2 (mitologi yunani) &Journal of GovernmentCivil Society JGCS ISSN 2579-4396 E-ISSN 2579-440X Journal of Government and Civil Society Volume 3 Nomor 2 Halaman 93 - 152 September 2019 ISSN 2579-4396 93 - 104 Implementasi Kebijakan Perlindungan Khusus pada Program Kota Layak Anak di Kota Makassar Junaedi (Department of Government Studies, Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia) 105 - 116 Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta Muhammad Quranul Kariem1, Dwian Hartomi Akta Padma Eldo2 (1Prodi Studi Pemerintahan, Universitas Indo Global Mandiri, Indonesia) (2Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Tegal, Indonesia) 117 – 128 Evaluasi Kebijakan Tata Ruang dan Bangunan Reklamasi Pantai Metro Tanjung Bunga Kota Makassar Aswar Annas1, Zaldi Rusnaedy2 (1Institut Teknologi Digital dan Pariwisata Amanna Gappa Makassar, Indonesia) (2Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Makasar, Indonesia) 129 – 138 Analisis dalam Implementasi Kebijakan Program Bedah Rumah di Kota Tangerang Arif Ginanjar (Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Tangerang, Indonesia)) 139 - 152 Disiplin Pegawai sebagai Upaya Menekan Patologi Birokrasi di Dinas Binamarga Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Bandung Barat Rendy Adiwilaga (Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Bale Bandung, Indonesia) Journal of Government Civil Society Daftar Isi (Table of Content)  105 Citation : Kariem, Muhammad Quranul dan Dwian Hartomi Akta Padma Eldo. 2019. “Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta”. Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, 105-116. Journal of Government and Civil Society Vol. 3, No. 2, September 2019, pp. 105-116 DOI: 10.31000/jgcs.v3i2.1726 Received 9 July 2019  Revised 17 Oktober 2019  Accepted 18 Oktober 2019 Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta The Political Attitudes of the Special Region of Yogyakarta Parliament (DPRD) on Leadership Succession Discourse in Yogyakarta Palace Muhammad Qur’anul Kariem1, Dwian Hartomi Akta Padma Eldo2 1Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri Palembang, Indonesia Email : mquranul@uigm.ac.id 2Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Tegal, Indonesia Email : dwianhartomieldo@upstegal.ac.id ABSTRAK Pasca pengesahkan Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta oleh DPRD, memicu sebuah persoalan. Pasal 18 huruf m terkait syarat yang harus dipenuhi oleh Calon Gubernur dan Wakil Gubernur adalah harus menyerahkan salah satunya Daftar Riwayat Hidup Istri. Dengan ini berarti, secara tersirat calon Gubernur DIY adalah harus seorang laki-laki. Keraton Yogyakarta langsung merespon dengan mengeluarkan Dhawuh Raja serta mengangkat Puteri pertama Sultan Hamengku Buwono X sebagai Puteri Mahkota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pengangkatan tersebut dianggap bertentangan dengan paugeran Kraton dan Perdais No. 2 Tahun 2015 terkait Tatacara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pandangan politik Anggota DPRD DIY terhadap wacana suksesi di Kraton Yogyakarta. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan melakukan wawancara pada pimpinan fraksi di DPRD DIY. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padangan politik fraksi di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi tiga dalam memandang regulasi tersebut, menyetujui suksesi, menolak suksesi, dan Perdais, dan pandangan abstain terhadap wacana suksesi. Kesimpulannya adalah, tujuh fraksi yang ada di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai penafsiran masing–masing terhadap UUK dan Perdais, hal ini akan menilbulkan persoalan, ketika melakukan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam mekanisme politik yang ada di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Keywords: Kraton, Kepemimpinan, Politik, Daerah Istimewa Yogyakarta ABSTRACT After the ratification of the Special Region Regulation No. 2 of 2015 concerning Procedures for Filling in the Position of the Governor and Deputy Governor of the Special Region of Yogyakarta by the DPRD triggered a problem. Article 18 letter m related to the conditions that must be fulfilled by the candidates for Governor and Deputy Governor are that they must submit the curriculum vitae of their wife. By this, it is implied that the candidate for Governor of DIY must be a man. The Yogyakarta Palace responded immediately by issuing Dhawuh Raja and appointed Sultan Hamengku Buwono X’s first Princess as the Crown Princess of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate. The appointment was considered to be in contradiction with the court palace and Special Region Regulation No. 2 of 2015 concerning Procedures for the Election of Governors and Deputy Governors. The purpose of this study was to determine the political views of the members of the Yogyakarta Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 106 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo Special Region Parliament on the succession discourse in the Sultan’s Palace. The research method used was a descriptive qualitative research method, by conducting interviews with the leaders of the factions in the Yogyakarta Special Region Parliament. The results showed that the political views of the factions in the DPRD the Special Region of Yogyakarta were divided into three in viewing the regulation, approving succession, rejecting succession, and Perdais, and abstaining from the discourse of succession. The conclusion is that the seven factions in the DPRD of the Special Region of Yogyakarta have their respective interpretations of the UUK and Special Region Regulation, this will cause problems, when filling the positions of the governor and deputy governor in the political mechanism in the DPRD of the Special Region of Yogyakarta. Keyword: Palace, Leadership, Politics, Special Region of Yogyakarta PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu daerah yang bersifat istimewa di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keistimewaan tersebut didukung oleh konstitusi (UUD 1945), yang dalam pasal 18b ayat 2 menyebutkan bahwa negara menghormati dan mengakui daerah – daerah yang berciri khusus atau bersifat istimewa yang diatur oleh Undang – Undang. Yogyakarta mempunyai kewenangan istimewa diluar hal yang telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Beberapa hal diatur dalam Undang – Undang Keistimewaan (UUK), salah satu diantaranya adalah tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan cara penetapan. Dalam UUK, menjelaskan kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta berhak atas jabatan Gubernur dan Kanjeng Gusti Adipati Arya Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. Tata cara pengisian jabatan tersebut, haruslah melalui proses politik yang ada di DPRD DIY. Persoalan timbul, ketika Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY disahkan pada awal tahun 2015, dimana terdapat polemic salah satu pasal 18 huruf m yang berbunyi “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak......”. Adanya redaksi pada salah satu pasal yang berbunyi demikian menimbulkan tafsir yang berbeda-beda disetiap kalangan, karena jika demikian secara tersirat menyebutkan bahwa Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta haruslah seorang laki – laki. Tafsir terhadap Pasal tersebut berarti menutup peluang bagi kaum perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Sebab, di dalamnya hanya mencantumkan kata “istri” dan tidak ada kata “suami”. Artinya, Gubernur DIY harus laki-laki Pasca terbitnya Perda Nomor 2 Tahun 2015 terkait Tata cara pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, Kondisi internal Kraton menjadi berubah. Karena salah satu pasal yang menjelaskan terkait pengumpulan Daftar Riwayat Istri tersebut. Sebagai Pemimpin tertinggi Kraton DIY yang diberi keleluasaan untuk memilih siapa P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 107Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta yang akan melanjutkan takhta Kerajaan, Sultan merasa terlalu dicampuri urusan internalnya Oleh DPRD yang mana bertugas menyusun Perda tersebut. Kondisi saat ini adalah Kesultanan Yogyakarta tidak memiliki Putra Mahkota, karena memang Anak dari Sultan Hamengkubuwono X seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Kondisi seperti ini yang membuat masyarakat bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi penerus takhta kesultanan sekaligus menjabat Gubernur DIY selanjutnya. Terjadinya kondisi seperti ini Gubernur DIY yang menjabat sebagai Raja Kraton tidak berdiam diri semata dan langsung melakukan reaksi dengan di keluarkannya Sabdatama. Sabdatama berbunyi (1) Tak seorang pun bisa mendahului wewenang Raja Kraton (2) Tak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan ihwal Mataram. Terlebih aturan mengenai Raja, termasuk aturan pemerintahannya. Yang bisa memutuskan hanya Raja (3) Siapa pun yang sudah diberi jabatan harus mengikuti perintah Raja yang memberikan jabatan (4) Siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan melaksanakan perintah dan bisa dipercaya. Ucapannya harus bisa dipercaya,tahu siapa jati dirinya, dan menghayati asal- usulnya. Bagian ini sudah ada yang mengatur. Bila ada pergantian, tidak boleh diganggu (5) Siapa saja yang menjadi keturunan Kraton, laki-laki atau perempuan, belum tentu diperbolehkan melaksanakan wewenang Kraton. Yang diberi wewenang sudah ditunjuk. Jadi tidak ada yang diperbolehkan membahas atau membicarakan takhta Mataram, terlebih para pejabat Kraton, khawatir terjadi kekeliruan (6) Sabdatama ini dimunculkan sebagai patokan untuk membahas apa saja, termasuk aturan Kraton dan Negara (7) Sabdatama yang lalu terkait dengan perda istimewa dan dana istimewa (8) Jika Undang- Undang Keistimewaan butuh direvisi, dasarnya Sabdatama. Itulah perintah yang harus dimengerti dan dilaksanakan. Keluarnya Sabdatama Raja ini merupakan salah satu bentuk reaksi yang serius dilakukan oleh Kraton karena bisa dipahami bahwa Sabdatama merupakan perintah tertinggi yang ada di Kraton. Inti dari Sabdatama itu adalah terkait menegaskan kewenangan khususnya dan Tidak diizinkanya pihak lain untuk ikut campur terkait urusan internal Kraton termasuk untuk pewaris tahtanya kelak. Sultan yang berkedudukan sebagai Raja Kraton serta Gubernur DIY yang berberan sebagai eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan mengeluarkan Sabdatama yang mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak mencoba untuk melakukan campur tangan ataupun intervensi ke Kraton, termasuk DPRD. DPRD DIY sebagai lembaga legislatif yang bertugas mengawasi berjalanya roda pemerintahan di DIY menjadi lembaga yang sulit untuk melakukan tugasnya sendiri ketika Sabdatama tersebut dikeluarkan. Setelah Sabdatama itu dikeluarkan ternyata mengundang persoalan yang berbenturan dengan realitas bahwa Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur yang seharusnya menaati dan menjalankan peraturan perundang – udangan yang ada termasuk dalam Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 108 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo syarat yang harus melengkapi Persyaratan yang tertuang pada Perda No. 2 Tahun 2015. Adanya Sabdatama serta Perda tersebut menjadi aturan yang dianggap sah dan berlaku di Kraton dan juga DIY secara keseluruhan. Tidak lama setelah Sabdatama dikeluarkan, pada tanggal 5 Mei 2015, secara mengejutkan Sultan Hamengku Buwono X mengangkat puteri sulungnya, bernama GKR. Pembayun menjadi Puteri Mahkota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Secara tradisi jika putri mahkota sudah diangkat, maka dengan sah putri mahkota tersebut resmi menjadi penerus tahta kepemimpinan di Kraton Yogyakarta. Diangkatnya putri mahkota oleh Sultan tersebut masih berbenturan dengan Perda No. 2 Tahun 2015 terkait Gubernur dan Wakil Gubernur yang masih berlaku sampai saat sekarang ini dengan salah satu Pasalnya masih menafsirkan bahwa Raja Kraton harus seorang laki-laki. DPRD DIY sebagai unsur legislative yang bertugas dalam pembuatan Aturan, mempunyai peran yang sangat sentral dalam persoalan ini. Karena kaidah aturan dalam Undang – Undang Keistimewaan dan Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2015 yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Secara administrative dan politik menjadi acuan yang harus digunakan dalam rangka melaksakan aturan tersebut untuk pengisian jabatan Gubernur dan Wakil gubernur yang dalam hal ini merupaksan salah satu Keistimewaan yang diberikan kepada DIY. Padangan politik setiap fraksi – fraksi di DPRD DIY menjadi kunci utama dalam rangka check and balance pada penafsiran yang berbeda terkait Perda No. 2 Tahun 2015 ini. Oleh karena itu, menarik untuk ditinjau dari pandangan politik anggota dewan terhadap wacana suksesi tersebut yang disesuaikan dengan peraturan perundang – undangan yang ada, setiap fraksi di DPRD DIY menentukan suksesi atau penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada dasarnya Sikap merupakan terjemahan dari attitude yang mempunyai arti sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan, tetap disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan pandanganya terhadap objek tersebut (Gerungan, 1981). Oleh karena itu sikap memankan peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab dalam menghadapi pilihanya seseorang dipengaruhi oleh sikapnya (Winkel, 1983). Tidak jauh berbeda dari penjelasan sebelumnya Louis Thrustone, Rensis Likert, dan Charles Osgood menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan tidak mendukung atau memihak pada objek tersebut. Secara spesifik, sikap diformulasikan sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (Azwar, 1995). P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 109Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta Mengenai hal komponen sikap (Luthans, 1985) berpendapat bahwa komponen dasar dari sebuah sikap adalah; Emosi, Pengetahuan, dan Perilaku. Selain itu sikap juga memiliki fungsi sikap yang tergolong dalam empat bagian (Ahmadi, 2007) diantaranya; 1. Sikap berfungsi merupakan alat untuk menyesuaikan diri 2. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur tingkah laku yang dapat dimiliki secara spontan 3. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur pengalaman-pengalaman seseorang dari luar maupun dari dalam diri seseorang 4. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang Sikap juga akan mempengaruhi cara kita dalam kehidupan bermasyarakat, karena sebagai makhluk social tidak akan terlepas dari interaksi sesame manusia. Maka dari itu tidak heran jika dalam mengambil keputusan sekalipun harus bisa menentukan sikap, termasuk dalam menentukan pilihan politik serta juga afiliasi politik yang ada. Selain itu Azwar menjelaskan, sikap memiliki tiga komponen, di antaranya adalah: 1. Komponen Kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap 2. Komponen Afektif Komponen Afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. 3. Komponen Perilaku Kompoen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Teori ini relevan dengan padangan politik DPRD DIY dalam menentukan sikap politiknya terkait dengan suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta. Pandangan politik mendukung dan tidak mendukung dari setiap pimpinan fraksi mengambarkan teori sikap, dengan komponen koginitif berarti pengetahuan tentang paugeran keraton sebagai landasan budaya dan peraturan perundang – undangan sebagai landasan yuridis formal. Pengetahuan kognitif ini lah yang akan melandasi sikap yang diambil dari setiap fraksi, sejauh mana pemahana dua substansi hukum tersebut. Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 110 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo Selanjutnya adalah komponen afektif, yang berarti persoalan emosional subjektif setiap anggota fraksi terkait dengan suksesi kepemimpinan di Keraton. Komponen afektif akan melandasi attitude (tata krama, budaya dan adat istiadat) yang dimiliki masing – masing individu untuk memberikan penilaian secara kultural dengan perspekif emosional. Terakhir adalah komponen perilaku, yang merupakan output atau bagian terakhir dua komponen pembentuk perilaku (koginitif dan afektif), komponen ini dapat memberikan judgement (pernyataan sikap dan padangan) pribadi anggota DPRD yang akan mencerminkan sikap fraksi dalam memandang suksesi dan peraturan perundang – undangan secara umum. Dengan teori ini, maka pandangan sikap dapat diketahui dari proporsi politik fraksi partai politik, dimana yang mempengaruhi pandangan dan perilaku sepakat atau tidak sepakat fraksi adalah komponen pembentuk koginitf dan afektif. Oleh karena itu, teori ini akan dapat menggabarkan secara jelas pandangan fraksi yang diambil. Mengenai perihal kekuasaan, Andrew Heywood (2014) mengatakan, Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamademen peraturan – peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Konsep – konsep pokok dalam politik antara lain adalah Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), Pembagian (distribution) atau alokasi. Menurut JRP French & Bertram Raven (dalam Syafiie, 2013:128-129) terdapat lima sumber kekuasaan, yaitu adalah legitimate power, coersive power, expert power, dan reverent power. Kekuasaan seorang raja dicirikan sebagai Legitimate Power, dimana kekuasaan diperoleh melalui sebuah pengangkatan oleh penguasa sebelumnya. Dalam hal ini, putra mahkota (anak raja) biasanya mendapatkan kekuasaan ‘turunan’ dari seorang raja yang merupakan ayahnya. Pada prinispnya kekuasaan dibagi menjadi beberapa cabang, menurut Montesquieu (dalam Syafiie, 2013:135) terdapat tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif yaitu adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili (badan peradilan). Eksekutif dan legislatif sebagai pembuat undang – undang, eksekutif menjalankan peraturan perundang – undangan tersebut, dan legislative melakukan pengawasan pelaksanannya., sedangkan dalam elemen yudikatif sebagai penegak aturan hukumnya. Konsep ini membentuk sebuah pola keseimbangan kekuasaan, yang dalam implementasinya akan mewujudkan check and balance diantara tiga pilar trias politika tersebut. Maka dari itu, tidak boleh diantara tiga pilar itu menjadi dominan, dalam hal ini eksekutif tidak dapat melakukan penafsiran – penafsiran terhadap peraturan perundang P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 111Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta – undangan sesuai dengan akomodasi kepentingan nya tersendiri. DPRD DIY dalam hal ini juga tidak bisa serta merta melakukan penafsiran politik sebuah peraturan perundang – undangan, karena penafsiran politik tidak akan ‘sinkron’ dengan preferensi hukum, karena pada hakekatnya, hukum itu bersifat mutlak. Jadi kesimpulannya, sikap politik adalah suatu reaksi perasaan yang mengandung aspek Konginitif, Afektif, dan Perilaku dalam rangka menanggapi suatu hal atau dengan menentukan kebijakan – kebijakan yang dapat membawa kebaikan kepada masyarakat. Teori sikap dan teori politik akan digunakan sebagai instrument analisis, dikomparasikan dengan aturan perundang – undangan, yaitu dalam UUK DIY dan Perdais No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, sehingga diperoleh analisis real mengenai pandangan DPRD DIY. Terkait model kepemimpinan, (Thoha, 2010) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawaan. Namun jika dilihat dari definisi dasar mengenai kepemimpinan adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinanya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggungjawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan (Hasibuan, 2011). Salah satu bentuk kepemimpinan yang selalu diharapkan oleh semua pihak adalah kepemimpinan transformasional yang artinya adalah model kepemimpinan yang memiliki kemampuan yang dimiliki pemimpin dalam memberikandorongan kepada para pengikutnya untuk melakukan perubahan dan bekerja keras dalam mencapai tujuan organisasi (Kosasih,2017). Meskipun hal tersebut biasanya sangat mudah diterapkan di Instansi pemerintah setataran Dinas ataupun lembaga di daerah Pamudji (dalam Djaenuri, 2015:11-14) mengungkapkan terdapat enam teori kepemimpinan, yaitu teori sifat (traits theory), teori lingkungan (environmental theory), teori pribadi dan situasi (personal-situation theory), teori interaksi dan harapan (interaction- expectation theory), teori humanistic (humanistic theory), dan teori tukar menukar (exchange theory). Kepemimpinan seorang raja dekat dengan konsep teori sifat, yang menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat tertentu, atau perangai tertentu, dimana dengan hal – hal tersebut ia akan menjadi seorang pemimpin yang efektif dan berhasil. Artinya bahwa pemimpin itu telah memiliki sifat-sifat tersebut sejak ia dilahirkan, teori ini disebut juga dengan teori genetis dimana disimpulkan bahwa pemimpin itu dilahirkan, dan tidak dapat dibentuk (leaders are born and not made). Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, mengamanatkan bahwa yang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta haruslah seorang yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono. Seseorang yang dinobatkan menjadi raja haruslah seorang yang ditunjuk menjadi putra Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 112 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo mahkota yang merupakan bagian keluarga kerajaan untuk melanjutkan takhta kepemimpinan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskripstif kualitatif, dengan menggunakan model studi kasus (case study). Wawancara sebagai instrumen untuk mendapatkan data, dengan menggunakan teknik analisis dengan empat tahapan, yaitu pengumpulan, reduksi data, display data, dan tahap penarikan kesimpulan (Haris, 2012). Penelitian ini akan menjabarkan pendapat – pendapat yang mencerminkan sikap politik anggota DRPD DIY disetiap fraksi, terhadap wacana suksesi kepemimpinan di Daerah Isitmewa Yogyakarta. Untuk Jenis Data yang digunakan terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu adalah jenis data primer dan sekunder. Data Primer adalah Data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara setiap fraksi dalam sikap politik anggota DPRD DIY periode 2014- 2019 terhadap wacana Suksesi Kepemimpinan di Keraton Yogyakarta. Kedua adalah data sekunder yang dalam penelitian ini adalah arsip–arsip mengenai sikap fraksi atau anggota DPRD DIY terhadap wacana suksesi kepemimpinan, peraturan perundang undangan, pandangan akhir fraksi Raperdais dan artikel atau berita terkait hal tersebut. Unit analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi – fraksi partai politik yang ada di DPRD DIY masa bakti 2014 - 2019, yang berjumlah 7 fraksi dari 9 Partai Politik. Total unit analisa data berjumlah 4 Orang yang perwakilan resmi disetiap fraksi (Ketua Fraksi / Sekretaris Fraksi) dan 2 Wakil Ketua DPRD DIY. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini adalah dengan teknik wawancara, dan dokumentasi. Teknik Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan–keterangan lebih lanjut dari daftar wawancara yang diajukan kepada responden. Responden dalam penelitian ini adalah Anggota DPRD DIY Periode 2014 – 2019. Setelahnya, analisis akan dilakukan dengan Teknik Analisa data dengan empat tahapan agar menghasilkan interpetasi kualitatif yang ilmiah. HASIL DAN PEMBAHASAN Pandangan Politik terhadap Potensi Pelanggaran Peraturan Perundang–undangan Berbagai macam pandangan yang diberikan oleh total 7 fraksi yang ada di DPRD DIY mengenai potensi pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan dalam suksesi kepemimpinan Keraton DIY. Fraksi PAN mengatakan itu sangat mungkin terjadi P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 113Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta dalam pelanggaran perundang undangan karena memang perubahan nama bertentangan dengan UUK dan Perdais yang selama ini berlaku di Yogyakarta. Pada UUK telah dijelaskan pada pasal 18 ayat 1 huruf m serta pasal 3 ayat 1 huruf m pada Perdais tahun 2015 sudah menjelaskan bahwa Sultah sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY haruslah seorang laki-laki. Pandangan pandangan yang sama juga diberikan dari Fraksi dari Partai Golkar, dengan argumen karena memang nomeklatur gelar Sultan diatur oleh UUK, dalam konteks peraturan perundang undangan Sultan memang harus laki-laki dan tidak ada yang menjelaskan dalam peraturan perundang undangan itu bahwa Sultan itu boleh seorang Perempuan. Pada Fraksi Kebangkitan Demokrasi menambahkan bahwa perubahan gelar itu belum disampaikan secara resmi di publik, sehingga wajar terjadi apabila ada gejolak yang terjadi di masyarakat terkait prosesi kepemimpinan Sulatan selanjutnya. Ada yang menarik pandangan yang diberikan oleh fraksi yang lain, karena ternyata Fraksi Gerindra mengatakan bahwa Gerindra tidak akan ada potensi pelanggaran terhadap prosesi tersebut, karena perubahan gelar merupaka hak sipil yang dimiliki GKR Pembayun dan Kalaupun GKR Pembayun menjadi Ratu dan Gubernur itu telah sesuai dengan UUK dan Perdais yang berlaku sampai saat ini. Pendapat tersebut diperkuat oleh pandangan pandangan dari Fraksi PDI Perjuangan yang mengatakan memang tidak akan berpotensi melanggar undang undang sebab Perubahan Gelar dan Gubernur Perempuan itu tidak masalah untuk menghormati Intoleransi keluarga Keraton sendiri. Meskipun semua Fraksi memberikan sikap dan pandanganya terkait potensi pelanggaran perundang undangan, namun Fraksi PKS tetap memberikan tanggapan yang cukup jelas terkait masalah ini. Dari Fraksi PKS sendiri beranggapan tidak bisa menafsirkan ini akan menjadi konflik atau tidak karena cara pandang UUK masih sesuai konteks. Sikap Politik Wacana Revisi UUK dan Perdais No. 2 Tahun 2015 Pasca bergulirnya berita terkait prosesi keberlanjutan kepemimpinan Keraton di Publik, yang mana masih berbeda pandanganya terkait pengganti Sultan sebagai Raja Keraton serta Gubernur DIY yang memperbolehkan Sultan itu adalah seorang Perempuan. Semenjak isu itu munjul di permukaan maka ada mulai berpandangan untuk merevisi UUK dan Perdais, karena memang untuk kondisi saat ini Sultan tidak memiliki anak laki-laki untuk dijadikan Putra Mahkota penerus pimpinan Kesultanan Yogyakarta. Fraksi Partai Amanat Nasional dan Kebangkitan Demokrasi secara tegas menjelaskan bahwa tidak perlu diadakan Revisi UUK dan Perdais, karena yang perlu diketahui bahwa untuk merevisi UUK dan Perdais itu tidak gampang. Untuk merevisi UUK dan Perdais Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 114 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo itu membutuhkan proses yang sangat panjang, karena memang tidak sesedarhana itu pula untuk merevisinya. Pendapat yang sama juga diberikan dari Fraksi Persatuan Demokrat yang memang tidak perlu dilakukan Revisi UUK dan Perdais, karena mereka beranggapan Sultah sudah seharusnya menghormati UUK karena memang tanggungjawabnya lebih diberikan kepada jabatan Gubernur yang diembannya. Meskipun tiga Fraksi mengatakan tidak perlu melakukan revisi terkait UUK namun Fraksi PDI Perjuangan dan Gerindra sepakat untuk perlu adanya Revisi terkait UUK dan Perdais. Karena mereka berpandangan dengan merevisi UUK dan Perdais itu menunjukkan bentuk menghormati Paugeran Keraton. Selain itu Fraksi Gerindra juga menambahkan bahwa memang sudah saatnya perlu adanya revisi terkait UUK dan Perdais karena harus menyesuaikan kondisi sat ini yang mana dengan direvisinya UUK dan Perdais nanti bisa mengakomodasi ketentuan-ketentuan internal yang ada dikeraton. Pandangan Fraksi terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Keraton Yogyakarta dalam Pandangan Politik mengenai Implementasi UUK dan Paugeran Dari fraksi Partai Amanat Nasional, Partai Golkar dan Fraksi Kebangkitan Demokrasi berpandangan bahwa UUK Baku karena sudah jelas, tidak ada tafsiran lain karena memang sudah mensyaratkan secara implisit bahwa Gubernur harus laki-laki maka dari itu selayaknya menghormati peraturan perundang-undang tersebut dalam proses berpolitik. Pandangan dari fraksi Gerindra dan PDI Perjuangan ini berbeda dari fraksi lain yaitu Undang-undang Keistimewaan bisa ditafsirkan karena ada kata ‘antara lain’ Serta UUK ini tidak bisa dipolitisasikan maka sangat dimungkinkan gubernur itu seorang perempuan. Kemudian pandangan lain juga diberikan oleh fraksi Persatuan Demokrat dengan partai Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrat yaitu dalam UUK itu jelas bahwasanya sultan haruslah memahami konteks peraturan perundang-undangan sebagai suri tauladan bagi masyarakat. dan pandangan terakhir dari Partai Keadilan Sejahtera dengan menyatakan tidak tahu karena cara pandang terhadap UUK masih sesuai konteks. Pandangan Fraksi terhadap Pandangan Politik mengenai Transparansi Pemilihan Sultan Hamengku Buwono Fraksi Partai Amanat Nasional menyatakan bahwa masyarakat/ publik harus tahu karena pada dasarnya publik berhak tahu segalanya dan pandangan sama juga diberikan oleh Partai Golkar serta Fraksi Kebangkitan Demokrasi menyatakan bahwa publik harus tahu untuk sekedar tahu akan tetapi tanpa ada komentar dan masyarakat membatasi diri dalam hal ini yang berkaitan dengan internal keraton. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 115Sikap Politik DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Wacana Suksesi Kepemimpinan di Kraton Yogyakarta Pandangan berikutnya dari Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menyatakan bahwa tidak berhak tahu karena berurusan dengan internal keraton yang tidak bisa diganggu gugat dan harus menghormati proses tersebut serta keraton merupakan negara yang telah berdiri sebelum NKRI ada. Pandangan dari fraksi Persatuan Demokrat menyatakan bahwa publik harus tahu karena informasi suksesi juga merupakan hak publik. Kemudian pandangan lain dari Partai Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa tidak menjawab karena pandangan terhadap undang-undang keistimewaan masih sesuai konteks. PENUTUP Pandangan Politik Anggota DPRD DIY terbagi menjadi tiga dalam penelitian ini, yang pertama adalah pandangan mendukung wacana suksesi, kedua adalah pandangan menolak wacana suksesi, dan pandangan ketiga tidak menanggapi wacana suksesi. Terdapat pandangan yang inkonsisten dari beberapa fraksi mengenai wacana suksesi kepemimpinan tersebut, dari pandangan awal yang mendukung terkait mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil gubernur berdasarkan Undang-undang Keistimewaan. Dari tujuh fraksi di DPRD DIY, dua fraksi (fraksi PDI Perjuangan dan Gerindra) berubah pandangan, empat fraksi (PAN, Gabungan Demokrat & PKB, Gabungan Nasdem & PPP, dan Golkar) mempunyai pandangan yang tetap, dan fraksi PKS menyatakan tidak mempunyai pandangan. Tidak hanya itu, ketidakjelasan posisi Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja dan disisi lain sebagai Gubernur membuat tumpeng tindih (overlapping) kewenangan yang tidak baik dalam rangka tata kelola pemerintahan. REFERENSI Abu, Ahmadi. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta Azwar, Saifuddin. 1995. Pandangan Manusia Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar : Yogyakarta Djaenuri, Muhammad Aries. 2015. Kepemimpinan, Etika, & Kebijakan Pemerintahan, Ghalila Indonesia : Bogor Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial, Bandung: PT Refika Aditama Hediansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial, Salemba Humanika : Jakarta Heywood, Andrew. 2014. Politik Edisi Keempat, Pustaka Pelajar : Yogyakarta Kosasih, Achmad. 2017. Pengaruh kepemimpinan Transformasional, Budaya Kerja Organisasi dan Motivasi Kerja Pegawai terhadap kepuasan kerja pegawai serta implikasinya pada kinerja pegawai PDAM di Provinsi Banten. Journal of Government & Civil Society Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 hal (111-119). Journal of Government and Civil Society, Vol. 3, No. 2, September 2019 116 Muhammad Quranul Kariem & Dwian Hartomi Akta Padma Eldo Luthans, Fred, (1985) Organizational Behavior, 5th ed, Singapore, Mc Graw-Hill Book. Syafiie, Inu Kencana. 2013. Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi Kedua, Mandar Maju : Bandung Thoha, Miftah, 2010. Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta : Rajawali Pers. Winkel, W.S. 1983. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Undang–Undang Dasar 1945 Amademen Keempat Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur Peraturan DPRD DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Bahan Acara Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rancangan Peraturan Daerah Istimewa, tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewnang Gubernur dan Wakil Gubernur 00.pdf cover dalam 1: cover dalam daftar isi