khilafah islamiyah: antara konsep dan realitas kenegaraan (republik islam iran dan kerajaan islam arab saudi) 95 Journal of Government and Civil Society Vol. 1, No. 1, April 2017, pp. 95-109 P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X Citation : Akbar, Idil. 2017. “Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi)”. Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, 95-109. Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) Idil Akbar1) 1)Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Indonesia Email : idil.akbar@gmail.com ABSTRAK Konsep khilafah menjadi salah satu bahasan yang cukup mencuat belakangan ini, tak terkecuali di Indonesia. Namun bagaimanakah sebetulnya konsep ini terutama yang diberlakukan di negara Islam. Artikel ini menampilkan perbandingan konsep berbasis pemerintahan Islam dengan dua tradisi yang berbeda, yakni Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran. Tujuan dari tulisan ini adalah menunjukkan perbedaan dua konsep tersebut sekaligus mendiskusikan bagaimana implementasi yang dilakukan di dua negara yang menggunakan Islam sebagai basis kenegaraan. Secara konsep Arab Saudi dan Iran memiliki perbedaan di dalam penerapan sistem kenegaraan dan pemerintahannya. Arab Saudi dengan konsep kerajaan sementara Iran dengan konsep republik. Namun persamaan diantara keduanya adalah bahwa Kerajaan Arab Saudi maupun Republik Islam Iran bukanlah negara yang secara ideal mencerminkan negara khilafah sebagaimana yang ditunjukkan dalam sistem bernegara era Khulafaur Rasyidin. Kata kunci: Khilafah; Imamah, Arab Saudi, Iran, Negara dan Pemerintahan Islam ABSTRACT Khilafah concept became one of the discussions that stick out lately, not least in Indonesia. But how is this concept, especially that applied in the Islamic state? This article presents a comparison of Islamic government- based concepts with two different traditions, namely the Kingdom of Saudi Arabia and the Islamic Republic of Iran. The purpose of this paper is to show the differences between the two concepts as well as to discuss how the implementation carried out in the two countries that use Islam as the basis of the state. Conceptually Saudi Arabia and Iran have differences in the application of the state system and its government. Saudi Arabia with the monarchy concept and Iran with the concept of republic. But the similarity between the two is that the Kingdom of Saudi Arabia and the Islamic Republic of Iran is not a state that ideally reflects the Khilafah state as established in the state system of the era of Khulafaur Rashidin. Keyword: : Khilafah; Imamah, Saudi Arabia, Iran, State and Islamic Government PENDAHULUAN Dalam banyak pandangan, terutama bagi setiap Muslim bahwa Islam adalah agama yang kaffah. Kaffah yang dalam definisi sederhana berarti menyeluruh atau meliputi semua hal tentang kehidupan manusia. Dalam hal ini Islam berarti agama yang meenyediakan berbagai aturan hidup bagi seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Islam dengan demikian bukan hanya dipandang sebagai konsep semata, yang berhenti pada tataran pemikiran selayaknya agama sebagai penjaga moralitas dan etika (akherat), namun juga memiliki keluasan kontekstual, termasuk meliputi urusan keduniawian. Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 96 Idil Akbar Dengan kata lain, nilai Islam memberikan koridor yang jelas atas bagaimana kehidupan ini seharusnya dijalankan. Nilai Islam memiliki idealisme, mulai dari kamar mandi hingga kamar tidur, dari tidur hingga buang air, dari bersin hingga sakit keras, dari kesedihan hingga kebahagiaan, dari Hablumminannas hingga Hablumminallah. Boleh jadi dalam konteks kekinian, pernyataan di atas telah menjadi perdebatan. Berbagai pemikiran dihadirkan untuk mengungkapkan keyakinan bahwa Islam bukanlah agama an sich, statis yang hanya dipahami secara tekstual. Islam mesti dipahami kontekstual yang kemudian bermuara pada perlunya mereformulasi nilai-nilai Islam yang ada. Pemikiran ini kemudian berdinamika secara kontekstual. Mulai dari Ali Abd Al Raziq dengan konsep sekularisasi nilai Islam hingga liberalisasi Islam ala Nurcholis Madjid. Namun, di beberapa negara saat ini. Nilai Islam yang dipertunjukkan oleh Rasulullah dan di era KhulafaurRasyidin, di era tabi’in dan Tabi’it Tabi’in kembali menggeliat dan diimplementasikan. Kecenderungan ini pun cukup menguat setelah dalam beberapa hal menunjukkan keberhasilan yang signifikan. Kejayaan Islam terutama di era Dinasti Abbasiyah yang kentara dengan perluasan ilmu pengetahuan serta kenegaraan, menjadi refleksi yang nampaknya ingin kembali dicapai. Periode Abbasiyah merupakan periode keemasan umat Islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah(Mubarak, 2000). Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini juga dikenal merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum Islam) dari berbagai madzhab(Usman, 2002). Fakta ini kemudian menjadi pemicu penting bagi negara-negara Islam kontemporer untuk menerapkan atau mengimplementasikan nilai Islam secara “kaffah”. Contoh dari kondisi ini adalah Negara Islam Iran. Namun di sisi lain, persoalan implementasi nilai Islam juga menghadapi kendala yang sangat krusial, disebabkan oleh adanya sisi benturan P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 97Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) kepentingan yang kuat, terutama kaum kapitalis dan imperialis barat. Pada umumnya berasumsi bahwa implementasi nilai Islam dapat mengancam eksistensi kepentingan barat. Sehingga semaksimal mungkin mereka berupaya mempertahankan kepentingan tersebut. Contoh dari ini adalah Afganistan yang hingga sekarang masih berkecamuk dalam peperangan. Salah satu nilai Islam yang penting adalah konsepsi kenegaraan berdasarkanKhilafah Al Islamiyah. Khilafah (the Caliphate) adalah sistem politik dari ideologi Islam yang mewadahi aturan hukum, pemerintah representatif, akuntabilitas masyarakat melalui mahkamah independen dan prinsip konsultasi representatif. Ia adalah pemerintahan yang dibangun di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, jender atau kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif terhadap kelompok religius atau etnis(Hizb ut-Tahrir, 2005). Sistem Kekhalifaan yang diyakini bertujuan untuk mengatasi situasi yang memburuk secara cepat ini, terdapat kebutuhan untuk perubahan transformasional dari rezim-rezim dan sistem-sistem yang sedang menguasai tanah-tanah Muslim dan pengakhiran penjajahan asing terhadap teritori Muslim. Sudah tidak dapat diterima hanya sekedar melihat beberapa pergantian pemimpin; atau untuk diadakannya pengulangan proses- proses pemilihan korup, karena track record-nya telah menghasilkan berbagai masalah yang kita saksikan langsung itu. Dengan demikian perlu adanya perubahan transformasional yang dilakukan melalui pendiriankembali sistem Islam – Khilafah (the Caliphate) – sistem yang akuntabel, representatif, berpandangan ke depan dengan kesuksesan sejarah tak tertandingi(Wibowo, 2010). Mereka yang percaya sistem Islam akan menjadi langkah mundur ke era ‘Taliban’ tidak bisa lagi secara kredibel membuat klaim demikian. Karena telah semakin terang bahwa satu-satunya sistem yang mengandung semua bahan inti yang diperlukan untuk kesuksesan dunia Muslim, seperti ekonomi yang stabil, eksekutif yang akuntabel dan representatif, sistem yang konsisten dengan nilai-nilai masyarakat, kemerdekaan dari kontrol asing, dan yang memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat daripada perolehan segelintir pihak atau segelintir perusahaan swasta, hanya bisa dijamin oleh sistem Islam. Selain itu, gambaran penggantungan televisi, penyangkalan hak pendidikan perempuan, ketidakadilan acak pengadilan dan keagamaan adalah karakteristik tradisi lokal, bukan negara Islam. Khilafah memiliki sejarah menggandeng dan mendorong pembelajaran dan inovasi sains, memberi hak-hak kepada perempuan dan kepemimpinan yang termonitor dan terkontrol oleh pengadilan independen berkekuatan besar(Wibowo, 2010). Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 98 Idil Akbar Muslim-muslim sub-benua India, dan selebihnya, bangga dengan asosiasinya dengan Islam. Saran bahwa negara-negara mereka harus diperintah oleh Islam tidaklah jarang dan sangat natural. Dalam konteks sub-benua itu, banyak yang kehilangan nyawanya dalam perjuangan penciptaan tanah air Muslim dan mereka semua yang membuat visi itu menjadi mungkin dikenang sebagai para pahlawan. Mereka mendukung khilafah di hari-hari terakhirnya dan banyak suara-suara mendukung itu menjadi para pendiri Pakistan itu sendiri. Frustasi terhadap berbagai partai Muslim selama ber-dekade tidak pernah terhadap Islam, tapi terhadap penyalahgunaan dan pencurangan Islam untuk tujuan politis oleh kelompok-kelompok tertentu. Juga penting untuk diperhatikan bahwa permintaan untuk negara Islam sekeliling dunia Muslim semakin tumbuh. Berbagai polling dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa hingga 70% di negara-negara seantero dunia Muslim menginginkan Syariah untuk mengatur bagaimana negaranya dijalankan(worldpublicopinion.org, 2007). Ini adalah tren yang tidak tanpa diketahui di antara para komentator dan politisi Barat, yang telah menjadikan jelas tujuan mereka untuk mencegah pendiriannya. Sebab itu adalah fakta bahwa dari beberapa tren yang mungkin yang pada akhirnya menghentikan misi neo-imperial Barat di dunia Muslim dan lainnya, kemunculan negara Islam adalah termasuk yang paling pasti. Secara epistemologis, realitas masyarakat adalah termasuk wilayah kajian empiris- historis, dan ilmu-ilmu sosial empirik yang mencoba membahas realitas sosial empirik mulai berkembang setelah abad 19. Pemikiran Islam klasik abad tengah belum mampu membedah permasalahan realitas sosial empirik, lantaran masih diwarnai oleh pemikiran hellenisme-spekulatif. Ibn Maskawaih (932-1030) dan Ibn Khaldun (1332-1406) merupakan kekecualian, namun mereka tidak berhasil mengubah pola pemikiran yang didominasi oleh fiqh, hadits, dan ilmu kalam yang dianggap sebagai ilmu-ilmu agama yang harus diikuti secara taqlidiyah dan telah diberi corak ortodoksi, dan terdapat pemisahan terhadap ilmu-ilmu selain itu. Implikasi daripadanya adalah sulit untuk memisahkan mana aspek normatif yang harus diterima begitu saja, dan mana aspek historis yang tidak lain adalah rekayasa tuntutan sejarah kemanusiaan yang bersifat relatif. Untuk mengembalikan keseimbangan antar pemikiran Islam klasik yang lebih bermuatan moralitas-normatif dan tuntutan ilmu pengetahuan kontemporer yang bercorak empiris diperlukan kritik epistemologis yang sangat mendasar, sehingga dapat mengetahui mana wilayah normatif dan mana wilayah yang historis. Pemahaman wahyu, harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu bagi manusia yang hanya akan berakhir pada hari kiamat. Demikian ungkap al-Faruqi(al-Faruqi, 1982). Dalam keragaman Islam, terdapat dua aspek bersama-sama, yakni aspek normatif, wahyu, dan aspek historis kekhalifahan. Menurut para fuqaha’ aspek normatif adalah aspek ibadah mahdah yang ditekankan pada aspek-aspek legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang apresiatif terhadap dimensi esoteris, yang juga melekat pada religius P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 99Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. Sedang aspek historis baik yang berkaitan dengan persoalan sosial, politik, budaya ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan dan sebagainya dianggap termasuk ghairu mahdhah, sehingga dikategorikan fard kifayah. Pengkategorian semacam ini berdampak dalam pemikiran demikian besar dalam tatanan pemikiran umat Islam, yakni permasalahan yang masuk dalam kategori fard kifayah kurang diminati, lantaran sudah terselesaikan lewat perwakilan beberapa kalangan saja. Sedangkan perwakilan itu sendiri tidak jelas. Jadi, jika dalam kelompok ibadah mahdhah campur tangan akal pikiran tidak diperbolehkan, maka kelompok fard kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan wacana intelektual yang kritis dan obyektif. Sebab, dalam wilayah fard kifayah ini terdapat pergumulan dan wacana epistemologi keislaman yang berat, dan di sini pula membutuhkan pendekatan empiris yang obyektif dan rasional. Hal ini bisa dimengerti lantaran terikat dalam konteks waktu, ruang, historis, kultur, dan psikologi tertentu, sehingga tetap memberikan peluang untuk senantiasa didiskusikan(Abdullah, 1997). KEKHALIFAHAN Menurut Azyumardi Azra(1996), Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan. Ditambah dengan pernyataan- pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola pikir para ahli juga diwarnai dengan pengaruh- pengaruh dari aqidah Islam, seperti Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi manusia pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan manusia pada Allah, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan. Menurut Al- Mawardi(Syadzali, 1990), manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Oleh karena banyak binatang misalnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari binatang sejenisnya, sedangkan manusia selalu memerlukan manusia lain. Dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng. Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 100 Idil Akbar Dalam pandangan Al-Mawardi agar negara dapat ditegakkan, dari segi politik hal itu mempunyai enam unsur pokok1:pertama, agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral. Kedua, penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan.Ketiga, keadilan yang menyeluruh.Keempat, keamanan yang merata. Kelima, kesuburan tanah yang berkesinambungan.Keenam, harapan kelangsungan hidup. Melalui sendi dasar etik yang demikian diharapkan negara benar-benar mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah dan antara kawan dan lawan. Kemudian dengan kriteria memilih dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan memberikan berbagai kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia yang sempurna, seperti menurut Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki 12 kualitas luhur(Syadzali, 1990): lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan lain-lain. Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara dipikul secara kolektif. Dalam pendapat berbeda, terkait konstruksi negara dan syar’ah, pemikiran Abdullahi Ahmed An Na’im perlu ditelaah. Abdullahi Ahmed An-Na‘im dalam karyanya, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menegaskan pemisahan institusi negara dan Islam seraya tetap menjaga hubungan antara Islam dan politik. Bagi An-Na‘im, negara harus bersikap netral terhadap agama, karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk agama. Bagaimanapun, An-Na‘im juga menegaskan negara tetap perlu mengakui fungsi publik Islam dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. An-Na‘im menyatakan syariah bisa berperan dalam ruang publik tetapi harus melalui public reason (nalar publik) dalam kerangka Konstitusionalisme, HAM, dan Kewarganegaraan(Na’im, 2009). Konsep syariah An-Na‘im yang relativistik dan pluralistik mendorongnya untuk membongkar makna ijtihad, menolak fatwa, melakukan reformasi islami, menganggap syariah yang selama ini dipahami kaum Muslimin sebagai syariah tradisional, mereformasi usul fikh, dan menguji syariah terus-menerus dalam nalar publik (public 1 al-Mawardi, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, dalam Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, ed.I, cet.4, hal. 227. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 101Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) reason), yang alasan, maksud, dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga pada umumnya bisa menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan dituduh kafir atau murtad(Na’im, 2009). IMAMAH Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibnu Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat(Nafi, 2010). Imamah dalam konsep syi’ah terdiri dari tiga hal pengertian.Pertama, imamah mengandung arti sebagai pemimpin masyarakat. Dalam hal ini Syi’ah mempertanyakan siapa pemimpin masyarakat sepeninggal Nabi. Syi’ah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya Imam Alilah yang memegang kendali urusan kaum Muslim. Kedua, imamah mengandung arti otoritas keagamaan. Imamah merupakan spesialisasi dalam Islam, suatu spesialisasi yang luar biasa dan ilahiah, yang jauh di atas derajat spesialisasi yang dapat dicapai mujtahid. Para imam adalah pakar dalam Islam. Pengetahuan istimewa mereka mengenai Islam bukan didapat dari akal pikiran mereka sendiri yang bisa saja salah. Mereka menerima pengetahuan dengan cara yang tak diketahui. Ketiga, imamah mengandung arti wilayah. Dalam ajaran Syiah, pengertian ini sangat dititikberatkan. Masalah wilayah menurut Kaum Syi’ah dapat disamakan dengan masalah manusia sempurna dan penguasa zaman.Kaum Syi’ah mengakui eksistensi wilayah dan imamah dalam pengertian ini, dan percaya bahwa imam memiliki roh universal. Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 102 Idil Akbar Dalam konsep imamah, terdapat aturan dasar atas penunjukkan seseorang yang ditunjuk menjadi imam. Menurut Imam Mawardi(Nafi, 2010)seseorang yang diperbolehkan menjadi imam harus memenuhi kriteria sebagai berikut:pertama, Islam, merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal; kedua, a’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama; ketiga, mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan; keempat, punya kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah. Dalam memimpin sebuah Negara, seorang imam juga memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan guna mencapai kemakmuran Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam, yaitu pertama, menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam; kedua, memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa; ketiga, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib; dan keempat, menjaga keamanan dan keadilan warganya. IMPLEMENTASI KHILAFAH DALAM NEGARA ISLAM 4.1 Republik Islam Syi’ah Iran Revolusi Iran tahun 1979 telah mampu merubah wajah Iran yang moderat dan sekuler menjadi sebuah negara yang Islamis. Iran, sebelum revolusi 1979 merupakan negara moderat dan sekuler. Namun demikian, kedekatan masyarakat dengan para ulamanya yang memiliki image yang baik serta rentang sejarah yang cukup lama, sehingga hal ini memudahkan terjadinya transformasi “kesadaran dalam beragama”. Setelah Imam Khomeini berhasil menggulingkan tirani Reza Pahlevi dari kedudukannya sebagai Syah Iran, ia tidak memaksakan kehendaknya untuk mendirikan dan membentuk sebuah Negara Islam. Namun lebih memilih mengembalikan Iran kepada rakyatnya. Selanjutnya, merekalah yang memilih Iran sebagai Negara Islam dengan capaian suara 85%. Hal ini merupakan buah dari “kesadaran dalam beragama” yang telah lama tertanam dalam masyarakat Iran(Sumarna). Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah kebangkitan rakyat yang bersumberkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Pasca kemenangan revolusi, pemerintah bersama rakyat Iran bergotong-royong membangun kembali negerinya di berbagai bidang. Islam sebagai agama yang sempurna dan komprehensif, selalu menekankan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan taraf hidup umat. Terkait hal ini, Islam mengajarkan dua prinsip utama, yaitu: pertama, sikap mandiri dan tidak bergantung pada non-muslim, dan kedua adalah percaya diri dan bertawakkal kepada yang Maha Kuasa untuk memajukan kehidupan umat muslim.Ajaran luhur Islam ini P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 103Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) merupakan daya penggerak bagi kaum muslim untuk memutus ketergantungan mereka terhadap pihak lain dan menentang penjajahan atas dirinya. Pesan kemandirian inilah yang selalu diperjuangkan Revolusi Islam. Sepanjang 31 tahun sejak kemenangan Revolusi Islam, Republik Islam Iran berhasil mencapai kemajuan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan militer. Yang menarik, gerakan perjuangan revolusi Islam Iran terlahir dari masjid-masjid dan pusat-pusat keislaman. Aksi demo besar yang terjadi di setiap kota untuk menentang rezim shah dan menyuarakan dukungan kepada Imam Khomeini biasanya dimulai dari masjid. Dalam tradisi masyarakat Iran, khususnya Syi’ah, konsep syariat memiliki pemahaman dan makna yang cukup luas, mencakup permasalahan aqidah. Fiqh dan akhlak. Fiqh sendiri terbagi pada dua bab besar, pertama, bersifat personal dan kedua, bersifat sosial yang kesemuanya itu harus menjadi kesatuan yang tunggal walaupun secara konseptual berbeda(Zhamir, 1995). Disisi lain, tugas para ulama bukan saja menyebarkan ataupun mengajarkan hukum-hukum fiqh belaka. Mereka juga memiliki tanggung jawab atas terciptanya “kesadaran beragama” bagi awam agar mereka merasa memiliki keterbutuhan atas syariat Islam. Syi’ah adalah mazhab politik pertama yang lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Utsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam. Pemimpin Syi’ah Iran menetapkan bahwa seorang imam harus memenuhi kriteria sebagai berikut(Nafi, 2010): 1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat. 2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan. 3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syari’at. 4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan. Menariknya, tidak seperti kelompok syi’ah mayoritas lainnya, Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 104 Idil Akbar dijelaskan oleh Suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Untuk melihat bagaimana nilai Islam diterapikan di Iran, penting kiranya merunut pemahaman nilai Islam sendiri yang diambil dari pemikiran Imam Besar Iran, Imam Yatullah Al Khomeini(Raharjo, 2010). Imam Khomeini merupakan imam besar yang pemikirannya banyak menjadi rujukan bahkan pedoman, terutama setelah revolusi Islam Iran berlangsung dengan jatuhnya Pemerintahan Kesultanan Syah Pahlevi tahun 1979. Imam Khomeini meletakkan fungsi dan arti fuqaha dalam konsep yang universal, bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Baginya juga tidak ada pemisahan antara agama dan negara (nonsekularisme). Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis berusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik. Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. Republik Islam Iran pada dasarnya tidak mengaktualisasikan konsep Imamah dalam tradisi Syi’ah yang konservatif, namun meletakkan konsep imamah dalam konteks modern. Artinya, pemimpin Islam dan negara tidak mesti berada pada garis keturunan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan Islam Iran terletak pada kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan Barat. Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara Muslim. Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model ideologization of religion untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut Geiger, ideologi adalah suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar penafsiran, komentar dan indoktrinas. Dalam ini, ideologsasi Islam menurut Ali Merad berarti merumusklan kandungan Islam dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatatan sosial-politik. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 105Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) Pemerintahan Iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep Wilayah al Faqih yang ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas pemerintahan dan sistem politik Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri. 4.2 Kerajaan Islam Saudi Arabia Arab Saudi merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia. Dari negara ini, muncul Gerakan Wahabi yang banyak membawa pengaruh di Dunia Islam. Lebih jauh, Saudi sering dianggap merupakan representasi negara Islam yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Namun demikian, di sisi lain, Saudi juga merupakan negara yang paling banyak dikritik di Dunia Islam. Sejak awal pembentukannya, negara ini dianggap memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah. Sejarahnya juga penuh dengan pertumpahan darah lawan-lawan politiknya. Banyak pihak juga menyoroti tindakan keras yang dilakukan oleh rezim ini terhadap pihak-pihak yang menentang kekuasaan Keluarga Saud. Tidak hanya itu, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. Kehidupan keluarga kerajaan yang penuh kemewahan juga banyak menjadi sorotan. Secara ekonomi, Saudi juga menjadi incaran negara-negara besar di dunia karena faktor kekayaan minyaknya. Salah satu kehebatan negara Saudi selama ini adalah keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim seluruh dunia. Saudi juga terkesan banyak memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk mencitrakan mereka sebagai ‘pelayan umat’ dan penjaga dua masjid suci (Khadim al-Haramain). Penguasa Saudi juga dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Banyak ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya kerena mengkritik keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu, tingkah polah keluarga Kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat menyakitkan Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 106 Idil Akbar hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita akibat tindakan AS yang terus- menerus dijadikan Saudi sebagai mitra dekat. Benarkah Saudi merupakan negara Islam? Jawabannya, “Tidak sama sekali!” Apa yang dilakukan oleh negara ini justru banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain: Berkaitan dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5a Konstitusi Saudi ditulis: Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam Sistem Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa dalam hukum. Sementara itu, dalam Islam, bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah, dengan kedaulatan ada di tangan Allah SWT. Dalam sistem kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya; biasanya adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam pasal 5c: Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi haruslah orang yang sejalan dengan kebijakan AS. Sementara itu, dalam Islam, Khalifah dipilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh keridhaan. Dalam bidang ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Ini tampak nyata dari dibolehkannya riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak dari beroperasinya banyak bank ‘ribawi’ di Saudi seperti The British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang dikeluarkan oleh Raja (no M/5 1386 H). Saudi juga menjadi penyumbang ‘saham’ IMF, organisasi internasional bentuk AS yang menjadi ‘lintah darat’ yang menjerat Dunia Islam dengan riba. Saudi adalah penanam saham no. 6 yang terbesar dalam organisasi itu. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa ekonomi Saudi adalah ekonomi kapitalis, yakni bahwa Saudi menjadikan tambang minyak sebagai milik individu (keluarga Kerajaan dan perusahaan asing), padahal minyak adalah milik umum (milkiyah ‘amah) yang tidak boleh diberikan kepada individu. Kerajaan Saudi juga dibangun atas dasar rasialisme dan nasionalisme. Hal ini tampak dari pasal 1 Konstitusi Saudi yang tertulis: Kerajaan Saudi adalah Negara Islam Arab yang berdaulat (a sovereign Arab Islamic State). Sementara itu, dalam Islam, Khilafah adalah negara Islam bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tidak hanya khusus orang Arab. Tidak mengherankan kalau di Saudi seorang Muslim yang bukan Saudi baru bisa memiliki bisnis atau tanah di Saudi kalau memiliki partner warga Saudi. Atas dasar kepentingan P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 107Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) nasional, Raja Fahd pada 1997 mengusir ratusan ribu Muslim di luar Saudi (sebagian besar dari India, Pakistan, Mesir, dan Indonesia) dari Arab Saudi karena mereka dicap sebagai pekerja ilegal. Bahkan, untuk beribadah haji saja mereka harus memiliki paspor dan visa. Sementara itu, dalam Islam, setiap Muslim boleh bekerja dan berpergian di wilayah manapun dari Daulah Khilafah Islamiyah dengan bebas. Pada saat yang sama, Saudi mengundang ratusan non-Muslim dari Eropa dan tentara Amerika untuk bekerja di Saudi dan menempati pangkalan militer di negara itu. Tidak hanya itu, demi alasan keamanan keluarga Kerajaan, berdasarkan data statistik kementerian pertahanan AS, negara-negara Teluk (termasuk Saudi) sejak tahun 1990-November 1995 telah menghabiskan lebih dari 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS. Saat ini, lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi. Apa yang terjadi di Saudi saat ini hanyalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa Muslim yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang, para penguasa pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara Islam atau negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah; meskipun pada praktiknya jauh dari Islam. Karenanya, umat Islam wajib menyadari kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah yang sahih, bukan semu. Daulah Khilafah Islamiyah inilah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, yang pada giliran akan menyelesaikan berbagai persoalan umat ini. Tentu saja, hal ini harus dibarengi dengan melengserkan para penguasa pengkhianat di tengah kaum Muslim. Inilah kewajiban kita semua saat ini. KESIMPULAN Khilafah (the Caliphate), oleh sebagian kalangan merupakan sistem politik dari ideologi Islam yang mewadahi aturan hukum, pemerintah representatif, akuntabilitas masyarakat melalui mahkamah independen dan prinsip konsultasi representatif. Kekhalifahan merupakan pemerintahan yang dibangun di atas konsep kewarganegaraan tanpa memandang etnis, jender atau kepercayaan dan sepenuhnya menentang perlakuan represif terhadap kelompok religius atau etnis. Sistem Kekhalifaan diyakini bertujuan mengatasi situasi yang memburuk, infiltrasi kebutuhan untuk perubahan transformasional dan pengakhiran penjajahan asing terhadap teritori Muslim. Kekhalifahaan bukan lagi hanya sekedar persoalan pergantian pemimpin atau proses-proses pemilihan yang dianggap korup. Karena itu,sebagian kalangan menganggap perlu adanya perubahan transformasional yang dilakukan melalui pendirian kembali sistem kepemimpinan Islam berbentuk Khilafah (the Caliphate). Sebab sistem ini bersifat akuntabel, representatif, berpandangan ke depan dengan kesuksesan sejarah tak tertandingi Journal of Government and Civil Society, Vol. 1, No. 1, April 2017 108 Idil Akbar Beberapa pihak telah mengenali bahwa pemecahan Khilafah Ottoman adalah hal utama yang menyebabkan dunia Timur Tengah dan Muslim umumnya, untuk turun ke dalam ketidakstabilan selama bagian terbaik abad dua puluh, dan selanjutnya(Clifford, 2009). Sejak saat itu, dunia Muslim telah dinilai tidak stabil. Model kepemimpinan di Iran pada dasarnya adalah sebuah modifikasi sistem pemerintahan berbasis Islam, terutama Syi’ah. Letak simpulnya adalah negara mencoba untuk menjalankan syariah Islam, meski tidak murni dalam bentuk kekhalifahan.Sementara Arab Saudi, lebih cenderung menerapkan sistem syariah semu dengan lebih menyorot pada peran kerajaan sebagai sentrum of interest. Arab Saudi dalam sistem pemerintahannya diyakini tidak betul-betul menerapkan secara kaffah. Meski pada bagian-bagian tertentu (seperti adanya hukum rajam, qisas, dsb) tetap diberlakukan. REFERENSI Abdullah, M. A. (1997). Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, “Dian/Interfidei”, terbitan perdana, dalam Falsafah Kalam di Era Post Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Faruqi, I. R. (1982). Tawhid: Its Implication for Thought and Life,. Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought. Abdullah, M. A. (1997). Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, “Dian/Interfidei”, terbitan perdana, dalam Falsafah Kalam di Era Post Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. al-Faruqi, I. R. (1982). Tawhid: Its Implication for Thought and Life,. Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought. Arkoun,M. (1990). Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Beirut: Hashem Saleh, Markaz al-Inma’ al-Qaumy. Azra, A. (1996). Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme. Jakarta: Paramadina. Clifford, B. (2009). Islam and its Discontents. Diambil kembali dari The Beevin Society: http://ltureview.com/user/story.php?id=380 Hizb ut-Tahrir. (2005). The Institutions of State in the Khilafah (In Ruling and Administration)). Beirut: Dar ul-Ummah. Mubarak, J. (2000). Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Na’im, A. A. (2009). Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan. Nafi, M. (2010, Desember 14). Konsep Imamah dan Negara Islam. Diambil kembali dari Alhikam Bem Staima: http://www.alhikambemstaima.co.cc/2010/11/konsep- imamah-dan-negara-islam.html Raharjo, D. (2010, Desember 14). Hubungan Agama dan Politik Dalam Pandangan Imam Khomeini. Diambil kembali dari ICAS Indonesia: http://www.icas-indonesia.org P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 109Khilafah Islamiyah: Antara Konsep dan Realitas Kenegaraan (Republik Islam Iran dan Kerajaan Islam Arab Saudi) Pulungan, Suyuti. (1999). Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumarna, E. (2012, Maret 8). Konsep dan Implementasi Syariat Islam di Iran. Diambil kembali dari file.upi.edu: http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196708282005011- ELAN_SUMARNA/Artikel/SYARIAT_ISLAM_DI_IRAN.pdf Syadzali, M. (1990). Islam dana Tata Negara. Jakarta: UI Press. Usman, S. (2002). Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. Wibowo, A. I. (2010). Afganistan dan Pakistan: Perang yang Tak Dapat Dimenangkan. Strategi Barat Saat Ini Untuk Afganistan dan Pakistan dan Jalan Alternatif untuk Daerah Itu. Hizb ut-Tahrir Britain. worldpublicopinion.org. (2007, April 24). Muslims believe U.S. seeks to undermine Islam. Diambil kembali dari http://www.worldpublicopinion.org/: http://http:// www.worldpublicopinion.org/pipa/articles Zhamir, I. a.-H. (1995). al-syi’ah wa al-Qur’an. Lahore: Idarah Trajuman al-Sunnah.