Microsoft Word - 02_Yeni Agustina_setting.docx 12 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN MENGGUNAKAN MODEL ALTMAN DAN ZAVGREN PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES Yeni Agustina1; Rahmawati2 1,2 Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Jln. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta 57126 ABSTRACT The purpose of this research is to show the illustration of the financial performance in food and beverages companies during the years 2001, 2002, 2003, 2004, and 2005. Since the Indonesian economic crisis which began in middle 1997, most of industry sectors, including food and beverages companies, had some constraints in producing and actualizing their products. One of the important things in making decisions for company managers, creditors, and the future investors is the bankruptcy analysis model to predict company’s bankruptcy. This research used two models developed by Edward I. Altman (Model Z-Score) and Christine V. Zavgren (Logit Model). The result of this research is, generally, the financial conditions of the food and beverages companies are in bad conditions. This situation is connected with the low profitability, liquidity, and activity rates of those companies. Keywords: company bankruptcy, altman model, zavgren model, food and beverages ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan ilustrasi dari kinerja keuangan pada perusahaan makanan dan minuman selama tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005. Sejak krisis ekonomi Indonesia yang dimulai pada pertengahan 1997, sebagian besar dari sektor industri, termasuk perusahaan makanan dan minuman, memiliki beberapa kendala dalam memproduksi dan mengaktualisasi produk mereka. Salah satu hal penting dalam membuat keputusan bagi manajer perusahaan, kreditur, dan investor akan datang adalah model analisis kebangkrutan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan. Penelitian ini menggunakan dua model yang dikembangkan oleh Edward I. Altman (Model Z-Score) dan Christine V. Zavgren (Logit Model). Hasil dari penelitian ini adalah, pada umumnya, kondisi keuangan perusahaan makanan dan minuman berada dalam kondisi buruk. Situasi ini dihubungkan dengan profitabilitas rendah, likuiditas, dan tingkat aktivitas perusahaan tersebut. Kata kunci: kebangkrutan perusahaan, model altman, model zavgren, makanan dan minuman Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 13 PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional merupakan mata rantai yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, di mana perdagangan internasional diwarnai oleh berbagai perubahan yang menyebabkan peningkatan kompetisi antar dunia. Hal tersebut ditandai adanya perdagangan bebas oleh AFTA pada tahun 2003, diikuti APEC tahun 2010, dan WTO tahun 2020. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia harus berpikir secara global untuk dapat turut bermain di dalam kompetisi yang semakin tajam. Perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka di samping merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mencapai efisiensi dan peningkatan kesejahteraan penduduk Indonesia, sekaligus merupakan tantangan bagi perekonomian Indonesia saat ini, pasca krisis moneter yang melanda Indonesia di pertengahan tahun 1997. Walaupun telah menunjukkan berbagai kemampuan yang berarti, tetapi masih belum cukup kuat untuk menghadapi persaingan dan ketergantungan internasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan suatu akibat yang buruk dan kurang menguntungkan bagi sebagian besar dunia, usaha dalam bidang industri manufaktur, perdagangan, maupun jasa pelayanan, tidak terkecuali akibat tersebut dialami perusahaan yang bergerak dalam usaha industri food and beverage. Pada keadaan seperti sekarang ini, harga material atau bahan baku semakin tinggi sehingga produktivitas perusahaan food and beverage semakin menurun karena kesulitan mendapatkan sarana penunjang produksi, contohnya adalah bahan baku, sumber daya manusia, dan teknologi. Bisnis makanan dan minuman (food and beverages) banyak digunakan sebagai alternatif usaha karena makanan dan minuman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Industri makanan dan minuman (food and beverages) memiliki karakteristik, yaitu mudahnya perusahaan baru untuk memasuki industri sehingga akan menyebabkan peningkatan persaingan antar perusahaan (Weston dan Capeland, 1997:35-36). Banyaknya perusahaan food and beverages akan menjadikan ancaman dan peluang bagi pemain bisnis ini. Ditinjau dari minat konsumen, industri food and beverage diperkirakan sangat diminati konsumen dan tetap eksis di tengah krisis ekonomi dan moneter. Namun, apabila ditinjau di pangsa pasar, industri food and beverage tidak hanya dituntut bersaing di dalam negeri saja. Dalam perkembangan sekarang ini, banyak muncul produk-produk baru, baik dari dalam negeri maupun industri food and beverage datang dari luar negeri yang mampu tampil beda dari produk sebelumnya, baik mutu, harga serta rasa. Namun, pemilihan ekonomi berjalan sangat lambat. Sekalipun pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan, tetapi masih sangat bergantung pada kondisi yang menyebabkan pertumbuhan tidak dapat berkesinambungan (Weston dan Copeland, 1997:35-36). Untuk itu, agar perusahaan food and beverage dalam negeri tidak kalah bersaing dengan perusahaan luar, penilaiannya tidak lepas dari perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat. Bisa dikatakan perusahaan seperti itu memiliki manajemen dan kinerja keuangan yang baik. Perusahaan masa depan adalah membagikan dividen bagi pemegang saham. Namun, dalam kenyataan laba dan membagikan dividen bagi pemegang saham. Namun dalam kenyataan setiap saat banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan, kemacetan likuiditas atau pembubaran (Agnes Sawir, 2002). Setiap perusahaan didirikan dengan harapan akan menghasilkan profit sehingga mampu untuk bertahan dalam jangka panjang yang tak terbatas. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa perusahaan akan terus hidup dan diharapkan tidak akan mengalami likuiditas. Dalam praktek, asumsi seperti di atas tidak selalu menjadi kenyataan. Seringkali perusahaan yang telah beroperasi dalam jangka waktu tertentu terpaksa membubarkan diri karena mengalami kegagalan usaha (kebangkrutan). Untuk dapat mengindentifikasikan tanda-tanda awal kebangkrutan perusahaan baik bagi manajemen untuk kinerja. Semakin awal tanda-tanda tersebut diketahui, semakin segera pihak kreditur dan pemegang saham juga perlu mengidentifikasikan tanda-tanda awal kebangkrutan supaya dapat segera mengambil keputusan investasi dan kredit untuk menghadapi kemungkinan terburuk berupa bangkrutnya perusahaan yang bersangkutan (Agnes Sawir, 2002). 14 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasi peneliti adalah (1) Bagaimanakah kondisi keuangan perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri food and beverage yang terdaftar di BEJ periode 2001-2005 menurut Model Altman (Z-Score)?, (2) Bagaimanakah kondisi keuangan perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri food and beverage yang terdaftar di BEJ periode 2001-2005 menurut Zavgren (Model Logit)?, dan (3) Metode manakah menurut kedua analisis tersebut yang dapat memberikan peringatan yang lebih dini terhadap kondisi keuangan perusahaan?. Adapun tujuan yang dapat diidentifikasi peneliti adalah sebagai berikut (1) Untuk mengetahui kinerja perusahaan food and beverage yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2001-2005 menurut model Altman Z-Score, (2) Untuk memperoleh kinerja perusahaan food and beverage yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2001-2005 menurut model Zavgren, dan (3) Untuk mengetahui metode mana yang dapat memberikan peringatan lebih dini terhadap kondisi keuangan perusahaan. Adapun manfaat yang dapat diidentifikasi peneliti adalah sebagai berikut. Pertama, bagi praktisi. Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melihat kinerja keuangan perusahaan periode 2001- 2005 dan jika terdapat tanda-tanda kesulitan keuangan yang mengarah pada kebangkrutan, maka pihak manajemen dapat mengambil langkah-langkah preventif untuk menyelamatkan perusahaannya sebagai alternatif analisis dalam pengambilan keputusan dapat tidaknya suatu perusahaan menerima kredit, dan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam melakukan keputusan investasi sehingga mereka dapat mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan. Kedua, bagi akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan penulis tentang penilaian tingkat kebangkrutan kelompok perusahaan food and beverage yang berkaitan di BEJ periode 2001-2005, serta dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian telah lanjut untuk menghasilkan model prediksi kebangkrutan yang dapat diterapkan untuk semua jenis industri di Indonesia. Analisis diskriminan Altman merupakan salah satu teknik statistik yang biasa digunakan untuk memprediksi adanya kebangkrutan suatu perusahaan. Sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui kegunaan analisis rasio keuangan dalam memprediksi kegagalan perusahaan. Altman telah mengkomunikasikan beberapa rasio menjadi model prediksi dengan teknik statistik, yaitu diskriminan yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan istilah yang sangat terkenal yang disebut Z-score. Z-Score adalah skor yang ditentukan dari perhitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan Z-score, ditentukan dengan menggunakan rumus sabagai berikut (Supardi dan Mastuti, 2003 ); Z-Score = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,988 X5 Keterangan : X1 = Working Capital/Total Assets X2 = Retained Earning/Totak Assets X3 = Earning Before Interest and Tax/Total Assets X4 = Market Value Equity/Book Value of Debt X5 = Sales/Total Assets Uraian masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut (Supardi dan Mastuti, 2003). Pertama, working capital total asset (X1) atau modal kerja/total aktiva. Modal kerja yang dimaksud dalam X1 adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio X1 pada dasarnya merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hasil rasio tersebut dapat negatif apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar. Jika dikaitkan dengan indikator-indikator kebangkrutan seperti yang disebutkan di atas, maka indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikator internal seperti ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, utilisasi Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 15 modal (harta kekayaan menurun), penambahan utang yang tak terkendali, dan beberapa indikator lain. Kedua, retained earning/total assets ( X2) atau laba ditahan/total aktiva. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perubahan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh pada rasio ini semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relatif muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio tersebut rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada awal masa berdirinya. Ketiga, earning before interest and tax/total assets ( X3) atau laba sebelum bunga dan pajak/total aset. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan di antaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi terus-menerus dalam beberapa kuartal, persediaan meningkat, penjualan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang serta kesediaan memberi kredit pada konsumen yang tidak membayar pada waktu yang ditetapkan. Keempat, market value equity/book value of deb (X4) atau nilai pasar dari modal/nilai buku hutang. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri. Kelima, sales/total assets (X5) atau penjualan/total aktiva. Rasio ini merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu periode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan revenue. Model prediksi kebangkrutan secara umum dikenal sebagai pengukuran atas kesulitan keuangan. Tiga tahapan prekembangan dari pengukuran kesulitan keuangan terdiri dari analisis universal, analisis multivariate, dan analisis logit. Analisis universal mengasumsikan bahwa suatu variabel tunggal dapat digunakan sebagai predictive purpose. Model univariat yang dipaparkan oleh Wille Beaver ini telah menghasilkan ketetapan prediksi dalam level yang sedang. Analisis univarial mengindentifikasi faktor yang berhubungan dengan kesulitan keuangan, tetapi bagaimanapun juga model ini tidak menghasilkan sebuah pengukuran dari risiko yang relevan. Pada tahapan selanjutnya dari pengukuran atas kesulitan keuangan merupakan analisis multivariat (metode MDA), dengan mencoba untuk menyelesaikan indikasi konflik potensial yang mungkin dihasilkan dari penggunaan variabel tunggal yang paling banyak menggunakan metode MDA adalah Edward I Altman, profesor keuangan dari Stem Scholl of Busineess, New York University. Altman Z-score atau Zeta model mengkombinasikan variasi pengukuran dari probabilitas risiko. Hasil dari model ini menunjukkan bahwa risiko kebangkrutan perusahaan adalah relatif standar. Studi awal dari Altman membuktikan bahwa modelnya sangat akurat dan secara tepat memprediksi kebangkrutan dari sampel awal (Brian N Gibson, 1998). Di samping hasil positif dari studinya, model Altman juga dianggap mempunyai kelemahan yang diasumsikan variabel-variabel dalam sampel data terdistribusi secara normal. Ada beberapa pihak yang juga menyatakan bahwa hasil perhitungan model. Analisis distrimunal multivariat mempunyai nilai interpretasi yang sempit dan prosedur perbandingan yang mengacu pada keinginan penulis. Zavgren pada tahun 1985 mengembangkan modelnya untuk berusaha mengoreksi masalah tersebut. Modelnya menggunakan analisis logit untuk memprediksi kebangkrutan. Model logit dianggap lebih valid, model ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah tipe analisis regresi yang digunakan jika dependen variabel merupakan dummy variabel, variabel yang mengategorikan data menjadi 2 grup, misalnya kelompok bangkrut dan tidak bangkrut yang dapat menghasilkan nilai 0 dan 1. Lebih lanjut analisis logit sebenarnya menghasilkan probabilitas (dalam prosentasi) kebangkrutan, juga perhitungan probabilitas memungkinkan pengukuran atas tingkat efektivitas manajemen. Zavgren menggunakan model ini pada 45 perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut, berdasarkan skala industri dan aset tertentu dengan probabilitas sebesar 50%, model ini mempunyai tingkat akurasi sebesar 82% untuk memrediksi kebangkrutan. Analisis logit ini sering digunakan dalam penelitian 16 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 karena mempunyai karakteristik yang baik, misalnya tidak perlu untuk beradaptasi dengan sampel yang baik, misalnya tidak perlu untuk beradaptasi dengan sampel yang tidak proposional untuk konstanta tertentu (Maddala, 1992, dalam Setiawan, 2004). Dari berbagai penelitian klasik, disimpulkan bahwa analisis diskriminan dan analisis logit banyak digunakan karena 2 alasan yaitu (1) Analisis ini merupakan teknik pertama yang digunakan untuk memprediksi kesulitan keuangan dan dikembangkan menjadi teknik-teknik berikutnya; dan 2) Analisis ini lebih mudah digunakan dalam memprediksi kesulitan keuangan dibandingkan dengan teknik-teknik yang lain (Setiawan, 2004). Aplikasi dari model logit Zavgren membutuhkan 4 langkah, yaitu pertama adalah serangkaian 7 rasio keuangan dihitung, kedua adalah setiap rasio dikalikan dengan koefisien khusus, ketiga adalah nilai atau hasil yang diperoleh dijumlahkan secara bersama (y), dan akhirnya probalitas kebangkrutan perusahaan dikalkulasi dengan fungsi probabilitas logit. Adapun probabilitas kebangkrutan model logit adalah: yi e P + = 1 1 Di mana pangkat y adalah fungsi multivariable yang terdiri dari konstanta dan koefisien dari sekumpulan variabel-variabel/yaitu rasio-rasio keuangan). Sedangkan e adalah bilangan alam yang bernilai 2.1828. Nilai probabilitas yang mendekati 1/1 atau 100% dikategorikan dalam kesulitan keuangan. Zavgren menggunakan logit untuk membedakan perusahaan yang bangkrut dan non bangkrut. Model Zavgren mendefinisikan sebagai berikut: Y = 0,23883 – 0,108 (INV) – 1,583 (REC) – 10,78 (CSAH) + 3,074 (QUICK) + 0,481 (ROI) + 4,35 (DEBT) + 0,11 (TURN) Di mana: INV : Persediaan/ Penjualan REC : Piutang/ Persediaan CASH : Kas/ Total Aktiva QUICK : Aktiva Lancar/ Hutang Lancar ROI : Laba Operasi Bersih/ (Total Aktiva - Hutang Lancar) DEB : Hutang Jangka Panjang/ (Total Aktiva – Hutang Lancar) TURN : Penjualan/ (Modal Keja + Aktiva Tetap) Variabel y dengan nilai negatif meningkatkan probabilitas kebangkrutan karena akan mengurangi e, y sampai dengan nol, dengan kesimpulan bahwa kebangkrutan akan terjadi apabila probabilitas yang dihasilkan mendekati 1/1 atau 100%. Di samping itu, variabel y dengan nilai positif menurunkan probabilitas kebangkrutan. Dengan demikian, probabilitas kondisional nilai logit berada di antara 0 dan 1 (Hosmer dan lemeshou, 1989 dalam Puri Respathi, 2003). Adapun keterangan dari 7 variabel tersebut adalah (1) Average inventories / sales atau persediaan/penjualan. Perusahaan dengan rasio inventories yang tinggi, rasio perputaran persediaan akan menurun. Oleh karena itu, rasio likuiditas jangka pendek dan profitabilitas kesulitan keuangan meningkat; (2) Average receivables / average inventories atau piutang/persediaan. Perusahaan dengan rasio receivables yang tinggi secara penerimaan kasnya menurun secara relatif terhadap perputaran persediaan. Oleh karena itu, risiko likuiditas jangka pendek dan profitabilitasnya kesulitan keuangan meningkat; (3) Cash + marketable securities)/total assets atau kas/total aktiva. Perusahaan dengan proporsi kas yang tinggi mempunyai kapasitas untuk membayar hutang jangka pendek sehingga menurunkan probabilitas kesulitan keuangan; (4) quick assets / current liabilities atau aktiva lancar/hutang lancar. Rasio cepat yang besar mengindikasikan tingginya kapasitas untuk membayar hutang. Selain itu, kapasitas harta lancar juga tinggi. Dengan rasio cepat yang meningkat, maka probabilitas keuangan menurun; (5) Income from continuing operations / (total assets – current Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 17 liabilities) atau laba opersi bersih/ (total aktiva – hutang lancar); (6) Yang dimaksud dengan laba operasi bersih adalah kelebihan pendapatan atas harga pokok penjualan dan beban operasi (Setiawan, 2004 ) atau laba lainnya, laba dari kegiatan tambahan atau sampingan, laba investasi, keuntungan, dan kerugian luar biasa serta pajak penghasilan (Nugroho W., 1994: 95). Rasio ROI yang tinggi mengindikasikan pengembalian investasi terjadi dalam waktu singkat sehingga menurunkan probabilitas kesulitan keuangan; (7) Long-term debt / (total assets – current liabilities) atau hutang jangka panjang / (total aktiva – hutang lancar). Proporsi hutang yang tinggi dalam struktur hutang akan meningkatkan probabilitas kseulitan keuangan; dan (8) Sales / (net working capital + fixed assets) atau penjualan / (modal kerja + aktiva tetap). Merupakan rasio yang tinggi mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memutar aset menjadi penjualan dengan cepat (sehingga cepat pula untuk menjadi kas). Dengan demikian, profitabilitas kesulitan keuangan menurun karena peningkatan rasio tersebut. Kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut. Studi kebangkrutan perusahaan pertama kali dilakukan oleh Beaver (1996). Model Altman menggunakan 6 kelompok rasio keuangan dan membuat univariate analysis, yaitu menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik digunakan sebagai predikator. Dari 6 kelompok rasio tersebut, rasio dari aliran kas terhadap kewajiban total merupakan predikator yang paling baik untuk menentukan tingkat kebangkrutan perusahaan. Dengan studi ini, Beaver menemukan bahwa rasio keuangan terbukti sangat berguna untuk prediksi kebangkrutan dan dapat digunakan untuk membedakan secara akurat perusahaan yang akan jatuh bangkrut dan yang tidak. Studi lain oleh Altman (1968) telah menemukan ada 5 rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan beberapa saat sebelum perusahaan tersebut bangkrut. Setyorini dan Halim (1999) melakukan studi potensi kebangkrutan perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan analisis Z-score Altman dan model logit (Zavgren) serta menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan potensi kebangkrutan secara signifikan antara kedua model tersebut. Berdasarkan studi tersebut, menunjukkan konsistensi bahwa rasio keuangan sangat bermanfaat sebagai indikator dan prediksi kebangkrutan. Rasio Keuangan Altman (Model Z-Score) 1. Working Capital / Total Asset 2. Retained Earnings / Total Asset 3. Earning Before Income and Tax / Total Asset 4. Market Value of Equity / Book Value of Asset 5. Sales / Total Asset Rasio Keuangan Zavgren ( Model Logit ) 1. INV : Persediaan / Penjualan 2. REC : Piutang /Persediaan 3. CASH : Kas / Total Aktiva 4. QUICK : Aktiva Lancar / Hutang Lancar 5. ROI : Laba Operasi Bersih / ( Total Aktiva – Hutang Lancar) 6. DEB : Hutang Jangka Panjang / ( Total Aktiva – Hutang Lancar ) 7. TURN : Penjualan / ( Modal Kerja + Aktiva Tetap ) Gambar 1 Model Kerangka Pemikiran Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. Ha : Terdapat perbedaan nilai kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan model Altman (Z-score) dan model Logit (Zavgren) pada perusahaaan Food and Beverages. Potensi Kebangkrutan Perusahaan Food and Beverages 18 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 METODE PENELITIAN Objek Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada industri food and beverages yang go public di Bursa Efek Jakarta. Pemilihan industri food and beverages dikarenakan industri ini memiliki karakteristik (Weston dan Copeland, 1997:36), yaitu (1) Perusahaan baru mudah untuk memasuki industri sehingga akan menyebabkan peningkatan persaingan antar perusahaan; (2) Perusahaan baru mudah untuk memasuki industri dan kemampuan perusahaan pesaing untuk memperluas kapasitasnya akan menyebabkan perubahan stabilitas margin laba dan pertumbuhan atau stabilitas penjualan dari perusahaan; (3) Karakteristik industri, laba, dan tingkat penjualan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur keuangan suatu perusahaan. Sebagai bukti bahwa perusahaan baru mudah masuk dan bersaing pada industri ini, yaitu industri food and beverages merupakan industri dengan jumlah perusahaan terbanyak pada kelompok manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif, yang dimaksudkankan untuk mengukur dengan cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Jenis penelitian dalam metode deskriptif yang digunakan adalah studi kasus, yang meneliti secara rinci suatu objek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh, termasuk lingkungan dan kondisi masa lalunya (Singarimbun, 1995:9). Dalam rangka menguji hipotesis yang diajukan, penelitian ini pada dasarnya menguji hubungan linier antara variabel independen dengan variabel dependen. Populasi dan Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua perusahaan yang bergerak di bidang food and beverages yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2001-2005. Sedangkan pengambilan sampelnya menggunakan teknik purposive sampling (Adib, 2004:4). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan food and beverage yang memenuhi kriteria (1) Perusahaan food and beverage tersebut terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2001-2005; dan (2) Perusahaan food and beverage tersebut mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang lengkap. Jumlah perusahaan food and beverages yang terdaftar di BEJ tahun 2001 sampai 2005 adalah sebanyak 20 perusahaan dan satu perusahaan datanya tidak lengkap. Jadi, dari 20 perusahaan, hanya 19 perusahaan yang memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel. Perusahaan tersebut adalah PT ades Alfindo Putrasetia Tbk, PT Aqua Golden Mississippi Tbk, PT Cahaya Kalbar Tbk, PT Delta Djakarta Tbk, PT Fast Food Indonesia Tbk, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Mayora Indah Tbk, PT Multi Bintang Indonesia Tbk, PT Putra Sejahtera Pioneerindo Tbk, PT Prasidha Aneka Niaga Tbk, PT Sari Husada TBk, PT Sekar Laut Tbk, PT Siantar Top Tbk, PT Sierad Produce Tbk, PT Suba Indah Tbk, PT Asia Intielera Tbk, PT Tunas Baru Lampung Tbk, dan PT Ultrajaya Milk Industri Tbk. Pengukuran Variabel Variabel Penelitian Model Altman (Z-Score) Variabel-variabel dalam model keuangan Altman (Supardi dan Mastuti, 2003) adalah sebagai berikut. Pertama, working capital total asset (X1) atau modal kerja / total aktiva. Modal kerja yang dimaksud dalam X1 adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio X1 pada dasarnya merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hasil rasio tersebut dapat negatif apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar. Jika dikaitkan dengan indikator-indikator kebangkrutan seperti yang disebutkan di Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 19 atas, maka indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada tingkat likuiditas perusahaan adalah indikator internal seperti ketidakcukupan kas, utang dagang membengkak, utilisasi modal (harta kekayaan menurun), penambahan utang yang tak terkendali, dan beberapa indikator lain. Kedua, retained earnings / total assets (X2) atau laba ditahan/total aktiva. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perubahan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh pada rasio ini semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relatif muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio tersebut rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada awal masa berdirinya. Ketiga, earnings before interest and tax / total assets (X3) atau laba sebelum bunga dan pajak / total aset. Rasio tersebut mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan di antaranya adalah piutang dagang meningkat, rugi terus-menerus dalam beberapa kwartal, persediaan meningkat, penjualan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang serta kesediaan memberi kredit pada konsumen yang tidak membayar pada waktu yang ditetapkan. Keempat, market value equity / book value of deb (X4) atau nilai pasar dari modal / nilai buku hutang. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri. Kelima, sales / total assets (X5) atau penjualan / total aktiva. Rasio ini merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu periode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan revenue. Variabel Penelitian Zavgren (Model Logit) Pertama, average inventories/sales atau persediaan/penjualan. Perusahaan dengan rasio inventories yang tinggi, rasio perputaran persediaan akan menurun. Oleh karena itu, rasio likuiditas jangka pendek dan profitabilitas kesulitan keuangan meningkat. Kedua, average receivables / average inventories atau piutang / persediaan. Perusahaan dengan rasio receivables yang tinggi, secara penerimaan kasnya menurun secara relatif terhadap perputaran persediaan. Oleh karena itu, risiko likuiditas jangka pendek dan profitabilitasnya kesulitan keuangan meningkat. Ketiga, (cash + marketable securities) / total assets atau kas / total aktiva. Perusahaan dengan proporsi kas yang tinggi mempunyai kapasitas untuk membayar hutang jangka pendek sehingga menurunkan probabilitas kesulitan keuangan. Keempat, quick assets / current liabilities atau aktiva lancar / hutang lancar. Rasio cepat yang besar mengindikasikan tingginya kapasitas untuk membayar hutang. Selain itu, kapasitas harta lancer juga tinggi. Dengan rasio cepat yang meningkat, maka probabilitas keuangan menurun. Kelima, income from continuing operations / (total assets – current liabilities) atau laba operasi bersih / (total aktiva – hutang lancar). Yang dimaksud dengan laba operasi bersih adalah kelebihan pendapatan atas harga pokok penjualan dan beban operasi (Setiawan, 2004) atau laba lainnya, laba dari kegiatan tambahan atau sampingan, laba investasi, keuntungan dan kerugian luar biasa. Serta pajak penghasilan (Nugroho W, 1994: 95). Rasio ROI yang tinggi mengindikasikan pengembalian investasi terjadi dalam waktu singkat sehingga menurunkan probabilitas kesulitan keuangan. Keenam, long-term debt / (total assets – current liabilities) atau hutang jangka panjang / (total aktiva – hutang lancar). Proporsi hutang yang tinggi dalam struktur hutang akan meningkatkan probabilitas kesulitan keuangan. Ketujuh, sales /(net working capital + fixed assets) atau penjualan / (modal kerja + aktiva tetap). Merupakan rasio yang tinggi mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memutar asset menjadi penjualan dengan cepat (sehingga cepat pula untuk menjadi kas). Dengan demikian, profitabilitas kesulitan keuangan menurun karena peningkatan rasio tersebut. 20 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang dibutuhkan adalah data sekunder, yaitu data keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi tahun 2001 hingga 2005. Penulis tidak melakukan pengambilan data melalui data primer, tetapi penulis mengambil data sekunder antara lain total aktiva, hutang lancar, kewajiban lancar, nilai ukun, laba ditahan, penjualan total, EBIT, harga per lembar saham, dan jumlah saham yang beredar, dari Indonesia Capital Market Directory tahun 2001 hingga 2005. Metode Analisis Data Metode Analisis Data dengan Model Altman Tahapan analisis data yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan kondisi keuangan dengan menggunakan model altman adalah sebagai berikut. Pertama, menghitung rasio keuangan, yaitu rasio modal kerja / total aktiva sebagai X1, rasio saldo laba / total aktiva sebagai X2, rasio EBIT / total aktiva sebagai X3, rasio nilai pasar modal sendiri / nilai buku hutang sebagai X4, dan rasio penjualan / total aktiva sebagai X5. Kedua, melakukan perhitungan dengan analisis diskriminan yang dikemukakan oleh Altman dengan model berikut: Z-Score = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5. Ketiga, melakukan interpretasi hasil perhitungan atas klasifikasi sesuai perusahaan dapat digolongkan dari hasil nilai Z-Score. Kondisi perusahaan dapat digolongkan sebagai berikut: Z < 1,20 : Perusahaan dalam kondisi potensial bangkrut 1,20 < Z < 2,90 : Perusahaan dalam kondisi kritis / rawan Z > 2,90 : Perusahaan dalam kondisi sehat Metode Analisis Data dengan Model Zavgren Tahapan analisis data yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan kondisi keuangan perusahaan dengan model Zavgren adalah sebagai berikut. Pertama, menghitung rasio keuangan, yaitu: INV : Persediaan / Penjualan REC : Piutang / Persediaan CASH : Kas / Total Aktiva QUICK : Aktiva Lancar / Hutang Lancar ROI : Laba Operasi Bersih / (Total Aktiva – Hutang Lancar) DEB : Hutang Jangka Panjang / (Total Aktiva – Hutang Lancar) TURN : Penjualan / (Modal Kerja + Aktiva Tetap) Kedua, melakukan perhitungan dengan model logit yang dikemukakan oleh zavgren yang dirumuskan sebagai berikut: yi e P + = 1 1 Di mana pangkat y adalah fungsi multivariable, yang terdiri dari konstanta dan koefisien dari sekumpulan variable-variabel, yaitu rasio–rasio keuangan. Sedangkan e adalah bilangan alam yang bernilai 2.1828. Nilai probalitas yang mendekati 1/1 atau 100% dikategorikan dalam kesulitan keuangan. Zavgren menggunakan logit untuk membedakan perusahaan yang bangkrut dan nonbangkrut. Model Zavgren mendefinisikan sebagai berikut: Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 21 Y = 0,23883 – 0,108 (INV) – 1,583 (REC) – 10,78 (CSAH) + 3,074 (QUICK) + 0,481 (ROI) + 4,35 (DEBT) + 0,11 (TURN) Variabel y dengan nilai negatif meningkatkan probalitas kebangkrutan karena akan mengurangi e, y sampai dengan nol, dengan kesimpulan bahwa kebangkrutan akan terjadi apabila probabilitas yang dihasilkan mendekati 1/1 atau 100%. Di samping itu, variabel y dengan nilai positif menurunkan propabilitas kebangkrutan. Dengan demikian, probabilitas kondisional nilai logit berada di antara 0 dan 1 (Hosmer dan lemeshou, 1989 dalam puri respathi, 2003). Ketiga, setelah didapatkan hasil dari metode logit di atas, maka data yang ada diuji lagi dengan statistik karena model logit tidak mempunyai titik cut off untuk mendapat tingkat kepastian yang tinggi. Alat statistik yang digunakan adalah sebagai berikut: Standar deviasi (untuk n Tsv 1 ≤ 30), dengan rumus: ( ) 1 2 − −∑ = n xx SD i Di mana: X 1 = Data ke 1 X = Rata-rata industri n = Jumlah sampel Berikutnya adalah rentang interval, dengan tingkat keyakinan 95% (α =0,05), dengan rumus: n sd tx n sd tx 22 αμα +<<− Batas bawah rentang interval menentukan skor maksimal bagi penentuan suatu perusahaan dikatakan mempunyai kinerja keuangan yang buruk. Sementara itu, batas atas rentang interval menentukan secara minimal bagi penentuan suatu perusahaan dikatakan mempunyai skor di antara kedua batas rentang interval masuk dalam kategori rawan atau kritis terhadap kesulitan yang mengarah pada kebangkrutan. Setelah tahapan-tahapan kedua model di atas selesai dilakukan, kemudian diberikan pembahasan mengenai kondisi keuangan perusahaan yang diteliti sesuai dengan hasil dari masing-masing model. Setelah itu, dilakukan pertandingan hasil antara kedua model tersebut, yaitu model Altman dan Zavgren. Langkah terakhir adalah memberikan penjelasan jika terdapat perbedaan hasil yang menyimpang antara masing-masing model. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis yang dilakukan antara tahun 2001 sampai 2005 adalah sebagai berikut. Pertama, Uji T (Paired Sample Test) tahun 2001. Terlihat bahwa kolom exact. Sig. (2-tailed) / significance untuk uji dua sisi adalah 0,653. Di sini didapat probabilitas di atas 0,05 (0,653 > 0,05) maka H 0 di terima, atau sesungguhnya tidak ada perbedaan pada kondisi keuangan perusahaan Food and Beverages baik menggunakan model Z-Score (Altman ) maupun Zavgren (Model Logit). Kedua, Uji T (Paired Sample Test) tahun 2002. Terlihat bahwa kolom exact. Sig. (2-tailed)/ significance untuk uji dua sisi adalah 0,444. Di sini didapat probabilitas di atas 0,05 (0,444 > 0,05), maka H 0 diterima, atau sesungguhnya tidak ada perbedaan pada kondisi keuangan perusahaan Food and Beverages, baik menggunakan model Z-Score (Altman) maupun Zavgren (Model Logit). 22 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 Ketiga, Uji T (Paired Sample Test) tahun 2003. Terlihat bahwa kolom exact. Sig. (2-tailed)/ significance untuk uji dua sisi adalah 0,369. Di sini didapat probabilitas di atas 0,05 (0,369 > 0,05), maka H 0 diterima, atau sesungguhnya tidak ada perbedaan pada kondisi keuangan perusahaan Food and Beverages, baik menggunakan model Z-Score (Altman) maupun Zavgren (Model Logit). Keempat, Uji T (Paired Sample Test) tahun 2004. Terlihat bahwa kolom exact. Sig. (2-tailed)/ significance untuk uji dua sisi adalah 0,348. Di sini didapat probabilitas di atas 0,05 (0,348 > 0,05), maka H 0 diterima, atau sesungguhnya tidak ada perbedaan pada kondisi keuangan perusahaan Food and Beverages, baik menggunakan model Z-Score (Altman) maupun Zavgren (Model Logit). Kelima, Uji T (Paired Sample Test) tahun 2005. Terlihat bahwa kolom exact. Sig. (2- tailed)/significance untuk uji dua sisi adalah 0,799. Di sini di dapat probabilitas di atas 0,05 (0,799 > 0,05), maka H 0 diterima, atau sesungguhnya tidak ada perbedaan pada kondisi keuangan perusahaan Food and Beverages, baik menggunakan model Z-Score (Altman) maupun Zavgren (Model Logit). SIMPULAN Model analisis yang ditemukan oleh Edward 1 Altman (Z-score) merupakan kombinasi dari berbagai rasio keuangan, yaitu rasio modal kerja/total aktiva, rasio laba ditahan/total aktiva, rasio EBIT/total aktiva, rasio nilai pasar modal sendir/nilai buku hutang, dan rasio penjualan/total aktiva. Dalam model analisis diskriminan ini, terdapat titik cut-off yang mengkategorikan perusahaan dalam 3 kategori, yaitu sehat, kritis, dan potensial bangkrut. Model analisis logit yang ditemukan oleh Chistine V Zavgren menggunakan 7 rasio komponen yang dikombinasikan. Rasio-rasio tersebut adalah 1) INV: persediaan / penjualan, 2) REC: piutang / persediaan, 3) CASH: kas / total aktiva, 4) QUICK: aktiva lancar / hutang lancar, 5) ROI: laba operasi bersih / (total aktiva-hutang lancar), 6) DEB: hutang jangka panjang / (total aktiva–hutang lancar), dan 7) TURN: penjualan / (modal kerja+aktiva tetap). Dalam model analisis logit ini, tidak terdapat titik cut-off. Analisis ini hanya memberikan suatu probabilitas akan 2 kondisi perusahaan, dalam hal bangkrut atau tidak. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, nilai Y dianalisis lanjut lebih akurat sehingga kategori yang dihasilkan sesuai dengan kategori menurut model Altman, yaitu sehat, kritis, dan bangkrut. Dalam hal ini, peneliti menggunakan perhitungan titik cut-off dengan mencari batas atas dan batas bawah rentang interval (dengan tingkat keyakinan 95%) pada perusahaan yang diteliti. Hasil penerapan model Altman dan Zavgren pada keduapuluh perusahaan food and beverages yang terdaftar di BEJ selama periode 2001-2005, dapat dikelompokkan sebagai berikut. Penerapan Model Altman Kategori Jumlah Perusahaan 2001 2002 2003 2004 2005 Sehat 4 6 6 11 9 Kritis 6 6 3 1 3 Potensial Bangkrut 9 7 10 6 7 Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 23 Penerapan Model Zavgren Kategori Jumlah Perusahaan 2001 2002 2003 2004 2005 Sehat 9 6 7 5 3 Kritis 6 4 1 5 4 Potensial Bangkrut 4 9 11 9 12 Dari perbandingan hasil antara model Altman dan Zavgren, terdapat beberapa perusahaan yang berbeda hasil. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari model-model itu sendiri, di mana penggunaan rasio seperti inilah yang akhirnya dapat menyebabkan perbedaan pengkategorian kondisi keuangan perusahaan. Kedua metode ini sama-sama merupakan cara untuk mengingatkan akan masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan memberikan petunjuk- petunjuk yang berguna untuk menghindari kesulitan keuangan perusahaan di masa depan. Penggunaan metode tergantung dari persepsi perusahaan dalam menafsirkan kondisi keuangannya dengan lebih condong melihat ke rasio yang ditentukan. Analisis kebankrutan dengan menggunakan model Altman (Z-score) dengan model logit (Zavgren) dari periode 2001-2005, untuk sampel penelitian adalah tidak terbukti dikarenakan kedua metode tidak berbeda. Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut. Kedua model yang digunakan dalam penelitian ini mengandung keterbatasan. Pertama, model Altman (Z-score). Model yang ditemukan oleh Altman dibentuk di Amerika Serikat, yang tentunya nilai-nilai koefisien dalam model Altman juga dibentuk berdasarkan karakteristik perekonomian. Amerika Serikat seperti kita ketahui bahwa kondisi atau karakter perekonomiannya berbeda dengan Indonesia, misalnya sistem perpajakan Amerika Serikat berbeda dengna Indonesia. Perbedaan tersebut bisa menyebabkan berkurangnya tingkat akurasi model Altman untuk memprediksi kegagalan keuangan atau kebangkrutan perusahaan jika ditetapkan di indonesia. Z-score yang digunakan mengacu pada Altman yang lebih ditujukan pada sektor perbankan. Pada model Altman, dapat kita ketahui bahwa tidak ada penegasan/pemisahan antara satu kelompok industri dengan kelompok industri lainnya. Hal ini dapat menimbulkan anggapan bahwa metode Altman seakan-akan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua kelompok industri. Padahal harus diingat bahwa antara satu kelompok industri dengan kelompok industri lainnya mempunyai karakteristik yang berbeda. Kedua, model Zavgren (Logit). Dalam model ini, pengkategorian kondisi keuangan perusahaan didasarkan pada nilai probabilitas, yaitu antara 0 dan 1, di mana nilai probabilitas perusahaan yang mendekati 1 atau 100% berarti bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Kelemahan dari model ini adalah tidak mengklasifikasikan kondisi keuangan perusahaan menjadi 3 kategori, yaitu sehat, kritis, dan potensial bangkrut/tidak sehat. Hal tersebut akan dengan jelas kategori kondisi keuangan perusahaan tersebut. Oleh karena itu, penulis menggunakan rentang interval untuk mencari titik cut-off. Dalam perhitungan rentang interval, perusahaan yang di masa datang dalam perhitungan hanya perusahaan food and baverages yang terdaftar di BEJ. Hasil perhitungan rentang interval akan lebih akurat apabila perusahaan food and baverages yang tidak terdaftar di BEJ juga ikut dimasukkan dalam perhitungan kedua. Keterbatasan penelitian berikutnya adalah model analisis dalam penelitian ini hanya digunakan untuk mengidentifikasikan atau menentukan posisi keuangan perusahaan sehingga ketepatan atau keakuratan kedua model analisis tidak tampak dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, konsep kedua model analisis menekankan kepada bagaimana sebuah perusahaan dapat diprediksikan akan mengalami kebangkrutan. Selanjutnya, model analisis yang digunakan dalam 2 model, yaitu model altman dan Zavgren. Analisis akan lebih baik jika model-model lain juga ikut 24 Journal The WINNERS, Vol. 11 No. 1, Maret 2010: 12-25 digunakan. Walaupun demikian, kedua model yang digunakan dalam penelitian ini tetap merupakan alat yang dapat dipakai, sebagaimana pedoman dalam mebantu mengevalusi kondisi keuangan perusahaan. Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan di atas, maka diajukan saran-saran yang diharapkan menjadi bahan pertimbangan, yaitu sebagai berikut. Dengan mengacu pada aplikasi kedua model yang digunakan, maka bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan penilaian. Kondisi perusahaan seperti investor/perusahaan itu sendiri, maka hendaknya tetap mengkombinasikan penggunaan model penilaian-penilaian yang ada dan juga disarankan untuk menganalisis lebih jauh terhadap laporan keuangan perusahaan secara menyeluruh karakteristik yang berbeda pada rasio-rasio pembentuknya. Agar perusahaan mampu beroperasi/beraktivitas secara lancar, hal ini juga melihat pada kondisi keuangan perusahaan food and beverages. Pada umumnya, perlunya suatu tambahan modal kerja yang akan berpengaruh terhadap kesehatan perusahaan. Perusahaan bisa melakukan berbagai alternatif penambahan modal baru, misalnya melempar saham baru ataupun investasi lainnya pada surat berharga seperti obligasi atau lainnya, misalnya (1) Adanya bahan baku impor yang harus seperti obligasi atau keuangnya perusahaan food and baverage, maka harus bisa menghasilkan produk bahan baku yang memiliki kualitas sama dengan bahan baku impor sebagian industri makanan akan membawa hasil dengan terpenuhinya bahan baku dalam negeri ataupun harus mengimpor yang tentu saja akan memakan biaya yang besar; (2) Pemerintah juga harus turun tangan dalam memproteksi industri dalam negeri, khususnya industri makanan. Dengan memproteksi industri dalam berindustri ini seperti melakukan kebijakan kenaikan bea impor sehingga hal ini biasa mengoptimalkan proses industri aplikasi dalam negeri; (3) Bagi peneliti selanjutnya dapat mengkombinasikan model Altman atau Zavgren dengan model-model analisis lainnya untuk mengevaluasi kondisi keuangan perusahaan yang diteliti. Dengan semakin banyaknya model analisis yang digunakan, maka kesimpulan mengenai kondisi keuangan perusahaan akan lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Agustiono dan Puspitosari, D.I. (April, 2004). Analisis z-score dalam memprediksi kebangkrutan bank go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Jurnal Eksekutif, 1(1). Altman, E. (September, 1968). Financial ratios, discriminant analysis and the prediction of corporate bankruptcy. Journal of Finance, vol. 4. Altman, E., Haldeman, R., and Narayanan, P. (June, 1977). ZETA analysis: A new model to identify bankruptcy risk of corporations. Journal of Banking and Finance, vol. 5. Altman, E., Hartzell, J., and Peck, M. (1995). Emerging markets corporate bonds: A scoring system, New York: Salomon Brothers Inc. Anonym. (January, 1968). Alternative accounting measures as predictors of failure. Accounting Review. Anonym. (May, 1989). How a bankruptcy model could be incorporated as an analytical procedure: A logistic analysis. The CPA Journal Online. Anonym. (1983). The prediction of corporate failure. The State of the Art, Journal of Accounting Literature 2, p. 1-37. Kebangkrutan Perusahaan .....(Yeni Agustina; Rahmawati) 25 Anonym. (July, 2000). Predicting financial distress of companies: Revisiting the z-score and zeta models. Journal of Banking and Finance. Beaver, W. (January, 1967). Financial ratios as predictors of failures," in empirical research in accounting, selected studies. Journal of Accounting Research. Deakin, E.B. (1994). A discriminant analysis of predictors of business failure. Journal of Accounting Research. Fisher, L. (June, 1959). Determinants of risk premiums on corporate bonds. Journal of Political Economy. Gibson, B.N. (1998). Bankruptcy prediction: The hidden impact of derivatives. Journal of Banking and Finance, vol. 6. Hananto. (1984). Analisis laporan keuangan, edisi 1, Yogyakarta: BPFE. Harahap, S.S. (2001). Teori akuntansi edisi revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hendricks, D. (April, 1996). Evaluation of value-at-risk models using historical data. Economic Policy Review, New York: FRBNY. Jensen, R. (April 1998). Legal settlement exit value amortization rate accounting for custom interest rate swaps having no market trading. Retrieved from www.trinity.edu/~rjensen/231wp/231wp.html. Lo, A.W. (March, 1986). Logit versus discriminant analysis: A specification test and application to corporate bankruptcies. Journal of Econometrics 31, p. 151-179. Mastuti, S., dan Supardi. (2003). Validitas penggunaan z-score altman untuk menilai kebangkrutan pada perusahaan perbankan go publik di Bursa Efek Jakarta. Kompak, No.7, Januari-April, 68- 93. Setyorini dan Halim, A. (2002). Studi potensi kebangkrutan perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta tahun 1996-1998. Kompak, No.5, Mei, 221-239. Stickney, C.P. (1996). Financial reporting and statement analysis, 3rd ed., Ft. Worth, TX: The Dryden Press. Sularso, S. (2003). Buku pelengkap penelitian akuntansi: Sebuah pendekatan replikasi, Yogyakarta: BPFE. Supardi dan Mastuti, S. (2003). Validitas penggunaan z-score altman untuk menilai kebangkrutan pada perusahaan perbankan go publik di Bursa Efek Jakarta. Kompak, No.1, Januari-April, 68-69. Wilopo. (2001). Prediksi kebangkrutan bank. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 4(2), Mei, p.181-198. Zavgren, C.V. (1985). Assessing the vulnerability to failure of american industrial firms: a logistic analysis. Journal of Business Finance and Accounting, 12, p.19-46. Zmijewski, M.E. (1984). Methodological issues related to the estimation of financial distress prediction models. Journal of Accounting Research, 22, p.59-82.