United States’s Intervention against the Islamic State of Iraq and the Levant Indri Susilo Master of International Relations indrimihi@gmail.com Rizqi Apriani Putri Master of International Relations raputri26@gmail.com Nur Azizah Muhammadiyah University of Yogyakarta nurazizah@umy.ac.id Abstract Combating terrorism is one of the foreign policy of the United States (US). The Islamic State of Iraq and The Levant (ISIL) or The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) is one of the movement deemed terrorists and has disturbed world peace. Ultimately the US decided to intervene to deal with the frequent acts of terror by ISIS which resulted in gross human rights violations. This article aims to find out how the US intervention to combat human rights abuses and acts of terror that have been done by ISIS. The research method which was used in this research is library research method, such as books, articles, journals, and various media which were relevant to this research. It has been found that the form of settlement efforts to reduce human rights violations, the US made preventive and repressive efforts. In preventive efforts, the US created an international coalition to gain support to counter terror committed by ISIS. Then the repressive effort is humanitarian intervention in the form of military aid and humanitarian aid. The US donates $ 1.2 billion annually and 350 million dollars as a form of military and humanitarian aid to combat ISIS. Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 ISSN: 2614-0535 Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 175 United States’s Intervention against the Islamic State Keywords: Humanitarian Interventions, Human Rights Violations, The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), United States Intervention PENDAHULUAN ISIS merupakan negara baru yang dideklarasikan oleh Abu Bakar al-Baghdady pada tanggal 9 April2013, menyusul kejadian perang saudara di Irak dan Suriah. ISIS adalah organisasi teroris, namun ia bukan hanya organisasi teroris (Sahide, 2015, p. 359). Kelompok ini mencetuskan nama IS (Islamic State) akan tetapi lebih dikenal ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). NIIS muncul akibat dari fenomena Arab Spring untuk memperjuangkan ideologi Sunni yang mencoba menggulingkan diktator Bashar Al- Assad yang berhaluan Syi’ah dilakukannya. Cita-cita ISIS adalah mendirikan Negara Islam di Irak dan Syria (Suriah). Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah menyebarkan propaganda untuk mengajak seluruh umat Muslim dunia melakukan jihad dan membantu perjuangan mereka dalam mendirikan Negara Islam (Rijal, 2017, pp. 44-45). Kemunculan NIIS tidak dapat dilepaskan dari pergolakan negara- negara Arab selama Arab Spring (Rijal, 2017, p. 48). Akan tetapi penggulingan ini tidak berhasil karena Bashar Al-Assad mendapat dukungan dari Hazbulloh. Dari kekecewaan akibat kegagalan ini mereka melakukan perhatian ke daerah Suriah dan Irak Barat yang relatif tidak dikontrol oleh pemerintahannya masing-masing. Pada mulanya, pergerakan ini hanya di Suriah akan tetapi pemimpin tertinggi NIIS Al- Baghdadi tidak mengubris pernyataan Al-Qaeda tersebut dan mendeklarasikan untuk memisahkan diri dari Al-Qaeda. Sehingga pada sekarang ini, NIIS dengan kekuatan yang lebih besar dengan ideologi jihadisme, militer, militansi dan kekerasan.Pada awal pembentukan Al-Qaeda merupakan organisasi yang dibentuk oleh Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Al-Qaeda dan NIIS menjadikan AS sebagai musuh mereka. Gerakan NIIS ini mendapat donasi finansial dari orang -orang kaya di Kuwait dan Arab Saudi untuk menggulingkan Presiden Bashar Al-Assad. Dukungan ini berasal dari penguasaan sumur minyak di Suriah Timur dan penaklukan di Mosul, Irak. Gerakan 176 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 ini menyerupai organisasi modern yang didukung oleh infrastruktur negara yang memadai. Sehingga, NIIS dengan mudahnya dapat menguasai beberapa kawasan tersebut. Kota-kota di Irak jatuh ke tangan NIIS seperti Fallujah, Tikrit dan Mosul, kota terbesar kedua setelah Baghdad. Dari gerakan NIIS ini telah menimbulkan korban jiwa 2400 orang dan menyebabkan 30 ribu warga Suriah mengungsi (Hilmi, 2014, p. 405). Pada tahun 2018 Irak mem- butuhkan dana sebesar 100 milliar dollar Amerika Serikat untuk pemulihan rekonstruksi bangunan. (Irak dan Suriah Pasca Perang NIIS, 2018). Sebagai negara yang peka akan keamanan Internasional, AS menyatakan perang terhadap NIIS dengan membentuk koalisi internasional bersama 60 negara lainnya dalam US Led-Coalition untuk menghadapi ancaman NIIS bagi dunia Internasional. Perilaku anggota NIIS yang brutal terhadap kelompok minoritas seperti Kristen, Kurdi, dan Yazidi sehingga membuat warga sipil mengungsi. Di Suriah pada masa pemerintah Bashar Al-Assad, telah terjadi banyak protes dari masyarakat sehingga menimbulkan gerakan pemberontak di Suriah. Siapa saja yang menentang kebijakan Bashar Al-Assad maka akan mendapatkan perlawanan dari pemerintah seperti dipenjara, diasingkan, dan dihukum. Bahkan dicurigai pemerintahannya menggunakan senjata pemusnah massal yang beracun yang meng- akibatkan banyaknnya korban jiwa yaitu masyarakat sipil. Gerakan NIIS ini banyak membuat dunia internasional geram karena banyaknya pelanggaram Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukannya. Melihat dari dinamika ini, timbullah intervensi Amerika Serikat untuk menghentikan konflik. Artikel ini bermaksud untuk memberikan informasi sekilas mengenai sejarah NIIS kemudian mengenai bagaimana upaya intervensi yang dilakukan oleh AS melawan NIIS. Bentuk intervensi yang akan ditelaah terbagi dalam intervensi militer dan intervensi kemanusiaan. Namun artikel ini akan fokus terhadap intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh AS. KERANGKA TEORI Pada artikel ini akan meng- gunakan konsep intervensi untuk menguraikan upaya atau peran yang akan diambil oleh AS demi menyelesaikan teror dan pelangga- ran HAM yang terjadi akibat konflik. Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 177 United States’s Intervention against the Islamic State Konflik adalah hal yang akan terus terjadi apabila tiap-tiap aktor atau pihak masih memiliki kepentingan dan terus berupaya untuk mendapatkan kepentingannya. Dalam upaya penyelesaian konflik bisa berupa jalan damai dan juga bisa berupa penyelesaian secara paksa atau dengan menggunakan keke- rasaan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian konflik yang diatur dalam hukum internasional melalui- kekerasan atau secara paksa yakni retorsi (retortion), tindakan- tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pacific blockade), dan intervensi (intervention). (Emi Eliza, Heryandi Heryandi, Ahmad Syofyan, 2014, p. 631). Definisi intervensi sendiri adalah suatu upaya dari negara untuk turun tangan membantu masalah dalam negeri dari negara lain guna menyelesaikan atau mengubah situasi yang tengah berlangsung di negara yang telah diberikan bantuan tersebut. Terdapat dua jenis intervensi dalam upaya penyelesaian konflik, yakni intervensi militer dan intervensi kemanusiaan. Ada beberapa yang membedakan dua jenis intervensi tersebut, dimana isu yang digunakan dalam intervensi militer tidak selalu melibatkan isu kemanusiaan. Namun, pada intervensi kemanusiaan sering diawali dengan bantuan militer oleh negara-negara yang ingin mengintervensi. J. G Starke menyatakan bahwa dalam melihat intervensi suatu negara ke negara lain terdapat tiga tipologi, yaitu: pertama adalah Intervensi Internal. Sebuah intervensi yang dilakukan oleh negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Kedua adalah Intervensi Eksternal. Intervensi ini adalah sebuah bentuk campur tangan negara mengenai urusan luar negeri negara lain. Ketiga adalah Intervensi Punitive. Sebuah bentuk intervensi negara terhadap negara lain sebagai alasan kerugian yang diderita oleh negara tersebut.(J.G.Starke, 1988). Namun pada Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB menyatakan bahwa setiap negara dalam melakukan hubungan internasional dilarang untuk melakukan suatu intervensi mengenai urusan domestik negara lainnya, begitu pula dengan PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan domestik negara lain dan mewajibkan negara-negara yang berkonflik untuk menyelesaikan urusannya menurut ketentuan Piagam PBB. Hal ini berkaitan dengan adanya prinsip non intervensi sebagai salah satu pondasi 178 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 dasar dalam hukum internasional (Emi Eliza, Heryandi Heryandi, Ahmad Syofyan, 2014, p. 631) Adanya prinsip non intervensi ini akhirnya memberikan kedaulatan penuh bagi negara mengatur apa-apa saja yang berada di wilayahnya tanpa terkecuali. Tak hanya menjadi hak bagi negara itu untuk mengatur tetapi negara juga memiliki ke- wajiban untuk menjamin hak-hak yang harus didapatkan oleh apa-apa saja yang berada diwilayahnya seperti hak-hak warga negara. Negara harus dapat menjamin kemudian- melindungi hak asasi manusia yang harus diperoleh oleh warganya sebagai bentuk prinsip dasar pemenuhan kebutuhan sebagai sebuah insan yang dicip- takan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Namun pada kenyataannya acap kali negara menyalahgunakan otoritasnya yang berujung pada ketidakberhasilan suatu negara itu dalam memenuhi hak-hak dasar warganegaranya dan kadang keadaan itu kerap menimbulkan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga negaranya. Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang berat seperti ethnic cleansing, genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan lain sebagainya. Ketika negara dianggap gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan berujung pada pelanggaran hak- hak dasar manusia, pada saat itu pula diizinkan negara lain ikut campur atau turun tangan dalam penyelesaian isu tersebut atau bisa dikatakan bahwa pihak ketiga boleh mengintervensi baik dalam hal intervensi militer ataupun intervensi kemanusiaan.(Rosyidin, 2010, pp. 58-59). Humanitarian Intervention atau Intervensi kemanusiaan secara umum adalah upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan kekuatan- kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara, baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami konflik internal). Ketika terjadi suatu masalah kemanusiaan di suatu negara yang bersifat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka masyarakat internasional dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan intervensi. (Emi Eliza, Heryandi Heryandi, Ahmad Syofyan, 2014, p. 631). Campur tangan terhadap negara lain juga bisa dilakukan dengan alasan ketika konflik yang terjadi telah meluas dan bahkan akan menimbulkan perang. Ketika hal itu akan terjadi, masyarakat Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 179 United States’s Intervention against the Islamic State internasional atau negara-negara lain berhak untuk mengintervensi agar perang tidak terjadi dan tidak ada keberpihakan kepada salah satu pihak melainkan hanya untuk menyelesaikan sengketa agar tidak berujung pada perang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Ali Sastroamijojo bahwa: “Intervensi itu meskipun bisa dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar negara, tetapi lazimnya dijalankan pada saat kalau antara pihak yang bersengketa akan meletus peperangan.Jadi bila demikian, intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya pepe- rangan, artinya tidak untuk memihak salah satu pihak yang bersengketa.”(Sastroamidjojo, 1971). Kemudian humanitarianisme dan operasi kemanusiaan adalah istilah yang kerap digunakan para pekerja kemanusiaan dan organisasi non-pemerintah dimana istilah kemanusiaan diartikan sebagai tindakan yang altruistik, non-politis, dan permasalahan yang banyak terjadi dalam masyarakat. Operasi kemanusiaan biasanya dilakukan oleh organ-organ non-pemerintah (NGO) internasional seperti organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR), Organisasi Palang Merah International (ICRC) dan sebagainya. Tetapi negara ter- kadang juga ikut terlibat dalam menyelenggarakan aktivitas- aktivitas kemanusiaan seperti kesehatan, penyaluran bahan pangan, rekonstruksi infrastruktur, pendidikan dan lain-lain. (Rosyidin, 2010). Mengenai intervensi kemanusiaan, hal ini diatur menurut Piagam PBB Pasal 24 tentang tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB, maka PBB melalui dewan Keamanan berhak menjalankan kewajiban terkait adanya ancaman terhadap keamanan internasional, atau pelanggaran perdamaian dan keamanan, dan agresi sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB dan dengan sebisa mungkin mengurangi penggunaan kekuatan bersenjata, hal ini sesuai dengan pasal 26 Piagam PBB.(Emi Eliza, Heryandi Heryandi, Ahmad Syofyan, 2014, p. 631). PEMBAHASAN Islamic State (IS) sebagai nama yang paling terbaru digunakan untuk saat sekarang ini yang sebelumnya berasal dari beberapa nama yang mengalami pergantian seperti Islamic State in Iraq and 180 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 the Levant (ISIL) atau Islamic State of Iraq and al Sham (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau lebih dikenal dengan Daesh. Perbedaan nama berdasarkan letak geografis yang ingin dikuasai oleh IS. Pada tahun 2014 kelompok ini meresmikan nama terbaru mereka secara mendunia sekaligus men- deklarasikan negara khalifah yaitu Islamic State (IS) (Zedilla, 2016, pp. 35-36). Sejak saat itu kelompok Syiah tersebut mulai mengambil alih kekuasaan dan melakukan represi terhadap kaum religi Sunni. Banyak orang-orang dari kaum Sunni yang tidak terima dengan represi yang dilakukan oleh kaum Syiah tersebut. Orang-orang kelompok Sunni perlahan-lahan mulai melakukan pemberontakan. Sejak saat itu, kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaeda mulai datang ke negara Irak untuk melawan tentara-tentara AS yang tersisa di wilayah tersebut. Kelompok-kelompok teroris yang ada pun semakin membuat suasana perpecahan di Irak semakin memanas. Insiden tersebut menciptakan perang saudara di Irak dan meninggalkan Irak dalam kondisi terpecah belah secara agama (Rizky Irfano Aditya, 2016, p. 42). Awal mula kelompok ini berasal dari kelompok Salafi Jihadi yang didirikan oleh seorang warga Yordania yang bernama Abu Musab az-Zarkawi yang beroperasi di Irak pada tahun 2004 setelah invasi Amerika Serikat ke Irak di tahun 2013 yang memberinya jalan untuk mendapatkan baiat dari pemimpin Al-Qaeda. Kelompok ini merupakan pecahan dari Al-Qaeda di Irak yang terbentuk tahun 2006 setelah kematian pemimpinnya Al-Zarqawi akibat serangan militer AS di Iraq. Di tahun 2013, IS merekrut milisi pecahan Al-Qaeda di Suriah di bawah pimpinan Abu Bakar al- Baghdadi, kelompok gabungan ini mencetuskan nama Islamic State in Iraq and the Levant atau ISIL. Akan tetapi, secara internasional kelompok ini lebih dikenal sebagai ISIS, yaitu Islamic State in Iraq and Syria. Meskipun demikian, kelompok ini lebih menyebut dirinya se- bagai IS atau Islamic State kalau merujuk pada tujuan mereka untuk membentuk khilafah tanpa batas negara. Pihak-pihak yang menentang mereka di Timur Tengah menyebut mereka Daesh yaitu Al- Dawla al-Islamiya fi al- Iraq wa al- Sham. (Pujayanti, 2014, p. 1). Pada awalnya kelompok ini merupakan bentukan Amerika Serikat namun, Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 181 United States’s Intervention against the Islamic State seiring berjalannya waktu dengan perubahan geopolitik ISIS menjadi musuh Amerika Serikat. Akibat serangan kilat NIIS, korban jiwa di kalangan masyarakat sipil diperkirakan telah melampaui angka 2400 orang. Mereka juga telah menyebabkan sejumlah 30 ribu warga di Timur Suriah mengungsi (Hilmi, 2014, p. 405). Perang Mosul yang terjadi selama November 2016-Juli 2017, di mana PBB mencatat sebanyak 741 warga sipil diseksekusi mati di Mosul, Irak. Menurut sebuah laporan dari Misi Bantuan PBB untuk Irak dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, pertempuran ini mengakibatkan korban sebanyak 2.521 warga sipil yang terbunuh dan 1.673 korban luka untuk melawan ISIS (Kencana, 2017). Perbuatan- perbuatan dari NIIS mendapatkan kecaman dari dunia Internasional karena melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap suku minoritas seperti membunuh, menjadikan wanita sebagai budak seks. Kaum-kaum minoritas yang menjadi sasarannya adalah Kristen, Kurdi, dan Yazidi. Kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup pembunuhan, pemusnahan, per- budakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama (Rizky Irfano Aditiya, Siti Muslimah, 2016, p. 42). Bukan hanya orang dewasa akan tetapi anak-anak diculik untuk dijadikan tentara yang digaji setengah dari gaji orang dewasa. Kebanyakan dari mereka berasal dari Irak dan Suriah.Wanita pun menjadi korban seperti dijadikan budak seks yang diperkirakan 7000 orang yang diculik oleh kelompok NIIS. Berlandaskan prinsip Respon- sibility to Protect (R to P) akhirnya menginisiasi AS untuk turut campur dalam konflik NIIS, sehingga AS memberikan bantuan guna mengurangi dampak yang terjadi selama konflik tengah berlangsung. AS membantu pemerintah Irak dalam menyelamatkan pelanggaran HAM yang terjadi disebabkan oleh NIIS. Bentuk intervensi yang dilakukan berupa intervensi militer dan intervensi kemanusiaan. Intervensi yang dilakukan oleh AS bukan merupakan tindakan yang mengganggu otoritas suatu negara melainkan suatu upaya untuk menyelesaikan konflik yang telah terjadi sekaligus upaya untuk menstabilkan hak-hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh NIIS di Irak dan Suriah. Bentuk intervensi 182 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 kemanusian yang dilakukan juga dianggap tidak melanggar hukum internasional dikarenakan tujuan yang cukup jelas yaitu membantu pemerintah Irak dan Suriah mel- awan NIIS yang mengganggu perdamaian dan keamanan dunia dan bertujuan untuk menegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di Irak dan Suriah. Hal ini juga tidak bertentangan dengan Pasal 2 Piagam PBB karena tidak mengganggu integritas teritorial dan kebebasan politik Irak dan Suriah lalu juga sejalan dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2249 yang isinya “Determined to combat by all means this unpre- decented threat to international peace and security.”(Rizky Irfano Aditiya, Siti Muslimah, 2016, p. 42). Sehingga pada tanggal 12 Juni 2014, melalui Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat menegaskan bahwa AS siap memberikan bantuan apapun guna menangani atau melawan tindakan pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh NIIS dan AS juga telah melakukan pembicaraan kepada pemerintah Irak (Rizky Irfano Aditiya, Siti Muslimah, 2016, p. 42). Pada tanggal 15 Agustus 2014, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi No. 2170 dengan tajuk “Condemning Gross, Widespread Abuse of Human Rights by Extremist Groups in Iraq, Syria”. Dalam Resolusi No. 2170 ini Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan negara-negara agar melakukan penolakan terhadap paham ke- lompok ekstrimis Islamic State of Iraq and Syria dan mencegah warga negaranya untuk bergabung dengan kelompok radikal tersebut. (Rizky Irfano Aditiya, Siti Muslimah, 2016, p. 42). Intervensi AS terhadap NIIS dikarenakan banyaknya masyarakat sipil yang menjadi korban akibat perang ini dan keinginan untuk menghentikan pergerakan NIIS melalui bantuan militer ke Irak dan Suriah. AS juga membentuk koalisi Internasional dengan 60 negara lainnya dalam US Led-Coalition untuk menghadapi ancaman NIIS bagi dunia Internasional pada tanggal 10 September 2014.(Zedilla, 2016, pp. 35-36). Serangan ini berdasarkan Undang-Undang Otoritas Peng- gunaan Kekuatan Militer Melawan Teroris (AUMF) 2001. AUMF ditetapkan sebagai undang undang sepekan setelah peristiwa 9/11 dan digunakan sebagai dasar hukum untuk kampanye AS melawan teroris internasional. AUMF menyatakan Presiden AS memiliki otoritas untuk memburu jaringan teroris Al Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 183 United States’s Intervention against the Islamic State Qaeda dan negara yang melindungi mereka. Mandat tersebut diterjemahkan oleh Pemerintahan George Bush dan Obama untuk melancarkan operasi antiterorisme ke seluruh dunia (Zedilla, 2016). AS, yang mempunyai hegemoni di Timur Tengah seperti di Irak dan mempunyai kepentingan politik di Suriah, perlu melakukan upaya preventif dan represif. Upaya pre- ventifnya yaitu AS melakukan pembentukan koalisi Internasional dan upaya represifnya adalah AS melakukan serangan militer terhadap gerakan NIIS. Dalam menghadapi NIIS AS mendapat bantuan dari organisasi Irak dan Suriah seperti Peshmerga, Kurdish Militant Group, Kurdistan Worker’s Party (PKK), Syrian army serta People’s Protection Units (YPG). Pada tanggal 22 September 2014 menjadi serangan pertama ke Suriah. Dari serangan ini mendapat dukungan dari beberapa negara seperti Perancis, Inggris, Australia, Jerman, Bahrain, Kanada, Arab Saudi, Belanda, Turki, Uni Emirat Arab, Jerman, Yordania, Qatar. Hasil koalisi ini dapat merebut daerah Kobani dari NIIS. Pada tanggal 4 Desember 2014, bertempat di markas NATO, Brussels, menteri luar negeri dari 60 negara berkumpul untuk membahas lanjutan dari usaha menghadapi ancaman IS. Pertemuan tersebut lebih membahas jauh tentang ideologi, pendanaan, serta proses rekrutmen anggota IS. 60 negara tersebut berasal dari 10 negara yang sudah terlebih dahulu mengadakan pertemuan pada 5 September; 18 negara yang sudah tergabung dalam pertemuan yang dipimpin oleh Perancis pada 15 September sebelumnya di Paris, terkecuali Cina dan Rusia; 33 negara tambahan yang ikut bergabung yaitu Albania, Austria, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Estonia, Finlandia, Georgia, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Kosovo, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Masedonia, Moldova, Montenegro, Moroko, Selandia Baru, Portugal, Korea Selatan, Romania, Serbia, Singapura, Slovakia, Slovenia, Somalia, Swedia, Taiwan and Ukraina. Tujuan dari koalisi internasional ini sangat jelas yaitu untuk melawan NIIS di Irak dan Suriah yang meliputi memutuskan pendanaan NIIS serta memberikan dukungan dalam bentuk operasi militer. (Zedilla, 2016). Banyaknya negara yang ber- gabung dalam koalisi internasional- bentukan AS membuat bertambah-- nya bantuan untuk melawan ke- kuatan IS. Beberapa negara yang 184 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 bergabung dalam koalisi telah berkontribusi baik dalam hal militer ataupun non-militer. Negara-negara yang tidak memberikan intervensi kemanusiaan dalam bentuk bantuan militer melakukan intevensi kemanusiaan dalam hal memberikan bantuan kemanusiaan langsung kepada pemerintah negara. Tercatat negara lain selain AS yang bergabung dalam koalisi internasional seperti Switzerland, Belgia dan Jepang telah memberikan bantuan kemanusian berupa dana dan bantuan emergency. “Switzerland’s donation of $9 million in aid to Iraq, Belgium’s contribution of 13 tons aid to Iraq generally, Italy’s contribution of $2.5 million worth of weaponry (including machine guns, rocket- propelled grenades, and 1 million rounds of ammunition), and Japan’s granting of $6 million in emergency aid to specially help displaced people in Northern Iraq.” (Mclnnis, 2016). Pada bulan September 2014, AS telah meluncurkan dana yang cukup besar dalam hal intervensi kemanusian dalam bentuk bantuan militer. Tidak tanggung-tanggung AS memberikan $450 juta guna membiayai pelatihan para pejuang Persmerga. Pada 9 September 2015, AS mengerahkan tambahan pasukan ke Irak sebanyak 450 tentara guna merebut kembali daerah Anbar yang telah dikuasai oleh ISIS. Sehingga menambah jumlah personel militer AS yaitu sebanyak 3500 orang. Tak hanya personel militer, AS juga mengirimkan senjata dan peralatan bagi pasukan Irak (Irak Minta Lebih Banyak Bantuan Internasional untuk Perangi ISIS, 2015). Dalam hal intervensi ke- manusian dalam bentuk bantuan kemanusian, AS juga turut memberikan bantuan makanan kepada korban atau pengungsi di Irak akibat konflik yang tengah berlangsung. Pada tanggal 9 Agustus 2014, melalui udara, pesawat kargo c-17 dan dua c-130 telah mengangkut 28 ribu paket makanan dan lebih dari 1.500 galon air minum yang dimasukan kedalam karung besar sebanyak 72 karung besar telah diturunkan di kawasan pegunungan Sinjar di Irak. Hal ini sebagai bentuk upaya dari AS membantu warga sebanyak 50 ribu orang yang melarikan diri ketika ISIS menyerang wilayah mereka (AS salurkan bantuan ke pengungsi di pegunungan Irak, 2014). Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 185 United States’s Intervention against the Islamic State Sumber: http://edition.cnn.co m/2015/11/20/world/war-on-isis-whos- doing-what/index.html diakses pada 20 Januari 2018. Tabel di atas adalah gambaran mengenai upaya AS dalam hal intervensi kemanusian berbentuk bantuan militer guna melawan NIIS. Terlihat bahwa AS konsisten memberikan bantuan berupa serangan udara kepada kelompok- kelompok NIIS lebih dari bantuan yang telah dilakukan oleh koalisi internasional lainnya. Hal itu terjadi dikarenakan AS berkepentingan menjaga stabilitas Irak dengan memperkuat militernya. Sebab itu negeri dua sungai tersebut mendapat bantuan sebesar US$1,2 milyar per tahun yang berwujud kendaraan tempur, artileri berat dan berbagai jenis persenjataan konvensional lainnya. Saat yang bersamaan AS juga mengucurkan US$ 350 juta ke militer kurdi guna memfasilitasi mereka dalam perang melawan NIIS(Akademie, 2016). KESIMPULAN Kelompok NIIS muncul pada tahun 2003 akibat berakhirnya invasi AS ke Irak. Awal mula pembentukan kelompok ini merupakan bentukan AS akan tetapi adanya perubahan geopolitik yang terjadi, AS menjadi musuhnya. Kelompok ini telah melakukan pelanggaran HAM di Irak dan Suriah sehingga AS merasa perlu untuk melakukan intervensi kemanusian dan intervensi militer guna membantu pemerintah Irak melawan kelompok NIIS. AS juga 186 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 membentuk koalisi internasional untuk membantu negara-negara yang terkena dampak NIIS. Bentuk Intervensi yang dilakukan AS ini bukan tindakan menganggu otoritas suatu negara dan tidak melanggar hukum internasional karena intervensi ini dilakukan upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dan menstabilkan pelanggaran hak- hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh NIIS. Pada 22 September 2014 me- njadi serangan udara pertama AS terhadap kelompok NIIS yang mendapat dukungan dari beberapa negara. Pada tanggal 12 Juni 2014, sehingga AS akhirnya melakukan intervensi untuk menyelesaikan konflik dikarenakan melihat banyaknya korban yang berjatuhan. Intervensi atau upaya yang dilakukan oleh AS berupa upaya preventif dan represif. Upaya preventifnya yaitu AS melakukan pembentukan koalisi internasional yang tediri dari 60 negara dan upaya represifnya adalah AS melakukan intervensi kemanusiaan berupa bantuan militer dan juga bantuan kemanusiaan lainnya. Belum ada data yang pasti mengenai berapa banyak bantuan yang telah diberikan oleh AS namun ada data yang menunjukkan bahwa AS telah memberikan bantuan sebesar US$ 1.2 milyar per tahun yang berwujud kendaraan tempur, artileri berat dan berbagai jenis persenjataan konvensional lainnya. Saat yang bersamaan AS juga mengucurkan US$ 350 juta buat militer kurdi guna memfasilitasi mereka dalam perang melawan NIIS. REFERENSI Buku Sastroamidjojo, Ali. 1971. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Batara, 1971 Starke, J. G.1988. Pengantar Hubungan Internasional. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika Jurnal Eliza, Emi, Heryandi, Ahmad Sofyan. 2014. Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut Hukum Internasional Dan Implementasinya Dalam Konflik Bersenjata, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 4 Hilmi, Masdar. 2014. Geneologi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Irak dan Suriah. Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 4 Nomor 2 Irfano Aditya, Rizky dan Siti Muslimah. 2016. Tinjauan Hukum Internasional Atas Serangan Militer Amerika Indri Susilo, Rizqi Apriani Putri & Nur Azizah, 187 United States’s Intervention against the Islamic State Serikat Terhadap Islamic State Of Iraq and Syria di Wilayah Negara Irak dan Syria. Belli ac Pacis.Vol. 2. No. 1 Juni Pujayanti, Adirini. 2014. Koalisi Internasional Melawan Negara Islam Irak Suriah (NIIS). Jurnal Hubungan Internasional Volume VI Nomor 18 Rijal, Najamuddin Khairur. 2017. Eksistensi dan Perkembangan ISIS: Dari Irak Hingga Indonesia. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Volume 13 Nomor 1 Rosyidin, Mohammad. 2010. Intervensi Kemanusiaan dalam Studi Hubungan Internasional: Perdebatan Realis Versus Konstruktives. Global & Strategis. No. 1 Sahide, Ahmad. 2015. ISIS Bagian dari Hubungan (Respon) Islam- Barat. Jurnal Ilmu Ushuluddin Volume 2 Nomor 4 Juli Skripsi Edelwis Zedilla, Winda. 2016. Peran US Led-Coalition Stabilitas Irak dan Suriah. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Hassanuddin Report Mclnnis, Kathleen J. 2016. Coalition Contributions to Countering the Islamic State, Congressional Research Service Website AS Salurkan Bantuan ke Pengungsi di Pengunungan Irak http://www. bbc.com/indonesia/berita_ indonesia/2014/08/140809_ bantuan_as diakses pada 21 Januari 2018 AS Siap Bantu Militan ISIShttp:// www. bbc . com/indonesia/ dunia/2014/06/140611_irak_ amerika_serikat diakses pada 21 Januri 2018 Daftar Negara Penerima Bantuan Militer Amerika http://www. dw.com/id/daftar-negara- penerima-bantuan- militer- amerika/g-19164404 diakses pada 21 Januari 2018 Irak dan Suriah Pasca Perang NIIS https://www.pressreader.com/ indonesia/kompas/20180115/ 281655370478932 diakses pada 08 Februari 2018 Irak Minta lebih Banyak Bantuan Internasional untuk Perangi ISIS https://www.voaindonesia. com/a/irak - minta - lebih - banyak-bantuan-internasional-u n t u k - m e m e r a n g i - isis/2819508.html diakses pada 21 Januari 2018 PBB: 741 Warga Sipil di Mosul Irak Tewas Dieksekusi ISIS 188 Islamic World and Politics Vol.2. No.1 January-June 2018 http://global.liputan6.com/ read/3150241/pbb-741-warga- sipil-di-mosul-irak-tewas- dieksekusi-isis