19 Citation : Amiludin. 2018. “Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan”. Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, 19-32. Journal of Government and Civil Society Vol. 2, No. 1, April 2018, pp. 19-32 DOI: 10.31000/jgcs.v2i1.712 Received 17 April 2018 Revised 20 Mei 2018 Accepted 30 Mei 2018 Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan Amiludin1 1 Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Tangerang, Indonesia Email: amiludin@umt.ac.id ABSTRAK Tanah yang dibutuhkan oleh manusia pada era sekarang tidak terlepas dari berbagai macam kepentingan yang berakibat kepada terjadinya politik pertanahan. Kebijakan negara dalam membuat sebuah regulasi tidak terlepas dari kepentingan terutama dengan adanya desentralisasi dari pusat ke daerah sehingga terbentuknya undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Akibat kewenangan pusat yang diambil daerah terkait pertanahan membawa berbagai macam permasalahan terutama konversi atau alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di setiap daerah yang alasan dari konversi tersebut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersumber dari berbagai macam perundang- undangan terkait pertanahan dan kewenangan pemerintah daerah dalam hal pertanahan. Politik hukum dalam pertanahan yang terjadi akibat tidak adanya keseragaman peraturan yang terjadi antara pusat dan daerah yang mengarah kepada kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan pemerintah daerah terutama untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa melihat akibat daripada konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang berujung kepada krisis pangan bagi masyarakat. Kata Kunci: Politik Hukum, Otonomi Daerah, Pertanahan ABSTRACT Land needed by humans in the current era cannot be separated from various kinds of interests that result in the occurrence of land politics. State policy in making a regulation cannot be differentiated from the interests, especially with the decentralization from central to regional so that the constitution of law number 32 of 2004 on regional autonomy.As a outcome of central authority led by state-linked areas bring a mixture of troubles, particularly the conversion or transition of farming estate to non-agricultural in each area, which is the intellect of the changeover to increase local revenue. This writing uses normative legal research methods that are sourced from various laws related to the land and the authority of the local government in terms of land. Legal politics in the land that occurs due to the absence of uniformity of regulations that occur between the center and the region that leads to policies that are more concerned with the interests of local governments, especially to increase local revenues without seeing the consequences of the conversion of agricultural land to non-agricultural that led to the food crisis for the community. Keywords: Political Law, Regional Autonomy, Land Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 20 Amiludin PENDAHULUAN Pembangunan yang terus digalakan baik pemerintah pusat ataupun daerah dengan tujuan untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat(Chapple, 2014; Kanbur & Zhuang, 2013). Berakibat kepada kebutuhan tanah yang semakin meningkat baik untuk keperluan indsutri, sosial ataupun komersial. Pembangunan yang membutuhkan tanah tidak terlepas dari berbagai macam kepentingan-kepentingan yang kadang bisa bertentangan satu sama lain seperti yang terjadi di beberapa daerah termasuk daerah ibukota sendiri yang harus melakukan penggusuran kepada masyarakat akibat tanah yang semakin sempit(Budi Harsono, 1975; Ulya, 2017).Dan berdasarkan fakta yang ada dalam jangka waktu 14 tahun setelah era reformasi, alih fungsi lahan pertanian dan hutan sangat massif. Setiap tahun laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian diperkirakan mencapai 110. 000 hektar. Dari perspektif ketahanan pangan hal ini sangat berbahaya apabila proses alih fungsi lahan pertanian menjadi industri ataupun perumahan tanpa peraturan dari pemerintah pusat ataupun daerah(Limbong, 2014). Disektor pertanian pemerintah daerah justru melihat perlindungan lahan pertanian pangan bekelanjutan sebagai hambatan dalam mendapatkan PAD dari sektor pertanian dan pemerintah daerah lebih tertarik untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi industri, kawasan perumahan dan lain-lain(Anwar, 1993; Santosa, Gede, Ketut, & Dinata, 2011; Utomo, Rifai, & Thahir, 1992). Akibat hal tersebut, pemerintah pusat membuat sebuah regulasi dalam hal pembatasan dan penanganan terkait alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dengan dibuatnya sebuah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian pangan berkelanjutan dan sebagai regulasi operasional, pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) akan tetapi peraturan pemerintah ini seperti tidak berjalan efektif karena praktek alih fungsi masih terjadi dimana-mana. Sebagai contoh di Kalimantan Barat sekitar 1,1 Juta hektar area dari 1,7 Juta hektar hutan gambut berubah fungsi selam periode 2010-2012(Limbong, 2014). Salah satu faktor yang disinyalir menjadi penyebab kekacauan ini adalah otonomi daerah yang telah berakibat hadirnya raja-raja kecil di daerah yang telah mendatangkan implikasi luas dalam dinamika pembangunan di daerah(Chalid, 2005; Nurcholish, 2005). Otonomi daerah pada hakikatnya adalah untuk mempercepat proses pemerataan pembangunan yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah, pengalihan ini berdasarkan Undang-Undang pemerintah daerah nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai acuan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam pelaksanaannya otonomi daerah ternyata belum bisa menghasilkan keinginan pemerintah pusat terkait pembangunan yang ada didaerah, dalam konteks agraria P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 21Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan otonomi daerah justru mengakibatkan kemandegan dan kekacauan yang merugikan daerah maupun nasional sehingga berakibat timbulnya konflik pertanahan(Bachriadi, 2004; Chalid, 2005; Rachman, 2018; Suhendar & Winarni, 1998). Konflik yang terjadi adalah karena tidak adanya regulasi yang mengatur lebih tegas akibat ulah perusahaan yang telah merampas tanah hak masyarakat. Perusahaan berdalih bahwa telah mendapatkan izin dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dan terjadi tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sikap ego sectoral(Suradisastra, 2011). Salah satu bidang pemerintah pusat yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota adalah bidang pertanahan. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan menyerahkan Sembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah seperti izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan serta tanah absente. Dalam perjalanan pembangunan politik, politik pembangunan ekonomi, dan lebih khusus politik pembangunan hukum pertanahan, kita sebagai bangsa belum mampu memahami dan melaksanakan isi amanah. Amanah yang tersurat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945 mengandung dasar dan sekaligus arahan bagi politik pembangunan hukum pertanahan dan sumber daya alam lainnya. Amanah tersebut kemudian dijabarkan dengan semangat yang konsisten dan progresif ke dalam Undang- Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Penjabaran ke dalam UUPA masih dalam tataran asas-asas hukum yang harus dikembangkan ke dalam berbagai peraturan pelaksanaan yang lebih kongkret sehingga dapat lebih operasional untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia(Ismail, 2012). Dalam tulisan ini penulis berusaha mencoba menggambarkan politik pertanahan dan otonomi daerah yang terjadi di era sekarang ini dan kebijakan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam menanggulangi permasalahan agrarian terutama mengenai alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. TINJAUAN PUSTAKA Politik Hukum Penjelasan politik hukum sudah banyak diterangkan oleh para ahli dalam berbagai literature, tetapi dalam substansi yang penulis ambil disini adalah mengenai kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan membuat hukum baru maupun dengan mengganti hukum lama dalam rangka tujuan negara(Hartono, 1991; Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 22 Amiludin Mahfud, 1998; Nusantara, 1988; Syaukani & Thohari, 2004). Dengan demikian politik hukum merupakan salah satu cara dalam memberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Padmo Wahjono (1983)dalam bukunya Indonesia negara berdasarkan atas hukum, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan politik hukum adalah kebijakan dasar yang akan dibentuk mulai dari arah, bentuk, maupun isi hukum itu sendiri. Selain itu juga Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan negara terkait kriteria dalam pembentukan hukum baik dari segi penerapan dan juga penegakan hukum itu sendiri(Wahjono, 1983). Dalam penjabaran diatas penulis berpendapat bahwa secara tidak langsung menjadikan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menciptakan sIstem hukum nasional guna mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Politik hukum ada yang bersifat permanen yang mana pemberlakuan prinisp pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan pergantian hukum kolonial belanda dengan hukum nasional. Adapun yang bersifat periodik adalah hukum dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu(Stevens, 1978; Weingast, 1997). Dalam politik hukum terdapat tiga cakupan, pertama kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara. Kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atau lahirnya produk hukum. Ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan. Secara metodologis ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan bahwa hukum sebagai produk politik, penulis berpendapat bahwa kebenaran ilmu sosial masih bersifat relative dan tidak bersifat mutlak. Kebenaran ilmu sosial tergantung pada asumsi dan konsep yang akan dipergunakan seperti asumsi dan konsep yang memandang bahwa hukum adalah produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya bahwa politik adalah produk dari hukum. Artinya bahwa secara ilmiah hukum dapat mendeterminasi politik atau sebaliknya politik determinan atas hukum(de Sousa Santos, 1995; Posner, 1979; Somers, 1993). Pernyataan hukum sebagai produk politik adalah benar apabila melihat berdasarkan pada das sein (kenyataan) dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislative maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab hukum merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 23Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan Pandangan hukum sebagai produk politik akan menjadi lain apabila melihat dari segi das sollen (keinginan, keharusan) apabila hukum tidak diartikan sebagai undang- undang. Seperti diketahui bahwa hubungan antara hukum dengan politik bisa dilihat berdasarkan das sein dan das sollen. Begitu juga hukum bisa diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mencakup undang-undang, bisa juga diartikan sebagai putusan pengadilan, dan bisa juga diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan. Politik Hukum Pertanahan Kebijakan dasar dari sebuah poitik hukum adalah dengan cara menerapakan peraturan yanga baru ataupun dengan cara mengganti peraturan lama yang dianggap sudah tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Politik hukum agrarian dalam hal ini adalah pertanahan mengatur bagaimanan negara membuat sebuah regulasi tentang kebijakan negara dalam memberlakukan hukum nasional dan mengganti hukum produk kolonial belanda. Kebijakan negara setelah Indonesia merdeka langsung bergerak cepat terkait dengan pengaturan tanah agar tidak terjadi konflik baik secara horizontal maupun vertical. Pasal 33 UUD 1945 adalah dasar konstitusi dalam pembentukan regulasi terkait pertanahan yang pada tanggal 24 sepetember 1960 berdasarkan keputusan dari parelement bahwa Undang-Undang Pokok Agaria menjadi dasar hukum dalam hal pertanahan di negara ini.Terkait dengan sejarah penguasaan tanah dari masa ke masa penulis akan menjelaskan dalam beberapa bagian, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sebelum Zaman Penjajahan Bangsa ini telah mengenal hukum sebelum adanya penjajah, seperti ketentuan yang mengatur terkait pertanahan dalam masyarakat, hukum ini tidak tertulis atau disebut dengan hukum adat. Dalam masyarakat adat terdapat perkumpulan atau persekutuan hukum dalam satu wilayah tertentu (rechtsgemeenshaap, beschikkingskring). Dalam persekutuan hukum ini terdapat lingkungan yang teratur, kekal, dan mempunyai kekuasan sendiri baik secara jasmani maupun rohani(Ragawino, 2008). Dalam persekutuan hukum adat mempunyai hak dan wewenang mengatur wilayah atau tanah dalam daerah persekutuan masing-masing. Hak persekutuan hukum ini menurut van Vollenhoven disebut sebagai Beschikkingsrecht. b. Zaman Penjajahan Pada masa ini tepatnya pada tahun 1602-1799 VOC (Verreenigde Oost Indische Compagnie) sebagai salah satu badan swasta yang dibentuk oleh pemerintah hindia belanda yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan. Selain perdagangan VOC Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 24 Amiludin juga mempunyai hak terhadap bagian-bagian tanah tertentu yang dikuasai dengan cara penaklukan atau dengan berdasarkan perjanjian yang dibuatnya. Pemberlakuan hukum barat pada masyarkat pribumi dalam hal pertanahan tanpa mengindahkan hukum adat yang ada sehingga menimbulkan kekacauan dan pemberontakan serta peperangan. Penjajah semakin menguasai pertanahan di Indonesia dan membuat sebuah kebijakan seperti sewa tanah yang dilakukan petani kepada kepala desa, dan memaksa para petani untuk menanam 1/5 (seperlima) dari tanah yang disewakan dengan tanaman yang sudah ditentukan untuk dipasarkan di eropa(Boedi Harsono, 1997; Muchsin, Koeswahyono, & Soimin, 2007). Tahun 1870 pemerintah belanda mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan kebijaksanaan mengenai keagrarian yakni agrarische wet tahun 1870 no. 55. Undang-undang ini lahir atas desakan dari pemodal besar swasta yang menginginkan jaminan agar dapat berkembang di hindia belanda. Selain itu juga perkembangan dalam agrarische wet digabung menjadi satu dengan pasal 62 RR yang kemudian menjadi pasal 51 IS (indische staatregeling). Untuk melaksanakan AW sendiri pemerintah hindia belanda mengeluarkan keputusan dan peraturan salah satunya adalah Koninklijk Besluit atau lebih dikenal dengan nama Agrarisch Besluit (AB) yang mana dalam hal ini membuat pernyataan bahwa apabila orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendomnya maka tanah tersebut adalah tanah negara atau biasa disebut dengan pernyataan domein (domein verklaring). c. Zaman Kemerdekaan Indonesia Sejalan dengan kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, secara berangsur- angsur terjadi usaha perombakan dan perubahan untuk mengganti perundang- undangan milik colonial belandan terkait pertanahan dengan undang-undang yang sesuai dengan alam kemerdekaa menuju kesejahteraan bangsa Indonesia. Tahun 1948 terbit undang-undang no 13 tahun 1948 yang menghapuskan hak kebendaan yang dipunyai oleh pengusaha di atas tanah swapraja dan pada tahun 1958 keluar undang-undang no 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah tanah partikelir. Setelah mengalami proses yang cukup lama, maka pada tahun 1960 keluarlah undang-undang no 5 tahun 1960 yang dimuat dalam lembaran negara no 104, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Dengan keluarnya undang-undang ini maka terjadilah suatu perombakan yang fundamental dalam hukum agraria Indonesia. Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai macam ketentuan seperti pasal 19 UUPA tentang pendaftaran tanah, pemerintah membuat peraturan dengan diterbitkannya P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 25Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan PP. no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Untuk mengatur luas minimum atau maksimum tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga atau badan hukum makan diterbitkanlah perpu no 56 tahun 1960 dan menjadi undang-undang no 1 tahun 1961 tentang penetapan luas tanah pertanian. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebelumnya diatur dalam peraturan presiden no 36 tahun 2005 dan disempurnakan kembali menjadi undang-undang no 12 tahun 2012 dan peraturan presiden no 71 tahun 2012. Otonomi Daerah Akibat kesenjangan yang terjadi disetiap daerah mulai dari pembangunan dan kesejahteraan yang berbeda dan akibat tidak meratanya alokasi investasi antar wilayah yang memicu tuntutan otonomi daerah. Otonomi daerah pertama kali dilakukan pada januari 2001 yang mana perwujudan dari pelaksanaan ini adalah desentralisasi atau penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus sendiri rumah tangganya(Cheema & Rondinelli, 1983). Salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah(Fauzan, 2006; Sriyana, 1999; Yani, 2002). Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia dijadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam penyusunan pelaksanaan APBD. Misi pelaksanaann otonomi daerah adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah serta Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipaasi dalam pembangunan. Dalam penyelenggaran otonomi daerah yang luas maka dibutuhkan sebuah tanggung jawab dalam hal kewenangan dan kemampuan dalam mencari potensi keuangan setiap daerah dengan dukungan dari pemerintah pusat. Terkait hal ini kewenangan keuangan pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah, dan untuk menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang lebih baik maka diperlukan sebuah kemampuan Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 26 Amiludin untuk meningkatkan PAD, baik dengan cara memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Selain hal itu agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan lebih baik maka dibutuhkan sebuah strategi seperti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya,kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah, penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif, mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat serta membangun sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitias menyelesaikan masalah(Chalid, 2005; Nurcholish, 2005). METODE PENELITIAN Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalahpenelitian hukum normatif, yang mana dalam hal ini adalah mengkaji undang-undang yang berkaitan dengan pembahasan terkait politik hukum pertanahan dan otonomi daerah, sumber data yang penulis dapatkan dalam penulisan ini adalah bahan hukum primer seperti undang-undang pokok agrarian, undang-undang otonomi daerah dan bahan hukum sekunder penulis dapatkan dari berbagai literature seperti buku, dan jurnal yang berkaitan dengan pembahasan. Pemgolahan dan pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara menginventatisir dan mengidentifikasi peraturan perundang-undangan sesuai dengan permasalahan penelitian. Sehingga teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara studi kepustakaan.Analisa data dalam penulisan ini adalah dengan cara deskripsi kualitatif, yakni menggambarkan hasil yang didapatkan dan diuraikan secara utuh dalam pembahasan. PEMBAHASAN Penulis akan lebih menegaskan pembahasan dalam tulisan ini bahwa masalah pertanahan di negara ini tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum semata, melainkan harus melalui pendekatan yang lain secara komprehensif baik melalui politik, sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Pendekatan yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan cara pencegahan dan merumuskan regulasi dari hilir ke hulu ketika merumuskan kebijakan operasional keagrariaan dan membuat lembaga otoritas P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 27Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan pertanahan yang kuat dan berwibawa dalam menentukan keberhasilan penerapan regulasi, kebijakan pertanahan dan efektivitas koordinasi antarlembaga terkait. Keputusan politik untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah di awal abad ke 21 ternyata membawa implikasi luas diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, termasuk di bidang pertanahan. Kebijakan desentralisasi dan otonomi penuh telah menimbulkan berbagai perbedaan pemahaman dan pelaksanaan dalam bidang pengelolaan pertanahan, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi dan otonomi itu telah memunculkan berbagai persoalan di bidang pertanahan seperti perencanaan wilayah, kelembagaan pertanahan, sumber daya manusia, keuangan dan mencuatnya berbagai macam konflik tanah yang berakar pada kebijakan masa lalu. Lebih dari itu banjir impor kebutuhan pangan dan ancaman krisis pangan adalah dampak nyata dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Ditengah berbagai masalah tumpang tindih regulasi pertanahan dan kemunculan raja raja kecil di daerah, seperti adanya dua kebijakan pokok dalam pengelolaan pertanahan saat ini yakni kebijakan pertanahan perkotaan dan kebijakan pertanahan perdesaan atau pertanian. Diperlukan politik hukum dan politik pertanahan yang kuat, sebagai contoh adalah dengan cara mengkaji kembali secara serius semua regulasi terkait hubungan pusat dan daerah. Baik undang-undang maupun peraturan daerah pelaksanaan dibawahnya. Selain hal itu diperlukan juga sikap yang jelas dan tegas dari pemerintah pusat dalam mengontrol pelaksanaan seluruh peraturan perundang- undangan oleh pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten ataupun kota. Dalam konsep hukum tatanegara dan adiministrasi negara, dikenal pengawasan secara preventif dan pengawasan secara represif. Maksud dari pengawasan preventif adalah bagaimana melakukan tindakan pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemberian kuasa kepada pemerintah daerah baik gubernur, bupati ataupun walikota untuk membatalkan setiap rancangan peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sedangkan pengawasan represif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pemerintah pusat adalah dengan membatalkan peraturan daerah yang sudah berjalan. Konteks pengawasan di pertanahan, Undang-Undang Pokok Agraria harus kembali dinaikan dan mempertegas posisinya sebagai undang-undang pokok keagrarian di negeri ini yang berdasarkan pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Telepas dengan kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria maka UUPA ini harus menjadi acuan dasar dalam pembuatan undang-undang lain yang terkait dengan pengatuaran pertanahan seperti undang-undang perkebunan, pertanian dan kehutanan. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan dalam pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan menjadi acuan utama negara Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 28 Amiludin dalam menguasai dan mengatur pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang disebut sebagai hak menguasai negara. Tetapi Hak menguasai negara tidak identik dengan hak milik yang dimiliki oleh rakyat, negara tidak memiliki tanah karena negara ada setelah rakyat ada dan yang memiliki tanah itu adalah rakyat yang sudah ada sebelum negara ini ada atau terbentuk. Hak menguasai negara adalah hak rakyat pada tingkat negara sebagai organisasi tertinggi sehingga negara tidak memiliki kewenangan untuk menjual atau menggadaikan tanah. Masalah agraria akan muncul ketika kewenangan hak menguasi negara diperhadapkan dengan hak milik individu dan hak komunal atau hak ulayat. Rakyat yang sudah ada sebelum negara ada mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti hak hidup, hak ekonomi, hak politik, hak sosial budaya dan hak ekologis. Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah bahwa dalam otonomi daerah yang menganut paham negara integralistik harus dikembangkan otonoi daerah dengan kemandirian yang integral. Setiap daerah masing-masing diberikan kemandirian untuk mengelola dan mengatur serta mengurus daerahnya masing-masing tetapi tetap harus berada dalam status sebagai bagian negara integral dan terpadu dalam lingkungan negara kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan negara dalam negara tidak terdapat dalam undang-undang otonomi daerah ataupun secara konstitusi sehingga prinsip yang harus digunakan oleh pemerintah daerah adalah menjadikan pusat sebagai titik sentral dalam membuat sebuah kebijakan terkait peraturan yang akan atau telah dibuat oleh pemerintah daerah sehingga politik pertanahan yang bermuara pada keadilan agraria tidak akan pernah terwujud apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah gagal dalam menjalankan regulasi yang jelas- jelas sudah mengatur kewengangan masing-masing. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur pertanahan di daerah untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat di daerahnya masing-masing, dan pemerintah pusat juga harus mampu melakukan pengawasan dan memastikan bahwa seluruh regulasi di bidang pertanahan berjalan dan acuan dasar itu semua harus berdasarkan kerangka pengawasan yang mana menjadikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagai undang- undang pokok yang menjabarkan keinginan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas, jelas dan murni, sehingga stabilitas negara dalam hal pertanahan tidak selalu menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Jika dicermati lebih dalam, pokok permasalahan bukanlah kepada tuntutan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi pada penataan penggunaan tanah atau perencanaan tata guna tanah (land use planning) yang tidak tuntas dan pengusaan tanah yang timpang. Jika akar masalah ini dibenahi dengan baik maka penataan dan penggunaan tanah bisa teratasi dan cita-cita bangsa dan negara terkait kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 29Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan Selain hal tersebut bentuk implementasi dari pembangunan pertanahan yang dilakukan oleh badan pertanahan nasional adalah dengan cara konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah dapat diartikan sebagai penguatan nilai dan fungsi tanah sebagai hasil penataan bentuk, luas, dan letak sehingga menjadi tertib dan teratur yang mendukung pemanfataan tanah secara efektif, efesien, dan berkelanjutan sesuai potensinya. Secara operasional, konsolidasi tanah dimaksudkan sebagai salah satu dari kebijakan pertanahan mengenai penataan penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam proses pembangunannya konsolidasi tanah dilengkapi pula dengan perencanaan prasarana, sarana, fasilitas dan utilitas umum yang diperlukan sesuai potensi lokal yang bersangkutan melalui peran serta aktif para pemilik tanah atau penggarap tanah maupun para stakeholder atau pihak lain untuk menunjang perwujudan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan. Kebijakan otonomi daerah menuntut penerapan paradigma baru dalam pengelolaan pertanahan. Perubahan paradigma dari pemerintahan sentralistik otoriter menjadi desentralisasi dan otonomi penuh yang demokratis menuntut penyesuaian seperti konsolidasi tanah harus dilaksankan sesuai dengan arahan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Hukum sebagai fenomena sosial yang dinamis harus terus menerus menyesuaikan diri dalam proses yang bermutu. Sebab keberadaan dan keberagaman hukum tidak terlepas dari pengaruh lembaga sosial lainnya seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam teori sosiologi hukum, substansi hukum mencerminkan kepentingan dan pola- pola interaksi sosial yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Pembentukan hukum justru mengakomodasi kepentingan dan pola interaksi sosial yang ada maupun yang bakal terjadi di masa yang akan datang. Dalam konteks pertanahan, pembuatan hukum dan kebijakan pertanahan harus mengarah pada upaya peningkatan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif, dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat dan masyarakat adat. Dengan demikian, pembuatan perda tentang rencana tata ruang wilayah harus mampu menghasilkan rumusan yang serasi dan seimbang antara tujuan pembangunan dengan hak-hak rakyat di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi. Secara operasional, pembangunan pertanahan harus mampu menyelaraskan tanah dalam konteks nilai ekonomi dan fungsi sosial yang ditujukan bagi kemakmuran rakyat melalui penataan pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat, sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah. Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 30 Amiludin KESIMPULAN Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata membawa implikasi luas diberbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dibidang pertanahan. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai perbedaan pemahaman dan pelaksanaan dalam bidang pengelolaan pertanahan, terutama tingkat provinsi dan kabupten atau kota. Setelah adanya penyerahan sembilan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten dan kota perihal pertanahan seperti pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, ganti rugi, penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, tanah absente, penetapan dan penyelesaian tanah ulayat, pemanfaatan tanah kosong dan pemberian izin membuka tanah ternyata pelaksanaan hal tersebut ternyata belum berhasil dalam hal percepatan pembangunan di setiap daerah. Dalam konteks agraria otonomi daerah menjadi salah satu faktor penghambat dan kekacauan yang bisa merugikan daerah maupun nasional yang berakibat kepada timbulnya konflik horizontal termasuk konflik pertanahan yang sering terjadi di masyarakat yang disinyalir akibat adanya pemberian izin pemerintah daerah kepada korporasi yang telah merampas hak atas tanah masyarakat. Akibat dari tumpang tindih peraturan di bidang pertanahan diperlukan politik hukum dan politik pertanahan yang kuat dengan cara mengkaji dan menganalisa kembali secara serius dan seksama semua regulasi yang terkait hubungan pemerintah pusat dan daerah serta menjadikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA menjadi undang-undang pokok dalam konteks pertanahan yang tidak bisa digantikan oleh peraturan operasional. REFERENSI Anwar, A. (1993). Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Lahan Non-Pertanian di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, Nomor, 10. Bachriadi, D. (2004). Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Jurnal Dinamika Masyarakat, 3(3), 497–521. Chalid, P. (2005). Otonomi daerah: masalah, pemberdayaan, dan konflik. Kemitraan. Chapple, K. (2014). Planning sustainable cities and regions: Towards more equitable development. Routledge. Cheema, G. S., & Rondinelli, D. A. (1983). Decentralization and development: Policy implementation in developing countries. Sage Publications. de Sousa Santos, B. (1995). Toward a New Common-Sense Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition. P-ISSN 2579-4396, E-ISSN 2579-440X 31Politik Hukum Pertanahan dan Otonomi Daerah: Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dengan Daerah Terkait Pertanahan Fauzan, M. (2006). Hukum pemerintahan daerah: kajian tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. UII Press. Harsono, Boedi. (1997). Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1. Jakarta, Indonesia: Djambatan Publishing. Harsono, Budi. (1975). Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Hartono, S. (1991). Politik hukum menuju satu sistem hukum nasional. Alumni. Ismail, N. (2012). Arah Politik hukum pertanahan dan perlindungan kepemilikan tanah masyarakat. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(1), 33–51. Kanbur, R., & Zhuang, J. (2013). Urbanization and Inequality in Asia. Asian Development Review, 30(1), 131–147. https://doi.org/10.1162/ADEV_a_00006 Limbong, B. (2014). Opini kebijakan agraria. Penerbit Margaretha Pustaka. Mahfud, M. (1998). Politik hukum di Indonesia. Lp3s. Muchsin, Koeswahyono, I., & Soimin. (2007). Hukum agraria Indonesia dalam perspektif sejarah. Refika Aditama. Nurcholish, H. (2005). Teori dan praktik pemerintahan dan otonomi daerah. Gramedia Widiasarana Indonesia. Nusantara, A. H. G. (1988). Politik Hukum Indonesia. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Posner, R. A. (1979). The ethical and political basis of the efficiency norm in common law adjudication. Hofstra L. Rev., 8, 487. Rachman, N. F. (2018). RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA. BHUMI: Jurnal Agraria Dan Pertanahan, (37), 1–14. Ragawino, B. (2008). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran. Santosa, I., Gede, M. A., Ketut, I., & Dinata, K. (2011). Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan beras. Somers, M. R. (1993). Citizenship and the place of the public sphere: law, community, and political culture in the transition to democracy. American Sociological Review, 587– 620. Sriyana, J. (1999). Hubungan keuangan pusat-daerah, reformasi perpajakan dan kemandirian pembiayaan pembangunan daerah. Economic Journal of Emerging Markets, 4(1), 102–113. Stevens, R. B. (1978). Law and politics: the House of Lords as a judicial body, 1800-1976. Univ of North Carolina Pr. Suhendar, E., & Winarni, B. (1998). Petani dan konflik agraria. Akatiga. Suradisastra, K. (2011). Revitalisasi Kelembagaan untuk Mempercepat Pembangunan Sektor Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(2), 2011. Journal of Government and Civil Society, Vol. 2, No. 1, April 2018 32 Amiludin Syaukani, I., & Thohari, A. A. (2004). Dasar-dasar politik hukum. Divisi Buku Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada. Ulya, H. (2017). Hubungan Reforma Agraria dengan Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan (Studi Kasus Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Bogor Agricultural University. Utomo, M., Rifai, E., & Thahir, A. (1992). Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung. Wahjono, P. (1983). Indonesia, negara berdasarkan atas hukum. Ghalia Indonesia. Weingast, B. R. (1997). The political foundations of democracy and the rule of the law. American Political Science Review, 91(2), 245–263. Yani, A. (2002). Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Depok: Raja Grafindo Persada.