the closeness between journalists and political figures is indeed unavoidable. as long as journalists can be objective and professional, it is not a journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 184 achmad nashrudin p problem. however, it would be better if journalists were not “too close” to certain political parties or figures, since it was feared that would affect the news. therefore, the journalists should not do certain framing of politicians, political parties, or certain officials. the closeness between journalists and politicians, political parties, or certain officials will impact on subjectivity, especially if there are demands for pragmatism from media institutions that must be met by a journalist. political interests make the process and work of the news no longer based on an ethical foundation and professionalism, but on a political foundation. in the context of banten gubernatorial election 2017, the existence of local media is expected to provide balance while reading various potentials that might occur in the local political process. the news that is expected to emerge is not merely to appoint one candidate, but able to explore the political conditions at the local level. however, the subjects in this study (radar banten) tended to preach too often on one candidate (see table 1). construction should not be emphasized only in terms of the superiority of candidates, but on the issue of rationality and participation from the banten community. one of the objectives is the public control over the government can be more stringent, and mass media can be a forum for dialogue for both. moreover, one of the objectives of the existence of local media is to build local wisdom to address various political issues. meanwhile, the moment of the gubernatorial election (pilgub) also created a kind of mutually beneficial relationship between local media and candidates. the needs of each candidate for socialization are translated by the media as a golden opportunity to reap income in the midst of increasingly intense competition in the local media business. the existence of these relationships is actually a common thing as in other service transactions. however, the problem becomes different since mass media has a basic function as a social control. when covering one candidate, the public believes that the media can provide accurate information about problems at the local level. unfortunately, instead of being a guardian of democracy at the local level, local media even play eyes with prospective power holders. then, the report or news presented is not in accordance with the slogan: bad news is good news. as long as the candidate able to maintain “good relations” with media, he can determine what and how the news about him must be packaged. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 185the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) table 1. news aboutbanten gubernatorial election 2017 during the campaign period (november 2016 february 2017) no news title date publish 1 satu tahun rk pimpin banten, jalan bagus dan anti korupsi 01-11-16 2 rano, bikin perubahan berarti 01-11-16 3 rk diyakini gaet kaum perempuan 02-11-16 4 rk, menang tanpa harus memaksa 08-11-16 5 iman (walikota cilegon) saksikan pengukuhan dukungan untuk rk-embay 09-11-16 6 inilah alasan memilih ems 10-11-16 7 andika peringati hari pahlawan 12-11-16 8 pdip: akan kuasai basis wh 14-11-16 9 mudah mengenalkan rk-embay 18-11-16 10 spanduk rano-embay banyak dirusak 19-11-17 11 embay serang wh 30-11-16 12 rk-embay teken pakta integritas, wh-andika tidak hadir 05-12-16 13 pemilih pilgub banten 7,8 juta 09-12-16 14 rk, minta dukungan warga nahdliyin 15-12-16 15 hinca panjaitan: wajib menangkan wh –aa 16 embay, minta petuah mantan bupati pandeglang 20-12-16 17 dewan pers, radar banten tidak langgar kode etik 20-12-16 18 wh serang rano 28-12-16 19 figur cagub rk 02-01-17 20 jb (mantan bupati lebak) kampanyekan ranoembay 06-01-17 21 dikawal jawara, rk kampanye 06-01-17 22 kampanye rano-embay membludak, keberhasilan bangun jalan dipamerkan 09-01-17 23 wahidin halim dilaporkan ke kpk 27-01-17 24 wh gratifkasi 27-01-17 25 najwa kuliti program cagub, andika berhalangan hadir 02-02-17 26 lapangan sunburst “memerah” 04-02-17 27 mega: rk pasti menang 06-02-17 28 rano-embay, kompak tolak komunisme 07-02-17 29 rk sisi pantura rebut suara 07-01-17 30 rk -embay, ajak masyarakat mulyakan ulama 08-02-17 31 dimyati (mantan bupati pandeglang) total dukung (rk-embay kunjungi kh. ma’ruf amin) 08-02-17 32 rano-embay unggul (hasil survei indo barometer) 10-02-17 journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 186 achmad nashrudin p jack snyder (in lspp, 2005) sees the positive role that local media can play, such as educators, problem identifiers, forum providers, and sociocultural reinforcers for their communities. robert dahl (in lspp, 2005) calls the role of the free press as the availability of alternative and independent sources of information. the main role is in synergy with the principles of good local governance such as participation, transparency, and accountability. therefore, participation means the active role of the community in making a decision, while transparency is based on the existence of a guarantee mechanism for public access to decision making, and accountability states how much the influence of the governed party (object) on the government (subject). keane (in lspp, 2005) underlines the importance of the media as public servants who have a big contribution in a democratic country, especially regarding the availability of information that is useful for public life. in addition to contributing to the democratization process, local media also has an ambivalent effect because of the strong primordialism and the proximity of media investors with regional stakeholders, which in turn raises a dilemma for local media, such as in covering banten gubernatorial election (in lspp, 2005). synder (in lspp, 2005) even concluded that the local press can sacrifice long-term interests because it has the potential to become a tool for power maniacs in maintaining their power. that is, the local press sometimes fails to maintain distance and instead becomes emotionally involved with political dynamics at the local level. as a result, coverage becomes less balanced. on the other hand, the tight competition in the media business and public thirst for sensational news often confuse the process and face of local press coverage (lspp, 2005). in the observations of researchers, radar banten shows a position that moves in political economy euphoria as explained in the previous analysis. radar banten’s neutrality and professionalism in the banten gubernatorial election 2017 the prerequisite for the realization of the democratization process is freedom of expression and information. therefore, a subsystem in the form of independent mass media is needed, starting from giving information that is correct, relevant, and objective for the community to the function of supervisor of power. understanding of power in the context of democratic societies is not only oriented to government power, but includes political, social, economic and cultural activities. this is also in line with what was suggested by schieck (2003) that the presence of independent media can lead to two roles, namely watchdog for the government and educating public on various issues that affect their lives. in the context of elections, a report released by the asia foundation in 2004 revealed that more than 90 percent of the public used the media as information on elections. therefore, there is the potential for misuse of media functions, such as agreements to p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 187the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) provide political advertising space, covering the inauguration of regional officials, or publication of election campaigns for certain regional head candidates. this condition can be even worse if the media owner is one of the candidates in the ongoing democratic party. in this position the press no longer represents the fourth pillar in a democratic society. interest between the media and the local elite and the misuse of the functions of local media in the process of regional head elections can be attributed to a number of things that stem from the lack of professionalism at the micro, meso and macro level. at the micro level, where the text is the final product of the media, the unprofessionalism of the media can be seen in various reports regarding the implementation of regional head elections that are shown to be less balanced. as a local media, radar banten turned out to and this can be seen from the dominant news of certain candidate pairs (rano and embay) both in terms of quantity and in the construction of the text. theoretically, professionalism in the news requires objectivity. in this positivistic conception, the definition of objectivity is formulated in two principles: conformity with reality and impartiality. the first principle consists of truth and relevance. the true element is determined accuracy in describing the facts by considering all elements of the news: 5w + 1h. meanwhile, the elements used to measure the level of relevance include: (1) psychography proximity; (2) geographical proximity; (3) timeliness; (4) significance; (5) prominence; and (6) magnitude. all of these elements are known as news values. the principle of impartiality also determines the level of objectivity; there are two elements that support impartiality: balance and neutral. balanced is to give a fair place to different views or cover both, while neutral is the separation between facts and personal opinions of journalists (mcquaill, 1998). if an event can be revealed with the elements mentioned above, the media will automatically become watchdog against fraud, both at the state and community level. in this situation, people will think and determine for themselves what is right and what is wrong. that is, the media does not need to dictate or direct, but rather express the facts as they are. at the meso level, the most striking thing is the lack of management of local media where the human resources are less competent. this issue will have an impact on the low welfare of local journalists. in some cases, there are many journalists who receive salaries below the minimum wages (umr) standard. the lack of professionalism of local media can also be seen from the condition of journalists who do not have competence and idealism. as a result they only make the media institutions where they work as a place to look for profit. meanwhile, mutualism collaboration between journalists and local governments leads to agreements that deviate journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 188 achmad nashrudin p from journalistic idealism and ethics, such as the maintenance for indonesia journalist association (pwi) building, coaching budgets, and other costs to sponsor journalists’ fictional activities. such cooperation can weaken the media as a supposedly independent institution. at the macro level, indicators to see media professionalism can be seen based on the dynamics of socio-cultural, economic-political, historical contexts and also media regulation. the striking issue at this level is the unclear rules of the game for local media in articulating their functions. the lack of assertive journalistic ethics is also a separate note. this means that the enforcement of journalistic ethics can play an important role in guarding media functions that should be able to guarantee the public interest. in addition, the community also needs media literacy so they do not become media passive object. conclusion media can construct an event or fact when raising news, including radar banten. political news, such as the campaign of banten gubernatorial election 2017, is an interesting issue for the people of banten. as the largest local media in banten, radar banten has a strategic bargaining position. as a social and economic institution, media have the capacity to disseminate information both to fulfill their social functions and economic institutions to gain profit. as the largest media institution, radar banten has a bargaining position in the constellation of power (vis a vis bureaucrats and politicians) and the dynamics of local politics in banten. as a social institution, radar banten has the obligation to disseminate the truth through the news so that it can become a valuable reference for the community. but, in a political economy, radar banten needs income to maintain its business continuity. this research shows that media, especially radar banten, is not easy to place themselves in a neutral and independent position. in the context of the political economy of the media, it can be said that radar banten often drew framing on one candidate (rano karno and embay) and at the same time made an agenda-setting for them. this later caused another candidate, wahidin halim and andika hazrumy, report radar banten to the press council because they were considered not neutral. references bungin, burhan. (2007). kajian kualitatif. jakarta: kencana. cresswell, john w. (2002). research design: qualitative and quantitative approaches. jakarta: kik press. denzin norman k. dan egon guba. (2001). teori dan paradigma kajian sosial. yogyakarta: tiara wacana. djuroto, totok. (2004). manajemen penerbitan pers. bandung: pt remaja rosdakarya. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 189the news of governor candidacy on 2017 banten gubernatorial election in radar banten (study of media content analysis) eriyanto. (2005). kajian framing (konstruksi, ideologi, dan politik media).yogyakarta: lkis. eriyanto. (2006). kajian wacana: pengantar kajian teks media. yogyakarta: lkis. fatimah, siti. (2004). enggan jadi politikus: preferensi dan persepsi politik orang bandung. bandung: bigs. hamad, ibnu. (2004). konstruksi realitas politik dalam media massa (suatu studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik). jakarta: granit. i gede titah pratyaksa dan bonaventura satya bharata. (2013). “bingkai berita pemilihan gubernur bali (kajian framing berita kampanye pemilihan gubernur bali 2013-2018 pada surat kabar harian bali post dan surat kabar harian fajar bali edisi 28 april 2013 11 mei 2013”. diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/5736/1/ jurnal%20ilmiah.pdf juanedie, kurniawan. (1980). pers indonesia. jakarta: gramedia. kotler, philip dan kevin lane keller. (2009). manajemen pemasaran: jilid 1. jakarta: erlangga. kusumaningrat, hikmat dan purnama. (2005). jurnalistik: teori dan praktek. bandung: pt. remaja rosdakarya. mansyur, johansyah. (2005). analisis kebebasan pers terhadap pemberdayaan politik masyarakat : studi framing pada harian pedoman rakyat dan harian fajar, tentang suksesi gubernur sulsel. tesis. jakarta: sekolah pascasarjana usahid. mardana, gigih. (2010). “komunikasi politik di media massa (kajian framing berita kampanye pasangan calon gubernur jawa timur selama masa kampanye putaran i di harian jawa pos, surya, bhirawa, dan duta masyarakat”. jurnal komunikasi massa, 3(2): 1-12. moeleong, lexy. (2006). kajian kualitatif. bandung: pt. remaja rosdakarya. muis, andi abdul. (2000). ilmu komunikasi: suatu pengantar. bandung: pt. remaja rosdakarya. mulyana, dedi. (2004). metodologi kajian kualitatif. bandung: pt. remaja rosdakarya. nashrudin, achmad. (2016). “ekonomi politik media: pada pemberitaan menjelang pemilihan gubernur banten 2017 oleh radar banten dan baraya tv”. informasi, 42(2): 155-168. nurudin. (2003). komunikasi massa. malang: cespur. panuju, redi. (2003). framing analysis. surabaya: universitas dr. sotomo. peraturan kpu no. 7 tahun 2015 tentang kampanye pemilihan gubernur, bupati dan atau wali kota severin j, werner dan tankard jr. w. james. (2007). teori komunikasi: sejarah, metode, dan terapan di dalam media massa. jakarta: kencana. sobur, alex. (2000). paradigma komunikasi politik dalam mewujudkan masyarakat madani. bandung: unisba press. journal of government and civil society, vol. 2, no. 2, september 2018 190 achmad nashrudin p sobur, alex. (2004). kajian teks media: suatu pengatar untuk kajian wacana, kajian semiotik, dan kajian framing. bandung: pt. remaja rosdakarya. sorokim dan tatag handaka (eds.). (2016). media lokal: kontestasi, trend, dinamika dan suara arus bawah madura. madura: pusat kajian komunikasi (puskakom) universtas trunojoyo. sudibyo, agus. (2004). ekonomi politik media penyiaran. yogyakarta: lkis. sudibyo, agus. (2006). politik media dan pertarungan wacana. yogyakarta: lkis. sudradjat m. (2002). metode penarikan sampel dan penyusunan skala. bandung: unpad. suwardi, harsono. (1993). peranan pers dalam politik di indonesia. jakarta: sinar harapan. venus, antar. (2004). manajemen kampanye. bandung: simbiosa rekatama media. wijaya, albert. (1988). budaya politik pembangunan ekonomi. jakarta: lp3es. wimmer d. roger, (1987). mass media research. california: wadsworth publisher company. yenni yuniati. (2002). “pengaruh media terhadap persepsi politik”. mediator. copyright (c) 2018 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00. halaman prelims 00. halaman prelims 00. halaman prelims daftar isi daftar isi 05. the news of governor cover cover (tampak depan) daftar isi 05. the news of governor tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung 65 tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung hertanto1) 1)program studi ilmu pemerintahan universitas lampung, indonesia email : hertanto.lpg@gmail.com abstrak penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan transparansi arena birokrasi kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran dalam penyelenggeraan pemerintahan.penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan tipe penelitian kuantitatif deskripstif. penelitian ini juga bersifat komparatif (comparative research), sebab metode penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbandingan transparansi antara arena birokrasi kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran yang dilihat dari satu indikator, yaitu hasil uji akses. temuan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dokumen publik yang terdapat dalam uji akses dianggap sebagai dokumen-dokumen yang sangat sensitif menurut persepsi pelaku pemerintahan. sehingga tata kelola pemerintahan di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran cenderung tertutup. meskipun transparansi di kabupaten pesawaran lebih baik dibandingkan dengan kabupaten pesisir barat, yaitu nilai rata-rata 1,36; namun mendekati cenderung tertutup. sedangkan kabupaten pesisir barat memilki nilai 0,63 yang berarti cenderung sangat tertutup. dengan demikian, tata kelola pemerintahan di kedua daerah otonom baru tersebut masih belum transparan, sesuai dengan tuntutan pelaksanaan aturan keterbukaan informasi publik. keadilan, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas merupakan prasyarat bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (kkn). kata kunci: tata kelola pemerintahan, transparansi, aksesibilitas, dokumen publik, daerah otonom abstract this study aims to describe the transparency of the bureaucratic arena of pesisir barat district and pesawaran district in the implementation of government. this research is a research using descriptive quantitative research type. this research is also comparative (comparative research), because the research method is conducted to know the comparison of transparency between the bureaucratic arena of pesisir barat district and pesawaran district seen from one indicator, that is access test result. the research findings show that most of the public documents contained in access tests are considered to be highly sensitive documents according to the perceptions of government actors. so that governance in pesisir barat district and pesawaran district tend to be closed. although the transparency in pesawaran district is better than the west coast district, which is an average of 1.36; but approaching tend to be closed. while the pesisir barat district has a value of 0.63 which means tend to be very closed. thus, governance in these two new autonomous regions is still not transparent, in accordance with the demands of public disclosure rules. justice, transparency, participation, and accountability are prerequisites for good and clean governance of corruption, collusion and nepotism. keywords: governance, transparency, accessibility, public documents, autonomous region citation : hertanto. 2017. “tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 65-79. journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 65-79 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 66 hertanto pendahuluan pemerintahan yang transparan masih menjadi cita-cita mulia, karena dalam prakteknya masih banyak menemui kendala. keterbukaan informasi publik dalam setiap jenjang pemerintahan sangat sulit diwujudkan. aksesibilitas dokumen untuk mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau bahkan ditiadakan. misalnya, dokumen-dokumen seperti rpjmd (rencana pembangunan jangka menengah daerah), renstra skpd (satuan kerja perangkat daerah), rkpd (rencana kerja pemerintah daerah), rencana kerja skpd, kua & ppas (kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara) , dan rka-skpd (rencana kerja dan anggaran skpd) sangat sering tidak dapat diakses. kalau pun dapat diakses harus atas permintaan resmi tertulis dan melalui birokrasi yang berbelit. bahkan seringkali petugas memberikan dalih dokumen yang bersangkutan belum dibuat, atau salinan dokumen dapat diakses asalkan ada perintah atau memo dari kepala daerah (hertanto, 2009). penerapan kebijakan keterbukaan informasi publik melaluie-goverment pun belum dilaksanakan secara optimal. pemerintah daerah memang rata-rata sudah mempunyai laman (website). tetapi umumnya tidak didukung oleh dana, fasilitas, dan sumber daya aparatur yang memadai. sehingga banyak laman pemda yang tidak pernah diperbaharui informasinya, isinya hanya sejarah dan struktur organisasi, serta sulit dibuka untuk link informasi yang memuat dokumen-dokumen tersebut di atas. oleh karena itu, tata kelola dan pembangunan daerah di indonesia masih jauh dari harapan. hal itu terlihat dari hasil penelitian indonesia governance index (igi) tahun 2012 terhadap semua provinsi di indonesia yang dilakukan (gismar, dkk, 2013a). nilainya masih jauh dari harapan, yaitu paling tinggi terhadap tata kelola dan pembangunan daerah hanya pada angka 6,8, yakni di yogyakarta. sedangkan paling rendah sampai di angka 4,45, yakni maluku utara. padahaluntuk nilai yang bagus harus 7,8 ke atas. dalam memberikan peringkat, igi melihat aspek pemerintahan, birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi. banyak hal yang dilihat, yakni prinsip partisipasi, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas, dan keadilan. pada risettahun 2013,igi memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan daerah hanya 5,7 (dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan 10 sebagai kriteria sangat baik). pencapaian ini masih jauh dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah yang memeroleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. hasil di seluruh provinsi menunjukkan bahwa rata-rata kinerja transparansi pemerintah masuk dalam kategori cenderung buruk (4,58).sementara untuk birokrasi sedikit lebih baik namun masih dalam kategori sedang(5,04). hal ini mencerminkan masih sulitnya akses terhadap informasi publik (dokumen-dokumen pemerintah yang tidak tergolong rahasia) di sebagian besar pemerintah provinsi di indonesia.melalui uji akses data igi, ditemukan proses yang berbelit di 19 provinsi, sementara di dua provinsi akses tersebut tidak didapatkan (gismar p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 67tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung dkk, 2013b). di provinsi yang ada aksesnya pun terkadang masih memerlukan pendekatan personal ataupun lobi kepada pejabat dinas atau satuan kerja perangkat daerah (skpd) tertentu. tipe dokumen yang paling sulit diakses publik adalah dokumen keuangan dan lkpj kepala daerah (gubernur) karena dokumen yang diminta masih dilihat sebagai dokumen rahasia. lebih parah akses terhadap penggunaan dana aspirasi anggota dprd dan dokumen di dprd. akses di 16 provinsi sulit didapatkan dan akses di 13 provinsi sangat sulit. temuan ini menggambarkan masih belum dilaksanakannya uu no. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. temuan-temuan rendahnya transparansi tersebut juga terdapat di salah satu kabupaten di provinsi lampung yaitu kabupaten pesisir barat, terutama di sebagian besar skpd. temuan tersebut didukung dengan hasil riset indonesia governance index 2014 bahwa pesisir barat menempati urutan ke-22 dari 34 kabupaten yang menjadi obyek riset, dengan nilai indeks 4,64 yang artinya tata kelola pemerintahan di pesisir barat cenderung buruk, dengan indeks transparansi pada arena birokrasi dengan nilai 1 (1 untuk sangat tertutup dan 5 untuk sangat transparan) (gismar dkk, 2014). oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana perkembangan tingkat transparansi tata kelola birokrasi pemerintahan di pesisir barat pada tahun berikutnya. dengan fokus mengukur transparansi arena birokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka perlu membandingkan dengan kabupaten pesawaran, sebagai sesama daerah otonom baru di provinsi lampung. di dalam penelitian ini pertanyaan yang akan diajukan adalah bagaimana transparansi birokrasi pemerintah kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran dalam penyelenggeraan pemerintahan? untuk itu di dalam kajian ini penulis akan mendeskripsikan transparansi arena birokrasi kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran dalam penyelenggeraan pemerintahan. kerangka teori 2.1 transparansi dan good governance transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh yang saling koeksitensi. good governance disebut sebagai pemerintahan yang baik jika memenuhi prinsip transparan, sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk mencapai good governance. transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. bahkan dengan adanya transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 68 hertanto kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang. beberapa konsep transparansi yang ditawarkan oleh beberapa literatur adalah sebagai berikut: a. transparansi adalah nilai tata kelola inti dalam kegiatan pengaturan pemerintahsebagai salah satu konteks utama di mana transparansi harus terjamin. ada tuntutan publik yang kuat bagi transparansi yang lebih besar, yang secara substansial terkait dengan pesatnya jumlah dan pengaruh lsm/kelompok masyarakat sipil, serta populasi yang berpendidikan dan beragam (oecd, 2004: 66). b. transparansi yaitu aktivitas yang dapat diketahui oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha. good governance tidak membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup (tjokromidjoyo dalam thahir, 2003 :123). c. transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberian informasi yang selalu relevan untuk melakukan evaluasi lembaga (baur &grimes, 2012). d. transparansi merupakan keterbukaan, di mana jalannya pemerintahan seharusnya dapat diprediksi (should be predictabel) dan diselenggarakan dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak sewenang-wenang (hood dalam baur& grimes, 2012: 14). kemudian smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi: a. standard procedural requirements (persayaratan standar prosedural), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat. b. consultation processes (proses konsultasi), adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat. c. appeal rights (permohonan izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam website lembaga pemerintahan. stephan g. grimmelikhuijsen (2012) menyatakan bahwa pemerintah di seluruh dunia meningkatkan transparansi mereka dengan menyediakan segala macam informasi tentang kegiatan dan kinerja pemerintah di situs laman publik (stephen & meijer, 2012). berbagai pandangan tentang definisi good governance dan transparansi diatas, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (good governance) berarti pemerintahan tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 69tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung 2.2 komitmen transparansi dalam uu pemda terbaru sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10 peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah di indonesia. dimulai dari desentralisatie wet 1903 yang merupakan produk kolonial belanda.kemudian pasca kemerdekaan lahirlah uu no. 1 tahun 1945; pada masa orde baru terbit uu no. 5 tahun 1974 yang cenderung sentralistis, kemudian pascareformasi lahir uu no. 22 tahun 1999 yang cenderung desentralistis, selanjutnya pada masa demokratisasi lahir uu no.32 tahun 2004 yang menggabungkan sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah uu no.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas pemerintahan. uu pemerintahan daerah yang terbaru ini memang memilki banyak sekali perubahan diantaranya penghapusan dan perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala daerah dan anggota dprd serta adanya penambahan bab dalam uu ini. penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan bab pelayanan publik. secara eksplisit bab tersebut menjelaskan tentang mekanisme pelayanan publik yang baik. penambahan bab tersebut membuktikan bahwa uu pemerintahan daerah yang baru ini berkomitmen untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat daerah dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan publik di atas salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi). keterbukaan di dalam uu ini didefinisikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini membuktikan bahwa uu pemerintahan yang baru menaruh perhatian besar pada asas transparansi. kemudian asas keterbukaan juga tertuang dalam bab xxii tentang informasi pemerintahan daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi, “pemerintah daerah wajib menyediakan informasi pemerintahan daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan daerah; dan b. informasi keuangan daerah”.kemudian dalam ayat 2 disebutkan bahwa, “informasi pemerintahan daerah dikelola dalam suatu sistem informasi pemerintahan daerah”. tidak hanya sebatas kewajiban informasi tetapi ditegaskan kembali di dalam pasal 393 ayat 2e yang berbunyi bahwa informasi keuangan daerah sebagaimana yang dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat. berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa uu pemerintahan daerah tersebut memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mengutamakan transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2.3 collaborative transparency (transparansi kolaboratif) konsep transparansi merupakan konsep yangpopuler bersamaan dengan pelaksanaan good governance di berbagai negara. konsep transparansi ini merupakan konsep yang lahir dari landasan filosofi bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 70 hertanto yang memilki keterbukaan informasi publik. gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip dalam kongres di washington (2010), yang menyebutkan bahwa “pemerintahan yang populer tanpa ada informasi yang populer adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur kebodohan seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai diri dengan kekuasaan informasi.” artinya setiap warga negara harus memilki hasrat dan keinginan untuk mengetahui informasi publik. keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi. generasi yang pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijakan (righ to know) dimana setiap warga negara memilki hak untuk mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. generasi yang kedua adalah targeted transparancypolicy yaitu merupakan perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak hanya memperhatikan hak publik untuk mendapatkan informasi publik tapi lebih berorientasi pada capaian atau target dari transparansi itu sendiri. generasi yang ketiga adalah collaborative transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi yang memadukan generasi pertama dan kedua dengan transformasi komputer jaringan internet agar publik bisa mengetahui informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien (fung, graham, weil, 2007) generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk merealisasikan transparansi dalam uu pemerintahan yang terbaru. uu ini mengutamakan asas keterbukaan informasi melali media tertentu. alternatif media yang cukup efektif saat ini adalah menggunakan jaringan internet. oleh karena itu model collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang terwujudnya transparansi di indonesia. konsep transparansi yang dibangun dalam uu ini sejalan dengan konsep collaborative transparency, namun masih harus mencari media yang tepat untuk mewujudkan transparansi itu sendiri. sebagian besar pemda di indoneisa sudah memiliki website sebagai sumber informasi namun website tersebut hanya dibuat tanpa dimuat dengan informasi update. fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di indonesia. artinya hampir sebagian besar kabupaten/kota di indonesia hanya setengah hati untuk menerapkan transparansi. permasalahan tersebut harus menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan uu pemda terbaru ini. terutama pada pembuatan peraturan pemerintah sebagai turunan dari uu ini, legislator harus memperhatikan kemungkinan terulang kembali permasalahan klasik dari website pemerintah daerah yang bisa dikatakan mati. padahal melalui website tersebut pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat lebih efektif dan efisien. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 71tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan tipe penelitian kuantitatif deskripstif. penelitian ini juga bersifat komparatif (comparative research), sebab metode penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbandingan transparansi antara arena birokrasi kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran yang dilihat dari satu indikator, yaitu hasil uji akses. penelitan ini dilaksanakan di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran. alasan logis memilih kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran dikarenakan kedua daerah merupakan daerah otonomi baru yang mengalami pemekaran dengan waktu yang relatif sama. kemudian fokus penelitian di dalam penelitian ini adalah perbandingan transparansi antara arena birokrasi kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran yang dilihat dari satu indikator, yaitu hasil uji akses. penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif. singarimbun dan effendi (2008: 263), menjelaskan bahwa analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. hasil dan pembahasan merujuk kepadahasil kajian igi tahun 2012 bahwa tata kelola pemerintahan daerah di provinsi lampung masih belum baik. rata-rata arena pemerintahan hanya mencapai indeks 5.76 dan birokrasi 6.51, dengan indeks 1 sebagai kriteria sangat buruk dan 10 sangat baik. pada arena pemerintah, indeks terendah pada aspek keadilan (3.05) dan tertinggi aspek efisensi (7.78). sedangkan, pada arena birokrasi indeks terendah pada aspek partisipasi (4.42) dan tertinggi pada aspek efisiensi (lihat tabel 1). artinya tata kelola pemerintahan provinsi lampung sudah efisien tetapi masih belum cukup adil dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. tabel 1. indeks tata kelola pemerintahan indonesia provinsi lampung tahun 2012 no. aspek/variabel goverment birokrasi 1. partisipasi 5.57 4.42 2. keadilan 3.05 7.08 3. akuntabilitas 6.01 6.62 4. transparansi 4.49 7.27 5. efisiensi 7.89 8.43 6. efektivitas 7.56 5.23 rata-rata 5.76 6.51 sumber: igi, 2012. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 72 hertanto sejalan dengan itu pada tahun berikutnya (2013), indonesia governance index memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan daerah hanya 5,7. pencapaian ini masih jauh dari hasil yang diharapkan, bahkan banyak daerah yang memeroleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. hasil di seluruh provinsi menunjukkan bahwa rata-rata kinerja transparansi pemerintah masuk dalam kategori cenderung buruk (4,58) sementara untuk birokrasi sedikit lebih baik namun masih dalam kategori sedang(5,04). hal ini mencerminkan masih sulitnya akses terhadap informasi publik (dokumen-dokumen pemerintah yang tidak tergolong rahasia) di sebagian besar provinsi di indonesia. melalui uji akses data igi, ditemukan proses yang berbelit di 19 provinsi, sementara di dua provinsi akses tersebut tidak didapatkan. di provinsi yang ada aksesnya pun terkadang masih memerlukan pendekatan personal ataupun lobi kepada pejabat dinas atau skpd tertentu. tipe dokumen yang paling sulit diakses publik adalah dokumen keuangan dan lkpj gubernur karena dokumen yang diminta masih dilihat sebagai dokumen rahasia. juga akses terhadap penggunaan dana aspirasi anggota dprd dan dokumen di dprd. akses di 16 provinsi sukar didapatkan dan akses di 13 provinsi sangat sulit. temuan ini menggambarkan masih belum dilaksanakannya uu no. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. temuan-temuan rendahnya transparansi tersebut juga terdapat di kabupaten pesisir barat, terutama di sebagian besar satuan kerja perangkat daerah (skpd). temuan tersebut didukung dengan hasil riset indonesia governance index 2014 bahwa pesisir barat menempati urutan ke-22 dari 34 kabupaten yang menjadi obyek riset, dengan nilai indeks 4,64 yang artinya tata kelola pemerintahan di pesisir barat cenderung buruk, dengan indeks transparansi pada arena birokrasi dengan nilai 1 (1 untuk sangat tertutup dan 5 untuk sangat transparan) (gismar dkk, 2014).fenomena tersebut dilihat dari hasil menguji transparansi yang disebut sebagai “uji akses”. instrumen uji akses ini juga digunakan untuk mengukur transparansi di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran. melalui instrumen uji akses tersebut dapat diketahui tingkat transparansi setiap pemerintah daerah. meskipun tidak mampu menggambarkan secara konkrit transparansi di semua level pemerintahan, namun instrumen uji akses dapat memberikan relativitas transparansi tata kelola pemerintahan suatu daerah. uji akses dokumen di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranmerupakan sebuah kegiatan yang tidak mudah. hal ini disebabkan sebagian besar dokumen yang terdapat dalam uji akses adalah dokumen-dokumen yang sangat sensitif menurut persepsi pelaku pemerintahan. berdasarkan uji akses yang telah dilakukan, secara umum dapat diketahui bahwa tata kelola pemerintahan di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawarancenderung tertutup. meskipun transparansi di kabupaten pesawaran lebih baik dibandingkan dengan kabupaten pesisir barat. fakta tersebut dibuktikan dengan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 73tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung nilai transparansi kabupaten pesawaranyang lebih baik daripada kabupaten pesisir barat, yaitu memiliki rata-rata nilai 1,36 yang berarti tertutup namun mendekati cenderung tertutup; sedangkan kabupaten pesisir barat memilki nilai 0,63 yang berarti sangat tertutup. tabel 2. uji akses dokumen-dokumen publik di beberapa satuan kerja perangkat daerah (skpd) pada dua daerah otonom baru di provinsi lampung. no. skpd kab. pesisir barat kab. pesawaran 1. bappeda 1 3 2. apbd 2014 0 0 3. dinas pendidikan (informasi sdm) 0 1 4. dinas pendidikan (pelayanan) 1 1 5. disdukcapil (pelayanan ktp & akta) 1 1 6. keuangan pada 3 skpd 1 0 7. potensi penerimaan keuangan pada 3 skpd 0 3 8. badan penanaman modal daerah 1 1 sumber: penelitian, 2015 secara detail, uji akses kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaransebenarnya cukup variatif di masing-masing skpd. hal tersebut terlihat dari hasil uji akses rencana kerja pembangunan daerah (rkpd), kebijakan umum anggaran (kua), nota keuangan, dan prioritas dan plafon anggaran sementara (ppas) di badan perencanaan dan pembangunan daerah (bappeda), di mana kabupaten pesisir barat mendapatkan nilai 1, berarti akses untuk memeroleh dokumen tersebut memang ada namun harus melalui berbagai prosedur (lihat tabel 2). sedangkan uji akses di bappeda kabupaten pesawaranmendapatkan nilai 3. peneliti memberikan nilai 3 pada uji akses ini karena bappeda memberikan kemudahan mendapatkan dokumen rkpd, kua dan ppas tahun 2014. namun, peneliti tidak mendapatkan nota keuangan. peneliti diperbolehkan untuk menggandakan dokumendokumen yang diberikan. uji akses untuk dokumen rkpd, kua, nota keuangan dan ppas kabupaten pesawaranlebih transparan dibandingkan dengan kabupaten pesisir barat. kemudian pada uji akses kelengkapan dokumen apbd yaitu berupa dokumen apbd penetapan, apbd perubahan dan apbd realisasi 2014 kedua kabupaten sama-sama tidak memberikan akses sedikitpun terhadap dokumen apbd. hal tersebut disebabkan karena para pegawai dan pejabat pemerintahan menganggap bahwa apbd merupakan dokumen rahasia negara yang tidak boleh diakses oleh pihak manapun, tidak terkecuali journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 74 hertanto untuk kepentingan penelitian. padahal, apbd merupakan bagian dari data publik yang bisa diakses oleh publik bahkan harus dipublikasi kepada publik karena apbd merupakan informasi publik seperti yang disebutkan dalam uu no. 14 tahun 2004 tentang keterbukaan informasi publik pada pasal 9 ayat 2 yang menyatakan bahwa informasi publik meliputi informasi yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait, informasi mengenai laporan keuangan; dan/ atau kemudian yang terakhir informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. selanjutnya hasil uji akses terhadap informasi tentang pengelolaan sdm di bidang pendidikan di dinas pendidikan (disdik), di mana kabupaten pesisir barat mendapatkan nilai 0, berarti tidak ada akses untuk memeroleh dokumen tersebut, sedangkan uji akses di disdik kabupaten pesawaranmendapatkan nilai 1. artinya memang ada akses namun harus melalui berbagai prosedur, atau melalui pendekatan personalkepada pihak pekerja di dinas tersebut. uji akses sop (standar operasional prosedur), payung hukum, dan mekanisme pengelolaan sdm pendidikan pada dinas pendidikan, di kabupaten pesawaranlebih baik dibandingkan dengan kabupaten pesisir barat. kemudian, hasil uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur pengurusan pelayanan pendidikan di dinas pendidikan (disdik), di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranmendapatkan nilai 1. artinya ada akses terhadap dokumen tersebut namun harus melalui berbagai prosedur. uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur pengurusan pelayanan pendidikan pada dinas pendidikan, kabupaten pesawarandan kabupaten pesisir barat harus lebih terbuka, mengingat hal tersebut berkaitan erat dengan pelayanan pendidikan di kedua kabupaten. sama seperti uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur pengurusan pelayanan pendidikan di dinas pendidikan (disdik), uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur kesehatan di dinas kesehatan kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranjuga mendapatkan nilai 1. artinya samayaitu ada akses terhadap dokumen tersebut namun harus melalui berbagai prosedur. uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur kesehatan di dinas kesehatan, kabupaten pesawaran dan kabupaten pesisir baratsemestinya harus lebih terbuka, mengingat hal tersebut berakitan erat dengan pelayanan kesehatan warga di kedua kabupaten tersebut. terutama bagi warga yang kurang mampu secara ekonomi. uji akses terhadap informasi biaya dan prosedur pengurusan pelayanan publik kependudukan catatan sipil di disdukcapil, kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranjuga mendapatkan nilai 1. artinya ada akses terhadap dokumen tersebut namun harus melalui berbagai prosedur rumit. transparansi dalam sektor ini pemerintah daerah harus terbuka, karena pelayanan pembuatan ktp dan akta kelahiran bisa disebut sebagai layanan yang paling sering dibutuhkan oleh masyarakat. hampir setiap hari p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 75tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung disdukcapil sangat penuh oleh masyarakat yang membuat ktp dan akta kelahiran. oleh karena itu, transparansi dalam bidang ini sangat dibutuhkan warga masyarakat. selanjutnya hasil uji akses dokumen keuangan skpd yaitu berupa dokumen rka skpd, rka ppkd, ringkasan dpa ppkd dan ringkasan dpa ppkd di dinas pendidikan, dinas kesehatan, bappeda dan disdukcapil, diperoleh nilai kabupaten pesisir barat mendapatkan nilai 1, berarti ada akses namun harus melalui berbagai prosedur, sedangkan uji akses di kabupaten pesawaranmendapatkan nilai 0. artinya tidak ada akses untuk memperoleh dokumen tersebut. pesawaranmendapatkan nilai 0 karena sebagian besar pegawai dan pejabat pemda menganggap itu adalah dokumen “rahasia” setiap skpd. uji akses dokumen keuangan skpd, kabupaten pesisir barat lebih baik dibandingkan dengan kabupaten pringsewu. adapun,hasil uji akses terhadap potensi penerimaan daerah dan rincian realisasi penerimaan keuangan kabupaten/kota di kabupaten pesisir barat mendapatkan nilai 0, berarti tidak akses sama sekali untuk mendapatkan dokumen tersebut. sedangkan di kabupaten pesawaranmendapatkan nilai 3. artinya sapapun dapat dengan mudah memperoleh akses lengkap dokumen tersebut. uji akses terhadap potensi penerimaan daerah dan rincian realisasi penerimaan keuangan kabupaten/kota, di kabupaten pesawaran sangat transparan dibandingkan dengan kabupaten pesisir barat yang sangat tertutup. sedangkan, uji akses yang terakhir adalah uji akses pada badan penanaman modal daerah (bpmd). uji akses di bpmd untuk mengetahui akses terhadap informasi biaya dan prosedur pengurusan perizinan usaha dan akses terhadap regulasi tentang investasi daerah. dokumen yang diuji meliputi informasi biaya sop perizinan usaha dan regulasi investasi daerah berupa peraturan daerah, peraturan bupati dan keputusan bupati. untuk akses ini, kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranmemperoleh nilai yang sama yaitu 1. artinya, ada akses terhadap dokumen tersebut harus melalui prosedur tertentu. harusnya pemerintah sangat terbuka dalam hal ini, karena transparansi pada bidang ini sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya investasi daerah. jika pemerintah tertutup maka investor tidak akan percaya dan takut untuk investasi. oleh karena itu, pemerintah mestinya mengutamakan transparansi pada bidang investasi. secara umum, pemerintah daerah kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranbelum bisa memenuhi berbagai indikator transparansi. smith (2004: 66) mengemukakan bahwa proses transparansi meliputi: pertama, standard procedural requirements (persayaratan standar prosedur), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat. kedua, consultation processes(proses konsultasi), berarti adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat. ketiga, appeal rights(permohonan izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 76 hertanto tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam laman (website) lembaga pemerintahan. berdasarkan hasil uji akses, sebagian besar bahkan nyaris semua skpd di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranmasih memilki uji akses yang melalui prosedur tertentu. nilai paling tinggi yang diraih oleh beberapa skpd di kabupaten pesawaranadalah sebesar nilai 3. hal ini menunjukkan bahwa transparansi di kabupaten pesisir barat dan pesawaranmasih jauh dari harapan. terlebih lagi jika dalam konteks dunia keninian setiap pemda harus memberikan publikasi melalui internet atau website. hal tersebut masih perlu direalisasikan. seperti disebutkan stephan g. grimmelikhuijsen dalam jurnal the effects of transparency on the perceived trustworthiness of a government organization, bahwa pemerintah di seluruh dunia meningkatkan transparansi mereka dengan memberikan segala macam informasi tentang kegiatan dan kinerja pemerintah di situs laman publik. keterbukaan informasi publik juga dapat menciptakan kebijakan yang sesuai dengan preferensi publik sehingga dapat menciptakan pembangunan yang tepat sasaran. informasi publik milik masyarakat dan urusan publik harus dilakukan di depan umum (gant dalam karina, 203). dari beberapa pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang transparan. seluruh informasi dan urusan publik harus diselesaikan dalam ranah publik. kemudian ditambahkan oleh amartya sen (2000) menyatakan bahwa pembangunan dapat dilihat sebagai proses untuk memperluas kebebasan nyata yang dinikmati orang.keterlibatan publik di dalam pembangunan sangat bertumpu pada transparansi pemerintah. transaparansi pemerintah daerah kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaran masih cenderung buruk. pemerintah kedua kabupaten tersebut harus menjamin bahwa publik bisa mendapatkan informasi dengan mudah. karena transparansi tidak hanya menciptakan sebuah keterbukaan informasi saja melainkan juga berpengaruh dalam pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. seperti yang dijelaskan oleh gurin (2014) bahwa,pemerintah terbuka dengan data terbuka merupakan tuas baru untuk transparansi, keterlibatan warga negara, dan pertumbuhan ekonomi. pemerintah juga mengakui bahwa data terbuka sebagai alat untuk pembangunan ekonomi. data terbuka dapat mendorong pembangunan ekonomi, meningkatkan kepercayaan pada pemerintah, dan memerangi korupsi. karena itu, transparansi menjadi salah satu aspek penting penentu pembangunan suatu daerah. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 77tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung penutup 5.1 kesimpulan secara umum, pemerintah daerah kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranbelum bisa memenuhi berbagai indikator transparansi, yang meliputi: pertama, standard procedural requirements (persayaratan standar prosedur), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat. kedua, consultation processes (proses konsultasi), berarti adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat. ketiga, appeal rights (permohonan izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi. tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam laman (website) lembaga pemerintahan. berdasarkan hasil uji akses, sebagian besar skpd di kabupaten pesisir barat dan kabupaten pesawaranmasih memilki uji akses yang melalui prosedur tertentu. nilai paling tinggi yang diraih oleh beberapa skpd di kabupaten pesawaranadalah sebesar nilai 3. hal ini menunjukkan bahwa transparansi di kabupaten pesisir barat dan pesawaranmasih jauh dari harapan. terlebih lagi jika dalam konteks dunia keninian setiap pemda harus memberikan publikasi melalui internet atau website. hal tersebut masih perlu direalisasikan. pertama, kabupaten pesawaran memiliki transparansi yang relatif lebih baik daripada kabupaten pesisir barat, yaitu memiliki rata-rata nilai 1,36 yang berarti tertutup namun cenderung mendekati tertutup. sedangkan kabupaten pesisir barat memiliki nilai 0,63 yang berarti sangat tertutup. kedua, transparansi untuk dokumen apbd di kedua kabupaten sangat tertutup dengan nilai uji akses 0 yang berarti sama sekali tidak ada akses. ketiga, transparansi layanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan layanan catatan sipil masih cenderung tertutup. perbedaan dari kedua daerah otonom tersebut adalah kabupaten pesawaran lebih dekat kepada pusat ibukota provinsi lampung dan berbatasan dengan kota bandar lampung. sedangkan, kabupaten pesisir barat yang berjarak dari bandar lampung sekitar 250 km masih lebih jauh dalam rentang kendali pengawasan dan pengendalian pemerintahan provinsi. dengan demikian, tata kelola pemerintahan di kedua daerah otonom baru tersebut masih belum transparan, sesuai dengan tuntutan pelaksanaan aturan keterbukaan informasi publik. keadilan, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas merupakan prasyarat bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (kkn). oleh karena itu, terbentuknya pemerintahan daerah yang baik, bersih, dan bertanggung jawab merupakan unsur penting bagi konsolidasi demokrasi di daerah. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 78 hertanto 5.2 saran kabupaten pesawaran dan kabupaten pesisir barat sebaiknya lebih terbuka dalam pengelolaan pemerintahan dengan memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk mengakses berbagai informasi publik melalui berbagai media, seperti papan pengumuman bahkan media elektornik yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi seperti melalui website dan sebagainya. juga perlu lebih terbuka dalam pengelolaan dana publik terutama yang berkaitan dengan apbd, baik itu apbd perencanaan, perubahan dan realisasi setiap tahunnya. kabupaten pesawaran dan kabupaten pesisir barat sebaiknya lebih terbuka dalam pelayanan yang bersentuhan langsung kepada masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan dan layanan sipil sehingga masyarakat bisa mengetahui secara jelas alur pelayanan atau biaya pelayanan jika memang ada.kabupaten pesawaran dan kabupaten pesisir barat sebaiknya lebih terbuka dalam pemberian data potensi investasi daerah, agar berbagai stakeholder yang ingin melakukan investasi dapat dengan mudah mengetahui alur untuk melakukan investasi, sehingga kepercayaan para investor dapat dengan mudah didapat dan investasi di daerah pun semakin berkembang. referensi baur, monika & grimes, marcia. 2012. what is government transparency? ; new measures and relevance for quality government. goteburg : university of gothenburg. fung, archon dkk. 2007. full disclosure : the politics, perils and promise of targeted transparency. new york : cambridge university press. gismar, abdul malik (ed.) 2013a. menuju masyarakat yang cerdas dan pemerintahan yang responsif(laporan eksklusif indonesia governance index 2012). jakarta: kemitraan bagi pembaruan tata pemerintahan(the partnership for governance reform). _____________________, 2013b. indonesia governance index 2012: tantangan tata kelola pemerintahan di 33 provinsi. jakarta: astana communication. ______________________, 2014. menata indonesia dari daerah: laporan eksekutif indonesia governance index 2014. jakarta: astana communication. grimmelikhuijsen, stephan g. & j. meijer, albert. 2012. the effects of transparency on them perceived trustworthiness of a governmen organization evidence from an online experiment. journal of public administration research and theory advance access published november 5, 2012. gurin, joel. 2014. open governments, open data: a new lever for transparency, citizen engagement, and economic growth. the sais review of international affairs, volume 34 no. 1 halaman 71-82. baltimore : johns hopkins university press. hertanto, 2009. “local budget index: studi kasus di kota bandar lampung”, jakarta: maarif institute. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 79tata kelola pemerintahan daerah otonom baru pada kabupaten pesisir barat, provinsi lampung karina, loina lalolo. 2003. indikator dan alat ukur prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. jakarta: sekretariat good public governance, bappenas. organization for economic cooperation and development. (2004). oecd principles of corporate governance 2004. the oecd paris. sen, amartya. 2000. development as freedom. new york: alfred a. knoff, inc. singarimbun, masri dan sofian effendi. 2008. metode penelitian survey. jakarta: lp3es. smith, d., & langfield-smith, k. 2004. structural equation modeling in management accounting research: critical analysis and opportunity. journal of accounting literature, 23: 49-89. thahir, arifin. 2011. kebijakan publik dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah. jakarta : pustaka indonesia press. perundang-undangan ri, undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) 95 journal of government and civil society vol. 1, no. 1, april 2017, pp. 95-109 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x citation : akbar, idil. 2017. “khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi)”. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, 95-109. khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) idil akbar1) 1)departemen ilmu pemerintahan universitas padjadjaran, indonesia email : idil.akbar@gmail.com abstrak konsep khilafah menjadi salah satu bahasan yang cukup mencuat belakangan ini, tak terkecuali di indonesia. namun bagaimanakah sebetulnya konsep ini terutama yang diberlakukan di negara islam. artikel ini menampilkan perbandingan konsep berbasis pemerintahan islam dengan dua tradisi yang berbeda, yakni kerajaan arab saudi dan republik islam iran. tujuan dari tulisan ini adalah menunjukkan perbedaan dua konsep tersebut sekaligus mendiskusikan bagaimana implementasi yang dilakukan di dua negara yang menggunakan islam sebagai basis kenegaraan. secara konsep arab saudi dan iran memiliki perbedaan di dalam penerapan sistem kenegaraan dan pemerintahannya. arab saudi dengan konsep kerajaan sementara iran dengan konsep republik. namun persamaan diantara keduanya adalah bahwa kerajaan arab saudi maupun republik islam iran bukanlah negara yang secara ideal mencerminkan negara khilafah sebagaimana yang ditunjukkan dalam sistem bernegara era khulafaur rasyidin. kata kunci: khilafah; imamah, arab saudi, iran, negara dan pemerintahan islam abstract khilafah concept became one of the discussions that stick out lately, not least in indonesia. but how is this concept, especially that applied in the islamic state? this article presents a comparison of islamic governmentbased concepts with two different traditions, namely the kingdom of saudi arabia and the islamic republic of iran. the purpose of this paper is to show the differences between the two concepts as well as to discuss how the implementation carried out in the two countries that use islam as the basis of the state. conceptually saudi arabia and iran have differences in the application of the state system and its government. saudi arabia with the monarchy concept and iran with the concept of republic. but the similarity between the two is that the kingdom of saudi arabia and the islamic republic of iran is not a state that ideally reflects the khilafah state as established in the state system of the era of khulafaur rashidin. keyword: : khilafah; imamah, saudi arabia, iran, state and islamic government pendahuluan dalam banyak pandangan, terutama bagi setiap muslim bahwa islam adalah agama yang kaffah. kaffah yang dalam definisi sederhana berarti menyeluruh atau meliputi semua hal tentang kehidupan manusia. dalam hal ini islam berarti agama yang meenyediakan berbagai aturan hidup bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. islam dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai konsep semata, yang berhenti pada tataran pemikiran selayaknya agama sebagai penjaga moralitas dan etika (akherat), namun juga memiliki keluasan kontekstual, termasuk meliputi urusan keduniawian. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 96 idil akbar dengan kata lain, nilai islam memberikan koridor yang jelas atas bagaimana kehidupan ini seharusnya dijalankan. nilai islam memiliki idealisme, mulai dari kamar mandi hingga kamar tidur, dari tidur hingga buang air, dari bersin hingga sakit keras, dari kesedihan hingga kebahagiaan, dari hablumminannas hingga hablumminallah. boleh jadi dalam konteks kekinian, pernyataan di atas telah menjadi perdebatan. berbagai pemikiran dihadirkan untuk mengungkapkan keyakinan bahwa islam bukanlah agama an sich, statis yang hanya dipahami secara tekstual. islam mesti dipahami kontekstual yang kemudian bermuara pada perlunya mereformulasi nilai-nilai islam yang ada. pemikiran ini kemudian berdinamika secara kontekstual. mulai dari ali abd al raziq dengan konsep sekularisasi nilai islam hingga liberalisasi islam ala nurcholis madjid. namun, di beberapa negara saat ini. nilai islam yang dipertunjukkan oleh rasulullah dan di era khulafaurrasyidin, di era tabi’in dan tabi’it tabi’in kembali menggeliat dan diimplementasikan. kecenderungan ini pun cukup menguat setelah dalam beberapa hal menunjukkan keberhasilan yang signifikan. kejayaan islam terutama di era dinasti abbasiyah yang kentara dengan perluasan ilmu pengetahuan serta kenegaraan, menjadi refleksi yang nampaknya ingin kembali dicapai. periode abbasiyah merupakan periode keemasan umat islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. sejalan dengan berkembangnya pemerintahan islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan islam ke belahan dunia barat dan timur, dari daratan spanyol (eropa barat) sampai perbatasan cina (di asia timur), maka terbentanglah peradaban islam dari granada di spanyol sampai ke new delhi di india, yang dirintis sejak masa khulafa al-rasyidin, khalifah umayyah, dan khalifah abbasiyah(mubarak, 2000). perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat islam pun makin banyak dan kompleks. keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). karena itu masa ini juga dikenal merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum islam) dari berbagai madzhab(usman, 2002). fakta ini kemudian menjadi pemicu penting bagi negara-negara islam kontemporer untuk menerapkan atau mengimplementasikan nilai islam secara “kaffah”. contoh dari kondisi ini adalah negara islam iran. namun di sisi lain, persoalan implementasi nilai islam juga menghadapi kendala yang sangat krusial, disebabkan oleh adanya sisi benturan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 97khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) kepentingan yang kuat, terutama kaum kapitalis dan imperialis barat. pada umumnya berasumsi bahwa implementasi nilai islam dapat mengancam eksistensi kepentingan barat. sehingga semaksimal mungkin mereka berupaya mempertahankan kepentingan tersebut. contoh dari ini adalah afganistan yang hingga sekarang masih berkecamuk dalam peperangan. salah satu nilai islam yang penting adalah konsepsi kenegaraan berdasarkankhilafah al islamiyah. khilafah (the caliphate) adalah sistem politik dari ideologi islam yang mewadahi aturan hukum, pemerintah representatif, akuntabilitas masyarakat melalui mahkamah independen dan prinsip konsultasi representatif. ia adalah pemerintahan yang dibangun di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, jender atau kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif terhadap kelompok religius atau etnis(hizb ut-tahrir, 2005). sistem kekhalifaan yang diyakini bertujuan untuk mengatasi situasi yang memburuk secara cepat ini, terdapat kebutuhan untuk perubahan transformasional dari rezim-rezim dan sistem-sistem yang sedang menguasai tanah-tanah muslim dan pengakhiran penjajahan asing terhadap teritori muslim. sudah tidak dapat diterima hanya sekedar melihat beberapa pergantian pemimpin; atau untuk diadakannya pengulangan prosesproses pemilihan korup, karena track record-nya telah menghasilkan berbagai masalah yang kita saksikan langsung itu. dengan demikian perlu adanya perubahan transformasional yang dilakukan melalui pendiriankembali sistem islam – khilafah (the caliphate) – sistem yang akuntabel, representatif, berpandangan ke depan dengan kesuksesan sejarah tak tertandingi(wibowo, 2010). mereka yang percaya sistem islam akan menjadi langkah mundur ke era ‘taliban’ tidak bisa lagi secara kredibel membuat klaim demikian. karena telah semakin terang bahwa satu-satunya sistem yang mengandung semua bahan inti yang diperlukan untuk kesuksesan dunia muslim, seperti ekonomi yang stabil, eksekutif yang akuntabel dan representatif, sistem yang konsisten dengan nilai-nilai masyarakat, kemerdekaan dari kontrol asing, dan yang memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat daripada perolehan segelintir pihak atau segelintir perusahaan swasta, hanya bisa dijamin oleh sistem islam. selain itu, gambaran penggantungan televisi, penyangkalan hak pendidikan perempuan, ketidakadilan acak pengadilan dan keagamaan adalah karakteristik tradisi lokal, bukan negara islam. khilafah memiliki sejarah menggandeng dan mendorong pembelajaran dan inovasi sains, memberi hak-hak kepada perempuan dan kepemimpinan yang termonitor dan terkontrol oleh pengadilan independen berkekuatan besar(wibowo, 2010). journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 98 idil akbar muslim-muslim sub-benua india, dan selebihnya, bangga dengan asosiasinya dengan islam. saran bahwa negara-negara mereka harus diperintah oleh islam tidaklah jarang dan sangat natural. dalam konteks sub-benua itu, banyak yang kehilangan nyawanya dalam perjuangan penciptaan tanah air muslim dan mereka semua yang membuat visi itu menjadi mungkin dikenang sebagai para pahlawan. mereka mendukung khilafah di hari-hari terakhirnya dan banyak suara-suara mendukung itu menjadi para pendiri pakistan itu sendiri. frustasi terhadap berbagai partai muslim selama ber-dekade tidak pernah terhadap islam, tapi terhadap penyalahgunaan dan pencurangan islam untuk tujuan politis oleh kelompok-kelompok tertentu. juga penting untuk diperhatikan bahwa permintaan untuk negara islam sekeliling dunia muslim semakin tumbuh. berbagai polling dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa hingga 70% di negara-negara seantero dunia muslim menginginkan syariah untuk mengatur bagaimana negaranya dijalankan(worldpublicopinion.org, 2007). ini adalah tren yang tidak tanpa diketahui di antara para komentator dan politisi barat, yang telah menjadikan jelas tujuan mereka untuk mencegah pendiriannya. sebab itu adalah fakta bahwa dari beberapa tren yang mungkin yang pada akhirnya menghentikan misi neo-imperial barat di dunia muslim dan lainnya, kemunculan negara islam adalah termasuk yang paling pasti. secara epistemologis, realitas masyarakat adalah termasuk wilayah kajian empirishistoris, dan ilmu-ilmu sosial empirik yang mencoba membahas realitas sosial empirik mulai berkembang setelah abad 19. pemikiran islam klasik abad tengah belum mampu membedah permasalahan realitas sosial empirik, lantaran masih diwarnai oleh pemikiran hellenisme-spekulatif. ibn maskawaih (932-1030) dan ibn khaldun (1332-1406) merupakan kekecualian, namun mereka tidak berhasil mengubah pola pemikiran yang didominasi oleh fiqh, hadits, dan ilmu kalam yang dianggap sebagai ilmu-ilmu agama yang harus diikuti secara taqlidiyah dan telah diberi corak ortodoksi, dan terdapat pemisahan terhadap ilmu-ilmu selain itu. implikasi daripadanya adalah sulit untuk memisahkan mana aspek normatif yang harus diterima begitu saja, dan mana aspek historis yang tidak lain adalah rekayasa tuntutan sejarah kemanusiaan yang bersifat relatif. untuk mengembalikan keseimbangan antar pemikiran islam klasik yang lebih bermuatan moralitas-normatif dan tuntutan ilmu pengetahuan kontemporer yang bercorak empiris diperlukan kritik epistemologis yang sangat mendasar, sehingga dapat mengetahui mana wilayah normatif dan mana wilayah yang historis. pemahaman wahyu, harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu bagi manusia yang hanya akan berakhir pada hari kiamat. demikian ungkap al-faruqi(al-faruqi, 1982). dalam keragaman islam, terdapat dua aspek bersama-sama, yakni aspek normatif, wahyu, dan aspek historis kekhalifahan. menurut para fuqaha’ aspek normatif adalah aspek ibadah mahdah yang ditekankan pada aspek-aspek legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang apresiatif terhadap dimensi esoteris, yang juga melekat pada religius p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 99khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. sedang aspek historis baik yang berkaitan dengan persoalan sosial, politik, budaya ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan dan sebagainya dianggap termasuk ghairu mahdhah, sehingga dikategorikan fard kifayah. pengkategorian semacam ini berdampak dalam pemikiran demikian besar dalam tatanan pemikiran umat islam, yakni permasalahan yang masuk dalam kategori fard kifayah kurang diminati, lantaran sudah terselesaikan lewat perwakilan beberapa kalangan saja. sedangkan perwakilan itu sendiri tidak jelas. jadi, jika dalam kelompok ibadah mahdhah campur tangan akal pikiran tidak diperbolehkan, maka kelompok fard kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan wacana intelektual yang kritis dan obyektif. sebab, dalam wilayah fard kifayah ini terdapat pergumulan dan wacana epistemologi keislaman yang berat, dan di sini pula membutuhkan pendekatan empiris yang obyektif dan rasional. hal ini bisa dimengerti lantaran terikat dalam konteks waktu, ruang, historis, kultur, dan psikologi tertentu, sehingga tetap memberikan peluang untuk senantiasa didiskusikan(abdullah, 1997). kekhalifahan menurut azyumardi azra(1996), al-mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan. ditambah dengan pernyataanpernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruhpengaruh dari aqidah islam, seperti al-mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. namun juga untuk mengingatkan manusia pada allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan. menurut almawardi(syadzali, 1990), manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. oleh karena banyak binatang misalnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari binatang sejenisnya, sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain. dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 100 idil akbar dalam pandangan al-mawardi agar negara dapat ditegakkan, dari segi politik hal itu mempunyai enam unsur pokok1:pertama, agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral. kedua, penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan.ketiga, keadilan yang menyeluruh.keempat, keamanan yang merata. kelima, kesuburan tanah yang berkesinambungan.keenam, harapan kelangsungan hidup. melalui sendi dasar etik yang demikian diharapkan negara benar-benar mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dan lawan. kemudian dengan kriteria memilih dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang islam kental. dengan memberikan berbagai kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia yang sempurna, seperti menurut al-farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki 12 kualitas luhur(syadzali, 1990): lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan lain-lain. bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara dipikul secara kolektif. dalam pendapat berbeda, terkait konstruksi negara dan syar’ah, pemikiran abdullahi ahmed an na’im perlu ditelaah. abdullahi ahmed an-na‘im dalam karyanya, islam dan negara sekular: menegosiasikan masa depan syariah, menegaskan pemisahan institusi negara dan islam seraya tetap menjaga hubungan antara islam dan politik. bagi an-na‘im, negara harus bersikap netral terhadap agama, karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk agama. bagaimanapun, an-na‘im juga menegaskan negara tetap perlu mengakui fungsi publik islam dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. an-na‘im menyatakan syariah bisa berperan dalam ruang publik tetapi harus melalui public reason (nalar publik) dalam kerangka konstitusionalisme, ham, dan kewarganegaraan(na’im, 2009). konsep syariah an-na‘im yang relativistik dan pluralistik mendorongnya untuk membongkar makna ijtihad, menolak fatwa, melakukan reformasi islami, menganggap syariah yang selama ini dipahami kaum muslimin sebagai syariah tradisional, mereformasi usul fikh, dan menguji syariah terus-menerus dalam nalar publik (public 1 al-mawardi, adab al-dunyâ wa al-dîn, dalam suyuti pulungan, fiqih siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, pt raja grafindo persada, jakarta, 1999, ed.i, cet.4, hal. 227. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 101khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) reason), yang alasan, maksud, dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad(na’im, 2009). imamah secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. ibnu mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. sedangkan secara istilah para pakar hukum islam mendefinisikan dengan beragam. al mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. at tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. ibnu khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat(nafi, 2010). imamah dalam konsep syi’ah terdiri dari tiga hal pengertian.pertama, imamah mengandung arti sebagai pemimpin masyarakat. dalam hal ini syi’ah mempertanyakan siapa pemimpin masyarakat sepeninggal nabi. syi’ah mengatakan bahwa nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya imam alilah yang memegang kendali urusan kaum muslim. kedua, imamah mengandung arti otoritas keagamaan. imamah merupakan spesialisasi dalam islam, suatu spesialisasi yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid. para imam adalah pakar dalam islam. pengetahuan istimewa mereka mengenai islam bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. mereka menerima pengetahuan dengan cara yang tak diketahui. ketiga, imamah mengandung arti wilayah. dalam ajaran syiah, pengertian ini sangat dititikberatkan. masalah wilayah menurut kaum syi’ah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman.kaum syi’ah mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 102 idil akbar dalam konsep imamah, terdapat aturan dasar atas penunjukkan seseorang yang ditunjuk menjadi imam. menurut imam mawardi(nafi, 2010)seseorang yang diperbolehkan menjadi imam harus memenuhi kriteria sebagai berikut:pertama, islam, merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal; kedua, a’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama; ketiga, mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan; keempat, punya kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah. dalam memimpin sebuah negara, seorang imam juga memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai kemakmuran negara dan rakyatnya. para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam, yaitu pertama, menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat islam; kedua, memerangi musuh yang mengancam keamanan negara dan bangsa; ketiga, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib; dan keempat, menjaga keamanan dan keadilan warganya. implementasi khilafah dalam negara islam 4.1 republik islam syi’ah iran revolusi iran tahun 1979 telah mampu merubah wajah iran yang moderat dan sekuler menjadi sebuah negara yang islamis. iran, sebelum revolusi 1979 merupakan negara moderat dan sekuler. namun demikian, kedekatan masyarakat dengan para ulamanya yang memiliki image yang baik serta rentang sejarah yang cukup lama, sehingga hal ini memudahkan terjadinya transformasi “kesadaran dalam beragama”. setelah imam khomeini berhasil menggulingkan tirani reza pahlevi dari kedudukannya sebagai syah iran, ia tidak memaksakan kehendaknya untuk mendirikan dan membentuk sebuah negara islam. namun lebih memilih mengembalikan iran kepada rakyatnya. selanjutnya, merekalah yang memilih iran sebagai negara islam dengan capaian suara 85%. hal ini merupakan buah dari “kesadaran dalam beragama” yang telah lama tertanam dalam masyarakat iran(sumarna). revolusi islam iran tahun 1979 adalah kebangkitan rakyat yang bersumberkan pada ajaran dan nilai-nilai islam. pasca kemenangan revolusi, pemerintah bersama rakyat iran bergotong-royong membangun kembali negerinya di berbagai bidang. islam sebagai agama yang sempurna dan komprehensif, selalu menekankan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan taraf hidup umat. terkait hal ini, islam mengajarkan dua prinsip utama, yaitu: pertama, sikap mandiri dan tidak bergantung pada non-muslim, dan kedua adalah percaya diri dan bertawakkal kepada yang maha kuasa untuk memajukan kehidupan umat muslim.ajaran luhur islam ini p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 103khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) merupakan daya penggerak bagi kaum muslim untuk memutus ketergantungan mereka terhadap pihak lain dan menentang penjajahan atas dirinya. pesan kemandirian inilah yang selalu diperjuangkan revolusi islam. sepanjang 31 tahun sejak kemenangan revolusi islam, republik islam iran berhasil mencapai kemajuan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan militer. yang menarik, gerakan perjuangan revolusi islam iran terlahir dari masjid-masjid dan pusat-pusat keislaman. aksi demo besar yang terjadi di setiap kota untuk menentang rezim shah dan menyuarakan dukungan kepada imam khomeini biasanya dimulai dari masjid. dalam tradisi masyarakat iran, khususnya syi’ah, konsep syariat memiliki pemahaman dan makna yang cukup luas, mencakup permasalahan aqidah. fiqh dan akhlak. fiqh sendiri terbagi pada dua bab besar, pertama, bersifat personal dan kedua, bersifat sosial yang kesemuanya itu harus menjadi kesatuan yang tunggal walaupun secara konseptual berbeda(zhamir, 1995). disisi lain, tugas para ulama bukan saja menyebarkan ataupun mengajarkan hukum-hukum fiqh belaka. mereka juga memiliki tanggung jawab atas terciptanya “kesadaran beragama” bagi awam agar mereka merasa memiliki keterbutuhan atas syariat islam. syi’ah adalah mazhab politik pertama yang lahir dalam islam. mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan utsman, kemudian tampil pada akhir masa ali. pada perkembangan selanjutnya, aliran syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam. pemimpin syi’ah iran menetapkan bahwa seorang imam harus memenuhi kriteria sebagai berikut(nafi, 2010): 1. harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat. 2. seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan. 3. seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syari’at. 4. imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan. menariknya, tidak seperti kelompok syi’ah mayoritas lainnya, syi’ah zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan ali dan fatimah, syi’ah zaidiyah tidak meyakini bahwa nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. terjadinya pengkultusan terhadap diri ali oleh kaum syi’ah sebagaimana journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 104 idil akbar dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat khawarij yang mengkafirkan ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). untuk melihat bagaimana nilai islam diterapikan di iran, penting kiranya merunut pemahaman nilai islam sendiri yang diambil dari pemikiran imam besar iran, imam yatullah al khomeini(raharjo, 2010). imam khomeini merupakan imam besar yang pemikirannya banyak menjadi rujukan bahkan pedoman, terutama setelah revolusi islam iran berlangsung dengan jatuhnya pemerintahan kesultanan syah pahlevi tahun 1979. imam khomeini meletakkan fungsi dan arti fuqaha dalam konsep yang universal, bukan hanya ahli di bidang hukum islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. baginya juga tidak ada pemisahan antara agama dan negara (nonsekularisme). doktrin islam diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis berusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik. baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. republik islam iran pada dasarnya tidak mengaktualisasikan konsep imamah dalam tradisi syi’ah yang konservatif, namun meletakkan konsep imamah dalam konteks modern. artinya, pemimpin islam dan negara tidak mesti berada pada garis keturunan ali bin abi thalib. kepemimpinan islam iran terletak pada kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan barat. yang menarik dari republik islam iran adalah komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan syari’at islam tetapi sekaligus juga berusaha mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. dalam sistem ekonomi, iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam berekonomi. secagai contoh pemerintah iran secara total mengkonversi sistem bank konvensional menjadi sepenuhnya bank islam atau bank syari’ah. pemerintah iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara muslim. dalam sistem negara dan pemerintahan, iran melakukan model ideologization of religion untuk membentuk suatu religious ideology. menurut geiger, ideologi adalah suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar penafsiran, komentar dan indoktrinas. dalam ini, ideologsasi islam menurut ali merad berarti merumusklan kandungan islam dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatatan sosial-politik. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 105khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) pemerintahan iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep wilayah al faqih yang ditawarkan oleh imam khomeini. dalam realitas pemerintahan dan sistem politik iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri. 4.2 kerajaan islam saudi arabia arab saudi merupakan salah satu negara di dunia islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat baitullah di makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum muslim seluruh dunia. apalagi perjalanan islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah arab saudi. sebab, di sanalah rasulullah saw. lahir dan islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. arab saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti king abdul aziz di jeddah dan ummul qura di makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar islam dari seluruh dunia. dari negara ini, muncul gerakan wahabi yang banyak membawa pengaruh di dunia islam. lebih jauh, saudi sering dianggap merupakan representasi negara islam yang berdasarkan al-quran dan sunnah. namun demikian, di sisi lain, saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di dunia islam. sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap khilafah utsmaniyah. sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan keluarga saud. tidak hanya itu, saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer as. kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. secara ekonomi, saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya. salah satu kehebatan negara saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara islam yang menerapkan al-quran dan sunnah. keluarga kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada makkah dan madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum muslim seluruh dunia. saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok islam maupun negeri-negeri islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (khadim al-haramain). penguasa saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok islam yang mengkritisi kekuasaannya. banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. tidak hanya itu, tingkah polah keluarga kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 106 idil akbar hati umat. mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat irak dan palestina hidup menderita akibat tindakan as yang terusmenerus dijadikan saudi sebagai mitra dekat. benarkah saudi merupakan negara islam? jawabannya, “tidak sama sekali!” apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat islam. beberapa bukti antara lain: berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a konstitusi saudi ditulis: pemerintah yang berkuasa di kerajaan saudi adalah kerajaan. dalam sistem kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. rajalah yang berhak membuat hukum. meskipun saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-quran dan sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. sementara itu, dalam islam, bentuk negara adalah khilafah islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan allah swt. dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan as. sementara itu, dalam islam, khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan. dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, arab saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di saudi seperti the british-saudi bank, american-saudi bank, dan arab-national bank. hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang saudi yang dikeluarkan oleh raja (no m/5 1386 h). saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ imf, organisasi internasional bentuk as yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat dunia islam dengan riba. saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu. kerajaan saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. hal ini tampak dari pasal 1 konstitusi saudi yang tertulis: kerajaan saudi adalah negara islam arab yang berdaulat (a sovereign arab islamic state). sementara itu, dalam islam, khilafah adalah negara islam bagi seluruh kaum muslim di dunia, tidak hanya khusus orang arab. tidak mengherankan kalau di saudi seorang muslim yang bukan saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di saudi kalau memiliki partner warga saudi. atas dasar kepentingan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 107khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) nasional, raja fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu muslim di luar saudi (sebagian besar dari india, pakistan, mesir, dan indonesia) dari arab saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. sementara itu, dalam islam, setiap muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari daulah khilafah islamiyah dengan bebas. pada saat yang sama, saudi mengundang ratusan non-muslim dari eropa dan tentara amerika untuk bekerja di saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan as, negara-negara teluk (termasuk saudi) sejak tahun 1990-november 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan as. saat ini, lebih dari 5000 personel militer as tinggal di saudi. apa yang terjadi di saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara islam atau negara yang berdasarkan al-quran dan sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari islam. karenanya, umat islam wajib menyadari kewajiban menegakkan daulah khilafah islamiyah yang sahih, bukan semu. daulah khilafah islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum muslim. inilah kewajiban kita semua saat ini. kesimpulan khilafah (the caliphate), oleh sebagian kalangan merupakan sistem politik dari ideologi islam yang mewadahi aturan hukum, pemerintah representatif, akuntabilitas masyarakat melalui mahkamah independen dan prinsip konsultasi representatif. kekhalifahan merupakan pemerintahan yang dibangun di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, jender atau kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif terhadap kelompok religius atau etnis. sistem kekhalifaan diyakini bertujuan mengatasi situasi yang memburuk, infiltrasi kebutuhan untuk perubahan transformasional dan pengakhiran penjajahan asing terhadap teritori muslim. kekhalifahaan bukan lagi hanya sekedar persoalan pergantian pemimpin atau proses-proses pemilihan yang dianggap korup. karena itu,sebagian kalangan menganggap perlu adanya perubahan transformasional yang dilakukan melalui pendirian kembali sistem kepemimpinan islam berbentuk khilafah (the caliphate). sebab sistem ini bersifat akuntabel, representatif, berpandangan ke depan dengan kesuksesan sejarah tak tertandingi journal of government and civil society, vol. 1, no. 1, april 2017 108 idil akbar beberapa pihak telah mengenali bahwa pemecahan khilafah ottoman adalah hal utama yang menyebabkan dunia timur tengah dan muslim umumnya, untuk turun ke dalam ketidakstabilan selama bagian terbaik abad dua puluh, dan selanjutnya(clifford, 2009). sejak saat itu, dunia muslim telah dinilai tidak stabil. model kepemimpinan di iran pada dasarnya adalah sebuah modifikasi sistem pemerintahan berbasis islam, terutama syi’ah. letak simpulnya adalah negara mencoba untuk menjalankan syariah islam, meski tidak murni dalam bentuk kekhalifahan.sementara arab saudi, lebih cenderung menerapkan sistem syariah semu dengan lebih menyorot pada peran kerajaan sebagai sentrum of interest. arab saudi dalam sistem pemerintahannya diyakini tidak betul-betul menerapkan secara kaffah. meski pada bagian-bagian tertentu (seperti adanya hukum rajam, qisas, dsb) tetap diberlakukan. referensi abdullah, m. a. (1997). etika dan dialog antar agama: perspektif islam, “dian/interfidei”, terbitan perdana, dalam falsafah kalam di era post modern. yogyakarta: pustaka pelajar. al-faruqi, i. r. (1982). tawhid: its implication for thought and life,. kuala lumpur: the international institute of islamic thought. abdullah, m. a. (1997). etika dan dialog antar agama: perspektif islam, “dian/interfidei”, terbitan perdana, dalam falsafah kalam di era post modern. yogyakarta: pustaka pelajar. al-faruqi, i. r. (1982). tawhid: its implication for thought and life,. kuala lumpur: the international institute of islamic thought. arkoun,m. (1990). al-islam: al-akhlaq wa al-siyasah, terj. beirut: hashem saleh, markaz al-inma’ al-qaumy. azra, a. (1996). pergolakan plitik islam: dari fundementalisme, modernisme dan post modernisme. jakarta: paramadina. clifford, b. (2009). islam and its discontents. diambil kembali dari the beevin society: http://ltureview.com/user/story.php?id=380 hizb ut-tahrir. (2005). the institutions of state in the khilafah (in ruling and administration)). beirut: dar ul-ummah. mubarak, j. (2000). sejarah dan perkembangan hukum islam. bandung: pt. remaja rosdakarya. na’im, a. a. (2009). islam dan negara sekuler: menegosiasikan masa depan syariah. bandung: mizan. nafi, m. (2010, desember 14). konsep imamah dan negara islam. diambil kembali dari alhikam bem staima: http://www.alhikambemstaima.co.cc/2010/11/konsepimamah-dan-negara-islam.html raharjo, d. (2010, desember 14). hubungan agama dan politik dalam pandangan imam khomeini. diambil kembali dari icas indonesia: http://www.icas-indonesia.org p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 109khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) pulungan, suyuti. (1999). fiqih siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran. jakarta: pt raja grafindo persada. sumarna, e. (2012, maret 8). konsep dan implementasi syariat islam di iran. diambil kembali dari file.upi.edu: http://file.upi.edu/direktori/fpips/m_k_d_u/196708282005011elan_sumarna/artikel/syariat_islam_di_iran.pdf syadzali, m. (1990). islam dana tata negara. jakarta: ui press. usman, s. (2002). hukum islam: asas-asas dan pengantar studi hukum islam dalam tata hukum indonesia. jakarta: gaya media pratama. wibowo, a. i. (2010). afganistan dan pakistan: perang yang tak dapat dimenangkan. strategi barat saat ini untuk afganistan dan pakistan dan jalan alternatif untuk daerah itu. hizb ut-tahrir britain. worldpublicopinion.org. (2007, april 24). muslims believe u.s. seeks to undermine islam. diambil kembali dari http://www.worldpublicopinion.org/: http://http:// www.worldpublicopinion.org/pipa/articles zhamir, i. a.-h. (1995). al-syi’ah wa al-qur’an. lahore: idarah trajuman al-sunnah. 2 (mitologi yunani) 145 158 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2, elita rahmi1 (1faculty of law, universitas jambi, indonesia) (2departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia) 159 179 policy of a merit system to make a good and clean government in the middle of bureaucratic politicization yahya pandega putra1, 2, eko priyo purnomo1, 2, suswanta suswanta1, 2, aulia nur kasiwi1, 2 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 181 199 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 (1faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia) (3faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia) 201 218 using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy riska rahayu1, 2, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 219 228 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1, budiyono budiyono1, djonet santoso1 (1sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 229 247 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1, helen dian fridayani2 (1departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2departement of political science, national cheng kung university, taiwan) 249 272 land administration policy in bantul and sleman districts subekti widiyasno1, dyah mutiarin 1, herdin arie saputra1, ikhwan rahmatika latif1 (1department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 273 291 increasing local own-source revenue through the development of the regional tourism sector harries madiistriyatno1, ida musdafia ibrahim2, dudung hadiwijaya3 (1program studi magister manajemen sekolah tinggi manajemen immi, indonesia) (2program studi manajemen sekolah tinggi ilmu ekonomi y.a.i, indonesia) (3program studi manajemen, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 145 citation : hartati, pahrudin h, and elita rahmi. 2020. “political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia.” journal of government and civil society 4(2):145– 158. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 145-158 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2461 received 4 february 2020  revised 7 august 2020  accepted 6 october 2020 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2*, elita rahmi1 1 faculty of law, universitas jambi, indonesia 2 departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia *email correspondence: pahrudinhm9@gmail.com abstract indonesian village law 2014 states that the purpose of village regulation is to create an independent village. village management in indonesia is carried out using a self-governing community system that requires apparatus that has good capacity. on the other hand, the existence of village apparatus in indonesia still does not have the capacity needed to organize the government to become an independent village. therefore, it is necessary to do a political law reconstruction to find a solution to the inequality of expectations of village regulation and the reality of the quality of village officials like this. political law functions as a bridge to the goals to be achieved and is strongly influenced by the social reality of society. this research was conducted using a qualitative approach with the type of library research by reviewing data related to villages in indonesia, especially village government. the results of this study revealed that only 7.43% were independent villages, most of village apparatuses unprofessional, poverty rate 9.66%, and unemployment rate of 5.01%. this requires a solution through a series of solution policies so that the objectives of village regulation towards independent villages can be achieved so that the prosperous community can be achieved. keywords: village, independent, political-law, apparatus abstrak undang-undang desa tahun 2014 menyebutkan bahwa tujuan peraturan desa adalah untuk mewujudkan desa yang mandiri. pengelolaan desa di indonesia dilakukan dengan sistem kemasyarakatan swakelola yang membutuhkan aparatur yang memiliki kapasitas yang baik. di sisi lain, keberadaan perangkat desa di indonesia masih belum memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemerintahan menjadi desa yang mandiri. oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi politik hukum untuk mencari solusi atas ketimpangan ekspektasi peraturan desa dan realitas kualitas aparatur desa seperti ini. hukum politik berfungsi sebagai jembatan menuju tujuan yang ingin dicapai dan sangat dipengaruhi oleh realitas sosial masyarakat. penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi pustaka dengan mengkaji data-data terkait desa di indonesia khususnya pemerintahan desa. hasil penelitian menunjukkan bahwa desa mandiri hanya 7,43%, perangkat desa sebagian besar tidak profesional, tingkat kemiskinan 9,66%, dan tingkat pengangguran 5,01%. untuk itu diperlukan solusi melalui serangkaian kebijakan solusi agar tujuan peraturan desa menuju desa mandiri dapat tercapai sehingga masyarakat sejahtera dapat tercapai. kata kunci: desa, independen, hukum politik, aparat journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 146 hartati, pahrudin h, and elita rahmi introduction discussing the independent village is always interesting to do because of the various characteristics inherent in the region which is the largest part of indonesia. administratively, the indonesia village is the smallest region that has the government equipment recognized in the political system adopted by indonesia. in addition, according to data central statistics agency [bps] (2018), the village is also home to the majority of indonesia’s population and is home to most of the country’s natural resources. the various characteristics above make the village always a concern of the government which is manifested in the birth of various laws and regulations, both in the old order, the new order, even in the reform era. the old order government paid attention to the village through law number 22 year 1948 and law number 1 year 1957 concerning the principles of regional government, law number 18 year 1965 concerning the principles of regional government, law number 19 year 1965 concerning ‘desapraja’ as a transitional form to accelerate the realization of level iii regions in the entire territory of the republic of indonesia. meanwhile, the new order gave rise to law number 5 year 1974 concerning the principles of regional government and law number 5 of 1979 concerning village government. after the reformation, the regulations governing the village emerged in various forms, both specifically regulating the village as well as being part of a law. this phenomenon can be seen in law number 22 year 1999 and law number 32 year 2004 concerning regional government, and law number 6 year 2014 concerning villages as the latest regulation. these regulations were raised as a form of government attention to the village, while also intended to address the problems that arose in them, especially law number 6 year 2014. this latest village regulation manifests itself in the form of self-governing community and local self-government in the form of delegation of authority covering the affairs of the affairs of village administration, implementation of village development, community development, and empowerment of rural communities (brezovšek, 2014). according to huda (2015), village regulation in the form of various regulations is aimed at addressing issues surrounding the position of indigenous peoples, democratization, diversity, community participation, progress and equitable development, poverty and socio-cultural conditions that can disrupt the integrity of the nation. administratively, indonesian law village number 6 year 2014 is indeed better than previous similar regulations. it’s just that, attention to the village should not only stop the birth of regulations like this, but the implications in the future must also be considered. the objective of the village regulation closely related to the quality of human resources which are the motor of village management, especially related to village officials. human resources are acute problems of the village because their quality is still low, not only related to the community in general, but also village officials or village government (asrori, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 147political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia 2014). the study by syaifullah (2017), anto and amir (2017), sahi (2018) and nugroho etc. (2018) also revealed that quality the village apparatus is still not optimal or is still very necessary for improved and the ability, willingness and potential of the village apparatus as well impacts and approaches to governance and implementation development has not been maximized because human resources are still limited. this phenomenon is of course closely related to other problems inherent in the domicile of the largest part of the indonesian people, namely poverty, unemployment, low education and health (maschab, 2013). on this basis, there needs to be an effort to overcome the problem of limited human resources in the village to achieve the objectives of village regulation as contained in law number 6 year 2014 about village. based on the legal perspective, the effort is manifested in legal politics which is interpreted as an official line of law that will be applied, both by making new laws and by replacing old laws, in order to achieve state goals (mahfud md, 2009). in the same context it is said that the selection of certain legal politics as a bridge to the ideals of a country is strongly influenced by dynamic social realities in society and international legal political conditions (hartono, 1991). therefore it is said that legal politics is not as understood so far as the formation of law through legislation, but strengthening the capacity and quality of law enforcement and the means of law enforcement and the development of legal culture are also part of it (rosadi and desmon, 2012). while from a political perspective, this effort is an implementation of the concept of public policy. as it is known that as a party constitutionally handed over by the state management task, the government is required to be able to present a variety of development policies that can overcome problems faced by the community. this is in line with the statement of professor michael porter, who stated that the effectiveness of the management of the state carried out by a government is very dependent on the policy that it occupies (nugroho, 2017). that is, the role of the government is very necessary in an effort to release the people from the confines of the problems they face in this life. in relation to the above, there are various kinds of understanding of public policy which were raised by several parties. thomas r. dye (1990) who is considered one of the scholars of policy studies, for example, said that public policy is what the government does or does not do to overcome the problems faced by its people. meanwhile, steven a. peterson (in nugroho 1, 2017) interpreted public policy simply by taking it as an action taken by the government to overcome various problems. policies are essentially decisions that directly regulate the management and distribution of natural, financial, and human resources in the public interest (suharto, 2010). public policy refers to a term or concept to explain certain specific action options that are very specific, such as in certain fields in public facilities sectors. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 148 hartati, pahrudin h, and elita rahmi related to this, there needs to be reconstruction related to the existence of law number 6 year 2014 about village, which regulates the objectives of a very good village arrangement, but on the other hand human resources are still very limited. through legal politics, the gap between the expectations (goals) of village regulation and the minimum quality of village resources can be minimized. this is in line with nonet and selznick (1978) which states that society must play an active role in resolving the problems it faces because justice is not achieved through miracles, but requires qualified figures in a variety of ways they can do it. this effort also seems to be in line with fadli et al. (2012) who stated that village management must pay attention to how the village apparatus adapted to the capacity needed to manage this important area in the modern world. the purpose of this study is to analyze the legal politics of village governance and to find alternative solutions to the problems of village human resources that are still limited in an effort to realize independent villages. research methods this study uses a qualitative research approach to determine the political law of village governance and apparatus in an effort to realize an indonesian independent village. qualitative research method provide opportunities for researchers to be able to do a detailed description and interpretation in order to gain a holistic understanding (marvasti, 2004). the type of research is library research by reviewing data related to village government law politics in indonesia. data collection was carried out through village data survey activities in indonesia, village human resource data and the results of studies related to village governance in indonesia. after the data is collected, the data analysis is done qualitatively: reducing data, displaying data, and conclusion (miles and huberman, 1992). results and discussion as is known that after the 1998 reformation, there have been many changes in indonesia’s political and developmental order. one of the important aspects produced is related to the village. before reform, the village was more positioned as an object of development, however, after that this lowest administrative area was independently subject to development. the goal is to reduce the gap rural and urban development that tends to be urban bias. in addition, bringing government services closer to the level village, so that it becomes a solution for the socio-economic change of the village. village as the subject of development, it is expected to be able to bring service closer towards citizens through infrastructure development and empowerment. starting from moving the economy, building educational facilities, health, energy facilities, infrastructure, transportation, and communication, as well as other facilities needed. in accordance with the mandate of law number 6 year 2014, villages need to be protected and empowered p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 149political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia to be strong, advanced, independent. village independent ones can create a solid foundation in carrying out governance and development towards a just, prosperous society and prosperous. as an effort to build villages in indonesia to be better and contribute to people’s lives, the government divided villages into several categories, namely independent village, developed village, advanced village, developed village, disadvantaged villages and very disadvantaged villages. according to the minister of village regulation no. 2 year 2016, independent village, or it could be called sembada village is anadvanced village that has the ability to carry out village development to improve the quality of life and life as much as the welfare of the village community with social security, economic resilience and ecological resilience sustainable. advanced village, or can be referred to as presembada village, is a village that has the potential of social, economic and ecological resources, as well as the ability to manage it to improve the welfare of the village community, the quality of human life, and overcome poverty.developed village, or as mad village, is a potential village to become advanced village, which has the potential of social, economic and ecological resources but has not managed it optimally to improve the welfare of the village community, the quality of human life and tackle poverty.disadvantaged villages, or can be referred to as pre-mad village, are villages that have potential social, economic and ecological resources but have not, or lacked management in an effort to improve the welfare of the village community, the quality of human life and experience poverty in various forms.very disadvantaged, or can be called primary village, is a village that experiences vulnerability due to natural disasters, economic shocks, and social conflicts so that it is not capable of managing potential social, economic and ecological resources, and experiencing poverty in various forms. the problem is how the method can be used to position each village in indonesia in that particular category. one of the methods commonly used by the government to rank villages in indonesia is to use village development index (ipd) concept. this is done because the level of progress and development of village development needs to be measured uses several sizes that are functionally interrelated for describe the concept comprehensively. several dimensions compiled to include at the same time several variables and indicators. delivery dimensions are expected to be complementary to describe the level of development progress in each village. ipd is based on law number 6 of 2014 concerning villages, especially on article 74 concerning village development needs and article 78 concerning village development goals. article 74 states that there are at least 4 aspects that are necessary fulfilled in village development namely: (1) basic needs; (2) basic services; (3) environment; and (4) empowerment activities villagers. in the explanation section of the act, needs the basis is defined as an effort to meet the needs of food, clothing and shelter. meanwhile, basic services include education, health, and basic journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 150 hartati, pahrudin h, and elita rahmi infrastructure. whereas in article 78 the purpose of village development include: (1) community welfare; (2) quality of life; and (3) poverty reduction. this is realized through (1) needs basic; (2) facilities; (3) infrastructure; (4) local economic development; and (5) sustainable use of natural resources. the results of the synthesis contained in the regulation are then realized in 5 main dimensions which become a reference in categorizing villages in indonesia. this is the 5 dimensions that become a measure of the ranking of villages in indonesia using the ipd indicator. until now, measuring village development in indonesia using the ipd indicator has been carried out twice, in 2015 for the planning phase and in 2018 for the evaluation phase (bps, 2018). based on bps data (2018), throughout indonesia there are 75.436 villages with various categories. the diversity of these village categories is based on ipd level which is based on five dimensions, namely basic service dimensions, infrastructure condition dimensions, transportation dimensions, public service dimensions, and village government implementation dimensions. as a result, the existence of villages in indonesia emerged in three categories, namely villages with underdeveloped status as many as 14.461 villages (19,17%), developing villages as many as 55.369 villages (73,40%), and independent villages with 5.606 villages (7,43%). based on data in 2018, all dimensions of ipd increased when compared to 2014, the highest increase (9,81 points) existed in the implementation of village government dimensions, while the smallest increase occurred in the basic services dimension (0,92 points). meanwhile, other data that is also closely related to the village is the problem of poverty and unemployment. based on bps data (september 2018), indonesia’s poverty rate is still in the range of 9.66% (25.67 million people) where as many as 15.54 million of these are domiciled in the village. the unemployment rate in indonesia based on bps data (2018) is also still quite large (5.01%), most of which are people living in rural areas. in addition to the three problems above, another problem that is also inherent in the village is related to the quality of the village apparatus which is still far from the required standard. this is as raised in studies conducted by syaifullah (2017), anto and amir (2017), sahi (2018) and nugroho etc. (2018) which states that the quality of village apparatus is still low. this finding is in line with suwardjo (2009) summary which mentions that there are various problems faced village government in carrying out its duties, namely: limitations of staff or employees both in quality and quality quantity that affects the implementation of government village; quality and quantity of assistance, training and monitoring village development is low so that it affects the effectiveness and efficiency of program interventions; village isolation which results in lack of accessibility community towards public service centers; low welfare of the village related to provision basic services and village economic development; the quality and competence of village human resources is still low and limited; the position of the dominant local figure is still p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 151political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia a reference in policy making both cultural and formal causing the role of the village government system to be dominated the spirit of feudalism and clientelism. based on the data above, villages that are home to the majority of the population of this country still face various problems. from the government side, it can be said that only a small proportion of villages (7,43%) in indonesia have achieved the main objectives of their regulation, namely the realization of independent villages. not to mention if it is associated with the problem of poverty, unemployment which is still closely attached to the villagers and village apparatus quality is still low. regulatory, efforts to overcome these village problems have been carried out by the government, both through village law and related ministerial policies. law no. 4 of 2016 is the main legal basis for village management and is a reference for other village-related policies. technical management of village management is included in minister of village, regional development disadvantaged, and transmigration of the republic of indonesia number 2 year 2016 article 1 paragraph 11 regarding the village build index mentions that the independent village, or can be called the sembada village is advanced villages that have the ability to carry out development village to increase the quality of life and life as much as possible welfare of village communities with social security, economic resilience, and sustainable ecological resilience. a village, can be said to be an independent village if it has ownership three indices in it are the index of social security, resilience economy and ecological resilience. the main point of this minister regulation requires the availability of quality village officials. this is important because the village apparatus is the backbone of village management with a line of capital that it has. there are several areas of authority, according to article 18 of law no.6/2014, which was given to villages, namely: organizing village government; implementation of village development; village community development; and empowering village communities. then the authority of the village, based on article 19 of law no.6/2014 includes four things, namely: authority based on origin rights; village scale local authority; authority assigned by the government, regional government province, or regency/city government; other authorities assigned by the government, government provincial region, or regency/city government in accordance with the provisions of the legislation. furthermore, in carrying out the authority is based on community initiative, origin rights, and customs. with the issuance of the law provides space for village government and community in the village to regulate and manage the potential of villages more broadly to achieve his vision. this can be seen in article 20 and article 21 that the implementation the authority is regulated and administered by the village. this will at once a challenge for the village whether this approach can solving the problems faced by the village so far. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 152 hartati, pahrudin h, and elita rahmi the village authority was then described in the minister of home affair regulation no. 44/2016 concerning village authority. more than that, in terms of the budget, based on article 72 of the law the village allows to get funds from various sources source for carrying out the authority it has. that is village original income, indonesian budget (apbn) allocation through government programs village based, part of the results of district tax and retribution/the municipality is a little 10%, the allocation of village funds is part from the balancing funds received by the district / city at least 10% after deducting special allocation funds, financial assistance from provincial and regency/city budget (apbd), grants and donations as well other possible funds. with the issuance of the village law, a shift occurred approaches from village authorities that are targeted, as well in the previous legislation, to authority mandate village. in addition, the position of the village becomes community governance which is a combination of self-governing community and local self-government based on principles recognition and subsidiarity as the main principle besides the principles others. new approaches and funds allocated to villages this will be a challenge for the village to solve various problems that have been held so far. the three main actors have important role in implementing village authority which includes village government (village head and village equipment), agency village consultation (bpd), and village communities. though efforts to achieve a prosperous society require the implementation of good governance continuously that require an element of professionalism from government officials in carrying out government duties. therefore, there needs to be a breakthrough effort that can lead villages in indonesia to become independent villages, through increasing the capacity possessed by their apparatus. efforts to increase the capacity of village officials are very important to do, not only related to the amount of village funds that they have to manage (an average of idr. 1.4 billion), but also regarding the large resources (natural and human) owned by the village. that is, the village already has a lot of capital to realize the aspirations of its citizens, welfare. starting from natural resources and human resources, to regulation through village law no. 6 year 2014. the efforts to improve the quality of village officials in indonesia within the framework of political law, which is interpreted by mahfud md (2009) as a policy breakthrough to overcome problems that hinder the achievement of the objectives of its regulation. this is in line with concept of public policy that interpreted as an action taken by the government to overcome various problems (nugroho 1, 2017). policies are essentially decisions that directly regulate the management and distribution of natural, financial, and human resources in the public interest (suharto, 2010). public policy refers to a term or concept to explain certain specific action option that are very specific, such as in certain field in public facilities sectors. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 153political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia the logical explanation of the importance of improving the quality of village officials in indonesia is related to the existence of the village itself. the village is home to the majority of indonesia’s population, as well as the location of most natural resources. that is, if natural and human resources in the village can be managed properly, then the results will improve the living standards of the indonesian population. therefore, the government is required to be able to find and present policies that can improve the capacity of village officials. this demand is increasingly finding its significance in the era of regional autonomy, because local governments (especially districts) can contribute greatly to increasing the capacity of village officials. political discourse on policy has increasingly found its special place in the era of decentralization which was rolled out in post-reform indonesia. this is of course as an implication of the submission of most of the duties and responsibilities of the central government to regional governments. according to bird and vaillancourt (1998) and stoker (1991), regional autonomy was chosen as a development approach in post-new order indonesia because it promised to occur: economic efficiency, program cost effectiveness, accountability, increased resource mobilization, reduced disparity, increased political participation, and strengthening democracy and political stability. through decentralization, local governments play a greater role in development because they now have the authority and responsibility to carry out community development in their jurisdiction. because local governments are considered to have better knowledge of the needs and preferences of their citizens, the development process in the decentralization policy model should be more efficient than the centralized policy model in the framework of improving the welfare of local communities. this is because in the decentralization policy, local governments can better allocate resources to meet people’s needs. thus, theoretically, as stated earlier that the decentralization policy model should be able to bring a better level of welfare compared to a centralized (centralized) system. this is none other than because local governments that already have broad authority in regional management in the regional autonomy system are expected to produce public policies in the form of development programs. this is in line with the findings of the data revealed from various related studies. these are some of the advantages of decentralization that lead to the establishment of a system as a method of managing government in post-reform indonesia. stoker and bird and vaillancourt’s statements above are in line with the research findings conducted by kisman and tasar (2014), witkowski and kiba-janiak (2014), hm (2017). these studies show the magnitude of the role of local governments in an effort to overcome the social problems faced by society. these studies also emphasize that local governments can better improve people’s welfare, compared to when the government is still in a centralized system. in addition, studies conducted by nak-ai etc. (2018), sharma (2015) and brillo (2017) also show that the role played by local governments in collaborating with several stakeholders is able to improve the lives of the people. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 154 hartati, pahrudin h, and elita rahmi based on the second perspectives above, efforts to overcome the problem of the low quality of village apparatus in carrying out management functions can be carried out in various forms. one of them can be done by optimizing the national framework for developing and enhancing government capacity in order to support decentralization, policy of the minister of home affairs and head of national development planning agency (bappenas) 2002. in this guide it is stated that the development and improvement of capacity includes three levels, namely: 1) system level, namely regulatory framework and policies that support or limit the achievement of certain policy objectives; 2) institutional or entity level, namely organizational structure, decision-making processes within the organization, work procedures and mechanisms, management instruments, relationships and networks between organizations, etc .; 3) individual level, namely the level of skill, qualification, knowledge/insight, attitude, ethics and motivation of individuals working in an organization. this effort can be done by optimizing training to increase managerial knowledge for village officials to be able to exercise governmental functionsand the appropriate legislation development bases on villageregulation (ismiyarto and sawitri, 2016). according to wahyudi’s (2016) record, the optimization of the government’s capacity building mechanism has proven to be able to improve the ability of village officials to carry out their functions. village apparatuses who follow the stages of capacity building are provided with knowledge about village management, from planning, implementation to evaluation. the same thing was also expressed by nugroho etc. (2018) who said that the participation of village officials in capacity building training enabled them to understand aspects surrounding village management, such as administration and planning and activity reports. along with the increasingly complex problems that exist in the village, the development of the capacity of the village apparatus is certainly not just about administrative aspects. moreover, village apparatus are required to have knowledge and capabilities of public services, asset management, finance and regulatory socialization. this is certainly related to several aspects listed in law number 6 of 2014 about village as the most recent reference in village management. this means that efforts to overcome the problem of the quality of village apparatus which are still low in a legal political perspective are carried out by strengthening the training content by including material on village budget preparation, village fundsmanagement, village wealth management, and villageowned business entity (bumdes) management. several regions in indonesia have and are currently carrying out several programs aimed at increasing the capacity of village officials, one of them is the government of west kalimantan province. on the basis of the desire that the village apparatus as the spearhead of development have a good ability in managing its territory, the government of west kalimantan province held a series of activities funded through the provincial budget number046/bpmpd/2015 august 2, 2015 (ismiyarto and sawitri, 2016). this p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 155political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia program was attended by village heads, village secretaries and other village apparatus under the coordination of the village government office (pmd) in the west kalimantan province. this village apparatus training program initiated by the provincial government has greatly contributed to the increased ability of the village government to manage its territory in west kalimantan province. this positive impact certainly occurs because of right method implementation training then the subject matter will be carriedoptimally and will be more useful against capabilities ofvillage government apparatus. the training technique has been used participatory learning methods of training, it is expected the communications presence between the two sides and the village teachers trained. the type of this method is speech, interview, brainstorming, discussion groups, plenary discussions, panel discussions, demonstration, practicing, work individual simulation, work group, and suggestions for a jarring experience. thistype is important because the village apparatus is the largest human and natural resource manager in indonesia, so they are required to have good managerial skills. other example of the implementation of political law and policy related to village governance is carried out by the government of merangin regency, jambi province. the effort to increase the capacity of the village apparatus is one of the priorities of the government of meranginregency program, especially in the time of the regent of al haris who is now undergoing a second period of his leadership. this can be seen in the big vision carried out by the government of merangin regency, which wants the largest region in the jambi provision to be superior in the agriculture and tourism sector. as is known that merangin regency is an area that has the largest rubber plantation (132,192 hectares) and oil palm plantation (53,792 hectares) area in jambi province, not to mention tourism potential, and these main natural resources are mostly owned by farmers and live in villages. therefore, increasing the capacity of village apparatus to be something that is undoubtedly done by the government of merangin regency as an effort to improve people’s welfare.at first glance this vision does not correlate directly with efforts to increase the capacity of village officials reflected in the latest village regulations in indonesia. however, if it is considered further, it can be seen that this vision will be realized if superior resources in agriculture and tourism are managed properly. management of these agricultural and tourism resources can only be carried out by the village apparatus because their existence is in the village. therefore, good management capability is absolutely possessed by the village apparatus so that the big vision of merangin regency can be realized well too. efforts to improve the capacity of village officials in merangin regency are carried out in various forms of activities, both those related to central and provincial government programs, as well as districts. the activities carried out by the government of merangin regency through the village community empowerment service are a workshop on journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 156 hartati, pahrudin h, and elita rahmi village financial management systems with the siskeudes application and the provision of village technical capacity building (p2ktd). these activities were attended by all apparatus in 205 villages throughout merangin regency, specifically the village head and village secretary. these programs are intended to assist village officials at merangin regency in conducting village management, from administration to village finance at the stage of budgeting, administration, reporting, to accountability. through apparatus that have good village management capabilities, various village resources can be used to improve the welfare of the community in merangin regency. these two programs have been running since 2016 and significant impacts have been felt by village officials in meranginregency. although it is not yet perfect, the efforts made by the regional government deserve to be appreciated as a form of concern for increasing the capacity of the village apparatus that manages so much village resources. conclusions effort to overcome the problem of limited human resources in the village to achieve the objectives of village regulation as contained in village law number 6 year 2014 can done by implementation of political law and public policy concept. political law is not as understood so far as the formation of law through legislation, but strengthening the capacity and quality of law enforcement and the means of law enforcement and the development of legal culture are also part of it and public policy is an action taken by the government to overcome various problems. based on thesetwo perspectives, efforts to overcome village problems can be done by increasing the capacity of village officials. the government, especially the regional government, is required to present programs aimed at increasing the knowledge of village officials. after the ability of village officials to increase, the management of village resources can be done well so as to create independent villages with prosperous residents. references anto, rola pola. amir, muhammad (2017). ‘competence of village apparatus in management of village funds in north konawe regencyindonesia’. iosr journal of business and management (iosr-jbm), volume 19, issue 11. ver. vii (november. 2017), p. 66-71. doi: 10.9790/487x-1911076671 asrori (2014).‘kapasitas perangkat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di kabupaten kudus (capacity of village devices in organizing village government in kudus district)’ jurnal bina praja, vol. 6 no. 2, june 2014, p. 101-116. badan pusat statistik [indonesian central bureau of statistics] (2018). indonesia dalam angka 2018/ indonesia in figure 2018. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 157political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia badan pusat statistik [indonesian central bureau of statistics] (2018). indeks pembangunan desa 2018/ village development index 2018. bird, r., vaillancourt, f. (1998). fiscal decentralization in developing countries.united kingdom: cambridge university press. brezovšek, m. (2014). local self-government in slovenia : theoritical and historical aspect. ljubljana: faculty of social sciences,university of ljubljana. brillo, bing baltazar c. (2017). the politics of lake governance: sampaloc lake, pandin lake, and tadlac lake of the laguna de bay region, philippines. asia-pacific social science review (2017) 17(1): 66-79. dye, thomas r. (1991). understanding public policy. england: prentice-hall, inc. fadli, muhammad etc. (2011). pembentukan peraturan desa partisipatif (establishment of participatory village regulations). malang: universitas brawijaya press. hartono, cfg sunaryati (1991). politik hukum menuju satu sistem hukum nasional (political law toward one national law system). bandung: penerbit alumni. hm, pahrudin (2017).‘the study of government’s role for welfaring rubber farmer in the globalization vortex’. jsp: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, vol. 21, issue 2, november 2017. https://doi.org/10.22146/jsp.30436 huda, ni’matul (2015). hukum pemerintahan desa: dalam konstitusi indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi (village government law: in the indonesian constitution since independence until the reformation era). malang: setara press. ismiyarto. sawitri, sri (2016). ‘study of implementation village apparatus training in west kalimantan province’. proceeding on innovation in regional public service for sustainability (icpm 2016), atlantis press. kisman, zulfukar aytac and tasar, izzet (2014). ‘the key element of local development’ procedia economics and finance, 15, 1689-1696, 2014. https://doi.org/10.1016/s22125671(14)00642-x mahfud md, moh. (2006). membangun politik hukum, menegakkan konstitusi (building a political law, upholding the constitution).jakarta: pustaka lp3es indonesia. marvasti, amir b. (2004).qualitative research in sociology. london: sage publications. maschab, mashuri(2013). politik pemerintahan desa di indonesia (politics of village in indonesia). yogyakarta: penerbit polgov. miles, matthew b. and a. michael huberman (1992). analisis data kualitatif (qualitative data analysis), translated by: tjetjep rohendi rohidi. jakarta: universitas indonesia press. nak-ai, worayuth etc. (2018). ‘community public policy process for solving cadmium contamination problems in the environment: a case study of mae sod district, tak province. kasetsart journal of social sciences 39 (2018) 59-66. https://doi.org/10.1016/ j.kjss.2017.11.006 journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 158 hartati, pahrudin h, and elita rahmi nonet, philippe and selznick, philip(1978). law and society in transition: toward responsive law. england: harper and row. nugroho, riant. (2018). public policy. jakarta: pt. elex media komputindo. nugroho, setyo etc. (2018). ‘pengembangan kapasitas aparatur pemerintah desa dalam upaya mewujudkan good governance (capacity development of village government apparatus in efforts to realize good governance)’ jurnal administrasi publik (jap), vol. 1, no. 5, p. 1010-1015. rosadi, otong dan desmon, andi (2012). studi politik hukum: suatu optik ilmu hukum (the study of political law: an optical law). yogyakarta: thafa media. sahi, nirmala a. (2018). ‘peningkatan kualitas perangkat desa guna pemantapan pelaksanaan pembangunan di gorontalo (quality improvement of village devices to strengthen development implementation in gorontalo)’ gorontalo journal of public administration studies, vol. 1, no. 1, april 2018. doi: https://doi.org/10.32662/ gjpads.v1i1 sharma, chanchal kumar (2015). reimagining federalism in india: exploring the frontiers of collaborative federal architecture. asia-pacific social science review 15 (1) 2015, p. 1-25. stoker, gerry (1991). the politics of local government. london: the macmillan press ltd. suharto, edi (2010). membangun masyarakat memberdayakan rakyat (developing community and empowering people). bandung: pt. refika aditama. suwardjo, h. w. (2009). ‘penguatan pemerintahan desa: pengalaman empirik kepemimpinan desa’ (strengthening village governance: an empirical experience of village leadership). in pengembangan kapasitas pemerintah desa dan pengembangan pelayanan di tingkat desa (development of village government capacity and service development at the village level). samarinda: pkp2a iii lan, p. 55-63. syaifullah, muhammad (2017). ‘understanding of village apparatus on implementation accounting villages’. international journal of science and research (ijsr), volume 6 issue 8, august 2017. doi: 10.21275/art20176211 wahyudi, andi etc. (2016). peningkatan kapasitas desa (improving capacity of village). samarinda: pkp2a iii lan. wikowski, jaroslaw and kiba-janiak, maja (2014). ‘the role of local governments inthe development city logistics’ procedia-social and behavioral sciences, 125, p. 373-385,2014. 2 (mitologi yunani) 145 158 political law’s reconstruction of village apparatus to realize independent village in indonesia hartati1, pahrudin hm2, elita rahmi1 (1faculty of law, universitas jambi, indonesia) (2departement of government science, stisip nurdin hamzah jambi, indonesia) 159 179 policy of a merit system to make a good and clean government in the middle of bureaucratic politicization yahya pandega putra1, 2, eko priyo purnomo1, 2, suswanta suswanta1, 2, aulia nur kasiwi1, 2 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 181 199 smart human security: economic safety for micro, small and medium enterprises (msmes) to face the impact of the covid-19 global pandemic elyta1, warjio2, ahmad azrin bin adnan3 (1faculty of social and political sciences, universitas tanjungpura, indonesia) (2faculty of social and political sciences, universitas sumatera utara, indonesia) (3faculty of business and management, universiti sultan zainal abidin (unisza), trengganu, malaysia) 201 218 using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy riska rahayu1, 2, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 (1jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 219 228 indonesia universal health coverage implementation on university students adityo pratikno ramadhan1, budiyono budiyono1, djonet santoso1 (1sustainable development goals center, universitas bengkulu, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content) 229 247 the local government of kulon progo regency innovation in subduing capitalism through community empowerment muhammad eko atmojo1, helen dian fridayani2 (1departement of government science, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2departement of political science, national cheng kung university, taiwan) 249 272 land administration policy in bantul and sleman districts subekti widiyasno1, dyah mutiarin 1, herdin arie saputra1, ikhwan rahmatika latif1 (1department of government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 273 291 increasing local own-source revenue through the development of the regional tourism sector harries madiistriyatno1, ida musdafia ibrahim2, dudung hadiwijaya3 (1program studi magister manajemen sekolah tinggi manajemen immi, indonesia) (2program studi manajemen sekolah tinggi ilmu ekonomi y.a.i, indonesia) (3program studi manajemen, universitas muhammadiyah tangerang, indonesia) 201 citation : rahayu, riska, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani. 2020. “using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy.” journal of government and civil society 4(2):201–218. journal of government and civil society vol. 4, no. 2, september 2020, pp. 201-218 doi: 10.31000/jgcs.v4i2.2613 received 9 may 2020  revised 3 august 2020  accepted 2 september 2020 using the “return on investment” strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia’s logistic policy riska rahayu1, 2*, eko priyo purnomo1, 2, ajree ducol malawani1, 3 1 jusuf kalla school of government, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 2 magister of government and public affairs, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 3 doctoral program of political islam, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia *email correspondence: rskarahayu@gmail.com abstract the purpose of this paper is to analyze the strategies carried out by supply logistics in the supply chain using supply chain management analysis also to facilitate the logistics chain in indonesia. scm previous research did not have a studio that discussed supply chain by manager logistics strategies and what methods they used to maintain logistics inventory. the research methodologists carried out using qualitative adopted an exploratory data analysis (eda) approach to qualitative research that defines and explains the issues obtained. open coding was applied to find issues the most dominant and was used to classify the number of issues related to the data and visualized into word cloud obtained using nvivo 12 plus. data were collected from indonesia logistic supply chain sites. the findings of this article is roi (return on investments) is a logistics strategy will support for reducing the investment costs by logistics provider company. analysis of supply chain management can develop better emphasizes logistic chains in indonesia. keywords: strategic, logistic chain, supply chain management abstrak dalam artikel ini memiliki tujuan untuk menganalisis strategi dalam tantangan penyaluran logistic yang merata. dengan menggunakan analisis sistem supply chain management (scm) yang akan memetakan strategi apa yang dilakukan indonesia dalam tantang penyaluran logistik. studi scm terdahulu telah banyak adanya, namun tidak berfokus pada penyaluran logistik dalam strateginya untuk menjaga keseimbangan rantai pasokan logistik. penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengadopisi pendekatan exploratory data ananlysis (eda) untuk menjelaskan dan mendefinisikan temuan masalah. open coding dikukan untuk menemukan topik dan mengklasifikasikan yang dominan dan memvisualisasikannya menjadi word cloud dengan nvivo 12 plus. data diperoleh dari website logistic supply chain indonesia. temuan dari artikel ini adalah return on investments (roi) adalah strategi yang digunakan dalam strategi logistik yang akan membantu mengurangi dengan melakukan investasi dari beberapa perusahaan penyaluran logistik. analisis scm dalam penyaluran logistik dapat mengembangan tekanan tantangan logistik di indonesia. kata kunci: strategi, tantangan logistik, supply chain management journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 202 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani introduction consumer demand for high-quality and safer logistic have led to proposals on innovative approaches and models to be adopted in supply chain (bhat & jõudu, 2019). in the global context, there are several sustainability challenges along the logistic supply chain (fassam & dani, 2017). some of the innovative solutions proposed (depending on the socioeconomic and environmental factors) are practically applicable only in certain regions of the world. sustainability challenges in the “farm-to-fork” concept are well documented in the literature and available database (szerb, horváth, szerb, & csonka, 2020). however, several sustainability challenges in supply chain management still remain unresolved (bhat & jõudu, 2019). these problems range from production and processing stages, all the way to the consumers. managing the pressure exerted by consumers (regarding quality and safety) has led to potential negative and positive impacts. even though logistics production has increased to meet the demands of ever-growing populations, rising prices and economic impacts/hardships on individual regions (lowincome and high-income countries) remains as a securing problem. on a global basis, with free-trade policies gaining a higher hand, the “trade revolution” has gained the upper hand over the “green revolution” (bhat & jõudu, 2019). coupled with this are the changing weather patterns which have had a significant effect on the food supply chain. nevertheless, the food-energy-water nexus is vital to effectively manage the agry-supply chain and environmental stewardship. besides, in the logistic supply chain context, life cycle assessment is recognized as a reliable method to evaluate the environment impacts of various processes (such as farming, harvesting of raw materials, processing, packaging, etc.) (ansari & kant, 2017; de oliveira, espindola, da silva, da silva, & rocha, 2018; liu, bai, liu, & wei, 2017). not to forget, reduction in the carbon footprint should be one of the crucial factors to ensure and create a sustainable logistic supply chain system (xu & gursoy, 2015). logistics plays a vital role in the supply chain (lamba & singh, 2017; szerb et al., 2020). the opening up of the global market and trade, it also opens up opportunities for businesses to extend the region would generate competition for logistics supply between areas and between countries (gregory, 2019). with the area of 1.905 km2 million with 34 provisions, indonesia faced with the logistics supply issue, which tends to be lower in distribution compared to other countries. as can be seen from the following data bellow: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 203using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy figure 1. logistic performance index sources: world bank, 2016-2018 the above data indicates that indonesia can compete with many other asean countries in the logistics supply market, achieving the highest score of 3.15 on 2018s. indonesia is also unable to incorporate logistics supply, as singapore has the highestranking concerning other nations. of course, key logistics decisions can be of much help in meeting environmental sustainability challenges faced in the logistics supply chain. certain regions of the world, though claiming to be economically stable, have never established a positive relationship between diversity and logistics self-sufficiency. lowand middle-income groups of countries are having their own problems in the food supply chain that need to be resolved, such as feeding and meeting the demands of their own population as well as competing in the global food markets. elementary sustainability issues valuable from a socio-economic and environmental perspective have been discussed under the millennium and sustainable development goals of the united nations (un, 2014). further, the logistic supply chain is recognized as a series of closely working interdependent firms/companies that manage the smooth movement of agri-food products (for value addition) to provide consumers with high-quality products at affordable prices (bhat & jõudu, 2019). however in today’s world, the corporate climate has evolved, and any enterprise or corporation works in a competitive and fast-moving market owing to the effects of globalization and other unavoidable variables such as technical innovation, journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 204 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani competitiveness, rising consumer demands, and geopolitical influences (diversity et al., 2011). an organization-based management strategy that has persisted for many years is no longer sufficient and underpinned by a modern market climate to provide the products and services provided to consumers because companies become part of the supply chain and the supply chain wins or loses competitiveness (kshetri, 2018). supply chain management plays a crucial role in improving the successful and productive management of finite capital to allow businesses and organizations to achieve the objectives set (lamba & singh, 2017; maji & arora, 2017). supply chain management as solutions to the effective management of manufacturing infrastructure and the delivery of products to consumers by the collaboration of multiple supply chain players in the network (ejeta, 2018). supply chain management is a function of combining operational structures around the supply chain and managing products, knowledge, and financial flows in order to satisfy final consumer demands to enhance the profitability of the supply chain as a whole (kazancoglu, kazancoglu, & sagnak, 2018; loisel, 2017). the principle of effective supply chain management includes the control of resources, knowledge, and capital movements between the stakeholders participating in the supply chain for a shared objective of socio-economic and environmental sustainability growth (fernandes, sampaio, sameiro, & truong, 2017; mangla et al., 2018). of late, (esfahbodi, zhang, & watson, 2016) a conceptual concept based on expense processes, including sourcing and delivery, architecture, and expenditure recovery solutions, has been suggested sustainably. the position of technical advances and their effect on the logistics sector (demand, demand development, and supply chain) has been well reported. (de oliveira et al., 2018; kaur, sidhu, awasthi, chauhan, & goyal, 2018). the idea of convergence of the supply chain includes shared awareness, technical alliances, and practical/operational competitive operations between organizations in the line. supply chain convergence has been envisaged to bring the whole network connected in a continuous system, while helping to minimize persistent supply chain problems, such as weak demand-based control, planning, and preserving customer and manufacturer knowledge and relationships (kinyua, 2013). as a result, the supply chain is autonomous and requires control and movement through various industries, such as aquaculture, forestry, poultry, dietary additives, organic production, industrial cultivation, cold chain control, dairy farming, limited manufacturing, and many more (bhat & jõudu, 2019). supply chain management is a direct reflection of demand chain management, where manufacturing, storage, refining, and delivery, as well as promotion, are customized to the needs of customers (fahimnia, pournader, siemsen, bendoly, & wang, 2019). there is a large degree of ambiguity about the quality and health of logistics goods relative to market-driven purchase costs such as knowledge, bargaining, or tracking (bhat & jõudu, 2019). organizations choose to cooperate with other entities in the supply chain and develop partner relationships to improve their global market competitiveness (yalcin, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 205using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy shi, & rahman, 2020). internationalization in supply chain management has contributed to dynamic business strategies at the regional level (tseng, islam, karia, fauzi, & afrin, 2019). at the international stage, in terms of manufactured logistics, customers are far more involved in understanding the country (geographical origin), enforcement of environmental regulations, ethical concerns, and whether or not sustainable food processing has been implemented (akhtar, marr, & garnevska, 2012; balcik, beamon, krejci, muramatsu, & ramirez, 2010; szerb et al., 2020). despite increase in demand for humanitarian assistance in different parts of the world, humanitarian organizations are experiencing a number of supply chain management challenges (gregory, 2019; y.k sharma, 2018). for example, according to ejeta, (2018) supply chain management challenges that humanitarian organizations face include frequent turnover of employees, level of knowledge of humanitarian organizations and capacity of the stakeholders, dilemma of donors in terms of providing funds for the humanitarian operations. moreover, kinyua, 2013 identified supply chain challenges of food supply organizations which are related to supply chain coordination, capacity of local transport, warehousing capacity, facility at the port and government policies. it is known that challenges associated with supply chain can lead to delays in delivery of humanitarian supplies to the affected people and increasing cost which ultimately leads to huge loss of life (nyamu, 2012). logistic supply chain management challenges contributed to inefficiency and ineffectiveness of the entire supply chain process in delivery of the humanitarian supplies by increasing operational costs and lead time which ultimately reduce performance of the organization (ejeta, 2018). according to balcik (2010) there are a number of players and actors involved in humanitarian relief environments to supporting chain of supply. these actors are international relief organizations, host government, the military, local and regional relief organizations, and private sector companies. roles, areas of expertise and focus areas of these actors differ in the entire process of humanitarian supply chain. apparently, a single actor may not have the required resources in terms of human capital, funding sources and other resources to respond effectively to any disasters, hence the need for coordination is relevant. balcik (2010) further described coordination as the fundamental and core element of supply chain management. the objective of food supply chain is to effectively respond to both man-made and natural disasters. these disasters are very common across the world and can cause loss of lives, shortage of food and water and other serious damages. hence, the coordination among humanitarian organizations and other stakeholders is a necessity and fundamental during such situations due to the fact that a single organization (purnomo, 2012). it is not in a position to meet and fulfill the entire demands of people affected by disaster such as providing food, water, medicines and other basic supplies (akhtar et al., 2012; gregory, 2019). these organizations usually journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 206 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani share the resources they mobilize for the purpose of responding to humanitarian assistance and work together to achieve their objectives. this system of interdependency is called coordination (akhtar et al., 2012; gregory, 2019). balcik, 2010 also defined the term coordination as “the relationships and interactions among different actors operating within the relief environment”. there is a substantial number of variables in the literature to discussing logistic supply management, generally divided into three main categories based on (yazdani, zarate, coulibaly, & zavadskas, 2017): 1. rl/clsc strategic decision variables: designing decisions, like locations and capacities of facilities (configurations and structures), are made at this level. these are long-term decisions. 2. rl/clsc planning decision variables: include decisions regarding which markets will be supplied from what locations (allocation level), and flow of supply chain network. these are mid-term decisions. 3. rl/clsc operational decision variables: include allocating inventory or production to individual orders, setting a date by which the order is to be filled, and other shortterm decisions. as various types of decision variables are defined and researched by different authors, we review these decision variables in and illustrate that portion of each variables in this papers that consider to strategic in logistic supply (govindan, soleimani, & kannan, 2015). indonesia supported by a range of laws that support the logistics supply chain, including act no. 23/2007, act no. 1/2009, and act no. 22/2009. in the government act no. 85/2015 concerning amendments to pp no. 32/2009 concerning bonded stockpiles explained the rule of thumb in the logistics supply chain, which is to bring the costs of industrial activity closer to economic activities to reduce logistics costs in improving services for business actors. moreover, reinforcing in this study is the existence of presidential decree no. 026 of 2012 concerning the direction of the development of indonesia’s logistics system by relying upon one of the main factors of indonesian logistics as logistics service providers. also government act no. 69/2015 concerning the import and delivery of specific transportation equipment and the delivery of taxable services related to specific transportation equipment that is not subject to value-added tax regulated in the efforts to encourage the domestic shipping and shipyard industry with the ppn tax relief/exemption. to improving logistical performance in indonesia, there is an increase in logistics performance index (lpi), which requires systematic and integrated planning that involves relevant parties, namely the government that makes the rules, institutional integration with functions that adjusted so that can realize a better indonesian organization logistics. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 207using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy research method considering logistic supply chain supporting food supply in indonesia also improving logistical performance in indonesia, there is an increase in logistics performance index (lpi). which requires systematic and integrated planning that involves relevant parties, namely the government that makes the rules, institutional integration with functions that adjusted so that can realize a better indonesian organization logistics the research question is following how logistic supply chain consider to their strategic according supporting supply system. this study used a qualitative research approach. this study adopted an exploratory data analysis (eda) approach to qualitative research that defines and explains the characteristics of the distribution. the eda consists of a description with the features of the criteria or metrics to be included (ayyagari, 2012). for the proper processing of the data, a word processor was carried out with purposive sampling data, which random sampling technique was then used to determine specific characteristics that fit the purpose of the study (bloor & wood, 2016). document-text was collected via logistic supply chain websites. supply chain indonesia (sci) is an independent institution engaged in education, training, consulting, research and development activities in logistics and supply chains in indonesia. sci is a place for information, interaction and communication between scientists, academics, bureaucracy, researchers and observers in the field of logistics and supply chains in indonesia. sci has supported improving and improving logistics for private companies and state-owned enterprises (soes). sci also contributes to the improvement and development of logistics through several ministries and related institutions, such as the coordinating ministry for economic affairs, the ministry of transportation, the ministry of trade, and others, including in the implementation of the national logistics system development blueprint (sci, 2020). open coding was applied to find issues the most dominant and was used to classify the number of issues related to the data obtained. after that, another task was performed as the final phase in the topic modeling process. here, the number of topics listed was plotted automatically to found cloud. nvivo application is one of the qualitative research data to the analysis application that has been used by many qualitative researchers around the world (sotiriadou, brouwers, & le, 2014). this application helps researchers visualize and categorize data interviews, and documentation. the limitation of this study is to analyze the logistical sustainability strategy of logistic service providers only from the return of investment (roi) system. from this limitation, further research is needed to compare certain strategies with other strategies to improve logistics resilience as part of the logistics policy in indonesia. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 208 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani figure 2. the logic of data analysis source: author, 2020 findings and discussion return on investment (roi) to maintaining logistic supply the logistics strategy executed by the company is manifold. between companies, logistical strategies can be implemented. the logistics strategy decision taken will have implications for the company’s financial performance. organizational leaders can use logistical strategies to determine financial performance. producing companies use return on investment (roi) as a measure of financial performance.(harvey, despain, lieberman, canning, & bochman, 2010). roi measures the company’s financial performance from the perspective of investors, both equity investors, and creditor investors. roi is a ratio that measures a company’s profitability from the returns generated from the use of assets to generate sales (capital employed). stated roi calculated by dividing net income by assets. from this formula, to increase roi, there are at least two factors that must improve the company, namely profit, and assets. profit is the difference between sales and total costs. while assets were calculated, roi is the asset used to generate sales. in many financial literature books, assets used to consist of cash, receivables, filled, and fixed assets (harvey et al., 2010). p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 209using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy company organization leaders are trying to improve roi, even though there is no exact standard for how much roi should be achieved. roi standards for each company differ depending on the industrial sector, company size, and investor expectations. in general, investors set roi standards following the expected level of return, taking into account business risks according to the industry sector. in this case, the law “high risk and high return” applies. the higher the business risk, investors expect a high return or return. in financial literature, this return is proxied by several approaches or proxies. one of them is the capm (capital asset pricing model). this model proxy returns determined from parameters of the level of return on a risk-free investment, beta market returns, and the level of premium return which is the difference between market return and return on investment of risk-free assets (harvey et al., 2010). investors will place their funds in companies that generate high roi. this is the duty of company managers always to maintain and improve roi so that the companies managed to become the choice of investors. figure 3. cloud of logistic supply 2020 by nvivo 12 plus source: author, 2020 indeed the logistics strategy is intended to achieve logistical efficiency and effectiveness. efficiency is defined as achieving the lowest logistics costs. while effective refers to the accuracy and reliability of the management of logistics activities, such as transportation, warehousing, and distribution, to ensure materials or goods are available when needed. these logistics activities include inbound logistics or often referred to as production logistics and outbound logistics or marketing logistics. this inbound logistics is to ensure that the journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 210 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani materials and components (parts) are available according to production needs—logistics management for the distribution of finished products from factory warehouses or producers to final consumers. management of logistics activities requires investment in infrastructures such as warehouses, vehicles, material handling equipment, ict, and operational costs. the type and amount of logistics infrastructure that a company must prepare are influenced by the logistics strategy chosen. strategic planning has long-term implications. at least the strategic decisions taken by the company in the logistics strategy will have implications for the company’s overall performance for the next five years. decisions in planning this logistics strategy include distribution channels (channel of distribution), supply points, production locations, warehouse configuration, warehouse-type and number, warehouse location and size, transportation types and modes, logistics management self-managed (inhouse logistics) or using logistics service providers (third party logistics), distribution strategies, and inventory level policies. the choice of logistics strategy will determine the tactical planning and logistics operations, which will result in the investment and operational costs of the logistics company. these investments and operational costs are two essential components of roi. therefore, the choice of logistics planning decisions has an impact on the company’s financial performance. the first component of roi is the profit calculated from sales minus total costs. in manufacturing companies, costs generally consist of the cost of goods sold, sales and marketing costs, administrative and general costs, and non-business costs. the cost of goods sold is calculated from the initial inventory of finished products plus the cost of production minus the final inventory of finished products. while sales and marketing costs are all costs incurred by the company to process sales orders, shipping, and distribution of products to consumers. included in these sales and marketing costs are costs to get new customers, customer retention and promotions. administrative and general costs are usually the costs of running a company organization, for example, non-production employee salary costs, office building rental fees, office building depreciation costs, and others. while non-business costs are costs other than the company’s operational costs, for example, the cost of loan interest. in the context of increasing roi, management’s attention is primarily to increase profits and optimize the use of assets efficiently. increasing profits is made by increasing sales or reducing costs. sales can be increased by increasing the selling price or increasing the sales volume of the goods. in marketing science, the selling price can be increased by increasing the “value” of products and services so that consumers are willing to pay more. this product and service value includes, among other efforts, to improve product quality, features, product usability, emotional aspects, service, and consumer experience in using products. the company’s organizational leaders must always increase the value p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 211using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy of this product through innovation and service improvement so that consumers enjoy a memorable experience. an increase in the selling price of a product without offset by an increase in product value will not be able to increase sales, rather than consumers turning to competitor products. besides increasing selling and selling prices, profit can also be increased by reducing costs. the attention of corporate organization leaders to increase profits by reducing the cost of goods sold, sales costs, marketing costs, administrative costs, and non-business costs. in the context of logistical strategies, sales increase is carried out in various ways, including (paravisini, rappoport, schnabl, & wolfenzon, 2015): cost reduction is made through efforts to simplify business processes, reduce activities and resources that do not provide added value to customers, and the use of shared resources (sharing resources). from a logistics perspective, management’s concern is to reduce logistics costs. the reduction of logistics costs is made (govindan et al., 2015): 1. management of transportation efficiently, through the determination of transportation designs, determination of routes, schedules, modes, types and capacities of transportation fleets, safety driving, and shipment consolidation. efficient transportation management will have a direct impact on reducing transportation operating costs. 2. management of warehousing efficiently through the use of warehouse management systems for storage, collection, and delivery of goods. besides, inventory location and stock control policies need to be established that can optimize inventory management. 3. reducing inventory levels through the application of eoq (economic order quantity), abc inventory system, and jit (just-in-time) approach. inventory reduction will have a direct impact on reducing working capital that must be provided for stock. no less important, in addition to increasing sales and reducing costs, company leaders must optimize the use of assets, both current assets such as cash, receivables, and fixed assets such as warehouse, mhe, and transport. this asset optimization is intended to increase asset turnover. efforts that must be made by company leaders to increase asset turnover are (gunders, 2012): (a) increased cash cycle, reduced collection periods through managing trade receivables; (b) increased cycle time order; (c) increased inventory accuracy; (d) optimizing warehouse space and transportation; (e) logistics outsourcing to third-party logistics companies. the company’s management decision on a variety of logistics strategy choices will have an impact on infrastructure investment and logistics operational costs. these last two things ultimately affect the company’s financial performance. organizational leaders need to consider every logistical strategy decision to be executed carefully. journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 212 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani world bank indexed logistics performance index (lpi) survey in 2018 states that indonesia is ranked 46th out of 155 asean countries that participated in the survey. lpi uses six assessment indicators are: customs; infrastructure; ease of managing international shipping; logistics competencies; logistics costs in the country; and delivery time considerations. the score and sequence of indonesia compared to several asean countries in each assessment indicator can be seen in the following table. table 1. asean logistic performance index 2018 source: world bank, 2018 the low performance of the logistics sector in indonesia is the high cost of logistics and the need to improve the quality of service, the low quality of infrastructure in terms of both quality and quantity, the high time of export and import services and the existence of operational obstacles in ports and the limited capacity and national logistics service network (kaur et al., 2018; urciuoli & hintsa, 2017). this is one of the leading causes of various national problems such as scarcity of food, price fluctuations, export barriers, disparities in supply and demand between regions to the slow distribution of aid in natural disasters. as a result of these problems, the impact is felt by people who have to pay high costs because of logistics and exports that are less able to compete at the level of free trade between countries. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 213using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy implication of theory figure 4. indonesian logistic cost toward gross domestic product (gdp) source: bppp. kemendag, 2019 the high cost of logistics in indonesia is not only caused by the high cost of land and sea transportation but also by many factors which are related to regulations, human resources, processes and infrastructure that have not been efficient and lack of professionalism of logical actors and service providers (developing companies). the data above explains that the logistics performance in indonesia is a factor that greatly affects the competitiveness of national industries. this indicates that one of the causes of the low competitiveness of the industry during the last decade is due to the low performance of logistics which causes high national logistics costs. measuring become a concern for stakeholders is to improve supply chain management in indonesia to developing better, are (fernandes et al., 2017; govindan et al., 2015; mishra, gunasekaran, papadopoulos, & childe, 2018; zhao, liu, zhang, & huang, 2017): first, emphasizing chain development and maintenance efforts, which means the establishment of relationships between chains more specifically such as volume, quality, distribution depending on the shortage in the business sector to form an integrated and interrelated pattern. second, controlling the supply of supplies must be directed at cost efficiency; for example, the amount of supply is adjusted to the number of products that can be sold so that the stability of raw material inventory is generated and there is no stock build-up which increases storage costs (esfahbodi et al., 2016). thrid, in determining the location and transportation in the network chain, it is made by calculating and considering the journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 214 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani impact on inventory costs. in this case, it will affect the level of consumer sensitivity. therefore an evaluation of this is essential. fourth, the establishment of an information system between the parties tasked with collecting, processing, storing and disseminating information to each stakeholder must be based on trust between them, at this moment supporting the performance and productivity of each member of the chain (esfahbodi et al., 2016). return on investment (roi) is one of the logistics suppliers approaches for the provision of logistics supplies in indonesia. the business steps made by the organization in the logistics plans would have consequences for the financial success of the company for the next five years (urciuoli & hintsa, 2017). decisions of logistics strategy include distribution channels (channel of distribution), supply points, production locations, warehouse configuration. through rising revenue and retail costs, roi provides preference to growing the quality of production and revenues in order to raise the expense of logistics (schmidt, 2019). conclusion the complexity of logistics supply in supply chain management (scm) systems is required; the logistics strategy is intended to achieve logistical efficiency and effectiveness. decisions in planning this logistics strategy include distribution channels (channel of distribution), supply points, production locations, warehouse configuration, warehousetype and number, warehouse location and size, transportation types and modes, selfmanaged logistics management or in-house logistics using logistics service providers (third party logistics), distribution strategies, and inventory level policies. the choice of logistics strategy will determine the tactical planning and logistics operations, which will result in the investment and operational costs of the logistics company. these investments and operational costs are two essential components of return on investment (roi). concerned the measure of supply chain management in indonesia to developing better are emphasizing chain development and maintenance efforts; controlling the supply of supplies must be directed at cost efficiency; determining the location and transportation in the network chain; and establishing an information system between the parties tasked with collecting, processing, storing and disseminating information. references akhtar, p., marr, n. e., & garnevska, e. v. (2012). coordination in humanitarian relief chains: chain coordinators. journal of humanitarian logistics and supply chain management, 2(1), 85–103. https://doi.org/10.1108/20426741211226019 p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 215using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy ansari, z. n., & kant, r. (2017). a state-of-art literature review reflecting 15 years of focus on sustainable supply chain management. journal of cleaner production, 142, 2524–2543. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.11.023 ayyagari, r. (2012). an exploratory analysis of data breaches from 2005-2011: trends and insights. journal of information privacy and security, 8(2), 33–56. https://doi.org/ 10.1080/15536548.2012.10845654 balcik, b., beamon, b. m., krejci, c. c., muramatsu, k. m., & ramirez, m. (2010). coordination in humanitarian relief chains: practices, challenges and opportunities. international journal of production economics, 126(1), 22–34. https://doi.org/10.1016/ j.ijpe.2009.09.008 bhat, r., & jõudu, i. (2019). emerging issues and challenges in agri-food supply chain. sustainable food supply chains, 23–37. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-8134115.00002-8 bloor, m., & wood, f. (2016). purposive sampling. keywords in qualitative methods, i(01), 24–41. https://doi.org/10.4135/9781849209403.n73 de oliveira, u. r., espindola, l. s., da silva, i. r., da silva, i. n., & rocha, h. m. (2018). a systematic literature review on green supply chain management: research implications and future perspectives. journal of cleaner production, 187, 537–561. https:/ /doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.03.083 diversity, g., sesame, o. f., as, g. c., by, r., marker, i., & improvement, c. (2011). assessment of humanitarian supply chain management challenges on performance: the case of world food programmeethiopia. (july). ejeta, d. a. (2018). assessment of humanitarian supply chain management challenges on performance: the cas of world food programme-ethiopia. (july). esfahbodi, a., zhang, y., & watson, g. (2016). sustainable supply chain management in emerging economies: trade-offs between environmental and cost performance. international journal of production economics, 181, 350–366. https://doi.org/10.1016/ j.ijpe.2016.02.013 fahimnia, b., pournader, m., siemsen, e., bendoly, e., & wang, c. (2019). behavioral operations and supply chain management–a review and literature mapping. decision sciences, 50(6), 1127–1183. https://doi.org/10.1111/deci.12369 fassam, l., & dani, s. (2017). a conceptual understanding of criminality and integrity challenges in food supply chains. british food journal, 119(1), 67–83. https://doi.org/ 10.1108/bfj-07-2016-0314 fernandes, a. c., sampaio, p., sameiro, m., & truong, h. q. (2017). supply chain management and quality management integration: a conceptual model proposal. international journal of quality and reliability management, 34(1), 53–67. https://doi.org/ 10.1108/ijqrm-03-2015-0041 journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 216 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani govindan, k., soleimani, h., & kannan, d. (2015). reverse logistics and closed-loop supply chain: a comprehensive review to explore the future. european journal of operational research, 240(3), 603–626. https://doi.org/10.1016/j.ejor.2014.07.012 gregory, p. (2019). challenges of supply chain management in food stuff distributions/ : a case study of world food programme in tanzania by. (04). gunders, d. (2012). wasted: how america is losing up to 40 percent of its food from farm to fork to landfill. nrdc issue paper, (august), 1–26. retrieved from http:// w w w . n r d c . o r g / f o o d / f i l e s / w a s t e d f o o d i p . p d f ? m k t _ t o k = 3 r k m m j w w f f 9 w s r o n u q j p z k x o n j h p f s x 5 6 + w o x a s 1 l m i / 0er3fovrpufgji4atmphi/qlazicfpzo2ffuh+gbbifu8g== harvey, w. m., despain, g. l., lieberman, m., canning, b. p., & bochman, p. (2010). analyzing return on investment of advertising campaigns by matching multiple data sources (vol. 2). kaur, j., sidhu, r., awasthi, a., chauhan, s., & goyal, s. (2018). a dematel based approach for investigating barriers in green supply chain management in canadian manufacturing firms. international journal of production research, 56(1–2), 312–332. https://doi.org/10.1080/00207543.2017.1395522 kazancoglu, y., kazancoglu, i., & sagnak, m. (2018). a new holistic conceptual framework for green supply chain management performance assessment based on circular economy. journal of cleaner production, 195, 1282–1299. https://doi.org/10.1016/ j.jclepro.2018.06.015 kinyua, j. k. (2013). supply chain integration and supply chain performance of international humanitarian organisations in kenya. retrieved from http:// erepository.uonbi.ac.ke:8080/xmlui/handle/123456789/59609%5cnhttp:// e r e p o s i t o r y . u o n b i . a c . k e : 8 0 8 0 / x m l u i / b i t s t r e a m / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 5 9 6 0 9 / 1 / abstract.pdf%5cnhttp://www.imagine.mx/handle/123456789/59609 kshetri, n. (2018). 1 blockchain’s roles in meeting key supply chain management objectives. international journal of information management, 39(december 2017), 80–89. https:// doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2017.12.005 lamba, k., & singh, s. p. (2017). big data in operations and supply chain management: current trends and future perspectives. production planning and control, 28(11–12), 877–890. https://doi.org/10.1080/09537287.2017.1336787 liu, w., bai, e., liu, l., & wei, w. (2017). a framework of sustainable service supply chain management: a literature review and research agenda. sustainability (switzerland), 9(3). https://doi.org/10.3390/su9030421 loisel, m. (2017). labor-force management challenges of farms involved in short-food. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 217using the "return on investment" strategy to sustain logistic supply provider toward indonesia's logistic policy maji, s., & arora, s. (2017). information and communication technology for competitive strategies. in proceedings of third international conference on ictcs 2017 (vol. 40). https://doi.org/10.1007/978-981-13-0586-3 mangla, s. k., luthra, s., mishra, n., singh, a., rana, n. p., dora, m., & dwivedi, y. (2018). barriers to effective circular supply chain management in a developing country context. production planning and control, 29(6), 551–569. https://doi.org/10.1080/ 09537287.2018.1449265 mishra, d., gunasekaran, a., papadopoulos, t., & childe, s. j. (2018). big data and supply chain management: a review and bibliometric analysis. annals of operations research, 270(1–2), 313–336. https://doi.org/10.1007/s10479-016-2236-y nyamu, k. (2012). impact of supply chain management challenges on humanitarian organizations in kenya. 53. paravisini, d., rappoport, v., schnabl, p., & wolfenzon, d. (2015). dissecting the effect of credit supply on trade: evidence from matched credit-export data. the review of economic studies, 82(1), 333–359. https://doi.org/10.1093/restud/rdu028 purnomo, e. p. (2012). the stakeholders’ analysis and development indicator of sustainability on the community project. ssrn electronic journal, (september 2011), 0–19. https://doi.org/10.2139/ssrn.1818584 schmidt, m. (2019). sustainable global value chains (vol. 2). https://doi.org/10.1007/ 978-3-319-14877-9 sci. (2020). supply chain indonesia (sci). retrieved from https:// supplychainindonesia.com/ sotiriadou, p., brouwers, j., & le, t. a. (2014). choosing a qualitative data analysis tool: a comparison of nvivo and leximancer. annals of leisure research, 17(2), 218–234. https://doi.org/10.1080/11745398.2014.902292 szerb, a. b., horváth, t., szerb, b., & csonka, a. (2020). logistic challenges in the short food supply chains. regional and business studies, 10(2), 19–27. https://doi.org/ 10.33568/rbs.2378 tseng, m. l., islam, m. s., karia, n., fauzi, f. a., & afrin, s. (2019). a literature review on green supply chain management: trends and future challenges. resources, conservation and recycling, 141(june 2018), 145–162. https://doi.org/10.1016/ j.resconrec.2018.10.009 urciuoli, l., & hintsa, j. (2017). adapting supply chain management strategies to security– an analysis of existing gaps and recommendations for improvement. international journal of logistics research and applications, 20(3), 276–295. https://doi.org/10.1080/ 13675567.2016.1219703 xu, x., & gursoy, d. (2015). a conceptual framework of sustainable hospitality supply chain management. journal of hospitality marketing and management, 24(3), 229–259. https://doi.org/10.1080/19368623.2014.909691 journal of government and civil society, vol. 4, no. 2, september 2020 218 riska rahayu, eko priyo purnomo, and ajree ducol malawani y.k sharma. (2018). when challenges impede the process: for circular economy driven sustainability practices in food supply chain. (june). yalcin, h., shi, w., & rahman, z. (2020). a review and scientometric analysis of supply chain management (scm). operations and supply chain management: an international journal, 13(2), 123–133. https://doi.org/10.31387/oscm0410257 yazdani, m., zarate, p., coulibaly, a., & zavadskas, e. k. (2017). a group decision making support system in logistics and supply chain management. expert systems with applications, 88, 376–392. https://doi.org/10.1016/j.eswa.2017.07.014 zhao, r., liu, y., zhang, n., & huang, t. (2017). an optimization model for green supply chain management by using a big data analytic approach. journal of cleaner production, 142, 1085–1097. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.03.006 2 (mitologi yunani) 1 34 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis (magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 35 46 civil servants performance analysis of education, youth and sports department in bantul district 2017 surya jaya abadi1, muhammad eko atmojo2, helen dian fridayani3 (1government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (3government affairs and administration, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 47 61 efektivitas pengawasan badan pengawas obat dan makanan (bpom) terhadap peredaran makanan impor oleh pedagang umkm di kota pekanbaru ferry angriawan1, dyah mutiarin2 (1magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 63 78 institusionalisasi partai politik dalam pilkada 2017 (studi kasus: partai golkar provinsi kepulauan bangka belitung) agam primadi1, titin purwaningsih2 (1 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) (2 magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia) 79 91 public value in clean water management at the local water supply utility (pdam) tirta kerta raharja (tkr) arsid1, ida widianingsih2, heru nurasa3, entang adhy muhtar4 (1mahasiswa program pascasarjana administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (2pusat studi desentralisasi dan pembangunan partisipatif, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (3departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) (4departemen administrasi publik, fisip universitas padjadjaran, indonesia) journal of government civil society daftar isi (table of content)  1 citation : moedarlis, fajar trilaksana. 2019. “akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo)”. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, 1-34. journal of government and civil society vol. 3, no. 1, april 2019, pp. 1-34 doi: 10.31000/jgcs.v3i1.1092 received 3 december 2018  revised 27 february 2019  accepted 21 april 2019 akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) fajar trilaksana moedarlis magister ilmu pemerintahan, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia email: fajaracit@gmail.com abstrak pemerintahan kabupaten bungo dalam menjawab janji politik bupati terpilih membuat sebuah kebijakan melalui peraturan bupati bungo nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman umum dan petunjuk teknis program gerakan dusun membangun (gdm), yaitu memberikan bantuan keuangan kepada dusun sejumlah rp 250.000.000 per dusun. pelaksanaannya dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. dalam melakukan penelitian tentang akuntabilitas politik dalam anggaran publik (studi kasus: pengelolaan dana dusun membengun (gdm) di kabupaten bungo ini, menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. adapun alasan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam penelitian ini data yang dihasilkan berupa data deskriptif yang diperoleh dari data-data berupa tulisan, kata-kata dan dokumen yang berasal dari sumber atau informan yang berkaitan dengan akuntabilitas politik ini dan stakeholder yang dapat dipercaya. hasil analisis dari penelitian ini, bahwa pemerintah kabupaten bungo telah akuntabel dalam merealisasikan janji politiknya. kemudian dusun lubuk beringin dan tombolasi telah sama-sama akuntabel dalam penggunaan dana gdm. namun hal yang berbeda terdapat di dusun sinamat ulu pemerintahan ini sama sekali tidak akuntabel, karena realisasi anggaran yang fiktif. kabupaten sebaiknya dapat memberikan sistem yang lebih ringkas dan mudah untuk diaplikasikan oleh pemerintah dusun namun dapat di petanggungjawabkan. kata kunci: akuntabilitas politik, gdm, pemerintah dusun abstract the bungo district government in responding to the political promises of the elected regent made a policy through the bungo regent regulation number 5 of 2017 concerning general guidelines and technical guidelines for the building hamlet movement program (gdm), namely providing financial assistance to hamlets in the amount of rp 250,000,000 per hamlet. the implementation is managed based on transparent, accountable, participatory principles and carried out in an orderly and budgetary discipline. in conducting research on political accountability in public budgets (case study: management of membengun hamlet funds (gdm) in bungo district, using qualitative descriptive research methods. the reason for this study using a qualitative approach is because in this study the data generated are descriptive data obtained from data in the form of writing, words and documents originating from sources or informants related to this political accountability and trustworthy stakeholders.the results of the analysis of this study, that the bungo district government has been accountable in realizing its political promises. lubuk beringin and tombolasi have been equally accountable in using gdm funds, but different things are found in the sinamat ulu hamlet. this government is totally unaccountable, because the budget realization is fictitious. the district should be able to provide a system that is more concise and easier to apply by hamlet government but can be accounted for. keywords: political accountability, gdm, hamlet government journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 2 fajar trilaksana moedarlis pendahuluan hakikatnya politik adalah segala aktivitas dimana manusia berusaha untuk meningkatkan kehidupan mereka, mensejahterakan, dan menciptakan masyarakat yang baik, dan yang terpenting politik adalah sebuah aktivitas sosial. dalam politik ada beberapa ideologi yang digunakan sebagai landasan aksi politik itu sendiri untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik. salah satunya yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dalam upaya mesejahterkan masyarakatnya adalah ideologi demokrasi karena demokrasi merupakan kata yang paling menjanjikan dalam urusan publik (andre heywood 2013:152). makna-makna yang telah dilekatkan pada kata demokrasi adalah sebagai berikut (bernard crick, 1993): (1) sebuah sistem kekuasaan oleh yang miskin dan yang kurang beruntung, (2) satu bentuk pemerintah dimana rakyat memerintah diri mereka sendiri secara langsung dan terus-menerus, tanpa membutuhkan para politisi profesional atau pejabat-pejabat publik, (3) sebuah masyarakat yang didasarkan pada kesetaraan kesempatan dan kebaikan individu dari pada hierarki dan hak istimewa, (4) sebuah sistem kesejahteraan dan redistribusi yang bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan sosial, (5) sebuah sistem pembuatan keputusan yang didasarkan pada prinsip aturan mayoritas (6) sebuah sistem yang menjamin hak-hak dan kepentingan dari minoritas dengan memberlakukan pengawasan dan pemeriksaaan pada kekuasaan dari mayoritas (7) sebuah cara dalam mengisi jabatan-jabatan publik melalui kompetisi memperoleh suara (8) sebuah sistem pemerintahan yang melayani kepentingan-kepentingan dari rakyat tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik. meskipun terus terdapat kontroversi tentang bentuk demokrasi yang paling diinginkan seputar bagaimana demokrasi berjalan dalam peraktiknya, namun yang paling mendapat penerimaan yang luas dari seluruh dunia adalah demokrasi liberal. demokrasi liberal adalah satu bentuk demokrasi yang bersifat tidak langsung dan perwakilan, dan dimana jabatan politik diperoleh melalui pemilihan-pemilihan yang dilaksanakan secara berkala, toleransi terhadap beragam keyakinan, dan dicirikan pembedaan yang jelas antara negara dan masyarakat sipil, menyediakan perlindungan bagi individu-individu dan kelompok minoritas terutama melalui pemberian hak-hak dasar yang melindungi mereka dari kehendak mayoritas (andre heywood, 2013: 170). ideologi demokrasi ini yang juga di adopsi oleh indonesia pasca orde baru yang menjadikan sistem politik yang berubah, tidak lagi sistem satu tengah partai melainkan sistem multipartai. munculnya perubahan di dalam sistem kepartaian dan sistem pemilu itu, paling tidak, telah membuka ruang yang lebih besar kepada warga negara untuk terlibat lebih aktif di arena politik. contohnya adalah perubahan itu telah memungkinkan adanya aktor-aktor baru di arena politik, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. demokrasi tentu saja tidak semata-mata adanya pemilu yang bebas, di dalam sistem p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 3akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) perwakilan, demokrasi juga menuntut adanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) dari wakil (representative) kepada yang diwakili (reprensented) (hungtington, 1991: 9 di dalam prof. dr. kacung marijan, 2010: 11). termasuk pertanggungjawaban terhadap janjijanji seorang aktor politik ketika dalam berkampanye setelah terpilih menjadi pejabat publik. pejabat publik harus merealisasikan janji-janji itu dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya baik secara terbuka, moral, teknis, legal, maupun admistratif. pemerintahan kabupaten bungo khususnya dalam menjawab janji politik bupati terpilih yaitu memberikan bantuan keuangan kepada dusun sejumlah rp 250.000.000 per dusun, serta untuk melaksanakan ketentuan undang undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, maka membuat sebuah kebijakan melalui peraturan bupati bungo nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman umum dan petunjuk teknis program gerakan dusun membangun (gdm), yaitu untuk memperkuat pelaksanaan bantuan keuangan oleh pemerintah kabupaten bungo kepada dusun untuk meningkatkan kesejahteraaan masyarakat miskin di dusun. dana gdm tersebut bersumber dari apbd kabupaten bungo yang bersifat khusus, dan yang menerima dana gdm tersebut adalah seluruh dusun yang ada di kabupaten bungo yang berjumlah 141 dusun dengan namun alokasi dana gdm yang diterima oleh setiap dusun untuk tahun anggaran 2017 sebesar rp.150.000.000, yang dicairkan 2 (dua) tahap. tahap i sebesar 50% (lima piluh perseratus) dan tahap ii sebesar 50% (lima puluh perseratus), yang di kelola dalam masa 1 tahun yaitu dari 1 januari sampai dengan 31 desember. kebijakan gdm tersebut merupakan hal yang strategis bagi pemerintah dusun. maka apa yang terjadi di dusun sebenarnya menunjukan bagaimana pola akuntabilitas pemangku jabatan politik dari tingkat kabupaten hingga dusun yang mana dalam pelaksanaan dan pengelolaan keuangan dusun harus dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran, namun ada kondisi berbeda yang terjadi didalam pengelolaan dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo ini. tiga dusun di kabupaten bungo, kecamatan bathin iii ulu, tidak bisa lagi mencairkan dana gerakan dusun membangun (gdm) tahap ii karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk pengerjaan pembangunan fisik. tiga dusun itu adalah dusun lubuk beringin, dusun senamat ulu dan dusun timbolasi. permasalahan di dusun senamat ulu dan dusun timbolasi adalah aparatur dari kedua dusun tersebut tidak ada berkoordinasi dengan pihak dpmd terkait pencairan dana gdm tahap ke dua sehingga pemerintah kabupaten menganggap bahwa dana gdm tahap satu yang cairkan sudah cukup. sementara untuk dusun lubuk beringin, masih memiliki sisa pengerjaan anggaran yang belum terselesaikan dengan anggaran pada tahap i (satu) lalu sehingga pekerjaan tersebut masih diberi waktu pengerjaan sampai akhir desember, hal ini menyebabkan dana gdm tidak dapat dicairkan sehingga menunda pembangunan yang seharusnya journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 4 fajar trilaksana moedarlis bisa lebih efektif (berita harian radar bute, 19/12/2017). kemudian di dusun sinamat ulu masyarakat juga melaporkan kepala desa kepada bupati bahwa kepala dusun senamat ulu tidak pernah transparan dalam penggunaan dana desa (tribun news jambi 2017/11/30). melihat dari beberapa masalah tersebut tentu saja dalam hal ini masih ada indikasi atau potensi yang masih bisa ditemukan dalam proses akuntabilitas pengelolaan dana gdm di kaupaten bungo. maka dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel melalui penelitian ini berupaya mendapatkan informasi lebih dalam untuk mengetahui proses akuntabilitas politik dari program gerakan dusun membangun (gdm) ini, di dusun lubuk beringin, dusun senamat ulu dan dusun timbolasi. kerangka teori akuntabilitas politik akuntabilitas politik adalah apa dan bagaimana mereka yang berkuasa bertanggung jawab kepada publik atas keputusan mereka. hal ini membantu untuk menyorot akuntabilitas yang tidak hanya merupakan seperangkat mekanisme kelembagaan atau checklist prosedur, namun juga sebagai tanggungjawab yang harus di pertanggungjawabkan. artinya bahwa para pejabat publik beserta organisasi sektor publik, harus benar-benar bertanggung jawab dan berkomitmen atas tindakan dan janjijanji mereka, ketika kampanye serta siap menerima konsikuensi jika ada yang tidak sesuai dengan semestinya (fox, 2007: 1-2). akuntabilitas politik memiliki beberapa unsur sebagai berikut (jonathan fox, 2017): 1. pertamapetanggungjawaban legal, yaitu adanya legalitas dari setiap tindakan pejabat politikdan segala tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat di pertanggungjawabkan secara hukum. 2. adanya kebenaran dalam merealisasikan janji kampanye, yaitu para pejabat publik beserta organisasi sektor publik, harus benar-benar bersinergi dalam merealisasikan apa yang menjadi keputusan pejabat politik dari awal. 3. adanya legalitas pertanggungjawaban pelaksanaan, yaitu adanya peraturan atau perundang-undangan yang mengikat dan mengatur dalam merealisasikan keputusan pejabat politik terhadap publik. 4. adanya komitmen dalam pertanggungjawaban yaitu adanya komitmen pejabat politik dalam melaksanakan keputusan yang telah ditentukan. 5. adanya trasnparansi, yaitu adanya keterbukaan kepada publik terhadap pelaksanaan keputusan pejabat politik. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 5akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) akuntabilitas politik dikonseptualisasikan sebagai ‘hasil’ publik sesuatu yang pada dasarnya harus diberikan kepada masayarakat sebagai hasil dari kinerja pemerintah yang berfokus pada ideologi dan prosedur program anti kemiskinan. proses ini berlangsung karena pada dasarnya masyarakat sungguh merupakan klien dari suatu pemerintahan. untuk mendorong akuntabilitas, masyarakat sipil dan aktor negara secara efektif harus memberdayakan satusama lain dan kemudian menanamkan reformasi ini di dalam negara untuk suatu negara lebih akuntabel dan masyarakat mendapatkan hak haknya yang sah. akuntabilitas politik bertujuan untuk mencegah terjadinya kebocoran anggaran dan perlu sebuah sistem yang harus mengontrol kinerja pemerintah dengan memberikan pertanggungjawaban apa yang telah dilakukannya. maka yang terpenting dari akuntabiltas adalah untuk mendapatkan harapan yang lebih baik terhadap kinerja dan pertanggungjawaban pemerintah. kemudian memastikan bahwa dana publik dihabiskan secara ilegal. akuntabilitas juga harus mengacu pada apakah dana publik digunakan secara efektif dan efisien. keuangan publik keuangan publik merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk menyelenggarakan, pengurusan, pertanggungjawaban, pengawasan keuangan publik, tugas dari pemerintah daerah khususnya dalam keuangan publik adalah menunjukan sumber-sumber pendapatan daerah, dan yang menentapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (apbd) pembiayaaan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran belanja pemerintah. sehubungan dengan pengertian keuangan publik memiliki pengertian yang sama dengan anggaran (budget) ditinjau dari anggaran negara, penyelenggaraan negara berati berkaitan dengan penyelenggaran anggaran di daerah. keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala kesatuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku (mames, 1995, di dalam halim, 2012 : 24). hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa memungut pajak daerah, retribusi daerah atau sumber-sumber penerimaan lain yang sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintahan di daerah. sumber pendapatan daerah adalah, sebagai berikut (halim, 2012 : 10) : journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 6 fajar trilaksana moedarlis 1. pendapatan asli daerah 2. hasil pajak 3. hasil restribusi 4. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 5. lain-lain pendapatan daerah yang sah 6. pendapatan transfer yang terdiri dari: a. transfer pemerintah pusat atau dana perimbangan yaitu dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, dana alokasi umum, dan alokasi dana kusus. b. transfer pemerintah pusat lainya yaitu dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. c. transfer pemerintah provinsi yaitu pendapatan bagi hasil pajak, pendapatan bagi hasil lainnya. d. lain-lain pendapatan daerah yang sah ketika membahas keuangan daerah tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai pengelolaan keuangan daerah. pengelolaan keuangan daerah adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan. berdasarkan uu 33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuta, dan manfaat untuk masyarakat. oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorietasi pada output, dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta tata pemerintahan yang baik (good governance). mekanisme pengelolaan keuangan daerah terdiri dari mekanisme pendapatan dan belanja. pendapatan daerah adalah hak pemerintah yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki negara, atau daerah yang lebih tinggi atau pihak-pihak lain yang yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (halim, 2012 : 24). sumber pendapatan daerah adalah, sebagai berikut: 1. pendapatan asli daerah 2. hasil pajak 3. hasil restribusi 4. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 7akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) 5. lain-lain pendapatan daerah yang sah 6. pendapatan transfer yang terdiri dari: a. transfer pemerintah pusat atau dana perimbangan yaitu dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, dana alokasi umum, dan alokasi dana kusus. b. transfer pemerintah pusat lainya yaitu dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. c. transfer pemerintah provinsi yaitu pendapatan bagi hasil pajak, pendapatan bagi hasil lainnya. d. lain-lain pendapatan daerah yang sah mekanisme apbd dapat dilihat dari pendapatan dan belanja pemerintahan daerah. rencana pendapatan yang telah ditetapkan dibagi berdasarkan kemungkinan realisasinya dalam bentuk anggaran kas (cas budget). realisasi dari pendapatan daerah masuk ke dalam kas daerah. anggaran kas menjadi pedoman dalam melakukan pengeluaran dikarenakan adanya fluktuasi dalam realisasi penerimaan. belanja dalam apbd dibedakan menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan.atas dasar dikda/dipda, diterbitkan sko dan selanjutnya spmu yang digunakan ke kas daerah. namun mekanisme apbd banyak mengalami perubahan untuk memenuhi tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas. dokumen terkait dengan apbd dan proses akuntansi mengalami banyak penyempurnaan . dokumen terkait dengan penatausahaan keuangan daerah antara lain spp, spm, surat pencairan dana (sp2d). spp dan spm kemuadian dibedakan berdasarkan tujuannya menjadi empat, yaitu uang persediaan (up), ganti uang persediaan (gu), tambahan uang persediaan (tu) dan langsung (ls). pengelolaan keuangan desa pengelolaan keuangan desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 8 fajar trilaksana moedarlis gambar 1. model siklus pengelolaan keuangan desa gambar di atas menjelaskan bagaimana siklus dalam proses pengelolaan keuangan yaitu (doddy, 2015. hal :2-4) : 1. perencanaan perencanaan pembangunan desa meliputi rpjm desa dan rkp desa yang disusun secara berjangka dan ditetapkan dengan peraturan desa. rencana pembangunan jangka menengah desa (rpjm desa) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun sedangkan rencana pembangunan tahunan desa atau yang disebut rencana kerja pemerintah desa (rkp desa) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. rkp desa merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah desa. perencanaan pembangunan desa disusun berdasarkan hasil kesepakatan dalam musyawarah desa yang pelaksanaannya paling lambat pada bulan juni tahun anggaran berjalan. 2. penganggaran setelah rkp desa ditetapkan maka dilanjutkan proses penyusunan apb desa. rencana kegiatan dan rencana anggaran biaya yang telah ditetapkan dalam rkp desa dijadikan pedoman dalam proses penganggarannya. anggaran pendapatan dan belanja desa (apb desa) merupakan rencana anggaran keuangan tahunan pemerintah desa yang ditetapkan untuk menyelenggarakan program dan kegiatan yang menjadi kewenangan desa. proses penyusunan apb desa dimulai dengan urutan sebagai berikut: a. pelaksana kegiatan menyampaian usulan anggaran kegiatan kepada sekretaris desa berdasarkan rkp desa yang telah ditetapkann. b. sekretaris desa menyusun rancangan peraturan desa tentang apb desa (rapb desa) dan menyampaikan kepada kepala desa. c. kepala desa selanjutnya menyampaikan kepada badan permusyawaratan desa untuk dibahas dan disepakati bersama. rancangan peraturan desa tentang apb p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 9akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) desa disepakati bersama paling lambat bulan oktober tahun berjalan antara kepala desa dan bpd. d. rancangan peraturan desa tentang apb desa yang telah disepakati bersama sebagaimana selanjutnya disampaikan oleh kepala desa kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi. e. bupati/walikota menetapkan hasil evaluasi rancangan apb desa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya rancangan peraturan desa tentang apb desa. dalam hal bupati/walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu maka peraturan desa tersebut berlaku dengan sendirinya.dalam hal bupati/ walikota menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan desa tentang apb desa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepala desa melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh kepala desa dan kepala desa tetap menetapkan rancangan peraturan desa tentang apb desa menjadi peraturan desa, bupati/walikota membatalkan peraturan desa dengan keputusan bupati/walikota yang sekaligus menyatakan berlakunya pagu apb desa tahun anggaran sebelumnya. f. peraturan desa tentang apb desa ditetapkan paling lambat tanggal 31 desember tahun anggaran berjalan. 3. pelaksanaan dalam pelaksanaan keuangan desa, terdapat beberapa prinsip umum yang harus ditaati yang mencakup penerimaan dan pengeluaran. prinsip itu diantaranya bahwa seluruh penerimaan dan pengeluaran desa dilaksanakan melalui rekening kas desa. pencairan dana dalam rekening kas desa ditandatangani oleh kepala desa dan bendahara desa. namun khusus bagi desa yang belum memiliki pelayanan perbankan di wilayahnya maka pengaturannya lebih lanjut akan ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. dengan pengaturan tersebut, maka pembayaran kepada pihak ketiga secara normatif dilakukan melalui transfer ke rekening bank pihak ketiga. 4. penatausahaan penatausahaan keuangan desa adalah kegiatan pencatatan yang khususnya dilakukan oleh bendahara desa. bendahara desa wajib melakukan pencatatan terhadap seluruh transaksi yang ada berupa penerimaan dan pengeluaran. bendahara desa melakukan pencatatan secara sistematis dan kronologis atas transaksi-transaksi keuangan yang terjadi. penatausahaan keuangan desa yang dilakukan oleh bendahara desa dilakukan dengan cara sederhana, yaitu berupa pembukuan belum journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 10 fajar trilaksana moedarlis menggunakan jurnal akuntansi. penatausahaan baik penerimaan kas maupun pengeluaran kas, bendahara desa menggunakan: a. buku kas umum b. buku kas pembantu pajak c. buku bank bendahara desa melakukan pencatatan atas seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam buku kas umum untuk yang bersifat tunai. sedangkan transaksi penerimaan dan pengeluaran yang melalui bank/transfer dicatat dalam buku bank. buku kas pembantu pajak digunakan oleh bendahara desa untuk mencatat penerimaan uang yang berasal dari pungutan pajak dan mencatat pengeluaran berupa penyetoran pajak kepada kas negara. khusus untuk pendapatandan pembiayaan, terdapat buku pembantu berupa buku rincian pendapatan dan buku rincian pembiayaan. 5. pelaporan dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajibannya dalam pengelolaan keuangan desa, kepala desa memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan. laporan tersebut bersifat periodik semesteran dan tahunan, yang disampaikan ke bupati/walikota dan ada juga yang disampaikan ke bpd. rincian laporan sebagai berikut: laporan kepada bupati/walikota (melalui camat): a. laporan semesteran realiasasi pelaksanaan apb desa b. laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan apb desa kepada bupati/ walikota setiap akhir tahun anggaran c. laporan realisasi penggunaan dana desa laporan kepada badan permusyawaratan desa (bpd) d. laporan keterangan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan apb desa terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan. 6. pertanggungjawaban laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan apb desa merupakan laporan yang disampaikan secara periodik kepada bpd terhadap pelaksanaan apb desa yang telah disepakati di awal tahun dalam bentuk peraturan desa.laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan apb desa yang harus dilampiri: a. format laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan apb desa tahun anggaran berkenaan p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 11akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) b. format laporan kekayaan milik desa per 31 desember tahun anggaran berkenaan c. format laporan program pemerintah dan pemerintah daerah yang masuk ke desa. metode penelitian dalam melakukan penelitian tentang akuntabilitas politik dalam anggaran publik (studi kasus: pengelolaan dana dusun membengun (gdm) di kabupaten bungo ini, menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. adapun alasan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam penelitian ini data yang dihasilkan berupa data deskriptif yang diperoleh dari data-data berupa tulisan, katakata dan dokumen yang berasal dari sumber atau informan yang diteliti dan dapat dipercaya. metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan, pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyaataan ganda. kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan responden. ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (lexy j moleong, 2011:910). selanjutnya penelitian kualitatif menurut moleong (2007:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.deskriptif kualitatifmengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (bogdan dan taylor, 1975). hasil dan pembahasan adanya kebenaran untuk realisasi janji kampanye bupati terpilih kabupaten bungo dalam upaya merealisasikan janji politiknya ketika berkampanye yaitu akan memberikan bantuan keuangan kepada dusun berjumlah rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta) perdusun, telah menyusun sebuah keputusan melalui peraturan bupati nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gerakan dusun membangun (gdm) kabupaten bungo (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). pada perbub nomor 5 tahun 2017 yang telah di susun tersebut terdapat visi dan misi gdm, yang di jelaskan pada tabel sebagai berikut : journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 12 fajar trilaksana moedarlis tabel 1. visi dan misi gdm visi agar tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin pedesaan. kesehjateraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumberdaya yang ada di lingkungannya, mampun mengakses sumberdaya di luar lingkungannya, serta mengelola sumberdaya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. misi 1. peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya. 2. pelembagaan system pembangunan partisipatif. 3. pengefektifan fungsi dan peran pemerintah lokal. 4. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat. 5. mengembangkan jaringan kemitraan dalam pembangunan. sumber: perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm kabupaten bungo untuk mencapai visi dan misi gdm strategi yang dikembangkan adalah sebagai berikut : 1. menjadikan masyarakat miskin sebagai sasaran 2. menguatkan system partisipatif 3. kerjasama antar dusun 4. pemberdayaan maka gdm lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang di pilih, melalui gdm diharapkan masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam strategi ini karena kuncinya adalah kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam pembangunan dusun (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). adapun tujuan khususnya adalah meliputi yang dapat dijelaskan pada tabel sebagai berikut. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 13akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) tabel 2. tujuan dana gdm no tujuan 1 meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan kelompok perempuan, dalam mengambil keputusan, perencanaan dan pelaksanaan dan pemantauan pembangunan. 2 melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumberdaya lokal. 3 mengembangkan kapasitas pemerintah dusun dalam menfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif. 4 mendorong terbentuk dan berkembangnya kerja sama antardusun. 5 mengembangkan kerja sama antarpemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan. sumber: pergub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm kabupaten bungo untuk realisasi dana gdm tahun 2017 sebagaimana yang telah di intruksikan di dalam perbub nomor 5 tahun 2017, bahwa pelaksanaan dana gerakan dusun membangun (gdm) tahun 2017 harus dilaksanakan sesuai dengan keputusan yang berlaku yaitu seperti alur keuangan pertama harus melalui rekning kas umum daerah setelah itu ke rekening kas dusun, kemudian ada tim evaluasi di kecamatan, ada tim koordinasi kabupaten, ada supervisor atau pendamping yang diberi nama faskab berkedudukan di kabupaten, semuanya telah dilaksanakan, dan penggunaan dana harus selaras dengan visi misi, strategi, dan tujuan gdm (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). untuk lebih memahai terkait aturan pelaksaan dana gdm tahun 2017 dijelaskan pada tabel sebagai berikut: journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 14 fajar trilaksana moedarlis tabel 3. intruksi dan aturan oleh bupati dalam realisasi dana gdm no bagian pasal keterangan intruksi/aturan realisasi 1 kesatu 6 penyaluran dana dana gdm disalurkan dari rekening kas umum daerah ke rekening kas dusun pelaksanaan gdm tahun 2017 telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan yang berlaku 2 kedua 7 tim evaluasi di kecamatan camat melakukan tugas pembinaan pengawasan dusun. pembinaan dan pengawasan berbentuk bantuan fasilitas dan konsultasi. pelaksanaan pembinaan dan pengawasan camat fungsinya tidak terlalu kritikal, karena dalam pelaksanaannya camat hanya memverifikasi, ketika akan dilakukannya pencairan, kemudian dapat dilihat pemerintah desa masih kebingungan dalam administrasi 3 keempat 9 faskap faskap berkedudukan di kabupaten sebagai pendamping dan supervisor. faskap berhak mendapat honorarium faskab dalam tugasnya akan sangat kesulitan karena jumlah sdm faskab dengan jumlah dusun yang ada sangat tidak ideal, karena hanya terdiri dari 4 (empat) orang: 1 orang koordinator dan 3 orang fasilitator untuk mengurusi 141 dusun. sumber: perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm kabupaten bungo peraturan tersebut merupakan menjadi dasar komitmen pemerintah kabupaten dalam hal ini adalah bupati sebagai penggagas program dana gdm ini namun pertanggungjawaban dana gdm ini bukan semata-mata sebagai tanggungjawab bupati namun ada pemerintahan dusun juga harus bertanggungjawab untuk melaksanakan peraturan yang sudah ada. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 15akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) adanya legalitas pertaggungjawaban pelaksanaan janji kampanye peraturan dan legalitas kabupaten bungo dalam pelaksanaan dana gdm telah memiliki legalitas yang mendasar melalui perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gerakan dusun membangun yang di dalamnya sudah terdapat aturan pelaksanaan dana gdm dan sanksi-sanksi jika dalam pelaksanaan dana gdm tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah atur dan bersifat legal. pelaksanaan dana gdm dapat dibagi menjadi dua elemen yaitu peraturanturan untuk pemerintah kabupaten dan pemerintah dusun, sebagai berikut : 1. peraturan pemerintah kabupaten (dpmd) pemerintahan kabupten yang menjadi penanggungjawab langsung pelaksanaan dan gdm secara politik adalah bupati. dalam pelaksanaannya memiliki aturan dan sanksi yang harus dipatuhi, pada table sebagai berikut : tabel 4. peraturan pelaksanaan dana gdm pemerintah kabupaten menurut perbub nomor 5 tahun 2017 no sanksi sanksi program 1 sanksi program apabila dusun yang bersangkutan menyalahi wewenang, penyimpangan prosedur, tidak menyelesaikan kegiatan penundaan penyaluran bantuan 2 sanksi hukum hukuman sesuai dengan undangundang sumber: perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm kabupaten bungo sanksi yang diberikan masih belum tegas dalam upaya pencegahan, jika sanksi ini tidak tegas dan jelas akan rentan adanya peraktik penyimpangan dalam penggunaan dana gdm. begitu juga dengan sanksi hukum yang tertulis di dalam perbub masih tidak jelas, sanksi dikaitkan dengan undang-undang yang mana yang menjadi dasar untuk memberikan sanksi dan seperti apa sanksi yang di berikan. hal ini akan menyebabkan kebigungan dalam penindakan pemberian sanksi jika ada penyimpangan pelaksanaan dana gdm. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 16 fajar trilaksana moedarlis 2. peraturan khusus pemerintahan tingkat dusun (otonomi desa) pada pelaksanaan tingkat dusun yang menjadi penanggugjawab secara politik adalah rio (kepala desa). berdasarkan perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gerakan dusun membangun (gdm) kabupaten bungo memiliki ketentuan sebagai berikut berikut : tabel 5. peraturan pelaksanaan dana gdm pemerintahan dusun berdasarkan perbub nomor 5 tahun 2017 no aturan keterangan 1 peran pemerintahan dusun pemerintah dusun sebagai penerima gdm yang melaksanakan perencanaan sebagian dari pelaksanaan, pemerintah dusun wajib melibatkan masyarakat dusun, 2 partisipasi masyarakat masyarakat dusun berhak berpartisipasi dalam perencanaan, sebagian dari pelaksanaan dan pengawas kegiatan gdm. 3 jenis kegiatan kegiatan yang dapat dibiayai melalui gdm adalah sebagai berikut berdasarkan perbub nomor 5 tahun 2017 adalah : 1. pembangunan pelayanan dasar 2. pembangunan sarana dan prasarana dusun : 3. pembangunan ekonomi dusun 4. 4. pemberdayaan dusun sumber: perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm kabupaten bungo intruksi dan peraturan yang dapat dilihat pada tabel di atas yang diberikan kepada dusun sangat banyak namun tidak seberapa yang dapat terealisasi, hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya pendanaan yang diberikan dengan harapan pembangunan yang begitu banyak, maka untuk percepatan pembangunan memberikan uang kepada dusun belum menjadi solusi yang baik untuk percepatan pembangunan, apa yang tertulis didalam perbub terkait dana gdm masih terkesan sekedar teknis belum mengarah kepada hasil (output) dari kebijakan yang diberikan kepada dusun. kemudian peraturan dalam alur pelaksanaan dana gdm dibagi menjadi empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan terakhir evaluasi, yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 17akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) gambar 2. peraturan alur pelaksaan dana gdm berdasarkan perbub nomor 5 tahun 2017 gambar di atas merupakan alur pelaksanaan dana gdm menurut perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman petunjuk teknis program gdm, inti dari proses ini sebenarnya hanya terbagi 4 (empat) prinsip yaitu perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban anggaran atau pelaporan, dan yang terakhir adalah evaluasi. didalam gambar terdapat dua warana yaitu warna kuning dan biru, kolom yang berwarna biru artinya kegiatan yang berada pada sektor pemerintahan dusun sedangkan yang kenuning merupakan sektor pemerintah kabupaten. warna tersebut menjelaskan pada awalnya pemerintah kabupaten atau bupati menyusun kebijakan dana gdm kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi kepada dusun oleh faskab, kemudian dusun menyusun dokumen perencanaan yang kemudian di evaluasi oleh camat, kemudian menyusun rab pembangunan yang di verifikasi oleh faskab, setelah di verifikasi baru rio membuat dokumen permohonan penyaluran dana gdm. bersamaan dengan pengantar camat baru kemudian dpmd mengeluarkan surat rekomendasi yang akan di berikan kepada bpkad menerbitkan surat sp2d dana dana gdm bisa di transfer ke rekening dusun, stelah itu dana gdm direalisasikan oleh kasi (kepala seksi) dengan membuat spp dan di verifikasi oleh rio setelah di verifikasi uang dapat di ambil kepada bendahara. setelah dana direalisasikan pemerintahan dusun membuat dokumen pelaporan dan pertanggungjawaban. faskab memverifikasi pekerjaan dan dokumen pertanggungjawaban kemudian terakhir dilakukan evaluasi oleh pemkab untuk pencairan tahap berikutnya. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 18 fajar trilaksana moedarlis sanksi selain peraturan dalam pelaksanaan dana gdm di tingkat desa yang terpenting juga adalah sanksi. sanksi adalah salah satu bentuk pemberlakuan kondisi dikarenakan adanya pelanggaran atas peraturan dan tata cara yang telah ditetapkan di dalam pelaksanaan dana gdm dan sanksi bertujuan untuk menumbuhkan rasa tanggungjawab kepada pihak pelaksana dana gdm. berdasarkan perbub nomor 5 tahun 2017 sanksi yang dapat berupa, yaitu sebagai berikut : gambar 3. alur pemberian sanksi dalam pelaksanaannya pemerintah kabupaten bungo dalam memberikan sanksi yaitu kepada dusun sinamat ulu karena dalam dusun sinamat ulu tidak memberikan laporan realisasi kegiatan dan laporan pertanggungjawaban untuk pelaksanaan dana gdm tahap i. maka pemerintahan dusun sinamat ulu mendapat saksi yaitu tidak dapat mencairkan dana gdm tahap ii (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). adanya komitmen bupati dalam pelaksanaan dana gdm bupati bungo terpilih menunjukan keseriusan dan komitmennya dalam merealisasikan janji politiknya yaitu pelaksanaann dana gdm melalui perbub nomor 5 tahun 2017 yaitu tentang pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan dana gdm yang di dalamnya mengatur tentang pelaksaan dana gdm, system, beserta sanksi pertanggungjawababnya. terealisasinya dana gdm sesuai dengan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan dana gdm yaitu dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 19akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) tabel 6. komitmen bupati bungo terpilih dalam merealisasikan janji politik no komitmen pasal 1 dana gdm harus disalurkan dari rek kas umum daerah ke kas dusun pasal 6 2 membentuk tim evaluasi di kecamatan dan harus mengefektifkan fungsinya untuk membina dusun dalam pelaksanaan dana gdm pasal 7 4 pembentukan faskab sebagai supervisor pelaksanaan gdm pasal 9 5 gdm harus dikelola berdasarkan asas transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib anggaran. pasal 10 6 bupati harus ikut serta secara aktif melakukan pembinaan dan pengawasan pasal 11 sumber: perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjukteknis program gdm kabupaten bungo komitmen bupati bungo dalam merealisasikan janji kampanye untuk penyaluran pendanaan dusun sebelumnya harus memenuhi syarat-syarat dokumen berupa (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo) : 1. rpjmdus 2. rkpdus 3. apbdus 4. rab 5. surat permohonan pencairan namun terdapat situasi berbeda yang terjadi dengan dusun sinamat ulu yang sama sekali tidak memiliki dokumen rpjmdus, rkpdus, apbdus, rab (hasil wawancara dengan rozi kabag pmd pada tanggal 09/06/2018 di kantor kecamatan bathin iii ulu). begitu juga penulis berupaya mendapatkan data kepada pemerintahan dusun sinamat ulu namun rio dan perangkat dusun menolak untuk di temui, maka penulis melanjutkan untuk mendapatkan data kepada inspektorat dan dpmd untuk menganalisa bahwa dokumen benar-benar tidak ada (hasil wawancara dengan sofian kabag pemdus pada tanggal 10/06/2018 di kantor inspektorat kabupaten bungo dan sam koordinator faskab gdm 11/06/2018 di kantor dpmd kabupaten bungo). meskipun begitu dusun sinamat ulu tetap mendapatkan transfer dana gdm tahap i oleh pemerintah kabupaten, hal ini karena program gdm masih tahap awal yang harus di uji cobakan, tika tidak dilaksakan lalu kapan akan bisa dilaksanakan (hasil wawancara journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 20 fajar trilaksana moedarlis dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). adanya kebenaran dalam pelaksanaan dana gdm di dusun pelaksanaan dana gdm di dusun seiring dengan disahkannya perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis program gdm telah benar-benar dilaksanakan berdasarkan skema alur kegiatan yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut : gambar 4. skema alur kegiatan pelaksanaan dana gdm gambar di atas merupakan skema dan syarat pencairan tahap i dana gdm. pelaksanaan harus berasaskan kepada perinsip tertib, disiplin anggaran, transparansi, akuntabel dan, pertisipatif. pada awalnya adalah mempersiapkan dokumen perencaan rpjmdus, rkpdus, dan apbdus kemudian penyusunan desain kontruksi (rab) yang dilakukan secara partisipatif dengan sekema sebagai berikut : p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 21akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) gambar 5. skema penyusunan perencanaan yang partisipatif kemudian dokumen perencanaan dan penganggaran di verifikasi oleh faskab, kemudian baru dpmd menerbitkan sp2d untuk pencairan, untuk pencairan dilakukan transfer dari rek kabupaten ke rekening dusun. yang pelaksanaan dana gdm harus berdasarkan asas transparansi, akuntabel, partisipatif, dan dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). adanya kebenaran dalam pelaksanaan dana gdm di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu pemerintahan lubuk beringin dalam realisasi anggaran dana gdm tahap 1 tahun 2017 telah diterima dengan jumlah rp. 75.000.000 dan digunakan dengan tertib anggaran yang di perincikan penggunaannya seperti di atas sehingga uang keluar dengan jumlah rp. 72.215.000 dan uang yang tersisa pada saldo berjumlah rp. 9.159.649. namun dusun lubuk beringin mengaku sangat kesulitan dalam pembuatan dokumen-dokumen yang diharuskan oleh pemerintah kabupaten terutama pembuatan desaign rab sehingga harus membayar jasa pembuatannya di luar pemerintahan dusun, kemudian dokumen laporan pertanggungjawaban yang begitu banyak dokumen-dokumen yang harus di serahkan kepada pemerintahan kabupaten yang dirasa tidak akan juga di baca oleh pemerintah kabupaten, karena ada sangat banyak dokumen yang masuk dari 141 dusun se-kabupaten bungo. dusun timbolasi sama halnya dengan dusun lubuk beringin dalam pelaksanaan dana gdm penyusunan perencanan telah dilakukan dengan partisipatif yaitu melibatkan perangkat dusun, tokoh masyarakat, beserta bersama masyarakat dusun itu sendiri. (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 22 fajar trilaksana moedarlis pemerintahan dusun timbolasi dalam realisasi anggaran dana gdm tahap 1 tahun 2017 telah diterima dengan jumlah rp. 75.000.000 dan digunakan dengan tertib anggaran yang di perincikan penggunaannya seperti di atas sehingga uang keluar dengan jumlah rp. 74.335.000 dan uang yang tersisa pada saldo berjumlah rp. 665.000. namun untuk rincian penerimaan pajak tidak dijabarkan di dalam penerimaan. kemudian sama halnya dengan dusun lubuk beringin mengeluhkan sulitnya system yang sekarang menyebabkan pemerintahan dusun lebih sibuk mengurusi dokumen dari pada hal lain. sedangkan dusun sinamat ulu, memiliki situasi yang berbeda dibandingkan dengan dusun lubuk beringin dan timbolasi dari segi jarak tempuh, geografis, dan akses jalan begitu juga dalam pelaksanaan dana gdm dusun sinamat ulu tidak melakukan penyusunan dokumen perencanaan sama sekali. namun pemerintah kabupaten tetap memberikan dana gdm tahap i (satu) karena diberikan dispensasi. kenapa bisa seperti itu karena dana gdm baru percobaan tahap awal, namun dusun sinamat ulu walaupun telah di berikan dispensasi namun tetap tidak penyusunan dokumen perancanaan. bahkan realisasi anggaran tidak jelas di gunakan untuk pembangunan apa, bahkan sampai pada tahap pelaporan pertanggungjawaban masih tidak memberikan dokumen pertanggungjawaban sehingga dusun sinamat ulu mendapat sanksi tidak dapat mencairkan untuk tahap ii, dan jika masih tidak ada kejelasan akan di proses secara hukum (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). tabel 7. komparasi kebenaran pelaksanaan dana gdm di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu no kebenaran dalam pelakasanaan dusun lubuk beringin dusun timbolasi dusun sinamat ulu 1 adanya dokumen perencanaan (rpjmd, rab) ada ada tidak ada 2 adanya dokumen laporan realisasi anggaran (lpj) ada ada tidak ada dari analisa tersebut dalam pelaksanaan dana gdm pada pemerintah dusun lubuk beringin dan timbolasi telah benar-benar dilakukan sesuai dengan intruksi bupati yang dijabarkan pada perbub nomor 5 tahun 2017. namun untuk dusun sinamat ulu masih belum benar-benar dilakukan karena masih terdapat beberapa kendala yaitu yang berada di dusun sinamat ulu khusunya yang di sebabkan karena keterbatasan sdm, akses yang sulit, jumlah desa yang banyak, prosedur yang sulit, maka dari itu perlu adanya kajian lebih lanjut terkait pelaksanaan dana gdm ini. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 23akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) adanya transparansi penggunaan dana gdm di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu jika dibandingkan bentuk transparansi yang dilakukan oleh dusun sinamat ulu dan timbolasi pelaksanaannya sama-sama telah berupaya menunjukan transparansi namun hanya sebatas mengikuti intruksi didalam perbub nomor 5 tahun 2017, dan transparansi yang ditunjukan hanya jumlah total pembiayaan atau belum dirincikan secara mendetail penggunaan dan harga material apa saja, bagi masyarakat melihat ini hanya sebatas formalitas ksrena sulit untuk memahami jika hanya total keseluruhan yang ditampilkan pada sepanduk pertanggungjawaban tersebut. jika dibandikan antara dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu. sianamat ulu belum samasekali menunjukan transparansinya dalam penggunaan dana gdm karena tidak ada data yang mendukung untuk menjukan dusun sinamat ulu transparansi atau tidak bahkan perangkat desa di dusun tersebut menolak untuk di wawancarai. sebaiknya isi dari spanduk yang dipajang sesuai dengan rab agar lebih rinci dan jelas, seperti pada tabel sebagai berikut: journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 24 fajar trilaksana moedarlis tabel 8. laporan pertanggungjawaban realisasi gdm no uraian penerimaan (rp) pengeluaran (rp) saldo 1 terima dana transfer dari sp2d 75.000.000 75.000.000 2 dibayarkan kepada sumber makmur pembelian semen 25 sak 9.019.000 65.981.000 terima ppn dn 901.900 66.882.900 terima pph pasal 22 121.757 67.004.657 3 pembayarantukang 10.358.000 56.646.657 4 pembelian keramik 21.605.000 35.041.657 terima ppn dn 2.160.500 37.202.157 terima pph pasal 22 291.668 37.493.824 5 belanjapasir dan kerikil 4.343.000 33.150.824 pajak galian c 220.000 33.370.824 6 pembelian perlenkapan dan bahan baku 1.324.000 32.046.824 7 pembelian kursi, meja lemari, papan tulis, dan pembatas lokal 20.000.000 12.046.824 terima ppn dn 2.000.000 14.046.824 terima pph pasal 22 270.000 14.326.824 8 pembelian spanduk papan kegiatan 251.000 14.065.824 9 pembuatan dana prasasti dana gdm 1.115.000 12.950.824 terima ppn dn 111.500 13.062.824 terima pph pasal 22 15.053 13.077.377 10 pembuatan desaign rab 1.500.000 11.577.377 11 kepada saudara anwar 2.700.000 8.877.377 terima ppn dn 245.455 9.122.831 terima pph pasal 22 36.818 9.159.649 jumlah 81.374.649 72.215.000 9.159.649 sumber: laporan pertanggungjawaban dana gdm tahap i tahun 2017 pembangunan madrasah agar memudahkan masyarakat untuk memahami jumlah total yang di tampilkan dan agar lebih jelas sebaiknya ditampilkan beserta rincian seperti pada tabel di atas yang bersumber dari rab masing-masing dusun. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 25akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) tabel 9. komparasi adanya trasnparansi di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu no adanya transparansi dalam perencanaan dana gdm dusun lubuk beringin dusun timbolasi dusun sinamat ulu 1 meberikan informasi penggunaan dana gdm kepada publik ada ada tidak ada dari analisa tersebut dalam pelaksanaan dana gdm pada pemerintah dusun lubuk beringin dan timbolasi telah transparansi namun sebaiknya dalam memberikan papan informasi harus ditampilkan dengan rinciannya sehingga masyarakat mendapat informasi yang lebih jelas. sedangkan dusun sinamat ulu belum transparan. adanya partisipatif dalam perencanaan dana gdm di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu dusun lubuk beringin dalam pelaksanaan penyusunan dokumen perencanaan telah dilakukan dengan partisipatif yaitu melibatkan seluruh stakeholder yang ada di dusun (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). tabel 10. partisipasi dalam rapat penyusunan rpjmdus no nama jabatan 1 muhammad solihin sebagai rio/kepala desa 2 hadirin sebagai ketua bpd 3 aljupri sebagai ketua rt 4 hadari sebagai ketua rt 5 seholit sebagai kepala kampung 6 mukhlis sebagai kepala kampung 7 sadi sebagai perwakilan tokoh masyarakat sumber: rpjmdus lubuk beringin tahun 2014-2019 kemudian jika dibandingkan antara dusun lubuk beringin dan dusun timbolasi. dusun timbolasi dalam pelaksanaan dana gdm penyusunan perencanan telah dilakukan dengan partisipatif yaitu melibatkan perangkat dusun, tokoh masyarakat, beserta bersama masyarakat dusun itu sendiri. (hasil wawancara dengan selcy, kepala seksi dpmd pada tanggal 06/06/2018 di kantor dinas pmd kabupaten bungo). journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 26 fajar trilaksana moedarlis stakeholder yang berpartisipasi pada musyawarah penyusunan perancanaan, sebagai berikut: tabel 11. partisipasi anggota dalam rapat penyusunan rpjmdus no nama jabatan 1 junit sebagai rio/kepala desa 2 muzir sebagai ketua bpd 3 zainubi sebagai sekertaris dusun 4 kaidir sebagai ketua rt 5 hardi sebagai kepala kampunng 6 juanda sebagai kepala kampung 7 saleh sebagai tokoh masyarakat sumber: rpjmdus timbolasi tahun 2014-2019 sedangkan dusun sinamat ulu, memiliki situasi yang berbeda dibandingkan dengan dusun lubuk beringin dan timbolasi dari segi jarak tempuh, geografis, dan akses jalan begitu juga dalam pelaksanaan dana gdm dusun sinamat ulu tidak melakukan penyusunan dokumen perencanaan sama sekali tapi pemerintah kabupaten tetap memberikan dana gdm tahap i (satu) karena diberikan dispensasi. kenapa bisa seperti itu karena dana gdm baru percobaan tahap awal, namun dusun sinamat ulu walaupun telah di berikan dispensasi namun tetap tidak penyusunan dokumen perancanaan. tabel 12. komparasi adanya perencanaan yang partisipatif di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu no adanya partisipatif dalam perencanaan dana gdm dusun lubuk beringin dusun timbolasi dusun sinamat ulu 1 melakukan penyusunan dokumen perencanaan (rpjmdus, rkpdus, rab) ada ada tidak ada 2 melibatkan seluruh stakeholder di dusun dalam penyususnan dokumen perencanaan ada ada tidak ada dari analisa tersebut dusun lubuk beringin dan timbolasi telah melakukan penyusunan dokumen perencanaan dengan partisipati, namun berbeda dengan halnya dusun sinamat ulu tidak melakukan penyusunan dokumen perencanaan samasekali. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 27akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) namun dalam penyusunan dokumen perancanaan ini dilakukan tanpa pendampingan dari kecamatan maupun dari kabupaten hal ini dapat menyebabkan kesulitan pemerintah dusun dalam menyususn dokumen perencanaan karena keterbatasan sdm dan sulitnya prosedur pembuatan dokumen perencanaan harus dilakukan oleh ahli. sebaiknya dilakukan pendampingan agar dokumen yang di hasilkan sesuai dengan setandar harapan kabupaten, sehingga tidak terlalu banyak diakhir verifikasi dokumen perencanaan. adanya kebenaran dalam pelaporan pertanggungjawaban dana gdm di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajibannya pelaksanaan dan gdm, pemerintahan dusun memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang disampaikan ke bupati melalui camat dan faskab/dpmd. dengan alur proses sebagai berikut: gambar 6. alur pelaporan realisasi dan pertanggungjawaban dusun lubuk beringin dan dusun timbolasi dalam pelaporan pertanggungjawaban telah dilaksanakan. dusun lubuk beringin dalam menggunakan dana gdm tahap i (satu) adalah untuk renovasi pembangunan sekolah madrasah dengan rincian realisasi anggaran berdasarkan laporan pertanggung jawaban (lpj) sebagai berikut: journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 28 fajar trilaksana moedarlis tabel 13. pelaksanaan dana gdm tahap i tahun 2017 oleh dusun lubuk beringin no uraian penerimaan (rp) pengeluaran (rp) saldo 1 terima dana transfer dari sp2d 75.000.000 75.000.000 2 dibayarkan kepada sumber makmur pembelian semen 25 sak 9.019.000 65.981.000 terima ppn dn 901.900 66.882.900 terima pph pasal 22 121.757 67.004.657 3 pembayarantukang 10.358.000 56.646.657 4 pembelian keramik 21.605.000 35.041.657 terima ppn dn 2.160.500 37.202.157 terima pph pasal 22 291.668 37.493.824 5 belanja pasir dan kerikil 4.343.000 33.150.824 pajak galian c 220.000 33.370.824 6 pembelian roli, ember cor, skop, centong untuk sendok semen, cangkul, benang dan selang air. 1.324.000 32.046.824 7 pembelian kursi, meja lemari, papan tulis, dan pembatas lokal 20.000.000 12.046.824 terima ppn dn 2.000.000 14.046.824 terima pph pasal 22 270.000 14.326.824 8 pembelian spanduk papan kegiatan 251.000 14.065.824 9 pembuatan dana prasasti dana gdm 1.115.000 12.950.824 terima ppn dn 111.500 13.062.824 terima pph pasal 22 15.053 13.077.377 10 pembuatan desaign rab 1.500.000 11.577.377 11 kepada saudara anwar 2.700.000 8.877.377 terima ppn dn 245.455 9.122.831 terima pph pasal 22 36.818 9.159.649 jumlah 81.374.649 72.215.000 9.159.649 sumber: laporan pertanggungjawaban dana gdm tahap i tahun 2017 pembangunan madrasah pemerintahan lubuk beringin dalam realisasi anggaran dana gdm tahap 1 tahun 2017 telah diterima dengan jumlah rp. 75.000.000 dan digunakan dengan tertib anggaran yang di perincikan penggunaannya seperti di atas sehingga uang keluar dengan jumlah rp. 72.215.000 dan uang yang tersisa pada saldo berjumlah rp. 9.159.649. dusun timbolasi dalam merealisasikan dana gdm tahap i tahun 2017 yaitu untuk pembangunan sekolah dengan rincian sebagai berikut: p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 29akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) tabel 14. pelaksanaan dana gdm tahap i tahun 2017 oleh dusun timbolasi no uraian penerimaan (rp) pengeluaran (rp) saldoawal saldo akhir 1 terima dana transfer dari sp2d dana gdm 75.000.000 75.000.000 2 pembelian semen 300 sak x 76.000 22.800.000 3 pembelian pasir uruq 6 m3 x 146 000 876.000 4 pembelian pasir beton 50 m3 x 167.000 8.350.000 5 pembelian kerikil 70 m3 x 214.000 14.980.000 6 pembelian papan cor 8 m3 x 150.000 12.000.000 7 pembelian paku 20 kg x 20.000 400.000 8 pembelian cangkul 2 buah 150.000 9 pembuatan papan kegiatan 279.000 10 upah tukang pekerja 13.000.000 11 membuat desaign rab 1.500.000 jumlah 81.374.649 74.335.000 75.000.000 665.000 sumber: laporan pertanggungjawaban dana gdm tahap i tahun 2017 pembangunan madrasah dari data di atas pemerintahan dusun timbolasi dalam realisasi anggaran dana gdm tahap 1 tahun 2017 telah di terima dengan jumlah rp. 75.000.000 dan digunakan dengan tertib anggaran yang di perincikan penggunaannya seperti di atas sehingga uang keluar dengan jumlah rp. 74.335.000 dan uang yang tersisa pada saldo berjumlah rp. 665.000. namun dalam penyusunan dokumen pemerintah dusun sangat kesulitan karena dokumen yang dilampirkan sangat banyak. prosedur ini sebenanarnya berbelit untuk diterapkan pada pemerintahan dusun. pemerintahan dusun akan kewalahan untuk mengurusi dokumen-dokumen dengan fasilitas dan sdm seadanya. dengan kondisi di dusun yang terbatas tentu saja sistem yang ada saat ini sangat tidak relevan dengan jumlah dusun yang banyak, sedangkan anggota faskab hanya sedikit, kondisi ini tambah di persulit dengan jarak setiap dusun yang jauh jika ada revisi. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 30 fajar trilaksana moedarlis dusun sinamat ulu sama sekali tidak memberikan laporan pertanggunjawabanya, hal ini menjadi penyelidikan oleh inspektorat terkait penggunaan dana gdm di dusun sinamat ulu, menurut dmpd situasi ini disebabkan karena jauhnya lokasi dusun sehingga menghambat pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan kabupaten, dan disebabkan juga jumlah sdm pemerintah kabupaten untuk dapat secara berkala memberikan pembinaan karena sangat banyak desa yang harus di urus yaitu sebanyak 141 desa yang diantara memiliki akses yang sangat sulit. kemudian hal ini juga disebabkan karena sdm yang kurang memadai pada pemerintahan tingkat dusun karena terbatasnya akses informasi dan pendidikan. tabel 15. komparasi adanya laporan pertanggungjawaban di dusun lubuk beringin, timbolasi dan sinamat ulu no adanya laporan peretanggungjawaban dusun lubuk beringin dusun timbolasi dusun sinamat ulu 1 laporan realisasi dana gdm ada ada tidak ada 2 adanya dokumen lpj ada ada tidak ada maka perbandingan dalam pelaporan pertanggungjawaban untuk dusun lubuk beringin dan dusun timbolasi telah dilaksanakan dengan baik walaupun pemerintah dusun sangat kesulitan dalam melaksanaknnya, bebeda halnya dengan dusun sinamat ulu yang tidak melakukan perlaporan pertanggungjawaban sama sekali. penutup kesimpulan berdasarkan hasil analisis dari penelitian tentang akuntabilitas politik dalam anggaran publik dana gdm di kabupaten bungo, bahwa pemerintah kabupaten bungo telah akuntabel kerena bupati terpilih telah merealisasikan janji politiknya yaitu memberikan pendanaan kepada setiap dusun dengan jumlah rp. 250.000.000 per dusun. kemudian terkait legalitas pertanggungjawaban telah ada yang tertulis di dalam perbub nomor 5 tahun 2017 yaitu terdapat aturan dan sanksi yang legal terhadap pelaksanaan dana gdm dan adanya komitmen beputi untuk menjalankan dana gdm dengan sebaiksebaiknya yaitu sudah ada juga tertuang di dalam perbub nomor 5 tahun 2017. namun dalam realisasi jumlah nominal pendanaan yang di berikan oleh dusun berbeda dengan janji kampanye yaitu seharusnya pendanaan diberikan dengan jumlah rp. 250.000.000 namun untuk pencairan tahap i hanya rp. 150.000.0000 hal ini disebabkan karena dana gdm merupakan program yang baru saja dilaksanakan yang memiliki resiko yang tinggi apabila terjadi kesalahan dalam tahap awal penggunaannya, p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 31akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) maka sembari mendapatkan strategi yang benar-benar sesuai dengan situasi dan wilayah pada dusun-dusun di kabupaten bungo, pemerintah muara bungo melaksanaankan dengan jumlah pendanaan yang belum full seluruhnya hal ini dilakukan juga agar dapat melihat hasil dari pelaksanaan di awal akan seperti apa dan menjadi bahan evaluasi. legalitas pertanggungjawaban, dari analisa kasus yang terjadi pada dusun sinamat ulu pemerintah kabupten telah memberikan sanksi terhadap dusun tersebut namun dengan porsi kesalahan yang telah dilakukan seharusnya sanksi yang diberikan tidak hanya sekedar sanksi teguran lisan atau penundaan pendanaan, namun harus dapat di proses secara hukum, karena permasalahan di dusun tersebut dalam penggunaan dana gdm tidak jelas arahnya, dan sama sekali acuh terhadap peraturan yang telah di tetapkan, yang mana pengelolaan keuangan di dusun merupakan tanggung jawab rio tersebut. walaupun tidak dapat di pungkiri bahwa jauh dan sulitnya akses menuju ke dusun tersebut justru seharusnya harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah kabupaten. kemudian bupati terpilih telah berkomitmen dalam pelaksanaan dan gdm karena telah terealisasinya dalam segi pendanaan, system, maupun pengorganisasian gdm yang seluruhnya telah tertuang di dalam perbub nomor 5 tahun 2017 tentang pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan dana gdm. perbandingan antara dusun lubuk beringin dan tombolasi telah sama-sama akuntabel dalam penggunaan dana gdm, karena telah melaksanakan penyususan dokumen perencanaan dengan partisipatif, serta realisasi anggaran yang terdokumentasikan pada rab dengan baik dan terperinci, begitu juga dengan bangunan fisik yang tampak, kemudian dokumen laporan pertanggungjawaban seluruhnya telah dilaksanakan beserta melakukan transparansi berupa papan informasi pelaksanaan didalam area pembangunan. namun hal yang berbeda terdapat di dusun sinamat ulu pemerintahan ini sama sekali tidak akuntabel, karena realisasi anggaran yang fiktif, tidak melaksanakan pelaksanaan dokumen perencanaan, tidak melakukan musyawarah, bahkan tidak sama sekali memberikan laporan pertanggungjawaban sedangkan dalam pencairan dana gdm tahap i dengan merata telah diberikan oleh pemerintah kabupaten bungo. situasi ini disebabkan karena jauhnya lokasi dusun sehingga menghambat pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan kabupaten, dan disebabkan juga jumlah sdm pemerintah kabupaten untuk dapat secara berkala memberikan pembinaan karena sangat banyak desa yang harus di urus yaitu sebanyak 141 desa yang diantara memiliki akses yang sangat sulit. kemudian hal ini juga disebabkan karena sdm yang kurang memadai pada pemerintahan tingkat dusun karena terbatasnya akses informasi dan pendidikan. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 32 fajar trilaksana moedarlis saran berdasarkan kesimpulan diatas, maka didapatkan beberapa saran/rekomendasi sebagai berikut: 1. rekomendasi kepada pemerintah kabupaten bungo dalam hal ini pemerintahan dusun mengaku kesulitan dengan sistem yang ada sekarang karena sangat banyak dokumen yang harus disusun, hal menyebabkan pemerintahan dusun hanya sibuk mengurusi administrasi namun dalam pelaksanaan pembangunan yang nyata menjadi kurang maka dari itu pemerintah kabupaten sebaiknya dapat memberikan sistem yang lebih ringkas dan mudah untuk diaplikasikan oleh pemerintah dusun namun dapat di petanggungjawabkan, karena tidak semua dusun mendapat akses yang mudah untuk menjalankan sistem yang ada sekarang, karena sebagian dusun memiliki jarak tempuh yang jauh, sdm yang tidak memadai, akses informasi sulit. kemudian sdm dari pemerintahan kabupaten untuk melakukan pengawasan dan pembinaan masih sangat kurang atau tidak sebanding, sedangkan jumlah dusun yang harus diurusi adalah sebanyak 141 dusun. sedangkan tim faskab sebagai sepervisior hanya berjumlah 4 (empat) orang yang terdiri dari 1 (satu) koordinator dan 3 fasilitator. maka pemerintah kabupatan sebaiknya menambahkan sdm untuk lebih efektif melakukan pengawasan dan pembinaan pada setiap dusun yang jumlahnya sangat banyak agar dapat sebanding. kemudian dalam meberikan peraturan dan sanksi sebaiknya pemerintah kabupaten menjelaskan dengan jelas dan tegas kepada pemerintahan dusun atau dalam hal ini yaitu rio sebagai penanggungjawab pelaksanaan di dusun jika melakukan penyimpangan terhadap penggunaan dana gdm maka harus di hukum penjara. pemerintah kabupaten sebaiknya berkoordinasi dengan pemerintahan kecamatan untuk selalu dengan aktif memberikan pembinaan, kontrol, serta pengawasan kepada setiap dusun, namun yang diutamakan dan memberikan perhatian khusun kepada dusun yang benar-benar memiliki akses yang sulit. 2. rekomendasi kepada pemerintah dusun sebaiknya pemerintah dusun dalam penggunaan dana gdm dapat mengarahkan penggunaannya pada pembangunan yang produktif dalam segi ekonomi masyarakat contohnya adalah pembangunan jalan keperkebunan karet atau sawit masyarakat dan membangun pariwisata dusun dengan memanfaatkan potensi alam yang ada di dusun. kemudian sebaiknya pemerintahan desa dapat selalu dapat berkoordinasi kepada pemerintahan kabupaten terkait kendala, dan kesulitan yang dihadapi di dusun sehingga pemerintah dusun selalu mendapat referensi dalam membangun sistem gdm yang lebih baik. p-issn 2579-4396, e-issn 2579-440x 33akuntabilitas politik dalam anggaran (studi kasus: dana gerakan dusun membangun (gdm) di kabupaten bungo) referensi marijan kacung. 2010. sistem politik inonesia: konsolidasi demokrasi pasca orde baru. jakarta: kencana prenada media group. mardiasmo. 2002. akuntansi sektor publik. penerbit andi. yogyakarta. abimanyu. 2005. analisis pengaruh dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah terhadap prediksi belanja daerah: studi empirik di wilayah provinsi jawa tengah & diy. jaai, vol. 08, no. 2. moloeng. 2009. metodologi penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya. mardiasmo. 2009. akuntansi sektor publik, yogyakarta: andi. bppk. 2015. petunjuk pelaksanaan bimbingandan konsultasi pengelolaan keuangan desa. tim penyusun: deputi bidang pengawasan penyelenggaraan keuangan daerah. pujiagus, dan madya widyaiswara. 2015: juklak bimkon pengelolaan keuangan desa: sistem dan prosedur pertanggungjawaban keuangan desa. didalam http:// bppk.kemenkeu.go.id/diakses 20/10/2016 pukul 23:32. jane linda. 1991. reporting of governmental performance indicators for assessment of public accountability. desertasi publik admistrasi, arizona state university. griffin, charles c. 2010. lives in the balance : improving accountability for public spending in developing countries. whashington dc: broking intitutions press. katrina. 2006. making public finance public: subnational budget wacth in croatia, macedonia, and ukraine. hungary: local government and public service reform initiative. davey, kenneth. 2009. making government accountable: local government audit in postommunist europa. hungary: local government and public service reform initiative. jordan, dkk. 2006. ngo accountability: politic, principles and innovation. london : earth scan. heywood andrew. 2013. politik: edisi keempat.yogyakarta: pustaka pelajar. dahl. modern political analysis. inu k. syafiie. 2013. ilmu pemerintahan. bandung: mandar maju hoogerwert. 1985. politikologi (polititologie). jakarta: erlangga thoha miftha. 1984. dimensi-dimensi prima ilmu administrasi negara. jakarta: rajawali. harvard law review. 1994. federalism, political accountability, and the spending clause. the harvard law review association, vol. 107, no 6. joy marie moncrieffe. 1998. reconceptualizing political accountability. sage publications, vol. 19, no. 4.yang john s. thomas. 1975. government accountability: for what?. taylor & francis, ltd, vol. 1, no. 2. radoslaw. 2006. accountability and institutional design in new democracies. international journal of sociology, vol. 36, no. 2. arce alberto. 2009. accountability politics: power and voice in rural mexico by jonathan fox. journal of latin american studies, vol. 41, no. 1, hal 193-194. journal of government and civil society, vol. 3, no. 1, april 2019 34 fajar trilaksana moedarlis ladipo omowunmi, dkk. 2009. accountability in public expenditures in latin america and the caribbean revitalizing reforms in financial management and procurement. washington dc: the world bank. scarparo simona. 2008. accountability in the uk devolved parliament and assemblies. usa and canada: routledge. novianti, dkk. 2015. politik komisi pemilihan umum daerah pada pelaksanaan pilkada 2010 kabupaten situbondo. junal ilmu sosial dan ilmu politik, vol. 4, no. 3. nafidah, dkk. 2017. akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di kabupaten jombang. akuntabilitas: jurnal ilmu akuntansi, vol 10, no. 2. wicaksono widya. 2015. akuntabilitas organisasi sektor publik. jurnal kebijakan & administrasi publik, vol 19, no. 21. mulgan richard. 2017. accountability in multilevel governance: the example of australian federalism. conceptual challenges and case studies from australia: anu press. baharudin. 2013. akuntabilitas pelayanan publik: studi kasus pelayanan perizinan mendirikan bangunan di kota makassar. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, vol. 31, no. 2. goodhart michael. 2011. democratic accountability in global politics: norms, not agents. the university of chicago press on behalf of the southern political science association, vol 71, no. 1. lyne. 1960. the voter’s dilemma and democratic accountability. the pennsylvania state university press, university park. aan jaelani. 2015. management of public finance in indonesia: review of islamic public finance. musgrave, dkk. 1989. public finance in theory and practise. mc graw hill book company. buchanan. 1967. public finance in democratic process. chapel hill, n.c : university of north carolina press. harvey. 2002. public finance: essay for the encyclopedia of public choice. princeton university: ceps working paper. bphn, kementerian hukum dan ham republik indonesia, www.bphn.go.id. indradi sjamsiar. 2017. etika birokrasi dan akuntabilitas pemerintahan: manajemen birokrasi dan akuntabilitas sektor publik. malang: intrans publising. halim abdul. 2012. pengelolaan keuangan daerah. yogyakarta: upp stim ykpn. copyright (c) 2019 journal of government and civil society this work is licensed under acreative commons attribution-sharealike 4.0 00.pdf 00. halaman prelims daftar isi