THE DYNAMICS OF APPLYING PAN- ISLAMISM AS A NEW POLITIC CONCEPT Sitti Nurtina Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sittinurtina10@gmail.com Abstract This journal describes the dynamics of applying Pan-Islamisme as a new politic concept. Pan Islamism is a notion that aims to unite Muslims worldwide. This notion comes from the idea of Jamaluddin al-Afghani. The purpose of Pan Islamism is all Muslim countries should join in a forum for Muslim unity as a way to strengthen the unity and internal unity of Muslims in the world and has been widely introduced by the OIC. The dynamics emerged when this understanding was spread as a new concept of Islamic politics. This research is a library research by using the historical method. Islamic thinkers disagree with Pan Islamism’s notion of being applied as a new political concept and applied in Muslim countries including Indonesia. The criticism came from Naveed S. who assumed that politics run by the pan-Islamic sometimes did not conclude an act of courage, sometimes even dictated by the west. Meanwhile, Mohammed Arkoun thinks that there must be a renewal of a very traditional Pan Islamism in making policies for its member countries, there is stiffness in conducting international relations so that it has not been able to answer the problems experienced by contemporary Muslim societies and still not be a place as channel aspirations and mission noble to unite Muslims throughout the world. The OIC as a forum for disseminating Pan Islamism is also considered slow in reacting to various problems faced. The OIC seems to be only a forum for gathering political leaders from Muslim countries. Keywords : Dynamic, Pan Islamism, new politic concept, OIC Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 ISSN: 2614-0535, E-ISSN: 2655-1330 Sitti Nurtina 483 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme A. PENDAHULUAN Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mem- pengaruhi masyarakat atau umat agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah. Politik dalam Islam dikenal dengan nama siyasah. Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh Negara (pemerintah) mau- pun umat. Negara mengurus kepentingan umat semntara umat melakukan koreksi terhadap pemerintah. Salah satu ciri dari Islam pada awal munculnya adalah kejayaan di bidang politiknya. Islam tidak melulu menampilkan dirinya sebagai perhimpunan atau sekumpulan kaum beriman yang mempercayai yang satu dan yang sama, tetapi juga sebagai masyarakat yang total (Hanafi, 1989). Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat manapun, karena hal itu merupakan upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam (Yudhiarista, 2012) . Namun, ada masa dimana Islam mengalami kemunduran yang juga turut mempengaruhi masalah politik. Setelah Perang Dingin berakhir dan runtuhnya Rezim Komunisme di Uni Soviet, para ahli hubungan internasional menganggap bahwa Islam sebagai ancaman idiologi yang terbaru, perkembangan Islam yang sangat signifikan sebagai sebuah paham yang baru diaggap sebagai ancaman yang nyata bagi paham-paham yang lain. Terdapat cara berfikir yang keliru dan salah tentang memahami Islam. Karena ahli hubungan internasional memahami Islam hanya sebagai dan sebatas paham, bukan sebagai agama. Hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor sejarah dimasa lalu, di abad pertengahan khususnya di wilayah Eropa, pemahaman terhadap muslim dan Islam sangat dipengaruhi oleh idiologi konflik yang sangat kental antara Islam dan Kristen. Sehingga pada akhirnya terbentuklah sebuah pola pemikiran yang baru mengenai dampak konflik yang sangat kental antara Islam dan Kristen di masa lalu yaitu lahirnya sebuah pemikiran mengenai konflik sebuah hubungan antara Islam dengan Barat.Yang menjadi kekhawatiran Barat dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan system Kapitalisme global, muncul sebuah anggapan 484 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 bahwa masa depan pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistic dan diwarnai konflik. Konflik akan semakin meningkat jika antara Islam dan masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain. Maka bisa diprediksikan bahwa tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa yang akan dating adalah revivalisasi Islam dan peradaban Cina. Pada tahun 1250-1800 M Islam memasuki masa kemunduran dan statis. Hal ini diakibatkan oleh berbagai fenomena sosial yang melanda ketentraman umat Islam, diantaranya perpecahan wilayah Timur Tengah yang menyebabkan persatuan Islam terpecah belah, perbedaan paham dan kepercayaan akan mahzab yang berbeda antar umat, serta ulah penguasa atau pemimpin yang sewenang-wenang. Kemunduran ini terjadi diberbagai aspek kehidupan (politik,ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, dan militer). Kemunduran dunia Islam ditandai dengan tidak berkembangnya ilmu, sebagai akibat bekunya kegiatan berfikir rasional dikalangan umat Islam, lemahnya ekonomi dan militer. Di lain sisi adanya hegemoni negara-negara Barat yang tengah giat-giatnya mengembangkan falsafah, sains dan teknologi, sehingga membuat mereka mulai dapat menguasai dunia, termasuk dunia Islam (Hawi, 2017). Masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam pada abad 19, membuat keadaan umat Islam yang sebelumnya sudah terpuruk akibat adanya ajaran tarekat yang menyimpang, menjadi semakin terpuruk lagi. Kejatuhan umat Islam secara historis dimulai sejak abad ke 15 sebagai akibat dari pemikiran dan intelektualisme umat Islam telah memasuki masa pembekuan diri. Hal ditandai dengan karya kreatif bernilai tingga dari para intelektual sudah tidak bermunculan. Di tambah lagi pemikiran Barat yang mengatakan bahwa keterbelakangan umat Islam adalah karena peradabannya yang inferior (berkualitas rendah) dan ini berkaitan dengan agama yang inferior (Nasution, 1988). Melihat hal yang demikian, para pembaharu Islam mencoba menggagas pemikiran-pemikiran yang sekiranya mampu membangkitkan umat Islam dari keterpurukan ini. Banyak ide bermunculan misalnya seperti pemurnian agama, modernisasi di beberapa bidang, memajukan pendidikan, hingga mengubah struktur dalam pemerintahan Islam. Namun di Sitti Nurtina 485 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme antara beberapa ide pembaharuan tersebut terdapat ide lain yang lebih menarik, yakni Pan-Islamisme. Periode terakhir abad ke-19 lahirlah sebuah konsep baru mengenai politik Islam yakni Pan- Islamisme (al-Jami’ah al- Islamiyyah). Pan-Islamisme adalah paham politik keagamaan yang dikembangkan oleh para pemimpin muslim. Secara luas, Pan- Islamisme dapat diartikan sebagai rasa solidaritas di antara seluruh umat Islam (ukhuwah islamiyyah) yang telah ditanamkan sejak masa Nabi Muhammad SAW (Nasution, 1988). Pan- Islamisme itu sendiri adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia yang memiliki perbedaan suku, ras, budaya, etnis dan bangsa. Paham Pan-Islamisme berkembang sebagai respon atas hegemoni pengaruh Barat di dunia Islam (Sheikh, 2003). Paham Pan- Islamisme mulai diperjuangkan oleh Wahhabiyah di Arab, dan berpengaruh ke dunia Islam hingga Indonesia. Gerakan ini berusaha untuk membangkitkan Islam dari kebekuan dan memperbaiki dekadensi moral. Kebangkitan itu kemudian berubah menjadi gerakan anti-Barat ketika Barat mulai merebut wilayah-wilayah Islam. Paham yang menginginkan bersatunya seluruh umat Islam di bawah satu kepemimpinan khalifah. Periode modern telah menyaksikan munculnya berbagai tren dalam pemikiran Islam. Sebagai agama yang mengandung nilai-nilai universal, Islam dalam perjalanannya mampu menembus ruang dan waktu, yang pada gilirannya akan mempengaruhi paradigma para pemikir Islam yang telah mengalami berbagai macam perubahan dan penyesuaian baik secara evolusi atau bahkan revolusi, yang sudah barang tentu kesemuanya ditujukan dan bertujuan dalam rangka mengagungkan Din al-Islam. Sehingga suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan adalah ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran tersebut. Di satu pihak ketegangan itu muncul oleh suatu keharusan mempertahankan sendi doktrinal norma agama dan situasi dunia yang selalu berubah, sementara di pihak lain ketegangan lahir dari oleh proses sosiologis. Meskipun demikian pergulatan- pergulatan pemikiran dan gagasan keagamaan pada akhirnya memberi dasar bagi proses social, setelah terlebih dahulu gagasan itu teruji dan tahan atas falsifikasi. 486 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 Lahirnya sebuah konsep, paham, ideologi, dan pemikiran- pemikiran Islam baru tentu akan menuai pro dan kontra atau dukungan atau kritikan dari kalangan-kalangan pemikir maupun ilmuwan lain, karena masing- masing orang memiliki persepsi sendiri terhadap sesuatu hal. Lahirnya politik Islam baru Pan Islamic, juga menimbulkan reaksi yang berbeda- beda dari para pemikir HI, teolog, dan sosial. Sehingga dalam penerapan maupun aplikasi nyata dari paham Pan Islamisme mengalami dinamika dan tantangan. Meskipun banyak yang mendukung adanya paham ini, tetapi dalam perjalanannya, paham ini tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan bagi dunia Islam. Pan -Islamisme ini semakin menarik untuk dibahas karena upaya realisasinya yang ternyata tidak mudah karena mendapat pertentangan dari beberapa pihak. Pan -Islamisme tidak pernah terjadi dan tidak direalisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah apapun yang structural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide dan semangat yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh. Cita- cita susungguhnya dari Jamaluddin adalah mengenai pan- Islamisme ini adalah terciptanya satu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemimpin Islam beserta ajaran-ajarannya ia membayangkan sebuah liga internasional berisikan umat Islam. B. METODE PENELITIAN Penelitian keilmuan sangat ditentukan keberhasilannya melalui keabsahan data dan metode yang digunakan dalam penelitian ter- sebut. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), metode pengumpulan data ini merupakan teknik pengumpulan data sekunder dimana data – data yang diperoleh diambil, dianalisis, dan dikutip dari berbagai sumber melalui buku-buku ilmiah atau hasil penelitian, dokumen, jurnal, artikel, surat kabar dan dokumen lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode historis (penelitian sejarah). Menurut Samsul Munir Amin, metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imaginatif dari masa lampau berdasarkan data Sitti Nurtina 487 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme yang diperoleh dengan menempuh proses penulisan sejarah (Amin, 2009:4). C. PEMBAHASAN Setelah mengalami periode penjajahan dan kemunduran pada abad sebelumnya, maka sejak awal abad ke 19 dunia Islam mulai menyadari akan kelemahan mereka. Kesadaran ini muncul setelah terjadi interaksi antara dunia Islam dengan dunia Barat modern. Interaksi tersebut melahirkan kesadaran berpikir baru dikalangan umat Islam, untuk kembali meng- gunakan metode berpikir rasional dalam memahami ajaran Islam yang telah lama ditinggalkan, sehingga dengan demikian ajaran Islam itu kembali menjadi ruh bagi kemajuan dunia Islam masa selanjutnya. Akibat adanya pen- jajahan dan ketertinggalan masyarakat Mesir oleh bangsa Barat, maka muncul beberapa tokoh Islam yang berusaha merubah nasib masyarakat dan negaranya, salah satunya tokoh pembaharuan itu adalah “Jamaluddin Al-Afghani” dengan pemikiran-pemikiran yang dimunculkan oleh Afghani, baik dalam bidang politik maupun bidang agama. Inti dalam dakwahnya bertujuan untuk mempersatukan umat Islam, dengan maksud menginginkan agar umat Islam di berbagai penjuru dunia Islam berada dalam satu kekhalifahan yang besar, agar umat Islam yang sedang terpuruk oleh kejumudan bisa bangkit bersama-sama dengan jalan bersatu. Umat Islam memasuki suatu gerbang pembaharuan pada abad ke 19 hingga abad 20. Fase ini sering disebut sebagai abad modernisasi, dimana umat dihadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh meng- ungguli mereka. Keadaan ini memenculkan berbagai respon yang berbeda dari kalangan Islam sesuai dengan corak keislaman mereka. Ada dua respon yang disuarakan pada saat itu, pertama mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan. Kedua, menolak berbagai hal yang bersal dari Barat yang diyakini berasal dari luar Islam. Sejumlah pemikir keagamaan muncul diantaranya Jamaluddin Al- Afghani dan Muhammad Abduh yang berusaha menghidupkan kembali kalam dan menambahkan ketertinggalan dengan menampikan tesis baru, serta berusaha menyelesaikan beberapa masalah yang muncul di kalangan umat Islam yang diakibatkan oleh peradaban modern (Amin H. A., 2000) 488 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 Masa pembaharuan dalam Islam tidak dapat lepas dari sosok berpengaruh tokoh Jamaluddin Al- Afghani, seorang pembaharu yang memiliki kekhasan, keunikan, dan misterinya sendiri. Al-Afghani yang memiliki semangat intelektual, tanggung jawab dan kesadaran, hadir menegakkan patriotisme, nasionalisme, serta yang paling utama adalah izzul (kemuliaan) Islam. Menyadarkan umat agar memiliki kekuatan untuk mengadapi imperialisme Barat dan tidak terlarut dalam kenangan kejayaan Islam pada masa lampau. Islam harus bangkit dan melakukan gerakan intelektual ke depan mengikuti gerak pengetahuan modern. Diperlukan perubahan radikal dalam pandangan umat, kecenderungan kepada keyakinan tradisional yang kaku harus ditransformasi pada keterbukaan pikiran dan rasionalisme yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Al-Afghani menekankan akan semangat pengetahuan yang kala itu sedang redup di dunia Islam dan malah bersemi di dunia Barat. Sejatinya, semangat bangsa Barat selaras dengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya yang seharusnya juga berlaku di kalangan masyarakat muslim. Dari berbagai pemikiran Al- Afghani Pan-Islamisme adalah yang paling populer dan yang paling bertanggung jawab dengan ide tersebut. Dengan pemikiran ini, Al- Afghani umumnya dipandang sebagai penganjur yang sebenarnya entitas politik Islam universal yang pada proyek politiknya terpusat pada Pan-Islamisme atau persatuan dan kesatuan Negara Muslim. Lahirnya paham ini diawali pada tahun 1858 sultan Mughal dising- kirkan, dan sebagian besar negeri- negeri muslim dikuasai oleh Barat. Hal tersebut mendorong para pemimpin dan pembaharu dalam Islam berpikir bahwa Islam harus bangkit dengan adanya solidaritas umat. Jamaluddin Al-Afghani memang berusaha untuk mewujudkan persatuan itu dan kemudian dikenal dengan Pan- Islam. Pan-Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, melainkan mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila mereka berada dalam kesatuan pandangan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu Al- Quran dan Sunnah Rasul (Hawi, 2017). Inti Pan-Islamisme Afghani Sitti Nurtina 489 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim dan apabila ikatan tersebut diperkokoh, jika menjadi sumber kehidupan dan pusat loyalitas mereka, maka kekuatan solidaritas yang luar biasa akan memungkinkan pembentukkan dan pemeliharaan Negara Islam yang kuat dan stabil. Semua usaha itu dicurahkan salah satunya dengan menerbitkan makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat. Dalam rangka usaha pengem- balian keutuhan umat Islam, serta pemurnian akidah dan ajaran Islam Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan- Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, mereka yang masih merupakan rakyat jajahan, termasuk Persia. Asosiasi tersebut didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina persatuan umat Islam dan kesetiakawanan dalam perjuangan. Yang dilakukan adalah menentang tiap sistem pemerintahan yang sewenang-wenang atau dispotik dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam. Hal ini terbentur dengan sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat. Namun, paham yang awalnya tidak seutuhnya diterima karena sistem pemerintahan yang monarki absolut, kemudian bisa diadopsi dan diterima dengan baik oleh Sultan Turki. Paham ini mulai diperjuangkan oleh Wahhabiyah di Arab dan berkembang di Turki dengan tokoh utamanya adalah Sultan Abdul Hamid II. Gerakan ini berpengaruh ke dunia Islam dengan berusaha membangkitkan Islam dari kebekuan dan memperbaiki dekadensi moral (Alauddin., 1982) Pada awalnya, Pan Islamisme memang tak lepas dari figur dan kepemimpinan khalifah. Ada kaitan erat antara ide Pan Islamisme dan jabatan yang disandang oleh Sultan Turki. Sejak abad ke-16, Sultan- Sultan Turki telah mengangkat diri sebagai khalifah serta pelindung Makkah-Madinah. Sejak abad ke-18 secara pelan-pelan Sultan Utsmani mulai memanfaatkan ide khalifah ini semacam “Paus Islam“. Demikianlah sampai awal abad ke- 20, secara turun temurun kepala negara Turki selalu menggunakan titel sultan dan khalifah. Sebagai 490 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 Sultan, ia memiliki kekuasaan duniawi untuk mengatur negara, dan sebagai khalifah mempunyai wewenang rohani untuk mengurusi masalah agama (Suminto, 1996). Menjelang akhir abad 20 pandangan dan pemikiran Pan Islamisme mulai diperkenalkan kepada masyarakat internasional melalui OKI atau OIC (Organisation of Islamic Cooperation). OKI merupakan salah satu Organisasi negara Islam di dunia yang memiliki kurang lebih 57 negara anggota, yang masing- masing negara anggota OKI memiliki hak prerogatif untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai situasi, kondisi umat muslim secara global dan bertujuan untuk memperkenalkan Pan Islamisme ke dunia internasional.  Pendapat Para Pemikir Islam mengenai Pan Islamisme Berangkat dari pemikiran Naveed yang mengkritisi Pan Islamisme dalam bukunya. Dalam buku Naveed membawa kefokus koeksistensi dan ketegangan antara Islam nasionalis dan transnasional dalam konteks postmodern. Naveed S. Sheikh adalah sarjana kehormatan di Kampus Churchill dan kandidat doktor di Pusat Studi Intenational Universitas Cambridge. Naveed menilai politik yang dijalankan oleh Pan Islamisme terkadang tidak menyimpulkan suatu keberanian tindakan, bahkan terkadang didikte oleh barat (Sheikh, 2003). Secara umum kebijakan politik luar negeri yang telah dibuat oleh Pan-Islamisme (Negara) tidak mewakilkan cita-cita bersama untuk mempersatukan umat muslim, tidak adanya niatan yang bulat untuk mempersatukan umat muslim diseluruh dunia, tidak adanya keberanian berupa tindakan untuk mempersatukan umat muslim diseluruh dunia dan terkesan justru kebijakan luar negeri yang telah dibuat oleh Pan-Islamisme (Negara) dikontrol oleh Barat. Sheikh berusaha memberikan ulasan dan uraian alasan tentang kebijakan politik luar negeri Pan-Islamisme yang tidak mencerminkan cita-cita luhur Pan-Islamisme dari sudut pandang sejarah. Ulasan dan uraian alasan yang pertama ialah mengenai situasi perpolitikan Internasional, dalam hubungan internasional posisi negara sebagai unit analisa utama dalam pembuatan dan penentu kebijakan, akan tetapi pembuatan dan penentuan kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perpolitikan internasional. Ulasan dan uraian yang kedua ialah adanya negara super power sangat mempengaruhi seluruh kondisi Sitti Nurtina 491 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme dan aspek produk politik negara- negara yang tergabung kedalam OKI. Ulasan dan uraian yang ketiga adalah di dalam organisasi OKI sendiri. OKI dinilai tidak memiliki bargaining position yang kuat di kancah perpolitikan internasional dan visi, misi serta tujuan OKI tidak memiliki kejelasan. Ketiga ulasan dan uraian tersebut sangat memiliki dampak dan efek bagi bersatunya umat Islam di dunia Internasional (Sheikh, 2003). Kita bisa menilai bahwa Pan Islamisme sangat tradisional dalam membuat kebijakan bagi negara anggotanya, adanya kekakuan dalam melakukan hubungan internasional dan masih belum mampu menjadi tempat untuk menyalurkan cita-cita dan misi yang luhur untuk mempersatukan umat muslim di seluruh dunia. Pan Islamisme masih meng- gunakan metode/perspektif tradisional dalam hubungan dengan kebijakan yang akan dilakukan. Kelemahan Pan-Islamisme karena tidak didukung para pemikirnya yang kontemporer. Paham ini yang menutup diri dengan perkembangan liberaslime dan tidak mampu menjawab keinginan muslim modern. Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Arkoun memberikan kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual Islam. Beliau adalah seorang cendikiawan Muslim asal Aljazair yang kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang memiliki karakter logosentrism dengan ruang perkembangan yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat Muslim kontemporer. Arkoun mempunyai perhatian yang serius terhadap perkembangan pemikiran Islam yang menurutnya pada saat ini beku, tertutup dan menjadi dogmatis dan menjadi mudah untuk menjadi Islam fundamental (Suadi Putro & Mohammed Arkoun, 1998). Menurut Arkoun semua problematika- umat Islam ini di sebabkan oleh matinya tradisi filsafat yang menyebabkan penerapan tradisi Islam berjalan tanpa adanya investigasi yang kritis. Dia melihat satu kebutuhan yang mendesak atas metode kritik untuk membaca pemikiran Arab atau Muslim. Arkoun mencoba mengkaji permasalahan - permasalahan tersebut secara konstektual sesuai dengan situasi kontemporer saat 492 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 ini. Arkoun mengacu pada ilmu-ilmu sosial, bahasa, dan filsafat yang berkembang saat ini, khususnya di Barat (Perancis). Sebagai contoh dia banyak menggunakan teori-teori antropologi karena menurutnya disiplin ilmu ini sangat penting bagi umat Islam. Dengan antropologi dia berharap dapat memahami dan membandingkan antara celah-celah kenyataan dan cita-cita ideal umat Islam, dan akhirnya dapat menjembatani kesenjangan tersebut-. Dalam hal ini upaya memahami al- Qur’an sebagai rujukan utama dalam mempelajari agama Islam sangat penting dilakukan. Arkoun menilai bahwa mufassir memberikan pemaknaan dan penafsiran terhadap ayat Alquran yang berkaitan dengan pemikiran, kebudayaan, dan kebutuhan ideologis yang sesuai dengan zaman, lingkungan sosial, dan avilisasi politiknya. Karena itu, tafsir ini bersifat mitologis dan bukan historis. Bagi Arkoun, penafsiran model ini hanya akan membuat agama sebagai penopang ideologi bagi para pemimpin, tempat persembunyian bagi para oposan, suaka moral bagi kaum tertindas, dan instrument promosi bagi calon pemimpin masyarakat (Suadi Putro & Mohammed Arkoun, 1998). Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al- Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, mem- perjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.  Lemahnya Lembaga Penyebaran Paham Pan Islamisme Untuk menyebarkan Pan- Islamisme diseluruh dunia masih terbentur dengan berbagai masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah wadah untuk menampung aspirasi pembaharuan dan penyatuan Islam, maka dibentuklah Organisasi Konferensi Islam atau Sitti Nurtina 493 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme OIC (Organisation of Islamic Coopertion). Hal tersebut dianggap lebih efisien untuk menyebarkan paham ini karena melalui tokoh- tokoh penting dari negara anggota OKI. Pan-Islamisme dengan kendaraannya OKI sebagai sebuah alat penyebaran paham diharapkan mampu merangkul semua saudara muslim diselurh dunia dengan segala masalahya tanpa ada batasan. Tetapi yang terjadi dilapangan, OKI Terdapat penjelasan secara holistic mengenai politik luar negeri pan-Islamic. Pertama, yakni kondisi politik internasional, premis konstitutive pada hubungan internasional dimana negara masih menganggap adanya suatu batas wilayah yang harus dihormati yang disebut dengan kedaulatan yang berbasis pada equality. Kedua, suprastruktur yang ada terjadi dalam pola hubungan antar negara yang terkesan didominasi oleh barat, dimana negara muslim dipandang amat lamban dalam mereaksi berbagai masalah yang dihadapi. OKI sepertinya hanya sebagai wadah berkumpulnya para petinggi politik dari negara-negara Muslim. Pertemuan para pemimpin OKI lebih sering hanya berupa rapat tahunan tanpa menghasilkan suatu rekomendasi yang serius terhadap berbagai persoalan yang menimpa umat. yang tergabung dalam OKI masih melihat barat sebagai super power. Ketiga adalah pengorganisasian ditubuh OKI, yang memerlukan superstruktur dan instutionalisasi yang lebih kuat untuk menghadapi kondisi politik internasional kedepan. Tiga factor tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap sepak terjang Islam dalam dunia internasional (Sheikh, 2003). Kita bisa lihat bahwa adanya suatu kecenderungan bahwa Pan Islamismemasih menggunakan 494 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 metode/perspektif tradisional dalam hubungan dengan kebijakan yang akan dilakukan. Harusnya OKI sebagai organisasi Islam terbesar didunia mampu menjadi sebuah organisasi independen yang bisa merangkul semua negara Islam dan mampu memberikan problem solving terhadap salah satu negara mayoritas muslim ketika terkena masalah. Landasan konseptual OKI adalah bercorak politik Islam yang monolitik, hal tersebut dapat dilihat, dipahami dan dibuktikan dari kebijakan luar negeri negara-negara anggota OKI yang berbeda -beda. Sebagai contoh tiga negara kunci negara anggota OKI (Republik Islam Pakistan, Republik Islam Iran, Arab Saudi). Ketiga negara tersebut tidak pernah sepakat mengenai usaha untuk mempersatukan umat muslim di seluruh dunia dan me- miliki kepentingan nasional yang berbeda-beda, karena tidak adanya kesepakatan dari tiga negara kunci negara anggota OKI (Republik Islam Pakistan, Republik Islam Iran, Arab Saudi). Rezim Arab Saudi dipandang sebagai pendukung palsu tentang internasionalisme Islam, tidak pernah berupaya untuk mempersatukan Islam secara global dan justru memanfaatkan posisinya yang dominan dinegara anggota OKI untuk meningkatkan stabilitas pertahanan dan keamanan dari beberapa variabel ancaman keamanan seperti gerakan militansi Shi’ism dari Republik Islam Iran, gerakan Nasserisme dan serangan radikal Salafi (dalam negeri) (Sheikh, 2003). Amien Rais pernah menga- takan bahwa OKI sebagai macan ompong karena lemahnya ke- mampuan oraganisasi ini dalam menggerakkan potensi dunia Islam (Habsyiah, 2012). Kenyataan ini menjadikan umat Islam di berbagai negara cenderung menganggap OKI sama sekali tidak punya pengaruh memadai dalam menjaga eksistensi umat Islam itu sendiri. Maka hal tersebut turut memberi dampak pada isu yang di bawa oleh OKI yaitu pan Islamisme. Selain itu, Pan- Islamisme itu sendiri dianggap lemah karena paham ini terkesan lebih fanatic terhadap suatu ajaran. Tidak hanya itu, muncul masalah lain yaitu sulitnya menyatukan umat Islam dalam bingkai paham ini karena terutama perpecahan dalam bentuk mahzab Suni dan Syiah. Seandainya OKI dapat berjalan dengan semestinya dan mampu mengatasi berbagai permasalahan negara Muslim, maka sudah hal pasti Pan Islamisme bisa tersebar Sitti Nurtina 495 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme dengan baik di negara Islam. (Maarif, 1996). Melihat beberapa contoh yang telah disebutkan di atas bahwa OKI tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk membuat kebijakan bersama, membuat kesepakatan dan menjalankan kebijakan bersama untuk mempersatukan umat muslim di seluruh dunia, bahwa Islam tidak dapat dipandang lagi sebagai “corps peradaban tunggal” dan apakah Pan -Islamisme ber- potensi menjadi kekuatan yang berbahaya dan mengancam barat. Di sini dapat terlihat bahwa batas penelitian mengenai Pan-Islamisme menjadi sangat jelas. Arab Saudi mungkin tidak membutuhkan OKI sebagai organisasi dan media untuk menyebarkan paham Fun- damentalisme Wahabi. Akan tetapi Arab Saudi secara langsung men- jadi negara yang mempelopori penyebaran- dan persatuan Islam di seluruh dunia dengan cara memberikan- bantuan secara lang-sung pembangunan mesjid, pondok pesantren, madrasah dan memberikan beasiswa penuh kepada pelajar muslim sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Arab Saudi tetap membutuhkan OKI sebagai tempat, wadah, forum dan organisasi negara-negara Islam hanya sebatas untuk membahas permasalahan yang dihadapi dunia Islam.  Tantangan Pan Islamisme di Indonesia Pan Islamisme merupakan gagasan dan tindakan baru di Indonesia. Sebagai suatu gagasan baru, tentu saja bisa mengundang dinamika masyarakat muslim yang bermuara pada terjadinya perubahan sosial. Pada awal abad ke-20 dunia pergerakan modern Islam Indonesia, ide Pan Islamisme ini mula-mula diperkenalkan oleh Sarekat Islam. Pengembangannya dilakukan lewat Kongres Al-Islam Hindia Timur. Dalam Kongres ini Sarekat Islam menyeru agar faksi Modern Tradisional dalam masyarakat Islam Indonesia bisa bersatu dalam memajukan umat Islam dengan landasan Pan Islamisme. Awalnya, upaya ini masih belum diterima mengingat gagasan Pan Islamisme yang disarankan Sarekat Islam belum begitu kongkrit. Namun, setelah bergulir persoalan khilafah di Dunia Islam, Sarekat Islam memperoleh momen sekaligus isu yang tepat. Jadi pada fase pergerakan khilafah hampir tidak ada penolakan dalam umat Islam di Indonesia ketika itu. Namun, pasca kemerdekan konsep khilafah yang diusung Pan Islamisme kemudian mendapat 496 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 pertentangan dari tokoh penting Indonesia pada saat itu (Somad, 2015) . Konsep dari paham Pan Islamisme memiliki kesamaan tujuan dengan konsep yang dibawa oleh Hizbut Tahrir yaitu sama-sama menginginkan penyatuan ummat Islam dibawah panji khilafah (Feali, 2005). Hal tersebut sesuai dengan paham mereka yaitu Islamisasi yang merupakan pemahaman yang ditanamkan oleh sekelompok orang yang menganggap Islam sebagai sebuah ideologi. Secara historis lahirnya pandangan ini salah satunya tertanamnya semangat permusuhan antara Islam dan Barat yang mengakibatkan munculnya reaksi terhadap hal tersebut. Dengan menekankan dan mengedepankan pemahaman bahwa khalifah adalah solusi untuk masalah seluruh bangsa di dunia termasuk Indonesia, karena dengan system khilafah akan mampu membebaskan umat Islam dari hegemoni Barat mulai dari politik, ekonomi, militer dan budaya. Di Indonesia itu sendiri, dimasa demokrasi terpimpin Pan- Islamisme yang di bawa oleh Mohammad Natsir menuai kritikan dari bapak bangsa. Soekarno penganut Nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi (Pan-Islamisme) seraya memuji gerakan sekularisasi Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah. Namun yang jadi pertanyaan, apakah Indonesia pantas mengadopsi ideologi Pan Islamisme atau Islamisasi dewasa ini? Menurut penulis, hal tersebut tidak akan sesuai diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai agama yang berideologikan Pancasila. Hal ini akan melahirkan reaksi dari berbagai pihak, dengan komposisi penduduk Indonesia majemuk dan plural terhadap kepercayaan, maka sudah barang tentu bahwa konsep Islamisasi tersebut adalah sebuah keniscayaan. Hizbut Tahrir dengan konsep dan ideologinya menjadi bumerang di Negara Indonesia, sehingga berakhir pada pembubaran kelompok organisasi massa ini pada tanggal 8 Mei 2017. D. KESIMPULAN Politik dan agama merupakan dua aspek fundamental yang dibutuhkan manusia untuk bermasyarakat. Kedua hal tersebut sering dikaitkan satu sama lain. Dalam Islam telah menyatakan bagaimana kedudukan dari politik. Politik Islam dalam Islam dikenal dengan nama siyasah. Politik atau siyasah mempunyai makna Sitti Nurtina 497 The Dynamics Of Applying Pan-Islamisme mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh Negara (pemerintah) maupun umat. Politik Islam itu sendiri memiliki masa kejayaan dan kemudian mengalami kemorosotan, sehingga hal tersebut memunculkan lahirnya politik Islam baru yang dikenal dengan Pan-Islamic. Namun, dalam pelaksanaannya paham tersebut menemukan beberapa kendala. Dimulai dengan penggunaan metode/perspektif tradisional sehubungan dengan pengambilan kepetusan kebijakannya, pengaruh dari Barat, serta tidak jelasnya legitimasi dari wadah atau organisasi yang mengusung paham tersebut. Pada akhirnya menimbulkan munculnya kritikan yang datang dari beberapa tokoh Islam, terutama pemikir modern. Pan-Islamisme sebelumnya merupakan paham yang hanya sebatas untuk negara atau bangsa (dunia) Islam saja. Pada awalnya dinamika pan Islamisme adalah dihadapkan dengan sistem Kesultanan yang absolut yang sistem pemerintahannya yang sewenang - wenang dimana bertentangan dengan cita-cita Afghani yang menginginkan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam. Kemudian pandangan dan pemikiran Pan Islamisme mulai diperkenalkan kepada masyarakat internasional melalui OKI. OKI merupakan salah satu Organisasi negara Islam di dunia yang memiliki kurang lebih 57 negara anggota. Masing-masing negara anggota OKI memiliki hak prerogatif untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai situasi. Kondisi umat muslim secara global bertujuan untuk memperkenalkan Pan Islamisme kepada dunia internasional. Namun, pan Islamisme yang dibawa OKI belum mampu menjawab keinginan masyarakat muslim kontemporer. Sejatinya pan Islamisme bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia yang memiliki perbedaan suku, ras, budaya, etnis dan bangsa, malah terbentur berbagai tantangan dengan kondisi umat muslim yang modern serta ideologi yang dimiliki masing- masing negara seperti Indonesia. DAFTAR PUSTAKA BUKU Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Amzah: Jakarta. Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. 498 Islamic World and Politics Vol.3. No.1 January-June 2019 Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000. Arkoun, Mohammed, 1998, Logocentrisme et verite religieuse dans la pensee Islamique dalam Studia Islamica XXXV, Paris, 1972, hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I HLM. 38. Jakarta: Paramadina. Hanafi, A, 1989,Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. Hawi, Akmal. Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani (Jamal Ad- Din Al-Afghani) (1838 – 1897 M) . Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. MEDINA- TE, VOL.16, NO.1, Juni 2017. IAIN Alauddin, 1982, Sejarah dan Kebudayaan Islam jilid III, Ujung Pandang: Alauddin. Maarif, A Syafii, 1996, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press. Naveed S Sheikh. 2003. The New Politic of Islam; Pan Islamic Foreign Policy in a World of States. London: RoutledgeCurzon. Somad, Abdul. Pemikiran Dan Pergerakan Pan Islamisme Di Indonesia Pada Awal Abad Ke-20 (Studi Tentang Pergerakan Khilafah Kongres Al-Islam Hindia). Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015 Suminto, H. Aqib. 1996. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES ARTIKEL Greg Feali dkk. Jejak Khalifah. Mizan 2005 hlm 27 Habsyiah, N, 2012. Islam dan Demokrasi. Academia edu. Yudhiarista. Sejarah Politik Islam. Posted by 23 Oktober 2012 WorldPress.com Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek I, Jakarta: UI Press V. 1988.