KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DARI SEGI HADITS (Problematika Epistemologis) Naimatus Tsaniyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:nikmahtsaniyah22@gmail.com Abstrak The study of religious harmony is important, because religious sentiments often lead to conflict of tension. Not only in Indonesia, but also in other parts of the world, although social, political, economic factors are quite coloring, but the role of religion can not be denied in social conflict. This is meanly related to the lack of tolerance towards other faiths. Among the way to create religious harmony is to examine the framework of islamic epistemology analysis on the basis of religious harmony. Islamic epistemology believes in the source of the truth of revelation, reasion, empirical, and intuition. The methods and tools used in the search of truth are the guidence of revelation, reasion, empirical, and intuition. The Theological basis examined in this study is derived from The Hadiths of The Prophet Muhammad that are relevant with religious harmony. This study is included in the literature study category with primary data taken from the books of hadiths and supported by secondary data from various books that examine the religious harmony. Islamic epistemology is used as an analytical blade of foundation for exploring sourches of truth which are related to the foundations of religious harmony in the hadiths of the Prophet Muhammad which later expected to grow awareness to respect each other. This step is expected to be one of intersections that bridges the realization of religious harmony, especially in Indonnesia. Kata Kunci: Religion, Peace, Epistemology, Pluralism, Aksiology. Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 ISSN: 2614-0535 E-ISSN: 2655-1330 Naimatus Tsaniyah 421 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) PENGANTAR: MENYELAMI PROBLEM Sejarah kehidupan manusia yang panjang telah melahirkan kreativitas budaya dalam berbagai hal, termasuk kreativitas spiritual. Dari kreativitas spiritualnya me- nunjukkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual (homo religius) (Amstrong, 1993, hal. xix). Setiap orang memiliki hak beragama sesuai dengan keyakinan individu masing-masing, maka dari itu memeluk agama merupakan pengejewantahan dari keyakinan akan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta, sebagai Orang hidup itu akan menemui kematian, sesuai dengan firman Allah: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Al „Ankabuut: 57) Penduduk Indonesia mayo- ritas beragama islam dengan negara yang mampu mengayomi berbagai aliran agama sehingga keagamaan dan keberagamaan warga negaranya tercipta harmonis, bahkan memberikan- pengakuan akan adanya berbagai aliran agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Tidak dipungkiri lagi hal demikian merupakan realitas yang tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, memiliki keanekaragaman suku, agama, ras, dan antargolongan, yang berbeda- beda, tetapi tetap satu “Bhineka Tunggal Ika”. Interpretasi dari kata ini mengandung pemaknaan akan fenomena sosial yang ada dan terjadi terhadap bangsa ini, di satu sisi adanya kesadaran akan perbedaan, dan di sisi lain perlunya persatuan dan kesatuan. Kajian mengenai kerukunan beragama menjadi penting karena sentimen-sentimen keagamaan sering berujung pada konflik ketegangan dan pertikaian yang berdarah-darah. Tidak saja di Indonesia melainkan juga di belahan bumi lainnya seperti di India antara kaum Sikh, Hindu, dan Islam; di negara bekas Yugoslavia antara Muslim-Bosnia dengan Kristen- Serbia, di Filipina Selatan antara kelompok Islam Moro dan kelompok Kristen, serta kerusuhan- kerusuhan di Libanon. Jika kita perdalam lagi bahwa kekisruhan antaragama pada awalnya di- dominasi oleh faktor dengan latar belakang politik-ekonomi dimana agama sering dijadikan “sumbu” untuk menggemborkan, sehingga dipungkiri agama di jadikan ajang hal tersebut merupakan konflik agama (TH.Sumartana, hal. 222- 223). 422 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 Di Indonesia, tidak jarang terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh isu-isu sentimen keagamaan dengan berbagai problematika yang beraneka ragam, sepertihalnya kasus Poso, Maluku, dan di tempat-tempat lainnya. Tidak bisa dipungkiri, meski faktor sosial, politik, ekonomi yang cukup menggoyahkan warga. Sangat disayangkan jika agama tidak bisa ditampik perannya dalam konflik sosial. Salah satu faktor dengan sikap kurangnya toleran terhadap pemeluk agama lain (TB. Simantupang, 1992, hal. 131). Melihat kondisi ini, perlu di- upayakan suatu cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki hubungan antarumat beragama. Untuk menghindari disharmoni antarumat beragama, membutuhkan berbagai upaya seperti dialog antarumat beragama yang diikuti sikap saling rendah hati, terbuka, saling menghargai, menghormati, dan mengembangkan sikap saling toleransi16 16 Negara Indonesia, wadah kerja sama terbaru kerukunan umat beragama memperoleh legislasinya berdasarkan Keputusan Menteri Agama No 09 dan No 08 tahun 2006. Berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menjadi Cara lain untuk menciptakan kerukunan umat beragama adalah mengkaji kerangka analisis epistemologi Islam tentang dasar- dasar kerukunan umat beragama. Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat modern yang tidak mempercayai sumber kebenaran wahyu maupun intuisi (K.Bertens, 1996). Demikian juga kecerdasan spiritual yang menjadi salah satu piranti pencarian ke- benaran. Epistemologi Islam mempercayai adanya sumber kebenaran wahyu, akal, empirik, dan intuisi. Metode dan alat yang digunakan dalam mencari kebenaran adalah rasio, empirik, intuisi, dan petunjuk wahyu. Epistemologi Islam ini dijadikan sebagai pisau analisis atau landasan untuk menggali sumber-sumber kebenaran terkait dengan dasar-dasar kerukunan umat beragama dalam Hadits-hadits Nabi, dalam rangka menemukan dasar- dasar kerukunan hidup antar umat beragama, yang nantinya diharapkan tumbuh kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Langkah ini diharapkan juga menjadi salah satu titik temu sangat penting untuk direalisasikan di daerah, yang terbentuk dalam Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB. Naimatus Tsaniyah 423 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) yang menjembatani terealisasinya kerukunan umat beragama, khususnya di Indonesia. MEMAHAMI PLURALITAS AGAMA Secara historis, agama-agama lahir dari “garba” yang sama, yakni kebutuhan spiritual manusia untuk kembali kepada Tuhan. Fitrah ini membuat manusia senantiasa rindu dan selalu ingin kembali kepada- Nya. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang memiliki sifat spiritual. Sifat spiritual ini yang menuntun manusia untuk selalu mendamba dan mencari Tuhan. Di Barat modern- Amerika dan Eropa yang kental sekali dengan sains yang bersifat rasionalis positivistik, dewasa ini tampak muncul kecen- derungan perhatian pada metafisika dan spiritualitas Timur. Ini merupakan buktibahwa dalam diri manusia ada sebuah sifat yang tak berubah, sifat spiritual, sekalipun pada saat-saat tertentu manusia terjebak pada kepercayaan yang bersifat fisik saja (Nasr,1983: 82). Dalam pencariannya akan Tuhan, manusia menemukan siapa Tuhannya sesuai dengan batas kemampuan refleksinya. Sebagai misal ada animisme dan dinamisme. Pada abad 6 SM-2 M, masyarakat Yunani Kuno menyembah pelangi, laut, dan tempat-tempat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan. Pada saat yang sama, para filosof awal di Yunani, Thales, Anaximenes, Anaximadros, Phitagoras, Heraklitos, Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya, mencoba membuktikan kebenaran- kebenaran mitos yang dipercayai masyarakat tersebut. Mereka me- musatkan kajian pada fenomena- fenomena alam (cosmo -sentris) dalam rangka mencari realitas dasar yang ada dibalik fenomena- fenomena alam tersebut, sekaligus mencari jawaban kebenaran mitos yang dipercayai oleh masyarakat pada saat itu. Realitas dasar yang ditemukan oleh masing- masing filosof selalu berbeda sesuai dengan batas kreativitas dan kapasitasnya (Copleston, 1995, hal. 511). Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang panjang. Oleh karenanya, wajar jika setiap manusia atau kelompok manusia memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami pengalaman ketuhanan dengan cara yang berbeda. Setidaknya jika disimak, dalam tiga agama besar, Yahudi, Nashrani, dan Islam, tidak ada pandangan yang objektif tentang Tuhan, 424 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 karena setiap generasi ternyata menciptakan citra tentang Tuhan yang belum tentu sama antarsatu generasi dengan generasi yang lain. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa apapun bentuk hasil pencarian itu, hasil itulah yang dianggap sebagai realitas dasar, yang para pengikut agama menyebutnya sebagai “Tuhan”. Ini artinya, ada sejarah kebudayaan manusia yang berusaha mencari Tuhan, khususnya dalam rentang waktu abad Yunani Kuno, sebelum Injil turun, dan mungkin rentang zaman lampau yang sulit terjangkau oleh pencarian manusia sekarang. Dalam rentang sejarah, dapat diketahui juga seorang tokoh seperti Sidarta Gautama, tokoh utama dalam agama Budha yang mendapat pencerahan Tuhan. Rentang waktu fatrat al-wahyi terulang kembali dan terjaadi pada abad 2-6 M, hingga turunnya wahyu al-Qur‟an pada awal abad 7 M. Pada rentang waktu hampir 600 tahun, dimana Allah tidak menurunkan wahyu atau petunjuk kepada Rasul- Nya, manusia mengalami pencarian yang sama dengan masa fatrat al- wahyi sebelumnya, yakni mencari siapa Tuhan. Penyembahan-pe- nyembahan- terhadap alam maupun benda ciptaannya sendiri yang dianggap memiliki kekuatan supra natural terulang kembali hingga turunnya wahyu al-Qur‟an pada abad 6 M yang menjadi petunjuk umat manusia. Kreativitas manusia yang selalu rindu akan Tuhan, adalah bukti bahwa ada agama pencarian atau hasil kreativitas spiritual dan akal manusia untuk mencari Tuhan. Sesuatu yang dianggap sebagai realitas dasar, sumber kehidupan, atau Tuhan, dan dijadikan landasan serta sumber norma dalam kehidup- annya. Sejarah panjang yang sarat dengan spirit mencari Tuhan ini telah menjadi kausalitas mengapa di bumi terdapat pluralitas agama. Masing-masing agama tidak jarang teguh dengan pendirian kebenaran yang diyakini masing-masing, bahkan cenderung ekslusif. Adanya pluralitas agama telah menjadi keniscayaan. Tidak adanya kedewasaan dan kebesaran jiwauntuk menerima kenyataan ini akan mengakibatkan munculnya benih-benih disharmoni antarumat beragama. Oleh karena itu, semua pemeluk agama mestinya menyadari akan hal tersebut. DASAR-DASAR KERUKUNAN BERAGAMA a. Dasar Teologis Salah satu upaya untuk membangun kerukunan umat Naimatus Tsaniyah 425 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) beragama dapat dilakukan dengan membedah teologi agama-agama. Relevan dengan ini, penulis men- coba menyingkap teologi Islam, terkait dengan hadis-hadis Nabi yang memberi pedoman untuk bertoleransi, berdemokrasi dan kemerdekaan beragama. Penulis berupaya mencari dasar-dasar legal yang memungkinkan orang untuk dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Dari sini diharapkan ada sebuah pijakan yang berangkat dari kesadaran bersama untuk memperhatikan pluralitas dari dalam teologi sendiri. Agama Islam merupakan agama yang di wahyukan oleh nabi Muhammad SAW dengan hadirnya agama menyempurnakan sebagai salah satu uswatun khasanah dengan umat agama lain. Sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah Muhammad Saw, terkait bagaimana beliau memperlakukan tetangganya, kepada kaum Yahudi, dan kaum musyrikin secara baik. Seperti tercermin dalam Hadits berikut ini: “.... Akhirnya Nabi dan kaum Yahudi serta kaum musyrikin sepakat untuk mengakhiri konflik dengan sebuah perjanjian tertulis” (HR. Abu Dawud)(Sajastany, 2007,. hadits 2606). Hadis ini menerangkan bagaimana kaum Yahudi dan Majusi selalu membuat makar ingin mencelakakan dan menjatuhkan Nabi dalam berdakwah. Akan tetapi Nabi menteladankan untuk mengadakan dialog dengan mereka yang menghasilkan sebuah kesepakatan tertulis untuk hidup berdampingan dalam toleransi. “.... Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran” (HR. Al-Bukhari) (Al-Bukhari, 1934, hal. 17). Kepemimpinan Rasulullah di Madinah menunjukkan bahwa beliau mengakui kebhinekaan (pluralitas). Rasulullah mampu mempersatukan berbagai keaneka- ragaman atau kelompok masyarakat Madinah yang sejak berpuluh tahun bermusuhan. Bahkan, beliau berhasil menjunjung rasa toleran atarwarga Madinah untuk lebih mencintai, memelihara, dan mempertahankan Negara Madinah melalui tenggang rasa dan persatuan persaudaraan antarsuku. Untuk menetraltan politik Nabi Muhammad memutuskan dengan menyusun deklarasi politik berupa “Deklarasi Madinah” (Kholil, 2009). Deklarasi Madinah ini berisi tentang aturan permainan politik antarunsur sosial yang bersifat pluralist dan bertujuan untuk mementingkan, menjembatani, dan 426 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 mengadvokasi (mendampingi) serta merealisasikan masyarakat publik (negara). Di era pemerintahan Rasulullah, dominasi pluralitas masyarakat- yang berusaha menjunjung kekuatan etnis, seperti kaum Muhajirin (pendatang), kaum Anshar (penduduk asli yang masuk Islam), Yahudi (pribumi), dan kelompok etnis lainnya. Beberapa kaum ini pada akhirnya mampu berpegang teguh dengan berbagai kepentingan privasi demi membangun komunitas yang solid dalam membangun dan mempertahankan sebuah negara yang bernama Madinah. Tidak diragukan lagi, jika agama Islam adalah agama yang mengakomodasi bentuk pluralitas (Wahid, 1993, hal. 33). Hal ini senada dengan Hadits Nabi (Syakir, 1995, hadits no 22391) bahwa dengan hadirnya Nabi Muhammad di muka bumi ini sebagai khalifah fil ardhi yang diamanahi Allah untuk merangkul semua umat dengan berbagai latar belakang etnis, suku, jenis kelamin, warna kulit, dan suku bangsa aliran agama yang berbeda- beda tanpa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Islam mengakui perbedaan sebagai bagian dari sunnatullah (Quran Surat Al-Hujurat, ayat 13). Selain itu, agama Islam juga mengakui adanya berbagai aliran madzhab, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Dengan adanya pengakuan atas agama-agama Ibrahim. Sebutan atas Ibrahim sebagai “Bapak Monoteisme” menandakan bahwa setiap ajaran yang diajarkan para rasul memiliki keterkaitan, yakni sebagai ajaran yang mengakui keesaan Tuhan dan pandangan hidup yang lurus. Pengakuan ini memiliki makna bahwa Islam mengakui agama selain Islam yang memiliki kitab suci, yakni ajaran dari kaum Yahudi dan Nasrani. Dua kaum ini memiliki tempat tersendiri di dalam sejarah Islam karena agama mereka merupakan pendahulu Islam. “... dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah. Rasul pernah bersabda: “Aku lebih utama dari Isa, putera Maryam, di dunia dan akhirat.” Para sahabat bertanya: Bagaimana maksudnya, ya Rasul? Rasul menjawab: “Para Nabi itu bersaudara. Mereka adalah putera-putera orang dari berbagai perempuan. Ibu mereka berlainan, tetapi agama mereka satu” (HR.Muslim dan Abu Dawud (Sajastany, 2007, hal. 510) Naimatus Tsaniyah 427 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) Landasan teologis tersebut mengindikasikan- titik temu antara agama Islam dengan agama ter- dahulunya. Karena islam adalah penyempurna ajaran para Nabi terdahulu. Untuk itu, fonndasi dasar iman (rukun iman) dalam Islam juga meyakini nabi dan rasul sebelum Muhammad, termasuk kitab-kitab para Rasul terdahulu. Rasulullah juga diperintah menyeru kaum ahl al-kiaab dengan kalimatun sawa‟, yakni keesaan Tuhan (tauhid). Akan tetapi, bila seruan untuk “satu kalimat sama” tadi tidak dipenuhi oleh mereka, tentu saja tidak boleh dipaksa (Quran Surat Al Maidah ayat: 82) dan (Quran Surat Al Maidah ayat: 82) Islam senantiasa mengajarkan dialog dengan penganut agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani. Kata ahl (keluarga) juga meng- indikasikan adanya hubungan yang dekat dengan non-muslim tersebut. Bahkan, dalam Al-Qur‟an juga ditemukan kata-kata pujian yang ditujukan kelompok tertentu dari umat Nashrani karena mereka bersedia menjalin hubungan dengan umat Islam (Quran Surat Al Maidah ayat: 82). Hubungan yang baik antara umat Islam dan non-muslim di Madinah mampu membawa Madinah men- jadi negara kosmopolit dimana peradaban dan kebudayaannya memancar keseluruh penjuru dunia, sehingga disebut sebagai Madinah al-Munawwarah (kota penuh cahaya). Rasulullah selalu melakukan komunikasi dan dialog dengan rakyatnya, baik yang muslim maupun non-muslim. Rasul senantiasa memperlakukan secara adil pada siapa saja, bah- kan terhadap keluarganya sekali- pun. Sikap Rasulullah yang mencerminkan pembela bagi semua golongan inilah yang menarik non- muslim untuk bersedia menjalin hubungan dan kesepakatan damai dengan umat Islam. Sikap toleransi dan meng- hormati agama lain telah meng- antarkan Islam menjadi agama yang inklusif. Sehingga masyarakat non- muslim pada gilirannya dengan sukarela memeluk agama Muhammad yang hanif. Sikap menghormati terhadap agama lain, diteladankan oleh Rasulullah salah satunya dengan mengakui hari besar yang dirayakan kaum Yahudi, yakni Hari ‟Asyura. Bahkan, bertepatan pada hari besar Yahudi ini Nabi menganjurkan umat Islam untuk berpuasa. Nabi Muhammad SAW ber- sabda: “Hari„Asyura adalah hari besar yang dirayakan oleh kaum Yahudi. Berpuasalah kalian pada 428 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 hari itu” (HR. Al-Bukhari) (Nasai, hal. hadits no 4010) Hari „Asyura tersebut merupa­ kan hari besar kaum Yahudi untuk memperingati kemenangan dan keselamatan Nabi Musa atas raja Fir‟aun sehingga mereka ber­ puasa pada hari tersebut. Nabi menganjurkan pengikutnya ber- puasa „Asyura karena umat Islam layak memperingati kemenangan Nabi Musa tersebut. Demikianlah, Islam berlaku adil (Sajastany, 2007, hal. hadits no 2654) dan menjaga kerukunan terhadap agama islam saja, akan tetapi juga merangkul dan meng- ayomi semua lintas agama. Agama Islam merupakan rahmatan lil alamin yang membela umat lain sebagaimana membela umat Islam. Nabi Muhammad memberikan contoh ketika beliau menjabat dengan menyetarakan hukum yang sama antara kaum muslim dan non- muslim. Pada saat yang sama, pemerintahan Nabi juga menjunjung toleransi yang tinggi dengan menghormati keyakinan-keyakinan mereka. Nabi tidak menjatuhkan hukuman secara Islam atas mereka tentang apa yang tidak mereka haramkan, dan mereka tidak diizinkankan misalnya saat dipanggil ke pengadilan pada hari- hari besar yang mereka yakini dan rayakan. Toleransi yang tinggi dan menghormati- agama lain yang diteladankan Rasulullah lebih terjaga dari ekstrimisme dalam beragama. Ekstrimisme adalah suatu tindakan yang sangat membahayakan umat manusia. Akibat dari timbulnya ekstrimisme akan memunculkan berbagai prasangka, kekakuan dan kebekuan. Dengan ekstrimisme mengawal perpecahan umat manusia, dan menggiring pada perselisihan internal dan eksternal. Oleh karenanya, Islam menolak ekstrimisme dan merangkul pada prinsip-prinsip Islam seperti tasamuh (toleransi), i‟tidal (moderasi), „adl (keadilan), dan lain-lain. Selain itu, ekstrimisme dalam beragama juga bisa mengakibatkan fanatisme yang buta. Fanatisme buta disebabkan minimnya pengetahuan, wawasan, dan tujuan mengenai esensi Islam. Dalam agama apapun, minimnya pengetahuan dan kebodohan adalah musuh bersama semua agama. Dengan demikian kita jangan- lah gegabah dalam memutuskan segala sesuatu jangan sampai terbawa oleh isu- isu miring yang kurang jelas dan bahkan dengan Naimatus Tsaniyah 429 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) melatarbelakangi agama. Sudah selayaknya kita mencontoh Rasul dengan menghormati, menoleransi, dan menghargai nonmuslim dalam keyakinan serta ibadah sehingga mewujud dalam kehidupan yang rukun antar umat beragama yang tercermin dalam kestabilan politik Negara Madinah yang kosmopolitan. b. Dasar Yuridis Di Indonesia, konsep tentang kerukunan umat beragama di- tuangkan dalam Undang -undang Dasar 1945 pasal 29. Dalam Undang-undang Dasar 1945 ini di- tegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing- masing dan untuk beribada menurut agama serta kepercayaannya masing-masing. Dalam rangka merealisasikan kerukunan beragama dalam masyarakat, Departemen Agama RI mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI no. 70/1978 berisi tentang pedoman penyiaran agama. Hal ini menimbang bahwa kerukunan hidup antarumat ber- agama merupakan syarat mutlak bagi persatuan dan kesatuan bangsa, serta kemantapan stabilitas dan keamanan negara. Selain itu, pemerintah wajib melindungi setiap usaha pengembangan dan penyiaran agama Pemerintah juga membentuk wadah kerja sama dan dialog antarumat beragama yang dikukuh- kan berdasrkan bersama Keputusan Menteri Agama No. 09 dan No.8 tahun 2006. Berisi Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menjadi sangat penting untuk diwujudkan di daerah, yang terbentukdalam Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB. Upaya pemerintah Indonesia adalah dalam rangka mewujudkan terciptanya masyarakat yang rukun, gotong royong secara damai, se- kalipun agama yang dipeluk saling berbeda. Hal ini dilakukan untuk menciptakan Indonesia yang bersatu sekalipun pluralitas dan keragaman berbagai hal ada di dalamnya. ANALISIS EPISTEMOLOGI ISLAM Masalah utama yang dibahas dalam epistemologi adalah masalah sumber kebenaran, cara mencari kebenaran, dan hasil pencarian kebenaran atau ukuran kebenaran (B.Brand, 1965, hal. 668) Sumber 430 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 kebenaran dimaksud antara lain wahyu, akal, pengalaman, dan intuisi. Terkait dengan sumber kebenaran, Filsafat Barat modern- rasionalisme, empirisme, positivisme- tidak mengakui adanya sumber kebenaran wahyu. Karena aliran ini tidak mempercayai hal-hal yang bersifat metafisik. Akan tetapi, filsafat Barat post modern tampak mulai percaya sumber kebenaran intuisi. Kecenderungan ini memberi ide atas terbangunnya epistemologi Islam. Islam menawarkan kebenaran mutlak, yakni Al-Qur‟an diikuti Hadits, akal, pengalaman dan intuisi. Kajian lain dalam epistemologi adalah bagaimana cara seseorang mendapatkan kebenaran penge- tahuan, yang lazim juga disebut metodologi.Metodologi yang digunakan dalam mencari kebenaran sangat tergantung pada subjek pencari kebenaran. Rasionalisme mengandalkan analisis logisnya, sehingga ukuran kebenaran yang ditawarkan adalah kebenaran logis. Empirisme dan positivisme meng- andalkan kecermatan penelitian dan eksperimen, sehingga ukuran kebenaran yang ditawarkan adalah hasil refleksi secara empiris. Sedangkan intuisionisme meng- andalkan refleksi dan ketajaman intuisi, sehingga kebenaran yang ditawarkan adalah hasil refleksi secara spiritual. Senyatanya, dalam masyarakat, individu-individu atau kelompok- kelompok masyarakat tidak semua sama dalam memilih sumber kebenaran untuk menjadi pedoman hidupnya. Bahkan individu atau kelompok masyarakat yang sama- sama memilih wahyu untuk menjadi- pedoman hidup, masih dimungkinkan berbeda kitab suci mana yang diyakini, yang meng- giring mereka pada agama tertentu, sehingga memiliki keyakinan- yang berbeda. Sisi ini masih cukup membuat rentan permasalahan dalam masyarakat, yakni sering me- nimbulkan konflik sosial bernuansa agama (Isre, 2003, hal. 239) yang tidak lain berebut klaim kebenaran, bahwa keyakinan yang dipilihnya “lebih benar” dan yang lain salah. Melalui kerangka analisis epistemologi Islam, hadits-hadits Nabi yang menjadi dasar dan pedoman terkait dengan kerukunan umat beragama harus dianalisis secara logis, empiris, sinkretis, dan intuitif, sehingga relevan dengan realitas plural yang tergelar di jagat raya. Realitas berbicara bahwa semua orang dihantar oleh horizon masing-masing hingga dia menjadi seorang apa dan beragama apa. Hal ini Al-Qur‟an sudah cukup Naimatus Tsaniyah 431 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) memberikan penegasannya bahwa manusia bebas menentukan pilihan agamanya, sesuai dengan pencarian yang diyakininya (Laa Ikraaha fi al- diin, lakum diinukum waliyadiin). Doktrin agama—agama apa- pun—jika hanya diterima begitu saja, tanpa adanya upaya pe- mahaman melalui analisis logis, pembuktian secara empiris, refleksi secara intuitif, mengantarkan pada ideologi yang eksklusif. Sementara ideologi agama yang eksklusif dapat mengentarkan seseorang untuk berbuat ekstrim, bahkan menciptakan konflik yang mengganggu. Hal ini dikarenakan, sebuah aktivitas publik akan dapat berjalan ketika ada konsensus antara kelompok yang berbeda, tanpa ada konflik, karena konflik menyebabkan kesulitan dalam mengatur segala sesuatu (Sachedina A. A., 2001, hal. 4) PENUTUP: SEBUAH REFLEKSI EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS Berdasarkan refleksi epis- temologi tadi, seharusnya ada kesadaran bagi manusia untuk saling menghargai dan meng- hormati proses pencarian ke- benaran serta keyakinan akan kebenaran masing-masing manusia yang dijadikan pedoman hidupnya. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ranah pemahaman manusia. Karena proses pencarian kebenaran oleh manusia tidak lebih dari sekedar upaya melalui renungan atau refleksi intuitif, penyimpulan, generalisasi, analogi, rasionalisasi, dan sebagainya. Semuanya terbatas pada kapasitas manusia. Akan tetapi, sudah menjadi keyakinan bersama umat beragama, bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan, atau yang dianggap sebagai Tuhan. Penilaian atas benar dan salah, baik atau buruk, biasanya berdasar pada ajaran kebenaran yang mutlak tersebut. Disisi lain, semua umat beragama mempunyai tujuan yang sama, yakni dapat kembali kepada yang Mutlak. Persoalan yang sering muncul adalah, tidak semua manusia memiliki kesadaran bahwa setiap orang mempunyai pengalaman keagamaan yang berbeda sesuai dengan horizon kehidupannya. Sehingga masih muncul klaim kebenaran satu sama lain, bahwa pihak lain salah dan pihaknya yang paling benar sehingga tak jarang menyulut pertikaian. Refleksi aksiologi dapat membantu umat manusia bersatu dalam spiritualitas, yakni kesadaran untuk menuju satu tujuan, yakni kembali kepada yang mutlak. 432 Islamic World and Politics Vol.2. No.2 July-December 2018 Dari sini diharapkan muncul kesadaran akan keberadaan cara menuju Yang Mutlak, karena masing-masing manusia memiliki pengalaman- keagamaan yang berbeda- beda, sehingga sekalipun berbeda dapat hidup bersama secara rukun. Sesungguhnya semua agama menghendaki ke- rukunan antar umat manusia, antarumat- beragama, dengan keyakinan teguh serta penghayatan sungguh-sungguh pada ajaran masing-masing. Setiap pemeluk agama bertugas mendakwahkan agamanya, tetapi agama juga memerintahkan agar berdakwah dengan cara-cara yang bijaksana, positif dan menjauhi keburukan-keburukan. Bahkan antara pemeluk agama harus sering mengadakan dialog, diskusi bersama, baik dalam hal teologi maupun persoalan-persoalan kehidupan yang muncul di masyarakat untuk disikapi secara bersama. Daftar Pustaka Abdul Aziz Sachedina.2001,The Islamic Roots of Democratic Pluralism, New York: Oxford University Press Abdul Wahid.1993. Islam Di Tengah Pergulatan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana Abi „Isa Muhammad Ibn „Isa Ibn Surat al Tirmidzi, 1974. Sunan al Tirmidzi Wahuwa jami al Sahih, Editor Abdul Wahab Abdul Wahid, Madinah al Munawarah: Al Maktabah al Salafiyah Abi Abdillah Al-Bukhari, 1934. Sahih al Bukhari, Kairo: Maktabah al Misriyah Abi Abdurrahman Ahmad Ibn Shu‟yb al Nasai, Sunan Nasa‟i, Beirut: Dar Ihya‟ al Turats al Arabiy Abu Dawud Sulayman al Sajastany, 2007. Sunan Abu Dawud, editor Sidqi Muhammad Jamil, Beirut: Dar al-fikr Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, 1995. Musnad Imam Ahmad, Kairo: Dar al Hadits, Amstrong, karen, 1993. A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, New York: Alfred A. Knopf Archie J. Bahm, 1915. Epistemology: Theory of Knowledge, New York: Albuquerque Depag RI, 2003.Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Jakarta: Dpag RI, Nagel, Ernest dan Richard B. Brandt, Meaning and Knowledge: Systematic Reading Naimatus Tsaniyah 433 Kerukunan Umat Beragama Dari Segi Hadits (Problematika Epistemologis) Epistemology, New York/ Chicago/ San Francisco/ Atlanta: Harcourt, Brace & World, Inc. Frederick Copleston, 1995 .History of Philosophy, Vol. I, London: Burn Oates & Wasbourne LTD Imam Abi al Husayn Muslim ibn al Hajaj al Qus {airi al Naysaburi, Sahih Muslim, al Qana‟a K. Bertens, 1996. Filsafat Barat Abad XIX, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Makrum Kholil, 2009 Sistem Pemerintahan Islam menurut Muhammad Husein Haikal, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press. Moh. Soleh Isre (ed), 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Depag RI Nagel, ernest dan Richard B. Brandt, Meaning and Knowledge: Systematic Readings Epistemology, New York/ Chicago/ San Francisco/ Atlanta: Harcourt, Brace & World, Inc. Pedoman penyiaran agama selengkapnya bisa dilihat dalam, Sekretariat jendral Depag RI, 1998. Himpunan Peraturan Perundang- undangan Kehidupan Beragama, Seri E, Jakarta: DEPAG RI. Sayyed Husein Nasr, 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka Sumartana, TH, Dialog, Kritik, Identitas Agama, Yogyakarta: Dian Interfidei TB. Simantupang, 1992. Peranan Agama-agama dalam Negara Pancasila, Jakarta: BPK Gunung Mulia