microsoft word 05-oppisen jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.137-143 penerimaan pajak reklame dan faktor-faktor yang mempengaruhinya opissen yudisyus institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia e-mail korespondensi: inspectjogya@yahoo.com naskah diterima: desember 2012; disetujui: september 2013 abstract: the advertisement tax is the biggest source of taxation for yogyakarta. since 2003 until the fourth quarter of 2012, the advertisement tax keeps increasing. this study aims to know the factors influencing the acceptance of the advertisement tax in yogyakarta. the regression model that is used is the multiple linier regression model with the ordinary least square (ols) method. the result shows that independent variables such as pdrb, a number of people, and a number of industries have a significant impact toward advertisement tax. keywords: advertisement tax; product domestic regional bruto; industry; tax revenue jel classification: h25, h71 abstrak: pajak reklame merupakan sumber penerimaan pajak daerah yang penting bagi kota yogyakarta. hal ini terbukti selama kuartal 1 tahun 2003 sampai dengan kuartal 4 tahun 2012 pajak reklame mengalami peningkatan. tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan pajak reklame kota yogyakarta. model regresi yang digunakan adalah regresi linier berganda (multiple linier regressionmethod) dengan metode kuadrat terkecil atau ordinary least square (ols). hasil uji secara simultan menunjukkan bahwa secara keseluruhan variabel independen (pdrb, jumlah penduduk, dan jumlah industri) secara bersama-sama dapat menunjukkan pengaruhnya terhadap penerimaan pajak reklame secara signifikan. kata kunci: pajak reklame; product domestic regional bruto; industri; penerimaan pajak klasifikasi jel: h25, h71 pendahuluan pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah, serta memperhatikan penataan ruang fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah (gbhn, 1999) merupakan tujuan dari pembangunan nasional, serta untuk mencapai tingkat pembangunan yang tinggi dan tetap menjaga kestabilan ekonomi. pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (lincolin arsyad, 2010). oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kinerja daerah dan kesejahteraan masyarakat. untuk itu tahun 2000 diberlakukan otonomi daerah yang ditandai dengan dikeluarjurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 137-143 138 kannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. otonomi daerah berdasarkan undangundang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. kebijakan otonomi daerah membawa konsekuesi adanya suatu political will untuk melakukan penyebaran kekuasaan (dispersed of power) yang merupakan tuntutan global, di mana peranan publik semakin dominan dalam proses pengambilan keputusan. melalui kebijakan pemencaran kekuasaan akan dihindari praktek-praktek politiktirani, otoriter dan eksploitatif. dengan kebijakan otonomi daerah peran pemerintah daerah yaitu kabupaten atau kota menjadi semakin signifikan dan mereka juga dituntut secara kreatif untu dapat menawarkan dan menggali potensi dan kekayaan di daerahnya (yuliadi, 2001). salah satu maksud pemberian hak otonomi daerah agar pemerintah daerah dapat menggali potensi dan sumber-sumber keuangan daerah guna membiayai pelaksanaan pembangunan dan memaksimalkan penerimaan daerahnya, termasuk memaksimalkan pendapatan asli daerah (pad) dan pajak daerah di daerah otonom bersangkutan. sumber-sumber potensi pendapatan daerah yang dimiliki oleh suatu daerah akan mempengaruhi kekuatan keuangan sekaligus menentukan tingkat kemandirian suatu daerah otonom. semakin besar penerimaan pad suatu daerah, maka semakin rendah ketergantungan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah pusat. sebaliknya, semakin rendah penerimaan pad suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat ketergantungan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah pusat. oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut optimal dalam menggali sumber pendapatan di daerahnya dalam rangka memperoleh devisa dan mengakumulasi dana bagi daerahnya guna melaksanakan pembangunan. dengan demikian peran pendapatan asli daerah (pad) menjadi sangat penting sebagai sumber pembiayaan pemerintah daerah karena merupakan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana proporsi pad terhadap total penerimaan merupakan indikasi “derajat kemandirian” keuangan suatu pemerintah daerah. salah satu komponen pendapatan asli daerah yang mempunyai kontribusi dan potensi terbesar di kota yogyakarta adalah pajak daerah. beberapa macam pajak yang dipungut oleh pemerintah kota yogyakarta diantaranya yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak air bawah tanah, pajak bumi dan bangunan (pbb), pajak sarang burung walet, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (bphtb). terdapat satu jenis pajak yang menarik dari semua pajak yang dikelola oleh pemerintah kota yogyakarta, yaitu pajak reklame. pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. pajak reklame dikenakan dengan alasan bahwa reklame dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan didengarkan dari suatu tempat umum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah. mencermati penerimaan pendapatan asli daerah, pajak daerah dan pajak reklame kota yogyakarta pada 2010:q1–2012:q4 seperti yang terlihat pada tabel 1, diketahui bahwa nilai dari pendapatan asli daerah (pad) mengalami peningkatan dengan nilai pertumbuhan cenderung meningkat. hal tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan pertumbuhan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan. sementara penerimaan pajak reklame mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir walaupun mempunyai pertumbuhan yang relatif rendah dan tidak sebanding dengan pertumbuhan penerimaan pajak yang lain secara keseluruhan. bila dilihat dari kontribusinya bagi pajak daerah, pajak reklame sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang berpotensi dan dapat memberikan kontribusi yang maksimal apabila dilakukan pemungutan secara efisien, efektif, dan transparan sehingga dapat lebih berperan dalam usaha peningkatan pendapatan asli daerah di kota yogyakarta. mencermati penerimaan pajak reklame ... (opissen yudisyus) 139 perkembangan kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah sesuai yang terlihat pada gambar 1 terlihat kontribusi pajak reklame mengalami penurunan, namun realisasi penerimaan pajak reklame setiap kuartalnya mengalami peningkatan walaupun masih cukup kecil dibanding jenis pajak lain yaitu rata-rata sebesar rp3.851.211.672/tahun. hal ini membuktikan bahwa pajak reklame bukan pajak unggulan di kota yogyakarta. tetapi cukup menarik untuk diteliti, melihat kenyataan di lapangan banyak reklame ditemukan di tempat-tempat umum maupun di ruas jalan namun kontribusinya masih kecil. sumber : dpdpk kota yogyakarta, diolah gambar 1. kontribusi pajak reklame terhadap pajak daerah kota yogyakarta, 2010:q1 – 2012:q4 (persen) mencermati perkembangan penerimaan dan kontribusi pajak reklame kota yogyakarta, terlihat ada beberapa faktor yang menyebabkan penerimaan pajak reklame relatif kecil. menurut nurmayasari (2010), dalam studinya membuktikan bahwa jumlah penduduk berpengaruh terhadap jumlah penerimaan pajak reklame. pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor yang positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. penduduk dianggap sebagai pemacu pembangunan. banyaknya jumlah penduduk akan memacu kegiatan produksi, konsumsi dari penduduk inilah yang akan menimbulkan permintaan agregat. pada gilirannya, peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara keseluruhan (dumairy, 1999). nurmayasari (2010) dalam studinya menyimpulkan bahwa pdrb berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. pdrb merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah/wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah pada suatu periode tertentu (bps, 2009). salah satu faktor penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah tertentu dalam suatu periode tertentu dapat ditunjukkan oleh data pdrb daerah tersebut. apabila nilai pdrb mengalami peningkatan maka akan membawa pengaruh positif pada kenaikan penerimaan daerah. semakin tinggi pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan tabel 1. pendapatan asli daerah, pajak daerah dan pajak reklame kota yogyakarta 2010:q1-2012:q4 (rp) tahun dan kuartal pendapatan asli daerah (rp) pertumbuhan pad (persen) pajak daerah (rp) pertumbuhan pd (persen) pajak reklame (rp) pertumbuhan pr (persen) 2012:q1 72.036.157.892 43,45 46.639.587.326 28,82 1.492.468.321 16,38 2012:q2 79.854.881.562 47,19 50.121.894.872 30,90 1.547.470.333 16,05 2012:q3 88.619.263.472 49,60 53.953.651.116 32,49 1.603.466.274 15,74 2012:q4 98.329.303.622 50,90 58.134.856.060 33,62 1.660.456.144 15,43 2011:q1 50.217.845.602 19,73 36.204.844.131 16,51 1.282.399.556 11,52 2011:q2 54.253.936.316 24,56 38.289.356.881 19,63 1.333.425.854 16,55 2011:q3 59.235.685.268 29,72 40.723.318.331 22,64 1.385.446.081 19,76 2011:q4 65.163.092.460 35,02 43.506.728.479 25,47 1.438.460.237 21,05 2010:q1 41.942.759.930 10,15 31.074.961.965 6,71 1.149.929.080 -9,40 2010:q2 43.556.765.010 9,66 32.007.095.479 7,57 1.144.097.865 -9,65 2010:q3 45.662.912.555 10,86 33.206.872.505 9,23 1.156.887.844 -7,90 2010:q4 48.261.202.564 13,60 34.674.293.044 11,66 1.188.299.019 -4,08 sumber : dpdpk kotayogyakarta, diolah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 137-143 140 seseorang untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan pemerintah, sehingga semakin tinggi pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membayar pajak daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintah. menurut vera fransisca p (2013) dan dini nurmayasari (2010) jumlah industri mempunyai pengaruh positif terhadap penerimaan pajak reklame. jumlah industri adalah jumlah usaha industri baik industri kecil, menengah maupun besar yang ada di kota yogyakarta. industri yang menggunakan jasa pemasangan reklame secara otomatis akan mempengaruhi besarnya pad yang diterima kota yogyakarta. hal ini disebabkan apabila suatu industri yang ingin memasarkan produknya dapat menggunakan atau memasang reklame agar dapat diketahui oleh masyarakat. bertambahnya jumlah industri yang memasang reklame mengakibatkan obyek pajak bertambah luas, sehingga penerimaan daerah pun meningkat. altim setiawan (2009) menyimpulkan dalam studinya bahwa klasifikasi jalan merupakan prioritas utama dalam tingkat kepentingan nilai strategis lokasi pemasangan reklame, urutan berikutnya adalah sudut pandang, ketinggian dan guna lahan. secara tidak langsung faktorfaktor tersebut mempengaruhi nilai penerimaan pajak reklame. sementara vera fransisca pesik (2012) menyimpulkan kelas jalan berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. hal ini menunjukkan panjang jalan disuatu daerah mempengaruhi tingkat penerimaan pajak reklame. semakin panjang jalan semakin banyak pilihan ruang untuk tempat pemasangan reklame. penggunaan ruas jalan untuk penempatan reklame sebagai media promosi dan publikasi suatu produk ataupun kegiatan merupakan hal yang lazim dilihat disepanjang jalan baik di pertigaan jalan, perempatan jalan maupun jalan-jalan yang ramai dilalui. panjang jalan yang dimaksud disini adalah panjang jalan secara keseluruhan yang ada di kota yogyakarta. berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan studi lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak reklame khususnya di kota yogyakarta. metode penelitian obyek studi ini adalah penerimaan pajak reklame kota yogyakarta, pdrb, jumlah penduduk, jumlah industri, dan panjang jalan di kota yogyakarta selama kurun waktu sepuluh tahun mulai dari tahun 2003–2012 dalam bentuk data kuartal. data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. studi ini bersifat studi kasus dengan menentukan lokasi studi di kota yogyakarta. data yang digunakan adalah data sekunder selama sepuluh tahun dalam bentuk kuartal. adapun data yang digunakan adalah penerimaan pajak reklame kota yogyakarta pada tahun dan kuartal 2003:q1–2012:q4; pdrb atas dasar harga konstan tahun 2000 kota yogyakarta pada tahun dan kuartal 2003:q1–2012:q4; jumlah penduduk kota yogyakarta pada tahun dan kuartal 2003:q1–2012:q4; jumlah industri kota yogyakarta pada tahun dan kuartal 2003:q1–2012:q4; panjang jalan kota yogyakarta pada tahun dan kuartal 2003:q1 – 2012:q4 data-data sekunder yang digunakan dalam studi ini diperoleh dari publikasi instansiinstansi pemerintah yaitu badan pusat statistik (bps) daerah istimewa yogyakarta, dinas pajak daerah dan pengelolaan keuangan (dpdpk) kota yogyakarta. data yang diperoleh dari berbagai sumber dalam bentuk tahunan kemudian diubah menjadi data kuartalan. teknik pengumpulan data dengan cara penelusuran secara fisik dengan menggunakan pustakawan dan referensi pustakawan dan langsung ke instansi terkait yaitu, dinas pajak daerah dan pengelolaan keuangan (dpdpk) kota yogyakarta, badan pusat statistik (bps) daerah istimewa yogyakarta. dalam menganalisis besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen maka digunakan model ekonometrik dengan cara meregresikan variabel-variabel yang telah ada dengan menggunakan metode ordinary least square (ols). dalam studi ini permasalahan yang akan dibahas adalah sejauh mana pdrb, jumlah penduduk, jumlah industri, dan panjang jalan berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame selama kuartal 1 tahun 2003 sampai kuartal 4 tahun 2012. fungsi matematikanya dapat dituliskan sebagai berikut: penerimaan pajak reklame ... (opissen yudisyus) 141 pr = f(x1,x2,x3x4) 1) kemudian fungsi tersebut dinyatakan dalam hubungan y dan x maka, pr = αx1β1 x2β2 x3β3 x4β4 2) persamaan di atas diubah ke dalam bentuk linier berganda menjadi: pr = α + β1pdrb + β2pddk + β3indt + β4pjln+ µ 3) di mana: pr adalah penerimaan pajak reklame (rupiah); α adalah intercept/konstanta; β1 β2 β3 β4 adalah koefisienregresi; pdrb adalah pdrb (rupiah); pddk adalah jumlah penduduk; indt adalah jumlah industri; pjln adalah panjang jalan; µ adalah term of error. dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dan metode ols akan menghasilkan koefisien regresi dari masing-masing variabel yang merupakan estimasi dari masingmasing faktor yang berpengaruh dan sejauh mana pengaruh dari faktor-faktor tersebut secara bersama-sama dalam mempengaruhi penerimaan pajak reklame. selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis yang meliputi uji secara parsial (uji-t) dan uji secara serempak (uji-f). hasil dan pembahasan tabel 2. hasil regresi variabel koefisien (t-stat) konstanta -18,19224 (-4,1521)** pdrb 2,892194 (5,1367)** pddk indt 1,361425 (2,8923)** 0,842058 (0,4957)*** r-square 0,9253 fstat 148,7497** dw stat 0,1929 * signifikanpada level 1 persen; ** signifikanpada level 5 persen; *** signifikanpada level 10 persen hasil uji pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilihat pada tabel 2. berdasarkan perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: pr = -18,1922 + 2,8921 pdrb + 1,3614 pddk + 0,8420 indt mencermati tabel 2 terlihat hasil koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas dan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) koefisien regresi dari konstanta sebesar -18,19224, dapat diartikan apabila semua variabel bebas (pdrb, pddk, indt) dianggap konstan atau tidak mengalami perubahan maka penerimaan pajak reklame (pr) sebesar: -18,19224. 2) koefisien regresi dari pdrb sebesar: 2,892194, dapat diartikan apabila pdrb meningkat sebesar 1 persen per tahun maka penerimaan pajak reklame akan meningkat sebesar 2,89 persen. koefisien pdrb bernilai positif, yang bermakna pdrb memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak reklame. peningkatan 1 persen pada pdrb akan meningkatkan penerimaan pajak reklame sebesar 2,89 persen. dengan asumsi varaibel yang lain, yaitu jumlah penduduk dan jumlah industri tetap. 3) koefisien regresi dari jumlah penduduk (pddk) sebesar 1,361425, dapat diartikan apabila jumlah penduduk meningkat 1 persen maka penerimaan pajak reklame akan mengalami perubahan atau meningkat sebesar 1,36 persen. koefisien jumlah penduduk bernilai positif, yang bermakna jumlah penduduk memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak reklame. peningkatan 1 persen pada jumlah penduduk akan meningkatkan penerimaan pajak reklame sebesar 1,36 persen. dengan asumsi variabel yang lain, yaitu pdrb dan jumlah industri tetap. 4) koefisien regresi dari jumlah industri (indt) sebesar 0,842058, dapat diartikan apabila jumlah industri meningkat 1 persen maka penerimaan pajak reklame akan mengalami perubahan atau meningkat sebesar 0,84 persen. koefisien jumlah industri bernilai positif, yang bermakna jumlah industri memiliki hubungan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 137-143 142 positif terhadap penerimaan pajak reklame. peningkatan 1 persen pada jumlah industri akan meningkatkan penerimaan pajak reklame sebesar 0,84 persen. dengan asumsi variabel yang lain, yaitu pdrb dan jumlah penduduk tetap. berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil regresi dari masing-masing variabel bebas dengan nilai t-statistik dan tingkat signifikansinya. hasil pengujian tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) pengujian terhadap variabel pdrb variabel pdrb mempunyai nilai t-statistik sebesar 5,1367 dengan nilai probabilitasnya 0,0000, maka hasil regresi tersebut signifikan pada taraf signifikansi 5 persen. pdrb secara statistik berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. hal ini diperkuat dengan koefisien regresi bernilai positif atau mempunyai hubungan positif dengan penerimaan pajak reklame. 2) pengujian terhadap variabel jumlah penduduk (pddk) variabel jumlah penduduk (pddk) mempunyai nilai t-statistik sebesar 2,8923 dengan nilai probabilitasnya 0,0064, maka hasil regresi tersebut signifikan pada taraf signifikansi 5 persen. jumlah penduduk secara statistik berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. hal ini diperkuat dengan koefisien regresi bernilai positif atau mempunyai hubungan positif dengan penerimaan pajak reklame. 3) pengujian terhadap variabel jumlah industri (indt) variabel jumlah industri (indt) mempunyai nilai t-statistik sebesar 0,4957 dengan nilai probabilitasnya 0,623, maka hasil regresi tersebut signifikan pada taraf signifikansi 10 persen. jumlah industri secara statistik berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. hal ini diperkuat dengan nilai koefisien regresi jumlah industri bernilai positif atau mempunyai hubungan positif dengan penerimaan pajak reklame. simpulan studi ini menyimpulkan bahwa pertama, variabel yang digunakan dalam studi ini adalah pdrb, jumlah penduduk, jumlah industri, dan panjang jalan. hasil studi menyatakan bahwa hanya variabel pdrb, jumlah penduduk, dan jumlah industri yang mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan pajak reklame. kedua, variabel produk domestik regional bruto (pdrb) signifikan terhadap penerimaan pajak reklame (pr) kota yogyakarta dengan nilai t-statistik sebesar 5,1367 dan probabilitas sebesar 0,0000. koefisien regresi berpengaruh positif dengan nilai sebesar 2,892194 sehingga peningkatan 1 persen pdrb akan mening-katkan penerimaan pajak reklame sebesar 2,89 persen. ketiga, variabel jumlah penduduk (pddk) signifikan terhadap penerimaan pajak reklame (pr) kota yogyakarta dengan nilai tstatistik sebesar 2,8923 dan probabilitas sebesar 0,0259. koefisien regresi berpengaruh positif dengan nilai sebesar 1,361425 sehingga bertambahnya 1 persen jumlah penduduk akan meningkatkan penerimaan pajak reklame sebesar 1,36 persen. keempat, variabel jumlah industri (indt) signifikan terhadap penerimaan pajak reklame (pr) kota yogyakarta pada taraf signifikansi 10 persen dengan nilai t-statistik sebesar 0,4957 dan probabilitas sebesar 0,623. koefisien regresi berpengaruh positif dengan nilai sebesar 0,842058, yang bermakna peningkatan 1 persen jumlah industri akan meningkatkan penerimaan pajak reklame sebesar 0,84 persen. kelima, terdapat beberapa implikasi kebijakan yaitu pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan pembangunan dan masyarakat hendaknya meningkatkan peran faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan pajak reklame. dapat menjaga pertumbuhan pdrb kota yogyakarta bahkan meningkatkan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi penerimaan pajak reklame. mengintensifkan dan meningkatkan peran industri sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap penerimaan pajak reklame kota yogyakarta. daftar pustaka lincolin, a. (2010). ekonomi pembangunan. edisi kelima. cetakan pertama. yogyakarta: upp stim ykpn. badan pusat statistik. indikator ekonomi kota yogyakarta berbagai tahun. yogyakarta: bps. penerimaan pajak reklame ... (opissen yudisyus) 143 badan pusat statistik. (tt). kota yogyakarta dalam angka berbagai tahun.yogyakarta: bps. badan pusat statistik. (tt). produk domestik regional bruto kota yogyakarta menurut lapangan usaha berbagai tahun. yogyakarta: bps. dumairy. (1999). perekonomian indonesia. jakarta: erlangga. nurmayasari, dini. (2010). analisis penerimaan pajak reklame kota semarang. skripsi. semarang: fakultas ekonomi universitas diponegoro. pemerintah kota yogyakarta. (2012). buku data status lingkungan hidup kota yogyakarta tahun 2012. yogyakarta: pemkot diy. peraturan daerah kota yogyakarta nomor 1 tahun 2011 tentang pajak daerah. peraturan walikota yogyakarta nomor 2 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan walikota yogyakarta nomor 51 tahun 2011 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan daerah kota yogyakarta nomor 1 tahun 2011 tentang pajak daerah. peraturan walikota yogyakarta nomor 51 tahun 2011 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan daerah kota yogyakarta nomor 1 tahun 2011 tentang pajak daerah. peraturan walikota yogyakarta nomor 26 tahun 2010 tentang masterplan reklame dan alat peraga di kota yogyakarta. peraturan walikota yogyakarta nomor 74 tahun 2009 tentang izin penyelenggaraan reklame. pesik, v. f. (2013). faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak reklame di kota manado. jurnal emba, vol. 1 no 3, september 2013:804–812. altim, s. (2009). kajian faktor nilai strategis lokasi dalam penempatan reklame di kota palu. jurnal “ruang”. vol 1 no 1 sept 2009. yuliadi, i. (2001). aspek ekonomi kebijakan otonomi daerah. jurnal ekonomi dan studi pembangunan vol 2 no 1 april 2001. universitas muhammadiyah yogyakarta. microsoft word 01-diah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.1-8 pro poor strategies using sharia microfinancing in indonesia: case study of baitul maal wat tamwil (bmt) diah setyawati dewanti faculty of economic, universitas muhammadiyah yogyakarta jl. lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone +62 274 387656 correspondence e-mail: d.dewanti@yahoo.com received: september 2012; accepted: february 2013 abstract: poverty is the most recent problem for lots of countries in this century. lots of countries handled the poverty through economic policies which is influence by their own major religion belief. in indonesia, more than 87 percent belief in islam, but the stakeholder run the economics system in conventional economics. even though the primary economic principle that indonesia use is conventional, but in financing system for the society, indonesia using 2 methods; which are conventional and sharia financing system. the purposes of this study is to explore the products and approaches in sharia ways in microfinance which are pro poor strategies. it will describe the principal, products and also the effectiveness of performance for bmt help the poor people in rural areas. nowadays, bmt develop in indonesia for more than 3.300 unit and give loan to more than 1,5 million small and micro entrepreneurs. in this paper, it also explore one of the bmt in the bantul district, yogyakarta province as the case studies. this bmt called as bmt matahari which implement the proper sharia principles in banking system. in the last section of this journal will describe the weakness and strengthen of bmt among other microfinance. keywords: bmt (baitul maal wat tamwil); sharia-microfinance; poverty; economic policy jel classification: g21 abstrak: kemiskinan adalah masalah terbaru untuk banyak negara di abad ini. banyak negara menangani kemiskinan melalui kebijakan ekonomi yang dipengaruhi oleh keyakinan agama utama mereka sendiri. di indonesia, lebih dari 87 persen kepercayaan islam, tetapi stakeholder menjalankan sistem ekonomi dalam ekonomi konvensional. walaupun prinsip ekonomi utama yang digunakan indonesia adalah konvensional, namun dalam sistem pembiayaan bagi masyarakat, indonesia menggunakan 2 metode yaitu sistem pembiayaan konvensional dan syariah. tujuan dari studi ini adalah untuk mengeksplorasi produk dan pendekatan dengan cara syariah di keuangan mikro yang strategi miskin pro. ini akan menjelaskan pokok, produk dan juga efektifitas kinerja untuk bmt membantu orang-orang miskin di daerah pedesaan. saat ini, bmt berkembang di indonesia selama lebih dari 3.300 satuan dan memberikan pinjaman kepada lebih dari 1,5 juta pengusaha kecil dan mikro. dalam tulisan ini, juga mengeksplorasi salah satu bmt di kabupaten bantul, provinsi yogyakarta sebagai studi kasus. bmt ini disebut sebagai bmt matahari yang menerapkan prinsip syariah yang tepat dalam sistem perbankan. pada bagian terakhir dari jurnal ini akan menjelaskan kelemahan dan memperkuat bmt antara keuangan mikro lainnya. kata kunci: bmt (baitul maal wa tamwir); keuangan mikro syariah; kemiskinan; kebijakan ekonomi klasifikasi jel: g21 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 1-8 2 introduction religion belief is a human characteristic which is neglected with development practice and theory. religious principles and social teaching could positively contribute to poverty alleviation. more than 87% indonesia population beliefs in islam and it make the performance for all sector influenced by it. in the economic sector, for the purposing of the poverty alleviation, is the biggest challenge for the country. in indonesia itself, approximately 11,66% lived under the poverty line in 2012. moreover, the number of poor people were appear because of the inequality problem. with this fact, the government of indonesia need to put poverty alleviation policies as the important agenda in every year. one of the economic instrument to reduce the poverty that discuss in this paper is banking system. in indonesia, the implementation of banking system were divide into two classification, which are conventional and ‘sharia’ banking. conventional banking is the banking system based on the economic system that applied until recently and it based on the international regulation. otherwise, the sharia banking system rely on the mix between conventional and islam principles. in the islam tenets, poverty alleviation is one of the most important principle, and the god command for all the moslem to eradicate poverty and help poor through charities. mainly forms as zakat, infaq, shadaqah (abbreviated as zis) and waqf. the activities already appear since the era of prophet muhammad. at the moment, prophet muhammad also established baitul maal, it is the house of treasure and employed to address the problem of poverty in the societies. it include the basic safety nets for the needs, socio-economic empowerment to tight the disparity among citizens and also natural resource management for the human being welfare. islam and pro poor strategies. muslim not only teach to concern with religious or spiritual practice, but also teach how to have social etiquette and social relationship. islam also teach to take care each others and seeks social justice for the poor and disempowered citizens. in the al qur’an (the holy bible of islam) stated as a central tenet of muslim faith: righteousness is not to turn your faces towards the east and the west; the righteousness is her who believes in allah, the last day, the angels, the book and the prophets; who gives of this money, in spite of loving it, to the near of kin, the orphans, the needy, the wayfarers and the beggars, and for the freeing of slaves; who performs the prayers and pays the alms-tax. such are those who keep their pledges once they have made them, and endure patiently privation, adversity and times of fighting. (qur’an 2: 177). shepherd (2009) stated that islamic social teaching is most relevant to development for the equality. it proof that equality is clearly evident in its approach to the allocation of scarce resources. after the prophet muhammad passed away, he stated clearly that muslim are equal and deserve respect, means at that moment, in social relations indicate of how powerful the sense of equality was. moreover, the inequality is the initial problem of the poverty in this world; non equal access and opportunities in society. based on this discussion, narrowing the description that islam is really concern of poverty alleviation. as the former discussion about distribute the charities, zis, to the poor, is one of the pro poor instruments in islam. zakat in arabic means as to grow or to increase, but when referred to people, it means to improve or to become better (qardhawi, 2009). in sharia, it means to determined the share of wealth prescribed by god to be distributed among deserving categories. zakat is a kind of charity that must be given to someone who could earn money. many islamic scholars stated that zakat will clean of the inner soul and increase the wealth for the poor to grow and also for the person who give it. although it is compulsory charity to fight the poverty, but the awareness for muslim paying zakat is very low. the amount of zakat collected per year is lower than the potency itself. furthermore, the additional problem is, most of the muslim paid their zakat majority in the ramadan month, while the poor people need help throughout the year, it makes the zakat as the microfinance funds. nowadays, pro poor strategies using sharia ... (diah setyawati dewanti) 3 lots of sharia institution have collaboration with the public and private companies to deduct zakat from the employees’ salary directly before being paid in every month (chalikuzhi, 2009). the other charities is shadaqa implies giving away goods and funds in expression of the faithfulness and in realization of the belief in resurrection of afterlife to god (qardawi, 2009). obaidullah (2008) explain clearly that shadaqa may include various forms of charity, such as donations (tabarruat), gifts (hiba), charitable spending (infaq) and may indicate acts of kindness and charity. since it is a voluntary charity, the total amount of shadaqa collected is very low. the other charity is waqf, means to stop, to contain or to preserve. it is holding certain physical assets and preserving it to the long term benefit for the society. ahmed (2007) explained the objective of waqf are including the provision of religious services, socio-economic relief to the needy and the poor segment, education, environmental, scientific and other purposes. the forms of waqf assets mostly are land or building that used for the religious or society purposes. pro poor strategies based on islam tenets already describe as above. to explore the sharia microfinance’s products and approaches as pro poor strategies is the aim of this paper. these paper only focusing the sharia microfinance on baitul maal wa tamwir or abbreviated bmt. furthermore, the last section will deliberate the example case of bmt in one of the rural areas in yogyakarta province, indonesia. research methods this paper is using a secondary data. the coverage area is indonesia and make some focusing of example case in bantul district, yogyakarta province for the bmt case study. since the coverage area is nationally, this paper have the source data from badan pusat statistik, the indonesia statistical bureau and bank indonesia, the central bank in indonesia. otherwise, to explore the example case of bmt, the source data is handle by interview and observation to the one of the bmt in bantul district. moreover, to collect the development of the sharia microfinance products, this paper adopt from some publication belongs to the islamic economics and finance articles. result and discussion microfinance and islamic microfinance microfinance is the important component for poverty alleviation strategy because they offers basic financial services for poor people. one of the consultative group, cgap or consultative group to assist the poor describe the microfinance as the supply for loans, savings and other basic financial services for the poor. cgap report that the target group of microfinance is poor people who live at the border of the poverty line or those who could reach more easily decent quality of life and who have entrepreneurial ideas but lack access to formal finance. as the financial institutional, microfinance has to pursue dual objectives, which are acquire financial sustainability and serving the poor for the social objective. zeller et al. (1997) drawn that microfinance have three ways in poverty alleviation for microfinance, which are improve income generation through providing production credit and saving for asset accumulation; decreasing insurance cost through holding more efficient asset and liability, and smoothing consumption by providing consumption credit. in practice, microfinance contribute on micro-credit, microsaving, micro-entrepreneurs and constraint the practice of informal money lenders. nowadays, the microfinance serve the distribution of islamic charities, the zis (zakat, infaq, and shadaqa), and most of the microfinance who done this are islamic microfinance. since indonesia have been mandated to develop islamic banking by the constitution act no.10 year 1998 and act no 23 year 1999, the number of islamic microfinance was increased. islamic. the categorization of small and micro financial institution in indonesia (see table 1) is divide into formal and informal financial institution. the bmt is the one of the informal financial institution cover almost unlimited forms of saving-lending initiatives in society. the principles of islamic finance are laid down in the islamic law which based on the concept of brotherhood and solidarity. islam jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 1-8 4 affirms in ethical, moral, social and religious factors to promote equality and fairness for the good of all society. bmt products for pro poor strategies structurally, bmt embody of baitul maal and baitul tamwil. the baitul tamwil is deliberate to carried out the financial intermediations through mobilizing deposits from members and financing the commercial ventures. it designed like cooperative system. as mentioned above, the baitul maal is for collecting the zis and distribute the funds to the poor people. basically, the islamic microfinances is not having the interest rate for the financing arrangement, but they share the profit and loss based on contract and mutual partnership. these principle always deliberate the difference between conventional microfinance and islamic microfinance. in indonesia, bmt was developed in 1980 by muslim activists and nowadays, the bmt already developed after the first sharia bank in the country, bank muamalat indonesia, establish in mid of 1990s. generally, bmt institutions are led by leading islamic organizations such as pusat inkubasi bisnis usaha kecil (pinbuk) or centre for micro enterprise incubation and dompet dhuafa foundation, sharia banks, islamic boarding schools (pesantren) and muslims patrons who have strong socio-economics and religious influences in the community. in september 2010, pinbuk supervise 3,068 bmts and financing total 1,67 billion idr. the total number of bmts in this year is more than 3,300 bmts. they attracted to indonesia civils because bmts are generally unregistered under the normal practice rules of bank indonesia-the central bank and they developed significantly in quantity and spread in wide areas, especially in rural and played significant role in bridging the access of financial services to the poor and sme. sharia-compliant instrument of bmt are: (1) prohibition on usury and interest (riba)-no contractual guarantee(s) on investment and no taking profit from time value of money; (2) prohibition on realising a gain from speculation (mayseer); (3) elimination of uncertainties or ambiguities of contractual agreement (gharar) in commercial transactions; (4) all activities must be for permitted purposes (halal); (5) committing to knowledgeable consent on the contract; (6) comply with islamic ethics, for example equality and avoid robbery. the bmt mobilize the funds broadly divided into three parts. first part is the charity that includes zis and waqaf, hiba and tabarru. zis and waqaf already explained above and hiba and tabarru are gift and voluntary contribution from people who want to share the wealth to the poor as the more gift. second, wadiah, qard al-hasan and mudharabah for the deposits product. third, equity that may take the form of classical musharakah or the modern stocks. instrument of financing could be broadly divided into (1) murabahah; (2) musyarakah; (3) mudharabah; (4) ijara; (5) istisna; (6) salam. murabahah (arabic ة more accurately ,مرابح transliterated as murābahah) involves a finance table 1. categorization of small and micro financial institution in indonesia formal informal bank non-bank commercial bank (bank umum) co-operative ksm (kelompok swadaya masyarakat – self-help group) rural bank (bank perkreditan rakyat) ldkp (lembaga dana kredit pedesaan –village-based institution for sme financing) lsm (lembaga swadaya masyarakat – non-governmental organization) bmt (baitul maal wa tamwir – islamic co-operative or ksm) source: ceds, 2013. pro poor strategies using sharia ... (diah setyawati dewanti) 5 party for purchasing tangible assets from a seller and selling them to a buyer at a predetermined profit margin. in the context of trade finance, the buyer will settle the marked-up purchase price by way of immediate lump sum payment. in the context of consumer finance, the buyer will settle the marked-up purchase price by way of deferred installments. using a tawarruq structure and an asset for which there is a highly liquid market, the buyer will settle the marked-up purchase price by way of deferred installments but will also appoint the finance party as its agent to on-sell the assets on a spot basis and remit to the buyer the proceeds of any such sale. murabaha is the most popular and flexible shari'a-compliant structure and is used in microfinance initiatives. however, it is costly to implement and a growing number of shari'a scholars do not approve of it, especially in tawarruq structure, on the basis that it is merely disguised lending where the participants have no interest in actually acquiring the underlying commodities. this applies all the more in the context of providing microfinance to start-ups and small companies whose businesses do not involve the sale and purchase of commodities and which do not have sufficient surplus funds to be credibly investing in commodities. mudarabah is a special kind of partnership where one partner gives money to another for investing it in a commercial enterprise. the capital investment comes from the first partner, who is called the "rabb-ul-mal", while the management and work is the exclusive responsibility of the other party, who is called the "mudarib". the mudarabah (profit sharing) is a contract, with one party providing 100 percent of the capital and the other party providing its specialized knowledge to invest the capital and manage the investment project. profits generated are shared between the parties according to a preagreed ratio. if there is a loss, the first partner "rabb-ul-mal" will lose his capital, and the other party "mudarib" will lose the time and effort invested in the project ijara means lease, rent or wage. generally, the ijara concept refers to selling the benefit of use or service for a fixed price or wage. under this concept, the bank makes available to the customer the use of service of assets/equipment such as plant, office automation, motor vehicle for a fixed period and price. istisna (manufacturing finance) is a process where payments are made in stages to facilitate step wise progress in the manufacturing/processing/construction works. istisna enables any construction company get finance to construct slabs/sections of a building by availing finances in installments for each slab. istisna also helps manufacturers to avail finance for manufacturing/processing cost for any large order for goods supposed to supply in stages. istisna helps use of limited funds to develop higher value goods/assets in different stages/contracts. case study of bmt matahari, district of bantul, yogyakarta province bmt matahari located in rural area in yogyakarta province, it is in the bantul district. bantul district have 17 sub-districts. the total area of bantul district is 508,85 km2 with population approximately 1,2 million. most of the civils work in the agriculture (25 percent) and trade (21 percent) sectors. in the 2006, bantul was hit the earthquake and impact huge damage and caused more than 3.000 persons died. after this catastrophe, lots of civil become suddenly poor. otherwise, lots of grant help bantul to recover from this catastrophe, most of the grants are using for build up the physical infrastructure and housing. after this earthquake, the number of bmt in bantul district become increasing, from 25 bmts in 2008 become 42 bmts in 2010 spread in the 17 subdistricts in bantul. one of the bmt in imogiri sub-district called ‘bmt matahari’ already build since 1994 and it’s belong to the one of the biggest islam community organization called ‘muhammadiyah’. in the beginning of bmt matahari, it only have 8 members and nowadays it already have 400 members and transaction money 1 million idr in each month. bmt matahari have 9 persons as the human resources, 6 person as the committee and 3 person for the daily operational. the operational hour is start from 8.00 am to 4.00 pm. the informant of the in-depth interview for this case study is the manager of operational in bmt matahari, he is suprihatin. he explain, even the working hour is start from 8.00 am and close to 4.00 pm but most of the staffs start to jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 1-8 6 work in the early of morning and finish until 5.00 pm. most of the activities done after the working hour because most of the clients need the bmt matahari’s service outside the working hour. bmt matahari was build by the result of meeting in majelis ekonomi (committee of economics) in central committee muhammadiyah and majelis ta’lim (operational meeting committee). the structure of bmt matahari staff is different (see picture 2), board of trustees, chairman, secretary and treasurer have the same position. the manager explained that every month they have a routine meeting, but they don’t discuss about the bmt, they usually have spiritual deepen discussion concerning daily spiritual life. the discussion regarding the problem of bmt matahari is only occasionally. mr. suprihatin stated that the challenging to operate this bmt are making justification to the candidate client who wants to have loan in bmt matahari. he explain that one of the bmt matahari principle is to help poor people to have equal access for earn money from business. otherwise, the bmt need to strain the candidate of clients who want to have financial products. even though most of the microfinance ask the guarantee or assurance goods, e.g. land, car, etc., but most of the bmt matahari clients do not need to give the assurance. bmt matahari and the candidate of client will have agreements and bmt will survey the competence to pay in installments of the loan. based on the survey, the bmt will make the decision whether the candidate client proposal were approve or not. picture 1. maps of bantul district source: interview of operational management of bmt matahari, 2013. picture 2. organizational structure of bmt matahari pro poor strategies using sharia ... (diah setyawati dewanti) 7 products of bmt matahari bmt matahari have very easy criteria to be a member in this informal microfinance. everyone could be a member of bmt matahari, even though they are not muslim or even age is not restricted to be member in bmt matahari. the member obligations are put the capital stock in bmt matahari with amount of 180.000 idr or equal to approximately us$ 18, and each month the member have dues 10.000 idr each month or equal to approximately us$ 1. the products of bmt matahari consists of financings and investments. financing system compose as murabahah, musyarakah, mudharabah and investment system compose as wadiah, general mudharabah, termin of mudharabah, hajj investment. as illustration above, murabahah, musyarakah and mudharabah has the same meaning and operational implementation of products. murabahah is for the trade and mostly the client just propose the need of the goods and bmt will buy for the client. the payment of the client are based on the agreement between bmt and the client itself. musyarakah involves the profitloss sharing concept and non-interest inside of the implementation product for business loan. the profit-loss sharing amount is based on the agreement between client and bmt. it means, if the client have loss for the beginning time of the business, the bmt will also get the loss sharing for the business, and the percentage of the amount is based on the agreement between them. furthermore, mudharabah is almost the same with musyarakah, but the different is mudharabah is the client loan to bmt matahari to add more capital for their business. in this product, the client propose the goods and services to the bmt matahari as the loan for mudharabah and the bmt will buy the goods and services that client propose. in finance products, most of the clients came from trade sector-home industry and livestock sector. the informant describe that they could not support agriculture business because in this sector, farmers need lots of capital and operational cash to support them, and bmt matahari could not support that much of loan for farmers. most of the clients in the finance products is home industry in the food trade and traditional handicraft, e.g. keris (javanese small blade), javanese batik, and miniature of temple and aero plane. most of the fund for the finance products came from zis and also investment products. the bmt matahari have lots of collaboration to some of the national zakat agency in yogyakarta province, e.g. baitul maal muamalat, dompet dhuafa, etc. the other product is investment product, wadiah is the investment fund from member to support micro and sme business without asking for the profit sharing. this product is purely charity from the client to lend the money to be as loan to other without expecting profit sharing. general mudharabah and termin of mudharabah are almost the same to wadiah, but the different is that the client get the profit sharing from the third party through bmt matahari. general mudharabah had the minimum amount to invest, which is 500.000 idr (equal to us$ 50) and minimum one month investing. otherwise, the minimum amount termin of mudharabah is 1.000.000 idr (equal to us$ 100) with minimum one month time of investing. the last investment is hajj. this product is specialized to muslim member who want to have hajj. it is divided two products of hajj investment, which are investment to register the hajj and also investment to save the money for hajj allowance when the clients want to set forth hajj. one of the client, mr. didik age 38 years old were interviewed about his business and opinion regarding the bmt matahari. mr. didik has the car repair station after the earthquake destroy his house in 2006. his family suggest him to have a small business in car repair since he was graduate from vocational school of machine. but, at that moment, he need large of money to build the car repair station, and his father suggest him to go to the bmt matahari. after he learn, he decide to have financial product, it is musyarakah. based on his explained, he feel comfort to take loan in bmt matahari, he stated as follows: “i feel comfort to take loan in bmt matahari, they help.. assist me and they also teach me to always honest in reporting, and run the business. it’s not my first or two for having loan from bmt, but this is my fifth loan. start from small amount and now getting bigger... and bmt still trust and give me chance.” jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 1-8 8 he also add that he prefer the bmt matahari because mr.didik already know all the board of trustees. he never take other financial products in bank, because he think interest rate is riba and in islam, riba is forbidden. “the profit-loss sharing is more fair to us as a poor clients. bmt will always support us, even though we have trouble in business cycle. business cycle is not always having profit but we also get the loss. only bmt and certain bmt who play role in sharia principles run this tenet. i know, some of the bmt were not having profit-loss sharing, they only support the profit sharing without loss sharing.” (mr.didik, client of bmt matahari) nowadays, mr. didik prepare for the second branch of the car repair station which is have in the main road of imogiri sub-district. bmt as one of pro poor instruments for poverty alleviation. sulaiman (2008: 105-118) stated that one of instrument for overcoming the problem of poor groups in society is access of the poor to the financial services especially islamic financial services. conclusion the pro poor strategies which is implemented by the bmt is empowering of persons to be entrepreneur and make lots of jobs to others. as the case study, one principle that bmt matahari have is ‘empowering to the poor people to improve their wealth by their attempts’. bmt which implement the proper sharia principles, they have to help the clients to improve their business, furthermore, they will go in through the business implementation to fix the problem and improve the business performance. moreover, the principle of profit-loss sharing and non-interest is the basic principle of bmt as the pro poor. while the business having loss profit, the bmt will also help and support. for example, if the client could not pay the installment payment, bmt will have more time without giving penalty. but, if the client still could not pay the installment payment, bmt will assist the client to fix the problem in business. most of the basic principle from bmt which is pro poor is that bmt coverage area is in the rural area and only support for micro, sme and also help the poor people. references hasanah, alfiah., yusuf, a.a. (2013). determinants of the establishment of islamic micro finance institutions: the case of baitul maal wa tamwil (bmt) in indonesia. working paper: ceds, march, department of economics, padjajaran university, indonesia. juwaini, ahmad, et.al. (2010). bmt (baitulmaal wa tamwil) islamic micro financial services for the poor. iso/copolco workshop. may, indonesia. masyita, dian, ahmed, habib. (tt) why is growth of islamic microfinance lower than conventional? a comparative study of the preferences and perceptions of the clients of islamic and conventional microfinance institutions’ in indonesia. 8th international conference on islamic economics and finance. sulaiman, w. (2008). modern approach of zakat as an economic and social instrument for poverty alleviation and stability of ummah. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol 9 no.1 april 2008: 105-118. yumna, aimatul, clarke, matthew. (tt) integrating zakat and islamic charities with microfinance initiative in the purpose of poverty alleviation in indonesia. 8th international conference on islamic economics and finance. http://www.bps.go.id/ http://www.bi.go.id/ microsoft word 06-arif_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.63-72 faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi permintaan uang di indonesia arif widodo 1 institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia e-mail korespondensi: rifdo_arif97@yahoo.com naskah diterima: agustus 2014; disetujui: maret 2015 abstract: money demand has an important role for monetary policy authorities in determining appropriate policies to maintain economic stability. analysis of the demand for money is an economic analysis of the quantities required to support the measures taken by the government in the monetary sector. this research aims to know the determinants of money demand function in indonesia period 1990.1-2014.1. the analysis methode used in this research is error correction model (ecm). the results showed that the variable gross domestic product (gdp) is not significantly influences money demand. exchange rate (exchange), and the price level positively and significantly affect the demand for money (m1) in the short term. while the rate of 3-month deposit rate negatively and significantly influences the money demand (m1). the results of this study also showed that in the long term demand for money (m1) in indonesia positively and significantly influenced by variables gross domestic product (gdp) and the price level. while the exchange rate and variable interest rates have negative effect to money demand. keywords: money demand; m1; error correction model jel classification: o11, o19, o23 abstrak: permintaan uang mempunyai peranan yang penting bagi otoritas kebijakan moneter dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi. analisis permintaan uang merupakan suatu analisis besaran-besaran ekonomi yang dibutuhkan untuk mendukung suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah di bidang moneter. penelitian ini bertujuan untuk megetahui determinan dari fungsi permintaan uang di indonesia periode 1990.1-2014.1. alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah error correction model (ecm). hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel produk domestik bruto (pdb) tidak signifikan mempengaruhi permintaan uang. variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar as (kurs), dan tingkat harga berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi permintaan uang (m1) dalam jangka pendek. sedangkan tingkat suku bunga deposito 3 bulan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang. (m1). hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang permintaan uang (m1) di indonesia dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh variabel produk domestik bruto (pdb) dan tingkat harga. sedangkan varibel kurs dan suku bunga berpengaruh negatif. kata kunci: permintaan uang; m1; error correction model klasifikasi jel: o11, o19, o23 pendahuluan permintaan uang mempunyai peranan yang sangat penting bagi otoritas kebijakan moneter dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi. analisispermintaan uang merupakan suatu analisis besaran-besaran ekonomi yang dibutuhkan untuk mendukung suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah di bidang moneter. pemerintah, dalam hal ini adalah bank indonesia dapat menempuh suatu kebijakan moneter yang bertujuan untuk men jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 63-72 64 capai stabilitas moneter (prawoto, 2010). mengingat pentingnya kestabilan permintaan uang, maka banyak literatur yang membahas aspek teoritis maupun empiris mengenai permintaan uang di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, telah menjadi pekerjaan hampir semua ekonom untuk mampu memprediksi perekonomian, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. menurut friedman (1980), dalam kebijakan moneter dapat memberikan kontribusi dalam menentukan kestabilan ekonomi dengan kontrol besaran-besaran ekonomi yang kuat (prawoto, 2010). sehingga, studi empiris dan pengembangan model mengenai permintaan uang menjadi penting dilakukan baik di negara maju maupun berkembang untuk menjaga kestabilan moneter dan kestabilan ekonomi pada umumnya. dengan melihat keadaan ekonomi negara berkembang yang rentan akan ketidakstabilan, maka studi untuk memperkirakan kondisi ekonomi dan moneter di negara berkembang menjadi hal yang urgent untuk dilakukan, bahkan hal itu juga dilakukan oleh negara maju. seperti hwang (2002) yang melakukan penelitian tentang permintaan uang di korea, menemukan bahwa dalam keseimbangan jangka panjang pendapatan riil masyarakat dan tingkat bunga tetap berpengaruh terhadap m2, sedangkan untuk m1 variabel tersebut tidak terlalu berpengaruh. kesimpulan yang penting dari penelitian-penelitian tersebut adalah bahwa m2 sangat berkaitan dengan pendapatan dan tingat bunga dan keterkaitan ini menjadi acuan dalam kestabilan permintaan uang (bahmani-oskooe dan wang, 2007). penelitian prawoto (2000) dengan variabel berupa pendapatan, tingkat bunga dan perubahan harga memberikan hasil bahwa nilai koefisien penyesuaian (β) pada semua model analisis menunjukkan bahwa β untuk m1 lebih besar dari β untuk m2 kemudian baru β untuk qm. hal ini berarti masyarakat indonesia menyesuaikan jumlah uang yang mereka pegang dalam bentuk uang sempit lebih cepat dibandingkan dengan dalam bentuk uang luas kemudian baru uang kuasi. sedangkan hasil estimasi parameter-parameter jangka panjang ternyata lebih besar dibandingkan dengan parameter-parameter jangka pendek.hal ini menunjukkan bahwa perilaku permintaan uang dalam jangka pendek terutama untuk tujuan transaksi, tetapi dalam jangka panjang mendorong masyarakat untuk memegang berbagai pasiva yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank. beberapa penelitian juga banyak dilakukan di indonesia, oleh setiadi (2013) yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang tahun 1999; q1 – 2010; q4, yang menemukan bahwa inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang, begitu juga pengaruh pdb, sedangkan suku bunga dalam jangka panjang memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap permintaan uang. begitu juga studi yang dilakukan oleh prawoto (2010) mengenai permintaan uang di indonesia, yang menghasilkan kesimpulan bahwa pendapatan masyarakat memberikan pengaruh terhadap permintaan uang di indonesia. selain penelitian di indonesia, terdapat pula beberapa penelitian yang dilakuakan di beberapa negara maju menunjukkan hasil yang sama, seperti dilakukan oleh dobnik (2011) di 11 negara oecd.selain beberapa variabel makroekonomi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat variabel nilai tukar rupiah yang juga diduga mempengaruhi permintaan uang, mengingat sejak 14 agustus 1997 indonesia menerapkan nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) yang artinya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran valas di pasar valas. perubahan yang terjadi pada nilai tukar rupiah, baik ketika rupiah terapresiasi maupun terdepresasi ternayata diikuti juga oleh adanya perubahan dalam permintaan uang. dengan demikian, fenomena moneter permintaan uang menarik untuk diteliti. identifikasi besaran-besaran ekonomi yang mempengaruhi permintaan uang melalui berbagai kajian teori, studi empiris dan fenomena data yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan pentingnya pengembangkan penelitian permintaan uang di indonesia. dengan mengembangkan penelitian-penelitian yang telah lalu, penulis menyimpulkan bahwa peranan dan faktorfaktor makroekonomi yang mempengaruhi permintaan uang masih penting untuk membangun keadaan yang perekonomian yang kondusif. faktor-faktor makroekonomi ... arif widodo, agus tri basuki) 65 metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtut waktu dari periode 1990: q1 sampai periode 2014: q1. alasan menjadikan tahun 1990: q1 sebagai tahun awal penelitian, dikarenakan pada data runtut waktu mensyaratkan jumlah minimal 30 data. sedangkan periode 2014: q1 merupakan tahun yang terakhir dengan data kuartalan yang ada. data diambil dari publikasi bank indonesia dan badan pusat statistik (bps). analisis data langkah dalam merumuskan model ecm menurut domowitz dan elbadawiadalah sebagai berikut (dalam widarjono, 2013): 1) melakukan spesifikasi hubungan yang diharapkan dalam model yang diteliti. mt = 0 + 1yt + 2inft + 3kurst + 4irt 1) keterangan: mt adalah permintaan uang per tahun (milyar rupiah) pada periode t., yt adalah produk domestik bruto per kapita periode t, inft adalah variabel tingkat inflasi pada periode t., kurst adalah nilai tukar rupiah terhadap us dolar periode t., irt adalah tingkat suku bunga deposito pada periode t., 0 12 3 4 adalah koefisien jangka pendek. 2) proses pembentukan variabel penyesuaian ketidakseimbangan menurut domowitz dan elbadawi yang didasarkan pada fungsi biaya kuadrat tunggal dapat dirumuskan sebagai berikut: ct= b0 [mt – m*t ]2+ b1 {( mt – mt-1)– ft (zt– zt-1)}2 2) persamaan (2) merupakan fungsi biaya kuadrat tunggal. komponen pertama dari persamaan tersebut menggambarkan biaya ketidakseimbangan dan komponen kedua merupakan biaya penyesuaian. mt merupakan jumlah m aktual pada periode t, zt merupakan vektor variabel yang mempengaruhi m di mana dalam hal ini dipengaruhi oleh variabel independen x (y, inf, kurs dan ir), b0 dan b1 adalah vektor baris yang memberi bobot kepada masingmasing biaya serta ft merupakan sebuah vektor baris yang memberi bobot kepada elemen zt dan zt-1. 3) meminimalisasi fungsi biaya pada persamaan (2) terhadap variabel m dan menyamakan dengan nol akan menghasilkan persamaan sebagai berikut: b0 [mt– m*t] + b1 [(mt– mt-1) – ft (zt – zt-1)] = 0 atau dapat ditulis menjadi persamaan sebagai berikut: (b0 + b1)mt = b0m*t + b1mt-1 + b1ft(zt – zt-1) 3) vektor z terdiri dari variabel x (y, inf, kurs dan ir) sehingga persamaan (3) tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: (b0 + b1)mt = b0 m*t + b1mt-1 + b1ft(zt – zt-1) 4) persamaan (4) dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: mt = bm*t + (1 – b)mt-1 + (1 – b) ft (zt – zt-1) 5) di mana b= b0/(b0 + b1); ft terdiri dari f1 = fy, f2 = fkurs, f3 = finf, f4 = fir 4) selanjutnya, mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (5) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: lnmt = b(0 + 1yt + 2inft + 3kurst + 4irt) + (1-b) mt-1+ (1-b) ft (zt – zt-1) 6) persamaan (6) merupakan analisis jangka pendek permintaan uang meskipun hasil jangka pendek mampu memberikan prediksi pada jangka panjang. namun, permsalahan utama muncul ketika model persamaan yang digunakan tidak stasioner, karena ketika model tidak stasioner maka tidak bisa diestimasi dengan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 63-72 66 menggunakan ols (ordinary least square) serta akan menghasilkan regresi lancung (spurious regression). sebagai solusi, digunakan kemungkinan perubahan (δ) pada setiap variabel, sehingga: δlnmdt = β0 + ∑ δlnyt + ∑ δinft + ∑ δlnkurst+∑ δirt + β5δ lnyt-i + β6δinft-i + β7δlnkurst-i + β8δirt-i+ ectt-i+ t 7) ect = δlnyt-1 + δinft-1 +δlnkurst-1 + δirt-1 –δlnmdt-1 8) hasil dan pembahasan uji akar unit uji akar unit dilakukan satu persatu atau setiap variabel yang akan dianalisis baik variabel dependent maupun independent. hasil analisis memberikan hasil uji akar unit pada tingkat level, dapat dilihat pada tabel 1. table 1 menunjukkan hasil dari uji akar unit dengan menggunakan uji augmented dickey fuller (adf) menunjukkan bahwa hanya tiga variable yang stasioner pada tingkat level. masing-masing variabel tersebut adalah: pertama, variabel pdb dengan nilai adf t-statistik 3,180643 dengan tingkat signifikasi 5 persen; kedua, variabel ir (tingkat suku bunga) dengan nilai adf t-statistik -3,101861 dengan tingkat signifikasi 5 persen; dan ketiga, variabel inf (inflasi) dengan nilai adf t-statistik -5,216987 dengan signifikasi 1 persen. sedangkan variabel yang lainnya yaitu m1 dan kurs rupaih terhadap us dolar tidak stasioner pada tingkat level. uji derajat integrasi karena pada uji akar-akar (unit root test) tingkat level data yang diamati belum stasioner maka perlu dilanjutkan dengan pengujian uji derajat integrasi. pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui derajat (differention order) keberapa data yang diamati stasioner. karena uji derajat integrasi merupakan kelanjutan dari uji akarakar (unit root test) maka langkahnya adalah identik dengan uji akar-akar unit hanya perbedaan pada pembedanya (differencing) saja dan asumsi hipotesis yang digunakan adalah sama. tabel 2 menunjukkan hasil uji akar unit pada tingkat 1st difference dengan menggunakan uji adf, yang menunjukkan bahwa lima variabel sudah stasioner pada tingkat first difference, yaitu variabel m1 (jumlah uang beredar), pdb (produk domestik bruto), kurs (nilai tukar rupiah terhadap dolar as), ir (tingkat suku bunga) dan inf (inflasi). oleh karena itu, menurut uji adf, dapat dikatakan semua data yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat pertama (first differen uji kointegrasi hasil pengolahan data diperoleh hasil uji kointegrasi, dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3 merupakan hasil estimasi dengan augmented dickey-fuller (adf) menunjukkan adf t-statistik = -4,077420 < nilai kritis mackinnon = -3,500669 yang berada pada nilai kritis 1%, menandakan bahwa variabel ect sudah stasioner pada tingkat level. berdasarkan kedua pengujian kointegrasi di atas, dapat disimpulkan ada bahwa variabel ect untuk data level dan panjang lag 1 tidak meng andung akar unit, dengan kata lain variabel ect sudah stasioner, sehingga disimpulkan bahwa terjadi kointegrasi di antara semua variabel yang disertakan dalam model penelitian. hal ini mempunyai tabel 1. hasil augmented dickey fuller pada tingkat level dengan intercept variabel adf t-statistik nilai kritis mackinnon keterangan 1 % 5 % 10 % m1 -0,874174 -3,500669 -2,892200 -2,583192 nonstasioner pdb -3,180643 -3,500669 -2,892200 -2,583192 stasioner kurs -1,587410 -3,500669 -2,892200 -2,583192 nonstasioner ir -3,101861 -3,500669 -2,892200 -2,583192 stasioner inf -5,216987 -3,500669 -2,892200 -2,583192 stasioner faktor-faktor makroekonomi ... arif widodo, agus tri basuki) 67 makna bahwa dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan atau kestabilan antarvariabel yang diamati. hasil estimasi ecm berdasarkan hasil estimasi model permintaan uang dengan ecm, diperoleh hasil sebagaimana tampak dalam tabel 4. berdasarkan hasil perhitungan uji lm dalam jangka pendek diketahui nilai akaike terkecil pada lag pertama diperoleh nilai obs*rsquared sebesar 1,46. dalam hal ini ρvalue obs*r-square 0,234 lebih besar dari α = 10 persen maka disimpulkan tidak terdapat autokorelasi dalam model ecm. hasil uji normalitas, dapat diketahui bahwa ρ-value sebesar 0,269 > α = 10 persen. maka, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam model ecm berdistribusi normal. uji linieritas melalui uji ramsey reset, diperoleh prob f-statistic sebe-sar 0,4607 > 0,10 (10 persen), maka dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan adalah tepat. selanjutnya, hasil uji white diperoleh bahwa nilai prob. obs* r-squared atau hitung adalah 0,1852 lebih besar dari α = 10 persen. maka dapat disimpulkan bahwa dalam model tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model ecm. sedangkan uji multikolinearitas menunjukkan r21, (hasil dari regresi utama) sebesar 0,997 lebih besar dari r22 r23 r24 r25 r26 r27 r28 r29 r210 (hasil dari regresi parsial). artinya, hasil r2 regresi variabel dependent > dari r2 regresi antar variabel independent. dengan demikian, maka dalam model tidak terdapat multikolinearitas. adapun persamaan yang diperoleh dari hasil estimasi ecm adalah: tabel 4. hasil estimasi model permintaan uang ecm domowitz dan elbadawi variabel koefisien t-statistik konstanta -2,622033 -15,73282*** δpdb 0,170356 1,140057 δkurs 0,174270 3,080725*** δir -0,009838 -2,802236*** δinf 0,002824 2,255573** δpdb (-1) 1,283689 8,750297*** δkurs (-1) -0,553857 -8,982865*** δir (-1) -0,015735 -5,141428*** δinf (-1) 0,007647 7,560350*** ect (-1) 0,953302 38,74109*** r2 0,997589 adjusted r2 0,997337 s.e. of regression 0,058763 akaike info criterion -2,732259 schwarz criterion -2,465140 fstatistik 3953,538*** d-w statistik 1,751405 n 96 keterangan: ***signifikan pada level 1%, **signifikan pada level 5%, *signifikan pada level 10% tabel 3. hasil augmented dickey fuller pada persamaan residual pada tingkat level variabel adf t-statistik nilai kritis mackinnon keterangan 1 % 5 % 10 % ect -4,077420 -3,500669 -2,892200 -2,583192 terkointegrasi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 63-72 68 δlnmt = -2,622033 + 0,170356 δlnpdbt + 0,174270 δlnkurst – 0,009838 δirt + 0,002824 δinft + 1,283689 δlnpdb(-1) – 0,553857 δlnkurs(-1) – 0,015735 δir(-1) + 0,007647 δinf(-1) + 0,953302 ect(-1) berdasarkan hasil estimasi model dinamis ecm di atas, maka dapat dilihat pada variabel error correction term (ect)-nya signifikan pada tingkat signifikasi 1 persen dan mempunyai tanda positif, maka spesifikasi model sudah valid (sahih). berdasarkan hasil regresi variabel error correction term (ect) dapat diketahui besarnya koefisien ect sebesar 0,953302 dengan taraf signifikasi sebesar 0,000 artinya bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf 1 persen dan perbedaan antara nilai aktual permintaan uang dengan keseimbangannya sebesar 0,953302, akan disesuaikan dalam waktu satu semester. dengan demikian, spesifikasi model yang dipakai dalam penelitian ini adalah tepat dan mampu menjelaskan hubungan jangka pendek serta perlu dikoreksi setiap semesternya sebesar 0,953302 untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. hasil pengujian terhadap model dinamis permintaan uang di indonesia dari periode 1990.1 sampai dengan periode 2014.1 dapat diinterpretasikan berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4 adalah sebagai berikut: 1) pengaruh produk domestik bruto (pdb) terhadap permintaan uang. nilai koefisien pdb (δpdb) dalam jangka pendek sebesar 0,170356, namun tidak signifikan pada level 10 persen, menunjukkan bahwa pendapatan (pdb) dalam jangka pendek tidak signifikan dalam mempengaruhi permintaan uang di indonesia. hal ini sesuai dengan teori baumol bahwa orang menerima pendapatan sejumlah tertentu secara reguler setiap waktu (misalnya setiap awal bulan) serta selalu membelanjakan atau menggunakan penghasilan tersebut untuk tujuan transaksi sejumlah tertentu (tetap) setiap harinya. dengan kata lain, kebutuhan dana (uang tunai) per satuan waktu adalah konstan. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh hayati (2006) dan setiadi (2013), dan anwar dan asghar (2012) di pakistan. nilai koefisien pdb dalam jangka panjang sebesar 1,283689 dengan tingkat signifikasi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan ada pdb (δpdb) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 1,283689 persen dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar as, tingkat suku bunga deposito dan tingkat inflasi tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien pdb bernilai positif, maka pdb mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang. hal ini menandakan bahwa uji tanda sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. artinya, semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, maka permintaan uang akan meningkat karena dengan peningkatan pendapatan maka individu akan cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dan hal ini menuntut individu untuk memegang uang lebih banyak. hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan kaum klasik (teori kuantitas uang), bahwa permintaan uang dipengaruhi secara positif oleh pendapatan. salah satu tokohnya adalah fisher, yang mengatakan bahwa permintaan uang merupakan kepentingan yang sangat likuid untuk memenuhi motif transaksi (insukindro, 1997). karena itu, pendapatan merupakan faktor yang berpengaruh dalam permintaan uang untuk motif transaksi. selain teori klasik, hasil tersebut juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh keynes tentang motif memegang uang yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan, pada saat pendapatan tinggi lebih banyak uang yang diminta untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga, sehingga pada saat pendapatan naik akan menyebabkan peningkatan permintaan uang. hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pendapatan nasional (pdb) berpengaruh positif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang, selaras dengan beberapa penelitian terdahulu, seperti yang dilakukan oleh sidiq (2005), opolot (2007) di uganda, prawoto (2010), hayati (2010), dobnik (2011) di negara oecd, azim et.al (2010) di pakistan, bashier dan dahlan (2011) di yordania, setiadi (2013), dan dharmadasa dan nakanishi (2013) di sri langka. faktor-faktor makroekonomi ... arif widodo, agus tri basuki) 69 2) pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar as terhadap permintaan uang. nilai koefisien kurs (δkurs) dalam jangka pendek sebesar 0,174270 dengan tingkat signifikasi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan kurs (δkurs) sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,174270 persen, dengan asumsi produk domestik bruto (pdb), tingkat suku bunga deposito dan tingkat inflasi tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien kurs bernilai positif, maka kurs mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang. hal ini berarti bahwa uji tanda sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. artinya bahwa apabila nilai tukar rupiah —secara nominal— mengalami kenaikan (terdepresiasi) terhadap dollar as, maka akan berpengaruh pada peningkatanharga barang-barang impor, mengingat indonesia masih sangat tergantung dengan barang-barang impor, ketika rupiah tertekan (terdepresiasi) akan sangat memberikan pengaruh terhadap harga barang impor. sedangkan dengan naiknya harga barang impor menyebabkan permintaan uang akan meningkat untuk melakukan transaksi impor transaksi tersebut. hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa nilai tukar (kurs) berpengaruh positif terhadap permintaan uang dalam jangka pendek, selaras dengan beberapa penelitian terdahulu, seperti yang dilakukan dharmadasa dan nakanishi (2013) di sri langka, lungu et.al (2012) di malawi, dan iyoboyi dan pedro (2013) di nigeria. nilai koefisien kurs (δkurs) dalam jangka panjang sebesar -0,553857 dengan tingkat signifikansi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan kurs (δkurs) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami penurunan sebesar 0,553857 persen, dengan asumsi produk domestik bruto (pdb), tingkat suku bunga deposito dan tingkat inflasi tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien kurs bernilai negatif, maka kurs mempunyai hubungan negatif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang. hubungan kurs yang negatif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang di indonesia bisa terjadi, ketika nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar as terdepresiasi (tertekan), masyarakat akan lebih memilih untuk memegang mata uang dolar as. sehingga masyarakat akan menukarkan rupiah yang mereka punya dengan dollar, karena memegang dollar akan lebih menguntungkan. dengan demikian, ketika terjadi peningkatan nilai tukar rupiah (depresiasi rupiah) dalam jangka panjang, akan mengurangi permintaan akan uang. hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan ozturk (2008), azim et.al (2010) di pakistan, dritsakis (2011) di hungaria, dan bashier dan dahlan (2011) di yordania. 3) pengaruh tingkat bunga deposito terhadap permintaan uang. nilai koefisien tingkat suku bunga deposito (δir) dalam jangka pendek sebesar -0,009838 dengan tingkat signifikasi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan suku bunga deposito (δir) sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami penurunan sebesar 0,009838 persen, dengan asumsi produk domestik bruto, nilai tukar rupiah terhadap dolar as dan tingkat inflasi tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien suku bunga (ir) bernilai negatif, maka tingkat suku bunga deposito mempunyai hubungan negatif terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. artinya setiap ada peningkatan suku bunga deposito, maka individu akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di bank dibandingkan dengan memegang uangnya dalam bentuk kas karena dalam hal ini uang kas memiliki opportunity cost yang lebih tinggi dibanding dengan menyimpan uang di bank. nilai koefisien tingkat suku bunga (ir) dalam jangka panjang sebesar -0,015735 dengan tingkat signifikasi 1 persen menunjukkan apabila terjadi peningkatan terhadap suku bunga (ir) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami penurunan sebesar 0,015735 persen dengan asumsi produk domestik bruto (pdb), nilai tukar rupiah terhadap dolar as dan tingkat inflasi tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien suku bunga (ir) bernilai negatif, maka ir mempunyai hubungan negatif dengan permintaan uang dalam jangka panjang. artinya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan uang. hal ini sesuai dengan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 63-72 70 teori cambridge yang mengatakan, apabila tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat akan mengurangi uang yang ingin mereka pegang, meskipun volume transaksi yang mereka rencanakan tetap. karena uang kas memiliki opportunity cost of holding money, maka ketika suku bunga mengalami kenaikan, masyarakat cenderung akan menyimpan uangnya di bank sebab lebih menguntungkan daripada memegang uang kas. hal ini juga selaras dengan studi empiris tentang pengaruh suku bunga terhadap permintaan uang, seperti penelitian achasani (2010) mengenai permintaan uang di indonesia. penelitian ini menemukan bahwa dalam suku bunga mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan uang. selain itu, beberapa penelitian yang selaras dengan teori keynes dilakukan oleh prawoto(2010) yang juga menunjukkan kesimpulan yang sama; bashier dan dahlan (2011) di yordania, baye (2011) di kamerun, gaurisankar dan kwie-jurgens (2012) di suriname; sarwar et.al (2013) di pakistan; dan dharmadasa et. al (2013) di sri langka. 4) pengaruh tingkat inflasi terhadap permintaan uang nilai koefisien inflasi (δinf) dalam jangka pendek sebesar 0,002824 dengan tingkat signifikansi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan inflasi (δinf) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,002824 dengan asumsi produk domestik bruto (pdb), nilai tukar rupiah terhadap dolar as dan tingkat suku bunga deposito tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien inflasi bernilai positif, maka inflasi mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. hal ini berarti uji tanda sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. artinya, ketika inflasi mengalami kenaikan akan mempengaruhi kenaikan permintaan uang. hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh irving fisher, di mana mv = pt, jika v dan t dianggap konstan maka kenaikan p (tingkat harga/ inflasi) akan menyebabkan kenaikan m (permintaan uang). nilai koefisien inflasi (δinf) dalam jangka panjang sebesar 0,007647 dengan tingkat signifikasi 1 persen, menunjukkan apabila terjadi peningkatan inflasi (δinf) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,007647 dengan asumsi produk domestik bruto (pdb), nilai tukar rupiah terhadap dollar as dan tingkat suku bunga deposito tidak mengalami perubahan, atau cateris paribus. koefisien inflasi bernilai positif, maka inflasi mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. hal ini berarti uji tanda sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. artinya, bahwa kenaikan inflasi mempengaruhi kenaikan permintaan uang dalam jangka panjang. indonesia pernah mempunyai pengalaman krisis ekonomi, pada saat krisis, terjadi peningkatan jumlah uang yang sangat pesat. beberapa studi empiris yang juga mempunyai kesimpulan yang sama dengan penelitian ini, antara lain: prawoto (2010), aliasuddin (2012) dan setiadi (2013) yang menemukan bahwa inflasi (tingkat harga) secara positif mempengaruhi permintaan uang di indonesia. selain indonesia, beberapa penelitian yang menghasilkan kesimpulan adanya pengaruh tingkat harga terhadap permintaan uang antara lain oleh azim et.al (2010) dan anwar dan asghar (2012) di pakistan, baye (2011) di kamerun, iyoboyi dan pedro (2013) di nigeria, kanitpong (2013) di thailand dan lai (2013) di vietnam. koefisien determinasi ditunjukkan dengan nilai r-square sebesar 0.997, artinya bahwa 99,7 persen model permintaan uang dapat dijelaskan oleh variabel perubahan produk domestik bruto (pdb), nilai tukar rupiah terhadap dolar as (kurs), tingkat suku bunga deposito (ir) dan tingkat inflasi (inf). sedangkan sisanya sebesar 0,3 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. nilai f-statistik sebesar 3953,5 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000. nilai ini lebih kecil dari taraf nyata 1 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel independent secara bersama-sama, yang terdiri dari produk domestik bruto (pdb), nilai tukar rupiah terhadap dolar as (kurs), tingkat suku bunga deposito (ir) dan tingkat inflasi (inf) terhadap variabel dependent yaitu permintaan uang (mt). faktor-faktor makroekonomi ... arif widodo, agus tri basuki) 71 simpulan hasil analisis pengaruh produk domestik bruto terhadap permintaan uang dengan model error correction model baik jangka pendek tidak berpengaruh terhadap permintaan uang. hal ini disebabkan karena uang yang digunakan dalam rangka penyimpan kekayaan (store of value), sedangkan dalam jangka panjang, menunjukkan bahwa produk domestik bruto berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang. hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan kaum klasik (teori kuantitas uang), bahwa permintaan uang dipengaruhi secara positif oleh pendapatan. salah satu tokohnya adalah fisher, yang mengatakan bahwa permintaan uang merupakan kepentingan yang sangat likuid untuk memenuhi motif transaksi. pengaruh kurs terhadap permintaan uang berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan dalam jangka pendek. sementara itu, dalam jangka panjang variabel kurs mempunyai pengaruh yang negatif dan siginifikan terhadap permintaan uang. hubungan kurs yang negatif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang di indonesia bisa terjadi, ketika nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar as terdepresiasi (tertekan), masyarakat akan lebih memilih untuk memegang mata uang dolar as. tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang. hal ini sesuai dengan teori cambridge yang mengatakan, apabila tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat akan mengurangi uang kas karena memiliki opportunity cost of holding money, maka ketika suku bunga mengalami kenaikan, masyarakat cenderung akan menyimpan uangnya di bank sebab lebih menguntungkan daripada memegang uang kas. inflasi berpengaruh terhadap permintaan uang dengan model error correction model baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. kenaikan harga barang-barang (inflasi) menyebabkan nilai riil uang turun, yang berarti bahwa untuk membiayai transaksi diperlukan uang dalam jumlah yang lebih banyak, karena itu permintaan uang naik. daftar pustaka aliasuddin. (2012). pengujian elastisitas harga pada permintaan uang di indonesia. majalah ekonomi, tahun xxii, no. 2, agustus 2012, p. 148-156. anwar, s dan asghar, n. (2012). is demand for money stable in pakistan?. pakistan economic and social review, volume 50, no. 1 (summer 2012), p. 1-22. azim, p., et. al. (2010). demand for money in pakistan: an ardle approach. global journal of management and business research, vol. 10 issue 9 (ver 1.0) december, p. 7680. bahmani-oskooee, m dan wang, y. (2007). how stable is the demand for money in china?. journal of economic development, volume 32, no. 1, june 2007, p. 21-33. bashier, a dan dahlan, a. (2011). the money demand function for jordan: an empirical investigation. international journal of business and social science, vol. 2 no.5 (special issuemarch), p. 77-86. baye, f. m. (2011). the role of bilateral real exchange rates in demand for real money balances in cameroon. modern economy, 2011, 2, p. 287-300. dharmadasa, c dan nakanishi, m. (2013). demand for money in sri langka: ardl approach to co-integration. 3rd international conference on humanities, geography and economics (ichge), january 4-5, 2013 bali, p. 143-147. dobnik, f. (2011). long-run money demand in oecd countries: cross –member cointegration. ruhr economic papers #237, germany. dritsakis, n. (2011). demand for money in hungary: an ardl approach. review of economics & finance, 7 juni 2011. gaurisankar, sdan kwie-jurgens, n o. (2012). the money demand function in suriname. presented at the 44th annual monetary studies conference, november 7-9, 2012. hayati, b. (2006). analisis stabilitas permintaan uang dan stabilitas harga di indonesia tahun 1989-2002. tesis. tidak dipublikasikan. semarang: universitas diponegoro. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 63-72 72 hayati, i. (2010). analisis permintaan dan penawaran uang di indonesia. qe journal, vol. 02 – no. 01, p. 8-18. hwang, j-k. (2002). the demand for money in korea: evidence from the cointegration test. iaer: august 2002, vol. 8, no. 3, p. 188-195. insukindro. (1997). ekonomi uang dan bank. yogyakarta: bpfe ugm. iyoboyi, martins dan pedro, lm. (2013). the demand for money in nigeria: evidence from bounds testing approach. business and economics journal, vol. 2013: bej-76. kanitpong, t dan promkutkeo, s. (2013). model of money demand determination: evidence from thailand. international journal of business and economics perspectives, vol. 8, number 1, spring 2013, p. 42-51. lai, n-a. (2013). stability of money demand in vietnam: application of the bounds testing approach on 1999-2011.paper based on author’s ph.d thesis.universite paris. lungu, et. al. (2012). money demand function for malawi—implications for monetary policy conduct. bank and bank systems, vol. 7, issue 1, 2012, p. 50-63. opolot, j. (2007). a re-examination of the demand for money in uganda: nature and implications for monetary policy. the bank of uganda staff papers journal, vol. 1, no. 1, p. 5-32. ozturk, i dan acaravci, a. (2008). the demand for money in transition economies. romania journal of economic forecasting, 2/2008, p. 35-43. prawoto, n. (2000). permintaan uang di indonesia: konsep keynesian dengan pendekatan pam. jurnal ekonomi & studi pembangunan vol. 1 no. 1, april 2000; hlm 1-13. prawoto, n. (2010). money demand: a study on the indonesian influental factors. economic journal of emerging markets, december 2010 2(3), p. 223-236. setiadi, i o. (2013). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang di indonesia tahun 1999: q1-2010: q4 dengan pendekatan error correction models (ecm). economics development analysis journal 2 (1) (2013), p. 1-9. sidiq, s. (2005). stabilitas permintaan uang di indonesia: sebelum dan sesudah perubahan sistem nilai tukar. jurnal ekonomi pembangunan, vol. 10 no. 1, april 2005, p. 31-41. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper the impact of population density and economic growth on environmental quality: study in indonesia abdulloh nashiruddin wafiq and suryanto* abstract: sustainable economic growth is followed by an improvement in environmental quality. the purpose of this study is to identify the correlation between economic growth and population density on the environmental quality index (eqi) in indonesia. in addition, it also aims to determine the impact of economic growth and population density on the environmental quality index. this study uses a quantitative method with secondary data from 33 provinces in indonesia from 2010 to 2016. data were analyzed using pearson correlation and panel data regression. the result showed that the correlation between economic growth and population density on the quality of the environment was moderate. it has a significant negative impact on environmental quality. keywords: economic growth; population density; environmental quality index jel classification: f43; o47; r23; p23; q56; k32 introduction various demands to attain high economic growth are frequently misleading for third-world countries seeking prosperity. the sustainable development goals (united nations, 2017) hints that third-world countries have not yet implemented sustainable development standards. for development purposes, environmental quality is often overlooked. besides, sustainable development goals frequently contradict strategies in pursuing economic growth. the environmental quality should improve after a period of rapid economic growth, or at least, the environmental degradation impacts are not severe. however, in many cases, the pursuit of rapid economic growth has had a negative impact on environmental quality. several studies have confirmed the existence of a negative relationship between environmental quality and economic growth. the results validated simon kuznets’s research, which is known for the environmental kuznets curve or the inverted u-curve. it illustrates that deal between the economic growth and the quality of environment will occur. in the early stages, the growth may reduce environmental quality (lee & oh, 2015), (damayanti & chamid, 2016); and (bouznit & pablo-romero, 2016). research conducted by yustisia and sugiyanto (2014) also concludes that the ekc is valid, although it only applies in middle-income countries. affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas sebelas maret, central java, indonesia *correspondence: suryanto_feb@staff.uns.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.10533 citation: wafiq, a.n., & suryanto, s. (2021). the impact of population density and economic growth on environmental quality: study in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 301-312. article history received: 04 dec 2020 revised: 02 jul 2021 16 jul 2021 02 aug 2021 accepted: 16 sep 2021 https://scholar.google.co.id/citations?user=yswu0vqaaaaj&hl=en https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ mailto:suryanto_feb@staff.uns.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/10533 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.7836&domain=pdf https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.10533&domain=pdf wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 302 on the other hand, research by ong and sek (2013) yields contradictory results. this research reveals that economic growth had no significant impact on environmental quality in low and middle-income countries. there are no empirical proofs that show the connection between economic growth and increased carbon emissions in turkey (ozturk & acaravci, 2010). regarding the two previously mentioned arguments, this present study seeks to investigate the relationship between population density and economic growth, and environmental quality in indonesia. further, this study will generate a relationship pattern that supports one of the two opinions, whether it supports the first opinion or the second opinion. aside from those aims, several underlying principles have led to the emergence of this study. first, the quality of the environment as an important factor in sustainable economic growth has been extensively studied by the international community from various agencies concerned with the survival of the future. the environmental quality which is proxied from the environmental quality index (eqi) is a relatively new concept in indonesia. this measure was first coined in 2009. eqi is a national environmental management performance index that employs the concept of the environmental performance index (epi) by incorporating several criteria covering air quality, water quality, and forest cover quality. second, in the traditional context, development is interpreted as a country’s attempt to improve its people’s quality of life (todaro & smith, 2015), which is a national economy’s ability to create, maintain and even increase gni (gross national income) or gdp (gross domestic product) for long-term (todaro & smith, 2011). economic growth can be defined as a steady increase in income over time. for years, various efforts have been made to accelerate economic growth. however, current economic growth has impacted our environment in negative ways. environmental issues have emerged as a major problem in today’s life. environmental problems are caused by several factors, one of which is environmental degradation caused by complex human activities. as described by the mutual connections between development and its surroundings, environmental problems can jeopardize the development goal. this condition raises two consequences. first, development goals can be seen from improved environmental quality that is part of improving welfare. however, if health and quality of life are sacrificed for the sake of economic growth, which causes high pollution in the environment, it cannot be considered development. second, the decrease in output in the future is a result of environmental damage that affects productivity (beckerman, 1992) and (hitam & borhan, 2012). this study applied the panel data method, which was adopted from the method used by yustia and sugianto (2014), mor and jindal (2017), and jindal et al. (2012). panel data method is multi-dimensional data that combines cross-sectional data and time series (between spaces or individuals) (gujarati & porter, 2009). in addition, this study also wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 303 employed correlation analysis to find out how strong the relationships between variables are. the inverted u-curve theory elucidates the relationship between environmental degradation and economic growth level. furthermore, this theory states that low-income countries tend to focus on efforts to increase state revenue through investment and production that generate higher income, despite issues emerging in the environmental quality. as a result, the pollution level will rise at the beginning of revenue growth, and then fall as the growth continues (hassan et al., 2015) and (narayan et al., 2016). however, other studies continue to believe that economic growth will not have a negative impact on environmental quality in the short run (safriwan & idris, 2020); (ozturk & acaravci, 2010). figure 1 environmental kuznets curve: locus of state source: panayotou, 2003 on the kuznets curve, the relationship between phases of economic development and environmental degradation is divided into three stages. the first stage of economic growth is characterized by rising environmental damage and degradation or known as pre-industrial economics, then followed by the second stage which is industrial economics, and the third stage is post-industrial economics (service economy) (panayotou, 2003). in addition to the debate, other factors may also contribute to environmental quality in each region. one of them is population density which has a positive impact on the decline in environmental quality. it is supported by research conducted by zuhri in indonesia (2014) and ahmad et al. (2005) in pakistan. the previous research shows that a higher population density in an area has a negative impact on the environmental quality. wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 304 research method the grdp and population density data used in this study were obtained from the statistics indonesia or bps (2020). the data of the environmental quality index were derived from the publication of the ministry of environment and forestry. the analysis period used was 2010-2016 in 33 provinces in indonesia. to analyze the data, pearson correlation and multiple regression were performed. pearson correlation was designed to determine the closeness of the relationship between variables. the pearson correlation formulas are as follows: ryx or rxy = or r = multiple regression analysis was performed through a model of panel data of 33 provinces in indonesia during the 2010-2016 period. in general, three approaches were used in the regression model of panel data (rosadi, 2011), namely: 1. pooled least square, eqi = β0 + β1it lngrdp + β2it pd + utit ; 2. fixed effect, eqi = α1 + β1it lngrdp + β2it pd + ci + dt + eit ; 3. random effect, eqi = β0 + β1it lngrdp + β2it pd + wit several tests were performed to determine a good estimation technique for this research, including (1) chow test, which was used to determine the approximation between polled least square and the fixed effect model; (2) multiplier lagrange test, used to choose an estimate between pooled least square and random effect model; (3) haussman test, performed to determine the approximation between fixed effect model and random effect model; and (4) statistical test. the statistical test was measured from f statistics, t statistics, and coefficient of determination (r2). result and discussion in this study, we tested the best model and interpreted the results based on this model. the first step was analyzing the correlation between grdp, population density, and eqi. the second step was identifying the best model for the three alternatives (common effect, fixed effect, and random effect). after determining the best model, we tested the hypothesis for the ekc model certainly the linear model presented by ekins (1997). in the wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 305 following section, the results of the analysis, selection of the best model, and discussion are presented. estimation of the correlation the correlation test was performed in this research to find out the strengths of the relationship between the observed variables. the correlation coefficient values obtained can be used to study the strengths of the relationship between variables, and the probability value obtained was used as a relationship explanatory between these variables. the results are as follows: table 1 correlation estimation for eqi variable coefficient probability grdp -0.554 0.0000 population density (pd) -0.473 0.0000 the table 1 shows that the coefficient of tested variables is (negative), indicating that as the grdp and pd (population density) increase, the eqi decreases, and conversely as the eqi increases, the grdp and pd will decrease. furthermore, the grdp coefficient value of -0.554 indicates a moderate relationship between the grdp and eqi. pd and eqi with a coefficient value of -0,473 fall into the same category of moderate relationship. then, the two variables show a significant probability of 0.0000, this implies h0 is accepted or a connection between variables exists. multiple regression panel data model estimation to find the most appropriate model, panel data regression was employed on three approaches; the common effect model (ecm), the fixed effect model (fem), and the random effect model (rem). common effect model this model is the simplest way that attempts not to consider between time (time-series) and individual dimensions (cross-section). it combines time-series data and crosssectional data of a pool. the estimation results of this model are described as follows: table 2 common effect model (cem) estimation variable coefficient probability c 119.9653 0.000 ingrdp? -4.454518 0.000 pd? -0.001368 0.000 r-squared 0.374196 adjusted r-squared 0.368706 wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 306 the results of panel data regression of this model show that variables of population density (pd) and gross regional domestic product (grdp) have a significant impact on the environmental quality index (eqi). meanwhile, the adjusted r-squared value is 36.87%, implying that the independent variable can explain the dependent variable that is equal to 36.78%, and the remaining 63.22% is explained by variables outside the model. fixed effect model individual differences are explained by the fixed-effect model. these differences can be investigated through the dummy variable. the estimation results of this model are presented in table 3. table 3 fixed effects model estimation results variable coefficient probability c 235.1151 0.0000 lngrdp -14.80981 0.0009 pd 0.007023 0.4787 r-squared 0.672860 adjusted r-squared 0.616111 the regression results of this model indicate that the variable grdp has a significant impact on the environmental quality index (eqi). meanwhile, the population density (pd) does not have any significant influence. an adjusted r-squared value of 61.61% denotes that the independent variable can explain approximately 61.61% of the dependent variable, with the remaining 38.39% elaborated by variables outside the model. random effect model this particular model is a model that can explain specific effects in each individual that are used as part of the random error component, which has no correlation with independent variables. the estimation results of this model are shown in table 4. table 4 random effects model estimation results variable coefficient probability c 126.0416 0.0000 lngrdp -4.980457 0.0000 pd -0.001261 0.0148 r-squared 0.159443 adjusted r-squared 0.152070 the regression values of this effect show that grdp and population density (pd) have a significant impact on the environmental quality index (eqi). meanwhile, the adjusted rsquared value is 15.94%, implying that the independent variable can explain the dependent variable by 15.94%, and the rest 84.06% is explained by variables outside the model. wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 307 the selection of panel data estimation several tests were administered to determine the most appropriate model. the model options are common effect model (cem), fixed effect model (fem), and random effect model (rem). chow test chow test is a method for determining the best model from the common effect model (cem) and the fixed effect model (fem). the following assumptions exist in this test interpretation: (1) h0 is accepted if f-statistics 0.05; (2) h0 is accepted if f-statistics> f-table and probability value (ρ-value) <0.05. table 5 chow test results effects test statistics d.f prob. cross-section f 5.591833 (30.196) 0.0000 cross-section chi-square 149.837643 32 0.0000 the table 5 shows that the cross-section f probability value is 0.0000 or smaller than 0.05. this means that h0 is rejected while h1 is accepted, indicating that the fixed effect model (fem) outperforms the common effect model (cem) in the estimation process. hausman test the hausman test is employed to select which of the random effect model (rem) and fixed effect model (fem) is the best. the following assumptions are applied in the hausman test: (1) h0 is accepted if the hausman statistical value 0.05; (2) h1 is rejected if hausman statistical value> chi-square and probability value (ρ-value) <0.05. table 6 hausman test results test summary chisq statistic chi-sq. d.f prob cross-section random 5.377823 2 0.0680 based on the results of table 6, the hausman test represents a random cross-section probability value of 0.0680, which is >0.05. it implies that the random effect model (rem) is the best model to use in the estimation process. lagrange multiplier test the lagrange multiplier (lm) test is performed to select the best approach between rem and cem. the distribution of chi-square with the degree of freedom (df) is used as a basis for the lm test. the following conditions are applied in the hypothesis testing: (1) h0 is accepted if the breusch-pagan probability value (ρ-value)> 0.05; (2) h1 is rejected if the breusch-pagan probability value (ρ-value) <0.05. wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 308 table 7 lagrange multiplier test results hypothesis test cross-section prob breusch-pagan 96.06440 0.0000 according to the results, the lagrange multiplier (lm) test shows the value of breuschpagan probability of 0.0000, which is smaller than 0.05. it means that rem can be the best model to use in the estimation process. hypothesis testing simultaneous coefficient test (f test) the f test is used to determine the independent variables. the results show that population density (pd) and gross regional domestic product (grdp) have a significant impact on the dependent variable, which is the environmental quality index (eqi). the results of the simultaneous coefficient test are shown in table 8. table 8 f test f-statistics 21.62436 prob (f-statistics) 0.000000 the table 8 presents the prob value (f-statistics) is 0.00. it shows that at a significant level of 0.05, the value of prob (f-statistics) is smaller than 0.05. therefore, it can be concluded that the grdp and pd have an impact on the environmental quality index (eqi). partial test (t-test) the t-test is used to examine the spatial effect of independent variables, which are pd and grdp on eqi. table 9 t-test results variable t-statistic probability c 126.0416 0.0000 lngdrp -4.980457 0.0000 pd -2.456560 0.0148 the followings are the results of the tests for each hypothesis: (1) gross regional domestic product (grdp) variable has a calculated value of (4.980457)> ttable (1.660), meaning that each independent variable has a significant impact on the dependent variable; (2) population density variable (pd) has a t-statistic value (2.456560)> ttable (1.660), implying that independent variable has a significant impact on the dependent variable. coefficient of determination test (r2) to measure the effect of grdp and pd on eqi, the coefficient of determination (r2) test is conducted. the table 10 features the results of the coefficient of determination test: wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 309 table 10 coefficient of determination test r-squared 0.159443 adjusted r-squared 0.152070 the results show the adjusted r-squared value of 0.152070. it indicates that independent variables, namely grdp and pd can explain 15.21% of the environmental quality index (eqi). meanwhile, the remaining 84.79% are described by factors outside this model. data interpretation and the discussion of panel data the random effect model (rem) regression estimation is calculated based on the panel data method and is processed using eviews 9 software. the results are shown in the table 11. from the regression model, the following equation is drawn: eqiit = β1 + β2 lngrdp + β3 pd + ε it eqi = 126.0416 4.980457 lngrdp 0.001261 pd where: eqi = environmental quality index (unit), lngrdp = log gross regional domestic product (idr/ year), pd = population density (%) table 11 estimation results of random effects model variable coefficient probability c 126.0416 0.0000 grdp? -4.980457 0.0000 pd? -0.001261 0.0148 r-squared 0.159443 adjusted r-squared 0.152070 the interpretations of the results of the random effect model (rem) regression using the panel data method shows that the constant partial regression coefficient value is 126.04 and the value of t-statistic is 9.90, where the table value is 1.653. this means that tstatistic is greater than the t-table (9.90> 1.653). the constant coefficient is statistically significant with a probability value of 0.00. economic growth is statistically has a significant impact on environmental quality. this condition suggests that when the level of economic growth and population density in 33 provinces in indonesia is constant or assumed to remain constant, the quality of the environment will reach a constant rate. in other words, if the level of economic growth and population density is constant, the environmental quality will remain at 126.04. further, this can be elaborated as follows: the effect of economic growth (grdp) on environmental quality (eqi) the data analysis results show that partially the level of economic growth represented by gross regional domestic product (grdp) has a significant negative impact on the environmental quality with the probability value of 0.00 <0.05. these results illustrate that wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 310 if economic growth in indonesia, particularly in the 33 provinces, increases by one unit, environmental quality is likely to decrease by 4.98 percent per unit, assuming that all other independent variables remain constant or fixed, and vice versa. this research relies on the linear model because the independent variable for grdp is not in quadratic form. these results are consistent with those of ong and sek (2013), yustisia and sugianto (2014), lee and oh (2015), and damayanti and chamid (2016). economic growth in the study areas shows an unsustainable trend. the relationship between economic growth and development to changes in environmental quality, which continues to decline, is shown by the occurrence of global warming and extreme climate change. the effect of population density on environmental quality (eqi) this study proposes that the population density has a significant negative impact on the environmental quality with the probability value of 0.0148 <0.05. these illustrate that if the population density in 33 indonesian provinces increases by one unit, the environmental quality will decline by 0.001 percent per unit, considering that other independent variables are fixed or consistent, and vice versa. the present study shows a negative correlation between population density and environmental quality. this notion corresponds with research by zuhri (2014), which discovered that population density would result in increased air emissions in indonesia. air emissions are one indicator of the quality of the environment of a region. furthermore, research by das and paul (2014); gul et al. (2015), and damayanti and chamid (2016), also underpinned similar findings that population density increased pollution. conclusion correlation analysis between grdp and eqi shows a negative trend. a negative sign indicates that an increase in domestic products will be accompanied by a decrease in environmental quality. sources of pdrb contributors in indonesia, particularly from mining, industry, and even services also worsen the condition of environmental quality. the relationship between population density and eqi is negative. the increase in population density is followed by the deterioration of environmental quality. high land requirements for industry, housing, and transportation are increasingly worsening the environmental quality. the simon kuznets ekc curve is assumed to apply in indonesia based on the estimation results of panel data regression for grdp and population density on eqi. the model used – random effect model – has a negative impact on the eqi. as indonesia's population grows, so does the pressure on the environment. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 311 wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … regulations governing the use of natural resources are already in place, but their implementation in the field is not optimal yet. regulations on buildings, industry, housing, roads, and physical buildings that have other significant impacts must be thoroughly implemented. compliance with environmental regulations can ensure more efficient use of natural resources. then, to reduce more environmental pollution, the government must control the waste processing of each production process of a company in addition to enacting strict policies. furthermore, population control through family planning program campaigns is required. with a controlled population, the need for food, shelter, and other facilities can be fulfilled. recommendation the results of this study suggest that policymakers tighten environmental permits. this study still has some limitations regarding the study of the high economic growth with an increasing index. according to the ekc theory, once a state reaches a certain level of per capita income, it will realize that quality of life is an important aspect to consider. references ahmad, m. h., azhar, u., wasti, s. a., inam, z., & ghani, n. (2005). interaction between population and environmental degradation. the pakistan development review, 44(4), 1135–1150. retrieved from http://www.jstor.org/stable/41261148 beckerman, w. (1992). economic growth and the environment: whose growth? whose environment? world development, 20(4), 481–496. https://doi.org/10.1016/0305750x(92)90038-w bouznit, m., & pablo-romero, m. del p. (2016). co2 emission and economic growth in algeria. energy policy, 96, 93–104. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2016.05.036 damayanti, r., & chamid, m.s. (2016). analisis pola hubungan pdrb dengan faktor pencemaran lingkungan di indonesia menggunakan pendekatan geographically weighted regression (gwr). jurnal sains dan seni its, 15(1), 7-12. retrieved from https://ejurnal.its.ac.id/index.php/sains_seni/article/view/14170 das, a., & paul, s. k. (2014). co2 emissions from household consumption in india between 1993–94 and 2006–07: a decomposition analysis. energy economics, 41, 90–105. https://doi.org/10.1016/j.eneco.2013.10.019 ekins, p. (1997). the kuznets curve for the environment and economic growth: examining the evidence. environment and planning a: economy and space, 29(5), 805–830. https://doi.org/10.1068/a290805 gujarati, d.n., & porter, d.c. (2009). basic econometrics. 5th edition. new york: mcgraw hill inc. gul, s., zou, x., hassan, c. h., azam, m., & zaman, k. (2015). causal nexus between energy consumption and carbon dioxide emission for malaysia using maximum entropy bootstrap approach. environmental science and pollution research, 22(24), 19773– 19785. https://doi.org/10.1007/s11356-015-5185-0 hassan, s. a., zaman, k., & gul, s. (2015). the relationship between growth-inequalitypoverty triangle and environmental degradation: unveiling the reality. arab economic and business journal, 10(1), 57–71. https://doi.org/10.1016/j.aebj.2014.05.007 http://www.jstor.org/stable/41261148 https://doi.org/10.1016/0305-750x(92)90038-w https://doi.org/10.1016/0305-750x(92)90038-w https://doi.org/10.1016/j.enpol.2016.05.036 https://ejurnal.its.ac.id/index.php/sains_seni/article/view/14170 https://doi.org/10.1016/j.eneco.2013.10.019 https://doi.org/10.1068/a290805 https://doi.org/10.1007/s11356-015-5185-0 https://doi.org/10.1016/j.aebj.2014.05.007 wafiq & suryanto the impact of population density and economic growth … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 312 hitam, m. b., & borhan, h. b. (2012). fdi, growth and the environment: impact on quality of life in malaysia. procedia social and behavioral sciences, 50, 333–342. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.08.038 jindal, r., kerr, j. m., & carter, s. (2012). reducing poverty through carbon forestry? impacts of the n’hambita community carbon project in mozambique. world development, 40(10), 2123–2135. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2012.05.003 lee, s., & oh, d.-w. (2015). economic growth and the environment in china: empirical evidence using prefecture level data. china economic review, 36, 73–85. https://doi.org/10.1016/j.chieco.2015.08.009 mor, s., & jindal, s. (2017). estimation of environmental kuznets curve and kyoto parties: a panel data analysis. international journal of computational engineering & management, 15(1), 5-9. narayan, p. k., saboori, b., & soleymani, a. (2016). economic growth and carbon emissions. economic modelling, 53, 388–397. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2015.10.027 ong, s. m., & sek, s. k. (2013). interactions between economic growth and environmental quality: panel and non-panel analyses. applied mathematical sciences, 7, 687–700. https://doi.org/10.12988/ams.2013.13062 ozturk, i., & acaravci, a. (2010). co2 emissions, energy consumption and economic growth in turkey. renewable and sustainable energy reviews, 14(9), 3220–3225. https://doi.org/10.1016/j.rser.2010.07.005 panayotou, t. (1993). empirical tests and policy analysis of environmental degradation at different stages of economic development. world employment programme research. international labour organization. retrieved from http://www.ilo.org/public/libdoc/ilo/1993/93b09_31_engl.pdf rosadi, d. (2011). analisis ekonometrika & runtun waktu terapan dengan r. yogyakarta: andi. safriwan, s., & idris, i. (2020). pengaruh globalisasi kepadatan penduduk dan pertumbuhan ekonomi terhadap degradasi lingkungan di indonesia. jurnal kajian ekonomi dan keuangan, 2(4), 1-8. retrieved from http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/epb/article/view/10384 statistics indonesia (bps). (2020). gross regional domestic product of provinces in indonesia constant prices in 2010 (2010-2016). retrieved from https://www.bps.go.id/ todaro, m.p., & smith, s.c. (2011). pembangunan ekonomi. jakarta: erlangga. todaro, m.p., & smith, s.c. (2015). economic development, 12th edition. harlow: essex pearson education limited. united nations. (2017). the sustainable development goals report. united nations publications. retrieved from https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2017/thesustainabledevelopmentgoalsreport 2017.pdf yustisia, d., & sugiyanto, c. (2014). analisis empiris environmental kuznets curve (ekc) terkait orientasi energi. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 15(2), 161-170. retrieved from https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1232 zuhri, m. s. (2014). pengaruh faktor-faktor demografi terhadap emisi udara di indonesia. jurnal ilmu ekonomi dan pembangunan, 14(2), 13-37. retrieved from https://jurnal.uns.ac.id/jiep/article/view/9880 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.08.038 https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2012.05.003 https://doi.org/10.1016/j.chieco.2015.08.009 https://doi.org/10.1016/j.econmod.2015.10.027 https://doi.org/10.12988/ams.2013.13062 https://doi.org/10.1016/j.rser.2010.07.005 http://www.ilo.org/public/libdoc/ilo/1993/93b09_31_engl.pdf http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/epb/article/view/10384 https://www.bps.go.id/ https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2017/thesustainabledevelopmentgoalsreport2017.pdf https://unstats.un.org/sdgs/files/report/2017/thesustainabledevelopmentgoalsreport2017.pdf https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1232 https://jurnal.uns.ac.id/jiep/article/view/9880 microsoft word 06-syamsul jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.55-63 determinan kinerja keuangan bank perkreditan rakyat konvensional syamsul maryadi1, agus tri basuki2 1 institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 e-mail korespondensi: agustribasuki@yahoo.com naskah diterima: september 2013; disetujui: februari 2014 abstract: the research aims to analyze the banking management rate (liquidity rate and credit distribution rate, asset quality rate, capital rate, and the operational efficiency rate) to the return on asset (roa) of bank perkreditan rakyat (bpr). the sample that is used in this research taken from bprs which operate in yogyakarta. the research uses the regression model of panel data with two-ways-fixed-effect. the result shows that liquidity rate and credit distribution rate (loan to deposit ratio) is not significant to roa. asset quality rate (nonperforming loan) and operational efficiency rate (bopo) has significantly negative influence to roa while capital rate (capital adequacy ratio) has positive and significant impact to roa. keywords: roa; loan to deposit ratio; non-performing loan; capital adequacy ratio; bopo jel classification: g21, g23 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh tingkat rasio kesehatan bank (tingkat likuiditas dan penyaluran kredit, tingkat kualitas aset, tingkat kecukupan modal dan tingkat efisiensi operasional) terhadap kinerja keuangan (return on asset) bank perkreditan rakyat konvensional di daerah istimewa yogyakarta periode juni 2009-april 2013. sampel dalam studi ini adalah seluruh bank perkreditan rakyat konvensional yang beroperasi di kabupaten dan kota daerah istimewa yogyakarta. studi ini menggunakan model regresi data panel dengan model two-ways fixed-effect (efek tetap dua arah). hasil studi menunjukkan bahwa tingkat likuiditas dan penyaluran kredit (loan to deposit ratio) berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja keuangan, tingkat kualitas aset (non performing loan) dan tingkat efisiensi operasional (bopo) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan sementara tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan. kata kunci: roa; loan to deposit ratio; non-performing loan; capital adequacy ratio; bopo klasifikasi jel: g21, g23 pendahuluan bank adalah salah satu lembaga keuangan yang berperan sebagai lembaga intermediasi sekaligus sebagai penggerak langsung pada sektor riil. menurut undang-undang ri no. 10 tahun 1998 tentang perbankan,berdasarkan jenisnya bank dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. keberadaan bank perkreditan rakyat di tengahtengah dominasi bank umum sangat diperlukan karena memiliki pasar khusus untuk meningkatkan produktivitas sektor riil, khususnya bagi usaha-usaha mikro, kecil dan menengah. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 55-63 56 perkembangan bpr di diy khususnya bpr konvensional selama dua puluh tahun terakhir sangat berkembang pesat. dari data bank indonesia pada tahun 1987-1988, jumlah bpr konvensional yang beroperasi di diy hanya sebanyak 11 bank. namun sejak tahun 1994 jumlah bpr konvensional di diy bertambah menjadi 51 bank dan diawal tahun 2013 jumlah bpr konvensional yang tercatat di bank indonesia mencapai 54 bank. pesatnya bisnis perbankan di diy membuat bank-bank tersebut harus selalu menjaga kinerja keuangannya sehingga tidak menimbulkan masalah dalam kegiatan operasionalnya. secara umum, kinerja keuangan bpr konvensional diy yang dilihat dari rasio return on asset selama lima tahun terakhir menunjukkan rasio yang tergolong aman bagi bank karena diatas 1,215% sesuai yang ditetapkan bank indonesia dalam pengkategorian tingkat kesehatan bpr.terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan return on asset bank, seperti faktor internal bank, kondisi makro ekonomi maupun faktor dari nasabah baik faktor kreditur maunpun debitur. menurut mahardian (2008), faktor terbesar yang mempengaruhi return on asset bank adalah tingkat effisiensi operasional yang dilihat dari rasio bopo bank. tingginya rasio bopo menunjukkan belum optimalnya margin pendapatan opersional bank terhadap biaya operasionalnya yang menunjukkan tidak efisiennya kegiatan usaha bank. tidak efisiennya operasional bank biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak mampunya manajemen dalam mengelola bank akibat rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki, rendahnya pemasaran produk, biaya operasional yang terlalu tinggi karena sistem bunga dan lokasi bank yang tidak strategis. namun jika rasio bopo bank rendah menunjukkan bahwa bank tersebut mampu mengoptimalkan margin pendapatan operasionalnya atas biaya operasionalnya, sehingga dalam keadaan demikian bank efisien dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki baik sumber daya modal maupun sumber daya manusia. selain faktor tingkat efisiensi, faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan bank adalah terjadinya kredit gagal bayar (non performing loan) yang dapat mengurangi pendapatan bank dari sisi kredit. umumnya sebagian besar kredit yang disalurkan oleh bank perkreditan rakyat konvensional di diy memiliki kolektibilitas rendah. hal ini ditunjukkan oleh cukup tingginya rasio non performing loan bank. dimana sejak tahun 2008-2013, rasio npl bpr konvensional rata-rata diatas rasio yang ditetapkan bank indonesia yaitu sebesar 5%. tingginya rasio non performing loan jelas dapat menurunkan tingkat likuiditas bank yang berdampak terhadap ketidakmampuan bank dalam menutupi biaya operasional atas tanggungan terhadap suku bunga deposito maupun tingkat kecukupan modal bank. ketidakmampuan bank dalam membayar kewajibannya akan menurunkan kepercayaan nasabah terhadap bank dan nantinya jelas akan berdampak juga terhadap penurunan kinerja bank. selain faktor di atas, faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja adalah tingkat kecukupan modal dan juga besarnya penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank. dengan adanya modal yang cukup, maka bank akan memiliki peluang besar untuk menggunakannya untuk tujuan produktif, sehingga akan meningkatkan pemenuhan bank. adanya ekspansi kredit yang dilakukan oleh bank jelas akan meningkatkan profitabilitas bank dari sisi kredit. jika bank dapat menjaga tingkat kecukupan modal dan tingkat penyaluran kredit tanpa mengesampingkan tingkat likuiditasnya, maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank dan juga kinerja keuangan bank dari sisi pendapatan. untuk mengukur tingkat kecukupan modal bank biasanya digunakan capital adequacy ratio,sedangkan untuk mengukur besarnya penyaluran kredit dan juga tingkat likuiditas umumnya digunakan loan to deposit ratio. maka perlu adanya studi mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi roa bank perkreditan rakyat konvensional di daerah istimewa yogyakarta sebagai implementasi pengukuran kinerja bank dalam mengelola dan memanfaatkan asetnya untuk menghasilkan laba dengan mengambil sampel dari keseluruhan bpr konvensional yang ada di kabupaten bantul, gunung kidul, kulon progo, sleman dan kota yogyakarta. determinan kinerja keuangan ...(syamsul maryadi, agus tri basuki) 57 metode penelitian studi ini menggunakan analisis kuantitatif dan data sekunder berupa data runtut waktu dan cross section dalam bentuk data bulanan. data dalam studi ini diperoleh dari statistik bank perkreditan rakyat konvensional bank indonesia. seluruh variabel dalam studi ini merupakan rata-rata rasio seluruh bpr konvensional dari setiap satuan kerja wilayah operasional di daerah istimewa yogyakarta dari bulan juli 2009 sampai dengan april 2013. ada pun rinciannya tertera pada tabel 1. tabel 1. jenis variabel, konsep, dan satuan variabel konsep satuan roa roa merupakan rasio perbandingan antara laba sebelum pajak dengan rata-rata total aset persen ldr ldr merupakan rasio perbandingan antara total kredit yang disalurkan dengan jumlah dana pihak ketiga (dpk) persen npl npl merupakan rasio perbandingan antara kredit bermasalah dengan total kredit yang disalurkan oleh bank persen car car merupakan rasio perbandingan antara total modal dengan total aktiva tertimbang menurut risiko (atmr) persen bopo bopo merupakan rasio perbandingan antara total biaya operasional dengan total pendapatan operasional persen sehingga dari beberapa variabel yang digunakan dalam studi maka dapat dibuat suatu model studi sebagai berikut: = + + + + 1) di mana: y adalah return on asset; adalah konstanta; , , , adalah koefisien variabel 1,2,3,4; adalah loan to deposit ratio; adalah non performing ratio; adalah capital adequacy ratio; adalah bopo; i adalah kabupaten; t adalah periode waktu ke-t; adalah error term. untuk menjawab permasalahan ini dapat dilakukan uji kualitas data, uji hipotesis dan analisa data. uji kualitas data terdiri dari uji heteroskedastisitas dan multikolinearitas. tabel 2. uji heteroskedastisitas dengan uji park variabel probabilitas c 0,416 lnldr 0,486 lnnpl 0,533 lncar 0,848 lnbopo 0,865 ket: ***signifikan 1%, **signifikan 5%, *signifikan 10% berdasarkan hasil uji park dari tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan terbebas dari masalah heteroskedastisitas. selain itu, tidak terdapat pula adanya multikolinearitas antara variabel independen. karena tidak adanya koefisien korelasi antar variabel yang lebih besar dari |0,9|. untuk menentukan model terbaik, dilakukan uji hausman guna mengetahui dan menentukan model terbaik antara random effect model (rem) dan fixed effect model (fem) dalam metode panel data, yang kemudian diperoleh nilai chi-square sebagai berikut (lihat tabel 3): tabel 3. hasil uji hausmantest (fixed effectsrandom effects) chi-square = 75,54190 p-value= 0,000000 berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa model yang digunakan adalah fixed effects (efek tetap). uji selanjutnya adalah breusch-pagan yang digunakan untuk mengetahui apakah dalam model panel data terdapat efek cross section atau efek waktu yang kemudian diperoleh hasil uji yang tersaji dalam tabel 4. tabel 4. hasil uji breusch-pagan test (cross section effects-time effects) hypothesa statistics p-value : c = 0 849,0377 0,000000 : d = 0 15,72774 7,31e-05 : c = 0, d = 0 864,7655 0,000384 ket: c = cross section, d = time jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 55-63 58 berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa model yang digunakan adalah model analisis efek dua arah. sehingga, berdasarkan hasil uji hausman dan uji breusch-pagan, maka dapat disimpulkan model yang digunakan dalam studi ini adalah model data panel dengan twoways fixed-effect (efek tetap dua arah) yang memuat komponen cross-section dan time yang diimplementasikan dengan variabel dummy. model ini memberikan arti bahwa adanya perbedaan karakteristik di antara observasi dan periode, sehingga terdapat intersep berbeda pada setiap observasi dan periode. berikut ini hasil estimasi data panel dengan jumlah observasi sebanyak 5 kabupaten selama periode bulan juni 2009 sampai dengan april 2013: roa bantul = 0,462 (efek wilayah) + efek waktu + 15,244 – 0,005*ldr bantul – 0,123*npl bantul + 0,047*car bantul – 0,152*bopo bantul roa gunung kidul = – 0,646 (efek wilayah) + efek waktu + 15,244 – 0,005*ldr gunung kidul – 0,123*npl gunung kidul + 0,047*car gunung kidul – 0,152*bopo gunung kidul roa kulon progo = 0,337 (efek wilayah) + efek waktu + 15,244 – 0,005*ldr kulon progo – 0,123*npl kulon progo + 0,047*car kulon progo – 0,152*bopo kulon progo roa sleman = 0,398 (efek wilayah) + efek waktu + 15,244 – 0,005*ldr sleman – 0,123*npl sleman + 0,047*car sleman – 0,152*bopo sleman roa kota yogyakarta = – 0,550 (efek wilayah) + efek waktu + 15,244 – 0,005*ldr kota yogyakarta – 0,123*npl kota yogyakarta + 0,047*car kota yogyakarta – 0,152*bopo kota yogyakarta pada model estimasi di atas, nampak bahwa adanya pengaruh variabel cross-section yang berbeda di setiap kabupaten dan kota yang ada di diy terhadap kinerja keuangan bpr konvensional. kabupaten bantul, kulon progo dan sleman memiliki pengaruh efek cross-section yang bernilai positif, yaitu memiliki nilai koefisien masing-masing sebesar 0,462; 0,337; dan 0,398. sementara itu, kabupaten gunung kidul dan kota yogyakarta memiliki efek cross-section negatif, yaitu -0,646 dan -0,550. selain itu, dengan adanya penambahan efek waktu dalam model analisis juga memberikan pengaruh yang berbeda-beda di setiap bulannya terhadap kinerja keuangan bpr konvensional yang ada di diy. jika dilihat dari variabel independen, hanya variabel loan to deposit ratio tidak signifikan terhadap kinerja keuangan bpr konvensional di diy. sementara variabel lainya, yaitu non performing loan, capital adequacy ratio dan bopo masing-masing signifikan terhadap kinerja keuangan (return on asset) bpr konvensional di diy. kenaikan rasio kredit macet (non performing loan) sebesar 1% akan menurunkan rasio return on asset sebesar 0,123%. begitu juga dengan kenaikan variabel bopo sebesar 1% yang akan menurunkan rasio return on asset sebesar 0,152%. sedangkan variabel tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio) dengan kenaikan rasio sebesar 1% akan menaikkan rasio return on asset sebesar 0,047%. nilai determinasi (r-squared) dalam estimasi adalah sebesar 0,841, yang berarti bahwa variasi variabel endogen dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya dalam persamaan sebesar 84,1% dan sisanya sebesar 15,9% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.jika dilihat dari hasil uji f, pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel independen (bebas) terhadap variabel dependennya (terikat) adalah baik. hasil dan pembahasan berdasarkan hasil studi atau estimasi model di atas maka dapat dibuat suatu analisis dan pembahasan mengenai pengaruh variabel independen (loan to deposit ratio, non performing loan, capital adequacy ratio dan bopo) terhadap kinerja keuangan (return on asset) bpr konvensional di diy yang diinterpretasikan sebagai berikut: hasil analisis di atas menunjukkan bahwa determinan kinerja keuangan ...(syamsul maryadi, agus tri basuki) 59 variabel loan to deposit ratio memiliki hubungan yang negatif namun tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan bpr kovensional yang beroperasi di diy. hasil studi ini sama seperti studi yang dilakukan oleh ongore dan kusa (2013), yang mendapatkan hasil bahwa loan to deposit ratio tidak signifikan terhadap return on asset bank. adanya ekspansi penyaluran kredit tidak serta merta dapat mendorong peningkatan profitabilitas bank. keadaan ini sangat lumrah terjadi pada bank yang menganut the doctrine of anticipated income, dimana adanya resiko dalam pengyaluran kredit yang sering mengalami kualitas rendah dan tidak bisa diprediksikan. sehingga penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank akan rentan sekali untuk terjadinya gagal bayar oleh kreditur (lihat gambar 1). pada kasus bpr konvensional di diy, umumnya loan to deposit ratio yang dimiliki tergolong rendah dengan rata-rata rasio di bawah 94,75%, menunjukkan bahwa sebagian besar bpr konvensional yang beroperasi memiliki tingkat penyaluran kredit yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan dana pihak ketiga yang terhimpun. hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya selisih laba bunga yang didapat oleh bank akibat pendapatan bunga kredit yang tertekan oleh biaya bunga operasional dari dana pihak ketiga. dalam dunia perbankan, pergerakan rasio ldr dapat dipengaruhi oleh adanya perubahan pertumbuhan baik pada penyaluran kredit ataupun perubahan pertumbuhan pada dana pihak ketiga. berdasarkan gambar 1, tampak bahwa laju pertumbuhan penyaluran kredit memiliki pengaruh positif terhadap rasio ldr dan sebaliknya laju pertumbuhan dana pihak ketiga memiliki pengaruh negatif terhadap terhadap rasio ldr. adanya hubungan negatif antara rasio tingkat penyaluran kredit dengan rasio return on asset pada bpr konvensional di diy dapat membuktikan bahwa penyaluran kredit oleh perbankan di diy tidak serta merta dapat meningkatkan profitabilitas bank. keadaan ini dapat dibuktikan dari masih tingginya rasio kredit default yang terjadi di sebagian besar bpr konvensional yang ada di diy, di mana ratarata rasio non performing loan yang dimiliki berkisar di atas 5%. gambar 1 memperlihatkan bahwa pergerakan pertumbuhan penyaluran kredit bank berbanding lurus dengan tingkat kredit default, artinya ketika terjadi peningkatan penyaluran kredit, sebagian besar kredit yang disalurkan tersebut memiliki kualitas yang rendah. rendahnya tingkat penyaluran kredit di sumber: bank indonesia (diolah) gambar 1. perkembangan dan pertumbuhan kredit dan dpk, rasio npl dan ldr periode kuartal ii 2009-kuartal i 2013 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 55-63 60 sertai dengan kualitas kredit yang rendah dan tingginya biaya dana operasional tentu akan berdampak pada kinerja keuangan bank. keadaan tersebut didasarkan oleh beberapa hal, yaitu: pertama, rendahnya kualitas kredit pada bank akan berpengaruh pada alokasi modal pelengkap bank untuk tujuan produktif akibat adanya dana penyisihan aktiva produktif untuk menjaga tingkat kecukupan modal. sehingga dengan semakin menipisnya modal bank untuk tujuan produktif dapat mengurangi ekspansi penyaluran kredit yang berdampak pada berkurangnya kesempatan bank untuk memperoleh pendapatan berupa bunga kredit atas aset yang dimiliki. kedua, rendahnya porsi penyaluran kredit dibandingkan dana pihak ketiga yang terhimpun dapat mengurangi laba bank akibat pendapatan bunga kredit yang tertekan oleh biaya bunga, keadaan tersebut akan diperparah lagi jika kredit yang disalurkan memiliki kualitas rendah. adanya hubungan positif antara tingkat pertumbuhan penyaluran kredit dengan tingkat kredit default dan adanya tingkat penyaluran kredit yang selama lima tahun terakhir masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan porsi dana pihak ketiga yang terhimpun, membuat bpr-bpr konvensional yang beroperasi di diy terindikasi kurang memperhatikan aspek kehati-hatian dalam menilai calon debitur pada saat melakukan penyaluran kredit. sehingga untuk meningkatkan nilai rentabilitas pada bpr-bpr konvensional yang beroperasi di diy, maka perlu adanya penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank, seperti dengan menerapkan prinsip 5c (character, capacity, capital, condition of economic dan collateral), 7p (personality, party, purpose, prospect, payment, profitability dan protection) dan 3r (returns, repayment dan risk bearing ability). pada kasus bank yang memiliki tingkat kredit default tinggi, adanya prinsip kehati-hatian ini di satu sisi tentu akan menurunkan kuantitas kredit bank, namun di sisi lain jelas akan meningkatkan kualitas dari kredit yang disalurkan. sehingga dengan adanya kualitas kredit yang tinggi akan lebih menguntungkan bagi bank untuk memaksimalkan rentabilitasnya. keadaan ini umumnya terjadi pada bank yang wilayah kerjanya memiliki karaktersitik debitur yang terindikasi kurang bankable. terbukti dari analisis diatas di dapatkan bahwa loan to deposit ratio memiliki hubungan negatif terhadap kinerja keuangan (return on asset) bank. pengaruh non performing loan terhadap kinerja keuangan (return on asset) yaitu variabel non performing loan atau rasio perbandingan antara kredit default dengan kredit yang disalurkan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan (return on asset) bpr konvensional di diy. hasil studi ini sama seperti hasil studi yang dilakukan oleh ongore dan kusa (2013), karunia (2013), sukarno dan syaichu (2006), dan mawardi (2004). tingginya rasio non performing loan menunjukkan bahwa gagalnya bank dalam penyaluran kredit yang tercermin dari tingginya kredit gagal atau macet, sehingga dapat dikatakan kredit yang disalurkan memiliki kualitas yang rendah. adanya kualitas kredit yang rendah jelas akan mengurangi profitabilitas bank akibat besarnya cadangan penyisihan penghapusan aktiva produktif. selain itu, tingginya rasio non performing loan membuat bank akan lebih selektif dalam menentukan calon debiturnya sehingga akan mengurangi penyaluran kredit oleh bank. akibatnya, dengan penurunan kuantitas kredit tersebut akan berdampak juga pada pendapatan bank. adanya pengaruh capital adequacy ratio terhadap kinerja keuangan (return on asset). capital adequacy ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal dan kapasitas bank dalam mempertahankan modalnya untuk kegiatan operasionalnya. dengan adanya modal yang cukup maka bank tidak akan kesulitan baik dalam hal untuk tujuan penyaluran kredit ataupun untuk menjaga tingkat likuiditas bank. sehingga bank akan lebih siap untuk memenuhi tujuan jangka pendeknya ataupun untuk tujuan jangka panjangnya. pada estimasi model studi di atas dapat diketahui bahwa capital adequacy ratio memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan (return on asset) bank. hasil penelitian tersebut sama seperti yang pernah diutarakan oleh sabir dkk (2012). besarnya modal suatu bank jelas akan mempengaruhi jumlah aktiva produktifnya, sehingga asset utilization bank juga akan semakin meningkat. dengan determinan kinerja keuangan ...(syamsul maryadi, agus tri basuki) 61 semakin tingginya asset utilization bank, maka tentunya bank akan mudah mengelolanya sehingga dapat meningkatkan laba bank tersebut. selain itu, kokohnya permodalan bank juga akan meningkatkan ketahanan bank saat terjadi gejolak ekonomi dan juga dapat meningkatkan kepercayaan dari masyarakat terhadap bank itu sendiri. hasil pengaruh biaya operasional terhadap pendapatan operasional (bopo) terhadap kinerja keuangan (return on asset)diketahui bahwa rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (bopo) merupakan rasio yang menunjukkan besarnya keberhasilan dan kualitas dari bank kaitannya dengan manajemen operasionalnya. semakin rendah rasio bopo menunjukkan bahwa bank dapat mengelola asetnya menjadi lebih produktif yang dapat menekan biaya operasionalnya. sehingga rasio bopo juga dapat dikatakan sebagai rasio yang menunjukkan tingkat efisiensi dari bank dalam kegiatan operasionalnya. berdasarkan hasil estimasi di atas, dapat diketahui bahwa rasio bopo memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan (return on asset) bpr konvensional di diy. hasil studi ini dapat memperkuat beberapa hasil studi terdahulu, seperti studi yang dilakukan oleh sukarno dan syaichu (2006), akhtar dkk (tidak diterbitkan) dan mahardian (2008) yang menyatakan bahwa tingkat efisiensi bank yang direfleksikan dari rasio bopo berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio return on asset bank. adanya pengaruh negatif antara rasio bopo dan return on asset menunjukkan bahwa jika bank semakin effisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya (rasio bopo yang rendah) maka jelas keadaan tersebut dapat meningkatkan kinerja keuangannya (rasio roa akan naik). sebaliknya, kinerja keuangan (return on asset) bank akan rendah jika bank tidak effisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya (rasio bopo yang tinggi). kondisi ini dapat terjadi akibat biaya operasional bank yang terlalu besar yang tidak dapat ditekan oleh pendapatan operasonalnya sehingga dapat mengurangi profitabilitas dari kegiatan operasional bank itu sendiri. jika dilihat dari kinerja keuangan (return on asset) bank selama tahun analisis, umumnya kinerja keuangan bpr konvensional yang beroperasi di diy memiliki rasio roa diatas 1,215%. keadaan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar bpr-bpr konvensional tersebut sudah cukup optimal dalam mencapai tujuan rentabilitasnya. kondisi berbeda terjadi pada bpr syariah yang beroperasi di diy, yang memiliki nilai rentabilitas yang masih tergolong rendah. adanya perbedaan kinerja keuangan antara bpr konvensional dan bpr syariah di diy menguatkan studi yang dilakukan oleh sabir dkk (2012) dan sukmayanti (2013), dimana dalam studinya diterangkan bahwa kinerja keuangan bpr konvensional lebih tinggi dari pada kinerja bpr syariah. rendahnya kinerja keuangan (return on asset) bpr syariah di diy umumnya disebabkan oleh rendahnya laba yang didapat sebelum pajak, bahkan tidak jarang di beberapa bank sering mengalami kerugian. sementara itu, jika dilihat dari pertumbuhan total aset yang dimiliki selama tahun 2012, pertumbuhan aset bpr syariah lebih unggul dibandingkan dengan pertumbuhan aset bpr konvensional, walaupun total aset yang dimiliki bpr syariah lebih sedikit dibandingkan bpr konvensional. rendahnya total aset yang dimiliki bpr syariah tidak terlepas dari masih tabel 5. total dan pertumbuhan aset bpr syariah dan bpr konvensional periode kuartal i 2012-kuartal ii 2013 uraian jenis usaha bpr 2012 2013 i ii iii iv i aset (triliun) bpr konvensional 2.768 2.938 3.079 3.263 3.338 bpr syariah 180 199 223 242 243 ∆ aset (%) bpr konvensional 1,58 6,14 4,80 5,98 2,30 bpr syariah 7,14 10,56 12,06 8,52 0,41 sumber: bank indonesia (diolah) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 55-63 62 sedikitnya bpr syariah yang beroperasi di diy. di antara lima kabupaten dan kota hanya kabupaten bantul, sleman dan kota yogyakarta yang memiliki bpr syariah, di mana 3 bank beroperasi di bantul, 5 bank di sleman dan 3 bank di kota yogyakarta. artinya dengan pertumbuhan aset yang semakin meningkat di saat adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, bpr syariah di diy sebenarnya memiliki prospek usaha yang besar untuk mengoptimalkan perannya sebagai lembaga perantara keuangan dan lembaga penentu pembangunan dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki dalam operasionalnya sesuai dengan prinsip islam melalui kemitraan antara bank dan nasabah. sedangkan untuk bpr konvensional walaupun total asetnya selalu meningkat tiap tahun, namun perlu adanya dorongan kinerja yang lebih baik lagi mengingat pertumbuhan aset yang dimiliki selama dua tahun terakhir mengalami fluktuasi. hal ini di karenakan karena posisi dan peran aset dari suatu bank sangat berpengaruh dan menentukan dalam kegiatan intermediasi dan operasional bank. simpulan berdasarkan hasil studi terhadap faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan bank perkreditan rakyat di diy periode juni 2009-april 2013, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: variabel loan to deposit ratio berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja keuangan (return on asset) bpr konvensional di diy. variabel non performing loan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan bpr konensional di diy. tingginya rasio non performing loan atau kualitas kredit yang rendah akan berdampak pada tingginya cadangan penghapusan kredit sehingga dapat mengurangi rentabilitas bank.variabel capital adequacy ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan bpr konvensional di diy. jika modal yang dimiliki bank semakin besar, maka akan berpengaruh terhadap besarnya pemenuhan aset bank yang nantinya akan semakin mudah untuk mengelolanya sehingga dapat meningkatkan laba. variabel biaya operasional atas pendapatan operasional (bopo) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan bpr konvensional di diy. hubungan negatif antara rasio bopo dan rasio roa dapat terjadi karena ketidakefisienan bank dalam menjalankan usahanya akibat biaya operasional bank yang terlalu besar dan tidak dapat ditekan oleh pendapatan operasionalnya sehingga mengurangi rentabilitas dari kegiatan operasional bank itu sendiri. daftar pustaka akhtar et al. (tt) factors influencing the profitability islamic banks of pakistan. international research journal of finance and economics. vol. 66, nomor (tidak diterbitkan), bulan (tidak diterbitkan): 125-132. clorinda,k., (2013). analisis pengaruh capital, asset quality dan liquidity terhadap kinerja keuangan pada sektor perbankan yang terdaftar di bursa efek indonesia (bei). jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya. vol ii, 1: 1-17. pandu, m., (2008). analisis pengaruh rasio car, bopo, npl, nim dan ldr terhadap kinerja keuangan perbankan. tesis. semarang: program studi magister manajemen pascasarjana universitas diponegoro. wisnu, m., (2004). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan bank umum di indonesia. tesis. semarang: program studi magister manajemen pasca sarjana universitas diponegoro. ongore, v.o., and kusa, g.b. (2013). determinants of financial performance of commercial banks in kenya. international jurnal of economics and financial issues. vol. iii, 1: 237-252. sabir, m, dkk., (2012). pengaruh rasio kesehatan bank terhadap kinerja keuangan bank umum syariah dan bank konvensional di indonesia. jurnal analisis. vol. i, 1, juni: 79-78. sukarno, k.w., dan syaichu, m. (2006). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bank umum di indonesia. jurnal studi determinan kinerja keuangan ...(syamsul maryadi, agus tri basuki) 63 manajemen dan organisasi. vol iii, 2, juli: 46-58. sukmayanti, yuni. (2013). analisis perbandingan kinerja keuangan dengan menggunakan roa pada bpr syariah dan bpr konvensional di indonesia. jurnal universitas siliwangi: 1-14. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper the role of foreign tourists in economic growth: evidence from indonesia muhammad azizurrohman*1, romi bhakti hartarto2, yih-ming lin3, and faiza husnayeni nahar2 abstract: foreign tourism is indicated as one of the important instruments to encourage economic growth in several countries, including indonesia. however, some studies only focus on the influence of tourist arrivals. thus, the main objective of this study is to take a deeper look at the contribution of foreign tourism indicators to economic growth in indonesia. using panel data analysis from 33 countries between 2006 and 2016, this study applies three models: pooled least square (pls), fixed effect model (fem), and random effect model (fem). based on the fixed-effect model, this study reveals that foreign tourist arrivals have a significant and positive effect on economic growth. however, other tourism indicators such as length of stay and expenditure of foreign tourists appear to have no contribution to economic growth. from these findings, it can be implied that the indonesian government should not only attract more tourists to come but also design strategies to encourage tourists to spend more money and stay longer. this study also finds that depreciation of indonesian currency and visa-free policies have a significant contribution to higher economic growth. keywords: tourist arrival; economic growth; visa-free; exchange rate jel classification: l83; o11; z32; z38 introduction it has been more than decades that tourism has been considered as an important element to boost the economic growth of the countries, particularly in the developing countries, including indonesia (savaş et al., 2010). the tourism industry becomes increasingly significant for the indonesian economy nowadays. specifically, it has generated us$ 14.11 billion in foreign exchange until 2018 (statistics indonesia, 2020). it comes from the flights, hotels, restaurants, and products from micro, small, and medium enterprises that are all the sources of foreign exchange revenues for tourism (msmes) (sulasmiyati, 2019). this industry also employs a large number of people, supporting the local economies. the indonesian government predicted that foreign tourists would contribute to 20 million visits per year, out of a total foreign exchange of us$ 17.6 billion (sulasmiyati, 2019). nonetheless, the contribution of tourism to gdp has remained stable at roughly 4% per year from 2015 to 2017 (statistics indonesia, 2018). affiliation: 1 department of tourism, sekolah tinggi pariwisata mataram, west nusa tenggara, indonesia 2 department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia 3 department of applied economics, national chiayi university, taiwan (r.o.c.) *correspondence: m.azizur96@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.11591 citation: azizurrohman, m., hartarto, r.b., lin, y-m., nahar, f.h. (2021). the role of foreign tourists in economic growth: evidence from indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 313-322. article history received: 25 apr 2021 revised: 15 aug 2021 27 sep 2021 accepted: 01 oct 2021 https://scholar.google.com/citations?user=vaypbw4aaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=bp-4i4waaaaj&hl=en https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=37077347500 https://scholar.google.com/citations?user=f2fai-qaaaaj&hl=en https://www.stpmataram.ac.id/sarjana-pariwisata-s1 https://www.stpmataram.ac.id/sarjana-pariwisata-s1 https://www.stpmataram.ac.id/sarjana-pariwisata-s1 https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ http://www.ncyu.edu.tw/dpae_eng/ http://www.ncyu.edu.tw/dpae_eng/ http://www.ncyu.edu.tw/dpae_eng/ mailto:m.azizur96@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/11591 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.11591&domain=pdf azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 314 the benefit of being host countries would be plenty enough to achieve rapid economic development as well (pompili et al., 2019). however, the development of the tourism industry potentially has effects on the economy such as increased consumption of goods and services as well as job vacancies. if the government cannot formulate the best strategy to promote indonesia, it may hurt tourism and economic development (mariyono, 2017). thus, understanding the contribution of international tourism arrivals toward economic growth is important. many studies reveal that the main factors playing a role in tourism development include transportation capacity, an extension of paid vacation duration, and improvement in communication technology (akin aksu & aktaş, 2005). to find out the relationship between tourism and economic growth, the advantages and disadvantages of tourism growth should be taken into account (sinclair, 1998). tourism potentially increases the supply of currency, which in turn can reduce the foreign exchange gaps and increase personal income and taxes. in addition, international tourism contributes to the national income through increased productivity, the competitiveness of local and national business units, absorption of new workers, and increased demand for goods and services (gaspar, 2020; sakyi & egyir, 2017). on the other hand, tourists can cause environmental damage such as an increasing amount of waste and pollution. as a result, this harms local communities and the sustainability of tourism in the future. in addition, tourism activities can damage the culture of local communities along with intense tourist activities (schneider, 1993). due to the importance of tourism to the economy, many researchers have attempted to analyze its contribution in recent decades. it has been found in portugal that a 1% increase in the tourism sector infrastructure led to a 0.01% increase in per capita income (soukiazis & proença (2007). the analysis further was extended into the specialization of country tourism and its role in economic growth, concluding that countries with abundant natural resources gain comparative advantage in tourism and develop more rapidly than countries specializing in manufacturing (figini & vici, 2010). furthermore, chiu and yeh (2016) analyzed the empirical correlation between economic growth, country size, and tourism. they found that countries relying on tourism are growing faster. they also found that small countries with strong tourism industries will develop rapidly. fayissa et al. (2008) investigated the contribution of the tourism industry to african economic growth and development. by applying panel data from 42 african countries over 10 years, they found that tourism revenue has a significant and positive contribution to the current level of national income. over 15 years, samimi et al. (2013) investigated the causal and longterm relationship between tourism and economic growth in developing countries. their results show that tourism creation and economic growth have a long-term positive relationship. in contrast to most studies of tourism, figini et al. (2018) showed that tourism specialization is not a panacea for resolving development and growth issues. their empirical evidence suggested that, on average, countries that depend on tourism do not develop substantially different from other countries. moreover, oh (2005) looked into the long-term relationship between tourism industry's development and south korea's national output. they concluded that tourism and economic growth have no long-term relationship. although many studies discuss tourism and economic growth as mentioned, azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 315 they only measured foreign tourists based on the number of arrivals. this study added other aspects of tourist arrivals such as tourist spending and length of stay to the existing literature. the inclusion of these variables is expected to add to the existing literature that has never addressed this concern. research method in this study, to evaluate whether foreign tourist arrivals lead to an increase in gdp, we use quantitative analysis with secondary data to estimate the effect. specifically, we use panel data from 33 countries of tourists’ origin over 10 years, from 2006 to 2016, to examine the effect of international tourism on economic growth in indonesia. table 1 presents a list of countries being used in this study. data in this study were taken from various sources. for example, the gross domestic product (gdp) and exchange rate of idr/usd data were retrieved from the world bank. tourism-related data such as tourist arrivals, length of stay, and tourist expenditures were obtained from statistics indonesia, while a list of countries exempted from entry visa is based on the indonesian immigration office. table 1 origin countries of tourists brunei darussalam india china sweden norway malaysia japan australia france finland philippines south korea new zealand spain switzerland singapore pakistan usa netherland united kingdom thailand bangladesh canada italy russia vietnam sri lanka austria germany belgium hong kong denmark taiwan a generic standard model in the following form is used to analyze the impact of tourism on economic growth. 𝐿𝑜𝑔𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝐿𝑜𝑔𝛽1𝐼𝑇𝐴1𝑖𝑡 + 𝐿𝑜𝑔𝛽2𝐼𝑇𝐸2𝑖𝑡 + 𝐿𝑜𝑔𝛽3𝐿𝑆3𝑖𝑡 + 𝐿𝑜𝑔𝛽4𝐸𝑥𝑖𝑛𝑑4𝑖𝑡 + 𝛽5𝐹𝑉5𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 where: 𝐿𝑜𝑔𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 = economic growth (real gdp) 𝐿𝑜𝑔𝛽1𝐼𝑇𝐴1𝑖𝑡 = international tourist arrival (people) 𝐿𝑜𝑔𝛽2𝐼𝑇𝐸2𝑖𝑡 = international tourist expenditure (idr) 𝐿𝑜𝑔𝛽3𝐿𝑆3𝑖𝑡 = international tourist length of stay (days) 𝐿𝑜𝑔𝛽4𝐸𝑥𝑖𝑛𝑑4𝑖𝑡 = exchange rate of indonesia (us$) 𝛽5𝐹𝑉5𝑖𝑡 = dummy countries of visa-free entry (1 = visa-free, 0 = otherwise) 𝜀𝑖𝑡 = stochastic error terms 𝛽0 = constant to quantify the relative influence and elasticity of tourism on indonesian economic growth, all data except free visa are converted to logarithmic values. the independent variables were chosen based on previous research. as the main independent variable, the azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 316 number of tourist arrivals is the best indicator to measure tourism activities (uguz, 2017). in addition to the main independent variable, we consider other tourism variables such as length of stay and expenditure level of foreign tourists. the length of stay of foreign tourists is considered as one important determinant of economic growth in the destination countries (pompili et al., 2019). more length of stay of foreign visitors would create a lot of benefits to host countries through more spending, and this could generate income for the host countries. an increase in the length of stay of tourists would also have an impact on increasing the earnings of accommodation service providers and would indirectly affect the improvement of the national economy (fadhila & rahmini, 2019). moreover, tourists’ expenditure and economic growth are inextricably linked. tourism opens up new methods to trade with the rest of the world. it is a multi-sector industry that contributes significantly to socio-economic development. because employment aids in poverty reduction or increases the poor’s purchasing power, tourist development has a favorable impact on economic growth (al-hallaq et al., 2019; lee & chang, 2008). as control variables, we use the indonesian exchange rate against usd and visa facilities in the regression equation. since international tourism is a part of international trade, the weakening indonesian currency may enhance tourism activities through an increase in tourists’ consumption capacities (schnabl, 2008). in terms of visa-free, residents of a country are more likely to visit a destination country that provides convenience through a free entry policy (mariyono, 2017). kuzey et al. (2019) explained that applying for a visa requires a fairly long and complicated process. thus, it can affect the decision of potential tourists to come to a country. a visa-free would also increase bilateral trade and foreign investment, which in turn leads to higher economic growth (czaika & neumayer, 2017). furthermore, three different strategies were utilized to estimate the panel regression model as described. first, the pooled least squares (pls) model is employed based on assumption that the intercepts and coefficients are constant over time and across individuals, and statistical noise captures disturbances over time and cross-section. second, the fixed effects model (fem), commonly known as the least-squares dummy variable (lsdv) model, calculates the intercept using dummy variables as coefficients. this model accounts for the individual effect by allowing the intercept to vary for each cross-section. third, rather than treating the intercepts as fixed constants, the random effects model (rem) interprets them as random variables. the intercepts are assumed to be independent of the error term and also mutually independent. in selecting the best model, we performed a series of tests, namely chow test, lagrange multiplier test, and hausman test. according to burlig et al. (2020), the chow-test aims to compare and choose a model between pooled least square and fixed effect models. if the chi-square probability value is more than 5%, pooled least square (pls) will be selected as the model. meanwhile, if the fixed effects model (fem) is selected, the test will be continued to the hausman test. the hausman test is carried out to compare which model is better between fixed effects model and random effects model. if the p-value is more than 5%, then the random effect is selected as the model since it will give consistent and efficient estimators. furthermore, azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 317 in comparing between random effects and pls, a lagrange multiplier test is required. if the p-value is more than 5%, then the pls is the better one. result and discussion after combining all the variables within 10 years, this paper also tested the validity of the data. this test is carried out to check whether the data can be processed further. then, the best model among others is selected. table 2 depicts the details of each variable regarding the mean, standard deviation, minimum and maximum number. in addition, since the free-visa policy is a dummy variable, the details were not included. table 2 descriptive statistic variables mean std. dev min max log gdp 5,58 0,59 4,63 6,35 log tourist arrivals 220,894 346,019 5,330 1,594,102 log tourist expenditures 563 655,88 24,44 2,151 log length of stay 10 3,64 4 20 visa policy (dummy) 0 1 log exchange rate 10,423 1613,41 8,770 13,389 table 3 presents the estimation results from pls, fixed effects, and random effects. the results obtained from the three procedures were quite similar, while the fixed effects model was selected among the three after a series of tests (chow test, lm test, and hausman test). table 3 panel data estimations variables pls fe re log tourist arrivals 0.006 0.364*** 0.006 (0.005) (0.046) (0.006) log tourist expenditures -0.005 -0.002 -0.005 (0.005) (0.004) (0.005) log length of stay -0.013 -0.001 -0.013* (0.008) (0.008) (0.006) log exchange rate of indonesia -0.072*** -0.035*** -0.072*** (0.013) (0.005) (0.001) visa policy 0.132*** 0.112*** 0.132*** (0.019) (0.022) (0.025) constant 27.500 23.375*** 27.500*** (0.081) (0.022) (0.076) r-square 0.230 0.039 0.230 observations 352 352 352 chow test 0.000 hausman test (chi2) 181.39*** lagrange multiplier (prob-chibar2) 1.000*** ***, **, * denotes significance at 1% level, 5% level, 10% level, respectively azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 318 as a main independent variable, it seems that foreign tourist arrival has a positive and significant association with economic growth. specifically, a 1 percent increase in the foreign tourist arrivals is expected to increase gdp growth by 0.36 percentage points as seen in the fixed-effect model. this result is in line with a previous study in turkey (akan et al., 2007) which reveals that tourist arrivals are indirectly significant to the economic growth of the destination country through tourist consumption, and increased labor absorption. on the other hand, tourists’ spending and length of stay appear to not have any significant association. this might be due to the unusual behavior of foreign tourists in indonesia. they only come in huge numbers but do not spend more or stay longer. in particular, the average length of stay of foreign tourists in indonesia is only 8 days with quite widespread standard deviations. the countries with the longest duration of stay are russia and pakistan with a length of stay of 19 days, while the country that contributes as the second largest number of foreign tourists in indonesia is the country with the shortest duration of stay, only 3 days, which is singapore. as a result, it has no significant effect on economic growth. this behavior can be attributed to the lack of complementary attractions in a place according to garcía-sánchez et al. (2013). moreover, garcía-sánchez et al. (2013) suggest that tourism activities play a significant role in increasing tourists' daily spending. the majority of tourists' daily costs are spent on golf, gambling, athletic events, and gourmet activities, while visiting amusement parks, water sports, and cultural trips had a smaller influence despite rising daily spending. these findings are extremely important to tourism destination administrators. so far, indonesia only relies on natural beauty rather than creating new tourist attractions such as amusement parks, international events, shopping centers, and many other attractions as complementary attractions in the main destination. nevertheless, tourism activities that rely on nature cannot optimize the income generation of tourists (ollivaud & haxton, 2019). furthermore, the indonesian exchange rate variable appears to be in line as hypothesized. an increase (appreciation) of the idr currency by 1 percent against usd leads to lower economic growth by 0.035 percentage points. generally, tourists will consider the exchange rate when choosing their destination country (samirkaş & samirkaş, 2016). countries that have a relatively weaker currency tend to attract more tourists since it is relatively cheaper to visit the countries and make the purchasing power of tourists stronger. exchange rate volatility is critical for tourism sector development since it has a direct impact on foreign tourist arrivals (jena & dash, 2020). exchange rate fluctuation makes visitor arrivals less enticing because it influences tourists' decisions to travel to the destination country (jena & dash, 2020). this is held not only for individual passengers who change their vacation plans but also for tour operators who view currency volatility as a risk factor in their business (jena & dash, 2020). as a result, they may send travelers to other destinations where the exchange rate is more stable (jena & dash, 2020). in terms of micro aspect, exchange rate will affect more income for communities and travel service providers, for example, in terms of the enhancement of tourists’ purchasing power; hence, the economic growth will be higher (adha et al., 2018). therefore, the azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 319 appreciation of currency in the destination country may lower the economic growth through a decrease in tourist arrivals and their consumption of goods and services. finally, a visa-free policy seems to have a positive and significant effect on economic growth. countries that have a visa-free entry tend to have tourists entering indonesia by 11.2% higher than those that do not. this is similar to the case in the united states where the largest increase in tourist arrivals comes from travelers with visa-free programs (neiman & swagel, 2009). in the case of hong kong, during the outbreak of acute respiratory syndrome (sars), the hong kong government launched a free-visa policy for foreigners, which increased foreign tourist arrivals, especially from mainland china, taiwan, and japan (cheng, 2012). therefore, it can be concluded that visa exemption has a positive impact on business trips and vacations which in turn increases the economic growth in the destination country (li & song, 2013). for robustness check, we use a dynamic panel data model to examine whether foreign tourist activities influence economic growth in different specifications. we account for the lagged variable of gdp as our control variable. table 3 presents the results. it appears that tourist arrivals are no longer explaining economic growth. the inclusion of lagged variable of gdp has made tourist arrivals lose their significance. it seems that the economic growth is better explained by the growth in the previous period rather than foreign tourism activities. table 3 robustness check variables pls fe re log tourist arrivals 0.000 0.000 0.000 (0.000) (0.000) (0.000) log gdpt-1 0.986*** 0.988*** 0.986*** (0.001) (0.001) (0.000) log tourist expenditures -0.000** -0.000** -0.000** (0.000) (0.000) (0.000) log length of stay -0.196 -0.000 -1.96 (0.000) (0.000) (0.000) log exchange rate of indonesia 0.005*** 0.005*** 0.001*** (0.000) (0.000) (0.000) visa policy -0.001*** -0.003*** -0.001*** (0.000) (0.000) (0.000) constant 0.360*** 0.360*** 0.421*** (0.035) (0.035) (0.020) r-square 0.996 0.999 0.999 observations 320 320 320 chow test 0.000 hausman test (chi2) 23.24*** lagrange multiplier (prob-chibar2) 1.000*** ***, **, * denotes significance at 1% level, 5% level, 10% level, respectively azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 320 conclusion as one of indonesia's main sources of income, the government has taken several strategies to increase tourism sector revenues. however, it seems that the government only focuses on increasing the number of foreign tourists, while there are no empirical studies that emphasize its link with economic growth in the context of indonesia. thus, the motivation of this research is to analyze the association between foreign tourism activities and economic growth. we conducted a series of regression models using panel data from 2006-2016 that links tourism-related variables and economic growth in the context of indonesia. after running a series of tests, the fixed effects models are selected and show a positive and statistically significant relationship between foreign tourist arrivals and economic growth in indonesia. however, tourists’ spending and length of stay appear to have no statistical effect on indonesia's economic growth. these results may imply that the government should not only attract more tourists to come but also design policies to encourage foreign tourists to spend more money and stay longer such as by building complementary attractions and facilities in addition to the main destination. in addition, the indonesian government should target the country of tourists’ origin with higher income to enhance tourists’ spending in indonesia. furthermore, this research can be extended to reveal factors that determine the length of stay and expenditure of foreign tourists in indonesia. references adha, m., nahar, f., & azizurrohman, m. (2018). the impact of trade liberalization on poverty reduction in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 19(2), 178-185. https://doi.org/10.18196/jesp.19.2.5009 akan, y., işık, c., & arslan, i. (2007). the impact of tourism on economic growth: the case of turkey. journal of tourism, 9, 1-24. akin aksu, a., & aktaş, a. (2005). job satisfaction of managers in tourism. managerial auditing journal, 20(5), 479–488. https://doi.org/10.1108/02686900510598830 al-hallaq, s. s., athamneh, a. b., & suleiman, h. m. (2019). the impact of foreign direct investment on the growth of the tourism sector in jordan (1980–2016). journal of public affairs, 20(2). https://doi.org/10.1002/pa.2005 burlig, f., preonas, l., & woerman, m. (2020). panel data and experimental design. journal of development economics, 144, 102458. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2020.102458 cheng, k. m. (2012). tourism demand in hong kong: income, prices, and visa restrictions. current issues in tourism, 15(3), 167–181. https://doi.org/10.1080/13683500.2011.569011 chiu, y.-b., & yeh, l.-t. (2016). the threshold effects of the tourism-led growth hypothesis: evidence from a cross-sectional model. journal of travel research, 56(5), 625–637. https://doi.org/10.1177/0047287516650938 czaika, m., & neumayer, e. (2017). visa restrictions and economic globalisation. applied geography, 84, 75–82. https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2017.04.011 fadhila, r. s., & rahmini, n. (2019). pengaruh jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel, lama menginap wisatawan terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi kalimantan https://doi.org/10.18196/jesp.19.2.5009 https://doi.org/10.1108/02686900510598830 https://doi.org/10.1002/pa.2005 https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2020.102458 https://doi.org/10.1080/13683500.2011.569011 https://doi.org/10.1177/0047287516650938 https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2017.04.011 azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 321 selatan. jiep: jurnal ilmu ekonomi dan pembangunan, 2(1), 21–32. retrieved from https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/jiep/article/view/1152 fayissa, b., nsiah, c., & tadasse, b. (2008). impact of tourism on economic growth and development in africa. tourism economics, 14(4), 807–818. https://doi.org/10.5367/000000008786440229 figini, p., & vici, l. (2010). tourism and growth in a cross section of countries. tourism economics, 16(4), 789–805. https://doi.org/10.5367/te.2010.0009 figini, p., sahli, m., & vici, l. (2018). advances in tourism economics: the sixth iate (international association for tourism economics) conference. tourism economics, 24(8), 911–914. https://doi.org/10.1177/1354816618811426 garcía-sánchez, a., fernández-rubio, e., & collado, m. d. (2013). daily expenses of foreign tourists, length of stay and activities: evidence from spain. tourism economics, 19(3), 613–630. https://doi.org/10.5367/te.2013.0218 gaspar, j. m. (2020). paul krugman: contributions to geography and trade. letters in spatial and resource sciences, 13(1), 99–115. https://doi.org/10.1007/s12076-020-00247-0 jena, s. k., & dash, a. k. (2020). does exchange rate volatility affect tourist arrival in india: a quantile regression approach. regional and sectoral economic studies, 20(2), 65-84. retrieved from https://www.usc.es/economet/reviews/eers2025.pdf kuzey, c., karaman, a. s., & akman, e. (2019). elucidating the impact of visa regimes: a decision tree analysis. tourism management perspectives, 29, 148–156. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2018.11.008 lee, c.-c., & chang, c.-p. (2008). tourism development and economic growth: a closer look at panels. tourism management, 29(1), 180–192. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2007.02.013 li, s., & song, h. (2013). economic impacts of visa restrictions on tourism: a case of two events in china. annals of tourism research, 43, 251–271. https://doi.org/10.1016/j.annals.2013.07.007 mariyono, j. (2017). determinants of demand for foreign tourism in indonesia. jurnal ekonomi pembangunan: kajian masalah ekonomi dan pembangunan, 18(1), 82–92. https://doi.org/10.23917/jep.v18i1.2042 neiman, b., & swagel, p. (2009). the impact of post-9/11 visa policies on travel to the united states. journal of international economics, 78(1), 86–99. https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2009.01.014 oh, c.-o. (2005). the contribution of tourism development to economic growth in the korean economy. tourism management, 26(1), 39–44. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2003.09.014 ollivaud, p., & haxton, p. (2019). making the most of tourism in indonesia to promote sustainable regional development. oecd economics department working papers, no. 1535. oecd publishing, paris. https://doi.org/10.1787/c73325d9-en pompili, t., pisati, m., & lorenzini, e. (2019). determinants of international tourist choices in italian provinces: a joint demand–supply approach with spatial effects. papers in regional science, 98(6), 2251–2273. https://doi.org/10.1111/pirs.12467 sakyi, d., & egyir, j. (2017). effects of trade and fdi on economic growth in africa: an empirical investigation. transnational corporations review, 9(2), 66–87. https://doi.org/10.1080/19186444.2017.1326717 samimi, a. j., sadeghi, s., & sadeghi, s. (2013). the relationship between foreign direct investment and tourism development: evidence from developing countries. institutions and economies, 5(2), 59-68. samirkaş, m., & samirkaş, m. c. (2016). the impact of exchange rate on tourism industry. international business, 1165–1176. https://doi.org/10.4018/978-1-4666-9814-7.ch054 https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/jiep/article/view/1152 https://doi.org/10.5367/000000008786440229 https://doi.org/10.5367/te.2010.0009 https://doi.org/10.1177/1354816618811426 https://doi.org/10.5367/te.2013.0218 https://doi.org/10.1007/s12076-020-00247-0 https://www.usc.es/economet/reviews/eers2025.pdf https://doi.org/10.1016/j.tmp.2018.11.008 https://doi.org/10.1016/j.tourman.2007.02.013 https://doi.org/10.1016/j.annals.2013.07.007 https://doi.org/10.23917/jep.v18i1.2042 https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2009.01.014 https://doi.org/10.1016/j.tourman.2003.09.014 https://doi.org/10.1787/c73325d9-en https://doi.org/10.1111/pirs.12467 https://doi.org/10.1080/19186444.2017.1326717 https://doi.org/10.4018/978-1-4666-9814-7.ch054 azizurrohman, hartarto, lin, & nahar the role of foreign tourists in economic growth: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 322 savaş b, beşkaya a, şamiloğlu f (2010) analyzing the impact of international tourism on economic growth in turkey. international journal of management, economics and business, 6(12), 121–136. retrieved from https://dergipark.org.tr/en/pub/ijmeb/issue/54588/744121 schnabl, g. (2008). exchange rate volatility and growth in small open economies at the emu periphery. economic systems, 32(1), 70–91. https://doi.org/10.1016/j.ecosys.2007.06.006 schneider, s. s. (1993). advantages and disadvantages of tourism to an agricultural community. economic development review, 11(4), 76-78. sinclair, m. t. (1998). tourism and economic development: a survey. journal of development studies, 34(5), 1–51. https://doi.org/10.1080/00220389808422535 soukiazis, e., & proença, s. (2007). tourism as an alternative source of regional growth in portugal: a panel data analysis at nuts ii and iii levels. portuguese economic journal, 7(1), 43–61. https://doi.org/10.1007/s10258-007-0022-0 statistics indonesia. (2018). proportion of tourism contribution to gdp (percent), 20152017. retrieved from https://www.bps.go.id/indicator/16/1188/1/proporsikontribusi-pariwisata-terhadap-pdb.html statistics indonesia. (2020). total foreign exchange of tourism sector (billion us $), 20162018. retrieved from https://www.bps.go.id/indicator/16/1160/1/total-foreignexchange-of-tourism-sector.html sulasmiyati, s. (2019). analyzing inflation influence toward the number of foreign tourists visiting indonesia and their impact on indonesia’s economic growth. media bina ilmiah, 14(3), 2181. https://doi.org/10.33758/mbi.v14i3.321 uguz, s. c. (2017). role of tourism on foreign exchange of developing countries and case of turkey. pressacademia, 4(1), 59–66. https://doi.org/10.17261/pressacademia.2017.379 https://dergipark.org.tr/en/pub/ijmeb/issue/54588/744121 https://doi.org/10.1016/j.ecosys.2007.06.006 https://doi.org/10.1080/00220389808422535 https://doi.org/10.1007/s10258-007-0022-0 https://www.bps.go.id/indicator/16/1188/1/proporsi-kontribusi-pariwisata-terhadap-pdb.html https://www.bps.go.id/indicator/16/1188/1/proporsi-kontribusi-pariwisata-terhadap-pdb.html https://www.bps.go.id/indicator/16/1160/1/total-foreign-exchange-of-tourism-sector.html https://www.bps.go.id/indicator/16/1160/1/total-foreign-exchange-of-tourism-sector.html https://doi.org/10.33758/mbi.v14i3.321 https://doi.org/10.17261/pressacademia.2017.379 jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper four dimensions of women’s empowerment in tourism: case study of indrayanti beach, yogyakarta, indonesia arisanti ayu wardhani and indah susilowati* abstract: the emergence of sustainable tourism has led to a new tourism concept called ecotourism. ecotourism has the principle of environmental preservation and the local communities’ welfare produces a significant impact on indigenous people in the area. this is because the local community is involved in managing sustainable tourism. women who are part of the community have the same opportunities as men in accessing opportunities from ecotourism activities. based on empirical research results, tourism activities create alternative jobs for women to be more independent economically, including the fact that the participation of women in tourism activities has a positive impact on them socially. empowering women is an important part of community welfare efforts in the scope of tourism, so that women’s empowerment is important in the tourism development process. this study aims to analyze the ongoing empowerment of women and what factors are the drivers and barriers to empowerment in indrayanti beach as one of the leading destinations in gunungkidul regency as seen from four dimensions (economic, social, political, and psychological). the mixed-method approach has been used in research. it was found that the level of women’s empowerment in indrayanti beach had shown a good enough score with the highest average score in the economic dimension, namely 7.64, where women economically have received a positive impact from indrayanti beach. the lowest average score is on the political dimension, with a value of 5.82. women politically still do not have awareness if their role is important for the sustainability of indrayanti beach tourism. for the social dimension, the average is 6.81, and the psychological dimension on average is 7.47, where women feel socially and psychologically empowered quite well. the main driver of women’s empowerment is the opportunity and permission from their families to participate in tourism activities. the main obstacle to women’s empowerment is the low self-confidence due to skills that have not been maximized. keywords: empowerment of women; gender; tourism; indrayanti beach jel classification: j16, z32 introduction tourism is a potential sector that can become a mainstay for indonesia in improving the economy and development, both at the national and regional levels. natural wealth and abundant diversity are special features for indonesia in the world's eyes, with diverse geographic conditions and cultural properties being the only attraction for local and foreign tourists to come to visit. tourism has become a necessity for some people. affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas diponegoro, central java, indonesia *correspondence: prof.indah@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.10745 citation: wardhani, a.a., & susilowati, i. (2021). four dimensions of women’s empowerment in tourism: case study of indrayanti beach, yogyakarta, indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 170-184. article history received: 04 jan 2021 revised: 19 apr 2021 09 aug 2021 31 aug 2021 accepted: 07 sep 2021 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=6507735168 https://ie.feb.undip.ac.id/en/homeland/home2/ https://ie.feb.undip.ac.id/en/homeland/home2/ https://ie.feb.undip.ac.id/en/homeland/home2/ https://ie.feb.undip.ac.id/en/homeland/home2/ mailto:prof.indah@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/10745 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.7836&domain=pdf https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i2.10745&domain=pdf wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 171 the great interest of the community to do tourism makes tourism an important sector for indonesia. indonesia has high hopes for the tourism sector as an export commodity that can replace oil and gas' future role (sedarmayanti, 2014). abundant potential can be a way for indonesia to realize this dream. in the last ten years, tourism activities, especially in developing countries, have begun to diversify tourism objects by seeing the potential for alternative tourism to tackle mass tourism which has brought disastrous effects (suardana, 2012). women as part of society have an excellent opportunity to access employment in the tourism sector. conceptually, tourism activities will create new jobs that women can use to improve their standard of living (setyawati, 2011; tuwu, 2018). women's participation in accessing the same world of work as men will later create a gender problem. meanwhile, the un has defined gender equality and women's workforce as the goal of sustainable development. from the women's perspective, it has contributed to empowerment. furthermore, several researchers have looked at women's perceptions of factors such as having a job, income, and freedom to make decisions that contribute to empowerment, especially women who have found employment in the tourism industry in developing countries (aghazamani et al., 2020). it is crucial to conduct gender research in tourism to explain the current condition of gender roles in the tourism sector (alrwajfah et al., 2020). gender is considered a sensitive issue, and primarily gender relations have been influenced by tourism developments over time (alrwajfah et al., 2020). one important aspect of encouraging and promoting gender equality is women's empowerment that focuses on identifying and correcting power imbalances and giving women the opportunity to determine their own lives (irandu & shah, 2014). empowerment is a potential strategy to improve society's economy and socio-culture (susilowati et al., 2008). therefore, women's empowerment is a crucial point to improve the equality and economy of society. with empowerment, women can develop themselves and explore their potential. the emergence of tourism activities on indrayanti beach provides opportunities for women around the coast to develop their potential, especially in tourism activities. gunungkidul regency, as a regency directly adjacent to the indian ocean, has enormous marine tourism potential. indrayanti beach is one of the beaches that is currently experiencing rapid development which is a sign of becoming a well-known tourist attraction. the number of visits that have increased every year. the concept of ecotourism, which includes community empowerment, should be able to empower women optimally. great opportunities for the emergence of new employment opportunities can become an arena for women to play an active role in economic activities on indrayanti beach. in the implementation of women's empowerment, there are still obstacles in it. based on the results of interviews with female informants who participate in tourism activities, they still rely on their own skills and knowledge without any skills development training, so that the empowerment of existing women is still not optimal. wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 172 figure 1 number of tourist visits in indrayanti beach (2014-2018) source: government tourism office (2018) women and men have the same role in tourism activities. still, women have not been able to take part in existing decision-making. this is because women do not have foresight in tourism development, so women's roles are still only in the domestic corridor. the decision-making corridor still depends on men (tulle, 2016; sabina & nicolae, 2013). according to experts' perceptions, gender in ecotourism can be handled if the management is carried out with a participatory approach, wherein its development the community is the main target. knowledge of the nature of the community is needed before ecotourism. its implementation must support poor, less powerful community groups, which often involve women in it, to achieve the goal of ecotourism as conservation tourism and give priority to local communities (scheyvens, 2000). there are three reasons gender in ecotourism is important. the first is that gender becomes a way of promoting good natural resource management and conservation based on ecotourism. second, it ensures that ecotourism development benefits from the skills and knowledge of various communities. third, gender equality has become a basis of human rights that have been approved in the millennium development. these three reasons make women and men have equality in making decisions regarding the development and management of ecotourism. women and men must also be fair in the use of ecotourism (irandu & shah, 2014). scheyvens (2000) states that four dimensions determining women's empowerment in tourism activities for developing countries consist of economic, social, political, and psychological dimensions. these 4 (four) dimensions are important (irandu & shah, 2014) to see how the role of ecotourism in improving women's welfare in improving and economic independence (economic aspects), having a voice in decision making related to ecotourism (political aspects), the opportunity in participating in activities that are developed by the community (social aspect), and the opportunity in establishing themselves and have a sense of pride in themselves and the local culture that the region has (psychological aspects) (rahayu, 2018; irandu & shah, 2014). community-based ecotourism, in which the community is actively empowered economically, socially, politically, and psychologically, is a key element of sustainable tourism (ertac & tanova, 1.051.040 1.676.359 1.946.545 2.224.656 2.047.168 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 2014 2015 2016 2017 2018 number of tourist visits in indrayanti beach (2014-2018) jumlah wisatawan wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 173 2020). empowerment is considered a failure in ecotourism if there is a conversion of customary land functions, crime, fighting, prostitution, begging, and local communities' involvement in ecotourism activities (purnomo, 2018). meanwhile, the equality of women and men in coastal areas, especially in tourism development, is still not running well. in the labor division, women's role is still only in the household sector, such as taking care of children and doing household chores, while women who work in the public sector or work to earn a living are still small. women who earn a living are encouraged because men can no longer make a living (setyawati, 2011). empowerment of women in coastal areas, especially coastal tourism, is still not maximal even though women have been involved in tourism, but women still have a position below men (suardana, 2012). coastal tourism development is inseparable from the role of women in it. however, women who participate in tourism activities are mostly related to the domestic sector or are related to cooking. in contrast, other tourism activities requiring special skills are still dominated by men considered to have more qualified abilities than women. research related to women's empowerment in tourist objects has been widely carried out in indonesia and the world, but there are not many existing empirical studies that explore women's empowerment through four dimensions, namely economic, social, political, and psychological. meanwhile, to see women's empowerment itself can not only be seen from one side but the other side because the problem of empowerment is a complex problem which requires a holistic view. according to scheyvens (2000), the problem of empowering women, especially in developing countries, must be seen from many sides because tourism development is related to the economy and is multidimensional, and does not only focus on the economy. this research focuses more on seeing the level of empowerment based on four sides, namely the economy, social, politics, and psychology of women involved in tourism activities on indrayanti beach. research on women's empowerment in previous studies also uses the dimensions consisting of economic dimensions (irandu & shah, 2014; ranasinghe & pradeepamali, 2019; scheyvens, 2000; suardana, 2012), social (irandu & shah, 2014; ranasinghe & pradeepamali, 2019; scheyvens, 2000; rahayu, 2018; boley & mcgrehee, 2014), politics (setyawati, 2011; irandu & shah, 2014; ranasinghe & pradeepamali, 2019; scheyvens, 2000; rahayu, 2018; boley & mcgrehee, 2014), psychology (oladipo, 2010; batool & ahmed, 2016; irandu & shah, 2014; ranasinghe & pradeepamali, 2019; scheyvens, 2000; rahayu, 2018; boley & mcgrehee, 2014). this study contributes to providing information on how the conditions for women’s empowerment have been running and what factors are the drivers and barriers to empowerment at indrayanti beach. the method on contributing to the research arsenal is following the conditions as one of the mainstay tourist destinations of gunungkidul regency by identifying the level of women’s empowerment seen from four dimensions, namely economic, social, political, and psychological by using calculations based on the concept of rets (resident empowerment through tourism scale) with modifications to include economic aspects in it. rets is a concept formulated by by boley and mcgehee (2014) by adapting the four dimensions of empowerment by scheyvens (2000). still, it wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 174 does not include the economic dimension, so modifications were made to include the economic dimension in this study. in addition, in-depth interviews were conducted with key persons who have more knowledge about women’s empowerment in indrayanti beach to find out the driving and inhibiting factors of empowerment. research method this research was conducted from june to july 2020 at the indrayanti beach tourist attraction, located in tepus village, tepus district, gunungkidul regency, yogyakarta special region province. the sample in this study used snowballing sampling to select informants according to the criteria to answer the research objectives, namely women who are active in indrayanti beach tourism activities. primary data in this study consisted of 48 informants. secondary data were obtained from the statistics indonesia (bps) both from the yogyakarta special region province and from the kaputan gunungkidul, the ministry of tourism, the tourism office of the special region yogyakarta and gunungkidul regency, and the kelurahan tepus village, gunungkidul regency. the approach used in this research is the mixed method which combines qualitative and quantitative approaches. the mixed-method approach provides accurate analytical results in assessing the problems to be studied in research (creswell, 2014). the quantitative method used is the concept of resident empowerment through tourism scale (rets) proposed by boley & mcgrehee (2014) by modifying the addition of an economic dimension to see how ecotourism can affect women’s economic life individually. in this study, the analysis was carried out by looking for each indicator’s average in four dimensions. in the economic dimension, the assessment was seen from how many opportunities women had to access the labor market and better income. the social dimension of the evaluation is based on the opportunity for women to be more able to mingle with the community and participate in community activities. the political dimension of assessment is seen from how women have the power to make decisions and express their thoughts in tourism development. the psychological dimension of evaluation is seen from the feeling of pride in women towards their local culture and a sense of wanting to preserve the nature of local people’s tourism locations. the assessment is carried out based on 1 to 10 by determining the conventional scale scoring score as follows: table 1 scoring scale scoring scale interpretation 1-2 very low 3-4 low 5-6 medium 7-8 high 9-10 very high source: rahayu (2018) with modifications wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 175 the greater the average grade in each aspect, the better women's empowerment in indrayanti beach (rahayu, 2018). empowerment requires a multidisciplinary approach because empowerment is a complex problem (waridin et al., 2018). seeing empowerment not only sticks to one point of view but must be seen from various sides, namely economic, social, political, and psychological (scheyvens, 2000; irandu & shah, 2014). the qualitative method used is an in-depth interview and triangulation. in-depth interviews and triangulation research were conducted to validate the drivers and barriers of women’s empowerment based on the results of the average four dimensions of empowerment (economic, social, political, psychological) so that they could explain the average results of the four dimensions better and could explore further what are the driving and inhibiting factors for women’s empowerment in indrayanti beach.in-depth interviews were conducted with key persons consisting of the gunungkidul regency tourism office, business people around indrayanti beach, academics, and the tourism community on indrayanti beach (pokdarwis). the in-depth interviews were then analyzed using atlas ti software, where atlas ti can help analyze the results of the data obtained from in-depth interviews by providing coding to each data to provide convenience for researchers in drawing conclusions. result and discussion gender roles in tourism activities in indrayanti beach both men and women conduct tourism activities in indrayanti beach, so there is no difference in the implementation of tourism activities in indrayanti. both women and men have equal opportunities to participate in beach activities. however, in several activities, the role of women is still relatively small compared to men. the vital roles of women and men in tourism activities on indrayanti beach can be seen in table 2. table 2 gender roles in tourism activity data tourism activities male female food processing 10 16 souvenir provider 4 6 tourism service providers 9 3 women's role in tourism activities on indrayanti beach is most significant in food processing which is 16, and souvenir providers at 60%. for tourism service providers, women's role is still too small because the role of women involved in these activities is very small. most of the women participate only as seasonal workers when the beach is crowded. apart from renting mats and umbrellas, photography service providers are still dominated by men. this happens because women's ability to operate a camera is still not as good as men's, so women only get the role of photo printing. the management of tourism in indrayanti beach is also dominated by men in the core management, both chairman, treasurer, and secretary. wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 176 gender empowerment based on economic, social, political, and psychological aspects table 3 shows the average level of women's empowerment as seen from the four aspects of empowerment presented by scheyvens (2000), consisting of economic, social, political, and psychological empowerment. to see women's empowerment based on these aspects, each aspect has indicators that can show how women's empowerment is running in indrayanti beach and is consequently measured using a conventional scale of 1 to 10, which means that the higher the value, the better the existing empowerment. table 3 the average of gender empowerment based on economic, social, political, and psychological dimensions aspect indicator value sd mean interpretation economic the emergence of employment opportunities after tourism activities. 7.88 1.28 7.64 high an increase of income after participating in tourism activities. 7.62 1.35 an opportunity or probability of getting a better income. 7.46 1.36 financial stability after participating in tourism activities. 7.62 1.41 social feeling more unified with other societies. 6.62 1.64 6.81 medium there is an increase in enthusiasm for socializing. 7.00 1.44 the emergence opportunity to participate in societal activities 6.81 1.37 politic having a right in decisionmaking related to the development of tourism activities. 5.31 1.22 5.82 medium having the right to vote in beach development planning. 5.77 1.36 having the right to express ideas and thoughts in tourism development. 6.38 1.51 psychology the emergence of pride to be part of tepus society (as a part of indrayanti beach). 7.88 1.55 7.47 high the emergence of a particular feeling as a consequence of tourist visits. 7.62 1.89 awareness of uniqueness that can be told. 7.46 1.41 awareness of environment preservation tourism activities. 7.62 1.45 wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 177 economic empowerment economic empowerment is a dimension of empowerment that impacts the local community's economy due to the development of tourism activities in their area. economic empowerment is seen when the emergence of tourism activities gives the women's opportunity to access the labor market and improve their welfare. based on table 3, women's economic empowerment has shown an excellent average value, namely 7.64. the first indicator, "the emergence of opportunity or working opportunity after tourism activities," has a high value of 7.88. this average shows that the existence of tourism activities on indrayanti beach has a positive impact on women, especially the opportunity to access the labor market compared to before tourism activities. with the ease of women entering into tourism activities, it gives women the strength to be more financially independent. this is indicated by indicators of economic empowerment "there is an increase in income after participating in tourism activities" and "financial stability after participating in tourism activities" with each value of 7.62, then the indicator "there is an opportunity to get a better income" with an average value -average 7.46. the participation of women in tourism activities gives them financial independence because it contributes to the alleviation of their family's economic condition. initially, they are only housewives or farmworkers who are economically unstable and upon joining the activities in ecotourism, they have become women who can help their husbands and families pay for their daily needs. tourism activities on indrayanti beach have a positive impact on women economically. economic empowerment for women runs positively. these results are not following the study conducted by (irandu & shah, 2014) in which women cannot access jobs in the labor market in the tourism sector and only act as housewives. the difference in results is due to the fact that women in indrayanti beach have intense support from their families. social empowerment social empowerment is a dimension of empowerment related to the closeness between individuals and groups, increased cohesiveness between communities, and opportunities to participate in existing community activities. social empowerment occurs when women have the opportunity to be able to participate in activities in society. the average of social empowerment is 6.81, which shows that socially, women have felt the impact, even though it is not too massive. on the indicator of social empowerment, "feeling of being more united with other societies" has a value of 6.62. the value shows that indrayanti beach tourism activities in the tepus village area give women the opportunity to be more integrated with society. this encourages women to be more enthusiastic in establishing relationships with the society around them then, as shown by the value of the social empowerment indicator "there is an increase in enthusiasm for socializing," indicating a high enough value of 7.00 and an indicator of "the opportunity to participate in social activities" with value 6.81. wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 178 the three values of social indicators show that tourism activities on indrayanti beach encourage women to be more socialized with their surrounding societies to work together in building tourism.furthermore, indrayanti beach's activities encourage women to get involved with social activities such as the women's lottery club in pokdarwis kompak as beach managers, which women mostly carry out. socially, women have a positive impact on the emergence of indrayanti beach. as a result of the emergence of tourism activities, they indirectly play an important role in tourism development by forming activities that can encourage tourism development in indrayanti beach. the result is following the result of the study conducted by scheyvens (2000) in which the emergence of tourism provides an increase in interaction between them. individuals and groups build better tourism together. the social empowerment that appears on indrayanti beach is under the results of scheyvens' study (2000), where the emergence of tourism provides increased interaction between communities. individuals and groups together build better tourism. political empowerment political empowerment is a dimension of empowerment wherein women can express their aspirations, voices, and decision-making in tourism. political empowerment occurs when women realize that they have power in making decisions related to tourism activities. the average value of political empowerment for women in indrayanti beach is 5.82, indicating that politically, women have not been empowered optimally. the first indicator, "has the right to make decisions related to tourism development," has a value of 5.31, the indicator "has the right to vote in beach development planning" with a value of 5.77, and the indicator "has the right to utter ideas and thoughts in tourism development" which has a value 6.38. based on the three indicators of political empowerment, the value tends to be low compared to other empowerment aspects. the low level of political empowerment occurs because women who participate in tourism activities are still unaware of the importance of their opinions on tourism development. opportunities in expressing statements are welcome and facilitated by pokdarwis kompak as the beach manager. pokdarwis kompak has provided a chance for all members to speak ideas or suggestions in developing the beach. however, women still do not dare to participate in voicing their ideas and thoughts based on the lack of insight they have regarding tourism development. besides the lack of awareness, women's political empowerment is still hampered by voting ownership. although the opportunity is open for women to make decisions, because decisions are made by deliberation, decision-making is still carried out by the core management, who are primarily men, both chairperson, secretary, and treasurer. almost all women become members only and are more likely to follow all the core management decisions. wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 179 politically, women are not appropriately empowered due to support by the low value on each political indicator. women on indrayanti beach are still unable to take advantage of the opportunity to participate in tourism development. the result of political empowerment is similar to the study conducted by scheyvens (2000). in decision-making on tourism development, women are more likely to follow men and leave their voices to men. psychological empowerment psychological empowerment is a dimension of empowerment that has a psychological influence on women due to the emergence of tourism activities in their area. the average value of psychological empowerment is 7.47. this value has shown women's psychological empowerment after tourism activities have increased significantly. the indicator "the emergence of pride in being part of the tepus society (as the location of indrayanti beach)" has a value of 7.88. the high value shows that with the presence of tourism activities, women are proud of their area because many tourists visit to see the natural beauty in their area. the women's pride encourages them to have an awareness that they are special in becoming part of the place where they live, and the existence of awareness of the characteristics they can develop in attracting tourists. it can be seen from two psychological empowerment indicators, "the emergence of a special feeling due to tourist visits" and "awareness of the uniqueness that can be told" with values of 7.62 and 7.46, the feeling of being particular and aware of their uniqueness occurs because of the interaction between women as tourism service providers and tourists. the three indicators encourage women to feel belonging to the tourism objective, namely indrayanti beach. this feeling of belonging indirectly encourages women to maintain the sustainability of tourism objects to maintain their sustainability. this is supported by the indicator value of "awareness of the conservation of the tourism environment," namely 7.62. driving and inhibiting factors of women empowerment empowerment of women in indrayanti beach based on economic, social, political, and psychological dimensions shows that the existing women’s empowerment has been running quite well from each dimension. it is good that women’s empowerment cannot be separated from the driving factors, but along the way, women’s empowerment also still faces an obstacle. the driving and inhibiting factors for women’s empowerment are based on in-depth interviews with key persons who have direct involvement in tourism activities in indrayanti beach. they have a better understanding of the drivers and barriers of women’s empowerment running on indrayanti beach. wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 180 figure 2 illustration of the driving factors for empowerment in indrayanti beach with atlas ti based on the results from atlas ti, it shows that several factors drive women’s empowerment in indrayanti beach. the participation of women in tourism areas has become a natural thing where women on indrayanti beach have a high spirit and sense of cooperation in the tourism development process. this cannot be separated from the support from the closest parties, such as families who do not restrain them from participating in the tourism area. in addition, in the tourism sector, the highest absorbed human resources are women with a fairly good knowledge of tourism potential. women can be encouraged to participate in tourism activities actively. this is reinforced by a statement from the head of planning for the gunungkidul tourism office. “if we look at the labor sector in indrayanti, many women are also absorbed as workers, and women are at the forefront of the indrayanti area. currently, women are no longer looked down upon, and now many women have joined the work and men themselves have also not prohibited women from working.” support from relevant stakeholder parties also encourages them to participate in tourism activities. they are given facilities to participate in tourism activities, such as participating in forums facilitated by the tourism office and pokdarwis in indrayanti beach. this follows what was conveyed by the head of industry and tourism institutions of the gunungkidul tourism office. “...their involvement cannot be separated from development planning, such as the musrembang involving women and pokdarwis, as well as the joint forum of regional apparatuses that have also involved them. in addition, for the development of human resources, especially pokdarwis and sapta pesona, there are many women involved. in addition, cross-sectoral support, both professional and related institutions, is very high. third, there is a high sense of kinship and mutual cooperation that still exists in the community.” wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 181 figure 3 illustration of inhibiting factors for empowerment in indrayanti beach with atlas ti the empowerment of existing women is also still experiencing obstacles. women still experience a lack of confidence to participate in tourism activities because they feel that their skills are still low or only limited to the knowledge they know. the lack of training contributes to their inability to innovate which is primarily due to the very limited funds for training. this statement was reinforced by the head of industry and tourism institutions, gunungkidul tourism office. “for the inhibiting factor, ms. may still be closely tied to her human resources, such as limited human resources for tourism actors, the type of coaching needed varies according to the profession, while funds are limited and changing the mindset to apply behavior according to tourism rules must be carried out continuously, temporarily, and the costs for training are very limited.” human resources that are still low, with the majority only having education up to high school level, are one of the obstacles in empowering women in indrayanti, especially in their thoughts regarding beach development and self-improvement, even though forums for women are already available from both the pokdarwis and the government in terms of this is the department of tourism. the secretary of pokdarwis conveyed the statement: “……..there is an inhibiting factor when there is a program that we make, sometimes they don’t immediately accept it, maybe because of their background, they don’t have enough human resources, so sometimes they don’t realize that the procurement of a facility is important, for development and they accept it, we are like this, it’s already good, i see. women are scared too.” conclusion the condition of women's empowerment on indrayanti beach can be seen from the average results of four dimensions of trust. based on the resident empowerment concept wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 182 through tourism scale (rets), empowering women who walk on indrayanti beach from one dimension to another shows the results of a different average value with the highest average value of empowerment being in the economic dimension. the lowest average empowerment value is the political dimension. the dimension of economic empowerment has the highest average value compared to other dimensions of women's empowerment, namely 7.64, which is in the high category. the high average value shows that women in indrayanti beach are economically well empowered and have acquired positive benefits from it economically. women in indrayanti beach feel that the emergence of tourism activities provides them with opportunities to get better jobs and incomes. the psychological empowerment dimension is the highest in second place, with an average value of 7.47, which is included in the high category. the high average value of empowerment shows that women who participate in tourism activities on indrayanti beach feel well empowered psychologically. women on indrayanti beach have a feeling of pride in the area and culture they have. in addition, women in indrayanti beach already have a sense of preserving the environment of indrayanti beach. the social empowerment dimension has an average empowerment value of 6.81, which is in the medium category. the average value of empowerment in the sociological dimension is currently showing that socially women on indrayanti beach already feel empowered even though they still have not had such a significant impact on women. they already have a greater sense of interacting with the community around them and engaging in community activities. the dimension of political empowerment has the lowest average value of empowerment compared to other dimensions of empowerment, namely 5.82, which is in the medium category. politically, women already have a place to express their opinions and ideas regarding tourism development. however, women still feel that their opinions are not needed and are more likely to follow men's voices. this is because women feel that they do not know anything related to tourism development efforts, so they consider men's voice to represent them. several factors encourage women’s empowerment so that empowerment can run quite well; namely, they have opportunities, enthusiasm and a high sense of cooperation, support from large families, and a large number of female human resources with good knowledge of tourism potential. the role of supporting stakeholders also encourages them to participate in tourism activities actively. empowerment also still has several obstacles where women still experience insecurity due to low skills and lack of training that they can provide, and their ability to innovate is still lacking. the lack of training women receive in indrayanti beach is because the funds for training are very limited. women’s resources have not been able to develop their potential to the fullest. this research can provide an overview regarding the empowerment of women in indrayanti beach tourism to become one of the important literature in future policy wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 183 making related to women's empowerment in coastal tourism locations. this research has its limitations, thus it is important to carry out further research related to empowerment where it is seen from the women's side. it is also important to know empowerment between men and women to find out more about empowerment between genders. references aghazamani, y., kerstetter, d., & allison, p. (2020). women’s perceptions of empowerment in ramsar, a tourism destination in northern iran. women’s studies international forum, 79(march–april), 102340. https://doi.org/10.1016/j.wsif.2020.102340 alrwajfah, m. m., almeida-garcía, f., & cortés-macías, r. (2020). females’ perspectives on tourism’s impact and their employment in the sector: the case of petra, jordan. tourism management, 78(june). https://doi.org/10.1016/j.tourman.2019.104069 batool, s. a., & ahmed, h. k. (2016). economic and psycho-social determinants of psychological empowerment in women. pakistan journal of social and clinical psychology, 14(1), 21–29. boley, b. b., & mcgehee, n. g. (2014). measuring empowerment: developing and validating the resident empowerment through tourism scale (rets). tourism management, 45, 85–94. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2014.04.003 creswell, j.w. (2014). research design qualitattive, quantitative, and mixed methods approaches (4th ed.). thousand oaks, ca: sage. ertac, m., & tanova, c. (2020). flourishing women through sustainable tourism entrepreneurship. sustainability, 12(14), 5643. https://doi.org/10.3390/su12145643 government tourism office. (2018). tourism statistics 2018. yogyakarta special region tourism office. retrieved from https://visitingjogja.com/19962/statistik-pariwisatadiy-2018/ irandu, e. m., & shah, p. (2014). the role of ecotourism in promoting women empowerment and community development: some reflections from kenya. journal of tourism and hospitality management, 2(6). https://doi.org/10.17265/23282169/2014.06.002 oladipo, s. (2010). psychological empowerment and development. edo journal of counselling, 2(1), 118-126. https://doi.org/10.4314/ejc.v2i1.52661 purnomo, a. m. (2018). pemberdayaan sosial dalam pengembangan ekowisata di pekon kiluan negri, kabupaten tanggamus, provinsi lampung. jurnal kesejahteraan sosial, 2(2), 110-121. https://doi.org/10.31326/jks.v2i02.155 rahayu, a. t. (2018). gambaran keberdayaan perempuan di desa wisata pentingsari berdasarkan resident empowerment through tourism scale (rets). tourisma: jurnal pariwisata, 1(1), 1–11. https://doi.org/10.22146/gamajts.v1i1.36313 ranasinghe, r., & pradeepamali, j. (2019). community empowerment and their support for tourism development: an inquiry based on resident empowerment through tourism scale. journal of tourism and services, 10(19), 55–76. https://doi.org/10.29036/jots.v10i19.96 sabina, j. m., & nicolae, j. c. (2013). gender trends in tourism destination. procedia social and behavioral sciences, 92, 437–444. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.08.698 scheyvens, r. (2000). promoting women's empowerment through involvement in ecotourism: experiences from the third world. journal of sustainable tourism, 8(3), 232– 249. https://doi.org/10.1080/09669580008667360 sedarmayanti, s. (2014). kebudayaan & industri pariwisata. bandung: refika aditama. https://doi.org/10.1016/j.wsif.2020.102340 https://doi.org/10.1016/j.tourman.2019.104069 https://doi.org/10.1016/j.tourman.2014.04.003 https://doi.org/10.3390/su12145643 https://visitingjogja.com/19962/statistik-pariwisata-diy-2018/ https://visitingjogja.com/19962/statistik-pariwisata-diy-2018/ https://doi.org/10.17265/2328-2169/2014.06.002 https://doi.org/10.17265/2328-2169/2014.06.002 https://doi.org/10.4314/ejc.v2i1.52661 https://doi.org/10.31326/jks.v2i02.155 https://doi.org/10.22146/gamajts.v1i1.36313 https://doi.org/10.29036/jots.v10i19.96 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.08.698 https://doi.org/10.1080/09669580008667360 wardhani & susilowati four dimensions of women’s empowerment in tourism: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 184 setyawati, y. e. (2011). pemberdayaan perempuan dalam pengembangan pariwisata di pantai pandansimo. jurnal riset daerah, 10(2), 1524–1549. suardana, i.w. (2012). pemberdayaan perempuan di kawasan kuta sebagai upaya peningkatan kualitas pariwisata bali. piramida, 6(2), 1–16. retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/3002 susilowati, i., widowati, i., & agustini, t.w., & raharjo, a.b. (2008). empowering a-b-g-c to promote simping clam (amusium pleuronectes) as one of the way out line to raise the welfare of fishers and regional income in northern-coast of central javaindonesia: with special reference to brebes regency as the pilot project. iifet 2008 vietnam proceedings. retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/10197734.pdf tulle, k. e. d. (2016). studi tentang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan musyawarah leo di kabupaten rote ndao. paradigma, jurnal kajian budaya, 6(1), 55-73. https://doi.org/10.17510/paradigma.v6i1.81 tuwu, d. (2018). peran pekerja perempuan dalam memenuhi ekonomi keluarga: dari peran domestik menuju sektor publik. al-izzah: jurnal hasil-hasil penelitian, 13(1), 63-76. https://doi.org/10.31332/ai.v13i1.872 waridin, w., dzulkhijiana, a., & mafruhah, i. (2018). community empowerment in rural infrastructure development program. economic journal of emerging markets, 10(1), 8–14. https://doi.org/10.20885/ejem.vol10.iss1.art2 https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/3002 https://core.ac.uk/download/pdf/10197734.pdf https://doi.org/10.17510/paradigma.v6i1.81 https://doi.org/10.31332/ai.v13i1.872 https://doi.org/10.20885/ejem.vol10.iss1.art2 introduction microsoft word 07-hardiyani_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.200-209 willingness to pay perbaikan kualitas pelayanan kereta api hardiyani puspita sari1, lilies setiartiti2 1pusat pengembangan ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta 2fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jl. lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone +62 274 387656 e_mail korespondensi: yanipuspita50@gmail.com naskah diterima: januari 2015; disetujui: agustus 2015 abstract: the research aims to estimate willingness to pay of the people who use the economy class train long-distance of jogja-jakarta and to know what the factors are influencing willingness to pay motive. the research uses the primary data of 146 respondents that randomly chosen from the random sampling. willingness to pat can be estimated with the contingent valuation method (cvm). based on the analysis, the average value of willingness to pay/person for the fare of economic class train of jogja-jakarta is around rp78, 866, 00 with the total willingness to pay is around rp11, 514, 500, 00. factors that is predicted to influence the amount of willingness to pay for the respondents are age which has positive influence and significant towards willingness to pay. the variable of education period has positive influence and significant towards willingness to pay. the variable of income has positive influence and significant towards willingness to pay. the variable of children bearing has positive influence and significant towards willingness to pay. the means variable has positive influence and significant towards willingness to pay. keywords: willingness to pay; the economic class train; contingent valuation method jel classification: r41, l91, q51 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengukur willingness to pay masyarakat pengguna jasa kereta api ekonomi jarak jauh jurusan jogja – jakarta dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi willingness to pay tersebut. studi ini menggunakan data primer dengan jumlah responden sebanyak 146 responden yang dilakukan secara acak atau random sampling. willingness to pay dapat diperkirakan dengan menggunakan pendekatan contingent valuation method (cvm). alat analisis pada studi ini adalah menggunakan regresi linier berganda pada spss 20. berdasarkan analisis, nilai rata-rata willingness to pay per orang untuk tarif kereta api ekonomi jarak jauh jogja-jakarta adalah sebesar rp.78.866,00 dengan nilai total willingness to pay adalah rp11.514.500,00. faktor-faktor yang diduga mempengaruhi secara signifikan besarnya nilai willingness to pay untuk responden pengguna kereta api jarak jauh jogja-jakarta adalah variabel usia berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay, variabel lama pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay, variabel pendapatan berpengaruh posistif dan signifikan terhadap willingness to pay, variabel jumalah tanggungan anak berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay, dan variabel maksud perjalanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay tarif kereta api ekonomi jarak jauh jogja-jakarta. kata kunci: willingness to pay; kereta api ekonomi jarak jauh; contingent valuation method klasifikasi jel: r41, l91, q51 willingness to pay perbaikan kualitas ... (hardiyani puspita sari, lilies setiartiti) 201 pendahuluan di era modern ini, jasa angkutan yang cukup memadai sangat diperlukan sebagaian besar masyarakat didunia untuk menunjang aktivitasnya yang dilakukan setiap hari, terlebih lagi jasa angkutan juga sangat diperlukan sebagai penunjang pembangunan ekonomi. tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang maka tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara. sebagai bagian dari suatu sistem transportasi nasional, angkutan jalan harus memberikan fasilitas keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara (penjelasan undang-undang nomor 14 tahun 1992 sebagaimana telah diganti dengan undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan uu 22/2009). ada hubungan yang erat antara transportasi dan jangkauan lokasi kegiatan manusia baik itu barang maupun jasa. hal ini terlihat bahwa betapa besar peranan penting transportasi dalam kehidupan maunusia dalam menjalankan kegitan sehari-harinya. makin bertambah baik alat transportasi yang digunakan manusia, makin bertambah tingkat mobilitas manusia itu, baik secara individual maupun secara sosial, berarti makin besar pula kemungkinan manusia dalam memperoleh sumber penghidupan yang lebih baik (siregar dalam widyaningtyas, 2010). ada banyak sarana angkutan umum yang ditawarkan di indonesia, salah satunya yaitu transportasi trakereta api. sesuai dengan undang-undang ri no. 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian, transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah negara kesatuan republik indonesia dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara, serta memperkukuh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. kereta api merupakan sarana transportasi yang sangat diminati oleh masyrakat. jika dibandingkan dengan sarana transportasi lain, kereta api dirasakan lebih ekonomis, tertib dan aman. tabel 1. jumlah total penumpang kereta api jawa dan sumatra tahun 2006-2014 (satuan dalam orang) tahun penumpang kereta api 2006 15,900,000 2007 17,500,000 2008 19,400,000 2009 20,700,000 2010 20,300,000 2011 19,900,000 2012 20,210,000 2013 21,600,000 2014 27,700,000 sumber: bps (badan pusat statistik republik indonesia) dengan mengamati tabel 1, betapa banyaknya jumlah masyarakat yang sangat antusias menggunakan jasa transportasi kereta ini hal ini dapat dilihat dari, tahun 2008 jumlah penumpang kereta api pulau jawa dan sumatra meningkat sebesar 19,400,000 orang dan mengalami penurunan jumlah penumpang pada tahun 2011 sebesar 19,900,000 orang. bps mencatat jumlah penumpang kereta api paling banyak mengalami penurunan berasal dari wilayah jakarta, bogor, depok, tangerang dan bekasi (jabodetabek). penurunan ini disebabkan oleh tidak adanya event spesial seperti hari raya serta beberapa jumlah kereta yang sudah tua (dilansir di industri.kontan.co.id). diikuti dengan kenaikan jumlah penumpang kereta api pada tahun berikutnya yaitu tahun 2012 sampai tahun 2014 yaitu sebesar 27,700,000 orang. dalam dunia transportasi harga sangat menentukan kepuasan penumpang dalam menggunakan transportasi tersebut, hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan yang dimiliki oleh penumpang. semakin tinggi tarif tersebut maka akan membuat penumpang berpikir dua kali dalam menggunakan jasa angkutan itu, dan demikian sebaliknya jika tarif yang yang ditawarkan rendah maka penumpang cenderung memanfaatkan sarana transportasi tanpa melakukan pertimbangan lebih banyak. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 200-209 202 mulai 1 april 2015, pemerintah merencanakan penerapan tarif baru untuk kereta api kelas ekonomi jarak sedang dan jarak jauh, yang disebabkan karena beberapa faktor yaitu fluktuasi harga bahan bakar minyak (bbm) bersubsidi, perubahan margin dalam perhitungan biaya operasional kereta api ekonomi yang semula 8% menjadi 10% dan terakhir, fluktuasi kurs dolar amerika serikat (usd) terhadap mata uang rupiah yang mana akan mempengaruhi naiknya harga suku cadang (pt kai). selain itu, kenaikan tarif kereta api juga dikarenakan adanya perjanjian antara pt kereta api indonesia (persero) dengan dirjen perkeretaapian no hk221/i/1/kka-2015 tanggal 2 januari 2015 tentang penyelenggaraan kewajiban publik (pso) bidang angkutan kereta api pelayanan kelas ekonomi tahun anggaran 2015. berdasarkan aturan baru itu, kenaikan tarif kereta api ekonomi jarak jauh sekitar 30%50% sedangkan kereta api lokal naik sekitar 25%-30% (simomot.com, 2015) . berdasarkan pra survei yang peneliti lakukan, bahwa sebagian besar masyarakat keberatan atas diberlakukan kebijakan baru pt kai tentang kenaikan tarif kereta api ekonomi jarak sedang dan jarak jauh, dikarenakan masyarakat sudah merasakan dampak dari kenaikan bbm november tahun lalu yang mengakibatkan harga sembako dan hargaharga barang lainnya naik. studi ini menggunakan metode cvm (contingent valuation method) yang bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar dari masyarakat, serta mengetahui keinginan menerima kerusakan suatu lingkungan (amanda,2009). studi ini merujuk pada beberapa studi yang menggunakan metode yang sama, seperti prasetyo dan saptutyningsih (2013) dalam studinya telah menguji variabel-variabel yang mempengaruhi kesediaan membayar masyarakat di desa wisata kabupaten sleman pasca erupsi merapi, studi ini menggunakan metode cvm dengan menggunakan data primer. hasil studi menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga berpengaruh terhadap kesediaan membayar (willingness to pay) dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman pasca erupsi merapi. ladiyance s dan yuliana l (2014) dalam studinya telah menguji variabel-variabel yang mempengaruhi kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat bidaracina jatinegara jakarta timur dan analisis yang digunakan adalah contingent valuation method (cvm dan regresi logistik, menyatakan bahwa perkiraan nilai wtp sebagai upaya penanggulangan pencemaran sungai ciliwung sebesar rp.4.325/ bulan untuk setiap rumah tangga, dan total wtp sebagai gambaran nilai jasa lingkungan sungai ciliwung oleh masyarakat bidaracina sebesar rp1.935.576,92/bulan. variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar masyarakat bidarancina adalah pendidikan, pengetahuan, status kepemilikan rumah dan pendapatan. sedangkan variabel yang tidak berpengaruh signifikan adalah umur, jenis kelamin, jumlah anggota rumah tangga, dan sumber utama air minum.kamal (2014) dalam studinya dengan menggunakan metode cvm menyatakan bahwa, berdasarkan data yang diperoleh dengan wawancara langsung kepada 150 pengguna trans jogja, total willingness to pay 150 responden dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan trans jogja adalah sebesar rp731.500,00 dengan nilai mean rp4.877,00. terdapat beberapa variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap willingness to pay pengguna jasa trans jogja adalah usia, tingkat penghasilan dan jumlah tanggungan anak. sedangkan variabel yang tidak signifikan adalah lama berjalan ke halte berpengaruh negatif secara signifikan terhadap willingness to pay pengguna trans jogja. simanjuntak (2009) dalam studinya menyatakan bahwa, karakteristik utama dari masyarakat pelanggan air dari proyek wslic adalah umur responden mayoritas berkisar antara 20-29 tahun, tingkat pendidikan relatif rendah, tingkat pendapatan mayoritas tersebar pada skala rp750.000,00–rp1.250.000,00 di mana tingkat penggunaan terhadap air tidak terlalu banyak, hanya sesuai dengan keperluan rumah tangga sehari-hari. nilai rata-rata kelompok pertama adalah sebesar rp1000,00, nilai rata-rata kelompok kedua adalah sebesar rp703,0303 dan nilai rata-rata kelompok ketiga sebesar rp.498,7273. bersumber dari ketiga kelompok masyarakat pengguna wslic di atas, maka rata-rata wtp dari keseluruhan responden willingness to pay perbaikan kualitas ... (hardiyani puspita sari, lilies setiartiti) 203 adalah rp634,21053. nilai ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan iuran wslic setelah adanya peningkatan pelayanan wslic dan perbaikan sistem distribusi air wslic. faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata (signifikan) dalam model yang ditetapkan dalam studi ini adalah faktor tingkat pendapatan (nyata pada α = 10 persen) dan faktor kelompok masyarakat pengguna air dengan proyek wslic (nyata pada α=1 persen). fadilah (2011) dalam studinya menyatakan bahwa, paket wisata jogging track plus memiliki nilai rataan wtp sebesar rp56.132,00 dengan nilai total wtp (twtp) adalah rp387.366.932,00. paket konservasi memiliki nilai rataan wtp sebesar rp127.313,00 dan nilai twtpnya sebesar rp878.587.013,00. nilai rata-rata wtp responden terhadap kedua paket tersebut ternyata lebih kecil dari rencana tarif yang akan diberlakukan oleh pihak pengelola yakni rp65.000 dan rp170.000. faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata besarnya nilai wtp responden untuk kedua paket wisata tersebut adalah variabel lamanya menempuh pendidikan dan tingkat pendapatan. variabel biaya perjalanan hanya berpengaruh nyata untuk paket konservasi sedangkan untuk paket jogging track plus tidak berpengaruh nyata. variabel jumlah kunjungan, jumlah tanggungan dan frekuensi kunjungan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai wtp responden untuk kedua paket tersebut. amanda (2009) dalam studinya menyebutkan, nilai rata-rata wtp pengunjung danau situgede sebesar rp3.588,24, sedangkan nilai total wtp (twtp) pengunjung danau situgede sebesar rp2.342.000,00. sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai wtp pengunjung danau situgede adalah faktor tingkat pendapatan, pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau, dan faktor biaya kunjungan responden. yunis (2013) dalam studinya menyatakan bahwa, dari 100 orang responden, diperoleh responden yang wtp sama dengan retribusi berjumlah 38 orang, responden yang surplus konsumennya positif berjumlah 31 orang dan responden yang kesediaan membayarnya lebih kecil dibandingkan retribusi juga berjumlah 31 orang. di antara 31 responden yang surplus konsumennya positif diperoleh rata-ratanya adalah rp7000. kesediaan membayar masyarakat (wtp terhadap kebersihan di kecamatan tampan pekanbaru adalah rp1000 sampai rp25000. berdasarkan perhitungan kesediaan membayar masyarakat tampan (total willingness to pay) adalah sebesar rp304.838.300 per bulan dengan rata-rata per kk 10.330, sedangkan 10,1% wtp dipengaruhi oleh variabel pendapatan, dan pendidikan. di sini variabel pendapatan, dan pendidikan berpengaruh positif tetapi lemah terhadap variabel kesediaan membayar masyarakat (wtp). berdasarkan pengujian secara simultan, diketahui bahwa variabel pendapatan, dan variabel pendidikan berpengaruh terhadap wtp. adapun tujuan studi ini adalah sebagai berikut, untuk mengukur willingness to pay masyarakat pengguna jasa kereta api ekonomi jarak jauh jurusan jogja-jakarta dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi willingness to pay tersebut. metode penelitian jenis dan sumber data jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer. data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh organisasi yang menerbitkan atau menggunakannya. data primer diperoleh melalui wawancara langsung atau (direct interview) dengan menggunakan kuesioner dengan calon penumpang kereta api ekonomi jarak jauh sebagai responden. data tersebut meliputi karakteristik karakteristik calon penumpang kereta api ekonomi jarak jauh seperti, umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, dan lain-lain. studi ini dilakukan di stasiun lempuyangan, daerah istimewa yogyakarta. pemilihan lokasi ini dikarenakan stasiun lempuyangan merupakan stasiun yang melayani semua pemberhentian kereta ekonomi yang melintasi yogyakarta. dalam studi ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara: studi kepustakaan yaitu merupakan satu cara untuk memperoleh data dengan cara membaca literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, metode dokumentasi merupakan teknik pejurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 200-209 204 ngumpulan data dengan mengambil data yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti dari hasil dinas perhubungan, kuesioner yaitu memperoleh informasi dengan cara memberi suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah kepada responden yang akan dijadikan sampel. populasi adalah jumlah keseluruh dari obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat tertentu berkaitan dengan masalah studi. populasi dalam studi ini adalah calon penumpang kereta api ekonomi jarak jauh. pengambilan sampling dilakukan dengan pendekatan random sampling dimana semua individu dalam populasi baik secara sebdiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. random sampling yang juga diberi istilah pengambilan sampel secara rambang atau acak yaitu pengambilan sampel yang tanpa pilih-pilih atau tanpa pandang bulu, didasarkan atas prinsip-prinsip matematis yang telah diuji dalam praktek. karenanya dipandang sebagai teknik sampling paling baik dalam studi. sampel digunakan karena tidak semua unit pada populasi dapat diidentifikasi, biaya dan waktu yang digunakan lebih sedikit dibandingkan menghitung populasi. penentuan sampelnya dicari dengan memakai rumus slovin yaitu: 1) keterangan : n adalah jumlah sampel yang akan diteliti; n adalah jumlah populasi (pengguna kereta api ekonomi rata-rata per tahun 27.700); e adalah nilai kritis yang di inginkan, 10%. jadi jumlah sampel penelitian adalah: 27.700 1 27.700 10% 99,64 100 hasil dari rumus solvin diperoleh jumlah responden yang digunakan sejumlah 100 responden sebagai jumlah responden minimum yang digunakan, akan tetapi peneliti menggunakan 146 responden sebagai calon penumpang ka ekonomi jarak jauh. alat analisis studi ini menggunakan metode contingent valuation yaitu metode survei untuk menyatakan tentang nilai atau harga dari penduduk terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang dan lingkungan. metode ini dilakukan dengan survei secara langsung bertanya kepada calon penumpang kereta api ekonomi jarak jauh, tentang willingness to pay tarif kereta api ekonomi jarak jauh sekarang ini. persamaan regresi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: wtp = β0 + β1age + β2educ + β3inc + β4jta + β5dest + e 2) keterangan: wtp adalah willingness to pay (rp); β0 adalah intersep; β1,..., β7 adalah koefisien regresi; age adalah usia; educ adalah pendidikan terakhir; inc adalah tingkat pendapatan; dest adalah maksud perjalanan; e adalah error term hasil dan pembahasan berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan tentang willingness to pay (wtp) tarif kereta api ekonomi jarak jauh di yogyakarta, dengan wtp sebagai variabel terikat (dependent), usia, jumlah tanggungan anak, pendidikan terakhir, pendapatan dan maksud perjalanan merupakan variabel bebas dalam studi ini. statistik deskriptif dari variabel tersebut dijelaskan dalam tabel 2 analisis deskriptif. berdasarkan tabel 2, willingness to pay terbesar adalah rp82.000 dan terendah sebesar rp77.000. rata-rata willingness to pay sebesar rp78.866 dengan standar deviasi 1423,075, dengan nilai standar deviasi yang lebih rendah dari pada nilai rata-rata maka diindikasikan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadapat variabel willingness to pay baik. pada variabel usia juga dapat diketahui usia tertua dan usia termuda dalam studi ini. usia tertua pada studi ini adalah 64 tahun dan usia termuda adalah 17 tahun, dengan rata-rata usia willingness to pay perbaikan kualitas ... (hardiyani puspita sari, lilies setiartiti) 205 adalah 26,29 tahun yang memiliki standar deviasi sebesar 8,969. standar deviasi yang lebih rendah dari pada rata-rata usia menunjukkan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel usia adalah baik. tabel 2 juga menjelaskan pendidikan terakhir tertinggi pada studi ini adalah 18 tahun dan pendidikan terendah adalah 6 tahun yang memiliki nilai rata-rata sebesar 14,03 dengan standar deviasi sebesar 2,217 yang berarti bahwa nilai rata-rata pendidikan terakhir lebih tinggi dari pada standar deviasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel pendidikan terakhir adalah baik. pada tabel 2 menunjukkan deskrptif variabel tingkat pendapatan. nilai rata-rata variabel tingkat pendapatan adalah sebesar rp2.265.821 dengan tingkat pendapatan tertinggi sebesar rp6.200.000 dan pendapatan terendah sebesar rp800.000 variabel tingkat pendapatan memiliki skor standaar deviasi sebesar 1441072,281 sehingga dapat dikatakan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel tingakat pendapatan adalah baik. jumlah tanggungan anak terbanyak pada studi ini adalah sebanyak 2 orang dan jumlah tanggungan anak terendah adalah 0 orang. rata-rata jumlah tanggungan anak responden adalah 0,32 dengan standar deviasi 0,607 yang berarti bahwa nilai rata-rata lebih rendah dari pada nilai standar deviasi menunjukkan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel tanggungan anak adalah kurang baik. uji validitas dalam studi ini digunakan untuk mengukur valid atau tidak validnya suatu kuesioner. kriteria pengambilan keputusan untuk validitas adalah ditentukan apabila nilai r hitung yang dinyatakan dengan nilai corrected itemtotal correlation > r tabel pada df = n-2 dan α = 0,05 maka indikator dikatakan valid (widyaningtyas, 2010). hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa semua variabel (willingness to pay, usia, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan anak, dan maksud perjalanan) mempunyai nilai corrected itemtotal correlation> dari pada nilai r tabel yaitu sebesar 0,1625. uji realibilitas digunakan untuk mengetahui kemantapan alat ukur yang digunakan. suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila dapat memberikan hasil yang sama bila dipakai untuk mengukur ulang obyek yang sama. hasil uji realibilitas menunjukkan variabel jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan anak, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan, kualitas pelayanan, dan maksud perjalanan memiliki nilai cronbach’s alpha based on standardiezed items lebih dari 0,6 sehingga instrumen yang digunakan dalam studi adalah reliabel. berdasarkan hasil uji multikolinearitas, model tidak terkena penyakit multikolinearitas karena telah memenuhi persyaratan ambang toleransi dan nilai vif. hasil uji heteroskedastisitas menjelaskan ternyata dalam model regresi tersebut semua menunjukkan signifikansi > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi ini tidak terjadi heteroskedastisitas. berdasarkan hasil uji autokorelasi, diketahui nilai dw sebesar 1,735, di mana nilai tabel signifikan 5% dengan jumlah sampel 146 dan jumlah variabel 5 maka diperoleh nilai du ±1,802 yang artinya nilai dw 1,735 terletak diantara nilai du yakni 1,802 dan (4-du) yakni 2,198 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi. analisis regresi linear berganda digunakan dalam studi ini dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. ringkasan hasil tabel 2. analisis deskrptif variabel definisi min maks mean std. deviation wtp willingness to pay 77000 82000 78866,44 1423,075 age usia 17 64 26,29 8,969 educ pendidikan terakhir 6 18 14,03 2,217 income tingkat pendapatan 800000 6200000 2265821,92 1441072,281 jta jumlah tanggungan anak 0 2 0,32 0,607 dest maksud perjalanan 0 1 0,34 0,474 sumber: data primer diolah, 2015 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 200-209 206 pengolahan data dengan menggunakan program spss tersebut terdapat dalam tabel 3. persamaan regresi pada studi ini adalah sebagai berikut: wtp = 323,172 + 20,307age + 106,830educ + 0,001inc + 379,817dest 3) keterangan: 1) ada pengaruh positif age (usia), educ (pendidikan terakhir), inc (tingkat pendapatan), jta (jumlah tangggungan anak), dan dest (maksud perjalanan) terhadap wtp (willingness to pay). 2) ketika usia bertambah 1 tahun maka willingness to pay responden untuk membayar tarif kereta api ekonomi jarak jauh akan naik sebesar rp774,009 atau sekitar rp. 775,000 (tujuh ratus tujuh puluh lima rupiah). 3) ketika pendidikan bertambah 1 tahun maka willingness to pay responden untuk membayar tarif kereta api naik sebesar rp1.214,131 atau sekitar rp1.300,00 (seribu tiga ratus rupiah). 4) ketika pendapatan naik sebesar: rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) maka akan meningkatkan willingness to pay responden untuk membayar tarif kereta api ekonomi jarak jauh sebesar rp1.000,00 (seribu rupiah). 5) responden yang mempunyai maksud perjalanan untuk bekerja nilai willingness to pay nya lebih besar dari responden yang mempunyai maksud perjalanan selain bekerja. berdasarkan hasil estimasi regresi pada tabel di atas, pada kolom fit model dapat dilihat bahwa variabel jta (jumlah tanggungan anak) dikeluarkan dari model regresi dan dianggap tidak mempengaruhi willingness to pay (wtp). sedangkan variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi willingness to pay (wtp) adalah age (usia), educ (pendidikan terakhir), inc (tingkat pendapatan), dan dest (maksud perjalanan). uji f merupakan alat uji statistik secara simultan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel bebas terhadap variabel terikat secara bersama-sama. hipotesis nol menyatakan bahwa variabel usia, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan dan maksud perjalanan secara bersama-sama mempengaruhi willingnes to pay untuk membayar tarif kereta api ekonomi jarak jauh. hipotesis alternatif menyatakan bahwa variabel usia, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan dan maksud perjalanan secara bersama-sama tidak mempengaruhi wtp untuk membayar tarif kereta api ekonomi jarak jauh. derajat kebebasan (df 1= k-1= 4, df2 = nk=140) dan taraf signifikansi sebesar 5 persen (0,05) maka diperoleh nilai ftabel sebesar 2,44. kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: h0 diterima jika fhitung >ftabel atau probabilitas fstatistik < 0,05 ha diterima jika fhitung >ftabel atau probabilitas fstatistik > 0,05 berdasarkan tabel 3, hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai f hitung = 80,78 yang berarti lebih besar dari pada ftabel = 2,44 dengan signifikansi sebesar 0,000 di mana lebih kecil dari 0,05. hal ini berarti bahwa h0 diterima yang artinya secara bersama-sama variabel usia, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan, dan maksud perjalanan mempengatabel 3. ringkasan hasil regresi variabel full model fit model koefisien t-stat koefisien t-stat konstanta 75344,544 169,205 75323,172 169,515 usia (age) 14,579 1,266 20,307 2,118** pendidikan terakhir (educ) 116,950 3,092*** 106,830 2,960*** tingkat pendapatan (inc) 0,001 8,658*** 0,001 10,119*** jumlah tanggungan anak (jta) 152,235 0,899 maksud perjalanan (dest) 380,552 2,682*** 379,817 2,679*** r-squared 0,687 r-squared 0,688 f-statistik 64,704 f-statistik 80,788 prob f-stat 0,000 prob f-stat 0,000 keterangan : variabel dependen : wtp. *** signifikan pada α= 1 persen; ** signifikan pada α = 5 persen; * signifikan pada α= 10 persen willingness to pay perbaikan kualitas ... (hardiyani puspita sari, lilies setiartiti) 207 ruhi willingness to pay untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. willingness to pay (wtp) responden untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh adalah sebesar 75323,172. usia berpengaruh signifikan terhadap wtp untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. pendidikan terakhir berpengaruh signifikan terhadap wtp untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. tingkat pendapatan berpengaruh signifikan terhadap wtp untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. maksud perjalanan berpengaruh signifikan terhadap wtp untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. berdasarkan tabel 3, persamaan regresi pada studi ini adalah wtp = 75323,172+20,307age + 106,830educ + 0,001inc + 379,817dest. nilai koefisien determinasi (adjusted r2) adalah sebesar 0,688. hal ini berarti 68,8 persen willingness to pay (wtp) dapat dijelaskan oleh, usia, pendidikan terakhir, tingkat pendapatan dan maksud perjalanan, sedangkan sisanya yaitu 31,2 persen willingness to pay dipengaruhi oleh variabel-variabel diluar studi ini. berdasarkan hasil survei kepada 146 responden, total willingness to pay (wtp) untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh adalah sebesar rp.11.514.500,00-, dengan rata-rata willingness to pay per orang sebesar rp78.866,00-. besarnya willingness to pay dipengaruhi oleh usi, pendidikan, tingkat pendapatan, dan maksud perjalanan. berdasarkan total willingness to pay dapat diketahui total surplus konsumen dari 146 orang. surplus konsumen adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen untuk barang dan jasa dengan willingness to pay. pt kai telah menetapkan harga tiket kereta api ekonomi jarak jauh jogja-jakarta adalah sebesar rp.75.000,00-. total surplus konsumen dapat diketahui dengan mengurangi total willingness to pay dengan harga tiket yang akan dibayarkan oleh 146 responden. besarnya total surplus konsumen dari 146 orang responden adalah rp564.500,00 = rp11.514.500,00 – (146 x rp75.000,00) dengan rata-rata surplus konsumen per orang adalah rp3.866,00= rp78.866,00 – rp75.000,00. berdasarkan hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa responden rela menyisihkan uang lebih yang akan dimasukkan kedalam harga tiket baru kereta api ekonomi jarak jauh. hal ini berarti menjadi masukkan bagi para pengelola kereta api ekonomi jarak jauh untuk dapat menyediakan kualitas transportasi yang baik. dengan adanya perbaikan kualitas yang diberikan oleh pengelola kereta api ekonomi, diharapkan banyak pengguna kendaraan pribadi yang akan beralih menggunakan moda transportasi publik ini. hasil pengolahan data primer menunjukkan bahwa usia berpengaruh positif terhadap willingness to pay (wtp) untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh dengan asumsi adanya perbaikan kualitas layanan dari moda transportasi ini. apabila usia bertambah satu tahun maka willingness to pay juga akan mengalami kenaikan dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia seseorang maka semakin luas cara berfikir dalam memahami pentingnya suatu kualitas pelayanan. hasil studi ini memiliki kesamaan dengan studi yang dilakukan oleh kamal (2014), yang menjelaskan bahwa variabel usia memiliki tanda positif, yang artinya apabila usia meningkat maka wtp juga akan mengalami peningkatan dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. hasil pengolahan data primer menunjukkan bahwa pendidikan terakhir berpengaruh positif terhadap willingness to pay (wtp) untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh dengan asumsi adanya perbaikan kualitas layanan dari moda transportasi ini. jika responden memiliki level pendidikan yang lebih tinggi maka willingness to pay juga akan mengalami kenaikan dengan asumsi faktor lain dianggap tetap. hal ini disebabkan karena apabila seseorang menempuh pendidikan yang lebih lama maka pola pikir seseorang itu akan semakin tinggi, biasanya mereka dapat merasakan dampak apa yang akan mereka dapatkan ketika menyisihkan sebagian uang mereka kedalam tiket kereta api ekonomi jarak jauh. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 200-209 208 studi ini mendukung studi sebelumnya yang dilakukan oleh ladiyance dan yuliana (2014) yang menyebutkan hubungan pendidikan terakhir dan kesediaan membayar masyarakat bidaracina adalah positif, artinya bahwa responden yang pendidikan terakhirnya lebih tinggi atau sama dengan smp/sederajat memiliki kecendrungan untuk bersedia membayar semakin besar dibandingkan responden yang pendidikan terakhirnya lebih rendah dari smp. selain itu hasil ini juga mendukung studi yang dilakukan oleh fadilah (2011) yang menjelaskan bahwa semakin lama tingkat pendidikan pengunjung, maka peluang pengunjung untu membayar paket wisata semakin besar, hal ini disebabkan karena seseorang yang menempuh pendidikan lenih lama biasanya pola fikir orang tersebut akan semakin tinggi sehingga dapat lebih merasakan adanya manfaat dari paketpaket wisata tersebut. hasil studi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan berpengaruh positif terhadap willingness to pay (wtp) untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh dengan asumsi adanya perbaikan kualitas layanan. semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan seseorang mengeluarkan uang tambahan untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh. hal ini disebabkan oleh semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka seseorang tersebut akan lebih mudah mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya seperti untuk peningkatan suatu kualitas. studi ini mendukung studi sebelumnya yang dilakukan oleh yunis (2013) mengatakan bahwa 10,1 persen willingness to pay dipengaruhi oleh variabel pendapatan dan pendidikan berpengaruh positif tetapi lemah terhadap variabel kesediaan membayar willingness to pay. selain itu hasil studi ini juga mendukung studi yang dilakukan oleh fauzi (2010) mengatakan bahwa variabel pendapatan berpengaruh signifikan secara positif terhadap nilai willingness to pay, semakin besar pendapatan maka kemampuan membeli juga akan meningkat. hasil studi ini juga mendukung studi yang dilakukan oleh fadilah (2011) mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula nilai willingness to pay responden terhadap paket-paket wisata, hal ini disebabkan karena semakin tinggi pendapatan seseorang maka orang tersebut akan lebih memperhatikan kebutuhan lain selain kebutuhan pokok yang sudah terpenuhi seperti rekreasi. pada hasil studi ini, variabel maksud perjalanan memiliki pengaruh positif terhadap besarnya willingness to pay untuk membayar tarif baru kereta api ekonomi jarak jauh dengan asumsi bahwa adanya peningkatan kualitas pelayan. apabila tujuan mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api ekonomi jarak jauh untuk bekerja, maka willingness to pay mereka lebih besar dari pada mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api jarak jauh bukan untuk bekerja, seperti rekreasi, ibadah, pendidikan dan lainlain. hasil studi ini juga serupa dengan studi yang dilakukan oleh sontikasyah (2010) yang menjelaskan bahwa maksud perjalanan signifikan mempengaruhi pilihan responden dalam menetapkan wtp pada taraf 5 persen (p-value 0,011<α (5%) . simpulan berdasarkan hasil survei dari 146 orang responden pengguna kereta api ekonomi jarak jauh, total willingness to pay 146 orang responden untuk membayar harga tiket kereta api ekonomi jarak jauh adalah sebesar: rp.11.514.500,00 dengan nilai rata-rata: rp.78.866,00. faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi willingness to pay membayar tarif kereta api ekonomi jarak jauh jogja – jakarta adalah usia, pendidikan, pendapatan dan maksud perjalanan. di antara ke empat variabel tersebut, variabel maksud perjalanan yang sangat mempengaruhi willingness to pay kereta api ekonomi jarak jauh jogja-jakarta. studi ini bisa dijadikan rujukan ketika akan dilakukan kebijakan tarif kereta ekonomi jarak jauh jogja-jakarta. kedua, studi ini akan lebih baik, dan akurat jika pengambilan sampel dilakukan lebih baik lagi, baik dari sisi jumlah responden yang akan diteliti, maupun metode pengambilan sampel. ketiga, untuk studi selanjutnya, diharapkan untuk menggunakan metode yang berbeda sebagai bahan perbandingan hasil sehingga dapat diperoleh variasi informasi. willingness to pay perbaikan kualitas ... (hardiyani puspita sari, lilies setiartiti) 209 daftar pustaka amanda, s. (2009). analisis willingness to pay pengunjung obyek wisata danau situgede dalam upaya pelestarian lingkungan. bogor: institut pertanian bogor. fadilah, s. d. (2011). analisis willingness to pay (wtp) pengunjung terhadap paket wisata di wana wisata curug nangka (wwcn) kabupaten bogor. institut pertanian bogor. fauzi, m. (2010). faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar pelanggan rumah tangga upt kota metro. jakarta: universitas indonesia. kamal, m. (2014). faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay pengguna trans jogja. yogyakarta: universitas muhammadiyah yogyakarta. kontan, januari-april, jumlah penumpang kereta api turun 1,89%. http:// industri.kontan.co.id/news/januari-apriljumlah-penumpang-kereta-api-turun-1891. diakses tanggal 11 april 2015 pk 14.05. ladiyance, s., & yuliana, l. (2014). variabel variabel yang memengaruhi kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat bidaracina jatinegara jakarta timur. jurnal ilmiah widya, 1(1). prasetyo, n, j, dan saptutyningsih, e. (2013). kesediaan untuk membayar peningkatan kualitas lingkungan desa wisata: pendekatan contingent valuation method. jurnal ekonomi dan studi pembangunan vol.14 no. 2 oktober 2013. universitas muhammadiyah yogyakarta. priantinah, d. (2012). pengaruh return on investment (roi), earning per share (eps), dan dividen per share (dps) terhadap harga saham perusahaan pertambangan yang terdaftar di bursa efek indonesia (bei) periode 2008-2010. jurnal nominal. universitas negeri yogyakarta.. rahmawati, c., (2014). analisis willingness to pay wisata air sungai pleret kota semarang. universitas diponegoro. rozi, m., f. (2007). analisis pengaruh kualitas pelayanan pt kereta api indonesia (pt kai) terhadap kepuasan konsumen (studi pada ka eksekutif gejayan di malang). universitas islam negri malang. saptutyningsih, e, & basuki, a, t. (2012). hedonic valuation of marginal willingness to pay for air quality improvement. economic journal of emerging markets, 4(2). simanjuntak, g. e. m. s., (2009). analisis willingness to pay (wtp) masyarakat terhadap peningkatan pelayanan sistem penyediaan air bersih dengan wslic (water sanitation for low income community) (studi kasus desa situdaun, kecamatan tenjolaya, kabupaten bogor). institut pertanian bogor. simomot. daftar harga tarif kereta api (ka) terbaru april 2015. http://simomot.com/2015/03/04/daftar -harga-tarif-kereta-api-ka-terbaru-april2015/. diakses tanggal 10 april 2015 pk 14.25 wib. sontikasyah, e. (2010). analisis kesediaan membayar pengguna jasa bus trans pakuan kota bogor (willingness to pay) dengan metode valuasi kontingensi. universitas indonesia. widyaningtyas, r. (2010). faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas serta dampaknya pada kepuasan konsumen dalam menggunakan jasa kereta api harina (studi pada pt. kereta api indonesia daop iv semarang). universitas diponegoro. yunis, m. (2013). analisis tingkat kesediaan membayar masyarakat terhadap kebersihan di kecamatan tampan pekanbaru. universitas negeri riau. microsoft word 02-rini jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.14-25 keterkaitan antara nilai tukar, tingkat suku bunga dan indeks harga saham di indonesia rini setyastuti fakultas ekonomi, universitas atma jaya, yogyakarta jalan babarsari 44 yogyakarta 55281, indonesia. phone: +62 274 487711. e-mail korespondensi: rsetyastuti@gmail.com naskah diterima: agustus 2014; disetujui: februari 2015 abstract: this study examine the relation between exchange rate, interest rate, and stock price. vector autoregression (var) is employed to simultaneously estimate the dynamic relationship of the variables. using monthly data covering the august 1997– may 2012 period, empirical results showed that there is no causal relation between variables in the all of period. there is only one way relation between interest rate and exchange rate in the crises period. there is a positive effect on the exchange rate when the interest rate increased. keywords: exchange rate; stock price; interest rate; vector autoregression (var) jel classification: g12, c32, e44 abstrak: penelitian ini menguji hubungan antara nilai tukar, suku bunga, dan harga saham. vector autoregression (var) digunakan untuk secara bersamaan memperkirakan hubungan dinamis dari variabel. penelitian ini menggunakan data bulanan yang mencakup periode agustus 1997 hingga mei 2012. hasil empiris menunjukkan bahwa ada hubungan kausal antarvariabel dalam semua periode. hanya ada satu cara hubungan antara tingkat bunga dan nilai tukar pada periode krisis. ada efek positif pada nilai tukar saat suku bunga meningkat. kata kunci:: exchange rate; stock price; interest rate; vector autoregression (var) klasifikasi jel: g12, c32, e44 doi: 10.18196/jesp.2015.0038.14-25 pendahuluan pasar modal mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. dukungan pendanaan dari pasar modal terbukti telah memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian di banyak negara. diberlakukannya kebijakan-kebijakan perekonomian terbuka dan pasar bebas dan juga perkembangan teknologi yang pesat, investor menjadi mudah untuk mengakses pasar-pasar modal di seluruh dunia. fakta yang menyatakan bahwa pasar modal menunjukkan salah satu indikasi sehatnya perekonomian suatu negara, mengisyaratkan betapa pentingnya kondisi pasar modal di suatu negara (gupta, j. p., allain chevalier, dan fran sayekt, 1999:1) pesatnya perkembangan pasar modal di indonesia mulai terlihat jelas sejak periode 1990-an. rangsangan dimulai sejak paket deregulasi di akhir tahun 1988, ketika reformasi perpajakan mendorong investasi di bursa saham. di samping itu adanya pertumbuhan kredit perbankan yang terlihat melambat pada periode 1991-1993 yang antara lain dipengaruhi oleh pakfeb-1991 tentang prudential banking, mendorong sektor usaha untuk mencari alternatif pembiayaan yang lain, salah satunya adalah melalui pasar modal (wibowo dan gunawan, 1998: 127). banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja di pasar modal, di antaranya adalah tingkat suku bunga dan fluktuasi nilai tukar rupiah. tingkat suku bunga merupakan nilai yang sangat menentukan besarnya nilai sekarang dari pendapatan dividen di masa keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 15 yang akan datang. meningkatnya tingkat bunga akan menurunkan nilai sekarang dari pendapatan dividen di masa datang, sehingga kondisi ini akan mempengaruhi menurunnya harga saham di pasar modal. investor lebih suka menanamkan uangnya dalam bentuk investasi yang lain, misalnya dengan menyimpan uangnya di bank daripada menginvestasikannya dalam bentuk saham. hal ini akan mendorong mereka untuk melepas saham yang mereka miliki, sehingga saham yang dilepas akan meningkatkan jumlah yang ditawarkan di pasar saham, dan selanjutnya akan menekan harga. sebaliknya, menurunnya tingkat bunga akan menurunkan biaya oportunitas (opportunity cost) peminjaman. menurunnya tingkat bunga akan mendorong investasi dan aktivitas ekonomi, sehingga meningkatkan harga saham. di sisi lain kinerja pasar modal yang mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya harga saham secara terus menerus, akan mengundang peluang bagi sektor perbankan untuk menawarkan dananya kepada perusahaan. penawaran yang semakin meningkat akan mengakibatkan peningkatan permintaan dana dari sektor perbankan ke masyarakat, sehingga tawaran tingkat suku bunga yang relatif lebih tinggi akan dapat merealisasikan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat. di samping tingkat suku bunga, terjadinya gejolak moneter juga menyebabkan adanya indikasi kecenderungan kegiatan transaksi di pasar modal menurun. hal ini dapat dilihat dari perkembangan beberapa indikator di pasar modal seperti indeks harga saham gabungan (ihsg), nilai kapitalisasi pasar, nilai perdagangan, dan jumlah emiten baru. hal ini dikarenakan berkurangnya kemampuan emiten dalam memenuhi kewajiban serta menghasilkan laba, sehingga mendorong tekanan jual oleh investor. situasi ini diperburuk dengan naiknya suku bunga perbankan sehingga mendorong investor untuk lebih senang menyimpan dananya di bank. di samping itu, turunnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri terhadap perekonomian indonesia semakin memberikan tekanan terhadap pasar modal. memasuki agustus 1997, gejolak nilai tukar mempengaruhi pasar modal yang terlihat dari ihsg yang mulai mengalami penurunan yang tajam. meskipun indeks sempat menguat kembali setelah pemerintah melepaskan batasan investor asing di pasar modal, keadaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu nilai tukar terus mengalami depresiasi yang cukup tajam terhadap dolar. indeks mengalami titik terendah, yaitu pada tanggal 15 desember 1997 sebesar 339.536 (bank indonesia, 1998:121). sebagai alternatif pembiayaan dunia usaha peranan pasar modal merupakan suatu bagian yang penting dalam penyelenggaraan perekonomian suatu negara, adanya gejolak nilai tukar yang tidak menentu akan mengakibatkan turunnya fungsi pasar modal sebagai penyediaan dana dalam pembangunan. di sisi lain pasar modal yang menjadi salah satu barometer kondisi perekonomian yang memperlihatkan gejala peningkatan menunjukkan adanya ekspansi ekonomi, dan ini cenderung mendorong ekspektasi inflasi. peningkatan ekspektasi inflasi mendesak tekanan menurun terhadap nilai mata uang domestik dalam jangka pendek (ajayi dan mboja, 1996: 204). di samping itu juga turunnya produktivitas yang disebabkan kurangnya dana dalam proses produksi akan berpengaruh terhadap besarnya nilai tukar yang terjadi. dampak lain dari tekanan nilai tukar di dalam negeri akan meningkatkan biaya impor, meskipun dapat meningkatkan ekspor. penurunan yang terjadi terus menerus akan merubah ekspektasi masyarakat dan dapat mengakibatkan tindakan spekulasi. untuk meredam dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi bank indonesia selaku otoritas moneter mengambil kebijakan menaikkan suku bunga sertifikat bank indonesia (sbi) yang akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan berjangka di bank umum. di sisi lain tinggi rendahnya suku bunga simpanan di bank akan mempengaruhi masyarakat dalam memegang aset yang dimilikinya. rendahnya suku bunga mencerminkan murahnya biaya memegang uang tunai, sehingga keuntungan yang didapat karena menyimpan uang di bank lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh dari memegang aset yang lain, salah satu di antaranya adalah memegang mata uang asing. fenomena di atas dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang erat antara ketiga variabel tersebut, yaitu tingkat suku bunga, indikator pasar modal (dalam hal ini harga saham) dan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 14-25 16 nilai tukar. beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara maju mengindikasikan adanya hubungan antara perilaku nilai tukar dengan indikator pasar modal dalam hal ini adalah harga saham dan antara tingkat suku bunga dan harga saham, penelitian yang sama jarang sekali dilakukan terutama di negara berkembang. penelitian ini menjadi sangat penting karena ketiga variabel yang digunakan merupakan bagian dari indikator tingkat kestabilan dalam perekonomian suatu negara, sehingga perlu diketahui bagaimana variabel tersebut dapat berkaitan secara erat, dan bagaimana pengaruh antarvariabel tersebut baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. studi/riset terkait. viceira (2007) meneliti tentang variasi waktu dalam resiko surat berharga sebagai covarian return surat berharga dengan return saham dan dengan pertumbuhan konsumsi, dan dalam volatilitas return surat berharga. dengan menggunakan model vector autoregression, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku bunga nominal jangka pendek dan selisih pendapatan surat berharga jangka panjang dan jangka pendek mempunyai hubungan positif terhadap perubahan volatilitas return dan resiko surat berharga. ho (2009) meneliti tentang dampak fundamental ekonomi makro dan pasar saham dunia terhadap kinerja pasar finansial negara asean (malaysia, singapura, thailand, indonesia dan philipina). dengan menggunakan data panel dan model fixed effect, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap pasar/keuangan domestik. untuk indonesia, dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, suku bunga dan tingkat inflasi tidak berpengaruh pada pasar finansial. adam dan george (2009) mengkaji perananvariabel makroekonomi terhadap pergerakan harga saham di ghana. dengan menggunakan analisis pengujian kointegrasi dari johanson dan inovasi teknik penghitungan ditunjukkan bahwa ada hubungan kointegrasi antara variabel makroekonomi dan harga saham di ghana. singh dan arora (2009) meneliti tentang hubungan tingkat suku bunga dan pergerakan saham di tiga negara asia, yaitu india, china dan jepang. mereka membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara saham sensex dan suku bunga, saham nikkei dan suku bunga sensex mempunyai hubungan negatif dan lebih besar, sedangkan nikkei mempunyai hubungan positif. indeks shanghai mempunyai korelasi yang lemah. simpson (2003) melihat interaksi dinamis dan hubungan jangka panjang antara return saham bank dan variabel makroekonomi dan kebijakan moneter dalam suku bunga dan nilai tukar. dengan menggunakan model regresi, pengujian kointegrasi, kausalitas granger dan model vector autoregression, ditunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan kointegrasi antara return pasar, stock bank australia dengan tingkat suku bunga dan nilai tukar jangka pendek dan jangka panjang dalam periode studi. hal ini tidak mencerminkan hubungan ekspektasi jangka panjang pada pasar perbankan australia. hondroyiannis dan papapetroo (2001) menguji pengaruh makroekonomi terhadap pasar modal di yunani. di antara variabel makroekonomi yang diteliti adalah suku bunga dan nilai tukar. mereka menemukan bahwa harga saham tidak menimbulkan perubahan dalam aktivitas ekonomi riil tetapi aktivitas makroekonomi, dan pasar saham luar negeri hanya dapat merubah sebagian pergerakan yang dapat dijelaskan harga saham yunani. mereka juga menemukan bahwa harga minyak merubah pergerakan harga saham dan mempunyai dampak negatif pada aktivitas ekonomi. mukherjee dan naka (1995) meneliti tentang return pasar saham di jepang. dengan menggunakan vector error correction model, dapat ditunjukkan bahwa pasar modal jepang berkointegrasi dengan kelompok 6 variabel makro. penemuan ini adalah sangat penting dan membedakan kombinasi-kombinasi variabel makroekonomi dalam sistem 6 dimensi. maysami dan koh (2000) mengkaji hubungan keseimbangan jangka panjang antara indeks saham singapura dan variabel makroekonomi terpilih dan return dari stock singapura, menemukan bahwa dengan vecm ditemukan bahwa pasar saham singapura sensitif terhadap tingkat bunga dan nilai tukar. juga ditemukan bahwa pasar saham singapura berkointegrasi secara positif dan signifikan dengan pasar modal jepang dan amerika (usa). kwan dan shin (1999) menggunakan uji kausalitas granger (1988) dan vecm untuk menemukan bahwa harga saham korea ber keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 17 kointegrasi dengan variabel makroekonomi, yang terdiri dari nilai tukar dan jumlah uang beredar, dan kelompok variabel tersebut memberikan hubungan keseimbangan jangka panjang langsung dengan masing-masing indeks harga saham. juga ditemukan bahwa indeks harga saham tidak merupakan indikator leading untuk variabel makroekonomi. metode penelitian data data yang digunakan adalah data runtut waktu bulanan. data indeks harga saham diambil dari indeks harga saham gabungan (ihsg)pada penutupan pasar modal. data nilai tukar rupiah diambil dari data harian kurs tengah uang kertas rupiah terhadap dolar amerika (us$). data tingkat suku bunga diambil dari data tingkat bunga deposito tiga bulanan. ketiga data tersebut diambil dari statistik ekonomi dan keuangan indonesia (seki) terbitan bank indonesia. periode yang digunakan dimulai dari bulan agustus 1997 sampai dengan bulan mei 2012, dengan pertimbangan bahwa pada bulan agustus pemerintah mulai menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang. alat analisis penelitian ini akan menggunakan pendekatan vector autoregression (var) yang merupakan data runtut waktu, yang mana setiap variabel endogen dijelaskan nilai lag nya dan lag variabel endogen lainnya. sims, 1980 dalam gujarati dan porter (2009) memperkenalkan unrestricted var untuk makro-ekonometrik. berbeda dengan persamaan simultan, model var merupakan model yang a-teori, karena menggunakan informasi yang lebih sedikit. dalam hal ini sims menyatakan bahwa jika terdapat simultanitas yang benar antarsatu set variabel, maka mereka harus diperlakukan secara sama. dengan demikian dalam model var tidak dilakukan pembedaan antara variabel endogen dan eksogen. tujuan dari var adalah untuk menginvestigasi respon dinamik dari suatu sistem terhadap adanya guncangan tanpa tergantung pada “restriksi identifikasi” yang melekat dalam model struktural atau “restriksi kontroversial” dari teori ekonomi. estimasi model var mengharuskan data series harus stasioner. tetapi apabila data series tersebut non-stasioner maka model vector error correction model (vecm) dapat digunakan dengan syarat data tersebut terkointegrasi (mempunyai hubungan jangka panjang atau terjadi ekuilibrium). persamaan model var disajikan pada persamaan berikut. 0 1 1 1 1 1 1                t t p t p t p t p t t p t p t er β α er α er γ ihsg γ ihsg δ ir δ ir μ 1)                t t p t p t p t p t t p t p t ihsg ρ ω ihsg ω ihsg φ er φ er π ir δπ ir ε 0 1 1 1 1 1 1 2) 0 1 1 1 1 1 1                  t t p t p t p t p t t p t p t ir α β ir β ir θ ihsg θ ihsg er er  3) di mana: ihsgt adalah besarnya indeks harga saham (dalam hal ini akan digunakan indeks harga saham gabungan/ihsg pada periode t. ert adalah besarnya kurs (nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika) pada periode t. irt adalah besarnya tingkat suku bunga pada periode t. ihsgt-1 adalah besarnya indeks harga saham pada periode(bulan) yang lalu. ert-1 adalah besarnya kurs pada periode (bulan) yang lalu. irt-1 adalah besarnya tingkat suku bunga pada periode (bulan) yang lalu. ihsgt-p adalah besarnya indeks harga saham pada p periode (bulan) yang lalu. ert-p adalah besarnya kurs pada p periode (bulan) yang lalu. irt-p adalah besarnya tingkat suku bunga pada p periode (bulan) yang lalu. koefisien individual yang diestimasi dalam model var sering sulit untuk diinterpretasikan, sehingga digunakan impuls respon function (irf). irf menunjukkan respon dari variabel independen dalam sistem var terhadap guncangan dalam bentuk error term untuk beberapa periode ke depan. irf digunakan untuk melihat respon seluruh variabel terhadap guncangan satu variabel atau sebaliknya melihat respon satu variabel terhadap guncangan seluruh variabel. irf merupakan pusat analisis dari var. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 14-25 18 analisis selanjutnya didasarkan pada variance decomposition (vd) yang menunjukkan proporsi pergerakan dalam suatu rangkaian “own shocks” dibandingkan dengan guncangan variabel lain. apabila antarguncangan tidak berkorelasi, maka irf dapat diinterpretasikan secara langsung, yaitu merupakan shock pada masing-masing dependennya. pada umumnya antar guncangan terjadi korelasi sehingga tidak dapaat dihubungkan dengan variabel yang spesifik. vd berguna untuk meramalkan kemungkinan yang akan datang. semakin panjang rentang waktu maka vd akan menjadi konvergen. hasil dan pembahasan uji stasioneritas data sebelum melakukan pengujian dengan model var atau vecm, terlebih dahulu perlu dilakukan uji stasioneritas data, yang meliputi uji akar-akar unit (unit roots test) dan uji derajat integrasi (gujarati dan porter, 2009; stock dan watson, 2007). pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel yang digunakan stasioner. pengujian dilakukan dengan metode augmented dickey-fuller (adf), yaitu dengan melihat nilai augmented dickey-fuller (adf) hitung, kemudian membandingkannya dengan nilai adf tabel pada tingkat kepercayaan tertentu (enders, 2004). nilai adf dilihat dari t hitung (yang dianggap sebagai adf hitung) dari koefisien lag variabel yang diuji pada persamaan autoregresivenya {mengandung ar(1)}, kemudian dibandingkan dengan nilai kritis yang diberikan oleh dickey dan fuller. nilai kritis dari dickey dan fuller digunakan untuk beberapa sampel dan beberapa variabel. dalam hal ini, hipotesis nol menyatakan bahwa data tidak stasioner. jika nilai adf hitung < adf tabel, maka h0 tidak ditolak dan begitu pula sebaliknya. hasil olahan uji akarakar unit setiap variabel disajikan dalam tabel 1. tabel 1 menunjukkan bahwa semua variabel stasioner pada derajat nol karena nilai adf hitung lebih besar daripada nilai kritisnya, maka selanjutnya dapat disimpulkan bahwa model var dapat diterapkan. tabel 1. uji akar-akar unit level variabel adf ihsg -3,61002** er -5,66298*** ir -3,194844* sumber: hasil estimasi (tidak dilampirkan) keterangan: *** signifikan pada α 1%,**signifikan pada α 5%,* signifikan pada α 10% model vector autoregression (var) berdasarkan tahapan uji stasionaritas maka model yang tepat berdasarkan data yang digunakan adalah model var. dua pusat pembahasandalam model ini berupa impuls reaction function (irf) dan variance decomposition (vd) sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. pengurutan variabel dilakukan dengan melihat struktur matriks kovarian residual dan menghasilkan urutan sebagai berikut: er, ihsg, dan ir. (1) analisis impuls reaction function (irf). irf menunjukkan seberapa besar pengaruh yang terjadi pada variabel-variabel endogen bila ada guncangan (shocks) sebesar satu standar deviasi pada satu periode waktu. baris dalam gambar 1 (lampiran) menunjukkan reaksi masing-masing variabel endogen terhadap guncangan (shocks) struktural yang terjadi dalam kolom. kolom pertama dalam gambar 1 menunjukkan guncangan er sebesar 1 standar deviasi akan mengakibatkan perubahan indeks harga saham gabungan mengalami penurunan (meskipun kecil) pada satu periode ke depan, dan mengalami kenaikan mulai periode ke-2 sampai dengan ke-10. guncangan nilai tukar rupiah memberikan respon negatif ir sampai dengan periode ke-2, dan setelah itu respon akan positif sampai dengan periode ke-10, meskipun dengan nilai yang relatif kecil. reaksi dari guncangan indeks harga saham (ihsg) tercermin dari penurunan nilai tukar (er) dari periode ke-2 sampai dengan periode ke-10. respon besarnya perubahan nilai tukar akibat guncangan indeks harga saham dalam satu periode ke depan tidaklah signifikan. respon tingkat suku bunga (ir) terhadap guncangan indeks harga saham adalah negatif mulai satu periode ke depan, setelah itu respon keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 19 ir ini akan menurun sampai dengan periode ke-10. dengan demikian guncangan indeks harga saham akan mendorong menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan akan cenderung mendorong penurunan tingkat suku bunga di dalam negeri. kolom 3 gambar 1 menunjukkan adanya guncangan perubahan tingkat suku bunga sebesar 1 standar deviasi. guncangan perubahan suku bunga ini memberikan pengaruh positif yang relatif besar bagi nilai tukar dari periode ke-2 sampai dengan periode ke-7 dan akan memberi pengaruh yang negatifmulai dari periode ke-8 sampai dengan periode ke-10. reaksi negatif indeks harga saham terhadap guncangan suku bunga terjadi pada periode ke2, dan responnya akan terus berlanjut sampai dengan periode ke-10 dengan nilai negatif yang semakin membesar. (2) analisis variance decomposition vd memberikan informasi mengenai kepentingan relatif atau besarnya proporsi inovasi setiap variabel terhadap variabel endogen dalam sistem var. dalam penelitian ini digunakan rentang waktu selama 10 periode. tabel 2. variance decomposition inovasi er ihsg ir total er 91,682 2,796 5,521 100 ihsg 0,0885 98,582 1,329 100 ir 6,415 3,436 90,49 100 sumber: hasil estimasi (tidak dilampirkan) berdasarkan estimasi vd dalam tabel 3 (lampiran), secara umum dapat terlihat bahwa proporsi terbesar yang mempengaruhi masingmasing variabel adalah inovasi variabel itu sendiri. 91,682 persen peramalan perubahan varians error pada er disebabkan oleh inovasi er itu sendiri, sedangkan sisanya ditentukan oleh variasi indeks harga saham (2,796 persen) dan suku bunga (5,521 persen). 98,582 persen peramalan perubahan varians error pada indeks harga saham disebabkan oleh inovasi indeks harga saham itu sendiri. variabel lainnya memberi proporsi variasi relatif kecil. proporsi variasi inovasi dalam variabel suku bunga juga tidak berbeda dengan kedua variabel sebelumnya. 90,49 persen didominasi oleh inovasi variabel itu sendiri, sedangkan variabel nilai tukar dan suku bunga masingmasing hanya memberikan pengaruh 6,415 persen dan 3, 436 persen. (3) hasil estimasi dengan var. seperti yang dikemukakan di atas, maka model persamaan yang paling baik adalah model var. dalam halaman lampiran pada tabel 3 ditunjukkan hasil estimasi dengan model var. (4) kriteria statistik. koefisien determinasi (r2) digunakan untuk melihat seberapa besar variasi perubahan variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen serta dapat digunakan untuk menunjukkan seberapa tepat garis regresi yang diperoleh. untuk estimasi persamaan dengan variabel dependen er besarnya r2 = 0,7478. dengan demikian variasi perubahan variabel er yang dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam model adalah sebesar 74,78% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model untuk estimasi model dengan variabel dependen ihsg nilai r2 sebesar 0,9776. dengan demikian variasi perubahan variabel ihsg yang dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam model adalah sebesar 97,76 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. selanjutnya untuk model dengan variabel dependen ir nilai r2 sebesar 0,9895. dengan demikian variasi perubahan variabel ir yang dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam model adalah sebesar 98,95% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. untuk selanjutnya adalah pengujian pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individual, yaitu dengan melihat nilai t statistik dari masing-masing variabel independen. uji ini digunakan untuk melihat apakah secara individu variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen. pengujian ini diawali dengan hipotesis nol (h0) yang menyatakan bahwa secara individu variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen pada tingkat kepercayaan tertentu. uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 5%. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 14-25 20 nilai t – tabel (alpha = 0,05, n – k ), di mana [n = jumlah observasi (175); k = jumlah parameter tanpa konstanta (9)], dengan demikian besarnya tabel: 0,05, 166 = 1,658. untuk variabel dependen er terbukti bahwa variasi besarnya variabel tersebut hanya dipengaruhi oleh besarnya variabel itu sendiri pada periode yang lalu, ini dapat dilihat dari nilai t – statistik pada variabel er(-1) dan er(-2) yang berada pada daerah penolakan ho (nilai t-statistik > t – tabel). seperti halnya variabel nilai tukar, besarnya indeks harga saham ternyata juga hanya dipengaruhi oleh besarnya variabel tersebut pada periode yang lalu, yaitu variabel ihsg(-1). variabel nilai tukar dan suku bunga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya indeks harga saham gabungan. demikian juga untuk variabel dependen suku bunga (ir), terbukti bahwa besarnya suku bunga hanya dapat dijelaskan oleh besarnya suku bunga periode yang lalu, baik satu maupun dua periode yang lalu. hasil estimasi di atas tidak terbukti adanya hubungan antara ketiga variabel. salah satu kemungkinan adalah terjadinya krisis global yang dimulai sekitar pertengahan tahun 2008, dan memberikan dampak kepada perekonomian global. di bawah ini akan dicoba mengestimasi persamaan dengan membagi periode menjadi dua, yaitu periode sebelum krisis dan setelah krisis. pemotongan data dilakukan dengan mempertimbangkan fenomena dampak krisis di indonesia yang dilihat dari penurunan nilai tukar rupiah yang singnifikan yaitu pada bulan september 2008. hasil dari estimasi dua periode tersebut dapat dilihat pada tabel 4 dan tabel 5 (lampiran). untuk hasil estimasi persamaan periode sebelum krisis ternyata hasil yang diperoleh sama dengan hasil estimasi dengan menggunakan data secara keseluruhan. variabel er sebagai variabel dependen hanya dapat dijelaskan oleh besarnya variabel itu sendiri pada periode yang lalu. demikian juga untuk variabel indeks harga saham gabungan dan suku bunga. hasil estimasi dengan menggunakan periode setelah krisis, dapat ditunjukkan bahwa terjadi hubungan kausalitas antara variabel nilai tukar dengan tingkat suku bunga. ini dapat dilihat dari nilai t-statistik pada koefisiennya yang lebih besar dari nilai t-tabel nya. tetapi jika dilihat lebih lanjut, ternyata nilai koefisien nilai tukar dalam mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga tidak sesuai dengan yang dihipotesiskan, dengan demikian dianggap bahwa pengaruhnya tidak signifikan. jadi hanya dapat dikatakan bahwa hanya ada satu hubungan searah yaitu besarnya tingkat suku bunga (tiga periode yang lalu) berpengaruh terhadap besarnya nilai tukar. untuk persamaan dengan variabel dependen indeks harga saham, hasilnya masih konsisten dengan persamaan yang menggunakan periode keseluruhan maupun periode sebelum terjadinya krisis. hasil estimasi dengan menggunakan periode sampel secara keseluruhan dan dengan periode sebelum terjadinya krisis, menunjukkan hasil yang konsisten. besarnya variabel nilai tukar, indeks harga saham gabungan dan tingkat suku bunga hanya dapat dijelaskan oleh besarnya variabel itu sendiri pada periode yang lalu. besarnya indeks harga saham dan tingkat suku bunga ternyata tidak dapat berpengaruh terhadap besarnya nilai tukar. dengan kata lain indeks harga saham sebagai salah satu indikator perekonomiandan tingkat suku bunga bukanlah penentu besarnya nilai tukar pada periode tersebut. pada periode yang sama ternyata juga terbukti bahwa indeks harga saham dan nilai tukar tidak dapat menjelaskan besarnya suku bunga. kemungkinan yang dapat dijelaskan adalah perilaku suku bunga di samping dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, penentuan suku bunga juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di sektor moneter sehingga indeks harga saham dan nilai tukar di sini yang diakui sebagai salah satu indikator kondisi perekonomian tidak cukup kuat untuk mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga. hasil estimasi ini sama seperti studi empiris kwan dan shin (1999) dengan data korea yang menyatakan bahwa indeks harga saham tidak merupakan indikator leading untuk variabel makroekonomi. pada persamaan pengaruh terhadap indeks harga saham, dengan data keseluruhan maupun dengan periode yang terpisah ditunjukkan bahwa variabel nilai tukar dan tingkat suku bunga tidak terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya indeks harga saham. keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 21 meskipun pada periode tersebut tingkat bunga sudah bebas dan diatur oleh masing-masing bank umum, tetapi ternyata hal ini tidak berpengaruh besar terhadap perkembangan pasar modal di indonesia. kemungkinan yang terjadi adalah bahwa fenomena disintermediasi perbankan yang disebabkan oleh berkembangnya pasar modal sebagai lembaga alternatif penghimpunan dana tidak berpengaruh secara signifikan terhadap situasi di pasar modal itu sendiri, demikian sebaliknya. fenomena ini mengisyaratkan bahwa tidak terbukti adanya proses substitusi antara industri perbankan dan di pasar modal itu sendiri. dengan kata lain industri perbankan dan pasar modal masingmasing bukanlah alternatif sumber pembiayaan yang saling berhubungan secara erat. besarnya nilai tukar tidak berpengaruh terhadap besarnya indeks harga saham. hipotesis yang menyatakan bahwa menurunnya atau pun menguat-nya nilai tukar dapat mempengaruhi kondisi pasar modal di indonesia menjadi tidak terbukti. terjadinya depresiasi rupiah (nilai tukar rupiah menurun terhadap dolar)ternyata tidak cukup kuatuntuk mendesak kinerja perekonomian di pasar modal. dapat dikatakan bahwa terdepresiasinya nilai rupiah tidak mengakibatkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba menjadi rendah. hal ini dimungkinkan karena pada periode penelitian fluktuasi nilai tukar yang relatif stabil, sehingga investor berkeyakinan bahwa terjadinya depresiasi nilai tukar akan diikuti dengan pergerakan penyesuaian nilai tukar kembali ke posisi semula. dengan demikian investor tidak cukup kuat beralasan untuk menghindari resiko akibat depresiasi rupiah yang akan berlanjut dengan menjual kembali saham yang telah dibeli. ini sesuai dengan hasil penelitian ho (2009) yang menyatakan bahwa untuk kasus indonesia variabel fundamental ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, suku bunga dan tingkat inflasi) tidak berpengaruh pada pasar finansial. pada estimasi persamaan dengan menggunakan periode setelah terjadinya krisis global, dapat dilihat bahwa terjadi hubungan searah antara besarnya suku bunga dengan nilai tukar rupiah. suku bunga tabungan berjangka merupakan indikator penentu besarnya nilai tukar di indonesia. meningkatnya suku bunga merupakan salah satu daya tarik investor menempatkan dananya di bank, biaya memegang uang tunai menjadi relatif mahal dan dimungkinkan masyarakat akan merubah kombinasi portofolio mereka dari valuta asing ke tabungan. terjadinya depresiasi rupiah ternyata tidak diikuti meningkatnya suku bunga tabungan. rupiah yang terdepresiasi bukanlah satu-satunya alasan kecenderungan masyarakat untuk memilih menyimpan uang mereka di bank atau lembaga keuangan yang lain daripada menginvestasikannya di pasar modal karena lebih menguntungkan. simpulan pertama, hasil estimasi dengan menggunakan model var (vector autoregression) dengan periode waktu bulan agustus 1997 sampai dengan bulan mei 2012, dapat dibuktikan bahwa besarannya variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika (er), indeks harga saham gabungan (ihsg) di pasar modal, dan tingkat suku bunga hanya dapat dijelaskan oleh besarnya variabel itu sendiri di masa lalu. kedua, indeks harga saham gabungan sebagai salah satu indikator perekonomian dan tingkat suku bunga tidak terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya nilai tukar rupiah. nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga juga tidak dapat menjelaskan besarnya indeks harga saham gabungan di pasar modal indonesia. demikian juga besarnya nilai tukar dan indeks harga saham bukanlah indikator penentu besarnya tingkat suku bunga di indonesia. ketiga, dengan adanya pembedaan periode sebelum terjadinya krisis global dan setelah terjadinya krisis global, dapat ditunjukkan bahwa pada periode setelah terjadinya krisis, ternyata hanya ada satu hubungan searah yaitu antara variabel suku bunga dengan besarnya nilai tukar. meningkatnya suku bunga akan mendorong menguatnya nilai tukar rupiah. saran. meskipun dengan periode penelitian yang digunakan tidak dapat dibuktikan bahwa adanya saling keterkaitan antara ketiga variabel yang diteliti, pengendalian nilai tukar, peningkatan kinerja pasar modal dan penentuan tingkat suku bunga dalam negeri tetap menjadi hal yang sangat penting untuk penciptaaniklim perekonomian yang kondusif dan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 14-25 22 juga akan sangat bermanfaat bagi pengendalian fluktuasi nilai tukar mata uang domestik. daftar pustaka adam, anokye mohammed and george tweneboah. (2009). do macroeconomic variables play any role in the stock market movement in ghana?. working paper series, university of cape coast, diakses dari www.ssrn.com ajayi,ricard, a. and mboja mougoue. (1996). on the dinamyc relation between stocks prices and exchange rate. journal of financial research, vol xix, no. 2, pages 193-207, summer 1996. bank indonesia. (tt). statistik ekonomi dan keuangan indonesia, berbagai edisi. bank indonesia. (tt). laporan tahunan bank indonesia, berbagai edisi. enders, w. (2004). applied econometric time series, 2ndedition. new york: john wiley & sons, inc. gujarati, d.n., and porter, d.c. (2009). basic econometrics, 5th edition. singapore: mcgraw hill international edition. gupta, j.p., allain chevalier dan fran sayekt. (1999). the causality between interest rate, exchange rate and stock price in emerging markets: the case of the jakarta stock exchange, diakses dari www.ssrn.com hondroyiannis and papapetroo. (2001). macroeconomic influences on the stock market.journal of economics and finance, 25, pp. 33-49. ho, catherine, s.f. (2009). domestic macroeconomic fundamentals and world stock market effects on asean emerging market, paper, 22nd australian finance and banking conference. diakses dari www.ssrn.com ma c.k, and g.w. kao. (1990). on exchang rate changes and stock price reaction. journal of business finance and accounting 17, hlm.441-49. maysami, ramin cooper and tiong sim koh. (2000). a vector error correction model of the singapore stock market.international review of economic and finance, 9(2000) 7996. mukherjee, t and a naka. (1995). dynamic linkage between macroeconomic variablesand the japanese stock market: an application variables of a vector error correction model. journal of financial research 18. 223-237. simpson, john and john evans. (2003). banking stock returns and their relationship to interest rates and exchange rates: australian evidence. working paper series, curtin university of technology.diakses dari www.ssrn.com. singh, saurabh and v.p.s. arora. (2009). interest rate and stock movement in three major asian countries-india, china, and japan. working paper, diakses dari www.ssrn. com stock, j. h., and watson, m.w. (2007). introduction to econometrics, 2nd edition, singapore: person addison wesley, pearson international edition. viceira, luis, m. (2007). bond risk, bond return volatility, and the term structure of interest rate. hbs finance working paper no. 07-082, diakses dari www.ssrn.com wibowo, y. santosa dan gunawan. (1998). dampak disintermediasi kegiatan bank terhadap efektivitas kebijakan moneter. buletin ekonomi moneter dan perbankan, juli 1998 hlm 123-140. keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 23 lampiran gambar 1. impuls reaction function tabel 3. hasil estimasi model var variabel independent dependent variabel er ihsg ir er(-1) 0,995039 0,004947 2,18e-06 (0,07745) (0,02451) (0,00013) (12,8479) (0,20184) (0,01626) er(-2) -0,266062 -0,006141 0,000280 (0,10672) (0,03377) (0,00018) (-2,49299) (-0,18181) (1,51333) er(-3) 0,016253 0,009509 -8,68e-05 (0,07009) (0,02218) (0,00012) (0,23189) (0,42870) (-0,71553) ihsg(-1) -0,273670 1,165699 -3,39e-05 (0,24899) (0,07880) (0,00043) (-1,09911) (14,7934) (-0,07870) ihsg(-2) 0,251790 -0,152246 -0,000248 (0,38148) (0,12073) (0,00066) (0,66004) (-1,26109) (-0,37601) ihsg(-3) -0,017862 -0,026777 0,000223 (0,25257) (0,07993) (0,00044) (-0,07072) (-0,33499) (0,50983) bersambung jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 14-25 24 sambungan tabel 3.hasil estimasi model var variabel independent dependent variabel er ihsg ir ir(-1) 38,89609 -13,21432 1,705110 (40,2640) (12,7423) (0,06971) (0,96603) (-1,03704) (24,4587) ir(-2) 3,867952 18,54061 -0,823221 (73,4107) (23,2322) (0,12711) (0,05269) (0,79806) (-6,47670) ir(-3) -52,19204 -6,455621 0,097665 (41,1067) (13,0090) (0,07117) (-1,26967) (-0,49624) (1,37222) c 2548.020 -26,38516 -1,470526 (391.667) (123.950) (0,67814) (6,50558) (-0,21287) (-2,16847) r-squared 0,747841 0,977605 0,989509 adj. r-squared 0,734086 0,976384 0,988936 tabel 4. hasil estimasi dengan periode sebelum terjadinya krisis variabel variabel dependen independen er ihsg ir er(-1) 0,974784 -0,000774 4,13e-05 (0,09017) (0,02556) (0,00016) (10,8103) (-0,03027) (0,25413) er(-2) -0,259353 -0,004192 0,000290 (0,12343) (0,03498) (0,00022) (-2,10117) (-0,11983) (1,30481) er(-3) -0,002865 0,007113 -7,69e-05 (0,08118) (0,02301) (0,00015) (-0,03529) (0,30914) (-0,52549) ihsg(-1) -0,128162 1,160857 9,53e-05 (0,32340) (0,09166) (0,00058) (-0,39629) (12,6643) (0,16339) ihsg(-2) 0,105999 -0,126891 -0,000478 (0,49369) (0,13993) (0,00089) (0,21471) (-0,90683) (-0,53699) ihsg(-3) -0,002000 -0,071113 0,000305 (0,32646) (0,09253) (0,00059) (-0,00613) (-0,76854) (0,51771) ir(-1) 42,65551 -11,65200 1,700367 (44,7431) (12,6817) (0,08068) (0,95334) (-0,91881) (21,0765) ir(-2) -1,948258 17,83968 -0,823062 (81,4634) (23,0894) (0,14689) (-0,02392) (0,77263) (-5,60340) ir(-3) -49,02725 -7,507199 0,101334 (45,6287) (12,9327) (0,08227) (-1,07448) (-0,58048) (1,23168) c 2784,386 44,43830 -1,947031 (463,076) (131,251) (0,83497) (6,01280) (0,33857) (-2,33186) r-squared 0,721815 0,955954 0,988448 adj. r-squared 0,701123 0,952678 0,987589 -2096,236 keterkaitan antara nilai tukar ...(rini setyastuti) 25 tabel 5. hasil estimasi persamaan dengan periode setelah terjadinya krisis variabel variabel dependen independen er ihsg ir er(-1) 0,494018 0,017917 -0,000182 (0,14530) (0,11595) (5,7e-05) (3,40001) (0,15453) (-3,17386) er(-2) -0,211951 -0,022026 4,09e-05 (0,15930) (0,12712) (6,3e-05) (-1,33054) (-0,17327) (0,64910) er(-3) 0,529282 -0,037620 -0,000130 (0,15333) (0,12236) (6,1e-05) (3,45184) (-0,30746) (-2,15184) ihsg(-1) -0,357529 0,898572 -0,000160 (0,23121) (0,18450) (9,1e-05) (-1,54635) (4,87028) (-1,75488) ihsg(-2) 0,192406 -0,221872 3,78e-05 (0,31662) (0,25266) (0,00013) (0,60769) (-0,87815) (0,30241) ihsg(-3) 0,108896 0,223259 -1,09e-05 (0,24734) (0,19738) (9,8e-05) (0,44027) (1,13113) (-0,11174) ir(-1) -203,1748 -495,5077 1,592301 (314,776) (251,188) (0,12441) (-0,64546) (-1,97266) (12,7989) ir(-2) 1561,031 555,2077 -0,567551 (602,250) (480,589) (0,23803) (2,59200) (1,15526) (-2,38438) ir(-3) -1324,776 -85,82991 0,024477 (331,889) (264,843) (0,13117) (-3,99163) (-0,32408) (0,18660) c 1740,124 924,7882 2,520702 (1510,37) (1205,26) (0,59695) (1,15212) (0,76729) (4,22267) r-squared 0,951282 0,968856 0,997211 adj, r-squared 0,938386 0,960612 0,996473 schwarz criteria -527,8222 microsoft word 03-ardhito jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.24-32   struktur pasar, distribusi, dan pembentukan harga beras * ardito bhinadi fakultas ekonomi universitas pembangunan nasional “veteran” yogyakarta jalan lingkar utara condongcatur, yogyakarta e-mail: arditobhinadi@gmail.com abstract: food commodities especially rice become one of the significant contributors to inflation. this paper aims to identify the market structure, distribution patterns, and the formation of rice prices in yogyakarta indonesia. the method used is descriptive and statistical modeling approach houck. based on the results of the survey, it’s found that the market structure in yogyakarta at the collectors is an oligopoly, the increasingly competitive downstream. the pattern of distribution of rice in yogyakarta is following the path length, which is collected from the manufacturers. wholesalers collectors bought new distributed to retailers for sale to consumers. at the level of manufacturers, the price of rice is determined by the buyer; collectors follow at the highest market price. at wholesalers levels, the price follows the price of competitors, and at the retailers, the price follows the highest market price. factor that determines the price of rice from manufacturers to retailers is alike, that is the availability of supy. keywords: market structure, distribution, pricing of goods, rice prices abstrak: komoditas pangan khususnya beras menjadi salah satu penyumbang inflasi yang signifikan. paper ini bertujuan mengidentifikasi struktur pasar, pola distribusi, dan pembentukan harga beras di yogyakarta. metode yang dilakukan adalah statistik deskriptif dan pendekatan model houck. berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa struktur pasar besar di yogyakarta pada tingkat pengepul adalah oligopoli, semakin ke hilir semakin kompetitif. pola distribusi beras di yogyakarta mengikuti jalur panjang, yaitu dari produsen dikumpulkan pengepul dibeli pedagang besar didistribusikan ke pengecer baru dijual ke konsumen. pada tingkat produsen, harga beras ditentukan oleh pembeli; di tingkat pengepul mengikuti harga pasar tertinggi. di tingkat pedagang besar mengikuti harga pesaing, dan di tingkat pengecer mengikuti harga pasar tertinggi. faktor yang menentukan harga jual beras dari produsen hingga pengecer sama, yaitu ketersediaan pasokan. kata kunci: struktur pasar, pola distribusi, penetapan harga, harga beras pendahuluan komoditas pangan (volatile foods) menjadi penyumbang inflasi yang cukup signifikan. secara historis sumbangan komoditas pangan terhadap inflasi di indonesia sangat signifikan dan menduduki urutan kedua setelah inflasi  penelitian ini merupakan bagian dari penelitian beberapa komoditas terpilih penyumbang inflasi di diy yang dibiayai oleh kantor perwakilan bank indonesia daerah istimewa yogyakarta. inti (core inflation). secara empiris harga komoditas pangan tersebut mempunyai peranan yang penting dalam mengendalikan inflasi di indonesia. porsi sumbangannya yang cukup signifikan terhadap berbagai shocks layak djadikan sebagai leading indicators inflasi. permintaan konsumsi komoditas pangan yang menjadi kebutuhan pokok cenderung stabil, sehingga gejolak harganya lebih dipengaruhi oleh shock di sisi penawaran seperti siklus panen, bencana alam, dan distribusi (prastowo dkk, 2008) seperti halnya di indonesia, komoditas struktur pasar, distribusi, dan pembentukan harga beras (ardito bhinadi) 25 pangan (volatile food) merupakan penyumbang inflasi yang cukup signifikan di daerah istimewa yogyakarta. salah satu pemicunya adalah melonjaknya pola konsumsi masyarakat. pola konsumsi masyarakat di yogyakarta lebih didominasi pada makanan. kondisi tersebut menyebabkan sensitivitas dan pergerakan angka inflasi di provinsi diy. pengungkapan faktor penyebab inflasi yang terjadi pada komoditas makanan (volatile food) dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab kenaikan harga per komoditas atau kelompok komoditas (disaggregate approach). dalam rangka memperoleh informasi yang lebih valid dan mendalam terhadap proses pembentukan harga secara disagregat dapat dilakukan studi pada berbagai tingkatan proses produksi dan jalur distribusi serta struktur pasar masing-masing komoditas. pengendalian inflasi melalui pengendalian harga bahan pokok menjadi sangat penting untuk dilakukan. terganggunya pasokan kebutuhan pokok seperti beras, cabai, bawang merah menyebabkan harga ditingkat pengecer melonjak. upaya memahami inflasi dari sisi supply menjadi sangat relevan karena harga di tingkat konsumen sangat terkait dengan harga yang ditentukan oleh produsen dan pedagang. pembentukan harga oleh produsen dan pedagang dipengaruhi oleh perilaku perusahaan yang sangat berhubungan dengan struktur pasarnya. di samping itu, harga di tingkat konsumen juga dipengaruhi oleh pola distribusi suatu barang. ancaman terhadap pola distribusi akan berdampak besar terhadap ketersediaan/kelangkaan barang yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi tingkat harga. sebagai bagian dari upaya pengendalian harga komoditas daerah, perlu dilakukan identifikasi terhadap perilaku produsen, pedagang besar, pedagang eceran dalam pembentukan harga dan pola distribusi barang di daerah, terutama terhadap komoditas penyumbang inflasi utama di daerah. kemampuan dalam pengendalian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap distribusi komoditas pangan disinyalir dapat mengurangi tekanan inflasi yang berasal dari volatile foods. kebijakan sektor pertanian untuk meningkatkan produksi pangan sebenarnya solusi jangka panjang dalam penciptaan ketahanan pangan dan pengendalian harga dari dalam negeri. namun upaya peningkatan produksi pertanian tidak dapat dilakukan secara instan karena terkait dengan infrastruktur, luas lahan, teknologi, dan keahlian yang memerlukan investasi dan penagnan jangka panjang. sementara faktor distribusi dapat dipengaruhi secara lebih cepat dan jumlah investasi yang dibutuhkan relatif lebih kecil. peningkatan komoditas pangan dapat berasal dari produsen, namun sumber peningkatan harga tersebut biasanya lebih bersifat fundamental karena didorong oleh meningkatnya harga input/sarana produksi atau karena faktor kebijakan pemerintah seperti penetapan harga dasar. sementara peningkatan harga yang didorong oleh faktor distribusi bersifat variabel, seperti panjangnya rantai jalur distribusi, hambatan transportasi dan perilaku pedagang dalam menetapkan marjin keuntungan, aksi spekulasi maupun kompetisi antar pedagang. tingginya volatilitas harga komoditas yang terjadi selama ini mengindikasikan bahwa faktor distribusi komoditas sangat strategis terhadap penyumbang inflasi nasional maupun inflasi daerah. permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tingginya volatilitas harga pangan khususnya beras di yogyakarta. volatilitas harga merupakan masalah keseimbangan antara permintaan dan penawaran. struktur pasar dan pola distribusi barang turut andil dalam timbulnya volatilitas harga barang. permasalahan penelitian di batasi pada struktur pasar, pola distribusi dan pembentukan harga barang. adapun tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi struktur pasar, pola distribusi, dan pembentukan harga beras di diy. metode penelitian data yang digunakan dalam riset ini meliputi data primer dan data sekunder. data primer berupa data yang diperoleh dari hasil survei terhadap responden petani, pedagang, pengepul, pedagang besar, dan pedagang pengecer 13 komoditas kontributor utama inflasi daerah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 24-32 26 yang diteliti. data sekunder yang meliputi data perkembangan harga beras yang diambil dari bank indonesia. pengumpulan data dilakukan dengan metode survei ke kelompok produsen, pengepul, pedagang besar, pengecer 1 dan pengecer 2. pengambilan sampel masing-masing kelompok pelaku pasar dilakukan dengan metode purposive sampling. responden pedagang besar, pengecer 1 dan pengecer 2 didistribusi dari delapan pasar yang telah ditetapkan sebelumnya. pemilihan pasar dilakukan melalui metode purposive sampling, diambil pasar-pasar induk dan besar yang menjadi acuan perdagangan komoditas di diy. kedelapan pasar tersebut adalah pasar kranggan, lempuyangan, beringharjo, demangan, piyungan, wates, giwangan dan gamping. responden produsen dan pengepul berasal dari lima kabupaten dan kota di diy secara purposive sampling. jumlah responden sebanyak 27 orang terdiri dari 5 petani, 6 pengepul, 5 pedagang beras, 6 pengecer 1 dan 5 pengecer 2. alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa macam. berikut adalah alat analisis yang digunakan: (1) statistik deskriptif. alat analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden dan jalur distribusi komoditas penelitian. (2) pendekatan houck. houck dalam penelitiannya mengembangkan model pengujian apt berdasar segmentasi variabel harga menjadi harga naik dan harga turun. houck merepresentasikan persamaan asimetrik statik yang spesifikasinya prt = 0 + 1 + pft + p ft + et (1) di mana prt dan pft merupakan harga di tingkat ritel dan di tingkat hulu, t = 1,2, ... t, (delta) merupakan operator turunan pertama p ft merupakan pergerakan harga naik dan p ft pergerakan harga ritel turun. dalam model ini secara implisit dijelaskan bahwa pergerakan harga di tingkat hulu ada sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat ritel, atau dalam bahasa lain harga tingkat hulu merupakan granger cause dari harga di tingkat hilir. uji granger causality yang dilakukan dengan pendekatan ini juga membuktikan bahwa pergerakan harga hulu sebagai driver pergerakan harga hilir. penelitian ini dilakukan di beberapa kota di amerika serikat. aplikasi model houck dalam penelitian ini di gunakan model error correction model englegranger (ecm-eg). pada prinsipnya, pada model koreksi kesalahan terdapat keseimbangan yang tetap dalam jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi. bila dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan dalam satu periode, maka model koreksi kesalahan akan mengoreksinya pada periode berikutnya. mekanisme koreksi kesalahan ini dapat diartikan sebagai penyelaras perilaku jangka pendek dan jangka panjang. dengan mekanisme ini pula, masalah regresi semrawut dapat dihindarkan melalui penggunaan variabel perbedaan yang tetap di dalam model, namun tanpa menghilangkan informasi jangka panjang yang diakibatkan oleh penggunaan data perbedaan semata (engle dan yoo, 1987:144). dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model koreksi kesalahan konsisten dengan konsep kointegrasi atau dikenal dengan granger representation theorem (maddala, 1992:597 dan thomas, 1997: 432). teorema representasi granger menekankan bahwa bila variabel-variabel yang diamati membentuk suatu himpunan yang berkointegrasi maka model dinamis yang sahih atau valid adalah model koreksi kesalahan (errorcorrection model). demikian halnya bila model koreksi kesalahan merupakan model yang sahih maka variabel-variabel yang digunakan akan merupakan himpunan variabel yang berkointegrasi. sebaliknya, bila variabel yang digunakan tidak ber-kointegrasi maka residual dari model koreksi kesalahan tidak stasioner dan kondisi tersebut memberikan indikasi bahwa spesifikasi model yang diamati tidak sahih (thomas, 1997:432). menurut englegranger, ecm dapat diperoleh dari regresi antara variabel-variabel yang tidak stasioner tapi mempunyai derajat integrasi yang sama dan berkointegrasi. sehingga langkah pertama untuk mendapatkan ecm-eg adalah menyusun regresi kointegrasi sebagai berikut. struktur pasar, distribusi, dan pembentukan harga beras (ardito bhinadi) 27 yt = 0 + 1 xt + t (2) setelah didapatkan persamaan regresi yang terkointegrasi, satu keuntungan tambahan dapatlah diperoleh. menurut teori granger representation theorem, jika sebuah persamaan regresi terkointegrasi, maka persamaan tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk model koreksi kesalahan (ecm). jika terbukti persamaan regresi kointegrasi mempunyai error t yang stasioner atau i(0), maka persamaan tersebut dapat diformulasi-kan dalam bentuk engle-granger ecm sebagai berikut. yt = 0 + 1 xt + 3 t-1 + t (3) bentuk ecm ini memberikan keuntungan bagi peneliti. pertama, peneliti dapat memperoleh gambaran apakah variabel dalam persamaan terkointegrasi atau tidak. kedua, peneliti dapat mengamati proses menuju keseimbangan, yang tercermin dalam model dinamik jangka pendek, namun juga peneliti dapat mencermati kondisi keseimbangan jangka panjang. selain itu dalam semangat dinamis, peneliti dapat mengamati kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan, jika terjadi shock dalam perekonomian (yang tercermin dalam model). karena diasumsikan bahwa t (error correction term ect) adalah residual yang stasioner yang dihasilkan dari persamaan regresi yang terkointegrasi, yang memiliki varian konstan, maka diharapkan koefisien ect dalam model ecm akan signifikan. sehingga jika dalam model ecm, koefisien ect yang signifikan mencerminkan bahwa variabel dalam persamaan jangka panjang terkointegrasi. koefisien-koefisien dalam ecm-eg, selain koefisien ect menunjukkan pengaruh jangka pendek variabel independen terhadap variabel dependen. dalam jangka panjang terjadi keseimbangan, sehingga yt = yt-1, dan xt = xt-1, sehingga dengan memasukkan kondisi jangka panjang tersebut, koefisien jangka panjang dapat diperoleh dari hasil estimasi ecm-eg. koefisien ect dalam ecm-eg menunjukkan besarnya pengaruh shok masa lalu terhadap yt yang dalam keseimbangan. karena koefisien ect secara absolut lebih kecil dari satu, artinya setiap perubahan shok masa lalu sebesar satu unit akan menghasilkan perubahan yt yang lebih kecil dari satu. shock akan teredam menuju keseimbangan. besarnya koefisien ect mengindikasikan seberapa cepat proses penyesuaian ke arah keseimbangan tersebut. semakin besar koefisien ect (tetapi lebih kecil dari satu), semakin cepat proses menuju keseimbangan. waktu penyesuaian menuju keseimbangan akan sebesar (1/3) unit waktu (tergantung unit waktu penelitian). hasil dan pembahasan struktur pasar beras struktur pasar beras tingkat produsen di diy kompetitif, karena petani umumnya memiliki sawah tidak luas, dan mendapat saingan dari luar diy. pada tingkat distributor (pedagang besar), struktur pasarnya lebih mengarah ke oligopoli, sedang pada tingkat pengecer, struktur pasar beras semakin kompetitif (lihat tabel 1 dalam lampiran). beras yang diperdagangkan di diy banyak berasal dari luar diy. kondisi ini terlihat dari asal beras yang dijual oleh pedagang besar dan pengecer 2, sebanyak 40 persen berasal dari luar diy. sinyalemen selama ini yang menyatakan bahwa diy surplus beras menunjukkan bahwa tidak semua beras hasil produksi petani di diy diperdagangkan. sebanyak 16,75 persen hasil panen padi dari petani disimpan untuk dikonsumsi sendiri oleh para petani (lihat tabel 2 dalam lampiran). banyaknya beras yang dipasok dari luar diy ini berdampak pada besarnya ketergantungan pasokan beras dari luar diy. apabila produksi dan jalur distribusi beras dari luar diy terganggu, maka perdagangan beras di diy juga terganggu, harga beras akan mengalami kenaikan. pada saat kondisi ramai, pedagang besar mampu menjual beras melebihi kuantitas penjualan pengepul di diy. fakta ini memperkuat gambaran sebelumnya yang menguraikan pedagang beras di diy banyak mendapatkan pasokan beras dari luar provinsi diy (lihat tabel 3). jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 24-32 28 tabel 3. kuantitas penjualan beras pada berbagai kondisi (kg/hari) no pelaku pasar kondisi ramai kondisi normal kondisi sepi 1 produsen 2 pengepul 1.783 975 675 3 pedagang besar 2.320 555 290 4 pengecer 1 1.148 239 123 5 pengecer 2 49 36 26 sumber: hasil survei, data diolah. distribusi beras jalur distribusi beras dari produsen sampai dengan pengecer di diy berasal dari dua arah. mengingat tidak semua beras yang diproduksi petani di diy diperdagangkan (sebagian dikonsumsi sendiri oleh petani), maka untuk memenuhi permintaan pasar, sebagian beras diperoleh dari luar provinsi diy. pengepul di diy memperoleh beras dari petani di diy dan luar diy. pedagang besar untuk memenuhi permintaan pasar beras di diy mendapatkan pasokan dari pengepul di diy dan luar diy. pengecer 1 mendapatkan pasokan beras dari pedagang besar di diy. pengecer 2 mendapatkan pasokan beras dari pengecer 1 di diy dan pedagang besar di luar diy (lihat gambar 1). melihat jalur distribusi tersebut, tampak bahwa pemain beras dari luar diy ikut mewarnai perdagangan beras di diy sebagai pemasok beras. gambar 1. jalur distribusi beras cara mendistribusikan beras ke pembeli untuk produsen, pengepul dan pedagang besar relatif sama. sebagian besar pembeli pada tingkatan masing-masing mengambil sendiri komoditasnya dari pemasok. pada tingkat produsen dan pengepul, sebanyak 80 persen pembeli mengambil sendiri komoditas dagangannya. pada tingkat pedagang besar, 75 persen pembeli mengambil sendiri komoditas dagangannya, dan pada tingkat pengecer 1 sebanyak 84 persen pembeli mengambil sendiri komoditas dagangannya. pada tingkatan pengecer 2, semua konsumen mengambil sendiri beras yang dibelinya (lihat tabel 4). tabel 4. cara mendistribusikan beras ke pembeli no pelaku pasar diantar ke tempat pembeli pembeli mengambil sendiri 1 produsen 20% 80% 2 pengepul 20% 80% 3 pedagang besar 25% 75% 4 pengecer 1 16% 84% 5 pengecer 2 100% sumber: hasil survei, data diolah. hambatan dalam distribusi beras pada tingkat produsen, pengepul, dan pedagang besar hampir tidak dirasakan oleh responden. hambatan distribusi beras baru dirasakan pada tingkat pengecer 1 dan pengecer 2. pada tingkat pengecer 1 hambatan yang paling dominan sering dihadapi adalah adanya cuaca buruk yang menghambat distribusi, sedangkan pada pengecer 2 hambatan yang sering ditemui adalah persoalan sedikitnya pasokan. pembentukan harga beras harga jual beras pada berbagai kondisi dan tingkatan pelaku pasar berbeda-beda. secara umum, harga beras pada kondisi panen lebih murah daripada kondisi normal dan pada kondisi paceklik lebih mahal daripada kondisi normal. pengepul memperoleh margin (selisih harga perolehan komoditas dengan harga jual) paling besar. pada kondisi normal, pengepul memperoleh margin sebesar 115 persen. pedagang besar memperoleh margin sebesar 11 persen, pengecer 1 memperoleh margin sebesar 5 persen, dan pengecer 2 memperoleh margin 3 struktur pasar, distribusi, dan pembentukan harga beras (ardito bhinadi) 29 persen. semakin ke hilir, maka margin keuntungan beras semakin kecil. tabel 5. harga jual beras pada berbagai kondisi (rp/kg) no pelaku pasar kondisi panen kondisi normal kondisi paceklik 1 produsen 2.575 2.975 3.450 2 pengepul 5.610 6.400 6.700 3 pedagang besar 5.940 7.100 7.283 4 pengecer 1 6.926 7.480 7.640 5 pengecer 2 7.180 7.690 8.540 sumber: hasil survei, data diolah. pada tingkat produsen, harga beras ditentukan oleh pembeli, yaitu pengepul. pada tingkat pengepul, pengecer 1 dan pengecer 2, harga beras mengikuti harga pasar tertinggi. cara menentukan harga beras pada tingkat pedagang besar mengikuti harga pesaing (lihat tabel 6). kondisi ini menggambarkan bahwa pengepul sebagai pelaku utama penentu harga beras di pasar. harga jual beras di diy dari tingkat produsen hingga ke pengecer 1 secara dominan dipengaruhi oleh faktor ketersedian pasokan, harga kebutuhan pokok,biaya pengiriman dan nilai tukar rupiah/dollar as (lihat tabel 7 dalam lampiran). hal ini sejalan dengan harga jual beras yang terdeteksi mengalami penurunan dari harga normal jika sedang panen, kemudian akan mengalami kenaikan harga saat kondisi paceklik. pada tingkat pengecer 2, faktor yang menentukan harga jual beras adalah biaya pengiriman, ketersediaan pasokan dan harga kebutuhan pokok. nilai tukar rupiah/dollar as tidak mempengaruhi harga jual beras. berdasarkan biaya yang dikeluarkan setiap tingkatan pelaku pasar, diperoleh informasi bahwa sebagian besar biaya yang dikeluarkan pelaku pasar terserap ke sektor transportasi dengan persentase yang berbeda untuk setiap tingkat pelaku pasar (lihat tabel 8 dalam lampiran). selain biaya transportasi, biaya pengepakan dan bongkar muat memiliki persentase lebih tinggi pada tingkat pedagang besar dan pengecer 1. besarnya margin beras masing-masing pelaku pasar bervariasi. ditingkat produsen, pengepul, pedagang besar margin yang dilakukan bervariasi. pada tingkat pengecer 2 sebagian besar responden bervariasi dalam menentukan margin beras (80 persen) sedangkan sisanya sebesar 20 persen memilih tetap dalam menentukan variasi margin harga beras (lihat tabel 9). tabel 9. variasi margin beras no pelaku pasar tetap bervariasi 1 produsen 100% 2 pengepul 100% 3 pedagang besar 100% 4 pengecer 1 100% 5 pengecer 2 20% 80% sumber: hasil survei, data diolah. besarnya margin beras disetiap tingkatan pelaku pasar berbeda satu dengan yang lainnya. namun faktor harga pesaing menjadi faktor dominan dengan memiliki bobot tertinggi baik di tingkat produsen, pengepul, pedagang besar dan pengecer 1. sementara di tingkat pengecer 2 terdeteksi memiliki bobot yang terdistribusi cukup merata yaitu faktor harga pembelian, biaya hidup dan biaya usaha, masing-masing sebesar 25 persen, kemudian faktor harga pesaing dan pasokan masingmasing sebesar 13 persen (lihat tabel 10). hal ini menunjukkan bahwa secara umum faktor harga pesaing menjadi faktor penentu tabel 6. cara menentukan harga jual beras no cara menentukan harga produsen pengepul pedagang besar pengecer 1 pengecer 2 1 mengikuti harga pasar tertinggi 2 1 4 1 1 2 mengikuti harga pesaing 3 2 1 2 3 3 ditentukan oleh pembeli 1 3 4 4 biaya produksi+margin 4 4 2 3 2 5 lainnya 3 catatan: 1,2,3,4,5 berdasarkan ranking mulai tertinggi sampai terendah. sumber: hasil survei, data diolah. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 24-32 30 utama besarnya margin beras di tingkat produsen, pengepul, pedagang besar, dan pengecer 1. sedangkan di tingkat pengecer 2 memiliki faktor beragam yang terdistribusi cukup merata. berdasarkan hasil estimasi menggunakan model houck dengan pendekatan ecm-eg nilai t-stat perubahan harga di tingkat hulu tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. dalam ecm-eg, koefisien ect yang signifikan mencerminkan bahwa variabel dalam persamaan jangka panjang terkointegrasi. koefisien dalam ecm-eg, selain koefisien ect menunjukkan pengaruh jangka pendek variabel independent terhadap variabel dependent. hasil estimasi pada komoditas beras menunjukan dalam jangka pendek perubahan harga beras di tingkat hulu tidak signifikan mempengaruhi perubahan harga di tingkat hilir (pengecer). adapun nilai t-stat ect tidak signifikan hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan dalam jangka panjang antara harga hulu dan harga hilir (lihat tabel 11). tabel 11. hasil estimasi menggunakan model houck untuk beras variabel β s.e t-stat konstanta dpberas tingkat hulu ect 5,833177 0,757788 -0,862978 56,68092 2,287720 2,296398 0,102913 0,331242 -0,375798 r2 f-stat 0,013024 0,296903 apabila dilihat tandanya, maka koefisien perubahan harga beras di tingkat hulu bertanda positif. artinya, dalam jangka pendek harga pada tingkat pengecer (hilir) lebih cepat atau lebih penuh bereaksi terhadap harga beras di tingkat hulu ketika harga naik dibandingkan ketika harga turun. kondisi ini berdampak negatif pada konsumen, karena dalam jangka pendek kenaikan harga di tingkat hulu akan direaksi secara cepat oleh pengecer dengan ikut menaikkan harga. sebaliknya, ketika harga pada tingkat hulu turun, pengecer relatif lebih lambat untuk ikut menurunkan harga. koefisien ect bertanda negatif tetapi tidak signifikan, artinya dalam jangka panjang, harga hulu dan harga hilir tidak berkointegrasi dalam jangka panjang, berarti dalam hal ini kemungkinan terjadi asymetric information. simpulan struktur pasar beras di diy beragam sesuai dengan tingkatan pelaku pasar. pada tingkat produsen (petani), struktur pasar beras kompetitif. pada tingkat distributor (pedagang besar), struktur pasarnya lebih mengarah ke oligopoli, sedang pada tingkat pengecer, struktur pasar beras semakin kompetitif. pola distribusi beras di diy mengikuti jalur panjang, yaitu dari produsen  pengepul  pedagang besar  pengecer  konsumen. banyak beras dipasok dari luar diy, sehingga gangguan kelancaran distribusi beras dari luar diy bisa berdampak pada harga-harga beras di diy. hambatan distribusi beras adalah buruknya cuaca dan sedikitnya pasokan. porsi biaya terbesar dari perdagangan beras adalah transportasi, diikuti pengepakan dan bongkar muat. pada tingkat produsen, harga beras ditentukan oleh pembeli; di tingkat pengepul mengikuti harga pasar tertinggi; di tingkat pedagang besar mengikuti harga pesaing, dan di tingkat pengecer mengikuti harga pasar tertinggi. faktor-faktor yang menentukan harga jual beras dari produsen hingga pengecer sama, yaitu ketersediaan pasokan. dalam jangka pendek perubahan harga beras di tingkat hulu tabel 10. faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya margin beras no faktor yang mempengaruhi produsen pengepul pedagang besar pengecer 1 pengecer 2 1 harga pembelian 25% 2 harga pesaing 100% 36,36% 71% 55% 13% 3 pasokan 13% 4 biaya hidup 27,27% 29% 27% 25% 5 biaya usaha 36,36% 18% 25% sumber: hasil survei, data diolah. struktur pasar, distribusi, dan pembentukan harga beras (ardito bhinadi) 31 tidak signifikan mempengaruhi perubahan harga di tingkat hilir (pengecer). implikasi dari kesimpulan mengenai struktur pasar, pola distribusi dan penetapan harga beras di diy terhadap kebijakan pengendalian harga adalah upaya pengendalian harga beras yang dilakukan oleh pemerintah diy tidak akan bisa banyak berarti. penentu harga beras ada pada tingkat pengepul yang sebagian besar berasal dari luar diy. kebijakan pengendalian harga akan efektif jika pemerintah diy memiliki pasokan beras yang memadai untuk intervensi pasar. peran bulog sebagai lembaga peyangga komoditas beras harus dihidupkan dan difungsikan kembali dengan benar. daftar pustaka engle, robert f. and byung sam yoo. 1987. forecasting and testing in co-integrated systems. journal of econometrics 35, 143159. maddala, g.s. 1992. introduction to econometrics. new york: macmillan publishing company. prastowo, n. j., dkk. 2008. effect of distribution to commodity price and its implication to inflation. http://www.bi.go.id/web/id/ publikasi/jurnal+ekonomi/ robert f. engle; c. w. j. granger. co-integration and error correction: representation, estimation, and testing. econometrica, vol. 55, no. 2. (mar., 1987), 251-276. thomas, r.l. 1997. an introduction modern econometrics. england: addison-wesley longman limited. lampiran tabel 1. konsentrasi rasio beras di berbagai pasar di diy keterangan kranggan beringharjo demangan lainnya total pengepul jumlahsampel 6 jumlah total 6 rasio sampel (%) 100% jumlahomsetsampel 7.350 jumlahomset total 25.000 rasio omset (%) 29% pedagang besar jumlahsampel 2 2 1 5 jumlah total 3 6 5 14 rasio sampel (%) 66,7% 33,3% 20% 36% jumlahomsetsampel 950 1.800 250 3.000 jumlahomset total 3000 6.000 2.000 11.000 rasio omset (%) 32% 30% 12,5% 27% pengecer 1 jumlahsampel 3 3 6 jumlah total 11 6 17 rasio 27% 50% 35% jumlahomsetsampel 325 1.095 1.420 jumlahomset total 1.830 1.500 3.330 rasio 17,6% 73% 43% pengecer2 jumlahsampel 5 5 jumlah total 19 19 rasio 26% 26% jumlahomsetsampel 179 179 jumlahomset total 1675 1675 rasio 11% 11% sumber: hasil survei, data diolah. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 24-32 32 tabel 2. asal beras yang dijual oleh masing-masing pelaku pasar no uraian pengepul pedagang besar pengecer 1 pengecer 2 1 produsen provinsi diy 97% luar provinsi 3% 2 pengepul provinsi diy 60% luar provinsi 40% 3 pedagang besar provinsi diy 100% luar provinsi 4 pengecer 1 provinsi diy 60% luar provinsi 40% sumber: hasil survei, data diolah. tabel 7. faktor-faktor yang menentukan harga jual beras no faktor yang menentukan produsen pengepul pedagang besar pengecer 1 pengecer 2 1 biaya sarana produksi 3 2 biaya pengiriman 2 3 3 3 1 3 ketersediaan pasokan 1 1 1 1 2 4 harga kebutuhan pokok 2 2 2 2 3 5 nilai tukar rupiah/dolar as 4 4 4 4 sumber: hasil survei, data diolah. tabel 8. biaya-biaya perdagangan beras no biaya-biaya pengepul pedagang besar pengecer 1 pengecer 2 1 total biaya (rp/kg) 100 200 158 248 2 transportasi (%) 75% 36% 42% 61% 3 pengepakan (%) 16% 54% 50% 34% 4 bongkar/muat (%) 10% 10% 8% 4% sumber: hasil survei, data diolah. microsoft word 05-rini jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm. 135-143   peranan suku bunga, harga aset, dan nilai tukar dalam pertumbuhan ekonomi di indonesia rini dwi astuti fakultas ekonomi, universitas pembangunan nasional “veteran” yogyakarta jalan swk 104 (lingkar utara), condongcatur, yogyakarta 55283 indonesia e-mail korespondensi: rinidwiastuti@upnyk.ac.id naskah diterima: maret 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: this study analyzes the effect of interest rates, asset prices and exchange rates on economic growth in indonesia. the data used are quarterly data 2000-2011. the analysis tools are error correction model. the results showed that the interest rate, asset prices and the exchange rates effect on economic growth is only in the long term. the results imply that the behaviour of interest rates, asset prices and exchange rates are important for economic growth. thus, the formulation and implementation of financial policies that enhance investment friendly rate of interest borrowing more conducive to investment, strengthening the capital market as a source of investment funds and the stability of the exchange rate are necessary to promote growth in indonesia. keywords: interest rate channel; assets price channel; economic growth; error correction model jel classification: e40, e44, e52, e58 abstrak:penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh jalur suku bunga, harga aset, dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. data yang digunakan merupakan data kuartalan periode tahun 2000-2011 dengan menggunakan alat analisis errror correction model. hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur suku bunga, harga aset (saham), dan nilai tukar hanya memiliki pengaruh dalam jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. hasil ini menunjukkan bahwa perilaku suku bunga, harga aset dan nilai tukar penting bagi pertumbuhan ekonomi. dengan demikian, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di sektor keuangan perlu diorientasikan pada penetapan suku bunga pinjaman yang lebih kondusif bagi investasi, memperkuat pasar modal sebagai sumber dana investasi dan stabilitas nilai tukar sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di indonesia. kata kunci: jalur suku bunga; jalur harga aset; jalur nilai tukar; pertumbuhan ekonomi; error correction model klasifikasi jel: e40, e44, e52, e58 pendahuluan perekonomian selalu digerakkan oleh permintaan dan penawaran agregat. keseimbangan antara keduanya akan menghasilkan harga dan output keseimbangan. penganut supply side lebih meyakini bahwa apa yang menggerakkan perekonomian berasal dari sisi penawaran agregat. di pihak lain, penganut demand side menganggap bahwa faktor daya beli terhadap barang dan jasa lebih dominan dalam menggerakkan perekonomian, sehingga mereka beranggapan bahwa produksi akan berkurang jika terjadi penurunan permintaan agregat. variabel yang mampu mempengaruhi permintaan agregat adalah kebijakan moneter, fiskal, dan internasional. dalam perekonomian yang lesu, kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif dan kebijakan stabilisasi nilai tukar dapat dilakukan untuk mendorong kenaikan output. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 135-143 136 pertumbuhan ekonomi indonesia terus mengalami perbaikan sejak krisis ekonomi tahun 1998. periode tahun 2000-2002, rata-rata pertumbuhan ekonomi indonesia mencapai 4 persen dan mencapai 6 persen setelah tahun 2006. perkembangan ekonomi yang terus membaik ini sejalan dengan kebijakan ekspansif bank sentral yang terus melakukan penurunan suku bunga yang tercermin pada suku bunga pinjaman perbankan yang mengalami penurunan rata-rata dari 19 persen pada periode 2000-2002 menjadi 13 persen pada periode 20092011. kinerja pasar modal juga mengalami perbaikan yang tercermin dari rata-rata indeks harga saham gabungan (ihsg) yang mengalami kenaikan. pada periode 2006-2008 ihsg telah menembus angka 1920, naik hampir lima kali lipat dibandingkan periode 2000-2002 yang hanya berkisar pada angka 411. sisi nilai tukar menunjukkan kondisi yang relatif stabil pada kisaran di bawah rp9.500 per us dolar (tabel 1). perbankan dan pasar modal merupakan sumber pendanaan bagi investasi swasta, sehingga kinerja perbankan dan pasar modal yang terus membaik dapat mendorong peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di indonesia. perbankan diharapkan mampu memberikan suku bunga pinjaman yang kondusif bagi investasi, demikian juga kapitalisasi pasar modal diharapkan akan terus meningkat. pada sisi eksternal, adanya stabilisasi nilai tukar dapat menjamin kepastian usaha yang selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh suku bunga, harga aset (saham), dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. suku bunga dapat mempengaruhi sektor riil (output) melalui mekanisme pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek yang ditransmisikan pada suku bunga menengah/ panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaan dan penawaran di pasar uang. perubahan suku bunga akan mempengaruhi biaya modal (cost of capital) yang selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran investasi. walaupun keynes pada awalnya menekankan jalur ini bekerja melalui keputusan bisnis mengenai pengeluaran investasi, namun pendekatan yang baru melihat bahwa keputusan konsumen mengenai perumahan dan pengeluaran barang konsumen tahan lama juga merupakan keputusan investasi. peningkatan investasi dan konsumsi akan mendorong kenaikan permintaan agregat dan output (mishkin, 2008:317). teori jalur harga aset salah satunya dikembangkan oleh james tobin tahun 1969, yaitu teori tobin’s q. teori ini menjelaskan bagaimana valuasi saham dapat mempengaruhi output. tobin mendefinisikan q sebagai nilai pasar perusahaan dibagi dengan biaya penggantian modal. jika nilai q tinggi, nilai pasar perusahaan tinggi relatif terhadap biaya penggantian modal, sehingga modal pabrik dan peralatan baru adalah murah relatif terhadap nilai pasar perusahaan. maka perusahaan dapat menerbitsuku bunga biaya modal investasi/ konsumsi permintaan agregat output gambar 1. transmisi jalur suku bunga tabel 1. data makroekonomi indonesia, 2000-2011 tahun rata-rata suku bunga pinjaman(%) ihsg kurs rp terhadap us$ pertumbuhan ekonomi(%) 2000-2002 19 447 9.413 4 2003-2005 15 829 9.154 5 2006-2008 15 1.920 9.344 6 2009-2011 13 3.022 9.349 6 sumber: bank indonesia, diolah peranan suku bunga, harga aset ... (rini dwi astuti) 137 kan saham dan mendapatkan harga saham yang tinggi relatif terhadap biaya dari fasilitas dan peralatan yang dibeli. pengeluaran investasi akan meningkat, karena perusahaan dapat membeli banyak barang modal baru dengan hanya menerbitkan saham dalam jumlah yang sedikit (mishkin, 2008:321). mekanisme transmisi jalur harga aset juga melihat bagaimana neraca konsumen dapat mempengaruhi keputusan pengeluarannya. teori ini dikembangkan oleh franco modigliani tahun 1971, yang dikenal dengan teori konsumsi hipotesis siklus hidup (life cycle hypothesis of consumption). prinsip dasar teori modigliani adalah konsumen akan menstabilkan konsumsinya sepanjang waktu. sehingga apa yang menjadi penentu pengeluaran konsumsi adalah lamanya hidup yang dimiliki konsumen, bukan hanya pendapatan saat ini. bentuk kekayaan yang dimiliki konsumen dapat berbentuk aset finansial maupun non finansial. salah satu bentuk aset finansial berupa saham. ketika harga saham naik, nilai kekayaan finansial meningkat. sehingga konsumsi akan meningkat dan selanjutnya meningkatkan permintaan agregat dan output (mishkin, 2008:322). mekanisme transmisi jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat melalui pengaruhnya terhadap ekspor bersih, dan selanjutnya output. semakin rendah nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing membuat barang dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan barang luar negeri, sehingga menyebabkan kenaikan ekspor bersih, demikian pula dengan permintaan agregat dan output (mishkin, 2008: 319). metode penelitian penelitian ini menggunakan data sekunder runtut waktu kuartalan periode 2000.1-2011.4. periode dipilih setelah krisis ekonomi akhir tahun 1997, di mana mulai tahun 2000 perekonomian indonesia sudah mulai menunjukkan kondisi yang stabil. data diperoleh dari statistik ekonomi dan keuangan indonesia yang diterbitkan oleh bank indonesia. model ecm: dlpdbt = α0 + α 1 drkt + α2 dlihsgt + α3 dlkurst + α4 rkt-1 + α5 lihsgt-1 + α6 lkurst-1 + α7 ectt-1 + ε 1) nilai tukar harga relatif ekspor bersih permintaan agregat output penawaran agregat biaya produksi gambar 3. transmisi jalur nilai tukar harga aset tobin’s q konsumsi permintaan agregat output investasi kekayaan gambar 2. transmisi jalur harga aset jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 135-143 138 dlpdbt = lpdbt – lpdbt-1; drkt = rkt – rkt-1; dlihsgt = lihsgt – lihsgt-1; dlkurst= lkurst – lkurst-1; ect = rk+lihsg+lkurs-lpdb α1, α4< 0; dan α2,α3,α5,α6,α7> 0 model ecm jangka panjang: lpdbt = β0 + β1 rkt + β2 ihsgt + β3 lkurst + ε 2) β0 = (α0 + α7) / α7 ; β1 = (α4 + α7) / α7; β2 = (α5 + α7) / α7; β3 = (α6 + α7) / α7 β1< 0; dan β 2, β 3 > 0 di mana lpdb merupakan variabel pertumbuhan ekonomi yang diproksi dengan data produk domestik bruto atas dasar harga konstan tahun 2000 (dalam logaritma natural). variabel jalur suku bunga (rk) diproksi dengan data suku bunga kredit investasi pada bank umum konvensional (dalam persen), variabel jalur harga aset (lihsg) diproksi dengan data indeks harga saham gabungan di bursa efek indonesia (dalam logaritma natural), dan variabel jalur nilai tukar (lkurs) menggunakan data nilai tukar rupiah terhadap us$ (dalam logaritma natural). ect merupakan variabel error correction term dan ε adalah variabel gangguan (residual). alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi dengan metode ordinary least square. metode ini bertujuan untuk meminimalkan kesalahan terkecil dari sebuah model. dalam sebuah model dikenal adanya model statis dan dinamis. penelitian ini menggunakan pendekatan model dinamis, yang mampu memberikan analisis jangka pendek dan jangka panjang. jangka pendek menunjukkan periode dari data penelitian di mana dalam penelitian ini menggunakan data kuartalan. konsep jangka panjang merupakan periode dari suatu keseimbangan sampai dengan keseimbangan baru setelah adanya shock. salah satu model dinamis yang banyak digunakan adalah model error correction model. dalam model dinamis disyaratkan bahwa data yang digunakan harus stasioner untuk menghindari adanya regresi lancung (spurious regression). sehingga sebelum dilakukan uji model harus terlebih dahulu dilakukan uji perilaku data untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah stasioner (gujarati, 2003:814). hasil dan pembahasan uji perilaku data hasil uji stasioneritas pada tabel 2 menunjukkan bahwa hanya variabel jalur harga aset (lihsg) yang stasioner pada tingkat level atau tidak mengandung akar unit (unit root) karena nilai adf t-statistic (dalam nilai absolut) yang lebih besar dari nilai test critical values pada α sebesar 5 persen (dalam nilai absolut). untuk variabel pertumbuhan ekonomi (lpdb), jalur suku bunga (rk), dan jalur nilai tukar (lkurs) belum stasioner pada tingkat level. tabel 2. uji stasioneritas variabel adf tstatistic test critical values 5% kesimpulan lpdb -2,15 -3,51 tidak stasioner rk -2,95 -3,51 tidak stasioner lihsg -3,90 -3,51 stasioner lkurs -3,26 -3,51 tidak stasioner regresi akan mengalami regresi lancung (spurious regression) jika model penelitian diregresi dalam data level karena data tidak stasioner pada i(0) atau pada data yang stasioner pada derajat integrasi yang tidak sama. untuk menghindari regresi lancung dapat dilakukan uji kointegrasi. jika nilai residual dari semua variabel adalah stasioner maka dapat dikatakan telah terjadi kointegrasi (hubungan jangka panjang) antardata atau variabel yang digunakan dalam model dan terhindar dari adanya regresi lancung (gujarati, 2003:823). hasil uji kointegrasi pada tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai adf t-statistic lebih besar dari nilai test critical values 5% sehingga dapat dikatakan bahwa telah terjadi kointegrasi antarvariabel yang digunakan dalam model. peranan suku bunga, harga aset ... (rini dwi astuti) 139 tabel 3. uji kointegrasi trace statistic critical value 5% 80,09 63,88 uji model dalam jangka pendek, semua variabel menunjukkan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. hal ini menunjukkan bahwa pengaruh jalur suku bunga, harga aset dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia tidak berlangsung seketika namun membutuhkan kelambanan (lag). dalam jangka panjang, variabel suku bunga berpengaruh negatif, sedangkan harga aset dan nilai tukar memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. tabel 4. error correction model (ecm) variabel koefisien t-statistic prob. drk -0,010430 -1,555655 0,1279 dlihsg -0,017244 -0,503010 0,6178 dlkurs -0,007423 -0,412370 0,6823 rk(-1) -0,174187 -2,226178 0,0319* lihsg(-1) -0,134942 -2,172805 0,0359* dlkurs(-1) -0,152452 -2,192613 0,0344* ect(-1) 0,173798 2,224949 0,0319* probability obs*r-squared bg lm test = 0,06 probability obs*r-squared white heteroscedasticity test = 0,63 tabel 5. koefisien regresi ecm jangka panjang variabel koefisien rk -0,002 lihsg 0,2236 dlkurs 0,1228 pembahasan jalur suku bunga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka pendek, namun berpengaruh negatif dalam jangka panjang. hal ini menunjukkan bahwa pengaruh jalur suku bunga terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia tidak berlaku seketika dalam jangka pendek melainkan memerlukan tenggang waktu sebelum berlaku dalam jangka panjang. hal ini menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur suku bunga baru akan efektif dalam jangka panjang. dalam jangka pendek, adanya kontrak menyebabkan biaya produksi cenderung tetap, sehingga adanya kenaikan suku bunga pinjaman dalam jangka pendek belum membebani struktur keuangan perusahaan sehingga tidak akan berpengaruh pada keputusan investasi perusahaan. namun perubahan suku bunga pinjaman dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap keputusan inveatasi perusahaan sehingga secara makro akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. nilai koefisien regresi variabel suku bunga sebesar -0,002 menunjukkan bahwa setiap penurunan suku bunga sebesar 1 persen dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi di indonesia sebesar 0,002 persen dalam jangka panjang. penurunan suku bunga berarti biaya modal yang lebih rendah bagi produsen sehingga akan menaikkan insentif produsen untuk meminjam dana perbankan. investasi akan bertambah yang berarti kenaikan permintaan agregat dan output sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian kusmiarso dkk (2002) di indonesia, albu (2006) di rumania, dan obamuyi (2009) di nigeria yang menemukan bahwa suku bunga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui pengaruhnya terhadap investasi. jalur harga aset (saham) dan nilai tukar juga tidak berpengaruh terhadap terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka pendek, namun berpengaruh positif dalam jangka panjang. hal ini menunjukkan bahwa pengaruh jalur harga aset dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia juga tidak berlaku seketika dalam jangka jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 135-143 140 pendek melainkan memerlukan tenggang waktu sebelum berlaku dalam jangka panjang. dalam jangka pendek jalur harga aset (saham) tidak mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena relatif kecilnya proporsi saham baik dalam struktur pasar keuangan maupun dalam stuktur aset rumah tangga. hasil ini sejalan dengan penelitian idris dkk (2002) yang menemukan bahwa jalur harga aset belum mampu mentransmisikan kebijakan moneter dalam mempengaruhi perekonomian di indonesia serta penelitian modis (2007) yang menemukan tidak adanya korelasi antara harga saham dan pertumbuhan ekonomi di amerika serikat. namun dalam jangka panjang penelitian ini menemukan bahwa jalur harga aset (saham) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. hal ini menunjukkan bahwa teori tobin’s q berlaku di indonesia. dalam jangka panjang, kenaikan harga saham menyebabkan nilai pasar perusahaan tinggi relatif terhadap biaya penggantian modal, sehingga modal pabrik dan peralatan baru adalah murah relatif terhadap nilai pasar perusahaan. maka perusahaan dapat menerbitkan saham dan mendapatkan harga saham yang tinggi relatif terhadap biaya dari fasilitas dan peralatan yang dibeli. pengeluaran investasi akan meningkat, karena perusahaan dapat membeli banyak barang modal baru dengan hanya menerbitkan saham dalam jumlah yang sedikit. hasil penelitian ini juga sejalan dengan konsep modigliani tentang life cycle hypothesis of consumption di mana ketika harga saham naik, nilai kekayaan finansial meningkat. sehingga konsumsi akan meningkat dan selanjutnya meningkatkan permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi. nilai koefisien regresi variabel jalur harga aset (saham) jangka panjang sebesar 0,22 menunjukkan bahwa kenaikan harga aset (saham) sebesar 1 persen dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka panjang sebesar 0,22 persen. nilai tukar dalam jangka pendek tidak mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di indonesia karena pengaruh jalur nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi tidak berlangsung seketika. hal ini dimungkinkan karena dalam jangka pendek banyak transaksi internasional menggunakan hedging (perlindungan terhadap nilai tukar) sehingga perubahan nilai tukar tidak mempengaruhi transaksi internasional termasuk ekspor neto. namun dalam jangka panjang, variabel nilai tukar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia, di mana adanya kenaikan nilai nominal rupiah per us dolar, sebagai contoh dari $1=rp9.000 menjadi $1=rp10.000, yang berarti terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar as menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi di indonesia. hal ini menunjukkan bahwa adanya depresiasi mata uang domestik terhadap mata uang asing yang berarti semakin rendah nilai mata uang domestik membuat barang dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan barang luar negeri, sehingga menyebabkan kenaikan ekspor bersih, yang berarti meningkatkan permintaan agregat dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. nilai koefisien regresi variabel nilai tukar dalam jangka panjang sebesar 0,12 menunjukkan bahwa adanya apresiasi us dolar atau depresiasi rupiah sebesar 1 persen dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka panjang sebesar 0,12 persen. penelitian ini sejalan dengan penelitian siswanto dkk (2002) yang melakukan studi terkait mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar di indonesia, yang menemukan bahwa nilai tukar mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di indonesia setelah krisis, meskipun pada periode sebelum krisis nilai tukar tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. penelitian ini juga sejalan dengan penelitian rodrik (2008) yang menunjukkan bahwa nilai tukar yang undervalued mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di 188 negara. penelitian schnabl (2007)menemukan bahwa stabilitas nilai tukar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada perekonomian terbuka kecil di eropa. hasil yang sama diperoleh akyüz (2009) pada penelitiannya di asia. simpulan jalur suku bunga, harga aset (saham), dan nilai tukar hanya memiliki pengaruh dalam jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. hal ini menunjukkan peranan suku bunga, harga aset ... (rini dwi astuti) 141 transmisi jalur suku bunga, harga aset (saham), dan nilai tukar di indonesia tidak berlaku seketika dalam jangka pendek melainkan memerlukan tenggang waktu sebelum berlaku dalam jangka panjang. berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa implikasi kebijakan yang pertama terkait dengan suku bunga. masih relatif tingginya suku bunga pinjaman di indonesia dapat menghambat investasi. untuk itu dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi agar tumbuh lebih tinggi diperlukan tingkat suku bunga yang lebih kompetitif dan kondusif bagi investasi. kedua, terkait dengan harga aset. perlunya untuk terus melakukan upaya pengembangan pasar modal di indonesia agar pangsa pasarnya dalam struktur pasar keuangan di indonesia meningkat dengan melakukan berbagai inovasi produk keuangan yang tetap memperhatikan aspek risiko dan perlindungan terhadap konsumen. kecilnya pengaruh harga aset dimungkinkan karena penggunaan proksi aset berupa harga saham yang hanya memiliki proporsi kecil dalam struktur aset masyarakat indonesia, sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu untuk dipertimbangkan proksi lain dari aset seperti harga tanah, rumah atau aset lainnya. ketiga berkaitan dengan nilai tukar. perlunya stabilitas nilai tukar yang terus terjaga tidak hanya dari sisi fundamental ekonomi namun juga aspek non ekonomi seperti adanya rumor dan sentimen pasar. untuk itu bank sentral harus terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk meminimalkan potensi munculnya kepanikan masyarakat serta meningkatkan sense masyarakat akan pentingnya stabilitas nilai tukar sehingga tidak melakukan tindakan yang kontraproduktif terhadap upaya stabilisasi nilai tukar. daftar pustaka akyüz, yilmaz. (2009). exchange rate management, growth, and stability: national and regional policy options in asia, asia pacific trade and investment initiative undp regional centre for asia pacific, colombo office. albu, lucian-liviu. (2006). trends in the interest rate – investment – gdp growth relationship. romanian journal of economic forecasting, no. 3: 5-13. bank indonesia. (2003). bank indonesia: bank sentral republik indonesia tinjauan kelembagaan, kebijakan, dan organisasi, jakarta: pusat pendidikan dan studi kebanksentralan (ppsk) bank indonesia. gujarati, damodar n. (2003). basic econometrics, fourth edition. new york: mcgraw hill. idris, rendra z dkk. (2002). asset price channel of monetary transmission in indonesia, transmission mechanisms of monetary policy in indonesia. jakarta: directorate of economic research and monetary policy, bank indonesia: 223-264. kusmiarso, bambang dkk. (2002). interest rate channel of monetary transmission in indonesia.transmission mechanisms of monetary policy in indonesia. jakarta: directorate of economic research and monetary policy, bank indonesia: 27-102. mishkin, frederic s. (2008). ekonomi uang, perbankan, dan pasar keuangan, edisi 8, buku 2. jakarta: penerbit salemba empat. modis, theodore. (2007). sunspots, gdp and the stock market, technological forecasting & social change, no. 74: 1508–1514. rodrik, dani. (2008). the real exchange rate and economic growth, brookings papers on economic activity: 365-439. schnabl, gunther. (2007). exchange rate volatility and growth in small open economies at the emu periphery, working paper series, no 773, european central bank. siswanto, benny dkk. (2002). exchange rate channel of monetary transmission in indonesia, transmission mechanisms of monetary policy in indonesia, directorate of economic research and monetary policy. jakarta: bank indonesia: 159-190. obamuyi, t. m. (2009). an investigation of the relationship between interest rates and economic growth in nigeria, 19702006. journal of economics and international finance, vol. 1(4): 093-098. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 135-143 142 warjiyo, perry dan juda agung. (2002). monetary policy transmission in indonesia: an overview. transmission mechanisms of monetary policy in indonesia. jakarta: directorate of economic research and monetary policy, bank indonesia. www.bi.go.id www.bapepam.go.id lampiran tabe 1. uji perilaku data a. uji stasioneritas (1) variabel lpdb null hypothesis: lpdb has a unit root exogenous: constant, linear trend lag length: 4 (automatic based on sic, maxlag=9) t-statistic prob.* augmented dickey-fuller test statistic -2,152620 0,5029 test critical values: 1% level -4,186481 5% level -3,518090 10% level -3,189732 *mackinnon (1996) one-sided p-values. (2) variabel rk null hypothesis: rk has a unit root exogenous: constant, linear trend lag length: 1 (automatic based on sic, maxlag=9) t-statistic prob.* augmented dickey-fuller test statistic -2,953845 0,1561 test critical values: 1% level -4,170583 5% level -3,510740 10% level -3,185512 *mackinnon (1996) one-sided p-values. null hypothesis: lkurs has a unit root exogenous: constant, linear trend lag length: 0 (automatic based on sic, maxlag=9) t-statistic prob.* augmented dickey-fuller test statistic -3,261157 0,0854 test critical values: 1% level -4,165756 5% level -3,508508 10% level -3,184230 *mackinnon (1996) one-sided p-values. peranan suku bunga, harga aset ... (rini dwi astuti) 143 b. uji kointegrasi sample (adjusted): 2000q3-2011q4 included observations: 46 after adjustments trend assumption: linear deterministic trend (restricted) series: lpdb rk lihsg lkurs lags interval (in first differences): 1 to 1 unrestricted cointegration rank test (trace) hypothesized trace 0,05 no. of ce(s) eigenvalue statistic critical value prob.** none * 0,625668 80,08623 63,87610 0,0012 at most 1 0,338765 34,88612 42,91525 0,2498 at most 2 0,208619 15,85839 25,87211 0,5040 at most 3 0,104856 5,095477 12,51798 0,5827 trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0,05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0,05 level **mackinnon-haug-michelis (1999) p-values tabel 2. error correction model (ecm) dependent variable: d(lpdb) method: least squares sample (adjusted): 2000q2-2011q4 included observations: 47 after adjustments variable coefficient std. error t-statistic prob. c 1,813404 0,835966 2,169232 0,0362 d(rk) -0,010430 0,006705 -1,555655 0,1279 d(lihsg) -0,017244 0,034282 -0,503010 0,6178 d(lkurs) -0,007423 0,018000 -0,412370 0,6823 rk(-1) -0,174187 0,078245 -2,226178 0,0319 lihsg(-1) -0,134942 0,062105 -2,172805 0,0359 lkurs(-1) -0,152452 0,069530 -2,192613 0,0344 ect(-1) 0,173798 0,078113 2,224949 0,0319 r-squared 0,166309 mean dependent var 0,012740 adjusted r-squared 0,016672 s.d. dependent var 0,023730 s.e. of regression 0,023531 akaike info criterion -4,507142 sum squared resid 0,021595 schwarz criterion -4,192224 log likelihood 113,9178 hannan-quinn criter. -4,388636 f-statistic 1,111416 durbin-watson stat 2,450847 prob(f-statistic) 0,375526 uji autokorelasi ecm breusch-godfrey serial correlation lm test: f-statistic 3,181053 prob. f(1,38) 0,0825 obs*r-squared 3,630540 prob. chi-square(1) 0,0567 uji heteroskedastisitas ecm heteroskedasticity test: white f-statistic 0,686829 prob. f(32,14) 0,8152 obs*r-squared 28,71131 prob. chi-square(32) 0,6338 scaled explained ss 16,45369 prob. chi-square(32) 0,9895 microsoft word 07-hida jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.64-70 identifikasi variabel makro ekonomi yang berpengaruh pada permintaan uang di indonesia hida supriyanto pusat pengembangan ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656 e-mail korespondensi: hidasupriyanto@yahoo.com naskah diterima: agustus 2013; disetujui: februari 2014 abstract: this research aims to analyze determinants of money demand in indonesia during periods of 2011-i to 2013:iv. time series data is employed in this research as obtained from statistic of indonesian financial economy, bank of indonesia. error correction model (ecm) is applied as analytical tool by using variables such as narrow money (m1), gross domestic product (gdp), interest rates and official reserve. gross domestic product and interest rate have significant impact on money demand in indonesia whereas official reserve does not significantly affect on money demand in the long run. for short run estimation, gross domestic product and official reserve have significantly impact on money demand. otherwise, interest rate does not. keywords: narrow money; gross domestic product; interest rate; official reserve; error correction model jel classification: e41, e4, p24 abstrak: studi ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang di indonesia selama periode 2001:i-2013:iv. data yang digunakan berbentuk runtut waktu yang diperoleh dari statistik ekonomi keuangan indonesia, bank indonesia. teknik analisis yang digunakan adalah error correction model (ecm). variabel yang digunakan dalam studi ini adalah narrow money (m1), produk domestik bruto (pdb), tingkat suku bunga, dan cadangan devisa. produk domestik bruto dan suku bunga berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di indonesia tetapi cadangan devisa tidak berpengaruh signifikan dalam analisis jangka panjang. estimasi dalam jangka pendek, produk domestik bruto dan cadangan devisa berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di indonesia, tetapi suku bunga tidak berpengaruh signifikan. kata kunci: uang kas, produk domestik bruto, suku bunga, cadangan devisa, error correction model klasifikasi jel: e41, e4, p24 pendahuluan suatu negara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika didukung dengan kebijakan-kebijakan yang menunjang seperti kebijakan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk mencapai sasaran perekonomian yang efektif. kebijakan moneter berkaitan dengan uang dan perbankan sebagai poin penting dalam pelaksanaannya sehingga diamanahkannya bank indonesia (bi) untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai uang berdasarkan undang-undang no. 23 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan undang–undang no. 3 tahun 2004. dalam perekonomian tentunya dibutuhkan uang sebagai bagian dari lalu lintas barang dan jasa. uang yang dalam bahasa masyarakat umum disebut darah perekonomian tentunya syarat akan banyak pertimbangan sehingga bisa identifikasi variabel makro ekonomi ... (hida supriyanto) 65 diterima di masyarakat dan sebagai alat pembayaran yang sah. dalam kehidupan masyarakat modern saat ini uang sangat penting bagi perekonomian karena terkait dengan aktivitas perekonomian lalu lintas barang dan jasa. uang dengan segala kelebihannya mampu menciptakan permintaan baik permintaan barang maupun jasa. akan tetapi, apabila uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka dapat menyebabkan inflasi dan berakibat fatal terhadap perekonomian jika tingkat inflasi terlalu tinggi. dalam hal tersebut maka stabilitas uang sangat penting diperhatikan demi terwujudnya pertumbuhan perekonomian yang baik (prawoto, 2000). guna menjaga stabilitas perekonomian, yang harus dilakukan adalah penyediaan jumlah uang di masyarakat harus disesuaikan dengan jumlah uang yang dibutuhkan. sesuai teori ekonomi tentang kebijakan moneter bahwa jika uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka dapat merangsang terjadinya kenaikan harga barang atau inflasi namun jika jumlah uang yang beredar terlalu sedikit maka aktifitas perekonomian akan lama berkembang atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi melambat (boediono, 1998, hal: 161-162). dalam kebijakan moneter permintaan uang menjadi hal yang berperan penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi. banyak studi sebelumnya yang memaparkan tentang permintaan uang di masyarakat. beberapa negara maju berpendapat bahwasanya pdb riil, inflasi, dan tingkat bunga merupakan variabel-variabel yang penting dalam fungsi permintaan uang. milton friedman berpendapat bahwa kebijakan moneter berkontribusi dalam mencapai stabilitas ekonomi dengan mengendalikan besaranbesaran moneter yang menjadi penyulut ketidakstabilan ekonomi, serta membantu mengantisipasi ketidakstabilan yang disebabkan oleh besar-besaran nonmoneter (sugiyanto, 1995). permintaan uang di indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang memungkinkan berkembangnya jenis tabungan dan deposito berjangka. keinginan masyarakat untuk menabung dan mendepositokan uang sangat dipengaruhi oleh kemudahan-kemudahan dan berbagai fasilitas yang ditawarkan di kalangan perbankan. hal ini dimungkinkan bila pemerintah juga turut campur tangan dalam berbagai kebijakan deregulasi maupun regulasi di bidang moneter khusunya dalam ekonomi pada umumnya (basuki, 2001). salah satu langkah yang dapat ditempuh dalam pengendalian jumlah uang beredar adalah dengan melihat perilaku permintaan individu akan uang kas (narrow money) atau m1. hal ini disebabkan perilaku permintaan akan uang kas atau m1 sangat berpengaruh dalam mengendalikan jumlah uang beredar yang pada dasarnya merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro otoritas moneter (bank indonesia, 2003:62). efektivitas kebijakan moneter sangat dipengaruhi oleh keinginan masyarakat dalam memegang uang kas (narrow money) atau m1. maka, untuk menghasilkan kebijakan moneter yang efektif perlu adanya identifikasi terhadap variabel makro ekonomi yang dapat mempengaruhi permintaan masyarakat akan uang kas. kemudian telaah lebih jauh tentang perkembangan uang di indonesia bisa dilihat dari gambar 1. sumber: bank indonesia 2013 gambar 1. perkembangan m1 di indonesia periode 2001-2013 gambar 1 memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun perkembangan jumlah uang beredar menunjukkan angka yang dinamis, terutama pada tahun 2008. gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia dan tentunya berimbas ke indonesia yang mulai terasa menjelang akhir tahun 2008. tercatat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen sampai dengan triwulan iii-2008, 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 m1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 64-70 66 permintaan uang di masyarakat tentunya juga mengalami perubahan. telah banyak dijabarkan dalam berbagai macam teori seperti teori klasik yang mengatakan bahwa besar kecilnya permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan secara positif, dan juga keynes dalam teorinya menyatakan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh adanya motif memegang uang, yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga yang dipengaruhi oleh pendapatan, dan motif spekulasi dipengaruhi oleh suku bunga secara negatif. kemudian milton friedman menyatakan bahwasanya permintaan uang dipengaruhi oleh tingkat harga yang berpengaruh negatif, imbal hasil dari obligasi dan saham yang berpengaruh negatif, kekayaan yang berpengaruh positif, dan selera yang berpengaruh positif (boediono, 1998). terdapat beberapa temuan sebelumnya dari studi permintaan uang di indonesia. yuliadi (2006) menggambarkan bahwa kebijakan uang ketat pada periode studi 1990.i-2004.iv dalam mengendalikan nilai rupiah menyebabkan masyarakat lebih banyak menyimpan uang di bank untuk memperoleh pendapatan bunga. keadaan ini juga sekaligus menggambarkan minimnya pencairan kredit perbankan oleh pengusaha karena mereka menunda investasi untuk menghindari biaya bunga yang tinggi sehingga terjadi akumulasi permintaan uang. pasar uang segera melakukan koreksi terhadap keadaaan perekonomian setelah perekonomian membaik dengan terjadinya penurunan tingkat bunga domestik akibat hubungan negatif antara tingkat bunga domestik dengan permintaan uang. studi serupa juga dilakukan oleh prawoto (2000) yang meneliti permintaan uang di indonesia dengan model dinamis penyesuaian parsial. variabel yang digunakan dalam studi ini adalah pendapatan, tingkat bunga, dan perubahan harga. hasil studinya mengindikasikan bahwa banyaknya uang yang dipegang untuk motif transaksi dan berjaga-jaga lebih dominan jika dibanding dengan motif spekulasi. studi lainnya oleh boediono (1985), yang mengidentifikasi faktor-faktor penentu dari permintaan uang di indonesia selama periode 1975-1984. kerangka kerja yang digunakan mengadopsi pendekatan yang selama ini berkembang, di mana faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah gdp, suku bunga dalam negeri, dan inflasi dalam negeri, serta keterbukaan pada sektor perdagangan dan finansial. temuan dari studi ini adalah bahwa tingkat bunga dan inflasi domestik terbukti mempengaruhi permintaan uang. metode penelitian sumber data dalam studi ini diambil dari publikasi statistik ekonomi keuangan indonesia, bank indonesia. jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu uang kas (m1), produk domestik bruto (pdb), suku bunga (r), dan cadangan devisa (cadev) pada tahun 2001-2013. adapun model analisisnya adalah: m1t = f (pdbt. rt. cadevt ) 1) sementara, tahapan pengujian yang digunakan untuk pendekatan ecm (error correction model) adalah sebagai berikut: (1) uji stasioneritas uji stasioner bertujuan untuk menghindari regresi lancung (spurios regression), uji stasioner penting guna meng-estimasi data-data yang hendak diolah (gujarati, 1995). untuk menentukan stasioneritas data, dilakukan perbandingan antara nilai statistik adf dengan nilai kritis yakni statistic τ. jika nilai absolut statistik adf lebih besar dari nilai kritisnya maka hipotesis nul ditolak yang berarti data stasioner. sebaliknya, jika nilai absolut adf lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tidak stasioner. berdasarkan tabel 1, dapat disimpulkan bahwa hanya variabel lpdb yang sudah stasioner dengan nilai hitung mutlak adf lebih besar dari nilai kritis mackinnon pada tingkat 1 persen. sementara variabel lm1, lr, dan lcadev mengandung akar unit sehingga tidak stasioner pada level. agar variabel tersebut dapat bersifat stasioner maka perlu dilakukan uji akar unit pada derajat diferensi pertama. (2) uji derajat integrasi uji ini dilakukan apabila setelah dilakukan uji akar unit ternyata data belum stasioner. jika dengan data diferensi pertama belum stasioner maka prosedur selanjutnya dilakukan pengujian dengan data diferensi kedua hingga diper identifikasi variabel makro ekonomi ... (hida supriyanto) 67 oleh data yang sudah stasioner (gujarati, 1999). berdasarkan tabel 2, dapat disimpulkan bahwa tidak semua variabel yang digunakan pada studi ini sudah stasioner pada tingkat diferensi pertama sehingga perlu dilakukan uji stasioner pada tingkat diferensi kedua. berdasarkan tabel 3, dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel pada studi ini sudah stasioner pada tingkat diferensi kedua. (3) uji kointegrasi uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui adanya keseimbangan atau kestabilan jangka panjang di antara variabel-variabel yang diamati. ada dua metode yang digunakan untuk uji kointegrasi, yakni engle-granger (eg) dan augmented engle-granger (aeg) dengan memanfaatkan uji statistik df-adf guna melihat apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. maka digunakanlah persamaan regresi kointegrasi dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa, yakni: m1t = β0 + β1pdbt + β2rt + β3cadevt + et 2) keterangan: β0 adalah intersep/constant; β1, β2, β3 adalah koefisien regresi; m1t adalah variabel permintaan uang pada periode t; pdbt adalah variabel produk domestik bruto pada periode t; rt adalah variabel suku bunga pada periode t; cadevt adalah cadangan devisa pada periode t; et adalah komponen galat adapun, hasil persamaan regresinya dapat dituliskan sebagai berikut: lm1 = -12,99968 + 1,562402 lpdb + prob (0,0000) 0,356905 lr + 0,004746 lcadev 3) (0,0128) (0,9461) r2 = 0,990344 hasil analisis persamaan pengaruh permintaan uang di indonesia adalah sebagai berikut: (a) pengaruh produk domestik bruto terhadap m1 di indonesia. nilai koefisien produk domestik bruto dalam jangka panjang sebesar 1,562402 menunjukkan apabila terjadi peningkatan pada produk domestik bruto (lpdb) sebesar 1 persen maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 1,562402 milyar dengan asumsi tingkat suku bunga, dan tingkat cadangan devisa konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien produk domestik bruto bernilai positif, maka pdb mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang artinya semakin tinggi tingkat pendapatan, maka permintaan uang akan meningkat karena dengan peningkatan pendapatan maka individu akan cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dan hal ini menuntut individu untuk memegang uang lebih banyak. nilai tabel 2. hasil uji derajat integrasi diferensi pertama variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mc kinnon keterangan 10% 5% 1% lm1 -6,397512 -3,181826 -3,504330 -4,156734 stasioner lpdb -8,785443 -3,181826 -3,504330 -4,156734 stasioner lr -5,376739 -3,181826 -3,504330 -4,156734 stasioner lcadev -4,069058 -3,181826 -3,504330 -4,156734 tidak stasioner tabel 1. hasil uji akar unit pada level variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mckinnon keterangan 10 persen 5 persen 1 persen lm1 -2,874952 -3,180699 -3,502373 -4,152511 tidak stasioner lpdb -7,423826 -3,180699 -3,502373 -4,152511 stasioner lr -2,517794 -3,180699 -3,502373 -4,152511 tidak stasioner lcadev -2,331537 -3,180699 -3,502373 -4,152511 tidak stasioner jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 64-70 68 probabilitas sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata 1 persen menunjukkan lpdb secara parsial signifikan dan mempengaruhi variabel depen-dennya. (b) pengaruh suku bunga terhadap m1 di indonesia. nilai koefisien suku bunga (lr) dalam jangka panjang sebesar 0,356905 menunjukkan apabila terjadi peningkatan terhadap suku bunga sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,356905 persen dengan asumsi produk domestik bruto dan cadangan devisa konstan. koefisien suku bunga (lr) bernilai positif, maka suku bunga (lr) mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka panjang. hal ini turut mendukung hasil studi sebelumnya yang dilakukan nopirin (1998) bahwa semakin tinggi suku bunga maka semakin kecil keinginan masyarakat untuk memegang uang kas. nilai probabilitas suku bunga (lr) sebesar 0,0128 lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, menunjukkan bahwa variabel suku bunga (lr) berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di indonesia. (c) pengaruh cadangan devisa terhadap m1 di indonesia. koefisien lcadev menunjukkan tanda positif sebesar 0.004746 yang artinya apabila lcadev naik sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0.004746 persen dengan asumsi bahwa produk domestik bruto dan tingkat suku bunga konstan. koefisiennya bernilai positif, maka cadangan devisa mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang di indonesia. nilai probabilitas lcadev sebesar 0,9461 menunjukkan bahwa lcadev tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di indonesia. nilai koefisien determinasi (r-squared) adalah sebesar 0,990344 yang berarti bahwa variasi variabel endogen dapat dijelaskan secara linier oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 99,03 persen, dan sisanya 0,97 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. persamaan jangka panjang telah diregresikan, maka langkah berikutnya adalah menguji akar unit terhadap nilai residual e dengan menggunakan metode adf. nilai residual e persamaan permintaan uang ternyata stasioner pada tingkat diferensi kedua dapat dilihat pada tabel 8. berdasarkan tabel 4 nilai adf t-statistik lebih kecil dari nilai kritis mc kinnon pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen sehingga nilai residualnya stasioner pada tingkat diferensi kedua. dengan demikian terbukti bahwa terdapat kointegrasi dalam model, sehingga perumusan ecm dapat dilanjutkan. (4) error correction model (ecm) metode perumusan dalam studi ini dapat dituliskan menjadi: ∆ ∆ ∆ ∆ et 4) tabel 4. uji unit root terhadap residual variabel nilai adf tstatistik nilai kritis mac kinnon prob keterangan 1 persen 5 persen 10 persen e -7,894654 4,161144 3,506374 3,183002 0,0000 stasioner tabel 3. hasil uji derajat integrasi diferensi kedua variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mc kinnon keterangan 10% 5% 1% lm1 -7,772116 -3,183002 -3,506374 -4,161144 stasioner lpdb -8,025522 -3,183002 -3,506374 -4,161144 stasioner lr -9,280654 -3,183002 -3,506374 -4,161144 stasioner lcadev -7,162766 -3,183002 -3,506374 -4,161144 stasioner identifikasi variabel makro ekonomi ... (hida supriyanto) 69 untuk mengetahui spesifikasi model dengan ecm merupakan model yang valid, dapat terlihat pada hasil uji statistik terhadap koefisien atau residual dari regresi pertama, yang selanjutnya akan disebut error correction term (ect). jika hasil pengujian terhadap koefisien ect signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid. ∆ 1 ∆ ∆ ∆ + 5) keterangan: m1t adalah variabel permintaan uang pada periode t; pdbt adalah variabel produk domestik bruto pada periode t; rt adalah variabel suku bunga pada periode t; cadevt adalah variable cadangan devisa pada periode t, adalah error correction term pada periode sebelumnya. berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis regresi linear ecm, maka dapat diketahui nilai variabel ect sebagai variabel yang menunjukkan keseimbangan.jika variabel ect signifikansi pada α = 5 persen, maka koefisien tersebut akan menjadi penyesuaian bila fluktuasi variabel yang diamati menyimpang dari hubungan jangka panjang. dengan kata lain spesifikasi model sudah sahih dan dapat menjelaskan variasi variabel tak bebas. model jangka pendek permintaan uang dapat dituliskan pada persamaan berikut: dlm1 = -0,010960 + 0,497750 dlpdb + 1,401415 dlpdb(-1) + 0,405890 dlr – 0,091381 dlr(-1) + 0,263996 dlcadev – 0,010893 dlcadev(-1) + 9,49e-07 e 6) r2 = 0,725895 nilai koefisien produk domestik bruto (dlpdb) dalam jangka pendek sebesar 0,497750 menunjukkan apabila terjadi peningkatan produk domestik bruto (dlpdb) sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,497750 persen dengan asumsi tingkat suku bunga tabungan, dan cadangan devisa konstan. hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh keynes tentang motif memegang uang yaitu pada motif transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan. pada saat pendapatan tinggi lebih banyak uang yang diminta untuk motif transaksi dan berjaga-jaga. nilai koefisien suku bunga (dlr) jangka pendek sebesar 0,405890 menunjukkan apabila terjadi peningkatan pada suku bunga sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,405890 persen dengan asumsi produk domestik bruto dan cadangan devisa konstan. koefisien suku bunga bernilai positif berarti suku bunga mempunyai hubungan positif terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. nilai probabilitas suku bunga 0,1938 berarti bahwa variabel suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya yaitu variabel m1. hal ini berarti bahwa uji tanda sesuai dengan hipotesis dalam studi ini. artinya setiap ada peningkatan suku bunga maka individu lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di bank dibandingkan dengan memegang uangnya dalam bentuk kas karena uang kas memiliki biaya peluang lebih tinggi dibanding menyimpannya di bank. nilai koefisien cadangan devisa (dlcadev) dalam jangka pendek sebesar 0,263996 menunjukkan apabila terjadi peningkatan cadangan devisa (dlcadev) sebesar 1 persen, maka permintaan uang akan mengalami peningkatan sebesar 0,263996 persen dengan asumsi produk domestik bruto dan suku bunga konstan. koefisien cadangan devisa bernilai positif sehingga mempunyai hubungan positif dengan permintaan uang dalam jangka pendek. nilai probabilitasnya adalah 0,0015, yakni lebih besar dari taraf nyata 5 persen yang berarti signifikan terhadap variabel dependennya, yaitu m1. sementara itu, variabel error correction term (e) menunjukkan angka 0,0017 yang berarti signifikan pada taraf nyata 5 persen dan mempunyai tanda positif. maka, spesifikasi model sudah benar sehingga mampu menganalisa hubungan jangka pendek. hasil estimasi dari persamaan jangka pendek menunjukkan nilai r-square sebesar 0,725895 yang berarti bahwa 72,58 persen model permintaan uang dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik bruto, tingkat suku bunga, dan cadangan devisa, sedangkan sisanya sebesar 27,42 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 64-70 70 simpulan produk domestik bruto berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang dalam jangka pendek melalui model ecm, begitu juga dalam jangka panjang. sementara itu, tingkat suku bunga tabungan tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. sementara dalam jangka panjang, pengaruhnya positif dan signifikan. cadangan devisa berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang dalam jangka pendek namun tidak signifikan dalam jangka panjang. daftar pustaka bank indonesia, (tt) statistik ekonomi dan keuangan indonesia, berbagai edisi. jakarta: bank indonesia. basuki, a t. (2001). pengaruh kebijaksanaan ekonomi di bidang keuangan dan perbankan terhadap permintaan uang (studi kasus indonesia tahun 1978-1999). jurnal ekonomi & studi pembangunan vol. 2 no. 2, oktober 2001: 307-325. boediono. (1998). ekonomi moneter, seri sinopsis pengantar ilmu ekonomi no.5. yogyakarta: bpfe ugm. gujarati, d. (1997). ekonometrika dasar. jakarta: erlangga. iswardono. (1996). uang dan bank. edisi 4. yogyakarta: bpfe ugm. mankiw, n. g. (2000). teori makro ekonomi. edisi keempat. alih bahasa imam nurmawam. jakarta: erlangga nopirin. (1998). ekonomi moneter i. edisi 1. yogyakarta: bpfe ugm. prawoto, n. (2000). permintaan uang di indonesia konsep keynesian dengan pendekatan pam. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol.1, no. 1, april: 1-13 salvatore, d. (1996). international economics fifth edition. new jersey: prentice-hall, inc. sugiyanto, c. (1995). ekonometrika terapan. yogyakarta: bpfe. wahyu, w. w. (2007). analisis ekonometrika dan statistika dengan eviews. yogyakarta: stie ykpn. yuliadi, i. (2006). analisis fluktuasi nilai tukar rupiah dan implikasi pada perekonomian indonesia periode 1990:i-2004: ii. disertasi. universitas padjajaran. bandung (tidak dipublikasikan). microsoft word 05-sri yani jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.53-62   determinan likuiditas pada bank umum swasta nasional non devisa di indonesia tahun 2003-2012 anna cahya mustika1, sri yani kusumastuti2 1 diploma iv keuangan, universitas trisakti, jakarta 2 fakultas ekonomi, universitas trisakti, jakarta jalan kyai tapa no.1, jakarta barat 11440, indonesia. phone: +62 21 5663232 e-mail korespondensi: sriyanik@gmail.com naskah diterima: agustus 2014; disetujui: februari 2015 abstract: this research aims to analyze the influence of return on asset (roa), net interest margin (nim), capital adequacy ratio (car), size (size), market concentration (cr4) on liquidity. the data used were obtained from the annual publication of the financial statements of each non-foreign exchange busn bank in indonesia in 2003-2012. the sampling method was purposive sampling to 18 non-foreign exchange busn bank in 2003-2012. the technique used is regression analysis of panel data. the result shows that roa have significantly negative effect on liquidity, and car has significantly positive effect on liquidity. keywords: return on asset; net interest margin; market concentration; liquidity jel classification: g21, g28, e44 abstrak: penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh return on asset (roa), net interest margin (nim), capital adequacy ratio (car), ukuran (size), konsentrasi pasar (cr4) terhadap likuiditas. data yang digunakan diperoleh dari laporan keuangan publikasi tahunan masing-masing bank busn non devisa di indonesia pada tahun 2003-2012. pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling yaitu 18 bank busn non devisa periode 2003-2012. teknik analisis yang digunakan adalah regresi data panel. roa berpengaruh signifikan negatif terhadap likuiditas dan car berpengaruh signifikan positif terhadap likuiditas. kata kunci: return on asset; net interest margin; konsentrasi pasar; likuiditas klasifikasi jel: g21, g28, e44 doi: 10.18196/jesp.2015.0041.53-62 pendahuluan dalam era globalisasi sekarang ini peranan bank sangat penting bagi masyarakat indonesia, karena pada dasarnya perbankan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. dengan kondisi perekonomian indonesia pada tahun 2013 yang sedang krisis sebagai akibat dari mulai naiknya tingkat inflasi, tingkat penyaluran kredit yang tinggi selama beberapa tahun terakhir hingga diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga perbankan, yang dapat berdampak terhadap laporan keuangan, maka setiap bank diharapkan dapat menjaga likuiditas bank. kenaikan suku bunga tidak bisa dihindari sebagai akibat dari meningkatnya inflasi. inflasi sampai dengan akhir tahun diperkirakan mendekati 7 persen, nilai tukar rupiah terhadap dolar as ada pada kisaran rp10.000 per us$1, ekspor akan cenderung menurun, dan bahkan impor bahan baku justru cenderung meningkat. dengan memperhatikan kondisi tersebut, pada umumnya semua pelaku bisnis sudah melakukan berbagai langkah-langkah strategis agar dampaknya tidak terlalu buruk, utamanya kalangan perbankan. kalangan perbankan harus jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 53-62 54 lebih jeli dan kritis menyikapinya, karena perbankan tidak lain merupakan lembaga kepercayaan. kepercayaan terhadap bank yang ditandai dengan kondisi permodalannya merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan tidak hanya bagi bank untuk menjalankan usahanya melainkan untuk masyarakat sebagai nasabah, otoritas jasa keuangan (ojk), dan bank indonesia. hal ini dilakukan untuk memastikan kontinuitas dan kelangsungan usaha perbankan serta bila sewaktu-waktu mengalami kesulitan baik karena kesalahan pihak manajemen dalam mengelola likuiditas atau karena kondisi eksternal seperti keadaan ekonomi dan moneter. persoalan likuiditas tampaknya akan menjadi segala-galanya bagi bank dalam menghadapi situasi dan kondisi perekonomian yang cenderung memburuk atau banyak ketidakpastian. manajemen bank beserta seluruh jajarannya harus menjaga kondisi likuiditas agar kepercayaan masyarakat tidak hilang dan dapat menjalankan kegiatannya sesuai dengan definisi pasal 1 uu no. 10 tahun 1998 diketahui bahwa kegiatan utama bank adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada masyarakat. jika ditinjau dari reserves requirement atau giro wajib minimum (gwm), perbankan di indonesia terindikasi mengalami masalah likuiditas pada tahun 2010 hingga tahun 2013. reserves requirement atau giro wajib minimum (gwm) adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh bank indonesia sebesar persentase tertentu dari dpk (pbi no. 15/7/pbi/2013). gwm primer menjadi sangat penting mengingat bila hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh suatu bank, maka bank tersebut dapat mengalami kesulitan untuk menjalankan kegiatannya, seperti kliring, sebagai alat mengontrol inflasi dan sebagai cadangan dana bagi bank karena gwm primer yang paling likuid setelah kas. adanya masalah likuiditas yang diproksi dengan reserves requirement atau giro wajib minimum (gwm) tercermin dari peraturan yang dikeluarkan oleh bank indonesia antara lain yaitu pbi no. 13/10/pbi/2011 dan pbi no.15/7/pbi/2013. peraturan-peraturan ini menjadi cerminan bahwa bank indonesia sedang berusaha menjaga likuiditas bank-bank agar dapat terjaga ditengah krisis ekonomi yang terjadi. guna mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal perlu dilakukan pengaturan likuiditas bank melalui kebijakan gwm yang diatur dalam pbi 15/7/pbi/2013, yaitu 8 persen dari dpk (dana pihak ketiga). tabel 1 memperlihatkan bank umum, bank persero, dan bank busn devisa mempunyai tingkat kepemilikan gwm dari tahun ke tahun berfluktuatif, dan cenderung naik dari tahun ke tahun sehingga selalu dalam mencukupi ketentuan gwm yang ada yaitu menurut pbi 15/7/pbi/2013 sebesar 8 persen. bank umum swasta nasional (busn) non devisa mengalami penurunan yang signifikan pada tahun pada tahun 2008 yaitu sebesar 2,65 persen dan penurunan lagi pada tahun 2009, namun terjadi kenaikan pada tahun 2010 tetapi mengalami penurunan dari tahun 2011 hingga september 2013 yang mencapai nilai 7,92 persen. artinya gwm primer bank busn non devisa berada di bawah ketentuan yang diatur dalam pbi 15/7/pbi/2013 yaitu sebesar 8 persen. bank bpd cenderung berfluktuatif dan mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahun 2008 sebesar 10,78 dan terus mengalami penurunan pada tahun 2009, tetapi seiring tabel 1. daftar ratio gwm berdasarkan jenis bank (%) jenis bank 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 (september) bank persero 14,30 6,90 9,62 9,38 10,01 10,90 11,77 busn devisa 9,58 7,72 8,46 8,32 9,81 9,97 10,29 busn non devisa 8,07 5,41 5,20 8,56 8,04 8,02 7,92 bpd 17,35 6,57 6,41 9,57 10,33 10,57 8,59 bank campuran 8,17 8,39 9,38 8,75 16,90 16,62 14,73 bank asing 8,03 4,83 6,02 7,91 14,22 14,02 13,85 sumber: statistik perbankan indonesia tahun 2013 (yang diolah) determinan likuiditas pada bank umum ... (anna cahya mustika, sri yani kusumastuti) 55 jalannya waktu rasio gwm primer bank bpd naik, walaupun mengalami penurunan lagi pada tahun 2013 tetapi masih di atas 8 persen. gwm bank campuran cenderung stabil dan selalu di atas 8 persen sehingga dapat dikatakan aman. sedangkan gwm bank asing mengalami naik turun tetapi cenderung aman karena berada di atas 8 persen. sesuai dengan peratuan bank indonesia nomor 13/1/pbi/2011 tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum, bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank dengan penilai profil risiko (risk profile), good corporate governance, rentabilitas (earnings) dan permodalan (capital). bila likuiditas dilihat dari sisi rentabilitasnya dapat dilihat dari roa dan nim. roa digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya, dimana semakin besar roa menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalinya akan semakin besar (husnan, 1998). bila dilihat dari permodalannya, likuiditas dapat dilihat dari car (capital adequacy ratio) yang menunjukkan kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung resiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank (ali, 2004: 266). semakin tinggi car maka semakin besar pula sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan usaha dan mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran kredit. berdasarkan penelitian yang dilakukan akhtar dkk (2011) dalam penelitiannya mengenai pentingnya ukuran perusahaan, networking modal, return on equity, kecukupan modal dan return on asset (roa), dengan manajemen risiko likuiditas di bank konvensional dan islam pakistan, ditemukan bahwa car dan roa positif secara signifikan mempengaruhi likuiditas bank. penelitian syahrir (2012) tentang resiko likuiditas bank pembangunan daerah (bpd) seindonesia tahun 2007-2011 disimpulkan bahwa car berpengaruh positif terhadap likuiditas. penelitian yang dilakukan bonner dkk (2013) dalam penelitiannya mengenai penyangga likuiditas bank dan peran peraturan likuiditas, faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas adalah size (ukuran), profit, dan konsentrasi sektor perbankan mempengaruhi likuiditas perbankan. penelitian yang dilakukan bonner dkk (2013) tentang penyangga likuiditas bank dan peran peraturan likuiditas, faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas adalah size (ukuran), profit, dan konsentrasi sektor perbankan mempengaruhi likuiditas perbankan. berdasar tulisan bonner dkk (2013) dan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan ini adalah mengestimasi pengaruh faktor-faktor penentu likuiditas pada bank-bank umum swasta nasional (busn) non devisa di indonesia. menurut sutrisno (2009), likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang harus segara dipenuhi. menurut sawir (2005: 8), likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang akan jatuh tempo, sehingga likuiditas merupakan kemampuan bank untuk menyediakan saldo kas dan saldo harta likuid yang lain untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, khususnya untuk menutup jumlah reservesrequirement (gwm), membayar cek, giro berbunga, tabungan, dan deposito berjangka milik nasabah yang diuangkan kembali, menyediakan dana kredit yang diminta calon debitur sehat (sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan utama bank yaitu pemberian kredit), menutup berbagai macam kewajiban segera lainnya, dan menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan. proksi yang digunakan berdasarkan definisi diatas adalah:     100% kas simpanan pada bi likuiditas x total dana pihak ketiga   1) return on asset (roa) adalah rasio profitabilitas yang menunjukkan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total asset bank (riyadi, 2006). bila laba sebelum pajak naik maka menandakan bahwa penjualan naik, sehingga kas yang dimiliki ikut naik, bila kas naik dengan asumsi bahwa dpk tidak ada perubahan maka likuiditas nilainya akan besar. namun, bila laba sebelum pajak naik maka menandakan bahwa penjualan naik, sehingga kas yang dimiliki ikut naik, bila kas naik jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 53-62 56 dengan asumsi bahwa dpk mengalami kenaikan yang jumlahnya bertambah secara cepat pertumbuhannya, sehingga dpk mempunyai nilai yang lebih besar daripada kas dan simpanan pada bi maka nilai likuiditas akan turun. jadi, roa dapat mempengaruhi likuiditas secara positif atau negatif. penelitian akhtar dkk (2011), bonner (2013), vodová (2014) menyatakan bahwa roa berpengaruh positif terhadap likuiditas perbankan. h1: return on asset (roa) pengaruh terhadap likuiditas pada bank busn non devisa tahun 2003-2012. net interest margin (nim) adalah merupakan perbandingan antara persentase hasil bunga terhadap total asset atau terhadap total earning assets (riyadi, 2006: 21). bila pendapatan bunga naik berarti pendapatan bagi bank naik, sehingga kas yang dimiliki bank bertambah dengan asumsi bahwa dpk mempunyai nilai tetap atau tidak bertambah sehingga likuiditas akan naik. namun, bila pendapatan bunga bersih naik maka menandakan bahwa penjualan naik, sehingga kas yang dimiliki ikut naik, bila kas naik dengan asumsi bahwa dpk mengalami kenaikan yang jumlahnya bertambah secara cepat pertumbuhannya, sehingga dpk mempunyai nilai yang lebih besar daripada kas dan simpanan pada bi maka nilai likuiditas akan turun. jadi, nim dapat mempengaruhi likuiditas secara positif atau negatif. penelitian vodová (2014) menunjukkan bahwa nim berpengaruh negatif terhadap likuiditas. h2: net interest margin (nim) berpengaruh terhadap likuiditas pada bank busn non devisa tahun 2003-2012. capital adequacy ratio (car) merupakan salah satu indikator penilaian kesehatan perbankan dalam aspek capital. modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi bank dalam mengembangkan usahanya dan menampung risiko kerugian (taswan, 2006). dengan asumsi bahwa modal tetap, atmr naik, car turun, likuiditas turun yang diakibatkan oleh naiknya atmr (80 persen dari atmr adalah kredit), maka dana yang tersedia harus naik untuk meng-cover atmr (kredit beresiko) tersebut sehingga likuiditas turun. namun, bila modal naik, atmr tetap, sehingga kas yang dimiliki ikut naik, sehingga likuiditas akan naik. jadi, car dapat mempengaruhi likuiditas secara positif atau negatif. penelitian akhtar dkk (2011), syahrir (2012), vodová (2014) menunjukkan bahwa car berpengaruh positif terhadap likuiditas. h3: capital adequacy ratio (car) berpengaruh terhadap likuiditas pada bank busn non devisa tahun 2003-2012. ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya aset yang dimiliki perusahaan. ukuran perusahaan dilihat dari total aktiva yang dimiliki suatu bank. semakin besar ukuran perusahaan tersebut maka semakin besar dana likuid yang harus dimiliki oleh suatu perusahaan tersebut. jika ukuran perusahaan naik, likuiditas juga ikut naik, karena semakin besar dana likuid yang dimiliki dalam aktiva nya. penelitian bonner (2013), vodová (2014) menunjukkan bahwa ukuran bank berpengaruh positif terhadap likuiditas. h4: ukuran (size) berpengaruh terhadap likuiditas pada bank busn non devisa tahun 2003-2012. untuk melihat struktur pasar industri maka dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat konsentrasi dari industri tersebut. dalam penelitian ini akan digunakan variabel cr4 yaitu rasio konsentrasi 4 bank terbesar untuk mengukur tingkat konsentrasi pada industri perbankan ini. variabel yang akan dijadikan ukuran konsentrasi adalah variabel aset. jika tingkat konsentrasi pada industri perbankan ini terfokus hanya pada 4 bank besar dan tidak termasuk salah satu di antaranya bank busn non devisa maka semakin kecil kesempatan bagi bank busn non devisa untuk bersaing dalam mencari keuntungan. bila keuntungan yang diperoleh sedikit maka dana untuk memenuhi likuiditasnya pun menjadi sedikit. sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi pasar berpengaruh negatif terhadap likuiditas. tetapi bonner (2013) menunjukkan bahwa konsentrasi pasar bisa berdampak positif terhadap likuiditas jika bank tersebut adalah bank besar yang menguasai pasar. h5: konsentrasi pasar mempengaruhi likuiditas pada bank busn non devisa tahun 2003-2012. determinan likuiditas pada bank umum ... (anna cahya mustika, sri yani kusumastuti) 57 metode penelitian penelitian ini menggunakan data panel atau pooling data yaitu data panel merupakan gabungan dari data cross-section dan data timeseries. jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada laporan keuangan publikasi yang diterbitkan oleh bank indonesia dalam direktori perbankan indonesia tahun 2003-2012. populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh jenis bank yang ada di indonesia. pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik purposive sampling. pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. kriteria pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah tidak melakukan merger atau akuisisi pada tahun 2003-2012, bank merupakan bank konvensional bukan bank syariah, bank melakukan publikasi laporan keuangan secara konsisten dari tahun 2003-2012, bank memiliki data yang dibutuhkan dan rasio-rasio yang dibutuhkan dalam waktu sepuluh tahun (2003-2012). berdasarkan kriteria sampel bank busn non devisa, maka bank yang terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini terdiri dari 18 bank yaitu bank anglomas, bank kesejahteraan ekonomi, bank artos, bank mayora, bank centratama national, bank fama international, bank sinar harapan bali, bank harda international, bank multiarta sentosa, bank bisnis international, bank jasa jakarta, bank yudha bakti, bank mitraniaga, bank royal indonesia, bank ina perdana, bank prima master, bank tabungan pensiun nasional, dan bank victoria international. variabel yang digunakan meliputi variabel likuiditas, roa, nim, car, ukuran perusahaan, dan konsentrasi pasar. likuiditas adalah kemampuan suatu bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. proksi yang dipakai untuk menghitung likuiditas adalah:   x 100% kas simpanan pada bi likuiditas total dana pihak ketiga 2) return on asset (roa) adalah rasio profitabilitas yang menunjukan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total asset bank (slamet riyadi, 2006). rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. rumus roa: laba sebelum pajak roa = x 100% total asset (rata-rata) 3) net interest margin (nim) adalah merupakan perbandingan antara persentase hasil bunga terhadap total asset atau terhadap total earning assets. rumus perhitungan nim menurut surat edaran bank indonesia no. 6/23/ dpnp tanggal 31 mei 2004:   pendapatan bunga bersih nim 100% aktiva produktif 4) car adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank (pbi, 2008). berdasarkan surat edaran bank indonesia nomor 3/30/dpnp tanggal 14 desember 2001, rumus car:   modal car= ×100% aktiva tertimbang menurut resiko 5) ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki perusahaan. ukuran perusahaan (size) dalam penelitian ini dilihat dari besarnya total assets yang dimiliki perusahaan. variabel ukuran perusahaan dapat dinyatakan dengan rumus:  ukuran perusahaan size =total aktiva 6) untuk melihat struktur pasar industri maka dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat konsentrasi dari industri tersebut. dalam penelitian ini akan digunakan variabel cr4 yaitu rasio konsentrasi 4 bank terbesar untuk mengukur tingkat konsentrasi pada industri perbankan ini. variabel yang akan dijadikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 53-62 58 ukuran konsentrasi adalah variabel aset. secara matematis dirumuskan sebagai berikut: aset 4 bank cr4= ×100% aset seluruh bank umum σ σ 7) metode analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh return on asset (roa), net interest margin (nim), capital adequacy ratio (car), ukuran (size), konsentrasi pasar mempengaruhi likuiditas adalah regresi panel data. terdapat tiga pendekatan yang biasa digunakan untuk mengestimasi parameter model dengan data panel, yaitu: ordinary least square (common effect) (pls = pooling least square), model efek tetap (fixed effect), dan model efek random (random effect). hasil dan pembahasan hasil estimasi pada tabel 2 memperlihatkan bahwa metode estimasi yang terpilih adalah fixed effect (0,0090 < 0,05). setelah terpilih metode fixed effect, kemudian akan dilanjutkan dengan melakukan regresi random effect. hasil estimasi tersebut juga menunjukkan bahwa metode yang terpilih adalah random effect (1,0000 > 0,05). pengaruh roa terhadap likuiditas pada model random effect diperoleh nilai koefsien sebesar -2,435022 dengan signifikasi 0,0030 artinya signifikasi roa < 0,05 maka dapat mempunyai efek negatif dan signifikan terhadap likuiditas. hal ini sesuai dengan teori pada kajian literatur, yang mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi pada roa akan berpengaruh efek negatif dan signifikan terhadap likuiditas. penelitian tersebut mendukung hasil penelitian dari islam, dkk (2007) dengan hasil roa signifikan terhadap likuiditas. namun, penelitian tersebut tidak sesuai dengan 2 penelitian terdahulu yaitu penelitian dari akhtar dkk (2011) dengan hasil penelitian roa berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas bank dan penelitian dari islam, dkk (2007) dengan hasil roa berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas. perbedaan ini dapat terjadi karena proksi yang dipakai dalam perhitungan likuiditas berbeda. roa merupakan rasio yang menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan, karena dpk yang dimiliki mempunyai pertumbuhan yang pesat dan besar dibandingkan kas dan simpanan pada bank indonesia maka roa akan mempunyai efek negatif terhadap likuiditas. hal ini dapat dilihat pada gambar 1 rata-rata kas, simpanan pada bank indonesia, dan dpk pada bank busn non devisa menunjukkan bahwa pertumbuhan dpk pada bank busn non devisa sangat pesat yang mengakibatkan roa mempunyai efek negatif dan signifikan terhadap likuiditas. roa (return on asset) memtabel 2. hasil estimasi variabel hipotesis common effect fixed effect random effect c 22,329640 18,746850 21,706790 roa +/-2,435022 -1,527773 -2,052887* nim +/0,627770 0,953350 0,657606 car +/0,574137 0,626754 0,592659* size + 7,94e-08 1,86e-07 8,60e-08 konsentrasi pasar -0,136810 0,307377 -0,153528 r-squared 0,487260 0,582494 0,434339 adjusted r-squared 0,472526 0,523990 0,418084 f-statistic 33,070680 9,956482 26,720940 prob (f-statistic) 0,000000 0,000000 0,000000 akaike info criterion 8,211881 8,195300 durbin-watson stat 1,209647 1,453478 1,313318 uji chow 2,106589 (0,0090) fe uji hausman 0,000000 (1,0000) re sumber: hasil olah data determinan likuiditas pada bank umum ... (anna cahya mustika, sri yani kusumastuti) 59 punyai efek negatif (-) dan signifikan terhadap likuiditas bank busn non devisa di indonesia tahun 2003-2012. pengaruh nim terhadap likuiditas pada model random effect diperoleh nilai koefisien sebesar 0,657606 dengan signifikasi 0,1242 artinya signifikasi nim > 0,05 mempunyai efek positif dan tidak signifikan terhadap likuiditas. hal ini tidak sesuai dengan teori, sehingga mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi pada rasio net interest margin (nim) tidak akan berpengaruh signifikan terhadap likuiditas. hasil penelitian ini sesuai mendukung hasil penelitian yang dilakukan islam, dkk (2007) dengan hasil nim berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas. meskipun hasil dari kedua penelitian mempunyai efek positif, namun dalam penelitian ini nim tidak signifikan. nim mempunyai efek positif (+) tetapi tidak signifikan terhadap likuiditas bank busn non devisa di indonesia tahun 20032012. pengaruh car terhadap likuiditas pada model random effect diperoleh nilai koefisien sebesar 0,592659 dengan signifikasi 0,0000 artinya signifikasi car < 0,05 maka dapat disimpulkan mempunyai efek positif dan signifikan terhadap likuiditas. hal ini sesuai dengan teori. penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh 2 penelitian terdahulu yaitu akhtar dkk (2011) dengan hasil penelitian car berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas bank dan asdini andi syahrir (2012) dengan hasil penelitian car berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas. namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh islam, dkk (2007) dengan hasil car berpengaruh negatif (-) terhadap likuiditas. car mempunyai efek positif (+) dan signifikan terhadap likuiditas bank busn non devisa di indonesia tahun 2003-2012. pengaruh size terhadap likuiditas pada model random effect diperoleh nilai koefisien sebesar 8,60e-08 dengan signifikasi 0,6430 artinya signifikasi ukuran (size) > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa mempunyai efek positif dan tidak signifikan terhadap likuiditas. hal ini tidak sesuai dengan teori. hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan bonner, dkk (2013) dengan hasil ukuran (size) berpengaruh positif (+) terhadap likuiditas. namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh akhtar, dkk (2011) dengan hasil ukuran (size) berpengaruh negatif (-) terhadap likuiditas. ukuran perusahaan (size) mempunyai efek positif (+) tetapi tidak signifikan terhadap likuiditas bank busn non devisa di indonesia tahun 2003-2012. pengaruh konsentrasi pasar terhadap likuiditas pada model random effect diperoleh nilai koefisien sebesar -0,153528 dengan signifikansi 0,6177 artinya signifikasi konsentrasi pasar > 0,05 maka dapat disimpulkan mempunyai efek negatif (-) dan tidak signifikan terhadap likuiditas, hal ini sesuai dengan teori.hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh bonner dkk (2013) dengan hasil konsentrasi pasar (cr4) berpengaruh sumber: direktorat perbankan indonesia tahun 2003-2012 gambar 1. rata-rata kas, simpanan pada bank indonesia dan dpk pada bank busn non devisa tahun 2003-2012 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 53-62 60 positif (+) terhadap likuiditas. konsentrasi pasar mempunyai efek negatif (-) tetapi tidak signifikan terhadap likuiditas bank busn non devisa di indonesia tahun 2003-2012. hasil estimasi model random effect terlihat bahwa likuiditas suatu bank dapat terganggu akibat dari faktor internal maupun eksternal perbankan. bila suatu bank mempunyai likuiditas yang kecil, maka bank tersebut tidak dapat menjalankan kegiatan operasionalnya, karena tidak ada dana yang dimiliki akibatnya akan menghilangkan kepercayaan kepada masyarakat dan akibat terburuknya kolapsnya atau bangkrutnya bank tersebut, sehingga begitu pentingnya likuiditas suatu bank agar dapat menjalankan kegiatan operasionalnya. oleh karena itu, sebaiknya bank busn non devisa melakukan proses manajemen likuiditas yang terdiri dari penentuan kebijakan manajemen likuiditas, mendirikan komite kewajiban aset (alco), memiliki sistem informasi yang efektif dan pengendalian internal,dan teknik untuk mengurangi resiko likuiditas dari eksternal maupun internal bank (ismal, 2011). peran bank dalam suatu negara penting, karena perbankan mempunyai tujuan untuk memajukan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai produk dan fasilitas yang dikeluarkan bank. likuiditas akan menjadi sangat penting bagi bank terutama dalam menghadapi situasi ekonomi yang cenderung memburuk atau banyak ketidakpastian (simanjuntak, 2002: 11-25). hasil estimasi spesifik dapat dilihat bahwa variabel ukuran bank (size) yang terbesar berasal dari bank yudha bhakti meskipun nilai koefisien lebih tinggi dari bank busn non devisa lainnya tetapi pada bank yudha bhakti variabel ukuran bank (size) tidak mempengaruhi likuiditas karena jumlah probabilita yang dimiliki lebih dari 0,05. ukuran bank (size) yang terkecil yaitu yang berasal dari bank harda international namun pada bank harda international variabel ukuran bank (size) tidak mempengaruhi likuiditas karena jumlah probabilita yang dimiliki lebih dari 0,05. hasil estimasi spesifik dapat dilihat bahwa variabel car yang terbesar berasal dari bank jasa jakarta meskipun car pada bank jasa jakarta memiliki car yang terbesar namun pada bank jasa jakarta variabel car tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilita yang dimiliki lebih dari 0,05. car yang terkecil berasal dari bank kesejahteraan ekonomi. variabel car pada bank kesejahteraan ekonomi tidak mempengaruhi likuiditas karena jumlah probabilitas yang dimiliki lebih dari 0,05. hasil estimasi spesifik dapat dilihat bahwa variabel roa yang terbesar berasal dari bank multiarta international. variabel roa pada bank multiarta international tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilitas yang dimiliki lebih dari 0,05. roa yang terkecil berasal dari bank kesejahteraan ekonomi. variabel roa pada bank kesejahteraan ekonomi tidak mempengaruhi likuiditas karena roa yang dimiliki lebih dari 0,05. hasil estimasi spesifik dapat dilihat bahwa variabel nim yang terbesar berasal dari bank kesejahteraan ekonomi. variabel nim pada bank kesejahteraan ekonomi tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilita yang dimilki lebih dari 0,05. variabel nim berasal dari bank jasa jakarta. variabel nim pada bank jasa jakarta tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilita yang dimiliki lebih dari 0,05. hasil estimasi spesifik dapat dilihat bahwa variabel konsentrasi pasar yang terbesar berasal dari bank anglomas internasional. variabel konsentrasi pasar pada bank anglomas internasional tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilitas yang dimiliki lebih dari 0,05. konsentrasi pasar yang terkecil berasal dari bank sinar harapan bali. variabel konsentrasi pasar pada bank anglomas internasional tidak mempengaruhi likuiditas karena probabilita yang dimiliki lebih dari 0,05. simpulan berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa variabel likuiditas busn non devisa di indonesia pada tahun 2003-2012 dipengaruhi oleh roa secara negatif dan car secara positif, sedangkan nim, size, dan konsentrasi pasar tidak berpengaruh terhadap likuiditas. berdasarkan penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka implikasi manajerial atau kebijakan yang perlu dilakukan determinan likuiditas pada bank umum ... (anna cahya mustika, sri yani kusumastuti) 61 adalah bank busn non devisa merupakan bank kecil yang masih bertahan ditengah persaingan industri bank yang dikuasai oleh 4 bank besar di indonesia. dalam hal ini dibutuhkan peran bank indonesia selaku bank sentral republik indonesia dalam melindungi dan mendukung industri bank-bank kecil agar dapat terus bersaing ditengah pasar yang dikuasai oleh 4 bank besar. beberapa saran yang diajukan yang berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah: (1) bank busn non devisa hendaknya menjaga stabilitas likuiditas dan komposisi likuiditas yang mereka miliki dengan memperhatikan resiko-resiko (eksternal maupun internal) yang mungkin terjadi, yang dapat mengganggu kestabilitasan likuiditas yang bank miliki. (2) bank busn non devisa hendaknya meningkatkan jumlah pendapatan yang mereka miliki dengan cara memberikan kredit dengan bunga rendah, meningkatkan kualitas aset yang dimiliki, memanfaatkan perkembangan teknologi dengan membuka jaringan e-banking atau memberikan fasilitas yang baru yang berkaitan dengan menunjang sistem lalu lintas pembayaran. (3) meningkatkan modal yang dimiliki oleh bank busn non devisa agar dapat terus bersaing dan menjaga segala kemungkinan terburuk atas segala resiko yang ada. meningkatkan modal bank dapat dengan cara penawaran umum terbatas dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue), mengundang investor strategis dan mitra strategis baru, baik lokal maupun asing, melalui penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/ ipo), penambahan modal dari penyisihan laba, mengurangi deviden payout ratio untuk menambah modal. (4) bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk memperluas cakupan penelitian tentang pengaruh rasio keuangan terhadap likuiditas dengan menggunakan rasio-rasio lain selain rasio yang telah digunakan pada penelitian ini tentunya untuk tahun yang telah diteliti maupun tahun yang akan datang. daftar pustaka akhtar, muhammad farhan. (2011). liquidity risk management: a comparative study between conventional and islamic banks of pakistan. interdisciplinary journal of research in business vol. 1, issue. 1, january 2011: 35-44. ali, mashud. (2004). asset liability management: menyiasati resiko pasar dan resiko operasional. jakarta: pt. gramedia. asih, budi. (2013). pengaruh profitabilitas dan tingkat suku bunga sbi terhadap likuiditas perbankan pada bank umum yang terdaftar di bursa efek indonesia (bei) periode 20092011. fakultas ekonomi, universitas negeri padang, dipublikasikan. bank indonesia. (2011). pbi no. 13/1/pbi/2011 tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum. bank indonesia. (2011). pbi no. 13/10/pbi/ 2011 tentang perubahan atas peraturan bank indonesia no. 12/19/pbi/2010 tentang giro wajib minimum bank umum pada bank indonesia dalam rupiah dan valuta asing. bank indonesia. (2011). pbi no. 15/7/pbi/2013 tentang perubahan kedua atas peraturan bank indonesia no. 12/19/pbi/2010 tentang giro wajib minimum pada bank indonesia dalam rupiah dan valuta asing. bonner, c., lelyveld, iman van, zymek, r. (2013). bank’s liquidity buffers and the role of liquidity regulation. dnb working paper no. 393. september 2013. islam, m. muzahidul, hasibul alam chowdhury. (2007). a comparative study liquidity management of an islamic bank and a conventional bank: the evidence from bangladesh. journal of islamic economics, banking and finance, volume-5 number-1 (pp. 89-108). riyadi, slamet. (2006). banking assets and liability management. edisi ketiga. jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas indonesia. sawir, agnes. (2005). analisis kinerja keuangan dan perencanaan keuangan perusahaan. cetakan kelima. jakarta: pt gramedia pustaka utama. simanjuntak, r. (2002). kebijakan pemerintah tentang blbi: masalah dan upaya penyelesaiannya. jurnal ekonomi & studi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 53-62 62 pembangunan, vol 3 no.1 april 2002: 1125. surat edaran bank indonesia no. 3/30/dpnp tanggal 14 desember 2001. syahrir, asdini andi. (2012). analisis pengaruh ldr, npl, dan car terhadap resiko likuiditas pada bank pembangunan daerah (bpd) se-indonesia tahun 2007-2011. fakultas ekonomi dan bisnis universitas hasanuddin makassar, dipublikasikan. undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan. undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan. vodová, pavla. (2014). determinants of commercial bank liquidity in hungary. financial internet quarterly e-finance. institute of financial research. university of information technology and management, vol. 9, issue 3 (januari): 64-71. microsoft word 03-lesta jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.18-25 identifikasi kualitas pertumbuhan ekonomi daerah bambang prishardoyo1, lesta karolina br sebayang2 1,2 fakultas ekonomi, universitas negeri semarang kampus sekaran gunungpati semarang 50229, indonesia, phone: +62 24 86458337 e-mail korespondensi: lesta.sebayang@gmail.com naskah diterima: agustus 2012; disetujui: februari 2013 abstract: management of local natural resources should be able to increase the opportunities for targeted area and an attractive investment destination. by gdrp of central java, the sectors that has high contributions are manufacturing sector and agricultural sector. in the industrial activities, the distribution of the resulting production of vehicles requiring any contribution of economic activity (especially industry) will lead to an increase in the number of motor vehicles. these conditions it will increase the amount of emissions produced from vehicle related to air pollution. this study aims at identifying the relationship between economic growth in central java province with the quality of the environment through people perception. the method used in this study is using descriptive statistical analysis in identifying the level of economic growth and environmental degradation. some of the findings and conclusions as follows: 1 ) most people are not bothered by the decline in the quality of the environment, especially air quality so that the use of vehicles is increasing. 2) low public participation in managing the environment around where they live , especially for people who are directly affected economy activities 3 ) laboratory test results show the water is very polluted conditions with allegations of some industries that dump waste into the river. keywords: industry; environmental quality; economic growth; environmental degradation jel classification: r11, q56 abstrak: pengelolaan potensi sumber daya alam daerah harus mampu meningkatkan peluang daerah untuk dijadikan target dan tujuan investasi yang menarik. berdasarkan pdrb jawa tengah, sektor yang memberikan kontribusi yang cukup tinggi adalah sektor industri pengolahan, sektor pertanian. pada kegiatan industri, distribusi produksi yang dihasilkan membutuhkan kendaraan bermotor ada kontribusi aktivitas ekonomi (adanya industri) akan memicu peningkatan jumlah kendaraan bermotor. kondisi tersebut maka akan meningkatkan jumlah emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor yang berkaitan dengan polusi udara. tujuan pada studi ini adalah melakukan identifikasi keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi di provinsi jawa tengah dengan kualitas lingkungan melalui persepsi masyarakat yang berdekatan dengan industri. metode yang digunakan dalam studi ini yaitu menggunakan analisis statistik deskriptif dalam mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kerusakan lingkungan. beberapa temuan dan kesimpulan sebagai berikut: 1) sebagian besar masyarakat tidak terganggu dengan penurunan kualitas lingkungan terutama kualitas udara sehingga penggunaan kendaraan bermotor jusru semakin meningkat. 2) rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengelola lingkungan sekitar tempat tinggal terutama bagi masyarakat yang terkena dampak langsung dari ada kegiatan atau aktivitas ekonomi. 3) hasil uji laboratorium menunjukkan kondisi air sangat tercemar dengan dugaan adanya beberapa industri yang membuang limbah ke sungai. kata kunci: industri; kualitas lingkungan; pertumbuhan ekonomi; kerusakan lingkungan klasifikasi jel: r11, q56 identifikasi kualitas pertumbuhan ... (bambang prishardoyo, lesta karolina br sebayang) 19 pendahuluan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan peluang bagi pemerintah daerah di indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing. selama pelaksanaannya telah banyak yang sudah dicapai namun masih banyak pula yang belum terpenuhi sesuai dengan tujuan pembangunan yaitu membangun masyarakat yang adil dan makmur serta pembangunan yang berkelanjutan. provinsi jawa tengah merupakan salah satu daerah otonom yang mengelola daerahnya dengan meningkatkan industri dan tetap menjaga sumberdaya yang dimiliki. hal ini terbukti dengan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang memberikan kontribusi yang tinggi. provinsi jawa tengah memiliki aktifitas ekonomi yang cukup tinggi. seperti halnya di kawasan daerah semarang dan kudus yang merupakan daerah kawasan industri. secara garis besar kegiatan ekonomi yang ada di jawa tengah pada umumnya yaitu produksi, konsumsi dan distribusi. provinsi jawa tengah memiliki kekayaan alam yang cukup berlimpah, sehingga apabila bisa dikelola dengan baik dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah maupun pembangunan daerah jawa tengah. tanpa mengesampingkan salah satu tujuan pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan maka perlu adanya sebuah pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, artinya bahwa dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki jawa tengah dalam meningkatkan pendapatan daerahnya tidak hanya sekali pemanfaatan saja, akan tetapi perlu adanya upaya pelestarian maupun penggunaan atau pemanfaatan sumber daya secara efektif dan efisien dengan kata lain tidak melakukan usaha eksploitasi besar-besaran tanpa adanya upaya pelestarian dalam rangka pembangunan berkelanjutan. provinsi jawa tengah memiliki kawasan hutan meliputi 20 persen wilayah provinsi, terutama di bagian utara dan selatan. daerah blora-grobogan merupakan penghasil kayu jati. jawa tengah juga terdapat sejumlah industri besar dan menengah. daerah semarangungaran-demak-kudus merupakan kawasan industri dikenal sebagai pusat industri rokok. cilacap terdapat industri semen. blok cepu di pinggiran kabupaten blora (perbatasan jawa timur dan jawa tengah) terdapat cadangan minyak bumi yang cukup signifikan, dan kawasan ini sejak zaman hindia belanda telah lama dikenal sebagai daerah tambang minyak. tujuan studi adalah untuk mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi dan kondisi lingkungan di provinsi jawa tengah dan melakukan analisis keterkaitan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas lingkungan di kabupaten kudus dan kabupaten semarang perkembangan isu-isu lingkungan hidup akan mengarah pada perkembangan suatu komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan dan bertanggung jawab pada lingkungan dan mampu memformulasikan strategi konservasi. satu sisi, perekonomian mengalami perkembangan dan pertumbuhan setiap tahunnya namun di sisi lainnya adanya dampak yang menurun pada lingkungan atau terjadinya degradasi lingkungan terutama di daerah yang memiliki kawasan industri ataupun cluster seperti kabupaten kudus dan kabupaten semarang . ekonomi lingkungan. pembangunan ekonomi adalah proses penciptaan suatu lingkungan oleh masyarakat yang mempengaruhi hasilhasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi. lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (blakely: 1998: 75-77). pengaturan penggunaan ruang wilayah bisa berakibat kerugian pada sebagian masyarakat karena lahan yang dimilikinya tidak bisa bebas digunakan. dengan demikian, perlu dipertanyakan apa landasannya sehingga negara berhak mengatur penggunaan ruang. di wilayah republik indonesia hak negara jelas diatur dalam uud 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” hak negara ini lebih lanjut diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. di negara kapitalis pun sangat menjunjung tinggi hak milik perseorangan, terdapat kesadaran masyarakat bahwa jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 18-25 20 penggunaan lahan memang perlu diatur. hal ini tidak lain karena manfaat dari pengaturan penggunaan ruang tersebut kepada seluruh masyarakat adalah lebih tinggi dibanding dengan kerugian yang mungkin diderita oleh sekelompok kecil masyarakat. dalam sebuah terbitan world bank, christine m.e. whitehead (dunkerley, ed; 1983: 108) menulis “the market merchanism is unlikely, on its own, to produce an efficient allocation of land uses”. artinya, mekanisme pasar saja tidak akan menghasilkan suatu alokasi penggunaan lahan yang efisien. dengan demikian apabila dibiarkan, kemakmuran rakyat tidak akan maksimal atau bahkan bisa merosot. hal inilah yang mendorong agar pemerintah perlu campur tangan dalam pengaturan penggunaan lahan. beberapa alasan mengapa pemerintah perlu campur tangan dalam mengatur penggunaan lahan: 1) perlu tersedianya lahan untuk kepentingan umum; 2) adanya faktor eksternalitas (externalities); 3) informasi yang tidak sempurna; 4) daya beli masyarakat yang tidak merata, dan 5) perbedaan penilaian masyarakat antara manfaat jangka pendek dengan manfaat jangka panjang pemerintah perlu menyediakan lahan untuk kepentingan umum (public goods), yang apabila diserahkan kepada mekanisme pasar, hal itu tidak akan tersedia atau ketersediaannya tidak sebanyak yang dibutuhkan. lahan untuk kepentingan umum misalnya, untuk jaringan jalan, saluran drainase, jalur pipa air minum, jaringan listrik dan telepon, lapangan adanya olahraga, fasilitas pendidikan, atau fasilitas kesehatan. walaupun ada kemungkinan pihak swasta mau ikut membangun berbagai fasilitas yang dikemukan di atas, tetapi jumlahnya tidak akan sebanyak yang dibutuhkan. bahkan ada kebutuhan lahan yang kecil kemungkinannya desediakan oleh swasta (mekanisme pasar) tetapi sangat diperlukan untuk kelangsungan dan kenyamanan kehidupan manusia, yaitu yang bersangkut-paut dengan kelestarian lingkungan seperti hutan lindung, hutan suaka alam, jalur hijau/penyangga abrasi pada sempadan pantai, jalur hijau pada sempadan sungai, dan ruang terbuka yang hijau di perkotaan. lahan yang sudah disediakan pemerintah pun bahkan sering dirusak oleh masyarakat untuk tujuan keuntungan pribadi. adanya faktor eksternalitas (externalities) dalam kegiatan manusia yang akan menimbulkan social cost dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan di sekitarnya yang bisa merugikan atau menguntungkan masyarakat (tetapi dalam banyak hal merugikan), tetapi tidak mempengaruhi penerimaan/pengeluaran institusi yang melakukan kegiatan tersebut. misalnya, kegiatan industri yang menimbulkan polusi apabila tidak diatur lokasinya dapat menciptakan kerugian (misalnya di bidang kesehatan) pada masyarakat di sekitarnya, padahal mekanisme pasar tidak mengatur pembayaran kompensasi oleh perusahaan kepada masyarakat yang dirugikan. contoh lain: apabila tanah miring (tidak datar) pada lereng-lereng perbukitan yang ditanami tanaman semusim (terlebih-lebih apabila tidak menggunakan terasering) maka kemampuan tanah untuk menahan air menurun tajam. hal ini bisa mendorong terjadinya banjir di musim hujan dan rendah debit sungai di musim kemarau. yang menderita kerugian bukan hanya petani yang melakukan aktivitas pada lereng perbukitan tersebut (karena terjadinya erosi dan menurunnya mutu tanah), tetapi kerugian yang lebih besar akan diderita oleh seluruh masyarakat, baik karena kebanjiran di musim hujan atau kekurangan air di musim kemarau. informasi yang tidak sempurna (assimetric information), menyangkut kondisi saat ini maupun tentang apa yang direncanakan orang saat ini untuk dilaksanakan di masa yang akan datang. seseorang tidak akan mengetahui apa yang dilakukan orang lain atas lahannya, padahal pengunaan lahan dapat mempengaruhi nilai/ kegunaan lahan masyarakat di sekitarnya. apabila informasi tidak sempurna, pasar merespon secara wajar sehingga apa yang dilakukan masyarakat menjadi tidak optimal. misalnya, masyarakat tidak mengetahui di mana akan dibangun lokasi industri berskala besar sehingga masyarakat tidak cukup cepat merespon kemungkinan tersebut seandainya masyarakat sejak awal sudah mengetahui, masyarakat bisa memanfaatkan peluang-peluang adanya industri tersebut, hal ini dapat mempercepat diperolehnya keuntungan/manfaat bagi industri tersebut dan bagi masyarakat sekitarnya. daya beli masyarakat yang tidak merata sehingga ada pihak-pihak yang dapat menguasai lahan secara berlebihan tetapi ada pihak lain identifikasi kualitas pertumbuhan ... (bambang prishardoyo, lesta karolina br sebayang) 21 yang sulit mendapatkan lahan. padahal lahan dibutuhkan setiap manusia setidak-tidaknya sebagai tempat tinggal. selain mengakibatkan ada pihak-pihak yang dirugikan pemanfaatan lahan juga menjadi tidak optimal, misalnya karena kehidupan menjadi tidak efisien. misalnya, adalah strategis cukup luas di perkotaan yang hanya dikuasai oleh segelintir manusia secara monopolistik atau oligopolistik. mereka bisa saja menetapkan sewa yang sangat tinggi untuk lahan tersebut. dikarenakan sewa yang sangat tinggi maka hanya kegiatan tertentu yang maupun membayar sewa tersebut, umumnya kegiatan perdagangan dan jasa. dengan demikian, permukiman terpaksa berada jauh di luar/pinggiran kota dan ini bisa membuat kehidupan kota menjadi tidak efisien karena sebagian pekerja adalah penglaju (commuter). hal ini mempercepat terjadinya kemacetan lalu lintas dan biaya hidup menjadi tinggi. perbedaan penilaian individu/masyarakat antara manfaat jangka pendek dengan manfaat jangka panjang. masyarakat cenderung menilai manfaat jangka pendek lebih penting ketimbang manfaat jangka panjang. metode penelitian sumber data yang digunakan terdiri dari: pertama; data primer; wawancara dan penyebaran kuesioner serta pengambilan sampel air sungai yang dilakukan dengan mengambil beberapa sampel rt yang berdekatan dengan industri di masing-masing daerah; kedua; data sekunder; dokumentasi dari badan pusat statistik (bps), beberapa dokumen lainnya. penelitian deskriptif diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktaakta yang tampak atau bagaimana adanya. tujuan studi ini untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. pendekatan studi deskriptif yang digunakan adalah metode statistik dengan menghitung nilai rata-rata (mean), nilai tengah (median), modus, dan standard deviation. selain itu juga, studi ini dapat menyajikan data dalam bentuk tabel proporsi dari data dan grafik. hasil dan pembahasan perekonomian daerah provinsi jawa tengah pertumbuhan pdrb jawa tengah triwulan iv/ 2010 menurun 4,3 persen dibandingkan dengan triwulan iii/2010 (q-to-q), dan bila dibandingkan dengan triwulan iv/2009 (y-on-y) meningkat sebesar 5,7 persen. secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi jawa tengah tahun 2010 meningkat sebesar 5,8 persen dibandingkan tahun 2009. semua sektor pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor listrik, gas dan air bersih 8,4 persen, disusul sektor jasa-jasa sebesar 7,4 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian 7,1 persen. sisi produksi, sumber utama pertumbuhan ekonomi jawa tengah tahun 2010 adalah sektor industri pengolahan 2,2 persen, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,3 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 0,7 persen. besaran pdrb jawa tengah pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai rp444,4 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 mencapai rp187,0 triliun. sebagian besar pdrb jawa tengah selama tahun 2010 digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga sebesar 64,2 persen, konsumsi lembaga non profit 1,4 persen, konsumsi pemerintah 11,4 persen, pembentukan modal tetap bruto 19,2 persen serta ekspor neto 4,4 persen (ekspor 45,2 persen dan impor 40,8 persen). karateristik responden kabupaten kudus merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi jawa tengah dengan 73 persen masyarakat yang ada tinggal di daerah kabupaten kudus lebih dari 15 tahun. sebanyak 3 persen masyarakat tinggal di daerah kabupaten kudus selama 2 tahun sampai 10 tahun dan 4 persen masyarakat tinggal di daerah kabupaten kudus selama 3 bulan sampai 2 tahun yang merupakan penduduk pendatang. sebanyak 20 persen masyarakat yang ada di daerah kabupaten kudus tinggal selama 10 tahun sampai 15 tahun jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 18-25 22 analisis persepsi masyarakat mengenai kualitas lingkungan di provinsi jawa tengah karateristik responden atau masyarakat memiliki keunikan dan perbedaan masingmasing kabupaten kota di provinsi jawa tengah. masyarakat yang dijadikan responden adalah orang-orang yang tinggal berdekatan dengan kawasan industri atau pabrik tertentu. sebanyak 83 persen masyarakat yang ada di kabupaten semarang khususnya yang tinggal di daerah sekitar industri merasakan dampak polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri yang ada. sedangkan 17 persen masyarakat tidak merasakan ada dampak dari polusi udara yang ditimbulkan oleh industri pada lingkungan sekitar. di kabupaten kudus sebanyak 13 persen masyarakat tidak merasakan ada dampak dari polusi udara yang ditimbulkan oleh industri di lingkungan sekitar. sebanyak 87 persen masyarakat yang ada di kabupaten kudus khususnya yang tinggal di daerah sekitar industri merasakan dampak polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri yang ada. pengelolaan limbah rumah tangga 1) kepemilikan tempat sampah kabupaten kudus kabupaten semarang gambar 1. kepemilikan tempat sampah masing-masing kota dan kabupaten yang dijadikan sampel penelitian menunjukkan kepemilikan tempat sampah sebagai salah satu indikator pengelolaan sampah di lingkungan masing-masing. hampir 50 persen dari masyarakat tidak memiliki tempat sampah di rumah masing-masing. persentase tertinggi ada di kabupaten kudus sebesar 80 persen, kemudian kabupaten semarang sebesar 77 persen dan selanjutnya kabupaten cilacap. sedangkan kabupaten demak dan kota semarang hampir sama antara yang memiliki tempat sampah dengan yang tidak memiliki tempat sampah. kualitas dan pelestarian lingkungan masyarakat kabupaten semarang menganggap terdapat kepedulian industri dalam berpartisipasi menjaga kualitas lingkungan di sekitar. hal tersebut mengindikasikan bahwa hampir seluruh industri yang ada di kabupatan semarang memiliki kepedulian dalam berpartisipasi menjaga kualitas lingkungan sekitar. sebanyak 7 persen masyarakat menganggap ada program dari pemerintah dalam upaya melestarikan lingkungan hidup di sekitar. sedangkan sebanyak 93 persen masyarakat tidak merasakan adanya program pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan sekitar bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan berdasarkan hasil survei berupa: 1) melakukan penghijauan di lingkungan sekitar tempat tinggal; 2) menanam pohon; 3) membuang sampah pada tempatnya; dan 4) membersihkan saluran air/selokan secara berkala. sebagian responden di kabupaten kudus menyatakan ada kepedulian industri dalam berpartisipasi menjaga kualitas lingkungan di sekitar terutama industri rokok yang telah memiliki tempat pengelolaan limbah sendiri dan memiliki program peduli lingkungan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik rokok. namun masih ada masyarakat yang menjadi responden menyatakan bahwa kepedulian industri masih rendah dalam berpartisipasi menjaga kualitas lingkungan contohnya salah satu industri kertas di kabupaten kudus. tabel 1. persepsi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri tentang polusi udara no kabupaten/kota jumlah responden *) persentase (%) 1 kabupaten semarang 30 orang 83 2 kabupaten kudus 30 orang 87 a b b a a b c a b c identifikasi kualitas pertumbuhan ... (bambang prishardoyo, lesta karolina br sebayang) 23 tabel 2. persepsi masyarakat menyatakan kepedulian industri pada kualitas lingkungan no kabupaten/ kota jumlah responden *) persentase (%) 1 kabupaten semarang 30 orang 83 2 kabupaten kudus 30 orang 87 kualitas udara saat ini pencemaran udara merupakan pencemaran yang paling banyak terjadi sehingga menganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat. penurunan kualitas udara seringkali menjadi pemicu penurunan kualitas hidup masyarakat. tidak hanya industri sebagai pencetus pencemaran udara tetapi aktivitas masyarakat sendiri terutama penggunaan kenderaan bermotor sebagai sarana transportasi utama. gambar 2. dampak polusi yang disebabkan oleh industri kabupaten kudus yang memiliki banyak industri tidak terlepas dari dampak polusi yang dihasilkan oleh industri tersebut. sebanyak 87 persen masyarakat yang ada di kabupaten kudus khususnya yang tinggal di daerah sekitar industri merasakan dampak polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri yang ada. sedangkan sebanyak 13 persen masyarakat tidak merasakan ada dampak dari polusi udara yang ditimbulkan oleh industri terhadap lingkungan sekitar. sebanyak 72 persen masyarakat yang merasakan adanya dampak polusi yang ditimbulkan dari industri menganggap kualitas udara yang dirasakan memiliki kondisi udara sedang (biasa). sedangkan sebanyak 28 persen masyarakat menganggap kualitas udara yang ada di daerah sekitar industri di kabupaten kudus kondisinya udaranya sudah buruk. kualitas air kualitas fisik air minum yang sering dikonsumsi masyarakat kabupaten kudus paling banyak kondisinya tidak berwarna dan berbau sebanyak 86 persen. sebanyak 7 persen masyarakat menggunakan air untuk konsumsi dengan kondisi fisik keruh dan 7 persen masyarakat menggunakan air untuk konsumsi dengan kondisi fisik berbusa. paling banyak 50 persen di sekitar sumber air di kabupaten kudus terdapat sumber pencemaran dengan jarak lebih dari 10 meter. paling sedikit 21 persen sumber air di kudus terdapat sumber pencemaran dengan jarak kurang dari 10 meter. sebanyak 29 persen sumber air yang ada di kabupaten kudus tidak terdapat sumber pencemaran. jenis sarana tempat penampungan air di rumah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat kabupaten kudus adalah bak sebanyak 76 persen. paling sedikit sarana yang digunaknan oleh masyarakat kabupaten kudus adalah drum bekas sebesar 7 persen. sebanyak 17 persen masyarakat di kabupaten kudus menggunakan sarana tempat penampungan air di rumah dengan jenis ember atau sejenisnya. masyarakat di sekitar industri kertas di kabupaten kudus sumber air yang digunakan adalah sumur. sumur warga sebagian besar sudah tercemar dari pabrik kertas. sehingga dalam konsumsi air masyarakat mengolahnya terlebih dahulu. paling banyak masyarakat memasak air sebelum diminum sebanyak 83 persen. paling sedikit masyarakat di kabupaten kudus harus member bahan kimia pada air sebelum di konsumsi. sebanyak 13 persen masyarakat langsung mengkonsumsi air karena sumber air yang tidak tercemar dari industri yang tempatnya jauh dari sumber pencemaran. limbah rumah tangga yang ada pada masyarakat di kabupaten kudus paling banyak langsung dibuang ke sungai/got yaitu sebanyak 93 persen. sebanyak 3 persen masyarakat di kabupaten kudus tidak menggunakan penampungan (langsung di tanah). sebanyak 3 persen masyarakat di kabupaten kudus menggunakan tempat penampungan tertutup di pekarangan. a b a b a b a b jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 18-25 24 kabupaten kudus  kabupaten semarang  gambar 3. jarak sumber pencemaran terhadap sumber air tingginya aktivitas ekonomi suatu daerah tidak hanya dapat menimbulkan pencemaran udara, tetapi juga pencemaran air. terutama sumber air yang dekat dengan tempat pembuangan limbah akan sangat mudah tercemar. kabupaten kudus sebagai salah satu tempat pengembangan industri sebanyak 50 persen di sekitar sumber air masyarakat terdapat sumber pencemaran dengan jarak > 10 meter dari sumber air. sebanyak 29 persen sumber air yang dimiliki masyarakat tidak terdapat sumber pencemaran seperti air limbah dan sebanyak 21 persen masyarakat memiliki sumber pencemaran di sekitar sumber air dengan jarak 5 meter. sebanyak 33 persen sumber air yang ada di kab upaten semarang terdapat sumber pencemaran dengan jarak lebih dari 10 meter. sedangkan sebanyak 20% sumber air yang ada di kabupaten semarang terdapat sumber pencemaran dengan jarak 10 meter. uji kualitas air pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang didalamnya memuat baku mutu air tawar yang dibedakan dalam empat kelas. juga telah ditetapkan baku mutu air laut melalui surat keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004. pada baku mutu air tersebut, tercakup semua parameter yang digunakan dalam baku mutu air limbah, termasuk bod dan cod, ditambah parameter-parameter kualitas air lainnya, termasuk parameter biologi dan radio nuklida. nilai bod dan cod suatu perairan masih normal atau memenuhi baku mutu, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran, bila parameter kunci lainnya tidak diketahui. jika parameter lainnya telah meningkat dan melebihi baku mutu, maka berarti ada indikasi pencemaran di perairan. hal ini dapat terjadi karena bila terdapat bahan-bahan toksik (beracun) di perairan, logam berat misalnya (mays, 1996; apha, 1989), nilai bod bisa jadi rendah atau masih memenuhi baku mutu, pada hal dalam air atau perairan tersebut terkandung bahan beracun atau air telah tercemar. menurut menurut metcalf & eddy (1991) karena beberapa alasan, terutama dalam hubungannya dengan pengolahan air limbah, yaitu: 1) bod penting untuk mengetahui perkiraan jumlah oksigen yang akan diperlukan untuk menstabilkan bahan organik yang ada secara biologi; 2) untuk mengetahui ukuran fasilitas unit pengolahan limbah; 3) untuk mengukur efisiensi suatu proses perlakuan dalam pengolahan limbah; dan 4) untuk mengetahui kesesuaiannya dengan batasan yang diperbolehkan bagi pembuangan air limbah. simpulan sebagian besar masyarakat tidak terganggu dengan penurunan kualitas lingkungan terutama kualitas udara sehingga penggunaan kendaraan bermotor justru semakin meningkat. rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengelola lingkungan sekitar tempat tinggal terutama bagi masyarakat yang terkena tabel 3. pengujian air di dinas kesehatan uptd laboratorium kesehatan daerah kabupaten semarang no. parameter yang diperiksa hasil kabupaten semarang hasil kabupaten kudus kadar max di perbolehkan satuan 1 ph 7 7 6 s/d 9 mg/l 2 tss 0,24 0,1 50 mg/l 3 bod 54,2 19,6 60 mg/l 4 cod 600 480 150 mg/l sumber: data primer, diolah dengan melakukan pengujian di dinas kesehatan uptd laboratorium kesehatan daerah kabupaten semarang a b c a b c a b c a b c identifikasi kualitas pertumbuhan ... (bambang prishardoyo, lesta karolina br sebayang) 25 dampak langsung dari ada kegiatan atau aktivitas ekonomi. hasil uji laboratorium menunjukkan kondisi air sangat tercemar dengan dugaan adanya beberapa industri yang membuang limbah ke sungai. daftar pustaka badan pusat statistik. (tt). provinsi jawa tengah dalam angka, beberapa edisi. jakarta: bps. blakley, e. (1989). planning local economic development: theory and practices. california: sage corners, r., dan todd, s. (1993). the theory of externalities, public goods, and club goods. cambridge universitas press departemen permukiman dan prasarana wilayah. (2001). penataan ruang dan penetapan kawasan prioritas dalam mendukung keterpaduan program pengembangan kimpraswil. jakarta: depkimpraswil alberto arced an norman long (eds). (2000). anthropology, development and modernities: exploring discourses, counter-tendencies and violences. london dan new york: routledge: 100-111 ferguson, j. (1990). the anti politics machine: development, de-politicisation and bureaucratis power in lesotho. cambridge: university press. apthorpe, r. dan des gasper (eds). (1996). arguing development policy: farmes and discorses. london: frank cass hobart, mark. (1995). black umbrellas: the implication of mass media in development, eidos workshop on globalization and decivilisation. agricultural university of wageningen, unpublished paper. iwan nugroho dan rokhmin dahuri. (2004). pembangunan wilayah: perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. jakarta: penerbit pustaka lp3es: 381. mays, l.w. (1996). water resources handbook, new york: mcgraw-hill: 8.27-8.28. metcalf dan eddy. (1991). waste water engineering. new york: mc graw hill international edition civil engineering series. wced. (1987). our common future. new york: oxford university press: 400. world bank. (2003). decentralizing indonesia: a regional public expenditure review, overview report, washington, dc: east asia poverty reduction and economic management unit. microsoft word 07-yustisia catur jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm. 161-170   analisis empiris environmental kuznets curve (ekc) terkait orientasi energi dea yustisia1, catur sugiyanto2 1 center for public mental health universitas gadjah mada jl. humaniora no. 1 bulaksumur 55281 yogyakarta, indonesia. phone +62 274 550435 2 fakultas ekonomika dan bisnis universitas gajah mada jalan sosio humaniora nomor 1 bulaksumur yogyakarta 55281, indonesia, phone: +62-274-548510, e-mail korespondensi: deayustisia@gmail.com naskah diterima: april 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: the aim of this study is to investigate the existence of environmental kuznets curve (ekc) for panel data of three classifications of countries according to development level and energy orientation, such as consumption of energy, export of energy, import of energy, and share of renewable energy consumption over the period 1991-2010. we use the panel data method to estimate the model for three classifications of countries and do some treatment tests for the data. in general, we find support for the ekc only for middle development countries and for its rejection in other cases and there are different types of energy sources which are significantly affected emission per capita in every country classification. we also found that renewable energy has an important role for sustainable development and we may conclude that investment and joint agreement in clean energy can be significant factors to actualize sustainable development. keywords: environmental kuznets curve (ekc); pollution; energy; panel data; development jel classification: q32, q43, q56, o13 abstrak: tujuan dari studi ini adalah untuk menginvestigasi eksistensi kurva lingkungan kuznets (ekc) pada data panel dari tiga klasifikasi negara menurut tingkat pembangunan ekonomi dan orientasi energi, seperti halnya konsumsi energi, ekspor energi, impor energi, dan penggunaan energi alternatif pada periode 1991-2010. kami menggunakan metode data panel untuk mengestimasi model pada tiga klasifikasi negara dan melakukan tes beberapa metode ekonometrika dan statistika untuk data. secara umum, ditemukan bahwa pembuktian untuk teori ekc hanya pada negara dengan tingkat pembangunan menengah dan terdapat penolakan dalam kasus kategori negara lainnya, serta adanya perbedaan jenis sumber energi yang signifikan mempengaruhi emisi per kapita di setiap klasifikasi negara. kami juga menemukan bahwa energi alternatif memiliki peran penting bagi pembangunan berkelanjutan dan kami dapat menyimpulkan bahwa investasi dan kesepakatan bersama dalam energi ramah lingkungan dapat menjadi faktor yang signifikan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. kata kunci: kurva environmental kuznets (ekc); polusi; energi; data panel; pembangunan klasifikasi jel: q32, q43, q56, o13 pendahuluan pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu isu yang kerap diangkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat pada beberapa dekade terakhir. konsep pembangunan berkesinambungan memperhatikan tiga aspek utama, yaitu masyarakat (society), lingkungan (environment), dan perekonomian (economy). seiring bertambahnya degradasi lingkungan, pertanyaan umum pun muncul dalam kajian bidang ekonomi: apakah tingkah pertumbuhan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 161-170 162 ekonomi berkesinambungan bisa dicapai, baik dalam skala negara, wilayah maupun dunia secara keseluruhan. lean dan shahbaz (2011) menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan akan tercapai beriringan dengan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. para peneliti dalam bidang ekonomi telah mengkaji hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan indikator lingkungan dengan menggunakan environmental kuznets curve (ekc). teori ini menyebutkan bahwa tingkat kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan pembangunan ekonomi dan pada titik tertentu (turning point) dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi, maka tingkat kerusakan lingkungan akan menurun seiring dengan meningkat yang ditandai dengan kurva huruf u-terbalik (u inverted curve). adapun vollebergh, dkk (2008) mengestimasi ekc pada dua jenis polutan, yaitu co2 dan so2 pada negara-negara oecd dalam kurun waktu 1960-2000. studi ini membuktikan bahwa kurva ekc jelas terbentuk dalam kasus polutan so2, namun tidak demikian pada kurva ekc co2. studi ekc juga memasukkan variabel eksogen lain dalam estimasinya selain tingkat pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi, seperti halnya energi dan perdagangan. sementara studi yang dilakukan suri dan chapman (1998) menunjukkan bahwa baik negara maju maupun negara berkembang yang sedang melalui tahapan industrialisasi akan meningkatkan kebutuhan terhadap energi yang cukup tinggi pada awalnya untuk mengekspor. beberapa studi terkait dengan pengujian hipotesis ekc dilakukan dalam kategori negara dengan tingkat pertumbuhan sosial ekonomi yang beragam. hipotesis ekc yang dikaji secara berfokus pada di negara maju, seperti halnya amerika serikat (aldy, 2004), kanada (he dan richard, 2009) dan menemukan pembuktian hipotesis ekc pada beberapa kawasan serta pentingnya pengembangan energi alternatif (iwata, dkk., 2009). literatur lainnya menganalisis ekc menggunakan data silang antar negara (sen dan melenberg, 2011), fujii dan shunsuke (2011), serta beberapa studi ekc di negara berkembang (timakova, 2009), saboori, dkk. (2012), waluyo dan terawaki (2012). beberapa hasil empiris terkait dengan ekc telah dilaporkan berdasarkan metode dan sampel yang beragam dengan hasil pembuktian hipotesis dan kesimpulan yang beragam. fujii dan shunsuke (2011) melakukan pengujian hipotesis ekc pada 23 negara oecd yang tergolong negara maju menggunakan tingkat emisi karbondioksida per sektor. pembuktian hipotesis ekc terlihat pada industri makanan, tekstil, kayu, kimia, kertas, besi, mesin, peralatan transportasi, serta industri konstruksi. akan tetapi, hipotesis ekc tidak terbukti pada industri pertambangan dan industri logam non-besi yang merupakan industri yang membutuhkan energi yang banyak dalam proses produksinya sehingga menunjukkan fungsi monotonik dan bukan fungsi kuadratik sebagaimana hipotesis ekc. selama ini studi terkait ekc dan energi hanya menggunakan pendekatan konsumsi energi sebagai variabel independen dalam beberapa studi (suri dan chapman, 1998) dan richmond dan kauffman (2003), menemukan bahwa hanya negara maju telah berhasil mengendalikan tingkat konsumsi energi dan mencapai titik balik dalam ekc. hanya sedikit literatur yang mengkaji bagaimana faktor produksi dan konsumsi berpengaruh di dalam emisi karbondioksida, salah satunya adalah aldy (2004) yang menggunakan pendekatan emisi karbondioksida dalam proses produksi dan konsumsi di tingkat negara bagian amerika serikat. studi tersebut menemukan bahwa emisi karbondioksida dari konsumsi energi pada negara bagian dengan pendapatan lebih tinggi akan lebih signifikan berpengaruh dibandingkan emisi karbondioksida dari proses produksi energi. studi yang dilakukan oleh yolanda dan rodriguez (2012) yang meneliti 15 negara oecd periode 1980-2004 menolak hipotesis ekc, harga minyak signifikan dalam semua spesifikasi model bertanda negatif, harga gas dan batu bara tidak signifikan (efek substitusi dengan harga minyak), produksi energi terbarukan signifikan terhadap emisi bertanda negatif. sementara studi yang dilakukan oleh waluyo dan terawaki (2012) periode 1962-2007 dengan metode model runtun waktu ardl. adapun variabel yang digunakan dalam studi ini adalah deforestrasi, gdp, penduduk daerah rural, pertumbuhan penduduk, indeks pertaenvironmental kuznets curve (dea yustisia, catur sugiyanto) 163 nian, luas lahan pertanian, produksi kayu, ekspor produk hutan di indonesia. hasil studi ini menunjukkan hubungan inverted-u pada jangka panjang, yang menunjukkan pola ekc di mana apabila tingkat deforestrasi meningkat pada tahapan awal pertumbuhan ekonomi, maka pada ambang batas tingkat deforestrasi akan menurun dengan kalkulasi titik balik pendapatan per kapita us$ 990,4. ada empat tujuan dari dilakukannya studi ini yaitu; 1) untuk menguji teori environmental kuznets curve (ekc) pada kelompok negara dengan tingkat pembangunan tinggi, sedang, dan rendah; 2) untuk menganalisis orientasi konsumsi energi yang berpengaruh terhadap emisi karbondioksida per kapita pada kelompok negara dengan tingkat pembangunan tinggi, sedang, dan rendah; 3) untuk menganalisis dan pengaruh perilaku ekspor impor energi pada kelompok negara dengan tingkat pembangunan tinggi, sedang, dan rendah; 4) untuk menganalisis pengaruh energi alternatif terhadap emisi pada kelompok negara dengan tingkat pembangunan tinggi, sedang, dan rendah. metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan dalam studi ini adalah data panel yang merupakan kombinasi dari data time series dan cross-section. dalam data panel, sekelompok unit cross section (individu, rumah tangga, negara) diambil datanya dalam sebuah kurun waktu. jadi data panel adalah data dari beberapa unit cross section yang diambil dalam kurun waktu tertentu. data panel memiliki kelebihan dibandingkan dengan time series dan cross section: 1) data panel dapat digunakan untuk mengatasi heterogeneitas dalam unit mikro. dalam data time series maupun cross-section terdapat beberapa variabel penjelas yang tidak terukur (unmeasured explanatory variable). mengabaikan variabel ini dapat menyebabkan bias dalam estimasi. data panel dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan ini; 2) data panel meningkatkan variabilitas dengan mengkombinasikan variasi dalam unit mikro dengan variasi time series yang dapat mengatasi permasalahan multikolinearitas. dengan data yang lebih informatif maka diharapkan estimasi yang lebih efisien dapat dicapai; 3) data panel dapat digunakan untuk meneliti permasalahan yang tidak dapat dilakukan oleh data time series maupun cross-section. untuk memutuskan model manakah yang paling tepat dari ketiga model yang akan digunakan dalam mengestimasikan data panel, perhatikan skema pada gambar 1. gambar 1. alur pengujian data panel ketiga pengujian di atas yaitu chow test, hausman test, dan lm test digunakan untuk memutuskan model yang paling tepat dari ketiga model tersebut. studi ini mengembangkan model ekc yang menjelaskan hubungan antara emisi co2 dengan pendapatan per kapita dengan variabel-variabel penjelas lain terkait dengan orientasi energi sebagaimana disederhanakan pada model berikut: ln(e/p)it = αi + β1 ln(gdp/p)t + β2(ln(gdp/p)) 2 it + ln(coal)it + ln(oil)it + ln(export_ener)it + ln(renew_ener)it + it 1) hasil dan pembahasan studi ini menguji mengenai pengaruh emisi karbondioksida dan pertumbuhan ekonomi serta melakukan pembuktian dari environmental kuznets curve pada 17 negara yang dibagi tiga kelompok negara serta menguji pengaruh variabel yang berpengaruh terkait dengan orientasi energi, yaitu: konsumsi energi (batu bara, minyak bumi, dan gas alam), ekspor energi, impor energi, dan pengembangan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 161-170 164 energi alternatif selama kurun waktu 20 tahun (19912010). dalam studi ini telah dilakukan uji statistik pada variabel dependen dan independen. selain uji statistik dilakukan juga uji f, uji hausman, uji asumsi klasik dan uji stasioner dan kointegrasi pada data panel. uji f digunakan untuk membandingkan apakah parameter antara satu grup/model berbeda dengan parameter grup/model lainnya. dalam hal ini, uji f membandingkan parameter yang diperoleh pada model pls dengan model fe. hipotesis nol pada uji ini adalah parameter pada kedua model sama atau stabil. nilai f statistik menunjukkan nilai probabilitas yang signifikan kurang dari 0,05 dari nilai kritisnya. bukti ini menolak hipotesis nol tentang stabilitas parameter sehingga model fe lebih tepat untuk digunakan dalam mengestimasi persamaan pada ketiga kelompok negara. uji hausman mengikuti distribusi statistik x2 dengan derajat kebebasan k yang merupakan jumlah variabel independen. jika nilai x2 statistik lebih besar dari nilai kritisnya, maka hipotesis nol tidak diterima sehingga kesimpulannya adalah lebih tepat menggunakan fixed effect (greene, 2000). hasil pengujian pada tiga klasifikasi negara mendapatkan nilai chisquare masing-masing sebesar 116,33 (hdc); 7.752,17 (mdc), dan 55,76 (ldc) yang lebih besar dari nilai kritisnya pada α = 5% dengan d.f(8) sebesar 21,955. nilai tersebut menolak hipotesis nol dan mengarahkan pada penggunaan model fe karena lebih konsisten dalam mengestimasi model pada tiga kelompok negara. uji hausman tersebut semakin menegaskan pengujian sebelumnya bahwa model fe adalah yang paling tepat digunakan. ada beberapa uji asumsi klasik pengujian pemilihan model, disimpulkan bahwa model fe adalah yang paling tepat digunakan sebagai model estimasi. akan tetapi, hasil estimasi model fe belum dapat sepenuhnya dipercaya terlepas dari permasalahan asumsi klasik seperti heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. pengujian pertama untuk model fe adalah uji heteroskedastisitas. h asil pengujian memberikan nilai chi-square masing-masing adalah 71,15 (hdc); 65,59 (mdc); dan 370,18 (ldc) lebih besar dari nilai kritisnya pada d.f (7) α = 5% sebesar 14,07. nilai tersebut menolak hipotesis nol tentang homoskedastisitas, sehingga terdapat permasalahan heteroskedastisitas model fe. kedua, melakukan uji autokorelasi dengan menggunakan wooldridge test for autocorrelation in panel data menggunakan stata 12 untuk mengetahui apakah terdapat korelasi satu observasi dengan observasi lain yang berlainan waktu dan didapatkan nilai f statistik sebesar masing-masing 1,137 (hdc); 5,106 (mdc); dan 11,486 (ldc) dengan nilai kritisnya pada d.f (1,6) α = 5% sebesar 5,99 pada hdc dan d.f(1,4) α = 5% sebesar 7,71 pada mdc dan ldc. hasil ini menunjukkan bahwa hdc dan mdc tidak menolak hipotesis nol tentang tidak adanya autokorelasi pada orde pertama, namun ldc menolak hipotesis nol sehingga diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat permasalahan autokorelasi serial pada model fe pada hdc dan mdc pada α = 5% dan terdapat permasalahan autokorelasi serial pada ldc. pengujian terakhir uji multikolinearitas adalah mendeteksi hubungan antarvariabelvariabel yang digunakan dalam model menggunakan matriks korelasi. korelasi yang cukup tinggi hanya terlihat pada konsumsi minyak bumikonsumsi gas alam dan impor energirenewable energy pada hdc, serta emisigdp dan impor-ekspor energi pada ldc yang korelasinya mencapai di atas 80%. hasil estimasi tersebut memperlihatkan tidak terdapat perfect collinearity, sehingga hasil estimasi tidak bias dan blue (best linear unbiased estimators) (gujarati 2003). selain uji statistik dan uji asumsi klasik, dalam studi ini juga melakukan uji stasioneritas dan kointegrasi. tabel 1 membandingkan hasil uji unit root antara variabel pada level dan pada derajat satu. semua variabel pada level memiliki akar unit atau tidak stasion er pada level, kecuali impor energi pada ldc, sedangkan seluruh variabel yang didiferensiasi stasioner pada tingkat yang sama, yakni pada derajat satu. hasil ini memenuhi syarat untuk melakukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah antara variabel-variabel tersebut memiliki hubungan jangka panjang. environmental kuznets curve (dea yustisia, catur sugiyanto) 165 uji kointegrasi panel yang digunakan pada studi ini menggunakan uji yang dikembangkan oleh westerlund dan persyn (2008). uji ini menentukan apakah individu panel merupakan error correcting. nilai statistik gt dan ga menguji h0: ai = 0 untuk semua i dengan h1: ai < 0 untuk minimal satu i. sedangkan nilai pt dan pa menguji h0: ai = 0 untuk semua i dengan h1: ai < 0 untuk semua i. nilai pvalue pada statistik pa menunjukkan signifikansi sehingga menolak hipotesis nol tentang tidak ada kointegrasi, sehingga disimpulkan bahwa terdapat kointegrasi atau hubungan jangka panjang antara kerusakan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. pengujian unit root dan kointegrasi pada data panel dilakukan untuk mengetahui apakah antarvariabel terkointegrasi sehingga layak untuk melakukan estimasi variabel pada level (baltagi, 2005). hasil diagnostik unit root dan kointegrasi pada studi ini menyimpulkan bahwa model ekc dapat diestimasi dengan menggunakan variabel pada level. tabel 2. uji kointegrasi variabel emisi dan gdp per kapita statistik kelompok negara value zvalue p-value gt hdc -1,826 -1,123 0,131 mdc -2,313 -1,987 0,023 ldc -2,544 -2,481 0,007 ga hdc -4,933 0,431 0,667 mdc -6,167 -0,140 0,444 ldc -4,129 0,693 0,756 pt hdc -6,388 -2,941 0,002 mdc -4,451 -1,773 0,038 ldc -4,742 -1,992 0,023 pa hdc -8,567 -3,276 0,001 mdc -4,058 -0,172 0,238 ldc -3,404 -0,413 0,340 pengaruh pertumbuhan ekonomi (gdppc dan gdppc2) terhadap emisi co2 per kapita, menunjukkan bahwa environmental kuznets curve hanya terjadi pada middle development countries, sedangkan high development countries dan low development countries menunjukkan gejala bahwa indikator kerusakan lingkungan terus meningkat dan belum mencapai titik balik, bahkan pada ldc tampak bahwa tingkat tabel 1. uji akar-akar unit data panel variabel high development countries middle development countries low development countries level i(1) level i(1) level i(1) ln_emisipc 19,2243 104,5182 11,9451 76,3855 5,1595 89,0000 (0,1566) (0,0000) (0,2887) (0,0000) (0,8803) (0,0000) ln_gdppc 8,1800 62,8714 2,9892 67,4198 0,3943 27,1529 (0,8797) (0,0000) (0,9817) (0,0000) (1,0000) (0,0025) ln_gdppc_sq 7,7893 63,4053 2,5657 67,5729 0,1828 24,4182 (0,8996) (0,0000) (0,9899) (0,0000) (1,0000) (0,0066) ln_oil_cons 10,9324 107,2534 37,9325 58,3068 6,5502 57,8136 (0,6913) (0,0000) (0,0000) (0,0000) (0,7671) (0,0000) ln_coal_cons 9,7266 90,9686 8,1994 90,3791 3,8046 67,8117 (0,7819) (0,0000) (0,6094) (0,0000) (0,9557) (0,0000) ln_gas_cons 16,2571 115,6055 14,3673 85,6499 5,4030 39,3803 (0,2979) (0,0000) (0,1569) (0,0000) (0,8627) (0,0000) ln_renew_ener 17,0245 151,2248 12,1494 90,9016 3,8077 84,7633 (0,2549) (0,0000) (0,2752) (0,0000) (0,9556) (0,0000) ln_ener_export 5,8506 120,1391 5,5405 58,1714 6,1883 60,7842 (0,9701) (0,0000) (0,8523) (0,0000) (0,7992) (0,0000) ln_ener_import 1,0872 116,7642 0,7771 95,4840 140,4509 61,4122 (1,000) (0,0000) (0,9999) (0,0000) (0,0000) (0,0000) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 161-170 166 pertumbuhan ekonomi tidak signifikan mempengaruhi kerusakan lingkungan. karena model persamaan menggunakan logaritma natural, maka interpretasi koefisien parameter merupakan elastisitas antara variabel independen dan dependen. pada hdc, nilai β1<0 dan nilai β2>0 sehingga memiliki pola sebagaimana kurva u, yang merupakan lawan dari kurva ekc. pada hdc, awalnya ketika tingkat pendapatan per kapita naik sebesar 1%, maka tingkat emisi karbondioksida akan turun sebesar 9,32% ceteris paribus hingga akhirnya mencapai titik minimum tertentu, yaitu pada tingkat pendapatan sebesar us$3.472,719. titik minimum tersebut merupakan titik balik yang merupakan permulaan hubungan pendapatan per kapita dan emisi co2 per kapita akan kembali berbanding lurus, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% selanjutnya menaikkan tingkat emisi co2 per kapita sebesar 0,47% ceteris paribus. pada mdc, teori ekc tersebut terbukti dengan nilai β1 > 0 dan nilai β2< 0 dan menunjukkan kurva inverted-u. pada awalnya ketika tingkat pendapatan per kapita naik sebesar 1%, maka tingkat emisi karbondioksida akan naik sebesar 1,95% ceteris paribus hingga akhirnya mencapai titik maksimum tertentu, yaitu pada tingkat pendapatan sebesar us$1.539,56. selanjutnya, hubungan pendapatan per kapita dan emisi co2 per kapita akan berbanding terbalik, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% justru menurunkan tingkat emisi co2 per kapita sebesar 0,075% ceteris paribus. pengaruh konsumsi energi batu bara, minyak bumi, dan gas alam terhadap emisi co2, terdapat tiga klasifikasi negara (hdc, mdc, dan ldc) memiliki pola konsumsi energi yang berbeda-beda. konsumsi energi minyak bumi didominasi oleh hdc, sedangkan konsumsi energi batubara didominasi oleh ldc. untuk negara mdc sendiri, pola konsumsinya berimbang dalam ketiga jenis energi tersebut, bahkan dapat dikatakan rendah apabila dibandingkan dengan pola konsumsi hdc dan ldc, hal ini dipengaruhi pula oleh country size dan population effect. pada hdc, konsumsi energi minyak bumi memiliki efek terhadap emisi paling besar yaitu setiap kenaikan konsumsi energi minyak bumi sebesar 1% maka emisi karbondioksida per kapita akan tumbuh sebesar 0,25% ceteris paribus sedangkan setiap kenaikan konsumsi energi gas alam sebesar 1% akan meningkatkan emisi karbondioksida per kapita sebesar 0,0663% ceteris paribus. kedua jenis energi ini pula yang mempengaruhi emisi karbondioksida per kapita pada mdc. pada mdc sendiri, setiap kenaikan konsumsi energi minyak bumi sebesar 1% maka emisi karbondioksida per kapita akan tumbuh sebesar 0,286% ceteris paribus dan setiap kenaikan konsumsi energi gas alam sebesar 1% akan meningkatkan emisi karbondioksida per kapita sebesar 0,06% ceteris paribus pola konsumsi energi yang mempengaruhi emisi karbondioksida per kapita pada dua klasikasi negara tersebut berbeda pada ldc, di mana hanya konsumsi energi batubara yang mempengaruhi emisi karbondioksida per kapita. pada ldc, setiap kenaikan konsumsi energi batubara sebesar 1% maka tingkat emisi per kapita akan naik sebesar 0,25%. hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi energi pada tiga klasifikasi negara tersebut memiliki efek substitusi tersendiri sebagaimana terangkum dalam rodriguez dan penaboquete (2012) di mana ldc masih menggunakan mayoritas energi yang tidak ramah lingkungan. pengaruh ekspor dan impor energi terhadap emisi co2, ternyata tidak terlalu signifikan mempengaruhi emisi co2 per kapita pada ketiga klasifikasi negara. hanya pada hdc ditemukan bahwa variabel impor energi signifikan mempengaruhi emisi karbondioksida per kapita, yaitu apabila terdapat kenaikan impor energi sebesar 1% maka akan terjadi penurunan emisi karbondioksida per kapita sebesar 0,08% ceteris paribus. hal ini sejalan dengan kajian yang telah dilakukan mehrara dan hossein (2011) bahwa impor akan mendorong pengurangan kerusakan lingkungan. akan tetapi hal ini patut diwaspadai karena terjadi perpindahan proses produksi barang. pengaruh pengembangan energi alternatif terhadap emisi co2, memiliki dampak yang signifikan terhadap high development countries, middle development countries, maupun low development countries bahkan pada α = 1%. hal ini menunjukkan bahwa pengembangan energi alternatif sangat dibutuhkan untuk mendorong environmental kuznets curve (dea yustisia, catur sugiyanto) 167 clean environment dan sustainable development. pada model, dampak terbesar dari penggunaan energi alternatif terhadap emisi per kapita dirasakan oleh hdc, di mana setiap kenaikan 1% dari share penggunaan energi nuklir dan alternatif akan mampu menurunkan emisi karbondioksida per kapita sebesar 0,2356% ceteris paribus dan pada ldc, setiap kenaikan 1% dari share penggunaan energi nuklir dan alternatif akan menurunkan emisi karbondioksida per kapita sebesar 0,234% ceteris paribus. pengaruh variabel energi alternatif ini tidak berdampak terlalu besar pada mdc apabila dibandingkan dengan hdc dan ldc, di mana pada mdc setiap kenaikan 1% dari share energi alternatif terhadap total penggunaan energi hanya mampu menurunkan emisi per kapita sebesar 0,113% ceteris paribus. hal ini semakin mempertegas bahwa pengembangan energi alternatif memiliki dampak yang relatif besar demi terwujudnya pembangunan berkesinambungan. simpulan untuk menganalisis hubungan antara degradasi lingkungan dengan pembangunan ekonomi terkait orientasi energi serta menghindari adanya ommitted variables bias, studi ini menggunakan variabel selain pendapatan per kapita dalam menganalisis environmental kuznets curve, yaitu konsumsi energi, ekspor impor energi, dan share penggunaan energi alternatif yang didasarkan pada studi-studi sebelumnya. selain itu, untuk mengatasi kritik-kritik yang ditujukan pada studi ekc (cole (2003) dan stern (2004)), dilakukan pengujian heteroskedastisitas yang selama ini sering diabaikan pada studi ekc sebelumnya. pengujian akarakar unit pada data panel juga dilakukan dan diperoleh bahwa variabel-variabel pada model tidak stasioner pada level namun stasioner pada diferensiasi pertama. akan tetapi, pengujian kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara variabel independen dengan variabel dependen sehingga terdapat hubungan jangka panjang yang stabil. pengujian-pengujian yang dilakukan tersebut diharapkan dapat menghasilkan estimasi yang baik. beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah: pertama, teori ekc hanya terbukti pada middle development countries, sedangkan high development countries dan low development countries menunjukkan gejala bahwa indikator kerusakan lingkungan terus meningkat dan belum mencapai titik balik, bahkan pada ldc tampak bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tidak signifikan mempengaruhi kerusakan lingkungan; kedua, konsumsi energi yang signifikan berpengaruh terhadap emisi karbondioksida pada hdc dan mdc adalah minyak bumi dan gas alam, sedangkan pada ldc hanya konsumsi batubara yang memiliki pengaruh signifikan terhadap emisi karbondioksida dengan koefisien beta 0,235. pada hdc, energi minyak bumi memiliki efek terhadap emisi paling besar begitu pula dengan mdc dengan nilai koefisien beta masing-masing 0,250 dan 0,286; ketiga, ldc memiliki proporsi ekspor tertinggi yang mencapai rata-rata 14,6% melampaui mdc dan hdc yang nilai proporsi rata-ratanya masing-masing 6,84% dan 10,18%. namun rata-rata nilai ekspor ldc relatif rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai ekspor mdc dan hdc, yaitu sebesar us$5,582 juta (ldc), us$7,132 juta (mdc), dan us$18,294 juta (hdc). ldc memiliki proporsi impor energi tertinggi dengan rata-rata sebesar 16,08%. nilai ini tidak jauh berbeda dengan ratarata proporsi impor energi mdc sebesar 13,17% dan hdc sebesar 10,58%. rata-rata nilai impor energi cukup tinggi apabila dibandingkan dengan nilai ekspornya, masingmasing sebesar us$58,14 juta; us$16,74 juta, dan us$22,31 juta. pola ekspor dan impor energi ternyata tidak terlalu signifikan mempengaruhi emisi co2 per kapita pada ketiga klasifikasi negara. hanya pada high development countries ditemukan bahwa variabel impor energi signifikan mempengaruhi emisi karbondioksida per kapita dengan koefisien beta sebesar -0,08; keempat, pengembangan energi alternatif dan nuklir memiliki dampak yang signifikan pada masing-masing kategori negara. hal ini menunjukkan bahwa pengembangan energi alternatif sangat dibutuhkan untuk mendorong clean environment dan sustainable development. beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dari studi ini adalah: 1) untuk perkembangan studi ekc yang lebih, indikator degrajurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 161-170 168 dasi lingkungan dapat lebih diperluas cakupannya dan fokus pada negara amatan tertentu (model time series), sehingga dapat diperoleh hasil yang spesifik dan mendalam; 2) setiap negara harus dapat mempertahankan dan menguatkan regulasi lingkungan yang diterapkan di lingkungan internal, seperti pemberlakuan pajak lingkungan yang lebih baik. salah satu contoh pemberlakuan pajak adalah menerapkan pajak lebih besar pada bahan bakar yang tidak ramah lingkungan dan memberlakukan pajak karbon dengan menetapkan besar pajak pada tiap ton emisi co2. regulasi lingkungan tersebut dikuatkan dengan didukung oleh perundangan dan penegakan hukum; 3) bagi negara maju dengan tingkat pembangunan tinggi, kebijakan untuk menahan laju polusi sangat diperlukan mengingat bahwa negara yang termasuk dalam klasifikasi ini merupakan negara penyumbang emisi yang cukup besar dalam tataran global; 4) bagi negara sedang berkembang dengan tingkat pembangunan yang masih rendah diharapkan agar proses pembangunan tidak hanya bertujuan pada sisi pertumbuhan ekonomi, namun melibatkan pula aspek lingkungan di dalamnya; 5) pentingnya investasi dalam studi, penggunaan dan penyediaan infrastruktur energi alternatif yang secara interdisipliner, baik dalam lingkup lokal maupun internasional; 6) pentingnya mekanisme kesepakatan seperti clean development mechanism (cdm) dan joint implementation. masing-masing negara dapat menguatkan kebijakan lingkungan yang paling sesuai sesuai dengan kondisi sosial, regional, serta kontur lingkungannya. daftar pustaka aldy, j.e. (2004). an environmental kuznets curve analysis of u.s. state-level carbon dioxide emissions. department of economics, harvard university. baltagi, b.h. (2005). econometric analysis of panel data. 3rd ed. chichester: john wiley. fujii, h dan shunsuke, m. (2011). is environmental kuznets curve supported to sector-level co2 emission? empirical study for 10 industries in oecd countries. graduate school of environmental studies, tohoku university. greene, w. h., eds. (2000). econometric analysis. 4th ed. new jersey: prentice-hall. gujarati, d. n. (2003). basic econometrics. 4th ed. new york: mcgraw hill. he, j. dan richard, p. (2009). environmental kuznets curve for co2 in canada, cahiers de recherche 09-13, departement d'economique de la faculte d'administration à l'universite de sherbrooke. iwata, h., k. okada. dan s. samreth, (2009). empirical study of the environmental kuznets curve for co2 in france: the role of nuclear energy. mpra paper, 18997. kaufmann, r. et.al. (1998). the determinants of atmospheric so2 concentrations: reconsidering the environmental kuznets curve. ecological economics, 25(2): 209-220. lean, h. h. dan shahbaz. m.s. (2011). environmental kuznets curve and the role of energy consumption in pakistan. monash university: development research unit discussion paper devdp 10/05. mehrara, m. dan hossein a. (2011). pollution, energy consumption and economic growth: evidence from india, china and brazil. journal of social and development sciences 2 (5): 233-242. yolanda, p.b. dan rodriguez, m. ( 2012). another look at co2 emissions modeling: the role of energy prices in developed countries. rede (research in economics, business and the environment), universidade de vigo richmond, a.k. dan kaufmann, r.k. (2003). energy prices and turning points: the relationship between income and energy use/carbon emissions, the energy journal, international association for energy economics, number 4, 157-180. saboori, b., jamalludin bs dan saidatulakmal m. (2012). an empirical analysis of the environmental kuznets curve for co2 emissions in indonesia: the role of energy consumption and foreign trade. environmental kuznets curve (dea yustisia, catur sugiyanto) 169 international journal of economics and finance 4(2). sen, s. dan melenberg, b. (2011). the environmental kuznets curve: a panel data analysis. tilburg university. suri, v. and d. chapman, (1998). economic growth, trade and the energy: implications for the environmental kuznets curve. ecological economics, 25(2):195-208. timakova, m. (2009). is the environmental kuznets curve valid for the economic growth-environmental situation relationship of developing countries? bachelor thesis erasmus university of rotterdam waluyo, e.a. dan terawaki, t. (2012). environmental kuznets curve for deforestation in indonesia: an ardl bounds testing approach. forestry research institute, the ministry of forestry republic of indonesia. westerlund, j. dan persyn,d. (2008). error correction cointegration tests for panel data. the stata journal, 8(2): 232-241. vollebergh, herman r.j.,bertrand melenberg, dan elbert dijkgraaf, (2008). identifying environmental kuznets curves: the case of so2 and co2 emissions. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 161-170 170 lampiran t ab el 3 . h as il e st im as i s ta ta 1 2 t an d a *, * *, d an * ** m as in g m as in g m en u n ju k k an s ig n if ik an si p ad a α = 1 p er se n , 5 p er se n , d an 1 0 p er se n microsoft word 07-siti bintari jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.153-162 pengukuran daya saing usaha mikro kecil dan menengah menyongsong masyarakat ekonomi asean siti rahmana bintari1, lilies setiartiti2 1 institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia 2fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone +62 274 387656 e-mail korespondensi: setiartiti.lilies1267@gmail.com naskah diterima: juli 2012; disetujui: mei 2013 abstract: asean economic community (aec) will be held in 2015 is going to create a new situation for national economy, competitiveness and readiness of many parties both from the government or indonesian people themselves. these factors are significantly needed to welcome the asean economic community (aec). the existence of micro small and medium enterprises (umkm) becomes an important base in supporting the economic development in a country or a region. this study aims to measure the competitiveness of umkm in lombok, nusa tenggara barat. in particular, this study focus on finding the competitiveness index of special pottery, weaving, pearls, and food from lombok such as candied seaweed. the method that has been applied in this study is porter diamond element to determine the factors assessed in this study, and likert scale to determine the competitiveness index value. this study found that umkm in lombok have a value of 90 in the competitiveness index. keywords: small enterprises; competitiveness; asean economic community; jel classification: l26 abstrak: masyarakat ekonomi asean (mea) akan berlangsung pada tahun 2015, tentu akan memberi kondisi baru bagi perekonomian nasional, daya saing dan kesiapan dari berbagai pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat indonesia sangat dibutuhkan untuk menyambut mea. keberadaan usaha mikro kecil dan menengah (umkm) menjadi satu pondasi penting untuk menunjang kemajuan perekonomian di suatu negara atau daerah. studi ini dilaksanakan dalam rangka untuk mengukur daya saing umkm khususnya yang berada di lombok nusa tenggara barat. studi ini bertujuan untuk mengetahui indeks daya saing di lombok bidang kerajinan gerabah, mutiara, tenun, oleh-oleh makanan khas lombok yaitu manisan rumput laut. metode studi yang digunakan adalah unsur diamond porter, yaitu untuk menentukan apa saja yang akan dinilai dalam studi ini, sedangkan untuk menentukan bobot nilai indeks daya saing digunakan skala likert. hasil studi menunjukan bahwa umkm di lombok memiliki indeks daya saing yang cukup baik dalam skala likert yaitu 90.. kata kunci: usaha kecil, daya saing; masyarakat ekonomi asean (mea); klasifikasi jel: l26 pendahuluan pertumbuhan umkm di indonesia masih sangat jauh jika dibandingkan dengan negaranegara maju seperti singapura. dipandang dari segi kewilayahan, indonesia memiliki wilayah yang lebih luas jika dibandingkan dengan singapura namun dari segi kualitas sumber daya manusia, indonesia tertinggal jauh dibanding singapura. tingkat daya saing, keterampilan, dan produktivitas juga sangat berbeda, padahal di indonesia kaya akan sumber daya alamnya, namun akibat dari kurangnya kemampuan dalam pemanfaatan sumber daya jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 153-162 154 alam dengan baik, menyebabkan indonesia banyak mengimpor barang dari luar negeri. tidak jarang kebutuhan pokok seperti beras, harus diimpor dari negara lain meskipun indonesia terkenal dengan sektor pertanian yang masih banyak dapat ditemukan di berbagai daerah dari sabang sampai merauke. di nusa tenggara barat penduduk usia kerja 15-64 tahun banyak yang menjadi pengangguran. hal ini disebabkan jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan ipm yang rendah bila dibandingkan dengan daerah lain. sebagian besar penduduk menjadi tki karena susahnya mendapat lapangan pekerjaan. permasalahan yang terjadi tentunya sangat memungkinkan sektor usaha untuk menciptakan lapangan kerja, mengingat sektor usaha yang ada di nusa tenggara barat sebagian besar bersifat padat karya. data tahun 2012 pada tabel 2 menunjukkan tingkat pengangguran di nusa tenggara barat didominasi oleh lulusan diploma dan perguruan tinggi. hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tinggi namun belum sesuai dengan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dunia kerja pada saat ini. tabel 1. urutan daya saing 55 negara negara 2003 2004 2005 2006 2007 amerika serikat 1 1 1 1 1 singapura 4 2 3 3 2 hongkong 10 6 2 2 3 swiss 9 14 8 8 6 australia 7 4 9 6 12 cina 27 22 29 18 15 taiwan 17 12 11 17 18 malaysia 21 16 26 22 23 india 42 30 33 27 27 korea (selatan) 32 31 27 32 29 thailand 28 26 25 29 33 fhilipina 41 43 40 42 45 indonesia 49 49 50 52 54 venezuela 51 51 51 53 55 sumber: international insttitute for management development,world competitiveness yearbook, 2008 dalam bukulanskap ekonomi indonesia halaman 36. tabel 2. tingkat pengangguran terbuka (tpt) kabupaten/kota menurut pendidikan (persen) agustus 2012 unemployment regency/municipality educational attainment (percent) august 2012 kabupaten/kota pendidikan regency/municipality educational <=sd sltp slta diploma & pt (1) (2) (3) (4) (5) lombok barat 9,2 4,61 19,22 0 lombok tengah 11,76 10,13 12,41 23,54 lombok timur 2,77 4,32 12,84 14,56 sumbawa 8,13 6,81 8,03 12,42 dompu 1,26 6,92 8,05 9,51 bima 10,66 3,46 8,81 6,83 sumbawa barat 7,06 10,86 8,28 0 lombok utara 6,25 2,2 11,35 0 kota bima 9,71 9,35 11,14 2,37 kota mataram 4,7 7,38 10,7 7,85 ntb 8,00 6,33 11,44 10,12 sumber: ntb.bps.go.id diakses pada 01 oktober pukul 22.51 wib pengukuran daya saing usaha ... (siti rahmana bintari, lilies setiartiti) 155 di nusa tenggara barat potensi keberadaan sawah dan ladang untuk bertani masih sangat banyak, dan sebagian besar mata pencaharian penduduk yaitu sebagai petani. lombok, nusa tenggara barat juga memiliki daya tarik tersendiri karena banyaknya tempat wisata eksotis yang bisa dikunjungi, begitu juga dengan perdagangan peluang untuk usaha sangat besar di daerah nusa tenggara barat karena masih dikatakan minimnya inovasi yang digunakan masyarakat, rata-rata masih mengikuti yang menjadi usaha pesaingnya. jadi, tingkat pendirian usaha sejenis dilakukan tanpa adanya inovasi, inovasi yang dilakukan suatu perusahaan akan menjadikan usaha itu semakin dikenal dan diminati masyarakat. hal ini jarang dilakukan sektor usaha di nusa tenggara barat. keadaan seperti ini biasanya dapat kita temui di daerah pedesaan yang masih minim informasi. tetapi pada saat ini, sebagian besar para pelaku usaha dan semua yang terlibat dapat melakukan inovasi sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi yang canggih informasi apapun dapat diakses. para investor dari luar, biasanya yang akan melakukan inovasi sehingga keragaman usaha di daerah nusa tenggara barat sekarang lebih beragam. pola pikir masyarakat setempat mengenai pentingnya mengembangkan sektor usaha/ perdagangan semakin maju dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi, sehingga kreatifitas dan persaingan usaha semakin dapat dirasakan di antara para pelaku usaha di nusa tenggara barat. keberadaan industri kecil dan menengah di nusa tenggara barat akan membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah berupa pajak yang dibayarkan oleh pelaku usaha sesuai dengan penghasilannya. beberapa sektor usaha yang hingga saat ini memberikan kontribusi terhadap perekonomian di nusa tenggara barat dilihat dari volume dan nilai ekspor yang dihasilkan oleh usaha mikro kecil dan menengah. peningkatan kualitas diperlukan untuk menghadapi masyarakat ekonomi asean dalam kategori usaha menengah bisa terus berkembang dan memiliki daya saing yang cukup baik. dalam hal ini persaingan merupakan suatu hal yang sangat penting karena untuk memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan (suharsih dan asih sriwinarti, 2012:1). sebagaimana yang ada dalam 4 dimensi porter yang akan digunakan dalam studi ini yaitu dimensi kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan dan struktur persaingan, industri pendukung dan industri terkait. keempat dimensi ini dijadikan acuan dalam pengukuran tingkat daya saing usaha mikro kecil dan menengah yang ada di nusa tenggara barat. sumber pendapatan daerah sebagian besar berasal dari sektor pariwisata, tidak menutup kemungkinan hal ini akan memberikan dampak positif bagi umkm sehingga bisa memberikan peningkatan pendapatan dan berkembangnya umkm yang ada di lombok. ada lima belas jenis produk yang dimasukkan ke dalam kategori cept (common effective preferential tarif) yang pengurangan tarifnya dipercepat dalam jangka lima sampai dengan delapan tahun. kategori ini pada mulanya tidak memasukkan produk-produk pertanian dan jasa. namun pada pertemuan menteri ekonomi asean di chiang mai pada bulan september 1994 disepakati dimasukkannya produk-produk pertanian ke dalam cept (basuki, 2000). studi wiyadi (2008) mengenai pengukuran daya saing industri kecil menengah (ikm) di jawa tengah, menggunakan model diamond porter yang terdiri dari 4 macam dimensi yaitu: dimensi kondisi faktor, dimensi kondisi permintaan, dimensi strategi perusahaan dan struktur persaingan, dimensi industri pendukung dan industri terkait. dari keempat dimensi faktor masing-masing memiliki bagian yang menjadi variabel penghitungan dari rumus yang digunakan dalam studinya, yang terdiri dari 400 responden yaitu pengusaha manufaktur di jawa tengah, banyak menggunakan bahan baku dan tenaga kerja lokal, serta termasuk dalam industri kecil menengah. sedangkan studi irawati, dkk (2012) pengukuran daya saing kota dilakukan dengan mengambil variabel perekonomian daerah, variabel infrastruktur dan sumber daya alam, serta variabel sumber daya manusia. pengumpulan data dilakukan dengan survei lapangan (primer) dan sekunder (dari lembaga-lembaga jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 153-162 156 pemerintahan daerah). pengukuran daya saing dilakukan dengan ahp (analytic hierarcy process). dalam jurnal yang berjudul “memperkuat ukm dalam menghadapi masyarakat ekonomi asean tahun 2015” menjelaskan bahwa pada saat mea tahun 2015 diterapkan, diperkirakan akan terjadi perubahan perilaku pasar dengan ciri-ciri: (1) karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang cenderung membentuk jejaring (network); (2) tingkat industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan yang didorong oleh inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital; sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan biaya, mengutamakan research and development, serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan bisnis lainnya. metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan pada studi ini adalah data sekunder dan data primer. sumber data sekunder diperoleh dari dinas perindustrian dan perdagangan lombok nusa tenggara barat, badan pusat statistik, dan dinas koperasi usaha mikro kecil dan menengah lombok nusa tenggara barat sedangkan data primer diperoleh dari kuisioner dan wawancara langsung dengan umkm yang ada di lombok nusa tenggara barat. data yang diolah berupa data primer, sedangkan data sekunder sebagai pelengkap argumentasi penulis. analisis data teknik analisis yang digunakan penulis untuk mengukur daya saing umkm di lombok menggunakan model diamond porter: c1 = ∑ ∑ ∑ wijk. zijl (wiyadi, 2008) zijkl = di mana: c1 adalah rata-rata indeks daya saing industri; wijk adalah bobot nilai daya saing unsur i, dimensi j, kelompok industri k ; x adalah hasil penjumlahan dari setiap unsur i, j, k, l; i = 1, 2, ... j = 1, 2, ... 4 k = 1, 2 l = 1, 2, ... nk n = nk = 40 ∑i ∑jwijk = ∑jwjk = 1 daya saing umkm diukur dengan menggunakan indeks yang dibentuk berdasarkan keempat dimensi diamond porter, yaitu: dimensi kondisi faktor, dimensi kondisi permintaan, dimensi strategi perusahaan dan struktur persaingan, serta dimensi industri pendukung dan industri terkait. nilai indeks daya saing umkm ditentukan oleh bobot setiap unsur dalam setiap dimensi. analisis pemeringkatan dimensi daya saing diperlukan untuk mengetahui kepentingannya dalam pembentukan indeks. studi ini menggunakan pemeringkatan bobot nilai jawaban pertanyaan dalam rentang 0-5, semakin mendekati angka 5 berarti responden memiliki respon positif dan memenuhi kriteria untuk diberi bobot nilai 5, dan jika mendekati angka 0 berarti jawaban dari responden tidak memenuhi kriteria dapat bersaing di dalam menghadapi masyarakat ekonomi asean (mea). kriteria yang dimaksud adalah apabila jawaban dari responden positif dari pertanyaan yang diajukan maka semakin mendekati angka 5, namun apabila jawaban dari responden tidak memenuhi kriteria, seperti kurangnya tenaga kerja, alat-alat yang digunakan masih tradisional, bahan baku sulit ditemukan, dan permintaan lebih didominasi oleh pihak domestik tanpa adanya kerja sama dengan pihak lain, baik itu sesama pengusaha, pihak asing maka jawaban yang buruk akan memiliki bobot yang semakin sedikit bahkan 0. kriteria penilaian bobot jawaban: 0 : sangat buruk; 1 : buruk; 2 : kurang; 3 : cukup; 4 : bagus; 5 : sangat bagus sejumlah 40 sampel studi ini dibagikan kuisioner dan wawancara langsung pada umkm. studi ini terbagi dalam usaha jasa yang akan mendukung sektor pariwisata di lombok untuk terus berkembang ke depannya, di antaranya usaha kerajinan gerabah, usaha kerajinan pengukuran daya saing usaha ... (siti rahmana bintari, lilies setiartiti) 157 kain tenun khas lombok, kerajinan mutiara, dan oleh-oleh khas lombok. selanjutnya dari ke empat dimensi diamond porter di atas, penulis mengambil bobot nilai indeks dari ke empat dimensi diamond porter, dari setiap dimensi akan diambil salah satu yang menjadi bagian dari sampel studi. dimensi kondisi faktor yang terdiri dari jumlah sumber daya manusia, kondisi permintaan terdiri dari permintaan domestik, dimensi strategi perusahaan dan struktur persaingan terdiri dari teknologi karena terkait dengan inovasi yang akan dilakukan dalam menghadapi masyarakat ekonomi asean, dimensi industri penyokong dan industri terkait terdiri dari bahan baku karena dalam dimensi ini terkait dengan adanya industri hulu dan hilir yang akan saling membantu dalam penyediaan bahan baku untuk kegiatan produksi. hasil dan pembahasan model diamond porter digunakan dalam menganalisis data dengan beberapa penyesuaian sebagai berikut: 1) unsur biaya tenaga kerja dan biaya bahan pada dimensi kondisi faktor sudah termasuk dalam penghitungan biaya per unit produk. perusahaan akan lebih berdaya saing manakala menggunakan bahan baku lokal dan tenaga kerja lokal karena lebih efisien. 2) unsur ukuran pasar pada dimensi kondisi permintaan lebih menggambarkan kinerja bukan menggambarkan daya saing. 3) unsur akses atau cakupan pasar pada dimensi kondisi permintaan lebih menggambarkan potensi daya saing. sehingga bagi perusahaan yang mempunyai akses pasar ke pasar internasional akan lebih berdaya saing. 4) unsur inovasi pada dimensi strategi perusahaan dan struktur persaingan merupakan wujud dari kewirausahaan yang menjadi salah satu penentu keberhasilan usaha dan daya saing. 5) perusahaan akan lebih berdaya saing jika mempunyai kemampuan menjalin kerjasama secara baik dengan perusahaan lain, seperti penyedia bahan, para perantara, media promosi, dan sebagainya (wiyadi,2008). 6) deskripsi setiap unsur sampel teori diamond porter yang diambil sebagai studi: tabel 3. deskripsi unsur tenaga kerja unsur masbagik, lombok timur penujak, lombok tengah banyumulek, lombok barat jumlah tenaga kerja hari biasa 2-3 orang, jika ada pesanan 50-100 orang hari biasa 2 orang, jika ada pesanan 30 orang. hari biasa 10 orang, jika ada pesanan 150 orang. pendidikan rata-rata tenaga kerja tidak sekolah-smu tidak sekolah-smu smp-smu upah/gaji tenaga kerja tergantung pesanan, untuk hari biasa rp200.000-rp300.000 jika ada pesanan yang lebih banyak pendapatan rp1.000.000 untuk saat ini pendapatan rata-rata rp150.000/ hari pendapatan rata-rata rp500.000-rp1.000.000 jumlah jam kerja/hari 8 jam/hari 5 jam/hari 8 jam/hari tabel 4. deskripsi unsur teknologi unsur penakak, lombok timur penujak, lombok tengah banyumulek, lombok barat teknologi tradisional tradisional tradisional dan modern produk yang dihasilkan peralatan dapur seperti kendi, cobek, tungku, celengan kendi, perabotan rumah, vas bunga, hiasan dinding, dll hiasan dinding, perabotan rumah, kendi besar untk ekspor. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 153-162 158 tabel 5. deskripsi unsur permintaan domestik unsur masbagik, lombok timur penujak, lombok tengah banyumulek, lombok barat tingkat permintaan untuk saat ini lebih diminati oleh masyarakat lokal dibanding masyarakat luar negeri, permintaan gerabah menurun sejak adanya bom bunuh diri di bali. sama halnya dengan desa penujak, jumlah permintaan gerabah mengalami penurunan, bahkan banyak usaha yang sudah gulung tikar. permintaan dari domestik dan luar negeri masih tetap berjalan, walaupun mengalami penurunan, tetapi tetap banyak diminati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. negara tujuan ekspor arab saudi, new zealand, jerman, italia, tunisia australia, new zealand, argentina, prancis tunisia, australia, singapura, jerman. tabel 6. deskripsi unsur bahan baku unsur masbagik, lombok timur penujak, lombok tengah banyumulek lombok barat bahan baku bahan baku berasal dari desa sepolong bahan baku dari gunung bali be bahan baku dari gunung sasak biaya untuk bahan baku tanah liat rp.10.000-15.000/karung jika dibeli 1 mobil truk bahan baku yang kering rp.600.000-800.000, tanah liat basah rp.300.000 untuk 1 mobil truktanah campuran berupa debu rp.10.000/karung jerami dan kayu bakar masing-masing rp.10.000 tanah liat rp.20.000/karung jerami rp.5.000/ikat tanah liat rp.15.000/karung jerami 10.000/ikat kayu bakar 15.000/ikat untuk mencari bobot nilai dari kuisioner dalam bentuk pernyataan ataupun wawancara menggunakan skala likert sebelum digabungkan dengan model diamond porter untuk mencari indeks daya saing, maka tahapannya adalah sebagai berikut: diketahui skala yang ditetapkan untuk jawaban indeks daya saing adalah rentang 0-5 maka: skor kriterium= nilai skala jumlah responden = 5 40 = 20 selanjutnya adalah membuat rating scale dari skor kriterium yang sudah ada: 160–200 : daya saing sangat bagus; 120–160 : daya saing bagus; 80–120 : daya saing cukup; 40–80 : daya saing kurang; 0–40 : tidak ada daya saing. jawaban 1 sebanyak 12 maka 12x1 = 12 jawaban 2 sebanyak 75 maka 75x2 = 150 jawaban 3 sebanyak 37 maka 37x3 = 111 jawaban 4 sebanyak 21 maka 21x4 = 84 jawaban 5 sebanyak 15 maka 15x5 = 75 total skor = 432 interpretasi skor penghitungan: untuk mendapatkan interpretasi skor penghitungan maka harus diketahui x (skor tertinggi) dan y (skor terendah) yang telah ditetapkan dalam rentan 0-5: x = skor tertinggi likert x jumlah responden y = skor terendah likert x jumlah responden jumlah item x = 75 x 40 = 3.000 jumlah item y = 12 x 40 = 480 selanjutnya menentukan rentang interval dengan rumus : i 200 skore skala likert maka: i 200 5 40 pengukuran daya saing usaha ... (siti rahmana bintari, lilies setiartiti) 159 tabel 7. daftar umkm kerajinan (gerabah, tenun, mutiara, dan oleh-oleh khas lombok) di lombok nusa tenggara barat no nama industri tenaga kerja teknologi permintaan bahan baku 1. home industry 2 1 2 3 2. dian rana shop 4 2 2 3 3. ud. lombok mulya 4 2 3 2 4. sasak craft 4 2 2 2 5. home industry 2 1 2 2 6. sasak poetry 3 2 4 3 7. yatni art shop 2 2 3 2 8. home industry 2 1 2 2 9. home industry 2 1 2 2 10. home industry 2 1 2 2 11. damar wulan art shop 3 3 3 3 12. media art shop 2 2 3 2 13. lombok poetry centre 3 2 3 2 14. home industry 2 1 2 2 15. home industry 2 1 2 2 16. rismunka astuti art shop 4 3 4 4 17. oji art shop 3 2 2 3 18. lestari art shop 3 2 3 2 19. noviana dewiart shop 3 2 3 3 20. pottery art shop 2 2 2 2 21. budaya cipta 3 2 2 3 22. home industry 2 1 2 2 23. berkat sabar 2 2 2 3 24. banyu wisata 3 2 2 2 25. bintang rezeki 2 2 2 2 26. annan pottery 3 2 2 2 27. zaky art shop 3 2 2 3 28. pasar senibanyumulek 3 2 3 3 29. ud.sri tami 2 2 2 3 30. home industry 2 1 2 2 31. young art shop 4 5 4 4 32. rinjani art shop 4 4 4 5 33. sasak art shop 4 4 5 4 34. home industry 3 1 3 4 35. home industry 2 1 2 3 36. home industry 2 1 3 3 37. ibrazi 4 5 5 5 38. lombok jelita 5 4 5 5 39. rindu alam 4 5 4 5 40. phoenix food 5 5 5 5 rentang interval antara 0–200 : 160–200 : daya saing sangat bagus 120–160 : daya saing bagus 80–120 : daya saing cukup 40–80 : daya saing kurang 0-40 : tidak ada daya saing penyelesaian: bobot nilai daya saing (x) 100 100 = 90 jumlah indeks daya saing keseluruhan untuk umkm di lombok adalah 90 dalam kategori cukup baik untuk menyambut masyarakat ekonomi asean. indeks daya saing umkm secara keseluruhan memiliki daya saing cukup baik yaitu 90. sedangkan usaha rumah tangga (home indus jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 153-162 160 try) memiliki daya saing sebesar 63,8 yang berarti bahwa daya saing kurang. usaha kerajinan gerabah sebesar 10,53 yang berarti bahwa tidak ada daya saing. ini disebabkan usaha kerajinan sejenis pada saat ini sudah jarang peminatnya, dan sebagian besar dari para pengusaha yang memiliki toko menggantungkan pembuatan gerabah kepada usaha rumah tangga di atas. usaha kerajinan kain tenun dan songket memiliki indeks daya saing sebesar 113,3 yang berarti bahwa usaha ini memiliki daya saing yang cukup baik. usaha kerajinan mutiara memiliki daya saing sebesar 87,5 yang berarti juga memiliki daya saing yang cukup baik. usaha oleh-oleh khas lombok (manisan) rumput laut phoenix food memiliki indeks daya saing 200 yang berarti bahwa memiliki daya saing yang sangat bagus untuk menghadapi masyarakat ekonomi asean 2015, karena dari segi tenaga kerja, teknologi, permintaan, dan bahan baku semua dalam kategori sudah maju dan modern dengan jumlah permintaan yang terus meningkat karena banyaknya pembeli dan pengunjung yang tertarik untuk jajanan sehat khas lombok ini. simpulan indeks daya saing umkm secara keseluruhan memiliki daya saing cukup yaitu 90. masyarakat ekonomi asean menjadi suatu fenomena baru dalam masyarakat karena akan adanya tabel 8. nilai daya saing umkm di lombok nusatenggara barat no nama usaha nilai daya saing keterangan 1. usaha rumah tangga (gerabah dan mutiara) 63,89 daya saing kurang 2. usaha kerajinan gerabah dian rana shop ud lombok mulya sasak craft sasak poetry yatni art shop damar wulan art shop media art shop lombok poetry centre rismunka astuti art shop oji art shop lestari art shop budaya cipta berkat sabar banyu wisata bintang rezeki annan pottery zaky art shop pasar seni banyumulek ud sri tami 10,53 tidak ada daya saing 3. usaha kerajinan tenun dan songket young art shop rinjani art shop sasak art shop 113,3 daya saing cukup 4. usaha kerajinan mutiara ibrazi lombok jelita rindu alam 87,5 daya saing cukup 5. usaha oleh-oleh (makanan) phoenix food 200 daya saing sangat bagus pengukuran daya saing usaha ... (siti rahmana bintari, lilies setiartiti) 161 suatu iklim perekonomian baru yang belum pernah ditemui sebelumnya, khususnya di sini bagi umkm di lombok. pentingnya persiapan baik itu dari pemerintah dan maupun para pelaku umkm untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas usahanya agar bisa terus bersaing dalam masyarakat ekonomi asean. meningkatan kualitas umkm adalah dengan cara mensosialisasikan umkm dari pemerintah daerah ke daerah terpencil, terutama usaha kerajinan gerabah di lombok yang saat ini terancam terkikis dan hilang oleh zaman, pelestarian budaya dan adat istiadat di lombok juga perlu dilakukan karena lombok juga dikenal akan keragaman budaya yang bisa dijadikan ikon untuk ditunjukkan dan dipertahankan dalam menghadapi masyarakat ekonomi asean. tantangan yang dialami dalam menghadapi masyarakat ekonomi asean adalah belum adanya informasi mengenai masyarakat ekonomi asean (mea) yang didapatkan oleh para pengrajin dan pengusaha baik itu dari pemerintah maupun usaha untuk mencari informasi mengenai adanya masyarakat ekonomi asean pada tahun mendatang. dilihat segi kesiapan rata-rata para pengrajin dan pengusaha belum memiliki persiapan untuk menghadapi masyarakat ekonomi asean karena beberapa faktor diantaranya peralatan-peralatan yang masih tradisional, kurangnya modal, berkurangnya permintaan dari luar negeri, dan sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh untuk pendidikan, pemikiran yang kurang terbuka, seperti kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi penerusnya, kemampuan bahasa yang terbatas (hanya memahami bahasa sasak saja). peran pemerintah dalam mendukung umkm menghadapi masyarakat ekonomi asean masih sangat kurang. sosialisasi dan bantuan yang diberikan pemerintah sangat kurang sehingga umkm terkesan seperti tidak hidup. meskipun umkm merupakan usaha mandiri tetapi pemerintah seharusnya berpartisipasi untuk memberikan sosialisasi mengenai adanya masyarakat ekonomi asean pada tahun 2015 mendatang, sehingga dapat menambah pengetahuan para pelaku bisnis dan pengrajin dalam meningkatkan kesiapan dan kretifitas mengembangkan usahanya. daftar pustaka himpunan seminar polugri. (tt). diplomasi indonesia menghadapi pembangunan nasional dan tantangan global. jakarta: polugri. basuki, a.t. (2000). analisis tingkat tarif proteksi efektif di sektor industri indonesia tahun 1995. jurnal ekonomi dan studi pembangunan, vol. 1, hlm 29-37 irawati, dkk. (2012). pengukuran tingkat daya saing daerah berdasarkan variabel perekonomian daerah, variabel infrastruktur dan sumber daya alam, serta variabel sumber daya manusia di wilayah provinsi sulawesi tenggara. jurnal j@ti volume vii nomor 1 wiyadi. (2008). pengukuran indeks daya saing industri kecil menengah (ikm) di jawa tengah. jurnal siasat bisnis. hal 77-92 badan perencanaan pembangunan daerah nusa tenggara barat. ntb dalam angka 2011. diakses dari http://bappeda.ntbprov.go. id. pada 16 oktober 2012 pukul 10.30 wita. badan pusat statistik nusa tenggara barat. banyaknya perusahaan, tenaga kerja, dan nilai menurut kelompok industri 2012. diakses dari http://www.ntb.bps.go.id. pada 01 juni 2012 pukul 15:50 wib. badan pusat statistik nusa tenggara barat. jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha agustus 2012. diakses dari http://www.ntb.bps. go.id. pada 01 juni 2012 pukul 15:33wib. badan pusat statistik nusa tenggara barat. mutiara ntb menuju pasar dunia. diakses dari www.ntbprov.go.id. pada 21 november 2012 pukul 22.31 wib. badan pusat statistik nusa tenggara barat. upah minimum provinsi menurut kabupaten/kota per bulan tahun 2012. diakses dari http://www.ntb.bps.go.id. pada 01 juni 2012 pukul 15:48 wib. badan pusat statistik nusa tenggara barat. volume dan nilai ekspor dirinci menurut jenis barang 2012. diakses dari http:// www. ntb. bps.go.id. pada 17 september 2012 pukul 14.30 wib. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 153-162 162 bank indonesia. uu no 20 tahun 2008 tentang usaha mikro kecil dan menengah. diakses dari http://www.bi.go.id pada 31 mei 2012 pukul 16:14 wib. panduan wisata lombok. destinasi pariwisata. diakses dari http://lombok.panduanwisata. id. pada 19 november pukul 21.45 wib. panduan wisata lombok. kerajinan lombok. diakses dari http://lombok.panduanwisata. id. pada 19 november pukul 21.45 wib. panduan wisata lombok. kuliner khas lombok. diakses dari http://lombok.panduanwisata. id. pada 19 november pukul 21.45 wib. panduan wisata lombok. oleh-oleh khas lombok. diakses dari http://lombok. panduanwisata.id. pada 19 november 2012 pukul 20.30 wib. porter, michael e. the competitive advantage of the nation.http://www.scribd.com/doc/ 210666948/makalah-seminar-daya-saing. diakses pada 30 september 2012 pukul 01.30 wib rajasa, hatta. master plan percepatan perekonomian indonesia harus berjalan dan selesai. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/ma kro/12/07/15/m772kg-hatta mp3ei-harusberjalan-dan-selesai. diakses pada 24 mei 2012 pukul 16:27 wib sunarsih, sri dan asih sriwinarti. (2012). daya saing produk ekspor di era perdagangan bebas. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol 13 no 1, april. tambunan t.h. (2012). peluang, tantangan, dan ancaman bagi umkm indonesia dalam era cafta dan me-asean. http://www.umk.ac.id. diakses pada 16 september 2012 pukul 13.00 wib universitas negeri medan. analisis faktorfaktor yang mempengaruhi investasi di indonesia. http://digilib.unimed.ac.id. diakses pada 28 mei 2012 pukul 20:35 wib wisata pulau lombok, sentra industri kerajinan gerabah di banyumulek. www.wisatapulaulombok.org.diakses pada 16 oktober 2012 pukul 15.34 wita microsoft word 02-ahmad jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.9-17   model pemberdayaan buruh perempuan industri rumah tangga ahmad ma’ruf1, masmulyadi2 1 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 2 institute of public policy and economic studies (inspect) yogyakarta, jalan kenari r 13 sidoarum iii, godean, sleman, yogyakarta, 55564 indonesia, phone: +62 274 798342, e-mail korespondensi: macrov_jogja@yahoo.com naskah diterima: juli 2012; disetujui: februari 2013 abstract: the purposes of this study are: first, analyze and describe the characteristics of women workers who work at home industry in the province. second, identify and analyze the strengths, weaknesses, opportunities, and constraints in the empowerment of women workers in the province. third, exploring the various issues that support and hinder the empowerment of home industry women workers, and fourth, develop a model of empowerment of women workers in the home industry sector in diy. this study uses a participatory approach with the main subject of the laborers working in the home industry sector. focus studies on industrial centers spread across diy craft. result of this study are: first, the deepening of the few centers that exist in the diy industry is dynamics and different characteristics. second, empowerment of women workers of small industry include the social dimension, the social dimension of education and economy. third, women's empowerment strategy should take into account the characteristics of workers such as identity, age and duration of workers' education and work in the centers that exist in the location of this study, and fourth, to realize the empowerment of women workers needed better support the integration of local agencies and institutions of society (civil society), the private sector and educational institutions. keywords: community empowerment; participatory approach; women workers; home industry jel classification: j20, j23, d1 abstrak: tujuan studi ini, pertama, menganalisis dan mendeskripsikan karakteristik buruh perempuan yang bekerja di industri rumah tangga di diy, kedua, mengetahui dan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan kendala dalam pemberdayaan buruh perempuan di diy, ketiga, melakukan eksplorasi terhadap berbagai isu yang mendukung dan menghambat pemberdayaan buruh perempuan industri rumah tangga, dan keempat, menyusun model pemberdayaan buruh perempuan sektor industri rumah tangga di diy. studi ini menggunakan pendekatan partisipatif dengan subyek utama yaitu buruh yang bekerja di sektor industri rumah tangga. fokus kajian pada sentra-sentra industry kerajinan yang tersebar di diy. hasil studi ini ada beberapa hal, yaitu: pertama, pendalaman terhadap beberapa sentra industri yang ada di diy memiliki dinamika dan karakteristik yang berbeda-beda, kedua, pemberdayaan buruh perempuan industri kecil meliputi dimensi sosial, pendidikan dan ekonomi, ketiga, strategi pemberdayaan buruh perempuan hendaknya mempertimbangkan karakteristik seperti identitas, umur dan pendidikan dan lamanya buruh bekerja di sentra-sentra yang ada dalam lokasi kajian ini, dan keempat untuk mewujudkan pemberdayaan buruh perempuan diperlukan dukungan keterpaduan baik instansi daerah maupun lembaga-lembaga masyarakat (civil society), swasta dan lembaga pendidikan. kata kunci: pemberdayaan masyarakat; pendekatan partisipatif; buruh perempuan; industri rumah tangga klasifikasi jel: j20, j23, d1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 9-17 10 pendahuluan seiring dengan semakin meningkatnya beban ekonomi yang dicirikan oleh meningkatnya biaya hidup, pendidikan anak, dan kesehatan memaksa banyak perempuan harus menanggung beban ganda, yaitu di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus berbagai keperluan keluarga dan di sektor publik sebagai buruh perempuan. menurut laporan departemen tenaga kerja (2004), kontribusi peran perempuan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angkatan kerja perempuan, yaitu mencapai 46,23 persen. perempuan umumnya bergerak di sektor primer (46,01 persen) dan tersier (39,62 persen), namun status pekerjaan terbanyak sebagai buruh sektor informal (54,82 persen), termasuk menjadi pedagang kecil-kecilan, pekerja rumah tangga, bahkan cukup banyak sebagai pekerja keluarga tanpa upah. kondisi buruh perempuan di sektor formal tidak selalu lebih baik dari perempuan yang berkecimpung di sektor informal (jurnal perempuan, edisi 56, thn 2007). menurut sakernas (februari, 2007) status pekerjaan, perempuan yang bekerja di sektor formal sebanyak 9,1 juta (sebagai pengusaha hanya 5,5 persen dan sisanya 94,5 persen sebagai pekerja/ buruh), sedang yang lainnya sebanyak 26,3 juta (74,28 persen) bekerja di sektor informal (berusaha sendiri, berusaha sendiri dibantu pekerja tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan nonpertanian, serta pekerja tak dibayar). meskipun sejumlah hak-hak perempuan itu telah dilindungi melalui undang-undang (uu) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di indonesia, sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalahmasalah yang spesifik yang dialami pekerja perempuan. pekerja perempuan memang jumlahnya cukup besar, namun bukan berarti mempunyai jaminan akan terperhatikannya hak-haknya (laporan cedaw, 2007). permasalahan yang dihadapi oleh pekerja perempuan terkait dengan hak kesehatan reproduksinya, yakni; (1) pekerja perempuan di sektor industri dan jasa dengan status pegawai tetap, menurut uu no.13/2003 tentang ketenagakerjaan, memiliki hak cuti melahirkan, namun dalam kenyataannya selama cuti tidak dibayar. alasannya pekerja perempuan tersebut tidak dapat memperlihatkan akte nikahnya, karena pemilik perusahaan mengaitkan dengan uu no. 01 tahun 1974 tentang perkawinan di mana perkawinan yang syah adalah perkawinan yang sudah didaftarkan. namun hal ini tidak berlaku bagi pasangan yang menikah di wilayah pedesaan, karena hanya 30 persen dari pasangan yang resmi menikah di indonesia memiliki akte/surat nikah. (2) pekerja perempuan di perusahaan/pabrik tidak dapat mengambil cuti haid jika tidak dapat membuktikannya dengan surat dokter. semangat uu no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu mengatur hubungan industrial, khususnya di sektor formal. pertanyaannya kemudian, bagaimana perlindungan buruh perempuan di sektor informal? pekerja informal sebagaimana uu ketenagakerjaan adalah mereka yang “bekerja di luar hubungan kerja”, yang berarti tidak ada perjanjian kerja yang mengatur unsur pekerjaan, upah, dan perintah. perlu menjadi catatan bahwa struktur perekonomian diy ditopang oleh jasa; perhotelan, restoran, dan sebagainya termasuk sektor pertanian. hal ini bisa dipahami bahwa diy merupakan salah satu destinasi wisata penting di indonesia setelah bali dan jakarta. sebagai destinasi wisata, pertumbuhan ekonomi disokong salah satunya sektor informal. oleh karena itu pemberdayaan buruh perempuan di sektor informal perlu dilakukan dalam rangka untuk menemukan upaya agar buruh perempuan di sektor tersebut dapat terangkat kehidupan sosial-ekonominya. dalam jangka panjang kesejahteraannya bisa meningkat. konsep pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. menanamkan nilainilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, model pemberdayaan buruh perempuan ... (ahmad ma’ruf, masmulyadi) 11 keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. yang terpenting di sini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya (bahan kuliah pps sp itb). menyadari buruh perempuan di sektor industri rumah tangga yang demikian banyak sementara perlindungan dan perhatian terhadap mereka tidak maksimal maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuat kapasitas mereka. karena itu studi ini penting dalam rangka memahami karakteristik buruh perempuan di industri rumah tangga dan merumuskan bagaimana model pemberdayaan yang bisa diintervensi oleh pemerintah dan stakeholders lainnya. secara umum tujuan studi ini yaitu: (1) menganalisis dan mendeskripsikan karakteristik buruh perempuan yang bekerja di industri rumah tangga terpilih, (2) mengetahui dan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan kendala dalam pemberdayaan buruh perempuan, (3) melakukan eksplorasi terhadap berbagai isu yang mendukung dan menghambat pemberdayaan buruh perempuan industri rumah tangga, dan (4) menyusun model pemberdayaan buruh perempuan sektor industri rumah tangga pada sentra terpilih. metode penelitian studi ini termasuk jenis policy research yang terdiri dari rangkaian kegiatan penelitian, sosialisasi dan evaluasi kebijakan yang telah ada selama ini, serta merumuskan kebijakan dan model pemberdayaan buruh perempuan informal di diy yang efektif dalam menjawab realitas dan kebutuhan yang berkembang di masa yang akan datang. menurut muhadjir (2003) policy research muncul dari adanya keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan manusia. keterbatasan dana, lebih luas lagi menjadi keterbatasan resource. core policy research atau penelitian kebijakan adalah mencari pilihan optimal agar scarcity of resources dapat dioptimalkan sebaik mungkin. subjek dan partisipan studi ini yaitu buruh perempuan yang bekerja di sektor industri rumah tangga. buruh perempuan dihubungi melalui kontak, baik itu di tempat tinggal atau pun di tempat kerja mereka oleh tim peneliti yang terlibat dalam studi ini. lokasi studi ini dilakukan di sentra-sentra industri yang tersebar dibeberapa wilayah di diy, lihat tabel 1. sentra kerajinan dipilih sebagai subyek dalam studi ini dengan pertimbangan bahwa, kerajinan merupakan urutan kedua terbesar (jumlahnya mencapai 21.593) setelah pengolahan pangan.   tabel 1. subjek penelitian no kabupaten/ kota lokasi jumlah 1 yogyakarta sentra batik 5 2 gunungkidul sentra topeng kayu 10 3 kulon progo sentra serat alam 10 4 bantul sentra batik kayu, krebet 10 5 sleman sentra bambu 9 jumlah 44 data yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi data sekunder dan primer. data sekunder diperoleh dari laporan/publikasi pihak-pihak terkait terutama pemerintah provinsi daerah istimewa yogyakarta, bps, dan lembaga lain yang memiliki data dan informasi yang relevan. adapun data-data primer dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode, antara lain: (1) teknik observasi atau pengamatan, yaitu mengamati langsung ke lokasi pedesaan dan menelusuri sentra-sentra kerajinan untuk mengetahui potensi dan kegiatan yang dilakukan oleh para buruh perempuan. pengamatan ini menurut faisal (2003: 65-66) dapat direkam kejadian-kejadian, peristiwa, keadaan yang mempola dari hari ke hari di tengah masyarakat. aktivitas ini tidak hanya menangkap kenyataan-kenyataan yang terlihat, tetapi juga terhadap yang terdengar; (2) wawancara kepada pihak terkait yaitu pihak pengusaha, buruh perempuan, dan lembaga jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 9-17 12 lainnya yang terkait. wawancara ini untuk mendapatkan informasi mengenai relasi buruh majikan, pengupahan, dan life history dengan harapan dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi di sentra; dan (3) diskusi kelompok terfokus (fgd), yaitu diskusi kelompok terfokus yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan buruh perempuan (stakeholders), pada fgd ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai harapan masa depan, solusi bersama untuk mengatasi masalah buruh perempuan. menurut bungin (2003) fgd adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. fgd juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. lebih jauh teknik ini digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh ketidaktahuan peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-orang di sekitar sebuah fenomena yang sedang diteliti serta sejauh mungkin peneliti menghindari diri dari dorongan subyektivitas peneliti tersebut. dalam kajian ini, metode analisis yang digunakan mencakup: (1) analisis deskriptif (descriptive analysis), analisis deskriptif ini dimaksudkan untuk menyajikan atau mendeskripsikan hasil temuan lapangan. analisis deskriptif kualitatif khususnya ditujukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai kondisi lapangan yang bersifat tanggapan dan pandangan terhadap isu utama dalam kajian ini; yaitu mengenai perempuan, perburuhan, upah dan relasi industrial di wilayah riset. hasil analisis berupa perbandingan kondisi rill di lapangan yang diperoleh dari pendapatpendapat berbagai unsur yang terlibat langsung dalam perburuhan dengan kondisi ideal yang diperoleh dari desk studi (pustaka); (2) analisis swot, analisis ini digunakan untuk merumuskan secara kualitatif dan holistik baik lingkungan internal maupun eksternal dari entitas yang sedang diamati. menurut rangkuti (1998: 18-19) proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, strategi dan kebijakan lembaga. dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis yang mencakup lingkup internal, analisis akan menjelaskan secara rinci aspek-aspek yang menjadi kelemahan (weakness) dan kekuatan (strength). sementara itu, dalam lingkup eksternal analisis ini akan menjelaskan secara rinci mengenai aspek peluang (opportunity) dan tantangan (threat) yang akan dihadapi dalam pemberdayaan buruh perempuan informal. hasil dan pembahasan pada sub bagian ini akan diuraikan mengenai bagaimana karakteristik dan problematika buruh perempuan di diy. karakteristik tersebut menggambarkan secara singkat tentang buruh perempuan mengenai umur, struktur keluarga, status perkawinan dan tingkat pendidikannya. sedangkan problematika buruh berkaitan dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para buruh perempuan. analisis swot salah satu tahapan penting dalam pemberdayaan buruh perempuan yaitu bagaimana menggali atau mengenali permasalahan yang dihadapi oleh buruh perempuan dan berusaha menemukan faktor kunci keberhasilan. setiap manusia memiliki potensi dan kemungkinan keberhasilannya sendiri-sendiri dengan berbagai karakteristiknya masing-masing. demikian juga dengan permasalahan yang dihadapi oleh buruh perempuan di sektor informal. faktor ruang dan waktu serta kebudayaan juga menjadi aspek penting dalam menjelaskan bagaimana intervensi pemberdayaan yang mungkin dilakukan. pada bagian ini analisis akan difokuskan pada bagaimana menggali faktor-faktor kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan dalam pengembangan model pemberdayaan buruh perempuan di diy. analisis ini disusun model pemberdayaan buruh perempuan ... (ahmad ma’ruf, masmulyadi) 13 berdasarkan karateristik dan permasalahan obyektif yang dihadapi oleh para buruh perempuan. dengan melihat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh buruh perempuan, maka strategi pengembangannya adalah memanfaatkan peluang dan menyelesaikan tantangan yang dihadapi dunia usaha. peluang yang tersedia akan berdampak positif bagi pemberdayaan buruh perempuan, sementara tantangan yang dihadapi harus diupayakan penyelesaiannya secara sistematis, efektif, efisien, dan optimal. nampaknya kerjasama dan koordinasi antarpihak berdasar prioritas masalah menjadi sangat penting untuk menyelesaikan permasalahan dan tantangan dalam pemberdayaan buruh perempuan. tabel 2. analisis swot buruh perempuan kekuatan (strengths) kelemahan (weakneses) 1. dasar hukum (uu ketenagakerjaan) yang jelas. 2. struktur organisasi dan tata kerja bppm/dinas kabupaten/provinsi. 3. jaringan ornop/lsm/ormas diy. 4. adanya kebijakan politik ketenagakerjaan baik di provinsi maupun nasional. 5. kekayaan sentra industri kerajinan dengan berbagai produk. 6. dukungan perguruan tinggi di diy. 7. motivasi kerja para buruh. 8. jumlah buruh yang banyak. 9. pengetahuan dan keterampilan yang memadai. 10. tumbuhnya sentra-sentra industri. 1. belum adanya jaminan sosial dan kesehatan buruh. 2. belum terorganisirnya buruh perempuan. 3. rendahnya kesadaran (partisipasi) berserikat dan berlembaga buruh perempuan. 4. belum terintegrasinya pendekatan gender mainstreaming dalam hubungan industrial. 5. sistem upah yang belum adil dan bias gender. 6. lemahnya posisi tawar (bargaining position) terhadap majikan. 7. kecilnya dukungan anggaran program kegiatan. 8. lemahnya koordinasi lintas sektoral/tingkatan birokrasi. 9. keterampilan. peluang (opportunities) strategi s – o strategi w – o 1. adanya kebijakan politik (ketenagakerjaan) nasional dan lokal. 2. program-program pemberdayaan/prorakyat ditingkat nasional dan lokal. 3. tumbuhnya kesadaran buruh ditingkat nasional terhadap isu-isu relasi industrial. 4. perkembangan perdagangan ekspor produk kerajinan. 5. program pengembangan desa wisata oleh provinsi/kabupaten/ kota diy. 1. dasar hukum yang jelas, dukungan apbd serta kebijakan politik pemerintah provinsi diy untuk memberdayakan buruh perempuan merupakan modal utama bagi bppm diy/dinas kabupaten untuk membangun kesadaran buruh terhadap hubungan industrial. 2. jaringan ornop/lsm/ormas, kekayaan sentra industri, dukungan perguruan tinggi untuk menangkap peluang program-program pemerintah yang prorakyat dalam bentuk kerja-kerja pendampingan, dan dukungan sumberdaya. 3. peningkatan kapasitas buruh melalui buruh melalui latihan keterampilan diversifikasi kreasi produk kerajinan untuk memanfaatkan peluang 1. belum adanya jaminan sosial dan kesehatan, belum terintegrasinya pendekatan gender mainstreaming dalam hubungan industrial untuk memaksimalkan dukungan kebijakan politik terhadap pemberdayaan buruh perempuan. 2. optimalisasi komunikasi, informasi dan edukasi tentang kesadaran gender, pentingnya berserikat/organisasi bagi buruh perempuan. 3. memperkuat koordinasi baik diantara pemerintah provinsi dengan kabupaten, juga termasuk lembaga-lembaga non pemerintah. 4. pembinaan dan optimalisasi pihak swasta yang sudah ada. 5. pembentukan dan optimalisasi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 9-17 14 perkembangan perdagangan. 4. optimalisasi kemitraan perguruan tinggi, ornop/ lsm/ ormas dalam pendampingan sentra-sentra kerajinan dan buruhnya. 5. optimalisasi kelembagaan sosial, pendidikan, ekonomi yang sudah eksis. kelembagaan buruh perempuan melalui pendampingan di luar jam kerja. ancaman (threats) strategi s – t strategi w – t 1. pemutusan hubungan kerja. 2. tenaga kerja luar daerah. 3. pasar bebas (liberalisasi) pasar tenaga kerja. 4. kebijakan industri (majikan) yang tidak mendukung. 5. perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan. 1. optimalisasi kemunikasi dan informasi bagi buruh perempuan terkait hak-hak dasarnya (jaminan sosial, kesehatan reproduksi). 2. peningkatan daya saing dan daya tahan menghadapi dinamika liberasasi perburuhan. 3. optimalisasi peran mediasi baik oleh pemerintah provinsi/ kabupaten / ornop dalam membangun hubungan buruh dengan majikan. 1. meningkatkan kesadaran gender buruh perempuan di lingkungan (sentra) kerja. 2. mengembangkan kemitraan dengan berbagai kelembagaan buruh dalam meningkatan keberdayaan buruh perempuan. 3. peningkatan/pemberdayaan kelembagaan buruh melalui pendampingan. sumber: data primer diolah, (2012) model pemberdayaan buruh perempuan kegiatan pemberdayaan buruh perempuan di sektor industri rumah tangga diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas kehidupan buruh perempuan yang bekerja pada sektor informal, perluasan jaminan sosial buruh, standarisasi upah minimum dalam rangka mencapai hasil akhir yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. strategi pemberdayaan buruh perempuan sektor industri rumah tangga di diy mengacu kepada agenda pokok, yaitu: (a) mendorong partisipasi dan pelibatan peran serta masyarakat (ornop/ormas) dalam pemberdayaan buruh perempuan di sektor industri rumah tangga. (b) mendorong sektor swasta dan perguruan tinggi (partnership) dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan buruh perempuan di sektor industri rumah tangga. (c) pengembangan alternatif usaha bagi buruh yang memiliki keinginan untuk mandiri atau alir profesi melalui penguatan modal dan pendampingan. (d) jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi buruh perempuan di sektor industri rumah tangga. agar program-program yang akan dilakukan oleh birokrasi berjalan efektif dan muncul rasa “ownership” terhadap program, maka sebaiknya sejak awal para pemangku kepentingan dilibatkan dalam setiap tahapan program dan kegiatan. pemangku kepentingan dalam pemberdayaan buruh perempuan tidak hanya state, melaingkan juga sektor swasta dan masyarakat sipil (civil society). tabel 3 menggambarkan bagaimana keterkaitan peran antar pihak dalam pemberdayaan buruh perempuan. 1) strategi dan kebijakan pemberdayaan strategi dan kebijakan pemberdayaan buruh perempuan di sektor informal haruslah mampu memperkuat kelembagaan buruh perempuan, mengembangkan partnership dengan berbagai institusi dan mengarah pada perlindungan hak-hak buruh perempuan di sektor industri rumah tangga. karena itu strategi dan kebijakan pemberdayaan perempuan informal dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi program. langkah ini memungkinkan untuk memberdayakan para buruh model pemberdayaan buruh perempuan ... (ahmad ma’ruf, masmulyadi) 15 perempuan yang bekerja di sektor informal di diy. intensifikasi program yaitu pengembangan program pada peningkatan kualitas dan kuantitas pemberdayaan buruh perempuan yang sudah ada, melalui kemitraan dengan sektor swasta, perguruan tinggi, jaminan sosial, dan pendampingan. sementara ekstensifikasi program pengembangan merupakan upaya mencari terobosan baru dalam pemberdayaan buruh perempuan di sektor informal sesuai dengan karakteristik yang dimiliki masing-masing kawasan/sentra. strategi dan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang sejalan dengan mandat dari uu no. 13 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan dan peraturan pemerintah lainnya sekaligus memperhatikan agenda-agenda pembangunan yang memberikan porsi dan perhatian terhadap keberdayaan perempuan, program pengembangan tersebut mencakup: (a) pengawasan dinas/dewan terkait untuk memastikan berbagai peraturan (ketenagakerjaan) dijalankan oleh para pihak. (b) pengembangan sistem pengupahan yang adil (tidak diskriminatif) antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja. (c) pengembangan organisasi atau asosiasi (kelembagaan) buruh sebagai wadah pembinaan dan pengembangan potensi buruh perempuan. (d) pengembangan kapasitas dan jejaring kelembagaan antar stakeholders. (e) afirmasi kebijakan anggaran terhadap pembinaan dan pengembangan organisasi buruh. (f) optimalisasi peran sektor swasta dan perguruan tinggi dalam pendampingan buruh perempuan di sektor informal. (g) pengembangan task force/kelembagaan pemberdayaan buruh perempuan yang khusus men-drive isu-isu pemberdayaan buruh perempuan di bppm, diy, dan kabupaten. 2) program pengembangan buruh migran program pengembangan kegiatan pemberdayaan buruh perempuan meliputi beberapa aspek, antara lain: (a) sosial. jumlah buruh yang demikian banyak dan tersebar di berbagai sentra-sentra kerajinan merupakan potensi yang luar biasa. hanya saja belum terwadahi dalam kelembagaan, yang sesungguhnya dalam undang-udang ketenagakerjaan, asosiasi atau serikat buruh diafirmasi. persoalan utama yang menjadi kendala yaitu jam kerja yang sangat padat yang tidak memungkinkan bagi buruh untuk secara lebih tabel 3. pembagian peran stakeholder dalam pemberdayaan buruh perempuan no para pihak peran serta/partisipasi 1. pemerintah ‐ koordinasi dengan berbagai lembaga/dinas terkait. ‐ kebijakan politik untuk memberikan perlindungan sosial dan hukum bagi buruh perempuan yang bekerja di industry rumah tangga. ‐ optimalisasi kie – komunikasi, informasi & edukasi – terkait jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek). ‐ pengawasan dinas/dewan terkait untuk memastikan berbagai peraturan (ke-tenagakerjaan) dijalankan oleh para pihak. ‐ alokasi budget melalui apbd untuk pembinaan dan pendampingan buruh. ‐ mediasi konflik-konflik terkait hubungan majikan-buruh. 2. masyarakat sipil (civil society) ‐ pendampingan (di luar jam kerja) dan pengorganisasian buruh perempuan. ‐ peningkatan kapasitas buruh perempuan melalui berbagai pelatihan/workshop. ‐ peningkatan kesadaran hak-hak buruh melalui kie. 3. sektor swasta dan perguruan tinggi ‐ dukungan csr dalam pengembangan program-program pemberdayaan buruh perempuan seperti permodalan dan dukungan sumberdaya (peralatan) lainnya. ‐ pelibatan perguruan tinggi dalam berbagai pendampingan melalui kegiatan pengabdian masyarakat, dan penelitian. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 9-17 16 longgar melibatkan diri dalam organisasi buruh. banyaknya lembaga-lembaga sosial dan ornop (baca: civil society) di diy juga merupakan potensi dalam upaya mendorong pemberdayaan buruh perempuan melalui pelibatan berbagai lembaga tersebut dalam kegiatankegiatan pendampingan sosial-budaya. buruh perempuan yang bekerja di sektor informal seringkali terlupakan dengan jaminan sosial dan kesehatan yang memungkinkan para buruh bisa hidup sejahtera. oleh karena ini perlu adanya dorongan kepada berbagai perusahaan/pengrajin untuk memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan sosial buruh perempuan melalui perlindungan/jaminan sosial tenaga kerja. (b) pendidikan. pendidikan merupakan aspek penting dalam pemberdayaan buruh perempuan. bukan hanya pendidikan formal, tetapi melalui sejumlah pendidikan non-formal, yaitu pelatihan dalam meningkatkan kapasitas buruh sesuai dengan karakteristik industri tempatnya bekerja. pendidikan penyadaran hak-hak buruh yang dijamin oleh berbagai konvensi internasional dan hukum perburuhan secara nasional secara “kritis”, di samping kesadaran tentang kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang bisa ditempuh lewat media massa, pelatihan, pendidikan hukum dan pendapat umum. 3) ekonomi  strategi program pemberdayaan buruh perempuan dalam aspek ekonomi meliputi beberapa hal, yaitu: (a) access to capital, artinya bagaimana para stakeholders memfasilitasi buruh yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk mandiri/ mencari (alternatif nafkah yang lain) dengan sumber-sumber permodalan seperti perbankan, koperasi atau asuransi. (b) akses kepada keadilan; buruh perempuan seringkali memperoleh diskriminasi dan ketidakadilan dalam kehidupan sosial-ekonomi politiknya. dalam hubungannya dengan ketenagakerjaan, dukungan paralegal dan advokasi terhadap hak-hak yang meliputi cuti haid, cuti hamil, serta melahirkan. beberapa perlindungan lain yang tidak berhubungan dengan kondisi biologisnya misalnya bekerja pada malam hari, pengupahan yang sama (laki-laki dan perempuan), dan pekerjaan yang bisa membahayakan bagi buruh perempuan. simpulan hasil analisis yang dilakukan berdasarkan data sekunder dan data primer yang tersedia mengenai model pemberdayaan buruh perempuan dapat dirangkum beberapa catatan akhir yang perlu menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan, yaitu: (1) pendalaman terhadap 5 sentra yang ada di diy yaitu krebet, bantul; tanggulangin, kulon progo; brajan, sleman; ketanggungan, yogyakarta; dan bobung, gunungkidul memiliki dinamika dan karakteristik yang berbeda-beda. (2) pemberdayaan buruh perempuan industri kecil meliputi dimensi sosial, pendidikan dan ekonomi. pada dimensi sosial dengan mendorong tumbuhnya kelembagaan/asosiasi sebagai wadah pembinaan dan pengorganisasian buruh. dimensi pendidikan berkaitan dengan peningkatan kapasitas buruh perempuan, termasuk yang memiliki keinginan untuk mengembangkan kemandirian atau bertransformasi kepekerjaan lain, dan pada dimensi ekonomi yaitu pemberian akses kepada permodalan dan keadilan (access to justice). (3) strategi pemberdayaan buruh perempuan hendaknya mempertimbangkan karakteristik seperti identitas, umur dan pendidikan dan lamanya buruh bekerja di sentra-sentra yang ada dalam lokasi kajian ini. (4) untuk mewujudkan pemberdayaan buruh perempuan diperlukan dukungan keterpaduan baik instansi daerah maupun lembaga-lembaga masyarakat (civil society), swasta dan lembaga pendidikan. saran. adapun saran yang bisa direkomendasikan dalam studi ini, yaitu: (1) peningkatan kesejahteraan buruh perempuan melalui pemberian jaminan sosial dan kesehatan (hak-hak reproduksi) haruslah menjadi perhatian dalam keseluruhan rangkaian program. (2) perlu adanya kesamaan persepsi, komitmen, dan kebijakan dalam pemberdayaan buruh perempuan di sektor informal akan mampu model pemberdayaan buruh perempuan ... (ahmad ma’ruf, masmulyadi) 17 memberikan ruang akomodasi bagi aspirasi, kreativitas, dan inovasi yang berkembang yang diharapkan akan dapat memperkuat keberdayaan buruh perempuan. daftar pustaka adi, isbandi rukminto. (2001). pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan, intervensi komunitas. jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas indonesia. adimiharja, kusnaka dan hikmat, h. (2003). participatory research appraisal. bandung: penerbit humaniora. djohani, rianingsih (ed). (1996). berbuat bersama berperan setara, acuan penerapan participatory rural appraisal. kupang: driyamedia. dahniar dan lasimpo, danel. (2008). menebar dana menuai kemiskinan: ppk bank dunia di sulawesi tengah. jakarta: international ngo forum on indonesian development. dewanti, ratih dan chotim, erna ermawati. (2004). marginalisasi dan eksploitasi perempuan usaha mikro di perdesaan jawa. bandung: akatiga. faisal, sanapiah. (1995). format-format penelitian sosial: dasar-dasar dan aplikasi. jakarta: rajawali pers. fernandes, walter dan tandon, rajesh. (1993). riset partisipatoris riset pembebasan. jakarta: gramedia pustaka utama. hikmat, harry. (2001). strategi pemberdayaan masyarakat. bandung: humaniora utama press. hardyastuti, suhatmini dan hudayana, bambang. (1991). pekerja wanita pada industri rumah tangga sandang di provinsi diy. yogyakarta: pusat penelitian kependudukan ugm. kusumanto, dkk. (2006). belajar beradaptasi bersama-sama mengelola hutan di indonesia. bogor: centre for international forest research. legowo, joko dkk. (2011). kapitalisme perkayuan dan advokasi buruh di jepara. jepara: yayasan pamerdi luhur. mcintosh, p. (2010). action research and reflective practice. london: routledge. rangkuti, freddy. (1998). analisis swot teknik membedah kasus bisnis. jakarta: gramedia pustaka utama. sajogyo, dkk. (1997). gerakan nasional penanggulangan kemiskinan: kajian bersama pengembangan kebijakan. yogyakarta: bappenas – p3r yayasan agro ekonomika dan aditya media. sumodiningrat, gunawan. (2002). pemberdayaan sosial kajian ringkas tentang pembangunan manusia indonesia. jakarta: kompas. suharto, edi. (2005). membangun masyarakat memberdayakan rakyat. bandung: refika aditama. sukendar, ananto. (1999). profil sosial dan problematika pekerja rumah tangga di diy. yogyakarta: yayasan tjoet njak dien. susilastuti, dewi haryani, dan partini. (1990). sistem borongan wanita pekerja di pedesaan jawa. yogyakarta: pusat studi kependudukan ugm. verhagen, koenraad. (1996). pengembangan swadaya, pengalaman lsm di tiga negara. jakarta: puspaswara. microsoft word 06-maya jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.44-57 determinan willingness to pay (wtp) iuran peserta bpjs kesehatan maya andita aryani1, masyhudi muqorrobin2 1pusat pengembangan ekonomi, fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta 2fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 e-mail korespondensi: maya.andita@gmail.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: maret 2013 abstract: this study aims at identifying the factors that affect willingness to pay (wtp) participants of bpjs kesehatan class iii in yogyakarta will be analyzed by using the approach of contingent valuation method (cvm). variables use to measure wtp in this research include age, number of family members, the last education taken, level of earnings, and assumptions of society about sharia system using primary data by questionnaire and interview methods to 144 respondents. results analysis of this study show a negative effect against the age variable wtp, variable number of family members have not effect toward the wtp, the last education variable positive effect toward wtp, variable income levels a positive effect toward wtp, and sharia variable negative effect toward wtp. keywords: willingness to pay (wtp); sharia system; contingent valuation method; insurance jel classification: i13 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii di yogyakarta akan dianalisis menggunakan pendekatan contingent valuation method (cvm). variabel yang digunakan untuk mengukur wtp dalam penelitian ini mencakup usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, tingkat penghasilan, dan asumsi masyarakat mengenai sistem syariah dengan menggunakan data primer dengan metode kuisioner dan wawancara kepada 144 orang responden.hasil analisis penelitian menunjukan variabel usia berpengaruh negatif terhadap wtp, variabel jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap wtp, variabel pendidikan terakhir berpengaruh positif terhadap wtp, variabel tingkat pendapatan berpengaruh positif terhadap wtp, dan variabel syariah berpengaruh negatif terhadap wtp. kata kunci: willingness to pay; sistem syariah; contingent valuation method; asuransi klasifikasi jel: i13 pendahuluan peningkatan kesehatan selalu disebutkan sebagai salah satu cara mengetas kemiskinan. selain itu, kesehatan adalah prasyarat bagi peningkatan produktifitas, dan pendidikan yang berhasil juga bergantung pada kesehatan yang memadai (michael p. todaro dan stephen c. smith). pada setiap tahunnya, kebutuhan akan kesehatan mengalami peningkatan sesuai dengan peningkatan kualitas dan fasilitas di bidang tersebut namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang lebih baik, seperti yang tertera pada tabel 1. biaya yang dikeluarkan untuk investasi kesehatan yang mengalami kenaikan tentunya menjadi beban tersendiri bagi warga miskin dengan pendapatan yang rendah. dengan demikian masyarakat akan terus berada pada lingkaran kemiskinan meskipun dengan bebedeterminan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 45 rapa upayanya mereka telah meningkatkan pendapatan. oleh karena itu pemerintah dirasa perlu melakukan beberapa kebijakan dalam mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kualitas kesehatan. salah satu cara yang dilakukan pemerintah salah satunya adalah menciptakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat pada umumnya, dan pada masyarakat miskin pada khususnya. pada pasal 60 ayat (1) uu bpjs yang menentukan bpjs kesehatan akan mulai beroperasi pada tanggal 1 januari 2014, dan kemudian pasal 62 ayat (1) uu bpjs menentukan pt. jamsostek berubah menjadi bpjs ketenagakerjaan dan mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 juli 2015. kelompok jaminan kesehatan ini kemudian dibagi menjadi dua, yaitu kelompok penerima bantuan iuran (pbi) dan bukan pbi dengan sistem semacam asuransi yang dianutnya. peserta jkn dihimbau untuk membayar iuran sesuai dengan kelompoknya dengan pilihan kelas pelayanan kesehatan dari mulai kelas 1, 2, dan 3 namun khusus untuk kelompok peserta jkn penerima bantuan iuran akan ditetapkan dengan pelayanan kelas 3. dalam uu no 40 tahun 2004 pasal 4 tentang sjsn, berisi tentang sifat dari kepersertaan jaminan sosial ini bersifat wajib. hal ini ditentukan oleh perpres 111 tahun 2013 pasal 6 ayat 1 juga yang menetapkan bahwa kepersertaan jaminan kesehatan bersifat wajib mencakup seluruh penduduk indonesia. hal ini menimbulkan pro dan kontra tersendiri bagi warga indonesia yang sejatinya tidak ingin mengikuti program semacam ini dengan berbagai pertimbangan masing-masing. namun dengan dikeluarkannya beberapa peraturan pemerintah semacam ini, sebagian kelompok masyarakat terpaksa mengikuti program bpjs kesehatan demi meningkatkan kualitas kesehatan di indonesia. ditambah lagi dengan masih lemahnya layanan, pemberian obat yang belum maksimal, minimnya sarana kesehatan, rendahnya kapitasi, kurangnya tenaga medis, dan menurunnya keuntungan yang diterima oleh rumah sakit menjadikan dilema tersendiri bagi masyarakat sebagai peserta bpjs kesehatan. dengan diadakannya program bpjs kesehatan ini, para pesertanya berhak mendapatkan manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. manfaat ini terdiri atas manfaat medis dan nonmedis (kementrian kesehatan republik indonesia). pelayanan kesehatan menggunakan sistem operasi semacam asuransi ini terbilang ringan bagi kantong masyarakat dengan kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan yang tinggi dan pendapatan menengah hingga yang rendah. namun, rendahnya tarif paket bpjs kesehatan ke rumah sakit berdampak serius bagi sejumlah rumah sakit. menurut perhimpunan rumah sakit seluruh indonesia (persi), tidak sedikit rumah sakit yang memilih-milih pasien agar dapat mendapatkan profit (liputan6.com, jakarta). pelayanan kesehatan yang semula menjadi tujuan dari diciptakannya program bpjs kesehatan ini pada akhirnya tidak terlaksana dengan maksimal, sehingga perlu dilakukan penyesuaian kembali pada iuran setiap pesertanya demi memberikan keseimbangan antara pelayanan dan profit yang akan diterima baik oleh rumah sakit maupun bpjs tersendiri. ketentuan iuran bpjs kesehatan ini dapat dilihat melalui tabel 2. jaminan kesehatan bagi peserta bantuan iuran (pbi) yang berasal dari kalangan tidak mampu ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi sebesar rp19.225,per orang. dengan diterapkannya besaran iuran baru, maka subsidi tersebut akan ditambah besarannya (nila f moeloek, bpjs.info). tabel 1. pengeluaran per kapita sebulan untuk biaya kesehatan (rupiah) tahun 2009-2013 no tahun pdb harga konstan (%) kota (rupiah) desa (rupiah) kota+desa (rupiah) 1 2009 15.310 7.636 11.342 2 2010 6,31 17.515 9.164 13.198 3 2011 6,32 23.950 12.249 18.075 4 2012 6,10 25.961 13.265 19.588 5 2013 5,59 32.933 15.468 24.169 sumber : badan pusat statistik (bps) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 46 peserta bpjs kesehatan merupakan pemilik kepentingan utama atas fasilitas dan segala proses yang berlaku pada bpjs kesehatan. maka tiap-tiap peserta juga perlu memahami bagaimana proses pendanaan dalam program bpjs kesehatan agar tidak ada keragu-raguan dalam keikutsertaan program tersebut. dewasa ini, banyak perbincangan mengenai ketidaksyariahan proses pendanaan bpjs kesehatan di mana bpjs kesehatan saat ini diduga kuat mengandung gharar pada kedudukan akad, status iuran yang disetorkan, serta dalam investasi iuran yang dikelola oleh bpjs. sehingga sistem pendanaan bpjs kesehatan ini perlu dikaji ulang secara syariah atau setidaknya diberikan kejelasan atas status dana tersebut. penelitian ini mengukur nilai tempat orang dengan menggunakan contingent valuation method (cvm). pada umumnya, cvm merupakan teknik untuk mengukur nilai barang publik dengan secara langsung menanyai oran-orang tentang nilai tempat yang mereka tinggali. jika digunakan secara tepat, metode ini merupakan teknik paling tepat untuk mengestimasi nilai ekonomis suatu barang publik (michell dan carson; tapvong dan kruavan dalam saptutyningsih, 2007). rosita manurung (2008), penelitiannya menggunakan cvm (contingent valuation method) yang merupakan metode teknik survey untuk mencari tahu nilai atau harga ekonomi maksimum yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang dan jasa. cvm bertujuan untuk mengetahui willingness to pay (wtp) yaitu keinginan untuk membayar dengan tujuan memperoleh peningkatan kualitas lingkungan, dan willingness to accept (wta) yaitu kesediaan untuk menerima kompensasi atas dampak negatif yang dihasilkan oleh lingkungan. dalam penelitian ini menjelaskan bahwa variabel yang mempengaruhi wtp adalah variabel jenis kelamin, keterlibatan organisasi, prestasi akademis, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan keluarga. sementara dalam penelitiannya bhisma murti (2005), menggunakan willingness to pay dan willingness to buy sebagai variabel dependent, serta rata-rata pendapatan setiap bulan, tingkat tabel 2. ketentuan iuran bpjs kesehatan peserta iuran keterangan bukan penerima bantuan iuran (pbi) pekerja penerima upah pegawai pemerintah (pns, tni, polri pejabat negara, pegawai pemerintah non pns) pemberi kerja 3% % gaji atau upah per bulan pekerja 2% % gaji atau upah per bulan pegawai swasta (lainnya) pemberi kerja 4,00% % gaji atau upah per bulan pekerja 0,50% % gaji atau upah per bulan pek erja bukan penerima upah rp59.500 kelas i, iuran per jiwa per bulan rp42.500 kelas ii, iuran per jiwa per bulan rp25.500 kelas iii, iuran per jiwa per bulan bukan pekerja rp59.500 kelas i, iuran per jiwa per bulan rp42.500 kelas ii, iuran per jiwa per bulan rp25.500 kelas iii, iuran per jiwa per bulan penerima bantuan iuran (pbi) rp19.225 (dibayarkan oleh pemerintah) kelas iii, iuran per jiwa per bulan *batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran iuran sebesar dua kali penghasilan tidak kena pajak (ptkp) dengan status kawin dengan satu orang anak. sumber: perpres 111/2013 determinan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 47 pendidikan, usia, jenis kelamin, dan tawaran harga sebagai variabel independent. penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan mengenai permintaan harga untuk asuransi kesehatan. penelitian ini juga berguna untuk mengestimasi tingkat subsidi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan antara anggota yang dapat membayar premi secara maksimal agar dapat membantu anggota asuransi kesehatan dengan premi yang lebih rendah dan murah. penelitian asri maharani dan viera wardhani (2011), menunjukkan hasil tingkat kemauan responden dalam semua jenis pemeriksaan laboratorium yang rendah. di antara 76 persen responden yang tidak memiliki asuransi kesehatan, sekitar 50 persen responden bersedia membayar pemeriksaan laboratorium. jumlah 15 dari 24 (lebih dari 50 persen) responden yang memiliki asuransi kesehatan bersedia membayar pelayanan laboratorium. kemauan respoden untuk membayar produk pemeriksaan laboratorium tidak secara signifikan dipengaruhi oleh status kepemilikan asuransi kesehatan. alasannya adalah karena masyarakat banyuwangi belum mengenal dengan baik dan masih sedikit yang memiliki asuransi kesehatan, sehingga sebagian besar pembayaran dari out of pocket. penelitian kemauan membayar menggunakan pendekatan contingent valuation method yang merupakan metode untuk mengukur kemauan membayar sebenarnya dan bertujuan untuk mengukur keuntungan dari pelayanan publik yang tidak diperjualbelikan melalui pasar di ekonomi bebas. variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan, dan sosio-ekonomi. adapun putu linda astrini wati dan dr. ketut suarjana, mph (2013), penelitiannya menggambarkan kemampuan membayar (ability to pay) dan kemauan membayar (willingness to pay) pasien rawat inap di rumah sakit umum daerah kapal bandung. data mengenai wtp menggunakan pendekatan contingent valuation method (cvm) dengan metode permainan penawaran (bidding game method) yaitu dengan memberikan pilihan daftar harga yang sanggup dibayar oleh responden. wta pasien dihitung per kelas rawat inap, sedangkan wtp dianalisis dengan menghitung rata-rata tarif yang diinginkan pasien per kelas rawat inap. dalam penelitian petty primatury a. p. dan nia budi p, choosing health plans all together (chat) yang digunakan untuk membantu responden memutuskan jenis manfaat seperti rawat inap, konsultasi, tes medis, dan obatobatan yang ingin dimasukan sebagai paket manfaat asuransi kesehatan serta tingkat pelayanan apa yang mereka prioritaskan untuk memperoleh manfaat tersebut. willingness to pay (wtp) dihitung berdasarkan kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan. wtp merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. contingent valuation method (cvm) adalah cara perhitungan secara langsung untuk menanyakan kesediaan membayar (wtp). untuk mendapatkan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam wtp, dapat dilakukan dengan cara bidding game, close-ended referendum, open ended question, dan payment card. pada tahun 2008 curt lofgren dkk melakukan penelitian mengenai willingness to pay (wtp) untuk asuransi kesehatan di daerah pedesaan vietnam. variabel yang digunakan dalam penelitiannya meliputi usia, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jumlah anggota dalam satu keluarga. dalam penelitiannya, curt lofgren dkk menggunakan open-ended pertanyaan wtp di mana responden melalui wawancara langsung diberikan pertanyaan terbuka mengenai wtp maksimal yang akan diberikan untuk membayar asuransi kesehatan. zulkahfi (2013) melakukan penelitian yang berisi mengenai asuransi syariah yang berhubungan dengan pengelolaan dana jaminan sosial bpjs. dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sistem bpjs saat ini masih menggunakan sistem asuransi konvensional bukan asuransi syariah dalam pengelolaan dananya sehingga prakteknya masih mengandung unsur maisir dan gharar. adapun tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut, mengukur besarnya willingness to pay peserta pengguna bpjs kesehatan d.i. yogyakarta untuk perbaikan kualitas pelayanan serta mengetahui pengaruh tingkat penghasilan, usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 48 terakhir, penerapan sistem syariah terhadap willingness to pay peserta pengguna bpjs kesehatan d.i. yogyakarta untuk perbaikan kualitas pelayanan. metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. data primer adalah data yang diperoleh dengan interaksi langsung bersama responden. interaksi langsung dengan responden menggunakan sistem wawancara secara langsung yang dibantu dengan kuisioner pada peserta bpjs kelas iii yang berada di rumah sakit umum d.i yogyakarta. penelitian ini dilakukan di d.i yogyakarta, tepatnya di rumah sakit panembahan senopati bantul, puskesmas lendah 1, puskesmas lendah 2, puskesmas mlati 1 dan gamping 1, puskesmas wonosari 1, dan puskesmas pakualaman, objek pada penelitian ini adalah peserta bpjs kelas iii yang berada di d.i yogyakarta. penentuan sampel yang digunakan untuk objek penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pasien yang menggunakan pelayanan kesehatan bpjs di kelas iii yang sedang berobat ke puskesmas dan rumah sakit yang telah ditentukan untuk menjadi sampel. jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan formula sebagai berikut: n = 1) keterangan: n adalah jumlah sampel; n adalah jumlah populasi (peserta bpjs kesehatan kelas iii); e adalah persentase kelonggaran karena kesalahan pengambilan sampel yang ditoleransikan (10 persen) jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: n = . , = 99,99 hasil perhitungan tersebut menjadi batas minimal jumlah sampel, pada penelitian ini, sampel ditambah 44 orang dari batas minimal yang dipilih berdasarkan populasi masyarakat di masing-masing kabupaten dan kota yang menggunakan bpjs kesehatan sehingga jumlah total sampel yang digunakan oleh penelitian ini adalah sejumlah 144 orang responden. penelitian ini menggunakan metode contingent valuation, yaitu metode yang dilakukan dengan survei secara langsung kepada peserta bpjs kesehatan mengenai willingness to pay untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. pengolahan data primer menggunakan program spss dengan analisis regresi berganda, sehingga dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hasil dan pembahasan uji validitas dan reliabilitas uji validitas digunakan untuk menguji kecermatan pertanyaan yang dipakai dalam kuisioner penelitian yang akan diukur. pertanyaan dapat dikatakan valid jika rhitung lebih besar dari rtabel pada level 5 persen. dalam tabel 3 ditampilkan hasil validitas dari variabel yang diuji. tabel 3. hasil uji validitas variabel r hitung r – tabel keterangan income 0,982 0,164 valid usia 0,180 0,164 valid jak 0,168 0,164 valid edu 0,365 0,164 valid sumber : data primer diolah berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa semua variabel yang diuji memiliki nilai rhitung lebih besar dari rtabel di level 5 persen dan variabel syariah sebagai dummy, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid. uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui kestabilan alat ukur. suatu alat ukur dikatakan reliable apabila dapat memberikan hasil yang sama bila dipakai untuk mengukur ulang objek yang sama. uji reliabilitas dilakukan dengan cara menghitung cronbach alpha pada masing-masing instrument. reliabilitas yang dianggap sudah cukup memuaskan atau reliabilitas konsistensi apabila cronbach alpha ≥ 0,4. setelah data diolah, hasil cronbach alpha determinan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 49 pada penelitian ini adalah sebesar 0,4 sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen yang digunakan adalah reliabel. pengujian asumsi klasik uji multikolinearitas. uji multikolinearitas adalah untuk menguji korelasi variabel bebas atau independen yang digunakan. pengujian multikolinearitas dilakukan dengan cara melihat nilai tolerance dan vif pada hasil regresi. jika nilai tolerance lebih besar dari 0,1 dan vif kurang dari 10, maka dapat dikatakan bahwa model yang digunakan tidak terdapat masalah multikolinearitas. berdasarkan pada tabel 4 dapat dilihat bahwa semua variabel memiliki nilai tolerance lebih dari 0,1 yang dapat diartikan bahwa tidak ada korelasi antar variabel bebas yang nilainya lebih dari 95 persen. nilai vif pada penelitian ini juga menunjukan bahwa semua variabel memiliki nilai vif kurang dari 10. sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan tidak terdapat masalah multikolinearitas. uji heterokedastisitas. uji heterokedastisitas ini untuk mengetahui adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan atau dari satu pengamatan ke pengamatan lain. untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedastisitas, output regresi antara residual dengan variabel-variabel independent lainnya. output dalam penelitian ini menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan pada level 1 persen antara seluruh variabel independent terhadap nilai absolut residual. hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dan layak untuk digunakan. masalah heteroskedastisitas juga dapat dideteksi dengan adanya pola pada grafik scatterplot. pada gambar 1 dapat dilihat bahwa titiktitik menyebar secara acak dan tersebar, baik di bawah angka 0 pada sumbu y maupun di bawahnya. hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dan layak untuk digunakan. tabel 5. nilai signifikansi antarvariabel model t sig. usia -0,96 0,051 jak -0,206 0,039 edu 0,83 0,350 income 0,132 0,137 syariah -0,044 0,586 sumber: data primer diolah gambar 1. grafik scatterplot hasil estimasi regresi analisis regresi merupakan model yang digunakan dalam penelitian ini, dan model penelitian dirumuskan sebagai berikut: wtp = β0 + β1income + β2usia + β3jak + β4edu + β5syariah + e 3) tabel 4. nilai tolerance dan vif variabel definisi collinearity statistics tolerance vif usia usia 0,620 1,614 jak jumlah anggota keluarga 0,632 1,582 edu pendidikan terakhir yang ditempuh 0,785 1,275 income tingkat penghasilan 0,774 1,280 syariah pentingnya penerapan sistem syariah 0,927 1,067 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 50 keterangan: wtp adalah willingness to pay (rp); β0 adalah intersep; β1,…,β5 adalah koefisien regresi; income adalah tingkat penghasilan (rp per bulan); usia adalah usia (tahun); jak adalah jumlah anggota keluarga (orang); edu adalah pendidikan terakhir yang ditempuh (tahun); syariah adalah seberapa penting sistem syariah diperlukan (dummy); e adalah error term berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5 pada kolom fit model dapat dilihat bahwa tidak ada variabel yang dikeluarkan dari model. oleh karena itu, variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi willingness to pay (wtp) yaitu tingkat penghasilan, usia, jumlah anggota keluarga (jak), pendidikan terakhir yang ditempuh (edu), dan seberapa penting sistem syariah diperlukan (syariah) mempengaruhi besarnya willingness to pay. deskripsi statistik variabel penelitian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan kualitas pelayanan bpjs kesehatan, dapat diketahui deskripsi statistik variabel-variabel penelitian seperti tampak pada tabel 6. berdasarkan tabel 6, di antara 144 orang responden willingness to pay tertinggi adalah sebesar rp28.500,00 dan terendah rp26.500,00. rata-rata willingness to pay sebesar rp26.875,00 dengan standar deviasi 553,12 dengan nilai standar deviasi yang lebih rendah daripada nilai rata-rata maka dinyatakan bahwa sebaran data jawaban responden terhadap variabel wtp terindikasi baik. rata-rata dari variabel tingkat penghasilan 144 orang responden berjumlah rp1.316.458,33 dengan penghasilan tertinggi rp3.500.000,00 dan penghasilan terendah rp500.000. standar deviasi sebesar 630555,83 lebih rendah dari rata-rata tingkat penghasilan yang menunjukan sebaran data terhadap variabel tingkat penghasilan adalah baik. tabel 6 menunjukkan variabel usia tertua adalah 63 tahun dan termuda 18 tahun dengan standar deviasi variabel 10,937 lebih kecil dari rata-rata sebesar 36,048 tahun. hal ini menuntabel 6. deskripsi statistik variabel variabel definisi mean max min std. deviasi wtp willingness to pay 26.875 28.500 26.500 553,122 usia usia 36,048 63 18 10,937 jak jumlah anggota keluarga 3,437 6 1 1,2558 edu pendidikan terakhir yang ditempuh 11,229 16 6 2,511 income tingkat penghasilan 1.316.458,33 3.500.000 500.000 630555,83 syariah pentingnya penerapan sistem syariah 0,7361 1 0 0,44228 tabel 5. hasil estimasi regresi variabel full model fit model koefisien t-stat koefisien t-stat konstanta 26.637,336 109,009*** 26.637,336 109,009*** usia -6,624 -1,612** -6,624 -1,612** jak -121,339 -3,426*** -121,339 -3,426*** edu 44,972 2,827*** 44,972 2,827*** income 0,00039 6,087*** 0,00039 6,087*** syariah -162,775 -1,970** -162,775 -1,970** r-squared 0,435 r-squared 0,435 f-statistic 21,288 f-statistic 21,288 prob f-stat 0,000 prob f-stat 0,000 variabel dependen: wtp keterangan : ***signifikan pada α=1 persen **signifikan pada α= 5 persen determinan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 51 jukkan sebaran data akan jawaban terhadap variabel usia baik. variabel jumlah anggota keluarga dari 144 responden menunjukan ratarata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang. jumlah anggota keluarga terbanyak sebanyak 6 orang dan yang paling sedikit diwakili oleh responden yang belum menikah beranggota keluarga 1 orang. standar deviasi variabel ini sebesar 1,2558 lebih kecil dari rata-rata sebesar 3,437 sehingga menunjukan bahwa sebaran data jumlah anggota keluarga adalah baik. berdasarkan tabel 6, dari 144 orang responden yang menunjukkan pendidikan terakhir yang ditempuh, dihitung berdasarkan tahun tempuh pendidikan. rata-rata lama belajar selama 11,229 tahun dengan standar deviasi 2,51, dengan nilai standar deviasi yang lebih rendah daripada nilai rata-rata maka dinyatakan bahwa sebaran data jawaban responden terhadap variabel edukasi terindikasi baik. dengan jumlah 135 orang responden yang terlihat pada tabel, merasakan pentingnya penerapan sistem syariah menunjukkan skor terbesar 1 dan terendah 0 serta rata-rata 0,7361. standar deviasi variabel ini sebesar 0,44 hal ini menunjukkan standar deviasi lebih besar dari rata-rata sehingga dinyatakan bahwa sebaran data terhadap variabel syariah adalah baik. pada tabel 5, nilai konstanta menunjukkan angka 26.637,336 yang dapat diartikan bahwa jika semua variabel bebas yaitu usia, jumlah anggota keluarga (jak), pendidikan terakhir yang ditempuh (edu), tingkat penghasilan (income) dianggap konstan, maka willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan akan sebesar rp26.5486,155. hipotesis nol (h0) menyebutkan bahwa usia berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hipotesis alternatif (ha) menyebutkan bahwa usia tidak berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan tabel 5 nilai tstat atau thitung variabel usia sebesar -1,612 lebih besar dari ttabel sebesar -2,6, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis nol (h0) diterima. berarti variabel usia mempengaruhi besarnya wtp. tabel 5 menunjukkan koefisien variabel usia sebesar -6,624 yang dapat diartikan bahwa usia dan wtp memiliki korelasi negatif. apabila usia semakin tua satu tahun, maka wtp akan turun sebesar rp6,624 dengan asumsi faktor lain danggap konstan. hipotesis nol (h0) menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hipotesis alternative (ha) menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan tabel 5 nilai t-stat atau thitung variabel jumlah anggota keluarga (jak) sebesar 3,426 lebih kecil dari ttabel sebesar -2,6 maka dapat dikatakan bahwa hipotesis nol (h0) ditolak, dan hipotesis alternatif (ha) diterima. berarti variabel jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi besarnya wtp. nilai koefisien yang bertanda negatif menunjukkan bahwa usia dan wtp memiliki korelasi negatif. namun nilai tstatistik pada variabel jumlah anggota keluarga menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap wtp. jika satu dalam keluarga bertambah satu orang, maka tidak akan mempengaruhi kenaikan atau penurunan wtp. hipotesis nol (h0) menyebutkan bahwa pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hipotesis alternative (ha) menyebutkan bahwa pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) tidak berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan tabel 5 nilai t-stat atau thitung variabel pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) sebesar 2,827 lebih besar dari ttabel 2,6 dan tingkat probabilitasnya 0,000 yang lebih kecil dari 0,01, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis nol (h0) diterima. berarti variabel pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) mempengaruhi besarnya wtp. tabel 5 menunjukkan koefisien variabel pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) sebesar 44,972 yang dapat diartikan bahwa usia dan wtp memiliki korelasi positif. apabila pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) semakin tinggi, maka wtp akan naik sebesar rp44,972 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 52 dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. hipotesis nol (h0) menyebutkan bahwa tingkat penghasilan (income) berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hipotesis alternatif (ha) menyebutkan bahwa tingkat penghasilan (income) tidak berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan tabel 5 nilai t-stat atau thitung variabel tingkat penghasilan (income) sebesar 6,087 dan tingkat probabilitasnya 0,000 yang lebih kecil dari 0,01, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis nol (h0) diterima. berarti tingkat penghasilan (income) mempengaruhi besarnya wtp. tabel 5 menunjukkan koefisien variabel tingkat penghasilan (income) sebesar 0,00039 yang dapat diartikan bahwa ketika tingkat penghasilan naik satu rupiah maka wtp akan meningkat sebesar rp0,00039 dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. hipotesis nol (h0) menyebutkan bahwa pentingnya sistem syariah jika (syariah) berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. hipotesis alternative (ha) menyebutkan bahwa pentingnya sistem syariah jika (syariah) tidak berpengaruh terhadap willingness to pay peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan tabel 5 nilai t-stat atau thitung variabel pentingnya sistem syariah (syariah) sebesar -1,97 lebih besar dari ttabel sebesar -2,6, maka dapat dikatakan bahwa hipotesis nol (h0) diterima. berarti pentingnya sistem syariah (syariah) mempengaruhi besarnya wtp. tabel 5 menunjukkan koefisien variabel pentingnya sistem syariah (syariah) sebesar -162,775 yang dapat diartikan bahwa tingkat penghasilan dan wtp memiliki korelasi negatif. apabila asumsi seseorang yang menganggap sistem syariah penting bertambah, maka wtp akan berkurang dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. uji statistik f digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen. hipotesis nol menyatakan bahwa variabel usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, tingkat penghasilan, dan pentingnya sistem syariah jika diterapkan secara bersama-sama mempengaruhi wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. hipotesis alternatif menyatakan bahwa variabel usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, tingkat penghasilan, dan pentingnya sistem syariah jika diterapkan secara bersama-sama tidak mempengaruhi wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. dengan derajat kebebasan (df) 144-5-1 dan taraf signifikan 1 persen ( = 0.01) diperoleh nilai ftabel sebesar 13,55. pada tabel 3.4 dapat dilihat bahwa nilai f-statistik (fhitung) sebesar 21,288 yang berarti lebih besar dari ftabel (13,55) dan probabilitas f-statistik sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,01. dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol (h0) diterima, secara simultan variabel usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, tingkat penghasilan, dan pentingnya sistem syariah jika diterapkan mempengaruhi wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. pengaruh variabel-variabel terhadap wtp ini secara bersama-sama dijelaskan pada gambar 2. gambar 2. distribusi f: usia, jak, edu, income, syariah terhadap wtp berdasarkan tabel 5 model regresi pada penelitian ini adalah: wtp = 26.637,336 + 0,00039income – 6,624usia – 121,399jak + 44,972edu – 162,775syariah + e tabel 5 menunjukkan r-square yaitu 0,435 yang berarti bahwa variabel usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, dan syariah mempengaruhi wtp sebesar 43,5 persen dan sisanya 56,5 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. berdasarkan hasil penelitian ini, variabel usia berpengaruh signifikan terhadap besarnya determinan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 53 wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. nilai koefisien variabel usia memiliki tanda negatif, yang artinya adalah apabila usia meningkat maka wtp akan mengalami penurunan dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh lofgren dkk (2008) di vietnam yang menyebutkan bahwa semakin bertambah tua seseorang maka wtp nya akan semakin rendah. hubungan negatif antara usia dengan wtp pada penelitian ini bisa jadi disebabkan oleh semakin meningkatnya usia seseorang, kebutuhan akan barang lain selain kesehatan akan semakin tinggi. hal ini juga disebabkan oleh semakin meningkatnya usia, seseorang cenderung memiliki jumlah anggota keluarga dengan jumlah yang banyak dan meningkatkan kebutuhan sehingga menurunkan besarnya willingness to pay (wtp) untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. nilai koefisien variabel jumlah anggota keluarga memiliki tanda negatif, yang artinya adalah jika jumlah anggota keluarga meningkat maka wtp akan mengalami penurunan dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. namun perhitungan tstatistik pada variabel ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara jumlah anggota keluarga terhadap wtp. kepesertaan bpjs kesehatan ini tidak secara individu, namun dihitung dan disertakan per kartu keluarga sehingga jika jumlah anggota keluarga yang terdaftar pada kartu keluarga semakin banyak maka beban iuran setiap bulan akan bertambah. beban iuran yang bertambah akan menurunkan willingness to pay (wtp) untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. namun pada dasarnya kepesertaan bpjs kesehatan ini bersifat wajib, sehingga ketika anggota dalam satu keluarga bertambah, maka kepala keluarga yang menanggung biaya harus tetap membayar sesuai yang ditentukan. hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh elmamy handayani dkk. bahwa jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi wtp. penyebabnya diduga karena besar iuran yang harus dibayarkan tidak disebutkan secara eksplisit dalam kuisioner dan responden hanya diminta untuk menyebutkan wtp maksimal yang mereka rela bayarkan. hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan lofgren dkk. yang mengatakan bahwa jumlah anggota keluarga mempengaruhi wtp. berdasarkan hasil penelitian ini, variabel pendidikan terakhir yang ditempuh (edu) memiliki pengaruh positif terhadap wtp untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. semakin lama seseorang menempuh pendidikan, maka wtp akan mengalami kenaikan. pendidikan terakhir yang ditempuh menunjukkan tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman mengenai kesehatan juga semakin tinggi. hal ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh lofgren dkk (2008) semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan kebutuhan terhadap layanan kesehatan akan bertambah yang kemudian akan meningkatkan wtp untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. berdasarkan hasil olahan data primer, variabel tingkat penghasilan (income) berpengaruh signifikan terhadap besarnya wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan bpjs kelas iii. tanda yang dimiliki oleh variabel tingkat penghasilan menunjukkan pengaruh positif terhadap wtp. dengan asumsi faktor lain dianggap konstan, jika pendapatan meningkat maka wtp juga akan meningkat. pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh andhika w.p. (2010) mengatakan bahwa pendapatan keluarga berpengaruh terhadap kunjungan ke rumah sakit menggunakan layanan kesehatan. hasil penelitiannya juga mengatakan bahwa pendapatan keluarga sangat berhubungan dengan kemiskinan, hal inilah yang menyebabkan penggunaan layanan kesehatan menjadi relatif kecil. semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang, maka mereka akan rela mengeluarkan uang tambahan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii dengan syarat kualitas pelayanan kesehatan menjadi lebih baik lagi. hasil pengolahan data primer dalam penelitian ini menunjukan bahwa jika sistem syariah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 54 diterapkan akan berpengaruh negatif terhadap wtp. pengaruh negatif ini dapat dilihat dari tanda negatif yang dimiliki variabel syariah ini. artinya, semakin mereka merasa bahwa sistem syariah ini penting untuk diterapkan maka wtp akan mengalami penurunan. penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh zulkahfi (2013) yang mengatakan bahwa sistem pengelolaan dana bpjs ini masih menggunakan sistem asuransi konvensional sehingga masyarakat yang mengerti akan hal ini merasa bahwa sistem syariah penting untuk diterapkan. dengan kata lain, semakin seseorang merasa bahwa sistem syariah ini penting untuk diterapkan maka semakin turunnya wtp peserta bpjs kesehatan kelas iii yang masih menggunakan sistem konvensional didalamnya. berdasarkan hasil olah data hasil kuisioner dan wawancara langsung kepada 144 orang responden, total willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah sebesar rp3.862.300,00 dan rata-rata wtp per orang sebesar rp26.875,00. variabel yang mempengaruhi besarnya wtp adalah tingkat penghasilan, usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir yang ditempuh, dan pentingnya sistem syariah diterapkan. surplus konsumen dapat diketahui melalui total wtp dari 144 orang responden. surplus konsumen sendiri berarti perbedaan antara jumlah yang dibayarkan konsumen untuk barang dan jasa dengan wtp. total surplus dihitung dengan cara melihat selisih dari total wtp dengan besar iuran bpjs kesehatan kelas iii yang dibayarkan oleh 144 orang responden. sebelumnya iuran bpjs kesehatan kelas iii yang telah ditentukan adalah sebesar rp25.500,00. besarnya total surplus konsumen dari 144 orang responden adalah rp3.862.300,00 – (144 x rp25.500,00) = rp190.300,00 dan rata-rata surplus konsumen per orang adalah rp26.875,00 – rp25.500,00 = rp1.375,00. berdasarkan hasil hitung surplus konsumen dapat dijelaskan bahwa dari 144 orang responden dalam penelitian ini rela membayar tambahan iuran untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada bpjs kesehatan kelas iii. iuran bpjs kesehatan bisa saja dinaikan sampai batas maksimal dengan rata-rata surplus konsumen, namun kenaikan iuran tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas pelayanan yang baik. pemerintah dan pengelola bpjs kesehatan dapat bersama-sama menjadikan hal ini sebagai masukan untuk berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi peserta bpjs kesehatan kelas iii. harapannya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta bpjs kesehatan kelas iii ini dapat meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat yang berpengaruh terhadap kegiatan lainnya yang mengharuskan masyarakat untuk terus menjadi sehat sehingga mampu menjadi solusi untuk mengurangi angka kemiskinan di yogyakarta. simpulan berdasarkan data yang diperoleh dengan proses kuisioner dan wawancara langsung kepada 144 orang peserta bpjs kesehatan kelas iii, didapatkan total willingness to pay (wtp) untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah sebesar rp3.862.300,00 dengan nilai rata-rata (mean) rp26.875,00. tingkat penghasilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. jika penghasilan seseorang meningkat, maka wtp juga akan meningkat dengan asumsi faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus). semakin meningkatnya penghasilan seseorang, maka harga yang meningkat tidak akan menjadi beban bagi dirinya sehingga ia akan lebih rela membayar tambahan iuran untuk peningkatan pelayanan kesehatan. usia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. jika umur seseorang bertambah, maka wtp akan mengalami penurunan dengan asumsi faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus). semakin bertambah tua seseorang, maka kebutuhan akan hal-hal lain akan meningkat, sehingga ia akan mengurangi perhatiannya terhadap kesehatan. oleh karena itu, usia yang terus bertambah akan mengurangi besarnya willingness to pay (wtp) untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. jumlah anggota keluarga tidak berpengadeterminan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 55 ruh dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. jika jumlah anggota keluarga bertambah atau berkurang, maka wtp tidak akan menurun atau bertambah dengan asumsi faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus). sistem kepesertaan bpjs kesehatan diterapkan menurut anggota keluarga yang terdaftar dalam kartu keluarga sehingga kepala keluarga sebagai sumber penghasilan dalam satu keluarga harus menanggung iuran bpjs kesehatan sejumlah anggota keluarga tersebut. namun sistem kepesertaan ini bersifat wajib sehingga kepala keluarga tidak memiliki pilihan bayar. hal ini juga diduga karena dalam kuisioner penelitian ini tidak disebutkan secara eksplisit jumlah iuran yang harus dibayarkan oleh responden. responden hanya diminta untuk mengisi wtp maksimal yang rela dibayarkan untuk iuran bpjs kesehatan kelas iii. pendidikan terakhir yang ditempuh berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bpjs kesehatan kelas iii. dengan asumsi faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), jika pendidikan terakhir yang ditempuh meningkat maka akan meningkatkan wtp. pendidikan terakhir yang ditempuh menunjukkan tingkat pendidikan seseorang. semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman mengenai kesehatan juga tinggi. mereka cenderung lebih memperhatikan masalah kesehatan lebih jeli. pentingnya sistem syariah jika diterapkan pada bpjs kesehatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp). jika rasa penting akan sistem syariah ini meningkat maka wtp untuk peningkatan pelayanan kesehatan akan mengalami penurunan. mayoritas penduduk indonesia yang beragama islam saat ini lebih memilih sesuatu yang berbau syariah dengan anggapan sistem syariah tersebut akan meningkatkan suatu sistem. semakin seseorang merasa bahwa sistem syariah ini perlu diterapkan, maka wtp akan menurun dengan harapan sistem pada bpjs kesehatan akan merubah sistemnya menjadi sistem syariah agar lebih baik lagi dan tidak mengandung gharar serta maisyir. berdasarkan hasil pengolahan data, nilai rata-rata (mean) willingness to pay (wtp) yang didapatkan adalah sebesar rp 26.875,00. ratarata tersebut didapat melalui proses kuisioner dan wawancara langsung dengan 144 orang responden, yang berarti bahwa kenaikan pada harga rp26.875,00 masih dianggap wajar. sejumlah 144 orang responden tersebut tidak bermasalah jika harga naik dengan range yang wajar, namun informasi, pelayanan, dan kesediaan obat di puskesmas/rumah sakit yang menerima pasien peserta bpjs kesehatan kelas iii harus juga ditingkatkan. usia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kelas iii. diharapkan pelayanan terhadap peserta bpjs kesehatan kelas iii ini lebih ditingkatkan mengingat dengan semakin tingginya usia maka kadar toleransi terhadap pelayanan yang kurang baik semakin berkurang. tingkat penghasilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan pelayanan kesehatan. semakin tinggi pendapatan seseorang, maka tingkat harapan mendapatkan pelayanan yang baik akan meningkat juga sehingga ia akan rela membayar tambahan untuk peningkatan pelayanan kesehatan. sistem pembayaran iuran bpjs kesehatan yang langsung dipotong melalui gaji juga menjadi salah satu alasan mengapa harapan mengenai pelayanan kesehatan yang berkualitas semakin tinggi. maka diharapkan pihak puskesmas/rumah sakit yang menangani pasien bpjs kesehatan tidak membeda-bedakan pelayanannya. meskipun dalam penelitian ini jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii. diharapkan pihak puskesmas/rumah sakit menyediakan pelayanan yang baik karena setiap peserta bpjs kesehatan telah membayar dengan tanggungan satu keluarga, bukan hanya satu individu. pengelola bpjs kesehatan juga diharapkan dapat memperhatikan keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang terbilang cukup banyak untuk meminimalisir adanya tunggakan pembayaran karena beban iuran yang cukup tinggi. pendidikan terakhir yang ditempuh berpengaruh positif secara signifikan terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan pelayanan kesehatan. kualitas pelayanan meliputi fasilitas, informasi, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 44-57 56 dan sikap pelayanan hendaknya ditingkatkan karena masyarakat dengan pendidikan tinggi akan lebih kritis dan paham akan kesehatan. mereka akan memilih puskesmas/rumah sakit dengan kualitas yang baik untuk menunjang kesehatan dirinya dan keluarga demi meningkatkan kualitas hidup. pentingnya sisetem syariah berpengaruh negatif secara signifikan terhadap willingness to pay (wtp) peserta bpjs kesehatan kelas iii untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. pada masa sekarang ini, masyarakat sudah mulai paham akan pentingnya sistem syariah dalam aspek muamalah sehingga ketika isu bpjs haram mulai marak dibicarakan, mereka lebih akan memilih bpjs kesehatan syariah jika nantinya akan diterapkan. hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pengelola bpjs kesehatan demi peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih baik. daftar pustaka basuki, a, t. (2015). regresi dalam penelitian ekonomi dan bisnis. yogyakarta: penerbit andi. anonim, presiden setuju iuran bpjs kesehatan dinaikan, http://www.bpjs.info/beritabpjs/presiden_setu jui_iuran_bpjs_kesehatan_dinaikkan-7007/. maharani, a, dan wardhani, v. (2011). analisis pengaruh kepemilikan asuransi kesehatan terhadap kemauan membayar produk pelayanan laboratorium, volume 14/no.01/maret 2011/halaman 44-48, magister manajemen rumah sakit universitas brawijaya, malang. murti, b., (2005), pendapatan, pendidikan, tempat tinggal, dan kemauan membayar asuransi kesehatan anaks: penggunaan teknik “bidding game”, jmpk vol. 08/no.02/ juni/ 2015, departement of public health. lofgren, c, dkk., (2008). people’s willingness to pay for health insurance in rural vietnam, cost effectiveness and resource allocation 2008, 6:16, hanoi medical university, vietnam. elmamy, dkk. (tt). faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan masyarakat membayar iuran jaminan kesehatan di kabupaten hulu sungai selatan, universitas padjajaran. fitri syarifah, tarif bpjs kecil, rs cenderung pilih-pilih pasien, http://health.liputan6.com/read/2149508/tarif -bpjs-kecil-rs-cenderung-pilih-pilih-pasien. diakses tanggal 20 maret 2012 pk 22.41 wib. kementrian kesehatan, (2013). buku saku faq (frequently asked questions) bpjs kesehatan, kementrian kesehatan ri, jakarta. kruk, m, dkk., (2009). borrowing and selling to pay for health care in low-and middleincome countries. health affairs vol.28, united states. todaro, m, p, dan smith, c, smith., (2009). economic development, eleven edition, jakarta: erlangga. kamal, m. (2013). faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay pengguna trans jogja, universitas muhammadiyah yogyakarta. petty primatury a. p., dan budi, n, p., (tt). penataan ulang program bpjs kesehatan dengan penggunaan chat eksperimen dan memperhatikan kesediaan membayar (willingness to pay) masyarakat terhadap iuran jaminan kesehatan. semarang: program studi teknik industri. universitas diponegoro. putra, a, w. (2010). analisis permintaan penggunaan layanan kesehatan pada rumah sakit umum milik pemerintah di kabupaten semarang. semarang: universitas diponegoro. putri adyowati, (2015) ini alasan mui beri fatwa haram program bpjs kesehatan, http:// nasional.tempo.co/read/news/2015/07/30/1736 87699/ini-alasan-mui-beri-fatwa-haram-bpjskesehatan/2. diakses tanggal 17 september 2012 pk 10.52 wib. putu linda a. w., dan ketut suarjana. (2013). the analysis of ability and willingness to pay of inpatients in kapal bandung hospital, volume 1/no.1/ 2013/halaman 48-53, ps ilmu kesehatan masyarakat fak. kedokteran universitas udayana. saptutyningsih, e. (2007). faktor-faktor yang berpengaruh terhadap willingness to pay determinan willingness to pay iuran ... (maya andita, masyhudi) 57 untuk perbaikan kualitas air sungai code di kota yogyakarta, jurnal ekonomi dan studi pembangunan vol.8 no.2 oktober 2007 universitas muhammadiyah yogyakarta. subirman, dkk., (2007). pembiayaan jaminan kesehatan daerah berdasarkan biaya satuan, kemampuan membayar, dan kemauan membayar masyarakat di kota samarinda. universitas hasanudin, makassar. zulkahfi. (2013). jaminan kesehatan nasional (jkn) dalam perspektif hukum islam, yogyakarta: universitas islam negeri sunan kalijaga. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 1, april 2021 article type: research paper the determinants of musharaka financing in indonesia ayif fathurrahman1* and abriani sita devi1 abstract: the purpose of this study is to determine the determinants of musharaka financing in islamic commercial banks in indonesia, which was carried out using secondary data or quantitative data from the period of january 2015 to august 2019. the model used to analyze the results of this regression was the multiple linear the dependent variable used in the object of this study was musharaka financing, while the independent variables used in this study consisted of inflation, exchange rates (exchange rates), return on assets (roa), and thirdparty funds. from the results of the multiple linear regression analysis that has been processed, it can be explained that simultaneously the inflation, exchange rates (exchange rates), roa, and tpf have a significant effect on musharaka financing. however, partially the exchange rate (exchange rate), roa and tpf have a positive and significant effect on musharaka financing, while inflation has a positive and insignificant effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. keywords: musharaka; financing; inflation; exchange rate; roa; tpf jel classification: g21, f62 introduction in the era of globalization, economic conditions have experienced changes and developments in many aspects of life. economic development cannot be separated from the role of the banking sector, which functions as an intermediary for the community when there is a money deficit and surplus (kasmir, 2012). in indonesia, there is dual banking systems, namely first, conventional banks which are commercial banks that carry out their performance using two methods, namely setting interest as the selling price and buying price or known as spread based, and setting fees in services or called fee-based (hardianti & saifi, 2018). second, islamic banks are banks that provide activities in the form of payment traffic services on the basis of sharia principles, economic democracy, and prudential principles based on the koran (yaya, martawireja, & abdurahim, 2009). the growth of islamic banks has experienced quite positive developments, especially in islamic commercial banks (bus). this growth is evidenced by the number of bus agencies, namely 14 units and 1,894 total offices. affiliation: 1 department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: ayif.fathurrahman@umy.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i1.10118 citation: fathurrahman, a., & devi, a.s. (2021). the determinants of musharaka financing in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(1), 37-47. article history received: 01 nov 2020 revised: 26 mar 2021 accepted: 06 apr 2021 https://scholar.google.co.id/citations?user=hjfx9riaaaaj&hl=en https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ mailto:ayif.fathurrahman@umy.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/10118 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.10118&domain=pdf fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 38 apart from the number of agencies and the number of offices, it can be seen from the total assets as of june 2019 that it has reached rp. 499 trillion. the market share of islamic banking to national banking has reached 5.95%. the high growth in assets cannot be separated from the growth in third-party funds and the growth in distribution of funds. fund collection growth increased by 396 trillion followed by distribution of public funds of 343 trillion (sps-ojk june 2019). the development of financing in 2019 at islamic commercial banks shows that murabahah financing still dominates other financing which reaches 49.95% of the total distribution of funds, while musharaka financing is in the second level after murabahah at 42.74%, mudharabah financing at 4.29%, ijarah financing at 3.25%, qardh at 2.75%, istishna at 0.56%, others at 0.28% (sps-ojk, 2019). figure 1 development of financing at islamic commercial banks in indonesia examining the information by figure 1, it can be explained that musharaka financing was relatively significant during june 2019 period. this means that almost 50% of the financing in islamic commercial banks is held by musharaka and causes the indonesian population to have a great interest in using the musharaka contract. this statement is reinforced by basyariah (2018) that the development of musharaka financing is relatively significant because current murabahah financing has deviated from the mission of sharia as a profitsharing based banking and has led some customers to choose musharaka because sharia principles are still pure. this is in line with kusmyati's (2019) research stating that musharaka has a contract concept that is in accordance with the islamic concept in carrying out cooperation and capital is obtained from both parties so that the risks that occur are shared which causes customers to use this financing. in the last five years, the development of musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia can be seen in the figure 2. 0,00% 20,00% 40,00% 60,00% 0,28% 0,56% 2,75% 3,25% 4,29% 42,74% 49,95% financing fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 39 figure 2 musharaka financing observing the figure 2, it can be explained that from 2015 to 2019, musharaka financing has increased quite significantly, meaning that the development of musharaka financing shows positive results from year to year on the role of islamic banks in indonesia. the development of musharaka financing for islamic commercial banks in indonesia cannot be separated from various factors, such as bank specific variables (pratiwi, 2018; ovami & thohari, 2018; kusmiyati, 2019; and macroeconomic variables (priyanto, fahmi, & ismal, 2016; nahae & saker 2017; amelia & hardini, 2017). in addition, the virtue of musharaka financing is also a consideration, especially in the real sector of smes (trimulato, 2017). the novelty of this research is to link the study of the market share of islamic banking in indonesia, which is represented by third-party funds (tpf) variable, to musharaka financing. it also aims to determine the general relationship between the development of the market share of islamic banking and musharaka financing. research method the type of data used in this study is secondary data. this data collection technique is documentation that has been published by the financial services authority (ojk), bank indonesia, and the central bureau of statistics. the classical assumption test is used in a research to identify the presence or absence of a good linear estimator from the regression model, such as the normality test, multicollinearity test, heteroscedasticity test and autocorrelation test (basuki, 2017). this study used the multiple regression analysis model that can be used in stata. multiple regression analysis in this study was processed using analysis tools or often called stata 14.2 software. stata is a statistical program that is known for its completeness in processing research data through the ability of statistical functions (putra, widarsa, & astuti, 2016). the multiple regression model can be formulated as follows: 0 20000 40000 60000 80000 a p r1 5 a u g -1 5 d e c1 5 a p r1 6 a u g -1 6 d e c1 6 a p r1 7 a u g -1 7 d e c1 7 a p r1 8 a u g -1 8 d e c1 8 a p r1 9 a u g -1 9 musharaka financing pem musyarakah fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 40 y i = ᵝ0 + ᵝ1x1i + ᵝ2x2it + ᵝ3x3it + ᵝ4x4it + ei (1.1) explaination: y = musharaka financing ᵝ0 = intercept ᵝ1 ᵝ5 = regression coefficient x1 = inflation x2 = exchange rate x3 = roa x4 = tpf e = error the results of the normality test which explains that the test shows a good significance level mean that the data are normally distributed, and this can be proven by the probability value (prob> chi2) of 0.1172. based on the multicollinearity test, it can be explained that inflation has a vif value of 1.03 <10 and a 1 / vif value of 0.967829> 0.1, the exchange rate has a vif value of 1.76 <10 and a value of 1 / vif of 0.569152> 0.1, the roa ratio has a vif value of 2.97 <10 and a 1 / vif value of 0.336455> 0.1, while tpf has a vif value of 3.04 <10 and a value of 1 / vif of 0.328484. based on the heteroscedasticity test result, it can be concluded that the probability value of heteroscedasticity is 0.0028 <0.05, which means that this regression model has a problem. however, according to basuki (2017), one way to eliminate the problem of the heterocedasticity test is to improve the regression model which is transformed into a logarithmic form. based on the heteroscedasticity test with breusch-pagan, where the data has been transformed into a logarithmic form the probability value of heteroscedasticity is 0.1709> 0.05, meaning that in this regression model there is no heteroscedasticity problem. based on the autocorrelation test result, it can be concluded that the chi s-quare probability value is 0.0000, meaning that in this regression model there is an autocorrelation problem. based on the opinion of gujarati (2007), if there is an autocorrelation problem in the regression model, this regression model can be done by improving autocorrelation. this autocorrelation improvement can be done with first differences or derivatives. based on the autocorrelation test with the breusch-godfrey method, where the data has been transformed into a first difference form, the value of prob> chi2 autocorrelation is 0.1249> 0.05, meaning that in this regression model there is no autocorrelation problem because it is larger than 0.05. fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 41 result and discussion result data processing used in this research is stata software. the results of the estimation or data processing are presented in the table 1. table 1 multiple linear regression results msy coef. std. err. p > i t i [ 95% conf. interval ] inf 1209.604 1112.324 0.282 -1023.48 3442.689 er 2.02108 0.8338454 0.019 0.3470658 3.695095 roa 3326.528 1559.056 0.038 196.5923 6456.464 tpf 0.218359 0.016604 0.000 0.1850251 0.2516929 _cons -21828.79 10290.68 0.039 -42488.19 -1169.401 prob>f 0.0000 adj r-squared 0.9350 source: data processed. based on the table 1, the results of the multiple linear regression estimation is that the inflation variable has a probability value of 0.282 with a regression coefficient of 1209.604. this means that the probability value obtained has a value greater than 5% and the inflation coefficient has a positive value indicating that inflation has a positive but insignificant effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. the inflation regression coefficient value is 1209.604. meaning that if inflation at islamic commercial banks has increased by 1% during january 2015 to august 2019, and then musharaka financing will increase by 1209.604. the exchange rate variable has a probability value of 0.019 with a regression coefficient of 2.02108. the probability value of 0.019 is less than 5% with a positive exchange rate coefficient indicating that the exchange rate has a positive and significant effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. the coefficient value on the exchange rate is 2.02108, meaning that if the exchange rate at islamic commercial banks increases by 100 units during january 2015 to august 2019, then musharaka financing will increase by 2.02108. these results indicate that the higher the exchange rate, the higher the musharaka financing that is distributed to islamic commercial banks in indonesia. the return on asset (roa) ratio has a probability value of 0.038 with a coefficient level of 3326.528. with a probability value of 0.038 less than the alpha value of 5% and the regression coefficient level having a positive value, it means that roa has a significant positive effect on musharaka financing in islamic commercial banks. if there is an increase in roa of 1%, there will be an increase in musharaka financing by 3326.528. this means that the higher the roa at islamic commercial banks, the higher the musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. the ratio of third-party funds (tpf) has a probability value of 0.039 with a coefficient level of 0.218359. with a probability value of 0.039 which is smaller than the alpha value of 5% and the level of the regression coefficient having a positive value, it means that tpf has a fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 42 positive and significant effect on musharaka financing. if there is an increase in tpf by one billion, it will cause an increase in musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. this means that the higher the tpf ratio, the higher the musharaka financing that is distributed by islamic commercial banks. based on the table 1, the multiple linear regression analysis is that the adjusted r-squared value is 0.9350. it means that the value of r2 indicates that the independent variable such as inflation, exchange rate, roa, and tpf have an influence on musharaka financing by 93.50%, while the remaining 6.50% is explained by other variables outside of the inflation variable, exchange rate, roa and tpf. the regression analysis results shows that the prob> f value of 0.0000 is smaller than the value of α = 5% or equal to 0.05. thus it can be concluded that ho is rejected and ha is accepted, meaning that simultaneously the independent variables consisting of inflation, exchange rate, roa and tpf have a significant influence on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. based on the results, it can be explained that the independent variable of inflation rate has a t-statistic value of 1.09 t-table of 2.00665 with a probability value of 0.019 and a coefficient of 2.02108. therefore, with the obtained probability result less than the value of α = 5% and the coefficient is positive, it can be concluded from these results that the exchange rate has a positive and significant effect on musharaka financing. the data processing result shows that the independent variable of roa has a t-statistic value of 2.13> t-table of 2.00665 with a probability value of 0.038 and a coefficient of 3326.528. therefore, with the obtained probability result less than α = 5% and the coefficient is positive, it can be concluded that the roa value has a positive and significant effect on musharaka financing. discussion the influence of inflation on musharaka financing inflation has no effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia because the results of this study indicate that in the vulnerable period of january 2015 to august 2019, inflation was still in a mild condition, which was below 10%, meaning that bank indonesia always pays attention to inflation developments and it causes bi must take actions or policies to maintain economic stability, even though inflation in this case is categorized as mild. therefore, the inflation rate cannot be said to be always bad, as long fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 43 as the inflation rate is still in a safe condition. it can be said to be bad or problematic inflation if the inflation is at a high enough value and is within the upnormal line. although inflation fluctuated during january 2015 to august 2019, it will not affect musharaka financing. on the contrary, musharaka financing will increase continuously, meaning that if there is inflation and people need capital for business, the public will go to islamic banks to propose financing. if inflation does not occur and at that time the community needs capital to open a business as well, the community will borrow money from the bank and inevitably the bank will channel funds or finance to people who need capital. according to theory, it can be explained that the effect of inflation depends on the degree. if the degree of inflation is high, it means that there will be a continuous price increase which will have an impact on customers in reducing their investment in the bank, while the degree of low inflation means that it will have an impact on encouraging customers to invest more money in the bank. so, the bank will not experience a deficit in channeling funds or financing to the public. indonesian central bank must maintain inflation rate in the safety level for financial industry by following determined inflation target through appropriate monetary policies (setiartiti & hapsari, 2019; fakhrunnas, 2020). it is broadly strengthened or in accordance with the research conducted by laelasari (2019) entitled the effect of inflation on the financing of micro, small and medium enterprises (msmes) in 2015-2016 at bprs al-masoem and research by amelia and hardini (2017) with the research title of the determinant of mudharabah financing a study at indonesian islamic rural banking which state that inflation has no significant effect on musharaka financing. however, this opinion is contrary and inconsistent with the research conducted by nahar and sarker (2016) entitled the are economic factors substantially influential for islamic banking financing? cross-country evidence, which explains that inflation has an effect on financing. the effect of exchange rates on musharaka financing from the results of research conducted in the 2015 to august 2019 period, it shows that the exchange rate variable has a positive and significant influence on musharaka financing. in addution, it can be concluded that if the exchange rate depreciates, this is influenced by economic conditions in the united states where the dollar is getting stronger. besides, that the balance sheet trade is in deficit because the country's low exports cause many imported products to enter the country. the increase in the exchange rate will have an impact on domestic goods that are increasingly expensive compared to cheaper foreign products, so that it will reduce the production in domestic products and consequently the need for business capital and investment funds is reduced. however, the positive effect of the exchange rate on musharaka financing does not reduce the activities carried out by islamic banks in financing the public. this is because the depreciation of the exchange rate in the study year is in a stable condition and does not occur in a long period of time. fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 44 statement above is in line with research conducted by amelia and hardini (2017) with the title of determinant of mudharabah financing a study at indonesian islamic rural banking and nahar and saker's research (2016) with their research entitled are economic factors substantially influential for islamic banking. it is concluded that the results of these two studies indicate that the exchange rate has a significant effect on financing. the effect of return on asset (roa) on musharaka financing the results showed that a high return on asset can increase musharaka financing in islamic commercial banks in indonesia. therefore, the more banks distribute funds in the form of financing, the higher the roa ratio will be. logically, if the bank finances musharaka to the public in large quantities, the profits that the bank will get will increase. so, in obtaining a high enough profit, the bank must apply financing risk management with prudent principles to avoid problematic financing that can trigger risks. in addition, roa measurement can be seen through the net income that the company generates on the company's total assets. this statement is in line with the research conducted by kusmyati (2019) entitled the effect of capital adequacy ratio (car), return on asset (roa), non performing financing (npf) on musharaka financing in islamic commercial banks in indonesia in 2015-2017. what is different from this research is also in line with the research conducted by sari (2016) with the title of determinants of islamic commercial bank financing in indonesia which explains that roa has a significant effect on musharaka financing. however, this opinion contradicts the research conducted by annisa and fernanda (2017) with their research entitled the effect of car, npf and roa on mudharabah and musharaka financing in islamic commercial banks in indonesia stating that roa has no significant effect on musharaka financing. the effect of third-party funds on musharaka financing the results show that the tpf ratio has a positive and significant effect on musharaka financing. broadly speaking, third-party funds channeled by customers to banks and circulated by banks indicate that tpf has an important role in the financing factor. in this study, the significant effect of tpf on musharaka financing shows that third-party funds are mostly used for musharaka financing. in addition, this research shows that the musharaka financing that is distributed to the community depends on third-party funds. therefore, the existence of musharaka financing channeled by islamic commercial banks can indirectly encourage the economy in indonesia, because the increasing number of musharaka financing that can be distributed to the public shows that the contribution of islamic banks to this economy is increasing. in addition to having an impact on the country's economy, musharaka financing can increase bank liquidity so that islamic banks also benefit from musharaka financing that is distributed to the public. the increase in bank liquidity is obtained through bank profits after financing using a profit sharing system. fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 45 this statement is in line and evidenced by research conducted by destiana (2016), nurrochman (2016), hasi and sonjaya (2016), medyawati and yunanto (2019) stating that tpf has a significant effect on musharaka financing. conclusion from the results of the research and data analysis conducted by the researcher, the conclusions can be drawn as follow: inflation variable has a positive and insignificant effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. meanwhile, the exchange rate, return on assets (roa) and third-party funds (tpf) have a positive and significant effect on musharaka financing at islamic commercial banks in indonesia. the results have contribution to the determinant of the market share of islamic banks in indonesia which is a partnership-based pattern, considering that this pattern should be the virtue of islamic ribanking, because it has a different spirit from the interest-based pattern. in addition, these results provide an overview of customer interest in musharaka financing in islamic banking. empirically, customer interest is strongly influenced by internal and external banking factors, such as macroeconomic factors. the implication of this research is that macroeconomic variables are considerable. islamic bank musharaka financing is highly dependent on macroeconomic determinants. the suggestion for further research is that it is better to multiply the determinants which theoretically and practically have a strong relationship to the financing of islamic bank musharaka in indonesia, with the hope of obtaining comprehensive and holistic research. references amelia, e., & hardini, e. f. (2017). determinant of mudharabah financing: a study at indonesian islamic rural banking. etikonomi, 16(1), 43–52. https://doi.org/10.15408/etk.v16i1.4638 annisa., s., & fernanda, d. (2017), pengaruh dpk, car, npf dan roa terhadap pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada bank syariah mandiri periode 20112015. jurnal ekonomi & bisnis dharma andalas, 19(2). 300-305. retrieved from http://ojs.unidha.ac.id/index.php/edb_dharmaandalas/article/view/63 bank indonesia. laporan tahunan perekonomian. (2019). https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/ documents/6_lpi2018_bab%204.pdf. diakses tanggal 6 november 2019. basuki, a.t. (2017). ekonometrika dan aplikasi dalam ekonomi. yogyakarta: danisa media. basyariah, n. (2018). analisis implementasi pembiayaan musyarakah mutanaqishah pada perbankan syariah di indonesia. muqtasid: jurnal ekonomi dan perbankan syariah, 9(2), 120-133. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v9i2.120-133 destiana, r. (2016). analisis dana pihak ketiga dan risiko terhadap pembiayaan mudharabah dan musharaka pada bank syariah di indonesia. jurnal logika, 17(2), 42-54. retrieved from http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/logika/article/view/140 https://doi.org/10.15408/etk.v16i1.4638 http://ojs.unidha.ac.id/index.php/edb_dharmaandalas/article/view/63 https://doi.org/10.18326/muqtasid.v9i2.120-133 http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/logika/article/view/140 fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 46 fakhrunnas. f. (2020). total financing of islamic rural banks and regional macroeconomic factors: a dynamic panel approach. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 21(1), 1-15. https://doi.org/10.18196/jesp.21.1.5028 financial services authority (ojk). (2019). undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/regulasi /undang-undang/pages/undang-undang-nomor-21-tahun-2008-tentang-perbankansyariah.aspx. diakses tanggal 9 oktober 2019. financial services authority (ojk). statistik perbankan syariah. www.ojk.go.id gujarati, d.n. (2007). dasar-dasar ekonometrika jilid 2. jakarta: erlangga. hardianti, d. & saifi. (2018). analisis perbandingan kinerja keuangan bank umum konvensional dan bank umum syariah berdasarkan rasio keuangan bank. jurnal administrasi bisnis, 60(2), 11-20. retrieved from http://administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jab/article/view/2501 hasi, f.r. & sonjaya, y. (2016). pengaruh dana pihak ketiga, loan to deposit ratio dan return on asset terhadap pembiayaan pada perbankan syariah. jurnal manajeman dan akuntansi, 4(1), 43-54. retrieved from http://jurnal.uniyap.ac.id/jurnal/index.php/future/article/view/318 kasmir. (2012). analisis laporan keuangan. jakarta: pt. raja grafindo persada. kusmyati, s.a. (2019). pengaruh capital adequacy ratio (car), return on asset (roa), non performing finance (npf) terhadap pembiayaan musharaka pada bank umum syariah di indonesia tahun 2015-2017. jurnal prosiding ilmu ekonomi, 5(5). retrieved from http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/15136 laelasari, w. (2019). pengaruh inflasi terhadap pembiayaan usaha mikro kecil menengah (umkm) tahun 2015-2016 di bprs al-masoem. jsma (jurnal sains manajemen dan akuntansi), 11(1), 109–118. https://doi.org/10.37151/jsma.v11i1.18 medyawati, h. & yunanto, m. (2019). factor influencing islamic bank financing in indonesia. journal of economics and business, 2(1), 137-146. https://doi.org/10.31014/aior.1992.02.01.74 nahar, s., & saker, n. (2016). are macroeconomic factor substantialy influential for islamic bank financing ? cross – country evidence. journal of business and management (iosrjbm) 18(6), 20-27. retrieved from http://www.iosrjournals.org/iosrjbm/papers/vol18-issue6/version-1/c1806012027.pdf nurrochman, i., & mahfudz, m. (2016). analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan pada bank umum syariah (studi pada bank umum syariah tahun 20122015). diponegoro journal of management, 5(3), 863-878. retrieved from https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/14675 ovami, d.c. & thohari, a.a. (2018). pengaruh dana pihak ketiga dan non performing financing terhadap pembiayaan musyarakah. jurnal penelitian pendidikan sosial humanivora, 3(1), 298-304 https://doi.org/10.32696/jp2sh.v3i1.90 pratiwi, f. n. (2018). pengaruh fdr, dpk, roa terhadap pembiayaan di bank syariah (studi kasus pada bank syariah mandiri). jurnal education and economics, 1(3), 037 048. retrieved from http://jurnal.azharululum.sch.id/index.php/jee/article/view/12 priyanto, t., fahmi, i., & ismal, r. (2016). faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan berbasis bagi hasil (equity financing) pada bank syariah x. jurnal aplikasi bisnis dan manajemen (jabm), 2(3), 281. https://doi.org/10.17358/jabm.2.3.281 putra, w. g. a. e., widarsa, t., & astuti, p. a. s. (2016). modul manajemen data dan statistika dasar. fk universitas udayana. sari, m. (2016). determinants of islamic commercial banks financing risk in indonesia. journal of islamic economics lariba, 2(2), 25-32. retrieved from https://journal.uii.ac.id/jielariba/article/view/9679 https://doi.org/10.18196/jesp.21.1.5028 http://www.ojk.go.id/ http://administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jab/article/view/2501 http://jurnal.uniyap.ac.id/jurnal/index.php/future/article/view/318 http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/15136 https://doi.org/10.37151/jsma.v11i1.18 https://doi.org/10.31014/aior.1992.02.01.74 http://www.iosrjournals.org/iosr-jbm/papers/vol18-issue6/version-1/c1806012027.pdf http://www.iosrjournals.org/iosr-jbm/papers/vol18-issue6/version-1/c1806012027.pdf https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/14675 https://doi.org/10.32696/jp2sh.v3i1.90 http://jurnal.azharululum.sch.id/index.php/jee/article/view/12 https://doi.org/10.17358/jabm.2.3.281 https://journal.uii.ac.id/jielariba/article/view/9679 fathurrahman & devi the determinants of musharaka financing in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 47 setiartiti, l., & hapsari, y. (2019). determinants of inflation rate in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 20(1), 112-123. https://doi.org/10.18196/jesp.20.1.5016 trimulato, t. (2017). analisis potensi produk musyarakah terhadap pembiayaan sektor riil umkm. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 18(1), 41-51. https://doi.org/10.18196/jesp.18.1.3830 yaya, r., martawireja, a.e., & abdurahim, a. (2009). akuntansi perbankan syariah. salemba empat. https://doi.org/10.18196/jesp.20.1.5016 https://doi.org/10.18196/jesp.18.1.3830 microsoft word 01-dimas jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.91-100 evaluating monetary transmission mechanism in indonesia through exchange rate channel dimas bagus wiranata kusuma1 , salina h. kassim2 1,2 kulliyyah of economics and management sciences, international islamic university malaysia 53100 kuala lumpur, malaysia. phone: +6196 5217/5207 e-mail korespondensi: dimas_kusuma@umy.ac.id received: july 2012; accepted: september 2013 abstract: this study aims to evaluate the role of exchange rate channel in transmitting monetary policy effects in indonesia by addressing the following questions: (i) to what extent is the contribution of the exchange rate in inflation rate fluctuations in indonesia? (ii) what are the effects of exchange rate channel in explaining the direct pass through effect in indonesia; and (iii) can the exchange rate channel explain the trade competitiveness in indonesia? the study utilizes monthly data spanning from january 1990 to april 2009 and is divided into four sub-periods, namely (i) pre-crisis period: january 1990-july 1997; (ii) crisis period: august 1997-december 2000; (iii) post-crisis period: january 2001-june 2005; and (iv) post-itf period: july 2005-april 2009. by adopting the standard vector autoregression model, the study finds changing nature of the exchange rate channel during the various sub-periods of the study. keywords: exchange rate channel; trade balance; direct pass through; indonesia jel classification: e44, f15, g01 abstrak: studi ini bertujuan mengevaluasi peran saluran nilai tukar dalam mentransmisikan efek kebijakan moneter di indonesia dengan mengatasi pertanyaan berikut: (i) sampai sejauh mana kontribusi dari nilai tukar fluktuasi tingkat inflasi di indonesia? (ii) apa efek dari saluran nilai tukar dalam menjelaskan lulus langsung melalui efek di indonesia; dan (iii) dapatkah saluran nilai tukar menjelaskan daya saing perdagangan di indonesia? studi ini menggunakan data bulanan mulai dari januari 1990 sampai april 2009 dan dibagi menjadi empat sub-periode, yaitu (i) periode pra-krisis: januari 1990-juli 1997; (ii) masa krisis: agustus 1997-desember 2000; (iii) periode pasca-krisis: januari 2001-juni 2005; dan (iv) pasca-itf periode: juli 2005april 2009. dengan mengadopsi model vector autoregression standar, studi ini menemukan perubahan sifat saluran nilai tukar selama berbagai sub-periode studi. kata kunci: kurs channel; neraca perdagangan; direct pass through; indonesia klasifikasi jel: e44, f15, g01 introduction the monetary transmission mechanism is a process through which monetary policy decisions are transmitted through the economy resulting in the intended changes in income and inflation (taylor, 1995). since there are various possible important transmission mechanisms in an economy, the task of identifying the relevant channels through which the impact of monetary policy is transmitted to the real economy has been one of the most challenging and crucial ones in the conduct of monetary policy. a clear understanding of the monetary transmission mechanism channel is highly important in ensuring effective and successful implementation of monetary policy. domac (1999) highlights that understanding the transmission mechanism of monetary policy is highly important, particularly on the distributional consequences of the policy actions. in small open economies, one of the candi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 91-100 92 dates for an important channel of monetary transmission is the exchange rate channel. due to the high dependencies on the external sector, exchange rate movements might have major influences on the aggregate demand and aggregate supply, thus, output and prices in the small open economies. in the case of indonesia, the conduct of monetary policy has been focusing on achieving output and price stability. due to its open nature, the exchange rate channel is also an important channel of monetary transmission and becoming more pronounced in affecting the real economy and prices, particularly since the crisis in 1997/1998 (bank indonesia, 2000). exchange rate stability becomes an important aspect in maintaining sustainability in the economy, in particular, when looking at its relationship with the other variables. such stability, in the context of monetary policy, has been recorded as bank indonesia (bi) mandate, that is, to achieve stability in exchange rate (rupiah) in efforts to control the level of domestic inflation. in determining the role of the exchange rate in the transmission mechanism in the indonesian economy, siswanto et al. (2001) and astiyah (2006) conduct empirical studies using a structural vector auto regression (svar) approach, by considering two sub-periods, precrisis and post-crisis. the first sub-period seeks to measure whether a monetary policy shock had a dominant influence on exchange rate movements compared to a risk factor, with the objective of determining whether the monetary policy could be transmitted to inflation through the exchange rate channel. meanwhile, the second sub-period is aimed at detecting the transmission of exchange rate changes to the inflation rate both directly, through price (direct pass-through effect), and indirectly, through output (indirect pass-through effect). the findings reveal that during the pre-crisis period, monetary policy transmission through the exchange rate channel was very weak. in addition, during the pre-crisis, the study shows that the direct pass-through effect of the exchange rate to consumer prices is larger than the indirect pass through. these results lead to the conclusion that the magnitude of exchange rate channel in indonesia is important to be put in place as a crucial mechanism of monetary policy to affect output, even though it indicates a weak form relationship. in terms of monetary policy framework, prior to the inflation targeting in july 2005, bi had initially adopted the base money as operational target for monetary policy. the notion of shifting to inflation as an anchor since 2000 was in line with the improvement in price condition and as complication in the banking system renders bank credit no longer compatible for monetary operation. technically, under base money, it is difficult to trace its stability, and control and predict its behavior. more importantly, the monetary policy responses tend to be backward looking, thus it could be unreliable to be incorporated as a policy signal. consequently, bi introduced a new policy framework which mainly focuses on inflation targeting as the operational target in monetary policy. in this regard, the basic principle of the monetary policy framework is to strike a balance between achieving the inflation target and optimal levels of other macroeconomic variables. specific measures are implemented to curb inflationary pressure, guide inflation expectations, and deal more with the inflation shocks, as well as reduce output volatility over medium-term horizons. in short, the new monetary policy offered and adopted is based on the principle of flexibility in accommodating a temporary inflation shocks without deviating from the achievement of the medium-term target. amid the increasing need for more information on the effectiveness of the itf following its recent adoption in the indonesian economy, this study empirically deliberates on major issues pertaining to the role of exchange rate channel in indonesia. in particular, this study aims to empirically determine whether the variability in the exchange rate triggers higher inflation rate and being harmful to the trade balance in case of indonesia. in this regard, this paper attempts to address the following questions: (i) what is the extent of exchange rate channel contribution in the inflation rate fluctuation in indonesia? (ii) what is the role of exchange rate channel in explaining the direct pass through effect in indonesia, (iii) can exchange rate channel explain the trade competitiveness in indonesia? evaluating monetary transmission mechanism... (dimas bagus, salina) 93 exchange rate channel and monetary policy framework in indonesia exchange rate as a policy instrument used by central bank is affected by some changes in supply and demand aspects. this includes, first, changes in domestic real income; it implies that households and firms have more funds to spend (and save), increasing the demand for more domestic and foreign goods, services, and securities. the supply of domestic money, for instance, indonesian rupiah, will increase as increase in exports. second, changes in domestic price of domestic goods relative to the domestic price of foreign goods. residents will demand more foreign goods and therefore supply more domestic money in the foreign exchange market. third, changes in foreign interest rates relative to domestic interest rates. as foreign interest rates raises relative to domestic rates, ceteris paribus, foreign securities become relatively more attractive. accordingly, domestic residents will buy more foreign securities and supply more domestic money. in mundell-fleming (1998) model for small open economies, an exchange rate appreciation would hurt exports and encourage imports. further detailed explanation was provided by the marshall-lerner (1996) condition which states that the trade balance to improve following depreciation; export must increase enough and otherwise, import decreases to compensate in the increase of imports. during the exchange rate depreciation in 2008, the flows of indonesia’s exports were falling, and so did the imports volume. this indicates that under recession or global economic turmoil, the marshall-lerner condition needs to be re-examined in the specific context of a particular economy. in the context of indonesia, an evaluation of the impact of changes in exchange rate on the economy is needed as the implementation of the itf could result in a distinct economic condition. figure 1 shows the impact of the 2007/2008 global financial crisis in terms of export, import, and nominal exchange rate which seemed to be confirming on the above mentioned theory. in figure 1. fluctuations of nominal exchange rate, export, and import during itf implementations   8.8 8.9 9.0 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 2006 2007 2008 xp 8.4 8.6 8.8 9.0 9.2 9.4 9.6 2006 2007 2008 mp 9 .0 5 9 .1 0 9 .1 5 9 .2 0 9 .2 5 9 .3 0 9 .3 5 9 .4 0 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 n e r 9.05 9.10 9.15 9.20 9.25 9.30 9.35 9.40 2006 2007 2008 ner 8.4 8.6 8.8 9.0 9.2 9.4 9.6 2006 2007 2008 mp jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 91-100 94 particular, due to the depreciation in 2008, the import value was slowing down, and export did so, which should be moving up. it may be guessed since the global markets were exaggerating so that it might decline the global demand, so finally tended to push down the indonesia exports market. however, in the context of marshall-lerner condition on trade balance theory, the presence of nominal depreciation in domestic exchange rate against foreign exchange rate cause an increase in net exports. in relation to the exchange rate and price level, the exchange rate pass-through (erpt) refers to the extent in which exchange rate changes alter relative prices. the effects of exchange rate changes can be on: (1) import and export prices, (2) consumer prices, and (3) trade volumes. the erpt can essentially be defined as “the percentage change in local currency import/export prices resulting from one percent change in the exchange rate” (duasa, 2008). according to mcfarlane (2002), the erpt mechanism is comprised of two channels which is originally sourced by exchange rate depreciation, and affected the price level accordingly. a direct and indirect pass through effect is considered to be a channel through which current account imbalances can be adjusted. the direct pass through would contribute into inflation through imported inputs and imported of final goods which become more expensive. these conditions accordingly would raise production cost, and inflation in country. meanwhile, indirect pass through effect is describing a depreciation on exchange rate is apparently channeled into inflation through (1) domestic demand for substitutes goods, and (2) demand for export. these two conditions would increase demand for labor and push up substitute and exports price, so definitely encourage inflation to crawl up. given that indonesia has been implementing the itf in managing its monetary policy, for achieving inflation stabilization policy, it is important to understand if exchange rate channel contributes significantly to changes in the level of inflation in the country through the erpt. in view of the high possibility that the exchange rate channel would bring tremendous impact on the health and stability of the indonesian economy, an empirical examination of the relationship between the exchange rate channel and price level in the context of the itf is urgently needed. several studies focusing on this area include that of mohamed (2003), which empirically examines the roles of money and credit in the monetary policy during the preand post-liberalization period in malaysia. the results indicate that money played important role post-liberalization compared with during pre-liberalization. edwards (2006) analyzes the relationship between exchange rate and inflation in countries that have adopted inflation targeting. the study finds two important findings: first, these countries have experienced a decline in the pass-through from exchange rate to inflation since there is co-existence in the degree of effectiveness of the nominal exchange rate as a shock absorber. second, the adoption of inflation targeting in the monetary policy procedures has not resulted in an increase in exchange rate volatility. the study by rahmi et al. (2009) indicates that the indonesian currency would be affected by the changes on the us, singapore, and the uk exchange rates due to the interest rate differentials. kara and nelson (2002) explain the phenomena of “exchange rate disconnect” whereby exchange rate could not be co-existence with inflation in cases where imports are treated as the intermediate-goods specification rather than as a final consumer good. jayanthy and abdullah (2010) adopts the granger causality test and finds that for asia, there is a significant one way causal relationship between the nominal and real exchange rate and the rate of inflation. ito and sato (2007) argue that (i) the degree of exchange rate pass through to import prices was quite high in the crisis-hit economies, including in indonesia, (ii) the pass through to cpi was generally low, with a notable exception of indonesia. concerning export competitiveness under appreciation of exchange rate, abeysinghe and yeok (1998) expose that in general, singapore economy has a higher degree in imported input content, but exchange rate appreciation has the less the impact on its exports. this suggests that singapore economy has successfully developed domestic value-added which calls for the critical leverage in maintaining export competitiveness and explains a concerted efforts to raise productivity across industries. finally, uddin evaluating monetary transmission mechanism... (dimas bagus, salina) 95 (2009) examines the co-integration between export and import in bangladesh economy. he later suggests that bangladesh economy is not in violation of its international budget constraints. it implies its trade balance is co-integrated and some policies on international trade are investigated to show long run equilibrium relationship between export and import. research method type and source of data the study utilizes monthly data series for the period from january 1990 to april 2009. for comparison purpose and more enriching discussion, the data sample period is further divided into four sub-periods, namely (i) precrisis period: january 1990 to july 1997; (ii) crisis period: august 1997 to december 2000; (iii) post-crisis period: january 2001 to june 2005; and (iv) post inflation targeting framework (itf): july 2005 until april 2009. nominal exchange rate (ner), inflation rate (inf), imports (mp), and exports (xp) are further investigated and examined using the standard vector auto regression analysis. all data are expressed in logarithmic forms, with the exception of inflation rate. data are sourced from the international monetary fund’s international financial statistics and bank indonesia database of various issues. data analysis before we proceed, it is imperative to perform a priory analysis of the variables temporal properties. we subject each time series to the standard augmented dickey fuller (adf) unit root test. the results indicate that almost all data series under consideration are integrated of order 1, or i (1). that is, they are stationary in their first differences. accordingly, we implement the philips-perron (pp) test for all variables under consideration. the pp test confirms the stationary in i (1) process. subsequently, we proceed with a cointegration test, as suggested by johansen (1992) and johansen and juselius (1990). essentially, the test of a varbased test, treating all variables as essentially endogenous. in implementing the test, we place emphasis on the pre-condition that the error terms need to be serially uncorrelated. table 1. unit root tests results: adf and pp tests period adf test pp test level first difference level first difference pre-crisis ner inf exp imp 0.790 -3.041** -1.017 -1.349 -5.612*** -6.652*** -8.840*** -6.466*** 0.718 -2.358 -1.096 -2.402 -5.611*** -6.445*** -18.242*** -19.536*** crisis ner inf exp imp -3.549** -2.071 -2.161 -2.933* -4.826*** -2.015*** -7.528*** -7.404*** -3.256** -1.389 -2.107 -2.838* -4.735*** -1.961*** -7.847*** -7.421*** post-crisis ner inf exp imp -1.788 -0.955 -1.560 0.366 -5.651*** -5.897*** -10.458*** -8.626*** -1.964 -1.148 -1.313 -0.755 -5.610*** -5.897*** -10.458*** -12.063*** post-itf ner inf exp imp -0.995 -1.457 -1.891 -1.566 -5.321*** -5.408*** -6.687*** -9.052*** -1.115 -1.706 -1.977 -1.580 -5.321*** -5.408*** -6.687*** -8.660*** note: *,**,*** denote significance at 10%, 5%, and 1%, respectively. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 91-100 96 1. concerning the effect of exchange rate channel to inflation to observe whether exchange rate can effect inflation during various period of time, the co-integration test is utilized and the results suggest that in all period observed, it indicates exchange rate does not carry out the long run relationship with the existed inflation in indonesia. such condition is exposed by the forecast error variance shown by variance decomposition function. interestingly, during the post implementation of itf, the innovation of inflation is very low compared with post crisis period, even crisis period. vdc function illustrate that the innovation of inflation was contributed by exchange rate shock just around 3% during precrisis, but tending to increase to more less 10% on 30 horizons. in addition, during crisis period it was accounted for around more less 20% on 30 horizons, and during post crisis the vcd shows an outstanding outcome which contributes roughly 75% in inflation rate variation. meanwhile, during itf implementation, conversely its contribution is weak and low, just around 1%, (see table 2), also see table 3 in appendix. according to above estimated results, the present study finds out that we reject the statement states “during the pre-crisis, exchange rate channel does not become an important channel in transmitting monetary policy, meanwhile during the crisis, post crisis, and post-itf implementation, it is considered as a crux channel, given under the floating exchange rate regime”. in particular, in the post crisis period after the implementation of the itf, the exchange rate channel tends to affect inflation but in a negligible portion, and relatively weak. therefore, in a nutshell, after implementation of itf, transmission channel through exchange rate becomes a less powerful to trace and explain the behavior of inflation rate in indonesia. 2. concerning the effect of exchange rate channel in explaining existed the direct pass through theoretically, the direct pass through is occurred in the form of an exchange rate depreciation which is transmitted through production cost process and accordingly into inflation. hence, in that context, by examining the integration process, we may ensure on how strong the inflation would arise in the case of depreciation taken place. according to cointegration results, during the crisis as well as post itf empirically shows significant result. it is meant that depreciation is reported as a threat policy which should be put into account in formulating monetary policy stance. in addition, those effect is obviously corrected by tracing out the vdc table which was during post itf the innovation of inflation through import variables is quite large and signed with significant portion, namely around 47% in 30 horizons period. meanwhile, during post, crisis, and pre-crisis, the portion is considered weak, (see table 4) and also see table 5 in appendix. according to above results, we sum up that (1) the process of direct pass through is higher and considered higher during the post crisis, in particular, post itf implementation, (2) the exchange rate channel can empirically explain the significant role of direct effect pass through only during post crisis, particularly, post itf implementation. therefore, in a nutshell, transmission mechanism through exchange rate channel yet stands as a good signal to expound the process of direct pass through effect in indonesia. 3. concerning the role of exchange rate in explaining the trade balance competitiveness given a condition in which exchange rate channel is considered very important during pre and post crisis, particularly, transmitting monetary policy under various exchange rate table 2. co-integration tests – trace and maximum eigenvalue tests (ner and inf) ho trace test maximum eigenvalue test pre crisis crisis post crisis post itf pre crisis crisis post crisis post itf r=0 14.646 18.328 15.773 6.525 12.368 14.687 13.176 5.545 r<1 2.277 3.641 2.596 0.979 2.277 3.641 2.596 0.979 *,**,*** denote significance at better that 10%, 5%, and 1% evaluating monetary transmission mechanism... (dimas bagus, salina) 97 regime and directed to achieve a desired level of inflation. looking at trade balance equilibrium, we might have known that export and import would be also affected by some shocks occurred in exchange rate. however, some economists expect that between export and import is co-integrated by econometric point of view so that a country (indonesia) is not in violation of her international budget constraints, (see table 6), and also table 5 in appendix. according to above results, they suggest that during various period, between export and import is co-integrated so that we accept above mention condition which states indonesian economy is not in violation of her international budget constraint and structurally immune from shock, for instance, through exchange rate channel. in a nutshell, exchange rate channel does not give an extra harmful situation to trade balance, during pre as well as post period. in other words, exchange rate channel cannot be used as a good channel to explain trade competitiveness in indonesia. conclusion in general, the study shows that monetary transmission through exchange rate channel has been responded differently. in the post-crisis, notably during post itp implementation, transmission channel through exchange rate becomes a less powerful tool to trace and guide inflation rate in indonesia. transmission mechanism through exchange rate channel yet stands a good signal to explain the process of direct pass through effect in indonesia. exchange rate channel does not give an extra harmful situation to trade balance, during pre and post crisis period. in other words, exchange rate channel cannot be used as a good channel to explain trade competitiveness in indonesia. an appreciation of the exchange rate is more favorable for the indonesian economy to boost economic growth and to lessen inflationary pressure. based on the findings of the study, it can be implied that as direct pass through has a higher magnitude over time, a depreciation of the exchange rate will slow down the economy. the relative high direct pass through, however does not affect the trade balance due to the existence of co-integration between export and import with exchange rate channel. after itf implementation, exchange rate channel is less powerful to achieve the policy target. therefore, an appreciation of the exchange rate is more favorable for the indonesian economy to boost economy growth and to lessen inflationary pressure. exchange rate appreciation will bring inflation down through its direct pass through effect on production cost. indeed. at a certain level, it would also support export of manufacturing products with high import content. direct pass through is higher in crisis period as well as itf according to vdc results. it may reflect that indonesian economy is more table 6. co-integration tests – trace and maximum eigenvalue tests (xp and mp) ho trace test maximum eigenvalue test pre crisis crisis post crisis post itf pre crisis crisis post crisis post itf r=0 15.875 14.851* 14.052 27.274** 12.358 14.848* 12.302 21.596** r<1 3.516 0.002 1.749 5.678 3.516 0.002 1.749 5.678 note: *,**,*** denote significance at better that 10%, 5%, and 1%. table 4. co-integration tests – trace and maximum eigenvalue tests (ner and imp) ho trace test maximum eigenvalue test pre crisis crisis post crisis post itf pre crisis crisis post crisis post itf r=0 15.875 14.851* 14.052 27.274** 12.358 14.848* 12.302 21.596** r<1 3.516 0.002 1.749 5.678 3.516 0.002 1.749 5.678 note: *,**,*** denote significance at better that 10%, 5%, and 1% jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 91-100 98 opened and liberalized over global markets. therefore, we may view that frankly, the rise of inflation post itf and later being transmitted into domestic economy through exchange rate channel, which then generates the higher degree of direct pass through effect, is not caused by solely exchange rate role and contribution. however, it has been contributed by state bank as well as private banks which increasingly are expanding their share of the lending market. given rigidities in nominal wages, the mundell-fleeming postulates that for small open economies, an exchange rate appreciation would hurt exports and encourage imports. in varying degrees, exporters maintain competitiveness in world markets by reducing their profit mark-up in the face of an appreciating currency. however, input-output economies argue that such theory might be irrelevant since exports perhaps depend in also varying degree in imported raw materials and imported intermediate inputs. therefore, in the case of indonesia which empirically conveys mostly in all period under observations, in particular, between export and import is serially co-integrated. hence, we summarize that: (1) in general, the higher the imported input content, the less the impact of exchange rate changes on export. at one extreme, we may suggest that exchange rate changes had no effect on reexports, (2) indonesian government has been successfully intertwining between trade policies and exchange rate policies, (3) there is an absence of productivity gap in the economy which means domestic value-added increases. on that reason, we may conclude that exchange rate channel might have not been a powerful channel to gauge the degree of competitiveness in indonesia economy, notably post-itf implementation. references abeysinghe, tilak, and tan lin yeok. (1998). exchange rate appreciation and export competitiveness. the case of singapore. applied economics, 1998, 30, 51-55 asteriou, dimitrios and stephen g. hall. (2007). applied econometrics: a modern approach using eviews and microfit revised edition. ny: palgrave macmillan. broda, christian, and john romalis. (2003). identifying the relationship between trade and exchange rate volatility. paper presented at lacea conference 2003, nber, minnesota, rin conference 2003 cargill, thomas f. (1991). money, the financial system, and monetary policy. fourth edition. new jersey: prentice-hall, inc. dai, chenyuan, and wai-mun chia. (2008). term of trade shocks and exchange rate regimes in east asia. asia pasific economic review conference 2008 duasa, jarita. (2008). impact of exchange rate shock on prices of imports and exports. mpra paper no. 11624. posted 18, november 2008 duasa, jarita. (2009). asymmetric cointegration relationship between real exchange rate and trade variables: the case of malaysia. mpra paper no. 14535 posted 08. april 2009 (http://mpra.ub.uni-muenchen.de/ 14535/ enders, walter. (1995). applied econometrics time series. usa: john wiley and sons, inc. goeltom, miranda s. (2007). essay in macroeconomic policy: the indonesian experience. jakarta: pt gramedia pustaka utama. hayakawa, kazunobu, and fukunari kimura. (2008). the effect of exchange rate volatility on international trade in east asia. eria discussion paper series hye, qazy muhammad adnan, and masood masood mashkoor sidduqui. (2010). are imports and exports cointegrated in pakistan? a rolling window bound testing approach. world applied sciences journal 9 (7): 708-711, 2010 iljas, achjar. 1998. the transmission mechanism of monetary policy in indonesia in the transmission of monetary policy in emerging market economies, ed. by steven kamin, bank for international settlements policy papers, no. 3 (basel). mcfarlane, l. (2002). consumer price inflation and exchange rate pass-through in jamaica, jamaica: bank of jamaica. evaluating monetary transmission mechanism... (dimas bagus, salina) 99 mohamed, azali. (2003). transmission mechanism in a developing economy, does money or credit matter? malaysia: university putra malaysia. naqvi, bushra, and syed kumail abbas rizvi. (2009). inflation targeting framework: is the story different for asian economies? mpra paper no. 19546 posted 23. december 2009 onafowora, olugbenga. (2003). exchange rate and trade balance in east asia: is there a j-curve? economic bulletin, vol. 5. no. 18 pp. 1-13 perera, nelson and reetu varma. (2008). an empirical analysis of sustainability of trade deficit: evidence from sri lanka. international journal of applied econometrics and quantitative studies vol.5-1 (2008) pongsaparn, runchana. (2007). inflation targeting in a small open economy: a challenge to monetary theory. paper prepared for ccbs (bank of england) chief economists workshop policy challenge to monetary theory: bank of thailand discussion paper sasaki, yuri n. (2002). pass-through of exchange rates on import prices of east asian countries. the paper prepared for presentation at the beijing conference, 2425 march 2002, organize by the china center for economic research sek, sick kun. (2010). the source of shocks and the role of exchange rate as a shock absorber: a comparative study in the crisishit east-asian countries. journal of mathematic research, vol 2. no. 1 sun, wei, and lian an. (2008). asymmetric stocks and exchange rate regimes in east asia. international research journal of finance and economics. http//www. eurojournals.com/finance.htm uddin, jashim. (2009). time series behavior of import and exports of bangladesh: evidence from cointegration analysis and error correction model. international journal of economics and finance, vol. 1, no 2 august 2009 utami, siti rahmi, and eno l. inanga. (2009). exchange rates, interest rates, and inflation rates in indonesia: the international fisher effect theory. international research journal of finance and economics. http:// www.eurojournals.com/finance.htm utami, siti rahmi. (2006). exchange rate passthrough in asia: what does the literature tell us? department of economics, claremont graduate university appendix table 3. variance decomposition function between ner and inf horizon explained by innovation in ner to inf pre-crisis crisis post-crisis post itf 2 2.539 15.023 20.647 0.016 4 5.121 22.900 47.042 0.0164 8 7.019 22.633 68.159 0.288 12 7.747 20.521 72.795 0.672 16 8.226 19.783 74.189 0.909 20 8.654 19.854 74.692 1.017 24 9.082 19.972 74.888 1.058 28 9.526 19.988 74.966 1.072 30 9.755 19.982 74.986 1.075 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 91-100 100 table 5. variance decomposition function between ner and mp horizon explained by innovation in ner to mp pre-crisis crisis post-crisis post itf 2 0.141 1.073 0.016 4.558 4 0.220 1.316 0.629 14.105 8 0.228 1.353 4.278 33.574 12 0.227 1.351 7.489 44.379 16 0.227 1.351 9.499 47.316 20 0.227 1.351 10.701 46.661 24 0.227 1.351 11.431 46.183 28 0.227 1.351 11.884 46.569 30 0.227 1.351 12.044 46.822 microsoft word 04-romi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.37-47 studi empiris depresiasi nilai tukar riil pada rezim nilai tukar mengambang bebas di indonesia romi bhakti hartarto macquarie university sydney nsw 2109, australia, phone: +61 298507111 e-mail korespondensi: romi.hartarto@gmail.com naskah diterima: september 2013; disetujui: februari 2014 abstract: this study aims to analyze the relationship of real exchange rate depreciation with trade balance and national output as economic indicators in floating exchange rate regime. this study also observes whether j-curve phenomenon exists in indonesia or not. this study employs quarterly data from year 2000:1 to 2010:4 as representation of floating exchange rate regime. vector error correction model is applied as an analytical tool by emphasizing on impulse response function to find out the response of one variable as caused by any shock from other variables in the model and variance decomposition to trace the relative contribution of one variable toward the variability of other variables in the model. this study demonstrates that real exchange rate depreciation contributes positively toward trade balance in longer time horizon. nevertheless, national output does not respond positively toward real exchange rate depreciation. another empirical finding suggests that there is no strong evidence of j-curve phenomenon during free floating exchange rate regime in indonesia. keywords: j-curve; exchange rate; trade balance; output; impulse response jel classification: e42, e63 abstrak: tujuan studi ini ialah untuk menganalisis respon yang diterima oleh neraca perdagangan dan output nasional akibat depresiasi nilai tukar riil selama rezim nilai tukar mengambang bebas. studi ini juga mencaritahu ada tidaknya fenomena kurva-j di indonesia. ada pun basis data yang digunakan pada studi ini ialah kuartalan dengan data observasi pada tahun 2000:1 hingga 2010:4 sebagai representasi periode rezim nilai tukar mengambang bebas. studi ini menggunakan alat analisis vector error correction model yang lebih ditekankan pada fungsi impulse response untuk mengetahui respon yang diterima oleh suatu variabel akibat gejolak variabel lain dalam model dan dekomposisi varian untuk mengetahui kontribusi suatu variabel terhadap variabilitas variabel lain dalam model. hasil dari studi ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar riil berhubungan positif dengan neraca perdagangan dalam horizon waktu yang lebih panjang. sementara itu, depresiasi nilai tukar riil justru berhubungan negatif dengan output nasional. temuan lain studi ini adalah tidak adanya bukti kuat yang menunjukkan fenomena kurva-j di indonesia selama rezim nilai tukar mengambang bebas. kata kunci: kurva-j; nilai tukar; neraca perdagangan; output; impulse response klasifikasi jel: e42, e63 pendahuluan sejarah indonesia telah tercatat sebanyak tiga kali mengganti rezim nilai tukarnya semenjak tahun 1965 hingga sekarang, yakni rezim nilai tukar tetap, mengambang terkendali, dan mengambang bebas. rezim nilai tukar tetap merupakan suatu sistem di mana pemerintah mengaitkan mata uang rupiah terhadap us dolar pada patokan tertentu tanpa memperhatikan permintaan atau penawaran terhadap jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 37-47 38 valuta asing. dalam hal ini, pemerintah melakukan intervensi aktif dengan melakukan jual beli valuta asing yang bertujuan untuk menstabilkan kurs sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan jika sewaktu-waktu terjadi goncangan penawaran dan permintaan valuta asing. rezim selanjutnya ialah rezim nilai tukar mengambang terkendali yang ditetapkan pada tahun 1978 dan diterapkan guna stabilisasi moneter dan neraca pembayaran. pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama indonesia dan dalam sistem ini pemerintah menetapkan kurs indikasi beserta rentang pergerakannya. pemerintah akan melakukan intervensi ketika kurs bergolak di luar rentang yang telah ditentukan. tanggal 14 agustus 1997 hingga sekarang, indonesia menganut rezim nilai tukar mengambang bebas, yakni nilai tukar sepenuhnya diserahkan pada pergerakan di pasar valuta asing tanpa adanya intervensi pemerintah. perubahan rezim nilai tukar ini diawali oleh krisis nilai tukar di thailand pada tahun 1997 yang menyebar ke negara asean lainnya termasuk indonesia yang juga mengalami tekanan depresiatif pada mata uangnya. bahkan, tekanan tersebut diperberat oleh pelarian arus modal besar-besaran akibat hilangnya kepercayaan investor disertai tekanan spekulatif yang membuat rupiah terdepresiasi hingga 75 persen sehingga bank indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan mata uang rupiah dibiarkan mengambang bebas guna mengamankan cadangan devisa. akibat fluktuasi nilai tukar terkait dengan struktur kelembagaan dan pasar keuangan di negara berkembang yang masih sederhana menyebabkan timbulnya persoalan bagi indonesia. fluktuasi nilai tukar akan menimbulkan ketidakstabilan dalam lalu lintas pembayaran internasional terkait isu spekulasi yang pada gilirannya akan mengurangi volume perdagangan. bagi indonesia yang merupakan negara kecil dengan perekonomian terbuka, perubahan nilai tukar akan mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yang nantinya akan mempengaruhi output nasional dan kepercayaan masyarakat akan mata uang domestik. pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian ditransmisikan oleh kebijakan moneter melalui dua jalur, yakni jalur langsung atau dari sisi penawaran melalui barang impor dan jalur tidak langsung atau dari sisi permintaan melalui daya saing ekspor. melalui jalur langsung, depresiasi nilai tukar akan menaikkan biaya bahan baku impor yang menurunkan produksi output dan pada gilirannya memicu kenaikan harga secara umum. sementara, melalui jalur tidak langsung, depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih mahal dibanding barang domestik sehingga permintaan akan barang dalam negeri meningkat yang mencerminkan adanya kenaikan volume ekspor sementara permintaan akan produk luar negeri menjadi turun yang mengindikasikan penurunan impor. kenaikan ekspor dan penurunan impor tersebut belum tentu secara otomatis akan memperbaiki posisi neraca perdagangan. efek neto dari depresiasi nilai tukar terhadap output tergantung dari kekuatan relatif kedua sisi penawaran dan permintaan tersebut. posisi neraca perdagangan akan meningkat setelah depresiasi nilai tukar riil. nilai tukar riil adalah merupakan harga riil mata uang terhadap mata uang lainnya (prawoto, 2003). depresiasi nilai tukar rill hanya jika kondisi marshalllerner terpenuhi, yakni apabila volume ekspor dan impor perekonomian suatu negara cukup elastis terhadap perubahan nilai tukar riil tersebut, dalam hal ini jumlah elastisitas ekspor dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari satu. pengaruh perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan terbagi melalui dua cara, yakni pengaruh volume dan pengaruh nilai. menurut kondisi marshall-lerner, pengaruh volume akan mendominasi pengaruh nilai karena meskipun nilai impor naik dan nilai ekspor turun namun kenaikan volume ekspor dan penurunan volume impor akan dominan sehingga neraca perdagangan akan membaik secara keseluruhan. namun, terdapat kecenderungan bahwa elastisitas akan lebih rendah dalam jangka pendek sehingga kondisi marshall-lerner hanya dapat terpenuhi dalam jangka panjang. fenomena inilah yang disebut dengan kurva-j di mana depresiasi nilai tukar riil akan memperburuk posisi neraca perdagangan yang pada giliran selanjutnya akan meningkat secara permanen.penyebab fenomena kurva-j ialah volume ekspor dan volume depresiasi nilai tukar riil ... (romi bhakti hartarto) 39 impor tidak banyak berubah dalam jangka pendek dan pengaruh harga lebih dominan sehingga dalam jangka pendek neraca perdagangan memburuk. salah satunya dapat diakibatkan oleh kontrak perdagangan internasional yang tidak dapat menyesuaikan secara langsung perubahan nilai tukar. arintoko dan wijaya (2005) mencoba menganalisis pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap neraca transaksi berjalan antara indonesia dan amerika serikat dengan data runtut waktu kuartalan pada periode 1990:1 hingga 2004:2 menggunakan model var dan ecm. studi empiris ini menemukan sedikit bukti bahwa depresiasi rupiah menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan secara bilateral antara indonesia dengan as dalam jangka pendek dan tidak ditemukan bukti bahwa nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan indonesia dalam jangka panjang. studi ini juga menemukan bukti lemah adanya efek kurva-j terhadap neraca transaksi berjalan di indonesia. husman (2005) melakukan studi empiris mengenai pengaruh nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral indonesia dengan delapan negara mitra dagang utamanya menggunakan data runtut waktu kuartalan pada periode 1993:1 hingga 2004:4 yang dianalisis dengan model vecm. hasilnya adalah kondisi marshall-lerner terpenuhi pada periode 1993:1 hingga 2004:4 secara keseluruhan. dalam hal ini, depresiasi nilai tukar riil akan memperbaiki neraca perdagangan indonesia. secara agregat, fenomena kurva-j tidak ditemukan dalam penyesuaian dinamis sehingga depresiasi riil akan langsung memperbaiki neraca perdagangan indonesia terhadap kedelapan mitra dagang tersebut. studi empiris ini juga menemukan bahwa meskipun kondisi marshall-lerner terpenuhi, pengaruh depresiasi nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral indonesia relatif kecil. astiyah dan santoso (2007) menguji hubungan antara nilai tukar dan arus perdagangan melalui data runtut waktu bulanan pada januari 2002 hingga maret 2005 dengan alat analisis regresi panel. hasil estimasi menunjukkan bahwa studi ini tidak mendukung adanya kondisi marshall-lerner untuk jangka pendek tetapi untuk jangka panjang kondisi tersebut terpenuhi. studi ini juga menyimpulkan bahwa depresiasi nilai tukar riil tidak akan memperbaiki kinerja neraca perdagangan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. studi empiris serupa juga pernah dilakukan di berbagai negara. khatoon dan rahman (2009) mencoba mengestimasi pengaruh depresiasi taka terhadap neraca perdagangan bangladesh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan data runtut waktu tahunan pada periode 1972 hingga 2006. hasilnya ialah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, devaluasi meningkatkan posisi neraca perdagangan. uji kausalitas granger juga mendukung adanya hubungan kausalitas dua arah antara devaluasi dan neraca perdagangan. ahmad dan yang (2004) melakukan investigasi mengenai eksistensi kurva-j dalam data runtut waktu perdagangan bilateral cina dengan negara-negara g-7. studi ini menggunakan pendekatan kointegrasi dan uji kausalitas untuk mengetahui hubungan jangka panjang dan pergerakan dinamis jangka pendek antara nilai tukar, pendapatan nasional, dan neraca perdagangan. ditemukan pula bukti bahwa depresiasi nilai tukar riil akan meningkatkan neraca perdagangan dengan beberapa negara, namun tidak ada indikasi berupa respons negatif dalam jangka pendek sebagai ciri dari kurva-j. lain halnya dengan onafowora (2003) yang menguji pengaruh jangka pendek dan jangka panjang perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan tiga negara asean, yakni malaysia, indonesia, dan thailand dengan partner dagangnya, yakni us dan jepang melalui vecm dan generalized impulse response dengan data runtut waktu dari tahun 1980:1 to 2001:4. studi ini berhasil menemukan bahwa terdapat efek kurva-j dalam jangka pendek antara perdagangan indonesia, malaysia, dan thailand dengan us di mana pengaruhnya memperburuk neraca perdagangan selama empat kuartal yang diikuti oleh kenaikan posisi neraca perdagangan dalam jangka panjang. sementara, untuk kasus thailand dengan jepang justru mengikuti pola efek kurva-s di mana depresiasi nilai tukar riil awalnya akan memperbaiki posisi neraca perdagangan, lalu memperburuk, dan selanjutnya kembali menaik. fenomena kurva-j juga ditemukan dalam jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 37-47 40 studi empiris petrović dan gligorić (2009) di serbia dengan data runtut waktu bulanan mulai januari 2002 hingga september 2007 dan alat analisis yang digunakan ialah kointegrasi dan autoregressive distributed lag (ardl). temuan utama dari studi ini ialah depresiasi nilai tukar riil berpengaruh signifikan dalam jangka panjang terhadap neraca perdagangan serbia, dan awalnya memburuk sebelum meningkat kembali dalam jangka pendek. depresiasi nilai tukar riil memperburuk neraca perdagangan pada lima bulan awal dan selanjutnya mencapai nilai keseimbangan baru dalam waktu lebih dari setahun. temuan lain studi ini ialah gdp mendorong peningkatan neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor melebihi impor. pengaruh lain adanya depresiasi rupiah terhadap output sendiri ialah ketika terjadi pergantian rezim nilai tukar menjadi mengambang bebas ialah adanya kontraksi output. sebagaimana dalam studi darwanto (2007), depresiasi rupiah mengakibatkan barang-barang modal yang dibutuhkan industri dalam negeri mengalami lonjakan harga. hal ini memicu perusahaan dalam negeri mengurangi produksi yang akhirnya berujung pada kontraksi output. studi oleh suselo, sihaloho, dan tarsidin (2008) juga memberikan hasil serupa. dengan melakukan regresi data kuartalan dari januari 1990 hingga desember 2005 melalui metode gmm, depresiasi nilai tukar, baik riil maupun nominal, akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. hal ini disebabkan oleh menurunnya tingkat investasi karena semakin mahalnya barang modal dan faktor produksi. peningkatan ekspor netto akibat depresiasi mata uang rupiah diperkirakan lebih kecil daripada penurunan investasi sehingga efek nettonya bagi pertumbuhan ekonomi ialah negatif. husman (2007) mencoba menguji pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap output melalui data runtut waktu kuartalan yang dibagi menjadi dua periode pengamatan, yakni periode mengambang terkendali pada periode 1990:1 hingga 1997:2 dan periode mengambang bebas pada 1997:3 hingga 2006:2. hasilnya adalah perubahan rezim nilai tukar mempengaruhi pertumbuhan output. pada periode mengambang terkendali, perubahan nilai tukar tidak memberikan dampak signifikan terhadap output. sementara dari sisi dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan output, perubahan output lebih didominasi dari sisi permintaan melalui peningkatan daya saing dibandingkan dari sisi penawaran melalui peningkatan biaya bahan baku impor terlihat dari positifnya dampak netto depresiasi nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi. oleh karena itu, fenomena ini menarik untuk ditelusuri relevansinya dengan teori ekonomi mengenai bagaimana perekonomian yang dicerminkan oleh output nasional dan neraca perdagangan merespon perubahan nilai tukar riil, dan apakah terjadi fenomena kurva-j di indonesia selama rezim nilai tukar mengambang bebas yang membiarkan nilai tukar terus berfluktuasi. metode penelitian studi ini dilandasi dengan adanya hubungan timbal balik antarvariabel baik secara langsung maupun tidak langsung. pada gambar 1, garis lurus menggambarkan hubungan antar variabel secara langsung, yakni perubahan nilai tukar riil akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan dan sebaliknya. dasar pemikiran dalam skema ini mengacu pada hipotesis kurva-j, yakni depresiasi nilai tukar riil akan memperburuk posisi neraca perdagangan dalam jangka pendek namun pengaruhnya akan membaik dalam jangka panjang karena peningkatan daya saing yang selanjutnya mendorong ekspor. gambar 1. skema hubungan antarvariabel membaiknya posisi neraca perdagangan mendorong penguatan nilai mata uang domestik sehingga proses penyesuaian antara neraca perdagangan dan nilai tukar riil berlangsung secara terus menerus. perubahan neraca perdagangan juga turut berpengaruh terhadap output nilai tukar riil neraca perdagangan output nasional depresiasi nilai tukar riil ... (romi bhakti hartarto) 41 nasional dan hal ini berlaku sebaliknya. membaiknya posisi neraca perdagangan melalui peningkatan ekspor akan meningkatkan output nasional. di lain pihak, meningkatnya output nasional akan meningkatkan impor dan jika peningkatan ekspor tidak melebihi impornya maka posisi neraca perdagangan akan turun. akibatnya, dalam hal ini, perubahan nilai tukar riil juga turut mempengaruhi output nasional secara tidak langsung dan juga sebaliknya yang tergambar melalui garis putus-putus dalam skema. sehingga, untuk mengatasi kesulitan mengenai pembedaan antara variabel endogen dan eksogen dalam studi ini dipergunakanlah model var (vector autoregression) yang tidak membedakan antara variabel endogen dan eksogen dalam suatu sistem persamaan. seluruh variabel dalam model diperlakukan sebagai variabel endogen yang memiliki hubungan dinamis di mana setiap variabel dijelaskan oleh pergerakan variabel tersebut di masa lalu dan seluruh variabel lain di dalam sistem persamaan. model dasar yang dipergunakan dalam studi ini mengacu pada model yang sebelumnya dikembangkan oleh arintoko dan wijaya (2005) di mana perbedaannya terletak pada pemilihan variabel yang dipergunakan dalam model, yakni sebagai berikut: 1 1 1 1 1 k k t j t j j t j j j ltb ltb lrer          1 1 1 k j t j t j lgdp e    1) 2 2 2 1 1 k k t j t j j t j j j lrer ltb lrer           2 2 1 k j t j t j lgdp e    2) 3 3 3 1 1 k k j t j j t j j j lgdpt ltb lrer           3 3 1 k j t j t j lgdp e    3) dalam hal ini, variabel ltb merupakan neraca perdagangan, variabel lrer merupakan nilai tukar riil, dan variabel lgdp merupakan output nasional di mana masing-masing di antaranya dinyatakan dalam bentuk logaritma. ada pun, semua variabel dinyatakan dalam bentuk logaritma dengan tujuan untuk memperhalus data (smoothing) sehingga dapat mengurangi variasi data yang dipergunakan dalam studi. selain itu, di dalam model, t menunjukkan indeks waktu kuartalan; j menunjukkan jumlah lag (kelambanan) kuartal yang terpilih berdasarkan estimasi terbaik; β, φ, δ menunjukkan parameter masing-masing variabel; dan e1t, e2t, e3t merupakan komponen galat. asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis var ialah semua variabel bersifat stasioner dan semua residual memiliki mean, varian, kovarian yang konstan, serta tidak ada korelasi antar variabel. jika ternyata data tidak stasioner pada derajat level, maka data tersebut harus mengalami proses diferensi hingga stasioner. stasioneritas data melalui proses diferensi belum cukup sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan hubungan jangka panjang dan pendek dalam model. jika ternyata ditemukan keberadaan kointegrasi, maka dapat diterapkan sistem persamaan vecm (vector error correction model) sebagai bentuk var yang terestriksi. sehingga, studi ini lebih diarahkan pada var dalam bentuk vecm karena diduga variabel yang diteliti tidak stasioner pada derajat level dan terdapat keberadaan kointegrasi. namun demikian, ternyata terdapat kelemahan dari vecm sama halnya dengan var menurut gujarati (2004) karena vecm dinilai kurang cocok jika digunakan dalam analisis kebijakan, dengan dalih sifatnya yang ateori dan lebih menekankan pada peramalan. sehingga, analisis vecm dalam studi ini lebih ditekankan pada pendekatan impulse response function (irf) yang melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan variabel tertentu dan variance decomposition yang memprediksi kontribusi persentase varians masing-masing variabel terhadap perubahan variabel tertentu. hasil dan pembahasan uji stasioneritas data uji stasioneritas data yang dilakukan dalam studi ini menggunakan uji adf (augmented dickey fuller). uji adf sendiri dilakukan dengan menghitung nilai t statistik jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 37-47 42 yang dihitung melalui formula berikut: tα = α α 4) di mana α adalah nilai estimasi untuk α dan α adalah koefisien standard error. nilai t statistik yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai kritismc kinnon. jika nilai t statistik lebih besar dari nilai kritis mc kinnon, maka hipotesis h0 diterima sehingga dapat diinterpretasikan bahwa data tersebut tidak stasioner karena disinyalir memiliki akar unit. sebaliknya, jika nilai t statistik lebih kecil dari nilai kritis mckinnon, maka hipotesis h0 tidak diterima sehingga cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa data tersebut mengandung akar unit atau dapat diinterpretasikan bahwa data stasioner. uji stasioneritas variabel nilai tukar riil (lrer), output nasional (lgdp), dan neraca perdagangan (lgdp) pada derajat level dan seluruh data belum stasioner pada derajat level i(0). uji derajat integrasi jika ternyata data pada uji akar unit sudah stasioner pada derajat level i(0), maka tidak perlu lagi dilakukan uji derajat integrasi. namun, jika data yang diuji belum stasioner pada derajat level i(0), maka perlu dilakukan uji derajat integrasi melalui proses diferensiasi data. jika data sudah stasioner pada derajat diferensi satu, maka data tersebut sudah terintegrasi pada derajat i(1). jika ternyata belum stasioner, maka berlanjut pada proses diferensi kedua. jika ternyata data sudah stasioner pada derajat diferensi dua, maka data tersebut sudah terintegrasi pada derajat i(2). uji stasioneritas variabel nilai tukar riil (lrer), output nasional (lgdp), dan neraca perdagangan (lgdp) pada derajat i(1). hasil uji akar unit menunjukkan bahwa seluruh variabel telah stasioner pada derajat diferensi satu atau i(1) setelah melalui proses diferensi. penentuan lag optimal penentuan lag optimal pada studi ini dilakukan melalui dua tahap pengujian, yaknimemilih lag optimal berdasarkan kriteria tertentu dan mendeteksi panjang lag optimal sistam var yang stabil melalui nilai akar inversi karakteristik ar polinomialnya. suatu sistem var dapat dikatakan stabil jika seluruh akarnya memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak di dalam lingkaran unit. ada pun penentuan lag optimal pada sistem persamaan var yang dibangun dengan variabel lrer, lgdp, dan ltb ketiganya merujuk lag 5 sebagai lag optimal dalam sistem var. sementara itu, untuk menguji apakah lag 5 sudah stabil atau belum, maka dapat dilihat nilai modulusnya yang menunjukkan bahwa sistem var yang dibangun dengan lag 5 sudah stabil karena seluruh akarnya memiliki modulus kurang dari satu. namun, terdapat perbedaan jumlah lag antara var dengan vecm, yakni ketika lag optimal pada var adalah p, maka lag pada vecm adalah p-1 (nelmida, 2009). sehingga, lag optimalnya adalah 4. pemilihan lag pada studi ini ternyata sesuai jika didasarkan pada pendekatan stok, yakni dengan rumus k = n1/3 di mana n adalah jumlah observasi. sehingga, lag yang dipergunakan dalam studi ini ialah lag 4 karena dinilai sudah cukup untuk menangkap sistem dinamis dengan basis data kuartalan. uji kointegrasi hasil uji kointegrasi dalam studi menunjukkan bahwa menurut kriteria aic, spesifikasi deterministiknya adalah quadratic intercept and trend. setelah tren data diketahui, langkah berikutnya ialah menentukan apakah data terkointegrasi atau tidak. jika nilai max-eigen dan nilai tracenya lebih besar daripada nilai kritis 1% atau 5%, maka dapat dikatakan data terkointegrasi. berdasarkan pengujian nilai statistik trace yang ditunjukkanlebih besar dari nilai kritis 5% dan 1%. sementara, nilai statistik max-eigen juga lebih besar dari nilai kritis 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut terkointegrasi yang menandakan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara variabel nilai tukar riil, neraca perdagangan, dan output nasional. satu vektor kointegrasi, atau setidaknya terdapat satu kombinasi linier independen dari variabelvariabel yang terdapat dalam model tersebut. terkointegrasinya data memberikan sinyal yang tepat untuk menggunakan metode vecm. depresiasi nilai tukar riil ... (romi bhakti hartarto) 43 estimasi vecm apabila suatu data runtut waktu model var terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka vecm dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. perilaku dinamis dari vecm dapat dilihat dari respon masing-masing variabel endogen terhadap kejutan variabel tersebut maupun terhadap variabel endogen lain. karena secara individual koefisien dalam model vecm sulit diinterpretasikan, maka terdapat dua cara untuk melihat karakteristik dinamis vecm, yakni melalui impulse response dan dekomposisi varian. fungsi impulse response fungsi impulse response melacak respon dari variabel endogen dalam sistem vecm karena adanya perubahan komponen galat yakni dengan menggambarkan perkiraan k-periode di masa mendatang melalui kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel lain. pembahasan mengenai irf dalam studi ini lebih difokuskan terhadap respon neraca perdagangan dan output nasional akibat perubahan variabel nilai tukar riil. hasil irf tersebut, respon neraca perdagangan dan output nasional akibat gejolak nilai tukar riil dapat diinterpretasikan lebih lanjut. gejolak variabel nilai tukar riil mula-mula tidak langsung direspon oleh neraca perdagangan pada kuartal pertama. hingga kemudian, pada kuartal kedua, gejolak nilai tukar riil direspon positif oleh neraca perdagangan sebesar 0,045 sd. namun pada kuartal ketiga dan keempat, respon neraca perdagangan kemudian menjadi negatif. hingga kuartal kelima, respon neraca perdagangan kembali meningkat dan cenderung stabil pada kuartal berikutnya pada kisaran 0,015 sd. sehingga, depresiasi nilai tukar pada awalnya memiliki hubungan positif terhadap neraca perdagangan, namun kemudian hubungannya negatif dalam jangka pendek hingga dampak akhirnya berhubungan positif dalam jangka panjang meskipun respon yang diterima gambar 2. impulse response antara variabel nilai tukar riil, neraca perdagangan, dan output nasional -.03 -.02 -.01 .00 .01 .02 .03 .04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lrer to lrer -.03 -.02 -.01 .00 .01 .02 .03 .04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lrer to lgdp -.03 -.02 -.01 .00 .01 .02 .03 .04 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lrer to ltb -.004 .000 .004 .008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lgdp to lrer -.004 .000 .004 .008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lgdp to lgdp -.004 .000 .004 .008 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of lgdp to ltb -.05 .00 .05 .10 .15 .20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of ltb to lrer -.05 .00 .05 .10 .15 .20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of ltb to lgdp -.05 .00 .05 .10 .15 .20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 response of ltb to ltb response to nonfactorized one s.d. innovations jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 37-47 44 tidak begitu besar. sehingga, tidak ditemukan bukti kuat yang mendukung adanya fenomena kurva-j. hasil dari studi ini justru menyerupai pola kurva-s sebagaimana dalam studi onafowora (2003) untuk kasus thailand dengan jepang. penjelasan dari pola ini lebih kepada alasan perilaku para eksportir. indonesia merupakan negara dengan kandungan bahan baku impor cukup tinggi pada produk ekspornya, terutama pada sektor industri. pada saat terjadi depresiasi nilai tukar riil, daya saing produk domestik di pasar internasional meningkat. dengan asumsi bahwa stok bahan baku impor untuk produksi barang ekspor mencukupi, eksportir akan merespon kondisi tersebut dengan meningkatkan ekspor produknya menggunakan stok bahan baku impor yang tersedia sehingga eksportir tidak perlu mengimpor bahan baku dalam jumlah banyak. dalam hal ini, kenaikan ekspor melebihi kenaikan impor sehingga posisi neraca perdagangan mula-mula meningkat. kemudian pada periode selanjutnya, stok bahan baku impor yang tersedia terkuras akibat penggunaan pada periode sebelumnya sehingga terjadi penurunan ekspor dibanding periode sebelumnya karena kurangnya bahan baku impor untuk memproduksi barang ekspor. dan pada saat yang sama eksportir merespon hal tersebut dengan mengimpor bahan baku lebih banyak untuk mencukupi produksi barang ekspor pada periode selanjutnya sehingga kenaikan impor melebihi kenaikan ekspor yang menyebabkan terjadi penurunan posisi neraca perdagangan. hingga pada periode-periode berikutnya, eksportir akan terus melakukan penyesuaian dengan mengekspor lebih banyak akibat peningkatan daya saing produk domestik dan lebih sedikit mengimpor akibat relatif mahalnya bahan baku impor. hal ini menyebabkan kenaikan ekspor melebihi kenaikan impor dan secara terus menerus proses penyesuaian ini akan kembali pada posisi neraca perdagangan yang kian membaik. maka dari itu, terdapat hubungan positif antara depresiasi nilai tukar riil dengan neraca perdagangan pada horizon waktu lebih panjang meskipun pengaruhnya relatif kecil. implikasinya adalah terdapat faktor lain selain nilai tukar yang mempengaruhi kinerja ekspor, terutama dari sisi penawaran semisal kontrol kualitas produk, efisiensi sistem produksi, besarnya kandungan impor, dan kebijakan pemerintah semisal penciptaan iklim persaingan usaha. sementara, respon output nasional sendiri terhadap depresiasi nilai tukar riil ialah negatif semenjak kuartal kedua hingga seterusnya. kenaikan variabel nilai tukar riil sebesar 1 sd mula-mula tidak direspon oleh variabel output nasional hingga pada kuartal kedua direspon dengan penurunan output nasional sebesar 0,0005 sd di mana cenderung terus mengalami penurunan hingga sebesar 0,0042 pada kuartal 11. sehingga, dalam jangka panjang, depresiasi nilai tukar riil memiliki hubungan negatif terhadap output nasional. hasil dari studi ini sejalan dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh suselo, sihaloho, dan tarsidin (2008) dan darwanto (2007) di mana terjadi kontraksi output akibat depresiasi nilai tukar riil. penjelasan dari hal ini ialah depresiasi nilai tukar riil menyebabkan harga bahan baku impor sebagai input produksi industri domestik relatif mahal sehingga menurunkan kapasitas produksi yang mengakibatkan kontraksi output. selain itu, depresiasi nilai tukar riil menyebabkan produk domestik dengan kandungan impor tinggi mengalami kenaikan biaya produksi sehingga harga jual produk tersebut naik. kenaikan harga produk tersebut mengakibatkan penurunan konsumsi masyarakat sehingga dalam hal ini, produsen mengalami disinsentif untuk berproduksi. dekomposisi varian dekomposisi varian merupakan properti model vecm yang memisahkan varian dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen gejolak. berbeda dengan irf, dekomposisi varian memberikan informasi m engenai proporsi dari pengaruh gejolak suatu variabel terhadap guncangan variabel lain pada saat ini dan periode mendatang. ada pun pengaruh gejolak variabel nilai tukar riil terhadap gejolak variabel neraca perdagangan dapat digambarkan pada tabel 8. tabel 8 menjelaskan dekomposisi varian dari variabel neraca perdagangan. pada periode pertama, kontribusi nilai tukar riil dalam menjelaskan variabilitas neraca perdagangan cukup depresiasi nilai tukar riil ... (romi bhakti hartarto) 45 besar, yakni sebesar 12,97 persen. namun, kontribusi kejutan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan terus menurun dalam horizon waktulebih panjang. hal ini berbeda dengan kontribusi output nasional dalam menjelaskan variabilitas neraca perdagangan. pada dua periode awal, kejutan pada output nasional hanya mampu menjelaskan kurang dari 1% variabilitas neraca perdagangan namun kemudian kontribusinya terus mengalami kenaikan pada jangka waktu lebih panjang hingga mencapai 6,24 persen pada kuartal 12. tabel 9 menjelaskan dekomposisi varian dari variabel output nasional. pada periode pertama, variabel output nasional hanya dipengaruhi oleh variabel itu sendiri. namun kemudian, pengaruh output nasional terhadap dirinya sendiri berkurang seiring dengan peningkatan kontribusi variabel nilai tukar riil dan neraca perdagangan dalam menjelaskan variabilitas output nasional. pada jangka waktu lebih panjang, variabilitas output nasional mampu dijelaskan oleh kejutan nilai tukar riil dan neraca perdagangan masing-masing sebesar 12,31 persen dan 3,6 persen pada kuartal 12. ditinjau dari tabel 8 dan 9, kontribusi kejutan nilai tukar riil lebih berpengaruh pada variasi output nasional dibandingkan neraca perdagangan dalam horizon waktu lebih panjang. sementara untuk jangka waktu lebih pendek, kejutan nilai tukar riil lebih mampu menjelaskan variabilitas neraca perdagangan dibandingkan output nasional. simpulan kesimpulan yang berhasil diperoleh dari studi ini antara lain: pertama, depresiasi nilai tukar riil memiliki hubungan positif terhadap neraca perdagangan dalam horizon waktu yang lebih panjang meskipun pengaruhnya tidak begitu besar. hal ini salah satunya juga dikarenakan pengaruh kejutan nilai tukar riil dalam menjelaskan variasi neraca perdagangan tidak begitu besar. implikasinya, terdapat faktor lain di luar model selain nilai tukar riil yang berpengaruh terhadap neraca perdagangan semisal kontrol kualitas produk, efisiensi sistem produksi, dan besarnya kandungan impor produk. kedua berdasarkan analisis irf, tidak ditemukan bukti kuat bahwa terjadi fenomena kurva-j pada studi ini. studi ini justru menemukan pola yang menyerupai kurva-s di mana depresiasi nilai tukar riil pada mulanya memperbaiki neraca perdagangan, lalu sesaat kemudian menurunkan posisi neraca perdagangan, dan selanjutnya terus mengalami penyesuaian hingga posisi neraca perdagangan kembali membaik dalam horizon waktu yang lebih panjang. ketiga, depresiasi nilai tukar riil memiliki hubungan negatif terhadap output nasional atau dalam hal ini justru terkait dengan kontraksi output. pengaruh kejutan nilai tukar riil dalam variasi output nasional tidak begitu besar namun kontribusinya semakin membesar dalam horizon waktu yang lebih panjang. saran yang dapat dijadikan sebagai acuan tabel 8. dekomposisi varian variabel neraca perdagangan period s.e dijelaskan oleh kejutan output nasional nilai tukar riil neraca perdagangan 1 0,170108 2,83e-07 12,97041 87,02959 2 0,218557 0,000392 7,972344 92,02726 3 0,264840 2,093536 11,98290 85,92357 4 0,278217 2,859866 12,65711 84,48303 5 0,286692 3,467380 12,57112 83,96150 6 0,299207 3,237356 12,56543 84,19722 7 0,314911 3,031721 11,66764 85,30063 8 0,339149 3,607968 10,87601 85,51603 9 0,360595 4,915482 10,04484 85,03968 10 0,374536 5,423839 9,676775 84,89939 11 0,385507 5,736708 9,437228 84,82606 12 0,397620 6,243666 9,119711 84,63662 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 37-47 46 atau gambaran bagi pengambil kebijakan menurut hasil studi ini antara lain: pertama, kebijakan yang terkait nilai tukar hendaknya diikuti oleh kebijakan yang dapat menekan dampak jalur langsung nilai tukar terhadap inflasi sehingga kebijakan nilai tukar secara efektif juga merupakan kebijakan nilai tukar riil sehingga kebijakan nilai tukar dapat memperbaiki posisi neraca perdagangan dalam horizon waktu lebih panjang. kedua, untuk mendorong ekspor atau meningkatkan posisi neraca perdagangan, otoritas moneter hendaknya tidak mempergunakan depresiasi nilai tukar sebagai satu-satunya alat karena dalam rezim nilai tukar mengambang bebas nilai tukar terus berfluktuasi. selain itu juga karena pengaruhnya terhadap neraca perdagangan tidak begitu besar dan mekanisme penyesuaiannya agak lama. kebijakan yang diambil untuk peningkatan daya saing tidak hanya dari segi harga murah tetapi juga perbaikan kualitas dan iklim usaha bagi eksportir. ketiga, berdasarkan hasil studi, depresiasi nilai tukar riil ternyata memiliki hubungan negatif terhadap output, yakni menyebabkan terjadinya kontraksi output. sehingga dalam hal ini, otoritas moneter harus menjaga agar nilai tukar tidak terdepresiasi tajam. daftar pustaka ahmad dan yang. (2004). estimation the jcurve in china. economic series no. 67. arintoko dan wijaya. (2005). pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap neraca transaksi berjalan indonesia periode 1990.i – 2004.ii (kasus indonesia – amerika serikat). buletin ekonomi moneter dan perbankan. astiyah dan santoso. (2005). nilai tukar dan trade flows. buletin ekonomi moneter dan perbankan. darwanto. (2007). kejutan pertumbuhan nilai tukar riil terhadap inflasi, pertumbuhan output, dan pertumbuhan neraca transaksi berjalan di indonesia. jurnal ekonomi pembangunan vol. 12, no.1. enders, walter. (1995). applied econometric time series. new york: john wiley & son. gujarati, damodar. (2004). basic econometric, 4thedition. singapore: mcgrawhill. harris, r. 1995. cointegration analysis in econometric modelling. new york: prentice hall. husman, j. a. 2005. pengaruh nilai tukar rill terhadap neraca perdagangan bilateral indonesia: kondisi marshall-lerner dan fenomena j-curve. buletin ekonomi moneter dan perbankan julaihah dan insukindro. 2004. analisis dampak kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi di indonesia tahun 1983.12003.2. buletin ekonomi moneter dan perbankan. khatoon dan rahman. 2009. assessing the existence of the j-curve effect in bangladesh. the bangladesh development studies vol. xxxii, june 2009, no. 2 onafowora, o. (2003). exchange rate and trade balance in east asia: is there a j−curve?. economics bulletin, vol. 5, no. 18 hlm. 1−13 petrovic dan gligoric. (2009). exchange rate and trade balance: j-curve effect. panoeconomicus 2010, 1, hlm. 23-41. prawoto, n. (2003). pengaruh perubahan kurs dan tingkat suku bunga terhadap tabungan dan investasi swasta: studi empiris di indonesia periode 1993.1-2001.1. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol 4 no.1 april 2003. suselo, s dan tarsidin. (2008). pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia. buletin ekonomi moneter dan perbankan. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper the analysis of inclusive green growth in indonesia jaka aminata, dzulfikar ilham kusuma nusantara*, and indah susilowati abstract: the concept of economic growth that has increased social welfare needs to be expanded in terms of its meaning and benchmarks. it focuses not only on economic activities but also on how they impact all of society in the present and the future. this study aims to analyze indonesia’s inclusive green growth in 2015 and 2019. the method used to obtain the analysis is the inclusive green growth index (iggi), conducted by asian development bank (adb). iggi is a composite index consisting of three pillars: economic growth, social equity, and environmental sustainability. the study showed that indonesia’s inclusive green growth was getting better where its average score in 2015 was 3.21, increasing to 3.36 in 2019. however, the improvement is not ideal yet because its mainly influenced by the economic growth pillar. in contrast, the average score of the environmental sustainability pillar declined from 4.19 in 2015 to 4.00 in 2019, accompanied by the decreasing social equity pillar score in 15 out of 34 provinces. all efforts to achieve a better-balanced iggi are improving and maintaining environmental quality, improving access to economic and political activities, improving public service and infrastructure in various provinces, and increasing superior and potential sectors to pursue economic disparity inter-provincial. keywords: inclusive growth; green growth; composite index jel classification: d63; e66; i31; 010 introduction economic growth is one of the macro indicators that are very influential for improving social welfare. according to palmer (2012), economic growth is critical to society because it is reflected in increasing goods and services products that can enhance social living standards. this statement is in line with yasa and arka's (2015) statement, which states that economic growth is a phenomenon that aims to increase national income, which will improve social welfare in general. therefore, every single government must strive for positive and stable economic growth. one of the countries with positive and steady economic growth was indonesia, as shown in figure 1. based on figure 1, indonesia's economic growth has always been positive and very stable, above 5%. it has always been in the top five of the highest economic growth members of the group of twenty (g20), even though this growth condition has not reached the planned growth target as written in affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas diponegoro, central java, indonesia *correspondence: dzulfikarilham@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13811 citation: aminata, j., nusantara, d. i. k., & susilowati, i. (2022). the analysis of inclusive green growth in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 140-156. article history received: 28 jan 2022 revised: 21 mar 2022 28 mar 2022 accepted: 14 apr 2022 https://scholar.google.co.id/citations?user=qxvoht0aaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=izm2_egaaaaj&hl=en https://ie.feb.undip.ac.id/ https://ie.feb.undip.ac.id/ https://ie.feb.undip.ac.id/ https://ie.feb.undip.ac.id/ mailto:dzulfikarilham@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13811 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13811&domain=pdf aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 141 figure 1 top five of the highest economic growth by g-20 member in 2011-2019 source: world bank the law of state budget. unfortunately, with positive and stable economic growth, that growth is indicated to have not had a positive impact on the people who live in the present and the future. indications showing the unequal and comprehensive effects of economic growth can be seen from the increasing gini index from 0.36 in 2010 to 0.38 in 2021, as published by central bureau statistics, jakarta, indonesia. inequality is also shown from the results of the pisa's survey, which shows that the segregation rate of indonesia's education based on the socio-economic status of students is still low, and the survey results show a deterioration in the segregation rate from 45% to 39% from 2015 to 2018 (suprayitno, 2019). improving education equality is vital as one of the efforts to enhance human capital that can play a role in the convergence of economic conditions in indonesia (anwar, 2018). all indications of economic growth impact that has not been spread widely and equally are also shown by several studies that have been carried out. warsito (2020) says that the williamson index of indonesia was increasing from 0.72 in 2011 to 0.76 in 2019. another indication was also presented by ilham and pangaribowo (2017), who stated that indonesia’s entropy theil index confirmed the existence of high inequality between provinces in indonesia. indications also showed by international publications from credit suisse (2021) that show inequality in indonesia, where 10% of the wealthiest people in indonesia control at least 75% of the total adult wealth. based on this, the previous economic growth is indicated to have not yet provided an equitable positive impact for everyone or is not yet inclusive. this argument aligns with klasen's view quoted in kusumaningrum and yuhan's (2019) research, which states that growth can be categorised as inclusive growth only if the process involves everyone and its results can be felt as a whole without inequality. the impact of economic growth also needs to be measured for society in the future. as reported in the brundtland report, economic growth will place an excessive burden on earth in the future (visser & brundtland, 2013; hamori & kume, 2018; hajian & kashani, 2021). meadows et al. convey a similar view that the current pattern of natural resource -4,00 -2,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 turkey saudi arabia china indonesia argentina india korea, rep. united states aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 142 consumption to enhance economic growth will drain out the natural resources available, and its impact will stop economic growth globally (herrington, 2021). it is essential to measure the economic impact on the environment, considering that the environment has provided various resources that can support the production of goods and services for multiple needs of living things (harris & roach, 2017; tseng et al, 2019). one way to measure and evaluate the impact of economic growth on society in the future is to internalise the concept of green growth. the idea of "green growth" is appropriate because it refers to increasing economic activity while maintaining the efficiency of natural resource consumption and minimising the harmful effects of economic activity on the environment (world bank, 2012). figure 2 carbon dioxide and gross domestic product of indonesia from 1960-2019 source: world bank based on figure 2, carbon dioxide (co2) emissions are increasing, aligning with an increase in gdp per capita. the condition indicates that indonesia’s economic activity is causing an increase in co2 emissions. this condition often happens, especially in developing countries like indonesia, which use large amounts of energy to boost the economy (adebayo, 2020). farabi et al. (2019) and pandit and paudel (2016) mention another proof that increasing per capita income will raise per capita carbon emissions in indonesia. putriani et al. (2018) and ilham (2021) also show that indonesia’s economic growth and development will harm environmental quality due to the increase of industrial areas and transportation. rajagukguk (2015) states that the relationship between economic growth and the environment in indonesia is still on the left side of the environmental kuznets curve (ekc). considered by the superb condition of indonesia’s growth as shown in figure 1, it will become a significant loss if there is no measurement of its impact on society that lives in the present and the future. the urgency of its measure also arises because the world has agreed on sustainable development goals (sdgs) from 2015 to 2030. the sdgs have 17 goals such as eradicating poverty, reducing inequality, protecting the environment, and maintaining the availability of natural resources so that world development will be sustained and grow as a whole, not just in economic activity but also in social equity and environmental sustainability (united nations development program, 2017). 0 0,5 1 1,5 2 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 gdp per capita (usd) co2 emissions (metric ton per capita) aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 143 green and inclusive economic growth is an important issue. it has been the subject of the rio+ 20 conference, and several world institutions tried to outline the definition and measurement of this concept. world bank (2012) states that inclusive green growth is economies that grow efficiently in natural resource consumption, minimize pollution by better environmental management, and be inclusive. united nations environment programme (2011) defines an inclusive green economy as an effort to improve welfare, justice, social equality, and environmental quality simultaneously. the organization for economic co-operation and development (2012) states that inclusive green growth is economic growth that maintains the quality of the environment and ensures natural resources availability. to succeed in inclusive green growth measurement, the green growth knowledge platform (ggkp) states five central themes in measuring inclusive green growth, namely (i) the availability of natural resource assets, (ii) environmental productivity, environmental intensity, and natural resources intensity, (iii) environmental quality, (iv) economic policies and opportunities, and (v) socio-economic conditions of the society (ggkp, 2013). many studies have tried and formulated to measure inclusive green growth and determine its forming indicators. ggkp (2016) use natural assets, resource efficiency and decoupling, risk and resilience, economic opportunities and efforts, and inclusiveness as the forming indicators. wef (2017) uses gdp per capita, employment rate, labor productivity, health-life expectancy, median household income, poverty rate, income gini, wealth gini, adjusted net savings, dependency ratio, public debt, and carbon intensity of gdp. furthermore, research from the united nations economic and social commission for asia and the pacific or un escap (2014) uses equitable distribution and access, structural transformation, eco-efficiency, investment in natural capital, and planetary limits as the forming indicators in calculating inclusive green growth. sun et al. (2020) use a directional distance function and an output-oriented-slack-based measure to calculate inclusive green growth conditions in china's cities, with input and output variables used, namely labor, capital, energy, gdp as desirable output, wastewater, and also emissions as undesirable outputs. some of these studies have various shortcomings because the indicators used are not comprehensive in accommodating important indicators to describe inclusive green growth (jha et al., 2018). several previous studies are used as references to strengthen this research. research conducted by jha et al. (2018) succeeded in producing an inclusive green growth index (iggi) method piloted in asia and asia-pacific countries with 2015, 2010, and 2015 as the time research. research conducted by liderson and pasaribu (2020), which adopted the iggi method to all provinces of indonesia in 2017, showed that the condition of inclusive green growth in every region of indonesia was at the middle level. li et al. (2021), who also adopted the iggi method and factor analysis, shows that economic development is the main factor in deciding inclusive green growth. so it is necessary to accelerate economic development, institutional improvement, and improve relations between countries in the asia-pacific region. šneiderienė et al. (2020) show that achieving inclusive green growth in europe varies widely, with romania as the lowest and luxembourg as the highest scores. due to the lack of research with comprehensive methods, this research also refers to sitorus and arsani (2018), which focuses on describing inclusive growth in aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 144 every province of indonesia using various techniques and comparing all methods. sitorus and arsani's (2018) results show that the condition of indonesia’s inclusive growth is at a satisfactory level, although there are still gaps in several indicators. seeing the lack of research that accommodates the three pillars and representative indicators of inclusive green growth for 34 provinces in indonesia, research that focuses on examining the conditions of inclusive green growth in all areas is needed. previous research has shown the condition of inclusive green growth at countries level, but the study that discusses the same topic at the regional level periodically to capture its progress and using representative indicators is not that much, especially in indonesia. therefore, this study aims to periodically measure inclusive green growth in indonesia’s provinces in 2015 and 2019 using the iggi method. the expected result of this study is to provide a complete description of inclusive green growth in every region of indonesia and provide policy advice on indicators that need to be improved to achieve inclusive green growth. research method the data used for all research indicators are 2015 and 2019, obtained from various official websites. however, the data compose the inverse indicator of coefficient variation in grdp growth per capita using five-year data, consisting of 2011 to 2015 and 2015 to 2019. the type of data used is panel data, with the research object being 34 provinces in indonesia. the indicator data used in this study consists of 3 pillars and 26 indicators. these indicators refer to jha et al. (2018) and liderson and pasaribu (2020). the operational definition and measurement units can be seen in table 1. table 1 data and definition used in the analysis no. indicators operational definition measurement unit source economic growth pillar 1 grdp per capita growth rate change in grdp per capita between two different timeframes percent bps 2 trade openness the dependence of an economy on national and global economic conditions percent bps 3 age dependency ratio comparison of the population at nonproductive age to the people at productive age index bps 4 rrb for economy government spending on increasing economic growth billion rupiah djpk 5 rrb for social protection government spending on protecting vulnerable groups billion rupiah djpk 6 rrb for environment governments spending on maintaining environment billion rupiah djpk 7 primary sector of grdp regional income sourced from the primary sector billion rupiah bps 8 secondary sector of grdp regional income sourced from the secondary sector billion rupiah bps aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 145 table 1 data and definition used in the analysis (cont’) no. indicators operational definition measurement unit source 9 tertiary sector of grdp regional income sourced from the tertiary sector billion rupiah bps 10 the inverse of coefficient variation of grdp per capita growth describing the stable condition of per capita grdp growth percent bps social equity pillar 11 gini coefficient the level of income inequality index bps 12 gender empowerment index (idg) role of women in economic and political activities index bps 13 access to electricity households that able to use electricity in an area percent bps 14 poverty rate population below the poverty line compared to the total population percent bps 15 access to sanitation households that have access to proper sanitation percent bps 16 access to drinking water population access to quality water sources percent bps 17 average length school length of time taken by residents in participating in formal education year bps 18 expected age life at birth estimated reachable age calculated from a person was born year bps 19 net enrollment rate (ner) the proportion of the population in a particular age group who attends a certain level of education percent bps 20 the ratio of the working and workingage population the proportion of the working-age population to the labour force percent bps 21 gender gap in ner gaps of formal education access by gender ratio bps 22 gender gap in labour force participation rate (lfpr) the gap in the labour force participation by gender ratio bps 23 gender gap in life expectancy gender gaps related to health problems ratio bps environmental pillar 24 water quality index (wqi) condition of water in an area at a particular time index klhk 25 air quality index (aqi) level of air in an area at a certain period index klhk 26 land cover quality index (lcqi) area of forest cover and swamp scrub index klhk notes: bps (central bureau statistics of indonesia), djpk (directorate general of fiscal balance, ministry of finance), klhk (ministry of environment and forestry) the analytical method used in this study uses the iggi method conducted by jha et al. (2018), which consists of several stages, namely as follows: aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 146 data normalization the normalization stage is required to change and equalize the data measurement unit so the data can be compared. the result of normalization data will be a value range from 1 to 6, with score one being the worst and score six being the best. normalization carried out in this paper using the min-max normalization method is as follows: indicators with a positive impact on iggi: z = 5 x x – min(x) [ max(x)min(x)] +1 (1) indicators with a negative impact on iggi: z = -5 x x-min(x) [ max(x)min(x)] +6 (2) where: z is the result of normalization, x is the value of an indicator, max (x) is the highest value of an indicator, dan min (x) is the lowest value of an indicator. iggi calculations the iggi calculation begins by adding up all the values of indicators that have been normalized on the same pillar. after that, find the average of each pillar and combine it with the calculation of the other pillars. the measures are as follows: iggi = 1 3 (epa)+ 1 3 (sipa)+ 1 3 (erpa) (3) where: iggi is inclusive green growth index, epa is economic pillar average, sepa is social equity pillar average, dan espa is environmental sustainability pillar average. pillar gap this stage is necessary considering the goal of iggi is to obtain a balanced result between the pillars, not only high in the economic growth pillar but also needing to be accompanied by a high score on social equity and environmental sustainability pillar. the calculations at this stage are as follows: total gap = [epa-sipa]+[sipa-erpa]+[erpa-epa] (4) where: epa is economic pillar average, sepa is social equity pillar average, dan espa is environmental sustainability pillar average. aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 147 balanced iggi the last step in the iggi calculation is to enter the total gap into the iggi calculation as one of the pillars. before being included in the final calculation, the total gap needs to be normalized with the following formula: cpb = -5 x total gapmin(tg) max(tg)min(tg) + 6 (5) where: cpb is cross pillar balance, max (tg) is the highest value of total gap, min (tg) is the lowest value of total gap. after obtaining the cpb value, its value is entered into the iggi calculation as a balancing pillar. the calculation of balanced iggi is as follows: balanced iggi = 3 4 (iggi)+ 1 4 (cpb) (6) result and discussion table 2 shows the results of the descriptive statistics of all the indicators used in the study. it can be seen that the data of economic growth and environmental sustainability indicators are distributed widely, as evidenced by the wide range between the minimum and maximum values. meanwhile, the social equity pillar data is distributed more equally than the other pillar. table 2 descriptive statistics indicators n minimum maximum mean std. deviation g.grdp per capita 68 -17.16 20.20 3.53 3.95 trade openness 68 20.10 310.63 98.61 48.46 dependencyratio 68 39.49 66.74 50.41 5.68 rrbeconomic 68 1.61e+11 5.20e+12 6.72e+11 8.33e+11 rrbsocial 68 2.05e+10 1.46e+12 1.09e+11 2.00e+11 rrbenvironment 68 2.30e+09 5.05e+12 1.44e+11 6.48e+11 primarygrdp 68 4225.54 267158.45 60611.33 66505.74 secondarygrdp 68 2461.00 774525.75 101679.41 171189.78 tertiarygdrp 68 10054.92 1388568.94 138205.08 262400.53 invcv 68 -0.37 70.29 13.34 14.33 gini 68 0.26 0.43 0.35 0.04 idg 68 48.19 83.20 68.05 6.76 electricityaccess 68 39.16 100.00 91.73 11.40 poverty 68 2.61 26.55 8.99 4.93 sanitationaccess 68 8.68 91.19 55.20 18.70 drinkwateraccess 68 31.02 99.82 71.76 17.19 als 68 5.99 11.06 8.28 0.97 exp.agelife 68 64.22 74.92 69.61 2.60 nerelem.sch 68 78.56 99.53 96.48 3.56 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 148 table 2 descriptive statistics (cont’) indicators n minimum maximum mean std. deviation nerjunior.sch 68 54.21 86.75 76.46 6.32 nersenior.sch 68 43.22 73.01 61.33 6.13 worktoworkage 68 55.08 76.40 63.73 4.37 gen.gap.ner.es 68 0.97 1.04 1.00 0.01 gen.gap.ner.js 68 0.85 1.10 0.97 0.05 gen.gap.ner.ss 68 0.79 1.22 0.95 0.08 gen.gap.life.exp 68 0.94 0.95 0.95 0.00 gen.gap.labor 68 0.46 0.80 0.62 0.08 wqi 68 21.84 88.33 58.79 15.84 aqi 68 50.65 96.94 86.85 8.00 lcqi 68 24.66 100.00 59.88 16.14 valid n (listwise) 68 indonesia balanced iggi table 3 shows the average of every pillar score and the balanced iggi achieved by every province. the average of balanced iggi is improving; in 2015, the average score obtained was 3.21, which increased to 3.36 in 2019. this improvement is positive because there is progress even though it is not ideal yet. this improvement cannot be said as a perfect improvement because the environmental sustainability pillar is decreasing in 24 provinces, and the social equity pillar is also reducing in almost 50% of areas in indonesia. therefore, it is essential to pay attention to the improvement in the three pillars because the primary purpose of inclusive green growth is to create good economic growth, improve social inclusiveness conditions, and maintain environmental sustainability simultaneously. in 2015, the top three provinces with the highest balanced iggi scores were east java, central java, and west java. these three received the highest scores due to their high scores in every pillar. meanwhile, west papua, west sulawesi, and maluku are the three provinces with the lowest scores. these three provinces received low scores due to the high cross-pillar balance score, which was due to the high value of the environmental pillar but the low score on the economic pillar, thereby reducing the balanced iggi. in 2019, the provinces with the highest balanced iggi scores were east java, central java, and east kalimantan. east kalimantan is becoming one of the provinces with the best balanced iggi score due to their improvement on economic growth and social equality pillars. the provinces with the lowest balanced iggi score in 2019 were papua, west papua, and dki jakarta. dki jakarta has fallen to one of the provinces with the lowest score due to their achievement on the environmental sustainability pillar. this is important to be noticed by the dki jakarta province, considering that its economic growth pillars are the highest, but its environmental sustainability pillar is the worst. aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 149 table 3 scores of economic growth, social equity, environmental sustainability pillars, and balanced iggi in 2015 and 2019 province 2015 2019 epa sipa erpa balanced iggi iggi rank epa sipa erpa balanced iggi iggi rank aceh 1.82 3.43 4.82 3.05 22 2.15 3.53 4.85 3.21 23 north sumatera 2.12 3.76 4.31 3.37 8 2.50 3.87 3.60 3.74 4 west sumatera 2.05 3.46 3.47 3.34 9 2.25 3.45 4.20 3.43 16 riau 2.02 3.53 2.65 3.11 21 2.33 3.73 3.85 3.66 6 jambi 1.88 3.39 3.62 3.20 16 2.32 3.55 4.18 3.52 14 south sumatera 1.92 3.52 4.18 3.20 15 2.28 3.59 4.00 3.54 11 bengkulu 1.77 3.13 5.00 2.93 27 2.29 3.37 3.89 3.53 12 lampung 1.98 3.25 3.69 3.21 14 2.37 3.55 3.47 3.70 5 bangka belitung islands 1.72 4.03 4.53 3.17 20 2.01 3.61 4.58 3.20 24 riau islands 2.24 3.89 4.61 3.44 6 2.38 3.81 4.14 3.64 7 dki jakarta 4.36 4.54 2.03 3.44 7 4.67 4.45 1.32 2.86 32 west java 3.10 3.36 3.66 3.92 3 3.20 3.69 2.27 3.52 13 central java 3.13 3.97 3.53 3.95 2 3.09 3.98 3.45 4.13 2 di yogyakarta 2.23 4.47 2.78 3.17 19 2.21 4.56 2.29 3.02 27 east java 3.52 3.71 3.77 4.25 1 4.24 3.82 3.30 4.31 1 banten 2.17 3.40 2.72 3.22 12 2.46 3.61 2.15 3.27 20 bali 2.19 4.71 4.71 3.61 4 2.25 4.56 4.25 3.55 10 west nusa tenggara 1.96 3.22 3.49 3.22 13 1.91 3.23 3.41 3.32 18 east nusa tenggara 1.58 2.91 3.75 2.89 31 1.80 2.88 4.35 2.91 30 west kalimantan 1.72 3.37 4.91 2.97 26 2.05 3.26 3.92 3.31 19 central kalimantan 1.94 3.67 4.76 3.19 17 2.23 3.65 4.54 3.38 17 south kalimantan 1.87 3.60 3.31 3.17 18 2.20 3.52 3.81 3.51 15 east kalimantan 2.40 4.04 5.43 3.49 5 2.83 4.18 5.13 3.81 3 north kalimantan 1.61 3.96 5.43 3.00 24 2.06 3.88 4.89 3.22 22 north sulawesi 1.99 3.70 4.12 3.30 10 2.18 3.86 3.84 3.57 9 central sulawesi 1.93 3.14 4.95 3.03 23 2.25 3.30 5.26 3.13 26 south sulawesi 2.01 3.43 4.00 3.25 11 2.42 3.62 4.27 3.59 8 southeast sulawesi 1.45 3.78 4.78 2.92 28 1.97 3.69 4.27 3.27 21 gorontalo 1.73 2.96 4.58 2.91 29 2.12 2.98 4.50 3.14 25 west sulawesi 1.52 2.82 4.30 2.77 33 1.88 2.70 4.45 2.90 31 maluku 1.44 3.54 4.87 2.85 32 1.80 3.46 4.86 2.93 29 north maluku 1.64 3.61 5.00 2.97 25 1.87 3.56 4.84 3.01 28 west papua 1.70 2.77 5.49 2.75 34 1.92 2.80 5.17 2.78 33 papua 1.96 2.66 5.31 2.90 30 1.74 2.05 4.83 2.54 34 economic growth pillar the economic growth pillar has increased from 2.08 in 2015 to 2.36 in 2019, as shown in table 1. figure 3 shows that dki jakarta province has the highest scores on the economic growth pillar, both in 2015 and 2019. this achievement is due to its high score in every indicator, except for the primary sector of grdp. moreover, dki jakarta's grdp is the highest among 34 provinces, which effecting on their realized regional budget (rrb) for social protection, environment, and economic growth are also the highest. at the same time, maluku and papua are the provinces with the lowest economic growth achievement pillars in 2015 and 2019. factors that influence their low achievement are the high age dependence ratio, low grdp in all sectors, and unstable grdp per capita growth. aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 150 figure 3 economic growth pillar in 2015 and 2019 there are several important notes related to the result of this pillar. the first is that the pillars of economic growth increased in almost every province. this result is in line with the research conducted by jha et al. (2018), which states that there has been an improvement in economic conditions in indonesia. this improvement is significant because, as stated by klasen (2010) and wafiq and suryanto (2021) that rapid economic growth is a prerequisite for an economy to achieve inclusive growth and maintain environmental quality. however, four provinces suffer a decline in the economic growth pillar, namely central java, di yogyakarta, west nusa tenggara, and papua. another important note is economic disparities between provinces in the western region of indonesia (wri) and the eastern region of indonesia (eri). this disparity can be seen by the top ten provinces with the highest scores which 9 of them are provinces from wri while only 1 of them is from eri. this disparity phenomenon is in line with the research results conducted by liderson and pasaribu (2020), which showed economic disparities between provinces in wri and eri. the main reason for the disparity phenomenon is a high gap in grdp receipts between provinces, which affects the rrb. economic inequality circumstances and its cause are in line with ilham's (2021) research which states the dominance of java island in the national economy, which can be seen from the considerable grdp revenue of the province in java island, and this grdp gap is because java is densely populated compared to other islands. therefore, the solution needed is to increase sectors and business fields, especially leading and potential sectors, in all provinces to create new growth poles and equalize the population distribution. social equity pillar the social equity pillar is improving, from the average score of 3.55 in 2015 to 3.57 in 2019, as shown in table 1. this improvement was less significant than in the economic growth pillar because 15 provinces, or almost 50% of the entire provinces in indonesia, suffered declining scores. as shown in figure 4, the province with the highest scores was 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 aceh north sumatera west sumatera riau jambi south sumatera bengkulu lampung bangka belitung islands riau islands dki jakarta west java central java di yogyakarta east java banten bali west nusa tenggara east nusa tenggara west kalimantan central kalimantan south kalimantan east kalimantan north kalimantan north sulawesi central sulawesi south sulawesi southeast sulawesi gorontalo west sulawesi maluku north maluku west papua papua 2015 2019 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 151 bali in 2015 and di yogyakarta in 2019. both regions have exemplary achievements in some indicators, like better public service and infrastructure, access to education, and access to jobs for all genders. unfortunately, di yogyakarta, as the best province in 2019, suffers a high gini coefficient reflecting high-income disparities. at the same time, papua is the province with the lowest score on the social equity pillar in 2015 and 2019. papua received a low score because of their low access for the household to some public service and infrastructure, such as sanitation, electricity, clean water, drinking water, and also the high poverty rate in papua. low access for the household to public service and infrastructure shows that papua must improve its economic infrastructure for the society. the results align with kusumaningrum & yuhan's (2019) and sitorus and arsani's (2018) research, which states that social equity in indonesia's province is at a moderate level except for papua, which is unsatisfactory because of the lack of public service and infrastructure. figure 4 social equity pillar in 2015 and 2019 some important notes need to be solved in almost every province on this pillar. first, the access for every gender on economic and political activities needs to be improved because the gender empowerment index and the gap of labour force participation rate (lfpr) between genders show a high gap between men and women on participating in economic and political activities. increasing the role of women in economic and political activities is essential, considering this can boost indonesia's economic incentives (nazah et al., 2021). second, the participation rate in primary education, especially at the high school level, needs to be improved because the net enrolment rate (ner) for the high school level falls off drastically from the junior high school level. this note is not matched with the results of robert's research which concludes that the performance of indonesia's education is already good based on its school enrolment. it is undeniable that in general, the conditions for school enrolment in indonesia are good, but what needs to be noted is that the compulsory education program in indonesia is divided into three levels, namely elementary, junior, and senior high school, and based on the data obtained, participation 0 1 2 3 4 5 aceh north sumatera west sumatera riau jambi south sumatera bengkulu lampung bangka belitung islands riau islands dki jakarta west java central java di yogyakarta east java banten bali west nusa tenggara east nusa tenggara west kalimantan central kalimantan south kalimantan east kalimantan north kalimantan north sulawesi central sulawesi south sulawesi southeast sulawesi gorontalo west sulawesi maluku north maluku west papua papua 2015 2019 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 152 at the senior high school level is highly decreased compared to elementary and junior high school. therefore, it is crucial to increase educational participation by improving school enrolment at the senior high school level to complete compulsory study programs because education has a central role in accelerating growth in indonesia (anwar, 2018). third, a low level of household access to public services and infrastructures in several provinces such as papua and bengkulu. this note is essential considering the goals of inclusive green growth is growth and development that can be felt equally so that no one is left behind (jha et al., 2018). environmental sustainability pillar the environmental sustainability pillar declined from 4.19 to 4.00 in 2019, the weakening of the environmental pillar is in line with robert's research which states that indonesia has a weak environmental performance, thereby increasing the score of the total gap between pillars (jha et al., 2018). it can be seen in figure 5 that the provinces with the highest scores are west papua province in 2015 and central sulawesi in 2019. their high performance is due to their water, air, and land cover quality scores. at the same time, dki jakarta was the worst province in 2015 and 2019. their low achievement on environmental sustainability was low because their water, air, and land cover quality score were low, especially in their achievement for air and land cover quality which is the worst among 33 other provinces. the results of this study are in line with the results of liderson and pasaribu (2020), who states that one of the provinces with the lowest scores in environmental sustainability pillars is dki jakarta. figure 5 environmental sustainability in 2015 and 2019 in contrast to the economic growth pillar, provinces on java island achieved a lower environmental sustainability pillar score than provinces on the other island. this phenomenon also applies to comparisons between regions where the achievements of provinces in eri are higher than provinces in wri. the low scores of java island and the 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 aceh north sumatera west sumatera riau jambi south sumatera bengkulu lampung bangka belitung islands riau islands dki jakarta west java central java di yogyakarta east java banten bali west nusa tenggara east nusa tenggara west kalimantan central kalimantan south kalimantan east kalimantan north kalimantan north sulawesi central sulawesi south sulawesi southeast sulawesi gorontalo west sulawesi maluku north maluku west papua papua 2015 2019 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 153 wri regency are in line with research by liderson and pasaribu (2020), which shows that the achievement of environmental pillars in eri province is higher than in wri even ilham (2021) mentions that several areas in wri are in hazardous environmental conditions. furthermore, all governments in indonesia need to pay attention to their environmental sustainability because there has been a fall in the environmental sustainability pillar from 2015 to 2019. figure 5 shows that 24 provinces experienced a decrease in the environmental sustainability pillar in 2015 and 2019. the degradation of environmental quality is not a good sign, considering that the inclusive green growth concept is to maintain ecological sustainability for a better and more sustainable future (world bank, 2012). conclusion this study aims to measure inclusive green growth in indonesia and see its progress in 2015 and 2019. the contribution made through this research is capturing and describing the indicators that compose green and inclusive growth concepts in indonesia's province. a common problem related to iggi in indonesia is that although there is an improvement on balanced iggi, this improvement is not ideal and desired yet. it is not perfect yet because economic growth is the central pillar that influences the progress while the environment and social equity are declining in 15 24 provinces. furthermore, specific issues need to be resolved in each constituent pillar. in the economic growth pillar, issues related to disparities of grdp receipt need to be solved so the rrb can also be increased. in the social equity pillar, problems related to the gender access gap on economic and political activities, ner for senior high school level, and household access for economic infrastructure need to be boosted. it is vital so the current development can be inclusive by participating more people in the process and everyone comprehensively feels the impact. the next issue is water, air, and land cover degradation in the environmental sustainability pillar that needs to be addressed immediately. it is essential to protect and preserve the environment to achieve better development for the future society. suggestions made from this study are to encourage the government to provide some data related to environmental sustainability that the public can access and available at every government level, not only at the national but also at the regional level. data availability is essential so that further research can be more representative in describing the inclusive green growth in indonesia. another suggestion is to solve each specific issue in the constituent pillar mentioned above so the improvement of balanced iggi in indonesia can be ideal and in accordance with the main objectives of the inclusive green growth concept. this research focuses on describing the forming indicators of iggi, so further research is needed regarding strategies and factors that can affect and accelerate the improvement of balanced iggi with all the special conditions and characteristics in each province. aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 154 references adebayo, t. s. (2020). testing the ekc hypothesis in indonesia: empirical evidence from the ardl-based bounds and wavelet coherence approaches. applied economics journal, 28(1), 78–100. retrieved from https://so01.tcithaijo.org/index.php/aej/article/view/242922 anwar, a. (2018). pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi regional di indonesia: pendekatan model panel dinamis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 19(1), 50-60. https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 credit suisse. (2021). the global wealth report 2021. retrieved from https://www.creditsuisse.com/about-us/en/reports-research/global-wealth-report.html farabi, a., abdullah, a., & setianto, r. h. (2019). energy consumption, carbon emissions and economic growth in indonesia and malaysia. international journal of energy economics and policy, 9(3), 338–345. https://doi.org/10.32479/ijeep.6573 green growth knowledge platform (ggkp). (2013). moving towards a common approach on green growth indicators. green growth knowledge platform scoping paper, 1–46. retrieved from https://www.greengrowthknowledge.org/research/movingtowards-common-approach-green-growth-indicators green growth knowledge platform (ggkp). (2016). measuring inclusive green growth at the country level. retrieved from https://www.greengrowthknowledge.org/sites/default/files/downloads/resource/m easuring_inclusive_green_growth_at_the_country_level.pdf hajian, m., & kashani, s. j. (2021). evolution of the concept of sustainability. from brundtland report to sustainable development goals. sustainable resource management, 1-24. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-824342-8.00018-3 hamori, s., & kume, t. (2018). artificial intelligence and economic growth. advances in decision sciences, 22(1), 256–278. https://doi.org/https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 harris, j. m., & roach, b. (2017). environmental and natural resource economics. https://doi.org/10.4324/9781315620190 herrington, g. (2021). update to limits to growth: comparing the world3 model with empirical data. journal of industrial ecology, 25(3), 614–626. https://doi.org/10.1111/jiec.13084 ilham, m. (2021). economic development and environmental degradation in indonesia: panel data analysis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 185-200. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 ilham, m., & pangaribowo, e. h. (2017). analisis ketimpangan ekonomi menurut provinsi di indonesia tahun 2011-2015. jurnal bumi indonesia, 6(4). jha, s., sandhu, s. c., & wachirapunyanont, r. (2018). inclusive green growth index: a new benchmark for quality of growth. in asian development bank (issue october). retrieved from https://www.adb.org/publications/inclusive-green-growth-index klasen, s. (2017). measuring and monitoring inclusive growth in developing and advanced economies: multiple definitions, open questions and some constructive proposals. reframing global social policy. https://doi.org/10.1332/policypress/9781447332497.003.0006 kusumaningrum, s., & yuhan, r. j. (2019). pertumbuhan ekonomi provinsi di indonesia berdasarkan indeks komposit pertumbuhan inklusif dan faktor yang memengaruhinya. jurnal ekonomi dan kebijakan publik, 10(1), 1–17. https://doi.org/10.22212/jekp.v10i1.1150 https://so01.tci-thaijo.org/index.php/aej/article/view/242922 https://so01.tci-thaijo.org/index.php/aej/article/view/242922 https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 https://www.credit-suisse.com/about-us/en/reports-research/global-wealth-report.html https://www.credit-suisse.com/about-us/en/reports-research/global-wealth-report.html https://doi.org/10.32479/ijeep.6573 https://www.greengrowthknowledge.org/research/moving-towards-common-approach-green-growth-indicators https://www.greengrowthknowledge.org/research/moving-towards-common-approach-green-growth-indicators https://www.greengrowthknowledge.org/sites/default/files/downloads/resource/measuring_inclusive_green_growth_at_the_country_level.pdf https://www.greengrowthknowledge.org/sites/default/files/downloads/resource/measuring_inclusive_green_growth_at_the_country_level.pdf https://doi.org/10.1016/b978-0-12-824342-8.00018-3 https://doi.org/https:/doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 https://doi.org/10.4324/9781315620190 https://doi.org/10.1111/jiec.13084 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 https://www.adb.org/publications/inclusive-green-growth-index https://doi.org/10.1332/policypress/9781447332497.003.0006 https://doi.org/10.22212/jekp.v10i1.1150 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 155 li, m., zhang, y., fan, z., & chen, h. (2021). evaluation and research on the level of inclusive green growth in asia-pacific region. sustainability, 13(13), 1–30. https://doi.org/10.3390/su13137482 liderson, d. m., & pasaribu, e. (2020). pembentukan biggi dalam mengukur pertumbuhan inklusif hijau. seminar nasional official statistics. https://doi.org/10.34123/semnasoffstat.v2019i1.84 nazah, n., duasa, j., & arifin, m. i. (2021). fertility and female labor force participation in asian countries; panel ardl approach. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 272–288. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11142 palmer, n. t. (2012). the importance of economic growth. cpa ireland. retrieved from https://www.cpaireland.ie/cpaireland/media/educationtraining/study%20support%20resources/f1%20economics/relevant%20articles/ the-importance-of-economic-growth.pdf pandit, m., & paudel, k. p. (2016). water pollution and income relationships: a seemingly unrelated partially linear analysis. water resources research, 52(10), 7668–7689. https://doi.org/10.1002/2016wr018655 putriani., idris., & adry, m. r. (2018). pengaruh pertumbuhan ekonomi, penggunaan energi dan ekspor terhadap kualitas lingkungan di indonesia. jurnal ecosains: jurnal ilmiah ekonomi dan pembangunan, 7(2), 99–110. https://doi.org/10.24036/ecosains.11066357.00 rajagukguk, w. (2015). hubungan degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi: kasus indonesia. proceedings of the national seminar & call for paper forum manajemen indonesia ke 7 "dinamika dan peran ilmu manajemen untuk menghadapi aec. sitorus, a. v. y., & arsani, a. m. (2018). a comparative study of inter-provincial inclusive economic growth in indonesia 2010-2015 with approach methods of adb, wef, and undp. jurnal perencanaan pembangunan: the indonesian journal of development planning, 2(1). https://doi.org/10.36574/jpp.v2i1.32 šneiderienė, a., viederytė, r., & abele, l. (2020). green growth assessment discourse on evaluation indices in the european union. entrepreneurship and sustainability issues, 8(2), 360-369. https://doi.org/10.9770/jesi.2020.8.2(21) sun, y., ding, w., yang, z., yang, g., & du, j. (2020). measuring china’s regional inclusive green growth. science of the total environment, 713. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.136367 suprayitno, t. (2019) pendidikan di indonesia: belajar dari hasil pisa 2018. project report. badan penelitian dan pengembangan, jakarta. retrieved from http://repositori.kemdikbud.go.id/16742/ tseng, m.-l., tan, p., jeng, s.-y., lin, c.-w., negash, y., & darsono, s. (2019). sustainable investment: interrelated among corporate governance, economic performance and market risks using investor preference approach. sustainability, 11(7). https://doi.org/10.3390/su11072108 un escap. (2014). green growth indicators: a practical approach for asia and the pacific. retrieved from https://hdl.handle.net/20.500.12870/1548 united nations development program undp. (2017). sustainable development goals. retrieved from https://www.undp.org/publications/un-sustainable-developmentgoals-report-2017?c_src=central&c_src2=gsr visser, w., & brundtland, g. h. (2013). our common future (‘the brundtland report’): world commission on environment and development. the top 50 sustainability books, 52–55. https://doi.org/10.9774/gleaf.978-1-907643-44-6_12 https://doi.org/10.3390/su13137482 https://doi.org/10.34123/semnasoffstat.v2019i1.84 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11142 https://www.cpaireland.ie/cpaireland/media/education-training/study%20support%20resources/f1%20economics/relevant%20articles/the-importance-of-economic-growth.pdf https://www.cpaireland.ie/cpaireland/media/education-training/study%20support%20resources/f1%20economics/relevant%20articles/the-importance-of-economic-growth.pdf https://www.cpaireland.ie/cpaireland/media/education-training/study%20support%20resources/f1%20economics/relevant%20articles/the-importance-of-economic-growth.pdf https://doi.org/10.1002/2016wr018655 https://doi.org/10.24036/ecosains.11066357.00 https://doi.org/10.36574/jpp.v2i1.32 https://doi.org/10.9770/jesi.2020.8.2(21) https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.136367 http://repositori.kemdikbud.go.id/16742/ https://doi.org/10.3390/su11072108 https://hdl.handle.net/20.500.12870/1548 https://www.undp.org/publications/un-sustainable-development-goals-report-2017?c_src=central&c_src2=gsr https://www.undp.org/publications/un-sustainable-development-goals-report-2017?c_src=central&c_src2=gsr https://doi.org/10.9774/gleaf.978-1-907643-44-6_12 aminata, nusantara, & susilowati the analysis of inclusive green growth in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 156 wafiq, a. n., & suryanto, s. (2021). the impact of population density and economic growth on environmental quality: study in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 301–312. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 warsito, t. (2020). produktivitas sebagai penentu disparitas pendapatan antar daerah di indonesia. jurnal ilmiah mea (manajemen, ekonomi, & akuntansi), 4(3), 938–956. https://journal.stiemb.ac.id/index.php/mea/article/view/525 world bank. (2012). inclusive green growth: the pathway to sustainable development. in oecd observer (vol. 164). http://hdl.handle.net/10986/6058 world bank. (2021). co2 emissions (metric tons per capita). retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/en.atm.co2e.pc world bank. (2021). gdp (current us$). retrieved from https://data.worldbank.org/indikator/ny.gdp.mktp.cd world bank. (2021). gdp per capita (current us$). retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/ny.gdp.pcap.cd world economic forum (wef). (2017). the inclusive growth and development report. world economic forum. retrieved from https://www.weforum.org/reports/the-inclusivegrowth-and-development-report-2017/ yasa, i. k. o. a., & arka, s. (2015). pengaruh pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antardaerah terhadap kesejahteraan masyarakat provinsi bali. jurnal ekonomi kuantitatif terapan, 8(1). retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/jekt/article/view/16494 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 https://journal.stiemb.ac.id/index.php/mea/article/view/525 http://hdl.handle.net/10986/6058 https://data.worldbank.org/indicator/en.atm.co2e.pc https://data.worldbank.org/indikator/ny.gdp.mktp.cd https://data.worldbank.org/indicator/ny.gdp.pcap.cd https://www.weforum.org/reports/the-inclusive-growth-and-development-report-2017/ https://www.weforum.org/reports/the-inclusive-growth-and-development-report-2017/ https://ojs.unud.ac.id/index.php/jekt/article/view/16494 microsoft word 04-nugroho jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm. 127-136   bagaimana kesediaan untuk membayar peningkatan kualitas lingkungan desa wisata? nugroho joko prasetyo1, endah saptutyningsih2 1pusat pengembangan ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta 2fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183, indonesia, phone +62 274 387656 e-mail korespondensi: end_naufal@yahoo.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: september 2013 abstract: this study aims to know what is age, education, earnings, number of family dependents, expense of visit, visit frequency influence willingness to pay in the effort repair of environmental quality of tourism village in sleman regency after merapi eruption. this study is done in sleman regency, province special region of yogyakarta. this study uses primary data with interview method to the 150 responders. the enumeration estimate of expense that ready society to pay for the repair of environmental quality is done with approach of contingent assessment method (contingent valuation method) to the srowolan tourism village, the brayut tourism village, the kelor tourism village, the kembangarum tourism village and pentingsari tourism village. the analysis of the study is multiple linear regression. results of study indicate that age, education, earnings, have an effect on willingness to pay in the effort repair of environmental quality of the tourism village in sleman regency after merapi eruption. keywords: willingness to pay; rural tourism; contingent valuation method jel classification: q2, q26, q56 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, biaya kunjungan, frekuensi kunjungan mempengaruhi kesediaan membayar (willingness to pay) dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman pascaerupsi merapi. studi ini dilakukan di kabupaten sleman, provinsi daerah istimewa yogyakarta. studi ini menggunakan data primer dengan metode wawancara terhadap 150 responden. penghitungan perkiraan biaya yang bersedia masyarakat bayar untuk perbaikan kualitas lingkungan dilakukan dengan pendekatan metode penilaian kontingen (contingent valuation method) ke desa wisata srowolan, desa wisata brayut, desa wisata kelor, desa wisata kembangarum dan desa wisata pentingsari. alat analisis dalam studi ini adalah regresi linear berganda. hasil studi menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga berpengaruh terhadap kesediaan membayar (willingness to pay) dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman pascaerupsi merapi. kata kunci: kesediaan membayar; wisata desa; contingent valuation method klasifikasi jel: q2, q26, q56. pendahuluan seiring dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap wisata saat ini, pemerintah mulai menyadari bahwa sektor pariwisata dapat memberikan keuntungan jangka panjang jika pengelolaan yang dilakukan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. sebagai upaya pencapaian kondisi tersebut, diperlukan suatu kerja sama dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 127-136 128 yang berperan langsung dalam menangani pengelolaan sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. terlebih lagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan pada pemerintah di daerah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan warganya dengan menggali dan mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. kabupaten sleman, yang merupakan bagian dari provinsi daerah istimewa yogyakarta (diy), memiliki potensi wisata yang besar untuk dikembangkan. kabupaten sleman memiliki daya tarik yang mampu ditonjolkan sebagai suatu keunggulan produk wisata meliputi geografis, demografis, sejarah maupun panorama alam. objek wisata yang dapat diunggulkan dari kabupaten sleman antara lain terbagi ke dalam beberapa kategori yaitu wisata alam, wisata budaya, dan wisata minat khusus. untuk wisata alam, terdiri atas wisata alam di naungan gunung merapi, desa wisata yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas, baik dari karakter fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya masyarakat, bumi perkemahan sinowelah dan wonogondang cangkringan. untuk wisata budaya, terdiri atas monumen yogya kembali, museum gunung api merapi, candi prambanan, dan lain sebagainya. untuk wisata minat khusus, terdiri atas berbagai macam daerah wisata, tracking, wisata kuliner, wisata belanja maupun wisata pendidikan. desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (nuryanti, wiendu. 1993). beberapa hal dibutuhkan dari suatu desa wisata adalah tempat persinggahan wisata (akomodasi) dan obyek wisata yang disuguhkan misal keindahan alam, suasana desa, tarian, bengkel kerja, kebersihan, sarana pendukung dan lain-lain. sedangkan menurut edward inskeep (1991) desa wisata merupakan wisata pedesaan di mana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan perdesaan dan lingkungan setempat. peristiwa erupsi merapi yang terjadi pada tahun 2010, telah meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan di sleman dan sekitarnya, sehingga menyebabkan trauma yang mendalam pada diri masyarakat yang berada di daerah tersebut. objek dan fasilitas wisata merupakan salah satu aspek yang mengalami kerusakan berat akibat letusan merapi. setelah meletusnya gunung merapi, banyak usaha pariwisata berhenti beroperasi dan berdampak pada penurunan pengunjung ke beberapa objek wisata maupun desa wisata. untuk menggiatkan lagi usaha pariwisata di daerah tersebut perlu usaha tabel 1. data pengunjung desa wisata di kabupaten sleman tahun 2010 no. nama desa wisata oktober desember pertumbuhan (%) domestik asing domestik asing domestik asing 1 brayut 210 122 -41,90 2 jetak 22 15 -31,82 3 kelor 868 0 -100,00 4 kembangarum 200 0 -100,00 5 ketingan 3 25 733,33 6 ledoknongko 25 0 -100,00 7 pentingsari 886 0 -100,00 8 plempoh 97 6 87 3 -10,31 -50,00 9 rumah domes 200 142 -29,00 10 srowolan 27 0 -100,00 11 sukunan 625 615 -100,00 12 tanjung 67 13 -1,60 13 trumpon 14 9 -80,6 14 turgo 5 17 -35,71 15 nawung 102 82 240,00 jumlah 3.351 6 1.127 3 -19,61 -50,00 keterangan : obyek wisata yang tidak tercatat di dinas pariwisata tidak ditampilkan dalam tabel. kesediaan untuk membayar peningkatan... (nugroho joko prasetyo, endah saptutyningsih) 129 kreatif dalam mengelola paket wisata agar kunjungan wisatawan daerah tersebut normal kembali. data yang diperoleh dari dinas pariwisata kabupaten sleman, menunjukkan jumlah pengunjung desa wisata pada beberapa obyek wisata mengalami penurunan jumlah pengunjung selama periode oktober-desember. pada bulan oktober tercatat sebanyak 3.351 pengunjung wisata untuk wisatawan domestik dan 6 wisatawan asing yang berkunjung, namun pada bulan desember terjadi penurunan pengunjung menjadi 1.127 pengunjung wisatawan domestik dan 3 wisatawan asing yang melakukan wisata ke beberapa desa wisata. hal ini dimungkinkan karena telah terjadi bencana meletusnya gunung merapi yang berdampak pada penurunan minat wisatawan untuk berkunjung ke beberapa obyek wisata yang memang sebagian besar terletak tidak jauh dari lereng gunung merapi. penurunan drastis jumlah pengunjung terlihat dari beberapa obyek wisata di antaranya obyek wisata kelor, kembangarum, ledoknongko, pentingsari, dan srowolan. selain itu juga desa wisata brayut, jetak, plempoh, rumah domes, sukunan, tanjung, trumpon, dan nawung juga terjadi penurunan jumlah pengunjung tetapi tidak separah desa wisata yang memang dekat dengan lereng gunung merapi. hanya terdapat beberapa desa wisata yang ada sedikit penambahan jumlah pengunjung yakni desa wisata turgo, desa wisata ketingan, karena para wisatawan ingin melihat dan ingin mengetahui apa yang terjadi setelah gunung merapi mengalami erupsi. estimasi kerugian menurut isei cabang yogyakarta, dengan asumsi nilai ekonomi yang dimiliki objek wisata sama dengan potensi kerugian sumberdaya akibat bencana letusan gunung merapi, maka dengan memperhitungkan use value & non-use value, potensi kerugiannya adalah sebagai berikut: 1) objek hutan wisata kaliurang rp138.516.876.400,00 per tahun; 2) objek wisata desa kinahrejo rp949.264.162,00 per tahun; 3) objek wisata bukit turgo rp604.588.658,00 per tahun; 4) objek wisata kaliadem rp1.489.339.540,00 per tahun. studi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan pengunjung untuk membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan di desa-desa wisata yang terdapat di kabupaten sleman menggunakan metode contingent valuation method (cvm). contingent valuation method (cvm) adalah metode teknik survei untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan (yakin, 1997). menurut fauzi (2004) pendekatan cvm pertama kali dikenalkan oleh davis (1963) dalam studi mengenai perilaku perburuan di miami. pendekatan ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. kedua, dengan teknik survei. adapun tujuan dari cvm adalah untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay atau wtp) dari masyarakat, serta mengetahui keinginan menerima (willingness to accept atau wta) kerusakan suatu lingkungan (fauzi, 2004). menurut syakya (2005) willingness to pay (wtp) adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila ingin lingkungan menjadi baik. cvm digunakan mengukur nilai total kesediaan konsumen secara individu untuk membayar barang publik di bawah beberapa skenario hipotesis pasar. metode ini digunakan karena dapat untuk (1) mengestimasi wtp individu terhadap perubahan hipotesis kualitas aktivitas pariwisata; (2) menilai perjalanan dengan banyak tujuan; (3) menilai kenikmatan memakai lingkungan baik pengguna atau bukan pengguna sumberdaya tersebut; (4) menilai barang yang dinilai terlalu rendah (mitchell dan carson, 1989; lee et al.,1998). sarana yang dipilih adalah biaya masuk karena merupakan alat pembayaran yang paling realistis bagi konsumen untuk masuk ke sebuah kawasan wisata (foster, 1989, garrod dan wills, 1999). dalam melancarkan upaya pengembangan wisata di kabupaten sleman, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan lembaga adat setempat. selain itu, upaya peningkatan kualitas fasilitas dan sarana prasarana transportasi yang mendukung akan wisata-wisata yang dikembangkan tersebut harus dilakukan secara optimal. oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apakah yang jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 127-136 130 mempengaruhi kesediaan pengunjung untuk membayar (willingness to pay) dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. metode penelitian subjek dalam studi ini adalah para wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing yang berada di desa-desa wisata kabupaten sleman. lokasi studi ini dilakukan di desa-desa wisata yang terdapat di kabupaten sleman antara lain desa wisata srowolan, kelor, kembangarum, brayut, dan pentingsari. data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan data primer. adapun data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu badan pusat statistik provinsi d.i. yogyakarta, dinas pariwisata kabupaten sleman, dan sumber-sumber lainnya. data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan studi ini adalah pendapatan anggaran daerah kabupaten sleman, berbagai data non ekonomi meliputi jumlah pengunjung obyek wisata di kabupaten sleman, kondisi sosial masyarakat (populasi, budaya, pendidikan, dan kesehatan), infrastruktur (panjang jalan, ketersediaan listrik, ketersediaan sarana umum, dan sarana transportasi umum), dan pelayanan publik (jaminan kesehatan dan pelayanan investasi). data sekunder di atas juga akan didukung oleh data primer berdasarkan hasil wawancara kepada para pengunjung/wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. data ini diperoleh melalui wawancara/pengisian kuesioner dengan responden yang berada di objek wisata di kabupaten sleman. mengingat adanya keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, maka dalam pengumpulan data primer dilakukan terhadap 150 responden. pemilihan/penunjukan sampel terutama dilakukan pada pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara, yaitu dilakukan dengan teknik random sampling yaitu pengambilan sampel responden secara acak dilakukan di kawasan wisata terpilih, yaitu: desa wisata srowolan, kelor, kembangarum, brayut, dan pentingsari yaitu dengan membagikan angket kepada para pengunjung objek wisata. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya willingness to pay (wtp) perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman diduga dipengaruhi oleh variabel-variabel sebagai berikut: (1) pendapatan adalah penghasilan setiap bulan pengunjung desa-desa wisata di kabupaten sleman. penghasilan bersumber dari pekerjaan utama bagi pengunjung yang sudah mempunyai pekerjaan tetap atau penghasilan yang bersumber dari uang saku setiap bulan bagi pengunjung yang belum mempunyai pekerjaan. (2) biaya kunjungan merupakan biaya keseluruhan pengunjung yang dikeluarkan dalam 1 (satu) kali kegiatan wisata. (3) pendidikan adalah lamanya pendidikan formal yang pernah ditempuh seseorang. (4) jumlah tanggungan keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang ditanggung dalam satu keluarga. jumlah tanggungan keluarga akan berkaitan dengan banyaknya pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh keluarga tersebut. (5) frekuensi kunjungan adalah beberapa kali pengunjung datang ke tempat wisata. (6) willingness to pay (wtp) adalah kesediaan membayar pengunjung desa-desa wisata. metode valuasi kontingen (contingent valuation method) adalah metode teknik survei untuk menyatakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa orang yang mempunyai preferensi yang besar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang akan bertindak nantinya seperti yang dia katakana ketika suatu hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang (yakin, 1997). keunggulan-keunggulan dari penggunaan cvm yaitu: (1) sifatnya yang fleksibel dan dapat diterapkan pada beragam kekayaan lingkungan, tidak hanya terbatas pada benda atau kekayaan alam yang terukur secara nyata di pasar saja. (2) dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu sering kali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, dapat diaplikasikan berbagai konteks kebijakan lingkungan. (3) dapat digunakan dalam berbagai macam kesediaan untuk membayar peningkatan... (nugroho joko prasetyo, endah saptutyningsih) 131 studi barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. (4) dibandingkan dengan teknik penilaian yang lain, cvm memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. seseorang yang menggunakan cvm mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika digunakan secara langsung. (5) kapasitas cvm dapat menduga ''nilai non pengguna'' (non use value). (6) responden dapat dipisahkan ke dalam kelompok pengguna dan non pengguna sesuai dengan informasi yang didapatkan dari kegiatan wawancara, sehingga memungkinkan perhitungan nilai tawaran pengguna dan pengguna secara terpisah. analisis yang mempengaruhi nilai wtp perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan persamaan regresi sebagai berikut: wtp = β0 + β1usi + β2pndki + β3pndptni + β4jti + β5bki + β6fki + εi 1) di mana: wtp adalah nilai wtp responden (rp); β0 adalah intersep; β1,..., β6 adalah koefisien regresi; us adalah usia (th); pndk adalah lama pendidikan (tahun); pndptn adalah tingkat pendapatan (rp); jt adalah jumlah tanggungan keluarga (orang); bk adalah biaya kunjungan (rp); fk adalah frekuensi kunjungan (kali); i adalah responden ke-1 (i = 1, 2, ..., n); ε adalah error term. pengujian terhadap data dilakukan dengan menggunakan uji validitas dan uji reliabilitas. uji validitas adalah suatu alat ukur yang menunjukkan tingkat kevalidan suatu instrumen. pengujian validitas konstruk dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor masingmasing butir pernyataan dengan skor total, menggunakan teknik korelasi product moment. suatu butir pertanyaan dikatakan valid jika koefisien korelasi antara skor butir dengan total skor positif dan signifikan pada tingkat 5 persen. uji reliabilitas dilakukan dengan cara menghitung cronbach alpha dari masing-masing instrumen dalam suatu variabel. teknik cronbach alpha adalah suatu teknik yang menunjukkan indeks konsistensi internal yang akurat, cepat, dan ekonomis. instrumen yang dipakai memenuhi reliabilitas nilai cronbach alpha antara 0 sampai 1. semakin besar koefisien alpha (mendekati 1) maka semakin besar kepercayaan terhadap alat ukur tersebut. instrumen yang dipakai memenuhi reliabilitas jika nilai cronbach alpha > 0,6 (ghonzali, 2002). pengujian terhadap model regresi dilakukan dengan melakukan uji signifikansi uji-t dan uji-f serta melakukan pengujian terhadap asumsi klasik yaitu uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. hasil dan pembahasan di dalam studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (wtp) perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata pascaerupsi merapi di kabupaten sleman digunakan uji validitas. uji validitas dalam studi ini digunakan untuk menguji pertanyaan yang dipakai dalam kuesioner apakah dapat mengukur dengan cermat atau tidak yang hendak diukur. hasil uji validitas instrumen pertanyaan pada studi faktor-faktor yang mempengaruhi willingness to pay (wtp) desa-desa wisata di kabupaten sleman. tabel 2 memberikan penjelasan bahwa variabel willingness to pay (wtp) memiliki skor jawaban terendah (minimum) sebesar 3000 dan skor jawaban tertinggi (maksimum) sebesar 10000. rata-rata skor jawaban dari variabel tersebut adalah 6740 dan standar deviasi 2411,327 sehingga standar deviasi lebih kecil dari ratarata. hal ini mengindikasikan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel wtp baik. untuk variabel usia memiliki skor minimum sebesar 3000 dan skor maksimum sebesar 49. rata-rata skor jawaban responden 32,93 dengan standar deviasi lebih kecil dari rata-rata yakni sebesar 6,317. hal ini menunjukkan bahwa sebaran data jawaban responden terhadap variabel usia baik. pada variabel pendidikan skor minimum sebesar 2 dan skor maksimum sebesar 5 dengan rata-rata 4,21 dengan standar deviasi 0,729. hal ini menunjukkan bahwa sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel pendidikan adalah baik. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 127-136 132 dalam variabel pendapatan skor minimum sebesar 800.000 dan skor maksimum 3.500.000. rata-rata skor jawaban responden adalah 1.645.667 dan standar deviasi 657.939,040. karena standar deviasi lebih besar dari rata-rata maka sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel pendapatan adalah tidak baik. variabel jumlah tanggungan keluarga memiliki skor minimum sebesar 1 dan skor maksimum sebesar 5. rata-rata skor jawaban responden sebesar 2,75 dengan standar deviasi sebesar 1,106. karena standar deviasi lebih kecil dari rata-rata jawaban responden maka sebaran data akan jawaban responden terhadap variabel tersebut baik. variabel biaya kunjungan skor minimum sebesar 50.000 dan skor maksimum sebesar 300.000. rata-rata skor jawaban responden sebesar 103.333,33 dengan standar deviasi sebesar 49.380,955. skor standar deviasi lebih kecil daripada skor rata-rata jawaban responden. hal ini mengindikasikan bahwa jawaban responden terhadap variabel biaya kunjungan adalah tidak baik. variabel frekuensi kunjungan memiliki skor minimum sebesar 1 dan skor maksimum sebesar 4. skor rata-rata jawaban responden sebesar 33 dan standar deviasi sebesar 0,781. karena skor standar deviasi lebih kecil dari skor rata-rata jawaban responden yakni 2,03, maka sebaran data jawaban responden terhadap variabel frekuensi kunjungan baik. uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model regresi. uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan uji white. kriteria yang digunakan adalah jika nilai probabilitas obs*r square yang dihasilkan lebih besar dari 5 persen, maka dapat dikatakan tidak adanya heteroskedastisitas dalam model regresi ini. nilai obs*r square memiliki nilai probabilitas sebesar 0,726941 > α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. uji fit model digunakan untuk menguji kecocokan model dalam suatu studi. model awal yang digunakan dalam studi adalah: lnwtp = β0 + β1 lnusi + β2 lnpndki + β3 lnpndptni + β4 lnjti + β5 lnbki + β6 lnfki + εi 2) di mana: wtp adalah nilai wtp responden (rupiah); β0 adalah intersep; β1,..., β6 adalah koefisien regresi; us adalah usia (tahun); pndk adalah tingkat pendidikan (tahun); pndptn adalah tingkat pendapatan (rupiah); jt adalah jumlah tanggungan keluarga (orang); bk adalah biaya kunjungan (rupiah); fk adalah frekuensi kunjungan (kali); i adalah responden ke-1 (i = 1,2,..., n); ε adalah error term dengan menghilangkan variabel-variabel yang tidak signifikan, maka model regresi yang digunakan adalah: lnwtp = β0 + β1 lnusi + β2 lnpndki + β3 lnpndptni + β4 lnjti+ εi 3) tabel 2. deskripsi statistik variabel penelitian n minimum maximum mean std. deviation wtp (rupiah) usia (tahun) pendidikan (tahun) pendapatan (rupiah) jumlah tanggungan keluarga (orang) biaya kunjungan (rupiah) frekuensi kunjungan (kali) 150 150 150 150 150 150 150 3.000 20 2 800.000 1 50.000 1 10.000 49 5 3.500.000 5 300.000 4 6.740,00 32,93 4,21 1.645.667,00 2,75 103.333,33 2,03 2.411,327 6,317 0,729 657.939,040 1,106 49.380,955 0,781 sumber : data diolah kesediaan untuk membayar peningkatan... (nugroho joko prasetyo, endah saptutyningsih) 133 di mana: wtp adalah nilai wtp responden (rupiah); β0 adalah intersep; β1,..., β6 adalah koefisien regresi; us adalah usia (tahun); pndk adalah tingkat pendidikan (tahun); pndptn adalah tingkat pendapatan (rupiah); jt adalah jumlah tanggungan keluarga (orang) i adalah responden ke-1 (i = 1,2,...,n); ε adalah error term tabel 3. hasil regresi variabel-variabel penelitian variabel full model fit model constant 6,264** (0,000) 5,590** (0,000) ln usia 0,545** (0,000) 0,514** (0,000) ln pendidikan -0,289** (0,045) -0,287 (0,047) ln pendapatan 0,158** (0,035) 0,147** (0,048) ln jumlah tanggungan keluarga -0,350** (0,000) -0,344** (0,000) ln biaya kunjungan -0,083* (0,152) ln frekuensi kunjungan 0,035* (0,591) observation 150 adjusted r2 0,221 f-statistic 8,058 observation 150 adjusted r2 0,219 f-statistic 1,443 dependent variabel : wtp keterangan : * : signifikan pada α 10% ; ** : α 5% ; *** : α 1% uji statistik t digunakan untuk mengetahui masing-masing variabel independen secara individual berpengaruh terhadap variabel dependen. dalam studi ini, model yang digunakan adalah: lnwtp = β0 + β1 lnusi + β2 lnpndki + β3 lnpndptni + β4 lnjti+ εi 4) hasil uji t disajikan pada tabel 4. nilai konstanta (α0) = 5,590 dapat diartikan apabila semua variabel bebas (usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga) dianggap konstan atau tidak mengalami perubahan, maka willingness to pay (wtp) dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman akan sebesar anti ln 5,590 atau sebesar 267,7356 kali. tabel 4. hasil uji t model coefficients tstatistic probabilitas (constant) 5,590 5,456 0,000 lnus 0,514 3,622 0,000 lnpndk -0,287 -2,002 0,047 lnpndptn 0,147 1,991 0,048 lnjt -0,344 -5,565 0,000 hipotesis nol (ho) menyebutkan bahwa usia tidak berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. hipotesis alternatif menyebutkan bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. nilai thitung yang diperoleh pada tabel 4 sebesar -2,002 lebih besar dari -ttabel (-1,960) dan tingkat probabilitas sebesar 0,047 < 0,05, maka h0 diterima dan ha ditolak. artinya menerima hipotesis bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. nilai koefisien variabel pendidikan (β2) = -0,287 berarti jika pendidikan berubah 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman akan mengalami perubahan sebesar 0,287 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien variabel pendidikan bernilai negatif, maka pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. apabila pendidikan meningkat 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan akan mengalami penurunan sebesar 0,287 persen. pendidikan yang tinggi akan tercipta suatu pemikiran yang lebih matang akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga menghasilkan perubahan lingkungan yang lebih baik terhadap lingkungan alam sekitar desa-desa wisata tersebut. pendapatan tidak berpengaruh signifikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 127-136 134 terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. hipotesis alternatif menyebutkan bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desadesa wisata di kabupaten sleman. nilai thitung sebesar 1,991 lebih besar dari ttabel (1,960) dan tingkat probabilitas sebesar 0,048 < 0,05, maka ho diterima dan ha ditolak. artinya menerima hipotesis bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. pengujian terhadap uji statistik f diperoleh nilai fhitung sebesar 11,443 dan tingkat probabilitas sebesar 0,000. dengan taraf signifikan 95% ( = 5%) dan derajat kebebasan (db = k = 5, n-1-k = 150-1-4), maka diperoleh nilai ftabel sebesar 2,21. artinya ada pengaruh yang signifikan antara antara usia, pendidikan, pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga secara bersama-sama terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. koefisien determinasi (r2) berguna untuk mengukur kemampuan model dalam menerangkan variabel independent. nilai adjusted r square adalah sebesar 0,2420, hal ini menunjukkan 24,20 persen variasi kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman dijelaskan oleh variasi dari variabel bebas usia, pendidikan, pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga. sedangkan sisanya sebesar 75,8 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model studi ini. koefisien variabel pendapatan (β3) = 0,147 berarti jika pendapatan berubah 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata akan mengalami perubahan sebesar 0,147 persen, dengan asumsi variabel yang lain tetap. koefisien variabel pendapatan bernilai positif, maka pendapatan mempunyai pengaruh positif terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. apabila pendapatan meningkat 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman akan mengalami peningkatan sebesar 0,147 persen. apabila pendapatan individu tinggi, maka kesediaan pengunjung untuk membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman akan semakin tinggi. hasil ini senada dengan studi saptutyningsih (2007:171-182) yang menemukan bahwa pendapatan berpengaruh positif terjadap willingness to pay perbaikan kualitas lingkungan. jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. hipotesis alternatif menyebutkan bahwa jumlah tanggungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. nilai thitung sebesar -5,565 lebih besar dari ttabel (-1,960) dan tingkat probabilitas sebesar 0,000 < 0,05, maka h0 diterima dan ha ditolak. artinya menerima hipotesis bahwa jumlah tanggungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. nilai koefisien variabel jumlah tanggungan keluarga (β4) = -0,344, berarti jika jumlah tanggungan keluarga berubah 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata akan mengalami perubahan sebesar 0,344 persen, asumsi variabel tetap. koefisien jumlah tanggungan keluarga bernilai negatif, maka jumlah tanggungan keluarga mempunyai pengaruh negatif terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. apabila jumlah tanggungan keluarga meningkat 1 persen, maka kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata akan mengalami penurunan sebesar 0,344 persen. jumlah tanggungan keluarga yang tinggi akan menyebabkan rendahnya kemam-puan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman karena faktor biaya yang dimiliki sudah teralokasikan untuk keluarga. kesediaan untuk membayar peningkatan... (nugroho joko prasetyo, endah saptutyningsih) 135 simpulan hasil studi di atas dapat memberikan kita kesimpulan bahwa: (1) variabel usia berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman paska erupsi merapi. semakin bertambahnya usia seseorang, maka pola pikir dalam menggali ilmu pengetahuan semakin mendalam serta tingkat kepedulian akan pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan alam dan lingkungan masyarakat sekitar akan meningkat. (2) variabel pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman pascaerupsi merapi. pendidikan yang tinggi akan tercipta suatu pemikiran yang lebih matang akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga menghasilkan perubahan lingkungan yang lebih baik terhadap lingkungan alam sekitar desa-desa wisata tersebut. (3) variabel pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman pasca erupsi merapi. dengan pendapatan yang tinggi maka kesediaan pengunjung untuk membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman akan semakin tinggi. (4) variabel jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman. jumlah tanggungan keluarga yang tinggi akan menyebabkan rendahnya kemampuan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan desa-desa wisata di kabupaten sleman karena faktor biaya yang dimiliki sudah teralokasikan untuk keluarga. saran. pascaerupsi merapi memberikan dampak negatif terhadap sektor pariwisata terutama berkurangnya kualitas lingkungan dan mengakibatkan tingkat kunjungan wisata desadesa wisata yang terdapat di kabupaten sleman juga menurun. oleh karena itu untuk memperbaiki kualitas lingkungan tersebut diperlukan kerjasama antara pengelola desa-desa wisata, masyarakat sekitar, wisatawan dan pemerintah dalam hal sosialisasi dan promosi untuk meningkatkan kualitas lingkungan khususnya di desa-desa wisata yang terdapat di kabupaten sleman. usia berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan. pihak pengelola wisata disarankan menggunakan segmentasi pasar pariwisata yang ditujukan kepada pengunjung yang sudah dewasa, sehingga akan menaikkan nilai willingness to pay. pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan. pendapatan yang tinggi akan terdapat beberapa kemungkinan yakni pengunjung akan memilih tempat yang lain untuk dikunjungi, sehingga perlu pengembangan daya tarik wisata untuk menambah minat pengunjung berkunjung kembali. dalam studi ini, variasi kesediaan membayar dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan sebesar 24,20 persen dijelaskan oleh variasi dari variabel usia, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga. sedangkan sisanya sebesar 75,8 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model studi ini. diharapkan untuk peneliti selanjutnya untuk menambah variabel lainnya. daftar pustaka amanda, sylvia. (2009). analisis willingness to pay pengunjung obyek wisata danau situgede dalam upaya pelestarian lingkungan. skripsi. bogor: institut pertanian bogor. diniyati, dian dan achmad, budiman. (2007). analisis manfaat ekonomi ekowisata sekitar danau toba. jurnal inovasi: vol. 4, no. 1, maret 2007. media litbang provinsi sumatera utara. fauzi, a. (2004). ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. fauzi, a. (2006). ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. jakarta: gramedia pustaka utama. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 127-136 136 fembriati e., dkk. (2011). kesediaan membayar petani kopi untuk perbaikan lingkungan. jurnal ekonomi pembangunan: vol. 2, no. 2, desember 2011:187-199. graaff, de, dkk. (2005). the willingness to pay (wtp) for facilities at the amsterdam zuidas. tinbergen institute discussion paper. hanindha, ratri. m. (2008). analisis willingness to pay (wtp) pengunjung terhadap upaya pelestarian kawasan situ babakan, srengseng sawah, jakarta selatan. skripsi. bogor: institut pertanian bogor. inskeep, edward. (1991). tourism planning an integrated and sustainable development approach. new york: van nostrand reinhold. iswitardiyanto, andi. (2011). valuasi ekonomi wisata pantai kuwaru dengan tcm dan cvm kabupaten bantul. tesis. yogyakarta: universitas gadjah mada. mirad, riko. (2009). upaya pengembangan obyek wisata di kabupaten simeuleu di kabupaten karo. skripsi. nababan, tongam. (2008). aplikasi willingness to pay sebagai proksi terhadap variabel harga: suatu model empirik dalam estimasi permintaan energi listrik rumah tangga. jurnal organisasi dan manajemen: vol. 4, no. 2, september 2008. nursusandhari, eva. (2009). persepsi, preferensi, dan willingness to pay masyarakat terhadap lingkungan pemukiman sekitar kawasan industri (kasus kawasan industri di kelurahan utama, cimahi, jawa barat). skripsi. fakultas ekonomi dan manajemen. institut pertanian bogor. bogor. nuryanti, wiendu. (1993). concept, perspective and challenges, makalah bagian dari laporan konferensi internasional mengenai pariwisata budaya. yogyakarta: gadjah mada university press:2-3 (www. wikipedia.org). saptutyningsih, e. (2007). faktor-faktor yang berpengaruh terhadap willingness to pay untuk perbaikan kualitas air sungai code di kota yogyakarta. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vo. 8 no.2 oktober 2007:171-182. setyorini, timang. (2004). kebijakan pariwisata dalam rangka meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat kabupaten semarang. tesis. program magister ilmu hukum. semarang: universitas diponegoro. sisca, erni. (2006). analisis ekonomi manfaat ekosistem terumbu karang di pulau ternate provinsi maluku utara. tesis. bogor: institut pertanian bogor. syakya. (2005). analisis willingness to pay (wtp) dan strategi pengembangan objek wisata pantai lampuuk di nangroe aceh darussalam.” tesis. sekolah pascasarjana. bogor: institut pertanian bogor. yakin, a. (1997). ekonomi sumberdaya dan lingkungan: teori dan kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan. jakarta: akademika presindo. yoel, ediy (2008). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pdrb sektor pariwisata di kabupaten karo. skripsi. universitas sumatera utara. yoeti, a. (2008). ekonomi pariwisata, introduksi, informasi dan implementasi. jakarta: kompas. microsoft word 09-wijayanti jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.174-184 indeks kepuasan masyarakat pada pelayanan kantor kecamatan di surakarta, indonesia wijayanti setyo utami1, suryanto2 1,2 fakultas ekonomi dan bisnis, universitas sebelas maret surakarta, jalan ir. sutami no. 36 a kentingan surakarta 57126, indonesia. phone: +62-271-647481 e-mail korespondensi: wijayantisetyoutami@yahoo.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: september 2013 abstract: this study aims to observe the index of public service satisfaction and to determine the factors that affect the level of community satisfaction in surakarta district office (sdo). the use of questionnaire, interview, and direct observation have been carried out for data collection. there were 150 respondents who have experience with the service of sdo. the variables are include the satisfaction of the public, tangible, reliability, responsiveness, assurance, and certainty, as well as empathy. the ordinary least square (ols) are performed to analyze the multiple linear regression. this study finds that the community satisfaction index service is well regarded by the people of surakarta. it shows that five independent variables (i.e. tangible, reliability, responsiveness, assurance and certainty, as well as empathy) have a significant impact to satisfaction. people assess that the public service in surakarta district had been good. however, the government is expected to improve the quality of public service in the the district office since good service followed by the increase of community satisfaction. keywords: public service; satisfaction; good governance; ordinary least square jel classification: d73, r5, c20, h50 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana layanan indeks kepuasan pelayanan masyarakat dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan masyarakat di kantor kota surakarta. pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara dan observasi langsung dengan jumlah 150 responden. variabel yang digunakan dalam studi ini meliputi kepuasan masyarakat, nyata, reliabilitas, responsif, jaminan dan kepastian, serta empati. metode ordinary least square (ols) digunakan untuk menganalisis regresi linier berganda. hasil studi ini menunjukkan bahwa lima variabel independen, yaitu, nyata, reliabilitas, responsif, jaminan dan kepastian, serta empati berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen adalah kepuasan. masyarakat menilai bahwa pelayanan publik di jajaran kota telah baik. namun, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik di jajaran layanan kantor karena pelayanan yang baik diikuti dengan peningkatan kepuasan masyarakat. kata kunci: pelayanan public; kepuasan; tata pemerintahan yang baik; ordinary least square klasifikasi jel: d73, r5, c20, h50 pendahuluan pemerintah merupakan suatu organisasi publik yang memiliki fungsi dan tujuan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. peran pemerintah dalam menjalankan tugas melayani masyarakat dapat dilihat dari etos kerja yang tinggi, kemampuan memegang etika birokrasi dalam menjalankan tugas, dan profesionalisme dalam memenuhi aspirasi masyarakat. pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata indeks kepuasan masyarakat .... (wijayanti setyo utami, suryanto) 175 dengan kesiapan psikologi birokratnya yang selalu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan sosial yang sedang terjadi di masyarakat sebagai sasaran pelayanannya. pemerintah pusat tidak akan bisa melayani masyarakat dengan baik tanpa adanya kinerja yang baik dari pelayanan publik masyarakat di suatu daerah. adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dapat membantu memperlancar pelayanan kepada masyarakat di setiap daerah. semakin mengerucutnya sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat akan mempermudah pengembangan potensi suatu daerah tersebut. selain itu sumbangan kinerja pemerintah daerah dalam melayani masyarakat lebih cepat dirasakan oleh masyarakat. dalam rangka meningkatkan pelayanan pada masyarakat, pemerintah perlu memonitoring kinerja dari instansi-instansi yang secara langsung melayani masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. keluhan masyarakat secara nasional telah ditampung dan ditindaklanjuti oleh ombudsman republik indonesia yang merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara. tabel 1 menunjukkan data tentang keluhan masyarakat indonesia terhadap instansi publik. terdapat 1.026 keluhan keluhan masyarakat terhadap instansi pemerintah pada tahun 2008 dan peningkatan pada tahun 2009 menjadi 1.237 keluhan. keluhan masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 1.137 keluhan. namun pada tahun 2011 terjadi lonjakan keluhan terhadap pelayanan masyarakat menjadi 1.867 keluhan. secara keseluruhan, keluhan tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2011. selain instansi pemerintah daerah, kepolisian menduduki peringkat kedua yang setiap tahunnya mengalami peningkatan keluhan masyarakat. disusul oleh instansi lembaga pengadilan yang juga mendapat sorotan tentang banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa terjadi maladministrasi dari tahun 2008 hingga 2011. maladministrasi tahun 2008 yakni sebesar 1.026, mengalami peningkatan pada tahun berikutnya yakni tahun 2009 menjadi sebesar 1.237, dan pada tahun 2010 kejadian maladministrasi mengalami penurunan berada pada angka 1.137. namun yang terjadi pada tahun 2011, jumlah maladministrasi mengalami lonjakan yang cukup tajam yakni mencapai angka 1.867 kejadian maladministrasi. secara spesifik, keluhan masyarakat terbesar terhadap maladministrasi yaitu mengenai penundaan berlarut dalam melayani kebutuhan masyarakat. selain penundaan berlarut, penyalahgunatabel 1. jumlah keluhan masyarakat pada beberapa instansi tahun 2008-2011 no instansi 2008 2009 2010 2011 1 pemerintah daerah 267 302 354 671 2 kepolisian 251 288 241 325 3 lembaga pengadilan 107 146 155 178 4 badan pertanahan nasional 77 120 96 165 5 instansi pemerintah (kementerian dan departemen) 91 118 90 154 6 bumn/bumd 59 73 63 106 7 lain-lain 58 55 29 98 8 kejaksaan 52 68 41 90 9 lembaga pemerintah non departemen 16 14 11 24 10 tni 24 22 16 17 11 perguruan tinggi negeri 5 3 12 11 12 komisi negara 5 8 12 14 13 perbankan 9 15 15 11 14 dpr 4 3 2 2 15 badan pemeriksa keuangan 1 2 0 1 jumlah 1.026 1.237 1.137 1.867 sumber: data sekunder yang diolah berdasarkan laporan tahunan ombudsman republik indonesia tahun 20082011 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 174-184 176 an wewenang yang dilakukan pelaku pelayanan publik masyarakat menjadi aspek yang harus segera diperbaiki oleh instansi pemerintah. pada urutan selanjutnya masyarakat mengeluh terhadap berpihaknya instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. di setiap pemerintah daerah, terdapat kecamatan yang memiliki pengaruh besar dalam pelayanan secara langsung kepada masyarakat. kecamatan bertanggung jawab dalam lingkup suatu daerah dalam penanganan permasalahan masyarakat. pada dasarnya, kantor kecamatan memiliki tugas pokok yakni menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan dari walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. fungsi kecamatan antara lain, penyelenggaraan kesekretariatan kelurahan, mengkoordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan perencanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan, mengkoordinasi upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum, mengkoordinasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mengkoordinasi pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum, mengkoordinasi penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan, membina penyelenggaraan pemerintah kelurahan, melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan di pemerintahan kelurahan, serta pembinaan jabatan fungsional. berdasarkan tabel 3, terdapat 5 kecamatan di kota surakarta yang menyelenggarakan pelayanan terhadap masyarakat. kelima kantor kecamatan di kota surakarta mempermudah pemerintah kota surakarta dalam mengelola daerah-daerah di kota surakarta serta mempermudah masyarakat dalam penyelesaian kewajiban tanpa harus langsung berhubungan dengan pemerintah kota surakarta. lima kecamatan tersebut mengelola 51 kelurahan. pelayanan yang diberikan berupa pelayanan administrasi kependudukan yaitu pelayanan ktp, pelayanan kartu keluarga (kk), pelayanan surat keterangan tinggal sementara (skts). kecamatan juga melayani pelayanan administrasi perizinan di antaranya, pelayanan izin tabel 3. daftar kecamatan kota surakarta no kecamatan alamat nomor telpon kelurahan 1 laweyan jl. dr. rajiman nomor 352 surakarta (0271) 714568 11 2 serengan jl. veteran nomor 271 surakarta (0271) 645414 7 3 pasar kliwon jl. kapten mulyadi nomor 111surakarta (0271) 656842 9 4 jebres jl. ki hajar dewantara nomor 27 surakarta (0271) 656961 11 5 banjarsari jl. letjend s. parman nomor 133 surakarta (0271) 656979 13 jumlah kelurahan 51 sumber: badan pusat statistik kota surakarta tabel 2. jumlah laporan masyarakat berdasarkan substansi maladministrasi tahun 2008-2011 no substansi laporan 2008 2009 2010 2011 1 penundaan berlarut 259 593 572 784 2 penyalahgunaan wewenang 245 264 193 328 3 berpihak 78 106 125 127 4 tidak memberikan pelayanan 88 41 30 151 5 penyimpangan prosedur 66 86 87 162 6 permintaan uang, barang & jasa 77 56 45 139 7 tidak kompeten 42 70 51 93 8 tidak patut 35 21 34 53 9 diskriminasi 5 0 0 27 10 konflik kepentingan 11 0 0 3 11 lain-lain 120 0 0 0 jumlah 1.026 1.237 1.137 1.867 sumber: data sekunder yang diolah berdasarkan laporan tahunan ombudsman republik indonesia tahun 2008-2011 indeks kepuasan masyarakat .... (wijayanti setyo utami, suryanto) 177 gangguan (ho), izin mendirikan bangun bangunan (imbb), izin mendirikan bangunan (imb) merupakan tugas dari instansi pemerintah yakni kecamatan. tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk di setiap kecamatan kota surakarta. kecamatan banjarsari memiliki jumlah penduduk tertinggi yaitu 173.145 jiwa. jumlah penduduk tertinggi kedua adalah kecamatan jebres dengan 146.362 jiwa sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu kecamatan serengan sebesar 60.752 jiwa. adanya pendataan penduduk di setiap kecamatan memudahkan penyelenggara layanan di kantor kecamatan untuk mengelola dan memberi layanan pada warganya. studi ini bertujuan: (1) untuk mengetahui indeks kepuasan masyarakat pada pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta dan (2) untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan masyarakat di kantor kecamatan kota surakarta. untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik di instansi pemerintah daerah adalah mengobservasi terhadap indeks kepuasan masyarakat (ikm). ikm berpedoman pada keputusan menteri negara pendayagunaan aparatur negara nomor kep/ 25/m.pan/ 2/2004 tentang pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat. selama ini pelayanan yang diberikan oleh pegawai kecamatan di surakarta belum maksimal sehingga terdapat keluhan dari masyarakat. keluhan masyarakat tersebut pada akhirnya menjadi pemicu pihak kantor kecamatan untuk meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik. pelayanan yang cepat, akurat serta keramahan dari petugas kecamatan selalu diharapkan masyarakat di kantor kecamatan. hal yang sering dikeluhkan masyarakat yakni lama waktu masyarakat menunggu dalam melengkapi dokumen yang dibutuhkan. secara umum perbaikan serta peningkatan mutu pelayanan instansi-instansi pemerintah terhadap masyarakat diharapkan mampu mengurangi tingginya jumlah keluhan masyarakat, baik dalam skala regional maupun nasional. hal ini sangat perlu dilakukan untuk terus meningkatkan kepuasan masyarakat sebagai konsumen pelayanan publik. pelayanan yang adil merupakan harapan dari setiap masyarakat yang menjadi tanggung jawab dari instansiinstansi pemerintah yang berkewajiban memberikan pelayanan publik. permasalahan yang lainnya juga masih terjadi sehingga perlu adanya kesadaran dari setiap individu pemberi layanan yang terjun langsung dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. peningkatan kinerja instansi pemerintah akan mempermudah masyarakat dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. metode penelitian studi ini menggunakan sampel berjumlah 150 masyarakat yang merupakan penduduk kota surakarta berusia tujuh belas tahun ke atas yang sedang atau pernah merasakan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam studi ini adalah teknik sampling peluang (probability sampling) dengan jenis convenience sampling1. jenis sampling ini secara teknis memilih sampel berdasarkan kemudahan (sanusi, 2012: 94). 1 untuk pembahasan tentang sampling dan besarnya sampel, lihat sanusi (2012: 88-89) dan gay dan diehl (1996: 100101) tabel 4. daftar penduduk kota surakarta berdasarkan kecamatan tahun 2012 no kecamatan jumlah penduduk 1 laweyan 108.596 2 serengan 60.752 3 pasar kliwon 90.037 4 jebres 146.362 5 banjarsari 173.145 jumlah penduduk surakarta 578.892 sumber: badan pusat statistik kota surakarta jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 174-184 178 lokasi studi ini dilakukan di berbagai kantor kecamatan kecamatan kota surakarta. lokasi studi dipilih secara sengaja (purposive) yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk kemudahan jangkauan dan perolehan data primer dari lokasi-lokasi tersebut. berdasarkan keputusan menteri pan nomor: 63/kep/m.pan/7/2003 nilai indeks kepuasan masyarakat dapat dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang untuk setiap unsur pelayanan. penghitungan indeks kepuasan masyarakat terhadap 14 variabel independen memiliki penimbangan yang sama dengan rumus sebagai berikut:     1     0, 071 14 bobot nilai rata rata tertimbang jumlah bobot jumlah unsur     1) untuk memperoleh nilai ikm unit pelayanan digunakan pendekatan nilai rata-rata tertimbang dengan rumus sebagai berikut:       ikm total dari nilai persepsi per unsur x nilai penimbangan total unsur yang terisi        2) untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian ikm yaitu antara 25-100 maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan dengan nilai dasar 25, dengan rumus sebagai berikut: ikm unit pelayanan x 25 3) dengan adanya unit pelayanan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka setiap unit pelayanan dimungkinkan untuk menambah unsur yang relevan dan memberikan bobot yang berbeda terhadap 14 unsur yang dominan dalam unit pelayanan, dengan catatan jumlah bobot seluruh unsur tetap 1. studi ini menggunakan metode pengukuran regresi linear berganda atau ordinary least square (ols)2. studi ini didasarkan pula oleh studi terdahulu yang dilakukan yuliarmi dan riyasa (2007) pada pelayanan pelanggan pdam denpasar. alat analisis yang digunakan dalam menghitung tingkat kepuasan masyarakat pada pelayanan kantor kecamatan kota surakarta adalah skor rata-rata dan standar deviasi dengan rumus sebagai berikut:3 1   n ii x skor rata rata x n        4) di mana: x adalah skor rata-rata, xi adalah skor tiap-tiap sampel, dan n adalah jumlah sampel      21( ) 1 n ii x x standar deviasi s n 5) di mana: s adalah standar deviasi, n adalah jumlah sampel, x adalah nilai skor rata-rata, dan xi adalah skor tiap-tiap sampel. untuk menentukan tingkat kepuasan masyarakat pada pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta akan studi ini menggunakan indikator yang telah dikategorikan oleh yuliarmi dan riyasa (2007) sebagai berikut: 2 untuk penjelasan mengenai metode ols, lihat gujarati, (2010: 20). 3 rumus-rumus dikutip dari kuncoro (2003; 173, 177) tabel 5. nilai persepsi, interval ikm, interval konversi ikm, mutu pelayanan, dan kinerja unit pelayanan nilai persepsi nilai interval ikm nilai interval konversi ikm mutu pelayanan kinerja unit pelayanan 1 1,00 1,75 25,00 43,75 d tidak baik 2 1,76 2, 50 43,76 62,50 c kurang baik 3 2,51 3,25 62,51 81,25 b baik 4 3,26 4,00 81,26 100,00 a sangat baik sumber: kepmen pan no.25/2004 indeks kepuasan masyarakat .... (wijayanti setyo utami, suryanto) 179 i ≥ x + sd = dikategorikan tinggi x ≤ i < x + sd = dikategorikan sedang x sd ≤ i < x = dikategorikan rendah i < x sd = dikategorikan sangat rendah di mana: i adalah nilai indikator, x adalah ratarata, sd adalah standar deviasi. berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa (2007), penggunaan skala likert membuat variabel yang akan diukur dapat dijabarkan menjadi indikator-indikator variabel yang kemudian akan dijadikan titik tolak untuk penyusunan item-item instrumen berupa pertanyaan maupun pernyataan. jawaban untuk setiap item instrumen dengan menggunakan skala likert dengan rentang nilai satu yang menunjukkan sangat tidak setuju dan nilai lima untuk menunjukkan sangat setuju. selain itu analisis regresi terhadap lima dimensi kualitas layanan jasa akan menentukan seberapa baik dan tidaknya sebuah pelayanan. analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan dari faktor-faktor dimensi kualitas layanan jasa terhadap kepuasan masyarakat. berikut model regresi linear berganda yang dinyatakan dalam persamaan: yi = β0 + β1x1i + β2x2i + β3x3i + β4x4i + β5x5i + μi 6) di mana: y adalah kepuasan masyarakat, x1 adalah berwujud (tangible), x2 adalah keandalan (reliability), x3 adalah ketanggapan (responsiveness), x4 adalah jaminan dan kepastian (assurance), x5 adalah empati (empathy), β1, β2, β3, ...., β5 adalah koefisien regresi, μi adalah variabel pengganggu. hasil dan pembahasan indeks kepuasan masyarakat (ikm) analisis ini dilakukan dengan menggunakan penilaian indeks kepuasan masyarakat, di mana dari hasil perhitungan didapat kriteria nilai indeks kepuasan masyarakat (ikm). sementara dari hasil analisis statistik, diperoleh mean statistik jawaban responden mengenai kinerja pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta sebagai berikut: nilai indeks unit pelayanan: (2,88 x 0,071) + (2,91 x 0,071) + (2,88 x 0,071) + (2,63 x 0,071) + (2,86 x 0,071) + (2,92 x 0,071) + (2,58 x 0,071) + (2,99 x 0,071) + (2,92 x 0,071) + (2,96 x 0,071) + (2,62 x 0,071) + (2,53 x 0,071) + (2,91 x 0,071) + (2,95 x 0,071) = 2,80734 dengan demikian nilai indeks unit pelayanan hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) nilai ikm setelah dikonversi = nilai indeks x nilai dasar = 2,80734 x 25 = 70,1835. 2) mutu pelayanan pada kantor kecamatan kota surakarta setelah dikonversi berada pada interval nilai 62,51–81,25 sehingga dapat disimtabel 6. nilai rata-rata unsur pelayanan no unsur pelayanan nilai unsur pelayanan 1. prosedur pelayanan 2,88 2. persyaratan pelayanan 2,91 3. kejelasan petugas 2,88 4. kedisiplinan petugas 2,63 5. tanggung jawab petugas 2,86 6. kemampuan petugas 2,92 7. kecepatan petugas 2,58 8. keadilan petugas 2,99 9. kesopanan petugas 2,92 10. kewajaran biaya 2,96 11. kepastian biaya 2,62 12. kepastian jadwal 2,53 13. kenyamanan lingkungan 2,91 14. keamanan pelayanan 2,95 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 174-184 180 pulkan nilai mutu pelayanan b. 3) kinerja unit pelayanan dinilai baik oleh masyarakat. berdasarkan hasil perhitungan indeks kepuasan masyarakat dapat disimpulkan bahwa nilai mutu pelayanan b yang dinilai baik oleh masyarakat. hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat kota surakarta merasa puas terhadap pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. hal ini memang telah sesuai dengan hipotesis yang berdasarkan pada studi terdahulu yang dilakukan oleh agustina (2013) dan fardhani (2010). faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan kantor kecamatan surakarta analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik dari reponden. deskripsi tentang karakteristik para responden diperoleh dari isian kuisioner pada bagian identitas diri yang diisi oleh para responden. isian deskripsi mengenai data diri tersebut terdiri dari alamat responden berdasar pada kecamatan, jenis kelamin, pekerjaan, usia, pendidikan terakhir, status pernikahan, dan pengeluaran perbulan yang dijabarkan pada tabel 7. berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa responden terdiri dari perwakilan penduduk di 5 kecamatan kota surakarta. masing-masing kecamatan terdiri dari 30 responden. responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yakni sebanyak 92 responden, sedangkan responden laki-laki sebanyak 58 responden. dilihat dari karakteristik pekerjaan yang paling banyak adalah reponden yang bekerja di sektor swasta yakni sebanyak 47 responden sedangkan yang paling sedikit adalah responden yang tabel 7. deskriptif responden karakteristik frekuensi persentase alamat berdasar kecamatan laweyan 30 20% serengan 30 20% pasar kliwon 30 20% jebres 30 20% banjarsari 30 20% jenis kelamin laki-laki 58 38,7% perempuan 92 61,3% pekerjaan pelajar/ mahasiswa 40 26,7% pns 7 4,7% swasta 47 31,3% wiraswasta 27 18,0% lain-lain 29 19,3% usia ≤20 tahun 20 13,3% 21-30 tahun 67 44,7% 31-40 tahun 11 7,3% 41-50 tahun 27 18,0% >50 tahun 25 16,7% pendidikan terakhir ≤sma 108 72,0% diploma 11 7,3% sarjana 28 18,3% ≥pasca sarjana 3 2,0% status pernikahan menikah 86 57,3% belum menikah 64 42,7% pengeluaran perbulan rp 2.500.000,00-rp 3.500.000,00 13 8,7% >rp 3.500.000,00 15 10,0% indeks kepuasan masyarakat .... (wijayanti setyo utami, suryanto) 181 memiliki pekerjaan sebagai pns. usia produktif yakni antara 21-30 tahun merupakan responden yang banyak melakukan pelayanan di kantor kecamatan untuk mengurus kelengkapan surat baik surat menikah maupun pembaharuan kartu tanda penduduk, sedangkan dilihat dari pendidikan terakhir yang telah ditempuh para responden maka pendidikan sma sederajat yang paling banyak menjadi karakteristik para responden. status pernikahan para responden sebesar 86 responden yang telah menikah dan 64 responden belum menikah. dominasi pengeluaran responden setiap bulannya yakni sebesar < rp1.500.000,00 sebanyak 75 responden. jenis pelayanan yang paling sering dilakukan oleh penduduk kota surakarta adalah pembuatan atau perpanjangan kartu tanda penduduk (ktp). selain pelayanan ktp yang sering dilakukan oleh penduduk kota surakarta adalah pelayanan kartu keluarga (kk). bermacam-macam pelayanan yang diberikan oleh kantor kecamatan diharapkan mampu mendekatkan masyarakat pada jajaran pemerintahan sehingga potensi suatu daerah semakin tampak, terlihat dalam tabel 8. tabel 8. jenis pelayanan yang sedang atau pernah dilakukan di kantor kecamatan no jenis pelayanan jumlah responden 1 ktp 147 2 kk 76 3 surat nikah 14 4 imb 2 5 ho 1 6 iup 3 7 lain-lain 6 nilai mean dan standar deviasi dari masing-masing variabel pada tabel 9, menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta sebesar 2,50. penilaian rata-rata variabel berwujud yang dilihat dari fasilitas, keadaan fisik gedung, kenyamanan, kebersihan, kerapihan ruang, kondisi serta kecukupan peralatan dan perlengkapan kantor kecamatan sebesar 3,91. tabel 9. deskriptif statistik no variabel mean standar deviasi n 1. kepuasan 2,5067 0,85724 150 2. berwujud 3,9114 0,57254 150 3. keandalan 3,5779 0,63328 150 4. ketanggapan 3,4489 0,71333 150 5. jaminan 3,7353 0,62231 150 6. empati 3,4778 0,73942 150 sumber: data primer yang diolah, 2014 variabel keandalan yang diwakili dengan keberadaan petugas kecamatan, ketepatan waktu penyelesaian yang dilakukan oleh petugas kecamatan, serta keadilan petugas kecamatan tanpa membedakan pelanggan satu dengan yang lain memiliki nilai mean sebesar 3,57. petugas kecamatan cepat tanggap terhadap keluhan masyarakat, tindakan segera dalam menangani keluhan masyarakat serta kemampuan petugas dalam memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti masyarakat diwakili dengan variabel ketanggapan memiliki nilai 3,44. variabel jaminan yang menjelaskan tentang keramahan dan kesopanan petugas, sikap petugas kecamatan yang memberikan pelayanan secara tuntas dan menyeluruh, serta jaminan keamanan dalam memberikan pelayanan memiliki nilai rata-rata sebesar 3,73. empati yang diwakili dengan sikap dari petugas pelayanan yang penuh perhatian, mendengarkan segala keluhan masyarakat secara seksama, serta kemudahan yang diberikan oleh petugas kecamatan kepada masyarakat saat menyampaikan keluhannya memiliki nilai sebesar 3,47. faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan kantor kecamatan surakarta model faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta ini dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols). dengan menggunakan spss, maka didapat nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 0,840. hal ini berarti sekitar 84% variasi pada variabel kepuasan yang dijelaskan oleh variabel berwujud, keandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 174-184 182 nilai f pada model sebesar 151,711, nilai ini lebih besar dibandingkan nilai interval kepercayaan pada tingkat 5% yang digunakan yaitu sebesar 2,26. hal ini menunjukkan bahwa variabel berwujud, keandalan, ketanggapan, jaminan dan empati berpengaruh signifikan terhadap kepuasan masyarakat secara simultan. faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta disajikan pada tabel 13. tabel 13. koefisien di kantor kecamatan kota surakarta variabel koefisien t sig. (constant) -3,348 -14,167 0,000 berwujud 0,300 5,414 0,000 keandalan 0,328 5,287 0,000 ketanggapan 0,328 6,863 0,000 jaminan 0,348 5,681 0,000 empati 0,310 6,003 0,000 sumber: data primer yang diolah, 2014 r-squared 0,840 ; adjusted r-squared 0,835 ; fstatistic 151,711 maka dapat dituliskan model persamaan regresi berikut ini: yi = β0 + β 1x1i + β 2x2i + β 3x3i + β 4x4i + β 5x5i + μi 1) kepuasan = -3,348 + 0,300berwujud + (5,414)* 0,328keandalan + 0,328ketanggapan + (5,287)* (6,863)* 0,348jaminan + 0,310empati (5,681)* (6,003)* r squared = 0,840; adjusted r squared = 0,835 f stat = 151,711; n = 150 (*signifikansi pada level 5%) variabel yang signifikan terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan kantor kecamatan surakarta 1) berwujud. berdasarkan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols) diperoleh nilai sig pada variabel berwujud sebesar 0,00 nilai ini menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel berwujud yang meliputi fasilitas, keadaan fisik gedung, kenyamanan, kebersihan, kerapihan ruang, kondisi serta kecukupan peralatan dan perlengkapan kantor kecamatan berpengaruh nyata terhadap kepuasan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. hasil ini sesuai dengan hipotesis yang mendasari berdasar studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa di denpasar pada tahun 2007 serta studi yang dilakukan oleh susila di kantor kelurahan jagalan pada tahun 2010. 2) keandalan. berdasarkan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols) diperoleh nilai sig pada variabel keandalan sebesar 0,00 nilai ini menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel keandalan yang meliputi keberadaan petugas kecamatan, ketepatan waktu penyelesaian yang dilakukan oleh petugas kecamatan, serta keadilan petugas kecamatan tanpa membedakan pelanggan satu dengan yang lain berpengaruh nyata terhadap kepuasan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. hasil ini sesuai dengan hipotesis yang mendasari berdasar studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa di denpasar pada tahun 2007. 3) ketanggapan. berdasarkan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols) diperoleh nilai sig pada variabel ketanggapan sebesar 0,00 nilai ini menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel ketanggapan yang meliputi petugas kecamatan yang cepat tanggap terhadap keluhan masyarakat, tindakan segera dalam menangani keluhan masyarakat serta kemampuan petugas dalam memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti masyarakat berpengaruh nyata terhadap kepuasan pelayanan di kantor keca indeks kepuasan masyarakat .... (wijayanti setyo utami, suryanto) 183 matan kota surakarta. hasil ini sesuai dengan hipotesis yang mendasari berdasar studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa di denpasar pada tahun 2007 serta studi yang dilakukan oleh susila di kantor kelurahan jagalan pada tahun 2010. 4) jaminan. berdasarkan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols) diperoleh nilai sig pada variabel jaminan sebesar 0,00 nilai ini menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel jaminan yang meliputi keramahan dan kesopanan petugas, sikap petugas kecamatan yang memberikan pelayanan secara tuntas dan menyeluruh, serta jaminan keamanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berpengaruh nyata terhadap kepuasan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. hasil ini sesuai dengan hipotesis yang mendasari berdasar studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa di denpasar pada tahun 2007 serta studi yang dilakukan oleh susila di kantor kelurahan jagalan pada tahun 2010. 5) empati. berdasarkan regresi linear berganda dengan menggunakan ordinary least square (ols) diperoleh nilai sig pada variabel empati sebesar 0,00 nilai ini menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5 persen (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa variabel empati yang meliputi sikap dari petugas pelayanan yang penuh perhatian, mendengarkan segala keluhan masyarakat secara seksama, serta kemudahan yang diberikan oleh petugas kecamatan kepada masyarakat saat menyampaikan keluhannya berpengaruh nyata terhadap kepuasan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. hasil ini sesuai dengan hipotesis yang mendasari berdasar studi terdahulu yang dilakukan oleh yuliarmi dan riyasa di denpasar pada tahun 2007 serta studi yang dilakukan oleh susila di kantor kelurahan jagalan pada tahun 2010. menurut basuki (2011) kepuasan masyarakat dapat ditentukan oleh mutu pelayanan petugas saat menghadapi keluhan masyarakat. simpulan berdasarkan hasil studi maka dapat disimpulkan: pertama, nilai indeks kepuasan masyarakat (ikm) pada pelayanan di 5 kantor kecamatan kota surakarta menunjukkan hasil sebesar 70,1835. dalam hal ini untuk pelayanan pada kantor kecamatan kota surakarta setelah dikonversi berada pada interval nilai 62,51– 81,25 yang dapat disimpulkan nilai mutu pelayanan. hasil ini memiliki arti bahwa masyarakat kota surakarta yang pernah atau sedang mengalami pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta menganggap pelayanan yang diberikan oleh kantor kecamatan kota surakarta baik. kedua, berdasarkan hasil studi mengenai kepuasan masyarakat pada pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta menunjukkan bahwa kelima variabel independen berpengaruh nyata terhadap kepuasan masyarakat di kantor kecamatan kota surakarta, yaitu: (a) variabel berwujud meliputi, gedung, peralatan, perlengkapan, serta kebersihan di kantor kecamatan kota surakarta. (b) variabel keandalan meliputi, kedisiplinan petugas, keadilan dalam memberikan pelayanan serta ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan di kantor kecamatan kota surakarta. (c) variabel ketanggapan meliputi, petugas pelayanan yang tanggap terhadap permasalahan dan keluhan masyarakat serta mampu memberikan informasi yang mudah dipahami oleh masyarakat di kantor kecamatan kota surakarta. (d) variabel jaminan dan kepastian meliputi, sikap petugas dalam memberikan pelayanan, keramahan, kesopanan serta jaminan keamanan di kantor kecamatan kota surakarta. (e) variabel empati meliputi, kemudahan masyarakat saat menyampaikan keluhan serta perhatian petugas kecamatan di kantor kecamatan kota surakarta. daftar pustaka agustina, suci. (2004). indeks kepuasan masyarakat terhadap unit pelayanan instansi pemerintah (studi implementasi keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara nomor kep/25/m.pan/2/2004 di kantor kecamatan tulungagung ka jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 174-184 184 bupaten tulungagung). jurnal indeks kepuasan masyarakat terhadap unit pelayanan instansi pemerintah. http:// hukum. ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/ jurnal-suci-agustina-0910110081.pdf, diakses: tanggal 28 november 2012 astria, lisna, henry rani sitepu, dan open darnius. (2013). analisis tingkat kepuasan masyarakat terhadap proses pelayanan pembuatan sim (surat izin mengemudi) di satlantas polres tapanuli selatan. jurnal saintia matematika. vol. 1, no. 5 (2013): 435-444. basuki, a.t. (2011). survei indeks kepuasan konsumen atas pelayanan rumah sakit umum daerah. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol 12 no.1 april 2011: 3850. fardhani, harentama dan mudji rahardjo. (2008). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat pada pelayanan badan pelayanan perijinan terpadu kota semarang. http://eprints. undip.ac.id /26402/2/jurnal_format.pdf, diakses: tanggal 28 november 2012 gujarati, damodar n dan porter, dawn c. (2010). dasar-dasar ekonometrika buku 2 edisi 5. terjemahan raden carlos mangunsong. jakarta: salemba empat. keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara nomor: 63/kep/m.pan/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik. keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara nomor: kep/25/m.pan/2/2004 tentang pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan instansi pemerintah. kotler, philip. (2000). manajemen pemasaran di indonesia buku 1. jakarta: salemba empat. kuncoro, mudrajad. (2006). strategi (bagaimana meraih keunggulan kompetitif). jakarta: erlangga. lovelock, christopher, jochen wirtz, dan jacky mussry. (2010). pemasaran jasa (manusia, teknologi, strategi) perspektif indonesia jilid 2 edisi 7. jakarta: erlangga. lupiyoadi, rambat. (2013). manajemen pemasaran jasa edisi 3. jakarta: salemba empat. ombudsman.go.id diakses: tanggal 30 november 2012. peraturan presiden republik indonesia nomor 81 tahun 2010 tentang grand design reformasi birokrasi 2010-2025. sanusi, anwar. (2012). metode penelitian bisnis. jakarta: salemba empat. susila, linda nur. (2010). analisis pengaruh kualitas pelayanan kantor kelurahan terhadap kepuasan masyarakat kelurahan jagalan kecamatan jebres kota surakarta. journal of rural and development. volume 1 no. 1 februari 2010. undang-undang republik indonesia nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. yuliarni, ni nyoman dan putu riyasa. (2007). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap pelayanan pdam kota denpasar. buletin studi ekonomi. issn 1410-4628 volume 12 nomor 1 tahun 2007. yustika, ahmad erani. (2006). ekonomi kelembagaan definisi, teori & strategi. jawa timur: bayumedia publishing. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? vita kartika sari* and malik cahyadin abstract: tourism is one of the fastest-growing industries. tourism is able to move the economy forward at the micro-level such as encouraging the informal sector and local potential while at the macro level it can increase currency transactions. in various countries, the tourism sector is able to increase domestic and foreign demands as well as to encourage transportation, hospitality, and manufacturing industries. this study examines the effect of institutional indicators on tourism in asean countries during 2000-2018 under dynamic panel estimation. the number of observations was about 180, namely: time series from 2000-2018 and cross-section of 10 countries. asean as one of the destinations in the world requires an increase in institutional quality to be able to compete and provide world-class tourism services. the six institutional indicators were employed such as voice and accountability, political stability and absence of violence, government effectiveness, regulatory quality, rule of law, and control of corruption. moreover, the dynamic panel estimation was expressed by pooled ols and rem estimations. interestingly, the findings show that political stability compromises the number of tourist arrivals while government effectiveness can stimulate tourist arrivals. similarly, gdp per capita can hinder the number of tourist arrivals, while the exchange rate leads increasing of tourism arrivals. thus, the governments in asean countries can promote and cooperate together to develop tourism in the regional level. the gdp per capita of asean countries should be increased, and the level of exchange rate can be maintained at a stable range. besides, the governments should also improve the quality of institutions. keywords: tourism; institutions; dynamic panel jel classification: o17; o43; z32 introduction tourism is one of the fastest-growing industries in the world. tourism activities become one of the economic drivers and sources of foreign exchange reserves for a country. the development of tourism leads to the accelerated growth of the tourism business in accordance with the needs and expenses of modern society for travel and entertainment. asean member countries have a strategic plan for tourism development in the 2016-2025 period because of the contribution to asean economic growth. furthermore, a country will provide tourist facilities and promote tourist uniqueness to attract both domestic and foreign tourists in significant numbers. affiliation: department of development economics, faculty of economics and business, universitas sebelas maret, central java, indonesia *correspondence: vitahanifanaira@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.11282 citation: sari, v.k., & cahyadin, m. (2021). dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 201212. article history received: 07 mar 2021 revised: 03 jun 2021 accepted: 10 sep 2021 https://scholar.google.co.id/citations?user=aobza0oaaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=smpx8keaaaaj&hl=en https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ https://feb.uns.ac.id/feb/s1_ekonomi_pembangunan/ mailto:vitahanifanaira@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/11282 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.7836&domain=pdf https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.11282&domain=pdf sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 202 for example, the 2019 travel & tourism competitiveness index (ttci) showed that singapore was ranked first in tourism competitiveness in southeast asia, followed by malaysia, thailand, indonesia, vietnam, brunei darussalam, and the philippines. meanwhile, the world bank noted an increase in the number of tourists over the past 10 years in asean, particularly malaysia, thailand, singapore, and indonesia. mohamad and ab ghani (2014) argued that tourism is one of the largest industries in the world that stimulates economic growth, income distribution, employment opportunities, and foreign currency transactions. the tourism industry has significantly boosted economic growth in developing countries. tourism encourages exports, reduces unemployment, encourages micro and small businesses, and stimulates the regional economy (samimi et al., 2011). haseeb et al. (2019) described that tourism growth in asean is very fast and has longterm potentials for state revenue. demand or tourist arrivals in the tourism industry can be determined by the availability of facilities, uniqueness, and quality of services. simply put the better the service, the demand will increase. several works of literature mentioned the importance of service quality as stated by albacete-saez et al. (2007) that infrastructure and excellent service attract subsequent visits and increase income. mola and jusoh (2011) and padlee et al. (2019) confirmed that service quality is a key element in the hospitality industry that supports the tourism industry. moreover, canny (2013) described service quality is a competitiveness key in the tourism industry as well as a characteristic compared to other tourist attractions. furthermore, the tourism industry is also linked with various business and environmental challenges such as fluctuating economic conditions, weather changes, service quality, and business competition. a sustainable tourism industry requires good institutional support, such as infrastructures, telecommunications, security and political stability, and regulation. the institutional issues of tourism literature are rarely studied so it opens up a deeper discussion. good institutions can sustain economic activity (north, 1990), furthermore, lee et al. (2020), as well as khan et al. (2020), proved that institutions have the potential to encourage the tourism sector. this study contributes to the existing literature in several ways. the first contribution is to examine the impact of institutional indicators on dynamic tourism in asean countries. some previous empirical studies argued that institutions can promote tourism development. (chatzigeorgiou & simeli, 2017; kastenholz et al., 2012; khan et al., 2020; lee et al., 2020; rahajeng, 2017). however, the previous studies largely ignore to estimate the dynamic estimation of tourism under six institutional indicators published by the world governance indicators (wgi) of the world bank. lee et al. (2020) used world bank institutional indicators namely control of corruption, regulatory quality, government effectiveness, rule of law, political stability and absence of violence, and voice and accountability. the control of corruption had a positive influence on malaysian tourism but a negative influence on economic output. government effectiveness showed a positive influence on tourism but indicated a negative sign on economic growth. this study also selects some macroeconomic data as explanatory variables such as gdp per capita and exchange rate. these indicators are mostly utilized by previous studies to sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 203 determine tourist arrivals analysis both in a country level and across the country level. changes in lifestyle lead to high demand for services, especially tourism services, causing its rapid growth. lee et al. (2020) mentioned that the high demand for leisure can be in the form of adventure, cultural tourism, religious tourism, wildlife, and ecotourism. tourism service providers strive to provide the best deals in the form of attractive experiences at the best prices. therefore, this study attempts to estimate the impact of institutional indicators on the number of tourist arrivals in asean during 2000-2018. previous studies (lee et al., 2020) only analyzed the relationship between tourism and economic performance, where the macroeconomic perspective ideally incorporates institutions as a key factor in economic growth. khan et al. (2020) affirmed the important role of institutions in running a tourism business. khan et al. (2020) also stated that improvements in institutional quality can attract tourists to visit. therefore, this study aimed to analyze institutional factors in the economic literature on tourism performance contributing to economic output. khan et al. (2020) analyzed the institutional impact on tourism in selected asian pacific countries with variables such as judicial independence, impartial courts, military interference in rule of law and politics, protection of property rights, reliability of police, the integrity of the legal system, enforcement of contracts, regulatory restrictions on the sale of real property, and business costs of crime, also credit market regulations, business regulations, and labor market regulations. lee et al. (2020) used institutional indicators such as control of corruption, government effectiveness, regulatory quality, rule of law, voice and accountability, political stability, and absence of violence on malaysian tourism. rahajeng (2017) analyzed the institutional influence of local government policies on tourism in yogyakarta. figure 1 number of tourists in asean countries during 2000-2018 (person) source: world bank, 2020 0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000 30000000 35000000 40000000 45000000 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 brunei darussalam cambodia indonesia lao pdr myanmar malaysia philippines singapore thailand vietnam sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 204 the world bank publication showed that the number of tourists in asean countries tended to increase during 2000-2018 (figure 1). malaysia and thailand were able to attract tourists to visit over time. these countries provided various tourist attractions, facilities, and information that make it easy and interesting for tourists around the world. in contrast, countries such as brunei darussalam, cambodia, lao pdr, and myanmar were not able to increase the number of tourists in significant numbers. this condition was likely related to the institutional quality of these countries. indeed, institutional quality becomes a critical issue in some asean countries to attract tourist arrivals. in the literature, tourism is capable in driving the economic performance of developing countries by increasing foreign currency transactions to opening up new employment opportunities (samimi et al., 2011). moreover, tourism led-growth hypothesis explains that international tourism contributes as a source of national income, through exchange rate and export channels (brida & risso, 2009; ohlan, 2017; ribeiro & wang, 2020; samimi et al., 2011). tourism encourages the emergence of creative industries which not only provide income for the community but also promote local creative products. in practice, the tourism industry has micro and macro impacts. at a micro level, it empowers informal sectors, raises the culture and potential of local tourism, promotes regional foods, and encourages hotel and transportation sectors. the industry will drive the national economy in the end. therefore, the tourism sector is able to have a positive impact on the macroeconomy in a long term. it is reinforced by some evidence of the existence of several regions in indonesia which are supported by the tourism industry such as bali, the special region of yogyakarta, and lombok. hence, habibi et al. (2018) and selimi et al. (2017) argued that the tourism sector is one of the largest service transactions in the world. moreover, this study bridges the empirical gap of institutions on tourism development. indeed, institutional quality is a key factor in economic development (khan et al., 2020). north (1990) argues that excellent institutional quality plays pivotal roles in economic, political, and social sectors. meanwhile, poor institutional quality affects the performance of the tourism sector since the tourism industry is multi-sectoral and service-oriented. the findings discovered by lee et al. (2020) show the importance of institutional issues such as government effectiveness and control of corruption which have a positive impact on tourist visits and generally increase the national income of malaysia. similarly, the institutional quality of institutions affects the number of tourist visits in asia pacific countries even though changes in institutional quality have not always been responded to by the increased number of tourist arrivals in asia pacific countries (khan et al., 2020). the findings of previous empirical studies exhibit largely limited studies of the impact of institutions on dynamic tourism development. thus, this study focuses on the dynamic analysis of tourism in asean countries during 2000-2018. research method this study utilized secondary data published by the world bank during 2000-2018. the dependent variable was the number of tourist arrivals (person). it was converted into a sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 205 logarithm in the estimation model (lta). meanwhile, the independent variables covered gdp per capita (gdpc, current usd), exchange rates (er, lcu per usd), and institutional indicators (index between -2.5 to 2.5). the value of -2.5 equaled weak institutional quality while the value of 2.5 equaled strong institutional quality. moreover, there were six institutional indicators i.e. voice and accountability (va), political stability and absence of violence (pst), government effectiveness (ge), regulatory quality (rq), rule of law (rl), and control of corruption (cc). macroeconomic variables namely gdp/capita, real exchange rate, and inflation had a strong influence on tourism arrivals. institutional variables namely political stability, voice and accountability, government effectiveness, regulatory quality, rule of law, and control of corruption had a positive influence on increasing tourism arrivals. figure 2 institutions quality in asean countries during 2000-2018 source: world bank, 2020 table 1 definition of operational variable data/variable definition of variables data source number of tourism arrivals (ta) person. world bank gdp per capita (gdpc) (current us$). world bank inflation (inf) consumer prices (annual %). world bank official exchange rate (er) (lcu per us$, period average). world bank political stability (pol) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank voice & accountability (va) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank government effectiveness (ge) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank regulatory quality (rq) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank rule of law (rl) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank control of corruption (cc) ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance. world bank -3,000 -2,000 -1,000 0,000 1,000 2,000 3,000 2 0 0 0 2 0 0 7 2 0 1 4 2 0 0 2 2 0 0 9 2 0 1 6 2 0 0 4 2 0 1 1 2 0 1 8 2 0 0 6 2 0 1 3 2 0 0 1 2 0 0 8 2 0 1 5 2 0 0 3 2 0 1 0 2 0 1 7 2 0 0 5 2 0 1 2 2 0 0 0 2 0 0 7 2 0 1 4 2 0 0 2 2 0 0 9 2 0 1 6 2 0 0 4 2 0 1 1 2 0 1 8 brunei camb indo laos myan malay philip sgp thai vtm regulatory quality rule of law voice&accountability political stability sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 206 this study develops the empirical study conducted by lee et al. (2020) in two forms, namely: the number of institutional indicators consisting of six indicators, and an empirical technique of dynamic panel data. the dynamic panel model developed by pesaran (2015) explains that the lag of the dependent variable becomes one of the independent variables. hence, this study formulates the dependent variable which can be expressed in the logarithm form of tourist arrivals (lta) as determined by gdp per capita (gdpc), the exchange rate (er), and six institutional indicators. the empirical model of dynamic panel data can be written as follows: ltait = α0 + β1ltait-1 + β2gdpcit + β3erit + ∑ 𝛽𝑗 𝑋𝑖𝑡 6 𝑗=1 + εit (1) equation (1) denotes a pooled ols or common effects model (cem) that can be developed into a fixed effect model (fem) and random effects model (rem) equations in equation (2) and (3), respectively. ltait = α0 + α1dni + β1ltait-1 + β2gdpcit + β3erit + ∑ 𝛽𝑗 𝑋𝑖𝑡 6 𝑗=1 + εit (2) ltait = α0 + β1ltait-1 + β2gdpcit + β3erit + ∑ 𝛽𝑗 𝑋𝑖𝑡 6 𝑗=1 + wit (3) equation 2 uses fem which includes dummy variables to see the difference in parameters across time and across cross-section units. equation 3 uses rem where different parameters between regions and between times are included in the error component. the α0 equals intercept while β1, β2, β3, and β4, are parameters/slope of the equation. furthermore, the i denotes the cross-section of asean 10 countries, t is the time series of 2000-2018, j is the number of institutional indicators, and x is six institutional indicators. gujarati (2003) affirmed that the panel model has many advantages, so a classical assumptions test is no longer needed. result and discussion descriptive statistics inform the distribution of the data. in general, there are several descriptive statistics indicators as explained in table 1 including the mean, standard deviation, minimum, and maximum values. for example, the mean of institutional indicators in asean countries during 2000-2018 was below 1. it means that the level of institutional quality in these countries was relatively weak. thus, governments in asean need to be more concerned on the quality of institutions. this study estimates the impact of institutional indicators on the number of tourist arrivals in asean countries during 2000-2018. it also selects some macroeconomic data as explanatory variables such as gdp per capita and exchange rate. the dynamic panel data were employed under three methods, namely: pooled ols (pols), fixed effects model (fem), and random effects model (rem). the pols and rem estimation shows that the dynamic panel model of tourist arrivals in asean during the study period occurred. sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 207 however, the lagged number of tourist arrivals has a negative impact on the current number of tourist arrivals. table 2 descriptive statistics variable mean std. dev. min max observations lta 14.77 2.31 2.00 17.00 n = 190 gdpc 9401.21 15152.92 137.00 64582 n = 190 er 4209.876 6128.39 1.25 22602 n = 190 va -0.71 0.69 -2.2 0.46 n = 190 pst -0.17 0.91 -2.09 1.61 n = 190 ge 0.09 0.98 -1.61 2.43 n = 190 rq -0.05 1.00 -2.34 2.26 n = 190 rl -0.21 0.86 -1.74 1.84 n = 190 cc -0.264 0.98 -1.673 2.32 n = 190 table 3 dynamic panel estimation result variable pooled ols fixed effects random effects lta(-1) -4.587 [-2.01]** -0.150 [-0.10] -4.5870 [-2.01]** gdpc -0.000 [-2.55]** 0.000 [4.43]*** -0.000 [-2.55]** er 0.000 [2.96]* 0.000 [1.80]* 0.000 [2.96]*** va -0.463 [-1.13] -0.891 [-2.11]** -0.463 [-1.13] pst -1.221 [-3.79]*** 0.621 [2.07]** -1.221 [-3.79]*** ge 1.642 [2.07]** -0.124 [-0.19] 1.642 [2.07]** rq 0.147 [0.23] 0.928 [1.50] 0.147 [0.23] rl 0.028 [0.03] -1.760 [-2.03]** 0.028 [0.03] cc 0.289 [0.46] 1.052 [1.57] 0.289 [0.46] constant 14.484 [31.84]*** 12.876 [28.32]*** 14.484 [31.84]*** r-square: within 0.0062 0.2507 0.0062 between 0.6808 0.1143 0.6808 overall 0.2912 0.0245 0.2912 wald chi-square 69.83*** 5.99*** 69.83*** (f-statistics) lm test 0.00 hausman test 40.51*** observations 180 180 180 note: [] denotes z statistics; ***, ** and * denote significant levels at 1%, 5% and 10%, respectively fem estimation describes that dynamic model of tourism in asean countries did not occur. in the fem method results, the lag of tourist arrival had no influence on the number of tourist visits. surprisingly, some institutional indicators determined the number of tourist arrivals such as voice and accountability, political stability and absence of violence, and rule of law. besides, the gdp per capita and the exchange rate had a positive impact and significant on the number of tourist arrivals. furthermore, the hausman test confirmed that fem was an appropriate static panel model. sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 208 moreover, the rem estimation shows that a dynamic panel model of tourist arrivals in asean countries occurred. it means that the number of tourist arrivals in the current period was determined by the number of tourist arrivals in the previous period. however, the finding expresses that the lag of tourist arrivals had a negative impact on the current tourist arrivals. besides, gdp per capita and political stability had a significant and negative impact on the number of tourist arrivals while the exchange rate had a significant and positive impact. political stability had a significant and negative effect. foreign tourists are not willing to carry out tourism activities if there is no guarantee of political stability which involves security and safety. the goodness of fit of the empirical model can be expressed by the within r-square of fem which was estimated higher than pols and rem (0.2507>0.0062). meanwhile, the between r-square of fem was estimated lower than pols and rem (0.1143<0.6808). it indicates that the within-group fem estimation was more appropriate. besides, the fstatistics of all estimation models were significant. this indicates the independent variables had a significant influence on the dependent variable simultaneously. the findings of this study bring to the scholarly discussion of a nowadays institutional framework called as the new institutional economy (nie). nie offers balanced ideas between the government, business people, and even ordinary people. nie offers important variables in economic activities that play a role in efforts to economic growth, such as the patent, ease of establishing a business, transaction costs, to administrative complexity that has not yet been "considered". furthermore, santosa (2008) explained that nie is present because of frequent market failures, such as asymmetric market information conditions, externalities, to the existence of public goods. nie also focuses on studies of institutional failures that occur in many countries. according to nie, there is a structured relationship between institutions and economics, that is, economic conditions will determine the shape of the institutional structure. economic transactions can only occur because of the existence of an institution. thus, this study can exhibit a significant contribution of institutions to tourism in asean countries. some previous empirical studies found that tourism institutions such as social, emotional, and symbol were significant to realize tourist satisfaction (kastenholz et al., 2012). it indicates that high levels of institutions will have an indirectly significant impact on the number of tourist arrivals. chatzigeorgiou and simeli (2017) also argued that dynamic service quality will drive visitor satisfaction. the empirical study on the role of government in tourism development has been carried out by rahajeng (2017). the findings showed that the local government contributed to the development of tourism facilities, marketing, and improvement of the institutional framework. meanwhile, the findings of this study are macro in nature, emphasizing a number of macroeconomic indicators and six institutional indicators. specifically, lee et al. (2020) shows the significant impact of institutional indicators such as government effectiveness and control of corruption on tourist visits and the national income of malaysia. the results found a dynamic model of tourist visits in asean in general. based on fem, voice and accountability were significant. based on the pooled method, fem, and rem, political stability and the absence of violence were significant, indicating that the tourism industry needs support for sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 209 conducive governance with guaranteed security. based on pooled model and rem, government effectiveness was significant showing that the efficiency of public services can support the tourism sector. based on fem, the rule of law had a significant influence on tourist arrival in asean, where if the rule of law is not upheld based on justice, it can reduce the interest of tourists visiting asean. this study has employed some macroeconomic indicators to determine dynamic tourist arrivals in asean countries. some previous studies largely concerned on the linkage between economic growth and tourism. leana et al. (2014) examined the correlation between economic growth and the tourism sector in malaysia and singapore. similar findings were reported by atan and arslanturk (2012) and zortuk (2009) that there is a one-way correlation between tourism sector performance and economic growth in turkey, a long-run relationship between economic growth and the number of tourist arrivals, and significant contribution of restaurants and hotels in the tourism business. in addition, kumar et al. (2014) found that tourism has a negative impact on the economy of malaysia in the short-run. while a positive impact in the long-run. specifically, the tourism industry of malaysia also drives productivity by increasing labor and stimulating investment. lee et al. (2020) found an important role in the control of corruption and government effectiveness to encourage tourism in malaysia. the effectiveness of government administration has a significant influence on tourist visits in malaysia. table 4 two-step dynamic panel of system gmm estimation variable lta c 52.37 (2.81)*** lta(-1) -1.87 (-2.34)** lgdpc 1.24 (2.19)** ler 1.05 (3.75)*** va 33.79 (2.72)*** pst 16.61 (2.56)** ge 2.34 (1.24) rq -29.89 (-2.73)*** rl 25.34 (2.65)*** cc -25.25 (-2.70)*** sargan test 0.00 (p-value) (1.00) autocorrelation of order 1 -0.53 (p-value) (0.59) n x t 10 x 3 note: all models are estimated using the blundell and bond (1998) estimations. the result is no autocorrelation. figures in the parentheses are t-statistics. ∗∗∗, ∗∗ and * indicate significance at the 1%, 5%, and 10% levels, respectively. this study estimated equation (1)-(3) by using a two-step system generalized method of moment (gmm) estimator developed by blundell and bond (1998). the gmm system estimated the equations in the combination of level and difference and lagged level of the regressor. furthermore, the two-step gmm system can produce efficient estimates. the data period was made an average of 5 years resulting in 4 categories of data series namely sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 210 2000-2004, 2005-2009, 2010-2014, and 2015-2018. based on the robustness test by using the gmm arellano-bond two-step estimator, all institutional variables were significant, except the government effectiveness. the dynamic panel method using the arellanobond gmm approach can be said to be good if it meets the criteria for consistency and instrument validity. based on table 3, the dynamic panel method using the arellano-bond gmm approach has met the criteria for the best model, both statistically consistent and valid. the sargan test results showed no correlation between residuals and overidentifying restrictions or the instrument variable used more than the number of suspected parameters. accordingly, there is no problem with validity. when compared to table 3, gmm is more efficient and has more significant independent variables. conclusion this study examines dynamic panel models of tourist arrivals in asean countries during 2000-2018. institutional indicators are endogenous factors in economic activity, so this study contributes to the institutional analysis literature on the formation of economic output through the tourism sector. the number of tourist arrivals was determined by some institutional indicators. empirically, there are six institutional indicators published by world governance indicators (wgi) under the world bank. moreover, there were two macroeconomic data selected as explanatory variables such as gdp per capita and exchange rates. besides, the pooled ols and random effects model (rem) have exhibited the dynamic panel model of tourist arrivals in asean countries. however, fem indicates the dynamic panel model of tourist arrivals did not occur. interestingly, the hausman test indicates that fem was an appropriate model of static panel data. the findings exhibit that under pooled ols and rem there are two institutional indicators i.e. political stability and government effectiveness that can determine the number of tourist arrivals in asean countries during the study period. in addition, the macroeconomic data comprising gdp per capita and exchange rate also significantly contribute to the number of tourist arrivals. this study summarizes that government effectiveness and exchange rate can underpin the number of tourist arrivals in asean while the political stability and gdp per capita undermine the number of tourist arrivals. institutional significance such as voice and accountability, political stability and absence of violence, government effectiveness, and the rule of law underlies the results. the governments of asean countries must maintain government effectiveness, improve public services, and reduce corruption in order to create a stable and conducive life. in the long run, it will boost the tourism sector's performance. good institutional quality standards encourage the tourist's arrival. some policy implications can be formulated such that the governments of asean countries should improve the quality of institutions through better the provision of public goods, procedural simplifications, and conducive political stability. moreover, they can collaborate intensively to formulate macroeconomic policies such as promoting a high level of gdp per capita and maintaining the level of the exchange rate at a stable range. sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 211 references albacete-sáez, c. a., mar fuentes-fuentes, m., & javier lloréns-montes, f. (2007). service quality measurement in rural accommodation. annals of tourism research, 34(1), 45–65. https://doi.org/10.1016/j.annals.2006.06.010 atan, s., & arslanturk, y. (2012). tourism and economic growth nexus: an input output analysis in turkey. procedia social and behavioral sciences, 62, 952–956. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.162 blundell, r., & bond, s. (1998). initial conditions and moment restrictions in dynamic panel data models. journal of econometrics, 87, 115–143. https://doi.org/10.1016/s03044076(98)00009-8 brida, j. g., & risso, w. a. (2009). tourism as a factor of long-run economic growth: an empirical analysis for chile. european journal of tourism research, 2(2), 178-185. retrieved from https://www.proquest.com/scholarly-journals/tourism-as-factorlong-run-economic-growth/docview/89159825/se-2?accountid=187856 canny, i. u. (2013). an empirical investigation of service quality, tourist satisfaction and future behavioral intentions among domestic local tourist at borobudur temple. international journal of trade, economics and finance, 86–91. https://doi.org/10.7763/ijtef.2013.v4.265 chatzigeorgiou, c., & simeli, i. (2017). perception of service quality in agrotourism accommodations: impact on guest loyalty and revisit intentions. journal of tourism, heritage & services marketing, 3(1), 33–41. retrieved from https://www.jthsm.gr/vol3iss1/3-1-5.pdf gujarati, d.n. (2003). basic econometrics. mcgraw hill. habibi, f., rahmati, m., & karimi, a. (2018). contribution of tourism to economic growth in iran’s provinces: gdm approach. future business journal, 4, 261–271. https://doi.org/10.1016/j.fbj.2018.09.001 haseeb, m., zandi, g., andrianto, n. m., & chankoson, t. (2019). impact of macroeconomic indicators on development patterns: case of tourism industry in asean region. journal of security and sustainability issues, 9(1), 257–268. https://doi.org/10.9770/jssi.2019.9.1(19) kastenholz, e., carneiro, m. j., peixeira marques, c., & lima, j. (2012). understanding and managing the rural tourism experience the case of a historical village in portugal. tourism management perspectives, 4, 207–214. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2012.08.009 khan, m. a., popp, j., talib, m. n. a., lakner, z., khan, m. a., & oláh, j. (2020). asymmetric impact of institutional quality on tourism inflows among selected asian pacific countries. sustainability, 12(3), 1223. https://doi.org/10.3390/su12031223 kumar, r. r., loganathan, n., patel, a., & kumar, r. d. (2014). nexus between tourism earnings and economic growth: a study of malaysia. quality & quantity, 49(3), 1101– 1120. https://doi.org/10.1007/s11135-014-0037-4 leana, h. h., chong, s. h., & hooy, c. w. (2014). tourism and economic growth: comparing malaysia and singapore. international journal of economics and management, 8(1), 139–157. retrieved from http://scholar.google.com/scholar_lookup?hl=en&volume=8&publication_year=201 4&issue=1&author=h.+lean&author=s.+h.+chong&author=c.+w.+hooy&title =tourism+and+economic+growth%3a+comparing+malaysia+and+singapore lee, h. s., lee, s. y., & har, w. m. (2020). roles of institutional quality on the relationship between tourism and economic development in malaysia. journal of environmental treatment techniques, 8(1), 119–124. retrieved from http://www.jett.dormaj.com/docs/volume8/issue%201/roles%20of%20institution https://doi.org/10.1016/j.annals.2006.06.010 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.162 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://www.proquest.com/scholarly-journals/tourism-as-factor-long-run-economic-growth/docview/89159825/se-2?accountid=187856 https://www.proquest.com/scholarly-journals/tourism-as-factor-long-run-economic-growth/docview/89159825/se-2?accountid=187856 https://doi.org/10.7763/ijtef.2013.v4.265 https://www.jthsm.gr/vol3iss1/3-1-5.pdf https://doi.org/10.1016/j.fbj.2018.09.001 https://doi.org/10.9770/jssi.2019.9.1(19) https://doi.org/10.1016/j.tmp.2012.08.009 https://doi.org/10.3390/su12031223 https://doi.org/10.1007/s11135-014-0037-4 http://scholar.google.com/scholar_lookup?hl=en&volume=8&publication_year=2014&issue=1&author=h.+lean&author=s.+h.+chong&author=c.+w.+hooy&title=tourism+and+economic+growth%3a+comparing+malaysia+and+singapore http://scholar.google.com/scholar_lookup?hl=en&volume=8&publication_year=2014&issue=1&author=h.+lean&author=s.+h.+chong&author=c.+w.+hooy&title=tourism+and+economic+growth%3a+comparing+malaysia+and+singapore http://scholar.google.com/scholar_lookup?hl=en&volume=8&publication_year=2014&issue=1&author=h.+lean&author=s.+h.+chong&author=c.+w.+hooy&title=tourism+and+economic+growth%3a+comparing+malaysia+and+singapore http://www.jett.dormaj.com/docs/volume8/issue%201/roles%20of%20institutional%20quality%20on%20the%20relationship%20between%20tourism%20and%20economic%20development%20in%20malaysia.pdf sari & cahyadin dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 212 al%20quality%20on%20the%20relationship%20between%20tourism%20and%20e conomic%20development%20in%20malaysia.pdf mohamad, m., & ab ghani, n. i. (2014). comparing destination image and loyalty between first-time and repeat-visit tourists. shs web of conferences, 4th international conference on tourism research (4ictr). https://doi.org/10.1051/shsconf/20141201047 mola, f., & jusoh, j. (2011). service quality in penang hotels: a gap score analysis. world applied sciences journal, 12, 19–24. north, d. (1990). institutions, institutional change and economic performance. cambridge: cambridge university press. ohlan, r. (2017). the relationship between tourism, financial development and economic growth in india. future business journal, 3(1), 9–22. https://doi.org/10.1016/j.fbj.2017.01.003 padlee, s. f., thaw, c. y., & zulkiffli, s. n. ’a. (2019). the relationship between service quality, customer satisfaction and behavioural intentions in the hospitality industry. tourism and hospitality management, 25(1), 121–139. https://doi.org/10.20867/thm.25.1.9 pesaran, m. h. (2015). time series and panel data econometrics. uk: oxford university press. rahajeng, a. (2017). the roles of kulonprogo regional government in developing tourism economy: nature-based tourism. jkap (jurnal kebijakan dan administrasi publik), 20(2), 50-63. https://doi.org/10.22146/jkap.16592 ribeiro, e. da c., & wang, b. (2020). tourism led growth hypothesis: has the tourism industry an impact on the economic growth of sao tome and principe? international journal of economics and financial issues, 10(1), 180–185. https://doi.org/10.32479/ijefi.9105 samimi, a. j., sadeghi, s., & sadeghi, s. (2011). tourism and economic growth in developing countries: p-var approach. middle-east journal of scientific research, 10(1), 28–32. santosa, p. b. (2008). relevansi dan aplikasi aliran ekonomi kelembagaan. jurnal ekonomi pembangunan: kajian masalah ekonomi dan pembangunan, 9(1), 46-60. https://doi.org/10.23917/jep.v9i1.1030 selimi, n., sadiku, s. l., & sadiku, m. (2017). the impact of tourism on economic growth in the western balkan countries: an empirical analysis. international journal of business and economic sciences applied research, 10(2), 19–25. https://doi.org/10.25103/ijbesar.102.02 world bank. (2020). world bank open data. retrieved from https://data.worldbank.org/ zortuk, m. (2009). economic impact of tourism on turkey’s economy: evidence from cointegration tests. international research journal of finance and economics, 1(25), 231-239. http://www.jett.dormaj.com/docs/volume8/issue%201/roles%20of%20institutional%20quality%20on%20the%20relationship%20between%20tourism%20and%20economic%20development%20in%20malaysia.pdf http://www.jett.dormaj.com/docs/volume8/issue%201/roles%20of%20institutional%20quality%20on%20the%20relationship%20between%20tourism%20and%20economic%20development%20in%20malaysia.pdf https://doi.org/10.1051/shsconf/20141201047 https://doi.org/10.1016/j.fbj.2017.01.003 https://doi.org/10.20867/thm.25.1.9 https://doi.org/10.22146/jkap.16592 https://doi.org/10.32479/ijefi.9105 https://doi.org/10.23917/jep.v9i1.1030 https://doi.org/10.25103/ijbesar.102.02 https://data.worldbank.org/ jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper fertility and female labor force participation in asian countries; panel ardl approach nawalin nazah*, jarita duasa, and muhammad irwan arifin abstract: fertility has a close relationship with female labor force participation and is predicted to be the prominent factor affecting female labor force participation in rich and emerging countries. the decline in fertility worldwide, accompanied by increased female education, is assumed to increase female labor force participation. the increase in the female labor force participation rate can improve economic incentives for the country. therefore, this study estimates the effect of fertility and female education on female labor force participation in cross-country panel datasets from 39 asian countries, using panel ardl analysis from 1990-2018. this study also examines the panel causality between the variables employing dumitrescu and hurlin’s (2012) granger non-causality test. according to the hausman test, among the three models in panel ardl, dfe is the preferred model compared to the pmg and mg. the results revealed that fertility was negatively significant on female labor participation in the short run but not in the long run. in contrast, female education was positively significant on female labor participation in the long run but not in the short run. meanwhile, the panel causality showed a bidirectional relationship between female labor participation and fertility, female labor participation and education, and fertility and female education. keywords: fertility; female labor force participation; panel ardl; panel causality; asian countries jel classification: c01, j11, j13, j22 introduction the relationship between female labor force participation (flfp) and total fertility rate (tfr) has received much attention in the demographic and economic literature. it has also been debated in different regions and development levels around the world. in this regard, the presence of children affects the mother’s activity, especially if the mother works a paid job. mothers with young children have traditionally been considered to have low labor force attachment. the female labor force participation will also affect family size decisions. thus, the discussion of female labor force participation cannot be separated from fertility as these two have a close relationship. generally, the female labor force participation level tends to be high in countries with low fertility rates (roser, 2014). affiliation: department of economics, faculty of economics and management sciences, international islamic university malaysia, malaysia *correspondence: nawalin12@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.11142 citation: nazah, n., duasa, j., & arifin, m.i. (2021). fertility and female labor force participation in asian countries; panel ardl approach. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 272-288. article history received: 13 feb 2021 revised: 10 jul 2021 accepted: 14 sep 2021 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=24471318100 https://scholar.google.com/citations?user=o5xipbqaaaaj&hl=en https://www.iium.edu.my/kulliyyah/kenms/department-of-economics https://www.iium.edu.my/kulliyyah/kenms/department-of-economics https://www.iium.edu.my/kulliyyah/kenms/department-of-economics https://www.iium.edu.my/kulliyyah/kenms/department-of-economics mailto:nawalin12@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/11142 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.7836&domain=pdf https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.11142&domain=pdf nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 273 specifically, asia is the largest continent, with 60% of the world’s population. asia also has the fastest growing economy, with a nominal gdp of $31.58 trillion and a gdp per capita of $7,351 in 2019. asian wealth is mostly concentrated in east asia, such as japan, south korea, taiwan, hong kong, macau, and singapore. on the other hand, these countries are recorded as some of the countries with the lowest fertility in the world. thus, it becomes the reason for choosing asia as the study interest. despite becoming the fastest growing economy, female labor force participation in asia has remained low while female education has improved significantly and the fertility trends have shown a dramatic decline. the two conditions are assumed to increase the rate of female labor force participation. it is also the reason why asia is interesting to be investigated. in 2018, female labor force participation in asia ranged from 5.98% in yemen to 81.6% in nepal. some prominent constraints in increasing female labor force participation are social norms that emphasize women’s domestic responsibilities, limited mobility, restriction on the subset of jobs considered appropriate for women, and lack of access to information (asian development bank, 2016). some studies such as bloom et al. (2009) found a large negative effect of fertility on female labor force participation in 97 countries over 1960-2000, using abortion as an instrument and simulation variable. nakagaki (2018) applied fixed effect and a random effect to 176 countries and documented the correlation that moved from negative to positive by the 1990s in oecd countries, while in the asian-pacific region, no clear pattern was reported between female labor force participation and fertility rates. in the middle east and north africa (mena) countries, female labor force participation has continued to be lowest in the world as fertility decreased (lim, 2002) through analysis. even though these studies used a large panel data sample, they applied a different approach than this study. to the author’s knowledge, the investigation on how fertility and female education influence female labor participation by applying the dynamic panel ardl in the scope of asian countries has not been found. although the analysis of shittu and abdullah (2019) and subramanian et al. (2016) using panel ardl, it only covered asean-7 and asean-5 countries, respectively, which might not be enough for panel analysis and might lead to insufficient information. as for better results, the panel ardl requires a large number of observations (countries). thus, this study makes up for the shortcomings. therefore, the objective of this study is to investigate the effect of fertility and female education on female labor force participation in 39 asian countries between 1990-2018, using panel ardl analysis and panel causality. this study also attempts to address potential policies to reduce obstacles to achieving higher female labor force participation levels. moreover, this study provides more knowledge about asian countries, especially about fertility and female labor participation. the application of panel ardl has many advantages that have not been widely used for analyzing fertility studies. some advantages are that it provides alternative models, where the selection is based on the hausman test. meanwhile, the dfe estimation gives homogeneous coefficients for both long and short-run for all countries in the panel, while it contradicts the mg estimation with heterogeneous coefficients for all countries, for both short and long run, and allows nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 274 the combination of homogeneous coefficients and the heterogeneous slopes in the longrun and short-run, respectively, for pmg estimation. on the other hand, a dramatic decline in fertility leads to major changes in a population's age structure. lower fertility causes a decrease in the youth dependency ratio, thereby increasing output per capita. fertility reduction is expected to increase female labor market participation. females’ decisions to participate in the labor market are usually influenced by household factors, especially those who are married. working females will contribute to family income, but at the same time, will lesser time for childcare and household chores; consequently, it will reduce household benefits. cho (2006), using a dynamic lifecycle model, argued that having children significantly reduces women's market time. it discourages women's labor supply by reducing the effective wage rate since they hire babysitters while working. the number of women dropping out of the labor market when the children are young and need intensive care is higher than in other periods. however, this temporary dropout is hardly found in developed countries due to the availability of childcare facilities and family-friendly labor market policies. in the case of korea, the increase in the real wage of women was largely responsible for the growth of the female labor force. in addition, bloom et al. (2009) investigated that the strongest effect of fertility on female labor supply is during their fertile years and implies a reduction of about four years of paid work over a women’s lifetime for an additional child. meanwhile, tiefenthaler (1997) compared the effects of birth on time allocation across households for the case of cebu, the philippines, and found that at 14 months after birth, female labor market hours declined by 39% in the case of first birth. however, it was only 10% if there were already children aged 0–5 in the household, and it did not decrease if there were also children aged 6–17 in the household. del boca and locatelli (2006) observed a negative relationship between fertility and female labor force participation in several oecd countries in the 1970s; however, the correlation became positive in the late 1980s. in contrast, hupkau and leturcq (2017) found that the family size did not impact employment for high and intermediate-skilled women, while for low-skilled women, the effect was large and inversely correlated in the long run. moreover, aaronson et al. (2017) uncovered that the effect of fertility on labor supply was small at a low level of development and negative at a higher level of development. however, solomon and kimmel (2009) failed to support an inverse relationship between fertility and labor supply in the case of ethiopia, while abbas (2013) disclosed a positive relationship for the case of bangladesh and pakistan, and azimi (2015) found no effect in the case of iran. while some previous studies have focused on the consequences of fertility on female labor market participation due to the burden of childcare, mainly related to women, kim and aassve (2006) interestingly examined the effect of fertility on both males and females labor market in indonesia. they analyzed the different responses between male and female laborers in urban and rural areas. their results exposed that female laborers nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 275 reduced 1.1 working hours per week per increase of one birth in rural and urban areas, while only male laborers in rural areas were affected by increasing their 0.9 working hours per increase of one childbirth. this situation was mostly caused by the differences in childcare costs between urban and rural areas rather than employment reasons. the involvement of both males and females is supported by the economic theory that an increase in fertility is likely to change the optimal time allocation within the household, thereby influencing the labor supply and the earnings for both males and females (becker 1985). other than fertility, female education is also an essential factor contributing to female labor participation. an increase in female education has become a prominent factor in increasing female labor force participation, particularly in relatively high-paying jobs. it is because educated workers are a valuable resource for a country. education also provides better employment opportunities for women and hence raises their incomes. in many countries, the level of female education has increased substantially over the past decades, accompanied by a decline in the fertility rate. education raises women’s status both in society and within the family and increases productivity at home (becker, 1975) and workplace (schultz, 1961). women with higher levels of education are more likely to be active in the labor market. higher levels of educational attainment and declined fertility lead to increased female labor force participation rates. thus, education is an important factor that determines female labor force participation. in addition, anggaraini & setyari (2020) listed that knowledge, self-actualization, and the desire to achieve inner satisfaction are among the factors that driven women’s decision to work besides economic factors. moreover, working mothers have more power in decision making such as children's education. the study found that the relative income of working mothers significantly influences children’s human capital for the case of indonesia. this argument strengthens that education is an important factor for a female to participate in the paid work. skadsen (2017) stated that the average educational attainment for females significantly influenced female labor by using country-specific timing on contraceptive legislation. one-year additional education attainment is expected to increase the female labor participation rate by about 5.7% for 125 countries. several studies that found a positive influence of education on women’s labor supply are nam (1991), eun (2007), lim (2017), eckstein and lifshitz (2011), cameron et al. (2001), abbas (2013), hafeez and ahmed (2002), and chamlou et al. (2011). however, heath and jayachandran (2016) argued that increased education did not universally translate into a higher probability of working, as in the case of pakistan. moreover, andrabi et al. (2012) also showed that education did not increase labor force participation. hence, the causality of female labor participation and fertility is also investigated in this study to confirm whether there is a uni-directional, bi-directional, or no causal relationship. in addition, some studies have reported a unidirectional relationship between fertility rate and female labor participation, such as in narayan and smyth (2006) and mishra and smyth (2010). the causal relationship between fertility rate and female labor force participation does not necessarily exist; working women do not certainly have fewer children and having a small number of children does not always discourage maternal employment as found in taiwan (cheng, 1999). nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 276 research method data the data used in this study were retrieved from the world bank (2019) for data on fertility rate (tfr) and female labor force participation (flfp) from 1990-2018 in the form of an annual time series. meanwhile, female educational attainment, which is the average number of years of education received by people aged 25 and older, was taken from barro and lee (2013), barro and lee’s projection, and the singapore department of statistics. data education attainment was in the form of five-year frequency; therefore, the data were interpolated into yearly form following ulku (2004). meanwhile, data on female educational attainment for singapore was obtained from the singapore department of statistics in annual form. the countries involved in this study were indonesia, malaysia, the philippines, thailand, singapore, vietnam, cambodia, brunei, india, sri lanka, nepal, pakistan, bangladesh, china, japan, mongolia, south korea, turkey, myanmar, iran, iraq, yemen, saudi arabia, afghanistan, jordan, kazakhstan, united arab emirates, tajikistan, israel, laos, kyrgyzstan, kuwait, armenia, qatar, bahrain, cyprus, maldives, hong kong, and macau. panel ardl estimation before applying cointegration and causality tests, the stationary and integration level tests were first performed. for unit root, levin, lin & chu, im, pesaran, and shin, augmented dickey-fuller (adf), and phillips perron tests were applied to test stationarity data and confirm that no series exceeded the integration of order i(1). the cointegration test was then held to check that all variables were cointegrated as the required conditions before estimating the panel ardl. this study applied three cointegration tests: the kao, the pedroni, and the westerlund tests. the estimation of female labor force participation and fertility was conducted in a panel data framework using panel ardl analysis based on the use of three alternative estimators: the mean group estimator (mg), the pooled mean group estimator (pmg), and the dynamic fixed effects (dfe) estimator. this study employed annual panel data of the selected macroeconomic indicators from asian countries from 1990 to 2018. panel data analysis involves a combination of cross-section (n) and time series (t) observations for analysis. in this study, n= 39 (countries) and t= 29 (from 1990-2018). the panel ardl can simultaneously estimate the long-run and short-run parameters of the model yet avoid stationary data problems. moreover, it is not necessary to determine the order of integration between variables in advance. based on pesaran et al. (1999), the dynamic heterogeneous panel regression can be incorporated into the error-correction model using the autoregressive distributed lag ardl(p,q) technique, where p is the lag of the dependent variable and q is the lag of the independent variables. the optimal lag is selected based on the aic, which is more suitable and superior than other criteria in the case of a small sample lower than 60 crosssectional observations (liew, 2004). it is because aic minimizes the change of nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 277 underestimation while maximizing the change of recovering the true lag length. according to aic, the optimum lag for both dependent and independent variables is 4; however, having a lag of more than one will reduce the degree of freedom. besides, this study only had 29 years, which was not long enough to overextend the lag. therefore, the analyses in this study used a lag of one for both dependent and independent variables. it is supported by pesaran et al. (1999) and demetriades and hook law (2006), who stated that it is recommended to impose a common lag structure across countries under the limitation of the data. the generalized ardl (p,q,q,…q) model is specified as: 𝑦𝑖𝑡 = ∑ 𝜆𝑖𝑗 𝑝 𝑗=1 𝑦𝑖,𝑡−𝑗 + ∑ 𝛿𝑖𝑗 ′𝑞 𝑗=0 𝑋𝑖,𝑡−𝑗 + 𝜇𝑖 + 𝑖𝑡 (1) where 𝑡 = 1,2, … , 𝑇 and, 𝑖 = 1,2, … . 𝑁, where 𝑦𝑖𝑡 is the dependent variable (female labor force participation), xit is a k x 1 vector of explanatory variables (fertility rate and female education) allowed to be purely i(0) or i(1) or cointegrated. 𝜇𝑖 is the fixed effects, 𝜆𝑖𝑗 is the coefficient of the lagged dependent variable called a scalar. 𝛿𝑖𝑗 ′ is k x 1 coefficient vectors. p, q are optimal lag order, and 𝑖,𝑡 is the error term. the re-parameterized ardl (p,q,q,….q) error correction model is specified as: ∆𝑦𝑖𝑡 = 𝜙𝑖 𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑖 ′ 𝑋𝑖,𝑡 + ∑ 𝜆𝑖𝑗 ∗ ∆𝑦𝑖,𝑡−𝑗 𝑝−1 𝑗=1 + ∑ 𝛿𝑖𝑗 ∗′∆𝑋𝑖,𝑡−𝑗 𝑞−1 𝑗=0 + 𝜇𝑖 + 𝑖𝑡 (2a) where y is the total fertility rate, and x is a set of independent variables. 𝑖 = 1,2, … , 𝑁 and 𝑡 = 1,2, … , 𝑇 where 𝜙𝑖 = −(1 − ∑ λ𝑖𝑗 𝑝 𝑗=1 ), 𝛽𝑖 = ∑ 𝛿𝑖𝑗 𝑞 𝑗=0 , 𝜆𝑖𝑗 ∗ = − ∑ λ𝑖𝑚 𝑝 𝑚=𝑗+1 , 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 − 1 and 𝛿𝑖𝑗 ∗ = − ∑ 𝛿𝑖𝑚 𝑞 𝑚=𝑗+1 , 𝑗 = 1,2, … , 𝑞 − 1 if there are t observations for each group, equation (3.2) can be written as: ∆𝑦𝑖 = 𝜙𝑖 𝑦𝑖,−1 + 𝑋𝑖 𝛽𝑖 + ∑ 𝜆𝑖𝑗 ∗ ∆𝑦𝑖,−𝑗 + ∑ ∆𝑋𝑖,−𝑗 𝛿𝑖𝑗 ∗ + 𝜇𝑖 𝑙 + 𝑖 𝑞−1 𝑗=0 𝑝−1 𝑗=1 (2b) 𝑖 = 1,2, … . , 𝑁 , and 𝑦𝑖 = (𝑦𝑖1, … . . 𝑦𝑖𝑇) ′ is a 𝑇𝑥1 vector of the observation on the dependent variable of the ith group, 𝑋𝑖 = (𝑥𝑖1, … . . 𝑥𝑖𝑇) ′ is a 𝑇𝑥𝑘 matrix of observations on the regressors that vary both cross groups and periods, 𝑙 = (1, … .1)′ is a 𝑇𝑥1 vector of 1s, 𝑦𝑖,−𝑗 and 𝑋𝑖,−𝑗 is j period lagged values of 𝑦𝑖 and 𝑋𝑖 and ∆𝑦𝑖 = 𝑦𝑖 − 𝑦𝑖−1, ∆𝑋𝑖 = 𝑋𝑖 − 𝑋𝑖,−1, ∆𝑦𝑖 and ∆𝑋𝑖,−𝑗 are j period lagged values of ∆𝑦𝑖 and ∆𝑋𝑖 and 𝑖 = ( 𝑖1, … . 𝑖𝑇 ) ′. pesaran et al. (1999) asserted that panel ardl could be used with variables with a different order of integration; the short-run and long-run effects can be estimated simultaneously from a data set with cross-section and time dimensions. the ardl model nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 278 also produces consistent coefficients despite the possibility of endogeneity because it includes the lags of dependent and independent variables (pesaran et al., 1999). the key features of the three different panel ardl estimators are presented as follows. pooled mead group (pmg) the salient feature of pmg is that it allows the short-run coefficients, including the intercepts, the speed of adjustment, and the error variances, to be heterogeneous between countries, while in the long-run coefficients, it is homogenous across countries. however, there are several requirements for the validity, consistency, and efficiency of this methodology. 1. first, the existence of a long-run relationship between the variables of interest requires the coefficient on the error-correction term to be negative. 2. an important assumption for the consistency of the ardl model is that the residuals resulting from the error-correction model are serially uncorrelated, and the explanatory variables can be treated as exogenous. 3. the relative size of t and n is crucial since when both are large, it allows the researchers to use the dynamic panel technique, which helps avoid bias in the mean estimators and resolves the heterogeneity issue. mean group (mg) the mean group estimates separate regression for each country, both for the long-run and short-run, and the coefficients are calculated as unweighted means of the estimated coefficients for each country. thus, it allows all coefficients to be heterogeneous in the long-run and short-run. however, this method needs to have a sufficiently large time series (t) and cross country (n), covering 20 to 30 countries to keep the results' consistency and validity. dynamic fixed effect (dfe) the dynamic fixed effect estimator restricts the coefficients of the cointegrating vector to be equal across all panels. it also limits the speed of the adjustment coefficients and the short-run coefficients to be identical for all countries. however, it allows for countryspecific intercepts. model selection to select the best models among the pmg, mg, and dfe estimators, the hausman test was employed to test whether there was a significant difference among these estimators. the test's null hypothesis is no significant difference between pmg and mg or between pmg and dfe. if the probability value is less than 0.05, the decision is to reject the null hypothesis. if the null hypothesis is not rejected, the pmg estimator is preferred. nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 279 panel granger causality test to investigate the direction of causality between fertility and female labor force participation, dumitrescu and hurlin granger's non-causality test was applied. the equations are written as follow: 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡 = 𝛼𝑜1 + ∑ 𝛽1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡−𝑖 + ∑ 𝛽2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝑇𝐹𝑅𝑡−𝑖 +𝑢1𝑡 2c 𝑇𝐹𝑅𝑡 = 𝛼𝑜2 + ∑ 𝛿1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝑇𝐹𝑅𝑡−𝑖 + ∑ 𝛿2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡−𝑖 +𝑢2𝑡 2d 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡 = 𝛼𝑜3 + ∑ ɵ1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡−𝑖 + ∑ ɵ2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡−𝑖 +𝑢3𝑡 2e 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡 = 𝛼𝑜4 + ∑ ɸ1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡−𝑖 + ∑ ɸ2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝐹𝐿𝐹𝑃𝑡−𝑖 +𝑢4𝑡 2f 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡 = 𝛼𝑜5 + ∑ ɤ1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡−𝑖 + ∑ ɤ2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝑇𝐹𝑅𝑡−𝑖 +𝑢5𝑡 2g 𝑇𝐹𝑅𝑡 = 𝛼𝑜6 + ∑ µ1𝑖 𝑝 𝑖=1 𝑇𝐹𝑅𝑡−𝑖 + ∑ µ2𝑖 𝑞 𝑖=1 𝐹𝐸𝐷𝑈𝑡−𝑖 +𝑢6𝑡 2h if the coefficient of the lagged fertility (tfr) in (2c) 𝛽2𝑖 is significantly different from zero, and the set of estimated coefficients of lagged female labor (flfp) in (2d) 𝛿2𝑖 is not significantly different from zero, it means there is uni-directional causality from fertility to female labor and vice versa. if both coefficient 𝛽2𝑖 and 𝛿2𝑖 are significantly different from zero; thus, flfp and tfr perform bi-direction causality. if both coefficient 𝛽2𝑖 and 𝛿2𝑖 are not significantly different from zero; thus, flfp and tfr are independent. a similar interpretation for the equations (2e) and (2f) is for female labor-female education, and equations (2g) and (2h) are for female education-fertility. result and discussion the effect of fertility on female labor force participation was evaluated in this section using panel ardl methods. besides, female education was included as the explanatory variable. the descriptive statistic and correlation coefficients for the estimated variables are in table 1 and table 2. descriptive statistics female labor participation ranged from the lowest of almost 6 % for yemen in 2018 to 82 % for nepal in 2018. the tfr was 0.86 for the lowest in macau in 2003, and the highest was in yemen at 8.6 children per woman in 1990. for female education, the number started at 0.1 years in yemen in 1990, and the highest was 13.6 years in south korea in 2018. nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 280 table 1 descriptive statistics variable obs mean std. dev. min max flfpr 1.131 45.61963 18.81566 5.983 81.841 tfr 1.131 2.840403 1.357057 0.86 8.606 f_edu 1.131 6.641326 3.197232 0.1 13.6 table 2 correlation coefficients flfpr tfr f-edu flfpr 1 tfr -0.3626 1 f-edu 0.1214 -0.5894 1 table 2 shows the correlation between variables, and it can be seen that fertility and female labor force participation had a negative correlation, likewise for fertility and female education. meanwhile, there was a positive correlation between female education and female labor participation. panel unit root test table 3 displays the unit root test of the variables involved. fertility was stationary, while female labor force participation and female education were stationary at first. the stationary test was held to ensure that there was no second-order integration. due to mixed levels of integration between the series, the study thus proceeded to apply the panel ardl approach rather than the traditional static panel model. table 3 unit root test variable level llc lm, ps adf pp tfr level -16.396*** (0.000) -12.879*** (0.000) 388.592*** (0.000) 398.534*** (0.000) flpr level -3.0748*** (0.0011) 0.64297 (0.7399) 92.7915 (0.1211) 90.2375 (0.1622) flpr 1st diff -8.2161*** (0.0000) -12.020*** (0.0000) 327.055*** (0.0000) 361.541*** (0.0000) f-edu level -3.3188*** (0.0005) 3.24314 (0.9994) 62.3638 (0.9019) 83.4584 (0.3155) f-edu 1st diff -6.9218*** (0.0000) -4.2056*** (0.0000) 199.381*** (0.0000) 407.995*** (0.0000) source: author’s calculations using eviews and stata. numbers between parentheses refer to the probability of the test statistics. the null hypothesis of these tests is that the panel series has a unit root. notes: *, **, and *** indicate significance at 10 %, at 5 %, and at 1 %. panel cointegration test panel cointegration tests were performed to ensure that the variables were cointegrated before running the panel ardl estimation and panel causality tests. according to the pedroni (1999) and kao (1999) tests, the probabilities showed significance at a one percent level, while the probability was insignificant for the westerlund test. saying that nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 281 two among three tests were cointegrated, it can be concluded that there was cointegration among the model variables. table 4 cointegration test pedroni test kao test westerlund test modified phillips-perron t 3.9002*** (0.0000) modified dickeyfuller t 3.5141*** (0.0002) variance ratio -0.3640 (0.3579) phillips-perron t 2.5475*** (0.0054) dickey-fuller t 3.0211*** (0.0013) augmented dickey-fuller t 3.5278*** (0.0002) augmented dickeyfuller t 2.5997*** (0.0047) unadjusted modified dickey-fuller t 3.9957*** (0.0000) unadjusted dickeyfuller t 3.7152*** (0.0001) source: author’s calculations using stata. numbers between parentheses refer to the probability of the test statistics. the null hypothesis of these tests is that there is no cointegration. notes: *, **, and *** indicate significance at 10 %, at 5 %, and at 1 %. panel ardl estimation according to table 5, between pmg and mg model, the hausman test result showed that the p-value (the number in the parentheses) was 0.0359, less than 0.05. under the null hypothesis that pmg is more efficient, the null hypothesis was rejected; thus, mg was a consistent and efficient estimation than pmg. for the second hausman test, comparing pmg and dfe, the p-value was 0.000, giving the consequence that dfe was a better estimation than pmg under the null hypothesis that pmg is more efficient. for the third hausman test comparing mg and dfe, the probability was 0.7249; thus, it failed to reject the null hypothesis. in other words, dfe was a better estimation than mg, under the null hypothesis that dfe is more efficient than mg. hence, it can be concluded that among the three models, dfe was the best estimation. the ect or the speed of convergence to equilibrium was significant at a one percent level, indicating long-run cointegration among the variables in the panel. any deviations from long-run equilibrium were corrected at 3.27% adjustment speed. therefore, the result interpretation referred to the dfe as the best estimation according to the hausman test. once again, the dfe estimation restricts the coefficients of the cointegrating vector to be homogeneous across all panels and limits the speed of adjustment coefficients and the short-run coefficients to be identical for all countries. in the long run, the fertility coefficient was negative, yet it was not significant. fertility did not significantly affect female labor force participation in the long run. it might be due to the flexibility of job roles, such as maternity leave; after mothers deliver a baby within a certain period, they will return to continue their work. azimi (2015) supports the finding whereby no effect of fertility on female employment in the case of iran. hupkau and leturcq (2016) also found that family size did not impact employment for highand intermediate-skilled women, but the effect was large and inversely correlated in the long run for low-skilled women. nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 282 table 5 panel ardl estimation d.lflpr pooled mean group mean group dynamic fixed effect coefficient std. err coefficient std. err coefficient std. err lr tfr 2.615547*** 0.251522 -8.0487 7.449 -0.5334 1.47127 f-edu 2.567861*** 0.25364 -0.2715 2.449 1.3533* 0.724538 sr ect -0.0343* 0.018729 0.2105*** 0.0298 0.0327*** 0.007495 δ tfr 0.451256 1.314491 4.7147 3.1283 0.83955** 0.400212 δ f-edu 0.063444 0.135565 0.0290 0.852 0.029524 0.048539 intercept 1.162044* 0.617529 8.9529 1.9109*** 1.3437*** 0.432417 hausman test 6.651 (0.0359) 38.122 (0.0000) 0.643 (0.7249) pmg, mg >> mg pmg, dfe >> dfe mg, dfe >> dfe notes: *, **, and *** indicate significance at 10 %, at 5 %, and at 1 %. estimations are done by using xtpmg in stata. the pooled mean group, mean group, and dynamic fixed effects control country and time effects. while the first panel (lr) shows long-run effects, the second panel reports both short-run effects (sr) and the speed of adjustment (ect). the lag structure is ardl (1, 1, 1, 1, 1, 1). the data are from 1990–2018. another reason is the availability of childcare services that provide facilities and services to care for babies, thus enabling mothers to do works. this condition is easily found in developed countries, such as south korea, singapore, and japan (cho, 2006). besides, family-friendly labor market policies also contribute to the convenience and ease of working mothers while having small children at home. hence, the presence of children does not affect female labor participation in the long run. meanwhile, in the short run, fertility was negatively significant at a five percent level. the fertility coefficient can be interpreted that one unit of fertility rate for each increase will reduce the percentage of female labor force participation by 0.84. this result aligns with the expectation that any increase in fertility will reduce female labor participation and is supported by the studies of tsani et al. (2013) and mishra and smyth (2010). the presence of children discourages women from taking part in the labor force, especially if the husband earns a high income that can meet all the family’s needs. according to chevalier and viitanen (2002), the negative relationship was also motivated by the lack of childcare facilities, which could constrain women to participate in labor. furthermore, social culture or religion may also contribute to the limitation of women for only doing domestic activities and taking care of their children. shittu and abdullah (2019) considered that this condition similarly happened in the past period in malaysia, brunei, myanmar, and indonesia, in which most of the population is muslim. it is believed that in islam, the wife’s priority role is to do domestic activities, such as taking care of their children. in addition, lower fertility rates free up time for married women, thereby encouraging them to enter the labor force. as women increasingly participate in the labor market, their opportunity cost for having children raises. for this reason, they tend to have fewer children. nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 283 furthermore, female education was significantly positive on female labor force participation at a ten percent level in the long run. the coefficient explains that any additional one year of female education attainment will significantly increase the female labor participation rate by 1.35. the finding supports the expectation that education plays a crucial role in determining female participation in economic activities. as the education level of females increases, the woman starts to get more share in the labor force. in this case, education raises job opportunities, including for females. in this study, female education was significant in increasing the welfare of societies and families because it raised women's productivity through labor market participation. here, education provides the basic skill to empower females and enhances women’s status in society. the female probability of participating in economic activities is higher as the level of education increases. educated women also encourage more on children’s education hence producing a good future generation. in the short run, however, the effect of female education on female labor participation was not significant. the impact of any improvement in education could not immediately change the participation of females in the labor market. nevertheless, it took a certain period to be translated into skills, and human capital improvement from education is an investment in human capital. it is reinforced by becker’s (1964) human capital theory, stating that education is an investment due to the expected return in the future. according to the asian development bank (2016), female labor force participation does not necessarily increase with education; narrowing education gaps is insufficient to bring more women into work. the phenomena can be seen in some countries in asia. for example, in china, more educated women are less likely to work. meanwhile, in pakistan, women with intermediate education are less likely to work than women with low or advanced education. in indonesia, diagnostics suggest a higher demand for educated and skilled female workers, particularly in urban areas. in china, in rural areas, both male and female labor force participation rates decrease with educational attainment, though more steeply for women. however, in urban areas, participation rises with educational attainment, particularly for women. causality fertility-female labor to investigate the causal relationship between female labor force participation and fertility rate, the study applied the causality test by dumitrescu and hurlin (2012) to test granger causality in panel datasets. as presented in table 6, under the null hypothesis that fertility does not granger-cause female labor participation, the results showed that the null hypothesis was rejected at a one percent level, indicating that fertility caused female labor participation. besides, for the second null hypothesis, stating that female labor participation does not granger-cause fertility, the results revealed rejection of the null hypothesis as the probability value was significant at one percent level. thus, there was a consistency of a bidirectional relationship between female labor force participation and fertility. in other words, fertility is both a trigger and a consequence of female labor force participation. bi-direction relationships between female labor participation and fertility were also found in the study done by engelhardt et al. (2004) in the case of france, nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 284 italy, west germany, and the united kingdom for 1960-1994. a more recent study conducted by subramanian et al. (2016) similarly revealed bidirectional causality between fertility and female labor participation for the case of asean-5 countries. other supporting findings of the bi-directional relationship could be found in mishra and smyth (2010) for oecd countries and salamaliki et al. (2012) for the case of the united states. table 6 dumitrescu & hurlin’s (2012) granger non-causality test null hypothesis statistic p-value tfr does not granger-cause flfpr w-bar = 5.0853 z-bar = 18.0404 z-bar tilde = 15.1947 0.0000 0.0000 flfpr does not granger-cause tfr w-bar = 12.4924 z-bar = 50.7489 z-bar tilde = 43.3431 0.0000 0.0000 f_edu does not granger-cause flfpr w-bar = 3.1543 z-bar = 9.5131 z-bar tilde = 7.8564 0.0000 0.0000 flfpr does not granger-cause f_edu w-bar = 3.4503 z-bar = 10.8201 z-bar tilde = 8.9811 0.0000 0.0000 f_edu does not granger-cause tfr w-bar = 8.8850 z-bar = 34.8192 z-bar tilde = 29.6343 0.0000 0.0000 tfr does not granger-cause f_edu w-bar = 2.5728 z-bar = 6.9452 z-bar tilde = 5.6464 0.0000 0.0000 source: author’s calculation using xtgcause in stata in this study, a bi-direction relationship also exists between female labor participation and female education and between fertility and female education, as shown by the probability value being significant at one percent level. hence, it can be concluded that female education is both the cause and the consequence of female labor participation and fertility. conclusion the study investigates the relationship between fertility, female education, and female labor participation and concludes that fertility and female education significantly impacted female labor force participation in asian countries based on panel ardl estimation. meanwhile, fertility was negatively significant in the short run; however, female education was positively significant in the long run. in this regard, female participation in the labor market plays a pivotal role in advancing the countries' economies. thus, it needs appropriate policies to be taken to encourage women to participate in the labor force. to enhance women's participation in the labor force, the government should have policies to reduce fertility rates, such as promoting the familyplanning program by encouraging contraceptives, increasing the quality of maternal and child health, and reducing child mortality. the policies to reduce fertility, especially for nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 285 those countries with high fertility, are mostly for emerging countries. however, for low fertility countries, the government needs to encourage fertility to prevent labor shortages in the future. the provision of childcare facilities and services and family-friendly working policies can be addressed to motivate women to participate in the labor market regardless of the presence of children. moreover, increasing female education is crucial since females are more likely to participate in economic and business activities as the education level increases. females with education have more opportunities to get better jobs and have more options to select jobs. even though mothers work from home while taking care of their children, educated women have higher possibilities to earn more income. some recommendations for future research are that studies can be made into groups based on income, such as high-income countries and low-income countries. another suggestion for classification can also be based on low-fertility and high-fertility rate countries to see the comparison. references aaronson, d., dehejia, r., jordan, a., pop-eleches, c., samii, c., & schulze, k. (2017). the effect of fertility on mothers’ labor supply over the last two centuries. nber working paper 23717. https://doi.org/10.3386/w23717 abbas, a. (2013). determinants of women’s labor supply in bangladesh and pakistan. master thesis. umea universitet. andrabi, t., das, j., & khwaja, a.i. (2012). what did you do all day?: maternal education and child outcomes. journal of human resources 47(4), 873-912. retrieved from https://www.muse.jhu.edu/article/488615 anggaraini, n., & setyari, n. (2020). the impact of working mothers’ bargaining power on their children's human capital in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 21(2), 235-248. https://doi.org/10.18196/jesp.21.2.5044 asian development bank. (2016). female labor force participation in asia: key trends, constraints, and opportunities. retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/publication/209666/female-labor-forceparticipation-asia.pdf azimi, e. (2015). the effect of children on female labor force participation in urban iran. iza journal of labor & development, 4(1). https://doi.org/10.1186/s40175-015-0030-x barro, r. j., & lee, j. w. (2013). a new data set of educational attainment in the world, 1950–2010. journal of development economics, 104, 184–198. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2012.10.001 becker, g. s. (1964). human capital: a theoretical and empirical analysis with special reference to education, (1st edition). cambridge: national bureau of economic research. becker, g. s. (1975). human capital: a theoretical and empirical analysis with special reference to education, (2nd edition). cambridge: national bureau of economic research. becker, g. s. (1985). human capital, effort, and the sexual division of labor. journal of labor economics, 3(1, part 2), s33–s58. https://doi.org/10.1086/298075 bloom, d. e., canning, d., fink, g., & finlay, j. e. (2009). fertility, female labor force participation, and the demographic dividend. journal of economic growth, 14(2), 79–101. https://doi.org/10.1007/s10887-009-9039-9 https://doi.org/10.3386/w23717 https://www.muse.jhu.edu/article/488615 https://doi.org/10.18196/jesp.21.2.5044 https://www.adb.org/sites/default/files/publication/209666/female-labor-force-participation-asia.pdf https://www.adb.org/sites/default/files/publication/209666/female-labor-force-participation-asia.pdf https://doi.org/10.1186/s40175-015-0030-x https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2012.10.001 https://doi.org/10.1086/298075 https://doi.org/10.1007/s10887-009-9039-9 nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 286 cameron, l. a., malcolm dowling, j., & worswick, c. (2001). education and labor market participation of women in asia: evidence from five countries. economic development and cultural change, 49(3), 459–477. https://doi.org/10.1086/452511 chamlou, n., muzi, s., & ahmed, h. (2011). understanding the determinants of female labor force participation in the middle east and north africa region: the role of education and social norms in amman. almalaurea working papers no. 31. retrieved from http://www.almalaurea.it/universita/pubblicazioni/wp cheng, b. s. (1999). cointegration and causality between fertility and female labor participation in taiwan: a multivariate approach. atlantic economic journal, 27(4), 422– 434. https://doi.org/10.1007/bf02298338 chevalier, a., & viitanen, t. k. (2002). the causality between female labour force participation and the availability of childcare. applied economics letters, 9(14), 915–918. https://doi.org/10.1080/13504850210138469 cho, y. (2006). an analysis of women's fertility and labor supply: implications for family policies. international conference on declining fertility in east and southeast asian countries. pie and coe/res, hitotsubashi university. retrieved from https://cis.ier.hitu.ac.jp/common/pdf/dp/2006/dp290.pdf del boca, d., & locatelli, m. (2006). the determinants of motherhood and work status: a survey. institute of labor economics (iza) discussion papers 2414. retrieved from https://d-nb.info/993085393/34 demetriades, p., & hook law, s. (2006). finance, institutions and economic development. international journal of finance & economics, 11(3), 245–260. https://doi.org/10.1002/ijfe.296 dumitrescu, e.-i., & hurlin, c. (2012). testing for granger non-causality in heterogeneous panels. economic modelling, 29(4), 1450–1460. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2012.02.014 eckstein, z., & lifshitz, o. (2011). dynamic female labor supply. econometrica, 79(6), 1675– 1726. https://doi.org/10.3982/ecta8803 engelhardt, a., pfeifer, j.-b., heistermann, m., niemitz, c., van hooff, j. a. r. a. m., & hodges, j. k. (2004). assessment of female reproductive status by male longtailed macaques, macaca fascicularis, under natural conditions. animal behaviour, 67(5), 915– 924. https://doi.org/10.1016/j.anbehav.2003.09.006 eun, k.-s. (2007). lowest-low fertility in the republic of korea: causes, consequences and policy responses. asia-pacific population journal, 22(2), 51–72. https://doi.org/10.18356/742d2082-en hafeez, a., & ahmed, e. (2002). sustainable development policy institute. working paper, no 74; 2002. retrieved from http://arks.princeton.edu/ark:/88435/dsp01zp38wg01p heath, r., & jayachandran, s. (2016). the causes and consequences of increased female education and labor force participation in developing countries. nber working paper series. https://doi.org/10.3386/w22766 hupkau, c., & leturcq, m. (2017) fertility and mothers’ labor supply: new evidence usingtime-to-conception. cep discussion paper (cepdp1463). retrieved from http://eprints.lse.ac.uk/id/eprint/69045 kao, c. (1999). spurious regression and residual-based tests for cointegration in panel data. journal of econometrics, 90(1), 1–44. https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00023-2 kim, j., & aassve, a. (2006). fertility and its consequence on family labor supply. iza discussion paper no. 2162. retrieved from https://ftp.iza.org/dp2162.pdf liew, v.k-s. (2004). which lag length selection criteria should we employ? economics bulletin, 3(33), 1-9. retrieved from http://www.economicsbulletin.com/2004/volume3/eb04c20021a.pdf https://doi.org/10.1086/452511 http://www.almalaurea.it/universita/pubblicazioni/wp https://doi.org/10.1007/bf02298338 https://doi.org/10.1080/13504850210138469 https://cis.ier.hit-u.ac.jp/common/pdf/dp/2006/dp290.pdf https://cis.ier.hit-u.ac.jp/common/pdf/dp/2006/dp290.pdf https://d-nb.info/993085393/34 https://doi.org/10.1002/ijfe.296 https://doi.org/10.1016/j.econmod.2012.02.014 https://doi.org/10.3982/ecta8803 https://doi.org/10.1016/j.anbehav.2003.09.006 https://doi.org/10.18356/742d2082-en http://arks.princeton.edu/ark:/88435/dsp01zp38wg01p https://doi.org/10.3386/w22766 http://eprints.lse.ac.uk/id/eprint/69045 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00023-2 https://ftp.iza.org/dp2162.pdf http://www.economicsbulletin.com/2004/volume3/eb-04c20021a.pdf http://www.economicsbulletin.com/2004/volume3/eb-04c20021a.pdf nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 287 lim, f.y.b. (2017). the effects of education and fertility on female labour force participation in malaysia. doctor of philosophy thesis. university of wollongong. lim, l.l. (2002). female labor force participation. united nations. retrieved from https://www.un.org/development/desa/pd/sites/www.un.org.development.desa.pd/ files/unpd_egm_200203_backgroundpaper_female_labourforce_participation_lim.pdf mishra, v., & smyth, r. (2010). female labor force participation and total fertility rates in the oecd: new evidence from panel cointegration and granger causality testing. journal of economics and business, 62(1), 48–64. https://doi.org/10.1016/j.jeconbus.2009.07.006 nakagaki, y. (2018). fertility, female labor participation and income in east asia. international journal of development issues, 17(1), 69–86. https://doi.org/10.1108/ijdi-06-2017-0106 nam, s. (1991). determinants of female labor force participation: a study seoul, south korea, 1970-19801. sociological forum, 6(4), 641-659. retrieved from https://ur.booksc.eu/book/28632543/17cbaf narayan, p. k., & smyth, r. (2006). female labour force participation, fertility and infant mortality in australia: some empirical evidence from granger causality tests. applied economics, 38(5), 563–572. https://doi.org/10.1080/00036840500118838 pedroni, p. (1999). critical values for cointegration tests in heterogeneous panels with multiple regressors. oxford bulletin of economics and statistics, 61(s1), 653–670. https://doi.org/10.1111/1468-0084.0610s1653 pesaran, m. h., shin, y., & smith, r. p. (1999). pooled mean group estimation of dynamic heterogeneous panels. journal of the american statistical association, 94(446), 621–634. retrieved from https://www.jstor.org/stable/2670182 roser, m. (2014). fertility rate. published online at our world in data. retrieved from: https://ourworldindata.org/fertility-rate salamaliki, p. k., venetis, i. a., & giannakopoulos, n. (2012). the causal relationship between female labor supply and fertility in the usa: updated evidence via a time series multi-horizon approach. journal of population economics, 26(1), 109–145. https://doi.org/10.1007/s00148-012-0418-8 schultz, t. w. (1961). investment in human capital. the american economic review, 51(1), 1– 17. http://www.jstor.org/stable/1818907 shittu, w. o., & abdullah, n. (2019). fertility, education, and female labour participation. international journal of social economics, 46(1), 66–82. https://doi.org/10.1108/ijse-112017-0559 skadsen, c. (2017). fertility and female labor force participation: the role of legal access to contraceptives. stevenson center for community and economic development to stevenson center for community and economic development—student research. 29. retrieved from https://ir.library.illinoisstate.edu/scced/29 solomon, b., & kimmel, j. (2009). testing the inverseness of fertility and labor supply: the case of ethiopia. institute for the study of labor (iza) discussion papers, no. 3949. retrieved from http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:101:1-20090209192 subramaniam, t., loganathan, n., yerushalmi, e., devadason, e. s., & majid, m. (2016). determinants of infant mortality in older asean economies. social indicators research, 136(1), 397–415. https://doi.org/10.1007/s11205-016-1526-8 the world bank. (2019). data on fertility rate (tfr) and female labor force participation (flfp) from 1990-2018. retrieved from https://www.worldbank.org/en/home tiefenthaler, j. (1997). fertility and family time allocation in the philippines. population and development review, 23(2), 377–397. https://doi.org/10.2307/2137550 https://www.un.org/development/desa/pd/sites/www.un.org.development.desa.pd/files/unpd_egm_200203_backgroundpaper_female_labour-force_participation_lim.pdf https://www.un.org/development/desa/pd/sites/www.un.org.development.desa.pd/files/unpd_egm_200203_backgroundpaper_female_labour-force_participation_lim.pdf https://www.un.org/development/desa/pd/sites/www.un.org.development.desa.pd/files/unpd_egm_200203_backgroundpaper_female_labour-force_participation_lim.pdf https://doi.org/10.1016/j.jeconbus.2009.07.006 https://doi.org/10.1108/ijdi-06-2017-0106 https://ur.booksc.eu/book/28632543/17cbaf https://doi.org/10.1080/00036840500118838 https://doi.org/10.1111/1468-0084.0610s1653 https://www.jstor.org/stable/2670182 https://ourworldindata.org/fertility-rate https://doi.org/10.1007/s00148-012-0418-8 http://www.jstor.org/stable/1818907 https://doi.org/10.1108/ijse-11-2017-0559 https://doi.org/10.1108/ijse-11-2017-0559 https://ir.library.illinoisstate.edu/scced/29 http://nbn-resolving.de/urn:nbn:de:101:1-20090209192 https://doi.org/10.1007/s11205-016-1526-8 https://www.worldbank.org/en/home https://doi.org/10.2307/2137550 nazah, duasa, & arifin fertility and female labor force participation … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 288 tsani, s., paroussos, l., fragiadakis, c., charalambidis, i., & capros, p. (2013). female labour force participation and economic growth in the south mediterranean countries. economics letters, 120(2), 323–328. https://doi.org/10.1016/j.econlet.2013.04.043 ulku, h. (2004). r&d, innovation, and economic growth: an empirical analysis. international monetary fund working papers, wp/04/185, pp. 2-35. retrieved from https://scholar.google.com/scholar?q=ulku,%20h.%20.%20rd,%20innovation,%2 0and%20economic%20growth:%20an%20empirical%20analysis,%20international %20monetary%20fund%20working%20papers,%20wp04185,%20pp.%202-35 https://doi.org/10.1016/j.econlet.2013.04.043 https://scholar.google.com/scholar?q=ulku,%20h.%20.%20rd,%20innovation,%20and%20economic%20growth:%20an%20empirical%20analysis,%20international%20monetary%20fund%20working%20papers,%20wp04185,%20pp.%202-35 https://scholar.google.com/scholar?q=ulku,%20h.%20.%20rd,%20innovation,%20and%20economic%20growth:%20an%20empirical%20analysis,%20international%20monetary%20fund%20working%20papers,%20wp04185,%20pp.%202-35 https://scholar.google.com/scholar?q=ulku,%20h.%20.%20rd,%20innovation,%20and%20economic%20growth:%20an%20empirical%20analysis,%20international%20monetary%20fund%20working%20papers,%20wp04185,%20pp.%202-35 microsoft word 08-nenny_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.84-98   efektivitas tipe-tipe sekolah menengah pertama di indonesia nenny hendajany fakultas ekonomi, universitas sangga buana, bandung jalan phh mustofa (suci) no. 68 bandung, jawa barat, indonesia, phone: +62 22 7201751 e-mail korespondensi: nenny.hendajany@mail.ugm.ac.id naskah diterima: september 2014; disetujui: februari 2015 abstract: public schools in indonesia has the advantage of better student input. almost all secondary schools in the country, especially big cities limit the national test scores (formerly pure ebtanas value) primary school as a condition of entry. this paper uses data from ifls3 and ifls4 which form the polling cross section for the estimation of the effectiveness of education junior high school in indonesia. measures of effectiveness are earnings in the labor market. empirical results show that the log earnings in the labor market for graduates of public schools is higher than 13.3 percent of graduates of private secular and 30.8 percent higher than the islamic private school graduates. as for the non-islamic private school graduates although not significant, but has a positive sign or higher compared to public school graduates. these results do not involve selection bias, involving the presence of selection bias after log earnings differences between graduates of public schools with private graduates enjoyed by graduates of private higher by 51.9 percent, the difference in log earnings between graduates of public schools with graduates of islamic private higher enjoyed by the country graduate amounted to 84.5 percent, while for log income difference between public school graduates with graduates of other private higher enjoyed by other private graduates by 76.1 percent, although not significantly. keywords: public schools; private schools; private islamic schools; non-islamic religious private schools jel classification: d31, j40, o40 abstrak: sekolah negeri di indonesia memiliki keuntungan dalam input siswa yang lebih baik. hampir seluruh sekolah menengah pertama negeri khususnya di kota besar membatasi nilai ujian nasional (dahulu nilai ebtanas murni) sekolah dasar sebagai syarat masuk. paper ini menggunakan data ifls3 dan ifls4 yang membentuk polling cross section untuk estimasi efektivitas pendidikan sekolah menengah pertama di indonesia. ukuran efektivitas yang diambil adalah pendapatan di pasar tenaga kerja. hasil empiris memperlihatkan bahwa log pendapatan di pasar tenaga kerja bagi lulusan sekolah negeri lebih tinggi 13,3 persen dibandingkan lulusan swasta sekuler dan 30,8 persen lebih tinggi dibandingkan lulusan sekolah swasta islam. sementara untuk lulusan sekolah swasta non islam meskipun tidak signifikan tetapi memiliki tanda positif atau lebih tinggi dibandingkan lulusan sekolah negeri. hasil tersebut belum melibatkan selection bias, setelah melibatkan adanya selection bias perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta sebesar 51,9 persen, perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta islam dinikmati lebih tinggi oleh lulusan negeri sebesar 84,5 persen, sementara untuk perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta lain dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta lain sebesar 76,1 persen walau tidak signifikan. kata kunci: sekolah umum; sekolah swasta; sekolah swasta islam; sekolah swasta non-islam klasifikasi jel: d31, j40, o40 efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 85 pendahuluan pendidikan formal di indonesia sebagian besar disediakan oleh pemerintah baik yang ditangani langsung oleh kementerian pendidikan maupunoleh kementerian agama. pendidikan termasuk bidang layanan sosial yang sama dengan bidang sosial lain seperti kesehatan. penyediaan bidang layanan sosial pada dasarnya merupakan tugas dari pemerintah. dengan keterbatasan dana umumnya pemerintah hanya memberi pelayanan pada masyarakat dengan standar minimal. permintaan akan layanan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik umumnya disediakan oleh lembaga sosial non pemerintah yang kerap disebut dengan lembaga atau yayasan swasta. hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya lembaga atau yayasan swasta, sehingga seharusnya lembaga atau yayasan swasta dengan fasilitas yang lebih baik memberikan efektifitas yang lebih baik pada outcomenya. namun di bidang pendidikan khususnya di indonesia banyak bukti empiris yang menyatakan bahwa sekolah negeri lebih unggul dibandingkan sekolah swasta karena salah satu keuntungannya adalah memperoleh input yang lebih baik (newhouse dan beegle, 2006). meskipun rasio antara guru dan murid di sekolah negeri lebih kecil dibandingkan dengan sekolah swasta namun hasil empiris dari newhouse dan beegle (2006) menyatakan bahwa nilai ujian akhir siswa sekolah negeri lebih tinggi 0,17 sampai 0,3 standar deviasi dibandingkan dengan siswa yang berada di sekolah swasta. bukti ini memperlihatkan dukungan atas kepercayaan atau persepsi masyarakat di indonesia bahwa kualitas pendidikan sekolah negeri lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta, berbeda dengan kepercayaan dan persepsi di negara lain terutama amerika serikat di mana kualitas sekolah swasta lebih baik dari sekolah negeri (lihat bukti mengenai kinerja akademik dari cox dan jimenez (1991), evans dan schwab (1995), dan neal (1997)). hasil empiris yang berbeda diperlihatkan oleh bedi dan garg (2000) yang menggunakan data ifls 1993, mereka menemukan bahwa lulusan sekolah smp swasta lebih baik di pasar tenaga kerja. ada pula james, dkk (1996) yang melakukan penelitian di indonesia dengan menggunakan nilai ujian akhir sd sebagai indikator efektifitas manajemen sekolah, mereka menemukan bahwa sd swasta memiliki biaya per siswa lebih kecil. hasil empiris kedua penelitian tersebut berbeda dengan kepercayaan dan persepsi pada umumnya di masyarakat indonesia bahwa sekolah negeri lebih unggul dibandingkan sekolah swasta dalam outcomenya. fahmi (2009a) mencoba mereplikasi data yang sama pada bedi dan garg (2000) dengan metode yang sama tetapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda. ia menyimpulkan bahwa pendapatan lulusan sekolah negeri lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan swasta. fahmi (2009b) dengan menggunakan data ifls3 tahun 2000 menemukan bahwa lulusan sekolah negeri 25 persen lebih tinggi dari swasta umum, 35,2 persen lebih tinggi dari sekolah islam, tetapi lulusan sekolah swasta kristen menikmati 0,28 persen lebih tinggi dari sekolah negeri. hasil yang berbeda ini menarik penulis untuk mengetahui dampak dari tipe sekolah yang dipilih saat sekolah menengah pertama terhadap pendapatan dengan menggunakan data ifls yang dibuat dalam polling cross section dari ifls3 dan ifls4 dengan harapan mengurangi sedikit kemungkinan terjadinya bias. selain itu penulis menambahkan dua variabel kontrol yaitu pengalaman kerja dan ukuran perusahaan tempat responden bekerja. berdasarkan hasil empiris dari medoff, j. l. dan abraham, k. g., (1980) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara pengalaman kerja dan pendapatan relatif. pengalaman kerja seseorang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahamannya untuk menjalankan tugas-tugas yang dihadapi. sementara ukuran perusahaan mempengaruhi penghasilan seseorang secara teori masih ambigu, seperti yang dikutip pada kim, y., liu, c dan rhee, s. g. (2003) terdapat faktor yang menyebabkan berdampak positif yaitu perusahaan besar dikaitkan dengan sistem kontrol internal, memiliki auditor yang handal, mempunyai biaya reputasi, sementara yang kontrasnya menyebutkan perusahaan besar memiliki tekanan yang lebih dibanding perusahaan kecil dan memiliki daya tawar yang lebih besar. ukuran efektifitas dari tipe sekolah yang digunakan penulis adalah pendapatan di pasar jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 86 tenaga kerja. banyak ekonom meyakini bahwa pendapatan mencerminkan nilai pasar dari keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh di sekolah (card dan krueger; 1994). pendidikan adalah salah satu investasi sumber daya manusia yang penting. untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan upah yang diharapkan setiap orang membutuhkan keterampilan yang memadai yang diperoleh melalui pendidikan. skemapaper ini dimulai dengan pendahuluan, selanjutnya bagian dua menginformasikan mengenai sekolah formal dan tipe sekolah di indonesia. bagian tiga menjelaskan model dan strategi empiris. bagian empat menyajikan data yang digunakan. bagian lima menunjukkan hasil empiris dan terakhir bagian enam kesimpulan. sekolah formal dan tipe sekolah di indonesia. berdasarkan undang-undang pendidikan no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan untuk melandasi pendidikan menengah. pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar (sd) dan madrasah ibtidaiyah (mi) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (smp) dan madrasah tsanawiyah (mts) atau bentuk lain yang sederajat. pendidikan dasar menempuh waktu 9 tahun di mana 6 tahun diselenggarakan di tingkat sd/mi dan 3 tahun di tingkat smp/ mts. pencapaian keberhasilan pendidikan dasar di indonesia secara kuantitas dapat dilihat dari beberapa indikator di antaranya angka partisipasi murni (apm), angka partisipasi kasar (apk), angka drop out (do) dan angka melanjutkan ke jenjang smp/mts. tabel 1 memperlihatkan apk dan apm untuk pendidikan dasar di indonesia. di tahun 2009 masih ada 4,77 persen yang belum berpartisipasi di pendidikan sekolah dasar dan 26,48 persen yang belum berpartisipasi di pendidikan sekolah menengah pertama. pada tingkat pendidikan dasar angka partisipasi tidak mengkhawatirkan karena diperkirakan adanya program pembangunan sd inpres di seluruh desa di indonesia pada tahun 1974/1975 telah berhasil menarik hampir 100 persen anak-anak usia 7–12 tahun untuk bersekolah. berbeda hal dengan pendidikan sekolah menengah pertama, di mana angka partisipasi masih jauh dari 100 persen, sehingga wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah masih jauh dari harapan. hal ini disebabkan infrastruktur yang belum tersedia di setiap desa untuk tingkat sekolah menengah pertama, sehingga siswa tidak dapat melanjutkan sekolah menengah pertama walaupun sudah tidak dibebani biaya sekolah dengan adanya program bos (bantuan operasional siswa). krisis ekonomi yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997 sampai akhir 1998 tidak secara nyata berdampak pada angka partisipasi dan angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar. strauss dkk (2004) menuliskan bahwa tingkat enrollment untuk semua tingkatan pendidikan tidak berubah antara tahun 1997 dan 2000. berdasarkan sumber dana pembiayaan sekolah yang ada di indonesia, sekolah dibedakan atas negeri dan swasta, sementara berdasarkan isi kurikulum maka sekolah menengah pertama dibagi kedalam sekolah umum dan sekolah keagamaan, sehingga tipe sekolah yang ada adalah sekolah negeri umum, sekolah negeri madrasah, sekolah swasta umum, sekolah swasta keagamaan islam, sekolah swasta keagamaan kristen, sekolah keagamaan katolik serta sekolah keagamaan hindu-budha. pendidikan di sekolah negeri baik pembiayaan, aturan dan standar ditentukan oleh pemerintah. kebanyakan dari sekolah negeri merupakan tabel 1. angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni pendidikan dasar 2004 2005 2006 2007 2008 2009 apk sd 113,63 114,06 114,27 115,53 116,56 116,77 smp 81,22 85,22 88,68 92,52 96,18 98,11 apm sd 94,12 94,3 94,48 94,9 95,14 95,23 smp 58,06 62,06 66,01 72,02 73,62 74,52 sumber: kemendiknas, http://www.pdsp.kemdiknas.go.id, diolah efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 87 sekolah sekuler (umum) sementara sekolah swasta kebanyakan merupakan sekolah keagamaan baik islam, kristen, maupun katolik. dalam paper ini karena ketersediaan data yang terbatas maka tipe sekolah yang ada hanya dikelompokkan menjadi empat yaitu sekolah negeri (negeri umum dan madrasah negeri), swasta sekuler, swasta islam, dan swasta non islam. sistem pendidikan umum diatur oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan sementara sistem pendidikan keagamaan khususnya islam yang dikenal dengan madrasah diatur oleh kementerian agama. sekolah madrasah umumnya berisikan 40 persen kurikulum keagamaan dan 60 persen kurikulum sesuai dengan sekolah umum yang diatur oleh menteri pendidikan dan kebudayaan. metode penelitian model dan strategi empiris (1) pemilihan sekolah. orang tua yang memiliki anak lulusan sekolah dasar menghadapi pilihan sekolah menengah pertama dengan empat tipe pilihan sekolah. proses pengambilan keputusan ini sebagai sesuatu pilihan orang tua saat mengevaluasi manfaat khususnya kemungkinan pendapatan masa depan dan biaya untuk memasuki setiap pilihan tipe sekolah. di lain pihak sekolah juga memiliki aturan atau kriteria tertentu sebagai syarat masuk. oleh karenanya, pemilihan sekolah dipandang sebagai sebuah proses yang dicapai melalui interaksi pilihan orang tua dan seleksi kriteria yang ditetapkan oleh sekolah. mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan pilihan orang tua di mana pendapatan masa depan diparameterisasi dalam proses pertumbuhan geometrik. rata-rata pendapatan individu i yang memilih tipe sekolah j adalah: 0 0 ∞ 1) di mana , dan , 2) adalah pendapatan individu i pada waktu t jika tipe sekolah j yang dipilih. merupakan pendapatan inisial individu i jika tipe sekolah j yang dipilih, adalah tingkat pertumbuhan pendapatan individu i jika tipe sekolah j yang dipilih, merupakan waktu masuk kedalam pasar tenaga kerja dan merupakan pengalaman kerja. merupakan variabel yang teramati (observe) dan merupakan variabel yang tidak teramati (unobserve). sesuai model bedi dan garg (2000) selain biaya langsung seperti biaya transportasi, siswa juga menghadapi biaya masuk. pada umumnya sekolah negeri dan beberapa sekolah swasta elit menyaratkan nilai ujian nasional (nilai ebtanas murni/nem) tertentu. seleksi ini merupakan sebuah jenis seleksi masuk bukan berupa harga. seleksi bukan harga lainnya adalah agama. model persamaan biaya ini adalah: , 3) di mana adalah variabel vektor dari ability, latar belakang keluarga dan regional, dan adalah komponen unobserved. persamaan pendapatan dan biaya di atas perlu dibuat dalam net present value, dengan asumsi waktu tak terbatas, net present value berkaitan dengan tiap sekolah yang dipilihnya adalah:       i m r t ij ij ij t n y t e dt c         i ij r t ij i ij y e c r g 4) substitusikan persamaan (2) dan (3) ke dalam (4) dan lakukan pendekatan taylor series menghasilkan bentuk linier dari persamaan net present value:   ijij i j n n x εβ 5) di mana , , jβ adalah koefisien vektor dan adalah error term. orang tua dalam memilih sekolah dapat dinyatakan sebagai: jika dan hanya jika max , 1,…, 6) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 88 di mana adalah indikator sekolah. parameter pada persamaan (5) dan peluang individu i masuk sekolah tipe j diperoleh dari estimasi model pilihan diskrit multinomial.   1     i j i j x ij i j x k e p p s j e β β 7) (2) pendapatan dan dekomposisi pendapatan. paper ini fokus pada persamaan upah standar yang berbentuk: 0 1    ij j j ij ijlny β β x 8) di mana adalah natural log dari pendapatan per tahun individu i yang belajar pada sekolah menengah pertama tipe j. merupakan variabel yang teramati seperti karakteristik individu, ability, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, dummy ukuran perusahaan dan dummy regional. merupakan vektor koefisien dari variabel yang teramati dan merupakan error term yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rata-rata nol dan varians positif. rata-rata pendapatan dengan kondisi pilihan sekolah: | , | 9) rentan terhadap bias seleksi karena | 0 dan karenanya ols yang dihasilkan persamaan (8) tidak konsisten. seperti yang digambarkan lee (1983), estimasi persamaan pendapatan yang konsisten dapat diperoleh dan seleksi bias dapat dikontrol dengan cara menggunakan prosedur dua tahap. tahap pertama mengestimasi persamaan (7) dengan multinomial logit model untuk memprediksi pilihan tipe sekolah. hasil multinomial logit merupakan bentuk koreksi selektivitas yang pada tahap kedua hasil ini dimasukkan ke dalam persamaan (8), sehingga persamaannya menjadi: 0 1   ij j j ij j ij ijlny β β x ρ λ υ 10) di mana merupakan bentuk koreksi selektivitas, merupakan covariance antara error terms dalam persamaan pendapatan dan sekolah, dan adalah gangguan dengan rata-rata nol. tanda positif pada koefisien koreksi selektivitas menandakan bahwa variabelunobserve yang mempengaruhi pilihan tipe sekolah berkorelasi positif dengan variabel unobserve yang menentukan pendapatan. estimasi perbedaan pendapatan antara lulusan sekolah negeri dan swasta menggunakan dekomposisi pendapatan blinder-oaxaca. dekomposisi blinder-oaxaca awalnya digunakan untuk memeriksa perbedaan karakteristik antara pria dan wanita seperti yang diteliti oleh oaxaca (1973). perbedaan rata-rata pendapatan adalah:    ˆ ˆ       j k j k j klny lny x x dβ i d β    ˆ ˆ     j k j kβ β x i d x d 11) di mana jlny dan klny merupakan rata-rata log pendapatan tipe sekolah j (negeri) dan tipe sekolah k (swasta). jx dan kx merupakan vektor variabel untuk lulusan negeri dan swasta sedangkan ˆ jβ dan ˆ kβ merupakan estimasi koefisien. i merupakan matriks identitas dan d merupakan matriks diagonal untuk pembobotan. reimers (1983), mengusulkan bahwa nilai d=(0,5)i untuk dekomposisi perbedaan pendapatan, sehingga persamaan (11) menjadi:    0 ˆ ˆ, 5      j k j k j klny lny x x β β    0, 5ˆ ˆ    j k j kβ β x x 12) selanjutnya jika bias seleksi dimunculkan dalam model maka dekomposisi pendapatan perlu mempertimbangkan selisih bias seleksi, sehingga persamaan (12) menjadi:    0 ˆ ˆ, 5      j k j k j klny lny x x β β    0, 5ˆ ˆ     j k j kβ β x x ˆ ˆ .j j k kρ λ ρ λ 13) efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 89 dekomposisi blinder-oaxaca menjelaskan gap log pendapatan dalam tiga bagian: pertama, dikarenakan perbedaan dalam karakteristik rata-rata kelompok tipe sekolah yang diikuti, dua dikarenakan perbedaan dalam parameter fungsi pendapatan, dan tiga, disebabkan perbedaan selektivitas bias. data. data yang digunakan adalah data ifls (indonesian family life survey) mengenai ekonomi dan kesehatan. ifls diproduksi oleh rand yang telah mempublikasikan dalam empat gelombang yaitu ifls1 tahun 1993, ifls2 tahun 1997, ifls3 tahun 2000 dan ifls4 tahun 2007. sampling ifls pertama tahun 1993 dibentuk pada tingkat provinsi yang secara random dipilih sampel dalam provinsi, dengan alasan efektifitas biaya dipilih 13 provinsi dari 26 provinsi yang berada pada pulau jawa, sumatera, bali, ntt, kalimantan, dan sulawesi. 13 provinsi tersebut telah mencakup 83 persen dari populasi di indonesia. penulis menggunakan pooling cross section untuk dua gelombang ifls terakhir dengan alasan kondisi perekonomian di indonesia saat itu relatif stabil. data dibatasi oleh orang dewasa 15 tahun ke atas yang telah memperoleh penghasilan dan berhenti sekolah. selain itu data responden dibatasi hanya yang melaporkan tipe sekolah yang diikuti saat sekolah menengah pertama. dari ifls 2000 diperoleh 2,277 responden dan dari ifls 2007 diperoleh 2,162 responden, sehingga total sampel yang digunakan sebanyak 4,439 responden. ringkasan statistik untuk seluruh sampel data disajikan pada tabel 2 (lampiran) yang memperlihatkan bahwa responden mempunyai rata-rata log natural pendapatan sebesar 15.437 dan usia rata-rata 28,2 tahun. sekitar 65,3 persenmerupakan lulusan sekolah menengah pertama yang berasal dari sekolah negeri, 16,5 persen dari sekolah swasta sekuler, 15,1 persen dari sekolah swasta islam dan 3,1 persen dari sekolah swasta lain (non islam). pendidikan terakhir responden sekitar 31,1 persen setingkat smp, 48,1 persen setingkat sma dan 20,9 persen setingkat pt. 71,5 persen responden termasuk golongan pria dan sisanya 28,5 persen wanita. keluarga responden 88,1 persen beragama islam, sisanya 11,9 persen memeluk agama kristen, katolik, hindu, budha, dan agama lainnya. tempat tinggal responden menyebar dengan tiga tempat terbanyak berada di jawa barat, jakarta, dan jawa timur masing-masing secara berurutan 18,4 persen, 13,3 persen dan 12,2 persen. responden yang bekerja di perusahaan sangat kecil sebesar 43 persen, perusahaan kecil sebesar 24,8 persen, perusahaan menengah 19,1 persen dan perusahaan besar 13,1 persen. tabel 3 (lampiran) menyajikan ringkasan statistik untuk masing-masing kelompok tipe sekolah. hasilnya memperlihatkan bahwa ratarata log natural pendapatan lulusan sekolah negeri, swasta, swasta islam dan swasta lain secara berurutan 15.513, 15.371, 15.146 dan 15.612. nilai rata-rata paling tinggi untuk kelompok swasta lain (15.612) dan paling rendah untuk kelompok swasta islam (15.146), sebaran variasi terbesar berada pada kelompok swasta lain (1.333/15.612 x 100%= 8,59%) dan terendah pada kelompok swasta sekuler (7,77%). rata-rata usia responden untuk kelompok negeri 28,17 tahun, kelompok swasta sekuler 28,75 tahun, kelompok swasta islam 27,02 tahun, dan kelompok swasta non islam 31,65 tahun. jika dikaitkan dengan pekerjaan, lulusan swasta non islam secara rata-rata memiliki umur yang lebih tinggi yang dikaitkan dengan memiliki pengalaman bekerja yang lebih tinggi juga, sehingga umur yang tinggi berpotensi mendapat pendapatan yang lebih tinggi pula. karena kemungkinan di suatu saat umur seseorang menyebabkan tidak dapat lagi bekerja lebih maka perlu memasukkan variabel umur kuadrat untuk melengkapinya. pada kelompok sekolah negeri pendidikan tertinggi smp sebesar 27,4 persen, sma 49,6 persen dan pt 23 persen. kelompok sekolah swasta pendidikan tertinggi smp sebesar 32 persen, sma 52,8 persen dan pt 15,2 persen. kelompok sekolah swasta islam pendidikan tertinggi responden smp sebesar 48,1 persen, sma 37,1 persen dan pt 14,8 persen. kelompok swasta lain pendidikan tinggi smp sebesar 18,6 persen, sma 45 persen dan pt 36,4 persen. pendidikan perguruan tinggi yang paling banyak berada pada kelompok swasta lain (36,4 persen) sementara paling rendah swasta islam (14,8 persen). tempat tinggal saat responden berusia 12 tahun untuk kelompok sekolah negeri 55,5 persen tinggal di desa, 28,8 persen tinggal di kota dan 15,6 persen tinggal di kota besar. kelompok sekolah swasta 47,5 persen tinggal di jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 90 desa, 30,1 persen tinggal di kota dan 22,4 persen tinggal di kota besar. kelompok sekolah swasta islam 63,9 persen tinggal di desa, 24,2 persen tinggal di kota dan 11,9 persen tinggal di kota besar. kelompok swasta lain 35,7 persen tinggal di desa, 40 persen tinggal di kota dan 24,3 persen tinggal di kota besar. tempat tinggal dari kelompok sekolah negeri sekitar 19,8 persen berada di jawa barat, swasta sekuler sekitar 16,4 persen berada di jawa barat dan 16,6 persen berada di jawa timur, swasta islam 16,7 persen berada di jawa tengah, dan swasta lain 22,1 persen berada di jakarta. banyaknya observasi untuk kelompok sekolah negeri, swasta sekuler, swasta islam dan swasta lain masing-masing secara berurutan adalah 1.498, 731, 670, dan 140 responden. hasil dan pembahasan 1. penentu tipe sekolah analisis dimulai dengan mengestimasi sebuah model penentuan tipe sekolah. orang tua siswa memilih tipe sekolah menjadi empat bagian yaitu negeri, swasta sekuler, swasta islam dan swasta lain. untuk mengestimasi peluang memasuki tipe sekolah tertentu digunakan model multinomial logit, karena variabel dependennya merupakan tipe sekolah yang dipilih. variabel yang dimasukkan dalam persamaan penentu tipe sekolah adalah variabel latar belakang keluarga seperti agama, bahasa yang digunakan sehari-hari, pendidikan orang tua, tempat tinggal saat usia 12 tahun apakah tinggal di desa, kota atau kota besar, dan untuk mengontrol ability siswa digunakan dummy tinggal kelas saat sd. penulis tidak menggunakan nilai ujian akhir sd sebagai variabel kontrol karena hanya sedikit responden yang melaporkan nilai ujiannya (625 dari 4,439 responden). selain itu dimasukkan variabel gender (pria) sebagai kontrol variabel. tabel 4 (lampiran) menyajikan hasil dari estimasi model multinomial logit dengan tambahan hasil perhitungan marginal effect. agama memainkan peranan besar dalam pemilihan tipe sekolah terlihat dari variabel ini yang signifikan pada semua estimasi tipe sekolah swasta. responden muslim memiliki peluang lebih kecil untuk memasuki sekolah swasta sekuler dan swasta non islam, tetapi memiliki peluang yang lebih besar pada swasta islam. variabel tempat tinggal saat usia 12 tahun mempunyai peran dalam pemilihan tipe sekolah. responden yang tinggal di desa memiliki peluang lebih kecil memilih tipe sekolah swasta sekuler dan swasta lain dibandingkan responden yang tinggal di kota besar, dan memiliki peluang yang lebih besar memilih sekolah swasta islam. variabel tidak pernah naik kelas saat sd pun memiliki peran dalam pemilihan tipe sekolah, responden yang pernah tinggal kelas saat sd memiliki peluang yang lebih besar memilih swasta sekuler, swasta islam, dan swasta lain dibandingkan masuk ke sekolah negeri (marginal effect untuk sekolah negeri negatif). seseorang yang beragama islam menaikkan peluang memilih sekolah negeri 4,8 persen, menurunkan peluang memilih sekolah swasta sekuler 5,1 persen, menaikkan peluang memilih sekolah swasta islam 16,0 persen dan menurunkan peluang memilih sekolah swasta non islam 15,7 persen. seseorang yang berasal dari desa menaikkan peluang memilih sekolah negeri 4,6 persen, menurunkan peluang memilih sekolah swasta sekuler 8,4 persen, menaikkan peluang memilih sekolah swasta islam 5 persen, dan menurunkan peluang memilih sekolah swasta non islam 1,2 persen dibandingkan yang berasal dari kota besar. namun, peluang yang signifikan hanya untuk tipe sekolah swasta sekuler. seseorang yang pernah tidak naik kelas di sekolah dasar menurunkan peluang memilih sekolah negeri 9,1 persen, menaikkan peluang memilih sekolah swasta sekuler 6,0 persen, menaikkan peluang memilih sekolah swasta islam 1,9 persen, dan menaikkan peluang memilih sekolah swasta non islam 1,2 persen dibandingkan yang tidak pernah tidak naik kelas di sekolah dasar. 2. persamaan pendapatan berdasarkan kelompok tipe sekolah apabila siswa pada tiap tipe sekolah terbagi dengan karakteristik yang tak terukur sama, maka estimasi ols pasti tidak akan bias. namun apabila orang tua memilihkan anaknya tipe sekolah tertentu dengan harapan memiliki penghasilan yang lebih besar di kemudian hari, maka subsampel untuk tipe sekolah tidak acak dan ols akan menghasilkan estimasi yang bias. untuk mengatasi hal ini perlu variabel kontrol efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 91 peluang memilih tipe sekolah (lamda), yang dihasilkan dari prediksi hasil estimasi model multinomial logit. data yang digunakan penulis adalah polling cross section maka perlu penambahan variabel tahun sebagai variabel kontrol untuk mengetahui adanya perbedaan pendapatan responden pada tahun 2000 dan 2007. tabel 5 (lampiran) memperlihatkan hasil estimasi ols untuk masing-masing tipe sekolah dengan tambahan variabel kontrol lamda. sebagian besar variabel mempengaruhi pendapatan kecuali variabel agama dan tempat tinggal sewaktu umur 12 tahun. usia responden mempengaruhi pendapatan pada tiap kelompok tipe sekolah. semakin bertambah usia semakin besar pendapatan namun pada saat mencapai usia tertentu akan menurun (lihat usia kuadrat signifikan dan negatif). setiap penambahan usia 1 tahun akan meningkatkan pendapatan pertahun sebesar 16,9 persen, 17,5 persen, 14,6 persen dan 16,3 persen secara berurutan untuk kelompok negeri, swasta, swasta islam, dan swasta lain. responden pria menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. pengalaman kerja seseorang mempengaruhi pendapatan, terlihat tiga kelompok signifikan dan untuk kelompok swasta lain walau tidak signifikan tetapi tandanya tetap positif. penambahan pengalaman kerja 1 tahun meningkatkan pendapatan sebesar 4,1 persen, 3,3 persen dan 2,6 persen secara berurutan untuk kelompok negeri, swasta, dan swasta islam. jenjang pendidikan seseorang mempengaruhi pendapatan, walaupun tidak semua kelompok signifikan tetapi semua memiliki tanda positif. semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang semakin besar pendapatannya. responden yang memiliki jenjang pendidikan perguruan tinggi memiliki pendapatan 53,9 persen, 60,7 persen dan 84,9 persen lebih tinggi dibandingkan responden dengan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama secara berurutan untuk kelompok sekolah negeri, swasta, dan swasta lain. terdapat bukti yang cukup kuat dari selection positif pada sekolah negeri. pola selection positif ini sesuai dengan pemahaman kita mengenai mekanisme pemilihan tipe sekolah di indonesia, bahwa persepsi sekolah negeri lebih unggul. selection positif pada sekolah swasta islam pun signifikan walau tidak cukup kuat, ini memperlihatkan bahwa orang tua sudah mulai memikirkan tambahan pendidikan agama. hal ini sesuai dengan yang diperoleh dalam tabel 4 (lampiran) bahwa agama islam mempengaruhi cukup kuat dalam memilih sekolah swasta islam. selain itu responden yang lebih dari 80 persen beragama islam memberikan selection positif bagi pemilihan sekolah islam ini. selection negatif terdapat pada kelompok swasta dan swasta lain namun hasilnya tidak signifikan. 3. perbedaan dekomposisi pendapatan bedi dan garg (2000) menggunakan dekomposisi blinder-oaxaca untuk mengestimasi perbedaan pendapatan antara lulusan sekolah negeri dan swasta. dekomposisi blinder-oaxaca menjelaskan gap log pendapatan dalam tiga bagian: pertama, disebabkan perbedaan selektivitas bias, dua, dikarenakan perbedaan dalam karakteristik rata-rata kelompok tipe sekolah yang diikuti dan tiga, dikarenakan perbedaan dalam parameter fungsi pendapatan. sesuai bedi dan garg (2000) teknik dekomposisi di mana diagonal d sama dengan 0,5, hal ini untuk menghindari hasil dekomposisi yang tidak konsisten. dengan command oaxaca dalam stata kita tabel 6. perbedaan log pendapatan berbagai tipe sekolah swasta dengan sekolah negeri lnpendt swasta swasta islam swasta lain differential prediction_negeri 15,513*** 15,513*** 15,513*** prediction 15,370*** 15,145*** 15,612*** difference 0,143*** 0,368*** -0,099 decomposit~n endowments 0,110** 0,325*** -0,158 coeficients 0,027 0,082** -0,154 interaction 0,007 -0,040 0,213 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 92 dapatkan estimasi dari model, hasil command tersebut sesuai dengan persamaan (12), yang belum menyertakan permasalahan selection bias nya. terdapat berbagai variasi hasil tampilan yang dapat disajikan di antaranya dekomposisi three-fold, dekomposisi two-fold dan dekomposisi detail. sementara untuk mengetahui hasil eksponensialnya dapat menggunakan: commando axaca, eform. tabel 6 memperlihatkan hasil dekomposisi three-fold untuk masing-masing lulusan sekolah swasta sekuler (swasta), swasta islam, dan swasta keagamaan selain islam (swasta lain) yang dibandingkan dengan sekolah negeri. output dari dekomposisi menampilkan dua panel, pertama berisikan prediksi rata-rata masingmasing kelompok dan perbedaannya. rata-rata log pendapatan lulusan sekolah negeri 15.513 sedangkan lulusan sekolah swasta 15.370, lulusan swasta islam 15.145 dan lulusan swasta lain 15.612. perbedaan diperoleh 0,143, 0,368 dan -0,099 untuk lulusan swasta, swasta islam dan swasta lain secara berurutan dibandingkan dengan lulusan negeri. hanya perbedaan antara lulusan swasta lain dengan negeri yang tidak signifikan. lulusan sekolah negeri menikmati 14,3 persen log pendapatan lebih tinggi dibanding lulusan sekolah swasta dan 36,8 persen dibanding sekolah swasta islam. meskipun perbedaan log pendapatan tidak signifikan, tapi besaran dan tandanya menyatakan bahwa lulusan sekolah swasta lain menikmati 9,9 persen log pendapatan lebih tinggi dibanding lulusan sekolah negeri. panel dua dari output dekomposisi kesenjangan pendapatan dibagi menjadi tiga bagian. bagian pertama menunjukkan rata-rata peningkatan pendapatan lulusan swasta jika mereka mempunyai karakteristik yang sama dengan lulusan negeri. peningkatan 0,116 menunjukkan perbedaan dalam endowment untuk mencapai setengah dari kesenjangan log pendapatan lulusan swasta dan negeri. peningkatan 0,325 menunjukkan perbedaan dalam endowment untuk mencapai setengah dari kesenjangan log pendapatan lulusan swasta islam dan negeri. bagian dua mengkuantifikasi perubahan dalam pendapatan lulusan tipe sekolah swasta ketika menerapkan koefisien lulusan negeri pada karakteristik tipe swasta. hanya tipe swasta islam yang signifikan, rata-rata peningkatan pendapatan lulusan swasta islam jika mereka menerapkan koefisien negeri pada karakteristik swasta islam. peningkatan 0,082 menunjukkan perbedaan dalam koefisien untuk mencapai setengah dari kesenjangan log pendapatan lulusan swasta islam dan negeri. bagian tiga mengukur dampak simultan dari perbedaan endowment dan koefisien. tabel 7 menunjukkan hasil perbedaan pendapatan lulusan berbagai tipe sekolah dengan lulusan sekolah negeri. memiliki besaran perbedaan yang sedikit berbeda namun tanda yang sama. lulusan sekolah negeri rata-rata geometrik pendapatannya sebesar rp5.462.772 per tahun, sedangkan lulusan swasta, swasta islam dan swasta lain masing-masing secara berurutan: rp4.735.348; rp3.781.475 dan rp6.030.219. lulusan sekolah negeri lebih tinggi pendapatannya sebesar 15,4 persen dibandingkan lulusan sekolah swata, lebih tinggi 44,5 persen dibandingkan lulusan sekolah swasta islam, dan lebih rendah 9,4 persen dibandingkan lulusan swasta lain. penyesuaian tingkat endowment lulusan swasta menjadi tingkat endowment lulusan negeri akan meningkatkan pendapatan sebesar 11,6 persen, sementara untuk lulusan tabel 7. perbedaan pendapatan berbagai tipe sekolah swasta dengan sekolah negeri lnpendt swasta swasta islam swasta lain differential prediction_negeri 5.462.772*** 5.462.772*** 5.462.772*** prediction 4.735.348*** 3.781.475*** 6.030.219*** difference 1,154*** 1,445*** 0,906 decomposit~n endowments 1,116** 1,384*** 0,854 coeficients 1,027 1,086** 0,858 interaction 1,007 0,961 1,237 efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 93 swasta islam akan meningkatkan pendapatan sebesar 38,4 persen. penyesuaian koefisien lulusan swasta islam menjadi koefisien lulusan negeri akan meningkatkan pendapatan sebesar 8,6 persen. namun hasil tabel 5 (lampiran) memperlihatkan bahwa koefisien selection bias ( signifikan, oleh karenanya perlu mempertimbangkan selection bias ini pada persamaan dekomposisi blinder-oaxaca. persamaan (13) memperhitungkan selection bias, yaitu dengan menambahkan ̅ ̅ di sisi kanan atau ̅ ̅ di sisi kiri. ̅ untuk sekolah negeri, swasta, swasta islam, dan swasta lain secara berurutan adalah 0,659, 0,644, 0,650, dan0,580.estimasi koefisien diperoleh dari tabel (5) untuk sekolah negeri, swasta, swasta islam dan swasta lain secara berurutan adalah: 1,005***, -0,406, 1,753*, dan -0,621. karenahanya ada dua estimasi koefisien yang signifikan maka perkalian ̅ untuk sekolah negeri, swasta, swasta islam dan swasta lain secara berurutan adalah 0,662, 0, 1,139, dan 0. tabel 8 menunjukkan perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan berbagai lulusan tipe sekolah swasta dengan melibatkan selection bias. hasilnya menunjukkan bahwaperbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta sebesar 51,9 persen, sementara untuk perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta islam dinikmati lebih tinggi oleh lulusan negeri sebesar 84,5 persen. simpulan perlunya kita mengetahui efektifitas sekolah negeri dan swasta agar dapat membantu dalam memberikan gambaran secara luas kebijakan pemerintah khususnya di bidang pendidikan. paper ini menjelaskan efektivitas sekolah menengah pertama negeri dibandingkan dengan swasta, di mana ukuran efektivitas yang digunakan penulis adalah pendapatan yang diperoleh dipasar tenaga kerja. karena kita meyakini bahwa pilihan tipe sekolah itu endogenous maka dalam membandingkan perbedaan pendaptan antara lulusan sekolah negeri dan swasta haruslah menambahkan koreksi untuk selection bias. kita menemukan bukti yang cukup kuat dari selection positif pada sekolah negeri (tabel 5 dalam lampiran). pola selection positif ini sesuai dengan pemahaman kita mengenai mekanisme pemilihan tipe sekolah di indonesia, bahwa persepsi sekolah negeri lebih unggul. selection positif pada sekolah swasta islam pun signifikan walau tidak cukup kuat, ini memperlihatkan bahwa orang tua sudah mulai memikirkan tambahan pendidikan agama. berdasarkan rujukan dari paper bedi dan garg (2000), penulis mendapatkan hasil empiris yang sama dalam tanda perbedaan log pendapatan walaupun besarannya relatif berbeda. hasil empiris bedi dan garg dengan menggunakan data ifls1 adanya perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta sebesar 75,4 persen, perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta islam dinikmati lebih tinggi oleh lulusan negeri sebesar 46,8 persen, sementara untuk perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta lain dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta lain sebesar 4,6 persen. sementara penulis menggunakan data ifls3 dan ifls4 memperoleh hasil empiris sebagai berikut: perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta dinikmati lebih tabel 8. perbedaan log pendapatan dengan selection bias tipe sekolah swasta perbedaan log pendapatan selection bias exclude include swasta umum 0,143*** -0,519*** swasta islam 0,368*** 0,845*** swasta lain -0,099 -0,761 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 94 tinggi oleh lulusan swasta sebesar 51,9 persen, perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta islam dinikmati lebih tinggi oleh lulusan negeri sebesar 84,5 persen, sementara untuk perbedaan log pendapatan antara lulusan sekolah negeri dengan lulusan swasta lain dinikmati lebih tinggi oleh lulusan swasta lain sebesar 76,1 persen walau tidak signifikan. daftar pustaka bedi, a., and garg, a. (2000). the effectiveness of private versus public schools: the case of indonesia. journal of development economics 61(2):463-94. card, d. and krueger, a. (1994). the economic return to school quality: a partial survey. working papers 713, princeton university, department of economics, industrial relations section. cox, d., and jimenez, e., (1991). the relative effectiveness of private and public schools: evidence from two developing countries. journal of development economics 34(l-2), pp 99-121. evans, w.n., schwab, r.m., (1995). finishing high school and starting college: do catholic school sma a difference? quarterly journal of economics 105, 941–974. fahmi, m., (2009a). the effectiveness of private versus public schools in indonesia: comment, working paper in economics and development studies padjadjaran universityno. 200913. fahmi, m., (2009b). school choice and earnings: a case of indonesia, working paper in economics and development studies padjadjaran university no. 200914. figlio, d.n., stone, j.a., (1997). school choice and student performance, are private schools reallybetter? discussion paper no. 1141-97, institute for research on poverty, university of wisconsin-madison. james, estelle, elizabeth king, and asep suryahadi. (1996). finance, management and costs of public and private schools in indonesia. economics of education review 15(4): 387-398. jann, b., (2008). a stata implementation of the blinder-oaxaca decomposition. eth zurich sociology working paper no. 5 kim, y., liu, c., dan rhee, s.g. (2003). the effect of firm size on earning management. journal college of business administration university of hawai.vol. 6 pp. 130. lee, l.f., (1983). generalized econometric models with selectivity. econometrica vol 51 no.2, pp 507-512. medoff, j.l., abraham, k.g., (1980). experience, performance and earnings, the quarterly journal of economics, vol. xcv, no. 4, pp. 703-736. neal, d., (1997). the effect of catholic secondary schooling on educational attainment. journal of laboreconomics 15, 98–123. newhouse, d., beegle, k., (2006). the effect of school type on academic achievement: evidence from indonesia. journal of human resources, vol 41. no.3, 529 – 557 oaxaca, r., (1973). male–female differentials in urban labor markets. international economic review 3, 693–709. reimers, c. w. (1983). labor market discrimination against hispanic and black men. the review of economics and statistics 65: 570–579 strauss, john, kathleen beegle, agus dwiyanto, yulia herawati, daan pattinasarany, elan satriawan, bondan sikoki, sukamdi, firman witoelar. (2004). indonesian living standards: before and after the financial crisis. rand corporation, usa, and institute of southeast asian studies. efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 95 lampiran tabel 2. definisi dan ringkasan statistik variabel variabel keterangan variabel rata-rata standar deviasi lnpendt log natural pendapatan selama tahun 15.438 1.243 usia usia responden 28.205 7.327 negeri pilihan sekolah smp negeri atau madrasah ibtidaiyah negeri ya=1, tidak=0 0,653 0,476 swasta pilihan sekolah smp swasta sekuler ya=1, tidak=0 0,165 0,371 swaislam pilihan sekolah smp swasta islam ya=1, tidak=0 0,151 0,358 swalain pilihan sekolah smp swasta non islam ya=1, tidak=0 0,031 0,175 smp smp merupakan tingkat pendidikan tertinggi? ya=1, tidak=0 0,310 0,463 sma sma merupakan tingkat pendidikan tertinggi? ya=1, tidak=0 0,481 0,500 pt pt merupakan tingkat pendidikan tertinggi? ya=1, tidak=0 0,209 0,407 pria dummy jenis kelamin pria=1 wanita=0 0,715 0,451 islam dummy agama islam=1 nonislam=0 0,881 0,324 tdknaiksd selama sd pernah tinggal kelas? ya=1, tidak=0 0,159 0,366 desa hidup di desa sampai umur 12 tahun? ya=1, tidak=0 0,548 0,498 kota hidup di kota kecil sampai umur 12 tahun? ya=1, tidak=0 0,287 0,452 kota_besar hidup di kota besar sampai umur 12 tahun? ya=1, tidak=0 0,165 0,371 bhsindo apakah berbahasa indonesia dalam kehidupan sehari hari ? ya=1, tidak=0 0,405 0,491 pend_ayahtdksd tingkat pendidikan ayah tidak pernah sekolah ya=1, tidak=0 0,034 0,181 pend_ayahsd tingkat pendidikan tertinggi ayah adalah sd ya=1, tidak=0 0,079 0,270 pend_ayahsmp tingkat pendidikan tertinggi ayah adalah smp ya=1, tidak=0 0,744 0,437 pend_ayahsmapt tingkat pendidikan tertinggi ayah adalah sma ke atas ya=1, tidak=0 0,143 0,351 pend_ibutdksd tingkat pendidikan ibu tidak pernah sekolah ya=1, tidak=0 0,033 0,179 pend_ibusd tingkat pendidikan tertinggi ibu adalah sd ya=1, tidak=0 0,276 0,447 pend_ibusmp tingkat pendidikan tertinggi ibu adalah smp ya=1, tidak=0 0,561 0,496 pend_ibusmapt tingkat pendidikan tertinggi ibu adalah sma ke atas ya=1, tidak=0 0,131 0,337 sumut tinggal di sumatra utara ya=1, tidak=0 0,070 0,255 sumbar tinggal di sumatra barat ya=1, tidak=0 0,055 0,229 sumsel tinggal di sumatra selatan ya=1, tidak=0 0,045 0,206 lampung tinggal di lampung ya=1, tidak=0 0,034 0,180 jakarta tinggal di jakarta ya=1, tidak=0 0,133 0,340 jabar tinggal di jawa barat ya=1, tidak=0 0,184 0,387 jateng tinggal di jawa tengah ya=1, tidak=0 0,098 0,298 yogyakarta tinggal di yogyakarta ya=1, tidak=0 0,056 0,230 jatim tinggal di jawa timur ya=1, tidak=0 0,122 0,327 banten tinggal di banten ya=1, tidak=0 0,023 0,149 bali tinggal di bali ya=1, tidak=0 0,046 0,209 ntb tinggal di nusa tenggara barat ya=1, tidak=0 0,046 0,209 kalsel tinggal di kalimantan selatan ya=1, tidak=0 0,045 0,207 sulsel tinggal di sulawesi selatan ya=1, tidak=0 0,040 0,195 bangka tinggal di kepulauan bangka belitung ya=1, tidak=0 0,005 0,072 riau tinggal di riau ya=1, tidak=0 0,018 0,132 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 96 tlain tinggal di provinsi lainnya ya=1, tidak=0 0,005 0,072 pengalaman lama bekerja dalam tahun 4,492 4,735 sgtkecil perusahaan dengan jumlah karyawan < 5 0,430 0,495 kecil perusahaan dengan jumlah karyawan antara 5 sampai dengan 19 0,248 0,432 menengah perusahaan dengan jumlah karyawan atnara 20 sampai dengan 99 0,191 0,393 besar perusahaan dengan jumlah karyawan 100 orang lebih. 0,131 0,337 observasi banyaknya responden sebagai sampel 4439 tabel 3. definisi dan ringkasan statistik variabel per kelompok tipe sekolah variabel negeri swasta sekuler swasta islam swasta lain lnpendt 15.513 (1,231) 15.371 (1,195) 15.146 (1,280) 15.612 (1,333) usia 28,177 (7,366) 28,741 (7,133) 27,016 (7,197) 31,650 (7,452) smp 0,274 (0,446) 0,320 (0,467) 0,481 (0,500) 0,186 (0,390) sma 0,496 (0,500) 0,528 (0,500) 0,371 (0,484) 0,450 (0,499) pt 0,230 (0,421) 0,152 (0,359) 0,148 (0,355) 0,364 (0,483) pria 0,711 (0,453) 0,743 (0,437) 0,699 (0,459) 0,721 (0,449) islam 0,888 (0,316) 0,852 (0,355) 0,996 (0,067) 0,350 (0,479) tdknaiksd 0,140 (0,347) 0,200 (0,400) 0,184 (0,387) 0,236 (0,426) desa 0,555 (0,497) 0,475 (0,500) 0,639 (0,481) 0,357 (0,481) kota 0,288 (0,453) 0,301 (0,459) 0,242 (0,428) 0,400 (0,492) kota_besar 0,156 (0,363) 0,224 (0,417) 0,119 (0,325) 0,243 (0,430) bhsindo 0,405 (0,491) 0,450 (0,498) 0,330 (0,471) 0,521 (0,501) pend_ayahsd 0,077 (0,267) 0,063 (0,243) 0,109 (0,312) 0,057 (0,233) pend_ayahsmp 0,746 (0,436) 0,773 (0,419) 0,719 (0,450) 0,664 (0,474) pend_ayahsmapt 0,143 (0,350) 0,140 (0,347) 0,131 (0,338) 0,243 (0,430) pend_ibusd 0,255 (0,436) 0,276 (0,447) 0,363 (0,481) 0,271 (0,446) pend_ibusmp 0,585 (0,492) 0,568 (0,496) 0,470 (0,499) 0,457 (0,500) pend_ibusmapt 0,127 (0,333) 0,129 (0,335) 0,124 (0,330) 0,243 (0,430) sumut 0,062 (0,241) 0,109 (0,312) 0,054 (0,226) 0,100 (0,301) sumbar 0,066 (0,248) 0,029 (0,167) 0,040 (0,197) 0,050 (0,218) sumsel 0,035 (0,183) 0,088 (0,282) 0,039 (0,193) 0,050 (0,219) lampung 0,024 (0,155) 0,071 (0,257) 0,039 (0,193) 0 jakarta 0,130 (0,336) 0,138 (0,345) 0,125 (0,331) 0,221 (0,417) jabar 0,198 (0,399) 0,164 (0,371) 0,158 (0,365) 0,107 (0,310) jateng 0,092 (0,290) 0,049 (0,217) 0,167 (0,373) 0,157 (0,365) yogyakarta 0,052 (0,222) 0,033 (0,178) 0,078 (0,268) 0,150 (0,358) jatim 0,106 (0,308) 0,166 (0,372) 0,146 (0,354) 0,093 (0,291) banten 0,026 (0,159) 0,012 (0,110) 0,024 (0,153) 0,007 (0,085) bali 0,049 (0,216) 0,074 (0,262) 0,009 (0,094) 0 ntb 0,051 (0,219) 0,007 (0,082) 0,076 (0,265) 0 kalsel 0,051 (0,221) 0,030 (0,171) 0,039 (0,193) 0 sulsel 0,050 (0,217) 0,025 (0,155) 0,018 (0,133) 0,014 (0,119) bangka 0,005 (0,074) 0,005 (0,074) 0,003 (0,055) 0 riau 0,021 (0,144) 0,010 (0,097) 0,009 (0,094) 0,036 (0,186) tlain 0,007 (0,085) 0,003 (0,052) 0 0 pengalaman 4,539 (4,790) 4,592 (4,894) 3,998 (4,203) 5,339 (4,987) sgtkecil 0,421 (0,494) 0,446 (0,497) 0,452 (0,498) 0,421 (0,496) kecil 0,248 (0,432) 0,239 (0,427) 0,260 (0,439) 0,229 (0,421) menengah 0,191 (0,393) 0,198 (0,399) 0,181 (0,385) 0,214 (0,412) besar 0,140 (0,347) 0,116 (0,321) 0,107 (0,310) 0,136 (0,344) observasi 1498 731 670 140 efektivitas tipe-tipe sekolah. ..(nenny hendajany) 97 tabel 4. marginal effect penentu tipe sekolah menengah pertama negeri swasta sekuler swasta islam swasta lain pria islam desa kota bhsindo tdknaiksd pend_ayahsd pend_ayahsmp pend_ayahsmapt pend_ibusd pend_ibusmp pend_ibusmapt _cons -,009 ,048 ,046 ,036 -,014 -,091 -,041 -,083 -,000 ,003 ,084 -,021 0,144 ,022 -0,359*** -,051 -0,549*** -,084 -0,244*** -,047 0,206** ,032 0,454*** ,060 0,208 ,027 0,602** ,074 0,078 ,014 -0,002 ,000 -0,296 -,030 0,075 ,008 -1,271*** -0,115 -0,015 3,271*** ,160 0,372*** ,050 0,049 0,012 -0,163 -,021 0,289** ,019 0,178 0,014 0,140 0,003 -0,085 -,010 -0,003 0,000 -0,461* -,040 0,030 -,000 -4,632*** 0,169 ,002 -2,852*** -,157 -0,810*** -,012 -0,096 -0,001 0,245 ,003 0,748*** ,012 0,090 0,000 0,534 0,006 -0,289 -0,004 -0,229 -0,003 -0,990 -,014 0,703 ,013 -1,015 catatan: marginal effect dari model estimasi multinomial logit pada tipe sekolah smp. kategori yang menjadi baseoutcome adalah smp negeri.*mengindikasikan koefisien logit yang signifikan pada 10 %, ** pada 5 % dan *** pada 1 %. tabel 5. persamaan pendapatan berdasarkan kelompok tipe sekolah negeri swasta swasta islam swasta lain lnpendt lnpendt lnpendt lnpendt b(se) b(se) b(se) b(se) usia 0,169***(0,015) 0,175***(0,031) 0,146***(0,034) 0,163*(0,089) usia2 -0,002***(0,000) -0,002***(0,001) -0,002***(0,001) -0,002(0,001) pria 0,293***(0,037) 0,191** (0,08) 0,216*** (0,083) -0,22(0,196) pengalaman 0,041***(0,004) 0,033***(0,008) 0,026***(0,01) 0,022(0,022) kecil 0,136***(0,041) 0,231***(0,084) 0,086(0,091) 0,667*** (0,212) menengah 0,185***(0,045) 0,225**(0,092) 0,382***(0,106) 0,614**(0,236) besar 0,375***(0,052) 0,367***(0,113) 0,419*** (0,13) 0,814*** (0,268) tahun 1,180***(0,033) 1,156***(0,068) 1,315***(0,077) 0,931***(0,184) bhsindo 0,204***(0,041) 0,163*(0,084) 0,042(0,102) 0,377*(0,2) sma 0,185***(0,04) 0,125(0,079) 0,112(0,085) 0,476*(0,246) pt 0,539***(0,051) 0,607***(0,114) 0,153(0,12) 0,849*** (0,275) islam 0,017(0,065) -0,054(0,133) -0,748(0,568) -0,067(0,21) desa -0,068(0,052) -0,111(0,098) -0,229*(0,128) 0,452*(0,258) kota -0,018(0,054) -0,114(0,099) -0,211(0,137) 0,242(0,216) sumut -0,256***(0,081) 0,157 (0,141) 0,018 (0,189) 0,001 (0,338) sumbar -0,199** (0,083) 0,060 (0,219) -0,427* (0,220) 0,324 (0,434) sumsel -0,173* (0,102) 0,019 (0,156) -0,328 (0,227) -0,715*(0,411) lampung -0,409***(0,113) -0,294* (0,158) -0,716***(0,217) jabar -0,063 (0,063) 0,237* (0,130) -0,130 (0,149) 0,0903 (0,342) jateng -0,267***(0,080) 0,009 (0,195) -0,369**(0,168) -0,958***(0,288) yogyakarta -0,341***(0,089) -0,163 (0,212) -0,482***(0,182) -1,080***(0,299) jatim -0,169** (0,077) -0,106 (0,146) -0,145 (0,167) -0,590*(0,321) banten 0,068 (0,107) 0,117 (0,312) -0,189 (0,259) 0,626 (1,037) bali -0,195* (0,102) 0,061 (0,196) -0,458 (0,409) 0,625 (0,974) ntb -0,428***(0,091) -0,251 (0,412) -0,668***(0,193) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 83-98 98 kalsel -0,110 (0,089) 0,025 (0,220) -0,278 (0,228) -1,295*(0,731) sulsel -0,258***(0,087) 0,002 (0,228) -0,221 (0,295) -0,234 (0,706) bangka -0,020 (0,223) 0,378 (0,464) -0,059 (0,667) riau 0,217* (0,121) 0,551 (0,352) -0,084 (0,398) 0,329 (0,495) provlain 0,479 **(0,193) 0,049 (0,633) 1,005***(0,354) -0,406(0,637) 1,753*(0,91) -0,621(1,148) _cons 10,839***(0,309) 11,671***(0,601) 11,751***(0,863) 11,169***(1,544) r-squared 0,518 0,46 0,478 0,545 n 2898 731 670 140 catatan: *signifikan pada 10 %, ** 5 % dan *** 1 %. ukuran perusahaan merupakan multipel dummydengan variabel sangat kecil sebagai basis, pendidikan tertinggi merupakan multipel dummy dengan smp sebagai basis, tempat tinggal saat usia 12 merupakan multipel dummy dengan kota besar sebagai basis, regional tempat tinggal saat disurvei merupakan multipel dummy dengan jakarta sebagai basis. microsoft word 07-ayank_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.73-83 determinan jumlah pembiayaan bank syariah di indonesia ayank narita dyatama1, imamudin yuliadi2 1pusat pengembangan ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogykarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656 e-mail korespondensi: imamudin2006@yahoo.co.id naskah diterima: juni 2014; disetujui: februari 2015 abstract: the research aims to analyze the factors influencing the distribution of banking credit, that include the third-party fund, capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf), and the placing fund in the seritifikat bank indonesia syariah (sbis). the data which is used is taken from the financial report of the conventional bank and the shari’a bank period 2010-2014. the technique analysis used the multiple linear regression model, the hypothesis test with the t-test to determine the variable partially, and f-test to determine all variables at once with the significant of 5 persen. the third party fund has positive influence and significant to the distribution of banking credit non performing loan (npl) and return on assets (roa) has negative influence and significant to the distribution of credit banking. the placing fund in sertifikat bank indonesia syariah (sbis) and capital adequacy ratio (car) has negative influence and not significant to the distribution of shari’a banking financing. keywords: financing distribution; third party fund; capital adequacy ratio; return on assets; non performing financing jel classification: g21, g23 abstrak: studi ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan penyaluran kredit perbankan, yang meliputi dana pihak ketiga (dpk), capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf), dan penempatan dana di sertifikat bank indonesia syariah (sbis). data yang digunakan diperoleh dari laporan keuangan bank umum dan bank syariah pada tahun 2010-2014. teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda, uji hipotesis dengan uji-t untuk menguji variabel secara parsial, dan uji-f untuk menguji variabel secara serempak dengan tingkat signifikansi 5 persen. dpk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan npl dan roa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. penempatan dana di sertifikat bank indonesia syariah (sbis) dan car berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap jumlah penyaluran pembiayaan perbankan syariah. kata kunci: penyaluran pembiayaan; dana pihak ketiga; capital adequacy ratio; return on assets; non performing financing klasifikasi jel: g21, g23 pendahuluan perekonomian suatu negara dibangun atas dua sektor, yaitu sektor riil dan sektor moneter. sektor rill adalah sektor ekonomi yang ditumpukan pada sektor manufaktur dan jasa. sedangkan sektor moneter ditumpukan pada sektor perbankan (nurbaya, 2013). keterpurukan perbankan pada saat krisis tersebut tidak berimbas pada perbankan syariah karena selama periode krisis tersebut secara jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 73-83 74 operasional bank syariah tidak menerapkan sistem bunga tetapi sistem bagi hasil. hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank muamalat bahkan mampu memperoleh laba rp300 miliar lebih (asih, 2012). perbankan syariah juga mampu bertahan dari terpaan krisis global pada tahun 2008. perbankan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah. menurut uu no 21 tahun 2008 bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. sedangkan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. perkembangan bank syariah dipandang sangat penting untuk (1) memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syari’ah; (2) meningkatkan mobilisasi dana masyarakat yang belum terserap sistem perbankan yang ada; (3) meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional; dan (4) menyediakan sarana bagi investor internasional untuk melaksanakan pembiayaan dan transaksi keuangan yang sesuai dengan prinsip syari’ah (setiartiti, 2004). perkembangan bank syariah di indonesia terbilang cukup pesat dan memuaskan baik dari segi aset, jumlah bank dan perluasan jaringan kantornya setiap tahunnya. lahirnya uu no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah mendorong peningkatan jumlah bank syariah (bus) dan unit usaha syariah (uus) (qolby, 2013). jumlah bank syariah masih berjumlah 11 bank, angka tersebut bertahan selama 4 tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2013. peningkatan jumlah bank syariah yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2009 ke tahun 2010. pada tahun 2009 jumlah bus masih 6 unit kemudian naik menjadi 11 unit. peningkatan jumlah kantor juga sangat berkembang pesat, setiap tahun terjadi peningkatan sekitar 200 jumlah kantor bus. pada tahun 2013 jumlah kantor dari bank syariah telah mencapai 1.987 unit. perkembangan unit usaha syariah mengalami sedikit gejolak tetapi tidak terlalu signifikan. penurunan hanya terjadi pada tahun 2010 dan 2013. pada tahun 2010 jumlah uus turun dari tahun 2009 sebesar 2 uus disertai dengan menurunnya jumlah kantor uus dari 287 di tahun 2009 menjadi 262 di tahun 2010, sedangkan pada tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 1 unit kantor dari tahun 2012 tetapi tidak disertai menurunnya jumlah kantor uus. pada tahun 2013 jumlah kantor uus telah mencapai 567 unit. menurut asih (2012), sebagai lembaga intermediasi, tugas pokok bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan atau dana pihak ketiga, kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit atau pembiayaan. pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat mempunyai arti penting baik bagi masyarakat maupun bagi bank syariah itu sendiri. masyarakat membutuhkan dana segar, perolehan dana tersebut untuk modal usaha. bagi bank memperoleh pendapatan bagi hasil dan perekonomian secara keseluruhan, akan menggerakkan roda perekonomian. jumlah tabel 1. perkembangan jaringan kantor perbankan syariah jaringan kantor bank syariah indikator 2009 2010 2011 2012 2013 bank syariah jumlah bank 6 11 11 11 11 jumlah kantor 711 1215 1390 1734 1987 unit usaha syariah jumlah bank 25 23 24 24 23 jumlah kantor 287 262 312 493 567 sumber: statistik perbankan syariah juni 2014 determinan jumlah pembiayaan... (ayank narita dyatama, imamudin yuliadi) 75 pembiayaan yang diberikan oleh suatu bank dapat menunjukkan kemampuan bank tersebut dalam peranannya sebagai perantara keuangan. perkembangan pembiayaan perbankan syariah di indonesia menunjukkan hal yang positif dari tahun ke tahun. tingginya pertumbuhan penghimpunan dana telah diimbangi dengan pertumbuhan penyaluran dana kepada sektor riil berupa pembiayaan sehingga fungsi intermediasi perbankan dapat relatif terjaga (nasihin, 2013). jumlah pembiayaan yang disalurkan berdasarkan jenisnya terlihat pada tabel 2. pada tabel 2 dijelaskan bahwa perkembangan pembiayaan selama 5 tahun terakhir cukup menggembirakan. pada tahun 2013 total pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai rp184.122 miliar. angka tersebut meningkat sebesar rp36.617 miliar dari total pembiayaan pada tahun 2012 sebesar rp147.505 miliar. peningkatan total pembiayaan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu mencapai rp102.655 miliar dari total pembiayaan tahun 2010 sebesar rp68.181 miliar. pada tahun 2013 pangsa pembiayaan masih didominasi oleh pembiayaan murabahah sebesar 60 persen yaitu sebesar rp110.565 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah. kemudian disusul oleh pembiayaan musyarakah 21,65 persen yaitu sebesar rp89.374 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah. urutan ketiga diduduki oleh pembiayaan mudharabah 7,39 persen dari total pembiayaan perbankan syariah dan yang terakhir diduduki oleh sebesar lainya yang berupa pembiayaan qardh dan ijarah sebesar 10,57 persen dari total pembiayaan perbankan syariah. pertumbuhan pembiayaan yang baik dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. dana yang bersumber dari masyarakat merupakan sumber dana pokok yang dimiliki oleh bank yang biasanya disebut dana pihak ketiga. dana tersebut dapat berasal dari simpanan berupa tabungan, giro dan deposito (sulistya dan wirakusuma, 2013). dpk ini yang selanjutnya digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran pembiayaan. pergerakan dpk menunjukkan pergerakan yang positif dari tahun 2009-2013 seiring dengan meningkatnya jumlah penyaluran pembiayaan. semakin tinggi jumlah dpk, semakin tinggi pula pembiayaan yang disalurkan oleh bank. pada tahun 2013 total dpk yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah mencapai rp153.834 miliar. terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran pembiayaan tersebut disetabel 2. komposisi pembiayaan menurut jenisnya (miliar) indikator 2009 2010 2011 2012 2013 musyarakah 10.412 14.624 18.960 27.667 39.874 mudharabah 6.597 8.631 10.229 12.023 13.625 murabahah 26.321 37.508 56.365 88.004 110.565 salam istishna’ 423 347 326 376 582 lainnya 3.134 7.071 16.776 19.435 19.476 total 46.886 68.181 102.655 147.505 184.122 sumber: statistik perbankan syariah juli 2014 tabel 3. perkembangan indikator perbankan syariah di indonesia indikator 2009 2010 2011 2012 2013 dpk (m) 52.271 76.036 115.415 147.512 183.534 fdr (persen) 87,60 91,41 120,65 95,87 npf (persen) 4,01 3,02 2,52 2,26 2,62 car (persen) 10,77 16,76 16,63 14,14 14,42 roa (persen) 1,48 1,59 1,59 1,94 1,58 sbis (m) 3.076 5.408 9.244 4.993 6.699 sumber: statistik perbankan syariah juli 2014 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 73-83 76 babkan oleh beberapa alasan. pertama, sifat usaha bank yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit. kedua, penyaluran pembiayaan memberikan spread yang pasti sehingga besarnya pendapatan dapat diperkirakan. ketiga, melihat posisinya dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter, perbankan merupakan sektor usaha yang kegiatannya paling dibatasi dan diatur. keempat, sumber utama dana bank berasal dari dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan (arisandi, 2009) penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah telah menujukkan kualitas yang baik. hal tersebut dapat dilihat dari financing to deposit ratio (fdr) sudah mencapai titik aman yaitu 85 persen 110 persen sesuai dengan harapan bank indonesia. rendahnya angka fdr membuktikan bahwa peran intermediasi perbankan syariah belum optimal, sedangkan tingginya angka fdr dapat menimbulkan resiko likuiditas bagi bank. oleh karena itu bank indonesia membatasi titik rendah dan tinggi rasio fdr. pada tahun 2012, angka fdr telah melewati angka aman yaitu 120,65 persen. padahal pada tahun 2010, 2011, dan 2013 angka fdr telah mencapai titik aman. menurut surat edaran bank indonesia no 6/23/dpnp tanggal 31 mei 2004, rasio fdr dihitung dari pembagian pembiayaan yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk antarbank) dengan dana pihak ketiga (dpk) yang mencakup giro, tabungan, dan deposito (tidak termasuk antar bank). di dalam dunia perbankan syariah, pemberian pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada masyarakat dapat mengandung resiko berupa tidak lancarnya pembayaran yang mampu mempengaruhi kinerja bank yang biasa disebut dengan pembiayaan bermasalah atau non performing financing (npf). besarnya npf sudah ditentukan oleh bank indonesia yaitu sebesar 5 persen. tingginya pembiayaan bermasalah akan menuntut bank untuk menyediakan alokasi dana lain sebagai cadangan menutup kerugian tersebut dan bank akan mengurangi penyaluran pembiayaan berikutnya (suwarsi, 2008). pada bank syariah tingkat npf masih menujukkan batas aman, hanya saja pada tahun 2009 angka npf mencapai angka 4,01 persen. pada tahun selanjutnya tingkat npf hanya berkisar 2 persen saja. fenomena tingginya npl menyebabkan kengganan bank untuk menyalurkan pembiayaan yang disebut credit crunch. bank lebih memiliki untuk menyalurkan dananya ke sertifikat bank indonesia syariah (sbis) karena dianggap lebih aman. menurut peraturan bank indonesia no 10/11/pbi/2008 yang diperbarui dengan pbi no 12/18/pbi/2010 tentang sertifikat bank indonesia syariah, sbis adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh bank indonesia. secara umum, penempatan dana pada sbis akan mempengaruhi fungsi intermediasi perbankan. setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah dana yang dialokasikan ke sbis seiring dengan peningkatan dpk. pada tahun 2011 terjadi peningkatan dana yang dialokasikan ke sbis dari tahun 2010, yang awalnya 5.408 miliar menjadi 9.244 miliar. tetapi pada tahun 2012 terjadi penurunan yang tajam dari tahun 2011 yaitu menjadi 4.993 miliar kemudian meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 6.699 miliar. salah satu upaya untuk mengurangi resiko pembiayaan yaitu tingginya npf adalah dengan permodalan yang cukup. rasio permodalan sering disebut capital adequacy ratio (car). rasio ini bertujuan untuk melihat bagaimana permodalan bank dapat mendukung kegiatan bank (penyaluran dana) secara efisien dan melihat kemampuan permodalan bank dalam menanggung kerugian akibat tidak lancarnya penyaluran pembiayaan. oleh karena itu, semakin banyak modal yang dimiliki bank, maka bank akan semakin mampu untuk menambah penyaluran pembiayaannya karena cadangan yang dimiliki ketika bank mengalami kerugian (suwarsi, 2008). menurut peraturan bank indonesia nomor 3/21/pbi/2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank bahwa bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8 persen dari aktiva tertimbang menurut resiko yang diproksikan dengan car. perkembangan car menunjukkan gerakan yang fluktuatif setiap tahunnya. pada tahun 2010 dan 2011 car menunjukkan angka 16,76 dan 16,63 kemudian pada tahun 2012 dan 2013 terjadi penurunan menjadi 14,14 dan 14,42. hal tersebut dikarenakan jumlah dpk pada tahun 2012 dan 2013 tidak seimbang dengan penya determinan jumlah pembiayaan... (ayank narita dyatama, imamudin yuliadi) 77 luran pembiayaan sehingga bank menggunakan modalnya untuk menutup pembiayaan. dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, bank perlu memperhatikan aspek profitabilitas atau tingkat keuntungan yang dimiliki. profitabilitas adalah kemampuan bank untuk menghasilkan keuntungan dari ebrbagai sumber daya dan dana yang dimilikinya. profitabilitas biasanya menggunakan rasio return on assets (roa). salah satu cara untuk memperoleh keuntungan tersebut melalui pendapatan dari penyaluran pembiayaan. jika pendapatan pembiayaan semakin banyak maka profit bank akan bertambah, dan akan mempengaruhi peningkatan penyaluran pembiayaan berikutnya (suwarsi, 2008). perkembangan roa setiap tahunnya mengalami peningkatan yang berarti bank memperoleh laba seiring dengan meningkatnya penyaluran pembiayaan. pada tahun 2010 dan 2011 roa bank syariah bertahan pada angka 1,59 persen kemudian meningkat pada tahun 2012 dan tahun 2013. angka tersebut belum memenuhi angka minimal yang disyaratkan bank indonesia yaitu sebesar 2 persen. hal tersebut berarti perbankan syariah belum memenuhi bisa menghasilkan laba minimal bagi sebuah perbankan syariah. metode penelitian objek dalam studi ini adalah seluruh bank syariah yang terdaftar di bank indonesia dan otoritas jasa keuangan (ojk) yang terdiri dari bank umum syariah (bus) dan unit usaha syariah (uus). objek tersebut dipilih karena mempunyai data yang cukup lengkap secara berturut-turut dari januari 2010 – juli 2014. jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder perbankan syariah di indonesia yang meliputi dana pihak ketiga (dpk), capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf), return on asset (roa) dan penempatan dana di sbis, yang diperoleh dari statistik perbankan syariah indonesia dan statistik ekonomi moneter indonesia periode januari 2010 – juli 2014. studi ini menggunakan metode sensus di mana keseluruhan perbankan syariah yang terdiri dari bank umum syariah dan unit usaha syariah yang terdapat dalam periode studi dijadikan sebagai objek studi. studi ini menggunakan 56 waktu amatan (n = 56) (bulan januari 2010 – juli 2014). metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. metode dokomentasi adalah pengumpulan data dengan cara mengumpulkan, mencatat, dan mengkaji data sekunder berupa yang berupa laporan keuangan tahunan bank. data yang dikumpulkan adalah dana pihka ketiga (dpk), non performing financing (npl), capital adequacy ratio (car), return on assets (roa), penempatan dana sbis dan volume penyaluran pembiayaan. faktor-faktor yang mempengaruhi volume penyaluran pembiayaan bank syariah di indonesia digambarkan dalam fungsi berikut: volume pembiayaan = f(dpk, car, roa, sbis, npf) 1) di mana; y adalah volume penyaluran pembiayaan; 0 adalah bilangan konstanta; 1. . 6 adalah koefisien regresi; adalah kesalahan pengguna yang disebabkan faktor lain; dpk adalah dana pihak ketiga; car adalah capital adequacy ratio; roa adalah return on assets; sbis adalah sertifikat bank indonesia syariah, dan npf adalah non performing financing hasil dan pembahasan hasill studi ini menunjukkan bahwa dpk, roa, dan npf masing-masing secara signifikan berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan. sedangkan variabel car dan sbis dalam pengujian tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen penyaluran pembiayaan atau secara bersama-sama variabel independen dpk, car, roa, npf, dan sbis berpengaruh terhadap variabel dependen penyaluran pembiayaan. uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. untuk jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 73-83 78 mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan analisis non – parametrik kolmogorof smirnov (k-s) (ghozali, 2009). gambar 1. grafik distribusi normal berdasarkan tampilan grafik histogram dapat disimpulkan bahwa variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. cara mendeteksi data berdistribusi normal arau tidak juga bisa dengan melihat nilai probabilitasnya. jika nilai probabilitas > 5 persen maka data berdistribusi normal, begitu juga apabila nilai probabilitas < 5 persen maka data berdistribusi tidak normal. berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai probabilitasnya 0,142021 > 5 persen artinya model regresi tersebut mempunyai distribusi normal. tabel 4. hasil uji liniearitas ramsey reset test f-statistic 16,10794 prob f (1,45) 0,0002 log likelihood ratio 16,21691 prob chi square (1) 0,0001 hasil uji linearitas menjelaskan bahwa nilai prob f stat 0,0002 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak linear. berdasarkan uji multikolonieritas bahwa hasil regresi tidak bebas dari multikolonieritas yang dilihat pada gambar dibawah ini. dpk mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan pembiayaan sebesar 0,99 atau 99 persen. data yang tidak mengandung korelasi harus dibawa 80 persen. karena terdapat multikolinieritas maka perlu dilakukan pengobatan. cara pengobatan yang diambil adalah dengan melakukan transformasi akar kuadrat terhadap variabel yang mempunyai korelasi yang cukup tinggi yaitu dana pihak ketiga (dpk). setelah dilakukan transformasi akar kuadrat diperoleh hasil bahwa variabel dpk sudah bebas dari multikolonieritas yaitu ditunjukkan dengan angka -0,151318 atau -15 persen. berdasarkan uji autokorelasi diperoleh hasil bahwa nilai d sebesar 0,524172 sementara berdasarkan tabel durbin-watson diperoleh nilai dl = 1,374 dan nilai du = 1,768. dengan demikian 0 0,05. faktor-faktor yang mempengaruhi volume penyaluran pembiayaan bank syariah di indonesia digambarkan dalam persamaan berikut ini: logpembiayaan = -239,4966 + 0,214722 dlogdpk – 0,000882 car – 0,007066 roa – 0,016830 npf – 0,015242 logsbis berdasarkan koefisien regresi dapat disimpulkan bahwa variabel dpk memiliki pengaruh yang paling besar terhadap penyaluran pembiayaan perbankan syariah dengan nilai koefisien beta regresi 0,214722, diikuti dengan variabel sbis sebesar sebesar -0,015242, npf sebesar -0,016830, roa sebesar -0,007066 dan car sebesar -0,000882, hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dpk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran pembiayaan. artinya bahwa peningkatan atau penurunan dpk pada periode studi mempengaruhi penyaluran pembiayaan secara signifikan. semakin tinggi dpk yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah, akan mendorong peningkatan jumlah pembiayaan yang disalurkan, demikian pula sebaliknya. penyaluran pembiayaan menjadi prioritas utama bank dalam pengalokasian dananya. hal ini dikarenakan sumber dana bank berasal dari masyarakat sehingga bank harus menyalurkan kembali dpk yang berhasil dihimpun kepada masyarakat dalam bentuk kredit. hal ini sejalan dengan fungsi bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary). di samping itu pemberian kredit merupakan aktivitas yang paling utama bagi bank umum selaku business entity untuk menghasilkan keuntungan. pengalaman dan kemampuan perkreditan yang dimiliki juga turut mendukung keberanian bank umum dalam menyalurkan kredit. dpk merupakan variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap penyaluran kredit perbankan. hal ini dikarenakan dalam menjalankan fungsi perantara keuangan (financial intermediary), dpk merupakan sumber pendanaan yang utama. dana-dana yang dihimpun dari masyarakat dapat mencapai 80 persen 90 persen dari seluruh dana yang dikelola oleh bank (dendawijaya, 2005). dana pihak ketiga (dpk) merupakan sumber dana terbesar yang diandalkan perbankan dan dibutuhkan suatu bank dalam menjalankan operasinya. bank dapat memanfaatkan dana dari pihak ketiga ini untuk ditempatkan pada pos-pos yang menghasilkan pendapatan bagi bank, salah satunya yaitu dalam bentuk pembiayaan. hampir semua bank mengandalkan penghasilan utamanya dari jumlah penyaluran pembiayaan oleh karena itu pemberian pembiayaan merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam menghasilkan keuntungan (dendawijaya, 2005). hasil studi ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh siswati (2013), nasihin (2013), tabel 5. hasil analisis regresi liniear berganda variable coefficient std error t-statistic prob c -239,4966 31600,06 -0,007579 0,9940 dlogdpk 0,214722 0,082632 2,598516 0,0125 car -0,000882 0,000710 -1,241818 0,2206 roa -0,007066 0,003131 -2,256972 0,0288 npf -0,016830 0,004512 -3,730469 0,0005 logsbis -0,015242 0,010915 -1,396446 0,1693 ar(1) 1,000044 0,005670 176,3656 0,0000 r-squared 0,998642 adj r-squared 0,998465 f-statiistic 5636,659 prob (f-statistic) 0,000000 d-w stat 1,521730 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 73-83 80 dan iqbal (2013) yang menyatakan bahwa dpk berpengaruh positif dan signi-fikan. car berpengaruh negatif dan tidak signifikan yang artinya hasil dari studi telah menolak hipotesis yang diajukan di mana car berpengaruh positif dan signifikan. hal itu berarti bahwa peningkatan atau penurunan car selama periode studi tidak mempengaruhi penyaluran pembiayaan. semakin tinggi atau turunnya car tidak berimbas terhadap naik turunnya penyaluran pembiayaan perbankan syariah. hasil studi ini berbeda dari hipotesis yang diajukan karena rata-rata car bank umum pada periode 2009-2014 berada pada kisaran yang cukup tinggi yakni 11,07 persen 20,23 persen, jauh di atas ketentuan minimal yang disyaratkan oleh bank indonesia sebesar 8 persen. tingginya car mengindikasikan adanya sumber daya finansial (modal) yang idle ataupun disalurkan ke sektor lain ataupun investasi lain selain pembiayaan, karena seperti diketahui bahwa pembiayaan merupakan investasi yang resikonya paling tinggi. bank sebagai lembaga komersial jelas tidak mau mengambil resiko terlalu tinggi dalam melakukan aktivitasnya sehingga modal yang tersedia diinvestasikan ke sektor lain ataupun surat berharga. pulihnya perekonomian dan perbankan secara berangsur-angsur telah mendorong optimalisasi kegunaan sumber daya finansial (modal) melalui penyaluran pembiayaan. penyaluran pembiayaan bank syariah mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi tidak diikuti dengan perubahan nilai car. semakin tinggi nilai car maka semakin tinggi pula pembiayaan yang disalurkan karena bank mempunyai modal yang lebih untuk menyalurkan uangnya ke pembiayaan. tetapi kenyataannya car tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dibuktikan dengan pada tahun 2010 sendiri terjadi penurunan nilai car dari bulan februari ke maret di mana angka car pada bulan februari 11,43 persen dan jumlah pembiayaan yang disalurkan sebesar rp48.479 miliar, sedangkan pada bulan maret angka car turun menjadi 11,07 persen dan jumlah pembiayaan yang disalurkan rp50.206 miliar. hal tersebut membuktikan bahwa naik turunnya car belum tentu mempengaruhi jumlah pembiayaan yang disalurkan. di tahuntahun berikutnya pun terjadi hal yang serupa. npf mempunyai pengaruh negatif dan signifikan yang artinya bahwa peningkatan atau penurunan npf selama periode studi mempengaruhi penyaluran pembiayaan bank syariah secara signifikan. semakin tinggi npf akan mendorong penurunan jumlah kredit yang disalurkan, demikian pula sebaliknya (h3: npf berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pembiayaan perbankan syariah, hipotesis diterima). npf mencerminkan risiko kredit. semakin tinggi tingkat npf maka semakin besar pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. akibat tingginya npl perbankan akan lebih berhati-hati (selektif) dalam menyalurkan kredit. hal ini dikarenakan adanya potensi kredit yang tidak tertagih. tingginya npf juga mengakibatkan munculnya pencadangan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya modal bank ikut terkikis. padahal besaran modal sangat mempengaruhi besarnya ekspansi kredit. dengan demikian besarnya npf menjadi salah satu penghambat tersalurnya pembiayaan perbankan. kualitas pembiayaan yang semakin menurun (peningkatan pembiayaan bermasalah) membawa pengaruh negatif terhadap bank selaku pembiayaan. peningkatan pembiayaan bermasalah ini menimbulkan pembentukan cadangan pembiayaan bermasalah ini menimbulkan pembentukan cadangan pembiayaan bermasalah semakin besar. cadangan penyisihan pembiayaan ini lawan rekening kerugian pembiayaan. kerugian pembiayaan merupakan biaya yang berarti menurunkan laba. penurunan laba bahkan kerugian bank akan berakibat menurunkan modal bank. penurunan laba bahkan kerugian bank akan berakibat menurunkan modal bank. dampak yang lebih luas adalah ketika pembiayaan bermasalah tak dapat ditagih lagi berarti terjadi penghentian dana bergulir. penghentian ini jelas mengganggu pengembangan usaha, menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pengangguran dan menurunkan pendapatan masyarakat (taswan, 2010). dalam kenyataannya perbankan syariah mampu menjaga npf nya selama lima tahun terakhir. ketentuan bank indoneisa adalah bahwa bank harus menjaga npl di bawah 5 determinan jumlah pembiayaan... (ayank narita dyatama, imamudin yuliadi) 81 persen. pada tahun 2009 npf perbankan syariah sebesar 4,01 persen meskipun cukup tinggi tetapi masih di bawah 5 persen, kemudian disusul tahun 2010 sebesar 3,02 persen, tahun 2011 sebesar 2,52 persen, tahun 2012 sebesar 2,26, tahun 2013 sebesar 2,62 persen. angka tersebut membuktikan bahwa perbankan syariah menunjukkan kesuksesannya dengan semakin rendahnya angka npf setiap tahunnya. roa berpengaruh negatif dan signifikan yang artinya studi ini menolak hipotesis yang diajukan yaitu bahwa roa berpengaruh positif dan signifikan. artinya roa mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan roa selama periode studi mempengaruhi pembiayaan secara signifikan. semakin tinggi roa maka semakin turun pembiayaan yang disalurkan. hasil studi ini berbeda dengan hipotesis yang diajukan karena rata-rata nilai roa pada periode studi 2009-2014 berada pada kisaran yang cukup rendah yakni 0,08 persen-2,52 persen jauh di bawah ketentuan minimal yang disyaratkan oleh bank indonesia sebesar 2 persen. tingginya roa menyebabkan penurunan terhadap jumlah pembiayaan yang disalurkan. seperti yang diketahui bahwa semakin tinggi nilai roa maka semakin rendah pembiayaan yang disalurkan. hal ini bisa dimungkinkan pendapatan yang dihasilkan oleh bank syariah bukan hanya dari pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat. pendapatan yang diperoleh disalurkan kepada aset lainnya seperti surat berharga. menurut dendawijaya (2005), alasan penggunaan roa ini bank indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan menggunakan aset di mana sebagian besar dananya berasal dari masyarakat dan nantinya, oleh bank juga harus disalurkan kembali kepada masyarakat. tetapi dalam kenyataannya pada tahun 2009 sendiri angka roa masih di bawah 2 persen sedangkan pembiayaan yang disalurkan sebesar rp46.886 miliar, pada tahun 2010 yaitu sebesar 1,67 persen sedangkan pembiayaan yang disalurkan sebesar rp68.181 miliar, pada tahun 2011 angka roa sebesar 1,79 persen dan pembiayaan yang disalurkan rp102.655 miliar, dan pada tahun 2012 angka roa mencapai 2,14 persen di atas rata-rata ketentuan bank indonesia dan pembiayaan yang disalurkan sebesar rp147.505. meskipun setiap tahun angka roa meningkat tetapi di setiap bulannya terdapat fluktuasi yang cukup tinggi di mana ketika jumlah pembiayaan meningkat tidak diiikuti dengan naiknya angka roa malahan terkadang angka roa semakin turun. hasil studi ini memperkuat studi sebelumnya yang dilakukan oleh nasihin (2013) yang menyatakan bahwa roa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran pembiayaan perbankan syariah. penempatan dana di sbis negatif dan tidak signifikan yyang berarti hasil ini telah menolak hipotesis yang diajukan yaitu penempatan dana di sbis negatif dan signifikan. artinya penempatan dana di sbis mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan penempatan dana di sbis selama periode studi tidak mempengaruhi penyaluran pembiayaan secara signifikan. semakin tinggi penempatan jumlah dana di sbis akan mendorong jumlah pembiayaan yang disalurkan dalam tingkat yang tidak signifikan. keuntungan yang diperoleh dari penempatan dana di sbis menyebabkan tingginya dana yang disalurkan, hal itu menyebabkan turunnya nilai pembiayaan yang disalurkan, tetapi penurunan pembiayaan berada pada tingkat yang signifikan. artinya, meskipun penempatan dana menyebabkan penurunan pembiayaan tetapi tidak menjadi masalah terhadap penyalurannya. karakteristik sbis adalah, pertama, sbis diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat dan kedua, sbis tidak dapat diperjualbelikan. benefit yang diberikan dari sbis bukan bunga didasarkan atas sistem diskonto, akan tetapi apa yang dinamakan dengan imbalan (khatimah, 2009). bank indonesia menerbitkan sbis melalui mekanisme lelang. dalam melakukan pembelian sbis, bus dan uus wajib memenuhi persyaratan fdr yang ditetapkan oleh bank indonesia. jadi meskipun penyaluran dana ke sbis mengurangi jumlah pembiayaan yang disalurkan tetapi selama kondisi fdr masih aman dianggap tidak masalah. hasil studi ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh siswati (2013) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 73-83 82 yang menyatakan bahwa penempatan dana di sbis negatif dan tidak signifikan terhadap penyaluran pembiayaan perbankan syariah. simpulan variabel dpk berhubungan positif dan signifikan terhadap jumlah pembiayaan dibuktikan dengan nilai koefisien regresi 0,214 dengan nilai signifikansi 0,012 lebih kecil dari 5 persen (0,012 < 0,05) sesuai dengan hipotesis yang diajukan hal ini mengindikasi bahwa semakin besar dpk maka semakin besar volume pembiayaan yang dapat disalurkan. variabel car tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah pembiayaan dibuktikan dengan nilai koefisien regresi -0,0008 dengan nilai signifikansi 0,226 lebih besar dari 5 persen (0,226 < 0,05) tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa car berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah pembiayaan bank syariah. hal ini disebabkan adanya bank syariah yang belum mampu memaksimalkan dana yang diserap dan banyak aset yang idle ataupun disalurkan ke sektor lain ataupun investasi lain selain pembiayaan, karena seperti diketahui bahwa pembiayaan merupakan investasi yang resikonya paling tinggi. selain naiknya dpk seiring dengan pembiayaan yang menyebabkan bahwa dpk telah mendominasi modal yang digunakan dalam pembiayaan sehingga penggunaan dan car bisa disalurkan ke sektor lain selain pembiayaan dan juga biasanya penggunaan car dalam hal pembiayaan hanya untuk menutupi npf yang terjadi. jadi car yang tinggi tidak berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan jika bank syariah tidak mampu memnfaatkan dana yang ada. pada studi ini variabel roa mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap jumlah pembiayaan dibuktikan dengan nilai koefisien sebesar -0,0007 dengan signifikansi = 0,288 lebih kecil dari 0,05 (0,0288 < 0,05) tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa roa mempunyai hubungan yang positif dan signifikan. hal ini disebabkan rendahnya tingkat roa (di bawah ketentuan bank indonesia) sehingga tidak ada pengalokasian dana pembiayaan dari roa sehingga dana yang digunakan untuk melakukan pembiayaan adalah dpk yang mana dpk merupakan 80 persen 90 persen sumber dana untuk pembiyaan sehingga wajar jika naiknya pembiyaan tidak disertai dengan roa. hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah pembiayaan semakin rendah tingkat roa karena dana yang dihasilkan dari roa tidak sepenuhnya disalurkan ke pembiayaan. variabel npf mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap jumlah pembiayaan dibuktikan dengan nilai koefisien sebear 0,016 dengan signifikansi = 0,0005 lebih kecil dari 0,05 (0,0005 < 0,05) sesuai dengan hipotesis yang diajukan. hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi npf maka semakin rendah jumlah pembiayaan yang disalurkan. variabel penempatan dana di sbis mempunyai hubungan yang negatif dan tidak signifikan yang artinya variabel penempatan dana di sbis tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah pembiayaaan dibuktikan dengan nilai koefisien -0,015 dengan signifikansi = 0,1693 lebih besar dari 0,05 (0,1693 > 0,05) tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan bahwa penempatan dana di sbis berpengaruh negatif dan signifikan. hal ini mengindikasikan bahwa penempatan dana di sbis tidak mempengaruhi jumlah pembiayaan yang disalurkan, karena dalam peraturan bank indonesia, bank syariah harus memenuhi tingkat fdr yang ditetapkan sebelum menempatkan dananya di sbis yaitu nilai fdr berkisar 90 persen -110 persen sehingga tidak mungkin bahwa penempatan dana disbis telah menyebabkan pengurangan dana di pembiayaan. daftar pustaka arisandi, desi. (2009). analisis faktor penawaran kredit pada bank umum di indonesia. jurnal universitas gunadarma. asih, norma budi. (2012). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi financing to deposit ratio pada bank umum syariah di indonesia periode 2007-2010. disertasi. uin sunan kalijaga. dendawijaya, lukman. (2005). manajemen perbankan. edisi 2. bogor: ghalia indonesia. determinan jumlah pembiayaan... (ayank narita dyatama, imamudin yuliadi) 83 ghozali, imam. (2009). aplikasi analisis multivariate dengan program spss. semarang: badan penerbit undip. iqbal, mohammad. (2013). pengaruh dana pihak ketiga, rasio keuangan, jaringan, inflasi dan bi rate terhadap volume pembiayaan bank umum syariah. skripsi. uin sunan kalijaga yogyakarta. dipublikasikan. khatimah, husnul. (2009). analisis faktorfaktor yang mempengaruhi penyaluran dana perbankan syariah di indonesia sebelum dan sesudah kebijakan akselerasi perbankan syariah tahun 2007/2008. jurnal optimal, vol. 3 no. 1 maret 2009. nasihin. (2013). pengaruh faktor internal bank terhadap volume pembiayaan pada bank syariah di indonesia. skripsi. dipublikasikan. yogyakarta: uin sunan kalijaga. nurbaya, ferial. (2013). analisis pengaruh car, roa, fdr, dan dana pihak ketiga (dpk) terhadap pembiayaan murabahah periode maret 2001–desember 2009 (studi kasus pada pt bank muamalat indonesia tbk). skripsi. dipublikasikan semarang: universitas diponegoro. pratami, w.a novi. (2011). analisis pengaruh dana pihak ketiga (dpk), capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf) dan return on asset (roa) terhadap pembiayaan pada perbankan syariah (studi kasus pada bank muamalat indonesia periode 2001-2011). skripsi. dipublikasikan. semarang: universitas diponegoro. setiartiti, lilies. (2004). membangun citra perbankan syari’ah sebuah alternatif strategi bagi pengembangan perbankan syari’ah di indonesia. jurnal ekonomi dan studi pembangunan vol. 5 no. 1, april 2004; hlm 45-54. yogyakarta: universitas muhammadiyah yogyakarta. siswati. (2013). analisis penyaluran dana bank syariah. jurnal dinamika manajemen vol 4 no 1. suharyadi dan purwantoro s.k. (2004). statistika untuk ekonomi dan keuangan modern jilid 2. jakarta: salemba empat sulistya, kadek ari dan made gede wirakusuma. (2013). pengaruh dana pihak ketiga, capital adequacy ratio, dan suku bunga sbi terhadap penyaluran kredit bank bumn di indonesia periode 20062010. jurnal akuntansi, vol 2. no 2. bali: universitas udayana. suwarsi. (2008). pengaruh loan to asset ratio, rate of return on loan ratio, capital adequacy ratio, dan non performing financing terhadap penyaluran pembiayaan. jurnal universitas muhammadiyah malang. qolby, m. luthfi. (2013). faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan pada perbankan syariah di indonesia periode tahun 2007-2013. economics development analysis journal, vol. 4, no. 2. taswan. (2010). manajemen perbankan konsep, teori dan aplikasi. edisi ii. yogyakarta: upp stim ykpn winarno, wing wahyu. (2011). analisis ekonometrika dan statistika dengan eviews. edisi 3. yogyakarta: upp stim ykpn. microsoft word 08-rifqi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm.171-181   pengangguran terbuka dan determinannya mohammad rifqi muslim 2 institute of public policy and economic studies (inspect) yogyakarta, jalan kenari r 13 sidoarum iii, godean, sleman, yogyakarta, 55564 indonesia, phone: +62 274 798342, e-mail korespondensi: rifqimoslem28@gmail.com naskah diterima: april 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: the research aims to see the correlation between the open unemployment, and the economic growth, labor force, analysis, and the government spending. the research uses the secondary data from badan pusat statistik (bps) yogyakarta. the research uses panel data from 5 regions in yogyakarta. while the data analysis that is uses id the descriptive analysis, and inductive analysis. the result shows that all variables simultaneously affect the rate of open unemployment. while the economic growth, education, and government spending has the negative effect to the rate of open unemployment in yogyakarta. the labor force has positive influence and significant to the rate of open unemployment in yogyakarta. keywords: labor, unemployment; rate of economic growth; education; government spending jel classification: j01, j23, j64, r23 abstrak: studi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan antara tingkat pengangguran terbuka dengan laju pertumbuhan ekonomi, angkatan kerja, studi dan pengeluaran pemerintah.studi ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh langsung dari badan pusat statistik daerah istimewa yogyakarta. studi ini menggunakan metode data panel yaitu kombinasi 5 kabupaten/kota di daerah istimewa yogyakarta. sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis induktif.hasil studi menunjukkan bahwa secara simultan variabel laju pertumbuhan penduduk, angkatan kerja, pendidikan dan pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka.sedangkan secara partial laju pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di daerah istimewa yogyakarta.sedangkan variabel angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di daerah istimewa yogyakarta. kata kunci: ketenagakerjaan; pengangguran; laju pertumbuhan ekonomi; pendidikan; pengeluaran pemerintah klasifikasi jel: j01, j23, j64, r23 pendahuluan pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan per kapita masyarakat dalam suatu negara yang berlangsung dalam jangka panjang. pembangunan diartikan sebagai peningkatan produk nasional (gdp, gnp) yang disebabkan bukan saja oleh peningkatan kuantitas faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi melainkan digunakannnya sistem dan teknologi baru (hudiyanto, 2001). menurut sukirno (1994) pembangunan adalah suatu hal yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan suatu negara, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di negara tersebut. pembangunan dilakukan dalam berbagai sektor kehidupan dan melibatkan kegiatan produksi. sedangkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebab jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 171-181 172 kan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. pembangunan ekonomi ditujukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sisi ekonomi maupun sisi sosial. salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri yaitu menciptakan kesempatan dan lapangan kerja semaksimal mungkin supaya angkatan kerja yang berada di dalam suatu negara tersebut dapat terserap dalam proses kegiatan ekonomi di negara tersebut. di lain sisi tujuan dari pembangunan ekonomi ialah terciptanya pertumbuhan serta peningkatan sumber daya manusia (sdm). indonesia merupakan salah satu negara berkembang, yang di mana dalam pengelompokan negara berdasarkan taraf kesejahteraan masyarakatnya, di mana salah satu permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk indonesia adalah masalah pengangguran. pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah untuk dipahami. apabila pengangguran tersebut tidak segera diatasi maka dapat menimbulkan kerawanan sosial, dan berpotensi mengakibatkan kemiskinan. terjadinya pengangguran di suatu negara dapat dikarenakan jumlah lapangan pekerjaaan di suatu wilayah tertentu tidak dapat mencukupi jumlah angkatan kerja atau jumlah permintaan akan lapangan pekerjaan akan penawaran lapangan kerja tidak seimbang. hal tersebut berakibat bertambahnya jumlah pertumbuhan tenaga kerja melebihi jumlah kesempatan kerja. dalam pembangunan ekonomi negaranegara berkembang, pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih rumit dan lebih serius dari pada masalah perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan rendah. keadaan di negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukkan bahwa pembangunan yang telah tercipta tidak sanggup mengadakan kesempatan kerja yang lebih cepat dari pada pertambahan penduduk yang berlaku. oleh karenanya, masalah pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin lama semakin bertambah serius. lebih prihatin lagi di beberapa negara miskin bukan saja jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari keseluruhan tenaga kerja semakin bertambah tinggi. pengangguran diartikan sebagai seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja dan secara aktif mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak memperoleh pekerjaan yang diinginkan. banyaknya pengangguran di suatu wilayah merupakan masalah yang tidak hanya mencakup bidang perekonomian saja. di sisi lain, masalah pengangguran juga mempunyai hubungan erat dengan bidang sosial dan pendidikan. di zaman seperti sekarang bukan hanya masyarakat yang memiliki pendidikan rendah saja yang menganggur, masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi pula juga banyak yang menganggur (sukirno, 2008). pertumbuhan ekonomi mempengaruhi tingkat pengangguran di suatu daerah. semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah maka akan semakin tinggi pula kesempatan berkembang bagi perusahaan dan penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat daerah tertentu. di samping itu pertumbuhan ekonomi melalui pdrb yang meningkat, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut, karena dengan kenaikan pdrb kemungkinan dapat meningkatkan kapasitas produksi. hal tersebut mengindikasikan bahwa penurunan pdrb suatu daerah dapat dikaitkan dengan tingginya jumlah pengangguran pada daerah tersebut. angka pengangguran yang rendah dapat mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang baik. jumlah tingkat pengangguran serta angkatan kerja menunjukkan besarnya jumlah penduduk yang harus diikutsertakan dalam proses pembangunan yang berarti bahwa tingkat pengangguran dan angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk yang mampu menggerakkan proses ekonomi. ini menggambarkan bahwa dinamika proses pembangunan harus mampu melibatkan seluruh angkatan kerja maka jumlah angkatan kerja yang besar itu dapat menjadi beban bagi pembangunan ekonomi. di masa sekarang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja pengangguran terbuka dan determinannya (mohammad rifqi muslim) 173 yang ada dan mencerminkan tingkat kepandaian atau pencapaian pendidikan formal dari penduduk karena semakin tingginya tamatan pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan kerja atau produktivitas seseorang dalam bekerja. tujuan akhir program pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. pendidikan pada diri seseorang dapat meningkatkan kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi dan memperoleh pemahaman akan perekonomian serta memberikan pilihan apakah seseorang ingin menjadi konsumen, produsen atau menjadi warga negara biasa. secara tidak langsung pendidikan juga berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan pribadi seseorang dengan cara meningkatkan produktivitas sehingga akan mencapai standar hidup yang lebih baik. angkatan kerja yang bekerja, modal fisik dan tanah dapat mengalami diminishing return sedangkan ilmu pengetahuan tidak bisa. jadi investasi modal manusia merupakan faktor utama dalam peningkatan produktifitas faktor produksi secara total (kuncoro, 2004). pendidikan tersebut termasuk ke dalam salah satu investasi pada bidang sumber daya manusia, yang mana investasi tersebut dinamakan dengan human capital (teori modal manusia). investasi pendidikan merupakan kegiatan yang dapat dinilai stok manusia, di mana nilai stock manusia setelah mengikuti pendidikan dengan berbagai jenis dan bentuk pendidikan diharapkan dapat meningkatkan berbagai bentuk nilai berupa peningkatan penghasilan individu, peningkatan produktivitas kerja, dan peningkatan nilai rasional (social benefit) individu dibandingkan dengan sebelum mengecap pendidikan (idris, 2007). dalam uud 1945 pasal 28c yang telah diamandemen disebutkan bahwa: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” berdasarkan uu nomor 20 tahun 2004 tentang sistem pendidikan nasional ditetapkan bahwa besarnya porsi anggaran pendidikan adalah 20 persen dari total apbn. ini mengimplikasikan bahwa komitmen bangsa ini untuk menempatkan pendidikan sebagai salah satu komponen sumber daya pengetahuan, sehingga dipahami bahwa pengetahuan akan menjadi pembangkit kemajuan ekonomi. di mata penduduk berkembang, pendidikan dipandang sebagai sarana guna meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan kesempatan kerja yang ada. atau dalam kalimat lain, tujuan akhir dari program pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. setidaknya masyarakat yang telah mengenyam pendidikan setelah selesai mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih berkelas di sektor formal. tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pekerjaan yang mereka dapatkan kelak. semakin lama jangka waktu yang masyarakat habiskan untuk mendapatkan pendidikan maka semakin tinggi atau bermartabat pula pekerjaan yang mereka dapatkan dan semakin terhindar mereka dari masalah pengangguran. menurut pendapat keynes dalam sukirno (2008) bahwa peranan atau campur tangan pemerintah masih sangat diperlukan yaitu apabila perekonomian sepenuhnya diatur olah kegiatan di pasar bebas, bukan saja perekonomian tidak selalu mencapai tingkat kesempatan kerja penuh tetapi juga kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat diwujudkan. akan tetapi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode lainnya dan ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. keynes juga berpendapat bahwa dalam sistem pasar bebas penggunaan tenaga kerja penuh tidak selalu tercipta sehingga perlu dilakukan usaha dan kebijakan pemerintah untuk menciptakan penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi yang teguh (sukirno, 2008). salah satu bentuk campur tangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjalankan kebijakan fiskal. dalam hal ini keynes mengisyaratkan kebijakan fiskal yang ekspansif melalui pengurangan pajak dan penambahan pengeluaran pemerintah (government expenditure). jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 171-181 174 berdasarkan tabel 1 dapat diketahui secara umum jumlah penganggur pada tahun 2012 di semua provinsi di pulau jawa kecuali daerah istimewa yogyakarta menurun jika dibandingkan dengan tahun 2011. penurunan tertinggi terjadi pada provinsi banten yaitu 23,79. di antara enam provinsi yang terletak di pulau jawa, jumlah angkatan kerja terbanyak pada tahun 2012 yaitu provinsi jawa barat (20.150 orang) diikuti provinsi jawa tengah (17.091 orang). jika dibandingkan dengan tahun 2011, selain provinsi banten semua provinsi bertambah jumlah angkatan kerja pada tahun 2012. dari total angkatan kerja, jumlah yang bekerja paling banyak adalah provinsi jawa timur dan terendah adalah daerah istimewa yogyakarta. pada tahun 2012, provinsi dengan tpt terendah di pulau jawa adalah daerah istimewa yogyakarta (3,97%) dan yang tertinggi adalah provinsi banten (10,13%). dilihat dari perkembangan tpt dai tahun 2011 dan 2012, tampak bahwa daerah istimewa yogyakarta, jawa tengah dan jawa timur, nilai tpt yang dimiliki ketiga provinsi tersebut selalu lebih rendah dari angka nasional, sedangkan provinsi lainnya selalu jauh lebih tinggi. daerah istimewa yogyakarta adalah daerah istimewa setingkat provinsi di indonesia yang merupakan peleburan negara kesultanan yogyakarta dan negara kadipaten paku alaman. daerah istimewa yogyakarta terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. menurut sensus penduduk 2012, daerah istimewa yogyakarta memiliki jumlah penduduk 3.514.764 jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka 3,97%. angkatan kerja di daerah istimewa yogyakarta pada tahun 2012 sebesar 1.944.858 penduduk atau 55,33% dari total jumlah penduduk daerah istimewa yogyakarta. sejak tahun 2007 hingga akhir 2012 terjadi peningkatan indeks pendidikan yang signifikan di daerah istimewa yogyakarta. peningkatan indeks pendidikan tersebut mempunyai arti bahwa penduduk di daerah istimewa yogyakarta dari tahun ke tahun mempunyai rata-rata lama sekolah yang tiap tahun semakin bertambah serta berkurangnya tingkat buta huruf berbeda penduduk di daerah tersebut. berbeda dari indeks pendidikan, laju pertumbuhan ekonomi di daerah istimewa yogyakarta mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun yaitu 3,95% pada tahun 2008, meningkat menjadi tabel 1. penduduk yang termasuk angkatan kerja, bekerja, dan tingkat pengangguran terbuka (tpt) menurut provinsi di pulau jawa,2011-2012 (ribuan) provinsi angkatan kerja bekerja tpt (%) 2011 2012 2011 2012 2011 2012 dki jakarta 5.144 5.369 4.588 4.839 10,8 9,87 jawa barat 19.357 20.150 17.455 18.321 9,83 9,08 jawa tengah 16.919 17.091 15.916 16130 5,93 5,63 diy 1.873 1.945 1.799 1.868 3,97 3,97 jawa timur 19.762 19.891 18.940 19.072 4,16 4,12 banten 5.210 5.125 4.530 4.606 13,06 10,13 nasional 117.370 118.039 109.670 110.795 6,56 6,14 sumber: berita resmi statistik (data diolah) tabel 2. perkembangan laju pertumbuhan ekonomi, dan indeks pendidikan di daerah istimewa yogyakarta tahun lpe (%) pendidikan (indeks) 2007 3,40 80,01 2008 3,95 80,34 2009 7,15 80,80 2010 3,68 81,58 2011 4,33 82,19 2012 4,43 82,51 sumber:badan pusat statistik, 2013 pengangguran terbuka dan determinannya (mohammad rifqi muslim) 175 7,15% pada tahun 2009, menurun lagi menjadi 3,68 pada tahun 2010 dan meningkat kembali menjadi 4,33%. laju pertumbuhan ekonomi tertinggi diy selama periode 2007-2012 terjadi pada tahun 2009, di mana persentase laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,15% dan mengalami persentase terendah sebesar 3,4% pada tahun 2007. studi-studi sebelumnya terkait pengangguran, di antaranya farid (2010) telah menemukan adanya jumlah angkatan kerja di indonesia yang meningkat selama periode 1980-2007. tetapi peningkatan yang terjadi tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja atau kapasitas produksi. hal itu mengakibatkan jumlah pengangguran yang meningkat yang menjadikan masalah yang sangat serius kepada negara, karena jumlah pengangguran merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu negara. berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk, upah, dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dan kecenderungan kuat terhadap pengangguran. hal ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi dan angkatan kerja, upah, dan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan jumlah pengangguran. sementara tingkat inflasi memiliki hubungan positif yang lemah, yang berarti bahwa tingkat inflasi tidak memiliki hubungan terhadap jumlah pengangguran. analisis kurva phillips menggambarkan hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran tidak cocok diterapkan di indonesia. hal ini disebabkan inflasi di indonesia dipengaruhi oleh kenaikan barang-barang, dan bukan karena peningkatan permintaan kenaikan upah yang tinggi. studi sirait dan marhaeni (2013) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional dan tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah pengangguran kabupaten/kota di provinsi bali. hasil studi tersebut diperoleh bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif nyata, upah minimum regional berpengaruh negatif nyata terhadap jumlah pengangguran kabupaten/kota di provinsi bali, sedangkan tingkat pendidikan negatif tidak nyata, dan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap jumlah pengangguran kabupaten/kota di provinsi bali. pitartono dan hayati (2012), dalam studinya mengenai tingkat pengangguran di jawa tengah tahun 19972010 mengungkapkan tingkat pengangguran di jawa tengah telah berfluktuasi dari tahun ke tahun dari tahun 1997 sampai 2010. dengan tingkat pengangguran tertinggi sebesar 7,70% pada tahun 2007. sementara pada tahun 2001 tingkat pengangguran berada pada titik terendah yaitu sebesar 3,70%. hasil studi menunjukkan semakin tinggi populasi, dan semakin besar upah minimum kabupaten/kota akan memberikan pengaruh positif dan signifikan terkait dengan tingkat pengangguran di jawa tengah. tingkat inflasi dan variabel tingkat pertumbuhan pdb memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan tingkat pengangguran di jawa tengah. metode penelitian jenis dan sumber data studi ini menggunakan data sekunder berupa data time series dan cross section dalam bentuk data tahunan selama periode tahun 2007 sampai dengan 2012. data dalam studi ini diperoleh dari badan pusat statistik (bps) daerah istimewa yogyakarta serta sumber lain yang terkait dengan studi ini. alat analisis metode analisis regresi data panel dipilih penulis dalam menganalisis data pada studi ini. analisis regresi data panel digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam meneliti tingkat pengangguran terbuka yang ada di daerah istimewa yogyakarta. data panel (pooled data) diperoleh dengan cara menggabungkan data time series dengan cross section. analisis regresi dengan data panel (pooled data) memungkinkan peneliti mengetahui karakteristik antarwaktu dan antarindividu dalam variabel yang bisa saja berbeda-beda. metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik dengan perilaku data yang lebih dinamis. adapun kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah sebagai berikut (gujarati, 2004): 1) data panel mampu menyediakan lebih banyak data, sehingga dapat memberikan infor jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 171-181 176 masi yang lebih lengkap. sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik; 2) data panel mampu mengurangi kolinieritas variabel; 3) dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks; 4) dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul karena adanya masalah penghilangan variabel (ommited variable); 5) data panel lebih mampu mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni maupu cross section murni; 6) data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu, karena data yang diobservasi lebih banyak. ada tiga metode yang digunakan untuk data panel (ajija, 2011): 1) model pooled least square (common effect) model ini dikenal dengan estimasi common effect yaitu teknik regresi yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel dengan cara hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. model ini hanya menggabungkan data tersebut tanpa melihat perbedaan antarwaktu dan individu sehingga dapat dikatakan bahwa model ini sama halnya dengan metode ordinary least square (ols) karena menggunakan kuadrat terkecil biasa. dalam pendekatan ini hanya mengasumsikan bahwa perilaku data antarruang sama dalam berbagai kurun waktu. pada beberapa studi data panel, model ini sering kali tidak pernah digunakan sebagai estimasi utama karena sifat dari model ini yang tidak membedakan perilaku data sehingga memungkinkan terjadinya bias, namun model ini digunakan sebagai pembanding dari kedua pemilihan model lainnya. 2) model pendekatan efek tetap (fixed effect) pendekatan model ini menggunakan variabel boneka atau dummy yang dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau least square dummy variable atau disebut juga covariance model. pada metode fixed effect estimasi dapat dilakukan dengan tanpa pembobot (no weight) atau least square dummy variable (lsdv) dan dengan pembobot (cross section weight) atau general least square (gls). tujuan dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antarunit cross section (gujarati, 2012:241). penggunaan model ini tepat untuk melihat perilaku data dari masingmasing variabel sehingga data lebih dinamis dalam menginterpretasi data. pemilihan model antara common effect dengan fixed effect dapat dilakukan dengan pengujian likelihood test radio dengan ketentuan apabila nilai probabilitas yang dihasilkan signifikan dengan alpha maka dapat diambil keputusan dengan menggunakan fixed effect model. 3) model pendekatan efek acak (random effect). model data panel pendekatan ketiga yaitu model efek acak (random effect). dalam model efek acak, parameter-parameter yang berbeda antardaerah maupun antarwaktu dimasukkan ke dalam error. karena hal inilah, model efek acak juga disebut model komponen error (error component model). dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan jadi semakin efisien. keputusan penggunaan model efek tetap ataupun acak ditentukan dengan menggunakan uji hausman. dengan ketentuan apabila probabilitas yang dihasilkan signifikan dengan alpha maka dapat digunakan metode fixed effect namun apabila sebaliknya maka dapat memilih salah satu yang terbaik antara model fixed dengan random effect. teknik penaksiran model pada studi ekonomi, seorang peneliti sering menghadapi kendala data. apabila regresi diestimasi dengan data runtut waktu, observasi tidak mencukupi. jika regresi diestimasi dengan data lintas sektoral terlalu sedikit untuk menghasilkan estimasi yang efisien. salah satu solusi untuk menghasilkan estimasi yang efisien adalah dengan menggunakan model regresi data panel. data panel (pooling data) yaitu suatu model yang menggabungkan observasi lintas sektoral dan data runtut waktu. tujuannya supaya jumlah observasinya meningkat. apabila observasi meningkat maka akan mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas dan pengangguran terbuka dan determinannya (mohammad rifqi muslim) 177 kemudian akan memperbaiki efisiensi estimasi ekonometri (insukindro, 2001). hal yang diungkap oleh baltagi (puji dalam irawan, 2012), ada beberapa kelebihan penggunaan data panel yaitu: 1) estimasi data panel dapat menunjukkan adanya heterogenitas dalam tiap unit. 2) penggunaan data panel lebih informatif, mengurangi kolinieritas antarvariabel, meningkatkan derajat kebebasan dan kebih efisien. 3) data panel cocok utnuk digunakan karena menggambarkan adanya dinamika perubahan. 4) data panel dapat meminimalkan bias yang mungkin dihasilkan dalam agregasi. untuk menguji estimasi pengaruh laju pertumbuhan penduduk, angkatan kerja, pendidikan dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran terbuka digunakan alat regresi dengan model data panel. ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengalisis data panel. pendekatann fixed effect dan random effect. sebelum model estimasi dengan model yang tepat, terlebih dahulu dilakukan uji spesifikasi apakah fixed effect dan random effect atau keduanya memberikan hasil yang sama. metode gls (generated least square) dipilih dalam studi ini karena adanya nilai lebih yang dimiliki oleh gls dibanding ols dalam mengestimasi parameter regresi. gujarati (2003) menyebutkan bahwa metode ols yang umum mengasumsikan bahwa varians variabel adalah heterogen, pada kenyataannya variasi pada data pooling cenderung heterogen. metode gls sudah memperhitungkan heterogenitas yang terdapat pada variabel independen secara eksplisit sehingga metode ini mampu menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria blue (best linier unbiased estimator). di antara beberapa variabel yang digunakan dalam studi ini maka dapat dibuat model penelitan sebagai berikut: yti =β0+ β1x1it+ β2x2it + β3x3i + β4x4it t +ε 1) di mana y adalah variabel tingkat pengangguran terbuka; β0 adalah konstanta; β1234 adalah koefisien variabel 1,2,3,4; x1 adalah variab el laju pertumbuhan ekonomi; x2 adalah variabel angkatan kerja; x3 adalah variabel pendidikan; x4 adalah variabel pengeluaran pemerintah; i adalah kabupaten/kota; t adalah periode waktu ke-t; ε adalah error term. dalam menguji spesifikasi model pada studi, penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut: 1) uji hausman. uji spesifikasi hausman membandingkan model fixed effect dan random di bawah hipotesis nol yang berarti bahwa efek individual tidak berkorelasi dengan regresi dalam model (hausman, 1978). jika tes hausman tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05), itu mencerminkan bahwa efek random estimator tidak aman bebas dari bias, dan karena itu lebih dianjurkan kepada estimasi fixed effect disukai daripada efek estimator tetap. 2) uji f (uji wald). uji f menguji signifikansi estimasi fixed effect, yang digunakan untuk memilih antara ols pooled tanpa variabel dummy atau fixed effect. f statistik di sini adalah sebagai uji chow. dalam hal ini, uji f digunakan untuk menentukan model terbaik antara kedua dengan melihat jumlah residual kuadrat (rss). uji f adalah sebagai berikut: f = / / 2) di mana: rss1 merupakan jumlah residual kuadrat pooled ols; rss2 merupakan jumlah residual kuadrat fixed effect; m merupakan pembilang; n-k merupakan denumerator. jika hipotesis nol ditolak, dapat disimpulkan model fixed effect lebih baik dari pooled ols. tabel 3. uji chow effect test statistic d.f. prob. cross-section f 5,745994 4,21 0,0028 cross-section chi-square 22,179089 4 0,0002 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 171-181 178 hasil dan pembahasan uji chow merupakan uji untuk menentukan model terbaik antara fixed effect dengan common/ pool effect. jika hasilnya menyatakan menerima hipotesis nol maka model yang terbaik untuk digunakan adalah model common. akan tetapi, jikalau hasilnya menyatakan menolak hipotesis nol maka model terbaik yang digunakan adalah fixed effect, dan pengujian akan berlanjut ke uji hausman. berdasarkan tabel uji chow, kedua nilai probabilitas cross section f dan chi square yang lebih kecil dari alpha 0,05 sehingga menolak hipotesis nol. jadi menurut uji chow, model yang terbaik digunakan adalah model dengan menggunakan metode fixed effect. berdasarkan hasil uji chow yang menolak hipotesis nol, maka pengujian data berlanjut ke uji hausman. uji hausman merupakan pengujian untuk menentukan penggunaan metode antara random dengan fixed. jika dari hasil uji hausman tersebut menyatakan menerima hipotesis nol maka model yang terbaik untuk digunakan adalah model random. akan tetapi, jikalau hasilnya menyatakan menolak hipotesis nol maka model terbaik yang digunakan adalah model fixed effect. tabel 4. uji hausman test summary chi-sq. statistic chisq.d.f prob. cross-section random 22,983976 4 0,0001 berdasarkan tabel uji hausman, nilai probabilitas cross section random adalah 0,0001 yang lebih kecil dari alpha 0,05 sehingga menolak hipotesis nol. jadi menurut uji hausman, model yang terbaik digunakan adalah model dengan menggunakan metode fixed effect. metode gls (general least square) yang pada intinya memberikan pembobotan pada variasi data yang digunakan, dengan kuadrat varian dari model. dalam metode ini heteroskedastisitas sudah diantisipasi, sehingga metode ini bebas dari heteroskedastisitas. dalam model ini, nilai dw adalah: 1,453621, yang menunjukkan tidak ada autokorelasi apapun sebagai hasil nilai berada dalam kisaran -2 dan +2. selain itu, model ini sudah diantisipasi dari autokolerasi dengan metode gls (generalized least square) yang digunakan pada metode ini. dalam uji penyimpangan asumsi klasik untuk pendekatan multikoliniearitas dilakukan dengan pendekatan atas nilai dan signifikansi dari variabel yang digunakan. pembahasannya adalah dengan menganalisis data yang digunakan oleh setiap variabel dan hasil dari olah data yang ada, data yang digunakan di antaranya data time series dan data cross section. namun multikoliniearitas terjadi biasanya pada data runtut waktu (time series) pada variabel yang digunakan. rule of thumb juga mengatakan apabila didapatkan yang tinggi sementara terdapat sebagian besar atau semua variabel secara parsial tidak signifikan maka diduga terjadi multikoliniearitas pada model tersebut (gujarati, 2006). dengan mengkombinasikan data time series dan cross section mengakibatkan masalah multikoliniearitas dapat dikurangi, dalam pengertian satu varian yang tidak ada hubungannya atau informasi apriori yang disarankan sebelumnya adalah kombinasi dari cross section dan data time series. dikenal dengan penggabungan data (pooling data), jadi sebenarnya secara teknis sudah dapat dikatakan masalah multikoliniearitas sudah tidak ada. hal tersebut sudah diperkuat dengan hasil estimasi model semua variabel yang digunakan signifikan dan nilai sangat tinggi. sehingga secara tegas bahwa masalah multikoleniearitas tidak ada dalam metode analisis gls (general least square). model gls (general least square) berdasarkan hasil regresi pada tabel 5 maka dapat disimpulkan y = f (lpe, lnak, p, lnpp) diperoleh hasil persamaan regresi sebagai berikut: yt = a0 + a1 lnlpe + a2 lnak + a3 p + a4 lnpp + et 3) yt = -18,8 – 1,25 lpe + 4,15 lnak – 0,27 p – 0,06 lnpp + et 4) pengangguran terbuka dan determinannya (mohammad rifqi muslim) 179 di mana: y adalah variabel tingkat pengangguran terbuka; lnlpe adalah laju pertumbuhan ekonomi; lnak adalah angkatan kerja; p adalah variabel pendidikan, lnpp adalah pengeluaran pemerintah, a0 adalah konstansta, a1–a3 adalah koefisien parameter, et adalah disturbance error. berdasarkan data yang sudah diolah, laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan tanda negatif dan signifikan secara statistik pada derajat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten/ kota di diy. koefisien laju pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai sebesar 1,253283, yang berarti apabila peningkatan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran terbuka akan menurun 1,25 persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam jumlah variabel bebas. variabel laju pertumbuhan ekonomi mempunyai koefisien negatif yang berarti antara variabel laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran terbuka mempunyai hubungan yang negatif. hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa variabel laju pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka di daerah istimewa yogyakarta. studi ini mempunyai kesamaan terhadap studi zulhanafi, hasdi aimon, efrizal syofyan (2013) adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan bahwasanya tingkat pengangguran dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. apabila pertumbuhan ekonomi meningkat berarti telah terjadi kenaikan terhadap produksi barang dan jasa, karena kenaikan produksi barang dan jasa akan menyebabkan kenaikan terhadap faktorfaktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. kenaikan permintaan tenaga kerja ini akan berakibat terhadap menurunnya tingkat pengangguran, begitu juga sebaliknya. berdasarkan studi di atas dapat dijelaskan bahwa variabel angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan. peningkatan angkatan kerja sebanyak 1 persen, maka tingkat pengangguran terbuka akan meningkat 4,14 persen di daerah istimewa yogyakarta. hal ini sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja, di mana permintaan adalah hubungan antara tingkat upah dan kuantitas tenaga kerja yang dikehendaki oleh majikan untuk dipekerjakan. ketika pasokan tenaga kerja memiliki jumlah banyak tetapi permintaan atas jumlah tenaga kerja yang dikehendaki atau dipekerjakan sedikit maka akan mengakibatkan surplus tenaga kerja. berdasarkan data yang sudah diolah, pendidikan menunjukkan tanda negatif dan signifikan secara statistik pada derajat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten/kota di daerah istimewa yogyakarta. peningkatan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran terbuka akan menurun 0,27 persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam jumlah variabel bebas. variabel pendidikan mempunyai koefisien negatif yang berarti antara variabel pendidikan dengan tingkat pengangguran terbuka mempunyai hubungan yang negatif. hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa variabel pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka di daerah istimewa yogyakarta. studi ini mempunyai kesamaan terhadap studi marhaeni (2013) di mana terdapatnya pengaruh yang negatif antara indeks pendidikan dan tingkat pengangtabel 5. hasil analisis model gls (general least square) dependent variable: tpt variable coefficient c -18,79752*** lpe -1,253283*** lnak 4,147202*** p -0,273174*** lnpp -0,056279*** adj r-square 0,999806 f-statistic 18639,52 prob (f-statistic) 0,000000 durbin watson stat 1,453621 *** signifikan pada level 1 % ; ** signifikan pada level 5 % ; * signifikan pada level 10 % jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 171-181 180 guran terbuka mengindikasikan bahwasanya tingkat pengangguran dipengaruhi oleh indeks pendidikan. yang berarti pendidikan dapat mengurangi jumlah pengangguran sesuai dengan teori, jadi pendidikan merupakan salah satu faktor yang harus ditingkatkan lagi agar kualitas sumberdaya manusia daerah istimewa yogyakarta semakin berkualitas dan mempunyai daya saing. berdasarkan data yang sudah diolah, pengeluaran pemerintah menunjukkan tanda negatif dan signifikan secara statistik pada derajat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten/kota di daerah istimewa yogyakarta. peningkatan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat pengangguran terbuka 0,05 persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam jumlah variabel bebas. variabel pendidikan mempunyai koefisien negatif yang berarti antara variabel pendidikan dengan tingkat pengangguran terbuka mempunyai hubungan yang negatif. hasil olah data laju pertumbuhan ekonomi, angkatan kerja, pendidikan dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pengangguran terbuka di kabupatan dan kota daerah istimewa yogyakarta periode tahun 2007 sampai 2012 memperlihatkan nilai r sebesar 0,99. hal ini menunjukkan bahwa secara statistik 99,9% tingkat pengangguran terbuka (tpt) dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi, angkatan kerja, pendidikan dan pengeluaran pemerintah. sedangkan sisanya 0,01% dipengaruhi oleh variabel di luar studi ini. simpulan berdasarkan hasil studi diketahui pengaruh laju pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di kabupaten dan kota daerah istimewa yogyakarta. studi ini mempunyai kesamaan dengan studi zulhanafi, hasdi aimon, efrizal syofyan (2013). di mana apabila pertumbuhan ekonomi meningkat berarti telah terjadi kenaikan terhadap produksi barang dan jasa, karena kenaikan produksi barang dan jasa akan menyebabkan kenaikan terhadap faktorfaktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. kenaikan permintaan tenaga kerja ini akan berakibat terhadap menurunnya tingkat pengangguran, begitu juga sebaliknya. angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di kabupaten dan kota daerah istimewa yogyakarta. hal ini sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja, di mana permintaan adalah hubungan antara tingkat upah dan kuantitas tenaga kerja yang dikehendaki oleh majikan untuk dipekerjakan. di mana ketika pasokan tenaga kerja memiliki jumlah banyak tetapi permintaan atas jumlah tenaga kerja yang dikehendaki atau dipekerjakan sedikit maka akan mengakibatkan surplus tenaga kerja. berdasarkan hasil studi diketahui pengaruh pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di kabupaten dan kota daerah istimewa yogyakarta. studi ini mempunyai kesamaan dengan studi sirait dan marhaeni (2013). pendidikan dapat mengurangi jumlah pengangguran sesuai dengan teori human capital, jadi pendidikan merupakan salah satu faktor yang harus ditingkatkan lagi agar kualitas sumberdaya manusia daerah istimewa yogyakarta semakin berkualitas dan mempunyai daya saing. berdasarkan hasil studi diketahui pengaruh pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di kabupaten dan kota daerah istimewa yogyakarta. hal ini sesuai dengan teori keynes, ketika peningkatan dalam pengeluaran pemerintah dan penurunan dalam pajak, maka suatu suntikan (injection) ke dalam aliran sirkulasi pendapatan nasional akan menaikkan permintaan agregat dan melalui efek pengganda akan menciptakan tambahan lapangan pekerjaan. tambahan lapangan pekerjaan tersebut akan mengurangi tingkat pengangguran terbuka yang ada. daftar pustaka ajija, shochrul r. (2011). cara cerdas menguasai eviews. jakarta: salemba empat. alghofari, farid. (2010). analisis tingkat pengangguran di indonesia tahun 1980-2007. skripsi. semarang: fakultas ekonomi universitas diponegoro. pengangguran terbuka dan determinannya (mohammad rifqi muslim) 181 gujarati, damodar. (2006). dasar-dasar ekonometrika. jakarta: erlangga. hausman, jerry a. (1978). specification tests in econometrics. econometrica: journal of the econometric society: 1251-1271. hudiyanto. (2001). ekonomi indonesia: sistem dan kebijakan. yogyakarta: ppe umy. idris i, ginting s.p., dan budiman. (2007). membangunkan raksasa ekonomi: sebuah kajian terhadap perundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. penerbit buku ilmiah populer. insukindro, maryatmo, r. dan aliman. (2001). modul ekonometrika dasar dan penyusunan indikator unggulan ekonomi. yogyakarta: universitas gadjah mada. kuncoro, m. (2004). metode kuantitatif, teori dan aplikasi untuk bisnis dan ekonomi. yogyakarta: unit penerbit dan percetakan amp ykpn. pitartono, r. dan hayati, b. (2012). analisis tingkat pengaruh pengangguran di jawa tengah tahun 1997-2010. jurnal ekonomi universitas diponegoro. universitas diponegoro. sirait, n. dan marhaeni, a.a.i.n. (2013). analisis beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah pengangguran kabupaten/kota di provinsi bali. e-jurnal ekonomi pembangunan universitas udayana 2.2. sumodiningrat, g. (2010). ekonomika pengantar. edisi ke2. yogyakarta: bpfe. sukirno, s. (2008). ekonomi pembangunan. jakarta: bima grafika. zulhanafi, hasdi aimon, efrizal syofyan. (2013). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan tingkat pengangguran di indonesia. jurnal kajian ekonomi vol.2. no.3. image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper determining competitiveness of indonesian export commodities using revealed comparative analysis suparmono1*, edi suandana2, and fauzan ilmas2 abstract: this article aims to analyze indonesian products’ competitiveness in the global market using the static revealed comparative advantage (srca) and the dynamic revealed comparative advantage (drca). drca is considered superior to rca because it takes into account the time element. the current research combines drca and rca to provide an analytical comparison. the data were collected from the international trade centre, classified according to the harmonized system (hs) from 2013 to 2019. using srca, indonesia’s tin and articles’ competitiveness only contributes 0.95% of indonesia's total exports. the most significant shares of exports are mineral fuels, mineral oils, and their distillation products; bituminous substances; animal or vegetable fats and oils, and their cleavage products; and prepared edible fats. using drca, indonesia’s most significant exports in the rising star category are natural rubber and its derivatives; cars and other motorized vehicles; fatty acids and their derivatives; lignite; unforged lead; ferroalloys; wires and cables; refined copper; petroleum and minerals; and margarine and its derivatives. these products showed positive growth higher than the global average, which means indonesia is competitive in exporting these products. thus, the government could prioritize these products for export. keywords: competitiveness; static rca; dynamic rca; trade specialization; commodities jel classification: f12; f14; b27 introduction indonesia’s export products’ competitiveness has been declining in the past decades; for example, non-oil and gas exports declined by 15.38 percent from 2011 to 2019, with the most significant drop being 16% in 2018 (khaliqi, gurning, novanda, & simamora, 2020). meanwhile, primary products from logging, low-technology manufacturing and processing become key commodities. these products dominate the market but they have little added value. likewise, agricultural products are predominant but have low added value compared to non-agricultural products. therefore, increasing competitiveness is important for improving the trade balance’s performance and global development ranking (erkan & aybudak, 2019). affiliation: 1 department of management, sekolah tinggi ilmu manajemen yayasan keluarga pahlawan negara, special region of yogyakarta, indonesia 2 senior researcher sinergi visi utama consulting, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: suparmono@stimykpn.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13557 citation: suparmono, s., suandana, e., & ilmas, f. (2022). determining competitiveness of indonesian export commodities using revealed comparative analysis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 66-80. article history received: 31 dec 2021 revised: 14 feb 2022 07 apr 2022 accepted: 08 apr 2022 https://scholar.google.com/citations?user=5utzutqaaaaj&hl=en https://stimykpn.ac.id/ https://stimykpn.ac.id/ https://stimykpn.ac.id/ https://stimykpn.ac.id/ https://stimykpn.ac.id/ https://sinergivisiutama.com/ https://sinergivisiutama.com/ https://sinergivisiutama.com/ mailto:suparmono@stimykpn.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13557 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13557&domain=pdf suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 67 competitiveness, in general, is the capacity to manufacture goods and services that satisfy the foreign market’s criteria and offer increased and long-term quality of life (bernardini papalia, calia, & filippucci, 2014). while product-level comparative advantage in aggregated trade flows in a general theoretical framework, trade costs are estimated using pooled product-level trade data (french, 2017) (shahzad, 2015). macro-economic variables, such as inflation, unemployment, interest rate, tax rate, and economic growth rate, are important in enabling a country to compete in today’s global market. however, these variables alone will not suffice (łapińska, huterska, zdunek-rosa, & huterski, 2020) because competitiveness is not only about the quantity but also the density-dependent factors of the exported product (ćorović, gligorijević, & manasijević, 2019). this study aims to determine indonesian products that are competitive in international trade using the revealed comparative advantage (srca) and dynamic revealed comparative advantage (drca) approaches. rca analysis can accurately describe product competitiveness in the international market (shahzad, 2015). past research has examined competitiveness using one of the two approaches (khaliqi et al., 2020). for example, the rca approach (qiao & ma, 2015) predicts the competitiveness of chinese products in the global market, revealing a significant shift in competitiveness from time to time. in indonesia, another empirical study shows that from 2015 to 2019, the competitiveness of indonesia's export products consisted of five main food and beverage products (abdullah & rosjadi, 2021). meanwhile, the average rca of livestock, light and heavy industrial products had low competitiveness. another study uses rca combined with other variables, i.e., price, gdp, the number of workers, and capital (liew, arip, & puah, 2021). the result indicates a short-run dynamic impact on competitiveness from these variables. to increase competitiveness, the study suggests intensifying economic policies by focusing on downstream products and taking advantage of the comparative advantage in the upstream industries. product competitiveness in international trade can also be determined by using a combination of revealed comparative profit (rca), relative export advantage (rxa), relative import advantage (rma), relative trade advantage (rta), and relative competitiveness index (rc). the result shows that competitiveness is highly responsive to economic crises and local currency exchange rates (erdem, 2020). a combination of the rca and trade specialization index approach (tsi) has also been used to assess the competitiveness of indonesian rubber products in the global market (daulika, peng, & hanani, 2020). the results indicate that the factors affecting indonesian natural rubber exports prices are international rubber prices, exchange rates, and domestic consumption. the rca analysis shows that indonesia's natural rubber exports are highly competitive in the international market. a major advantage of using the rca index is that it can determine competitiveness by country, product, and period. for example, combined with the index of contribution to the trade balance (ctb), rca can reveal a country’s strengths and weaknesses compared to other countries (laursen, 2015) (granabetter, 2016) (bioeconomy malaysia report, 2015) (shahzad, 2015) (stellian & danna-buitrago, 2019) (safi et al, 2022). however, the existing research analyzes competitiveness mostly using one rca tool, although suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 68 considering some factors in macroeconomic indicators such as global and national economic policies (caliendo, dvorkin, & parro, 2019). to extend the existing body of research, the current study combines static rca and dynamic rca (drca) to examine indonesian goods’ competitiveness in the international market. in addition, all groups of goods in the hs index are analyzed to reveal the export competitiveness. the findings are expected to inform the government in developing export strategies, e.g., prioritizing superior products identified in this study. likewise, for business actors, the findings in this study can provide direction and an overview of competitive products to be exported. competitiveness definition is more complex than the various meanings often used to describe the circumstances. competitiveness, in general, is the capacity to manufacture goods and services that satisfy the foreign market’s criteria and offer increased and longterm quality of life (bernardini papalia et al., 2014). meanwhile, revealed comparative advantage is a key concept in international economics. it determines trade flows, so we can use trade flows to compute an index that reveals comparative advantages (stellian & danna-buitrago, 2019). export product dynamic (epd) is not as robust as rca because it can only determine the position of a commodity in a certain destination market. this position is not effective in determining the competitiveness of a country's products. even if the analysis is combined with the ordinary least squares method (ols), the results will only affect other variables, such as gdp per capita, export prices, and the real exchange rate of the destination country (fauziah, riniati, & wibisono, 2021). another approach used to determine competitiveness is relative export advantage (rxa), which is complimentary to rca. the analysis can cover a group of countries and many manufacturing industries. in other words, this approach will result in a more general competitive advantage mapping, unlike the specific result generated by rca (stellian & danna-buitrago, 2019). meanwhile, constant market share (cms) is considered a widely used index due to its ease of use and intuitiveness (cinquetti, 2018). this model links export growth to structural strength or competitiveness. however, it is only relevant to the domestic competitiveness structure, which could be biased when compared to other countries (aguiar et al., 2017). competitiveness in international trade can also be measured by the trade intensity index (tii), which describes the bilateral trade against total international trade. tii can also show trade intensity, referred to as the intra and extra trade. this index is used to measure whether a trade value between two countries is higher (or smaller) than expected, based on the importance of the world trade. an index value higher than 1 indicates an intense trade level between the exporting country and the partner country compared to their trade with the rest of the world (constantinescu & panagoret, 2017). nevertheless, this approach can only measure competitiveness between two countries, so it is not comprehensive (khaliqi, gurning, novanda, & simamora, 2020) (benalywa, ismail, shamsudin, & yusop, 2019). suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 69 overall, it could be concluded that the rca method is more robust than other approaches—such as export product dynamic (epd), relative export advantage (rxa), constant market share (cms), and trade intensity index (tii)—to measure product competitiveness in the international trade. additionally, using a dynamic approach will capture not only the types of products gaining competitiveness in the international market but also the map of product competitiveness. indonesia's competitiveness index reached 4.68 in 2017/2018, which increased from 4.51 in 2016/2017. the decline in the competitiveness index occurred in 2014-2016. the competitiveness ranking then recovered in 2016/2017, increasing from rank 41 to rank 36 globally. in the same year, india declined from rank 39 to rank 40 and singapore from rank 2 to rank 3. in 2010-2019, the indonesian national economy grew by 5.39% per year. this growth rate is high considering the stagnant regional and global economies. on a regional level, using the 2010-2019 constant price grdp data in that period, central sulawesi province showed the highest average economic growth of 9.48% per year. meanwhile, east kalimantan province showed the lowest average economic growth, only 2.41% per year. using geometric average, all provinces’ average economic growth reached 5.50%. the economic growth in the provinces can be seen in figure 1. figure 1 comparison of average economic growth 2010-2019 inter-provinces in indonesia comparison between provinces can be shown through the economic sectoral competitiveness review using lq, which indicates that the values of the agriculture, forestry, and fisheries sectors in almost all provinces were > 1. out of 34 provinces, only nine provinces show lq scores < 1. the highest value for these sectors was shown by west sulawesi, at 3.0799. this implies west sulawesi’s output was higher than the national average and has great potential to be exported. nevertheless, judging from the value of the global value chain (gvc) in 2019, indonesia's participation in the global chain was still low, at 43.5—below the average developing countries’ participation, at 48.5. malaysia’s index was considerably higher, reaching 60.8, followed by thailand (54.3) and china (47.7). this index indicates a country's involvement 2,57 5,685,81 2,80 5,916,03 5,46 4,99 5,615,80 6,18 5,29 6,075,775,92 5,21 6,42 4,38 5,265,085,39 6,79 2,41 5,23 7,15 7,957,71 9,48 8,02 6,336,06 6,45 4,30 4,66 suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 70 in the production of goods. the production value chain involves many other countries, including design and development, raw material input, selection and assembly, physical transformation and processing, acquisition of required services such as transportation and financing, and responses to consumer demand. the value of the global value chain (gvc) in 2019 can be seen in figure 2. indonesia's participation in the vgc is the most significant in the mining industry, wholesale and retail trade, and agriculture, with three major recipient countries of the input goods being china, south korea, and malaysia. indonesia’s main production is intermediate goods, rebought after becoming finished goods. the low level of indonesia's participation in the vgc is because the country is still dependent on agricultural and mining product exports, which do not provide significant added value. besides, the manufacturers of general items, which call for low-cost labor, mostly take place in lowwage countries, including china, indonesia, india, vietnam, and korea. the added value of this process is low, lagging behind advanced nations—such as italy, germany, and japan—which produce high value-added and high-end products (son, 2014). figure 2 indonesia's gvc compared to several countries research method this study uses secondary data obtained from the world trade organization (2019) and the international trade center (2019). the data consist of annual time series trade data of indonesian products from 2013 to 2019. the data processing uses static and dynamic revealed comparative advantage (rca). calculating the competitiveness of indonesian export products is done by comparing the share of domestic and export destination countries. this is important so that the government’s strategies can focus on highly competitive products. the data’s timeframe is limited to 2019 to avoid the influence of the covid-19 pandemic on the indonesian and the global economies, whose landscapes have been reshaped since 2020. past studies have highlighted the determinants of export competitiveness by calculating comparative advantage using the rca balassa index (irsahd & xin, 2017). the rca indices use the trade trend to classify industries with a competitive advantage by contrasting the 31,5 19,8 15,4 38,1 19,1 15,6 23,1 12 40,6 39 13,7 24 32,1 25,5 43,5 60,4 54,3 51,8 43,1 47,7 48,6 0 50 100 150 indonesia malaysia thailand rusia india china develpoing countries forward participation backward participation participation index suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 71 trading profile of the country of interest with the world average (hossain, dechun, zhang, & van, 2017). following the previous studies, this study looks at the profitability of exports using the balassa index (balassa, 1965), developed by balassa, who also established liesner 's principle (1958). the index measures comparative export advantages based on the ricardian exchange theory, using the following equation (falkowski, 2017): 𝑅𝐶𝐴𝑖𝑗 = ( 𝑋𝑖𝑗 𝑋𝑖𝑡 ) / ( 𝑋𝑛𝑗 𝑋𝑛𝑡 ) where x reflects the export flows from a given country j, of a given sector or commodity i; t is a product group, and n is a country group. a recorded export comparative advantage (or disadvantage) index is calculated by comparing the export share of total export globally with the export share of a comparable category from the total exports in the country group (łapińska et al., 2020). the rca index’s interpretation is straightforward (obadi, 2016). if the index value is greater than 1, the country has a disclosed competitive advantage, i.e., fairly skilled in producing and selling the commodity. suppose the value is 0 < rca <1, the country has a comparative disadvantage (oelgemöller, 2013). established competition exchange metrics such as the rca index and the published competition index (rc) show the international competitiveness of the industries being evaluated (figiel & kufel, 2013). meanwhile, dynamic revealed comparative advantage (drca) measures the dynamic analysis of rca’s changes by separating the factors causing its growth (hossain et al., 2017). the advantage of drca is that it can identify product advantages over time and explain product position in the export destination market. this is done by categorizing each product based on its position in the destination market. therefore, the drca can better explain changes in competitiveness than rca in general, especially to identify what products are experiencing an increase or loss of market share. in other words, drca can provide policy recommendations for products by considering the export market conditions. essentially, a product that experiences an increase in rca value is not necessarily categorized as a product with good export performance and vice versa. there is a typically balanced relationship in bilateral trade. a particular industry and year can be decomposed into 1) an export-fixed effect industry, which measures the country’s export potential in the industry; 2) a fixed importer-industry effect, which captures the effective demand of the importing country for foreign goods in the industry; 3) an exporterimporter portion, which accounts for bilateral trade frictions (hanson, lind, & muendler, 2016). xi, j = export of commodity j from the country i to the destination market (region or world); xm, j = export of commodity j from the region or the world to the destination market. suppose the rca value increases due to an increase in the origin country’s export suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 72 share, which is higher than that of the destination country. in that case, the commodity is considered a rising star. conversely, suppose the export share in the origin countries rises not as much as the market share’s rise in the destination countries. in that case, the rca value will decrease, and the commodity is considered unable to take advantage of the increase in market size (siggel, 2006). a product with an increased rca value may be considered a ‘falling star’ if the increase in rca is only due to a decrease in the destination’s market share, which equals the downsizing of the overall market share. the position of export competitiveness in rca is shown in figure 3. figure 3 the position of export competitiveness in rca result and discussion based on the static revealed comparative advantage (rca), the competitiveness level of indonesian export, from hs2, 30 groups of goods out of 99 groups had a value of > 1. the first rank with the highest rca value in 2013-2019 was the tin and articles’ group (coded hs79). the high value indicates that indonesian exports to the world were highly competitive. indonesia can dominate the world market for goods of the same type. the competitiveness of these goods increased slightly to 28.14 in 2017 from 27.52 in 2013. indonesia's export competitiveness in 2017 was animal/vegetable fats and oils worth us$ 8,373.2 million. the year-on-year (y-o-y) comparison shows that there was a decrease in exports of animal/vegetable fats and oils by 15.66% from the previous value of us$ 9,928 million. animal/vegetable fats and oils is one of the top ten asean leading export commodities (astrini & azzakiyyah, 2018). meanwhile, the exports performance of rubber and its processed products in 2021 grew by around 5.0% y-o-y, in line with the projected increase in world oil prices. this increase reflects a rebound in demand from major world countries other than china, which previously plunged. in addition, rubber commodities were also expected to receive a positive sentiment from oil prices as the opec+ members were committed to maintaining their prices by reducing supply until at least the first half of 2021 (indonesia exim bank, 2021). leading lagging retreat lagging opportunity rising star falling star lost opportunity p ro d u ct sh a re g ro w th in -co u n try e xp o rts i product share growth in the country's export destination markets : rca down : rca up suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 73 in 2013-2019, nine out of the 30 groups of goods showed a decrease in competitiveness, even though the decline was minimal. the most significant decrease occurred in the group of ores, slags, and ashes (coded hs26), equal to -1.12. meanwhile, competitiveness increased most significantly in vegetable plaiting materials and products not elsewhere specified or included, with a value of 11.02. in the second place was the group of animal/vegetable fats and oils and their cleavage products and prepared edible fats, with an increase of 3.95. exported goods group with rca> 1 is shown in table 1. table 1 exported goods group with rca> 1 no product label 2013 2019 +/ 1 tin and articles thereof 27.52 28.14 0.62 2 animal or vegetable fats and oils and their cleavage products; prepared edible fats; animal 20.14 24.10 3.95 3 musical instruments; parts and accessories of such articles 8.49 9.11 0.62 4 vegetable plaiting materials; vegetable products not elsewhere specified or included 4.64 15.67 11.02 5 man-made staple fibers 5.87 5.94 0.07 6 prepared feathers and down and articles made of feathers or down; artificial flowers; articles 3.98 5.63 1.65 7 the pulp of wood or other fibrous cellulosic material; recovered (waste and scrap) paper 4.13 5.27 1.14 8 coffee, tea, maté, and spices 4.48 3.93 -0.55 9 rubber and articles thereof 4.69 4.36 -0.32 10 footwear, gaiters, and the like; parts of such articles 3.10 3.56 0.45 11 nickel and articles thereof 3.36 3.33 -0.02 12 manufactures of straw, of esparto, or other plaiting materials; basketware and wickerwork 3.40 3.21 -0.18 13 wood and articles of wood; wood charcoal 2.89 3.05 0.16 14 fish and crustaceans, mollusks, and other aquatic invertebrates 2.82 2.85 0.03 15 cocoa and cocoa preparations 2.72 2.37 -0.35 16 tobacco and manufactured tobacco substitutes 2.12 2.84 0.71 17 man-made filaments; strips, and the like of man-made textile materials 2.59 2.11 -0.47 18 paper and paperboard; articles of paper pulp, paper, or paperboard 2.26 2.44 0.18 19 preparations of meat, fish or crustaceans, mollusks, or other aquatic invertebrates 2.05 1.99 -0.05 20 miscellaneous chemical products 2.14 2.14 0.00 21 mineral fuels, mineral oils, and products of their distillation; bituminous substances; mineral 1.80 1.96 0.15 22 articles of apparel and clothing accessories, not knitted or crocheted 1.94 1.89 -0.05 23 ores, slag, and ash 2.74 1.51 -1.22 24 soap, organic surface-active agents, washing preparations, lubricating preparations, artificial 1.87 1.88 0.00 25 articles of apparel and clothing accessories, knitted or crocheted 1.56 1.72 0.15 26 cotton 1.19 1.51 0.32 27 miscellaneous edible preparations 1.09 1.54 0.45 28 copper and articles thereof 1.08 1.46 0.37 29 preparations of cereals, flour, starch, or milk; pastrycooks' products 1.03 1.43 0.40 30 lac; gums, resins, and other vegetable saps and extracts 0.96 1.38 0.41 suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 74 based on these static rca measurements, many indonesian products could be considered highly competitive in the international market. however, the use of high technology in export-oriented goods remains low. the tin and articles group thereof in 2018 turned out to only contribute to the export value of 0.95% of indonesia's total exports. the most significant share of exports was the group of mineral fuels, mineral oils, and products of their distillation, bituminous substances, and minerals, with the value of 21.84%, followed by the group of animal/vegetable fats and oils and their cleavage products, prepared edible fats, and animals, at 13.60%. both of these groups showed an rca value of > 1. goods with a reasonably large export share but having an rca below 1 were those in the group of electrical machinery and equipment, sound recorders and reproducers, and television at 5.01%, but the rca value was only 0.34 in 2017. this indicates that electrical machinery products were in tight competition in the international market. the group of fish and crustaceans, mollusks, and other aquatic invertebrates remained stable during the pandemic, as fish remained a healthy diet option. in addition, indonesia benefited from the us and europe markets china could not enter at the beginning of the year because of the import bans. fishery export performance in 2019 grew by 3.9% y-o-y, increasing by 17.0% y-o-y in the third quarter. exports of fish and crustaceans, mollusks, and other aquatic invertebrates were projected to decrease in the fourth quarter of 2020 due to the based-effect of the fourth quarter of 2019. however, the actual performance every quarter showed an increase. in 2021, fisheries exports were still highly prospective, and indonesia found its niche market in the us, european and japanese markets (indonesia exim bank, 2021). based on the dynamic rca level of indonesian export using more detailed hs4 standards, 10 out of 30 commodity groups with the most significant export value could be categorized as the rising star commodities, namely hs 4001 (natural rubber and its derivatives), hs 8703 (cars and other motorized vehicles), hs 3823 (fatty acids and their derivatives for the industry), hs 2702 (lignite), hs 8001 (unforged lead), hs 7202 (ferroalloys), hs 8544 (wire, cable, and the like), hs 7403 (refined copper), hs 2710 (petroleum oils and mineral oils), and hs 1517 (margarine and its derivatives). this indicates that in 2015-2019, these products showed positive growth both in indonesia and internationally, but growth in indonesia was higher than the growth of similar products globally. these goods improved the share of world exports in 2015-2019. also, there are products in the ‘falling star’ category, such as hs 4703, hs 4802, and hs 7108. this indicates that although indonesia's export in 2015-2017 increased, the world growth in these products decreased. as for the ‘lost opportunity’ category, four types of products in the hs 2709, hs 2603, hs8708, and hs 0901 groups showed that indonesia could not respond optimally to the export demand for these products. this is despite the fact that exports of these products increased globally, prompted by internal or external factors. in other words, the country needs to revisit its market share strategies and reduce its dependence on certain destination countries. future studies can look into this area in more depth. suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 75 table 2 commodity plotting based on competitiveness group year rising star falling star lagging retreat lost opportunity leading retreat lagging opportunity 2014 02, 03, 05, 06, 07, 08, 14, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 30, 32, 33, 38, 39, 44, 45, 46, 48, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 64, 66, 69, 72, 73, 75, 78, 81, 83, 84, 87, 90, 92,96, 99 10, 12, 13, 15, 16, 17, 28, 29, 37, 50, 52, 70, 71, 74, 93 01, 04, 09, 11, 25, 34, 36, 41, 42, 47, 49, 76, 80, 82, 85, 86, 88, 91, 95, 97 26, 27, 31, 40, 43, 51, 89 18, 35, 57, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 68, 79, 94 2015 07, 08, 09, 14, 15, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 28, 30, 32, 33, 35, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 52, 53, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 67, 68, 70, 71, 73, 78, 79, 81, 82, 86, 87, 88, 92, 96, 99 02, 05, 06, 10, 13, 26, 49, 72 27, 36, 41, 80 11, 12, 16, 31, 37, 38, 39, 45, 51, 76, 83, 89, 90, 91, 93, 97 01, 04, 17, 23, 29, 40, 50, 74, 75 03, 34, 54, 63, 66, 84, 85, 94, 95 2016 03, 12, 14, 16, 19, 21, 22, 26, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 45, 56, 57, 59, 61, 63, 64, 65, 71, 79, 84, 87, 90, 96, 99 04, 05, 23, 25, 28, 29, 31, 42, 43, 51, 67, 69, 72, 74, 86, 89, 91, 97 41, 52, 66, 75 02, 06, 07, 08, 09, 11, 18, 20, 40, 47, 48, 60, 68, 70, 78, 82, 83, 85, 88, 94, 95 10, 27, 36, 46, 49, 50, 53, 54, 55, 58, 73, 76, 80, 81, 93 01, 13, 15, 17, 24, 30, 44, 62, 92 2017 04, 15, 28, 40, 47, 72, 74, 76, 78, 79, 80 08, 11, 14, 19, 20, 25, 29, 38, 42, 45, 50, 91, 93, 97 01, 07, 13, 23, 34, 48, 61, 68, 87 24, 26, 33, 43, 67, 85, 86, 95 02, 03, 06, 09, 10, 12, 16, 17, 18, 21, 22, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 39, 41, 44, 46, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 69, 70, 71, 73, 75, 82, 83, 84, 88, 89, 90, 92, 94, 96, 99 05, 27, 81 2018 13, 21, 23, 25, 28, 31, 33, 38, 39, 44, 46, 53, 72, 73, 76, 81 10, 12, 14, 16, 17, 18, 22, 26, 35, 36, 37, 42, 48, 49, 50, 59, 61, 62, 65, 66, 70, 79, 82, 87, 88, 93, 95, 96, 99 01, 04, 07, 19, 24, 41, 55, 60, 71, 80, 91, 92 05, 29, 30, 45, 67, 69, 74, 84, 97 02, 03, 06, 08, 09, 11, 15, 20, 32, 34, 40, 43, 51, 52, 54, 55, 57, 58, 63, 64, 68, 78, 83, 85, 86, 89, 90, 94 27, 47, 75 2019 08, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 19, 21, 22, 23, 28, 30, 33, 34, 38, 40, 64, 67, 71, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81 14, 17, 24, 32, 35, 47, 53, 56, 87, 88, 89, 91, 99 48, 50, 55, 57, 92 18, 20, 26, 27, 31, 39, 42, 63, 65, 68, 73, 83, 85, 86, 90, 93, 94 01, 02, 03, 04, 06, 07, 25, 29, 36, 37, 41, 43, 44, 45, 46, 49, 51, 52, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 69, 70, 76, 82, 84, 95, 97 05, 09, 96 suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 76 table 2 shows the position of competitiveness of indonesian products in the export market. during 2014 to 2016 the grouping of product competitiveness in the rising star quadrant and a significant decline in 2017 and continued until 2019. on the other hand, during 2017 to 2019 the competitiveness of indonesian export products decreased, which was marked by a shift from rising star to leading retreat. this decline in competitiveness must be the government's attention to encourage the competitiveness of export products, especially for each type of product in that quadrant. the demand for cocoa and cocoa preparations, which are categorized as food ingredients, was relatively stable from year to year. many food products use cocoa as the basic ingredients. in addition, exports of cocoa and processed cocoa benefitted from the world cocoa prices, which had increased since 2018. at the end of 2019, cocoa export performance only recorded a decline in exports of 2.8% y-o-y but did not experience a contraction. this weakening was due to the covid-19 outbreak in almost all countries (indonesia exim bank, 2021). using two analytical tools, rca and drca, there are two types of competitive products produced in indonesia. analyzed by the two analytical tools, only the group of mineral fuels, mineral oils, and products of their distillation products are competitive in the international market. fishery products showed an increasing export trend and competitiveness in the international market in 2000-2018 (wicaksono, sutandi, & tembo, 2020). this finding shows that the competitive rca products in the international market are naturally resourced commodities produced using medium and low technology. the drca results also show that the products with export opportunities are also naturally resourced, i.e., oils. conclusion some indonesian export products are competitive and have the potential to seize opportunities in the international market, but these are mostly naturally resourced. in addition, these products may lose their competitiveness when other countries produce similar products but with more modern technology. in the future, indonesia must encourage the export of products that do not entirely depend on natural resources. preprocessing using modern technology should be a priority to give added value to the products to compete in the international market. the results showed that the major shares of exports calculated by srca are: a) the group of mineral fuels, mineral oils, and distillation products; b) bituminous substances; stones, category of goods, animal/vegetable fats and oils and their cleavage products; processed edible fats; livestock. meanwhile, drca showed that there are ten groups in the rising star category, namely natural rubber and its derivatives, cars and other motorized vehicles, fatty acids and their derivatives for industry, lignite, unforged lead, ferroalloys, wires, cables, and the like, refined copper, petroleum oil and mineral oil, margarine and its derivatives. this indicates that in 2015-2019 these products grew both in indonesia and in the world, but the growth in indonesia was higher than the global market. suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 77 from the results of the srca and drca calculations, it can be seen that from 2013 to 2019, the competitiveness of indonesian products in the world trade experienced a shift. this shows that indonesia's competitiveness is not always consistent in the world market due to various aspects, such as commodity price volatility and indonesia's dependence on imported products. however, the key takeaway is that the competitive indonesian products are dependent on natural resources and processed using low technology, which results in low added value and is highly susceptible to the price instability in the world market. the calculation of product competitiveness in international trade showed that agriculture products and those processed using medium and low technology are competitive. aside from expanding the market share, a strategy that the government can benefit from is increasing exports of goods and services based on the analysis of the global production chain. the current study also shows that potential destination countries are not aligned with each indonesian product’s competitiveness. in other words, indonesia will get more advantage if it exports a competitive product to the correct destination country. the findings in this study suggest the ministry of trade of the republic of indonesia increase export market access through 1) strengthening market intelligence; 2) accelerating negotiations and settlements; 3) conducting economic diplomacy for safeguarding, deepening, and expanding export markets; 4) integrating promotion and trade missions, buying missions, exhibition participation, and positive campaigns for indonesian products; 5) establishment of indonesian international cooperation funding agencies; and 6) repositioning and strengthening the roles of trade representatives abroad. in addition, there should be integration in marketing networks and production chains through 1) increasing independence, competitiveness, and standards of export products; 2) increased participation in global production network (gpn) and global value chains (vgc); 3) strengthening export support infrastructure (including logistics); 4) increasing the continuity and standardization of products from upstream to downstream; and 5) strengthening logistics management institutions. finally, the government should also increase the added value of export products through 1) diversification of export products, specially manufactured products with medium-high technology; 2) increasing service exports; and 3) assistance and facilitation of small and medium industries with export orientation. acknowledgment the author would like to thank sekolah tinggi ilmu manajemen ykpn yogyakarta for funding this research; the national development planning agency (bappenas) of the republic of indonesia for providing data and information; and sinergi visi utama consulting for providing journal references and access. suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 78 references abdullah, r. & rosjadi, i. (2021). strengthening the competitiveness of indonesia’s loser sector products in rcep cooperation. journal of economics and behavioral studies, 13(3), 44–52. https://doi.org/10.22610/jebs.v13i3(j).3180 aguiar, g. p., da silva, j. c. g. l., frega, j. r., de santana, l. f., & valerius, j. (2017). the use of constant market share (cms) model to assess brazil nut market competitiveness. journal of agricultural science, 9(8), 174-180. https://doi.org/10.5539/jas.v9n8p174 astrini, e. w., & azzakiyyah, n. a. (2018). comparative advantage measurement in asean’s ten leading export commodities: a case study of asean-5. bise: jurnal pendidikan bisnis dan ekonomi, 4(1), 22–37. retrieved from https://jurnal.uns.ac.id/bise/article/view/17560 balassa, b. (1965). trade liberalisation and “revealed” comparative advantage. the manchester school, 33(2), 99–123. https://doi.org/10.1111/j.1467-9957.1965.tb00050.x benalywa, z. a., ismail, m. m., shamsudin, m. n., & yusop, z. (2019). revealed comparative advantage and competitiveness of broiler meat products in malaysia and selected exporting countries. international journal of business and society, 20(1), 383–396. retrieved from http://www.ijbs.unimas.my/index.php/volume-11-20/volume-20-no1-2019/570-revealed-comparative-advantage-and-competitiveness-of-broiler-meatproducts-in-malaysia-and-selected-exporting-countries bernardini papalia, r., calia, p., & filippucci, c. (2014). information theoretic competitiveness composite indicator at micro level. social indicators research, 123(2), 349–370. https://doi.org/10.1007/s11205-014-0745-0 bioeconomy malaysia report. (2015). revealed comparative advantage of bio-based products: a malaysian case study. bioeconomy malaysia report. retrieved from http://www.bioeconomycorporation.my/wpcontent/uploads/2017/08/bioeconomy_malaysia_report_2015.pdf caliendo, l., dvorkin, m., & parro, f. (2019). trade and labor market dynamics: general equilibrium analysis of the china trade shock. econometrica, 87(3), 741–835. https://doi.org/10.3982/ecta13758 cinquetti, c. a. (2018). comparative advantages and demand in the new competitive ricardian models. foreign trade review, 53(1), 29–48. https://doi.org/10.1177/0015732516681884 constantinescu, l. m., & panagoret, i. (2017). digital economy a bridge to romanian competitiveness from regional to global. journal of science and arts, 3(40), 491-502. retrieved from https://www.icstm.ro/docs/josa/josa_2017_3/a_12_constantinescu_491.pdf ćorović, e., gligorijević, ž., & manasijević, a. (2019). revealed comparative advantages and competitiveness of the manufacturing industry of the republic of serbia. economic themes, 57(3), 307–327. https://doi.org/10.2478/ethemes-2019-0018 daulika, p., peng, k.-c., & hanani, n. (2020). analysis on export competitiveness and factors affecting of natural rubber export price in indonesia. agricultural social economic journal, 20(1), 39–44. https://doi.org/10.21776/ub.agrise.2020.020.1.6 erdem, t. (2020). competitiveness of dried sector: a case study of world and turkey. agricultural economics (zemědělská ekonomika), 66(8), 365–372. https://doi.org/10.17221/98/2020-agricecon erkan, b., & aybudak, h. g. (2019). comparative specialization and competition analysis according to the technology hardware of turkey and south korea. 8th scf https://doi.org/10.22610/jebs.v13i3(j).3180 https://doi.org/10.5539/jas.v9n8p174 https://jurnal.uns.ac.id/bise/article/view/17560 https://doi.org/10.1111/j.1467-9957.1965.tb00050.x http://www.ijbs.unimas.my/index.php/volume-11-20/volume-20-no-1-2019/570-revealed-comparative-advantage-and-competitiveness-of-broiler-meat-products-in-malaysia-and-selected-exporting-countries http://www.ijbs.unimas.my/index.php/volume-11-20/volume-20-no-1-2019/570-revealed-comparative-advantage-and-competitiveness-of-broiler-meat-products-in-malaysia-and-selected-exporting-countries http://www.ijbs.unimas.my/index.php/volume-11-20/volume-20-no-1-2019/570-revealed-comparative-advantage-and-competitiveness-of-broiler-meat-products-in-malaysia-and-selected-exporting-countries https://doi.org/10.1007/s11205-014-0745-0 http://www.bioeconomycorporation.my/wp-content/uploads/2017/08/bioeconomy_malaysia_report_2015.pdf http://www.bioeconomycorporation.my/wp-content/uploads/2017/08/bioeconomy_malaysia_report_2015.pdf https://doi.org/10.3982/ecta13758 https://doi.org/10.1177/0015732516681884 https://www.icstm.ro/docs/josa/josa_2017_3/a_12_constantinescu_491.pdf https://doi.org/10.2478/ethemes-2019-0018 https://doi.org/10.21776/ub.agrise.2020.020.1.6 https://doi.org/10.17221/98/2020-agricecon suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 79 international conference on “the economic and social impacts of the globalization and liberalization, 10-13 october, 92–98. falkowski, k. (2017). innovativeness of belarusian economy through the prism of its competitive position in international trade. cbu international conference proceedings, 5, 120–127. https://doi.org/10.12955/cbup.v5.912 fauziah, d., riniati, r., & wibisono, s. (2021). analysis of competitiveness and factors affecting the level of potato export to singapore and malaysia. media trend, 16(1), 111. https://doi.org/10.21107/mediatrend.v16i1.5788 figiel, s., & kufel, j. (2013). macroeconomic performance and international competitiveness of the agro-food sectors in the eu countries: implications for the future cap. procedia social and behavioral sciences, 81, 405–410. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.451 french, s. (2017). revealed comparative advantage: what is it good for? journal of international economics, 106, 83–103. https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2017.02.002 granabetter, d. (2016). revealed comparative advantage index: an analysis of export trade in the austrian district of burgerland. review of innovation and competitiveness, 2(2), 97–114. https://doi.org/10.32728/ric.2016.22/3 hanson, g. h., lind, n., & muendler, m-a. (2016). the dynamics of comparative advantage. cesifo working paper series 5622. hossain, m., dechun, h., zhang, c., & van, v. (2017). dynamics of comparative advantage and competitiveness of textile and apparel industry: an empirical analysis for china and bangladesh. british journal of economics, management & trade, 16(1), 1–19. https://doi.org/10.9734/bjemt/2017/30840 indonesia exim bank. (2021). outlook ekspor komoditas utama indonesia 2021. indonesia exim bank. retrieved from https://www.indonesiaeximbank.go.id/id/research/downloads/19 irsahd, m. s., & xin, q. (2017). determinants of exports competitiveness: an empirical analysis through revealed comparative advantage of external sector of pakistan. asian economic and financial review, 7(6), 623–633. https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2017.76.623.633 khaliqi, m., gurning, h. r. h., novanda, r. r., & simamora, o. n. (2020). competitiveness indonesia tea in international market. iop conference series: earth and environmental science, 454(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/454/1/012039 khaliqi, m., gurning, h. r. h., novanda, r. r., & simamora, o. n. (2020). competitiveness indonesia tea in international market. iop conference series: earth and environmental science, 454(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/454/1/012039 łapińska, j., huterska, a., zdunek-rosa, e. w. a., & huterski, r. (2020). poland’s competitive position in foreign trade in sports articles and equipment with china and selected eu countries. journal of physical education and sport, 20(2), 1044–1049. https://doi.org/10.7752/jpes.2020.s2145 laursen, k. (2015). revealed comparative advantage and the alternatives as measures of international specialization. eurasian business review, 5(1), 99–115. https://doi.org/10.1007/s40821-015-0017-1 liew, s-l., arip, m. a., & puah, c-h. (2021). determinants of export competitiveness of agricultural products in malaysia. international journal of business and society, 22(2), 618– 636. https://doi.org/10.33736/ijbs.3747.2021 obadi, s. (2016). revealed comparative advantage and competitiveness in the eu-28 and the usa. ekonomické rozhl’ady/ecomomic review, 45(2), p243-259. oelgemöller, j. (2013). revealed comparative advantages in greece, ireland, portugal and spain. intereconomics, 48(4), 243–253. retrieved from https://doi.org/10.12955/cbup.v5.912 https://doi.org/10.21107/mediatrend.v16i1.5788 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.451 https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2017.02.002 https://doi.org/10.32728/ric.2016.22/3 https://doi.org/10.9734/bjemt/2017/30840 https://www.indonesiaeximbank.go.id/id/research/downloads/19 https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2017.76.623.633 https://doi.org/10.1088/1755-1315/454/1/012039 https://doi.org/10.1088/1755-1315/454/1/012039 https://doi.org/10.7752/jpes.2020.s2145 https://doi.org/10.1007/s40821-015-0017-1 https://doi.org/10.33736/ijbs.3747.2021 suparmono, suandana, & ilmas determining competitiveness of indonesian export commodities … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 80 https://www.intereconomics.eu/contents/year/2013/number/4/article/revealedcomparative-advantages-in-greece-ireland-portugal-and-spain.html qiao, m., & ma, t. (2015). analysis of maxproximity and rca with international trade data--take china as an example. proceedings of the international conference on advances in energy, environment and chemical engineering. https://doi.org/10.2991/aeece-15.2015.92 safi, s. k., sanusi, o. i., & tabash, m. i. (2022). forecasting the impact of covid-19 epidemic on china exports using different time series models. advances in decision sciences, 26(1), 102-127. https://doi.org/10.47654/v26y2022i1p102-127 shahzad, k. (2015). an rca analysis of textiles and clothing in pakistan, india, and bangladesh. the lahore journal of economics, 20(1), 157–168. https://doi.org/10.35536/lje.2015.v20.i1.a6 siggel, e. (2006). international competitiveness and comparative advantage: a survey and a proposal for measurement. journal of industry, competition and trade, 6(2), 137–159. https://doi.org/10.1007/s10842-006-8430-x son, m. (2014). a comparative analysis on the competitiveness of the korean, chinese and japanese fashion industries: the generalized double diamond model approach. fashion business, 18(6), 67–85. https://doi.org/10.12940/jfb.2014.18.6.67 stellian, r., & danna-buitrago, j. (2019). revealed comparative advantages and regional specialization: evidence from colombia in the pacific alliance. journal of applied economics, 22(1), 349–379. https://doi.org/10.1080/15140326.2019.1627722 wicaksono, b. r., sutandi, t., & tembo, s. (2020). forecasting fisheries production in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 21(2), 169–184. https://doi.org/10.18196/jesp.21.2.5039 https://www.intereconomics.eu/contents/year/2013/number/4/article/revealed-comparative-advantages-in-greece-ireland-portugal-and-spain.html https://www.intereconomics.eu/contents/year/2013/number/4/article/revealed-comparative-advantages-in-greece-ireland-portugal-and-spain.html https://doi.org/10.2991/aeece-15.2015.92 https://doi.org/10.47654/v26y2022i1p102-127 https://doi.org/10.35536/lje.2015.v20.i1.a6 https://doi.org/10.1007/s10842-006-8430-x https://doi.org/10.12940/jfb.2014.18.6.67 https://doi.org/10.1080/15140326.2019.1627722 https://doi.org/10.18196/jesp.21.2.5039 microsoft word 08-tito jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.163-173 pengujian hipotesis linder dalam kasus impor komoditas intra-industri manufaktur indonesia tito satrio1, ahmad jamli2 1penelitian dan pelatihan ekonomika dan bisnis (p2eb) feb ugm pertamina tower building 2nd floor, sosio humaniora street no. 1, bulaksumur, yogyakarta 55281, indonesia, phone: +62274548517 2fakultas ekonomika dan bisnis, universitas gadjah mada jalan sosio humaniora no.1, bulaksumur, daerah istimewa yogyakarta 55281, indonesia phone : +62 274 548510. e-mail korespondensi: satrio.boy@gmail.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: september 2013 abstract: the study aims to examine the empirical validity of the linder hypothesis for indonesia’s import for manufacture intra-industry commodity from seven member of asean plus three (singapore, malaysia, thailand, philippines, japan, south korea, and china). this study uses balance panel data model with fixed effect approach. panel data model with fixed effect approach can control for country specific individual effect. the result implies that indonesia import more intensively with countries with high per capita income levels, which rejects the linder hypothesis. keywords: linder hypothesis; intra-industry trade; balance panel data; fixed effects approach jel classification: f13 abstrak: tujuan dari studi ini adalah untuk menguji validitas empiris hipotesis linder untuk impor komoditas intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three (singapura, malaysia, thailand, filipina, jepang, korea selatan, dan cina). studi ini menggunakan balance panel data model dengan fixed effect approach. model data panel dengan fixed effect approach dapat mengontrol country specific individual effect. hasil studi mengimplikasikan bahwa impor yang dilakukan oleh indonesia lebih intensif dengan negara-negara yang memiliki pendapatan per capital relative lebih tinggi, sehingga menolak hipotesis linder. kata kunci: hipotesis linder; perdagangan intra-industri; balance panel data model; fixed effects approach klasifikasi jel: f13 pendahuluan asean (the association of south east asia nations) dibentuk pada tanggal 8 agustus 1967 di bangkok oleh 5 negara, yaitu indonesia, malaysia, filipina, singapura, dan thailand melalui deklarasi bangkok. brunei darussalam bergabung pada tanggal 8 januari 1984, diikuti oleh vietnam pada tanggal 28 juli 1995, lao pdr dan myanmar pada tanggal 23 juli 1997, dan kamboja pada tanggal 30 april 1999. asean dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, pengembangan kebudayaan, serta memajukan perdamaian di tingkat regional negara-negara anggota asean. negara-negara anggota asean telah mengkombinasikan gross domestic product (gdp) nominal mereka sebesar us$ 1,496,341.3 pada tahun 2009 (asean finance and macroeconomic surveillance unit database, 2011). namun, sebenarnya terdapat kesenjangan ekonomi yang cukup besar di antara negara-negara anggota asean seperti yang digambarkan oleh perbedaan dalam pdb per kapita mereka. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 163-173 164 secara rata-rata pendapatan per kapita semua negara anggota asean mengalami peningkatan. selama tahun 2007 hingga 2010 singapura merupakan negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di asean, peringkat selanjutnya yaitu: brunei darussalam, malaysia, thailand, indonesia, filipina, myanmar, vietnam, laos, dan peringkat terakhir ditempati oleh kamboja. selanjutnya, negara plus three yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi yaitu jepang, diikuti oleh korsel, dan kemudian china. perbedaan pendapatan per kapita tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan produktivitas, perbedaan sumber daya, dan perbedaan jumlah penduduk. pada asean summit ke-9 di bali pada tahun 2003 telah disepakati pembentukan komunitas asean yang dikenal sebagai komunitas ekonomi asean (asean economic community). komunitas ekonomi asean bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan perpindahan barang modal secara lebih bebas. dibentuknya komunitas ekonomi asean diharapkan dapat meningkatkan volume perdagangan intra-asean. selain afta, indonesia yang tergabung dalam asean juga terlibat dalam beberapa kesepakatan perdagangan bebas lainnya. salah satu pembentukan fta yang lebih luas telah disepakati, yaitu asean plus three fta. kerjasama asean plus three dimulai dengan dilakukannya pertemuan informal antara pemimpin asean dan mitra mereka dari asia timur, yaitu cina, jepang dan korea selatan ketika berlangsungnya asean informal summit ke-2 di malaysia pada tahun 1997. namun, proses kerjasama asean plus three ditetapkan sebagai forum resmi pada tahun 1999 ketika para pemimpin kedua kawasan tersebut mengeluarkan pernyataan bersama mengenai kerjasama asia timur pada asean plus three summit ke-3 di manila. dengan diresmikannya kerjasama asean plus three diharapkan dapat menciptakan kerjasama yang sifatnya substantif dan intensif. latar belakang terbentuknya asean plus three antara lain: (1) asia tenggara memberikan nilai penting yang strategis bagi jepang, cina, dan korea; (2) secara geopolitis, asia tenggara merupakan area transit perdagangan dan sebagai penyedia bahan baku; (3) populasi penduduk asia tenggara yang sangat besar merupakan pasar yang sangat potensial; (4) keterkaitan fdi yang sampai saat ini masih berlangsung antara asean dengan jepang, cina, dan korea selatan menjadikan kerjasama fta akan lebih menguntungkan; (5) perekonomian cina sangat kuat dan masih terus tumbuh, sepanjang perekonomian cina masih jauh di atas perekonomian sebagian besar negara asean maka perdagangan antara cina dan asean akan lebih bersifat komplemen daripada bersaing, dengan demikian akan tercipta trade creation (arifin, 2007). tabel 1. pdb per kapita negara-negara anggota asean plus three periode 2007-2010 (constant price in 2005 dolars, us dollars) no. negara 2007 2008 2009 2010 1 singapura 30.757 30.527 29.658 33.262 2 brunei d. 26.605 25.625 24.730 25.080 3 malaysia 5.781 5.951 5.752 6.064 4 thailand 2.990 3.045 2.955 3.167 5 indonesia 1.367 1.432 1.480 1.553 6 filipina 1.228 1.254 1.244 1.313 7 myanmar 874 897 933 971 8 vietnam 718 754 785 829 9 laos 529 559 590 628 10 kamboja 558 585 564 592 plus three 11 jepang 37.211 36.775 34.485 36.287 12 korsel 19.357 19.749 19.759 20.922 13 china 2.216 2.417 2.627 2.883 sumber: ers international macroeconomic data set (2012) pengujian hipotesis linder ... (tito satrio, ahmad jamli) 165 berdasarkan hubungapn perdagangan internasional antara indonesia dengan negaranegara asean plus three, perdagangan yang dilakukan oleh indonesia dengan asean plus three didominasi oleh barang-barang manufaktur. berdasarkan data dasar gtap versi 7.0, aliran impor indonesia dari negara-negara asean plus three lainnya didominasi oleh sektor-sektor manufaktur seperti peralatan elektronik, kemudian diikuti oleh sektor kimia, karet dan plastik. sebaliknya, kegiatan ekspor indonesia ke negara-negara asean plus three didominasi oleh sektor-sektor primer dari pertambangan dan penggalian seperti gas alam dan minyak mentah (firdaus, 2011). pada tahun 2009, sektor industri manufaktur indonesia tertekan dengan adanya krisis finansial global yang menyebabkan ekonomi di negara maju melemah. akibatnya pasar ekspor menyusut dan sebagian besar industri manufaktur yang berorientasi ekspor mulai mengalami penurunan. meskipun demikian, memasuki tahun 2010, pasar ekspor mulai bangkit kembali demikian juga pasar domestik. sektor yang mengalami peningkatan kinerja secara signifikan dialami oleh sektor manufaktur. kementerian perdagangan ri (2010) melaporkan bahwa kuatnya kinerja ekspor non migas didorong menguatnya kinerja ekspor produk manufaktur yang juga mencapai rekor tertinggi. ekspor manufaktur mempunyai peran terbesar terhadap total ekspor bukan migas, yaitu 62,6% dibandingkan produk lainnya seperti pertanian (3,3%) dan pertambangan dan lainnya (16,8%). tidak berbeda dengan kondisi peningkatan ekspor manufaktur yang dialami oleh indonesia, impor manufaktur juga mengalami peningkatan. berdasarkan publikasi kementerian perdagangan ri (2010) yang melaporkan bahwa peningkatan impor pada oktober 2010 didorong oleh meningkatnya impor seluruh kelompok barang, terutama bahan baku penolong, sebesar 26,6%. impor barang didominasi oleh pasar jepang, singapura, dan rrc, yaitu masing-masing sebesar us$ 1,7 miliar dengan pangsa pasar di indonesia mencapai 33,9%. intensitas perdagangan antara indonesia dengan asean plus three pada ekspor dan impor untuk perdagangan intra-industri manufaktur semakin meningkat dalam kurun waktu 1993-2010. berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa jepang dan singapura merupakan negara tujuan ekspor terbesar di antara lima negara asean plus three lainnya. indonesia juga melakukan impor dari tujuh negara asean plus three pada komoditas sektor manufaktur. gambar 2 menunjukkan bahwa impor yang dilakukan oleh indonesia didominasi oleh komoditas yang berasal dari jepang, china, dan singapura. berdasarkan asal negara pengimpor, impor indonesia selama tahun 2009-2010 didominasi oleh china, yang pada tahun sebelumnya didominasi oleh jepang. studi ini menguji validitas empiris hipo sumber: uncomtrade, 2012 gambar 1. total nilai ekspor intra-industri manufaktur indonesia ketujuh negara asean plus three periode 1993-2010 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 163-173 166 tesis linder dari perspektif indonesia. rauh, alison (2009) dalam studinya dengan variabel dependen berupa ekspor dan impor sedangkan variabel independen mendukung hipotesis linder dengan berupa linder (perbedaan pendapatan per kapita riil), nilai tukar riil, dan gdp riil dengan memberikan hasil bahwa mendukung hipotesis linder. mcpherson, dkk (2001) dengan variabel dependen berupa impor dan variabel independen berupa linder (perbedaan pendapatan per kapita riil), nilai tukar riil, dan gdp riil menunjukkan hasil bahwa mendukung hipotesis linder. dakal, dharmendra, dkk (2009) dalam studinya dengan variabel dependen berupa ekspor propensities dan variabel independen berupa linder (perbedaan pendapatan per kapita riil), gdp riil, jarak, dan variabel dummy (1 untuk anggota asean dan 0 untuk bukan anggota asean) dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis linder. anggraita, risty (2011) dengan variabel dependen yaitu import propensities dan variabel independen yaitu jarak, gdp nominal, gdp nominal rata-rata, perbedaan pendapatan per kapita nominal, fdi, dan gdp rata-rata dengan menunjukkan hasil bahwa menolak hipotesis linder. studi ini lebih memfokuskan pada analisis ada atau tidaknya efek linder di dalam impor komoditas intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three dan analisis faktor-faktor lain yang mempengaruhi impor komoditas intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three (malaysia, singapura, thailand, filipina, cina, jepang, dan korea selatan) selama periode 1993-2010. faktor-faktor lain yang dimaksud dalam studi ini yaitu gdp riil dan nilai tukar riil. tujuan dari studi ini adalah untuk; (1) menganalisis efek linder: apakah terdapat efek linder di dalam impor intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three? dan (2) menganalisis pengaruh nilai tukar riil dan gdp riil terhadap impor komoditas intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three. metode penelitian jenis dan sumber data jenis data yang digunakan adalah data. data nilai impor bersumber dari united nations commodity trade statistic data (un comtrade) sedangkan data gdp riil, pendapatan per kapita riil dan gdp deflator bersumber dari economic research service of united state department of agriculture dengan tahun dasar 2005. data nilai tukar (exchange rate) diperoleh dari situs: http://www.gocurrency.com/v2/historic exchange-rates.php objek studi yang diamati adalah tentang impor komoditas intra-industri manufaktur sumber: uncomtrade, 2012 gambar 2. total nilai impor komoditas sektor intra-industri manufaktur indonesia ke tujuh negara asean plus three periode 1993-2010 pengujian hipotesis linder ... (tito satrio, ahmad jamli) 167 indonesia dari tujuh negara asean plus three yang meliputi negara malaysia, singapura, thailand, filipina, cina, jepang, dan korsel periode tahun 1993-2010. lima negara asean lain, kamboja, vietnam, laos, myanmar, dan brunei darussalam tidak diikutsertakan dalam studi ini karena data standard international trade classification (sitc) dari kelima negara tersebut tidak tersedia sehingga harus ditiadakan dalam studi ini. analisis data alat analisis yang digunakan dalam studi ini adalah regresi model balance data panel. verbeek (2000) mengemukakan bahwa keuntungan regresi dengan menggunakan data panel dibandingkan dengan data time series atau data cross section adalah kemampuan regresi data panel dalam mengidentifikasi parameter-parameter regresi secara pasti dengan tanpa membutuhkan asumsi restriksi atau kendala. selain itu, penggunaan data panel akan dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (ommitted-variable). estimasi data panel tergantung pada asumsi-asumsi pada intersep, koefisien slope dan error term. dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan, yang terkait dengan asumsiasumsi tersebut: 1. intersep dan koefisien slope konstan setiap waktu dan unit dan error menampung perbedaan tiap waktu dan unit. 2. koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi tiap unit. 3. koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi tiap unit dan waktu. 4. semua koefisien (intersep dan slope) bervariasi tiap unit. 5. semua slope bervariasi tiap unit dan waktu. regresi data panel dengan pendekatan fixed effect sebagai alat uji hipotesis linder digunakan untuk alat analisis yang digunakan dalam studi ini adalah regresi model balance data panel. verbeek (2000) mengemukakan bahwa keuntungan regresi dengan menggunakan data panel dibandingkan dengan data time series atau data cross section adalah kemampuan regresi data panel dalam mengidentifikasi parameter-parameter regresi secara pasti dengan tanpa membutuhkan asumsi restriksi atau kendala. selain itu, penggunaan data panel akan dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (ommitted-variable). estimasi data panel tergantung pada asumsi-asumsi pada intersep, koefisien slope dan error term. dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan, yang terkait dengan asumsiasumsi tersebut: intersep dan koefisien slope konstan setiap waktu dan unit dan error menampung perbedaan tiap waktu dan unit. 2) koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi tiap unit. 3) koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi tiap unit dan waktu. 4) semua koefisien (intersep dan slope) bervariasi tiap unit. 5) semua slope bervariasi tiap unit dan waktu. regresi data mengukur intensitas perdagangan berdasarkan variabel berikut ini: ukuran dari ukuran ekonomi mitra dagang, ukuran dari perbedaan pendapatan per kapita riil, nilai tukar riil, dan relevant time-invariant factors misal jarak (mcpherson, dkk, 2001). model ekonometrika yang dihasilkan adalah sebagai berikut: ∗ ∗ ∗ 1) tipe fungsi regresi log-linier digunakan di dalam model tersebut sebagai transformasi karena berdasarkan hasil pemilihan model fungsi regresi menggunakan metode uji mackinnon, white, dan davidson diperoleh hasil bahwa hubungan variabel dependen dengan masingmasing variabel independen bersifat non-linier. world bank (2010) mengkategorikan indonesia sebagai negara berkembang. berdasarkan kategori tersebut, pemilihan impor sebagai variabel dependen dibandingkan dengan ekspor pada studi ini berdasarkan pada gagasan bahwa secara relatif sebagian besar proporsi ekspor dari negara-negara berkembang terdiri atas produk-produk primer-tipe barang yang linder yakini bahwa teorinya tersebut tidak dapat diterapkan. impor ke negara-negara berjurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 163-173 168 kembang, di lain sisi terdiri atas barang-barang manufaktur, oleh karena itu pengukuran yang tepat digunakan di dalam menguji validitas teori linder adalah variabel impor (mcpherson, dkk., 2001). log(imporit) adalah log nilai impor ke indonesia dari mitra dagang “i” pada tahun “t”. variabel ini untuk mengukur besarnya efek linder pada impor yang dilakukan oleh indonesia. log(linderit) adalah variabel yang merepresentasikan efek linder. variabel ini adalah log nilai absolut perbedaan pendapatan per kapita riil antara negara indonesia dan mitra dagang “i” pada tahun “t”. hasil estimasi dengan nilai koefisien negatif dan secara statistik signifikan pada efek perbedaan dalam pendapatan per kapita akan memberikan bukti yang mendukung hipotesis linder dan juga akan mengimplikasikan bahwa impor indonesia secara signifikan lebih intensif dengan tujuh negara asean plus three yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. log(exchangeit) adalah log nilai tukar. dalam rangka untuk mengontrol perubahan harga relatif di antara mitra dagang, di dalam model ini digunakan pula variabel tingkat nilai tukar riil sebagai variabel independen. nilai tukar riil dibangun dengan persamaan matematis sebagai berikut: ∗ 2) di mana eit adalah nilai tukar rata-rata tahunan dari mitra dagang potensial “i” pada tahun “t”, yang diukur dengan unit rupiah per unit mata uang mitra dagang potensial “i”. pit adalah gdp deflator pada negara mitra dagang potensial “i” pada tahun “t” dan pgt adalah gdp deflator indonesia pada tahun “t”. peningkatan nilai log(exchangeit) merepresentasikan suatu keadaan dimana melemahnya nilai rupiah terhadap nilai mata uang mitra dagang akan menyebabkan penurunan pada volume impor. oleh karena itu, koefisien: log(exchangeit) diharapkan bernilai negatif. log(gdpit) adalah variabel log nilai output (gdp riil) yang digunakan untuk mengontrol ukuran tingkat perekonomian masing-masing mitra dagang. variabel independen gdpit merupakan ukuran dari tingkat gdp riil mitra dagang indonesia “i” pada tahun “t”. koefisien log(gdpit) diharapkan bernilai positif karena peningkatan output mitra dagang “i” akan meningkatkan volume impor dari mitra dagang “i” ke indonesia. εit adalah error term atau variabel pengganggu. panel unit root test, secara prinsip penggunaan data panel unit root test adalah dimaksudkan untuk meningkatkan power of the test dengan meningkatkan jumlah sample. peningkatan jumlah sample yang besar dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah cross-sectional data maupun jumlah time-series data. uji statistik yang digunakan untuk menguji unit root antara lain (baltagi, 2005): (1) levin, lin and chu test; (2) im, pesaran and shin test; (3) breitung’s test; (4) combining p-value tests; dan (5) residualbased lm test. studi ini menggunakan levin, lin and chu test, im, pesaran and shin test, adf test, dan pp test. panel cointegration test. uji kointegrasi panel digunakan untuk menguji ada tidaknya hubungan jangka panjang antara variabel dependen dengan variabel independen yang diteliti. model kointegrasi panel ditujukan untuk menguji hubungan ekonomi jangka panjang yang biasanya ditemukan pada data makroekonomi dan data finansial. uji statistik yang digunakan untuk menguji kointegrasi panel dalam studi ini yaitu uji kointegrasi pedroni. uji pedroni mengestimasi residual yang dimiliki oleh model menggunakan tujuh statistik uji kointegrasi panel yang berbeda. pedroni membagi ketujuh statistik uji kointegrasi panel ini ke dalam dua kelompok yang diberi istilah withindimension dan between-dimension. hipotesis uji pedroni yaitu: h0: ρi = 1 untuk semua i h1: ρi< 1 untuk semua i (within-dimension panel statistic test) h1: (ρi = ρ) < 1 untuk semua i (between-dimension panel statistic test) hasil uji yang dihasilkan kemudian disesuaikan dengan hipotesis diatas. jika hasilnya menolak h0, maka terdapat hubungan jangka panjang antara variabel yang diuji karena h0 dalam uji pedroni adalah tidak terdapat kointegrasi. hausman test adalah pengujian statistik pengujian hipotesis linder ... (tito satrio, ahmad jamli) 169 sebagai dasar pertimbangan di dalam memilih apakah menggunakan pendekatan fixed effect atau random effect. hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: h0 ditolak maka pendekatan yang tepat adalah fixed effect apabila hauman test lebih besar dari nilai kritis (p-value < alpha) h0 diterima maka pendekatan yang tepat adalah random effect apabila hauman test lebih kecil dari nilai kritis (p-value > alpha) pendekatan fixed effect. pendekatan dengan memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan nama model fixed effect atau least square dummy variable (gujarati, 2004). pendekatan fixed effet dapat dituliskan di dalam persamaan sebagai berikut: ∑ 3) keterangan: yit adalah variabel dependen di waktu t untuk unit cross section i ; αi adalah intersep yang berubah-ubah antar cross section unit; adalah variabel independen j di waktu t untuk unit cross section i; βj adalah parameter untuk variabel ke j; εit adalah error term di waktu t untuk unit cross section i pendekatan random effect. model random effect sering juga disebut model komponen error (error component model). bentuk model efek acak ini dijelaskan pada persamaan berikut ini: 4) dalam hal ini, slope tidak lagi nonstokastik, tetapi bersifat random. di mana: ∗ hasil dan pembahasan panel unit root test, dari uji levin, lin and chu, uji im, pesaran and shin, uji adf, dan uji pp diperoleh hasil bahwa data impor, data linder, data nilai tukar riil, dan data gdp riil tidak stasioner pada tingkat level (p-val > alpha), akan tetapi stasioner pada tingkat 1st difference (p-val < alpha). ketika data tiap variabel tersebut dibentuk persamaan diperoleh hasil bahwa nilai residual sudah stasioner pada tingkat level. secara umum bisa dikatakan bahwa data-data tersebut terkointegrasi karena tiap data masing-masing variabel stasioner pada tingkat diferensi yang sama dan ketika data diolah diperoleh nilai residual yang sudah stasioner pada tingkat level. berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa panel cointegration test dapat dilakukan. panel cointegration test, hasil uji kointegrasi panel menggunakan pedroni test menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak. kointegrasi menggunakan pedroni test dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara impor dengan perbedaan pendapatan per kapita riil, nilai tukar riil, dan gdp riil. dengan demikian estimasi yang digunakan pada studi ini adalah fungsi impor dalam jangka panjang. hausman test. hasil uji hausman menunjukkan bahwa p-value lebih kecil dari alpha (0,0000 < 0,05), sehingga h0 ditolak dan h1 diterima. sehingga pendekatan yang dipakai adalah pendekatan efek tetap (fixed effect approach). tabel 2. hasil estimasi fungsi impor dengan fixed effect approach dep. var. impor std. error t-statistic prob linder variable 0,208705 0,048994 4,259854 0,0000 exchange -0,904636 0,151031 -5,989734 0,0000 gdp 1,981743 0,092725 21,37233 0,0000 constant 12,87741 1,104951 11,65429 0,0000 r² 0,954777 0,951268 272,1168 0,000000 adj. r² f-statistic prob(f-statistic) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 163-173 170 hasil estimasi menunjukan bahwa variabel linder, variabel gdp riil dan nilai tukar riil secara statistik signifikan mempengaruhi variabel impor pada alpha 1% (prob. value < 0,01). akan tetapi, nilai koefisien variabel linder tersebut bernilai positif sehingga bertentangan dengan hipotesis linder. dilihat dari nilai probabilitas f-statistik sebesar 0,000000 yang lebih kecil dari alpha 1% maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara serempak variabel-variabel independen di dalam model (gdp riil, nilai tukar riil, dan variabel linder) secara statistik signifikan mempengaruhi variabel dependen (impor). nilai adjusted r² sebesar 0,951268 mengimplikasikan bahwa 95,1268% variasi perubahan impor dapat dijelaskan oleh variabel gdp riil, variabel nilai tukar riil, dan variabel linder dari model ekonometrika yang digunakan dalam studi ini. intrepretasi hasil estimasi fungsi impor dari masing-masing variabel menunjukkan bahwa ukuran atau tingkat perekonomian mitra dagang indonesia memiliki efek positif yang signifikan secara statistik. koefisien gdp sebesar 1,981743 memiliki arti bahwa ketika gdp mitra dagang indonesia meningkat sebesar 10% maka impor indonesia dari mitra dagang akan meningkat sebesar 19,81743%. tanda negatif koefisien nilai tukar pada impor indonesia sesuai dengan harapan kita pada spesifikasi model studi yang telah kita rumuskan sebelumnya, karena depresiasi mata uang rupiah terhadap mata uang mitra dagang akan menurunkan tingkat impor indonesia dari mitra dagang. dengan demikian, nilai koefisien nilai tukar sebesar -0,904636 dapat diinterpretasikan bahwa ketika mata uang rupiah mengalami depresiasi sebesar 10% maka impor indonesia dari mitra dagang mengalami penurunan sebesar 9,04636%. hasil estimasi tabel 2 menunjukkan bahwa variabel linder secara statistik signifikan mempengaruhi impor indonesia dari mitra dagang. namun, koefisien dari variabel linder bernilai positif sehingga bertentangan dengan nilai koefisien yang mendukung hipotesis linder yang menyatakan bahwa koefisien variabel linder harus bernilai negatif. nilai koefisien variabel linder sebesar 0,208705 dapat diintrepretasikan bahwa ketika perbedaan pendapatan per kapita antara indonesia dengan mitra dagang meningkat sebesar 10% maka impor indonesia dari mitra dagang akan mengalami peningkatan sebesar 2,08705%. hasil studi ini sama dengan hasil studi yang dilakukan oleh linnemann dan van beers (1988) di dalam studi mereka dengan sampel 13 negara maju dan 34 negara berkembang menggunakan data tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa tingkat yang relatif sama dari pendapatan per kapita tidak terkait dengan perdagangan pada sektor manufaktur. mereka menemukan fakta bahwa intensitas perdagangan diantara negara berkembang cenderung meningkat ketika pendapatan per kapita mitra dagang mereka meningkat. sebaliknya, intensitas perdagangan diantara negara maju mendukung hipotesis linder. selanjutnya hoftyzer (1975) di dalam studinya yang menguji hipotesis linder menggunakan rank order corelations antara kesamaan pendapatan per kapita dengan intensitas ekspor ke 19 negara pada tahun 1955 dan ke 70 negara pada tahun 1970 juga memberikan hasil yang sama pada studi ini. ia memperoleh nilai koefisien variabel linder bernilai positif yang bertentangan dengan hipotesis linder. studi oleh dakal, dkk. (2009) juga memberikan hasil yang sama di dalam studi mereka yang menguji hipotesis linder dengan sampel 5 negara asia timur (indonesia, malaysia, filipina, korea selatan, dan thailand) dan juga turut menyertakan 7 negara mitra dagang utama mereka (jepang, singapura, hong kong, china, australia, inggris, dan amerika serikat). mereka menemukan fakta bahwa intensitas perdagangan 5 negara asia timur tersebut lebih intensif dilakukan dengan mitra dagang yang memiliki tingkat pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan mitra dagang yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama. terdapat tiga alasan utama yang menyebabkan hipotesis linder mudah untuk diserang oleh kritikan-kritikan (kennedy dan mchugh, 1983): (1) meskipun hipotesis linder menggunakan istilah barang-barang manufaktur, pada kenyataannya ia menggunakan total perdagangan di dalam menguji hipotesisnya, (2) pengaruh jarak di dalam biaya transportasi dan perdagangan diabaikan dan (3) hubungan politik tradisional telah diabaikan. walaupun pengujian hipotesis linder ... (tito satrio, ahmad jamli) 171 hubungan politik tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi, hubungan politik juga akan berdampak pada hubungan perdagangan. perdagangan akan lebih intensif dilakukan oleh suatu negara dengan negaranegara yang merupakan aliansi mereka dibandingkan dengan negara-negara yang bukan merupakan aliansi mereka. meskipun demikian patut disayangkan bahwa hipotesis linder mengabaikan faktor hubungan politik meskipun merupakan hal yang sulit untuk mengukur faktor hubungan politik tersebut. data untuk negara-negara di dalam studi ini mengindikasikan bahwa perdagangan internasional sangat penting bagi indonesia. koefisien variabel linder bernilai positif dapat diintrepretasikan bahwa indonesia lebih terlibat aliansi politik pada perjanjian-perjanjian besar dalam hal perdagangan barang-barang manufaktur yang sebagian besar dengan negaranegara yang memiliki tingkat pendapatan per kapita relatif tinggi (terutama dengan jepang, singapura, dan korea selatan) dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan per kapita relatif sama. perjanjianperjanjian besar tersebut dalam beberapa tahun terakhir misal antara lain: perjanjian antara indonesia-singapura dalam peningkatan dan perlindungan penanaman modal (p4m/iga) tahun 2005 dan framework agreement on economic cooperation in the island of batam, bintan, and karimun (sez’s) tahun 2006, serta japanindonesia economic partnership agreement (jiepa) tahun 2005. fenomena penolakan hipotesis linder untuk kasus impor intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three ini juga ditemui pada studi greytak dan mchugh (1977) dan kennedy dan mchugh (1980) yang meneliti pola perdagangan amerika serikat yang sangat ditentukan oleh hubungan politik dan biaya transportasi (jarak). sebagai contoh, intensitas perdagangan antara amerika serikat dengan taiwan semakin meningkat karena aliansi politik mereka di dalam hubungan perdagangan. pada studi selanjutnya kennedy dan mchugh (1983) memperhitungkan time-invariant factors ke dalam model studinya dan tetap memperoleh kesimpulan yang menolak hipotesis linder. mereka menjelaskan bahwa pola perdagangan amerika serikat lebih mampu dijelaskan oleh pertimbangan supply-side, yaitu teori heckhsher-ohlin. mereka berargumen bahwa pada penjelasan yang lebih luas, perbedaan intensitas kapital direfleksikan oleh perbedaan pendapatan per kapita. negara dengan kepemilikan kapital yang relatif lebih sedikit (pendapatan per kapita yang lebih rendah) akan lebih intensif berdagang dengan negara yang memiliki kapital relatif lebih banyak (pendapatan per kapita yang lebih tinggi). kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa antara kapital dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang positif. berdasarkan teori h-o dan penjelasan kennedy dan mchugh (1983) tersebut di atas, secara relatif indonesia merupakan negara labor abundant yang akan lebih intensif berdagang dengan negara-negara capital abundant. perbedaan intensitas kapital antara indonesia dengan mitra dagang direfleksikan oleh perbedaan pendapatan per kapita. hasil studi ini mengimplikasikan bahwa permintaan domestik atau kesamaan struktur permintaan merupakan faktor yang tidak signifikan di dalam menjelaskan pola perdagangan (impor) intra-industri manufaktur indonesia dengan tujuh negara asean plus three. namun, aliansi politik dalam hubungan perdagangan dan pertimbangan supply-side adalah alasan yang dapat menjelaskan hipotesis linder ditolak di dalam studi ini. simpulan berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ditemukan efek linder pada impor intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three. dengan demikian studi ini tidak mendukung hipotesis linder yang menyatakan bahwa pengaruh yang paling signifikan dalam menentukan struktur permintaan adalah perbedaan pendapatan rata-rata atau perbedaan pendapatan per kapita. hasil estimasi fungsi impor pada perdagangan komoditas intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three tidak mendukung hipotesis linder. hasil estimasi fungsi impor pada variabel linder jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 163-173 172 mengimplikasikan bahwa semakin besar perbedaan pendapatan per kapita antara indonesia dengan mitra dagang indonesia (tujuh negara asean plus three) maka akan semakin meningkatkan volume impor indonesia dari mitra dagang. hubungan politik dan pertimbangan supply-side merupakan alasan yang dapat menjelaskan hipotesis linder ditolak pada studi ini. faktor-faktor lain yang mempengaruhi impor intra-industri manufaktur indonesia dari tujuh negara asean plus three pada studi ini adalah gdp riil dan nilai tukar riil yang signifikan secara statistik. argumen ini didukung dengan hasil estimasi menggunakan model data panel di dalam menganalisis faktorfaktor tersebut. peran asean plus three sangat penting bagi indonesia di dalam melakukan perdagangan internasional. hal ini dapat dilihat dari volume perdagangan sektor intra-industri manufaktur antara indonesia dengan tujuh negara asean plus three yang semakin meningkat. saran-saran yang hendak peneliti ajukan berdasarkan studi ini antara lain: (1) peneliti selanjutnya dapat menggunakan model yang berbeda dan atau sampel yang berbeda untuk melakukan studi mengenai analisis empiris hipotesis linder. model lain yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis linder antara lain kendall rank correlation, pearson rank correlation, spearman rank correlation, model gravitasi, serta model cross section. (2) nilai tukar sangat mempengaruhi impor yang dilakukan oleh indonesia sehingga diperlukan upaya pemerintah di dalam menjaga kestabilan nilai tukar dalam negeri dengan meningkatkan kestabilan ekonomi, kestabilan politik, dan keamanan dalam negeri. (3) diperlukannya kebijakan yang mendukung sektor manufaktur domestik karena dengan kebijakan yang mendukung tersebut dapat menstimulus sektor manufaktur untuk mampu memproduksi komoditas yang memadai dalam kualitas dan kuantitas. kebijakan yang mendukung sektor manufaktur yaitu membenahi birokrasi yang berbelit-belit, menghilangkan sistem “pungutan liar”, serta dukungan finansial untuk sektor manufaktur. daftar pustaka anggraita, risty. (2009). analisis perdagangan intra-industri manufaktur indonesia dengan tujuh negara asean+3 periode 1992-2008. skripsi. yogyakarta: feb ugm. tidak dipublikasikan. arifin, sjamsul, dian erdiana rae, dan charles p.r. joseph. (2007). kerjasama perdagangan internasional. jakarta: elex media komputindo. baltagi, b. h. (1998). econometrics. new york: springer. dakal, dharmendra, gyan pradhan, dan kamal upadhyaya. (2009). another empirical look at the theory of overlapping demands. working paper, no. 0901. firdaus, ahmad heri. (2011). kinerja perdagangan dan dampak free trade area (fta) asean plus three terhadap .indonesia. thesis. bogor: sekolah pasca sarjana institut pertanian bogor. hoftyzer, john. (1975). empirical verifications of linder’s trade thesis. southern economic journal, vol. 41(4): 694-698. kementerian perdagangan republik indonesia. (2010). tinjauan terkini perdagangan indonesia. jakarta: kementerian perdagangan republik indonesia. kennedy, t. e., dan r. mchugh. (1980). an intertemporal test and rejection of the linder hypothesis. southern economic journal, vol. 46, pp. 898-903. linnemann, h. and c. van beers. (1988). measures of export-import similarity and the linder hypothesis once again. weltwirtschaftliches-archiv, 24 (3), 445-457. mcpherson m. a., m. r. redfearn., dan m. a. tieslau. (2001). international trade and developing countries: an empirical investigation of the linder hypotesis. international economic journal, 33, pp. 649657. rauh, alison. (2009). empirical analysis of the linder hypothesis: the case of germany’s trade within europe. economic journal of davidson college. pengujian hipotesis linder ... (tito satrio, ahmad jamli) 173 verbeek, marno. (2000). modern econometrics. new jersey: mcgraw hill. widihastuti, retno. (2006). pola determinan perdagangan intra-industri indonesia dengan 12 negara asia pasifik: hipotesis country dan industry specific. tesis. yogyakarta: universitas gadjah mada. tidak dipublikasikan. world bank, org. (2010). indonesia data. http://data.worldbank.org/country/indonesia/ diakses pada 22 april 2012. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: evidence from a panel of asean countries indanazulfa qurrota a'yun* and uswatun khasanah abstract: global warming and climate change show a decrease in environmental quality. the main cause of global warming is the emission of carbon dioxide (co2). this study aims to analyze the effect of economic growth and economic openness on environmental quality in asean countries from 2010 to 2019. this research uses a panel data analysis method. the analysis results show that the variable economic growth has a negative and significant effect on carbon dioxide emissions. meanwhile, the variables used for economic openness are exports, imports, and fdi. export and fdi variables have a positive and significant effect on co2 emissions, but there is no effect on imports. this study also used population variables as control variables and the result is there is no effect on co2. based on the results, it is necessary to have a carbon emission reduction policy for asean countries using environmentally friendly technology. keywords: co2 emissions; economic growth; environmental quality; trade openness jel classification: f18; f64; o44; p18; q56 introduction the quality of the environment is deteriorating due to climate change and global warming. changes in environmental quality have become a global issue in the last few decades. according to ghosh (2010), the main cause of global warming is the emission of carbon dioxide (co2). global warming is caused by rapid economic growth. it increases industrial growth, which impacts air pollution and affects the decline in environmental quality (candra, 2018). the environmental protection agency (2020) explained that co2 contributes greatly to global warming. it contributes 56%, while nh4 and n2o only contribute 18% and 6%. the amount of co2 in the atmosphere is the effect of greenhouse gases, resulting in global warming. greenhouse gases have a global warming potential (gwp) whose measurement is relatively between co2 gas and a value of 1. the large gwp value indicates that it is increasingly destructive (sugiyono, 1997). the intergovernmental panel on climate change (ipcc) explained that southeast asia is predicted to have serious climate change because most of its economic growth still relies on natural resources and the agricultural sector. kolstad and krautkraemer (1993) also stated that economic growth can cause negative impacts on the environment in the long term. affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas ahmad dahlan, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: indanazulfa1495@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13881 citation: a’yun, i. z., & khasanah, u. (2022). the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: evidence from a panel of asean countries. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 81-92. article history received: 03 feb 2022 revised: 29 mar 2022 12 apr 2022 accepted: 13 apr 2022 https://scholar.google.com/citations?user=tu9jelyaaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=6vh7sdoaaaaj&hl=en https://ep.uad.ac.id/ https://ep.uad.ac.id/ https://ep.uad.ac.id/ https://ep.uad.ac.id/ mailto:indanazulfa1495@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13881 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13881&domain=pdf a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 82 it is further clarified by kuznets's theory, which explains a positive relationship between economic growth and environmental quality (panayotou, 2003; hamori & kume, 2018; nguyen & darsono, 2022). therefore, according to todaro et al. (2009), the development does not only focus on the economic sector but also on environmental quality. in addition, rapid population growth will lead to increased demand for food, energy, water, and other resources. it can lead to pressure and excessive exploitation of the environment. bran and popa (2009) explained that the relationship will become more complex because of the dependence of the population on natural resources. this condition will have the potential to worsen environmental damage and potentially cause natural disasters. at the beginning of the 20th century, the world population fluctuated by about 6 billion. 80% are from developing countries and the majority are from asean countries. indonesia has the largest population among asean countries (nazeer & furuoka, 2017). this study hypothesizes that there is a significant effect between economic growth, economic openness, population, and energy consumption on carbon dioxide (co2) emissions in 10 asean countries. only a few studies discuss economic activity and environmental quality. meanwhile, the relationship between economic growth and environmental quality is closely related, which is explained through kuznets's theory. in addition, the asean energy center also estimates that greenhouse gases in the asean countries will increase by 34-147% between 2017 and 2040 (asccr, 2021). the impacts of climate change will inevitably increase due to the accumulation of global emissions in the atmosphere over time (asccr, 2021). kuznets (1955) explains the damaged environment experienced in developing countries. most of them are countries with low per capita income. this happens because industrialization growth is still in its early phase, which is still focused on economic development and employment. meanwhile, environmental issues have not received special attention. thus, in this phase, there is a positive correlation on economic growth with changes in environmental quality. however, when the economic goals have been achieved which means that per capita income has increased, the level of awareness of environmental quality begins to develop (spilker, koubi, & bernauer, 2017). ehrlich and holdren (1972) in their theory of impacts of population, affluence and technology (ipat) explain that income and population are the main factors that can affect the environment. it will decrease along with the development of technology. the research that uses panel data conducted by halkos (2011) explains the influence between economic development and the level of pollution (co2 emissions). he stated that a policy could overcome this problem. horii and ikefuji (2014) explain that only the scale of production can be achieved in an expanding economy. there are three negative impacts, namely local and global pollution and environmental degradation. in addition, research related to economic openness is found in jugurnath and emrith (2018), which stated that foreign direct investment (fdi), population, dummy crisis, and technology positively and significantly impact environmental degradation. meanwhile, fdi and trade have a significant negative effect on environmental degradation. a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 83 the novelty of this study is that it specifically discusses carbon dioxide (co2). there have been limited studies regarding carbon dioxide (co2). other studies discuss the environmental quality index which does not discuss further details. this study also focuses on using independent variables in the form of economic and economic growth. moreover, this study uses the most recent data from 10 asean countries. this research introduces the idea that high economic growth, international trade activities, population levels, and energy consumption will increase the value of carbon dioxide emissions, which impact global warming and a decrease in environmental quality. therefore, the purpose of this study is to analyze the influence of economic growth and openness on co2 emissions. research method this study used a quantitative method approach that aimed to analyze the changes of environmental quality caused by economic growth and trade openness. the data used was annual data from 2010 to 2019 in 10 asean member countries (indonesia, thailand, myanmar, vietnam, malaysia, myanmar, singapore, cambodia, laos, and the philippines) obtained from world bank data sources. the variables that were used in this empirical research are shown in table 1. table 1 variable identity variable definition sources co2 emissions co2 emissions (metric tons per capita) world bank (2021) economic growth total gdp per capita (constant) in millions of us dollars world bank (2021) population total population in 10 asean countries world bank (2021) trade openness total exports and imports of goods and services in 10 asean countries world bank (2021) foreign direct investment net foreign investment rate world bank (2021) the data analysis method used was quantitative analysis using panel data regression. this research used panel data regression to determine the differences between individuals or in each asean country. panel data can be used to avoid the limited number of observations because a large number of observations will increase the degree of freedom. in addition, this estimation can reduce the existence of collinearity between independent variables (gujarati, 2012). the advantage of using panel data estimation is suitable for describing the dynamics of change. panel data can detect and measure the impact and minimize the bias that might result in the regression (baltagi, 2005).the general equation for panel data is as follows: 𝑌𝑖𝑡 = 𝛽𝑖𝑡 + 𝛽𝑖𝑡 𝑋𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 (1) in this equation, y is the dependent variable, 𝛽 is the regression parameter, x is the independent variable and ε is the stochastic disturbance variable. meanwhile, i and t show the observation and time. in this study, the model used as an approach to analyze the a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 84 relationship between economic growth and trade openness with co2 emissions is as follows: 𝐶𝑂2𝑖𝑡 = 𝑎𝑖𝑡 + 𝛽1𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑖𝑡 + 𝛽2𝑃𝑂𝑃𝑖𝑡 + 𝛽3𝑁𝑃𝑖𝑡 + 𝛽4𝐹𝐷𝐼𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 (2) where co2 is the co2 emissions or carbon dioxide produced, growth is economic growth, pop is the total population, np is the trade balance, fdi is foreign investment. the trade balance and fdi are indicators used as an indicator of the openness of the economy. meanwhile, 𝜀𝑖𝑡 is the coefficient of confounding. the estimation of this research panel data used several stages of testing which were the selection of the best model and the classical assumption test. in selecting the best model, there are three stages of testing, namely chow test, hausman test, and lm test. the three models that will be regressed are the common effect, fixed effect, and random effect models. furthermore, in the classical assumption test, it is necessary to carry out three stages of testing, namely heteroscedasticity test, autocorrelation test, and multicollinearity test. the three tests must be met so that the data used can be tested for validity. result and discussion this study used a quantitative method approach that aimed to analyze the environmental kuznets curve hypothesis and analyze changes in environmental quality caused by economic growth and openness. the data used were 10 asean countries (indonesia, thailand, myanmar, vietnam, malaysia, myanmar, singapore, cambodia, laos, and the philippines) from 2010 to 2019. the data used started from 2010 aimed to examine the relationship between growth and economic openness to environmental quality in the last ten years. in general, this empirical research used secondary data taken from the world bank in 2021. this study used co2 emission variables, economic growth, population, trade openness, and foreign direct investment. table 2 descriptive statistics co2 lgdp lpop limport lexport fdi mean 0.586145 2.520011 62886087 1.470011 1.610011 -6.220009 median 0.498823 2.050011 41275308 1.210011 1.110011 -2.090009 maximum 1.668606 1.200012 2.710008 5.870011 6.910011 9.910009 minimum 0.135738 7.130009 388634.0 3.520009 2.520009 -6.990010 std. dev 0.351386 2.820011 73697451 1.520011 1.760011 1.190010 skewness 1.276024 1.684638 1.684060 1.108904 1.301752 -2.903089 kurtosis 4.154009 5.539986 5.086143 3.734152 4.222439 14.08515 jarque-bera 32.68619 74.18145 65.40095 22.74023 34.46913 652.4678 probability 0.000000 0.000000 0.000000 0.000012 0.000000 0.000000 sum 58.61451 2.520013 6.290009 1.610013 1.470013 -6.220011 sum sq. dev. 12.22377 7.870024 5.380017 3.080024 2.280024 1.400022 observations 100 100 100 100 100 100 a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 85 table 2 shows the descriptive statistics for all of the variables used in the study.the observations made in this study were 100. the average of co2 is 0.58, and the maximum and the minimum value of co2 are 1.66 and 0.13. while the average of lgdp is 2.52, the maximum value is 1.20 and the minimum value is 7.13. then for lpop variable, the mean value is 628, the maximum and the minimum value are 412 and 2.71. variable of limport has a similar average with the variable of lexport, it is 1.47 and 1.61. the maximum and the minimum of limport are 5.87 and 3.52. in contrast, the maximum and the minimum of lexport are 6.91 and 2.52. furthermore, the fdi variable has an average value of 6.22, the maximum value is 9.91 and the minimum value is -6.99. the data analysis was carried out using the panel data regression method which is a combination of cross section and time series for the level of asean countries. in panel data regression, the best model used in this study is the fixed effect model. it is based on the best model selection test using the chow test and hausman test. chow test was used to determine the best model between the common effect model (cem) and fixed effect model (fem). meanwhile, the hausman test was used to determine the best model between the fixed effect model and the random effect model (rem) by considering the probability of cross-section value (susanti & nidar, 2016). in panel data, the classical assumption test is optional. some researchers ignore classical assumptions. according to gujarati (2012), panel data has complexity regarding the behavior that is in the model. therefore, panel data does not require classical assumption tests. thus, the superiority of panel data regression implies that there is no need for classical assumption tests (verbeek, 2000; gujarati, 2012). table 3 shows the results of testing panel data consisting of the common effect model, fixed effect, and random effect model. table 3 panel data model estimation results variable probability common effect fixed effect random effect c 0.0156 -1.995007 -2.670087 lgdp 0.0000*** -0.386154 -0.341169 lpop 0.0020*** 0.113513 0.061382* lexport 0.4886 0.371680 0.394691 limport 0.5079 0.050738** 0.044890** fdi 0.0072*** 1.21e-12 2.61e-12 r-squared 0.300920 0.962263 0.138494 adjusted r-squared 0.267310 0.956702 0.097076 f-statistic 8.953394 173.0319 3.343777 prob(f-statistic) 0.000000 0.000000 0.007680 note: *p<0.1. **p<0.05, ***p<0.01 a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 86 based on the estimation results, the best model is selected. the results of the chow test are shown in table 4. table 4 chow test result effects test statistic d.f. prob. cross-section f 169.659308 (9,95) 0.0000 table 4 shows the probability value of the cross-section f < (0.05) which means that the fixed effect model (fem) is the best model compared to the common effect model (cem) in analyzing the environmental quality of 10 asean countries. the next test is the hausman test, which selects the best model between the fixed effect model (fem) and the random effect model (rem). the results of the hausman test show that the probability value of chi-square < (0.05). the more appropriate model to use is the fixed effect model (fem) (see table5). table 5 hausman test result test summary chi-sq. statistic chi-sq. d.f. prob. cross-section random 21.226750 5 0.0007 the results of the two best model tests show that the fixed effect model is the best model to be used in this study. therefore, the lm test does not need to be continued. the estimation results from the fixed effect model are are shown in table 6. table 6 fixed effect model estimation results variable coefficient std. error t-statistic prob. c -1.995007 2.762051 -0.722292 0.4719 lgdp -0.386154 0.105087 -3.674599 0.0004*** lpop 0.113513 0.227642 0.498647 0.6192 lexport 0.371680 0.068025 5.463848 0.0000*** limport 0.050738 0.040829 1.242684 0.2170 fdi 1.21e-12 6.27e-13 1.935037 0.0560** effect specification r-squared 0.962263 adjusted rsquared 0.956702 s.e. of regression 0.108484 f-statistic 173.0319 prob(f-statistic) 0.000000 based on table 6, the statistical tests were carried out which included individual parameter significance tests (t statistical tests), joint significance tests (f statistical tests) and r2 determinant coefficient tests. the t-statistic test aims to examine the influence of each independent variable individually in explaining the variation of the dependent variable. the estimation results show that the lgdp variable has a t-count of -3.674599 and a probability value of 0.0004, the lpop variable of 0.498647 and the probability value of 0.6192, the lexport variable of 5.463848 and the probability value of 0.0000. while the a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 87 limport and fdi variables have t-counts of 1.242684 and 1.935037 and probability values of 0.2170 and 0.0560. furthermore, the f test determines the independent variables on the dependent variable as a whole. the probability value of the f-statistic is 0.000000 which means it is smaller than the alpha value of 0.05. these results conclude that the independent variables lgdp, lpop, lexport, limport, and fdi affect the independent variable of environmental quality in 10 asean countries. furthermore, the estimation results show an r2 value of 0.962263 or 96.22% which means that the lgdp, lpop, lexport, limport, and fdi variables can explain the environmental quality variable in 10 asean countries by 96.22%. the remaining 3.78% can be explained by the variables outside the research variables. based on the results of panel data regression using the fixed-effect model, the following equation can be obtained: 𝐶𝑂2𝑖𝑡 = − 1.995007 − 0.386 𝐿𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 + 0.113 𝐿𝑃𝑂𝑃𝑖𝑡 + 0.371 𝐿𝐸𝑋𝑃𝑂𝑅𝑇𝑖𝑡 + 0.050 𝐿𝐼𝑀𝑃𝑂𝑅𝑇𝑖𝑡 + 1.210 𝐹𝐷𝐼𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 (3) according to the equation, the constant coefficient is -1.995007, meaning that other systematic variables also affect the quality of the environment in 10 asean countries but are not included in the study. furthermore, lgdp has a coefficient of -0.386. increasing 1 percent economic growth will reduce co2 by 0.386 percent in the 10 asean countries. the results of the panel data output show that the probability value of lgdp is 0.0004. it is smaller than the alpha value of 0.05, so that lgdp has a negative and significant effect on co2 emissions. the next variable is lpop which has a coefficient of 0.113. it indicates that the increase of 1 percent, will increase co2 by 0.113 percent. however, the estimation result of lpop has a probability value of 0.6192. it is greater than the alpha value of 0.05, so that lpop has a positive and insignificant effect on co2 emissions in 10 asean countries. this also occurs in the limport variable which has a coefficient value of 0.050 with a probability value of 0.2170. it indicates that limport has a positive and insignificant effect on co2. furthermore, the lexport variable has a coefficient value of 0.371. the increase of 1 percent exports will increase co2 emissions by 0.371 percent. this is further supported by the probability value of 0.0000 (alpha value <0.05). it indicates that lexport has a positive and significant effect on co2 in 10 asean countries. furthermore, the fdi variable has a coefficient value of 1.210 and a probability of 0.056. it indicates that fdi has a positive and significant effect on co2 and the increase of 1 percent fdi will increase co2 emissions by 1.210 percent. based on the estimation results of the fixed-effect model, the lgdp, lpop, lexport, limport and fdi variables have a significant effect on co2 emissions in 10 asean countries. however, partially not all of the independent variables affect co2 emissions in the 10 asean countries. a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 88 lgdp or economic growth has a negative and significant impact on co2 emissions in the 10 asean countries. when a country’s economy grows, it will reduce the level of co2 emissions. this means that when co2 emissions decrease, the quality of the environment in that country increases. this is in accordance with the environmental kuznets curve (ekc) theory which explains that the higher the economic growth of a country, the lower the level of environmental damage in the long term.indonesia is one of the asean countries where they have a program as its determination to control greenhouse gases as stated in the ndc document in law number 16 of 2016. indonesia has a target of reducing gas emissions by 29% on its own and then by 41% with international assistance. the higher the level of economic growth of a country, the higher the level of awareness in each country of its concern for the environment, especially co2 emissions. this study is in line with that conducted by arouri, hossain, and badrul muttakin (2014), ali, soemarno, and purnomo (2015), ibrahiem (2016), and nikensari, destilawati, and nurjanah (2019). meanwhile, the population in this study had a positive and insignificant effect. as the population increases, it will not affect co2 emissions. population growth causes energy demand which will increase co2 gas emissions (li & liu, 2014). according to mahmood (2012), population density has a positive impact on co2 emissions. the population density is the factor that influences environmental degradation. a large population with relatively high population growth will cause an increase in the need for natural resources as inputs for goods and services (ilham, 2021). however, in this study, population growth had no significant effect. although the high population can increase the demand for fuel energy such as industrial generation, electric power, and transportation, the population is responsible for the environmental degradation. for example, along with the development of the times in the industrial structure, the population switched to using heavy equipment towards service-based industries and the use of advanced technology that could lead to a reduction in co2 emissions (banerjee & rahman, 2012). in addition, the population living in urban areas has a higher level of awareness of the importance of maintaining environmental quality. currently, there is control of energy consumption, especially in the transportation sector which can reduce the level of co2 emissions (chandran govindaraju & tang, 2013). this is in contrast with the research conducted by zhao et al. (2013) that population density has a negative effect on carbon dioxide. similarly, research conducted by ong and sek (2013) shows that residents in lowand middle-income countries have a negative influence on co2 emissions. wafiq and suryanto (2021) also proposed that the population density has a significant negative impact on the environmental quality. furthermore, the export growth rate has a positive and significant impact on co2 emissions in the 10 asean countries. this shows that the higher the level of international trade activity, the higher the co2 emissions produced. the increasing demand for exports means an increase in the productivity of a country which requires more energy consumption. not only the need for more energy consumption, but the need for natural resources has also become more intensive to produce residues and waste that have an impact on environmental degradation (hossain & rao, 2014). according to ong and sek (2013), human activities and industrialization will increase co2 emissions that affect global warming. this is in contrast with the import activities where in this study it was found that the activities had no effect on co2 emissions. this is because import activities a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 89 do not require high productivity which produces a lot of waste. on the other hand, import activities have a significant impact on marine pollution, specifically in the sea transportation sector. almost 95% of goods transportation for export and import uses sea transportation (statistics indonesia, 2016). however, the members of the international maritime organization (imo) have agreed on a strategy to reduce greenhouse gases in shipping. this will tackle and reduce marine pollution. there are various factors in this study which are estimated to cause an increase in co2 emissions, namely foreign direct investment (fdi) or foreign investment. the estimation results show that fdi has a positive and significant effect on co2 emissions in 10 asean countries. the increase in fdi will reduce the quality of the environment. these results are in accordance with the research conducted by shahbaz, nasreen, abbas, and anis (2015) that high levels of fdi will cause more energy consumption to be used by a country, especially in the industrial sector where energy consumption has a significant effect on environmental quality. conclusion this study aims to analyze the effect of economic growth and trade openness on the quality of the environment in asean countries. this research introduces the idea that high economic growth, international trade activities, population levels, and energy consumption increase carbon dioxide emissions which have an impact on global warming and decrease the environmental quality. the data used is annual data from 2010-2020 in asean countries (indonesia, thailand, myanmar, vietnam, malaysia, myanmar, singapore, cambodia, laos, and the philippines) and used panel data regression model estimation. this study uses gdp as a proxy for economic growth. the result is a significant negative effect and this is in accordance with the existing theory. the proxy of trade openness in this study uses export, import, and fdi variables. the results show that exports and fdi have a positive and significant effect on co2 emissions, while there is no effect on imports. furthermore, this study also uses population variables as control variables and the results show that there is no effect on environmental quality. the results of this study provide the variables used contribute to co2 emissions in 10 asean countries. the government in each country is advised to take advantage of its economic growth to make an effort to enhance environmental quality. for example, by providing funds to research technologies that can reduce co2 emissions or improve environmental quality and provide special policies for using environmentally friendly products. the government is also advised to control export and import activities to provide solutions to the environmental quality problems. therefore, export activities can run optimally but still maintain environmental quality. it is hoped that further research can be carried out by considering the addition of countries and periods or with other methods to perfect the research. a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 90 references ali, a., soemarno, s., & purnomo, m., (2015). kajian kualitas air dan status mutu air sungai metro di kecamatan sukun kota malang. jurnal bumi lestari, 13(2), 265-274. retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/6643 arouri, h., hossain, m., & badrul muttakin, m. (2014). effects of board and ownership structure on corporate performance. journal of accounting in emerging economies, 4(1), 117–130. https://doi.org/10.1108/jaee-02-2012-0007 asean state of climate change report asccr (2021). asean state of climate change report. retrieved from https://asean.org/book/asean-state-of-climate-change-report/ asean state of climate change report asccr. (2021). asean state of climate change report current status and outlook of the asean region toward the asean climate vision 2050. retrieved from https://asean.org/wp-content/uploads/2021/10/asccr-epublication-final-12-oct-2021.pdf baltagi, b. h. (2005). econometric analysis of panel data. 3rd edition. john wiley & sons inc., new york. banerjee, p. k., & rahman, m. (2012). some determinants of carbon dioxide emissions in bangladesh. international journal of green economics, 6(2), 205-215. https://doi.org/10.1504/ijge.2012.050345 bran, f., & popa, c. (2009). integration of environment protection requirements in other community policies. knowledge horizons economics, 1(2), 144-151. candra, k. a. (2018). analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal asing terhdap emisi karbondioksida di delapan negara asean periode 2004-2013. calyptra: jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya, 7(1), 2646-2661. retrieved from https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/2423/1910 chandran govindaraju, v. g. r., & tang, c. f. (2013). the dynamic links between co2 emissions, economic growth and coal consumption in china and india. applied energy, 104, 310–318. https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2012.10.042 ehrlich, p. r., & holdren, j. p. (1972). critique. bulletin of the atomic scientists, 28(5), 16– 27. https://doi.org/10.1080/00963402.1972.11457930 environmental protection agency epa. (2022). overview of greenhouse gases. retrieved from https://www.epa.gov/ghgemissions/overview-greenhouse-gases ghosh, s. (2010). examining carbon emissions economic growth nexus for india: a multivariate cointegration approach. energy policy, 38(6), 3008–3014. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2010.01.040 gujarati, d. n. (2012). dasar-dasar ekonometrika. 2nd ed. jakarta: salemba empat. halkos, g. (2011). environment and economic development: determinants of an ekc hypothesis. mpra paper. retrieved from https://mpra.ub.uni-muenchen.de/33262/ hamori, s., & kume, t. (2018). artificial intelligence and economic growth. advances in decision sciences, 22(1), 256–278. https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 horii, r., & ikefuji, m. (2014). environment and growth. forthcoming in: handbook of environmental economics in asia. mpra paper. retrieved from https://mpra.ub.uni-muenchen.de/53624/ hossain, k., & rao, a. r. (2014). environmental change and it’s affect. european journal of sustainable development, 3(2), 89–96. https://doi.org/10.14207/ejsd.2014.v3n2p89 ibrahiem, d. m. (2016). environmental kuznets curve: an empirical analysis for carbon dioxide emissions in egypt. international journal of green economics, 10(2), 136. https://doi.org/10.1504/ijge.2016.10001598 https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/6643 https://doi.org/10.1108/jaee-02-2012-0007 https://asean.org/book/asean-state-of-climate-change-report/ https://asean.org/wp-content/uploads/2021/10/asccr-e-publication-final-12-oct-2021.pdf https://asean.org/wp-content/uploads/2021/10/asccr-e-publication-final-12-oct-2021.pdf https://doi.org/10.1504/ijge.2012.050345 https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/2423/1910 https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2012.10.042 https://doi.org/10.1080/00963402.1972.11457930 https://www.epa.gov/ghgemissions/overview-greenhouse-gases https://doi.org/10.1016/j.enpol.2010.01.040 https://mpra.ub.uni-muenchen.de/33262/ https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 https://mpra.ub.uni-muenchen.de/53624/ https://doi.org/10.14207/ejsd.2014.v3n2p89 https://doi.org/10.1504/ijge.2016.10001598 a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 91 ilham, m. i. (2021). economic development and environmental degradation in indonesia: panel data analysis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 185-200. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 jugurnath, b., & emrith, a. (2018). impact of foreign direct investment on environment degradation: evidence from sids countries. journal of developing areas, tennessee state university, college of business, 52(2), 13-26. kolstad, c. d., & krautkraemer, j. a. (1993). natural resource use and the environment. handbook of natural resource and energy economics, 1219–1265. https://doi.org/10.1016/s1573-4439(05)80013-2 kuznets, s. (1955). economic growth and income inequality. the american economic review, 45(1), 1–28. http://www.jstor.org/stable/1811581 li, d., & liu, j. (2014). dynamic capabilities, environmental dynamism, and competitive advantage: evidence from china. journal of business research, 67(1), 2793–2799. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2012.08.007 mahmood, h. (2012). fdi, population density and carbon dioxide emissions: a case study of pakistan. iranica journal of energy and environment, 3(4), 354-360. https://doi.org/10.5829/idosi.ijee.2012.03.04.10 nazeer, n., & furuoka, f. (2017). overview of asean environment, transboundary haze pollution agreement and public health. international journal of asia pacific studies, 13(1), 73–94. https://doi.org/10.21315/ijaps2017.13.1.4 nguyen, h. t., & darsono, s. n. a. c. (2022). the impacts of tax revenue and investment on the economic growth in southeast asian countries. journal of accounting and investment, 23(1), 128–146. https://doi.org/10.18196/jai.v23i1.13270 nikensari, s. i., destilawati, s., & nurjanah, s. (2019). studi environmental kuznets curve di asia: sebelum dan setelah millennium development goals. jurnal ekonomi dan pembangunan, 27(2), 11-25. https://doi.org/10.14203/jep.27.2.2019.11-25 ong, s. m., & sek, s. k. (2013). interactions between economic growth and environmental quality: panel and non-panel analyses. applied mathematical sciences, 7, 687–700. https://doi.org/10.12988/ams.2013.13062 panayotou, t. (2000). economic growth and the environment. cid working papers 56a, center for international development at harvard university. retrieved from https://dash.harvard.edu/handle/1/39570415 shahbaz, m., nasreen, s., abbas, f., & anis, o. (2015). does foreign direct investment impede environmental quality in high-, middle-, and low-income countries? energy economics, 51, 275–287. https://doi.org/10.1016/j.eneco.2015.06.014 spilker, g., koubi, v., & bernauer, t. (2017). international political economy and the environment. oxford research encyclopedia of politics. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228637.013.172 statistics indonesia. (2016). export by mode of transportation 2014-2015. retrieved from https://www.bps.go.id/publication/2016/06/06/675bf2dd024113ba6c4f425c/ekspo r-menurut-moda-transportasi-tahun-2014-2015.html sugiyono, a. (1997). penanggulangan pemanasan global. journal sains dan teknologi modifikasi cuaca, 7, 15-16. susanti, l., & nidar, s. r. (2016). corporate board and firm value: perspective two-tier board system in indonesia. international journal of scientific & technology research, 5(5), 300-305. todaro, m., d’asaro, m., caccamo, n., iovino, f., francipane, m. g., meraviglia, s., … stassi, g. (2009). efficient killing of human colon cancer stem cells by γδ t lymphocytes. the journal of immunology, 182(11), 7287–7296. https://doi.org/10.4049/jimmunol.0804288 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 https://doi.org/10.1016/s1573-4439(05)80013-2 http://www.jstor.org/stable/1811581 https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2012.08.007 https://doi.org/10.5829/idosi.ijee.2012.03.04.10 https://doi.org/10.21315/ijaps2017.13.1.4 https://doi.org/10.18196/jai.v23i1.13270 https://doi.org/10.14203/jep.27.2.2019.11-25 https://doi.org/10.12988/ams.2013.13062 https://dash.harvard.edu/handle/1/39570415 https://doi.org/10.1016/j.eneco.2015.06.014 https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228637.013.172 https://www.bps.go.id/publication/2016/06/06/675bf2dd024113ba6c4f425c/ekspor-menurut-moda-transportasi-tahun-2014-2015.html https://www.bps.go.id/publication/2016/06/06/675bf2dd024113ba6c4f425c/ekspor-menurut-moda-transportasi-tahun-2014-2015.html https://doi.org/10.4049/jimmunol.0804288 a’yun & khasanah the impact of economic growth and trade openness on environmental degradation: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 92 verbeek, m., (2000). a guide to modern econometrics. john wiley & sons. wafiq, a. n., & suryanto, s. (2021). the impact of population density and economic growth on environmental quality: study in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 301–312. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 world bank. (2021). world bank open data. retrieved from https://data.worldbank.org/ zhao, s., liu, s., sohl, t., young, c., & werner, j. (2013). land use and carbon dynamics in the southeastern united states from 1992 to 2050. environmental research letters, 8(4), 044022. https://doi.org/10.1088/1748-9326/8/4/044022 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 https://data.worldbank.org/ https://doi.org/10.1088/1748-9326/8/4/044022 microsoft word 04-ida_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.42-52 pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian dan strategi adaptasi pada lahan rawan kekeringan ida nurul hidayati1, suryanto2 1,2 fakultas ekonomi dan bisnis, universitas sebelas maret jalan ir. sutami 36 a surakarta 57126, indonesia. phone: +62 271 647481 e-mail korespondensi: yanto.rimsy@gmail.com naskah diterima: september 2014; disetujui: februari 2015 abstract: the objectives of research were to find out the influence of climate change on agricultural production and farmer’s adaptation strategies in drought-prone land in semarang district.the data used in this research are primary data collected through interviews and observations. simple random sampling is used to take sample of this research. the sample in this research were 90 farmers in the village jatirunggo, 27 of them are farmers in droughtprone areas and 63 farmers in normal areas. based on the results of a log linear regression analysis, showed that the variables: land, capital, labor, and farmers' group membership are influence the agricultural production positively and significant. while drought areas is influenced negatively. the results of logistic regression analysis showed that the farmers in drought areas, gender, farmer group membership, and the use of fertilizer has a significant influence on the chances of crop failure. while farmers who suffered a decline in product agricultural, and farmers in drought areas have a significant influence on farmers’ decision opportunities in changing cropping patterns and shifting the time of planting as a form of adapting the climate changes. keywords: climate change; drought; production; adaptation strategy jel classification: o13, o12 abstrak: tujuan studi ini adalah mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian dan strategi adaptasi yang dilakukan petani pada lahan rawan kekeringan di kabupaten semarang. data yang digunakan dalam studi ini berupa data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. sampel pada studi ini adalah 90 petani di desa jatirunggo, 27 diantaranya adalah petani di daerah rawan kekeringan dan 63 petani di daerah normal. berdasarkan hasil analisis regresi log linear berganda menunjukkan bahwa variabel: luas lahan, modal, tenaga kerja, dan keanggotaan kelompok tani berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap produksi pertanian. sedangkan variabel daerah kekeringan berpengaruh secara negatif. hasil pengujian hipotesis menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa petani yang berada di daerah kering, jenis kelamin, keanggotaan sebagai kelompok tani, dan penggunaan pupuk memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang kegagalan panen. sedangkan petani yang mengalami penurunan hasil, dan petani yang berada di daerah kering memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang keputusan petani dalam mengubah pola tanam dan menggeser waktu tanam sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. kata kunci: perubahan iklim; kekeringan; produksi; strategi adaptasi klasifikasi jel: o13, o12 pengaruh perubahan iklim pergerakan ... (ida nurul hidayati, suryanto) 43 pendahuluan indonesia merupakan negara pertanian di mana pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian dan produk nasional yang berasal dari pertanian (mubyarto, 1989). sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan kualitas hasil (nurdin, 2011). iklim erat hubungannya dengan perubahan cuaca dan pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen (suberjo, 2009). perubahan iklim merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan berubahnya pola iklim dunia yang mengakibatkan feno2mena cuaca yang tidak menentu. perubahan iklim terjadi karena adanya perubahan variabel iklim, seperti suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (kementerian lingkungan hidup, 2004). perubahan iklim juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, serta arah angin yang berubah drastis (ratnaningayu, 2013). laporan yang dikeluarkan tahun 2001, intergovernmental panel on climate change menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat celsius (1 derajat fahrenheit) sejak 1861. pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. ipcc memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4c (2,0 hingga 11,5f) antara tahun 1990 dan 2100. menurut stocker, et.al; kondisi ini akan mengakibatkan iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali (sumaryanto, 2012). dampak dari pemanasan global (global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara keseluruhan dapat mengancam keberhasilan produksi pangan. penurunan intensitas hujan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. menurut studi yang dilakukan oleh angles, dkk., (2011) menyebutkan bahwa berkurangnya intensitas hujan adalah alasan terbesar dari penurunan hasil panen petani di lahan kering di dharmaputri, india. penurunan hasil panen tersebut menyebabkan penurunan pendapatan para petani. penurunan pendapatan petani tersebut merupakan dampak jangka pendek, sedangkan dampak jangka panjangnya adalah berakhirnya profesi petani lahan kering (offfarm employment). berkurangnya intensitas hujan merupakan faktor penyebab utama penurunan hasil panen (angles, dkk., 2011). variasi iklim seperti kejadian masa kemarau panjang memiliki dampak yang tinggi pada hasil tanaman lahan kering. perubahan iklim memiliki pengaruh negatif terhadap produksi pertanian (utami, dkk., 2011). penurunan produksi pertanian ini dikarenakan terjadinya penurunan luas lahan panen akibat dari dampak perubahan iklim. hasil dari studi tersebut, kejadian la nina berpengaruh negatif terhadap produksi padi di jawa. variabel luas panen, dan upah buruh berpengaruh positif terhadap produksi padi di jawa. strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani berpengaruh positif terhadap produksi tanaman pangan (ayunwuy dkk., 2010). hal ini mengindikasikan bahwa strategi yang dilakukan petani sudah tepat dan bisa dilanjutkan guna mengurangi dampak perubahan iklim. variabel pendidikan, penghasilan, pengalaman bertani, keanggotaan asosiasi petani, dan karakter berani mengambil risiko merupakan faktor yang signifikan yang memepengaruhi petani dalam mekanisme penyelesaian masalah guna mengurangi dampak perubahan iklim (angles, dkk., 2011) angles, dkk. (2011), menunjukkan bahwa secara kualitatif 92,22 persen dari semua sampel mengatakan bahwa berkurangnya intensitas hujan adalah faktor penyebab utama penurunan hasil panen. studi ini membuktikan bahwa variasi iklim seperti kejadian masa kemarau memiliki dampak yang tinggi pada jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 42-52 44 hasil tanaman lahan kering. analisis kuantitatif, variabel-variabel seperti pendidikan, penghasilan, pengalaman, keanggotaan asosiasi petani, karakter berani mengambil risiko merupakan faktor yang signifikan dalam mempengaruhi pemakaian mekanisme penyelesaian masalah pada lahan kering. utami, dkk. (2011) melakukan studi mengenai el nino, la nina dan penawaran pangan di jawa. hasil penelitiaannya menunjukkan adanya anomali iklim el nino berpengaruh negatif terhadap produksi padi di pulau jawa. solihin, dkk. (2013) melakukan studi yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman padi dan mengkaji apakah perubahan iklim mempengaruhi hasil pertanian dan keputusan petani untuk mencari pekerjaan baru. studi ini memperoleh hasil bahwa variabel luas lahan secara statistik signifikan mempengaruhi produktivitas tanaman padi secara positif. hasil yang lain mengatakan bahwa penurunan hasil pertanian akibat perubahan iklim dapat meningkatkan probabilitas keinginan petani untuk berganti pekerjaan. ayunwuy, dkk. (2010) melakukan studi di nigeria. hasil dari studi ini adalah petani menyadari perubahan iklim dan dampaknya terhadap produksi tanaman pangan, dan petani telah mampu mengembangkan strategi mata pencaharian, serta adaptasi yang mereka lakukan dengan cara yang terus menerus bisa dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang tidak menentu terhadap produksi tanaman pangan. soejono, dkk. (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui pendapatan usahatani padi, efisiensi penggunaan biaya produksi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani padi pada kelompok tani patemon ii. variabel independennya adalah luas lahan, tenaga kerja, benih, pupuk dan obat. menggunakan fungsi produksi cobb-douglas yang kemudian diubah menjadi bentuk linear, menghasilkan faktor-faktor yang signifikan terhadap produksi adalah pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. sedangkan faktor yang tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi adalah luas lahan dan benih. petani menyadari perubahan iklim dan dampaknya terhadap produksi tanaman pangan telah mampu mengembangkan strategi mata pencaharian, serta adaptasi yang mereka lakukan dengan cara yang terus menerus bisa dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang tidak menentu terhadap produksi tanaman pangan (ayunwuy, dkk., 2010). soejono, dkk. (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang signifikan terhadap produksi adalah pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. sedangkan faktor yang tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi adalah luas lahan dan benih. tabel 1. kejadian kekeringan beserta dampaknya di kabupaten semarang 2014 no kecamatan banyaknya desa yang mengalami kekeringan luas lahan pertanian yang terdampak kekeringan (ha) puso (ha) 1 bringin 11 desa 45 0 2 pringapus 1 desa 162 72 3 susukan 2 desa 0 0 4 jambu 1 desa 0 0 5 suruh 5 desa 3 0 6 tengaran 4 desa 0 0 7 bancak 3 desa 55 0 8 pabelan 1 desa 5 0 9 tuntang 3 desa 20 0 10 banyubiru 2 desa 46 0 11 ambarawa 3 desa 91 0 12 bandungan 1 desa 13 0 13 bawen 1 desa 54 0 14 ungaran barat 1 desa 6 0 sumber: bpbd dan dinas pertanian kabupaten semarang (2015) pengaruh perubahan iklim pergerakan ... (ida nurul hidayati, suryanto) 45 sejak tahun 1990-an, berbagai kawasan di indonesia sering dilanda kekeringan dan kebanjiran. dampak dari kekeringan adalah gagal panen, peningkatan kematian vegetasi, dan percepatan pelapukan. akibatnya, setiap terjadi kekeringan, ratusan hektar sawah di pulau jawa mengalami gagal panen atau puso (iskandar, 2013). dalam tabel 1 disajikan data mengenai kejadian kekeringan di kabupaten semarang tahun 2014. berdasarkan tabel 1, 14 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di kabupaten semarang mengalami kejadian kekeringan. dalam kejadian kekeringan ini hanya 11 kecamatan yang berdampak pada lahan pertanian. luas daerah pertanian terdampak paling parah adalah kecamatan pringapus yaitu sebesar 162 ha dan mengalami puso sebesar 72 ha. titik berat yang akan dikaji pada studi ini adalah melihat dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian pada lahan rawan kekeringan. selain itu adalah untuk mengetahui strategi adaptasi yang dilakukan oleh para petani lahan rawan kekeringan di kabupaten semarang guna mengurangi dampak perubahan iklim. metode penelitian data studi ini menggunakan metode survey dengan petani yang menggarap lahan rawan kekeringan di wilayah kabupaten semarang dengan desain explanatory design yang menggunakan a two phase method (creswell, et.al. dalam kurniawati, 2012:40). berdasarkan data kejadian kekeringan beserta dampaknya di kabupaten semarang pada tahun 2014, diperoleh bahwa wilayah terdampak yang paling luas adalah kecamatan pringapus, yaitu sebesar 162 ha. kecamatan pringapus juga mengalami puso sebesar 72 ha. kekeringan yang terjadi di kecamatan pringapus hanya pada 1 desa, yaitu desa jatirunggo. pemilihan lokasi studi berdasarkan pertimbangan karena (1) daerah studi mempunyai struktur sosial ekonomi yang relatif kompleks, (2) daerah studi adalah daerah yang rawan kekeringan, berdasarkan pemetaan menggunakan sistem informasi geografis (sig) dan (3) daerah studi merupakan daerah yang sering mengalami puso setiap terjadi kekeringan. data dalam studi ini bersumber dari badan pusat statistik (bps) kabupaten semarang, badan penanggulangan bencana daerah (bpbd), dinas pertanian kabupaten semarang, dan badan perencana pembangunan daerah (bappeda). alat analisis metode analisis data yang digunakan berupa analisis deskriptif dan regresi linear berganda dengan model sebagai berikut: logq = log a + b1 log ll + b2 log modal + b3 log tk + b4 ln peng + b5 ktan + b6 dker+ e 1) selain itu, metode analisis dalam studi ini juga menggunakan model logit. model logit adalah model regresi non-linear yang menghasilkan sebuah persamaan di mana variabel dependen bersifat kategorikal. kategori paling dasar dari model tersebut menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1. angka yang dihasilkan mewakilkan suatu kategori tertentu yang dihasilkan dari perhitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut. model analisis yang digunakan dalam studi ini adalah: pr( y = 1xi) = 0 + xi + zi + i 2) keterangan: pr(y = 1xi) = probabilitas petani: (1) mengalami dampak perubahan iklim: (a) mengalami perubahan hasil; (b) mengalami gagal panen, (2) melakukan strategi adaptasi: (a) mengubah pola tanam; (b) menggeser waktu tanam, x’ adalah vektor yang mewakili set input dalam pertanian: (a) tenaga kerja (orang); (b) pupuk (kg); (c) pestisida (liter), z’ adalah vektor yang mewakili set karakteristik individu petani: (a) usia; (b) jenis kelamin; (c) tingkat pendidikan; (d) pengalaman bertani (e) keikutsertaan sebagai anggota kelompok tani,  dan  adalah parameter yang diestimasi;  adalah residual dalam model. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 42-52 46 hasil dan pembahasan analisis data berdasarkan data kuesioner dikelompokkan menjadi tiga bagian. bagian kesatu dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif, bagian kedua menggunakan regresi linier berganda model cobb douglass, dan bagian ketiga dengan menggunakan regresi logistik. 1. persepsi petani terhadap perubahan iklim (a) pengetahuan petani tentang fenomena perubahan iklim. petani di desa jatirunggo telah mengetahui adanya perubahan pada kondisi iklim mikro di desa jatirunggo. hal tersebut berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas hasil panen, bahkan mengalami kegagalan panen sehingga menyebabkan kerugian. meskipun petani merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut, namun hanya 23 persen petani yang mengetahui dan memahami tentang fenomena perubahan iklim tersebut. sedangkan 71 persen petani hanya pernah mendengar istilah perubahan iklim dan merasakan dampaknya saja tanpa dapat menjelaskan definisi penyebabnya lebih lanjut. hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan petani mengenai isu perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. seluruh petani menyatakan bahwa mereka mendapatkan informasi tentang perubahan iklim dari media telivisi, radio, dan sesama petani. petani di desa jatirunggo telah mengetahui adanya perubahan pada beberapa komponen iklim yang biasa digunakan untuk mengukur perubahan iklim. beberapa indikator adanya perubahan iklim yang disampaikan oleh petani dalah adanya pergeseran musim hujan dan kemarau, peningkatan suhu udara, angin bertambah kencang, dan terjadinya kemarau panjang. (b) pergeseran musim di desa jatirungg. pada awalnya, petani di desa jatirunggo terbiasa memperkirakan musim melalui pengeahuan yang umum digunakan masyarakat. sebanyak 100% petani memprediksi musim hujan dimulai setiap bulan oktober sampai mei dan kemarau dari bulan juni sampai september. seluruh petani mengatakan bahwa di desa jatirunggo telah terjadi pergeseran musim yang menyebabkan sulitnya memprediksi awal atau akhir dari musim hujan ataupun musim kemarau. dampak dari perubahan iklim ini menurut petani menyebabkan semakin panjang nya musim kemarau. musim kemarau cenderung tiba pada bulan juni hingga november. pergeseran musim memberikan dampak terhadap peningkatan risiko gagal panen, kerusakan hasil panen, dan penurunan kualitas panen. (c) peningkatan suhu dan kecepatan angin di desa jatirunggo. peningkatan suhu dan perubahan kecepatan angin merupakan parameter dalam pengukuran perubahan iklim (bmkg, 2011). petani menginformasikan bahwa di desa jatirunggo telah terjadi peningkatan suhu dan kecepatan angin. petani menggambarkan bahwa suhu udara saat musim kemarau terkadang terasa ekstrim. saat panas terasa lebih panas dan ketika dingin terasa lebih dingin. persentase pengetahuan petani di desa jatirunggo mengenai perubahan kecepatan angin (94 persen) lebih rendah dari pada persentase pengetahuan pergeseran musim dan peningkatan suhu (100 persen). hal ini diduga berkaitan dengan kondisi fisik faktual yang dirasakan petani sehari-hari. hujan secara fisik dapat dilihat dan dirasakan oleh setiap orang, sedangkan angin tidak dapat dilihat secara fisik, hanya dapat dirasakan dengan tingkat kepekaan yang bervariasi antara satu dengan yang lain. pengetahuan petani mengenai perubahan komponen iklim lebih didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman yang dirasakan secara pribadi. (d) dampak perubahan iklim terhadap pertanian di desa jatirunggo. tabel 2 menunjukkan pengetahuan petani mengenai dampak negatif perubahan iklim terhadap pertanian. seluruh petani menyatakan perubahan iklim berdampak buruk bagi ketersediaan air dan cenderung menurunkan kualitas hasil panen, sedangkan petani yang menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan kegagalan panen sebanyak 36 persen dan 38 persen petani menyatakan bahwa mengalami perubahan hasil yang ditandakan dengan menurunnya hasil produksi/panen. berdasarkan hasil regresi pada tabel 2 dapat disusun persamaan sebagai berikut: pengaruh perubahan iklim pergerakan ... (ida nurul hidayati, suryanto) 47 log(prod) = -9,38 + 0,11*log(ll) + (0,000) (0,045) 0,83*log(modal) + 0,04*log(tk) – (0,000) (0,036) 0,01*log(peng) + 0,09*ktan – 0,22*dker (0,565) (0,001) (0,000)   persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara modal, pupuk, luas lahan, tenaga kerja, dan dummy daerah kekeringan terhadap produksi pertanian di lahan rawan kekeringan. langkah selanjutnya dari hasil regresi tersebut dilakukan uji statistik dan uji asumsi klasik. pada uji statistik, hasil uji f menunjukkan bahwa variabel luas lahan, modal, tenaga kerja, pengalaman bertani, dummy keanggotaan kelompok tani dan dummy kekeringan secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap produksi pertanian pada lahan rawan kekeringan di kabupaten semarang. sedang uji t menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh secara signifikan terhadap produksi pertanian pada lahan rawan kekeringan di kabupaten semarang pada derajat signifikansi 5 persen, kecuali variabel pengalaman bertani yang tidak berpengaruh secara signifikan. sementara koefisien determinasi (r2) adalah sebesar 0,98 yang artinya 98 persen variasi variabel dependen dalam hal ini produksi pertanian dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu luas lahan, modal, tenaga kerja, pengalaman bertani, dummy keanggotaan kelompok tani dan dummy kekeringan. sisanya sebanyak 2 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. selanjutnya, nilai koefisien regresi variabel luas lahan adalah sebesar 0,110 dengan probabilitas 0,0452. sehingga variabel luas lahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produksi pertanian. dalam studi ini, semakin tinggi luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam, maka semakin tinggi pula produksi pertanian karena memiliki hubungan yang positif. begitu pula pada variabel modal, memiliki nilai koefisien sebesar 0,832. setiap kenaikan modal sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi sebesar 83,2 persen. sedang nilai koefisien variabel tenaga kerja adalah sebesar 0,049 dan variabel dummy keanggotaan kelompok tani sebesar 0,092. keduanya memiliki hubungan yang positif dan dapat meningkatkan produksi pertanian. berbeda dengan variabel perubahan iklim yang memiliki nilai koefisien sebesar: -0,224 atau memiliki hubungan negatif, artinya etika kekeringan meningkat sebesar 1 persen maka akan menurunkan hasil produksi sebesar 22,4 persen. variabel luas lahan, modal, tenaga kerja, anggota kelompok tani, dan daerah kekeringan pada hasil studi memiliki pengaruh yang sama dengan studi sebelumnya yaitu berpengaruh secara positif dan signifikan. hasil studi yang tidak sesuai dengan hipotesis yaitu variabel pengalaman bertani. variabel ini tidak signifikan karena diduga petani dalam melakukan produksi pertanian cenderung memakai cara turun temurun, tidak berdasarkan pengalaman bertani nya dan cenderung memakai cara yang sama diantara para petani. penggunaan cara secara turun temurun ini lah yang tidak membedakan hasil produksi antara petani yang memiliki pengalaman bertani lama dan yang belum memiliki pengalaman bertani lama. tabel 2. hasil uji regresi log linier berganda no nama variabel koefisien t hitung prob. 1 2 3 4 5 6 7 konstanta log(ll) log(modal) log(tk) log(peng) (ktan) (dker) -9,386 0,110 0,832 0,049 -0,018 0,092 -0,224 -26,158 2,033 14,988 2,129 -0,576 3,423 -8,959 0,0000 0,0452 0,0000 0,0362 0,5655 0,0010 0,0000 r-squared adjusted r-squared durbin-watson stat 0,987620 0,986725 2,199492 f-statistic prob(f-statistik) 1103,530 0,000000 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 42-52 48 regresi logistik a. probabilitas individu petani mengalami gagal panen. berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi logistik: prob gagal panen = -13,59 + 1,29*age – (0,285) 2,67*jk – 1,19*ktan – 4,37*pend – (0,071) (0,254) (0,234) 1,31*peng – 0,87*tk + 4,16*dker + (0,276) (0,119) (0,000) 1,65*pest – 0,01*pup (0,410) (0,709) persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman bertani, keanggotaan kelompok tani, daerah kekeringan, penggunaan pestisida dan pupuk terhadap probabilitas petani mengalami gagal panen. tabel 5. hasil perhitungan nilai odds ratio variabel yang berpengaruh terhadap probabilitas petani mengalami gagal panen   variabel z-statistik odds rasio daerah kekeringan 3,367403 e3,367403 29,00 jenis kelamin 1,801287 e1,801287 6,05    pada tabel 5 menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi probabilitas petani mengalami gagal panen adalah variabel daerah kekeringan dan jenis kelamin. daerah kekeringan memiliki nilai odds rasio sebesar 29,00 hal ini berarti setiap tabel 3. perbandingan hasil studi dengan studi sebelumnya variabel studi sebelumnya hipotesis hasil studi luas lahan berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif modal berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif tenaga kerja berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif pengalaman bertani berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif tidak signifikan (negatif) anggota kelompok tani berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif berpengaruh secara positif daerah kekeringan berpengaruh secara negatif berpengaruh secara negatif berpengaruh secara negatif sumber: beberapa jurnal terpilih (2009-2013) dan hasil studi (2015) tabel 4. hasil analisis dengan regresi logistik no nama variabel koefisien z-satistic prob. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 intercept usia (age) jenis kelamin (jk) kelompok tani (ktan) pendidikan (pend) pengalaman bertani (peng) tenaga kerja (tk) daerah kekeringan (dker) pestisida (pest) pupuk (pup) -14,209 1,307 -2,403 -1,345 -4,418 -1,342 -0,931 4,599 1,655 -0,013 -1,021 1,189 -1,718 -1,331 -1,309 -1,224 -1,611 3,939 0,823 -0,372 0,3708 0,2851 0,0717* 0,2542 0,2347 0,2762 0,1192 0,0008** 0,4104 0,7092 mcfadden r-squared 0,603 lr-statistic prob(lr-statistik) 70,65879 0,000000 * : signifikan pada level 10%; ** : signifikan pada level 5%; ***signifikan pada level 1% pengaruh perubahan iklim pergerakan ... (ida nurul hidayati, suryanto) 49 penambahan luas daerah yang terdampak kekeringan sebesar 1 persen probabilitas petani mengalami gagal panen akan meningkat sebesar 29 persen. jenis kelamin memiliki odds rasio sebesar 6,05, artinya petani yang berjenis kelamin laki-laki akan menurunkan probabilitas mengalami gagal panen sebesar 6,05 persen.   b. probabilitas petani mengalami penurunan hasil. berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi logistik: prob. perubahan hasil = -13,00 + 0,37*age + (0,396) 7,52*dker – 2,09*jk – 3,59*ktan + (0,000) (0,235) (0,006) 1,06*pend – 0,21*peng – 0,40*tk – (0,495) (0,612) (0,563) 4,57*pest + 0,08*pup (0,109) (0,071) persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman bertani, keanggotaan kelompok tani, daerah kekeringan, penggunaan pestisida dan pupuk terhadap probabilitas petani mengalami perubahan hasil. pada tabel 6 menunjukkan variabel yang mempengaruhi probabilitas petani mengalami perubahan hasil panen adalah variabel anggota kelompok tani, daerah kekeringan dan pupuk. jika petani menjadi anggota kelompok tani, maka akan menurunkan probabilitas petani mengalami perubahan hasil pertanian sebesar 15,31 persen. jika daerah kering bertambah sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas petani mengalami perubahan hasil sebesar 48,43 persen. penambahan penggunaan pupuk sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas petani mengalami perubahan hasil sebesar 6,07 persen. tabel 6. hasil perhitungan nilai odds ratio variabel yang berpengaruh terhadap probabilitas petani mengalami penurunan hasil   variabel z-statistik odds rasio anggota kelompok tani -2,728921 e2,728921 15,31 daerah kekeringan 3,907070 e3,907070 49,75 pupuk 1,804071 e1,804071 6,07   c. probabilitas petani menggeser waktu tanam. berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi logistik: pr. waktu = 3,65 – 0,09*age + 0,69*dker + (0,3039) (0,4191) 3,17*dummy_ph + 0,94*jk (0,0013) (0,3341) 0,74*ktan – 0,98*pend – 0,03*peng (0,3261) (0,2172) (0,9694) persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara variabel usia, daerah kekeringan, mengalami perubahan hasil, jenis kelamin, anggota kelompok tani, pendidikan, dan pengalaman tabel 5. hasil analisis dengan regresi logistik no nama variabel koefisien z-statistic prob. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 intercept usia (age) jenis kelamin (jk) kelompok tani (ktan) pendidikan (pend) pengalaman bertani (peng) tenaga kerja (tk) daerah kekeringan (dker) pestisida (pest) pupuk (pup) -13,000 0,373 -2,093 -3,598 1,065 -0,214 -0,404 7,524 -4,572 0,083 -1,577 0,848 -1,187 -2,728 0,681 -0,506 -0,577 3,907 -1,600 1,804 0,1147 0,3963 0,2350 0,0064* 0,4955 0,6125 0,5638 0,0001* 0,1095 0,0712** mcfadden r-squared 0,703 lr-statistic prob(lr-statistik) 83,93454 0,000000 * : signifikan pada level 10% ** : signifikan pada level 5% jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 42-52 50 bertani terhadap probabilitas petani untuk menggeser waktu tanam. tabel 8. hasil perhitungan nilai odds ratio variabel yang berpengaruh terhadap probabilitas petani menggeser waktu tanam   variabel zstatistik odds rasio perubahan hasil 3,222866 e3,222866 25,09   variabel yang mempengaruhi probabilitas petani menggeser waktu tanam adalah variabel perubahan hasil yaitu sebesar 25,09. dapat diartikan bahwa ketika perubahan hasil atau mengalami penurunan hasil panen meningkat sebesar 1 persen maka probabilitas petani mengubah waktu tanam meningkat sebesar 25,09 persen. pergeseran waktu tanam ini dilakukan petani sebagai upaya menyesuaikan kegiatan pertaniannya dengan ketidakpastian musim.   d. probabilitas petani mengubah pola tanam berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi logistik: pr. pola = -0,81 – 0,08*age + 3,26*dker + (0,6604) (0,0214) 3,55*dummy_ph + 1,27*jk – 0,08*ktan – (0,0011) (0,4591) (0,9298) 0,35*pend + 0,05*peng (0,7329) (0,7557) persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara usia, daerah kekeringan, perubahan hasil, jenis kelamin, anggota kelompok tani, pendidikan, dan pengalaman bertani terhadap probabilitas petani mengubah pola tanam. variabel yang mempengaruhi probabilitas petani mengubah pola tanam adalah daerah kekeringan dan perubahan hasil. odds rasio daerah kekeringan yaitu sebesar 9,98. dapat diartikan bahwa peningkatan luas daerah kekeringan sebesar 1 persen dapat meningkatkan petani mengubah pola tanam sebesar 9,98 persen. tabel 9. hasil analisis dengan regresi logistik no nama variabel koefisien z-statistic prob. 1 2 3 4 5 6 7 8 intercept usia daerah kekeringan mengalami perubahan hasil jenis kelamin anggota kelompok tani pendidikan pengalaman bertani -0,814 -0,080 3,262 3,552 1,274 -0,088 -0,356 0,050 -0,170 -0,439 2,301 3,254 0,740 -0,075 -0,341 0,311 0,8647 0,6604 0,0214 0,0011 0,4591 0,9398 0,7329 0,7557 mcfadden r-squared 0,625 lr-statistic prob(lr-statistik) 75,80891 0,000000 tabel 7. hasil analisis dengan regresi logistik no nama variabel koefisien z-satistic prob. 1 2 3 4 5 6 7 8 intercept usia daerah kekeringan mengalami perubahan hasil jenis kelamin anggota kelompok tani pendidikan pengalaman bertani 3,656 -0,094 0,698 3,174 0,945 -0,742 -0,984 -0,003 1,028 -0,807 0,746 3,222 0,965 -0,982 -1,233 -0,038 0,3039 0,4191 0,4555 0,0013 0,3341 0,3261 0,2172 0,9694 mcfadden r-squared 0,422 lr-statistic prob(lr-statistik) 48,41178 0,000000 pengaruh perubahan iklim pergerakan ... (ida nurul hidayati, suryanto) 51 tabel 10. hasil perhitungan nilai odds ratio variabel yang berpengaruh terhadap probabilitas petani mengubah pola tanam   variabel z-statistik odds rasio daerah kekeringan 2,301235 e 2,301235 9,98 perubahan hasil 3,254549 e3,254549 25,90 variabel perubahan hasil memiliki odds rasio sebesar 25,90. dapat diartikan bahwa ketika petani mengalami perubahan hasil atau penurunan hasil produksi meningkat sebesar 1 persen maka probabilitas petani mengubah pola tanam meningkat sebesar 20,29 persen. perubahan pola tanam ini umumnya dilakukan petani karena mengalami penurunan hasil akibat berada di wilayah yang rawan kekeringan. simpulan modal mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik pada derajat kepercayaan 5 persen. semakin banyak modal yang digunakan maka semakin tinggi pula hasil produksi pertanian. sementara, luas lahan mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 5 persen sehingga semakin luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam, maka hasil produksi nya juga semakin banyak. demikian juga pada pengalaman bertani mempunyai pengaruh yang tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 5 persen. hal ini diduga karena petani menggunakan cara turuntemurun dalam melakukan produksi pertanian, sehingga tidak ada perbedaan hasil antara petani yang sudah lama bertani dengan yang belum memiliki pengalaman lama sebagai petani. selanjutnya, keikutsertaan sebagai anggota kelompok tani mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 5 persen sehingga jika petani menjadi anggota dalam kelompok tani akan cenderung meningkatkan produksi pertaniannya karena akan memiliki informasi lebih mengenai pertanian. perubahan iklim yang digambarkan dengan keadaan kekeringan mempunyai pengaruh yang signifikan pada tingkat kepercayaan 5 persen. lahan yang teridentifikasi sebagai lahan rawan kekeringan berpotensi menurunkan produksi pertanian. pemerintah diharapkan dapat membantu tabel 11. ringkasan hasil estimasi menggunakan regresi logistik variabel bebas gagal panen [ya = 1] penurunan hasil [ya = 1] menggeser waktu tanam [ya = 1] mengubah pola tanam [ya = 1] intercept -14,209 (0,3708) -13,000 (0,1147) 3,656 (0,3039) -0,814 (0,8647) usia 1,307 (0,2851) 0,373 (0,3963) -0,094 (0,4191) -0,080 (0,6604) jenis kelamin -2,403 (0,0717) -2,093 (0,2350) 0,945 (0,3341) 1,247 (0,4591) anggota kelompok tani -1,345 (0,2542) -3,598 (0,0064) -0,742 (0,3261) -0,088 (0,9398) pendidikan -4,418 (0,2347) 1,065 (0,4955) -0,984 (0,2172) -0,356 (0,7329) pengalaman bertani -1,342 (0,2762) -0,214 (0,6125) -0,003 (0,9694) 0,050 (0,7557) tenaga kerja -0,931 (0,1192) -0,404 (0,5638) daerah kekeringan 4,599 (0,0008) 7,524 (0,0001) 0,698 (0,4555) 3,262 (0,0214) pestisida 1,655 (0,4104) -4,572 (0,1095) pupuk -0,013 (0,7092) 0,083 (0,0712) mengalami perubahan hasil 3,174 (0,0013) 3,552 (0,0011) sumber: analisis data primer dengan e-views 6, 2015 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 42-52 52 pengembangan usaha tani padi, misalnya memperlancar sistem pendistribusian pupuk agar tidak terciptanya kelangkaan pupuk dan juga mengadakan lembaga simpan pinjam dan pengenalan asuransi pertanian yang dapat meringankan petani dalam masalah pengadaan modal usaha tani dan kerugian finansial sebagai dampak perubahan iklim. petani yang tinggal di daerah rawan kekeringan harus meningkatkan strategi adaptasi yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerugian akibat perubahan iklim. petani dapat mengubah pola tanam maupun menggeser waktu tanam disesuaikan dengan datangnya musim penghujan guna mengurangi risiko gagal panen. petani juga dapat membuat sumur resapan di sekitar sawah guna mengairi sawah ketika musim kemarau tiba. daftar pustaka angles, chinnadurai, and sundar. (2011). awareness on impact of climate change on dryland agriculture and coping mechanisms of dryland farmers. indian journal of agricultural economics. vol.66, hlm. 365372. ayunwuy, kuponiyi, ogunlade, and oyetoro. (2010). farmers perception of impact of climate changes on food crop production in ogbomoso agricultural zone of oyo state, nigeria. continental journal agricultural economics. vol.4, hlm.19-25. badan koordinasi nasional penanggulangan bencana. (2007). diakses pada 27 juli 2014, dari: http://www.bakornaspb.go.id/new/id. badan penanggulangan bencana daerah kabupaten semarang. (2014). data wilayah berdampak kekeringan di kabupaten semarang. semarang: bpbd kabupaten semarang. dinas pertanian kabupaten semarang. (2014). rekapitulasi dampak perubahan iklim kabupaten semarang. semarang: dinas pertanian, perkebunan, dan kehutanan kab. semarang. kementerian lingkungan hidup. (2004). perubahan iklim global. diakses pada 27 juli 2014, dari: http:/climatechange.menlh.go.id. kurniawati, fitri. 2012. pengetahuan dan adaptasi petani sayuran terhadap perubahan iklim. thesis. bandung: program pascasarjana, universitas padjajaran. mubyarto. (1989). pengantar ekonomi pertanian. jakarta: lp3es. muslim, chairul. (2013). mitigasi perubahan iklim dalam mempertahankan produktivitas tanah padi sawah. jurnal penelitian pertanian terapan. vol.13, hlm. 211-222. nurdin. (2011). antisipasi perubahan iklim untuk keberlanjutan ketahanan pangan. sulawesi utara: universitas negeri gorontalo. suberjo, (2009). adaptasi pertanian dalam pemanasan global. dosen fakultas pertanian ugm yogyakarta dan mahasiswa doktoral the university of tokyo. diakses pada 12 agustus 2014, dari: http://subejo.staff.ugm.ac.id/?p=108. sumaryanto. (2012). strategi peningkatan kapasitas adaptasi petani tanaman pangan menghadapi perubahan iklim. forum penelitian agro ekonomi. vol. 30, hlm.73-89. soejono, d., sunarsih, m., dan diantoro, k. (2009). faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi pada kelompok tani patemon ii di desa patemon kecamatan tlogosari kabupaten bondowoso. j-sep. vol. 3, hlm. 55-59. solihin, a., dan sukartini, n.m. (2013). respon petani terhadap perkembangan teknologi dan perubahan iklim: studi kasus di desa gadungan, tabanan, bali. jurnal ekonomi kuantitatif terapan. vol. 6, hlm. 128-139. undp. (2007). sisi lain perubahan iklim, mengapa indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskin. jakarta: undp indonesia. utami, jamhari, dan suhatmini hardyastuti. (2011). el nino, la nina dan penawaran pangan di jawa, indonesia. jurnal ekonomi pembangunan. vol. 12: 2, hlm. 257-271. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? endah saptutyningsih* and hafsah fajar jati abstract: this study aims to determine parents’ willingness to pay (wtp) for their children’s dental caries prevention program at elementary school using a direct survey—the contingent valuation method. this study collected data from 264 parents of students aged 6-12 years old (the 1st to the 6th grade). children at this age are at risk of dental caries because they consume more sweets, chocolate, and other sugary products. the survey results showed that the average wtp value for caries prevention was idr 103,371. income, education, and selfperceived needs for treatments were variables that positively and significantly affected wtp. other variables such as parents’ age and frequency of visiting a dental healthcare facility were insignificant. oral and dental health treatments can impact not only health during childhood but also in adulthood. the findings can inform health departments in improving dental health services. research on preventing oral and dental diseases, especially caries, is still limited in indonesia. most studies involve adult respondents, whereas this study involves primary school students. keywords: willingness to pay; contingent valuation method; caries prevention; dental health jel classification: i13 introduction health is not only an important indicator of personal wellbeing but also a country’s development and environmental change, so it must be improved continuously (who, 1948). ‘health for all’ assurance is stated in sustainable development goals (sdgs) number three about good health and wellbeing. oral and dental (orodental) health is an essential indicator of overall physical and psychological health. its conditions can affect people’s performance at school or work. some issues affecting the conditions include dental and periodontal diseases, oral cancer, hiv infection, and trauma. who recorded that dental problems are the world’s most prevalent chronic diseases over the past decade (who, 2018). vos et al. (2017) estimated that oral diseases affect 3.58 billion people or about half of the world’s population, with dental caries in permanent teeth becoming the most prevalent problem. therefore, orodental healthcare ranked the fourth most expensive to treat, higher than the investment for cancer or respiratory diseases (petersen, bourgeois, bratthall, & ogawa, 2005). in most high-income countries, orodental treatment is costly, with about 5% affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: endahsaptuty@umy.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.14041 citation: saptutyningsih, e., & jati, h. f. (2022). children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 93-109. article history received: 21 feb 2022 revised: 31 mar 2022 accepted: 06 apr 2022 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57214445720 https://scholar.google.com/citations?user=o7x68_saaaaj&hl=en https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ mailto:endahsaptuty@umy.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/14041 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.14041&domain=pdf saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 94 of total health expenditure and 20% of out-of-pocket health expenditure. meanwhile, in low-and middle-income countries (lmics), orodental healthcare demand is often higher than the capacities of the healthcare systems. since access to orodental health remains limited, problems are often left untreated. teeth are often extracted to remove pain or discomfort (who, 2018). in indonesia, the health concern is regulated in constitution number 36 of 2009. article 93, paragraph one, states that government, regional governments, and/or the community should maintain and improve public health—by improving treatments, preventing diseases, and restoring orodental health—in a united, integrated, and sustainable manner. however, most people’s awareness is low, so they do not prioritize orodental health. this is reflected in the high prevalence of orodental problems in indonesia. table 1 prevalence of orodental problems compared to other diseases in indonesia diseases proportion (%) 2007 2013 2018 orodental diseases 23.4 25.9 57.6 communicable diseases ari (acute respiratory infections) 25.5 25 9.3 pneumonia 2.13 1.8 4.0 tuberculosis 0.99 0.4 0.42 non-communicable diseases asthma 3.5 4.5 2.4 cancer 4.3 1.4 1.79 diabetes mellitus 1.1 2.1 1.5 mental disorder (psychosis/schizophrenia) 4.6 1.7 6.7 nutritional deficiencies 18.4 19.6 17.7 source: national institute of health research and development (nihrd), ministry of health indonesia the research reported that orodental diseases rank first as the most prevalent disease affecting people in indonesia. more than half of the population in indonesia have had orodental problem(s). this proportion exceeds the other health issues assessed in the basic health research (riskesdas), such as communicable diseases (ari, pneumonia, tb, etc.), non-communicable diseases (asthma, cancer, diabetes, etc.), mental health, congenital disabilities, and nutritional status (table 1). the proportion of orodental prevalence in 2018 was 57.6%, doubled from the problems in 2007 and 2013 (23.2% and 25.9%, respectively). out of the total population with dental diseases in 2018, only 10.2% received treatments from medical personnel. this percentage decreased from 29.7% in 2007 and 31.1% in 2013, as shown in table 1. it could be inferred that orodental diseases are not considered acute and that orodental care is not prioritized. in terms of age, there were 93% of children with a dental problem in 2018. caries or tooth decay was the most prevalent problem. according to oral health atlas 2015, in 19942014, indonesia had the highest dmf-t (caries index) among southeast asian nations, which also means one of the highest globally. seventy-six percent was due to dental caries with the level of dmf-t of 4.5 (classified as high). the poor in orodental health was due saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 95 to low capacity of healthcare resources, poor monitoring and evaluation, inadequate information system, and poor track record and reporting at the regional or national level. special region of yogyakarta (diy henceforth) was ranked fourth in the number of orodental cases nationally. the diseases reached 65.6%, above the national average and increasing from year to year. at the same time, the proportion of medical interventions kept decreasing, as shown in figure 1. this poor status was surprising because only 6% of people in diy brush their teeth properly (ministry of health of the republic of indonesia, 2018). figure 1 the proportion of orodental problems and medical interventions in indonesia and diy source: national institute of health research and development (nihrd), ministry of health indonesia almost half of the orodental problems were dental caries and toothache. dental caries is indeed the most prevalent chronic dental disease affecting children (dawkins et al., 2013). in yogyakarta special region, the dental caries index reached 6.53 (classified as very high), much higher than indonesia’s dmf-t score, which was 4.5. taking medicines was the most common action to treat the illness, followed by tooth filling and tooth extraction (ministry of health of the republic of indonesia, 2018). restorative treatment, i.e., medication when the problem has become serious, was more common than promotive and preventive treatments. it shows that the awareness about the importance of orodental health, especially to prevent dental caries among children, was low. an unhealthy modern diet could also be a factor. according to fdi world dental federation (2017), the worldwide consumption of sugar has increased about triple over the last 50 years, especially in emerging countries. sugar, acid, and caffeine in food and beverage products can weaken tooth enamel and cause dental caries. this is a major global public health problem affecting individuals, health systems, and economies. in yogyakarta special region, 41% and 71% of the population consume high-sugar foods and beverages at least one serving a day. smoking, alcohol, and poor oral hygiene are also the factors causing dental problems. the number of smokers in indonesia remains high, saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 96 especially in yogyakarta, where 5.4% of smokers started smoking when they were five to nine years old. the number of young smokers was the highest in yogyakarta than in other provinces in indonesia. it was even above indonesia’s average rate, which was 2.5% (ministry of health of the republic of indonesia, 2018). nevertheless, medical intervention, parents’ awareness, and prioritizing in the policymaking still need some improvement. the government does not prioritize dental health because dental caries is not considered immediately life-threatening (oscarson, 2006; peres et al., 2019; watt et al., 2019). meanwhile, on an individual level, socio-economic status also impacts dental health (celeste & fritzell, 2018; costa et al., 2018; matsuyama et al., 2017; schwendicke et al., 2014). birch and listl (2015) stated that the demand for healthcare, including orodental, comes from the consumer’s expected health gain and is encouraged by advice and direction from the healthcare providers. lastly, the common preconception about visiting a dentist also makes people avoid seeking help and leave their teeth untreated. health as an outcome is classified into non-market goods. klose (1999) measured healthcare products in terms of monetary value and postulated that they could be established by using the contingent valuation method (cvm) within the cost-benefit analysis and represented by the value of willingness to pay (wtp). walraven (1996) defined wtp as the maximum amount of money individuals are willing to pay for the proposed services or goods. wtp provides a realistic price level determined by consumer values and perceptions. in the health services industry, cvm studies are growing rapidly. this method is considered the most suitable approach for health-related economic valuation (vo, tran, & vo, 2018). a critical review by tan, vernazza, and nair (2017) on wtp for dental treatments found that cvm was used in most publications in pubmed and web of science databases. thus far, none of the studies mentioned above assess wtp for dental care in indonesia. to the best of our knowledge, only karyadi (2011) conducted research in surakarta, indonesia, but it was not designed based on cvm. on health risk mitigation, saptutyningsih and sujud (2020) assessed tobacco farmers’ wtp to obtain health insurance for green tobacco sickness (gts) and analyzed its relationship with the socioeconomic and demographic factors. socioeconomic characteristic is a major factor associated with wtp and health product preference (jennifer & saptutyningsih, 2015; birhane et al., 2016; sever, verbič, & sever, 2017; nyamuryekung'e, lahti, & tuominen, 2018; harapan et al., 2019). tan et al. (2017) extracted relevant publications and found that income, education, and age influence wtp for clinical orodental interventions. these variables are the socioeconomic factors that have thus been used in most economic valuation studies in the health sector. vernazza et al. (2015) found a large and unpredictable variance in caries prevention values, but neither socioeconomic nor dental history factors became a significant wtp predictor. unlike these findings, walshaw et al. (2019) found that wtp for caries prevention could be associated with parents’ income and children’s dental history. saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 97 according to mubaraki et al. (2017), parents with higher education and higher income showed higher wtp for their children’s interceptive dental health. these findings align with berendsen et al. (2018), which analyzed parents’ willingness to invest financially (wtp), make a dentist appointment, and commit to toothbrushing minutes. meanwhile, a study by walshaw et al. (2019) aims to elicit wtp for caries prevention in the uk and brazil. they recruited 200 participants from public dental care facilities. the wtp data were analyzed using linear regression modeling and tobit regression for accounting for the data left censoring where appropriate. the findings indicated that in brazil, there was a positive and significant correlation between a higher wtp, infrequent attendance and a moderate income. in the uk, the higher wtp was correlated with frequent visits, a higher perceived need for treatment, a recent history of oral diseases, having a child with recent dental restorations, being female, and a higher income. several past studies have found that attention to children's dental health is still low, while other past studies have examined the role of pediatric anesthesia parent satisfaction (paps) in mitigating health risks. in indonesia, some elementary schools have dental care programs. however, dental caries remains prevalent, and there has not been a structured intervention or a program that aims to prevent dental caries. empirical findings on parents’ wtp for their children’s caries prevention could be a point of reference for policymakers. therefore, the current study aims to determine the wtp using the contingent valuation method (cvm). we chose yogyakarta city as the setting of this study, with three elementary schools (sd) as case studies—sd muhammadiyah suronatan, sd muhammadiyah wirobrajan 3, and sd muhammadiyah notoprajan. we selected these schools due to the high prevalence of dental caries—more than half of the students, according to the public health center’s examination in 2019. the sample population was the students’ parents. table 2 the relation between the dependent and independent variables dependent variable independent variables relation references wtp for caries prevention income + mckenna et al. (2016); mubaraki et al. (2017), tan et al. (2017), berendsen et al. (2018), nyamuryekung'e et al. (2018), srivastava et al. (2019), walshaw et al. (2019) education level + vermaire, van exel, van loveren, & brouwer (2012), mubaraki et al. (2017), tan et al. (2017), berendsen et al. (2018), sever et al. (2017), nyamuryekung'e et al. (2018) age augusti, augusti and re (2014), tan et al. (2017), nyamuryekung'e et al. (2018), sever et al. (2017) frequency of visits to dental health facilities + vernazza et al. (2015), walshaw et al. (2019) perceived need for treatment + vernazza et al. (2015), nyamuryekung'e et al. (2018) saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 98 in collaboration with school staff and parents, medical interventions could be encouraged based on the estimation of parents’ wtp for their children to prevent dental caries. on a more theoretical side, the current study's finding is important for evaluating the factors associated with the value of parents’ willingness to pay. the relation between the dependent and independent variables is shown in table 2. research method data this study uses survey results as primary data. the respondents were parents whose children attended one of the selected elementary schools in yogyakarta city, namely sd muhammadiyah suronatan, sd muhammadiyah wirobrajan 3, and sd muhammadiyah notoprajan. the parents were selected from the 1st to the 6th grade (whose children were between 6-12 years old). children in this age range are at risk of dental caries as they eat more sweets, chocolate, or other sugary products (andini, indriati, & sabrian, 2018). the survey period of this study was in january-march 2020. sampling technique the sampling technique used in this study was cluster random sampling. the sample was divided into groups or clusters based on the schools. then, the same number of participants were chosen randomly from each cluster, determined with a percentage error of 10%. the population in this study was based on the number of students at the muhammadiyah elementary schools in yogyakarta city, calculated based on the isaac and michael formula in wilmoth (1982): 𝑠 = 𝜆2𝑁𝑃𝑄 𝑑2(𝑁−1)+𝜆2𝑃𝑄 (1) where s = number of samples; λ2 = chi square with the value based on the degree of freedom (df) and the probability of exceeding the critical value (α). for df=1 and α=0.1, chi-square = 2.706; n = number of populations; p = probability of correct (0.5); q = probability of incorrect (1-p=0.5); d = difference between mean sample and mean population (different biases 0.01; 0.05; and 0.1). in this study, the total population was 10.323 persons with the 10% statistical tolerance limit, and the value d was set to 0,05. therefore, the sample size recruited was: 𝑠 = (2.706)(10,323)(0.5)(0.5) 0.052(10,323 − 1) + (2.706)(0.5)(0.5) 𝑠 = 6,983.5095 26.4815 𝑠 = 263.7 ≈ 264 saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 99 based on the calculation, the respondents recruited for this research were 264. each school contributed one-third of the total sample or 88 parents. data collection technique the data were obtained primarily using a written questionnaire sent directly to the respondents to be answered. this questionnaire consists of questions and written statements related to information needed for the research. data analysis this study used the contingent valuation method (cvm) as a direct survey-based method to ask parents about their wtp for caries prevention. cvm can determine the maximum wtp and its relevant information. according to fauzi (2004), there are five stages to elicit the value of wtp using cvm: establishing a market hypothesis in the first stage, the questionnaire for wtp elicitation introduced a hypothetical scenario to the respondents: “orodental health problems affect more than half of the world's population. about 93% of children in indonesia experience dental caries that can affect their performance at school. to overcome this, the school plans to conduct routine dental care every semester for students to prevent caries. the program consists of 1) mouth, teeth, gums, and other supporting tissues check-ups; 2) food and lifestyle consultations that affect children's orodental health; 3) fluoride varnish treatment.” the scenario aims to provide an overview of the importance of orodental health maintenance to prevent caries. the wtp values were subsequently elicited through questions given to the respondents. obtaining the bidding value of wtp the initial bid price was based on the market price of dental treatment for caries prevention, namely a fluoride varnish application from public health facilities (idr 30.000). the initial bid price was offered to the respondents. using a bidding game, the amount would be increased if the respondents agreed to pay the offered price until the maximum amount they were willing to pay for caries prevention. estimating the mean of wtp to calculate the mean value of the bidding value obtained, willingness to pay can be estimated by dividing the sum of the overall value of wtp by the number of respondents. the formula used to calculate the mean value is as follows: 𝐸𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑖𝑃𝑓𝑖𝑛𝑖=1 (2) saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 100 where ewtp = estimated mean of wtp; wi= the value of wtp to-i; n = total respondent; i = respondent to-i that willing to pay (= 1,2,….n) estimating the bid curve the estimated supply curve of the wtp was obtained by regressing the value of wtp as the dependent variable with the independent variables, which include parents’ income, education, age, frequency of visits to dental health facilities, and the perceived need for treatment. aggregating data (total wtp) the last step was to sum the average value of the bid obtained. the conversion of the average sample data to the overall population’s mean resulted in switching the sample’s mean with the total population’s mean. the formula is: 𝑇𝑊𝑇𝑃 = ∑ 𝑊𝑇𝑃𝑖 𝑛𝑖𝑛𝑖=1 (3) where twtp= total wtp; ∑wtpi = wtp individual sample to-i; ni = total sample to-i; i = respondent to-i who is willing to pay (= 1,2,….n) the primary data in this study were processed using spss version 16. the associations of wtp as a dependent variable with its independent variables were analyzed using a multiple linear regression model analysis. in this study, the wtp for maintaining dental health was assessed by the parents with the function: wtp = f(inc, edu, age, freq, need) (4) meanwhile, the function expressed in the form of the wtp relationship with independent variables is: wtp = β0 + β1 inc + β2 edu + β3 age + β4 freq + β5 need + e (5) where wtp = willingness to pay for caries prevention in children; inc= parents’ income; edu = parents’ education level; age = parents’ age; freq = frequency of visits to dental health facilities; need = perceived need for treatment; e= error term. the model in this study used standardized regression coefficients or beta weights (β) because the variables are primary data measured in different units (menard, 2011). interpreting standardized coefficients for a causal relationship between independent and dependent variables needs the standard deviation information. a standard deviation increases the value of the independent variable. it is associated with a beta coefficient of standard deviation change in the value of the dependent variable (freedman, 2009; gignac, 2019). therefore, to calculate the change in wtp because of a standard deviation saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 101 change in the independent variable, the standardized coefficient of the independent variable should be multiplied by the wtp’s standard deviation. result and discussion there were 264 respondents participating in the valuation of caries prevention. in this study, the wtp value from each respondent was obtained by cvm conducted in the following five stages. establishing a market hypothesis in the first stage, the questionnaire for wtp elicitation introduced a hypothetical scenario to the respondents: “orodental health problems affect more than half of the world's population. about 93% of children in indonesia experience dental caries that can affect their performance at school. to overcome this, the school plans to conduct routine dental care every semester for students to prevent caries. the program consists of 1) mouth, teeth, gums, and other supporting tissues check-ups; 2) food and lifestyle consultations that affect children's orodental health; 3) fluoride varnish treatment.” the scenario aims to provide an overview of the importance of orodental health maintenance to prevent caries. the wtp values were subsequently elicited through questions given to the respondents. obtaining the bidding value of wtp the initial bid price was based on the market price of dental treatment for caries prevention, namely a fluoride varnish application from public health facilities (idr 30.000). the initial bid price was offered to the respondents. using a bidding game, the amount would be increased if the respondents agreed to pay the offered price until the maximum amount they were willing to pay for caries prevention. estimating the mean of wtp (ewtp) the wtp can be estimated by summing up the overall value of wtp, divided by the number of respondents. the total sample was 264 persons, and the wtp from each respondent is provided in the appendix. based on the calculation, the estimated mean of wtp for caries prevention obtained using the bidding game technique was idr 103,371. estimating the bid curve the respondents’ wtp curve was calculated based on the wtp value and the number of respondents who chose the wtp value. figure 2 describes the distribution of wtp for caries prevention. the lowest value was idr 30,000, and the highest value was idr 500,000 from 264 respondents. saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 102 aggregating data or the value of total wtp (twtp) the total wtp (twtp) value was calculated based on the wtp data distribution using the twtp formula. based on the calculation, the total wtp for caries prevention was idr 27,290,000. figure 2 willingness to pay for caries prevention the descriptive statistics are presented in table 3, providing information about the mean, minimum, maximum, and standard deviation values for each variable from 264 samples. table 3 descriptive statistics variable n mean min. max. std. deviation wtp 264 103,371 30,000 500,000 66,133 inc 264 4,234,090 200,000 85,000,000 5,752,536 edu 264 14 6 18 2.2 age 264 40 26 63 6 freq 264 2 0 48 4 need 264 2 1 4 0.9 the wtp from 264 respondents was, on average, idr 103,371. the lowest value that the respondents were willing to pay was idr 30,000, and the highest was idr 500,000. the standard deviation was idr 66,133 or lower than the average value; therefore, the distribution of respondents' answers to the wtp was good. of the 264 respondents who worked as an entrepreneur and an employee, the average income level was idr 4,234,090. the lowest income was idr 200,000, and the highest income was idr 85,000,000. the standard deviation was idr 5,752,536, exceeding the average income value and showing that the distribution of respondents' income was not good. the highest education attained by the respondents was a master's degree with a study duration of 18 years, while the lowest education was a primary school with a duration of 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 5 4 6 1 6 6 6 9 9 2 9 4 9 5 9 6 1 7 5 1 7 6 1 7 7 2 3 2 2 5 6 2 5 9 2 6 3 2 6 4 w t p ( id r ) cumulative frequency wtp for caries prevention 30000 50000 0 saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 103 6 years. of 100 respondents, the average education level was 14, equivalent to the undergraduate level. the standard deviation value of the education variable was 2.2, so the average value of the education was higher than the standard deviation. it could be concluded that the data distribution of respondents' answers about education was good. the oldest respondent was 63 years old, and the youngest age was 26 years old at the time of the study. the average age was 40 years old, with a standard deviation of 6. since the standard deviation was lower than the average age, the age data distribution was good. the findings found that, on average, the respondents took their children to visit a dental health facility twice a year. the least frequency of visits was 0, or the respondents never visited a dental health facility with their children. the highest frequency of visits was 48 times a year, which was claimed by the respondents who visited a dental health facility about once a week. the high frequency of visits could be for routine dental treatments. the data distribution of the visit frequency was not good because the standard deviation showed a value of 4, which is higher than the mean value. the perceived need for treatment showed a mean value of 2. this means the average selfperceived need for treatment from 264 respondents is less than 50%. the minimum value was 1, representing zero perceived need for treatments or very low. the maximum value was 4, representing a perceived need for treatments higher than 50%. the standard deviation was 0.9 or less than the average, so the data distribution about the perceived need for treatment was good. from the normality test based on kolmogorov-smirnov, the data passed the normality test. the vif value for each independent variable showed no multicollinearity problems in this model. therefore, the independent variables in this study passed the multicollinearity test. using the glejser test, no heteroscedasticity problem was found in this model. in other words, this model passed all classical assumption tests and could fit the subsequent analysis for the regression model. table 4 regression model variable coefficients inc 0.364*** (34037.553) edu 0.176*** (1698.825) age 0.014 (570.499) freq 0.013 (804.513) need 0.182*** (4031.008) adj. r-square 0.238 prob. f-stat 0.000 dependent variable: wtp for caries prevention; ( ) is standard error; *significance at level 10%; **significance at level 5%; ***significance at level 1% saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 104 this study was analyzed using multiple linear regression to discover the associated factors and the model of parents’ wtp to prevent caries among their children. the model observed the respondents’ demographics, socio-economic characteristics, and the children's dental healthcare to evaluate how much the influence of each variable on the value of wtp. this study shows that income has a significant and positive influence on wtp at a 1% level. therefore, when the income increases by idr 5,752,536 and the other factors are held constant, the wtp for caries prevention will increase by idr 24,072. education is significant at a 1% level, so the h0 was rejected, and ha was accepted. the standardized coefficient for the education variable was 0.176, hence education had a positive influence on wtp. therefore, when a parent’s education level increases by 2.2 years and the other factors are held constant, the wtp will increase by idr 11,639. the age variable had a coefficient of 0.014, which gave a positive influence. however, the t-test result showed that age was insignificant at all levels, so h0 was accepted, and ha was rejected. therefore, a parent’s age did not significantly influence wtp. the dental visit frequency variable had a coefficient of 0.013, so it gave a positive influence. however, the t-test result shows that the frequency of visits to a dental health facility did not significantly impact wtp. finally, the perceived need for treatment had a positive impact on wtp. with a higher perceived need for treatment, wtp could rise by idr 12,036, given that the other factors are held constant. the regression results showed that the income variable significantly affects wtp positively. it means the value of wtp increases as the income level increases, and vice versa, which is reasonable because parents tend to consider their spending carefully, including maintaining children's dental health. it is also possible that the high-income receivers’ wtp is higher to get more benefits from goods or services. on the other hand, the low-income receivers may face budget constraints, so they spend less on certain needs, such as dental care. a previous study by naavaal and kelekar (2018) observed a link between socioeconomic status and students’ school hour loss due to emergency dental care. students with high-income parents were 31% less likely to lose school hours due to acute dental care than students with low-income parents. further, students from low-income families consider that the priority is to purchase food and clothing (banovcinova, mydlikova, & vodicková, 2018). the result from this study is in line with past studies analyzing economic valuation for dental health, stating that monthly income is a determining factor that influences wtp positively (mubaraki et al., 2017; srivastava et al., 2019; walshaw et al., 2019). parent's education level and wtp were found to have a positive correlation. parents with a higher education level stated a significantly higher wtp and vice versa. this aligns with a previous study by nyamuryekung'e et al. (2018) in tanzania, stating that outpatients’ wtp pay for both anterior and posterior teeth filling services would be higher when the outpatients’ education was higher (β=0.003; p<0.001). mubaraki et al. (2017) also found a positive relation between wtp and education, although the influence was insignificant (β=2.446; p=0.366). education level plays a vital role in increasing parents' understanding saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 105 and awareness of maintaining their children's dental health. formal education contributes to parents' informed decision-making to fulfill the needs of the family members, including their children. kim, choi, kim, & pop-eleches (2018) argued that education improves individual economic decision-making and rationality. in this study, the age variable positively influences wtp (β=298.866) but is statistically insignificant (p=0.600), indicating that parents’ wtp for caries prevention was not affected by the parents’ age. this result is contradicted by the constructed hypothesis based on sever et al. (2017), suggesting that there is a negative and significant effect of patients' age on their wtp for improvement in dental care. however, it should be noted that the previous study was conducted in croatia's public dental clinic for patients of all ages. in contrast, most of the respondents in this study were within a certain age range, above 25 years old. however, parents’ attention and awareness were still low. for instance, about 15% of parents never visited a dental service to check their children's orodental health. besides that, some parents stated in the interview that they would not go to dental care if their children did not get a toothache. similar to our findings, previous studies by vernazza et al. (2015) and srivastava et al. (2019) also failed to find any statistically significant influence of age on wtp for dental interventions. when asked how many times the respondents brought their children to a dental health facility in a year, 39 parents answered they never did. some parents maintained that they would visit dental service only when the children got a toothache or showed symptoms. parents and children mostly visit a dental health facility once a year (123 responses). however, this study could not inform a significant influence of the visit frequency on wtp (β=276.971; p=0.729). previously, vernazza et al. (2015) also found that frequent dental visits and wtp were not linked significantly (β=27.46; p=0.230). in this study, the insignificant influence could be attributed to parents' presumption that dental problems such as cavities are inevitable among children and losing teeth is part of growing up. this may make parents think that it is unnecessary to take children to the dentist earlier and more frequently unless there is a symptom of illness. longurova et al. (2018) found that parents of 7-12 years old did not know when to take preventive dental care for their children, and it would put the children's health at risk. interestingly, some parents from sdm wirobajan 3 and sdm suronatan claimed their children could go by themselves since dentists are already available at schools, so the parents could not tell the frequency precisely. some parents also stated their children became regular outpatients of student dentists. therefore, frequent visits to a dental service did not translate into a higher wtp. this study found that the perceived need for treatment positively and significantly influences wtp. parents perceive the risk status of their children seriously. if the dental status of children is riskier, parents are willing to spend a greater amount of money to minimize the risk. in the interview, parents were asked if their children had experienced any dental problems, and 58% revealed it was caries/cavities. the interview also collected information about children's daily consumption of sugary foods and drinks, and 72.3% of parents stated their children consumed sweet products every day. parents would have saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 106 consistently higher valuations for dental services if there are dental problems and know their children's daily sugar intake. these perceptions increase the value of dental treatment (nyamuryekung'e et al. (2018). in diy, routine dental examinations are scheduled by the local community health center. however, the examination results submitted to the schools are only for those with severe problems with pressing needs for medical treatment. in a worst-case scenario, the results are not even submitted at all. therefore, the schools should play a more active role to know the examination results in detail and share with parents. it is needed to hire dentists working specifically for each school, and they will be responsible for implementing the program. several schools already have dentists, for example, in sdm suronatan and sdm wirobrajan 3. their work shift is once a week. however, there is no specific program, so not all students receive the benefits. in contrast, some schools do not yet have any dentists, such as in sdm notoprajan. conclusion this study examines the parents’ willingness to pay (wtp) for their children’s dental caries prevention program at elementary school. we surveyed 264 parents of students at three elementary schools in yogyakarta city. the finding showed that the total wtp value for caries prevention was idr 27,290,000, and the average value was idr 103,371. parents are willing to pay more as their income increases. dental treatment costs are included in national health insurance (bpjs), although it does not cover all kinds of treatment. with the information about wtp for dental prevention observed in the current study, the policymakers could evaluate the scheme or provide an alternative solution to decrease the prevalence of dental caries among children in indonesia. parents’ education level significantly and positively affects wtp. the higher the education, the higher wtp is, and vice versa, which indicates that a better understanding of dental health and its impact on overall wellbeing encourages people to prioritize preventive measures like paying for a dental program before the problem happens. therefore, raising awareness is important, and it could be done by holding socializations, campaigns, promotions, and educational events about dental health. formal education contributes to parents’ ability in the decision-making process about health. schools can also foster this and help those who did not attain a high education level to make a more informed decision-making regarding health and wellbeing. perceived need for treatment had a positive and significant influence on wtp, which means it is important to raise awareness of the risks among parents. the findings of this study imply that preventive care for caries could be more effective to hold at schools. this may also imply socialization for parents about the importance of children's dental health, especially for those who did not attain a higher education level. the role of the government, especially the health department, is important in this regard, including the existence of subsidized or even free dental health facilities. future studies will benefit from examining parents’ education level and perceived need for treatment in saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 107 other indonesian provinces because results may vary depending on social and economic circumstances. references andini, n., indriati, g., & sabrian, f. (2018). hubungan pengetahuan anak usia sekolah tentang pencegahan karies gigi dengan terjadinya karies gigi. jurnal online mahasiswa (jom) bidang ilmu keperawatan, 5(2), 724–729. retrieved from https://jom.unri.ac.id/index.php/jompsik/article/view/21603 augusti, d., augusti, g., & re, d. (2014). prosthetic restoration in the single-tooth gap: patient preferences and analysis of the wtp index. clinical oral implants research, 25(11), 1257–1264. https://doi.org/10.1111/clr.12264 banovcinova, a., mydlikova, e., & vodicková, m. (2018). parenting in low-income families from the perspective of social work. shs web of conferences, 40, 03010. https://doi.org/10.1051/shsconf/20184003010 berendsen, j., bonifacio, c., van gemert-schriks, m., van loveren, c., verrips, e., & duijster, d. (2018). parents’ willingness to invest in their children’s oral health. journal of public health dentistry, 78(1), 69–77. https://doi.org/10.1111/jphd.12242 birch, s., & listl, s. (2015). the economics of oral health and health care. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2611060 birhane, m. g., miranda, m. e. g., dyer, j. l., blanton, j. d., & recuenco, s. (2016). willingness to pay for dog rabies vaccine and registration in ilocos norte, philippines (2012). plos neglected tropical diseases, 10(3), 1–19. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004486 celeste, r. k., & fritzell, j. (2018). do socioeconomic inequalities in pain, psychological distress and oral health increase or decrease over the life course? evidence from sweden over 43 years of follow-up. journal of epidemiology and community health, 72(2), 160–167. https://doi.org/10.1136/jech-2017-209123 costa, s., martins, c., pinto, m., vasconcelos, m., & abreu, m. (2018). socioeconomic factors and caries in people between 19 and 60 years of age: an update of a systematic review and meta-analysis of observational studies. international journal of environmental research and public health, 15(8), 1775. https://doi.org/10.3390/ijerph15081775 dawkins, e., michimi, a., ellis-griffith, g., peterson, t., carter, d., & english, g. (2013). dental caries among children visiting a mobile dental clinic in south central kentucky: a pooled cross-sectional study. bmc oral health, 13(1). https://doi.org/10.1186/1472-6831-13-19 fdi world dental federation. (2017). sugars and dental caries. fdi world dental federation. retrieved from https://www.fdiworlddental.org/sugars-and-dental-caries freedman, d. a. (2009). statistical models. 2nd ed. cambridge university press. https://doi.org/10.1017/cbo9780511815867 gignac, g. e. (2019). how2statsbook (online ed 1). perth. harapan, h., mudatsir, m., yufika, a., nawawi, y., wahyuniati, n., anwar, s., … imrie, a. (2019). community acceptance and willingness-to-pay for a hypothetical zika vaccine: a cross-sectional study in indonesia. vaccine, 37(11), 1398–1406. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2019.01.062 jennifer, h., & saptutyningsih, e. (2015). preferensi individu terhadap pengobatan tradisional di indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 16(1), 26-41. retrieved from https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1214 https://jom.unri.ac.id/index.php/jompsik/article/view/21603 https://doi.org/10.1111/clr.12264 https://doi.org/10.1051/shsconf/20184003010 https://doi.org/10.1111/jphd.12242 https://doi.org/10.2139/ssrn.2611060 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004486 https://doi.org/10.1136/jech-2017-209123 https://doi.org/10.3390/ijerph15081775 https://doi.org/10.1186/1472-6831-13-19 https://www.fdiworlddental.org/sugars-and-dental-caries https://doi.org/10.1017/cbo9780511815867 https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2019.01.062 https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1214 saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 108 karyadi, e. (2011). hubungan antara persepsi pasien tentang kualitas dan kemauan membayar pelayanan kesehatan gigi di mmc ums. biomedika, 3(2). https://doi.org/10.23917/biomedika.v3i2.250 kim, h. b., choi, s., kim, b., & pop-eleches, c. (2018). the role of education interventions in improving economic rationality. science, 362(6410), 83–86. https://doi.org/10.1126/science.aar6987 klose, t. (1999). the contingent valuation method in health care. health policy, 47(2), 97– 123. https://doi.org/10.1016/s0168-8510(99)00010-x longurova, n., zlatanovska, k., kovacevska, i., denkov, n., atanasova, s., & toneva, v. (2018). knowledge and attitudes of the parents of 7-12 year old children regarding the need for interventions of the first permanent molar. knowledge international journal, 23(2), 535–538. retrieved from https://ikm.mk/ojs/index.php/kij/article/view/3302 matsuyama, y., aida, j., tsuboya, t., hikichi, h., kondo, k., kawachi, i., & osaka, k. (2017). are lowered socioeconomic circumstances causally related to tooth loss? a natural experiment involving the 2011 great east japan earthquake. american journal of epidemiology, 186(1), 54–62. https://doi.org/10.1093/aje/kwx059 mckenna, g., tada, s., woods, n., hayes, m., damata, c., & allen, p. f. (2016). tooth replacement for partially dentate elders: a willingness-to-pay analysis. journal of dentistry, 53, 51–56. https://doi.org/10.1016/j.jdent.2016.07.006 menard, s. (2011). standards for standardized logistic regression coefficients. social forces, 89(4), 1409–1428. https://doi.org/10.1093/sf/89.4.1409 ministry of health of the republic of indonesia. (2018). basic health research results report. retrieved from https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasarriskesdas/ mubaraki, s., abubotain, s., aldhahri, s., al ghamdi, r., al otaibi, r., & pani, s. (2017). willingness of parents to pay for space maintainer therapy for their children. adv dent & oral health, 5(3). https://doi.org/10.19080/adoh.2017.05.5555665 naavaal, s., & kelekar, u. (2018). school hours lost due to acute/unplanned dental care. health behavior and policy review, 5(2), 66–73. https://doi.org/10.14485/hbpr.5.2.7 nyamuryekung'e, k. k., lahti, s. m., & tuominen, r. j. (2018). patients' willingness to pay for dental services in a population with limited restorative services. community dental health, 35(3), 167–172. https://doi.org/10.1922/cdh_4227nyamuryekunge06 oscarson, n. (2006). health economic evaluation methods for decision-making in preventive dentistry. networked digital library of theses & dissertations. umeå (sweden): umeå university. peres, m. a., macpherson, l. m. d., weyant, r. j., daly, b., venturelli, r., mathur, m. r., … watt, r. g. (2019). oral diseases: a global public health challenge. the lancet, 394(10194), 249–260. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(19)31146-8 petersen, p. e., bourgeois, d., bratthall, d., & ogawa, h. (2005). oral health information systems--towards measuring progress in oral health promotion and disease prevention. bulletin of the world health organization, 83(9), 686–693. retrieved from https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16211160/ saptutyningsih, e., & sujud, a. (2020). tobacco farmer’s willingness to pay for green tobacco sickness risk mitigation. jurnal ekonomi pembangunan: kajian masalah ekonomi dan pembangunan, 21(1), 40–46. https://doi.org/10.23917/jep.v21i1.10011 schwendicke, f., dörfer, c. e., schlattmann, p., page, l. f., thomson, w. m., & paris, s. (2014). socioeconomic inequality and caries. journal of dental research, 94(1), 10–18. https://doi.org/10.1177/0022034514557546 https://doi.org/10.23917/biomedika.v3i2.250 https://doi.org/10.1126/science.aar6987 https://doi.org/10.1016/s0168-8510(99)00010-x https://ikm.mk/ojs/index.php/kij/article/view/3302 https://doi.org/10.1093/aje/kwx059 https://doi.org/10.1016/j.jdent.2016.07.006 https://doi.org/10.1093/sf/89.4.1409 https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/ https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/ https://doi.org/10.19080/adoh.2017.05.5555665 https://doi.org/10.14485/hbpr.5.2.7 https://doi.org/10.1922/cdh_4227nyamuryekunge06 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(19)31146-8 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16211160/ https://doi.org/10.23917/jep.v21i1.10011 https://doi.org/10.1177/0022034514557546 saptutyningsih & jati children’s dental caries prevention program: do parents willing to pay? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 109 sever, i., verbič, m., & sever, e. k. (2018). valuing the delivery of dental care: heterogeneity in patients’ preferences and willingness-to-pay for dental care attributes. journal of dentistry, 69, 93–101. https://doi.org/10.1016/j.jdent.2017.12.005 srivastava, a., esfandiari, s., madathil, s. a., birch, s., & feine, j. s. (2019). willingness to pay for mandibular overdentures: a societal perspective. jdr clinical & translational research, 5(1), 30–39. https://doi.org/10.1177/2380084419849870 tan, s. h. x., vernazza, c. r., & nair, r. (2017). critical review of willingness to pay for clinical oral health interventions. journal of dentistry, 64, 1–12. https://doi.org/10.1016/j.jdent.2017.06.010 vermaire, j.h., van exel, n.j.a., van loveren, c., & brouwer, w.b.f. (2012). putting your money where your mouth is: parents’ valuation of good oral health of their children. social science and medicine, 75(12), 0–1. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2012.08.018 vernazza, c. r., wildman, j. r., steele, j. g., whitworth, j. m., walls, a. w. g., perry, r., … donaldson, c. (2015). factors affecting patient valuations of caries prevention : using and validating the willingness to pay method. journal of dentistry, 43(8), 981–988. https://doi.org/10.1016/j.jdent.2015.05.009 vo, t. q., tran, q. v., & vo, n. x. (2018). customers’ preferences and willingness to pay for a future dengue vaccination: a study of the empirical evidence in vietnam. patient preference and adherence, 12, 2507–2515. https://doi.org/10.2147/ppa.s188581 vos, t., abajobir, a. a., abate, k. h., abbafati, c., abbas, k. m., abd-allah, f., … abera, s. f. (2017). global, regional, and national incidence, prevalence, and years lived with disability for 328 diseases and injuries for 195 countries, 1990–2016: a systematic analysis for the global burden of disease study 2016. the lancet, 390(10100), 1211– 1259. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(17)32154-2 walraven, g. (1996). willingness to pay for district hospital services in rural tanzania. health policy and planning, 11(4), 428–437. https://doi.org/10.1093/heapol/11.4.428 walshaw, e. g., adam, n. i., palmeiro, m. l., neves, m., & vernazza, c. r. (2019). patients' and parents' valuation of fluoride. oral health & preventive dentistry, 17(3), 211–218. https://doi.org/10.3290/j.ohpd.a42666 watt, r. g., daly, b., allison, p., macpherson, l. m. d., venturelli, r., listl, s., … benzian, h. (2019). ending the neglect of global oral health: time for radical action. the lancet, 394(10194), 261–272. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(19)31133-x wilmoth, g. h. (1982). handbook in research and evaluation, second edition stephen isaac and william b. michael san diego, ca: edits pubs., 1981. group & organization studies, 7(1), 124–126. world health organization who. (1948). summary report on proceedings minutes and final acts of the international health conference. international health conference. retrieved from https://apps.who.int/iris/handle/10665/85573 world health organization who. (2018). who results report: programme budget 2016-2017. world health organization. retrieved from https://apps.who.int/iris/handle/10665/276529 https://doi.org/10.1016/j.jdent.2017.12.005 https://doi.org/10.1177/2380084419849870 https://doi.org/10.1016/j.jdent.2017.06.010 https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2012.08.018 https://doi.org/10.1016/j.jdent.2015.05.009 https://doi.org/10.2147/ppa.s188581 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(17)32154-2 https://doi.org/10.1093/heapol/11.4.428 https://doi.org/10.3290/j.ohpd.a42666 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(19)31133-x https://apps.who.int/iris/handle/10665/85573 https://apps.who.int/iris/handle/10665/276529 microsoft word 08-makruf _10 hlm_ jurnal ekonomi dan studi pembangunan  volume 10, nomor 1, april 2009: 110 ‐ 119  masihkah barang bekas diminati   masyarakat yogyakarta?  noor anisa rizki amalia 1 dan ahmad ma’ruf 2  1 majelis pemberdayaan masyarakat pp muhammadiyah  jalan cik ditiro no. 23 yogyakarta 55262 telp. +62 274 553132 fax.+62 274 553137  2 fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta  jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta, telp/fax. 0274‐387656 psw 184,  387646  e‐mail: macrov_jogja@yahoo.com  abstrak: penelitian ini menganalisis minat konsumen dalam membeli barang bekas pakai di pasar klithikan pakuncen yogyakarta. tujuan penelitian ini untuk menentukan apakah kualitas produk, harga, dan layanan mempengaruhi minat konsumen untuk membeli secara signifikan pada barang bekas pakai dengan menggunakan uji t atau uji f secara individual secara kolektif. penelitian ini juga melakukan pengujian asumsi klasik. berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa variabel jumlah kualitas produk berpengaruh secara signifikan pada jumlah pembelian konsumen karena nilai statistik t sebesar 3,957 lebih besar dari nilai t tabel sebesar 0.000. variabel harga berpengaruh secara signifikan pada tingkat pembelian konsumen karena nilai statistik t sebesar 5,463 lebih besar dari nilai t tabel sebesar 0.000. variabel layanan berpengaruh secara signifikan pada jumlah pembelian konsumen karena nilai statistik t sebesar 3,667 lebih besar dari nilai t tabel sebesar 0.000. kata kunci: kualitas produk, harga, pengaruh layanan, pembelian konsumen abstract: this research analyses the consumer purchases interest on the used goods in pakuncen klithikan market. it aims to find out whether the quality of product, price and service affect the customer purchase interest significantly on the used goods by using t test individually or f test collectively. the study also conducts classical assumption test. base on analysis which have been done result indicate that variable sum of the quality product significant influence on the consumer purchase because value of t statistic equal to 3,957 bigger than value of t tables equal to 0,000. for the variable price significant influence on the consumer purchase because value of t statistic equal to 5,463 bigger than value of t tables equal to 0,000. variable service effect significant influence on the consumer purchase because value of t statistic equal to 3,667 bigger than value of t tables equal to 0,000. keywords: quality product, price, service effect, consumer purchase pendahuluan  kepuasan  pelanggan  merupakan  tingkat  perasaan  seseorang  setelah  membandingkan  kinerja atau hasil yang dirasakan dibanding‐ kan  harapannya.  enggel  (1994)  menyatakan  bahwa  kepuasan  pelanggan  merupakan  evaluasi  purnabeli  setelah  alternatif  yang  dipilih sekurang‐kurangnya memberikan ha‐ sil sama atau melampaui harapan pelanggan.  banyak  pengusaha  yang  tidak  hanya  menawarkan  suatu  sistem  konsumsi  yaitu  penawaran yang ditandai dengan subsistem  produk  dan  pelayanan  yang  saling  terkait  atau dikonsumsi selama periode tertentu. se‐ cara  konseptual  ada  3  elemen  yang  mem‐ masihkah barang bekas ... (noor anisa dan ahmad ma’ruf)  111 bentuk sistem konsumen yaitu atribute level,  kepuasan,  dan  minat  berperilaku.  sistem  konsumsi  terdiri  dari  beberapa  subsistem  dengan sistem produk dan pelayanan sebagai  subsistem.  perspektif  sistem  konsumsi  mengakui  bahwa subsistem produk dan subsistem pe‐ layanan  saling  berpengaruh.  dampak  dari  saling berpengaruh ini mempunyai implikasi  bahwa  kepuasan  akan  produk  mempenga‐ ruhi minat berperilaku ke arah penyedia pe‐ layanan dan kepuasan akan pelayanan dapat  mempengaruhi  minat  berperilaku  ke  arah  manufaktur produk.  perkembangan  usaha  kecil  dan  mene‐ ngah pada sektor perdagangan di yogyakarta  berkembang  cukup  pesat,  termasuk  para  pedagang yang menjual barang bekas. salah  satu  arena  penjualan  barang  bekas  tersebut  adalah pasar klithikan. usaha jenis ini mulai  berkembang  di  kawasan  yogyakarta  sekitar  tahun 1960‐an. pada mulanya kegiatan terse‐ but  berawal  dari  keterampilan  sederhana  dalam  memperbaiki  barang‐barang  (roni  femri dethan, y. susilo, 2007; 35).  sekarang  ini,  pemerintah  kota  yogya‐ karta telah membangun pasar khusus untuk  para pedagang barang bekas, meskipun pada  perkembangannya banyak  juga barang baru  yang dijual di pasar yang berlokasi di pakun‐ cen  wirobrajan  yogyakarta  pasar  ini  biasa  disebut pasar “klithikan”, sebelumnya pasar  “klithikan”  tersebar  di  beberapa  tempat,  yaitu di kawasan  jalan mangkubumi, alun‐ alun  kidul,  dan  asem  gedhe  (kawasan  kranggan). langkah pemerintah tersebut di‐ maksudkan agar lokasi pasar “klithikan” ter‐ fokus sehingga memudahkan konsumen dan  juga  keberadaan  para  penjual  barang  bekas  tidak bertentangan dengan peraturan keterti‐ ban penggunaan trotoar.   pasar  “klithikan”  telah  melekat  sebagai  salah  satu  ciri  khas  kota  yogyakarta.  pasar  yang  awalnya  menjual  barang  bekas  pakai  tersebut  mulai  marak  pasca  krisis  ekonomi  tahun  1997  (kompas,  2007).  perkembangan  pasar “klithikan” cukup pesat yang ditandai  kenaikan  jumlah pengunjung dan nilai tran‐ saksi.  fenomena  perilaku  konsumen  terha‐ dap barang bekas yang meningkat jumlahnya  menjadi hal yang menarik untuk dicermati.  studi  ini  bertujuan  untuk  menganalisis  sejauh mana kualitas produk, harga, dan pe‐ layanan mempengaruhi minat beli masyara‐ kat  terhadap  barang  bekas,  dalam  hal  ini  yang  berada  di  pasar  ”klithikan”  pakuncen  yogyakarta.  tinjauan pustaka untuk studi ini sebagai  berikut.  pasar adalah seperangkat pembeli aktual  dan potensial dari sebuah produk. para pem‐ beli memiliki kebutuhan atau keinginan yang  sama yang dapat dipuaskan lewat pertukaran  dan  hubungan.  ukuran  pasar  tergantung  pada  jumlah  orang  yang  menunjukkan  ke‐ butuhan, memiliki sumber daya untuk  terli‐ bat dalam pertukaran, dan mau menawarkan  sumber‐sumber  daya  ini  dalam  pertukaran  yang mereka inginkan. pada mulanya, istilah  pasar berarti tempat pertemuan pembeli dan  penjual untuk menukarkan barang. ekonomi  menggunakan  istilah  pasar  untuk  mengarti‐ kan  kumpulan  pembeli  dan  penjual  yang  melakukan  transaksi dalam  tipe produk  ter‐ tentu,  seperti  pasar  perumahan  atau  pasar  beras.  akan  tetapi  pemasar  memandang  penjual sebagai industri dan pembeli sebagai  pasar (kotler, dan armstrong, 2001: 15).  james f. engel (freddy rangkuti, 2002: 58),  menegaskan  bahwa  perilaku  konsumen  adalah  tindakan  yang  langsung  terlibat  dalam  mendapatkan,  mengkonsumsi,  dan  menghabiskan  produk  dan  jasa  termasuk  proses  keputusan  yang  mendahului  dan  menyusul  tindakan  tersebut.  konsumen  ditempatkan  sebagai  sentral  perhatian,  se‐ jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 110 ‐ 119 112  hingga  perilaku  konsumen  perlu  dipelajari.  mempelajari  apa  yang  dibutuhkan  dan  di‐ inginkan oleh konsumen pada saat ini meru‐ pakan hal yang sangat penting.   memahami  konsumen  akan  menuntun  pemasar pada kebijakan pemasaran yang te‐ pat dan efisien. untuk mengetahui keinginan  dan kebutuhan konsumen, maka aspek‐aspek  yang  mempengaruhi  konsumen  secara  indi‐ vidu  seperti  persepsi,  cara  memperoleh  in‐ formasi,  sikap,  demografi,  kepribadian,  dan  gaya hidup perlu dianalisis.   terdapat tiga faktor yang mempengaruhi  pilihan  konsumen,  yaitu  1)  konsumen  indi‐ vidual. pilihan untuk membeli suatu produk  dengan merek tertentu dipengaruhi oleh hal‐ hal  yang  ada  pada  diri  konsumen;  2)  ling‐ kungan yang mempengaruhi konsumen; dan  3)  stimuli  pemasaran  atau  juga  disebut  strategi pemasaran. strategi pemasaran yang  banyak dibahas adalah satu‐satunya variable  dalam model ini yang dikendalikan oleh pe‐ masar  (sutisna,  2002:  18).  para  konsumen  membuat  keputusan  tidak  dalam  sebuah  tempat yang  terisolasi dari  lingkungan seki‐ tar.  perilaku  pembelian  mereka  sangat  dipengaruhi  oleh  faktor‐faktor  kebudayaan,  sosial,  pribadi,  dan  psikologis  (freddy rang‐ kuti, 2002: 60).   secara  historis,  teori  nilai  guna  (utility)  merupakan  teori  perilaku  konsumen  yang  terlebih dahulu dikembangkan untuk mene‐ rangkan  kelakuan  individu  dalam  memilih  barang‐barang  yang  akan  dibeli  dan  dikon‐ sumsinya.  sir  john  r  hick  telah  mengem‐ bangkan suatu pendekatan untuk mewujud‐ kan  prinsip  pemaksimuman  kepuasan  oleh  seorang konsumen yang mempunyai penda‐ patan  terbatas.  analisis  ini  dikenal  sebagai  analisis kurva kepuasan sama, yang meliputi  penggambaran  dua  macam  kurva,  yaitu  kurva  kepuasan  sama  dan  garis  anggaran  pengeluaran (sadono sukirno, 2005: 169).  ada empat pendekatan yang membicara‐ kan  bagaimana  fungsi  permintaan  itu  ter‐ bentuk,  yaitu:  pendekatan  kardinal  (cardinal  approach),  pendekatan  ordinal  (ordinal  ap‐ proach),  pendekatan  preference,  dan  pendekatan  atribute. kepuasan pelanggan  (customer satis‐ faction)  bergantung  pada  perkiraan  kinerja  produk  dalam  memberikan  nilai,  relatif  ter‐ hadap harapan pembeli. jika kinerja produk  jauh  lebih  rendah  dari  harapan  pelanggan,  pembeli tidak terpuaskan. jika kinerja sesuai  dengan harapan, pembeli lebih senang. peru‐ sahaan  pemasaran  terkemuka  akan  mencari  cara  sendiri  untuk  mempertahankan  kepua‐ san  pelanggannya.  pelanggan  yang  merasa  puas  akan  kembali  membeli,  dan  mereka  akan  memberi  tahu  yang  lain  tentang  pe‐ ngalaman baik mereka dengan produk terse‐ but.   kepuasan  pelanggan  berkaitan  erat  de‐ ngan  kualitas.  banyak  perusahaan  yang  mengadopsi program manajemen mutu total  (total  quality  management/tqm),  yang  diran‐ cang untuk perbaikan berkelanjutan produk,  jasa,  dan  proses  pemasaran  mereka.  mutu  mempunyai  pengaruh  langsung  terhadap  kinerja produk dan dengan demikian  terha‐ dap  kepuasan  pelanggan  (kotler,  dan  arm‐ strong, 2001: 13).  secara konseptual ada tiga elemen yang  membentuk sistem konsumsi, yaitu evaluasi  attribute‐level,  kepuasan  dan  minat  berperi‐ laku.  dalam  pendekatan  attribute‐level,  kepuasan  dan  minat  berperilaku  (behavioral  intensions),  model  multi  atribut  akan  lebih  tepat  digunakan  untuk  menguji  hubungan  ketiga variabel tersebut karena memiliki dua  kelebihan utama, yaitu perwujudan pengala‐ man  konsumsi  para  konsumen  dan  spesifi‐ kasi  tentang  kepuasan konsumen. pengaruh  antara performa atribut dan kepuasan terha‐ dap  produk  dan  pelayanan,  serta  intensi  pembelian  terhadap  produk  melalui  dealer  masihkah barang bekas ... (noor anisa dan ahmad ma’ruf)  113 telah  diteliti  sebelumnya  (hadiwijayanto,  2001).  hasil  penelitian  menunjukkan  pema‐ haman  terhadap  variabel‐variabel  tersebut.  kepuasan  pelayanan  pada  awalnya  berpe‐ ngaruh dalam menentukan intensitas pembe‐ lian  terhadap  produk  menjadi  lebih  menen‐ tukan  dalam  intensitas  pembelian  terhadap  produk maupun intensitas pembelian melalui  dealer,  tetapi  atribut  produk  dan  pelayanan  tetap menjadi kuncinya.  selain  itu  hadiwijayanto  (2007)  yang  menguji  atribut  dan  kinerja  kepuasan  juga  menemukan  hubungan  yang  positif  antara  variabel‐variabel tersebut dan sangat penting  bagi produsen dan dealer dalam pengambi‐ lan  keputusan,  karena  memiliki  dampak  langsung pada konsumen terutama kepuasan  dan  minat  pembelian.  pebedaan  penelitian  yang dilakukan peneliti ini dengan penelitian  hadiwijayanto (2007) terletak pada minat beli  masyarakat  terhadap barang bekas yang di‐ lakukan oleh peneliti. variabel yang diguna‐ kan dalam penelitian ini adalah kualitas pro‐ duk, harga, dan pelayanan.   hasil penelitian  terdahulu hadiwijayanto  (2007) bahwa atribut produk yang terdiri dari  atribut  model,  keandalan  mesin,  pengenda‐ lian  dan  pengereman  berpengaruh  positif  dan signifikan  terhadap minat beli  terhadap  produk. variabel pelayanan yang terdiri dari  atribut  kualitas  pekerjaan,  peralatan  yang  tersedia, kesabaran menerima dan kejujuran  juga  berpengaruh  positif  dan  signifikan  terhadap minat beli. variabel kepuasan yang  terdiri  dari  variabel  kepuasan  produk  dan  pelayanan  juga  berpengaruh  positif  dan  signifikan terhadap minat beli.   rullijanto  (2001)  melakukan  penelitian  yang  serupa  dengan  menggunakan  regresi  berganda  juga  menguji  hubungan  antara  kinerja atribut dan kinerja kepuasan juga me‐ nemukan hubungan yang positif antara vari‐ abel‐variabel  tersebut  dan  sangat  penting  bagi  produsen  dalam  pengambilan  keputu‐ san, karena memiliki dampak langsung pada  konsumen  terutama  kepuasan  dan  minat  pembelian.  metode   subyek  penelitian  ini  adalah  konsumen  di  pasar  “klithikan”  pakuncen  kecamatan  wi‐ robrajan kota yogyakarta. data yang diguna‐ kan  dalam  penelitian  ini  data  primer,  yaitu  data  yang  diperoleh  secara  langsung  dari  sumber  melalui  wawancara  (interview);  pe‐ ngamatan  (observation);  dan  kuesioner  (ques‐ tioner).  metode pengambilan sampel yang digu‐ nakan  dalam  penelitian  ini  adalah  metode  sampel  random  sederhana  (simple  random  sampling) yaitu desain pemilihan sampel yang  paling sederhana dan mudah. prinsip pemili‐ han  sampel  dalam  desain  ini  adalah  setiap  elemen  dalam  populasi  mempunyai  kesem‐ patan yang sama untuk dipilih. pengambilan  sampel dapat dilakukan dengan mempergu‐ nakan daftar random, atau  juga bisa dengan  cara  lain.  dalam  hal  ini  yang  terpenting  adalah  prinsip  bahwa  seluruh  elemen  memperoleh  kesempatan  yang  sama  untuk  dipilih menjadi sampel (kuncoro, 2003: 112).  tempat  pengambilan  sampel  penelitian  ini  di  kawasan  pasar  klithikan  pakuncen  yogyakarta.  sampel  penelitian  ini  sebanyak  100 responden merupakan sejumlah yang le‐ bih  besar  dari  persyaratan  minimal  jumlah  sampel  sebanyak  30  responden.  menurut  guilford (1987) dalam supranto (1997) semakin  besar  sampel  (semakin  besar  nilai  n=  banyaknya  sampel)  akan  memberikan  hasil  yang akurat. oleh karena itu dalam peneliti‐ an  ini  penulis  menggunakan  sampel  seba‐ nyak  100  responden  agar  cenderung  lebih  representatif.  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 110 ‐ 119 114  alat  ukur  penelitian  ini  menggunakan  kuesioner  yang  berisi  tentang  pengaruh  kualitas produk, harga dan pelayanan terha‐ dap  minat beli  masyarakat  terhadap  barang  bekas.  dalam  penelitian  ini  menggunakan  skala likert. skala likert berisi setuju dan tidak  setuju.  skala  likert  ini  digunakan  untuk  mengukur sikap, pendapat, dan persepsi se‐ seorang  atau  sekelompok  orang  tentang  fenomena  sosial.  dimana  masing‐masing  variabel  dirinci  kedalam  beberapa  perta‐ nyaan  dengan  pilihan  alternatif  jawaban  berupa sangat setuju (skor 4) sampai dengan  sangat tidak setuju (skor 1).  uji hipotesis dan analisis data  alat analisis yang digunakan adalah regresi  linier berganda. analisis  ini digunakan un‐ tuk  mengetahui  sejauh  mana  pengaruh  se‐ benarnya  dari  variabel  x  (harga,  kualitas  produk, dan pelayanan) terhadap variabel y  (minat beli masyarakat).  regresi linier berganda  uji  ini  dilakukan  untuk  menguji  pengaruh  antara kepuasan dengan variabel yang mem‐ pengaruhi  minat  beli.  model  analisis  data  disajikan sebagai berikut:  y = a + b1 x1 + b2 x2 + b3 x3  keterangan; y adalah minat beli, a adalah nilai  konstanta,  b  adalah  koefisien  regresi,  x1  adalah kualitas produk, x2 adalah harga, x3  adalah pelayanan  uji asumsi klasik  uji  multikolinearitas.  uji  multikolinearitas  dilakukan  untuk  menguji  apakah  pada  model  regresi  ditemukan  adanya  korelasi  antar  variabel  indenpenden.  jika  korelasi,  berarti  terdapat  masalah  multikolinearitas.  model  regresi  yang  baik  seharusnya  tidak  terjadi  di  antara  variabel  multikolinearitas  yaitu  1)  nilai  r2  yang  dihasilkan  sangat  tinggi, tapi tingkat signifikansi variabel bebas  berdasarkan  uji  t   statistik  sangat  kecil  atau  bahkan  tidak  ada  variabel  bebas  yang  signifikan;  dan  2)  menggunakan  korelasi  parsial,  korelasi  antarvariabel  indenpenden  harus  lemah  (di  bawah  0,5).  jika  korelasi  melebihinya maka terjadi problem multikoli‐ nearitas sehingga perlu diatasi.  uji  heteroskedastisitas.  uji  heteroske‐ dastisitas  dilakukan  untuk  menguji  apakah  pada  model  regresi  terjadi  ketidaksamaan  varians dari satu pengamatan ke pengamatan  lain. heteroskedastisitas artinya varians vari‐ abel dalam model tidak sama (konstan). kon‐ sekuensi adalah penaksiran (estimator) yang  diperoleh  tidak  efisien,  baik  dalam  sampel  kecil maupun besar. akibat dari adanya he‐ teroskedastisitas  pada  hasil  regresi,  adalah  sebagai  berikut:  varians  tak  lagi  minimum;  pengujian  dari  koefisien  regresi  menjadi  kurang kuat; koefisien penaksir menjadi bias;  dan kesimpulan yang diambil menjadi salah.  pengujian hipotesis  uji  t   statistik.  uji  ini  dilakukan  untuk  mengetahui seberapa  jauh signifikan penga‐ ruh  variabel  independen  (harga,  kualitas  produk,  dan  pelayanan)  secara  individual  pada variabel dependen (minat beli). pengu‐ jian  hipotesis  dilakukan  dengan  memban‐ dingkan nilai probabilitasnya (p) dengan nilai  α yang telah ditetapkan dalam penelitian ini  yaitu sebesar 0,05 atau 5 persen.  uji f. uji f dilakukan untuk mengetahui  seberapa  jauh variabel  independen (kualitas,  harga, dan pelayanan) secara simultan mem‐ punyai pengaruh yang sama terhadap varia‐ bel  dependen  (minat  beli).  secara  simultan  hipotesis dilakukan dengan membandingkan  nilai probabilitas (p) dengan nilai α yang telah  masihkah barang bekas ... (noor anisa dan ahmad ma’ruf)  115 ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar  0,05. uji f digunakan untuk menguji hipote‐ sis  keempat.  pengujian  dilakukan  dengan  program bantuan spss 11.00.    uji koefisien   r   square (r 2 ). uji koe‐ fisien determinasi bertujuan untuk mengeta‐ hui seberapa jauh kemampuan variabel inde‐ penden (harga, kualitas produk, dan pelaya‐ nan) dalam menjelaskan variasi variabel de‐ penden  (minat  beli).  nilai  r  square  (r2)  menunjukkan  kemampuan  variasi  variabel‐ variabel  independen  dalam  menjelaskan  variasi  dependen.  untuk  lebih  mempermu‐ dah  proses  perhitungan  dan  hasil  analisis  data,  maka  semua  proses  perhitungan  akan  dilakukan dengan bantuan statistical software  spss 11.00.  hasil dan pembahasan  analisis  regresi  ini  bertujuan  untuk  menge‐ tahui  besarnya  pengaruh  variabel  satu  atau  lebih  variabel  dengan  metode  yang  diguna‐ kan  adalah  metode  kuadrat  terkecil  biasa.  metode ini memberikan alat yang diperlukan  untuk  penaksiran  atau  pengujian  hipotesis  regresi linear. sebelum sebuah data dianalisis  guna  untuk  pengambilan  keputusan,  maka  dilakukan uji kevalidan data untuk pengam‐ bilan keputusan yang lebih valid dan terper‐ caya. untuk pengujian tersebut digunakan uji  asumsi klasik yang meliputi multikolinearitas  dan heteroskedastisitas. kemudian dilakukan  uji  statistik,  yang  meliputi  pengujian  koefi‐ sien  regresi  secara  partial  (individu)  yaitu  dengan  menggunakan  uji  t  (test),  pengujian  secara serempak (f‐test) dan pengujian koefi‐ sien determinasi (r 2 ).  uji asumsi klasik  uji  multikolinearitas.  pengujian  multikoli‐ nearitas dilakukan dengan melihat nilai r 2 ,  f‐hitung  serta  t‐hitung  yang  akan  mendu‐ kung  uji  toleransi  (tol)  dan  faktor  inflasi  varians  (vif)  dengan  hipotesis  ho:  vif≤10  atau tol=1 atau mendekati 1, maka artinya  tidak  terdapat  multikolinearitas  dan  ho:  vif≥10 atau tol≠1 atau mendekati 0, maka  artinya  terdapat  multikolinearitas.  berikut  disajikan  hasil  ringkasan  untuk  uji  multiko‐ linearitas:  kesimpulan  dari  tabel  1  adalah  semua  variabel  bebas  tidak  terjadi  gejala  multiko‐ linearitas karena vif  lebih kecil dari 10 dan  nilai tol mendekati 1.  uji heteroskedastisitas  hasil pengujian dengan tingkat α = 0,05 dan  nilai df = 100‐1‐3 = 96 diperoleh nilai ttabel sebe‐ sar 1,984. dengan demikian berdasarkan hasil  penghitungan,  secara  keseluruhan  ditabu‐ lasikan hasil pengujiannya dalam tabel 2.  dari hasil penghitungan, dapat dinyata‐ kan  model  regresi  di  muka  masing‐masing  variabel  tidak signifikan dan  thitungttabel(2,626) dengan tingkat signifi‐ kansi  99  persen,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa ho ditolak dan ha diterima. ini ber‐ arti menerima hipotesis bahwa kualitas pro‐ duk  (x1)  mempunyai  pengaruh  yang  nyata  atau signifikan terhadap minat beli (y).  pengujian  terhadap  variabel  harga  (x2). pengujian ini dilakukan dengan pengu‐ jian  dua  sisi  dengan  derajat  kepercayaan  1  persen maka diperoleh  t(0,10  α;  n‐k‐1)=t(0,10;  100‐3‐1)  dan diperoleh ttabel sebesar 2,626. kriteria ha‐ sil  analisis  menunjukkan  bahwa  thitung  (5,463)>ttabel(2,626) dengan tingkat signifikansi  99  persen,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa  ho ditolak dan ha diterima. ini berarti mene‐ rima hipotesis bahwa harga (x2) mempunyai  pengaruh  yang  nyata  atau  signifikan  terha‐ dap minat beli (y).  pengujian terhadap variabel pelayanan  (x3). untuk uji ini dilakukan  pengujian dua  sisi  dengan  derajat  kepercayaan  1  persen  maka  diperoleh  t(0,1  α;  n‐k‐1)=t(0,1;  100‐3‐1)  dan  diperoleh ttabel sebesar 2,626. berdasarkan per‐ hitungan  maka  diperoleh  thitung(3,667)>ttabel  (2,626) dengan tingkat signifikansi 99 persen,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa  ho  ditolak  dan ha diterima, maka dapat ditarik kesim‐ pulan  bahwa  pelayanan  (x3)  mempunyai  pengaruh yang signifikan terhadap minat beli  (y).  uji koefisien regresi secara serempak  (uji‐f).  pengujian  ini  digunakan  untuk  me‐ ngetahui keandalan persamaan regresi yang  diperoleh,  dalam  hal  ini  regresi  diuji  secara  statistik  apakah  dapat  diandalkan  sebagai  model  penjelas  bagi  fenomena  yang  terjadi  dalam  variabel  independen.  hasil  perhitu‐ ngan diperoleh fhitung sebesar 283,541, dengan  taraf signifikan 99 persen (α=1%) dan derajat  kebebasan  (df=3,  100‐3‐1),  serta  pengujian  satu  sisi,  maka  diperoleh  ftabel  sebesar  26,2.  berdasarkan kurva diatas dapat disimpulkan  bahwa  nilai  fhitung(283,541)>ftabel  (26,2),  yang  berarti  bahwa  ho  ditolak  dan  ha  diterima.  hal  ini menunjukkan bahwa semua variabel  bebas kualitas produk  (x1), harga  (x2), dan  pelayanan (x3) secara serempak mempunyai  pengaruh yang signifikan terhadap minat beli  (y).  uji determinasi (r 2 ). determinasi (r 2 )  pada  intinya  mengukur  seberapa  jauh  ke‐ mampuan model dalam menerangkan variasi  variabel  dependen.  nilai  koefisien  determi‐ nasi  adalah  ntara  nol  sampai  satu.  nilai  r  square  (r 2 )  menunjukkan  kemampuan  va‐ riasi  variabel‐variabel  independen  dalam  menjelaskan  variasi  dependen.  berdasarkan  tampilan  output  spss  model  summary  be‐ sarnya   r 2  adalah 0,899, hal  ini berarti 89,9   persen  variasi  minat  beli  dapat  dijelaskan  oleh variasi dari ketiga variabel independen,  yaitu  kualitas  produk  (x1),  harga  (x2),  dan  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 110 ‐ 119 118  pelayanan (x3), sedangkan sisanya 10,1 per‐ sen  dipengaruhi  oleh  variabel  lain  di  luar  model penelitian.  kesimpulan  berdasarkan hasil analisis minat beli masya‐ rakat  terhadap  barang  bekas  dipasar  klithi‐ kan  pakuncen  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa:  (1)  kualitas  produk  memberikan  pengaruh  positif (3,957) dan signifikan (0,000) terhadap  minat beli masyarakat terhadap barang bekas  di pasar klithikan pakuncen. harga membe‐ rikan pengaruh positif (5,463) dan signifikan  (0,000) terhadap minat beli masyarakat terha‐ dap barang bekas di pasar klithikan pakun‐ cen,  dan  pelayanan  memberikan  pengaruh  positif  dan  signifikan  terhadap  minat  beli  masyarakat  terhadap  barang  bekas  dipasar  klithikan pakuncen.   (2) kualitas produk, harga, pelayanan mem‐ berikan  pengaruh  positif  dan  signifikan  ter‐ hadap  minat  beli  masyarakat  terhadap  ba‐ rang  bekas  di  pasar  klithikan  pakuncen.  hipotesis  yang  menyatakan  bahwa  kualitas  produk,  harga,  dan  pelayanan  memberikan  pengaruh  positif  dan  signifikan  terhadap  minat  beli  terhadap  barang  bekas  di  pasar  klithikan  pakuncen  sudah  terbukti.  hal  tersebut  juga  sesuai  dengan  teori  “prinsip‐ prinsip pemasaran”, bahwa kualitas produk,  harga, dan pelayanan berkaitan erat terhadap  minat  beli  masyarakat  terhadap  suatu  produk.  dari  hasil  pembahasan,  serta  beberapa  simpulan  di  atas,  maka  dapat  dirumuskan  saran bahwa berdasarkan dari hasil penghi‐ tungan regresi berganda pada penelitian  ini  diperoleh data yang signifikan, baik itu dili‐ hat dari kualitas produk, harga, maupun pe‐ layanan. hal  ini perlu ditingkatkan  lagi dan  menjadi perhatian utama bagi para pedagang  maupun  pengelola  pasar  dalam  meningkat‐ kan  kinerjanya.  untuk  peneliti  selanjutnya  perlu  menambahkan  lagi  jumlah  respoden  maupun  variabel  yang  digunakan  dalam  penelitian  berikutnya,  karena  hal  tersebut  dapat  membantu  para  pedagang  maupun  pengelola di pasar klithikan pakuncen seba‐ gai bahan pertimbangan dalam pengambilan  keputusan.  daftar pustaka badan pusat statistik, (2007), data kecamatan  wirobrajan tahun 2007, yogyakarta: bps.  badan pusat statistik, (2008), kota yogyakarta  dalam  angka,  tahun  2008,  yogyakarta:  bps.   dethan, r.f., susilo, y.s. (2007), “profil peda‐ gang  klithikan”,  modus,  volume  19,  halaman 35.  ghozali, imam, (2005), aplikasi analisis multi‐ variate  dengan  menggunakan  program  spss,  semarang: badan  penerbit  uni‐ versitas diponegoro. hermanto; saptutyningsih, e, (2002), electro‐ nic data processing (edp) spss 10.0 &  eviews 3.0, yogyakarta: upfe‐umy.  husien u, 2002, riset pemasaran dan perilaku  konsumen,  edisi  1,  cetakan  2,  jakarta:  pt gramedia pustaka utama.   joesron,  t.  s.,  fathorrozi,  m.,  (2003),  teori  ekonomi mikro, cetakan pertama, jakar‐ ta: penerbit salemba empat.   kotler, p., armstrong, g., (2001), prinsip‐prin‐ sip pemasaran, edisi kedelapan, cetakan  pertama, jakarta: penerbit erlangga.   kuncoro mudrajat, 2003, metode riset untuk  bisnis  dan  ekonomi,  jakarta:  penerbit  erlangga.  masihkah barang bekas ... (noor anisa dan ahmad ma’ruf)  119 mudayen, y. m. v., 2004, “upaya peningka‐ tan kualitas sdm sektor pariwisata in‐ donesia dalam menghadapi era perda‐ gangan bebas”, antisipasi, volume 8, no  2, halaman 573.  narbuko, c., achmadi, h. a., 2007, metodo‐ logi  penelitian,  cetakan  kedelapan,  ja‐ karta: penerbit bumi aksara.  rangkuti  f,  2003,  measuring  customer  satis‐ faction,  cetakan  kedua,  jakarta:  pt.  gramedia.  soelistyo, 1982, pengantar ekonometri 1, ceta‐ kan pertama, yogyakarta: bpfe‐ugm.  sugito, 2007, “peminat pasar klithikan tetap  setia”, litbang kompas, november.  sukirno,  s.,  2005,  pengantar  teori  ekonomi  mikro,  edisi  ketiga,  jakarta:  pt.  raja  gravindo persada.  sutisna,  2002,  perilaku  konsumen  dan  komu‐ nikasi  pemasaran,  cetakan  kedua,  ban‐ dung: pt. remaja rosdakarya.    microsoft word 02-evi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.12-23   kesediaan membayar mitigasi banjir dengan pendekatan contingent valuation method rusminah dan evi gravitiani fakultas ekonomi universitas sebelas maret surakarta jalan ir. sutami 36 a surakarta, surakarta 57126, indonesia telepon:+62 271 646655 email: shine_rosela@yahoo.com abstract: the aim of this research is identified, mapping flooded areas in eks karesidenan surakarta, and performs analysis of flood disaster mitigation. the analysis used is geography information systems and contingent valuation methods. by calculating the willingness to pay (wtp) to reduce the risk of flood disaster and the factors that affect the wtp. the subject of this research are farmers in the basin of the river bengawan solo river in klaten, sukoharjo, karanganyar and sragen. the result showed that variable income, age, education and the number of members of the family has influence significantly to a willingness to pay, perform the act of mitigating flood, and the average willingness to pay farmers/ respondents only between rp.250.000-rp.500.000 for flood mitigation. respondents/ farmers in the bengawan solo river basin if having flooded, they suffered losses farming production, an average of 50% of the normal production. keywords: flood mitigation, contingent valuation, willingness to pay, loss of production abstrak: tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi, melakukan pemetaan daerah rawan banjir di eks karesidenan surakarta, serta melakukan analisis mitigasi bencana banjir. alat analisis yang digunakan adalah sistem informasi geografi dan contingent valuation methods, dengan menghitung besarnya willingness to pay (wtp) untuk mengurangi risiko bencana banjir dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap wtp. subjek penelitian ini adalah petani di daerah aliran sungai bengawan solo di wilayah kabupaten klaten, sukoharjo, karanganyar dan sragen. hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendapatan, usia, pendidikan dan jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesediaan untuk membayar, melakukan tindakan mitigasi bencana banjir, dan angka kesediaan untuk membayar (wtp) rata-rata petani/ responden hanya antara rp.250.000-rp.500.000 untuk mitigasi banjir. responden/ petani di daerah aliran sungai bengawan solo jika mengalami kebanjiran, mereka mengalami kerugian produksi usaha taninya, rata-rata 50% dari hasil produksi normal. kata kunci: mitigasi banjir, contingent valuation, willingness to pay, kerugian produksi pendahuluan pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan dengan berbagai resiko. pertanian selalu berhubungan dengan perubahan iklim, cuaca, ketergantungan lingkungan sekitar, dan menjadi salah satu bentuk aktivitas produksi manusia. pertanian juga merupakan suatu bentuk investasi jangka panjang dari petani untuk mendapatkan keuntungan besar dari produk pertanian yang dihasilkan. faktor utama penentu keberhasilan dalam sektor pertanian adalah kondisi alam.kondisi alam baru-baru ini semakin fluktuatif dan sulit diperkirakan, hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan pola curah hujan dan iklim yang ekstrim di beberapa wilayah.curah hujan yang berlebih dapat mengakibatkan bencana banjir. banjir merupakan tantangan alam yang sering dihadapi petani di musim penghujan. daerah yang memiliki curah hujan tinggi dan berpo kesediaan membayar mitigasi banjir (rusminah dan evi gravitiani) 13 tensi terjadi bencana banjir adalah daerahdaerah di sepanjang das (daerah aliran sungai), contohnya beberapa wilayah di provinsi jawa tengah yang terletak antara 5o40'8o30' ls dan antara 108o30'-111o30' bt yang termasuk dalam kawasan das bengawan solo. bengawan solo salah satu das yang sering terlanda banjir, curah hujan yang tinggi menyebabkan sungai tidak mampu menampung aliran permukaan (runoff), sehingga terjadi banjir luapan. pada tahun 2004 terdapat 760.771,3 hektar lahan kritis di jawa tengah, surakarta menempati urutan kedua di das bengawan solo (194.086,34 hektar) utamanya di wilayah kabupaten wonogiri (84.068,57 hektar). wilayah rawan banjir sungai bengawan solo di eks karisidenan surakarta adalah: wonogiri, sukoharjo, karanganyar, klaten, surakarta, dan sragen. kejadian banjir itu sangat merugikan warga, mulai dari kerugian material maupun nonmaterial. kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan fasilitas umum antara lain: rusaknya prasarana pengairan (bendungan, irigasi, tanggul), rusaknya prasarana transportasi umum, rusaknya pemukiman dan pertanian (rumah tinggal, sawah, tambak, dan seterusnya), kegagalan panen, gangguan kesehatan, timbulnya korban jiwa, pengungsian penduduk, terganggunya pelaksanaan pendidikan, dan pelayanan umum yang lainnya. penduduk di wilayah das bengawan solo sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian sehingga bencana banjir mempunyai dampak besar terhadap perekonomian keluarga petani terkait penurunan produksi pertanian. petani juga mengalami kesulitan untuk membiayai masa tanam berikutnya, dalam keadaan tersebut dibutuhkan tindakan mitigasi yang efektif untuk mengelola potensi resiko terutama apabila perubahan tersebut menimbulkan guncangan terhadap seluruh sektor pembangunan, yang dimaksud mitigasi yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. kerugian yang diakibatkan bencana banjir sangat besar maka penanggulangan bencana banjir diharapkan dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara terorganisir baik sebelum, saat, dan sesudah bencana dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki semaksimal mungkin. kapasitas penanggulangan bencana lebih efektif dilakukan di tingkat komunitas, karena komunitas merupakan pihak yang pertama-tama berhadapan dengan resiko bencana (rencana nasional penanggulangan bencana 2010-2014). banjir luapan das bengawan solo sudah seperti rutinitas tahunan yang tinggal menunggu kedatangannya tanpa ada upaya-upaya menanggulanginya, sementara setiap tahunnya jumlah kerugian/korban banjir di sepanjang daerah aliran sungai (das) bengawan solo semakin bertambah, dengan kenyataan tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa banjir adalah salah satu jenis bencana yang periodik dan merugikan sehingga perlu adanya perhitungan kerugian pascabanjir khususnya kerugian di bidang pertanian dengan harapan kesadaran masyarakat untuk mitigasi banjir meningkat. mitigasi banjir masyarakat sangat penting untuk dilakukan untuk mengurangi risiko bencana banjir bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana banjir di das bengawan solo. risiko banjir menurut uu no. 24 tahun 2007 adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. salah satu risiko banjir adalah risiko pertanian yang merupakan suatu unsur yang terdiri dari ketidaksiapan (namun dapat dikelola/di manage) terhadap segi produksi dan marketing dalam sektor pertanian. penyebab risiko yang paling sering muncul di sektor pertanian adalah faktor iklim, faktor sanitari, faktor geografi, faktor market, dan faktor luar negeri. pendekatan praktis mengatasi risiko di sektor pertanian, baik secara individual maupun berkelompok yaitu menyimpan sebagian hasil panen padi dalam lumbung, menanam umbi-umbian di pekarangan atau ladang, dan memelihara ternak adalah cara-cara praktis yang lazim ditempuh untuk mengatasi risiko jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 13-23 14 usaha tani. hal seperti ini bukan hanya terjadi di indonesia, tetapi juga di negara lain seperti india, tanzania, dan el salvador. petani menerapkan strategi yang berbeda-beda dalam menghadapi risiko, yang merupakan satu atau kombinasi dari beberapa strategi berikut: (1) strategi produksi, mencakup diversifikasi atau memilih usaha tani yang pembiayaan dan atau pengelolaan produksinya fleksibel. petani indonesia umumnya menerapkan strategi diversifikasi usaha tani. (2) strategi pemasaran, misalnya menjual hasil panen secara berangsur, memanfaatkan sistem kontrak untuk penjualan produk yang akan dihasilkan, dan melakukan perjanjian harga antara petani dan pembeli untuk hasil panen yang akan datang. upaya yang banyak dilakukan petani indonesia adalah dengan cara menjual hasil panen secara berangsur. (3) strategi finansial, mencakup melakukan pencadangan dana yang cukup, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi, dan membuat proyeksi arus tunai berdasarkan perkiraan biaya produksi, harga jual produk, dan produksi. (4) pemanfaatan kredit informal, seperti meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perorangan. strategi ini banyak diterapkan petani kecil di indonesia. (5) menjadi peserta asuransi pertanian untuk menutup kerugian yang diperkirakan akan terjadi.strategi ini banyak ditempuh oleh petani di negara maju dan sebagian petani di negara berkembang. di indonesia, asuransi pertanian formal belum berkembang. meskipun beberapa strategi tersebut telah diterapkan oleh sebagian petani, mereka masih sulit mengatasi risiko berusaha tani. manajemen risiko banjir perlu diterapkan dan dikembangkan dan merupakan langkah preventif dari ancaman bahaya banjir. partisipasi aktif masyarakat diperlukan dalam pengelolaan lingkungan hidup. hal ini sesuai dengan peraturan telah ditetapkan pemerintah. apabila setiap masyarakat menjalankan secara objektif dan tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja, maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (suratmo dalam harjono, 2012). pengurangan resiko bencana (prb) secara umum dipahami sebagai pengembangan dan penerapan secara luas dari kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan praktik-praktik guna untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di masyarakat. prb bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan menangani bahayabahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lain yang menimbulkan kerentanan. mitigasi menurut uu no. 24 2007 tentang penanggulangan bencana banjir adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana banjir, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. metode penelitian ruang lingkup penelitian penelitian ini menggunakan metode survei dengan petani yang menggarap lahan pertanian yang berada dalam wilayah rawan bencana banjir di das bengawan solo. wilayah studi penelitian ini adalah 9 kecamatan di wilayah esk karesidenan surakarta, yaitu kecamatan kebakkramat, cawas, bayat, gantiwarno, juwiring, tawangsari, mojolaban, masaran dan sidoharjo. obyek penelitian ini berada di 21 desa/kelurahan. jenis dan sumber data metode yang digunakan untuk memperoleh data primer adalah metode survei dengan teknik wawancara langsung (direct interview) dengan dibantu daftar pertanyaan (kuesioner). data sekunder diperoleh dari instansi dan lembaga-lembaga terkait di wilayah banjir di eks karisidenan surakarta. instansi-instansi tersebut antara lain: badan pusat statistik (bps), balai besar wilayah sungai bengawan solo (bbws), badan meteorologi dan geofisika, badan perencana pembangunan daerah (bappeda), dinas pekerjaan umum (dpu), bakornas, dan bakosurtanal. populasi dan sampel populasi dalam penelitian ini adalah petani kesediaan membayar mitigasi banjir (rusminah dan evi gravitiani) 15 yang lahan pertaniannya termasuk rawan banjir di kabupaten sukoharjo, sragen, karanganyar, dan klaten. alasan mengambil wilayah penelitian di 4 kabupaten di atas karena wilayah-wilayah itu setiap terjadi banjir dari sungai bengawan solo selalu dalam urutan paling atas yang mengalami kerugian paling besar di bidang pertanian, dan wilayah-wilayah tersebut masyarakatnya cenderung tindakan mitigasinya masih kurang. penetapan jumlah sampel penelitian dilakukan dengan cara menggunakan rumus slovin (sevilla, 1993) sebagai berikut: (1) dimana: n adalah jumlah sampel yang digunakan, n adalah jumlah populasi, 1 adalah konstanta, e adalah nilai kritis atau batas kesalahan 10% (2) , (3) desain penelitian metode contingent valuation ini penerapannya dengan menggunakan teknik survey sehingga disebut metode survei contingent valuation, dilakukan dengan memberikan daftar kuisioner atau daftar pertanyaan kepada responden tersampling. pengisian kuisioner yang dirancang harus diisi oleh kepala rumah tangga, mengingat variabel pendapatan keluarga dan juga keputusan jumlah biaya maksimum yang ingin dibayar (wtp) merupakan variabel yang sangat diperlukan validitasnya. namun dengan demikian dimungkinkan untuk beberapa kasus responden yang bukan kepala keluarga dapat mengisi kuisioner dengan catatan telah mendapat persetujuan dari kepala keluarga. hasil dan pembahasan pemetaan wilayah rawan banjir wilayah rawan banjir yang menjadi daerah studi penelitian ini adalah 4 kabupaten, 9 kecamatan dan 21 desa/kelurahan. tingkat kerawanan banjir berbeda di wilayah penelitian, disajikan pada gambar 1 dalam lampiran. desa-desa yang tingkat kerawanan banjir tinggi adalah desa yang dilintasi oleh sungai besar, yaitu sungai bengawan solo, apabila sungai bengawan solo banjir dan meluap maka desa-desa yang dikategorikan tingkat kerawanannya tinggi akan terendam banjir dan kalau dilihat dari bentuk desa-desa yang berkategori tingkat kerawanan banjir tinggi memang desadesa itu berpotensi terhadap bencana banjir, bentuk desa yang berkelok-kelok dengan dilalui sungai bengawan solo yang bentuknya mengikuti bentuk desa, desa tersebut sangat rawan terkena banjir sedangkan untuk desadesa yang tingkat kerawanannya sedang, desa tersebut jaraknya tidak berdekatan dengan sungai bengawan solo. tabel 1 menunjukkan tingkat kerawanan banjir di wilayah studi. tabel 1. tingkat kerawanan banjir tingkat kerawanan desa/kelurahan tinggi tenggak, bentak, taraman, sidoharjo, sribit, pandak, jetak, laban, gadingan, tegal made, waru, kateguhan, jetis, gondangsari sedang tangkisan, baran, tirtomarto, kragilan, burikan, karangmalang sumber: analisis data primer dan data sekunder tahun 2012 sejarah banjir sungai bengawan solo bengawan solo merupakan sungai terbesar dan terpanjang di pulau jawa, terletak di wilayah jawa tengah dan jawa timur, dengan panjang ± 600 km, dan luas daerah aliran ± 16.100 km2. berdasarkan wilayah administrasinya aliaran air bengawan solo melalui 17 kabupaten dan 3 kota jawa tengah dan jawa timur. secara fisik, alur utama sungai bengawan solo berawal dari sungai-sungai yang ada di kabupaten wonogiri yang mengalir ke waduk gajah mungkur, dari waduk gajah mungkur inilah arus sungai bengawan solo menjadi semacam satu-satunya pengendali arus aliran sungai bengawan solo. apabila kondisi waduk berfungsi secara optimal maka banjir di aliran sungai bengawan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 13-23 16 solo dapat dikendalikan dengan baik. hal itu terbukti sejak waduk gajah mungkur difungsikan (1978) sudah tidak terjadi banjir besar seperti yang terjadi pada tahun 1965. banjir besar kembali melanda di kawasan aliran sungai bengawan solo yang terjadi pada akhir tahun 2007 sampai tahun 2012, dikarenakan fungsi waduk gajah mungkur yang sudah tidak lagi optimal. ketidak-optimalan fungsi waduk itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sedimentasi dan kerusakan bangunan tanggul waduk. sedimentasi yang terjadi di waduk dewasa ini lebih dari 3 juta meter kubik setiap tahun. dengan terjadinya sedimentasi yang begitu cepat sehingga fungsi waduk sebagai penampung air menjadi berkurang secara signifikan. faktor yang kedua adalah karena kerusakan bangunan tanggul yang berwujud retakan-retakan. kejadian tersebut dapat dilihat dari gambar 2. kejadian banjir sungai bengawan solo pemahaman masyarakat terhadap daerah mereka yang rawan banjir sebenarnya sudah cukup baik, masyarakat di das bengawan solo di wilayah penelitian telah memahami tandatanda akan terjadinya banjir, berikut penuturan informan pak sastro wiryono warga dusun ketonggo, masaran. “tanda-tanda jika akan terjadi banjir biasanya ditandai dengan turunnya hujan deras cukup lama yang merata dari atas (daerah hulu sungai) sampai daerah sini sehingga air sungai bengawan solo semakin banyak dan airnya terlihat hitam gelap, banyak sampah-sampah yang terbawa arus sungai serta ada bau yang menyengat.tanda-tanda ini maka dapat dipastikan akan terjadi banjir”. kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2007-2012 cukup meresahkan penduduk di sekitar das bengawan solo, akibat banjir rumah-rumah mereka dan sawahnya terendam air sehingga mengakibatkan aktivitas penduduk lumpuh total terutama banjir yang terjadi akhir tahun 2007, walau banjirnya hanya satu hari satu malam namun sempat membuat penduduk tidak bisa keluar rumah dan bertahan di dalam rumah menunggu air surut. penduduk di daerah das bengawan solo mayoritas bermatapencaharian sebagai petani jadi jika terjadi banjir besar kerugian yang paling besar adalah di bidang pertanian.terjadi gagal panen karena padi yang belum siap panen terendam air dan membusuk. para petani merasa rugi karena tidak ada harapan atau penghasilan dari hasil pertaniannya, semua tanaman di sawah tidak dapat diharapkan karena rusak akibat banjir.sawah baru bisa ditanami setelah air sungai normal kembali dan tidak ada limbah industri. butuh beberapa waktu yang cukup lama sampai bulanan untuk kembali mengerjakan sawahnya dan ditanami kembali. dampak banjir membuat sumber: data primer diolah, 2012 gambar 2. sejarah banjir 4 kabupaten lokasi penelitian banjir besar das  bengawan solo  th 1965  membuat waduk  gajah mungkur  sebagai penampung air  th 1978  sedimentasi, kerusakan  bangunan tanggul dan  perubahan struktur  sungai  fungsi waduk gajah  mungkur tidak optimal  banjir besar das  bengawan solo 2007‐ 2012  banjir kecil das  bengawan solo  kesediaan membayar mitigasi banjir (rusminah dan evi gravitiani) 17 petani terganggu perekonomiannya. hal ini dibenarkan oleh seorang petani dari dusun sribit, sidoharjo (pak supriyadi) yang mengatakan bahwa: “jika terjadi banjir dan sawah saya itu hanya terendam air banjir satu hari satu malam tanaman masih bisa diselamatkan walaupun nanti hasilnya cuman dapat 50 persen dari hasil normal tetapi kalau banjir merendam sawah lebih dari dua hari berarti saya gagal panen karena tanaman mati akibat genangan air hujan dan air limbah yang mengalir ke sawah. saya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menunggu masa tanam berikutnya dan harus mengolah tanah sedemikian rupa hingga punya kemampuan untuk ditanami lagi”. data balai besar wilayah sungai bengawan solo menjelaskan bahwa upaya pengendalian banjir harus dengan keterpaduan antara upaya fisik teknis dan non-teknis seperti perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan, perubahan tata ruang secara massive di kawasan budidaya yang menyebabkan daya dukung lingkungan menurun drastis, serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri yang mengubah keseimbangan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan kawasan retensi banjir (retarding basin) berkurang. analisis mitigasi bencana banjir analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dalam hal ini pendapatan, pendidikan, usia, jumlah anggota keluarga, jarak dan tinggi genangan mempengaruhi kesediaan untuk membayar mitigasi bencana sebagai variabel dependen. model yang akan diestimasi ditunjukkan oleh persamaan berikut ini: wtp = + (4) dimana: wtp adalah kesediaan untuk membayar mitigasi banjir, inc adalah pendapatan yang diterima responden tiap bulan, age adalah usia responden, educ adalah pendidikan terakhir responden, fam adalah jumlah anggota keluarga yang dimiliki responden, pers adalah persepsi dampak kerusakan, dist adalah jarak pemukiman dengan sungai bengawan solo, high adalah tinggi genangan banjir di daerah responden, inten adalah intensitas terjadinya banjir, adalahkonstanta, adalah koefisien regresi, adalah standard error. hasil regresi menunjukkan pengaruh pendapatan, usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, persepsi dampak kerusakan, jarak, tinggi genangan dan intensitas banjir terhadap kesediaan untuk membayar mitigasi banjir. (tabel 1) analisis kesediaan membayar (willingness to pay) mitigasi banjir jumlah maksimum yang mau dibayarkan oleh responden setelah diberikan rentetan tawaran pertanyaan untuk mengurangi dampak banjir disajikan pada tabel 2. persentase wtp yang tabel 1. hasil analisis regresi berganda dengan ordinary least square (ols) nama variabel koefisien t hitung konstanta inc age educ fam pers dist high inten -2487174 0,843608*** 60113,93*** 360970,9** -209753,4** 270810,8 -54,27952 -4627,388 -243795,2 -1,974387 10,56629 3,317654 2,015231 -1,973552 1,096389 -0,221080 -1,366068 -1,482630 0,587551 0,564150 1,896693 f-statistic prob(f-statistic) 25,10755 0,000000 0 keterangan: *** : signifikan pada level 1%, **: signifikan pada level 5% jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 13-23 18 paling banyak rp250.000 sampai dengan kurang dari 500.000,per banjir 28% sebanyak 43 orang. sisanya kurang dari 1.000.000,per banjir sebanyak 36 orang, rp1.000.000,sampai dengan kurang dari rp1.250.0000,per banjir sebanyak 6 orang, rp1.250.000,sampai dengan kurang dari rp1.500.000,per banjir sebanyak 9 orang, rp1.500.000,sampai dengan kurang dari rp1.750.0000,per banjir sebanyak 1 orang, rp1.750.000,sampai dengan kurang dari rp2.000.000,per banjir sebanyak 7 orang, rp2.000.000,sampai dengan kurang dari rp2.500.000,per banjir sebanyak 1 orang, rp2.500.000,sampai dengan kurang dari rp2.500.000,per banjir sebanyak 3 orang dan lebih besar dari rp 2.500.000,sebanyak 26 orang. nilai wtp responden yang paling kecil adalah rp 30.000,sedangkan nilai wtp yang paling besar adalah rp 15.000.000,-. hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata penduduk didaerah rawan banjir kesediaan untuk membayar (wtp) untuk mengurangi resiko gagal panen akibat banjir sangat kecil, bahkan nilai wtp lebih kecil dari jumlah kerugian yang akan di tanggung jika terjadi banjir. mereka hanya bersedia membayar wtp untuk biaya tanam berikutnya jika terancam gagal panen, hal ini karena adanya pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi. valuasi kerugian (loss production) banjir berdampak negatif terhadap petani. besar kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut dapat diketahui dari perubahan (penurunan) produktifitas pertanian. bencana banjir dapat menyebabkan kegagalan panen total bagi petani seperti yang terjadi di daerah kulonprogo bagian selatan (saptutyningsih dan suryanto, 2009). kerugian sektor pertanian itu sendiri dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut (suparmoko, 2006): qx = f (a x pt) di mana,  adalah perubahan, qx adalah produksi pertanian, a adalah luas sawah yang tergenang, pt adalah produktifitas tanah per ha. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kerugian per petani yaitu langkah pertama menghitung penurunan produksi sektor pertanian karena banjir, langkah selanjutnya adalah menghitung luas lahan pertanian masing-masing keluarga, dan langkah terakhir menghitung kerugian rata-rata yang diderita per petani. perhitungan dan analisis tiap langkah sebagai berikut: (1) penurunan produksi sektor pertanian karena banjir. penurunan produksi reponden per panen jika terjadi banjir disajikan pada tabel 3. prosentase penurunan produksi responden yang paling banyak rp1.500.000,sampai dengan kurang dari rp3.000.0000,per panen jika terjadi banjir 33 persen sebanyak 49 orang, sisanya kurang dari 1.500.000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 31 orang, rp3.000.000, sampai dengan kurang dari rp4.500.0000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 21 orang, rp4.500.000,sampai dengan kurang dari tabel 2 . besarnya wtp penduduk untuk mitigasi banjir no. jumlah wtp (rupiah) jumlah responden prosentase (%) 1. 0 250.000 18 12 2. 250.000 500.0000 43 28 3. 500.000 1.000.000 36 24 4. 1.000.000 1.250.000 6 4 5. 1.250.000 1.500.000 9 6 6. 1.500.000 1.750.000 1 1 7. 1.750.000 2.000.000 7 5 8. 2.000.000 2.250.000 1 1 9. 2.250.000 2.500.000 3 2 10. 2.500.000 15.000.000 26 17 jumlah 150 100 sumber: data primer diolah, 2012 kesediaan membayar mitigasi banjir (rusminah dan evi gravitiani) 19 rp6.000.0000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 16 orang, rp6.000.000,sampai dengan kurang dari rp7.500.0000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 5 orang, rp7.500.000,sampai dengan kurang dari rp9.000.0000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 14 orang, rp9.000.000,sampai dengan kurang dari rp10.500.0000,per panen jika terjadi banjir sebanyak 3 orang dan lebih besar dari rp10.500.000,sebanyak 11 orang. hasil tersebut menunjukan bahwa rata-rata petani didaerah rawan banjir mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan jika terjadi banjir di bandingkan dengan kondisi normal. besarnya penurunan produksi yang dialami yang paling tinggi adalah sebesar rp30.000.000,sedangkan penurunan produksi yang paling kecil sebesar rp 491.250,-. (2) kepemilikan lahan responden (a). luas lahan pertanian responden yang berada di daerah rawan banjir, dari 150 responden ratarata responden memiliki sawah antara 0,26-0,5 ha atau sebesar 36 persen sebanyak 54 orang dan di susul urutan kedua kepemilikan sawah responden antara 0,76-1,0 ha sebesar 20% atau 30 orang sedangkan yang paling sedikit mempunyai kepemilikan sawah > 2,0 ha sebesar 1 persen atau 1 orang tabel 4 menunjukkan luas kepemilikan sawah responden dan ternyata sangat variatif, dalam arti ada sebagian responden yang memiliki lahan sawah yang realtif luas tapi banyak responden yang lahan sawahnya kategori sempit. penduduk yang sawahnya sempit oleh masyarakat dinamakan petani gurem. kondisi kepemilikan lahan yang sangat terbatas ini tentunya sangat berpengaruh terhadap taraf hidup mereka, produksi pertaniannya biasanya hanya cukup untuk makan. petani gurem ini kalau terjadi banjir sangat merasakan kerugiannya, mengalami gagal panen sehingga pendapatan petani menurun drastis, jika kondisi seperti itu terjadi tiap tahun maka petani gurem banyak yang tidak mampu untuk melanjutkan usaha taninya, akibatnya mereka mengambil keputusan untuk menjual lahan sawah yang mereka miliki. (3) tingkat kerugian (loss production). tingkat kerugian (loss production) responden yang berada di daerah rawan banjir disajikan tabel 3. penurunan produksi responden penurunan produksi (rp) jumlah responden prosentase (%) 1. 0 -1.500.000 31 21 2. 1.500.000-3.000.0000 49 33 3. 3.000.000-4.500.000 21 14 4. 4.500.000-6.000.000 16 11 5. 6.000.000-7.500.000 5 3 6. 7.500.000-9.000.000 14 9 7. 9.000.000-10.500.000 3 2 8. 10.500.000-24.000.000 11 7 jumlah 150 100 sumber: data primer diolah, 2012 tabel 4. luas lahan sawah responden no. luas lahan (ha) jumlah responden prosentase (%) 1. < 0,25 35 23 2. 0,26 – 0,5 54 36 3. 0,51 –0,75 17 11 4. 0,76 – 1,0 30 20 5. 1,1 – 1,25 4 3 6 1,26 – 1,50 4 3 7 1,51 – 2,0 5 3 8 >2,0 1 1 jumlah 150 100 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 13-23 20 pada tabel 5. rata-rata responden mengalami kerugian hasil pertanian mereka yang paling besar antara 26-50 persen atau sebanyak 117 orang. sebanyak 26 orang menderita kerugian antara 51-75 persen, dan sebanyak 3 orang mengalami kerugian adalah antara 76-100 persen. simpulan hasil pengujian dan temuan empiris dari analisis data yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan dari penelitian tentang analisis kesediaan untuk membayar mitigasi bencana banjir di eks karisidenan surakarta ini adalah sebagai berikut: (1) daerah-daerah di pinggiran das bengawan solo yang telah dipetakan mayoritas memiliki tingkat kerawanan bencana banjir yang tinggi. (2) hasil analisis data dengan menggunakan model regresi linier berganda dengan pendekatan contingent valuation method (cvm) variabel pendapatan, usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, persepsi dampak kerusakan, jarak sawah, tinggi genangan dan intensitas banjir menjelaskan pengaruhnya terhadap willingness to pay atau kesediaan untuk membayar mitigasi bencana banjir. (3) hasil dari penelitian ini upaya untuk melakukan tindakan mitigasi banjir masyarakat cenderung pasrah akan keadaan yang terjadi, karena banyak faktor sosial ekonomi yang menyebabkan untuk tidak melakukan tindakan mitigasi di antaranya seperti himpitan ekonomi, lokasi lahan sawah, kondisi sosial ekonomi, jarak sawah ke sungai. kesadaran penduduk akan pentingnya mitigasi banjir sangat kecil, dari hasil penelitian rata-rata penduduk didaerah rawan banjir kesediaan untuk membayar (wtp) untuk mengurangi resiko gagal panen akibat banjir sangat kecil, bahkan nilai wtp lebih kecil dari jumlah kerugian yang akan ditanggung jika terjadi banjir. mereka hanya bersedia membayar wtp untuk biaya tanam berikutnya jika terancam gagal panen. (4) hasil penelitian rata-rata responden/ petani di das bengawan solo jika terjadi banjir mengalami kerugian (loss production) hasil pertanian 50 persen dari hasil produksi normal. berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini. adapun saran tersebut adalah sebagai berikut: (1) petani yang tinggal di daerah rawan banjir khususnya yang di bantaran sungai begawan solo harus meningkatkan kesadaran mitigasi banjir untuk mengurangi resiko gagal panen terhadap usaha tani mereka, dengan meningkatkan kemampuan adaptasi petani terhadap perubahan iklim, bisa dengan cara memajukan masa tanam usaha taninya sehingga jika terjadi banjir sudah selesai panen atau mengefektifkan kembali pendekatan konvensional melalui penerapan salah satu atau kombinasi strategi produksi, pemasaran, finansial, dan pemanfaatan kredit informal. petani yang punya lahan sawah luas bisa juga mengasuransikan usaha pertanian mereka sehingga jika terjadi banjir resiko yang dialami tidak besar. (2) agar tercapai system pengendalian banjir yang optimal untuk melakukan tindakan mitigasi bencana yang berkelanjutan, maka perlunya peran serta masyarakat dan pemerintah untuk mitigasi banjir.pengendalian banjir tidak bisa hanya difokuskan pada penanganan fisik saja, namun harus disinergikan juga dengan pembangunan non-fisik yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya keterlibatan atau partisipasi masyarakat. tabel 5. tingkat kerugian (loss production) no. kerugian pascabanjir dari produksi normal (%) jumlah responden prosentase (%) 1. 0 25 4 3 2. 26 – 50 117 78 3. 51 – 75 26 17 4. 76 – 100 3 2 jumlah 150 100 (sumber: data primer diolah, 2012) kesediaan membayar mitigasi banjir (rusminah dan evi gravitiani) 21 (a) peran masyarakat khususnya yang berada di wilayah rawan bencana banjir seyogyanya harus paham akan hak, kewajiban dan peranya dalam mengelola lingkungan agar terjadi keselarasan, keserasian dan kesinambungan demi generasi penerusnya. terkait dengan hak masyarakat sebetulnya masyarakat di wilayah rawan bencana memiliki hak yang sama untuk menempati lingkungan yang baik dan sehat, namun realitanya mereka terkena banjir, ini berarti bahwa masyarakat untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat tidak terpenuhi. (b) pemerintah harus meningkatkan perannya untuk mitigasi banjir seperti: 1) pemerintah perlu menyadarkan masyarakat untuk menjaga kualitas lingkungan, dengan aturan dan penataan serta penyuluhan penggunaan lahan, 2) aturan tentang pemanfaatan das harus disosialisasikan dan diberi pengawasan yang ketat dan sangsi yang berat, 3) pemerintah harus berupaya agar waduk gajah mungkur dapat kembali berfungsi secara optimal. daftar pustaka asdak, chary. 2002. hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. yogyakarta: gadjah mada university press. dai, f.c., dan c.f. lee, s.j. wang. 2003. characterization of rainfall-induced landslides. international journal of remote sensing. vol. 24 (23), pp. 4817-4834. gujarati, damodar n. 2005. basic econometrics. new york: mcgraw-hill hardoyo, dkk. 2011. strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut di kota pekalongan, red carpet studio. yogyakarta: fakultas geografi universitas gadjah mada. harjono, dwi. 2012. valuasi ekonomi mitigasi bencana banjir sungai bengawan solo (studi kasus di daerah rawan banjir eks karisidenan surakarta). skripsi fe uns. tidak dipublikasikan. jonathan sarwono. 2006. metodepenelitian kuantitatif dan kualitatif. yogyakarta: graha ilmu. ozdemir, ozlem. 2000. relationship between risk perception and willingness-to-pay for low probability, high consequence risk: a survey method”, unpublished dissertation. texas university parson, s., dan r. dymond, r.h. herman. 2004. gis techniques for flood map modernization and hazard mitigation plans. fourth annual esri conference. san diego, ca. prahasta, eddy. 2006. sistem informasi geografis konsep-konsep dasar. bandung: penerbit informatika. rahayu, siti aisyah tri. 2007. modul laboratorium ekonometrika. surakarta: fakultas ekonomi, universitas sebelas maret. saptutyningsih, endah dan suryanto. 2009. pemetaan banjir di kulonprogo. hasil penelitian hibah bersaing dikti 2009. tidak dipublikasikan. subur, tjahyana. 2009. ekspedisi bengawan solo nusantara. cetakan kedua. jakarta: pt kompas media sugiyono. 2010. metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan r&d. bandung: alfabeta. sugiyono. 2011. metode penelitian kombinasi (mixed methods). bandung: alfabeta. suparmoko. 2006. panduan dan analisis valuasi ekonomi. yogyakarta: bpfe. taryati, dkk. 2012. pemahaman masyarakat terhadap daerah rawan ekologi di kabupaten sragen dan kabupaten bojonegoro. yogyakarta: balai pelestarian sejarah dan nilai tradisional. bps. 2012. klaten dalam angka. klaten: badan pusat statistik. bps. 2012. kecamatan kebakkramat dalam angka. karangaanyar: badan pusat statistik. bps. 2012. kecamatan masaran dalam angka. sragen: badan pusat statistik. bps. 2012. kecamatan sidoharjo dalam angka. sragen: badan pusat statistik. bps. 2011. kecamatan mojolaban dalam angka. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 13-23 22 sukoharjo: badan pusat statistik. bps. 2011. kecamatan tawangsari dalam angka. sukoharjo: badan pusat statistik. khan, m. s. a. 2008. disaster preparedness for sustainable development in bangladesh. disaster prevention and management vol. 17 no. 5, 2008 pp. 662-67. kim, kiwhan. 2002. water quality measurement: w h at makes ‘willingness to pay’ different?. international review of public administration 2002, vol. 7, no. 2. kurniawan, rachman., dkk. 2009. valuasi ekonomi jasa lingkungan kawasan karst marcos-pangkep. jurnal ekonomi lingkungan vol.13/no.1/2009. siswoko. 2005. banjir, masalah banjir dan upaya mengatasinya. makalah pelantikan pengurus hathi cabang sulsel periode 20052008. makasar, 19 maret 2005. badan koordinasi nasional penanggulangan bencana. 2005. panduan pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di indonesia. bakornas pb. jakarta. badan perancanaan dan pembangunan daerah. 2008. potensi dan kejadian bencana provinsi jawa tengah. jawa tengah: bappeda. dinas kesbang linmas dan biro pembangunan daerah provinsi jawa tengah. 2007. kejadian banjir beserta dampaknya di provinsi jawatengah. semarang: kesbang limas dan bappeda. direktorat jenderal sumber daya air departemen pekerjaan umum. 2008. profil sungai bengawan solo. jakarta: dpu kementerian pekerjaan umum direktorat jenderal sumber daya air bbws bs. 2011. ancaman bahaya banjir dan upaya antisipasinya di wilayah sungai bengawan solo undang-undang republik indonesia. nomor 24 tahun 2007. tentang penanggulangan bencana. wood, n.j., dan j.w. good. 2004. vulnerability of ports and harbor communities to earthquake and tsunami hazards: the use of gis in community planning. coastal management, vol 32 (3). kesedi iaan membay sumber: dat yar mitigasi ta primer diolah g banjir (rusm h, 2012 gambar 1. pe minah dan ev lampira eta tingkat k vi gravitiani an kerawanan b i) banjir 23 microsoft word 01-yahya_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.1-13 factors influencing economic growth in indonesia: error correction model (ecm) yahya muqorrobin institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia correspondence e-mail: yahya.mq27@gmail.com received: juli 2014; accepted: february 2015 abstract: the main objective of this study is to identify and analyze the effect of foreign direct investments (fdi), foreign debts, bank credit and labor force on the economic growth in indonesia. annual data during the period of 1985-2013 are used in this study and collected from bank indonesia, bkpm, and bps. the study uses error correction model (ecm). the result shows that foreign direct investment, bank credit and labor force positively and significantly influence the economic growth in indonesia in short term and long term analyses. in the other hand, foreign debt negatively and significantly influences the economic growth in indonesia in short term and long term. keywords: economic growth; foreign direct investment; foreign debt; bank credit; labor force jel classification: f43, p45 abstrak: tujuan studi adalah mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh penanaman modal asing (pma), hutang luar negeri, kredit bank, dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. studi ini menggunakan data tahunan tahun 1985-2013 yang diperoleh dari bank indonesia, bkpm, dan bps. model yang digunakan dalam studi ini adalah error correction model (ecm). hasil studi menunjukkan bahwa penanaman modal asing, kredit bank, dan angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang. sebaliknya, hutang luar negeri berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang. kata kunci: pertumbuhan ekonomi; penanaman modal asing; hutang luar negeri; kredit bank; angkatan kerja klasifikasi jel: f43, p45 introduction economic growth is one indicator that is very important in the analysis of economic development that occurs in a country. economic growth shows the extent to which economic activity will generate additional income to the communities in a given period. it is because economic activity is basically a process to produce output, measured with the gdp indicator. indonesia as a developing country tries to build the nation without expecting help from other countries. however it is difficult to survive in the middle of the swift currents of globalization that continue to grow rapidly. under these conditions, indonesia finally has to follow the flow by collaborating with other countries in the implementation of national development, especially the joint national economy. indonesia actually never had a promising economy in the early 1980s to middle 1990s. based on data from bps, indonesia's economic growth since 1986 until 1989 continued to increase, i.e. 5.9 percent respectively in 1986, then 6.9 percent in 1988 and to 7.5 percent in 1989. yet from 1990 to six years later the eco jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 2 nomic growth rates fluctuated. however, at a certain point, the indonesian economy finally collapses under the brunt of the economic crisis globally around the world. it is characterized by high rates of inflation, the value of the rupiah which continued to weaken, the high rate of unemployment, and coupled with the increasingly growing number of indonesian foreign debt due to weaker exchange rate. since the crisis hit in the middle of 1997 it has become a big shock for the growth of the national economy. the monetary crisis affected the rate of economic growth in 1998 which experienced a minus of 13.1 percent and the increase of foreign debt from 269 trillion rupiah in 1997 to 573 trillion rupiah. further indirect impacts of this crisis also hit the banking world one year later, when total bank credit in the form of consumption and capital declined from rp487 trillion in 1998 to rp225 trillion. indonesia's economic growth in 1999 starts growing positively despite only at the rate of 0.79 percent after a huge decline in 1998. early signs of economic recovery has begun it seems, that monetary stability was under control, which was reflected in a low inflation rate and a stronger exchange rate, and political and social circumstances that have been more favorable. a level of economic growth is determined, among others by the power of investment sector, foreign aid sector, and labor productivity. economic growth requires an increase in investment funds that in turn require funding from both domestic and abroad. from these two sources of financing, domestic sources should be the principal source of financing, especially viewed from the context in which the long-term economic growth of a country should base their investment financing from domestic sources (syaharani, 2011). because of the limited domestic resources owned while fund requirement for economic development is very large, and to overcome the lack of funds needed in the process of national development since pelita i recent years, revenue funding is made from abroad, both in the form of foreign debt and foreign direct investment (fdi) (kamaluddin, 2007). the role of foreign aid and foreign capital to the progress, growth and economic development of developing countries has long been a heated debate among groups of the world economy. a group of economists in the 1950s and 1960s argued and believed that foreign aid has a positive impact on the economic development of a country without causing disruption in the aftermath of the debtor countries (kamaluddin, 2007). for developing countries such as indonesia, the rapid flow of capital is a good opportunity to obtain economic development financing. however, if the funds are given through debt, then gradually foreign debts seem to be a boomerang for indonesia because it leaves a lot of issues, especially foreign debts that have high interest rates. for a government, foreign debt payment is the largest consumption in the state budget in the last decade. while our country still has to pay for a wide range of other economic sectors that are also important and urgent (anwar, 2011). as an alternative to foreign debt, to get the funds from abroad can be done through foreign direct investment (fdi). as well as with foreign debt, foreign direct investment (fdi) is one of the sources of financing for table 1. economic growth, foreign debt, banking credit and inflation in indonesia 1995-2002 no. year economic growth foreign debt (rptrillion) banking credit (rptrillion) inflation 1 1995 8.24 148660.59 242423 9.4 2 1996 7.77 140660.59 306125 7.9 3 1997 4.59 269049.00 476841 6.2 4 1998 -13.24 573538.73 487426 58.0 5 1999 0.79 573140.40 225133 20.7 6 2000 4.86 782462.66 269000 3.8 7 2001 3.83 742320.80 307594 11.5 8 2002 4.25 700967.52 367410 6.8 source: bps and bi (data processing) factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 3 development and national economic growth. fdi is directed to replace the role of foreign debt to finance the growth and development of the national economy. the role of foreign capital becomes even more crucial given the fact that the amount of indonesia's foreign debt has increased significantly. foreign direct investment (fdi) destination country is believed to be beneficial, especially in terms of development and economic growth. much empirical evidence such as the experiences in south korea, malaysia, thailand, china, and many other countries shows that the presence of fdi gave a lot of positive things to the economy of the host country. in the case of indonesia, the most obvious evidence is the past under the new order. indonesian economy may not be able to rise again from the destruction created by the old order and could experience an average economic growth of 7 percent per year during the period of the 1980s when no fdi. of course many other factors that also serve as a source of growth drivers such as aid or foreign debt and the seriousness of the new order government to build a national economy when it is reflected by the presence of repelita and political and social stability. literature theory also gives a strong argument that there is a positive correlation between fdi and economic growth in the recipient country (tambunan, 2007). the thought that supports that foreign capital has a positive effect on domestic savings and financing imports got a lot of challenges from the camp followers of dependency theory (dependencia). they concluded that only a small proportion of foreign capital has a positive effect on domestic savings and economic growth. the main hypothesis is the dependency theory of fdi and foreign debt in the short-term that increase economic growth; more countries depend on fdi and foreign debt, so the difference in earnings (income) becomes greater and in turn equity is not achieved (anwar, 2011). foreign direct investment (fdi) is an alternative to meet the development needs of capital. in indonesia, fdi regulated in the act of foreign investment (uupma) which is a legal base of fdi to come to indonesia. the indonesian government attempted to encourage the business climate so as to attract the interest of private sector enterprises, especially for foreigners, so the act no. 1/1967 on foreign direct investment (fdi) was issued. the act was refined in 1970 to be act no. 11/1970. in addition to investment, labor is a factor that affects the output of a region. a large labor force will be formed from a large population. however, population growth could cause significant negative effects on economic growth. according to todaro (2000) rapid population growth gave rise to the problem of under development and make the prospect of the development becomes increasingly distant. further, it is said that the population problem arises not because of the large number of family members, but because they are concentrated in the urban areas as a result of the rapid rate of migration from rural to urban. however, quite a number of people with high levels of education and have the skills to be able to encourage economic growth. as the total population of productive age is big it will be able to increase the amount of available work force and will eventually to increase the production output in a region (rustiono, 2008). today the condition of indonesian labor has always been central of attention in economic development. previously indonesia has experienced a period of rapid population growth, but the redundant characteristic colors the economic life in indonesia. the implementation of equity-oriented to the development is also done with the direction to improve and increase the income of low-income communities. because in the development the population also serves as the workforce development issues that will arise in employment. hence the ever growing population in the presence of continued economic development needs more investment. in addition, the problem of capital and labor, the banking sector as intermediary institutions that facilitate the distribution of funds from the excess (surplus) to that lack of funds (deficit) also takes an important position in the economic development, which is reflected through credit. banking credit has an important role in financing the national economy and is a driving force of economic growth. availability of credit allows households to make better consumption and enables the company to make an jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 4 investment that cannot be done with their own funds. in addition to the problems of moral hazard and adverse selection that are common, banks play an important role in allocating capital and monitoring to ensure that public funds are channeled to activities that provide optimal benefits. regardless the recent rise in the role of financing through capital markets, financing through financial companies that include banks and financial institutions, bank credit is still dominating the total credit of the private sector with an average of 85 percent (diah et al., 2012). banking has a function to stimulate economic growth and expand employment opportunities through the provision of a number of funds and business development. especially for businesses, a fund provided by banks is in the form of credit. total demand for loans in a bank is affected by various factors, both in terms of the debtor and the creditor (bank) itself. credit demand from the debtor (business) is influenced by the presence of an effort to increase business activity, either in the form of investment or working capital. in terms of banking, credit demand is influenced by factors such as interest rate loan, line of credit, sbi, government policies and services to the customers of the bank itself. in the end, if the bank that issues the funds through various financing can be put to better use then it will trigger good climate in economic and business climate and will trigger economic growth in general. some previous studies about the determinants of economic growth have in many countries. liwan and lau (2007) found that exports, investment and inflation have an influence on economic growth in indonesia, malaysia and thailand, the only difference is positive or negative influence. export has positive effect on economic growth in indonesia, malaysia and thailand. inflation negatively affects the economic growth of thailand and malaysia, but it has a positive effect on economic growth in indonesia. the inflation rate in indonesia is quite stable for several years, which carries a positive relationship between inflation and economic growth. the investment has a positive effect on economic growth in indonesia, malaysia and thailand. mardalena (2009) found that the estimation is based on the results of the regression model, the variable of international trade (which includes exports and imports and net exports) has a positive and significant impact on the growth of economy while the variable investment (domestic and foreign) is positive but doesn’t have significant effect on the level of significance of 5 percent of the economy growth. anwar (2011) found that the negative effect of foreign debt to gross domestic product. foreign investment has a positive effect on gdp. looking at the description of issues described above of course back in the end it boils down to one purpose of indonesia's economic growth, which indicates the extent to which economic activity will generate additional income of the people in a given period. it is because economic activity is basically a process of using the factors of production to produce output. the purpose of this study is determines the effect of foreign direct investment (fdi), foreign debt, bank credit, and labor force to the indonesian economic growth in the short term and long term, respectively. research method in this study, the data used are quantitative data. this study used a literature study on the effects of foreign debt, foreign direct investment (fdi), bank credit and labor force on economic growth in indonesia. this study used a time series study of the years 1985-2013. variables used in the study consisted of four variables consisting of one dependent variable (dependent variable) and four independent variables (independent variable). the dependent variables are economic growth is denoted by "gdp". the independent variables are foreign direct investment (fdi), bank credit, foreign debt, and the labor force. data this study uses secondary data time series in the form of annual data with an observation period from the 1985-2013. the data used in this study are as follows: 1) data on economic growth rate used is gross domestic product (gdp) in constant prices year 2000 in indonesia, based on the data obtained from bps publications; 2) the factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 5 data on foreign direct investment (fdi) was obtained from the published reports of indonesia's balance of payments issued by bank indonesia (bi) and the investment coordinating board (bkpm); 3) the data of labor force are based on data obtained from bps publications; 4) the data on the foreign debt is obtained by the government and the private sector of indonesia's foreign debt statistics published by bank indonesia (bi); 5) the data of bank credit obtained from the publication of bank indonesia (bi). data analysis the method used in this study is the approach of error correction model (ecm), because this model is able to test whether the empirical model is consistent with economic theory and in the solution of the time series variables are not stationary and spurious regression (thomas, 1997). spurious regression is chaotic regression, with a significant result regression of the data that is not related. error correction model (ecm) is a model used to see the effect of long-term and shortterm of each of the independent variables to the variables bound. according to sargan, engle and granger, error correction model (ecm) is a technique for correcting short-term imbalance towards a long-term equilibrium, and can explain the relationship between the variables bound by the independent variables in the present and the past. in determining the linear regression model approach through error correction model (ecm), there are several assumptions that must be met as follows stationary test, integration degree test and cointegration test. stationary test before estimating the time series data stationary test must be conducted. estimation of nonstationary data will lead to the onset of super inconsistencies of regression and spurious regression, so actually a classic inference method cannot be applied (gujarati, 1999). the method recently used by a lot of econometrics to test the stationary problem is the data unit root test. the first unit root test was developed by dickey-fuller unit root test and known as the dickey-fuller (df). the basic idea of data stationary test by the unit root test can be explained through the following models): 1 1 1) where et is a random disturbance variable or stochastic with mean zero, constant variance and uncorrelated (nonautokorelasi) as ols. the disturbance variable that has that nature is called the white noise disturbance variables (gujarati, 1999). if the value of ρ = 1 then we say that the random variable or (stochastic) y has a unit root. if the time series data have a unit root, then the data are said to be moving at random and the data is said to have the nature of a random walk data is not stationary (gujarati, 1999). to test whether the data contain unit roots or not, dickey fuller regression models suggest to do the following: ∆ 2) ∆ 3) ∆ 4) where t is the time variable. in the model, if the time series contains a unit root, which means no stationary so null hypothesis is = 0, while the alternative hypothesis is <0 which indicates the data stationary. df test in equation (2) and (4) is a simple model and can only be done if the time series data simply follow the pattern of the ar (1). for time series data that contain a higher ar where the assumption of no autocorrelation is not met, the dickey fuller developed a unit root test that incorporates elements of the higher ar and adds a variable lags differentiation in the right side of the equation. this test is known as augmented dickey fuller (adf) with the following formulation: ∆ ∑ ∆ 5) ∆ ∑ ∆ 6) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 6 ∆ ∑ ∆ 7) where: y = observed variables; δyt = yt yt-1; t = time trend to determine the stationary of data, the comparison between the values of the adf statistic with the critical value is a statistical distribution τ. adf statistic value indicated by the value of t statistic coefficient yt-1. if the absolute value of the adf statistic is greater than the critical value, then indicates reject the null hypothesis that means the data is stationary. conversely, if the absolute value of the adf is smaller than the critical value, it indicates the data are not stationary (indira, 2011). integration degree test integration degree test is a continuation of the unit root test. if after testing the unit root turns out the data is not stationary, then they are retested using the first difference value data. if the data have not been stationary first difference then we tested with data from both the differences and so on until the data is stationary (gujarati, 1999). cointegration test if all the variables pass from the unit root test, the cointegration test is then performed to determine the likelihood of long-term equilibrium or stability among the observed variables. in this study the method used to test the engel and granger cointegration variables is by making the df-adf statistic test to see if the cointegration regression residuals were stationary or not. to calculate the value of the df and adf cointegration regression equation was formed first by the method of ordinary least squares (ols). regression equation which will be tested in this study were as proposed by (nachrowi, 2006). lnyt = β0 + β1lnfdit + β2lnedt + β3lncret + β4lnlft + et 8) where: β0 = intercept/constant; β1, β2, β3 = regression coefficient, lnyt = gross domestic product in period t; lnfdi = foreign investment in period t; lnedt = foreign debt in period t; lnlft = labor force in period t; lncret = bank lending period t; et = error term the regression equation above was used to obtain residual value. then the residual value (et) were tested using the augmented dickey fuller to see if the residual value is stationary or not. the residual value is said stationary if the absolute value of adf count is smaller or larger than the absolute critical value of mckinnon at α = 1%, 5%, or 10%, and it can be said that regression is cointegrated regression. in econometric variables, they are said to be mutually cointegrated in the long-term equilibrium. testing is particularly important when the dynamic model will be developed. thus, by using the model above the interpretation would not be misleading, especially for long-term analysis. error correction model (ecm) analysis a technique for correcting imbalances in the short term to the long-term equilibrium is called error correction model (ecm). this method is a single regression connecting the first differentiation in the dependent variable (δ yt) and the first differentiation for all independent variables in the model. this method was developed by engel and granger in 1987. the general form of the ecm method (nachrowi, 2006) are as follows: ∆ ∆ ∆ ∆ 9) to find the model specification with a model ecm which is valid, it can be seen in the results of statistical tests on the coefficients of the regression residuals β4 or first, which would then be called error correction term (ect). if the results of the ect coefficient test is significant, then the observed model specification is valid. in this study, ecm analysis model which is used can be formulated in full as follows: yt= f (lnfdit, lnedt, lnakt, lnkret, ectt-1) 10) factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 7 ∆ ∆ ∆ ∆ + ∆ 11) description: lnyt = gross domestic product in period t; lnfdi = foreign investment in period t; lnedt = foreign debt in period t; lnlft = labor force in period t; lncret = bank lending period t; ect t‐1 = error correction term in the previous period based on the calculations of linear regression analysis of the ecm above, it can be seen that the value of the variable ect (error correction term), which is a variable that indicates the balance of the investment. it can make an indicator that the model specification, whether or not through significance level of error correction coefficient (wing, 2007). if the ect variable α = significance at 5 percent, then the coefficient will be an adjustment in the event of fluctuations of observed variables which deviate from the long-term relationship. in other words, the model specification is already is authentic (valid) and can explain the variation in the dependent variable. result and discussion stationary test before estimating the time series data stationary test is conducted prior data. estimation of nonstationary data will lead to the emergence of super inconsistencies and spurious regression, so that the actual classical inference methods cannot be applied (gujarati, 1999). the method used in this study is the unit roots test. stationary time series data shows a constant pattern over time. the unit root test used in this study is the augmented dickey fuller test (adf). if the value of the adf tstatistic is greater than the mackinnon critical value, then the variable does not has a unit root so it is stationary at a particular significance level. conversely, if the value of the adf tstatistic is smaller than the mackinnon critical value, then the variable has a unit roots so it is not stationary at a particular significance level. unit root test is done one by one or all variables in the analysis that will be both dependent and independent variables. unit root test results are obtained on the level, and it can be seen in table 2. table 2 shows that no variable is stationary either gross domestic product (gdp), bank credit, foreign direct investment (fdi), foreign debt or labor force at the level. this shows that the test data should continue with the degree of integration testing. integration degree test because the unit root test with observed data at level is not stationary, it is necessary to proceed with trials testing degree of integration. this test is intended to determine what degree of observed data is stationary. because the degree of integration testing is a continuation of the unit root test, the test step is identical to the unit root test to distinguish difference in the course and assumptions used are the same hypothesis. table 3 shows the results of the unit root test on the 1st level difference which showed an improvement, but not all variables showed stationary. still there is one variable that is ak (labor force) who have not stationary, it is necessary to continue testing the unit roots at 2nd level difference. table 4 (appendix) showed that five variables have been stationary at the second table 2. augmented dickey fuller resultant level variable adf t-statistik mackinnon critical values description 1% 5% 10% ln gdp -0.480123 -3.689194 -2.971853 -2.625121 nonstasioner ln cre -0.943938 -3.689194 -2.971853 -2.625121 nonstasioner ln fdi -0.698373 -3.689194 -2.971853 -2.625121 nonstasioner ln ed -1.506046 -3.689194 -2.971853 -2.625121 nonstasioner ln lf -3.597341 -3.699871 -2.976263 -2.627420 nonstasioner jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 8 level difference, the variable y (gdp), credit, fdi, foreign debt and ak, at a significance level of 5 percent. therefore it can be said that all the data used in this study are integrated the second difference. long-term analysis cointegration test. cointegration test used in this study employed engel and granger method, by making the df-ad f statistic test to see whether the co integration regression residuals is stationary or not. to calculate the value of the df and adf equation first cointegration regression was formed by the method of ordinary least squares (ols). then after the regression equation residuals from the equation were obtained. regression equation is formulated as follows: yt = β0 + β1lnfdit + β2lnedt + β3lncret + β4lnlft + et the results of equation engle-granger cointegration test is as follows: yt = β0 + β1lnfdit + β2lnedt + β3lncret + β4lnlft 6.889323 0.026936 0.140683 0.173240 1.464111 based on table 5 it can be seen that the whole of each independent variable (fdi, foreign debt, cre, lf) significantly affects the dependent variable (gdp). fdi has positive coefficient (0.026936), with a probability value of 0089 or significant at 10 percent level. these results are certainly consistent with the hypothesis that states that there is a positive effect between fdi and economic growth in the long run. table 5. the result of engle granger cointegration test for long-term variable coefficient (t-stat) constanta 6.889323 (7.510389)*** lnfdi 0.026936 (1.770024)* lned -0.140683 (-3.770454)*** lncre lnlf 0.173240 (7.546343)*** 1.464111 (4.348201)*** r-square 0,993205 fstat 887.0107*** dw stat 1.113695 ( ) shows standard error; ***significance at level 1%; **significance at level 5%; *significance at level 10% the results of this study demonstrate that in the long run there is a positive correlation between fdi growth rates in indonesia. this is because high levels of fdi will increase production capacity, capability, which ultimately led to the opening of new jobs. thus, the unemployment rate is reduced and the ordinary people's income will increase. the presence of fdi also allows the transfer of technology and knowledge from developed countries to developing countries. however, when seen from the regression coefficient, variable of fdi in the long-term relationship indicates that is relatively small numbers and the significance level is quite low. table 3. augmented dickey fuller result at 1st difference variable adf t-statistik mackinnon critical values description 1% 5% 10% gdp -3.722986 -3.699871 -2.976263 -2.627420 stasioner cre -4.249008 -3.699871 -2.976263 -2.627420 stasioner fdi -6.160319 -3.699871 -2.976263 -2.627420 stasioner ed -4.638136 -3.699871 -2.976263 -2.627420 stasioner lf -2.377881 -3.711457 -2.981038 -2.629906 nonstasioner factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 9 this indicates that the contribution of fdi as a driving force of economic growth in indonesia is still not optimal. this is because there are still many problems faced in their own country, such as upholding the rule of law, labor law, regional autonomy and other issues that have not created a conducive of investment climate. although the rate of investment in indonesia is still relatively minimal compared to countries in southeast asia and various investment problems in indonesia, but in fact the figure is still able to contribute to the development of indonesia's gdp. this indicates that the multiplier effect of fdi is quite a positive impact on gdp growth. foreign debt have a negative coefficient (-0.140683), with a probability value of 0.0009 or significant at 1 percent level. these results are certainly not consistent with the hypothesis that states that there is a positive effect between foreign debt and economic growth in the long run. although in theory there is positive effect of foreign debt to gdp, but based on the results of the analysis in the long run it turns negative effect on gdp as a result of several factors, including; there still a large amount of foreign debt from year to year as well as the large amount of debt principal repayments and interest to be paid by the government. since the orde baru government to indonesia bersatu government, one of the economic policies that never changes is the use of foreign debt as a source for the development cycle of the grant, which is always contained in the structure of the state budget (apbn). so it is not surprising that a buildup of foreign debt alone swelled from year to year. every year, the government is obliged to pay the foreign debt. to pay the debt principal repayments and interest, the government was forced to seek new debt which is never sufficient in amount to pay the debt on any of the current budget. if we look at the fact that indonesia's foreign debt continues to increase from year to year and to reach 2000 trillion more in 2013, it can be said that in such circumstances the indonesian nation has entered into a debt trap, which forced the government to "dig a hole close the holes " to pay the of foreign debt each year. in addition to the low added value of debt as a source of funds for development, such as foreign debt is not appropriate, make foreign debt negatively impacts the main objective of foreign debt capital increase that will have an impact on economic growth in indonesia. several studies have shown that the greater the debt of a country, the greater the potential for corruption and misuse of funds of the debt (anwar, 2011). another factor is the cause of the increasing foreign debt but it is not a positive influence for indonesia to borrow in dollars and the value of the rupiah against the dollar continues to fluctuate, so that the actual foreign debt increases but not the amount of the loan it is due to the increase in the exchange rate against the dollar. for example, when there is a crisis in 1998 foreign debt rose sharply to reach 573 trillion from the previous year amounted to 269 trillion, and the type we saw the rupiah against the dollar also raised sharply from 4650 in 1997 to 8025 in the next year, and continued to increase from year to year. bank credit has a positive coefficient (1.464111), with a probability value of 0:00 or significant at the 1 percent level. these results are certainly consistent with the hypothesis that states that there is a positive effect between bank credit and economic growth in the long run. these results are consistent with the theory of the relationship between bank credit and economic growth, which states that banks credit can create and boost business and employment field. bank credit can create and improve the distribution of the community’s income. indirect lending by the bank will increase state revenue from corporate taxes that are growing and developing its business volume (herlina, 2011). the labor force has a positive coefficient (0.173240), with a probability value of 0.0002 or significant at the 1 percent level. these results are certainly consistent with the hypothesis that states that there is a positive effect between the labor force and economic growth in the long run. these results are also consistent with the theory that states that labor is an input of the production process that will contribute positively to the aggregate output of a region from both cost and production. so there is a positive relationship between the amounts of labor force on economic growth. an increase in the labor force will increase production inputs so that jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 10 aggregate productivity increases, so it will ultimately have an impact on economic growth of a region (soeparno, 2011). the result of the estimation of the longterm equation shows the v alue of f-statistic 887.0107 with a probability value 0.00000. this value is smaller than 1 percent significance level so that it can be concluded that together there is significant influence between independent variables as a whole is made up of foreign direct investment (fdi), foreign debt, bank credit and labor force to variable dependent gross domestic product. the results of the estimation of the longterm equation show that the value of dw (durbin watson) was 1.113695. this shows the model does not contain autocorrelation because the dw value is between -2 to +2. after we did the test of ordinary least squares method (ols) then we will have a residual variable, and then proceed to test the residual variable, whether stationary or non stationary. the result of data processing co integration test can be seen in table 6. table 6 shows that the variable e has been stationary at the second difference level. this means there is an indication that the variable e for the data second difference and the long lag 1 does not contain a unit root, in other words the variable e is already stationary, so it is concluded that there is co integration between all variables included in the model y (gdp). this has the meaning that in the long run there will be a balance or stability between observed variables. short-term analysis error correction model (ecm) tests. having escaped from the cointegration test, the next step is to form the equation error correction model (ecm). the equation to be set up as follows: ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ description: yt = gross domestic product in period t; lnfdi = foreign direct investment in period t. lnedt = foreign debt in period t; lnlft = labor force in period t; lncret = bank lending period t; ectt-1 = error correction term in the previous period the above equation is constructed based on the results of the test that all variables have been stationary in the second difference shown by the notation δ. error correction model (ecm) is used to estimate the short-term dynamic models of the variable gross domestic product. use of ecm estimation methods can combine short-and long-term effects caused by fluctuations and time lags of each independent variable. based on the results of the ecm test showed the following results on table 7. table 7. engle granger cointegration test result for short-term variable coefficient (t-stat) constanta 0.042764 (1.894009)* dfdi(-2) 0.026601 (2.209709)** ded(-2) -0.140683 (-3.770454)*** dcre(-2) dlf(-2) 0.149893 (6.543326)*** 0.840824 (1.983408)** e(-2) -0.604796 (-2.429299)** r-square 0.827312 fstat 20.12127* dw stat 1.461093 ( ) standard error; ***significance at level 1 %; **significance at level ; 5 %; *significance at level 10% tabel 6. augmented dickey fuller result in residual equation variable adf t-statistic mackinnon critical value result description 1% 5% 10% e -4.750964 -3.769597 -3.004861 -2.642242 co integrated factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 11 the equation above is a dynamic model of economic growth (gdp) for the short term, where the gdp variable is not only influenced by the foreign direct investment (fdi), foreign debt, bank credit and the labor force but also influenced by variable error term et. coefficient et appears here significant value to be placed in the model as a short-term correction in order to achieve long-term balance. the smaller the value of et, the faster the process of correction to the long-term equilibrium. therefore, the ecm variable et is often said to be a factor as well as inaction, which has a value less than zero, et < 0. in this model, the value of the coefficient et reached -0.604796, which indicates that the value of the gross domestic product (gdp) is above long-term value. so that needs to be corrected each year by -0.604796 to achieve long-term balance. ect value or e (-2) -0.604796 significant at the 5 percent level indicates that the resulting model is valid. the estimation results of the short-term equation shows r-square value of 0.827312, meaning that 82.73 percent of the economic growth model can be explained by variable changes in fdi, foreign debt, bank credit and the labor force in the previous year period. while the rest of 17.27 percent is explained by other variables outside the model. the results of the short-term equation show the value of the f statistic is 20.12127 with a probability value 0.0. this value is smaller than 1 percent significance level so that it can be concluded that together there is significant influence between independent variables as a whole is made up of foreign direct investment, foreign debt, bank credit and the labor force to the dependent variable gross domestic product. foreign direct investment (fdi) in the short-term have positive effect on economic growth and is symbolized by gross domestic product (gdp) with a significance level of 5 percent with a coefficient of 0.026601. the result of this coefficient is almost the same as in the estimation of the long-term results, but has a higher level of significance. for the long-term estimate is only significant at the 10 percent level. this means that there is a tendency that fdi has more affect to economic growth in the short term. foreign debt in the short-term has a negative effect on economic growth symbolized by gross domestic product (gdp) with a significance level of 1 percent with a coefficient -0.140683. the results of this coefficient are equal to the estimation results in the long run, both in the level of significance and coefficient. this means that both the long-term and shortterm foreign debt has the same effect. bank credits in the short-term have a positive effect on economic growth symbolized by the gross domestic product (gdp) with a significance level of 1 percent with a coefficient 0.149893. the results of this coefficient are larger than the estimation results in the long term, but have the same significance level. this means that there is a tendency that bank credit more affects economic growth in the short term. the labor force in the short-term have a positive effect on economic growth symbolized by the gross domestic product (gdp) with a significance level of 5 percent with a coefficient of 0.840824. the result of this coefficient is higher than estimated in the long term, but at the lower level of significance. this means that there is a tendency that the labor force has more have effects in the long-term over economic growth. conclusion based on the test results and analysis on the effects of foreign direct investment (fdi), foreign debt, bank credit and labor force on economic growth in indonesia in the long term and short term it can be concluded that: 1) foreign direct investment (fdi) in the long-term has a positive effect on economic growth with a coefficient of 0.027 significant at the 10 percent level. while in the short-term fdi also has a positive effect on economic growth with the same coefficient of 0.027 and a significant level increased to 5 percent, meaning there is tendency fdi has more effect on the short term; 2) foreign debt in the long term and short term has the same effect, that is a negative effect on economic growth in indonesia with a coefficient of -0.14 significant at the 1 percent level. this means that there is no change in the behavior both in the long and short term; 3) banking credit in the long-term has a positive effect on jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 1-13 12 economic growth in indonesia with 1.46 coefficient significant at one percent level, while the short-term bank lending also has a positive effect on economic growth with a coefficient of 0.15 significant at the one percent level. this means that bank credit is more influential in the long term; 4) the labor force in the long-term has a positive effect on economic growth in indonesia with a coefficient of 0.17 a significant at the one percent level. while in the short term there is also a positive effect on economic growth with a coefficient 0.84 and significantly decreased to 5 percent level. this means that there is a tendency that the labor force is more influential in the long run. to be able to enhance the growth of investment in indonesia, the government should be able to seek a favorable investment climate, economic stability, improve the security of the state and the proper regulation so that investors, both foreign and domestic, can feel safe and keen to invest their capital so the result can increase economic growth. in terms of fdi, the government should be able to weigh the benefits of both short-term and long-term investment by foreigners. as well as more selective in choosing foreign companies to invest in indonesia that gives more benefit. the development foreign debt must be considered in order to remain in the normal position and the favorable economic development does not increase the burden of the indonesian economy. for long-term debt can be detrimental to the economy because the risk is greater. the need for reevaluation of debt is undertaken in order to provide benefits rather than to the detriment of the country. indonesia's economy is still vulnerable to outside influences, so the value of the exchange rate is still not stable to a great cause and should be considered by the government in taking foreign debt. using mudharabah and musyarakah skim (profit loss sharing) to increase basis for economic development that will encourage the real sector, and in turn will reduce national dependence on foreign fund (foreign debt and fdi). bank credit should be noted again until covers all the lines, so it can create a balanced distribution of capital between large and small. so inequality of economic growth can be avoided. it is necessary to increase the labor productivity through increased budgetary allocation to education in order to enhance the quality of the workforce, provide skills training for workers and expanding employment opportunities so that output increases may ultimately spur economic growth in indonesia. references anwar, arwiny fajriah. (2011). analisis pengaruh utang luar negeri dan penanaman modal asing terhadap produk domestik bruto di indonesia. makassar: fakultas ekonomi universitas hasanuddin diah, indira. (2011). dampak pembayaran utang luar negeri swasta pada penentuan nilai tukar dengan pendekatan moneter periode 2002-2009. jakarta: fakultas ekonomi ui. gujarati, damodar. (1999). ekonometrika dasar. jakarta: erlangga. herlina, siti desimayanti. (2011). analisis kredit perbankan pada bank umum konvensional. jakarta: fakultas ekonomi, universitas gunadarma. kamaludin, rustian. (2007). beberapa aspek pembangunan perekonomian daerah dan hubungan keuangan luar negeri. edisi kedua. jakarta: universitastrisakti. liwan, audrey dan evan lau. (2007). managing growth: the role of export, inflation and investment in three asean neighboring countries. munich personal repec archive, malaysia. mardalena, ervin. (2009). pengaruh investasi swasta dan perdagangan internasional terhadap pertumbuhan ekonomi di sumatera selatan. jurnal ekonomika. nachrowi, d. nachrowi. (2006). ekonometrika, untuk analisis ekonomi dan keuangan. cetakan pertama. jakarta: lembaga penerbit fe ui. rustiono, deddy. (2008). pengaruh realisasi penanaman modal asing (pma), realisasi penanaman modal dalam negeri (pmdn), angkatan kerja dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi jawa tengah pada tahun 1985-2006. semarang: fakultas ekonomi undip. factors influencing economic growth ... (yahya muqorrobin) 13 soeparno. (2011). analisis indikator makroekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi. medan: fakultas ekonomi universitas sumatera utara. syaharani, febrina rizki. (2011). pengaruh penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, dan utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia 1985-2009. jakarta: fakultas ekonomi dan bisnis universitas islam negeri syarif hidayatullah. tambunan, tulus. (2007). daya saing indonesia dalam menarik investasi asing. jakarta: bank indonesia. thomas, r.l. (1997). modern econometrics: an introduction. harlow: addison-wesley. todaro, michael p. (2000). pembangunan ekonomi di dunia ketiga 2, alih bahasa oleh haris minandar. jakarta: penerbit erlangga. utari, g.a diah, trinil arimurti, ina nurmalia kurniati. (2012). optimal credit growth. buletin ekonomi moneter dan perbankan. oktober 2012. www.bps.go.id www.bi.go.id www.bkpm.go.id appendix table 4. augmented dickey fuller result at2nd difference variable adf t-statistic mackinnon critical values description 1% 5% 10% gdp -6.518002 -3.711457 -2.981038 -2.629906 stasioner cre -6.021878 -3.724070 -2.986225 -2.632604 stasioner fdi -5.878951 -3.752946 -2.998064 -2.638752 stasioner ed -5.948012 -3.724070 -2.986225 -2.632604 stasioner lf -15.33638 -3.711457 -2.981038 -2.629906 stationer microsoft word 08-mahrus jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.71-77 pertumbuhan ekonomi dan penentuan titik ambang batas inflasi di indonesia mahrus lutfi adi kurniawan1, nano prawoto2 1 institute of public policy and economic studies jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 e-mail korespondensi: mahrus_lutfi@yahoo.com naskah diterima: september 2013; disetujui: maret 2014 abstract: the study aims to see the relation between two macro indicators which are economic growth and inflation. the data are obtained from badan pusat statistik (bps) and badan koordinasi penanaman modal (bkpm) from the year 1971-2012. the analysis use causality granger test and non-linier regression. the result of this analysis shows that there is correlation between inflation and economic growth. there is no evidence of inflation dot (1 to 20%) that has negative influence toward the economic growth; population does not have significant influence to the economic growth while investment has positive impact on economic growth. keywords: economic growth; inflation; population; investment; granger causality jel classification: o11, o47, e31 abstrak: studi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana hubungan antara dua indikator makro ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. data yang digunakan diperoleh dari badan pusat statistik (bps) dan badan koordinasi penanaman modal (bkpm) pada tahun 1971-2012. teknik analisis yang digunakan adalah uji kausalitas granger dan regresi nonlinier. hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah yang saling berkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. tidak ditemukan titik inflasi (1 sampai 20 persen) yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan populasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. kata kunci: pertumbuhan ekonomi; inflasi; populasi; investasi; kausalitas granger klasifikasi jel: o11, o47, e31 pendahuluan pertumbuhan ekonomi dan inflasi merupakan dua indikator dalam makroekonomi yang mendapat perhatian lebih dari para akademisi di bidang ekonomi dan pengampu kebijakan. berbagai macam kebijakan ditempuh untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tingkat inflasi yang rendah. pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki arti standar hidup yang tinggi bagi warganya. standar hidup mengacu pada kesejahteraan ekonomi masyarakat. ukuran standar hidup mengacu pada nilai semua barang dan jasa yang dikonsumsi perkapita. ukuran paling umum yang digunakan adalah output nasional per kapita, yang diukur dengan pdb atau pnb per kapita. sementara itu, menurut khan (2005) inflasi yang tinggi memiliki efek negatif karena membebankan biaya kesejahteraan pada masyarakat, menghambat alokasi sumber daya yang efisien, angka kemiskinan yang semakin meningkat dan mengurangi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. inflasi berdasarkan teori kuantitas yang jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 71-77 72 dikemukakan oleh irving fisher menyatakan bahwa inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar, dan laju pertumbuhan inflasi ditentukan oleh laju pertumbuhan jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang (basuki, 2003). inflasi adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus menerus. oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi. di indonesia, pengendalian inflasi diserahkan tugas dan wewenangnya kepada bank indonesia. dimulai pada tahun 2007 bank indonesia mulai menggunakan inflation targetting framework (itf) untuk menerapkan sasaran inflasi dan mempublikasikannya untuk masyarakat. itf merupakan kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. di indonesia sendiri pada tahun 1970 sampai 2012, pertumbuhan ekonomi tertingginya adalah 9,88 persen yang terjadi pada tahun 1980 dan terendahnya adalah -13,13 persen yang terjadi pada tahun 1998. sementara ratarata pertumbuhan ekonominya di angka 5,60 persen. pada periode yang sama, tingkat inflasi tertinggi adalah 77,63 persen yang terjadi pada tahun 1998 dan tingkat inflasi terendah adalah 2,01 persen yang terjadi pada tahun 1999. sementara tingkat inflasi di indonesia rata-rata mencapai pada angka 9 sampai 12 persen. gambar 1 menunjukkan bahwa tidak mudah untuk menarik sebuah hubungan yang tepat antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi di indonesia. grafik tersebut menunjukkan bahwa inflasi terlihat lebih fluktuatif dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, dan juga inflasi dan pertumbuhan ekonomi bergerak secara bersama-sama pada suatu waktu, terutama pada tahun 1972 sampai 1997. namun, ada pola yang berbeda dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda indonesia. pada saat itu tingkat inflasi yang tinggi datang di saat pertumbuhan ekonomi sangat lesu bahkan negatif yang jatuh pada angka -13,13 persen. di satu sisi inflasi mencapai 77,63 persen sementara di sisi lain pertumbuhan ekonomi menurun secara signifykan sampai -13,13 persen. ini menunjukkan bahwa tingkat inflasi yang sangat tinggi berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi indonesia. gambar 1. pertumbuhan ekonomi dan inflasi namun, bertentangan dengan kondisi pada tahun 1998, data tahun 1972 sampai 1980 menunjukkan hubungan yang berkebalikan dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi. pada periode tersebut tingkat inflasi rata-rata mencapai 18,35 persen tapi hal tersebut diiringi dengan pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 7,49 persen. pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah 9,88 persen yang dicapai pada tahun 1980 disertai dengan tingkat inflasi yang mencapai 15,97 persen, sedangkan tingkat inflasi tertinggi (selain saat terjadi krisis tahun 1998) adalah 33,32 persen yang terjadi pada tahun 1974 dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,63 persen. angka-angka tersebut menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi hingga 35 persen tidak terlihat melemahkan partumbuhan ekonomi indonesia. namun yang menjadi catatan di sini juga adalah, pada tahun 2005 dan 2008 saat terjadi krisis global, inflasi di indonesia mencapai angka tertinggi pada tahun milenium yaitu pada angka 17,11 persen dan 11,06 persen. namun, pertumbuhan ekonomi masih mencatatkan angka yang tinggi di saat terjadi krisis global dibanding negara maju atau negara berkembang pertumbuhan ekonomi dan penentuan ...(mahrus lutfi adi kurniawan, nano prawoto) 73 lainnya, yaitu berkisar pada angka 5,69 persen dan 6,06 persen. gambar 2. rata-rata pertumbuhan ekonomi berdasarkan inflasi grafik pada gambar 2 menerangkan bahwa meskipun hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat disimpulkan dengan pasti. hal ini menunjukkan bahwa inflasi pada satu titik tertentu memiliki dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi indonesia. namun, harus disadari pula bahwa inflasi pada satu titik tertentu memiliki hubungan negatif, terutama ketika inflasi mencapai angka dua digit dengan tingkat yang tinggi. studi yang dilakukan malik dan chowdhury (2001) menyebutkan bahwa karya-karya sebelumnya (misalnya, tun wai, 1959) gagal membangun hubungan yang bermakna antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. namun, thirlwall dan barton (1971), seperti yang disebutkan oleh mubarik (2005), dalam studi lintas negara awalnya, melaporkan adanya hubungan positif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara industri dan hubungan negatif bagi negara-negara berkembang. perdebatan tentang hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap terbuka sampai sekarang. menurut malik dan chowdury (2001), hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap menjadi kontroversi dalam teori dan temuan empiris. berasal dari konteks amerika latin pada tahun 1950-an, masalah ini telah menghasilkan perdebatan abadi antara stukturalis dan monetaris. para strukturalis percaya bahwa inflasi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi, sedangkan monetaris melihat inflasi sangat merugikan bagi kemajuan ekonomi. ada dua aspek perdebatan ini: sifat hubungan jika ada dan arah kausalitas. seperti yang disebutkan oleh bruno dan easterly (1996), pemandangan pada tahun 1960an adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif dalam jangka pendek. bahkan untuk jangka panjang, tobin dan sidrausky menyarankan efek positif pada pertumbuhan ekonomi dari inflasi yang lebih tinggi. ketika inflasi tinggi, kekayaan akan dialokasikan dari uang dan menjadi modal fisik. demikian pula, beberapa teori pengembangan menyarankan bahwa inflasi dapat digunakan untuk memobilisasi sumber daya sebagai akumulasi modal. namun, temuan bruno dan easterly menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat inflasi tahunan kurang dari 40 persen. mereka menemukan hubungan jangka pendek sampai menengah antara inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi meskipun negatif. malik dan chowdhury (2001) melakukan analisis kointegrasi inflasi terhadap partumbuhan ekonomi pada empat negara di kawasan asia selatan (bangladesh, india, pakistan, dan sri lanka) dan melaporkan dua poin penting. pertama, inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang positif dan saling terkait. kedua, sensitivitas inflasi terhadap perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan tingkat inflasi. di sisi lain, beberapa studi juga turut menjelaskan hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. hasil studi fischer (1993) menunjukkan bahwa inflasi mengurangi pertumbuhan ekonomi yaitu dengan berkurangnya investasi dan berkurangnya partumbuhan produktivitas. inflasi yang rendah dan defisit fiskal yang kecil tidak diperlukan untuk pertumbuhan yang tinggi bahkan untuk jangka panjang. selain itu, inflasi yang tinggi tidak konsisten dengan partumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. satu analisis terbaru menunjukkan bahwa ada ambang batas inflasi dalam hubungannya antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. dalam konteks ini, khan dan senhadji (2001) telah melakukan studi. mereka tidak hanya menguji hubungan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi tetapi juga menunjukkan ambang batas tingkat inflasi bagi negara yang maju dan berkembang. mereka melakukan studi dengan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 71-77 74 data panel untuk 140 negara berkembang dan negara-negara industri untuk periode 19601998. hasilnya, mereka menyarankan adanya ambang batas pada tingkat inflasi yang dapat memberikan suatu efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. secara khusus, perkiraan ambang batas inflasi adalah 1-3 persen untuk negara-negara maju dan 7-11 persen untuk negara berkembang. metode penelitian studi ini menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen sementara inflasi, laju pertumbuhan penduduk, dan tingkat pertumbuhan investasi sebagai variabel independen. studi ini menggunakan analisis kuantitatif dan data sekunder berupa data runtut waktu dalam bentuk tahunan dari tahun 1971–2012. data dalam studi ini diperoleh dari badan pusat statistik (bps) dengan sumberdata international monetary fund (imf) serta dari badan koordinasi penanaman modal (bkpm). secara umum gambaran model dalam studi ini adalah: ∗ 1) keterangan: adalah laju pertumbuhan ekonomi; adalah laju inflasi; adalah ambang batas inflasi, adalah laju pertumbuhan populasi; adalah laju pertumbuhan realisasi investasi; adalah error term tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki hubungan pertumbuhan ekonomi dan inflasi indonesia serta memperkirakan ambang batas yang tepat dari inflasi. studi dimulai dengan analisis kausalitas granger yang mengukur hubungan linier antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. setelah hubungan kausalitas dapat ditentukan, maka berlaku model ambang batas untuk menghitung ambang batas inflasi. untuk melakukan uji kausalitas data, digunakan uji augmented dickey fuller (adf) untuk melihat apakah data tersebut stasioner atau tidak. jika ternyata data runtut waktu yang diteliti tidak stasioner, maka akan terjadi regresi lancung. hasil pengolahan data memberikan hasil uji akar unit pada tingkat level. hasil dan pembahasan tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh variabel, yakni gdp, (pertumbuhan ekonomi), ihk (indeks harga konsumen), dan inv (realisasi investasi) telah stasioner pada tingkat level sedangkan variabel pop (populasi) tidak dapat diuji karena sudah terhitung dengan bilangan yang kecil sehingga tetap stasioner tanpa uji stasioneritas. setelah data sudah stasioner, selanjutnya dilakukan uji kausalitas granger yang dapat mengindikasikan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah, atau hanya satu arah. laju pertumbuhan pdb, ihk, populasi dan realisasi investasi kemudian dihitung dengan menggunakan transformasi log. berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi memiliki hubungan dua arah dan positif. ketika pertumbuhan ekonomi naik, maka para investor akan berbondong-bondong menginvestasikan modalnya ke negara tersebut. ketika para investor menanamkan modalnya maka akan terbuka lapangan pekerjaan yang dapat diserap sehingga dapat menaikkan pendapatan masyarakat. ketika pendapatan masyarakat naik maka kebutuhan konsumsi juga akan meningkat. ketika permintaan meningkat maka harga suatu barang juga akan meningkat yang dapat memicu terjadinya inflasi. sementara, beberapa pakar ekonom bertabel 1. hasil uji stasioneritas pada tingkat level variabel adf t-statistik nilai kritis mackinnon keterangan 1 % 5 % 10 % dloggdp -4,102511 -3,6067 -2,9378 -2,6069 stasioner dlogihk -4,095982 -3,6067 -2,9378 -2,6069 stasioner dloginv -7,783192 -3,6117 -2,9399 -2,6080 stasioner pertumbuhan ekonomi dan penentuan ...(mahrus lutfi adi kurniawan, nano prawoto) 75 pendapat bahwa inflasi terkadang dapat mendorong partumbuhan ekonomi selama masih dalam batas normal, sehingga inflasi dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. ketika harga-harga barang naik, maka produsen akan meningkatkan produktivitasnya dengan membuka lapangan pekerjaan yang baru atau menambah jam kerja bagi karyawannya. sehingga, kenaikan pendapatan masyarakat akan meningkatkan konsumsi dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. setelah uji kausalitas granger, langkah selanjutnya adalah penerapan model yang akan diregresi, yakni sebagai berikut: tersebdi atas ingin melihat sejauh mana inflasi di indonesia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. studi ini hanya mengukur inflasi dari 1 hingga 20 persen karena setelah krisis 1997-1998 inflasi di indonesia selalu bisa ditekan dan yang paling tinggi hanya 17,11 persen pada tahun 2005. hasil uji regresi model ditampilkan pada tabel 3 (lampiran). hasil regresi di atas menunjukkan bahwa inflasi dari titik 1 sampai 20 persen tidak berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi di indonesia sesuai dengan studi bruno dan easterly (1996) bahwa hubungan negatif inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi ketika inflasi menyentuh di atas 40 persen untuk negara berkembang. jika dilihat dari nilai koefisien pada tabel, tidak ada hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. ini berarti bahwa negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi juga akan rentan terkena inflasi yang tinggi. hasil regresi juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi indonesia tidak berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi indonesia dari titik inflasi 1 sampai 20. adapun variabel investasi mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dari titik inflasi 1 sampai 20. sementara, pengaruh inflasi dari titik 1 sampai 20 tidak mempengaruhi pertumbuhan realisasi investasi di indonesia. simpulan berdasarkan hasil pengujian dan analisis tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta hasil regresi dengan beberapa titik level inflasi dari 1 sampai 20 persen dapat diambil beberapa kesimpulan. pertama, hasil uji kausalitas granger menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi mempunyai dua arah yang saling berhubungan. hal ini berbeda dengan beberapa studi sebelumnya yang telah dilakukan oleh khan dan senhadji serta bruno dan esterln yang menjelaskan bahwa masing-masing studi mengungkapkan adanya hubungan yang satu arah saja. namun, mereka juga berpendapat sama bahwa hubungan satu arah hanya akan terjadi di negara maju sedangkan di negara berkembang saling berbeda pendapat karena kemungkinan terjadi hubungan dua arah yang saling berkaitan apalagi jika studi dilakukan di negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. studi ini mengungkap bahwa di negara berkembang khususnya indonesia, pertumbuhan ekonomi dan inflasi mempunyai hubungan dua arah yang saling berkaitan. kedua, dari hasil uji regresi, peneliti menentukan level inflasi dari 1 sampai 20 persen, hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana dan dititik mana inflasi sangat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. hasil regresi mengungkapkan bahwa dari titik level inflasi 1 sampai 20 persen khususnya di negara indonesia tidak ditemukan bahwa inflasi memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan bruno dan esterln yang mengungkapkan bahwa di negara berkembang, kemungkinan tabel 2. hasil uji kausalitas granger null hypothesis observations f-statistic probability hpdlogihk does not granger cause hpdloggdp 39 21,9614 7,5e-07 hpdloggdp does not granger cause hpdlogihk 39 11,8848 0,00012 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 71-77 76 terjadinya inflasi yang memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi pada level 40 persen. ketiga, dari hasil regresi juga kita dapat melihat bahwa laju pertumbuhan populasi di indonesia tidak memberi efek positif bagi pertumbuhan ekonomi. sedangkan untuk nilai realisasi investasi di indonesia menunjukkan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi di indonesia. investor tertarik untuk menanamkan modalnya di indonesia (baik pma atau pmdn) karena pertumbuhan ekonomi indonesia menunjukkan angka yang tinggi khususnya di kawasan asia tenggara dan indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat banyak sehingga dapat dikelola menjadi sumber bahan dasar bagi kemajuan teknologi. daftar pustaka basuki, a. t. (2003). dampak kenaikan tarif dasar listrik dan bbm terhadap fungsi inflasi di indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan vol. 4, no. 1. juli 2003: 1-13. blanchard, o. (2006). adjustment within the euro: the difficult case of portugal, mit economics working paper no. 06-04 (cambridge, massachusetts, massachusetts instituteof technology). available via the internet: http://econ-www.mit. edu/faculty/download_pdf.php?id=1295. also published in portuguese economic journal. february 2007. bruno, m and easterly, w. (1996). inflation and growth: in search of a stable relationship. review may/june 2005. federal reserve bank of st. louis. fischer, s. (1993). the role of macroeconomic factors in growth, working paper number 4565. cambridge: national bureau of economic research. hudiyanto. (2006). pengantar ekonomi pembangunan. yogyakarta: lppi. khan, m., (2005). inflation and growth in mcd countries. a note on inflation and growth in mcd countries (mk as). malik, g. and chowdury, a. (2001). inflation and economic growth: evidence from four south asian countries. asia-pacific development journal, volume 8, number 1. mankiw, n. g., quah, euston dan wilson, p., (2008). pengantar ekonomi makro edisi asia. jakarta selatan: penerbit salemba empat. mubarik, y. a. (2005). inflation and growth: an estimate of the threshold level of inflation in pakistan. sbp-research bulletin. volume 1. number 1, rahardja, p., (2004). teori ekonomi makro: suatu pengantar edisi ke-2, jakarta: lembaga penerbit fe ui. todaro, m. p. (2000). pembangunan ekonomi di dunia ketiga 2. alih bahasa oleh haris minandar. jakarta: penerbit erlangga. pertumbuhan ekonomi dan penentuan ...(mahrus lutfi adi kurniawan, nano prawoto) 77 lampiran tabel 3. hasil uji regresi model k c inf dt population investment 1 koefisien prob. 0,025938 0,0002 0,156266 0,0166 -0,000398 0,1850 -0,997535 0,1325 0,024035 0,0077 2 koefisien prob. 0,025604 0,0003 0,156860 0,0162 -0,000408 0,1784 -1,001384 0,1308 0,023982 0,0076 3 koefisien prob. 0,025711 0,0003 0,153711 0,0175 -0,000398 0,1959 -1,028214 0,1189 0,023573 0,0083 4 koefisien prob. 0,025831 0,0002 0,149182 0,0189 -0,000393 0,2151 -1,039773 0,1189 0,023266 0,0090 5 koefisien prob. 0,025874 0,0002 0,147142 0,0172 -0,000441 0,1551 -1,040579 0,1173 0,023224 0,0086 6 koefisien prob. 0,025976 0,0002 0,144789 0,0163 -0,000487 0,1551 -1,042241 0,1156 0,022733 0,0091 7 koefisien prob. 0,025998 0,0002 0,143604 0,0143 -0,000585 0,1035 -1,038530 0,1136 0,022730 0,0084 8 koefisien prob. 0,026061 0,0001 0,140552 0,0135 -0,000693 0,0658 -1,030655 0,1125 0,022681 0,0077 9 koefisien prob. 0,026141 0,0001 0,136428 0,0139 -0,000807 0,0423 -1,019711 0,1126 0,022641 0,0072 10 koefisien prob. 0,026258 0,0001 0,130298 0,0160 -0,000934 0,0260 -1,003151 0,1141 0,022611 0,0066 11 koefisien prob, 0,026321 0,0001 0,127112 0,0174 -0,001044 0,0199 -0,995018 0,1147 0,022572 0,0063 12 koefisien prob. 0,026373 0,0001 0,124696 0,0187 -0,001155 0,0165 -0,989320 0,1151 0,022511 0,0062 13 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,001265 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 14 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,001380 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 15 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,001519 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 16 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,001689 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 17 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,001901 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 18 koefisien prob, 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,002175 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 19 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,002540 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 20 koefisien prob. 0,026404 0,0001 0,123271 0,0196 -0,003053 0,0151 -0,986127 0,1155 0,022470 0,0062 jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper testing the existence of natural resource curse in indonesia: the role of financial development sedwivia ridena1*, nurarifin1, wawan hermawan2, and ahmad komarulzaman2 abstract: natural resources may become a blessing that can contribute to societies’ welfare increases. yet natural resource abundance could also become a curse for countries’ economic development. numerous studies have investigated the relationship between natural resources and economic performance. however, the results remain ambiguous and have no consensus in the literature. in specific, most literature focused only on testing the curse’s existence, while studies that involve the role of financial development in mediating the nexus remain scarce. to the best of our knowledge, this is a pioneer study in a developing country endowed by natural resources. using panel data of 33 provinces from 2012 to 2018, this study implements the generalized method of moments (gmm) technique to examine the existence of the natural resource curse and scrutinize the role of financial development in mitigating the curse. results show that indonesia potentially experiences a natural resource curse. nonetheless, the negative effect of natural resources on economic growth could be mitigated by enhancing the role of financial development to reach a certain threshold over economic output. this study recommends policymakers to not only increase financial development across the provinces but also pay more serious attention to other factors causing the natural resource curse in indonesia. keywords: natural resource curse; financial development; economic growth; economic development jel classification: q56; g21; o44; o13 introduction conventional views tend to assume that countries endowed with natural resources experience a better economic performance since the natural resource is potentially a catalyst for economic activities (ben-salha et al., 2018). natural resources are a blessing since they have contribution towards economic activities to help improving welfare (andersen, 2006). several studies have successfully found a positive impact of natural resources on economic growth (e.g. cavalcanti et al., 2011; hilmawan & clark, 2019; michaels, 2010). nonetheless, these views faced a critical challenge. a significant number of researchers have claimed that natural resources could be a curse for a nation. affiliation: 1statistics indonesia, west sumatra, indonesia 2department of economics, faculty of economics and business, universitas padjajaran, west java, indonesia *correspondence: sayridena@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.10977 citation: ridena, s., nurarifin, n., hermawan, w., & komarulzaman, a. (2021). testing the existence of natural resource curse in indonesia: the role of financial development. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 213227. article history received: 27 jan 2021 revised: 29 mar 2021 19 may 2021 08 jun 2021 accepted: 11 sep 2021 https://scholar.google.com/citations?user=rifht0oaaaaj&hl=en https://scholar.google.com/citations?user=xyonypqaaaaj&hl=en https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=6602716827 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57056483100 https://sumbar.bps.go.id/ https://sumbar.bps.go.id/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/en/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/en/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/en/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/en/ mailto:sayridena@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/10977 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.7836&domain=pdf https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.10977&domain=pdf ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 214 it was auty (1994) who firstly constructed a natural resource curse hypothesis, implying a negative relationship between natural resource abundance and economic performance. he postulates that resource-dependent nations attempting to develop advantaged industries possibly face problems in improving their economic performance. instead of fostering economic growth, their economic growth rate remains low and their ecological environment is gradually damaged. sachs and warner (1995) examined the nexus between those variables and found that resource-abundant countries tend to have a low rate of economic growth than resource-scarce countries. gelb (1988) found that government revenues from natural resource tend to exacerbate economic condition when the interest rate increases. this is because countries that are highly dependent on oil export tend to hamper other sectors to develop, for example, trade sectors. trade sectors may suffer when the interest rate increases as it bears a significant production cost. for example, gylfason and zoega (2006) researched 85 natural resource-rich countries and found a negative relationship between resource abundance and economic growth through saving transmission and investment. atkinson and hamilton (2003) also tested the linkage between natural resource rent and saving in 103 countries and found that countries blessed by rich natural resources had a low rate of saving. marques and pires (2019) also examined the existence of the natural resource curse in gas-rich countries during 1993-2015 and concluded that gas dependence may hamper economic growth in the long run. natural resource endowment could be either a blessing or a curse for countries’ development. economists who believe that natural resources can be a blessing argued that natural resources play a crucial role in the process of economic development. specifically, rostow stated that natural resource abundance would allow developing nations to make a critical transformation from under-development to industrial take-off (badeeb et al., 2017). therefore, the economists believed that natural resources could promote industrial development, shape markets, and encourage investment. on the other hand, natural resources could also be a curse for nations. badeeb et al. (2017) classified the mechanisms into economic and political factors. the economic explanations refer to the dutch disease phenomenon, commodity price volatility, economic mismanagement, and education neglect, whereas the political explanations relate to rentseeking practices, weak institutions, and corruption. natural resource studies have also been conducted in indonesia, which resulted in varied findings. rosser (2007) conducted empirical research testing the linkage between the oil and gas sector and economic growth in indonesia between 1970 and 1980. he found that indonesia can anticipate a natural resource curse. hilmawan and clark (2019) examined the linkage using municipality and regency data in indonesia and found that mining dependence had a positive effect on real per capita grdp. nevertheless, other streams of literature in indonesia have found the existence of this curse. using cross-sectional data at the municipality/regency level, komarulzaman and alisjahbana (2006) claimed that oil revenue had a negative association with economic growth. moreover, edwards (2016) found that mining dependence was more likely to reduce human capital investment. in addition, rahma et al. (2021) stated that the curse indeed exists in indonesia at a province ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 215 level, which means that mining dependence is not a guarantee for a country to achieve sustainable development. literature reveals various findings regarding the relationship between natural resources and a country’s economic development. havranek et al. (2016) found that 40% of papers found a negative association, 20% of papers claimed the sign of the links is positive, and only 20% found no adequate evidence to conclude the linkage. the contradictory findings were possibly due to endogeneity ignorance in the analysis (badeeb et al., 2017), and owing to weak robustness checks (hilmawan & clark, 2019). most of the previous studies focused only on the testing of the existence of a resource curse without an option of mitigating it. researchers have examined the relationship between natural resources and economic development, attempting to scrutinize whether or not the curse significantly exists. however, the study seeks to include financial development as a channel for mitigating the curse remains scarce. erdoğan et al. (2020) argued that the development of a financial system was crucial for natural resources to have a positive impact on fostering economic growth. they stated that there was a certain threshold of the level of financial development, which determined the effect of natural resources on economic growth (erdoğan et al., 2020). gylfason (2004) conducted an empirical study involving 85 countries from 1965 to 1998 and found that natural resource affected growth directly and indirectly through financial development transmission. moradbeigi and law (2017) found that interaction between financial development and natural resource abundance (proxied by oil rent) had a positive association with economic growth, which means could curb the natural resource curse. rongwei and xiaoying (2020) used panel data of 30 provinces in china from 2005 to 2018 to test the role of financial development on natural resource abundance and economic growth relationship and found that financial development could mitigate the curse in china. in addition, financial development could curb the natural resource curse through an economic mechanism, for example, the volatility of natural resource commodity prices. economists have argued that natural resource price fluctuations decrease economic growth. in an economic boom period, the resource prices surge sharply with increasing demand. meanwhile in an economic downturn period, the resource prices decline dramatically followed by decreasing demand. the volatility of natural resource commodity prices has caused economic fluctuations in the country, causing pro-cyclical fluctuations in government income and export revenues. this volatility increases uncertainty and makes it difficult to calculate natural resource revenues, thus making planning government finance revenues and expenditures more challenging. in that condition, strengthening financial development can have a critical role in curbing the curse. according to rongwei and xiaoying (2020), the financial system is able to establish a fund for controlling natural resource revenue, maintaining a reasonable level of resource revenue, and retrieving resource revenue higher than the average level of the fund. therefore, it can effectively avoid economic fluctuations caused by market instability of resource revenue. the argument is also consistent with beck (2011) arguing ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 216 that the financial system could mitigate the condition when natural resource revenues decrease due to price fluctuation; it could increase productivity and allocate natural resources optimally thus fostering growth. he also affirmed that natural resource revenue can be a tool for establishing a financial system to be more effective, which in turn improving the business circle (beck, 2011). a high natural resource revenue can be utilized to foster other sectors through productive investment intermediated by financial institutions (erdoğan et al., 2020). studies that involve financial development in natural resources and economic performance nexus conducted in indonesia remain scarce. this study intends to fill that gap by examining the existence of the natural resource curse and scrutinizing the role of financial development. the analysis takes two important factors mentioned in previous literature into consideration, namely endogeneity, and robustness check issues. in specific, this study is motivated by the two most relevant analyses conducted by hilmawan and clark (2019), and rongwei and xiaoying (2020). the first considers with weak robustness checks by implementing three different empirical techniques but not taking into account the role of financial development on their analysis, whereas the latter considers endogeneity issues by implementing a more flexible econometric model but not bearing in mind the robustness checks by employing different indicators for natural resources and financial development, for example. this study employs the two most used natural resources and financial development indicators, and it attempts to further analyses the variables that potentially lead to the natural resource curse by dividing a natural resource indicator, namely natural resource revenue, into mining revenue, and oil and gas revenue. this study has two objectives: (1) revealing the possibility of the existence of the natural resource curse in indonesia so that policymakers can take steps to mitigate it well and (2) proposing a mechanism to reduce the curse potency by strengthening financial development in the country. the results of the study are twofold. first, there is a potential existence of natural resources in indonesia. in every one percentage point increase of natural dependence, economic growth is expected to decline by 0.28 to 0.34 percentage points. specifically, in contrast to the mining revenue that only revealed limited evidence of the existence of the curse, the revenue from oil and gas provides stronger evidence that supports the natural resource curse in indonesia. second, financial development potentially becomes a channel for mitigating the curse in the country with the threshold of at least 28 to 34 per cent. these findings provide empirical evidence to help the government formulating natural resource-related policies to avoid the curse through an alternative mechanism by enhancing financial development. the government needs to pay attention to financial sectors as a channel for mitigating and reducing the curse. additionally, they should guarantee to reduce rent-seeking practices among elites and to strengthen institution quality. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 217 research method data used in this study were collected from 33 provinces on annual basis from 2012 to 2018. we exclude north kalimantan, a new province in indonesia because of data scarcity issue. the variables used in this research are adapted from rongwei and xiaoying (2020). the dependent variable is per capita economic growth measured by the difference value of the natural logarithm of real gross regional domestic product (grdp) at periods t and t-1. bps-statistics indonesia provides grdp data with 2010 as a base year. table 1 data and definition used in the analysis no variable definition abbrev. unit of measurement source 1 per capita economic growth the logarithmic difference in per capita grdp y natural log bps-statistics indonesia natural resource indicators 2 mining dependence percentage of total mining output over real grdp mindep per cent bps-statistics indonesia 3 natural resource revenue the percentage of total natural resource revenue (total of mining, oil, and gas revenue) over total government revenue nrrev per cent djpk 4 mining revenue the percentage of mining revenue (dbh mining) over total government revenue minrev per cent djpk 5 oil+gas revenue the percentage of oil and gas revenue (dbh oil and gas) over total revenue oilgasrev per cent djpk financial development 6 credit the percentage of credit to the private sector over total nominal grdp credit per cent ojk 7 deposit money bank the percentage of deposit money bank over total nominal grdp dpk per cent ojk control variables 8 human capital investment the percentage of college students over the total population hci per cent bps-statistics indonesia 9 economic fluctuations the absolute value of the five-year moving standard deviation of per capita grdp ef billion rupiah bps-statistics indonesia 10 regional openness total regional foreign direct investment (fdi) over regional nominal grdp open per cent bkpm 11 investment efficiency the share of total investment over nominal grdp ei per cent bkpm notes: djpk (directorate general of fiscal balance, ministry of finance), ojk (financial services authority), bkpm (capital investment coordinating board) ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 218 the study includes only non-renewable natural resources such as mining (coal and other mining), oil, and gas. following previous works, this study utilizes the share of the mining sector over total grdp (mining dependent) and the share (dbh, dana bagi hasil) of natural resource revenue over the total of government revenue as proxies of natural resource indicators. dbh consists of the mining sector, oil, and gas revenues. the analysis then divided it into two components, mining revenue, and oil and gas revenue. meanwhile, the financial development indicator in this study was proxied by private credit and deposit money banks as a share of nominal grdp. these data were gathered from the financial services authority. this study employs control variables adopted by rongwei and xiaoying (2020), namely: human capital investment, economic fluctuations, regional openness, and investment efficiency. human capital investment was proxied by the percentage of the total number of college students over total population; economic fluctuation is the absolute value of the five-year moving standard deviation of per capita grdp; regional openness is measured by total regional foreign direct investment (fdi) over regional nominal grdp; and investment efficiency is the share of total investment over nominal grdp. table 1 summarizes the data used in the analysis. therefore, per capita output growth is defined as the logarithmic difference in per capita grdp, which is determined by the initial level of per capita income (𝑦𝑖,𝑡−1) as suggested by barro (1996) and other explanatory variables following rongwei and xiaoying (2020) as have mentioned. our model is then 𝑦𝑖𝑡 𝑦𝑖(𝑡−1) = ϒ 𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽1𝑁𝑅𝑖,𝑡 + 𝐹𝐷′𝑖,𝑡 𝛽2 + 𝛽3 (𝑁𝑅𝑖,𝑡 . 𝐹𝐷′𝑖,𝑡) + 𝑥𝑖𝑡 ′ δ + 𝜀𝑖𝑡 (1a) 𝑦𝑖𝑡 = (ϒ + 1) 𝑦𝑖(𝑡−1) + 𝛽1𝑁𝑅𝑖,𝑡 + 𝐹𝐷′𝑖,𝑡 𝛽2 + 𝛽3 (𝑁𝑅𝑖,𝑡 . 𝐹𝐷′𝑖,𝑡) + 𝑥𝑖𝑡 ′ δ + 𝜀𝑖𝑡 (1b) 𝑦𝑖𝑡 = ϒ ∗ 𝑦𝑖(𝑡−1) + 𝛽1𝑁𝑅𝑖,𝑡 + 𝐹𝐷′𝑖,𝑡 𝛽2 + 𝛽3 (𝑁𝑅𝑖,𝑡 . 𝐹𝐷′𝑖,𝑡) + 𝑥𝑖𝑡 ′ δ + 𝜀𝑖𝑡 (1c) 𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 (2) 𝐸(𝛼𝑖 ) = 𝐸(𝑣𝑖,𝑡 ) = 𝐸(𝛼𝑖 𝑣𝑖,𝑡 ) = 0 (3) where ϒ∗ = ϒ + 1, 𝑦𝑖𝑡 , and 𝑦𝑖,𝑡−1are per capita grdp of province i at period t and t-1, respectively. 𝑁𝑅𝑖,𝑡 represents the natural resource dependence of provinces at a certain period. 𝐹𝐷′𝑖,𝑡 indicates vector of financial development indicators consisting of private credit and deposit money bank. 𝑥𝑖𝑡 ′ describes the vector of control variables. 𝛼𝑖 and 𝑣𝑖𝑡 are the individual-specific effect and the error term, respectively. the study implements a dynamic generalised method of moments (dynamic gmm) estimation first developed by arellano and bond (1991). according to das et al. (2016), the gmm approach has several advantages compared to ols estimation. first, it allows estimating panel data with many individuals and a longer time length. second, it permits us to control the individual-specific effect with the appropriate gmm variant. third, gmm estimation can anticipate endogeneity problems in the model. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 219 to purge the individual-specific effect in equation (1), it needs to take the first difference so that it yields 𝛥𝑦𝑖𝑡 = ϒ ∗𝛥𝑦𝑖,𝑡−1+ 𝛽1𝛥𝑁𝑅𝑖,𝑡 + 𝛥𝐹𝐷′𝑖,𝑡 𝛽2 + 𝛽3 δ(𝑁𝑅𝑖,𝑡 . 𝐹𝐷′𝑖,𝑡) + 𝛥𝑥𝑖𝑡 ′ δ + 𝛥𝜀𝑖𝑡 (4) with the following moment condition 𝐸(𝜔𝑖,𝑠𝛥𝜀𝑖,𝑡 ) = 0 for s < t (5) where 𝜔𝑖,𝑠 is all independent variables that are treated as predetermined variables in equation (1). the estimation method using moment condition as in equation (5) is then called difference gmm (diff-gmm). several researchers then suggested utilizing additional moment conditions to yield better finite sample properties. arellano and bover (1995) and blundell and bond (1998) recommended using the following additional moment condition: 𝐸(𝛥𝜔𝑖,𝑡 𝜀𝑖,𝑡 ) = 0 (6) the estimation method using additional moment conditions as in equation (6) is then called system gmm (sys-gmm). this study implements sys-gmm using a two-step standard error procedure to examine the existence of resource curse and testing the role of financial development in natural abundance and economic growth linkages. to avoid instrument proliferation, roodman’s (2009) recommendation was followed to limit the number of lags only using the first available lag of instrumenting variables of equation (1) and to collapse them. result and discussion based on data, the average and the standard deviation of economic growth in indonesia during the sample period was around 3.73 per cent and 2.22 per cent, respectively. economic growth inequality among provinces in indonesia remained high as its maximum and minimum values had a high range, accounted for -5.72 per cent and 18.40 per cent. moreover, natural resource dependences, which were proxied by mining dependences grdp and natural resource revenue, also showed high inequality in the country. those variables had a high range between 0.17 per cent and 53.05 per cent for mining dependence grdp, and between 0.00 per cent and 61.50 per cent for natural resource revenues. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 220 table 2 summary statistics variables unit of measurement obs. mean st. dev min max per capita real grdp (y) million rupiahs 231 37.19 29.12 10.03 165.87 logarithmic differences of per capita grdp percentage 231 3.73 2.22 -5.72 18.40 natural resource dependence mining dependence (mindep) percentage 231 11.63 12.22 0.17 53.05 natural resource revenue (nrrev) percentage 231 5.81 10.88 0.00 61.50 mining revenue (miningrev) percentage 231 2.15 4.76 0.00 27.04 oil+gas revenue (oilgasrev) percentage 231 3.65 8.53 0.00 61.37 financial development credit percentage 231 24.92 14.75 7.79 103.82 deposit money bank percentage 231 25.92 18.06 9.25 120.34 investasi human capital (hci, human capital investment) percentage 231 3.62 1.77 0.95 9.19 economic fluctuation (ef) million rupiahs 231 5.78 4.86 0.59 28.93 regional openness (open) percentage 231 3.65 3.89 0.01 20.04 investment efficiency (ie) percentage 231 5.37 4.26 0.17 20.55 the existence of the natural resource curse in indonesia table 3 presents the regression results of economic growth on several natural resources and financial development indicators. overall, it revealed the potential existence of natural resources in indonesia even though the effect was unclear when using mining dependence grdp (model 1 and model 2). model 3 and model 4, which pair natural resource revenue (nrrev) with credit and deposit variables, showed a negative relationship between natural resources and economic growth. in every one percentage point of nrrev increase, economic growth would decline by 0.28 percentage points (model 3) to 0.34 percentage points (model 4) with the average of the growth was 3.73 per cent as presented in table 2. moreover, this study breaks down the nrrev into mining revenue (miningrev) and oil and gas revenue (oilgasrev) to further examine the variables potentially leading to the curse. when the model employed oilgasrev, there was strong evidence that the curse may exist in indonesia. as shown by model 7 and model 8 in table 3, both paired with credit and deposit indicators, oilgasrev was associated negatively with economic growth. one percentage point of oilgasrev increase would drive to lower economic growth by 0.33 percentage points (model 7) to 0.34 percentage points (model 8). those were in line with within-country natural resource curse studies. douglas and walker (2016) and papyrakis and gerlagh (2007) found a negative relationship between natural resources and economic growth in the usa. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 221 table 3 relationships between natural resource dependence, financial development, and economic growth model 1 model 2 model 3 model 4 model 5 model 6 model 7 model 8 initial income 0.0827 *** (0.05) 0.0875 *** (0.10) 0.0365 *** (0.03) 0.0302 *** (0.01) 0.0228 *** (0.04) 0.0367 *** (0.01) 0.0447 *** (0.02) 0.0338 *** (0.01) mining dependence grdp (mindep) 0.0043 (0.01) 0.0026 (0.01) natural resource revenue (nrrev) 0.0028 ** (0.00) 0.0034 ** (0.00) mining revenue (minrev) 0.0063 (0.00) 0.0033 * (0.00) oilgas revenue (oilgasrev) 0.0033 ** (0.00) 0.0034 * (0.00) credit 0.0018 (0.00) -0.0010 (0.00) 0.0007 (0.00) 0.0007 (0.00) deposit money bank 0.0018 -0.0001 0.0006 0.0000 (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) mindep*credit -0.0002 (0.00) 0.0002 (0.00) mindep*deposit -0.0001 (0.00) 0.0001 (0.00) nrrev*credit 0.0001 * 0.0001 (0.00) (0.00) nrrev*deposit 0.0001 *** (0.00) minrev*credit 0.0002 (0.00) minrev*deposit 0.0001 (0.00) oilgasrev*credit 0.0001 (0.00) oilgasrev*deposit 0.0001 *** (0.00) control variables yes yes yes yes yes yes yes yes time effects yes yes yes yes yes yes yes yes ar(1) p 0.1147 0.1199 0.0786 * 0,0731 * 0.0461 * 0.0815 * 0.0831 * 0.0860 * ar(2) p 0.1280 0.5116 0.4275 0.4246 0.0542 * 0.0332 ** 0.2552 0.2867 hansen/difference-inhansen test p 0.8886 0.7234 0.5660 0.5411 0.6745 0.8558 0.6482 0.5992 instrument 22 22 22 22 22 22 22 22 province 33 33 33 33 33 33 33 33 notes: standard errors in parentheses. the symbol *, **, and *** show that the variables are significant at 10%, 5%, and 1%, respectively. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 222 rongwei and xiaoying (2020) had also detected a negative association between resource endowment and economic growth in china. in indonesia, komarulzaman and alisjahbana (2006) also claimed that the nexus between those two variables was negative. badeeb et al. (2017) stated that there are reasons behind the negative association between natural resources and economic growth. they are classified into economic and political channels. from an economic perspective, the curse may relate to ‘dutch disease’, commodity price volatility, economic policy failures, and the neglect of education. on the other hand, from the political point of view, the channels are traced to rent-seeking and weak institutions, and corruption. the explanations of why the curse may exist in indonesia are potentially consistent with statements of badeeb et al. (2017). like other countries in the world, indonesia has also encountered a boom and recession in its economy. indonesia has often been classified as a developing country that is successfully escaped from the resource curse trap during the 1970s to 2000s, the conditions in which natural-resource-based economic growth could foster industrialization processes leading to economic welfares and poverty alleviation. however, after the 2000s, the condition in which labour-intensive agricultural products play a critical role in economic activities, indonesia’s economy experienced all the symptoms of the modern dutch disease, persisting to grow while export-oriented and more skilled services sectors remain stable (edwards, 2016). most of indonesia’s international health and education comparisons have been relatively poor; hence, the progress of poverty alleviation has slowed, while inequality gradually increases. in addition to the dutch disease, indonesia probably had high price volatility and policy mismanagement. badeeb et al. (2017) argued that price volatility could reduce economic growth since market instability may increase uncertainty, leading to difficulties to measure natural resource revenues so that government faces challenges to formulate economic development planning. furthermore, natural resource revenues often make policymakers overconfident. for instance, natural-resource-based fiscal often drove the government to be ignorant to set policies relating to urbanization, human capital development, and infrastructure that was prominent for long-term economic growth (badeeb et al., 2017). in the meantime, politically, rent-seeking, corruption, and weak institution quality remain as challenges for indonesians. according to badeeb et al. (2017), in many countries, natural resource abundance enhanced the power of elites since they can take a large portion of natural resource revenues and to share the revenues with particular groups in their circle rather than to boost infrastructure or sustainable economic development. furthermore, they argued that institution quality plays a crucial role in determining whether natural resources could become a blessing or a curse. natural resources could not only become a main driver of conflicts but also corruption and pressure on institution quality. in indonesia, corruption has become a serious issue. according to the corruption perception index of transparency international, indonesia ranked 85th of 180 countries. this becomes a potential reason why the curse exists or persists in indonesia. ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 223 the role of financial development in mitigating the curse in addition, to examine the relationship between natural resource dependence and economic growth, table 3 also presents the role of financial development in mediating the linkages between natural resources and economic output. individually, the effect of financial development on per capita output was not statistically significant in all specifications. meanwhile, the interaction terms between financial development and natural resource dependence were positive and significant, both using credit and deposit money bank as a proxy for financial development. this indicates that financial development may become a channel for mitigating the natural resource curse in indonesia. according to model 3 and model 4 in table 3, the interaction terms between nrrev and private credit and deposit money bank were significant and positive. specifically, it is the interaction between oilgasrev and deposit money bank that was significant and positive (model 8), but not statistically significant between oilgasrev and private credit (model 7). to calculate the threshold in which financial development mitigates the curse, it needs to take a partial derivative of the standard model used in this study, as written in equation (1c). following rongwei and xiaoying (2020), the formula is as follows; 𝜕𝑦 𝜕𝑁𝑅 ≥ 𝛽1 + 𝛽3 𝐹𝐷 (7) table 4 relationships between natural resource dependence, financial development, and economic growth coefficient 𝜷𝟏 coefficient 𝜷𝟑 the threshold of financial development nrrev*credit -0.0028 0.0001 28 nrrev*deposit -0.0034 0.0001 34 oilgasrev*deposit -0.0034 0.0001 34 table 3 shows that only model 3 and model 4 confirm the existence of the natural resource curse in indonesia. in model 3 and model 4, the interaction terms between natural resources and financial development were significant and positive. table 4 presents the thresholds in which financial development could mitigate and minimize the curse. the interaction coefficient between nrrev and private credit was 0.0001, indicating private credit could reduce the curse if its level is accounted for at least 28 per cent. moreover, the interaction coefficient between nrrev and deposit money bank was also 0.0001, indicating that deposit money bank could mitigate the natural resource curse when its level is approximately at least 34 per cent. finally, the interaction coefficient between oilgasrev and deposit money bank was accounted for 0.001, reflecting deposit money bank could mitigate the curse after reaching the threshold at 34 per cent. those results indicate that financial development is potential to be a mechanism that minimizes the natural resource curse in a country. the study finds that private credit and deposit money banks should be at least 28 per cent and 34 per cent, respectively. according to descriptive statistics in table 2, the average of private credit and deposit ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 224 money banks was 24.92 per cent and 25.92 per cent, respectively. it helps the policymakers to formulate economic development policies by considering natural resource quality. enhancing financial development could be a crucial way to avoid and anticipate the existence of the curse. these results are consistent with the studies conducted by moradbeigi and law (2017), and rongwei and xiaoying (2020). moradbeigi and law (2017) found that financial development could reduce the negative effect of natural resource endowment, especially oil, on economic growth when the level of financial development of a country was between 19 per cent and 34 per cent. the threshold in developing countries tends to be higher than in developed countries since the level of financial development remains low in developing countries. additionally, rongwei and xiaoying (2020) argued that the level of financial development should be at least 17 per cent to mitigate the curse in china. rongwei and xiaoying (2020) stated that when a country has a low level of financial development, the investment tends to flow to a virtual economy so that the real economy cannot develop. following the federal reserve definition, they define the real economy term as industries other than the financial sector and real estate, while the virtual economy is on the other way around. in comparison to the virtual economy, the real economy is believed to have a relatively thin profit, low and slow rate of return thereby potentially crowding out other entities. as rongwei and xiaoying (2020) argued, this leads to create the virtual economy bubble and endangered economic development. however, when the level of financial development has reached a certain threshold, the investment will also flow to other labour-intensive real sectors and lead to higher economic growth. financial development could reduce the curse in two ways. first, when natural resource revenue falls due to price volatility, the financial system could help to finance the shortfall so that it can increase productivity and allocate resources optimally. second, when natural resource revenue increases, the revenue could help the financial system to be more effective and stronger so that it could boost other sectors, which in turn could foster growth. conclusion the positive impact of natural resource abundance on economic development has become debatable since firstly constructed a hypothesis of the natural resource curse, revealing the possibility of the negative relationship between natural resources and economic growth. hence, this seeks to study examine the existence of a natural resource curse in indonesia and scrutinize the role of financial development in mitigating the curse. the results have provided evidence of the possibility of the natural resource curse in indonesia. this study found a negative association between natural resource dependence and economic output growth. one percentage point increase of natural resource revenue would lower the economic growth by 0.28 to 0.34 percentage points. mining revenue and oil and gas revenue revealed evidence of the existence of the curse in indonesia. however, ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 225 the latter provided stronger empirical evidence than the first one. the study also finds another crucial finding showing an alternative channel for mitigating the natural resource curse through financial development. results show that enhancing financial development could potentially mitigate and reduce the negative effect of natural resource dependence on economic growth. the level of financial development has to be at least 28 to 34 per cent so that it gives the desired impact in reducing the natural resource curse. the findings recommend the government to pay more serious attention to fight the natural resource curse that occurred in the country through effective mechanisms; one of which is through financial development. enhancing financial development to a certain threshold could mitigate the natural resource curse in the country. in the meantime, policymakers should also guarantee that other reasons causing the natural resource curse can be solved, such as by anticipating modern “dutch disease”, reducing price volatility, eradicating rent-seeking practices, and strengthening the quality of the institution. finally, the revenues obtained from natural resources with the support of capable financial sectors are believed to boost economic output growth, which in turn increase the living standard of societies. acknowledgments we would like to acknowledge the valuable supports of bps-statistics indonesia, otoritas jasa keuangan (ojk), and direktorat jenderal perimbangan keuangan (djpk) ministry of finance of the republic of indonesia for providing data used in this study. references andersen, m. s. (2006). an introductory note on the environmental economics of the circular economy. sustainability science, 2(1), 133–140. https://doi.org/10.1007/s11625006-0013-6 arellano, m., & bond, s. (1991). some tests of specification for panel data: monte carlo evidence and an application to employment equations. the review of economic studies, 58(2), 277–297. https://doi.org/10.2307/2297968 arellano, m., & bover, o. (1995). another look at the instrumental variable estimation of error-components models. journal of econometrics, 68(1), 29–51. https://doi.org/10.1016/0304-4076(94)01642-d atkinson, g., & hamilton, k. (2003). savings, growth and the resource curse hypothesis. world development, 31(11), 1793–1807. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2003.05.001 auty, r. m. (1994). industrial policy reform in six large newly industrializing countries: the resource curse thesis. world development, 22(1), 11–26. https://doi.org/10.1016/0305750x(94)90165-1 badeeb, r. a., lean, h. h., & clark, j. (2017). the evolution of the natural resource curse thesis: a critical literature survey. resources policy, 51, 123–134. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2016.10.015 barro, r. j. (1996). determinants of economic growth: a cross-country empirical study. national bureau of economic research. retrieved from https://www.nber.org/system/files/working_papers/w5698/w5698.pdf https://doi.org/10.1007/s11625-006-0013-6 https://doi.org/10.1007/s11625-006-0013-6 https://doi.org/10.2307/2297968 https://doi.org/10.1016/0304-4076(94)01642-d https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2003.05.001 https://doi.org/10.1016/0305-750x(94)90165-1 https://doi.org/10.1016/0305-750x(94)90165-1 https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2016.10.015 https://www.nber.org/system/files/working_papers/w5698/w5698.pdf ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 226 beck, t. (2011). finance and oil: is there a resource curse in financial development? ssrn electronic journal. european banking center discussion paper no. 2011-004. https://doi.org/10.2139/ssrn.1769803 ben-salha, o., dachraoui, h., & sebri, m. (2018). natural resource rents and economic growth in the top resource-abundant countries: a pmg estimation. resources policy, 101229. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2018.07.005 blundell, r., & bond, s. (1998). initial conditions and moment restrictions in dynamic panel data models. journal of econometrics, 87(1), 115–143. https://doi.org/10.1016/s03044076(98)00009-8 cavalcanti, t. v. de v., mohaddes, k., & raissi, m. (2011). growth, development and natural resources: new evidence using a heterogeneous panel analysis. the quarterly review of economics and finance, 51(4), 305–318. https://doi.org/10.1016/j.qref.2011.07.007 das, a., chowdhury, m., & seaborn, s. (2016). ict diffusion, financial development and economic growth: new evidence from low and lower middle-income countries. journal of the knowledge economy, 9(3), 928–947. https://doi.org/10.1007/s13132-016-0383-7 douglas, s., & walker, a. (2016). coal mining and the resource curse in the eastern united states. journal of regional science, 57(4), 568–590. https://doi.org/10.1111/jors.12310 edwards, r. b. (2016). natural resource sectors and human development: international and indonesian evidence. thesis. australian national university erdoğan, s., yıldırım, d. ç., & gedikli, a. (2020). natural resource abundance, financial development and economic growth: an investigation on next-11 countries. resources policy, 65, 101559. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101559 gelb, a.h. (1988). oil windfalls: blessing or curse? oxford university press, oxford. gylfason, t. (2004). natural resource and economic growth: from dependence to diversification. retrieved from https://ethz.ch/content/dam/ethz/specialinterest/mtec/cer-eth/resource-econ-dam/documents/research/ws-and-conf/sgvs2005/029.pdf gylfason, t., & zoega, g. (2006). natural resources and economic growth: the role of investment. the world economy, 29(8), 1091–1115. https://doi.org/10.1111/j.14679701.2006.00807.x havranek, t., horvath, r., & zeynalov, a. (2016). natural resources and economic growth: a meta-analysis. world development, 88, 134–151. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.07.016 hilmawan, r., & clark, j. (2019). an investigation of the resource curse in indonesia. resources policy, 64, 101483. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101483 komarulzaman, a., & alisjahbana, a. s. (2006). testing the natural resource curse hypothesis in indonesia: evidence at the regional level. working papers in economics and development studies (wopeds). retrieved from https://ideas.repec.org/p/unp/wpaper/200602.html marques, a. c., & pires, p. s. (2019). is there a resource curse phenomenon for natural gas? evidence from countries with abundant natural gas. resources policy, 63, 101466. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101466 michaels, g. (2010). the long term consequences of resource based specialisation. the economic journal, 121(551), 31–57. https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2010.02402.x moradbeigi, m., & law, s. h. (2017). the role of financial development in the oil-growth nexus. resources policy, 53, 164–172. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2017.06.016 papyrakis, e., & gerlagh, r. (2007). resource abundance and economic growth in the united states. european economic review, 51(4), 1011–1039. https://doi.org/10.1016/j.euroecorev.2006.04.001 https://doi.org/10.2139/ssrn.1769803 https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2018.07.005 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://doi.org/10.1016/j.qref.2011.07.007 https://doi.org/10.1007/s13132-016-0383-7 https://doi.org/10.1111/jors.12310 https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101559 https://ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/mtec/cer-eth/resource-econ-dam/documents/research/ws-and-conf/sgvs-2005/029.pdf https://ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/mtec/cer-eth/resource-econ-dam/documents/research/ws-and-conf/sgvs-2005/029.pdf https://ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/mtec/cer-eth/resource-econ-dam/documents/research/ws-and-conf/sgvs-2005/029.pdf https://doi.org/10.1111/j.1467-9701.2006.00807.x https://doi.org/10.1111/j.1467-9701.2006.00807.x https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2016.07.016 https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101483 https://ideas.repec.org/p/unp/wpaper/200602.html https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2019.101466 https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2010.02402.x https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2017.06.016 https://doi.org/10.1016/j.euroecorev.2006.04.001 ridena, nurarifin, hermawan, & komarulzaman testing the existence of natural resource curse in indonesia: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 227 rahma, h., fauzi, a., juanda, b., & widjojanto, b. (2021). fenomena natural resource curse dalam pembangunan wilayah di indonesia. jurnal ekonomi dan pembangunan indonesia, 21(2), 148-163. https://doi.org/10.21002/jepi.v21i2.1358 rongwei, x., & xiaoying, z. (2020). is financial development hampering or improving the resource curse? new evidence from china. resources policy, 67, 101676. https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2020.101676 roodman, d. (2009). how to do xtabond2: an introduction to difference and system gmm in stata. the stata journal: promoting communications on statistics and stata, 9(1), 86–136. https://doi.org/10.1177/1536867x0900900106 rosser, a. (2007). escaping the resource curse: the case of indonesia. journal of contemporary asia, 37(1), 38–58. https://doi.org/10.1080/00472330601104557 sachs, j.d., & warner, a.m. (1995). natural resource abundance and economic growth. national bureau of economic research, working paper 5398. retrieved from https://www.nber.org/system/files/working_papers/w5398/w5398.pdf transparency international. (2020). corruption perceptions index. transparency international. retrieved from https://www.transparency.org/en/cpi/2019/index/idn https://doi.org/10.21002/jepi.v21i2.1358 https://doi.org/10.1016/j.resourpol.2020.101676 https://doi.org/10.1177/1536867x0900900106 https://doi.org/10.1080/00472330601104557 https://www.nber.org/system/files/working_papers/w5398/w5398.pdf https://www.transparency.org/en/cpi/2019/index/idn microsoft word 07-ayif jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.72-82   kebijakan fiskal indonesia dalam perspektif ekonomi islam: studi kasus dalam mengentaskan kemiskinan ayief fathurrahman fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta e-mail: ayief_ospp@yahoo.com abstract: poverty reduction efforts can be encapsulated in one sentence, namely "give opportunities to the poor families and communities to overcome their problems independently." this means the government has to reposition their roles, from its role as agent of empowerment become facilitator of empowerment. islam considers that poverty is a very complex phenomenon, poverty is not only related to cultural problems, but also structural problems which concern how state makes fiscal policy-oriented poverty reduction. culturally, islam has recommended to foster the role of each individual in improving the quality of life and foster social cohesion through zakat, infaq, and sadaqah. structurally, islam has laid down a central role of state in creating the distribution of income and wealth in a fair and equitable and maintaining the stability and sustainability of economic development in the process of progress and equality as well as a facilitator of community in finding solutions toward a more decent standard of living. keywords: fiscal policy, poverty reduction, infaq, sadaqah, zakat abstrak: upaya pengentasan kemiskinan dapat dirumuskan dalam satu kalimat, yaitu 'memberikan kesempatan kepada keluarga miskin dan masyarakat untuk mengatasi masalahmasalah mereka secara mandiri. ini berarti pemerintah harus menata kembali peran mereka, dari perannya sebagai agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. islam menganggap bahwa kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, kemiskinan tidak hanya terkait dengan masalah budaya, tetapi juga masalah struktural yang menyangkut upaya negara membuat kebijakan fiskal yang berorientasi mengurangi kemiskinan. dari sudut pandang budaya, islam telah merekomendasikan untuk mendorong peran setiap individu dalam meningkatkan kualitas hidup dan mendorong kohesi sosial melalui zakat, infaq dan shadaqah. secara struktural, islam telah meletakkan peran sentral dari negara dalam menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan dengan cara yang adil dan merata dan menjaga stabilitas dan kerberlanjutan dari pembangunan ekonomi dalam proses kemajuan dan kesetaraan serta fasilitor masyarakat dalam mencari solusi ke arah standar hidup yang lebih layak kata kunci: kebijakan fiskal, pengurangan kemiskinan, infaq, sadaqah, zakat pendahuluan negara adalah pemegang otoritas tertinggi dalam merumuskan suatu kebijakan. kebijakan pemerintah yang kerapkali bersinggungan langsung dan mempengaruhi iklim aktivitas masyarakat adalah kebijakan di bidang ekonomi. salah satu kebijakan penting yang berada di dalam otoritas pemerintah adalah kebijakan fiskal, dimana negara berperan dalam mengatur kegiatan ekonomi agar tetap terjaga stabilitas dan kesejahteraan rakyatnya, sehingga dapat membantu untuk mengatasi dari persoalan fundamental kemiskinan dan pengangguran. paling tidak, fungsi pemerintah dalam perekonomian nasional yaitu melakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, meningkatkan keadilan berkenaan dengan distribusi pendapatan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, mengkebijakan fiskal indonesia (ayief fathurrahman) 73 usahakan stabilitas ekonomi serta mengatur perpajakan dan pengeluaran negara. di dalam catatan sejarah peradaban islam, negara juga difungsikan sebagai pemegang peran vital dalam mengatur kebijakan ekonomi yang dibangun di atas prinsip kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. bentuk peran negara dalam sejarah islam atas masalah ini diatur melalui institusi baitul mal (karim, 2004: 59). harta yang dikumpulkan di dalam baitul mal ini dialokasikan kepada orang-orang yang berhak dan dibelanjakan untuk membayar jasa yang diberikan individu kepada negara, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, tunjangan dan penyediaan lapangan kerja, modal usaha bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur dan pelayan publik, dan lain-lainnya. di indonesia, melalui perpres nomor 18 tahun 2007, sasaran pembangunan ekonomi tahunan indonesia diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan. sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang berkualitas yaitu pertumbuhan yang dapat mendistribusikan pendapatan dan lapangan pekerjaan. sedangkan percepatan perluasan lapangan pekerjaan diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. mengenai penanggulangan kemiskinan, fokus sasaran adalah bagaimana meningkatkan pendapatan secara merata dan memberikan akses yang lebih luas bagi rakyat untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya (departemen keuangan ri ditjen anggaran, 2012). pembahasan seputar kebijakan fiskal kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. penerimaan dari negara bersumber dari pajak, penerimaan bukan pajak dan bahkan penerimaan yang berasal pinjaman/bantuan luar negeri dari luar negeri sebelum masa reformasi dikatagorikan sebagai penerimaan negara.1 dengan demikian kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam mengelola keuangan negara sedemikian rupa sehingga dapat menunjang perekonomian nasional: produksi, konsumsi, investasi, kesempatan kerja, dan kestabilan harga. artinya keuangan negara tidak hanya penting untuk membiayai tugas rutin pemerintah saja, tetapi juga sebagai “sarana” untuk mewujudkan sasaran pembangunan: pertumbuhan ekonomi, kestabilan dan pemerataan pendapatan (gilarso, 2004: 148). jika pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaan pajak pada periode waktu tertentu, umumnya satu tahun, maka pemerintah mengalami defisit anggaran. sebaliknya jika penerimaan pajak lebih tinggi dibanding pengeluaran pemerintah, maka pemerintah mengalami surplus anggaran. pemerintah membiayai defisit anggaran dengan meminjam, sedangkan ketika terjadi surplus anggaran, beban hutang pemerintah relatif lebih ringan (mishkin, 2008: 15-16). dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan serta alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam apbn (parcoyo dan antyo parcoyo, 2004: 22). di antara pendapatan negara seperti: bea dan cukai, devisa negara, pariwisata, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, impor, dan lain-lain. sedangkan untuk pengeluaran negara misalnya: belanja persenjataan, pesawat, proyek pemerintah, pembangunan sarana dan prasarana umum, atau program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. kebijakan fiskal merupakan salah satu sub bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas, di samping subbidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara. subbidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu: (suminto, 2004) 1 pinjaman luar negeri akan dimasukkan ke dalam apbn sifatnya hanya in and out, artinya penerimaan dari sumber ini akan tercantum sebagai penerimaan negara dalam tahun anggaran yang sama, merupakan sumber pengeluaran pembangunan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dalam jumlah yang sama. baca lebih lanjut hadi soesastro dkk (penyunting), pemikiran dan permasalahan ekonomi di indonesia dalam setengah abad terakhir, (yogyakarta : kanisius, 2005), hlm 335 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 72-82 74 (1) fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan nota keuangan dan rapbn, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara. (2) fungsi penganggaran. fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang apbn.2 (3) fungsi administrasi perpajakan. (4) fungsi administrasi kepabeanan. (5) fungsi perbendaharaan. fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/ kekayaan negara (bm/kn). (6) fungsi pengawasan keuangan. menurut boediono, terdapat tiga fungsi pokok kebijakan fiskal, yaitu: pertama, fungsi alokasi yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dapat terpenuhi.. kedua, fungsi distribusi, yang pada pokoknya mempunyai tujuan berupa terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil. ketiga, fungsi stabilisasi, yaitu terjaminnya stabilisasi dalam pemerintahan suatu negara, terrnasuk dalam fungsi ini adalah terpeliharanya tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil dan tingkat 2 anggaran pendapatan dan belanja negara (apbn) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh dewan perwakilan rakyat. (pasal 1 angka 7, uu no. 17/2003). merujuk pasal 12 uu no. 1/2004 tentang perbendaharaan negara. pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai (supriyanto, 2005). dalam sejarah islam, kebijakan fiskal menempati posisi strategis dalam rangka membangun tata kelola keuangan negara dengan terencana dan terarah. adiwarman karim dalam bukunya sejarah pemikiran ekonomi islam, menyebutkan bahwa paling tidak instrumen kebijakan fiskal yang terekam di awal pemerintahan islam sebagai berikut: (amalia, 2005:19-20) (1) peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja. sebagai pemimpin, rasulullah telah mengantongi langkah-langkah perencanaan untuk memulai intensifikasi pembangunan masyakarakat. ukhuwwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim, antara golongan muhajirin dan golongan anshor dijadikan kunci oleh rasulullah untuk meningkatkan penpatan nasional. hal ini menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan yang berimplikasi pada peningkatan permintaan total di madinah. selain itu, persaudaraan ini berdampak positif terhadap tersedianya lapangan kerja, terutama bagi kaum muhajirin. dalam aplikasinya, menggunakan akad muzara’ah musaqat, dan mudharabah. (2) kebijakan pajak. penerapan kebijakan pajak yang dilakukan rasulullah seperti kharaj, jizyah, khumus, dan zakat menyebabkan terciptanya kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi. pajak ini, khususnya khums, mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total pada saat terjadi stagnasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat. kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga ataupun jumlah produksi (karim, 2004: 153) (3) anggaran. dalam menyusun anggaran, selalu diprioritaskan untuk pembelanjaan yang mengarah pada kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur. sehingga pada gilirannya, menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masyarakat. dengan demikian, nampak pada zaman rasulullah, pengaturan apbn dilakukan secara cermat, efektif, dan efisien, menyebabkan jarang terjadinya defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan (karim, 2004: 153). (4) kebijakan fiskal khusus. dalam menerapkan kebijakan fiskal secara khusus, rasulukebijakan fiskal indonesia (ayief fathurrahman) 75 llah melakukannya dengan berlandaskan dengan persaudaraan. adapun instrumen kebijakan yang diterapkan yaitu: pertama, memberikan bantuan secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin yang kekuarangan. kedua, meminjam peralatan dari kaum non-muslim secara cuma-cuma dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila terjadi kerusakan. ketiga, meminjam uang tertentu dan diberikan kepada mua’allaf. keempat, menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja dan produksi kaum muslimin. (karim, 2004: 154). kebijakan fiskal indonesia dari masa ke masa dalam catatan sejarah, memang tak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi indonesia dari masa ke masa memang sudah melaju pesat. namun jika ditelusuri dalam lembaran sejarah perekonomian indonesia, terutama pada masa orde lama, pembangunan ekonomi indonesia relatif statis. berbagai ketidakstabilan politik dan kendala keterbatasan sumber daya manusia telah menyebabkan selama waktu 20 tahun setelah kemerdekaan itu tak banyak sumberdaya yang tergarap (hamid, 2000: 5). tak jauh berbeda dengan pertumbuhan ekonomi yang ditorehkan oleh renzim orde baru. indikator ini antara lain bisa dilihat pada kondisi utang luar negeri, inflasi, pertimbuhan ekonomi, kemiskinan, defisit, dan anggaran.3 di era reformasi, bukan berarti dengan beralihnya pemegang kebijakan beralih pula kondisi perekonomian indonesia, dari keterpurukan menjadi kesejahteraan. akan tetapi persoalan-persoalan ekonomi tak akan bosan menyapa bumi pertiwi ini. paling tidak, terdapat tiga isu hangat yang seringkali dperbincangkan kaitannya dengan kebijakan 3 kemerosotan ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat. dalam kaitan ini, orde lama mewariskan pertumbuhan ekonomi yang lamban, dan mengalami pertumbuhan nol persen di tahun 1966. namun laju pertumbuhan ekonomi yang ditinggalkan orde baru jauh lebih parah diperkirakan pada tahun 1998 negatif sekitar 15%. untuk lebih mendalam baca edy suandi hamid, perekonomian indonesia: masalah kebijakan kontemporer, (yogyakarta: uii press, 2000), hlm 15-16 fiskal di indonesia. ketiga isu yang dimaksud adalah: (1) subsidi bahan bakar minyak (bbm). persoalan utama subsidi bbm saat ini adalah menyangkut soal besarnya jumlah subsidi dan ketidaksesuian dengan prinsip keadilan. data kementerian energi dan sumber daya mineral (esdm) menyebutkan subsidi bbm pada 2010 sebesar 181 persen terhadap subsidi bbm 2009. volume bbm bersubsidi 2010 mencapai 38,2 juta kiloliter (kl) atau melampaui kuota apbn yang sebesar 36,5 juta kl. premium merupakan jenis bbm terbanyak, yaitu sebesar 60 persen atau 23,1 juta kl. adapun realisasi bbm bersubsidi 2009 sebesar 37,7 kl. pengguna terbesar dari subsidi itu adalah transportasi darat, yakni 89 persen atau 32,48 juta kl. konsumsi premium pada sektor transportasi darat didominasi mobil pribadi, yakni 53 persen atau 13,3 juta kl dari total konsumsi premium untuk transportasi darat. dominannya konsumsi premium pada sektor transportasi darat oleh kendaraan pribadi dinilai kebanyakan pihak, termasuk pemerintah, merupakan kenyataan yang tidak mencerminkan keadilan (buana, 2012). padahal yang membeli bbm adalah seluruh masyarakat tanpa kecuali apa dia kaya atau miskin (supriyanto, 2005). ketidakadilan inilah yang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi antarpenduduk di indonesia. (2) utang luar negeri. sejak tahun 1997 indonesia sebagai anggota imf menggunakan haknya untuk mernperoleh bantuan. namun yang terjadi, baik sebelum dan sesudah krisis ini, justru semakin membenamkan indonesia dalam jebakan utang yang semakin besar. implikasi dari beban utang ini akan berdampak meningkatnya beban rakyat, dan fasilitas publik yang seharusnya bisa disediakan menjadi berkurang karena dana harus dialokasikan untuk mencicil utang dan membayar bunganya. semakin besar utang, maka semakin besar pula bunganya, dan hal ini akan memaksa pemerintah menarik pajak kebih besar lagi untuk memenuhi kewajiban fiskalnya.4 kenaikan 4 memang sumber pembayaran utang ini tidak semata-mata dari pajak saja, pemerintah juga memperoleh penerimaan dari sumber penjualan minyak bumi atau bagi hasil migas yang dijual di pasar dunia. namun nampaknya semua itu akan sulit diandalkan dalam jangka panjang. baca lebih jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 72-82 76 pajak, jelas akan berdampak pada naiknya harga-harga barang produksi, sehingga yang lagi-lagi terpojokan adalah kaum miskin yang terbatas pendapatannya. kementerian keuangan mencatat total utang pemerintah per 31 desember 2010 mencapai rp1.676 triliun. meskipun laporan perkembangan utang negara direktorat jenderal pengelolaan utang kementerian keuangan edisi januari 2011 mencatat angka tersebut merupakan angka sangat sementara menggunakan patokan kurs rp8.991 per dollar amerika serikat.5 (3) prediksi besaran anggaran. gejolak nilai kurs rupiah terhadap dolar as, telah menggoyahkan sendi-sendi dasar ekonomi makro yang telah dibangun selama ini. gejolak harga minyak dunia yang harganya mencapai angka tertinggi selama dasawarsa ini menjadikan krisis bbm diberbagai wilayah di indonesia. semua gejolak besaran makro ekonomi ini tak jarang akan memporakporandakan prediksi angka yang telah ditetapkau dalam awal pelaksanaan apbn tahunan. itu semua menunjukkan betapa rentannya kondisi perekonomian indonesia saat ini (supriyanto, 2005). sebagai konsekuensi dari uraian di atas menunjukkan sulitnya untik membuat angkaangka prediksi atas apbn saat ini. yang penting dilakukan untuk meminimalkan gejolak adalah memperkokoh kondisi makro ekonomi indonesia saat ini dan masa yang akan datang (supriyanto, 2005) kebijakan fiskal indonesia mengentaskan kemiskinan kebijakan anggaran pemerintah menempati posisi sangat penting dalam mengubah wajah kemiskinan dan kesenjangan. tingginya tingkat kemisikinan dan lebarnya kesenjangan merupakan indikator kegagalan suatu negara dalam proses pembangunan. karena pembangunan yang dilaksanakan pada prinsipnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan taraf hidup masyarakat. hal ini sesuai dengan tujuan negara indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan uud 1945, lanjut edy suandi hamid, sistem ekonomi utang luar negeri dan isu-isu ekonomi politik indonesia, (yogyakarta : uii press, 2004), hlm 207-208. yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan kalau kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat dilakukan melalui upaya penanggulangan kemiskinan. upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah secara terpogram dimulai sejak orde baru dengan meluncurkan program pelita ipelita v. repelita vi diluncurkan sebagai program khusus, yaitu program inpres desa tertinggal (idt). inpres ini, yaitu inpres no.5/1993 tentang peningkatan penanggulangan kemiskinan, dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan masalah kemisikinan secara berkelanjutan di desa-desa miskin. selain itu, berbagai program secara spesifik dapat diketahui dengan menyibak pos-pos anggaran yang disediakan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. programprogram tersebut antara lain: (dumairy, 1995: 78-81). (1) program bantuan pembangunan daerah; (2) inpres pembangunan desa; (3) inpres pembangunan daerah tingkat dua; (4) inpres pembangunan daerah tingkat satu; (5) inpres kesehatan. sementara itu, pendanaan untuk penanggulangan kemisikinan selalu meningkat dari tahun ke tahun (gambar 1). namun demikian, mekanisme penyaluran dana tersebut masih tersebar di berbagai departemen/lembaga pemerintah non-departemen. implikasinya adalah dalam pelaksanaan seringkali keterkaitan antarprogram penanggulangan kemiskinan di pusat maupun daerah belum optimal. selain itu, berdasarkan porsi anggaran penanggulangan kemiskinan yang disediakan pada apbd secara umum masih belum memadai, yaitu rata-rata berkisar 8-12 persen dari total apbd provinsi (tkpk, 2006). dengan demikian masalah pendanaan menjadi salah satu kendala dalam program penanggulangan kemiskinan di daerah (royat, 2008:43) kebijakan fiskal indonesia (ayief fathurrahman) 77 sumber : tkpk dan bapennas catatan : angka dalam satuan triliyun rupiah gambar 1. perkembangan jumlah anggaran penanggulan kemiskinan di apbn di samping itu, berbagai upaya pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, saat ini dilakukan dengan berbagai upayaupaya di antaranya : (royat, 2008: 44) (1) menaikkan anggaran untuk programprogram yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, dilaksanakan dengan pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya (2) mendorong apbd provinsi, kabupaten dan kota pada tahun-tahun selanjutnya untuk meningkatkan anggaran bagi penanggulangan kemiskinan dan perluasan lapangan kerja; (3) tetap mempertahankan program lama seperti raskin, bos, asuransi miskin, dan sebagainya; (4) akselerasi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga, khususnya harga beras. adapun langkah konkrit pemerintah dalam mengatasi kemisikinan dan pengangguran, dijabarkan dalam berbagai program yang diharapkan menjadi instrumen utama kegiatan tersebut. berbagai program yang dilaksankan di antaranya: (royat, 2008: 45). (1) program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (pnpm-mandiri) merupakan ekspansi dan integrasi program-program penanggulangan kemiskinan. (2) program pengembangan bahan bakar nabati (ebn). program ini dimaksudkan untuk mendorong kemandirian penyediaan energi terbarukan dengan menumbuhkan “desa mandiri energi”. (3) program keluarga harapan (pkh), berupa bantuan khusus untuk pendidikan dan kesehatan. (4) program pemerintah lain yang bertujuan meningkatkan akses masyarakat miskin kepada sumber permodalan usaha mikro dan kecil, listrik perdesaan, sertifikasi tanah, kredit mikro dan lain-lain. pada tahun 2008 lalu, sebagaimana yang telah digariskan dalam rencana kerja pemerintah 2008 (rkp 2008) melalui perpres nomor 18 tahun 2007, sasaran pembangunan ekonomi diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan. sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang berkualitas yaitu pertumbuhan yang dapat mendistribusikan pendapatan dan lapangan pekerjaan. sedangkan percepatan perluasan lapangan pekerjaan diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. mengenai penanggulangan kemiskinan, fokus sasaran adalah bagaimana meningkatkan pendapatan secara merata dan memberikan akses yang lebih luas bagi rakyat untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, air bersih dan kebutuhan dasar lainnya (dirjen anggaran depkeu, 2008) (lihat gambar 2). pada tahun 2009, dirumuskan 7 fokus dari alokasi anggaran negara mendukung pelaksanaan tema pembangunan 2009 yaitu: peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. mendukung sasaran pembangunan tahun 2009, yaitu: mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 12 persen–14 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi 7,0 persen 8,0 persen, mendukung prioritas rkp 2009: peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan. percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi. peningkatan upaya anti korupsi, reformasi birokrasi, serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam negeri (dirjen anggaran, 2009). sedangkan arah kebijakan belanja negara pada tahun 2010-2014 yaitu: mendukung pembiayaan prioritas pembangunan 2010-2014 guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran, dan mengurangi kemis16 16 18 23 42 61 0 2002 2003 2004 2005  2006 2007 7 k p n k k ik h d k te n a u k tr m la 6 7 78 kinan.6 sela prioritas pem ngah antara kelola; pendi kemiskinan; klim investa hidup dan p daerah terti konflik; keb eknologi.7 selain i ngunan na armida s. a untuk pena kurun waktu riliun. men membuat ke angan kemis untuk lebih yang berkea jaman priorit termuat dala bitkan inpre ngunan yang program-pro penanggulan penanggulan masyarakat, berbasis pem pemerintah t tentang perc merupakan 2009 tentang baca lebih la presiden bid koordinasi t langan kemi 2010 menteri keu envelope jang 2014. musre http://docs. viewer?a=v& enas.go.id/ , ju in itu, men mbangunan lain: reform idikan; keseh ketahanan asi dan usa engelolaan b inggal, terd budayaan; k itu, menteri asional (pp alisjahbana anggulangan u 2010-2014 nurutnya, p ebijakan dan skinan yang h memfokuskan dilan dan untu tas pembanguna am inpres no. 1 s no. 3 tahun g berkeadilan. d ogram pro raky ngan kemiskina ngan kemiskin dan program mberdayaan usah telah menerbitk cepatan penan penyempurnaan g koordinasi p anjut dalam sam dang kesejahtera teknis nasiona iskinan provins angan ri, arah gka menengah d enbangnas rpj google.com/ &q=cache:2_vzw diakses tanggal rnal ekonom ndukung 1 nasional jan masi birokra hatan; penan pangan; in ha; energi; bencana; pem depan, terl kreativitas d i perencana pn)/kepala mengatakan n kemiskin adalah seb pemerintah n program g terdiri dari n pelaksanaan uk kesinambung an nasional seb 1 tahun 2010, m 2010 tentang pr dalam inpres in yat difokuskan n berbasis kelu nan berbasis penanggulanga ha mikro dan k kan perpres no. ggulangan kem n dari perpres penanggulangan mbutan deputi s aan rakyat pad al tim koordin si tahun 2010 j kebijakan fiska dalam penyusun mn 2010-2014, w3i3svej:musren l 15 nopember 2 gambar 2. mi dan studi 11 program ngka meneasi dan tata nggulangan nfrastruktur; lingkungan mbangunan luar, pasca dan inovasi aan pembabappenas, n, anggaran nan dalam besar rp270 juga telah penanggu tiga cluster. pembangunan gan serta penaagaimana yang aka telah diterrogram pembani, pelaksanaan pada program uarga, program pemberdayaan an kemiskinan kecil. untuk itu, 15 tahun 2010 miskinan yang no. 13 tahun n kemiskinan. sekretaris wakil da acara rapat nasi penanggujakarta, 14 juni al, dan recource nan rpjm 2010, dikutip dari nbangnas.bapp 2012 pembanguna pembangun pada clu perlindu rintah penyedia (raskin) jaminan operasio lanjut u bencana sebagai beasiswa sasaran. pemberd program mandiri upaya p desa. pad dayaan u iklim be rakyat ( pemberd ngah (u berusaha (kur). k yang me sektoral (habibu konsep perspek salah sa kan ole dengan rakyat. k melayan ditegask “seorang an ekonomi nan volume 1 uster pertama ungan sosial telah mem aan beras , program n kesehata onal sekola usia dan cac a alam, b kompensasi a untuk a pada clu dayaan masy m nasional (pnpm), p endampinga da cluster ke usaha mikr erusaha dan (kur), pem dayaan usah umkm) te a dan penye kemiskinan embutuhkan sehingga ko ullah, 2010) dasar keb ktif ekonom atu urusan u eh negara a tujuan m kewajiban n ni dan meng kan nabi saw g imam (kha nasional 20 13, nomor 1, a yakni clus l kelompok mberikan ba untuk r keluarga h an masyar ah (bos), cat ganda te bantuan la i kenaikan h anak dari uster kedua yarakat yan pemberdaya pemerintah t an dan pemb etiga yakni ro dan kecil n penyediaa merintah telah ha mikro, k ermasuk p ediaan kred adalah mult n upaya pen oordinasi per bijakan fisk mi islam umat yang w adalah men eningkatkan negara atas ra gurusi urusa w dalam sab alifah) adalah 008 april 2012: 7 ter bantuan sasaran, pe antuan mel rakyat mi harapan (pk rakat, bant bantuan rlantar, bant angsung tu harga bbm, rumah tan yakni clu g berfokus p aan masyar elah melaku berdayaan d cluster pem serta perba n kredit us h meningkat kecil dan m erbaikan ik it usaha rak tisektor prob nanganan li rlu ditingkat kal indonesi wajib dilaks ngatur ekon n kesejahter akyatnya ad an umat. ha bdanya: h pemelihara 72-82 dan emelalui iskin kh), tuan bagi tuan unai dan ngga uster pada akat ukan desamberikan saha tkan meneklim kyat blem intas tkan ia ananomi raan alah al ini dan kebijakan fiskal indonesia (ayief fathurrahman) 79 pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (hr bukhari dan muslim). baqir ashshadr melihat bahwa intervensi negara dalam lapangan kehidupan ekonomi sangat diperlukan untuk menjamin keselarasannya dengan norma-norma islam tersebut (chapra, m. umer, 2001: 63). karena itu pemerintah berperan menyediakan berbagai barang publik untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan bersama melalui kebijakan publik dan fiskalnya. indonesia adalah negara yang sampai detik ini, selalu berupaya mengatasi persoalan rakyatnya. salah satu persoalan yang fundamental yang tengah dihadapi adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran. berbagai upaya pembangunan ekonomi 230 juta manusia indonesia dan ekonomi tanah air seluas 8 juta km persegi yang dilakukan pemerintah telah berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 16,7 persen pada tahun 2004 menjadi 14,1 persen pada nopember 2009. angka kemiskinan tahun 2009 tersebut yang sebesar 3,53 juta jiwa ini turun 2,43 juta jiwa dibandingkan angka kemiskinan tahun 2008. begitu juga dengan tingkat pengangguran yang menurun dari 9,9 persen pada tahun 2004 menjadi 8,1 persen pada februari 2009 (dirjen perbendaharaan, 2009: 10). jika kita melihat angka di atas, terlihat bahwa kemiskinan berdasarkan ukuran pengeluaran mengalami penurunan yang cukup signifikan. berdasarkan data ini, pemerintah saat ini terlihat sudah bekerja keras mengentaskan warga miskin. namun demikian, tidak etis rasanya dan terkesan egoistis jika semua penurunan angka kemiskinan dianggap kerja keras pemerintah sendiri, karena hal itu menafikan usaha kelompok miskin sendiri untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan peran-serta masyarakat sipil. artinya, program pengentasan kemiskinan perlu dilihat seberapa besar mampu menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok miskin dan kendala-kendala yang dihadapi program itu. seperti diketahui, kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi berdimensi banyak termasuk dimensi psikologis, struktural, politis, dan lain sebagainya. kemiskinan adalah suatu fenomena yang amat kompleks. hal tersebut bukan hanya menunjukkan penghasilan rendah, kekurangan pangan, kondisi kesehatan yang buruk, dan lingkungan yang kumuh, tetapi juga ketidakberdayaan dan ketergantungan pada pihak lain. efektivitas dari suatu program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan harus dilihat dari kemampuan program tersebut dalam mengubah kondisi-kondisi tersebut. dari penjelasan terdahulu dapat diketahui bahwa instrumen utama kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah indonesia masih sedikit berkutat pada bantuan-bantuan yang bersifat charity (amal). katakanlah seperti jaringan pengaman sosial (jps), inpres desa tertinggal (idt), dan bantuan langsung tunai (blt). pertanyaannya adalah seberapa efektifkah program-program ini. namun demikian, dalam rangka membantu rakyat miskin yang terkena dampak krisis ekonomi, agaknya bisa dipertimbangkan. akan tetapi jika kebijakan ini bersifat parmanen, hal ini hanya akan meningkatkan ketidakberdayaan dan ketergantungan rakyat miskin, sehingga pada gilirannya kemandirian akan hilang. mengacu kepada prinsip ekonomi islam, perumusan kebijakan yang menyangkut persoalan kebijakan pengentasan kemiskinan mengandung beberapa ciri. pertama, menumbuhkan peranan setiap individu dalam meningkatkan kualitas hidupnya sesuai dengan martabat manusia yang dimuliakan oleh tuhan. kedua, menumbuhkan proses kebersamaan yang memberi peluang bagi berkembangnya kreativitas, inovasi dan kerja keras untuk mencapai kesejahteraan umum. ketiga, menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil dan merata. keempat, menjaga stabilitas dan keberlangsungan perkembangan ekonomi dalam proses kemajuan (rais, 2002). berdasarkan prinsip di atas, islam menganjurkan setiap individu untuk proaktif dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik. sehingga dengan demikian, kiranya pemerintah indonesia untuk berpijak pada dasar kebijakan yang melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. upaya jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 72-82 80 penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”(sulekale, 2003) ini berarti pemerintah harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. dalam lembaran sejarah islam, umar bin khattab pernah dikritik oleh salah seorang sahabat yang bernama hakim bin hizam, mengenai pendistribusian kas baitul mal sebagai tunjangan sosial kepada kerabat rasulullah dan orang-orang yang berjasa dalam membela islam.8 menurutnya, hal demikian akan mendongkrak mereka dengan sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi menerapkan kebijakan tersebut (karim, 2004: 64). khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut mengandung kekeliruan dan berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan berniat untuk memperbaikinya. namun umar wafat sebelum terealisasikan rencananya (afzalurrahman, 1995: 165). di samping itu, program penanggulangan kemiskinan tidak cukup kiranya jika hanya dilakukan dengan pendekatan yang developmentalistik saja. akan tetapi penanggulangan kemiskinan perlu disertai dengan pendekatan yang mengandalkan “modal sosial” yang ada di masyarakat itu sendiri, berupa kebersamaan, gotong-royong, saling bantu dan saling percaya. fakta di atas sudah membuktikan bahwa betapa pemerintah tak akan mampu berbuat banyak dalam proses penurunan angka kemiskinan tanpa menggandengkan tangannya dengan tangan-tangan usaha kelompok miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan serta merangkul peran-serta masyarakat sipil. pada masa rasulullah, ukhuwwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim, antara golongan muhajirin dan golongan anshor sangat ditekankan. rasulullah sangat menyadari bahwa asas kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan merupakan program yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi 8 para sejarawan meyakini bahwa tindakan umar demikian adalah tidak lain dan tidak bukan sebagai pemberian tanda jasa kepada relawan yang telah gigih berjuang membela dan meneggakan agama islam di awal kehadirannya. masyarakat dan mengentaskan kemiskinan yang melanda kaum muslimin (fathurrahman, 2010: 7-8). pandangan ini sudah barang tentu berangkat dari nilai-nilai qur’ani yang menghormati sesama manusia dan menekankan masalah ukhuwah/ persaudaraan (qs. alhujarat: 10), ta’awun/tolong menolong/ kebersamaan (qs. al-maidah: 3). di sinilah pentingnya zakat, infaq, shadaqah yang telah digariskan dalam ajaran islam. pemerintah dalam hal ini menjadi pendorong masyarakat membayar kepada badan amil zakat, infaq dan shadaqah (bazis), yang telah didirikan di seluruh propinsi, kabupaten dan kecamatan. kemudian mendistribusikanya kepada yang miskin, agar bisa keluar dari beban kesusahan dan kemiskinan. dengan demikian, zis berusaha meningkatkan taraf hidup fakir miskin ke tingkatan hidup yang layak. zis juga merupakan sarana untuk mendekatkan jurang pemisah antara orang kaya dengan fakir miskin (qardhawi, 1996: 174). sebagaimana diketahui, salah satu langkah kongkrit pemerintah dalam mengatasi kemiskinan yaitu berupa program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (pnpmmandiri). dalam tinjauan ekonomi islam, menumbuhkan peranan setiap individu dalam meningkatkan kualitas hidupnya termasuk mengatasi persoalan kemiskinan yang melanda diriya merupakan jalan utama yang dianjurkan, baik itu dengan berusaha maupun bekerja dan lain sebagainya. masyarakat didorong pada arah yang lebih progresif, aktif, dan produktif, sehingga mentalitas yang terbentuk mencerminkan kecenderungan yang positif. ini berarti pemerintah harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. hal ini mengandung arti bahwa tidak selamanya ketergantungan pada pemerintah akan membawa lari dari jeratan kemiskinan, akan tetapi kemandirianlah merupakan tongkebijakan fiskal indonesia (ayief fathurrahman) 81 gak awal untuk keluar dari lingkarannya. sehingga, ketika program kebijakan dari pemerintah tersebut berakhir, pola pikir masyarakat dalam memandang persoalan kemiskinan adalah persoalan “individual”, sehingga kemandirian merupakan jalan pilihan yang tepat. walaupun demikian, masalah fundamental yang bernama kemiskinan tetap menjadi tanggungjawab negara. menurut islam, dalam pemberantasan kemiskinan dan kepincangan pendapatan masyarakat, negara harus melakukan intervensi dalam masalah ini. dalam alqur’an diajarkan prinsif al-ma’un atau tanggungjawab sosial dapat diwujudkan ke dalam lembaga-lembaga negara, sebab kalau tidak maka seluruh masyarakat dapat terkena predikat “mendustakan agama”. negara sebenarnya hanya bertugas menjamin terlaksananya ajaran ini, apakah dengan tindakan yang lebih langsung atau mendorong swasta dan masyarakat sendiri untuk melaksanakan doktrin itu. para pemikir islam pada umumnya cenderung untuk menempatkan peranan negara yang aktif, baik dalam mengendalikan perekonomian ke arah perkembangan yang lebih stabil, terutama untuk mencegah pengangguran, mengarahkan alokasi sumberdaya sehingga dapat dicapai keseimbangan antara efisiensi dan partisipasi masyarakat yang luas dalam kegiatan usaha serta melakukan redistribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat sehingga tidak timbul kepincangan dan ketidakadilan sosial. sehingga dengan demikian, kebijakan pemerintah menjadi hal yang sangat perlu dalam hal ini (waidl, 2008). ini sesuai dengan amanat uud 1945 mengatakan bahwa, "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara" (pasal 34 ayat 1). simpulan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beragam program yang diluncurkan pemerintah indonesia untuk menanggulangi kemiskinan. memang terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang diharapkan. proporsi penduduk yang hampir miskin masih cukup tinggi, dan apabila terjadi sedikit 'gejolak', maka dengan sangat mudah mereka akan kembali menjadi miskin. kemiskinan merupakan suatu fenomena yang amat kompleks. sehingga dengan demikian, kemiskinan tidak saja menyangkut problem kultural, tetapi juga problem struktural yang menyangkut bagaimana negara membuat kebijakan fiskal yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan secara kultural, islam menganjurkan untuk menumbuhkan peranan setiap individu dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan menumbuhkan proses kebersamaan sosial melalui zakat, infaq, dan shadaqah. secara struktural, islam meletakkan peran sentral negara dalam menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil dan merata dan menjaga stabilitas dan keberlangsungan perkembangan ekonomi dalam proses kemajuan dan pemerataan serta sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dalam mencari solusi ke taraf hidup yang lebih layak. daftar pustaka afzalurrahman. 1995. doktrin ekonomi islam. jilid 1. yogyakarta: pt dhana bakti wakaf. amalia, euis. 2005. sejarah pemikiran ekonomi islam: dari masa klasik hingga kontemporer. jakarta: pustaka asatruss. buana, hadi. 2012. bbm, keadilan sosial, pajak (subsidi), dan harga, dikutip dari http:// www.mediaindonesia.com/read/2011/02 /18/204025/68/11/bbm-keadilan-sosialpajak-subsidi-dan-harga, diakses tanggal 26 nopember. chapra, m. umer. 2001. masa depan ilmu ekonomi: sebuah tinjauan islam. jakarta: gema insani press. departemen keuangan republik indonesia direktorat jenderal anggaran. 2012. “kerangka ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal 2008”, dikutip dari http://www.anggaran.depkeu.go.id /web-print-list.asp?contentid=177, di akses tanggal 10 nopember. departemen keuangan republik indonesia jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 72-82 82 direktorat jenderal anggaran. 2012. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2008, dikutip dari http: //www.anggaran.depkeu.go.id/webprint-list.asp?contentid=177, di akses tanggal 15 nopember. direktorat jenderal angggaran. 2012. “kebijakan fiskal dalam rangka mendorong sektor riil”, 2009. dikutip dari http:// www.wiziq.com/tutorial/39767-kebijakan-fiskal, di akses tanggal 15 nopember. dumairy. 1995. evaluasi kebijakan pemerintah menanggulangi masalah kemiskinan dan kesenjangan”, dalam kemiskinan dan kesenjangan di indonesia. yogyakarta: aditya media. fathurrahman, ayief. 2010. strategi rasulullah membangun perekonomian madinah. makalah dipresentasikan. magister studi islam universitas islam indonesia. gilarso, t. 2004. pengantar ilmu ekonomi makro. yogyakarta: kanisius. hlm 148. habibullah. 2010. bappenas: anggaran penanggulangan kemiskinan rp270 triliun, dikutip dari http://kebijakan sosial. wordpress.com/ 2010/02/02/bappenasanggaran-penanggulangan-kemiskinanrp270-triliun/, diakses tanggal 15 nopember 2011. hamid, edy suandi dan m.b hendrie anto. 2000. ekonomi indonesia memasuki milenium iii. yogyakarta: uii press. hamid, edy suandi. 2000. perekonomian indonesia: masalah kebijakan kontemporer. yogyakarta: uii press. hamid, edy suandi. 2004. sistem ekonomi utang luar negeri dan isu-isu ekonomi politik indonesia. yogyakarta: uii press. karim, adiwarman azwar. 2004. sejarah pemikiran ekonomi islam, edisi ketiga. jakarta: pt raja grafindo persada. mentri keuangan ri. 2012. arah kebijakan fiskal, dan recource envelope jangka menengah dalam penyusunan rpjm 20102014. musrenbangnas rpjmn 2010-2014, dikuitp dari http://docs.google.com/ viewer?a=v&q=cache:2_ vzw3i3svej:musrenbangnas.bappenas.go .id/ , diakses tanggal 15 nopember mishkin, frederic. s. 2008. ekonomi uang, perbankan dan pasar keuangan. jakarta: salemba empat. parcoyo, tri kunawangih dan antyo parcoyo. 2004. aspek dasar ekonomi makro di indonesia. jakarta: cikal sakti. qardhawi, muhammad yusuf. 1996. konsepsi islam dalam mengentaskan kemiskinan, surabaya: pt bina ilmu. rais, sasli. 2002. kebijakan publik dalam tinjauan ekonomi islam. makalah mata kuliah sejarah pemikiran ekonomi islam, magister universitas indonesia, kekhususan ekonomi dan keuangan syariah, pskti, ui. royat, sujana royat, 2008. kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan, http:// digilib.litbang.deptan. go.id /index.php soesastro, hadi dkk (penyunting). 2005. pemikiran dan permasalahan ekonomi di indonesia dalam setengah abad terakhir. yogyakarta: kanisius. sulekale, dd. 2003. pemberdayaan masyarakat miskin di era otonomi daerah. jurnal ekonomi rakyat, artikel th. ii no. 2, april 2003. www.ekonomirakyat.org. suminto. 2004. pengelolaan apbn dalam sistem manajemen keuangan negara. makalah sebagai bahan penyusunan budget in brief 2004. jakarta: ditjen anggaran, depkeu. supriyanto. 2005. analisis tentang persoalan kebijakan fiskal indonesia di era reformasi. jurnal aplikasi manajemen, volume 3, nomor 3, desember. waid abdul, dkk. 2008. mendahulukan si miskin: buku sumber bagi anggaran pro rakyat. yogyakarta: lkis. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 2, oktober 2021 article type: research paper the determinants of the value of mahr in muslim societies: evidence from the indonesian family life surveys dian friantoro1 and akhmad akbar susamto1,2 abstract: this paper aims to analyze the factors that determine the value of mahr in muslim societies. the analysis is based on an ordinary least squares (ols) regression with pooled cross-section data from the last three waves of the indonesian family life surveys (ifls). the main finding is that socioeconomic status in the forms of groom’s ownership of assets and education level matters most for the value of mahr. this finding holds for regression with full sample as well as subsamples, i.e. couples whose groom is javanese, couples whose groom is nonjavanese, couples whose bride is javanese and couples whose bride is nonjavanese. socioeconomic status in the form of bride’s education level also matters for the value of mahr with some exceptions. the other finding is that perceived probability of divorce as represented by differences in the socioeconomic status of a marrying couple do not have a significant effect on the value of mahr. the effect of physical appearances in the form of bride’s height is at best not robust and subject to the sample or subsample included. these findings can be useful as a reference to make marriage decisions in the future or to evaluate the ongoing practices for possible reforms. keywords: mahr; marriage; muslim; ifls jel classification: j12; n30 introduction mahr –the handing of money or other kind of properties from a groom to a bride– is a legal condition of marriage in islam, at least as agreed by most muslim scholars. there remain different views on whether a marriage without a mahr is valid, but it is clear that the mahr is obligatory based on the primary sources of islam (the quran and the sunnah) (maghniyyah, 1997; but & muhametov, 2013; siddiqui, 1995; wani, 2001). despite this imposition, there were no specific guidelines on how much the value of mahr should be. it is only mentioned that a proper value of mahr is one that is affordable and not burdensome. to cite the words of the prophet muhammad, "the best of mahr is the least one (or the most affordable one)” (as narrated by abu dawud and al-hakim, see e.g. saheeh al-jaami’, 3279). affiliation: 1 graduate school, universitas gadjah mada, special region of yogyakarta, indonesia 2 department of economics, faculty of economics and business, universitas gadjah mada, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: akhmad.susamto@ugm.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i2.11918 citation: friantoro, d., & susamto, a.a. (2021). the determinants of the value of mahr in muslim societies: evidence from the indonesian family life surveys. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 323338. article history received: 08 jun 2021 revised: 20 sep 2021 accepted: 31 oct 2021 https://scholar.google.co.id/citations?user=wvxidgwaaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=ayjrivyaaaaj&hl=en http://www.pasca.ugm.ac.id/v3.0/ http://www.pasca.ugm.ac.id/v3.0/ http://www.pasca.ugm.ac.id/v3.0/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ mailto:akhmad.susamto@ugm.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/11918 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.11918&domain=pdf friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 324 in the absence of such specific guidelines, muslim scholars have come with different opinions about the value of mahr. for example, interpreting one of the ayah in the quran, an nisa’: 20, (alu syaikh et al., 2018) put an emphasis on the permissibility of awarding a big amount of mahr. commenting on the same ayah in the quran, (as-siba’i, 1999) states that a mahr should be given in a valuable form as it symbolizes the highness of marriage. scholars of the hanafi school set the minimum amount of mahr at 10 silver dirhams (equivalent to 33.6 grams of silver or 4.8 grams of gold), while those of the maliki school limit the minimum value of mahr to 3 silver dirhams. to them, a mahr less than the minimum value is unacceptable, even if it was agreed upon. scholars of the shafii and hambali schools do not see any strong arguments to limit the minimum value of mahr and opt to leave the decision to grooms and brides (maghniyyah, 1997; but & muhametov, 2013). in practice, the value of mahr has varied significantly across different individuals and societies (afzal et al., 1973; aini, 2014; korson, 1968). history and regulation have, to some extent, played a role in the determination of the value of mahr (abd wakil & ahmad, 2017; azahari & ali, 2015). however, other factors may have also been relevant. for example, it has been found that the average value of mahr is higher in urban areas than in rural areas (habibi, 1997) and in high socioeconomic areas than in middle and low socioeconomic areas (afzal et al., 1973; korson, 1968). remarkably, despite the long historical practice of mahr in muslim society, there is only limited number of studies examining the value of mahr and its determinants (afzal et al., 1973; aini, 2014; habibi, 1997; korson, 1968; kurniawan, 2019). most of these studies are descriptive (habibi, 1997 and kurniawan, 2019, are perhaps an exception). the majority of the works in the past focus on the islamic rulings on mahr (azzam et al., 2011; danyal, 2015; ghazali, 2008; maghniyyah, 1997; rahman, 1970; ridha, 1975; siddiqui, 1995; syafqat, 1979). a number of works look at the legal rulings on mahr in certain countries (el alami & hinchcliffe, 1996; mehdi, 2001; wani, 2001), while several others discuss mahr from sociocultural or sociopolitical contexts (e.g. abd wakil & ahmad, 2017; azahari & ali, 2015; ishak, 1983; korson, 1968; mehdi, 2001; wynn, 2008; yassari, 2013). empirical analyses on mahr have been dominated by studies using anthropological methods to describe how mahr is practiced in a specific muslim society (moors, 1994; nurcahyono, 2020; sahay & sahay, 1996; tugby, 1959). it should be noted that the term mahr in islamic context is different from another term that is often mistakenly used as its english translation, dowry. mahr –sometimes also called mehr, mehir, mehrieh, mahriyeh, maskahwin or maskawin– is something that a bride is entitled to receive from her groom on marriage. mahr serves as a form of gifts to express love and affection. it also serves as a form of savings that can be used for a bride's own benefit, to help build her family or to provide herself with some degree of economic security in the event of future marital dissolution due to her husband’s death or divorce (azahari & ali, 2015; korson, 1968; ridha, 1975; singh, 2010). by contrast, dowry is money or other kind of properties that a bride and her family bring forth to the marriage. it is paid by a bride and her family to a groom and his family rather than the other way around. the term mahr is closer to the term dower in a sense that the direction of the payment is friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 325 from a groom to a bride (habibi, 1997). however, mahr is obligatory and needs to be specified at the time of marriages (regardless of whether the payment is made immediately or deferred), while dower is optional and not paid until the death of the husband. the term mahr is also different from bride price. the later refers to money or other kind of properties paid by a groom and his family to the parents of a bride upon marriage (korson, 1968). rather than the bride herself, it is her family that is entitled to receive the payment. the current paper aims to analyze the factors that determine the value of mahr in the marriage of muslims. the question to be answered in this paper is whether the socioeconomic status of a groom and a bride, differences in the socioeconomic status of a groom and a bride, and the physical appearances of a marrying couple have a significant effect on the value of mahr. this paper focuses particularly on the case of muslims in indonesia. this paper extends the works by habibi (1997) which focuses on the case of marriages in iran and the work by kurniawan (2020) which focuses only on the case of marriages in eastern indonesia. within the empirical literature of mahr in general, this paper complements the previous works examining the value of mahr (afzal et al., 1973; aini, 2014; korson, 1968) or describing how mahr is practiced in a specific muslim society (moors, 1994; nurcahyono, 2020; sahay & sahay, 1996; tugby, 1959). theoretically, the determination of the value of mahr can be explained using the economic theory of price. the value of mahr can be seen as a price affected by the demand from a bride and the offer (i.e. the supply) that comes from a groom. to follow habibi (1997), the value of mahr can also be seen as a result of a prenuptial negotiation between the parental families of a marrying couple. the key assumption is that the value of mahr demanded by a bride’s family revolves around two concerns. first, perception of the risk of marital instability (i.e. the probability of divorce in the future). since mahr is expected to provide a bride with some degree of economic security in the event of marital dissolution (azahari & ali, 2015; korson, 1968; ridha, 1975; singh, 2010), the higher the perceived risk of marital instability, the higher is the value of mahr demanded. from a different point of view, the higher the value of mahr, the less likely is the husband to unilaterally ask for a divorce in the future. second, the view that mahr is a status symbol. since mahr represents status, the higher the socioeconomic status of a bride, the higher is the value of mahr demanded. going by the above assumption, habibi (1997) expects that from a bride's perspective, the value of mahr to be demanded is represented by the formula 𝑀𝑑 = (𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠, 𝑃𝑏 ) where 𝑀𝑑 is the value of mahr to be demanded, 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 is the socioeconomic status of the bride and 𝑃𝑏 is the probability of future divorce as perceived by the bride’s family. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 326 from a groom’s perspective, it is also assumed by habibi (1997) that the value of mahr revolves around the concerns on marital stability and the importance of mahr as a status symbol. in general, the higher the probability of divorce in the future, the lower is the value of mahr to be offered. the idea is that the groom wishes to reduce his material losses from future marital dissolution settlement. with respect to socioeconomic status, the groom considers both his own economic status and the socioeconomic status of his bride. for him and his family, the value of mahr to be offered is therefore represented by the formula 𝑀𝑠 = 𝑀𝑠(𝑏𝑟𝑖𝑑𝑒′𝑠 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠, 𝑔𝑟𝑜𝑜𝑚′𝑠 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠, 𝑃𝑔) where 𝑀𝑠 is the value of mahr to be offered, 𝑏𝑟𝑖𝑑𝑒′𝑠 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 is the socioeconomic status of the bride, 𝑔𝑟𝑜𝑜𝑚′𝑠 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑢𝑠 is the socioeconomic status of the groom, and 𝑃𝑔 is the probability of future divorce as perceived by the groom’s family. theoretically, agreements on the value of mahr take place only if the value demanded by a bride’s family is lower than the value offered by a groom’s family. in other words, agreements on the value of mahr can occur only if 𝑀𝑑 < 𝑀 < 𝑀𝑠 (3) where 𝑀 is the value of mahr agreed by the parental families of a groom and a bride. based on his model, habibi (1997) comes to a hypothesis that the determinants of the value of mahr include three categories of socioeconomic variables, namely variables that affect the value of mahr demanded, variables that affect the value of mahr offered, and variables that affect the perceived probability of divorce in the future. socioeconomic variables which affect the value of mahr demanded by a bride’s family may include ownership of assets, income, employment status, education level, age and ethnicity. the same variables may also affect the value of mahr offered by the family of a groom. the effects that ownership of assets and income have on the value of mahr are likely positive (anderson, 2000; murat, 2013). the effect of employment status is likely also positive (dasog, 1998), similar with the effect of education level (ashraf et al., 2018; chowdhury, 2008; dalmia & lawrence, 2005; lowes & nunn, 2017). the higher the level of education of a groom or a bride, the higher is the value of mahr. the effect of age on the value of mahr is ambiguous (chowdhury, 2008; dalmia & lawrence, 2005). likewise, the effect that ethnicity has on the value of mahr is ambiguous. ethnicity can have a positive or negative relationship, depending on the details of each ethnic (anderson, 2000; chowdhury, 2008). empirically, it is not easy to measure the perceived probability of divorce in the future. habibi (1997) uses kinship and geographic proximity between parental families as a proxy for such perceived probability. the idea is that the closer kinship and geographic proximity between a marrying couple’s parental families, the lower is the risk of marital instability friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 327 and the perceived probability of divorce in the future. in the current paper, rather than kinship and geographic proximity between parental families, it is differences in the socioeconomic status of a marrying couple that are used. research method to analyze the factors that determine the value of mahr in muslim societies, this paper uses an ordinary least squares (ols) regression with pooled cross-section data. the data are taken from the last three waves of the indonesian family life surveys (ifls) that were conducted in the years 1999-2000, 2007-2008 and 2014-2015. these surveys as a whole represent around 83 percent of the indonesian population and include more than 30 thousand individuals who live in 13 out of 34 provinces of the country (strauss et al., 2016; strauss et al., 2004, strauss et al., 2009). the unit of analysis in this paper is groom-and-bride couples. to be included in the sample, the couples must be muslim (at least formally) and getting married for the first time in the year of surveys or in the year preceding the surveys. these criteria help reduce potential ambiguities due to differences in the contextual gist of mahr across different religions or across first, second, third and fourth marriages. the variable to be explained in this paper refers to the natural logarithm of the value of mahr deflated by the consumer price index (cpi). it originates from the answers given by male respondents (i.e. grooms) to the question, “what was the value of the mahr of your current/most recent marriage at the time of the marriage?” in the ifls’ questionnaires. in line with the theoretical exposition in the previous section, the main explanatory variables in this paper consist of the socioeconomic status of a groom and a bride and differences in the socioeconomic status of a groom and a bride. in addition, the explanatory variables in this paper include the physical appearances of a marrying couple, assuming that physical attractiveness matter for the value of mahr. the socioeconomic status of a groom and a bride include ownership of assets, income, employment status, level of education, age and ethnicity. ownership of assets is defined as the total value of assets in rupiah, while income is defined as the total rupiah generated over the past year. both asset ownership and income are deflated by the cpi and transformed into their natural logarithm form. due to the prevalence of missing values, only asset ownership and income that belong to a groom are included in the analysis. asset ownership and income that belong to a bride are excluded from the analysis. employment status is represented by a dummy variable, taking the value 1 for employed and 0 otherwise. level of education is defined as the number of years spent by a groom or a bride in formal education. age refers to the age of a groom and a bride at the time of marriage. ethnicity is represented by a dummy for jawa, taking the value 1 if a groom or a bride is of javanese ethnicity and 0 otherwise. differences in the socioeconomic status of a groom and bride include education difference, age difference and ethnic difference. education difference is measured as the years spent in formal education by a groom minus the years spent in formal education by a bride. age difference is measured as the age of a groom minus the friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 328 age of a bride. ethnic difference is represented by a dummy variable, whose value equals 1 if a groom-and-bride couple is of different ethnic and 0 otherwise. physical appearances include a measure of height and a dummy for body proportionality. the dummy for body proportionality is based on the concept of body mass index (bmi) –an index of weight-forheight introduced by the world health organization (who). the dummy for body proportionality is valued 1 if a groom or a bride is normal and 0 otherwise (i.e. underweight, overweight or obesity). to take into account the effect of the years of surveys (and, thus, also the years of marriage), a few dummies for marriage years are included in the analysis. to avoid perfect collinearity, the dummy for year 1999 is left out and treated as a reference category. the regression equation is provided by: 𝑙𝑛(𝑌𝑖 ) = 𝛽0 + ∑ 𝛽 𝑗 𝑋𝑖 𝑗 𝐽 𝑗=1 + ∑ 𝛽𝑘 𝑍𝑖 𝑘 𝐾 𝑘=1 + ∑ 𝛽𝑞 𝑃𝑖 𝑞 𝑄 𝑞=1 + ∑ 𝛽𝑟 𝐷𝑖 𝑟 𝑅 𝑟=1 + 𝜀𝑖 where 𝑙𝑛(𝑌𝑖 ) denotes the natural logarithm of cpi-deflated value of mahr, 𝑋1 denotes a vector of the socioeconomic status of a groom and a bride, 𝑍𝑖 denotes a vector of differences in the socioeconomic status of a groom and a bride, 𝑃𝑖 denotes a vector of the physical appearances of a groom and a bride and 𝑌𝑖 denotes a vector of marriage year dummies. the alphabet 𝜀𝑖 denotes error terms. estimations are carried out for regression with full sample and regression with subsamples. the later consist of regression with a subsample of couples whose groom belongs to javanese ethnicity, regression with a subsample of couples whose groom belongs to non-javanese ethnicity, regression with a subsample of couples whose bride belongs to javanese ethnicity and regression with a subsample of couples whose bride belongs to non-javanese ethnicity. result and discussion table 1 reports the descriptive statistics. the (cpi deflated) value of mahr is very widely distributed, with an average of idr 2,025,900 and a standard deviation of idr 5,306,741. preliminary evaluation indicates that the difference in the employment status of a groom and a bride is highly correlated with one or more of the other explanatory variables. this variable is therefore excluded from further analysis. table 2 reports the variance inflation factors (vif) and the tolerance values of the main explanatory variables after such exclusion. it can be seen that no vif value exceeds 5.00 and no tolerance value is less than 0.10, implying the absence of any collinearity issues. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 329 table 1 descriptive statistics mean standard dev. minimum maximum (1) (2) (3) (4) mahr_original value in rupiah 2,025,900 5,306,741 11,880 72,050,000 mahr_value in natural log 13.111 1.713 9.383 18.093 groom_ownership of assets 15.140 1.515 9.952 20.294 groom_income 15.704 1.143 9.424 18.270 groom_employment status 0.941 0.237 0.000 1.000 groom_education level 10.421 3.407 0.000 18.000 groom_age 25.941 4.150 15.000 40.000 groom_javanese 0.459 0.499 0.000 1.000 groom_sundanese 0.125 0.331 0.000 1.000 groom_betawi 0.055 0.228 0.000 1.000 groom_body proportionality 1.018 0.645 0.000 3.000 groom_height 164.041 5.935 142.500 184.300 bride_employment status 0.290 0.454 0.000 1.000 bride_education level 10.703 3.309 0.000 18.000 bride_age 22.770 4.140 15.000 39.000 bride_javanese 0.471 0.499 0.000 1.000 bride_sundanese 0.126 0.333 0.000 1.000 bride_betawi 0.044 0.206 0.000 1.000 bride_body proportionality 1.110 0.691 0.000 3.000 bride_height 151.686 5.324 125.300 170.500 difference in employment status 0.664 0.473 0.000 1.000 difference in education level 2.107 2.183 0.000 13.000 difference in age 3.908 3.212 0.000 20.000 difference in ethnicity 0.156 0.363 0.000 1.000 table 2 vif and tolerance values vif values tolerance values (1) (2) groom_ownership of assets 1.330 0.754 groom_income 1.360 0.738 groom_employment status 1.030 0.968 groom_education level 1.720 0.583 groom_age 4.180 0.239 groom_javanese 4.260 0.235 groom_sundanese 3.110 0.321 groom_betawi 2.450 0.407 groom_body proportionality 1.080 0.928 groom_height 1.150 0.868 bride_employment status 1.110 0.900 bride_education level 1.880 0.532 bride_age 3.160 0.316 bride_javanese 4.190 0.239 bride_sundanese 3.100 0.323 bride_betawi 2.370 0.422 bride_body proportionality 1.080 0.925 bride_height 1.070 0.935 difference in education level 1.090 0.918 difference in employment status a) difference in age 3.070 0.326 difference in ethnicity 1.100 0.911 note: a) difference in employment status is excluded from the analysis due to possible collinearity. the values reported are vif and tolerance values computed after such exclusion. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 330 basic regression results table 3 reports the results from the ols regression with full sample. table 3 results from regression with full sample full sample (1) (2) (3) (4) groom_ownership of assets 0.187*** 0.183*** 0.182*** 0.178*** (0.040) (0.040) (0.041) (0.040) groom_income -0.030 -0.033 -0.039 -0.041 (0.055) (0.056) (0.055) (0.056) groom_employment status -0.039 -0.027 -0.028 -0.017 (0.239) (0.234) (0.240) (0.236) groom_education level 0.090*** 0.086*** 0.089*** 0.085*** (0.019) (0.020) (0.020) (0.020) groom_age 0.003 -0.013 0.000 -0.017 (0.016) (0.025) (0.016) (0.025) groom_javanese 0.128 0.140 0.113 0.123 (0.194) (0.198) (0.193) (0.198) groom_sundanese 0.528** 0.518** 0.510** 0.500** (0.220) (0.222) (0.221) (0.223) groom_betawi 1.102*** 1.035*** 1.130*** 1.067*** (0.280) (0.282) (0.281) (0.282) groom_body proportionality 0.090 0.095 0.091 0.096 (0.082) (0.083) (0.082) (0.083) groom_height -0.007 -0.007 -0.009 -0.009 (0.009) (0.009) (0.009) (0.009) bride_employment status 0.108 0.104 0.096 0.092 (0.114) (0.114) (0.114) (0.115) bride_education level 0.060*** 0.059*** 0.057*** 0.057*** (0.021) (0.022) (0.021) (0.022) bride_age 0.006 0.020 0.008 0.022 (0.017) (0.023) (0.017) (0.023) bride_javanese -0.455** -0.460** -0.463** -0.468** (0.191) (0.195) (0.191) (0.195) bride_sundanese -0.286 -0.305 -0.276 -0.295 (0.228) (0.230) (0.230) (0.231) bride_betawi -0.177 -0.138 -0.227 -0.191 (0.318) (0.314) (0.318) (0.315) bride_body proportionality 0.064 0.060 (0.075) (0.075) bride_height 0.023** 0.023** (0.010) (0.010) difference in education level -0.028 -0.029 (0.024) (0.024) difference in age 0.024 0.025 (0.029) (0.028) difference in ethnicity 0.183 0.168 (0.139) (0.139) n-observations 925 925 925 925 r-squared 0.217 0.221 0.223 0.226 note: the explained variable is the natural logarithm of the value of mahr. each regression includes a constant and year of marriage dummies. the values in parentheses are heteroskedasticity-robust standard errors. *, ** and *** indicates significance at the 10, 5 or 1 percent level. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 331 in column 1, the regression includes a constant, the socioeconomic status of a groom and a bride, and year of marriage dummies. in column 2, differences in the socioeconomic status of each groom-and-bride couple are added into the regression. in column 3, measures of physical appearances instead of differences in the socioeconomic status of a marrying couple are included in the regression. in column 4, the regression includes all of the explanatory variables together. irrespective of the explanatory variables included, the coefficients of groom’s ownership of assets and groom’s education level are positive and significant at the 1 percent level. the coefficient of bride’s education level is also positive and significant at the 1 percent level, signifying the importance of such variable for the value of mahr. the coefficients of groom’s income, groom’s and bride’s employment status, and groom’s and bride’s age are not statistically significant. the coefficients of the dummy for sundanese groom and the dummy for betawi groom are both positive and significant at least at the 5 percent level. by contrast, the coefficient of the dummy for javanese bride is significantly negative at the 5 percent level. the effects that differences in the socioeconomic status of a marrying couple have on the value of mahr are statistically negligible. none of the coefficients of difference in education level, difference in age and difference in ethnicity are significant. physical appearances in the form of bride’s height have a positive and significant effect on the value of mahr. physical appearances in the form of groom’s height, groom’s body proportionality dan bride’s body proportionality do, however, not seem to be important for the value of mahr as their coefficients are not statistically significant. table 4 reports the results from the ols regression with subsamples of couples whose groom belongs to javanese ethnicity and couples whose groom belongs to non-javanese ethnicity. in columns 1 and 3, the regression includes a constant, the socioeconomic status of a groom and a bride, measures of physical appearances of a groom and a bride, and year of marriage dummies. in columns 2 and 4, differences in the socioeconomic status of each groom-and-bride couple are added into the regression, allowing the natural logarithm of the value of mahr to be regressed on all of the explanatory variables together. the coefficients of groom’s ownership of assets, groom’s education level, and bride’s education level are positive and significant at least at the 10 percent level. the coefficients of the dummy for sundanese groom and the dummy for betawi groom are also positive and significant in columns 3-4, implying the presence of a difference in the value of mahr paid by grooms across non-javanese ethnicities. the coefficient of the dummy for betawi bride is significantly positive in columns 1-2, but negative in columns 3-4. this infers that the effect of a bride’s ethnicity on the value of mahr depends on the whether her groom is of javanese or non-javanese ethnicity. the coefficient of bride’s height is positive and significant in the last columns, implying the importance of this variable for the value of mahr across the sample. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 332 table 4 results from regression with subsamples javanese groom non-javanese groom (1) (2) (3) (4) groom_ownership of assets 0.147*** 0.150*** 0.209*** 0.203*** (0.055) (0.056) (0.059) (0.059) groom_income 0.010 -0.004 -0.110 -0.100 (0.066) (0.068) (0.094) (0.094) groom_employment status -0.066 -0.067 0.026 0.056 (0.317) (0.313) (0.367) (0.348) groom_education level 0.084*** 0.075*** 0.089*** 0.093*** (0.026) (0.028) (0.029) (0.029) groom_age 0.020 0.052* -0.025 -0.115*** (0.021) (0.028) (0.024) (0.039) groom_sundanese 0.661*** 0.692*** (0.235) (0.236) groom_betawi 1.455*** 1.488*** (0.291) (0.296) groom_body proportionality -0.092 -0.099 0.252** 0.246** (0.117) (0.118) (0.116) (0.115) groom_height -0.004 -0.004 -0.014 -0.017 (0.012) (0.012) (0.013) (0.013) bride_employment status 0.234 0.214 -0.019 -0.031 (0.152) (0.150) (0.175) (0.176) bride_education level 0.054* 0.050* 0.071** 0.085** (0.028) (0.029) (0.031) (0.033) bride_age -0.007 -0.025 0.023 0.089** (0.020) (0.023) (0.027) (0.035) bride_javanese -0.118 -0.113 -0.617** -0.612** (0.297) (0.297) (0.251) (0.256) bride_sundanese 0.042 -0.008 -0.419* -0.425* (0.651) (0.642) (0.249) (0.249) bride_betawi 1.704*** 1.700*** -0.615* -0.657* (0.350) (0.348) (0.348) (0.350) bride_body proportionality 0.106 0.111 0.010 0.015 (0.095) (0.096) (0.113) (0.111) bride_height -0.008 -0.007 0.042*** 0.043*** (0.014) (0.014) (0.014) (0.014) difference in education level -0.057* 0.000 (0.033) (0.037) difference in age -0.045 0.119*** (0.031) (0.043) n-observations 425 425 500 500 r-squared 0.209 0.218 0.244 0.256 note: the explained variable is the natural logarithm of the value of mahr. each regression includes a constant and year of marriage dummies. the values in parentheses are heteroskedasticity-robust standard errors. *, ** and *** indicates significance at the 10, 5 or 1 percent level. table 5 reports the results from the ols regression with subsamples of couples whose bride is javanese and couples whose bride is non-javanese. in columns 1 and 3, again, the regression includes a constant, the socioeconomic status of a groom and a bride, the physical appearances of a groom and a bride, and year of marriage dummies. in columns 2 and 4, the differences in the socioeconomic status of a groom and a bride are also included in the regression. the coefficients of groom’s ownership of assets and groom’s education level are again positive and significant. the coefficient of bride’s education level friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 333 is positive, but statistically significant only in columns 3-4. holding other variables constant, bride’s education level matters for the value of mahr only when the bride is of non-javanese ethnicity. the coefficient of the dummy for betawi groom is significantly positive. the coefficient of bride’s height is again positive and significant in columns 3-4, implying the importance of this variable across couples with a non-javanese bride. table 5 results from regression with subsamples javanese bride non-javanese bride (1) (2) (3) (4) groom_ownership of assets 0.111** 0.114** 0.245*** 0.236*** (0.053) (0.053) (0.060) (0.060) groom_income -0.001 -0.014 -0.100 -0.086 (0.064) (0.066) (0.096) (0.096) groom_employment status -0.079 -0.065 0.090 0.142 (0.295) (0.290) (0.424) (0.394) groom_education level 0.095*** 0.085*** 0.082*** 0.087*** (0.026) (0.027) (0.029) (0.029) groom_age 0.015 0.046* -0.014 -0.107** (0.020) (0.027) (0.024) (0.042) groom_javanese 0.324 0.340 -0.005 -0.005 (0.324) (0.320) (0.280) (0.282) groom_sundanese 0.724* 0.699* 0.430 0.440 (0.423) (0.420) (0.269) (0.272) groom_betawi 1.642*** 1.648*** 1.007*** 0.989*** (0.625) (0.601) (0.293) (0.296) groom_body proportionality 0.039 0.028 0.138 0.131 (0.118) (0.119) (0.116) (0.115) groom_height -0.003 -0.001 -0.013 -0.015 (0.012) (0.011) (0.013) (0.013) bride_employment status 0.097 0.071 0.047 0.036 (0.145) (0.144) (0.181) (0.181) bride_education level 0.032 0.026 0.091*** 0.105*** (0.027) (0.029) (0.032) (0.034) bride_age 0.010 -0.007 0.003 0.073* (0.020) (0.022) (0.028) (0.038) bride_sundanese -0.181 -0.163 (0.261) (0.264) bride_betawi -0.112 -0.109 (0.323) (0.324) bride_body proportionality 0.123 0.133 0.006 0.013 (0.096) (0.097) (0.116) (0.115) bride_height 0.001 0.001 0.037*** 0.039*** (0.013) (0.013) (0.014) (0.014) difference in education level -0.068** 0.004 (0.033) (0.037) difference in age -0.043 0.125*** (0.030) (0.046) n-observations 436 436 489 489 r-squared 0.193 0.204 0.250 0.263 note: the explained variable is the natural logarithm of the value of mahr. each regression includes a constant and year of marriage dummies. the values in parentheses are heteroskedasticity-robust standard errors. *, ** and *** indicates significance at the 10, 5 or 1 percent level. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 334 results from robustness tests the above estimations include groom’s income, groom’s employment status and bride’s employment status whose coefficients never turn out to be statistically significant. this may cause model overfitting and mislead the results. to deal with such concern, estimations in table 3 are repeated without the aforementioned three variables. table 6 results from robustness tests full sample (1) (2) (3) (4) groom_ownership of assets 0.183*** 0.176*** 0.179*** 0.173*** (0.040) (0.040) (0.040) (0.040) groom_education level 0.090*** 0.089*** 0.086*** 0.085*** (0.019) (0.020) (0.020) (0.020) groom_age 0.002 -0.001 -0.015 -0.019 (0.016) (0.016) (0.025) (0.025) groom_javanese 0.134 0.119 0.145 0.128 (0.193) (0.192) (0.197) (0.196) groom_sundanese 0.531** 0.510** 0.520** 0.500** (0.217) (0.217) (0.220) (0.220) groom_betawi 1.101*** 1.123*** 1.033*** 1.060*** (0.278) (0.278) (0.280) (0.280) groom_body proportionality 0.086 0.086 0.090 0.090 (0.081) (0.080) (0.081) (0.081) groom_height -0.008 -0.010 -0.007 -0.009 (0.009) (0.009) (0.009) (0.009) bride_education level 0.060*** 0.057*** 0.059*** 0.057*** (0.021) (0.021) (0.021) (0.022) bride_age 0.008 0.010 0.022 0.024 (0.017) (0.017) (0.023) (0.023) bride_javanese -0.453** -0.461** -0.458** -0.466** (0.190) (0.190) (0.194) (0.193) bride_sundanese -0.286 -0.276 -0.305 -0.295 (0.226) (0.227) (0.228) (0.228) bride_betawi -0.193 -0.244 -0.156 -0.208 (0.314) (0.314) (0.310) (0.311) bride_body proportionality 0.064 0.060 (0.074) (0.075) bride_height 0.023** 0.023** (0.010) (0.010) difference in education level -0.028 -0.029 (0.024) (0.024) difference in age 0.025 0.026 (0.029) (0.028) difference in ethnicity 0.180 0.163 (0.137) (0.136) n-observations 925 925 925 925 r-squared 0.216 0.222 0.220 0.225 note: the explained variable is the natural logarithm of the value of mahr. each regression includes a constant and year of marriage dummies. the values in parentheses are heteroskedasticity-robust standard errors. *, ** and *** indicates significance at the 10, 5 or 1 percent level. friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 335 the results are reported in table 6. the coefficients of groom’s ownership of assets, groom’s education level, and bride’s education level remain statistically significant. the coefficients of the dummy for sundanese groom, the dummy for betawi groom and the dummy for javanese bride also remain significant. the coefficient of bride’s height does not qualitatively change and remain significantly positive at the 5 percent level. further tests suggest that the results in table 3-5 are robust. due to space restrictions, the details of these tests are not presented here, but available from the authors upon request. further discussions the fact that groom’s ownership of assets, groom’s level of education and bride’s level of education have a significant effect on the value of mahr supports the hypothesis that the socioeconomic status of a groom matters (habibi, 1997). this is also in line with previous findings that ownership of assets and level of education affect the value of dowry in pakistan and india (anderson, 2000; dalmia & lawrence, 2005; murat, 2013). the fact that groom’s income, groom’s and bride’s employment status, groom’s and bride’s age, and groom’s and bride’s ethnicity do not have a robust significant effect on the value mahr, however, qualifies that the relationship between socioeconomic status and the value of mahr is not the same for all forms of socioeconomic status. in contrast to the theoretical prediction (habibi, 1997), perceived probability of divorce – as represented by differences in in education level, age and ethnicity of a marrying couple– does not have a significant effect on the value of mahr. perhaps, it is due to overoptimism among parental families of the marrying couple regarding the stability of their marriage, making the perceived probability of divorce slender. finally, the facts that body proportionality does not have a significant effect on the value of mahr and that the effect of bride’s height is not robust to sample or subsample composition lend no support to the hypothesis that physical appearances matter. this is consistent with previous finding (habibi, 1997) that body proportionality and height are not empirically important for the value of mahr. conclusion this paper analyzes the factors that determine the value of mahr in the marriage of muslims. it uses ordinary least squares (ols) regressions covering a sample of 951 groomand-bride couples from the last three waves of the indonesian family life surveys (ifls). the main finding is that socioeconomic status in the forms of groom’s ownership of assets and groom’s education level matter most for the value of mahr. this holds for all regression scenarios, i.e. regressions with full sample, with a subsample of couples whose groom belongs to javanese ethnicity, with a subsample of couples whose groom belongs to non-javanese ethnicity, with a subsample of couples whose bride belongs to javanese friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 336 ethnicity and with a subsample of couples whose bride belongs to non-javanese ethnicity. socioeconomic status in the form of bride’s education level matters, with exceptions for regression that includes couples whose bride is javanese. socioeconomic status in the forms of groom’s income, groom’s employment status and bride’s employment status do not have a significant effect on the value mahr. perceived risk of divorce as represented by differences in the socioeconomic status of a marrying couple do not have a significant effect on the value of mahr. the effect of physical appearances in the form of body proportionality do not have a significant effect on the value of mahr, while the effect of physical appearances in the form of bride’s height is at best not robust and subject to the sample or subsample included. the finding in this paper can be useful as a reference to help future grooms and brides to make decisions related to their marriage, particularly decisions on the value of mahr to offer or to demand. the finding in this paper can also be useful to help muslim societies in general to evaluate the ongoing practices and anticipate possible reforms. while best effort has been made to ensure the validity of the current research, further examination is needed. perhaps by expanding the number and diversity of marrying couples in the sample, improving the measurement of the value of mahr, or using better proxies for perceived probability of divorce. references abd wakil, m. n., & ahmad, c. m. (2017). the historical impact on the valuation of dowry (mahr) rate: pre and post-colonial eras in johor. ulum islamiyyah, 22, 11-20. https://doi.org/10.33102/uij.vol22no0.4 afzal, m., bean, l. l., & husain, i. (1973). muslim marriages: age, mehr, and social status. the pakistan development review, 12(1), 48–61. https://doi.org/10.30541/v12i1pp.48-61 aini, n. (2014). tradisi mahar di ranah lokalitas umat islam: mahar dan struktur sosial di masyarakat muslim indonesia. ahkam : jurnal ilmu syariah, 14(1). retrieved from http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/1239 alu syaikh, a.m., ghoffar, a., & abu ihsan, a. (2018). terjemahan kitab lubabut tafsir min ibni katsir. jakarta: pustaka imam asy-syafi'i. anderson, k. s. (2000). the economics of dowry payments in pakistan. center for economic research. retrieved from https://pure.uvt.nl/ws/portalfiles/portal/536650/82.pdf ashraf, n., bau, n., nunn, n., & voena, a. (2018). bride price and female education. national bureau of economic research. https://doi.org/10.3386/w22417 as-siba’i, m. (1999). al mar ah baina al-fiqh wa al-qanun. beirut: muassasah azahari, r., & ali, h. m. (2015). mahr as a form of economic security: a preliminary study. arab law quarterly, 29(3), 296–305. https://doi.org/10.1163/15730255-12341300 azzam, a.a.m., hawwas, a.w.s., khon, a.m. (2011). fiqh munakahat: khitbah, nikah, dan talak. jakarta: amzah. but, l-o., & muhametov, a-r. (2013). love and sex in islam. murad sayfuddin. chowdhury, a.r. (2008). money and marriage: a fresh look at marriage transactions in rural india. dissertation. brown university. https://doi.org/10.33102/uij.vol22no0.4 https://doi.org/10.30541/v12i1pp.48-61 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/1239 https://pure.uvt.nl/ws/portalfiles/portal/536650/82.pdf https://doi.org/10.3386/w22417 https://doi.org/10.1163/15730255-12341300 friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 337 dalmia, s., & lawrence, p.g. (2005). the institution of dowry in india: why it continues to prevail. the journal of developing areas, 38(2), 71–93. retrieved from http://www.jstor.org/stable/4192976 danyal, k. (2015). muslim law of marriage dower, divorce and maintenance. regal publications. dasog, s.b. (1998). dowry system in rural india. karnatak university. el alami, d.s., & hinchcliffe, d. (1996). islamic marriage and divorce laws of the arab world. london: published for cimel soas by kluwer law international. ghazali, a.r. (2008). fiqh munakahat. 3rd ed. jakarta: kencana media group. habibi, n. (1997). an economic analysis of the prenuptial agreement (“mahrieh”) in contemporary iran. economic development and cultural change, 45(2), 281–293. https://doi.org/10.1086/452274 ishak, o. (1983). maskahwin dalam perundangan islam dan pelaksanaannya di semenanjung malaysia. jurnal hukum, 3(1), 20-29. korson, j. h. (1968). the roles of dower and dowry as indicators of social change in pakistan. journal of marriage and family, 30(4), 696–707. https://doi.org/10.2307/349519 kurniawan, r. (2020). determinants of the dowry: finding from ifls east. jurnal dinamika ekonomi pembangunan, 2(2), 71-79. https://doi.org/10.14710/jdep.2.2.71-79 lowes, s., & nunn, n. (2018). bride price and the wellbeing of women. oxford: oxford university press. maghniyyah, m. j. (1997). marriage, according to the five schools of islamic law. tehran: islamic culture and relations organization. mehdi, r. (2001). gender and property law in pakistan. copenhagen: djøf publishing. moors, a. (1994). women and dower property in twentieth-century palestine: the case of jabal nablus. islamic law and society, 1(3), 301–331. retrieved from https://www.jstor.org/stable/3399234 murat, j. (2013). the bridal income and education effects on the dowry a case study in rural karnataka, india. lunds universitet. nurcahyono, m.l. (2020). perempuan dan hak-hak atas harta mahar, fungsi, dan persepsi masyarakat di indonesia. research report iain jember. rahman, t. (1970). law of dower in islam. all pakistan legal decisions. ridha, m.r. (1975). ifuqüq an-nisa’ß l-isläm. beirut: maktab al-islàmï. sahay, r., & sahay, r. (1996). dowry and dower in muslim marriage : a study among muslim telis of delhi. indian anthropologist, 26(1), 47–52. retrieved from http://www.jstor.org/stable/41919792 siddiqui, m. (1995). mahr: legal obligation or rightful demand? journal of islamic studies, 6(1), 14–24. retrieved from http://www.jstor.org/stable/26195542 singh, r. k. (2010). law of dower (mahr) in india. journal of islamic law and culture, 12(1), 58–73. https://doi.org/10.1080/1528817x.2010.528594 strauss, j., beegle, k., sikoki, b., dwiyanto, a., herawati, y., & witoelar, f. (2004). the third wave of the indonesia family life survey (ifls3): overview and field report. strauss, j., witoelar, f., & sikoki, b. (2016). the fifth wave of the indonesia family life survey: overview and field report. strauss, j., witoelar, f., sikoki, b., & wattie, a. m. (2009). the fourth wave of the indonesian family life survey (ifls4): overview and field report. syafqat, m. (1979). the muslin marriage, dower & divorce. lahore: law publishing company. tugby, d. j. (1959). the social function of mahr in upper mandailing, sumatra. american anthropologist, 61(4), 631–640. retrieved from http://www.jstor.org/stable/667151 http://www.jstor.org/stable/4192976 https://doi.org/10.1086/452274 https://doi.org/10.2307/349519 https://doi.org/10.14710/jdep.2.2.71-79 https://www.jstor.org/stable/3399234 http://www.jstor.org/stable/41919792 http://www.jstor.org/stable/26195542 https://doi.org/10.1080/1528817x.2010.528594 http://www.jstor.org/stable/667151 friantoro & susamto the determinants of the value of mahr in muslim societies: … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 338 wani, m. a. (2001). muslim women’s right to “mahr”: an appraisal of the statutory laws in muslim countries. journal of the indian law institute, 43(3), 388–409. retrieved from http://www.jstor.org/stable/43951783 wynn, l. (2008). marriage contracts and women's rights in saudi arabia: mahr, shurūt, and knowledge distribution. in a. quraishi, & f. e. vogel (eds.), the islamic marriage contract: case studies in islamic family law (pp. 200-214). (harvard series in islamic law). islamic legal studies program, harvard law school. yassari, n. (2013). understanding and use of islamic family law rules in german courts: the example of the mahr. in applying sharia in the west-facts, fears and the future of islamic rules on family relations in the west, leiden university press. http://www.jstor.org/stable/43951783 microsoft word 09-gigih jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm.182-189   adaptasi nelayan perikanan laut tangkap dalam menghadapi perubahan iklim nurtjahja moegni1, ahmad rizki2, gigih prihantono3 1,2,3 fakultas ekonomi universitas airlangga jalan airlangga no.4 surabaya 60286, indonesia. phone: (031) 5033642 e-mail korespondensi: gigih.prihantono@yahoo.co.id naskah diterima: maret 2013; disetujui: agustus 2014 abstract: this study presents the response of fisheries management to the extreme climatic affect marine fisheries in jember district. extreame weather la nina and el nino increasing sea wave and change wild fish population, causing increasing cost for fisherman. quantitative methodology for use research in use data maritime ministry, the national oceanic and atmospheres administration, bmkg and primery data. this study suggests that responding to extreme climatic influences on fisheries include (1) establishing an early warning system by connecting fisheries agencies and marine research institutions to assist decision makers in performing time-adaptive measures, (2) temporarily suspending subsidy activity to help managing cost in extreame weather, (3) develop research technology for managing extreme weather events. keywords: fisheries; marine; climate change; extreme weather; updating; subsidies jel classification: d24, h23, q22 abstrak: studi ini menggambarkan respon dari managemen perikanan laut tangkat dengan kejadian cuaca ekstrim yang mempengaruhi perikanan laut tangkap di kabupaten jember. kejadian la nina dan el nino menyebabkan semakin tingginya gelombang laut dan perubahan arus ikan sehingga meningkatkan biaya melaut nelayan. metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung datadata dari kementrian kelautan dan perikanan, the national oceanic and atmospheric administration (noaa), bmkg dan survey. hasil dari studi ini menunjukkan bahwa untuk merespon pengaruh cuaca ekstrim pada industry perikanan laut harus mencakup beberapa hal. pertama, mendirikan sistem peringatan dini dengan menghubungkan lembaga perikanan, bmkg dan lembaga penelitian kelautan untuk membantu pengambilan keputusan dalam melakukan langkah-langkah adaptif dengan membentuk pusat monitoring lingkungan. sementara waktu memberlakukan sistem subsidi pada kegiatan penangkapan ikan untuk mengurangi biaya yang timbul akibat cuaca ekstrim. tiga, melakukan penelitian untuk mengembangkan tekonologi, guna mengelola perubahan cuaca ekstrim yang terjadi. kata kunci: nelayan; perikanan; perubahan iklim; cuaca ekstrim; updating; subsidi klasifikasi jel: d24, h23, q22 pendahuluan industri pengelolaan perikanan laut merupakan industri yang rentan terhadap perubahan cuaca ekstrim yang diakibatkan oleh fenomena pemanasan global. pengaruh tersebut berasal dari sisi supply di mana dapat terjadi penurunan jumlah tangkapan yang dihasilkan nelayan. salah satu dampak dari perubahan iklim global adalah terjadinya fenomena elnino (meningkatnya suhu samudera pasifik) dan la nina (menurunnya suhu samudera pasifik) yang mempengaruhi samudera-samudera di seluruh dunia. terjadinya fenomena tersebut mengakibatkan suhu permukaan air laut berubah, sehingga mempengaruhi pola adaptasi nelayan perikanan ... (nurtjahja moegni, ahmad rizki, gigih prihantono) 183 kehidupan ikan. perubahan suhu akan mempengaruhi zona upwelling (tempat mencari makan) ikan dapat mengakibatkan tidak hanya penurunan, tetapi juga pergeseran populasi spesies ikan ke laut yang lebih dingin atau panas. selain itu terjadinya fenomena tersebut juga mengakibatkan kenaikan gelombang yang mempengaruhi biaya melaut nelayan. donnelly dan woodruf (2007) menunjukkan bahwa terjadinya el nino atau la nina mempengaruhi terjadinya intensitas badai di wilayah atlantik afrika barat. mereka menyimpulkan bahwa periode badai atlantik intensitasnya cenderung meningkat bersamaan dengan terjadinya el nino atau la nina. terjadinya el nino dan la nina akan mengakibatkan perubahan sirkulasi lautan dan menguah habitat laut (allison, dkk; 2009). mereka menemukan bahwa peningkatan suhu air laut akan membatasi produksi primer, meningkatkan pemutihan karang dan mengurangi keanekaragaman hayati beberapa ekosistem. temuan dari chang, dkk (2009) dan hsieh, dkk (2008) melaporkan terjadinya peristiwa perubahan suhu air yang ekstrim pada wilayah perairan kepulauan penghu negara taiwan bagian selatan mengakibatkan kematian ikan laut disekitar wilayah tersebut. indonesia merupakan negara maritime yang diapit oleh dua samudera yaitu samudera pasifik dan samudera hindia. sehingga ketika terjadi perubahan suhu dan cuaca ekstirm di wilayah samudera pasifik akibat el nino atau la nina akan meningkatkan tinggi gelombang di seluruh laut wilayah indonesia. hasil penelitian kurniawan (2012) menunjukkan bahwa terdapat korelasi tinggi antara indeks nino dengan peningkatan tinggi gelombang yang terjadi di wilayah perairan indonesia. wilayah perairan indonesia yang mempunyai korelasi tinggi dengan terjadi el nino dan la nina adalah perairan utara maluku dan perairan selatan jawa. sehingga ketika terjadi el nino dan la nina dapat diprediksi dua perairan tersebut akan mengalami kenaikan tinggi gelombang dari rata-rata tinggi normalnya. wilayah pesisir selatan jawa terdiri dari 5 provinsi dan 22 kabupaten. wilayah pesisir selatan jawa yang paling banyak dan paling luas dimiliki oleh provinsi jawa timur dengan 8 kabupaten, salah satunya adalah kabupaten jember. fokus penelitian ini ditetapkan di wilayah laut selatan jatim tepatnya adalah kabupaten jember. kabupaten jember dipilih sebagai daerah penelitian dikarenakan beberapa alasan. alasan pertama adalah selama 15 tahun terakhir terhitung dari tahun 1998 sampai tahun 2013 hasil tangkapan laut kabupaten ini cenderung konstan di angka 8000 sampai 9000 ton. alasan kedua diperkirakan kabupaten ini mempunyai potensi sektor perikanan mencapai 40.000 ton per tahun namun potensi sektor perikanan yang ada saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (www.dkp jember.com). alasan ketiga adalah jumlah nelayan kabupaten jember selama 15 tahun terakhir terhitung dari tahun 1998 sampai tahun 2013 cenderung konstan antara 14.000 sampai 15.000 dibandingkan wilayah pesisir selatan jawa timur lain. karena hal tersebut menarik untuk dicermati bagaimana pengaruh dampak perubahan cuaca ekstrim terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan di kabupaten jember. metode penelitian untuk mengestimasi efek dari perubahan cuaca asing pada kondisi sosial ekonomi nelayan di kabupaten jember, maka penelitian ini menggunakan survey lapangan kepada para nelayan di sana. metode penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling sebanyak 100 nelayan. untuk memperkirakan dampak pemanasan global bagi nelayan, maka penelitian ini menggunakan model pilihan lokasi (model of locational choice). karena lokasi melaut berpindah-pindah secara random, maka yang bisa kami lakukan hanya melakukan pengukuran asumsi berdasarkan wilayah rata-rata mencari ikan sebagai berikut: 1) daerah melaut yang dekat dari pantai atau masih terlihat untuk melaut; 2) daerah melaut jauh dari pantai tetapi masih di wilayah kabupaten jember; 3) daerah melaut di luar kabupaten jember. pembagian wilayah tersebut diambil dikarenakan, tiga kategori tersebut mewakili pilihan nelayan di wilayah kabupaten jember untuk melakukan pencarian ikan. untuk memilih apakah nelayan memutuskan memilih jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 182-189 184 salah satu tiga tempat tersebut, kami mengasumsikan terdapat dua faktor besar yaitu ekspektasi keuntungan pada pilihan lokasi dan biaya yang harus dikeluarkan. untuk membentuk ekspektasi keuntungan pada pilihan lokasi, kami melakukan kalkusi berdasarkan keuntungan yang didapat ketika nelayan melakukan trip di lokasi tersebut dan diperbarui oleh informasi tentang berapa lama nelayan sering melakukan trip di daerah tersebut sebelumnya. perhitungan biaya dihitung berdasarkan, total cost yang harus dikeluarkan nelayan rata-rata setiap kali mereka melakukan trip. selain itu pemilihan trip juga ditentukan oleh jenis kapal yang digunakan oleh nelayan. model estimasi ekonometri menggunakan model nested logistik dari kondisi tersebut adalah sebagai berikut: 1) variabel vi menggambarkan pilihan nelayan untuk melakukan kegiatan menangkap ikan atau tidak. variabel profit menunjukkan rata-rata keuntungan pada lokasi-lokasi yang tersedia diwilayah tersebut. variabel boat merupakan variabel dummy tentang perahu yang digunakan oleh nelayan. jika perahu yang digunakan berjenis jukung maka bernilai nol dan jika bukan jukung maka bernilai 1. tc adalah variabel yang menunjukkan total biaya pada saat nelayan berangkat satu kali melaut. secara keseluruhan, jumlah nelayan yang diamati adalah 100 kapal dan melakukan trip berpindah adalah sebanyak 12 kali per kapal. pengumpulan data menggunakan log book yang berisi informasi terkait tanggal, lokasi dan penggunaan input. dari data tersebut maka bisa diketahui pola nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. data tinggi gelombang didadapat dari the national oceanic and atmospheric administration (noaa) dan badan meteorology klimatologi dan geofisika (bmkg). efek el nino dan la nina terhadap tinggi gelombang selama periode amatan terhadap data-data tinggi gelombang laut kabupaten jember, kami melakukan pembagian perhitungan menjadi tiga kategori. kategori pertama adalah perhitungan rata-rata tinggi gelombang pada waktu normal tidak terdapat el nino maupun la nina. kategori kedua adalah rata-rata tinggi gelombang pada waktu terjadinya el nino dan kategori ketiga adalah rata-rata tinggi gelombang pada waktu terjadinya la nina. grafik dari perhitungan tersebut dapat dilihat pada gambar 1. data yang ditunjukkan pada gambar 1 memberikan pesan bahwa terjadinya el nino dan la nina yang diukur dair tahun terjadinya el nino dan la nina serta data tinggi gelombang laut dari bmkg mempengaruhi terciptanya variasi tinggi gelombang. data pada gambar, menunjukkan bahwa volatilitas gelombang yang disebabkan oleh el nino lebih kecil dari pada gelombang yang disebabkan oleh la nina. nelayan kabupaten jember menghadapi gelombang tinggi ketika terjadi pada bulan februari serta bulan juli sampai september, pada periode tersebut gelombang laut di perairan jember rata-rata mencapai tinggi lebih dari 2 meter. ketika ketinggian gelombang mencapai gambar 1. rata-rata tinggi gelombang laut kabupaten jember adaptasi nelayan perikanan ... (nurtjahja moegni, ahmad rizki, gigih prihantono) 185 2 meter maka hampir seluruh jenis kapal penangkapan ikan yang sedang berlayar akan terpengaruh (guide marine meteorological servce, 2001). kondisi tersebut semakin buruk ketika wilayah laut kabupaten jember terkena anomali la nina. anomali la nina menyebabkan gelombang laut rata-rata mencapai tiga meter pada periode april sampai september. kondisi ini memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi pencarian ikan bagi nelayan. nelayan akan memerlukan lebih banyak bahan bakar untuk dapat berlayar dengan baik pada saat terjadinya gelombang tinggi. gelombang tinggi juga memberikan dampak tidak dapat berlayarnya jukung nelayan (prihantono,2010). kenaikan suhu permukaan air laut membawa konsekuensi terjadinya coral bleaching, bergesernya habitat dan dapat sampai hilangnya spesies laut. selain dampak langsung terhadap perikanan, meningkatnya tinggi gelombang laut berimplikasi pada kegiatan aquaculture dan water supplies masyarakat pesisir. efek el nino dan la nina terhadap lingkungan laut terjadinya el nino dan la nina menyebabkan perubahan suhu air laut yang signifikan. meskipun sebagian besar lautan mengalami suhu air yang tinggi di bawah pengaruh peruabahan iklim, namun kejadian cuaca dingin ekstrim juga telah banyak dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir. memahami efek lokal akibat dari perubahan iklim terhadap ekosistem laut sangat penting dikarenakan masyarakat pesisir membutuhkan informasi tersebut. penelitian dari kuo dan ho (2004) menunjukkan bahwa angin muson timur di wilayah samudera hinda jauh lebih kuat selama terjadinya la nina pada musim dingin 1998/1999 dari pada el nino pada musim dingin 1997/1998. chang, dkk (2009) melaporkan bahwa kecepatan angin di laut cina selatan meningkat tajam dan berlangsung dalam waktu yang lama selama terjadinya la nina sehingga menyebabkan pergeseran arus hangat ke wilayah laut jawa sampai samudera hindia yang mengakibatkan penurunan suhu air yang signifikan. kondisi perubahan iklim juga berdampak pada interaksi antara laut dan udara. pada gambar 2 menunjukkan hasil statistik dari distribusi kekuatan yang lebih dari 6 m/s. periode kecepatan angin yang kuat (6 m/s <) selama terjadinya la nina berlangsung 8 sampai 19 hari dan ketika terjadi el-nino durasi waktunya hanya 2-8 hari. terjadinya kondisi tersebut, membuat produksi ikan menurun yang berujung pada menurunnya pendapatan dan ketahanan pangan, sehingga nelayan mencari mata pencaharian alternatif atau menggunakan teknik memancing yang dapat menghasilkan lebih banyak tangkapan tetapi membebani ekosistem laut (brashares, 2004). perubahan ekstrim pada lingkungan laut dapat merubah tata cara pengelolaan pesisir dan stabilitas sosial ekonomi disana. kondisi tersebut membuat pengelolaan perikanan laut tangkap harus berubah untuk dapat beradaptasi dengan adanya perubahan iklim (allison, dkk: 2006; grafton, 2010 dan mcilgorm, dkk: 2010). namun untuk mengubah kondisi tersebut, pemerintah daerah belum menyediakan langkah-langkah adaptif dan belum terdapat gambar 2 variasi kekuatan angin pada wilayah pesisir kabupaten jember jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 182-189 186 payung hukum di dalamya. khususnya peraturan yang mengatur pengelolaan ekosistem pesisir di mana memang pengaruh perubahan iklim tidak dapat dirasakan secara langsung. untuk itu yang bisa kami lakukan adalah melakukan model estimasi dan memperkirakan dampak kesejahteraannya agar memperkuat argumentasi perlu yang memerlukan mitigasi terhadap perubahan iklim. hasil dan pembahasan masalah empiris yang harus dipecahkan ketika terjadi perubahan iklim, bagaimana perubahan perilaku nelayan dalam melakukan kegiatan melaut. untuk mengatasi hal tersebut maka digunakanlah pengukuran tempat alternatif tangkapan yang disusun berdasarkan tiga alternatif. pada model pertama diasumsikan bahwa nelayan dapat memperbarui harapan mereka untuk kembali ke tempat tangkapan meskipun mereka mempunyai pengalaman bahwa tempat tersebut tidak memberikan hasil yang tangkapan yang bagus (updating). dalam model berikutnya, diasumsikan bahwa nelayan tidak akan kembali ke tempat penangkapan yang tidak memberikan hasil tangkapan yang bagus dalam jangka satu bulan. model terakhir adalah “mixed model” di mana asumsi yang digunakan nelayan selalu melakukan update informasi untuk mendapatkan harapan pada hasil yang diperoleh. bisa saja nelayan tersebut datang pada situs memancing yang tidak menghasilkan dalam waktu dekat atau nelayan tersebut mendengar informasi dari nelayan lain dan kemudian mendatangi lokasi yang tidak menghasilkan pada saat sedang berada di tengah laut. tabel 1 menunjukkan hasil estimasi keputusan nelayan pada pilihan situs perikanan untuk masing-masing model menunjukkan tingkat signifikan sebesar 0,05. tanda pada koefisien pada semua variabel sesuai dengan teori yang ada. secara khusus variabel sprofit mempunyai efek positif meningkatkan probabilitas keputusan nelayan pada ketiga tempat tersebut. hal tersebut mempunyai arti bahwa keputusan nelayan untuk memilih kembali, tidak kembali atau nanti kembali dalam waktu dekat pada suatu situs ditentukan oleh seberapa besar ekspektasi keuntungan yang akan didapat. variabel boat juga berpengaruh signifikan positif terhadap pengambilan keputusan nelayan dalam menentukan pilihan situs penangkapan ikan. ketika nelayan mendapatkan informasi tentang suatu situs penangkapan, nelayan mempertimbangkan jenis kapal yang mereka punya. semakin kapal tersebut memiliki kapasitas gross ton yang lebih besar maka semakin besar kemungkinan para nelayan berpindah situs mengikuti informasi yang ada. kondisi ini juga menjelaskan bahwa semakin tinggi teknologi yang digunakan maka nelayan akan lebih mampu beradaptasi terhadap kondisi perubahan iklim. variabel tc (total cost) memberikan gambaran negatif terhadap keputusan nelayan dalam menentukan pilihan situsnya. dapat dilihat pada ketiga model, bahwa nilai negatif variabel tc paling besar pada model no updating, hal ini memberikan indikasi bahwa kemungkinan besar nelayan tidak mau kembali ke situs yang tidak menghasilkan dikarenakan biaya untuk kembali lebih besar, meskipun mereka mendapat informasi tambahan bahwa situs tersebut memiliki panen ikan yang besar pada saat ini. tabel 1. hasil empiris model nested logistik updating no updating mixed sprofit 0,03473 (18,273)** 0,0083 (14,821)** 0,00573 (15,102)** boat 0,1372 (11,912)** 0,6681 (24,891)** 0,0834 (20,356)** tc -0,427 (32,283)* -0,735 (39,101)** -0,524 (41,621)* site pseudo r2 0,68 0,54 0,73 fishery/target pseudo r2 0,42 0,37 0,52 percentage of choice occasions correctly predicted 62,6 64,1 72,7 * t-statistic value significant in level 0,05 uji tambahan dari model tersebut adalah kemampuan prediksi model dalam memprediksi keputusan nelayan dalam memilih. dari hasil r2 memperlihatkan bahwa mixed model adaptasi nelayan perikanan ... (nurtjahja moegni, ahmad rizki, gigih prihantono) 187 memiliki persentase tertinggi dalam memprediksi perubahan tersebut. kondisi ini menunjukkan bahwa adaptasi nelayan dalam era perubahan iklim ini adalah melakukan perhitungan-perhitungan yang lebih rasional dalam menentukan keputusan untuk menangkap ikan disuatu situs. para nelayan akan mengelola informasi baik dari ekspektasi keuntungan yang diperoleh, kapal yang digunakan dan biaya yang harus dikeluarkan ketika terjadi tambahan informasi tentang suatu situs. ketika pertimbangan tiga variabel tersebut dirasa masih dapat mendatangkan keuntungan, para nelayan akan pergi ke suatu situs yang diinformasikan meskipun berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya situs tersebut tidak memberikan keuntungan yang lebih. berdasarkan model pada tabel 1 maka dapat diperkirakan perkiraan subsidi yang dapat diberikan akibat terjadinya dampak perubahan iklim pada masing-masing model. perkiraan nilai subsidi diukur dalam mata uang rupiah untuk sekali melaut. hasil estimasi tingkat kesejahteraan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. estimasi besarnya subsidi akibat perubahan iklim updating no updating mixed melaut dekat pantai rp. 19.340 rp. 15.000 rp. 25.270 melaut wilayah jember rp. 26.820 rp. 17.420 rp. 34.810 melaut luar wilayah jember rp. 36.715 rp. 21.250 rp. 49.800 secara keseluruhan, perhitungan model menghasilkan suatu estimasi bagi nelayan di kabupaten jember perlu diberikan subsidi untuk menutupi keuntungan yang hilang akibat dampak perubahan iklim. untuk nelayan yang wilayah melautnya dekat pantai dapat diberikan bantuan subsidi antara rp15.000 sampai rp25.270 untuk setiap melaut. untuk nelayan yang melaut jauh dari pantai tetapi masih di wilayah kabupaten jember dapat diberikan bantuan subsidi antara rp17.420 sampai rp34.810. untuk nelayan yang melaut di luar wilayah kabupaten jember dapat diberikan bantuan subsidi antara rp21.250 – rp49.800. bentuk dari subsidi tidak hanya berupa uang tunai, tetapi lebih pada subsidi barang. seperti harga bahan bakar nelayan yang diberikan subsidi untuk pembeliannya, sehingga kondisi tersebut lebih efektif dalam mengurangi biaya melaut nelayan akibat cuaca ekstrim. penelitian menunjukkan bahwa langkahlangkah adaptif harus dilakukan dengan melihat perilaku nelayan dalam melaut. sebagai contoh, bahwa nelayan yang cenderung menetap dalam mencari ikan di suatu tempat dengan nelayan yang sering berpindah disuatu tempat harus dibedakan cara penangannya. selain itu kapal dengan kapasitas gt yang kecil dengan kapasitas gt besar juga harus dibedakan cara penangannya. dilihat dari sisi lingkungan, penelitian ini menyarankan perlunya pengelolaan sumber daya perikanan berbasis ekosistem, dengan menyediakan data dan melakukan edukasi pada nelayan tentang ketahanan biofisik laut dan dampaknya bagi kehidupan sosial-ekonomi mereka (mcilgrom dkk, 2010). bentuk dari pengurangan dampak perubahan iklim/cuaca yang ekstrim adalah membentuk sebuah unit teknis sebagai “pusat monitoring lingkungan”. di dalamnya berisi informasi biofisik laut, sosial-ekonomi nelayan dan pemerintah. penjabaran dari konsep tersebut ditampilkan pada gambar 3. pusat monitoring lingkungan mempunyai inti manfaat pada ketersediaan data biofisik lautan untuk membantu nelayan dalam mengambil keputusan melaut. pusat monitoring lingkungan ini dalam cara kerjanya terdiri dari tiga langkah terpisah. langkah pertama adalah mengkoordinasikan pengumpulan data lingkungan, cuaca dan biofisik lautan. langkah kedua adalah melakukan identifikasi potensi anomali iklim berdasarkan informasi dari data yang didapat. langkah ketiga adalah membuat keputusan adaptif pada tingkat pemerintah daerah. kemudian sumber daya manusia pada pusat monitoring lingkungan melakukan edukasi atau pengumuman kepada nelayan terkait jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 182-189 188 peristiwa anomali iklim, sehingga nelayan dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menanggapi peristiwa tersebut. simpulan dampak perubahan iklim pada ekosistem laut dapat berpengaruh terhadap sektor perikanan laut tangkap. akibat yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial ekonomi nelayan adalah meningkatnya biaya melaut dan berubahnya perilaku melaut nelayan. berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, memperlihatkan bahwa perilaku nelayan menangkap ikan akan berpindah tempat berdasarkan informasi yang selalu diperbaruhi. namun nelayan tidak mengetahui apakah informasi yang mereka terima dapat benar-benar memberikan keuntungan pada mereka atau malah merugikan. untuk itu pemerintah daerah perlu melakukan langkahlangkah adaptif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. untuk jangka pendek pemerintah daerah perlu memberikan subsidi biaya melaut pada nelayan yang disesuaikan dengan kategori mereka. dalam jangka panjang pemerintah daerah dapat membangun pusat monitoring lingkungan untuk memberikan peringatan bagi para nelayan tentang kondisi biofisik laut saat ini, sehingga menghindarkan mereka dari kerugian. daftar pustaka allison eh, perry al, badjeck mc, adger wn, brown k, conway d. (2009). climate change and fisheries: a comparative analysis of the relative vulnerability of 132 countries. fish fish, vol 10(2): 173–96. allison eh, horemans b. (2006). putting the principles of the sustainable livelihoods approach into fisheries development policy and practice. mar policy vol 30(6): 757– 66 brashares j, arcese p, sam m, coppolillo p, sinclair a, balmford a.(2004) bushmeat, hunting, wildlife declines, and fish supply in west africa. science vol 306:1180–3. chang y, lee kt, lee ma, lan kw. (2009) satellite observation on the exceptional intrusion of cold water in the taiwan strait. terr atmos oceanic sci vol 20(4): 661–9. donnelly jp, woodruff jd. (2007). intense hurricane activity over the past 5, 000 years gambar 3. flowchart manfaat pusat monitoring lingkungan sebagai pertimbangan nelayan dalam memutuskan berlayar adaptasi nelayan perikanan ... (nurtjahja moegni, ahmad rizki, gigih prihantono) 189 controlled by el niño and the west african monsoon. nature 447 : 465–468. grafton rq. (2010). adaptation to climate change in marine capture fisheries. mar policy vol 34: 606–15. hsieh hj, hsien yl, tsai ws. (2008). tropical fishes killed by the cold. coral reefs vol 27(3) : 599. kurniawan, roni. (2012). karakteristik gelombang laut dan daerah rawan gelombang tinggi di perairan indonesia. tesis: universitas indonesia. tidak dipublikasikan. kuo nj, ho cr. (2004) enso effect on the sea surface wind and sea surface temperature in the taiwan strait. geophys res lett vol 31: l13309. mcilgorm a, hanna s, knapp g, floc 0 hp, millerd f, pan m. (2010). how will climate change alter fishery governance? insights from seven international case studies. mar policy vol 34: 170–7. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper the role of technology information on financial literacy in indonesia muhammad rizkan1*, romi bhakti hartarto2, supiandi3, and chieh-tse hou1 abstract: financial management literacy is a significant knowledge to assist individuals' financial condition. there are various factors influencing monetary management, including information technology (it). thus, this study aims to investigate the role of it affecting individual awareness of financial literacy in indonesia with household characteristics as the controlling variable; the data are generated from the indonesian family life survey conducted in 2014. probit and logit models signify that its and household characteristics positively and significantly affect financial literacy. in detail, handphones, televisions and newspapers, marital status, education level, and household income levels have a positive and significant influence on households' accessing financial knowledge. furthermore, multinomial logit estimation used to compare three different levels of financial literacy (low, medium, and high), indicates that six out of nine variables significantly affect financial literacy at low level to high levels, whereas only four out of nine influence financial literacy from medium to a high level. keywords: financial literacy; ifls; technology; household characteristic; probit; logit jel classification: g20; 010; g53 introduction in this digital era, individuals are expected to be more responsible for their financial situation, including their income, life expectancy, well-being, and financial freedom. individuals must be able to manage their funds to enhance their living standards (ameliawati & setiyani, 2018). furthermore, today's society is confronted with the unpredictability of financial products on the market, heightening the necessity for financial management. therefore, individual financial troubles are directly related to poor money management. individual and family financial illiteracy is one of the leading causes of personal financial problems. hence, a combination of financial issues, such as low income, excessive debt, and lack of financial knowledge, can harm the individual and household (fazli sabri et al., 2020). based on the definition by the organization for economic cooperation and development (oecd), financial literacy is not only about knowledge or understanding of what financial concepts are, but an understanding of the skill, motivation, and implementation of the concepts in life in order of making better financial decisions and improve individual financial wellbeing (swiecka et al., 2020). demirguc-kunt et al (2018) global index data affiliation: 1 department of finance at the college of management, national dong hwa university, taiwan 2 department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia 3 department of islamic economics, faculty of economics, universitas nahdlatul ulama west nusa tenggara, indonesia *correspondence: rizqone2014@gmail.com this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.14148 citation: rizkan, m., hartarto, r. b., supiandi, s., & hou, c-t. (2022). the role of technology information on financial literacy in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 157-170. article history received: 02 mar 2022 revised: 25 mar 2022 21 apr 2022 accepted: 26 apr 2022 https://scholar.google.co.id/citations?user=bp-4i4waaaaj&hl=en https://scholar.google.com/citations?user=hnf6keiaaaaj&hl=en https://c014.ndhu.edu.tw/bin/home.php?lang=en https://c014.ndhu.edu.tw/bin/home.php?lang=en https://c014.ndhu.edu.tw/bin/home.php?lang=en https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://ei.unu-ntb.ac.id/ https://ei.unu-ntb.ac.id/ https://ei.unu-ntb.ac.id/ https://ei.unu-ntb.ac.id/ mailto:rizqone2014@gmail.com http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/14148 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.14148&domain=pdf rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 158 base focuses on financial literacy based on three leading indicators: (1) ownership and use of an account at a formal financial institution, (2) saving behavior, and (3) borrowing activity. the addition of financial instruments and products positively impacts individuals to reach and access financial institutions. this diversity of instruments is created, considering individual demands and needs, such as financial services, payday loans, pawnshops, and mobile banking. thus, this will affect individuals' behavior in making a financial plan. according to lusardi and mitchell (2013), the assets and liabilities of the household balance sheet changed, for instance, the current generation is more in debt as they near retirement than earlier generations. some prior studies have found evidence that financial literacy may have essential role implications on financial behavior. individuals who are well-literate in financial literacy are more ready to plan their future life such as retirement (mitchell et al., 2011), unexpected expenses, and other costs (brounen et al., 2016; yoshino et al., 2017). individuals will also spend their money considerately and avoid over-indebtedness (huston, 2012). in addition, concerning the financial stock market, individuals who have well literacy might achieve higher net wealth due to an understanding of getting a better-diversified portfolio (darsono et al., 2022; gaudecker, 2015; tseng et al., 2019; van rooij et al., 2012). financial literacy is one of the crucial issues to be discussed, especially in lower-middleincome and middle-income countries such as indonesia. world bank (2014) reported that the share of indonesian age ranges 15to 24-year-olds with accounts in financial institutions is relatively low compared to other countries. only 12.8 % of young adults and less than 20 % of adults have accounts in the bank. according to a nationwide survey in indonesia, people with jobs are more likely to hold bank accounts for security concerns. on the other hand, people without jobs are less likely to use banking services (world bank data, 2022). according to a survey done by the financial services authority (ojk) in 2016, the level of financial literacy in indonesia is extremely poor (ojk, 2016). the financial literacy rate in indonesia is just around 21.8 percent, which means that only 22 people out of every 100 are financially literate. meanwhile, according to the most recent poll from 2016, there was a 6% increase (29.6 percent). this condition indicates that indonesians lack sufficient financial awareness. only 13 of the 34 provinces have a financial literacy level that is higher than the national average (29.70 percent). this demonstrates that public financial knowledge is not distributed equally across all jurisdictions. in terms of technology, indonesia is rapidly developing information technology, particularly internet usage. the internet penetration rate in indonesia continues to rise. only 10% of indonesia's population accessed the internet in 2010. meanwhile, by 2020, the number of internet users in indonesia will have increased fivefold (53 percent) (world bank data, 2020). financial technology makes it easier for the public to obtain financial products, makes transactions easier, and improve financial inclusion (atikah & ma’ruf, 2016; fazli sabri et al., 2020; hamori & kume, 2018; hon et al., 2021). according to wadhwa et al. (2019), people will be more aware of financial services if they have access to financial news channels, tv shows, publications, blogs, and other sources of information. nalini et al. (2016) also revealed that financial literacy has a direct impact on rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 159 investors' capacity to make solid financial income allocation decisions and boosts their overall financial strength. investor financial education programs accompanied by innovative instructional technology have an important role in increasing financial literacy. integration of financial programs with information technology practices will produce more significant benefits in the form of increased financial competence in the current setting when people rely on the internet as a source of information and services. financial literacy has been proven in several studies to improve people's ability to make better decisions that will benefit them in the future (yoshino et al., 2017). they claim that financial literacy is positively associated with personal financial management and that financially literate people are more likely to invest rather than spend their money. furthermore, financial education is required for gambling and any financial decision, for instance, risk assessment, budgeting, and awareness of random events. people with financial knowledge, for example, have a better chance of prospering in the money market. this has to do with a person's knowledge of the factors that drive market conditions (hurla et al., 2017). during the 1990s, previous research focused on people’s understanding of financial concepts, analyzing financial data, and understanding how to manage finances (bakken, 1966; chen & volpe, 1998; danes & hira, 1987). furthermore, hilgert and hogarth, (2003) and mitchell et al. (2011) stated that financial literacy is a measuring tool for understanding financial management as well as financial indicators such as access to banking, investment, etc. other financial literacy models are conceptualized into three dimensions: financial attitude, knowledge, and behavior (atkinson & messy, 2011). the term financial knowledge refers to the understanding of personal finance topics. a person's financial knowledge can be measured via a questionnaire. financial knowledge is often used with financial literacy, but the terms do not overlap completely. huston (2010) stated that financial knowledge is an integral dimension of, but not equivalent to financial literacy. financial attitude plays an important implication in financial literacy. someone with an excellent financial attitude will have adequate financial literacy as well. on the other hand, individuals who have a lack of financial attitude will have an impact on low financial literacy. with good financial literacy, people make choices about good financial products for their future. it has been explained by pankow (2003) that financial attitude is a state of opinion, mind, and judgment of a person about finance. financial behavior is also essential to financial literacy awareness (oecd, 2013). according to atkinson and messy (2011), people with full consciousness of money management are better at preparing for the future. while persons with money management abilities might have a better financial situation than those who do not. furthermore, financial literacy is defined as the development of knowledge or education among the general population about the benefits of financial services, the results of which can lead to financial inclusion. it would be beneficial to analyze what factors influence individual families' comprehension of finances facilitated by personalized search and financial information to obtain all the real and potential benefits of financial literacy. the studies cited show that financial ability, literacy, and investing decisions are all linked. rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 160 one way that can be used to measure the level of financial literacy, a case study of indonesian, is to examine the share of the population or individuals who are active in the financial system. the higher the amount of financial inclusion, the more financial literacy there is. this is related to the bank's role in imparting financial management knowledge. the author will also focus on the situations and qualities of the household's head of household when analyzing individuals and households in general. this has to do with a person's personality traits when it comes to financial literacy. in the analogy of corporate finance, household finance tries to find information on how individuals use financial instruments to achieve their goals. the qualities of members can be used to characterize financial challenges that emerge in a home. individuals must have a long-term plan, such as planning to have an important asset that has not yet been traded in the future. then individuals must have an illiquid asset, for instance, houses and various other financial decisions. to attain this objective, we could find out the characteristic of individuals in more detail. furthermore, the authors used data from the 2014 indonesian family life survey (ifls) to set it apart from other studies, since there is a scarcity of research on the topic of financial literacy that employs similar data or variables. this research contributes important empirical results regarding the role of technology information on financial literacy in the case of indonesia. research method this study's primary data sources are collected from the indonesian family life survey (ifls) obtained by surveymeter indonesia and rand. ifls is the most comprehensive survey ever conducted in indonesia. this survey is a panel study of households, individuals, and communities that have been carried out by rand corporation for five waves since 1993 in 13 out of 27 provinces in indonesia. the fifth batch survey (ifls-5) was conducted at the end of 2014 with 15,900 households and 709 communities. specifically, 50,000 individuals participated in the survey. in the data collection method, all related data is obtained from indonesia family life survey (ifls) by recording longitudinal data ifls-5 in 2014. the data are collected from the surveymeter, the ifls questionnaire provides data summarized in the 2014 hh (household) book. respondents are provided with different types of books. the selected book is used as a benchmark for selecting the variables to be studied, both the dependent and independent variables. the selection of variables needed in this study is contained in ifls-5 in the 2014 hh (household) book. the data is gathered for each variable from a variety of sources. book 2a provided the financial literacy and television factors. meanwhile, the 3a book provides access to cell phones, the internet, and newspapers. the book k final is used to acquire information about household characters such as marital status, income, household head, employment, and religion. the primary goal of this research is to investigate the impact of technical information on financial literacy in indonesia. this research also looks at financial literacy at the home rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 161 level in indonesia. the authors collected financial literacy variables as the dependent variable in this study using data from the ifls5 questionnaire, book 2 in the bh (loans) part of the survey. typically, the head of the household is questioned about their understanding of financial services and their experiences with them. the author also uses the probit model (also known as probit regression). probability models are a way to perform regression for binary outcome variables. a binary outcome variable is a dependent variable with two possibilities, such as yes or no, positive test result or negative test result and single or non-single. furthermore, the authors also involve multinomial logistic regression. this model is a simple extension of binary logistic regression that allows more than two categories of dependent variables or outcomes. there were 10426 observations for all of the variables, with the lowest value 0 and the maximum value 1 for each variable. in contrast to the education and income factors, education received the highest score of 22 and income received the highest score of 17.91. (see appendix 1 for more information). pearson correlation analysis (appendix 2) shows the positive and negative relationship between variables. this correlation will be the part to evaluate the level of multicollinearity among regression. gujarati and porter (2003) explained the pair-wise correlation of two variables above 0.50 signals a possible multicollinear problem. appendix 2 shows us that the strongest significant pair correlation is the pair between internet access and education at 0.5250, indicating the existence of multicollinearity between these two variables. in answering how technology and household characteristics affect the financial literacy of the head of the household, the data obtained through the questionnaire contains the number 1 for those who have financial literacy and 0 for those who do not. thus, the probit model used obtains two possible outcomes. the following is the probit model equation for financial literacy model 1 (finlit_a): 𝐹𝑖𝑛𝑙𝑖𝑡_𝑎𝑖 = 𝛼 + 𝛽1ℎ𝑝𝑖 + 𝛽2𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡𝑖 + 𝛽3𝑡𝑣𝑖 + 𝛽4𝑛𝑒𝑤𝑠𝑝𝑎𝑝𝑒𝑟𝑖 + 𝛽5𝑚𝑎𝑟𝑟𝑖𝑒𝑑𝑖 + 𝛽6𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑖 + 𝛽7𝑗𝑜𝑏𝑖 + 𝛽8𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒𝑖 + 𝛽9𝑟𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑖 + 𝜀1 on the other hand, the multinomial logistics model, which is an extension of binary logistic regression of three or more categories of variables dependent, will be used to see if there are differences in the effect of technology and household characteristics on three different levels of knowledge of the head of the household (low, medium, high) on financial literacy. the following is the multinomial logistics model for financial literacy model 2 (finlit_bi): 𝐹𝑖𝑛𝑙𝑖𝑡_𝑏𝑖 = 𝛼 + 𝛽1ℎ𝑝𝑖 + 𝛽2𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡𝑖 + 𝛽3𝑡𝑣𝑖 + 𝛽4𝑛𝑒𝑤𝑠𝑝𝑎𝑝𝑒𝑟𝑖 + 𝛽5𝑚𝑎𝑟𝑟𝑖𝑒𝑑𝑖 + 𝛽6𝑒𝑑𝑢𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑖 + 𝛽7𝑗𝑜𝑏𝑖 + 𝛽8𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒𝑖 + 𝛽9𝑟𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑖 + 𝜀1 rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 162 where 𝐹𝑖𝑛𝑙𝑖𝑡_𝑎𝑖 indicates the financial literacy for the probit model and 𝐹𝑖𝑛𝑙𝑖𝑡_𝑏𝑖 indicates financial literacy for the logit model, hp indicates the availability of handphone, tv indicates the availability of television, newspaper indicates the access to newspapers, married indicates the marital status, education indicates level of education, job indicates for job status, income indicates the level of income, region indicates where the respondents live (urban or rural), α refers to a constant term, β refers to estimated coefficient, and ε stands for error term. result and discussion this study examined the gathered data through a series of stages. correlation analysis is used to determine the degree of the link between the independent and dependent variables. the linear correlation coefficient (r or r) is a statistic that indicates how closely two variables are related. although correlation analysis can be linear or non-linear, this study concentrates on linear correlation analysis since it is the most common method employed in social science research (alkan et al., 2020; klieštik et al., 2015; potrich et al., 2015). probit regression this section explains probit regression to measure how significantly and the probability of financial literacy for each respondent. table 1 (column 1), shows that there are 6 out of 9 determinants that are positive and significant at the level of 5%. determinants such as handphone, television, newspaper, married, education, and income are positively and significantly affect financial literacy (finlit_a). while on the other column in the same table (table 1 column 2), it shows the marginal effect. technology determinants such as owning a handphone and having a television positively affect financial literacy (finlit_a) at a significance level of 5%. individuals who had handphones and television in their houses had a 1.2% and 4.9% higher financial literacy than individuals who did not have them, respectively. regarding household characteristics, individuals who were able to read newspapers whether in bahasa indonesia (indonesian language) or/and other languages have a positive effect on financial literacy (finlit_a) at a significance level of 5%, where they have a 4.4% higher of financial literacy than individuals who were not. next, marital status has a positive effect on financial literacy (finlit_a) at a significance level of 5%. married individuals have a 5.1% higher financial literacy than unmarried individuals. the increase in education level for one year will increase the probability of individuals’ financial literacy by reaching 1%. the increase in income level will increase the probability of individuals’ financial literacy by 1.2%. in addition, the output of the literation log is 4122.52, and it can be used for the model. it is also indicating how quickly the model converged. the likelihood ratio chi-square is f 513.93 and a p-value of 0.000, which means that this model is statistically significant; that is, it fits significantly better than a model with no predictors. rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 163 table 1 the result of the probit model and marginal effect probit variable (s) probit marginal effect probit handphone 0.055** (0.040) 0.0121** (0.008) internet 0.019 (0.043) 0.0042 (0.009) tv 0.226** (0.446) 0.0493** (0.010) newspaper 0.203*** (0.038) 0.0442** (0.008) married 0.234** (0.041) 0.0509** (0.009) education 0.043** (0.004) 0.0095** (0.001) job 0.076 (0.049) 0.0165 (0.010) logincome 0.056** (0.014) 0.0122** (0.003) region 0.025 (0.033) 0.0056 (0.007) constant -0.7657** (0.193) 0.8516** (0.003) observations 10426 log-likelihood 4122.5254 lr chi2 513.93 prob>chi2 0.0000 pseudo r2 0.0587 aic / bic 8625.051 / 8337.571 note: robust standard errors are reported in parentheses; ** p < 0.05. in line with nalini et al. (2016), people rely on the internet as a source of information and services and their integration of the financial program with information technology practices, will give more significant results in improved financial competency. moreover, wadhwa et al. (2019) mentioned that level of awareness toward financial products among people with exposure to digital media such as portals, financial news channels, a marketrelated tv shows are higher, and their level of knowledge is also higher than those with no access. on the other hand, a study conducted by fatoki (2014) stated that, on average, micro-entrepreneurs had little information on finance and skills. the study results also show the lack of using technology in which many respondents do not even have both email addresses and web pages due to their limited internet access. according to the result, the study explains that the less frequently entrepreneurs use technology, the lower their understanding of financial literacy. a study conducted by arora (2016) shows how digital technology helps elementary school teachers teach financial literacy. this study found a positive relationship between digital technology and improving financial literacy among children or students. the teachers interviewed by arora (2016) combined various instructional strategies using digital technologies to deliver their lessons on financial literacy. the culminating results showed that the students performed well on formative and summative assessments in their classes. rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 164 furthermore, arora (2016) and arthur (2012) explained that providing students with access to technology has the potential to transform the way students learn and help prepare them for success by enhancing their knowledge and application of technology in ways that will inform their future careers. the relation of the use of technology in influencing financial literacy in an individual in the household could be concluded. multinomial logistic regression this model explains that the different levels of financial literacy (finlit_b) belong to individuals as respondents in this study. the three different levels are low-level, mediumlevel, and high-level financial literacy. the response variable “finlit_b” will be treated as categorical under the assumption that financial literacy levels have no natural ordering. this model will allow stata to choose the referent group, which is the most frequently occurring group to be the referent group. table 2 shows the results of the multinomial logistics model. table 2 result of multinomial logistic model multinomial logistic variable (s) low-level medium-level high level handphone -0.1551** (0.077) -0.1195 (0.061) base outcome internet -0.0758 (0.085) -0.1244** (0.057) tv -0.4343** (0.088) -0.0917 (0.076) newspaper -0.4377** (0.075) -0.1681** (0.060) married 0.4690** (0.080) -0.1201 (0.065) education -0.1060** (0.009) -0.0621** (0.006) job -0.1335 (0.094) 0.0023 (0.076) logincome -0.1201** (0.028) -0.0491** (0.023) region -0.0185 (0.063) -0.0841 (0.047) constant 2.6814** (0.371) 1.234** (0.309) observations 10426 log-likelihood -9942.356 lr chi2 810.18 prob>chi2 0.0000 pseudo r2 0.0391 aic 19924.71 bic 20069.75 note: robust standard errors are reported in parentheses; ** p < 0.05. rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 165 low-level relative to high-level financial literacy this section is the multinomial logit estimate comparing variables relative to high-level financial literacy, given the other variables in the model are held constant. based on the result of the multinomial logistic model in table 2, regarding technology determinants, the multinomial logit having a handphone to not having a handphone would be expected to decrease by 0.155 for low-level to high-level financial literacy, given all other predictor variables in the model are held constant. in other words, individuals who had handphones were more likely than those who did not have handphones to have low-level to high-level financial literacy. furthermore, individuals without a television have a lower degree of financial literacy (0.434) than those with a television. regarding household characteristics, newspaper and married would be expected to decrease by 0.437 and 0.469, respectively, for low-level to high-level financial literacy. then, education level – estimate for a one-year increase in education level for low-level relative to high-level, given the other variables in the model are held constant. if individuals were to increase their education level for one year, the multinomial log-odds for low-level relative to high-level would be expected to decrease by 0.106 years on financial literacy. last, low-level income relative to high-level financial literacy would be expected to decrease by 0.120 rupiah or usd (log income). medium-level relative to high-level in financial literacy this section has the same interpretation of low-level relative to high-level financial literacy. the difference is that only internet access, newspaper, education, and income would be expected to affect medium-level to high-level financial literacy. they all would be expected to decrease by 0.124, 0.168, 0.062, and 0.049, respectively, for medium-level to high-level financial literacy. from the point of view of household characteristics, many factors influence financial literacy, as shown by some prior study evidence. the behavior of household members in reading news in the newspaper, as mentioned in a study conducted by freeman (2013), shows traders' news consumption behavior. this study explores the news consumption behavior of young adults aged 18 years in malaysia. the results present that most young people prefer online news instead of traditional news media (newspaper). furthermore, data present that young people tend to like entertainment news and dislike business and finance news. regarding marital status, married men are more well-literate. higher well literate finance will lead them to be less worried about their financial concerns and greater financial well-being. singles are such a significant tendency to reduce individuals’ financial literacy levels compared to those who are married (brown & graf, 2013; calamato, 2010; dew, 2008) a study by (taft et al., 2013) shows the relationship between financial literacy, well-being, and concerns. the results showed that age and education positively correlate with financial literacy and financial well-being. lalosa (2020) explained that the ability of financial literacy is found in someone who has a higher level of education and can access rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 166 more information about financial literacy. during their undergraduate program with some relevant subjects to economics and finance, students have a positive effect on daily financial practices. mandell (2008) also states that children’s financial literacy is associated with their parents’ education levels. to ensure students make the right financial decisions, financial education experts contend that families and schools should foster financial literacy before students enter the teen years (supon, 2012). in a previous study, johnson and sherraden (2007) stated that students in high-income families have significantly higher levels of knowledge than those in low-income families. hence, atkinson and messy (2011) found that low-income levels have a close relationship to the low levels of financial literacy. calamato (2010) stated that students in low-income families tend to drop out of school, and it will affect their financial literacy awareness. another piece of the literature shows that low-outcome families often occur in households with low financial literacy (badarinza et al., 2016). on the other hand, a study by chen & volpe (1998) found that a person with long-time working experience is more concerned about financial situations; they get more information, thus facilitating lots of information and providing a standard for people of decision-making. working arrangements also could influence financial attitude and behavior, considering that individuals with steady income conditions have a better plan to organize their financial life (calamato, 2010). a survey conducted by worthington (2006) in australia reports that financial literacy scores tend to have higher amongst individuals in managerial occupations, and professional, and occupation fields are also associated with an individual’s financial literacy levels. a survey by emirate arab investors found that individuals working in finance industries or investment show higher financial knowledge levels than those in other occupation fields (hassan al-tamimi & anood bin kalli, 2009). furthermore, employees have been categorized into two parts, namely urban and rural, depending upon whether the employee’s place of employment is an urban area or rural area. from the results, employees working in urban areas are more financially literate than those working in rural areas (bhushan & medury, 2013). conclusion this study examined factors affecting financial literacy in indonesia. the data collected is cross-sectional data obtained from the latest wave (wave5) of surveymeter and rand in 2014-2015. the authors used probit and the multinomial logistic regression model to answer the research objectives. the probit regression test results indicate that there are 6 out of 9 factors that have a significant influence on financial literacy. these factors include owning mobile phones, having a television, reading newspapers in foreign languages, marital status, education level, and the average monthly income per capita. meanwhile, internet access, job, and residence location (urban-rural) have no relationship and do not affect financial literacy. on the other hand, multinomial logistic regression gives us an explanation of the different levels of financial literacy in indonesia. first, lowrizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 167 level groups relative to the high-level group on financial literacy results show us 6 out of 9 determinants affect financial literacy. second, the medium-level group relative to the high-level group results shows that only 4 out of 9 determinants affect financial literacy. the things that can be considered from this research are that the government will continue to improve supporting facilities, especially information and technology for the public toward financial literacy awareness. in this case, supporting factors such as handphones and television positively correlate with financial literacy, and so do several other supporting factors (control variables). meanwhile, internet access users are still shallow. in this era, all internet access should be maximized. then, work status should also be the place where people can learn and increase their financial literacy. thus, the government should facilitate them properly. as well as the location where people live shows have no relationship with financial literacy. based on the data, support for financial literacy is dominated by people who live in urban areas (java). it is the task of the government where all people in other regions should feel an equal distribution of financial literacy. this study has several limitations. it only uses ifls-5 cross-sectional data from 2014, implying that more research with up-to-date data, such as panel data or the most recent ifls data, is required. second, because this study only looks at a few variables, it needs to be expanded to look at other factors that may influence financial literacy. references alkan, o., oktay, e., unver, s., & gerni, e. (2020). determination of factors affecting the financial literacy of university students in eastern anatolia using ordered regression models. asian economic and financial review, 10(5), 536–546. https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2020.105.536.546 ameliawati, m., & setiyani, r. (2018). the influence of financial attitude, financial socialization, and financial experience to financial management behavior with financial literacy as the mediation variable. kne social sciences, 3(10), 811-832. https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3174 arora, a. (2016). assessment of financial literacy among working indian women. business analyst, 36(2), 219-237. arthur, c. (2012). financial literacy education for citizens: what kind of responsibility, equality and engagement? citizenship, social and economics education, 11(3), 163–176. https://doi.org/10.2304/csee.2012.11.3.163 atikah, a., & ma'ruf, a. (2016). analisis keuangan inklusif: studi kasus daerah istimewa yogyakarta. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 17(1), 31-45. https://doi.org/10.18196/jesp.17.1.3496 atkinson, a., & messy, f.-a. (2011). assessing financial literacy in 12 countries: an oecd/infe international pilot exercise. journal of pension economics and finance, 10(4), 657–665. https://doi.org/10.1017/s1474747211000539 badarinza, c., campbell, j. y., & ramadorai, t. (2016). international comparative household finance. annual review of economics, 8(1), 111–144. https://doi.org/10.1146/annurev-economics-080315-015425 https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2020.105.536.546 https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3174 https://doi.org/10.2304/csee.2012.11.3.163 https://doi.org/10.18196/jesp.17.1.3496 https://doi.org/10.1017/s1474747211000539 https://doi.org/10.1146/annurev-economics-080315-015425 rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 168 bakken, m. (1966). money management understandings of tenth grade students. dissertation. university of alberta. bhushan, p., & medury, y. (2013). financial literacy and its determinant. international journal of engineering, business and enterprise applications (ijebea), 13(145), 155-160. retrieved from http://iasir.net/ijebeapapers/ijebea13-145.pdf brounen, d., koedijk, k. g., & pownall, r. a. j. (2016). household financial planning and savings behavior. journal of international money and finance, 69, 95–107. https://doi.org/10.1016/j.jimonfin.2016.06.011 brown, m., & graf, r. (2013). financial literacy and retirement planning in switzerland. numeracy, 6(2). https://doi.org/10.5038/1936-4660.6.2.6 calamato, m. p. (2010). learning financial literacy in the family. master's theses. chen, h., & volpe, r. p. (1998). an analysis of personal financial literacy among college students. financial services review, 7(2), 107–128. https://doi.org/10.1016/s10570810(99)80006-7 danes, s. m., & hira, t. k. (1987). money management knowledge of college students. journal of student financial aid, 17(1). https://doi.org/10.55504/0884-9153.1435 darsono, s. n. a. c., wong, w. k., nguyen, t. t. h., jati, h. f., & dewanti, d. s. (2022). good governance and sustainable investment: the effects of governance indicators on stock market returns. advances in decision sciences, 26(1), 69–101. https://doi.org/10.47654/v26y2022i1p69-101 demirguc-kunt, a., klapper, l., singer, d., ansar, s., & hess, j. (2018). the global findex database 2017: measuring financial inclusion and the fintech revolution. https://doi.org/10.1596/978-1-4648-1259-0 dew, j. (2008). debt change and marital satisfaction change in recently married couples*. family relations, 57(1), 60–71. https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2007.00483.x fatoki, o. (2014). the financial literacy of micro entrepreneurs in south africa. journal of social sciences, 40(2), 151–158. https://doi.org/10.1080/09718923.2014.11893311 fazli sabri, m., reza, t. s., & wijekoon, r. (2020). financial management, savings and investment behavior and financial well-being of working women in the public sector. majalah ilmiah bijak, 17(2), 135–153. https://doi.org/10.31334/bijak.v17i2.1008 financial fervices authority (ojk). (2016). survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016. https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaranpers/documents/pages/siaran-pers-ojk-indeks-literasi-dan-inklusi-keuanganmeningkat/17.01.23%20tayangan%20%20presscon%20%20nett.compressed.pdf freeman, k. s. (2013). news consumption behavior of young adults in malaysia. international journal of social science and humanity, 121–124. https://doi.org/10.7763/ijssh.2013.v3.209 gaudecker, h.-m. v. (2015). how does household portfolio diversification vary with financial literacy and financial advice? the journal of finance, 70(2), 489–507. https://doi.org/10.1111/jofi.12231 gujarati, d. n., & porter, d. c. (2003). basic econometrics (ed.). new york: mcgraw-hiii. hamori, s., & kume, t. (2018). artificial intelligence and economic growth. advances in decision sciences, 22(1), 256–278. https://doi.org/https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 hassan al‐tamimi, h. a., & anood bin kalli, a. (2009). financial literacy and investment decisions of uae investors. the journal of risk finance, 10(5), 500-516. https://doi.org/10.1108/15265940911001402 hilgert, m. a., & hogarth, j. m. (2003). household financial management: the connection between knowledge and behavior. federal reserve bulletin, 309-322. http://iasir.net/ijebeapapers/ijebea13-145.pdf https://doi.org/10.1016/j.jimonfin.2016.06.011 https://doi.org/10.5038/1936-4660.6.2.6 https://doi.org/10.1016/s1057-0810(99)80006-7 https://doi.org/10.1016/s1057-0810(99)80006-7 https://doi.org/10.55504/0884-9153.1435 https://doi.org/10.47654/v26y2022i1p69-101 https://doi.org/10.1596/978-1-4648-1259-0 https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2007.00483.x https://doi.org/10.1080/09718923.2014.11893311 https://doi.org/10.31334/bijak.v17i2.1008 https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/documents/pages/siaran-pers-ojk-indeks-literasi-dan-inklusi-keuangan-meningkat/17.01.23%20tayangan%20%20presscon%20%20nett.compressed.pdf https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/documents/pages/siaran-pers-ojk-indeks-literasi-dan-inklusi-keuangan-meningkat/17.01.23%20tayangan%20%20presscon%20%20nett.compressed.pdf https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/documents/pages/siaran-pers-ojk-indeks-literasi-dan-inklusi-keuangan-meningkat/17.01.23%20tayangan%20%20presscon%20%20nett.compressed.pdf https://doi.org/10.7763/ijssh.2013.v3.209 https://doi.org/10.1111/jofi.12231 https://doi.org/https:/doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 https://doi.org/10.1108/15265940911001402 rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 169 hon, t.-y., moslehpour, m., & woo, k.-y. (2021). review on behavioral finance with empirical evidence. advances in decision sciences, 25(4), 15–41. https://doi.org/https://doi.org/10.47654/v25y2021i4p15-41 hurla, r., kim, m., singer, e., & soman, d. (2017). applying findings from financial literacy to encourage responsible gambling. in research report series behavioural economics in action (pp. 367–380). rotman school of management, university of toronto. huston, s. j. (2010). measuring financial literacy. journal of consumer affairs, 44(2), 296–316. https://doi.org/10.1111/j.1745-6606.2010.01170.x huston, s. j. (2012). financial literacy and the cost of borrowing. international journal of consumer studies, 36(5), 566–572. https://doi.org/10.1111/j.1470-6431.2012.01122.x johnson, e., & sherraden, m. s. (2007). from financial literacy to financial capability among youth. the journal of sociology & social welfare, 34(3). retrieved from https://scholarworks.wmich.edu/jssw/vol34/iss3/7 klieštik, t., kočišová, k., & mišanková, m. (2015). logit and probit model used for prediction of financial health of company. procedia economics and finance, 23, 850– 855. https://doi.org/10.1016/s2212-5671(15)00485-2 lalosa, a. (2020). contributing factors of student’s financial literacy in a state university in eastern philippines. journal of social studies education research, 187, 1–9. lusardi, a., & mitchell, o. s. (2013). older adult debt and financial frailty. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2376493 mandell, l. (2008). financial literacy of high school students. handbook of consumer finance research, 163–183. https://doi.org/10.1007/978-0-387-75734-6_10 mitchell, o. s., lusardi, a., & curto, v. (2011). financial literacy and financial sophistication among older americans. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.1499844 nalini, r., alamelu, r., amudha, r., & cresenta shakila motha, l. (2016). financial literacy and its contributing factors in investment decisions among urban populace. indian journal of science and technology, 9(27), 1-9. https://doi.org/10.17485/ijst/2016/v9i27/97616 oecd. (2013). financial literacy and inclusion. retrieved from https://www.oecd.org/daf/fin/financialeducation/trustfund2013_oecd_infe_fin_lit_and_incl_surveyresults_by_cou ntry_and_gender.pdf pankow, d. (2003). financial values, attitudes and goals. north dakota state university. potrich, a. c. g., vieira, k. m., & kirch, g. (2015). determinantes da alfabetização financeira: análise da influência de variáveis socioeconômicas e demográficas. revista contabilidade & finanças, 26(69), 362–377. https://doi.org/10.1590/1808057x201501040 supon, v. (2012). helping students to become money smart. journal of instructional psychology, 39(1), 68-71. swiecka, b., yeşildağ, e., özen, e., & grima, s. (2020). financial literacy: the case of poland. sustainability, 12(2), 700. https://doi.org/10.3390/su12020700 taft, m. k., hosein, z. z., & mehrizi, s. m. t. (2013). the relation between financial literacy, financial wellbeing and financial concerns. international journal of business and management, 8(11), 63-75. https://doi.org/10.5539/ijbm.v8n11p63 tseng, m.-l., tan, p., jeng, s.-y., lin, c.-w., negash, y., & darsono, s. (2019). sustainable investment: interrelated among corporate governance, economic performance and market risks using investor preference approach. sustainability, 11(7), 2108. https://doi.org/10.3390/su11072108 https://doi.org/https:/doi.org/10.47654/v25y2021i4p15-41 https://doi.org/10.1111/j.1745-6606.2010.01170.x https://doi.org/10.1111/j.1470-6431.2012.01122.x https://scholarworks.wmich.edu/jssw/vol34/iss3/7 https://doi.org/10.1016/s2212-5671(15)00485-2 https://doi.org/10.2139/ssrn.2376493 https://doi.org/10.1007/978-0-387-75734-6_10 https://doi.org/10.2139/ssrn.1499844 https://doi.org/10.17485/ijst/2016/v9i27/97616 https://www.oecd.org/daf/fin/financial-education/trustfund2013_oecd_infe_fin_lit_and_incl_surveyresults_by_country_and_gender.pdf https://www.oecd.org/daf/fin/financial-education/trustfund2013_oecd_infe_fin_lit_and_incl_surveyresults_by_country_and_gender.pdf https://www.oecd.org/daf/fin/financial-education/trustfund2013_oecd_infe_fin_lit_and_incl_surveyresults_by_country_and_gender.pdf https://doi.org/10.1590/1808-057x201501040 https://doi.org/10.1590/1808-057x201501040 https://doi.org/10.5539/ijbm.v8n11p63 https://doi.org/10.3390/su11072108 rizkan, hartarto, supiandi, & hou the role of technology information on financial literacy in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 170 van rooij, m. c. j., lusardi, a., & alessie, r. j. m. (2012). financial literacy, retirement planning and household wealth. the economic journal, 122(560), 449–478. https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2012.02501.x wadhwa, b., uppal, a., vashisht, a., & kaur, d. (2019). a study on behavior and preferences of individual investors towards investments with special reference to delhi ncr. international journal of innovative technology and exploring engineering (ijitee), 8(6). world bank data. (2020). individuals using the internet (% of population) indonesia. retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/it.net.user.zs?locations=id world bank data. (2022). financial inclusion. retrieved from https://www.worldbank.org/en/topic/financialinclusion/overview#1 world bank. (2014). indonesia: avoiding the trap. retrieved from https://www.worldbank.org/content/dam/worldbank/document/eap/indonesia/i ndonesia-development-policy-review-2014-english.pdf worthington, a. (2006). predicting financial literacy in australia. financial services review, 15(1). yoshino, n., morgan, p. j., & trinh, l. q. (2017). financial literacy in japan: determinants and impacts. asian development bank institute adbi working papers 796, asian development bank institute. https://doi.org/10.1111/j.1468-0297.2012.02501.x https://data.worldbank.org/indicator/it.net.user.zs?locations=id https://www.worldbank.org/en/topic/financialinclusion/overview#1 https://www.worldbank.org/content/dam/worldbank/document/eap/indonesia/indonesia-development-policy-review-2014-english.pdf https://www.worldbank.org/content/dam/worldbank/document/eap/indonesia/indonesia-development-policy-review-2014-english.pdf microsoft word 09-wahyu jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.78-96 peramalan penjualan air bersih dan formulasi strategi perusahaan daerah air minum wahyu abdullah magister ekonomika pembangunan, fakultas ekonomi universitas gadjah mada jalan teknika utara, barek yogyakarta 55281 indonesia, phone: +62 274 555917 e-mail korespondensi: smartyou.abdullah@gmail.com naskah diterima: november 2013; disetujui: maret 2014 abstract: the study aims to analyze the rate of the water selling in approximately one year ahead with the best method analysis, by identifying the internal environment factor and the external firm factor, then formulates the strategy that is used by pdam sleman. the method uses in this research is the time series, the matrix internal factor evaluation (ife), external factor evaluation (efe), and also the matrix strength, opportunity, and threat (swot). the data is the actual selling of water from pdam kabupaten sleman approximately 4 years since january 2010 to november 2013, known has the trend period (prone to increase). then based on the matrix of ife shows that the pdam sleman has the highest score of 0,444. the efe matrix shows the highest possibility of pdam sleman is the huge market with the renewal water source, with the score of 0,511. based on total score of ife and efe, it places pdam sleman in the v on the matrix of ie. keywords: forecasting of selling water; internal environment factor; external environment factor jel classification: r58, p48, q56 abstrak: tujuan dari studi ini adalah menganalisis tingkat peramalan penjualan air bersih selama kurang lebih satu tahun ke depan dengan metode analisis terbaik, serta mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal perusahaan, dan kemudian memformulasikan strategi yang dapat diterapkan oleh pdam kabupaten sleman. metode studi yang digunakan dalam studi ini adalah metode analisis time series, yaitu metode tren musiman, kemudian matriks internal factor evaluation (ife), external factor evaluation (efe), dan juga menggunakan matriks strenght, weakness, opportunity, and threat (swot). data yang digunakan adalah penjualan aktual air bersih pdam kabupaten sleman selama kurang lebih 4 tahun periode januari 2010 sampai november 2013, diketahui memiliki unsure tren (cenderung meningkat) dan unsure musiman. kemudian, berdasarkan matriks ife menunjukkan bahwa faktor kekuatan pdam kabupaten sleman yang memiliki skor tertinggi adalah unit produksi yang cukup memadai dengan skor sebesar 0,444. sedangkan matriks efe menunjukkan peluang terbesar bagi pdam kabupaten sleman adalah adanya potensi pangsa pasar yang cukup besar dan sumber air baku yang cukup banyak, dengan skor sebesar 0,511. berdasarkan total nilai skor terbobot dari matriks ife dan efe tersebut menempatkan pdam kabupaten sleman pada sel nomor v dalam matriks ie. kata kunci: peramalan penjualan air bersih; faktor lingkungan internal; faktor lingkungan eksternal klasifikasi jel: r58, p48, q56 peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 79 pendahuluan pam atau pdam adalah salah satu bentuk sektor publik yang merupakan bagian dari perekonomian nasional yang dikendalikan oleh pemerintah, berkaitan dengan pemberian atau penyerahan jasa-jasa pemerintah kepada publik. perusahaan daerah air minum (pdam) kabupaten sleman merupakan sebuah perusahaan daerah yang memiliki wewenang dalam penyediaan kebutuhan konsumsi air bersih bagi masyarakat di kabupaten sleman. saat ini, sampai dengan oktober 2013, total pelanggan yang terlayani oleh pdam berjumlah 24.194 pelanggan dengan kapasitas produksi sebesar 271,00 liter per detik. perinciannya disajikan dalam tabel 1. adapun jumlah pelanggan dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir mengalami peningkatan setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2008 yang mengalami penurunan. perinciannya adalah sebagai berikut: berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa jumlah pelanggan mengalami tren meningkat, hal ini menunjukkan bahwa setiap tahun, kebutuhan masyarakat akan air bersih sebagai kebutuhan pokok semakin tinggi. dalam upaya meningkatkan pelayanan kebutuhan air bersih masyarakat kabupaten sleman, perlu adanya proyeksi sejauh mana pencapaian penyediaan air di tahun-tahun yang akan datang dengan menggunakan metode peramalan atau estimasi. selain itu, sebagai sebuah badan usaha, pdam harus mampu menganalisis lingkungan usaha dan memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi di masa depan. kegiatan forecast atau meramal merupakan salah satu usaha sebuah perusahaan sebagai dasar pengambilan keputusan strategis kelangsungan usaha. memprediksi penjualan yang terlalu besar dan kurang akurat mengakibatkan biaya produksi akan meningkat sehingga seluruh investasi yang ditanamkan menjadi kurang efisien (kotler, 2007). oleh karena itu, untuk mengantisipasi permasalahan tersebut dilakukan prediksi kemungkinan terjadinya penurunan atau kenaikan penjualan pada periode yang akan datang dengan diperolehnya informasi yang akurat sehingga perusahaan dapat mempersiapkan strategi-strategi yang harus ditempuh untuk menghadapi suatu kondisi tertentu (rangkuti, 2005). strategi pengelolaan yang tepat menjadi hal yang sangat penting untuk memanfaatkan peluang dan menghindari atau mencegah ancaman dari luar dengan memberdayakan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh pengelola secara efektif dan efisien. oleh karena itu, pengelola pdam di kabupaten sleman perlu menerapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja pelayanannya. berikut beberapa studi yang serupa dengan studi ini, yaitu studi yang dilakukan oleh dian suminar (2007) yang meneliti tentang analisis formulasi strategi pada perusahaan daerah air minum (pdam) tirta pakuan kota bogor. berdasarkan hasil dan pembahasan dari studi tersebut, disimpulkan bahwa berdasarkan identifikasi lingkungan internal diperoleh beberapa kekuatan dan kelemahan perusahaan, serta identifikasi lingkungan eksternal juga menghasilkan beberapa peluang dan ancaman. setelah diuji dengan matriks ife dan efe, serta matriks ie, diketahui bahwa perusahaan dalam keadaan hold and maintain, atau pertahankan dan dikembangkan. dalam studi lain, akhmat thohir melakukan studi tentang “analisis peramalan penjualan minyak sawit kasar atau crude palm oil (cpo) pada pt. kharisma pemasaran bersama (kpb) tabel 1. jumlah langganan pdam kabupaten sleman no jenis langganan tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 rumah tangga 18.961 18.958 18.359 18.405 18.661 20.579 22.012 2 sosial 160 165 156 158 178 179 194 3 niaga 44 46 44 46 47 48 53 4 instansi 158 153 153 160 160 163 166 5 kran umum 148 130 120 112 107 105 103 6 industri 1 0 0 0 1 1 2 jumlah 19.472 19.452 18.832 18.881 20.154 21.075 22.530 sumber: pdam kabupaten sleman, 2013 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 80 nusantara di jakarta”. berdasarkan hasil studi disimpulkan bahwa pola data penjualan oleh perusahaan selama 7 tahun periode januari 2004 sampai desember 2010, memiliki unsure tren (cenderung meningkat) dan unsure musiman. berdasarkan perhitungan metode peramalan menggunakan metode tren kuadratik, diketahui bahwa jumlah total nilai peramalan untuk satu tahun mendatang (tahun 2011) yaitu periode 85 sampai periode 96 adalah adalah sebesar 2.607.985 ton cpo. selain itu perlu juga adanya antisipasi terhadap unsure musiman yang terjadi berdasarkan data yang terbentuk yaitu pada bulanbulan tertentu seperti awal dan akhir tahun, pengaruh iklim serta hari raya pada bulanbulan tertentu. peningkatan ptpn diperlukan seperti kegiatan ekstensifikasi, intensifikasi, dan penanganan pascapanen atau pengolahan tandan buah segar (tbs), agar produksi cpo berlangsung optimal yang berakibat meningkatnya penjualan cpo perusahaan. metode penelitian data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. data-data yang diperoleh digunakan untuk melakukan analisis terhadap strategi pengelolaan pdam. data yang diperlukan untuk menganalisis lingkungan perusahaan meliputi tiga data yaitu; 1) data untuk melakukan peramalan atau estimasi di masa yang akan datang, dengan menggunakan data penjualan air bersih selama 47 bulan yaitu dari januari 2010 hingga november 2013; 2) data untuk analisis lingkungan internal yaitu data lapangan yang diperoleh dari lokasi survey yang terpilih seperti unit air baku, unit pengelolaan, dan unit distribusi; 3) data untuk analisis lingkungan eksternal yaitu data lingkungan mikro dan makro. pengolahan dan analisis data menggunakan dua metode, yaitu metode kuantitatif, dan metode kualitatif. kegiatan menganalisis data kuantitatif peramalan penjualan air bersih dilakukan dengan menggunakan program microsoft excel dan minitab 16. sedangkan metode kualitatif, alat analisis yang digunakan dalam tahap masukan yaitu matriks ife (sisi kekuatan dan kelemahan) dan matriks efe (sisi peluang dan ancaman). studi ini menggunakan metode peramalan time series atau deret berkala. deret berkala mempunyai empat komponen yaitu tren (kecenderungan), variasi musim, variasi siklus, dan variasi yang tidak tetap (irregular variation). berdasarkan semua metode yang digunakan tersebut akan dipilih metode yang paling sesuai dengan pola data yang terdapat pada perusahaan. analisis musiman berhubungan dengan perubahan atau fluktuasi dalam satuan bulanan atau triwulan atau kuartal atau semester dalam setahun. beberapa metode tersebut adalah: a. metode rata-rata sederhana indeks musiman dirumuskan sebagai berikut: indeks musim = 1) b. metode rata-rata dengan tren indeks musiman metode rata-rata dengan tren dirumuskan sebagai berikut: indeks musim = 100 2) c. metode rasio rata rata bergerak indeks musiman metode rasio rata-rata bergerak dirumuskan sebagai berikut: indeks musim = nilai rasio x faktor koreksi 3) di mana: nilai rasio: data asli/data rata-rata bergerak faktor koreksi: (100 x n)/jumlah rata-rata rasio selama n metode analisis tren linear dan non linear a. metode tren linear. metode utama yang dikenal dan digunakan secara luas dalam metode ini adalah regresi. berikut ini adalah rumusrumus regresi linear sederhana , dengan: ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ 4) 5) peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 81 di mana: y adalah nilai peramalan; a adalah konstanta y; b adalah nilai kemiringan; n adalah jumlah data b. metode tren non linear (kuadratik). persamaan trend kuadratik dirumuskan sebagai berikut: y’= a + bx + cx² 6) koefisien a, b, dan c, dicari dengan rumus sebagai berikut: a = ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ² b = ∑ /∑ c = ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ² ukuran akurasi hasil peramalan nilai residual atau error (et) adalah perbedaan antara nilai actual dan nilai hasil peramalan, yaitu: et = yt – ŷt 7) di mana: et adalah residual (error)/ nilai kesalahan peramalan pada periode ke – t; yt adalah nilai aktual ŷt adalah nilai hasil peramalan; sedangkan nilai residual tersebut diperoleh beberapa ukuran hasil peramalan sebagai berikut: 1. nilai tengah galat kuadrat (mean squared deviation) msd = ∑ 8) 2. nilai tengah deviasi absolut (mean absolute deviation) mad = ∑| | 9) 3. nilai tengah galat persentase (mean absolute percentage error) mape = ∑ | | 10) secara umum, bila residual besarnya merata sepanjang pengamatan, maka msd yang sebaiknya digunakan. tetapi bila satu atau dua residual yang besar, maka mad yang sebaiknya digunakan. untuk melihat bias tidaknya peramalan maka digunakan mape, peramalan dikatakan tidak bias bila mpe = 0. matriks ife dan efe langkah-langkah yang harus dilakukan dalam membentuk matriks ife dan efe adalah: a) menyusun daftar faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting (critical success factors atau csf) untuk aspek internal dan eksternal perusahaan yang ditempatkan pada kolom pertama. b) penilaian bobot (weight) setiap factor strategis internal dan eksternal. dalam menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 1,2 dan 3 dengan keterangan sebagai berikut: 1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal. 2 = jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal. 3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal. c) penentuan bobot setiap variabel diperoleh dengan menggunakan proporsi nilai setiap variabel dari jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus: ∑ 11) keterangan: ai adalah bobot variabel ke-i ; xi adalah nilai variabel ke-i; i = 1,2,3,…..,n; n adalah jumlah variabel; total bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0. pembobotan ini kemudian ditempatkan pada kolom kedua matriks ife dan efe. matriks ie matriks ie didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu matriks ife yang diberi bobot pada sumbu x dan matriks efe yang diberikan bobot pada sumbu y. pada sumbu x, skor antara 1,00-1,99 menunjukkan posisi internal yang lemah, skor antara 2,00-2,99 menunjukkan rata-rata dan 3,00-4,00 kuat. pada sumbu y, skor antara 1,001,99 menunjukkan posisi eksternal yang rendah, skor antara 2,00-2,99 menunjukkan posisi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 82 eksternal yang sedang dan 3,00-4,00 posisi eksternal yang tinggi. pembagian sel-sel dalam matriks ie dapat dilihat pada; matriks swot gambar 1. matriks swot unsur-unsur swot meliputi: s (strength): mengacu kepada keunggulan kompetitif dan kompetisi lainnya yang dapat mempengaruhi perusahaan pada pasar. w (weakness): hambatan yang membatasi pilihan-pilihan pada pengembangan strategi perusahaan. o (opportunity): menyediakan kondisi yang menguntungkan yang membatasi penghalang. t (threat): berhubungan dengan penghalang atau kondisi yang dapat menghalangi organisasi dalam mencapai tujuannya. analisis swot akan memberikan arah, pilihan dan perkembangan perusahaan sehingga diperoleh strategi yang tepat bagi perusahaan. gambar 2. analisis swot keterangan: kuadran 1 pada kuadran 1 merupakan situasi yang sangat menguntungkan bagi perusahaan karena perusahaan memiliki peluang dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan sekaligus. dalam kondisi ini, strategi yang harus diterapkan adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. kuadran 2 pada kuadran 2, perusahaan menghadapi berbagai ancaman namun masih memiliki kekuatan dari segi internal. strategi yang harus dilakukan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk atau pasar). kuadran 3 perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi perusahaan pun menghadapi beberapa kendala atau kelemahan internal. fokus strategi perusahaan pada kuadran ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang baik. kuadran 4 pada kuadran 4, perusahaan mengalami situasi yang sangat tidak menguntungkan karena perusahaan menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. hasil dan pembahasan analisis time series penjualan air yang dilakukan oleh pdam kabupaten sleman sejak januari 2010 hingga november 2013 mengalami pergerakan yang fluktuatif namun cenderung menunjukkan peningkatan. penurunan yang terjadi pada bulan-bulan tertentu diakibatkan oleh pemakaian air yang tidak merata dan penyegelan dari pihak pdam kabupaten sleman. kemudian faktor lain yang juga berpengaruh adalah musim, pemakaian air dari pelanggan akan meningkat saat musim kemarau karena kebutuhan air sangat tinggi. kenaikan dan penurunan pemakaian air inilah yang berpengaruh pada naik turunnya penjualan air tiap bulannya. letusan gunung merapi juga mengakibatkan dampak yang cukup signifikan, hal ini terlihat pada pola data yang cenderung menurun mulai dari akhir tahun 2010 (november) sampai awal tahun 2011, erupsi telah mengakibatkan kehilangan air sampai 50 liter per detik peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 83 sehingga debit air berkurang dan kualitas air juga tercemar, hal ini mengakibatkan penurunan pemakaian air oleh konsumen dan mengurangi angka penjualan air. metode peramalan kuantitatif terbaik penjualan air oleh pdam kabupaten sleman. pdam kabupaten sleman memasarkan produk berupa air bersih yang dihasilkan dari beberapa sumber yang dimiliki, yaitu mata air umbul wadon, mata air tuk dandang, deep well, sallow well dan ipa (gamping). penjualan air selama empat tahun terakhir sejak januari 2010 sampai dengan november 2013 menunjukkan pergerakan naik turun, namun cenderung meningkat dari tahun ke tahun. berdasarkan data penjualan air pada pdam kabupaten sleman, diketahui bahwa pada tahun 2010, perusahaan dapat menjual air bersih untuk pelanggan di kabupaten sleman sebesar 3.708.630m³. pada tahun 2011 terjadi penurunan penjualan air sebesar 201.603m³, menjadi 3.507.027m³, hal ini dikarenakan letusan gunung merapi yang memberikan dampak yang cukup signifikan, karena erupsi telah mengakibatkan kehilangan air sampai 50 liter per detik sehingga debit air berkurang dan kualitas air juga tercemar, sehingga penurunan pemakaian air oleh konsumen dan mengurangi angka penjualan air. kenaikan kembali terjadi pada tahun 2012 sebesar 365.029m³ menjadi 3.872.056 m³. identifikasi pola data penjualan air bersih. peramalan penjualan air bersih yang dilakukan oleh pdam kabupaten sleman diawali dengan mengambil data dalam rentang waktu kurang lebih empat tahun. data series yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk meramalkan penjualan di masa mendatang yang mendekati data aktualnya. data penjualan yang digunakan adalah data time series dalam kurun waktu kurang lebih empat tahun terakhir yang dimulai dari januari 2010 sampai november 2013. data yang digunakan merupakan data penjualan air bersih dalam satuan m³ dan merupakan data bulanan perusahaan. berdasarkan pada data deret waktu penjualan air bersih tersebut akan menggambarkan pola data yang terbentuk dari data penjualan air bersih pdam kabupaten sleman. penentuan pola data yang terbentuk tersebut akan membantu menentukan metode peramalan yang tepat. sedangkan panjang deret waktu yang digunakan sebanyak 47 bulan atau kurang lebih 4 tahun, yang digunakan untuk meramalkan penjualan jangka panjang, hal ini sesuai dengan pendapat render dan heizer (2001) peramalan jangka panjang yaitu peramalan yang memiliki rentang waktu biasanya tiga tahun atau lebih. pola data penjualan yang diperoleh kemudian diolah menggunakan program microsoft excel dan minitab 16, untuk mengetahui autocorrelation function (acf) dan plot data penjualan air bersih. grafik plot time series pergerakan volume penjualan air bersih pdam kabupaten sleman disajikan pada gambar 3. gambar 3. grafik pergerakan volume penjualan air bersih pdam jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 84 berdasarkan grafik 3, pergerakan indeks volume penjualan sebanyak 47 periode data (periode januari 2010 sampai november 2013) menunjukkan tidak ada unsure stasioner. hal ini dapat dilihat dari pergerakan data yang tidak berada di antara garis rata-rata atau konstan, namun lebih cenderung lebih menunjukkan unsure trend. volume penjualan tertinggi terjadi pada data period ke 47 yaitu sebesar 401.551 m³, yaitu pada bulan november, hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat akan konsumsi air bersih yang merupakan kebutuhan hidup pokok sangat besar dan jumlah penduduk yang semakin meningkat sehingga memungkinkan potensi peningkatan jumlah pelanggan. volume penjualan terendah terjadi pada data ke 15 sebesar 262.119m³, yaitu pada bulan maret 2011, hal ini dikarenakan pemakaian air yang tidak merata dan penyegelan dari pihak pdam kabupaten sleman. berdasarkan perhitungan rata-rata indeks musiman, diketahui persamaan rata-rata perilaku musiman per bulan pada setiap tahunnya dalam penjualan air bersih, yaitu terlihat pada pertengahan tahun awal yaitu februari (0,99112), maret (0,90798), april (0,96495), mei (0,98134), juni (0,99903), dan juli (0,98829) berada di bawah nilai normal trend yaitu 1,00. sedangkan pada pertengahan tahun akhir sampai awal tahun, kecuali desember (0,98786) yang merupakan akhir tahun, yaitu bulan agustus (1,01995), september (1,03404), oktober (1,05877), november (1,06116), desember (0,98786), dan januari (1,00550) secara normal berada di atas nilai tren (1,00). hal ini merupakan bukti bahwa musim mempengaruhi penjualan air bersih pdam kabupaten sleman. tren peningkatan penjualan yang terus terjadi juga merupakan bukti keberhasilan perusahaan dalam mengelola dan memasarkan produksi air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat kabupaten sleman. selain melihat grafik pergerakan plot data volume penjualan dan uji statistik, dapat juga dilakukan dengan mengamati plot autocorrelation function (acf) dari deret penjualan air bersih periode januari 2010–november 2013. plot autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan nilai variabel yang sama, namun variabel pada waktu yang berbeda. gambar 4 menunjukkan plot acf actual volume penjualan air bersih. berdasarkan plot autokorelasi (acf), pergerakan yang terbentuk cenderung secara berangsur mendekati nol yang mengandung unsure trend sesuai dengan pendapat firdaus (2006) yaitu unsure trend diketahui dengan adanya beda kala pertama tinggi dan berbeda dengan nol secara signifikan, lalu turun mendekati nol saat series meningkat. sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya distribusi yang sesuai dengan distribusi data yang ada digunakan grafik distributional analysis probability plot, yaitu berdasarkan diagram plot penjualan air bersih periode januari 2010 sampai november 2013. berdasarkan diagram yang terbentuk dapat diketahui bahwa data time series penjualan air bersih pdam kabupaten sleman menunjukkan data yang berada di sekitar garis lurus, hal ini berarti data pentabel 2. rata-rata indeks musiman setiap bulan penjualan air bersih periode januari 2010 sampai dengan november 2013 bulan/tahun 2010 2011 2012 2013 rata-rata januari 1,00550 1,00550 1,00550 1,00550 1,00550 februari 0,99112 0,99112 0,99112 0,99112 0,99112 maret 0,90798 0,90798 0,90798 0,90798 0,90798 april 0,96495 0,96495 0,96495 0,96495 0,96495 mei 0,98134 0,98134 0,98134 0,98134 0,98134 juni 0,99903 0,99903 0,99903 0,99903 0,99903 juli 0,98829 0,98829 0,98829 0,98829 0,98829 agustus 1,01995 1,01995 1,01995 1,01995 1,01995 september 1,03404 1,03404 1,03404 1,03404 1,03404 oktober 1,05877 1,05877 1,05877 1,05877 1,05877 november 1,06116 1,06116 1,06116 1,06116 1,06116 desember 0,98786 0,98786 0,98786 0,98786 peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 85 jualan air bersih pdam kabupaten sleman januari 2010 sampai november 2013 bersifat normal. grafik normal probability plot penjualan air bersih pdam kabupaten sleman dapat dilihat pada gambar 5 (lampiran). metode peramalan kuantitatif penjualan air bersih metode peramalan lainnya yang tetap digunakan, yaitu metode trend linear dan trend non linear. setelah diketahui nilai kesalahan (error) terkecil dengan melihat nilai msd (mean squared deviation) maka akan diketahui metode peramalan yang terbaik untuk meramalkan volume penjualan air bersih pada pdam kabupaten sleman satu tahun mendatang yaitu tahun 2014. berikut merupakan metode peramalan time series yang digunakan dalam studi ini. metode indeks musiman perhitungan menggunakan metode indeks musiman ini dilakukan pada bulan yang sama namun pada tahun yang berbeda yaitu selama kurun waktu + 4 tahun (2010-2013). namun, dalam studi, cara yang diterapkan hampir sama dengan metode analisis rata-rata bergerak (moving average), yaitu menetapkan bahwa ramalan periode mendatang merupakan nilai rataan data penjualan air bersih dengan mengeluarkan nilai dari periode yang terlama dan memasukkan nilai dari periode terbaru dari sekelompok data yang jumlahnya konstan. banyaknya data disebut ordo (seasonal length), sedangkan penentuan ordo dapat dilakukan dengan cara coba-coba (trial and error), hal ini dimaksudkan untuk menentukan nilai kesalahan yang terkecil. dalam studi ini menggunakan ordo 12 (ma= 12) hal ini dikarenakan ordo 12 memiliki nilai kesalahan (error) terkecil. perbandingan hasil perhitungan menggunakan metode indeks musiman dengan berbagai macam ordo ditampilkan pada tabel 3. tabel 3. perbandingan hasil perhitungan metode moving average (ma) dengan berbagai macam ordo seasonal length nilai msd mad mape 2 467143807 18276 6 3 448478811 18263 6 4 447423575 17609 6 6 440877399 18559 6 12 336634442 16203 5 berdasarkan hasil metode indeks musiman berordo 12, diketahui nilai kesalahan di antaranya adalah nilai msd sebesar 336634442, yang menunjukkan bahwa metode penyimpangan yang terjadi dalam metode ini adalah sebesar gambar 4. plot acf dari data penjualan air per. januari 2010november 2013 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 86 336634442, nilai mad sebesar 16203 yang berarti penyimpangan absolut yang terjadi sebesar 16203, dan nilai mape sebesar 6 yang menunjukkan besarnya persentase penyimpangan sebesar 6%. pergerakan grafik peramalan menggunakan metode indeks musiman disajikan pada gambar 6. metode analisis tren penggunaan metode tren dalam studi ini adalah dengan metode trend analysis yang terdapat pada program minitab 16, sehingga mudah untuk menganalisis dan menampilkan data yang mengandung unsur tren. berdasarkan pola hubungan linear antara penjualan air sebagai variabel dependen dan periode waktu sebagai variabel independen, terlihat bahwa hubungan variabel tersebut berada di antara garis lurus, berarti residual berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati nol (0). berdasarkan perhitungan model regresi linear sederhana menggunakan metode trend analysis menghasilkan persamaan yt = 281898 + 1490t; dengan nilai msd sebesar 464765613, nilai mad sebesar 18281, dan nilai mape sebesar 6. hal ini menunjukkan bahwa nilai penyimpangan pada metode ini sebesar 464765613, nilai penyimpangan absolut sebesar 18281, dan besarnya persentase penyimpangan sebesar 6%. pergerakan grafik peramalan menggunakan metode trend analysis dengan model regresi linear sederhana dengan volume penjualan air bersih sebagai dependent variable dan periode waktu sebagai independent variable disajikan pada gambar 7 (lampiran). garis tidak lurus tersebut merupakan garis yang mendekati titik-titik pergerakan dari data historis jumlah penjualan air bersih. berdasarkan perhitungan trend analysis menggunakan model nonlinear sederhana diketahui persamaan yaitu: yt = 314010 + 2442 t + 81,9 t² 12) sedangkan nilai kesalahan dari perhitungan trend analysis menggunakan model nonlinear (kuadratik) yaitu nilai msd sebesar 282257693, nilai mad sebesar 13141 dan nilai mape sebesar 4. hal ini menunjukkan adanya penyimpangan menggunakan metode ini sebesar 282257693, besarnya penyimpangan absolut 13141 dan besarnya persentase penyimpangan sebesar 4%. pergerakan grafik peramalan menggunakan metode trend analysis dengan model regresi nonlinear sederhana (kuadratik) dengan volume penjualan air bersih sebagai dependent variable dan periode waktu sebagai independent variable disajikan pada gambar 8 (lampiran). pemilihan metode peramalan kuantitatif terbaik pemilihan metode peramalan terhadap penjualan air bersih pdam kabupaten sleman yaitu dengan melakukan perhitungan dan pengamatan terhadap perilaku data series gambar 6. grafik analisis model indeks musiman gambar 6. grafik analisis model indeks musiman peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 87 penjualan air bersih selama + 4 tahun selama periode januari 2010 sampai november 2013. berdasarkan hasil penerapan metode peramalan kuantitatif, peramalan yang terbaik menunjukkan bahwa metode tren nonlinear (kuadratik), karena metode tersebut memiliki nilai msd yang kecil dibandingkan dengan metode lainnya. hal ini dikarenakan semakin kecil nilai msd suatu peramalan maka semakin mendekati nilai aktualnya. tetapi, karena data penjualan air bersih pdam kabupaten sleman mengandung unsure musiman, maka metode yang akan dipakai adalah metode analisis musiman, hal ini dikarenakan grafik penjualan air bersih tidak bergerak secara linear meningkat, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh musim (musim kemarau dan musim penghujan). tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan beberapa metode paramalan penjualan air bersih pdam kabupaten sleman. penggunaan metode tersebut sudah mengikuti prosedur yang berlaku, deret waktu yang digunakan dalam peramalan penjualan air bersih selama + 4 tahun yaitu dari januari 2010 sampai november 2013 dengan jumlah observasi sebanyak 47 data, studi dilakukan dengan mengambil data bulanan perusahaan. pengambilan data bulanan dimaksudkan untuk mengamati perilaku penjualan air bersih yang terjadi selama satu bulan kegiatan usaha. berdasarkan uji statistik metode tren kuadratik (lampiran) menunjukkan bahwa nilai rsquared sebesar 67,6 persen yang menunjukkan bahwa pengaruh periode waktu terhadap penjualan air bersih sebesar 67,6 persen, sedangkan 32,4 persen dipengaruhi faktor lain. level toleransi yang digunakan adalah 5 persen berdasarkan perhitungan tren kuadratik diketahui nilai dari f uji yaitu 46,01. sedangkan besarnya uji p-value menunjukkan angka 0,000. hal ini menunjukkan bahwa semua parameter model regresi statistik bernilai 0. berdasarkan grafik fited line plot, model kuadratik menunjukkan bahwa distribusi data menyebar merata sepanjang garis rata-rata. artinya model regresi kuadratik ini dapat digunakan dan mewakili data peramalan. analisis tingkat peramalan penjualan air bersih satu tahun mendatang setelah melakukan perhitungan menggunakan metode-metode peramalan time series (deret waktu berkala) untuk melakukan peramalan penjualan air bersih pada pdam kabupaten sleman diketahui bahwa metode analisis musiman (seasonal) adalah metode terbaik yang dapat digunakan karena data yang diolah mengandung unsur musiman. kemudian metode tersebut dapat dijadikan perencanaan atau acuan perusahaan dalam meramalkan penjualan air bersih 13 bulan mendatang yaitu desember 2013 sampai desember 2014, lihat tabel 5 (lampiran). berdasarkan hasil perhitungan metode musiman, diketahui terjadi penurunan penjualan air bersih pada desember 2013, dari bulan sebelumnya yaitu november dengan nilai 401551m³ menjadi 345055m³ hal ini dikarenakan pada bulan november, perusahaan mengadakan promosi dengan memberikan diskon bagi pelanggan, maka hal tersebut berdampak pada tingginya angka penjualan pada bulan tersebut, lalu pada bulan selanjutnya akan kembali menurun, tetapi terjadi peningkatan kembali yakni dimulai pada awal awal januari 2014 yaitu pada periode 49 menjadi sebesar 352546 m3 lalu kemudian turun kembali pada bulan februari dan maret, kemudian naik kembali pada bulan mei dan april. hal ini dikarenakan faktor musim mempengaruhi penjualan air bersih pdam kabupaten sleman. sehingga perusahaan perlu melakukan peramalan tabel 4. nilai perhitungan beberapa metode peramalan penjualan air bersih no metode peramalan nilai msd nilai mad nilai mape ket. 1 metode tren linear metode tren nonlinear (kuadratik) 464765613 282257693 18281 13141 6 4 2 metode analisis musiman 336634442 16203 5 t= 12 keterangan: t= ordo jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 88 agar memiliki acuan atau gambaran besarnya persediaan air bersih sebagai perencanaan mengantisipasi besarnya permintaan pada bulan-bulan tersebut di tahun 2014. melalui kegiatan peramalan penjualan air bersih pada pdam kabupaten sleman dapat dijadikan rekomendasi kepada departemen terkait seperti pemda dan dprd kabupaten sleman sebagai pihak yang membawahi pdam kabupaten sleman selaku bumd, dengan kegiatan seperti pengoptimalisasian produksi air bersih. kegiatan tersebut dimulai dari industri hulu seperti kegiatan produksi dan pengolahan, sampai hilir seperti pemasaran dan pendistribusian hasil air bersih dari sumber air. dengan mengetahui peramalan penjualan ini juga dapat dijadikan langkah untuk meningkatkan produksi dengan cara ekstensifikasi, intensifikasi, serta penanganan dan pengolahan yang optimal, sehingga hasil produksi air bersih dapat memenuhi kebutuhan konsumen. melalui perencanaan penjualan dapat diketahui kebutuhan perusahaan terhadap bahan baku, tenaga kerja, keuangan, peralatan pendukung dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan air bersih (ahmad tohir, 2011), sesuai dengan jumlah peramalan penjualan yang dilakukan untuk periode januari 2014 sampai desember 2014 yaitu sebesar 4.296.015m³ menggunakan metode musiman. identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman 1. aspek teknis dan operasional berdasarkan seluruh sistem yang ada saat ini, jumlah rata-rata kapasitas terpasang adalah 353,83 l/dt, sedangkan kapasitas yang dioperasikan 295,27 l/dt, sehingga masih ada idle capacity sebesar 58,56 l/dt. jam produksi air minum berjalan antara 17-24 jam/hari, sedangkan operasi distribusi berjalan 24 jam/hari. system distribusi yang digunakan oleh pdam kabupaten sleman adalah menggunakan gravitasi 72 l/dt dan pompa 171 l/dt. berdasarkan sumber air yang digunakan, maka pemanfaatan mata air 86,7 l/dt, sumur bor 143 l/dt dan sallow well sebanyak 180,7 l/dt, dan ipa sebanyak 20 l/dt. kapasitas sumber pdam kabupaten sleman saat ini mencapai rata-rata 417 l/dt dengan dua sumber air baku, yakni air permukaan yang berasal dari mata air, ipa, sumur dangkal, dan sumur dalam dari beberapa sumur eksplorasi pdam kabupaten sleman, lihat tabel 6. tabel 6. kapasitas produksi pdam kabupaten sleman tahun 2013 sampai bulan november no uraian kapasitas l/detik m3/tahun 1. kapasitas sumber air baku 353,83 2. kapasitas produksi 295,27 3. produksi 6.380.675 4. distribusi 6.105.746 5. air terjual 3.875.357 6. kehilangan air 1.829.621 tabel 7 berikut adalah tabel swot dari pdam kabupaten sleman mengenai hal-hal tabel 7. matriks swot produksi pdam kabupaten sleman kekuatan kelemahan internal 1. sumur bor ada 18 buah, shallow well 23 unit, mata air 2 buah (dg kapasitas produksi 385 lit/dt), ipa, dan mobil tanki 1 buah (kap. 5000 lt) 1. tingginya angka kehilangan air 2. pelayanan yang belum mencapai 24 jam merata 3. rasio cakupan pelayanan masih rendah peluang ancaman eksternal 1. tersedianya pangsa pasar potensial yakni kawasan perkotaan yang tumbuh cukup pesat 2. tersedianya sumber air permukaan yang cukup banyak 3. ketersediaan lahan kas desa yang dapat disewa untuk pembangunan prasarana ipa 1. letusan g. merapi merusak sumber air pdam 2. konflik pengelolaan sumber-sumber air antara masyarakat dan pemerintah 3. perubahan musim yang mempengaruhi kualitas air peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 89 yang berkaitan dengan teknis dan operasional. 2. aspek administrasi dan keuangan tabel 8 (lampiran) adalah tabel swot dari pdam kabupaten sleman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan administrasi dan keuangan. 3. aspek sumber daya manusia sumber daya manusia merupakan aspek yang sangat penting dalam suatu perusahaan, karena sumber daya manusia adalah salah satu faktor internal yang sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan. tabel 9 adalah tabel swot dari pdam kabupaten sleman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia. tabel 9. matriks swot sdm pdam kabupaten sleman kekuatan kelemahan internal 1. strata pendidikan sdm cukup memadai. 1. profesionalisme karyawan yang kurang memadai. peluang ancaman eksternal 1. adanya dukungan dari masyarakat berupa swadaya masyarakat 2. peraturan perundangan yang mengatur kerjasama antar daerah dan kerjasama swastapemerintah masih rumit a. matriks ife kekuatan yang dimiliki oleh pdam kabupaten sleman, adalah perda tentang pendirian pdam, ketentuan-ketentuan pokok badan pengawas, direksi dan pegawai pdam kabupaten sleman, dan pengelolaan pdam, pendapatan retribusi yang semakin mendekati bep (impas), kemudian sumur bor ada 18 buah, shallow well 23 unit, mata air 2 buah (dengan kapasitas produksi 385 lit/dt), ipa, dan mobil tanki 1 buah (kap. 5000 lt), lalu dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik, serta strata pendidikan sdm cukup memadai. sedangkan kelemahan yang ada pada perusahaan adalah tingginya angka kehilangan air. pelayanan air yang belum mencapai 24 jam secara merata, kemudian tarif yang belum cost recovery, rasio cakupan layanan yang rendah serta akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya. berdasarkan tabel 10 (lampiran) matriks ife menunjukkan bahwa faktor kekuatan pdam kabupaten sleman yang memiliki skor tertinggi adalah unit produksi yang cukup memadai dengan skor sebesar 0,444. skor tertinggi menunjukkan faktor kekuatan tersebut mempunyai pengaruh yang besar bagi pengembangan pelayanan pdam kabupaten sleman. pendapatan retribusi yang semakin mendekati bep mendapatkan skor terbesar kedua, yaitu 0,383, dimana hal ini sangat berpengaruh dalam pengembangan usaha perusahaan. strata pendidikan sdm cukup memadai mendapatkan skor sebesar 0,211, sedangkan dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik mendpatkan skor 0,183. adapun skor untuk adanya perda tentang pendirian pdam adalah sebesar 0,267. tarif yang belum cost recovery, mendapatkan skor 0,278. kemudian kelemahan lainnya akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya dengan skor 0,217. rasio cakupan layanan yang rendah dan penyaluran air yang belum mencapai rata-rata 24 jam mendapatkan skor 0,283, sementara tingginya angka kehilangan air, yang menjadi masalah umum bagi seluruh pdam di indonesia mendapatkan skor 0,128. secara keseluruhan, total nilai skor terbobot dari enam kekuatan dan enam kelemahan dalam matriks ife adalah sebesar 2,678. dengan demikian, kondisi internal perusahaan berada di atas rata-rata yaitu 2,50. berdasarkan total nilai terbobot tersebut, dapat disimpulkan bahwa pdam kabupaten sleman berada pada posisi yang cukup kuat dalam memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan cukup mampu untuk mengatasi kelemahan. b. matriks efe matriks efe digunakan untuk mengetahui seberapa besar peranan faktor-faktor eksternal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 90 yang terdapat pada perusahaan. matriks efe disusun berdasarkan hasil identifikasi dari kondisi lingkungan eksternal perusahaan berupa peluang dan ancaman yang dihadapi oleh pdam kabupaten sleman. hasil identifikasi dari kondisi lingkungan eksternal diperoleh sebanyak lima peluang dan tiga ancaman. berdasarkan tabel 11 (lampiran) matriks efe, peluang terbesar bagi pdam kabupaten sleman adalah adanya potensi pangsa pasar yang cukup besar dan sumber air baku yang cukup banyak, dengan skor sebesar 0,511. skor tetinggi ini mengindikasikan bahwa proyeksi jumlah penduduk kabupaten sleman yang terus meningkat memberikan peluang berupa adanya pangsa pasar yang cukup potensial untuk meningkatkan jumlah pelanggan bagi pdam kabupaten sleman, karena peningkatan jumlah pelanggan akan berdampak besar pada pemasukan pendapatan perusahaan dan daerah. peluang terbesar kedua yang dimiliki oleh pdam kabupaten sleman adalah adanya investor dan mitra usaha untuk pengembangan perusahaan, yang mana mempunyai besar skor sebanyak 0,383. adanya lahan kas desa juga cukup membantu pengembangan pdam dengan skor sebesar 0,317. sedangkan peluang terkecil adalah adanya tarif premium dari pembangunan zamp dengan skor sebesar 0,122. ancaman cukup besar yang harus dihadapi oleh pdam kabupaten sleman adalah letusan gunung merapi yang dapat terjadi sewaktu-waktu, letusan ini dapat menyebabkan rusaknya beberapa unit instalasi produksi air baku seperti yang sudah pernah terjadi pada tahun 2010 lalu, skor yang didapat adalah 0,156. ancaman lainnya yang juga cukup menyulitkan adalah faktor perubahan musim dimana skornya adalah 0,217, skor ini adalah yang tertinggi di antara ancaman-ancaman lainnya. ancaman lain yang juga tak kalah besar adalah konflik pengelolaan sumber air baku dengan skor sebesar 0,244, serta adanya ekspansi industri air minum kemasan dengan skor 0,061. secara keseluruhan, total nilai skor terbobot dari lima peluang dan lima ancaman adalah sebesar 2,639 atau berada di atas nilai rata-rata yaitu 2,50. berdasarkan total nilai terbobot tersebut, dapat disimpulkan bahwa pdam kabupaten sleman cukup mampu merespon dan memanfaatkan peluang yang dimiliki dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi ancaman yang ada. c. matriks ie matriks ie disusun berdasarkan hasil analisis faktor internal dan factor eksternal yang digabungkan dari matriks ife dan matriks efe. matriks ie pdam kabupaten sleman dapat dilihat pada tabel 12. hasil analisis faktor internal menggunakan matriks ife diperoleh total nilai skor terbobot sebesar 2,272. sedangkan hasil analisis faktor eksternal menggunakan matriks efe diperoleh total nilai skor sebesar 2,794. berdasarkan total nilai skor terbobot dari matriks ife dan efe tersebut menempatkan pdam kabupaten sleman pada sel nomor v dalam matriks ie. strategi yang dapat diambil pada posisi sel tersebut adalah adalah strategi hold and maintain (pertahankan dan pelihara). tabel 12. skor total ife & efe d. menentukan strategi dengan matriks swot matriks swot disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan faktor eksternal perusahaan meliputi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan serta peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan. penentuan matriks swot diterapkan untuk beberapa aspek yang sangat berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu aspek teknis dan operasional, aspek administrasi dan keuangan, serta aspek sdm. pemaduan faktor internal dan eksternal perusahaan dari beberapa variabel peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 91 tersebut dalam matriks swot dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternative strategy, yaitu strategi s-o, strategi s-t, strategi wo dan strategi w-t. adapun rincian mengenai strategi yang dihasilkan dari matriks swot akan dijelaskan setelah mengetahui tabel swot dari pdam kabupaten sleman. berikut ini adalah tabel swot dari pdam kabupaten sleman dari beberapa aspek yang telah diuraikan sebelumnya. 1. strategi s-o (strength-opportunity) strategi s-o adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk memanfaatkan peluang yang ada. strategi yang dihasilkan adalah meningkatkan cakupan dan kualitas layanan khususnya pada kawasan perkotaan yang tumbuh pesat dan rawan pencemaran serta mewujudkan layanan air minum perpipaan premium pada kawasan kota khusus. strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan peluang yang dimiliki pdam kabupaten sleman. kekuatan dan peluang itu adalah perda tentang pendirian pdam, unit instalasi yang lengkap, tersedianya pangsa pasar potensial yakni kawasan perkotaan yang tumbuh cukup pesat, serta tersedianya sumber air permukaan yang cukup banyak. 2. strategi w-o (weakness-opportunities) strategi w-o adalah strategi untuk mengatasi atau meminimalkan kelemahan yang dimiliki perusahaan untuk memanfaatkan peluang yang ada di luar perusahaan. strategi w-o yang dihasilkan adalah penggantian water meter yang rusak dan berumur > 4 th, mengidentifikasi faktor-faktor yang mengakibatkan kehilangan air, dan peningkatan kapasitas sdm guna meningkatkan layanan prima dan perluasan cakupan layanan. strategi ini dilakukan dengan menggunakan peluang yang dimiliki pdam kabupaten sleman untuk mengatasi kelemahan. peluang tersebut adalah ketersediaan lahan kas desa yang dapat disewa untuk pembangunan prasarana ipa dan banyak investor yang mengajak kerjasama pengembangan. sedangkan kelemahannya adalah tingginya angka kehilangan air, pelayanan yang belum mencapai 24 jam secara merata, serta rasio cakupan pelayanan masih rendah. 3. strategi s-t strategi s-t adalah strategi yang menggunakan kekuatan perusahaan untuk mengatasi ancaman yang dihadapi oleh perusahaan. strategi s-t yang dihasilkan adalah memaksimalkan pemanfaatan sumber air baku yang berasal dari sallow well dan sungai, kemudian meningkatkan pengamanan sumber-sumber air pdam, baik dari ancaman pencemaran maupun bencana alam (letusan merapi), serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya konsumsi air bersih. strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki pdam kabupaten sleman untuk menghadapi ancaman. kekuatan tersebut adalah pendapatan retribusi mendekati bep (impas) dan dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik, dan strata pendidikan sdm cukup memadai, yang kemudian digunakan untuk menghadapi beberapa ancaman antara lain resistensi terhadap kenaikan tarif berkala oleh legislative/masyarakat, perubahan musim yang mempengaruhi kualitas air, letusan g. merapi merusak sumber air pdam, ekspansi industri air minum kemasan pada ladang-ladang sumber pdam, serta konflik pengelolaan sumber-sumber air antara masyarakat dan pemerintah. 4. strategi w-t strategi w-t adalah strategi yang meminimalkan kelemahan internal perusahaan dan menghindari ancaman. strategi w-t yang dihasilkan adalah segera menyelesaikan masalah (administrasi) akuisisi pelanggan di wilayah pdam kabupaten sleman yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta, serta dukungan atau bimbingan teknis kepada air perpipaan air bersih di pedesaan di luar sistem pdam. strategi ini dilakukan dengan meminimalisir beberapa kekurangan pdam kabupaten sleman yaitu rasio cakupan pelayanan masih rendah, dan akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya. kemudian strategi ini juga digunakan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang dimiliki oleh pdam kabupaten sleman, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 92 yaitu ekspansi industri air minum kemasan pada ladang-ladang sumber pdam, dan konflik pengelolaan sumber-sumber air antara masyarakat dan pemerintah. simpulan berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa data aktual penjualan air bersih pdam kabupaten sleman selama kurang lebih 4 tahun periode januari 2010 sampai november 2013, diketahui memiliki unsure trend (cenderung meningkat) dan unsure musiman. unsure trend yang berangsur-angsur meningkat terjadi karena permintaan masyarakat terhadap air bersih selalu meningkat, hal ini dikarenakan air bersih merupakan konsumsi pokok harian bagi masyarakat khususnya rumah tangga. unsur musiman diakibatkan oleh perubahan cuaca yang mempengaruhi ketersediaan debit air baku yang dapat diproduksi, dan juga sekaligus mempengaruhi kualitas air yang tersedia di beberapa sumber air baku. karena pola data lebih cenderung mengalami unsure musiman, maka metode analisis time series yang digunakan adalah metode indeks musiman, tetapi untuk perbandingan, maka analisis tren linear dan nonlinear juga digunakan dalam studi ini, karena pola data penjualan air bersih pdam kabupaten sleman juga mengandung unsure trend (secara berangsur mengalami peningkatan). berdasarkan perhitungan metode peramalan menggunakan metode indeks musiman, diketahui bahwa jumlah total penjualan air bersih di tahun 2014 adalah sebesar 4.296.015m3, atau meningkat sebesar 75603 m3 dari tahun 2013 yang berjumlah total 4.220.412 m3. dengan mengetahui peramalan penjualan ini juga dapat dijadikan langkah untuk meningkatkan produksi dengan cara ekstensifikasi, intensifikasi, serta penanganan dan pengolahan yang optimal, sehingga hasil produksi air bersih dapat memenuhi kebutuhan konsumen. hasil identifikasi lingkungan pdam kabupaten sleman, yaitu: pertama, hasil identifikasi lingkungan internal, yang merupakan kekuatan pdam kabupaten sleman adalah perda tentang pendirian pdam, pendapatan retribusi yang semakin mendekati bep, unit produksi yang cukup memadai, dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik, dan strata pendidikan sdm cukup memadai. sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan adalah tingginya angka kehilangan air, pelayanan air yang belum mencapai 24 jam secara merata, tarif yang belum cost recovery, rasio cakupan layanan yang rendah, dan akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya; kedua, hasil identifikasi lingkungan eksternal, yang merupakan peluang yang dimiliki oleh pdam kabupaten sleman adalah pangsa pasar yang potensial, sumber air baku yang cukup banyak, tersedianya lahan kas desa, adanya investor dan mitra usaha, dan tarif premium dari layanan zamp. adapun ancaman yang harus dihadapi oleh pdam kabupaten sleman adalah resistensi terhadap kenaikan tariff, perubahan musim, ekspansi industri air minum kemasan, letusan g. merapi, serta konflik pengelolaan sumber air baku. berdasarkan hasil analisis matriks ie, diketahui bahwa pdam kabupaten sleman berada dalam posisi hold & mentain, artinya pertahankan dan kembangkan, strategi terbaik yang harus dilakukan adalah inovasi produk dan penetrasi pasar. saran-saran yang dapat diberikan kepada pdam kabupaten sleman untuk meningkatkan pelayanan air bersih kepada masyarakat adalah: 1) perencanaan penjualan air bersih menggunakan metode kuantitatif time series dengan metode indeks musiman dapat digunakan oleh pihak perusahaan karena dapat membantu perusahaan dalam merencanakan kegiatan penjualan air bersih; 2) pdam kabupaten sleman perlu menganalisis setiap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki oleh perusahaan karena dapat membantu dalam penetapan kebijakan strategis untuk perkembangan perusahaan; 3) pdam kabupaten sleman diharapkan dapat meningkatkan cakupan dan kualitas layanan khususnya pada kawasan perkotaan yang tumbuh pesat dan rawan pencemaran serta mewujudkan layanan air minum perpipaan premium pada kawasan kota khusus, mengganti water meter yang rusak dan berumur > 4 th, mengidentifikasi faktor-faktor yang mengaikbatkan kehilangan air, meningkatkan kapasitas sdm guna meningkatkan layanan prima dan perluasan cakupan layanan, memaksimalkan peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 93 pemanfaatan sumber air baku yang berasal dari sallow well dan sungai, meningkatkan pengamanan sumber-sumber air pdam, baik dari ancaman pencemaran maupun bencana alam (letusan merapi), melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya konsumsi air bersih menyelesaikan masalah (administrasi) akuisisi pelanggan di wilayah pdam kabupaten sleman yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta, serta memberikan dukungan atau bimbingan teknis kepada air perpipaan air bersih di pedesaan di luar sistem pdam; 4) hasil dari peramalan dalam studi ini dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan strategis sebagai dasar perencanaan penjualan air bersih untuk tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya. sedangkan untuk melengkapi studi ini ada baiknya dilakukan studi lanjutan. daftar pustaka akhmat, t. (2011). analisis peramalan penjualan minyak sawit kasar atau crude palm oil (cpo) pada pt. khasrisma pemasaran bersama (kpb) nusantara. skripsi. uin jakarta. bappeda kabupaten sleman. (2010). buku putih sanitasi kawasan perkotaan kabupaten sleman. yogyakarta: bappeda. bappeda kabupaten sleman. (2010). buku putih sanitasi kawasan perkotaan kabupaten sleman. yogyakarta: bappeda. dian suminnar. (2007). analisis formulasi strategi pada perusahaan daerah air minum (pdam) tirta pakuan bogor. skripsi. bogor: institut pertanian bogor. dinas pekerjaan umum cipta karya. (2007). petunjuk teknis pengembangan spam sederhana. jakarta: dinas pu. gujarati, d.n. dan dawn c.p. (2012). dasardasar ekonometrika. buku 2, edisi 5, terjemahan raden carlos mangunsong. jakarta: salemba empat gujarati, d.n. (2012). dasar-dasar ekonometrika, buku 1, edisi 5, terjemahan eugenia mardanugraha, dkk. jakarta: salemba empat hermanto dan saptutyningsih, e. (2002). electronic data processing (edp), yogyakarta: upfe umy. junaidi chaniago. (2013). http:// junaidi chaniago. wordpress.com/tag/minitab/. diakses tanggal 7 desember 2013. lampiran gambar 5. probability plot jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 94 454035302520151051 400000 375000 350000 325000 300000 275000 250000 index p e n ju a la n ma pe 6 ma d 18281 msd 463765613 a ccuracy measures a ctual fits variable trend analysis plot for penjualan linear trend model yt = 281898 + 1490*t gambar 7. grafik trend analysis model regresi linear gambar 8. grafik trend analysis model regresi nonlinear tabel 5. peramalan penjualan air bersih desember 2013–desember 2014, menggunakan metode musiman periode tahun bulan peramalan (m³) 48 2013 desember 345055 49 2014 januari 352546 50 2014 february 348816 51 2014 maret 320757 52 2014 april 342159 53 2014 mei 349269 54 2014 juni 356886 55 2014 juli 354357 56 2014 agustus 367059 57 2014 september 373497 58 2014 oktober 383831 59 2014 november 386101 60 2014 desember 360738 peramalan penjualan air bersih ... (wahyu abdullah) 95 tabel 8. matriks swot administrasi pdam kabupaten sleman kekuatan kelemahan internal 1. perda tentang: pendirian pdam, ketentuanketentuan pokok badan pengawas, direksi & pegawai pdam kab. sleman, dan pengelolaan pdam 2. pendapatan retribusi mendekati bep (impas) 3. dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik. 1. tariff belum cost recovery 2. akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya peluang ancaman eksternal 1. banyak investor yang mengajak kerjasama pengembangan 2. tarif premium dari layanan zamp (siap minum) 1. resistensi terhadap kenaikan tariff berkala oleh legislatif/ masyarakat 2. ekspansi industry air minum kemasan pada ladang-ladang sumber pdam tabel 10. ife pdam kabupaten sleman faktor strategi internal bobot rating skor terbobot kekuatan perda tentang pendirian pdam 0,067 4,00 0,267 pendapatan retribusi yang semakin mendekati bep 0,128 3,00 0,383 unit produksi yang cukup memadai 0,111 4,00 0,444 dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik 0,061 3,00 0,183 strata pendidikan sdm cukup memadai 0,106 2,00 0,211 kelemahan tingginya angka kehilangan air 0,128 1,00 0,128 pelayanan air yang belum mencapai 24 jam secara merata 0,094 3,00 0,283 tarif yang belum cost recovery 0,139 2,00 0,278 rasio cakupan layanan yang rendah 0,094 3,00 0,283 akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya 0,072 3,00 0,217 jumlah 1,000 2,678 tabel 11. efe pdam kabupaten sleman faktor strategi eksternal bobot rating skor terbobot peluang tersedianya pangsa pasar potensial 0,128 4,00 0,511 sumber air baku yang cukup banyak 0,128 4,00 0,511 tersedianya lahan kas desa 0,106 3,00 0,317 adanya investor dan mitra usaha 0,128 3,00 0,383 tariff premium dari layanan zamp 0,061 2,00 0,122 ancaman resistensi terhadap kenaikan tarif 0,117 1,00 0,117 perubahan musim 0,072 3,00 0,217 ekspansi industry air minum kemasan 0,061 1,00 0,061 letusan g. merapi 0,078 2,00 0,156 konflik pengelolaan sumber air baku 0,122 2,00 0,244 jumlah 1,000 2,794 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 78-96 96 tabel 13. matriks swot pdam kabupaten sleman faktor internal faktor eksternal kekuatan: 1. perda tentang: pendirian pdam, ketentuan-ketentuan pokok badan pengawas, direksi & pegawai pdam kab. sleman, dan pengelolaan pdam 2. pendapatan retribusi mendekati bep (impas) 3. sumur bor ada 18 buah, shallow well 23 unit, mata air 2 buah (dg kapasitas produksi 385 lit/dt), ipa, dan mobil tanki 1 buah (kap. 5000 lt) 4. dukungan pemda & dprd dalam kebijakan cukup baik. 5. strata pendidikan sdm cukup memadai. kelemahan: 1. tingginya angka kehilangan air 2. pelayanan yang belum mencapai 24 jam secara merata 3. tariff belum cost recovery 4. rasio cakupan pelayanan masih rendah 5. akuisisi pelanggan yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta terlalu lama penyelesaiannya peluang: 1. tersedianya pangsa pasar potensial yakni kawasan perkotaan yang tumbuh cukup pesat 2. tersedianya sumber air permukaan yang cukup banyak 3. ketersediaan lahan kas desa yang dapat disewa untuk pembangunan prasarana ipa 4. banyak investor yang mengajak kerjasama pengembangan 5. tariff premium dari layanan zamp (siap minum) strategi s-o 1. meningkatkan cakupan dan kualitas layanan khususnya pada kawasan perkotaan yang tumbuh pesat dan rawan pencemaran. 2. mewujudkan layanan air minum perpipaan premium pada kawasan kota khusus strategi w-o 1. penggantian water meter yang rusak dan berumur > 4 th 2. identifikasi kehilangan air 3. peningkatan kapasitas sdm guna meningkatkan layanan prima dan perluasan cakupan layanan. ancaman: 1. resistensi terhadap kenaikan tarif berkala oleh legislatif/ masyarakat 2. perubahan musim yang mempengaruhi kualitas air 3. letusan gunung merapi merusak sumber air pdam 4. ekspansi industri air minum kemasan pada ladang-ladang sumber pdam 5. konflik pengelolaan sumbersumber air antara masyarakat dan pemerintah strategi s-t 1. memaksimalkan pemanfaatan sumber air baku yang berasal dari sallow well dan sungai 2. meningkatkan pengamanan sumber-sumber air pdam, baik dari ancaman pencemaran maupun bencana alam (letusan merapi) 3. melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya konsumsi air bersih strategi w-t 1. segera menyelesaikan masalah (administrasi) akuisisi pelanggan di wilayah pdam kabupaten sleman yang dilayani oleh pdam kota yogyakarta 2. dukungan atau bimbingan teknis kepada air perpipaan air bersih di pedesaan di luar sistem pdam. microsoft word 02-bayu jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.101-119 desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi : sebelum dan sesudah era desentralisasi fiskal di indonesia bayu kharisma fakultas ekonomi, universitas padjajaran jalan dipati ukur no.35 bandung, jawa barat, indonesia e-mail korespondensi: bayu_kharisma@yahoo.com naskah diterima: desember 2012; disetujui: september 2013 abstract: the regional autonomy in indonesia gives the implication to the shift of authority between the center and local government in many sectors. the regional autonomy also makes the decentralization that related with the local financing management, the economy planning including the local planning and other planning that shifted from the central government to the local government. the study aims to know the effect of fiscal decentralization from the income and spending aspect towards the local economic development in indonesia (gas and oil nationally). the method analysis in this study is the panel data from 1995-2000 and 20012004.the result shows that before decentralization on the year of 1995-2000, the fiscal decentralization whether from income or spending aspect has negative influence to the economy growth. coming into decentralization from 2001-2004, the fiscal decentralization on supporting the economy development, whether from government income or spending is increasing. but the fiscal decentralization is exceeding the spending aspect compare to the income, whether in national level, with oil and gas or without oil and gas, inside java or outside java. keywords: regional autonomy; fiscal decentralization; panel data; economic growth jel classification: e62, o23, o11 abstrak: pelaksanaan otonomi daerah di indonesia membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. adanya otonomi daerah maka terjadi desentralisasi yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi termasuk menyusun program-program pembangunan daerah dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pusat ke daerah. studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah provinsi di indonesia (nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa dan di luar jawa). metode analisis yang digunakan dalam penulisan studi ini menggunakan data panel secara terpisah pada periode 1995-2000 dan 2001-2004. hasil analisa menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan era desentralisasi periode 1995-2000, pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, baik untuk tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa dan di luar jawa. memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, pengaruh desentralisasi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. namun pengaruh desentralisasi fiskal tersebut jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan daerah, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. kata kunci: otonomi daerah; desentralisasi fiskal; data panel; pertumbuhan ekonomi. klasifikasi jel: e62, o23, o11 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 102 pendahuluan desentralisasi secara umum menggambarkan adanya transfer kompetensi dan kemampuan serta tanggung jawab untuk menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik dari pemerintah pusat ke daerah yang lebih baik. selain itu, desentralisasi dapat diartikan sebagai pemindahan fungsi-fungsi dan sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. dalam hal fungsi, di mana penyediaan fungsi atau pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat harus memberikan manfaat dalam lingkup perekonomian yang lebih luas. namun di sisi lain, pemerintah daerah harus mampu menyediakan barang publik yang bersifat lokal. oleh karena itu, dengan adanya desentralisasi diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik lebih demokratis. proses desentralisasi dapat diwujudkan antara lain dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, menggali potensi penerimaan daerah secara mandiri, terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh legislatif di daerah dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (sidik., 2002:1). timbulnya kenginan diterapkannya proses desentralisasi di berbagai negara di dunia, khususnya di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi diberbagai negara serta banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistik dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. pada tahun 2001 indonesia telah memasuki era baru dalam tata pemerintahan, yaitu pelaksanaan otonomi daerah. dengan adanya kondisi tersebut maka pada saat itulah uu no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan uu no. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah mulai diberlakukan. pelaksanaan otonomi daerah dalam kedua uu tersebut pada dasarnya merupakan tanggapan terhadap aspirasi adanya keinginan format baru mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di indonesia yang berimplikasi pada pelimpahan kewenangan dalam berbagai bidang. sejalan dengan pembagian kewenangan tersebut maka pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas penyelenggaraan pemerintahan. pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dibebankan melalui apbd, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban apbn dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan. di samping itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi maka daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak atau retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta transfer keuangan (grant) atau sering disebut dana perimbangan. hal penting yang tertuang dalam uu no. 22 tahun 1999 adalah pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah. sementara itu, uu no. 25 tahun 1999 menyangkut masalah desentralisasi fiskal, yaitu pengaturan pembagian antara sumber daya keuangan (financial sharing) antara pusat dan daerah merupakan konsekuensi logis dari adanya pembagian kewenangan tersebut. uu nomor 25 tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah didesain dengan menggunakan prinsip money follows function atau “uang mengikuti kewenangan”. artinya, jika kewenangan dilimpahkan ke daerah maka uang untuk mengelola kewenangan pun harus dilimpahkan ke daerah. dengan dilaksanakannya desentralisasi fiskal di indonesia maka pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien. hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonom di indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. dengan demikian, peran desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 103 pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam membangun daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber keuangan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di daerah. pembangunan ekonomi daerah pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip otonomi daerah. tiaptiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi dari masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. dalam upaya mendukung penyelenggaraan otonomi daerah maka penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah harus dilakukan secara nyata dan bertanggung jawab serta diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil. desentralisasi pada dasarnya tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai dimensi yang beragam, khususnya menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan serta pembangunan sosial ekonomi. secara umum, desentralisasi terdiri dari desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi ekonomi (economic of market decentralization) dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). (kälin, 2001:6) desentralisasi politik bertujuan meningkatkan keikutsertaan atau partisipasi aktif dari masyarakat, khususnya masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan secara politis. hal itu menyiratkan bahwa otoritas lokal yang dipilih harus lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat lokal yang telah memilihnya dan mereka harus lebih baik merepresentasikan kepentingan lokal dalam pengambilan keputusan politis. desentralisasi administratif yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. pelimpahan tanggung jawab tersebut menyangkut perencanaan, pendanaan dan pelimpahan manajemen fungsifungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu atau perusahaan tertentu. desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, antara lain yaitu: 1) dekonsentrasi (deconcentration). adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki dengan pemerintah pusat di daerah. 2) devolusi (devolution). adalah pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan, dimana pihak pemerintah daerah mendapat diskresi atau kewenangan yang tidak dikontrol oleh pemerintah pusat. dalam hal tertentu, di mana pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah daerah memiliki wilayah administrasi yang jelas dan legal serta diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, termasuk dalam menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. dekonsentrasi dan devolusi dari konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization. 3) pendelegasian (delegation or instutional pluralism). adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada diluar struktur birokrasi regular dan dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. pendelegasian wewenang ini pada dasarnya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. pihak yang menerima wewenang tersebut mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut meskipun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign authority). desentralisasi ekonomi merujuk pada transfer fungsi pemerintah kepada sektor swasta. artinya, penugasan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah diserahkan kepada perusahaan swasta, kepentingan kelompok, organisasi yang sukarela dan organisasi bukan pemerintah lainnya. ada dua hal utama penting dalam desentralisasi ekonomi yaitu: 1) privatisasi atau transfer kewajiban secara jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 104 parsial ataupun sepenuhnya untuk produksi barang dan jasa yang spesifik dari pemerintah ke sektor swasta. 2) deregulasi atau mengurangi hambatanhambatan bersifat legal yang dapat menghambat sektor swasta untuk memproduksi barang dan jasa, dengan kata lain berusaha menciptakan iklim persaingan antara aktor swasta dalam area yang sebelumnya didominasi oleh pelayanan pemerintah atau monopoli dari perusahaan pemerintah. desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi, dimana apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumbersumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (pad), bagi hasil pajak dan bukan pajak. pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain adalah fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (musgrave and musgrave, 1985:6). fungsi alokasi adalah peranan pemerintah dalam mengalokasikan sumbersumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam penyediaan barang untuk barang maupun jasa yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara penjual dan pembeli atau sistem pasar karena adanya kegagalan pasar (market failure). oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan barang-barang tersebut (dalam hal ini barang publik). fungsi distribusi adalah peranan pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan atau “fair” dalam pengaturan distribusi pendapatan. fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. dalam hal ini, pemerintah menggunakan kebijakan anggaran (budget policy) untuk mengurangi pengangguran, derajat kestabilan harga yang beralasan (reasonable) dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. fungsi distribusi dan fungsi stabilitas pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat. pembagian ketiga fungsi tersebut dimaksudkan untuk landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan pusat dan daerah. perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah antara lain mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara proporsional, transparan, demokratis dan adil dengan memperhatikan kondisi, potensi dan kebutuhan daerah. pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik jika didukung faktorfaktor sebagai berikut (sidik, 2002:2). pertama, adanya peran pemerintah pusat yang intensif dalam melakukan pengawasan dan enforcement. kedua, terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan, khususnya dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. ketiga, stabilitas politik yang kondusif. keempat, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. kelima, desain kebijakan dari keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan daerah. keenam, kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran yang sebelumya merupakan pemerintah pusat. adanya ketertarikan yang tinggi dalam menjalankan proses desentralisasi fiskal disebabkan beberapa faktor antara lain, pertama, diyakini bahwa desentralisasi fiskal sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran publik. kedua, adanya desakan untuk melakukan desentralisasi dapat dilihat sebagai reaksi kegagalan birokrasi pemerintah sentralistik dengan regim politik berbeda yang terjadi di negara berkembang dan negaranegara transisi, desentralisasi fiskal sebagai mekanisme untuk membuat suatu kebijakan lebih responsif terhadap apa yang dibutuhkan daerah dan melibatkan penduduk di daerah dalam melaksanakan proses pemerintahan yang demokratis. di samping itu, desentralisasi juga dapat dilihat sebagai jalan untuk pergeseran wewenang dengan menggeser otoritas fiskal desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 105 kepada pemerintah daerah (oates, 1993:273). namun, di satu sisi desentralisasi fiskal dapat berpengaruh buruk terhadap kondisi suatu negara, khususnya di negara berkembang. pertama, desentralisasi fiskal akan mendorong ke arah ketidakstabilan makroekonomi, dimana hal ini disebabkan karena desentralisasi fiskal secara tidak langsung dapat mengurangi dasar pajak dan pembelanjaan yang digunakan pemerintah pusat dalam melakukan kebijakan stabilisasi melalui kebijakan anggaran. kedua, implementasi kebijakan desentralisasi yang didesain buruk dapat menciptakan insentif pemerintah daerah untuk membelanjakan dan meminjam dana secara berlebihan yang dapat mengarah pada ketidakstabilan makroekonomi. ketiga, suatu kebijakan desentralisasi tidak berjalan dengan baik jika diterapkan pada birokrasi yang korupsi, tidak stabilnya kondisi politik, administrasi, institusi dan kemampuan manajerial daerah yang tidak memadai (capable). keempat, preferensi para pemilih (voters) di daerah tidak mencerminkan preferensi daerahnya, di mana hal ini seringkali dipengaruhi oleh faktor politik. ada tiga faktor yang harus diperhatikan dari desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah (bird and vaillancourt, 2000:7). pertama, desentralisasi fiskal berarti adanya pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah. kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah pusat. ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan, khususnya yang bertempat di daerah. desentralisasi fiskal dapat dinilai secara jelas, namun hal itu sebagian tergantung pada apakah yang sudah dilakukan lebih bersifat dekonsentrasi, delegasi atau devolusi dan kebijakan politik yang bersifat dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up). pendekatan desentralisasi fiskal dari bawah ke atas umumnya selain menekankan nilai ekonomi, juga nilai politik. oleh karena itu, pendekatan tersebut lebih mengandung manfaat sisi ekonomi maupun politik. desentralisasi tidak hanya menghasilkan pelayanan yang efisien dan adil melalui pengetahuan lokal, namun di sisi lain akan mendorong partisipasi demokrasi yang lebih besar. dengan demikian, hasil yang diharapkan adalah terciptanya dukungan yang lebih luas kepada pemerintah daerah serta dapat memperbaiki stabilitas politik. apabila manfaat ini ditambah dengan sisi lain, misalnya seperti peningkatan mobilisasi sumber-sumber dan pengurangan tekanan atas keuangan pusat, peningkatan akuntabilitas dan peningkatan respon serta tanggung jawab pemerintah maka desentralisasi fiskal merupakan suatu yang bermanfaat. desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya (bird and vaillancourt, 2000:8). hal ini disebabkan (1) pemerintah daerah memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan pemerintah pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barangbarang publik yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. (2) menstimulus pemerintah daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah melalui optimalisasi sumber daya yang ada secara efisien dan mengurangi pemborosan. oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. (3) adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan pemerintah pusat yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antardaerah. esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 106 objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakankebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. ketiga, pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya. studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah provinsi di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas serta di jawa dan luar jawa selama periode 1995-2004. metode penelitian spesifikasi model studi ini membahas pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi. model yang digunakan dalam studi ini merujuk pada model-model yang telah ada dengan berbagai tambahan dari sumber-sumber lainnya serta beberapa modifikasi (jin and heng-fu zou, 2005: 1047–1064). dasar teori yang digunakan untuk membahas pengaruh anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah mengadopsi production-function based, yaitu fungsi produksi cobb-douglas. apabila diasumsikan suatu daerah dalam memproduksi output (y) dengan menggunakan stok modal (k) dan tenaga kerja (l) maka dapat dituliskan berikut: ititititit ulkay   1 1) di mana y adalah produk domestik regional bruto (pdrb); k adalah stok modal; l adalah jumlah tenaga kerja; a adalah tingkat kemajuan teknologi,  dan 1- adalah elastisitas output terhadap modal dan tenaga kerja dengan nilai 0 <  < 1 dan 0 < 1  < 1, i dan t adalah indeks provinsi dan indeks waktu dan u adalah galat. selain itu, diasumsikan fungsi produksi memiliki pengembalian skala konstan sehingga penjumlahan  dan 1 adalah satu. asumsi yang digunakan pada model tersebut adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log ait = ai + bt yang merupakan fixed effect dari masingmasing provinsi dengan indeks i dan pertumbuhan produktivitas indonesia secara keseluruhan dengan indeks t. jika fungsi produksi cobb-douglas tersebut dibagi dengan tenaga kerja maka dapat diuraikan berikut ini:          1 itit it it ity l a l k l l l u 2) dari persamaan (2) apabila dirubah ke dalam log linier maka tingkat output per kapita dapat diuraikan sebagai berikut:       itit it itlog y l log a l log k l logu   3) itititit ukayg    4) dalam persamaan (4), laju pertumbuhan output per kapita tergantung pada dua faktor, antara lain laju pertumbuhan modal per kapita dan tingkat kemajuan teknologi (rate of technological progress). dalam hal ini, ita  tidak hanya menggambarkan tingkat kemajuan teknologi, namun juga mencerminkan perbedaan dalam kelimpahan sumberdaya (resource endownments) dan institusi antardaerah dari waktu ke waktu, seperti halnya di dalam karateristik-karateristik spesifik lain di suatu wilayah yang tidak bisa diamati. pada studi ini, diasumsikan bahwa ita  bergantung pada dua variabel. variabel pertama adalah desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran, sedangkan variabel kedua adalah variabel kontrol yang merupakan perbedaan daerah dalam kelimpahan sumber daya dan institusi antardaerah, antara lain adalah pertumbuhan penduduk, pajak daerah dan keterbukaan daerah (degree of openness). sementara itu, proxy untuk modal per kapita menggunakan pembentukan modal tetap domestik bruto riil per kapita. dalam penulisan studi ini, model diestimasi menggunakan data panel secara terpisah pada periode 1995-2000 dan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 107 2001-2004 yang mempunyai bentuk sebagai berikut: 1) model hubungan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi: 0 1 2 3it it it itlny lndfx lndfy lninv        4 5it it it lnopen gpop u   5) 2) model hubungan pendapatan asli daerah (pad) dan dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi: 0 1 2 3it it it itlny lnpad lndper lninv        4 5it it itlnopen gpop u   6) 3) model hubungan pengeluaran rutin dan 0 1 2 3it it it itlny lnrutin lnpemb lninv        4 5it itlnopen gpop   itit utax 6 7) keterangan: yit adalah pdrb riil per kapita dari provinsi i pada tahun t; dfxit adalah desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan (rasio total pad terhadap total pad dan total penerimaan dalam negeri) riil per kapita dari provinsi i pada tahun t; dfyit adalah desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran (rasio total pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran daerah dan total pengeluaran pusat)1 riil per kapita dari provinsi i pada tahun t; invit adalah investasi riil per kapita dari provinsi i pada tahun t; openit adalah keterbukaan daerah (rasio ekspor dan impor daerah terhadap pdrb) riil dari provinsi i pada tahun t; gpopit adalah pertumbuhan penduduk dari provinsi i pada tahun t; padit adalah pendapatan asli daerah (rasio pad terhadap total penerimaan daerah) dari provinsi i pada tahun t ; daperit adalah dana perimbangan (rasio dana perimbangan terhadap total penerimaan daerah) dari provinsi i pada tahun t; rutinit adalah belanja rutin (rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran daerah) dari provinsi i pada tahun t; pembit adalah belanja pembangunan 1 tanpa memperhitungkan angsuran pinjaman atau hutang dan bunga (rasio belanja pembangunan terhadap total pengeluaran daerah) dari provinsi i pada tahun t. uit adalah error term. hasil dan pembahasan pembahasan dalam studi ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, bagian pertama adalah melihat pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah provinsi di indonesia (di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa dan di luar jawa), bagian kedua melihat pengaruh pendapatan asli daerah (pad) dan dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi. ketiga adalah melihat pengaruh belanja rutin dan pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi. semua model menggunakan data panel yang terdiri dari 26 provinsi (provinsi yang mengalami pemekaran diagregasikan dengan provinsi induknya) yang merupakan data cross section dan 10 tahun (1995-2004) data time series sehingga total obser-vasi data panel adalah 260. dalam melakukan pemilihan pendekatan panel data yang paling cocok untuk mengestimasi semua model maka dilakukan uji hausman (hausman test). berdasarkan hasil uji hausman dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang paling cocok dengan karakteristik data adalah model efek tetap (fixed effect). hasil pengolahan data secara ringkas untuk semua model dapat dilihat pada tabel 1, 2, dan 3 dalam lampiran. analisis statistik dan ekonometrik secara umum model data panel yang digunakan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi antar provinsi di indonesia memberikan hasil yang baik secara teori ekonomi dan teori keuangan daerah. hal ini dapat dilihat dari tanda koefisisen yang arah dan besarannya bersesuaian dengan teori ekonomi dan keuangan daerah. berdasarkan hasil estimasi terhadap semua model di atas, terlihat bahwa secara umum hampir semua variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 99%, 95% dan 90%, meskipun masih ada beberapa variabel yang tidak signifikan. hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 108 lebih besar dari nilai t-tabel. artinya, masingmasing variabel yang diuji berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. pengujian tersebut dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai kritis yang diperoleh dari t-tabel. apabila nilai t-hitung > ttabel maka hipotesis h0 ditolak. sebaliknya, jika nilai t-hitung < t-tabel maka hipotesis h0 diterima. sementara itu, hasil estimasi juga menunjukkan bahwa nilai probability f-statistic ( = 0,0000) signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. hal ini berarti bahwa secara bersamasama variabel bebas pada semua model tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas pada tingkat kepercayaan 99%. selanjutnya pada tahap akhir uji statistik adalah melihat nilai adjusted r2. hasil estimasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa nilai adjusted r2 semua model adalah 0.999. hal ini menunjukkan bahwa 99,9% variasi dalam variabel tidak bebas mampu dijelaskan oleh variasi semua variabel bebas yang terdapat dalam model, sedangkan sisanya sebesar 0,001% dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam model. pada pengujian multikolinier, berdasarkan hasil estimasi tidak terdapat multikolinearitas antara variabel di dalam model. hal ini diperlihatkan dengan uji correlation matrix yang menunjukkan tidak ada gejala multicolinearity dalam model, karena semua nilai korelasi masing-masing variabel di bawah 80%. artinya, tidak ada hubungan antara variabel bebas dalam model. dengan demikian diharapkan masing-masing riabel bebas dapat memberikan pengaruh yang murni terhadap variabel tidak bebas. pada studi ini, gejala heteroskedastis sudah diperbaiki secara langsung dengan melakukan koreksi standard error (white heteroskedasticityconsistent standard errors & covariance), sehingga diharapkan tidak ada korelasi antara error dengan variabel bebas dalam model serta perilaku error term tidak memiliki pola yang sistematis. dengan mengacu pada nilai durbinwatson, semua model secara umum tidak terdapat indikasi adanya korelasi serial (autocorrelation), di mana nilai dw dalam semua persamaan di atas mendekati nilai 2. selain itu, dalam metode fixed effect diasumsikan dapat mengatasi masalah korelasi serial (gujarati, 2003:646). dengan demikian, secara umyum model yang digunakan sudah memenuhi asumsi blue (best linier unbiased estimator) diharapkan bahwa nilai yang dihasilkan dapat menunjukkan nilai yang baik, efisien dan tidak bias serta dapat menggambarkan pengaruh yang murni dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas sehingga layak dijadikan sebagai dasar analisis. analisis ekonomi 1) desentralisasi fiskal sisi penerimaan dan pengeluaran. desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum pelaksanaan desentralisasi tahun 1995-2000, berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, namun pengaruh dari sisi pengeluaran lebih berpengaruh besar dibandingkan sisi penerimaan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah berpengaruh negatif. artinya, pemerintah daerah belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan dan memobilisasi anggaran penerimaan dan pengeluaran daerah yang ada. hal ini dikarenakan besarnya peran atau dominasi pemerintah pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan, termasuk dalam mengatur dan mengendalikan anggaran pemerintah daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. pola pendekatan sentralistik dan seragam (uniform) yang dikembangkan pemerintah pusat sejak orde baru telah menurunkan atau bahkan meniadakan inisiatif dan kreativitas daerah, dimana pemerintah daerah kurang diberikan keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri, termasuk rendahnya wewenang dan tugas dalam membiayai pengeluaran daerahnya, di mana belanja daerah hampir sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. selain itu, masih terbatasnya kewenangan dalam memanfaatkan dan memungut pendapatan daerahnya sendiri, khususnya dari pajak dan retribusi. hal ini berimplikasi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 109 pada masih rendahnya peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. dengan demikian, peran anggaran pemerintah pusat dari sisi penerimaan dan pengeluaran lebih efisien dan efektif dibandingkan daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan sebelum era desentralisasi. adanya peningkatan desentralisasi fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran disebabkan karena adanya kenaikan anggaran pemerintah daerah sejak pemberlakukan era desentralisasi. hal ini sesuai dengan uu no. 22 dan 25 tahun 1999 serta uu no. 32 dan 33 tahun 2004 yang menyatakan bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. oleh karena itu, sejak pelaksanaan era desentralisasi peran anggaran pemerintah daerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, terutama dari sisi pengeluaran. pengaruh desentralisasi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan daerah. hal ini disebabkan karena sejak memasuki pelaksanaan era desentralisasi, segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dan tanggung jawab dalam penyediaan pelayanan publik dari pusat kewenangannya sudah dilimpahkan ke daerah. dengan demikian, kondisi ini dapat mengakibatkan peningkatan alokasi dana belanja daerah yang jauh lebih besar, baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. dengan demikian, adanya peningkatan alokasi dana belanja daerah yang lebih besar berdampak positif terhadap peran pemerintah daerah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui sisi pengeluaran. sementara itu, adanya pengaruh negatif desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan terhadap pertumbuhan ekonomi selama pelaksanaan desentralisasi 2001-2004, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa terkait dengan masalah penggalian sumber-sumber penerimaan daerah, antara lain dari pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu sumber penerimaan pendapatan asli daerah masih belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan sehingga pada akhirnya tidak mampu mendorong pertumbuhan ekononomi daerah. tidak signifikannya peran pendapatan daerah dalam anggaran pemerintah daerah tidak lepas dari sistem pajak di indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh terhadap pemerintah pusat untuk mengumpukan pajak-pajak yang potensial, seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. kenyataan yang terjadi selama ini distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya 3,39% dari total penerimaan pajak (pajak pusat dan pajak daerah) (sidik, 2002:8) ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di indonesia, khususnya dari sisi penerimaan sangat dikuasai atau didominasi oleh pemerintah pusat. hal ini berdampak pada masih rendahnya peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi penerimaan. berdasarkan hasil estimasi, diperoleh bahwa desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran lebih berpengaruh besar di tingkat nasional tanpa migas (pdrb perkapita tanpa migas) dibandingkan dengan migas (pdrb perkapita total termasuk migas). hal tersebut tercermin dari koefisien elastisitas desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran pada estimasi dengan pdrb per kapita tanpa migas yang lebih berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan estimasi menggunakan pdrb perkapita dengan migas. hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan minyak dan gas (migas) tidak banyak memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 110 daerah. dalam hal ini adanya ketidakadilan dalam hal kesejahteraan masyarakat yang merupakan dampak hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah yang dijalankan pemerintah orde baru, terutama melalui instrumen fiskal (fiscal policy) seperti transfer dari pusat, transfer antardaerah dan kebijakan lain terutama melalui berbagai skema inpres, di mana kebijakan ini pada dasarnya dilakukan melalui sentralisasi keuangan (unsfir, 2001). pemerintah pusat langsung menarik ke pusat sebagian besar penerimaan pajak dan penerimaan sumber daya alam khususnya surplus dari minyak, gas dan hasil tambang yang hanya terkonsentrasi di beberapa provinsi kaya tersebut, sehingga pada akhirnya tidak ada hubungan yang kuat antara besarnya produksi migas di suatu provinsi dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. hal ini terlihat bahwa kesejahteraan masyarakat di daerah yang kaya sama atau bahkan lebih rendah dari masyarakat indonesia pada umumnya. untuk melihat peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum dan era desentralisasi selama 19952004 dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran, sebelum dan pada era desentralisasi 1995-2004 pada gambar 1 menunjukkan bahwa peran anggaran pemerintah daerah dari sisi pengeluaran jauh lebih besar dibandingkan sisi penerimaan. hal ini mengindikasikan bahwa sisi pengeluaran di indonesia pada dasarnya sudah mengarah ke arah desentralistik, khususnya sejak pelaksanaan desentralisasi tahun 2001, namun sisi penerimaan di indonesia relatif masih sentralistik, baik sebelum maupun sesudah era desentralisasi. 2) pendapatan asli daerah dan dana perimbangan sebelum pelaksanaan era desentralisasi selama kurun waktu 1995-2000, pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi dana perimbangan lebih berperan besar dibandingkan pendapatan asli daerah (pad) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. adanya pengaruh dana perimbangan yang jauh lebih besar dibandingkan pendapatan asli daerah (pad) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi disebabkan karena pemerintah daerah kurang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan dan memungut pendapatan daerahnya sendiri serta sangat bergantung pada dana perimbangan dari pusat. oleh karena itu, kemampuan daerah dalam membiayai pengeluaran daerahnya masih rendah sehingga pengaruh anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui dana perimbangan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan asli daerah (pad). sementara itu, sejak era desentralisasi 2001-2004, pengaruh anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan asli daerah (pad) mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. sementara itu, pengaruh anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi melalui dana perimbangan mengalami penurunan. adanya penurunan peran dana perimbangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sejak pelaksanaan desentralisasi disebabkan paling tidak oleh dua hal. pertama, masih besarnya porsi belanja rutin. sejak desentralisasi, belanja untuk gaji pegawai meningkat cukup besar, termasuk gaji anggota dprd. sidik, et.al. (2002) menunjukkan bahwa perilaku rent seeking di daerah meningkatkan biaya dalam mengorganisasikan rent based transfer pada tingkat pemerintahan kabupatan/ kota untuk memperkuat struktur kekuatan elit politik di daerah, sehingga sebagian besar dana perimbangan yang mengalir ke daerah hanya dinikmati oleh elit di daerah tersebut. kedua, ada beberapa syarat kecukupan (sufficient conditions) yang belum dipenuhi oleh daerah, antara lain yang terkait dengan bagaimana proses 0 0.5 1 1.5 2 2.5 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 sisi penerimaan (%) sisi pengeluaran (%)a b b a desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 111 perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh daerah selama era desentralisasi ini. apabila dana perimbangan yang mengalir ke daerah tidak dibarengi oleh proses perencanaan yang baik dengan prinsip partisipatif dari masyarakat dan tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel maka dana yang besar tersebut tidak akan mempunyai dampak yang cukup berarti bagi perekonomian daerah tersebut karena hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. sejak pelaksanaan desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan asli daerah (pad) jauh lebih kecil dibandingkan dana perimbangan. hal ini disebabkan antara lain ; pertama, relatif masih rendahnya basis pajak dan retribusi daerah dalam upaya meningkatkan penerimaan daerah. rendahnya basis pajak dan retribusi ini bagi daerah yang secara tidak langsung memperkecil peranan pendapatan asli daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. kedua, masih adanya ketergantungan yang tinggi terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat yang berimplikasi ketidakmauan daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerahnya sehingga berdampak pada rendahnya penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah. ketiga, kemampuan administrasi pemungutan di daerah cenderung masih rendah. hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibiayai oleh biaya pungutan yang besar.2 keempat, selama kurun waktu pelaksanaan desentralisasi, beberapa provinsi, kabupaten dan kota di indonesia mengalami pemekaran, misalnya provinsi bangka belitung, maluku utara, gorontalo dan banten. hal ini secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan pendapatan asli daerah (pad), khususnya bagi daerah induknya yang mengalami pemekaran tersebut (rosalina, 2006:41). kelima, banyaknya pemungutan dan penciptaan pajak dan retribusi baru yang berlebihan selama pelaksanaan era desentralisasi serta munculnya berbagai pungutan daerah yang masuk dalam kategori perda bermasalah sehinnga menimbul 2 laporan studi dampak krisis ekonomi terhadap keuangan daerah di indonesia. lpem univesitas indonesia bekerjasama dengan clean urban project, rti, jakarta 1999. kan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (lewis and chakery, 2004a:2). keenam, proyeksi penerimaan daerah pada umumnya hanya didasarkan pada pengalaman penerimaan tahun sebelumnya sehingga usaha untuk menggali potensi pendapatan asli daerah belum banyak dilakukan oleh daerah (lewis and chakery, 2004b:2). ketujuh, selama awal pelaksanaan desentralisasi, pendapatan asli daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antardaerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%, di mana sebagian besar daerah provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%. demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antardaerah sangat bervariasi (ratio pad tertinggi dengan terendah mencapai 600). terakhir, peranan pajak dan retribusi dalam pembiayaan daerah sangat bervariasi akibat adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. selain itu, pengaruh anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan daerah melalui dana perimbangan jauh lebih besar dibandingkan melalui pendapatan asli daerah (pad). hal ini disebabkan karena pelaksanaan desentsralisasi dirasakan masih relatif baru sehingga masih banyak daerah yang belum siap dalam melaksanakannya. selain itu, masih banyak beberapa daerah yang memiliki potensi dan kapasitas serta sumber penerimaan terbatas namun dihadapkan pada pembiayaan belanja daerah yang cukup besar. oleh karena itu, upaya untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran, mengurangi ketimpangan vertikal maupun horizontal serta untuk menambah pendapatan daerah maka peranan dana perimbangan (terutama dari dau) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan melalui pad. pada komposisi penerimaan daerah, pendapatan asli daerah (pad) lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dana perimbangan di tingkat nasional tanpa migas dibandingkan nasional dengan migas. hal ini mengindikasijurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 112 kan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara tingginya produksi migas di suatu provinsi dengan besarnya penerimaan di daerah tersebut. selain itu, dari estimasi terhadap pdrb perkapita nonmigas didapatkan bahwa provinsi bukan penghasil migas memiliki ketergantungan yang relatif rendah terhadap dana perimbangan, sedangkan daerah penghasil minyak dan gas justru sangat bergantung terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat. sementara itu, pengaruh pendapatan asli daerah (pad) di jawa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan di luar jawa. hal ini disebabkan karena pusat perekonomian masih terpusat di jawa sehingga potensi dan kapasitas serta sumber penerimaan, khususnya dari pajak daerah dan retribusi relatif jauh lebih besar dibandingkan di luar jawa. sementara itu, peran anggaran pemerintah daerah di luar jawa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui dana perimbangan jauh lebih besar dibandingkan di jawa. hal ini dikarenakan masih adanya daerah-daerah di luar jawa yang memiliki potensi dan kapasitas serta sumber penerimaan yang relatif masih rendah dibandingkan di jawa. oleh karena itu, upaya untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran maka sangat bergantung pada dana perimbangan. dengan demikian, pengaruh pad di luar jawa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui dana perimbangan jauh lebih besar dibandingkan di jawa. 3) belanja rutin dan pembangunan sebelum pelaksanaan desentralisasi 19952000, pengaruh belanja pembangunan lebih berperan besar dibandingkan rutin dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 20012004, belanja rutin maupun pembangunan mengalami peningkatan cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa belanja pembangunan jauh lebih besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan belanja rutin, baik sebelum desentralisasi maupun sesudah pelaksanaan desentralisasi. adanya pengaruh negatif belanja rutin terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dikarenakan alokasi belanja tersebut cenderung relatif tidak produktif dibandingkan belanja pembangunan pembangunan dalam mendorong kegiatan perekonomian daerah. misalnya, alokasi dana untuk belanja pegawai, biaya perjalanan dinas dan pemeliharaan barang. sementara itu, adanya pengaruh positif belanja pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah antara lain karena alokasi anggaran pembangunan lebih diprioritaskan pada sektorsektor yang produktif, misalnya di bidang ekonomi yaitu transportasi, perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan dan koperasi, pertanian dan kehutanan serta pertambangan dan energi, sedangkan di luar bidang ekonomi, alokasi belanja pembangunan lebih dititikberatkan pada sektor-sektor penyediaan fasilitasfasilitas pelayanan dasar di bidang kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, perumahan dan permukiman serta jasa pelayanan umum. dengan demikian, peran anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dari sisi belanja pembangunan jauh lebih besar dibandingkan rutin. melihat dari perbandingan komposisi belanja daerah, belanja pembangunan relatif lebih kuat pengaruhnya di tingkat nasional dengan migas dibandingkan nasional tanpa migas. selain itu, setelah memasuki era desentralisasi peran pemerintah daerah di luar jawa dalam mengalokasikan belanja pembangunannya jauh lebih besar dibandingkan di jawa, sehingga dampak yang terjadi adalah peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi belanja pembangunan jauh lebih besar dibandingkan di jawa. sementara itu, sebaliknya justru pemerintah daerah di jawa sejak pelaksanaan desentralisasi lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada belanja rutin dibandingkan di luar jawa, terutama untuk alokasi pengeluaran pegawai yaitu pembayaran upah/gaji. hal ini dikarenakan selama pelaksanaan desentralisasi, di jawa ditandai adanya pengalihan pegawai yang disertai pula dengan alih status pegawai pusat menjadi pegawai daerah maupun pengalihan status pegawai daerah menjadi pegawai di daerah lain desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 113 karena adanya pemekaran wilayah provinsi, kabupaten dan kota yang terjadi di jawa. oleh karena itu, pengaruh anggaran pemerintah daerah di jawa terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja rutin berpengaruh negatif cukup besar dibandingkan di luar jawa. 4) keterbukaan daerah keterbukaan dalam hal ini merupakan penjumlahan dari ekspor dan impor terhadap pendapatan produk domestik bruto. keterbukaan daerah dalam semua model berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 90%, 95% dan 99%, sedangkan hanya beberapa sebagian kecil dalam persamaan tidak mengalami signifikan. secara umum menunjukkan bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi peran keterbukaan daerah mengalami penurunan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. hal disebabkan antara lain; pertama, apabila pemerintah daerah lebih memberi perhatian pada upaya meningkatkan penerimaan terutama dengan melakukan ekstensifikasi pajak dan retribusi maka beban pungutan yang akan dialami oleh pelaku usaha akan semakin besar dan distorsi yang ditimbulkan terhadap perdagangan sehingga dapat berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi daerah. kedua, adanya penambahan jenis pajak dan retribusi akan memberi peluang pada semakin banyaknya bentuk-bentuk pungutan yang menimbulkan semakin beratnya beban pengeluaran pelaku usaha akibat meningkatnya biaya transaksi. bagi daerah, hal ini akan menimbulkan high cost economy yang merugikan bagi kegiatan ekonomi, termasuk terhadap perdagangan daerah yang pada akhirnya berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi daerah. di samping itu, dampak krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih yang berdampak menurunnya peran keterbukaan daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi peran keterbukaan daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar terjadi di jawa dibandingkan di luar jawa. hal ini disebabkan karena dalam pola perdagangan antar pulau tampak adanya konsentrasi aliran barang dan tenaga kerja dari luar pulau jawa menuju jawa. kondisi ini merupakan implikasi langsung dari adanya konsentrasi industri di jawa yang ditopang oleh ketersediaan infrastruktur pelabuhan dan keberadaan sumberdaya manusia (sdm) yang relatif lebih baik daripada di luar jawa serta tingginya aliran barang ke jawa juga dipengaruhi oleh besarnya jumlah penduduk di jawa. selain itu, terkait dengan banyaknya pungutan-pungutan menjelang pelaksanaan desentralisasi, khususnya yang terjadi di luar jawa. misalnya, masalah jembatan timbang di sulawesi selatan. setelah uu no 18/1997 diberlakukan, seluruh jembatan timbang di indonesia dihapuskan. namun beberapa waktu setelah tuntutan otonomi daerah marak di awal 1999, praktek jembatan timbang di beberapa daerah seperti sulawesi selatan mulai berjalan kembali. tujuan dari jembatan timbang ini adalah untuk menjaga jalan dari kerusakan akibat truk-truk yang kelebihan muatan. namun dalam prakteknya, ini menjadi ajang korupsi dan kolusi dari petugas, polisi, dan sopir truk atau pun pengusaha. hal ini secara tidak langsung menambah biaya terutama barang pertanian yang didistribusikan (simanjuntak, 2001:9-10). dengan demikian, adanya penambahan biaya tersebut dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya justru dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. 5) investasi daerah investasi daerah sebelum era desentralisasi 1995-2000 berpengaruh positif pada tingkat kepercayaan 90%, 95% dan 99% terhadap pertumbuhan ekonomi. sejak era desentralisasi 2001-2004, pengaruh investasi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. adanya penurunan pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pada saat pelaksanaan desentralisasi, disebabkan antara lain (tambunan, 2001:11): pertama, kurang memadainya kewenangan pemberian ijin yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. misalnya pemerintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan ijin investasi kendati beberapa pemejurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 114 rintah daerah ingin sekali menarik investor, namun kurangnya kewenangan mereka dalam hal pemberian ijin dapat berdampak buruk pada investasi daerah yang akhirnya berimplikasi pada rendahnya pengaruh investasi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. kedua, pemerintah daerah cenderung menciptakan pungutan-pungutan daerah dengan tujuan meningkatkan penerimaan daerah yang justru dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga berdampak terganggunya aliran investasi yang masuk ke daerah tersebut, padahal peranan investasi daerah, khususnya investasi swasta memiliki peranan strategis sebagai pemacu utama pertumbuhan ekonomi daerah. ketiga, tingginya biaya perijinan dengan tujuan meningkatkan penerimaan daerah yang justru dapat menghambat investasi sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. hasil survei lpem feui pada 2004 menunjukkan adanya biaya tambahan dalam ijin pendirian usaha baru. rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah berkisar 8,38 persen dari modal awal. secara keseluruhan biaya tambahan perijinan terhadap modal awal di luar jawa lebih tinggi dibandingkan dengan jawa (7,88 persen versus 9,58 persen). berdasarkan hasil survei tersebut tidak dapat ditangkap biaya perijinan yang harus dikeluarkan oleh investor bila ingin membuka usaha baru di daerah.3 hal ini karena banyaknya variasi ketentuan perijinan serta biayanya. selain itu, dampak krisis ekonomi nasional yang masih berpengaruh buruk terhadap kondisi investasi daerah sehingga berimplikasi pada rendahnya peran investasi daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 6) pertumbuhan penduduk sebelum memasuki era desentralisasi 19952000, pertumbuhan penduduk pada semua model berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa apabila perekonomian ditandai dengan tingkat pertumbuhan penduduk lebih tinggi maka akan memiliki tingkat modal per pekerja yang rendah dan karena itu akan berdampak pada penurunan tingkat pendapatan per kapita. 3 studi lpem-feui, cost of doing business, 2004. memasuki pelaksanaan era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan cukup signifikan. hal ini akan semakin berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. adanya kenaikan jumlah penduduk sejak era desentralisasi disebabkan antara lain adanya pemekaranpemekaran yang terjadi di provinsi, kabupaten dan kota sejak pelaksanaan desentralisasi. hal ini secara tidak langsung memicu adanya pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. selain itu, sejak pelaksanaan era desentralisasi ditandai dengan adanya peningkatan arus urbanisasi yang cukup tinggi, terutama di jawa yang umumnya merupakan daerah perkotaan (lewis, 2004:13). dengan demikian, dengan semakin besarnya jumlah penduduk maka akan berdampak pada penurunan tingkat pendapatan per kapita. 7) pajak daerah sebelum pelaksanaan era desentralisasi selama kurun waktu 1995-2000, pajak daerah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat nasional dengan migas dan tanpa migas, di jawa maupun di luar jawa. adanya pengaruh negatif peran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pajak daerah berkaitan dengan masalah pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah yang dilakukan sebelum era desentralisasi, di mana kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan terhadap pajak, sehingga kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan dananya lewat pajak (tax effort) cukup rendah. selain itu, pengaturan perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah harus mendapat pengesahan dari pusat (sidik, 2002a:4). hal ini secara tidak langsung dapat berdampak pada rendahnya peran penerimaan daerah dari pajak daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya sehingga pada akhirnya berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. selain itu, adanya dampak krisis ekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih sehingga berdampak pada masih rendahnya penerimaan dari pajak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. sebelum pelaksanaan desentralisasi, ditandesentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 115 dai masih banyaknya jumlah pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan, misalnya, sebelum uu no. 18 tahun 1997 disahkan, uu yang berlaku saat itu adalah uu no 11 drt tahun 1957, untuk jenis pajak provinsi terdapat sebanyak 5 buah dan pajak kabupaten/kota sebanyak tidak kurang dari 20 jenis. karena uu ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan mengembangkan jenis-jenis pajak baru” maka dalam prakteknya jumlah pajak daerah yang ada jauh lebih banyak dari itu, yakni sekitar 40 jenis (sidik, 2002:4). oleh karena itu, dengan adanya pungutan-pungutan pajak yang berlebihan dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. memasuki pelaksanaan era desentralisasi 2001-2004, peran pajak daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. adanya peningkatan peran pajak daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah selama era desentralisasi merupakan konsekuensi logis adanya tuntutan untuk merealisasikan secara konsisten pelaksanaan desentralisasi. selain itu, setiap daerah dapat memobilisasi penerimaannya sendiri antara lain melalui pajak daerah dan retribusi daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pengeluaran daerah yang sudah menjadi kewajibannya. berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa selama era desentralisasi pengaruh pajak daerah di luar jawa sangat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan di jawa. hal ini disebabkan pungutan pajak dan retribusi yang berlebihan yang terjadi di luar jawa. misalnya banyaknya perda yang masuk dalam kategori perda bermasalah yang pada akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). oleh karena itu, tingginya semangat pemerintah daerah dalam menggali sumber pendapatan asli daerahnya tersebut justru dapat menimbulkan distrosi terhadap perekonomian daerah. sementara itu, meskipun pendapatan asli daerah (pad) di jawa jauh lebih besar dibanding di luar jawa, tetapi tax effortnya ternyata jauh lebih rendah. hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah di jawa belum secara maksimal memanfaatkan potensi yang tersedia (simanjuntak, 2001:3). oleh karena itu, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya melalui pengeluaran daerah yang dibiayai dari pajak daerah lebih rendah dibandingkan di luar jawa. simpulan hasil studi mengenai pengaruh peran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di era desentralisasi dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode 1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif, baik di tingkat nasional, di jawa maupun luar jawa. dalam hal ini, pemerintah daerah belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan dan memobilisasi anggaran penerimaan dan pengeluaran daerah yang ada. hal ini disebabkan karena besarnya peran atau dominasi pemerintah pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan, termasuk dalam mengatur dan mengendalikan anggaran pemerintah daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. kedua, memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, pengaruh anggaran peran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. namun peran tersebut jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan, baik di tingkat nasional, di jawa maupun di luar jawa. ketiga, sebelum pelaksanaan era desentralisasi 1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar melalui dana perimbangan dibandingkan pendapatan asli daerah (pad). memasuki pelaksanaan desentralisasi 2001-2004, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan asli daerah (pad) mengalami peningkatan, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dana perimbangan, terutama di tingkat nasional di luar jawa. selain itu, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa setelah era desentralisasi, dampak dana perimbangan cukup signifikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 116 meningkatkan anggaran pemerintah daerah (apbd), tetapi tidak berdampak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. hal ini disebabkan oleh belanja daerah yang masih dominan dalam komponen apbd terutama belanja wrutin, kemungkinan birokrasi pemerintahan yang efisien, dan proses perencanaan pembangunan di daerah yang relatif masih rendah. keempat, selama era desentralisasi 2001-2004, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan sebelum era desentralisasi. namun, peran tersebut lebih besar melalui pengeluaran pembangunan dibandingkan pengeluaran rutin. hal ini disebabkan karena alokasi belanja rutin cenderung relatif tidak produktif dibandingkan pengeluaran pembangunan dalam mendorong perekonomian daerah. sementara itu, adanya pengaruh positif anggaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah melalui pengeluaran pembangunan karena alokasi anggaran pembangunan lebih diprioritaskan pada sektor-sektor yang produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. kelima, memasuki era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingkan sebelum era desentralisasi. hal ini semakin berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan sebelum pelaksanaan desentralisasi, baik di tingkat nasional, di jawa maupun di luar jawa. hal ini disebabkan karena adanya arus urbanisasi yang cukup tinggi dan adanya pemekaran-pemekaran beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota selama pelaksanaan era desentralisasi. dengan demikian, semakin besarnya jumlah penduduk maka akan berdampak pada penurunan tingkat pendapatan per kapita. keenam, sejak era desentralisasi selama kurun waktu 2001-2004, peran investasi dan keterbukaan daerah berpengaruh besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat nasional, di jawa maupun di luar jawa. sementara itu, peran pajak daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah mengalami peningkatan sejak memasuki pelaksanaan era desentralisasi, namun masih relatif kecil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat nasional, di jawa maupun di luar jawa. rekomendasi. 1) pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat seyogyanya membuat alokasi dana apbd lebih banyak ke pengeluaran pembangunan yang secara langsung berdampak pada peningkatkan ekonomi lokal. upaya yang dapat dilakukan adalah membuat birokrasi pemerintahan yang lebih efisien serta meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penggunaan belanja pemerintah daerah untuk mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan korupsi serta perilaku rent seeking. 2) untuk meningkatkan investasi daerah, pemerintah daerah seharusnya tidak meningkatkan pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih untuk peningkatan pad. upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan perijinan, perbaikan infrastruktur perekonomian serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal. 3) studi ini menggunakan data runtut waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2004 sehingga peran anggaran pemerintah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya dirasakan. hal ini mengingat keterbatasan data dan desentralisasi fiskal baru dilaksanakan tahun 2001. oleh karena itu, perlu adanya studi lanjutan dengan menggunakan model estimasi persamaan simultan yang menggabungkan blok keuangan daerah dan blok perekonomian daerah untuk memperoleh hasil yang lebih dinamis dan komprehensif. daftar pustaka bird and vaillancourt. (2000). fiscal decentralization in developing countries. cambridge university press. barro, r. (1990). government spending in a simple model of endogenous growth. journal of political economy. desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 117 nber working paper series no. 2588. barro, r. and x. sala-i-martin. (1995). economic growth. mcgraw-hill, cullis and jones. (1992). public finance and public choice: analytical perspectives. new york: mcgraw-hill international edition. gujarati, damodar. (2003). basic econometrics, 4th ed. new york: mcgraw-hill. jin, jing and zou, heng-fu. (2005). fiscal decentralization, revenue and expenditure assignments, and growth in china. journal of asian economics 16 1047–1064 elsevier inc. kälin, walter. (2001). guide to decentralization. swiss agency for development and cooperation sdc. lewis, blane. (2004a). indonesian local government spending, taxing and saving: an explanation of pre and post-decentralization fiscal outcomes. jakarta: world bank. lewis, blane. (2004b). how many new taxes and charges have regional governments created under fiscal decentralization?”. research triangle institute, north carolina. lewis, blane. (2002). revenue-sharing and grantmaking in indonesia: the first two years of fiscal decentralization. asian development bank manila. lewis, blane and chakery, jasmin. (2004). desentralized local government budgets in indonesia : what explains the large stock of reserves?. jakarta: world bank. lewis, blane and chakery, jasmin. (2004). central development spending in the regions post-decentralisation. bulletin of indonesian economic studies. publisher routledge, part of the taylor & francis group volume 40, number 3. mankiw, gregory. (2002). macroeconomics, 5th ed. worth publishers. musgrave and musgrave. (1989). public finance in theory and practice. 5th ed. new york: mc-graw hill. mahi, raksaka. (2001). fiscal decentralization : its impact on cities growth. 17 th pacific conference of the regional science associated international, portland oregon, usa, june 30 – july 4 mahi, raksaka. (2001). manajemen keuangan publik pada pemerintah daerah. diskusi panel nasional “manajemen keuangan publik dan akuntansi sektor publik di era otonomi daerah”. jakarta. 19 september 2001. oates, wallace. (1993). fiscal decentralization and economic development. national tax journal. vol 46 no. 2 university of maryland. pindyck and rubinfeld. (1998). econometric model and economic forecast. 4th ed. new york: mcgraw-hill. rosalina, puteri (2006). pemekaran: derita bagi sang induk. harian kompas 24 mei 2006. jakarta. rosen, harvey s. (2005). public finance, 7th ed. new york: mc-graw hill. sidik, machfud and kadjatmiko (2002). indonesian’s fiscal decentralization: combining expenditure assignment and revenue assignment. paper of georgia state university, atlanta. sidik, machfud. (2002a). perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal. yogyakarta. sidik, machfud. (2002b). format keuangan pemerintah pusat dan daerah yang mengacu pada pencapaian tujuan nasional. jakarta. sidik, machfud. (2002c). optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah. orasi ilmiah dengan thema “strategi meningkatkan kemampuan keuangan daerah melalui penggalian potensi daerah dalam rangka otonomi daerah” . bandung, 10 april 2002. simanjuntak, robert. (2001). kebijakan pungutan daerah di era otonomi. domestic trade, decentralization and globalization: a one day conference. hotel borobudur jakarta 3 april 2001. simanjuntak, robert. (2002). transfer pusat ke daerah: konsep dan praktik di beberapa negara (dana alokasi umum: konsep dan prospek di era otonomi daerah), jakarta. tambunan, manggara. (2001). prospek perdagangan domestik yang bebas dalam era desenjurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 101-119 118 tralisasi dan dampaknya atas pertumbuhan ekonomi daerah. centre for economic and social studies (cess), prism project, the asia foundation. ter-minassian, teresa. (1997). fiscal federalism in theory and practice. washington dc: international monetary funds. unsfir. (2001). aspirasi terhadap ketidakmerataan: disparitas regional dan konflik vertikal di indonesia. jakarta. wooldridge, jeffrey m. (2002). econometric analysis of cross sections and panel data”. mit press. zhang, tao and heng-fu zou. (1998). fiscal decentralization, public spending and economic growth in china. world bank, policy research working paper no. 1608. lampiran tabel 1. hasil estimasi pengaruh desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah era desentralisasi variabel bebas variabel tidak bebas : pdrb per kapita 1995-2000 nasional (dengan migas) 2001-2004 nasional (dengan migas) 1995-2000 nasional (tanpa migas) 2001-2004 nasional (tanpa migas) 1995-2000 jawa 2001-2004 jawa 1995-2000 luar jawa 2001-2004 luar jawa desentralisasi fiskal sisi penerimaan -0,2159*** -0,0113*** -0,2131*** -0,0027(ts) -0,1088*** -0,0099(ts) -0,2767*** -0,0066(ts) desentralisasi fiskal sisi pengeluaran -0,0330* 0,0099*** -0,0337* 0,0051* -0,0187*** 0,0204(ts) -0,0295(ts) 0,0017(ts) keterbukaan 0,0479(ts) 0,0135* 0,0474(ts) 0,0192*** 0,8195*** 0,0645*** -0,0006(ts) 0,0112(ts) investasi daerah 0,8556*** 0,3190*** 0,8229*** 0,2993*** 0,7661*** 0,2448*** 0,8672*** 0,3348*** pertumbuhan penduduk -0,0061*** -4,4181*** -0,0050*** -5,5049*** -0,0015* -9,5836*** -0,0060** -3,5418*** r 2 0,9996 0,9998 0,9996 0,9998 0,9999 0,9999 0,9995 0,9997 adjusted r2 0,9995 0,9998 0,9995 0,9997 0,9998 0,9999 0,9993 0,9996 prob (f-statistic) 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 dw stat 1,4400 1,7064 1,5608 1,8618 2,0433 2,4935 1,5628 1,5516 sumber : hasil print out komputer. keterangan : ***signifikan pada 1 %, ** signifikan pada 5 %, * signifikan pada 10 %, (ts) tidak signifikan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan... (bayu kharisma) 119 tabel 2. hasil estimasi pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah era desentralisasi variabel bebas variabel tidak bebas : pdrb per kapita 1995-2000 nasional (dengan migas) 2001-2004 nasional (dengan migas) 1995-2000 nasional (tanpa migas) 2001-2004 nasional (tanpa migas) 1995-2000 jawa 2001-2004 jawa 1995-2000 luar jawa 2001-2004 luar jawa pendapatan asli daerah (pad) -0,1266*** 0,0040(ts) -0,0102*** 0,0124*** -0,0251(ts) 0,0280(ts) -0,0986*** 0,0048* dana perimbangan 0,1525*** 0,0410*** 0,1237*** 0,0205(ts) -0,0410* 0,0112(ts) 0,2203*** 0,0365*** keterbukaan 0,0376(ts) 0,0117(ts) -0,0587*** 0,0117(ts) 0,7057*** 0,0695** 0,1222(ts) 0,0129(ts) investasi daerah 0,9397*** 0,3072*** 0,8857*** 0,2773*** 0,8561*** 0,1790*** 0,9479*** 0,3156*** pertumbuhan penduduk -0,0091*** -4,7568*** -0,0174*** -5,5429*** -0,0029* -11,165*** -0,0141*** -4,0653*** r 2 0,9998 0,9998 0,9999 0,9999 0,9999 0,9998 0,9997 0,9999 adjusted r2 0,9997 0,9997 0,9999 0,9999 0,9998 0,9996 0,9995 0,9999 prob(fstatistic) 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 dw stat 1,4507 1,8102 1,7217 1,9400 1,6455 2,0333 1,5962 1,6939 sumber : hasil print out komputer keterangan : ***signifikan pada 1 %, ** signifikan pada 5 %, * signifikan pada 10 %, (ts) tidak signifikan tabel 3. hasil estimasi pengaruh belanja rutin dan pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah era desentralisasi variabel bebas variabel tidak bebas : pdrb per kapita 1995-2000 nasional (dengan migas) 2001-2004 nasional (dengan migas) 1995-2000 nasional (tanpa migas) 2001-2004 nasional (tanpa migas) 1995-2000 jawa 2001-2004 jawa 1995-2000 luar jawa 2001-2004 luar jawa belanja rutin -0,0369*** -0,0117(ts) -0,0071(ts) 0,00047(ts) -0,0510(ts) -0,0201(ts) -0,0072(ts) -0,0095(ts) belanja pembangunan 0,0217(ts) 0,0284*** 0,0638*** 0,0155*** 0,0327(ts) 0,0015(ts) -0,0867(ts) 0,0173*** keterbukaan 0,1793*** 0,0108(ts) 0,0577* 0,0131*** 0,0922(ts) 0,0664*** 0,1302*** 0,0101(ts) investasi daerah 0,5246*** 0,2558*** 0,5001*** 0,2968*** 0,6958*** 0,1485** 0,4789*** 0,3252*** pajak daerah -0,3205*** 0,0025(ts) -0,2725*** 0,0027(ts) -0,1627*** -0,0287** -0,3463*** -0,0351(ts) pertumbuhan penduduk -0,0067*** -5,6591*** -0,0065*** -5,4815*** -0,0013(ts) -15,659*** -0,0074*** -3,6893*** r 2 0,9999 0,9980 0,9999 0,9999 0,9999 0,9999 0,9996 0,9999 adjusted r2 0,9999 0,9972 0,9999 0,9999 0,9998 0,9999 0,9996 0,9999 prob(f-statistic) 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 dw stat 1,8386 1,7230 1,9847 1,8343 1,5739 2,1768 1,7728 1,5353 sumber : hasil print out komputer keterangan : ***signifikan pada 1 %, ** signifikan pada 5 %, * signifikan pada 10 %, (ts) tidak signifikan image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg microsoft word 03-jennifer_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015, hlm.26-41 preferensi individu terhadap pengobatan tradisional di indonesia herika jennifer1, endah saptutyningsih2 1,2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656 e-mail korespondensi: herikajennifer.hj@gmail.com naskah diterima: agustus 2014; disetujui: februari 2015 abstract: this study aims to determine the preferences of individuals to choose traditional medicine in indonesia. the data used in this study obtained from the indonesian family live survey (ifls) and it’s a longitudinal survey with a panel data study. the use of ifls data is to obtain recent information on variables to be tested. the subject in this study is the individual in the household aged 15 years old or more in 13 provinces survey members. research variables used in this research are the owner of health insurance, age, region of residence (urban), income, distance to health facilities, the number of medicine post and education of household members ifls. data processing was performed using probit regression method the results showed that age, region of residence and the existence of postal medicine influence to the individual probability to choose traditional medicine. the probability value for each variable showed that individuals in household that over age, living in the village and living in the region of postal medicine have a higher educated have a higher probability high to choose traditional medicine. keywords: traditional medicine; indonesia family live survey; preferences; probit jel classification: d12, m20 abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi individu untuk memilih pengobatan tradisional di indonesia. data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data indonesia family live survey (ifls) dan merupakan survei longitudinal dengan studi data panel. penggunaan data ifls diharapkan dapat memberikan informasi terikini dan lebih luas mengenai variabel-variabel yang akan diuji di dalam model. subjek penelitian ini adalah individu dalam rumah tangga berumur 15 tahun atau lebih pada 13 provinsi anggota survei. variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kepemilikan asuransi kesehatan, usia, pendapatan, wilayah tempat tinggal, jarak menuju fasilitas kesehatan, jumlah pos obat dan pendidikan individu dalam rumah tangga ifls. pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode regresi probit. hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa usia, wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos obat masing-masing berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. sedangkan nilai probabilitas pada setiap variabel menunjukkan bahwa individu dalam rumah tangga yang berusia lanjut, tinggal di desa dan tinggal di wilayah yang terdapat pos obat, memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih pengobatan tradisional. kata kunci: pengobatan tradisional; indonesia family live survey; prefrerensi; probit klasifikasi jel: d12, m20 pendahuluan kesehatan merupakan aspek yang penting dalam kehidupan yang dapat merefleksikan tinggi rendahnya standar hidup yang dimiliki seorang individu. kesehatan dianggap penting karena dengan sehat maka memudahkan individu untuk melakukan aktivitas kesehariannya. cara yang dapat digunakan untuk memperoleh status sehat individu dapat dilakukan dengan preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 27 mengkonsumsi barang dan jasa kesehatan ataupun dengan melakukan kegiatan yang dianggap dapat menyehatkan. jika status kesehatan tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan individu mengalami keluhan kesehatan yang dapat menimbulkan sakit sehingga akan berdampak pada terganggunya aktifitas. sakit berhubungan dengan perilaku pencarian obat untuk memperoleh kembali status sehat yang dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan mencari pengobatan medis ke dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya. selain dengan pengobatan medis perilaku pencarian pengobatan terhadap kejadian penyakit dapat juga dilakukan dengan cara pengobatan sendiri yaitu dengan membeli obat di warung dengan tetap memperhatikan petunjuk pemakaian atau dengan cara pengobatan tradisional yang masih eksis pada individu dalam rumah tangga. perilaku pencarian pengobatan melalui pengobatan tradisional yang masih banyak dilakukan oleh individu dalam rumah tangga dapat dilihat dalam tabel 1. fakta yang menarik adalah sekitar 80 persen dari tanaman obat yang ada di dunia tumbuh di indonesia, sehingga bahan yang dibutuhkan untuk pengobatan yang berasal dari alam ini dapat dengan mudah di temui di sekitar kita. rustam, dkk (2007) menyatakan bahwa indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa dengan jumlah sekitar 40.000 spesies, dari seluruh jumlah spesies tersebut sekitar 1300 di antaranya digunakan sebagai obat tradisional. berdasarkan data yang diperoleh dari bpom (badan pengawasan obat dan makanan) hanya sebanyak 283 spesies tanaman obat yang baru diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu dan hanya 13 spesies yang baru dibudidayakan yang dapat dilihat pada tabel 2 (lampiran). jumlah spesies tanaman obat yang melimpah di indonesia membuat penggunaan pengobatan tradisional oleh individu dalam rumah tangga telah dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang hingga sekarang, kebiasaan ini telah menjadi warisan budaya bangsa indonesia. pengobatan tradisional masih digunakan oleh individu dalam rumah tangga dikarenakan beberapa faktor yang menunjang yaitu pengalaman yang sebelumnya didapat oleh orang tua yang telah turun temurun digunakan, tidak merepotkan atau lebih praktis karena bahan yang digunakan dapat langsung diperoleh dari alam yang ada di sekitar rumah, pengobatan tradisional tidak mengeluarkan biaya, serta manfaat yang dirasakan yaitu ramuan tradisional yang dikonsumsi beserta bantuan pengobatan dari dukun dapat mrngurangi rasa sakit (gazali, dkk, 2011). pengobatan tradisional diterapkan karena alasan mudah, murah dan manjur serta sesuai dengan kerangka berpikir individu dalam rumah tangga terkait dengan konsep keseimbangan dan pelestariannya perlu tetap diupayakan karena telah berakar lama pada individu dalam rumah tangga. penyakit yang paling sering dialami oleh individu dalam rumah tangga adalah masuk angin yang dapat dianalogikan sebagai gangguan tubuh akibat unsur angin yang tidak lancar. prinsip yang terdapat di dalam pengobatan kerokan seperti oposisi biner: panas x dingin; longgar x kencang; angin masuk x angin keluar; ringan x berat; serta tercapainya keseimbangan merupakan dasar pengobatan tradisional. angin yang terdapat dalam tubuh dapat dikeluarkan lewat kentut atau sendawa (triratnawati, 2010). kristina, dkk (2007) menyatakan bahwa jenis kelamin, usia, pendidikan, status pekerjaan serta pendapatan individu berhubungan dengan tabel 1. persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan dan penggunaan obat tradisional no tahun pengguna obat menurut jenis kelamin total laki-laki (persen) perempuan (persen) laki-laki + perempuan (persen) 1. 2009 24,05 24,55 24,24 2. 2010 27,38 27,77 27,57 3. 2011 23,52 23,74 23,63 4. 2012 24,16 24,49 24,33 sumber: www.bps.ac.id jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 28 perilaku pengobatan sendiri sedangkan lokasi (desa atau kota) serta jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku pengobatan sendiri. metode yang dipakai dalam studi sebelumnya memiliki beberapa kelemahan di antaranya kurang dapat dihandalkan untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang ditimbulkan dalam model cross-section maupun time-series dan tidak memberikan hasil yang kompleks terutama dalam studi yang mempelajari dan menguji model perilaku (behavior models). studi mengenai status kesehatan dalam pengukurannya lebih sesuai diolah dengan menggunakan data indonesia family life survey (ifls) karena data ini akan memberikan ukuranukuran yang luas mengenai status kesehatan individu termasuk langkah-langkah yang dilaporkan langsung mengenai status kesehatan secara umum, pengalaman morbiditas, dan penilaian secara fisik misalnya tinggi, berat badan, lingkar kepala, hemoglobin dan lainnya, selain itu data ifls juga dapat memberikan gambaran yang jauh lebih banyak daripada status kesehatan yang biasa tersedia dalam survei rumah tangga, misalnya ifls dapat memberikan data yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara status sosial ekonomi dengan berbagai susunan kesehatan. setyawati dan meridian (2010) dalam studi yang menggunakan data indonesia family life survey (ifls) yang menyimpulkan bahwa keberadaan modal sosial pada individu dalam rumah tangga ifls mempunyai hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan dukun beranak di mana pendidikan merupakan satu-satunya faktor yang signifikan terhadap pemilihan persalinan dengan menggunakan dukun. hidayat (2008) dengan analisis data indonesia family life survei (ifls) menunjukkan bahwa peserta asuransi kesehatan terbukti memiliki probabilitas kunjungan yang lebih tinggi dalam menggunakan pelayanan rawat jalan daripada non-peserta. selain itu, dalam studi supadmi (2013) menyatakan bahwa perilaku pasien geriatric dalam melakukan swamedikasi (pengobatan sendiri) adalah kepemilikan asuransi kesehatan di mana studi ini menunjukkan bahwa jumlah pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan lebih banyak melakukan swamedikasi dibandingkan dengan pasien yang memiliki asuransi kesehatan artinya hasil analisis menunjukkan kepemilikan asuransi kesehatan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pengobatan. purnamaningrum (2010) telah melakukan studi tentang perilaku masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan menyatakan bahwa sikap memiliki hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku mengobati. pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan antara pengetahuan individu dengan perilaku mengobati. pendidikan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku mengobati. pendapatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku mengobati. terdapat hubungan antara asuransi kesehatan dengan perilaku mengobati. rahayu (2012) dalam studinya dengan menggunakan cross section menyatakan bahwa hasil studinya menunjukkan bahwa persentase individu yang memilih pengobatan tradisional di wilayah kerja puskesmas muara siberut sebanyak 63,54 persen dengan beberapa variabel yaitu pengetahuan, ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan pengobatan. sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan pemilihan pengobatan. pekerjaan tidak mempunyai hubungan dengan pemilihan pengobatan akan tetapi mereka tetap memilih pengobatan tradisional sesuai teori masyarakat yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang pas-pasan akan memilih pengobatan tradisional. pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan pemilihan pengobatan oleh individu. jarak tempat tinggal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pemilihan obat. supardi, dkk. (2003) menyatakan bahwa penduduk yang berusia lanjut yaitu lebih dari 56 tahun untuk menggunkan obat tradisional lebih banyak 1,56 kali daripada penduduk yang bukan lanjut usia. supardi dan susyanty (2010) menyatakan bahwa: kelompok usia lanjut usia memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan obat tradisional. terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan penggunaan obat tradisional. ada hubungan yang signifikan antara individu yang menikah dan penggunaan obat tradisional. terdapat hubungan signifikan antara individu yang berpendidikan rendah dan penggunaan obat tradisional. ada preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 29 hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan individu dan penggunaan obat tradisional. ada hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan penggunaan obat tradisional. jenis keluhan memiliki hubungan antara individu yang mengeluh demam, batuk, pilek, diare dan penggunaan obat tradisional, tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara individu yang mengeluh sakit kepala dan penggunaan obat tradisional. supadmi (2013) menyatakan bahwa probabilitas pasien geriarti melakukan swamedikasi di kabupaten sleman memberikan hasil bahwa faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien geriatric melakukan swamedikasi adalah kepemilikan asuransi kesehatan di mana studi ini menunjukkan bahwa jumlah pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan lebih banyak melakukan swamedikasi dibandingkan dengan pasien yang memiliki asuransi kesehatan artinya hasil analisis menunjukkan kepemilikan asuransi kesehatan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pengobatan. gaol (2013) menyatakan bahwa perilaku pencarian pengobatan oleh individu dalam rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah dan jenis sarana pelayanan kesehatan yang tersedia di sekitarnya. oleh karena itu pada wilayah yang banyak tersedia sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, balai pengobatan serta praktek dokter, maka pilihan individu dalam rumah tangga semakin beragam untuk melakukan pencarian pengobatan. menurut andersen (1979) semakin banyak sarana dan jumlah tenaga kesehatan maka tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan suatu masyarakat akan semakin bertambah. tujuan dari studi ini adalah faktor yang signifikan terhadap preferensi untuk memilih berobat secara tradisional terutama pijat kerokan, okup/koop/bekam dan sejenisnya dan juga minum jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan dibandingkan pengobatan medis. metode penelitian data jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari lembaga survei yaitu indonesia family life survey (ifls) berupa data longitudinal yang mencakup wilayah dari 13 provinsi di indonesia yaitu seluruh provinsi di jawa, bali, ntb, sulawesi selatan, kalimantan selatan, sumatera selatan, lampung, sumatera barat dan sumatera utara. survei data ifls pertama kali dilakukan pada tahun 1993 yang disebut dengan ifls-1, survei pada tahun 1997 disebut dengan ifls-2, dan survei tahun 2000 dan 2007 yang selanjutnya disebut sebagai ifls-3 dan ifls-4. subjek dalam studi ini adalah individu dalam rumah tangga berusia 15 tahun atau lebih yang merupakan individu dari studi indonesia family live survey (ifls) pada 13 provinsi anggota survei. data ifls yang akan digunakan dalam studi ini adalah ifls-4 tahun 2007 yang dikumpulkan pada akhir november 2007 dan berakhir pada bulan mei tahun 2008 untuk mengikuti 7.500 rumah tangga dan sekitar 312 komunitas dengan jumlah individu dalam rumah tangga sebanyak 39.000 individu yang merupakan kolaborasi dari rand (research and development), pusat untuk studi kependudukan dan kebijakan (pskk) universitas gajah mada dan survey meter. ifls-4 berisi data rumah tangga anggota ifls dan data fasilitas masyarakat. data indonesia family live survey (ifls) merupakan data longitudinal, namun karena data ifls yang digunakan dalam studi ini hanya ifls pada gelombang ke 4 maka data dalam studi ini dapat disebut dengan cross section data. alasan penggunaan data pada survei ifls-4 tahun 2007 karena: 1) penggunaan titik waktu pada tahun 2007 mencukupi kebutuhan data untuk analisis pengujian perubahan pada variabel yang diteliti pada sebuah rentang antar waktu. 2) kelompok data tersebut adalah gelombang survei (wave) yang terakhir dilakukan, sehingga diharapkan didapatkan informasi terkini pada variabel-variabel yang akan diuji dalam studi tersebut. adapun topik kuesioner yang digunakan dalam studi ini tampak dalam tabel 3. berdasarkan tabel 3 mengenai topik kuesioner dalam ifls, variabel independen yang digunakan dalam studi yaitu kepemilikan asuransi kesehatan yang merupakan kuesioner yang bersumber dari topik asuransi kesehatan yang bersumber dari buku 3b final. usia dan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 30 wilayah tempat tinggal masing-masing merupakan kuesioner dengan topik rumah tangga dan asset individu yang terletak dalam buku k final. jarak menuju failitas kesehatan merupakan kuesioner dengan topik rumah tangga dan asset individu yang terletak dalam gabungan buku 3b dan buku k final. variabel keberadaan pos obat merupakan satu-satunya variabel yang bersumber dari data cf dengan topik kuesioner pengetahuan tentang penyediaan layanan kesehatan yang terletak dalam buku 1 final. sedangkan pendidikan serta pendapatan terdapat dalam buku 3a final yang bersumber dari kuesioner dengan topik penghasilan tenaga kerja dan sejarah kerja. pembentukan dan seleksi variabel pembentukan dan seleksi variabel dilakukan setelah pengumpulan variabel yang dibutuhkan di dalam buku ifls. setelah buku ifls ditentukan maka seleksi variabel dilakukan dengan memilih seksi-seksi yang didalamnya terdapat pertanyaan yang dapat mewakili variabel dependen maupun independen. adapun seksi kuesioner yang digunakan dalam studi ini disajikan dalam tabel 4. tabel 4 setelah seksi kuesioner dipilih selanjutnya pertanyaan yang dapat mewakili variabel yang diteliti juga dipilih untuk kemudian digunakan untuk pembentukan data set atau “do” untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data. variabel kepemilikan terdapat dalam seksi ak (asuransi kesehatan); usia terdapat dalam seksi ar (daftar anggota rumah tangga); pendapatan terdapat dalam seksi tk (ketenagakerjaan); usia dan wilayah tempat tinggal samasama terletak dalam seksi ar; jarak menuju fasilitas kesehatan terletak dalam seksi sc (keterangan sampling dan wilayah pencacahan) dan seksi rj (rawat jalan). variabel keberadaan pos obat terdapat dalam seksi j (sejarah keberadaan fasilitas kesehatan); sedangkan pendidikan terdapat dalam kuesioner seksi dl (pendidikan). dependen variabel yang digunakan dalam studi ini adalah pengobatan tradisional yang bersumber dari topik kuesioner yaitu self treatment yang masuk dalam seksi ps (pengobatan sendiri) yang di dalam buku ifls dibagi lagi menjadi beberapa jenis pengobatan, dapat dilihat pada tabel 5. berdasarkan tabel 5 mengenai seksi pengobatan sendiri terdapat beberapa dummy variabel yang menerangkan topik jenis pengobatan tabel 4. seksi kuesioner variabel seksi kuesioner pengobatan tradisional (traditional treatment) seksi ps kepemilikan asuransi kesehatan (health_insurance) seksi ak usia (age) seksi ar pendapatan (income) seksi tk wilayah tempat tinggal(urban) seksi ar jarak menuju fasilitas kesehatan (disfacility) seksi sc & rj keberadaan pos obat (posobat) seksi j pendidikan (years_educ) seksi dl sumber: www.surveymeter.org tabel 3. topik kuesioner ifls topik kuesioner buku ifls self treatment buku 3b final asuransi kesehatan (kepemilikan asuransi kesehatan) buku 3b final rumah tangga dan asset individu (usia, wilayah tempat tinggal, dan jarak menuju fasilitas kesehatan). buku k final rumah tangga dan asset individu (jarak menuju fasilitas kesehatan). buku 3b dan buku k final pengetahuan tentang penyediaan layanan kesehatan (keberadaan pos obat ) buku 1 final penghasilan tenaga kerja dan sejarah kerja (pendapatan, pendidikan) buku 3a final sumber: www.surveymeter.org preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 31 sendiri. namun hanya dua jenis dummy yang dipakai untuk mewakili variabel dependen yang digunakan dalam studi ini yaitu dummy “minum jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan; dan pijat, kerokan, oukup/koop/ bekam, dan sejenisnya. sedangkan untuk dummy pengobatan sendiri yang tidak digunakan dalam studi ini yaitu “minum obat modern yang dijual bebas (seperti bodrex, inza, paramex), memakai obat luar (seperti tetes mata, salep, koyo, parem, dan sejenisnya), dan minum vitamin/suplemen”. hal ini dilakukan dengan pertimbangan variabel yang dianalisis sangat tergantung kepada keberadaan dan kelengkapan data yang ada sehingga tidak semua variabel pengobatan sendiri digunakan dalam studi ini artinya hanya variabel dummy yang mewakili pengobatan tradisional saja yang dipilih dalam studi ini. definisi operasional variabel dependen dalam studi ini adalah pengobatan tradisional dengan asumsi pengobatan tradisional bertujuan untuk mengobati jenis keluahan penyakit ringan yang sering dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, sakit maag, cacingan, flu, keluhan penyakit kulit dan lain-lain yang dibentuk dari dummy pengobatan sendiri yaitu “minum jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan” dan “pijat, kerokan, okup/koop/bekam, dan sejenisnya”. variabel ini dibentuk atas dasar kebiasaan individu dalam rumah tangga yang pada masa sekarang masih banyak menggunakan pengobatan tradisional meskipun pengobatan medis semakin berkembang di era modern. adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 = jika memilih pengobatan tradisional; 0 = jika memilih pengobatan modern. adapun variabel independen meliputi: kepemilikan asuransi kesehatan (health_insurance) merupakan variabel dummy ada atau tidaknya asuransi kesehatan yang dimiliki oleh individu dalam rumah tangga ifls 2007 dengan asumsi bahwa pada data ifls pada gelombang ini belum terdapat badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) yang baru resmi beroperasi per 1 januari 2014. kepemilikan asuransi kesehatan dibuat dengan kategori memiliki dan tidak memiliki asuransi kesehatan. adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 = jika memiliki asuransi kesehatan; 0 = jika tidak memiliki asuransi kesehatan. 1) usia (age) adalah usia individu dalam rumah tangga ifls 2007 yang berusia 15 tahun atau lebih. 2) pendapatan (income) berupa jumlah pendapatan yang diterima oleh individu dalam rumah tangga ifls 2007dalam setiap bulannya. 3) faktor wilayah tempat tinggal (urban) merupakan variabel dummy tempat tinggal individu dalam rumah tangga ifls 2007 yang dibuat dengan kategori berdasarkan wilayah tempat tinggal yaitu perkotaan dan pedesaan. adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 = jika tinggal di kota; dan 0 = jika tinggal di desa. 4) jarak rumah tinggal dengan fasilitas kesehatan (disfacility) merupakan jarak menuju fasilitas kesehatan khususnya fasilitas kesehatan modern yang ada dengan satuan kilo meter (km). 5) keberadaan pos obat (posobat) adalah ada tidaknya pos obat di daerah individu dalam rumah tangga ifls 2007. adapun dummy variabel ditentukan dengan 1= jika ada posobat; 0 = jika tidak ada pos obat. 6) pendidikan (years_educ) menunjukkan lama pendidikan yang telah ditempuh oleh individu dalam rumah tangga ifls 2007yang dibuat dengan kategori pendidikan tertinggi yang telah ditempuh oleh responden. tabel 5. seksi ps (pengobatan sendiri) jenis pengobatan sendiri (pstype) a. minum obat modern yang dijual bebas (seperti bodrex, inza, paramex) b. minum jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan c. memakai obat luar (seperti tetes mata, salep, koyo, parem, dan sejenisnya) e. minum vitamin/suplemen f. pijat, kerokan, oukup/koop/bekam, dan sejenisnya sumber: kuesioner ifls dalam buku 3b final. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 32 model penelitian metode analisis yang digunakan dalam studi ini adalah regresi probit. model probit menganalisis hubungan antara satu variabel dependen berupa data kualitatif dikotomi yang bernilai 1 apabila terdapat karakteristik dan bernilai 0 yang menyatakan ketiadaan karakteristik. model regresi probit menggunakan model variabel terikat yang juga bersifat dikotomi dan menggunakan nilai 1 atau 0, digunakan dalam situasi di mana variabel dependen memiliki kemungkinan tanggapan “ya” atau “tidak” di mana dalam studi ini kemungkinan tanggapan adalah 1 = jika memilih pengobatan tradisional dan 0 = jika memilih pengobatan modern. regresi probit dalam studi ini digunakan untuk mengetahui preferensi individu untuk memilih pengobatan tradisional. model persamaan regresi probit yang digunakan dalam studi ini dapat dituliskan dalam bentuk persamaan berikut: traditional = β health + β age1 2insurancemedicine +β income + β urban3 4 +β disfacility + β posobat5 6 +β years_educ + e7 1) studi ini menggunakan variabel dependen berupa pengobatan tradisional yaitu apakah individu dalam rumah tangga ifls 2007 menggunakan atau tidak menggunakan pengobatan tradisional untuk mengobati keluhan sakitnya. hosmer dan lemeshow (1989) menyatakan bahwa variabel yang menggunakan skala nominal harus diubah menjadi desain variabel (variabel dummy/boneka). sedangkan variabel independen berupa kepemilikan asuransi kesehatan, usia, pendapatan, wilayah tempat tinggal, jarak menuju fasilitas kesehatan, keberadaan pos obat dan pendidikan. hasil dan pembahasan pengobatan tradisional memiliki rata-rata (mean) sebesar 0,1709 dengan nilai maksimal adalah 1 (menggunakan obat tradisional) dan minimal adalah 0 (menggunakan pengobatan modern), sedangkan nilai standar deviasi adalah sebesar 0,3764. variabel kepemilikan asuransi kesehatan memiliki rata-rata sebesar 0,2731 dengan nilai maksimal adalah 1 (memiliki asuransi kesehatan) dan 0 (tidak memiliki asuransi kesehatan). sedangkan nilai standar deviasi adalah sebesar 0,0,4456. rata-rata usia individu dalam rumah tangga ifls 2007 pada studi ini adalah 40,1783 atau dibulatkan menjadi 40 tahun. usia paling muda dalam studi ini adalah anggota rumah tangga yang berusia 15 tahun dan yang tertua berusia 97 tahun. nilai standar deviasi usia adalah sebesar 16 tahun. pendapatan individu dalam rumah tangga rata-rata sebesar rp2.769.037,00 di mana pendapatan terbesar a dalah: rp1.000.000.000,00 dan pendapatan terendah adalah sebesar rp0,00 atau tidak memiliki pendapatan sama-se kali. di mana nilai standar deviasi adalah sebesar rp48.800.000,00. wilayah tempat tinggal memiliki rata-rata sebesar 0,5348 dengan nilai terkecil adalah 0 tabel 6. deskripsi variabel variabel deskripsi variabel nilai traditional_medicine pengobatan tradisional 1 jika menggunakan obat tradisional; 0 jika menggunakan pengobatan modern health_insurance kepemilikan asuransi kesehatan 1 jika memiliki asuransi kesehatan; 0 jika tidak memiliki asuransi kesehatan age usia tahun income pendapatan rupiah urban wilayah tempat tinggal 1 jika tinggal di kota; 0 jika tinggal di desa disfacility jarak menuju fasilitas kesehatan kilo meter (km) posobat keberadaan pos obat 1 jika ada pos obat; 0 jika tidak ada pos obat years_educ pendidikan tahun preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 33 (jika tinggal di desa) dan terbesar adalah 1 (jika tinggal di kota). di mana nilai standar deviasi adalah sebesar 0,4987. rata-rata jarak rumah tinggal menuju fasilitas kesehatan adalah 5,4439 km, di mana nilai minimum atau jarak terdekat adalah 0 km dan nilai maksimal atau jarak terjauh adalah 600 km. nilai standar deviasi adalah sebesar 10,2202. keberadaanpos obat memiliki nilai rata-rata adalah sebesar 0,0483 dengan nilai maksimum adalah 1 (jika ada pos obat) dan nilai minimum adalah 0 (jika tidak ada pos obat). sedangkan nilai standar deviasi adalah sebesar 0,2145. rata-rata lama pendidikan adalah 7,7116 (dibulatkan menjadi 7 tahun) atau rata-rata lama pendidikan peserta ifls adalah lulusan tk (taman kanak-kanak) dan dilanjutkan dengan sekolah dasar (sd). di mana nilai minimum adalah 0 atau tidak mengenyam bangku sekolah sama sekali, sedangkan lama pendidikan maksimum adalah 21 tahun atau lulusan strata 3 (s3). nilai standar deviasi pendidikan adalah sebesar 4,4119. hasil analisis analisis data dalam studi ini menggunakan regresi probit yang bertujuan untuk mengetahui probabilitas individu dalam menggunakan pengobatan tradisional di indonesia. variabel independen yang digunakan adalah kepemilikan asuransi kesehatan yang merupakan dummy dari ada dan tidak ada asuransi kesehatan yang dimiliki individu dalam rumah tangga ifls 2007. variabel usia merupakan usia individu dalam rumah tangga ifls 2007 dalam satuan tahun. variabel pendapatan merupakan pendapatan yang diterima oleh individu dalam rumah tangga ifls tahun 2007 setiap bulannya. variabel wilayah tempat tinggal merupakan dummy tempat individu dalam rumah tangga ifls 2007 tinggal yaitu kota dan desa. variabel jarak rumah tinggal dengan fasilitas kesehatan merupakan jarak rumah tinggal individu dengan fasilitas kesehatan dengan satuan kilo meter. variabel keberadaan pos obat merupakan dummy dari ada atau tidaknya pos obat pada wilayah individu dalam rumah tanggal ifls 2007 tinggal. sedangkan variabel pendidikan merupakan lama pendidikan yang telah ditempuh oleh individu dalam rumah tangga ifls 2007. untuk menginterpretasi hasil analisis probit sedikit berbeda dengan analisis dengan metode lain. pada model probit untuk memperoleh hasil maka harus menggunakan tabel statistik z. pada metode probit, jika kita ingin mengetahui probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional maka variabel yang signifikan maupun yang tidak signifikan tetap dimasukkan ke dalam persamaan, dari hasil regresi dengan menggunakan stata 11 se, persamaan regresi dapat dituliskan sebagai berikut: traditional_medicine = –0,5273+ 0,0782(health_insurance) 0,0086(age) 0,000000179(income) 0,3049(urban) 0,0007(disfacility) 0,6790(posobat) 0,0123(years_educ) 2) tabel 7. deskripsi statistik variabel mean std. dev. min max pengobatan tradisional (traditional_medicine) 0,1709 0,3764 0 1 kepemilikan asuransi kesehatan (health_insurance) 0,2731 0,4456 0 1 usia (age) 40,1783 16,6915 15 97 pendapatan (income) 2769037 4,88e+07 0 1,00e+09 wilayah tempat tinggal (urban) 0,5348 0,4987 0 1 jarak menuju fasilitas kesehatan (disfacility) 5.4439 10,2202 0 600 keberadaan pos obat (posobat) 0,0483 0,2145 0 1 pendidikan (years_educ) 7,7116 4,4119 0 21 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 34 keterangan: traditional_medicine adalah probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional; health_insurance adalah kepemilikan asuransi kesehatan; age adalah usia individu rumah tangga; income adalah pendapatan individu rumah tangga; urban adalah wilayah tempat tinggal individu rumah tangga; disfacility adalah jarak menuju fasilitas kesehatan; posobat adalah keberadaan pos obat; years_educ adalah lama pendidikan individu rumah tangga nilai pseudo r2 yang ditunjukkan dalam tabel adalah sebesar 0,0299 hal ini menggambarkan bahwa persamaan model dalam studi ini hanya mampu menjelaskan sebesar 2,99 persen faktor-faktor yang berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. uji likelihood ratio (lr) atau dalam uji regresi linear sering disebut dengan uji f-statistic atau pengujian secara bersamasama ditunjukkan oleh nilai pro > chi2 yaitu sebesar 0,0329 dan signifikan pada α <0,05 artinya secara bersama-sama variabel usia, wilayah tempat tinggal, dan keberadaan pos obat berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. hasil regresi probit diperoleh hasil bahwa probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional dipengaruhi oleh variabel usia, wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos obat yang ada. variabel kepemilikan asuransi kesehatan, pendapatan, jarak menuju fasilitas kesehatan dan lama pendidikan tidak berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. 1) usia individu rumah tangga ifls 2007 (age) tabel deskripsi variabel statistik menunjukkan bahwa usia paling rendah anggota ifls 2007 adalah 15 tahun sedangkan usia maksimal individu dalam rumah tangga ifls 2007 adalah 97 tahun. besarnya probabilitas individu yang berusia 15 tahun untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine = -0,5273 + 0,0782(health_insurance) 0,0086(age) 0,000000179(income) 0,3049(urban) – 0,0007(disfacility) 0,6790(posobat) – 0,0123(years_educ) tabel 8. hasil regresi probit variabel probit model konstanta -0,5273 (0,2507) kepemilikan asuransi kesehatan (health_insurance) -0,0782 (0,1298) usia (age) -0,0086** (0,0037) pendapatan (income) -1,79e-07 (1,65e-07) wilayah tempat tinggal (urban) 0,3049* (0,1570) jarak menuju fasilitas kesehatan (disfacility) -0,0007 (0,0062) keberadaan pos obat (posobat) -0,6790** (0,2899) pendidikan (years_educ) -0,0123 (0,0174) pseudo r20,0299 prob lr statistic0,0329 dependen variabel: probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional(health_insurance) keterangan: tanda ( ) menunjukkan robust standard error; *signifikan pada α=10%, ** signifikan pada α=5%, *** signifikan pada α=1% preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 35 = -0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(15) – 0,000000179(0) 0,3049(0) 0,0007(0) 0,6790(0) 0,0123(0) = -0,5273 0,1290 = -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga ditemukan angka 0,2546. selanjutnya angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 1-0,2564 = 0,7454 atau 74,54 persen. jadi, probabilitas individu yang berusia muda untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 74,54 persen. sedangkan besarnya probabilitas individu yang berusia 97 tahun untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine = 0,5273 + 0,0782(health_insurance) – 0,0086(age) 0,000000179(income) – 0,3049(urban) 0,0007(disfacility) – 0,6790(posobat) 0,0123(years_educ) = -0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(97) – 0,000000179(0) 0,3049(0) 0,0007(0) – 0,6790(0) 0,0123(0) = -0,5273 0,8342 = -1,3615 (hasil dibulatkan menjadi -1,36) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -1,3 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga ditemukan angka 0,0869. selanjutnya angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 1 0,0869 = 0,9131 atau 91,31 persen. jadi, probabilitas individu yang berusia lanjut untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 91,31 persen. probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional pada individu yang berusia muda adalah sebesar 74,54 persen, sedangkan pada individu yang berusia lanjut adalah 91,31 persen. berdasarkan nilai kedua probabilitas maka individu yang berusia lanjut memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih pengobatan tradisional dibandingkan dengan individu berusia muda. artinya semakin bertambah usia individu maka probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional semakin tinggi. 2) wilayah tempat tinggal individu rumah tangga ifls 2007 (urban) adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 jika tinggal di kota dan 0 jika tinggal di desa dengan asumsi usia pada nilai minimumnya yaitu 15 tahun. besarnya probabilitas individu yang tinggal di desa (0) untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine= -0,5273+0,0782(health_insurance)-0,0086(age)0,000000179(income)-0,3049(urban)0,0007(disfacility)-0,6790(posobat)0,0123(years_educ) = -0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(15) – 0,000000179(0) 0,3049(0) 0,0007(0) – 0,6790(0) -0,0123(0) = -0,5273-0,1290 = -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga ditemukan angka 0,2546. angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 10,2564 = 0,7454 atau 74,54 persen. jadi, probabilitas individu yang tinggal di desa untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 74,54 persen. sedangkan besarnya probabilitas individu yang tinggal di kota (1) untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine = -0,5273 + 0,0782(health_insurance) 0,0086(age) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 36 0,000000179(income) -0,3049(urban) 0,0007(disfacility) -0,6790(posobat)0,0123(years_educ) = -0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(15) 0,000000179(0) 0,3049(1) 0,0007(0) 0,6790(0) 0,0123(0) = -0,5273 0,1290 + 0,3049 = -0,3514 (hasil dibulatkan menjadi -0,35) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -0,3 dan kolom di atas angka 0,05 sehingga ditemukan angka 0,3632. selanjutnya angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 1-0,3632 = 0,6368 atau 63,68 persen. jadi, probabilitas individu yang tinggal di kota untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 63,68 persen. probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional pada individu yang tinggal di desa adalah sebesar 74,54 persen, sedangkan pada individu yang tinggal di kota adalah 63,68 persen. berdasarkan nilai kedua probabilitas maka individu yang tinggal di desa memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih pengobatan tradisional dibandingkan dengan individu dalam rumah tangga ifls 2007yang tinggal di kota. 3) keberadaan pos obat (posobat) adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 jika ada pos obat dan 0 jika tidak ada pos obat dengan asumsi usia pada nilai minimumnya yaitu pada 15 tahun. besarnya probabilitas individu yang tinggal di wilayah yang ada pos boatnya (0) untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine =-0,5273 + 0,0782(health_insurance) – 0,0086(age) 0,000000179(income) 0,3049(urban) 0,0007(disfacility) 0,6790(posobat) 0,0123(years_educ) =-0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(15) 0,000000179(0) 0,3049(0) – 0,0007(0) – 0,6790(0) 0,0123(0) = -0,5273-0,1290 = -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga ditemukan angka 0,2546. selanjutnya angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 1-0,2564 = 0,7454 atau 74,54 persen. jadi, probabilitas individu yang tinggal di wilayah yang tidak ada pos obatnya untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 74,54 persen. sedangkan besarnya probabilitas individu yang tinggal di wilayah yang ada pos obatnya (1) untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebagai berikut (dengan asumsi variabel lain dianggap konstan): traditional_medicine = -0,5273 + 0,0782(health_insurance) -0,0086(age) 0,000000179(income) 0,3049(urban)0,0007(disfacility) 0,6790(posobat)0,0123(years_educ) = -0,5273 + 0,0782(0) 0,0086(15) – 0,000000179(0) 0,3049(0)-0,0007(0) – 0,6790(1) 0,0123(0) = -0,5273 0,1290 0,6790 = -1,3353 (hasil dibulatkan menjadi -1,33) selanjutnya angka tersebut dicari nilainya pada tabel statistika z, di mana pada kolom kiri -1,3 dan kolom di atas angka 0,03 sehingga ditemukan angka 0,0918. selanjutnya angka tersebut dikurangkan dengan angka 1. sehingga diperoleh 1-0,0918 = 0,9082 atau 90,82 persen. jadi, probabilitas individu yang tinggal di wilayah yang ada pos obatnya untuk memilih pengobatan tradisional adalah sebesar 90,82 persen. probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional pada individu yang tinggal pada wilayah yang tidak ada atau minim pos obatnya adalah sebesar 74,54 persen, sedangkan pada preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 37 individu yang tinggal pada wilayah yang ada pos obatnya adalah 90,82 persen. berdasarkan nilai kedua probabilitas maka individu yang tinggal pada wilayah yang ada pos obatnya memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih pengobatan tradisional dibandingkan dengan individu yang tinggal pada wilayah yang minim atau bahkan tidak ada pos obatnya. artinya semakin banyak pos obat di wilayah individu rumah tangga ifls 2007 tinggal maka probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional semakin tinggi. studi ini menggunakan data panel atau longitudinal data yang diolah menggunakan metode regresi probit dengan tujuan untuk mengetahui preferensi individu untuk memilih pengobatan tradisional. hasil regresi menunjukkan bahwa variable usia, wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos obat mempengaruhi probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. sedangkan variabel kepemilikan asuransi kesehatan, pendapatan, jarak menuju fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. usia secara signifikan berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. semakin bertambahnya usia individu dalam rumah tangga ifls 2007 maka probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional semakin tinggi. hal ini sejalan engan studi kristina, dkk (2007) yang menyatakan bahwa usia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat. studi ini juga sejalan dengan pendapat supardi, dkk (2003) menyatakan bahwa penduduk yang berusia lanjut yaitu lebih dari 56 tahun untuk menggunkan obat tradisional lebih banyak 1,56 kali daripada penduduk yang bukan lanjut usia. proporsi penggunaan obat tradisional pada individu kelompok lanjut usia lebih tinggi daripada individu yang belum lanjut usia artinya ada hubungan yang signifikan antara individu dengan kelompok usia lanjut usia dengan penggunaan obat tradisional, hal ini mungkin berhubungan dengan keluhan sakit lebih banyak diderita pada kelompok usia tua dengan jenis keluhan yang kurang dikenal untuk ditanggulangi dengan penggunaan obat modern (supardi, 2007). kondisi ini dapat disebabkan karena orang tua lebih menyukai penggunaan obat tradisional dengan alasan pengobatan tradisional tidak merepotkan atau praktis dan lebih mudah dilakukan karena tidak perlu datang kepada tenaga medis untuk meminta resep obat. obat tradisional lebih diminati oleh orang yang berusia lanjut karena kesadaran akan bahan kimia yang didapatkan dari pengobatan medis dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan mengingat antibody atau kemampuan tubuh untuk menahan serangan dari luar sudah mulai menurun pada individu yang berumur lanjut. selain itu pengobatan tradisional telah menjadi tradisi warisan nenek moyang yang telah dilakukan sejak dulu dan menjadi kebiasaan yang melekat pada diri seseorang misalnya pada penyakit yang sering muncul pada individu dalam rumah tangga seperti masuk angin di mana pengobatan untuk masuk angin dapat desembuhkan dengan cara kerokan yang sudah menjadi kebiasaan dan tersugesti oleh individu di mana masuk angin belum akan sembuh jika belum dikerok. wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional pada individu yang tinggal di desa lebih tinggi daripada individu yang tinggal di kota. hal ini sejalan dengan studi supardi, dkk (2003) menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di lokasi pedesaan menggunakan obat tradisional lebih banyak 1,36 kali daripada penduduk yang tinggal di kota. hidayat dan hardiansyah (2012) menyatakan bahwa tumbuhan obat tradisional di indonesia mempunyai peran yang sangat penting terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang fasilitas kesehatannya masih sangat terbatas di mana dalam studinya menyatakan bahwa kurangnya fasilitas kesehatan di kabupaten sintang membuat masyarakat memanfaatkan tumbuhan obat tradisional sebagai alternatif dan langkah awal pengobatan suatu penyakit. darubekti (2001) menyatakan bahwa individu yang tinggal di desa lebih mendahulukan obat tradisional untuk mengobati keluhan sakit ringan, karena obat modern sulit dijangkau dan keterbatasan pendapatan individu dalam rumah tanggal. kondisi ini dapat terjadi karena ketersediaan tanaman obat sebagai bahan baku pengobatan tradisional jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 38 masih banyak di jumpai pada wilayah desa yang notabenenya masih memiliki lahan yang luas untuk tanaman obat tumbuh baik di tanam sebagai taman obat keluarga (toga) atau tumbuh secara liar. keberadaan pos obat secara signifikan berpengaruh terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. berdasarkan nilai probit yang ditunjukkan dalam studi ini, probabilitas individu yang tinggal pada wilayah yang tidak terdapat pos obatnya lebih rendah daripada individu yang tinggal di wilayah yang terdapat pos obatnya. kondisi ini dapat terjadi dalam kasus di mana obat tradisional digunakan hanya untuk mengobati keluhan sakit ringan misalnya batuk, pilek, pusing, masuk angin dan gejala sakit ringan lainnya. pos obat sebagai fasilitas kesehatan yang ada dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengurangi peranan pengobatan tradisional (rahayu, dkk., 2006). selain itu, walaupun masyarakat tinggal di wilayah yang ada pos obatnya namun individu lebih memilih pengobatan tradisional karena individu dalam rumah tangga merasa khawatir akan efek samping dari penggunaan obat kimia termasuk obat warung yang merupakan obat bebas dan obat bebas terbatas yang bukan berarti bebas efek samping dalam pemakaiannya. minimnya pengetahuan individu akan aturan pakai obat, kesesuaian dosis, lama pemakaian, ada tidaknya efek samping dan interaksi antara obat dan makanan juga dapat menjadi penyebab tingginya probabilitas individu yang tinggal di wilayah yang terdapat pos obat untuk memilih pengobatan tradisional. efek samping dari penggunaan obat kimia menyebabkan adanya pergeseran pola hidup dalam masyarakat dunia termasuk indonesia yang berkembang menuju paradigma back to nature dengan menggunakan cara-cara tradisional untuk kesehatan. putri (2008) menyatakan bahwa semakin meningkatnya permintaan akan obat tradisional yang dipicu oleh maraknya tren back to nature yang melanda berbagai negara di seluruh dunia termasuk indonesia, kesadaran akan efek samping yang ditimbulkan oleh obat sintetik, keterjangkauan dalam mengonsumsi, dan kecenderungan individu yang lebih menyukai hal-hal praktis di manahal ini didukung dengan paradigma pembangunan baru perekonomian indonesia yang mendukung pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi olahan (agroindustri), maka keberadaan industri yang bergerak di bidang pengolahan tanaman obat menjadi semakin berkembang. selain itu bertambahnya pengetahuan individu yang didapat dari berbagai media di mana sekarang banyak perjanjian antara tenaga kesehatan dengan perusahaan farmasi yang menjadi sponsor penyelenggaraan kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan kebijakan pelayanan kesehatan. intervensi dengan perusahaan farmasi ini menyebabkan kebanyakan dokter enggan menuliskan obat generik sehingga masyarakat terkadang harus membayar lebih mahal untuk obat yang harusnya dapat dibeli dengan harga yang lebih murah. adanya hal ini membuat masyarakat menjadi semakin cerdas untuk tidak menjadi korban dalam perjanjian yang banyak merugikan individu sebagai pasien. pendapatan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional, hal ini sejalan dengan studi purnamaningrum (2010) yang menyatakan bahwa pendapatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku mengobati baik dengan menggunakan obat modern ataupun pengobatan tradisional. pernyataan ini juga didikung oleh studi muwahid (2006) yang menyatakan bahwa besarnya penghasilan pekerja seks komersial di lokalisasi dolly tidak berpengaruh terhadap probabilitas dalam pemilihan dan penggunaan obat tradisional yaitu jamu kemasan karena sebagian besar konsumen lebih memprioritaskan khasiat. studi yang dilakukan oleh yudhistira (2006) juga menyimpulkan bahwa besarnya penghasilan individu tidak berpengaruh terhadap probabilitas dalam pemilihan dan penggunaan jamu kemasan karena sebagian besar konsumen jamu kemasan lebih memprioritaskan khasiat yang akan didapat. pendapatan individu tidak mempengaruhi probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional di mana kondisi ini dapat terjadi karena individu dalam masyarakat yang mempunyai kemampuan secara sosioekonomi yaitu mempunyai penghasilan dan pekerjaan di atas upah minimum akan berupaya untuk mencari pengobatan ke sarana preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 39 pelayanan kesehatan (gaol, 2013). pengeluaran secara ekonomi merupakan fungsi dari pendapatan, dalam studi ini pendapatan per kapita mempengaruhi kecenderungan untuk memanfaatkan (berkunjung) ke fasilitas pelayanan kesehatan tradisional atau modern. semakin tinggi pengeluaran per kapita maka semakin besar kemungkinan si individu untuk memilih dan mampu membayar pelayanan kesehatan modern dibandingkan pelayanan kesehatan tradisional jarak menuju fasilitas kesehatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. hal ini sejalan dengan studi rahayu (2012) yang menyatakan bahwa jarak tempat tinggal menuju fasilitas kesehatan tidak berpengaruh terhadap terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. tidak ada hubungan antara jarak tempat tinggal dengan perilaku pencarian pengobatan sendiri (kristina, 2008). kondisi ini dapat disebabkan karena perilaku mengobati oleh individu lebih kepada kepercayaan akan obat yang dipilih dan juga khasiat, meskipun jarak menuju fasilitas kesehatan modern jauh atau dekat individu tetap akan memilih menggunakan obat tradisional karena sugesti akan obat tersebut. pendidikan tidak memiliki hubungan terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional, hal ini sejalan dengan studi wardana (2008) menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap minat individu dalam menggunakan obat tradisional, disebabkan adanya faktor lain yang lebih kuat memberikan pengaruh seperti tradisi nenek moyang, kebiasaan keluarga dan informasi nasehat dari tetangga atau teman kerabat atau penjual jamu/obat tradisional secara langsung. purnamaningrum (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku mengobati. kondisi ini dapat disebabkan karena probabilitas masyarakat memilih obat tradisional tergantung dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu mengenai pengobatan tradisional yang biasanya telah didapat dari pengalaman yang diberikan oleh orang tua dan kebiasaan masyarakat sehingga penggunaan obat tradisional sudah menjadi sugesti akan sembuh jika individu mengkonsumsi obat tradisional untuk menyembukan penyakitnya. kepemilikan asuransi kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. hasil studi ini berbanding terbalik dengan studi yang dilakukan oleh purnamaningrum (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asuransi kesehatan dengan perilaku mengobati oleh seseorang. hal ini juga bertentangan dengan studi yang dilakukan oleh supadmi (2013) yang menyatakan bahwa jumlah pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan lebih banyak melakukan swamedikasi dibandingkan dengan pasien yang memiliki asuransi kesehatan artinya hasil analisis menunjukkan kepemilikan asuransi kesehatan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pengobatan. kondisi ini dapat terjadi dalam kasus di mana obat tradisional digunakan untuk mengobati keluhan penyakit ringan seperti batuk, pilek, sakit kepala masuk angin dan keluhan sakit ringan lainnya yang tidak memerlukan rujukan dan resep dokter atau tenaga kesehatan yang ahli dalam bidangnya. simpulan hasil uji regresi dengan metode probit menggunakan tujuh variabel menghasilkan tiga variabel independen yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen masingmasing adalah usia, wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos obat. sedangkan kepemilikan asuransi kesehatan, pendapatan, jarak menuju fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap probabilitas untuk memilih pengobatan tradisional. berdasarkan simpulan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu: pemerintah diharapkan dapat mengkampanyekan pentingnya hidup sehat dengan menggunakan obat tradisional karena adanya dampak buruk yang ditimbulkan dari konsumsi obat kimia yang muncul dalam jangka waktu yang panjang. di mana pencegahan sedini mungkin dengan pengalihan pada bahan-bahan tradisional akan dapat meminimalkan resiko yang akan ditimbulkan kelak. individu dalam rumah tangga yang tinggal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 1, april 2015: 26-41 40 di wilayah yang terdapat pos obatnya memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih pengobatan tradisional. mengingat banyaknya individu dalam rumah tangga ifls 2007 yang melakukan pengobatan ini maka departemen kesehatan (depkes) diharapkan dapat melakukan pembinaan dan penataan yang lebih baik dan luas terhadap obat tradisional guna mendukung program indonesia sehat 2010 serta mendukung tren back to nature yang dapat mendukung pemerintah dalam mewujudkan visi indonesia sehat 2010 tentang gambaran kehidupan rakyat indonesia yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan dengan perilaku hidup sehat. wilayah tempat tinggal mempengaruhi probabilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional di mana individu yang tinggal di desa lebih tinggi probabilitasnya. hal ini dapat disebabkan karena bahan dasar pengobatan tradisional masih banyak tersedia di alam, dengan ini diharapkan pemerintah setempat dapat melihat hal ini sebagai peluang untuk membuat industri rumahan yang memproduksi obat tradisional dengan kemasan yang lebih modern sehingga dapat mendukung berkembangnya tren back to nature khususnya pada individu yang tinggal di kota. hasil studi yang telah dilakukan maka studi ini mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu: studi ini hanya menggunakan data ifls4 (indonesia family live survey) pada tahun 2007. studi selanjutnya diharapkan dapat menggunakan data ifls pada semua periode yaitu ifls-1 pada tahun 1993, ifls-2 pada tahun 1997, dan ifls-3 pada tahun 2000 dengan tujuan memperoleh hasil yang lebih baik dan menyeluruh. studi ini menggunakan metode regresi probit di mana model ini memiliki kelemahan dalam masalah probabilitas bersyarat yang ditaksir mungkin tidak terletak antara nilai 0 dan 1. hal ini disebabkan karena hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya linear, maka nilai variabel terikatnya akan sangat tergantung dari nilai variabel bebas. dengan demikian, hasil perhitungan yang diperoleh akan mungkin berada di luar jangkauan nilai 0 sampai dengan 1 atau bersifat diskrit (discrete) di mana nilainya tidak dapat berada di luar pilihan beberapa opsi jawaban. hal ini menjadikan metode ini sebagai model yang tidak terlalu baik. jadi, diharapkan untuk studi selanjutnya dapat menggunakan metode yang berbeda sehingga hasil studi yang diperoleh dapat dibandingkan dengan studi sebelumnya. daftar pustaka rustam, dkk (2007). efek anti inflamasi ekstrak etanol kunyit (curcuma domestica val.) pada tikus putih jantan galur wistar. jurnal sains dan teknologi farmasi, vol. 12, no.2: 112-115. gazali, dkk. (2011). perilaku pencarian pengobatan terhadap kejadian penyakit malaria pada suku mandar di desa lara kecamatan karossa kabupaten mamuju provinsi sulawesi barat. jurnal penelitian, fakultas kesehatan masyarakat, universitas hasanuddin. triratnawati, a. (2010). pengobatan tradisional, upaya meminimalkan biaya kesehatan masyarakat desa di jawa. jurnal manajemen pelayanan kesehatan, vol. 13, no. 2 juni 2010:69-73. kristina, dkk. (2007). perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat. berita kedokteran masyarakat, vol. 23, no. 4. setyawati, g dan meridian, a. (2010). modal sosial dan pemilihan dukun dalam proses persalinan: apakah relevan?. kesehatan, vol. 14, no. 1, juni 2010: 11-16. hidayat, b. (2008). estimasi dampak program asuransi kesehatan pada jumlah kunjungan rawat jalan di indonesia. jurnal manajemen pelayanan kesehatan, 11.01. supadmi, w. (2013). gambaran pasien geriatri melakukan swamedikasi di kabupaten sleman. jurnal pharmaciana, vol. 3, no. 2, 2013: 45-50. purnamaningrum, a. (2010). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata. skripsi, universitas diponegoro. rahayu, da. (2012). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan pengobatan tradisional di wilayah kerja puskesmas muara siberut kecamatan siberut selatan preferensi individu terhadap pengobatan ... (herika jennifer, endah saptutyningsih) 41 kabupaten kepulauan mentawai tahun 2012. skripsi, universitas andalas. supardi s, dan susanty al. (2010). penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri di indonesia (analisis data susenas tahun 2007). buletin penelitian kesehatan, vol. 38, no. 2: 80-89. supardi s, dkk. (2003). beberapa faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat tradisional dalam pengobatan sendiri di indonesia. buletin penelitian kesehatan, 31.1, maret. supadmi, w. (2013). gambaran pasien geriatri melakukan swamedikasi di kabupaten sleman. jurnal pharmaciana, vol. 3, no. 2, 2013: 45-50. gaol, tl. (2013). pengaruh faktor sosio demografi, sosio ekonomi dan kebutuhan terhadap perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan di kecamatan medan kota tahun 2013. tesis, universitas sumatera utara. hosmer, dw dan lemeshow. (1989). applied logistic regression. ed. john wolfley sons (81): 8-20. hidayat, d dan hardiansyah g. (2012). studi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di kawasan iuphhk pt. sari bumi kusuma camp tontang kabupaten sintang. jurnal vol. 8, no. 2: 61-68. darubekti, n. (2001). perilaku kesehatan masyarakat desa talang pauh kecamatan pondok kelapa kabupaten lampung. jurnal penelitian unib. 7(2): 96-103. rahayu, dkk. (2006). pemanfaatan tumbuhan obat secara tradisional oleh masyarakat lokal di pulau wawonii, sulawesi tenggara. biodiversitas vol. 7, no. 3: 245250. putri, fsa. (2008). formulasi strategi pemasaran obat tradisional pada taman syifa di kota bogor, jawa barat. skripsi, fakultas pertanian, institut pertanian bogor. muwahid, a. (2006). pola pemilihan dan penggunaan jamu kemasan di kalangan pekerja seks komersial di lokalisasi dolly, surabaya. s fakultas farmasi ubaya. yudhistira, rb. (2006). pola pemilihan dan penggunaan jamu kemasan di kalangan penarik becak di terminal bratang-surabaya. skripsi, universitas surabaya. wardana. (2008). penggunaan obat tradisional sebagai alternatif pengobatan pada masyarakat di kabupaten sleman. skripsi, fakultas farmasi, universitas ahmad dahlan, yogyakarta. lampiran tabel 2. produksi tanaman obat hasil budidaya (kg) tahun 2009 2013 komoditas tahun 2009 2010 2011 2012 2013 jahe 122.181.084 107.734.608 94.743.139 114.537.658 155.286.288 lengkuas 59.332.313 58.961.844 57.701.484 58.186.488 69.730.091 kencur 43.635.311 29.638.127 34.016.850 42.626.207 41.343.456 kunyit 124.047.450 107.375.347 84.803.466 96.979.119 120.726.111 lempuyang 8.804.375 8.520.161 8.717.497 7.235.998 11.407.985 temulawak 36.826.340 26.671.149 24.105.870 44.085.151 35.664.756 temuireng 7.584.022 7.140.926 7.920.573 6.112.765 9.583.670 kejineling 943.721 1.139.223 949.017 834.472 963.585 dringo 1.074.901 754.551 611.608 526.090 634.330 kapulaga 25.178.901 28.550.282 47.231.297 42.973.264 54.171.417 mengkudu 16.267.057 14.613.481 14.411.737 8.967.750 8.432.119 sambiloto 4.334.768 3.845.063 3.286.262 964.888 2.257.368 temukunci 4.701.570 4.358.236 3.951.932 4.307.318 8.829.437 sumber: www.bps.ac.id, produksi tanaman obat-obatan di indonesia image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg microsoft word 06-agus tri basuki jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.53-71   pengembangan kawasan agropolitan agus tri basuki fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta e-mail: agustribasuki@yahoo.com abstract: this research aims to define the location that meets the requirements of the national and regional support agropolitan, and make a plan for the development of agropolitan. imogiri is a district that has potential in agriculture, animal husbandry, farming, forestry, and aquaculture. but the development of the present day have led to a gap between urban and rural areas and urban bias. this condition is indicated by the relatively high level of urbanization and the impact on the agricultural sector. therefore we need an alternative strategy for rural development, one of which is through the development agropolitan. in the division of strategic development kasawan agropolitan (ksa) imogiri sub divided into 4 ksa. ksa is a function of institutional develop farmer businesses on/off farm an effective, efficient, and competitive. keywords: agropolitan, rural development, strategy development, competitiveness abstrak: penelitian ini bertujuan menentukan lokasi yang memenuhi persyaratan nasional dan regional yang mendukung agropolitan, dan membuat rencana untuk pengembangan agropolitan. imogiri adalah kabupaten yang memiliki potensi di bidang pertanian, peternakan, pertanian, kehutanan, dan perikanan. tetapi perkembangan hari ini telah menyebabkan kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan dan bias perkotaan. kondisi ini ditunjukkan dengan tingkat urbanisasi yang relatif tinggi urbanisasi dan dampak pada sektor pertanian. oleh karena itu diperlukan strategi alternatif untuk pembangunan pedesaan, salah satunya adalah melalui pengembangan agropolitan. ksa adalah fungsi dari kelembagaan yang mengembangkan usahatani on / off farm yang efektif, efisien, dan kompetitif. kata kunci: agropolitan, pembangunan pedesaan, strategi pengembangan, daya saing pendahuluan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan. meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. hal ini telah mengakibatkan terjadinya urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan justru berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan. kenyataan tersebut di atas diperkuat dengan tingginya laju urbanisasi. data survei penduduk (sp) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan urbanisasi yang diindikasikan dengan tingginya jumlah penduduk kota di indonesia dari 7,5 persen di tahun 1961 menjadi 30,91 persen di tahun 1990 dan mencapai 42,1 persen di tahun 2000. sedangkan tahu 2009 penduduk yang tinggal di kota menjadi 43 persen. proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian ditandai dengan konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun. konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian. berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias. pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. melalui jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 54 pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. kabupaten bantul yang terletak di dataran kaki gunung merapi mempunyai kawasan potensial untuk pengembangan kawasan pembangunan yang berbasis pada agribisnis. topografi dataran dan iklim yang agak basah memungkinkan untuk dikembangkan berbagai komoditas pertanian, tanaman pangan, holtikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan yang berbasis pada agribisnis. dalam hal ini pengembangan agribisnis dapat dijadikan sebagai jalan menuju percepatan pembangunan pertanian perdesaan. dewasa ini berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan kawasan pengembangan sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat kabupaten bantul. isu pengelolaan sumber daya alam dan kawasan adalah isu global. tumbuhnya kesadaran nasional tentang kondisi kawasan pengembangan yang semakin buruk telah mendesak seluruh wilayah termasuk kabupaten bantul untuk merubah paradigma pembangunannya dari ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. sebagai langkah awal merespon isu global dan nasional tersebut, maka perlu dilakukan kajian pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan imogiri. kecamatan imogiri adalah kecamatan yang memiliki potensi di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan budidaya. namun pembangunan yang berlangsung saat ini telah menimbulkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta urban bias. kondisi tersebut diindikasikan dengan tingkat urbanisasi yang relatif tinggi dan berdampak pada terdesaknya sektor pertanian. oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi alternatif untuk pembangunan perdesaan, salah satunya adalah melalui pengembangan kawasan agropolitan. konsep dasar pengembangan kawasan agropolitan adalah sebagai upaya menciptakan pembangunan inter-regional berimbang. artinya adalah untuk meningkatkan keterkaitan pembangunan kota-desa melalui pengembangan kawasan perdesaan yang terintegrasi dalam sistem perkotaan. dalam upaya mengembangkan kawasan agropolitan menyeluruh, terintegrasi, dan berkelanjutan diperlukan pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan imogiri kabupaten bantul”. tujuan dari pengembangan agropolitan adalah: (1) jangka panjang: meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani di kawasan agropolitan. (2) jangka menengah: (a) menumbuhkembangkan kelembagaan usaha petani on/off farm yang efektif, efisien, dan berdaya saing; (b) menumbuhkan iklim usaha yang mendorong perkembangan usaha masyarakat. (3) jangka pendek: (a) menetapkan lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai pusat dan wilayah pendukung kawasan agropolitan; (b) membuat perencanaan bagi pengembangan kawasan agropolitan. pembahasan konsep kawasan agropolitan kawasan agropolitan merupakan kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. program pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada secara utuh dan menyeluruh, berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, terdesentralisasi, digerakkan oleh masyarakat, dan difasilitasi oleh pemerintah. kawasan perdesaan harus dikembangkan sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota (urbanrural linkages) dan menyeluruh hubungan yang bersifat interdependensi/timbal balik yang dinamis. suatu kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) yang sudah berkembang harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) sebagian besar kegiatan masyarakat di kapengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 55 wasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan terintegrasi mulai dari: (a) subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness) yang mencakup: mesin, peralatan pertanian, pupuk, dan lain-lain. (b) subsistem usaha tani/pertanian primer (on farm agribusiness) yang mencakup usaha: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. (c) subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang meliputi: industri-industri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor. (d) subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis) seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, penelitian dan pengembangan, pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah. (2) adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages) yang bersifat interdependensi/timbal balik dan saling membutuhkan di mana kawasan pertanian di perdesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sementara kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan pertanian, dan lain sebagainya. (3) kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan. (4) kehidupan masyarakat di kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) sama dengan suasana kehidupan di perkotaan karena prasarana dan infrastruktur yang ada di kawasan agropolitan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota. tujuan agropolitan. tujuan yang hendak dicapai dalam konsep agropolitan khususnya dalam pembangunan perdesaan adalah sebagai berikut: (1) mengubah wilayah perdesaan dengan cara memperkenalkan dan memasukkan kegiatankegiatan non pertanian (industri, perdagangan, dan jasa) yang telah disesuaikan dengan lingkungan perdesaan tersebut sehingga dapat mengurangi arus migrasi desa-kota (soenarno, 2003). (2) menyeimbangkan pendapatan desa dan kota serta memperkecil perbedaan-perbedaan sosial ekonomi dengan cara memperbanyak kesempatan kerja produktif dari paduan sektor pertanian dan non pertanian (lo dan salih, 1981). (3) pemanfaatan tenaga kerja secara tepat guna dengan membuka peluang kerja dan berusaha dari perluasan kegiatan usaha non pertanian dan pembangunan infrastruktur pembangunan. (4) merangkai wilayah perdesaan (agropolitan) dalam jaringan regional dengan peningkatan aksesibilitas wilayah (anonim, 2002). (5) menyalurkan pengetahuan dan kepandaian penduduk setempat pada kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan keahliannya. (6) memperbaiki nilai tukar barangbarang antara desa dan kota sehingga tercipta kesesuaian harga yang saling menguntungkan. dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi perlu disusun pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan. adapun muatan yang terkandung di dalamnya adalah: (1) penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai: pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center), penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services), pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market), pusat industri pertanian (agro-based industry), penyedia pekerjaan non pertanian (non-agricultural employment), pusat agropolitan dan hinterland-nya terkait dengan sistem permukiman nasional, provinsi, dan kabupaten (rtrw provinsi/ kabupaten). (2) penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai: pusat produksi pertanian (agricultural production), intensifikasi pertanian (agricultural intensification), pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services), produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification). (3) penetapan sektor unggulan: merupakan 5 s d b m k y d ( in y a s d ( k a p p in a p y la a d a (l g w k d s n 56 sektor unggu didukung ol bisnis yang masyarakat kearifan loka yang memu dengan orien (4) dukunga nfrastruktur yang mend agropolitan d sumber-sumb dan telekomu (5) dukunga kelembagaan an agropolit pemerintah d pusat, peng nsentif dan an agropolita berdasar politan dicir yang tumbu annya sistem agropolitan dan mendoro an pertanian lihat gambar gambar 1. k a teori p whitby (1984 kakan bahwa desaan yang sektor pertan nomian wila ju ulan yang s leh sektor h banyak m yang paling al), dan mem ungkinkan ntasi ekspor. an sistem in r yang mem dukung pen di antaranya ber air, dan unikasi). an sistem ke n pengelola tan yang m daerah deng gembangan disinsentif an. rkan uraian rikan denga uh dan berk m dan usah yang dihara ong kegiatan n (agribisnis) r 1). konsep pen agropolitan pendukung 4) dan fried a dalam pro g utama per nian yang m yah perdesa rnal ekonom sudah berke hilirnya, keg melibatkan p g besar (ses mpunyai ska untuk dik nfrastruktur: mbentuk stru ngembangan a: jaringan ja jaringan uti elembagaan: pengemban merupakan b gan fasilitas sistem ke pengemban di atas, kaw an kawasan kembang ka ha agribisni apkan dapa n-kegiatan p ) di wilayah ngembangan n konsep a dman (1966) oses pemban lu diperhati merupakan ba aan. kemudi mi dan studi mbang dan giatan agripelaku dan uai dengan ala ekonomi kembangkan dukungan uktur ruang n kawasan alan, irigasi, ilitas (listrik dukungan ngan kawasbagian dari pemerintah elembagaan gan kawaswasan agron pertanian arena berjais di pusat at melayani pembangunh sekitarnya n kawasan agropolitan. mengemungunan perikan adalah asis perekoian meneliti pembangun wilayahan perta litan ada sektor d ngunan bangkan jasa pen perdesaa pemban nian da dikemba tersebut kegiatan keterkait kerja bar frie konsep ngunan kan mel ngunann proses p kegiatan ruh wi perdesaa pemasar percobaa yang me usaha te harus di mohser pemban kon sebenarn mulai d pemasar dengan soekarta agribisni yang me rantai pr yang ada luas”. bad agribisni “sebagai nya secar nilai tam menghasi pasar”. waw pengemb nan volume 1 -wilayah po anian. hubu alah bertitik dasar (pertan wilayah. se n industri-in nunjang yang an. hal in gunan berim an industri angkannya di samp n sektor per tan sekaligu ru (todaro, 1 edman (19 agropolitan perdesaan y alui kerangk nya. mohser produksi p n-kegiatan u layah. unt an yang p ran, jalan-j an dan pene enunjang pro ersebut salin ilakukan sec tersebut m gunan agro nsep agrib nya merup ari proses p ran, dan ak kegiatan p awi, 1999) is sebagai: “ eliputi salah roduksi, peng hubunganny dan agribisn is lebih luas pertanian yan ra rasional d mbah komers ilkan barang wasan agrib bangan agr 13, nomor 1, otensial untu ungannya d k tolak dari nian) dalam ebagai tinda dustri pengo g sesuai den ni sesuai d mbang antar (mubyarto, sektor-sekt ping akan rtanian mela us akan mena 1994). 976) meng merupakan yang diperce ka tata ruan r (1969) men pertanian te usaha yang t tuk mencip progresif dip jalan perd elitian, maup oses kegiata ng bergantu cara bersam merupakan p opolitan. bisnis. kon pakan kons produksi, pe ktivitas lain pertanian. menyampai “suatu kesatua satu atau k golahan hasil ya dengan per nis (1995) yaitu: ng organisasi dirancang un sial yang m atau jasa y bisnis menj ibisnis dala april 2012: 5 uk pengemba dengan agro pengemban rangka pem ak lanjut dik olahan dan j ngan lingkun dengan pri ra sektor pe 1993). den or penduk meningkat alui mekani ambah lapan atakan ba n siasat pem epat dan dila g untuk pem ngatakan ba rjadi di da tersebar di s ptakan stru perlukan p desaan, tem pun fasilitas n usaha. us ungan sehin ma-sama. stra prasyarat d nsep agribi ep yang u engolahan h yang berka arsyad (da ikan penger an kegiatan u keseluruhan m l, dan pemas rtanian dalam mendefinis i dan manajem tuk mendapa maksimal den ang diminta adi kunci am pembang 53-71 angopongan mbakemjasangan nsip ertangan kung tkan isme ngan hwa mbaakumbahwa alam seluktur usat mpat lain ahangga ategi dasar isnis utuh hasil, aitan alam rtian usaha mata saran m arti ikan menatkan ngan oleh bagi gunpengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 57 an. wawasan1 agribisnis adalah cara pandang terhadap pertanian sebagai lapangan usaha dan lapangan kerja untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal secara kompetitif (muta’ali, 2003). dalam meraih nilai tambah tersebut, agribisnis tidak terbatas pada budidaya saja tetapi juga usaha pada penyediaan bahan, sarana, hasil, dan jasa usaha tani, serta pascapanen, pengolahan, penanganan hasil, pemasaran, dan lain-lain. ditinjau dari sudut perilaku, wawasan agribisnis diharapkan dapat menjadi sikap dan motivasi yang sesuai dari subyek pelaku pembangunan daerah khususnya bidang pertanian dalam menanggapi era industrialisasi dan globalisasi serta tuntutan pasar. pengertian agribisnis tidak cukup hanya pada tingkat wawasan, namun juga perlu pemahaman agribisnis sebagai sistem (erickson, 1987). secara konseptual sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran yang terkait satu dengan lain. dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yaitu (a) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumber daya perkebunan, (b) subsistem budidaya atau usaha tani, (c) subsistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri, (d) subsistem pemasaran hasil perkebunan, (e) subsistem prasarana, dan (f) subsistem pembinaan (anonim, 1995). sistem agribisnis tersebut di atas merupakan suatu rangkaian aktivitas yang saling berkaitan yang keberhasilan pengembangannya akan sangat ditentukan oleh tingkat kehandalan dari setiap komponen yang menjadi subsistemnya. oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pemerintah melalui regulasi, koordinasi, stimulasi, pelayanan terhadap seluruh subsistem beserta lingkungan yang mempengaruhinya. di samping pemahaman tentang wawasan agribisnis dan agribisnis sebagai suatu sistem, sebagai sebuah “entity” agribisnis juga terkait dengan pelaku agribisnis atau struktur masyarakat, baik yang berdimensi teritorial, fungsional dan profesional, serta regional dan global. secara fungsional pelaku agribisnis atau masya 1 wawasan adalah cara pandang atau perspektif dalam memandang suatu proses kegiatan (misalnya perkebunan) rakat agribisnis dapat dikelompokkan menjadi lima golongan penting yaitu: (1) pemerintah, (2) dunia usaha (swasta), (3) masyarakat tani/pedesaan, (4) masyarakat ilmiah dan teknologi (pakar), dan (5) masyarakat profesi. masing-masing kelompok pelaku agribisnis tersebut memiliki otoritas atau kewenangan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan sistem agribisnis. hal yang sangat kritikal bagi kelancaran agribisnis adalah adanya sinkronisasi dan koordinasi dari berbagai golongan masyarakat agribisnis. oleh karena itu, diperlukan adanya kesatuan pengertian wawasan agribisnis. dari uraian di atas analisis tata ruang untuk pembangunan agropolitan men-syaratkan dua bentuk pendekatan yaitu pewilayahan kegiatan usaha dan penentuan pusat-pusat pengembangan. di samping itu perlu dukungan analisis sektor pendukung seperti sektor industri, perdagangan, dan jasa. analisis pengembangan kawasan agropolitan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan imogiri selain mendasarkan pada kriteria sebagaimana dijelaskan pada sub bab di atas juga mendasarkan pada beberapa hal, yaitu kondisi fisik dasar, tata guna dan kesesuaian lahan, komoditas unggulan, kesesuaian agribisnis, kependudukan, ekonomi, fungsi kawasan serta sarana dan prasarana. pembahasan secara rinci disajikan pada sub bab berikut ini: (1) analisis kondisi fisik dasar. analisis fisik bertujuan untuk mengetahui kemampuan fisik untuk mengakomodir kegiatan agropolitan. dalam hal ini analisis kondisi fisik ditekankan pada daerah-daerah rawan tanah longsor dan kekeringan serta banjir. kondisi tersebut diperkirakan akan sangat berpengaruh terhadap rencana pengembangan kawasan agropolitan. tanah longsor merupakan bencana yang terjadi akibat proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh grafitasi; dengan jenis gerakan bentuk rotasi fan translasi. kawasan rawan bencana longsor adalah kawasan lindung atau kawasan budidaya yang meliputi zona-zona berpotensi longsor. zona jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 58 berpotensi longsor merupakan darah dengan kondisi terrain dan geologi yang sangat peka terhadap gangguan luar, baik bersifat alami maupun aktivitas manusia sebagai faktor pemicu gerakan tanah, sehingga berpotensi longsor. daerah yang terletak di lereng-lereng terjal seperti daerah-daerah yang tersebar di kecamatan imogiri ini, dengan pengolahan tanah yang kurang bijaksana, akan menjadikan daerah yang berpotensi terjadinya tanah longsor terutama pada musim hujan. air hujan akan masuk ke pori-pori antarbutir, dan hal ini akan menaikkan berat massa tanah menjadi jauh lebih berat, sedang dilain pihak air juga akan menurunkan ikatan butir tanah sehingga massa tanah mudah bergerak/longsor. sedangkan daerah yang terletak diperbukitan secara umum adalah daerah yang dapat dikatakan sebagai kawasan rawan kekeringan. wilayah-wilayah tersebut terletak di daerah perbukitan yang memanjang dari selatan ke utara di bagian timur kabupaten bantul termasuk kecamatan imogiri. selain itu di kecamatan imogiri juga termasuk daerah yang mempunyai lahan kritis yang cukup tinggi, mencapai 150 ha atau 8,92 persen dari luas lahan kritis di kabupaten bantul. faktor utama penyebab lahan kritis tersebut karena pengelolaan tanah yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air, lahan kritis juga dapat disebabkan oleh makin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan akibat pertambahan jumlah penduduk yang tinggi. upaya rehabilitasi lahan kritis di antaranya dapat dilakukan dengan kegiatan reboisasi dan atau penghujauan. dengan demikian dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan imogiri, perlu direncanakan penataan, pengembangan, pemeliharaan dan pengendalian kawasan (kondisi fisik) untuk meminimalisasi dampak yang diakibatkan dari kekeringan, tanah longsor dan lahan kritis. (lihat gambar 2 dalam lampiran) (2) tata guna dan kesesuaian lahan. sumber daya lahan merupakan potensi ruang yang mengandung unsur-unsur lingkungan fisik, kimia dan biologis yang saling berinteraksi terhadap potensi tata guna lahan. lahan merupakan perpaduan dari berbagai unsur atau komponen bentang lahan, geologis, tanah, hidrologis, iklim, dan alokasi penggunaannya. arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan ini meliputi; penetapan sebagai kawasan lindung, pengembalian fungsi hidrologis kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan, pemantauan terhadap kegiatan yang diperbolehkan di dalam kawasan lindung untuk menjaga fungsi lindung kawasan, pengurangan kepadatan penduduk dan peningkatan pengetahuan untuk mengembangkan sumber daya alternatif, pengembangan kegiatan ekonomi terbatas untuk pengembangan sumber daya alternatif sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung dalam kaitannya dengan penyusunan pengembangan kawasan agropolitan, kondisi lahan eksisting di kecamatan imogiri dapat menggambarkan kemampuan lahannya. dalam kajian ini kemampuan lahan merupakan fungsi dari 5 komponen utama, yaitu kemiringan lereng, kedalaman dan keefektifan tanah, drainase dan erosi. secara rinci setiap unsur disajikan pada tabel 1.erdasarkan data yang tersaji pada tabel 1 dalam lampiran diketahui bahwa kondisi geologis wilayah perencanaan didominasi oleh struktur batuan kerakal, kerikil, lanau dan lempung. dari segi morfologi, wilayah perencanaan termasuk dalam satuan bentuk lahan dataran gunung merapi dengan kemiringan antara 0-7 persen. sistem hidrologi di wilayah perencanaan terpengaruh oleh keberadaan sungai opak dan sungai oyo. karena morfologinya yang dataran, maka pergerakan aliran airnya cenderung melebar membentuk meandering dan berpola radial sentripetal dengan kedalaman efektif tanah antara 60-90 cm. implikasinya jenis vegetasi atau tanaman yang dapat berkembang dengan baik di wilayah dengan karakteristik fisik tersebut adalah jenis tanaman pangan seperti padi, jagung dan kacang tanah, kemudian tanaman jambu mete, tebu dan kelapa. (3) analisis komoditas unggulan. analisis tata guna lahan dapat ditinjau dari segi penggunaan lahan pertanian eksisting berikut komoditas yang dihasilkan. berbagai macam komoditas yang diajukan atas dasar kesesuaian lahan dengan pembatasan tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat diarahkan beberapa komoditas unggulan, baik yang mempupengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 59 nyai keunggulan komparatif maupun yang mempunyai keunggulan kompetitif beberapa komoditas lain yang nampaknya prospektif untuk dikembangkan mengingat pangsa pasar dan nilai ekonomi namun menghadapi banyak kendala dalam pengembangannya maka perlu dipertimbangkan kembali. di sisi lain mungkin komoditas empon-empon (kunyit, temulawak, temu ireng, dan jahe) merupakan beberapa komoditas utama yang besar untuk dikembangkan di kawasan pengembangan agropolitan. hal ini di karenakan ada beberapa wilayah yang sudah melakukan pengembangan komoditas tersebut sampai kepengolahan. di desa wukirsari, kebonagung, dan karangtengah sudah dikembangkan pengolahan sirup temulawak, dan bahkan komoditas jahe merupakan bahan baku utama untuk minuman khas imogiri yaitu wedang uwuh yang terkenal khasiatnya, untuk kesegaran dan kehangatan tubuh. selain komoditas empon-empon tersebut, komoditas tanaman padi yang merupakan komoditas utama untuk dikembangkan di kawasan agropolitan tersebut. komoditas padi tersebar hampir di seluruh desa di kecamatan imogiri, di beberapa desa tersebut sudah dikembangkan jenis padi organik dan sudah terkenal di luas kabupaten bantul. desa kebonagung dan desa karangtengah merupakan salah satu desa yang sudah mengembangkan jenis padi organik dengan luasan cukup banyak. sedangkan untuk komoditas buah-buahan, di kecamatan imogiri secara umum merupakan ponsial untuk dapat dikembangkan. terlepas dari itu seperti tanaman mete banyak dijumpai di beberapa desa di imogiri, seperti desa wukirsari dan desa karangtengah. di kedua desa tersebut sudah dilakukan pengolahan sampai pada bentuk kering untuk diambil bijinya, selain itu buah mete juga diolah menjadi sirup, ampasnya sebagai abon maupun bahan sayur. perkebunan mete di desa wukirsari luasnya kurang lebih 50 hektar akan tetapi yang sampai saat ini masih produktif ada sekitar 30 hektar dan tersebar di beberapa dusun. di wukirsari juga terdapat tempat pengolahan meta di dusun dengkeng yang disebut ”rumah mete” yang berfungsi sebagai tempat pengolahan dan pembelajaran tentang mete secara keseluruhan. di desa karangtengah terdapat perkebunan mete ”pariwisata agro” sejak tahun 2005 kerjasama dengan royal silk milik gusti pembayun dimana merupakan perkebunan mete yang dikembangkan untuk pengembangan ulat sutra liar. selain itu kerjasama bidang kehutanan dengan komoditas mete antara pemerintah setempat dengan garuda indonesia dengan nama ”garuda indonesia forest”. sistem budidaya yang dilakukan adalah mempekerjakan masyarakat sekitar untuk mengelola perkebunan tersebut. berdasarkan analisis di atas terlihat ada tiga tipologi komoditas pengembangan di wilayah imogiri, yaitu komoditas unggulan, komoditas andalan dan komoditas potensial. berkaitan dengan rencana pengembangan kawasan agropolitan, komoditas yang memiliki peluang paling baik untuk dikembangkan adalah tanaman mete, padi dan empon-empon. untuk jenis komoditas andalan markisa dan pisang dapat juga dikembangkan di kawasan agropolitan. namun demikian komoditas tersebut saat ini baru dapat diandalkan di tingkat lokal dan belum memiliki kekuatan untuk bersaing dengan komoditas lainnya pada skala yang lebih luas. pada sektor lain, komoditas kacang tanah dan sayuran yang termasuk dalam komoditas potensial, merupakan jenis komoditas yang harus diprioritaskan pengembangannya. hal ini disebabkan karena komoditas tersebut dinilai memiliki potensi yang cukup besar dalam rangka peningkatan perekonomian lokal dan daerah. (4) analisis kesesuaian agribisnis. analisis kesesuaian agribisnis disini ditinjau dari jaringan pemasaran komoditas yang diunggulkan (potensial). secara umum komoditas unggulan tanaman mete terdapat di desa yaitu desa wukirsari dan karangtengah, untuk komoditas padi atau padi organik di desa kebonagung dan karangtengah, untuk komoditas emponempon (kunyit, temulawak, temu ireng, dan jahe) di desa wukirsari, kebonagung, dan karangtengah. pemasaran komoditas unggulan di beberapa desa tersebut yang menjadi daerah penelitian modelnya bervariasi. setidaknya ada jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 60 empat cara pemasaran masing-masing komoditas tersebut diatas. pertama, komoditas dari petani langsung dijual ke konsumen. cara ini dapat ditemui di desa-desa penghasil komoditas. bahkan beberapa petani mengaku seringkali mendapat pesanan dari tetangga maupun kolega sebelum musim panen. dapat dijumpai pula petani yang menjual sendiri komoditas yang dihasilkan di gubug-gubug di pinggir jalan. kedua, dari petani dijual ke pedagang pengecer yang ada di pasar, dan dari pengecer kepada konsumen. ketiga, komoditas dari petani dijual ke pedagang pengepul yang ada di masing-masing desa selanjutnya dari pedagang pengepul dijual ke pedagang penngecer yang ada di luar daerah, yang kemudian menjualnya ke konsumen setempat. keempat, petani menjual komoditas ke pengusaha olahan, dimana hasil olahan tersebut dijual ke supermarket atau bahkan diekspor ke luar negeri. secara ringkas pemasaran beberapa komoditas di wilayah kajian dapat disajikan dalam tabel 2. (5) analisis penerapan teknologi. sebagian besar usaha budidaya petani di kecamatan imogiri meliputi; pertanian tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman kehutanan, usaha peternakan, usaha perikanan dan penangkapan di perairan umum. usaha tani tersebut secara umum sudah melakukan penerapan teknologi yang sederhana dari mulai pembenihan, sistem budidaya sampai dengan penanganan pascapanen. tabel 3 menunjukkan penerapan teknologi pertanian di kecamatan imogiri. penerapan budidaya pertanian dan perkebunan di kecamatan imogiri untuk komoditas padi, cabe, dan tebu sudah menerapkan teknologi rata-rata lebih dari 70 persen, hal tersebut dipengaruhi karena kedua komoditas tersebut memerlukan perawatan yang intensif. di satu sisi penerapan teknologi untuk komoditas padi lebih banyak ada pengolahan tanah, sistem pengairan dan pemupukan, karena karakteristik tanaman padi yang cenderung banyak memerlukan pemupukan dan pengairan yang cukup. pengairan untuk tanaman padi lebih menerapkan pada pengairan menggunakan tabel 2. jaringan pemasaran komoditas unggulan wilayah perencanaan no komoditas petani pedagang1 pedagang 2 pedagang 3 1 mete wukirsari karangtengah wukirsari, karangtengah bantul, piyungan, pundong, dlingo, yogyakarta. jakarta surabaya sumatera, kalimantan, 2 padi karangtengah kebonagung karangtengah kebonagung bantul, yogyakarta, sleman, gunungkidul. jakarta, surabaya, semarang, 3 empon-empon wukirsari, kebonagung, karangtengah wukirsari, kebonagung, karangtengah yogyakarta, bantul, jakarta, surakarta, surabaya, sumber : hasil analisis, 2011 tabel 3. tingkat penerapan teknologi pertanian dan perkebunan kecamatan imogiri tahun 2010 no komoditas benih (%) p. tanah (%) pupuk (%) pengairan (%) p h t (%) panen (%) pasca (%) 1 padi 85 95 90 90 75 85 60 2 kedelai 60 70 20 85 75 70 35 3 jagung 55 80 20 70 70 75 40 4 kcg. tanah 60 80 20 65 70 70 40 5 cabe 75 75 80 80 80 85 80 6 kelapa 75 50 50 60 40 65 80 7 tebu 90 85 90 90 90 85 90 8 tembakau 80 80 75 80 70 85 85 sumber: bpp kecamatan imogiri tahun 2011 pengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 61 aliran irigasi dari sungai-sungai yang ada di sekitar kawasan tersebut. lain halnya dengan penerapan teknologi pada komoditas cabe selain penerapan teknologi pada sistem budidaya pemupukan, pengairan dan pengendalian hama terpadu, juga lebih banyak penerapan teknologi untuk panen dan pascapanen. petani di kecamatan imogiri untuk penerapan teknologi pada panen maupun pascapanen lebih pada proses pemetikan dan penanganan pascapanen yang harus segera dijual karena cabe lebih cepat membusuk. sedangkan untuk penerapan teknologi komoditas perkebunan tebu penerapannya lebih panan saat panen maupun pasca panen, penerapan saat panen dengan cara manual dan membutuhkan banyak tenaga kerja dan pengangkutan menuju pabrik tebu untuk dilakukan pengolahan menjadi gula. sehingga penerapan pascapanen ini yang membutuhkan teknologi mesin untuk menjadi sebuah produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi (lihat tabel 4). penerapan teknologi peternakan pada umumnya sudah lebih dari 60 persen pada masing-masing kegiatan dari mulai pembiakan sampai dengan pemasaran, akan tetapi pada sistem pemasaran untuk jenis kambing, ayam buras dan itik sudah sampai 100 persen, hal ini pemasaran yang diterapkan hanya pada sampai penjualan yang dilakukan di wilayah kecamatan imogiri. penerapan pemasaran di kecamatan imogiri sudah terdapat pasar ternak yang sudah ada cukup lama, sehingga memudahkan peternak melakukan transaksi jual beli ternak (lihat tabel 5). pada dasarnya penerapan teknologi perikanan baik pembesaran maupun pembenihan di kecamatan imogiri masih terkendala pada pakan dan pengolahan serta diversifikasinya, sedangkan untuk konstruksi kolam yang dipakai sudah jauh lebih baik. penerapan teknologi baik pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan pada berbagai sistem yang diterapkan, kedepan diharapkan agar lebih dapat dilakukan penarapan secara merata, baik sistem yang digunakan ataupun merapa secara cakupan wilayahnya. di wilayah desa imogiri diharapkan nantinya sebagai sektor pemasaran produk-produk kawasan agropolitan tersebut, karena di desa imogiri ini terdapat berbagai macam infrastruktur pendukung seperti; pasar umum, pasar hewan, terminal, ruko produk agropolitan, bank dan masih banyak infrastruktur pendukung lainnya. (6) analisis kependudukan. sumber daya manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan kawasan agropolitan di kecamatan imogiri baik sebagai obyek pembangunan maupun sebagai subyek atau pelaku pembangunan. kondisi sumber daya manusia akan menentukan corak dan pola kehidupan masyarakat, sehingga upaya pengamatan karakteristik sumberdaya manusia diperlukan untuk menghindari adanya dampak negatif dari perkembangan penduduk yang tidak terkendali dan pola penyebaran yang tidak merata. inventarisasi data sumber daya manusia diharapkan mampu memberikan informasi yang sistematis dan terstruktur tabel 4. tingkat penerapan teknologi peternakan di kecamatan imogiri tahun 2010 no komoditas pemulia biakan (%) perkan dangan (%) pakan (%) reproduksi (%) pasca (%) pemasaran (%) 1 sapi potong 80 65 70 80 80 90 2 kambing 65 70 70 80 80 100 3 ayam buras 60 70 65 70 80 100 4 itik 65 65 70 80 80 100 sumber: bpp kecamatan imogiri tahun 2011 tabel 5. tingkat penerapan teknologi perikanan di kecamatan imogiri tahun 2010 no komoditas konstruksi (%) induk (%) benih (%) padat tebar (%) pakan (%) pengolahan difersifikasi (%) pasca (%) 1 pembesaran 85 60 60 40 40 70 2 pembenihan 80 50 60 40 40 65 sumber: bpp kecamatan imogiri tahun 2011 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 62 mengenai potensi untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan. perhitungan pertumbuhan penduduk wilayah imogiri yang terjadi secara ganda dilakukan dengan mendasarkan pada data registrasi penduduk tahun 2009. dalam periode tersebut diketahui laju pertumbuhan penduduk di daerah kajian mencapai 0,1 persen dengan mengabaikan faktor in migration dan out migration. dengan kondisi demikian, diperkirakan jumlah penduduk imogiri akan mengalami peningkatan secara signifikan dari 61.667 jiwa di tahun 2009 menjadi 64.790 jiwa di tahun 2016. (7) analisis fungsi-fungsi kawasan. berdasarkan kondisi fisik dan posisinya terhadap cakupan wilayah yang lebih luas (kabupaten dan provinsi), wilayah kecamatan imogiri dibedakan atas ruang-ruang yang berfungsi sebagai kawasan lindung (lindung setempat) dan kawasan budidaya (rt rw kabupaten bantul). kawasan lindung adalah bagian wilayah yang dialokasikan untuk fungsi perlindungan terhadap daerah bawahan, daerah setempat, suaka alam dan cagar budaya serta daerah rawan bencana seperti diamanatkan dalam kepres nomor 32 tahun 1987. menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa berdasarkan fungsi kawasan dibagi menjadi 2 yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. kawasan budidaya adalah bagian wilayah yang dialokasikan untuk mewadahi fungsi pertanian umum, perdagangan, pariwisata, dan permukiman. pada konstelasi tingkat kabupaten, kotakota di wilayah kabupaten bantul dibedakan atas kota hirarki i, ii, dan iii. kota imogiri sebagai lokasi kajian penyusunan pengembangan kawasan agropolitan berada pada hirarki ii dengan jangkauan pelayanan di tingkat lokal. fungsi utamanya adalah ii merupakan ibukota kecamatan dengan skala pelayanan sub regional. berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan di kota imogiri, dapat dibedakan menjadi kawasan pertanian dan non pertanian. di kawasan pertanian fungsi utama adalah fungsi produksi, baik untuk komoditas pangan sebagai pendukung ketahanan pangan dan komoditas non pangan yang berpeluang untuk dikembangkan dalam pola agribisnis, baik buah-buahan, sayur-sayuran, ternak, ikan dan jenis-jenis lainnya. di samping fungsi produksi, di kawasan pertanian juga harus diperhatikan fungsi konservasi kesuburan lahan dan menekan terjadinya perubahan fungsi meliputi fungsi permukiman. pada kawasan non pertanian, fungsi yang ada sebagai kawasan permukiman dan kawasan lindung serta fungsi fasilitas umum. fungsi sebagai kawasan lindung dalam arti luas lebih dominan dan merupakan prioritas utama, agar fungsi pendukung aktivitas di kawasan pertanian tetap dipertahankan. untuk mendukung usaha tani, faktor ketersediaan air adalah mutlak sehingga di samping pengembangan dan peningkatan produksi pertanian di kawasan pengembangan agropolitan, juga perlu diperhatikan aspek konservasi sumber daya alam khususnya air dan lahan agar tidak terjadi kemiskinan lahan yang berkelanjutan. selain analisis komoditas potensial yang dapat dikembangkan di kecamatan imogiri, analisis perkembangan usaha mikro kecil dan menengah merupakan fungsi-fungsi kawasan dilakukan untuk mendapatkan gambaran sejauh mana umkm tersebut dapat mendukung perkebangan tumbuhnya kawasan agrotabel 6. jumlah dan pertumbuhan penduduk serta kepadatan agraris ` luas lahan pertanian (ha) pertumbuhan penduduk (%) kepadatan agraris 2009 2016 selopamioro 13074,5 0,81 1,08 15,818 14,722 sriharjo 631,95 0,56 15,68 9,912 10,238 kebonagung 187,11 0,45 18,09 3,385 3,475 karangtengah 287,77 0,89 17,99 5,177 5,447 girirejo 413,49 0,71 11,35 4,693 4,889 karangtalun 120,5 0,80 24,65 2,852 3,110 imogiri 83,56 1,59 47,88 4,000 4,365 wukirsari 1538,45 0,87 10,22 15,730 16,528 sumber : bps dan hasil analisis, 2011 pengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 63 politan di kawasan tersebut. perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di kecamatan imogiri sudah berkembang di beberapa desa, ada beberapa usaha kecil dan menengah pengolahan kripik dan rempeyek, sirup markisa, abon mete sudah berkembang di desa karangtengah dengan bahan baku dari wilayah tersebut. pengembangan pembuatan sirup markisa bekerjasama antara pihak akademisi, pemerintah daerah kabupaten bantul dan kelompok tani setempat. usaha mikro, kecil, dan menengah pembuatan tempe dengan berbahan baku kedelai terdapat di desa karangtalun dengan sistem jaringan pemasaran sampai keluar wilayah imogiri. selain dikenal sebagai sentra produksi berbasis bahan baku pertanian tersebut, di kecamatan imogiri juga berkembang usahausaha pengolahan industri dan kerajinan kerajinan batik, kerajinan tatah sungging, kerajinan wayang, serta kerajinan keris. sentral pengembangan batik tulis dengan pewarna alami dari tanaman indigovera terdapat di desa wukirsari, desa karangtengah dan desa girirejo yang sudah terkenal di wilayah luar imogiri. fungsi pengembangan kawasan pariwisata sebagai pendukung pengembangan kawasan agropolitan di imogiri tersebar di beberapa desa. pengembangan wisata di kecamatan imogiri terbagi atas kawasan wisata religi, kawasan wisata alam dan kawasan wisata agro. kawasan wisata religi terdapat di desa wukirsari dan girirejo, antara lain makam seniman, makam kesultanan raja-raja mataram, pasareyan agung giriloyo dan makan pangeran pekik di desa girirejo. wisata alam yang sedang berkembang yakni jembatan gantung dimana letaknya berada di perbatasan desa sriharjo dan desa selopamioro, wisata alam bernuansa air berada di sepanjang kali opak desa wukirsari, wisata air bendung tegal yang terletak di desa kebonagung dengan berbagai macam atraksi yang menarik, wisata alam gua cerme yang terletak di desa selopamioro perbatasan dengan kabupaten gunungkidul. kawasan wisata agro antara lain di desa karangtengah dengan komoditas perkebunan mete dan kawasan wisata agro di desa kebonagung dengan keunikan dan pengetahuan tentang budidaya pertanian di perdesaan, di kawasan agro kebonagung tersebut para pengunjung dapat belajar budidaya pertanian dari proses pembajakan sawah, penanaman sampai dengan pemanenan. uniknya para pengunjung dapat langsung terjun di lokasi tersebut. (8) analisis ekonomi. untuk memberikan penilaian viabilitas ekonomi berbagai komoditas yang dianggap signifikan untuk dikembangkan di kawasan agropolitan berikut dibuat suatu analisis yang merangking perkiraan prospek pengembangan komoditas-komoditas tersebut. kriteria yang ditimbang meliputi tradisi produksi setiap komoditas, keterkaitan sistemik komoditas dalam spektrum produksi yang lebih luas, keterkaitan antarwilayah yang diciptakan, skala produksi di tingkat produsen atau petani serta kemampuan relatif komoditas untuk menyerap tenaga kerja. selanjutnya turut diperhitungkan juga sifat-sifat komoditas seperti durabilitas komoditas, ketersediaan pasar sebagai penyerap komoditas, sifat-sifat pasar yang ada dan kompetitor keunikan komoditas. dimensi lain yang juga sangat penting dan perlu dipertimbangkan dalam memilih komoditas budidaya di kawasan agropolitan adalah kemampuan komoditas dalam mendukung cash flow harian petani serta ada tidaknya ketergantungan terhadap input produksi langka yang hanya tersedia di daerah lain. selain itu mengingat kerapatan dan tingginya ragam jenis-jenis komoditas yang dapat diusahakan di kawasan ini perlu juga dipertimbangkan aspek penggunaan tanah, air dan kesesuaian agroekologis. penilaian terhadap sifat-sifat komoditas dilakukan dengan pemberian bobot secara relatif dan nominal (baik diberi tanda ’+’, sedangkan tidak baik diberi tanda ’-’ ). secara rinci penjelasan setiap kriteria diberikan sebagai berikut: (a) tradisi produksi. keberhasilan budidaya pertanian salah satunya ditentukan oleh kemampuan para petani sebagai pelaku usaha tani menjalankan kegiatannya. tradisi produksi yang sudah panjang mencerminkan stabilitas sistem produksi yang sudah teruji oleh fluktuasi musim dan ketidakpastian yang lain. komoditas-komoditas yang sudah lama dikenal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 64 dan dibudidayakan oleh petani dianggap bernilai tinggi dari tradisi produksinya. (b) keterkaitan produksi. ketekaitan produksi dipandang penting sebagai salah satu kriteria untuk penentuan unggul tidaknya suatu komoditas dikembangkan di kawasan agropolitan. komoditas yang dalam proses budidayanya memiliki keterkaitan secara sistemik dengan sektor ekonomi lain ke depan maupun ke belakang dinilai positif, sedangkan komoditas yang memiliki keterkaitan secara sistemik dengan sektor ekonomi lain secara lemah akan diberi nilai negatif. (c) keterkaitan regional. melalui kegiatan perdagangan terjadi pertukaran dan distribusi berbagai komoditas pertanian antardaerah. daerah-daerah dengan nilai dan skala produksi yang cukup besar akan mampu memainkan peranannya sebagai eksportir atau pemasok berbagai kebutuhan komoditas tersebut di daerah lain. dengan demikian semakin jauh jangkauan keterkaitan pemasaran dengan daerah lain akan memberikan nilai lebih pada keterkaitan regional yang positif. (d) skala produksi. kelangsungan hidup pengembangan komoditas pertanian yang berorientasi komersial sangat ditentukan oleh skala produksi yang diterapkan oleh para petani. skala produksi yang cukup besar akan diberi nilai positif, karena dengan skala produksi yang besar petani akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan usaha lain yang sejenis yang berlokasi di tempat yang sama. skala usaha yang besar akan memberikan peluang pengembangan usaha terutama yang padat modal dan investasi. (e) serapan tenaga kerja. salah satu aspek penting yang memperoleh penekanan dalam pengembangan kawasan agropolitan adalah penyerapan tenaga kerja. semakin tinggi kemampuan komoditas dalam memberikan kesempatan kerja dalam proses budidaya dan pengolahannya perlu dinilai positif, sehingga komoditas-komoditas yang bernilai tinggi adalah komoditas-komoditas yang mampu memberikan kesempatan kerja dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu. (e) durabilitas komoditas. posisi tawar-menawar petani terhadap pedagang maupun konsumen seringkali sangat terbatas, karena sifat-sifat komoditas pertanian itu sendiri yang cepat rusak oleh waktu dan tidak tahan lama untuk disimpan dalam rangka memperoleh harga jual yang lebih tinggi di luar musim panen. oleh karena itu untuk mendudukkan posisi tawarmenawar produsen yang lebih baik akan dapat lebih mudah dicapai jika komoditas yang diproduksi adalah komoditas yang tahan lama atau dapat dibuat tahan lama dengan cara-cara yang sederhana dan dapat dilakukan sendiri oleh petani tanpa tambahan biaya. (f) ketersediaan pasar lokal. pasar dalam pengertian ini adalah daya beli masyarakat di sekitar pusat produksi secara keseluruhan yang dapat tercermin dari besar kecilnya jumlah penduduk kota terdekat dan atau daya beli masyarakatnya terhadap komoditas pertanian tertentu. dalam hubungan ini kawasan agropolitan imogiri memiliki keunggulan kompetitif, karena lokasinya yang relatif dekat dengan kota bantul dan yogyakarta, sehingga pemasaran ke kota ini akan mencerminkan seberapa mudah pasar regional dapat dijangkau. nilai positif diberikan pada komoditas yang memiliki akses ke pasar dengan mudah. (8) sifat pasar. sifat-sifat pasar berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di kawasan agropolitan dinilai keragamannya sifatnya monopsonis atau monopolistis. komoditas yang harus memasuki pasar yang monopsonis akan diberikan penilaian negatif, karena produsen yang banyak hanya tergantung pembeli yang dalam jumlah yang sedikit akan cenderung merugikan produsen; sedangkan komoditas yang harus memasuki pasar yang monopolistis cenderung dinilai positif karena produsen dapat berperan lebih banyak dalam menentukan harga. (g) kompetitor keunikan. suatu komoditas yang unik dan tidak dijumpai di tempat lain akan memiliki nilai positif karena produsen akan mampu mempengaruhi pasar, sehingga produsen akan memperoleh banyak keuntungan dari harga yang dapat terpelihara tinggi. sebaliknya untuk komoditas yang sudah tersedia dimana-mana atau sudah ada barangbarang substitusinya perlu diberikan nilai negatif. (h) cash flow harian. suatu komoditas diusahakan oleh petani di antaranya untuk sumber pengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 65 pendapatan harian, sehingga cash flow yang akan diberikan secara harian dalam konteks petani kecil seringkali sangat menentukan keberhasilan pengembangan komoditas tersebut. makin sering suatu komoditas yang dibudidayakan mampu menghasilkan cash flow akan sangat positif bagi petani pelaku usaha itu. dalam komunitas petani kecil kestabilan pasokan cash merupakan satu hal terpenting untuk bertahan hidup, daripada memperoleh cash dalam jumlah yang lebih besar tetapi hanya satu atau dua tahun sekali. logika petani semacam ini dinilai positif. (i) kebutuhan air. kawasan agropolitan imogiri secara obyektif merupakan ruang produksi yang menjadi pusat perhatian banyak pelaku usaha, karena keunggulan komparatif sumber daya alam dan lingkungannya. semakin banyak interest yang memanfaatkan sumber daya alam dalam proses produksi primer, akan berarti ada kompetisi dalam penggunaan air untuk budidaya pertanian, non pertanian maupun kebutuhan domestik. dengan demikian yang diberi nilai positif adalah tanamantanaman atau hewan yang menggunakan sedikit air dalam proses budidayanya. (j) kebutuhan lahan. selain telah mengalami berbagai konflik pemanfaatan air untuk berbagai kebutuhan produksi ataupun domestik, konflik penggunaan lahan antarjenis komoditas pertanian juga sudah terjadi. demikian juga konflik penggunaan lahan antara kepentingan produksi primer dengan perumahan maupun pariwisata juga ditengarai akan semakin menguat. pilihan komoditas hendaknya diarahkan pada hewan atau tanaman yang hemat ruang, sehingga dengan ruang yang sama akan diperoleh nilai produksi yang lebih tinggi. oleh karena itu komoditas dengan kebutuhan lahan yang kecil akan dinilai positif. (k) keunggulan agroekologi. keunggulan agroekologi perlu diperhatikan dalam konteks hubungannya dengan adanya kecenderungan untuk menempatkan berbagai jenis komoditas yang berhasil di tempat lain untuk dicoba di kawasan ini. kawasan agropolitan imogiri memiliki keunggulan agroekologi bagi beberapa jenis komoditas tertentu sebagaimana tercermin dari analisis kesesuaian lahannya. komoditas dengan kesesuaian lahan yang tinggi akan dinilai positif dan dianggap sesuai dengan kondisi agroekologi kawasan ini. (l) ketergantungan input langka dan esensial dari luar. input esensial yang dimaksud dalam analisis ini adalah semua materi yang diperlukan dan harus ada dalam proses produksi. jenis-jenis komoditas yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap material input dari tempat lain akan diberi nilai negatif, karena berarti proses produksinya tidak aman. dengan demikian sewaktu-waktu dapat terjadi kemacetan dalam produksi, sehingga sistem produksinya sangat tidak stabil. terlebih jika input langka tersebut harus berebut dengan penggunaan di tempat lain untuk kebutuhan yang lebih produktif. oleh karena itu komoditaskomoditas yang memiliki ketergantungan dengan wilayah lain yang terlalu tinggi akan diberikan nilai negatif. hasil skoring sistem dengan kriteria seperti di atas menghasilkan skor antarkomoditas yang sangat beragam. posisi relatif unggul tidaknya suatu komoditas terhadap komoditas yang lain dapat diamati dengan membandingkan jumlah akhir dari skor setiap kriteria yang digunakan. tabel 6 dalam lampiran menyajikan secara lengkap skor total semua kriteria dan rincian skor yang dipakai dalam analisis. dari data hasil skoring dapat dilihat bahwa komoditas padi mempunyai nilai tertinggi dan sangat layak untuk dikembangkan dan menjadi komoditas unggulan di kecamatan imogiri. sedangkan mete dan markisa, serta empon merupakan komoditas unggulan berikutnya yang layak di kembangkan di kawasan ini. analisis swot berdasarkan hasil analisis yang diperoleh baik secara kualitatif dan kuantitatif, dapat diidentifikasikan beberapa kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pengembangan kawasan agropolitan imogiri yang masing-masing akan dibahas pada sub bab berikut ini: (1) kekuatan. beberapa kekuatan yang dimiliki di wilayah perencanaan adalah: (a) wilayah kecamatan imogiri dilalui sungaisungai besar seperti sungai opak dan oyo yang mengalirkan material deposit letusan gunung merapi yang menyebabkan kondisi tanah sebagian wilayah tersebut cukup subur; jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 66 (b) memiliki jumlah dan kepadatan penduduk yang cukup untuk menunjang pengembangan kegiatan agropolitan, yaitu mencapai 61.667 jiwa dengan rata-rata kepadatan 1.950 jiwa/ km2; (c) sektor pertanian khususnya perkebunan dan perikanan adalah sektor andalan yang masih merupakan penyumbang terbesar pdrb kecamatan mencapai 23,33 persen; (d) kondisi sarana prasarana jaringan jalan beraspal yang cukup memadai. jarak menuju pusat kegiatan rata-rata kurang dari 10 km yang dalam keadaan normal dapat ditempuh kurang dari 30 menit; (e) ketersediaan sarana infrastruktur yang cukup memadai, seperti 1) jaringan listrik yang telah dimanfaatkan oleh sekitar 86,2 persen penduduk imogiri yang berfungsi sebagai pemasok energi bagi kegiatan produksi di kawasan agropolitan; 2) jaringan hp, telepon dan internet yang dapat berfungsi untuk memperlancar produksi maupun kegiatan pemasaran produk-produk agribisnis dari kawasan agropolitan; 3) bangunan irigasi yang masih berfungsi dengan baik; (f) memiliki sarana pendukung pengembangan kawasan agropolitan lainnya seperti pasar umum maupun pasar sapi dan kios pemasaran hasil olahan pertanian; (g) kawasan imogiri memiliki keunggulan agroekologi bagi beberapa jenis komoditas tertentu sebagaimana tercermin dari analisis kesesuaian lahannya; (h) mempunyai odtw (obyek dan daya tarik wisata) alam pegunungan, wisata air, wisata agro, wisata religi, makam raja-raja, batik, tatah sungging, dan keris yang sudah dikenal luas. (2) kelemahan. beberapa kelemahan yang dijumpai di wilayah perencanaan adalah: (a) pola produksi beberapa jenis komoditas masih mengikuti tradisi lama dan dengan skala kecil sehingga proses produksinya relatif tidak efiasien dan efektif dan dikhawatirkan akan mengurangi keunggulan kompetitifnya; (b) mulai dari perubahan guna lahan khususnya beralih untuk perumahan/permukiman dan usaha pertokoan sehingga terjadi penyempitan lahan pertanian; (c) beberapa komoditas seperti padi, emponempon, dan jambu mete dalam proses budidayanya kurang memiliki keterkaitan secara sistemik dengan sektor ekonomi lainnya; (d) kelangsungan hidup pengembangan beberapa jenis komoditas pertanian yang berorientasi komersial relatif sempit karena skala produksinya kecil; (e) posisi tawar petani seringkali sangat terbatas karena sifat-sifat komoditas yang cepat rusak oleh waktu dan tidak tahan lama untuk disimpan dalam rangka memperoleh harga jual yang lebih tinggi di luar musim panen. (f) tingkat produktifitas petani yang cenderung subsistem dan sulit untuk meningkatkan produktivitasnya akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan agroindustri yang membutuhkan dukungan sediaan produk pertanian dalam jumlah besar dan konstan; (g) meskipun ruas-ruas jalan yang ada di kawasan agropolitan telah mampu menghubungkan antardesa-desa di kawasan agropolitan maupun ke pusat kawasan agropolitan di imogiri, akan tetapi kondisinya masih banyak yang rusak terutama pada jalan poros desa dan jalan antar desa; (h) fasilitas ekonomi seperti pasar setempat, pasar kaget, dan pasar induk harian belum memadai dan mencukupi untuk kebutuhan pemasaran hasil panen; (3) peluang. beberapa peluang yang dimiliki wilayah perencanaan adalah: (a) tradisi produksi yang berkembang di kawasan agropolitan imogiri merupakan tradisi produksi yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan petani yang sudah teruji oleh fluktuasi musim dan ketidakpastian yang lain; (b) komoditas empon-empon merupakan beberapa produk agribisnis di kawasan agropolitan yang tidak memiliki ketergantungan input, sehingga dalam proses produksinya relatif aman. dalam hal ini apabila sewaktu-waktu terjadi kemacetan dalam produksi maka sistem produksinya akan tetap stabil; (c) memungkinkan terjadinya kegiatan perdagangan, pertukaran, dan distribusi berbagai komoditas pertanian antardaerah karena sistem jaringan yang sangat memadai; (d) komoditas yang ada dan berkembang di kecamatan imogiri dalam proses budidaya dan pengolahannya mampu memberikan serapan tenaga kerja; pengembangan kawasan agropolitan (agus tri basuki) 67 (e) jenis vegetasi atau tanaman yang dapat berkembang dengan baik di wilayah dengan karakteristik fisik: morfologi dataran, pergerakan aliran airnya cenderung melebar membentuk meandering dan berpola radial sentripetal dengan kedalaman efektif tanah antara 60-90 cm seperti padi, jagung, ubi jalar, tanaman tebu, jambu mete, dan sayuran jenis cabe, dan lainlain; (f) adanya pendukung kelembagaan seperti kud serta beberapa lembaga keuangan lain termasuk micro finance; (g) adanya peluang pasar karena pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut maupun akses di luar kawasan. (h) memiliki jaringan pemasaran luas tidak hanya di tingkat lokal ataupun regional, tetapi juga nasional. (4) ancaman. berdasarkan pengembangan kawasan agropolitan ini, terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati dan menjadi tantangan untuk pengembangan kawasan agropolitan berikutnya, yaitu: (a) berkembangnya proses percaloan/ijon telah mengakibatkan produk pertanian dikuasai oleh pengijon dan dijual langsung ke pasar yang lebih luas tanpa melalui pusat kawasan agropolitan. bila praktek ini terus terjadi, proses pengembangan kawasan agropolitan sebagai satu kesatuan kawasan antara pusat agropolitan dan pusat produksi akan sulit diwujudkan dan nilai tambah yang diharapkan tidak akan terjadi di kawasan; (b) umumnya komoditas yang berkembang di kawasan agropolitan imogiri kurang memiliki kompetitor keunikan, sehingga produsen kurang dapat memperoleh banyak keuntungan dari pasar; (c) komoditas yang dibudidayakan kurang mampu menghasilkan cash flow. dalam hal ini, khususnya petani kecil ketersediaan pasokan cash relatif kecil; (d) jenis komoditas yang berkembang di kawasan agropolitan imogiri tidak semuanya merupakan jenis tanaman atau hewan yang menggunakan sedikit air dalam proses produksinya; (e) keberadaaan konflik penggunaan lahan antara kepentingan produksi primer dengan perumahan dan pariwisata. (f) dibutuhkan penjadwalan waktu dan kelembagaan yang terintegrasi. baik jadwal pemrograman, penyiapan masyarakat, implementasi fisik lapangan, dan kelembagaan wewenang dan penanggung jawab mulai dari institusi pusat sampai dengan desa serta mencakup stakeholder yang terkait baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat; rencana pengembangan komoditas unggulan mengingat kecamatan imogiri akan menjadi pusat pengembangan kawasan agropolitan maka perlu disusun suatu perencanaan yang matang dalam pengembangan komoditas unggulan agar tidak terjadi masalah-masalah baru setelah proses produksi berhasil dilaksanakan, mengingat sifat produk primer pertanian bersifat mudah rusak, sehingga cenderung dikonsumsi segar. perencanaan merupakan bagian yang sangat vital dari suatu konsep manajemen, begitu juga dalam konsep manajemen pertanian yang mendukung pengembangan agropolitan di kecamatan imogiri. rencana pengembangan komoditas unggulan terpilih dapat didasarkan pada dua hal penting, yaitu permintaan pasar dan ketersediaan/kecukupan lahan sehingga sangat dimungkinkan pengembangan komoditas unggulan dengan wilayah produksi di luar kawasan pengembangan agropolitan. bawang merah dan cabe merah sebagai komoditas unggulan di kecamatan imogiri memerlukan kestabilan jumlah produksi mengingat masih seringnya petani mengganti jenis komoditas yang ditanam. hal ini dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi jumlah produksi yang dapat menyebabkan harga yang cenderung tidak stabil. hal lain yang sulit untuk dilakukan adalah sikap tidak menjamin kualitas hasil pada para petani individu yang dapat merusak pasar. sebagai contoh pada saat permintaan komoditas bawang merah meningkat tajam dan harganya pun sedang tinggi, sementara musim panen belum tiba maka petani cenderung mengabaikan proses sortasi sehingga dapat menurunkan kualitas bawang merah tersebut. hal ini akan merugikan produsen (petani) sendiri karena image masyarakat terhadap bawang merah yang semula sangat baik menjadi berubah ke jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 53-71 68 arah negatif akibat petani hanya mengejar memenuhi kuota jumlah barang. pengembangan komoditas unggulan ke depan harus memperhatikan anasir agroklimatologis yang membatasi (limiting factors) agar dapat dirumuskan dengan baik cara mengatasinya dan besaran potensi untuk dikembangkannya komoditas tersebut. penetapan zonasi komoditas yang baik diikuti sosialisasi rencana program yang mantap dan disertai kemudahan bagi petani untuk mendapatkan input berupa sarana produksi baik modal kerja, bibit unggul berkualitas, bimbingan teknis yang memadai. dalam rencana pengembangan komoditas unggulan sebaiknya tidak hanya terfokus pada produk akhir tanaman yang diperdagangkan tetapi dapat juga dikembangkan usaha perbenihan, sehingga hasrat untuk mengembangkan komoditas secara individu dapat difasilitasi. usaha budidaya mete di kecamatan imogiri yang sudah sampai kepada pengolahan industri kecil dengan variasi produknya sudah cukup dapat dikembangkan, namum terlepas dari adanya pengolahan tersebut perlu dikembangkan strategi pegolahan yang berkelanjutan agar dapat saling mendukung dengan pengembangan kawasan yang lain. pengembangan komoditas padi di kecamatan imogiri dengan stategi pengembangan padi organik merupakan salah satu keunggulan yang menjanjikan. perkembangan padi organik ke depan diarahkan pada sistem perbenihan ini telah dirintis oleh beberapa kelompok tani di kecamatan imogiri dan sekitarnya. ke depan usaha ini perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah, sehingga kawasan agropolitan imogiri nantinya tidak hanya dikenal sebagai sentra produksi beras organik tapi juga menjadi sentra benih (seed center) khususnya komoditas padi organik. simpulan rencana pengembangan komoditas unggulan terpilih dapat didasarkan pada dua hal penting, yaitu permintaan pasar dan ketersediaan/ kecukupan lahan sehingga sangat dimungkinkan pengembangan komoditas unggulan dengan wilayah produksi di luar kawasan pengembangan agropolitan. bawang merah dan cabe merah sebagai komoditas unggulan di kecamatan imogiri memerlukan kestabilan jumlah produksi mengingat masih seringnya petani mengganti jenis komoditas yang ditanam. hal ini dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi jumlah produksi yang dapat menyebabkan harga yang cenderung tidak stabil. pengembangan komoditas unggulan ke depan harus memperhatikan anasir agroklimatologis yang membatasi (limiting factors) agar dapat dirumuskan dengan baik cara mengatasinya dan besaran potensi untuk dikembangkannya komoditas tersebut. penetapan zonasi komoditas yang baik diikuti sosialisasi rencana program yang mantap dan disertai kemudahan bagi petani untuk mendapatkan input berupa sarana produksi baik modal kerja, bibit unggul berkualitas, bimbingan teknis yang memadai. daftar pustaka aronoft, s. 1989. geographic informations system: a management perspective. otawa, canada: wdl publications. arsyatd lingcolin. 1999. pengantar perencanaan dan pengembangan ekonomi daerah. yogyakarta: bpfe. bendavid, avrom. 1991. regional and economy analysis for practitioner. new york: praeger publisher, one madison avenue. blakely, edward j. 1994. planning local economic development theory and practice, 2th edition. california: sage publication inc. borrough, pa. 1988. principle of geograptical information system for land reserves assessment. new york: oxford university press. jhingan. m.l. 1993. ekonomi pembangunan dan perencanaan. jakarta: pt raja grafindo persada. prayitno. 2000. pengantar sistem informasi geografi. yogyakarta: fakultas geografi universitas gadjah mada. tarigan robinson. 2005. perencanaan pembangunan wilayah, edisi revisi. jakarta: bumu aksara. pengem de selopam sriharjo kebona karang girirejo karang imogiri wukirs sumber: mbangan ka gamba esa klim mioro basa o basa agung basa gtengah basa o basa gtalun basa i basa sari basa hasil analisis, 2 wasan agrop ar 2. menunju tabel matologis ah (b) ke lan ah (b) ka pa lem ah (b) en lan ah (b) en lan ah (b) ke lan ah (b) ke lan ah (b) ke lan ah (b) ke lan 2011 politan (agu ukkan peta k l 1. kondisi f geologis erakal, kerikil, nau, pasir arakal, kerikil, sir, lanau, mpung ndapan pasir, nau, lempung ndapan pasir, nau, lempung erakal, kerikil, nau, pasir erakal, kerikil, nau, pasir erakal, kerikil, nau, pasir erakal, kerikil, nau, pasir us tri basuki) lampira kawasan raw fisik dasar w geomor dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % dataran kaki merapi, kem 7 % ) an wan bencana wilayah pere rfologi h i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se i gunung miringan 0r se a di kecamat encanaan hidrologi adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke adial entripetal a ta ke tan imogiri tanah aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti aluvial, regosol, anah sedang-sed edalaman efekti 69 h tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm tekstur dang, if >90 cm 7 70 n 2 3 4 5 8 1 1 1 1 1 1 sumbe ga gam ju tabel no. 1 tradisi 2 keterk 3 keterk 4 skala p 5 serapa 6 durabi 7 keterse 8 sifat pa 9 kompe 10 cash flo 11 kebutu 12 kebutu 13 keung 14 keterg 15 skor to er : hasil analis ambar 3. peta mbar 4.. peta p rnal ekonom l 6. kriteria se kriteria ek i produksi kaitan produks kaitan regional produksi an tenaga kerja ilitas komodita ediaan pasar asar etitor keunikan ow harian uhan air uhan tanah gulan agroeko gantungan inpu otal sis 2011 a pengemban pengembang mi dan studi eleksi komodi konomi si a as n ologi ut ngan kawas gan kawasan pembangun itas unggulan padi + + + + + + + + + + + + 13 san strategis n strategis a nan volume 1 n di kecamata mete em + + + + + + + + + + + 11 agropolitan agropolitan ( 13, nomor 1, n imogiri mpon2 m + + + + + + + + + + 10 n (ksa) wuk ksa) karan april 2012: 5 markisa + + + + + + + + + + + 11 kirsari gtengah 53-71 pengem mbangan ka gambar 5 gamba wasan agrop 5. peta penge ar 6. peta pen politan (agu embangan ka ngembangan us tri basuki) awasan strat n kawasan st ) tegis agropo trategis agro olitan (ksa) opolitan (ks kebonagun a) imogiri 71 g microsoft word 02-asri jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm.109-117   investasi asing langsung di indonesia dan faktor faktor yang mempengaruhinya asri febriana1, masyhudi muqorobbin2 1pusat pengembangan ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656. e-mail korespondensi: masmuqorobin@umy.ac.id naskah diterima: april 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: foreign investment in indonesia is affected by many factors. the main objective of this research is to get to know how effect relationship of the economic growth, exchange rate, and export to foreign direct investment (fdi) in indonesia during the period 1984 to 2013. the data was collected from central agency on statistics, bank indonesia, some publishing, and other agencies. to prove the research hypothesis, the writer used econometric model with error correction model (ecm). the calculation result shows that the variable of economic growth in short and long periods affect positively and significant toward the foreign direct investment (fdi). the exchange rate of rupiah to us dolar affect positively and significant in the short period, while in the long period, the exchange rate affect negatively and insignificant toward foreign direct investment (fdi). in addition, the export variable affects positively and significant in the short period, and it affects negatively and insignificant toward foreign direct investment (fdi) in the long period. keywords: foreign direct investment; gross national product; exchange rate; export; error correction model jel classification: h54, o16, e22 abstrak: investasi asing langsung di indonesia dipengaruhi berbagai faktor. tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh hubungan pertumbuhan ekonomi, kurs, dan ekspor terhadap investasi asing langsung (fdi) di indonesia periode tahun 1984 sampai 2013. data diperoleh dari badan pusat statistik, bank indonesiadan beberapa penerbitan dan instansi lainnya. model ekonometrika yang digunakan adalahmodel error correction model (ecm). hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi asing langsung (fdi), nilai tukar rupiah terhadap dollar as (kurs) dalam jangka pendek berpengaruh positif dan signifikan, dalam jangka panjang kurs berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap investasi asing langsung (fdi), dan variabel ekspor dalam jangka pendek berpengaruh positif dan signifikan, dalam jangka panjang ekspor berpengaruh negatif dan signifikan terhadap investasi asing langsung (fdi). kata kunci: foreign direct investment; gross national product; kurs; ekspor; error correction model klasifikasi jel: h54, o16, e22 pendahuluan penanaman modal untuk pembangunan ekonomi suatu negara bukan hal yang baru bagi negara-negara terbelakang. tahap awal sebuah pembangunan pada negara-negara maju banyak tergantung pada modal asing. ciri negara terbelakang adalah dengan adanya kekurangan modal. tidak hanya persediaan modal yang rendah tetapi juga laju pembentukan modal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 109-117 110 uang sangat rendah. pemasukan modal asing sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi suatu negara (jhingan, 1988). modal asing juga membantu dalam industrialisasi, dalam membangun modal overhead ekonomi dan dalam menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas. modal asing tidak hanya membawa uang dan mesin tetapi juga keterampilan teknik. selanjutnya, modal asing mendorong pengusaha setempat untuk bekerjasama dengan perusahaan asing. modal asing membantu memodernisasi masyarakat dan memperkuat sektor negara maupun sektor swasta. sehingga penggunaan modal asing sangat penting untuk mempercepat pembangunan ekonomi di negara-negara terbelakang. selain itu, penanaman modal asing juga dibutuhkan oleh negara-negara berkembang untuk juga mempercepat pembangunan ekonomi negaranya. masalah yang banyak dihadapi negaranegara berkembang adalah kebutuhan dana investasi yang cukup besar, sementara kemampuan untuk menyediakan sumber-sumber dari dalam negeri relatif kecil. dengan kata lain negara-negara berkembang termasuk indonesia pada umumnya kekurangan tabungan untuk membiayai investasi. rendahnya tabungan dapat dianggap sebagai masalah yang serius, karena besarnya investasi dalam perekonomian dipengaruhi oleh tingkat tabungan yang berhasil dihimpun. oleh karena itu, guna membiayai investasi yang dianggap perlu untuk mencapai tahap momentum dalam pembangunan, tabungan dalam negeri masih harus dilengkapi dengan pemasukan modal dari luar negeri (capital inflow) tanpa harus mengurangi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan tabungan dalam negeri (prawoto, 2003). perkembangan investasi asing langsung di indonesia pada dasarnya dilatarbelakangi karena adanya permasalahan yang berkaitan dengan infrastruktur yang buruk, birokrasi yang tidak efisien, keterbatasan akses dana, regulasi tenaga kerja tidak kondusif, kebijakan yang tidak stabil, regulasi perpajakan tidak kondusif, kurang tenaga kerja tidak terdidik, inflasi, korupsi, regulasi uang asing, pemerintahan yang tidak stabil, pajak terlalu besar, etos kerja tenaga kerja buruk, kriminal, dan pencurian. krisis yang terjadi di pertengahan tahun 1997 sampai 1999 menyebabkan perekonomian indonesia menjadi bermasalah, dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan menyebabkan investasi asing juga menurun. untuk menutupi kekurangan modal, pemerintah membutuhkan dana dari luar berupa investasi asing langsung (fdi). investasi asing sendiri merupakan bentuk investasi jangka panjang. pendapatan yang rendah di negaranegara berkembang mengakibatkan kekurangan modal untuk pembiayaan bangunan, sehingga pemerintah mempunyai upaya dan memilih menggunakan fdi yang bertujuan untuk menambah dana pembiayaan pembangunan nasional. tabel 1 menunjukkan pdb rata-rata mengalami kenaikan pertahunnya. kenaikan tertingtabel 1. perkembangan investasi asing langsung di indonesia periode 2000 2013 tahun fdi pertumbuhan ekonomi ekspor kurs 2000 1.5420 398.017 9.595 62.124 2001 9.027,5 411.754 10.400 56.320,9 2002 9.789,1 443.684 8.940 57.158,8 2003 13.207,2 464.894 8.465 61.058,2 2004 10.279,8 488.282 9.290 71.584,6 2005 13.579,2 516.078 9.900 85.660 2006 15.624 544.467 9.020 100.798,6 2007 10.341,4 579.014 9.419 114.100,9 2008 14.871,4 613.834 10.950 137.020,4 2009 10.815,2 642.247 9.400 116.510 2010 16.214,8 682.220 8.991 157.779,1 2011 19.474,5 726.466 9.068 203.496,6 2012 24.564,7 771.970 9.670 190.020,3 2013 28.617,5 816.599 12.189 182.551,8 sumber: badan pusat statistik berbagai terbitan investasi asing langsung di indonesia (asri febriana, masyhudi muqorobbin) 111 gi di tahun 2013 sebesar 816.599. variabel kurs terjadi kenaikan dari tahun ke tahun yang dimulai dari tahun 1986 sebesar 1.655 dan mencapai puncak tertinggi kurs tahun 2013 sebesar 12.189. pada grafik ekspor juga terjadi kenaikan dari tahun ke tahun dengan kenaikan tertinggi di tahun 2011 sebesar 20.3496,6. studi sarwedi (2002) menjelaskan mengenai investasi asing langsung di indonesia dan faktor yang mempengaruhinya. studi ini dilakukan dengan menggunakan model dinamis (error correction model = ecm) yang didukung dengan uji akar unit dan uji kausalitas granger (granger causality test). hasil studi ini menunjukkan variabel makro ekonomi (gdp, growth, ekspor dan upah kerja) memiliki hubungan positif terhadap fdi di indonesia, sedangkan variabel stabilitas politik (sp) memiliki hubungan negatif. indah dan purnomo (2005) menyatakan bahwa variabel makro ekonomi (kurs, tingkat sbi, dan pdb) memiliki hubungan positif terhadap pma di indonesia dan variabel suku bunga deposito memiliki hubungan negatif terhadap pma di indonesia. messayu (2013) menunjukkan bahwa variabel makro ekonomi (pdb dan suku bunga) memiliki hubungan positif terhadap investasi asing langsung di indonesia. kemudian variabel inflasi dan kurs tidak berpengaruh terhadap investasi asing langsung di indonesia. metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder (time series data) yang diperoleh melalui publikasi bps (badan pusat statistik), world financial report-unctad (united nations conference on trade and development), bkpm (badan koordinasi penanaman modal), imf (international monetary fund), bank indonesia dan beberapa penerbitan dan instansi lainnya. analisis data alat analisis yang digunakan yaitu metode ecm (error correction model) dengan beberapa urutan langkah pengujian sebagai berikut: uji akar unit (unit root). uji akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time series stasioner. jika data time series tidak stasioner pada orde nol, i(0), maka stasioneritas data tersebut bisa dicari melalui order berikutnya sehingga dapat diperoleh pada tingkat stasioner pada orde ke-n (first difference) atau i(1) atau second difference, atau i(2) atau seterusnya. uji augmented dickey-fuller (adf). prosedur untuk menentukan stasioner data maka dilakukan perbandingan antara statistik adf dengan nilai kritis yaitu distribusi statistic . nilai statistik adf ditunjukkan oleh t statistik koefisien ∅fdit-1. jika nilai absolut statistik adf lebih besar dari nilai kritisnya maka menunjukkan menolak hipotesis nol yang berarti data stasioner dan sebaliknya. uji derajat integrasi. uji derajat integrasi dilakukan untuk mengetahui apakah variabelvariabel yang digunakan tidak stasioner dan berapa kali variabel harus di-difference untuk menghasilkan variabel yang stasioner. pada derajat integrasi, variabel yang diteliti didifference pada derajat tertentu sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. jika nilai absolut dari statistik adf lebih besar dari nilai kritisnya pada diferensi tingkat pertama, maka data telah stasioner pada first difference dan sebaliknya. uji kointegrasi. uji kointegrasi ditujukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya keseimbangan atau kestabilan jangka panjang antarvariabel yang diamati. uji kointegrasi didasarkan pada data yang tidak stasioner secara individu, namun kombinasi linear antara dua atau lebih data time series dapat menjadi stasioner. studi ini menggunakan metode englegranger (eg) dan augmented engle-grenger (aeg), untuk menguji kointegrasi variabel-variabel yang ada dengan memanfaatkan uji statistik df-adf untuk melihat apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. maka digunakan persamaan regresi kointegrasi dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa ordinary least square (ols) adapun persamaan regresinya adalah: jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 109-117 112 fdit = β0+ β1pdbt + β2kurst + β3ekport + et 1) keterangan: β0 adalah intersep/konstanta; β1, β2, β3 adalah koefisien regresi; fdit adalah investasi asing langsung pada periode t; pdbt adalah produk domestik bruto pada periode t; kurst adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar as pada periode t; ekport adalah ekspor pada periode t; et adalah error term. selanjutnya pengujian dengan menggunakan metode augmented dickey-fuller setelah didapat nilai residualnya (et) terlebih dahulu. nilai residual dikatakan stasioner apabila nilai hitung mutlak adf lebih besar daripada nilai mutlak mc kinnon pada α = 1%, 5%, 10% dan dapat dikatakan regresi tersebut adalah regresi yang terkointegrasi. error correction model (ecm). ecm (error corection model) digunakan untuk mengukur ketidakseimbangan dalam jangka pendek. teori representasi granger, menjelaskan bahwa apabila dua variabel x dan y adalah kointegrasi, hubungan antara keduanya bisa dinyatakan dalam ecm pada analisis error correction model yang bertujuan untuk mengikat nilai jangka pendek pada jangka panjang. model analisis dari ecm adalah: fdit = f (pdbt. kurst.ekport) 2) di mana: fdit adalah foreign direct investment periode t; pdbt adalah produk domestik bruto periode t; kurst adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika periode t; ekport adalah ekspor periode t. di bawah ini ditampilkan persamaan yang digunakan dalam studi ini yaitu: fdi = β₀ + β₁ pdb + β₂ kurs + β₃ekpor + β ₄ + e 3) jika diuraikan dalam bentuk semi log akan berubah menjadi: logfdi = β₀ + β₁logpdb + β₂logkurs + β₃logekpor + e 4) di mana: fdi adalah foreign direct investment; pdb adalah produk domestik bruto; kurs adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar as; ekpor adalah nilai ekspor. metode perumusannya adalah: δfdit = β0+ β1δx1t + β2 δx2t + β3δx3t + β4 ut-1 + et 5) untuk mengetahui spesifikasi model dengan ecm, dapat terlihat pada hasil uji statistik terhadap koefisien β4 atau residual dari regresi pertama, yang selanjutnya akan disebut error correction term (ect). jika hasil penguji terhadap koefisien ect signifikan, maka spesifikasi model yang diamati valid. fdit = f (pdbt, kurst, ekport-1) 6) δfdit = β0+ β1δpdbt+ β2δkurst + β3δekport + β4 ectt-1 + et 7) keterangan: fdit adalah investasi asing langsung pada periode t, pdbt adalah produk domestik bruto periode t, kurst adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar as pada periode t, ekport adalah total ekspor impor pada periode t, ectt-1 adalah error correction term pada periode sebelumya. hasil dan pembahasan semua variabel independen yaitu lfdi, lpdb, lkurs, lekpor tidak stasioner dengan nilai hitung mutlak adf lebih kecil dari nilai kritis mackinnon pada tingkat α = 1%, 5%, 10%, dapat diindikasikan pada data level sepanjang lag 1 mengandung unit root, artinya data level tersebut bersifat tidak stasioner atau dikatakan nonstasioner. apabila data yang tidak stasioner tetap dimasukkan ke dalam model dapat menyebabkan superious regression atau kesimpulannya menyesatkan. untuk mengetahui variabel stasioner maka dilakukan uji unit root pada tingkat first difference (lihat tabel 2). investasi asing langsung di indonesia (asri febriana, masyhudi muqorobbin) 113 berdasarkan tabel 3 (dalam lampiran), data yang digunakan dalam studi ini belum stasioner pada tingkat first difference di mana variabel lfdi, lpdb, lkurs menunjukkan tidak stasioner, tetapi hanya variabel lekpor yang sudah stasioner. sehingga perlu dilakukan uji stasioner pada tingkat second difference. tabel 4 (dalam lampiran) menunjukkan bahwa data yang digunakan pada studi ini bersifat stasioner pada tingkat second difference, nilai adf menunjukkan lebih besar dari nilai kritis mackinnon yaitu pada tingkat α = 1%, 5%, 10%. artinya bahwa data telah stasioner dan data terintegrasi pada derajat second difference. berdasarkan tabel 5, persamaan regresi ditulis menjadi: tabel 5. hasil uji kointegrasi estimasi persamaan jangka panjang variabel koefisien standar error probabilitas c -56,362080 15,854770 0,0015 lpdb 7,520039 2,184028 0,0020 lkurs -0,276673 0,363947 0,4540 lekpor -2,681031 1,131931 0,0256 r-squared 0,622307 adjustedr-squared 0,578727 durbin-watson stat 0,950397 f-statistic 14,279660 prob (f-statistic) 0,000011 lfdi = -56,36208 + 7,520039 lpdb – 0,276673 lkurs – 2,681031 lekpor 8) variabel produk domestik bruto (lpdb) dan konstanta (c) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap investasi asing langsung (fdi) pada derajat 1%, sedangkan variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar as (lkurs) tidak signifikan terhadap investasi asing langsung (fdi) dan lekpor berpengaruh terhadap investasi asing langsung fdi di indonesia di indonesia pada derajat 5%. nilai koefisien produk domestik bruto dalam jangka panjang sebesar 7,520039 miliar menunjukkan apabila terjadi peningkatan pada pdb (lpdb) sebesar 1% maka investasi asing langsung akan mengalami peningkatan sebesar 7,520039 miliar dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar as dan ekspor konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien produk domestik bruto (pdb) bernilai positif, artinya bahwa produk domestik bruto mempunyai hubungan positif terhadap investasi asing langsung dalam jangka panjang. hal ini berarti bahwa uji data dalam variabel sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam studi ini. artinya semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, maka investasi asing langsung (fdi) akan meningkat, peningkatan investasi menunjukkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam jangka panjang semakin meningkat, dan pertumbuhan ekonomi di indonesia menjadi lebih baik dengan menarik minat para investor yang menanamkan modalnya secara langsung. nilai probabilitas 0,0020 menunjukkan lpdb signifikan dan mempengaruhi variabel dependennya yaitu fdi (investasi asing langsung) karena nilai probabilitasnya pada taraf nyata 1%. nilai koefisien nilai tukar rupiah terhadap dolar as (lkurs) dalam jangka panjang sebesar -0,276673 miliar menunjukkan apabila terjadi penurunan pada kurs (lkurs) sebesar 1% maka investasi asing langsung akan mengalami penurunan sebesar -0,276673 miliar dengan asumsi nilai produk domestik bruto dan ekspor konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien nilai tukar rupiah terhadap dolar as (lkurs) bernilai negatif, artinya bahwa tabel 2. hasil uji akar unit tingkat level dengan metode augmented dickey fuller test variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mc kinnon keterangan 10% 5% 1% lfdi -4,122322 -3,225334 -3,580623 -4,323979 tidak stasioner lpdb -2,335281 -3,225334 -3,580623 -4,323979 tidak stasioner lkurs -1,839132 -3,225334 -3,580623 -4,323979 tidak stasioner lekpor -3,132320 -3,225334 -3,580623 -4,323979 tidak stasioner jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 109-117 114 nilai tukar rupiah terhadap dolar as (lkurs) mempunyai hubungan dan berpengaruh negatif terhadap investasi asing langsung dalam jangka panjang dan tidak signifikan. hal ini berarti bahwa sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam studi ini. artinya bahwa dalam jangka panjang kurs tidak berpengaruh terhadap investasi asing langsung, karena apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi maka menjadi salah satu pertimbangan investor asing untuk menanamkan modalnya, apabila nilai tukar suatu mata uang asing mengalami kenaikan maka investasi akan bertambah atau meningkat tetapi sebaliknya apabila nilai tukar mengalami penurunan, maka investasi akan cenderung turun. besar kemungkinan dalam jangka panjang kurs negatif dan tidak signifikan karena kurs yang berubah-ubah dan tidak stabil, sebuah negara perlu memiliki mata uang yang stabil, dengan mata uang yang stabil dapat menarik modal investasi dari investor asing. jika tidak stabil, prospek pertukaran kerugian yang diakibatkan oleh depresiasi mata uang dapat menghalangi investor luar negeri untuk menanamkan modalnya. nilai probabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar as (kurs) sebesar 0,4540 menunjukkan lkurs tidak signifikan dan tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya yaitu fdi (investasi asing langsung) dalam jangka panjang. hal ini berbanding terbalik dengan studi prawoto (2003) bahwa variabel tingkat kurs rupiah terhadap dolar us memberikan pengaruh positif terhadap variabel total, jadi dapat diartikan bahwa jika rupiah mengalami perubahan kurs (depresiasi) maka secara meyakinkan akan berdampak terhadap investasi yang menjadi meningkat, dan hal ini memungkinkan disokong dari investasi yang berorientasi ekspor. begitu juga dengan nilai koefisisen lekpor dalam jangka panjang menunjukkan negatif sebesar -2,681031 miliar artinya lekpor mengalami penurunan sebesar 1% maka investasi asing langsung akan turun sebesar -2,681031 miliar dengan asumsi bahwa produk domestik bruto, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar as konstan atau tidak mengalami perubahan koefisien. artinya ekspor berpengaruh signifikan dan berhubungan negatif terhadap investasi asing langsung atau fdi. hal ini berarti sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam studi ini. apabila ekspor semakin tinggi menyebabkan peningkatan terhadap impor. disebabkan karena sebagian besar ekspor digunakan untuk membiayai keperluan impor barang modal dan perantaraan untuk kegunaan aktivitas ekonomi domestik. pertumbuhan ekspor merupakan penyebab pertumbuhan investasi asing langsung yang negatif dalam jangka panjang. meningkatkan ekspor, maka investasi asing semakin rendah. pernyataan ini sesuai dengan studi antoni dengan judul investasi asing langsung asing (fdi) dan perdagangan: bukti empiris di indonesia, bahwa dengan semakin banyak mengekspor, maka semakin berkurangnya aliran masuk fdi. nilai probabilitas lkurs sebesar 0,0256 menunjukkan bahwa lekpor berpengaruh dan signifikan terhadap investasi asing langsung karena nilai probabilitas pada taraf 5%. koefisien determinasi (r-square) adalah sebesar 0,622307 yang berarti bahwa variasi variabel endogen dapat dijelaskan secara linier oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 62,23%, sisanya 37,77% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. persamaan jangka panjang telah diregresikan, maka langkah selanjutnya adalah menguji unit root terhadap nilai residual e dengan menggunakan metode augmented dickey fuller (adf). nilai residual e persamaan investasi asing langsung ternyata stasioner pada tingkat second difference dilihat pada tabel 6. berdasarkan tabel 6 nilai adf t-statistik tabel 6. uji unit terhadap residual persamaan jangka panjang investasi asing langsung di indonesia periode tahun 1984-2013 variabel nilai adf nilai kritis mac kinnon prob keterangan 10% 5% 1% e -6,345752 -4,356068 -3,595026 -4,356068 0,0001 stasioner investasi asing langsung di indonesia (asri febriana, masyhudi muqorobbin) 115 lebih besar dari nilai kritis mckinnon pada taraf nyata 1%, 5%, 10%. hal ini menunjukkan nilai residual adalah stasioner pada tingkat second difference. dilihat juga bahwa nilai probabilitas adalah 0,0001 yang berada pada taraf nyata 1% juga menjelaskan kestasioneran residual e tersebut. terbukti bahwa terdapat kointegrasi dalam model, sehingga perumusan ecm dapat dilanjutkan. tabel 7 dapat disimpulkan permodelan jangka pendek investasi asing langsung (fdi) adalah: lfdi = -0,758041 + 9,250969d(lpdb,1) + 2,377537d(lpdb(1),1) + 2,195265d(lkurs,1) 0,609980d(lkurs(1),1) + 0,515588d(lekpor,1) + 1,825004d(lekpor(1),1) – 0,312917e(-1) 9) nilai koefisien produk domestik bruto (dlpdb) dalam jangka pendek sebesar 9,250969 miliar menunjukkan apabila terjadi peningkatan produk domestik bruto (dlpdb) sebesar 1%, maka investasi asing langsung akan mengalami peningkatan sebesar 9,250969 miliar dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan total ekspor konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien pdb bernilai positif artinya mempunyai hubungan positif terhadap investasi asing langsung dalam jangka pendek. produk domestik bruto signifikan dan mempengaruhi variabel dependennya yaitu fdi artinya pdb merupakan bagian penting, apabila pdb meningkat maka investasi asing langsung akan meningkat. koefisien nilai tukar rupiah terhadap dolar as (dlkurs) jangka pendek sebesar 2,195265 miliar menunjukkan apabila terjadi peningkatan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar as (dlkurs) sebesar 1% maka investasi asing akan mengalami peningkatan sebesar 2,195265 miliar dengan asumsi produk domestik bruto, dan ekspor konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien nilai tukar rupiah terhadap dolar as bernilai positif artinya nilai tukar mempunyai hubungan positif terhadap investasi asing langsung dalam jangka pendek. nilai tukar bernilai signifikan terhadap variabel dependennya yaitu fdi artinya ketika kurs terdepresiasi para investor akan mempertimbangkan penanaman modalnya, karena apabila nilai tukar suatu mata uang asing mengalami kenaikan maka investasi akan bertambah atau meningkat tetapi sebaliknya apabila nilai tukar mengalami penurunan, maka investasi akan cenderung turun. nilai koefisien total ekspor (dlekpor) dalam jangka pendek sebesar 1,825004 miliar menunjukkan apabila terjadi peningkatan ekspor (dlekpor) sebesar 1%, maka investasi asing langsung (fdi) akan mengalami peningkatan sebesar 1,825004 miliar dengan asumsi produk domestik bruto (dlpdb), nilai tukar rupiah terhadap dolar as konstan atau tidak mengalami perubahan. koefisien nilai total ekspor bernilai positif, ekspor mempunyai hubungan positif terhadap investasi asing langsung jangka tabel 7. hasil perhitungan error correction model(ecm) variabel coefficient std.error t-statistic probabilitas c -0,758041 0,329888 -2,297870 0,0325 d(lpdb,1) 9,250969 2,784260 3,322595 0,0034 d(lpdb(1),1) 2,377537 3,729559 0,637485 0,5310 d(lkurs,1) 2,195265 0,828895 2,648423 0,0154 d(lkurs(1),1) -0,609980 0,589497 -1,034747 0,3131 d(lekpor,1) 0,515588 0,712179 0,723959 0,4775 d(lekpor(1),1) 1,825004 0,805295 2,266255 0,0347 e(-1) -0,312917 0,129374 -2,418693 0,0252 r-squared 0,676227 adjusted r-squared 0,562906 durbin-watson stat 1,816380 f-statistic 5,967378 prob (f-statistic) 0,000753 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 109-117 116 pendek. variabel ekspor signifikan dan mempengaruhi variabel dependennya yaitu fdi artinya bahwa ekspor dalam jangka pendek dalam setiap tahunnya menunjukkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena ekspor mempunyai pengaruh yang kuat dan mempunyai hubungan dengan investasi asing langsung (fdi) di mana sebagai pendorong yang sangat besar untuk pertumbuhan fdi di suatu negara. estimasi model ecm, dapat dilihat pada variabel error correction term (e-1) menunjukkan angka 0,0252 artinya signifikan pada taraf nyata 5% dan mempunyai tanda positif. maka spesifikasi model sudah benar sehingga mampu menganalisis hubungan jangka pendek. hasil perhitungan tersebut nilai konstanta menunjukkan angka -0,758041 artinya bahwa apabila semua variabel dianggap konstan atau tidak mengalami perubahan maka dlfdi akan sebesar -0,758041. hasil estimasi dari persamaan jangka pendek menunjukkan nilai r-square sebesar 0,676227artinya bahwa 67,62% investasi asing langsung (fdi) dapat dijelaskan oleh variabel produk domestik bruto, nilai tukar rupiah terhadap dolar as, dan ekspor. sisanya 32,38% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. simpulan hasil studi ini memberikan kesimpulan bahwa: (1) hasil analisis pengaruh pdb terhadap investasi asing langsung dalam jangka pendek menunjukkan bahwa pdb berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi asing langsung, dalam jangka panjang pdb berpengaruh positif dan signifikan. (2) pengaruh tingkat nilai tukar rupiah terhadap dolar as terhadap investasi asing langsung dalam jangka pendek menunjukkan tanda positif dan signifikan pada variabel dependennya, dalam jangka panjang menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar as berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap investasi asing langsung. (3) hasil analisis pengaruh ekspor terhadap investasi asing langsung dengan dalam jangka pendek yaitu ekspor berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi asing langsung, dalam jangka panjang ekspor berpengaruh dan berhubungan negatif serta signifikan terhadap investasi asing langsung. berdasarkan hasil studi dapat diajukan beberapa saran berikut: 1) agar pemerintah bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya secara langsung untuk pembangunan negara maka pemerintah harus menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan birokrasi yang tidak efisien, keterbatasan akses dana, regulasi tenaga kerja tidak kondusif, kebijakan yang tidak stabil, regulasi perpajakan tidak kondusif, kurang tenaga kerja tidak terdidik, inflasi, korupsi, regulasi uang asing, pemerintahan yang tidak stabil, pajak terlalu besar, etos kerja tenaga kerja buruk, kriminal dan pencurian serta perlu adanya peningkatan infrastruktur; 2) adanya dukungan dari masyarakat terhadap investasi asing langsung agar pembangunan terencana dengan baik. daftar pustaka indah, a. s dan purnomo, d. (2005). studi tentang penanaman modal asing di indonesia. jurnal ekonomi pembangunan 6(1), 26-47. surakarta: bppe ums jhingan m.l. (1988). ekonomi pembangunan dan perencanaan, edisi keenam belas. jakarta: rajawali. messayu, e. (2013). analisis pengaruh variabel makro ekonomi terhadap investasi asing di indonesia tahun 2000:1-2011:4. prawoto, n. (2003). pengaruh perubahan kurs dan tingkat suku bunga terhadap tabungan dan investasi swasta (studi empiris di indonesia periode 1993.1-2001.1. jurnal ekonomi & studi pembangunan vol. 4 no. 2, oktober 2003. sarwedi. (2002). investasi asing langsung di indonesia dan faktor yang mempengaruhinya. bank indonesia. (2000). laporan tahunan perekonomian bank indonesia. http://www.bi. go.id. diakses tanggal 7 januari 2014 pukul 09:59 wib. bank indonesia. (2003). laporan perekonomian bank indonesia. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 13 januari 2014 pukul 11.02 wib. bank indonesia. (2007). laporan kebijakan moneter triwulan ii. http://www.bi.go.id. diinvestasi asing langsung di indonesia (asri febriana, masyhudi muqorobbin) 117 akses tanggal 13 januari 2014 pukul 15:32 wib. bank indonesia. (2009). laporam kebijakan moneter triwulan iv. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 15 januari 2014 pukul 16:09 wib. bank indonesia. (2011). laporam kebijakan moneter triwulan i. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 15 januari 2014 pukul 15:16 wib. bank indonesia. (2012). laporan keuangan tahunan. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 14 januari 2014 pukul 15:09 wib. bank indonesia. integrasi ekonomi dan tantangan global. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 13 februari 2014 pukul 15:40 wib. bank indonesia. neraca pembayaran indonesia. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 13 februari 2014 pukul 14:42 wib. bank indonesia. perekonomian indonesia tahun 2009. http://www.bi.go.id. diakses tanggal 13 februari 2014 pukul 14:31 wib. bank indonesia. prospek ekonomi dan arah kebijakan bank indonesia. http://www.bi. go.id. diakses tanggal tanggal 15 februari 2014 pukul 16:17 wib. badan koordinasi penanaman modal, perekonomian yang sehat, http://www.bkpm.go.id/ contents/general/4/perekonomian-yangsehat#.vbbcenyqviu. diakses tanggal 15 januari 2014 pk 23:12 wib. lampiran tabel 3. hasil uji derajat integrasi tingkat first difference dengan metode augmented dickey fuller tes variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mc kinnon keterangan 10% 5% 1% lfdi -2,958267 -3,229230 -3,587527 -4,339330 tidakstasioner lpdb -3,227492 -3,229230 -3,587527 -4,339330 tidak stasioner lkurs -3,666993 -3,229230 -3,587527 -4,339330 tidakstasioner lekpor -5,229210 -3,229230 -3,587527 -4,339330 stasioner tabel 4. hasil uji derajat integrasi tingkat second difference dengan metode augmented dickey fuller test variabel nilai hitung adf nilai kritis mutlak mc kinnon keterangan 10% 5% 1% lfdi -5,776420 -3,233456 -3,595026 -4,356068 stasioner lpdb -5,138316 -3,233456 -3,595026 -4,356068 stasioner lkurs -6,732790 3,233456 -3,595026 -4,356068 stasioner lekpor -6,561330 -3,233456 -3,595026 -4,356068 stasioner microsoft word 03-didin jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.120-126 determinan pertumbuhan ekonomi di daerah istimewa yogyakarta, indonesia didin wahyudin1, imamudin yuliadi2 1 kospin jasa syariah magelang jl. singosari no.27, magelang, jawa tengah, indonesia, phone: +62 293 366242 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 e-mail korespondensi: imamudin2006@yahoo.co.id naskah diterima: januari 2013; disetujui: september 2013 abstract: the study aims to know the influence of the domestic investment capital or penanaman modal dalam negeri (pdmn), the foreign direct investment (fdi), and anggaran pengeluaran belanja daerah (apbd), and the labor toward the economic growth in 5 regions/cities in diy between 2006-2012. the data that is used in this study is the secondary data, with the time series model (2006-2012) and the cross section model (5 regions in diy). the result shows that the pdmn has positive influence and is significant; the increasing number of pdmn around 1% will make the economic growth increases 0, 10 in each region in diy. the apbd also has positive influence and significant; the increasing number of apbd around 1% will make the economic growth increases 0, 10. the labor has negative impact and significant; the increasing number of labor around 1% will make the economic growth decreases -0,67 in each region in diy, it shows that the marginal utility of labor will increase the marginal utility of production. the marginal utility production will keep increasing if the labor keeps adding until maximum. when the production reaches maximum the increasing number of total labor will decrease the total production (tp) that will make the production negative. keywords: economic growth; domestic capital investment; the foreign direct investment jel classification: p25, r11 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penanaman modal dalam negeri (pmdn), penanaman modal asing (pma), anggaran pengeluaran belanja daerah (apbd), dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di 5 kabupaten/kota di diy pada tahun 20062012. data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder, dalam bentuk time series (2006-2012) dan cross section (5 kabupaten/kota di diy. alat analisis yang digunakan adalah data panel dengan bantuan eviews 6. hasil studi ini menunjukkan bahwa pmdn berpengaruh positif dan signifikan, peningkatan pmdn sebesar satu persen maka pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota di diy mengalami kenaikan sebesar 0,10. apbd berpengaruh positif dan signifikan, peningkatan apbd sebesar satu persen maka pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota di diy mengalami kenaikan sebesar 0,10. tenaga kerja berpengaruh negative dan signifikan. peningkatan tenaga kerja sebesar satu persen maka pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota di diy mengalami penurunan sebesar -0,67, hal ini dikarenakan dimana peningkatan marginal jumlah tenaga kerja akan meningkatkan marginal produksi. peningkatan marginal produksi akan terus bertambah jika jumlah tenaga kerja terus ditambah hingga mencapai jumlah produksi maksimal. pada saat jumlah produksi maksimal penambahan jumlah tenaga kerja akan menurunkan jumlah produksi (tp) sehingga produksi akan bernilai negatif kata kunci: pertumbuhan ekonomi; penanaman modal dalam negeri; penanaman modal asing; anggaran pengeluaran belanja daerah klasifikasi jel: p25, r11 determinan pertumbuhan ekonomi ... (didin wahyudin, imamudin yuliadi) 121 pendahuluan pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, perubahan dalam sikap hidup masyarakat dan perubahan dalam kelembagaan (institusi) nasional. pembangunan juga meliputi perubahan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan dalam suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan dapat diartikan sebagai gambaran mengenai dampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilaksanakan dalam bidang ekonomi. menurut boediono (1999) negara indonesia mempunyai impian yakni pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan mencapai 7% hal itu merupakan bukan hal yang mustahil menurut sunarsip (chief economist the indonesia economic intelligence) menyatakan ini bisa tercapai dengan dorongan kuat pada empat faktor kunci: pertama, mendorong pertumbuhan investasi minimal 12 persen. kedua, mendorong pertumbuhan produktivitas tenaga kerja hingga 60 persen. ketiga, mendorong pertumbuhan di atas tujuh persen untuk sektor manufaktur atau selevel dengan pertumbuhan ekonomi sebelum krisis 1997-1999. keempat, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah supaya lebih agresif. (republika online senin, 17 maret 2013). tujuan pembangunan ekonomi di samping untuk meningkatkan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas. produk domestik regional bruto (pdrb) merupakan salah satu indikator untuk menunjuk tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. kontradiksi yang terjadi selama tiga triwulan berturut-turut telah mengaki batkan pertumbuhan ekonomi diy (daerah istimewa yogyakarta) selama tahun 2004 hanya mampu tumbuh sebesar 4,88 persen. secara sektoral, kontraksi perekonomian yang terjadi selama triwulan iv-2004 dipengaruhi oleh pertumbuhan negatif tiga sektor ekonomi yaitu (i) sektor pertanian, (ii) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta (iii) sektor jasa-jasa yang masing-masing kontraksi sebesar 44,52 persen; 15,02 persen dan 3,41 persen. penurunan kegiatan ekonomi pada sektor pertanian lebih disebabkan oleh faktor musim kemarau yang cukup panjang, sehingga produktivitas pertanian terutama pada sub sektor tanaman bahan makanan mengalami penurunan sebesar 61,38 persen khususnya untuk komoditas padi, ketela pohon, kacang kedelai dan kacang hijau. sementara itu, subsektor peternakan mengalami peningkatan sebesar 6,47 persen, namun demikian mengingat andil subsektor ini tidak terlalu besar pada sektor pertanian maka kenaikan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan (sumartono dkk, 2005). masalah fundamental yang dihadapi oleh pemerintah provinsi diy adalah kemiskinan dan ketimpangan, di mana ada kecendrungan bahwa ketimpangan ini meningkat sepanjang waktu. ada daerah yang relatif sangat kaya (kota yogyakarta) dan daerah yang relatif miskin (kabupaten kupon progo). peningkatan ketimpangan ini disebabkan oleh pola pembangunan yang berbeda antardaerah. beberapa daerah di provinsi diy memiliki visi yang tidak jelas, baik indikator maupun waktu pencapaiannya, di samping seringkali visi daerah tersebut tidak didukung oleh potensi yang dimiliki tabel 1. target dan realisasi penanaman modal diy (dalam jutaan rupiah) tahun pmdn pertumbuhan pmdn (%) pma pertumbuhan pma (%) total pertumbuhan 2004 2.401.966 1,519,269 3.921.236 2005 2.251.066 -6,28 1,843,675 21,35 4.094.742 4,42 2006 2.144.879 -4,72 1,879,787 1,96 4.024.666 -1,71 2007 1.801.533 -16,01 2,278,166 21,19 4.079.700 1,37 2008 1.806.426 0,27 2,415,461 6,03 4.221.888. 3,49 2009 1.882.514 4,21 2,508,131 3,84 4.390.645 4,00 2010 1.884.925 0,13 2,696,046 7,49 4.580.972 4,33 2011 2.313.141 22,72 4,110,436 52,46 6.423.578 40,22 2012* 2.901.795 25,45 4,174,341, 1,55 7.076.136 10,16 2013* 3.495.807 20,47 4,287,734 2,72 7.783.542 10,00 sumber :bkpm provinsi diy jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 120-126 122 oleh daerah (restiatun, 2009). dalam perekonomian terbuka, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian di wilayah tersebut namun juga dipengaruhi oleh perekonomian global. demikian halnya dengan perekonomian di diy, tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi penduduk diy namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti kondisi ekonomi nasional dan bahkan ekonomi global. perkembangan investasi di provinsi daerah istimewa yogyakarta menunjukkan pertumbuhan yang signifikan pada 5 tahun terakhir, sebagaimana tersaji dalam tabel 1. peningkatan yang paling besar terjadi pada tahun 2011, karena realisasi perusahaan baru, perluasan perusahaan yang telah merealisasikan investasinya pada tahun-tahun sebelumnya, renovasi/peremajaan/restruksturisasi perusahaan yang tentunya juga berimplikasi pada penambahan investasi. besaran kontribusi pertumbuhan investasi yang berasal dari perusahaan pmdn tersebut: rp428.217.825.987,(22,72%) dan perusahaan pma sebesar: rp1.414.389.366.777, (52,46%) dari nilai total pertumbuhan investasi hingga desember 2011 yang sebesar: rp1.842.607.192.764,(terdapat pertumbuhan dengan nilai 40,22% dari realisasi investasi tahun 2010). sampai dengan tahun 2011, perusahaan yang merealisasikan investasinya (aktif) di diy sejumlah 219 perusahaan (terdiri dari 104 perusahaan pma dan 115 perusahaan pmdn) dari total 331 perusahaan (182 perusahaan pma; 149 perusahaan pmdn) yang terdaftar. adapun total serapan tenaga kerja dari realisasi investasi tersebut sebanyak 38.89 6 tenaga kerja indonesia (tki) serta 128 tenaga kerja asing (tka). metode penelitian jenis dan sumber data jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari badan pusat statistik diy serta sumber lain yang terkait dengan studi ini. daerah penelitian yang digunakan adalah seluruh kabupaten dan kota yang ada di daerah istimewa yogyakarta, yang terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota madya yaitu: (1) kabupaten bantul; (2) kabupaten gunung kidul; (3) kabupaten kulonprogo; (4) kabupaten sleman dan (5) kota yogyakarta. variabel dependen yang digunakan dalam studi ini adalah pdrb (pertumbuhan ekonomi) sedangkan variabel independen yang digunakan dalam studi ini adalah tenaga kerja, belanja modal, penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing analisis data alat analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis regresi data panel. menurut ajija, dkk (2011:51) ada tiga metode yang digunakan untuk data panel: 1) model pooled least square (common effect) model ini dikenal dengan estimasi common effect yaitu teknik regresi yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel dengan cara hanya mengkombinasikan data time series dan sumber : bkpm provinsi diy gambar 1. pertumbuhan investasi tahun 2005 sampai dengan desember 2013 a b c determinan pertumbuhan ekonomi ... (didin wahyudin, imamudin yuliadi) 123 cross section. model ini hanya menggabungkan data tersebut tanpa melihat perbedaan antarwaktu dan individu sehingga dapat dikatakan bahwa model ini sama halnya dengan metode ordinary least square (ols) karena menggunakan kuadrat terkecil biasa. 2) model pendekatan efek tetap (fixed effect) pendekatan model ini menggunakan variabel boneka atau dummy yang dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau least square dummy variable atau disebut juga covariance model. pada metode fixed effect estimasi dapat dilakukan dengan tanpa pembobot (no weight) atau least square dummy variable (lsdv) dan dengan pembobot (cross section weight) atau general least square (gls). 3) model pendekatan efek acak (random effect) model data panel pendekatan ketiga yaitu model efek acak (random effect). dalam model efek acak, parameter-parameter yang berbeda antar daerah maupun antarwaktu dimasukan ke dalam error. karena hal inilah, model efek acak juga disebut model komponen error (error component model). keputusan penggunaan model efek tetap ataupun acak ditentukan dengan menggunakan uji hausman. dengan ketentuan apabila probabilitas yang dihasilkan signifikan dengan alpha maka dapat digunakan me tode fixed effect namun apabila sebaliknya maka dapat memilih salah satu yang terbaik antara model fixed dengan random effect hasil dan pembahasan hasil analisis pada tabel 2 memperlihatkan bahwa metode estimasi yang terpilih adalah random effect. dipilihnya random effect karena memiliki nilai probabilitas masing-masing variabel independen dari random effect lebih signifikan dibanding fixed effect atau common effect yang masing-masing variabel independennya tidak signifikan semua sehingga model yang lebih baik yaitu random effect. setelah terpilih metode random effect, kemudian akan dilanjutkan dengan melakukan regresi random effect. hasil estimasi menunjukkan pengaruh penanaman modal dalam negeri (pmdn) terhadap pertumbuhan ekonomi diperoleh nilai koefisien sebesar 0,109817 dengan signifikansi 0,0000 artinya pmdn < 0,005 maka pmdn berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di diy tahun 2006 sampai 2012. hal ini menunjukan bahwa pengaruh pmdn terhadap pertumbuhan ekonomi di diy memiliki hubungan yang positif. hal ini sesuai juga dengan teori yang dikemukakan oleh tabel 2. hasil estimasi pengaruh penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, belanja modal, tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah istimewa yogyakarta. variabel dependen : pdrb model common effect fixed effect random effect konstanta 14,85402 12,63995 14,04644 standar error 0,768984 2,108406 0,309131 probabilitas 0,0000 0,0000 0,0000 penanaman modal dalam negeri 0,107496 -0,008014 0,109817 standar error 0,035390 0,019457 0,006011 probabilitas 0,0049 0,6838 0,0000 penanaman modal asing 0,019578 0,006760 0,019549 standar error 0,008774 0,003633 0,001670 probabilitas 0,0333 0,0741 0,0000 belanja modal -0,000808 -0,002225 0,102865 standar error 0,005989 0,002285 0,034246 probabilitas 0,8936 0,3390 0,0062 tenaga kerja -0,632432 0,028985 -0,670749 standar error 0,124179 0,382403 0,022955 probabilitas 0,0000 0,9402 0,0000 r2 0,604206 0,953926 0,620553 fstatistik 11,44926 67,28909 3,925001 probabilitas 0,000009 0,000000 0,002921 durbin-watson stat 0,748405 0,457604 0,763497 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 120-126 124 harold dan domar (dalam jhingan 1999) yang memberikan peranan kunci kepada investasi terhadap peranannya dalam proses pertumbuhan ekonomi. studi yang sama juga dilakukan oleh fitrah afrizal (2013), di mana pmdn berpengaruh signifikan terhadap pdrb. semakin meningkatnya investasi dalam hal ini pmdn yang dilakukan oleh pemerintah, maka ketersediaan barang publik akan meningkat dan akan mendorong peningkatan pdrb. tabel 3. hasil estimasi model variabel dependen : pdrb model random effect konstanta 14,04644 standar error 0,309131 probabilitas 0,0000 penanaman modal dalam negeri 0,109817 standar error 0,006011 probabilitas 0,0000 koefisien 0,109817 penanaman modal asing 0,019549 standar error 0,001670 probabilitas 0,0000 koefisien 0,019549 belanja modal 0,102865 standar error 0,034246 probabilitas 0,0062 koefisien 0,102865 tenaga kerja -0,670749 standar error 0,022955 probabilitas 0,0000 koefisien -0,670749 r2 0,620553 fstatistik 3,925001 probabilitas 0,002921 durbin-watson stat 0,763497 pengaruh penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi, diperoleh nilai koefisien sebesar 0,019549 dengan signifikansi 0,0000 artinya pma < 0,005 maka pma berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di diy tahun 2006 sampai 2012. hal ini menunjukan bahwa pengaruh pma terhadap pertumbuhan ekonomi di diy memiliki hubungan yang positif. hal ini sesuai dengan studi arwiny fajriah anwar (2011). investasi luar negeri dalam hal ini berperan aktif dalam mendorong perekonomian suatu wilayah baik dalam peran kemajuan teknologi yang dimiliki oleh pihak asing, maupun jaringan kuat terhadap lembaga internasional dan pasar global. pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi, diperoleh nilai koefisien sebesar 0,102865 dengan signifikansi 0.0062 artinya belanja modal > 0,005 maka belanja modal berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di diy tahun 2006 sampai 2012. hal ini menunjukan bahwa pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi di diy memiliki hubungan yang positif hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh mohammad rizal mubaroq dkk. yang menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. pengaruh tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi diperoleh nilai koefisien sebesar -0,670749 dengan signifikansi 0,0000 artinya tenaga kerja < 0,005 maka tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di diy tahun 2006 sampai 2012. hal ini menunjukan bahwa pengaruh tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di diy adalah negatif. adanya ketidak sesuaiannya dengan teori yang selama ini berlaku, menurut teori yang dikemukakan oleh harrod domar bahwa kenaikan tingkat output dan tenaga kerja dapat dilakukan dengan adanya akumulasi modal (investasi) dan tabungan. hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh dimas dan woyanti (2009) yang menyatakan bahwa adanya ketidak sesuaian dengan teori tersebut dikarenakan dari sifat investasi itu sendiri, seperti diketahui bahwa negara-negara maju memiliki faktor produksi yang padat modal, sehingga investasi yang mereka tanamkan di negara berkembang seperti indonesia mengikuti teknik yang mereka kembangkan atau terapkan di negara asalnya yakni yang cenderung padat modal. sebab inilah yang membuat tingkat investasi asing cenderung mengurangi jumlah tenaga kerja, karena teknik yang padat modal dengan teknologi tinggi cenderung memiliki produktifitas dan efisiensi yang lebih baik sehingga untuk menghasilkan output yang sama besar hanya diperlukan tenaga kerja yang lebih sedikit. faktor penyebab kedua hubungan negatif adalah selain pilihan para pengusaha terhadap penggunaan modal yang lebih banyak yang sebenarnya rasional, tetapi juga disebabkan determinan pertumbuhan ekonomi ... (didin wahyudin, imamudin yuliadi) 125 oleh adanya bermacam-macam faktor strukural, kelembagaan, dan politik sehingga harga pasaran tenaga kerja menjadi lebih tinggi dibandingkan harga modal. lebih lanjut, struktur harga atau upah tenaga kerja menjadi sangat mahal karena adanya tekanan-tekanan politik dari serikat buruh, penetapan upah minimum oleh pemerintah, serta adanya aneka penggajian yang lebih tinggi dari perusahaan-perusahaan multinasional. akibat netto dari distorsi harga faktor produksi adalah terus meningkatnya penggunaan teknik padat modal khususnya sektor-sektor industri di perkotaan. ditinjau dari sudut kepentingan masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, hal tersebut jelas negatif karena biaya-biaya sosial penggunaan modal di bawah kapasitas terpasang dan rendahnya penyerapan tenaga kerja menjadi sangat tinggi. adapun sebab yang ketiga seperti yang dikemukakan oleh todaro (2000) adalah adanya akumulasi modal untuk pembelian mesin dan peralatan canggih yang tidak hanya memboroskan keuangan domestik serta devisa tetapi juga menghambat upaya-upaya dalam rangka menciptakan pertumbuhan penciptaan lapangan kerja baru. hambatan lainnya yaitu masih kurangnya syarat-syarat struktural, institusional, dan sikap-sikap yang diperlukan (seperti adanya pasar-pasar komoditi dan pasar uang yang terintegrasi dengan baik, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dalam hal ini kecakapan dan perencanaan manajemen yang baik, motivasi untuk berhasil, dan birokrasi pemerintah yang efisien) untuk mengubah modal baru secara efektif dan efisien menjadi output yang lebih besar dan penciptaan lapangan kerja baru. siagian (2010) mengemukakan bahwa tenaga kerja akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, di mana peningkatan marginal jumlah tenaga kerja akan meningkatkan marginal produksi. peningkatan marginal produksi akan terus bertambah jika jumlah tenaga kerja terus ditambah hingga mencapai jumlah produksi maksimal. pada saat jumlah produksi maksimal (maximum total production, tp max) penambahan jumlah tenaga kerja akan menurunkan jumlah produksi (tp) sehingga produksi akan bernilai negatif. simpulan berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diurai, maka dapat diambil kesimpulan bahwa variabel pdrb di kota diy pada tahun 2006-2012 dipengaruhi oleh penanaman modal dalam negeri (pmdn), penanaman modal asing (pma), dan belanja modal secara positif, sedangkan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (pdrb). beberapa saran yang diajukan yang berkaitan dengan hasil studi ini adalah: (1) pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi pmdn di setiap kabupaten/ kota di diy dengan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung dengan cara memperbaiki sarana prasarana serta mempermudah peraturan untuk berinvestasi sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di diy dengan memanfaatkan sektor-sektor unggulan yang ada di kabupaten dan kota di provinsi diy. (2) pemerintah daerah diharapkan bisa menarik investasi asing dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif di mana dengan adanya proses perizinan yang cepat serta tidak menghambat dan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota di diy. (3) pemerintah hendaknya memanfaatkan tenaga kerja sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengadakan adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas yang mampu bersaing dan memperluas kesempatan kerja guna mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di diy. (4) pemerintah daerah diharapkan bisa mengalokasikan belanja daerah dengan efektif untuk kepentingan publik dengan cara memperbaiki sarana prasarana yang menunjang pembangunan di daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (5) bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggunakan data tenaga kerja yang bekerja bukan angkatan kerja yang bekerja. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 120-126 126 daftar pustaka ajija, s. r, dkk. (2011). cara cerdas menguasai eviews. jakarta: salemba empat. boediono. (1999). teori pertumbuhan ekonomi. yogyakarta: bpfe. fitrah, a. (2013). analisis pengaruh tingkat investasi, belanja pemerintah dan tenaga kerja terhadap pdrb di provinsi sulawesi selatan tahun 2001-2011. skripsi. universitas hasanuddin. makassar gujarati, d. r. (2012). dasar-dasar ekonometrika. jakarta: salemba empat. hudiyanto, (2001). pengantar ekonomi pembangunan. yogyakarta: bpfe jhingan m.l. (1999). ekonomi pembangunan dan perencanaan. edisi ketujuh, jakarta: pt raja grafindo persada. laporan keterangan pertanggungjawaban (lkpj) kepala daerah istimewa yogyakarta akhir tahun anggaran 2013. penyusunan data perijinan perusahaan pma/ pmdn se provinsi diy, 2013. bkpm diy restiatun. (2009). identifikasi sektor unggulan dan ketimpangan antarkabupaten/kota di provinsi daerah istimewa yogyakarta. jurnal ekonomi dan studi pembangunan, volume 10, nomor 1: 77-98. siagian, altito, r. (2010). dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan ketimpangan wilayah (studi kasus provinsi jawa barat), jurnal ekonomi, universitas diponegoro semarang. sumartono, et.al. (2007) perkembangan ekonomi regional daerah istimewa yogyakarta triwulan iv-2004. jurnal ekonomi dan bisnis, vol.20, no. 1: 1-22. sumodiningrat, g. (2010). ekonometrika pengantar. yogyakarta: bpfe. todaro, m.p. (2000). pembangunan ekonomi di dunia ketiga. edisi ke tujuh (diterjemahkan oleh haris munawar), jakarta: erlangga. www.bps.go.id (di akses tanggal 16 maret 2013) www.republika.co.id (diakses tanggal 17 maret 2012) microsoft word 04-ferdi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm.127-134 pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika dalam dua periode penerapan sistem nilai tukar ferdy ardiyanto1, ahmad ma’ruf2 1 institute of public policy and economic studies (inspect) yogyakarta, jalan kenari r 13 sidoarum iii, godean, sleman, yogyakarta, 55564 indonesia, phone: +62 274 798342, 2 fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656 e-mail korespondensi: makrov_jogja@yahoo.com naskah diterima: maret 2014; disetujui: juli 2014 abstract: the study aims to analyze the factors influencing the exchange rate movement to usd in 2 period’s data, the fixed floating exchange rate (1990-1997) and the free floating exchange rate (1998-2013). the study also aims to know the factors that influence the exchange rate has the different influence between those two periods. those factors are inflation rate, money supply, and gross domestic bruto. the method that is the multiple linear regression models, and chow-test. the result from this study shows that inflation rate, money supply, and gross domestic bruto; are influence and significant to the movement of the exchange rate of rupiah to usd. the analysis of chow test, we can conclude that those 3 factors simultaneously have two different effects between two periods when the different exchange rate regulation applied in indonesia. keywords: exchange rate; rate of exchange rate; money supply; gross domestic bruto jel classification: p45, f13,f31 abstrak: studi ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika pada dua periode data, periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali (1990-1997) dan periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas (1998-2013). studi ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah faktorfaktor yang mempengaruhi nilai tukar memiliki pengaruh yang berbeda pada dua periode tersebut. faktor-faktor tersebut adalah tingkat inflasi, jumlah uang beredar dan produk domestik bruto. metode yang digunakan dalam studi ini adalah regresi linier berganda dan uji chow, dengan pengujian dari tiap variabel-variabel menggunakan e-views 6. hasil dari studi ini menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah uang beredar dan pendapatan domestik bruto memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah pada dolar amerika. hasil analisis uji chow menyajikan kesimpulan bahwa ketiga faktor ekonomi tersebut secara simultan memiliki pengaruh yang berbeda di dua periode penerapan sistem nilai tukar yang pernah di terapkan di indonesia. kata kunci: nilai tukar; kurs; inflasi; jumlah uang beredar; produk domestik bruto klasifikasi jel: p45, f13,f31 pendahuluan tingginya permintaan dan penawaran dalam negeri akan komoditi barang dan jasa yang tersedia di luar negeri mengharuskan suatu negara melakukan hubungan internasional dengan negara lain. khususnya di negara indonesia yang mulai menerapkan perekonomian terbuka sejak tahun 1969 yakni sejak awal penerapan pelita i, interaksi ekonomi indonesia dengan negara lainnya mengalami perkembangan tahun demi tahun dan merupajurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 127-134 128 kan suatu aspek perekonomian yang harus diperhatikan baik dari segi regulasi maupun sistem pelaksanaanya. dalam pelaksanaan interaksi ekonomi antarnegara, keberadaan alat tukar sangatlah penting untuk memudahkan proses pertukaran tersebut, sebagaimana proses pertukaran dalam negeri, akan tetapi terdapat suatu permasalahan bagaimana mengukur harga mata uang suatu negara dibandingkan dengan harga mata uang negara lain dalam aktifitas ekonomi tersebut. oleh karena itu, pentingnya peranan kurs mata uang bagi suatu negara diperlukan berbagai upaya untuk menjaga posisi kurs mata uang suatu negara dalam keadaan yang relatif stabil. stabilitas kurs mata uang juga dipengaruhi oleh sistem kurs yang dianut oleh suatu negara. suatu negara yang menganut sistem kurs tetap (fixed exchange rate system), harus secara aktif melakukan intervensi pasar agar kurs mata uangnya berada pada tingkat yang diinginkan. sedangkan suatu negara yang menganut sistem kurs mengambang (floating exchange rate system), kurs mata uang sepenuhnya diserahkan pada kekuatan permintaan dan penawaran valuta asing. menurut deliarnov (2006) pergantian sistem kurs di indonesia sejak diterapkannya perekonomian terbuka sudah mengalami tiga kali perubahan seiring dengan pergantian periode kepemimpinan negara republik indonesia. dalam kurun waktu 17 april 1970 hingga 15 november 1978 digunakan sistem kurs tetap, di mana rupiah dipatok terhadap dolar rp415 per dolar amerika. pada periode 15 november 1978-desember 1995, digunakan sistem kurs mengambang terkendali (manage floating exchange rate system). sementara menurut imansyah (2007) ada berbagai indikator macro prudensial yang sebenarnya dapat dilihat resiko pelemahan rupiah terhadap usd, apalagi inflasi pada saat itu tidak dijaga dengan baik pada tahap dimulainya kebijakan inflation targeting. apabila merujuk hasil pengembangan sistem peringatan dini yang salah satunya dengan pendekatan non parametrik, maka resiko pelemahan rupiah terhadap usd sangatlah tinggi. tampaklah sebuah probabilitas akan terjadinya krisis di dalam 24 bulan setelah awal tahun 2004 cukup tinggi, signal peringatan dini telah menyala yang memberikan tanda adanya gangguan terhadap perekonomian. indikator-indikator dini yang memberikan tanda adalah harga minyak dunia, defisit fiskal, rasio tingkat bunga kredit dengan simpanan, rasio investasi terhadap pdb dan tingkat pertumbuhan riil pdb. sejak desember 1995, bank indonesia menggunakan aturan baru tentang kurs, di mana bank indonesia mengumumkan kurs rupiah terhadap dolar amerika yang diringi zona kurs batas atas dan batas bawah. perbatasan zona ini dinamai batas intervensi. misalnya, pertengahan juli 1996 ditetapkan batas nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika sebesar rp2.443 per dolar amerika dan batas bawah rp2.325 per dolar amerika, dengan lebar zona 5 persen. adapun sistem pengaturan seperti ini disebut zona target valuta asing (exchange rate target zone). sistem ini masih satu famili dengan sistem kurs mengambang terkendali, dalam artian periode 15 november 1978– 14 agustus 1997 bank indonesia menerapkan sistem kurs mengambang terkendali. jika kurs dalam kisaran zona batas atas dan bawah, bank indonesia tidak melakukan intervensi. akan tetapi, jika zona dilanggar, bank indonesia akan bertindak. sejak 14 agustus 1997, digunakan sistem kurs mengambang bebas, tidak ada lagi batas intervensi. sistem ini dipakai sebab bank indonesia merasa sulit melakukan operasi pasar setiap kali kurs membentur ambang batas intervensi. sayangnya, kebijakan ini tampaknya tidak dilakukan pada saat yang tepat, sebab sebagai dampak krisis ekonomi, nilai tukar rupiah mengalami tekanan depresiasi disertai volatilitas yang tinggi. ketika sistem kurs mengambang terkendali dilepas, kurs rupiah terhadap dolar masih berada pada kisaran rp2.400 per dolar amerika. begitu band intervensi ditiadakan, nilai rupiah langsung mengalami perubahan yang sangat besar, yaitu turun menjadi rp2.600 per dolar amerika ke rp4.000 per dolar amerika dan terus menurun hingga mencapai titik nadir januari 1998, rp17.000 per dolar amerika. jadi, dapat dikatakan andil sistem kurs mengambang bebas sangat besar dalam krisis ekonomi-moneter di indonesia 1997/1998. pergerakan nilai tukar rupiah (ferdy ardiyanto, ahmad ma’ruf) 129 kebijakan sistem nilai tukar yang diterapkan suatu negara sangat menarik untuk ditelaah apakah sistem tersebut sudah sesuai diterapkan dengan kebutuhan ekonomi, kondisi ekonomi dan pada waktu yang tepat. sebab jika kondisi ekonomi di negara itu sendiri sedang tidak stabil terlebih pada saat kondisi kurs yang sangat fluktuatif, kebijakan untuk berganti sistem nilai tukar sangatlah rentan akan mendatangkan kekacauan perekonomian negara itu sendiri. terlebih karena kurs kaitannya interaksi dengan negara lain maka penerapannya juga harus memperhatikan kondisi perekonomian dunia dan negara-negara lain, seperti halnya krisis global yang melanda amerika serikat dan lainnya. adapun dampak yang ditimbulkan dari inflasi akibat dorongan biaya produksi terhadap perekonomian di samping kenaikan harga juga mengakibatkan penurunan tingkat pendapatan nasional atau perekonomian mengalami kontraksi. hal ini terlihat pada fenomena inflasi karena dorongan biaya produksi juga terjadi manakala komponen produksi ada yang diimpor sementara nilai kurs mengalami depresiasi sehingga mengakibatkan kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan biaya produksi dari barang yang diimpor (yuliadi, 2013). dalam studi yang dilakukan oleh pratiwi dan santosa (2012), perubahan perilaku kurs rupiah terhadap dolar amerika banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor-faktor agregat makroekonomi dan faktor-faktor nonfundamental seperti faktor risiko suatu negara (country risk) dan faktor kondisi stabilitas politik yang terjadi. beberapa faktor agregat makroekonomi yang disinyalir paling berpengaruh di antaranya, yakni jumlah uang beredar, tingkat inflasi, dan produk domestik bruto. jumlah uang beredar sangat erat kaitannya dengan pergerakan nilai kurs, karena posisi jumlah uang beredar akan sangat mempengaruhi performa nilai suatu mata uang domestik dinilai dalam mata uang valuta asing. inflasi juga dikatakan mempengaruhi perubahan pergerakan nilai kurs karena mewakili nilai daya beli yang terjadi di suatu negara tersebut dan produk domestik bruto yang mewakili nilai hasil produksi barang dan jasa yang terjadi di suatu negara tersebut. berdasarkan studi sebelumnya yang telah dilakukan dengan beberapa metode dan variabel yaitu yang telah dilakukan oleh wibowo dan amir (2005) menunjukkan indeks harga konsumen signifikan dan berpengaruh secara positif terhadap nilai tukar rupiah. sementara produk domestik bruto dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap nilai tukar dan jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan. sedangkan studi pratiwi dan santoso (2012) menunjukkan hal yang sejalan dengan wibowo dan amir (2005) bahwa indeks harga konsumen signifikan dan berpengaruh secara positif. produk domestik bruto dan jumlah uang beredar signifikan dan berpengaruh negatif terhadap kurs mengambang bebas dan tingkat suku bunga signifikan dan berpengaruh secara positif. berbeda halnya dengan oktavia, dkk. (2013) menganalisis kurs dan money supply indonesia menunjukkan bahwa inflasi, produk domestik bruto dan jumlah uang beredar signifikan dan berpengaruh secara positif. sedangkan neraca perdagangan tidak berpengaruh secara signifikan. metode penelitian jenis dan sumber data studi ini menggunakan data dari nilai tukar (kurs) rupiah pada dolar amerika sebagai variabel dependen dan data dari tingkat inflasi, jumlah uang beredar dan peroduk domestik bruto sebagai variabel independen. sampel pada studi ini diambil secara random berpedoman pada beberapa studi terdahulu yang sejenis dan memiliki keterkaitan dengan studi yang diambil pada periode penerapan sistem kurs mengambang terkendali (1990:1-1997:4) dan pada periode penerapan sistem kurs mengambang bebas (1998:1-2013:4) dalam bentuk data triwulan. sumber data dalam studi ini diperoleh dari statistik ekonomi keuangan indonesia (seki) bank indonesia baik dari situs resmi maupun data cetak yang diterbitkan bank indonesia provinsi yogyakarta. data-data yang diperlukan tersebut dikumpulkan dengan melakukan non participant observation, yaitu melakukan pengunduhan (download) dari berbagai situs yang relevan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 127-134 130 dengan kesesuaian kebutuhan data, mencatat dan atau menyalin data dari berbagai publikasi dan laporan keuangan. analisis data data studi ini menggunakan data time series dalam bentuk data triwulan selama dua periode, yaitu periode penerapan sistem kurs mengambang terkendali dan periode penerapan sistem kurs mengambang bebas dengan analisis kuantitatif. metode analisis yang digunakan dalam studi ini dengan regresi linear berganda dan uji chow. adapun persamaan dari beberapa variabel yang digunakan dalam studi maka dapat dibuat suatu model studi sebagai berikut: lny = β0 + β1 x1 + β2 lnx2 + β3 lnx3 1) di mana: y adalah variabel kurs rupiah terhadap dolar amerika; adalah konstanta; , , adalah koefisien variabel 1,2,3; adalah variabel tingkat inflasi; adalah jub indonesia; adalah variabel pdb indonesia. analisis dengan pendekatan regresi linear berganda dan uji chow menggunakan alur penyelesaian dengan beberapa urutan langkah pengujian sebagai berikut: uji kualitas data uji autokorelasi. jika terjadi korelasi, maka dinamakan problem autokorelasi. autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. pada studi ini menggunakan uji durbin–watson (dw test). uji durbin watson hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu dan mensyaratkan adanya konstanta dalam model regresi dan tidak ada varibel di antara variabel independen. uji heteroskedastisitas. uji heteroskedastitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. model regresi yang baik adalah tidak adanya heteroskedastisitas. akibat dari adanya heteroskedastisitas pada hasil regresi pada data adalah dapat menimbulkan varians yang tidak lagi minimum, pengujian dari koefisien regresi menjadi kurang kuat, koefisien penaksir menjadi bias, dan kesimpulan yang diambil menjadi salah. studi ini menggunakakan uji white heteroskedastisitas dengan menggunakan dasar pengambilan keputusan sebagai berikut: jika obs*r-squared < α 0,05 terdapat masalah heteroskedastisitas. sedangkan jika obs*rsquared > α 0,05 tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. uji multikolinearitas. untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen mengandung multikolinearitas atau tidak maka dapat diketahui dengan melakukan estimasi regresi salah satu variabel independen dengan variabel independen lainnya. langkah selanjutnya membandingkan hasil r-squared setiap hasil estimasi dengan berdasar pada ketentuan perbandingan dari r-squared r1, r2, r3, dan r4 yaitu dengan dengan menggunakan asumsi: apabila nilai r1 > r2, r3, r4, r5 maka model tidak ditemukan adanya multikolinearitas. apabila nilai r1 < r2, r3, r4,r5 maka model ditemukan adanya multikolinearitas. uji hipotesis uji f. uji ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersamasama berpengaruh terhadap variabel dependen. atau untuk mengetahui apakah model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau tidak. uji f dapat dilakukan baik secara simultan maupun parsial. uji t. uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. untuk mengetahui signifikansi, uji ini membandingkan antara t hitung dan t tabel. apabila t hitung > t tabel maka variabel independen secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. hasil dan pembahasan pembagian data menjadi dua kelompok data di lakukan dikarenakan pada data terdapat pergerakan nilai tukar rupiah (ferdy ardiyanto, ahmad ma’ruf) 131 adanya structural break akibat perubahan kebijakan penerapan sistem nilai tukar pada 14 agustus 1997. observasi yang dilakukan pada variabelvariabel yang terkait dan menemukan bahwa efek structural break akibat perubahan kebijakan penerapan sistem nilai tukar pada 14 agustus 1997 mulai berdampak pada sektor ekonomi di awal tahun 1998. hal ini dibuktikan dengan hasil estimasi regresi yang tidak signifikan pada range data 1990q1-1997q3, tampak dalam tabel 1. melalui grafik cusum test, menunjukkan bahwa efek structural break mulai terjadi pada 1998, sehingga peneliti membagi ke dalam dua kelompok data dengan range yaitu data tahun 1990q1-1997q4 dan data tahun 1998q1-2013q4.   gambar 1. analisis struktural break sebelumnya telah dilakukan deskripsi data pada penerapan periode sistem nilai tukar mengambang terkendali diperoleh jumlah observasi atau range sebanyak 32 data. sementara pada penerapan periode sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sebanyak 66 data. hal ini dilakukan karena terjadinya efek struktural break yang terjadi pada tahun 1998, yang mengharuskan peneliti mengelompokkannya menjadi dua kelompok data range. uji kualitas data uji autokorelasi dilakukan dengan uji durbin-watson periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali menunjukkan nilai sebesar dw = 1,978, sehingga hipotesis nul (h0) ditolak dan tidak terdapat masalah pada asumsi autokorelasi. sementara hasil uji durbinwatson pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas menunjukkan nilai sebesar dw = 1,78, sehingga hipotesis nul (h0) ditolak dan tidak terdapat masalah pada asumsi autokorelasi. uji heteroskedastisitas dilakukan dengan uji white, hasil pengujian menunjukkan nilai probalitas obs*r-squared sebesar 0,3217 > 0,05 artinya hipotesis nul ditolak dan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali. begitu pula dengan periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas, setelah dilakukan uji white menunjukkan nilai probabilitas obs*r-squared sebesar 0,2914 > 0,05 artinya hipotesis nul ditolak dan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas. uji multikolinearitas pada data periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali diperoleh r1 sebesar 0,762, r2 sebesar 0,017, r3 sebesar 0,64 dan r4 sebesar 0,54 yang menunjukkan nilai r1 > r2, r3, r4 sehingga hipotesis nul ditolak dan terbebas dari asumsi multikolinearitas. sementara pengujian multikolinearitas pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas diperoleh r1 sebesar tabel 1. hasil estimasi data periode 1990q1 1997q3 variabel koefisien standar eror t-statistik probabilitas konstanta 4,9231 1,275 3,860 0,0006 lninf 0,0073 0,008 0,853 0,4009 lnjub 0,2810 0,127 2,209 0,0358 lnpdb -0,0716 0,203 -0,086 0,9314 r-squared 0,7817 f-statistic 30,24207 rss 0,0843 prob(f-statistic) 0,000000 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 127-134 132 0,245, r2 sebesar 0,187, r3 sebesar 0,156, r4 sebesar 0,216 yang menunjukkan r1 > r2, r3, r4 dan hipotesis nul ditolak dan terbebas dari asumsi multikolinearitas. hasil estimasi data pada tabel 2 menunjukkan bahwa variabel inflasi dan jumlah uang beredar signifikan dan berpengaruh terhadap kurs rupiah pada dolar as, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 2. hasil uji hipotesis penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali. uji f yang didapatkan dari hasil penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali menunjukkan nilai probabilitas fstatistik sebesar 0,000 < 0,05. hal ini berarti bahwa hipotesis nul ditolak dan dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel bebas secara simultan dan signifikan. uji t pada penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali menunjukkan variabel inflasi signifikan dan berpengaruh positif terhadap kurs rupiah pada dolar as dengan tingkat probabilitas sebesar 0,0017 < 0,05. signifikansi juga terjadi pada variabel jumlah uang beredar dan berpengaruh positif terhadap kurs rupiah pada dolar as dengan tingkat probabilitas sebesar 0,0001 < 0,05. hal ini berbeda dengan variabel pdb signifikan dan berpengaruh negatif terhadap kurs rupiah pada dolar as dengan tingkat probabilitas sebesar -0,0175 < 0,05. uji koefisien determinasi (r2) pada penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali diperoleh r-square sebesar 0,762. hal ini menunjukkan bahwa sebesar 76,2% variabel independen berpengaruh variabel dependen dan 23,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model yang digunakan. penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas. uji f yang didapatkan dari hasil penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas menunjukkan hasil yang sama dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali yaitu nilai probabilitas f-statistik sebesar 0,000 < 0,05. hal ini berarti bahwa hipotesis nul ditolak dan dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel bebas secara simultan dan signifikan. uji t pada penerapan sistem mengambang bebas hasil estimasinya menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu variabel inflasi signifikan dan berpengaruh positif terhadap kurs rupiah pada dolar as dengan probabilitas sebesar 0,0004 < 0,05. pada variabel jumlah uang beredar telah signifikan dan berpengaruh positif terhadap kurs rupiah pada dolar as dengan tingkat probabilitas sebesar 0,014 < 0,05. sementara variabel pdb signifikan dan berpengaruh negatif terhadap kurs rupiah pada dolar as. namun ada suatu hal yang kurang memuaskan pada nilai koefisien determinasi (r2) pada penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sebesar 0,245. hal ini menunjukkan bahwa hanya 24,5% variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen dan 75,5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model yang digunakan. uji chow hasil residual sum square (rss) sektor gabungan diperoleh nilai f hitung sebesar 90,17 dan f tabel sebesar 2,48, sehingga hal ini menunjukkan f hitung > f tabel. ketika f hitung > f tabel maka hipotesis nul ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh variabel-variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen pada tabel 2. estimasi data periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali variabel koefisien standar eror t-statistik probabilitas konstanta 8,575 1,868 4,588 0,0001*** lninf 0,040 0,011 3,480 0,0017** lnjub 0,762 0,170 4,463 0,0001*** lnpdb -0,716 0,283 -2,524 0,0175*** r-squared 0,762 f-statistic 30,01 rss 0,228 prob(f-statistic) 0,000000 keterangan: *** signifikan pada α=1%; **signifikan pada α=5%; *signifikan pada α=5% pergerakan nilai tukar rupiah (ferdy ardiyanto, ahmad ma’ruf) 133 periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas. pengaruh inflasi terhadap kurs. pengaruh inflasi terhadap kurs, dari hasil uji hipotesis, baik pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali maupun pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dapat disimpulkan bahwa variabel inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kurs di indonesia. koefisien inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap pergerakan kurs di indonesia. dengan begitu secara fungsional dapat dikatakan bahwa apabila inflasi meningkat maka akan mengakibatkan meningkatnya nilai kurs di indonesia, dengan kata lain korelasi antara inflasi dengan kurs berbanding lurus. pengaruh jumlah uang beredar terhadap kurs. pengaruh jumlah uang beredar terhadap kurs, dari hasil uji hipotesis, baik pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali maupun pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kurs di indonesia. koefisien jumlah uang beredar mempunyai pengaruh positif terhadap pergerakan kurs di indonesia. dengan begitu secara fungsional dapat dikatakan bahwa apabila jumlah uang beredar meningkat maka akan mengakibatkan meningkatnya nilai kurs di indonesia, dengan kata lain korelasi antara jumlah uang beredar dengan kurs berbanding lurus. pengaruh produk domestik bruto terhadap kurs. pengaruh peroduk domestik bruto terhadap kurs, dari hasil uji hipotesis, baik pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali maupun pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kurs di indonesia. koefisien jumlah uang beredar mempunyai pengaruh negatif terhadap pergerakan kurs di indonesia. dengan begitu secara fungsional dapat dikatakan bahwa apabila jumlah uang beredar meningkat maka akan mengakibatkan turunnya nilai kurs di indonesia, dengan kata lain korelasi antara jumlah uang beredar dengan kurs berbanding terbalik. simpulan berdasarkan hasil estimasi dengan regresi linear berganda dan uji chow diperoleh beberapa kesimpulan: pertama, hasil pengujian variabel dependen pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan mengambang bebas yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika, berdasarkan uji f pada kedua periode tersebut dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama (simultan) variabel independen yaitu inflasi, jumlah uang beredar (m1) dan produk domestik bruto terhadap nilai tukar rupiah pada dolar amerika. kedua, berdasarkan hasil uji t (uji secara parsial) pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan mengambang bebas sebelum diterapkannya free floating exchange rate system dapat disimpulkan variabel inflasi berpengaruh signifikan secara positif terhadap kurs, variabel jumlah uang beredar (m1) berpengaruh signifikan secara positif tabel 3. estimasi data periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas variabel koefisien standar eror t-statistik probabilitas konstanta 16,771 3,993 4,199 0,0001*** lninf 0,013 0,003 3,790 0,0004*** lnjub 0,431 0,171 2,514 0,0146** lnpdb -1,004 0,470 -2,135 0,0368** r-squared 0,245 f-statistic 6,522 rss 0,671 prob(f-statistic) 0,000683 keterangan: *** signifikan pada α=1%; ** signifikan pada α=5% sumber: data diolah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014: 127-134 134 terhadap kurs dan variabel produk domestik bruto berpengaruh signifikan secara negatif terhadap kurs pada dua periode penerapan kebijakan sistem nilai tukar tersebut. ketiga, berdasarkan hasil perhitungan pada uji chow, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh variabel-variabel independen secara simultan yang sangat signifikan yaitu inflasi, jumlah uang beredar dan produk domestik bruto terhadap variabel dependen yaitu kurs pada periode penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan periode penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas. daftar pustaka deliarnov. (2006). ekonomi politik. jakarta: erlangga. imansyah, h.m. (2007). kebijakan inflation targeting: antisipasi krisis nilai tukar. jurnal ekonomi dan studi pembangunan, volume 8, nomor 2: 162-170. oktavia, a.l, sentosa, u.s., dan aimon, h. (2013). analisis kurs dan money supply di indonesia, padang. pratiwi, t.e dan santosa, p.b. (2012). analisis perilaku kurs rupiah (idr) terhadap dolar amerika (usd) pada sistem kurs mengambang bebas di indonesia periode 1997.3–2011.4. skripsi. semarang: undip. priyanto, d. (2008). mandiri belajar spss. yogyakarta: mediakom. rosadi, d. (2011). ekonometrika dan analisis runtun waktu terapan. yogyakarta: c.v andi offset. samuelson, p.a., dan nordhaus w.d. (1996). makro-ekonomi. jakarta: erlangga. wibowo, t., dan amir, h. (2005). faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah. jakarta: departemen keuangan. yuliadi, i. (2013). analisis inflasi di indonesia; seleksi model ekonometrika. jurnal ekonomi & studi pembangunan, volume 14, nomor 1: 43-53. microsoft word 04-suryanto jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.33-42   strategi adaptasi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian tembakau fitria annisa putri dan suryanto fakultas ekonomi universitas sebelas maret surakarta jalan ir. sutami no. 36 a kentingan surakarta 57126, telp. 0271 647481, fax. 0271 638143 e-mail: fitriaannisaputri@yahoo.com abstract: the purposes of this study are: 1) to describe the adaptation strategies by tobacco farmers caused by climate change, 2) to determine social, economic, and risk perceptions variables toward decision of tobacco farmers to do the mitigation. the area of research is in kecamatan bulu, kabupaten temanggung. data analysis method used in this research are descriptive analysis and linear regression. based on the descriptive analysis showed some adaptation strategies by tobacco farmers in kecamatan bulu, have been done by pendangiran, fertilizing, spraying anti-foul, delaying planting and tumpangsari. the results of the regression analysis showed that farmers' income variables have a statistically significant effect on the degree of confidence of 5%, while the land area variable has a statistically significant effect on the degree of confidence of 10%. increasing of income is needed to increase willingness to pay to reduce losses due to climate change. the education, age, and risk perception variables did not influence the decision to undertake adaptation strategies in the study area. keywords: tobacco farmers, adaptation strategies, climate change, the risk of farming abstrak: tujuan penelitian ini adalah: 1) menggambarkan strategi adaptasi petani tembakau karena perubahan iklim, 2) menentukan variabel-variabel sosial, ekonomi, dan persepsi risiko, yang mengarah pada keputusan para petani tembakau melakukan mitigasi. wilayah penelitian berlokasi di kecamatan bulu, kabupaten temanggung. kemudian metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan regresi linear. berdasarkan analisis deskriptif menunjukkan beberapa adaptasi strategi oleh petani tembakau di kecamatan bulu, telah dilakukan oleh pendangiran, fertilizing penyemprotan anti-foul, menunda penanaman dan tumpangsari. hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel pendapatan petani memiliki efek signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 5%, sementara variabel area tanah memiliki efek yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 10%. kenaikan pendapatan petani diperlukan untuk memperbesar tingkat kesediaan membayar dalam menurunkan kerugian akibat perubahan iklim. variabel-variabel pendidikan, usia, dan persepsi risiko tidak mempengaruhi keputusan melakukan strategi adaptasi di wilayah penelitian. kata kunci: petani tembakau, strategi adaptasi, perubahan iklim, risiko usaha tani pendahuluan dampak perubahan iklim yang paling nyata pada sektor pertanian adalah kerusakan (degradasi) dan penurunan kualitas sumberdaya lahan dan air, infrastruktur pertanian, penurunan produksi dan produktivitas tanaman pangan, yang akan menghasilkan ancaman kerentanan dan kerawanan terhadap ketahanan pangan dan bahkan kemiskinan. hal tersebut dapat meningkatkan risiko usaha tani, baik pangan, perkebunan, peternakan, maupun hortikultura. para petani bingung menghadapi perubahan iklim karena hujan tidak kunjung berhenti, misalnya tembakau milik petani di jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 33-42 34 temanggung rusak akibat terlalu banyak hujan. serangan hama juga menurunkan produksi panen. informasi iklim sangat dibutuhkan petani namun informasi ramalan cuaca kebanyakan tidak akurat dan petani tidak mendapatkan informasi tersebut. kabupaten temanggung merupakan salah satu penghasil tembakau di jawa tengah. terdapat tiga gunung yang mengelilingi kabupaten temanggung, antara lain gunung sumbing (3.371 meter di atas permukaan laut), gunung sindoro (3.153 meter), dan gunung prau (2.656 meter) dengan kondisi tanah yang berpasir dan sedikit masam merupakan tanah non-irigasi atau pertanian tadah hujan. tanah tersebut setiap tahunnya ditanami dengan tanaman tembakau. tanaman tembakau sudah turuntemurun dari sesepuh dahulu merupakan tanaman andalan petani temanggung. hasil panen tersebut akan terbeli oleh pabrik dari rokok kretek, yaitu pabrik gudang garam, djarum, bentoel dan pabrik rokok sukun. tembakau di daerah temanggung tergolong tembakau musim kemarau (voor-oogst) yang digunakan sebagai bahan membuat rokok kretek. tembakau temanggung dapat menyumbang 60-80 persen terhadap total pendapatan petani. nilai ekonomi yang tinggi menyebabkan daya saing tembakau temanggung terhadap komoditas lain juga sangat tinggi. luas areal tembakau temanggung adalah 19.000 hektar dan jumlah petani yang mengandalkan pendapatanya dari tembakau sekitar 57.000 orang. sektor pertanian di kabupaten temanggung, khususnya tembakau sangat besar peranannya terhadap pdrb (pendapatan daerah regional bruto) karena 70 persen berasal dari sektor tersebut. (suwarso et al, 2009) dalam drasti (2011)). masa penanaman tanaman tembakau daerah pegunungan berkisar dari pertengahan bulan februari sampai dengan akhir bulan maret. sedangkan pada tanah persawahan, diperkirakan masa tanam pada pertengahan bulan april sampai dengan akhir bulan mei. lahan tersebut terus disterilkan dari gangguan rumput-rumput liar di sekitar tanaman sampai tembakau tersebut berbunga. tanaman tembakau akan terlihat baik apabila pada waktu penanaman terjadi hujan, hal itu akan membantu pertumbuhan tanaman agar cepat tumbuh dan berkembang. semakin kering lahan kondisi lahan, semakin baik tembakau yang dihasilkan. intensitas cahaya matahari yang tinggi sangat diperlukan terutama pada masa panen dan proses pengolahan pascapanen yang meliputi pemeraman, perajangan, dan pengeringan. faktor cuaca sangat mempengaruhi kualitas tembakau yang dihasilkan sehingga turut menentukan harga jual. para petani mengkhawatirkan apabila hujan turun pada saat musim panen yang diperkirakan terjadi pada bulan juli, agustus dan september karena akan menghasilkan daun yang rusak karena dapat menurunkan kualitas tembakau yang diolah dan tidak dapat dipergunakan sebagai bahan rokok kretek. tembakau yang ditanam di kabupaten temanggung berdasarkan penanaman yakni tembakau gunung dan tembakau sawah. tembakau gunung dibedakan menjadi dua berdasarkan penanaman yakni tegal atas (lebih dari 1200 m dari permukaan laut) dan tegal bawah (900-1200m dari permukaan laut). jenis tembakau yang dihasilkan ada dua macam yaitu tembakau kuning dan hitam. berdasarkan mutu tembakau, tembakau kuning lebih rendah daripada tembakau hitam. tembakau hitam mempunyai mutu khusus yang disebut srintil. tembakau srintil menempati kelas tersendiri karena mutu dan harganya tertinggi di samping kelangkaannya (dinas perkebunan, kehutanan dan konservasi sda kabupaten temanggung, 2006). tanaman tembakau di daerah dataran rendah memerlukan curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, sedangkan untuk tembakau di dataran tinggi memerlukan curah hujan antara 1.500-3.000 mm/tahun. tanaman tembakau memerlukan lokasi dan suhu udara yang sesuai. suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan tembakau adalah berkisar antara 21˚c32,3˚c. tembakau temanggung baik ditanam pada berbagai tipe tanah seperti laktosol, regosol, dan andosol dengan ketinggian 5001.450 mdpl (dinas perkebunan, kehutanan dan konservasi sda kabupaten temanggung, 2006). perubahan iklim sangat nyata mempengaruhi hasil dari tanaman tembakau itu sendiri. strategi adaptasi dampak perubahan iklim (fitria annisa putri dan suryanto) 35 terlihat jelas pada tahun 1998, pada saat itu iklim yang terjadi sangat tidak baik bagi pertumbuhan maupun kehidupan tanaman tembakau. dari pagi, siang, sore sampai malam hujan terus mengguyur tanah perkebunan ataupun persawahan tembakau. tidak terlihat sedikit pun sinar matahari yang muncul. hal tersebut yang memacu gagalnya panen di kabupaten temanggung. hasilnya pun sama sekali tidak dapat digunakan sebagai bahan membuat rokok, maka dari itu petani hanya dapat menggunakannya sebagai rajangan untuk membuat susur yang dipakai oleh orangorang tua di pedesaan. mutu suatu tembakau temanggung akan sangat menentukan suatu harga di pasaran. hal ini berarti bahwa produktivitas meningkat, namun mutu dari produk rendah, tidak akan memberikan manfaat yang memadai bagi petani. untuk mencapai hasil tembakau yang maksimal, maka perlu dilakukan cara sebagai berikut (ditjenbun, 2007): (1) penggunaan benih yang unggul, (2) pengolahan tanah sesuai dengan baku teknis, (3) pengaturan air termasuk peramalan iklim, (4) pemupukan tanaman, (5) perlindungan tanaman, dan (6) panen serta pacsapanen. tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) mendeskripsikan strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani tembakau di kecamatan bulu, temanggung, dan (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani, seperti pendapatan, pendidikan, umur petani, persepsi risiko, dan luas lahan dalam melakukan strategi adaptasi dengan menggunakan willingness to pay (wtp). perubahan iklim merupakan berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (kementerian lingkungan hidup, 2001 dalam lapan). perubahan ini tidak hanya terjadi sesaat tetapi dapat terjadi dalam kurun waktu yang panjang. nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yng dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. wtp juga dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu (fauzi, 2010). metode penelitian penelitian ini menggunakan data primer yang berupa kuesioner yang dibagikan kepada petani tembakau. dalam pengambil sampel menggunakan metode cluster sampling pada desa yang terpilih yaitu proses pengambilan sampel yang dilakukan dengan menyeleksi anggota sampel dalam kelompok dan bukan secara individu secara terpisah (tuwu, 1993:167). untuk menentukan ukuran sampel (n) diambil dari pendekatan jumlah populasi (n) dengan menggunakan formula slovin (1960) sebagai berikut (tuwu, 1993:161): 1 . di mana: n adalah jumlah populasi, e adalah kesalahan yang diharapkan peneliti, n adalah jumlah sampel yang diambil sesuai dengan rumus slovin yang telah diuraikan sebelumnya, maka jumlah sampel yang akan diambil dengan tingkat ketepatan 90% dalam penelitian ini. populasi ini berdasarkan pada petani yang mempunyai lahan tegalan. tempat penelitian dilakukan di kecamatan bulu, ada 11 desa yang menggunakan lahan tegalan sebagai media tanamnya. penduduk dari 11 desa tersebut diperoleh hasil 2730 orang yang tinggal di daerah tersebut. dihitung menggunakan rumus slovin yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya didapat jumlah sampel sebanyak 96 responden dengan batas kesalahan sebesar 10%. analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. hubungan tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel terikat y dengan satu atau lebih variabel bebas x1, x2,…,xn. dalam analisis regresi pola hubungan antarvariabel diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi yang diduga berdasar data sampel. 3 in m l k p l a (a r β b g te k k te d la d d te m je d n m s p p y b u la ju d r p k k r 36 model y ni adalah: model regre ln(wtp) = β β keterangan: ponden untu ln(pend) a adalah luas age) adala risiko, e ad β1-β5 adala bel independ hasi gambaran u embakau di kasikan mela kan respond ersebut meli dikan, pend ahan yang d diaan petan dampak per embakau. mampu mem elas mengen diteliti. pertama ngaruh terha mempengaru silkan. sema produktivita pai batas ter yang dihasilk bidang perta umur petani am melaku umlah peta disajikan pad berdasar responden y persen antara kan persenta kurang dari ruhi stamin ju yang digun esi double lo β0+β1ln(inc β3(edc)+β4(a ln(wtp) a uk membaya adalah pen lahan, (edc ah umur, ( dalah error, ah koefisien den il dan pe umum men i kecamatan alui petani den dalam iputi keadaa dapatan, per digunakan u ni untuk me rubahan ikl identifikasi mberikan g nai kondisi a yaitu umu adap produk uhi produks akin bertamb s kerjanya s rtentu karen kan juga me anian biasan akan semak ukan suatu ani berdasar da gambar 1. rkan dari s yang terting a usia 41 sam ase terendah 70 tahun. u na dan pro rnal ekonom akan dalam og c)+β2ln(lan age)+β5(ris adalah kese ar (variabel ndapatan, l c) adalah p risk) adala β0 adalah masing-ma embahas ngenai kead n bulu dapa tembakau y penelitian. an umur, tin rsepsi risiko untuk meng elakukan st lim terhada tersebut gambaran um petani temb ur petani y ktivitas kerja si tembakau bah umur pe semakin men na curahan t enurun. nam nya semakin kin berpeng pekerjaan. rkan kelom survei, pers ggi yaitu se mpai 50 tahu h yaitu 1,04 usia dapat m oduktivitas mi dan studi m penelitian nd)+ sk) + e esuaian resdependen), ln(lahan) pendidikan, ah persepsi konstanta, asing variasan daan petani t diidentifiyang dijadiidentifikasi ngkat pendio dan luas gukur kesetrategi dari ap tanaman diharapkan mum yang bakau yang yang berpea yang akan yang dihaetani, maka nurun samtenaga fisik mun, dalam n bertambah galaman dagambaran mpok umur entase usia besar 41,67 un, sedangpersen usia mempengaresponden, pembangun semakin nurunka ponden masih da dan mas mereka m sumber: da ked an dapa an kera dapat d informas but. ting tanggap faatkan respond sumber: da men kan gam tertinggi sekolah kan ting jenjang p sebesar yoritas r dilihat p nan volume 1 n bertambah an produktiv tergolong apat memen sih dapat me miliki. ata primer, diola gambar 1 dua yaitu tin at membantu ngka berpik digunakan u si dan memp gkat pendid atau tidak kesempatan en dapat dil ata primer, diola gambar 2. t nurut hasil mbar 2 bahwa i terdapat dasar (sd) gkat pendidik pendidikan p 1,0%. dapa responden b pada tingka 13, nomor 1, h usia seseor vitasnya. ma usia prod nuhi kebutuh eningkatkan ah 2012 . umur respo ngkat pendid u petani dal kir secara s untuk mener pergunakan dikan juga ak knya petani n atau pelu lihat pada ga ah 2012 tingkat pend dari survei a jumlah ting pada jenja , yaitu 65,5 kan terenda perguruan t at disimpulk erpendidika at pendidik april 2012: 3 rang dapat ayoritas usia uktif, sehin han keluarga n usahatani y onden dikan. pendi am pemben sederhana y rima, meng informasi te kan menentu dalam mem ang. kompo ambar 2. idikan yang ditun gkat pendid ang pendid persen seda h terdapat p tinggi (pt) y kan bahwa an rendah, d kan jenjang 33-42 me resngga anya yang idikntukyang olah erseukan manosisi njukikan ikan angpada yaitu maapat sd strateg yang le ke pat m rumah tangga pengha jaan p diterim menun memlik rp2.00 sar r persen tani rp1.00 pendap besar j tingkat sumber: ke tembak ruh pa bahwa tembak ini data sumber: gi adaptasi d ebih tinggi d etiga yaitu p mencerminka htangga. be a per bulan asilan tidak okok melain ma responde njukkan 4,1 ki pendap 00.000. petan p1.000.001-r n, sedangkan yang b 00.000 dan 2 patan kuran jumlah pend t kesejahtera data primer, dio gambar 3 eempat, yait kau luas lah ada produk a luas lahan y kau juga be a yang berup data primer, dio gam dampak peru daripada per pendapatan an keadaan esarnya pen responden hanya bersu nkan total p en setiap bu 7 persen p patan antar ni yang berp rp1.500.000 n 59,38 perse berpenghasil 21,88 persen ng dari rp5 dapatan dap aan hidup. olah 2012 3. tingkat pen tu luas laha han tembaka ksi, hal ini yang semak ertambah be pa diagram p olah 2012 bar 4. luas la ubahan iklim rguruan ting rumahtangg ekonomi ndapatan r cukup bera umber dari p penghasilan ulannya. gam petani temb ra: rp1.50 pendapatan sebanyak en merupaka lan rp50 lainnya me 00.000 per b pat menunju ndapatan an. pada tan u akan berp dapat dipa kin besar pro esar pula. b pada gamba ahan m (fitria ann ggi. ga dasuatu rumah agam. pekern yang mbar 3 bakau 00.001 sebe14,58 an pe00.001emiliki bulan. ukkan naman pengaahami oduksi berikut ar 4. pe ku pe de de ya me gr pe ru tan sa ga da seb de ny ka ha sa sum st ba ha ne jua tu di tem pa dil ma de pe tan ng nisa putri dan gambar 4 ersentase ter urang dari ersen. persen engan luas engan 1,5 he aitu 0,5 ha. s erupakan ha kelima y am pada ga etani respond uhnya damp naman temb rkan hasil ambar 5 terli alam perseps besar 83,33 en banyak ya ya perubaha au akan mem asil yang bur at panen. mber: data prim g trategi adap agi petani te arapan mere en yang berk al yang ting runnya huja saat musim mbakau da ada daun tem terdapat lakukan ole atan bulu te engan melak enyemprotan nam dan m giran adalah n suryanto) 4 memberik rbesar luas 0,5 hektar ntase terend lahan antar ektar. rata-r sebagian bes ak milik prib yaitu tentang ambar 5 mer den mengen pak peruba bakau yang analisis yan hat bahwa s si risiko den persen itu a ang menjaw an iklim pad mpengaruhi ruk dan men mer, diolah 2012 ambar 5. pers ptasi embakau pa eka adalah m kualitas baik ggi. perubah an dengan i m panen dap an dapat m mbakau. beberapa s h para peta epatnya di kukan pend n obat anti b melakukan t h salah satu kan informa lahan peta yaitu sebe dah yaitu 4, a 1,01 hekt rata luas lah ar lahan yan badi. g persepsi ri upakan hasi nai seberapa ahan iklim mereka tana ng ditunjuk skor jawaban ngan skala 1 artinya bahw ab setuju de da saat musi daya tahan ngalami keru epsi risiko da saat mus mendapatkan k dan mempu han iklim yan ntensitas cu pat merusak mengalami k strategi adap ni tembakau desa wono dangiran, pe busuk, menu tumpang sa strategi adap 37 asi bahwa ani adalah esar 61,46 ,17 persen ar sampai han petani ng dimiliki isiko. diail jawaban berpengaterhadap am. berdakkan pada n tertinggi 11-15 yaitu wa responengan adaim temban tanaman, ugian pada sim tanam n hasil paunyai nilai ng berupa ukup besar k tanaman kebusukan ptasi yang u di kecasari, yaitu mupukan, unda masa ri. pendaptasi yang jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 33-42 38 dilakukan bertujuan merawat ulang dengan membuat saluran air pada tanah yang akan ditanami tembakau dengan cara meninggikan tanah tersebut agar air yang membasahi tidak dapat merendam tanaman. apabila terjadi iklim yang buruk strategi tersebut biasanya dilakukan sampai 3 kali selama masa tanam dan tergantung struktur tanah. strategi dalam hal pemupukan memang lazim dilakukan untuk menyuburkan tanaman, biasanya pemupukan dilakukan 2 kali selama masa tanam berbeda halnya apabila pada musim buruk pemupukan dapat dilakukan sampai 4 kali dalam masa tanam. pendangiran dan pemupukan yang dimaksud di sini adalah sebuah tindakan susulan apabila terjadi musim yang tidak baik untuk pertumbuhan tembakau. strategi adaptasi yang lain guna menjaga tanaman dari serangan hama, yaitu dengan melakukan penyemprotan obat pada tembakau. ada dua cara yang dilakukan, pertama adalah dengan penyemprotan daun dengan obat fungisida bertujuan agar daun tembakau tidak busuk dikarenakan oleh jamur. kedua adalah penyemprotan pada pohon, dimulai dari waktu pembibitan diawal masa tanam dengan memberi obat biolak. menunda masa tanam juga dilakukan oleh petani di kecamatan bulu apabila terdeteksi bahwa cuaca yang terjadi sangat buruk. hal ini dilakukan hanya selang beberapa hari saja dengan masa tanam yang seharusnya dilakukan. biasanya sekitar 8 sampai 10 hari penundaan masa tanam yang dilakukan oleh petani tembakau di kecamatan bulu. strategi adaptasi yang selanjutnya adalah melakukan tindakan tumpang sari. dengan menanami tanaman seperti tanaman palawija di sela-sela tanaman tembakau. hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kerugian apabila mengalami hasil panen pada tembakau tersebut buruk. analisis regresi setelah dilakukan survei kepada petani tembakau di desa wonosari, kemudian akan dilakukan analisis regresi guna untuk mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). analisis yang digunakan adalah model regresi berganda dengan bentuk double log. untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen, digunakan alat analisis regresi berganda, dengan model regresi double log linear sebagai berikut: ln(wtp) = β0 + β1ln(inc) + β2ln(land) + β3(edc) + β4 (age) + β5(risk) + e dimana: ln(wtp) adalah kesediaan membayar (willingness to pay), ln(inc) adalah pendapatan, ln(land) adalah luas lahan, (edc) adalah pendidikan, (age) adalah umur, (risk) adalah persepsi risiko, β1-β5 adalah koefisien regresi, β0 adalah konstanta, dan e adalah error. (1) uji multikolinearitas. multikolinearitas adalah suatu kondisi dimana terdapat korelasi atau hubungan antarvariabel independen. cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas salah satunya dengan membandingkan r2 (koefisien determinasi) regresi awal dengan r2 parsial (koefisien korelasi antarvariabel independen). dengan kriteria pengujian: (a) jika nilai r2> r2 maka ada masalah multikolinearitas. (b) jika nilai r2 t tabel atau 7,638 > 1,662 artinya variabel pendapatan secara individu berpengaruh positif (+) terhadap variabel dependen wtp pada tingkat signifikansi 5%. dapat dikatakan, pendapatan berpengaruh terhadap wtp (kesediaan membayar untuk mengatasi kerugian). uji t pada variabel luas lahan didapatkan kesimpulan t hitung > t tabel atau 1,877 > 1,662 artinya variabel luas lahan secara individu berpengaruh positif (+) terhadap variabel dependen wtp pada tingkat signifikansi 5%. dapat dikatakan, luas lahan berpengaruh terhadap wtp (kesediaan membayar untuk mengatasi kerugian). uji t pada variabel pendidikan didapatkan bahwa kesimpulan t hitung < t tabel atau -0,230 < 1,662 artinya variabel pendidikan secara individu berpengaruh negatif (-) terhadap variabel dependen wtp pada tingkat signifikansi 5%. dapat dikatakan, pendidikan tidak berpengaruh terhadap wtp (kesediaan membayar untuk mengatasi kerugian). uji t pada variabel umur bahwa kesimpulan t hitung < t tabel atau 0,756 < 1,662 artinya variabel umur secara individu berpengaruh negatif (-) terhadap variabel dependen wtp pada tingkat signifikansi 5%. dapat bahwa variatabel 3. hasil analisis regresi nama variabel notasi koefisien regresi standar error konstanta pendapatan luas lahan pendidikan umur persepsi risiko c ln(inc) ln(land) (edc) (age) (risk) -1,307917 0,74015*** 0,13012* -0,022209 0,021431 0,018916 2,682996 0,096893 0,069293 0,096537 0,028317 0,070171 f hitung f sign r2 adj r2 14,67270 0,000000 0,451847 0,421052 keterangan: *) signifikan pada level 10 persen, ***) signifikan pada level 1 persen jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 33-42 40 bel umur tidak berpengaruh terhadap wtp (kesediaan membayar untuk mengurangi kerugian). uji t pada variabel persepsi risiko bahwa t hitung < t tabel atau 0,269 < 1,662 artinya variabel persepsi risiko secara individu berpengaruh negatif (-) terhadap variabel dependen wtp pada tingkat signifikansi 5%. dapat dikatakan bahwa variabel persepsi risiko tidak hasil regresi menunjukkan bahwa f hitung (14,672) lebih besar daripada f tabel (2,316), maka h0 ditolak dan menerima h1, maka dapat dikatakan bahwa secara statistik semua koefisien regresi tersebut signifikan pada tingkat signifikan 5%. ini berarti variabel pendapatan, luas lahan, pendidikan, umur, dan persepsi risiko secara bersama-sama berpengaruh terhadap wtp para petani di desa wonosari, kecamatan bulu temanggung. berdasarkan tabel 4, nilai r2 didapat 0,45 ini berarti sekitar 45% variasi variabel dapat dijelaskan dalam model sedangkan sisanya sekitar 55% dijelaskan oleh variabel diluar model. pengaruh pendapatan terhadap willingness to pay dilihat dari nilai koefisien regresi variabel pendapatan adalah sebesar 0,740156 dengan probabilitas sebesar 0,0000 signifikan pada level 1% sehingga variabel pendapatan pada penelitian ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan membayar untuk melakukan strategi adaptasi. wtp = 1,307919 + 0,740156 (inc) = 2,048075, jadi nilai wtp minimal pendapatan petani yaitu sebesar rp2,05,-. dari 10% jumlah penduduk yang sebanyak 2730 petani diperoleh hasil 273. ditunjukkan bahwa wtp minimal = 273 x rp2,05 = 559,65, jadi wtp minimal yang dikeluarkan oleh petani yaitu sebesar rp559,65,-. hasil analisis menunjukkan tanda koefisien pendapatan bernilai positif. ini mengartikan bahwa semakin tinggi pendapatan petani maka akan semakin tinggi rata-rata jumlah nominal rupiah yang dikeluarkan untuk melakukan strategi adaptasi. variabel yang berpengaruh terhadap willingness to pay adalah luas lahan. dapat dilihat pada nilai koefisien regresi variabel luas lahan adalah sebesar 0.130120 dengan probabilitas sebesar 0.0637 signifikan pada level 10% sehingga variabel luas lahan pada penelitian ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan membayar untuk melakukan strategi adaptasi. hal ini menunjukkan bahwa jika luas lahan meningkat sebesar 10% menyebabkan wtp meningkat sebesar 0,13%. hasil analisis menunjukkan tanda koefisien luas lahan bernilai positif. ini artinya bahwa luas lahan yang meningkat maka, petani akan menambah jumlah wtp yang dikeluarkan untuk melindungi tanaman tembakau dari dampak perubahan iklim yang terjadi. tingkat pendidikan, umur, dan persepsi risiko tidak berpengaruh terhadap willingness to pay untuk melakukan strategi adaptasi. simpulan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah petani tembakau di kecamatan bulu telah berupaya melakukan strategi adaptasi untuk mengurangi kerugian dari perubahan iklim yang berdampak pada hasil panen yang mereka terima. adaptasi tersebut meliputi penundaan masa tanam, melakukan tumpang sari, pendangiran, pemupukan, dan penyemprotan obat jamur atau fungisida pada daun dan batang tanaman. wtp mitigasi yang dikeluarkan oleh petani tembakau dipengaruhi oleh pendapatan dan luas lahan. variabel-variabel yang berpengaruh positif terhadap wtp adalah pendapatan, luas lahan, umur, dan persepsi risiko, sedangkan variabel yang berpengaruh negatif terhadap wtp yang dikeluarkan petani tembakau adalah variabel pendidikan. saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini yaitu perlu diadakan penyuluhan dan asosiasi mengenai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang dapat berdampak pada tanaman tembakau agar lebih banyak pengetahuan yang didapat untuk mengurangi kerugian dari perubahan iklim. adaptasi yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi kerugian petani. kurikulum lokal di wilayah studi perlu ditambahkan bagaimana menghadapi perubahan iklim. persepsi terhadap risiko sebenarnya telah cukup baik namun belum diimbangi dengan peningkatan kesadaran untuk melakustrategi adaptasi dampak perubahan iklim (fitria annisa putri dan suryanto) 41 kan adaptasi yang lebih baik. pemerintah perlu memfasilitasi petani untuk mengikuti pelatihan-pelatihan seperti kunjungan, demonstrasi dan seminar yang dapat meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dalam menjalankan usahataninya. daftar pustaka bps. 2010. kecamatan bulu dalam angka tahun 2011. temanggung: badan pusat statistik. ditjenbun. 2007. komoditas tembakau. http:// ditjenbun.deptan.go.id/budtansim/. diakses tanggal 29 mei 2012. fauzi, akhmad. 2006. ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. jakarta: gramedia pustaka utama. fauzi, akhmad. 2010. ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. jakarta: gramedia pustaka utama. irawan, brm bambang. 2004. willingness to pay dan ability to pay pelanggan rumah tangga sebagai respon terhadap pelayanan air bersih dari pdam kota surakarta. fakultas ekonomi univesitas sebelas maret surakarta. kaczan, d et. al. 2006. willingness to pay to reduce the risk of severe climate change: evidence from australia. australian journal of agricultural and resource economics. lapan. 2009. perubahan iklim di indonesia. http://iklim.dirgantara-lapan.or.id. diakses tanggal 29 mei 2012. mantra, i. b. 2003. demografi umum edisi ke 2. yogyakarta: pustaka pelajar. 227 hal. merryna, annissa. 2009. analisis willingness to pay masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mata air cirahab (desa curug goong, kecamatan padarincang, kabupaten serang, banten). skripsi fakultas ekonomi dan manajemen institut pertanian bogor. diakses tanggal 21 oktober 2012. mudhoffir, a. m dan abdul a. m. 2011. hitamputih tembakau. jakarta: fisip ui press. nasution, rozaini. 2003. teknik sampling. fakultas kesehatan masyarakat. universitas sumatera utara. diakses tanggal 3 juni 2012. noviasari w, drasti. 2011. efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani tembakau rajangan (nicotiana tabacum l.) di kecamatan bansari kabupaten temanggung. skripsi fakultas pertanian universitas jendral soedirman purwokerto. diakses tanggal 29 mei 2012. patunru, arianto a. 2004. valuasi ekonomi: metode kontinjen. jakarta: lpem-feui. pemerintah kabupaten temanggung. 2011. informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten temanggung tahun 2011. prasmatiwi, f., et al. 2011. kesediaan membayar petani kopi untuk perbaikan lingkungan. jurnal ekonomi pembangunan volume 12, nomor 2, desember 2011. pramesi, mutiah. 2008. willingness to pay masyarakat sebagai respon terhadap upaya perbaikan kualitas lingkungan obyek wisata batu seribu kabupaten sukoharjo melalui pendekatan contingent valiation method. skripsi. fakultas ekonomi universitas sebelas maret surakarta. putra, a. w. 2010. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tembakau di temanggung. skripsi. fakultas ekonomi universitas sebelas maret surakarta. reksohadiprodjo, sukanto dan andrean budi. 2000. ekonomi lingkungan. yogyakarta: bpfe. rosadi, dedi. 2012. ekonometrika dan analisis runtun waktu terapan. yogyakarta: andi offset. seenprachawong, udomsak. 2006. economic valuation of cultural heritage: a case study of historic temples in thailand. economy and environment program for southeast asia. singapore. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 33-42 42 suparmoko. 1994. ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. yogyakarta: bpfe. suryanti, e et al. 2010. strategi adaptasi ekologis masyarakat di kawasan karst gunungsewu dalam mengatasi bencana kekeringan (studi kasus kecamatan tepus, kabupaten gunungkidul). jurnal kebencanaan indonesia vol. 2 no. 3. suryanto. 2011. hubungan karakteristik wilayah, persepsi individu, dan perilaku mitigasi gempabumi di kabupaten bantul diy. disertasi. tuwu, alimuddin. 1993. pengantar metode penelitian. jakarta: ui press. microsoft word 04-age jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.158-176 dampak economic freedom terhadap pertumbuhan ekonomi negara asia agustina suparyati1, nurul fadilah2 1,2 faculty of economics, trisakti university, jakarta jl. kyai tapa no.1, west jakarta, dki jakarta 11440, indonesia, phone: +62-21-5663232 e-mail korespondensi: agustina.suparyati@yahoo.com naskah diterima: juli 2014; disetujui: february 2015 abstract: this study aimed to examine the effect of variable fdi, exchange rate and economic freedom and its constituent components in influencing economic growth in asian countries, which are grouped into two groups: the group of developing countries that consists of 7 countries including indonesia, thailand, malaysia, vietnam, laos, cambodia and the philippines, while for developed countries group consisting of four countries, namely japan, south korea, china and singapore in the period 2001-2012. analysis method used is the analysis of panel data. variable fdi and exchange rate as a classical variable proved significantly positive effect on economic growth in both developed and developing countries . components of economic freedom are shown to have a significant effect on economic growth in developing countries in asia is a variable property rights, business freedom, trade freedom and freedom fmancial while the components of economic freedom are shown to have a significant effect on economic growth in developed countries in asia is a variable property right, freedom froin corruption, government spendin, monetary freedom, business freedom, and freedom fmancial .in developing countries the best model is the model of the pillars of an open market in which there is a component trade freedom, investment freedom and the financial freedom. keywords: economic growth; foreign direct investment; foreign debt; bank credit; labor force jel classification: f21, f43 abstrak: studi ini bertujuan untuk melihat pengaruh variabel fdi, nilai tukar serta economic freedom dan komponen penyusunnya dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negaranegara asia yang dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok negara berkembang yang terdiri dari 7 negara antara lain indonesia, thailand, malaysia, vietnam, laos, kamboja dan filipina,sedangkan untuk kelompok negara maju yang terdiri dari 4 negara yaitu jepang, korea selatan, cina dan singapura dalam periode 2001-2012. metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel. variabel fdi dan nilai tukar sebagai variabel klasik terbukti secara nyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun berkembang. komponen penyusun economic freedom yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang di asia adalah variabel property right, business freedom, trade freedom dan fmancial freedom sedangkan komponen penyusun economic freedom yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara maju di asia adalah variabel property righl, freedom froin corruption, government spending, monetary freedom, business freedom, dan fmancial freedom. di negara sedang berkembang model terbaik adalah model pilar open market yang di dalamnya terdapat komponen kebebasan perdagangan, kebebasan investasi dan kebebasan finansial. kata kunci: pertumbuhan ekonomi; kebebasan ekonomi; fdi; nilai tukar klasifikasi jel: f21, f43 doi: 10.18196/jesp.2015.0049.158-176 dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 159 pendahuluan pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diprodu ksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat (sukirno, 1994). menurut boediono, pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. sedangkan menurut lincolin (1997), pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan gdp/gnp tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, dan apakah terjadi perubahan struktur ekonomi atau tidak. di dalam konteks suatu perekonomian, pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu wacana penting yang secara berkelanjutan harus dibahas dan dianalisis di setiap negara. meskipun terdapat wacana lainnya, misalnya seperti kemiskinan, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, investasi, tingkat pengangguran dan lain sebagainya. namun, pertumbuhan ekonomi merupakan awal atau sumber dari faktor– faktor lainnya yang juga dianggap penting dalam suatu negara. setiap negara mengharapkan perekonomian yang dicapai mengalami peningkatan terusmenerus, oleh karena itu, menjadi tujuan utama bagi suatu negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya bagi semua negara tidak terkecuali bagi negara maju maupun negara sedang berkembang. pada umumnya di negara berkembang terjadi di mana pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari pencapaian perekonomian negara tersebut. pada dasarnya, banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, seperti fdi, nilai tukar, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, neraca perdagangan, jumlah penduduk dan sebagainya. foreign direct investment (fdi) adalah investasi langsung yang diberikan oleh individu atau perusahaan ke dalam suatu bisnis atau perusahaan di negara lain, baik dengan membeli sebuah perusahaan di negara tujuan atau dengan memperluas operasi bisnis yang sudah ada. di era globalisasi ini fdi memegang peran yang penting dalam internasionalisasi bisnis. fdi juga mendorong pembangunan karena bagi negara tuan rumah atau perusahaan lokal yang menerima investasi itu, fdi menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi, dan keterampilan manajemen yang baru. lebih lanjut, fdi juga membuka pasar dan jalur pemasaran yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah. selain itu, exchange rate atau nilai tukar juga merupakan variabel penting dalam kehidupan makro ekonomi suatu bangsa. di mana nilai tukar merupakan salah satu harga yang lebih penting dalam perekonomian terbuka. nilai tukar dapat dijadikan alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara. nilai tukar mata uang antarnegara mencerminkan nilai perbandingan nilai mata uang satu negara terhadap negara lainnya yang ditentukan oleh daya beli masing-masing negara. pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil (oktavia, 2013). dalam hal ini seringkali mengabaikan kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata juga sangat dipengaruhi oleh faktor– faktor endogenous seperti faktor institusional (laksono, 2010). sejahtera atau tidaknya perekonomian suatu negara seringkali ditentukan oleh tingkat kondusifitas bagi para pelaku ekonomi untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi dalam menciptakan pilihan– pilihan yang rasional dan efisien. dengan kata lain sistem ekonomi yang berlaku mempunyai andil yang besar dalam menentukan seberapa cepat perekonomian di suatu negara dapat tumbuh. sistem ekonomi dalam hal ini yang dimaksud ialah economic freedom atau biasa yang disebut kebebasan ekonomi. keterbukaan suatu negara bisa terwakili salah satunya adalah dengan melihat indeks kebebasan ekonomi di suatu negara. keterbukaan dan kebebasan ekonomi memang menjadi isu yang banyak diperbincangkan dewasa ini. menurut gwartney (2007), semakin tinggi tingkat kebebasan ekonomi di suatu negara, semakin tinggi pula kemakmuran negara tersebut. indeks kebebasan ekonomi terdiri dari 10 komponen penyusunnya yaitu property rights, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 160 freedom from corruption, fiscal freedom, government spending, business freedom atau regulatory freedom, labor freedom, monetary freedom, trade freedom, investment freedom dan financial freedom. setiap faktor penyusunan kebebasan ekonomi memiliki nilai atau skor pada skala 0 hingga 100. semakin tinggi skor menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kebebasan ekonomi di suatu negara. menurut miller (2012) 10 kebebasan ekonomi ini dikelompokkan menjadi empat kategori besar atau pilar dari kebebasan ekonomi, yaitu rule of law, limited government, regulatory efficiency, dan open markets. saat ini banyak sekali indeks-indeks yang dikeluarkan di tingkat global. namun, index economic freedom memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan indeks lainnya. indeks kebebasan ekonomi merupakan aspek paling fundamental untuk mencapai kesejahteraan. william easterly juga mengatakan bahwa kebebasan ekonomi akan menyuburkan persaingan, memberikan umpan balik kepada pasar, merelokasikan sumber daya yang efisien, memungkinkan berhasilnya kegiatan ekonomi berskala besar dan memungkinkan terciptanya kontrak yang canggih antara individu dan perusahaan di tengah ketidakpastian. dengan kata lain, kebebasan ekonomi adalah pupuk yang ampuh untuk pertumbuhan (viva news, 2010). selain itu, di era globalisasi dan demokrasi saat ini, adanya indeks kebebasan ekonomi menjadi peran penting untuk mencapai adanya kebebasan yang diinginkan di setiap negara. studi mengenai economic freedom masih jarang dan sedikit sehingga masih banyak yang belum memahami mengenai economic freedom. padahal beberapa studi menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. berlandaskan teori-teori diatas maka kebenaran akan hipotesis economic freedom yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut pada kasus negara sedang berkembang. sebagian besar negara-negara di asia merupakan negara yang sedang berada pada tahap awal pembangunan menuju perekonomian modern yang terintegrasi dengan ekonomi global. sehingga melalui indeks kebebasan ekonomi ini dapat mendukung persaingan internasional dengan melepaskan hambatan-hambatan yang ada untuk berada di posisi terdepan dalam kemajuan dan globalisasi. namun demikian, beberapa negara di asia, seperti jepang, china, korea selatan dan singapura termasuk negara berpendapatan tinggi di dunia karena memiliki pendapatan per kapita lebih dari $10.000 per tahun. studi ini membahas economic freedom di asia dengan mengelompokkan negara di asia menjadi 2 kelompok yaitu negara berkembang dan negara maju untuk membahas lebih dalam mengenai pengaruh indeks kebebasan ekonomi, fdi dan nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi, serta seberapa besar komponen-komponen penyusun kebebasan ekonomi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. studi ini terdiri dari lima model yang dianalisis, model utama menggunakan variabel indeks kebebasan ekonomi secara keseluruhan, fdi dan kurs. sedangkan untuk melihat seberapa besar komponen penyusun kebebebasan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi ditinjau dari keempat kategori besar atau pilar economic freedom. sehingga dalam studi ini berjudul “analisis pengaruh economic freedom beserta komponennya terhadap pertumbuhan ekonomi di asia, periode 2001-2012”. metode penelitian kerangka model utama yang digunakan adalah mengukur pertumbuhan ekonomi dengan variabel independent (economic freedom, fdi dan nilai tukar). dalam studi ini menganalisis pengaruh seluruh variabel independen terhadap pertumbuhan ekonomi berdasarkan negara maju dan negara berkembang. sehingga masing-masing kelompok negara akan dianalisis berdasarkan kelima kerangka model di bawah ini. gambar 1. kerangka model pengaruh economic freedom terhadap pertumbuhan ekonomi pertumbuhan  ekonomi economic  freedom fdi nilai tukar dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 161 sedangkan untuk mengetahui pengaruh 10 komponen penyusun kebebasan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi ditinjau berdasarkan 4 pilar utama kebebasan ekonomi ialah: 1) rule of law gambar 2. kerangka model pengaruh rule of law terhadap pertumbuhan ekonomi 2) limited government gambar 3. kerangka model pengaruh limited government terhadap pertumbuhan ekonomi 3) regulatory efficiency gambar 4. kerangka model pengaruh regulatory efficiency terhadap pertumbuhan ekonomi 4) open markets gambar 5. kerangka model pengaruh open markets terhadap pertumbuhan ekonomi studi ini menggunakan data kuantitatif tahunan pada rentang waktu antara tahun 2001-2012. data dalam studi ini adalah data pertumbuhan ekonomi (growth %), indeks kebebasan ekonomi (index of economic freedom), fdi dan nilai tukar dari negara maju di asia (jepang, cina, korea selatan dan singapuran) dan negara berkembang di asia (indonesia, malaysia, laos, thailand, filipina, kamboja dan vietnam. dengan dipisahkan antara negara maju dan berkembang mengharapkan adanya perbedaan pengaruh seluruh variabel independentnya terhadap pertumbuhan ekonomi di kedua kelompok negara ini. sumber data yang didapat dari masingmasing variabel adalah dari worldbank, sedangkan untuk variabel indeks kebebasan ekonomi di dapat dari the heritage foundation yang telah mengolah data index economic freedom berdasarkan 10 komponen penyusunnya. keseluruhan komponen penyusunnya terdiri dari, regulation freedom, trade freedom, fiscal freedom, government freedom, monetary freedom, investment freedom, financial freedom, property right, labor freedom dan freedom from corruption. labor freedom tidak digunakan dalam analisis studi ini karena keterbatasan data yang didapat. perumusan model pada studi ini terdapat dua kelompok analisa berdasarkan negara maju dan berkembang, di mana masing-masing studi terdapat lima model yang terdiri dari satu model utama dan empat model lainnya. dalam model utama pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh fdi, nilai tukar dan nilai keseluruhan rata-rata indeks kebebasan ekonomi. sedangkan di keempat model lainnya, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh keempat pilar utama kebebasan ekonomi beserta fdi dan kurs. seperti yang telah dijelaskan pada teori di bab sebelumnya, bahwa di setiap pilar utama kebebasan ekonomi terdapat komponen penyusun ekonomi. di mana 10 komponen penyusunnya terbagi di dalam empat pilar tersebut. sehingga dalam perumusan model studi ini ialah: 1. model overall economic freedom : gdpn = 0 + 1.fdiit + 2erit + 3efit + eit 1) pertumbuhan  ekonomi property  rights freedom  from  corruption fdi nilai  tukar pertumbuhan  ekonomi fiscal  freedom government  spending fdi nilai  tukar pertumbuhan  ekonomi business  freedom monetary  freedom fdi nilai  tukar pertumbuhan  ekonomi trade freedom investment  freedom financial  freedom fdi nilai  tukar jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 162 2. model pilar rule of role gdpn = 0 + 1.fdiit + 2erit + 3prit + 4ffcit + eit 2) 3. model pilar limited government gdpn = 0 + 1.fdiit + 2erit + 3ffit + 4gsit + eit 3) 4. model pilar regulatory efficiency gdpn = 0 + 1.fdiit + 2erit + 3bfit + 4mfit + eit 4) 5. model pilar open markets gdpn = 0 + 1.fdiit + 2erit + 3tfit + 4ifit + 5finfit + eit 5) di mana gdpn adalah pertumbuhan ekonomi (gdp growth) negara sedang berkembang dan negara maju di asia pada tahun 2001-2012 (%); fdi adalah foreign direct investment atau investasi asing yang masuk (fdi, net inflows) negara asean 8 tahun 2001-2012 (% of gdp); er adalah exchange rate atau nilai tukar nominal suatu negara dimana local currency per us$ (average); ef adalah economic freedom atau indeks kebebasan ekonomi yang merupakan nilai rata-rata secara keseluruhan (unit); pr: indeks property right atau kebebasan hak milik (unit); ffc adalah indeks freedom from corruption atau kebebasan dari korupsi (unit); ff adalah indeks fiscal freedom atau kebebasan fiskal (unit); gs adalah indeks government spending atau kebebasan pengeluaran pemerintah (unit); bf adalah indeks business/regulation freedom atau kebebasan dalam berbisnis (unit); mf adalah indeks monetary freedom atau kebebasan moneter (unit); tf adalah indeks trade freedom atau kebebasan perdagangan (unit); if adalah indeks investment freedom atau kebebasan berinvestasi (unit); finf adalah indeks financial freedom atau kebebasan financial (unit). hasil dan pembahasan skor pada index economic freedom menyatakan bahwa semakin tinggi nilai indeks kebebasan ekonomi maka menandakan bahwa negara tersebut semakin bebas. sewajarnya negara negara maju akan lebih mendapatkan skor kebebasan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang. terlihat secara teori bahwa perekonomian negara maju lebih terbuka dibandingkan dengan negara berkembang.hal ini didukung dengan gambar 1 yang menjelaskan skor kebebasan ekonomi di tahun 2012. sumber: heritage foundation, diolah gambar 6. skor indexeconomic freedom negara maju dan berkembang, 2012 pada tahun 2012 terlihat bahwa indeks kebebasan ekonomi di negara asia, khususnya untuk negara maju seperti jepang, cina, korea selatan dan singapura terlihat skornya lebih bagus dibandingkan negara berkembang lainnya. namun hal ini tidak terlihat pada negara cina, dikarenakan skor economic freedom cina hanya 51,2 berada di bawah negara berkembang seperti thailand sebesar 64,9.sehingga untuk negara maju, jika skornya diurutkan berdasarkan negara terbebas ekonominya yaitu singapura, jepang, korea selatan dan cina. sedangkan untuk negara sedang berkembang menunjukkan bahwa negara malaysia unggul di peringkat pertama negara berkembang dalam studi ini sebesar 66,4 dan indonesia sebesar 56,4. sehingga jika diurutkan berdasarkan kelompok negara sedang berkembang ialah malaysia, thailand, kamboja, filipina, indonesia, vietnam dan laos. skor economic freedomtertinggi dalam studi ini ditempati oleh singapura. nilai keseluruhan rata-rata besarnya indeks kebebasan ekonomi disusun berdasarkan 10 komponennya ialah sebesar 87,50. hal ini juga dibuktikan bahwa singapura menjadi negara di peringkat ke-2 di tahun 2013 dengan skor kebebasan ekonomi 56,4 66,4 64,9 51,3 57,1 50 57,6 71,6 51,2 69,9 87,5 0 50 100 indo… mala… thail… vietn… filipina laos kam… jepang cina korsel singa… dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 163 tinggi. dengan semakin bebasnya singapura, menjadi tanda bahwa perekonomian singapura juga tinggi. skor economic freedom indonesia hanya mencapai 56,4, hal ini di karenakan dari segi pilar peraturan hukum indonesia rendah. di mana skor kebebasan dari korupsi hanya berkisar rata-rata 25, berada di bawah rata-rata skor dunia. skor untuk kebebasan hak kepemilikan juga tetap berada pada skor 30 di tahun 2001 hingga 2012. sehingga kedua skor ini menjadikan skor kebebasan ekonomi di indonesia rendah dan berada di bawah rata-rata dunia. indonesia sebagai negara masih membutuhkan intervensi pemerintah, terlihat pada masa soeharto tahun 1968-1998. gaya otoriter presiden soeharto selama 31 tahun, pada akhirnya menuntut sebuah perubahan total dan reformasi bagi indonesia. keadaan semuanya diatur oleh negara ternyata memberikan dampak kehidupan sejahtera secara ekonomi bagi rakyatnya. walaupun tidak diberikan hakhak individu untuk menyampaikan pendapat, namun perekonomian yang dicapai pada masa soeharto lebih tinggi dibandingkan saat ini. perkembangan gdp perkapita indonesia pada tahun 1968 hanya us$70 dan pada tahun 1996 telah mencapai lebih darius$1.000, sukses transmigrasi, sukses kb, sukses memerangi buta huruf, pengangguran minimum, sukses gerakan wajib belajar, sukses gerakan orang tua asuh, sukses keamanan dalam negeri, investor asing mau menanamkan modal di indonesia, dan sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri (harian pelita, 2013). perkembangan skor kebebasan ekonomi pada tabel 1 menjelaskan bahwa skor kebebasan ekonomi mengalami peningkatan di asia sejak tahun 2001-2012, baik secara skor overall economic freedom maupun. namun, thailand, filipina, kamboja dan cina terlihat skor overall economic freedom sedikit menurun, artinya kebebasan perekonomian dicapai tidak semakin bebas. sedangkan indonesia mengalami pening katan skor secara keseluruhan, bermula 52,5 menjadi 56,4, namun juga terjadi p enurunan skor pada komponen business freedom dan investment freedom. studi ini menggunakan data panel yang merupakan analisis data dengan tiga pendekatan, yaitu pooled least square (common effect), fixed effect dan random effect. ketiga pendekatan tersebut kemudian akan dicari mana yang paling tepat dalam menjelaskan model penelitian ini dengan berbagai pengujian. pengujian pertama pemilihan data panel ialah dengan uji chow, di mana terdapat hipotesis bahwa apabila prob.chi-square statistic < 0,05(α), maka model terpilih adalah fixed effect, lalu dilanjutkan dengan uji hausman, di mana apabila prob.chi-square statistik< 0,05(α), maka model yang digunakan adalah fixed effect. sedangkan jika prob.chi-square statistik> 0,05(α), maka model yang tepat adalah random effect, tetapijika pada uji chow terdapat nilai prob.chisquare statistik> 0,05(α), maka modelterpilih common effect, selanjutnya dilakukan pengujian lm test. hasilnya menunjukkan prob.chi-square statistik< 0,05 (α), maka model yang layak digunakan adalah random effect, tetapi jika prob.chi-square statistik> 0,05 (α), maka model yang tepat adalah common effect. nilai probabilitas dari masing-masing uji pemilihan regresi panel untuk negara maju adalah berbeda-bedasehingga berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa setiap model pada studi ini menggunakan metode panel yang berbeda. pada model pertama sampai dengan model keempat menggunakan common effect model dan model kelima ialah fixed effect. nilai probabilitas dari masing-masing uji pemilihan regresi panel untuk negara berkembang adalah berbeda-beda, sehingga berdasartabel 1. hasil pemilihan model regresi panel negara maju model chowtest lm test hausman test hasil akhir model1 0,0558 0,5058 common effect model2 0,2964 0,1915 common effect model3 0,0834 0,2509 common effect model4 0,0878 0,3948 common effect model5 0,0128 0,0112 fixed effect jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 164 kan tabel 2 menunjukkan bahwa setiap model pada studi ini menggunakan metode panel yang berbeda. pada model pertama dan model keempat menggunakan random effect, sedangkan untuk model kedua cocok menggunakan common effectdan model ketiga dan kelima ialah fixed effect. tujuan utama dalam studi ini untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari economic freedom atau kebebasan ekonomi beserta 10 komponennya terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara asia. economic freedom dikelompokkan menjadi empat pilar utamanya, yaitu pilar rule of law, limited government, regulatory efficiency, dan open markets. dalam studi ini negaranegara di asia akan di kelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok negara maju seperti jepang, cina, korea selatan dan singapura, dan juga negara sedang berkembang seperti indonesia, malaysia, thailand, vietnam, filipina, laos dan kamboja. hasil regresi panel untuk negara berkembang di asia yaitu indonesia, malaysia, thailand, vietnam, filipina, laos dan kamboja yang dikelompokkan menunjukkan bahwa bahwa hanya terdapat empat variabel penyusun economic freedom yang terbukti secara statistik berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi (growth) pada taraf nyata = 5% maupun dalam batas toleransi  = 10%, sisanya tidak terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. kempat variabel tersebut adalah property right, business freedom, trade freedom dan financial freedom, sementara itu lainnya terbukti tidak berpengaruh nyata terhadap growth. pembahasan lebih lanjut mengenai hasil studi ini akan dikelompokkan berdasarkan lima model yang telah diolah. model economic freedom overall model ini merupakan model yang berasal dari nilai rata-rata keseluruhan economic freedom dari tahun 2001-2012 yang dinilai dari skor keseluruhan indeks economic freedom terhadap pertabel 2. hasil pemilihan model regresi panel negara berkembang model chowtest lm test hausman test hasil akhir model1 0,0279 0,1589 random effect model2 0,2116 0,7416 common effect model3 0,0016 -1,36 fixed effect model4 0,0296 14,88 random effect model5 0,0099 0,0000 fixed effect tabel 3. ringkasan hasil koefisien fdi, nilai tukar dan economic freedom beserta komponen penyusunnya terhadap pertumbuhan ekonomi di 7 negara sedang berkembang di asia vari. model1 (re) model2 (ce) model3 (fe) model4 (re) model5 (fe) c 8,67* 6,98* 11,09 7,68* 9,33* fdi 0,32* 0,32* 0,23* 0,37* 0,28* er -6,36* -6,23* -7,76* -5,60** -7,52* ef -0,06** pr -0,04* ffc -0,02 ff -0,02 gs -0,04 bf -0,08* mf 0,02 tf -0,11* if 0,007 finf 0,07* adj. r2 0,24 0,26 0,09 0,27 0,19 prob f 0,003 0 0,06 0 0,0005 keterangan : *signifikan pada level 5%; **signifikan pada level 10% dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 165 tumbuhan ekonomi. model pertama ini terdapat tiga variabel independen terdiri dari economic freedom, nilai tukar, dan fdi. nilai prob pada setiap variabel terbukti signifikan, maka dapat dikatakan bahwa seluruh variabel berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hasil pengolahan ini menunjukkan bahwa tidak seluruh variabel sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan. di mana terlihat bahwa economic freedom memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. berdasarkan hasil pengolahan didapatkan nilai dari adj.r2 sebesar 0,2436. hal ini menunjukkan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 24,36% dan sisanya 75,64% dijelaskan oleh variabel independen lain diluar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,003, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. pada studi ini variabel economic freedom berpengaruh signifikan dan tanda koefisien regresi yang tidak sesuai dengan hipotessis. setiap 1 satuan kenaikan index economy freedom, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,06%. studi ini menunjukkan pengaruh yang berbeda, dengan asumsi bahwa negara-negara yang dimasukkan ke dalam studi ini ialah negara berkembang. sehingga negara yang baru dibangun pasti membutuhkan intervensi pemerintah yang tinggi, namun ketika dewasa intervensi pemerintah yang dibutuhkan menurun. asean menjadi negara yang masih membutuhkan intervensi pemerintah karena masih menjadi negara yang masih dalam tahapan, sehingga belum siap untuk menerima kebebasan ekonomi. variabel fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,3297205 artinya, jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,3%. pada kasus ini fdi dapat mendorong pembangunan karena bagi negara tuan rumah atau perusahaan lokal yang menerima investasi itu akan menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk, dan ketrampilan manajemen yang baru. selain itu juga akan membuka pasar dan jalur pemasaran yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, keterampilan, dan pendanaan yang baru. maka, dengan semakin meningkatnya fdi yang masuk menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.sehingga dalam hal ini berpengaruh positif. nilai tukar juga merupakan variabel eksternal yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. dalam studi ini, nilai tukar secara signifikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya nilai koefisien nilai tukar sebesar -6,364055 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 6,3%. ketika mata uang domestik depresiasi, maka barang-barang domestik terlihat lebih murah dibandingkan barang luar negeri.hal ini membuat ekspor meningkat atau impor mengalami penurunan. dengan asumsi bahan baku berasal dari impor maka apabila impor menurun menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkurang, sesuai pada hubungan yang telah dijelaskan sebelumnya. kondisi ini terbukti untuk kasus indonesia. dampak negatif depresiasi rupiah membuat harga produkproduk olahan industri di indonesia melambung tinggi, karena bahan baku dibeli dengan dolar as. masalah utama, sebagian besar industri nasional masih bergantung pada bahan baku impor. bahkan, ketergantungan itu amat tinggi (tubas media, 2013). pasalnya, tanpa bahan baku impor pabrik-pabrik dimaksud tidak akan dapat lagi berproduksi. dampak negatifnya, terjadi pemutusan hubungan kerja (phk) karyawan dan masyarakat, sebagai konsumen, kesulitan menemukan produkproduk olahan di pasar, pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat sehingga menurunnya pertumbuhan ekonomi. model pilar rule of law model kedua menganalisis pengaruh komponen penyusun economic freedom ditinjau dari pilar rule of role terhadap pertumbuhan ekonomi. pilar ini terdiri dari dua komponen penyusunnya, terdiri dari property rights dan freedom from corruption. sehingga pada model jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 166 kedua ini terdapat empat variabel independen yang terdiri dua komponen penyusun economic freedom, nilai tukar, dan fdi. pada pengolahan dalam model kedua menerangkan bahwa seluruh faktor penduga yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi ternyata memang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali unutk variabel freedom from corruption. namun dalam kenyataannya, terdapat ketidak sesuaian hipotesis yang terjadi, varibel property right eharusnya secara nyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, malah sebaliknya berpengaruh negatif. berdasarkan tabel 3 nilai adjusted r-square sebesar 0,663. hal ini menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 26,63% dan sisanya 73.37% dijelaskan oleh variabel independen lain di luar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob. f statistik sebesar 0,000, artinya variabelvariabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap perumbuhan ekonomi. pada model pertama bahwa fdi dan nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini juga didukung oleh hubungan pengaruhnya yang sesuai hipotesis, model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,32788 artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,32%. sedangkan nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -6.23005 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 6.2%. property rights sebagai komponen penyusun economic freedom juga memiliki tanda yang tidak sesuai dengan hipotesis yang diinginkan. variabel property right terbukti signifikan, namun tidak sesuai dengan hipotesis. semakin dijaminnya property right oleh pemerintah, membuat perekonomian semakin menutrusrun, sehingga hal ini memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. setiap 1 satuan kenaikan indeks property right, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,04%. hubungan antara property kan negatif karena pada studi kali menggunakan negaranegara berkembang, sedangkan memang terdapat masalah yang serius mengenai status hak kepemilikan pribadi pada negara-negara berkembang, contohnya seperti sistem hukum dan kebijakan-kebijakan yang ada tidak dilakukan dengan adil. sehingga banyak penyimpangan yang terjadi dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. dengan semakin berkembangnya teknologi, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar di seluruh pelosok dunia. sehingga mudah diakses masyarakat. pada nyatanya, hal ini membuat banyak terjadi pelanggaran mengenai hasil karya intelektual di indonesia. kasus-kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual ini seperti pembajakan berbagai karya-karya cipta, pemalsuan merek dan lain sebagainya, di mana menunjukkan bahwa semakin hari semakin tinggi baik secara kuantitas maupun kualitas. anehnya, sangat jarang kasus-kasus pelanggaran tersebut yang sampai dinaikkan ke pengadilan. padahal, kasus-kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual itu dapat ditemui dengan mudah di hampir setiap sudut kota di indonesia (syafrinaldi, 2008). maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hak kekayaan intelektual di indonesia benar-benar mendapat perhatian yang serius. hukum yang diharapkan mampu melindungi serta mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan hak kekayaan intelektual tersebut belum terlaksana dengan efektif. pada dasarnya indonesia telah ikut sebagai anggota wto yang mengharuskan indonesia menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang hak kekayaan intelektual dengan standar trip’s (trade related aspects of intellectual propert rights) yang dimulai sejak tahun 1997. selain itu, di indonesia instansi yang berwenang dalam mengelola hak kekayaan intelektual adalah direktorat jendral hak kekayaan intelektual (ditjen. hki) yang berada dibawah departemen kehakiman dan ham republik indonesia (dwi handoko, 2009). variabel freedom from corruption merupakan salah satu komponen penyusun economic freedom yang tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga dengan tanda koefisien regresi yang tidak sesuai dengan hipotesis. oleh karena itu, dalam dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 167 studi ini dapat mengartikan bahwa variabel freedom from corruption tidak dapat dijelaskan lebih lanjut. namun survei transparancy international memperlihatkan, indonesia berada di peringkat di atas level 100. malaysia berada di peringkat 52 dan thailand peringkat 88. sedangkan filipina, indonesia, vietnam, kamboja, laos, dan myanmar berada pada peringkat di atas 100, secara berurutan berada pada peringkat 105, 114, 123, 157, 160, dan 172 (transparency, 2013). praktek korupsi terjadi di setiap level pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, bahkan terjadi pula di sektor swasta. bukannya menurun, praktek korupsi justru cenderung meningkat dari waktu ke waktu. padahal, berbagai bentuk kebijakan dan program anti korupsi sudah dilakukan oleh masing-masing negara. pemberantasan korupsi di indonesia ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan. ini terlihat dari indeks korupsi indonesia masih menduduki rangking bawah, bahkan di asean, indonesia berada di bawah filipina dan hanya sedikit di atas vietnam dan myanmar. hukuman ringan menjadi penyebab utama para koruptor untuk tetap menjalankan aksi korupsi. hukum yang ada belum mampu bekerja maksimal, bahkan hukum saat ini bisa dibeli. dengan skor yang diterima indonesia menunjukkan indonesia belum bisa dapat keluar dari situasi korupsi yang sudah mengakar. banyak kasus korupsi yang terjadi di indonesia yang sampai saat ini belum selesai dan bahkan dilupakan seiring berjalannya waktu. model pilar limited government model ketiga menganalisis pengaruh komponen penyusun economic freedom ditinjau dari pilar limited government terhadap pertumbuhan ekonomi. pilar ini terdiri dari dua komponen penyusunnya, terdiri dari fiscal freedom dan government spending. sehingga pada model ketiga ini terdapat empat variabel independen yang terdiri dua komponen penyusun economic freedom, nilai tukar, dan fdi. berbeda dengan pengolahan pada model sebelumnya, di model ketiga ini hasil terbaik yaitu menggunakan fixed effect. nilai signifikansi maupun adj.r2 yang ditampilkan cukup berbeda, yaitu sangat kecil dan nilainya tidak mencapai 10%, artinya bahwa kemampuan dari seluruh variabel independent untuk menjelaskan variabel pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 9%, dan sisanya 91% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model. hal ini juga terlihat dengan nilai signifikansi variabel fiscal freedom dan government spending tidak berpengaruh signifikan untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. sedangkan untuk nilai prob.fstatistic yang terjadi pada model ketiga ini ialah sebesar 0,0626, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. variabel fdi dan nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.hal ini juga didukung oleh hubungan pengaruhnya yang sesuai hipotesis. sehingga pada model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,23938 artinya, jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,23%. sedangkan nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -7,76632 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 7,7%. variabel fiscal freedom yang dimaksud dalam studi ini merupakan kebebasan yang dilihat dari sisi pemerintah. skor fiscal freedom dilihat dari seberapa besar pajak yang diterima pemerintah, di mana dengan semakin meningkatnya skor ini menandakan bahwa pajak pada negara tersebut rendah. namun dalam hal ini, pajak merupakan suatu pendapatan negara yang digunakan sebagai anggaran negara dengan tujuan pembangunan perekonomiannya agar berjalan dengan baik. oleh karena itu, dengan semakin rendahnya pajak yang diterima negara membuat semakin rendahnya anggaran pemerintah dan tidak baik bagi pembangunan suatu negara apalagi negara berkembang. government spending juga tidak menunjukkan signifikan dan memiliki ketidaksesuaian hipotesis yang ada. variabel ini menunjukkan ekonomi pasar yang baik tidak akan dapat berjalan tanpa intervensi pemerintah sama sekali. sehingga juga dibutuhkan intervensi pemerintah untuk memberikan kebijakan yang efektif. apalagi dalam hal ini, studi yang dipakai adalah untuk studi kasus negara berkem jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 168 bang, sehingga masih membutuhkan peran pemerintah demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. model pilar regulatory efficiency model urutan keempat yang menganalisis pengaruh komponen penyusun economic freedom ditinjau dari pilar regulatory efficiency terhadap pertumbuhan ekonomi. pilar ini terdiri dari dua komponen penyusunnya, terdiri dari business freedom dan monetary freedom. sehingga pada model keempat ini terdapat empat variabel independen yang terdiri dua komponen penyusun economic freedom, nilai tukar, dan fdi. berdasarkan tabel 4, model yang paling tepat ialah random effect. terdapat satu variabel terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu monetary freedom. sedangkan untuk variabel lainnya terbukti signifikan.berdasarkan hasil pengolahan didapatkan nilai dari adjusted r-square sebesar 0,2774. hal ini menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 27,74% dan sisanya 72,26% dijelaskan oleh variabel-variabel independen lain di luar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,000, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. variabel fdi dan nilai tukar tetap berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sesuai tanda. sehingga pada model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,37626, artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,37%. sedangkan nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -5,60462 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 5,6%. business freedom atau regulatory freedom terbukti signifikan. namun keadaan ini tidak didukung dengan kesesuaian hipotesis yang ada. negara-negara yang diuji dalam studi ini justru memberikan dampak negatif apabila regulasi dalam berbisnis dimudahkan membuat pasar antar negara semakin tidak ada batasnya dan persaingan semakin meningkat. hal ini justru membuat pasar domestik menjadi lemah ataupun menurun, dikarenakan domestik belum mampu bersaing dengan pasar global. sehingga apabila regulasi untuk mendirikan bisnis semakin bebas dan mudah, akan membuat banyak persaingan dan menjadi kalah dalam bersaing. studi ini menunjukkan nilai koefisiensi sebesar -0,08131, mengartikan bahwa apabila business freedom naik sebesar 1 satuan, maka akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,08%. laporan tahunan survei daya saing "doing business" bank dunia, memperingkat seberapa mudah atau sulitnya memulai dan menjalankan bisnis di 189 negara, menempatkan indonesia pada peringkat 120 untuk kemudahan menjalankan bisnis. indonesia kalah bersaing dari sesama negara lainnya, yaitu malaysia peringkat 6, thailand 18, brunei darussalam 59, vietnam 99 dan filipina 108. indonesia hanya lebih baik dari kamboja yang berada pada peringkat 137 (antara, 2013). monetary freedom terbukti tidak berpengaruh signifikan, namun jika dilihat dari kesesuaian uji tanda pada hipotesis yang ada, menunjukkan bahwa variabel ini sesuai berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. sesuai hipotesis pada bab sebelumnya bahwa dengan skormonetary freedom yang tinggi menandakan bahwa kondisi harga dan nilai tukar yang stabil sehingga membuat pertumbuhan ekonomi meningkat. model pilar open markets model urutan kelima menganalisis pengaruh komponen penyusun economic freedom ditinjau dari pilar open markets terhadap pertumbuhan ekonomi. pilar ini terdiri dari tiga komponen penyusunnya, terdiri dari trade freedom, financial freedom, investment freedom. sehingga pada model kelima ini terdapat lima variabel independen yang terdiri tiga komponen penyusun economic freedom, nilai tukar, dan fdi. berdasarkan tabel 4, pada model kelima ini menunjukkan bahwa hanya terdapat satu variabel terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu investment freedom. sedangkan untuk varibel lainnya terbukti signifikan. nilai adjusted r-square dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 169 sebesar 0,1926, menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen hanya sebesar 19,26% dan sisanya 80,74% dijelaskan oleh variabel-variabel independen lain diluar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,0005, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,288688, artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,28%. sedangkan nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -7,52358 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 7,52%. dapat disimpulkan bahwa kelima model yang diolah terlihat bahwa variabel fdi dan nilai tukar terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. karena kedua variabel ini merupakan variabel klasik yang memang sering diuji kebenarannya bahwa ada pengaruh antara kedua variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi. trade freedom terbukti signifikan, namun keadaannya tidak didukung dengan kesesuaian hipotesis yang ada. studi ini menunjukkan perdagangan yang semakin global pada negaranegara berkembang membuat pertumbuhan ekonominya menurun. secara statistik menyatakan bahwa trade freedom terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar -0,11494, artinya jika trade freedom naik sebesar 1 satuan maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,11%. hal ini dikarenakan negara berkembang belum mampu untuk bersaing dengan negara-negara maju, akibat kekalahan dalam persaingan menyebabkan pabrik yang bangkrut karena tidak kuat dengan persaingan yang begitu ketat. bagi negara yang masih dalam tahapan berkembang maka akan menjadi sebuah kerugian karena selalu mengandalkan negara lain untuk terus mengimpor barang-barang kedalam negeri, yang kemudian membuat negara ini untuk menjadi negara maju karena terus “diserang” oleh barang–barang impor. juga sebaliknya, akan menjadi keuntungan tersendiri bagi negara yang telah berkembang untuk terus menjual produknya ini sehingga produknya lebih diminati dan lebih popular di luar negeri. adanya eksploitasi terhadap masyarakat ekonomi lemah oleh pihak yang kuat ekonominya, menimbulkan terjadinya monopoli sehingga merugikan masyarakat, munculnya kesenjangan ekonomi antara golongan ekonomi kuat dengan golongan ekonomi lemah, perekonomian dapat dengan mudah menjadi tidak stabil. kasus perdagangan internasional asean dengan cina menjadi contoh dalam masalah ini.perekonomian china yang begitu kuat terfokus pada ekspor menjadi tantangan bagi asean, khususnya indonesia.masyarakat memandang acfta sebagai ancaman, karena berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. perusahaan yang diperkirakan akan mengalami kebangkrutan tersebut adalah tekstil, mainan anak-anak, furniture, keramik dan elektronik. bangkrutnya perusahan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan para pelaku bisnis indonesia, terutama bisnis menengah dan kecil dalam bersaing. pemikiran tersebut didasarkan pada kondisi yang terjadi saat ini, di mana berbagai produk dari china telah membanjiri pasar indonesia. produk dari china yang masuk ke indonesia sangat bervariasi dan memiliki harga yang relatif murah. variabel lainnya yang terbukti berpengaruh signifikan adalah variabel financial freedom. variabel financial freedom memiliki kesesuaian uji tanda pada hipotesis yang ada dan menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini dapat dinyatakan secara statistik bahwa dengan naiknya financial freedom sebesar 1 satuan maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,07%. dengan semakin meningkatnya skor financial freedom, menandakan bahwa sistem keuangan semakin bebas dan menciptakan sistem intermediasi keuangan yang efisien. lingkungan perbankan yang terbuka dan bebas mendorong perekonomian dengan terciptanya sistem keuangan yang efisien. intermediasi perbankan lebih baik dan sistem keuangan semakin bebas menyebabkan masyarakat bisa lebih mudah berinvestasi. semakin banyak masyarakat mendapat permodalan keuangan maka semakin efisien sistem keuangan menyebabkan kewirausahaan dan bisnis dapat berkembang. sehingga perkem jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 170 bangan bisnis dalam berbagai sektor dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. menjelang diberlakukannya masyarakat ekonomi asean (mea) bidang keuangan dan perbankan pada 2020 mendatang,perbankan nasional diminta untuk lebih efisien dalam berbisnis agar tidak tersingkir dengan jasa perbankan lain, terutama bank-bank asing, terlebih di antara negara-negara anggota asean. indonesia merupakan negara dengan liberalisasi perbankan terbesar. bi menggunakan rasio biaya operasional dibanding pendapatan operasional (bopo) untuk mengukur efisiensi. saat ini, rata-rata bopo perbankan indonesia masih 72,9%. hampir sama dengan malaysia 73%, thailand 75%. sementara itu, singapura 69,4%, vietnam 87,7% dan filipina 88,4 persen (jurnas, 2013). tingginya bopo menunjukkan bank itu tidak efisien dan boros. selain itu, terdapat satu komponen penyusun economic freedom lainnya, yaitu investment freedom terbukti tidak signifikan. namun jika dapat dikaitkan dengan uji kebenaran hipotesis yang ada, investment freedom memiliki uji tanda sesuai teori. variabel ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.skorinvestment freedom yang tinggi memperlihatkan bahwa terciptanya investasi bebas dan terbuka, sehingga semakin mudah berinvestasi, pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat. hasil regresi untuk negara maju hasil regresi panel yang didapat berdasarkan negara jepang, cina, korea selatan dan singapura yang dikelompokkan sebagai negara maju sebagai berikut: bahwa hasil pengolahan data dengan stata, tabel 4 menunjukkan bahwa hanya terdapat dua variabel penyusun economic freedom yang terbukti secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi (growth). terdapat variabel trade freedom dan investment freedom. sedangkan variabel lainnya terbukti berpengaruh nyata terhadap growth pada taraf nyata 5% maupun dalam batas toleransi 10%. pembahasan lebih lanjut mengenai hasil studi ini akan dikelompokkan berdasarkan lima model yang telah diolah. model economic freedom overall dalam model ini, nilai prob pada setiap variabel terbukti signifikan, kecuali pada variabel nilai tukar. sehingga tidak seluruh variabel berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hasil pengolahan ini menunjukkan bahwa tidak seluruh variabel sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan. di mana terlihat bahwa economic freedom memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. berdasarkan hasil pengolahan didapatkan nilai dari adj.r2 sebesar 0,6062. hal ini menuntabel 4. ringkasan hasil koefisien fdi, nilai tukar dan economic freedombeserta komponen penyusunnya terhadap pertumbuhan ekonomi di 4 negara maju var model1 (ce) model2 (ce) model3 (ce) model4 (ce) model5 (fe) c 25,35* 13,90* 22,45* 33,92* 1,52* fdi 0,48* 0,45* 0,381* 0,337* 0,38* er -5,87 -9,65** -6,196 -4,596 -7,57 ef -0,33* pr -0,04** ffc -0,142* ff -0,506* gs 0,231* bf -0,146* mf -0,228* tf -0,004 if 0,093 finf -0,081** adj, r2 0,6062 0,6534 0,6073 0,6129 0,0325 prob f 0 0 0 0 0,0142 keterangan : *= signifikan pada level 5; ** : signifikan pada level 10% dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 171 jukkan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 60,62% dan sisanya 38,38% dijelaskan oleh variabel independen lain diluar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,000, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. pada studi ini variabel economic freedom berpengaruh signifikan dan tanda koefisien regresi yang tidak sesuai dengan hipotesa. setiap 1 satuan kenaikan index economy freedom, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0.33%. sama halnya dengan negara berkembang, dalam negara maju ternyata economic freedom tetap berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. padahal dalam negara maju di studi ini terlihat bahwa ketiga negara yaitu jepang, korea selatan dan singapura sudah berada pada negara bebas. bahkan singapura menjadi negara rangking kedua dengan tingkat economic freedom di tahun 2013, artinya singapura menjadi negara kedua paling bebas di seluruh dunia. namun untuk negara cina skornya masih berada di bawah dibandingkan negara berkembang studi ini. variabel fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,481919 artinya, jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,48%. pada kasus ini fdi dapat mendorong pembangunan dari segi bisnis. seperti yang telah dijelaskan pada bagian teori di bab sebelumnya, bahwa fdi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. maka, dengan semakin meningkatnya fdi yang masuk menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. nilai tukar juga merupakan variabel eksternal yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. dalam studi ini, nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. oleh karena itu, variabel ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimana hubungannya terhadap pertumbuhan ekonomi. model pilar rule of law model kedua ini terlihat bahwa model terbaik yang terpilih yaitu common effect. pada pengolahan dalam model kedua menerangkan bahwa seluruh faktor penduga yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi ternyata memang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. namun dalam kenyataannya, terdapat ketidak sesuaian hipotesis yang terjadi, varibel property right dan freedom from corruption seharusnya secara nyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, malah sebaliknya berpengaruh negatif. berdasarkan tabel 4 nilai adjusted r-square sebesar 65,34. hal ini menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 65,34% dan sisanya 34,66% dijelaskan oleh variabel independen lain di luar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,000, artinya variabelvariabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. dalam model ini, terlihat bahwa seluruh variabel terbukti secara statistik berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada taraf 5% ataupun 10%. hal ini juga didukung oleh hubungan pengaruhnya yang sesuai hipotesis, kecuali untuk variabel komponen penyusun economic freedom. model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,45020 artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,45%. sedangkan nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -9.65165 artinya apabila nilai tukar mengalami depresiasi sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 9,65%. property rights sebagai komponen penyusun economic freedom juga memiliki tanda yang tidak sesuai dengan hipotesis yang diinginkan. variabel property right terbukti signifikan, namun tidak sesuai dengan hipotesis. semakin dijaminnya property right oleh pemerintah, membuat perekonomian semakin menurun. sehingga hal ini memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. setiap 1 satuan kenaikan indeks property right, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,04%. variabel freedom from corruption juga jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 172 merupakan salah satu komponen penyusun economic freedom yang berpengaruh signifikan dan dengan tanda koefisien regresi yang tidak sesuai dengan hipotesa. berbeda pada negara berkembang bahwa variabel ini terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. pada studi ini menunjukkan bahwa setiap 1 satuan kenaikan index freedom from corruption, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,14%. menurut hasil survei transparancy international memperlihatkan, bahwa singapura menjadi negara paling bersih di kawasan asia yang berada di peringkat lima di dunia (transparency, 2013). model pilar limited government model ketiga menganalisis pengaruh komponen penyusun economic freedom ditinjau dari pilar limited government terhadap pertumbuhan ekonomi. pengolahan pada model ini hasil terbaik yaitu menggunakan common effect. sama halnya pada model sebelumnya, hasil analisis ini mumbuktikan bahwa niali adj.r2 sebesar 0,6073 artinya bahwa kemampuan dari seluruh variabel independent untuk menjelaskan variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 60,73%, dan sisanya 38,27% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model. sedangkan untuk nilai prob.f statistic yang terjadi pada model ketiga ini ialah sebesar 0.000, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. variabel fdi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini juga didukung oleh hubungan pengaruhnya yang sesuai hipotesis. sehingga pada model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,381244 artinya, jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akannaik sebesar 0,38%. untuk variabel nilai tukar terlihat bahwa variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, namun memiliki kesesuain teori dan hipotesis yang telah dijelaskan. variabel fiscal freedom terbukti signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. namun hal ini tidak didukung dengan hubungan teorinya yang sesuai. di mana, fiscal freedom berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. sehingga hal ini membuktikan dengan naiknya 1 satuan indeks fiscal freedom, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,50%. sehingga tidak membuktikan bahwa pajak yang rendah dapat membuat perekonomian negara maju lebih berkembang. government spending juga terlihat terbukti signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan memiliki hipotesis yang tidak sesuai. hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan 1 satuan pada indeks government spending maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,23%. sehingga membukitkan bahwa intervensi pemerintah pada negara berkembang juga masih diperlukan agar terciptanya kesejahteraan bagi negaranya. model pilar regulatory efficiency berdasarkan tabel 4 studi mengenai negara maju pada model keempat ini yang paling tepat ialah common effect. terdapat satu variabel yang terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu nilai tukar. sedangkan untuk varibel lainnya terbukti signifikan. berdasarkan hasil pengolahan didapatkan nilai dari adjusted rsquare sebesar 0,6129. hal ini menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 61,29% dan sisanya 38,71% dijelaskan oleh variabel-variabel independen lain di luar model. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,000, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. variabel fdi tetap berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sesuai tanda. sehingga pada model ini menyatakan bahwa fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,337350, artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,33%. sedangkan nilai tukar yang terbukti tidak berpengaruh signifikan, maka tidak dapat dijelaskan lebih lanjut pada model keempat ini. business freedom atau regulatory freedom terbukti signifikan.namun keadaan ini tidak didukung dengan kesesuaian hipotesis yang dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 173 ada.negara-negara yang diuji dalam studi ini justru memberikan dampak negatif apabila regulasi dalam berbisnis dimudahkan membuat pasar antar negara semakin tidak ada batasnya dan persaingan semakin meningkat. padahal dalam teorinya, negara maju merupakan negara bebas yang minim akan hambatan yang ada. studi ini menunjukkan nilai koefisiensi sebesar -0,146229, mengartikan bahwa apabila business freedom naik sebesar 1 satuan, maka akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,14%. monetary freedom terbukti berpengaruh signifikan namun tidak sesuai hipotesis, di mana, monetary freedom berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. sehingga hal ini membuktikan dengan naiknya 1 satuan indeks monetary freedom, pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,22%. sehingga hal ini tidak dapat membuktikan bahwa kondisi inflasi dan nilai tukar pada negara maju adalah stabil. model pilar open markets berbeda dengan model-model sebelumnya, model urutan kelima ini lebih buruk kondisinya dibandingkan pilar-pilar lainnya. model yang terpilih pada model open markets ini ialah fixed effect. berdasarkan tabel 4, pada model kelima ini menunjukkan bahwa hanya terdapat dua variabel terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu fdi dan financial freedom.sedangkan untuk varibel lainnya terbukti tidak signifikan. nilai adjusted r-square yang terkecil pada studi negara maju ini ialah hanya sebesar 0,0325, menunjukan kemampuan dari seluruh variabel independen dalam menjelaskan variasi dari variabel dependen hanya sebesar 3,25% dan sisanya 96,75% dijelaskan oleh variabel-variabel independen lain di luar model. sehingga dapat dikatakan bahwa model ini tidak goodness of fit. sedangkan jika dilihat dari nilai prob.f statistik sebesar 0,0142, artinya variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. fdi terbukti berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar 0,38122, artinya jika fdi naik sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,38%. sedangkan untuk variabel nilai tukar terlihat bahwa variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, namun memiliki kesesuain teori dan hipotesis yang telah dijelaskan. trade freedom terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. variabel komponen penyusun economic freedom ini merupakan salah satu dari dua komponennya yang terbukti tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. namun hal ini juga tidak mengartikan bahwa perdagangan yang semakin global dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. variabel investment freedom merupakan satu-satunya variabel komponen penyusun economic freedom dari pilar open markets yang terbukti secara statistik berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.selain itu, variabel ini juga terbukti mempunyai pengaruh yang sesuai teori, artinya investment freedom berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. hal ini dapat dinyatakan secara statistik bahwa dengan naiknya investment freedom sebesar 1 satuan maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,09%. dengan semakin meningkatnya skor investment freedom, menandakan bahwa investasi yang bebas pada negara maju memang terjadi, sehingga hal ini membuat pertumbuhan ekonomi pada negaranya meningkat. sedangkan untuk variabel financial freedom terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. sama halnya dengan trade freedom. selain itu, jika dilihat dari hipotesis yang ada, variabel ini juga tidak sesuai teori dan hipotesis yang ada.sehingga variabel ini terbukti tidak dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi. analisis antara negara maju dan negara berkembang berdasarkan informasi analisis dari negara berkembang, hasil studi menunjukkan bahwa model kedua merupakan model yang terbaik dari kelima model yang ada. pilar rule of law terbukti paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. tabel 3 membuktikan bahwa nilai adj.r2 terbesar dari lima model yang di uji yaitu sebesar 26.63%. selain itu keberadaan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 174 nilai signifikansi berada di bawah 0,05(α) terbukti bahwa nilai tukar, fdi, property right dan signifikan. walaupun jika dilihat dari uji kesesuaian tanda, variabel property right tidak sesuai hipotesis. sedangkan dua variabel lainnya terbukti sesuai teori. artinya bahwa pada negara berkembang, peraturan hukum yang ada di suatu negara sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian di negaranya. namun untuk model ke tiga yang berasal dari pilar limited government menunjukkan bahwa model ini tidak terbukti lebih bagus dibandingkan model lainnya. didukung dengan nilai adj.r2 terkecil, tidak mencapai 10%, yaitu hanya sebesar 0,95% mampu menjelaskan bahwa variabel independent pada model ketiga ini tidak mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi, terdapat variabel lain di luar model. selanjutnya, nilai prob.f yang melebihi tingkat alpha (5%), juga menunjukkan bahwa variabel independent terbukti secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. selain itu juga didukung bahwa seluruh komponen penyusun economic freedom pada model ketiga ini terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. artinya untuk negara berkembang, dalam bidang pemerintahan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada negaranya. sedangkan berdasarkan tabel 4 yaitu mengenai analisis untuk negara maju. sama halnya dengan analisis pada negara berkembang, hasil studi menunjukkan bahwa model kedua dari pilar rule of law merupakan model yang lebih baik dibandingkan kelima model yang ada. pilar rule of law terbukti paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. tabel 4 membuktikan bahwa nilai adj.r2 terbesar dari lima model yang di uji yaitu sebesar 65,34%. selain seluruh variabel independen terbukti signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. walaupun jika dilihat dari uji kesesuaian tanda, variabel property right dan freedom from corruption tidak sesuai hipotesis. sedangkan dua variabel lainnya terbukti sesuai teori. keadaan ini juga mengartikan bahwa pada negara maju lebih terpaku pada peraturan hukum yang ada untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. namun, analisis di negara maju terlihat hasil regresinya yang paling buruk pada pilar open markets yang berbeda dengan negara berkembang di mana pilar pemerintahan merupakan variabel yang memiliki korelasi yang paling rendah terhadap pertumbuhan ekonomi. didukung dengan nilai adj.r2 terkecil, tidak mencapai 10%, yaitu hanya sebesar 3% mampu menjelaskan bahwa variabel independen pada model kelima ini tidak mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi, terdapat variabel lain diluar model. selain itu juga didukung bahwa hanya ada dua dari lima variabel independent yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu variabel fdi dan financial freedom. simpulan studi ini yang bertujuan untuk melihat pengaruh variabel fdi, nilai tukar serta economic freedom dan komponen penyusunnya dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara asia yang dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok negara berkembang yang terdiri dari 7 negara antara lain indonesia, thailand, malaysia, vietnam, laos, kamboja dan filipina, sedangkan untuk kelompok negara maju yang terdiri dari 4 negara yaitu jepang, korea selatan, cina dan singapura. variabel fdi dan nilai tukar sebagai variabel klasik terbukti secara nyata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun berkembang. secara keseluruhan, economic freedom berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang namun dengan arah yang tidak sesuai dengan hipotesis. korelasi yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan kebebasan ekonomi ini menunjukkan bahwa negaranegara di asia baik maju maupun sedang berkembang belum siap atau belum mampu memanfaatkan kebebasan ekonomi ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. komponen penyusun economic freedomyang terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang di asia adalah variabel property right, business freedom, trade freedom dan financial freedom. dampak economic freedom ... (agustina suparyati, nurul fadilah) 175 sedangkan komponen penyusun economic freedom yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara maju di asia adalah variabel property right, freedom from corruption, government spending, monetary freedom, business freedom, dan financial freedom . di negara maju, model pilar rule of law merupakan salah satu pilar economic freedom yang didalamnya terdapat dua komponen penyusunnya, yaitu property right dan freedom from corruption merupakan model yang terbaik di dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan model lainnya yang diperlihatkan dari nilai adj.r2 yang lebih tinggi. sedangkan di negara sedang berkembang model pilar open market yang di dalamnya terdapat komponen trade freedom (kebebasan perdagangan), investment freedom (kebebasan investasi) dan financial freedom (kebebasan finansial). berdasarkan kesimpulan dari hasil pembahasan, penulis dapat memberikan saran sebagai rekomendasi kebijakan untuk mencapai economic freedom yang tinggi: 1) adanya economic freedom harus bisa dimanfaatkan sebagai motivasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, karena dengan perekonomian yang semakin bebas seharusnya mampu membuat negara untuk semakin berkembang sesuai kemauannya. oleh karena itu, keberhasilan suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri. selain itu, dalam economic freedom adanya intervensi pemerintah cukup mengawasi dan melindungi namun tidak membatasi individu untuk berproduksi, berinvestasi, mengonsumsi dan mendistribusi. pemerintah juga wajib memerintah dan mengatur dengan undangundang yang telah ditetapkan bersama ataupun menetapkan hukum yang adil dan jujur sehingga dapat mencegah konflik yang terjadi, seperti kasus pelanggaran kebebasan hak milik dan kasus korupsi yang mengakar; 2) adanya komponen penyusun economic freedom juga dapat menunjang suatu kebebasan di negara, oleh karena itu dengan adanya pajak yang rendah dapat memberikan bantuan perpajakan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi dengan membayar pajak yang rendah, diharapkan dapat mendorong perkembangan bisnis. selain itu, adanya regulasi dalam berbisnis yang tidak berbelit tidak akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan kewirausahaan; 3) kondisi tingkat inflasi dan nilai tukar stabil dapat menciptakan skor monetary freedom tinggi, sehingga menciptakan perkembangan ekonomi. selain itu, sistem intermediasi keuangan yang terbuka, didukung oleh lembaga keuangan yang dapat menciptakan perluasan pembiayaan untuk berinvestasi. sehingga dapat membuat investasi menjadi lebih mudah. daftar pustaka ahmad, a., ahmad, n. dan ali, (2013). exchange rate and economic growth in pakistan (1975-2011). journal of basic and applied scientific research vol. 3, no. 8: 740-746 aimon, h. (2013). prospek perdagangan luar negeri indonesia – amerika serikat dan kurs. jurnal kajian ekonomi vol. i, no. 02: 207 mankiw, g. (2007). makroekonomi. edisi keenam. erlangga. pt. gelora aksara pramata gujarati, d.n. (2009). dasar-dasar ekonomerika. edisi kelima. raden carlos mangunsong [penerjemah]. jakarta: salemba empat. hady, h. (2012). manajemen keuangan internasional. edisi ketiga. jakarta: mitra wacana media. hafiz, a., alhasymi, m. (2010). analisis pengaruh foreign direct investment (fdi) terhadap pertumbuhan gdp di asean. fakultas ekonomi usu halwani, h. (2005). ekonomi internasional dan globalisasi ekonomi. jakarta: ghalia. handoko, d. (2009). pengaturan hak cipta di indonesia. makalah hak kekayaan intelektual. universitas islam. halaman 12-36. riau kotrajas, p. (2010). foreign direct investment and economic growth: a comparative study among east asian countries. economics journal 17 (2): 12-26. chulalongkorn university. thailand. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 158-176 176 kusumastuti, s.y. (2007). penanaman modal asing dan pertumbuhan industri di asean6, china, india, dan korea selatan, 1995-2005 laksono, r. (2012). analisis pengaruh kebebasan ekonomi dan politik terhadap pertumbuhan ekonomi. fakultas ekonomi universitas indonesia low, s. w; ghazali, n. a; ramlee, s; dan said, r. m. (2010). economic freedom and banking development: the experiences of selected east asian countries. jurnal pengurusan vol.3, no.1: 71-81 mukhlis, i. (2011). analisis volatilitas nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar. journal of indonesian applied economics vol. 5 no. 2: 172-182. pohan, a. (2008). potret kebijakan moneter indonesia, edisi 1, jakarta: pt. raja grafindo persada. riza, a. (2012). foreign direct investment and gross domestic product: an application on eco region (1995-2011). international journal of business and social science vol. 3 no. 2. tayyip erdoğan university. turkey stansel, d. (2013). an economic freedom index for u.s. metropolitan areas. the journal of analysis and policy jrap 43(1): 3-20. usa suryatie, s. (2013). soal kemudahan bisnis, indonesia peringkat 120. antara news. 29 oktober. jakarta tamtomo, e. (2010). analisis pertumbuhan ekonomi pada negara maju dan berkembang. fakultas ekonomi universitas indonesia wahyudi, d. (2010). analisis pengaruh faktorfaktor pertumbuhan ekonomi. fakultas ekonomi universitas indonesia world investment report 2011 www.transparency.org www.worldbank.org www.heritagefoundation.org image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg image (14).jpg image (15).jpg image (16).jpg microsoft word 05-ahmad maruf jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.43-52   strategi pengembangan investasi di daerah: pemberian insentif ataukah kemudahan? ahmad ma’ruf fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta e-mail: macrov_jogja@yahoo.com abstract: the activities of the development of investment, are strongly associated with accomplishment of an objective of economic development of the region, such as create jobs, achieve economic stability of the region, and developing a diverse economic base. the study of the analysis of the policy of granting incentives and ease the field of investment in the region is expected to increase investment of the implementation of the formulation strategic based on analysis need (need assessment) stakeholders. the data used, from primary and secondary with the technique of a gathering of an interview that is guided by a questionnaire, documentation, and focus group discussion (fgd) stakeholders. the results of the study is that in order to attract new investment and encourage increased investment in terms of strategic policy, then it more emphasized the policy options that provide various facilities investment than incentives. keywords: public policy, incentives, regional economic, investment abstrak: kegiatan pengembangan penanaman modal, sangat terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi daerah, seperti menciptakan lapangan kerja, mencapai stabilitas ekonomi daerah, dan mengembangkan basis ekonomi yang beragam. studi analisis kebijakan pemberian insentif dan kemudahan bidang penanaman modal di daerah ini diharapkan mampu meningkatkan penanaman modal dari implementasi rumusan strategik yang didasarkan pada analisis kebutuhan (need assessment) stakeholders. data yang digunakan bersifat primer dan sekunder, dengan teknik pengumpulan wawancara dipandu kuesioner, dokumentasi, dan focus group discussion (fgd)stakeholders. kajian ini dilakukan pada daerah istimewa yogyakarta. alat analisis meliputi studi kepustakaan, deskriptif kualitatif untuk kebijakan publik, dan analisis swot. dihasilkan bahwa dalam rangka menarik investasi baru maupun mendorong peningkatan penanaman modal dari sisi kebijakan strategis lebih dikedepankan pilihan kebijakan memberikan berbagai kemudahan penanaman modal daripada pemberian insentif. kata kunci: kebijakan publik, pemberian insentif, ekonomi daerah, penanaman modal pendahuluan pengembangan penanaman modal merupakan kebijakan yang membawa dampak ekonomi cukup luas, yaitu terjadinya peningkatan jumlah barang dan jasa, penciptaan nilai tambah, peggunaan tenaga kerja, dan sumber daya ekonomi lainnya, peningkatan pendapatan masyarakat, serta sebagai sumber pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi. pengembangan penanaman modal di daerah, selain untuk meningkatkan kapasitas ekonomi daerah yang secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, juga akan berdampak positif bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah. pada tingkat nasional, kebijakan pengembangan penanaman modal diarahkan untuk: (1) mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan meningkatkan iklim penanaman modal; (2) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 43-52 44 mendorong fdi untuk memperbaiki daya saing ekonomi nasional; meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik; membangun penanaman modal dalam kerangka pelaksanaan demokrasi ekonomi yang diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat;dan (3) meningkatkan realisasi penanaman modal ke seluruh indonesia. konsep dasar pengembangan penanaman modal tentu diarahkan pada peningkatan produktivitas secara agregat. untuk mencapai itu, diperlukan dukungan iklim penanaman modal yang “conducive”, antara lain adalah (1) adanya kepastian, kestabilan dan keamanan; (2) stabilitas makro ekonomi (inflasi, suku bunga dan kurs, sistem moneter dan fiskal yang sustainable); (3) reformasi birokrasi, perpajakan, kebijakan, aturan; (4) penyediaan infrastruktur yang cukup (listrik, air, pelabuhan, jalan, dan sebagainya); (5) tenaga kerja yang mengacu pada produktivitas; (6) sdm, pendidikan, kesehatan, disiplin, motivasi; (7) setiap daerah harus fokus pada sektor industri unggulan; dan (8) menjalin kerjasama sinergis antardaerah. kegiatan pengembangan penanaman modal, sangat terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi daerah. konsepsi pembangunan ekonomi daerah, menurut lincoln arsyad (1999:122) memiliki tujuan: (1) menciptakan lapangan kerja; (2) mencapai stabilitas ekonomi daerah; (3) mengembangkan basis ekonomi yang beragam. lapangan kerja diperlukan agar penduduk mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. agar lapangan kerja dapat tercipta, diperlukan persyaratan antara lain tersedianya lahan, modal, prasarana. stabilitas ekonomi daerah perlu dipertahankan agar pelaku usaha dan masyarakat dapat melakukan berbagai upaya secara terencana. stabilitas ekonomi mencakup inflasi yang rendah, adanya peraturan usaha yang jelas disertai penegakan hukum yang konsisten, dan tidak adanya gangguan keamanan. setiap daerah dalam suatu negara mempunyai tujuan yang sama, yaitu menemukan cara untuk menciptakan lapangan kerja yang luas untuk memberikan penghasilan dan menaikkan kualitas hidup bagi masyarakat. walaupun pemerintah pusat memainkan peran penting dalam pengembangan ekonomi melalui undang-undang, kebijakan fiskal, dan kebijakan pembangunan, namun keberhasilan atau kegagalan perkembangan ekonomi daerah sering tergantung pada apa yang terjadi pada tingkat kawasan. kemampuan daerah untuk menggunakan sumber daya alam dan bakat lokal untuk mendukung inovasi yang kuat adalah kunci penggerak pertumbuhan ekonomi daerah. oleh sebab itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengenali kekuatan inovasi yang menciptakan keberhasilan usaha, seperti kemampuan untuk mentransformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam membuat barang atau pelayanan yang berkualitas. inovasi yang tak henti-hentinya menciptakan produk bernilai tinggi akan memperluas perdagangan dan penguasaan pasar, dengan demikian memberi manfaat bagi perusahaan dan pekerja dengan keuntungan yang lebih besar, upah lebih tinggi. untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah tersebut, maka strategi pembangunan ekonomi daerah yang perlu dilakukan adalah: pengembangan fisik/lokalitas, pengembangan dunia usaha, pengembangan sdm, dan pengembangan masyarakat (lincoln arsyad: 1999). pengembangan fisik dilakukan antara lain dengan menyediakan lahan untuk kegiatan usaha, pengaturan tata ruang untuk berbagai kegiatan penduduk, menyediakan prasarana dan sarana seperti jalan, pelabuhan, listrik, air bersih. pengembangan dunia usaha dilakukan antara lain dengan menciptakan iklim usaha yang baik melalui penetapan kebijakan dan peraturan yang memudahkan pelaku ekonomi untuk menjalankan usahanya, menyediakan informasi mengenai perijinan, kebijakan dan rencana pemerintah daerah, sumber-sumber pendanaan, dan lain lain; mendirikan media konsultasi bagi pengusaha dan masyarakat mengenai peluang usaha, masalah-masalah yang dihadapi, dan lain-lain. sementara itu, pengembangan sdm dilakukan antara lain dengan pelatihan dan pendidikan. pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan terutama dengan memberdayakan masyarakat agar mampu memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi persoalan ekonomi yang dihastrategi pengembangan investasi di daerah (ahmad ma’ruf) 45 dapi secara mandiri. pada hakekatnya, penanaman modal merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, pihak swasta, dan institusi lain baik dari luar maupun dalam negeri agar pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dapat tercapai. secara sederhana kegiatan penanaman modal merupakan pendapatan yang dibelanjakan oleh perusahaan atau lembaga pemerintah untuk barang-barang modal yang akan digunakan untuk kegiatan produktif. dengan demikian, peran penanaman modal menjadi strategis dalam suatu perekonomian.tanpa penanaman modal yang cukup tidak dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan serta peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. kebijakan penanaman modal yang tepat diharapkan dapat menjadi pemicu perluasan kesempatan kerja di suatu daerah. studi perumusan strategi pengembangan penanaman modal dibangun dalam perspektif pengembangan daya saing daerah. world economic forum (wef),mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tingi dan berkelanjutan. institute of management and development (imd) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial. departemen perdagangan dan industri inggris mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional (abdullah, et.al; 2002:13). sedangkan centre for regional and urban studies (curds), inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya. meyer dan stamer (dalam cho, 2003) memandang daya saing dalam skala lebih luas, ia menyebutkannya dengan daya saing sistemik. konsep daya saing sistemik berusaha untuk mencakup faktor politik dan faktor ekonomi dari keberhasilan pembangunan industri. hal ini mengacu pada pola dimana negara dan aktor-aktor sosial secara terarah menciptakan kondisi bagi keberhasilan pembangunan industri sebagai daya saing sistemik. konsep ini dibedakan dalam dalam empat tingkat, yaitu: microlevel pada jaringan perusahaan dan jaringan antarperusahaan, mesolevel pada kebijakan dan institusi tertentu, macrolevel dari kondisi ekonomi umum dan metalevel pada variabel lambat seperti struktur-struktur sosial budaya, aturan dan orientasi dasar ekonomi, dan kemampuan aktor-aktor sosial merumuskan strategi. konsep daya saing sistemik tidak dimaksudkan sebagai sebuah cetak biru tetapi suatu usaha untuk memberikan orientasi baik untuk penelitian maupun kerja konsultasi. kondisi riil yang sekarang terjadi, pada tiap daerah, bahkan negara mengalami tentangan dalam pengembangan penanaman modal. tantangan yang bersifat eksternal yang paling nyata ada meningkatnya persaingan antardaerah maupun negara dalam menarik investor. sementara itu, secara internal ada banyak kelemahan dan tantangan seperti: ketersediaan infrastruktur yang mendukung kegiatan penanaman modal; ketersedian energy; perangkat peraturan pusat dan daerah; perijinan penanaman modal baik di pusat dan daerah; penyebaran penanaman modal yang belum merata; dan belum optimalnya pelaksanaan alih teknologi. kegiatan penanaman modal telah menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian daerah. kegiatan penanaman modal di daerah selama ini sangat berperan penting antara lain dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan menyerap tenaga kerja lokal. oleh karena itu perlu adanya kebijakan penanaman modal yang dapat menstimulasi masuknya pemodal untuk menanamkan modalnya di daerah. kebijakan itu antara lain perbaikan regulasi yang mendukung penanaman modal, penyederhanaan prosedur perijinan, pemberian kemudahan dan insentif dalam bidang penanaman modal. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 43-52 46 upaya daerah untuk meningkatkan penanaman modal melalui pemberian insentif dan/ atau pemberian kemudahan bagi penanam modal tergolong masih rendah. hal ini berakibat pada daya saing daerah semakin menurun. padahal untuk menarik penanam modal dibutuhkan daya tarik baik dalam bentuk insentif ataupun kemudahan dalam bidang penanaman modal. kebijakan pemberian insentif itu sendiri dapat berupa keringanan pajak sedangkan pemberian kemudahan dapat berupa penyederhanaan prosedur perijinan dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung investasi. oleh karena itu, studi analisis kebijakan pemberian insentif dan kemudahan bidang penanaman modal di daerah perlu dilaksanakan sebagai bahan acuan dalam merumuskan kebijakan yang diharapkan mampu meningkatkan penanaman modal. kebijakan pemberian insentif dan pemberian kemudahan di daerah disusun untuk menjawab permasalahan belum adanya kebijakan/regulasi daerah yang mengatur tentang insentif dan kemudahan bidang penanaman modal. tujuan studi ini adalah menyusun analisis kebutuhan (need assessment) rumusan kebijakan strategis yang perlu ditempuh dalam rangka percepatan peningkatan penanaman modal di daerah. metode penelitian studi ini menggunakan beberapa pendekatan utama, yaitu pendekatan perencanaan berbasis stakeholders. model pendekatan dalam studi penyusunan kebijakan strategik ini dikembangkan secara partisipatif (participatory approach). pendekatan ini menjembatani dua kutub kepentingan dan kebutuhan dari masyarakat umum, swasta/pelaku usaha, dan dari pemerintah sehingga tumpuan analisis lebih dititik beratkan pada pemenuhan kebutuhan stakeholders. studi ini berorientasi berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. pengembangan penanaman modal secara substantif berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya pada aspek penyediaan barang dan jasa, kesempatan kerja, dan penciptaan nilai tambah. adanya peningkatan penanaman modal juga akan meningkatkan pedapatan asli daerah (pad) yang berimplikasi pada peningkatan sumber-sumber apbd sehingga dana publik tersebut dapat dialokasikan untuk pelayanan publik dan pembangunan daerah. dengan demikian, secara langsung diyakini kegiatan ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. studi ini mengambil sampel di provinsi diy. data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, baik data utama maupun data pendukung, baik data yang bersifat primer maupun sekunder, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dipandu kuesioner; dokumentasi; dan focus group discussion (fgd) bersama stakeholders untuk menggali data yang berhubungan dengan pengembangan penanaman modal di daerah. analisis yang digunakan untuk merumuskan kebijakan strategik untuk akselerasi penanaman modal di daerah menggunakan alat analisis: (1) studi kepustakaan. analisis ini digunakan untuk mereview berbagai data dan informasi yang terkumpul dari dokumen-dokumen perencanaan, hasil penelitian, buku dan peraturan yang relevan. (2) deskriptif kualitatif untuk kebijakan publik. analisis ini digunakan untuk mengetahui atau menggambarkan kecenderungan kebutuhan kebijakan publik yang terkait dengan pemberian insentif dan kemudahan bidang penanaman modal. (3) analisis swot yaitu suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan kebijakan berbagai strategi pengembangan penanaman modal daerah melalui pemberian insentif dan kemudahan investasi. analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). analisis swot mempertimbangkan faktor lingkungan internal strengths dan weaknesses serta lingkungan eksternal oportunities dan threats yang dihadapi institusi/lembaga. analisis swot membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategik. strategi pengembangan investasi di daerah (ahmad ma’ruf) 47 hasil dan pembahasan review kebijakan penanaman modal uu nomor 25/2007mengatur bahwa penanaman modal mempunyai pokok-pokok kebijakan: perlakuan yang sama terhadap pmdn maupun pma; tidak ada persyaratan modal minimum; dapat melakukan transfer dan repatriasi terhadap modal dan keuntungan; terdapat jaminan hokum; dan penyelesaian sengketa. fasilitas penanaman modal berupa hak atas tanah yang terdiri dari hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; fasilitas imigrasi bagi investor dan tenaga kerja asing; dan insentif fiskal berupa pengurangan pajak penghasilan dan keringanan bea masuk. setelah uu nomor 25 tahun 2007 dikeluarkan, terdapat serangkaian peraturan dan ketentuan yang diterbitkan berkaitan dengan penanaman modal. salah satunya adalah peraturan pemerintah nomor 45 tahun 2008 tentang pedoman pemberian insentif dan pemberian kemudahan penanaman modal di daerah. pp 45/2008 tersebut berisi antara lain pemberian insentif bentuknya berbagai macam, antara lain: pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak daerah; pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; pemberian dana stimulan; pemberian bantuan modal. sementara itu, pemberian kemudahan terkait dengan penanaman modal di daerah bentuknya dapat berupa: penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; penyediaan sarana dan prasarana; penyediaan lahan atau lokasi;pemberian bantuan teknis; dan percepatan pemberian perizinan. berdasarkan pasal 5 dari pp 45/2008 ditegaskan bahwa pemberian insentif dan pemberian kemudahan diberikan kepada penanaman modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu criteria sebagai berikut: (1) memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan; (2) menyerap tenaga kerja lokal; (3) menggunakan sebagian besar sumber daya lokal; (4) memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik; (5) memberikan kontribusi dalam peningkatan produk domestik regional bruto (pdrb); (6) berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; (7) termasuk alih teknologi; (8) melakukan industri pionir; (9) berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan; (10) melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; (12) bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; (13) industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. implementasi atas ketentuan pemberian insentif dan kemudahan oleh tiap daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 7 pp 45/2008 bahwa ketentuan pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan penanaman modal di daerah diatur dengan perda yang sekurangkurangnya memuat antara lain: (1) tata cara memperoleh pemberian insentif dan pemberian kemudahan; (2) kriteria pemberian insentif dan pemberian kemudahan; (3) dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan; (4) jenis usaha atau kegiatan penanaman modal yang diprioritaskan memperoleh insentif dan kemudahan; (5) bentuk-bentuk insentif dan kemudahan yang dapat diberikan;dan (6) pengaturan pembinaan dan pengawasan. hasil review beberapa kebijakan terkait dengan pelayanan penanaman modal di daerah setelah kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), maka tampak ada beberapa kebijakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah, antara lain meliputi keppres no. 97/1993 tentang tatacara penanaman modal sebagaimana telah diubah dengan keppres no. 115/1998 jo. keppres no. 117/1999, keputusan meninves/ kepala bkpm no. 38/sk/1999 tentang pedoman dan tatacara permohonan penanaman modal yang didirikan dalam rangka pma dan pmdn, dan keppres no. 29/2004 tentang penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka pma dan pmdn melalaui sistem pelayanan satu atap. berdasarkan kajian asropi (2008) bahwa pelaksanaan pelayanan administrasi penanaman modal di daerah melalui sistem satu atap (sebelum tahun 2008), karakter pelayanan tidak jauh dari gambaran pelayanan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 43-52 48 analisis kebutuhan kebijakan fasilitasi penanaman modal hasil need assessment atas kebutuhan kebijakan pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal melalui analisis kebijakan termasuk analisis resiko atas pilihan jenis kebijakan yang didasarkan dari document review, hasil interview dan fgd bahwa untuk menarik investor ke daerah pada saat ini bagi pemerintah daerah harus terlebih dahulu mengetahui keinginankeinginan oleh calon investor. secara umum keinginan dari investor terhadap situasi di daerah antara lain adalah (fauzan, 2006): iklim investasi yang kondusif berupa kepastian hukum/berusaha; stabilitas ekonomi, sosial, politik, dan keamanan; kemudahan pelayanan (perizinan, keimigrasian, kepabeanan, perpajakan, pertanahan); insentif (fiskal & nonfiskal) yang kompetitif; infrastruktur yang memadai; dan kondisi ketenagakerjaan sementara itu, hasil dari hasil interview dengan nara sumber para pelaku ekonomi yang diwakili para pengurus kadin dan asosiasi, serta pejabat dinas/instansi yang terkait dengan pelayanan penanaman modal, serta dari beberapa akademisi yang memiliki kompetensi dalam bidang ekonomi dan bisnis bahwa sebagaimana diatur dalam dalam pasal 3 pp 45/2008 bahwa tiap pemda memiliki keleluasaan dalam hal menarik investor dan upaya peningkatan penanaman modal melalui pemberian insentif yang bentuknya berbagai macam, seperti: (1) pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak daerah; (2) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (3) pemberian dana stimulan; (4) pemberian bantuan modal. selain itu, upaya peningkatan penanaman modal di daerah juga dapat dilakukan dengan kebijakan pemberian kemudahan terkait dengan penanaman modal yang bentuknya dapat berupa: (1) penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; (2) penyediaan sarana dan prasarana; (3) penyediaan lahan atau lokasi; (4) pemberian bantuan teknis; (5) percepatan pemberian perizinan. mencermati persyaratan dasar yang diatur dalam peraturan tersebut di atas, maka tampak dari sisi alasan pemberian insentif maupun pemberian kemudahan akan sangat mudah ditetapkan. dari 12 item persyaratan dasar, hanya diperlukan salah satu item yang terpenuhi, maka kebijakan pemberian insentif maupun kemudahan dapat dilakukan. oleh karena itu, sifat persyaratan yang longgar harus disandingkan dengan analisis resiko atas tiap pilihan bentuk kebijakannya (tabel 1). sementara itu, kebijakan yang dapat mendorong penanaman modal di daerah selain pemberian insentif adalah pemberian kemutabel 1. matriks analisis kebijakan pemberian insentif aspek resiko fiskal resiko teknis daya terima publik/investor keterangan pengurangan, keringanan, pembebasan pajak daerah terjadi pengurangan pad dalam jangka pendek butuh dokumen perda baru /revisi perda diterima namun bukan kebutuhan pokok pada investasi sektor basis/strategis (share & penyerapan tk) pengurangan, keringanan, pembebasan retribusi daerah terjadi pengurangan pad dalam jangka pendek butuh dokumen perda baru /revisi perda diterima namun bukan kebutuhan pokok pada investasi sektor basis (share & penyerapan tk) pemberian dana stimulant peningkatan pengeluaran/ realokasi anggaran belanja butuh dokumen perda baru /revisi perda diterima pada investasi sektor basis (share & penyerapan tk) pemberian bantuan modal peningkatan pengeluaran/ realokasi anggaran belanja butuh dokumen perda baru /revisi perda diterima realisasi lembaga penjaminan daerah; pada investasi sektor basis (share & penyerapan tk) sumber: hasil olah data primer strategi pengembangan investasi di daerah (ahmad ma’ruf) 49 dahan. analisis kebijakan pemberian kemudahan dapat dicermati dalam tabel 2. perumusan kebijakan strategik pengembangan penanaman modal kebijakan strategis yang akan dilakukan terkait pengembangan penanaman modal melalui pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah sebagaimana diatur dalam pp 45/2008 dapat dipertajam dalam pilihan kebijakan strategis melalui metode swot. berdasarkan hasil dokumen review dan deep interview pada stakeholders, serta hasil masukan dalam fgd, maka rumusan semua aspek dalam analisis swot dapat dimasukan dalam satu matriks (tabel 3). berdasarkan rumusan swot tersebut perlu mengidentifikasi isu-isu strategis yang akan menjadi rujukan dalam perumusan kebijakan strategis dalam rangka pengembangan kegiatan penanaman modal di daerah yang dilakukan uji dengan menggunakan tes litmus. hasil analisis isu-isu strategis tersebut, maka dapat dikasifikasikan menjadi beberapa rumusan kebijakan strategis pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah, yaitu: (1) melakukan pilihan kebijakan kemudahan daripada pemberian insentif karena keterbatasan kapasitas fiskal; (2) menyusun perda sebagai payung hukum dalam kebijakan kemudahan maupun insentif investasi; (3) mengoptimalkan instansi perijinan terpadu untuk pengelolaan kewenangan perijinan investasi melalui penyediaan data &informasi, percepatan perijinan; (4) mengoptimalkan aset daerah dalam memberikan kemudahan penyediaan lahan; (5) mengoptimalkan program rutin instansi untuk update data, bembingan teknis; (6) meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana untuk penanaman modal; (7) melakukan pengembangan sistem informasi penamanan modal berbasis teknologi informasi berdasarkan kondisi riil fiskal daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang ada, secara umum mengalami kenaikan nilai fiskal namun dari sisi belanja lebih besar sehingga cenderung menganut sistem fiskal defisit. implikasi terkait dengan kebijakan mendorong peningkatan investasi di daerah, maka pilihan logis yang cepat dilakukan adalah pola kebijakan berupa memberi kemudahan, baik dari sisi perijinan maupun memfasilitasi kebutuhan lain yang diperlukan investor tanpa harus mengeluarkan alokasi anggaran yang berlebih. tabel 2. matriks analisis kebijakan pemberian kemudahan aspek resiko fiskal resiko teknis daya terima publik/investor keterangan penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal minim, bagian kegiatan unit teknis kontinu update data, upgrade teknologi infomasi, diterima, khususnya investor baru data benar/riel terkonfirmasi penyediaan sarana dan prasarana alokasi anggaran: prioritas pengadaan sarana yang mendukung investasi assesment riil kebutuhan sarana yang mendorong investasi diterima penyediaan lahan atau lokasi potensi perubahan pendapatan valuasi nilai best use aset; diterima optimalisasi aset daerah pemberian bantuan teknis alokasi anggaran: kegiatan bantuan teknis staf khusus fasilitasi investasi diterima percepatan pemberian perizinan anggaran rutin support gerai investasi; regulasi baru diterima sumber: hasil olah data primer jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 43-52 50 setiap kebijakan daerah, akan lebih efektif apabila ada payung hukum yang kuat. terkait dengan kebijakan memfasilitasi percepatan peningkatan nilai investasi juga memerlukan payung hukum, dalam hal ini dalam bentuk peraturan daerah. terkait dengan proses penyusunan perda, dapat dilakukan atas usulan eksekutif atau dari inisiatif legislatif (dprd). proses yang relatif cepat dan akan mendapatkan daya dukung kuat dari publik, maka mekanisme inisiatif dari dewan untuk mengusulkan perda insentif dan kemudahan penanaman modal menjadi pilihan yang lebih strategis. sementara dari sisi eksekutif dapat membantu dalam menyiapkan naskah akademis, sehingga proses akan sinergis dan efektif. mengoptimalkan instansi perijinan terpadu untuk pengelolaan kewenangan perijinan investasi melalui penyediaan data dan informasi, dan percepatan perijinan. keberadaan kantor pelayanan terpadu yang sudah dimiliki pada tingkat provinsi (gerai p2t) yang mulai berbenah secara progresif, perlu disupport untuk penyediaan sistem informasi yang berbasis teknologi informasi (it) yang handal. dengan pelayanan berbasis it, maka semua proses penyediaan informasi, data, dan pelayanan online akan dapat diwujudkan guna mendukung pelayanan prima. mengoptimalkan aset daerah dalam memberikan kemudahan penyediaan lahan. keberadaan aset pemda, baik yang dikuasai pemda provinsi maupun kabupaten/kota menjadi salah satu alternatif memberikan kemudahan dalam mengembangkan investasi di diy melalui optimalisasi aset dengan berbagai pola kerjasama. meskipun, secara umum yang dibutuhkan oleh investor adalah memberikan fasilitas dalam penyediaan lahan yang mewadahi. pemda dapat melakukan kontrol pada aset tabel 3. matriks swot kebijakan pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah ifas efas strength (s) 1. memilik instansi perijinan terpadu 2. memiliki berbagai aset daerah yang dapat dioptimalkan untuk penanaman modal. 3. memiliki program rutin untuk penyediaan data dan informasi peluang investasi weaknes (w) 1. fiskal daerah (apbd) yang terbatas. 2. belum memiliki perda insentif dan kemudahan penanaman modal. 3. lemahnya sinkronisasi program lintas instansi dalam mendukung penanaman modal 4. implementasi it yang masih terbatas dalam pelayanan perijinan dan promosi investasi. 5. lahan milik pemda yang potensi untuk investasi lokasinya terpisahpisah 6. kapasitas & kompetensi sdm yg terbatas untuk bantuan teknis. opportunity (o) 1. kebijakan pemerintah yang mendelegasikan kewenangan lebih pd pemda dalam perijinan investasi 2. kebijakan pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal (pp 45/2008) strategi so 1. mengoptimalkan instansi perijinan terpadu untuk pengelolaan kewenangan perijinan investasi melalui penyediaan data & informasi, percepatan perijinan. 2. mengoptimalkan aset daerah dalam memberikan kemudahan penyediaan lahan 3. mengoptimalkan program rutin instansi untuk update data, bembingan teknis. strategi wo 1. melakukan pilihan kebijakan kemudahan daripada pemberian insentif krn keterbatasan kapasitas fiskal. 2. menyusun perda sebagai payung hukum dalam kebijakan kemudahan maupun insentif investasi treat (t) kebijakan daerah dan negara lain yang “agresif” dalam promosi investasi strategi st meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana unt penanaman modal strategi wt melakukan pengembangan sistem informasi berbasis teknologi informasi sumber: data primer, diolah strategi pengembangan investasi di daerah (ahmad ma’ruf) 51 tanah yang bersifat tanah kas desa dan lain lain, namun dari sisi lokasi mayoritas tidak menyatu sehingga luasan yang dibutuhkan para investor tidak terpenuhi. mengoptimalkan program rutin instansi untuk update data, bimbingan teknis. terkait dengan update data dan bimbingan teknis, dalam organisasi pemda sudah menjadi tugas rutin yang terdistribusi sesuai dengan tupoksi masing-masing instansi, seperti bkpm, dinas perindagkop, dan lain-lain. dengan demikian, sebenarnya kebutuhan atas data bagi para investor akan mudah didapatkan karena dari tiap instansi ini memiliki anggaran dan menjadikan pendataan dan bimbingan teknis sebagai tugas rutin. permasalahan yang muncul, data tersebut terkadang tidak mudah diakses publik. hal tersebut akan optimal apabila update data dipublikasikan sebagai salah satu isi (content) dari sistem informasi penanaman modal yang dibangun oleh pemda. meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana unt penanaman modal. kebutuhan layanan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, listrik, maupun infrastruktur pendukung menjadi salah satu daya tarik daerah untuk menarik investor. ketersediaan infrastruktur dasar yang tidak memadahi berimplikasi pada peningkatan biaya operasional yang akan ditanggung oleh pelaku usaha. ketersediaan infrastruktur ini juga sebagai salah satu indikator penilaian daya saing daerah dalam hal pengembangan usaha yang sering dilakukan oleh berbagai lembaga pemeringkat, baik level nasional maupun internasional. implikasi dari indeks daya saing yang rendah menjadikan pencitraan daerah yang tidak menarik bagi investor maupun opini publik. melakukan pengembangan sistem informasi penamanan modal berbasis teknologi informasi. kebutuhan pengembangan sistem informasi yang terintegrasi dan informatif menjadi hal dasar yang sudah menjadi kebutuhan bagi tiap pemda untuk memberikan layanan publik di era digital sekarang ini. melalui teknologi informasi yang handal, pemda akan dengan mudah, cepat, dan informatif menyajikan informasi, komunikasi, maupun proses pelayanan terkait dengan penanaman modal maupun pengembangan usaha. dengan sistem pelayanan online akan relatif menjamin transparansi dan menghindari proses penambahan biaya tidak resmi yang masih dikesankan oleh publik, terlebih pelaku usaha bahwa praktik ekonomi biaya tinggi tersebut masih kental dalam layanan birokrasi meskipun proses reformasi birokrasi sudah yakin dilaksanakan. simpulan berdasarkan uraian analisis tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) dalam rangka menarik investasi baru maupun mendorong peningkatan penanaman modal melalui pemberian insentif maupun kemudahan penanaman modal, maka dari sisi kebijakan strategis lebih dikedepankan pilihan kebijakan memberikan berbagai kemudahan penanaman modal daripada pemberian insentif. (2) beberapa rumusan kebijakan strategis menarik penanaman modal maupun pengembangan penanaman modal di daerah, yaitu: (a) melakukan pilihan kebijakan kemudahan daripada pemberian insentif karena keterbatasan kapasitas fiskal, (b) menyusun perda sebagai payung hukum dalam kebijakan kemudahan maupun insentif investasi, (c) mengoptimalkan instansi perijinan terpadu untuk pengelolaan kewenangan perijinan investasi melalui penyediaan data & informasi, percepatan perijinan, (d) mengoptimalkan aset daerah dalam memberikan kemudahan penyediaan lahan (e) mengoptimalkan program rutin instansi untuk update data, bimbingan teknis (f) meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana unt penanaman modal (g) melakukan pengembangan sistem informasi penamanan modal berbasis teknologi informasi implementasi konsep pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah memerlukan tindak lanjut yang dapat diuraikan sebagai rekomendasi sebagai berikut: (1) melakukan komunikasi efektif dengan legislatif untuk mendorong hak inisiatif dewan (dprd) untuk menyusun perda pemberian insentif terjurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 43-52 52 batas maupun kemudahan dalam penanaman modal di diy. (2) kebijakan pemberian kemudahan dalam penanaman modal yang dalam jangka pendek langsung bisa dilaksanakan adalah: (a) mengoptimalkan instansi perijinan terpadu untuk pengelolaan kewenangan perijinan investasi melalui penyediaan data dan informasi, percepatan pemberian perijinan. (b) mengoptimalkan program rutin instansi untuk update data, bembingan teknis (c) meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana untuk penanaman modal termasuk melakukan pengembangan sistem informasi penamanan modal berbasis teknologi informasi daftar pustaka abdullah piter, et.al. 2002. daya saing daerah. yogyakarta: bpfe. cooper, phillip j., et.al. (co-writers), 1998. public administration for the twenty first century, orlando: harcourt brace college publishers. dong-sung cho dan hwy-chang moon, 2003, from adam smith to michaelporter, evolusi teori daya saing. dye, thomas r., 1972. understanding public policy, new jersey: prentice hall. fauzan, 2006. meningkatkan minat investor. resensi diskusi “strategi inovasi kebijakan dalam meningkatkan investasi di daerah, pada 30 nopember 2006, di aula pusat kajian dan pendidikan dan pelatihan aparatur lan bandung. howlett, michael, & m. ramesh. 1995. studying public policy: policy cycles and policy subsystems. toronto: oxford university press. arsyad, lincoln. 1999. pengantar perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah. yogyakarta: bpfe. lynn, laurence, 1987. managing public policy. boston: little, brown. mahmud thoha (penyunting). 2002. globalisasi, krisis ekonomi & kebangkitan ekonomi kerakyatan. pustaka quantum. porter, michael e. 1994. keunggulan bersaing, menciptakan dan mempertahankan kinerja unggul, harvard business review. ripley, randall b., & grace a. franklin. 1986. policy implementation and bureaucracy, chicago: the dorsey press. shafritz, jay m., dan e.w. russell. 1997. introducing public administration, new york: longman microsoft word 07-suryanto _11 hlm_ jurnal ekonomi dan studi pembangunan  volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109  mampukah pdb hijau mengakomodasi degradasi  lingkungan dan kesejahteraan masyarakat?  suryanto  fakultas ekonomi universitas sebelas maret surakarta   jalan ir. sutami 36 a surakarta 57126 telp. (0271) 646994 fax. (0271) 646655   e‐mail: yanto.rimsy@gmail.com  abstrak: teori ekonomi khususnya teori pembangunan dikembangkan dari produk domestik bruto (pdb) untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. skenario menuju ekonomi yang berkelanjutan masih ditandai berbagai pendapat mengenai implementasi pdb hijau. ada gagasan bahwa dampak lingkungan secara otomatis akan berkurang jika tingkat kesejahteraan masyarakat telah dicapai. sementara pendapat lain mengatakan bahwa tidak ada hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kualitas lingkungan. makalah ini menyajikan argumen kedua pendapat. makalah ini diakhiri dengan ulasan konsep pdb hijau dikaitkan dengan kerusakan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. tingkat pertumbuhan pdb hijau memiliki konsekuensi ekonomi yang rendah sejak dikoreksi oleh kendala lingkungan. namun, kualitas lingkungan yang meningkat akan memberi harapan bagi manusia untuk hidup berkelanjutan. masalah yang harus diselesaikan dalam pelaksanaan pdb hijau adalah mendefinisikan kembali kesejahteraan. kata kunci: pdb hijau, pdb coklat, kesejahteraan masyarakat, degradasi lingkungan abstract: economic theories, especially theories of development evolves from the gross domestic product (gdp) to the sustainable economic development. but the scenario toward economic sustainability is still characterized various opinions on the implementation of green gdp. there is the notion that environmental impacts will be reduced automatically if the level of public welfare has been achieved. while other opinion says that there is no positive relationship between economic growth by improving environmental quality. this paper presents the arguments of these two opinions. this paper concludes with reviews of green gdp concept is associated with environmental degradation, and welfare of the community. green gdp growth rates have economic consequences that low since corrected by environmental constraints. however, improved environmental quality and provide hope for humans to live sustainable. problem that must be addressed along with the implementation of green gdp is to do redefinition of welfare. keywords: green gdp, chocolate gdp, welfare society, environmental degradation pendahuluan  sebagian  besar  teori  ekonomi  terutama  per‐ tumbuhan ekonomi makro mengabaikan ma‐ salah‐masalah  lingkungan.  biasanya  dalam  teori  ekonomi,  isu‐isu  lingkungan  dianggap  tidak  bermasalah.  secara  implisit  sering  di‐ asumsikan bahwa konsekuensi masalah ling‐ kungan adalah masalah kecil atau akan sele‐ sai dengan sendirinya (arrow et.al, 1995). be‐ berapa ahli seperti bhagwati (1993) justru ber‐ pendapat  bahwa  pertumbuhan  sebagai  pra  kondisi  bagi  perbaikan  lingkungan.  sebagai  contoh  beckerman  (1992)  berpendapat,  kore‐ lasi yang kuat antara pendapatan dan ukuran  perlindungan  lingkungan  menunjukkan  hu‐ jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109 100  bungan  yang  positif.  bahkan  lebih  lanjut  di  negara‐negara  berkembang,  pertumbuhan  ekonomi akan menguatkan kemampuan per‐ baikan  terhadap  lingkungan  (panayotou,  1993:14).  di  lain  pihak  ada  juga  pendapat  yang  menyatakan  sebaliknya  seperti  geor‐ gegescu‐roegen  (1997)  menyebutkan  bahwa  pertumbuhan ekonomi  tidak selaras dengan  lingkungan  berkelanjutan.  daly  (1977)  ber‐ argumentasi  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  akan mendorong perekonomian dunia menu‐ ju  batasnya  atau  daya  dukung  lingkungan  semakin terbatas.  dalam  istilah  ekonomi  “pembangunan”  biasanya  diartikan  sebagai  kapasitas  dari  suatu  perekonomian  nasional,  yang  kondisi  awalnya  lebih  kurang  statis  dalam  jangka  waktu  yang  cukup  lama,  untuk  berupaya  menghasilkan  dan  mempertahankan  kenai‐ kan  tahunan produk nasional bruto  (todaro,  1994). pembangunan pada tahun 1960‐an dan  tahun  1970‐an  secara  keseluruhan  hampir  selalu dilihat sebagai  fenomena ekonomi, di  mana pertumbuhan gnp per kapita yang ce‐ pat  akan  “menetes  ke  bawah”  (trickle down)  kepada masyarakat luas dalam bentuk peker‐ jaan  dan  kesempatan‐kesempatan  ekonomi  lainnya,  atau  terciptanya  syarat‐syarat  yang  diperlukan  bagi  distribusi  manfaat‐manfaat  ekonomi dan sosial yang lebih luas.  masalah‐masalah  seperti  kemiskinan,  pengangguran,  distribusi  pendapatan  dan  pencemaran  lingkungan  dianggap  soal  kedua,  yang  penting  adalah  menyelesaikan  tugas‐tugas pertumbuhan dulu. arsyad (1988)  menyatakan  pemikir‐pemikir  pembangunan  dari mazhab ekonomi neoklasik dan struktu‐ ralis  yang  dipelopori  oleh  robert  solow  (massachussets  institute  of  technology)  dan  trevor  swan  (australia  national  university)  mempunyai pemahaman yang serupa, bahwa  “capital accumulation, labor, and technology pro‐ gress are the very crucial components to accelerate  development.” ketiga hal tersebut merupakan  kekuatan  pendorong  utama,  yang  dapat  menggerakkan  proses  transformasi  struktu‐ ral. proses ini mengandaikan adanya lompa‐ tan pembangunan yang semula berbasis per‐ tanian ke pembangunan yang berbasis indus‐ tri.  industrialisasi  akan  menyerap  tenaga  kerja  dalam  jumlah  banyak,  yang  menjadi  salah satu elemen vital dalam proses produk‐ si.  bila  proses  produksi  berjalan  baik,  maka  pendapatan nasional pun akan meningkat.  perdebatan  mengenai  teori  pembangu‐ nan ini telah dikritik  juga oleh para pemikir  ekonomi  lain  antara  lain  oleh   dudley seers  dalam  the  meaning  of  development  (1969)  mencoba  menggugat  apa  yang  disebut  “the  growth  fetishism  of  development  theory.”  bagi  dudley  seers,  makna  paling  hakiki  pemba‐ ngunan  itu  bukan  semata  peningkatan  pen‐ dapatan  per  kapita,  melainkan  pemerataan  distribusi  pendapatan,  penurunan  pengang‐ guran,  pembebasan  kemiskinan,  dan  peng‐ hapusan ketidakadilan. keempat isu ini jauh  lebih  mendasar  yang  harus  diselesaikan  dalam  proses  pembangunan,  sebab  semua‐ nya  itu  menjadi  masalah  kritikal  yang  me‐ nyangkut harkat dan martabat kemanusiaan.  dengan  kata  lain,  peningkatan  pendapatan  yang  hanya  dinikmati  oleh  sekelompok  masyarakat tertentu tidak berarti sama sekali,  bila di sebagian masyarakat yang lain  justru  dijumpai  fakta  kemiskinan  dan  ketidakadi‐ lan.  menurut  pengalaman  banyak  negara  berkembang,  kesenjangan  ekonomi  yang  ta‐ jam justru menjadi faktor pemicu munculnya  kekacauan sosial akibat gerakan protes, per‐ tikaian  etnis,  dan  konflik  kelas  yang  sulit  dikendalikan. meksiko dan brazil di amerika  latin, rwanda dan burundi di afrika, serta  india, sri lanka, dan tentu saja indonesia di  asia  adalah  sebagian  dari  contoh  empirik  yang memberi pelajaran berharga.  perkembangan  pemikiran  mengenai  mampukah pdb hijau ... (suryanto)  101 pembangunan  pada  akhirnya  sampai  pada  konsep pembangunan berkelanjutan (sustain‐ able development). konsep yang dikemukakan  dalam  gambar  1  adalah  kelanjutan  dari  pe‐ mikiran‐pemikiran  pembangunan  ekonomi  yang  sudah  ada.  banyak  pemikiran  yang  sepakat  bahwa  pembangunan  ekonomi  me‐ nimbulkan  trade off antara kepentingan eko‐ nomi dan ekologi.  apabila para pemikir pembangunan eko‐ nomi  sudah  menempatkan  pembangunan  berkelanjutan  sebagai  tujuannya  maka  per‐ tanyaan yang muncul adalah model pemba‐ ngunan yang akan digunakan. jika mengacu  pada  meier  dan  stiglitz  (2002)  berarti  pem‐ bangunan  berkelanjutan  adalah  akhir  dari  sebuah  proses  panjang.  sementara  yang  ha‐ rus  diraih  dulu  adalah  pertumbuhan  eko‐ nomi yang  tinggi baru kemudian berpindah  pada  tahap‐tahap  berikutnya.  bagaimana  dengan kondisi lingkungan itu sendiri? sam‐ pai  kapankah    lingkungan  mampu  menjadi  supplier  untuk  memenuhi  permintaan  (de‐ mand) kebutuhan manusia?  model  pembangunan  yang  mengejar  pertumbuhan  ekonomi.  banyak  pendapat  yang menyatakan bahwa  jika pembangunan  didasarkan  pada  pertumbuhan  maka  pada  akhirnya  tujuan  akhir  pembangunan  tidak  akan  tercapai.  pemenuhan  kebutuhan  bagi  manusia  ini  sebenarnya  juga  dalam  rangka  untuk  mencapai  kesejahteraan  manusia.  dalam  ekonomi  dikenal  tiga  sistem  penca‐ paian  kesejahteraan  tersebut  yaitu  sistem  kapitalistik, sosialis‐komunis, dan tradisional.  dari ketiga sistem tersebut hanya sistem ka‐ pitalistiklah yang dianut oleh sebagian besar  manusia selaku penduduk bumi.   kapitalistik adalah sistem ekonomi yang  mengutamakan  kepemilikan  modal  sebagai   dasar  bergeraknya  roda  ekonomi.  dengan  memiliki  modal  maka  individu  dapat  mela‐ kukan  apa  pun  untuk  mencapai  tujuan  hi‐ dupnya.  bahkan,  manusia  dapat  memenuhi  kebutuhan  hidupnya  tidak  hanya  dalam  jangka  waktu  puluhan  tahun.  modal  me‐ mungkinkan  individu  ini  dapat  menguasai  kegiatan‐kegiatan  ekonomi,  mulai  kegiatan  produksi, distribusi, atau bahkan konsumsi.   dampak  bagi  ekonomi,  sistem  kapitalis  menyebabkan  manusia  untuk  berperilaku  efisien. pengertian efisien ini adalah penggu‐ naan  sumber  daya  ekonomi  pada  tingkat  yang optimal untuk mencapai tujuan terten‐ tu.  dengan  efisien  maka  individu  dapat  memaksimalkan  kepuasan  (utilitas)  jika  individu berperilaku sebagai konsumen dan  dapat  memaksimalkan  keuntungan  (profit)  jika individu berperilaku sebagai produsen.  suhartono  (2005)  juga  menyebut  pada  masa  kini  sistem  kehidupan  sosial  didomi‐ nasi oleh paham ekonomi kapitalistik. paham  kapitalistik mendorong sifat kompetitif prag‐ matis perilaku manusia. sifat kompetitif  ini‐ lah  yang  mendorong  efisiensi  sebagai  dam‐ pak  positifnya  dan  melahirkan  sifat  kesera‐ kahan  manusia  sebagai  dampak  negatifnya,  sehingga  mendorong  pola  dan  sikap  dan  sumber: gerald meier & joseph stiglitz, frontiers of development economics (2002)   gambar 1. evolusi pemikiran pembangunan (tujuan)  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109 102  perilaku hedonistik sekular. persaingan yang  bersifat monopolistik terlegitimasi baik secara  formal  maupun  kultural.  kini,  keserakahan  mendorong  terbentuknya  keserakahan  hu‐ kum, politik, dan keserakahan sosial lainnya,  khususnya  bidang  pendidikan,  kebudayaan,  dan spiritual keagamaan.   paham egosentrisme sangat kental terasa  dalam  sistem  kapitalis  karena  sistem  ini  mengajarkan  individu  menjadi  individualis.  sistem  kapitalis  menganggap  manusia  dan  sumber daya alam adalah alat untuk menca‐ pai  tujuan  hidupnya.  ukuran  materialistik  menjadi kiblat utama bagi manusia kapitalis.  paham  ini  telah menyebar ke seluruh dunia  termasuk  di  indonesia.  menurut  suhartono  (2005)  dampak  kapitalisme  menyebabkan  dunia  seolah  terbagi  menjadi  dua,  yaitu  mereka  yang  berebut  kemewahan,  dan  mereka yang menahan  lapar dahaga. kedua  kelompok  tersebut  sama‐sama  menggerus  lingkungan  hidup  menjadi  semakin  tidak  harmoni.  tujuan mengejar pertumbuhan ekonomi  dengan  menciptakan  stabilitas  ekonomi  makro sering trade off dengan menjaga keles‐ tarian alam. kondisi tersebut diperparah oleh  era  perdagangan  bebas  di  mana  indonesia  adalah  salah  satu  bagiannya.  tidak  mudah  melepaskan  pengaruh  dunia  internasional  terhadap  perekonomian  domestik.    keseim‐ bangan ekonomi dan ekologi menjadi tujuan  ke dua setelah pertumbuhan ekonomi.  kon‐ disi  seperti  inilah  yang  menurut  djojohadi‐ kusumo  (1981:  60)  disebut  sebagai  “krisis  lingkungan”,  yakni  gejala  akibat  kesalahan  atau  kekurangan  dalam  pola  dan  cara  pengelolaan sumber kebutuhan hidup manu‐ sia.  gejala‐gejala  tersebut  dianggap  sebagai  tekanan  krisis  yang  membahayakan  kelang‐ sungan hidup manusia, seperti ancaman ter‐ hadap kejernihan udara dan sumber air, ter‐ hadap  bahan‐bahan  makanan,  terhadap  ke‐ langsungan  produktivitas  kekayaan  alam  flora dan fauna, dan sebagainya.   apabila  kekuatan  ekologis  ini  telah  sedemikian  melemah,  maka  kesejahteraan  yang  dicapai  manusia  menjadi  tidak  ber‐ kemampuan daya  dukung lahan  polusi limits to growth pertumbuhan pembangunan 1900  2100 sumber: d.h. meadows, d.l. meadows, j. randers and w.w. behrens, the limits  to growth  (dalam brian  j.l. berry, edgar c. conkling and d. michael ray, the  global economy  : resource use, locational choice and international trade, new  jersey : prentice hall, 1993) (dimodifikasi)    gambar 2. model limits to growth dennis meadows   mampukah pdb hijau ... (suryanto)  103 makna.  sebab,  kesejahteraan  tadi  harus  di‐ bayar  dengan  recovery  cost  untuk  memulih‐ kan  dan  menjaga  kelestarian  lingkungan  –  dan  bahkan  social  cost  yang  sulit  dihitung  tingkat kerugiannya. dengan kata  lain, trade  off  yang  ditimbulkan  dari  proses  pemba‐ ngunan sangat  tidak seimbang dengan  ting‐ kat kemakmuran ekonomis yang diraihnya.  kebijakan yang dijalankan tersebut tidak  hanya  terjadi  di  pemerintah  pusat  namun  juga  di  pemerintahan  daerah.  era  otonomi  daerah  memungkinkan  daerah  memacu  peningkatan  pad  daerahnya.  peningkatan  pad  ini  pun  sering  kali  trade  off  dengan  keseimbangan  ekonomi  dan  ekologinya,  sebagai contoh: kerusakan lingkungan akibat  penambangan  timah  di  provinsi  kepulauan  bangka  belitung,  penambangan  pasir  putih  di  kepulauan  riau,  penambangan  emas  di  buyat, dan lain‐lain.  dampak pembangunan ekonomi terha‐ dap lingkungan. pembangunan merupakan  upaya  sadar  untuk  mengelola  dan  meman‐ faatkan  sumber  daya  guna  meningkatkan  mutu  kehidupan  rakyat.  pertumbuhan  eko‐ nomi yang merupakan indikator keberhasilan  suatu  pembangunan  seringkali  digunakan  untuk  mengukur  kualitas  hidup  manusia   sehingga  semakin  tinggi  nilai  pertumbuhan  ekonomi  maka  semakin  tinggi  pula  taraf  hidup manusia. semakin cepat pertumbuhan  ekonomi akan semakin banyak barang sum‐ berdaya yang diperlukan dalam proses pro‐ duksi yang pada gilirannya akan mengurangi  ketersediaan sumberdaya alam sebagai bahan  baku yang tersimpan pada sumberdaya alam  yang  ada.  jadi  semakin  menggebunya  pem‐ bangunan  ekonomi  dalam  rangka  mening‐ katkan  taraf  hidup  masyarakat  berarti  semakin  banyak  barang  sumberdaya  yang  diambil dari dalam bumi dan akan semakin  sedikitlah  jumlah  persediaan  sumberdaya  alam tersebut. di samping itu pembangunan  ekonomi  yang  cepat  dibarengi  dengan  pembangunan  instalasi‐instalasi  pengolah  maka  akan  tercipta  pula  pencemaran  yang  merusak sumberdaya alam dan juga manusia  itu sendiri.  pertanyaan yang hendak dijawab dengan  paper  ini  adalah  apakah  pembangunan  eko‐ nomi mempunyai manfaat positif atau justru  memberi  dampak  negatif  terhadap  lingku‐ ngan?  beberapa  bukti  empirik  yang  telah  dilakukan  oleh  stern  et  al  (1996)  dan  ekins  (1997). efek dari pertumbuhan ekonomi  ter‐ hadap kualitas lingkungan masih dalam kon‐ troversi. satu sisi menempatkan dalam posisi  sumber: panayotou, (1993) dalam stagl (1999)  gambar 3. kurva lingkungan kuznets (environmental kuznets curve ekc)  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109 104  mendukung  hipotesis  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  akan  menyebabkan  tekanan  terha‐ dap  lingkungan  berkurang  yang  didukung  oleh  ”environmental  kuznets  curve”  (ekc),  pendapat yang lain adalah pertumbuhan eko‐ nomi  akan  menyebabkan  daya  lingkungan  menurun kualitasnya.  pada pendapatan  level  rendah, dampak  lingkungan  masih  rendah  karena  aktifitas  ekonomi  masih  rendah  dan  juga  pembua‐ ngan  limbah  yang  merugikan  lingkungan  masih terbatas. seiring dengan pertumbuhan  ekonomi  yang  terjadi  seperti  intensifikasi  pertanian  dan  take  off  nya  industrialisasi  menyebabkan deplesi lingkungan khususnya  pada sumber daya alam tidak terbarui. pada  tingkat  pembangunan  yang  lebih  tinggi,  terjadi  perubahan  struktural  terhadap  infor‐ masi  baik  pada  industri  maupun  jasa  dan  juga  pada  perhatian  masalah  lingkungan,  penegakan aturan tentang lingkungan.  namun  pendapat  tersebut  di  atas  men‐ dapat  kritik  baik  secara  konsep  antara  lain  oleh  beghin  dan  portier  (1997),  mereka  me‐ nyatakan  bahwa  reaksi  polutan  tersebut  hanya  dalam  jangka  pendek  tidak  dalam  akumulasi stok polusi seperti co2. pencema‐ ran di air juga tidak sesuai dengan teori ekc  ini (hettige et. al).  lebih lanjut ekc hanya cocok dan sesuai  sebagai  model  pencemaran  untuk  satu  jenis  polutan  dan  tidak  sesuai  kalau  diterapkan  pada beberapa jenis polutan. hal ini dikemu‐ kakan oleh mac‐gillivary (1993) yang menges‐ timasi  dampak  lingkungan  termasuk  emisi‐ emisi  pencemarnya  seperti  co2,  nox,  so2,  air,  limbah cair,  tanah,  intensitas energi dan  lain‐lain. kesimpulannya adalah peningkatan  pendapatan di negara‐negara yang tergabung  dalam  oecd  tidak  secara  otomatis  terjadi  penurunan pencemaran.  sedangkan  pendapat  yang  kedua  me‐ nyatakan  bahwa  lingkungan  akan  semakin  menurun  kualitasnya  karena  semakin  ting‐ ginya  jumlah  penduduk  yang  akan  menye‐ babkan  permintaan  akan  bahan  makanan,  lahan untuk tempat tinggal, dan tumpukkan  sampah  dan  polusi.  meadows  et.  al  (2004)  mengemukakan  kembali  teori  batas‐batas  pertumbuhan  jika  pertumbuhan  ekonomi  yang  dijalankan  tidak  memperhatikan  ma‐ salah‐masalah lingkungan.  gambar  4  menunjukkan  bahwa  sumber  daya  alam  yang  semakin  berkurang,  daya  dukung lingkungan semakin menurun kuali‐ tasnya, tingkat output industri pada awalnya  mencapai  tingkat maksimum pada akhirnya  akan mengalami penurunan. sementara, ting‐ kat polusi meningkat tidak terkendali, mem‐ bumbung  tinggi  ke  atas.  pada  akhirnya  jumlah  penduduk  akan  berkurang  secara  alamiah karena kekurangan makanan.    sumber: meadows et.al (2004)  gambar 4. dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan  mampukah pdb hijau ... (suryanto)  105 dampak  disharmoni  lingkungan  ter‐ hadap  kesejahteraan  hidup.  jika  tujuan  utama  manusia  adalah  mencapai  kesejahte‐ raan hidup maka apa sebenarnya kesejahte‐ raan yang diinginkan  tersebut semakin  jauh  dari  harapan.  manusia  dengan  kapitalisme‐ nya berupaya mencapai tingkat pertumbuhan  ekonomi yang tinggi namun  jika lingkungan  hidup  dibiarkan  rusak  maka  pembangunan  yang  dilakukan  tersebut  menjadi  semakin  tidak bermakna.  ilustrasi  sederhana,  pada  saat  lingku‐ ngan  hidup  masih  asri,  manusia  berniat  mengubah  lingkungan  sedemikian  rupa  untuk  memuaskan  kebutuhannya.  mereka  mengeksploitasi  kekayaan  alam  dengan  mengesampingkan  keseimbangan  ekologi,  pada  akhirnya  pertumbuhan  ekonomi  cepat  melaju.  mereka  berharap  dengan  ekonomi  yang  berkembang  cepat  memungkinkan  mereka  untuk  melakukan  peningkatan  kua‐ litas  hidupnya.  namun  benarkah  kualitas  hidup bisa dipenuhi dengan kerusakan ling‐ kungan hidup dari akibat kebijakan pemba‐ ngunan tersebut. contoh kasus yang dikemu‐ kakan oleh  irianto (2008) dalam artikel yang  dimuat di harian kompas tanggal 2 januari  2008 menyebutkan bencana banjir yang lebih  dashyat akan terjadi pada bulan januari 2008.  argumen  yang  dikemukakan  didasarkan  pada  prakiraan  bmg,  hujan  dengan  inten‐ sitas  lebih  tinggi disertai gelombang pasang  laut berpeluang terjadi. kondisi  ini diperbu‐ ruk dengan degradasi kualitas daerah aliran  sungai yang bergeser dari kritis menjadi bere‐ siko tinggi.  pendapatan  nasional  per  kapita  akan  meningkat  tidak  akan  menjamin  manusia  bisa  mencapai  kesejahteraan.  pendapatan  individu yang tinggi tapi manusia tetap saja  tidak  bisa  menikmati  kualitas  hidup  yang  baik.  pola  pikir  kapitalis  jika  digambarkan   tampak pada gambar 5.  peran  iptek  pada  awalnya  diciptakan  untuk  digunakan  untuk  mengeksploitasi  sumber  daya  alam  dan  lingkungan  sesuai  dengan  kebutuhan  manusia.  namun  bagi  manusia  kapitalis,  iptek  dimanfaatkan  secara  objektif  apa  adanya,  dengan  tanpa  mempertimbangkan  hakikat  ontologis  dan  etis (suhartono, 2005). pada gambar 5 di atas  terlihat  bahwa  para  pemilik  modal  mampu  membeli dan menggunakan teknologi untuk  semakin memperbesar kekayaannya, semen‐ tara  sisi yang lain kaum miskin/pekerja tetap  dengan keterbatasannya. kondisi ini menga‐ kibatkan eksploitasi sumber daya alam oleh  para pemilik modal karena keserakahan dan  juga  oleh  para  kaum  miskin/pekerja  karena  keterbatasan  mereka.  sekali  lagi  lingkungan  menjadi  pihak  yang  dirugikan  oleh  kedua  belah pihak.  mengapa keserakahan dan  juga keterba‐ tasan  para  pekerja/kaum  miskin  menyebab‐ kan degradasi  lingkungan? watak keseraka‐ han  adalah  watak  bawaan  dari  manusia,  dalam sistem kapitalis sifat bawaan tersebut  dibiarkan  berkembang  tanpa  ada  upaya  untuk  dikendalikan.  peran  media  yang  menyajikan  kesombongan  dan  kemewahan  akhirnya membuat para kaum miskin/pekerja  merasa  termarginalisasi  dan  merasa  dirugi‐ kan tapi tidak berdaya.  gaya  hidup  yang  terlanjur  hedonistik  inilah yang mempercepat kerusakan  lingku‐ ngan. arti dan fungsi kebutuhan pokok ber‐ geser menjadi sekunder dan sebaliknya kebu‐ tuhan sekunder berfungsi sebagai kebutuhan  pokok. suhartono  (2005)  memberikan  contoh  pengadaan  makanan  dan  minuman  dari  kesehatan menjadi kelezatan. model pakaian,  model  perumahan,  model  peralatan  hidup  lainnya berubah menaidi kemewahan. inilah  yang  menjadi  ukuran  harga  diri  seseorang  sebagai manusia.  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109 106  produk  domestik  bruto  hijau  (pdb  hijau/green  gdp).  pembangunan  ekonomi  dalam arti sempit dapat diukur dari pertum‐ buhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi diu‐ kur  dari  pertambahan  pdb.  jika  pdb  me‐ ningkat maka dapat diartikan bahwa  terjadi  pertumbuhan ekonomi. upaya meningkatkan  pdb  tanpa  memperhatikan  masalah  lingku‐ ngan sering disebut sebagai pdb coklat atau  (brown gdp). di sebagian besar negara‐nega‐ ra dunia ketiga pembangunan ekonomi ma‐ sih sering diukur dari pdb coklat ini.  jika tujuan akhir dari pembangunan ada‐ lah kesejahteraan maka perlu dipertanyakan  kembali  apakah  tujuan  pembangunan  terse‐ but dapat dicapai dari peningkatan pdb saja.  peningkatan pdb berarti kapasitas produksi  nasional meningkat secara agregatif. perma‐ salahan  apakah  peningkatan  kapasitas  pro‐ duksi  tersebut  ternyata  menimbulkan  masa‐ lah‐masalah  degradasi  lingkungan  dalam  metode pdb coklat hal tersebut tidak diper‐ hitungkan.  pdb  hijau  adalah  pengembangan  lebih  gambar 5. hubungan antara sistem ekonomi kapitalis dan degradasi lingkungan  mampukah pdb hijau ... (suryanto)  107 lanjut dari pdb coklat, pdb hijau adalah ko‐ reksi  dari  konsep  pdb  coklat  yang  tidak  mengakomodasi  kegagalan  pasar.  model  pdb  coklat  adalah  representasi  dari  teori  ekonomi  pasar,  menurut  suparmoko  dan  maria  (2000)  produsen  harus  membayar  se‐ mua biaya material dan jasa yang digunakan  untuk  memproduksi  output  termasuk  pem‐ buangan  limbah.  secara  sama  konsumen  yang membeli barang  tersebut  juga memba‐ yar semua biaya tersebut termasuk pembua‐ ngan limbah. dalam dunia nyata hal tersebut  tidak berlaku, pihak produsen maupun kon‐ sumen  sama‐sama  tidak  mau  menanggung  dampak  dari  tindakan  ekonominya.  dalam  teori  ekonomi  inilah  yang  disebut  oleh  eks‐ ternalitas.   beberapa  kelemahan  pdb  coklat  dalam  mengukur  kesejahteraan  (suparmoko,  2006):  (1)  mengukur  kegiatan  ekonomi  bukan  kesejahteraan ekonomi, (2) biaya pencegahan  kerusakan  dan  perbaikan  lingkungan  dihi‐ tung  sebagai  pendapatan,  (3)  berkurangnya  sumber daya alam dan rusaknya lingkungan  tidak tampak, dan (4) struktur perekonomian  bersifat semu.  berdasarkan hal  tersebut pbb dan world  bank telah membangun sebuah alternatif indi‐ kator  secara  makro  dari  perubahan  lingku‐ ngan  dan  pendapatan  dan  output.  sebagai  hasil dari usaha tersebut statistical division of  the  united  nations  (unstat),  mempublika‐ sikan  handbook  system  of  national  account  (sna)  pada  tahun  1993  yang  menyediakan  konsep  dasar  dalam  mengimplementasikan  system for integrated environmental and econo‐ mic  accounting  (seea)  dan  perubahan  ling‐ kungan pada gdp (green gdp) yang mengi‐ lustrasikan hubungan antara lingkungan ala‐ miah  dan  perekonomian.  menanggapi  reko‐ mendasi dari pbb, economic planning agency  of  japan  (epa)  menerbitkan  untuk  pertama  kali  pada  tahun  1995  estimasi  seea  dan  green gdp untuk tahun 1985 dan tahun 1990.   dalam  definisi  tersebut  dapat  difahami  bahwa  konsep  pembangunan  berkelanjutan  didirikan  atau  didukung  oleh  3  pilar,  yaitu  ekonomi, sosial, dan lingkungan. ketiga pen‐ dekatan tersebut bukanlah pendekatan yang      sumber: askary, 2005  gambar 6. pilar pembangunan berkelanjutan  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 99 ‐ 109 108  berdiri  sendiri‐sendiri,  tetapi  saling  terkait  dan  mempengaruhi  satu  sama  lain.  secara  skematis, keterkaitan antara 3 komponen di‐ maksud  dapat  digambarkan  pada  bagan  di  atas (munasinghe‐cruz, 1995).  kesimpulan  keberadaan  pdb  hijau  setidaknya  menjadi  media  untuk  mengurangi  tekanan  terhadap  lingkungan.  karakteristik  pdb  hijau  yang  mengakomodasi  degradasi  lingkungan  dan  deplesi sumber daya alam akan mengoreksi  kelemahan‐kelemahan  dari  pdb  coklat.  jika  pdb  hijau  diberlakukan  maka  apa  yang  dikhawatirkan limits to growth dan penuru‐ nan  indeks  kesejahteraan  bisa  ditunda.  diskusi  mengenai  mode‐model  pembangu‐ nan ekonomi telah menempatkan pembangu‐ nan  berkelanjutan  sebagai  tujuan.  namun  apakah skenario yang akan ditempuh memi‐ liki konsekuensi‐konsekuensi tersendiri.   dua pilihan tersebut adalah sebagai beri‐ kut:  (1)  pilihan  menggunakan  pdb  coklat.  pilihan  menggunakan  pdb  coklat  bisa  juga  disebut  pilihan  kebijakan  ex  post,  kebijakan  mengutamakan  pertumbuhan  ekonomi  ke‐ mudian    menjadikan  masyarakat  sejahtera.  sistem  ekonomi  yang  menerapkan  pilihan  kebijakan ini adalah sistem kapitalisme. pili‐ han ini memungkinkan pertumbuhan ekono‐ mi  tumbuh  cepat  karena  mengesampingkan  konstrain lingkungan. dampak‐dampak ling‐ kungan  yang  ditimbulkan  dapat  diatasi  dengan  tingginya pendapatan. namun yang  perlu  dicatat  adalah  sering  kali  pilihan  kebijakan  ex  post  ini  menyebabkan  deplesi  sda dan degradasi  lingkungan yang parah.  biaya recovery jauh lebih besar daripada man‐ faat yang diperoleh dari mengejar pertumbu‐ han ekonomi. kesejahteraan masyarakat pada  pilihan  ini  sering  diukur  dengan  ukuran  material kapitalistik.  (2)  pilihan  menggunakan  pdb  hijau.  pilihan  menerapkan  pdb  hijau  menyebabkan  per‐ tumbuhan  ekonomi  menjadi  melambat  di  banding jika menggunakan pdb coklat. pdb  hijau  memiliki  konstrain  daya  lingkungan  karena  tujuan  penerapan  pdb  hijau  adalah  pembangunan  yang  berkelanjutan.  tingkat  degradasi  lingkungan akan menurun seiring  dengan peningkatan kesadaran akan  lingku‐ ngan. biaya recovery yang dibutuhkan rendah  dan  bahkan  pada  tingkat  yang  nol  karena  biaya recovery sudah diperhitungkan sebagai  gambar 7. pilihan menggunakan pdb coklat    gambar 8. pilihan menggunakan pdb hijau  mampukah pdb hijau ... (suryanto)  109 biaya per tahun dalam pdb hijau. kesejahte‐ raan masyarakat tercapai dengan melakukan  redefinisi mengenai kesejahteraan tersebut.  daftar pustaka  arrow, k., bolin, b., costanza, r., dasgupta, p., folke, c., holling, c. s., jansson, b.-o., levin, s., mäler, k.-g., perrings, c., & pimentel, d. 1995. economic growth, carrying capacity, and the environment. science, 268, 520-521. arsyad, lincoln, 1988. ekonomi pembangunan,  yogyakarta:  bagian  penerbitan  stie  ykpn.  askary, m. 2003. “valuasi ekonomi dalam ke‐ bijakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup”. dipresentasikan pada seminar nasional iii neraca sumber daya alam dan lingkungan di baturraden, purwokerto pada 12-14 desember 2003. beckerman, w. 1992. economic growth and the environment: whose growth! whose environment? world development, 20, 481-496. bhagwati, j. 1993. the case for free trade, scientific american (pp. 42-49). daly, h. e. 1977. steady-state economics: the economics of biophysical equilibrium and moral growth. san francisco: w.h. freeman. djojohadikusumo, sumitro, 1981. indonesia dalam perkembangan dunia: kini dan masa datang, jakarta: lp3es. ekins, p. 1997. the kuznets curve for the envi‐ ronment and economic growth: examining the evidence. environment and planning a, pp. 29. georgescu-roegen, n. 1971. the entropy law and the economic process. cambridge, mass: harvard university press. hettige, h., lucas, r. e. b., & wheeler, d. 1992. the toxic intensity of industrial production: global patterns, trends and trade policy. american economic review, 82, 478-481. hettige, h., mani, m., & wheeler, d. 1997. industrial pollution in economic development: kuznets revisited. washington, d.c.: world bank, development research group. munasinghe, m and cruz, w. 1995. “economy wide policies and the environment: lesson from experience”, world bank environment paper no 10. panayotou, t. 1993. empirical tests and policy analysis of environmental degradation at different stages of economic development. geneva: international labor office, technology and employment programme. stagl, sigrid, 1999. delinking economic growth from environmental degradation? a literature survey on the environmental kuznets curve hypothesis, wirtschaftsuniversität wien (vienna university of economics and business administration). wiena. stern, d. i., common, m. s., & barbier, e. b. 1996. economic growth and environmental degradation: the environmental kuznets curve and sustainable development. world development, 24, 1151-1160. suhartono, suparlan. 2005. filsafat ilmu pengetahuan, jogjakarta: ar ruzz. suparmoko. 2006. pdrb hijau (konsep dan metodologi), materi disampaikan pada pelatihan penyusunan pdrb hijau dan perencanaan kehutanan berbasis penataan ruang, jakarta. suparmoko dan maria r suparmoko, 2000. “ekonomika lingkungan”, edisi pertama, yogyakarta: bpfe. todaro. m.p .1994. pembangunan ekonomi di dunia ketiga. jakarta: penerbit erlangga. microsoft word 06-restiatun _22 hlm_ jurnal ekonomi dan studi pembangunan  volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98  identifikasi sektor unggulan dan ketimpangan   antarkabupaten/kota di provinsi   daerah istimewa yogyakarta  restiatun  1 fakultas ekonomi universitas lambung mangkurat  jalan brigjen h. hasan basry, banjarmasin  telepon/fax: (0511) 330 5116,   e‐mail: restiatun@yahoo.com  abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor unggulan di setiap kabupaten/kota di provinsi daerah istimewa yogyakarta. selain itu, analisis disparitas antara kabupaten juga dibahas dalam penelitian ini. penelitian ini menggunakan pendekatan location quotient, tipologi klassen, indeks williamson, dan indeks entropi theil. hasil penelitian menunjukkan kecenderungan disparitas ini meningkat dari waktu ke waktu, kota yogyakarta dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh, sedangkan kabupaten bantul dan kulon progo, termasuk dalam klasifikasi daerah yang relatif terpencil. provinsi diy terjadi ketidakseimbangan tren naik. rasio dihitung dari pendapatan per kapita tertinggi dan terendah di wilayah provinsi diy menunjukkan tren perbaikan. kata kunci: disparitas, location quotient, tipologi klassen, indeks wlliamson abstract: this study aims to identify the leading sectors in each district/city in the province of yogyakarta special region. in addition, analysis of the disparities between districts was also discussed in this study. this study using location quotient approach, typology klassen, williamson index and theil entropy index. the results showed that there is a tendency that this disparity increased over time, the city of yogyakarta in the regional classification fast forward and fast growing, whereas the districts of bantul and kulon progo, including in relatively remote areas classification. diy province rising trend imbalances occur. the calculated ratio of the highest per capita income and lowest regions in the province of diy shows the trend of improvement. keywords: disparity, location quotient, typologi klassen, williamson index pendahuluan  adanya  realitas  kesenjangan  regional  dan  distribusi spasial atas sumber daya merupa‐ kan dampak dari proses pembangunan yang  tidak merata. pembangunan sarana dan pra‐ sarana  umumnya  lebih  diutamakan  untuk  daerah  dengan  kepadatan  penduduk  yang  tinggi. sehingga dapat juga dikatakan bahwa  ketimpangan antardaerah erat kaitannya de‐ ngan  ketimpangan  penyebaran  penduduk.  daerah‐daerah  yang  padat  penduduk  dan  dengan  sarana/prasarana  yang  memadai  akan  menjadi  pusat  kegiatan  ekonomi,  aki‐ batnya  penyebaran  kegiatan  ekonomi  men‐ jadi  tidak  merata  dan  berdampak  pada  ke‐ senjangan  pertumbuhan  dan  peningkatan  kesejahteraan  antardaerah.  perbedaan  laju  pertumbuhan  antardaerah  ini  akan  menye‐ babkan terjadinya kesenjangan kemakmuran  dan kemajuan antardaerah.  premis dari agenda pertumbuhan adalah  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 78  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  merupakan  kunci untuk mengatasi masalah kemiskinan,  menurunkan  tingkat  pertumbuhan  pendu‐ duk,  melindungi  lingkungan  dan  memper‐ kuat tatanan sipil. premis ini menjadi sangat  ironis karena di banyak negara pertumbuhan  ekonomi  tetap  saja  menyimpan  persoalan  yang  krusial  yang  meliputi  kemiskinan,  pe‐ ngangguran  dan  ketimpangan  baik  secara  sosial maupun ekonomi. ketimpangan yang  sering terjadi secara sosial ataupun ekonomi  ini  akan  menciptakan  kelompok‐kelompok  penduduk yang  tidak memiliki kemampuan  untuk  mengakses  sumberdaya‐sumberdaya  pembangunan.   model pertumbuhan harrod‐domar yang  didasarkan  pada  prinsip‐prinsip  ekonomi  neoklasik  berasumsi  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  dari  kenaikan  output  nasional  me‐ rupakan  indikator  adanya  kenaikan  tingkat  kesejahteraan  masyarakat,  melalui  pencip‐ taan lapangan kerja baru karena adanya tam‐ bahan atau perluasan  investasi serta adanya  efek penetesan ke bawah  (trickle down). wa‐ laupun  terdapat bukti empiris yang menun‐ jukkan  bahwa  terdapat  hubungan  positif  antara  pertumbuhan  ekonomi  dan  pengura‐ ngan  tingkat  kemiskinan,  namun  lebih  ba‐ nyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor  utama  dalam  penentuan  distribusi  penda‐ patan  adalah  struktur  ekonomi  dan  bukan  tingkat atau laju pertumbuhan ekonomi.  banyak  negara  sedang  berkembang  ter‐ masuk  indonesia  mengalami  pertumbuhan  yang  cukup  tinggi  tetapi  kemiskinan  belum  bisa  dihilangkan,  ketimpangan  pendapatan  dan tingkat pengangguran masih relatif ting‐ gi. hal ini disebabkan karena tingkat pertum‐ buhan ekonomi yang tinggi tersebut dicapai  dengan  penerapan  teknologi  padat  modal  atau  pertumbuhan  tersebut  dihasilkan  oleh  aktivitas  investasi  sejumlah  kecil  investor  atau pemilik modal atau konglomerat.  terjadinya pola kemitraan antara peme‐ rintah daerah dan sektor swasta sangat diper‐ lukan  dalam  proses  pembangunan  daerah.  kemitraan seperti ini akan berdampak positif  terhadap pengelolaan sumberdaya yang dila‐ kukan oleh pemerintah daerah dan masyara‐ kat  sehingga  akan  tercipta  lapangan  kerja  baru dan merangsang perkembangan kegia‐ tan ekonomi serta pada gilirannya akan terja‐ di pertumbuhan ekonomi dalam wilayah ter‐ sebut. keberhasilan proses pembangunan da‐ pat  dilihat  dari  beberapa  tolok  ukur,  antara  lain  pertumbuhan  ekonomi,  struktur  ekono‐ mi serta semakin kecilnya ketimpangan pen‐ dapatan  antarpenduduk,  antardaerah  dan  antarsektor. tetapi kenyataannya pertumbu‐ han  ekonomi  tidak  selalu  diikuti  dengan  pemerataan.   pembangunan tidak selalu berjalan seca‐ ra sistemik. beberapa daerah mengalami per‐ tumbuhan yang cepat, sedangkan daerah lain  mengalami pertumbuhan yang  lebih  lambat.  pertumbuhan  yang  tidak  merata  dan  distri‐ busi  pendapatan  yang  tidak  berpihak  pada  kesejahteraan masyarakat merupakan kondisi  mayoritas pembangunan daerah di indonesia  saat  ini.  hal  ini  mungkin  disebabkan  oleh  adanya kecenderungan peranan modal yang  lebih memilih daerah perkotaan atau daerah  yang telah memiliki fasilitas seperti prasara‐ na  perhubungan  (transportasi),  telekomuni‐ kasi, jaringan listrik, dan lain‐lain.  untuk dapat tumbuh dengan cepat, sua‐ tu  daerah  perlu  memiliki  satu  atau  lebih  pusat‐pusat  pertumbuhan  regional  yang  memiliki potensi paling kuat. apabila daerah  ini  kuat  maka  akan  terjadi  perembetan  per‐ tumbuhan  bagi  daerah‐daerah  lemah.  per‐ tumbuhan  ini  akan  berdampak  positif  bagi  daerah‐daerah di sekitarnya. diharapkan per‐ tumbuhan yang cepat di pusat pertumbuhan  dapat menetes ke bawah (trickle down effect),  yaitu  adanya  pertumbuhan  di  daerah  yang  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  79 kuat  akan  menyerap  potensi  kerja  atau  mungkin daerah yang lemah dapat mengha‐ silkan  produk  yang  sifatnya  komplementer  dengan produk yang dihasilkan daerah kuat.  selain  itu,  perlu  juga  ditentukan  hubungan  pusat  dan  daerah  yang  memiliki  potensi  paling kuat sehingga dapat memicu pertum‐ buhan  ekonomi  di  daerah  lain  yang  lemah  (wiyadi, 2003).  pertumbuhan  ekonomi  yang  ditandai  dengan  peningkatan  produk  domestik  re‐ gional bruto (pdrb) diperlukan guna mem‐ percepat struktur perekonomian yang berim‐ bang  dan  dinamis  bercirikan  industri  yang  kuat dan maju, pertanian yang tangguh serta  memiliki  basis  pertumbuhan  sektoral  yang  seimbang. pertumbuhan ekonomi juga diper‐ lukan  untuk  menggerakkan  dan  memacu  pembangunan  dalam  rangka  meningkatkan  pendapatan  masyarakat  dan  mengatasi  ke‐ senjangan sosial ekonomi.   provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta  terdiri  atas  empat  kabupaten,  yaitu  kabu‐ paten  sleman,  kabupaten  bantul,  kabupaten  kulon  progo  dan  kabupaten  gunung  kidul  serta satu kota, yakni kota yogyakarta. dari  kelima  kabupaten  kota  tersebut,  kabupaten  kulon  progo  merupakan  kabupaten  paling  miskin, karena memiliki pendapatan daerah  yang sangat kecil dibandingkan keempat ka‐ bupaten/kota lainnya.   tabel 1, tabel 2, tabel 3, dan tabel 4 me‐ nyajikan data seluruh kabupaten/kota di pro‐ vinsi  diy  terkena  dampak  krisis  ekonomi,  tetapi dampak  terbesar dan  terlama dialami  oleh  kabupaten  kulon  progo,  karena  ketika  pertumbuhan seluruh kabupaten/kota negatif  pada  tahun  1998,  kabupaten  kulon  progo  mengalami  pertumbuhan  negatif  terbesar.  tahun  1999,  kota  yogyakarta,  kabupaten  sleman,  kabupaten  bantul,  dan  kabupaten  gunung  kidul  mulai  terjadi  recovery  ekono‐ mi,  di  mana  pertumbuhan  ekonomi  mulai  positif,  kabupaten  kulon  progo  masih  me‐ ngalami  pertumbuhan  negatif  sebesar  ‐10%.  hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya  tingkat  pembangunan  di  kabupaten  kulon  progo. perbedaan tingkat pembangunan akan  membawa  dampak  pada  perbedaan  tingkat  kesejahteraan  antardaerah  yang  pada  akhir‐ tabel 1. pdrb atas dasar harga konstan tahun 1993 kabupaten/kota    di provinsi diy tahun 1993‐2003 (juta rupiah)        kab/kota    tahun  kota  yogyakarta  kabupaten  sleman  kabupaten  bantul  kabupaten  kulon  progo  kabupaten  gunung  kidul  1993  1,138,284  1,139,135  701,852  399,454  750,904  1994  1,227,679  1,235,258  757,813  408,785  807,057  1995  1,358,904  1,336,030  812,682  415,042  865,434  1996  1,479,654  1,446,210  867,199  436,330  925,738  1997  1,550,159  1,497,330  893,352  447,571  960,495  1998  1,378,655  1,372,071  809,932  384,783  890,348  1999  1,393,312  1,398,538  820,611  346,061  905,619  2000  1,443,185  1,449,351  845,718  352,854  930,497  2001  1,489,258  1,507,369  871,970  360,577  950,887  2002  1,540,801  1,578,866  903,932  369,546  968,908  2003  1,602,184  1,654,682  943,757  381,842  989,017    sumber: produk domestik regional bruto, bps, beberapa edisi  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 80  nya  akan  menyebabkan  ketimpangan  regio‐ nal yang semakin besar.   pola pembangunan suatu daerah sangat  ditentukan  oleh  visi  dan  misi  dari  masing‐ masing  daerah.  adapun  visi  dan  misi  dari  provinsi diy dan kelima kabupaten/kotanya  sebagai berikut:   provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta.  visi  pembangunan  daerah:  “terwujudnya  pembangunan  regional  sebagai  wahana  menuju pada kondisi daerah istimewa yog‐ yakarta  pada  tahun  2020  sebagai  pusat  pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisa‐ ta terkemuka, dalam lingkungan masyarakat  tabel 2. pertumbuhan pdrb kabupaten/kota di provinsi diy (dalam %) kab/kota  1994  1995  1996  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  yogyakarta  7.85  10.69  8.89  4.76  ‐11.06  1.06  3.58  3.19  3.46  3.98  sleman  8.44  8.16  8.25  3.53  ‐8.37  1.93  3.63  4.00  4.74  4.80  bantul  7.97  7.24  6.71  3.02  ‐9.34  1.32  3.06  3.10  3.67  4.41  kulonprogo  2.34  1.53  5.13  2.58  ‐14.03  ‐10.06  1.96  2.19  2.49  3.33  gunung kidul  7.48  7.23  6.99  3.75  ‐7.30  1.72  2.75  2.19  1.90  2.08    sumber: produk domestik regional bruto, bps, beberapa edisi, diolah.    tabel 3. pdrb perkapita atas dasar harga konstan tahun 1993 kabupaten/kota      di provinsi diy tahun 1993‐2003        kab/kota  tahun  kota  yogyakarta  kabupaten  sleman  kabupaten  bantul  kabupaten  kulon progo  kabupaten  gunung kidul  1993  2787268  1402016  975433  1073464  1143545  1994  3017456  1497636  1040780  1098864  1225207  1995  3352703  1595721  1103023  1116067  1309777  1996  3664696  1701712  1163243  1173776  1396788  1997  3854305  1735830  1184360  1204550  1444903  1998  3441432  1567191  1061305  1036076  1335443  1999  3491939  1573971  1062872  932315  1354421  2000  3631586  1607291  1082784  951179  1387675  2001  3762891  1647252  1103600  972619  1414122  2002  3909273  1700303  1130995  997494  1436968  2003  4082081  1756132  1167405  1031442  1462837  sumber: produk domestik regional bruto, bps, beberapa edisi    tabel 4. pertumbuhan pdrb perkapita kabupaten/kota di provinsi diy (dalam %)  kab/kota  1994  1995  1996  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  yogyakarta  8.26  11.11  9.36  5.17  ‐10.71  1.47  4.00  3.62  3.89  4.42  sleman  6.82  6.55  6.64  2.00  ‐9.72  0.43  2.12  2.49  3.22  3.28  bantul  6.70  5.98  5.46  1.82  ‐10.39  0.15  1.87  1.92  2.48  3.22  kulonprogo  2.37  1.57  5.17  2.62  ‐13.99  ‐10.01  2.02  2.25  2.56  3.40  gunung kidul    7.14  6.90  6.64  3.44  ‐7.58  1.42  2.46  1.91  1.62  1.80  sumber: produk domestik regional bruto, bps, beberapa edisi, diolah.   identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  81 yang  maju,  mandiri,  sejahtera  lahir  batin  didukung  oleh  nilai‐nilai  kejuangan  dan  pemerintah yang bersih dalam pemerintahan  yang  baik  dengan  mengembangkan  ketaha‐ nan sosial budaya dan sumberdaya berkelan‐ jutan.”  kondisi yang secara bertahap ingin dica‐ pai dengan ditetapkannya visi tersebut, anta‐ ra  lain:  (1) terbentuk citra daerah  istimewa  yogyakarta  sebagai  wilayah  pengembangan  sosiokultural  dan  sosioekonomi  yang  dina‐ mis dan inovatif, berbasis pada ilmu pengeta‐ huan dan teknologi maju serta moral masya‐ rakat  yang  berlandaskan  iman  dan  taqwa  kepada tuhan yang maha esa, (2) tersedia‐ nya  lapangan kerja yang memberikan peng‐ hasilan  yang  cukup  bagi  masyarakat  secara  adil dan merata, (3) terciptanya tingkat kese‐ hatan dan gizi masyarakat yang cukup baik,  sehingga  sumber  daya  manusia  yang  maju,  mandiri  dan  sejahtera  dalam  lingkungan  yang sehat, sehingga dapat diandalkan dalam  persaingan  global,  (4)  terciptanya  kondisi  yang  kondusif  bagi  partisipasi  masyarakat  secara luas dalam pembangunan daerah yang  bertumpu pada tata nilai budaya serta sum‐ berdaya  yang  berkelanjutan,  dengan  me‐ ngembangkan  kerukunan  hidup  antarkom‐ ponen masyarakat, baik antara agama, suku  dan budaya, (5) terciptanya masyarakat yang  menghormati  dan  menegakkan  hak  azasi  manusia (ham) dalam segala aspek kehidu‐ pan,  dan  (6)  terlaksananya  pelayanan  pe‐ merintah yang handal, efisien dan transparan  di dalam suasana kehidupan yang aman dan  tenteram dalam kerangka otonomi daerah.  misi pembangunan daerah: berdasarkan  visi pembangunan serta kondisi daerah yang  diharapkan  akan  terbentuk  secara  bertahap  sepeti tersebut di atas, maka ditetapkan misi  pembangunan  daerah  sebagai  berikut:  (1)  menjadikan daerah istimewa yogyakarta se‐ bagai pusat pendidikan terkemuka di indo‐ nesia  yang didukung  oleh  masyarakat  yang  berilmu pengetahuan dan  teknologi (iptek)  tinggi, (2) menjadikan daerah istimewa yog‐ yakarta sebagai pusat kebudayaan terkemu‐ ka  di  indonesia  dengan  kraton  ngayogya‐ karta hadiningrat sebagai pusat budaya, dan  bertaqwa  (imtaq),  serta  mampu  memilih  dan  menyerap  budaya  modern  yang  positif  dan  tetap  melestarikan  budaya  daerah,  (3)  menjadikan  daerah  istimewa  yogyakarta  sebagai  daerah  otonom  yang  maju  dan  didukung  oleh  aparatur  yang  terpercaya,  profesional,  transparan,  dan  akuntabel,  me‐ nuju penyelenggaraan kepemerintahan yang  baik, demokratis dan berlandaskan pada su‐ premasi  hukum  dalam  bingkai  negara  ke‐ satuan  republik  indonesia,  (4)  menjadikan  daerah istimewa yogyakarta sebagai wilayah  pembangunan yang terpadu, komplementatif  dan  sinergi  antarwilayah  dan  antarsektor  yang efisien dan efektif serta didukung peli‐ batan secara langsung dan aktif peran masya‐ rakat  dalam  pembangunan  daerah,  melalui  ketahanan  sosial  budaya  dan  ketahanan  sumberdaya  yang  berwawasan  lingkungan,  untuk meningkatkan kesejahteraan masyara‐ kat, (5) menjadikan daerah istimewa yogya‐ karta  sebagai  daerah  tujuan  wisata  mice  (meeting  incentive,  conference  and  exibition)  utama  di  indonesia  dan  sekaligus  mengem‐ balikan  posisi  diy  sebagai  daerah  tujuan  wisata  kedua  setelah  bali,  yang  didukung  posisi  daerah  istimewa  yogyakarta  sebagai  simpul  strategis  dan  penting  dalam  perhu‐ bungan  dan  komunikasi  di  pulau  jawa.  (6)  menjadikan  daerah  istimewa  yogyakarta  sebagai wilayah pengembangan  industri se‐ dang  dan  kecil  non‐polutan  serta  industri  rumah  tangga  modern  yang  didukung  oleh  pengembangan  teknologi  tepat  guna  dan  sepadan  seni  daerah  dalam  rangka  mendu‐ kung  pengembangan  pariwisata  daerah  dan  permintaan pasar global, (7) menjadikan dae‐ rah  istimewa  yogyakarta  sebagai  wilayah  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 82  pengembangan  pertanian  dalam  arti  luas  (pertanian  tanaman  pangan,  perkebunan,  peternakan, perikanan dan kehutanan) yang  didukung  oleh  berkembangnya  perekono‐ mian  rakyat  yang  berkualitas  dalam  rangka  memenuhi tuntutan pasar lokal, regional dan  global dengan produk agrobisnis dan agro‐ industri yang kompetitif.   kota  yogyakarta.  visi  pembangunan  daerah:  “terwujudnya  kota  yogyakarta  sebagai  kota  pendidikan  yang  berkualitas,  pariwisata  yang  berbudaya,  pertumbuhan  dan pelayanan  jasa yang prima, ramah  ling‐ kungan  serta  masyarakat  madani  yang  diji‐ wai semangat mangayu hayuning bawana”  misi  kota  yogyakarta:  (1)  menjadikan  dan  mewujudkan  lembaga  pendidikan  for‐ mal,  non  formal  dan  sumber  daya  manusia  yang  mampu  menguasai  ilmu  pengetahuan  dan tehnologi serta kompetitif dalam rangka  mengembangkan  pendidikan  yang  berkuali‐ tas,  (2)  menjadikan  dan  mewujudkan  pari‐ wisata,  seni  dan  budaya  sebagai  unggulan  daerah  dalam  rangka  mengembangkan  kota  sebagai kota pariwisata yang berbudaya,  (3)  menjadikan  dan  mewujudkan  kota  yogya‐ karta sebagai motor penggerak pertumbuhan  dan pelayanan  jasa yang prima untuk wila‐ yah  provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta  dengan  mengembangkan  sistem  ekonomi  kerakyatan, (4) menjadikan dan mewujudkan  masyarakat yang menyadari arti pentingnya  kelestarian  lingkungan  yang  dijiwai  sema‐ ngat ikut memiliki/handarbeni, dan (5) men‐ jadikan dan mewujudkan masyarakat demo‐ krasi  yang  dijiwai  oleh  sikap  kebangsaan  indonesia yang berketuhanan, berkemanusia‐ an yang adil dan beradab, berkerakyatan dan  berkeadilan  sosial  dengan  semangat  persa‐ tuan dan kesatuan.  kabupaten  sleman.  visi  pembangunan  daerah:  “perwujudan  keadaan  masyarakat  yang maju dan tercukupi kebutuhan lahiriah  dan batiniah yang ditandai dengan mening‐ katnya kualitas hidup dan kehidupan masya‐ rakatnya.”  misi pembangunan daerah: (1) menjaga  terselenggaranya  tata  pemerintahan  yang  baik   misi ini merupakan upaya pemerintah  kabupaten sleman dalam terus menjaga cita‐ cita mulia yang memerlukan dukungan dari  seluruh komponen masyarakat dalam pelak‐ sanaan  pemerintahan  dan  pembangunan  yang  mengedepankan  partisipasi,  transpa‐ ransi, responsibilitas, berorientasi pada kon‐ sensus  bersama,  adil,  efektif,  efisien,  akun‐ tabel, dan penegakan supremasi hukum seba‐ gai sarana untuk menciptakan keamanan dan  ketertiban  masyarakat  serta  kehidupan  ber‐ masyarakat yang demokratis. penegakan su‐ premasi  hukum  dilakukan  untuk  menjaga  norma/kaidah  hukum  dalam  masyarakat  serta  mempertahankan  nilai‐nilai  sosial  dan  rasa keadilan masyarakat. misi  ini menjiwai  implementasi misi‐misi yang lain.  (2) menja‐ ga  keberlanjutan  kegiatan  perekonomian  masyarakat. misi  ini merupakan upaya pen‐ capaian  tujuan  pembangunan  kabupaten  sleman  dalam  menciptakan  kesejahteraan  masyarakat terutama kesejahteraan di bidang  ekonomi yang dicapai melalui pertumbuhan  ekonomi  yang  stabil  dan  berkelanjutan  de‐ ngan  mekanisme  pasar  yang  berlandaskan  persaingan sehat serta memperhatikan nilai‐ nilai keadilan, kepentingan sosial, dan berwa‐ wasan lingkungan, (3) meningkatkan kualitas  hidup  dan  kehidupan  masyarakat.  misi  ini  merupakan upaya kabupaten sleman dalam  membangun  sumberdaya  manusia  yang  sehat, cerdas, produktif, kompetitif, dan ber‐ akhlak mulia sebagai kunci dari keberhasilan  pelaksanaan misi yang lainnya. upaya terse‐ but  dilakukan  melalui  peningkatan  akses,  pemerataan,  dan  relevansi  mutu  pelayanan  dasar.  kabupaten  bantul.  visi  pembangunan  daerah:  “mewujudkan  peningkatan  pelaya‐ identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  83 nan masyarakat melalui pelaksanaan pemba‐ ngunan  prasarana  dan  sarana  bidang  bina  marga, cipta karya dan daerah di kabupaten  bantul.”  visi  tersebut  mengandung  pengertian  bahwa  untuk  mewujudkan  peningkatan  pe‐ layanan  kepada  masyarakat  bantul,  dinas  pekerjaan  umum  harus  melaksanakan  pro‐ gram pembangunan prasarana dan sarana di  bidang  bina  marga  dan  cipta  karya  secara  berkesinambungan  sesuai  dengan  perenca‐ naan  strategis  selama  5  tahun  (tahun  2006  s/d 2010).   misi pembangunan daerah: (1) mening‐ katkan pelayanan di sektor transportasi, sub  sektor  prasarana  jalan  di  kabupaten  bantul,  (2) meningkatkan pelayanan di sektor peru‐ mahan  dan  permukiman  serta  pengemba‐ ngan  wilayah  secara  terpadu  di  kabupaten  bantul,  dan  (3)  mendukung  peningkatan  pelayanan  masyarakat  pada  sektor  keseha‐ tan, pendidikan, perdagangan dan peningka‐ tan kinerja aparatur pemerintah di kabupa‐ ten bantul.  kabupaten  kulon  progo.  visi  pemba‐ ngunan  daerah:  “membangun  kulon  progo  dalam kebersamaan menuju penguatan eko‐ nomi  lokal  berbasis  ekonomi  kerakyatan  demi mewujudkan masyarakat kulon progo  yang mandiri, aman, sejahtera, dinamis ber‐ landaskan iman dan taqwa.”  misi pembangunan daerah: berdasarkan  visi  tersebut  yang  didukung  dengan  keber‐ hasilan  etos  kerja  ”tirta  marga  saras”  pada  periode  pembangunan  lima  tahun  sebelum‐ nya  dan  dengan  semangat  etos  kerja  yang  baru  ”membangun  desa  menumbuhkan  kota” maka misi pembangunan jangka mene‐ ngah kabupaten kulon progo adalah sebagai  berikut:  (1) meningkatkan kapasitas dan ke‐ berpihakan kelembagaan pemerintah kepada  rakyat/masyarakat  untuk  mencapai  tata  ke‐ lola  pemerintahan  yang  baik  (good  govern‐ ance), (2) meningkatkan profesionalisme dan  jiwa entrepreneur aparatur, (3)  meningkatkan  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa,  (4)  meningkatkan kesejahteraan sosial masyara‐ kat, (5) mengembangkan perekonomian rak‐ yat  terutama  agribisnis  dan  pariwisata,  (6)  memfasilitasi  pengembangan  dunia  usaha  dan  investasi  daerah,  (7)  meningkatkan  ke‐ tentraman, ketertiban, keimanan, dan ketaq‐ waan,  dan  (8)  melestarikan  budaya  dan  melestarikan fungsi lingkungan hidup.  kabupaten gunung kidul. visi pemba‐ ngunan daerah: “menjadi pemerintah daerah  yang baik dan bersih, responsive, untuk men‐ dukung  terwujudnya  masyarakat  mandiri  dan kompetitif.”  misi  pembangunan  daerah:  (1)  mewu‐ judkan  referensi  birokrasi:  meningkatkan  kapasitas  perangkat  daerah,  meningkatkan  kemampuan  pengelolaan  keuangan  daerah,  meningkatkan  kapasitas  desa  dalam  melak‐ sanakan otonomi;  (2) mewujudkan pengem‐ bangan sdm masyarakat: meningkatkan kua‐ litas  sdm  masyarakat,  meningkatkan  kese‐ jahteraan  rakyat;  (3)  mewujudkan  pengem‐ bangan dan pemanfaatan sumber daya alam  wilayah  yang  berwawasan  lingkungan  de‐ ngan  pendekatan  kewilayahaan:  meningkat‐ kan  pemanfaatan  dan  nilai  tambah  sumber  daya  alam,  mewujudkan  keserasian  peman‐ faatan dan pengendalian ruang dalam suatu  sistem  wilayah  pembangunan  yang  berke‐ lanjutan;  (4)  mewujudkan  pengembangan  dunia  usaha  dan  koperasi:  meningkatkan  pertumbuhan  dan  ketahanan  ekonomi  dae‐ rah,  meningkatkan  peran  serta  masyarakat  dan  swasta  dalam  pengembangan  dunia  usaha  dan  koperasi,  meningkatkan  daya  saing produk barang dan jasa.  dari  data‐data  pada  tabel  di  atas  juga  terlihat  bahwa  di  provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta  mengalami  ketimpangan  antar‐ kabupaten, dimana ada kabupaten yang me‐ jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 84  miliki pendapatan relatif sangat tinggi seperti  kota yogyakarta dan kabupaten sleman, serta  terdapat  kabupaten  yang  memiliki  penda‐ patan sangat rendah, yaitu kabupaten kulon  progo. agar   daerah‐daerah yang  lemah da‐ pat mengejar ketertinggalannya, maka perlu  dianalisis  kabupaten  mana  di  provinsi  diy  tersebut  yang  berpotensi  kuat  dalam  pe‐ ngembangannya sehingga akan ada rembetan  pertumbuhan  bagi  kabupaten‐kabupaten  di  sekitarnya serta perlu dianalisis potensi apa  yang  memungkinkan  untuk  dikembangkan  dalam  rangka  pengembangan  ekonomi  dae‐ rah.  tujuan  dari  penelitian  ini  adalah  untuk  mengidentifikasi  pola  dan  struktur  pereko‐ nomian  kabupaten/kota  di  provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta,  untuk  menganalisis  kesesuaian  antara  visi  dan  misi  kabupa‐ ten/kota di provinsi daerah istimewa yogya‐ karta  dengan  potensi  masing‐masing,  untuk  menganalisis ketimpangan antarkabupaten di  provinsi  daerah  istimewa  yogyakarta,  dan  untuk  mengetahui  kabupaten‐kabupaten  mana saja di provinsi daerah istimewa yog‐ yakarta  yang  berpotensi  kuat  untuk  dikem‐ bangkan.  pertumbuhan  ekonomi.  pertumbuhan  ekonomi  dipandang  sebagai  suatu  proses  dimana  pendapatan  nasional  perkapita  riil  naik dibarengi dengan penurunan ketimpan‐ gan  pendapatan  dan  pemenuhan  keinginan  masyarakat  secara  terus  menerus  dan  ber‐ jangka waktu yang panjang dan dapat dilihat  dari lancarnya distribusi atas barang dan jasa  (jhingan,  1999:  7).  sedangkan  menurut  boe‐ diono (1985: 1) pertumbuhan ekonomi adalah  proses kenaikan output perkapita dalam jang‐ ka  panjang.  penekanan  pada  proses  karena  proses mengandung unsur dinamis.   suatu  perekonomian  dikatakan  menga‐ lami pertumbuhan atau berkembang apabila  tingkat  kegiatan  ekonomi  lebih  tinggi  dari‐ pada  apa  yang  dicapai  sebelumnya.  untuk  mempertahankan pertumbuhan ekonomi da‐ lam  jangka  panjang,  harus  memperhatikan  kebijakan penggunaan sumberdaya agar ter‐ hindar  dari  penggunaan  sumberdaya  yang  tidak tepat. para teoritisi ilmu ekonomi pem‐ bangunan  masa  kini  masih  terus  menyem‐ purnakan  makna,  hakikat  dan  konsep  per‐ tumbuhan  ekonomi.  para  teoritisi  tersebut  menyatakan  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  tidak  hanya  diukur  dengan  pertambahan  pdb dan pdrb saja, tetapi juga diberi bobot  yang bersifat immaterial seperti kenikmatan,  kepuasan  dan  kebahagiaan  dengan  rasa  aman dan tenteram yang dirasakan masyara‐ kat (arsyad, 1999: 1)  menurut  pandangan  beberapa  ekonom  klasik,  yakni  adam  smith,  david  ricardo,  thomas  robert  malthus,  dan  jhon  stuart  mill  serta  ekonom  neoklasik,  yaitu robert solow  dan  trevor  swan,  bahwa  terdapat  empat  faktor  yang  mempengaruhi  pertumbuhan  ekonomi  yaitu  (1)  jumlah  penduduk,  (2)  jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan  kekayaan alam dan (4) tingkat teknologi yang  digunakan (sukirno, 1985: 275).   menurut kuznets,   pertumbuhan ekono‐ mi  adalah  kenaikan  kapasitas  dalam  jangka  panjang dari negara yang bersangkutan un‐ tuk  menyediakan  berbagai  barang  ekonomi  kepada penduduknya. kenaikan kapasitas itu  sendiri  ditentukan  atau  dimungkinkan  oleh  adanya  kemajuan  atau  penyesuaian‐penye‐ suaian teknologi, institusional (kelembagaan)  dan  ideologis  terhadap  barbagai  tuntutan  yang  ada.  terdapat  enam  karakteristik  per‐ tumbuhan  ekonomi  menurur kuznets,  yaitu:  (todaro, 2004: 99‐100): (1) tingkat perkemba‐ ngan output perkapita dan pertumbuhan pen‐ duduk yang tinggi, (2) tingkat pertumbuhan  produktivitas faktor yang tinggi, (3) tingkat  transformasi  struktur  ekonomi  yang  tinggi,  (4)  tingkat  transformasi  sosial  dan  ideologi  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  85 yang  tinggi,  (5) adanya kecenderungan ne‐ gara‐negara  yang  mulai  atau  yang  sudah  maju  perekonomiannya  untuk  merambah  bagian‐bagian dunia  lain sebagai daerah pe‐ masaran  dan  sumber  bahan  baku,  dan  (6)  berkurangnya  kesenjangan  pertumbuhan  antara  negara  maju  dengan  negara‐negara  sedang berkembang.  dari analisis pertumbuhan historis di ne‐ gara‐negara  maju,  kuznets  mengemukakan  sebuah  hipotesis  bahwa  pada  tahap  awal  pertumbuhan,  distribusi  pendapatan  cende‐ rung memburuk,  tatapi pada  tahap berikut‐ nya  hal  itu  akan  membaik.  observasi  ini  kemudian  dikenal  sebagai  konsep  kurva  u  terbalik kuznets (todaro, 2004: 207). hipotesis  kuznets  ini  sejalan  dengan  teori  kutub  pertumbuhan yang dipopulerkan oleh perrouk  (1970)  yang  menyatakan  bahwa  pertumbu‐ han tidak muncul di berbagai daerah dalam  waktu yang bersamaan. pertumbuhan hanya  terjadi di beberapa  tempat yang merupakan  pusat  (kutub)  pertumbuhan  dengan  intensi‐ tas yang berbeda‐beda.   menurut  arsyad  (1999:  115‐118),  teori  pertumbuhan wilayah meliputi:  teori ekonomi neoklasik.  teori  ekono‐ mi neoklasik memberikan dua konsep pokok  dalam  ekonomi  daerah  yaitu  keseimbangan  (equilibrium)  dan  mobilitas  faktor  produksi.  artinya, sistem ekonomi akan mencapai ke‐ seimbangan  jika  modal  bisa  mengalir  tanpa  restriksi.  oleh  karena  itu,  modal  akan  me‐ ngalir  dari  daerah  yang  berupah  tinggi  menuju daerah yang berupah rendah.  teori basis ekonomi. teori basis ekono‐ mi menyatakan bahwa faktor penentu utama  pertumbuhan  ekonomi  suatu  daerah  adalah  berhubungan  langsung  dengan  permintaan  akan barang dan  jasa dari  luar daerah. per‐ tumbuhan industri‐industri yang mengguna‐ kan  sumberdaya  lokal,  termasuk  angkatan  kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan  menghasilkan  kekayaan  daerah  dan  pencip‐ taan peluang kerja.  strategi  pembangunan  daerah  yang  muncul  yang  didasarkan  pada  teori  ini  adalah  penekanan  terhadap  arti  penting  bantuan kepada dunia usaha yang memiliki  pasar  baik  secara  nasional  maupun  interna‐ sional. implementasi kebijakannya mencakup  pengurangan  hambatan/batasan  terhadap  perusahaan‐perusahaan  yang  berorientasi  ekspor yang ada dan akan didirikan di dae‐ rah tersebut.  teori  lokasi.  teori  lokasi  menyatakan  bahwa  faktor  lokasi mempengaruhi pertum‐ buhan  daerah.  pernyataan  tersebut  sangat  masuk  akal  jika  dikaitkan  dengan  pengem‐ bangan kawasan industri. perusahaan cende‐ rung  untuk  meminimumkan  biayanya  de‐ ngan  cara  memilih  lokasi  yang  memaksi‐ mumkan peluangnya untuk mendekati pasar.  banyak  variabel  yang  mempengaruhi  kuali‐ tas suatu lokasi, misalnya upah tenaga kerja,  biaya energi, ketersediaan pemasok, komuni‐ kasi, fasilitas‐fasilitas pendidikan dan latihan,  kualitas  pemerintah  daerah  dan  tanggung  jawabnya  serta  sanitasi.  perusahaan‐perusa‐ haan  yang  berbeda  membutuhkan  kombi‐ nasi‐kombinasi  yang  berbeda  pula  atas  fak‐ tor‐faktor tersebut.  teori  tempat  sentral.  teori  tempat  sentral menganggap bahwa  terdapat hirarki  tempat. setiap tempat sentral didukung oleh  sejumlah  tempat yang menyediakan sumber  daya.  tempat  sentral  tersebut  merupakan  suatu  pemukiman  yang  menyediakan  jasa‐ jasa  bagi  penduduk  daerah  yang  mendu‐ kungnya. teori tempat sentral dapat diterap‐ kan  pada  pambangunan  ekonomi  daerah,  baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.  misalnya,  perlunya  melakukan  pembedaan  fungsi antara daerah‐daerah yang bertetang‐ ga (berbatasan). beberapa daerah bisa menja‐ di wilayah penyedia jasa, sedangkan lainnya  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 86  sebagai daerah pemukiman.  teori  kausasi  kumulatif.  kondisi  dae‐ rah‐daerah sekitar kota yang semakin buruk  menunjukkan konsep dasar dari tesis kausasi  kumulatif  ini. kekuatan‐kekuatan pasar cen‐ derung  memperparah  kesenjangan  antara  daerah‐daerah tersebut (maju versus terbela‐ kang). daerah yang maju mengalami akumu‐ lasi  keunggulan  kompetitif  dibanding  dae‐ rah‐daerah lainnya.  model daya tarik. teori daya tarik in‐ dustri adalah model pembangunan ekonomi  yang paling banyak digunakan oleh masyara‐ kat. teori ekonomi yang mendasarinya ada‐ lah bahwa suatu masyarakat dapat memper‐ baiki  posisi  pasarnya  terhadap  industrialis  melalui pemberian subsidi dan insentif.    ketimpangan  pembangunan  antardae‐ rah.  ketimpangan  pembangunan  daerah  se‐ lalu muncul dan cenderung semakin melebar.  fenomena yang dijelaskan oleh myrdal seba‐ gai  akibat  dari  proses  penyebab  akumulatif  (cumulative causation). menurut myrdal back‐ wash  effect  (dampak  yang  merugikan)  lebih  besar  dibanding  spread  effect  (dampak  yang  menguntungkan).  oleh  karena  itu,  apabila  tingkat pembangunan di berbagai daerah di‐ bandingkan,  maka  pembangunan  yang  di‐ capai oleh daerah yang lebih maju selalu  le‐ bih cepat daripada yang terjadi pada daerah  lain.  hal  ini  dalam  jangka  panjang    akan  menyebabkan tingkat ketimpangan yang cu‐ kup lebar (sukirno, 1985 : 24).  aliran neoklasik menyatakan bahwa ke‐ senjangan  pertumbuhan  antardaerah  dapat  terjadi  karena  tiga  alasan,  yaitu  (armstrong  and taylor, 1993: 64): (1) kemajuan teknologi  yang berbeda antardaerah,  (2) pertumbuhan  persediaan modal (capital stock) yang berbeda  antardaerah, (3) pertumbuhan angkatan kerja  (labor force) yang berbeda antardaerah.  williamson  (1965)  meneliti  hubungan  antara  disparitas  regional  dengan  tingkat  pembangunan  ekonomi  dengan  mengguna‐ kan data perekonomi yang telah maju dengan  perekonomian  yang  belum  berkembang,  ditemukan  bahwa  selama  tahap  awal  pem‐ bangunan,  disparitas  regional  menjadi  lebih  besar  dan  pembangunan  terkonsentrasi  di  daerah‐daerah  tertentu. pada  tahap yang  le‐ bih matang dari pertumbuhan ekonomi tam‐ pak  adanya  keseimbangan  antardaerah  dan  disparitas  berkurang  secara  signifikan  (bro‐ jonegoro, 1999: 3).  pengertian wilayah daerah lebih terbuka  dibanding dengan wilayah nasional, jika dili‐ hat  dari  pergerakan  sumberdaya  antardae‐ rah,  dibandingkan  dengan  pergerakan  sum‐ berdaya  antarnegara.  proses  akumulasi  dan  mobilisasi sumber‐sumber, berupa akumulasi  modal,  keterampilan  tenaga  kerja  dan  sum‐ berdaya  alam  yang  dimiliki  oleh  suatu  daerah  merupakan  penentu  dalam  laju  per‐ tumbuhan ekonomi daerah yang bersangku‐ tan.  adanya  heterogenitas  dan  beragam  karakteristik  suatu  wilayah  menyebabkan  kecenderungan  terjadinya  ketimpangan  an‐ tardaerah  dan  antarsektor  ekonomi  suatu  daerah. bertolak dari kenyataan tersebut, ar‐ dani  (1992: 3) mengemukakan bahwa kesen‐ jangan/ketimpangan antardaerah merupakan  konsekuensi  logis  pembangunan  dan  meru‐ pakan  suatu  tahap  dalam  pembangunan  itu  sendiri.  menurut  williamson  (1999:  5‐9),  kesen‐ jangan antardaerah yang semakin membesar  disebabkan  oleh  pertama,  adanya  migrasi  tenaga kerja antardaerah yang bersifat selek‐ tif, yang pada umumnya para migran  terse‐ but lebih terdidik dan memiliki keterampilan  yang  tinggi  dan  masih  produktif.  kedua,  adanya  migrasi  kapital  antardaerah,  adanya  aglomerasi pada daerah yang relatif kaya me‐ rupakan  daya  tarik  tersendiri  bagi  investor.  ketiga,  adanya  pembangunan  sarana  publik  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  87 pada daerah yang  lebih padat dan potensial  berakibat  mendorong  terjadinya  ketimpa‐ ngan  antardaerah  lebih  besar.  keempat,  ku‐ rangnya keterkaitan antardaerah yang dapat  menyebabkan  terhambatnya  proses  efek  se‐ bar dari proses pembangunan yang berdam‐ pak  pada  semakin  besarnya  kesenjangan  yang terjadi.  teori  pusat  pertumbuhan.  teori  pusat  pertumbuhan menyatakan bahwa kumpulan  industri cenderung memilih lokasi yang me‐ musat  di  kota‐kota  besar  (aglomerasi  eko‐ nomi)  dan  didukung  oleh  sebuah  daerah  pedalaman  (hinterland  yang  kuat)  (wiyadi,  2003).  pendekatan  dengan  teori  pusat  per‐ tumbuhan  dengan  maksud  agar  pertumbu‐ han  suatu  daerah  dapat  menimbulkan  efek  pertumbuhan  bagi  daerah‐daerah  lainnya.  dalam  perkembangan  berikutnya  pendeka‐ tan  ini  dapat  digunakan  untuk  mengkaji  hubungan  timbal  balik  desa‐kota.  dengan  mengembangkan  kota  diharapkan  agar  per‐ kembangan  ini  dapat  menetes  ke  desa‐desa  melalui arus barang, bahan pangan, urbani‐ sasi dan bahkan modal.  menurut myrdal  (1999)  potensi  sumber‐ daya yang   dimiliki antara satu dan daerah  lainnya  tidak  merata.  oleh  karena  itu  per‐ tumbuhan antar daerah juga berbeda. untuk  dapat  tumbuh  secara  cepat,  suatu  daerah  perlu memilih satu atau lebih pusat pertum‐ buhan regional yang memiliki potensi paling  kuat. apabila region ini kuat maka akan ter‐ jadi  perembetan  pertumbuhan  bagi  region‐ region lemah.  metode  alat analisis  1. analisis indeks williamson. untuk menge‐ tahui ketimpangan pembangunan antarkabu‐ paten  yang  terjadi  di  provinsi  daerah  isti‐ mewa  yogyakarta  tahun  1993‐2003  dapat  dianalisis  dengan  menggunakan  indeks  ketimpangan  regional  (regional  inequality)  yang  disebut  sebagai  indeks  ketimpangan  williamson. indeks ketimpangan regional ini  semula  digunakan  oleh  jeffrey g. williamson  dengan  rumus  sebagai  berikut:  (sjafrizal,  1997: 31)    y nfyy iw it     (1)  dimana;  yi  adalah  pendapatan  perkapita  di  kabupaten  i, y adalah pendapatan perkapita  rata‐rata  provinsi  daerah  istimewa  yogya‐ karta, fi adalah jumlah penduduk di kabupa‐ ten i, n adalah jumlah penduduk di provinsi  daerah istimewa yogyakarta.  2.  analisis  indeks  entropi  theil.  dengan  menggunakan  alat  analisis  indeks  enthropi  theil  akan diketahui  ada  tidaknya  ketimpa‐ ngan yang terjadi di provinsi daerah istime‐ wa  yogyakarta.  konsep  enthropi  theil  dari  distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi  teori  informasi  dalam  mengukur  ketimpa‐ ngan  ekonomi  dan  konsentrasi  industri  (kuncoro,  2004:  133).  adapun  rumus  dari  indeks enthropi theil adalah sebagai berikut:  (ying, 2000)        xxyyxyyi jjjy /log)(    (2)  dimana;  l(y) adalah indeks enthropi theil, yj  adalah pdrb perkapita kabupaten j, y adalah  rata‐rata  pdrb  perkapita  provinsi  daerah  istimewa yogyakarta, xj adalah  jumlah pen‐ duduk kabupaten  j, x adalah  jumlah pendu‐ duk provinsi daerah istimewa yogyakarta  3.  analisis  gravitasi  dan  model  interaksi  ruang. analisis ini digunakan untuk mencari  wilayah  mana  yang  berpotensi  kuat  dalam  pertumbuhannya.  adanya  interaksi  antara  kota‐desa  menunjukkan  eratnya  hubungan  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 88  antara daerah 1 dan daerah 2 sebagai konse‐ kuensi  interaksi kota‐desa dalam teori pusat  pertumbuhan. adapun rumus yang diguna‐ kan  untuk  menghitung  interaksi  dalam  hubungan kota‐desa adalah:  i1,2 = (w1p1)(w2p2)/j21,2   (3)   dimana; i1,2 adalah interaksi dalam wilayah 1  dan 2, w1 adalah pendapatan perkapita wila‐ yah 1, w2 adalah pendapatan perkapita wila‐ yah 2, p1 adalah jumlah penduduk wilayah 1,  p2  adalah  jumlah  penduduk  wilayah  2,  j1,2  adalah  jarak antara wilayah 1 dan wilayah 2  (dalam meter)   4.  analisis  location  quotient  (lq).  pende‐ katan  lq  merupakan  suatu  teknik  analisis  yang  dimaksudkan  untuk  menentukan  po‐ tensi  spesialisasi  suatu  daerah  terhadap  ak‐ tivitas ekonomi utama atau untuk menentu‐ kan sektor unggulan, yaitu sektor yang dapat  memenuhi  kebutuhan  daerah  sendiri  dan  daerah  lain. formulasi dari lq adalah seba‐ gai berikut.  vtvi vtvi lq     (4)   dimana; v1 adalah pendapatan sektor tertentu  pada  suatu  daerah,  v2  adalah  total  penda‐ patan daerah tersebut, v1 adalah pendapatan  sektor  sejenis  secara  regional  atau  nasional,  v2  adalah  total  pendapatan  regional  atau  nasional  berdasarkan formulasi di atas maka apa‐ bila  lq>1  berarti  daerah  mempunyai  basis  pada sektor tersebut dan ada kelebihan hasil  yang dapat dipasarkan ke daerah lain; lq=1  berarti daerah mempunyai hanya cukup un‐ tuk  memenuhi  kabutuhan  daerah  yang  ber‐ sangkutan tersebut; lq<1 berarti hasil sektor  tersebut  tidak  cukup  untuk  memenuhi  ke‐ butuhan daerah yang bersangkutan sehingga  perlu didatangkan dari daerah lain.  5.  analisis  tipologi  daerah.  untuk  menge‐ tahui  posisi  perekonomian  masing‐masing  kabupaten/kota di provinsi daerah istimewa  yogyakarta,  ditinjau  dari  tingkat  pertum‐ buhan dan pendapatan perkapita digunakan  analisis  tipologi  klassen.  analisis  tipologi  klassen  pada  dasarnya  membagi  daerah  berdasarkan dua indikator utama, yaitu per‐ tumbuhan  ekonomi  daerah  dan  pertumbu‐ han  perkapita  daerah.  dengan  menentukan  rata‐rata pendapatan perkapita sebagai sum‐ bu vertikal dan rata‐rata pendapatan perka‐ pita sebagai sumbu horizontal, daerah yang  diamati  dapat  dibagi  menjadi  empat  klasifi‐ kasi, yaitu: daerah cepat maju dan cepat tum‐ buh  (high  growth  and  high  income),  daerah  maju  tetapi  tertekan  (high  income  but  low  growth),  daerah  berkembang  cepat  (high  tabel 5. klasifikasi kabupaten/kota menurut tipologi klassen.                          pdrb perkapita (y)    laju pertumbuhan (r)  yi > y  yi < y  ri > r  daerah maju dan tumbuh cepat  daerah berkembang cepat  ri < r  daerah maju tetapi tertekan  daerah relatif tertinggal  keterangan: yi adalah pendapatan perkapita rata‐rata wilayah kabupaten i, y adalah pendapatan perkapita  rata‐rata  provinsi,  rj  adalah  laju  pertumbuhan  pdrb  rata‐rata  wilayah  kabupaten  i,  r  adalah  laju  pertumbuhan pdrb rata‐rata provinsi  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  89 growth  but  low  income)  dan  daerah  relatif  tertinggal (low growth and low income) (syafri‐ zal, 1997: 27‐38).  hasil dan pembahasan  analisis lq  untuk  melihat  potensi‐potensi  ekonomi  di  masing‐masing  kabupaten/kota  di  provinsi  diy  dapat  dilakukan  dengan  analisis  lq.  meskipun dari hasil analisis ini dapat diketa‐ hui  sektor‐sektor  unggulan  daerah,  tetapi  dalam  inferensi  hasil  analisis  lq  seringkali  terjadi  kesalahan.  penyebab  terjadinya  kesa‐ lahan  tersebut  adalah:  (1)  pola  selera  dan  pengeluaran  (mpc/marginal  propensity  to  consume)  rumah  tangga  memiliki  tipe  yang  sama, sedangkan tingkat pendapatannya ber‐ beda antardaerah, (2) tingkat pendapatan ru‐ mah  tangga  berbeda  antardaerah,  dan  (3)  produktivitas  tenaga  kerja  dan  bauran  in‐ dustri.  sebagai  contoh  adalah  sebagai  berikut:  (1)  untuk  daerah‐daerah  yang  berhawa  di‐ ngin, meskipun lq>1 untuk industri pertam‐ bangan  minyak  tetap  akan  mengimpor  mi‐ nyak  karena  kebutuhan  akan  bahan  bakar  untuk penghangat ruangan sangat tinggi, (2)  untuk  daerah‐daerah  dengan  tingkat  upah  rendah, meskipun lq<1 untuk sektor indus‐ tri  tetap  akan  mengekspor  karena  daya  beli  masyarakat  rendah,  (3)  untuk  suatu  daerah  yang menjadi lokasi aglomerasi aktivitas eko‐ nomi dan memiliki  jumlah penduduk padat  bisa  jadi  akan  tetap  mengimpor  meskipun  lq>1.  adapun  hasil  perhitungan  lq  kabu‐ paten/kota  di  provinsi  diy  disajikan  dalam  lampiran tabel l 1.  berdasarkan hasil analisis nilai lq dapat  ditentukan sektor‐sektor apa saja yang meru‐ pakan  sektor  basis  dan  berpotensi  untuk  dikembangkan.  adapun  secara  rinci  hasil  analisis masing‐masing sektor untuk masing‐ masing wilayah adalah sebagai berikut:  kota  yogyakarta.  kota  yogyakarta  me‐ miliki  empat  sektor  unggulan,  karena  ter‐ dapat  empat  sektor  yang  memiliki  nilai  lq  lebih besar dari 1. adapun sektor unggulan  tersebut  adalah  sektor  listrik,  gas  dan  air  minum,  sektor  pengangkutan  dan  komuni‐ kasi, sektor keuangan, sewa dan jasa perusa‐ haan serta sektor  jasa‐jasa. artinya keempat  sektor  tersebut  memiliki  sumbangan  yang  lebih besar  terhadap pdrb kota yogyakarta  dibandingkan sumbangan sektor yang sama  terhadap pdrb provinsi diy. hal ini menun‐ jukkan bahwa keempat sektor unggulan ter‐ sebut berpotensi untuk dikembangkan.  kabupaten  sleman.  kabupaten  sleman  memiliki  empat  sektor  unggulan,  karena  terdapat empat sektor yang memiliki nilai lq  lebih besar dari 1. adapun sektor unggulan  tersebut  adalah  sektor  industri  pengolahan,  sektor  bangunan,  sektor  pengangkutan  dan  komunikasi serta sektor keuangan, sewa dan  jasa perusahaan. artinya keempat sektor ter‐ sebut memiliki sumbangan yang  lebih besar  terhadap  pdrb  kabupaten  sleman  diban‐ dingkan sumbangan sektor yang sama terha‐ dap pdrb provinsi diy. hal  ini menunjuk‐ kan bahwa keempat sektor unggulan tersebut  berpotensi untuk dikembangkan.  kabupaten  bantul.  kabupaten  bantul  memiliki lima sektor unggulan, karena terda‐ pat lima sektor yang memiliki nilai lq lebih  besar dari 1. adapun sektor unggulan terse‐ but adalah sektor pertanian, sektor pertamba‐ ngan dan penggalian, sektor bangunan, sek‐ tor pengangkutan dan komunikasi serta sek‐ tor  jasa‐jasa.  artinya  kelima  sektor  tersebut  memiliki sumbangan yang lebih besar terha‐ dap  pdrb  kabupaten  bantul  dibandingkan  sumbangan sektor yang sama terhadap pdrb  provinsi  diy.  hal  ini  menunjukkan  bahwa  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 90  kelima  sektor  unggulan  tersebut  berpotensi  untuk dikembangkan.  kabupaten  kulon  progo.  kabupaten  kulon progo memiliki lima sektor unggulan,  karena  terdapat  lima  sektor  yang  memiliki  nilai  lq  lebih  besar  dari  1.  adapun  sektor  unggulan  tersebut  adalah  sektor  pertanian,  sektor pertambangan dan penggalian, sektor  bangunan,  sektor  pengangkutan  dan  komu‐ nikasi  serta  sektor  jasa‐jasa.  artinya  kelima  sektor  tersebut  memiliki  sumbangan  yang  lebih besar terhadap pdrb kabupaten kulon  progo dibandingkan sumbangan sektor yang  sama  terhadap  pdrb  provinsi  diy.  hal  ini  menunjukkan bahwa kelima sektor unggulan  tersebut berpotensi untuk dikembangkan.  kabupaten  gunung  kidul.  kabupaten  gunung kidul memiliki empat sektor unggu‐ lan,  karena  terdapat  empat  sektor  yang  memiliki nilai lq lebih besar dari 1. adapun  sektor unggulan tersebut adalah sektor perta‐ nian,  sektor  pertambangan  dan  penggalian,  sektor bangunan, serta sektor pengangkutan  dan komunikasi. artinya keempat sektor ter‐ sebut memiliki sumbangan yang  lebih besar  terhadap  pdrb  kabupaten  gunung  kidul  dibandingkan sumbangan sektor yang sama  terhadap pdrb provinsi diy. hal ini menun‐ jukkan  bahwa  keempat  sektor  unggulan  tersebut berpotensi untuk dikembangkan.  dari  hasil  perhitungan  lq  masing‐ma‐ sing  kabupaten/kota  (hasil  perhitungan  di  lampiran) terlihat bahwa di kota yogyakarta  dan  kabupaten  kulon  progo  terjadi  peruba‐ han  struktural.  mulai  tahun  2000  lapangan  usaha perdagangan, hotel dan restoran men‐ jadi sektor unggulan. hal  ini mungkin dise‐ babkan  oleh  semakin  berkembangnya  kota  yogyakarta  sebagai  kota  pendidikan,  se‐ hingga  semakin  banyak  mahasiswa  pan‐ datang  ke  kota  yogyakarta  yang  memiliki  kebutuhan akan barang dan  jasa, yang meli‐ puti kebutuhan sandang, pangan dan papan.  untuk  memenuhi  kabutuhan  tersebut  maka  diperlukan  jalur  distribusi  barang  dan  jasa,  yaitu  melalui  lapangan  usaha  perdagangan,  hotel dan restoran, sehingga sektor ini cukup  berkembang  di  kota  yogyakarta  dan  akhir‐ nya  sektor  yang  berpotensi  untuk  dikem‐ bangkan  karena  mulai  tahun  2000  memiliki  nilai lq>1.   untuk  kabupaten  kulon  progo  yang  terjadi justru sebaliknya. sebelum tahun 1999  lapangan usaha bangunan merupakan sektor  unggulan,  tetapi  mulai  tahun  1999  nilai  lq  lapangan  usaha  ini  mengalami  penurunan  menjadi  kurang  dari  1  sehingga  bukan  lagi  menjadi sektor unggulan di kabupaten kulon  progo.  hal  ini  kemungkinan  merupakan  dampak dari krisis ekonomi sehingga mulai  tahun  1999,  aktivitas  pembangunan  fisik  menurun.  kota  yogyakarta  memiliki  visi  untuk  menjadikan  kota  yogyakarta  sebagai  kota  pendidikan, pariwisata yang berbudaya, per‐ tumbuhan dan pelayanan  jasa prima, ramah  lingkungan  serta  masyarakat  madani  yang  dijiwai semangat mangayu hayuning bawana.  visi tersebut sesuai dengan potensi unggulan  yang  dimiliki  kota  yogyakarta  yaitu  sektor  pengangkutan dan komunikasi, sektor keua‐ ngan, sewa dan  jasa perusahaan serta sektor  jasa‐jasa,  sehingga  besar  kemungkinan  kota  yogyakarta  dapat  mencapai  visi  yang  telah  ditetapkannya.  kabupaten  sleman  memiliki  visi  untuk  mewujudkan masyarakat yang maju dan ter‐ cukupi kebutuhan lahiriah dan batiniah yang  ditandai  dengan  meningkatnya  kualitas  hi‐ dup dan kehidupan masyarakatnya, sedang‐ kan  potensi  unggulan  yang  dimiliki  adalah  sektor industri pengolahan, sektor bangunan,  sektor  pengangkutan  dan  komunikasi  serta  sektor keuangan, sewa dan  jasa perusahaan.  terlihat  bahwa  tidak  ada  keterkaitan  antara  visi  dan  potensi,  karena  indikator  capaian  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  91 visi kabupaten sleman tersebut tidak jelas.  mewujudkan  peningkatan  pelayanan  masyarakat  melalui  pelaksanaan  pemba‐ ngunan  sarana  dan  prasarana  bidang  bina  marga, cipta karya, dan daerah adalah visi  kabupaten  bantul,  sedangkan  salah  satu  misinya  adalah  mendukung  peningkatan  pelayanan masyarakat pada sektor kesehatan,  pendidikan,  perdagangan  dan  peningkatan  kinerja  aparatur  pemerintah  di  kabupaten  bantul.  terdapat  kesesuaian  antara  visi  dan  misi  kabupaten  bantul  tersebut  dengan  po‐ tensi  unggulan  daerahnya,  yakni  sektor  ba‐ ngunan,  sektor  pengangkutan  dan  komuni‐ kasi  serta  sektor  jasa‐jasa,  sehingga  visi  ka‐ bupaten  bantul  tersebut  kemungkinan  akan  dapat dicapai.  beberapa  misi  kabupaten  kulon  progo  yang  ditetapkan  untuk  mencapai  visi  mem‐ bangun  kulon  progo  dalam  kebersamaan  menuju  penguatan  ekonomi  lokal  berbasis  ekonomi kerakyatan demi mewujudkan ma‐ syarakat  kulon  progo  yang  mandiri,  aman,  sejahtera,  dinamis  berlandaskan  iman  dan  taqwa adalah mengembangkan perekonomi‐ an rakyat terutama agribisnis dan pariwisata  serta  memfasilitasi  pengembangan  dunia  usaha  dan  investasi  daerah.  karena  misi  tersebut  didukung  oleh  potensi  unggulan  daerah,  yakni    sektor  pertanian  dan  sektor  pengangkutan  dan  komunikasi,  maka  diha‐ rapkan pemerintah daerah kabupaten kulon  progo dapat mencapai visinya.  kabupaten  gunung  kidul  memiliki  visi  menjadi  pemerintah  yang  baik,  bersih  dan  responsiv  untuk  mendukung  terwujudnya  masyarakat mandiri dan kompetitif. terlihat  bahwa  visi  tersebut  dan  juga  misi  seperti  yang  tersebut  di  atas  tidak  jelas  serta  tidak  didukung dengan potensi unggulan daerah‐ nya, karena potensi unggulan gunung kidul  adalah  sektor  pertanian,  sektor  pertamba‐ ngan dan penggalian, sektor bangunan, serta  sektor pengangkutan dan komunikasi.  analisis tipologi daerah  analisis  tipologi  daerah  digunakan  untuk  mengetahui  posisi  perekonomian  masing‐ masing  kabupaten  di  provinsi  diy,  ditinjau  dari  tingkat  pertumbuhan  dan  pendapatan  perkapitanya. menurut tipologi daerah, dae‐ rah  dibagi  menjadi  empat  klasifikasi,  yaitu:  daerah cepat maju dan cepat  tumbuh  (high  growth and high  income), daerah maju  tetapi  tertekan (high income but low growth), daerah  berkembang cepat (high growth but  low  inco‐ me) dan daerah relatif tertinggal (low growth  and  low  income)(syafrizal,  1997:  27‐38).  ada‐ pun kriteria yang digunakan untuk mengkla‐ sifikasikannya  adalah  sebagai  berikut:  (1)  daerah cepat maju dan cepat tumbuh adalah  daerah  yang  memiliki  tingkat  pertumbuhan  ekonomi  dan  pendapatan  perkapita  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  provinsi  diy,  (2) daerah maju  tetapi  tertekan adalah  daerah yang memiliki pendapatan perkapita  lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan eko‐ nominya lebih rendah dibandingkan dengan  provinsi  diy,  (3)  daerah  berkembang  cepat  adalah daerah yang memilki tingkat pertum‐ buhan  ekonomi  lebih  tinggi  tetapi  tingkat  pendapatan  perkapita  lebih  rendah  diban‐ dingkan  dengan  provinsi  diy,  (4)  daerah  relatif  tertinggal  adalah  daerah  yang  memi‐ liki  tingkat pertumbuhan ekonomi dan pen‐ dapatan perkapita leih rendah dibandingkan  dengan  provinsi  diy.  hasil  analisis  tipologi  daerah  kabupaten/  kota  di  provinsi  diy  disajikan pada lampiran gambar l1.   daerah cepat maju dan cepat tumbuh.  kota yogyakarta sebagai daerah yang berada  pada klasifikasi daerah cepat maju dan cepat  tumbuh memiliki rata‐rata pertumbuhan eko‐ nomi  dan  rata‐rata  pendapatan  perkapita  yang lebih tinggi dibandingkan dengan pro‐ vinsi  diy.  pada  periode  tahun  1993‐2003,  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 92  rata‐rata  tingkat  pertumbuhan  ekonominya  sebesar  4,05  persen  dan  tingkat  pendapatan  perkapita sebesar rp.3.545.057,00. sedangkan  rata‐rata tingkat pertumbuhan ekonomi pro‐ vinsi diy adalah 2,15 persen sementara ting‐ kat pendapatan perkapita rp.1.733.746,00.  daerah maju tetapi tertekan. tidak ada  satu  kabupaten  pun  yang  termasuk  dalam  klasifikasi daerah maju tetapi tertekan ini.  daerah  berkembang  cepat.  kabupaten  sleman  dan  gunung  kidul  sebagai  daerah  yang  berada  pada  klasifikasi  daerah  cepat  maju  dan  cepat  tumbuh  memiliki  rata‐rata  pertumbuhan  ekonomi  lebih  tinggi  tetapi  rata‐rata  pendapatan  perkapita  yang  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  provinsi  diy.  pada periode tahun 1993‐2003, sleman memi‐ liki  rata‐rata  tingkat  pertumbuhan  ekonomi  sebesar  2,38  persen  dan  tingkat  pendapatan  perkapita sebesar rp.1.616.823,00. sedangkan  tingkat pertumbuhan ekonomi gunung kidul  sebesar  2,56  persen  dan  tingkat  pendapatan  perkapita rp.1.355.608,00.  daerah  relatif  tertinggal.  kabupaten  bantul dan kulon progo sebagai daerah yang  berada pada klasifikasi daerah relatif memi‐ liki rata‐rata pertumbuhan ekonomi dan rata‐ rata pendapatan perkapita yang lebih rendah  dibandingkan dengan provinsi diy. pada pe‐ riode tahun 1993‐2003, kulon progo memiliki  rata‐rata tingkat pertumbuhan ekonomi sebe‐ sar ‐0,20 persen dan tingkat pendapatan per‐ kapita  sebesar  rp.1.053.440,00.  sedangkan  tingkat   pertumbuhan ekonomi bantul sebe‐ sar  1,92  persen  dan  tingkat  pendapatan  perkapita rp.1.097.800,00.  indeks gravitasi  analisis gravitasi dan model interaksi ruang  digunakan untuk mengetahui wilayah mana  yang berpotensi kuat dalam pengembangan‐ nya. dengan penentuan pusat pertumbuhan  yang tepat, yakni wilayah dengan potensi pa‐ ling kuat, diharapkan akan  terjadi perembe‐ tan pertumbuhan bagi daerah‐daerah di seki‐ tarnya  serta  terjadi  percepatan  dan  pemera‐ taan hasil‐hasil pembangunan. untuk provin‐ si diy, pusat pertumbuhan adalah kota yog‐ yakarta sebagai ibukota provinsi, di samping  karena  kota  yogyakarta  termasuk  dalam  klasifikasi  daerah  cepat  tumbuh  dan  cepat  berkembang.  agar  terjadi  percepatan  per‐ tumbuhan maka perlu dibangun suatu pusat  pertumbuhan  baru,  yaitu  wilayah  yang  me‐ miliki  potensi  paling  kuat.  adapun  hasil  analisis  gravitasi  dan model  interaksi  ruang  untuk  provinsi  diy  tampak  pada  lampiran  tabel l2.  dari hasil perhitungan di atas dapat dili‐ hat bahwa interaksi paling kuat terjadi antara  kota  yogyakarta  dan  kabupaten  sleman,  karena  interaksi  kedua  wilayah  tersebut  memiliki  rata‐rata  nilai  indeks  gravitasi  ter‐ tinggi.  hal  ini  menunjukkan  bahwa  daerah  yang  potensial  untuk  dikembangkan  adalah  kota yogyakarta sebagai pusat kota dan sle‐ man  sebagai  desa  atau  kota  yogyakarta  sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sleman  sebagai  daerah  penyangga/daerah  pemuki‐ man.  analisis ketimpangan antardaerah  adanya  heterogenitas  dan  beragamnya  ka‐ rakteristik suatu wilayah menyebabkan ada‐ nya kecenderungan  terjadi ketimpangan an‐ tardaerah  dan  antarsektor  ekonomi  suatu  daerah.  besar  kecilnya  ketimpangan  pdrb  perkapita  antarkabupaten/kota  memberikan  gambaran  tentang  kondisi  dan  perkemba‐ ngan pembangunan di provinsi daerah  isti‐ mewa yogyakarta. ketimpangan pembangu‐ nan antarkabupaten/kota yang terjadi di pro‐ vinsi diy selama  tahun 1993‐2003 dianalisis  dengan  indeks  williamson  dan  indeks  en‐ thropi theil. angka, baik indeks williamson  identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  93 dan  indeks  enthropi  theil,  yang  semakin  kecil  atau  mendekati  nol  menunjukkan  ke‐ timpangan  yang  semakin  kecil  atau  dengan  kata  lain  makin  merata,  dan  bila  semakin  jauh  dari  nol  menunjukkan  ketimpangan  yang semakin lebar. meskipun kedua indeks  sama‐sama mengukur masalah ketimpangan,  tetapi indeks enthropi theil memiliki kelebi‐ han  dibanding  indeks  williamson  karena  indeks  ini  memungkinkan  kita  untuk  mem‐ buat perbandingan selama kurun waktu ter‐ tentu,  juga  menyediakan  ukuran  ketimpa‐ ngan  secara  rinci  dalam  sub‐unit  geografis  yang lebih kecil. hal ini akan berguna untuk  menganalisis  kecenderungan  konsentrasi  geografis selama periode waktu tertentu dan  memberikan gambaran yang  lebih rinci me‐ ngenai  ketimpangan  spasial.  (kuncoro,  2004:   134).  hasil  perhitungan  indeks  williamson  dan  grafiknya  disajikan  dalam  lampiran  tabel l3 dan gambar l2.  dilihat dari hasil perhitungan dan grafik  indeks  williamson  serta  indeks  enthropi  theil menunjukkan bahwa ketimpangan an‐ tarkabupaten/kota  di  provinsi  diy  selama  tahun 1993‐2003 cenderung meningkat. nilai  indeks williamson pada  tahun 1993 sebesar  0,36 yang naik menjadi 0,57 pada tahun 2003  dengan  rata‐rata  selama  pengamatan  0,483.  nilai  indeks  enthropi theil  juga  menunjuk‐ kan  hal  yang  sama,  bahwa  terjadi  kenaikan  ketimpangan  di  provinsi  diy  selama  tahun  1993‐2003 (lampiran tabel l4 dan gambar l3).  tahun  1993  nilai  indeks  enthropi  theil  adalah  0,027  sedangkan  tahun  2003  sebesar  0,172 dengan nilai rata‐rata 0,112. pada tahun  1998,  indeks  ketimpangan  provinsi  diy  cenderung  turun  dari  tahun  1997  yang  sebesar 0,53 menjadi 0,47, tetapi pada tahun  1999 meningkat lagi menjadi 0,48. penurunan  ketimpangan pada tahun 1998 ini disebabkan  oleh krisis yang menimpa indonesia, di mana  provinsi diy juga merasakan imbasnya. dae‐ rah  yang  terkena  dampak  krisis  umumnya  adalah  daerah  perkotaan  sedangkan  daerah  non  perkotaan  tidak  terkena  dampak  krisis  sebesar  daerah  perkotaan  sehingga  menye‐ babkan penurunan ketimpangan pada tahun  1998.  kenaikan  ketimpangan  di  provinsi  diy  selama  periode  tahun  1993‐2003  ini  juga  dapat dilihat dari rasio pendapatan perkapita  tertinggi dan pendapatan perkapita terendah  seperti tampak dalam lampiran tabel l5.  jika dilihat dari tabel rasio tersebut, terli‐ hat  bahwa  kesenjangan  pendapatan  perka‐ pita di provinsi diy pada periode 1993‐2003  selalu  meningkat,  bahkan  meskipun  berda‐ sarkan  nilai  indeks  williamson  dan  indeks  theil  pada  tahun  1998  mengalami  penuru‐ nan,  tetapi rasio pendapatan  tertinggi‐teren‐ dah  tidak  menunjukkan  hal  serupa.  hal  ini  disebabkan  kabupaten  kulon  progo  menga‐ lami keterpurukan ekonomi pascakrisis eko‐ nomi  dan  waktu  yang  dibutuhkan  dalam  proses recovery sangat lama.  kesimpulan  dari  seluruh  hasil  analisis  di  atas  dapat  di‐ simpulkan  beberapa  hal  seperti  tersebut  di  bawah ini:  (1) masalah fundamental yang dihadapi oleh  pemerintah provinsi diy adalah kemiskinan  dan  ketimpangan,  di  mana  ada  kecen‐ derungan bahwa ketimpangan ini meningkat  sepanjang  waktu.  ada  daerah  yang  relatif  sangat kaya (kota yogyakarta) dan ada dae‐ rah  yang  relatif  miskin  (kabupaten  kulon  progo).  peningkatan  ketimpangan  ini  dise‐ babkan  oleh  pola  pembangunan  yang  ber‐ beda  antardaerah.  beberapa  daerah  di  pro‐ vinsi diy memiliki visi yang tidak jelas, baik  indikator  maupun  waktu  pencapaianya,  di  samping seringkali visi daerah tersebut tidak  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 94  didukung  oleh  potensi  yang  dimiliki  oleh  daerah,   (2)  untuk  melihat  potensi  unggulan  yang  dimiliki  masing‐masing  daerah  dilakukan  analisis  dengan  menggunakan  analisis  lq  (location quotient).   (3)  berdasarkan  tipologi  daerah,  kabupa‐ ten/kota di provinsi diy dapat diklasifikasi‐ kan sebagai berikut. kota yogyakarta masuk  dalam  klasifikasi  daerah  cepat  maju  dan  cepat  tumbuh,  sleman  dan  gunung  kidul  termasuk  dalam  klasifikasi  daerah  berkem‐ bang cepat sedangkan yang termasuk dalam  klasifikasi  daerah  relatif  tertinggal  adalah  bantul dan kulon progo,   (4) dari hasil analisis indeks williamson dan  indeks enthropi theil, keduanya menunjuk‐ kan  trend  yang  sama,  yaitu  bahwa  di  pro‐ vinsi  diy  terjadi  kecenderungan  kenaikan  ketimpangan,  meskipun  hasil  perhitungan  kedua  indeks  tersebut  juga  sama‐sama  me‐ nunjukkan  terjadinya  penurunan  ketimpa‐ ngan  pada  tahun  1998,  tetapi  mulai  tahun  1999  ketimpangan  ini  kemudian  meningkat  terus.  penurunan  ketimpangan  pada  tahun  1998 ini diakibatkan oleh dampak krisis yang  lebih berimbas di daerah perkotaan sehingga  ketimpangan menurun,   (5)  hasil  perhitungan  rasio  pendapatan  perkapita tertinggi dan terendah antardaerah  di  provinsi  diy  menunjukkan  tren  pening‐ katan. bahkan ketika pada tahun 1998, berda‐ sarkan hasil perhitungan  indeks williamson  dan indeks theil terjadi penurunan ketimpa‐ ngan,  rasio  pendapatan  perkapita  ini  terus  meningkat. hal ini disebabkan karena adanya  beberapa  kelompok  masyarakat  yang  justru  diuntungkan dengan adanya krisis, misalnya  karena keuntungan dari  jual  beli  dolar atau  peningkatan ekspor akibat depresiasi rupiah,  sementara sebagian besar masyarakat menga‐ lami  penurunan  pendapatan  akibat  krisis  ekonomi  yang  terjadi.  hal  inilah  yang  me‐ nyebabkan terjadinya peningkatan rasio pen‐ dapatan perkapita di provinsi diy.  dari kesimpulan di atas, maka beberapa  saran  yang  dapat  diajukan  adalah  sebagai  berikut:   (1) dalam penyusunan visi dan misi daerah,  pemerintah  daerah  harus  memperhatikan  kesesuaian  antara  visi/misi  dengan  potensi  yang dimiliki oleh daerah,  juga harus terjadi  sinkronisasi  antara  pemerintah  kabupaten/  kota  dengan  pemerintah  provinsi.  di  sam‐ ping itu, dalam penyusunan visi/misi, peme‐ rintah daerah harus  jelas dalam menetapkan  indikator dan waktu pencapaiannya. hal  ini  sangat penting mengingat visi suatu daerah  merupakan  pedoman  implementasi  pemba‐ ngunan daerah.  (2)  untuk  mengurangi  ketimpangan  yang  terjadi  beberapa  hal  yang  dapat  dilakukan  adalah:  bagi pemerintah daerah provinsi diy: mem‐ berikan bantuan bagi daerah termiskin beru‐ pa pembiayaan kegiatan‐kegiatan yang dapat  meningkatkan kualitas sumberdaya manusia  (menciptakan human capital), karena pening‐ katan kualitas sumberdaya manusia ini akan  berdampak positif bagi pertumbuhan melalui  peningkatan penyerapan ide dan inovasi tek‐ nologi serta kewirausahaan. kegitan‐kegiatan  tersebut dapat berupa antara lain pendidikan  dan pelatihan serta peningkatan sarana pela‐ yanan kesehatan dan perbaikan gisi,   bagi  pemerintah  daerah  kabupaten  kulon  progo  (daerah  termiskin):  dengan  mening‐ katkan  sarana  transportasi,  terutama  trans‐ portasi antarkabupaten/kota  lain di provinsi  diy  untuk  memperlancar  arus  distribusi/  perdagangan barang dan jasa, karena dengan  perdagangan  perekonomian  daerah  terting‐ gal  dapat  “catch  up”  perekonomian  daerah  yang  relatif  lebih  maju/berkembang.  selain  itu, pemerintah daerah juga harus lebih mem‐ identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  95 buka  diri  terhadap  investor,  karena  hanya  dengan  investasi  kegiatan  pembangunan  dapat  berjalan,  di  samping  investasi  dapat  memberikan  efek  multiplier  bagi  perekono‐ mian  daerah  sehingga  akan  terjadi  pening‐ katan tingkat kemakmuran masyarakat. oleh  sebab  itu  pemerintah  daerah  kabupaten  kulon progo harus dapat meningkatkan pro‐ mosi daerahnya untuk dapat menarik inves‐ tor  masuk.  atau  dengan  kata  lain,  peme‐ rintah daerah kabupaten kulon progo harus  mampu  menyiapkan  daerahnya  sedemikian  rupa  sehingga  kondusif  bagi  pertumbuhan  bisnis, perkembangan  investasi dan berdaya  saing tinggi agar terjadi peningkatan kesejah‐ teraan masyarakat.  daftar pustaka  ardani, amirudin. 1992. “analisis of region  growth  and  disparity:  the  impact  analysis  of  the  project  on  indonesian  development”,  ph.d.  dissertation  city  and regional planning, university of penn‐ sylvania philadelphia, usa (tidak dipubli‐ kasikan).  armstrong, h and jim taylor. 1993. regional  economics  and  policy.  2nd  edition.  lon‐ don: harvester wheatsheaf.  arsyad, lincolin. 1999. pengantar perencanaan  dan pembangunan ekonomi daerah, jogja‐ karta: bpfe.  boediono.  1985.  teori  pertumbuhan  ekonomi,  yogyakarta: bpfe.  brojonegoro, bambang, p.s. 1999. the impact  or  current  asean  economic  crisis  to  regional development pattern in indo‐ nesia, paper, jakarta: lpkm‐ feui.  hendriawan,  basuki.  dampak  pemekaran  wilayah  terhadap  pertumbuhan  eko‐ nomi  dan  ketimpangan  pendapatan  antar kabupaten/kota di provinsi lam‐ pung  tahun  1995‐2005.  thesis,  ugm  pascasarjana, tidak dipublikasikan.   jhingan,  m.  l.  1999.  ekonomi  pembangunan  dan perencanaan (terjemahan), edisi ketu‐ juh. jakarta: pt. raja grafindo.   kuncoro, mudrajad. 2001. analisis spasial dan  regional, yogyakarta: upp amp ykpn.  kuncoro, mudrajad. 2004. otonomi dan pem‐ bangunan daerah (reformasi, perencanaan,  strategi  dan  peluang),  jakarta:  penerbit  airlangga..  sjafrizal.  1997.  “pertumbuhan  ekonomi  dan  ketimpangan regional wilayah indone‐ sia bagian barat”, prisma, lp3es, nomor  3, 27‐38.  sukirno, sadono. 1985. ekonomi pembangunan,  jakarta: lpfe ui.  todaro, michael, p., 2000. pembangunan eko‐ nomi di dunia ketiga  (terjemahan),  edisi  ketujuh, jakarta: erlangga.  wiyadi, dan rina trisnawati. analisis potensi  daerah  untuk  mengembangkan  wila‐ yah  di  eks‐karesidenan  surakarta  de‐ ngan  menggunakan  teori  pusat  per‐ tumbuhan.  fokus  ekonomi  vol.1.  no.3  desember 2003, 284‐292.  ying, long, g. 2000. “china’s changing re‐ gional  disparities  during  the  reform  period”, economic geography, vol. xxiv  no. 7. 59‐70.    jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 96  lampiran  tabel l1. nilai rata‐rata lq kabupaten/kota di provinsi diy tahun 1993‐2003  lapangan usaha  kota  yogyakarta  kabupaten  sleman  kabupaten  bantul  kabupaten  kulon  progo  kabupaten  gunung  kidul  pertanian  0.048  0.727  1.094  1.470  1.821  pertambangan dan  penggalian  0.026  0.568  1.419  1.443  1.949  industri pengolahan  0.653  1.009  0.885  0.314  0.736  listrik, gas dan air  minum  1.846  0.944  0.676  0.677  0.319  bangunan  0.856  1.410  1.360  1.028  1.129  perdagangan, hotel dan  restoran  0.966  0.895  0.832  0.735  0.541  pengangkutan dan  komunikasi  1.808  1.292  1.087  1.303  1.223  keuangan, sewa dan  jasa perusahaan  1.836  1.357  0.720  0.769  0.469  jasa‐jasa  1.709  0.952  1.117  1.317  0.897        gambar l1. tipologi daerah kabupaten/kota di provinsi diy tahun 1993‐2003    identifikasi sektor unggulan... (restiatun)  97 tabel l2. indeks gravitasi dan model interaksi ruang provinsi diy tahun 1993‐2003  tahun  yogya‐sleman  yogya‐bantul  yogya‐kln progo  yogya‐gn kidul  1993  107.162  79.891  6.726  5.342  1994  125.331  93.035  7.424  6.193  1995  150.044  110.436  8.343  7.350  1996  176.850  128.315  9.551  8.561  1997  191.826  138.484  10.263  9.306  1998  156.332  111.662  7.847  7.672  1999  161.041  114.337  7.133  7.886  2000  172.866  122.053  7.533  8.393  2001  185.526  129.859  7.944  8.851  2002  201.051  139.278  8.423  9.331  2003  219.100  151.207  9.050  9.904  rerata  167.921  119.869  8.203  8.072  tabel l3. indeks williamson provinsi diy tahun 1993‐2003  tahun  1993  1994  1995  1996  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  rerata  iw  0,36  0,39  0,45  0,50  0,53  0,47  0,48  0,50  0,52  0,54  0,57  0,483    gambar l2. grafik indeks williamson provinsi diy tahun 1993‐2003  tabel l4. indeks enthropi theil provinsi diy tahun 1993‐2003  tahun  1993  1994  1995  1996  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  rerata  theil  0,027  0,055  0,095  0,138  0,162  0,096  0,096  0,113  0,130  0,149  0,172  0,112      jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 77 ‐ 98 98    gambar l3. grafik indeks theil provinsi diy tahun 1993‐2003  tabel l5. rasio pendapatan perkapita tertinggi‐terendah provinsi diy tahun 1993‐2003  tahun  1993  1994  1995  1996  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  rasio  2,86  2,90  3,04  3,15  3,25  3,32  3,75  3,82  3,87  3,92  3,96    tabel l6. sektor unggulan masing‐masing daerah  kabupaten/kota  sektor unggulan  yogyakarta  sektor listrik, gas dan air minum, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor  keuangan, sewa dan jasa perusahaan serta sektor jasa‐jasa  sleman  sektor industri pengolahan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi  serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan.  bantul  sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor  pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa‐jasa.  kulon progo  sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor  pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa‐jasa.  gunung kidul  sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, serta sektor  pengangkutan dan komunikasi  microsoft word 04-imamudin jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.26-34 inflasi di indonesia: seleksi model ekonometrika imamudin yuliadi fakultas ekonomi, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone +62 274 387656 e-mail korespondensi: imamudin2006@yahoo.co.id naskah diterima: agustus 2012; disetujui: februari 2013 abstract: inflation impact on macroeconomic performance such as the exchange rate, economic growth, interest rates, exports, imports, wages and the price index of stocks and securities in the capital markets. to get an idea relevant to the topics raised in this study then formulated the research model on inflation and its implications on the fundamentals of the indonesian economy with multiple equation model approach, semi logarithm, error correction model (ecm), and multiple equations, partial adjustment model (pam), this phenomenon shows that the increase in the level of sbi will increase the efficiency of the financial sector to further boost the amount of lending and reduce the amount of bad loans. while the value of the variable regression on the amount of currency in circulation amounted -132.7688 means that if the amount of currency in circulation rose one percent will push down inflation of -132.76 percent. circumstances indicate that the increase in the amount of currency will encourage the real sector to absorb the amount of money circulating in the economy such as the increase in consumption, investment, production, etc., thereby decreasing the rate of inflation. keywords: demand pull inflation; cost push inflation; economic distortions; exchange rate jel classification: e31, e52, c1 abstrak: inflasi berdampak terhadap kinerja ekonomi makro lainnya seperti nilai tukar rupiah (kurs), pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga, ekspor, impor, tingkat upah dan indeks harga saham dan surat berharga di pasar modal. dalam studi ini dirumuskan model penelitian mengenai inflasi dan implikasinya pada fundamental perekonomian indonesia dengan menggunakan model pendekatan persamaan berganda, semi logaritma, error correction model (ecm), dan persamaan berganda, partial adjustment model (pam). fenomena ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat sbi akan meningkatkan efisiensi sektor keuangan untuk lebih mendorong peningkatan jumlah penyaluran kredit dan mengurangi jumlah kredit macet. sedangkan nilai regresi pada variabel jumlah uang kartal beredar sebesar –132,7688 artinya apabila jumlah uang kartal beredar naik satu persen akan mendorong penurunan inflasi sebesar -132,76 persen. keadaan menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang kartal akan mendorong sektor riil untuk menyerap jumlah uang beredar dalam kegiatan ekonomi seperti peningkatan konsumsi, investasi, produksi, dan sebagainya, sehingga akan menurunkan tingkat inflasi. kata kunci: demand pull inflation; cost push inflation; distorsi ekonomi; kurs mata uang klasifikasi jel: e31, e52, c1 pendahuluan inflasi merupakan variabel makro ekonomi yang mengindikasikan adanya dinamika dalam perekonomian secara keseluruhan. fenomena inflasi mengindikasikan adanya perubahan dan pertumbuhan dalam perekonomian baik secara mikro maupun makro yang berpengaruh terhadap kinerja ekonomi lainnya. inflasi dapat didefinisikan dengan kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus artinya bahwa fenomena kenaikan harga barang terjadi hampir pada sebagian besar barang-barang di pasar serta terjadi dalam kurun waktu yang relatif inflasi di indonesia : seleksi model ekonometrika (imamudin yuliadi) 27 lama. sehingga jika kenaikan harga hanya terjadi pada satu atau beberapa jenis barang saja dan dalam waktu singkat maka tidak bisa dikatakan inflasi. inflasi juga mengindikasikan adanya mismatching dalam sektor keuangan dimana mekanisme transmisi dari sektor keuangan dan sektor riil masih terdapat banyak kendala sehingga dana yang terkumpul pada sektor keuangan seperti perbankan, lembaga keuangan dan pasar modal tidak dapat terserap secara maksimal untuk menggerakkan sektor riil. tingginya tingkat bunga mengindikasikan adanya inefisiensi dalam mekanisme pengelolaan sektor keuangan sehingga berdampak pada peningkatan biaya modal (cost of funds) sehingga berpotensi meningkatkan inflasi. tabel 1 mengungkapkan perkembangan inflasi dan beberapa indikator makroekonomi lainnya dalam beberapa tahun terakhir di indonesia: data dalam tabel 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan pdb menunjukkan kecenderungan yang stabil di mana dari tahun 2010 sampai 2012 rata-rata mencapai 6 persen yang artinya ada peningkatan kinerja ekonomi secara makro. peningkatan pertumbuhan ekonomi bannyak ditopang oleh komponen pengeluaran rumah tangga dan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sekitar 4-5 persen. demikian juga untuk pembentukan modal tunai bruto (pmtb) menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertumbuhan sekitar 8 persen. posisi perekonomian indonesia dalam konteks perekonomian dunia dapat dilihat dalam neraca pembayaran internasional (npi) sebagaimana tampak pada tabel 2. neraca pembayaran internasional menunjukkan posisi keuangan suatu negara terhadap negara lainnya menyangkut hak dan kewajiban sebagai implikasi dari transaksi ekonomi antar negara. data neraca pembayaran internasional indonesia di atas menunjukkan bahwa adanya fluktuasi fundamental perekonomian indonesia. posisi neraca transaksi berjalan (current account) menunjukkah kecenderungan adanya tekanan yang semakin meningkat di mana mengalami defisit sebesar 28.450 juta us$ pada tahun 2013 dari sebelumnya defisit sebesar 24.418 juta us$. kondisi ini ditimbulkan karena semakin merosotnya nilai ekspor pada neraca perdagangan serta terus meningkatnya kebutuhan barang impor. ekspor barang indonesia pada tahun 2013 sebesar 183.548 juta us$ menurun dari sebelumnya pada tahun 2012 sebesar 188.496 juta us$. fenomena inflasi pada suatu perekonomian merupakan kombinasi dari aspek keseimbangan pada pasar barang, pasar uang dan pasar tenaga kerja. inflasi yang ditimbulkan pada pasar barang disebabkan oleh adanya distorsi terhadap arus produksi dan distribusi barang dari sektor produksi ke pasar sehingga menimbulkan peningkatan biaya produksi yang kemudian memicu kenaikan harga atau inflasi. inflasi juga bisa dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (bbm) yang berakibat kenaikan biaya produksi yang kemudian akan meningkatkan harga barang. dampak yang ditimbulkan dari inflasi yang ditimbulkan dari dorongan biaya produksi terhadap perekonomian di samping kenaikan harga juga mengakibatkan penurunan tingkat tabel 1. indikator makroekonomi perekonomian indonesia (%, per tahun) indikator ekonomi tahun 2009 2010 2011 2012 2013 produk domestik bruto 4,6 6,2 6,5 6,2 5,8 konsumsi rt 4,9 4,7 4,7 5,3 5,3 konsumsi pemerintah 15,7 0,3 3,2 1,2 4,9 pmtb 3,3 8,5 8,8 9,8 4,7 ekspor -9,7 15,3 13,6 2,0 5,3 impor -15 17,3 13,3 6,6 1,2 inflasi 2,8 7,0 3,8 4,3 8,4 inti 4,3 4,3 4,3 4,4 5,0 diatur pemerintah -3,3 5,4 2,8 2,7 16,7 bergejolak 3,9 17,7 3,4 5,7 11,8 sumber: bank indonesia, 2014 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 26-34 28 pendapatan nasional atau perekonomian mengalami kontraksi. hal ini terlihat pada kurva di atas fenomena inflasi karena dorongan biaya produksi juga terjadi manakala komponen produksi ada yang diimpor sementara nilai kurs mengalami depresiasi sehingga mengakibatkan kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan biaya produksi dari barang yang diimpor. kejadian inflasi seperti juga disebut dengan inflasi dari pengaruh impor barang (imported inflation). inflasi juga bisa ditimbulkan karena kenaikan permintaan agregat (agregate demand) suatu barang seperti yang terjadi pada setiap menjelang hari raya untuk permintaan barangbarang kebutuhan pokok. pada tulisan ini akan dibahas bagaimana hubungan antara besarnya pendapatan nasional (pdb), suku bunga sertifikat bank indonesia (sbi), nilai tukar rupiah terhadap dollar as (kurs), dan jumlah uang beredar (uang kartal) terhadap inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan menggunakan model ekononometrika partial ajustment model (pam) dan error correction model (ecm). metode penelitian inflasi merupakan fenomena ekonomi yang multi aspek artinya bahwa yang inflasi dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi. penjelasan mengenai latar belakang masalah dan didukung oleh kajian baik secara teoritis maupun empiris, maka dapat disusun suatu diagram alur kerangka pemikiran penelitian seperti pada gambar 1. kerangka penelitian pada gambar 1 juga juga menjelaskan mengenai bagaimana inflasi dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi seperti stabilitas sosial dan politik, resiko dan ekspektasi pasar. di samping itu inflasi juga dipengaruhi faktor-faktor ekonomi seperti nilai fundamental ekonomi seperti posisi neraca transaksi berjalan, tingkat inflasi, jumlah hutang luar negeri dan rasio tingkat bunga domestik terhadap tingkat bunga internasional. inflasi juga dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi pemerintah baik menyangkut kebijakan moneter, fiskal maupun kebijakan nilai tukar. kemudian pada sisi lain inflasi juga berpengaruh terhadap pasar barang yaitu menentukan jumlah dan volume ekspor serta impor. juga berpengaruh terhadap pasar uang melalui keputusan masyarakat dalam memegang jenis dan jumlah mata uang. inflasi juga berpengaruh terhadap posisi neraca pembayaran melalui kinerja neraca transaksi berjalan dan arah serta jumlah aliran modal (capital flow). dalam studi ini dirumuskan model penelitian mengenai inflasi dan implikasinya pada fundamental perekonomian indonesia dengan menggunakan model pendekatan regresi berganda, semi logaritma, error correction model (ecm), dan partial adjustment model (pam). tabel 2. neraca pembayaran internasional indonesia (juta $ as) indikator ekonomi tahun 2009 2010 2011 1012 2013 transaksi berjalan 10.628 5.144 1.685 -24.418 -28.450 ekspor barang 119.646 158.074 200.788 188.496 183.548 impor barang -88.714 -127.447 -166.005 -179.878 -177.399 jasa + pendapatan + transfer -20.303 -25.484 -33.097 -33.036 -34.599 transaksi modal dan finansial 4.852 26.620 13.567 24.896 22.731 investasi langsung 2.628 11.106 11.528 13.716 14.767 investasi portfolio 10.336 13.202 3.806 9.206 9.848 investasi lainnya -8.208 2.262 -1.801 1.922 -1.906 overall balance 12.506 30.285 11.857 215 -7.325 posisi cadangan devisa 66.105 96.207 110.123 112.781 99.387 dalam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah 6,5 7,4 6,5 6,1 5,5 transaksi berjalan (% pdb) 2,0 0,7 0,2 -2,8 -3,3 sumber: bank indonesia, 2014 inflasi di indonesia : seleksi model ekonometrika (imamudin yuliadi) 29 data yang dipergunakan dalam studi ini adalah data sekunder time series yang diperoleh melalui publikasi bps dan bank indonesia. analisis time series yang digunakan dalam studi ini menggunakan beberapa model regresi, yaitu regresi berganda, semi logarithma, error correction model (ecm), dan partial adjustment model (pam). analisis dengan pendekatan error correction model (ecm), menggunakan alur penyelesaian dengan beberapa urutan langkah pengujian sebagai berikut: uji stasionaritas pengujian ini terdiri dari uji akar unit dan uji derajat integrasi. pada uji akar unit, data dikatakan stasioner jika nilai absolut statistik augmented diskey-fuller (adf) lebih negatif/ lebih kecil dari nilai kritis mackinnon. untuk uji derajat integrasi mentransformasi data nonstasioner menjadi data stasioner melalui proses diferensi data pada tingkat pertama atau kedua. data dikatakan stasioner jika nilai absolut stastistik adf lebih negatif/lebih kecil dari nilai kritis mackinnon. uji kointegrasi pengujian terhadap variabel gangguan et yang stasioner atau tidak dilakukan dengan menggunakan uji kointegrasi. jika kondisinya stasioner, maka semua variabel mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang. uji kointegrasi dilakukan ktika data yang digunakan dalam penelitian berintegrasi pada tingkat derajat yang sama. nilai residual dikatakan stasioner jika nilai absolut statistik adf lebih negatif/ lebih kecil dari nilai kritis mackinnon. uji asumsi klasik untuk mendapatkan hasil regresi yang memenuhi kaidah blue, dilakukan pengujian asumsi klasik sebagai berikut: (1) normalitas: uji jarque-bera digunakan untuk mengetahui normalitas dari suatu distribusi data. (2) autokorelasi: uji durbin-watson digunakan untuk menguji autokorelasi. autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antara anggota seri observasi yang disusun menurut urutan waktu atau ruang. (3) heteroskedastisitas: uji park digunakan untuk menguji heteroskedastisitas dalam model. heteroskedastisitas berarti terdapat kesalahan pengganggu t dari variabel independen yang mempunyai varian yang tidak sama. (4) multikolinearitas: pengujian korelasi parsial antarvariabel independen dapat dilakukan untuk mengetahui adanya multikolinearitas. hubungan yang kuat antarvariabel independen dalam model regresi menunjukkan adanya mulikolinearitas. model yang digunakan dalam studi adalah sebagai berikut: gambar 1. kerangka penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter di indonesia dengan inflasi sebagai sasaran tunggal (haryono, nugroho dan pratomo, 2000: 114) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 26-34 30 model regresi berganda dan semilogaritma inflasi = β0 + β1kurs + β2pdb + β3sb + β4 ukar + e (model 1) 1) loginflasi = β0 + β1logkurs + β2 logpdb + β3sb+β4logukar + e (model 2) 2) model partial adjustment model (pam) bentuk persamaan pam untuk jangka panjang sebagai berikut: inflasi= β0 + β1kurs + β2pdb + β3sb + β4ukar+β5inflasi(-1)+e (model 3) 3) model error correction model (ecm) pendekatan ecm mampu mengoreksi hasil regresi langsung dengan menjelaskan parameter jangka pendek dan jangka panjang. bentuk persamaan ecm sebagai berikut: inflasi = β0 + β1 d(kurs,1) + β2 d(pdb,1) + β3 d(sb) + β4d(ukar,2)+ β4ect (model 4) 4) log inflasi= β0 + β1 d(log(kurs)) + β2 d(log(pdb)) + β3 d(log(sb) + β4 d(log (ukar)) + β4res (model 5) 5) hasil dan pembahasan hasil estimasi persamaan berganda inflasi pada perekonomian indonesia dapat dilihat pada tabel 3. hasil estimasi menunjukkan temuan empirik yang tidak memuaskan karena ternyata tidak ada satupun variabel independen yang signifikan mempengaruhi besarnya tingkat inflasi. untuk mendapatkan informasi pasar yang lebih akurat, maka kemudian dilakukan modifikasi terhadap model yang dengan menggunakan logarithma atau semi logarithma dengan hasil estimasi pada tabel 4. hasil estimasi dengan model semi logaritma menunjukkan kenyataan yang lebih menarik karena semua variabel independen menunjukkan nilai yang signifikan pada α = 5 % kecuali variabel suku bunga sbi yang menunjukkan nilai yang tidak signifikan. variabel kurs menunjukkan nilai koefisien sebesar 29,81047 artinya bahwa depresiasi kurs rupiah terhadap dollar as sebesar 1 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 29,81047 persen. sedangkan variabel pendapatan nasional menunjukkan nilai koefisien sebesar 61,59661 artinya bahwa jika pendapatan nasional naik 1 persen akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 61,59661 persen keadaan ini disebabkan adanya fenomena inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) yaitu konsumen akan meningkatkan konsumsinya manakala pendapatannya meningkat. sedangkan variabel jumlah uang kartal yang beredar menunjukkan nilai koefisien sebesar -73,73225 artinya jika jumlah uang kartal yang beredar naik sebesar 1 persen akan mengakibatkan penurunan tingkat inflasi sebesar: -73,73225 persen. kondisi ini menunjukkan bahwa fenomena moneter di indonesia relatif masih ditentukan oleh faktor-faktor pada pasar tabel 3. analisis estimasi inflasi model persamaan berganda variabel koefisien t-statistik prob. uji diagnostik konstanta -4,776427 -0,422031 0,6763 r2 0,159502 kurs 0,001605 1,720320 0,0968 f-statistik 1,280955 pdb 4,56e-07 0,229967 0,8199 dw statistik 2,407058 sb 0,630429 1,011031 0,3210 ukar -8,01e-05 -0,443883 0,6607 sumber: data sekunder (diolah) inflasi di indonesia : seleksi model ekonometrika (imamudin yuliadi) 31 barang atau sektor riil karena tingkat monetisasi perekonomian indonesia relatif masih kecil. seperti telah disinggung di muka bahwa melalui pembentukan model dinamik seperti model pam, peneliti tidak saja terhindar dari permasalahan regresi lancung, tetapi juga memungkinkan memperoleh besaran simpangan baku koefisien regresi jangka panjang. kedua skala tersebut dapat digunakan atau dipakai mengamati hubungan jangka panjang antar vektor variabel ekonomi seperti yang dikehendaki oleh teori ekonomi yang terkait. hasil estimasi menggunakan model pam menunjukkan nilai yang relatif cukup menarik karena ada beberapa variabel independen yang tidak signifikan yaitu pendapatan nasional dan jumlah uang kartal yang beredar. variabel kurs menunjukkan nilai koefisien sebesar 0,002252 artinya bahwa perubahan variabel kurs rupiah terhadap dollar as yang mengalami depresiasi sebesar 1 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 0,002252 persen. demikian juga variabel tingka bunga sbi jika mengalami kenaikan sebesar 1 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 2,385590 persen. inflasi pada tahun ini juga dipengaruhi oleh tingkat inflasi pada tahun sebelumnya sebesar: -0,614032 persen. namun ada hal yang kurang memuaskan bahwa nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 0,371002 artinya bahwa variabel independen pada model penelitian pam ini hanya dapat menjelaskan 37,10 persen pengaruh perubahan terhadap inflasi sebagai variabel dependen. hasil uji stasioneritas menjelaskan bahwa variabel yang stasioner hanyalah variabel inflasi pada kondisi level sedangkan variabel pdb dan jumlah uang kartal yang beredar stasioner pada kondisi second difference sementara variabel kurs dan sbi stasioner pada kondisi first difference. untuk itu kemudian dilakukan uji kointegrasi dengan hasil augmented dickey-fuller (df) test statistik menunjukkan angka -6,736109 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 artinya menunjukkan nilainya telah terintegrasi. karena variabel telah kointegrasi maka kemudian dapat dilakukan estimasi dengan ecm dengan hasil regresi pada tabel 6. hasil estimasi di atas menunjukkan hasil yang memuaskan namun menghadapi persoalan adanya variabel yang tidak stasioner yaitu pdb dan jumlah uang kartal yang beredar (ukar). sehingga perlu dilakukan uji stasioneritas dan memperoleh hasil yang lebih bagus dimana semua variabel stasioner pada kondisi first difference. kemudian dilakukan uji kointetabel 5. analisis estimasi inflasi model partial adjustment model (pam) variabel koefisien t-statistik prob. uji diagnostik c -31,67742 -2,244305 0,0339 r2 0,371002 kurs 0,002252 2,586612 0,0159 f-statistik 2,949152 pdb 1,18e-06 0,654062 0,5190 dw statistik 1,784962 sb 2,385590 2,874003 0,0082 ukar -0,000112 -0,685520 0,4993 inflasi(-1) -0,614032 -2,789414 0,0100 sumber: data sekunder (diolah) tabel 4. analisis estimasi inflasi dengan model semilogarithma model persamaan berganda variabel koefisien t-statistik prob. uji diagnostik c -397,4795 -2,559547 0,0164 r2 0,337307 log(kurs) 29,81047 2,989741 0,0059 f-statistik 3,435711 log(pdb) 61,59661 2,303219 0,0292 dw statistik 1,964263 sb -0,185967 -0,309689 0,7592 log(ukar) -73,73225 -2,667612 0,0128 sumber: data sekunder (diolah) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 26-34 32 grasi dan menunjukkan nilai yang signifikan sebesar -5,446678 lebih besar dari pada nilai d-f statistik. setelah melalui uji kointegrasi kemudian dilakukan estimasi dengan menggunakan metode ecm dengan modifikasi dan diperoleh hasil estimasi pada tabel 7. hasil estimasi menunjukkan bahwa semua variabel yang telah stasioner dan lolos uji kointegrasi menunjukkan nilai yang signifikan secara statistik. variabel kurs nilai koefisiennya sebesar 35,99900 artinya jika kurs mengalami depresiasi sebesar 1 persen akan berakibat kenaikan inflasi sebesar 35,99 persen. sedangkan variabel pdb nilai koefisiennya sebesar 111,3327 artinya jika pdb naik 1 persen akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 111,33 persen. kondisi ini menyiratkan kenaikan yang didorong dari peningkatan agregat demand (demand pull inflation). sedangkan variabel tingkat bunga sbi dan jumlah uang kartal beredar masing-masing nilai koefisiennya sebesar: -2,090450 dan -132,7688 artinya jika sbi naik 1 persen akan mengurangi inflasi sebesar: -2,09 persen. fenomena ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat sbi akan meningkatkan efisiensi sektor keuangan untuk lebih mendorong peningkatan jumlah penyaluran kredit dan mengurangi jumlah kredit macet. sedangkan nilai regresi pada variabel jumlah uang kartal beredar sebesar: -132,7688 artinya apabila jumlah uang kartal beredar naik 1 persen akan mendorong penurunan inflasi sebesar -132,76 persen. keadaan menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang kartal akan mendorong sektor riil untuk menyerap jumlah uang beredar dalam kegiatan ekonomi seperti peningkatan konsumsi, investasi, produksi, dan sebagainya, sehingga akan menurunkan tingkat inflasi. simpulan hasil estimasi dengan beberapa model analisis menjelaskan fenomena inflasi di indonesia dan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, variabel kurs nilai koefisiennya sebesar 35,99900 artinya jika kurs mengalami depresiasi sebesar 1 persen akan ber akibat kenaikan inflasi sebesar 35,9 persen. kedua, variabel pdb nilai koefisiennya sebesar 111,3327 artinya jika pdb naik 1 persen akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 111,33 persen. kondisi ini menyiratkan kenaikan yang didorong dari peningkatan agregat demand (demand pull inflation). sedangkan variabel tingkat bunga sbi dan jumlah uang kartal beredar tabel 6. analisis estimasi inflasi model error correction model (ecm) i variabel koefisien t-statistik prob. uji diagnostik c -0,245282 -0,081499 0,9357 r2 0,824244 d(kurs,2) 0,008210 3,051375 0,0055 f-statistik 0,824244 d(pdb,2) 7,78e-06 1,749439 0,0930 dw statistik 2,155799 d(sb) -4,257757 -3,809513 0,0009 d(ukar,2) -0,000999 -2,029932 0,0536 ect 1,412040 4,682840 0,0001 sumber: data sekunder (diolah) tabel 7. analisis estimasi inflasi model error correction model (ecm) ii variabel koefisien t-statistik prob. uji diagnostik c 1,946812 0,393851 0,6970 r2 d(log(kurs)) 35,99900 3,994836 0,0005 f-statistik d(log(pdb)) 111,3327 4,913039 0,0000 dw statistik d(sb) -2,090450 -4,966185 0,0000 d(log(ukar)) -132,7688 -5,940453 0,0000 res 1,172221 5,930165 0,0000 sumber: data sekunder (diolah) inflasi di indonesia : seleksi model ekonometrika (imamudin yuliadi) 33 masing-masing nilai koefisiennya sebesar: 2,090450. ketiga, variabel tingkat bunga sbi nilai koefisiennya -132,7688 artinya jika sbi naik 1 persen akan mengurangi inflasi sebesar -2,09 persen. fenomena ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat sbi akan meningkatkan efisiensi sektor keuangan untuk lebih mendorong peningkatan jumlah penyaluran kredit dan mengurangi jumlah kredit macet. sedangkan nilai regresi pada variabel jumlah uang kartal beredar sebesar: -132,7688 artinya apabila jumlah uang kartal beredar naik 1 persen akan mendorong penurunan inflasi sebesar -132,76 persen. keadaan menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang kartal akan mendorong sektor riil untuk menyerap jumlah uang beredar dalam kegiatan ekonomi seperti peningkatan konsumsi, investasi, produksi, dan sebagainya, sehingga akan menurunkan tingkat inflasi. keempat, fenomena inflasi menunjukan adanya distorsi dalam perekonomian indonesia baik pada pasar barang, pasar uang maupun pasar tenaga kerja. inflasi merupakan fenomena bersifat multi aspek sehingga penanganannya juga harus lintas bidang untuk dapat menyelesaikan permasalahannya secara komprehensif. daftar pustaka aghevli, bb. (1976). a model of the monetary sector for indonesia 1968-1973. bulletin of indonesian economic studies, vol. 12/3: 5060. aghevli, bb. (1977). money, price and the balance of payment: indonesia, 1968-1973. journal of development studies, vol. 13/2: 35-57. aghevli, bb. (1999). an econometric model of monetary sector for indonesia. journal of development studies. anwar, arsyad. (1985). prospek dan permasalahan ekonomi indonesia 1985-1986, edisi pertama. jakarta: fakultas ekonomi universitas indonesia dan sinar harapan. branson, william h. (2000). macroeconomic theory and policy, third edition, harper and row publisher. chacholiades, miltiades. (1973). the pure theory of international trade. london: the mac millan press. chiang, alpha c. (2002). fundamental methods of mathematical economics, third edition, international student edition. london: mcgraw hill inc. geanakoplos, john and dimitrios tsomocos, (2001). international finance in general equilibrium. cowles foundation discussion paper no. 1313, july 2001. griffin, john and rene stulz. (2001). international competition and exchange rate shocks a cross country industry analysis of stock returns. review of financial studies, spring 2001: 215-241. groosman, gene m. (1992). imperfect competition and international trade, the mit press. grauwe, paul de and isabel vansteenkiste. (2001). exchange rates and fundamentals a non linear relationship?, cesifo working paper no. 577, october 2001. grubel, herbert g. (1981). international economics, richard d irwin inc. gujarati, damodar n. (2002). basic econometrics, fifth edition. london: mcgraw-hill. havrilesky t and boorman j. (1976). current issues in monetary theory and policy, ahm publishing corporation. henderson, james m, quandt richard e. (1980). microeconomic theory a mathematical approach, third edition. international student edition. london: mcgraw-hill international book company. soewardi, herman. (2000). roda berputar dunia bergulir kognisi baru tentang timbultenggelamnya sivilisasi, edisi i. bandung: bakti mandiri. hill, hall. (1996). the indonesian economic since 1966 southeast asia’s emerging giant. london: cambridge university press. yuliadi, imamudin. (2001). analisis makroekonomi indonesia pendekatan is-lm. tesis. yogyakarta: universitas gadjah mada. insukendro. (1990). komponen koefisien regresi jangka panjang model ekonomi studi kasus impor barang di indonesia. journal ekonomi dan bisnis indonesia, no. 2 tahun v. insukendro. (1992). pembentukan model dalam penelitian ekonomi. jurnal ekonomi dan bisnis indonesia, tahun vii, no. 1. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 26-34 34 insukendro. (1996). pendekatan masa depan dalam penyusunan model ekonometrika: forward-looking model dan pendekatan kointegrasi. jurnal ekonomi dan industri, tahun kedua, edisi kedua. insukendro. (1998). pendekatan stok penyangga permintaan uang: tinjauan teoritik dan sebuah studi empirik di indonesia, ekonomi dan keuangan indonesia, vol. xlvi, no. 4. insukendro. (2000). pemilihan model ekonomi empirik dengan pendekatan koreksi kesalahan. jurnal ekonomi dan bisnis indonesia, vol. 14, no. 1. intriligator, michael d. (1996). econometric models, technicques and application. englewood cliffs, new jersey usa: prentice-hall inc. kenen, peter b. (1989). the international economy, second edition. englewood cliff, new jersey: prentice hall. kilian l and m taylor. 2001. why is it so difficult to beat the random walk forecast of exchange rates ?, university of mimeo: 29. kmenta, jan. (2000). elements of econometric, second edition. london: mcgraw-hill. microsoft word 02-rakhmat jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011, hlm.13-26 preferensi masyarakat pada komoditas elektronika asal cina pasca pemberlakuan cafta 2010 rakhmat priyono fakultas ekonomi universitas jenderal soedirman purwokerto jalan h.r. boenyamin purwokerto 53115 e-mail: priyonorakhmat@gmail.com abstract: this study examined the ability of domestic consumption in household electronic equipment identified as china's commodity. focus on the demand sides, this research examined preference of purwokerto society to the china product. generally, the society had well ability to differ between china products and non-china products. they were not skeptic to choose china products if its substitute product was not acquired at market sold. on society opinion, the china products had potential threat to sustainability of local and domestic product. on preference term, higher level preference of china product than non-china product included to telecommunication and audio/video electronic products. the other way, the society gave lower preferences to china product included computer and its peripherals, and kitchen or household electronic products. keywords: domestic consumption, commodities from china, community preferences, product competitiveness abstrak: riset ini meneliti kemampuan konsumsi domestik terhadap peralatan elektronik rumah tangga dari negeri cina. fokus penelitian ini pada sisi permintaan dan menguji preferensi purwokerto masyarakat terhadap produk cina. pada umumnya, masyarakat bisa membedakan antara produk cina dan produk non-cina. mereka tidak ragu memilih produk cina jika produk penggantinya yang tidak diperoleh di pasaran. menurut penilaian masyarakat, produk cina memiliki potensi ancaman terhadap kelangsungan produk lokal dan domestik. dalam kaitannya dengan preferensi, tingkat preferensi produk cina yang lebih tinggi dibandingkan produk non-cina terutama untuk produk telekomunikasi dan audio/video elektronik. sementara itu, masyarakat memberikan preferensi yang lebih rendah terhadap produk cina termasuk produk komputer dan peripheral, dan produk peralatan dapur atau elektronik rumah tangga. kata kunci: konsumsi domestik, komoditas asal cina, preferensi masyarakat, daya saing produk pendahuluan pada tahun 2010 telah disepakati perdagangan bebas antarwilayah asia tenggara dengan melibatkan cina. jika ditilik dari hasil rekam cgi (global competitiveness index) untuk daya saing tahun 2008, cina merupakan negara industri baru yang memiliki potensi sebagai ancaman bagi negara lain. hanya dalam periode 1 tahun saja (2007 sampai 2008), daya saing cina meningkat 4 tingkat dari peringkat 34 menjadi 30. negara ini juga terlihat lebih mampu untuk bersaing dibandingkan dengan negara asean. pada data gci, posisi indonesia masih lebih baik daripada daya saing vietnam maupun filipina. meskipun demikian jika dibandingkan dengan negara di kawasan asia tenggara lainnya maupun kawasan asia timur, indonesia terlihat jauh tertinggal. singapura, jepang, korea selatan, cina, malaysia, dan brunei darussalam menempati posisi kemampuan daya saing yang dekat dengan negara industri barat. di samping kemampuan daya saing cina, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 14 kekuatan ekonomi cina yang besar juga turut mendorong ekspansi yang lebih besar ke negara lain. dari ukuran produk domestik bruto berdasar purchasing power parity, pdb cina telah melebihi kekuatan pdb jepang. pada tahun 2007, pdb ppp cina berada pada posisi ke dua setelah amerika sementara jepang di posisi ketiga. hal ini mengindikasikan peta kekuatan ekonomi dunia telah bergeser (kadin, 2009). perkembangan perekonomian cina yang sangat pesat telah mendapat perhatian seluruh negara di dunia, baik itu sebagai ancaman maupun membuka munculnya peluang yang baru (departemen perdagangan, 2005). produk cina telah dikenal lama di dunia untuk berbagai produk spesifik, tetapi dengan masuknya cina pada pasar bebas dunia dapat menjadi ancaman karena akan mengindikasikan semakin mudahnya produk cina masuk ke pasar domestik. terlebih dengan pertumbuhan manufakturnya yang pesat, produk cina semakin variatif dengan hasil produk yang bercitra teknologi tinggi. tekanan produk cina menimbulkan kekhawatiran tersendiri pada eksistensi produk domestik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. demikian pula cina dianggap sebagai ancaman karena komoditas-komoditas ekspornya yang makin berkualitas dan harganya relatif murah. murahnya produk cina tidak hanya karena biaya input (terutama upah tenaga kerja) yang rendah, namun cina juga memberlakukan nilai tukar yang tetap rendah (undervaluation of yuan) terhadap mata uang dolar as. selain itu, pemberlakuan tax duty juga merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya harga produk-produk ekspor cina. di sisi lain, produk cina juga dapat memberikan gambaran adanya peluang bagi perusahaan domestik. hal ini setidaknya terungkap dari working group on economic cooperation (2001) di mana free trade area asean–cina diperkirakan dapat memberi keuntungan bagi kedua belah pihak. ekspor asean ke cina akan meningkat sebesar 48 persen dan ekspor cina ke asean akan meningkat 55,1 persen. gdp riil asean diperkirakan bertambah sebesar us$5,4 miliar (0,9 persen) dan gdp riil cina akan meningkat sebesar us$2,2 miliar (0,3 persen). kenaikan gdp anggota asean terbesar akan dinikmati oleh vietnam (2,15 persen), sedangkan indonesia (1,12 persen) sedikit lebih rendah dari malaysia (1,17 persen) (kadin, 2009). sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari perdagangan internasional, namun mungkin saja hal ini akan memberi dampak tidak menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara. hal ini terjadi jika perdagangan internasional memberikan pengaruh yang besar dalam distribusi pendapatan. satu sisi yang perlu diungkap adalah bahwa dampak liberalisasi perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga dapat terjadi pada perubahan konsumsi. pada banyak negara termasuk indonesia, liberalisasi perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam menyikapi produk impor. pada umumnya riset mengenai ketahanan suatu produk domestik dilihat dari sisi produsen. dalam hal ini jika proses produksi perusahaan domestik tidak mampu menghasilkan produk dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dari produk impor, maka hasil produk domestik tersebut tidak akan mampu bersaing di pasar domestik. demikian pula, jika proses produksi perusahaan domestik untuk tujuan ekspor lebih rendah efisiensinya dibandingkan dengan perusahaan berlokasi di negara lain maka pasar perusahaan domestik tersebut akan memiliki daya saing yang rendah di pasar global. dengan demikian bagaimana pengukuran kemampuan produk untuk tetap eksis dapat dilihat dari sisi produsen dengan memperhitungkan efisiensi proses produksinya. di sisi lain, kemampuan produk domestik untuk tetap bertahan juga ditentukan dari sisi konsumennya. logikanya jelas, jika preferensi konsumen pada produk domestik rendah jika dibandingkan dengan produk impor maka konsumen dalam negeri akan meninggalkan produk domestik. mereka akan lebih memilih produk impor. sebaliknya jika preferensi konsumen pada produk domestik masih tetap tinggi, kosumen akan lebih memilih produk domestik. pada sisi ini, pengukuran daya tahan produk domestik dapat diukur dari seberapa besar preferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 15 preferensi permintaan masyarakat pada produk domestik. terkait dengan berlakunya cafta (china asean free trade area) pada 2010 ini, penelitian ini akan menggali bagaimana kemampuan daya tahan produk lokal akibat semakin banyaknya produk cina yang masuk ke pasar domestik. penelitian ini berfokus pada sisi permintaan masyarakat domestik dengan studi kasus yang spesifik di satu kota, yaitu purwokerto. penelitian ini penting dilakukan mengingat munculnya kekhawatiran bahwa masyarakat akan beralih ke produk cina yang lebih variatif dengan harga lebih murah. jika preferensi masyarakat telah beralih maka akan mematikan produk lokal dan imbasnya pada jatuhnya sektor ekonomi lokal. dari penjelasan tersebut, penelitian mengenai preferensi masyarakat purwokerto ini bertujuan untuk: (1) mengetahui preferensi masyarakat purwokerto pada produk tahan lama bukan asal cina dengan produk impor asal cina sebagai substitusinya. (2) mengetahui variabel apa saja yang memberikan pengaruh penting pada konsumsi dan preferensi masyarakat di purwokerto pada produk tahan lama asal cina. metode penelitian materi data dan metode pengumpulannya kajian analisis konsumsi produk cina pada masyarakat purwokerto ini akan menggunakan data primer. data ini diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan responden. metode pengumpulannya dilakukan dengan stratifikasi antarwaktu dan antarruang. pada pola antarwaktu, pengambilan data dilakukan selama periode 2 bulan. harapannya adalah akan dapat diketahui perkembangan respons dari narasumber. setiap bulan dilakukan survei terhadap 100 orang responden. dengan demikian sampel data penelitian ini akan diperoleh sebanyak 200 sampel responden yang berbeda. pada pola antarruang, data dikumpulkan berdasar basis 4 kecamatan di wilayah perkotaan purwokerto. jumlah sampel per kecamatan adalah sebanyak 25 responden. sampel sebanyak 100 orang per bulan merujuk pada penelitian kantor bank indonesia purwokerto dalam penghitungan indeks keyakinan konsumsi (ikk) di wilayah purwokerto (kantor bank indonesia purwokerto, 20052010). asumsi yang digunakan adalah jumlah sampel ini sudah cukup mampu untuk memberikan pembedaan karakteristik antarkonsumen purwokerto. penghitungan preferensi konsumen preferensi konsumen menunjukkan perilaku konsumen untuk memilih apakah suatu produk perlu atau penting untuk dikonsumsi atau tidak. pada penelitian ini untuk mengetahui nilai preferensi konsumen digunakan ukuran nilai semantic differential di mana dengan ukuran ini nilai data yang sifatnya ordinal dikonversi menjadi kardinal. nilai dari variabel dummy atau skala [0;1] diasumsikan sudah cukup memadai untuk mengukur nilai preferensi konsumen. produk elektronika asal cina didefinisikan sebagai produk yang teridentifikasi sebagai produk dengan merek cina, bukan produk hasil foreign domestic investment (fdi) dari negara lain ke cina. pada penelitian ini, produk cina yang dianalisis meliputi 5 jenis komoditas elektronika, yaitu: (1) elektronika jenis audio video (televisi, radio, parabola, satellite receiver, home stereo, walkman, karaoke, headset, dan sejenisnya). (2) elektronika jenis telekomunikasi termasuk telematika (hand phone, pager, walkytalky, dan sejenisnya). (3) elektronika jenis komputer (desktop, notebook, netbook, i-pad, printer, scanner, kalkulator, dan perangkat komputer sejenisnya). (4) elektronika jenis alat dapur rumah tangga (kulkas, blender, microwave, coffeemaker, dan peralatan dapur elektronik lainnya). (5) elektronika jenis lainnya (ac, jam dinding/ meja, dan electronic home appliance lainnya) variabel yang mempengaruhi preferensi konsumen pada teori perilaku konsumen (consumer behaviour) dengan pendekatan kardinal, kepuasan seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dapat diukur dengan satuan mata uang. harapannya ialah setiap tambahan satu unit barang yang dikonsumsi akan menambah kepuasan yang diperoleh konsumen tersebut dalam jumlah tertentu. kotler (2000: 171) dan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 16 wilkie (1994:121) menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen secara umum antara lain: harga. harga merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan. penentuan harga ini seharusnya didasarkan pada “the price that customer willing to pay”, bukan lagi berdasarkan full cost suatu produk. pendapatan. semakin tinggi pendapatan seseorang akan semakin respek pada barang mewah dan sebaliknya semakin menjauh dari barang-barang inferior. citra kepuasan pelanggan. pencitraan ini bisa didapatkan dari mulut ke mulut atau dilakukan dengan promosi produk. pencitraan sangat erat kaitannya dengan brand positioning suatu produk. kegunaan atau manfaat. manfaat dari suatu produk merupakan tujuan dari dibelinya produk tersebut. akan tetapi, manfaat tidak hanya sebatas kemampuan dasar produk saja, akan tetapi bisa mencakup tujuan terselubung dari dibelinya produk itu, misalkan suatu produk dibeli hanya karena mengikuti trend yang ada. pelayanan kepada pelanggan. pelayanan ini meliputi pada saat pembelian sampai pascapembelian. pelayanan yang baik akan berbanding lurus dengan peningkatan citra merek. kelas sosial. pada dasarnya masyarakat memiliki kelas sosial. kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen yang tersusun secara hierarkis dan anggotanya menganut nilai, minat, dan perilaku yang serupa. kelas sosial tidak hanya mencerminkan penghasilan, tetapi juga indikator lain seperti pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. keputusan pembelian konsumen juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi atau individu. karakteristik tersebut meliputi usia dan siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi, kepribadian, gaya hidup dan konsep diri. usia dan tahapan siklus hidup konsumen mempunyai pengaruh penting terhadap perilaku konsumen. seberapa usia konsumen biasanya menunjukkan produk apa yang menarik baginya untuk dibeli. faktor psikologis. pilihan pembelian konsumen dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama yaitu: motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian. konsumen memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu dan beberapa kebutuhan bersifat biogenis. kebutuhan tersebut muncul dari tekanan biologis seperti lapar, haus, dan tidak nyaman. kebutuhan lain dapat bersifat psikogenis. kebutuhan ini muncul dari tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan. suatu kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga mencapai tingkat intensitas yang memadai. jadi, motif adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk bertindak. sesuai dengan pendekatan kotler tersebut, preferensi konsumen dipengaruhi oleh 8 variabel tak tergantung. pada penelitian ini, 8 variabel tersebut seluruhnya dipergunakan untuk mendeteksi pengaruhnya pada preferensi konsumsi produk cina. pengukuran variabel-variabel tersebut sebagai berikut: 1. harga barang. pertanyaan yang disampaikan adalah: “bagaimana pendapat konsumen harga produk cina?” responden diminta untuk memberikan jawaban dari kategori 1 yang mewakili “sangat murah” sampai nilai 10 untuk kategori “sangat mahal”. nilai pada ukuran ini adalah aplikasi besaran semantic differential, di mana besaran nilai dapat dibedabedakan untuk melihat perbedaan perilaku antarobyek penelitian (responden). skala nilai absolut antara 1 sampai 10 ditentukan dengan tujuan untuk menangkap pilihan nilai yang tidak memunculkan definisi ragu-ragu atau mendua (umbiguity) karena tidak ada besaran nilai tengahnya. nilai 5 menunjukkan responden memilih “sedikit atau cenderung murah” dan nilai 6 menunjukkan responden memilih “sedikit atau cenderung mahal”. karena penentuan nilai minimum 5 dan 6 ini, tidak terdapat ruang bagi responden untuk memilih nilai pertengahan yang menyatakan pendapat yang ragu-ragu. 2. pendapatan konsumen. terkait dengan sulitnya mendapatkan data pendapatan responden, penelitian ini menggunakan proksi pengeluaran untuk mewakili nilai pendapatan responden. jawaban responden diklasifikasikan menjadi 3 kategori: pertama; responden dengan pengeluaran rp1 sampai rp3 juta per bulan. kedua; responden dengan pengeluaran di atas rp3 sampai rp5 juta per bulan. ketiga, responpreferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 17 den dengan pengeluaran di atas rp5 juta per bulan. 3. citra produk. kepuasan pelanggan atas citra produk cina diidentikkan dengan pertanyaan pada responden sebagai berikut: “bagaimana kepuasan anda ketika/jika menggunakan produk asal cina?” kategori jawaban responden adalah didasarkan pada metode semantic differential dengan memberikan jawaban dari kategori 1 yang mewakili “sangat tidak puas” sampai nilai 10 untuk kategori “sangat puas”. penjelasan kategori jawaban ini identik dengan variabel tak tergantung pertama (harga barang) 4. manfaat (kegunaan). kegunaan dari produk bagi konsumen produk cina didasarkan pada manfaat yang diperolehnya. pertanyaan pada responden adalah; “bagaimana manfaat yang dapat diperoleh dari produk cina?”. kategori jawaban responden adalah didasarkan pada metode semantic differential dengan memberikan jawaban dari kategori 1 yang mewakili “sangat tidak bermanfaat” sampai nilai 10 untuk kategori “sangat bermanfaat”. penjelasan kategori jawaban ini identik dengan variabel tak tergantung 1 (harga barang) dan 3 (citra kepuasan). 5. pelayanan. faktor pelayanan diidentifikasikan memberikan pengaruh pada preferensi konsumen. pada penelitian ini faktor pelayanan ditekankan pada pelayanan purna penjualan yang meliputi garansi dan ketersediaan spare parts komoditas tahan lama asal cina. pertanyaan yang diajukan ke responden adalah; “bagaimana layanan purna jual produk cina?” kategori jawaban responden adalah didasarkan pada metode semantic differential dengan memberikan jawaban dari kategori 1 yang mewakili “sangat buruk” sampai nilai 10 untuk kategori “sangat baik”. penjelasan kategori jawaban ini identik dengan variabel tak tergantung 1 (harga barang), 3 (citra kepuasan) dan 4 (manfaat). 6. kelas sosial. indikator kelas sosial bisa diidentifikasikan dari latar belakang pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggalnya. pada penelitian ini variabel kelas sosial didasarkan pada indikator latar belakang pendidikan responden. berdasar pertanyaan tingkat pendidikan responden, jawaban responden diklasifikasikan menjadi 4 kategori: pertama, responden dengan pendidikan sma; kedua; responden dengan pendidikan diploma; ketiga, responden dengan pendidikan sarjana (s1); keempat; responden dengan pendidikan pascasarjana (s2 atau s3) 7. karakteristik individu (pribadi). keputusan pembelian oleh konsumen yang didasarkan oleh faktor karakteristik konsumen pada penelitian ini didasarkan pada faktor umur. pada penelitian ini, usia konsumen mampu menunjukkan produk apa yang menarik baginya untuk dibeli. karena obyek atau sasaran dari penelitian ini adalah konsumen penentu keputusan rumah tangga, jawaban responden diklasifikasikan menjadi 3 kategori; pertama, responden dengan umur 20–40 tahun; kedua, responden dengan umur lebih dari 40 tahun sampai 60 tahun. ketiga, responden dengan umur lebih dari 60 tahun. 8. faktor psikologis. sesuai dengan dasar teoritis, pilihan pembelian konsumen dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama yaitu: motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian. pada penelitian ini, indikator keyakinan untuk membeli secara apriori ditentukan menjadi indikator dominan dan menjadi satu-satunya penentu faktor psikologi konsumen. indikator lain (motivasi dan pembelajaran) tidak diaplikasikan dalam model karena sulitnya membuat konversi ordinal menjadi kardinal. sementara indikator persepsi sudah secara implisit termuat dalam variabel preferensi yang menjadi variabel tergantung. pertanyaan yang diajukan ke responden adalah; “seberapa yakin ketika membeli (akan membeli) produk cina?” kategori jawaban responden adalah didasarkan pada metode semantic differential dengan memberikan jawaban dari kategori 1 yang mewakili “sangat tidak yakin” sampai nilai 10 untuk kategori “sangat yakin”. penjelasan kategori jawaban ini identik dengan variabel tak tergantung 1 (harga barang), 3 (citra kepuasan), 4 (manfaat), dan 5 (pelayanan). estimasi determinan yang mempengaruhi preferensi konsumsi dengan model probabilistik pada penelitian ini, model yang dipergunakan untuk menjelaskan kaitan antara variabel tergantung dengan variabel-variabel tak terganjurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 18 tung tersebut akan dipilih model ekonometri yang terbaik sesuai dengan kriteria teoritis dan gambaran hasil observasi. sebagai perkiraan awal, model terbaik untuk melihat bagaimana keputusan konsumen untuk melakukan pembelian produk asal cina dengan bukan produk cina adalah dengan model probabilitas logistik. analisis logistik digunakan untuk menganalisis data kualitatif yang mencerminkan pilihan di antara dua alternatif. dengan model logistik, nilai variabel tergantung dikondisikan sebagai variabel probabilistik (gujarati, 2003; 595 – 604), dimana:           ip1 iplnil =  0 +  1 x 1 t +  2 x 2 t + ….. + k x k t +  t (1) dimana,         i i i p p l 1 ln adalah variabel tergantung,  0 adalah konstanta; 1 , 2 , … , k adalah nilai parameter yang dicari; x1t , x2t , … , xk t adalah variabel tidak tergantung. model logistik memiliki ciri utama, yaitu (kuncoro, 2004); (1) karena p berada di antara nilai 0 dan 1, nilai logistik menjadi tidak terbatas (antara –  sampai + ). (2) l adalah linier dalam x tetapi probabilitas p tidak. (3) koefisien i mengukur seberapa jauh perbedaan l akibat perubahan x sebesar satu unit. dengan ciri seperti ini, maka metode estimasi model logistik tidak menggunakan pendekatan ekonometri ordinary least square (ols) tetapi maximum likehood estimation (mle) dari suatu vektor. untuk mendapatkan hasil regresi yang baik digunakan sebagai alat estimasi, perlu dilakukan serangkaian pengujian secara statistik dan ekonometri untuk mengetahui sejauh mana variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi output. pada metode regresi logistik ini, karena sampel variabel tak tergantung berdistribusi tidak normal maka perlu menggunakan metode alternatif dalam pengukuran validitas model (statsoft corp., 2001 dan spss inc., 1999), yaitu: (1) uji wald-wolfowitz runs tes (wald test) sebagai alternatif dari pengujian statistik t dari setiap variabel tak tergantung. (2) pengujian hosmer-lemeshow goodness-of-fit. aplikasi uji hosmer serupa dengan f tes biasa hanya perbedaannya variabel yang diperhatikan adalah bersifat kontinu dan diukur pada skala ordinal (misalnya skala). (3) uji kebaikan suai r2 nagelkarke (nagelkerke r2 test). karena preferensi dipengaruhi banyak faktor bebas, r2 diperkirakan akan kecil. meskipun demikian, dalam penelitian ini besaran r2 tidak terlalu penting karena penelitian ini hanya mengadopsi variabel bebas yang didasarkan dari sisi teoritis semata. validitas dari kebenaran pemilihan variabel bebas dalam penelitian ini lebih cenderung menggunakan ukuran teoritis dan ukuran statistik hanya sebagai penunjang semata. asumsi/batasan penelitian beberapa asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) preferensi merupakan variabel yang terukur dan dapat dikalkulasi secara empiris. (2) sulitnya untuk mengukur pendapatan pribadi, pengeluaran masyarakat atau konsumen setiap bulan digunakan sebagai proksi untuk mengukur tingkat pendapatan. (3) jumlah responden dalam penelitian sebanyak 200 orang dianggap cukup mampu merepresentasikan pola konsumsi masyarakat purwokerto. (4) responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga atau orang yang merepresentasikan kepala keluarga dan dianggap mampu mengambil keputusan konsumsi keluarga dengan tujuan untuk memilih responden yang mampu mengambil keputusan secara rasional. (5) dalam analisis faktor yang mempengaruhi preferensi, responden dianggap rasional dan mampu membedakan dengan baik antara produk asal cina dengan produk bukan asal cina (domestik). (6) sesuai dengan landasan teoritis pada faktor yang mempengaruhi preferensi, maka variabel tak tergantung yang diterapkan untuk mendeteksi perubahan variabel tujuan adalah sama yaitu menggunakan variabel bebas: harga, pendapatan, citra produk, manfaat, pelayanan, kelas sosial, karakter, dan psikologi. (7) penelitian ini tidak bertujuan untuk melakukan permodelan (modelling) melainkan untuk menguji secara riil pengaruh variabel bebas yang ditentukan secara teoritis terhadap preferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 19 variabel terikat. dengan demikian penelitian ini mengabaikan kemungkinan terjadinya bias parameter uji statistik dan tidak mementingkan tinggi rendahnya nilai parameter variabel tetapi lebih melihat pada besaran parameter variabel (positif atau negatif) dan tingkat signifikansinya. hasil dan pembahasan gambaran preferensi responden gambaran preferensi responden masyarakat purwokerto pada komoditas impor asal cina adalah sebagai berikut: (1) secara umum, masyarakat purwokerto cukup mampu membedakan antara produk impor asal cina dengan produk non-cina. sekitar 62,89 persen masyarakat mampu membedakannya dan selebihnya sekitar 37,11 persen kurang dapat membedakan suatu komoditas sebagai produk cina atau bukan. jika dirinci untuk setiap jenis komoditas yang diteliti, masyarakat paling mampu membedakan antara komoditas elektronik komunikasi asal cina (sekitar 84 persen). hanya sekitar 16 persen yang tidak mampu membedakannya. sementara, untuk produk elektronika audio video cukup besar juga, sekitar 68 persen. sebaliknya, untuk produk elektronika jenis komputer dan elektronika lainnya masyarakat cenderung kurang mampu mengerti perbedaannya. sekitar 51 persen masyarakat tidak mampu membedakan komoditas elektronik komunikasi dan 52 persen tidak mampu membedakan komoditas elektronik jenis lainnya. (2) masyarakat purwokerto tidak terlalu skeptis pada perilakunya untuk memilih produk asal cina. hal ini terbukti dari kecenderungan yang cukup besar untuk memilih produk cina ketika produk substitusinya tidak tersedia. sekitar 50 persen masyarakat menyatakan mereka akan membelinya dan selebihnya 50 persen masyarakat tidak bersedia membelinya ketika mendapatkan situasi ketiadaan produk substitusi di pasar. (3) pada kondisi ketiadaan kendala anggaran dan ketersediaan berbagai barang substitusi, masyarakat purwokerto cenderung untuk memilih produk non-cina. sebaiknya, demikian ketika menghadapi kendala anggaran, sebagian masyarakat purwokerto tidak terlalu bersifat memilih. sekitar 46 persen cukup yakin untuk membeli produk asal cina. sementara, sekitar 54 persen cenderung untuk menunda pembelian pada produk cina dan menunggu waktu dan dana yang tepat untuk lebih memilih produk non cina. (4) masyarakat juga lebih meyakini bahwa berbagai produk impor asal cina cukup mampu mengancam keberadaan produk lokal. sekitar 75 persen masyarakat purwokerto menganggap produk cina berpotensi untuk menurunkan daya saing produk lokal. (5) meskipun responden meyakini adanya potensi ancaman dari produk cina terhadap produk lokal, masyarakat masih bersedia untuk melakukan transaksi pembelian pada produk asal cina. alasan yang paling mendominasi adalah faktor harga. sekitar 76 persen masyarakat membeli produk cina karena harganya yang lebih murah. demikian pula faktor ketersediaannya, sekitar 63 persen masyarakat memilih produk cina karena cenderung mudah diperoleh di pasar. alasan lainnya adalah produk cina lebih menarik dari produk lokal (51 persen) dan ketersediaannya yang lebih bervariasi (52,5 persen). sementara untuk faktor kualitas mendapatkan respons berbeda di mana mayoritas masyarakat menyatakan faktor kualitas bukan menjadi alasan untuk memilih produk cina. (6) komoditas lain asal cina yang cukup tinggi preferensinya adalah elektronika jenis barang komunikasi dan audio/video. sekitar 52,5 persen responden cenderung memilih produk cina untuk alat telekomunikasi dan sekitar 51,0 persen responden cenderung memilih produk perangkat audio/video. observasi lapangan memperlihatkan alat komunikasi terutama telepon genggam asal cina makin banyak beredar di pasar. departemen perdagangan juga memublikasikan dari januari sampai juli 2010 terdapat tambahan merek baru dengan dominasi asal cina lebih dari 30 merek telepon genggam. dengan variasi produk, pemasaran dan distribusi produk yang makin luas, harga lebih terjangkau, fasilitas tools serupa merek jepang/barat, serta iklan produk yang gencar telah membuat produk handphone jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 20 asal cina makin mengurangi dominasi pasar komoditas sejenis asal jepang atau barat. demikian pula perangkat audio/video, masyarakat semakin mudah mengakses komoditas ini. (7) beberapa jenis komoditas elektronik asal cina terlihat kurang mendapat preferensi tinggi dari masyarakat purwokerto. hal ini diperlihatkan oleh preferensi minor dari responden pada komoditas elektronik untuk jenis komputer, peralatan dapur serta elektronik lainnya. meskipun untuk produk komputer asal cina makin variatif, posisi produk sejenis non-cina masih mendominasi dan cenderung lebih dipilih oleh konsumen. pada peralatan elektronik untuk dapur, seperti mesin cuci dan mesin pendingin, dominasi di pasar masih terlihat pada produk merek jepang dan korea selatan. demikian pula untuk produk elektronika rumah tangga lainnya, seperti pendingin ruang, pilihan masyarakat lebih cenderung pada merek non-cina, seperti merek jepang dan korea selatan. faktor yang mempengaruhi preferensi dari 5 jenis komoditas yang diteliti, dengan memasukkan 8 variabel tak tergantung terhadap preferensi produk cina dapat diketahui tidak semua variabel tersebut memberikan dampak yang konsisten secara teoritis. pada jenis komoditas telekomunikasi, kenaikan faktor harga mendorong meningkatnya preferensi konsumen. dengan banyaknya ragam produk telekomunikasi, masyarakat menghadapi banyak pilihan untuk menentukan keputusannya melakukan pembelian atau tidak. harga komoditas ini untuk merek asal cina pada umumnya sudah cukup rendah dan lebih rendah dari produk-produk substitusinya dari merek non-cina. sebagian produk cina ini juga memiliki harga kurang dari setengah produk non-cina meskipun diklaim memiliki teknologi yang sama. jika terdapat komoditas cina yang lebih tinggi dari rata-rata harga komoditas serupa merek cina, produk tersebut memiliki spesifikasi dan teknologi yang lebih baik dari rata-rata produk. karena itu, sedikit kenaikan harga pada produk cina ini dari harga rataratanya dianggap konsumen memiliki kelebihan dan merupakan alternatif yang lebih baik daripada membeli merek cina pada harga ratarata. hal ini juga berlaku untuk jenis komoditas komputer, peralatan dapur dan elektronik lainnya. tabel 1 memperlihatkan besaran parameter (positif atau negatif) dari variabel-varaiabel yang yang mempengaruhi preferensi masyarakat pada komoditas asal cina. pada sisi pendapatan, pada umumnya barang normal memiliki ciri kenaikan pendapatan akan mendorong kenaikan permintaan atau preferensi. pada komoditas asal cina, pendekatan teoritis ini berlaku untuk semua jenis komoditas tahan lama kecuali peralatan elektronika untuk dapur jenis komoditas ini dari sisi pendapatan dapat digolongkan sebagai barang inferior. untuk peralatan elektronik dapur, masyarakat cenderung akan beralih ke produk non-cina jika mengetahui terdapat kenaikan harga. dari pengurutan atau peringkat variabel yang memberikan kontribusi penting pada preferensi produk cina. tabel 2 menunjukkan pemeringkatan tersebut. dengan pemeringkatan ini dapat diketahui bagaimana preferensi sebenarnya masyarakat pada suatu produk. tabel 1. dampak variabel bebas pada preferensi variabel audio/video telekomunikasi komputer alat dapur lainnya harga – +* + ** + + pendapatan + + + – + citra produk + + + + – manfaat + – – + ** – pelayanan + * – + + + * kelas sosial – + + – ** – * karakter – – – – – psikologi + +* + + ** + * * signifikan pada tingkat kesalahan ( = 5%) ** signifikan pada tingkat kesalahan ( = 10%) preferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 21 jika, misalnya, harga menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk maka upaya kebijakan harga menjadi prioritas paling utama dalam manajemen pemasaran industri dalam negeri pada komoditas tersebut. pada komoditas audio/video diketahui faktor pelayanan menjadi prioritas utama pada preferensi konsumen, selanjutnya adalah faktor manfaat dan harga. masyarakat memilih produk ini terutama karena aspek ketersediaan purna jual seperti kemudahan mengakses komponen pendukung atau produk komplemennya. demikian pula, jika masyarakat melihat manfaat dari penggunaan produk ini meningkat maka preferensinya akan makin tinggi. selain itu, faktor harga memiliki peran penting. penurunan harga produk akan mendorong kenaikan preferensi. pada komoditas peralatan telekomunikasi, faktor utama yang mendorong preferensi masyarakat adalah faktor psikologis. meskipun pada awal munculnya produk telekomunikasi cina dianggap sebagai barang alternatif kedua, pada saat ini masyarakat semakin yakin dengan pilihannya. tingginya diferensiasi produk cina dari sisi teknologi maupun pilihan ragam alternatif penggunaannya serta banyaknya produk di pasaran mendorong efek psikologis konsumen bahwa produk ini semakin layak untuk dikonsumsi. untuk komoditas komputer, faktor harga menjadi faktor paling penting yang memberikan pengaruh pada perubahan preferensi. dengan makin banyaknya merek perangkat komputer dan harga yang makin terjangkau, konsumen melihat pada saat ini perangkat komputer bukan merupakan produk yang terlalu istimewa. kenaikan harga pada produk ini cenderung disebabkan oleh pengembangan produk dan perbaikan teknologi. konsumen memiliki preferensi jika mendapatkan produk dengan harga yang sedikit lebih tinggi mereka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dari penggunaan produk ini. selain itu dari deskripsi sebelumnya terdapat kecenderungan masyarakat tidak terlalu mampu membedakan antara perangkat komputer asal cina dengan non-cina. dengan demikian pada produk komputer tersebut dapat dianggap tidak terlalu terdapat perbedaan antara produk asal cina dengan non-cina. dari sisi ini, masyarakat juga memiliki preferensi akan memperoleh manfaat yang lebih besar jika memilih produk perangkat komputer dengan harga yang lebih tinggi. beberapa situasi ini menyebabkan faktor harga perangkat komputer memberikan dampak positif pada preferensi masyarakat. pada perangkat elektronik untuk dapur, faktor paling berpengaruh pada preferensi masyarakat penggunanya adalah sisi psikologi. semakin tinggi keyakinan masyarakat untuk membeli produk ini maka preferensinya akan semakin naik. untuk komoditas elektronik jenis lainnya faktor pelayanan menjadi faktor utama yang memberikan dampak pada perubahan preferensi. masyarakat melihat jika terdapat perbaikan akses untuk mendapatkan pelayanan purna jual seperti garansi maupun ketersediaan produk pengganti dan komponen komplemennya, preferensi masyarakat akan meningkat. realitasnya adalah sampai saat ini untuk jenis produk cina ini masih terbatas layanan purna jualnya. hasil estimasi regresi tersebut mengindikasikan jika layanan purna jual dari produk cina tersebut sebaik layanan purna jual produk tabel 2. peringkat berdasar tingkat signifikansi variabel bebas variabel audio/video telekomunikasi komputer alat dapur lainnya harga 3 2 1 4 6 pendapatan 6 5 6 5 4 citra produk 8 6 8 8 7 manfaat 2 8 7 2 5 pelayanan 1 3 5 7 1 kelas sosial 7 7 4 3 2 karakter 5 4 3 6 8 psikologi 4 1 2 1 3 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 22 non-cina, terdapat kecenderungan minat masyarakat akan meningkat pada produk cina tersebut. simpulan kemampuan daya saing produk domestik dapat ditentukan dari sisi konsumennya. jika preferensi konsumen pada produk domestik rendah jika dibandingkan dengan produk impor maka konsumen dalam negeri akan meninggalkan produk domestik. konsumen akan lebih memilih produk impor. dengan demikian pengukuran daya tahan produk domestik dapat diukur dari seberapa besar preferensi permintaan masyarakat pada produk asing dan domestik. dengan fokus pada sisi permintaan masyarakat domestik, penelitian ini akan menguji preferensi masyarakat purwokerto pada komoditas asal cina. secara umum, masyarakat purwokerto cukup mampu membedakan antara produk impor asal cina dengan produk non-cina. untuk setiap jenis komoditas yang diteliti, masyarakat paling mampu membedakan antara komoditas elektronik komunikasi asal cina. mereka juga tidak terlalu skeptis pada perilakunya untuk memilih produk asal cina. hal ini terbukti dari kecenderungan yang cukup besar untuk memilih produk cina ketika produk substitusinya tidak tersedia. di sisi lain, masyarakat lebih meyakini bahwa berbagai produk impor asal cina cukup mampu mengancam keberadaan produk lokal. hasil penelusuran untuk setiap komoditas yang diteliti ditemukan variasi preferensi. preferensi produk cina yang cukup tinggi terutama untuk peralatan elektronika telekomunikasi (termasuk telematika) serta elektronik audio/ video. sebaliknya, masyarakat cenderung memberikan preferensi yang lebih tinggi pada produk non-cina untuk komoditas elektronik jenis komputer dan elektronika untuk rumah tangga. dari delapan variabel yang diuji untuk mengukur perubahan preferensi masyarakat pada komoditas asal cina. satu hal yang menarik, preferensi dari sebagian besar komoditas yang diteliti cenderung dipengaruhi oleh faktor psikologis. faktor ini memberikan dampak positif pada preferensi dan penting terutama untuk komoditas telekomunikasi, elektronik dapur dan elektronik jenis lainnya. hal ini mengindikasikan masyarakat cenderung memilih ketika memutuskan untuk mengonsumsi produk cina, dalam arti memiliki berbagai pertimbangan ketika akan membeli produk asal cina. jika mereka telah cukup yakin dengan pilihannya mereka baru bersedia untuk membelinya. implikasi dari hal ini adalah masyarakat cukup rasional dan keputusan konsumsinya pada komoditas asal cina memerlukan pertimbangan tertentu. analisis preferensi komoditas produk cina ini mengambil sudut pandang mikro tentang bagaimana reaksi konsumen terhadap pilihan komoditasnya. aspek kebijakan yang lebih tepat adalah kebijakan dengan sasaran bagaimana mengarahkan preferensi masyarakat untuk lebih tertarik pada produk lokal. karena itu, pemerintah perlu mengupayakan berbagai upaya untuk mempertahankan preferensi masyarakat pada komoditas lokal atau domestik tetap terjaga. beberapa kebijakan umum terkait dengan acfta yang perlu dilakukan di antaranya adalah: (1) meningkatkan kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendorong tetap bertahannya industri lokal maupun joint venture sekaligus menarik minat investasi langsung, (2) mengamankan pasar dalam negeri di antaranya melalui kebijakan yang terkait dengan kemudahan administrasi dan birokrasi, (3) mendorong keterkaitan antarindustri untuk menciptakan produk unggulan yang lebih diminati masyarakat dan mampu menekan harga, (4) peningkatan kapasitas teknologi termasuk pula mendorong hubungan kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi dalam penciptaan teknologi terbarukan serta meningkatkan kemampuan transfer teknologi berbasis r&d di dalam negeri, (5) meningkatkan penerapan standarisasi (sni) komponen termasuk safety standard untuk melindungi eksistensi industri dalam negeri, dan (6) membudayakan masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri di antaranya melalui promosi dan periklanan, serta memasukannya dalam kurikulum pendidikan sekolah. preferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 23 daftar pustaka bank indonesia. 2010. survei konsumen di purwokerto. purwokerto: kantor bank indonesia. departemen perdagangan ri. 2008. rencana strategik departemen perdagangan tahun 2004-2009. jakarta: departemen perdagangan. direktorat jenderal industri alat transportasi dan elektronika. 2008. roadmap 2025 industri elektronika. jakarta: direktorat jenderal industri alat transportasi dan elektronika. gujarati, damodar n. 2003. basic econometrics, international edition. new york: mcgraw hill companies, inc. kadin. 2009. butir-butir pemikiran perdagangan indonesia 2009-2014. jakarta: kamar dagang dan industri (kadin). kadin. 2009. sumbangsih pemikiran dunia usaha di indonesia untuk pemerintah republik indonesia masa bakti 2009-2014. jakarta: kamar dagang dan industri (kadin). kotler, philip. 2000. marketing management analysis; planning, implementation, and control, 10th edition. new jersey: prenticehall inc. kuncoro, mudrajad. 2004. metode kuantita-tif, teori dan aplikasi untuk bisnis dan ekonomi, edisi kedua. yogyakarta: upp amp ykpn. setneg republik indonesia. 2010. acfta sebagai tantangan menuju perekono-mian yang kompetitif. www.setneg.co.id, diakses 07 april 2010 media data riset. 2010. studi tentang: bisnis otomotif indonesia di tengah persaingan pasar regional 2010, januari 2010. jakarta: mediadata riset. spss inc. 1999. manual references: spss for windows release 10.0.5 (27 nov 1999) standard version. usa: spss inc. statsoft corp. 2001. statistica 6.0 manual references. usa: tulsa. usaid dan snada. 2008. analisis kebijakankebijakan terpilih departemen perindustrian indonesia. usaid dan senada, maret 2008. wef. 2008. the global competitiveness report 2008-2009. world economic forum. wilkie, william l. 1994. consumer behavior, third edition. new york: john wiley & sons inc. lampiran elektronik: audio/video variabel b s.e. wald df sig. harga -0,1147003 0,0847049 1,8336324 1 0,1756991 pendapat 0,2392049 0,2722520 0,7719658 1 0,3796096 citra 0,0075639 0,1122175 0,0045433 1 0,9462602 manfaat 0,1333424 0,0874292 2,3260724 1 0,1272225 layanan 0,2071877 0,1051838 3,8799856 1 0,0488650 kelas -0,0676950 0,1483454 0,2082400 1 0,6481504 karakter -0,2497888 0,2494872 1,0024200 1 0,3167257 psikolog 0,1173622 0,1120020 1,0980061 1 0,2947041 constant -0,8219182 0,6000505 1,8762110 1 0,1707654 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 24 hosmer and lemeshow test chi-square df sig. 7,11779053 8 0,52397901 omnibus tests of model coefficients chi-square df sig. step 21,0453712 8 0,00702788 block 21,0453712 8 0,00702788 model 21,0453712 8 0,00702788 model summary -2 log likeli cox & snell nagelkerke r square 256,133496 0,0998797 0,13319069 elektronik: telekomunikasi variabel b s.e. wald df sig. harga 0,1855098 0,0832479 4,9657822 1 0,0258536 pendapat 0,2294522 0,2711499 0,7160866 1 0,3974306 citra 0,0815733 0,1109634 0,5404270 1 0,4622558 manfaat -0,0026737 0,0897949 0,0008866 1 0,9762463 layanan -0,1389820 0,1060639 1,7170454 1 0,1900738 kelas 0,0471653 0,1495671 0,0994426 1 0,7524995 karakter -0,2883109 0,2480631 1,3508206 1 0,2451347 psikolog 0,2755665 0,1101805 6,2552283 1 0,0123827 constant -1,2671425 0,6087173 4,3333086 1 0,0373735 hosmer and lemeshow test chi-square df sig. 8,75255688 8 0,36359815 omnibus tests of model coefficients chi-square df sig. step 22,5504664 8 0,00399198 block 22,5504664 8 0,00399198 model 22,5504664 8 0,00399198 model summary -2 log likeli cox & snell nagelkerke r square 254,208197 0,10662811 0,14228958 preferensi masyarakat pada komoditas (rakhmat priyono) 25 elektronik: komputer variabel b s.e. wald df sig. harga 0,162248 0,086851 3,489882 1 0,061745 pendapat 0,131669 0,302156 0,189891 1 0,663007 citra 0,014647 0,125679 0,013582 1 0,907223 manfaat -0,021403 0,097506 0,048183 1 0,826255 layanan 0,059269 0,118482 0,250239 1 0,616907 kelas 0,086235 0,161636 0,284635 1 0,593679 karakter -0,173883 0,279642 0,386644 1 0,534069 psikolog 0,188011 0,133184 1,992801 1 0,158048 constant -2,489142 0,735217 11,462216 1 0,000710 hosmer and lemeshow test chi-square df sig. 10,4555498 8 0,23449586 omnibus tests of model coefficients chi-square df step 13,4161434 8 0,09831103 block 13,4161434 8 0,09831103 model 13,4161434 8 0,09831103 model summary -2 log likeli cox & snell nagelkerke r square 215,806623 0,06488028 0,0951142 elektronik: dapur variabel b s.e. wald df sig. harga 0,05850165 0,08388055 0,48642251 1 0,48552749 pendapat -0,17211787 0,29589523 0,33835762 1 0,56077877 citra 0,00117177 0,10675529 0,00012048 1 0,99124243 manfaat 0,15330385 0,08658162 3,13512348 1 0,07662258 layanan 0,01333471 0,10460779 0,01624947 1 0,89856571 kelas -0,27577268 0,1575698 3,06306731 1 0,08009035 karakter -0,08875535 0,2565332 0,11970214 1 0,72935777 psikolog 0,19313607 0,10498842 3,38410644 1 0,06582785 constant -1,14913243 0,63642047 3,26025731 1 0,0709780 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 13-26 26 hosmer and lemeshow test chi-square df sig. 16,3991055 8 0,03701115 omnibus tests of model coefficients chi-square df sig step 22,6325357 8 0,0038695 block 22,6325357 8 0,0038695 model 22,6325357 8 0,0038695 model summary -2 log likeli cox & snell nagelkerke r square 248,110883 0,10699462 0,14425174 elektronika lain variabel b s.e. wald df sig. harga 0,09381239 0,09724828 0,93058614 1 0,33471066 pendapat 0,42406171 0,32861264 1,66528899 1 0,19689073 citra -0,09026093 0,14016185 0,41470565 1 0,51959072 manfaat -0,13363183 0,1255599 1,13270788 1 0,28719848 layanan 0,29621729 0,12849378 5,3144286 1 0,02114953 kelas -0,4454776 0,20740049 4,61351783 1 0,0317209 karakter -0,11616418 0,30208144 0,14787555 1 0,70057388 psikolog 0,30848061 0,15556281 3,93227807 1 0,04736774 constant -2,32944254 0,78389684 8,83051805 1 0,00296234 hosmer and lemeshow test chi-square df sig. 9,23242495 8 0,32307001 omnibus tests of model coefficients chi-square df step 26,7493006 8 0,000781 block 26,7493006 8 0,000781 model 26,7493006 8 0,000781 model summary -2 log likeli cox & snell nagelkerke r square 186,516236 0,1251882 0,19091439 microsoft word 05-herjuna jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.35-43 bagaimana peran lembaga keuangan baitul maal wat tamwil bagi pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah? herjuna mai hatmaka institute of public policy and economic stuides (inspect) jalan kenari 13 sidoarum iii yogyakarta, indonesia e-mail korespondensi: inspectjogya@yahoo.com naskah diterima: juli 2012; disetujui: februari 2013 abstract: this study discusses the benefit of baitul maal wat tamwil (bmt) as a microfinance institution (mfi) on the growth of small and medium scale enterprises (smes) in the state region of jatinom, klaten, jawa tengah. the study shows the detailed profile of smes, analyzing the benefit rate of mfi’s product such as credit utilization and the rate of saving utilization by smes in supporting the growth of smes. this study also aim at revealing the importance of nonfinancial services other than financial services as an effort to find missing links and bridges the real problems of smes and the real needs of smes. credit and saving have had a positive impact on the growth of smes and nonfinancial services or enterprise development services also had a positive effect on the growth of smes. based on those three positive variables, we can say that bmt has become a good facilitator toward the smes growth. keywords: microfinance institutions; small and medium enterprises; financial services; nonfinancial services; growth of smes jel classification: g21 abstrak: studi ini membahas tentang peran baitul maal wattamwil (bmt) sebagai lembaga keuangan yang menempati posisi sebagai penggerak serta pendukung pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah (umkm) di wilayah kecamatan jatinom, klaten, jawa tengah. studi ini juga menyajikan gambaran profil responden umkm, menganalisa tingkat kemanfaatan produk bmt yang berupa pembiayaan dan tabungan sebagai bentuk dukungan finansial bmt. studi ini juga mengungkap peran penting dari variabel bantuan usaha yang bersifat non finansial yang disediakan bmt sebagai wujud upaya untuk menemukan hubungan antara lembaga keuangan dan nasabahnya yang selama ini jarang terungkap dan kemudian memberi solusi yang menjembatani masalah riil yang sebenarnya dialami umkm serta kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh umkm. pembiayaan dan tabungan memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan umkm serta terdapat juga variabel layanan nonfinansial yang dalam studi ini disebut sebagai enterprise development services yang juga memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan umkm. berdasar ketiga variabel yang diteliti dapat dinyatakan bahwa bmt mampu menjadi fasilitator pertumbuhan umkm. kata kunci: lembaga keuangan mikro; usaha mikro, kecil dan menengah, layanan finansial, layanan non finansial, pertumbuhan usaha klasifikasi jel: g21 pendahuluan pemerintah indonesia melalui uu no. 20 tahun 2008 mengelompokkan dunia usaha dalam beberapa kelas yaitu industi mikro, industri kecil, industri menengah dan industri besar. segmentasi usaha khususnya industri mikro, kecil dan menengah sering digolongkan secara khusus karena mewakili segmen rakyat kecil dengan sebutan usaha mikro, kecil dan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 35-43 36 menengah (umkm) serta ditangani langsung oleh lembaga pemerintah dalam lembaga kementerian koperasi dan usaha kecil dan menengah. umkm menjadi perhatian khusus pemerintah sebagai bentuk tanggungjawab memajukan tingkat kesejahteraan rakyat kecil, namun selain dari faktor tersebut ternyata umkm memegang peran penting dalam perekonomian bangsa. berdasarkan data kementerian koperasi dan usaha kecil menengah diatas yang dirilis juni 2013, terdapat 55,2 juta umkm atau 99,99 persen dari total unit usaha di indonesia yang mampu menyerap 101,72 juta tenaga kerja atau 97,3 persen dari total tenaga kerja indonesia. umkm juga menyumbang 57,12 persen dari produk domestik bruto nasional. (hasan, 2013). data yang kurang lebih sama juga tampak pada tahun 2012 seperti tampak pada tabel 1. data tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh umkm bagi perekonomian nasional sehingga perhatian ekstra bagi umkm juga merupakan wujud perhatian pemerintah bagi perekonomian nasional itu sendiri. asean free trade area, asean-japan comprehensive economic partnership (ajcep), asean-korea free trade area, asean-china free trade area (acfta) dan yang terbaru adalah pasar bebas asean (asean economic community) merupakan contoh pasar global yang telah dihadapi oleh perekonomian nasional. rangkaian pasar bebas bersama tesebut memungkinkan adanya serbuan produk asing dengan harga yang relatif murah yang menjadi kompetitor serius bagi industri lokal di segala level usaha termasuk di dalamnya umkm. selain diserang dengan harga yang kompetitif, industri nasional juga harus melawan faktor lain yang sekaligus menjadi kelemahannya seperti modal, jaringan, inovasi, teknologi, promosi, manajemen dan dukungan sumberdaya profesional sehingga dapat dikatakan bahwa industri lokal terlebih industri kecil dan umkm saat ini benar-benar menghadapi tantangan yang serius. berdasarkan data bank indonesia (bi) per kuartal pertama 2013, ekspansi kredit usaha mikro, kecil dan menengah (umkm) di indonesia telah mencapai 3,4 triliun rupiah, masih jauh dari realisasi total kredit perbankan yang mencapai 63,8 trilyun rupiah. sedangkan perkembangan baki debet kredit pada kuartal pertama 2013 mencapai 555,6 trilyun rupiah. jumlah ini naik sebesar 15,5 persen dari pertumbuhan baki debit kredit kuartal sebelumnya yang hanya senilai 15,1 persen. menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit disalurkan pada usaha menengah yaitu 49,2 persen dan sisanya pada kredit usaha kecil 23,9 persen dan kredit usaha mikro senilai 20, 9 persen. porsi kredit bagi usaha mikro dan usaha kecil masih relatif kecil bahkan ketika tabel 1. perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah tahun 2011-2012 indikator 2011 2012 jumlah % jumlah % unit usaha usaha mikro 54.559.969 98,82 55.86.176 98,79 usaha kecil 602.195 1,09 626.418 1,11 usaha menengah 44.280 0,08 48.997 0,09 total umkm 55.206.444 99,99 56.534.592 99,99 tenaga kerja terserap usaha mikro 94.957.458 90,77 99.859.517 90,12 usaha kecil 3.919.992 3,75 4.535.970 4,09 usaha menengah 2.844.669 2,72 3.262.023 2,94 total umkm 101.722.458 97,24 107.657.509 97,16 proporsi terhadap pdb nasional harga berlaku (milyar rupiah) usaha mikro 2.579.388,4 34,73 2.951.120,6 35,81 usaha kecil 722.012,8 9,72 798.122,2 9,68 usaha menengah 1.002.170,3 13,49 1.123.325,3 13,59 total umkm 4.303.571,5 57,94 4.869.568,1 59,08 sumber: kementerian koperasi dan ukm, 2013 bagaimana peran lembaga keuangan ... (herjuna mai hatmaka) 37 dibandingkan dengan usaha menengah. menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada umkm dan usaha menengah masih didominasi sektor perdagangan, disusul industri pengolahan, dan terakhir oleh sektor pertanian, perburuan dan kehutanan masing-masing sebesar 49,0 persen, 10,5 persen, dan 8,5 persen. microcredit merupakan upaya pemberian pinjaman modal usaha dengan menggunakan sistem kredit konvensional biasa. bank nasional atau lembaga tertentu yang mendapatkan mandat pemerintah bahkan juga lembaga keuangan swasta yang mengkhususkan diri pada layanan masyarakat kecil memberikan kredit dengan menerapkan sistem microcredit ini. microcredit menjadi cara pembiayaan yang disukai karena ada unsur kepraktisan sekaligus kepastian return. konsep microfinance dikembangkan lebih akhir dibanding konsep microcredit, microfinance dirancang lebih terpadu dengan tidak sekedar pemberian dana saja namun pemberian fasilitas keuangan bagi umkm akan disertai dengan pinjaman modal, pelatihan kerja, akses pada tabungan, dan micro-insurance. (akram, 2011). versi riil microcredit indonesia adalah kredit usaha rakyat (kur) yang ditetapkan pemerintah lewat peraturan menteri keuangan no.135/ pmk.05/2008 tentang fasilitas penjaminan kredit usaha rakyat yang kemudian diubah dengan peraturan menteri keuangan no. 10/pmk.05/ 2009. kur memudahkan umkm untuk memperoleh akses modal tanpa agunan dengan bunga minimal 16 persen untuk kredit di atas 5 juta rupiah namun akan dikenakan bunga 24 persen jika pinjaman di bawah 5 juta rupiah. program kur didukung oleh 6 bank besar yaitu bri, mandiri, mandiri syariah, bukopin, bni, dan btn. (sofwan, 2012). pada kasus kur dan pnpm, bank cukup beruntung karena dapat mengenakan bunga kredit hingga 22 persen serta adanya jaminan kerugian dari pemerintah sebesar 70 persen jika terdapat kegagalan pembiayaan pertahun (peraturan menteri keuangan nomor 22/pmk.05/ 2010). jikalau tanpa jaminan pemerintah, kemungkinan kur tidak akan diberikan secara independen oleh dunia perbankan. potensi umkm memang tidak secerah potensi usaha tingkat menengah apalagi pengusaha kelas besar sehingga kredit bagi umkm dianggap kurang profitable oleh bank, meskipun begitu tidak berarti potensi umkm layak dikesampingkan karena jumlah umkm tentu lebih banyak daripada pengusaha tingkat menengah dan besar sehingga tetap ada potensi laba bagi lembaga keuangan yang bersedia menjalin kerjasama dengan umkm. celah inilah yang dimanfaatkan oleh koperasi simpan pinjam, bank perkreditan rakyat dan baitul maal wat tamwil (bmt). bmt berasal dari kata “baitul maal” yaitu rumah uang dan “baitul tamwil” yang berarti rumah infaq atau bank islam. secara lebih umum, bmt dinyatakan sebagai lembaga keuangan mikro yang beroperasi menggunakan konsep gabungan antara baitul maal dan baitul tamwil yang berorientasi sosial dan komersial. dikatakan sosial karena memiliki kegiatan utama menghimpun dan mendistribusikan dana zakat, infaq, dan shodaqoh. dikatakan komersil karena salah satu kegiatan utamanya adalah menghimpun uang dan mendistribusikannya kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil tambahan margin (zainal, 2010). dalam operasionalnya, bmt menggunakan sistem bagi hasil sebagai metode utama pembiayaan. sistem bagi hasil dianggap sebagai sistem terbaik karena lebih adil dalam membagi keuntungan dan kerugian usaha. laba dan atau rugi usaha akan dibagi berdua antara pemilik modal dan peminjam modal sesuai kesepakatan yang disepakati bersama di awal transaksi pembiayaan sehingga diharapkan tidak ada pihak yang menzolimi pihak yang lain. salah satu bmt yang cukup menonjol dalam aktivias microfinance bagi umkm adalah bmt yaqawiyyu yang terletak di kecamatan jatinom, klaten, jawa tengah. bmt yaqqawiyyu merupakan lembaga keuangan yang didirikan oleh pimpinan cabang muhammadiyah kecamatan jatinom, klaten, jawa tengah. bmt yang didirikan sejak tahun 1996 ini mampu memberikan nilai positif bagi perkembangan perekonomian di daerah jatinom dan sekitarnya. bmt yaqawiyyu memiliki jumlah nasabah berjumlah di atas 1000 orang menegaskan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bmt ini. komitmen terhadap microfinance lewat bantuan konsultasi usaha, pemberian pinjaman dengan metode kredit yang variatif dan tidak hanya mengandalkan sistem simpan pinjam konvensional jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 35-43 38 seperti layaknya bank umum juga memberikan nilai eksklusif sekaligus personal bagi hampir setiap nasabahnya. keistimewaan yang lain dari bmt yaqawiyyu terdapat pada kecepatan respon bagi keperluan nasabah serta layanan “jemput bola” yang memudahkan nasabah untuk melakukan berbagai transaksi keuangan yang dibutuhkan. beberapa studi internasional yang telah dilakukan mampu menunjukkan adanya kaitan erat antara keberadaan lembaga keuangan mikro atau disebut juga micro finance institution (mfi), yang dalam kasus ini diwakili bmt, terhadap kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan umkm atau small and medium enterprises (sme) dan kenaikan pendapatan masyarakat. oni, paiko dan ormin (2012) telah melakukan studi di nigeria yang menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro mampu mendukung peningkatan semangat enterpreneur dan mampu menjaga pertumbuhan umkm secara berkelanjutan yang selanjutnya mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dalam tingkatan nasional. meskipun begitu masih tetap ada kendala antara mfi dan sme yaitu tentang prosedur yang rumit dalam pengajuan kredit terutama keberadaan jaminan dan suku bunga yang tinggi. berbeda halnya dengan naveen k shetty (2008) dalam jurnalnya, microfinance; for micro enterprise development: an inquiry for a new paradigm menunjukkan bahwa kegagalan metode microfinance yang hanya sekedar memberi kredit saja tanpa adanya follow up lanjutan. shetty menyarankan adanya bantuan finansial sekaligus non finansial bagi masyarakat miskin yang disebut dengan pendekatan maksimalis. kata maksimalis bermaksud menggunakan kedua pendekatan finansial dan non finasial sekaligus sehingga diharapkan lebih maksimal membantu keberlanjutan usaha umkm dan bagi masyarakat miskin. adapun tujuan dari dilakukannya studi ini untuk menjelaskan kedudukan-kedudukan variabel yang akan diteliti serta hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain atau dengan kata lain untuk melihat hubungan variabel independen ketersediaan produk pembiayaan, produk tabungan dan eds terhadap variabel dependen yaitu pertumbuhan umkm. metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. studi ini dilakukan di kecamatan jatinom kabupaten klaten provinsi jawa tengah. karena keterbatasan waktu dan biaya maka pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan kuesioner dan atau sekaligus wawancara pada 113 nasabah bmt yaqawiyyu kecamatan jatinom. sementara untuk mendukung data primer diperlukan data sekunder yang didapatkan dari beberapa instansi seperti badan pusat statistik (bps) dan lain-lain. objek dalam studi ini adalah nasabah bmt yaqawiyyu yang terletak di kecamatan jatinom kabupaten klaten provinsi jawa tengah. analisis data teknik pengumulan data yang digunakan dalam studi ini adalah dengan kuisoner dan wawancara. skor (nilai) dari jawaban responden diberikan dengan lima alternatif pilihan yaitu, sangat setuju (ss) dengan skor 5, setuju (s) dengan skor 4, netral (n) dengan skor 3, tidak setuju (ts) dengan skor 2, sangat tidak setuju (sts) dengan skor 1. tingkat pengukuran adalah ordinal, di mana angka-angka yang diberikan mengandung pengertian tingkatan. sedangkan teknik pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan dua metode. metode pertama adalah wawancara yang dilakukan untuk mengisi kuesioner. nasabah bmt banyak yang berasal dari pedagang atau pengusaha kecil sehingga kadang aktivitas pengisian kuesioner mengalami kendala berupa ketidakmampuan dalam memahami butir-butir kuesioner. ketika terjadi kesulitan ini, maka teknik wawancara harus dilakukan. metode wawancara yang kedua sengaja dikhususkan untuk mendapatkan data secara mendalam sebagai data kualitatif pendukung dari data kuantitatif kuesioner pelaksanaan wawancara ini dilakukan secara terstruktur dengan jawaban yang bersifat terbuka kepada responden. wawancara dilakukan secara random terhadap pengusaha tingkat mikro maupun pengusaha tingkat kecil hingga pengusaha tingkat menengah dengan harapan mampu bagaimana peran lembaga keuangan ... (herjuna mai hatmaka) 39 memberikan gambaran riil kondisi ekonomi responden secara umum. variabel dependen dari studi ini adalah pertumbuhan umkm m (y), yaitu nilai yang digambarkan dari tingkat kenaikan kesejahteraan peminjam dana, baik itu diukur dari pendapatan, jumlah tabungan dan kelancaran pengembalian pinjaman. sementara variabel independen yang digunakan ada tiga yaitu diantaranya; 1) ketersediaan produk pembiayaan (x1); 2) ketersediaan tabungan (x2); 3) ketersediaan enterprise development services (x3), pelatihan usaha dan bantuan usaha atau enterprise development services (eds) atau business development services) (x3). metode yang digunakan bmt cukup fleksibel disesuaikan dengan budaya masyarakat sekaligus penyesuaian dengan segmen umkm yang disasar sehingga bentuk pelayanan ini cukup beragam. uji kualitas data uji validitas. berdasarkan uji validitas yang dilakukan, hasil studi dikatakan valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (ghozali, 2002:135). uji validitas dilakukan dengan pearson product moment yang digunakan untuk menghitung nilai korelasi antar masing-masing skor butir jawaban dengan skor total dan butir jawaban dengan taraf signifikasi 5%. jika r hitung > r tabel, maka h0 ditolak yang artinya variabel tersebut valid tetapi sebaliknya jika r hitung < r tabel maka h0 diterima yang artinya variabel tidak valid. uji validitas menggunakan rumus sebagai berikut: (umar, 2003). uji reliabilitas. hasil studi dikatakan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. butir pertanyaan yang diuji reliabilitasnya adalah butir-butir yang lolos dalam pengujian validitas. uji reliabilitas menggunakan metode pengujian alpha cronbach. semakin besar nilai alpha yang dihasilkan berarti butir-butir pertanyaan dalam quesioner semakin reliabel. adapun reliabilitas dalam studi ini diuji dengan menggunakan uji cronbach alpha dengan ketentuan apabila nilai cronbach alpha > 0,6, instrumen pengukuran dikatakan reliabel (ghozali, 2002). analisis regresi linier dalam analisa regresi, pola hubungan antar variabel diekspresikan dalam sebuah persamaan regresi yang diduga berdasar data sampel. untuk menduga pengaruh variabel kemudahan pembiayaan, adanya tempat menabung, adanya business development services yang disediakan oleh bmt bagi pertumbuhan umkm, dapat dinyatakan sebagai berikut: y = f (x1, x2, x3) 1) di mana: y adalah variabel pertumbuhan umkm; x1 adalah variabel ketersediaan produk pembiayaan; x2 adalah ketersediaan tabungan; x3 adalah business development services untuk kemudian dilakukan regresi berganda dengan ordinary least square (ols) menjadi: y = β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + e 2) dengan keterangan variabel: β0 adalah: konstanta persamaan pertumbuhan umkm; β1, β2, β3 adalah koefisien masing-masing variabel independen; dan e adalah error term uji asumsi klasik uji multikolinearitas. pengujian terhadap ada tidaknya multikolinearitas dilakukan dengan uji variance inflation factor (gujarati, 2003). jika suatu variabel memiliki vif < 10, maka variabel bebas tersebut tidak memiliki multikolinearitas denga variabel bebas yang lain. uji heteroskedastisitas. ada beberapa cara untuk melihat perilaku error term yaitu dengan melihat grafik scatterplot yaitu grafik nilai y disekitar garis regresi linear. jika ada pola tertentu dan teratur dari titik-titik yang ada maka dikatakan model mengalami heteroskedastisitas. jika pola titik tidak berbentuk, maka model tidak mengalami heteroskedastisitas. uji statistik uji f. dilakukan untuk menguji pengaruh seluruh variabel independen berpengarih terhadap variabel dependennya secara serentak. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 35-43 40 kriteria uji yang digunakan: 1) menentukan formulasi hipotesis h0 : β1 = β2 = β3 = 0 (variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara serentak) ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠β4 ≠ 0 (variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara serentak) 2) menentukan level of significance α 3) kesimpulan, jika nilai f hitung > f tabel, maka h0 ditolak. hal ini menyatakan bahwa semua variabel independen yang diteliti secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap varabel y sedangkan jika f hitung < f tabel maka h0 diterima sehingga semua variabel independen yang diteliti secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara individula terhadap variabel dependen. uji t. untuk menguji variabel secara individual dilaukan uji t. uji t ini juga memberikan informasi tentang signifikasi koefisien regresi tiap variabel. langkah uji hipotesisnya: 1) menentukan formulasi hipotesis h0: βn = 0 (masing-masing variabel x tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel y) ha : βn ≠ 0 (masing-masing variabel x secara individu memberi pengaruh yang signifikan terhadap variabel y) 2) menentukan level of significance α 3) kesimpulan, jika nilai t hitung > t tabel, maka h0 ditolak. hal ini menyatakan bahwa variabel yang diteliti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap varabel y sedangkan jika t hitung < t tabel maka h0 diterima sehingga variabel independen yang diteliti tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara individu terhadap variabel dependen. hasil dan pembahasan dalam studi tentang manfaat lembaga bmt bagi pertumbuhan umkm di jatinom, klaten, jawa tengah digunakan uji validitas dan uji reliabilitas. uji validitas dalam studi ini digunakan untuk menguji pertanyaan yang digunakan pada kuisoner apakah dapat mengukur dengan cermat atau tidak yang hendak diukur. setelah dilakukan pengujian validitas pada variabel pertumbuhan umkm dinyatakan variabel dependen (y) valid dan dinyatakan mampu dalam mengukur dengan pasti tingkat pertumbuhan umkm. sementara hasil uji validitas pada variabel independen yaitu ketersediaan produk pembiayaan, ketersediaan tabungan dan enterprise development services (eds) terhadap pertumbuhan umkm dinyatakan valid karena skor item berkorelasi dengan skor total baik dari nilai sig < 0,05 sekaligus dari rhitung > rtabel (0,361). sementara untuk uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan nilai cronbach alpha. kalkulasi nilai cronbach alpha dari tiap variabel menggunakan bantuan program spss 20 dan batas kritis nilai alpha untuk mengidentifikasikan kuesioner yang reliable adalah 0,60, jadi nilai cronbach alpha harus lebih besar dari 0,60. nilai tersebut merupakan indikator bahwa kuesioner adalah reliable/handal. nilai cronbach alpha atau koefisien alpha hasil dari perhitungan pretest menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai nilai cronbach alpha lebih dari 0,6 sehingga kuesioner dinyatakan reliabel untuk dipakai dalam studi. uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. hasil pengujian multikolinearitas pada responden menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model regresi karena nilai vif selalu lebih besar dari 10. uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. adapun hasil uji heteroskedastisitas dengan metode park menunjukkan bahwa ho diterima dan model studi dinyatakan bebas dari heteroskedastisitas. analisa regresi linear uji regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dependen dan independen. bentuk persamaan regresi linier berganda dalam studi ini adalah: y = c + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e 3) bagaimana peran lembaga keuangan ... (herjuna mai hatmaka) 41 dengan variabel y adalah tingkat pertumbuhan usaha kecil dan menengah, x1 adalah ketersediaan produk pembiayaan, x2 adalah variabel ketersediaan tabungan dan x3 adalah variabel enterprise development services (eds). adapun hasil uji regresi linier berganda pada studi ini disajikan dalam tabel 3. hasil uji regresi menunjukkan bahwa semua variabel bebas signifikan pada α =10% (0,1) dan dari hasil regresi diperoleh persamaan sebagai berikut: y = 0,180 + 0,305 x1 + 0,478 x2 + 0,151 x3 + e 4) nilai koefisien variabel ketersediaan produk pembiayaan (x1) adalah 0,305. koefisien variabel x1 bernilai positif maka ketersediaan pembiayaan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan umkm (y) di jatinom, klaten. koefisien variabel ketersediaan tabungan (x2) adalah 0,478 berarti ketersediaan tabungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan umkm (y). nilai koefisien variabel enterprise development services (x3) adalah 0,151 sehingga variabel enterprise development services berpengaruh positif terhadap pertumbuhan umk (y). adanya layanan pembiayaan atau lebih populer dikenal dengan kredit terbukti memberikan manfaat bagi umkm. kebutuhan akan pembiayaan lebih cenderung dijadikan tambahan modal baik itu berupa kebutuhan cash flow, menambah stok barang usaha, modal memperbesar usaha, dan menambah alat atau fasilitas pendukung usaha. seiring dengan kegunaan yang banyak tersebut maka tidak mengherankan ketika keberadaan pembiayaan sangat mendukung kemajuan umkm. hasil yang sedikit mengejutkan adalah ternyata reponden beranggapan bahwa tabungan memberikan nilai positif bagi pertumbuhan usaha umkm. nasabah bmt ternyata sangat peduli terhadap tabungan, sebagian besar dari mereka menjadikan tabungan sebagai kebiasaan untuk hidup lebih teratur dalam pengelolaan uang, untuk menjaga kelangsungan usaha, serta menjaga aliran modal lebih teratur dan terjaga. pihak bmt memiliki andil besar dalam membiasakan masyarakat untuk menabung. marketing bmt mampu mendidik masyarakat untuk menyisihkan penghasilan mereka dalam wujud tabungan, masyarakat juga dimudahkan karena bmt mendatangi langsung tiap nasabah di hampir setiap hari kerja untuk melayani setiap kebutuhan nasabah dan juga calon nasabah. hasil studi ini menunjukkan bahwa eds mampu memberikan manfaat positif bagi nasabah. pemberian bantuan usaha dengan berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan nasabah tentu lebih mengena pada permasalahan usaha yang dihadapi setiap nasabah sehingga manfaatnya pun juga akan lebih mudah dirasakan oleh nasabah. meskipun begitu, keterbatasan dari pihak bmt dalam memberikan segala bantuan bagi nasabah umkm tetap akan menjadi kendala penerapan eds yang lebih merata pada semua nasabah umkm. pengujian terhadap uji statistik f diperoleh nilai fhitung sebesar 22,419 dan tingkat probabilitas sebesar 0,000. dengan taraf signifikansi 95 % (α = 5 %) dan derajat kebebasan (df2 = n k = 113 4 = 109), maka diperoleh nilai f tabel sebesar 2,6802. artinya ada pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. tabel 3. hasil uji regresi linier variabel b t hitung sig kesimpulan konstanta 0,180 0,390 0,697 pembiayaan (x1) 0,305 3,312 0,001 signifikan pada α 1% tabungan (x2) 0,478 4,599 0,000 signifikan pada α 1% eds (x3) 0,151 1,777 0,078 signifikan pada α 10% f hitung 22,419 sig f 0,000 r square 0,365 pertumbuhan umkm (y) varibel dependen jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 35-43 42 koefisien determinasi (r2) berguna untuk mengukur kemampuan model dalam menerangkan variabel independent. nilai adjust r square adalah sebesar 0,382, hal ini menunjukkan 38,2 persen variasi pertumbuhan umkm di jatinom, klaten, jawa tengah dijelaskan oleh variasi dari variabel bebas ketersediaan pembiayaan, ketersediaan tabungan dan eds. sedangkan sisanya 61,8 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model penelitian ini. studi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat keberadaan produk dan layanan bmt bagi kemajuan usaha nasabahnya. seperti kita sudah ketahui, produk dan layanan bmt cukup beragam seperti berbagai macam tabungan, pembiayaan, layanan pembayaran, layanan pengurusan zakat, infaq, shodaqah, layanan pendampingan dan konsultasi usaha, dan pemberian bantuan hibah. produk dan layanan bmt akan semakin fleksibel sesuai dengan permintaan pasar yang dihadapi. dalam studi ini bmt yaqawiyyu berposisi pada lembaga keuangan yang memberikan bantuan finansial yang bekerjasama dengan majelis ekonomi muhammadiyah cabang jatinom untuk mendukung sisi bantuan non finansial (eds) oleh bmt yaqawiyyu dalam satu paket bantuan finansial integrated approach of microfinance yang terdiri dari gabungan bantuan finansial dan non finansial (eds). kerjasama ini memberikan tambahan pengetahuan, skill dan bantuan usaha bagi umkm yang menjadi nasabah bmt yaqawiyyu. nilai tambah juga didapatkan oleh bmt yaqawiyyu berupa naiknya jumlah pembiayaan, faktor kenaikan loyalitas dan faktor promosi, serta faktor yang bersifat jangka panjang seperti kemungkinan naiknya jumlah bagi hasil seiring dengan semakin besarnya cakupan usaha nasabah. simpulan berdasarkan hasil studi di atas dapat disimpulkan bahwa: pertama, keberadaan produk pembiayaan yang disediakan oleh bmt yaqawiyyu mampu memberikan manfaat yang positif dan signifikan bagi pertumbuhan umkm nasabahnya. variabel ketersediaan produk pembiayaan menempati rangking kedua setelah variabel tabungan. responden lebih tidak mengandalkan pembiayaan melebihi tabungan untuk mendukung usaha mereka; kedua, keberadaan produk tabungan yang disediakan oleh bmt yaqawiyyu mampu memberikan manfaat yang positif dan signifikan bagi pertumbuhan umkm nasabahnya. di antara ketiga variabel independen yang diteliti, tabungan merupakan variabel yang dianggap paling penting bagi rata-rata responden; ketiga, keberadaan enterprise development services yang disediakan oleh bmt yaqawiyyu mampu memberikan manfaat yang positif dan signifikan bagi pertumbuhan umkm nasabahnya. walaupun menempati peringkat ketiga dibanding dengan variabel independen lain, eds masih dianggap memberikan peran positif bagi umkm. keterbatasan tenaga ahli dan beragamnya kebutuhan bentuk eds oleh nasabah bmt menjadikan eds belum bisa maksimal memenuhi harapan responden. eds merupakan layanan nonfinansial yang mempunyai unsur sosial sehingga hanya bmt yang memiliki komitmen sosial yang bersedia melakukannya; keempat, pembiayaan atau kredit merupakan cara bmt atau bank umum untuk memperoleh laba namun produk pembiayaan bagi nasabah bukanlah prioritas tertinggi untuk menunjang usaha sehingga bmt perlu juga mengembangkan variasi lain produk atau layanan sebagai alternatif lain untuk memperoleh laba; kelima, urutan strategi marketing bmt sesuai dengan prioritas yang dipilih oleh sampel nasabahnya. menabung adalah produk bmt yang paling dianggap penting bagi responden sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat bergabung dengan bmt karena motif menabung. variasi tabungan yang lebih banyak dan disesuaikan dengan kebutuhan nasabah akan membuka peluang memperoleh dana pihak ketiga yang lebih besar; keenam, bmt perlu mempertimbangkan memberi layanan yang bersifat non finansial atau disebut eds. nasabah yang berprofesi sebagai pengusaha menyatakan bahwa eds memberikan dampak positif bagi usaha yang dijalankannya. bagi pihak bmt, eds bisa dilakukan oleh bmt sendiri atau dengan cara kerjasama dengan lembaga sosial yang lebih kompeten; ketujuh, bmt menyediakan juga layanan eds yang bertujuan memberikan kemudahan bagi nasabah dari sisi non finansial. ketika bmt membebagaimana peran lembaga keuangan ... (herjuna mai hatmaka) 43 rikan trainng usaha atau pendampingan usaha atau konsultasi usaha dan sejenisnya, konsumen hendaklah mampu memaksimalkan layanan tersebut untuk menambah pengetahuan, keterampilan dan jaringan usaha; kedelapan, masyarakat dapat memilih bmt dibanding bank umum dengan pertimbangan bahwa bmt memilik fleksibilitas dalam hampir segala produk dan layanan. daftar pustaka akram, m. (2011). the role of microfinance in uplifting income level: a study of district okara – pakistan. interdiciplinary journal of contemporary research in business vol 2 march 2011. badan pusat statistik. (2008). hasil sensus ekonomi 2006, perusahaan menengah dan besar. jakarta: badan pusat statistik. badan statistik indonesia. (2013). jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks kedalaman kemisinan (p1), dan indeks keparahan kemiskinan (p2) menurut provinsi, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php ? tabel=1&id_subyek=23¬ab=1 diakses tanggal 29-1-2013 05:40 am. badan pusat statistik indonesia. (2013). survei industri mikro dan kecil 2013; profil industri mikro dan kecil 2013. jakarta: badan pusat statistik. badan pusat statistik kabupaten. (2012). kecamatan jatinom dalam angka tahun 2012. klaten: badan pusat statistik: kabupaten klaten. badan pusat statistik kabupaten. (2012). klaten dalam angka tahun 2012. klaten: badan pusat statistik kabupaten klaten. basargekar, p. (2009). economic empowerment through microfinance, an assessment of csr activity run by forbes marshall ltd: india. ghozali,imam. (2002). aplikasi analisis multi variat dengan program spss. semarang: badan penerbit universitas diponegoro. gujarati, damodar. (2003). ekonometri dasar. terjemahan: sumarno zain. jakarta: erlangga. hasan, s. (2013). pidato menteri koperasi dan usaha kecil menengah syarif hasan pada pertemuan micro-multinational, smes go global pada tanggal 5 september 2013 di nusa dua bali. oni, e.o. (2012). assessment of the contribution of micro finance institutions (mfis) to sustainable growth of small and medium enterprises (smes) in nigeria”. interdisciplinary journal of contemporary research in business voll 3 no 9. peraturan menteri keuangan nomor 22/ pmk.05/2010, fasilitas penjaminan kredit usaha rakyat. shetty, n. k. (2008). microfinance; for micro enterprise development: an inquiry for a new paradigm. cfai journal of financial economics, vol. vi, no. 1, 2008. sofwan, a. (2012). peranan kredit usaha rakyat terhadap pengembangan umk di kecamatan gebang kabupaten langkat (studi kasus: bank bri kecamatan gebang). skripsi. medan: program studi ekonomi pembangunan universitas sumatera utara. zainal, m.y. (2010). peran koperasi bmt amanah madina dalam pengembangan usaha kecil di desa ngeni kecamatan waru-sidoarjo. skripsi. jawa timur: fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas pembangunan nasional “veteran”. microsoft word 01-sri suharsih jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012, hlm.1-11   daya saing produk ekspor di era perdagangan bebas sri suharsih dan asih sriwinarti fakultas ekonomi universitas pembangunan nasional “veteran” yogyakarta jalan swk 104 (lingkar utara) condongcatur depok sleman yogyakarta, 55283 telp. +62 274 486733 e-mail: asiheko.yahoo.com abstract: efforts to improve the competitiveness of export products industry is one of the challenges faced by the province of yogyakarta in the era of trade liberalization. therefore this study aims to determine the potential and competitiveness of export products yogyakarta province. by using the analysis location quotient (lq), yogyakarta province has six subbase in the industrial sector of food beverages and tobacco industry, textile industry, leather goods and footwear, manufacture of wood and other products of wood, paper and printing industry, manufacture of cement and non-metal mineral goods and other goods industry. based on shift share analysis, industry sectors that have the largest share of growth in the diy pdrb is the food industry sub-sectors, textiles and leather goods, and craft industries. while it is based on the analysis comparative revealed advantage (rca) and the specialization index, known to export products that have good prospects for the future and is highly competitive tanning and dressing of leather, wood and products of wood and woven goods, and textile and textile goods. keywords: daya saing ekspor, perdagangan bebas, shift share, location quotient abstrak: upaya peningkatan daya saing industri produk ekspor merupakan salah satu tan¬tangan yang harus dihadapi oleh provinsi yogyakarta dalam era liberalisasi perdagangan. penelitian ini bertujuan mengetahui potensi dan daya saing produk ekspor provinsi yogyakarta. dengan menggunakan analisis location quotient (lq) provinsi yogyakarta mempunyai enam subsektor basis pada sektor industri yaitu industri makanan minuman dan tembakau, industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, industri kayu dan barang dari kayu lainnya, industri kertas dan barang cetakan, industri semen dan barang galian bukan logam, serta industri barang lainnya. berdasarkan analisis shift share, sektor industri yang mempunyai pangsa terbesar bagi pertumbuhan pdrb di yogyakarta adalah subsektor industri makanan, tekstil dan barang dari kulit, serta industri kerajinan. sementara itu berdasarkan analisis revealed comparatif advantage (rca) dan indeks spesialisasi, diketahui produk ekspor yang mempunyai prospek baik di masa datang dan berdaya saing tinggi adalah kulit dan barang dari kulit, kayu, barang dari kayu dan barang anyaman, serta tekstil dan barang dari tekstil. kata kunci: daya saing ekspor, perdagangan bebas, shift share, location quotient pendahuluan provinsi daerah istimewa yogyakarta (diy) merupakan salah satu provinsi yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan. banyak tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan tersebut di antaranya adalah adanya liberalisasi perdagangan atau pasar bebas yang berlangsung sangat cepat dan meluas. dalam kaitannya dengan liberalisasi perdagangan, provinsi diy menghadapi dua tantangan yaitu pertama, upaya peningkatan daya saing industri produk ekspor melalui peningkatan efisiensi dan pembangunan keunggulan kompetitif yang pada gilirannya akan dapat memperkokoh pertumbuhan ekonomi daerah. kedua, pesatnya perkembangan teknologi di bidang industri perdagangan telah jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 1-11 2 mengubah pandangan konsumen sebagai pengguna produk akhir industri yang saat ini cenderung selektif dalam memilih produk, yaitu produk yang berkualitas dan aman dikonsumsi atau digunakan. di samping itu, tantangan lain yang juga harus dihadapi adalah diberlakukannya berbagai standar nasional dan internasional seperti iso 9000, iso 14000, ecolabelling, dan haki yang cenderung menyebabkan pasar menjadi resisten dan protektif, serta masih adanya iklim usaha yang kurang kondusif. dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan terkait adanya liberalisasi perdagangan, maka kinerja, potensi dan daya saing sektor usaha yang terkait dengan keadaan tersebut seperti perlu ditingkatkan. peningkatan daya saing mutlak dilakukan baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. khususnya untuk pasar luar negeri, indonesia dan provinsi diy tidak bisa menghindar dari banyaknya kesepakatan perdagangan internasional yang sudah disepakati dan hal ini sudah menjadi konsekuensi logis negara yang terlibat di dalamnya. kesepakatan perdagangan internasional sifatnya ada yang multilateral (wto), regional (afta, apec, china-afta, korea_afta, australia-afta, new zealand-afta, indiaafta dan sebagainya) serta bilateral (ij-epa, indonesia-pakistan, indonesia-iran dan sebagainya). dalam rangka pelaksanaan pasar bebas, indonesia telah banyak terlibat dalam berbagai perjanjian dagang free trade area (fta), hal tersebut tentunya merupakan peluang pasar bagi produk ekspor potensial daerah-daerah di indonesia termasuk provinsi daerah istimewa yogyakarta. cakupan kerja sama kesepakatan perdagangan internasional yang disepakati meliputi perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi dan kerja sama teknik. harapan yang dari adanya kesepakatan tersebut antara lain adalah terbukanya akses pasar produk barang dan jasa, terpenuhinya bahan baku, bahan penolong dan barang modal, investasi, daya saing, dan peningkatan daya beli. khusus dalam kesepakatan perdagangan barang, beberapa hal yang diatur antara lain meliputi penurunan/penghapusan tarif bea masuk, kriteria asal barang dan penghapusan hambatan perdagangan non tarif. sebenarnya kesepakatan perdagangan internasional ini banyak memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, apabila kondisi masingmasing negara yang menandatangani kerjasama mempunyai tingkat daya saing yang sama. melalui berbagai kesepakatan perdagangan internasional yang disepakati akan tercipta persaingan yang ketat dan berdaya saing sehat, pertanyaan besar yang muncul adalah: “mampukah provinsi diy memanfaatkan keterbukaan pasar internasional dan mampu bersaing di pasar global?. jika tidak mampu maka provinsi diy hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar produk dunia. berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirasa perlu untuk mengetahui bagaimanakah daya saing produk ekspor diy dalam menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut. dengan mengetahui tabel 1. daftar fta yang melibatkan indonesia no nama perjanjian 1 asean free trade area 2 asean–australia and new zealand free trade agreement 3 asean–india regional trade and investment area 4 asean–korea cmprehensive economic cooperation agreement 5 asean–japan comprehensive economic partnership 6 japan-indonesia economic partnership agreement 7 asean–china comprehensive economic cooperation agreement 8 asean-eu free trade area 9 comprehensive economic partnership for east asia 10 east asia free trade area 11 india-indonesia comprehensive economic cooperation arrangement 12 indonesia-australia free trade agreement 13 indonesia-european free trade agreement 14 pakistan-indonesia free trade agreement 15 united states-indonesia free trade agreement sumber : adb, 2010 daya saing produk ekspor (sri suharsih dan asih sriwinarti) 3 daya saing maka diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan strategi serta solusi pengembangan pasar produk ekspor provinsi diy dalam rangka menghadapi pasar bebas. tinjauan pustaka. daya saing perekonomian. krugman dan obsfeld (2006) berpendapat bahwa kemakmuran nasional dapat diperoleh melalui perdagangan internasional yang memberi manfaat saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang menjual maupun pihak yang membeli. liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk suatu negara di pasar global. daya saing negara tergantung dari kapasitas industri negara tersebut untuk terus berinovasi dan berkembang. perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, reformasi politik, sistem keuangan, dan investasi. pengembangan daya saing perkembangan konsep daya saing menurut cho dan moon (2006) di mulai dari pandangan merkantilisme yang memandang perdagangan sebagai suatu zero sum game, dengan surplus perdagangan sebuah negara diimbangi dengan defisit negara lain. namun adam smith memandang perdagangan sebagai positive sum game dngan semua mitra yang berdagang dan memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi barangbarang yang memiliki keunggulan absolut, karena itu adam smith mendukung individualisme dan perdagangan bebas karena merupakan positive game. dalam hal ini persaingan adalah sangat penting. persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan. kebijakan pemerintah yang paling penting adalah menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. perdebatan tentang keunggulan komparatif diawali oleh ricardian, sebuah negara yang superior mungkin tidak memperoleh manfaat dari perdagangan internasional. implikasi penting dari teori keunggulan komparatif adalah sekalipun sebuah negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam barang apapun, suatu negara masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional yang disebut keunggulan komparatif. keunggulan komparatif melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik antarindividu, antarwilayah, maupun antarnegara. model perdagangan ricardian merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang melakukan transaksi perdagangan. berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside in approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal proses penyusunan strategi. konsep yang disusun prahalad dan hamel lebih cenderung inside-out. daya saing dalam jangka panjang diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost dan more speedily dari pesaing. the core competence dapat menghasikan produk baru yang tidak diantisipasi sebelumnya sumber utama untuk membangun core competence adalah kemampuan manajemen untuk mengkonsolidasi corporate wide technologies dan production skills menjadi kompetensi. core competence yang dimaksud harus memenuhi 3 persyaratan dasar yaitu: (1) menyediakan akses potensial ke pasar yang bervariasi luas, (2) membuat kontribusi nyata untuk membuat product benefit seperti yang diharapkan konsumen, (3) more competence seharusnya. sulit di tiru oleh pesaing. untuk membangun competence diperlukan proses perbaikan yang berkelanjutan yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk manajemen termasuk manajemen puncak. daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini, dan dapat diproyeksikan ke masa depan. daya saing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu bergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku permintaan, dan kemampuan dasar industri di negara bersangkutan. menciptakan daya saing perdagangan di saat sebuah negara membuka diri dan lebih agresif dalam menerapkan konsep pasar bebas jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 1-11 4 maka pada saat itu pula negara tersebut dapat menjadi pemenang ataupun korban globalisasi. hasil akhirnya sangat bergantung kesiapan negara itu sendiri dan langkah-langkah yang diambil dalam menghadapi persaingan bebas tersebut. di samping peran para pedagang dan industri atau pengusaha dalam menciptakan keunggulan produk dan proses, diperlukan juga peran aktif pemerintah melalui penerapan strategi-strategi perdagangan yang terintegrasi. 1. wto dan rezim perdagangan lainnya. peraturan-peraturan yang diterapkan oleh wto dan rezim perdagangan lainnya, seperti afta atau perjanjian perdagangan bilateral, harus menjadi payung dalam rangka peningkatan daya saing perdagangan nasional. walau bagaimana pun, sebagai anggota dari badan dunia seperti wto dan sebagai negara yang telah menandatangani atau meratifikasi perjanjian perdagangan, kita wajib untuk menciptakan dan meningkatkan daya saing tanpa harus melanggar koridor yang ada. 2. infrastructure supply chain. sektor perdagangan tidak dapat terlpeas dari berfungsinya faktor rantai suplai (supply chain), bahkan pada kebanyakan jenis produk keunggulan produk termajinalisasi oleh buruk ataupun mahalnya rantai suplai ini. oleh karena itu, salah satu pilar paling utama untuk menciptakan daya saing perdagangan adalah adanya infrastructure supply chain yang memadai dan berfungsi dengan optimum. dua hal pokok dalam infrastructure supply chain ialah: (a) tersedianya jaringan transportasi yang efisien dan efektif; (b) tersedianya sarana pendukung yang memudahkan transaksi barang dan jasa antara pembeli dan penjual. standardisasi dan sertifikasi standardisasi dan sertifikasi menjadi sangat penting untuk mengurangi kesenjangan dalam interpretasi terhadap kualitas dan representasi dari barang dan jasa yang diperdagangkan. umumnya, pihak pembeli adalah yang menetapkan standar tersebut dan pihak penjual wajib memenuhi standar yang diminta apabila ingin mendapatkan nilai wajar (fair value) dari barang yang dijual. standar di sini dapat berbentuk fisik barang, kemasan, atau bentuk non-fisik lain. untuk produk-produk ekspor tertentu yang belum ada standar internasional, segera diperlukan adanya standar yang ditentukan bersama antara negara asal barang dan negara tujuan barang (bilateral atau multilateral bila menyangkut beberapa negara anggota perdagangan). di samping penerapan standar, daya saing juga dapat tercipta melalui adanya sertifikasi. dalam hal ini, sertifikasi menjadi kepanjangan tangan dan realisasi dari penerapan standar itu sendiri. infrastruktur informasi dan permodalan (capital) pilar ketiga dalam rangka peningkatan daya saing ialah perlunya sarana pendukung yang memudahkan tersedianya informasi dan permodalan. salah satu syarat penting dalam penyediaan informasi adalah dalam bentuk tersedianya sarana tukar-menukar informasi. hal ini dapat terfasilitasi dengan bagus dengan penerapan teknologi, seperti edi (electronic data interchange), intranet, dan extranet. adanya teknologi seperti ini memungkinkan untuk menghindari duplikasi, bekerja dengan menggunakan database yang sama, dan menarik interpretasi yang sinkron antara pihak yang bertransaksi. dengan adanya kemudahan dan transparansi ini, waktu untuk proses dokumentasi dan verifikasi dapat dipotong. peraturan dan kebijakan pilar keempat dalam peningkatan daya saing perdagangan berada di tangan pemerintah dan regulator, tepatnya dalam bentuk penerapan peraturan dan kebijakan yang mendukung dan mendorong perdagangan. pilar keempat ini sebenarnya menopang pilar-pilar yang lain karena pada dasarnya menjadikan tiga pilar pertama berfungsi dengan baik diperlukan peraturan dan kebijakan. best practice dan pengembangan kemampuan perdagangan pada akhirnya semua pilar dan payung yang tertulis di atas tidak akan berfungsi tanpa adanya fondasi yang kuat. dalam mening daya saing produk ekspor (sri suharsih dan asih sriwinarti) 5 katkan daya saing perdagangan, fondasi tersebut adalah kemauan produsen barang atau jasa untuk mengadopsi best practice dan secara konsisten melakukan peningkatan kemampuan perdagangan. metode penelitian data dan sumber data data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data sekunder dan data primer. data sekunder di peroleh dari laporan/publikasi pihak-pihak terkait terutama bappeda provinsi daerah istimewa yogyakarta, bps, serta dinas perindustrian dan perdagangan kabupaten/kota serta provinsi. data primer diperoleh dari pelaku usaha perdagangan ekspor di provinsi daerah istimewa yogyakarta. alat analisis metode analisis data yang akan digunakan dalam kajian ini adalah analisis diskriptif kuantitatif dan kualitatif. penggunaan analisis diskriptif (descriptive analysis) dimaksudkan untuk menyajikan atau mendiskripsikan data sekunder. sebelum dianalisis tentang daya saing produk ekspor provinsi diy maka terlebih dahulu akan dianalisis potensi produk ekspor diy. analisis deskriptif kuantitatif untuk potensi meliputi analisis location quetion (lq), analisis shift share (ss), analisis potensi berdasarkan one village one product (ovop), sementara untuk daya saing digunakan analisis revealed comparative advantage (rca), dan indeks spesialisasi perdagangan (isp) (1) analisis potensi (a) location quetion (lq). analisis lq merupakan analisis untuk menunjukkan basis produk berdasarkan kriteria kontribusi. analisis ini dimaksudkan untuk melihat keunggulan komparatif produk ekspor provinsi diy dibandingkan dengan indonesia. lq = keterangan: lq adalah nilai location quotient, x adalah variabel yang diamati, r adalah wilayah dengan area lebih sempit, i adalah sektor/ subsektor/produk, n adalah wilayah dengan area lebih luas (b) shift share. analisis shift share digunakan untuk melihat kontribusi produk andalan ekspor gj = ejt – ejo = (nj + pj + dj) nj = ejo (et/eo) – ejo (p+d)j = ejt – (et/eo) ejo = (gj – nj) pj = ∑i [(eit/eio) – (et/eo)] eijo nj = ∑t [ejit – (eit/eio) eijo] = (p+d)j – pj dimana: gj adalah pertumbuhan produk total, nj adalah komponen share, (p+d)j adalah komponen net shift daerah j, dj adalah differential shift daerah j, ej adalah produk total daerah j, e adalah produk total nasional (wilayah referensi), oit adalah periode awal dan akhir, i adalah subskrip sektor pada produk, j adalah subskrip daerah studi analisis daya saing revealed comparative advantage (rca) rca = . . keterangan: xa.x adalah nilai ekspor produk a negara x, xx adalah nilai total ekspor negara x, xa.z adalah nilai impor produk a dunia, xz adalah nilai total impor dunia (a) indeks spesialisasi (isp) isp = keterangan: x adalah nilai ekspor, m adalah nilai impor hasil dan pembahasan potensi berdasarkan analisis lq analisis lq dimaksudkan untuk melihat keunggulan komparatif provinsi diy dibanding jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 1-11 6 kan dengan indonesia. berdasarkan analisis lq, provinsi diy mempunyai 6 (enam) subsektor basis pada sektor industri. subsektor basis merupakan subsektor yang mempunyai koefisien lq > 1, artinya subsektor tersebut sangat bagus untuk di kembangkan dan lebih terspesialisasi dibandingkan sektor yang sama di tingkat nasional, dengan kata lain merupakan subsektor unggulan sektor industri di provinsi diy. adapun yang merupakan subsektor basis sektor industri di diy adalah subsektor (1) industri makanan minuman dan tembakau, (2) industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, (3) industri kayu dan barang dari kayu lainnya, (4) industri kertas dan barang cetakan, (5) industri semen dan barang galian bukan logam, (6) industri barang lainnya. sementara itu industri yang bukan merupakan subsektor basis mempunyai nilai lq < 1, artinya kedua subsektor tersebut bukan subsektor basis dan kurang potensial dibandingkan dengan subsektor di tingkat nasional adalah: subsektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet, serta industri alat angkutan, mesin dan peralatan. berdasarkan analisis lq tersebut dapat disimpulkan bahwa subsektor basis sektor industri di provinsi diy adalah subsektor makanan, industri tekstil, dan industri kerajinan. di sektor perdagangan, hotel dan restoran di diy terdapat 2 (dua) subsektor unggulan yang lebih terspesialisasi, yaitu subsektor hotel dan subsektor restoran, merupakan subsektor terbesar dalam sektor perdagangan, hotel dan restoran. sedangkan yang nilai koefisien lq < 1 artinya bukan subsektor basis adalah perdagangan besar dan eceran. potensi berdasarkan analisis shift share berdasarkan analisis shift share, sektor industri yang mempunyai share terbesar bagi pertumbuhan pbrb di diy adalah subsektor industri makanan, tekstil dan barang dari kulit, serta industri kerajinan. untuk industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki mempunyai rata-rata sumbangan sebesar 19,55 persen terhadap pdrb. tidak jauh berbeda dengan industri kayu dan barang dari kayu lainnya yang merupakan subsektor andalan, menyumbang pdrb rata-rata sebesar 12,87 persen. kemudian untuk industri kertas dan barang cetakan di provinsi diy hanya mempunyai sumbangan pdrb rata-rata sebesar 5,38 persen. sedangkan untuk industri pupuk kimia dan barang dari karet yang bukan termasuk subsektor industri andalan karena rata-rata nilai kontribusinya sebesar 5,53 persen. untuk industri semen dan barang galian bukan logam mempunyai kontribusi rata-rata sebesar 5,26. industri logam dasar besi dan baja mempunyai kontribusi nol. industri alat angkutan mesin dan peralatan hanya mempunyai rata-rata kontribusi sebesar 8,58 persen. sedangkan untuk industri barang lainnya mempunyai sumbangan rata-rata sebesar 7,06 persen. pada subsektor perdagangan besar dan eceran yang bukan merupakan subsektor potensial mempunyai sumbangan terhadap tabel 2. sektor potensial berdasarkan indeks lq lapangan usaha 2006 2007 2008 2009 2010 rata-rata industri non migas 1 makanan, minuman dan tembakau 1,25 1,24 1,21 1,37 1,31 1,27 2 tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 1,69 1,74 1,85 1,81 1,87 1,79 3 kayu dan barang dari kayu lainnya 2,89 3,15 3,63 3,14 2,68 3,09 4 kertas dan barang cetakan 0,97 0,99 1,03 1,09 1,06 1,02 5 pupuk kimia dan barang dari karet 0,44 0,35 0,38 0,42 0,47 0,41 6 semen dan barang galian bukan logam 1,49 1,51 1,61 1,69 1,76 1,61 7 logam dasar besi dan baja 8 alat angkutan, mesin dan peralatan 0,29 0,28 0,26 0,23 0,24 0,26 9 barang lainnya 8,68 8,32 9,18 9,76 9,36 9,06 perdagangan, hotel dan restoran 1 perdagangan besar dan eceran 0,51 0,52 0,51 0,51 0,51 0,51 2 hotel 2,21 1,75 1,91 2,19 2,16 2,04 3 restoran 3,59 3,72 3,75 3,71 3,49 3,05 sumber : hasil analisis daya saing produk ekspor (sri suharsih dan asih sriwinarti) 7 pdrb rata-rata sebesar 43,78 persen. subsektor hotel mempunyai rata-rata kontribusi sebesar 22,11 persen, sedangkan subsektor restoran dengan rata-rata nilai kontribusi sebesar 48,39 persen. berdasarkan analisis shift share subsektor industri makanan, tekstil, dan kayu merupakan subsektor yang layak untuk dikembangkan karena mempunyai share yang lebih besar terhadap sektor industri dibandingkan share subsektor sejenis nasional. di sektor perdagangan subsektor perdagangan besar dan eceran merupakan subsektor yang layak dikembangkan karena share terhadap sektor perdagangan lebih besar dibandingkan dengan share subsektor sejenis nasional (lihat tabel 3). potensi produk unggulan salah satu cara untuk mengetahui potensi produk ekspor provinsi diy adalah dengan melihat nilai produk ekspor yang tertinggi. potensial ekspor sangat terkait dengan produk unggulan provinsi daerah istimewa yogyakarta. adapun kriteria produk unggulan meliputi (1) pemakaian bahan baku dalam negeri lebih dari 70 persen (2) menyerap banyak tenaga kerja lebih dari 70 persen (3) pemasaran ke pasar ekspor lebih dari 90 persen dengan nilai ekspor lebih besar dari us $ 1 juta, negara tujuan ekspor lebih dari 3 negara, dan pertumbuhan ekspor lebih dari 5 persen selama 4 tahun (4) pemasaran pasar dalam negeri kurang dari 10 persen. perkembangan produk unggulan ekspor provinsi diy ditunjukkan oleh tabel 4 dalam lampiran. dilihat dari nilai produksinya pakaian jadi tekstil merupakan industri yang paling banyak menghasilkan output kemudian diikuti oleh mebel, sarung tangan kulit, dan kerajinan kayu. adapun produk unggulan tiap kabupaten/ kota di provinsi diy tampak dalam tabel 5. berkaitan dengan peningkatan produk potensial ekspor, selain mengembangkan produk unggulan di provinsi diy diarahkan juga pada pengembangan industri kreatif. ekonomi kreatif merupakan perwujudan dari upaya mencari pembangunan sektor industri yang berdaya sanig dan sustainable melalui peningkatan seni dan kreativitas. industri kreatif yang merupakan bagian dari ekonomi kreatif adalah sebuah industri yang mempunyai ide-ide baru, sdm yang kreatif dan juga mempunyai kema mpuan dan bakat yang terus dikembangkan dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. industri kreatif sangat penting dikembangkan di provinsi diy karena provinsi diy merupakan kota budaya, pendidikan, dan wisata yang memiliki tabel 3. kontribusi sektor berdasarkan share industri bukan migas provinsi diy (2006 – 2010) (%) lapangan usaha 2006 2007 2008 2009 2010 industri non migas 1 makanan, minuman dan tembakau 34,32 34,66 33,49 37,62 39,15 2 tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 20,71 20,61 19,98 18,11 18,35 3 kaayu dan barang dari kayu lainnya 13,51 13,54 14,53 12,52 10,29 4 kertas dan barang cetakan 5,26 5,20 5,47 5,44 5,53 5 pupuk kimia dan barang dari karet 5,88 4,73 5,16 5,63 6,28 6 semen dan barang galian bukan logam 5,26 5,10 5,32 5,30 5,35 7 logam dasar besi dan baja 8 alat angkutan, mesin dan peralatan 9,20 8,88 8,63 8,12 8,08 9 barang lainnya 7,41 7,24 7,07 7,21 6,39 perdagangan, hotel dan restoran 1 perdagangan besar dan eceran 42,45 43 43,03 42,78 42,64 2 hotel 9,26 7,28 76,72 8,62 8,67 3 restoran 48,27 49,71 49,29 48,59 48,64 sumber: hasil analisis jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 1-11 8 banyak sdm kreatif. selain itu diharapkan industri kreatif mempunyai peluang yang besar memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa, berbasis kepada sdm kreatif dan inovatif yang menciptakan inovasi dan kreatifitas sehingga menciptakan keunggulan kompetitif bagi sektor industri provinsi diy dibandingkan provinsi lain bahkan negara lain. beberapa jenis industri kreatif yang sudah dikembangkan di provinsi diy tahun 2010 termasuk di kabupaten dan kota yogyakarta tampak dalam tabel 6. potensi berdasarkan one village one product (ovop) dalam rangka mengembangkan sektor industri potensial ekspor, berbagai strategi telah dilakukan, di antaranya provinsi diy telah menerapkan pembinaan industri dengan pola ovop (one village one product). prinsip ovop menurut morihito, hiramatsu, pre sident oita ovop adalah terdiri dari tiga azas yaitu: lokal tetapi global, swadaya mandiri dan orisinalitas serta pengembangan sumber daya manusia. pola pengembangan ovop di provinsi diy dilakukan sejak tahun 2008, pembinaan industri diy pola ovop mempunyai tujuan antara lain :(1) menggiatkan perekonomian daerah dan menjadikan yogyakarta mampu memproduksi produk berkualitas dan bisa masuk ke pasar dunia, (2) untuk mengembangkan suatu produk baru yang memanfaatkan sumber-sumber, kebudayaan dan tradisi lokal. adapun kriteria penetapan komoditi dalam rangka pembinaan dengan pola ovop di diy adalah sebagai berikut: (1) produk unggulan dan atau produk kompetensi inti daerah, (2) unik, khas budaya dan mengandung keaslian lokal, (3) bermutu dan berpenampilan baik, (4) berpotensi pasar domestik dan berdaya saing ekspor, (5) diproduksi secara kontinyu dan konsisten, (6) penyerapan tenaga kerja, (7) nilai ekspor tinggi berdasarkan kriteria tersebut maka telah ditetapkan komoditi yang akan dibina di provinsi diy meliputi: kerajinan hasil hutan, kerajinan kulit & produk kulit, tekstil tradisional, home decoration craft, kerajinan aksessories, kerajinan terakotta, kerajinan bamboo, industri dan jasa it, periklanan dan pameran, building material, industri kerajinan logam, dan kuliner tradisional. dari komoditi tersebut maka masing-masing kabupaten dan kota yogyakarta memfokuskan beberapa komoditi yang menjadi unggulan daerah masing-masing. komoditi pilihan masingmasing kabupaten/ kota yang dibina melalui pendekatan ovop tampak dalam tabel 7 di lampiran. tabel 6. industri kreatif no wilayah industri kreatif 1. provinsi diy periklanan, kerajinan, fashion, layanan komputer dan piranti lunak 2. kota yogyakarta pasar barang seni, kerajinan, fashion, film-video 3. kab. bantul pasar barang seni, kerajinan 4. kab. kulonprogo pasar barang seni, kerajinan, 5. kab. gunungkidul kerajinan 6. kab. sleman periklanan, kerajinan, fashion, layanan komputer dan piranti lunak sumber : disperindagkop provinsi diy tabel 5. produk unggulan kabupaten/ kota kab/kota produk unggulan provinsi diy garmen, kulit, meubel, kerajinan kayu, anyaman, gerabah, batik, perak kota yogyakarta perak, kulit, cerutu, sarung tangan kulit, garmen, batik, meubel bantul meubel, kerajinan kayu, gerabah, perhiasan, tenun tradisional, produk kulit kulonprogo minyak atsiri, kerajinan anyaman, produk alas kaki sleman meubel kayu, batik, kerajinan kulit, sarung tangan kulit, home decoration, lampu pijar sumber : disperindagkop provinsi diy daya saing produk ekspor (sri suharsih dan asih sriwinarti) 9 daya saing berdasarkan rca selama ini, produk ekspor unggulan diy adalah pakaian jadi tekstil (termasuk dalam kelompok tekstil dan barang dari tekstil), mebel (termasuk dalam kelompok kayu, barang dari kayu dan barang anyaman), dan sarung tangan kulit (termasuk kelompok kulit dan barang dari kulit). tiga produk unggulan tersebut coba dikomparatifkan dengan cina. kelompok barang yang memiliki keunggulan komparatif adalah kelompok barang yang mempunyai nilai rca lebih dari 1. adapun daya saing dari ketiga produk unggulan diy dapat dilihat pada tabel 8. tabel 8. nilai revealed comparatif advantage (rca) no kelompok barang nilai rca 1 kulit dan barang dari kulit 48,69 2 kayu, barang dari kayu dan barang anyaman 6,17 3 tekstil dan barang dari tekstil 3,81 sumber : bank indonesia, diolah berdasarkan tabel 8, terlihat bahwa tiga kelompok barang yang merupakan produk unggulan ekspor diy ternyata memiliki keunggulan komparatif dibandingkan cina. adapun komoditas unggulan untuk masing-masing kelompok barang yang memiliki keunggulan komparatif tersebut dapat dilihat pada tabel 9 dalam lampiran. daya saing berdasarkan indeks spesilaisasi untuk mengetahui prospek di masa yang akan datang apakah suatu komoditi mengalami kejenuhan atau sedang mengalami pertumbuhan maka digunakan indeks spesialisasi perdagangan (isp). tabel 10. indeks spesialisasi perdagangan diy 2010 no nama kelompok barang indeks spesialisasi 1 kulit dan barang dari kulit 0,95 2 kayu, barang dari kayu dan barang anyaman 0,94 3 tekstil dan barang dari tekstil 0,98 sumber : bank indonesia, diolah angka isp berkisar antara -1 sampai +1. jika isp antara -1 sampai -0,5 disebut tahap pengenalan. jika isp antara -0,5 sampai 0 disebut tahap substitusi impor dan antara 0 sampai 0,8 disebut tahap perluasan ekspor. isp sekitar +1 disebut tahap pematangan dan isp antara 0,8 sampai 0 disebut tahap mengimpor kembali. berdasarkan tabel 10 terlihat tiga kelompok barang di diy yang mempunyai keunggulan komparatif, ternyata di masa yang akan datang prospek ekspornya mengalami tahap pematangan. kondisi di atas menunjukkan bahwa sebenarnya komoditas-komoditas unggulan diy, masih cukup punya daya saing yang tinggi dan potensial untuk diekspor. simpulan liberalisasi perdagangan merupakan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh provinsi diy. beberapa industri ekspor diy yang mempunyai potensi bagus untuk dikembangkan dalam rangka menghadapi pasar bebas adalah (1) industri makanan minuman dan tembakau, (2) industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, (3) industri kayu dan barang dari kayu lainnya, (4) industri kertas dan barang cetakan, (5) industri semen dan barang galian bukan logam, (6) industri barang lainnya. sementara komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi untuk diekspor adalah kulit dan barang dari kulit, kayu, barang dari kayu dan barang anyaman, serta tekstil dan barang dari tekstil. dalam upaya peningkatan produk potensial ekspor, di provinsi diy diarahkan juga pada pengembangan industri kreatif. industri kreatif yang merupakan bagian dari ekonomi kreatif sangat penting dikembangkan di provinsi diy karena diharapkan mempunyai peluang yang besar memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi karena mampu menciptakan keunggulan kompetitif bagi sektor industri provinsi diy dibandingkan provinsi lain bahkan negara lain. adapun industri kreatif di diy di antaranya meliputi periklanan, kerajinan, fashion, layanan komputer dan piranti lunak. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 13, nomor 1, april 2012: 1-11 10 rekomendasi kebijakan. dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor diy maka dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas produk ekspor dipasar global dengan cara peningkatan kualitas dan kuantitas event pameran produk ekspor provinsi diy, pemberian subsidi terhadap tempat sewa pameran serta sarana prasarana pameran yang dilakukan di yogyakarta, di daerah lain maupun diluar negeri, pembuatan website internasional mengenai produk ekspor provinsi diy yang updating, memaksimalkan event kerja sama antara provinsi diy dengan kota kyoto jepang (twin cities) untuk memasarkan produk provinsi diy, memfasilitasi misi dagang asing (buyer) ke daerah, mendirikan trading house produk ekspor dan meyusun pengelolaan trading house tersebut. trading house didirikan terutama karena banyaknya pelaku pelaku kreatif di provinsi diy dalam memproduksi suatu produk namun lemah dalam hal pemasaran produk. pembangunan trading house ini diharapkan dapat mempermudah jalur distribusi dan komersialisasi produk ekspor provinsi diy. kendala utama yang mungkin akan dihadapi adalah bagaimana mengemas suatu trading house bisa dipercaya oleh konsumen, dan bagaimana mengelola beberapa produk dan pelaku kreatif yang terlibat agar mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan, mencari peluang tujuan ekspor dengan meningkatkan kerjasama dengan negara-negara afrika dan saudi arabia. negara-negara afrika merupakan emerging countries dengan tingkat konsumsi yang tinggi. meningkatkan kemampuan sdm perdagangan dengan meningkatkan kerjasama dengan dunia pendidikan, pengusaha, dan lsm melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan usaha perdagangan, memfasilitasi penguatan kapasitas pelaku usaha perdagangan, seperti dengan sosialisasi sistem dan mekanisme pelaksanaan export-import adapun dalam upaya peningkatan daya saing produk ekspor (kualitas produk ekspor) melaui kebijakan dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan tenaga ahli serta pemberian subsidi untuk r & d usaha perdagangan, untuk meningkatkan produktifitas usaha perdagangan produk ekspor. upaya lain adalah dengan meningkatkan sinergi dan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan produktifitas, daya saing dan kemandirian produk perdagangan secara sistematis, berkelanjutan, dan terintegrasi. peningkatan kinerja sektor perdagangan dan ekonomi kreatif dapat dilakukan melalui fasilitas promosi dan penciptaan kebjakan perdagangan yang sesuai. daftar pustaka biro administrasi perekonomian dan sda setda provinsi daerah istimewa yogyakarta. 2011. “analisa kebijakan strategi pengembangan pasar dalam rangka menghadapi pasar bebas provinsi daerah istimewa yogyakarta”, laporan akhir hasil kerjasama biro administrasi perekonomian dan sda setda provinsi daerah istimewa yogyakarta dengan fakultas ekonomi upn “veteran” yogyakarta, tidak dipublikasikan. hamel and prahald. 1994. competing for the future. journal of international economic. usa: oxford university. itc market analysis section. 2000. the trade performance index – background paper. unctad/wto. obstfeld and krugman. 2006. international economics. canada: prentice hall. porter, michael e. 1990. the competitive advantage. singapore: mc. graw hill, macmillan publisher. widyasanti. 2011. perdagangan bebas regional dan daya saing ekspor: kasus indonesia. buletin ekonomi moneter dan perbankan., bank indonesia, juli. utkulu and seymen. 2004. revealed comparative advantage and competitivenes: evidence for turkey vis a vis the eu, presented on european trade study group 6th annual conference, nottingham. daya saing produk ekspor (sri suharsih dan asih sriwinarti) 11 lampiran tabel 4. komoditas ekspor non migas provinsi diy, tahun 2006 – 2010 komoditas nilai ekspor provinsi diy (us $ribu) pertumbuhan (%) 2006 2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 pakaian jadi tekstil 44,232 34,406 33,897 27,701 42,16 -22% -1% -18% 52,20 mebel kayu 32,305 26,104 24,279 18,674 18,19 -19% -7% -23% -2,59 sarung tgn kulit 13,408 10,559 16,931 11,352 17,24 -21% 60% -33% 51,87 stk sintetis 1,923 6,686 6,944 9,181 14,64 248% 4% 32% 59,46 kerajinan kertas 3,604 4,55 4,204 2,895 6,02 -87% 823% -31% 107,94 krjnan kayu 5,611 4,847 5,142 4,963 4,15 -14% 6% -3% -16,38 krjnan batu 2,604 3,136 3,473 3,741 4,05 20% 11% 8% 8,26 teh hijau/hitam 88 1,046 1,749 2,854 3,99 1077% 67% 63% 39,80 produk tekstil lainnya 1,582 320 714 859 3,36 -80% 123% 20% 291,15 kulit disamak 4,880 7,116 6,685 3,336 2,89 46% -6% -50% -13,37 total 110,149 93,900 103,304 84,697 116,69 tabel 7. produk ovop provinsi diy no wilayah produk ovop 1. kota yogyakarta kerajinan hasil hutan, kerajinan kulit, kerajinan asesoris, industri dan jasa it, periklanan dan pameran, industri kerajinan logam 2. kab. bantul kerajinan hasil hutan, kerajinan kulit, gerabah, tekstil tradisional, kerajinan asesoris, kerajinan bambu 3. kab. kulonprogo kerajinan hasil hutan, home decoration craft, produk herbal dan aroma terapi 4. kab. gunungkidul kerajinan hasil hutan, kerajian bambu, kerajinan kulit, kerajinan logam, produk herbal dan aroma terapi, home decoration, building material 5. kab. sleman kerajinan hasil hutan, tekstil tradisional, home decoration craft, kerajinan bambu, bahan bangunan, fashion, layanan komputer dan piranti lunak, kuliner tradisional sumber : disperindagkop provinsi diy tabel 9. komoditas unggulan masing-masing kelompok barang no kelompok barang komoditas unggulan 1 kulit dan barang dari kulit sarung tangan kulit sarung tangan kulit sintetis sarung tangan kulit kombinasi poliurethan kulit disamak kerajinan kulit 2 kayu, barang dari kayu dan barang anyaman mebel kayu kerajinan kayu papan kemas kerajinan bambu kerajinan rotan kerajinan jerami kerajinan mendong 3 tekstil dan barang dari tekstil pakaian jadi tekstil tekstil produk tekstil lainnya sumber : bank indonesia  jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper impact of disaster on economic performance of asean-9: does philanthropy help? thifal azhar1, m. shabri abd. majid2*, sartiyah3, and taufiq c. dawood2 abstract: this study aims to determine the moderating role of religious philanthropy in reducing the impacts of disasters to economic problems, namely inequality, poverty, and economic growth of asean-9 over the period from 2000 to 2020. by using a panel moderated regression analysis, the study found that disasters significantly contributed to higher levels of economic growth, income disparity, and poverty. in addition, philanthropy is found to have a negative moderating role in the effects of disasters on economic growth, inequality, and poverty. the findings showed an effective role of philanthropy in reducing the impacts of disasters on economic growth, income disparity, and poverty in asean-9. our findings provide an important benchmark for the formulation of government policies to mitigate disaster risks on economic problems through the enhancement of religious philanthropic institutions. keywords: religious philanthropic institution; disaster risk mitigation; poverty; income inequality; economic development jel classification: d63; d64; h84; 015; i32 introduction sustainable economic growth accompanied by a reduction in the level of poverty and income disparity has been a target of economic development worldwide. sustainable development mainly aims to promote the quality of life of both present generation and future generation on the globe without exploiting the use of natural resources that exceeds their capacity (majid & mahrizal 2007; griggs, nilsson, stevance, & mccollum , 2017). a sustainable development agenda so-called sustainable development goals (sdgs) has been initiated during the conference held in rio de janeiro, brazil in june 2012 by the united nations as a prolongation of the millennium development goals (mdgs) that have been implemented by countries since 2001 until the end of 2015. the sdgs have set goals, targets, and indicators for global sustainable development to be achieved by 2030. generally, the sdgs unequivocally aim to exterminate poverty and hunger, lessen inequality within and between countries, advance water and energy management, and impose imperative steps to embark upon climate change. affiliation: 1 master program of economics, faculty of economics and business, universitas syiah kuala, aceh, indonesia 2 department of economics, faculty of economics and business, universitas syiah kuala, aceh, indonesia 3 department of islamic economics, faculty of economics and business, universitas syiah kuala, aceh, indonesia *correspondence: mshabri@unsyiah.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.12593 citation: azhar, t., majid, m. s. a., sartiyah, s., & dawood, t. c. (2022). impact of disaster on economic performance of asean-9: does philanthropy help?. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 21-34. article history received: 20 aug 2021 revised: 22 sep 2021 06 oct 2021 accepted: 27 oct 2021 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=24438220400 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57212537404 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57201417628 http://s2ie.unsyiah.ac.id/ http://s2ie.unsyiah.ac.id/ http://s2ie.unsyiah.ac.id/ http://s2ie.unsyiah.ac.id/ https://ekp.feb.unsyiah.ac.id/ https://ekp.feb.unsyiah.ac.id/ https://ekp.feb.unsyiah.ac.id/ https://ekp.feb.unsyiah.ac.id/ http://eki.feb.unsyiah.ac.id/ http://eki.feb.unsyiah.ac.id/ http://eki.feb.unsyiah.ac.id/ http://eki.feb.unsyiah.ac.id/ mailto:mshabri@unsyiah.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/12593 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.12593&domain=pdf https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 22 in contrast to the eight mdgs goals, the 17 sdgs goals highlight the crucial efforts to halt poverty through an increase in economic growth by implementing social policy dealings to meet a mixture of social desires and environment-related policy to tackle climate change and environmental destruction (majid, dewi, aliasuddin, & kassim, 2017). the sdgs goals are very much related to the objectives of the national development of asean countries, including indonesia (dewi, majid, aliasuddin, & kassim, 2018). for example, the fourth paragraph of the 1945 indonesia's constitution preamble stated that the objective of indonesia's development is to promote public welfare nationwide. public welfare is a condition of fulfilling the material, spiritual, and social needs of the country's population to live properly, develop themselves, and perform their social and economic functions smoothly (qureshi et al., 2019; atsalakis, bouri, & pasiouras, 2020). one of the easiest ways to assess the realization of public welfare in the country is by looking at the poverty and income disparity levels of the population, as they have an opposite direction. public welfare has a negative relationship to the poverty and income disparity levels. a higher public welfare level causes a reduction in poverty and income disparity levels, and vice versa (dewi et al., 2018). economic growth, which is generally measured by changes in gross domestic product (gdp), has been commonly utilized to portray an overall public welfare (midgley & tang, 2001). however, an increase in economic growth does not necessarily improve public welfare and reduce poverty rate, and income inequality. the effect of economic growth on improvement in public welfare, poverty, and income inequality reduction is very much depending on the extent to which the benefits of economic growth are spread across the society (cerra et al., 2021). if the benefits of economic growth are enjoyed proportionately by all citizens, it would improve the public welfare, followed by the reduction in their poverty and income inequality, and vice versa. a non-inclusive economic growth often leads to an increase in economic inequality and poverty levels. an increase in economic growth is not fully followed by improving job opportunities, reducing poverty level and income disparity, promoting decent life for all the people and their public welfare. for example, lin (2003) and ravallion (2005) found an insignificant effect of high economic growth on poverty and income disparity reduction. economic growth failed to reduce or even eliminate absolute poverty and income disparity. therefore, rapid economic growth does not automatically increase people's standard of living and just income distribution. in other words, the so-called trickle-down effects of the economic growth for the poor did not happen as expected. thus, any effort to combat poverty and income disparity through economic growth should be designed expansively, covering diverse aspects of the public life and executed in an integrated and inclusive manners (faradiba & zet, 2020). moreover, the realization of an inclusive economic growth to reduce poverty and income disparity target has been becoming more challenging due to more frequent and recurring unexpected natural disasters globally (tselios & tompkins, 2019; lim, 2019), including asean. the increasing trend of disasters has slowed down economic growth and has even led to deaths of the population (masiero & santarossa, 2019). the total number of azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 23 disasters in the world and asean, including several man-made disasters over the period 2010-2020 showed an increasing trend (center of research of epidemiology disaster – cred, 2019). most disasters occurred in the world in 2010 (12.43%) and asean in 2020 (15.46%) were dominated by earthquakes and typhoons. these disasters caused economic losses of nearly usd900 billion, more than 15 million deaths, and more than 2 million injured worldwide. previous studies have documented an adverse impact of disasters on the livelihood of the local population in the disastrous areas (phong, mai, & aditto, 2020), national economic growth (hochrainer, 2009; hsiang & jina, 2014; hamori & kume, 2018; tselios & tompkins, 2019; tangkudung, 2019; faradiba & zet, 2020), poverty (silbert & useche, 2011; noy, 2015; parida et al., 2020), household consumption (lim, 2019), and income inequality (hsiang & jina, 2014; yamamura, 2015; feng, liu, & gong, 2016; scheidel, 2018; ryu & slottje, 2020). various efforts have been made to mitigate disaster risks on the economy (athukorala & resosudarmo, 2005; tselios & tompkins, 2019; hsiang and jina, 2014; brown & minty, 2008; brown, harris, & taylor, 2012). philanthropy has been viewed as an initial and quick response to mitigate the disaster risks on the economy. the world giving index (2019) showed an increase in numbers of philanthropy during disasters from 20% in 2000 to 79% in 2020. additionally, from a religious perspective, philanthropy has been viewed as one of the essential public voluntary efforts to lessen the impact of disasters on the economy. for example, islam obliges its followers to pay zakat (islamic tax) and encourages them to give voluntary donations (infaq, sadaqah, and waqf) to help those really in need (holy qur’an, at-taubah: 71). limited previous studies have explored the role of philanthropy in lessening the negative impact of disasters on the economy. for example, wu and chang (2018) found an important role of non-profit organizations (npos) participation in disaster relief in two major catastrophes of the 2008 earthquake in wenchuan, china and 2009 typhoon in morakot, taiwan. their engagements in shortand long-term disaster services were crucial to mitigate immediate and long-term disaster risks to the economy. similarly, shoutherland (2019) showed a crucial role of the chinese military in overseas humanitarian assistance and disaster relief to mitigate various global disasters on the economy worldwide. however, these studies only described the role of philanthropy on the economy qualitatively without precisely measuring its moderating role in reducing the influences of disasters on economic growth, poverty, and income disparity quantitatively. motivated to fill up the existing gaps in the previous literature, this study, therefore, seeks to examine the moderating role of philanthropy in reducing the impact of disasters on economic growth, poverty, and income disparity in the asean-9. different from previous studies that assessed the contribution of philanthropy to the economy, our study measures empirically the impact of philanthropy on economic growth, poverty, and income disparity. in addition, unlike previous studies that only examined the direct effect of philanthropy on the economy, our study empirically measures and analyses the effect of philanthropy on economic growth, poverty, and income inequality. finally, our study also enriches the existing empirical literature by empirically measuring and analyzing the azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 24 moderating effects of philanthropy in mitigating the impacts of disasters on economic growth, poverty, and income disparity in asean-9. the results of this study are expected to shed some light for policymakers in formulating holistic disaster mitigation policies to promote economic growth and reduce poverty and income disparity. in addition, by knowing the number of the overall loss of disasters, the findings of the study provide important policy recommendations for disaster management budget planning and disaster policy measures to relieve the impact of disasters on the economy. finally, the findings of the study are expected to enrich the existing literature, particularly the empirical evidence on disaster risk mitigation and economic development from the perspective of asean countries. in the next sections, the study provides the relevant selected literature in section 2 and followed by the research methods and data in section 3. section 4 provides the findings, discussion, and their implications. finally, section 5 concludes the study. research method this research focuses on the moderating role of philanthropy in reducing the effect of disasters on economic performance, including economic growth, poverty, and income inequality in asean-9 countries. due to data unavailability, the study only examined 9 out of 10 asean countries, namely indonesia, malaysia, thailand, singapore, the philippines, laos, cambodia, vietnam, and myanmar. an annual secondary data during the period 2000-2020 were utilized and analyzed using a moderated regression analysis (mra) model. the proposed econometric technique is suitable to analyze the direct effect of disasters and philanthropy on economic performances and the moderating effects of philanthropy in strengthening or weakening the effect of disasters on economic performances. a total of five variables were examined in this study, namely economic growth, poverty, income disparity (endogenous variables), disasters (exogenous variable), and philanthropy (moderating variable). economic growth is measured by changes in real gdp per capita. poverty is calculated by the percentage of the population living under the poverty line. income disparity is measured by the gini index. disasters are computed by the number of losses caused by disasters in usd. finally, philanthropy is measured by the number of donations for humanitarian in usd. the data for economic growth, poverty, and income disparity are sourced from the international monetary fund (imf), while the data for philanthropy and disasters are collected from the world giving index and emdat (emergency events database), respectively. azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 25 to empirically measures and analyzes the moderating role of philanthropy in mitigating disaster risks on economic growth, poverty, and income inequality in asean-9 countries, the study proposes the following panel mra equations: ecgit = γ0 + γ11disit + γ12pltit + γ13dis*plt +1it (1) icdit = γ0 + γ21disit + γ22pltit + γ23dis*plt +2it (2) povit = γ0 + γ31disit + γ32pltit + γ33dis*plt +3it (3) where ecg is the economic growth; icd is the economic disparity level; pov is the poverty level; dis is the disasters; plt is the philanthropy; γ0 is a constant; γii is the estimated regressors, i is asean country; t is the year of the study; and  is the error term. because the data examined in this study is panel data, which is a mixture of time-series data (2000-2020) and crosssection (9 asean countries), thus the data analysis is conducted using a panel regression model. to identify the most appropriate panel regression model to be adopted in this study from three-panel regression models, namely: common effect model (cem), fixed-effect model (fem), and random effect model (rem), series of statistical tests are conducted. the chow test is performed to decide either the cem or fem is the most suitable, while the hausman test is conducted to determine which model is most appropriate to use between the rem and the fem. meanwhile, the lagrange test is performed to find out whether the rem is more suitable as compared to the cem to analyze the data in the study. the most suitable panel regression model is then selected for further analysis to answer the research objectives. however, before the data analysis, the study conducts the classical assumption tests of normality, multicollinearity, heteroscedasticity, and autocorrelation to ascertain robust findings. to check for normalcy, a jarque-bera (jb) test is utilized. the data is deemed to be normally distributed if the jb test’s p-value is larger than the assigned significance level. meanwhile, the variance inflation factor (vif) is utilized in the multicollinearity test. the data are free of the multicollinearity problem if the vif is less than 10. the durbin-watson (dw) test is used to verify autocorrelation problem, and if the d-w value is less than 2, the data are free of autocorrelation. finally, the heteroscedasticity is tested using the breusch-pagan (pg) test. the data are free of heteroscedasticity (homoscedastic) if the value of estimated chi-square is significant where its p-value is above the assigned significance level. result and discussion descriptive statistics table 1 illustrates the descriptive statistics of the investigated variables. of the asean-9, singapore recorded the lowest economic losses (usd0.22 million), while thailand recorded the highest economic losses (usd7.73 million) due to disasters. since 1965, azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 26 singapore experienced the smallest number of disasters, while thailand suffered enormous losses due to floods that hit the northern, northeast, and central parts of thailand, particularly the mekong and chao phraya rivers and parts of the capital city bangkok in 2011 (asian disaster reduction center – adrc, 2017). table 1 descriptive statistics dis ecg icd pov plt mean 4.770 0.064 0.410 0.158 78.588 median 4.970 0.063 0.401 0.142 23.630 maximum 7.730 0.158 1.351 0.453 754.860 minimum 0.220 -0.024 0.031 0.040 0.020 std. dev. 1.312 0.023 0.136 0.106 122.096 in terms of economic growth, singapore recorded the lowest economic growth (-2.4%) in 2001 (the national archive singapore, 2002) due to lower external demand, weak household consumption, and low business investment. meanwhile, laos recorded the highest economic growth (15.80%) in 2000 due to an increase in the contribution of the agriculture sector (60%) and mining and mineral exports (asian development bank, 2001). of the asean-9, myanmar experienced the lowest income disparity (0.031) in 2016, while laos recorded the highest income disparity (1.351) in 2000 due to economic structural change (economic activity in the agricultural sector), increase in years of schooling, increase in education, health, road access, and electricity expenditures (chanthavong, 2017). additionally, in view of poverty rate, malaysia recorded the lowest poverty (0.40%) in 2017, while vietnam experienced the highest poverty level of 45.3% in 2000, contributed mainly by an increase in rice price and unemployment rate due to slowing construction activities in several regions in vietnam (kang & imai, 2012). finally, in terms of philanthropic data, the smallest amount of philanthropy is recorded by singapore (usd0.02 million) in 2003, while the highest amount of philanthropy is recorded by laos (usd754.8 million) in 2000. channel news asia – can (2014) reported that the incidence of disasters that hit most of southeast asia was in 2013, singapore contributed usd200,000 to humanitarian assistance. on the other hand, 3 ngos in laos, namely the save the children uk, mennonite central committee, and american friends service committee have successfully raised philanthropic funds to mitigate disaster impacts nationwide. asean is one of the regions with a relatively high disaster during the last few decades. international federation of red cross and red crescent societies – ifrc (2015) reported that demises from natural disasters in the region have more than tripled in the past decade, which is largely due to extreme disasters. asean that consists of 10 member countries with 600 million inhabitants had experienced an average loss of approximately usd4.4 billion annually due to natural disasters. the various challenges to natural disasters faced by asean countries are related to the potential for frequent natural disasters with different levels of exposure and vulnerability to different hazards, coupled with different capacities in dealing disasters. disasters that hit asean countries are categorized as small and medium-scale disasters and only a few of them are categorized into the high-scale azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 27 disasters, such as the 2004 indian ocean tsunami and the 2008 typhoon nargis (athukorala & resosudarmo, 2005). selected panel regression model tests as discussed in the earlier section, the study first determines the suitable panel regression model using various panel data tests of chow test, hausman test, and lagrange test. the findings of these tests are reported in table 2. table 2 testing suitable panel regression model tests of panel regression models t-statistics df p-value chow test cross-section f 4.0743 (8.176) 0.000 cross-section chi-square 32.112 8 0.000 hausman test cross-section random 2.352 5 0.798 lagrange test cross-section 72.416 0.632 0.000 as illustrated in table 2, the finding of the chow test showed the rejection of null hypothesis, which means that the fem should be adopted as a suitable panel regression model as opposed to the cem. the finding of the hausman test showed the rejection of the alternative hypothesis, indicating the suitability of the rem as compared to the fem. finally, the lagrange test is conducted to determine the most appropriate panel regression model between the rem and the cem. table 2 indicated that the rem is the most appropriate panel to estimate the data in the study. thus, in the next section, the study reported the impact of disasters on the economies of asean-9 and the moderating role of philanthropy in lessening the impacts of disasters on the economies of asean-9 based on the rem. the impacts of disasters on economic growth, poverty, and income disparity table 3 reported the findings of the rem on the influences of disasters on economic growth, poverty, and income disparity among asean-9 countries over the period from 2000 to 2020. table 3 the impacts of disasters on economic growth, poverty, and income disparity in asean-9 variable dis diagnostic test adj-r2 f-stat jb vif bp dw ecg 0.563*** (4.733) 0.102 22.410*** 0.134 1.352 0.118 1.890 icd 0.039*** (5.656) 0.141 32.000*** 0.165 1.792 0.119 1.876 pov 3.374*** (6.311) 0.171 47.888*** 0.111 1.843 0.124 1.862 note: *** indicates significances at the 1% level. f-stat is the f-statistics; adj-r2 is the adjusted r2; jb is the jarque-bera test for normality; vif is the variance inflation factor test for multicollinearity; bp is the breusch-pagan test for heteroscedasticity; and dw is the durbin-watson test for autocorrelation. azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 28 as illustrated in table 3, surprisingly, the disasters had a positive and significant influence on economic growth at the 1% level of significance with the estimated coefficient value of 0.563. more specifically, the findings of this study indicated that an increase in the number of disasters by 1% has caused economic growth to increase by 0.563%. disasters might adversely impact economic growth in the short-run but turned to become positive in the long-run. increased national and international supports for mitigation disasters, enhanced effective preparedness measures, and improved environmental management had contributed to mollify the impacts of disasters on the asean-9 economy. in addition, the small-scale majority of disasters that hit asean-9 during the study period has only caused damage of usd1.125 million but had not slowed down the economy to grow. for instance, when the indian ocean earthquake and tsunami of 2004 struck asean countries and hit hardest aceh province of indonesia, the province received a huge amount of financial aids from the indonesian government and international communities, amounting to usd7.5 billion over five years after the 2004 indian ocean earthquake and tsunami, causing the economy to recover rapidly. such financial aids were used to repair damaged infrastructures and build back public services better, which consequently contributed to sustainable economic growth in the long run. this empirical finding implies that if smalland medium-scale of disasters are well-managed and supported with sufficient disaster mitigation funds, the government could easily minimize disasters' impacts on the economy in the short-run and ensure long-run economic growth. this finding agrees with a previous study by huho et al. (2016) who found is a positive influence of normal flood disasters on economic growth in kenya. on the other hand, as observed from table 4, the disasters significantly and positively affected income disparity at the 1% significance level with an estimated coefficient of 0.039. the finding shows a 1% increased in the number of disasters had caused income inequality to increase by 0.039%. at the time a natural disaster wallops, the poor are potentially to become victims and even lose their jobs, which finally cause a decrease in their income in the short-term. as a result, income inequality is expected to widen during a disaster. in the event that poor family are less arranged for catastrophes and live in disaster-prone zones, they will bear income losses and cause greater income inequality. the availability of sufficient philanthropic funds to be allocated to the poor while disasters hit the countries could reduce income inequality. when a disaster happened is that donations or philanthropy must be given primarily to the poor (liu et al., 2018). our finding is in line with research conducted by bui, dungey, nguyen, and pham (2014) which found that natural disasters cause an increase in t income inequality among the vietnamese households. finally, table 3 also reported the significant positive influence of the disaster on the poverty rate at the 1% level of significance with an estimated coefficient of 3.374. specifically, this showed that a 1% increase in the number of disasters had caused a 3.374% increase in the poverty rate. the majority of poor households who live in disaster-prone areas experienced homes' damages during the 2000-2020 period contributed to a higher poverty rate across asean-9 countries. disasters caused the poor to incur higher income losses and lead to a larger poverty gap. this finding urges important disaster mitigation azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 29 policies focused on poor economic empowerment programs when disasters hit the countries. this finding is supported by noy (2015) which found an affirmative influence of natural disasters on the poverty level globally. the role of philanthropy in reducing impacts of disasters on economic growth, income disparity, and poverty furthermore, table 4 reported the moderating role of philanthropy on the influences of disasters on economic growth, income disparity, and poverty in asean-9 during the 20002020 period. the study found that philanthropy had a significant negative moderating effect on the influence of disasters on economic growth at the 5% significance level with an estimated coefficient of -0.337. this finding showed the ability of philanthropy to reduce the impact of disasters on economic growth. this empirical evidence is following the result of the study by esawe et al. (2018) who said that philanthropy can be used to build community resilience to disasters. as illustrated in table 4, philanthropy is found to have a significant negative moderating role on the influence of disasters on income disparity at the 5% level with an estimated value of -0.014. this finding shows the ability of philanthropy to mitigate the impact of the disaster on income inequality. during a disaster, people who have savings would use them to repair the damaged assets and recover their health, while those who have no savings would be hard to survive without getting supports from philanthropic funds. thus, the presence of philanthropy could help reduce income imbalances between the poor and the rich. social or philanthropic assistance is provided to a person, family, group, and/or community experiencing social shocks and vulnerabilities due to disasters, aiming at fulfilling basic necessities to ensure their survival through the restoration of communal psychological circumstances, promoting economic capability, and unveiling information and/or retrieve to sources and prospective for social wellbeing (national disaster management authority bnpb, 2013). this finding is consistent with previous studies that found an effective role of islamic philanthropy of zakat on income inequality in pakistan (jehle, 1994) and malaysia (zulkifli, taha, mohd nor, & ali, 2021). zakat is effective to channel income from the middle to the lower groups of communities. furthermore, table 4 also showed a negative and significant moderating effect of philanthropy on the effect of disasters on poverty rate at the 1% significance level with an estimated coefficient of -2.196. this shows that philanthropy can minimize the impact of disasters on poverty reduction across asean-9. the availability of philanthropic funds during disasters could help the disaster victims to enter into the recovery period. the funds could be allocated to build back the affected areas better quickly and even more advanced than the pre-disaster period. our finding is along the lines of previous research conducted by ryandono (2008) and hafidhuddin and rahmat (2008) who found that the presence of islamic philanthropic institutions of zakat in islam is very helpful to strengthen the government efforts to alleviate poverty and overcome the economic marginalization of muslim communities, especially during the disaster period that caused enormous flosses to the economy. azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 30 table 4 the moderating role of philanthropy on the impacts of disasters on economic performance variable dis plt dis*plt diagnostic test adjr2 f-stat jb vif bp dw ecg 0.256*** (2.072) 0.005*** (3.779) -0.337** (1.963) 0.24 7 21.580*** 0.122 2.362 0.128 1.882 icd 0.031*** (4.217) 0.0004*** (5.326) -0.014** (1.869) 0.26 0 23.032*** 0.127 2.118 0.146 1.928 pov 1.644*** (3.105) 0.027*** (4.362) -2.196*** (2.983) 0.37 0 37.829*** 0.210 1.402 0.172 1.910 note: see table 3. overall, our findings are following the previous research conducted by esawe et al. (2018) who recorded that islamic philanthropy of zakat can be used to build community resilience to disasters in two stages. the first phase is the use of zakat in disaster emergency response to meet the basic needs of the community, including food, water, sanitation, shelter, and health care. meanwhile, in the second phase, the zakat can be used to financially support the affected community and disastervulnerable people to work and earn income to support their families in the long run. without getting financial aids, the poor would be at greater risk in the future due to their incapability to mitigate disaster risks. thus, zakat could help to rebuild the lives and livelihoods of the disaster-affected groups in the long term. finally, zakat could also be used to reduce disaster exposure by supporting communities with funds to import technology and expertise that help them improve disaster prediction, preparedness, response, and vulnerability to similar future catastrophic events. with the presence of many religious-based social and philanthropic institutions globally, it is not surprising that these institutions have played active roles to assist various elements of society, both individually and collectively during natural disasters and social, economic, and political imbalances. philanthropy is documented to be an effective way to mitigate the disasters' impacts to economic growth slowdown and increased income inequality and poverty rates. finally, table 4 also reported the findings of classical assumption tests, comprising normality, multicollinearity, autocorrelation, and heteroscedasticity. the study found that the data analyzed in this study fulfilled all classical assumptions. overall, the findings of the study were robust and could be used for further inferences. conclusion this study has measured and analyzed the moderating role of philanthropy in reducing the impacts of disasters on economic growth, poverty, and income inequality in asean-9 during the 2000-2020 period using a panel moderated regression technique. the study found that disasters had a positive and significant impact on economic growth and the negative and significant impacts of disasters on income inequality and poverty rate. in azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 31 addition, the study documented an effective role of philanthropy in reducing the impacts of disasters on economic growth, income disparity, and poverty. our findings showed the crucial role of the religious philanthropic institution during the catastrophic periods to strengthen the government efforts to mitigate disaster risks on the economy both in the shortand long-run. thus, it is extremely important for the policymakers and communities to support the presence of religious philanthropic institutions locally, regionally, and globally. during the disastrous period, the philanthropic institutions have been always in the front line to assist communities to fulfill their basic needs to ensure survival and to build back their future lives better. this study only focuses its analysis on the moderating role of philanthropy in reducing the impacts of disasters on economic growth, income inequality, and poverty in asean-9. to enrich the existing literature and empirical evidence on this issue, further studies are suggested to evaluate the holistic impacts of disasters on economic performances, such as unemployment and inflation, and the role of philanthropy to mitigate the disastrous impacts on overall macroeconomic performances. adding more countries from various regions into the analysis would also enrich the existing empirical evidence on the topic. references asian development bank. (2001). adb annual report 2001. retrieved from https://www.adb.org/documents/adb-annual-report-2001 asian disaster reduction center adrc. (2012). natural disaster data book. retrieved from https://www.adrc.asia/publication.php athukorala, p., & resosudarmo, b. p. (2005). the indian ocean tsunami: economic impact, disaster management, and lessons. asian economic papers, 4(1), 1–39. https://doi.org/10.1162/asep.2005.4.1.1 atsalakis, g. s., bouri, e., & pasiouras, f. (2020). natural disasters and economic growth: a quantile on quantile approach. annals of operations research, 306(1-2), 83–109. https://doi.org/10.1007/s10479-020-03535-6 brown, p. h., & minty, j. h. (2008). media coverage and charitable giving after the 2004 tsunami. southern economic journal, 75(1), 9–25. https://doi.org/10.1002/j.23258012.2008.tb00889.x brown, s., harris, m. n., & taylor, k. (2012). modelling charitable donations to an unexpected natural disaster: evidence from the u.s. panel study of income dynamics. journal of economic behavior & organization, 84(1), 97–110. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2012.08.005 bui, a. t., dungey, m., nguyen, c. v., & pham, t. p. (2014). the impact of natural disasters on household income, expenditure, poverty and inequality: evidence from vietnam. applied economics, 46(15), 1751–1766. https://doi.org/10.1080/00036846.2014.884706 centre for research on the epidemiology of disaster – cred undrr. (2019). the human cost of weather related disasters 1995–2015. retrieved from http://www.unisdr.org/2015/docs/climatechange/cop21_weatherdisastersreport _2015_final.pdf https://www.adb.org/documents/adb-annual-report-2001 https://www.adrc.asia/publication.php https://doi.org/10.1162/asep.2005.4.1.1 https://doi.org/10.1007/s10479-020-03535-6 https://doi.org/10.1002/j.2325-8012.2008.tb00889.x https://doi.org/10.1002/j.2325-8012.2008.tb00889.x https://doi.org/10.1016/j.jebo.2012.08.005 https://doi.org/10.1080/00036846.2014.884706 http://www.unisdr.org/2015/docs/climatechange/cop21_weatherdisastersreport_2015_final.pdf http://www.unisdr.org/2015/docs/climatechange/cop21_weatherdisastersreport_2015_final.pdf azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 32 cerra, v., lama, r., & loayza, n. v. (2021). links between growth, inequality, and poverty: a survey. policy research working paper series, (9603). retrieved from https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35355 channel news asia – can (2014). singapore to contribute us$200,000 in disaster relief for asean nations hit by typhoon, floods. retrieved from https://www.channelnewsasia.com/singapore/singapore-humanitarian-assistanceasean-floods-disasters-525906 chanthavong, m. s. (2017). inequality and economic development in lao pdr since the 1986 economic reform. doctoral dissertation. thammasat university. dewi, s., majid, m. s. a., aliasuddin, & kassim, s. (2018). dynamics of financial development, economic growth, and poverty alleviation: the indonesian experience. south east european journal of economics and business, 13(1), 17–30. https://doi.org/10.2478/jeb-2018-0002 esawe, a., esawe, k., & esawe, n. (2018). using zakat to build the resilience of communities to disasters: evidence from egypt. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3331506 faradiba, f., & zet, l. (2020). the impact of climate factors, disaster, and social community in rural development. the journal of asian finance, economics and business, 7(9), 707–717. https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no9.707 feng, q., liu, j., & gong, j. (2015). urban flood mapping based on unmanned aerial vehicle remote sensing and random forest classifier—a case of yuyao, china. water, 7(12), 1437–1455. https://doi.org/10.3390/w7041437 griggs, d. j., nilsson, m., stevance, a., & mccollum, d. (2017). a guide to sdg interactions: from science to implementation. international council for science, paris. retrieved from https://council.science/publications/a-guide-to-sdg-interactions-from-science-toimplementation/ hafidhuddin, d., & rahmat, p. (2008). kaya karena berzakat. depok: raih asa sukses. hamori, s., & kume, t. (2018). artificial intelligence and economic growth. advances in decision sciences, 22(1), 256–278. https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 hochrainer, s. (2009). assessing the macroeconomic impacts of natural disasters: are there any? policy research working papers. https://doi.org/10.1596/1813-9450-4968 hsiang, s., & jina, a. (2014). the causal effect of environmental catastrophe on long-run economic growth: evidence from 6,700 cyclones. working paper. https://doi.org/10.3386/w20352 huho, j. m., mashara, j. n., & musyimi, p. k. (2016). profiling disasters in kenya and their causes. academic research international, 7(1), 290-305. retrieved from https://karuspace.karu.ac.ke/handle/20.500.12092/1885 international federation of red cross and red crescent societies – ifrc. (2015). world disaster report 2015: focus on local actors, the key to humanitarian effectiveness. retrieved from: https://ifrcmedia.org/interactive/wp content/uploads/2015/09/1293600-world disasters-report-2015_en.pdf jehle, g. a. (1994). zakat and inequality: some evidence from pakistan. review of income and wealth, 40(2), 205–216. https://doi.org/10.1111/j.1475-4991.1994.tb00059.x kang, w., & imai, k. s. (2012). pro-poor growth, poverty and inequality in rural vietnam. journal of asian economics, 23(5), 527–539. https://doi.org/10.1016/j.asieco.2012.04.004 lim, d. (2019). the role of fiscal policy in a natural disaster-prone economy. dlsu business & economics review, 28(2), 26-29. lin, b. q. (2003). economic growth, income inequality, and poverty reduction in people’s republic of china. asian development review, 20(2), 105-124 https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35355 https://www.channelnewsasia.com/singapore/singapore-humanitarian-assistance-asean-floods-disasters-525906 https://www.channelnewsasia.com/singapore/singapore-humanitarian-assistance-asean-floods-disasters-525906 https://doi.org/10.2478/jeb-2018-0002 https://doi.org/10.2139/ssrn.3331506 https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no9.707 https://doi.org/10.3390/w7041437 https://council.science/publications/a-guide-to-sdg-interactions-from-science-to-implementation/ https://council.science/publications/a-guide-to-sdg-interactions-from-science-to-implementation/ https://doi.org/10.47654/v22y2018i1p256-278 https://doi.org/10.1596/1813-9450-4968 https://doi.org/10.3386/w20352 https://karuspace.karu.ac.ke/handle/20.500.12092/1885 https://ifrcmedia.org/interactive/wp-%20content/uploads/2015/09/1293600-world%20disasters-report-2015_en.pdf https://ifrcmedia.org/interactive/wp-%20content/uploads/2015/09/1293600-world%20disasters-report-2015_en.pdf https://doi.org/10.1111/j.1475-4991.1994.tb00059.x https://doi.org/10.1016/j.asieco.2012.04.004 azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 33 liu, l., suh, a., & wagner, c. (2018). empathy or perceived credibility? an empirical study on individual donation behavior in charitable crowdfunding. internet research, 28(3), 623–651. https://doi.org/10.1108/intr-06-2017-0240 majid, m. s. a., & mahrizal, m. (2007). does financial development cause economic growth in the asean-4 countries?. savings and development, 31(4), 369-398. retrieved from http://savingsanddevelopment.unibg.it/does-financial-development-cause-economicgrowth-in-the-asean-4-countries/ majid, m. s. a., dewi, s., aliasuddin, a., & kassim, s. h. (2017). does financial development reduce poverty? empirical evidence from indonesia. journal of the knowledge economy, 10(3), 1019–1036. https://doi.org/10.1007/s13132-017-0509-6 masiero, g., & santarossa, m. (2019). earthquakes, grants, and public expenditure: how municipalities respond to natural disasters. journal of regional science, 60(3), 481–516. https://doi.org/10.1111/jors.12462 midgley, j., & tang, k. (2001). introduction: social policy, economic growth and developmental welfare. international journal of social welfare, 10(4), 244–252. https://doi.org/10.1111/1468-2397.00180 national disaster management authority bnpb. (2013). disasters in indonesia report 2013. retrieved from https://bnpb.go.id/infografis/kejadian-bencana-tahun-2013 noy, i. (2014). natural disaster and economic policy for asean and the pacific rim: a proposal for a disaster risk reduction “seal of approval” fund. resilience and recovery in asian disasters, 219–237. https://doi.org/10.1007/978-4-431-55022-8_11 parida, y., agarwal goel, p., roy chowdhury, j., sahoo, p. k., & nayak, t. (2020). do economic development and disaster adaptation measures reduce the impact of natural disasters? a district-level analysis, odisha, india. environment, development and sustainability, 23(3), 3487–3519. https://doi.org/10.1007/s10668-020-00728-8 phong, n., mai, n., & aditto, s. (2020). factors influencing the households’ adaptation under natural disaster risk in the coastal areas of giao thien, giao thuy, nam dinh, vietnam. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 21(1), 105-124. https://doi.org/10.18196/jesp.21.1.5034 qureshi, m. i., yusoff, r. m., hishan, s. s., alam, a. f., zaman, k., & rasli, a. m. (2019). natural disasters and malaysian economic growth: policy reforms for disasters management. environmental science and pollution research, 26(15), 15496–15509. https://doi.org/10.1007/s11356-019-04866-z ravallion, m. (2005). a poverty-inequality trade-off? journal of economic inequality, 3(2), 169181. https://doi.org/10.1596/1813-9450-3579 ryandono, m. n. h. (2008). ekonomi ziswaq (zakat, infaq, shadaqah dan waqaf). surabaya: ifdi dan cenforis. ryu, h. k., & slottje, d. j. (2020). does political dominance impact economic inequality? advances in decision sciences, 24(1), 89-100. https://doi.org/10.47654/v24y2020i4p89100 scheidel, w. (2018). the great leveler: violence and the history of inequality from the stone age to the twenty-first century. new jersey: princeton university press. silbert, m. & useche, m.d.p. (2011). repeated natural disasters and poverty in island nations: a decade of evidence from indonesia. gainesville: university of florida. retrieved from https://bear.warrington.ufl.edu/centers/purc/docs/papers/1202_silbert_repeated_ natural_disasters.pdf tangkudung, s. n. (2019). the impact of natural disasters on economy in nusa tenggara barat in 2018. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 20(1), 63-70. https://doi.org/10.18196/jesp.20.1.5014 https://doi.org/10.1108/intr-06-2017-0240 http://savingsanddevelopment.unibg.it/does-financial-development-cause-economic-growth-in-the-asean-4-countries/ http://savingsanddevelopment.unibg.it/does-financial-development-cause-economic-growth-in-the-asean-4-countries/ https://doi.org/10.1007/s13132-017-0509-6 https://doi.org/10.1111/jors.12462 https://doi.org/10.1111/1468-2397.00180 https://bnpb.go.id/infografis/kejadian-bencana-tahun-2013 https://doi.org/10.1007/978-4-431-55022-8_11 https://doi.org/10.1007/s10668-020-00728-8 https://doi.org/10.18196/jesp.21.1.5034 https://doi.org/10.1007/s11356-019-04866-z https://doi.org/10.1596/1813-9450-3579 https://doi.org/10.47654/v24y2020i4p89-100 https://doi.org/10.47654/v24y2020i4p89-100 https://bear.warrington.ufl.edu/centers/purc/docs/papers/1202_silbert_repeated_natural_disasters.pdf https://bear.warrington.ufl.edu/centers/purc/docs/papers/1202_silbert_repeated_natural_disasters.pdf https://doi.org/10.18196/jesp.20.1.5014 azhar, majid, sartiyah, & dawood impact of disaster on economic performance of asean-9 … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 34 tselios, v., & tompkins, e. l. (2019). what causes nations to recover from disasters? an inquiry into the role of wealth, income inequality, and social welfare provisioning. international journal of disaster risk reduction, 33, 162–180. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.10.003 world giving index. (2019). caf world giving index. 10th edition. retrieved from https://www.cafonline.org/about-us/publications/2019-publications/caf-worldgiving-index-10th-edition wu, w. n., & chang, s. m. (2018). collaboration mechanisms of taiwan nonprofit organizations in disaster relief efforts: drawing lessons from the wenchuan earthquake and typhoon morakot. sustainability, 10(11), 1-14. https://doi.org/10.3390/su10114328 yamamura, e. (2015). the impact of natural disasters on income inequality: analysis using panel data during the period 1970 to 2004. international economic journal, 29(3), 359– 374. https://doi.org/10.1080/10168737.2015.1020323 zulkifli, m. f., taha, r., mohd nor, m. n., & ali, a. (2021). combating poverty in malaysia: the role of zakat. the journal of asian finance, economics and business, 8(5), 505-513. retrieved from https://www.koreascience.or.kr/article/jako202112748675064.pub?orgid=kodisa https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.10.003 https://www.cafonline.org/about-us/publications/2019-publications/caf-world-giving-index-10th-edition https://www.cafonline.org/about-us/publications/2019-publications/caf-world-giving-index-10th-edition https://doi.org/10.3390/su10114328 https://doi.org/10.1080/10168737.2015.1020323 https://www.koreascience.or.kr/article/jako202112748675064.pub?orgid=kodisa microsoft word 07-lia jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.58-66 determinan keuangan inklusif di sumatera utara, indonesia lia nazliana nasution1, pipit buana sari2, handriyani dwilita3 1,2,3 universitas pembangunan panca budi sumatera utara jl. jend. gatot subroto km. 4,5 sei sikambing 20122 kota medan, sumatera utara, indonesia. phone: +61 8455571 e-mail korespondensi: nazlie311@gmail.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: maret 2013 abstract: this study is a baseline study that presents an overview of some of the factors that affect the application of policies of inclusive finance in north sumatra. in this study the authors conducted a descriptive study of the total population, the number of productive population, the number of bank branches in north sumatra and north sumatra grdp in the period 2010 to 2013. it is known that the number of people in north sumatra in the period of observation has increased, but experienced reduction in the workforce. if seen from the data that reflected the local revenue of the value of gdp then an increase in revenue in north sumatra, but not too big. while other factors measured were the number of bank branches operating in north sumatra in the period of the study data showed that there was a significant increase over the number of bank branches operating in north sumatra. this means that in terms of factors of population, income and branch offices in north sumatra have been quite supportive of the application and implementation of better towards inclusive finance in north sumatra. keywords: inclusive finance; labor force; gross domestic regional product; banking service jel classification: g32 abstrak: studi ini merupakan kajian dasar yang mennyajikan beberapa gambaran sebagian faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan kebijakan inklusif keuangan di sumatera utara. pada studi ini penulis melakukan kajian deskriptif terhadap jumlah penduduk, jumlah penduduk produktif, jumlah kantor cabang bank di sumatera utara dan pdrb sumatera utara dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2013. diketahui bahwa jumlah penduduk di sumatera utara dalam kurun waktu pengamatan mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan jumlah angkatan kerja. jika dilihat dari data pendapatan daerah yang dicerminkan dari nilai pdrb maka terjadi peningkatan pendapatan di sumatera utara, namun tidak terlalu besar. sedangkan faktor lainnya yang diamati adalah jumlah kantor cabang bank yang beroperasi di sumatera utara dalam kurun waktu studi diperoleh data bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas jumlah kantor cabang perbankan yang beroperasi di sumatera utara. ini artinya dari segi faktor jumlah penduduk, pendapatan dan kantor cabang di sumatera utara telah cukup mendukung atas penerapan dan pelaksanaan yang lebih baik terhadap keuangan inklusif di sumatera utara. kata kunci: keuangan inklusif; angkatan kerja; produk domestik regional bruto; layanan perbankan klasifikasi jel: g32 pendahuluan perkembangan perekonomian suatu negara akan dipengaruhi beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam negeri maupun faktor yang berasal dari luar negeri. salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan perekonomian tersebut adalah perkembangan keuangan. ketika keuangan suatu negara berkembang maka akan berdampak positif terhadap determinan keuangan inklusif ... (lia nazliana, pipit, handriyani) 59 peningkatan perekonomian. dalam hal pengembangan jasa keuangan, bank indonesia, kementerian keuangan dan ojk mempunyai peran penting terhadap pelaksanaan dan pengawasan regulasi sektor keuangan di indonesia. bahkan ketiga institusi tersebut telah memiliki suatu suara terkait dengan sinergi peran jasa keuangan dan pengentasan kemiskinan. perluasan penggunaan jasa keuangan diyakini berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di suatu daerah. dengan meningkatnya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat terhadap jasa keuangan maka tingkat kemiskinan akan menurun dan peningkatan keuangan akan terjadi, pada akhirnya akan bermuara pada perkembangan perekonomian suatu daerah/negara. kemiskinan salah satunya disebabkan oleh terjadinya kesenjangan pendapatan di masyarakat. negara anggota g20, oecd, the world bank, imf, adb, dan asean telah sepakat bahwa perlu diberi perhatian penuh terhadap kesenjangan pendapatan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan. pada tahun 2012, indonesia telah sepakat bersama institusi tersebut untuk meluncurkan strategi nasional keuangan inklusif yang akan menjadi acuan dalam strategi pengentasan kemiskinan di indonesia. keuangan inklusif pada dasarnya merupakan upaya yang disusun secara bersama yang bertujuan meniadakan bentuk hambatan terhadap akses mayarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan biaya terjangkau. bank indonesia telah menyampaikan enam pilar yang menjadi dasar pelaksanaan keuangan inklusif di indonesia. keenam pilar tersebut meliputi: edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan/ peraturan pendukung, fasilitas intermediasi dan distribusi, dan perlindungan konsumen. beberapa studi pernah dilakukan terkait dengan penerapan keuangan inkusif di dunia khususnya di asia. berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh ummah (2013) dikatakan bahwa diantara negara-negara di asia maka jepang dan kores selatan merupakan negara dengan nilai indeks inklusif tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di asia. jepang memiliki nilai indeks inklusif sebesar 0,9 dan korea selatan memiliki nilai indeks inklusif sebesar 0,5. ini artinya bahwa hanya ke dua negara tersebut yang relatif merata dalam hal akses dan pelayanan keuangan yang lebih baik. studi yang dilakukan ummah dalam kurun waktu tahun 2004 sampai tahun 2011. tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan penerapan kebijakan keuangan inklusif maupun kemundurannya, salah satunya seperti yang pernah disampaikan setiawan, bahwa perilaku personal dapat menjadi faktor seseorang dalam menggunakan jasa perbankan. provinsi sumatera utara termasuk pada provinsi yang mengalami tingkat perkembangan perekonomian yang cukup baik jika dibandingkan dengan beberapa provinsi di indonesia. tercatat bahwa ibukota provinsi sumatera utara merupakan termasuk kota besar yang berpengaruh terhadap perekonomian di indonesia. namun berdasarkan data yang disampaikan oleh bank indonesia, sumatera utara masih dalam kategori underbanked. sumatera utara walaupun termasuk provinsi yang memilki potensi sumber daya ekonomi yang cukup baik namun dalam hal penggunaan jasa keuangan perbankan masih dalam kategori rendah. ini dapat menjadi indikasi bahwa pemerataan perekonomian di provinsi sumatera utara belum merata, dan pengetahuan mengenai jasa perbankan juga belum terserap di seluruh pelosok negeri. studi ini menggambarkan beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam penerapan kebijakan keuangan inkusif di sumatera utara. faktor yang diuraikan dalam studi ini adalah: jumlah penduduk, jumlah angkatan kerja, jumlah kantor cabang bank, dan pendapatan daerah (pdrb) selama kurun waktu 2010 hingga 2013. konsep inklusif keuangan. konsep inklusi keuangan mucul setelah adanya konsep eksklusi keuangan. berbagai peneliti mendefinisikan inklusi keuangan sebagai kebalikan dari eksklusi keuangan. sarma (2012) mendefinisikan inklusi keuangan sebagai sebuah proses yang menjamin kemudahan dalam akses, ketersediaan, dan manfaat dari sistem keuangan formal bagi seluruh pelaku ekonomi. bank indonesia (2013) mendefinisikan keuangan inklusi (financial inclusion) sebagai seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 58-66 60 indikator yang dapat dijadikan ukuran dari keuangan yang inklusif sebuah negara adalah ketersediaan/akses untuk mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga, penggunaan untuk mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa keuangan (antara lain keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan), kualitas untuk mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutan pelanggan, dan kesejahteraan untuk mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan pengguna jasa. beck et al. (2007) menyatakan bahwa konsep akses jasa keuangan dengan penggunaan jasa keuangan adalah konsep yang berbeda. pelaku ekonomi mungkin memiliki akses terhadap jasa keuangan tetapi tidak ingin menggunakannya. hal ini dapat disebabkan alasan sosial budaya ataupun biaya imbangan yang terlalu tinggi untuk menggunakan jasa keuangan. oleh karena itu, beck et al. membedakan kedua konsep terkait jangkauan sektor keuangan, yaitu (i) adanya akses dan kemungkinan dalam menggunakan jasa keuangan, dan (ii) penggunaan jasa keuangan aktual artinya yang benar-benar menggunakan jasa keuangan. adanya akses dan kemungkinan dalam menggunakan jasa keuangan di suatu daerah diukur dengan jumlah outlet/kantor cabang perbankan dan atm yang ada di daerah tersebut. semakin tinggi intensitas outlet/kantor cabang bank dan atm maka semakin tinggi pula kemungkinan dalam mengakses dan kesempatan dalam menggunakan jasa keuangan. sedangkan konsep kedua diukur dengan jumlah rekening kredit dan deposit serta rata-rata kredit dan deposit per gdp per kapita. tingginya kepemilikan rekening kredit dan deposit menunjukkan tingginya penggunaan jasa keuangan. demirguc-kunt a et al. (2008) menjelaskan lebih terperinci terkait perbedaan akses terhadap jasa keuangan dengan penggunaan jasa keuangan. akses ditujukan untuk penawaran sedangkan penggunaan jasa keuangan ditentukan baik oleh penawaran maupun permintaan. walaupun seseorang berpendapatan tinggi memiliki akses terhadap jasa keuangan, ada kemungkinan saja ia tidak tertarik untuk menggunakan jasa tersebut. begitu pula dengan nasabah, baik individu maupun perusahaan, belum tentu mau meminjam uang meskipun ditawari dengan suku bunga yang rendah. index of financial inclusion (ifi). beberapa peneliti mengukur inklusi keuangan dengan menghitung proporsi dari populasi dewasa atau rumah tangga yang memiliki akses terhadap jasa keuangan formal. studi yang lain membedakan konsep akses jasa keuangan dengan penggunaan jasa keuangan. akses jasa keuangan dapat diukur dengan jumlah kantor perbankan dan jumlah atm yang tersebar pada suatu wilayah, penggunaan jasa keuangan diukur dengan jumlah deposit serta kredit yang dilemparkan/disalurkan (world bank 2008). sarma et.al. (2011) merangkum itu semua dalam satu konsep yaitu indeks inklusi keuangan (index of financial inclusion). indeks ini sendiri digunakan untuk mengukur keinklusifan sistem keuangan di suatu negara. perhitungan ifi yang dikembangkan oleh sarma terbagi atas tiga dimensi yaitu: 1) penetrasi perbankan. penetrasi perbankan adalah indikator utama dalam inklusif keuangan. semakin banyak penggunanya maka semakin baik, karena itu sistem keuangan diharapkan dapat menjangkau secara luas di antara penggunanya. salah satu indikator penetrasi perbankan adalah proporsi populasi yang memiliki rekening dibank. 2) ketersediaan jasa keuangan. jasa keuangan harus tersedia bagi semua pengguna, dalam suatu sistem keuangan yang inklusif. ukuran ketersediaan ini adalah jumlah outlet (kantor cabang, atm, dan lain lain). ketersediaan jasa dapat dilihat dari jumlah cabang lembaga keuangan atau jumlah atm (automatic teller machine). tidak bisa dipungkiri atm memiliki peranan yang sangat penting bagi jasa perbankan dalam melayani kebutuhan masyarakat. kemudahan dalam mengambil tunai, penyetoran tunai serta digunakan untuk pembayaran membuat atm menjadi kebutuhan mutlak bagi masyarakat. dengan adanya kantor cabang dan atm, masyarakat akan semakin mudah menjangkau jasa keuangan. 3) penggunaan jasa perbankan. banyak alasan mengapa sekelompok orang masih belum memanfaatkan keberadaan jasa keuangan meskipun mereka memiliki akses terhadap jasa keuangan. di antaranya, jauhnya outlet bank dari tempat kediaman atau aktivitas sehari-hari, pengalaman buruk yang melibatkan penyedia determinan keuangan inklusif ... (lia nazliana, pipit, handriyani) 61 jasa. oleh sebab itu, memiliki rekening tidak cukup untuk menunjukkan sistem keuangan yang inklusif, namun masyarakat juga bisa menggunakannya. kegunaan tersebut di antaranya dapat dalam bentuk kredit, deposit, pembayaran, remitansi, dan transfer. berbagai studi tentang literasi keuangan telah dilakukan di beberapa negara. wachira dan kihiu (2012) telah melakukan studi tentang pengaruh literasi keuangan terhadap akses jasa keuangan di kenya pada tahun 2009, ternyata akses terhadap jasa keuangan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan tetapi lebih besar dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jarak dari bank, usia, status perkawinan, jenis kelamin, ukuran rumah tangga, dan tingkat pendidikan. adapun studi beck et al. (2007) di 99 negara pada tahun 2003-2004 menunjukkan bahwa faktor yang menentukan jangkauan sektor keuangan sama dengan faktor yang menentukan kedalaman sektor keuangan. faktor-faktor tersebut adalah tingkat dari pembangunan yang diproksikan dengan gdp per kapita, kualitas institusi yang diproksikan dengan governance index, serta infromasi kredit yang diproksikan dengan credit information index. van der werff et al. (2013), dalam studinya di 31 negara oecd tahun 2011, menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi proporsi populasi yang mengakses perbankan adalah ketimpangan pendapatan, jumlah atm dan bank per 100.000 populasi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang diproksikan dengan corruption index dan gni per kapita. inklusi keuangan juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. andrianaivo dan kpodar (2012) menganalisis 44 negara di benua afrika dengan menggunakan data tahun 1988-2007 terkait hubungan telepon seluler, inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi. hasil studi tersebut menjelaskan bahwa pengembangan telepon seluler berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di afrika. selain itu, inklusi keuangan yang diukur dengan jumlah tabungan dan pinjaman per kapita menjadi salah satu jalur transmisi dari perkembangan telepon seluler terhadap pertumbuhan. peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan memperkuat struktur perekonomian nasional. (kasmir, 2004:417) menurut susilo (2002) bank dalam sistem keuangan mempunyai peranan penting sebagai berikut: 1) pengalihan asset (assets transmutation), 2) transaksi (transaction), likuiditas (liquidity), 3) efisiensi (eficiency) selain peran dari perbankan diperlukan juga peran dari pemerintah yang dalam hal ini bertindak mengatur pemerataan pendapatan, stabilitas ekonomi serta mengeluarkan deregulasi di segala bidang, terutama yang berhubungan dengan perbankan dan perekonomian. peran pemerintah dalam pemerataan pendapatan masyarakat sangat penting, karena dengan peningkatan pendapatan ini akan mendorong meningkatnya pola konsumsi masyarakat dan juga tabungan masyarakat. saat ini yang memiliki kesempatan untuk menabung dengan jumlah yang banyak adalah orang kaya, karena mereka memiliki pendapatan yang lebih yang tidak habis untuk dikonsumsi, sementara orang miskin sendiri tidak memiliki kesempatan untuk menabung, karena sebagian besar pendapatan mereka telah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. pendapatan perkapita merupakan personal income di mana pendapatan yang diterima rumah tangga dan bisnis non perusahaan. nilainya diperoleh dengan membagi nilai produk domestik regional bruto (pdrb) suatu tahun tertentu dengan jumlah penduduk pada tahun tersebut (mankiw, 2003:10). dengan adanya pendapatan perkapita suatu negara mengharap pembangunan ekonomi mengalami perkembangan dari tahun ke tahun, karena pendapatan perkapita suatu negara dapat membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta dapat membandingkan laju perkembangan ekonomi yang telah dicapai oleh negara dari masa ke masa definisi produk domestik regional bruto adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu biasanya dalam satu tahun. (data: badan pusat statistik). jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 58-66 62 menurut anwar (1992) produk domestik regional bruto adalah sejumlah nilai tambah produksi yang ditimbulkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu daerah atau regional tanpa memilih atas faktor produksi. produk domestik regional bruto (pdrb) merupakan jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang atau jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah pada satu tahun. seperti yang telah kita ketahui bahwa pertumbuhan penduduk justru mendorong usaha pertumbuhan ekonomi, sebab kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi niscaya standar hidup manusia pasti semakin merosot. jumlah penduduk adalah manusia dan bukan yang lainnya (misalnya: ternak, tumbuhan, dan sebagainya) yang melakukan produksi maupun konsumsi. tampak jelas bahwa penduduk merupakan faktor yang justru lebih serius di sektor pertanian dibanding sektor di luar pertanian. seperti yang telah kita ketahui bahwa pertumbuhan penduduk justru mendorong usaha pertumbuhan ekonomi, sebab kalau tidak ada pertumbuhan ekonomi niscaya standar hidup manusia pasti semakin merosot. (suparmoko, 1997:53) penduduk dipandang sebagai nasabah yang akan melakukan kegiatan menabung. seperti yang diutarakan oleh kasmir, bahwa dana terbesar sektor perbankan didominasi oleh dana pihak ketiga yaitu yang diperoleh dari masyarakat. (kasmir, 2004:19). makin banyak jumlah penduduk makin tinggi pula jumlah dana tabungan masyarakat yang dihimpun oleh sektor perbankan. metode penelitian studi ini merupakan studi dengan analisis deskriptif, yang bertujuan memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang dipilih yang memiliki gambaran terhadap penerapan keuangan inklusif. studi ini dilakukan di sumatera utara mulai dari tahun 2010–2013. variabel yang diamati atau diukur: jumlah penduduk, jumlah angkatan kerja, jumlah kantor cabang bank dan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (pdrb). jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) tahunan yang bersumber dari bank indonesia dan badan pusat statistik. di samping itu untuk data pendukung lainnya diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, makalah, dan hasil studi. jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) tahunan mulai tahun 2010–2013, yang bersumber dari bank indonesia dan badan pusat statistik. di samping itu untuk data pendukung lainnya diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, makalah, dan hasil studi. adapun jenis data yang dibutuhkan dalam studi ini adalah jumlah penduduk, jumlah angkatan kerja, jumlah kantor cabang bank, dan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (pdrb adhk). hasil dan pembahasan faktor yang digunakan dalam studi ini meliputi jumlah penduduk di sumut, jumlah angkatan kerja, jumlah kantor cabang, dan pdrb adhk sumut. tahun pengamatan yang dipilih adalah tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013. pada tabel 1 disajikan tabel data variabel penelitian. potensi sumber daya untuk peningkatan perekonomian suatu daerah salah satunya adalah penduduk, khususnya penduduk produktif. peningakatan jumlah penduduk produktif dapat menstimulus peningkatan roda perekonomian. hal ini dikarenakan penduduklah yang melakukan kegiatan ekonomi seperti produksi dan konsumsi. dalam tabel 2 disajikan olah data deskriptif jumlah penduduk dan tabel 1. variabel penelitian, tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013* variabel 2010 2011 2012 2013* jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) 6.617.377 6.314.239 6.131.664 6.311.762 jumlah penduduk sumut (jiwa) 12.982.204 13.103.596 13.215.401 13.326.307 jumlah kantor cabang bank di sumut 174 178 192 199 pdrb adhk sumut (miliar rupiah) 118.640,90 126.587,62 134.461,50 142.537,12 determinan keuangan inklusif ... (lia nazliana, pipit, handriyani) 63 jumlah angkatan kerja di provinsi sumatera utara. berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013, jumlah penduduk di sumatera utara mengalami peningkatan sebesar 344.103 jiwa, atau sebesar 2,58 persen. ini merupakan potensi yang dimiliki untuk merespon dan menjalankan kebijakan ekonomi dan roda perekonomian di sumatera utara. jumlah penduduk terbesar terjadi pada tahun 2013. namun tidak keseluruhan jumlah penduduk tersebut yang memilki peran aktif dalam mendukung roda perekonomian khususnya dalam mensukseskan program inklusif keuangan. hanya penduduk yang masuk dalam kategori produktif saja yang digolongkan sebagai sumber daya manusia yang mendukung keuangan inklusif, yaitu di atas umur 15 tahun sampai umur 55 tahun. berdasarkan data yang disajikan di atas diketahui bahwa jumlah angkatan kerja mengalami penurunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. jumlah angkatan kerja tertinggi terjadi tahun 2010 sebesar 6.617.377 jiwa dan jumlah angkatan kerja terendah justru terjadi pada tahun 2012 sebesar 6.131.664 jiwa. berikut ini akan disajikan grafik perubahan jumlah penduduk dan jumlah angkatan kerja yang terjadi diu sumatera utara selama kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2013. penurunan jumlah angkatan kerja yang terjadi di sumatera utara dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya perpindahan penduduk angkatan kerja yang awalnya berdomisili di sumatera utara ke kota yang menawarkan pekerjaan lebih baik atau lebih sesuai, pernikahan, dan rendahnya penawaran kerja yang tersedia di sumatera utara terutama di daerahdaerah. gambar 1. jumlah penduduk sumut (jiwa) periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 gambar 2. jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) tidak dapat dipungkiri bahwa penawaran lapangan pekerjaan masih terpusat pada kotakota tertentu, tidak merata di seluruh kota di sumatera utara. hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan pendapatan yang terjadi di sumatera utara. kesenjangan pendapatan dapat menjadi indikator terjadinya kesenjangan penerapan kebijakan keuangan inklusif yang telah dirumuskan oleh pemerintah. berikut ini akan disajikan perbantabel 2. jumlah penduduk sumut (jiwa) dan jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) variabel 2010 2011 2012 2013* average max min jumlah penduduk sumut (jiwa) 12.982.204 13.103.596 13.215.401 13.326.307 13.156.877 13.326.307 12.982.204 jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) 6.617.377 6.314.239 6.131.664 6.311.762 6.343.761 6.617.377 6.131.664 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 58-66 64 dingan jumlah angkatan kerja dengan pendapatan di sumatera utara. berdasarkan data yang tersaji pada tabel di atas dapat dilihat bahwa pdrb adhk di sumatera utara terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata pdrb adhk sebesar 130.556,79 miliar rupiah. nilai pdrb adhk terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 118.640,90 miliar rupiah, dan nilai pdrb adhk tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebesar 142.537,12 miliar rupiah. peningkatan pdrb adhk yang terjadi di sumatera utara selama kurun waktu 2010 sampai dengan 2013 adalah sebesar 16,76 persen. berikut ini grafik yang menggambarkan perubahan pdrb adhk dalam miliar rupiah gambar 3. pdrb adhk sumut (miliar rupiah) tahun 2010 sampai dengan 2013 peningkatan pdrb adhk yang terjadi di sumatera utara menjadi ukuran bahwa terjadi peningkatan perekonomian di sumatera utara dan peningkatan peran masyarakat terhadap produksi dan konsumsi. penurunan angkatan kerja yang tersedia di sumatera utara sebesar 4,84 persen ternyata tidak menyebabkan penurunan jumlah pendapatan masyarakat. ini bisa menjadi indikasi bahwa mungkin terdapat pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang terjadi di sumatera utara, atau terjadi peningkatan lapangan pekerjaan yang lebih baik dari tahun ke tahun. memang perlu studi lebih lanjut untuk menyimpulkan fenomena tersebut. namun dari penjelasan di atas dapat kita katakan bahwa tersedianya jumlah penduduk produktif dan peningkatan pendapatan daerah di sumatera utara dapat menjadi stimulus penerapan enam pilar kebijakan keuangan inklusif di sumatera utara. berdasarkan informasi data yang pernah disampaikan oleh bank indonesia pada evolusi kerangka kebijakan financial inclusion pada tahun 2013 dapat dilihat bahwa provinsi sumatera utara masih dalam kategori underbanked. ini artinya walaupun dari tahun 2010 sampai dengan 2013, pendapatan daerah di sumatera utara mengalami peningkatan namun peran masyarakat terhadap pemakaina jasa keuangan perbankan masih relatif kecil. hal ini bisa menjadi indikasi bahwa: masih banyak informasi keuangan yang belum terserap secara merata, jika pun penetrasi keuangan telah dilakukan namun belum menyeluruh dan tersebar secara luas, ini juga bisa menjadi indikasi bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan masih rendah. sebagai acuan lain berikut ini akan disajikan data perkembangan perbankan di sumatera utara terutama perkembangan kantor cabang bank-bank nasional yang ada di sumatera utara. dalam kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2013, jumlah kantor cabang bank di sumatera utara mengalami peningkatan sekitar 12,56%. tahun 2013 jumlah kantor cabang yang telah dibuka di sumatera utara sebesar 199 tabel 3. jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) dan pdrb adhk sumut (miliar rupiah) tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 variabel 2010 2011 2012 2013 average max min jumlah angkatan kerja (>15thn) sumut (jiwa) 6,617,377 6,314,239 6,131,664 6,311,762 6,343,761 6,617,377 6,131,664 pdrb adhk sumut (miliar rupiah) 18,640.90 126,587.62 134,461.50 142,537.12 130,556.79 142,537.12 118,640.90 determinan keuangan inklusif ... (lia nazliana, pipit, handriyani) 65 kantor. peningkatan pembukaan kantor cabang ini konsisten terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai tahun 2013. gambar 4. jumlah kantor cabang bank di sumut periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 ini menjadi indikasi bahwa perkembangan perbankan di sumatera utara cukup baik. ini bisa juga dikatakan bahwa faktor yang mendukung penerapan suksesnya kebijakan keuangan inklusif di sumatera utara telah tersedia. hanya perlu pengamatan dan studi lebih lanjut seberapa luas penyebaran penggunaan jasa keuangan perbankan. perlu diteliti lebih lanjut tentunya tentang efektif tidaknya penetrasi yang telah dilakukan masing-masing bank, bi dan ojk di wilayah-wilayah pelosok di sumatera utara. simpulan berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk tidak mencerminkan jumlah angkatan kerja yang berperan dalam perekonomian suatu daerah. peningkatan jumlah pendapatan di sumatera utara selama kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan. demikian pula dengan jumlah pembukaan kantor cabang bank yang beroperasi di sumatera utara. ini menjadi indikasi bahwa beberapa faktor yang dapat mendukung penerapan enam pilar kebijakan pelaksanaan keuangan inklusif dapat terlaksana. namun perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk lebih mendalami lagi masing masing pilar keuangan inklusif indonesia. berdasarkan simpulan di atas, maka perlu dilakukan studi lebih lanjut terhadap kesiapan penerapan enam pilar kebijakan keuangan inklusif di sumatera utara. terutama terkait dengan efektivitas pelaksanaan penetrasi terkait pemahaman jasa keuangan perbankan hingga ke pelosok-pelosok daerah di sumatera utara. karena terdapat indikasi ketidakmerataan penggunaan informasi dan jasa keuangan sampai pada pelosok-pelosok daerah yang terdapat di sumatera utara. daftar pustaka andrianaivo m, kpodar k. (2012). mobile phones, financial inclusion, and growth. review of economics and institution. vol.3 no.2 ang jb. (2010). finance and inequality: the case of india. shouthern economic journal. 76(3): 738-761 anwar, arsyd m. dkk. (1992). ekonomi indonesia prospek jangka pendek dan sumber pembiayaan pembangunan. jakarta: penerbit gramedia pustaka utama. beck, t. demirguc-kunt a, levine r. (2007). finance, inequality and the poor. journal of economic growth. 12:27-49. beck, t. demirguc-kunt a, peria msm. (2006). reaching out: access to and use of banking tabel 4. jumlah kantor cabang bank di sumut dan pdrb adhk sumut (miliar rupiah) dalam kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2013* variabel 2010 2011 2012 2013* average max min jumlah kantor cabang bank di sumut 174 178 192 199 186 199 174 pdrb adhk sumut (miliar rupiah) 118.640,90 126.587,62 134.461,50 142.537,12 130.556,79 142.537,12 118.640,90 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 58-66 66 services across country. journal of financial economics. 85:234-266. badan pusat statistik. (2013). tersedia pada http://www.bps.go.id bank indonesia. (2013). statistik perbankan indonesia tersedia pada http://www.bi. go.id/id/statistik/perbankan/indonesia/ default.aspx demirguc-kunt a, beck t, honohan p. (2008). finance for all? policies and pitfalls in expanding access. washington, dc (us): world bank. kasmir. (2004). dasar-dasar perbankan, edisi pertama, cetakan kedua, jakarta: penerbit pt. raja grafindo persada, mankiw, n. gregory. (2003). pengantar ekonomi, edisi kedua, jilid 2. jakarta: penerbit erlangga. ototritas jasa keuangan. 2013. laporan triwulanan ojk. tersedia pada: http://www. ojk.go.id/ sarma mandira, jesim pais. (2011). financial inclusion and development. journal of international development. 23:613-628. shahbaz m., islam f. (2011). financial development and income inequality in pakistan: an application of ardl approach. munich personal repec archive (mpra). 17:13. sarma mandira. (2012). index of financial inclusion – a measure of financial sector inclusiveness. berlin working papers on money, finance, trade and development. working paper no.07/2012. suparmoko. (1997). ekonomi pembangunan, edisi ketiga. yogyakarta: penerbit ugm. susilo, sri y, dkk. (2002). bank dan lembaga keuangan lain. jakarta: penerbit salemba empat. ummah. (2012). analisis keterkaitan inklusi keuangan dengan pembangunan di asia. bogor: departemen ilmu ekonomi, fakultas ekonomi dan manajemen, institut pertanian bogor. van der werff ad, hogarth jm, peach nd. (2012). a cross-country analysis of financial inclusion within the oecd. consumer interest annual. volume 59. wachira mi, kihiu en. (2012). impact of financial literacy on access to financial services in kenya. international journal of business an social sience. vol 3 no.19. european commission report. (2008). financial services provision and prevention of financial exclusion. world bank: working paper no 6025. image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg image (14).jpg image (15).jpg image (16).jpg image (17).jpg image (18).jpg image (19).jpg image (20).jpg image (21).jpg image (22).jpg image (23).jpg image (24).jpg image (25).jpg image (26).jpg image (27).jpg image (28).jpg image (29).jpg image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 1, april 2021 article type: research paper achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program: case study of marine tourism in gili matra indonesia diswandi1*, luluk fadliyanti1, mansur afifi1, and hailuddin1 abstract: harmonization of tourism and conservation activities can be used to achieve sustainable tourism. regarding this matter, the payment for ecosystem services (pes) program could be a promising solution to be implemented. by considering marine tourism in gili matra, lombok, this study applied quantitative research method to analyzed the possibility of sustainable tourism development through the pes scheme for harmonizing marine tourism and preserve coral reefs. data was collected thorugh survey to 100 international tourists that were selected randomly. using the contingent valuation method (cvm), this study found that international tourists were willing to pay an average of usd 21.46 per visit to contribute to the pes program to sustain the existence of coral reefs and other marine biotas as ecosystem services provided by gili matra. the tourists’ educational and income levels influenced their willingness to pay. keywords: coral reef; conservation; willingness to pay; contingent valuation method; environmental awareness jel classification: o13, q56, q57, p28 introduction the north lombok regency in west nusa tenggara province (ntb) has a very strategic position concerning the development of the tourism sector with the gili matra region's existence, which consists of a group of small islands: gili air, gili meno, and gili trawangan. the relatively increasing number of visits to gili matra has an impact on the increasing availability of hotels, accommodation, and other infrastructure, which, in turn, can have a negative impact on the environmental capacity, both on land and at sea (abeyratne, 1999; burger, 2000; giannoni & maupertuis, 2007). as saptutyningsih (2004) also mentioned, tourism may lead not only to a positive impact on the economy but also a negative impact on the environment, especially regarding the land carrying capacity. the biggest feature of gili matra's tourist attractions is the marine park's beauty, including coral reefs and the marine life that surrounds it. marine tourism activities promoted place more emphasis on economic aspects, in which tourism activities are highlighted to have a maximum positive economic impact. affiliation: 1 department of economics, faculty of economics and business, universitas mataram, west nusa tenggara, indonesia *correspondence: diswandi@unram.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i1.11083 citation: diswandi, d., fadliyanti, l., afifi, m., & hailuddin, h. (2021). achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program: case study of marine tourism in gili matra indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(1), 12-20. article history received: 05 feb 2021 revised: 20 mar 2021 accepted: 05 apr 2021 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57192651698 https://scholar.google.com/citations?user=4n8c-isaaaaj&hl=en https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=56800207600 https://scholar.google.co.id/citations?user=_f2nofcaaaaj&hl=en http://fe.unram.ac.id/ilmu-ekonomi-dan-pembangunan/ http://fe.unram.ac.id/ilmu-ekonomi-dan-pembangunan/ http://fe.unram.ac.id/ilmu-ekonomi-dan-pembangunan/ http://fe.unram.ac.id/ilmu-ekonomi-dan-pembangunan/ mailto:diswandi@unram.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/11083 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.11083&domain=pdf diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 13 at the same time, the conservation aspect is not given enough attention so that the condition of coral reefs and other marine biotas, which are the main tourist attractions, continues to deteriorate. if this continues, marine parks in the region will no longer be attractive in the long run and will have a negative impact on the tourism sector due to the reduced number of tourists visiting the area. the next impact is that economic growth, which previously depended on the tourism sector, will experience a slump (giannoni & maupertuis, 2007). in order to prevent this from happening, efforts are needed to harmonize tourism and conservation activities (budowski, 1976). in this case, gili matra's tourism activities need to be aligned with conservation efforts, including the conservation of coral reefs. one potential effort to be made is the payment for ecosystem services (pes) program (barr & mourato, 2009). payment for ecosystem services (pes) is defined as a voluntary transaction, in which clearly identified ecosystem services are purchased by at least one environmental service buyer from at least one environmental service provider in a condition that the provider continues to conserve the associated resources to ensure the ecosystem services’ sustainability (sunderlin et al., 2005; wunder, 2007). associated with the concept of pes, tourism businesses and tourists are on the demand side, which acts as 'buyers' of ecosystem services, should pay a certain amount for the cost of preserving coral reefs and other marine biotas. on the supply side, related institutions, such as the ministry of maritime affairs and fisheries or local fishermen community, may act as 'sellers' of the ecosystem services. the funds collected from the payment of ecosystem services are then directed to local communities' conservation activities and empowerment. research on pes programs' contributions to sustainable natural resource management and community empowerment has been conducted in various countries. for example, bremer et al. (2014) found that pes programs in ecuador contributed positively to community empowerment and sustainable natural resource management. in vietman, suhardiman et al. (2013) revealed that pes might contribute to better natural resource management if the competitive market exists or the government is involved in designing and enforcing the regulation. mangubhai et al. (2020) recommend that marine conservation agreement in fiji, which is similar to pes, can contribute to protecting marine resources that can be achieved through strict monitoring and enforcement of the agreement. research conducted in raja ampat indonesia by atmodjo, lamers and mol (2017) suggests that there was no apparent impact of the pes scheme on the ecosystem services provision in the region due to the lack of clearly defined ecosystem services. research conducted by allendorf and yang (2013) in china showed that an understanding of ecosystem service could be the basis for harmonizing the relationship between people's economic livelihoods and environmental conservation. nevertheless, the research focused more on raising the awareness of related parties and did not formulate activities to harmonize economic activities and conservation. meanwhile, schuhmann et al. (2013) analyzed the scuba divers' willingness to pay for marine biodiversity in barbados, the caribbean island. they uncovered a potency for marine biota conservation diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 14 through the economic benefits of dive tourism activities in the area. however, this study did not recommend a scheme to balance tourism activity with the conservation of coral reefs and marine biota. research that examines the scheme of harmonization of tourism and conservation activities is still lacking and remains a gap in the literature. thus, to fill the literature gap, this study aimed to analyze the potential for harmonization of marine tourism activities and marine conservation, in this case, coral reefs, through the pes scheme. the creation of a pes system is expected to contribute positively to marine resources' sustainability, including coral reefs as a major tourist attraction in gili matra and local communities' empowerment to create sustainable tourism activities. by taking the gili matra area as a case study, it is expected that this study can suggest a policy that can be applied in other similar marine tourism locations to create a harmonious relationship between tourism, conservation, and the empowerment of local communities. research method this study employed a quantitative method. data for this study were collected through a survey of 100 international tourists in gili matra selected randomly. the survey collected information on tourists’ opinions about the state of coral reefs' benefit for humans and the respondents themselves. then, the survey sought tourist willingness to pay (wtp) for coral reefs conservation. the maximum wtp of tourists for coral conservation was modeled and elicited through a contingent valuation method (cvm) (bateman & turner, 1992). this method uses survey techniques to find out how much the value of environmental good and service for individuals or society. in this survey, the cv (contingent valuation) questions provide a hypothetical scenario that the local government would charge every tourist a certain amount of money used explicitly for coral conservation. a bidding game technique (calia & strazzera, 1999) was used to capture the maximum amount of money that tourists were willing to contribute to the sustainability of the coral reefs ecosystem. this study also identified factors influencing the amount of wtp of the tourist. for this purpose, an econometric model was developed as follows: wtpi* = βxi + i where β is a vector of the slope parameter, and xi is an observation vector on the independent variable for individual i. the error term () is assumed to be a normally distributed random variable with an average of zero. the respondents' wtp was hypothesized to be influenced by several independent variables: education, income, gender, and previous visit. a stepwise regression technique was utilized to find the best model that could further be used for analysis. diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 15 result and discussion respondents’ characteristics gender one hundred international tourists were randomly selected as respondents of this study. among them, 53% were female, and 47% were male. figure 1 gender education education was measured by the length of school (years) taken by the respondents. out of the hundred respondents, most of them (37%) have studied for 16-20 years or with the highest-level equivalent to senior high school. in the second place, 31% of respondents were educated over 20 years. meanwhile, the respondents' lowest education level was 612 years, with 12%. figure 2 education income the respondents’ income was proxied from their expenditure. it was done because income is personal and confidential data for most westerners. to produce valid and diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 16 unbiased income data, a proxy was employed using the expenditure variable. based on the expenditure level, respondents were divided into four groups: (1) less than 1,000 usd; (2) 1,000 2,000 usd; (3) 2,000 3,000 usd; (4) more than 3,000 usd. of the hundred respondents, the majority had monthly expenditures of between 1,000 2,000 usd, with a percentage of 42%. meanwhile, the smallest group of respondents had a monthly expenditure of 2,000 3,000 usd, with 8%. origin of respondents in this study, most respondents came from germany with a percentage of 14% and britain with 12%. in the third place, most respondents were from france with a percentage of 11%. meanwhile, in the fourth place, most respondents came from australia and america with 8% each. other respondents came from various countries in the world. figure 3 origin of respondents previous visit of the one hundred respondents, 52% were tourists who had previously come to gili matra. meanwhile, 48% of respondents were tourists who visited gili matra for the first time. tourists who had visited gili matra before, the majority had visited 1-3 times with a percentage of 66%. meanwhile, 20.83% of them had visited 4-6 times. only 12.5% of these tourists had the frequency of previous visits more than six times. figure 4 previous visit diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 17 willingness to pay by tourists for the conservation of coral reefs the survey results using the contingent valuation method (cvm) showed that the average willingness to pay (wtp) of international tourists for ecosystem service fees or coral reef conservation funds on gili matra was usd 21.46 per visit. the lowest wtp was zero usd, meaning that tourists did not want to pay for ecosystem services or funds for coral reef conservation. meanwhile, the highest wtp was 200 usd per visit. most respondents (20% of them) were willing to pay 5 usd. based on this result, this study argues that there is a potency to harmonize tourism and natural resource conservation. this finding is in line with schuhmann et al. (2013) and mangubhai et al. (2020). for effective pes implementation, a clear definition of the ecosystem services is needed, as allendorf and yang (2013) mentioned. thus, the unclear impact on nature conservation found by atmodjo et al. (2017) can be avoided. this study also supports suhardiman et al. (2013), considering the government's involvement in regulating the pes program. however, not all respondents in this study agreed with the pes contribution. about 12% stated they did not want to contribute. they put forward several reasons, including that repairing coral reefs is the indonesian state's responsibility. besides, they did not believe if the money collected would be used properly. several other respondents did not want to contribute but gave no reason. some factors influenced the respondents’ wtp. this matter is discussed in the following paragraphs. as mentioned in the method section, the econometrics model in this study was run using the stepwise regression technique to find the best model that could be used for analysis. it was a model that all the independent variables significantly influenced the dependent variable. it resulted in three models, as exhibited in table 1. table 1 regression estimation coefficient variable model 1 model 2 model 3 betta t statistic betta t statistic betta t statistic constant 36,741 2,755* 36,562 2,761* 31,295 2,436* education -6,338 -2,124* -6,428 -2,188* -6,077 -2,063* income 7,501 2,403* 7.482 2,410* 7,396 2,367* gender -8,626 -1,480 -8.661 -1,494 previous visit -1.208 -0,206 f-statistics 2,897* 3,888* 4,656* adj r2 0,071 0,080 0,069 * significance at α 5% source: data processed. table 1 presents the effects of independent variables on the amount of money that respondents were willing to pay for coral reef conservation. the estimated regression coefficient showed the marginal impact of the independent variable on the amount of money that was willing to be paid by respondents. diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 18 the stepwise regression resulted in three models in this study, as presented in table 1, namely: model 1: wtp = f (education, income, gender, previous visit) model 2: wtp = f (education, income, gender) model 3: wtp = f (education, income) from the three models, it was found that the third model produced the best-estimated value. only two of the estimated coefficients, namely education and income, significantly affected the wtp at a significance level of 95%. it signified that these variables significantly affected the amount of money that respondents were willing to pay for coral reef conservation through ecosystem service fees. respondents' income had a positive and significant impact on the amount of wtp. respondents with high incomes tended to have a higher wtp value. an increase in income by 1% would increase wtp by 7.39%, ceteris paribus. this finding reflects someone’s level of environmental awareness, supporting altin et al. (2014) and duroy (2005), who argue that when family income increase, the level of environmental awareness also increases. however, this study contrast with jacobsen and hanley (2008), who state that the rise of income will be followed by lower wtp for environmental conservation. the education coefficient sign was negative, indicating that the higher the respondents' education, the lower their willingness to pay for ecosystem service fees. a one-year increase in respondent’s education would reduce his/her wtp by 6.07%, ceteris paribus. these estimation results contradict the expectation that people with high education levels are more aware of environmental conditions and are thus more willing to contribute to conservation efforts. this finding also contrasts with aminrad, zakaria and hadi (2011) and altin et al. (2014), who found increasing education level would increase someone’s environmental awareness level. meanwhile, the tourist’s previous visits to the tourism destination and gender did not affect tourists' willingness to contribute to the payment of ecosystem service fees. this finding does not corroborate with altin et al. (2014), who argue that women have better environmental awareness than men. this study contributes to the literature on sustainable tourism. it can reference sustainable tourism in the small island through pes application that considers international tourists on the demand side. conclusion this study found a potency to balance tourism and coral reefs conservation in gili matra, lombok. this argument comes from the fact that international tourists are willing to contribute to coral reef conservation by allocating cash during their visit. this study found that international tourists who came to gili matra were willing to pay an average of 21.46 usd per visit. this amount of wtp was influenced by the respondents’ income and diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 19 education. high-income people tended to pay more than those who had less income. ironically, people with better education tended to pay less than those with lower education. this study also concluded that gender and the tourist’s previous visit to a tourism destination did not influence their willingness to conserve the related environment. considering that there is a willingness to pay from tourists for coral reef conservation, this study recommends that a payment for ecosystem services (pes) program is possible to be developed on gili matra to promote the sustainable tourism industry. this study is not perfect, however. the number of sample are only 100 people which is relatively small. thus, further study that accommodate larger sample is recommended. references abeyratne, r. i. r. (1999). management of the environmental impact of tourism and air transport on small island developing states. journal of air transport management, 5(1), 31–37. https://doi.org/10.1016/s0969-6997(98)00034-9 allendorf, t. d., & yang, j. (2013). the role of ecosystem services in park–people relationships: the case of gaoligongshan nature reserve in southwest china. biological conservation, 167, 187–193. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2013.08.013 altin, a., tecer, s., tecer, l., altin, s., & kahraman, b. f. (2014). environmental awareness level of secondary school students: a case study in balıkesir (türkiye). procedia social and behavioral sciences, 141, 1208–1214. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.05.207 aminrad, z., zakaria, s. z. b., & hadi, a. s. (2011). influence of age and level of education on environmental awareness and attitude: case study on iranian students in malaysian universities. the social sciences, 6(1), 15–19. https://doi.org/10.3923/sscience.2011.15.19 atmodjo, e., lamers, m., & mol, a. (2017). financing marine conservation tourism: governing entrance fees in raja ampat, indonesia. marine policy, 78, 181–188. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2017.01.023 barr, r. f., & mourato, s. (2009). investigating the potential for marine resource protection through environmental service markets: an exploratory study from la paz, mexico. ocean & coastal management, 52(11), 568–577. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2009.08.010 bateman, i. j., & turner, r. k. (1992) evaluation of the environment: the contingent valuation method. cserge working paper gec, 92-18. retrieved from https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environm ent_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntiz mta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publication coverpdf bremer, l. l., farley, k. a., lopez-carr, d., & romero, j. (2014). conservation and livelihood outcomes of payment for ecosystem services in the ecuadorian andes: what is the potential for “win–win”? ecosystem services, 8, 148–165. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2014.03.007 https://doi.org/10.1016/s0969-6997(98)00034-9 https://doi.org/10.1016/j.biocon.2013.08.013 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.05.207 https://doi.org/10.3923/sscience.2011.15.19 https://doi.org/10.1016/j.marpol.2017.01.023 https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2009.08.010 https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://www.researchgate.net/publication/239757571_evaluation_of_the_environment_the_contingent_valuation_method?enrichid=rgreq-45aeb6c8c7b8cc8bfb5c46f2d3451176-xxx&enrichsource=y292zxjqywdlozizotc1nzu3mttbuzoznjgwodyyntizmta1mjhamtq2ndc3mdawotu0na%3d%3d&el=1_x_2&_esc=publicationcoverpdf https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2014.03.007 diswandi, fadliyanti, afifi, & hailuddin achieving sustainable tourism through payment for ecosystem service (pes) program … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 20 budowski, g. (1976). tourism and environmental conservation: conflict, coexistence, or symbiosis? environmental conservation, 3(1), 27–31. https://doi.org/10.1017/s0376892900017707 burger, j. (2000). landscapes, tourism, and conservation. science of the total environment, 249(1-3), 39–49. https://doi.org/10.1016/s0048-9697(99)00509-4 calia, p., & strazzera, e. (1999). bias and efficiency of single vs double bound models for contingent valuation studies: a monte carlo analysis. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.158412 duroy, q. m. (2005). the determinants of environmental awareness and behavior. journal of environment and development. retrieved from https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.463.9134&rep=rep1&ty pe=pdf giannoni, s., & maupertuis, m.-a. (2007). environmental quality and optimal investment in tourism infrastructures: a small island perspective. tourism economics, 13(4), 499–513. https://doi.org/10.5367/000000007782696014 jacobsen, j. b., & hanley, n. (2008). are there income effects on global willingness to pay for biodiversity conservation? environmental and resource economics, 43(2), 137–160. https://doi.org/10.1007/s10640-008-9226-8 mangubhai, s., sykes, h., manley, m., vukikomoala, k., & beattie, m. (2020). contributions of tourism-based marine conservation agreements to natural resource management in fiji. ecological economics, 171, 106607. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2020.106607 saptutyningsih, e. (2004). the tourism carrying capacity. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 5(2), 165-183. retrieved from https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/3218 schuhmann, p.w., casey, j.f., horrocks, j.a., & oxenford, h.a. (2013). recreational scuba divers' willingness to pay for marine biodiversity in barbados. journal of environmental management, 121, 29-36 https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2013.02.019 suhardiman, d., wichelns, d., lestrelin, g., & hoanh, c. t. (2013). payments for ecosystem services in vietnam: market-based incentives or state control of resources? ecosystem services, 6, 64–71. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2013.06.006 sunderlin, w. d., angelsen, a., belcher, b., burgers, p., nasi, r., santoso, l., & wunder, s. (2005). livelihoods, forests, and conservation in developing countries: an overview. world development, 33(9), 1383–1402. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2004.10.004 wunder, s. (2007). the efficiency of payments for environmental services in tropical conservation. conservation biology, 21(1), 48–58. https://doi.org/10.1111/j.15231739.2006.00559.x https://doi.org/10.1017/s0376892900017707 https://doi.org/10.1016/s0048-9697(99)00509-4 https://doi.org/10.2139/ssrn.158412 https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.463.9134&rep=rep1&type=pdf https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.463.9134&rep=rep1&type=pdf https://doi.org/10.5367/000000007782696014 https://doi.org/10.1007/s10640-008-9226-8 https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2020.106607 https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/3218 https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2013.02.019 https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2013.06.006 https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2004.10.004 https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2006.00559.x https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2006.00559.x image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg image (14).jpg image (15).jpg image (16).jpg microsoft word 05-alfi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.177-187 efisiensi kinerja keuangan badan amil zakat daerah (bazda): pendekatan data envelopment analysis (dea) alfi lestari fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62-274-387656 e-mail korespondensi: alfilestari39@gmail.com naskah diterima: nopember 2014; disetujui: mei 2015 abstract: the great potential of zakat, infak and sedekah (zis) in east lombok regency is believed to be able to create justice wealth distribution and welfare of the people. however, received zis funds have not yet been optimal and is still far from the potential of zakat. so that, it was needed of optimizing the potential of zakat, one only measured from high efficiency. this research aims to analyze efficiency financial performance of regional zakat institution (bazda) by using data envelopment analysis (dea) method with intermediations approach. quantitative approach is conducted in this descriptive research. the object in this research is financial report bazda east lombok regency in period 2012-2014. this research applied data envelopment analysis method with constant return to scale (crs) asumption. there are two variables that have been used in this research is the input and output variables. the input variables are received zis funds, operating cost and wage staff. while the output variables are allocated zis funds and fixed assets. the results of these studies indicate that bazda in east lombok regency, efficiency at the end of 2012-2014 was 100 percent. efficiency goes on because the actual is t same as a target that was determined by dea. keywords: efficiency; zakat; bazda; data envelopment analysis (dea) jel classification: o12, o16, r11, r58 abstrak: besarnya potensi zakat, infak dan sedekah (zis) di kabupaten lombok timur diyakini dapat menciptakan keadilan distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat. akan tetapi, dana zis yang terhimpun belum optimal dan masih jauh dari potensi zakat yang ada. sehingga dibutuhkan optimalisasi potensi zakat, salah satunya diukur dari tingkat efisiensinya. studi ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi kinerja keuangan badan amil zakat daerah (bazda) menggunkan metode data envelopment analysis (dea) dengan pendekatan intermediasi. objek yang diteliti adalah laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur periode 2012-2014. metode yang digunakan adalah metode data envelopment analysis (dea) dengan asumsi constant return to scale (crs). ada dua variabel yang digunakan dalam studi ini yaitu variabel input dan output. variabel input yang digunakan adalah dana zis yang terhimpun, aktiva tetap dan gaji karyawan. sementara variabel outputnya adalah dana zis yang tersalurkan dan biaya operasional. hasil studi ini menunjukkan bahwa bazda kabupaten lombok timur mengalami efisiensi pada tahun 2012-2014 yaitu sebesar 100 persen. efisiensi terjadi karena nilai actual tidak sama dengan nilai target yang ditetapkan oleh dea. kata kunci: efisiensi; zakat; bazda; data envelopment analysis (dea) klasifikasi jel: o12, o16, r11, r58 doi: 10.18196/jesp.2015.0050.177-187 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 177-187 178 pendahuluan salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa indonesia saat ini adalah disparitas dan kemiskinan. data terakhir pada bulan maret 2015 mencatat jumlah penduduk miskin indonesia mencapai 28,59 juta jiwa atau 11,22 persen (bps, 2015). kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia ke dalam berbagai tindakan kejahatan dan tindakan kriminalitas akibat desakan ekonomi. nabi muhammad saw menyebutkan kemiskinan dapat membawa manusia jatuh dalam kekufuran. untuk mengatasi masalah ini perlu adanya sistem kesejahteraan yang berkelanjutan (supanra, 2014). melihat problematika ini sudah sepantasnya untuk memperhatikan salah satu solusi dalam islam untuk dapat menyejahterakan masyarakat yaitu dengan zakat, sedekah dan wakaf yang berbentuk amal jariyah. dalam mengentaskan kemiskinan diperlukan adanya kerjasama pemerintah dengan suatu lembaga yang dapat menghimpun, menyalurkan dan mengelola zakat yang dikeluarkan oleh muzakki untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. di indonesia, pengelolaan zakat telah diatur berdasarkan undang-undang no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan keputusan menteri agama (kma) no.581 tahun 1999 tentang pelaksanaan undangundang no.38 tahun 1999 dan keputusan direktur jendral bimbingan masyarakat islam dan urusan haji no.d/291 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat. ada dua tujuan dari pengelolaan zakat yang dijelaskan dalam undang-undang no.23 tahun 2011 yaitu: 1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; 2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (isniyati, 2013). organisasi pengelolaan zakat (opz) adalah organisasi intermediasi yang bersifat nirlaba. seluruh beban operasional diambil dari dana zakat, infaq dan zakat yang terhimpun. hal ini pun dibenarkan oleh syariah, karena pengurus opz adalah amilin zakat yang juga termasuk dalam 8 asnaf yang berhak mendapatkan harta zakat. kegiatan tersebut digunakan untuk kegiatan operasional dan gaji amilin (akbar, 2009). masih banyak daerah di indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, di mana salah satunya adalah kabupaten lombok timur yang berada di nusa tenggara barat. kondisi umum masyarakat lombok timur bermata pencaharian sebagai petani yang bergantung pada lahan pertanian. jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 295.381 ribu jiwa. akan tetapi, dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin yaitu 224.692 ribu jiwa (bps, 2012). kendati demikian, beragam kiat pemerintah kabupaten lombok timur telah direalisasikan dalam menurunkan angka itu, namun jumlah kemiskinan di kabupaten lombok timur tetap menjadi yang tertinggi di nusa tenggara barat. di kabupaten lombok timur sendiri terdapat satu lembaga amil zakat yaitu badan amil zakat daerah (bazda). di pulau lombok secara umum memiliki sekitar dua bazda tingkat kabupaten dan satu baznas mataram yang memiliki visi dan misi yang sama dalam mensejahterakan masyarakat. akan tetapi, besarnya potensi zakat ini belum dibarengi dengan pengoptimalan penghimpunan maupun pendistribusian. sehingga untuk mengetahui sejauh mana lembaga amil zakat mampu menghimpun dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah (zis) yang terhimpun perlu adanya standar tata kelola yang baik, di mana salah satu indikatornya adalah efisiensi dan efektifitas sebagai tolak ukur kinerja lembaga keuangan (kadry, 2014). rahmayanti (2014) menganalisis efisiensi dari tiga lembaga amil zakat di indonesia yaitu pkpu, rumah zakat dan bamuis bni pada periode 2009-2011. variabel input yang digunakan yaitu jumlah dana zakat yang dihimpun, biaya operasional dan gaji karyawan. sedangkan variabel output yang diteliti terdiri dari jumlah dana zakat yang disalurkan, aktiva tetap dan aktiva lancar. hasil dari studi ini menunjukkan pada tahun 2009-2011 ratarata tingkat efisiensi pkpu dan bamuis bni sudah mencapai 100 persen. akbar (2009) mengukur tingkat efisiensi dari sembilan organisasi pengelola zakat efisiensi kinerja keuangan ... (alfi lestari) 179 (opz) nasional yaitu lazmuh, ybm bri, bmm, bamuis bni, baznas, pkpu, dd, rzi dan ydsf. variabel input terdiri dari biaya personalia, biaya sosialisasi dan biaya operasional lainnya. sementara variabel output yang diteliti adalah dana terhimpun dan dana tersalurkan. hasil studi ini menunjukkan efisiensi organisasi pengelola zakat (opz) pada tahun 2005 jauh lebih baik dari tahun 2006 dan 2007 baik secara teknis (94,52 persen), skala (75 persen) dan overall (71,27 persen). perhitungan terhadap 9 opz tahun 2007 dengan asumsi crs, menunjukkan hanya 2 opz yang efisien, yakni bmm dan bamuis bni. adapun wahab, dkk. (2006) telah meneliti tingkat efisiensi zakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi zakat di malaysia. metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode data envelopment analysis (dea) dengan malmquist productivity index and technical efficiency. variabel input yang diteliti adalah jumlah karyawan dan jumlah pengeluaran. sementara variabel output yang digunakan dalam studi ini adalah jumlah dana zakat yang dihimpun, jumlah dana zakat yang didistribusikan dan jumlah pembayar zakat (amilin). hasil dari studi ini menilai rata-rata sebesar 80,6 persen lembaga amil zakat di malaysia memiliki efisiensi teknis. hasil studi dengan model bcc yang diteliti aini (2012) dengan asumsi vrs (variabel return to scale) menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat efisiensi ketiga lembaga amil zakat nasional mengalami kenaikan dari tahun 20082009. dipandang dari segi input dan output pada tahun 2008, ketiga laznas, pkpu dan rumah zakat, mencapai nilai efisien yang maksimal, sedangkan ydsf mengalami inefisiensi. perhitungan efisiensi dengan menggunakan orientasi output model crs (constant return to scale) dan vrs (variabel return to scale) dengan metode dea (data envelopment analysis). pendekatan yang digunakan adalah pendekatan produksi dengan variabel input dan variabel output. hasil dari studi ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi skala tertinggi ada pada ybui bni sebesar 81 persen, rumah zakat 76 persen, lazis swadaya ummah sebesar 74 persen dan dompet dhuafa 74 persen (wulandari, 2014). adapun posisi penulis, terdapat dua hal yang membedakan studi ini dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya, yakni objek studi yang berbeda dan pemilihan variabel input dan output yang berbeda juga. secara umum penulis juga menggunakan berbagai literatur ini juga untuk menunjukkan bahwa metode dea dapat diterapkan dalam berbagai bidang, baik lembaga sosial, lembaga keuangan dan kredit mikro. adapun tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui tingkat efisiensi bazda kabupaten lombok timur selama tiga tahun yaitu 2012-2014, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi atau tidaknya bazda dalam menghimpun, mengelola dan mendistribusikan zis. metode penelitian jenis dan sumber data studi ini menggunakan data sekunder yang berasal dari badan amil zakat daerah (bazda) kabupaten lombok timur yang mempunyai laporan keuangan yang transparan dan dipublikasikan ke masyarakat. sementara jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa laporan keuangan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan efisiensi pengelolaan dana zakat, infak, dan sedekah. adapun variabel input dan output yang akan diuji ditunjukkan pada tabel 1. alasan penggunaan variabel-variabel tersebut dalam studi ini adalah karena variabel tersebut dianggap dapat mewakili fungsi dan perilaku yang dapat mencerminkan kegiatan badan amil zakat daerah sebagai amilin. dalam studi ini variabel input yang dipilih adalah dana zis yang terhimpun, aktiva tetap dan gaji karyawan. gaji karyawan pada bazda (badan amil zakat daerah) kabupaten lombok timur berasal dari dana hibah apbd. mengapa variabel ini dipilih sebagai variabel input, karena secara teknis variabel ini dianggap sebagai pengorbanan atau sumber daya yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan output yang optimal. sementara variabel output yang dipilih dalam studi ini adalah dana zis yang disalurkan dan biaya operasional. dana zis yang disalurkan berasal dari pengor jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 177-187 180 banan variabel input dan tidak semua biaya operasional berasal dari dana hibah apbd. teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini berupa desk riset yang dikenal juga dengan studi pustaka (dokumentasi) dan observasi. dalam teknik desk riset, peneliti memperoleh data dengan cara melihat laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur. alat analisis metode yang digunakan dalam dalam studi ini adalah data envelopment analysis (dea). pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan intermediasi dengan analisis kuantitatif yaitu dalam pengolahan data berupa input dan output yang diambil dari neraca keuangan, laporan arus kas, laporan perubahan dana yang dimiliki oleh masingmasing lembaga. adapun asumsi yang digunakan adalah constant return to scale (crs). rusdyana (2013) ada dua teknik pengukuran efisiensi, yakni orientasi input dan orientasi output. pengukuran berorientasi input,menurut akbar (2009) menunjukkan sejumlah input dapat dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. efisiensi pada suatu unit kerja ekonomi/perusahaan selalu berkaitan dengan bagaimana cara menghasilkan tingkat output yang maksimal dengan jumlah input tertentu (farell, 1957). farell (1957) mengilustrasikan idenya dengan menggunakan sebuah perusahaan yang menggunakan dua input yaitu x1 dan x2 untuk memproduksi satu output (y) dengan asumsi constant returnt to scale (crs), seperti yang ditunjukkan gambar 1. sumber: farell (1975) gambar 1. efisiensi teknis dan alokatif tabel 1. variabel input dan output bazda dengan metode dea variabel input definisi sumber data 1. dana zis yang dihimpun (x1) dana zakat yang dihimpun adalah dana zakat yang berhasil dihimpun dari para muzakki oleh suatu lembaga dalam periode tertentu. laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur 2. aktiva tetap (x2) aktiva tetap adalah harta lembaga yang dapat berupa tanah, gedung, asset tidak lancar dan kendaraan yang dihitung dalam rupiah. laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur 3. gaji karyawan (x3) gaji karyawan adalah sejumlah dana yang dikeluarkan untuk membayar para pekerja atau karyawan didalam suatu lembaga. laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur variabel output definisi sumber data 1. jumlah dana zis yang disalurkan (y1) dana zakat yang disalurkan adalah dana zakat yang telah disalurkan kepada mustahik pada periode tertentu dalam bentuk program-program pemberdayaan maupun penyaluran langsung yang langsung diberikan secara tunai. laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur 2. biaya operasional (y2) biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan oleh badan amil zakat yang tidak berhubungan langsung dengan penerimaan manfaat (mustahik). laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur efisiensi kinerja keuangan ... (alfi lestari) 181 dengan menggunakan garis isoquant dari sebuah perusahaan dengan kondisi efisiensi penuh (full efficient firm), yang diwakili oleh kurva ss’ dalam gambar di atas, maka dilakukan penghitungan efisiensi teknik. garis aa’ menggambarkan kombinasi input yang dapat dibeli oleh produsen dengan tingkat biaya yang sama (efisiensi secara alokatif). sementara garis op menunjukkan kombinasi input yang digunakan oleh suatu perusahaan. titik q’ menunjukkan tingkat efisiensi secara teknis dan alokatif. titik p menunjukkan inefisiensi karena tidak berada pada kurva isocost dan isoquant. adapun titik r menunjukkan efisiensi secara alokatif, sedangkan titik q efisiensi secara teknis. tingkat efisiensi secara teknis diperoleh dari rasio: te (technical efficiency ) = oq/op 1) sementara itu, tingkat efisiensi secara alokatif diperoleh dari rasio berikut: ae (allocative efficiency ) = or/oq 2) sementara pengukuran berorientasi output, menghitung berbagai output yang dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang dihasilkan. pengukuran ini biasa dituliskan dengan kalimat lain: efisiensi naik = dalam penjelasannya, farell (1975) memberikan contoh perusahaan yang memproduksi data output yakni q1 dan q2 dengan sebuah x. asumsi yang digunakan adalah constant return to scale (crs), sehingga didapat kurva kemungkinan produksi atau production possibility curve yang ditunjukkan dengan zz’ adalah garis kemungkinan produksi dan point a menunjukkan tingkat inefisiensi sebuah perusahaan. perhatikan bahwa perusahaan pada titik a beroperasi di bawah garis kemungkinan produksi, karena zz’ mempresentasikan batas atas dari kemungkinan produksi. titik b menggambarkan efisien secara teknis, karena terletak pada production possibility curve. titik c menunjukkan efisien secara alokatif karena berada pada garis isorevenue dd’. kondisi yang paling ideal adalah apabila perusahaan mampu beroperasi pada titik b’, dimana ia efisiens secara teknis dan alokatif. sumber: coelli, 2005 gambar 2. kurva efisiensi dengan orientasi output ab menunjukkan inefisiensi secara teknis yang berarti bahwa output bisa ditingkatkan menjadi b tanpa adanya tambahan input. maka, perhitungan efisiensi teknis dan alokatif dapat dijelaskan oleh persamaan berikut. te (technical efficiency )=oa/ob 3) ae (allocative efficiency )=ob/oc 4) kemudian, kita dapat mendefinisikan overall revenue efficiency dengan menggabungkan kedua persamaan di atas. re (revenue efficiency )= (oa/oc) = (oa/ob) x (ob/oc) = te x ae 5) data envelopment analysis (dea) adalah suatu metodologi yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi dari suatu unit pengambilan keputusan (unit kerja) yang bertanggungjawab menggunakan sejumlah input untuk memperoleh suatu output yang ditargetkan. dea memiliki dua model yaitu model ccr dan bcc. model ccr merupakan model yang paling jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 177-187 182 dasar yang dikembangkan pada tahun 1978 oleh charnes, cooper dan rhodes. model ccr merupakan model dasar dea yang menggunakan asumsi constan return to scale yang mengasumsikan bahwa penambahan satu unit input harus menghasilkan penambahan satu unit output. sementara model bcc (banker, charnes dan cooper) yang dikenal sebagai variabel return to scale (vrs) mengaasumsikan bahwa setiap penambahan satu unit input tidak berarti diikuti dengan penambahan satu unit output, penambahan outputnya bisa lebih besar dari pada satu (increasing return to scale), kurang dari satu (decreasing return to scale). dea merupakan model pemerograman fraksional yang bisa mencakup banyak output dan input tanpa perlu menentukan bobot untuk tiap variabel sebelumnya, tanpa perlu penjelasan eksplisit mengenai hubungan fungsional antara input dan output (tidak seperti regresi). pada dasarnya teknis analisis dea didesain khusus untuk mengukur efisiensi relatif suatu unit kegiatan ekonomi (uke) dalam kondisi banyak input maupun output, di mana penggabungan input dan output tersebut tidak mungkin dilakukan. ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi dengan dea, yaitu:1) sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk mempermudah perbandingan antara unit ekonomi yang sama; 2) mengukur berbagai informasi efisiensi antar unit kegiatan ekonomi untuk mengindentifikasi faktor-faktor penyebabnya; 3) menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya. sedangkan keterbatasan dea adalah: 1) mensyaratkan semua input dan output harus spesifik dan dapat diukur; 2) dea berasumsi bahwa setiap unit input atau output identik dengan unit lain dalam tipe yang sama; 3) dalam bentuk dasarnya, dea berasumsi adanya crs (constant return to scale; 4) bobot input dan output yang dihasilkan dea sulit untuk ditafsirkan dalam nilai ekonomi. setiap uke diasumsikan bebas menentukan bobot untuk setiap variabel-variabel input maupun output yang ada, asalkan mampu memenuhi dua kondisi disyaratkan yaitu: 1) bobot tidak boleh negatif; 2) bobot harus bersifat universal hal ini berarti setiap uke dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya dan rasio tersebut tidak lebih dari 1. suatu uke dikatakan efisien secara relatif apabila nilai dualnya sama dengan 1 (efisien 100 persen), sebaliknya apabila nilai dualnya kurang dari 1, maka uke yang bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif. efisiensi teknis badan amil zakat daerah dapat diukur dengan menghitung rasio antara output dan inputnya. dea akan menghitung bazda yang menggunakan input n untuk menghasilkan output m yang berbeda. ∑ ∑ keterangan: es adalah efisiensi bazda s; m adalah output bazda s yang diamati; n adalah input bazda s yang diamati; yis adalah jumlah output yang ke i yang dihasilkan; xjs adalah jumlah input ke j yang digunakan; ui = s x 1 jumlah bobot output; vj = s x 1 jumlah bobot input. persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variabel input dan satu variabel output. rasio efisiensi (es), kemudian dimaksimumkan dengan kendala sebagai berikut: ∑ ∑ 1 di mana ui dan vj ≥ 0 pertidaksamaan pertama menjelaskan bahwa adanya rasio untuk uke lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot non-negatif (positif). angka rasio akan bervariasi anatara 0 sampai dengan 1. bazda dikatakan tidak efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 1 atau 100 persen, sebaliknya apabila mendekati 0 menunjukkan efisiensi bazda yang semakin rendah. pada dea, setiap bazda dapat menentukan bobotnya masing-masing dan menjamin bahwa pembobotnya masing-masing dan menjamin bahwa pembobotnya yang dipilih akan menghasilkan kinerja yang terbaik. efisiensi kinerja keuangan ... (alfi lestari) 183 hasil dan pembahasan sebuah organisasi pengelola zakat dikatakan efisien apabila nilainya mencapai angka 100 persen atau setara dengan 1. semakin ia menjauh dari angka 100 persen atau mendekati angka 0 persen, maka akan semakin tidak efisien (akbar, 2009). menurut huri dan susilowati (2004), suatu perusahaan dapat dikatakan efisien apabila: 1) mempergunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingkan jumlah unit input yang digunakan oleh perusahaan lain dengan menghasilkan jumlah output yang sama; 2) menggunakan jumlah unit input yang sama, tetapi dapat menghasilkan jumlah output yang lebih besar. tabel 2 menunjukkan hasil pengolahan variabel input dan output dengan software banxia frontier analyst 4.0 adalah sebagai berikut: tabel 2. nilai efisiensi bazda dengan asumsi constant return to scale (dalam persen) tahun efisiensi bazda (%) constant return to scale (crs) 2012 100 % 2013 100 % 2014 100 % sumber: laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur 2012-2014 (diolah dengan banxia frontier analyst 4.0) tabel 2 menunjukkan hasil analisis efisiensi dari laporan keuangan badan amil zakat daerah (bazda) kabupaten lombok timur dengan asumsi constant return to scale (crs). hasil analisis efisiensi dengan asumsi crs menunjukkan efisiensi dari tiga tahun (20122014) yaitu sebesar 100 persen karena bazda berhasil mencapai tingkat efisiensi. a. efisiensi bazda periode 2012 bazda kabupaten lombok timur pada tahun 2012 telah mencapai nilai efisiensi sebesar 100 persen atau senilai dengan 1 dengan asumsi crs. hal ini menunjukkan bahwa bazda telah mampu menggunakan input yang ada untuk menghasilkan output yang maksimal. pencapaian efisiensi ini dapat dilihat pada setiap variabel input dan output yang ditunjukkan pada tabel 3. tabel 3 menunjukkan hasil analisis efisiensi bazda kabupaten lombok timur pada tahun 2012 yang menunjukkan tingkat nilai efisiensinya telah mencapai 100 persen dengan asumsi crs. artinya nilai 100 persen menunjukkan bahwa bazda kabupaten lombok timur mampu mencapai nilai actual(nilai sebenarnya) dengan nilai target (nilai harus dicapai) yang disarankan oleh perhitungan dea. pembuktiannya dapat dilihat dari nilai potential improvementnya sebesar 0 persen artinya tidak ada nilai actualyang tidak mencapai nilai target. b. efisiensi bazda periode 2013 pada tahun 2013 nilai efisiensi bazda kabupaten lombok timur ketika dianalisis dengan asumsi crs mengalami efisiensi sebesar 100 persen atau mendekati 1. hal ini terjadi karena pada asumsi crs besarnya input dapat dikurangi dengan sejumlah output yang sama (akbar, 2009). hal ini menunjukkan bazda telah mampu mencapai nilai target yang sama dengan nilai actual sehingga potential improvementnya adalah 0. pencapaian efisiensi ini dapat tabel 3. efisiensi bazda dengan asumsi constant return to scale (crs) periode 2012 (nilai actual, targetdan potential improvement input-output) variabel asumsi crs(rupiah) potential improvement efisiensi (%) actual target dana zis dihimpun 2.358.611.214 2.358.611.214 0,00% 100% aktiva tetap 1.183.125.000 1.183.125.000 0,00% gaji karyawan 336.600.000 336.600.000 0,00% dana zis disalurkan 2.540.446.504 2.540.446.504 0,00% biaya operasional 336.023.996 336.023.996 0,00% sumber: laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur periode 2012 (data diolah dengan software banxia frontier analyst 4.0) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 177-187 184 dilihat pada setiap variabel input dan output yang ditunjukkan pada tabel 4. tabel 4 menunjukkan hasil analisis efisiensi yang tidak berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tabel ini juga dibuktikan bahwa bazda sudah efisien secara relatif maksimal. dengan kata lain, bazda sudah mencapai nilai actual yang sama dengan nilai target yang telah disarankan oleh dea. dalam hal ini, pengelolaan dana zakat di bazda pada periode 2012 juga sudah sangat baik. hal ini terlihat dari peningkatan jumlah dana penerimaan zakat yang terhimpun yaitu dari rp2.358.611.214,00 menjadi rp2.866.795.692,00. artinya bazda telah mampu mengoptimalkan potensi zakat yang ada di kabupaten lombok timur. c. efisiensi bazda periode 2014 nilai efisiensi bazda kabupaten lombok timur pada tahun 2014 telah mencapai indikator efisiensi yaitu sebesar 100 persen, dengan asumsi constant return to scale (crs). pencapaian efisiensi ini ditunjukkan pada tabel 5. tabel 5 menunjukkan bahwa bazda masih sama dari dua tahun sebelumnya, konsisten dalam mempertahankan tingkat efisiensi secara relatif maksimal dari tahun ke tahun. dengan kata lain, bazda telah mencapai nilai actual yang sama dengan nilai target yang sudah disarankan oleh dea yaitu 100 persen disemua variabel input maupun outputnya. dalam hal ini, pengelolaan zakat oleh bazda periode 2014 sudah baik. kinerja pengelolaan keuangan bazda tetap efisien karena jumlah peningkatan dan penyaluran dana zakat sudah sesuai dengan target perhitungan efisiensi dengan dea serta bazda telah mampu mengurangi biaya operasional serta gaji karyawan. efisiensi terjadi pada semua variabel input dan output, studi ini sejalan dengan rahmayanti (2014) yaitu pada pkpu (2009-2011) dengan menggunakan orientasi input dengan pendekatan intermediasi dan asumsi constant return to scale (crs) yang telah mengalami efisiensi pada variabel input dana zis terhimpun dan gaji karyawan. variabel output pada studi rahmayanti (2014) mengalami efisiensi yaitu pada dana zis yang tersalurkan. hasil ini juga sejalan dengan studi wahyutabel 4. efisiensi bazda kabupaten lombok timur dengan asumsi constant return to scale (crs) periode 2013 (nilai actual, targetdan potential improvement input-output) variabel asumsi crs(rupiah) potential improvement efisiensi (%) actual target dana zis dihimpun 2.866.795.692 2.866.795.692 0,00% 100% aktiva tetap 1.073.804.250 1.073.804.250 0,00% gaji karyawan 321.000.000 321.000.000 0,00% dana zis disalurkan 1.573.328.215 1.573.328.215 0,00% aktiva tetap 367.072.613 367.072.613 0,00% sumber: laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur periode 2013 (data diolah dengan software banxia frontier analyst 4.0) tabel 5. efisiensi bazda kabupaten lombok timur dengan asumsi constant return to scale (crs) periode 2014 (nilai actual, targetdan potential improvement input-output) variabel asumsi crs dan vrs (rupiah) potential improvement efisiensi (%) actual target dana zis dihimpun 7.524.266.703 7.524.266.703 0,00% 100% aktiva tetap 1.095.810.375 1.095.810.375 0,00% gaji karyawan 321.000.000 321.000.000 0,00% dana zis disalurkan 4.298.759.000 4.298.759.000 0,00% biaya operasional 360.822.566 360.822.566 0,00% sumber: laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur periode 2014 (data diolah dengan software banxia frontier analyst 4.0) efisiensi kinerja keuangan ... (alfi lestari) 185 ny (2015) dengan pendekatan intermediasi dan variabel yang sama menunjukkan efisiensi pada variabel input dan variabel output dari baznas, dompet dhuafa dan lazis nu pada tahun 2013. sementara dengan pendekatan produksi terjadi inefisiensi pada dompet dhuafa (2013) yaitu terjadi inefisiensi pada biaya personalia, biaya operasional. sedangkan pada variabel output yaitu dana ziswaf yang disalurkan tidak efisien sehingga hal ini berbanding terbalik dengan studi penulis. studi ini berbanding terbalik dengan studi yang dilakukan oleh isyanti (2013) pada baznas kabupaten kuningan dan rahmayanti (2014) pada rumah zakat (2009) dengan variabel input yang sama yaitu terjadi inefisiensi pada dana zis yang dihimpun dan gaji karyawan yang disebabkan karena dana yang tertahan pada amilin dan terjadinya pemborosan pada variabel input. sementara pada variabel output dalam studi rahmayanti (2014) berbanding lurus karena terjadi efisiensi pada dana zis yang tersalurkan. hal yang sama terjadi pada studi wulandari (2013) dengan pendekatan yang sama (intermediasi) menunjukkan bahwa baznas telah mengalami inefisiensi pada tahun 2011 karena aset dan biaya operasional yang kelebihan pada variabel input. sementara pada variabel output baznas harus meningkatkan penghimpunan zakat agar efisien. adapun pada studi akbar (2009) dengan pendekatan yang sama menunjukkan terjadinya inefisiensi pada ybm (yayasan baitul maal) bri pada tahun 2007 telah mengalami decreasing atau minus satu, menunjukkan bahwa penambahan input tidak dapat menambah output yang sama besarnya atau lebih besar. oleh karenanya, diperlukan pengurangan input hingga mencapai titik constant return to scale (crs). faktor yang menyebabkan efisiensi secara teknis adalah maksimalnya penggunaan kapasitas input. suatu unit kegiatan ekonomi (uke) akan dikatakan efisien ketika suatu unit dapat beroperasi secara tepat. secara matematis dapat dijelaskan ketika setiap rasio input ideal akan menghasilkan output yang ideal dan rasio ideal itulah yang dikatakan sebagai efisiensi. untuk itu maka harus dilihat berapakah potensial improvementyang harus dilakukan suatu perusahaan atau lembaga keuangan untuk mencapai hasil yang efisien (wicaksono, 2014). gambar 3 ini menunjukkan score distribution untuk melihat distribusi dari variabel input dan output bazda selama tiga tahun (2012-2014). distribusi bazda kabupaten lombok timur selama tiga tahun ditandai dengan grafik balok warna hijau. grafik balok warna hijau menandakan bahwa suatu uke telah mencapai tingkat efisien. ini menunjukkan bahwa bazda telah mampu mencapai tingkat efisien secara maksimal relatif. seperti yang tergambar pada gambar 3. secara menyeluruh selama tiga periode (2012-2014) bazda telah mampu mencapai tingkat efisiensi yaitu sebesar 100 persen. hal sumber: laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur 2012-2014 (data diolah dengan banxia frontier analyst 4.0) gambar 3. score distribution efisiensi dengan asumsi constant return to scale (crs) pada bazda periode 2012-2014 distribution of scores 0 to 10 11 to 20 21 to 30 31 to 40 41 to 50 51 to 60 61 to 70 71 to 80 81 to 90 91 to 99.9 ef ficient 3,2 3 2,8 2,6 2,4 2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 177-187 186 ini disebabkan karena seluruh variabel input dan output bazda telah sesuai dengan perhitungan efisiensi pada dea. yaitu ketika nilai actual dari setiap variabel mampu mencapai nilai target yang disarankan oleh dea. asumsi constant return to scale (crs) mencanangkan seluruh uke (unit kegiatan ekonomi) beroperasi dalam skala optimal. namun dalam kenyataannya meskipun uke tersebut beroperasi dengan sumber daya (input) yang sama dan menghasilkan output yang sama pula tetapi dengan kondisi internal dan eksternalnya mungkin berbeda sehingga menyebabkan sebuah uke tidak berada dalam skala optimal. model ini dapat menunjukkan efisiensi teknis secara keseluruhan dari profit efficiency untuk setiap uke. simpulan berdasarkan hasil analisis tingkat efisiensi badan amil zakat daerah (bazda) kabupaten lombok timur dengan menggunakan metode data envelopment analysis (dea) periode 20122014 dengan pendekatan intermediasi dalam menentukan variabel input dan output, maka kesimpulan dari studi ini adalah sebagai berikut: 1) bazda kabupaten lombok timur berhasil mencapai tingkat efisiensi pada tiga periode 2012-2014 yaitu 100 persen atau senilai dengan 1. hal ini menunjukkan bahwa bazda telah mampu mencapai nilai actual (nilai sebenarnya) sesuai dengan nilai target (nilai yang harus dicapai) yang disarankan oleh dea. hal ini dapat dibuktikan dari nilai potential improvement (selisih jarak nilai antara nilai actual dengan nilai target) yaitu sebesar 0 persen. artinya tidak ada nilai actual yang tidak mencapai nilai target; 2) secara menyeluruh bazda telah mampu mencapai efisiensi maksimum secara relatif. hal ini disebabkan karena seluruh variabel input dan output bazda telah sesuai dengan perhitungan efisiensi dea. yaitu ketika nilai actual dari setiap variabel mampu mencapai nilai target yang disarankan oleh dea. berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini adalah saran-saran yang dapat peneliti sampaikan kepada beberapa pihak: 1) bagi bazda kabupaten lombok timur guna mendorong kemajuan dan perbaikan dalam meningkatkan pengelolaan zakat serta efisiensi kinerja keuangan bazda maka penulis memberikan saran sebagai berikut: a) setelah diketahui program kerja bazda kabupaten lombok timur dalam penghimpunan, penyaluran dan pendayagunaan zakat, infak dan sedekah (zis) untuk lebih disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai media baik itu media massa dan media elektronik; b) pengelolaan zis harus mengikuti alur zaman yaitu dengan pola kontemporer (modern) yang mempadupadankan teknologi serta bekerjasama dengan beberapa lembaga yang terkait dalam mendukung kinerja bazda dalam menghimpun dan menyalurkan dana dari muzakki kepada mustahik. perlu adanya sosialisai gerakan zis sedini mungkin kepada anak-anak sekolah mulai dari sd-sma, untuk menumbuhkan rasa simpati, syukur dan sosial; c) menumbuhkan semangat zis dalam pendistribusian dan pemberdayaan zis, khususnya dalam kegiatan ekonomi produktif guna meningkatkan motivasi masyarakat dalam mengembangkan usaha, dengan dana ekonomi produktif ini diharapkan masyarakat mampu keluar dari status sebagai seorang mustahik dan menjadi muzakki seperti yang tercantum dalam salah satu visi bazda; d) setelah dilakukan analisis efisiensi pada laporan keuangan bazda kabupaten lombok timur selama tiga tahun (2012-2014) maka upaya yang harus dilakukan ialah bazda kabupaten lombok timur sebaiknya dapat memaksimalkan potensi zakat yang ada di lombok timur dan tetap mempertahankan efisiensi. mensosialisasikan gerakan sadar zakat berupa acara kajian-kajian ditengah masyarakat sehingga para muzakki sadar akan kewajibannya untuk membayarkan zakat. selain itu, bazda kabupaten lombok timur sebaiknya meminimalisir biaya operasional dan gaji karyawan agar dapat memaksimalkan dana zakat yang diperoleh tiap tahun oleh bazda kabupaten lombok timur sehingga dapat didistribusikan secara menyeluruh sesuai dengan visi, misi yang telah diterapkan dan sasaran yang dituju sehingga dapat tercapai tujuan dari lembaga amil zakat yaitu mengentaskan kemiskinan; e) setelah mengunjungi website bazda kabupaten lombok timur khususnya di bagian laporan keuangan masih sangat minim, publikasi laporan keuangannya efisiensi kinerja keuangan ... (alfi lestari) 187 hanya terbatas pada peneriamaan dan penyaluran dana. dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bazda kabupaten lombok timur sebaiknya lebih transparan dalam mempublikasikan laporan keuangan sehingga masyarakat tahu dana zis yang dititipkan ke amilin didistribusikan kemana dan kepada siapa jika perlu. karena dengan adanya transparansi ini sebagai salah satu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menarik masyarakat yang belum mengeluarkan zakat untuk menitipkan zakat melalui bazda untuk didistribusikan ke 8 asnaf; f) bagi pengembangan ilmu, sebaiknya lebih banyak lagi melakukan studi-studi tentang kinerja lembaga zakat yang ada di indonesia khususnya lembaga amil zakat yang di kabupaten/ kota. sehingga memberikan solusi dan memudahkan para pengelola zakat dalam memperbaiki kinerja dan mampu untuk terus mengubah model pengelolaan zakat menjadi lebih ideal agar dapat menanggulangi kemiskinan yang ada di indonesia secara bersamasama demi kesejahteraan masyarakat. daftar pustaka akbar, n. (2009). analisis efisiensi organisasi pengelola zakat nasional dengan pendekatan data envelopment analysis. jurnal islamic finance and business review vol. 4. no. 2. bogor: tazkia aini, n.n. (2012). efisiensi lembaga zakat nasional menggunakan metode data envelopment analysis periode 2008-2009”. skripsi. semarang: undip. world bank (2015). ikhtisar. diakses dari http://www.worldbank.org/in/country /indonesia/overview pada tanggal 30 januari 2015 09.00 wib badan pusat statistik. (2015). presentase penduduk miskin maret 2015 mencapai 11,22 persen. diakses dari http://www. bps.go.id/brs/view/id/1158 pada tanggal 22 april 2015 11.10 wib badan pusat statistik. (2012). jumlah penduduk miskin di kabupaten lombok timur 2005-2012. diakses dari http://lombok timurkab.bps.go.id/subjek/view/id/23# subjekviewtab3|accordion-daftarsubjek1 pada tanggal 09 april 2015 11.10 wib coelli,timothy j.d.s. prasada rao, christopher j. o’donnell dan george e. battese. (2005). an introduction to efficiency and productivity analysis, edisikedua. springer. isniyati, n.r. (2013). pengelolaan zakat pada badan amil zakat nasional (baznas) kabupaten kuningan. skripsi. yogyakarta: uin sunan kalijaga. kadry, r. (2014). analisis efisiensi lembaga amil zakat (laz) di indonesia dengan metode data envelopment analysis (dea), (studi kasus pada rumah zakat, lazis swadaya ummah, dompet dhuafa dan ybui bni tahun 2010-2012). skripsi. yogyakarta: uin sunan kalijaga keputusan menteri agama republik indonesia nomor 373 tahun 2003 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. laporan keuangan badan amil zakat daerah kabupaten lombok timur, diakses dari http://www.baznaskablotim.com/ pada tanggal 22 maret 2015 09.20 wib norazlina, dkk. (2013). determinants of efficiency of zakat institutions in malaysia: a non parametric approach. asian journal of business and accounting . vol 6. no.2. qardhawi, y. (2004). hukum zakat. jakarta: pt. pustaka litera antamusa rahmayanti, a. (2014). efisiensi lembaga amil zakat dalam mengelola dana zakat di indonesia (studi kasus: pkpu, rumah zakat dan bamuis bni). skripsi. jakarta: uin syarif hidayatullah rusydiana, dkk. (2013). mengukur tingkat efisiensi dengan data envelopment analysis. katulampa bogor: smart publishing supanra, m.d. (2014). revolusi zakat & revitalisasi baitulmaal. yogyakarta: gentapress wulandari, r. (2014). analisis efisiensi lembaga zakat nasional di indonesia menggunakan data envelopment analysis (dea) periode 20112012. skripsi. surakarta: universitas muhammadiyah surakarta. image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.210-219 microeconomics analysis of health care utilization: evidence from indonesia family life survey andika ridha ayu perdana faculty of economics, universitas islam indonesia ringroad utara condongcatur, depok, sleman, yogyakarta 55283 indonesia. phone: +62 0274 881546. corespondence email: ayuperdana@gmail.com received: october 2014; accepted: september 2015 abstract: there are still many health problems faced by most people in indonesia such as problems of diseases, availability of medicines, health services, provision of health insurance, access to health facilities, problems with traditional healers, problems of malnutrition, and utilization of health service. utilization can be categorized as one of health problems if the people do not utilize health service. this study aims to identify the determinants of utilization of health service in indonesia. data used in this study is from indonesia family life survey (ifls), the third and fourth waves. from the results, it can be concluded that people aged between 15 – 74 years old have positive relation in probability to use health and medical services. people with higher level of education tend to use health service when get sick, but does not affect them to do self-treatment and use public or private health facilities. having insurance is very important and affecting people to utilize health and medical service, it also affects people to choose public health service. distance to hospital, better facilities of health services, and some types of illnesses are also significant. these results can be used as references for government to make policies in order to solve health problems in indonesia. keywords: health services; public health facility; ifls; linear probability model jel classification: i11, i15 abstrak: banyak masalah kesehatan yang dihadapi oleh kebanyakan orang di indonesia seperti masalah penyakit, ketersediaan obat-obatan, pelayanan kesehatan, penyediaan asuransi kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan, masalah dengan dukun, masalah kekurangan gizi, dan pemanfaatan kesehatan layanan. pemanfaatan dapat dikategorikan sebagai salah satu masalah kesehatan jika orang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan. studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan fasilitas kesehatan di indonesia. data yang digunakan dalam studi ini adalah dari survei kehidupan keluarga indonesia (ifls), gelombang ketiga dan keempat. hasil penelitian yang diperoleh memberikan kesimpulan bahwa orang berusia antara 15 74 tahun memiliki hubungan positif dalam probabilitas untuk menggunakan kesehatan dan pelayanan medis. orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung menggunakan pelayanan kesehatan ketika sakit, tetapi tidak mempengaruhi mereka untuk melakukan pengobatan sendiri dan menggunakan fasilitas kesehatan publik atau swasta. memiliki asuransi sangat penting dan mempengaruhi orang untuk memanfaatkan kesehatan dan pelayanan medis, juga mempengaruhi orang untuk memilih pelayanan kesehatan masyarakat. jarak ke rumah sakit, fasilitas yang lebih baik dari pelayanan kesehatan, dan beberapa jenis penyakit juga signifikan. hasil ini dapat digunakan sebagai referensi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dalam rangka memecahkan masalah kesehatan di indonesia. kata kunci:; layanan kesehatan;puskesmas; ifls; linear probability model klasifikasi jel: i11, i15 microeconomics analysis of health care ... (andika ridha ayu perdana) 211 introduction health becomes a critical problem in some countries particularly in developing countries including indonesia. economic growth and wellbeing of population need a good health (mwabu, 2008). according to ritonga (2007), health is one of factors underlying people capability which becomes a basic dimension that must be owned by everyone. health status of population can be assessed based on rate of life expectancy, infant mortality, and children under-five mortality. indonesia experienced increasing in health status signed by the increasing in life expectancy rate (from 1999 to 2005, increased from 66.2 percent to 68.1 percent) and decreasing in infant (from 1990 to 1999, decreased from 71 to 46 points) and children under-five mortality rate (at the same range of years, decreased from 99 to 59.55 points)1. nevertheless, there are still many problems related to health that would be obstacles for the development if not be immediately tackled. health issues in indonesia are very complex, ranged from problems of diseases (chronically and acute as well as communicable and non-communicable ones), availability of medicine, health services, provision of health insurance, access to health facilities, problems with traditional treatment, until the problems of malnutrition and the kinds of. utilization of health facility can be considered as one of the issues when people facing difficulties in accessing health facilities. in some areas in indonesia, especially in poor areas, people still find the difficulties. triratnawati (2006) states that most of indonesia health care centers are underutilized for example in purworejo, central java. ariani2 also finds underutilization of health service and high infant mortality rate in some areas in eastern indonesia. she finds people in eastern indonesia prefer to use self-medication than go to health facility because of lack 1 statistics indonesia, population reports (visited august, 20 2009) 2 potret ketertinggalan sumber daya manusia di kawasan timur indonesia (http://bto.depnakertrans.go.id/download/jurnal/potr et%20ketertinggalan%20sumber%20daya%20m anusia.doc) visited september , 19 2009. of access and limited number of health facilities available. however, this does not predominantly occur in indonesia. much of population in south asia lacks of access even to the most basic health care, it can be seen from the high rate of maternal and children death each year, and it becomes a problem. (janjua et al, 2006). amelioration of individuals’ health behaviors (increase in utilize health service) can raise their health outcomes. gakunju (2003) states that as the health facility utilization increased, the indicators of health status such as infant mortality rate and life expectancy are improved as well. tilden et.al. (2006) have analyzed health status and health care utilization pattern in indonesia between 2000 and 2004. he finds utilization and inpatient care increased, and outpatient care is greater than no treatment. he also finds better improvements in three parameters of health status (infant and children under-five mortality rate and also life expectancy) at the same time. from the analysis found by tilden et al (2006), it can be concluded that raise in health care utilization can improve people’s health status. other study found by strauss and thomas (2007) who analyzes population health and economic development. they assume that there is a static health production function for an individual where health outcomes depend on individual’s health inputs and behaviors. one of conclusions from the analysis is improvement in health inputs and behaviors are influential toward health outcomes and health development. geda and shimeles (2009) also find that access to basic health service plays a very important role in affecting health outcomes. they find improvement in health outcomes are in conformity with increase in seeking health care in ethiopia. there are also several previous studies related to utilization of health service presented in table 1. from some findings above, it is very important to improve the access to health facility especially for the poor. lower socioeconomics group usually have a higher burden of disease and need more treatment from health service (mendoza et al, 2003). in addition, they usually reside in location where the access to health facilities is low. the problem is sometime worsened by bad health policies that were often jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 210-219212 manifested in form of mistargeted health program. susanto et al (2006) find that in provision of health service provided by the state, people with higher economic status have a better access for the health service than people with lower economic status. from the results of evaluation program of basic health care for the poor community, utilization of basic health care facilities is too low, under the national digit 15%. other supports that the poor especially in developing countries are less to receive effective health care (o’donnell 2007: 2820). therefore, the problem of utilization is usually faced by poor people. according to susanto (2006), the low of health care utilization can be affected by some factors such as (1) the descent of purchasing power parity, (2) the descent of the interest to go to the health sub center, and (3) access to the health care is difficult. table 1. previous studies related to utilization of health care no. researcher data and method conclusion 1. hjortsberg (zambia) data: zambian living conditions monitoring survey (lcms) 1998. sample: 9871 individuals. method: multinomial logit types of illness, log of income, education of household head, education, being child, distance to health facility, having motorcycle, and living in rural area are statistically significant affecting people to use health service. 2. janjua, et al. (pakistan) data: a population study during july – september 2001 (urban=.575, rural=575). sample: 1150 individuals. method: multivariable logistic residential area, educational status, ethnicity, monthly household income, and types of treatment are statistically significant with utilize private health service. 3. mwabu, et al. (kenya) data: meru district between january 1980 and april 1981. sample: 315 household with 1721 individuals. method: maximum likelihood estimation distance and health care fees (user fees) reduce the demand for health service but not statistically significant. gender and types of facility are not statistically significant. 4. mendoza-sassi, et al (brazil) data: direct observation to household/individual in brazil. sample: 1348 individuals method: poisson regression income and years of schooling are statistically significant increased utilization. health insurance and having stressful life increased the probability of visiting health service. almost all of demographic characteristics are statistically significant. 5. murteira and lourenco (portugal) data: portuguese national health survey of 1998/99. sample: 27.044 observation method: poisson regression age, income, married, and education are significant affecting the demand for health service. while living un rural area and being female are not statistically significant. 6. barlin adam (2008) (indonesia: kolaka southeast sulawesi) data: interview and deeply exploration about visitor (who use health facilities). sample: all of household in sukubajo method: univariat, bivariat, and multivariate analysis. age, gender, and income are not related with utilization of health service in sukubajo. access variables have negative correlation with utilization. facility characteristics have strong correlation with utilization, and belief is not related with utilization of health service. 7. wasis budiarto (indonesia: mojokerto) data & sample: 300 respondents (15 years old and over), from urban areas (kec. bangsal) and rural areas (kec. puri). method: linear regression distance is statistically significant affecting demand for health service. health need and income are jointly significant. increase in cost of puskesmas in rural increased the demand, while in urban area is not. microeconomics analysis of health care ... (andika ridha ayu perdana) 213 health should be prioritized in national development in order to achieve welfare of society. health development is a form of change in health sector where people’s health conditions have increased, there is improvement in healthy lifestyle, society has a healthy environment, and people trust to medical care facility to treat them. according to juanita (2000), health development is a process of change in the level of people’s health from poor levels to the better in accordance with health standards. despite the concept of health development is to promote national development, in reality health development is not in the mainstream of national development. this is the cause of many health problems in indonesia. post-decentralization in 2001, health system in indonesia is little changed. changes may occur due to a previous transfer of authority by the central government to be a responsibility of local government. according to indonesian health profile by world health organization, decentralization gives impact on health system such as health financing, health information system, human resources for health, and the existence of health facilities in indonesia. with these changes, the possibility of health problems occurred may be greater. for example, as reported by world health organization, decentralization is one of factors that cause mal distribution, low productivity and poor quality of health workers. in addition, the health information system will also be affected because of the partial breakdown. this far, it can be concluded that health development in indonesia is still not good enough even though the purpose of decentralization is to improve national development. the government has tried to improve health conditions of the society through variety of ways. one of the ways is providing health insurance especially for poor people where the government can help them overcome the problem of medical costs. however, the implementation is sometimes not necessarily according to plan. in solving various health problems in indonesia, the government has directed health development to be better. after health sector reform in 1998, the government has formulated the vision, mission, and strategy of health development in the next ten years known as “indonesia sehat 2010”. ministry of health stated that the vision, mission, and strategy of indonesian society are formed to achieve a certain health level such as living in a healthy environment, practice the behavior of clean and healthy, able to utilize health, achieving high rate of health. these four things are the main objectives on making vision, mission and development strategy, and the process of achieving these goals are still going on until now. the third objective is related to this study which looks at how people utilize health service and what factors influence people to utilize or not utilize health service. therefore, analyzing health service utilization in indonesia is very interesting. the analysis will give the real situation of people’s behavior when ill and give information related to factors that influence people to use health facility or not. the results of this analysis can be used as references in making policy in order to solve health problems in indonesia. research method this study uses a simple model to establish relationship among interest variables (onhjortsberg, 2003: 759). it can be simplified with the following model modified from hjortsberg (2003): c = f (d,t,f,i) 1) where: c: individual choice when get sick (utilize, choice, factype; d: vector indicates demographic characteristics; t: vector indicates distance (time) to health facility from head office; f: vector indicates facility characteristics; i: vector indicates types of illness it explains that demographic characteristics, time to health facility, facility characteristics, and types of illness are factors supposedly affecting people’s choice when get sick. data used in this study are from indonesia family life survey (ifls) or usually called sakerti. ifls is a longitudinal socioeconomic and health survey based on sample representing about 83% of indonesian population contains over 30.000 individuals (strauss, 2004). there are four waves of ifls data. first wave was conducted jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 210-219214 in 1993, the second wave in 1997, the third wave in 2000, and the fourth wave in 2007. there is a follow up survey (ifls2+) was conducted in 1998 to measure the impact of crisis happened in indonesia. this study is using the third and fourth waves of the data. reasons of using this data are firstly, the information related to what to be studied is available in this data. secondly, ifls is the most complete family data survey in indonesia. ifls give information about the life of the respondents, households, families, and communities where the respondents live. there are two main data in ifls. the first is household data and the second is community facility data. we use both of those data. stata 9.1 used as a data processing tool. it provides an appropriate longitudinal data analysis and regression. for ifls data, employing stata is recommended. stata is powerful econometric and statistical software (stock and watson, 2003). according to tawi (2008), stata can analyze data survey which the sample is not usually gained by simple random sampling. this study uses linear probability model (lpm) as tool of analysis. lpm is one of econometrics model for analyzing probability. this model assumes that the probability is linear to the explanatory variables and explains two dichotomous choices situation (yes or not). fixed effect and non-fixed effect are used as regression method. there are some considerations to choose whether will use fixed effect or nonfixed effect. if there is an assumption that ui and x are uncorrelated, non-fixed effect may be appropriate, however if ui and x are correlated, fixed effect is more appropriate. this study is using stepwise on regression where firstly regress only the demographic characteristics, then regress demographic characteristics plus distance to health service, the third plus facility characteristic, and the last plus types of illness. these regression methods appropriate with the model formed below. there are four models of analysis formed in this study. each model will be explained as follows: model1 = demographic characteristics yi = β1 + β2adult* + β3fml + β4fmlhh + β5educ + β6lnpce1 + β7lnpce2 + β8rural + β9h_vec + b10ins_ask + ui 2) model2 = demographic characteristics + distance to health service yi = β1 + β2adult* + β3fml + β4fmlhh + β5educ + β6lnpce1 + β7lnpce2 + β8 rural + β9h_vec + β10ins_ask + β11d* + ui 3) model3 = demographic characteristics + distance to health service + facility characteristics yi = β1 + β2adult* + β3fml + β4fmlhh + β5educ + β6lnpce1 + β7lnpce2 + β8 rural + β9h_vec + β10ins_ask + β11d* + β12pp* + β13pusk* + β14vilmdwf + ui 4) model4 = demographic characteristics + distance to health service + facility characteristics + types of illness. yi = β1 + β2adult* + β3fml + β4fmlhh + β5educ + β6lnpce1 + β7lnpce2 + β8 rural + β9h_vec + β10ins_ask + β11d* + β12pp* + β13pusk* + β14vilmdwf + β15ill* + ui 5) where: adult*= being adult age 15 until more than 75 (spline of adult); fmlhh= female as the head of household; educ= years of education; lnpce= log of per capita expenditure; rural= living in rural area; h_vec= having vehicle; ins_ask= having askes; d*= distance to hospital, private practice, puskesmas, and traditional healer; pp*= characteristics of private practice; pusk*= characteristics of puskesmas; ill*= types of illness. result and discussion table 1 shows descriptive statistics only for the demographic characteristics. from the table, among adult aged between 15 and 100 years microeconomics analysis of health care ... (andika ridha ayu perdana) 215 old, the average of age is 35.6 years old, 51.9% are female, 16.6% reported that the gender of head of household is female, years of individuals education is approximately 7.86 years or equivalent to junior high school, 47.2% are reported living in rural area, only 13% have their own vehicles, and only 4% have health insurance (askes). log of per capita expenditure for poor category is 11.82 and for non-poor category is 0.819 on average. in the basic specification of the first model in table 2 below, some variables, being aged 15 – 24 and 45 – 74 years old, being female, years of education, log of per capita expenditure for poor and non-poor, living in rural area, owning vehicle, and having insurance (askes) turn out to be positive covariates with the probability of utilize health service. only female as household head turns out to be negative covariate. being aged 15–24 is statistically significant and increases the probability to use health service by one percentage point. being aged 45 – 74 and increase in years of education also significantly increase the probability of using health service by less than one percentage point. being female increases the probability to use health service by 9.7 percentage points. log of per capita expenditure for poor increases the probability by 4.5 percentage points, while for non-poor increases the probability by 2.8 percentage points. living in rural area, having vehicle, and having insurance will increase the probability of using health service by 2.4, 1.7, and 7.4 percentage points. model 2, 3, and 4 have the same results with model 1 except living in rural area which is not statistically significant. f statistics show that demographic characteristics in all models are jointly significant. distances to health service in all models are not jointly significant. facility characteristics are jointly significant, and types of illness are also jointly significant affecting the probability of utilize health service. values of robust standard errors are reported in parentheses. the regression also includes years of observation. distance to health service measured by time from head office to health services include distance to hospital, distance to public health centre, distance to private practice, and distance to traditional practice. facility characteristics include availability of electricity, source of water and electricity, availability of service completeness, and existence of private practices and public health services at community level. types of illness show the morbidity condition include headache, stomach ache, runny nose, fever, and toothache. table 2. descriptive statistics variables mean std. dev dependent variables seeking health service (yes=1) 0.202 0.402 medical treatment (1) self-medication (0) 0.484 0.500 go to public health facility (1) private health facility (0) 0.378 0.485 explanatory variables demographic characteristics spline: adult1 (15-24) 23.524 2.797 adult2(25-44) 8.683 8.252 adult3(45-54) 1.863 3.662 adult4(55-75) 1.413 4.316 adult5(75+) 0.140 1.226 gender of person (female=1) 0.519 0.500 gender of household head (female=1) 0.166 0.373 years of education 7.858 4.507 log of per capita expenditure for poor 11.816 0.315 log of per capita expenditure for non-poor 0.819 0.659 live in rural area (yes=1) 0.472 0.499 have vehicles (yes=1) 0.139 0.346 have askes (yes=1) 0.044 0.206 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 210-219216 the first model from table 4 below reports that being adult 15–24 years and 55–74 years old are statistically significant and increase the probability of using medical treatment positively by approximately one percentage point. while being aged 25–44 years old are negatively correlated, yet statistically significant. female are positively significant and increase the probability of using medical treatment by 13.8 percentage point. female as household head is significantly decreasing the probability of using medical treatment by 6 percentage points. increase in per capita expenditure for non-poor is positively significant and increase the probability of using medical treatment by 3.6 percentage points. having vehicle decreases the probability of using medical treatment by 2.2 percentage points. while having insurance (askes) will increase the probability by 8.7 percentage points. all of demographic characteristics variables above presented in the first model are jointly significant increase the probability of using medical service. model 2, 3, and 4 generally have the same pattern with the first model. however, being aged 15 – 24 and 55 – 74 are not statistically significant. having vehicle is not statistically significant as well. in the second model, all of demographic characteristics variable are jointly significant, while all of distance variable are not jointly significant. in model 3, facility characteristics are jointly significant, demographic characteristics are jointly significant, while distance to health facility are not jointly significant. in the last model, types of illness variables added are jointly significant. below is the regression result of probability of using public health service with fixed effect. from the table, there are only six variables are statistically significant in the first model. being aged 15 – 44 is significant decreasing the probability of using public health service by one percentage point. however, being aged 25 – 44 is significant increasing the probability of using public health service by less than one percentage point. increase in log of per capita expenditure for non-poor decreases the probability of using public health service by 9.3 percentage points. having insurance (askes) will increase the probability to use public health service by 2.2 percentage points. being female, aged between 45 – 54 and more than 75, years of education, being female as household head, log of per capita expenditure for poor, living in rural area, and having vehicle are not statistically significant. in model 2, 3, and 4 being adult (aged more than 15 years old) are not statistically significant. in these models, only two variables are statistically significant, log of per capita expenditure for non-poor and having insurance (askes). this log of per capita expenditure in model 2, 3, and 4 have the same negative coefficient thus will decrease the probability to use public health service by 8.9 percentage points. while having askes increases the probability by approximately almost 2 percentage points. f statistics show that demographic characteristics are jointly significant in all models. distance to health facilities is not jointly significant in all models. facility characteristics in all models are jointly significant and the types of illness also jointly significant in all models. conclusion there are three possibilities for people to choose what they prefer to do when they are under certain conditions, which are utilize heath care, use self-medication, and do nothing. utilization can be one of health problems if there is a condition that the sick do not utilize health service. it is gaining a big question, why do the sick not utilize health service? this question is underlying this study to analyze what factors actually affect people’s choice to utilize or not utilize health service. the results pointed out that people aged between 15 – 74 years old are reported have positive relation in probability to seek health service and use medical service. gender and level of education is also important variable in affecting people to utilize health care. monthly of per capita expenditure for poor people is positively significant in probability to choose health service. while monthly of per capita expenditure for non-poor is important and affect people to utilize health service and use medical treatment. people who live in rural area and people who have askes have positive relation and significantly increase the probability. surprisingly, it microeconomics analysis of health care ... (andika ridha ayu perdana) 217 also affects people to choose public health service. other variables such as distance to health service, completeness of health facility, and type of diseases are possible in affecting people to utilize health care. health indirectly reduces people’s expenses for medical treatment later. government must be able to provide appropriate health facilities in order to make people easier to get health service. more health insurance schemes are needed to enhance access to health service since askes is positive and significant. references budiarto, wasis. (1996). analisis permintaan (demand analysis) pelayanan kesehatan puskesmas di kabupaten mojokerto. buletin penelitian kesehatan (24). ministry of health, republic of indonesia gakunju, e. m. (2003). determinants of health status in kenya. research paper. mekerere university institute of economics. geda, alemayehu and shimeles, abebe. (2009). demand for health in ethiopia: explanatory analysis from welfare monitoring surveys. hjortsberg, catharina. (2003). why do the sick not utilise health care? the case of zambia, health economics 12: 755-770. janjua, n.z., khan muhammad i, et al. (2006). pattern of health care utilization and determinants of care-seeking from gps in two districts of pakistan. southeast asian j trop med public health, vol. 37, no.6: 1242-1253. juanita. (2002). kesehatan dan pembangunan nasional. fakultas kesehatan masyarakat. universitas sulawesi utara. juanita. (2002). pengaruh krisis ekonomi terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. fakultas kesehatan masyarakat. universitas sulawesi utara. mendoza-sassi et al. (2003). outpatient health service utilization and associated factors: a population-based study. rev saúdepública 2003;37(3):372-8. mwabu, germano et al. (2006). quality of medical care and choice of medical treatment in kenya: an empirical analysis. the journal of human resources, vol 28 no4 838 – 862. mwabu, germano. (2008). health economics for low –income countries. handbook of development economics. vol. 4 . o’donnel, owen. (2007). access to health care in developing countries: breaking down demand side barriers. cad.saúdepública, rio de janeiro, 23(12): 2820-2834. strauss et al. (2004). the third wave of the indonesia family life survey: overview and field report. vol 1. rand labor and population. strauss, john and thomas, duncan (2007). health over the life course. california center for population research, los angeles. stock, james h and watson, mark w. (2003). stata tutorial. introduction to econometrics. pearson education inc. susanto, eko and hasanbasri, m. (2006). utilisasi sarana pelayanan kesehatan. studi analisis data susenas 2004. working paper series no.23,1st draft. tawi, mirzal (2008). analisis data dengan stata”.http://syehaceh.wordpress.com (visited september, 16 2009) tilden, et al (2006). the effect of decentralization on the health status and health care utilization patterns in indonesia. ministry of health, republic of indonesia. triratnawati, atik. (2006) under-utilization of community health centers in purworejo regency, central java. makara kesehatan. vol. 10 no.1 p:1-6. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 210-219218 appendix table 4. choice of using medical or self treatment, linear probability model with fixed effect explanatory variables model1 model2 model3 model4 demographic characteristics (d) spline of adult: adult1(15-24) 0.018*** 0.008 0.007 0.007 (0.002) (0.003) (0.003) (0.003) adult2(25-44) -0.010*** -0.005*** -0.005*** -0.004*** (0.001) (0.001) (0.001) (0.001) adult3(45-54) 0.002 0.002 0.002 0.002 (0.002) (0.002) (0.002) (0.002) adult4(55-74) 0.007*** 0.006 0.006 0.006 (0.001) (0.002) (0.002) (0.002) adult5(75+) 0.005 0.006 0.006 0.004 (0.005) (0.006) (0.006) (0.006) gender of person (female=1) 0.138*** 0.108*** 0.108*** 0.111*** (0.009) (0.011) (0.011) (0.011) gender of household head (female=1) -0.060*** -0.038** -0.039*** -0.040*** (0.013) (0.015) (0.015) (0.015) years of education 0.007 0.007 0.007 0.007 (0.001) (0.002) (0.002) (0.002) spline: log of per capita expenditure (1) 11. 783 0.015 0.016 0.013 0.015 (0.028) (0.031) (0.031) (0.030) log of per capita expenditure (2) 4.884 0.036*** 0.028*** 0.027*** 0.028*** (0.008) (0.010) (0.010) (0.010) live in rural area (yes=1) 0.019 0.010 0.025 0.023 (0.018) (0.042) (0.043) (0.042) have vehicle (yes=1) -0.022** -0.002 -0.003 -0.002 (0.011) (0.013) (0.013) (0.013) have askes (yes=1) 0.087*** 0.086*** 0.086*** 0.087*** (0.017) (0.022) (0.022) (0.022) plus distance to health service (t) no yes yes yes plus facility characteristics (f) no no yes yes plus types of illness (i) no no no yes f test: 1. demographic characteristic 87.75*** 15.77*** 15.47*** 15.68*** (p-value) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) 2. distance to health service 1.52 1.40 1.22 (0.19) ( 0.232) (0.302) 3. facility characteristic 1.94** 1.93** (0.019) (0.019) 4. types of illness 15.08*** (0.000) r-squared 0.149 0.146 0.148 0.158 number of observation 12249 8566 8566 8566 significant at 10%; ** significant at 5%; *** significant at 1%. values of robust standard errors are reported in parentheses. the regression also includes years of observation. distance to health service measured by time from head office to health services include distance to hospital, distance to public health centre, distance to private practice, and distance to traditional practice. facility characteristics include availability of electricity, source of water and electricity, availability of service completeness, and existence of private practices and public health services at community level. types of illness show the morbidity condition include headache, stomach ache, runny nose, fever, and toothache. microeconomics analysis of health care ... (andika ridha ayu perdana) 219 table 5. choice of using public or private facility, linear probability model with fixed effect explanatory variables model1 model2 model3 model4 demographic characteristics (d) spline of adult: adult1(15-24) -0.010*** -0.006 -0.006 -0.006 (0.003) (0.004) (0.004) (0.004) adult2(25-44) 0.002** 0.001 0.001 0.001 (0.001) (0.002) (0.002) (0.002) adult3(45-54) -0.002 -0.002 -0.001 -0.001 (0.003) (0.003) (0.003) (0.003) adult4(55-74) -0.004* -0.004 -0.004 -0.004 (0.002) (0.002) (0.002) (0.002) adult5(75+) -0.002 0.002 0.002 0.003 (0.005) (0.006) (0.006) (0.006) gender of person (female=1) 0.009 0.005 0.005 0.006 (0.012) (0.015) (0.015) (0.015) gender of household head (female=1) -0.023 -0.010 -0.012 -0.012 (0.016) (0.020) (0.020) (0.020) years of education -0.011 -0.010 -0.010 -0.010 (0.002) (0.002) (0.002) (0.002) spline: log of per capita expenditure (1) 11. 783 -0.033 -0.022 -0.021 -0.022 (0.040) (0.046) (0.045) (0.046) log of per capita expenditure (2) 4.884 -0.093*** -0.089*** -0.090*** -0.090*** (0.010) (0.013) (0.013) (0.013) live in rural area (yes=1) -0.022 -0.008 -0.019 -0.016 (0.022) (0.052) (0.053) (0.053) have vehicle (yes=1) 0.001 0.004 0.001 0.001 ( 0.015) (0.017) (0.018) (0.018) have askes (yes=1) 0.190*** 0.192*** 0.193*** 0.192*** (0.020) (0.025) (0.025) (0.025) plus distance to health service (t) no yes yes yes plus facility characteristics (f) no no yes yes plus types of illness (i) no no no yes f test: 1. demographic characteristic 20.58*** 10.77*** 10.75*** 10.66*** (p-value) (0.000) (0.000) (0.000) 0.000 2. distance to health service 0.69 0.88 0.90 (0.598) (0.474) (0.464) 3. facility characteristic 1.98** 1.98** (0.016) (0.016) 4. types of illness 6.40*** (0.000) r-squared 0.111 0.190 0.195 0.201 number of observation 7485 4766 4766 4766 note: * significant at 10%; ** significant at 5%; *** significant at 1%. values of robust standard errors are reported in parentheses. the regression also includes years of observation. distance to health service measured by time from head office to health services include distance to hospital, distance to public health centre, distance to private practice, and distance to traditional practice. facility characteristics include availability of electricity, source of water and electricity, availability of service completeness, and existence of private practices and public health services at community level. types of illness show the morbidity condition include headache, stomach ache, runny nose, fever, and toothache microsoft word 06-sumiyarti_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.188-199 apakah hipotesis “export led growth” berlaku di indonesia? sumiyarti fakultas ekonomi universitas trisakti jl. kyai tapa no.1 grogol, jakarta – 11440, indonesia phone +62 21 5668632 e-mail korespondensi: sumiyarti69@gmail.com naskah diterima: februari 2015; disetujui: september 2015 abstract: this study aimed to test whether the hypothesis of "export led growth" applies to the indonesian economy. the term "export led growrth" refers to a situation where a country's exports become the motor of economic growth. to achieve these objectives research using data gdp (y) as a proxy for economic growth and serve as the dependent variable, and manufacturing exports (x), capital goods imports (m), the stock of capital (k) and labor (l) as independent variables. of all variables used, variable labor value or coefficient greatest. while variable manufacturing exports had the smallest coefficient. although when compared with other control variabe, the role of manufacturing exports variable in influencing economic growth (gdp) is relatively small, but the statistical significance of the test results may indicate that the alleged hypothesis of "export led growth" applies in indonesia can be accepted. keywords: economic export led growrth; manufacture; capital; labor; gross domestic product jel classification: f43, o14, o47 abstrak: studi ini bertujuan untuk menguji apakah hipotesis “export led growth” berlaku untuk perekonomian indonesia. istilah “export led growrth” merujuk pada suatu keadaan dimana ekspor suatu negara menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. untuk mencapai tujuan tersebut studi menggunakan data pdb (y) sebagai proksi pertumbuhan ekonomi dan berlaku sebagai variabel dependen, serta ekspor manufaktur (x), impor barang modal (m), stok kapital(k) serta tenaga kerja (l) sebagai variabel independen. dari seluruh variabel yang digunakan, variabel tenaga kerja memiliki nilai atau koefisien yang paling besar. sedangkan variabel ekspor manufaktur memiliki koefisien yang paling kecil. meskipun bila dibandingkan dengan variabel kontrol lainnya, peran variabel ekspor manufaktur dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (pdb) relatif sangat kecil, namun signifikansi hasil uji statistik dapat menunjukkan bahwa dugaan hipotesis “export led growrth” berlaku di indonesia dapat diterima. kata kunci: export led growrth; manufaktur; modal; tenaga kerja; produk domestik bruto klasifikasi jel: f43, o14, o47 pendahuluan kajian mengenai kaitan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi masih menarik minat untuk dilakukan. studi-studi yang mengeksplorasi hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi juga masih banyak dilakukan. studistudi tersebut menggunakan model kausalitas atau model-model ekonometri yang lain. pada studi dengan model kausalitas dimaksudkan untuk menguji apakah ekspor yang mempengaruhi pertumbuhan atau pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi ekspor. sedangkan pada studi-studi dengan model ekonometri lain sebagian besar dilakukan dengan maksud untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. dalam istilah ekonomi dugaan adanya pengaruh ekspor dan apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 189 pertumbuhan dikenal dengan istilah export led growth hypothesis (hipotesis elg). studi-studi tentang korelasi antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada awalnya banyak menggunakan fungsi produksi dengan mempertimbangkan variabel ekspor ke dalam fungsi tersebut. hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi diuji dengan menggunakan data antar negara (cross country) dalam sebuah persamaan tunggal. namun jika terdapat kausalitas sebaliknya yaitu pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi ekspor maka hasil estimasi persamaan tersebut menjadi bias dan tidak konsisten. hal ini disebabkan karena pada studi yang didasarkan pada fungsi produksi dengan persamaan tunggal mengabaikan isu serius dari sifat simultan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi. beberapa studi ekonometri yang muncul belakangan menggunakan data runtun waktu (time series) dari negara secara individual untuk menguji adanya hipotesis elg. studi-studi ini dilakukan sebagai jawaban dari kritik terhadap studi yang menggunakan metode persamaan tunggal dengan data antarnegara. studi-studi tersebut sebagian besar didasarkan pada uji kausalitas granger atau sim, impulse response function atau error variance decomposition. hasilhasil studi ini belum ada yang mengarah pada hipotesis elg. namun-studi-studi yang dilakukan tersebut tetap memberi kesan adanya hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi. pertentangan mengenai fakta dan interpretasi hasil studi menunjukkan bahwa terdapat perdebatan seputar hipotesis elg. bukti-bukti empiris tidak selalu membuktikan bahwa hipotesis elg selalu berlaku. alam (2003) menunjukkan hasil studinya pada perekonomian meksiko dan brazil. hasil temuan pada studi tersebut tidak mendukung terhadap berlakunya hipotesis elg, sebab studi itu tidak menemukan adanya efek penyebaran dan peningkatan produktifitas dari meningkatnya ekspor manufaktur. yang ditemukan justru impor barang modal memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan output. sementara keong, yusop dan khim sen (2005) mencoba melakukan pengujian terhadap hipotesis elg di malaysia. dengan menggunakan bounding test, diperoleh hasil bahwa variabel ekspor dan angkatan kerja secara positif akan menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. analisis lebih jauh dengan kausalitas granger pada studi ini juga menunjukkan bahwa ekspor menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi. dengan demikian studi ini membuktikan bahwa hipotesis elg valid untuk perekonomian malaysia. untuk perekonomian indonesia, dengan menggunakan metode two stage least square (tsls) ratnawati (2000) menemukan bahwa tenaga kerja, modal maupun ekspor manufaktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan pdb. tenaga kerja diketahui merupakan variabel terbesar penyumbang pdb indonesia. studi ini bermaksud untuk mencoba menerapkan suatu metodologi pengujian yang menggabungkan antara intuisi ekonomi dan penyederhanaan kerangka fungsi produksi dengan teknik runtun waktu menggunakan spesifikasi model tertentu. secara umum, studi ini ingin menguji validitas hipotesis elg pada perekonomian indonesia. komoditas ekspor yang digunakan untuk menguji hipotesis tersebut adalah ekspor manufakur. sehingga secara khusus, studi ini ingin membuktikan apakah ekspor manufaktur akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi indonesia dalam jangka panjang. studi ini juga akan mempertimbangkan beberapa variabel kontrol selain ekspor manufaktur yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, seperti impor barang modal, stok modal serta tenaga kerja. perdagangan internasional terjadi ketika ada satu pihak (penduduk, perusahaan, maupun pemerintah) di satu negara yang mengadakan perdagangan (jual-beli) barang dengan pihak lain di negara yang berbeda. perdagangan internasional dapat terjadi karena ada negara-negara yang memliki surplus barang, sementara ada negara lain yang mengalami kekurangan barang. alasan tersebut lebih didasarkan karena adanya perbedaan iklim, letak geografis, yang mengakibatkan adanya perbedaan sumber daya alam. alasan lain yang mendasari terjadinya perdagangan internasional adalah karena adanya perbedaan harga. berdagang dengan negara lain bisa jadi menguntungkan, karena dapat membeli barang yang harganya lebih rendah, kemudian dapat menjualnya ke luar negeri dengan harga yang relatif lebih tinggi. perbedaan harga di berbagai jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 188-199 190 negara inilah yang seringkali dijadikan alasan umum terjadinya perdagangan luar negeri (nopirin, 1999 : hal 2 – 4). sementara itu pertumbuhan ekonomi pada dasarnya menerangkan tentang kenaikan output yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. output perekonomian dilambangkan dengan nilai pdb. oleh karena itu pertumbuhan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai kenaikan nilai pdb riil per kapita. karena aktifitas perekonomian terdiri dari berbagai sektor lapangan usaha, maka pertumbuhan ekonomi juga akan ditentukan oleh pertumbuhan (kenaikan) output atau meningkatnya nilai tambah sektoral. ada beberapa faktor yang dapat menjadi sumber terjadinya pertumbuhan ekonomi atau meningkatnya nilai tambah dari kegiatan ekonomi. pemahaman mengenai faktor-faktor yang menyumbang pada pertumbuhan ekonomi atau meningkatnya nilai tambah akan lebih mudah menggunakan fungsi produksi agregat. fungsi produksi menunjukkan hubungan teknis antara input dan output. pada tingkat agregat, output (y) adalah pdb yang tidak lain adalah total nilai tambah seluruh sektor produksi. sedangkan input yang mempengaruhi terbentuknya output adalah jumlah tenaga kerja (l) dan jumlah modal (k) yang tersedia dalam perekonomian. dengan demikian dapat digambarkan bahwa output (y) adalah fungsi dari input tenaga kerja (l) dan input modal (k), atau y = f ( l, k ). dalam istilah ekonomi, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dirumuskan dalam teori pertumbuhan ekonomi.. salah satu teori ekonomi yang menggunakan fungsi produksi untuk menjelaskan hubungan antara kenaikan output dengan faktor-faktor penentunya adalah teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik dari sollow-swan. inti dari teori ini adalah bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan output. model ini juga menggunakan fungsi produksi yang lebih umum yaitu q = f (k,l) yang bisa menampung berbagai kemungkinan substitusi kapital (k) dan tenaga kerja (l). dalam perkembangan selanjutnya, para peneliti telah melakukan banyak pengembangan model pertumbuhan ekonomi neoklasik. pengembangan model tersebut di antaranya dengan mempertimbangkan variabel lain yang relevan terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti variabel ekspor serta impor. dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional sering dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” (engine of growth). konsep ini secara ringkas dapat dijelaskan dengan mekanisme sebagai berikut. pada abad ke-19, hampir semua produksi modern berpusat di inggris. lonjakan produksi industri dan jumlah penduduk di inggris selanjutnya memunculkan kebutuhan akan adanya tempat lain yang memasok bahan mentah dan bahan makanan, serta berfungsi sebagai pasar bagi produk-produk industri. maka kemudian berkembanglah tempat baru yang kemudian dikenal dengan “dunia peradaban baru” yang antara lain meliputi amerika serikat, kanada, australia, selandia baru, argentina, urugay dan afrika selatan. perekonomian inggris tumbuh pesat yang diikuti pula dengan peningkatan dalam impor. kemajuan perekonomian inggris ini mengimbas kepada perekonomian dunia baru tersebut yang diakibatkan karena meningkatnya intensitas perdagangan internasional. kegiatan ekspor-impor telah turut membantu perkembangan negara-negara tersebut. sektor ekspor merupakan sektor utama yang mengembangkan perkonomian inggris dan tempat-tempat “dunia peradaban baru” yang sekarang telah menjadi negara-negara maju. kawasan-kawasan itu mengalami pertumbuhan dan pembangunan yang pesat karena terlibat dalam kegiatan ekpsor yang intensif. dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional khususnya ekspor telah menjadi “mesin pertumbuhan” bagai negaranegara berkembang saat itu (salvatore,1997: hal. 423-424). bukti perdagangan internasional khususnya sektor ekspor telah mampu menjadi mesin penggerak pertumbuhan yang menjadi bahan kajian dengan banyaknya studi empiris. beberapa studi empiris yang dilakukan menggunakan kerangka fungsi produksi, salah satunya adalah fungsi produksi neo-klasik. dalam fungsi produksi tersebut, satu-satunya penentu pertumbuhan pendapatan jangka panjang ada apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 191 lah adalah kemajuan teknologi yang bersifat eksogen. dengan demikian maka perdagangan internasional tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. model-model pertumbuhan ekonomi yang berkembang pada tahun-tahun terakhir ini mencoba menggali kaitan antara perdagangan internasional dengan pertumbuhan ekonomi. misalnya grossman dan helpman (1991), yang menunjukkan manfaat-manfaat perdagangan internasional yaitu berupa eksternalitas dari masuknya komoditi impor baru maupun teknologi atau pengetahuan baru. eksternalitas itu dimungkinkan karena dalam dunia yang tumbuh dengan cepat dengan komunikasi yang murah, ide-ide baru dan informasi dengan cepat menyebar melewati batas lintas negara. sebaliknya sebagai akibatnya negara-negara akan mendapatkan manfaat dari penyebaran yang dihasilkan oleh inovasi dalam pengetahuan dari negara-negara yang menjadi partner dagangnya (grossman, g.m dan helpman, e , 1990 : 86). dengan penyebaran teknologi yang sempurna (full diffusion), pergerakan menuju paintegrasi ekonomi melalui pengurangan restriksi perdagangan juga akan berakibat pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia dalam jangka panjang. demikian pula dengan adanya liberalisasi multilateral yang komprehensif yang terdiri dari perdagangan barangbarang dan ide-ide juga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (batiz, luis a.r. dan xie, d., 1992 : 422-427). meskipun studi-studi empiris yang dilakukan memiliki hasil yang berbeda dalam menggambarkan apakah perdagangan internasional memiliki pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi studistudi yang telah dilakukan tersebut telah meletakkan kerangka dasar untuk analisa empiris. dasar teori yang telah mempertimbangkan variabel perdagangan intenasional adalah teori pertumbuhan baru (new growth) atau endogen. dalam teori pertumbuhan baru telah dipertimbangkan kemungkinan adanya eksternalitas atau increasing return to scale dalam fungsi produksi. eksternalitas itu dapat ditimbulkan dari kegiatan melakukan impor dan ekspor dari dan ke negara lain. secara teori, terdapat beberapa jalur yang dapat menjelaskan bahwa perluasan ekspor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (alam, 2003 : 87 – 90): 1) pengaruh penyebaran dinamis (dinamics spillover effect) dari peningkatan ekspor ke seluruh perekonomian dunia. sumber-sumber dari penyebaran ini termasuk di antaranya perbaikan teknologi yang dipercepat sebagai akibat meningkatnya persaingan, efisiensi dan kewirausahaan, bentuk organisasi tenaga kerja yang baik, telah mengubah sikap dan pengetahuan mengenai teknologi dan pasar secara internasional. proses tersebut sering dikatakan sebagai “learning by doing” atau lebih tepatnya “learning by exporting”. dampak langsung dari perluasan ekspor terhadap peningkatan kegiatan ekonomi itu yang kemudian diistilahkan dengan hipotesis export led growth. 2) pada kenyataannya sebagian negara berkembang memiliki kendala keterbatasan nilai tukar, sehingga dengan adanya ekspor akan dapat mengurangi kendala tersebut sehingga tetap dapat melakukan impor terhadap input dan barang-barang modal yang memiliki kandungan teknologi yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. seperti studi yang dilakukan oleh lee (1995) dalam alam (2003) yang menunjukkan bahwa impor barang modal dari negara yang berteknologi lebih maju kemungkinan akan memiliki eksternalitas yang besar. sehingga tanpa memasukkan impor barang modal ke dalam persaamaan dikhawatirkan hasil estimasi yang diperoleh akan bias. 3) levine dan renelt (1992) dalam alam (2003) menemukan bahwa tidak satupun dari ukuran keterbukaan yang memasukkan rasio ekspor ditambah impor terhadap pdb yang secara kuat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. tetapi rasio ekspor terhadap pdb secara kuat berhubungan rasio investasi terhadap pdb. dengan demikian terhadap hubungan yang tidak langsung antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi melalui investasi. kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian. berdasarkan landasan teoritis dan studi empiris diperoleh konsep bahwa ekspor suatu negara, terutama ekspor manufaktur akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. semakin tinggi nilai ekspor akan semakin meningkatkan pertum jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 188-199 192 buhan ekonomi. berdasarkan pemikiran tersebut makan dapat disusun hipotesis sebagai berikut : h1: ekspor manufaktur mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia kinerja ekspor yang baik ditentukan oleh tingginya aktifitas produksi pada sektor-sektor ekonomi. kemajuan aktifitas ekonomi pada sektor-sektor ekonomi di indonesia juga masih mengandalkan pada ketersediaan barang modal, yang sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. dengan demikian maka bila impor barang modal juga harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. semakin tinggi nilai impor barang modal, maka perekonomian negara yang besangkutan akan memiliki eksternalitas yang lebih besar untuk melakukan alih teknologi, yang selanjutnya diharapkan akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. hipotesis kaitan antara impor barang modal dan pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut : h2: impor barang modal mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan output per kapita dalam jangka panjang. sedang dilihat dari sisi penawaran, output yang dihasilkan tergantung dari banyaknya input yang digunakan. dalam proses produksi terdapat dua jenis input yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. semakin banyak input modal dan tenaga kerja yang digunakan maka akan semakin banyak output yang dihasilkan, dan dapat dihipotesiskan sebagai berikut: h3: stok modal mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia h1: jumlah tenaga kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia metode penelitian studi ini memfokuskan pada pembuktian apakah ekspor merupakan faktor pendorong terhadap pertumbuhan ekonomi indonesia. komoditi ekspor terutama ekspor manufaktur dianggap dapat memacu pertumbuhan ekonomi. studi ini memfokuskan pada bagaimana pengaruh ekspor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi. selain itu di negara sedang berkembang faktor impor barang modal juga diduga dapat menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi. sehingga dalam studi ini dipertimbangkan juga beberapa variabel lain yang diduga dapat menjadi penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi seperti impor barang modal, tenaga kerja serta stok kapital. variabel yang digunakan dalam studi ini meliputi variabel tak bebas (dependent variable) serta variabel bebas (independent variable). variabel tak bebas dalam studi ini adalah pertumbuhan ekonomi yang diproksi dengan nilai pdb (y). sedangkan variabel bebas yang digunakan meliputi variabel stok kapital (k), variabel tenaga kerja (l), variabel ekspor manufaktur (x) dan variabel im2012por barang modal (m). keseluruhan variabel tersebut didefinisikan dan diukur sebagai berikut: variabel produk domestik bruto (y) adalah jumlah seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. nilai produk domestik bruto (pdb) yang digunakan dalam studi ini adalah nilai pdb riil yaitu pdb tahunan yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 1993, selama kurun waktu 1990 -2012 dalam satuan milyar rupiah. variabel stok kapital (k) adalah besarnya nilai riil barang modal pada akhir periode. namun studi ini nilai stok kapital diproksi dengan nilai riil pembentukan modal tetap domestik bruto (pmtdb) tahunan dari tahun 1990–2012 dengan harga konstan tahun 1993, dalam satuan milyar rupiah. variabel ekspor manufaktur (x) adalah nilai riil ekspor yang meliputi ekspor barang dengan kode sitc 5 ditambah (+) sitc 6 kecuali sitc 67 dan sitc 68 ditambah (+) sitc 7 ditambah (+) sitc 8. sitc 5 terdiri dari produk kimia dan produk terkait; sitc 6 terdiri barang-barang manufaktur dasar (kulit, karet, kertas, tekstil, dan lain lain); sitc 67 adalah besi dan baja; sitc 68 adalah non-ferrous metal; sitc 7 terdiri dari mesin-mesin dan perlengkapan transportasi; sitc 8 terdiri barangbarang manufaktur lainnya seperti perlengkapan foto, instrumen optik, mainan, dan lain lain). nilai riil ekspor manufaktur yang digunakan dalam studi ini adalah nilai ekspor tahunan dari tahun 1990-2012, dalam satuan juta us $. apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 193 variabel impor barang modal (m) adalah nilai riil impor barang modal yang meliputi nilai impor barang modal dengan klasifikasi sitc 7 kecuali perlengkapan transportasi. data nilai riil impor barang modal yang digunakan dalam studi ini adalah nilai impor tahunan dari tahun 1990 – 2011, dalam satuan juta us $. variabel tenaga kerja (l) didefinisikan sebagai bagian dari penduduk usia kerja yang berumur 10 tahun ke atas (1990 – 1997) dan 15 tahun ke atas (1998 – 2012) yang bekerja. istilah bekerja di menurut definisi bps adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/ kegiatan ekonomi). data tenaga kerja yang digunakan dalam studi ini adalah tenaga kerja tahunan dari tahun 1990-2012, dengan satuan orang. untuk mencapai tujuan studi, maka digunakan spesifikasi model yang disusun dengan menggunakan variabel-variabel tersebut di atas sebagai berikut: yt = f (at, kt, lt, xt, mt), 1) dimana a menunjukkan faktor eksogen yt = at ktβ ltγ xtλ mtδ 2) hubungan tersebut bila diubah dalam fungsi log linear akan menjadi: log yt = α + β log kt + γ log lt + λ xt + δ log mt + ε 3) di mana: α adalah konstanta; kt adalah stok modal riil; lt adalah jumlah angkatan kerja yang bekerja; xt adalah nilai ekspor; mt adalah nilai impor berdasarkan persamaan sederhana tersebut maka pengujian terhadap keberadaan hipotesis elg dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut : ho : λ = 0 yang artinya hipotesis elg ditolak ho : λ > 0 yang artinya hipotesis elg diterima dengan pengujian tersebut , maka apabila nilai λ > 0, maka secara statistik hipotesis elg diterima, yang artinya ekspor manufaktur secara statistik signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi indonesia.estimasi terhadap model tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ols (ordinary least square). kemudian terhadap hasil estimasi yang diperoleh akan dilakukan pengujian penyimpangan asumsi klasik yaitu uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji apakah terdapat korelasi yang signifikan di antara dua atau lebih variabel independent dalam model regresi. sedangkan uji heteroskedastitas dilakukan untuk menguji bahwa gangguan acak (µ) pada variable bebas adalah homoskedastisitas. uji autokorelasi menguji adanya korelasi kesalahan pengganggu (error term) dari satu periode dengan periode sebelumnya, atau kesalahan pengganggu menjadi tidak bebas karena satu sama lain saling berhubungan. hasil dan pembahasan model yang digunakan di dalam studi, yaitu : log yt = α + β log kt + γ log lt + λ xt + δ log mt + ε 4) hasil estimasi awal dari model tersebut adalah: log yt = -12,19068 + 0,066557 log kt + (0,0250) (0,0250) 1,155834 log lt + 0,274223 xt + (0,0018) (0,0010) 0,052778 log mt + ε 5) (0,0474) keterangan: ( ) menunjukkan probabilitas hasil regresi tersebut telah melewati beberapa uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokolerasi dan uji multikolinearitas. uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terdapat variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. pengujian normali jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 188-199 194 tas dengan menggunakan jarque berra test menghasilkan nilai probabilita sebesar 0,991174 > 0,05 yang berarti hipotesis null yang menyatakan bahwa distribusi dari error bersifat normal diterima. dengan demikian asumsi normalitas yang disyaratkan dapat terpenuhi. heteroskedastisitas menunjukkan bahwa varian dari setiap error bersifat heterogen yang berarti melanggar asumsi klasik yang mensyaratkan bahwa varian dari error harus bersifat homogen. pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dengan menggunakan uji white-test mendapatkan hasil nilai probabilita obs*r² 0,3441 > 0,05, yang memberikan kesimpulan bahwa model regresi yang digunakan tidak terdapat adanya heteroskedastisitas. autokorelasi menunjukkan bahwa adanya korelasi antara error pada satu periode dengan error periode sebelumnya. permasalahan autokorelasi hanya relevan digunakan jika data yang dipakai adalah data time series. pengujian hipotesis untuk uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji lm-test memberikan hasil nilai signifikansi dari probabilita obs*r² 0.0626 > 0.05, yang memberi kesimpulan bahwa model regresi yang digunakan tidak terdapat aanya autokorelasi. multikolinearitas menunjukkan bahwa antara variabel independen mempunyai hubungan langsung (berkorelasi). konsekuensi dari multikolinearitas akan menyebabkan koefisien regresi nilainya kecil, standar error regresi nilainya besar sehingga pengujian individunya menjadi tidak signifikan. ciri adanya multikolinearitas adalah r-square tinggi, f-test signifikan, namun t testnya banyak yang tidak signifikan. deteksi awal keberadaan multikolinieritas dilakukan dengan matriks korelasi. pada model yang digunakan terdapat nilai correlation matrix antar variabel independen saling mempengaruhi. di antaranya stok modal riil dengan jumlah angkatan kerja yang bekerja, stok modal riil dan nilai ekspor, stok modal riil dan nilai impor, jumlah angkatan kerja yang bekerja dan nilai ekspor. muktikolinieritas yang kuat terjadi pada variabel independent jumlah angkatan kerja yang bekerja dan nilai ekspor yaitu sebesar 0,968976, maka multikolinearitas tersebut harus disembuhkan. penanggulangan uji multikolinearitas dilakukan dengan menghilangkan satu atau lebih variabel bebas yang mempunyai kolinearitas tinggi (sebelumnya telah dilakukan log-lin pada masing-masing variabel). namun setelah dilakukan transformasi logaritma natural, ternyata hasil dari probabilita kt 0,0018 < 0,05 yang artinya jumlah angkatan kerja sudah signifikan. dalam arti lain, model yang diteliti tidak memiliki masalah multikolinearitas. hasil estimasi persamaan memiliki nilai probabilita dari f-statistik adalah 0,000000 < 0,05 maka ha diterima dan signifikan secara statistik. atau dengan kata lain, secara bersama-sama variabel independen (stok modal riil, jumlah angkatan kerja yang bekerja, nilai ekspor, dan nilai impor) mempengaruhi variabel dependen (pdb). hasil estimasi model regresi juga menghasilkan r² = 0,982587 = 98,2587% yang menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen (stok modal riil, jumlah angkatan kerja yang bekerja, nilai ekspor, dan nilai impor) untuk menjelaskan variabel dependen (pdb) sebesar 98,2587%. sedangkan sisanya yaitu sebesar 1,7413% adalah perilaku dari variabel bebas lain yang mempengaruhi pdb tetapi tidak dimasukkan dalam model. setelah dilakukan pengujian terhadap asumsi klasik, maka dilakukan pengujian signifikansi variabel studi secara individu dengan menggunakan t test. melihat hasil regresi ternyata semua data variabel yaitu jumlah angkatan kerja yang bekerja, nilai ekspor, dan nilai impor berpengaruh secara signifikan terhadap pdb, variabel ekspor secara statistik siginifikan mempengaruhi pdb. koefisien ekspor memililiki nilai yang paling kecil diantara seluruh variabel independen. hal ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian indonesia, ekspor memiliki kontribusi positif dalam membentuk output (pdb). hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan studi sebelumnya seperti ratnawati (2000) bahwa tenaga kerja, modal maupun ekspor manufaktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan pdb. demikian pula dengan studi dari keong, yusop dan khim sen (2005) terhadap perekonomian malaysia, yang memberikan hasil bahwa ekspor dan tenaga kerja memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara itu. sementara itu variabel kontrol berupa im apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 195 por barang modal juga memiliki koefisien positif serta signifikan dalam membentuk pdb. hal ini dapat dijelaskan bahwa karakteristik ekspor manufaktur indonesia masih mengandalkan pada kandungan barang impor terutama impor barang modal. hampir seluruh jenis barang industri manufaktur memiliki kandungan impor yang tinggi. impor barang modal memiliki eksternalitas dalam industri manufaktur. pengaruh impor barang modal terhadap pdb terjadi tidak secara langsung tetapi melalui efek penyebaran yang ditimbulkan oleh barang modal tersebut. di dalam barang modal terkandung “knowledge” serta teknologi yang memberi efek positif pada pertumbuhan industri manufaktur. dengan demikian maka peningkatan impor barang modal akan menggerakkan industi manufaktur yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan produk domestik bruto. variabel inti dalam fungsi produksi yang digunakan dalam studi ini adalah stok modal dan tenga kerja. kedua variabel ini secara signifikan mempengaruhi pdb dengan koefisien yang positif. variabel tenaga kerja merupakan variabel yang memiliki koefisien paling besar di antara seluruh variabel yang digunakan. hasil ini sesuai dengan studi yang banyak dilakukan, dimana dalam persamaan tentang pertumbuhan pdb dengan tenaga kerja untuk perekonomian indonesia hampir selalu diperoleh hasil bahwa variabel ini memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan pdb. kenyataan ini memberi gambaran bahwa output pada sektor-sektor ekonomi di indonesia masih mengandalkan pada jumlah tenaga kerja yang digunakan. semakin banyak input tenaga kerja digunakan, maka akan semakin tinggi pula output (pdb) yang dihasilkan. konsep tenaga kerja yang digunakan dalam studi ini adalah adalah tenaga kerja dari sisi jumlah atau kuantitas, bukan kualitas. artinya kontribusi tenaga kerja dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masih dilihat dari sisi kuantitas. secara implisit hal ini mengesankan bahwa penggunaan tenaga kerja pada sektor-sektor ekonomi masih bertumpu pada tenaga kerja “unskill” dengan tingkat pendidikan yang rendah. tingkat keahlian dan keterampilan tenaga kerja yang rendah akan menghasilkan nilai tambah yang juga rendah. variabel modal pada studi ini juga memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (pdb). hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin banyak stok modal digunakan maka akan semakin banyak pula output yang akan dihasilkan. hal ini menunjukka bahwa stok modal sebagai sumber internal dalam pembentukan output masih dominan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. secara keseluruhan hasil studi ini membuktikan adanya kebenaran hipotesis “export led growth” di indonesia. meskipun dampak dari ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi (pdb) relatif sangat kecil dibandingkan faktorfaktor yang lain yang digunakan, tetapi masih memberi pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (pdb). dikaitkan dengan kuatnya pengaruh tenaga kerja, dapat dikatakan pada bahwa sektor-sektor ekonomi penopang ekspor indonesia masih mengandalkan pada jumlah tenaga kerja dengan kualifikasi “unskill”. dengan demikian daya ungkitnya terhadap penciptaan nilai tambah barangbarang manufaktur yang akan dieskpor menjadi rendah. selain itu masih tingginya kontribusi impor barang modal pada aktifitas industri manufaktur juga memberi efek terhadap rendahnya daya saing produk tersebut di pasar ekspor. hasil studi ini juga mengesankan bahwa dilihat dari sumber penyebab pertumbuhan, pertumbuhan ekonomi (pdb) indonesia masih mengandalkan pada sumber-sumber internal yaitu stok modal dan tenaga kerja. sumber eksternal yang berasal dari lalu lintas barang perdagangan internasional seperti ekspor dan impor masih masih lebih rendah dampaknya terhadap pertumbuhan pdb. eksternalitas yang berasal dari lalu lintas perdagangan masih belum bisa memberikan efek yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi indonesia. simpulan keseluruhan variabel secara bersama-sama signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (pdb) indonesia. pengujian statistik mengenai pengaruh variabel independen terha jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 188-199 196 dap variabel dependen memberikan hasil bahwa keseluruhan variabel independen yang digunakan yaitu tenaga kerja, stok modal riil, ekspor manufaktur dan impor barang modal signifikan mempengaruhi pdb. keseluruhan variabel juga memiliki tanda positif. hal ini berarti bahwa keseluruhan hipotesis yang diajukan dalam studi ini keseluruhannya diterima. berdasarkan besaran koefisien variabel independen, terlihat bahwa variabel tenaga kerja memiliki koefisien terbesar. hal ini menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dalam mendorong pdb dibandingkan dengan variabel lain. secara umum hasil studi membuktikan bahwa hipotesis “export led growth” berlaku untuk perekonomian indonesia. hasil ini sejalan dengan beberapa studi sebelumnya, bahwa perkembangan ekspor satu negara, terutama ekspor barang manufaktur dapat menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. berdasarkan kesimpulan yang diutarakan di atas, maka beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. variabel tenaga kerja secara statistik signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan memiliki nilai koefisien yang paling besar. namun konsep tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja dalam arti jumlah atau kuantitas dan bukan kualitas. hal ini yang dapat menjadi penyebab rendahnya nilai tambah yang diciptakan pada beberapa sektor produksi, termasuk industri manufaktur. untuk itu maka diperlukan peningkatan kualitas tenaga serta sumber baik melalui pendidikan, pelatihan maupun pendidikan non formal lainnya. hipotesis “export led growth” berlaku untuk perekonomian indonesia, namun lemah dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. nilai koefisien impor barang modal justru memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan ekspor manufaktur. angka ini menunjukkan bahwa eksternalitas dari impor barang modal terhadap peningkatan nilai tambah sektor industri manufaktur masih rendah. diperlukan suatu upaya atau kebijakan agar efek penyebaran/alih teknologi berlaku, dan ini membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. pada akhirnya diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui daya saing pada sektor produk serta produk yang menjadi penopang ekspor, agar dapat dirumuskan kebijakan yang lebih terarah dalam mendorong ekspor manufaktur di indonesia. daftar pustaka alam, m imam. (2003). manufactured export, capital good import, and economic growth. international economic journal. volume 17. number 4. winter. the korea international economic association. printed by seoul university press. badan pusat statistik. (tt) statistik perdagangan luar negeri indonesia impor. berbagai tahun penerbitan. jilid/volume ii. jakarta: badan pusat statistik. badan pusat statistik. (tt) statistik perdagangan luar negeri indonesia ekspor. berbagai tahun penerbitan. jilid/volume ii. jakarta: badan pusat statistik. badan pusat statistik. (tt) statistik indonesia (statistical year book of indonesia). berbagai tahun penerbitan. jakarta: badan pusat statistik. barro, robert j. (1990). macroeconomics. 3 rd edition. new york: john wiley and sons inc. basri, faisal h. (1995). perekonomian indonesia abad xxi, distorsi, peluang dan kendala. jakarta: penerbit erlangga. boediono. (1985). teori pertumbuhan ekonomi. yogyakarta: badan penerbit fakultas ekonomi universitas gadjah mada. case, karl and fair, ray. (2007). priciples of economics. pearson education inc. dornbush, rudiger and fisher, stanley. (1994). macroeconomics. sixth edition. singapore: macgraw hill inc. dumairy. (1997). perekonomian indonesia. jakarta: penerbit erlangga. fadhlina, nurul dan tarmidi, lepi. (2008). pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap pertumbuhan industri: bounds testing untuk indonesia tahun 1976 – 2005. paralles session iic : industry & trade. 12 desember 2007 jam 15.00 – 16.30. wisma makara. kampus ui – depok. apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 197 keong, yusop and khim, sen. (2005). export led growth hypothesis in malaysia: an investigation using bounds test. sunway academic journal 2. nopirin. (1999). ekonomi internasional. edisi 3. yogyakarta: badan penerbit fakultas ekonomi (bpfe) ratnawati, nirdukita. (2000). persamaan ekspor industri manufaktur dan pertumbuhan gdp: penerapan model simultan dan vector autoregressive. media ekonomi. volume 8. nomor 3. jakarta: fakultas ekonomi usakti. salvatore, dominick. (1990). international economics. 3th edition. new york: macmillan publishing company. susanti. ikhsan, moh, dan widyanti. (1995). indikator-indikator ekonomi. jakarta: lembaga penerbit fe ui bekerja sama dengan lpem fe ui. tambunan, tulus. (2000). perkembangan industri barang modal di indonesia. jakarta: lembaga penerbit lp3e dan kompartemen industri logam dasar dan mesin kadin indonesia. tambunan, tulus. (2003). perekonomian indonesia, beberapa masalah penting. jakarta: penerbit ghalia indonesia. lampiran hasil regresi log-lin dependent variable: lnyt method: least squares date: 17/10/13 time: 10:03 sample: 1990 2012 included observations: 23 variable coefficient std. error t-statistic prob. c -12,19068 4,984594 -2,445671 0,0250 lnkt 0,066557 0,047080 1,413694 0,1745 lnlt 1,155834 0,316155 3,655912 0,0018 lnxt 0,274223 0,070088 3,912559 0,0010 lnmt 0,052778 0,024796 2,128531 0,0474 r-squared 0,985753 mean dependent var 13,05950 adjusted r-squared 0,982587 s,d, dependent var 0,324822 akaike info criterion 0,042863 -3,271936 schwarz criterion 0,033071 -3,025089 log likelihood 42,62726 hannan-quinn criter, -3,209855 f-statistic 311,3488 durbin-watson stat 1,033419 prob(f-statistic) 0,000000 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 188-199 198 hasil uji heteroskedastisitas heteroskedasticity test: white f-statistic 1,152931 prob, f(12,10) 0,4166 obs*r-squared 13,35039 prob, chi-square(12) 0,3441 scaled explained ss 7,632767 prob, chi-square(12) 0,8131 test equation: dependent variable: resid^2 method: least squares date: 17/10/13 time: 10:04 sample: 1990 2012 included observations: 23 collinear test regressors dropped from specification variable coefficient std. error t-statistic prob. c 2,238079 20,85608 0,107311 0,9167 lnkt -1,057891 2,226502 -0,475136 0,6449 lnkt^2 -0,016164 0,026451 -0,611090 0,5548 lnkt*lnlt 0,066701 0,142482 0,468137 0,6497 lnkt*lnxt 0,022605 0,046054 0,490826 0,6341 lnkt*lnmt -0,001684 0,031116 -0,054120 0,9579 lnlt -0,115642 1,316737 -0,087825 0,9317 lnlt*lnxt -0,066920 0,079544 -0,841291 0,4198 lnlt*lnmt 0,003351 0,009016 0,371688 0,7179 lnxt 0,962027 1,260598 0,763152 0,4630 lnxt^2 0,007170 0,013143 0,545585 0,5973 lnxt*lnmt -0,016544 0,032733 -0,505428 0,6242 lnmt^2 0,007008 0,007847 0,893088 0,3928 r-squared 0,580452 mean dependent var 0,001438 adjusted r-squared 0,076994 s,d, dependent var 0,002009 s,e, of regression 0,001930 akaike info criterion -9,365160 sum squared resid 3,72e-05 schwarz criterion -8,723358 log likelihood 120,6993 hannan-quinn criter, -9,203748 f-statistic 1,152931 durbin-watson stat 2,218004 prob(f-statistic) 0,416612 hasil uji autokolerasi breusch-godfrey serial correlation lm test: f-statistic 2,538761 prob, f(2,16) 0,1103 obs*r-squared 5,540642 prob, chi-square(2) 0,0626 test equation: dependent variable: resid method: least squares date: 17/10/13 time: 10:05 sample: 1990 2012 included observations: 23 presample missing value lagged residuals set to zero, apakah hipotesis “export led growth” ... (sumiyarti) 199 variable coefficient std, error t-statistic prob, c 0,885327 4,623345 0,191491 0,8506 lnkt 0,012799 0,044152 0,289893 0,7756 lnlt -0,058496 0,293330 -0,199422 0,8444 lnxt 0,014014 0,065069 0,215366 0,8322 lnmt -0,011828 0,024316 -0,486431 0,6333 resid(-1) 0,485902 0,249728 1,945724 0,0695 resid(-2) 0,038361 0,259774 0,147672 0,8844 r-squared 0,240897 mean dependent var 3,21e-15 adjusted r-squared -0,043766 s,d, dependent var 0,038771 s,e, of regression 0,039611 akaike info criterion -3,373641 sum squared resid 0,025104 schwarz criterion -3,028056 log likelihood 45,79687 hannan-quinn criter, -3,286727 f-statistic 0,846254 durbin-watson stat 2,058352 prob(f-statistic) 0,553081 microsoft word 03-evi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014, hlm.118-126 penilaian willingness to pay perbaikan kualitas udara menggunakan contingent valuation method rosalina1, evi gravitiani2 1,2 fakultas ekonomika dan bisnis universitas sebelas maret surakarta jalan ir. sutami 36a surakarta 57126, indonesia e-mail korespondensi: rosalinabernadeta@gmail.com naskah diterima: februari 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: the economic growth in the urban areas is characterized by the growth of the industrial sector and traffic density. the increase in the amount of factories and motorized vehicles caused an increase in gas emission in the air. residual smoke from factory production processes and gas emission are stationary and mobile sources of pollution, which interfere with the air quality in the urban areas. these effects human health negatively. this research was calculating the willingness to pay (wtp) with the contingent valuation method. this research aims to determine the public awareness to keep their environment clean. it is indicated by people’s wtp on policy implication that offered once every year. the strategy offered to diminish the stationary sources of pollution is reforestation. while the strategies offered to diminish the mobile sources of pollution are: 1) improvement in transportation infrastructure; 2) reforestation; 3) replacement of old motorized vehicles; and 4) the use of alternative roads on traffic peak hours. the strategies to diminish the mobile sources of pollution were ranked by an analytical hierarchy process (ahp) according to people’s preference in the implementation. the strategies have implications in four consecutive years. the research result showed that the level of wtp of the society was still low. the determinant factors of the wtp are estimated by the ordered probit method. the estimated results showed that the income of the respondents compared to health costs, caused by damaged lungs, eyes, and nose, has an influence on the wtp. while the age, education, and distance to the polluted area of the respondents are not significantly influencing the wtp. keywords: urban air quality; willingness to pay; ordered probit method; reforestation jel classification: q51, q53 abstrak: pembangunan ekonomi di perkotaan ditandai dengan perkembangan di sektor industri dan diikuti oleh aktivitas transportasi yang padat. peningkatan jumlah pabrik dan kendaraan bermotor menghasilkan gas buang di udara yang semakin meningkat. asap sisa proses industrialisasi dan gas buang kendaraan bermotor (emisi) menjadi polusi sumber tidak bergerak dan sumber bergerak yang mengganggu kualitas udara di perkotaan dan berdampak buruk terhadap kesehatan. studi ini menghitung kesediaan masyarakat membayar (wtp) terhadap kebijakan memperbaiki kualitas udara dengan tujuan mengetahui kesadaran masyarakat menjaga lingkungannya. kesediaan membayar masyarakat ditunjukkan dengan seberapa besar masyarakat mau membayar kebijakan yang ditawarkan tiap setahun sekali. kebijakan yang ditawarkan untuk polusi sumber tidak bergerak adalah penghijauan sedangkan untuk polusi sumber bergerak ada empat kebijakan. empat kebijakan untuk polusi sumber tidak bergerak diranking dengan analisis ahp dengan urutan perbaikan infrastruktur, penghijauan, penggantian kendaraan bermesin tua, dan pengalihan jalur padat. hasil menunjukkan bahwa tingkat wtp masyarakat masih rendah. faktor-faktor yang mempengaruhi wtp masyarakat adalah pendapatan dan biaya kesehatan paru-paru, mata, dah hidung. faktor usia, tingkat pendidikan, dan jarak polusi terhadap responden tidak begitu berpengaruh. kata kunci: kualitas udara; kesediaan masyarakat membayar; ordered probit method; penghijauan klasifikasi jel: q51, q53 penilaian willingness to pay (rosalina, evi gravitiani) 119 pendahuluan lingkungan hidup yang mengalami kerusakan, mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak kerugian bagi perikehidupan masyarakat baik di sisi sosial maupun ekonomi. upaya mengurangi laju kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan terus dilakukan tidak saja oleh pemerintah namun dilakukan pula oleh semua elemen masyarakat. pada tahun 2009, kementerian lingkungan hidup sebagai salah satu elemen pemerintah yang ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan iklim, mulai mengembangkan alat ukur sederhana yang disebut dengan indeks kualitas lingkungan hidup (iklh). iklh dapat membantu untuk mempertajam prioritas program dan kegiatan dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup. iklh difokuskan pada air, udara, dan lahan hutan. indikator ini membantu untuk mengetahui bagaimana kondisi lingkungan hidup di tiap wilayah dan kerusakan-kerusakan yang terjadi khususnya akibat perubahan iklim. pencemaran udara di perkotaan merupakan permasalahan yang tidak dapat diabaikan. peningkatan penggunaan kendaraan bermotor dan konsumsi energi di kotakota, jika tidak dikendalikan, akan memperparah pencemaran udara, kemacetan, dan dampak perubahan iklim yang menimbulkan kerugian kesehatan, produktivitas dan ekonomi bagi negara. kota semarang menjadi salah satu pusat perdagangan menjadi latar belakang tumbuhnya industri di kota semarang. jumlah industri kota semarang adalah 377, dengan 142 industri besar dan 235 industri sedang. industri banyak tersebar di kecamatan genuk yaitu 91 industri sedang dan 35 industri besar. kecamatan yang memiliki sebaran industri terbanyak kedua adalah kecamatan ngaliyan yaitu 22 industri sedang dan 23 industri besar. surat kabar suara merdeka (2/29/2009) menuliskan berita mengenai sebagian warga jrakah mengeluhkan pencemaran udara yang ditimbulkan salah satu pabrik besi baja di jalan raya walisongo, yaitu mengakibatkan anak-anak menderita flek paruparu akibat asap dan partikel yang berasal dari dapur pabrik baja, yaitu asap hitam, asap putih, dan material yang tak kasat mata, namun beraroma tajam. warga menyatakan bahwa material tak kasat mata dianggapnya sebagai material yang paling mengganggu, karena tidak berwujud, tapi baunya menyengat di hidung. warga menduga bahwa material tersebut yang menyebabkan sebagian warga, terutama anakanak menderita flek paru-paru. salah satu warga menyatakan, ada 10 anak yang terkena flek paru-paru di wilayah kelurahan jrakah. anak-anak yang terkena flek pertumbuhannya akan terganggu, selain karena batuk-batuk, badan mereka tetap kecil walaupun makannya banyak. kementerian lingkungan hidup melalui asisten deputi urusan pengendalian pencemaran udara (asdep ppu) sumber bergerak, deputi menteri lingkungan hidup bidang pengendalian pencemaran lingkungan melaksanakan kegiatan evaluasi kualitas udara perkotaan (ekup) sebagai pelaksanaan dari program langit biru dan transportasi berkelanjutan. pada tahun 2012 ekup diadakan di 44 kota di indonesia, terjadi peningkatan setelah tahun 2011 mengevaluasi sebanyak 25 kota. kota-kota yang akan dievaluasi sebelumnya di kategorikan dalam kota metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil. jawa tengah diwakili oleh dua kota, yaitu semarang sebagai kota metropolitan, dan surakarta sebagai kota besar. kota metropolitan yang dievaluasi disini ada 14 kota, kota besar ada 13 kota, dan kota sedang dan kecil ada 17 kota. hasil evaluasi kualitas udara perkotaan kementerian lingkungan hidup 2012, menunjukkan bahwa kota di jawa tengah khusunya semarang berada dalam zona f, yakni zona arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti. industri dan transportasi menjadi sektor yang sangat bersinggungan langsung dengan masyarakat. kedua sektor ini-industri sebagai sumber tidak bergerak dan transportasi sebagai sumber bergerak-mengeluarkan asap dan gas sisa pembakaran yang menyebabkan penurunan kualitas udara dan mengganggu kesehatan. masalah polusi udara ini membutuhkan kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas udara di perkotaan ini. kebijakan yang ditawarkan untuk mengatasi polusi sumber tidak bergerak adalah penghijauan, sedangkan kebijakan untuk polusi sumber tidak bergerak adalah perbaikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014:118-126 120 infrastruktur, penghijauan, penggantian kendaraan bermesin tua dengan kendaraan bermesin baru dan penghijauan. metode penelitian jenis dan sumber data data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer. studi ini menggunakan metode survei kepada masyarakat kota semarang yang terkena langsung dampak dari pencemaran udara baik dari sumber bergerak (transportasi) maupun sumber tidak bergerak (industri). secara umum, pusat polusi berada di kawasan semarang selatan, semarang barat, dan tugu, karena lokasi tersebut dekat pusat pemerintahan kota semarang dan kawasan industri khususnya industri besi dan baja, sehingga arus lalu lintas sangat padat dan polusi dari industri sering mengganggu pemukiman warga sekitar. polusi dari sumber bergerak diambil di daerah sekitar jalan raya yang kandungan gas karbon monoksida (co) melampaui ambang batas udara ambien. indikator gas co digunakan karena gas tersebut yang paling banyak dihasilkan oleh kendaraan bermotor. kawasan jalan raya yang dinilai kandungan gas co nya melampaui ambang batas udara ambien tampak dalam tabel 1. polusi sumber tidak bergerak diambil dari industri besi dan baja terletak di kawasan industri yang terkluster di kecamatan semarang barat dan kecamatan tugu, dapat dilihat pada tabel 2 (lampiran). alat analisis metode pengumpulan data yang digunakan adalah mewawancarai secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dalam obyek penelitian, mengadakan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti dalam hal ini masyarakat jawa tengah dan membaca literatur-literatur yang ada dalam perpustakaan. populasi dalam studi ini adalah seluruh masyarakat di kecamatan semarang selatan, kecamatan semarang barat khususnya kelurahan kalibanteng kulon dan ngemplaksimongan, dan kecamatan tugu khususnya kelurahan jrakah dan kelurahan tugurejo. alasan mengambil wilayah studi di daerah ini, karena wilayah-wilayah tersebut yang terkena dampak paling tinggi akibat polusi dari industri dan transportasi. sampel adalah bagian anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. sampel agar dapat mewakili populasinya maka penetapan jumlah sampel studi dilakukan dengan cara menggunakan rumus slovin (sevilla, 1993) sebagai berikut: 21 n ne 1) di mana n mewakili jumlah sampel yang digunakan; n mewakili jumlah populasi; e mewakili nilai kritis atau batas kesalahan 10% metode analisis yang digunakan adalah deskriptif, probit bertingkat dan analytical hierarchy process (ahp). metode deskriptif digunakan untuk menghitung jumlah dan persentase responden dengan tingkat wtp tertentu. metode probit bertingkat digunakan untuk menghitung probabilitas kesediaan masyarakat dalam membayar kebijakan yang telah ditawarkan dan mengetahui besar pengaruh variabel independen terhadap besar kecilnya wtp dalam bahasan marginal effect. model yang digunakan dalam probit bertingkat adalah sebagai berikut: tabel 1. kawasan yang melampaui ambang batas udara ambien lokasi baku mutu udara (co) µg / m3 kandungan co µg / m3 kecamatan kawasan bundaran kalibanteng 15.000 20.610 semarang barat kawasan bundaran tugu muda 15.000 17.175 semarang selatan penilaian willingness to pay (rosalina, evi gravitiani) 121 wtpbrgrk = α0 + α1inc + α2 cparu + α3 cmata + α4 chidung 2) di mana: wtptkbrgrk adalah variabel kemauan responden untuk membayar kebijakan penghijauan; inc adalah variabel income, pendapatan responden per bulan; cparu adalah variabel cost paru, mewakili biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan paru; cmata adalah variabel cost mata mewakili biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan mata, chidung adalah cost hidung mewakili biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan hidung analytical hierarchy process (ahp) digunakan untuk melihat preferensi tingkat kepentingan responden terhadap kebijakan untuk diaplikasikan sesuai urutan preferensinya. (3) di mana: goal: preferensi pelaksanaan; kebijakan; kebijakan 1: perbaikan infrastruktur, kebijakan 2: penghijauan; kebijakan 3: penggantian mesin kendaraan tua; kebijakan 4: pengalihan jalur padat hasil dan pembahasan hasil menunjukkan tingkat wtp masyarakat masih rendah. responden penerima dampak polusi sumber tidak bergerak maupun bergerak rata-rata hanya bersedia membayar kebijakan di bawah rp40.000. sumber tidak bergerak responden penerima dampak polusi tak bergerak diberi kebijakan penanaman pohon dan didapatkan nilai wtp responden penerima dampak polusi tak bergerak seperti di tabel 4. mayoritas responden bersedia membayar kurang dari rp40.000. responden menyebutkan bahwa penanaman pohon kurang efektif, yang pertama mereka tidak dapat menerima dampak secara langsung, kedua polusi akibat sumber tidak bergerak merupakan tanggung jawab dari perusahaan, jadi perusahaan yang seharusnya membayar bukan dari masyarakat sekitar. tabel 4. wtp penghijauan untuk penerima dampak polusi sumber tidak bergerak kode wtp jumlah responden % 0 wtp < 40.0000 20 38 1 40.000 ≤ wtp < 60.000 14 27 2 60.000 ≤ wtp < 75.000 4 8 3 75.000 ≤ wtp < 100.000 11 21 4 100.000 ≤ wtp 3 6 jumlah 52 100 tabel 5. hasil estimasi probabilitas kelompok besaran wtp kebijakan penghijauan kode kelompok besaran wtp probabilitas prob (wtp = 0) prob (wtp < rp40.000,-) 0,7054 prob (wtp = 1) prob (rp40.000,≤ wtp < rp60.000,-) 0,1871 prob (wtp = 2) prob (rp60.000,≤ wtp < rp75.000,-) 0,0354 prob (wtp = 3) prob (rp75.000,≤ wtp < rp100.000,-) 0,0643 prob (wtp = 4) prob (wtp ≥ rp100.000,-) 0,0078 hasil menunjukkan bahwa probabilitas kebijakan penghijauan untuk memiliki nilai wtp di bawah rp40.000,(wtp=0) adalah 70,54%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp40.000,sampai dengan kurang dari rp60.000,(wtp=1) adalah 18,71%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp60.000,sampai dengan kurang dari rp75.000,(wtp=2) adalah 3,54%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp75.000,sampai dengan kurang dari rp100.000.(wtp=3) adalah 6,43%. probabilitas kebijakan penghijauan goal kebijakan 1 kebijakan 2 kebijakan 3 kebijakan 4 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014:118-126 122 memiliki nilai wtp di atas rp100.000.(wtp= 4) adalah 0,78%. aplikasi dari tabel 6 dapat diilustrasikan apabila terjadi peningkatan pendapatan sebesar rp100.000,-, maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,0790048 atau 7,9%; probabilitas wtp di kelompok kedua antara rp40.000,sampai dengan rp60.000, bertambah sebesar 0,0209552 atau 2,09%; probabilitas wtp di kelompok ketiga antara rp60.000,sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,0039648 atau 0,39%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000, sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar 0,0072016 atau 0,72% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,0008736 atau 0,08%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan paru (cparu) naik menjadi 10.000 rupiah, maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,1149802 atau 11,49%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,0304973 atau 3,05%; probabilitas wtp di kelompok antara rp60.000,sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,0057702 atau 0,58%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar bertambah sebesar 0,0104809 atau 1,05% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,0012714 atau 0,12%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan mata (cmata) naik menjadi 10.000 rupiah, maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,712454 atau 71,24%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,188971 atau 18,90%; probabilitas wtp di antara rp60.000,sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,035754 atau 3,57%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000, bertambah sebesar bertambah sebesar 0,064943 atau 6,50% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,007878 atau 0,79%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan hidung (chidung) naik menjadi rp10.000,maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,3012058 atau 30,12%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000, bertambah sebesar 0,0798917 atau 7,99%; probabilitas wtp di kelompok antara rp60.000, sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,0151158 atau 1,51%; probabilitas wtp di kelompok antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar 0,0274561 atau 2,74% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,0033306 atau 0,33%, dengan asumsi variabel lain konstan. kebijakan yang ditawarkan hanya penghijauan. kebijakan penghijauan ini alur dapat diserahkan langsung kepada masyarakat dalam memilih jenis tanaman dan jumlah yang akan ditanam, atau dapat ditentukan pemerintah berdasarkan rata-rata wtp responden penerima dampak polusi sumber tidak bergerak. tabel 6. marginal effect variabel-variabel independen terhadap probabilitas wtp responden no variabel independen probabilitas wtp responden (wtp=0) (wtp=1) (wtp=2) (wtp=3) (wtp=4) 1 inc 7,90048e-07 2,09552e-07 3,9648e-08 7,2016e-08 8,736e-09 2 cparu 1,1498e-05 3,04973e-06 5,7702e-07 1,04809e-06 1,2714e-07 3 cmata 7,12454e-05 1,88971e-05 3,5754e-06 6,4943e-06 7,878e-07 4 chidung 3,01206e-05 7,98917e-06 1,51158e-06 2,74561e-06 3,3306e-07 penilaian willingness to pay (rosalina, evi gravitiani) 123 polusi sumber bergerak responden penerima dampak polusi dari sumber bergerak ditawarkan empat kebijakan untuk mengatasi polusi dari transportasi lalu lintas untuk mengetahui tingkat wtp mereka. kebijakan yang ditawarkan adalah perbaikan infrastruktur transportasi, pengalihan transportasi jalur padat, penggantian kendaraan mesin tua, dan penghijauan. kebijakan ini ditawarkan untuk memperbaiki transportasi agar dapat mengembalikan kualitas udara. kebijakan pertama adalah perbaikan infrastruktur transportasi atau sering disebut perbaikan prasarana transportasi. sarana transportasi meliputi sistem jalan (jalur angkutan umum dalam kota, bus luar kota, kendaraan pribadi, jalur rel kereta, dan walking area), drainase, dan area parkir. kebijakan kedua adalah pengalihan jalur padat. jalur-jalur padat di semarang berada disekitar bundaran kalibanteng dan bundaran tugu muda karena merupakan pusat pemerintahan dan pusat bisnis. kebijakan ini menyediakan akses jalan baru dengan fasilitas memadahi seperti jalur yang biasa digunakan dengan tujuan mengarahkan masyarakat agar tidak hanya melewati jalur umum untuk mencapai tujuan tersebut tetapi juga jalur-jalur yang akan disediakan untuk mengurai kepadatan satu jalur. kebijakan yang ketiga adalah mengganti kendaraan bermesin tua. kebijakan ini disarankan dengan dasar bahwa kendaraan dengan mesin tua memiliki emisi gas beracun yang tinggi dan sering mengeluarkan asap hitam yang mengganggu kesehatan. kebijakan ini menghimbau agar masyarakat maupun pengusaha yang memiliki kendaraan pribadi maupun kendaraan umum yang mesinnya sudah tidak layak atau mengeluarkan asap melebihi ambang emisi normal agar mengganti dengan mesin yang baru. kebijakan keempat adalah penghijauan. kebijakan penghijauan ini diutamakan di kawasan yang padat oleh lalu lintas dengan asumsi di kawasan yang padat lalu lintas mempunyai kandungan gas beracun yang lebih tinggi. keinginan membayar responden terhadap empat kebijakan tersebut dikelompokkan dalam tabel 7. tingkat wtp masyarakat terhadap kebijakan untuk mengatasi polusi dari sumber bergerak masih rendah. rata-rata wtp responden di bawah rp40.000,sebesar 38% atau sekitar 20 responden. probabilitas responden dalam memilih wtp ditunjukkan oleh tabel 8. tabel 8. hasil estimasi probabilitas kelompok besaran wtp kebijakan polusi sumber bergerak kode kelompok besaran wtp probabilitas prob (wtp = 0) prob (wtp < rp40.000,-) 0,5080 prob (wtp = 1) prob (rp40.000, ≤ wtp < rp60.000,-) 0,2406 prob (wtp = 2) prob (rp60.000, ≤ wtp < rp75.000,-) 0,1091 prob (wtp = 3) prob (rp75.000, ≤ wtp < rp100.000,-) 0,1142 prob (wtp = 4) prob (wtp ≥ rp100.000,-) 0,0281 hasil menunjukkan bahwa probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp di bawah rp40.000,(wtp=0) adalah 50,80%. probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp antara rp40.000,sampai dengan kurang dari rp60.000,(wtp=1) adalah 24,06%. probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp antara rp60.000,sampai dengan kurang dari rp75.000,(wtp=2) adalah 10,91%. tabel 7. wtp kebijakan untuk penerima dampak polusi sumber bergerak kode wtp jumlah responden % 0 wtp < 40.0000 20 38 1 40.000 ≤ wtp < 60.000 14 27 2 60.000 ≤ wtp < 75.000 6 12 3 75.000 ≤ wtp < 100.000 9 17 4 100.000 ≤ wtp 3 6 jumlah 52 100 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014:118-126 124 probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp antara rp75.000, sampai dengan kurang dari rp100.000,(wtp= 3) adalah 11,42%. probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp di atas rp100.000.(wtp=4) adalah 2,81%. aplikasi dari tabel 9 dapat diilustrasikan apabila terjadi peningkatan pendapatan sebesar rp100.000, maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,0309372 atau 3,09%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,01465254 atau 1,46 %; probabilitas wtp di kelompok antara rp60.000,sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar: 0,00664419 atau 0,66%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar: 0,00695478 atau 0,69% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar: 0,00171129 atau 0,17%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan paru (cparu) naik menjadi rp10.000,maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,0247396 atau 24,74%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,01171722 atau 1,17%; probabilitas wtp di kelompok ketiga antara rp60.000, sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,00531317 atau 0,53%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar bertambah sebesar 0,00556154 atau 0,56% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,00136847 atau 0,13%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan mata (cmata) naik menjadi 10.000 rupiah, maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,196596 atau 19,66%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,0931122 atau 9,31%; probabilitas wtp di kelompok antara rp60.000,sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,0422217 atau 4,22%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar 0,0441954 atau 4,42% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,0108747 atau 1,09%, dengan asumsi variabel lain konstan. perubahan yang terjadi apabila biaya untuk kesehatan hidung (chidung) naik menjadi rp10.000,maka secara berturut-turut akan menyebabkan probabilitas wtp kurang dari rp40.000,bertambah sebesar 0,25654 atau tabel 10. hasil ahp kebijakan polusi sumber bergerak kebijakan infrastruktur pengurangan penggantian penanaman jml % ranking infrastruktur 0,36 0,44 0,35 0,45 1,60 40 1 pengurangan 0,17 0,15 0,13 0,20 0,64 16 4 penggantian 0,26 0,26 0,17 0,16 0,85 21 3 penanaman 0,21 0,15 0,35 0,20 0,91 23 2 jumlah 1 1 1 1 4 100 tabel 9. marginal effect variabel-variabel independen terhadap probabilitas wtp responden no variabel independen probabilitas wtp responden (wtp=0) (wtp=1) (wtp=2) (wtp=3) (wtp=4) 1 inc 3,09e-07 1,47e-07 6,64e-08 6,95e-08 1,71e-08 2 cparu 2,47e-06 1,17e-06 5,31e-07 5,56e-07 1,37e-07 3 cmata 1,97e-05 9,31e-06 4,22e-06 4,42e-06 1,09e-06 4 chidung 2,57e-05 1,22e-05 5,51e-06 5,77e-06 1,42e-06 penilaian willingness to pay (rosalina, evi gravitiani) 125 25,65%; probabilitas wtp di kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,bertambah sebesar 0,121503 atau 12,15%; probabilitas wtp di kelompok ketiga antara rp60.000, sampai dengan rp75.000,bertambah sebesar 0,0550955 atau 5,51%; probabilitas wtp di kelompok keempat antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,bertambah sebesar bertambah sebesar 0,057671 atau 5,76% dan probabilitas wtp di kelompok kelima lebih dari rp100.000,bertambah sebesar 0,0141905 atau 1,42%, dengan asumsi variabel lain konstan. kebijakan yang disarankan untuk polusi sumber bergerak ada 4, yaitu memperbaiki infrastruktur, mengalihkan jalur padat, mengurangi/mengganti kendaraan bermesin tua dan penghijauan. pelaksanaan kebijakan ini dilakukan selama empat tahun berturut-turut sesuai pilihan preferensi responden. pengukuran tingkat preferensi dianalisis menggunakan analytical hierarchy process (ahp) pada tabel 10. berdasarkan data tabel 10 menunjukkan tingkat preferensi dari kebijakan polusi dari sumber bergerak yang akan lebih jelas terlihat pada tabel 11. tabel 11. ranking kebijakan polusi sumber bergerak kebijakan % ranking infrastruktur 40 1 penanaman 23 2 penggantian 21 3 pengurangan 16 4 jumlah 100 ranking pertama diduduki oleh kebijakan infrastruktur atau perbaikan sarana prasarana transportasi. responden banyak yanng mendukung kebijakan peningkatan kualitas udara dengan perbaikan infrastruktur karena kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas, sehingga potensi polusi yang keluar dari kendaraan bermotor lebih kecil masuk ke dalam paru-paru. kebijakan diranking kedua adalah penanaman atau penghijauan. responden menyatakan cukup mendukung dan bersedia untuk membayar kebijakan penghijauan dengan alasan penghijauan dapat mengurangi kesumpekan sewaktu berkendara di jalan raya khususnya di jalur padat. alasan lain yang diungkapkan responden yaitu dengan responden membayar kebijakan penghijauan, responden dapat merasakan dampak langsung berupa pepohonan di sekitar jalur padat yang memberi kesejukan dan juga mengurangi bau dari gas-gas beracun kendaraan bermotor. kebijakan ranking ketiga adalah kebijakan penggantian atau mengganti kendaraan yang bermesin tua dengan mesin yang baru. ketidaksediaan responden terhadap kebijakan ini banyak berasal dari respoden yang berpenghasilan rendah dan dari sopir angkutan umum. alasan mereka yang pertama bahwa mesin tua tidak harus diganti baru, selain karena tidak ada biaya juga mesin itu dapat diperbaiki. alasan lain yang datang dari sopir angkutan umum, mereka merasa tidak bertanggung jawab terhadap mesin dari angkutan tersebut karena mereka hanya bekerja untuk mengemudikannya bukan untuk perawatannya. kebijakan terakhir yang dipilih oleh responden adalah kebijakan pengurangan atau mengurangi kendaraan di daerah yang padat dengan cara mengalihkan kendaraan di jalur padat ke jalur lain. rendahnya kesediaan responden untuk membayar kebijakan ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya pesimisnya masyarakat terhadap jalur-jalur baru yang akan dibuat, karena menurut mereka kota semarang daerah yang banyak perbukitan dan rawan banjir. simpulan hasil estimasi wtp polusi sumber tidak bergerak kurang dari rp40.000,sebesar 38%, kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000, adalah 27%, kelompok antara rp 60.000 sampai dengan rp75.000,sebesar 8%, kelompok antara rp75.000,sampai dengan rp100.000,sebesar 21%, dan kelompok lebih dari rp100.000, sebesar 6%. hasil estimasi wtp polusi sumber bergerak kurang dari rp40.000,sebesar 38%, kelompok antara rp40.000,sampai dengan rp60.000,sebesar 27%, kelompok antara rp60.000,sampai dengan rp 75.000,sebesar 12%, kelompok antara rp75.000,sampai dengan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014:118-126 126 rp100.000,sebesar 17% dan kelompok lebih dari rp100.000,sebesar 6%. probabilitas kebijakan penghijauan untuk memiliki nilai wtp di bawah rp40.000,(wtp =0) adalah 70,54%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp40.000, sampai dengan kurang dari rp60.000,(wtp= 1) adalah 18,71%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp60.000, sampai dengan kurang dari rp75.000,(wtp= 2) adalah 3,54%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp75.000, sampai dengan kurang dari rp100.000.(wtp = 3) adalah 6,43%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp di atas rp100.000. (wtp= 4) adalah 0,78%. probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp di bawah rp40.000, (wtp=0) adalah 50,80%. probabilitas kebijakan untuk polusi sumber bergerak memiliki nilai wtp antara rp40.000,sampai dengan kurang dari rp60.000,(wtp=1) adalah 24,06%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp60.000,sampai dengan kurang dari rp75.000,(wtp=2) adalah 10,91%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp antara rp75.000,sampai dengan kurang dari rp100.000.(wtp=3) adalah 11,42%. probabilitas kebijakan penghijauan memiliki nilai wtp di atas rp100.000.(wtp=4) adalah 2,81%. kebijakan yang ditawarkan untuk polusi sumber tidak bergerak adalah penghijauan, sedangkan untuk polusi sumber tidak bergerak ada empat kebijakan. hasil preferensi kebijakan untuk polusi sumber bergerak adalah perbaikan infrastruktur, penghijauan, penggantian kendaraan bermesin tua, dan pengalihan jalur padat. melihat hasil studi yang telah dilakukan, perlu pengkajian ulang terhadap kebijakan dan pelaksanaannya agar masyarakat lebih bisa melihat dampak positif dari tawaran kebijakan. pilihan tingkat wtp perlu disertai hal yang akan didapatkan apabila masyarakat mau membayar lebih mahal, agar mereka merasa harus membayar lebih umtuk mendapatkan hal yang lebih baik. populasi dan sampel yang digunakan juga dapat ditambah dengan melibatkan setiap kecamatan di kota semarang, agar lebih merata dan mengetahui permasalahan di setiap daerah. daftar pustaka amalia, m. (2010). designing a choice modelling survey to value the health and environmental impacts of air pollution from the transport sector in the jakarta metropolitan area. economy and environment program for southeast asia (eepsea): 978981-08-6971-7. chaisemartin, c. de dan mahe, t. (2009). how to understand our willingness-to-pay to fight climate change? a choice experiment approach. ecole polytechnique. badan meteorologi klimatologi dan geofisika. (2013) buku informasi perubahan iklim dan kualitas udara di indonesia. jakarta:bmkg. kementerian lingkungan hidup. (2012). evaluasi kualitas udara perkotaan kementerian lingkungan hidup. jakarta: klh. badan pusat statistik. (2010). konsep dan definisi data dan lingkungan hidup provinsi jawa tengah. gravitiani, e. (2008). valuasi ekonomi dampak timbal (pb) gas buang kendaraan bermotor terhadap kesehataan masyarakat perkotaan yogyakarta. longo, a. (2011). willingness to pay for ancillary benefits of climate change mitigation. springer science business media: 51 hlm. 119– 140. markantonis, v. (2009). the application of the contingent valuation method in estimating the climate change mitigation and adaptation policies in greece. an expertbased approach. springer science business media: 1 hlm. 807–824. mertz, ole. (2008). adaptation to climate change in developing countries. springer science business media: 43 hlm.743–752. muharram, rizwan. (2010). willingness to pay pengguna angkutan umum untuk pelayanan bus rapid transit (barat) koridor i di kota surakarta, aplikasi metode contingent valuation. powe, neil a. dan willis, kenneth g. (2002). mortality and morbidity benefits of air pollution absorption by woodland. social and environmental benefits of forestry. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 2, oktober 2014:118-126 126 lampiran tabel 2. lokasi perusahaan besi dan baja di kota semarang industri kecamatan industri pipa baja semarang barat industri baja lembaran lapis seng semarang barat industri besi beton tugu industri besi beton tugu industri pelapisan besi tugu sumber: statistik industri besar dan sedang kota semarang, 2009 tabel 3. jumlah populasi dan sampel no kecamatan kelurahan jumlah populasi sampel 1 semarang selatan randusari 8.316 27 2 semarang barat ngemplak simongan 12.438 28 kalibanteng kulon 7.640 25 3 tugu jerakah 2.759 7 tugurejo 6.312 17 total 37.465 104 image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg image (14).jpg image (15).jpg image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg image (14).jpg image (15).jpg image (16).jpg studi efektivitas pelayanan publik di kecamatan kejaksan kota cirebon jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm. 220-232 penyusunan indikator dan pemetaan kantong kemiskinan di yogyakarta: pendekatan sistem informasi geografi nano prawoto1, agus tri basuki2 1,2 fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, kasihan, bantul, daerah istimewa yogyakarta 55183, indonesia phone +62 274 387656. e-mail korespondensi: nanoprawoto@yahoo.com naskah diterima: januari 2015; disetujui: agustus 2015 abstract:this study aims is to identify pockets of poverty-based districts in kulon progo and formulate a common strategy for tackling poverty based on poverty levels in the district. the analytical method used to map poverty in kulon progo is size poverty indicators consists of economic, geographic, and social health and education. also used some tools i.e. shift share analysis, lq, and typology klassen to determine economic development in kulon progo. the data used are primary data and secondary data. the results showed that the causes of poverty in kulon progo consists of a variety of complex factors and interrelated, namely geography, human qualities, facilities and natural conditions are less supportive of the development of economic activity resulting limited access resources, distribution of goods, lack of education, a potential health threat levels, and low levels of income, ownership of assets and the level of social welfare. keywords: poverty indicators; shift share;lq; typologi klassen jel classification: i32, r15 abstrak: studi ini bertujuan mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan berbasis kecamatan di kabupaten kulon progo dan merumuskan strategi umum untuk menanggulangi kemiskinan berdasarkan pada tingkatan kemiskinan yang ada di kecamatan. metode analisis yang digunakan untuk memetakan kemiskinan di kabupaten kulon progo adalah ukuran indikator kemiskinan terdiri dari aspek ekonomi, geografi, kesehatan dan pendidikan dan sosial. selain itu digunakan beberapa alat analisis yaitu shift share, lq, dan tipologi klassen untuk mengetahui perkembangan ekonomi di kabupaten kulon progo. data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. hasil studi menunjukkan bahwa penyebab kemiskinan di kabupaten kulon progo terdiri atas berbagai faktor yang komplek dan saling berkaitan, yaitu kondisi geografis, kualitas manusia, sarana prasarana dan kondisi alam yang kurang mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi sehingga mengakibatkan terbatasnya akses sumber daya, distribusi barang, rendahnya pendidikan, potensi ancaman tingkat kesehatan, serta rendahnya tingkat pendapatan, kepemilikan aset dan tingkat kesejahteraan masyarakat. kata kunci: indikator kemiskinan; shift share; lq; tipologi klassen klasifikasi jel: i32, r15 pendahuluan kemiskinan pada dasarnya merupakan indikator klasik yang hingga saat ini menjadi momok bagi negara dunia ketiga. millenium development goals (mdgs) yang dideklarasikan oleh pbb pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota pbb dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015. jumlah penduduk miskin di indonesia pada maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 mailto:prawoto@yahoo.com penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 221 persen). dibandingkan dengan penduduk miskin pada maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa. jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada daerah perdesaan. selama periode maret 2009-maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang. persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari maret 2009 ke maret 2010. pada maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen. persoalan kemiskinan menjadi isu yang tidak pernah habis hingga sekarang, apalagi yang berkaitan dengan kesuksesan kepemimpinan sebuah pemerintah daerah, topik kemiskinan seakan tidak lekang ditelan masa. kepemimpinan pemerintah daerah akan dinilai berhasil apabila dapat menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat banyak secara merata. kabupaten kulon progo sebagai salah satu kabupaten di provinsi daerah istimewa jogjakarta masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan ini. kajian yang paling mendesak agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan efektif, maka diperlukan pemetaan tentang kemiskinan di berbagai kecamatan. dengan diketahuinya kantong-kantong kemiskinan tersebut diharapkan dapat disusun kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang pro poor. hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) yang kajiannya didasari oleh teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital, dan the production-centred model yang berporos pada pendekatan ekonomi neo-klasik ortodok (orthodox neoclassical economics) (elson, 1997; suharto, 2001; 2002a; 2002b). sejak ahli ekonomi “menemukan” pendapatan nasional (gnp) sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemakmuran negara pada tahun 1950-an, hingga kini hampir semua ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemajuan suatu negara. pengukuran kemiskinan yang berpijak pada perspektif “kemiskinan pendapatan” (income poverty) – yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator “garis kemiskinan” – juga merupakan bukti dari masih kuatnya dominasi model ekonomi neo-klasik di atas. karena indikator gnp dan pendapatan memiliki kelemahan dalam memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu entitas sosial, sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. di antaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan sen (1973); social accounting matrix (sam) oleh pyatt dan round (1977); physical quality of life index (pqli) yang dikembangkan morris (1977) (lihat suharto, 1998). pemetaan tentang profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program dalam menentukan program-program yang tepat. dengan mengetahui pemetaan kemiskinan di perdesaan, pengambil kebijakan bisa lebih memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan di perdesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. metode penelitian jenis dan sumber data dilihat dari sumbernya, data dasar yang digunakan dalam studi ini ada dua jenis yaitu data sekunder dan data primer. lokasi pelaksanaan pekerjaan adalah di seluruh kecamatan yang ada di kabupaten kulon progo.waktu pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama 2 tahun. alat analisis pelaksanaan pekerjaan menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan dan menyajikan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, menghimpun data dan menyajikannya. pende jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 222 katan pelaksanaan pekerjaan menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. pendekatan kualitatif dilaksanakan untuk merumuskan indikator rawan pangan yang relevan dengan wilayah yang dikaji. pendekatan kualitatif digunakan sebagai pembanding dan memperjelas data kuantitatif yang ada dengan memakai strategi studi kasus. strategi studi kasus dipilih karena kekhasan masalah, selain kemampuannya dalam menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam (cresswel, 1994; babie 2004 dalam sitorus,1999). karakteristik rumah tangga miskin hasil pendataan bps pada tahun 2010 menunjukkan sebagian besar dari rumah tangga miskin mempunyai 4,9 anggota rumah tangga. jumlah rata rata anggota rumah tangga ini lebih besar dibanding jumlah rata rata anggota rumah tangga tidak miskin. ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumah tangga tidak miskin. rumah tangga miskin di daerah perkotaan rata rata mempunyai 5,1 anggota rumah tangga, sedangkan rumah tangga miskin di daerah perdesaan rata rata mempunyai 4,8 anggota rumah tangga. berdasarkan angka ini dapat diketahui bahwa beban rumah tangga miskin di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup ternyata lebih besar daripada rumah tangga miskin di daerah perdesaan. ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah. data yang disajikan bps memperlihatkan bahwa 72,01 persen dari rumah tangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat sd, dan 24,32% dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan sd. kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumah tangga miskin di perkotaan. sekitar 57,02% rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat sd, dan 31,38 persen dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan sd. ciri ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibanding kepala rumahtangga di perdesaan. ciri rumah tangga miskin yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. menurut data bps, penghasilan utama dari 63,0 persen rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 6,4 persen dari kegiatan industri, 27,7 persendari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan. pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran. dengan membedakan menurut daerah dapat dicatat bahwa sebagian besar atau sekitar 75,7 persenrumah tangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. lebih dari 75 persenrumah tangga miskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0 persenrumah tangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian. ini konsisten dengan corak rumah tangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumah tangga petani. kegiatan ekonomi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumah tangga miskin di perkotaan. pemetaan kemiskinan di kabupaten kulon progo sesuai dengan pendekatan pengukuran dan analisis penyebab kemiskinan di kabupaten kulon progo digambarkan pada gambar 1. berbagai faktor penyebab kemiskinan tersebut, kemudian dapat dilakukan penetapan indikator dan parameter pengukuran kemiskinan. penentuan indikator dan parameter ini juga mengacu pada pendekatan yang dilakukan oleh biro pusat statistik, khususnya untuk tahun 2010. adapun indikator yang dimaksud adalah seperti pada tabel 1 (dalam lampiran). hasil penentuan indikator dan penghitungan skor dapat kita buat peta wilayah kemiskinan di kabupaten kulon progo, dan dari hasil pemetaan kemiskinan dapat dijadikan dasar dalam penyusunan strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan di kabupaten kulon progo. penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 223 hasil dan pembahasan posisi perekonomian kabupaten kulon progo struktur ekonomi dan struktur sosial tiap kabupaten di diy berbeda satu sama lain yang didasarkan pada typology klassen. berdasarkan laju pertumbuhan pdrb dan kontribusi dalam pembentukan pdrb kabupaten terhadap pdrb provinsi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. dalam analisis typology klassen dibagi menjadi 4 kategori dapat dilihat pada tabel 2: (1) daerah majuberkembang cepat. daerah yang memiliki ciri kontribusi pdrb kab/ kota/reratakontribusi pdrb provinsi  1 dan rerata pertumbuhan pdrb (kab/kota)/rerata pdrb provinsi  1. (2) daerah berkembang cepat. daerah yang memiliki ciri kontribusi pdrb kab/kota/ rerata kontribusi pdrb provinsi  1 dan rerata pertumbuhan pdrb (kab/kota)/rerata pdrb provinsi  1. (3) daerah potensial. daerah yang memiliki cirri kontribusi pdrb kab/kota/reratakontribusi pdrb provinsi  1 dan rerata pertumbuhan pdrb (kab/kota)/rerata pdrb provinsi 1. (4) daerah relatif tertinggal. daerah yang memiliki ciri kontribusi pdrb kab/kota/ gambar 1. berbagai faktor penyebab kemiskinan gambar 2. kerangka kerja penelitian tabel 2. perkembangan ekonomi kabupaten/kota terhadap daerah istimewa yogyakartatahun 2007-2011 proporsi pertumbuhan kontribusi pdrb kabupaten/rerata kontribusi pdrb provinsi 1 kontribusi pdrb kabupaten/rerata kontribusi pdb provinsi 1 rerata pertumbuhan pdrb kabupate/rerata pdb provinsi 1 daerah maju berkembang cepat kota yogyakarta daerah berkembang cepat kabupaten bantul rerata pertumbuhan pdrb kabupaten/rerata pdb provinsi  1 daerah potensial kabupaten sleman daerah relatif tertinggal kabupaten gungung kidul kabupaten kulon progo sumber:diy dalam angka 2007-2011 (diolah) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 224 rerata kontribusi pdrb provinsi  1 dan rerata pertumbuhan pdrb (kab/kota)/rerata pdrb provinsi  1. perkembangan pdrb kabupaten kulonprogo perkembangan pdrb perkembangan pdrb kabupaten kulon progo tahun 2007 sd 2011 dapat dilihat pada tabel 3. analisis location quotient (lq) location quotient (lq) merupakan alat analisis untuk mengetahui ada tidaknya spesialisasi suatu wilayah untuk sektor (industri) tertentu. lq = (eij/ej)/(ein/en) 1) di mana,eij adalah kesempatan kerja di sektor i di wilayah j; ej adalah kesempatan kerja di wilayah j; ein adalah kesempatan kerja di sektor i di negara n, eij adalah kesempatan kerja di negara n; interpretasi dari hasil perhitungan dengan formula tersebut adalah: jika nilai lq > 1, maka wilayah j untuk sektor i ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah > tingkat spesialisasi nasional); jika nilai lq = 1, maka wilayah j untuk sektor i ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah = tingkat spesialisasi nasional); jika nilai lq < 1, maka wilayah j untuk sektor i ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah < tingkat spesialisasi nasional); analisis lq menunjukkan bahwa seluruh kota/kabupaten baik yang berada dalam kawasan andalan maupun kawasan bukan andalan, memiliki lq yang lebihbesar dari satu pada beberapa subsektor lapangan usaha. artinya, semua kabupaten/kota memiliki subsektor unggulan dan penetapan kawasan andalan berdasarkan persyaratan sektor unggulan dapat dipandang tepat, lihat tabel 4. hasil perhitungan lq dapat disimpulkan kabupaten kulon progo memiliki keunggulan di sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan. analisis tipologi klasen dengan menggunakan penghitungan tipology klassen, terlihat sebaran masing-masing sektor ditunjukkan dalam tabel 5. berdasarkan penghitungan tipology klassen dibagi menjadi: sub sektor maju. subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor kab/kota/reratakontribusi pdrb kab/kota  1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/kota)/reratapdrb kab/kota  1 sub sektor berkembang. subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor kab/kota/ rerata kontribusi pdrb kab/kota  1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/kota)/rerata pdrb kab/kota  1. sub sektor potensial. subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor kab/kota/rerata kontribusi pdrb kab/kota  1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/kota)/rerata pdrb kab /kota  1. sub sektor terbelakang. subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor kab/kota/rerata kontribusi pdrb kab/kota  1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/ kota)/rerata pdrb kab/kota  1. hasil perhitungan pada tabel 5 terlihat bahwa sub-sektor maju terdiri dari sektor tabel 4. perkembangan lq kabupaten kulon progo tahun 2007 sd 2011 lapangan usaha nilai lq rerata lq 2008 2009 2010 2011 1. pertanian 1,49 1,49 1,49 1,62 1,52 2. pertambangan dan penggalian 1,45 1,54 1,06 1,15 1,30 3. industri pengolahan 1,14 1,13 1,13 1,04 1,11 4. listrik, gas dan air bersih 0,67 0,68 0,70 0,12 0,54 5. bangunan 0,52 0,53 0,54 0,56 0,54 6. perdagangan, restoran dan hotel 0,81 0,81 0,82 0,83 0,82 7. angkutan dan komunikasi 1,01 1,00 0,99 0,94 0,98 8. keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 0,67 0,69 0,70 0,65 0,68 9. jasa-jasa 1,03 1,02 1,06 1,07 1,04 penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 225 pertanian dan jasa-jasa. sedangkan sub sektor berkembangadalah sektor listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran. sektor potensial adalah sektor pertambangan dan industri pengolahan. sedangkan sub sektor terbelakang adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. analisis shift-share analisis ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi tiap-tiap subsektor terhadap pendapatan domestik regional bruto (pdrb). analisis shift-share dapat digunakan untuk mendeskripsikan trend agregat secara statistik, shift-share analisis mengklarifikasikan perubahan pdrb setiap saat dalam wilayah yang diperbandingkan dengan tiga kategori, komponen dalam membentuk shift-share di antaranya adalah pdrb di sektor tertentu (i) tingkat wilayah, laju pertumbuhan pdb tingkat nasional (rn), laju pertumbuhan pdb di sektor tertentu (i) di tingkat nasional (rin), dan laju pertumbuhan pdrb di sektor tertentu (i) tingkat wilayah (rij). komponen perubahan secara nasional mempresentasekan komponen pembagian nasional untuk perhitungan dimana laju pertumbuhan regional yang telah mengalami perubahan diikuti perubahan secara tepat dalam tingkat nasional untuk semua sub sektor dalam tingkat nasional untuk semua sub sektor dalam periode penilaian. jika pertumbuhan di tingkat regional berbeda dengan nasional (berupa positip atau negatif dalam pergeseran pdrb), secara total pergeseran terdiri dari pergeseran struktural juga pergeseran mengenai pembagian proporsional. dampak perubahan pdrb dimana dalam perhitungan di tingkat regional berubah sesuai dengan tipe dari pdrb dalam sub sektor tertentu (termasuk cepat atau lambatnya laju pertum-buhan nasional). pergeseran terdiri dari perbedaan dalam pergeseran juga pengetahuan tentang dampak regional dimana perhitungan pdrb regional berubah seiring dengan faktor lokasi di tiap regional, lihat tabel 6. tabel 6 hasil analisis memperlihatkan pada tabel 6. perkembangan shift share kabupaten kulon progo tahun 2009 2011 sumber: bps kabupaten kulon progo (data diolah) keterangan :nij adalah pengaruh pertumbuhan provinsi; mij adalah pengaruh bauran industri; cij adalah pengaruh keunggulan kompetitif; dij adalah analisis shift-share tabel 5. klasen typology kabupaten kulon progo, tahun 2007-2011 proporsi pertumbuhan sub sektor maju pertanian jasa-jasa sub sektor berkembang listrik, gas dan air bersih bangunan perdagangan, hotel dan restoran sub sektor potensial pertambangan industri pengolahan sub sektor terbelakang pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sumber: bps kabupaten kulon progo, 2008-2011 (diolah) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 226 tahun 2011 terjadi pergeseran pembangunan di kabupaten kulon progo, artinya pergeseran pembangunan dapat dilihat dari laju pertumbuhan yang signifikan, sedangkan pengaruh keunggulan kompetitif mengalami penurunan terutama di sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (akibat krisis eropa dan amerika). hasil analisis shift-share pada tahun 2011 secara keseluruhan dengan melihat analisis shift-share pada pdrb mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 2010, tetapi secara keseluruhan semua sektor terjadi penurunan keunggulan kompetitif dibandingkan tahun 2010 pada pdrb dalam wilayah kabupaten kulon progo. gambar 3. perubahan shift share kabupaten kulon progo 2009-2011 hasil penilaian dengan pendekatan skor menurut berbagai faktor penyebab kemiskinan, maka dapat diklasifikasikan masing-masing distrik menurut kedalaman tingkat kemiskinan. klasifikasi ini terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu distrik yang masuk klasifikasi bukan kantong kemiskinan, distrik klasifikasi kantong kemiskinan sedang, dan distrik dengan klasifikasi kantong kemiskinan berat. adapun secara rinci masing-masing distrik dapat dicermati pada tabel 10. walaupun seluruh kecamatan yang ada di kabupaten kulon progo terbebas dari kantong kemiskinan, namun ada 4 kecamatan yang skornya dibawah 80 yaitu kecamatan sentolo, pengasih, kokap, girimulyo dan sanigaluh, artinya di kecamatan ini masih terdapat jumlah penduduk miskin di atas 8,5 persen. tabel 10. kriteria kedalaman kemiskinan berdasarkan kecamatan no kecamatan skor total kriteria sebagai kantong kemiskinan 1 temon 88 bukan sebagai kantong kemiskinan 2 wates 93 bukan sebagai kantong kemiskinan 3 panjatan 87 bukan sebagai kantong kemiskinan 4 galur 84 bukan sebagai kantong kemiskinan 5 sentolo 79 bukan sebagai kantong kemiskinan 6 lendah 84 bukan sebagai kantong kemiskinan 7 pengasih 79 bukan sebagai kantong kemiskinan 8 kokap 78 bukan sebagai kantong kemiskinan 9 girimulyo 79 bukan sebagai kantong kemiskinan 10 nanggulang 84 bukan sebagai kantong kemiskinan 11 kalibawang 83 bukan sebagai kantong kemiskinan 12 samigaluh 79 bukan sebagai kantong kemiskinan kriteria: skor >70: bukan sebagai kantong miskin skor 51-70: sebagai kantong kemiskinan sedang skor < 50 : sebagai kantong kemiskinan berat strategi memperkecil jumlah penduduk miskin upaya pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan indonesia telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional. sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan pembangunan milenium (mdgs), pendekatan penanggulangan kemiskinan (strategy for poverty reduction) perlu disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di wilayah distrik. strategi ini menggunakan pendekatan berbasis hak (right-based approach) sebagai pendekatan utama dengan menegaskan adanya pencapaian secara bertahap dan progresif (progressive realization) dalam penghormatan (respect), perlindungan (protect) dan pemenuhan (fulfill) hak dasar rakyat, memberikan perhatian terhadap perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, serta percepatan pengembangan wilayah. selain penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 227 itu, perlu ada komite penanggulangan kemiskinan daerah (kpkd) dan menyusun strategi penanggulangan kemiskinan daerah (spkd) sebagai dasar pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan. untuk perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui: bantuan dana stimulan untuk modal usaha terutama melalui kemudahan dalam mengakses kredit mikro dan ukm, pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, meningkatkan investasi dan revitalisasi industri termasuk industri padat tenaga kerja, pembangunan sarana dan prasarana berbasis masyarakat yang padat pekerja. untuk pemenuhan hak dasar penduduk miskin secara langsung diberikan pelayanan antara lain pendidikan gratis bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun termasuk bagi murid dari keluarga miskin dan penunjangnya; dan jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas iii. untuk mencapai ketiga langkah prioritas tersebut di atas, akan dikembangkan dalam budaya pembangunan di indonesia adalah pemberdayaan masyarakat dan pelibatan peran aktif masyarakat terutama masyarakat miskinnya mulai dari perencanaan program pembangunan baik penentuan kebijakan dan penganggaraannya, maupun pelaksanaan program serta monitoring dan evaluasinya. program dalam memperkecil keluarga miskin (1) menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok programini bertujuan menjamin daya beli masyarakat miskin/keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama beras dan kebutuhan pokok utama selain beras. program ini meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut: (a) penyediaan cadangan beras dan barang kebutuhan pokok; (b) stabilisasi/kepastian harga komoditas barang-barang kebutuhan primer; (c) peningkatan keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan barang kebutuhan primer; (d) peningkatan peran serta masyarakat dalam melakukan produksi untuk barang kebutuhan primer; (e) peningkatan akses modal bagi prosen untuk barang kebutuhan primer; (f) peningkatan kualitas distribusi barang kebutuhan primer (2) mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin program ini bertujuan mendorong terciptanya dan terfasilitasinya kesempatan berusaha yang lebih luas dan berkualitas bagi masyarakat/ keluarga miskin. programini meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut: (a) penyediaan dana bergulir untuk kegiatan produktif skala usaha mikro; (b) bimbingan teknis/pendampingan dan pelatihan pengelola umkm; (c) pelatihan budaya, motivasi usaha dan teknis manajeman umkm; (d) pembinaan sentra-sentra produksi di daerah terisolir dan tertinggal; (e) fasilitasi sarana dan prasarana usaha mikro; (f) pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir; (g) pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil; (h) peningkatan akses informasi dan pelayanan pendampingan pemberdayaan dan ketahanan keluarga; (i) peningkatan koordinasi penanggulangan kemiskinan berbasis kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin. (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan program ini bertujuan untuk meningkatkan jaminan adanya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus pada wilayah-wilayah distrik yang memiliki kerentanan pada peningkatan jumlah masyarakat miskin. langkah ini dilakukan dengan berbagai kegiatan, yaitu: (a) percepatan pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh di semua distrik; (b) peningkatan akses sumber daya modal dan input lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan; (c) pengembangan program-program pembangunan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja/padat karya; (d) pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sektor swasta; (e) pertumbuhan ekonomi dan prasarana fisik dan non fisik. (4) memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat program ini bertujuan meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. langkah ini meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut: (a) program pemberdayaan masyarakat jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 228 di daerah perdesaan (program pengembangan daerah pedalaman); (b) program pemberdayaan masyarakat di daerah perkotaan (program penanggulangan kemiskinan di pusat distrik); (c) program pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah; (d) program pembangunan wilayah distrik yang tertinggal dan khusus; (e) penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat. (5) meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar program ini bertujuan meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. langkah ini meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut: (a) penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang pendidikan dasar di sekolah dasar (sd)/madrasah ibtidaiyah (mi) dan sekolah menengah pertama (smp)/ madrasah tsanawiyah (mts); (b) beasiswa siswa miskin jenjang sekolah menengah atas/ sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah (sma/smk/ma); (c) beasiswa untuk mahasiswa miskin dan beasiswa berprestasi; (d) pelayanan kesehatan rujukan bagi keluar`ga miskin secara cuma-cuma di kelas iii rumah sakit; (e) pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di puskesmas; (f) jaminan pelayanan kb berkualitas bagi rakyat miskin. (6) membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin program ini bertujuan melindungi penduduk miskin dari kemungkinan ketidakmampuan menghadapi guncangan sosial dan ekonomi. hal ini meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut: (a) peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (pug) dan anak (pua);(b) pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya; (c) bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam, dan korban bencana sosial; (d) penyediaan bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin menjamin keberadaan anak usia sekolah di sd/mi dan smp/mts untuk bisa tetap sekolah; (e) peningkatan pelayanan sosial dasar bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial termasuk anak, lanjut usia dan penyandang cacat; penyaluran beras bersubsidi untuk keluarga miskin (raskin). (7) upaya mengatasi kekurangan gizi parah. program ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi adanya gizi buruk bagi masyarakat miskin dalam jangka pendek. program ini dapat dilakukan antara lain melalui: (a) penanggulangan kekurangan sumber energi bagi penduduk miskin, (b) pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi, (c) pemberian subsidi pangan bagi penduduk miskin, (d) peningkatan partisipasi masyarakat melalui revitalisasi pelayanan kesehatan, (e) pelayanan gizi bagi ibu hamil dan balitadari keluarga miskin. (8) program peningkatan sarana dan prasarana wilayah program ini bertujuan untuk meningkatkan kualita sarana dan prasarana wilayah sehingga akan meningkatkan akses masyarakat miskin. langkah prioritas ini dilakukan antara lain dengan: (a) penyediaan sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih; (b) pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga terutama wilayah distrik yangterisolasi dan tertinggal; (c) redistribusi sumber dana kepada distrik yang memiliki pendapatan rendah untuk pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam. (d) pengembangan fasilitas-fasilitas pelabuhan dan nelayan untuk meningkatkan produksi perikanan; (e) peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana wilayah (9) peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik program ini bertujuan meningkatkan efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. hal ini dapat dilakukan dengan: (a) peningkatan kapasitas tata kelola penganggulangan kemiskinan yang berfokus pada peningkatan kapasitas birokrasi (b) peningkatan kualitas good government governance (3g)untuk kelembagaan pemerintah daerah dan di distrik; (c) peningkatan kualitas good corporate governance (gcg) untuk meningkatkan peran sektor swasta dalam penanggulangan kemiskinan; (d) kemitraan dengan masyarakat sipil (public private partnership) dalam penaggulangan kemiskinan; (e) integrasi dengan strategi penanggulangan kemiskinan provinsi dan nasional. penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 229 simpulan masalah kemiskinan di kabupaten kulon progo pada dasarnya merupakan persoalan yang hingga saat ini belum teratasi dan akan terus memerlukan penanganan yang komprehensif. rangkaian perubahan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik di daerah telah membentuk kekhasan karakter kemiskinan di kabupaten kulon progo. oleh karena itu, sangatlah penting dipertimbangkan faktor-faktor penyebab kemiskinan sebagai landasan awal dalam penanganan permasalahan kemiskinan. berdasarkan survei dan analisis data-data sekunder yang telah dilakukan, yang digali darisumber masyarakat miskin itu sendiri, maka untuk mengurangi tingkat kemiskinan hanya bisa dilakukan dengan memutus faktor-faktor penyebab kemiskinan itu sendiri. penyebab kemiskinan di kabupaten kulon progo terdiri atas berbagai faktor yang komplek dan saling berkaitan, yaitu kondisi geografis, kualitas manusia, sarana prasarana dan kondisi alam yang kurang mendukung berkembangnya kegiatan ekonomi sehingga mengakibatkan terbatasnya akses sumber daya, distribusi barang, rendahnya pendidikan, potensi ancaman tingkat kesehatan, serta berujung pada rendahnya tingkat pendapatan, kepemilikan aset dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. sebagai dasar utama untuk menyusun strategi besar pembangunan nasional tersebut adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan. adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven di mana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan kebijakan dan program. untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan dalam program penanggulangan kemiskinan. untuk menguragi tingkat kemiskinan diperlukan program-program pemerintah yang efektif dapat mencapai sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. dalam pelaksanaan berbagai program pengurangan tingkat kemiskinan yang dapat disatukan menjadi strategi besar, perlu dilaksankan dengan pendekatan sebagai berikut: (1) program penanggulangan kemiskinan pada daerah kemiskinan berat. program penanggulangan kemiskinan pada daerah yang termasuk kategori kantong kemiskinan berat ini dilaksanakan secara menyeluruh atas 9 program yang telah direkomendasikan pada hasil kajian ini. adapun prioritas masing-masing program disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing distrik. dalam pelaksanannya, program-program ini bisa bersifat generik, artinya program yang dilaksanakan pada beberapa distrik bisa bersifat seragam. pada kasus ini program penanggulangan kemiskinan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berbagai aspek, yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sosial. (2) program penanggulangan kemiskinan pada daerah kemiskinan sedang program penanggulangan kemiskinan pada daerahyang termasuk kategori kantong kemiskinan sedang dilaksanakan secara menyeluruh atas 9 program yang telah direkomendasikan pada hasil kajian ini. namun prioritas masingmasing program didasarkan pada penyebab utama kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. pada kasus ini, program penaggulangan kemiskinan lebih diutamakan untuk memutus faktor penyebab kemiskinan yang utama. dengan demikian program ini bisa lebih bersifat khusus, misalnya program yang khusus untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, program khusus pengembangan industri kecil dan sebagianya. (3) program penanggulangan kemiskinan pada daerah bukan kantong kemiskinan program penanggulangan kemiskinan pada daerahyang termasuk kategori bukan kantong kemiskinan dapat dilaksanakan secara menyeluruh atas 9 program yang telah direkomendasikan pada hasil kajian ini. namun prioritas masing-masing program didasarkan pada tar jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 230 get grup masyarakat miskin. artinya programprogram yang dilaksanakan bisa bersifat spesifik tergantung pada karakteristik kemiskinan yang terjadi pada masing-masing kelompok masyarakat, dengan kata lain program-program pada daerah/distrik ini dilaksankan untuk mendorong berkembangnya kapasitas masyarakat menuju masyarakat yang lebih mandiri. daftar pustaka haris, abdul. (2007). analisis faktor-faktor kemiskinan di daerah hutan kabupaten probolinggo. jurnal aflikasi manajemen. vol. 5 no. 1, april.upm. probolinggo, 2007. lastario, arie. (1989). analisis perbandingan peningkatan pendapatan dan pemerataan. jakarta: yayasan pengembangan keterampilan dan mutu kehidupan nusantara bappenas. 1994. panduan program inpres desa tertinggal. jakarta: badan perencanaan pembangunan nasional – departemen dalam negeri, 1994. m. nuh. nasir, saicrudin dan maulizar. (2008). rumah tangga di purworejo. jurnal eksekutif. vol. 5 no. 4,. lipi. jakarta, agustus 2008. mulyo, sumedi andono. (2005). strategi nasional penanggulangan kemiskinan. jakarta: komite penanggulangan kemiskinan. jakarta. nugroho, gunarso dwi. (2006). modul globalisasi. banyumas: cv. cahaya pustaka. kecamatan temon dalam angka 2011 kecamatan wates dalam angka 2011 kecamatan sentolo dalam angka 2011 kecamatan samigaluh dalam angka 2011 kecamatan pengasih dalam angka 2011 kecamatan kokap dalam angka 2011 kecamatan girimulyo dalam angka 2011 kecamatan nanggulan dalam angka 2011 kecamatan kalibawang dalam angka 2011 kecamatan galur dalam angka 2011 kecamatan lendah dalam angka 2011 kecamatan panjatan dalam angka 2011 lampiran tabel 1. ukuran indikator kemiskinan aspek penyebab kemiskinan indikator kemiskinan masyarakat parameter skor maks (n) bobot (b) score maks (nxb) 1. aspek ekonomi (30%) 1) pendapatan tetap rata-rata penghasilan masyarakatminimal rp. 259.128. 10 1 10 2) ketergantungan pada sektor pertanian sumber pendapatan tidak tergantung dari sektor pertanian 7,5 1 7,5 3) kegiatan wirausaha /industri ada kegiatan wirausaha /industri 7,5 1 7,5 4) penganggguran masyarakat memiliki penghasilan tetap 5 1 5 2. aspek geografi (20%) 1) kondisi topografi mendukung kegiatan ekonomi 5 1 5 2) kondisi geografis mendukung kegiatan ekonomi 5 1 5 3) ada sumber daya alam yang sudah terolah ada dan sudah terolah 5 1 5 4) ketersediaan sarana dan prasarana transportasi ada dan lancar 5 1 5 3. kesehatan (25%) 1) akses kesehatan a. tidak ada akses ke sarana kesehatan tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan 10 0,6 0,4 6 4 2) sikap hidup a. budaya hidup tidak sehat b. adat yang tidak mendukung 7 0,2 0,3 3 4 penyusunan indikator dan pemetaan ...(nano prawoto, agus tri basuki) 231 aspek penyebab kemiskinan indikator kemiskinan masyarakat parameter skor maks (n) bobot (b) score maks (nxb) 3) tempat tinggal a. rumah tidak kokoh/ permanen. b. tidak memiliki mck sendiri. c. tidak menggunakan fasilitas energi. d. kesulitan air bersih. 8 0,2 0,2 0,2 0,2 2 2 2 2 4. pendidikandan sosial (25%) 1) pendidikan a. tidak tamat sekolah dasar 6 tahun. b. tidak mampu membiayai anggota keluarga pendidikan 9 tahun c. akses ke sekolah menengah atas 15 0,5 0,25 0,25 9 3 3 2) budaya d. sikap mental dan perilaku positif 5 1 5 3) jumlah keluarga. e. tanggungan keluarga lebih besar sama dengan4 orang. 5 1 5 jumlah 100 100 keterangan :batasan masyarakat suatu kecamatan masuk kriteria miskin apabila memperoleh skor<71 tabel 3. perkembangan pdrb kabupaten kulon progo tahun 2007-2011 lapangan usaha 2007 2008 2009 2010 2011 pertanian 424.719 454.656 474.560 467.714 496.676 pertambangan & penggalian 17.686 17.027 18.527 12.664 15.395 industri pengolahan 251.351 255.420 261.033 271.689 268.349 listrik, gas dan air bersih 9.611 10.333 11.006 11.586 12.068 bangunan 77.911 82.096 85.790 91.657 100.658 perdagangan, hotel & restoran 266.357 281.420 293.574 307.245 329.807 pengangkutan & komunikasi 163.555 171.336 179.404 184.299 188.623 keuangan, persewaan & jasa perusahaan 98.323 101.551 110.230 116.678 117.684 jasa-jasa 278.112 288.531 294.178 317.694 341.076 pdrb 1.587.625 1.662.370 1.728.302 1.781.226 1.870.336 tabel 7. target kemiskinan kabupaten kulon progo tahun 2013 -2016 target 2012 2013 2014 2015 2016 kk 23,14 21,64 20,14 18,64 17,14 jiwa 22,23 20,73 19,23 17,73 16,23 tabel 8. garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin, dan persentase penduduk miskin di kabupaten kulon progotahun 2005-2012 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 220-232 232 tabel 9. target kemiskinan kabupaten kulon progo tahun 2013 -2016 target 2012 2013 2014 2015 2016 kk 23,14 21,64 20,14 18,64 17,14 jiwa 22,23 20,73 19,23 17,73 16,23 image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (12).jpg image (13).jpg microsoft word 09-badar jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013, hlm.80-89 estimasi nilai ekonomi wisata warisan budaya candi borobudur, indonesia hermawan badar pusat pengembangan ekonomi, fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183 indonesia, phone: +62 274 387656 e-mail korespondensi: hermawan_10@yahoo.com naskah diterima: oktober 2012; disetujui: maret 2013 abstract: the study aims to estimate the economic value and to know the travel fee, the individual income, distance, hours, ages, and experience of visiting the site, and the impact from the merapi’s explosion that impacts to the intensity of borobudur temple visiting intensity as the tourism spot. the estimation of economic value commits by using the travelling fee approach to the borobudur temple. the guest analysis that is used in this study is the multiple linier models. the result shows that the economic value of borobudur temple after the merapi’s eruption is rp18,172,041,544.00. the travel fee, the average monthly income, distance, work hour, age, the experience of visiting and the impact of merapi explosion impacts to visiting intensity of borobudur temple. keywords: economic value; travel cost method; visiting experience; explosion impact jel classification: l83, r58 abstrak: tujuan dari studi ini adalah untuk menghitung nilai ekonomi dan untuk mengetahui apakah biaya perjalanan, pendapatan individu, jarak, waktu jam, usia, pengalaman berkunjung dan dampak letusan merapi yang berpengaruh pada intensitas kunjungan candi borobudur sebagai objek wisata. perhitungan nilai ekonomi berkomitmen menggunakan pendekatan metode biaya perjalanan ke candi borobudur. analisis tamu dalam studi ini adalah regresi linier berganda. hasil studi ini menunjukkan bahwa nilai ekonomi dari candi borobudur setelah erupsi merapi adalah rp18.172.041.544, 00. biaya travel, pendapatan rata-rata per bulan, jarak, waktu kerja, usia, pengalaman mengunjungi dan dampak letusan merapi memiliki pengaruh terhadap intensitas kunjungan ke objek wisata, candi borobudur. kata kunci: nilai ekonomi; travel cost method; pengalaman berkunjung; dampak letusan klasifikasi jel: l83, r58 pendahuluan pariwisata dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi paling penting bagi suatu negara. dengan adanya pembangunan dan perkembangan industri pariwisata di suatu wilayah, arus urbanisasi ke kota–kota besar dapat lebih ditekan. hal ini disebabkan karena pariwisata memiliki tiga aspek pengaruh yaitu aspek ekonomis sebagai sumber devisa dan pajak-pajak, aspek sosial sebagai penciptaan lapangan kerja dan aspek budaya (hartono, 1974). candi borobudur merupakan salah satu peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang indonesia, dan merupakan salah satu wisata heritage. berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa objek wisata candi borobudur merupakan salah satu objek wisata yang sering dikunjungi wisatawan dibandingkan objek wisata lainnya di kabupaten magelang. keberadaan candi borobudur di kawasan gunung berapi merupakan ancaman yang telah terbukti dengan adanya erupsi merapi 2010 yang lalu. candi borobudur tertutup abu yang estimasi nilai ekonomi wisata ... (hermawan badar) 81 sangat tebal dan lingkungan sekitar candi terutama vegetasi mengalami kerusakan yang parah yang berdampak pada penurunan jumlah pengunjung baik dalam negeri maupun manca negara. tabel 1. jumlah pengunjung objek-objek wisata di jawa tengah, heritage tahun 2011 no objek pariwisata jumlah pengunjung 1 candi borobudur 1.241.800 2 candi mendut 19.476 3 candi pawon 15.420 4 ketep pass 159.142 sumber: dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten magelang tahun 2011 penurunan jumlah wisatawan terjadi karena kecemasan dan ketakutan akan bahaya susulan dari erupsi gunung merapi serta kondisi hujan abu yang menyebabkan sejumlah bandara ditutup. penutupan juga terjadi objek wisata candi borobudur karena batuan candi, vegetasi dan sarana infrastruktur di candi borobudur rusak dan tertutupnya badan candi oleh abu vulkanis dengan ketebalan hingga 3 cm yang tidak memungkinkan untuk dikunjungi. dalam tabel 1 dapat juga dilihat bahwa jumlah wisatawan sebelum dan sesudah erupsi merapi mengalami penurunan. penurunan ini dapat dilihat dari data bulan januari 2010 sampai oktober 2010 sebanyak 1.954.702 wisatawan dan mengalami penurunan yang sangat signifikan pada bulan november 2010 sampai agustus 2011 dengan jumlah wisatawan sebanyak 1320166 orang. pariwisata juga merupakan komoditas yang dibutuhkan oleh setiap individu, dikarenakan aktivitas berwisata bagi seorang individu dapat meningkatkan daya kreatif, menghilangkan kejenuhan kerja, relaksasi, berbelanja, bisnis, mengetahui peninggalan sejarah dan budaya suatu etnik tertentu, kesehatan dan pariwisata spiritualisme. dengan meningkatnya waktu luang sebagai akibat lebih singkatnya hari kerja dan didukung oleh meningkatnya penghasilan maka aktivitas kepariwisataan akan semakin meningkat. peningkatan keinginan untuk berwisata juga menguntungkan terhadap pemerintah daerah dimana objek wisata berada, dan akan mendapat pemasukan dari pendapatan setiap objek wisata. studi ini akan pada mengukur minat kunjungan para wisatawan ke candi borobudur pasca bencana erupsi merapi dan biaya yang akan dikeluarkan untuk kunjungan ke objek wisata tersebut dengan menggunakan total cost method (tcm). menurut diana (2010) konsep teori pendekatan travel cost method menilai manfaat yang diperoleh konsumen dalam memanfaatkan barang lingkungan walaupun tempat rekreasi tidak memungut bayaran masuk atau tarif pemanfaatan. konsumen datang dari berbagai daerah untuk menghabiskan waktu di tempat rekreasi tentu akan mengeluarkan biaya perjalanan ke tempat rekreasi tersebut. di sini tabel 2. jumlah kunjungan wisatawan candi borobudur sebelum dan sesudah erupsi merapi no. sebelum erupsi merapi pasca erupsi merapi bulan jumlah bulan jumlah 1 januari 263117 november 11799 2 februari 142002 desember 179558 3 maret 112198 januari 20326 4 april 183576 februari 92693 5 mei 314828 maret 95960 6 juni 389412 april 92693 7 juli 306451 mei 235700 8 agustus 85663 juni 301143 9 september 281556 juli 208840 10 oktober 129299 agustus 81454 total pengunjung 1954702 total pengunjung 1320166 sumber: dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten magelang tahun 2010-2011 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 80-89 82 pendekatan biaya perjalanan mulai berfungsi. karena makin jauh tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas tempat rekreasi maka makin kurang harapan pemanfaatan atau permintaan terhadap tempat rekreasi tersebut. metode biaya perjalanan (travel cost method) ini dilakukan dengan menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mencapai tempat rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi (yakin,1997). salma dan susilowati (2004) telah meneliti tentang analisis permintaan objek wisata alam curug sewu kabupaten kendal dengan pendekatan travel cost. studi tersebut memberikan hasil nilai ekonomi curug sewu yaitu nilai surplus konsumen yang diperoleh sebesar rp.896.734,9 per individu per tahun atau rp224.198,7 per individu per satu kali kunjungan, sehingga dihitung total nilai ekonomi wisata alam curug sewu sebesar 12.377.025.750,00 dari hasil uji signifikansi diperoleh bahwa hanya dua variabel yang signifikan secara statistik yaitu variabel travel cost ke curug sewu dan variabel jarak, sedangkan variabel-variabel independen yang lain tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap jumlah kunjungan objek wisata alam curug sewu kendal. sahlan (2008) telah melakukan valuasi ekonomi wisata alam otak kokok gading. berdasarkan studi tersebut diperoleh nilai ekonomi wisata alam otak kokok gading yaitu nilai surplus konsumen yaitu sebesar rp491.686.957,7 per tahun per 1.000 penduduk. hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa dari enam variabel yang digunakan hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu variabel karakteristik substitusi dan pendapatan individu. sampai saat ini pihak pengelola candi borobudur maupun pemerintah daerah kota magelang belum mengetahui secara pasti berapa besar dampak bencana erupsi merapi terhadap nilai ekonomi dari candi borobudur. berdasarkan data dan fakta di lapangan diketahui bahwa jumlah pengunjung yang datang ke lokasi wisata ini bisa dikatakan relatif menurun setelah terjadinya bencana erupsi merapi. oleh sebab itu, perlu dihitung nilai objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi dengan menghitung biaya perjalanan meliputi (biaya transportasi pulang pergi, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, biaya tiket masuk, biaya parkir dan biaya lain-lain) untuk dapat menikmati jasa wisata tersebut. tulisan ini ingin mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. metode penelitian studi ini menggunakan data yang diperoleh langsung dari pengunjung atau wisatawan yang sedang berwisata mengunjungi objek wisata candi borobudur. terdapat 150 orang yang diinterview di dalam objek wisata candi borobudur, jawa tengah. teknik pengambilan sampel dengan menggunakan simple random sampling. dalam studi ini, nilai ekonomi wisata candi borobudur dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost method) yang meliputi biaya perjalanan ke candi borobudur, umur pengunjung, penghasilan rata-rata pengunjung, jarak, waktu kerja, jenis kelamin dan pengalaman individu pengunjung, untuk mengetahui nilai ekonomi wisata candi borobudur dengan biaya perjalanan digunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1) menentukan jumlah kunjungan tahun 20102011 berdasarkan data yang ada di dinas pariwisata kabupten magelang. 2) menentukan jumlah kunjungan per 1000 penduduk (y): jkt x 100y= jp 1) di mana: y adalah jumlah kunjungan per 1000 penduduk; jkt adalah jumlah kunjungan total; jp adalah jumlah penduduk (diasumsikan tidak ada perubahan jumlah penduduk yang signifikan antara tahun 2010 sampai dengan 2011). 3) menentukan biaya perjalanan rata-rata (xii) yang di tentukan berdasarkan biaya perjalanan responden (bpi). ii bpi x ni  2) estimasi nilai ekonomi wisata ... (hermawan badar) 83 di mana: xii adalah biaya perjalanan rata-rata; bpi adalah biaya perjalanan responden; ni adalah jumlah pengunjung/responden. 4) untuk menentukan nilai ekonomi dengan kunjungan perjalanan per 1000 penduduk dengan formula sebagai berikut (djijono, 2000). 1.000 nilai rata-rata x jumlah penduduk nilai total = 3) di mana: nilai rata-rata adalah biaya perjalanan rata-rata; jumlah penduduk adalah jumlah penduduk jawa tengah 2010 (diasumsikan tidak ada perubahan jumlah penduduk yang signifikan antara tahun 2010 sampai dengan 2011) model untuk analisis regresi dengan menggunakan pendekatan ols adalah sebagai berikut: y = β0 + β1 ln x1 + β2 ln x2 + β3 ln x3 + β4 ln x4 + β5 ln x5 + β6 x6 + β7 x7 + еi 4) keterangan: y adalah intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur (kali); x1 adalah biaya perjalanan tempat wisata candi borobudur berupa biaya transportasi, biaya konsumsi, karcis masuk, biaya parkir, dan biaya lain-lain (rp); x2 adalah penghasilan pengunjung ratarata per bulan (rp); x3 adalah jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata candi borobudur (km); x4 adalah waktu kerja (jam/ minggu); x5 adalah umur pengunjung (tahun); x6 adalah pengalaman pengunjung (dummy, 0=belum pernah, 1=pernah); x7 adalah dampak erupsi merapi (dummy, 0=tidak berminat berkunjung kembali setelah erupsi merapi, 1=berminat berkunjung kembali setelah erupsi merapi). hasil dan pembahasan karakteristik responden pengunjung tempat wisata candi borobudur studi ini menggunakan data primer dengan melakukan wawancara kepada 150 responden masyarakat pengunjung objek wisata candi borobudur. karakteristik responden dalam studi ini dapat disajikan pada tabel 3. tabel 3. karakteristik responden dasar klasifikasi sub klasifikasi jumlah prosentase umur < 20 tahun 20-30 tahun 30-40 tahun > 40 tahun 15 77 37 21 10,0% 51,3% 24,7% 14,0% jumlah 150 100% jenis kelamin laki-laki perempuan 84 66 56,0% 44,0% jumlah 150 100% pendidikan smp sma diploma sarjana pascasarjana 4 49 26 66 5 2,7% 32,7% 17,3% 44,0% 3,3% jumlah 150 100% pekerjaan pns pegawai swasta wiraswasta pelajar/ mahasiswa ibu rumah tangga lainnya 21 49 23 41 9 7 14,0% 32,7% 15,3% 27,3% 6,0% 4,7% jumlah 150 100% penghasilan < rp 1.000.000 rp 1.000.000 rp 3.000.000 rp 3.000.000 rp 5.000.000 > rp 5.000.0000 53 47 36 14 35,3% 31,3% 24,0% 9,3% jumlah 150 100% jumlah tanggungan < 3 orang 3-5 orang 6-8 orang > 8 orang 61 28 1 60 40,7% 18,7% 0,7% 40,0% jumlah 150 100% tabel 3 menunjukkan bahwa dari 150 responden yang diwawancarai, terdapat 51 persen reponden berusia 20-30 tahun, sedangkan sebanyak 24,7 persen berusia 30-40 tahun. responden yang berjenis kelamin laki-laki jumlahnya lebih banyak dibandingkan perempuan, yaitu sebanyak 56 persen, sedangkan sebanyak 44 persen berjenis kelamin perempuan. pendidikan responden sebagian besar sarjana yaitu sebanyak 44 persen, sedangkan sebanyak 32,7 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 80-89 84 persen berpendidikan sma. pekerjaan responden kebanyakan pegawai swasta yaitu sebanyak 32,7 persen, sedangkan pelajar/mahasiswa sebanyak 27,3 persen. prosentase terbesar dari penghasilan responden adalah kurang dari rp1.000.000 yaitu sebanyak 35,3 persen, sedangkan yang berpenghasilan antara: rp1.000.000–rp3.000.000 sebanyak 31,3 persen. sebagian besar responden memiliki tanggungan keluarga kurang dari 3 orang yaitu sebanyak 40,7 persen, sedangkan 40 persen memiliki tanggungan keluarga lebih dari 8 orang. perspepsi responden pengunjung tempat wisata candi borobudur persepsi responden pengunjung objek wisata candi borobudur diuraikan dalam tabel 4. tabel 4. pendapat tentang candi borobudur persepsi frekuensi persentase sangat menarik 37 24,7% menarik 106 70,7% netral 7 4,7% tidak menarik 0% sangat tidak menarik 0% jumlah 150 100% sumber: data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar responden berpendapat objek wisata candi borobudur menarik sebanyak 70,7 persen. sebanyak 24,7 persen responden berpendapat candi borobudur sangat menarik. tabel 5. sarana dan prasarana di objek wisata candi borobudur persepsi frekuensi prosentase sangat baik 19 12,7% baik 122 81,3% netral 9 6,0% tidak baik 0% sangat tidak baik 0% jumlah 150 100% sumber: data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar responden berpendapat sarana dan prasarana di objek wisata candi borobudur baik sebanyak 81,3 persen. sebanyak 12,7 persen responden berpendapat sarana dan prasarana di objek wisata candi borobudur sangat baik. tabel 6. fasilitas tempat ibadah di objek wisata candi borobudur persepsi frekuensi prosentase sangat baik 13 8,7% baik 110 73,3% netral 25 16,7% tidak baik 2 1,3% sangat tidak baik 0% jumlah 150 100% sumber : data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar responden berpendapat fasilitas tempat ibadah di objek wisata candi borobudur baik sebanyak 73,3 persen. sebanyak 16,7 persen berpendapat netral terhadap fasilitas tempat ibadah di objek wisata candi borobudur. tabel 7. fasilitas tempat mck di objek wisata candi borobudur persepsi frekuensi prosentase sangat baik 6 4,0% baik 110 73,3% netral 29 19,3% tidak baik 5 3,3% sangat tidak baik 0% jumlah 150 100% sumber : data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 7 bahwa diketahui sebagian besar responden berpendapat fasilitas tempat mck di objek wisata candi borobudur baik sebanyak 73,3 persen. sebanyak 19,3 persen berpendapat netral terhadap fasilitas tempat mck di objek wisata candi borobudur. estimasi nilai ekonomi wisata ... (hermawan badar) 85 tabel 8. kesan tentang pedagang di objek wisata candi borobudur persepsi frekuensi prosentase sangat mengganggu 11 7,3% mengganggu 70 46,7% netral 58 38,7% tidak mengganggu 10 6,7% sangat tidak mengganggu 1 0,7% jumlah 150 100% sumber: data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa kesan responden tentang pedagang di objek wisata candi borobudur sebagian besar adalah mengganggu sebanyak 46,7 persen. sebanyak 38,7 persen memiliki kesan netral terhadap pedagang di objek wisata candi borobudur. tabel 9. kesan tentang pembersihan candi setelah erupsi persepsi frekuensi prosentase sangat mengganggu 7 4,7% mengganggu 39 26,0% netral 69 46,0% tidak mengganggu 30 20,0% sangat tidak mengganggu 5 3,3% jumlah 150 100% sumber: data primer tahun 2011 berdasarkan tabel 9 diketahui kesan responden tentang pembersihan candi setelah erupsi sebagian besar adalah netral sebanyak 46 persen. sebanyak 26 persen memiliki kesan bahwa pembersihan candi setelah erupsi adalah mengganggu. pengunjung candi borobudur yang berusia kurang dari 20 tahun sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 6,7 persen. pengunjung berusia 20-30 tahun sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 44 persen. pengunjung berusia 30-40 tahun sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 22 persen. pengunjung berusia lebih dari 40 tahun sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 10 persen. pengunjung candi borobudur yang berjenis kelamin laki-laki sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 45,3 persen. sedangkan pengunjung berjenis kelamin perempuan sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 37,3 persen. pengunjung candi borobudur yang berpendidikan smp tahun sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 2 persen. pengunjung berpendidikan sma sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 25,3 persen. pengunjung berpendidikan diploma sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 14 persen. pengunjung berpendidikan sarjana sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 38,7 persen. pengunjung berpendidikan pascasarjana sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 2,7 prsen. sebanyak 12,7 persen pengunjung yang bekerja sebagai pns sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur. pengunjung bekerja sebagai pegawai swasta sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 26 persen. pengunjung bekerja sebagai wiraswasta sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 13,3 persen. pengunjung pelajar/mahasiswa sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 20,7 persen. pengunjung ibu rumah tangga sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 5,3 persen. pengunjung yang memiliki pekerjaan lainnya sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 4,7 persen. pengunjung candi borobudur yang berpenghasilan kurang dari rp1.000.000 sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 28,7 persen pengunjung berpenghasilan antara: rp1.000.000-rp3.000.000 sebagian besar memijurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 80-89 86 liki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 25,3 persen. pengunjung berpenghasilan rp3.000.000-rp5.000.000 sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 21,3 persen. pengunjung berpenghasilan lebih dari rp5.000.000 sebagian besar memiliki persepsi baik terhadap objek wisata candi borobudur sebanyak 7,3 persen. sebanyak 6,7 persenng yang berusia kurang dari 20 tahun sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 6,7 persen. pengunjung berusia 20-30 tahun sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi ebanyak 34 persen persen. pengunjung berusia 30-40 tahun sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 18,7 persen. pengunjung berusia lebih dari 40 tahun sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 10,7 persen. pengunjung candi borobudur yang berjenis kelamin laki-laki sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 36,7 persen. sedangkan pengunjung berjenis kelamin perempuan sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 33,3 persen. pengunjung yang berpendidikan smp tahun sebagian besar berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 2 persen. pengunjung berpendidikan sma sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 21,3 persen. pengunjung berpendidikan diploma sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 14 persen. pengunjung berpendidikan sarjana sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 32,7 persen. pengunjung berpendidikan pascasarjana sebagian besar berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 2 persen. sebanyak 10 persen pengunjung candi borobudur yang bekerja sebagai pns sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi. pengunjung bekerja sebagai pegawai swasta sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 21,3 persen. pengunjung bekerja sebagai wiraswasta sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 10 percetakan. pengunjung pelajar/mahasiswa sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 22,7 persen. pengunjung ibu rumah tangga sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 3,3 persen. pengunjung yang memiliki pekerjaan lainnya sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 2,7 persen. sebanyak 24,7 persen pengunjung candi borobudur yang berpenghasilan kurang dari rp1.000.000 sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi. pengunjung berpenghasilan antara rp1.000.000-rp3.000.000 sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 18,7 persen. pengunjung berpenghasilan rp3.000.000-rp5.000.000 sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 20 persen. pengunjung berpenghasilan lebih dari rp5.000.000 sebagian besar tidak berminat berkunjung kembali ke objek wisata candi borobudur setelah erupsi merapi sebanyak 6,7 persen. perhitungan nilai ekonomi wisata candi borobudur dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost method) sebagai berikut: nilai rata-rata x jumlah penduduk nilai total = 1.000 nilai total = x561.200 32.380.687 1.000 estimasi nilai ekonomi wisata ... (hermawan badar) 87 berdasarkan perhitungan di atas, total nilai ekonomi wisata candi borobudur adalah sebesar rp18.172.041.544,00. tabel 10. hasil perhitungan regresi variabel koefisien t-stat keterangan konstanta lnx1 lnx3 lnx3 lnx4 lnx5 x6 x7 -2,830 -0,677 0,251 -0,365 0,555 0,752 0,464 -0,182 -2,201 -2,850 2,488 -3,828 2,620 4,311 4,617 -1,947 signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan r2 f statistic prob (fstat) 0,586 28,657 0,000 hasil perhitungan di atas diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: lny = -2,830 0,677 lnx1 + 0,251 lnx2 – 0,365 lnx3 + 0,555 lnx4 + 0,752 lnx5+ 0,464 x6 0,182 x7 berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka hasil koefisien regresinya dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1) nilai konstanta (0) = -2,830 dapat diartikan apabila semua variabel bebas (biaya perjalanan, penghasilan rata-rata per bulan pengunjung, jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata, waktu kerja, umur pengunjung, pengalaman pengunjung dan dampak erupsi merapi) dianggap konstan atau tidak mengalami perubahan, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan sebesar anti ln -2,830 atau sebesar 0,093 kali. 2) nilai koefisien 1 = -0,677, berarti jika biaya perjalanan berubah 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,677 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien biaya perjalanan bernilai negatif, maka biaya perjalanan mempunyai pengaruh negatif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila biaya perjalanan meningkat 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami penurunan sebesar 0,677 persen. biaya perjalanan yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata maka akan memberikan imbas/ timbal balik pada wisatawan yang akan bepergian/calon wisata, sehingga permintaan wisata pun akan berkurang begitupula sebaliknya. hal ini menjelaskan bahwa konsumen (yaitu pengunjung candi borobudur) memilih untuk lebih banyak melakukan kunjungan wisata pada biaya perjalanan yang lebih rendah sebagaimana hubungan antara harga dan jumlah barang yang dibeli (hukum permintaan dalam teori ekonomi). 3) nilai koefisien 2 = 0,251, berarti jika penghasilan rata-rata per bulan pengunjung berubah 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,251 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien penghasilan ratarata per bulan pengunjung bernilai positif, maka penghasilan rata-rata per bulan pengunjung mempunyai pengaruh positif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila penghasilan rata-rata per bulan pengunjung meningkat 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami peningkatan sebesar 0,251 persen. apabila pendapatan individu tinggi, maka kemampuan individu untuk berkunjung ke objek wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya apabila pendapatan individu rendah, maka kecenderungan untuk memilih daerah tujuan wisata akan semakin rendah. 4) nilai koefisien 3 = -0,365, berarti jika jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata berubah 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,365 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata bernilai negatif, maka jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata mempunyai pengaruh negatif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata meningkat 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami penurunan sebesar 0,365 persen. jarak tempat tinggal yang jauh berarti semakin jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 1, april 2013: 80-89 88 banyak pengorbanan (waktu dan tenaga) yang harus diberikan individu untuk mencapai lokasi wisata. hal ini akan mengurangi intensitas untuk berkunjung ke objek wisata. 5) nilai koefisien 4 = 0,555, berarti jika waktu kerja berubah 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,555 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien waktu kerja bernilai positif, maka waktu kerja mempunyai pengaruh positif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila waktu kerja meningkat 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami peningkatan sebesar 0,555 persen. individu cenderung melakukan pertukaran antara kerja yang dibayar dengan waktu menganggur. setiap kombinasi dari waktu kerja dibayar dengan waktu menganggur menghasilkan sejumlah pendapatan atau anggaran yang dapat dibelanjakan pada barang dan jasa yang berbeda (termasuk pariwisata). 6) nilai koefisien 5 = 0,752, berarti jika umur pengunjung berubah 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,752 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien umur pengunjung bernilai positif, maka umur pengunjung mempunyai pengaruh positif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila umur pengunjung meningkat 1 persen, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami peningkatan sebesar 0,752 persen. candi borobudur adalah objek wisata sejarah guna menambah pengetahuan tentang budaya masa lalu. semakin tua umur seseorang, maka keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah pola pikir budayanya akan semakin meningkat. hal ini akan meningkatkan intensitas untuk berkunjung ke objek wisata candi borobudur. 7) nilai koefisien 6 = 0,464, berarti jika pengunjung telah berpengalaman, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,464 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien pengalaman pengunjung bernilai positif, maka pengalaman pengunjung mempunyai pengaruh positif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila ada pengalaman pengunjung, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami peningkatan sebesar 0,464 persen. individu yang pernah berkunjung ke objek wisata candi borobudur dan memperoleh pengalaman yang baik akan berminat untuk melakukan kunjungan ulang ke objek wisata candi borobudur. 8) nilai koefisien 7 = -0,182, berarti terjadinya erupsi merapi, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami perubahan sebesar 0,182 persen, asumsi variabel yang lain tetap. koefisien dampak erupsi merapi bernilai negatif, maka dampak erupsi merapi mempunyai pengaruh negatif terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila terjadi erupsi merapi, maka intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur akan mengalami penurunan sebesar 0,182 persen. erupsi merapi membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi objek-objek wisata di sekitar gunung merapi. kawasan wisata menjadi kotor dan di sana-sini harus dilakukan pembersihan sehingga merusak pemandangan dan mengganggu aktivitas wisatawan. kondisi ini akan mengurangi intensitas wisatawan untuk berkunjung ke objek wisata candi borobudur. hal ini dapat ditangani dengan adanya perencanaan dan manajemen pariwisata yang baik. saptutyningsih (2004:165-183) menyatakan bahwa pariwisata yang terencana dan menggunakan manajemen yang baik dapat meningkatkan intensitas kunjungan wisata. simpulan biaya perjalanan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. biaya perjalanan yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata maka permintaan wisata pun akan berkurang begitu pula sebaliknya. penghasilan rata-rata per bulan pengunjung berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. apabila pendapatan individu tinggi, maka kemampuan individu untuk berkunjung ke objek wisata sebagai tempat berlibur akan estimasi nilai ekonomi wisata ... (hermawan badar) 89 semakin tinggi, begitu juga sebaliknya jarak tempat tinggal pengunjung dengan objek wisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. jarak tempat tinggal yang jauh berarti semakin banyak pengorbanan (waktu dan tenaga) yang harus diberikan individu untuk mencapai lokasi wisata sehingga akan mengurangi intensitas untuk berkunjung ke objek wisata. waktu kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. semakin banyak waktu kerja berarti semakin besar penghasilan yang diperoleh sehingga dapat dibelanjakan pada barang dan jasa yang berbeda (termasuk pariwisata). umur pengunjung berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. semakin tua umur seseorang, maka keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah pola pikir budayanya akan semakin meningkat, maka intensitas untuk berkunjung ke objek wisata candi borobudur. pengalaman pengunjung berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. individu yang yang memperoleh pengalaman yang menyenangkan di objek wisata candi boroburu akan berminat untuk melakukan kunjungan ulang ke objek wisata ini. dampak erupsi merapi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intensitas berkunjung ke objek wisata candi borobudur. terjadinya erupsi merapi mengakibatkan erupsi merapi membawa dampak yang kurang menguntungkan yaitu kawasan wisata menjadi kotor dan di sana-sini harus dilakukan pembersihan sehingga merusak pemandangan dan mengganggu aktivitas wisatawan, kondisi ini akan mengurangi intensitas wisatawan untuk berkunjung. penentuan kebijakan harga atau tarif seperti kenaikan tiket masuk sebaiknya diimbangi dengan penganekaragaman produk wisata seperti pembenahan infrastruktur, lebih sering dilakukan pementasan seni/budaya serta penggalian dan pemanfaatan kembali keunikan yang terdapat di candi borobudur. daftar pustaka purwanto, arif budi. (1998). valuasi ekonomi wana wisata taman hutan raya juanda dengan menggunakan pendekatan travel cost. tesis program pascasarjana itb, bandung. igunawati, diana. (2010). analisis permintaan objek wisata tirta waduk cacaban, kabupaten tegal. skripsi. fakultas ekonomi. universitas diponegoro. semarang. djijono. (2002). valuasi ekonomi menggunakan metode travel cost taman wisata hutan di taman wisata wan abdulrahman, provinsi lampung. makalah penganar falsafah sains (pps702). http://rudict. tripod.com/ sem023/adnan_wantasem.html. hartono. (1974). ekonomi pariwisata. jakarta: erlangga. hoevenagel, r. (1994). an assessment of the contingent valuation. dalam pething. r., 1994. valuing envormeint methodological and measurment issues. london: kluwer academic publisher. salma, i.a. dan susilowati, i. (2004). analisis permintaan objek wisata alam curug sewu, kabupaten kendal dengan pendekatan travel cost. jurnal dinamika pembangunan, vol 1 no. 2/des 2004. murty m. n. and menkhaus, s. m. (1994). economic and other benefits of wildlife preservation: a case study of keoladeo national park, bharatpur, rajasthan. working paper. new delhi, india: institute of economic growth. saptutyningsih, e. (2004). the tourism carrying capacity. jurnal ekonomi & studi pembangunan, vol. 5, no.2, oktober 2004: 165183. sahlan. (2008). valuasi ekonomi wisata alam otak kodok fading dengan pendekatan biaya perjalanan. skripsi program sarjana universitas mataram. yakin, a. (1997). ekonomi sumberdaya dan lingkungan. jakarta: akademika presindo. microsoft word 06-annisa jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013, hlm.144-152 penentu inflasi di indonesia; jumlah uang beredar, nilai tukar, ataukah cadangan devisa? annisa tri utami1, daryono soebagiyo2 1,2 fakultas ekonomi dan bisnis universitas muhammadiyah surakarta kampus a yani tromolpos 1 pabelan kartasura surakarta 57102, indonesia phone: +62 271 717417. e-mail korespondensi: daryono51@ymail.com naskah diterima: januari 2013; disetujui: juli 2013 abstract: this study aims to determine how the influence of gross domestic product (gdp) on the inflation rate in indonesia, how the influence in the money supply on inflation rate in indonesia, how the influence of currency exchange rate rupiah / usd on the inflation rate in indonesia, and how the influence of reserves foreign exchange on the inflation rate in indonesia. the data used in this study is quantitative data and data sources used are quarterly data with the period 2007-2013. the method used in this study is the method of least squares regression or ordinary least squares (ols). the results showed that the gross domestic product, money supply, exchange rates and international reserves simultaneously affect inflation in indonesia in 2007-2013. gross domestic product (gdp) and foreign exchange reserves in that period did not affect inflation in indonesia. money supply significant negative effect on inflation in indonesia. exchange rates significant positive effect on inflation in indonesia keywords: inflation; gross domestic product; money supply; international reserve jel classification: e31; e51 abstrak: studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh produk domestik bruto (pdb) terhadap tingkat inflasi di indonesia, bagaimana pengaruh perubahan jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi di indonesia, bagaimana pengaruh nilai tukar mata uang rupiah/usd terhadap tingkat inflasi di indonesia, dan bagaimana pengaruh cadangan devisa terhadap tingkat inflasi di indonesia. jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data kuantitatif dan sumber data yang digunakan adalah data triwulan dengan periode 2007-2013. metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode regresi kuadrat terkecil atau ordinary least square (ols). hasil menunjukkan bahwa produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan cadangan devisa secara serempak mempengaruhi inflasi di indonesia pada tahun 2007-2013. produk domestik bruto (pdb) dan cadangan devisa pada periode tersebut tidak mempengaruhi inflasi di indonesia. jumlah uang beredar berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi di indonesia. nilai tukar berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi di indonesia. kata kunci: inflasi; gross domestic product; jumlah uang beredar; cadangan devisa klasifikasi jel: e31; e51 pendahuluan dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan fenomena moneter dalam suatu negara di mana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi karena inflasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan internasional, nilai utang piutang antarnegara, tingkat bunga, tabungan, domestik, pengangguran, dan kesejahteraan masyarakat. perkembangan fluktuasi harga barang dan jasa kebutuhan terus meningkat, dan nilai tukar uang selalu turun dibandingkan nilai barang dan jasa, gejala tersebut merupakan inflasi. penentu inflasi di indonesia ... (annisa tri utami, daryono soebagiyo) 145 inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus. kenaikan harga yang sifatnya sementara seperti momen hari raya (tidak terus menerus) dan kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. secara umum inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau tidaknya inflasi. apabila inflasi itu ringan justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja menabung dan mengadakan investasi. sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu, orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat, para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu. untuk menghindari dampak dari naik turunnya inflasi perlu adanya pengendalian inflasi. dalam hal ini bank sentral memiliki peranan penting dalam mengendalikan inflasi. bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral, termasuk pemerintah. saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh bank indonesia. inflasi di indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar di sejarah. inflasi di indonesia sempat mencapai tingkat tertinggi pada masa presiden soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (perlu uang tinggal cetak). di masa soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi, akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun ratarata, antara lain dikarenakan bank indonesia masih mempunyai misi ganda yang salah satunya adalah sebagai agent of development yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. saat di masa reformasi, dimulai pada pemerintahan habibie maka fungsi bank indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. akan tetapi sejarah dan karena inflationary expectetions masyarakat yang bercermin kepada sejarah maka inflasi ini masih lebih besar daripada 5% setahun. laju inflasi di indonesia terus mengalami fluktuasi. pada tahun 2007 namun hanya sebesar 0,01%. pada tahun 2008 inflasi kembali mengalami kenaikan sebesar 4,47%. setelah mengalami kenaikan inflasi, tahun 2009 menurun sekitar 8,28%. inflasi terjadi kembali di tahun 2010 sebesar 4,81%. kemudian di tahun 2011 menurun sebesar 3,17%. pada tahun 2012 inflasi meningkat sekitar 0,51%. namun di tahun 2013 inflasi meningkat cukup tinggi sebesar 94,88%. tabel 1 memberi gambaran perkembangan inflasi di indonesia periode tahun 2007-2013. tabel 1. inflasi di indonesia tahun 2007-2013 tahun inflasi (%) fluktuasi (%) 2007 6,59 -0,01 2008 11,06 4,47 2009 2,78 -8,28 2010 6,96 4,18 2011 3,79 -3,17 2012 4,3 0,51 2013 8,38 94,88 sumber: laporan tahunan bank indonesia, 2013 inflasi yang terjadi di negara berkembang relatif lebih tinggi dibanding negara maju dan juga lebih fluktuatif. secara kuantitas, inflasi di indonesia secara kuantitas dari tahun ke tahun maupun dari bulan ke bulan mengalami kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu meskipun sempat mengalami penurunan pada saat tertentu. dilihat dari persentase laju pertumbuhannya berfluktuasi dengan kecenderungan menaik. salah satu indikator ekonomi makro guna melihat stabilitas perekonomian suatu negara adalah inflasi. namun, inflasi juga telah menjadi permasalaham perekonomian di indonesia sejak lama di mana fenomena inflasi ini sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berasal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 144-152 146 dari variabel domestik dan variabel eksternal. variabel-variabel tersebut di antaranya produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar mata uang, dan cadangan devisa, serta faktor perubahan atau guncangan ekonomi negara lain, dan lain sebagainya namun faktor-faktor tersebut terkadang kurang bisa konsisten dalam menjelaskan faktor-faktor apa yang menentukan inflasi dari waktu ke waktu. menurut solihin (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan inflasi di banyak negara, termasuk indonesia berasal dari variabel domestik dan variabel eksternal. variabelvariabel tersebut diantaranya produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar mata uang, cadangan devisa, dan perubahan atau guncangan ekonomi negara lain (solihin, 2011). pada masa perekonomian yang berkembang pesat, kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. pengeluaran yang berlebihan ini akan menimbulkan inflasi. apabila masyarakat masih terus menambah pengeluarannya maka permintaan agregat akan kembali naik. untuk memenuhi permintaan yang semakin bertambah tersebut, perusahaan-perusahaan akan menambah produksinya dan menyebabkan pendapatan nasional riil (pdb) menjadi meningkat pula. kenaikan produksi nasional melebihi kesempatan kerja penuh akan menyebabkan kenaikan harga yang lebih cepat dan menyebabkan inflasi (sukirno, 2006). jub berpengaruh terhadap inflasi sebagaimana dijelaskan oleh teori kuantitas fisher. dalam teori tersebut, fisher menyatakan inflasi erat kaitanya dengan jub. jika terjadi kenaikan jumlah uang beredar, maka akan menstimulus terjadinya inflasi, dengan asumsi kecepatan jumlah uang beredar dan volume produksi perekonomian bersifat konstan. (m.v=p.t). tanpa adanya kenaikan jumlah uang beredar maka tidak akan terjadi inflasi, meskipun terjadi kenaikan harga. misalnya saja jika terjadi kegagalan panen, harga cenderung naik, namun kenaikan harga beras tersebut hanya sementara waktu saja dan tidak menyebabkan terjadinya inflasi. dengan demikian, bila jumlah uang beredar tidak ditambah lagi, inflasi akan berhenti dengan sendirinya. kondisi tersebut bisa terjadi karena jumlah barang atau jasa yang tersedia di masyarakat lebih kecil dari pada jumlah uang beredar yang ada, sehingga bisa menimbulkan inflasi dan sebaliknya (saputra dan nugroho, 2012). cadangan devisa mempunyai peranan penting dan merupakan indikator untuk menunjukkan kuat lemahnya fundamental perekonomian suatu negara, selain itu dapat menghindari krisis suatu negara dalam ekonomi dan keuangan (priadi dan sekar, 2008). cadangan devisa tidak hanya dapat merangsang ekonomi tetapi juga untuk menstabilkan variabel yang paling rentan seperti nilai tukar, utang dan defisit (commer, 2011). pengambil kebijakan perlu mengetahui faktor-faktor (variabel-variabel) apa saja yang mempengaruhi inflasi agar dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah: (1) bagaimana pengaruh produk domestik bruto (pdb) terhadap tingkat inflasi di indonesia periode tahun 2007.1-2013.4?, (2) bagaimana pengaruh perubahan jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi di indonesia periode tahun 2007.1-2013.4?, (3) bagaimana pengaruh nilai tukar mata uang rupiah/usd terhadap tingkat inflasi di indonesia periode tahun 2007.1-2013.4?, (4) bagaimana pengaruh cadangan devisa terhadap tingkat inflasi di indonesia periode tahun 2007.1-2013.4?. metode penelitian jenis dan sumber data wilayah yang dijadikan penelitian adalah negara indonesia. studi ini menganalisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inflasi di indonesia pada tahun 2007-2013 jenis data dalam studi ini adalah data kuantitatif dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder. data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. data yang digunakan penulis adalah data sekunder yang merupakan data runtut waktu (time series) dengan periode 20072013 data yang digunakan adalah meliputi data penentu inflasi di indonesia ... (annisa tri utami, daryono soebagiyo) 147 inflasi, produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan cadangan devisa yang diperoleh dari bank indonesia, badan pusat statistik (bps) kota surakarta, bps propinsi jawa tengah serta instansi-instansi yang terkait dalam studi ini. analisis data studi ini menggunakan metode regresi kuadrat terkecil atau ordinary least square (ols) yaitu teknik mengestimasi suatu garis regresi dengan jalan meminimalkan jumlah dari kuadrat kesalahan setiap observasi terhadap garis tersebut dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan cadangan devisa terhadap inflasi di indonesia pada tahun 2007-2013 formulasi dari model regresi dituliskan sebagai berikut: inf = β0 + log β1 pdb + log β2 pdb + log β3 nt + log β4 cd + e 1) keterangan: inf adalah variabel inflasi, pdb adalah variabel produk domestik bruto, jub adalah jumlah uang beredar, nt adalah variabel nilai tukar, cd adalah variabel cadangan devisa, β0 adalah konstanta, β1 adalah koefisien regresi jumlah uang beredar, β2 adalah koefisien regresi produk domestik bruto, β3 adalah koefisien regresi nilai tukar, dan β4 adalah koefisien regresi cadangan devisa. perkembangan inflasi tahun 2007-2013 salah satu indikator perkembangan kondisi ekonomi adalah inflasi. dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan fenomena moneter dalam suatu negara di mana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi karena inflasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan internasional, nilai utang piutang antar negara, tingkat bunga, tabungan, domestik, pengangguran, dan kesejahteraan masyarakat. perkembangan inflasi di indonesia pada tahun 2007-2013 seperti pada gambar 1 yang menunjukkan fluktuasi yang berubah-ubah. seperti terlihat pada gambar 1, perkembangan inflasi di indonesia sangat tidak stabil dan berfluktuasi. tahun 2007, inflasi di indonesia terbilang tinggi namun masih berada di bawah 10% yaitu sebesar 7,36% . tahun 2008, inflasi mengalami kenaikan menjadi 11,06%. meningkat sebesar 3,7% dari tahun sebelumnya yang dipengaruhi krisis global ekonomi karena kegagalan amerika dalam mengelola usaha properti yang mendorong terjadinya goncangan inflasi di indonesia dan kenaikan beberapa harga barang pokok. tahun 2009, inflasi di indonesia mengalami penurunan di bawah perkiraan pemerintahan di bawah 5% yaitu sebesar 2,78% yang menunjukan perbaikan kondisi perekonomi di indonesia kearah yang lebih stabil. pada tahun 2010 terjadinya krisis ekonomi di eropa yang menyebabkan krisis ekonomi global yang berdampak terhadap indonesia dan negara berkembang lainnya, mengakibatkan kenaikan inflasi yang melampaui target bank sumber: bank indonesia, 2013 gambar 1. perkembangan inflasi di indonesia tahun 2007-2013 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 144-152 148 indonesia yaitu sebesar 6,96%. tahun 2011 dan 2012 inflasi di indonesia kembali stabil dan aman, di bawah target pemerintah. pada tahun 2011 sebesar 3,79%, di mana target pemerintah sebesar 5,65%. sedangkan di tahun 2012, inflasi mengalami kenaikan yaitu sebesar 4,30% namun masih berada di bawah perkiraan pemerintah yang menargetkan inflasi sebesar 6-7%. tahun 2013, inflasi mengalami kenaikan yang cukup tinggi sebesar 8,38%. perkembangan produk domestik bruto (pdb) tahun 2007-2013 produk domestik bruto (pdb) berpengaruh terhadap inflasi dari sisi tarikan permintaan (demand full inflation). kenaikan permintaan agregat akan menimbulkan celah inflasi atau inflationary gap yang merupakan sumber dari inflasi. perkembangan pdb di indonesia terus meningkat dan stabil setiap tahunnya seperti terlihat pada gambar 2. pdb di indonesia pada tahun 2007 sebesar 1.964.327,3 miliar rupiah. tahun 2008 hingga tahun 2013 pdb di indonesia terus merangkak naik melebihi 2.000.0000 miliar rupiah. tahun 2008 sebesar 2.082.456,1 miliar rupiah. tahun 2009 sebesar 2.177.741,7miliar rupiah. tahun 2010 sebesar 2.310.689,8 miliar rupiah. tahun 2011 sebesar 2.463.242,8 miliar rupiah. tahun 2012 sebesar 2.618.140,8 miliar rupiah. tahun 2013 sebesar 2.770.345 miliar rupiah. perkembangan jumlah uang beredar (jub) tahun 2007-2013 jumlah uang beredar (jub) merupakan salah satu faktor utama pergerakan tingkat inflasi. di indonesia jumlah uang beredar terus meng-alami peningkatan yang stabil setiap tahunnya seperti yang terlihat pada grafik 3. jub di indonesia pada tahun 2007 sebesar 1,649,622 miliar rupiah. tahun 2008 sebesar 1,895,838 miliar rupiah. tahun 2009 hingga tahun 2011 jub di indonesia terus merangkak sumber: bank indonesia, 2013 gambar 3. perkembangan jub di indonesia tahun 2007-2013 sumber: statistik indonesia, 2013 gambar 2. perkembangan pdb di indonesia tahun 2007-2013 penentu inflasi di indonesia ... (annisa tri utami, daryono soebagiyo) 149 naik melebihi 2.000.0000 miliar rupiah. tahun 2009 sebesar 2.141.384 miliar rupiah. tahun 2010 sebesar 2.469.399 miliar rupiah. tahun 2011 sebesar 2.877.220 miliar rupiah. tahun 2012 hingga 2013 perkembangan jub mencapai lebih dari 3.000.000 miliar rupiah. tahun 2012 sebesar 3.205.129 miliar rupiah. tahun 2013 sebesar 3.730.197 miliar rupiah. perkembangan nilai tukar tahun 2007-2013 nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing berpengaruh pada inflasi. salah satunya adalah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. nilai tukar yang digunakan dalam studi ini adalah nilai tukar rupiah terhadap us dolar amerika. perkembangan nilai tukar rupiah terhadap us dollar amerika terus mengalami fluktuasi, seperti terlihat pada gambar 4. nilai tukar rupiah terhadap us dollar amerika tahun 2003 sebesar 8.465. namun pada tahun 2004 dan 2005 rupiah mengalami depresiasi masing-masing sebesar 9.290 dan 9.830. pada tahun 2006 nilai tukar rupiah terhadap us dolar mengalami penurunan sebesar 9.020. namun pada tahun 2007 dan 2008 kembali mengalami depresiasi. pada tahun 2007 sebesar 9.419 dan pada tahun 2008 sebesar 10.950. nilai tukar rupiah terhadap us dollar amerika di tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan setelah kenaikan yang cukup tnggi di tahun sebelumnya. tahun 2009 sebesar 9.400 dan tahun 2010 sebesar 8.991. pada tahun 2011, 2012, dan 2013 nilai tukar rupiah terhadap us dollar amerika terus mengalami depresiasi. pada tahun 2011 sebesar 9.086 dan tahun 2012 sebesar 9.670. pada tahun 2013 nilai tukar rupiah terhadap us dollar amerika mengalami depresiasi yang tinggi melebihi 10.000 yaitu sebesar 12.189. sumber: bank indonesia, 2013 gambar 4. perkembangan nilai tukar di indonesia tahun 2007-2013 sumber: bank indonesia, 2013 gambar 5. perkembangan cadangan devisa di indonesia tahun 2007-2013 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 144-152 150 perkembangan cadangan devisa tahun 2003-2013 cadangan devisa mempunyai peranan penting dan merupakan indikator untuk menunjukkan kuat lemahnya fundamental perekonomian suatu negara, selain itu dapat menghindari krisis suatu negara dalam ekonomi dan keuangan (priadi dan sekar, 2008). perkembangan cadangan devisa di indonesia banyak mengalami fluktuasi yang berubahubah setiap tahunnya. pada tahun 2007 sebesar 56,920 juta dolar. namun di tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 51,639 juta dolar. perkembangan cadangan devisa pada tahun 2009 hingga 2012 terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 100.000 juta dolar pada tahun 2011 dan 2012. pada tahun 2009 sebesar 66.105 juta dolar dan pada tahun 2010 sebesar 96.206,35 juta dolar. pada tahun 2011 sebesar 110.122,84 juta dolar dan pada tahun 2012 sebesr 112.781,22 juta dolar. namun di tahun 2013 penerimaan cadangan devisa menurun menjadi sebesar 99.386,7 juta dolar. hasil dan pembahasan berdasarkan estimasi yang telah dilakukan didapat model persamaan inflasi dalam studi ini adalah sebagai berikut: inft = -316,1749 + 22,22092 logpdbt – 20,96915 logjubt + 27,00303 logntt + 7,724978 logcdt 2) kesimpulan: prob. signifikansi statistik f sebesar 0,0814 > 0,10, maka h0 diterima. kesimpulannya model yang dipakai eksis. hasil dalam studi ini menunjukkan bahwa nilai rsquared sebesar 0,413309 atau 41,33 persen. artinya variabel independen dalam model (pdb, jub, nilai tukar dan cadangan devisa) mampu menjelaskan variabel dependen (inflasi) sebesar 0,413309 atau 41,33 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 0,586691 atau 58,67 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model. pengujian asumsi klasik dengan uji normalitas residual hasil regresi menunjukkan bahwa produk domestik bruto (pdb) di indonesia pada periode 2007.1-2013.4 tidak mempengaruhi inflasi. artinya besar kecilnya pdb tidak mempengaruhi inflasi di indonesia pada periode 20072013 hasil studi ini didukung oleh studi putri dan made (2013) yang menyimpulkan bahwa produk domestik bruto tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tingkat inflasi di indonesia untuk periode 1993-2012. hasil studi ini sejalan dengan studinya mankiw (2007) yang menyatakan bahwa fluktuasi dalam perekonomian mempengaruhi aggregate demand dan agregate supply baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. fluktuasi dalam perekonomian dapat menurukan dan menaikkan aggregate demand dan juga menurunkan dan menaikkan aggregate supply. terjadinya fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan penurunan aggregat supply dalam jangka pendek selanjutnya akan menurunkan keseimbangan dalam perekonomian. tabel 2. uji normalitas residual penentu inflasi di indonesia ... (annisa tri utami, daryono soebagiyo) 151 dipandang dari sisi permintaan adanya peningkatan aggregat demand dalam jangka pendek menghasilkan peningkatan miliar. kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka pendek harga bersifat kaku dan perekonomian belum dalam kondisi full-employment sehingga peningkatan aggregat demand tidak menghasilkan inflasi. jumlah uang beredar dan inflasi hasil regresi menunjukkan jumlah uang beredar berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi di indonesia periode 2007-2013 artinya jumlah uang beredar meningkat namun inflasi menurun. jika inflasi meningkat maka jumlah uang beredar menurun. studi ini sejalan dengan nugroho dan basuki (2012) yang menyatakan variabel jumlah uang beredar (m2) berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap inflasi pada kuartal tahun studi. hal ini karena jumlah uang beredar dalam arti luas yang terdiri atas uang beredar, uang giral, dan uang kuasi. diduga persentase uang kuasi yang terdiri atas deposito berjangka, tabungan, dan rekening valas milik swasta domestik cukup besar. uang kuasi dalam hal ini merupakan nilai yang tidak liquid. sehingga walaupun nilainya tinggi namun tidak cukup untuk mempengaruhi peningkatan inflasi yang ada dalam perekonomian. nilai tukar dan inflasi hasil regresi menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi di indonesia pada periode 2007-2013 apabila nilai rupiah terhadap us dolar melemah maka inflasi akan naik, dan apabila nilai rupiah terhadap us dolar menguat maka inflasi akan turun. hasil ini sejalan dengan studi saputra dan nugroho (2013) yang menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di indonesia. ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi maka harga barang impor akan naik yang menyebabkan biaya bahan baku impor meningkat. bertambahnya biaya bahan baku impor menyebabkan hasil produksi menurun. hal ini akan menyebabkan terjadinya kelangkaan barang-barang hasil produksi sehingga bisa menstimulus kenaikan harga barang domestik secara umum sehingga inflasi naik. sedangkan dari sisi penawaran, depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih tinggi dibandingkan barang dalam negeri. hal ini akan meningkatkan permintaan terhadap barang dalam negeri baik dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar negeri terhadap barang ekspor. keadaan ini kemudian memicu kenaikan harga sehingga inflasi akan naik. cadangan devisa dan inflasi cadangan devisa tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di indonesia pada periode 2007-2013 artinya besar kecilnya cadangan devisa tidak akan mempengaruhi inflasi. hasil studi ini didukung oleh lin, m. y., dan wang, j. s. (2008) yang menunjukkan hasil bahwa cadangan devisa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di hongkong dan singapura. kesimpulan dari studi tersebut adalah inflasi akan meningkat karena efek nilai tukar lebih kuat dari efek kejutan moneter. tingkat inflasi akan berkurang apabila efek kejutan moneter kuat jika ditempatkan pada stabilitas miliar tidak besar. krušković, b. d., dan maričić, t (2015) akumulasi cadangan devisa tidak mempengaruhi inflasi jika cadangan devisa tidak melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi. hasil uji koefisien determinan (r2) menunjukkan besarnya nilai r-squared sebesar 0,413309 atau 41,33 persen. artinya variabel independen dalam model (produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar dan cadangan devisa) mampu menjelaskan variabel dependen (inflasi) sebesar 0,413309 atau 41,33 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 0,586691 atau 58,67 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model. berdasarkan uji validitas pengaruh (uji t) pada signifikansi (α) sebesar 0,10, produk domestik bruto memliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap inflasi, jumlah uang beredar berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi, nilai tukar berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi, sedangkan cadangan devisa berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi di indonesia. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 14, nomor 2, oktober 2013: 144-152 152 simpulan berdasarkan studi yang sudah dibahas pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, produk domestik bruto, jumlah uang beredar, nilai tukar, dan cadangan devisa secara serempak mempengaruhi inflasi di indonesia pada tahun 2007-2013 kedua, hasil regresi menunjukkan jumlah uang beredar berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi di indonesia. ketiga, nilai tukar berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi di indonesia. keempat, cadangan devisa tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di indonesia. adapun saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil studi ini adalah: 1) produk domestik bruto tidak berpengaruh terhadap tingkat inflasi di indonesia pada tahun 20072013 namun pemerintah tetap perlu mendorong pertumbuhan produk domestik bruto melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi. pemerintah harus lebih jeli melihat potensi sektor-sektor ekonomi yang dapat dimanfaatkan di tiap-tiap provinsi di indonesia. sehingga melalui pertumbuhan produk domestik bruto dapat diperoleh tingkat inflasi yang stabil dan sesuai dengan tingkat yang telah ditargetkan; 2) pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter dapat dicapai dengan pengendalian jumlah uang beredar. peningkatan jumlah uang beredar seharusnya sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan sasaran inflasi dari bank indonesia. inflasi dapat ditekan dengan tingkat suku bunga yang tinggi sehingga masyarakat lebih cenderung menyimpan uangnya di bank; 3) pemerintah melalui otoritas moneter atau bank indonesia juga harus mampu menjaga kestabilan cadangan devisa negara demi menjaga stabilitas nilai tukar mata uang, mengingat nilai tukar terbukti merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap tingkat inflasi. daftar pustaka commer, p. j. (2011). pakistan’s accumulation of foreign exchange reserves during 20012006. journal, 5 (1):47-67. gujarati, damodar, (1995). basic econometric edition. london: mac grawhill.inc. krušković, b. d., & maričić, t. (2015). empirical analysis of the impact of foreign exchange reserves to economic growth in emerging economics. applied economics and finance, 2(1):102-109. lin, m. y., & wang, j. s. (2008). capital outflow and unemployment: evidence from panel data. applied economics letters, 15(14): 1135-1139. mankiw. (1997). teori makro ekonomi. jakarta: erlangga. nugroho, p. w., dan basuki, m. u. (2012). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di indonesia periode 2000.1–2011.4. disertasi, fakultas ekonomika dan bisnis. priadi, a dan sekar, s. (2008). cadangan devisa, financial deeping, dan stabilisasi nilai tukar riil rupiah akibat gejolak nilai tukar perdagangan. buletin ekonomi moneter dan perbankan, bank indonesia, 11 (2): 121-153 putri dan made. (2013). pengaruh pdb, nilai tukar, dan jumlah uang beredar terhadap inflasi di indonesia periode 1993-2012. ejurnal ekonomi pembangunan universitas udayana 2.7. saputra, k., dan nugroho, s. b. m. (2013). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di indonesia 2007-2012. disertasi. fakultas ekonomi dan bisnis. solihin. (2011). konvergensi inflasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi: studi empiris di negara-negara asean+6. skripsi. bogor. fakultas ekonomi institut pertanian bogor. sukirno, sadono. (1994). pengantar teori makro ekonomi. edisi ii. jakarta: grafindo persada. jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic riduwan1*, hendro setyono2, monikka yuliana1, and siti salma miftahul jannah1 abstract: the covid-19 pandemic has negatively impacted the islamic banking industry by increasing non-performing financing, decreasing savings, and weakening annual performance. this condition, if not anticipated, can lead to bankruptcy. therefore, customers need to get the best service so that their loyalty is maintained even though the conditions of islamic banks are difficult. this study analyses customer satisfaction toward islamic banks services during the covid-19 pandemic. the respondents are 308 customers. the sampling method uses purposive sampling, and the data processing uses the customer satisfaction index (csi) model. the results of this study indicate that customers are satisfied with islamic banks' services. so, they are willing to recommend other parties to become bank customers, not transfer funds to other islamic banks, will not move to conventional banks, and not withdraw deposits. however, this study has limitations because it has not included social performance as a factor that affects loyalty. in addition, most respondents are muslim, so future research is recommended to analyze satisfaction by including these two factors. furthermore, these findings provide value for policy implications and recommendations for islamic banks and stakeholders to increase satisfaction and service. keywords: islamic banks; covid-19; customer satisfaction and services jel classification: g2 introduction the covid-19 pandemic that has over the world has affected various aspects of life. as a health epidemic, the covid-19 pandemic has caused multidimensional economic, social and religious (dayrit & mendoza, 2020). in the economic field, covid-19 has caused the cessation of the national economy both in the micro and macro domains (ningsih & mahfudz, 2020). all entrepreneurs also experience the same impact, micro, small, medium, and large (ozili, 2020). covid-19 has increased new poverty or exacerbated pre-existing poverty levels (ozili, 2020). furthermore, the high unemployment rate due to layoffs, the closing of small shops, and distance restrictions have resulted in a decrease in income and purchasing power of the poor, which means increasing the severity of poverty (susilawati, falefi, & purwoko, 2020). affiliation: 1 department of islamic banking, faculty of islamic studies, universitas ahmad dahlan, special region of yogyakarta, indonesia 2 department of management, faculty of economics and business, universitas ahmad dahlan, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: riduwan@pbs.uad.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13796 citation: riduwan, r., setyono, h., yuliana, m., & jannah, s. s. m. (2022). islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 110-123. article history received: 27 jan 2022 revised: 14 feb 2022 23 mar 2022 20 apr 2022 accepted: 22 apr 2022 https://scholar.google.co.id/citations?user=yy_zurqaaaaj&hl=en https://scholar.google.co.id/citations?user=bn0l2fsaaaaj&hl=en https://pbs.uad.ac.id/ https://pbs.uad.ac.id/ https://pbs.uad.ac.id/ https://pbs.uad.ac.id/ https://manajemen.uad.ac.id/ https://manajemen.uad.ac.id/ https://manajemen.uad.ac.id/ https://manajemen.uad.ac.id/ mailto:riduwan@pbs.uad.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13796 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13796&domain=pdf riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 111 the covid-19 pandemic has caused severe economic effects in the financial sector and other sectors (anh & gan, 2020). the pandemic has a negative impact on the economy because of rising poverty and high unemployment (nicola et al., 2020). governments worldwide have the same concern. if the pandemic is not controlled immediately, the economic impact will worsen (roth, clausen, & möller, 2020). research conducted by nicola et al. (2020) found that the covid-19 pandemic caused the economy to stop in almost all economic sectors. for the financial industry, the direct impact of the pandemic is seen in the decreased ability of customers to fulfill their obligations to banks (wójcik & ioannou, 2020). at the same time, because people's incomes decline, many bank customers withdraw their funds, and this condition affects cash inflows, so there is no cash flow balance (akhtaruzzaman, boubaker, & sensoy, 2021). the financial industry must apply new approaches in responding to changes due to the pandemic (kraus et al., 2020). therefore, islamic banks must also implement effective strategies to improve their performance immediately. service that satisfies customers and is based on ethical values is one model of the customer approach to maintaining loyalty so that financial performance recovers faster (aman, 2019). the new poverty caused by covid-19 severely impacts its ability to fulfill its obligations to other parties (ozili, 2020), including financial institutions. the impact of the covid-19 pandemic on the business world can increase business risks, including financial risks for banks. these risks are more related to financing or credit for bank customers due to their inability to pay their principal and profit-sharing obligations. in addition, because many businesses cannot run, the potential for withdrawal is higher (ningsih & mahfudz, 2020). a decrease in bank customer installments, both principal and margin, and profit-sharing can increase non-performing financing (riduwan, 2019). this condition will reduce the income of islamic banks, at the same time, can erode profits. moreover, financial performance that is not good in the long term can reduce public confidence. if it is not anticipated, it can have an even worse impact, namely increasing business risk (ningsih & mahfudz, 2020). islamic banks must provide better services in these conditions so that customers do not run away (ikhwal, 2017). services as part of the marketing of islamic banks must still prioritize aspects of islamic values or compliance with sharia principles (abdul rehman, 2013). good marketing ethics can increase customer satisfaction and loyalty (ong, salleh, & yusoff 2016). business service orientation is customer satisfaction (hejase, hamdar, orfali, & hejase, 2012), where customer satisfaction can increase business volume (ong et al., 2016). the service approach of islamic banks must prioritize the sharia aspect because these conditions affect the public interest in using islamic banks (azhar rosly, 2013). good service, starting from the ability of islamic banks employees to provide open explanations and answer customer doubts about sharia compliance (ali & adawiah, 2013). research by othman and owen (2001) shows that islamic banks customers require comprehensive sharia compliance in bank practice and daily life from the management element. all stakeholders of islamic banks will get better benefits if the management of islamic banks riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 112 can carry out a more humanistic and religious approach (ali & adawiah, 2013). meanwhile, according to echchabi and aziz (2012), islamic banks customers need the certainty of business continuity in the long term (solvability). customer satisfaction concerns the long-term perception of the company (beltagui, sigurdsson, candi, & riedel, 2017). satisfaction is also related to creating good value for customers (dauda & lee, 2016). value for customers can occur if solid relationships are built and carried out in a planned manner because it has become a company strategy (hong & marimuthu, 2015). according to fauzi and suryani (2019), customer satisfaction of islamic banks occurs when customers can tell good things about islamic banks to others. this indicator is crucial because it can increase a positive image of the broader community (akhtar & zaheer, 2014). another critical indicator related to satisfaction is the willingness of customers to repurchase old products (izogo & ogba, 2015). when loyalty is built, the company's ability to create satisfaction value positively increases sales, both for old and new customers (okumus & genc, 2013). the loyalty of islamic banks customers in tanzania has been studied by khamis and abrashid (2018), and the results show that customer loyalty occurs because of good service. thus, satisfaction and service are two interrelated things (vazifehdust & farokhian, 2013). furthermore, better loyalty will strengthen the company's foundation so that even in difficult situations, consumers will not run away or remain loyal (mosavi, 2012). fierce competition in the financial industry can encourage business shocks for islamic banks. however, loyal customers will generally remain loyal to the old company (othman & owen, 2003). therefore, the covid-19 outbreak, even though it is believed not to cause withdrawals of funds, is due to the high trust and loyalty of islamic banks customers. good service can be proven by management's ability to build effective communication with customers (bahman, kamran, & mostafa, 2013). reciprocal communication places customers in an important position and gets attention (efendi, 2019). therefore, islamic banks management needs to apply a more open communication approach model that allows customers to provide input and suggestions for improvement (alkalha et al., 2012). sayani's research (2015) on the satisfaction of islamic banking services in the united arab emirates shows that customers feel satisfied because services are integrated through technology. furthermore, the study of jabnoun and khalifa (2005) also states that bank customer satisfaction is influenced by their ability to build effective communication through technology. meanwhile, amin and isa (2008) found that the speed of service through technology can increase customer satisfaction of islamic banks in malaysia. competition for islamic banks occurs among islamic banks and conventional banks (ahmad, rehman, saif, & safwan, 2010). islamic banks' customer satisfaction can be achieved if islamic banks create an exciting difference (shahril, 2003). good service and becoming a characteristic will be more easily recognized and increase customer satisfaction (de bruin, 2018). islamic banks' customers feel rewarded if they are served with a more ethical and humanist approach (krishnaswamy & mutharasu, 2013). riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 113 the results of fauzi and suryani's research (2019) state that customer satisfaction can increase trust in islamic banks. customer satisfaction is part of an attitude influenced by local culture (kashif, wan shukran, rehman, & sarifuddin, 2015) because islamic banks need to formulate customer service as an essential part of the company's strategy. the socio-cultural context as an essential part of the marketing strategy has been studied by malhotra et al. (2005). the results indicate the need to formulate a specific strategy to respond to customer culture. marketing ethics for islamic banks can be applied from planning, meaning that marketing strategies must present ethics (cahyani, 2016). islamic banking businesses that relate to humans must prioritize aspects of communication that are empathic and humanist (hejase et al., 2012). this pattern of relationships is built based on sacred religious encouragement, not merely a professional attitude as work guidance. the study of marketing ethics includes company values and internal business models built in the face of changes in the business environment (loungani, mishra, papageorgiou, & wang, 2017). a good understanding of the internal processes of islamic banks in oman can be an essential part of building marketing ethics (de bruin et al., 2020). the study shows that the cultivation of ethics for employees departs from understanding the company's vision and mission (alhakimi & alhariry, 2014). the financial industry has high pressure, thus demanding ethical consistency in its marketing (román, 2003). in intense competition and regulatory changes, islamic banks can still maintain marketing ethics even compared to conventional banks (bailey, albassami, & al-meshal, 2016). consistent marketing ethics impact customer satisfaction of islamic banks (sheriff & ismail, 2019). the consistency of marketing in maintaining ethics in challenging competition has been studied by zebal and saber (2014). their results show that ethics is an essential indicator for islamic banks and the leading force in business competition. meanwhile, de bruin (2018) found the importance of improving service ethics and sharia compliance together because both impact the trust of islamic banks customers in oman. becker (2018) also states that islamic banks need to improve marketing ethics because it is integral to sharia compliance. hong and marimuthu's (2015) research on islamic banks in oman shows that employees' ability to build marketing ethics correlates with retail banking customer satisfaction. good customer perceptions of company value, such as consistent marketing ethics, can increase company value and performance (schulz, martin, & meyer, 2017). service ethics can be an essential differentiator for companies in intense competition (madhavaram, granot, & badrinarayanan, 2014). customers can recognize the characteristics of a company because of consistent marketing ethics (beltagui et al., 2017). ethics is important because there is a strong relationship between internal and external processes that develop faster (de wulf, odekerken-schröder, & iacobucci, 2001). this relationship is shown by the ability of employees to provide services to their customers (ballantyne, 2003). good relations with customers at islamic banks are an essential indicator of implementing marketing strategies (basya, 2019), even customer relations with marketing interests and good social values (wu & li, 2018). the importance of good riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 114 service leads to the achievement of maqasid syariah because the business relationship between sahibul mal and mudarib aims to protect the property or hifdzul mal (hassan, chachi, & abdullatiff, 2008). moreover, the ability to build mutual relationships is an essential indicator that islamic banks pursue corporate profits and pay attention to the interests of all stakeholders (iqbal & mirakhor, 2004). in addition, research by othman and owen (2003) states that the level of sharia compliance also influences public trust in islamic banks. sharia compliance is not only in financing contracts but is also attached to each behavior of islamic banks employees (maslihatin & riduwan, 2020). services based on sharia values such as honesty, empathy, and good communication can increase public trust in islamic banks (sangeetha & mahalingam, 2011). the covid-19 pandemic, which also affects the performance of islamic banks, demands better services (ningsih & mahfudz, 2020). therefore, the business conditions of islamic banks, which are experiencing pressure from the impact of customer businesses affected by the pandemic, have become a critical factor that requires islamic banks to implement better and more religious strategies for all their customers (hassan et al., 2008). customers need a practical, educational approach with a social touch and sharia values (anwar, 2018; suhendry & maulina, 2019; ilham, 2021; nazah, duasa, & arifin, 2021; wafiq & suryanto, 2021) (trang, nhan, hao, & wong 2021; nhan, pho, anh, & mcaleer, 2021 ). this approach is essential to maintain business performance during the pandemic and build stronger relationships so that customers remain loyal because of the service satisfaction they experience (ningsih & mahfudz, 2020). this study will analyze customer satisfaction with islamic banks' services during the covid-19 pandemic. researchers believe this theme is fundamental because it will help islamic banks formulate better strategies for maintaining and increasing customer loyalty during challenging conditions. research method this study takes the population of islamic banks customers throughout indonesia who have been customers since the covid-19 pandemic from january to december 2021, both individual and institutional in indonesia. while the research sample was taken using the purposive sampling method to get the correct data because the customer was selected from the start. the purposive sampling approach is critical to do in order to provide more concrete and measurable boundaries so that the data processing becomes more precise and results are accurate. the criteria for this research sample include having been a customer before the covid-19 pandemic, financing and savings customers, productive age, and being willing to be researched. the sample of this study includes administrators of sharia microfinance institutions, administrators of islamic social organizations, and unique customers of islamic banks. based on these criteria, the researchers obtained a total sample of 308 customers obtained from distributing questionnaires. riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 115 the data needed in this study is primary data, namely respondents' answers about customer satisfaction with islamic banks' services during the covid-19 pandemic. the data was collected through respondents filling out a closed-type questionnaire through a google form which was distributed to islamic bank customers. . in addition, they are deepening the data through discussions with the management of the islamic banks association, the association of sharia microfinance institutions and the center of sharia cooperatives, and the parent of sharia cooperatives. the islamic banks referred to in this study are all types of islamic banks, islamic commercial banks, sharia business units and sharia people's financing banks. data processing of islamic banks' customer satisfaction during the covid-19 pandemic using the customer satisfaction index (csi) model. csi is used to measure customer satisfaction by considering the importance of the measured attributes. the various attributes measured are shown in table 1. table 1 various attributes to measure csi model no indicator compliance 1 carry out the principles of islamic law 2 no interest on every transaction 3 applying product service provisions in an islamic way assurance 4 security in transactions or accordance with health protocols 5 officers comply with health protocols in providing services to customers. 6 confidentiality of customer data is guaranteed responsiveness 7 employees willing to help customers 8 fast and efficient service 9 there are enough branch offices tangible 10 a comfortable waiting room and according to health protocols 11 check body temperature when entering the office. 12 a convenient handwashing area is provided 13 hand sanitizer is provided at the service area empathy 14 friendly and smiling staff 15 officers are open to customer complaints. 16 officers are open to criticism and suggestions. 17 officers are quick to respond to customers reliability 18 professional and trained staff 19 officers are sympathetic to customers. 20 punctuality in serving 21 technology service is going well. 22 internet islamic banking is going well. 23 mobile islamic banking is going well. 24 connected with e-money or w-wallet service the collected data were analyzed using quantitative description to calculate the customer satisfaction index (csi). csi is widely used by many researchers in various business sectors to measure the customer satisfaction index (kurniawati, 2013) . csi analysis is used to determine the level of customer satisfaction with islamic banking services with marketing riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 116 attributes used by researchers such as compy of sharia, assurance, responsiveness, tangibles, empathy, and reliability (carter). the six variables are described in each of which there are at least three indicators. the csi calculation method uses four approaches: determining the mean satisfaction score, calculating the weight factor, making the wight score, and then calculating the csi. the calculation of the four technically uses the help of spss 16.00. finally, the results of the csi calculation are used to determine the level of satisfaction score, with the highest score of 5, which means very satisfied and the lower it shows dissatisfaction. result and discussion the calculation or scoring of the respondent's answers to calculate the level of satisfaction, with the results of the calculation are shown in table 2. table 2 results of customer satisfaction index no attribute average interest level weight factor average satisfaction level weight score 1 4.73 0.05 4.22 0.22 2 4.53 0.05 4.3 0.22 3 4.59 0.05 4.26 0.22 4 4.57 0.05 4.24 0.22 5 4.57 0.05 4.23 0.22 6 4.69 0.05 4.35 0.23 7 4.55 0.05 4.28 0.22 8 4.60 0.05 4.06 0.21 9 4.24 0.05 3.84 0.18 10 4.45 0.05 4.07 0.20 11 4.32 0.05 4.29 0.21 12 4.46 0.05 4.17 0.21 13 4.25 0.05 4.18 0.20 14 4.45 0.05 4.29 0.21 15 4.40 0.05 4.19 0.21 16 4.33 0.05 4.14 0.20 17 4.56 0.05 4.08 0.21 18 4.56 0.05 4.19 0.22 19 4.40 0.05 4.23 0.21 20 4.53 0.05 4.07 0.21 21 4.68 0.04 3.91 0.17 22 4.64 0.04 3.85 0.17 23 4.65 0.04 3.81 0.16 24 4.30 0.04 3.73 0.15 weight total 4,13 customer satisfaction index (csi) 0,83 riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 117 the level of customer satisfaction with the quality of services provided by islamic banks in indonesia as measured using csi analysis, has service satisfaction criteria with values: not satisfied : 0,00 0,34 less satisfied : 0,35 0,50 quite satisfied : 0,51 0,65 satisfied : 0,66 0,80 very satisfied : 0,81 1,00 the results of calculations using csi analysis obtained a final value of 0.83 or 83 percent, presented in the table 2. the number 0.83 is in the range of 0.81 – 1.00 in the very satisfied category. these calculations prove that the performance of islamic banks during the covid-19 pandemic has been excellent, and customers feel delighted with the services provided by islamic banks during the covid-19 pandemic. while the calculation of the level of loyalty of islamic banks customers with four indicators, namely being able to invite others to use the services of a islamic banks as much as 95%, not withdrawing funds excessively by 97%, not moving to other islamic banks as much as 98%, and not moving to a conventional bank as much as 98%. if the four loyalty indicators are added, the average loyalty level is 97%. this figure shows that 97% of respondents who are islamic banks in indonesia have high loyalty. the results of the calculation of the satisfaction of islamic banking services and customer loyalty show a strong correlation where the level of satisfaction gets an average value of 83% and a loyalty level of 87%. this figure means that all customers who feel service satisfaction will have good loyalty. thus, there is a close relationship between service satisfaction and loyalty (khamis & abrashid, 2018). during the covid-19 pandemic, where the business of islamic banks experienced a severe impact, islamic banks did not reduce the quality of customer service. on the contrary, the service approach by complying with the health protocol has a high impact on customer satisfaction. this finding is in line with sayani's research (2015) results regarding the satisfaction of islamic banks services in the united arab emirates, where the findings show that islamic banks customers remain loyal despite challenging economic conditions. the loyalty and satisfaction of islamic banks customers are also influenced by the level of sharia compliance and the presence of a sharia supervisory board (fauzi & suryani, 2019). during the covid-19 pandemic, customers have high trust in islamic banks because of the consistency in implementing sharia compliance. furthermore, the role of sharia supervisors can also increase customer loyalty (sayani, 2015). the findings of platonova, asutay, dixon, and mohammad (2016) strengthen the findings of this study, namely the higher the level of sharia compliance, the better customer satisfaction. in other words, sharia compliance impacts increasing customer confidence in islamic banks. this is an important signal for islamic banks to consistently improve sharia compliance not only in products and services but also in employee behavior. riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 118 another factor contributing to increased customer satisfaction and loyalty is the existence of service standards that prioritize strict health protocols. this condition can build a perception that islamic banks' services are safe from the transmission of the covid-19 virus so that customers feel comfortable because their interests are protected. therefore, according to aman (2019), islamic banks need to improve good branding so that customers do not quickly move to other banks. this is an interesting finding, where even though islamic banks carry out strict health protocols for customers, they are still satisfied with the service. therefore, in the future, islamic banks will continue to use health protocols to maintain customer trust and satisfaction. conclusion the covid-19 pandemic has caused national economic problems both in the micro and macro domains. islamic banks customers also experience relatively the same impact. various government policies in controlling the transmission of the virus have caused many businesses of islamic banks customers to have problems. the impact is the inability of customers to fulfill their obligations to islamic banks, such as paying principal installments and profit-sharing. because the outbreak occurs in the long term, the adverse effects are more widespread. for banks, including islamic banks, new concerns arise, namely the withdrawal of funds due to economic risks and to cover the necessities of life every day. in order to maintain customer loyalty, islamic banks have implemented improved marketing strategies during the covid-19 pandemic. islamic banks' marketing does take not only an economic approach but also health, social and religious. the health approach is applied to assure customers that the islamic banks will not become a cluster of epidemic transmission. this condition is essential so that customers feel comfortable transacting with islamic banks. the social approach is carried out by building social relationships that further strengthen customer relationships. the increasing social responsibility of islamic banks is an essential indicator of this social approach. customers feel the closeness and social attachment are getting better because islamic banks are present when customers need help. in contrast, the religious approach is carried out by increasing religious motivation and religious behavior. islamic banks managers intensively cultivate the spirit of istiqomah and are optimistic that they will be able to survive and rise and increase worship behavior. this improved service approach is proven to be able to increase customer satisfaction and loyalty. it is proven that during the covid-19 pandemic, islamic banks customers did not make excessive withdrawals of funds, did not transfer their funds to other islamic banks, did not move to conventional banks and were still willing to tell islamic banks to others. the four loyalty indicators can maintain the performance of islamic banks during the covid-19 pandemic. islamic banks' service satisfaction can also be influenced by the presence of social commitment or social performance. social performance shows the social responsibility of islamic banks in increasing social awareness, environmental sustainability and not just riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 119 pursuing economic benefits. this study does not include social performance indicators, which are an essential part of customer assessment. therefore, further research is recommended to include elements of social performance as an indicator of customer assessment. another limitation of this study is that as many as 98.2% of respondents are muslim customers, even most administrators from social or islamic organizations. the religious factor is an important reason for customers choosing islamic banks that can influence their preferences. therefore, further research with clients of non-islamic religions is strongly recommended. references abdul rehman, a. (2012). customer satisfaction and service quality in islamic banking. qualitative research in financial markets, 4(2/3), 165–175. https://doi.org/10.1108/17554171211252501 ahmad, a., rehman, k-u., saif, i., & safwan, n. (2010). an empirical investigation of sharia banking in pakistan based on the perception of service quality. african journal of business management, 4(6),185-1193. retrieved from https://academicjournals.org/journal/ajbm/article-abstract/c87f9c324576 akhtar, a., & zaheer, a. (2014). service quality dimensions development approach of sharia banks: a scale development approach. global journal of management and business research: a administration and management, 14(5), 10-20. retrieved from https://journalofbusiness.org/index.php/gjmbr/article/download/1273/1183 akhtaruzzaman, m., boubaker, s., & sensoy, a. (2021). financial contagion during covid– 19 crisis. finance research letters, 38, 101604. https://doi.org/10.1016/j.frl.2020.101604 alhakimi, w., & alhariry, k. (2014). internal marketing as a competitive advantage in banking industry. academic journal of management sciences, 3(1), 15-22. ali, e. i., & adawiah, e. r. (2013). shariah-compliant to shariah-based financial innovation: a question of semantics or progressive market differentiation. proceeding for 4 th scosic roundtable, oxford, united kingdom. alkalha, z., al-zu’bi, z., al-dmour, h., alshurideh, m., & masa’deh, r. (2012). investigating the effects of human resource policies on organizational performance: an empirical study on commercial banks operating in jordan. european journal of economics, finance and administrative sciences, 51, 44-64. aman, a. (2019). islamic marketing ethics for islamic financial institutions. international journal of ethics and systems, 36(1), 1–11. https://doi.org/10.1108/ijoes-12-2018-0182 amin, m., & isa, z. (2008). an examination of the relationship between service quality perception and customer satisfaction. international journal of islamic and middle eastern finance and management, 1(3), 191–209. https://doi.org/10.1108/17538390810901131 anh, d. l. t., & gan, c. (2020). the impact of the covid-19 lockdown on stock market performance: evidence from vietnam. journal of economic studies, 48(4), 836–851. https://doi.org/10.1108/jes-06-2020-0312 anwar, a. (2018). pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi regional di indonesia: pendekatan model panel dinamis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 19(1), 50-60. https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 https://doi.org/10.1108/17554171211252501 https://academicjournals.org/journal/ajbm/article-abstract/c87f9c324576 https://journalofbusiness.org/index.php/gjmbr/article/download/1273/1183 https://doi.org/10.1016/j.frl.2020.101604 https://doi.org/10.1108/ijoes-12-2018-0182 https://doi.org/10.1108/17538390810901131 https://doi.org/10.1108/jes-06-2020-0312 https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 120 azhar rosly, s. (2010). shariah parameters reconsidered. international journal of islamic and middle eastern finance and management, 3(2), 132–146. https://doi.org/10.1108/17538391011054372 bahman, s. p., kamran, n., & mostafa, e. (2013). the effect of marketing mix in attracting customers: case study of saderat bank in kermanshah province. african journal of business management, 7(34), 3272–3280. https://doi.org/10.5897/ajbm12.127 bailey, a. a., albassami, f., & al-meshal, s. (2016). the roles of employee job satisfaction and organizational commitment in the internal marketing-employee bank identification relationship. international journal of bank marketing, 34(6), 821–840. https://doi.org/10.1108/ijbm-06-2015-0097 ballantyne, d. (2003). a relationship-mediated theory of internal marketing. european journal of marketing, 37(9), 1242–1260. https://doi.org/10.1108/03090560310486979 basya, m. m. (2019). the role of customer engagement in islamic banking. tijab (the international journal of applied business), 2(2), 123-132. https://doi.org/10.20473/tijab.v2.i2.2018.123-132 becker, p. (2018). corporate strategy manager, nbo. discussion: the omani banking market, interviewed 4 april 2018. beltagui, a., sigurdsson, k., candi, m., & riedel, j. c. k. h. (2017). articulating the service concept in professional service firms. journal of service management, 28(3), 593–616. https://doi.org/10.1108/josm-10-2015-0299 cahyani, p. d. (2016). tingkat kepuasan nasabah terhadap kualitas layanan perbankan syariah di yogyakarta. esensi, 6(2), 160-161. https://doi.org/10.15408/ess.v6i2.3570 dauda, s. y., & lee, j. (2016). quality of service and customer satisfaction: a conjoint analysis for the nigerian bank customers. international journal of bank marketing, 34(6), 841–867. https://doi.org/10.1108/ijbm-04-2015-0062 dayrit, m. m., & mendoza, r. u. (2020). social cohesion vs covid-19. international journal of health governance, 25(3), 191–203. https://doi.org/10.1108/ijhg-03-2020-0022 de bruin, r. (2018). verbal communication with the head of strategy and transformation. national bank of oman, 3 march. de wulf, k., odekerken-schröder, g., & iacobucci, d. (2001). investments in consumer relationships: a cross-country and cross-industry exploration. journal of marketing, 65(4), 33–50. https://doi.org/10.1509/jmkg.65.4.33.18386 echchabi, a., & aziz, h. a. (2012). empirical investigation of customers’ perception and adoption towards islamic banking services in morocco. middle-east journal of scientific research 12(6), 849-858. retrieved from https://www.idosi.org/mejsr/mejsr12(6)12/14.pdf efendi, b. (2019). tingkat kepuasan nasabah terhadap kualitas pelayanan bank syariah melalui pendekatan servqual. jurnal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat unsiq, 6(2), 104–111. https://doi.org/10.32699/ppkm.v6i2.684 fauzi, a. a., & suryani, t. (2019). measuring the effects of service quality by using carter model towards customer satisfaction, trust and loyalty in indonesian islamic banking. journal of islamic marketing, 10(1), 269–289. https://doi.org/10.1108/jima-04-20170048 hassan, a., chachi, a., & abdullatiff, s. (2008). islamic marketing ethics and its impact on customer satisfaction in the islamic banking industry. journal of king abdulaziz university-islamic economics, 21(1), 27–46. https://doi.org/10.4197/islec.21-1.2 hejase, h., hamdar, b., orfali, m., & hejase, a. (2012). marketing mix: an exploratory research in syria from an islamic perspective. american journal of scientific research, 82, 33-52. https://doi.org/10.1108/17538391011054372 https://doi.org/10.5897/ajbm12.127 https://doi.org/10.1108/ijbm-06-2015-0097 https://doi.org/10.1108/03090560310486979 https://doi.org/10.20473/tijab.v2.i2.2018.123-132 https://doi.org/10.1108/josm-10-2015-0299 https://doi.org/10.15408/ess.v6i2.3570 https://doi.org/10.1108/ijbm-04-2015-0062 https://doi.org/10.1108/ijhg-03-2020-0022 https://doi.org/10.1509/jmkg.65.4.33.18386 https://www.idosi.org/mejsr/mejsr12(6)12/14.pdf https://doi.org/10.32699/ppkm.v6i2.684 https://doi.org/10.1108/jima-04-2017-0048 https://doi.org/10.1108/jima-04-2017-0048 https://doi.org/10.4197/islec.21-1.2 riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 121 hong, t. l., & marimuthu, m. (2015). relationship between service quality and customer satisfaction: a study of malaysian banking industry. journal of technology management and technopreneurship (jtmt), 2(2), 53-72. retrieved from https://jtmt.utem.edu.my/jtmt/article/view/246 ikhwal, n. (2017). analisis faktor-faktor yang empengaruhi kepuasan nasabah terhadap pelayanan bank syariah kota batam. jebi (jurnal ekonomi dan bisnis islam), 2(2), 185195. ilham, m. i. (2021). economic development and environmental degradation in indonesia: panel data analysis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 185-200. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 iqbal, z., & mirakhor, a. (2004). stakeholders model of governance in islamic economic system. islamic economic studies, 11(2), 43–63. izogo, e. e., & ogba, i.-e. (2015). service quality, customer satisfaction and loyalty in automobile repair services sector. international journal of quality & reliability management, 32(3), 250–269. https://doi.org/10.1108/ijqrm-05-2013-0075 jabnoun, n., & khalifa, a. (2005). a customized measure of service quality in the uae. managing service quality: an international journal, 15(4), 374–388. https://doi.org/10.1108/09604520510606844 kashif, m., wan shukran, s. s., rehman, m. a., & sarifuddin, s. (2015). customer satisfaction and loyalty in malaysian islamic banks:a pakserv investigation. international journal of bank marketing, 33(1), 23–40. https://doi.org/10.1108/ijbm-082013-0084 khamis, f. m., & abrashid, r. (2018). service quality and customer’s satisfaction in tanzania’s islamic banks. journal of islamic marketing, 9(4), 884–900. https://doi.org/10.1108/jima-09-2016-0068 kraus, s., clauss, t., breier, m., gast, j., zardini, a., & tiberius, v. (2020). the economics of covid-19: initial empirical evidence on how family firms in five european countries cope with the corona crisis. international journal of entrepreneurial behavior & research, 26(5), 1067–1092. https://doi.org/10.1108/ijebr-04-2020-0214 krishnaswamy, n., & mutharasu. (2013). effect of internal-marketing-mix on customer pyramid-oriented banking service performance. aims international journal of management, 7(1), 41-56. kurniawati, d. a. (2014). analisis tingkat kepuasan konsumen terhadap produk minuman sari alang-alang merk “pesona” dengan metode importance performance analysis (ipa) dan customer satisfaction index (csi). undergraduate thesis, universitas brawijaya. loungani, p., mishra, s., papageorgiou, c., & wang, k. (2017). the future wealth of nations: world trade in services. imf research bulletin, 18(1): 4-7. retrieved from https://www.elibrary.imf.org/view/journals/026/2017/001/article-a002en.xml?articletabs=fulltext madhavaram, s., granot, e., & badrinarayanan, v. (2014). relationship marketing strategy: an operant resource perspective. journal of business & industrial marketing, 29(4), 275– 283. https://doi.org/10.1108/jbim-02-2013-0049 malhotra, n. k., ulgado, f. m., agarwal, j., shainesh, g., & wu, l. (2005). dimensions of service quality in developed and developing economies: multi-country cross-cultural comparisons. international marketing review, 22(3), 256–278. https://doi.org/10.1108/02651330510602204 maslihatin, a., & riduwan, r. (2020). analisis kepatuhan syariah pada bank syariah: studi kasus bank pembiayaan rakyat syariah. jurnal maps (manajemen perbankan syariah), 4(1), 27–35. https://doi.org/10.32483/maps.v4i1.47 https://jtmt.utem.edu.my/jtmt/article/view/246 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.7629 https://doi.org/10.1108/ijqrm-05-2013-0075 https://doi.org/10.1108/09604520510606844 https://doi.org/10.1108/ijbm-08-2013-0084 https://doi.org/10.1108/ijbm-08-2013-0084 https://doi.org/10.1108/jima-09-2016-0068 https://doi.org/10.1108/ijebr-04-2020-0214 https://www.elibrary.imf.org/view/journals/026/2017/001/article-a002-en.xml?articletabs=fulltext https://www.elibrary.imf.org/view/journals/026/2017/001/article-a002-en.xml?articletabs=fulltext https://doi.org/10.1108/jbim-02-2013-0049 https://doi.org/10.1108/02651330510602204 https://doi.org/10.32483/maps.v4i1.47 riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 122 mosavi, s. a. (2012). a survey on the relationships between customer satisfaction, image, trust and customer advocacy behavior. african journal of business management, 6(8). https://doi.org/10.5897/ajbm11.1465 nazah, n., duasa, j., & arifin, m. (2021). fertility and female labor force participation in asian countries; panel ardl approach. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 272-288. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11142 nhan, d. t. t., pho, k.-h., anh, d. t. v, & mcaleer, m. (2021). the safety of banks in vietnam using camel*. advances in decision sciences, 25(2), 158–192. https://doi.org/10.47654/v25y2021i2p158-192 nicola, m., alsafi, z., sohrabi, c., kerwan, a., al-jabir, a., iosifidis, c., … agha, r. (2020). the socio-economic implications of the coronavirus pandemic (covid-19): a review. international journal of surgery, 78, 185–193. https://doi.org/10.1016/j.ijsu.2020.04.018 ningsih, m. r., & mahfudz, m. s. (2020). dampak pandemi covid-19 terhadap manajemen industri perbankan syariah: analisis komparatif. point, 2(1), 1-9. https://doi.org/10.46918/point.v2i1.576 okumus, h., & genc, e. g. (2013). interest free banking in turkey: a study of customer satisfaction and bank selection. european scientific journal, esj, 9(16). retrieved from https://eujournal.org/index.php/esj/article/view/1141 ong, c. h., salleh, s. m., & yusoff, r. z. (2016). the role of emotional and rational trust in explaining attitudinal and behavioral loyalty: an insight into sme brands. gadjah mada international journal of business, 18(1), 1-19. https://doi.org/10.22146/gamaijb.9285 othman, a-q., & owen, l. (2001), adopting and measure customer service quality (sq) in sharia bank: a case study in kuwait finance house. international journal of islamic financial services, 3(1), 1-26. https://iaif.ir/images/khareji/articles/bank/35.pdf ozili, p. (2020). covid-19 in africa: socio-economic impact, policy response and opportunities. international journal of sociology and social policy, 42(3/4), 177–200. https://doi.org/10.1108/ijssp-05-2020-0171 platonova, e., asutay, m., dixon, r., & mohammad, s. (2016). the impact of corporate social responsibility disclosure on financial performance: evidence from the gcc islamic banking sector. journal of business ethics, 151(2), 451–471. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3229-0 riduwan, r. (2019). sistem pembiayaan mudarabah pada bank syariah, analisis terhadap kepatuhan syariah dan risiko, yogyakarta. dissertation. universitas islam indonesia. román, s. (2003). the impact of ethical sales behaviour on customer satisfaction, trust and loyalty to the company: an empirical study in the financial services industry. journal of marketing management, 19(9), 915–939. https://doi.org/10.1362/026725703770558268 roth, s., clausen, l., & möller, s. (2020). covid-19. scenarios of a superfluous crisis. kybernetes, 50(5), 1621–1632. sangeetha, j., & mahalingam, s. (2011). service quality models in banking: a review. international journal of islamic and middle eastern finance and management, 4(1), 83–103. https://doi.org/10.1108/17538391111122221 sayani, h. (2015). customer satisfaction and loyalty in the united arab emirates banking industry. international journal of bank marketing, 33(3), 351–375. https://doi.org/10.1108/ijbm-12-2013-0148 schulz, s. a., martin, t., & meyer, h. m. (2017). factors influencing organization commitment. journal of management development, 36(10), 1294–1303. https://doi.org/10.1108/jmd-12-2016-0334 https://doi.org/10.5897/ajbm11.1465 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11142 https://doi.org/10.47654/v25y2021i2p158-192 https://doi.org/10.1016/j.ijsu.2020.04.018 https://doi.org/10.46918/point.v2i1.576 https://eujournal.org/index.php/esj/article/view/1141 https://doi.org/10.22146/gamaijb.9285 https://iaif.ir/images/khareji/articles/bank/35.pdf https://doi.org/10.1108/ijssp-05-2020-0171 https://doi.org/10.1007/s10551-016-3229-0 https://doi.org/10.1362/026725703770558268 https://doi.org/10.1108/17538391111122221 https://doi.org/10.1108/ijbm-12-2013-0148 https://doi.org/10.1108/jmd-12-2016-0334 riduwan, setyono, yuliana, & jannah islamic bank customer satisfaction and services during the covid-19 pandemic jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 123 shahril. (2003). adopting and measuring customer service quality (sq) in islamic banks : a case study in bank islam malaysia berhad (bimb). masters thesis, universiti utara malaysia. sheriff, n. m., & ismail, w. (2019). impact of internal marketing on job satisfaction among bank employees in yemen. in r. x. thambusamy, m. y. minas, & z. bekirogullari (eds.), business & economics be-ci 2016, vol 17. european proceedings of social and behavioural sciences (pp. 198-212). https://doi.org/10.15405/epsbs.2016.11.02.19 suhendry, w., & maulina, f. (2019). analisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah pada bank syariah mandiri singkawang. obis: jurnal ekonomi dan bisnis, 1(2), 11-17. retrieved from https://jurnal.polteq.ac.id/index.php/obis/article/view/18 susilawati, s., falefi, r., & purwoko, a. (2020). impact of covid-19’s pandemic on the economy of indonesia. budapest international research and critics institute (birci-journal): humanities and social sciences, 3(2), 1147–1156. https://doi.org/10.33258/birci.v3i2.954 trang, l. n. t., nhan, d. t. t., hao, n. t. n., & wong, w.-k. (2021). does bank liquidity risk lead to bank’s operational efficiency? a study in vietnam. advances in decision sciences, 25(4), 46–88. https://doi.org/10.47654/v25y2021i4p46-88 vazifehdust, h., & farokhian, s. (2013). factors influencing customer satisfaction with the success factors identified in the insurance industry. african journal of business management, 7(21), 2026-2032. retrieved from https://academicjournals.org/journal/ajbm/article-abstract/2916b3f20699 wafiq, a. n., & suryanto, s. (2021). the impact of population density and economic growth on environmental quality: study in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 301–312. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 wójcik, d., & ioannou, s. (2020). covid-19 and finance: market developments so far and potential impacts on the financial sector and centres. tijdschrift voor economische en sociale geografie, 111(3), 387-400. https://doi.org/10.1111/tesg.12434 wu, y.-l., & li, e. y. (2018). marketing mix, customer value, and customer loyalty in social commerce. internet research, 28(1), 74–104. https://doi.org/10.1108/intr-08-2016-0250 zebal, m. a., & m. saber, h. (2014). market orientation in islamic banks – a qualitative approach. marketing intelligence & planning, 32(4), 495–527. https://doi.org/10.1108/mip-08-2013-0138 https://doi.org/10.15405/epsbs.2016.11.02.19 https://jurnal.polteq.ac.id/index.php/obis/article/view/18 https://doi.org/10.33258/birci.v3i2.954 https://doi.org/10.47654/v25y2021i4p46-88 https://academicjournals.org/journal/ajbm/article-abstract/2916b3f20699 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.10533 https://doi.org/10.1111/tesg.12434 https://doi.org/10.1108/intr-08-2016-0250 https://doi.org/10.1108/mip-08-2013-0138 microsoft word 02-anif jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.132-145 determinan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia muhammad anif afandi pusat pengembangan ekonomi, universitasmuhammadiyah yogyakarta, jl. lingkar selatan, bantul, yogyakarta 55183, indonesia, phone:+62 274 387656 e-mail korespondensi: afandianif@gmail.com naskah diterima: juli 2014; disetujui september 2015 abstract: this research aims to analyze the determinants of inflation from supply side (costpush inflation) in indonesia. the dependent variable used is the cpi inflation while, the independent variable in the form of fuel prices, the exchange rate of rupiah, nominal wages, and the bi rate. the data used in this research is a monthly for the period 2008:1-2014:12 the sdds derived from bi and statistics of ministry of energy and mineral resources. the estimation tool used in this research is the vector error correction model (vecm) using the help of eviews 7.0.0.1. estimation results show that in the short term the variable cpi inflation itself, fuel prices, the exchange rate of the rupiah, and the nominal wage effect significantly to cpi inflation in indonesia. while, the bi rate, variable have no effect significantly to cpi inflation. in the long term, the results of the estimation shows that the variable fuel prices, the exchange rate of the rupiah, and the bi rate effect significantly to cpi inflation. while the nominal wage, the variable have no effect significantly to cpi inflation in the long run. vecm estimation results in this research also generates important analysis, namely the irf (impulse response function) and vdc (variance decomposition). keywords: cost-push inflation; impulse response function; variance decomposition; vecm jel classification: e31, p24, p44 abstrak: studi ini bertujuan untuk menganalisis determinan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia. variabel dependen yang digunakan adalah inflasi ihk sedangkan, variabel independen berupa harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal, dan bi rate. data yang digunakan dalam studi ini adalah bulanan selama periode 2008:1-2014:12 yang bersumber dari sdds bi dan statisik harga bbm kementrian esdm. alat estimasi yang digunakan dalam studi ini adalah vector error correction model (vecm) menggunakan bantuan eviews 7.0.0.1. hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam jangka pendek variabel inflasi ihk itu sendiri, harga bbm, nilai tukar rupiah, dan upah nominal berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk di indonesia. sedangkan, variabel bi rate tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk. dalam jangka panjang, hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel harga bbm, nilai tukar rupiah, dan bi rate berpengatuh signifikan terhadap inflasi ihk. sedangkan, variabel upah nominal tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk dalam jangka panjang. hasil estimasi vecm dalam studi ini juga menghasilkan analisis penting, yaitu irf (impulse response function) dan vdc (variance decomposition). kata kunci: cost-push inflation; impulse response function; variance decomposition; vecm klasifikasi jel: e31, p24, p44 doi: 10.18196/jesp.2015.0047.132-145 determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 133 pendahuluan negara berkembang pada umumnya memiliki struktur perekonomian yang masih bercorak agraris dan cenderung memiliki permasalahan pada kestabilan kegiatan perekonomian (langi dkk., 2014). indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang pada umumnya akan menjaga kestabilan perekonomiannya yang dimaksud untuk menghindarkan dari penyakit-penyakit ekonomi klasik seperti pengangguran dan inflasi. dalam kacamata awam, ukuran pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam suatu negara dapat dilihat pada rendahnya angka pengangguran dan stabilnya tingkat inflasi. menurut bank indonesia (2014), perkembangan inflasi ihk (indeks harga konsumen) dalam satu dekade terakhir lebih dipengaruhi oleh administered price dan volatile food. di sisi lain, pergerakan inflasi inti justru mengalami penurunan sebesar 7-8 persen menjadi sekitar 4 persen. dengan kata lain, angka inflasi ihk di indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor non makro ekonomi yang bersumber dari sisi supply yang membutuhkan penanganan khusus. selain itu, dengan dinaikkannya harga bbm (bahan bakar minyak) pada tahun 2002, 2005, 2008, dan 2013, juga menjadi penyumbang inflasi yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut (bank indonesia, 2014). penyebab inflasi bulan oktober-desember 2014, yaitu kenaikan harga bbm (bahan bakar minyak) serta pelemahan nilai tukar rupiah. tingkat inflasi pada bulan november dan desember 2014 meningkat menjadi 1,50 persen dan 2,46 persen. secara keseluruhan, nilai inflasi pada tahun 2014 mencapai 8,4 persen yoy yang disumbang oleh kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah sebesar 1,22 persen, kenaikan harga yang bergejolak sebesar 0,64 persen, inflasi inti sebesar 0,60 persen, dan inflasi rata-rata satu tahun pada bulan desember 2014 mencapai 6,6 persen (bappenas, 2015). cost-push inflation adalah jenis inflasi ya ng terjadi akibat perubahan pada penawaran agregat (stiglitz, 1996). dengan kata lain, cost-push inflation dapat terjadi akibat kenaikan biaya produksi yang menyeluruh pada perusahaan. selain itu, menurut samuelson (1985), inflasi desakan biaya dapat terjadi apabila permintaan terhadap bahan baku lebih besar daripada penawarannya. kenaikan permintaan sesuai hukumnya akan menaikkan harga, sehingga produsen dalam hal ini akan menetapkan harga jual output produksinya dengan lebih tinggi. kenaikan harga output inilah yang nantinya akan ditanggung oleh konsumen. kurva penawaran agregat dalam jangka pendek di atas dapat mengilustrasikan bahwa pada mulanya titik keseimbangan perekonomian berada pada titik e0 yang menunjukkan pendapatan nasional pada y0 dan tingkat harga pada p0. misalnya, apabila terjadi perubahan kondisi perekonomian di dalam negeri, yaitu kenaikan upah tenaga kerja, maka akan menye sumber: bank indonesia, 2014 gambar 1. karakteristik inflasi di indonesia periode januari 2001-januari 2014 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 134 babkan kurva sras0 berubah menjadi sras1. sumber: joseph e. stiglitz, 1996. gambar 2. ilustrasi inflasi desakan biaya (cost-push inflation) dengan demikian, tercipta keseimbangan perekonomian yang baru, yaitu berada pada titik e1 dan pendapatan nasional menurun menjadi y1 serta tingkat harga meningkat menjadi p1 (stiglitz, 1996). pengendalian inflasi sangat penting bagi suatu negara khususnya indonesia. berkaca pada kilas balik perekonomian indonesia tahun 2008 di mana, pada tahun tersebut tingkat inflasi pada bulan januari-februari 2008 mencapai 2,44 persen yang merupakan tingkat inflasi tertinggi pada tahun 2008. secara kumulatif, tingkat inflasi pada tahun 2008 mencapai 7,4 persen yang sudah tergolong dalam moderate inflation yang mengarah pada hyper-inflation apabila tidak dijaga. menurut tambunan (2012), inflasi pada tahun 2008 disebabkan oleh kenaikan administered price dalam negeri, yaitu berupa kenaikan harga bbm (bahan bakar minyak) dan kenaikan harga pangan di pasar global. selain itu, pada tahun 2008-2009 juga terjadi krisis global yang bermula pada krisis keuangan di amerika serikat yang merembet ke berbagai negara lain seperti jepang dan negara-negara eropa. krisis tersebut menyebabkan resesi ekonomi dunia dengan penurunan permintaan ekspor yang juga berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi indonesia. studi ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan harga bbm (premium) dalam negeri, perubahan nilai tukar rupiah/ dollar as, perubahan upah nominal buruh industri manufaktur di bawah mandur, dan perubahan bi rate terhadap cost-push inflation di indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang pada periode januari 2008-desember 2014 dengan menggunakan metode vector error correction model (vecm). vector error correction model (vecm) merupakan model turunan dari vector autoregression (var). basuki & yuliadi (2015), menjelaskan bahwa “vecm sering disebut sebagai desain var bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi”. perbedaan antara var dengan vecm adalah dalam estimasi vecm terdapat hubungan kointegrasi antara masing-masing variabel yang menunjukkan hubungan dalam jangka panjang. kemudian, alasan pemilihan model var sebagai model dalam studi ini bersandar pada basuki & yuliadi (2015), yang menjelaskan bahwa ada tiga pertimbangan utama dalam pemilihan model var, yaitu sebagai berikut: 1) metode regresi linier yang banyak digunakan banyak mengalami kritikan. metode regresi linier dianggap sebagai metode yang sangat lemah, sehingga tidak memberikan hasil yang akurat. 2) data yang digunakan dalam studi ini merupakan data runtut waktu (time series) yang menggambarkan fluktuasi ekonomi. 3) melalui metode var, dapat diketahui seberapa lag yang dibutuhkan dalam pengaruh hubungan masing-masing variabel endogen. cost-push inflation merupakan jenis inflasi yang berbahaya karena membutuhkan penanganan khusus dan penyebab dari inflasi tersebut bukan berasal dari faktor-faktor makro ekonomi yang dapat dikendalikan melalui kebijakan moneter semata, melainkan faktorfaktor guncangan eksternal (bank indonesia, 2014). berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan studi lebih lanjut yang dimaksud untuk mengontrol variabel-variabel yang mempengaruhi inflasi dari sisi supply agar tercipta kestabilan ekonomi yang di cita-citakan. selain itu, dengan pengontrolan variabel-variabel yang mempengaruhi inflasi tersebut, dapat membantu kerja dari tpi (tim pengendalian inflasi) yang di bentuk pada tahun 2005 oleh bank indonesia dan pemerintah untuk mempermudah dalam koordinasi pengendalian inflasi di indonesia hingga tingkat daerah (bank indonesia, 2014). determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 135 metode penelitian jenis dan sumber data jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data runtut waktu (time series) dalam bentuk data sekunder dan tergolong dalam jenis data kuantitatif dengan jenis data rasio. data runtut waktu (time series) yang dimaksud dalam studi ini adalah data pada periode januari 2008-desember 2014 atau data dengan edisi bulanan (monthly) yang diperoleh dari sdds (special data dissemination standard) bank indonesia dan statistik harga bbm dalam negeri yang diperoleh dari kementrian esdm. objek penelitian ini adalah variabel inflasi ihk, harga bbm jenis premium, kurs jual rupiah terhadap dollar as, upah nominal buruh industri manufaktur di bawah mandor, dan bi rate. periode penelitian dilakukan pada januari 2008-desember 2014. alat analisis analisis determinan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia pendekatan vector error correction model (vecm) diduga dipengaruhi oleh variabel-variabel sebagai berikut: 1) harga bbm (bahan bakar minyak) dengan satuan rupiah (rp), yaitu daftar harga bbm (bahan bakar minyak) jenis premium yang di subsidi oleh pemerintah pada periode januari 2008-desember 2014. 2) kurs jual rupiah terhadap dolar as dengan satuan rupiah/dollar as, yaitu nilai tukar nominal rupiah apabila ditukarkan per 1 dolar as pada periode januari 2008-desember 2014. 3) upah nominal buruh industri manufaktur di bawah mandor dengan satuan ribu rupiah (rp), yaitu upah cash nominal yang dibayarkan oleh industri manufaktur di indonesia kepada para buruh di bawah mandor pada periode januari 2008-desember 2014. 4) bi rate dengan satuan persen (%), yaitu suku bunga kebijakan yang dikeluarkan oleh bank indonesia sebagai instrumen kebijakan moneter pada periode januari 2008-desember 2014. sebelum melakukan estimasi vector error correction model (vecm), maka data harus melalui tahapan uji stasioneritas data, penentuan panjang lag optimum, uji kointegrasi, pengujian stabilitas model, dan uji kausalitas granger. setelah memenuhi hipotesis yang disyaratkan, maka baru dapat dilakukan pengujian vector error correction model (vecm). kemudian, yang dimaksud sebagai vector error correction model (vecm) adalah model turunan dari var (vector autoregression) atau var yang terestriksi. kemudian, persamaan yang digunakan untuk mengkaji determinan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia, estimasi vecm yang digunakan adalah sebagai berikut: hubungan jangka pendek: ∆d(dcpi)t = ɑ0 + λect-1 + ∑ ɑ1∆d(dbbm)t-f + ∑ ɑ2∆d(der)t-f + ∑ ɑ3∆d(dnwage)t-f + ∑ ɑ4∆d(dbirate)t-f + ut 1) sedangkan, hubungan jangka panjang, persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: d(dcpi)t = ɑ0 + ɑ1d(dbbm)t + ɑ2d(der)t + ɑ3d(dnwage)t + ɑ4d(birate)t + ut 2) dimana: dcpi adalah diferensi inflasi ihk (indeks harga konsumen); dbbm adalah diferensi harga bbm (bahan bakar minyak); der adalah diferensi kurs jual rupiah terhadap dollar as; dnwage adalah diferensi upah nominal buruh di bawah mandor industri manufaktur; dbirate adalah diferensi suku bunga kebijakan bi rate; t adalah period ke-t; ɑ1, ɑ2, ɑ3, ɑ4 adalah koefisien variabel; ɑ0 adalah konstanta; ut adalah variabel error; λ adalah koefisien kecepatan penyesuaian; j adalah panjang lag dalam model; ect-1 adalah error correction term. alat estimasi yang digunakan dalam pengujian estimasi vecm di atas adalah dengan menggunakan bantuan perangkat lunak eviews versi 7.0.0.1 sedangkan, untuk pembuatan tabel untuk keperluan impor data digunakan microsoft excel 2007. menurut winarno (2015), untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya, maka dapat dilakukan dengan membandingkan nilai t-statistik parsial dengan nilai pada tabel (2,02108). hipotesis yang digunakan, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 136 yaitu: h0 adalah variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. h1 adalah variabel independen mempengaruhi signifikan variabel dependen. wilayah untuk menolak h0 dan menerima h1, apabila nilai t-statistik parsial lebih dari +2,02108 atau kurang dari -2,02108 (winarno, 2015). dari estimasi vecm (vector error correction model) di atas, akan menghasilkan analisis penting dalam model var, yaitu sebagai berikut: 1) irf (impulse response function). analisis irf dilakukan untuk memeriksa respon kejutan (shock) dari masing-masing variabel dependen terhadap variabel independen. melalui analisis irf dapat diketahui seberapa lama variabel dependen dipengaruhi variabel independennya sebesar satu standar deviasi (penyimpangan). melalui analisis irf juga dapat diketahui seberapa lama variabel tersebut dapat mempengaruhi variabel lainnya atau dengan kata lain, dapat diketahui seberapa lama variabel kembali ke titik keseimbangannya sebelum terjadinya shock (basuki & yuliadi, 2015). menurut winarno (2015), respon yang dihasilkan dari irf, yaitu bisa positif, negatif, dan tidak merespon (mendatar pada garis horizontal). 2) vdc (variance decomposition). “analisis vdc bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi atau komposisi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya” (basuki & yuliadi, 2015). melalui analisis vdc akan memberikan keterangan tentang besarnya dan berapa lama proporsi shock sebuah variabel terhadap variabel itu sendiri dan terhadap variabel lain. dengan kata lain, melalui vdc dapat diketahui kontribusi atau komposisi masing-masing variabel independen terhadap pembentukan variabel dependennya. hasil dan pembahasan uji stasioneritas data tahap pertama yang harus dilalui untuk mendapatkan estimasi vecm adalah pengujian stasioneritas data masing-masing variabel, baik variabel dependen, maupun variabel independen. dalam studi ini, untuk mendeteksi stasioner atau tidaknya masing-masing data variabel, maka digunakan uji adf (augmented dickey fuller) dengan menggunakan model intercept. adapun uji stasioner adf masing-masing variabel dapat ditunjukkan oleh tabel 1. dengan mengamati tabel 1 dapat dijelaskan bahwa hanya terdapat satu variabel yang stasioner pada tingkat level menggunakan model intercept, yaitu inflasi ihk yang diketahui memiliki nilai adf t-statistik 3,016776 < -2,585626 (mc kinnon critical value 10 persen). artinya, h0 ditolak dan h1 diterima atau dengan kata lain, data sudah stasioner. sedangkan, variabel lain tidak stasioner pada tingkat level dengan model intercept, sehingga memerlukan deferensi data pada first difference sebagai berikut: berdasar tabel 2, setelah dilakukan diferensi pada first difference seluruh variabel telah stasioner yang diketahui dengan nilai adf tstatistik lebih kecil dai mc kinnon critical value 10 persen, artinya h0 ditolak dan h1 diterima atau dengan kata lain, data sudah stasioner. penentuan panjang lag dalam studi ini, penentuan panjang lag dilakukan dengan melihat nilai tertinggi dari sequential modified lr test statistic. panjang lag yang diikutsertkan dalam studi ini adalah mulai dari 0 sampai dengan lag 7, karena data yang dipakai adalah bulanan (monthly) dan hanya tujuh tahun. panjang lag tersebut dirasa tabel 1. hasil uji adf menggunakan intercept pada tingkat level variabel adf t-statistik mc kinnon critical value 10 persen prob keterangan inflasi ihk -3,016776 -2,585626 0,0374 stasioner harga bbm -0,238379 -2,585626 0,9283 tidak stasioner nilai tukar rupiah -1,146037 -2,586351 0,6938 tidak stasioner upah nominal 0,136065 -2,585626 0,9667 tidak stasioner bi rate -2,142694 -2,585861 0,2289 tidak stasioner determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 137 cukup untuk menggambarkan inflasi ihk dalam periode bulanan (monthly) pada tahun 2008:1-2014:12. panjang lag optimal dapat ditunjukkan dalam tabel 3. tabel 3. pengujian panjang lag menggunakan nilai lr panjang lag nilai sequential modified lr test statistic 0 1 75,62087 2 30,04614 3 38,82789 4 22,58057 5 65,06088 6 115,9324* 7 28,03545 tabel 3 menjelaskan bahwa panjang lag optimal terletak pada lag 6, yaitu dengan nilai sequential modified lr test statistic tertinggi, yaitu 115,9324. oleh karena itu, lag optimal yang digunakan dalam studi ini adalah lag 6. kemudian, karena panjang lag optimal sudah ditemukan, maka dapat dilakukan pengujian selanjutnya, yaitu uji kointegrasi. uji kointegrasi dalam studi ini, pengujian kointegrasi digunakan metode johansen’s cointegration test yang tersedia dalam software eviews dengan critical value 0,1. hasil uji kointegrasi ditunjukkan oleh tabel 4. berdasarkan tabel 4, dapat dijelaskan bahwa dalam taraf uji 10 persen (0,1), terdapat empat rank variabel berhubungan kointegrasi. hal tersebut dapat terbukti dari nilai trace statistic 101,8699, 65,03515, 29,93443, dan 2,950823 lebih besar dari critical value 0,1, yaitu 65,81970, 44,49359, 27,06695, dan 2,705545 yang artinya h0 ditolak dan h1 diterima atau dengan kata lain variabel-variabel yang digunakan memiliki hubungan dalam jangka panjang (kointegrasi) satu dengan lainnya. oleh karena itu, estimasi vecm dalam studi ini dapat digunakan. selanjutnya, dapat dilakukan uji stabilitas vecm. pengujian stabilitas vecm pengujian stabilitas model merupakan langkah selanjutnya sebelum kita menggunakan estimasi vecm. pengujian stabilitas model, dimaksud untuk menguji validitas irf dan vdc. pengujian stabilitas estimasi vecm dapat ditun-jukkan dalam tabel 5. tabel 2. hasil uji adf menggunakan intercept pada tingkat first difference variabel adf t-statistik mc kinnon critical value 10 % prob keterangan inflasi ihk -9,377190 -2,585861 0,0000 stasioner harga bbm -8,568879 -2,585861 0,0000 stasioner nilai tukar rupiah -3,734040 -2,586351 0,0053 stasioner upah nominal -9,752002 -2,585861 0,0000 stasioner bi rate -3,602395 -2,585861 0,0077 stasioner tabel 4. hasil uji kointegrasi (johansen’s cointegration test) unrestricted cointegration rank test (trace) hypothesized no. of ce(s) eigenvalue trace statistic 0,1 critical value prob.** none * 0,380209 101,8699 65,81970 0,0000 at most 1 * 0,366093 65,03515 44,49359 0,0006 at most 2 * 0,213957 29,93443 27,06695 0,0482 at most 3 0,103891 11,39716 13,42878 0,1882 at most 4 * 0,037597 2,950823 2,705545 0,0858 trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0,1 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0,1 level; **mackinnon-haug-michelis (1999) p-values sumber: lampiran 5, data diolah. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 138 tabel 5. hasil uji stabilitas estimasi vecm root modulus -0,037807 + 0,948933i 0,949686 -0,037807 0,948933i 0,949686 0,806351 0,458371i 0,927526 0,806351 + 0,458371i 0,927526 0,654514 0,651121i 0,923226 0,654514 + 0,651121i 0,923226 -0,350736 + 0,843502i 0,913516 -0,350736 0,843502i 0,913516 0,248379 0,859415i 0,894587 0,248379 + 0,859415i 0,894587 -0,751721 0,452047i 0,877172 -0,751721 + 0,452047i 0,877172 0,823562 0,282651i 0,870715 0,823562 + 0,282651i 0,870715 -0,190444 + 0,846478i 0,867637 -0,190444 0,846478i 0,867637 0,864881 0,864881 -0,524645 0,675588i 0,855378 -0,524645 + 0,675588i 0,855378 0,335052 + 0,778852i 0,847862 0,335052 0,778852i 0,847862 -0,846985 0,846985 -0,728316 0,291006i 0,784302 -0,728316 + 0,291006i 0,784302 -0,488998 0,548984i 0,735189 -0,488998 + 0,548984i 0,735189 0,608401 + 0,112373i 0,618691 0,608401 0,112373i 0,618691 0,394350 0,394350 -0,388468 0,388468 berdasarkan tabel 5, dapat dijelaskan bahwa model yang digunakan sudah stabil dari lag 1-6. hal tersebut dapat diketahui dari kisaran modulus dengan nilai rata-rata kurang dari satu. dengan demikian, hasil analisis irf (impulse response function) dan vdc (variance decomposition) adalah valid dan dapat dilakukan pengujian selanjutnya, yaitu uji kausalitas granger. uji kausalitas granger (granger causality test) dalam studi ini, uji kausalitas lebih ditujukan pada faktor penyebab inflasi dari sisi supply, yaitu harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal dan bi rate yang mempengaruhi inflasi ihk atau dengan kata lain variabel harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal dan bi rate sebagai leading indicator (indikator yang mempengaruhi perubahan harga) bagi inflasi ihk. taraf uji yang digunakan dalam uji kausalitas granger ini, yaitu pada tingkat kepercayaan 0,1 (10 persen) dan panjang lag sampai pada lag 6 sesuai pengujian panjang lag optimum yang telah dilakukan. hasil uji kausalitas granger ditunjukkan dalam tabel 6. tabel 6. uji kausalitas granger h0 lag 6 f-statistik prob. logbbm does not granger cause logcpi logcpi does not granger cause logbbm 2,80164 0,50191 0,0174 0,8047 loger does not granger cause logcpi logcpi does not granger cause loger 2,06692 3,11703 0,0692 6,0000 lognwage does not granger cause logcpi logcpi does not granger cause lognwage 0,09039 0,27939 0,9971 0,9449 logbirate does not granger cause logcpi logcpi does not granger cause logbirate 3,47725 1,20160 0,0048 0,3168 berdasarkan tabel 6, dapat dijelaskan bahwa yang memiliki hubungan kausalitas adalah variabel dengan nilai probabilitas lebih kecil dari ɑ 0,1, yaitu harga bbm, nilai tukar rupiah, dan bi rate yang menjadi leading indicator bagi inflasi ihk. sedangkan, upah nominal diketahui tidak mampu menjadi leading indicator bagi inflasi ihk. interpretasi hasil estimasi vecm (vector error correction model) setelah melakukan serangkaian tahap pra estimasi, yaitu uji stasioneritas data, penentuan panjang lag, uji kointegrasi, dan stabilitas vecm, dan faktanya terdapat empat rank kointegrasi dalam taraf uji 0,1 (10 persen) dalam studi ini, maka model analisis yang digunakan, yaitu vecm (vector error correction model). adapun hasil estimasi vecm dapat ditunjukkan dalam tabel 7. determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 139 tabel 7. hasil estimasi vecm (vector error correction model) jangka pendek variabel koefisien t-statistik parsial d(dcpi(-1)) 0,199269 [2,12924] d(dcpi(-5)) -0,209685 [-3,54109] d(dbbm(-1)) 0,033821 [6,56399] d(dbbm(-2)) 0,029961 [6,12471] d(dbbm(-3)) 0,024554 [5,74495] d(dbbm(-4)) 0,021262 [5,82462] d(dbbm(-5)) 0,019019 [6,12854] d(der(-3)) 0,004018 [2,05064] d(dnwage(-1)) 0,017235 [2,77399] dengan mengamati tabel 7, hasil estimasi vecm di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam jangka pendek terdapat empat variabel independen pada lag 1 sampai dengan lag 5 yang berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu inflasi ihk itu sendiri (lag 1 dan lag 5), harga bbm (lag 1-lag 5), nilai tukar rupiah (lag 3), dan upah nominal (lag 1). namun, variabel bi rate diketahui tidak berpengaruh signifikan pada inflasi ihk dalam jangka pendek yang disebabkan adanya transmisi kebijakan moneter. hasil estimasi jangka pendek menunjukkan bahwa variabel inflasi ihk pada lag 1 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk itu sendiri, yaitu 0,19. artinya, apabila terjadi kenaikan inflasi ihk sebesar satu poin pada satu tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,19 poin. hasil studi ini telah sesuai dengan studi yang dilakukan oleh monfort & pena (2008), jongwanich & donghyun park (2008), dan bashir et al. (2011) yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek, kebijakan moneter mengalami transmisi, sehingga umumnya inflasi akan terjadi pada periode selanjutnya dalam jangka pendek. menurut wimanda (2014), dijelaskan bahwa kebijakan moneter di indonesia dapat mempengaruhi inflasi, yaitu memerlukan lag (transmisi) selama delapan belas bulan. kemudian, apabila kebijakan moneter kontraktif telah dilakukan oleh pemerintah, maka umumnya inflasi tidak akan mempengaruhi pada periode-periode selanjutnya dalam jangka pendek yang terbukti dengan hasil estimasi vecm pada lag 5 di mana, kenaikan inflasi ihk sebesar satu poin pada lima tahun sebelumnya, maka akan menurunkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar -0,21 poin. dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm menunjukkan bahwa variabel harga bbm pada lag 1 berpengaruh positif dan sig-nifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,03. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada satu tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,03 poin. dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm menunjukkan bahwa variabel harga bbm pada lag 2 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,029. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada dua tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,029 poin. dalam estimasi jangka pendek model vecm menunjukkan bahwa variabel harga bbm pada lag 3 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,025. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada tiga tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,025 poin. dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm menunjukkan bahwa variabel harga bbm pada lag 4 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,02. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada empat tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,02 poin. dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm menunjukkan bahwa variabel harga bbm pada lag 5 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,019. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada lima tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,019 poin. hasil studi yang menunjukkan pengaruh harga bbm terhadap inflasi ihk dari lag 1-lag 5 mendukung studi yang dilakukan oleh greenidge & dacosta (2009), boonyingyongstit (2013), perry & cline (2013), yang menyatakan bahwa harga bbm merupakan variabel utama dalam kegiatan produksi dan distribusi. apabila terjadi kenaikan harga bbm, sudah dipastikan akan berdampak pada inflasi yang bersumber jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 140 dari sisi supply (cost-push inflation). selain itu, hasil estimasi ini telah sesuai dengan teori dimana, kenaikan harga bbm (bahan bakar minyak) akan mempengaruhi pergerakan kurva penawaran agregat dalam jangka pendek (sras), yaitu bergerak ke kiri, sehingga mempengaruhi output (y) dan meningkatkan harga (p). namun, nilai koefisien hasil estimasi variabel harga bbm menunjukkan penurunan pada setiap lag (lag1-lag 5) yang artinya, meskipun kenaikan harga bbm (bahan bakar minyak) memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk namun, menunjukkan tren yang menurun yang tentunya disebabkan kebijakan pengendalian inflasi oleh bank sentral dan pemerintah. dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm juga menunjukkan bahwa variabel nilai tukar rupiah pada lag 3 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,004. artinya, apabila terjadi kenaikan (depresiasi) nilai tukar rupiah sebesar rp1,00 pada tiga tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,004 poin. hasil studi yang menunjukkan pengaruh positif variabel nilai tukar rupiah terhadap inflasi ihk, sesuai dengan studi yang dilakukan oleh greenidge & dacosta (2009), almounsor (2010), al-nashar (2011), adeniji (2013), yang menyatakan bahwa apabila nilai tukar mengalami depresiasi khususnya terhadap dolar as, maka secara nominal menyebabkan harga impor menjadi relatif lebih mahal. kemudian, hasil estimasi ini juga telah sesuai dengan toeri di mana, kenaikan kurs nominal (depresiasi) dapat menyebabkan kenaikan nominal uang yang dikeluarkan untuk pembayaran impor yang tentunya menggunakan mata uang asing (dollar as). apabila dalam kegiatan impor terdapat komoditas utama produksi (bahan baku), maka depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan biaya produksi dan akhirnya memicu inflasi yang bersumber dari sisi supply (cost-push inflation). dalam estimasi jangka pendek estimasi vecm juga menunjukkan bahwa variabel upah nominal pada lag 1 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,017. artinya, apabila terjadi kenaikan upah nominal sebesar rp1.000,00 pada satu tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,017 poin. hasil studi yang menunjukkan hubungan positif antara upah nominal dan inflasi ihk, telah sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh al-nashar (2011), perry & cline (2013), yang menyatakan bahwa upah merupakan beban di dalam kegiatan produksi yang harus ditanggung produsen. apabila secara nominal upah mengalami peningkatan tanpa diimbangi dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja, maka dapat memicu inflasi yang bersumber dari sisi supply (cost-push inflation). selain itu, hasil estimasi ini juga telah sesuai dengan teori dimana, kenaikan upah dapat mempengaruhi perubahan pada kurva penawaran agregat dalam jangka pandek (sras), yaitu bergerak ke atas yang menyebabkan penurunan output (y) dan kenaikan harga (p) dengan asumsi permintaan agregat tetap. sementara itu, hasil estimasi vecm dalam jangka panjang dapat ditunjukkan dalam tabel 8. tabel 8. hasil estimasi vecm (vector error correction model) jangka panjang variabel koefisien t-statistik parsial d(dbbm(-1)) 0,025789 [7,81505] d(der(-1)) -0,006655 [-3,92037] d(dbirate(-1)) -6,590135 [-3,16012] berdasarkan pengamatan pada tabel 8, dapat dijelaskan bahwa dalam jangka panjang diketahui variabel harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal, dan bi rate berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk. sedangkan, upah nominal dalam jangka panjang tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap inflasi ihk. dengan melihat tabel 8 estimasi vecm dalam jangka panjang, dapat dijelaskan bahwa harga bbm pada lag 1 berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar 0,026. artinya, apabila terjadi kenaikan harga bbm sebesar rp1,00 pada satu tahun sebelumnya, maka akan menaikkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar 0,026 poin. hasil studi yang menunjukkan pengaruh positif antara harga bbm dengan inflasi ihk dalam jangka panjang, telah sesuai dengan studi yang determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 141 dilakukan oleh greenidge & dacosta (2009), boonyingyongstit (2013), perry & cline (2013), dan rahman (2015), yang menyatakan bahwa perubahan harga bbm merupakan variabel yang harus diwaspadai, karena perubahan harga bbm dapat mempengarui inflasi yang bersumber dari sisi supply (cost-push inflation). estimasi jangka panjang estmasi vecm menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah pada lag 1 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar -0,006. artinya, apabila terjadi kenaikan (depresiasi) nilai tukar sebesar rp1,00 pada satu tahun sebelumnya, maka akan menurunkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar -0,006 poin. hasil studi yang menunjukkan pengaruh negatif antara nilai tukar rupiah dan inflasi ihk dalam jangka panjang, telah sesuai dengan studi yang dilakukan oleh deyshappriya (2014), awan & imran (2015), yang menyatakan bahwa fleksibilitas nilai tukar bergerak secara dinamis tergantung kondisi perekonomian domestik. apabila kondisi perekonomian domestik membaik ditandai dengan kenaikan ekspor, maka rupiah dapat mengalami penurunan secara nominal (apresiasi) terhadap dolar as, sehingga harga barang impor secara nominal relatif lebih murah. apresiasi nilai tukar rupiah ini akhirnya dapat mengurangi kenaikan inflasi akibat barangbarang impor dalam jangka panjang. estimasi jangka panjang estimasi vecm menunjukkan bahwa variabel bi rate pada lag 1 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi ihk, yaitu sebesar -6,57. artinya, apabila terjadi kenaikan bi rate sebesar 25 bps (kenaikan bi rate per 25 bps) pada satu tahun sebelumnya, maka akan menurunkan inflasi ihk pada tahun sekarang sebesar -6,57 poin. hasil studi yang menunjukkan hubungan negatif antara bi rate dan inflasi ihk tersebut telah sesuai dengan persamaan fisher dimana, bank indonesia dalam hal ini akan menaikkan suku bunganya yang bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan jumlah uang beredar untuk menurunkan inflasi (mankiw, 2004). hasil estimasi vecm dalam jangka pendek dan jangka panjang di atas, merupakan hasil yang valid di mana, diketahui dari nilai koefisien determinasi r-squared sebesar 0,935 atau 93,5 persen dari 1,00 persen atau 100 persen di mana, perubahan variabel dependen (inflasi ihk) mampu dijelaskan oleh variabel independennya (harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal, dan bi rate) sebesar 93,5 persen dari maksimal 100 persen. hasil analisis vecm tidak hanya mampu melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, namun dalam estimasi vecm juga dilengkapi dengan fitur irf (impulse response function) dan vdc (variance decomposition). adapun hasil analisis irf dan vdc dapat dijelaskan di bawah ini: hasil analisis irf (impulse response function). 1) respon inflasi ihk terhadap shock harga bbm. analisis irf pertama yang akan ditunjukkan untuk menjelaskan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation), yaitu respon inflasi ihk terhadap shock harga bbm. adapun respon inflasi ihk terhadap shock harga bbm dalam tempo empat tahun atau empat puluh delapan bulan, yaitu sebagai berikut: gambar 2. hasil analisis irf inflasi ihk terhadap shock harga bbm berdasarkan gambar 2, dapat dijelaskan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock variabel harga bbm adalah positif (+) hingga memasuki periode ke-2. hal tersebut ditunjukkan dari garis irf yang cenderung di atas garis horizontal sampai periode ke-2. respon mulai bergerak turun pada periode ke-3, dan respon inflasi ihk terhadap shock harga bbm menjadi negatif (-) hingga sepanjang periode. 2) respon inflasi ihk terhadap shock nilai tukar rupiah. analisis irf kedua yang akan 8 4 0 4 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 response of dcpi to dbbm jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 142 ditunjukkan untuk menjelaskan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation), yaitu respon inflasi ihk terhadap shock nilai tukar rupiah. adapun respon inflasi ihk terhadap shock nilai tukar rupiah dalam tempo empat tahun atau empat puluh delapan bulan, yaitu sebagai berikut: gambar 3. hasil analisis irf inflasi ihk terhadap shock nilai tukar rupiah berdasar gambar 3 dapat dijelaskan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock nilai tukar rupiah adalah positif (+) sampai dengan periode ke-4. kemudian, respon bergerak menurun mulai periode ke-3 dan respon inflasi terhadap shock nilai tukar rupiah menjadi negatif (-) pada periode ke-5. selanjutnya, respon inflasi terhadap shock nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif dan bergerak menuju titik keseimbangannya sebelum terjadinya shock pada periode ke-20. dengan kata lain, apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar as mengalami depresiasi, maka dibutuhkan dua puluh periode untuk inflasi ihk kembali ke titik keseimbangannya sebelum terjadinya shock. 3) respon inflasi ihk terhadap shock upah nominal. analisis irf ketiga yakni akan menunjukkan respon inflasi ihk terhadap shock variabel upah nominal buruh industri manufaktur di bawah mandor di indonesia. dalam analisis ini digunakan periode empat puluh delapan bulan untuk mengetahui respon inflasi ihk terhadap shock variabel upah nominal. adapun hasil analisis irf inflasi ihk terhadap shock variabel upah nominal adalah sebagai berikut: gambar 4. hasil analisis irf inflasi ihk terhadap shock upah nominal berdasarkan gambar 4, dapat dijelaskan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock upah nominal adalah positif (+) sampai periode ke-2. pada periode ke-3, respon inflasi ihk menurun dan berubah menjadi negatif (-). selanjutnya, respon inflasi ihk terhadap shock upah nominal cenderung fluktuatif. pada periode ke-35, respon inflasi mulai kembali kembali ke titik keseimbangannya sebelum terjadinya shock. dengan kata lain, apabila terjadi kenaikan upah nominal, inflasi ihk memerlukan waktu tiga puluh lima periode untuk kembali ke titik keseimbangannya sebelum terjadinya shock variabel upah nominal. 4) respon inflasi ihk terhadap shock bi rate analisis irf keempat yang akan ditunjukkan, yaitu respon inflasi ihk terhadap shock bi rate. dalam analisis ini digunakan waktu selama 48 bulan untuk mengetahui respon inflasi ihk terhadap shock bi rate. adapun hasil analisis irf respon inflasi ihk terhadap shock bi rate adalah sebagai berikut: gambar 5. hasil analisis irf inflasi ihk terhadap shock upah nominal 8 4 0 4 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 response of dcpi to der 8 4 0 4 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 response of dcpi to dnw ag e 8 4 0 4 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 response of dcpi to dbirat e determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 143 berdasarkan gambar 5, dapat dijelaskan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock bi rate adalah positif (+) sampai dengan periode ke-7. pada periode ke-4 respon inflasi ihk terhadap shock bi rate meningkat. namun, pada periode ke-8, respon inflasi ihk terhadap shock menjadi negatif (-). pada periode selanjutnya, respon inflasi ihk terhadap shock bi rate menunjukkan kecenderungan fluktuatif. pada analisis ini, respon inflasi ihk cenderung persisten dalam periode studi. hasil analisis vdc inflasi ihk terhadap variabel penelitian dalam studi ini, analisis vdc difokuskan untuk melihat pengaruh variabel independen (harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal dan bi rate) terhadap variabel dependennya, yaitu inflasi ihk. karena data yang digunakan dalam studi ini adalah data bulanan (monthly), maka periode untuk melihat kontribusi variabel independen terhadap pembentukan variabel dependennya, yaitu empat puluh delapan periode. adapun hasil analisis vdc dapat ditunjukkan dalam gambar 6. berdasarkan hasil analisis vdc (variance decomposition) di atas, variabel ihk itu sendiri memberikan kontribusi 100 persen pada periode pertama. harga bbm memberikan kontribusi terhadap inflasi ihk, yaitu di atas 60 persen hingga akhir periode penelitian. variabel nilai tukar rupiah memberikan kontribusi rata-rata 4 persen terhadap pembentukan inflasi ihk. variabel upah nominal memberikan kontribusi rata-rata 6 persen hingga akhir periode penelitian. kemudian, variabel bi rate diketahui memberikan kontribusi sebesar 12 persen terhadap inflasi ihk hingga akhir periode penelitian. simpulan dalam jangka pendek, inflasi ihk pada lag 1 (+) dan lag 5 (-), harga bbm dari lag 1 hingga lag 5 (+), nilai tukar rupiah pada lag 3 (+), dan upah nominal pada lag 1 (+) serta berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk di indonesia. sedangkan, variabel bi rate dalam jangka pendek tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi ihk. dalam jangka panjang, diketahui variabel harga bbm (+), nilai tukar rupiah (-), dan bi rate (-) serta berpengaruh signifikan terhadap inflasi ihk di indonesia. sedangkan, upah nominal diketahui tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi ihk di indonesia. analisis jangka pendek maupun jangka panjang tersebut dikatakan valid, karena tingkat koefisien determinasi r-squared sebesar 93,5 persen yang artinya, perubahan variabel dependen (inflasi ihk) mampu dijelaskan oleh variabel independen (harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal, dan bi rate). berdasarkan hasil analisis irf, dapat disimpulkan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock variabel harga bbm adalah (+) hingga memasuki periode ke-2. hasil analisis irf menunjukkan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock variabel nilai tukar rupiah adalah (+) hingga memasuki periode ke-4. hasil analisis irf menunjukkan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock variabel upah nominal adalah (+) hingga memasuki periode ke-2. hasil gambar 6. hasil analisis vdc inflasi ihk jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 132-145 144 analisis irf menunjukkan bahwa respon inflasi ihk terhadap shock variabel bi rate adalah (+) hingga memasuki periode ke-7. berdasarkan hasil analisis vdc (variance decomposition), variabel ihk itu sendiri, harga bbm, nilai tukar rupiah, upah nominal, dan bi rate masing-masing memberikan kontribusi yang bervariasi terhadap pembentukan inflasi ihk di indonesia. kontribusi tertinggi terhadap pembentukan inflasi ihk di indonesia, yaitu harga bbm yang memberikan kontribusi hingga di akhir periode penelitian di atas 60 persen. berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan mengenai analisis determinan inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia periode 2008:1-2014:12, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: berdasarkan hasil analisis vdc, diketahui bahwa harga bbm memberikan kontribusi terhadap pembentukan inflasi ihk di atas 60 persen. oleh karena itu, hal yang harus dilakukan oleh pemerintah seharusnya adalah efisiensi anggaran belanja dan tidak terburu-buru dalam melakukan pemotongan subsidi bbm yang kita ketahui merupakan komoditi sentral di dalam proses produksi dan distribusi yang memberikan dampak yang sangat besar terhadap pembentukan inflasi yang dapat merugikan masyarakat secara individu dan negara dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi. berdasarkan hasil estimasi vecm, diketahui bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar as berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk dalam jangka pendek. oleh karena itu, depresiasi nilai tukar rupiah idealnya diimbangi dengan perbaikan sektor pertanian dan sektor lainnya, sehingga bahan baku produk makanan tidak tergantung pada impor yang semakin membebani neraca transaksi berjalan dan menyebabkan inflasi di dalam negeri yang bersumber dari sisi supply (cost push inflation). berdasarkan hasil estimasi vecm, variabel upah nominal dalam jangka pendek berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi ihk. oleh karena itu, bagi serikat pekerja upaya penuntutan kenaikan upah sebaiknya juga diimbangi dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja, agar stabilitas inflasi tetap terjaga dan tidak merugikan buruh itu sendiri akibat penurunan nilai upah riil yang disebabkan oleh inflasi yang bersumber dari sisi supply. berdasarkan hasil analisis irf, diketahui bahwa respon inflasi terhadap shock bi rate adalah positif, yang artinya ketika bi rate mengalami peningkatan, justru dapat meningkatkan inflasi. oleh karena itu, diperlukan optimalisasi kebijakan bauran bank indonesia pada makroprudensial dan penguatan kerjasama tpi (tim pengendalian inflasi) agar stabilitas inflasi di indonesia tetap terjaga. daftar pustaka adeniji, s. (2013). exchange rate volatility and inflation upturn in nigeria: testing for vector error correction model. munich personal repec archive paper no. 52062. almounsor, a. (2010). inflation dynamics in yemen: an empirical analysis, working paper wp/10/144, international monetary fund. al-nashar, s. b. (2011). nominal wage and proce dynamics in egypt: an empirical analysis, working paper no. 163. awan, a. g. and imran, m. (2015). factors affecting food price inflation in pakistan. abc journal of advanced research, vol iv 1, 2015, hal 74-87. bashir, f., et al. (2011). determinants of inflation in pakistan: an econometric analysis using johansen co-integration approach, australian journal of business and management research, vol. i 5, 2011, hal 76-82. basuki, a. t., dan yuliadi, i. (2015). ekonometrika teori dan aplikasi, edisi 1, mitra yogyakarta: aksara mulia. deyshappriya, n. p. r. (2014). inflation dynamic in srilanka: an application of vecm approach, ruhuna journal of management and finance, vol. i 2, july 2014, hal 20-26. greenidge, k., and da costa, d. (2009). determinants of inflation in selected caribbean countries. business, finance & economics in emerging economies, vol. iv 2, 2009, hal 385-394. jongwanich, j., and park, d. (2008). inflation in developing asia: demand-pull or cost push”, erd working paper series 121, asian development bank. determinan inflasi dari sisi supply ... (muhammad anif afandi) 145 langi, t. m., dkk. (2014). analisis pengaruh suku bunga bi, jumlah uang beredar, dan tingkat kurs terhadap tingkat inflasi di indonesia”, jurnal berkala ilmiah efisiensi, vol. xiv 2, mei 2014, hal. 45-46. mankiw, n. g. (2004). principles of economics, third edition, thomson south-western, united states of america. monfort, b., and pena, s. (2008). inflation determinants in paraguay: cost push versus demand pull factors. whd working paper wp/08/270, international monetary fund. perry, n., and cline, n. (2013). wages, exchange rates, and the great inflation moderation: a post-keynesian view, working paper no. 759, levy economics institute of bard college. pratiwi, a. (2013). determinan inflasi indonesia: jangka panjang dan pendek. jurnal ilmiah, feb, universitas brawijaya, malang. rahman, q. r. (2015). analisis terjadinya inflasi dari sisi supply (cost-push inflation) di indonesia tahun 1984-2013. jurnal ilmiah, feb, universitas brawijaya, malang. samuelson, a. p., and nordhaus, w. d. (1985). economics, twelfth edition, singapore: mcgraw-hill, inc. stiglitz, j. e. (1996). principles of macro-economics, second edition, usa: w. w. norton & company, inc. tambunan, t. t. h. (2012). perekonomian indonesia kajian teoritis dan analisis empiris, cetakan kedua, bogor: penerbit ghalia indonesia. wimanda, r. e., dkk. (2014). evaluasi transmisi bauran kebijakan bank indonesia. working paper no. 3, bank indonesia. winarno, w. w. (2015). analisis ekonometrika dan statistika dengan eviews, edisi keempat, cetakan pertama. yogyakarta: upp stim ykpn. microsoft word 03-mita jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014, hlm.23-36 perhitungan nilai manfaat dan biaya migrasi internasional tenaga kerja indonesia mita adhisti departemen pengelolaan dan kepatuhan laporan bank indonesia jalan m.h. thamrin nomor 2, jakarta pusat, jakarta 10110, indonesia phone: +62 21 29818127 e-mail korespondensi: diestie.adh@gmail.com naskah diterima: agustus 2013; disetujui: februari 2014 abstract: the low employment and the standard wage or salary in the country into individual driving factors for migrating abroad to find work. this study specifically addresses the calculation of benefits gained migrant workers during their working lives and costs to be incurred during the placement process in south korea, malaysia, singapore, and taiwan. the calculation of the estimated value of net benefits is the result of a reduction in the value of benefits and costs, referring to the model of the value of the benefits and costs of international migration developed by massey et al (1993) the results of calculations indicate that the estimated net benefits received by migrant workers in south korea and taiwan during the threeyear period amounted to 234.5 and 130.8 million. as for the working period of two years, the estimated net value of the benefit received tki singapore and malaysia amounted to 48.5 million and 39 million. the results of the calculations can be used as an alternative choice in the decision making process of individuals to choose the destination country of employment. keywords: international migration; indonesian workers; benefit; cost jel classification: f22, o15 abstrak: rendahnya kesempatan kerja maupun standar upah atau gaji di dalam negeri menjadi faktor pendorong individu untuk migrasi ke luar negeri untuk mendapatkan kerja. studi ini secara khusus membahas perhitungan manfaat yang didapatkan tki selama masa kerjanya dan biaya yang harus dikeluarkan selama mengikuti proses penempatan di korea selatan, malaysia, singapura, dan taiwan. perhitungan estimasi nilai manfaat bersih yang merupakan hasil pengurangan antara nilai manfaat dan biaya, mengacu pada model nilai manfaat dan biaya migrasi internasional yang dikembangkan oleh massey et al (1993).hasil perhitungan menunjukkan bahwa estimasi manfaat bersih yang diterima tki yang bekerja di korea selatan dan taiwan selama masa kerja tiga tahun adalah sebesar 234,5 dan 130,8 juta rupiah. sedangkan untuk masa kerja dua tahun, estimasi nilai manfaat bersih yang diterima tki singapura dan malaysia sebesar 48,5 juta rupiah dan 39 juta rupiah. hasil perhitungan dapat digunakan sebagai pilihan alternatif dalam proses pengambilan keputusan individu untuk memilih negara tujuan kerja. kata kunci: migrasi internasional; tenaga kerja indonesia; manfaat; biaya klasifikasi jel: f22, o15 pendahuluan perilaku manusia melakukan migrasi dalam sejarahnya sudah dimulai dari awal kehidupan manusia yang didasari oleh faktor pendorong dan faktor penarik migrasi (lee, 1966). kedua faktor ini tidak lepas dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, politik, budaya, maupun ekonomi suatu wilayah (kumar dan sidhu, 2005). faktor pendorong migrasi sebagian besar terdapat pada negara yang sedang berkembang dilihat dari karakteristik kondisi perekonomian yang belum stabil. lain halnya dengan faktor jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 24 penarik migrasi yang dimiliki oleh negara maju dengan kondisi perekonomian yang mapan dan relatif stabil. indonesia dengan pendapatan per kapita 2.940 dolar amerika pada tahun 2011, dalam klasifikasi world bank tergolong dalam lowermiddle income economies karena tingkat pendapatan per kapita yang berada dikisaran 1.026 sampai 4.035 dolar amerika. rendahnya tingkat pendapatan, tingginya tingkat pengangguran terbuka 6,56 persen dan pekerja tidak penuh indonesia 34,59 persen (badan pusat statistik indonesia (bps), 2011) merupakan beberapa faktor yang mendorong masyarakat untuk migrasi internal maupun internasional. masyarakat indonesia yang melakukan migrasi ke luar negeri untuk bekerja kerap kali dikenal dengan istilah tenaga kerja indonesia (tki). dalam perkembangannya, istilah tki sering ditafsirkan oleh banyak orang mengandung makna negatif, yaitu sebutan bagi para pekerja indonesia kurang terampil yang bekerja di sektor informal di luar negeri. namun pada dasarnya, definisi tki secara umum yang dijelaskan dalam keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi (kepmen) no.104a/ men/2002 adalah warga negara indonesia (wni) baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja. pergeseran makna tki berdasarkan fakta yang terlihat oleh masyarakat bahwa sebagian besar tki di luar negeri bekerja di sektor informal merupakan pekerja kurang terampil. migrasi internasional tki mulai berkembang setelah era kemerdekaan, yaitu pada tahap repelita ii tahun 1974-1979 dengan tiga besar negara tujuan kerja tki, yaitu arab saudi, singapura, dan hongkong (tabel 1.1: tirtosudarmo, 1999). sejak tahun 1980an terjadi lonjakan migrasi tki ke arab saudi secara drastis karena besarnya kesempatan kerja yang dibuka bagi tenaga kerja asing oleh pemerintah arab saudi di bidang jasa personal pada sektor informal karena peningkatan kesejahteraan penduduk di arab saudi setelah terjadi lonjakan harga minyak di akhir tahun 70’an dan awal tahun 80’an, sehingga ingin mengalihfungsikan tugas rumah tangga (international organization for migration (iom), 2010). lonjakan tki sejak tahun 1980-an juga terjadi di malaysia, tirtosudarmo (1999) mengidentifikasi bahwa sebagian besar tki bekerja di sektor informal, yaitu bidang jasa personal rumah tangga maupun di sektor formal industri pertanian dan konstruksi. iom dalam studinya tabel 1. tenaga kerja indonesia di negara penempatan kawasan asia 1974-1997 no negara tujuan repelita ii 1974-1979 repelita iii 1979-1984 repelita iv 1984-1989 repelita v 1989-1994 1994-1997 1 arab saudi 3.817 55.976 223.573 268.858 267.191 2 malaysia/brunei 536 11.441 38.705 130.735 392.512 3 singapura/hongkong 3.729 6.768 12.272 38.071 80.222 4 korea/taiwan/jepang 451 920 573 6.153 45.256 sumber: tirtosudarmo (1999) tabel 2. penempatan tenaga kerja indonesia berdasarkan negara penempatan kawasan asia dan sektor kerja tahun 2010 – 2011 no negara penempatan 2010 2011 persentase perubahan (%δ) formal informal total formal informal total formal informal total 1 malaysia 115.451 605 116.056 126.311 6.427 132.738 9,4 962 14,4 2 singapura 103 39.520 39.623 9.381 38.131 47.512 9008 -3,5 19,9 3 hongkong 27 33.235 33.262 2.019 48.264 50.283 7378 45,2 51,2 4 taiwan 7.589 54.459 62.048 18.794 60.052 78.846 147,6 10,3 27,1 5 korea selatan 6.566 794 7.360 9.229 1.576 10.805 40,6 98,5 46,8 6 jepang 233 0 233 2.489 19 2.508 968 976 7 arab saudi 13.377 215.513 228.890 31.714 105.929 137.643 137 -50,8 -39,9 perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 25 tahun 2010 mengidentifikasi ada tiga alasan utama tingginya permintaan tki secara berkelanjutan di malaysia, yaitu pertumbuhan ekonomi malaysia yang tinggi, tersedianya institusi jaringan penyalur, sponsor, dan agen penempatan tki, dan faktor kemiripan bahasa, budaya dan sejarah, serta letak wilayah antara indonesia dengan malaysia yang berdekatan. pada tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa tren negara tujuan tki sejak tahun 1980-an sampai 2010 tidak jauh berbeda; arab saudi, malaysia, singapura, dan negara di kawasan asia timur masih menjadi negara tujuan utama. namun mulai tahun 2011, pemerintah indonesia memberlakukan moratorium pemberhentian pengiriman tki informal sementara ke arab saudi karena banyaknya kasus eksploitasi tki, sehingga terjadi penurunan jumlah tki di sektor informal sebesar 50,8 persen. tingginya kasus eksploitasi tki yang bekerja di sektor informal, mendorong pemerintah untuk meningkatkan penempatan tki di sektor formal, yaitu melalui program government to government (g to g) maupun government to private (g to p). program g to g merupakan kerjasama dalam penempatan tki antara pemerintah indonesia yang diwakilkan oleh badan nasional penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia (bnp2tki) dengan pemerintah korea selatan (dimulai tahun 2006) dan jepang (dimulai tahun 2008) untuk bekerja di sektor formal. tidak jauh berbeda dengan program g to g,program g to p merupakan kerja sama dalam penempatan tki antara pemerintah indonesia dengan pihak swasta pengguna jasa tki di negara tujuan secara langsung (bnp2tki, 2012). sampai saat ini, program g to p baru mulai dijalankan di malaysia tahun 2010. dengan adanya program tersebut, dapat dilihat pada tabel 1 bahwa jumlah tki formal yang ditempatkan di malaysia maupun di korea selatan terus meningkat. tingginya jumlah tki yang bekerja di luar negeri selama tiga dekade terakhir mengindikasikan adanya faktor pendorong dan penarik bagi mereka untuk migrasi. berdasarkan hasil observasi peneliti secara langsung kepada 113 calon tki (ctki), 49 persen faktor yang mendorong mereka untuk bekerja di luar negeri karena perbedaan upah, 27 persen karena sulit mendapat kerja di dalam negeri, dan 12 persen faktor sosial dan budaya. perbedaan upah dan probabilitas mendapatkan kerja merupakan dua faktor ekonomi utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan tki, hal tersebut serupa dengan faktor dalam konsep migrasi yang dipaparkan oleh todaro (1969) maupun massey et al (1993). kedua peneliti tersebut dan greenwood (2005) menambahkan bahwa biaya perpindahan merupakan faktor lain yang mempengaruhi pengambilan keputusan individu untuk migrasi dan secara keseluruhan, pengambilan keputusan didasarkan atas perbandingan antara manfaat yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan untuk proses migrasi. pada tabel 3 terlampir data penghasilan yang diperoleh tki yang bekerja di singapura, taiwan, malaysia, dan korea selatan. selain tabel 3. rata-rata penghasilan per tahun tki di negara penempatan berdasarkan penetapan upah, tahun 2011 (dalam rupiah) no bidang pekerjaan status pekerjaan sektor pekerjaan negara penempatan singapura taiwan malaysia korea selatan 1 jasa personal penata laksana rumah tangga (plrt), perawat bayi/orang jompo informal 37.750.050 56.200.320 2 konstruksi buruh/karyawan formal 25.810.500 91.893.120 3 manufaktur kayu buruh /karyawan formal 18.927.700 4 industri elektronik buruh /karyawan formal 17.207.000 91.893.120 5 pertanian / perkebunan buruh/karyawan formal 17.207.000 91.893.120 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 26 korea selatan, pemilihan ketiga negara ini karena termasuk lima besar negara tujuan tki dan untuk korea selatan, pemilihan didasarkan atas pertumbuhan jumlah tki yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. dapat dilihat dalam tabel, untuk keterangan sektor kerja tki di singapura dan taiwan adalah sektor informal, pemilihan didasarkan atas mayoritas tki yang bekerja kedua negara tersebut berada di sektor informal (lihat tabel 2). sedangkan sektor kerja tki malaysia dan korea selatan adalah sektor formal dengan alasan berkebalikan dengan sebelumnya. perbedaan sektor kerja tki mempengaruhi perbedaan standar upah yang ditawarkan kepada mereka. penghasilan per tahun tki di korea selatan paling besar dibandingkan negara lainnya karena mengikuti standar upah minimum pekerja domestik sektor formal di korea selatan, yaitu kurang lebih 7,7 juta per bulannya. sedangkan penghasilan per tahun tki malaysia paling rendah dibandingkan lainnya, walaupun mereka bekerja di sektor formal karena posisi kerja yang berada di level bawah. namun dengan penghasilan 25,8 juta per tahun bagi tki malaysia di bidang konstruksi, nominal tersebut lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan yang diperoleh saat mereka bekerja di indonesia sebelumnya (ditunjukkan dalam tabel 4). selain faktor perbedaan upah, probabilitas mendapatkan pekerjaan menjadi faktor utama migrasi tki. pada tabel 5 dan 6 menunjukkan probabilitas mendapatkan kerja di keempat negara tujuan kerja tki dan di indonesia. konseiga (2005) menjelaskan bahwa probabilitas mendapatkan pekerjaan di luar negeri dapat dihitung dengan persamaan 1 dengan asumsi tenaga kerja dari negara asal telah memiliki jaminan untuk mendapatkan pekerjaan di negara tujuan. persamaan 1 merupakan pengembangan konseiga dari model dan asumsi sederhana yang dijabarkan haris dan todaro (1970) dalam migrasi internal. . 1) lf adalah jumlah tenaga kerja di negara tujuan dan m.nh adalah jumlah tki yang migrasi ke negara tujuan. sesuai dengan asumsi, nilai probabilitas (p2) yang mendekati 1 dalam tabel 6 diindikasikan karena objek tki merupakan tki legal yang telah mendapatkan pekerjaan di negara tujuannya. pada tabel 6 dan 7 dapat dilihat nilai probabilitas mendapatkan pekerja di keempat negara tujuan dengan di indonesia cukup timpang, hal tersebut menunjukkan alasan yang mendukung tki untuk bekerja di luar negeri. perhitungan probabilitas mendapatkan pekerjaan di negara asal dijelaskan oleh riadh (1998) dalam persamaan di bawah ini: tabel 4. rata-rata penghasilan per tahun ctki saat bekerja di indonesia (rupiah) no negara penempatan status pekerjaan rata-rata upah/gaji per bulan rata-rata penghasilan per tahun 1 singapura buruh, karyawan, pegawai dan mandiri-informal 1.425.000 17.100.000 2 taiwan 1.243.000 14.916.000 3 korea selatan 1.313.000 15.756.000 4 malaysia2 1.170.000 14.040.000 tabel 5. probabilitas mendapatkan pekerjaan di negara penempatan, tahun 2011 no negara total tenaga kerja (lf) total migrasi tki (m.nh) p2 1 singapura 3.178.000 47.503 0,9853 2 taiwan 10.709.000 75.562 0,993 3 malaysia 12.220.000 133.906 0,9892 4 korea 24.244.000 11.248 0,9995 perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 27 2) eo adalah jumlah lapangan pekerjaan di negara asal, u adalah jumlah penduduk di negara asal yang menganggur dan mencari pekerjaan. nilai p3 menunjukkan nilai 0,138 yang mengindikasikan 13,8 persen probabilitas mendapatkan kerja di indonesia. dorongan untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri yang relatif lebih mudah dibandingkan di indonesia dengan penghasilan yang lebih tinggi, sering kali keinginan pencari kerja yang berminat menjadi tki tersebut terkendala dengan biaya administrasi untuk migrasi yang cukup tinggi. dalam tabel 7 terdapat data ratarata biaya perpindahan yang dibutuhkan ctki untuk migrasi keempat negara tujuan. biaya perpindahan ke taiwan paling besar karena besarnya biaya jasa perusahaan agensi tki. penetapan biaya jasa perusahaan agensi tki tertuang dalam peraturan pemerintah minimal sama dengan satu bulan upah atau gaji tki di negara kerjanya. sedangkan untuk ctki korea selatan yang ditempatkan melalui lembaga pemerintah, tidak dikenakan biaya untuk jasa perusahaan agensi tki. ctki malaysia yang masuk dalam program g to p, namun dalam proses penempatannya masih melalui agensi tki dikenakan biaya 2,1 juta rupiah walaupun demikian, biaya perpindahan ctki malaysia paling rendah karena tidak ada biaya pelatihan dan pembinaan. kemiripan bahasa indonesia dengan malaysia, yaitu bahasa melayu tidak mengharuskan ctki untuk mengikuti pelatihan bahasa karena bahasa resmi yang digunakan dalam operasional kerja adalah bahasa melayu. sjaastad (1962) dan davanzo (dalam de jong dan gardner, 1981) menjelaskan dalam proses migrasi biaya perpindahan yang dibutuhkan selain biaya langsung (direct cost, dc), seperti biaya administrasi, akomodasi, maupun transportasi tetapi juga biaya tidak langsung (indirect costs, ic), seperti penghasilan yang hilang (foregone earnings, fe) maupun biaya psikis (psychis costs). penghasilan yang hilang dijelaskan oleh sjaastad (1962) sebagai hilangnya penghasilan dari bekerja karena waktu yang dapat digunakan untuk bekerja teralihkan untuk mencari dan mengikuti pelatihan pekerjaan baru, sehingga persamaan umum yang terbentuk, yaitu: tabel 6. probabilitas mendapatkan pekerjaan di indonesia no keterangan total p3 1 jumlah lapangan pekerjaan (eo) 1.094.729 0,138 2 jumlah penduduk yang menganggur dan mencari kerja (u) 7.910.043 tabel 7. rata-rata biaya perpindahan yang dikeluarkan ctki berdasarkan negara penempatan, tahun 2011 (dalam ribu rupiah) no komponen biaya negara penempatan singapura taiwan malaysia korea selatan 1 tes kesehatan 600 600 300 725 2 paspor 240 110 120 240 3 visa kerja 727 400 470 4 asuransi dan biaya perlindungan 400 400 550 760 5 pembinaan 1.305 150 185 6 pelatihan dan uji kompetensi 1250 3710 153 7 jasa perusahaan 3.150 4.838 2.160 8 airport dan handling 150 100 150 150 9 transportasi lokal 225 100 350 10 akomodasi 2.700 3.840 200 990 11 tiket pesawat keberangkatan 1.349 2.610 1.392 4.655 12 biaya lain-lain 2.245 300 total 13.614 17.485 5.662 8.328 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 28 fe = upah (w0) x waktu (t-n) 3) pada tabel 8 terlampir data rata-rata penghasilan yang dirasakan hilang oleh ctki korea selatan, singapura, dan taiwan selama mengikuti proses migrasi dari proses pendaftaran sampai keberangkatan. sedangkan untuk ctki malaysia, tidak ada data yang ditemukan karena tidak ada ctki malaysia yang mengikuti pelatihan pada periode observasi. pengamatan terhadap ctki ketiga negara tujuan tersebut, penghasilan yang dirasakan hilang paling besar oleh ctki korea selatan, yaitu sebesar 9,2 juta rupiah karena prosedur penempatan program g to g yang lebih kompleks, khususnya dalam proses perekrutan yang harus disertai tanda lulus ujian eps (employment permit system), yaitu uji kemampuan bahasa korea sesuai persyaratan yang diajukan oleh pemerintah korea selatan. berbeda dengan persyaratan ctki korea selatan, ctki taiwan dan singapura tidak memerlukan standar bahasa dalam proses perekrutan dan pelatihan bahasa diberikanpada masa persiapan keberangkatannya selama dua atau tiga bulan. dengan tersedianya data penghasilan, probabilitas mendapatkan kerja, biaya perpindahan langsung dan tidak langsung di keempat negara tujuan, maupun dataprobabilitas mendapatkan kerjadan penghasilan saat bekerja di indonesia, keseluruhan data dapat digunakan dalam perhitungan manfaat dan biaya migrasi yang dikembangkan massey et al. (1993) bagi pencari kerja yang berminat untuk bekerja di luar negeri. hasil perhitungan dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk migrasi atau tidak berdasarkan nilai manfaat bersih yang diterima, maupun dapat digunakan untuk memilih negara tujuan kerja berdasarkan manfaat bersih terbesar yang diterima bila bekerja disalah satu negara tujuan kerja. penjelasan singkat atas konsep perilaku gambar 1. konsep umum migrasi internal dan internasional tabel 8. rata-rata penghasilan ctki yang hilang (rupiah) no negara penempatan rata-rata upah/gaji per bulan di indonesia rata-rata waktu kerja yang hilang (bulan) rata-rata penghasilan yang hilang 1 korea selatan 1.313.000 7 9.191.000 2 singapura 1.425.000 3 4.275.000 3 taiwan 1.243.000 3 3.729.000 perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 29 migrasi individu dilandasi oleh faktor pendorong dari daerah atau negara asal dan faktor penarik dari daerah atau negara tujuan ditunjukkan dalam gambar 1, seperti probabilitas mendapatkan kerja, perbedaan tingkat upah, dan penawaran dan permintaan tenaga kerja. keputusan untuk migrasi oleh individu diharapkan memperoleh nilai ekonomi, yaitu manfaat yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk proses migrasi (massey et al, 1993). dalam konsep neoklasik mikro dijelaskan bahwa kegiatan migrasi sebagai bentuk investasi modal manusia dan nilai investasi tersebut dapat diukur dengan model ekonomi perhitungan manfaat dan biaya. todaro (1969) mengembangkan model perhitungan migrasi internal menjadi dua bagian, yaitu estimasi nilai manfaat bersih (expected return, er) yang individu peroleh bila bekerja di daerah asal dan er yang diperoleh bila bekerja di daerah tujuan. massey et al. dalam studinya mengembangkan model perhitungan migrasi internasional dari konsep model perhitungan todaro, yaitu pengurangan antara manfaat bersih yang diterima bila bekerja di negara tujuan dengan manfaat yang diterima bila bekerja di negara asal (ditunjukkan dalam tabel 9). er(0), vr*(0), dan vu*(0) merupakan estimasi nilai manfaat bersih yang diterima setelah melakukan migrasi yang dihitung pada nilai tahun keberangkatan, yaitu pada (t = 0); (n = t) menunjukkan periode waktu migrasi; p1(t) adalah probabilitas untuk menghindari deportasi dari negara tujuan (1.0 untuk tki legal dan < 1,0 untuk tki ilegal); p2(t) adalah probabilitas mendapatkan pekerjaan di negara tujuan; yd(t) adalah penghasilan jika bekerja di negara tujuan; p3(t) adalah probabilitas mendapatkan pekerjaan dinegara asal; yo(t) adalah penghasilan jika bekerja di negara asal; r adalah faktor diskonto; dan c(0) adalah jumlah total biaya perpindahan (biaya langsung dan tidak langsung) pada t0. model perhitungan migrasi yang ditunjukkan dalam persamaan 4, menurut massey et.al. dan greenwood (2005) selain sebagai landasan pengambilan keputusan untuk migrasi atau tidak tetapi juga dapat digunakan untuk memilih alternatif daerah atau negara tujuan migrasi. pengambilan keputusan awal individu untuk migrasi atau tidak dapat dilihat dari hasil perhitungan. bila hasil perhitungan er(0) > 0, maka individu secara rasional akan memutuskan untuk migrasi, sebaliknya jika er(0) < 0, maka individu seharusnya tidak migrasi dan jika er(0) = 0, maka individu dapat memilih untuk migrasi atau tidak. dalam proses pengambilan keputusan untuk migrasi lebih lanjut, individu mempertimbangkan alternatif daerah atau negara tujuan yang akan memberikan nilai manfaat bersih terbesar. analisis manfaat dan biaya juga dijelaskan oleh mckenna (1980) sebagai salah satu prosedur acuan dalam pengambilan keputusan umum (gambar 1) untuk mencapai efisiensi ekonomi, dengan menghitung seluruh biaya dan manfaat dalam satuan nominal uang. konsep perhitungan yang dapat digunakan dalam menghitung nilai manfaat dan biaya adalah perhitungan pergeseran nilai uang (time value of money) yaitu proyeksi nilai uang di masa depan atas investasi saat ini (future value) dan proyeksi nilai investasi di masa depan ke dalam nilai uang saat ini (present value). pendekatan yang digunakan dalam realisasi perhitungan investasi modal manusia yang tabel 9. model perhitungan manfaat-biaya migrasi massey et al (1993) todaro (1969) migrasi internasional (persamaan 4) ∗   ∗   migrasi internal jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 30 melakukan migrasi menurut beberapa peneliti (todaro, 1969; massey et.al, 1993; greenwood, 2005) adalah perhitungan nilai saat ini, dengan tujuan mengestimasi nilai manfaat bersih yang diterima atas pemajemukan nilai investasi migrasi selama periode tertentu ke depan ke dalam nilai manfaat bersih sebelum keberangkatan. para ekonom secara umum menggolongkan status angkatan kerja menjadi dua, yaitu tenaga kerja dan pengangguran (blanchard, 2009). ehrenberg dan smith (2009) mendefinisikan angkatan kerja lebih terperinci, yaitu penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja, memiliki pekerjaan namun sementara tidak bekerja, atau sedang mencari pekerjaan. sedangkan ilo (international labor organization) pada tahun 2008, melakukan pembaruan dalam konsep status angkatan kerja, yaitu dengan menggolongkan tenaga kerja menjadi tenaga kerja dalam negeri dan tenaga kerja luar negeri yang ditunjukkan dalam gambar 3. pembaruan konsep angkatan kerja ilo merupakan adopsi dari konsep dan definisi angkatan kerja lfs filipina (the philippine labor force survey) yang dijelaskan oleh rivera dalam konferensi yang diadakan oleh ilo tahun 2008.dasar yang digunakan dalam pengembangan konsep dengan melihat pentingnya peranan tenaga kerja luar negeri bagi pasar tenaga kerja di filipina yang memberikan dampak postif, yaitu membuka kesempatan lebih besar bagi tenaga kerja filipina untuk memilih bekerja di dalam atau luar negeri untuk di indonesia, bps (2010) belum menerapkan pembaruan konsep tenaga kerja ilo, yaitu tenaga kerja dalam negeri dan luar negeri dimasukkan ke dalam status angkatan sumber: mckenna, 1980: 130 gambar 2. proses pembuatan keputusan umum dan analisis manfaat-biaya sumber: ehrenberg dan smith (2009), dilakukan penyesuaian berdasarkan penggolongan angkatan kerja oleh ilo (2008) gambar 3. status angkatan kerja perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 31 kerja. namun pada dasarnya, tenaga kerja luar negeri merupakan bagian dalam angkatan kerja. istilah tenaga kerja luar negeri di indonesia lebih dikenal dengan tenaga kerja indonesia (tki) dan sebelum tki ditempatkan di luar negeri statusnya adalah calon tki (ctki), yaitu pencari kerja yang telah terdaftar dan lulus seleksi pada pjtki (perusahaan jasa tenaga kerja indonesia) serta telah menandatangani perjanjian penempatan. metode penelitian data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder tahun 2011 dan data primer tahun 2012. sumber data sekunder berdasarkan variabel yang terdapat dalam model studi terlampir dalam tabel 10. adapun data primer digunakan untuk mengukur variabel biaya tidak langsung dalam model studi, diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada 113 ctki yang terdiri dari 36 ctki singapura, 38 ctki taiwan, dan 39 ctki korea selatan. ctki singapura dan taiwan yang diobservasi merupakan ctki yang mengikuti pelatihan di pt. putra jabung perkasa, bekasi, dan ctki korea selatan yang menunggu keberangkatan di blkln gedung korea indonesia technical cooperation centre (kitcc) ciracas–jakarta timur, pada periode juli– agustus 2012. pada pengumpulan data primer, tidak ada ctki malaysia yang diobservasi karena tidak ada ctki malaysia yang mengikuti pelatihan di lokasi observasi pada periode tersebut. model perhitungan estimasi nilai manfaat dan biaya migrasi tki dalam studi ini (persamaan 5 dan 6) mengacu pada model perhitungan migrasi internasional yang dikembangkan oleh massey et.al (persamaan 4). model studi membagi perhitungan biaya perpindahan menjadi dua, yaitu biaya langsung (dc) dan tidak langsung (ic). variabel biaya tidak langsung yang dimasukkan dalam model studi hanyalah penghasilan yang hilang (fe), sedangkan tidak memasukkan variabel biaya psikis karena keterbatasan data. 5) 6) perbedaan perhitungan biaya perpindahan karena ingin melihat estimasi nilai manfaat bersih yang diterima tki setelah dikurangkan dengan ada tidaknya biaya tidak langsung yang dirasakan oleh tki dalam proses migrasi ke negara tujuan. persamaan 5 menghitung biaya perpindahan (c) sebagai akumulasi dari penjumlahan dc dan fe, sedangkan persamaan 6 hanya menghitung dc dan tidak menghitung tabel 10. sumber data sekunder tahun 2011 no nama variabel sumber keterangan 1 jumlah tenaga kerja di negara penempatan laborsta, ilo http://laborsta.ilo.org 2 gaji/upah yang ditawarkan kepada ctki di negara penempatan, jumlah tki yang ditempatkan, biaya yang dikeluarkan, dan masa kontrak kerja bnp2tki dan disnakertrans, yogyakarta pusat studi pengembangan dan informasi (puslitfo), direktorat pelayanan penempatan pemerintah, dan direktorat kerjasama luar negeri 3 pencari kerja dan lowongan kerja terdaftar kemenakertrans direktorat pengembangan pasar kerja 4 suku bunga riil world bank http://data.worldbank.org/indicator/fr.inr.rinr jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 32 fe. dalam persamaan 5 dan 6, fungsi p2 dan p3 pada persamaan 4 digantikan oleh persamaan 1 dan 2. perhitungan er pada kedua persamaan dapat dilakukan dengan data penunjang yang tersedia pada tabel 10 sampai 11. sedangkan untuk variabel p1, karena objek tki dalam studi ini merupakan tki legal yang terdaftar secara resmi, maka dengan asumsi massey et al, nilai p1 dianggapp 1. estimansi manfaat bersih yang diterima tki dihitung selama masa kerjanya, yaitu untuk tki korea selatan dan taiwan ratarata masa kontrak kerjanya adalah tiga tahun dan untuk tki malaysia dan singapura adalah dua tahun (bnp2tki, 2012). perhitungan estimasi manfaat bersih selama masa kerja tki ke depan yang diukur ke dalam nilai sebelum keberangkatan tki (t0) menggunakan perhitungan discounted present value (dpv), faktor diskonto (r) merupakan salah satu variabel penting dalam perhitungan. snyder dan nicholson (2008:606-611) menjelaskan perhitungan dpv dalam pengambilan keputusan investasi, faktor diskonto yang dapat digunakan salah satunya adalah suku bunga riil. berdasarkan data dari world bank, tingkat suku bunga riil indonesia tahun 2011 adalah 3,7 persen. pengembangan model massey et.al pada prinsipnya didasarkan atas konsep investasi modal manusia yang memiliki kesamaan dengan investasi umum atas kepemilikan aset. pelaku investasi akan memperhitungkan nilai investasi saat ini (present value, pv) dan di masa depan (future value, fv). perhitungan fv sederhana yang dijelaskan oleh brealey et al (2009: 112) adalah: fv = (present value/initial investment) x (1+r)t fv = pv (1+r)t 7) (chiang dan wainwright, 2005: 262-266) pada masa depan akan terjadi pemajemukan modal sejalan dengan pertambahan tahun (t) merupakan hasil dari pemajemukan suku bunga (r) per tahunnya, bila hal ini terjadi secara kontinu tidak terbatas (t→∞), maka fvmenjadi: lim → 8) di mana er = (1+r) pv = , atau pv = fv.(er)-t | pv = fv.e-rt 9) e adalah bentuk konvergen saat t→∞ yang mendekati nilai 2,71828... pembuktian nilai e dari mencari deret maclaurin. persamaan (9) menunjukkan bentuk perhitungan pv yang menjadi basis perhitungan er(0) dalam studi ini, maka fv menunjukkan fungsi dari dan e-rt merupakan nilai diskonto (discounted value, dv). dalam persamaan er studi ini, penggunaan istilah fv akan diganti menjadi nfv (net future value) karena merupakan hasil pengutabel 11. keterangan variabel model studi no simbol variabel keterangan variabel satuan variabel dependen 1 er (0) estimasi nilai manfaat bersih pada t0 rupiah variabel independen 2 p1 probabilitas menghindari deportasi 3 yd penghasilan per tahun yang diterima tki di negara penempatan rupiah 4 yo penghasilan per tahun yang diterima tki di indonesia rupiah 5 e bilangan eksponensial 6 r suku bunga riil persen 7 t tahun dasar yang digunakan (2011) 8 n masa kontrak kerja tahun 9 dc biaya perpindahan langsung rupiah 10 fe penghasilan tki yang dirasakan hilang rupiah perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 33 rangan antara estimasi penghasilan yang diterima tki di negara penempatan (p1.p2.yd = fv1) dengan estimasi penghasilan yang diterima tki bila bekerja di indonesia (p3.yo = fv2). alat analisis yang digunakan dengan pendekatan matematika untuk perhitungan dpv perbedaan penghasilan tki antara negara tujuan dan indonesia, yaitu fungsi intergral tertentu. todaro (1969) menjelaskan bahwa perhitungan dpv dilakukan untuk mengukur besaran penghasilan yang diterima pada daerah tujuan dan daerah asal dengan periode waktu ke depan (future time horizon, tn) yang sama ke dalam nilai saat ini (t0). penggunaan fungsi integral tertentu karena pembatasan periode waktu (n) perhitungan (chiang dan wainwright, 2005: 468469). dalam studi ini, n yang digunakan disesuaikan dengan masa kontrak kerja tki di negara tujuan. nfv e‐ dt e e e 10)* * persamaan (10) dikembangkan dari model investasi fungsi integral yang dijelaskan oleh chiang dan wainwright (2005: 468-469) nilai dpv penghasilan bersih tki pada persamaan (10) yang dikurangkan dengan biaya perpindahan (c) merupakan hasil akhir estimasi manfaat bersih (er) yang diterima tki. maka persamaan er(0) secara umum dapat ditulis er(0) = dpv– c. hasil dan pembahasan hasil perhitungan estimasi nilai manfaat bersih migrasi tki di empat negara penempatan dalam tabel 12 terlihat dari hasil er5 dan er6. pada er5 dengan masa kerja tiga tahun, manfaat yang diterima tki yang bekerja di korea selatan dan taiwan adalah sebesar 235 dan 130,8 juta rupiah. perbedaan penghasilan yang diperoleh oleh tki di kedua negara karena perbedaan sektor kerja di masing-masing negara. tki yang bekerja di korea selatan bekerja di sektor formal dengan standar upah relatif lebih tinggi dibandingkan tki taiwan yang bekerja di sektor informal. perolehan manfaat bersih tki malaysia dan singapura dengan masa kontrak kerja dua tahun sebesar 39 dan 48,5 juta rupiah. berbeda dengan kasus tki yang bekerja di korea selatan dan taiwan, yaitu tki yang bekerja di sektor formal mendapatkan nilai manfaat bersih yang lebih besar tetapi dalam kasus tki malaysia dan singapura, tki yang bekerja di sektor informal di singapura mendapatkan nilai manfaat bersih yang lebih besar dibandingkan tki malaysia yang bekerja di sektor formal. standar upah bagi tenaga kerja di malaysia relatif lebih rendah dibandingkan di singapura karena perekonomian singapura yang lebih maju dibandingkan di malaysia, sehingga standar kesejahteraan di singapura lebih tinggi. sedangkan er 6, estimasi nilai manfaat bersih yang diterima oleh tki yang tidak merasa kehilangan waktu kerja lebih besar dibandingkan t = n 0 tabel 12. ringkasan hasil estimasi nilai manfaat bersih migrasi tki (dalam rupiah) negara penempatan korea selatan (n=3) taiwan (n=3) malaysia* (n=2) singapura (n=2) 1 discounted present value (dpv) 251.999.605 152.051.093 44.819.748 66.462.235 2 biaya perpindahan (c = dc + fe) 17.519.000 21.214.000 5.662.000 17.889.000 biaya langsung (dc) 8.328.000 17.485.000 5.662.000 13.614.000 penghasilan yang hilang (fe) 9.191.000 3.729.000 4.275.000 3 estimasi nilai manfaat bersih (er) er 5 (dpv c) 234.480.605 130.837.093 39.157.748 48.573.235 er 6 (dpv -dc) 243.671.605 134.566.093 39.157.748 52.848.235 *perhitungan er tki malaysia: tki di bidang konstruksi jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 34 tki yang merasa kehilangan waktu kerja. pada tabel 13 terlihat selisih estimasi nilai manfaat bersih yang diterima oleh tki yang merasa kehilangan waktu kerja dan tidak pada persamaan er 5 dan 6. tki korea selatan yang tidak merasakan kehilangan waktu kerja hanya memperoleh manfaat 3,92 persen lebih besar dibandingkan manfaat yang diterima tki yang menghitung kehilangan kesempatan kerja sebagai biaya. selisih er 5 dan 6 tki malaysia adalah nol karena dalam komponen biaya perpindahan tki malaysia, nilai penghasilan yang hilang adalah nol (fe=0), sehingga c = dc. bila dilihat dari hasil perhitungan er 5 dan 6 pada tabel 13, perolehan manfaat bersih tki korea selatan jauh berbeda dibandingkan tki singapura dan malaysia karena perbedaan perhitungan masa kontrak kerja yang digunakan. pada tabel 14 ditampilkan hasil perhitungan dari penyesuaian masa kontrak kerja dari tiga tahunmenjadidua tahun. dilihat dari hasil perhitungan ertki korea selatan dan taiwan dengan periode kerja dua tahun, estimasi nilai manfaat bersih yang diterima tki korea selatan tetap paling besar dibandingkan dengan tki di tiga negara lainnya, yaitu sebesar 153,6 juta rupiah, tki taiwan 82 juta rupiah, tki singapura 48,5 juta rupiah, dan tki malaysia 39 juta rupiah. berdasarkan hasil tersebut, pencari kerja indonesia yang berminat untuk bekerja di keempat negara sebaiknya menjadikan perolehan nilai manfaat bersih sebagai bahan pertimbangan dalam memilih negara tujuan kerja. korea selatan merupakan negara yang potensial sebagai negara tujuan kerja baru bagi para pencari kerja karena memberikan nilai manfaat paling besar. simpulan hasil pembahasan perhitungan estimasi nilai manfaat bersih sebelumnya dapat disimpulkan adalah: 1) variabel yang dapat digunakan untuk menghitung nilai manfaat dan biaya tki yang bekerja di luar negeri adalah probabilitas menghindari deportasi (p1), probabilitas mendapatkan pekerjaan di negara tujuan (p2) dan di negara asal (p3), penghasilan yang diperoleh di negara tujuan (yd) dan di negara asal (yo), masa kontrak kerja (n), suku bunga riil (r), dan biaya perpindahan (c); 2) estimasi nilai manfaat bersih yang diterima tki yang bekerja di korea selatan dan taiwan selama masa kerja tiga tahun adalah sebesar 234,5 dan 130,8 juta rupiah. sedangkan untuk tabel 13. persentase selisih estimasi nilai manfaat bersih pada persamaan (2) dan (3) no negara penempatan er(5) er (6) persentase selisih (%δ) er (5) dan er (6) 1 korea selatan 234.480.605 243.671.605 3,92 2 taiwan 130.837.093 134.566.093 2,85 3 malaysia 39.157.748 39.157.748 0 4 singapura 48.573.235 52.848.235 8,80 *nilai er (2) dan (3) dalam rupiah tabel 14. ringkasan hasil alternatif estimasi nilai manfaat bersih migrasi tki (dalam rupiah) negara penempatan korea selatan (n=2) taiwan (n=2) 1 discounted present value (dpv) 171.182.701 103.287.927 2 biaya perpindahan (c = dc + fe) 17.519.000 21.214.000 biaya langsung (dc) 8.328.000 17.485.000 penghasilan yang hilang (fe) 9.191.000 3.729.000 3 estimasi nilai manfaat bersih (er) er5 (dpv c) 153.663.701 82.073.927 er 6 (dpv dc) 162.854.701 85.802.927 perhitungan nilai manfaat dan biaya ... (mita adhisti) 35 masa kerja dua tahun, estimasi nilai manfaat bersih yang diterima tki singapura sebesar 48,5 juta rupiah dan 39 juta rupiah untuk tki malaysia; 3) korea selatan merupakan negara tujuan bekerja karena memberikan nilai manfaat yang paling tinggi dibandingkan tiga negara lainnya; 4) pencari kerja indonesia yang ingin bekerja selain di empat negara yang dikaji dalam studi, dapat menghitung estimasi nilai manfaat bersih untuk bekerja di negara tujuan lainnya dengan menggunakan model perhitungan dalam studi ini. daftar pustaka brealey, r.a., myers, s. c., & marcus, a. j. (2009). fundamental of corporate finance. 6d ed. new york: mcgraw-hill companies, inc. blanchard, o. (2009). macroeconomics.5ded. new jearsey: pearson education, inc. chiang, a. c., & wainwright, k. (2005). fundamental methods of mathematical economics. 4d ed. new york: mcgraw-hill companies, inc. de jong, g.f. & gardner r.w (editor). (1981). migration decision making: multidisciplinary approaches to microlevel studies in developed and developing countries. new york: pergamon press. ehrenberg, r.g. & smith, r.s. (2009). modern labor economics: theory and public policy.11d ed. boston: pearson education, inc. greenwood, m.j. (2005). modeling migration. usa: exclopedia of social measurment, elsevier inc. international organization for migration (iom). (2010). labour migration from indonesia: an overview of indonesian migration to selected destinations in asia and the middle east. indonesia: iom. jennissen, r. (2007). causality chains in the international migration system approach. population research and policy review, vol. 26, hlm. 411-436. konseiga, a. (2005). household migration decisions as survival strategy: the case of burkina faso. african population and health research centre (aphrc). lee, e.s. (1966). a theory of migration. demography, vol. 3, hlm.45-57. massey, d.s et al. (1993). theories of international migration: a review and appraisal. population and development review, vol.19, hlm. 431-466. mckenna, c. k. (1980). quantitative methods for public decision making. u.s.a: mcgrawhill, inc. riadh, b. j. (1998). rural-urban migration: on the harris-todaro model. maitre de conference a 'l' universite de bretagne sud (ubs). sidhu, a.s. & kumar, n. (2005). pull and push factors in labour migration: a study of brick-kiln workers in punjab. indian journal of industrial relation, vol. 41, hlm. 221232. sjaastad, l.a. (1962). the costs and returns of human migration. the journal of political economy, vol. 70, hlm. 80-93. sub direktorat statistik ketenagakerjaan. (2010). keadaan angkatan kerja di indonesia (katalog). jakarta: badan pusat statistik (bps). tirtosudarmo, r. (1999). the indonesian state’s response to migration. journal of social issues in southeast asia. vol.14, hlm. 212-228. todaro, m.p. (1969). a model of labor migration and urban unemployement in less developed countries. the american economic review, vol. 59, hlm. 138-148. badan nasional penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia (bnp2tki). (2012). sejarah penempatan tki hingga bnp2tki. tersedia pada website: http:// www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/berita-foto-mainmenu-31/4054sejarah-penempatan-tki-hingga-bnp2tki.html badan pusat statistik (bps). (2011). keadaan pekerja di indonesia. katalog bps 2303006, no. publikasi 04120.1105. jakarta: bps badan pusat statistik (bps). 2011. keadaan ketenagakerjaan februari 2011. tersedia pada website: http://www.bps. go.id/ brs_file/naker-05mei11.pdf, diakses pada 24 april 2012. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 15, nomor 1, april 2014: 23-36 36 departemen tenaga kerja dan transmigrasi (depnakertrans). (2010). lowongan dan pencari kerja terdaftar di indonesia. tersedia pada website: http:// pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/katalog/ download.php?g=2&c=13 dan http:// pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/katalog/download.php?g=2& c=12, diakses pada 13 mei 2012. employment permit system (eps). (2012). hukum hak: peraturan-peraturan tentang masa kerja. tersedia pada website: http://www.eps.go.kr/in/duty/duty_01. jsp, diakses pada 13 oktober 2012. international labor organization (ilo). (2008). redefining the labor force framework: some inputs from the phillipine experience (editha b. rivera). tersedia pada website: http://www.ilo.org/global/statisticsand-databases/meetings-andevents/wcms_100704/lang-en/index.htm, diakses pada 12 juni 2012. keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia no. 104a/ 2002: penempatan tenaga kerja indonesia ke luar negeri. tersedia pada website: http://www.portalhr.com/wp-content/uploads/data/pdfs/pdf_peraturan/ 1204258381.pdf, diakses pada 12 juni 2012 world bank. (2012). how we classify countries. tersedia pada website: http://data. worldbank.org/about/country-classifications dan http://data. worldbank.org/ indicator/ny.gnp.pcap.cd,diakses pada 24 oktober 2012. microsoft word 01-nano jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 11, nomor 1, april 2010, hlm.1-19   pengembangan potensi unggulan sektor pertanian nano prawoto fakultas ekonomi universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta, indonesia, telepon:+62-274-387656 e-mail: nanoprawoto@yahoo.com abstract: in regional autonomy era, regional government obligated plan and control condition macroeconomics based on the condition of objective. entire sectors of the economy is expected to develop and encourage other economic sectors. development planners should maintain the leadingsectors so that the economy can be developed area. in addition, it is important to approach the non leading sector so that it becomes sub system in developing a leading sector. this research uses the location quotient analysis, analysis of the shift share, and a swot analysis to find out the leading subsector of agricultural sector. the result showed that the economy karimun having six sub-sectors in agriculture. the sub-sectors were sub sectors of the food crops, orchards, vegetables, fruits, aquaculture, and fisheries. keywords: leading sector, agriculture sector, location quotient, shift share analysis, swot abstrak: dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah berkewajiban merencanakan dan mengontrol kondisi makroekonomi berdasarkan kondisi obyektif. seluruh sektor ekonomi diharapkan dapat berkembang dan mendorong sektor ekonomi lainnya. perencana pembangunan harus mempertahankan sektor unggulan sehingga perekonomian daerah dapat dikembangkan. selain itu, penting untuk mendekati sektor bukan unggulan sehingga menjadi sub sistem dalam mengembangkan sektor unggulan. penelitian ini menggunakan analisis location quotient, analisis shift share, dan analisis swot untuk mengetahui subsektor yang unggulan di sektor pertanian. hasil penelitian menunjukkan bahwa perekonomian karimun memiliki enam subsektor di bidang pertanian. subsektor tersebut adalah tanaman pangan, perkebunan rakyat, sayuran, buah-buahan, budidaya perikanan, dan penangkapan ikan. kata kunci: sektor unggulan, sektor pertanian, location quotient, analisis shift share, swot pendahuluan pada era otonomi daerah saat sekarang, daerah diberi kewenangan dan peluang yang luas bagi pengembangan potensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. salah satu bentuk peluang itu adalah perlunya penajaman orientasi pembangunan yang berbasis pada potensi daerah. masing-masing daerah didorong tidak saja untuk lebih mampu mengambil peran dan prakarsa dalam perencanaan pembangunan, tetapi juga untuk lebih jeli mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat setempat. berdasarkan pada kemampuan itu maka pemerintah daerah benar-benar dapat menjadi pelaku utama pembangunan di daerahnya, sedangkan pemerintah pusat bertindak sebagai fasilitator dan koordinator pembangunan nasional. pelaksanaannya lebih mudah dilakukan dengan menyusun suatu rencana dan program aksi pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis sektor unggulan di kabupaten karimun. rencana dan aksi ini kelak menjadi acuan untuk mengalokasikan penggunaan sumberdaya dan dana. peran pemerintah daerah kabupaten dalam penyusunan kebijakan dan programprogram pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan peran dunia usaha untuk memacu aktivitas ekonomi produktif dengan sasaran peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja, diversifikasi kegiatan ekonomi, peningkatan investasi, dan lain-lain, jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 11, nomor 1, april 2010: 1-19 2 perlu dioptimalkan melalui ketersediaan informasi yang akurat. hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan penting bagi pemerintah. khususnya bagi pemerintah kabupaten karimun dalam mengembangkan daerahnya. ketersediaan informasi tersebut memiliki manfaat ganda. pertama, atas dasar rencana dan program aksi tersebut maka pemerintah setempat dapat menyusun kebijakan yang lebih tepat dan skala prioritas program-program pembangunan daerah. kedua, atas dasar yang sama pemerintah memiliki gambaran yang akurat tentang potensi, produk unggulan dan aktivitas ekonomi, termasuk bisnis dan investasi, sehingga dapat diketahui lebih jelas sumber-sumber pendapatan daerah (pajak, retribusi, dan lain-lain) dan rencana alokasinya. ketiga, gambaran itu dapat memudahkan investor dari luar daerah dan luar negeri untuk melakukan perencanaan bisnis dan investasi di daerah ini. pemetaan potensi investasi berdasarkan sektor-sektor ekonomi unggulan (competitive scale) menjadi semakin penting karena 3 (tiga) alasan berikut ini. pertama, pemerintah memiliki basis data sebagai bahan promosi untuk menarik investor luar daerah serta untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat dalam alokasi pembiayaan program-program pembangunan yang diprioritaskan daerah. kedua, pemerintah dapat mempertajam skala prioritas program pembangunan dan investasi yang lebih prospektif. ketiga, pemerintah juga dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang lebih pragmatis untuk mengeliminir kendalakendala struktural, institusional, dan legal di bidang bisnis dan investasi. berdasarkan kondisi potensi yang ada di daerah kabupaten karimun mempunyai potensi sumber daya yang cukup memadai sebagai basis keunggulan daerah antara lain berupa; (a) lahan pertanian yang luas, (b) jaringan industri, (c) jaringan perdagangan, (d) perairan yang luas untuk perikanan, (e) dan juga sumber daya manusia. demikian juga potensi pasar yang menjanjikan baik pasar domestik daerah kabupaten atau provinsi lain dan pasar luar negeri yang berdekatan dengan negara singapura yang notabene mempunyai ikatan perdagangan bebas dengan batam. melihat potensi tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh daerah, sehingga tujuan dan sasaran pembangunan dapat tercapai, yaitu optimalisasi alokasi sumber daya yang ada, kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup. secara umum studi ini bertujuan untuk pengembangan sektor pertanian yang berbasis pada sektor dan subsektor unggulan. sedangkan tujuannya secara khusus adalah (1) menentukan sektor unggulan, andalan, dan prospektif yang dimiliki daerah; (2) menyusun konsep dan strategi pengembangan ekonomi terutama sektor pertanian; (3) menyusun rencana dan program aksi pengembangan ekonomi pada sektor pertanian yang berbasis sektor unggulan. metode penelitian analisis location quotient (lq) location quotient (lq) merupakan alat analisis untuk mengetahui ada tidaknya spesialisasi suatu wilayah untuk sektor (industri) tertentu. pemanfaatan analisis lq dimaksudkan untuk melihat sektor yang menjadi sektor basis dan sektor bukan basis, sehingga daerah melihat keunggulan sektor yang dapat dijual dan dikembangkan untuk mendorong perekonomian di daerah atau kabupaten. lq = (eij/ej)/(ein/en) dimana: eij adalah kesempatan kerja di sektor i di wilayah j; ej adalah kesempatan kerja di wilayah j; ein adalah kesempatan kerja di sektor i di negara n; en adalah kesempatan kerja di negara n. dari rumus tersebut didapatkan hasil perhitungan dengan klasifikasi sebagai berikut: (1) jika nilai lq>1, maka wilayah j untuk sektor i ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah> tingkat spesialisasi nasional); (2) jika nilai lq= 1, maka wilayah j>untuk sektor i ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah=tingkat spesialisasi nasional); dan (3) jika nilai lq<1, maka wilayah j untuk sektor i tidak ada spesialisasi (tingkat spesialisasi wilayah1; artinya komoditas itu  menjadi basis atau menjadi sumber pertum‐ buhan.  komoditas  memiliki  keunggulan  komparatif, hasilnya tidak saja dapat meme‐ nuhi kebutuhan wilayah bersangkutan akan  tetapi juga dapat diekspor keluar wilayah, (2)   lq=1;  artinya  komoditas  itu  tergolong  non  basis, tidak memiliki keunggulan komparatif.  produksinya hanya cukup untuk memenuhi  kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu  untuk diekspor, (3) lq<1; artinya komoditas  juga termasuk non basis. produksi komoditas  di suatu wilayah  tidak dapat memenuhi ke‐ butuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari  luar.   metode dekomposisi shift‐share   shift‐share adalah suatu metode dekomposisi  sehingga kemudian dikenal dengan shift‐share  decomposition.  dekomposisi  itu  melakukan  pemilahan  suatu  elemen  kedalam  beberapa  elemen  sehingga  ketika  disatukan  lagi  akan  kembali  ke  angka  awal.  dekomposisi  yang  dilakukan  adalah  angka  pertumbuhan  eko‐ nomi  maka  dekomposisi  harus  mempunyai  nilai  ekonomi,  perbandingan  wilayah  studi  dan wilayah referensi, serta  logika ekonomi.  oleh karenanya, metode shift‐share ini kemu‐ dian  dikenal  dengan  shift‐share  analysis  (nazara,  2009).  formula  metode  ini  sebagai  berikut:       gi = g + (gi – g) + (gi ‐ gi )  (2)  keterangan; gi adalah pertumbuhan ekonomi  regional sektor i, gi adalah pertumbuhan eko‐ nomi nasional sektor  i, g adalah pertumbu‐ han  ekonomi  nasional,  g  adalah  pertum‐ buhan ekonomi regional  analisis  ini  memberikan  data  tentang  kinerja perekonomian regional dalam 3 (tiga)  bagian  yang  berhubungan  satu  sama  lain  yaitu national share (g), diukur dengan cara  menganalisis  perubahan  pengerjaan  agregat  perekonomian  secara  keseluruhan,  industry  mix (gi–g), mengukur perubahan relatif, per‐ tumbuhan  atau  penurunan  pada  daerah  di‐ bandingkan  dengan  perekonomian  yang  le‐ bih besar yang dijadikan acuan. pengukuran  ini  memungkinkan  kita  untuk  mengetahui  apakah perekonomian daerah  terkonsentrasi  pada  industri‐industri  yang  tumbuh  lebih  cepat ketimbang perekonomian yang dijadi‐ kan acuan, regional shift (gi‐gi), menentukan  seberapa jauh daya saing industri daerah (lo‐ kal)  dengan  perekonomian  yang  dijadikan  acuan. oleh karena itu,  jika pergeseran dife‐ rensial  dari  suatu  industri  adalah  positif,  maka  industri  tersebut  lebih  tinggi  daya  saingnya ketimbang industri yang sama pada  perekonomian yang dijadikan acuan.   metode input‐output  kerangka dasar model input output  kerangka dasar model i‐o terdiri atas empat  kuadran  seperti  disajikan  pada  gambar  2.  kuadran pertama menunjukkan arus barang  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 20  dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh  sektor‐sektor  dalam  suatu  perekonomian.  kuadran ini menunjukkan distribusi penggu‐ naan  barang  dan  jasa  untuk  suatu  proses  produksi sehingga disebut juga sebagai tran‐ saksi  antara  (intermediate  transaction).  kua‐ dran  kedua  menunjukkan  permintaan  akhir  (final demand), yaitu penggunaan barang dan  jasa  bukan  untuk  proses  produksi  yang  biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga,  pengeluaran  pemerintah,  persediaan  (stock),  investasi  dan  ekspor.  kuadran  ketiga  mem‐ perlihatkan  input  primer  sektor‐sektor  pro‐ duksi, yaitu semua balas jasa faktor produksi  yang  biasanya  meliputi  upah  dan  gaji,  sur‐ plus usaha, penyusutan dan pajak tidak lang‐ sung. kuadran keempat memperlihatkan  in‐ put primer yang langsung didistribusikan ke  sektor‐sektor permintaan akhir (bps, 1995).  tiap  kuadran  dinyatakan  dalam  bentuk  matriks.  bentuk  seluruh  matriks  menunjuk‐ kan  kerangka  model  i‐o  yang  berisi  uraian  statistik mengenai  transaksi barang dan  jasa  antarberbagai kegiatan ekonomi dalam suatu  periode  tertentu. kumpulan sektor produksi  pada kuadran pertama, yang berisi kelompok  produsen,  memanfaatkan  berbagai  sumber‐ daya  dalam  menghasilkan  barang  dan  jasa  yang  secara  makro  disebut  sebagai  sistem  produksi. sektor di dalam sistem produksi ini  dinamakan  sektor  endogen.  sektor  di  luar  sistem  produksi,  yaitu  yang  berada  di  kua‐ dran kedua, ketiga, dan keempat dinamakan  sektor eksogen. maka, terlihat bahwa model  i‐o membedakan antara sektor endogen de‐ ngan sektor eksogen. output, selain diguna‐ kan  dalam  sistem  produksi  dalam  bentuk  permintaan  antara,  juga  digunakan  di  luar  sistem  produksi  dalam  bentuk  permintaan  akhir.  input  yang  digunakan  dalam  sistem  produksi ada yang berasal dari dalam sistem  produksi  berupa  input  antara  dan  juga  ada  yang berasal dari  luar sistem produksi yang  disebut  input  primer.  gambar  2  menyajikan  kerangka dasar model input output.  selain transaksi antarsektor, juga tercatat  transaksi lain. perusahaan dalam suatu sektor  menjual  hasil  produknya  ke  konsumen  rumah  tangga,  pemerintah,  dan  perusahaan  luar negeri. penjualan ini dapat dikelompok‐ kan ke dalam suatu neraca yang disebut kon‐ sumsi  akhir  (resudarmo  et.al, 2002; sahara &  resudarmo,  2002).  perusahaan  juga  membu‐ tuhkan  jasa  tenaga  kerja  dan  memberikan  kompensasi  kepada  pemilik  modal.  pem‐ bayaran jasa kepada tenaga kerja dan pemilik  modal disebut pembayaran untuk nilai tam‐ bah.  selain  itu  perusahaan  membeli  barang  dan jasa dari luar negri atau dengan kata lain  melakukan impor. untuk memudahkan ilus‐ trasinya, tabel 2 menyajikan simplifikasi dari  tabel i‐o.  dari tabel 2 dapat dibuat dua persamaan  neraca berimbang:  baris:   nixfx ii n j ij ,...,3,2,1; 1      (3)     kuadran i :   transaksi antarkegiatan   kuadran ii: permintaan akhir  (nxn)  (nxm)  kuadran iii:   input primer sektor produksi  kuadran iv:   input primer permintaan akhir  (pxn)  (pxm)    sumber: bps (1995)  gambar 2. kerangka dasar model input‐output  studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  21 kolom:      n i jjjij nixmvx 1 ,...,3,2,1;   (4)  dimana xij adalah aliran nilai barang dan jasa  dari sektor  i ke sektor  j; fi adalah  total kon‐ sumsi akhir; vj adalah nilai tambah; dan mj  adalah impor.   definisi neraca berimbang adalah jumlah  produksi  sama  dengan  jumlah  masukan.  aliran dapat ditransformasikan menjadi koe‐ fisien‐koefisien dengan mengasumsikan bah‐ wa  jumlah berbagai  pembelian  adalah  tetap  untuk sebuah tingkat total keluaran dan tidak  ada  kemungkinan  subtitusi  antara  sebuah  bahan  baku  masukan  dengan  bahan  baku  masukan lainnya. koefisien‐koefisien ini ada‐ lah:  aij = xij / xj  (5)  atau  xij = aij xj   (6)   dengan mensubtitusikan persamaan (6) ke (3)  diperoleh:     n j iijij nixfxa 1 ,...,3,2,1;    (7)   dalam  notasi  matriks  persamaan  (7)  dapat ditulis sebagai berikut:  ax + f = x   (8)  dimana aij anxn ; fif ; dan xixnx1  dengan melakukan parameterisasi lanjut  persamaan (8) didapat hubungan dasar tabel  i‐o:    xfai  1   (9)  notasi    xfai  1   dinamakan  seba‐ gai matriks kebalikan leontief   (matriks mul‐ tiplier  masukan).  matriks  ini  mengandung  informasi penting  tentang bagaimana kenai‐ kan produksi dari suatu sektor akan menye‐ babkan  berkembangnya  sektor  lain.  karena  setiap  sektor  memiliki  pola  yang  berbeda,  maka  dampak  perubahan  produksi  suatu  sektor  terhadap  total  produksi  sektor  lain  berbeda  pula.  matriks  kebalikan  leontief  merangkum seluruh dampak dari perubahan  produksi suatu sektor terhadap total produk‐ si sektor lain ke dalam koefisien yang disebut  multiplier.  efek  pengganda  dan  analisis  keterkaitan  antarsektor  1. efek pengganda ouput. analisis penggan‐ da output (output multiplier) bertujuan untuk  melihat dampak perubahan permintaan akhir  suatu sektor terhadap semua sektor yang ada  tabel 2. simplifikasi tabel i‐o sektor pembeli  sektor penjual  1  2  …  n  permintaan  akhir  total  produksi  1  x11  x12  …  x1n  f1  x1  2  x21  x22  …  x2n  f2  x2  ..  …  …  …  …  …  …  n  xn1  xn2  …  xnn  fn  xn  nilai tambah  v1  v2  …  vn      impor  m1  m2  …  mn      total masukan  x1  x2  …  xn        sumber: resudarmo et.al (2002); nazara (2005)  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 22  tiap  satuan  perubahan  jenis  pengganda.  peningkatan permintaan akhir di suatu sektor  j,  tidak  hanya  akan  meningkatkan  output  produksi sektor  j, tapi  juga akan meningkat‐ kan  output  sektor‐sektor  lain  dalam  pereko‐ nomian.  peningkatan  output  sektor‐sektor  lain tercipta akibat adanya efek langsung dan  efek  tidak  langsung  dari  peningkatan  per‐ mintaan akhir sektor j (miller and blair, 1985).  prosedur  pengukuran  dimulai  dengan  me‐ rumuskan dampak pendapatan yakni sebagai  berikut:   oj =  n i ij   (10)  dimana oj adalah pengganda output sektor  j,  ij adalah elemen matriks kebalikan leontief.   2.  efek  pengganda  pendapatan.  metode  ini  digunakan untuk melihat besarnya kenaikan  total  pendapatan  masyarakat  untuk  setiap  kenaikan satu satuan output yang dihasilkan  suatu sektor. sebuah sektor dikatakan mem‐ punyai  peranan  yang  tinggi  dalam  menarik  pendapatan  masyarakat  jika  pengukuran  indeksnya  lebih  besar  dari  satu.  prosedur  pengukuran  dimulai  dengan  merumuskan  dampak pendapatan yakni sebagai berikut:  m =  ^ v 1)1(  da   (11)  dimana; m adalah matriks dampak pendapa‐ tan berukuran nxn; v̂  adalah matriks koefisi‐ en pendapatan berukuran nxn;  1)1(  da adalah  matriks pengganda output total.  matriks  v̂ merupakan matriks diagonal.  dengan demikian, dampak pendapatan ada‐ lah perkalian matriks diagonal koefisien pen‐ dapatan dengan pengganda output. dampak  perubahan permintaan akhir  terhadap peru‐ bahan pendapatan menjadi:  favm  1 ^ )1(   (12)  angka  pengganda  pendapatan  untuk  sektor j ditentukan oleh rumus:    j n i ij j v m y   1   (13)  dimana yj adalah pengganda pendapatan, mij  adalah unsur dari matriks dampak pendapa‐ tan baris i kolom j, vj adalah  koefisien penda‐ patan sektor j  angka  yj  mengandung  arti  berapa  pe‐ nambahan  (pengurangan)  pendapatan  bagi  perekonomian  secara  keseluruhan  jika  pen‐ dapatan  para  pekerja  di  sektor  j  meningkat            (berkurang ) sebesar satu satuan uang.  3. efek pengganda kesempatan kerja. meto‐ de ini digunakan melihat peran suatu sektor  dalam  hal  meningkatnya  besarnya  jumlah  tenaga  kerja  yang  dapat  diserap  oleh  suatu  perekonomian. suatu sektor dikatakan memi‐ liki  peran  yang  tinggi  jika  pengukuran  in‐ deksnya  lebih  besar  dari  satu.  dampak  ke‐ sempatan  kerja  dapat  dirumuskan  sebagai  berikut:  1 ^ )1(  dale   (14)  dimana;  e  adalah  matriks  dampak kesempa‐ tan  kerja,  l̂ adalah  matriks  koefisien  tenaga  kerja yaitu berisi rasio tenaga kerja terhadap  total input tiap sektor.   matriks  ini  adalah  matriks  diagonal  dengan komponennya diperoleh dengan    lj =  j j x tk   (15)  dimana tkj adalah jumlah tenaga kerja sektor  j, xj adalah total input sektor j  perubahan  jumlah  tenaga  kerja  yang  dibutuhkan  karena  perubahan  permintaan  akhir  domestik  tiap  sektor  dirumuskan  dengan:  dd fale  )1( ^   (16)  studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  23 angka  pengganda  kesempatan  kerja  sektor j ditentukan oleh rumus:  j n i ij j l e z   1   (17)  dimana zj adalah pengganda kesempatan kerja  (employment  multiplier  sektor  j),  eij  adalah  elemen matriks dampak kesempatan kerja (e)  baris i kolom j, lj adalah koefisien tenaga kerja  j.  angka  zj  mengandung  arti  berapa  pe‐ nambahan  (pengurangan)  kesempatan  kerja  bagi  perekonomian  secara  keseluruhan  jika  kesempatan kerja di sektor j meningkat (ber‐ kurang) sebesar satu orang.  4.  analisis  keterkaitan.  melalui  tabel  input  output dapat juga dilihat atau dianalisis keter‐ kaitan  total  antarsektor  (total  sektor  linkage  effect)  yakni  pertama,  efek  berantai  kepada  sektor  lain  yang  menggunakan  output  dari  sektor pertama sebagai  inputnya, yang dise‐ but  indeks  keterkaitan  langsung  ke  depan.  baik kedua, efek berantai kepada sektor yang  memberi  input  kepada sektor  tertentu,  yang  disebut  indeks  keterkaitan  ke  belakang  (hartono, 2009).    analisis keterkaitan langsung ke depan.  konsep  ini  diartikan  sebagai  kemampuan  suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan  produksi sektor lain yang memakai input dari  sektor  ini.  tingkat  keterkaitan  langsung  ke  depan  dapat  dilihat  dari  jumlah  nilai  koefisien  input yang sebaris dengan sektor  i  atau  jumlah elemen matriks a pada baris  i.  semakin besar angka ini ketika bernilai lebih  besar dari satu menunjukkan semakin besar  tingkat keterkaitan  langsung kedepan sektor  i. penghitungannya sebagai berikut:       n i n j ij n j ij i a an ikdl 1 1 1   (18)  dimana ikdli adalah indeks keterkaitan lang‐ sung  ke  depan  sektor  i,  aij  adalah  koefisien  input antara sektor j yang berasal dari sektor i  analisis keterkaitan langsung ke bela‐ kang.  konsep  ini  diartikan  sebagai  kemam‐ puan suatu sektor untuk meningkatkan per‐ tumbuhan  industri  hulunya.  tingkat  keter‐ kaitan  langsung  kebelakang  dapat  dilihat  dari  jumlah  nilai  koefisien  input  antara  dari  sektor j atau jumlah elemen matriks a  pada  kolom  j.  semakin  besar  angka  ini  ketika  bernilai  lebih  besar  dari  satu  menunjukkan  semakin besar keterkaitan  langsung ke bela‐ kang. pengukuran  indeks  ini adalah sebagai  berikut:       n i n j ij n i ij j a an ikbl 1 1 1   (19)  dimana ikblj adalah indeks keterkaitan lang‐ sung ke belakang sektor j, aij adalah koefisien  input antara sektor j yang berasal dari sektor  i.  hasil dan pembahasan  pada bagian  ini akan ditampilkan hasil esti‐ masi dengan menggunakan metode yang te‐ lah diuraikan di atas. berikut penyajian hasil  pengolahan serta pembahasannya.  metode analisis basis ekspor      1.  metode  location  quotient.  metode  ini  digunakan  untuk  mengetahui  apakah  ada  keunggulan komparatif dalam perekonomian  daerah yang dianalisis sehingga dapat dike‐ tahui sektor basis ekonomi wilayah sulawesi  tenggara.  hasil  analisis  dapat  dilihat  pada  lampiran tabel l1.   berdasarkan  analisis  maka  yang  terma‐ suk sektor basis di sulawesi tenggara adalah  sektor  pertanian,  sektor  bangunan,  sektor  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 24  pengangkutan & komunikasi, dan sektor jasa.   selain  itu  dengan  menggunakan  koefi‐ sien  lq  dapat  juga  diketahui  pengganda  sektor  basis.  hasilnya  dapat  dilihat  pada  lampiran  tabel  l2  tampak  nilai  pengganda  cukup  besar.  nilai  ini  mengandung  makna  bahwa  sektor  basis  perlu  ditopang  oleh  sektor  non  basis  atau  sektor  pendukung  sehingga keduanya  dapat berkontribusi pada  total  perekonomian  sulawesi  tenggara.  jika  perekonomian  makin  besar  maka  perlu  banyak  sektor  pendukung  dalam  perekono‐ mian  tersebut  yang  harusnya  mampu  disediakan oleh perekonomian lokal.  meski demikian masih ada peluang bagi  sulawesi  tenggara  untuk  mengembangkan  sektor lain seperti sektor perdagangan, hotel,  dan  restoran  karena  potensi  wisata  belum  digarap  secara  optimal  meski  memiliki  po‐ tensi yang besar dan beragam seperti pulau  wakatobi.  padahal  sektor  ini  memiliki  kon‐ tribusi  cukup  besar  dalam  pembentukan  pdrb  di  sulawesi  tenggara  seperti  terlihat  pada tabel 1.  2. metode dekomposisi shift‐share. metode  ini digunakan untuk mengetahui perubahan  struktur  ekonomi  daerah  studi  bila  diban‐ dingkan  dengan  daerah  referensi  sehingga  dapat  ditentukan  kinerja  atau  produktivitas  ekonomi  daerah  dibanding  dengan  daerah  yang  lebih  besar.  hasil  analisis  disajikan  dalam lampiran tabel l3.   berdasarkan  estimasi  dapat  dijelaskan  pertumbuhan  tiap  sektor  ekonomi  di  sulawesi  tenggara  dari  tahun  2002  hingga  tahun  2006  yang  dipengaruhi  komponen‐ komponen:  pertama,  tahun  2003  pertumbu‐ han tiap sektor ekonomi di sulawesi tengga‐ ra  disumbang  oleh  pertumbuhan  ekonomi  nasional  (national  share)  sebesar  4,63  persen.  industry  mix  bernilai  positif  yang  dimiliki  oleh sektor pertanian, pertambangan dan ga‐ lian, listrik, gas, dan air bersih, pengangkutan  dan  komunikasi,  serta  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  menunjukkan  bahwa  per‐ tumbuhan  sektor  ekonomi  tersebut  lebih  tinggi  daripada  pertumbuhan  ekonomi  di  tingkat  nasional.  sebaliknya  industry  mix  bernilai negatif yang dimiliki oleh sektor  in‐ dustri,  bangunan,  perdagangan,  hotel,  dan  restoran serta  jasa menunjukkan bahwa per‐ tumbuhan  sektor  tersebut  lebih  kecil  dari  pertumbuhan ekonomi nasional. regional shift  bernilai  positif  pada  sektor  pertanian,  per‐ tambangan  dan  galian,  listrik,  gas,  dan  air  bersih, pengangkutan dan komunikasi, keua‐ ngan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  serta  jasa‐ jasa menunjukkan bahwa pertumbuhan sek‐ tor  ekonomi  tersebut  lebih  tinggi  daripada  pertumbuhan sektor ekonomi sejenis di ting‐ kat  nasional.  ini  juga  menunjukkan  bahwa  kontribusi  sektor  ekonomi  tersebut  cukup  besar  dibanding  kontribusi  sektor  sejenis  di  wilayah  sulawesi.  begitu  juga  sebaliknya  untuk regional shift yang bernilai negatif.   kedua,  pada  tahun  2006  pertumbuhan  tiap  sektor  ekonomi  di  sulawesi  tenggara  disumbang  oleh  pertumbuhan  ekonomi  nasional  (national  share)  sebesar  5,35  persen.  industry  mix  bernilai  positif  yang  dimiliki  oleh sektor industri,  listrik, gas, dan air ber‐ sih,  konstruksi,  pengangkutan  dan  komuni‐ kasi,  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  serta  jasa‐jasa.  ini menunjukkan bahwa per‐ tumbuhan  sektor  ekonomi  tersebut  lebih  tinggi  daripada  pertumbuhan  ekonomi  di  tingkat  nasional.  sebaliknya  industry  mix  bernilai  negatif  yang  dimiliki  oleh  sektor  pertanian, pertambangan dan galian, bangu‐ nan,  perdagangan,  hotel,  dan  restoran  serta  pengangkutan dan komunikasi menunjukkan  bahwa  pertumbuhan  sektor  tersebut  lebih  kecil dari pertumbuhan ekonomi secara kese‐ luruhan  di  tingkat  nasional.  regional  shift  bernilai positif pada sektor pertanian, indus‐ tri,  listrik,  gas,  dan  air  bersih,  keuangan,  sewa, dan jasa perusahaan serta jasa‐jasa me‐ studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  25 nunjukkan  bahwa  pertumbuhan  sektor  eko‐ nomi tersebut  lebih tinggi daripada pertum‐ buhan  sektor  ekonomi  sejenis  di  tingkat  nasional  ini  juga  menunjukkan  bahwa  kon‐ tribusi sektor ekonomi  tersebut cukup besar  dibanding  kontribusi  sektor  sejenis  di  wila‐ yah  sulawesi.  begitu  juga  sebaliknya  untuk  regional shift yang bernilai negatif.  selain  itu,  dalam  rentang  periode  ini  sektor  yang  mempunyai  industry  mix  dan  regional shift yang positif adalah sektor listrik  gas  dan  air,  serta  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan.  kedua  sektor  ini  dapat  dikate‐ gorikan  sebagai  sektor  tumbuh  cepat  serta  mempunyai daya saing tinggi.   sektor dengan industry mix bernilai posi‐ tif  dan  regional  shift  bernilai  negatif  adalah  sektor pengangkutan dan komunikasi. maka  sektor ini dapat dikategorikan sebagai sektor  yang mampu tumbuh cepat namun memiliki  daya  saing  rendah.  kemudian,  sektor  yang  lain  masuk  kategori  sektor  yang  tumbuh  lambat  namun  punya  daya  saing  tinggi  seperti  sektor  pertanian  dan  sektor  jasa.  sisanya  berupa  sektor  yang  masuk  kategori  tumbuh lambat dan daya saing rendah yakni  sektor  pertambangan  &  galian,  bangunan,  serta perdagangan, hotel, & restoran.  metode analisis input‐output   1.  struktur  pendapatan  nasional.  melalui  analisis  input‐output tahun 1995 akan diurai‐ kan struktur pendapatan nasional di provinsi  sulawesi tenggara baik dari sisi pengeluaran.   struktur pendapatan nasional berdasar  pengeluaran,  menunjukkan  struktur  penda‐ patan nasional sebagai penjumlahan dari se‐ luruh  pengeluaran  agregat  yang  dilakukan  oleh pelaku ekonomi dalam suatu perekono‐ mian. komponen pengeluaran agregat yaitu  konsumsi rumah tangga, investasi perusaha‐ an, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan im‐ por.  berdasarkan  lampiran tabel l4,  terlihat  bahwa  konsumsi  rumah  tangga  memiliki  kontribusi  paling  besar  yakni  rp1.213.500  juta  setara  46,72  persen  kemudian  diikuti  oleh pos ekspor barang,  investasi, pengelua‐ ran pemerintah, dan impor. tingginya kontri‐ busi nilai ekspor dan investasi menunjukkan  bahwa  potensi  lokal  daerah  ini  mampu  menarik  minat  investor  selain  produksinya  cukup  baik  sehingga  gerak  ekonomi  lokal  tidak  begitu  didominasi  oleh  pemerintah  daerah sebagaimana yang jamak terjadi pada  beberapa  daerah  di  indonesia.  kondisi  ini  juga ditunjukkan oleh rendahnya impor yang  berarti bahwa ekonomi lokal mampu menye‐ diakan  barang  atau  jasa  yang  dibutuhkan  oleh  perekonomian.  bandingkan  dengan  menggunakan  tabel  input‐output  tahun  1995  tingkat nasional sebagaimana dalam lampi‐ ran tabel l5.  tabel  l5  memperlihatkan  dominasi  sek‐ tor konsumsi cukup tinggi baik untuk tingkat  region di sulawesi tenggara maupun nasio‐ nal. berikutnya sama, diikuti oleh pos inves‐ tasi dan konsumsi yang persentase kontribu‐ sinya mencapai lebih dari dua puluh persen.  perbedaan  terlihat  pada  pos  impor  dimana  kontribusi impor di sulawesi tenggara lebih  kecil  daripada  tingkat  nasional.  sebaliknya  pada  pos  pengeluaran  pemerintah  dimana  kontribusi  pengeluaran  pemerintah  di  sula‐ wesi tenggara lebih besar daripada nasional.  2.  efek  pengganda.  analisis  input‐output  tahun 1995 dibahas dengan efek pengganda  baik efek pengganda output, efek pengganda  pendapatan, maupun efek pengganda tenaga  kerja.  efek pengganda output. pengganda out‐ put (output multiplier) bertujuan untuk meli‐ hat  dampak  perubahan  permintaan  akhir  suatu sektor terhadap semua sektor yang ada  tiap satuan perubahan jenis pengganda. tabel  l6  menyajikan  analisis  efek  pengganda out‐ put.  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 26  sektor pertambangan & penggalian me‐ miliki  pengganda  output  tertinggi  (3,01425),  kemudian diikuti sektor pertanian dan sektor  industri  pengolahan  yang  masing‐masing  bernilai  2,36691  dan  2,01438.  hal  ini  berarti  setiap kenaikan permintaan output sektor ini  sebesar  rp1,  berdampak  meningkatkan  out‐ put  perekonomian  secara  keseluruhan  ma‐ sing‐masing sebesar  rp 3,01425; rp 2,36691;  dan rp 2,01438. tiap sektor  ini berkekuatan  besar  dalam  menstimulir  pertumbuhan  dan  dibutuhkan oleh sektor lain. sedangkan, sek‐ tor yang memiliki pengganda bernilai rendah  yakni  sektor  transportasi  dan  sektor  keua‐ ngan, sewa, dan  jasa perusahaan menunjuk‐ kan  sektor  ini  tidak  banyak  membutuhkan  input dari sektor lain.  efek pengganda pendapatan. metode ini  digunakan untuk melihat besarnya kenaikan  total  pendapatan  masyarakat  untuk  setiap  kenaikan satu satuan output yang dihasilkan  suatu  sektor. tabel l7  menyajikan  data  efek  pengganda pendapatan.  hasil dari dampak dan pengganda pen‐ dapatan sektor‐sektor perekonomian di sula‐ wesi  tenggara  menunjukkan  bahwa  sektor  keuangan, sewa, dan  jasa perusahaan mem‐ beri nilai terbesar  jika dibanding sektor lain.  adapun sektor berikutnya adalah sektor per‐ tambangan  dan  penggalian;  perdagangan,  hotel, dan restoran;  jasa‐jasa; bangunan; per‐ tanian;  transportasi, dan komunikasi;  listrik,  gas, & air serta industri.   nilai  pengganda  pendapatan  di  sektor  keuangan, sewa, dan jasa perusahaan sebesar  0,75565.  nilai  tersebut  mengandung  arti  bahwa  untuk  setiap  kenaikan  satu  satuan  output yang dihasilkan sektor  jasa‐jasa,  total  pendapatan  masyarakat  sulawesi  tenggara  akan meningkat sebesar rp 0,75565 milyar.    begitu juga untuk sektor industri dengan  nilai sebesar 0,30322 mengandung arti bahwa  untuk  setiap  kenaikan  satu  satuan  output  yang  dihasilkan  oleh  sektor  pertambangan  dan penggalian, total pendapatan masyarakat  di  sulawesi  tenggara  akan  meningkat  sebesar rp0,30322 milyar. nilai ini termasuk  paling  kecil  jika  dibandingkan  dengan  nilai  pengganda sektor lain.  efek  pengganda  kesempatan  kerja.  metode  ini  digunakan  melihat  peran  suatu  sektor  dalam  hal  meningkatnya  besarnya  jumlah tenaga kerja yang dapat diserap oleh  suatu perekonomian. suatu sektor dikatakan  memiliki peran yang tinggi  jika pengukuran  indeksnya lebih besar dari satu.   hasil  pengganda  kesempatan  kerja  sek‐ tor‐sektor perekonomian di sulawesi tengga‐ ra disajikan pada lampiran tabel l8 menun‐ jukkan  bahwa  sektor  industri  pengolahan  memberi nilai terbesar  jika dibanding sektor  lain. adapun sektor berikutnya yang menyu‐ sul adalah sektor jasa‐jasa; pertanian; pertam‐ bangan  &  penggalian;  listrik,  gas,  &  air  minum;  perdagangan,  hotel,  &  restoran;  bangunan;  transportasi  &  komunikasi;  serta  keuangan, sewa, dan jasa perusahaan.   nilai  pengganda  kesempatan  kerja  di  sektor  industri  pengolahan  sebesar  0,97147.  dengan  asumsi  ada  keterkaitan  antarsektor  maka  jika  terjadi  peningkatan  output  sektor  industri  pengolahan  sebesar  1  milyar,  ber‐ dampak pada penambahan kesempatan kerja  bagi perekonomian secara keseluruhan sebe‐ sar 971 orang. dampak kesempatan kerja ter‐ hadap  sektor  industri  pengolahan  sendiri  adalah naik sebesar 761 orang  sesuai dengan  koefisien teknisnya.  begitu  juga  untuk  sektor  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  dengan  nilai  sebesar  0,10195.  dengan  asumsi  yang  sama,  jika  terjadi  peningkatan  output  sektor  keua‐ ngan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  sebesar  1  milyar,  berdampak  pada  penambahan  ke‐ sempatan  kerja  bagi  perekonomian  secara  keseluruhan sebesar 9 orang. dampak kesem‐ studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  27 patan kerja terhadap sektor keuangan, sewa,  dan  jasa perusahaan sendiri begitu kecil. ini  menunjukkan bahwa sektor ini kurang sensi‐ tif dalam menciptakan  lapangan kerja. nilai  ini  termasuk  paling  kecil  jika  dibandingkan  dengan nilai pengganda sektor lain.  3. analisis  keterkaitan.  analisis  tabel  input  output dapat juga dilihat atau dianalisis keter‐ kaitan  total  antarsektor  (total  sektor  linkage  effect)  yakni  indeks  keterkaitan  langsung  ke  depan,   indeks keterkaitan kebelakang, serta  analisis keterkaitan antarsektor.   analisis keterkaitan langsung ke depan.  hasil analisis keterkaitan langsung ke depan  menunjukkan  bahwa  sektor  pertanian  dan  perdagangan hotel & restoran memiliki nilai  yang tinggi dibandingkan sektor lainnya. hal  tersebut dapat dilihat dalam lampiran tabel  l9.  sektor pertanian dan perdagangan hotel  &  restoran  memiliki  nilai  keterkaitan  lang‐ sung kedepan masing‐masing sebesar 2,83369  dan  1,27585.  nilai  ini  yang  dihasilkan  oleh  kedua  sektor  menunjukkan  bahwa  sektor  pertanian dan perdagangan hotel & restoran  mempunyai kemampuan kuat untuk mendo‐ rong  pertumbuhan  output  industri  hilirnya.  selain itu, output yang dihasilkan dari kedua  sektor di atas merupakan komoditas interme‐ dier, dalam artian menjadi komponen bahan  baku bagi industri dan sektor perekonomian  lainnya.  analisis keterkaitan langsung ke bela‐ kang. hasil analisis keterkaitan  langsung ke  depan  menunjukkan  bahwa  sektor  pertam‐ bangan  &  penggalian  dan  sektor  pertanian  memiliki  nilai  yang  tinggi  dibandingkan  sektor  lainnya.  hal  tersebut  dapat  dilihat  dalam tabel l10.  selain  sektor  pertambangan  &  pengga‐ lian,  sektor  pertanian,  serta  sektor  perdaga‐ ngan  hotel  &  restoran  juga  memiliki  nilai  yang  lebih  besar  dari  satu.  nilai  tersebut  mengandung  arti  bahwa  sektor  pertamba‐ ngan  &  penggalian,  sektor  pertanian,  serta  sektor  perdagangan,  hotel  &  restoran  mem‐ punyai kemampuan yang kuat untuk mena‐ rik  pertumbuhan  sektor  hulunya  karena  setiap  satu  satuan  peningkatan  permintaan  akhir  pada  setiap  lima  sektor  tersebut  akan  mendorong peningkatan output pada sektor‐ sektor  yang  menggunakannya  sebagai  input  dimana  peningkatannya  sektor  hulunya  masing‐masing sebesar 1,57147 untuk sektor  pertambangan  &  penggalian;  1,23398  untuk  sektor  pertanian;  serta  1,0233  untuk  sektor  perdagangan, hotel & restoran.  analisis  keterkaitan  total  antarsektor  dan penentuan sektor prioritas. melalui ta‐ bel l11  terlihat  bahwa  sektor  pertanian  dan  sektor perdagangan hotel & restoran menjadi  sektor  prioritas  dalam  perekonomian  pro‐ vinsi sulawesi tenggara karena kedua sektor  ini  memiliki  nilai  keterkaitan  kedepan  dan  nilai keterkaitan ke belakang yang lebih besar  dari  satu.  sektor  ini  dalam  jangka  panjang  dapat  mendorong  tumbuhnya  sektor  lain  dalam perekonomian, strategi jangka panjang  umumnya  ditujukan  untuk  menciptakan  pertumbuhan  ekonomi  yang  berkelanjutan.  dalam kuadran keterkaitan antarsektor pere‐ kuadran ii :  kuadran i :     pertanian, perdagangan, hotel, & restoran  kuadran iii :  kuadran iv :  listrik & air bersih, angkutan & komunikasi  pertambangan  bangunan, jasa, bank, lemb. keuangan, dan lainnya  industri pengolahan  gambar 3. kuadran keterkaitan antarsektor ekonomi di sulawesi tenggara  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 28  konomian  sulawesi  tenggara  terlihat  jelas  bahwa  kedua  sektor  memegang  peran  penting (gambar 3).  kesimpulan  melalui  analisis  yang  dilakukan  dengan  menggunakan  metode  lq,  ss,  dan  analisis  input‐output untuk sulawesi tenggara dipero‐ leh  temuan  sebagai  berikut: pertama,  sektor  pertanian,  sektor  bangunan/konstruksi,  sek‐ tor  pengangkutan  &  telekomunikasi,  serta  sektor  jasa menjadi sektor basis di sulawesi  tenggara,  kedua, pengganda sektor basis yang ber‐ nilai  besar  ada  pada  sektor  pengangkutan  dan komunikasi serta sektor jasa‐jasa,   ketiga,  sektor  yang  mengalami  industry  mix dan regional shift positif adalah sektor lis‐ trik  gas  dan  air,  serta  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan.  kedua  sektor  ini  dapat  di‐ kategorikan  sebagai  sektor  tumbuh  cepat  serta mempunyai daya saing tinggi.   keempat,  sektor  dengan  industry  mix  bernilai positif dan regional shift bernilai nega‐ tif  adalah  sektor  pengangkutan  dan  komu‐ nikasi.  maka  sektor  ini  dapat  dikategorikan  sebagai  sektor  yang  mampu  tumbuh  cepat  namun memiliki daya saing rendah.   kelima, sektor yang  lain masuk kategori  sektor  yang  tumbuh  lambat  namun  punya  daya saing tinggi seperti sektor pertanian dan  sektor jasa.   keenam, sektor yang masuk kategori sek‐ tor yang tumbuh lambat dan daya daing ren‐ dah  yakni  sektor  pertambangan  dan  galian,  bangunan,  serta  perdagangan,  hotel,  dan  restoran.sektor  industri,  listrik  gas  dan  air,  bangunan dan konstruksi, perdagangan hotel  dan restoran, angkutan dan komunikasi, ke‐ mudian  jasa‐jasa.  selain  itu,  hampir  semua  sektor mempunyai daya saing tinggi kecuali  sektor bangunan/konstruksi.  ketujuh, sektor pertambangan dan peng‐ galian  memiliki  pengganda  output  tertinggi,  sedangkan  sektor  keuangan,  sewa,  dan  jasa  perusahaan  mempunyai  pengganda  output  terendah.  kedelapan,  sektor  pertanian  dan  perda‐ gangan hotel & restoran memiliki nilai keter‐ kaitan  langsung  ke  depan  lebih  besar  dari  satu.  kesembilan,  sektor  pertambangan  &  penggalian, sektor pertanian, serta sektor per‐ dagangan hotel & restoran juga memiliki nilai  keterkaitan langsung ke belakang yang lebih  besar dari satu.     terakhir, sektor pertanian dan sektor per‐ dagangan, hotel, dan restoran menjadi sektor  kunci  dalam  perekonomian  di  sulawesi  tenggara.  pemprov  tetap  perlu  memperhatikan  sektor  lain  seperti  sektor  pengangkutan  &  komunikasi  serta  sektor  jasa  meski  sektor  pertanian dan perdagangan hotel & restoran  menjadi  sektor  unggulan.  karena  ketergan‐ tungan  antarsektor  ada  sehingga  jika  tidak  diperhatikan  dapat  mengganggu  kegiatan  ekonomi lokal di sulawesi tenggara.  pemerintah  provinsi  sulawesi  tenggara  haruslah menciptakan kebijakan yang dapat  mendorong  tumbuhnya  sektor  basis  di  samping  memberdayakan  potensi  sektor  pendukung  dalam  hal  ini  sektor  non  basis.  pengganda  sektor  nonbasis  cukup  besar  bahkan lebih tinggi daripada sektor basis, jika  mampu dikelola dengan baik dimana ketika  perekonomian berkembang dan memerlukan  sektor  pendukung  dalam  hal  ini  sektor  non  basis.  upaya  ini  harusnya  dapat  dipenuhi  oleh  ekonomi  lokal  sehingga  dapat  membe‐ rikan manfaat bagi warga provinsi sulawesi  tenggara.  pemerintah  provinsi  sulawesi  tenggara  studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  29 perlu memperhatikan kabupaten yang masuk  dalam  kategori  kabupaten  potensial  seperti  kabupaten wakatobi dan kota bau‐bau yang  masuk  dalam  kategori  kabupaten  berkem‐ bang cepat yang pada akhirnya berkontribusi  dalam  peningkatan  pendapatan  di  sulawesi  tenggara pada umumnya.   pemerintah  perlu  melakukan  perenca‐ naan menyeluruh bila alan mengembangkan  sektor prioritas. karena strategi yang dipilih  akan  menimbulkan  perdebatan  dimana  sek‐ tor prioritas yang dipilih  tidak membahaya‐ kan  lingkungan  atau  sebaliknya.  alternatif  perencanaan dapat dengan menerapkan tek‐ nologi  yang  sesuai  sehingga  dapat  menghe‐ mat sumberdaya alam dan mengurangi inten‐ sitas  polusi  sehingga  tidak  merusak  lingku‐ ngan dan   keberlangsungan dapat  lebih  ter‐ jaga.  pemerintah  perlu  meningkatkan  daya  saing  produk  domestik  terhadap  komoditi  yang  akan  diperdagangkan  jangan  hanya  melakukan  kegiatan  perdagangan  yang  ko‐ moditinya  tidak  memberikan  nilai  tambah.  salah  satunya  melalui  perbaikan  infrastruk‐ tur  setidaknya  mendekati  dengan  yang  di‐ miliki oleh provinsi sulawesi selatan.   keterbatasan  dalam  studi  adalah  data  input‐output  yang  digunakan  tahun  1995.  studi  ke  depan,  diharapkan  menggunakan  data  yang  lebih  baru  selain  menambah  metode yang sering digunakan maupun yang  tengah  dikembangkan  dalam  analisis  regio‐ nal.  daftar pustaka  antara,  made.  2005.  kebutuhan  investasi  sektor basis dan non basis dalam pere‐ konomian regional bali. makalah.   azhar, syarifah, lies, fuaidah dan m nassir  abdussamad. 2001. analisis sektor basis  dan non basis di provinsi nangroe aceh  darussalam. makalah.  badan pusat statistik. 1995. kerangka teori dan  analisis  tabel  input  output.  jakarta:  badan pusat statistik.   bps sulawesi tenggara. 2007. produk domes‐ tik regional bruto sulawesi tenggara ta‐ hun 2000‐2006. sulawesi tenggara.   bps sulawesi tenggara. 2008, sulawesi teng‐ gara dalam angka 2008.  sulawesi  teng‐ gara: badan pusat statistik.   hartono, djoni. 2009. bahan kuliah model eko‐ nomi.  bahan  ajar  kuliah  model  eko‐ nomi ppie fakultas ekonomi universi‐ tas indonesia.  hendayana,  rachmat.  2003,  aplikasi  metode  location  quotient  (lq)  dalam  penentuan  komoditas  unggulan  nasional.  informa‐ tika pertanian, vol 13, desember.  kadariah. 1987. perhitungan pendapatan nasio‐ nal. jakarta: lp3es.   miller, ronald e. & peter d blair. 1985. input‐ output analysis: foundations and exten‐ sions. new jersey: prentice hall.   nazara, suahazil. 2005. analisis input‐output  edisi kedua.  jakarta:  lembaga  penerbit  fakultas  ekonomi  universitas  indone‐ sia.   nazara, suahazil. 2009. bahan kuliah ekonomi  regional.  bahan  ajar  kuliah  ekonomi  regional  ppie  fakultas  ekonomi  uni‐ versitas indonesia.  resudarmo,  budi  p,  djoni  hartono,  tauhid  a,  nina  i.l.s,  olivia,  dan  anang  n.  2002. analisis penentuan sektor prioritas  di kelautan dan perikanan indonesia. pe‐ sisir dan lautan, vol 4 no 3.  sahara,  dan  budi  p  resudarmo.  2002. peran  industri  pengolahan  terhadap  perekono‐ mian dki: analisis input output. work‐ ing paper.   jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 30  soepono,  prasetyo.  1993.  “analisis  shift  share:  perkembangan dan  penerapan”.  jurnal ekonomi dan bisnis indonesia, sep‐ tember.   virgowansyah,  cheka  dan  suahazil  nazara.  2007. “analisis sumber perubahan out‐ put  sektoral  perekonomian  indonesia  1975–2003”.  jurnal  kebijakan  ekonomi,  vol 2 no 3, april.   yamin,  muhammad.  2005.  “analisis  penga‐ ruh pembangunan sektor pertanian ter‐ hadap  distribusi  pendapatan  dan  pe‐ ningkatan  lapangan  kerja  di  provinsi  sumatera  selatan”.  jurnal pembangunan  manusia.        lampiran  tabel l1. hasil perhitungan dengan metode lq di provinsi sulawesi tenggara tahun   sektor ekonomi  2002  2003  2004  2005  2006  rerata  keterangan  1  pertanian  2.3624  2.3320  2.3851  2.4438  2.4277  2.3902  basis  2  pertambangan & penggalian  0.2997  0.5411  0.5560  0.5769  0.5208  0.4989  non basis  3  industri  0.2900  0.2704  0.2521  0.2444  0.2984  0.2711  non basis  4  listrik, gas, dan air bersih  0.7918  0.8032  0.9240  1.0079  1.0023  0.9058  non basis  5  bangunan/konstruksi  1.3681  1.2981  1.2591  1.2367  1.2084  1.2741  basis  6  perdagangan, hotel, &  restoran  0.9516  0.8841  0.8893  0.8797  0.8489  0.8907  non basis  7  pengangkutan & komunikasi  1.2793  1.2233  1.1948  1.1383  1.0697  1.1811  basis  8  keuangan, sewa, & js pershn  0.4215  0.4721  0.5056  0.5068  0.5701  0.4952  non basis  9  jasa‐jasa  2.9684  2.9547  2.9628  3.0364  3.0463  2.9937  basis  sumber: bps sulawesi tenggara tahun 2008, hasil pengolahan data     tabel l2. hasil perhitungan pengganda  tahun  multiplier  n  2002  4.49846  0.77770  2003  3.97851  0.74865  2004  3.91541  0.74460  2005  3.87265  0.74178  2006  3.85706  0.74073  rerata  4.02442  0.75069  sumber: bps sulawesi tenggara tahun 2008, hasil pengolahan data          studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  31 tabel l3. hasil perhitungan dengan metode shift‐share di provinsi sulawesi tenggara tahun  2003  2006 sektor ekonomi  g  (gi‐g)  (gi‐gi)  g  (gi‐g)  (gi‐gi)  1  pertanian  4.63%  1.52%  2.36%  5.35%  ‐0.77%  1.59%  2  pertambangan & penggalian  4.63%  79.90%  85.90%  5.35%  ‐11.04%  ‐7.90%  3  industri  4.63%  ‐2.86%  ‐3.57%  5.35%  25.24%  25.95%  4  listrik, gas, dan air bersih  4.63%  5.60%  5.35%  5.35%  2.26%  1.74%  5  bangunan/konstruksi  4.63%  ‐0.33%  ‐1.80%  5.35%  3.49%  ‐0.13%  6  perdagangan, hotel, & restoran  4.63%  ‐3.12%  ‐3.94%  5.35%  ‐0.65%  ‐1.44%  7  pengangkutan & komunikasi  4.63%  6.52%  ‐1.04%  5.35%  3.82%  ‐4.48%  8  keuangan, sewa, & js pershn  4.63%  19.21%  17.11%  5.35%  16.13%  15.83%  9  jasa‐jasa  4.63%  ‐0.52%  3.16%  5.35%  1.27%  2.65%  sumber: bps sulawesi tenggara tahun 2008, hasil pengolahan data     tabel l4. struktur pdb provinsi sulawesi tenggara berdasar pengeluaran  pos  nilai  % terhadap total pdb  1. konsumsi rumah tangga  1,213,500  46.72%  2. pengeluaran pemerintah  441,643  17.00%  3. investasi  570,694  21.97%  4. ekspor   593,594  22.85%  5. impor  222,006  8.55%  total pdb  2,597,425  100.00%  sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data    tabel l5. struktur pdb negara indonesia berdasar pengeluaran pos nilai % terhadap total pdb 1. konsumsi rumah tangga  322,968,977  60.30%  2. pengeluaran pemerintah  34,783,511  6.49%  3. investasi  124,230,288  23.20%  4. ekspor barang dan jasa  122,359,619  22.85%  5. impor  68,777,578  12.84%  total pdb  535,564,816  100.00%  sumber: tabel i‐o indonesia tahun 1995, hasil pengolahan data   tabel l6. pengganda output provinsi sulawesi tenggara  kode dan kelompok sektor  multiplier output  1  pertanian  2.36691  2  pertambangan & penggalian  3.01425  3  industri pengolahan  2.01438  4  listrik, gas, dan air minum  1.66479  5  bangunan  1.79399  6  perdagangan, hotel, & restoran  1.96280  7  transportasi & komunikasi  1.24959  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  1.45038  9  jasa‐jasa  1.74588  sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data  jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 10, nomor 1, april 2009: 13 ‐ 33 32  tabel  l7. pengganda pendapatan provinsi sulawesi tenggara  kode dan kelompok sektor  pengganda  pendapatan  koefisien  pendapatan  rasio  1  pertanian  0.32830  0.12864  2.55209  2  pertambangan & penggalian  0.46901  0.15204  3.08487  3  industri pengolahan  0.30322  0.13237  2.29075  4  listrik, gas, dan air minum  0.30869  0.17608  1.75315  5  bangunan  0.33283  0.19223  1.73147  6  perdagangan, hotel, & restoran  0.40015  0.24249  1.65013  7  transportasi & komunikasi  0.32721  0.27177  1.20400  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  0.75565  0.66638  1.13398  9  jasa‐jasa  0.34342  0.18600  1.84639    sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data   tabel  l8. pengganda kesempatan kerja provinsi sulawesi tenggara kode dan kelompok sektor  pengganda  kesempatan kerja  koefisien  kesempatan kerja  rasio  1  pertanian  0.40389  0.17403  2.32080  2  pertambangan & penggalian  0.32046  0.00836  38.32566  3  industri pengolahan  0.97147  0.76126  1.27613  4  listrik, gas, dan air minum  0.25819  0.16263  1.58757  5  bangunan  0.22514  0.05898  3.81712  6  perdagangan, hotel, & restoran  0.25097  0.09458  2.65358  7  transportasi & komunikasi  0.21240  0.16722  1.27023  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  0.08739  0.00476  18.37795  9  jasa‐jasa  0.95694  0.80135  1.19416    sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data   tabel l9. indeks keterkaitan langsung kedepan  kode dan kelompok sektor  indeks keterkaitan depan  1  pertanian  2.83369  2  pertambangan & penggalian  0.69621  3  industri pengolahan  0.63790  4  listrik, gas, dan air minum  0.69256  5  bangunan  0.79685  6  perdagangan, hotel, & restoran  1.27585  7  transportasi & komunikasi  0.89615  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  0.54081  9  jasa‐jasa  0.62998    sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data              studi ekonomi regional ... (sri subanti dan arif rahman h.)  33 tabel l10. indeks keterkaitan langsung ke belakang  kode dan kelompok sektor  indeks keterkaitan belakang  1  pertanian  1.23398  2  pertambangan & penggalian  1.57147  3  industri pengolahan  1.05019  4  listrik, gas, dan air minum  0.86793  5  bangunan  0.93529  6  perdagangan, hotel, & restoran  1.02330  7  transportasi & komunikasi  0.65147  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  0.75615  9  jasa‐jasa  0.91021  sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data    tabel l11. total keterkaitan antarsektor dan penentuan sektor prioritas  kode dan kelompok sektor  indeks  keterkaitan  belakang  indeks  keterkaitan  depan  kuadran  keterangan  1  pertanian  1.23398  2.83369  1  key sector  2  pertambangan & penggalian  1.57147  0.69621  4  orientasi  kebelakang  3  industri pengolahan  1.05019  0.63790  4  less important  4  listrik, gas, dan air minum  0.86793  0.69256  3  less important  5  bangunan  0.93529  0.79685  3  less important  6  perdagangan, hotel, & restoran  1.02330  1.27585  1  key sector  7  transportasi & komunikasi  0.65147  0.89615  3  less important  8  keuangan, sewa, & j. perusahaan  0.75615  0.54081  3  less important  9  jasa‐jasa  0.91021  0.62998  3  less important  sumber: tabel i‐o sulawesi tenggara tahun 1995, hasil pengolahan data              jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 22 nomor 1, april 2021 article type: research paper tourists’ preferences for sustainable tourism: the case of pok tunggal beach, yogyakarta indonesia endah saptutyningsih1* and aprio duanta2 abstract: tourists as the main actor in tourism industry play an essential role in achieving sustainable tourism. tourist preference for physical environment and infrastructure development in the tourism destination can affect the achievement of sustainable tourism. this study aims at measuring tourist preference for sustainable tourism management and calculating the economic value of the tourism destination. for this purpose, the pok tunggal beach tourist area in yogyakarta indonesia was considered as a case study site. a survey with 200 local tourists was conducted using the choice modeling (cm) technique to measure their preferences related to the development on the beach. this study found that tourists prefer to pay more fees to get better and more sustainable facilities. the economic value of the pok tunggal beach is the amount of idr 1,038,600 (usd 73.66). the main attributes in the destination, tourist's education, environmental awareness, and recreation costs are statistically significant in determining tourists' preferences. this study recommends pok tunggal beach quality improvement by considering the tourist preferences. this study also suggests a price for the entrance fees, not only to increase revenue but also to monitor and control the number of tourists who visit the beach. keywords: sustainable tourism; willingness to pay; choice modeling; economic value; tourist jel classification: o13, q26, q51 introduction the role of tourism in encouraging economic development is still being debated. some studies conclude that there are negative impacts of tourism such as a volatile demand and foreign capital (sinclair, 1998); disturbances in the labor market (nowak, sahli, & sgrò, 2004); dutch disease effects (nowak & sahli, 1999); and land competition and speculation e.g. (maupertuis & giannoni, 2005). the development to support the tourism sector creates other problems for the nature and the environment if the surge in tourist visits and development strategies are not planned properly (chang et al.,, 2018; mallawaarachchi, morrison, & blamey, 2006; rawi, 2012). therefore, coordination is needed by involving the participation of local communities as a sustainable development strategy for the development of the tourism industry (li et al., 2017; mallawaarachchi et al., 2006; vitasurya, 2016). affiliation: 1 department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia *correspondence: endahsaptuty@umy.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v22i1.10130 citation: saptutyningsih, e., & duanta, a. (2021). tourists’ preferences for sustainable tourism the case of pok tunggal beach, yogyakarta indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(1), 128-143. article history received: 03 nov 2020 revised: 18 dec 2020 17 apr 2021 accepted: 26 apr 2021 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57214445720 https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ https://economics-feb.umy.ac.id/ mailto:endahsaptuty@umy.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/10130 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v22i1.10130&domain=pdf saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 129 tourism is an important economic sector in indonesia. according to wehrli, schwarz, and settler (2011) sustainable tourism remains to be important in the future. sustainable tourism, according to niedziolka (2012), is “all types of tourism operations, management, and production that conserve environmental, economic, and social integrity and ensure the preservation of natural and cultural resources.” tourism sector also has a positive impact on the national economy and has become a potential mainstay for the indonesian economy. natural and cultural wealth is an important component in tourism in indonesia. indonesia’s nature has a combination of tropical climate, and there are 17,508 islands in it. this natural resource, if maximized, will help the regional economy. indonesia as an archipelago country with a wide ocean has the potential for its development and utilization. oceans and coasts are publicly-owned resources so that the oceans can be managed by the community with government permission. the area around the coast, if managed properly, will help the local economy. according to suparmoko, ratnaningsih, and yusuf (2000) anyone can use the sea and the coast and do not have to make payments (non-exclusion principle) and the use of someone over the sea and coast does not reduce the volume available to others (non-rivalry in consumption). in addition, sustainable tourism development must be aligned with the importance of maintaining biodiversity and natural resources (rawi, 2012) because sustainable natural and environmental conditions are assets that must be maintained for tourism sustainability (vitasurya, 2016). social demographic factors such as age, sex, education, and employment status influence the subjective valuation that tourism contributes to a sustainable environment (barros, 2012). in indonesia, tourism management has begun to increase with the program by the government that focuses on developing the coastal areas (patlis, 2005). fpr example, there has been yogyakarta special region province regulation number 1 of 2012 concerning the main plan for tourism development in yogyakarta special region province, 2012-2025. with the support from the government, the increase in tourist visits to the coasts will increase. from the data collected by the gunungkidul culture and tourism office, it is revealed that the level of tourist visits every year continues to increase. likewise, with the existing natural attractions in the gunungkidul area, more specifically the pok tunggal beach as one of the attractions favored by tourists, which is considered as the third most favorite destination after baron beach and indrayanti beach. pok tunggal beach is located 3 km east of pulang syawal beach, gunungkidul. this beach has been equipped with several facilities such as toilets, prayer rooms, parking lots and food stalls. such facilities make visiting easy and convenient for visitors, although these are still managed by the community. pok tunggal still has many shortcomings because there is no support from the government especially from the tourism office. for example, access to the beach is still a path, health station has not been built, search and resceu (sar) team on duty is still small and only available on the weekends and on holidays, parking space is inadequate and there are no janitors employed by the department of tourism. commonly used valuation methods are approaches of a changes in productivity, travel cost method, hedonic pricing method, and contingent valuation method. contingent choice modeling is the most recent unconventional economic valuation method developed to date. contingent choice modeling is used to quantify tourist perceptions saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 130 about various alternative choices involving resources or the environment. in determining alternative choices, the strategy is very dependent on individual satisfaction and perceptions of the benefits and costs of resources, especially the coast because satisfaction is one indicator to assess natural resources. choice modeling approach can also analyze the effect of increasing special demand on the adoption of sustainable tourism policies (brau, 2008); and determine the value of environmental economic valuations and tourist preferences for sustainable products (chang et al., 2018; chen, & chen, 2016; do & bennett, 2009; mallawaarachchi et al., 2006; peng & oleson, 2017; tait et al., 2011; wehrli et al., 2011). conversely, if an individual being asked is entitled to these natural resources, then the relevant measurement is the desire to receive the minimum compensation for the loss or damage to the natural resources he has (garrod & willis, 1999). contingent valuation method (cvm) is chosen because it can (1) estimate the willingness to pay for changes that increase the quality of tourism activities; (2) assess trips with multiple tourist destinations; (3) assess the enjoyment when in the environment for both users and nonusers of the natural resources; (4) value goods whose value is too low to assess with other methods (prasetyo & saptutyningsih, 2013) . (shin, kim, & son (2017) use choice modeling and calculate tourists' willingness to pay for travel attributes. choice modeling is used to obtain willingness to pay (wtp) for households, local communities, and tourists to increase the benefits from natural resources, the environment, and tourism industry in general (kanyoka, farolfi, & morardet, 2008; lee, 2012; peng & oleson, 2017). choi, ritchie, papandrea, and bennett (2010) in their research on economic valuation of cultural heritage sites using the choice modeling approach stated that organizing events and building facilities such as cafes and shops have a positive impact on economic valuations. tourist preferences for attractions and the nature need to be identified to improve the provision of services in tourism facilities (brau, 2008; chen & chen, 2016; choi et al., 2010) by applying the choice modeling method. based on previous studies, tourist wtp is influenced by income factors (amanda, 2009; chambers, chambers, & whitehead, 1998; prasetyo & saptutyningsih, 2013; salazar & marques, 2005; samdin et al., 2010; varahrami, 2012; yun et al., 2012). the cost of recreation influences tourists’ wtp (amanda, 2009); as well as the level of education (prasetyo & saptutyningsih, 2013; samdin et al., 2010). according to varahrami (2012) satisfaction has a positive effect on travelers' wtp. the studies focusing on tourists’ preference toward sustainable tourism in indonesia remains rare. to fill in this knowledge gap, this study examines tourists’ preference between alternative scenarios for sustainable tourism and then determines the wtp for the improvement of the environment that aligns with sustainable tourism goals. we surveyed tourists in villages in pok tunggal beach, that is a tourist destination in yogyakarta, indonesia, regularly visited by many tourists. the number of tourist visits becomes the basic principle to determine the status of a tourist attraction. the higher the level of tourist visits, the more relevant it is to be classified into a tourist attraction that is developed and developing. this becomes the basis of government-community cooperation to plan development so that the tourist destination continues to grow and to be visited by more tourists. in particular, roads and facilities must be improved to facilitate more visits. using a choice modeling approach, we examined the impacts of saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 131 sociodemographic factors, facilities, environmental awareness, and recreational cost on the preference between alternative scenarios for sustainable tourism. this study contributes to the literature by identifying the tourists’ preference for sustainable tourism and the economic value of pok tunggal beach by determining the wtp for the improvement of the environmental qualities. table 1 the variable references variables relation references level of education positive prasetyo & saptutyningsih, 2013; samdin et al. 2010; sylvia, 2016; djijono, 2002 facilities negative chen & chen, 2016; brau, 2008; choi et al., 2010. environmental awareness positive widiyanti, 2016; sylvia, 2016; prasmatiwi et al., 2011; recreational costs positive prasetyo & saptutyningsih, 2013; sylvia, 2009; widiyanti, 2016; djijono, 2002 source: data processed. research method study site the study was conducted at the pok tunggal beach, which is located in kemadang village, tanjungsari district, gunungkidul regency, special region of yogyakarta. this location was chosen by considering its economic potential as a tourist attraction in yogyakarta province. the subjects in this study were tourists in the pok tunggal beach tour which is located in kemadang village, tanjungsari district, gunungkidul regency, special region of yogyakarta. sampling the sampling technique in this study is accidental random sampling. some advantages of random sampling are: easy sample selection procedures, only one type of sample selection unit, avoidable misclassification, simple and easy sample outline and sample design. according to sekaran and bougie (2009) the minimum sample size can be determined by multiplying the number of variables by 10. the variables in this study are 4, so the minimum sample is 40 respondents. the number of samples in this study is 200. data collection technique is by using a questionnaire containing a number of questions related to the problem (pok tunggal beach tourist, gunung kidul), which was distributed to respondents with the aim of obtaining data that answers the research questions. saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 132 table 2 research questions category variables willingness to pay (wtp) wtp is the maximum amount that someone is willing to pay to get a good quality of service (fauzi, 2006) in units of rupiah (idr) visitor choice visitor choice is an alternative choice offered to visitors to improve the quality of the beach environment. these choices are formatted in discrete 1–0 where 0 is option a; 1 is option b recreational costs recreation costs are the total costs incurred by tourists related to tourist activities carried out at tourist sites, not including the cost of admission. recreation costs include transportation costs, consumption costs, accommodation, documentation, and others. the cost of recreation is measured in rupiah (idr). condition the condition here is people's perception of the condition or condition of pok tunggal beach compared to other tourist attractions in kemadang village, tanjungsari district. 1 = good; 0 = not good level of education the education referred to in this study is the length of formal education achieved by visitors. in this study, the length of education is measured from elementary school level and based on a normal measure of educational travel time. attribute the attributes are the choice of repairing the facilities, which are in the pok tunggal beach location. for example: road access, garbage dump facilities, resting places, and health station as well as the availability of sar team. 0 = disagree; 1 = agree. source: data processed. analysis tools choice modeling or cm is a preference assessment method that starts with a conjoint analysis and is initially developed in the marketing and transportation sectors (richter, & keuchel, 2012). cm is also a technique based on statements from individuals to estimate the non-market economic value of a natural resource. in their application, respondents are given a series of choices consisting of two or more alternative choices. one alternative is a combination of several attributes that have values, or commonly called levels. cm has an important position because it directly assesses characteristics of an attribute and marginal change of the characters rather than just choosing the good or the needs of a product as a whole. the advantages of cm method: a. provide several alternative options for consideration (strengths and weaknesses) for the respondent. b. each attribute is clearly spelled out and the alternatives offered are adjusted according to the attributes. xin and xjn = variables that affect behavior to maximize satisfaction. f = mathematical function saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 133 the regression equation is as follows: vin or u = β1xin1 + β2xin2 + ... + βkxink where vin or u is value of respondent satisfaction when choosing alternative i (maximum decision); vin s/d βkxink means a group of independent variables that affect maximum satisfaction; β1 to βk is the regression coefficient. a utility can be interpreted as a special measure of individuals in determining the best alternative choices or choices maximized by individuals. a utility is a function of alternative attributes of a decision-maker characteristics, which is usually assumed in a linear form. the utility of utilizing natural resources such as the pok tunggal beach for recreation areas for certain individuals is presented as a function of attributes, such as the required travel time, entrance fees, additional facilities, parking fees, and others. while the attributes that make decisions are income, number of family members, age and occupation. utilities are not measured directly so that some attributes affect individual utilities must be treated as random shapes. therefore, they must be randomly modeled as well, meaning that the choice being modeled only gives probabilities to the chosen alternatives instead of just their own choice. each choice has a u utility for each individual n, so in making the model it is assumed that u can be expressed in 2 components, namely a. vin that is measured as an attribute function b. the random part εin that reflects the specific features of each individual including errors made by modeling uin = vin + εin where uin is an alternative utility i for decision-makers n; vin is a deterministic function of alternative utilities i for individuals n; and εin is random error. in simple terms, the function of a method based on individual utility in question can be written as follows: p (u0> u1) = p (x0β x1β> v0 v1 where (u0> u1) means someone will choose the option 0 if the utility is greater from choice 1; x is the vector of the attribute that affects the utility; v is a random variable from utility. the above model predicts that a possible alternative has been chosen. finally, the value of willingness to pay (wtp) obtained indirectly becomes (putrantomo, 2010): 𝑊𝑇𝑃 = [ ∑ 𝑒𝑥𝑝𝛽1𝑖 ∑ 𝑒𝑥𝑝𝛽1𝑖 + ⋯ + ∑ 𝑒𝑥𝑝𝛽𝑛𝑖 ∑ 𝑒𝑥𝑝𝛽1𝑖 ] saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 134 research model based on empirical studies, the regression model in this study is as follows: choice = f (cost vector, public perception vector, social vector demographics, attribute vectors) choice = f (β0 + β1cost + β2cond + β3edu + β4a attribute) where choice is visitor choice; β0 is constant; β1 ... β6 is the regression coefficient; cost is recreation fee (in idr); cond is pok tunggal beach condition compared to other tourist attractions; edu is the length of education (in a year); attributes are the improvements of the existing facilities at the location. visitor choice opportunities to calculate the chances of visitors choosing the alternative options available, the following formula is used (widodo, 2013): 𝑃 = 𝑒 𝐿 1 + 𝑒 𝐿 where p is chance of occurrence; el is an exponential of l; l is ɩn [p/1-p] or logit index. result and discussion this study uses primary data by conducting interviews and asking 200 respondents who were visitors to pok tunggal beach to fil out questionnaire. this study began on july 6, 2017, and ended on august 20, 2017. characteristics of respondents is presented in table 3. regarding the education, visitors of pok tunggal beach were mostly teenagers with senior high school/equivalent education with a percentage reaching 55.5 percent. predominantly, the age range was between 20 and 25 with a percentage of 62.5 percent. respondent occupations were mostly students with a percentage of 52 percent, followed by employees of a private company and entrepreneurs. the remaining was civil servants and housewife 1.5 percent. the income level of respondents was sufficiently varied in the range of idr 500,000 to idr 5,000,000. the dominant income level of respondents in this study was in the range of idr 3,000,000 to idr 5,000,000 with percentage reaching 71. the majority of respondents who came to pok tunggal beach were male with a percentage of 73 percent, and visitors mostly unmarried with a percentage of 80 percent. the majority of respondents came to pok tunggal beach only once or twice as can be seen from the percentage of the frequency of visits that was 80 percent. the cost of the visit incurred by respondents to the pok tunggal beach is quite cheap, ranging from idr 10,000,000 to idr 30,000.00 with a percentage of 47.5 percent. saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 135 tabel 3 respondent characteristics characteristics classification total percentage level of education primary school not graduated primary school/equivalent junior high school/equivalent senior high school/equivalent diploma3/s1 12 111 76 6 55,5 38 age 14-19 year 20-25 year 26-31 year 32-37 year ≥ 38 year 33 125 22 11 9 16,5 62,5 11 5,5 4,5 type of work student civil servant private employees entrepreneur housewife 104 23 38 32 3 52 11,5 19 16 1,5 income level idr 500,000 – idr 1,000,000 idr 1,000,000 – idr 3,000,000 idr 3,000,000 – idr 5,000,000 >idr 5,000,000 52 103 142 3 26 51,5 71 1,5 gender male female 146 51 73 25,5 marital status married single 40 160 20 80 frequency of visits 1-2 3-4 5-6 7-8 >8 160 31 3 1 5 80 15,5 1,5 0,5 2,5 the cost of a visit idr 10,000 idr 30,000 idr 31,000 idr 50,000 idr 51.000 idr 70,000 idr 71,000 idr 100,000 95 73 7 25 47,5 36,5 3,5 12,5 source: data processed. this research began on march 24, 2017 until june 1, 2017, at pok tunggal beach, gunungkidul. the data was obtained by conducting interviews and then distributing questionnaires that were filled out by 200. because regression results are good, there is no reduction in the results provided by respondents so all of the data could be processed. this model is almost similar to the contingent valuation method because it is based on the preferences of respondents to estimate the economic value in an ecosystem in the form of goods and services. the difference is that respondents are free to choose the options that are available. clearly, respondents are not asked to provide a direct assessment of an ecosystem related to their preferred conditions. choice modeling is a method in which respondents are free to make choices based on personal observations in a scenario. for example, respondents are given a choice based on a scenario that has been made consisting of two or more alternative choices. one alternative is a combination of several attributes that have a value commonly referred to as a level. the wtp value of this model is determined indirectly based on the choices given by respondents. saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 136 in this study, respondents were given two choices to choose from in terms of preserving the beach and building facilities in the area around the pok tunggal. the scenario is an alternative choice to determine the beach entry fee. each alternative option is given along with various attributes such as cost, improvement of facilities and infrastructure in the coastal area (see table 4). table 4 alternative scenarios for visitor options source: data processed. out of 200 respondents, as many as 96 visitors or 48 percent chose alternative a and as many as 104 visitors 52 percent choose alternative b. this can be interpreted that visitors choose alternative b over alternative a. from this result it can be seen that visitors are willing to pay dearly for the convenience and improvement of the location of a single pok tunggal beach and it can be concluded that the level of visitor awareness to improve the quality of the pok tunggal is very good and visitors want an increase the quality of all aspects such as health station, roads and provision of beach guards. those who choose the alternative a are mostly students who consider the fee affordable. attribute initial conditions option a option b entry fee idr 9,500 idr 15,000 idr 25,000 parking fee idr 2,000 (motorcycle) idr 5,000 (car) idr 2,000 (motorcycle) idr 5,000 (car) free parking fees trash can insufficient number of trash cans that is only 5 small trash cans, so visitors sometimes litter addition of 2 large trash cans so that cleanliness of the beach area is maintained addition of 4 large trash cans so that cleanliness of the beach area is maintained road the road is made of cement material so it breaks quickly and if it rains there are some pot holes that are hollow and muddy repair road access to pok tunggal beach area by patching the damaged road so when it rains it will not be hollow and muddy asphalting road access to pok tunggal beach area so it lasts longer and access is easier health station health station has still not built building a health station so visitors have health problems, the response is fast adequate health station and complete medical equipment so visitors have health problems, handling is quick and responsive resting area there is no gazebo and rest area building one gazebo to rest building three more gazebos to rest beach guard there are two guards or officers to control the visitors adding two more guards or officers to control and keep visitors from going to prohibited areas on the beach adding three more guards or officers to control and keep visitors from going to prohibited areas on the beach saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 137 opportunities for respondents in choosing alternatives provides regression analysis using binary logistic regression. in choice modeling, visitors are given two alternative choices that will be given a value between 0 and 1. this assumption is given to state the visitor's decision in choosing one alternative (1) and not choosing an alternative (0). tabel 5 dependent variables variables internal value alternative model a 0 alternative model b 1 source: data processed. the information is obtained that the dependent variable has two categories, namely 0 for alternative models a and 1 for alternative model b (see table 5). the value of wtp is obtained directly but is concluded indirectly based on the decision of the respondents, and then the wtp is analyzed using the binary logistic method. tabel 6 regression result variables coefficient exp (b) education 0,821*** (0,273) 2,273 facilities -0,096 (0.098) 0,908 environmental awareness 0,012** (0,006) 1,012 recreational costs 0,000* (0,000) 1,000 constant -3,555* (1,856) 0,029 nagelkerke r square 0,112 dependent variable choice (alternative choice) 0: if choosing a; 1 if choosing b. the sign ( ) indicates a standard error * significant at α 10%; ** significant at α: 5%; *** significant at α 1% source: data processed. the level of education is positively corelated to alternative choices. visitors with a higher education level have the tendency to choose alternative choice b compared to visitors with lower education levels. thus, if the visitor's education level is higher then there will be an increase in the probability of visitors choosing b alternative and vice versa. the facilities of the pok tunggal beach location are negatively related but not significant to the alternative choices, which can be interpreted that the facilities at the beach location are not a factor for visitors to choose alternative options a or b. facilities are not a priority because pok tunggal beach’s facilities as offered by the management has met the needs of visitors such as toilets, gazebos, and restaurants. the environmental awareness of pok tunggal beach visitors has a positive value on alternative choices. visitors who have good environmental awareness tend to choose saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 138 alternative b compared to those who feel less concerned with environmental issues. this means that if the environmental awareness of pok tunggal beach visitors is higher, then there will be an increase in the probability of visitors choosing alternative b and vice versa. the recreational costs are positive for alternative choices. thus, visitors with greater recreation costs will choose alternative b compared to visitors with smaller recreation costs. the higher the recreational costs of the visitors, the greater the tendency to choose alternative b and vice versa. nagelkerke r square value of 0.112, which means as much as 11.2% diversity can be explained by the model, while the rest (100% -11.2%) = 88.8% is explained by other factors (variables) outside the research model. the value of tourists’ wtp for alternative visitor choices is indirectly obtained by using the equation: 𝑊𝑇𝑃 = [ ∑ exp 𝛽1𝑖 ∑ exp 𝛽1𝑖 + … + ∑ exp 𝛽𝑛𝑖 ∑ exp 𝛽1𝑖 ] 𝑊𝑇𝑃 = 𝐸𝑥𝑝𝐸𝑑𝑢 𝐸𝑥𝑝𝐶𝑜𝑠𝑡 + 𝐸𝑥𝑝𝑆𝑎𝑟𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑥𝑝𝐶𝑜𝑠𝑡 + 𝐸𝑥𝑝𝐸𝑛𝑣 𝐸𝑥𝑝𝐶𝑜𝑠𝑡 + 𝐸𝑥𝑝𝐶𝑜𝑠𝑡 𝐸𝑥𝑝𝐶𝑜𝑠𝑡 = 5,193 based on the equation, the visitors’ wtp value is obtained to improve the environmental quality of the pok tunggal beach, gunungkidul that amounts to idr 5,193 (usd 0.37) per person. multiplied by 200 (visitors), the wtp results in the economic value of pok tunggal beach tourism, gunungkidul is idr1,038,600 (usd 73.66). the research findings have shown that the level of education has a positive and significant influence on the choice made by visitors to improve the quality of the beach environment in pok tunggal gunungkidul. this finding was supported by some studies (amanda, 2009; djijono, 2002; prasetyo & saptutyningsih, 2013; samdin et al., 2010). if the education level is higher then there will be an increase in the probability choosing choice b. this is in accordance with the initial hypothesis stating that the level education has a significant positive effect on visitor choices to improve the quality of the environment around pok tunggal beach area. the results of this study are the same as the research conducted by prasetyo and saptutyningsih, (2013) with a case study of wtp in an integrated waste management effort in the district of west semarang which argues that the level of education has a positive effect. this is because visitors want to feel an increase in environmental quality aspects. however, to increase the facilities, the cost is high. with high level of education, visitors have a higher level of awareness to maintain and improve the quality of the environment. the entrant fee might be considered expensive but visitors do not mind if the facilities meet the value for money. the findings also show that facilities or location attributes in pok tunggal beach have a negative and not significant effect on the choice of visitors to improve the quality of the environment of the pok tunggal beach. this means the facility is not one of the factors that drive visitors to choose alternative a or b. this is not in line with the initial hypothesis. saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 139 the factors that affect visitors are whether or not visitors consider the facilities offered by the beach manager have met the needs. another factor is that the beach area is too small so that the construction of facilities will be difficult because building facilities will make the beach line shorter and damage the beautiful scenery. the construction itself will block the entrance to the beach area. this research is in line with research conducted by widiyanti (2016) case study of the bangi market mangrove forest stating that the location attributes had a negative but significant effect on the wtp for improving the quality of the mangrove forest environment. awareness of environmental issues shows a positive and significant effect on the choice of visitors. higher level of environmental awareness will increase the probability of choosing alternative b. this is consistent with the initial hypothesis that environmental awareness has a positive effect on improving environmental quality. this is similar to the research conducted by putrantomo (2010) with a case study in the coral reef, karimunjawa national park. the conditions of other places did not significantly influence the alternative choice of tourists to choose a snorkeling location. awareness of the environmental quality is also positive. visitors realize the importance of protecting the environment such as by keeping the cleanliness of the beach.if there is a lot of rubbish scattered and trash cans are not available, visitors will feel disappointed and they might litter the beach so the sea will be polluted. this will then negatively impact on the flora and fauna around the coast. recreation costs also have a positive and significant effect on the choice made by visitors to improve the quality of pok tunggal environment. the higher the recreational costs, the higher the probability of choosing alternative b. this is in accordance with the initial hypothesis and in line with the results of the research conducted by amanda (2009) with the lake situgede tourism case study. the recreational cost variable has a significantly positive effect on choices visitors made as an effort to preserve lake situgede. visitor choice opportunities opportunities for visitors to choose show the magnitude of opportunities owned by visitors. this visitor choice is used to find out which alternatives are the most chosen. the chances of visitors choosing an alternative are calculated by the following formula (widodo, 2013): 𝑃 = 𝑒 𝐿 1 + 𝑒 𝐿 where p = chance of occurrence; el= exponential of l; l= ɩn [p / (1-p)] or logit index. the chances for visitors to choose alternative a to improve the quality of the pok tunggal beach environment: 𝑃 = 𝑒 𝐿 1 + 𝑒 𝐿 = 0,923077 1 + 0,923077 = 0.48 saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 140 it means that the chance for visitors who choose alternative a to improve the quality of the pok tunggal beach in gunungkidul is 0.48. the chance for visitors to choose alternative b to improve the quality of the pok tunggal beach environment: ṕ (0) = 1 0.480 = 0.520 it means that the opportunity for visitors who choose alternative b to improve the quality of the pok tunggal beach in gunungkidul is 0.520 the calculation of visitors’ choice concludes that the p-value for alternative choice a is 0.480 and the p-value for alternative option b is 0.520, indicating that visitors to pok tunggal beach tend to choose alternative choice b, with a higher entrance fee. visitors do not mind paying if the facilities are more complete. it can be concluded that visitors’ awareness is quite good. hence, it would not be too much to ask them to help maintaining the environment and the facilities. conclusion by applying cm, this study can identify visitor options in order to improve the quality of the coastal environment for sustainable tourism. this study offeres some scenarios for sustainable tourism which in indonesia remains rare. it also sets the wtp for environmental change that is in line with long-term tourism goals. using the cm approach, wtp value of idr 5,193 per person is obtained and is also payable in one visit. therefore, the economic value of the pok tunggal beach, with 200 visitors is idr 1,038,600. there were two choices should be chosen by visitors. choice a with entry fee of idr 15,000, parking fee, two large trash, repair road access, building a health station and gazebo, as well as add two more guards. while choice b with entry fee of of idr 25,000, no parking fee, four large trash, asphalting road access, adequate health station and gazebo, as well as add three more guards. environmental awareness has a positive and significant impact. the higher the level of awareness, the higher the probability to choose choice b. visitor recreation costs have a positive and significant effect. the higher the level of cost, the higher the probability to choose choice b. overall, visitors are more inclined to choose alternative b. a recommendation for the management is that they should charge an admission ticket in accordance with the wtp in this study that is close to alternative b. visitors are mostly students, so the level of environmental awareness is quite high. this should be coupled with a strict regulation to keep the environment clean. meanwhile, facilities and infrastructure are considered quite sufficient and do not influence visitor choices, but facilities can always be improved, especially the roads and the procurement of sar team and health team. awareness of the environment has a positive and significant effect. maintaining and preserving the environment and the flora and fauna should be done sustainably. it is recommended for the management to install signage and information board that shows saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 141 visitors the danger of damaging the environment. the cost of recreation has a positive and significant effect too. the management should see this as an opportunity to improve the facilities. visitors are willing to pay more as long as the facilities can make their visits convenient. however, visitor satisfaction should become the main focus of the management. to avoid complaint, the entrance fees to build facilities for visitors does not have to be as big as option b. for example, the management can take the middle point. increasing tourist attractions should also be supported by the assistance of the tourism office in the form of funds for facilities and promotion online and on the print media. they can also support by procuring sar team to monitor and guard visitors so that they feel safe to spend time at the beach. the findings provide decision-makers with a method to help them prioritize sustainable coastal tourism. although the cm technique is still in its infancy and requires a lot of improvement, its implementation appears to be promising. its ability to model dynamic and simultaneous tradeoffs will have a wide range of applications in the ecological economics context, and will aid in addressing some perceived flaws. references amanda, s. (2009). analisis willingness to pay pengunjung obyek wisata danau situgede dalam upaya pelestarian lingkungan. undergaduate thesis. institut pertanian bogor. retrieved from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14375 barros, c. p. (2012). sustainable tourism in inhambane-mozambique (no. 105). retrieved from https://cesa.rc.iseg.ulisboa.pt/repec/cav/cavwpp/wp105.pdf brau, r. (2008): demand-driven sustainable tourism? a choice modelling analysis. tourism economics , 14(4), 691-708. retrieved from https://mpra.ub.uni-muenchen.de/82773/ chambers, c. m., chambers, p. e., & whitehead, j. c. (1998). contingent valuation of quasipublic goods: validity, reliability, and application to valuing a historic site. public finance review, 26(2), 137–154. https://doi.org/10.1177/109114219802600203 chang, k., chien, h., cheng, h., & chen, h. (2018). the impacts of tourism development in rural indigenous destinations: an investigation of the local residents’ perception using choice modeling. sustainability, 10(12), 4766. https://doi.org/10.3390/su10124766 chen, c. f., & chen, p. c. (2016). exploring tourist preferences of heritage attractions evidence from discrete choice modeling in taiwan. travel and tourism research association: advancing tourism research globally, 23. retrieved from https://scholarworks.umass.edu/ttra/2009/presented_papers/23/ choi, a. s., ritchie, b. w., papandrea, f., & bennett, j. (2010). economic valuation of cultural heritage sites: a choice modeling approach. tourism management, 31(2), 213– 220. https://doi.org/10.1016/j.tourman.2009.02.014 djijono. (2002). valuasi ekonomi menggunakan metode travel cost taman wisata hutan di taman wan abdul rachman propinsi lampung. makalah pengantar falsafah sains (pps702). institut pertanian bogor. do, t., & bennett, j. (2009). estimating wetland biodiversity values: a choice modelling application in vietnam's mekong river delta. environment and development economics, 14(2), 163-186. https://doi.org/10.1017/s1355770x08004841 http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14375 https://cesa.rc.iseg.ulisboa.pt/repec/cav/cavwpp/wp105.pdf https://mpra.ub.uni-muenchen.de/82773/ https://doi.org/10.1177/109114219802600203 https://doi.org/10.3390/su10124766 https://scholarworks.umass.edu/ttra/2009/presented_papers/23/ https://doi.org/10.1016/j.tourman.2009.02.014 https://doi.org/10.1017/s1355770x08004841 saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 142 fauzi, a. (2006). ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. jakarta: pt. gramedia pustaka utama. garrod, g., & willis, k. g. (1999). economic valuation of environment: method and case studies. edward elgar: usa. kanyoka, p., farolfi, s., & morardet, s. (2008). households’ preferences and willingness to pay for multiple use water services in rural areas of south africa: an analysis based on choice modelling. water sa, 34(6). https://doi.org/10.4314/wsa.v34i6.183675 lee, p. s. l. (2012). the application of choice modelling to determine the economic values of non-market goods adn services: a national park case study. massey university. new zealand. retrieved from http://hdl.handle.net/10179/4040 li, g., li, b., ju, m., & zhang, z. (2017). discussion on integrated traffic planning(itp) of new tourism town upon sustainable development and livable request. transportation research procedia, 25, 3398–3411. https://doi.org/10.1016/j.trpro.2017.05.231 mallawaarachchi, t., morrison, m. d., & blamey, r. k. (2006). choice modelling to determine the significance of environmental amenity and production alternatives in the community value of peri-urban land: sunshine coast, australia. land use policy, 23(3), 323–332. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2004.11.004 maupertuis, m.-a., & giannoni, s. (2005). environmental quality and long run tourism development a cyclical perspective for small island tourist economies. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.856044 niedziolka, i. (2012) sustainable tourism development. regional formation & development studies, 8, 157-166. nowak, j-j, & sahli, m. (1999). analysis of a tourism boom in a small open economy. journal of political economy, 109(5), 729-749. retrieved from https://dialnet.unirioja.es/servlet/articulo?codigo=2990477 nowak, j-j., sahli, m., & sgro, p. m. m. (2004). tourism, trade and domestic welfare. ssrn electronic journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.504445 patlis, j. m. (2005). the role of law and legal institutions in determining the sustainability of integrated coastal management projects in indonesia. ocean & coastal management, 48, 450–467. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2005.04.005 peng, m., & oleson, k. l. l. (2017). beach recreationalist’ willingness to pay and economic implications of coastal water quality problems in hawaii. ecological economics, 136, 41– 52. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.02.003 prasetyo, n., & saptutyningsih, e. (2013). bagaimana kesediaan untuk membayar peningkatan kualitas lingkungan desa wisata?. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 14(2), 127-136. retrieved from https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1259 prasmatiwi, f. e., irham, i., suryantini, a., & jamhari, j. (2011). kesediaan membayar petani kopi untuk perbaikan lingkungan. jurnal ekonomi pembangunan: kajian masalah ekonomi dan pembangunan, 12(2), 187-199. https://doi.org/10.23917/jep.v12i2.192 putrantomo, f. (2010). aplikasi contingent choice modelling (ccm) dalam valuasi ekonomi terumbu karang taman nasional karimunjawa. undergraduate thesis. institut pertanian bogor. retrieved from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41037 rawi, b. s. (2012). the use of choice modelling in assessing tourists destinations: a case study of redang marine park (rmp) malaysia. new castle university. retrieved from https://theses.ncl.ac.uk/jspui/bitstream/10443/1770/1/rawi%2012%20%2812mnth %29.pdf richter, c., & keuchel, s. (2012). modelling mode choice in passenger transport with integrated hierarchical information integration. journal of choice modelling, 5(1), 1–21. https://doi.org/10.1016/s1755-5345(13)70045-9 https://doi.org/10.4314/wsa.v34i6.183675 http://hdl.handle.net/10179/4040 https://doi.org/10.1016/j.trpro.2017.05.231 https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2004.11.004 https://doi.org/10.2139/ssrn.856044 https://dialnet.unirioja.es/servlet/articulo?codigo=2990477 https://doi.org/10.2139/ssrn.504445 https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2005.04.005 https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.02.003 https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1259 https://doi.org/10.23917/jep.v12i2.192 http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41037 https://theses.ncl.ac.uk/jspui/bitstream/10443/1770/1/rawi%2012%20%2812mnth%29.pdf https://theses.ncl.ac.uk/jspui/bitstream/10443/1770/1/rawi%2012%20%2812mnth%29.pdf https://doi.org/10.1016/s1755-5345(13)70045-9 saptutyningsih & duanta tourists’ preferences for sustainable tourism … jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2021 | 143 salazar, s. d. s. & marques, j. m. (2005). valuing cultural heritage: the social benefits of restoring and old arab tower. journal of cultural heritage, 6(1), 69–77. https://doi.org/10.1016/j.culher.2004.09.001 samdin, z., abdul aziz, y., radam, a., & yacob, m. r. (2010). factors influencing the willingness to pay for entrance permit: the evidence from taman negara national park. journal of sustainable development, 3(3), 1–9. sekaran, u., & bougie, r. (2009). research methods for business: a skill-building approach (5th editio). john wiley and sons inc., hoboken. shin, h.-j., kim, h., & son, j.-y. (2017). measuring the economic impact of rural tourism membership on local economy: a korean case study. sustainability, 9(4), 639. https://doi.org/10.3390/su9040639 sinclair, m. t. (1998). tourism and economic development: a survey. journal of development studies, 34(5), 1–51. https://doi.org/10.1080/00220389808422535 suparmoko, m., ratnaningsih, m., & yusuf, f.a. (2000). pokok-pokok ekonomika. yogyakarta: bpfe. tait, p., baskaran, r., cullen, r., bicknell, k. (2011). valuation of agricultural impacts on rivers and streams using choice modelling: a new zealand case study. new zealand journal of agricultural research, 54(3), 143-154. https://doi.org/10.1080/00288233.2011.588234 varahrami, v. (2012). valuing of cultural heritage in iran, case study: kakh sadabad. global journal of human-social science research, 12(9-d). retrieved from https://socialscienceresearch.org/index.php/gjhss/article/view/495 vitasurya, v. r. (2016). local wisdom for sustainable development of rural tourism, case on kalibiru and lopati village, province of daerah istimewa yogyakarta. procedia social and behavioral sciences, 216, 97–108. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.12.014 wehrli, r., schwarz, j., settler, j. (2011). are tourists willing to pay more for sustainable tourism? a choice experiment in switzerland (itw working paper series tourism no. 003). retrieved from https://www.cabdirect.org/cabdirect/abstract/20133157335 widiyanti, a. (2016). valuasi ekonomi ekowisata hutan mangrove di rembang, jawa tengah : pendekatan choice modelling. undergraduate thesis. universitas muhammadiyah yogyakarta. retrieved from http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/5617?show=full widodo. (2013). logit binari. yogyakarta: universitas muhammadiyah yogyakarta. yun, g. y., kong, h. j., kim, h., kim, j. t. (2012). a field survey of visual comfort and lighting energy consumption in open plan offices. energy and buildings, 46, 146–151. https://doi.org/10.1016/j.enbuild.2011.10.035 https://doi.org/10.1016/j.culher.2004.09.001 https://doi.org/10.3390/su9040639 https://doi.org/10.1080/00220389808422535 https://doi.org/10.1080/00288233.2011.588234 https://socialscienceresearch.org/index.php/gjhss/article/view/495 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.12.014 https://www.cabdirect.org/cabdirect/abstract/20133157335 http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/5617?show=full https://doi.org/10.1016/j.enbuild.2011.10.035 microsoft word 03-darwati_rev1 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.146-157   valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan banjir darwati1, suryanto2 1,2fakultas ekonomi dan bisnis, universitas sebelas maret surakarta jalan ir. sutami nomor 36 a kentingan surakarta 57126, indonesia, phone +62 271 647481 e-mail korespondensi: yanto.rimsy@gmail.com naskah diterima: april 2014; disetujui: agustus 2014 abstract: the purpose of this study is to identify the location of flood prone areas, determine the economic value of agricultural land prone to flooding mitigation, and determine the factors that influence the willingness to pay (wtp) mitigation of flood-prone farmland in purworejo.the data used is primary data is done by direct interview to the respondents. the sampling technique by using simple random sampling. the sample in this study were 81 farmers in the village kedungmulyo. analysis of data using geographic information systems (gis), contingent valuation method (cvm) and multiple linear regression. the results of this study indicate that almost all districts in the flood-prone purworejo except district of bruno and the district kaligesing. the average willingness to pay for mitigation of floodprone agricultural land between rp51.000-rp 100.000.the level of farmer losses average about 0-35% of normal production, and a decrease in average production of about rp0 rp1 million of normal production. the results of multiple linear regression analysis showed that the variables of education, occupation, number of dependents, land prices and land area affect the willingness to pay or willingness to pay (wtp) mitigation of agricultural land prone to flooding in purworejo. keywords: economic valuation; mitigation; wtp; flood prone areas; agricultural jel classification: o13, q15, q51, r11 abstrak: upaya studi ini bertujuan mengidentifikasi lokasi wilayah rawan banjir, mengetahui nilai ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan banjir, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir di kabupaten purworejo. data yang digunakan adalah data primer yang dilakukan dengan wawancara langsung kepada para responden. teknik pengambilan sampel dengan menggunakan simple random sampling. sampel dalam studi ini adalah 81 petani di desa kedungmulyo. analisis data menggunakan sistem informasi geografi (sig), contingent valuation method (cvm) dan regresi linier berganda. hasil studi ini menunjukkan bahwa hampir semua kecamatan yang ada di kabupaten purworejo rawan banjir kecuali kecamatan bruno dan kecamatan kaligesing. rata-rata kesediaan membayar terhadap mitigasi lahan pertanian rawan banjir antara rp51.000,00–rp100.000,00. tingkat kerugian petani rata-rata sekitar 0-35% dari produksi normal, dan penurunan produksi rata-rata sekitar rp0–rp1.000.000,00 dari produksi normal. hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan dan luas lahan berpengaruh terhadap kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir di kabupaten purworejo. kata kunci: valuasi ekonomi; mitigasi; wtp; lahan pertanian rawan banjir; pertanian klasifikasi jel: o13, q15, q51, r11 valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 147 pendahuluan perubahan dalam penggunaan dan pengelolaan lahan berlangsung secara dinamis sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. pengelolaan lahan pertanian kini seringkali hanya mementingkan kepentingan ekonomi saja tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang yaitu kelestarian lingkungan. seiring semakin bertambahnya jumlah penduduk maka lahan pertanian pun semakin berkurang. ketika pertumbuhan penduduk meningkat maka kebutuhan akan pangan juga meningkat. keadaan ini akan berdampak pada penurunan kualitas dan kelestarian lingkungan akibat dari penggunaan dan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan. karena kebijakan pengelolaan lahan lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. namun, manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa lingkungan menjadi terbatas karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (sihite, 2001). menurut putra (2015), pemanfaatan dan pengelolaan lahan untuk kepentingan ekonomi seharusnya dilakukan tanpa merusak lingkungan, atau setidaknya diupayakan agar keseimbangan antara kedua komponen tersebut dapat mendekati kondisi ideal. keseimbangan antara kondisi ekologi dan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan aspek ekonomi sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumber daya alam secara rasional (putra, 2015). selain itu, kebijakan untuk mengurangi suatu dampak lingkungan akan dipengaruhi oleh perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi atau memperbaiki dampak lingkungan dan manfaat yang akan diperoleh kemudian (sihite, 2001). kerusakan sumber daya lahan pertanian terjadi karena aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan terus terjadi di semua provinsi, sehingga lahan kritis terus bertambah dari tahun ke tahun (soemarwoto, 2001). sistem pertanian yang terlalu banyak menggunakan input bahan kimia, selain menimbulkan pencemaran, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, sehingga produktivitas lahan semakin menurun dan tidak mampu memberikan hasil yangoptimal. hasil studi netty dkk., (2014) membuktikan bahwa pemupukan urea dapat meningkatkan kepadatan tanah, menurunkan tingkat infiltrasi dan meningkatkan erosi. begitu juga dengan bencana banjir pada lahan sawah merupakan salah satu dampak pengelolaan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. lahan sawah menjadi tergenang dan mengakibatkan sawah gagal panen. hal ini tidak lepas dari adanya perubahan iklim yang tidak menentu. selain itu, pertanian khususnya lahan sawah sangat bergantung pada kondisi cuaca. oleh karena itu, perlu adanya suatu tindakan untuk mengatasi masalah ini. tindakan menilai atau menghitung manfaat lingkungan dan dampaknya kepada masyarakat secara ekonomi tidak dapat dinyatakan secara relatif bahwa nilainya sangat kecil atau sangat besar. perhitungan dan atau penilaian manfaat barang dan jasa lingkungan harus dinilai secara finansial (syahputra, 2013). penentuan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) terhadap manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sangat diperlukan untuk pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas pertanian. dampak dari suatu kegiatan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung, dapat juga dampak itu dinyatakan sebagai dampak primer dan dampak sekunder. dampak langsung atau dampak primer merupakan dampak yang timbul sebagai akibat dari tujuan utama kegiatan atau kebijakan, baik itu berupa biaya ataupun manfaat. tanpa pemberian nilai dalam rupiah akan sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa kegiatan atau kebijakan itu layak adanya. menurut soeparmoko (2000), ada alasan penting untuk penilaian lingkungan yaitu berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada tingkat mikro. penilaian manfaat dan dampak secara moneter harus berdasarkan pada penilaian yang tepat akan manfaat dan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak yang ditimbulkan mengakibatkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur nilai dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, terutama untuk barang dan jasa yang jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 146-157 148 tidak memiliki nilai pasar. penilaian ini dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan (grigalunas dan conger, 1995; freeman iii, 2003). salah satu wilayah yang mempunyai lahan sawah yang cukup luas adalah kabupaten purworejo.luas lahan sawah kabupaten purworejo seluas 30.230 ha dengan rata-rata produksi 329.938 ton pada tahun 2013.wilayah kabupaten purworejo berupa dataran rendah yang berada di bagian selatan dan daerah yang berbukit-bukit di bagian utara.karena belum adanya sistem pengairandan sistem drainase yang memadai maka bagian selatan yang mayoritas didominasi dataran rendah sering terjadi bencana banjir dan memicu daerahdaerah di sekitarnya menjadi daerah yang rawan banjir. hal tersebut tak terkecuali pada lahan sawahnya. ada beberapa wilayah yang mendapat genangan rutin di kabupaten purworejo seperti tampak dalam tabel 1. tabel 1. wilayah genangan rutin di kabupaten purworejo kecamatan grabag: 67 ha 1. desa bakurejo 2. desa dudu wetan 3. desa dudu kulon 4. desa sumber agung 5. desa nambangan kecamatan pituruh: 30 ha 1. desa pituruh 14 2. desa prigelen 7 3. desa ngampel 4 4. desa sikandang 4 pada awal tahun 2013 dua wilayah kecamatan di kabupaten purworejo dilanda bencana banjir yang lebih besar bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. dua kecamatan tersebut adalah kecamatan butuh dan kecamatan grabag. sebanyak 15 desa terendam banjir di kecamatan butuh. desa kedungmulyo merupakan desa yang paling luas tergenang banjir yaitu 130 ha. sedangkan di kecamatan grabag terdapat 10 desa yang terendam banjir. total daerah tergenang di kecamatan grabag yaitu seluas 695 ha. banjir tersebut disebabkan karena pendangkalan, penyempitan dan banyaknya tanggul kritis pada saluran drainase dlangu, drainase lereng barat, drainase lereng timur, dan drainase lereng kolektor. hal tersebut menyebabkan sistem drainase daerah aliran sungai cokroyasan dan daerah aliran sungai wawar menjadi tidak lancar. selain hal tersebut, kondisi pintu-pintu klep dan pintu pengendali banjir disalah satu desa tidak berfungsi dengan baik. tabel2.kejadian banjir kabupaten purworejo januari 2013 kecamatan butuh 490 ha 1. desa dlangu 5 ha 2. desa kunir 10 ha 3. desa kedungagung 54 ha 4. desa kedungsri 21 ha 5. desa kedungsari 38 ha 6. desa rowodadi 50 ha 7. desa sidomulyo 54 ha 8. desa kedungmulyo* 130 ha 9. desa mangunjayan 45 ha 10. desa karanganom 10 ha 11. desa polomarto 10 ha 12. desa tlogorejo 10 ha 13. desa tegalgondo 23 ha 14 desa lubang indangan 20 ha 15. desa lubang dukuh 10 ha kecamatan grabag 695 ha 1. desa rejosari 30 ha 2. desa ketawang 3 ha 3. desa nambangan 662 ha 4. desa sumberagung 5. desa bakurejo 6. desa dudu wetan 7. desa dudu kulon 8. desa trimulyo 9. desa rowodadi 10. desa bendungan *lokasi studi di desa kedungmulyo karena desa kedungmulyo merupakan desa yang mempunyai dearah rawan banjir paling luas bila dibandingkan dengan desa lainnya. sedangkan menurut dinas pertanian terdapat beberapa wilayah lahan sawah yang tergolong rawan banjir. wilayah tersebut di antaranya kecamatan pituruh, kecamatan butuh, kecamatan grabag, dan kecamatan bayan. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. di kabupaten purworejo terdapat beberapa wilayah yang sering terkena bencana banjir dan banyak wilayah yang rawan terkena banjir.sehingga perlu adanya tindakan khusus valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 149 untuk mencegah atau mengurangi bencana banjir khususnya pada lahan pertaniannya. berdasarkan uraian tersebut maka diadakan studi yang berjudul “valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo.” pada studi terdahulu kurniawan (2009) menggunakan metode analisis willingness to pay (wtp), travel cost method (tcm) dan sistem informasi geografi (sig). sig hanya digunakan sebagai alat analisis spasial sedangkan wtp dan tcm digunakan untuk mengetahui manfaat dari barang dan jasa yang dihasilkan. variabel yang digunakan dalam studi ini adalah penggunaan air, biaya yang dikeluarkan masyarakat sekitar kawasan karst maros-pangkep (kkmp), jumlah produksi, harga bahan baku pdam, luas sawah dan keuntungan produksi per hektar. hasil dari studi ini dapat mengetahui nilai guna langsung (direct use value) sebesar rp1.199.918.615.100, dan nilai guna tak langsung(indirect use value) sebesar rp808.117.741.60,-. nilai ekonomi total dari sebagian jasa lingkungan kawasan karst maros-pangkep (kkmp) adalah: rp2.072.501.086.700,per tahun. masih dengan metode yang sama putri (2013) menggunakan metode willingness to pay (wtp). hasil dari studi ini adalah persepsi masyarakat desa pesawaran indah terhadap keterkaitan ketersediaan air dengan kondisi hutan berkisar 64%-73%, masyarakat bersedia membayar rehabilitasi hutan sehingga pemanfaatan air bisa lestari. nilai ekonomi total air desa pesawaran indah rp1.705.844.764,per tahun. berasal dari pemanfaatan air untuk rumah tangga rp1.674.984.480,per tahun, pemanfaatan air untuk listrik rp5.526.684,-per tahun dan pemanfaatan air untuk irigasi rp25.333.600,per tahun. nilai kesediaan membayar untuk rehabilitasi hutan dan lahan sebesar rp419.144.644,per tahun. berbeda halnya dengan studi kim (2002) yang menggunakan metode analisis contigent valuation method (cvm). dalam studi ini terdapat dua variabel independen utama yaitu faktor individu dan faktor daerah. faktor individu terdiri dari pendapatan, pendidikan, informasi dan keterikatan masyarakat. faktor daerah terbagi atas lokasi perumahan dan kedekatan lokasi dengan sungai. studi ini menemukan bahwa faktor individu dan faktor daerah tabel 3. lahan sawah rawan banjir di kabupaten purworejo no kecamatan desa 1. pituruh 1. tersidi lor 2. tersidi kidul 3. prigelan 4. tasikmadu 2. butuh 1. kedungagung 2. kedungmulyo 3. kedungsri 4. rowodadi 5. sumbersari 6. langenharjo 7. wareng 8. polomarto 9. tlogorejo 3. grabag 1. rowodadi 2. trimulyo 3. bendungan 4. tulusrejo 5. tegalrejo 6. kalirejo 7. bakurejo 8. dudu wetan 9. dudu kulon 10. rejosari 4. bayan 1. botorejo 2. botodaleman 3. dewi sumber: dinas pertanian(2015) jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 146-157 150 berpengaruh positif terhadap kemauan membayar peningkatan kualitas air. dalam studi ini menjelaskan bahwa orang-orang hilir memiliki kemauan membayar (wtp) yang lebih rendah dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas air bila dibandingkan dengan orangorang hulu. syahputra (2013) menggunakan metode effect on production yang mengevaluasi sumber daya lahan pertanian dan pertambakan di desa kuala namu kecamatan beringin kabupaten deli serdang. variabel yang digunakan dalam studi ini adalah wtp pelestarian kawasan pertanian dan pertambakan, rata-rata produksi, rata-rata pengalaman bertani, rata-rata pendapatan, rata-rata umur dan rata-rata jumlah keluarga. hasil dari studi ini menunjukkan nilai ekonomi dan sumber daya lahan pertanian di desa kuala namu adalah sebesar: rp911.765.211,00 per tahun. sedangkan nilai ekonomi sumber daya lahan pertambakannya adalah sebesar rp203.012.573,90 per tahun. total nilai ekonomi sumber daya lahan pertanian dan lahan pertambakan di desa kuala namu dengan pendekatan effect on production adalah sebesar rp1.114.777.784,90 per tahun. selain itu, lamusa (2010) menggunakan alat analisis koefisien variasi untuk mengidentifikasi risiko usahatani padi sawah rumah tangga di daerah impenso dan non impenso provinsi sulawesi tengah. data melalui analisis koefisien variasi, risiko usahatani padi di daerah impenso lebih tinggi dibandingkan dengan daerah nonimpenso. hal ini ditunjukkan oleh koefisien variasi usahatani padi sawah rumah tangga di daerah impenso sebesar 33 kali lebih besar dibandingkan dengan koefisien usahatani padi rumah tangga di bukan daerah impenso sebesar 19. selanjutnya setelah dilakukan uji statistik dengan t-test, ternyata perbedaan tersebut sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. adapun tujuan dari studi ini yaitu; 1) mengindentifikasi lokasi wilayah rawan banjir; 2) mengetahui nilai ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan bencana banjir dan 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir di kabupaten purworejo. metode penelitian jenis dan sumber data dalam studi ini menggunakan metode survei secara langsung kepada para petani yang menggarap lahan sawahnya di wilayah yang rawan bencana banjir di kabupaten purworejo. desa kedungmulyo kecamatan butuh adalah lokasi studi yang dipilih dalam studi ini. dalam studi ini jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. menurut narimawati (2008), data primer ialah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. data ini tidak tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. data ini harus dicari melalui narasumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu orang yang dijadikan objek studi atau orang yang dijadikan sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data. jenis data primer yang diperlukan yaitu; 1) data individual responden berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan jumlah tanggungan keluarga; 2) karakteristik lahan berupa status kepemilikan, luas lahan, harga lahan, jarak sawah terhadap sungai, biaya produksi dan hasil produksi; 3) pemahaman lahan pertanian rawan banjir; 4) kemauan membayar atau willingness to pay (wtp) responden terhadap mitigasi lahan pertanian rawan banjir. menurut sugiyono (2005), data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti, misalnya studi harus melalui orang lain atau mencari melalui dokumen. data sekunder diperlukan untuk mendukung data primer. data sekunder dapat diperoleh dari buku-buku, literatur dan bacaan yang berhubungan dengan valuasi ekonomi lahan pertanian dan mitigasi bencana banjir. selain itu data sekunder dapat diperoleh dari instansiinstansi yang terkait dengan studi ini yaitu dinas pertanian, badan pusat statistik (bps), badan penanggulangan bencana daerah (bpbd), dinas sumber daya alam dan ekonomi sumber daya manusia (sda & esdm) kabupaten purworejo. jenis data sekunder yang diperlukan adalah: 1) data wilayah geografis; 2) data wilayah topografi; 3) data wilayah administratif; 4) data demografis (jumlah penduduk); valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 151 5) data sosial ekonomi; 6) data luas lahan pertanian; 7) data bencana banjir. alat analisis metode yang digunakan adalah dengan wawancara langsung kepada para petani dan didukung dengan beberapa daftar pertanyaan atau kuesioner. populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (sugiyono, 2011:62). populasi dalam studi ini adalah seluruh petani yang lahan pertaniannya termasuk rawan banjir di desa kedungmulyo kecamatan butuh kabupaten purworejo. jumlah petani di desa kedungmulyo adalah 359 petani. teknik sampling diperlukan dalam sebuah studi untuk menentukan siapa saja yang dijadikan sampel dari suatu populasi. dalam studi ini, penulis menggunakan teknik simple random sampling. teknik ini dilakukan secara acak tanpa memperhatikan adanya strata (notoatmodjo, 2003). sampel dalam studi ini menggunakan rumus yang dikemukakan oleh notoatmodjo (2002) yaitu: n = 1) keterangan: n adalah besar populasi; n adalah besar sampel; dan d adalah tingkat kepercayaan/ketepatan (10%). ada tiga model analisis yang digunakan dalam studi iniyaitu; 1) sistem informasi geografi (sig); 2) pendekatan kurva non permintaan dan valuasi kerugian; 3) analisis regresi berganda. sistem informasi geografi (sig) barus dan wiradisastra (2000) mengemukakan bahwa sistem informasi geografi adalah suatu sistem yang dirancanguntuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. komponen sig terbagi menjadi empat kelompok, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai. berdasarkan operasinya, sig dibedakan menjadi dua kelompok yaitu; 1) sig secara manual, cara operasinya dengan memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan) dan bersifat analog; 2) sig secara terkomputer atau sering disebut sig otomatis, prinsip kerjanya sudah menggunakan komputer dengan data digital. menurut rusminah (2012), sig dapat digunakan untuk mengakses risiko potensial yang mungkin terjadi. sig mengintegrasikan satuan data-data yang berbeda untuk memberikan gambaran kasar dampak bencana alam terhadap masyarakat. sistem informasi geografi dapat beroperasi dengan komponen-komponen sebagai berikut: 1) orang yang menjalankan sistem meliputi orang yang mengoperasikan, mengembangkan bahkan memperoleh manfaat dari sistem. orang-orang yang menjadi bagian dari sistem informasi geografi misalnya operator, analis, programmer, database administrator bahkan stakeholder. 2) aplikasi merupakan prosedur yang digunakan untuk mengolah data menjadi informasi. misalnya penjumlahan, klasifikasi, rotasi, koreksi geometri, query, overlay, buffer, jointable. 3) data yang digunakan dalam sistem informasi geografi dapat berupa data grafis maupun data atribut. 4) software adalah perangkat lunak sistem informasi geografi berupa program aplikasi yang memiliki kemampuan pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan data spasial. 5) hardware adalah perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem berupa perangkat computer, printer, scanner, digitizer, plotter, dan perangkat pendukung lainnya. dalam studi ini penulis menggunakan peta ancaman bencana banjir terhadap penggunaan lahan di karesidenan kedu provinsi jawa tengah. kemudian akan lebih diperinci lagi membahas lahan rawan banjir di kabupaten purworejo. pendekatan kurva non permintaan dalam pendekatan kurva non permintaan terdapat metode valuasi kontingensi. metode ini menentukan preferensi konsumen terhadap jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 146-157 152 pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar atau willingnes to pay (wtp) yang dinyatakan dalam nilai uang. teknik metode ini dengan melakukan survei dan wawancara dengan responden tentang nilai dan manfaat sumber daya alam dan lingkungan yang mereka rasakan. pendekatan willingnes to accept (wta) digunakan untuk mengetahui seberapa besar petani mau dibayar agar tetap bersedia mengelola dan mempertahankan lahan sawahnya. metode valuasi kontingensi dengan metode survei wtp dan wta telah banyak digunakan oleh peneliti, salah satunya navrud dan mungatana (1994). bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim seperti banjir berdampak negatif terhadap petani.besar kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut dapat diketahui dari perubahan (penurunan) produktifitas pertanian. bencana banjir dapat menyebabkan kegagalan panen total bagi petani seperti yang terjadi di daerah kulonprogo bagian selatan (saptutyningsih dan suryanto, 2009). kerugian sektor pertanian itu sendiri dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut (soeparmoko, 2006): qx = f (a x pt) 2) keterangan: ∆ adalah simbol perubahan; qx adalah produksi pertanian; a adalah luas tanah yang tergenang air banjir; pt adalah produktifitas tanah per ha. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kerugian per petani antara lain adalah: (1) menghitung penurunan produksi pertanian karena banjir; (2) menghitung luas lahan pertanian masing-masing petani. (3) menghitung rata-rata kerugian dari hasil produksi pertanian. analisis regresi linier berganda analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel dependen (variabel terikat) dengan variabel independen (variabel bebas). teknik analisis yang digunakan adalah metode ordinary least square (ols). rumus: wtp= f( + + + + + + ) 3) di mana: adalah variabel usia; adalah variabel pendidikan; adalah variabel pekerjaan; adalah variabel jumlah anggota keluarga; adalah variabel harga lahan; adalah varabel luas lahan; adalah variabel jarak sawah terhadap sungai. hasil dan pembahasan identifikasi lokasi wilayah rawan banjir kabupaten purworejo untuk mengidentifikasi lokasi wilayah rawan banjir maka studi ini menggunakan alat analisis sistem informasi geografi (sig) berupa peta ancaman bencana banjir. peta ini terdiri dari tiga komponen peta yang digabungkan, yaitu peta rupa bumi indonesia (rbi), peta kemiringan lereng, dan peta bentuk lahan. peta ancaman bencana banjir ini dapat menjelaskan seberapa luas lahan yang rawan terhadap bencana banjir. karesidenan kedu terbagi atas lima kabupaten yaitu kota magelang, kabupaten purworejo, kabupaten kebumen, kabupaten wonosobo, dan kabupaten temanggung. peta ancaman bencana banjir menjelaskan bahwa total lahan yang rawan terhadap bencana banjir adalah seluas 37.041,3 ha. luas area rawan banjir paling besar adalah sawah irigasi seluas 249.178.526 m2. pemukiman seluas 146.126.338 m2, kebun seluas 32.669.163 m2, tegalan seluas 14.495.971 m2, air tawar seluas 13.779.421 m2, sawah tadah hujan seluas 5.010.453 m2, rerumputan seluas 3.438.385 m2, semak belukar 881.399 m2, gedung seluas 812.819 m2, pasir darat 769.214 m2, rawa seluas 559.183 m2 dan empang seluas 43.288 m2. kabupaten purworejo merupakan salah satu wilayah karesidenan kedu provinsi jawa tengah. kabupaten purworejo terletak di bagian selatan karesidenan kedu yang bersebelahan dengan kabupaten kebumen. kabupaten purworejo mempunyai daerah rawan banjir paling banyak bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya. hanya kecamatan bruno dan kecamatan kaligesing saja yang valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 153 wilayahnya terbebas dari rawan banjir. wilayah yang rawan banjir di kecamatan bagelen berada di bagian barat dari kecamatan. wilayah rawan banjir tersebut berupa sawah irigasi dan pemukiman. sedangkan wilayah rawan banjir di kecamatan purwodadi berada di bagian timur dan selatan dari kecamatan. wilayah rawan banjir tersebut sebagian besar berupa sawah irigasi dan sedikit pemukiman. wilayah rawan banjir kecamatan ngombol terletak di bagian selatan dan barat dari kecamatan. wilayah rawan banjir tersebut berupa wilayah sawah tadah hujan dan sawah irigasi. hampir separuh dari luas kecamatan butuh dan kecamatan grabag adalah wilayah yang rawan banjir. wilayah tersebut berupa sawah tadah hujan, sawah irigasi dan pemukiman. begitu juga dengan kecamatan lainnya masing-masing terdapat wilayah yang rawan banjir meskipun hanya sebagian wilayah saja. nilai ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp)mitigasi lahan pertanian rawan banjir. pendekatan kurva non permintaan dalam studi ini menggunakan alat analisis willingness to pay (wtp). berdasarkan hasil wawancara kepada responden telah dihasilkan beberapa klasifikasi kemampuan membayar responden terhadap mitigasi lahan pertanian rawan banjir. sebanyak 53,09% responden mampu membayar untuk mitigasi lahan pertanian rawan banjir sebesar rp51.000,00-rp100.000,00. sisanya sebanyak 39,51% responden hanya mampu membayar mitigasi lahan pertanian rawan banjir sebesar rp25.000,00-rp50.000.00. sementara hanya 7,41% responden saja yang mampu membayar mitigasi lahan pertanian rawan banjir sebesar rp101.000,00-rp150.000,00. sebagian besar responden lebih memilih untuk menyumbang tenaga daripada uang dalam upaya mitigasi lahan pertanian rawan banjir. karena masyarakat mengira mitigasi lahan pertanian rawan banjir adalah tanggungjawab pemerintah. apabila responden diharuskan membayar maka responden hanya mampu membayar angka paling minimal saja. tabel 4. kesediaan membayar (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir no klasifikasi wtp jumlah persentase (%) 1. rp25.000,00 rp50.000,00 32 39,51% 2. rp51.000 rp100.000 43 53,09% 3. rp 101.000rp150.000 6 7,41% total 81 100% banjir mengakibatkan dampak negatif terhadap aktivitas pertanian. salah satu dampak yang dirasakan petani ketika lahan pertaniannya terkena banjir adalah penurunan produksi. penurunan produksi antara: rp1.100.000rp2.000.000 sebanyak 16 orang dengan persentase 19,75%. kemudian dilanjutkan penurunan produksi antara: rp2100000-rp3000000 sebanyak 9 orang dengan persentase sebesar 11,11%. penurunan produksi antara: rp3.100.000rp4.000.000 dan di atas rp4.100.000 masingmasing berjumlah 3 orang dengan persentase masing-masing sebesar 3,70%. tabel 5. tingkat penurunan produksi no penurunan produksi (rp) jumlah responden persentase (%) 1. rp0-rp1.000.000 51 62,97% 2. rp1.100.000rp2.000.000 16 19,75% 3. rp2.100.000rp3.000.000 9 11,11% 4. rp3.100.000rp4.000.000 3 3,70% 5. >rp 4.100.000 3 3,70% total 81 100% tabel 6. tingkat kerugian (%) akibat banjir no penurunan produksi (%) jumlah responden persentase (%) 1. 07% 8 9,88% 2. 8%-14% 25 30,86% 3. 15%-21% 30 37,04% 4. 22%-28% 16 19,75% 5. 29%-35% 2 2,47% total 81 100% jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 146-157 154 tingkat kerugian petani pascabanjir di kabupaten purworejo berkisar antara 0-35%. tingkat kerugian petani paling banyak antara 15%-21% dari produksi normal yaitu sebanyak 30 orang dengan persentase sebesar 37,04% persentase kerugian paling sedikit adalah tingkat penurunan produksi antara 29%-35% dari produksi normal sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 2,47%. determinan willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo. analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen mempengaruhi variabel dependen. variabel independen dalam studi ini adalah usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan, dan luas lahan, dan jarak sawah terhadap sungai. sedangkan willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir sebagai variabel dependen. model studi dapat ditunjukkan sebagai berikut: wtp= f( + + + + + + +e) 4) keterangan: adalah variabel usia; adalah variabel pendidikan; adalah variabel pekerjaan; adalah variabel jumlah tanggungan keluarga; adalah variabel harga lahan; adalah luas lahan, adalah jarak sawah terhadap sungai. dengan menggunakan program e-views 6 menghasilkan output dari data yang telah diolah tampak dalam tabel 7. persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut: wtp = 163.309,96 – 251,89*usia + (0,3934) 17.539,11*pendidikan – 12.971,50*pekerjaan – (0,0000) (0,0406) 8023,56*jtk – 2,52*hl + 10,18*ll –42,40*jss 5) (0,0011) (0,0013) (0,0000) (0,0804) persamaan 5 menunjukkan hubungan antara usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan, luas lahan dan jarak sawah terhadap sungai terhadap kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) lahan pertanian rawan banjir. koefisien determinasi (r2) digunakan untuk mengetahui berapa persen (%) variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen. besarnya nilai adjusted rsquared yang diperoleh dari regresi linier sebesar 0,7025 yang artinya sekitar 70,25% variasi variabel dependen dalam hal ini wtp (willingness to pay) dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam hal ini variabel usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan, luas lahan, dan jarak sawah terhadap sungai. sisanya sebanyak 29,75% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan dan luas tabel 7. hasil analisis regresi linier berganda dengan metode ordinary least square (ols) no nama variabel koefisien t hitung prob. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. konstan usia pendidikan pekerjaan jtk harga lahan luas lahan jss 163310,0 -251,8882 17539,11 -12971,50 -8023,563 -2,515630 10,18115 -42,40132 5,144506 -0,858604 5,418508 -2,084546 -3,389260 -3,356073 8,707182 -1,773254 0,0000 0,3934* 0,0000 0,0406 0,0011 0,0013 0,0000 0,0804* r-squared adjusted r-squared durbin-watson stat 0,702486 0,673958 1,578761 f-statistic prob (f-statistic) 24,62385 0,000000 sumber: data primer diolah 2015 *: signifikan pada level 10% valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 155 lahan masing-masing mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap wtp mitigasi lahan pertanian rawan banjir pada derajat signifikansi 5%. variabel luas lahan mempunyai pengaruh paling besar dibandingkan dengan variabel lainnya terhadap kemauan membayar willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. sementara variabel pendidikan dan luas lahan mempunyai pengaruh positif terhadap kemauan membayar willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. variabel pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga dan harga lahan mempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan membayar willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. sedangkan usia dan jarak sawah terhadap sungai tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap wtp mitigasi lahan pertanian rawan banjir. uji multikolinearitas bertujuan untuk apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. hasil pengujian ini menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas. uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual satu pengamatan ke pengamatan lain. pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan metode uji white menyimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. hasil pengujian autokorelasi dengan metode breusch-godfrey test (b-g tes) menunjukkan bahwa model terbebas dari masalah autokorelasi. simpulan berdasarkan identifikasi lokasi wilayah rawan banjir kabupaten purworejo dengan menggunakan sistem informasi geografi (sig), hampir semua kecamatan yang ada di kabupaten purworejo rentan bencana banjir kecuali kecamatan bruno dan kecamatan kaligesing. kecamatan yang paling luas wilayah rawan banjir adalah kecamatan butuh. sedangkan menurut jenis penggunaan lahan, sawah irigasi adalah lahan yang paling luas dan rawan terhadap bencana banjir. berdasarkan analisis kurva non permintaan dan valuasi kerugiandapat diketahuinilai ekonomi mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo. mayoritas responden mampu membayar rp51.000 – rp100.000 untuk mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo. mayoritas penurunan produksi berkisar antara rp0 – rp1.000.000 dari produksi normal. tingkat kerugian akibat banjir berkisar antara 0-35% dari produksi normal. berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir kabupaten purworejo, variabel pendidikan dan luas lahan berpengaruh positif terhadap kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. variabel pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, harga lahan dan jarak sawah terhadap sungai berpengaruh negatif terhadap kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. sedangkan variabel usia tidak berpengaruh signifikan terhadap kesediaan membayar atau willingness to pay (wtp) mitigasi lahan pertanian rawan banjir. berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis memberikan beberapasaran yang berkaitan dengan studi ini. adapunsaran tersebut adalah sebagai berikut: 1) perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk bisa melakukan tindakan mitigasi yang berkelanjutan baik pembangunan fisik maupun non fisik. seyogyanya sistem drainase dan pengairan yang sudah dibuat selalu diadakan pengawasan agar tidak terjadi kerusakan dan tindakan-tindakan yang merugikan antarpetani; 2) petani disarankan untuk ikut serta dalam asuransi pertanian. karena kegiatan usaha di sektor pertanian akan selalu dihadapkan pada risiko ketidakpastian yang cukup tinggi. risiko ketidakpastian tersebut meliputi tingkat kerusakan usahatani, tingkat kegagalan panen yang disebabkan berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir, serta serangan hama dan penyakit karena perubahan iklim global. sistem asuransi pertanian berupa pendanaan yang berkaitan dengan pembagian risiko dalam usahatani. asuransi pertanian dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan produksi dan melindungi petani dari ketidakpastian usaha di sektor pertanian; 3) dinas terkait hendaknya melakukan penyuluhan rutin kepada para petani dengan memberikan saran-saran untuk menghindari dampak banjir jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 146-157 156 pada lahan pertanian atau pun inovasi-inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas petani. daftar pustaka badan pusat statistik. (2012). purworejo dalam angka. purworejo: badan pusat statistik. badan pusat statistik. (2013). purworejo dalam angka. purworejo: badan pusat statistik. badan pusat statistik. (2013). sensus pertanian. purworejo: badan pusat statistik. barus, baba dan u. s. wiradisastra. (2000). sistem informasi geografi. bogor: laboratorium penginderaan jauh dan kartografi fakultas pertanian insitut pertanian bogor. dinas pertanian dan peternakan perikanan dan kelautan. (2014). lahan sawah rawan banjir dan kekeringan di kabupaten purworejo. purworejo: dinas pertanian dan peternakan perikanan dan kelautan. dinas sdae. (2014). kumpulan laporan daerah rawan genangan banjir dan genangan rutin tahun 2010-2014. purworejo: dinas sumber daya air dan energi sumber daya mineral. freeman iii, a.m. (2003). the measurement of environmental and resource values. resources for the future. washington, d.c. grigalunas t.s dan r. congar. (1995). environmental economics for integrated coastal area management: valuation methods and policy instruments. unep regional seas reports and studies. no. 164. unep. gujarati, d. n. (2005). basic econometrics. new york: mcgraw-hill. harahap, bilang, n dan djoni, h. (2007). analysis willingness to pay and determinant of drinking water and sanitation availability in indonesia using hedonic price model aprroach and logistic model. jakarta: faculty of economic, university of indonesia. hardoyo, dkk., (2011). strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut di kota pekalongan. red carpet studio, fakultas geografi universitas gadjah mada. kementerian pekerjaan umum direktorat jenderal sumber daya air bbws bs. (2011). ancaman bahaya banjir dan upaya antisipasinya di wilayah sungai bengawan solo kim, k. (2002). water quality measurement: what makes ‘willingness to pay’ different?. international review of public administration 2002.vol.7, no.2. kurniawan, r. (2009). valuasi ekonomi jasa lingkungan kawasan kars maros-pangkep. jurnal ekonomi lingkungan vol. 13, no.1. lamusa, a. (2010). risiko usahatani sawah rumah tangga di daerah impenso provinsi sulawesi tengah. vol.17. no.3. hlm.226232. narimawati, u. (2008). metodologi studi kualitatif dan kuantitatif: teori dan aplikasi. bandung: agung media. navrud s., and e,d mungatana. (1994). enviromental valuation in developing countries: the recreational value of wildlife viewing. ecological economics, 11:135-151. netty, nurliani karman, annas boceng. (2014). aplikasi teknologi pupuk organik dan teknik pemangkasan untuk meningkatkan produksi jagung hibrida di kecamatan galegesong kabupaten takalar. program ipteks bagi masyarakat. fakultas pertanian universitas muslim indonesia. notoatmodjo, s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. permendagri no 33 tahun 2006 tentang pedoman umum mitigasi bencana putra, i.g.a.d. (2015). analisis daya dukung lahan berdasarkan total nilai produksi pertanian di kabupaten gianyar. tesis. universitas udayana. putri. (2013). nilai ekonomi air daerah aliran sungai (das) way orok sub das way rata desa pesawaran indah kecamatan padang cermin kabupaten pesawaran. jurnal vol. 1. no. 1.hal.37-46. rahayu, dkk. (2009). banjir dan upaya penanggulangannya. bandung: promise indonesia. rahayu, s.a.t. (2007). modul laboratorium ekonometrika. surakarta: fakultas ekonomi, universitas sebelas maret surakarta. valuasi ekonomi mitigasi lahan pertanian ... (darwati, suryanto) 157 rusminah. (2012). analisis kesediaan membayar (willingness to pay) mitigasi banjir di eks karesidenan surakarta. skripsi. surakarta: fakultas ekonomi dan bisnis universitas sebelas maret surakarta. saptutyningsih, e. dan suryanto. (2009). pemetaan banjir di kulonprogo. hasil studi hibah bersaing dikti 2009. tidak dipublikasikan. sihite, jamartin. (2001). evaluasi dampak erosi tanah model pendekatan ekonomi lingkungan dalam perlindungan das: kasus sub-das besai das tulang bawang lampung. tesis. bogor: institut pertanian bogor. simmons, dkk. (2002). valuing mitigation: real estate market response to hurricane loss reduction measures. sourthern economic journal. vol. 68, no 3, pp. 660-671. soemarwoto, o. (1989). analisis dampak lingkungan. yogyakarta: gadjahmada university press. soemarwoto, o. (2001). ekologi lingkungan hidup dan pembangunan. jakarta: djambatan. soeparmoko, m. (1989). ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. jogjakarta: paustudi ekonomi universitas gadjah mada. soeparmoko. (2000). ekonomika lingkungan. yogyakarta: bpfe. soeparmoko. (2006). panduan dan analisis valuasi ekonomi. yogyakarta: bpfe. spash, c. l. (1997). ethics and environmental attitudes with implication for economic valuation. journal of environmental management. sugiyono. (2005). metode studi kualitatif. bandung: alfabeta. sugiyono. (2011). metode studi kombinasi (mixed methods). bandung: alfabeta. syahputra, m..i. (2013). analisis valuasi ekonomi metode effect on production sumber daya lahan pertanian dan pertambakan di desa kuala namu kecamatan beringin kabupaten deli serdang. jurnal vol. 05. no. 01. undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. undang-undang republik indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup www.bnpb.go.id, diakses tanggal 30 desember 2014 pukul 14.19 wib jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper do institutions cause growth? evidence from asian countries bayu kharisma*, adhitya wardhana, and mohammad naufal faisal sofyan abstract: a well-maintained political stability and economic freedom can encourage economic growth through investment, human capital, and technological developments. adverse phenomena such as the asia rohingya conflict and uprisings in the middle east conflict create an unstable political and economic environment, requiring institutions to develop an ideal environment for investors. this paper aims to identify the effect of political and economic institutions on economic growth. this paper uses panel data from developing asian countries in 2009-2018 using the system gmm model. the results indicate that economic institutions have a positive and significant effect on economic growth. however, political institutions have no significant effect on economic growth. these results indicate that economic institutions have an essential role in maintaining and controlling the activities of emerging markets in asia. good institutions have to be in place to prevent fraud in market activities. in addition, economic freedom is one of the critical factors in attracting investment into the country to have a spillover effect on technological development. keywords: political institution; economic institution; economic growth; asian; gmm system jel classification: e02; o10; o17; o40 introduction institutions are fundamental in economic growth as they facilitate policies for investment and human capital (acemoglu, 2009). institutions incentivize economic activities which spur economic growth. institutions also offer ideal conditions that can trigger various production factors such as capital investment, human capital, and innovation and technological development (eslamloueyan & jafari, 2019). institutions’ “rules of the game” provide constraints on individual behavior and influence economic activity through transaction costs (north, 2016). additionally, institutions can affect other macroeconomic activities such as exports, imports, and foreign capital inflows by providing efficiency, especially in resource allocation, stability in property rights, and supporting freedom of choice (nguyen, su, & nguyen, 2018; asif & majid, 2018). one factor affecting institutions is economic conditions; even similar countries may be affected differently based on whatever economic condition they are facing. for example, the role of institutions in economic growth stems from differences in economic conditions in north and south korea. affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas padjadjaran, west java, indonesia *correspondence: bayu.kharisma@unpad.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13897 citation: kharisma, b., wardhana, a., & sofyan, m. n. f. (2022). do institutions cause growth? evidence from asian countries. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 51-65. article history received: 04 feb 2022 revised: 18 mar 2022 30 mar 2022 accepted: 06 apr 2022 https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorid=57205223978 https://scholar.google.co.id/citations?user=7xi8zu0aaaaj&hl=en http://iesp.feb.unpad.ac.id/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/ http://iesp.feb.unpad.ac.id/ mailto:bayu.kharisma@unpad.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13897 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13897&domain=pdf kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 52 despite north and south korea gaining independence from japan simultaneously and having similarities in various factors such as geographical and cultural conditions (acemoglu, 2009), the present-day conditions of their economy have differed significantly. this disparity is due to the varying effects in how the institutions regulate each country, resulting in different economic conditions where south korea is more developed than north korea. another phenomenon regarding the role of institutions occurs in norway and venezuela, which shows how natural resources impact the two countries. torvik (2016) shows that although both have abundant natural resources, those natural resources have affected the economy of both countries differently. natural resources have encouraged norway’s economic growth, while venezuela is the opposite. one reason for this difference is the high role of political institutions in controlling resources by utilizing considerable political power. other phenomena of how institutions affect the economy occurs in south asia, resulting in rampant corruption cases and weak property rights (singh & pradhan, 2020). weak property rights cause low per capita income. the institutional phenomenon can be seen through the 2016 rohingya conflict, which peaked with a dispute between military forces and the rohingya community (burke et al., 2017). this phenomenon can be explained from an economic perspective, where conflicts can affect incoming investment (in this research, investment is shown in the form of establishing branches of multinational companies or new companies) (miklian, 2019). the case in south asia above is not unique. institutions also affect how other areas and regions cope and gain their economic conditions – thereby saying that institutions are one of the main contributors to a conducive economic environment. another significant area with prominent institutional effect is in the middle east, such as iraq. idris (2018) argues that the economic impact arising from the prolonged conflict is caused by the failure of iraqi institutions to manage the country’s potential natural resources, namely oil. petroleum cannot be adequately utilized by the government, which prevents these natural resources from increasing the quality of human capital. the government has also failed to diversify its policies regarding natural resources, thus reducing opportunities to increase investment and employment. the iraqi economy, which treats oil as the primary commodity and acts as a source of capital and consumption, requires the crucial role of institutions in determining economic growth (yousif, 2016). other developing countries in asia also experience similar problems. those countries tend to have weak institutions due to excessive intervention in the market, resulting in inefficiency and the potential for rent-seeking practices (khan, 2018). doğanay and değer (2021) stated that economic growth in developing countries is highly dependent on the quality of institutions in terms of effectiveness and efficiency of regulations. acemoglu (2009) states that institutions are divided into political and economic types. uddin, ali, and masih (2021) noted that political and economic institutions are measured by political stability and economic freedom. political stability affects economic growth because imbalances in the political world will lead to failure to manage or utilize political power, manipulation in the judiciary system, and may hinder an investor from committing to investments into the target country (olaoye & aderajo, 2020). thus, weak institutions kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 53 will impact low investment growth and reduce economic growth (wanjuu & le roux, 2017). in this case, the quality of political institutions is measured using political stability and the absence of violence. kaufmann, kraay, and mastruzzi (2008) believe that political stability and the absence of violence are valued between -2.5 and +2.5. the greater the value, the better the level of political stability in the country and vice versa. kaufmann et al. (2008) explained that world trends are illegible as the world average is assumed to be 0. meanwhile, the asian average in 2018 was -0.39, and the developing countries in asia have a score of -0.14. asia’s negative value is caused by various conflicts, especially those originating at the domestic level. erlangga (2018) stated that political instability in south asia is rooted in prolonged conflicts in afghanistan and pakistan. hoh (2019) also mentioned that the middle east conflict increases political instability, thereby increasing risk for investors (especially china) from investing in the region, which will impact economic growth. figure 1 is a measure of the quality of political institutions. figure 1 political stability and absence of violence in developing countries in asia 2009-2018 source: the worldwide governance indicators (wgi) 2009-2018 economic institutions assist policy regulations, both in property rights and economic freedom. this indirectly incentivizes individuals who invest primarily in technology and production efficiency (li, chu, & gao, 2018). haini (2019) stated that economic institutions can cut information and transaction costs which helps avoid market failures and maintain market stability. it also ensures that the limited resources can be allocated and used efficiently to prevent exploitation by certain parties. figure 2 measures the quality of economic institutions based on the economic freedom index. -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 developing countries in asia asia kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 54 figure 2 economic freedom index of developing countries in asia 2009-2018 source: the heritage foundation 2009-2018 figure 2 shows the average quality of economic institutions in asian countries. the average index value of developing countries in asia in 2018 was 62.55, higher than the asian average of 61.54 and the world average of 60.12. the heritage foundation (2018) stated that countries with points above 50 are classified as countries having freedom in economic activity. zhao, madni, anwar, and zahra (2021) stated that when a region in asia has economic freedom, it will encourage markets to function efficiently, thereby increasing trust, especially in companies, reducing uncertainty, and creating high levels of economic growth. in addition, these regions also encourage people to innovate and improve the economy due to low barriers to enter and exit from the market. improving the quality of economic institutions in asia is needed to control economic freedom, especially regulation and efficiency, and provide an ideal environment for investors. nadeem et al. (2019) further stated that south asia is opening up the economy and is continually trying to increase economic freedom among regions in the area. past studies have tried to examine the influence of institutions on economic growth using various measures. nawaz (2015) used indicators from the international country risk guide (icrg), while singh and pradhan (2020) and sabir, latif, qayyum, and abass (2019) used indicators from the world governance indicator (wgi). both studies found that, in general, institutions significantly affect economic growth. other studies have tried to focus on institutions based on types. uddin et al. (2021) focused on three types of institutions: political, economic, and financial institutions. the research is based on aisen and veiga (2013), which analyzed the quality of institutions through economic openness and political instability. meanwhile, haini (2019) divides institutions into political and economic institutions. these studies found that each institution significantly affected economic growth. however, other studies showed different results. aslam (2020) did not find that institutions have a significant effect on economic growth, but the study reverted on the finding after inputting macroeconomic variables such as inflation, economic openness, and human capital. xu et al. (2021) did not find a significant impact of several 50,0 53,0 56,0 59,0 62,0 65,0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 developing countries in asia asia world kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 55 institutional indicators, namely voice and accountability, regulatory quality, and political stability on economic growth. empirical studies show potential factors affecting the institutional performance of developing countries in asia, such as trade wars, technological advances, and conflicts such as the rohingya and the middle east, which may hamper the economic sector (miklian, 2019; yousif, 2016). thus, research on institutions does not always have a consistent result with different results based on the types of institutions studied. therefore, this study aims to look at the role of political and economic institutions on the economic growth of developing countries in asia. this research contributes important empirical results regarding the effect of institutions and economic growth from developing countries in asia. research method institutions in this research were measured based on political and economic institutions. economic growth is measured using per capita income with a constant value in 2010. this study focuses on developing countries in asia. referring to previous research, developing countries in asia tend to have weak institutional conditions and are prone to rent-seeking practices (khan, 2018). in addition, developing countries were selected as the scope as suggested by doğanay and değer (2021), which says that economic growth in developing countries is highly dependent on the quality of institutions, especially the quality of regulations. the developing asian countries selected in this study were based on the classification of the united nations (2021), which consisted of bahrain, bangladesh, bhutan, brunei darussalam, cambodia, china, fiji, hong kong, india, indonesia, iran, israel, jordan, kiribati, laos, lebanon, malaysia, maldives, mongolia, myanmar, nepal, oman, pakistan, philippines, south korea, saudi arabia, singapore, sri lanka, thailand, turkey, united arab emirates, vanuatu, and vietnam. furthermore, the period from 2009 to 2018 was selected as the research period to identify changes in the quality of institutions when specific phenomena occurred, such as the trade war in 2018, technological progress, the 2016 rohingya conflict, and the middle east conflict. in addition, when analyzing the impact of the 2008 u.s. subprime mortgage crisis, kim, kim, and lee (2015) argued that the spillover effect from this crisis could affect asia, especially concerning dollar liquidity from the foreign exchange market. the economic growth as a dependent variable is measured using the natural logarithm of per capita income based on the us$ 2010 constant prices obtained from the world bank (aslam, 2020). economic institutions are measured using the economic freedom index obtained from the heritage foundation as used in previous research (alhassan & kilishi, 2019; uddin et al., 2021). the economic freedom index has four main pillars: the rule of law, government size, regulatory efficiency, and open market. the overall value of the four pillars is used to determine the market freedom in a country; the greater an kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 56 individual’s freedom when conducting economic activities, the greater the level of investment, per capita income, and economic growth of a country (the heritage foundation, 2021). meanwhile, political institutions refer to previous research (uddin et al., 2021; benayed, 2020; darsono et al., 2022; mahaini, noordin, & mohamad, 2019) that used political stability and the absence of violence, including violence with political motives and terrorism obtained from the world governance indicator (wgi), to identify political stability (kaufmann, kraay, & mastruzzi, 2010). other variables of economic growth are obtained from the world bank, such as investment using the gross capital formation measure (alexiou, vogiazas, & solovev, 2019). foreign investment is used to measure foreign investment inflow (olaoye & aderajo, 2020). inflation is calculated using the consumer price index (saha & zhang, 2017). finally, population growth is measured using the percentage growth per year (shchegolev & hayat, 2018). the research uses the two-step dynamic panel data of the system of generalized method of moments estimation (sys-gmm). sys-gmm aims to overcome the model’s endogeneity problem and other classical assumption problems such as heteroscedasticity and autocorrelation, especially when the first lag of the dependent variable is included as the independent variable (roodman, 2009). furthermore, this method is suitable for samples larger than the time period (n>t) (blundell & bond, 1998). in addition, the use of dynamic panel data is carried out because current economic growth tends to be influenced by past economic growth (uddin, ali, & masih, 2017). for this reason, it is necessary to add an independent variable in the form of a lag from the dependent variable (yt-1). the use of dependent variable lag as an independent variable can correlate with error so that regression using pooled least squares, random effects, and fixed effects gives inconsistent results (aisen & veiga, 2013). in addition, the use of the cross-section regression method in the growth model (cross-section growth regression) was criticized by (levine & renelt, 2016; anwar, 2018) for the independent variables included in the specification or in other words, the estimated parameter values changed very significantly when one or more variables are entered or removed from the model. this shows the possibility of the model being exposed to the problem of omitted variable bias. according to (blundell & bond, 1998), instrumental variables are used to overcome endogeneity problems by treating the second lag of endogenous variables as instruments, while exogenous variables can use equations at the level as there is no correlation to error. this study refers to uddin et al. (2017) and aisen and veiga (2013), where the second lag of the dependent variable and the independent variable becomes the instrument in the first derivative equation. in comparison, the first lag of the variable is used as an instrument in the equation at the level. then, the level of the exogenous variable can be used as an instrument. furthermore, this research carried out regression by comparing the pooled least squares, random effects, fixed effects, first difference gmm, and system gmm. the use of dynamic panel data where there is a first lag variable from the dependent variable (yt-1) as an independent variable will give biased results if processed using the pooled least square, kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 57 random effect, and fixed effect method due to autocorrelation between (yt-1) and the unobserved fixed effect (aisen & veiga, 2013; han & phillips, 2006; muhammad, islam, & marashdeh, 2015). thus, the sys-gmm method can avoid autocorrelation and endogeneity problems in the model. in addition, sys-gmm can overcome the problem of weak instruments in the first difference gmm (fd-gmm) estimator (blundell & bond, 1998). therefore, the dynamic panel method approach can be good if it meets the criteria for consistency and instrument validity (sari & cahyadin, 2021). acemoglu (2009) states an endogeneity problem in the relationship between institutions and economic growth. this is explained in research conducted by uddin et al. (2017), where the variables of political stability and the absence of violence have endogeneity problems because political instability will lead to reduced investment activities and hamper economic growth. meanwhile, stunted economic growth can increase political instability, causing the collapse of the government and political unrest. this research model adopts the model from uddin et al. (2021), especially in determining the size of political and economic institutions. however, control variables and sample differences were modified as this study uses annual data from developing countries in asia. thus, the econometric model in this study is as follows: 𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 = 𝛽1𝑙𝑛𝑌𝑡−1 + 𝛽2𝑝𝑜𝑙_𝑖𝑛𝑠𝑖𝑡 + 𝛽3𝑒𝑐𝑜𝑛_𝑖𝑛𝑠𝑖𝑡 + 𝛽𝑖𝑋𝑖𝑡 + 𝜃𝑡 + 𝛿𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 ........ (1) where 𝑙𝑛𝑌 is the logarithm of per capita income, 𝑙𝑛𝑌t-1 is the logarithm of the country’s previous per capita income, 𝑝𝑜𝑙_𝑖𝑛𝑠 is the political stability and the absence of violence as a measure of political institutions, 𝑒𝑐𝑜𝑛_𝑖𝑛𝑠 is the economic freedom index as a measure of economic institutions, 𝑋 is the control variable consisting of investment, foreign investment, inflation, and population growth, δi is country-specific fixed effects, θt is the time fixed effects, and it is country i, year t and uit is the error term. result and discussion table 1 shows that economic growthmeasured by gdp per capitaaverages $11,178.82 per year, with the lowest being $567.90 per year and the highest being $59,260.57 per year. political institutions have an average of -0.25 points, with the lowest score being 2.81 points and the highest being 1.61 points. a negative value indicates that the level of political stability in the asian developing countries is insufficient. economic institutions have an average score of 60.80 points, which indicates that developing countries in asia have an open economy. the lowest score was 36.7 points, and the highest was 90.2 points. investment is measured using a gross capital formation with an average of 29.21%, the lowest figure is 14.12%, and the highest is 69.48%. the foreign investment variable has an average of 5.19%, with the lowest value of -37.15% and the highest of 58.51%. the inflation variable has an average of 4.28%, the lowest value is -3.89%, and the highest is 36.60%. finally, population growth has an average of 1.78%, with the lowest rate of -0.26% and the highest of 11.04%. kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 58 table 1 descriptive statistics variable mean standard deviation min max gdp per capita 11,178.82 13,406.63 567.90 59,260.57 political institution -0.25 0.98 -2.81 1.61 economic institution 60.80 10.79 36.7 90.2 investment 29.21 8.87 14.12 69.48 foreign investment 5.19 8.24 -37.15 58.51 inflation 4.28 4.37 -3.89 36.60 population growth 1.78 1.49 -0.26 11.04 table 2 estimation results of pls, re, fe, diff-gmm and sys-gmm variable pls random effect fixed effect diff-gmm sys-gmm lny t-1 0.9912*** (0.0023) 0.9864*** (0.0035) 0.9118*** (0.0182) 0.9561*** (0.1271) 0.9618*** (0.0112) political institution 0.0064*** (0.0018) 0.0062* (0.0032) 0.0086 (0.0057) 0.0089 (0.0581) 0.0065 (0.0182) economic institution 0.0002 (0.0003) 0.0004 (0.0003) 0.0014 (0.0005) 0.0053 (0.0029) 0.0042** (0.0016) investment 0.0012*** (0.0001) 0.0015*** (0.0002) 0.0017*** (0.0004) 0.0004 (0.0012) 0.0020** (0.0007) foreign investment 0.0008*** (0.0002) 0.0009*** (0.0002) 0.0007*** (0.0002) 0.0010 (0.0007) 0.0001 (0.0005) inflation -0.0014** (0.0006) -0.0017*** (0.0004) -0.0021*** (0.0006) -0.0016 (0.0023) -0.0066*** (0.0023) population growth -0.0108*** (0.0010) -0.0088*** (0.0014) -0.0081*** (0.0023) -0.0145*** (0.0045) -0.0161*** (0.0027) groups 33 33 instruments 28 25 ar (1) 0.041 0.040 ar (2) 0.071 0.139 hansen j stat. 0.760 0.991 note : () denotes robust standard errors in brackets. *** significant in 1%, ** significant in 5%, * significant in 10%. the second lag is used as an instrument in the first difference equation. the first lag is used as an instrument in the equation at the level (aisen & veiga, 2013; uddin et al., 2017). based on table 2, the economic institutions have a positive and significant influence at a significance level of 5% with a coefficient value of 0.0042. this means that every 1 point increase in the economic institution will increase economic growth by 0.42%, ceteris paribus. this result is in line with previous research, which showed positive and significant economic growth results in south asia (nadeem et al., 2019). another study with similar results was conducted by uddin et al. (2021), using the economic freedom index to measure the economic institution. the security provided by economic institutions in maintaining stability, especially property rights, will increase domestic investment. regulations regarding property rights will encourage companies to research to obtain efficient technology. in addition, with policies regulating property rights, individuals will obtain incentives from investment as new companies will bring forward more efficient technology (acemoglu, 2009). in addition to the property rights policy, economic institutions can open the economy, triggering investment in foreign capital. imtiaz and kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 59 bashir (2017) stated that economic freedom will ease foreign investors to channel funds into the country with low barriers from the government, especially for entering and exiting the market, reducing transaction costs and information asymmetry in the south asian region. in addition, in order to increase investment, strong economic institutions are needed (ma'ruf, 2010). research on the importance of economic institutions was also stated by wanjuu and le roux (2017) and hussain and haque (2016), where economic institutions have a positive and significant effect on economic growth. political institutions have no significant effect on economic growth. similar results were found in the study of xu et al. (2021) in asia, which found that political stability and the absence of violence had no significant effect on economic growth. he stated that this result occurred from obstacles to institutional performance in asian countries due to the fragile political conditions. similar results were found in the study of gnangoin et al. (2019) in asia. in addition, political institutions have a negative effect, similar to the research of doğanay and değer (2021) and shchegolev and hayat (2018), where this occurs due to the unequal distribution of political power in the institutional structure where one group has greater control and tends to trigger the practice of rent-seeking. another study with negative results was found in zhuo, o, muhammad, and khan (2020). economic growth of the previous year affected the current economic growth positively and significantly at the level of 1% with a coefficient of 0.9618, similar to the research conducted by aslam (2020). the lag coefficient of the dependent variable, which is less than 1 ( |ρ| < 1), indicates that the model is stationary (corlett & aigner, 1972). other studies state that the lag of the dependent variable is significant, indicating that there is a convergence where countries with lower per capita incomes have higher economic growth to catch up with the economic conditions of developed countries that have reached steady-state conditions (haini, 2019; muhammad et al., 2015). as measured by gross capital formation, investment has a positive and significant effect at a significance level of 5% with a coefficient of 0.0020. this means that every 1% increase in investment will increase economic growth by 0.20%, ceteris paribus. these results follow the research conducted by alexiou et al. (2019) and shchegolev and hayat (2018) and shchegolev and hayat (2018) where the accumulation of physical capital will increase economic growth. in addition, research by uddin et al. (2021) in developing countries also found a positive and significant effect. mankiw (2010) explains this through the production function where physical capital accumulation will encourage economic growth. meanwhile, no significant effect was found on the foreign investment variable. these results are in line with the research of uddin and masih (2016), rahman, rana, and barua, (2019), and olaoye and aderajo, (2020), where various factors such as unstable political conditions, the inefficiency of institutional performance and lack of property rights protection will prevent the entry of foreign capital. in addition, incoming foreign capital cannot be adequately utilized, especially in developing the productive sector. kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 60 inflation has a negative and significant effect with a significance level of 1% with a coefficient of 0.0066. this means that every 1% increase in inflation will reduce economic growth by 0.66%, ceteris paribus. similar results were obtained in the research of aisen and veiga (2013) and muhammad et al. (2015), where inflation will hamper economic growth. imam and kpodar (2016) found similar results; high inflation results in price changes. if it changes erratically, it will reduce efficiency and productivity levels. mankiw (2010) further states that inflation levels can reduce people’s purchasing power, thus reducing consumption levels and ultimately hampering economic growth. population growth has a negative and significant effect on economic growth at a significance level of 1% with a coefficient of 0.0161. that means that a 1% increase in economic growth will reduce economic growth by 1.61%, ceteris paribus. similar results were obtained in the research of aisen and veiga (2013), zghidi, mohamed sghaier, and abida (2016), and aslam (2020), where population growth tends to reduce per capita income. this follows solow’s theory, where population growth will reduce output and per capita income (mankiw, 2010). finally, there was no significant effect on foreign investment similar to the research of uddin and masih (2016), rahman et al. (2019) and olaoye and aderajo (2020), where various factors such as unstable political conditions, inefficiency of institutional performance and lack of property rights protection will prevent the entry of foreign capital. in addition, the incoming foreign capital cannot be adequately utilized, especially in developing the productive sector. robustness check this research also examines the consistency (robustness check) of the key variables, namely the political and economic institutions. table 3 estimation results of two-step dynamic panel of system gmm estimation variable sys-gmm (1) (2) ln (gdp per kapita t-1) 0.9402*** (0.0196) 0.9618*** (0.0112) political institution 0.0137 (0.0227) 0.0065 (0.0182) economic institution 0.0045* (0.0026) 0.0042** (0.0016) investment 0.0020** (0.0007) foreign investment 0.0001 (0.0005) inflation 0.0066*** (0.0023) population growth 0.0161*** (0.0027) note : () denotes robust standard errors in brackets.*** significant in 1%, ** significant in 5%, * significant in 10%. the second lag is used as an instrument in the first difference equation. the first lag is used as an instrument in the equation at the level (aisen & veiga, 2013; uddin et al., 2017). kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 61 the test compares two regression models in the system gmm method. the first model does not have control variables, and the second model has control variables. table 3 shows that the economic institution consistently influences economic growth positively and significantly, both before adding the control variable and after adding the control variable. conclusion this study provides an empirical contribution to the ongoing discussion of the relationship of institutional influence and economic growth of developing countries in asia. this research concluded that the quality of the economic institution has a positive and significant effect on economic growth in asia. economic freedom provides convenience, especially when entering and exiting the marketthus increasing the interest of investors towards the countries. this economic freedom is supported by property rights policies that can guarantee investors’ assets, triggering technological progress and increasing human capital. meanwhile, political institutions have no significant effect on economic growth. this happens because of the unequal distribution of political power in the institutional structure where one group has control and tends to trigger the practice of rent-seeking. this study utilized secondary data during 2009-2018. based on the estimation results and robustness test using the gmm system, the economic institutional variables are significant, except for political institutions. the dynamic panel method with the arellanobond gmm approach can be suitable if it meets the criteria for consistency and instrument validity. finally, the combination of these policies will boost domestic productivity, followed by an increase in economic growth. meanwhile, this study did not find a significant influence from political institutions, which may happen if political power is not well distributed and concentrated in one group; thus, political stability will be followed by increased rentseeking practices. however, this study is limited by not having exclusive access to specific institutional indicators at certain institutions, especially when determining political institutions with diverse sizes, methods and sources. various studies have only looked at the influence of institutions in general. as summarised, economic institutions have a significant effect on economic growth as it assists in maintaining and controlling the activities of emerging markets in asia. good institutions are necessary to control fraud in market activities such as monopolistic practices and rent-seeking. in addition, economic freedom is an essential factor in attracting investment into the country to have a spillover effect on technological developments. kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 62 references acemoglu, d. (2009). introduction to modern economic growth. new jersey: princeton university press. aisen, a., & veiga, f. j. (2013). how does political instability affect economic growth? european journal of political economy, 29, 151–167. https://doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2012.11.001 alexiou, c., vogiazas, s., & solovev, n. (2019). economic growth and quality of institutions in 27 postsocialist economies. journal of economic studies, 47(4), 769–787. https://doi.org/10.1108/jes-02-2019-0069 alhassan, a., & kilishi, a. a. (2019). weak economic institutions in africa: a destiny or design ? international journal of social economics, 46(7), 904–919. https://doi.org/10.1108/ijse-12-2018-0651 anwar, a. (2018). pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi regional di indonesia: pendekatan model panel dinamis. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 19(1), 50-60. https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 asif, m., & majid, a. (2017). institutional quality, natural resources and fdi: empirical evidence from pakistan. eurasian business review, 8(4), 391–407. https://doi.org/10.1007/s40821-017-0095-3 aslam, a. (2020). the hotly debate of human capital and economic growth: why institutions may matter? quality & quantity, 54(4), 1351–1362. https://doi.org/10.1007/s11135020-00989-5 benayed, w. (2020). the threshold effect of political institutions on the finance-growth nexus: evidence from sub-saharan africa. economics bulletin, 40(3), 2484–2493. blundell, r., & bond, s. (1998). initial conditions and moment restrictions in dynamic panel data models. journal of econometrics, 87(1), 115–143. https://doi.org/10.1016/s03044076(98)00009-8 burke, a., williams, n., barron, p., jolliffe, k., & carr, t. (2017). the contested areas of myanmar: subnational conflict, aid, and development. the asia foundation: san francisco, ca, usa. retrieved from https://scholar.google.com/scholar_lookup?title=the+contested+areas+of+myan mar:+subnational+conflict,+aid,+and+development&author=burke,+a.&author= williams,+n.&author=barron,+p.&author=jolliffe,+k.&author=carr,+t.&publicati on_year=2017 corlett, w. j., & aigner, d. j. (1972). basic econometrics. the economic journal, 82(326), 770772. https://doi.org/10.2307/2230043 darsono, s. n. a. c., wong, w. k., nguyen, t. t. h., jati, h. f., & dewanti, d. s. (2022). good governance and sustainable investment: the effects of governance indicators on stock market returns. advances in decision sciences, 26(1), 69–101. https://doi.org/https://doi.org/10.47654/v26y2022i1p69-101 doğanay, m. a., & değer, m. k. (2021). institutions and economic growth in developing countries: dynamic panel data analysis. pamukkale university journal of social sciences institute, 42, 141–154. https://doi.org/10.30794/pausbed.739302 erlangga, i. (2018). political stability in asia pacific. jurnal natapraja, 6(2), 147–162. retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/natapraja/article/view/24222 eslamloueyan, k., & jafari, m. (2019). do better institutions offset the adverse effect of a financial crisis on investment? evidence from east asia. economic modelling, 79, 154– 172. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2018.10.011 gnangoin, y. t. b., du, l., assamoi, g., edjoukou, a. j., & kassi, d. f. (2019). public spending, income inequality and economic growth in asian countries: a panel https://doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2012.11.001 https://doi.org/10.1108/jes-02-2019-0069 https://doi.org/10.1108/ijse-12-2018-0651 https://doi.org/10.18196/jesp.19.1.2727 https://doi.org/10.1007/s40821-017-0095-3 https://doi.org/10.1007/s11135-020-00989-5 https://doi.org/10.1007/s11135-020-00989-5 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://doi.org/10.1016/s0304-4076(98)00009-8 https://scholar.google.com/scholar_lookup?title=the+contested+areas+of+myanmar:+subnational+conflict,+aid,+and+development&author=burke,+a.&author=williams,+n.&author=barron,+p.&author=jolliffe,+k.&author=carr,+t.&publication_year=2017 https://scholar.google.com/scholar_lookup?title=the+contested+areas+of+myanmar:+subnational+conflict,+aid,+and+development&author=burke,+a.&author=williams,+n.&author=barron,+p.&author=jolliffe,+k.&author=carr,+t.&publication_year=2017 https://scholar.google.com/scholar_lookup?title=the+contested+areas+of+myanmar:+subnational+conflict,+aid,+and+development&author=burke,+a.&author=williams,+n.&author=barron,+p.&author=jolliffe,+k.&author=carr,+t.&publication_year=2017 https://scholar.google.com/scholar_lookup?title=the+contested+areas+of+myanmar:+subnational+conflict,+aid,+and+development&author=burke,+a.&author=williams,+n.&author=barron,+p.&author=jolliffe,+k.&author=carr,+t.&publication_year=2017 https://doi.org/10.2307/2230043 https://doi.org/https:/doi.org/10.47654/v26y2022i1p69-101 https://doi.org/10.30794/pausbed.739302 https://journal.uny.ac.id/index.php/natapraja/article/view/24222 https://doi.org/10.1016/j.econmod.2018.10.011 kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 63 gmm approach. economies, 7(115), 1–15. https://doi.org/10.3390/economies7040115 haini, h. (2019). examining the relationship between finance, institutions and economic growth: evidence from the asean economies. economic change and restructuring, 53(4), 519–542. https://doi.org/10.1007/s10644-019-09257-5 han, c., & phillips, p. c. b. (2009). gmm estimation for dynamic panels with fixed effects and strong instruments at unity. econometric theory, 26(1), 119–151. https://doi.org/10.1017/s026646660909063x hoh, a. (2019). china’s belt and road initiative in central asia and the middle east. digest of middle east studies, 28(2), 241276. https://doi.org/10.1111/dome.12191 hussain, m., & haque, m. (2016). impact of economic freedom on the growth rate: a panel data analysis. economies, 4(2), 5. https://doi.org/10.3390/economies4020005 idris, i. (2018) inclusive and sustained growth in iraq, k4d helpdesk report. brighton, uk: institute of development studies. retrieved from https://gsdrc.org/publications/inclusive-and-sustained-growth-in-iraq/ imam, p., & kpodar, k. (2016). islamic banking : good for growth ? economic modelling, 59, 387–401. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2016.08.004 imtiaz, s. & bashir, m. f. (2017). economic freedom and foreign direct investment in south asian countries. theoretical and applied economics, 2(611), 281-294. kaufmann, d., kraay, a., & mastruzzi, m. (2008). governance matters vii: aggregate and individual governance indicators 1996-2007. policy research working papers. https://doi.org/10.1596/1813-9450-4654 kaufmann, d., kraay, a., & mastruzzi, m. (2010). the worldwide governance indicators methodology and analytical issues. policy research working paper. retrieved from https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/3913 khan, m.h. (2018) institutions and asia’s development: the role of norms and organizational power. wider working paper 2018/132. helsinki: unu-wider. https://doi.org/10.35188/unu-wider/2018/574-9 kim, b.-h., kim, h., & lee, b.-s. (2015). spillover effects of the u.s. financial crisis on financial markets in emerging asian countries. international review of economics & finance, 39, 192–210. https://doi.org/10.1016/j.iref.2015.04.005 levine, b. r., & renelt, d. (2016). american economic association a sensitivity analysis of cross-country growth regressions. the american economic review, 82(4), 942-963. li, z., chu, y., & gao, t. (2018). economic growth with endogenous economic institutions. macroeconomic dynamics, 24(4), 920–934. https://doi.org/10.1017/s1365100518000536 mahaini, m. g., noordin, k., & mohamad, m. t. (2019). the impact of political, legal and economic institutions on family takaful/ life insurance consumption in oic countries. umran international journal of islamic and civilizational studies, 6(3), 97– 114. https://doi.org/10.11113/umran2019.6n3.357 mankiw, n. g. (2010). macroeconomics 7th edition (7th ed). new york: worth publisher. ma'ruf, a. (2010). strategi pelayanan penanaman modal. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 11(1), 20-29. retrieved from https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1772 miklian, j. (2019). contextualising and theorising economic development, local business and ethnic cleansing in myanmar. conflict, security & development, 19(1), 55–78. https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1561624 muhammad, n., islam, a. r. m., & marashdeh, h. a. (2015). financial development and economic growth: an empirical evidence from the gcc countries using static and https://doi.org/10.3390/economies7040115 https://doi.org/10.1007/s10644-019-09257-5 https://doi.org/10.1017/s026646660909063x https://doi.org/10.1111/dome.12191 https://doi.org/10.3390/economies4020005 https://gsdrc.org/publications/inclusive-and-sustained-growth-in-iraq/ https://doi.org/10.1016/j.econmod.2016.08.004 https://doi.org/10.1596/1813-9450-4654 https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/3913 https://doi.org/10.35188/unu-wider/2018/574-9 https://doi.org/10.1016/j.iref.2015.04.005 https://doi.org/10.1017/s1365100518000536 https://doi.org/10.11113/umran2019.6n3.357 https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/1772 https://doi.org/10.1080/14678802.2019.1561624 kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 64 dynamic panel data. journal of economics and finance, 40(4), 773–791. https://doi.org/10.1007/s12197-015-9331-9 nadeem, m., jun, y., akhtar, t., dong, w., & niazi, m. (2019). does really economic freedom matter for growth in south asia? empirical evidences from pre-economic crises and post-economic crises period. asian economic and financial review, 9(1), 52– 63. https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2019.91.52.63 nawaz, s. (2015). growth effects of institutions: a disaggregated analysis. economic modelling, 45, 118–126. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2014.11.017 nguyen, c. p., su, t. d., & nguyen, t. v. h. (2018). institutional quality and economic growth: the case of emerging economies. theoretical economics letters, 8(11), 1943– 1956. https://doi.org/10.4236/tel.2018.811127 north, d. c. (2016). institutions and economic theory. the american economist, 61(1), 72– 76. https://doi.org/10.1177/0569434516630194 olaoye, o., & aderajo, o. (2020). institutions and economic growth in ecowas: an investigation into the hierarchy of institution hypothesis (hih). international journal of social economics, 47(9), 1081–1108. https://doi.org/10.1108/ijse-10-2019-0630 rahman, m. m., rana, r., & barua, s. (2019). the drivers of economic growth in south asia : evidence from a dynamic system gmm approach. journal of economics studies, 46(3), 564–577. https://doi.org/10.1108/jes-01-2018-0013 roodman, d. (2009). how to do xtabond2: an introduction to difference and system gmm in stata. the stata journal: promoting communications on statistics and stata, 9(1), 86– 136. https://doi.org/10.1177/1536867x0900900106 sabir, s., latif, r., qayyum, u., & abass, k. (2019). financial development, technology and economic development: the role of institutions in developing countries. annals of financial economics, 14(3), 1–25. https://doi.org/10.1142/s201049521950012x saha, s., & zhang, z. (2017). democracy-growth nexus and its interaction effect on human development: a cross-national analysis. economic modelling, 63, 304–310. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2017.02.021 sari, v. k., & cahyadin, m. (2021). dynamic tourism in asean countries: do institutional indicators matter? jurnal ekonomi & studi pembangunan, 22(2), 201–212. https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11282 shchegolev, i., & hayat, a. (2018). institutional quality, governance and economic growth: evidence from former soviet countries. journal of advances in economics and finance, 3(4), 120–127. https://doi.org/10.22606/jaef.2018.34002 singh, b. p., & pradhan, k. c. (2020). institutional quality and economic performance in south asia. journal of public affairs, 22(1), 1–13. https://doi.org/10.1002/pa.2401 the heritage foundation. (2018). 2018 index of economic freedom. retrieved from https://www.heritage.org/international-economies/commentary/2018-indexeconomicfreedom#:~:text=the%20world%20economy%20is%20%e2%80%9cmoderately,ye ar%20history%20of%20the%20index. the heritage foundation. (2021). 2021 index of economic freedom. retrieved from https://www.heritage.org/index/ torvik, r. (2016). formal institutions and development in low-income countries: positive and normative theory. edi research areas: path-finding papers. retrieved from https://edi.opml.co.uk/resource/formal-institutions-development-low-incomecountries/ uddin, m. a., & masih, m. (2016). war and peace: why is political stability pivotal for economic growth of oic countries? munich personal repec archive, 1–36. https://doi.org/10.1007/s12197-015-9331-9 https://doi.org/10.18488/journal.aefr.2019.91.52.63 https://doi.org/10.1016/j.econmod.2014.11.017 https://doi.org/10.4236/tel.2018.811127 https://doi.org/10.1177/0569434516630194 https://doi.org/10.1108/ijse-10-2019-0630 https://doi.org/10.1108/jes-01-2018-0013 https://doi.org/10.1177/1536867x0900900106 https://doi.org/10.1142/s201049521950012x https://doi.org/10.1016/j.econmod.2017.02.021 https://doi.org/10.18196/jesp.v22i2.11282 https://doi.org/10.22606/jaef.2018.34002 https://doi.org/10.1002/pa.2401 https://www.heritage.org/international-economies/commentary/2018-index-economic-freedom#:~:text=the%20world%20economy%20is%20%e2%80%9cmoderately,year%20history%20of%20the%20index https://www.heritage.org/international-economies/commentary/2018-index-economic-freedom#:~:text=the%20world%20economy%20is%20%e2%80%9cmoderately,year%20history%20of%20the%20index https://www.heritage.org/international-economies/commentary/2018-index-economic-freedom#:~:text=the%20world%20economy%20is%20%e2%80%9cmoderately,year%20history%20of%20the%20index https://www.heritage.org/international-economies/commentary/2018-index-economic-freedom#:~:text=the%20world%20economy%20is%20%e2%80%9cmoderately,year%20history%20of%20the%20index https://www.heritage.org/index/ https://edi.opml.co.uk/resource/formal-institutions-development-low-income-countries/ https://edi.opml.co.uk/resource/formal-institutions-development-low-income-countries/ kharisma, wardhana, & sofyan do institutions cause growth? evidence from asian countries jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 65 uddin, m. a., ali, m. h. & masih, m. (2021). institutions, human capital and economic growth in developing countries. studies in economics and finance, 38(2), 361-383. https://doi.org/10.1108/sef-10-2019-0407 uddin, m. a., ali, m. h., & masih, m. (2017). political stability and growth: an application of dynamic gmm and quantile regression. economic modelling, 64, 610–625. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2017.04.028 united nations. (2021). world economic situation prospects 2021. united nations department of economic and social affairs. new york: united nations. retrieved from https://www.un.org/development/desa/dpad/publication/world-economicsituation-and-prospects-2021/ wanjuu, l. z., & le roux, p. (2017). economic institutions and economic growth: empirical evidence from the economic community of west african states. south african journal of economic and management sciences, 20(1), 1607-1639. https://doi.org/10.4102/sajems.v20i1.1607 xu, x., abbas, h. s. m., sun, c., gillani, s., ullah, a., & raza, m. a. a. (2021). impact of globalization and governance determinants on economic growth: an empirical analysis of asian economies. growth and change, 52(2), 1137–1154. https://doi.org/10.1111/grow.12475 yousif, b. (2016). iraq’s stunted growth : human and economic development in perspective. contemporary arab affairs, 9(2), 1–26. https://doi.org/10.1080/17550912.2016.1150569 zghidi, n., mohamed sghaier, i., & abida, z. (2016). does economic freedom enhance the impact of foreign direct investment on economic growth in north african countries? a panel data analysis. african development review, 28(1), 64–74. https://doi.org/10.1111/1467-8268.12167 zhao, j., madni, g. r., anwar, m. a., & zahra, s. m. (2021). institutional reforms and their impact on economic growth and investment in developing countries. sustainability, 13(9), 4941. https://doi.org/10.3390/su13094941 zhuo, z., o, a. s. m., muhammad, b., & khan, s. (2020). underlying the relationship between governance and economic growth in developed countries. journal of the knowledge economy, 12(3), 1314–1330. https://doi.org/10.1007/s13132-020-00658-w https://doi.org/10.1108/sef-10-2019-0407 https://doi.org/10.1016/j.econmod.2017.04.028 https://www.un.org/development/desa/dpad/publication/world-economic-situation-and-prospects-2021/ https://www.un.org/development/desa/dpad/publication/world-economic-situation-and-prospects-2021/ https://doi.org/10.4102/sajems.v20i1.1607 https://doi.org/10.1111/grow.12475 https://doi.org/10.1080/17550912.2016.1150569 https://doi.org/10.1111/1467-8268.12167 https://doi.org/10.3390/su13094941 https://doi.org/10.1007/s13132-020-00658-w image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (11).jpg image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015, hlm.119-131 export diversification and economic growth in asean sunaryati faculty of islamic economics and business, sunan kalijaga state islamic university jln. marsda adisucipto, yogyakarta, daerah istimewa yogyakarta 55281, indonesia phone: +62 274 589621. correspondence e-mail: s_nartie@yahoo.com received: december 2014; accepted: september 2015 abstract: this paper tries to assess empirically the relationship between export diversification and economic growth on selected countries in asean. using annual data or time-series over the period 1989 to 2010 and econometric techniques (granger causality and cointegration) are applied to test the relationship between export diversification and economic growth. the result show that, in case of indonesia and malaysia, there are exist uni-directional causality from gdp to export diversification. for singapore and thailand, the results show that there are no causal relationship between export diversification and economic growth. keywords: export diversification, economic growth, causality, asean jel classification: f13, f43, o40 abstrak: tulisan ini mencoba mengkaji secara empiris hubungan antara diversifikasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi di negara yang dipilih di asean. dengan menggunakan data tahunan atau time series selama periode 1989 sampai 2010 dan teknik ekonometrik (granger kausalitas dan kointegrasi) yang diterapkan untuk menguji hubungan antara diversifikasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi. hasil penelitian menunjukkan bahwa, dalam kasus indonesia dan malaysia, ada ada uni-directional kausalitas dari pdb untuk ekspor diversifikasi. untuk singapura dan thailand, hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara diversifikasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi. kata kunci: diversifikasi ekspor, pertumbuhan ekonomi, kausalitas, asean klasifikasi jel: f13, f43, o40 introduction the dependence on primary-product exports has been frequently mentioned as one of the main features of developing nations. as stated by todaro and smith (2006), less developed countries (ldcs) tend to specialize in the production of primary products, instead of secondary and tertiary activities. consequently, exports of primary products play a very significant role in terms of foreign exchange generation in these countries, traditionally representing a significant share of their gross national product. specially in the case of the non-mineral primary products exports, markets and prices are frequently unstable, leading to a high degree of exposure to risk and uncertainty for the countries that rely on them (todaro and smith 2006). primary-products exports have been characterized by relatively low income elasticity of demand and inelastic price elasticity, being fuels, certain raw materials, and manufactured goods, some exceptions that exhibit relatively high income elasticity (todaro and smith, 2006). taking these arguments into account, the cause for export diversification has been commonly supported based on the so-called “export instability argument”. consequently, export diversification has been proposed as a policy mechanism seeking to stabilize export earnings, which would be especially required in those developing countries where the share of commodities in its export basket is particularly pronounced. this situation is additionally complijurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131120 cated by the fact that many of the ldcs have incurred in deficits on their balance of payments, due to their import demands of capital goods, intermediate goods, and consumer products that their industrial expansion requires. furthermore, ldcs are usually more dependent on trade than developed nations, in terms of its share in national income. export diversification entails changing the composition of a country’s export mix, being it “directly related to the structure of the economy and how it changes as development proceeds”. the underlying consideration behind export diversification as a possible developmental strategy is related to the expectation of achieving stability-oriented and growth-oriented policy objectives (ali et al. 1991). a broader exports base, coupled with a special promotion of those commodities with positive price trends, should be beneficial for growth. hence, the value-added export commodities would be stimulated, by means of additional processing and marketing activities. a country’s degree of diversification is usually considered as dependent upon the number of commodities within its export mix, as well as on the distribution of their individual shares. the united nations economic and social commission for asia and the pacific (escap) has stated that for small, low-income economies such as the least developed countries (ldcs), reasonable development goals cannot be limited to primary products exports. diversification, both in terms of “non-traditional” and “traditional” commodities, is considered as an element of utmost importance for growth and development (escap 2004). it has also been frequently stated that growth and export diversification may be linked. besides structural changes of an economy, as al-marhubi (2000) points out, traditional development models propose that economic growth also implies a shift from dependence on primary exports towards diversified manufactured exports. another interesting concept is linked to the socalled “graduation concept” addressed by empirical studies such as the ones conducted by michaely (1977) and moschos (1989). it suggests that the process of “graduation” from developing to developed status should be joined by a structural change of exports toward diversity (amin gutierrez de pineres and ferrantino, 1997a). this would suggest that the connection between exports and growth enters, when a certain level of development is attained. against this background, this study intends to examine the impact of export diversification (dx) on economic growth in selected asean economies. particularly, to examine the relationship between dx and economic growth. the relation between export diversification and economic growth has been analyzed in a wide number of empirical studies. the possible influence of export diversification on growth is examined by amin gutierrez de pineres and ferrantino (1997a), by analyzing the chilean experience within the period 1962–1991. they study the possible link between diversification, export growth and aggregate development, by constructing different measures of diversification and structural change in exports. these measures are afterward used to test different relationships among the structure of exports and export growth. two different interesting findings are reported: first of all, a link between the domestic economic performance and diversification is reported, suggesting that diversification in chile has taken place mostly during times of internal crisis or external shock. secondly, that the new products most successfully introduced in that country were mainly primary products (such as tobacco, coffee and tea, and dairy products) while a number of manufactures (like plastics, manufactured fertilizers, electrical and non-electrical machinery) have shown less dynamism. their study also proposed that export diversification, in the long run, has boosted chilean growth performance. al-marhubi (2000) conducts an empirical study of 91 countries, in the 1961–1988 periods, to test the hypothesis of a possible link between export diversification and growth. he finds out that those economies with a larger number of export products experienced faster growth. besides that, he argues that greater export diversification and lower export concentration is associated with faster growth. the relationship between export diversification and growth proved to be economically large. he also concludes that when export diversification occurs, growth in developing countries is positively export diversification and economic growth...(sunaryati) 121 influenced by stimulating the accumulation of capital. agosin’s study (2006) investigates whether export diversification has any explanatory power in a standard empirical model of growth. cross-sectional data in the 1980–2003 periods is considered, for a sample of asean and latin american countries. it is suggested that export growth by itself does not appear to be relevant for growth, while export growth together with diversification appears to be relevant. this argument is supported by the fact that the interactive variable (measuring diversification and export growth) showed the expected sign and was highly significant, providing the strongest explanatory power. export diversification is supposed to contribute to growth through two different channels, namely, the “portfolio effect” – less export volatilityand the widening of comparative advantages, as a result of a more diversified economy. klinger and lederman (2004) estimating the herfindahl index on the log of income per capita and its squared term find a nonlinear relationship which suggests that countries diversify their export structure up to some point in their development after which get more concentrated in their exports. to test whether the change brings higher growth rate, the squared term of the herfindahl index is added into the regression. so in another estimation of the growth rate the squared term of the herfindahl index will be added as an explanatory variable. the finding of a u-shaped relation of export concentration on economic growth would mean that for some countries export concentration is more beneficial than diversification. hesse (2008) together with the world bank’s commission on growth and development using the system gmm estimator for a sample of 99 countries and herfindahl index of export concentration studies the impact of export concentration on economic growth of countries based on augmented solow model in the period of 1961-2000. adding the squared term of the index he finds some evidence of nonlinearity in the relationship, but the coefficients on the squared index are not significant in the work. theoretical framework. export dependency on primary products of a country can be reduced through diversification of the export portfolio. however, export diversification can take place in different forms and dimensions and thus its analysis can be undertaken at different levels. usually, by changing the shares of commodities in the existing export mix, or by including new commodities in the export portfolio, a country can attain export diversification. in this context, there are two well-known forms of export diversification that are common in the trade literature, namely, horizontal and vertical diversification. while horizontal diversification entails alteration of the primary export mix in order to neutralize the volatility of global commodity prices, vertical diversification involves contriving further uses for existing and new innovative commodities by means of valueadded ventures such as processing and marketing. it is expected that vertical diversification could augment market prospects for raw materials that may compliment economic growth and thus lead to further stability as processed commodities tend to have more stable prices than raw materials. export diversification can be categorized into two types, the horizontal diversification and vertical diversification. the former refers to diversity of product across different type of industry, while the latter covers diversity of product within the same industry—i.e. valueadded ventures in further downstream activities. both type of diversification is expected to positively induce economic growth (kenji & mengistu, 2009). there are many way through which export diversification promotes economic growth. export diversification could positively affect economic growth by reducing the dependency on limited number of commodities (herzer and nowak-lehmann, 2006). this argument is particularly true in the case of commodity-dependent developing countries, where overdependence on agricultural sector could—according to the prebisch-singer thesis—reduce the terms of trade. the basic reason for this due to hesse (2008) is the high degree of price volatility of commodity products. another way of illustrating the dynamic effect of export diversification on growth is by linking the connection between these two variables based on modern theory vis-à-vis the classical trade theory. based on the modern trade jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131122 theory, there are three main features of modern market behaviour. first, the increasing dynamic features of production factors and national policies to influence the production capacity to grow with increasing return. second, the expansions of trade model from perfect competition to the imperfect competition especially the monopolistic competition. this is partially related to the first factor, whereby increasing intensity of trade liberalization among nations and mobilization of production factors have enable firms in one country to expand their production without being constrained by diminishing return krugman & obstfeld (2003). this arguments—in contrast to the classical trade theory—implies that could involve in various production activities without confining to their comparative advantage (arip, yee, & karim, 2010). while the aforementioned two factors explain the market behaviour from the supply side, the third characteristic of modern trade theory is attributed to the demand side. this is reflected by domestic market peculiarities across different countries, which are not fixed and varies in various aspects such as taste, average income, knowledge, gender, age, culture and geographical division. while production in each particular country tries to meets unique characteristic of domestic market demand, it also enters symmetrically into the international market demand and subsequently offers the market with goods and services, which are different in the form of functionalities, taste, design, ingredient, quality, and appearances. this is termed as the home market´ effects on the pattern of trade by krugman (1980). according to krugman (1980) a country tends to export those goods for which they have relatively large domestic market. research method empirical framework this paper use time-series techniques of cointegration and granger causality tests to examine the long-run relationship and dynamic interactions among the variables of interest. since these methods are now well known, we mention only those aspects that are relevant in our study. firstly, for proper model specification, we conduct the unit root and cointegration tests. we apply group unit root test, such as: levin, lin and chu t (assumes common unit root process), lm, pesaran and shin w-stat, augmented dickey-fuller (adf) and phillipsperron (pp) unit root tests (assumes individual unit root process) for determining the variables orders of integration. then, to test for cointegration, we employ a vector autoregressive (var) based approach of johansen (1988) and johansen & juselius (1990), henceforth the jj cointegration test. since the results of the jj cointegration test tend to be sensitive to the order of var, following hall (1989) and johansen (1992), we specify the lag length that renders the error terms serially uncorrelated. having implemented unit root and cointegration tests, we proceed to specification and estimation of granger causality. in particular, the findings that the variables are non-stationary and are not cointegrated suggest the use of granger causality of var model in first differences. however, if they are cointegrated, a vector error correction model (vecm) or a level var can be used (engle & granger, 1987: 251276). according to granger representation theorem, for any cointegrated series, error correction term must be included in the model. engle & granger (1987) and toda & phillips (1993) indicate that omitting this error correction term (ect) in the model, leads to model misspecification. through the ect, the ecm opens up an additional channel for granger-causality to emerge that is completely ignored by the standard granger and sims tests (masih, a. m. m. & masih, r; 1999). utilizing vecm procedure permits us to make a distinction between the shortand longrun forms of granger-causality. the short-run causality is determined by the significance of the f-test or chi-square statistics of the differenced independent variables while the long-run causality is determined by the significance of ttest of the lagged ect. the non-significance of both the t and-tests in the vecm indicates econometric exogeneity of the dependent variable (masih and masih, 1999). the vecm can then be simply reformulated in matrix form as follows: export diversification and economic growth...(sunaryati) 123 0 1 12 3 k i i t k gdp gdp dx dx emp emp cap cap                                                  0 1 2 31t gdp v dx v emp v cap v                           (1) where gdp is gross domestic product, dx is export diversification index, emp is employment, and cap is capital expenditure. data description the data used in this study are annual data for the period of 1989 to 2010.the data set is compiled into a panel data from sources as the international financial statistics of the imf, the world integrated trade solution of the world bank and the key indicators of the asean development bank (adb). in this paper, the focal variables are gross domestic product (gdp) and the export diversification index (dx). however focusing on these two variables in a bivariate context may not be satisfactory since they may be driven by common factors thus the results will be misleading. following herzer and nowak-lehmann (2006), we also include capital expenditure (cap) and the number of people employed (emp) as control variables. export diversification is held to be important for developing countries because many developing countries are often highly dependent on relatively few primary commodities for their export earning. unstable prices of their commodities may subject a developing country exporter to serious terms of trade shocks. since the covariation in individual commodity prices is less than perfect, diversification into new primary export product is generally view as appositive development. the strongest positive effect are normally associated with diversification into manufactured goods, and its benefit include higher and more stable export earnings, job creation, and learning effects and the development of new skills and infrastructure that would facilitate the development of even newer export product. the export diversification index (dx) for a country is defined as:   2/iijj xhsumdx  (2) where hij is the share of commodity i in the total exports of country j and xi is the share of the commodity in world exports. the related measure used by unctad is the concentration index or hirschman (h) index, which is calculated using the shares of all three-digit products in a country’s exports:                2 t j x x sumsqrth (3) where xi is country j’s export in product i (at three digit classification) and xt is country j’s total export. the index has been normalized to account for the number of three digit product that could be exported. thus, maximum value of the index is 239 (the number of individual three digit products in sitc revision 2), and its minimum (theoretical value) is zero, for country with no export. the lower the index, the less concentrated are country’s export. results and discussion unit root tests in order to obtain credible and robust results for any conventional regression analysis, the data to be analyzed should be stationary. hence, to test for stationarity, the levin, lin,& chu, the im, pesaran and shin w-stat, the adf and pp tests are performed based on model with constant and no trend. table 1-4 (see appendix) reports group unit root tests statistics that examine the presence of unit roots (non-stationary) for all variables in each country. the levin, lin & chu, the im, pesaran and shin w-stat, the adf and pp tests agree in classifying dx, gdp, emp and cap as i(1) variables, i.e., they are non-stationary in level but become stationary after first differencing. jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131124 cointegration tests in order to capture dynamic relationship among the observed variables, their cointegration relationship was tested trough multivariate methodology proposed by johansen (1990) and johansen and juselius (1991). johansen (1991) modeled time series as a reduced rank regressions in which they computed the maximum likelihood estimates in the multivariate cointegration model with gaussians errors. the advantage of this technique is that it allows one to draw a conclusion about the number of cointegrating relationship among observed variables. since all the data series in the model were integrated processes of order one or i(1), the linear combination (cointegrating vectors) of one or more of these series may exhibit long run relationship. the maximum eigenvalue test and trace test was employed to established the number of cointegrating vectors. the results are presented in table 5 – 8 (see appendix). the optimal lag length (p) is determined using schwartz information criterion (sic), which indicates an optimal lag length of one year. in the case of indonesia, malaysia and thailand, the result of trace test and maximum eigenvalue test both indicate that, there is one cointegrating vector at 5% level of significance. for singapore, the result of trace test and maximum eigenvalue test both indicate that, there is two cointegrating vector at 5% level of significance. granger causality tests as discussed above that there is co-integration between the variables, so the next step is to test for the direction of causality using the vector error correction model. firstly, we present the traditional granger causality results for each country as in table 9 – 12 (see appendix). in case of indonesia, the result in table 9 show that gdp does granger cause dx at7% level of significance. so, there is exist unidirectional causality from gdp to export diversification. for malaysia, the estimation result indicated that we reject the null hypothesis of “gdp does not granger cause dx” and conclude that there is exists uni-directional causality between economic growth and export diversification at the 1% level of significance. table 11 & 12 show estimation result for singapore and thailand. the result indicate that we cannot reject both of the ho of “gdp does not granger cause dx” and the ho of “dx does not granger cause gdp” at 5% level of significance. therefore, we accept the ho, and conclude that gdp does not granger cause export diversification and export diversification does not granger cause gdp. in other word, we can say that both variables are independent. vector error correction model in order to check the stability of the model we have estimated the vector error correction (vec) model. the results of vec model are presented in table 13 – 16 (see appendix). for indonesia, the results indicate that the error correction term for gdp bears the correct sign i.e. it is negative and statistically significant at 5 percent significant level, implying that there exist a long run causality running from export diversification to gdp. meanwhile, in case of malaysia, coefficient of error term with export diversification as dependent variable is statistically significant, yet the sign is positive (not correct). this finding is in accordance with result of cointegration test implying that only one cointegration equation running in the long run. for singapore (table 15), we know that coefficient of error term with gdp as dependent variable is statistically significant, but the sign is positive (not correct). otherwise, coefficient of error term with export diversification as dependent variable is not significant. these results suggest that no long run relationship between export diversification and economic growth. in case of thailand, both of the coefficient of error term with gdp (dx) as dependent variable are not statistically significant, implying that no long run relationship between export diversification and economic growth, vice versa (table 16). conclusion the paper tries to assess empirically, the relationship between export diversification and economic growth in selected asean econoexport diversification and economic growth...(sunaryati) 125 mies (indonesia, malaysia, singapore and thailand) using annual data over the period 1989 to 2010. the unit root properties of the data were examined using group unit root test, such as: levin, lin and chu t (assumes common unit root process), lm, pesaran and shin w-stat, augmented dickey-fuller (adf) and phillips-perron (pp) unit root tests (assumes individual unit root process) after which the cointegration and causality tests were conducted. the error correction models were also estimated in order to examine the short –run dynamics. the major findings include the following: the unit root tests clarified that all variables (dx, gdp, emp and cap) are non stationary at the level data but found stationary at the first difference. therefore, for all countries, the series were found to be integrated of order one. furthermore, cointegration tests indicate that there exists a long run equilibrium relationship between exports diversification and gdp in all countries as confirmed by johansen cointegration test results. the granger causality test finally confirmed that in case of indonesia and malaysia, there are exist uni-directional causality from gdp to export diversification. for singapore and thailand, the results show that there are no causal relationship between export diversification and economic growth. references agosin, m. p. (2007). export diversification and growth in emerging economies, working paper no.233. universidad de chile: departmento de economia. al marhubi, f. a. (2000). export diversification and growth: an empirical investigation. applied economics letters, 7, 559-562. amin gutiérrez de piñeres, sheila, and michael j. ferrantino. (1997a). export diversification and structural change: some comparisons for latin america. the international executive, vol. 39 no. 4, july/august, 465-477. arip, mohammad aendy, yee, lau sim and abdul karim, bakri. (2010). export diversification and economic growth in malaysia, mpraworking paper no. 20588. asean development bank. key indicator for asia and pacific, (2011). engle, r. f., & granger, c. w. j. (1987). cointegration and error correction: representation, estimation, and testing. econometrica, 55, 251-276 hall, s. g. (1989). maximum likelihood estimation of cointegrating vectors: an example of johansen’s procedure. oxford bulletin of economics and statistics, 51, 213-218. hesse, h. (2008). export diversification and economic growth, working paper no. 21. the commission on growth and development. herzer, d., & lehmann, n. (2006). what does export diversification do for a growth? an econometric analysis. applied economic letters, 38(15), 1825-1838. international monetary fund. (2012). world economic outlook database. johansen, s. and juselius, k. (1990). maximum likelihood estimation and inference on cointegration with applications to the demand for money. oxford bulletin of economics and statistics. kenji, y., & mengistu, a. a. (2009). the impacts of vertical and horizontal export diversification on growth: an empirical study on factors explaining the gap between subsahara africa and east asia's performances. ritsumeikan international affair, 17, 41. klinger, bailey and daniel lederman. (2004): discovery and development: an empirical exploration of “new” products. policy research working paper no. 3450, world bank, november. krugman, p. (1980). scale economies, product differentiation, and the pattern of trade. the american economic review, 70(5), 950. krugman, p., & obstfeld, d. 2003). international economics: theory and policy (754, trans. 6th ed.). boston: pearson education, inc. masih, a. m. m., & masih, r. (1999). are asean stock market fluctuations due mainly to intraregional contagion effects? jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131126 evidence based on asean emerging stock markets, pacific-basin finance journal, 7, 251-282. michaely, m. (1977). exports and growth: an empirical investigation. journal of development economics 4: 49-53. moschos, d. (1989). export expansion, growth and the level of economic development: an empirical analysis. journal of development economics, 30: 93-102. toda, h. y., & phillips, p. c. b. (1993). vector autoregression and causality. econometrica, 59, 229-255. world bank. (2011). the world integrated trade solution: trade indicator. appendix table 1. group unit root test results: indonesia series: dx, gdp, emp, cap method level first difference t-statistic prob t-statistic prob null: unit root (assumes common unit root process) levin, lin & chu t* 1.38054 0.9163 -8.51243 0.0000 null: unit root (assumes individual unit root process) im, pesaran and shin w-stat 2.81844 0.9976 -7.40062 0.0000 adf 7.73178 0.4601 56.7549 0.0000 pp 8.41325 0.3942 56.7549 0.0000 table 2. group unit root test results: malaysia series: dx, gdp, emp, cap method level first difference t-statistic prob t-statistic prob null: unit root (assumes common unit root process) levin, lin & chu t* -1.11401 0.1326 -4.82959 0.0000 null: unit root (assumes individual unit root process) im, pesaran and shin w-stat 1.02228 0.8467 -4.89022 0.0000 adf 7.75127 0.4581 37.6187 0.0000 pp 10.5651 0.2276 123.700 0.0000 table 3. group unit root test results: singapore series: dx, gdp, emp, cap method level first difference t-statistic prob t-statistic prob null: unit root (assumes common unit root process) levin, lin & chu t* 2.03497 0.9791 -5.04562 0.0000 null: unit root (assumes individual unit root process) im, pesaran and shin w-stat 1.20923 0.8867 -4.62690 0.0000 adf 5.76144 0.4504 30.2135 0.0000 pp 4.45428 0.6154 30.1992 0.0000 export diversification and economic growth...(sunaryati) 127 table 4. group unit root test results: thailand series: dx, gdp, emp, cap method level first difference t-statistic prob t-statistic prob levin, lin & chu t* -1.34370 0.0895 -6.46399 0.0000 im, pesaran and shin w-stat 0.33412 0.6309 -5.77053 0.0000 adf 18.3928 0.0185 44.0740 0.0000 pp 39.0924 0.0000 41.2199 0.0000 table 5. johansen cointegration tests: indonesia ho eigenvalue trace lmax stat 5% cv stat 5% cv r = 0 0.682765 45.54770 47.85613 22.96226 27.58434 r ≤ 1 0.467131 22.58544 29.79707 12.58959 21.13162 r ≤ 2 0.242084 9.995853 15.49471 5.543660 14.26460 r ≤ 3 0.199573 4.452193* 3.841466 4.452193* 3.841466 * denote rejection of the hypothesis at the 0.05 level table 6. johansen cointegration tests: malaysia ho eigenvalue trace lmax stat 5% cv stat 5% cv r = 0 0.818141 56.39197* 47.85613 34.09049* 27.58434 r ≤ 1 0.492489 22.30147 29.79707 13.56476 21.13162 r ≤ 2 0.326337 8.736718 15.49471 7.900492 14.26460 r ≤ 3 0.040949 0.836226 3.841466 0.836226 3.841466 * denote rejection of the hypothesis at the 0.05 level table 7. johansen cointegration tests: singapore ho eigenvalue trace lmax stat 5% cv stat 5% cv r = 0 0.942077 93.11025* 47.85613 56.97270* 27.58434 r ≤ 1 0.766412 36.13754* 29.79707 29.08390* 21.13162 r ≤ 2 0.210727 7.053644 15.49471 4.732864 14.26460 r ≤ 3 0.109560 2.320780 3.841466 2.320780 3.841466 * denote rejection of the hypothesis at the 0.05 level table 8. johansen cointegration tests: thailand ho eigenvalue trace lmax stat 5% cv stat 5% cv r = 0 0.916553 76.38329* 47.85613 49.67098* 27.58434 r ≤ 1 0.500053 26.71231 29.79707 13.86506 21.13162 r ≤ 2 0.339926 12.84725 15.49471 8.308081 14.26460 r ≤ 3 0.203046 4.539165* 3.841466 4.539165* 3.841466 * denote rejection of the hypothesis at the 0.05 level jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131128 table 9. granger causality for indonesia null hypothesis f-statistic prob. gdp does not granger cause dx 3.01597 0.0793 dx does not granger cause gdp 1.06480 0.3695 emp does not granger cause dx 1.64810 0.2254 dx does not granger cause emp 1.22905 0.3204 cap does not granger cause dx 0.13425 0.8754 dx does not granger cause cap 6.65131 0.0086 emp does not granger cause gdp 0.34151 0.7161 gdp does not granger cause emp 3.85788 0.0445 cap does not granger cause gdp 0.29567 0.7483 gdp does not granger cause cap 1.03967 0.3777 cap does not granger cause emp 2.14397 0.1517 emp does not granger cause cap 0.99266 0.3937 table 10. granger causality for malaysia null hypothesis f-statistic prob. gdp does not granger cause dx 7.21723 0.0064 dx does not granger cause gdp 3.38096 0.0614 emp does not granger cause dx 1.53117 0.2482 dx does not granger cause emp 3.26980 0.0663 cap does not granger cause dx 1.26801 0.3099 dx does not granger cause cap 2.27514 0.1371 emp does not granger cause gdp 0.08095 0.9226 gdp does not granger cause emp 0.46893 0.6345 cap does not granger cause gdp 0.53113 0.5986 gdp does not granger cause cap 1.77218 0.2037 cap does not granger cause emp 1.08786 0.3621 emp does not granger cause cap 2.32784 0.1317 table 11. granger causality for singapore null hypothesis f-statistic prob. gdp does not granger cause dx 1.66455 0.2224 dx does not granger cause gdp 0.03033 0.9702 emp does not granger cause dx 4.40316 0.0313 dx does not granger cause emp 1.40753 0.2753 cap does not granger cause dx 0.00607 0.9940 dx does not granger cause cap 0.44175 0.6510 emp does not granger cause gdp 7.12420 0.0067 gdp does not granger cause emp 6.81873 0.0078 cap does not granger cause gdp 2.77988 0.0940 gdp does not granger cause cap 1.20639 0.3267 cap does not granger cause emp 0.27677 0.7620 emp does not granger cause cap 0.91121 0.4232 table 12. granger causality for thailand null hypothesis f-statistic prob. gdp does not granger cause dx 0.20142 0.8197 dx does not granger cause gdp 0.24089 0.7889 emp does not granger cause dx 0.24266 0.7876 dx does not granger cause emp 1.57467 0.2395 cap does not granger cause dx 0.75143 0.4886 dx does not granger cause cap 1.02536 0.3825 emp does not granger cause gdp 2.70578 0.0992 export diversification and economic growth...(sunaryati) 129 gdp does not granger cause emp 3.21703 0.0688 cap does not granger cause gdp 2.04691 0.1637 gdp does not granger cause cap 1.03142 0.3805 cap does not granger cause emp 4.14514 0.0369 emp does not granger cause cap 0.07895 0.9245 table 13. multivariate granger causality tests based on vecm: indonesia variables d(gdp) d(dx) d(emp) d(cap) ecm -0.837089* -3.21e-05 -0.004431 -125.2820 (0.08507) (9.9e-05) (0.01048) (145.899) [-9.84034] [-0.32401] [-0.42286] [-0.85869] d(gdp(-1)) 0.433721 -8.87e-05 0.009173 61.08693 (0.12778) (0.00015) (0.01574) (219.148) [ 3.39440] [-0.59584] [ 0.58280] [ 0.27875] d(gdp(-2)) 0.433905 0.000387 0.015576 346.1866 (0.10803) (0.00013) (0.01331) (185.290) [ 4.01636] [ 3.07488] [ 1.17038] [ 1.86835] d(dx(-1)) 212.8895 0.029009 -8.544325 -929034.5 (244.096) (0.28453) (30.0690) (418649.) [ 0.87215] [ 0.10196] [-0.28416] [-2.21912] d(dx(-2)) -208.3858 0.286727 6.301253 -533728.0 (288.695) (0.33651) (35.5629) (495141.) [-0.72182] [ 0.85206] [ 0.17719] [-1.07793] d(emp(-1)) -35.88820 -0.003854 -0.761148 -4442.481 (4.13899) (0.00482) (0.50986) (7098.79) [-8.67076] [-0.79888] [-1.49285] [-0.62581] d(emp(-2)) -32.21117 -0.005264 -0.004763 -2191.842 (3.25034) (0.00379) (0.40039) (5574.66) [-9.91010] [-1.38950] [-0.01189] [-0.39318] d(cap(-1)) 0.000745 1.70e-07 2.65e-05 0.019336 (0.00018) (2.1e-07) (2.2e-05) (0.30883) [ 4.13524] [ 0.81010] [ 1.19610] [ 0.06261] d(cap(-2)) 0.000672 3.46e-08 1.00e-05 -0.021338 (0.00017) (1.9e-07) (2.0e-05) (0.28533) [ 4.04006] [ 0.17852] [ 0.48984] [-0.07478] notes: standard errors in () &t-statistic in [] table 14. multivariate granger causality tests based on vecm: malaysia variables d(gdp) d(dx) d(emp) d(cap) ecm -0.106100 0.000351* 0.001219 10.02449 (0.12197) (8.5e-05) (0.00329) (37.0443) [-0.86990] [ 4.15761] [ 0.37007] [ 0.27061] d(gdp(-1)) 0.947231 -0.001924 -0.003210 -69.70183 (0.55322) (0.00038) (0.01494) (168.023) [ 1.71222] [-5.02057] [-0.21479] [-0.41484] jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 16, nomor 2, oktober 2015: 119-131130 d(gdp(-2)) 0.546984 -0.001139 -0.006571 -4.607880 (0.85742) (0.00059) (0.02316) (260.416) [ 0.63794] [-1.91661] [-0.28370] [-0.01769] d(dx(-1)) 904.7039 -0.879051 -6.106484 -60882.36 (351.174) (0.24330) (9.48572) (106659.) [ 2.57623] [-3.61298] [-0.64376] [-0.57082] d(dx(-2)) -77.15913 0.067723 -5.020546 40322.15 (414.663) (0.28729) (11.2007) (125941.) [-0.18608] [ 0.23573] [-0.44824] [ 0.32017] d(emp(-1)) -29.40748 0.038615 -0.173311 2209.854 (20.1452) (0.01396) (0.54415) (6118.50) [-1.45978] [ 2.76669] [-0.31850] [ 0.36118] d(emp(-2)) -3.384447 0.006708 -0.385816 -3700.354 (13.5038) (0.00936) (0.36476) (4101.37) [-0.25063] [ 0.71697] [-1.05774] [-0.90222] d(cap(-1)) 0.000113 -1.12e-06 3.03e-05 0.124685 (0.00134) (9.3e-07) (3.6e-05) (0.40655) [ 0.08421] [-1.21305] [ 0.83731] [ 0.30669] d(cap(-2)) 0.000588 -1.01e-06 4.36e-06 -0.128248 (0.00114) (7.9e-07) (3.1e-05) (0.34720) [ 0.51462] [-1.27642] [ 0.14133] [-0.36938] notes: standard errors in () &t-statistic in [] table 15. multivariate granger causality tests based on vecm: singapore variables: d(dx) d(gdp) d(cap) ecm 0.011220 209.6231 4278.863 (0.06375) (36.8540) (9785.68) [ 0.17600] [ 5.68794] [ 0.43726] d(dx(-1)) -0.061845 -470.3054 -13026.79 (0.34288) (198.215) (52631.2) [-0.18037] [-2.37270] [-0.24751] d(dx(-2)) -0.211615 -464.3347 47902.94 (0.34490) (199.379) (52940.1) [-0.61356] [-2.32891] [ 0.90485] d(gdp(-1)) -0.000469 -0.877098 47.32419 (0.00054) (0.31266) (83.0184) [-0.86629] [-2.80531] [ 0.57004] d(gdp(-2)) 0.000161 -1.568638 28.58937 (0.00071) (0.40849) (108.465) [ 0.22847] [-3.84009] [ 0.26358] d(cap(-1)) -1.22e-06 0.006795 -0.034571 (2.9e-06) (0.00170) (0.45065) [-0.41443] [ 4.00388] [-0.07671] d(cap(-2)) -1.04e-06 0.001237 0.198290 (1.8e-06) (0.00105) (0.27790) [-0.57498] [ 1.18164] [ 0.71354] notes: standard errors in () &t-statistic in [] export diversification and economic growth...(sunaryati) 131 table 16. multivariate granger causality tests based on vecm: thailand variables: d(gdp) d(dx) d(emp) d(cap) ecm 0.785929 -0.000879 0.043637 0.344911 (0.82828) (0.00050) (0.00938) (1.46114) [ 0.94887] [-1.76146] [ 4.65124] [ 0.23606] d(gdp(-1)) -0.765429 0.001383 -0.061697 0.044245 (1.56139) (0.00094) (0.01769) (2.75439) [-0.49022] [ 1.47003] [-3.48849] [ 0.01606] d(gdp(-2)) -0.673741 0.000162 -0.001264 0.694222 (0.63732) (0.00038) (0.00722) (1.12427) [-1.05715] [ 0.42128] [-0.17510] [ 0.61749] d(dx(-1)) 642.7876 0.123443 29.38906 587.9058 (584.861) (0.35236) (6.62467) (1031.73) [ 1.09904] [ 0.35033] [ 4.43630] [ 0.56982] d(dx(-2)) 1312.402 -1.664573 66.07803 0.120507 (1656.58) (0.99804) (18.7640) (2922.32) [ 0.79224] [-1.66785] [ 3.52154] [ 4.1e-05] d(emp(-1)) 10.36249 -6.73e-05 -0.298477 -2.761696 (12.3958) (0.00747) (0.14041) (21.8671) [ 0.83597] [-0.00902] [-2.12580] [-0.12629] d(emp(-2)) 0.943376 0.012452 -0.456162 -3.930901 (15.6535) (0.00943) (0.17731) (27.6139) [ 0.06027] [ 1.32039] [-2.57273] [-0.14235] d(cap(-1)) 0.544919 -0.000380 0.018851 0.480540 (0.45761) (0.00028) (0.00518) (0.80725) [ 1.19081] [-1.37804] [ 3.63688] [ 0.59528] d(cap(-2)) 0.563680 -0.000676 0.019374 0.043864 (0.59870) (0.00036) (0.00678) (1.05614) [ 0.94151] [-1.87351] [ 2.85689] [ 0.04153] notes: standard errors in () &t-statistic in [] image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg image (2).jpg image (3).jpg image (4).jpg image (5).jpg image (6).jpg image (7).jpg image (8).jpg image (9).jpg image (10).jpg microsoft word 07-jaka jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011, hlm.76-89 sumber pendapatan asli daerah kabupaten dan kota indrajati hertanto dan jaka sriyana fakultas ekonomi, universitas islam indonesia, yogyakarta condong catur, depok, sleman, yogyakarta 55283, indonesia, telepon:+62-0274-881546 885376 e-mail: jakasriyana@uii.ac.id abstract: this paper aims to investigate the effect of the factors that determine local government own revenue in the districts /cities in west java province. we analyze the data of all districts/cities in the period of 2006 until 2009. analyses were performed by a panel data regression method. based on the results of analysis we obtained that the number of industries, population and gross domestic product has positive and significant impact on revenue. this result is a portrait of society that economic activity is indicated by gross domestic product growth and the industry has strong links with the government sector, particularly with regard to revenue receipts. from the other side, it can also be concluded that the activities of local governments will depend on private sector economic activity. keywords: local government own revenue, gross regional product, economics, the number of industries, the private economic sector abstrak: paper ini bertujuan mengetahui pengaruh faktor-faktor yang menentukan pendapatan asli daerah (pad) di kabupaten/kota di provinsi jawa barat. data yang dianalisis adalah data semua kabupaten dalam kurun waktu tahun 2006-2009. analisis dilakukan dengan metode regresi data panel. berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa jumlah industri, penduduk, dan pendapatan domestik bruto (pdrb) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah (pad). hasil ini mengambarkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan pdrb dan jumlah industri memiliki hubungan erat dengan sektor pemerintah, khususnya berkaitan dengan penerimaan pendapatan daerah. dari sisi lain dapat disimpulkan juga bahwa kegiatan pemerintah daerah akan sangat tergantung kepada kegiatan ekonomi sektor swasta. kata kunci: pendapatan asli daerah, pendapatan domestik bruto, jumlah industri, sektor ekonomi swasta pendahuluan sejak diberlakukannya uu no. 22 tahun 1999 tentang perimbangan daerah dan uu no. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah. penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung berbagai faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan. undang-undang tersebut kemudian disempurnakan kembali dalam uu no. 32 tahun 2004 dan uu no. 33 tahun 2004. kedua ketentuan perundangan ini memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemansumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 77 faatan sumberdaya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. penyelenggaraan pemerintah daerah dan pelayanannya dilakukan bedasarkan prinsip-prinsip transparansi, pertisipasi, dan akuntabilitas. indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila dan undangundang dasar 1945 di dalam wilayah negara kesatuan republik indonesia. tujuan ini mencerminkan upaya menjamin stabilitas pertumbuhan dan pemerataan. indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak daerah yang memiliki perbedaan alokasi anggaran, potensi, serta keunggulan. perbedaan dalam pengalokasikan anggaran terlihat dalam jumlah anggaran yang diberikan pemerintah untuk tiap daerah tergantung pada kebutuhan di tiap daerah tersebut. ada beberapa sumber dana yang diberikan oleh pemerintah untuk kemajuan tiap daerah. dana tersebut antara lain dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (apbn), anggaran pendapatan dan belanja daerah (apbd) provinsi dan kabupaten/kota, juga beberapa pinjman dari luar negeri serta sumber dana pemerintah yang lain (mark, 2004). otonomi daerah di satu sisi memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. kemandirian untuk mengelola dan mengatur rumah tangga sendiri akan terwujud dengan baik apabila terdapat dukungan (partisipasi) publik. hal ini relatif akan dapat terwujud bila terjadi proses distribusi, baik pada kebutuhan masyarakat maupun perolehan serta pembagian pendapatan untuk daerah dan masyarakat secara merata. otonomi daerah dilaksanakan pada saat daerah mempunyai tingkat kesiapan yang berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerial daerah. suatu daerah mampu melaksanakan otonomi jika memiliki kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. selain itu ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga pad harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. namun demikian untuk daerah kota dan kabupaten di indonesia belum bisa melaksanakannya (sasana, 2005; siagian, 2008). faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda pemerintahan daerah. salah satu sumber daya finansial yang dapat mendukung fungsi pemerintahan daerah adalah pendapatan asli daerah (pad). pad merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. menurut suryono (2010), otonomi daerah dan juga pemerintah dan pembangunan daerah dapat diwujudkan hanya apabila disertai dengan otonomi keuangan yang efektif. ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial haruslah independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber pad seperti pajak, retribusi dan lain-lain. dalam hal ini kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah (abdullah dan halim, 2003; riduansyah, 2003; santosa dan rahayu, 2005). pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran yang nyata dari dampak suatu kebijakan pembangunan yang dilaksanakan, khususnya dalam bidang ekonomi. pertumbuhan tersebut merupakan laju pertumbuhan yang terbentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. bagi daerah, indikator ini sangat perlu untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arus pembangunan di masa yang akan datang. laju pertumbuhan ekonomi daerah dapat ditunjukkan dengan produk domestik regional bruto (pdrb) yang merefleksikan peningkatan pendapatan masyarakat. semakin tinggi pendajurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 78 patan seseorang maka akan semakin tinggi pula kemampuan untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah. dalam konsep makro dapat dianalogikan bahwa semakin besar pdrb yang diperoleh maka akan semakin besar pula potensi penerimaan daerah. jadi dengan adanya peningkatan pdrb maka hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan asli daerah. pada tahun 2006-2009 kabupaten/kota yang memberikan peranan relatif besar dalam pembentukan pdrb provinsi jawa barat, yaitu berasal dari kabupaten bekasi sebesar 51.789 miliar, kabupaten bogor sebesar 30.952 miliar, dan kabupaten bandung sebesar 29.228 miliar. pdrb atas dasar harga konstan. dilihat dari potensi kabupaten/kota, penyumbang terbesar terhadap total pdrb jawa barat, merupakan daerah konsentrasi industri pengolahan khususnya industri pengolahan barang mentah menjadi barang jadi, seperti rokok, suku cadang mobil maupun motor, serta alat-alat rumah tangga, dan setiap harinya menghasilkan miliaran output yang akan berpengaruh terhadap pendapatan di provinsi jawa barat. dengan adanya peningkatan pdrb antarkabupaten/ kota maka hal ini berarti ada perubahan peningkatan kesejahteraan masyarakat di provinsi jawa barat, bisa dikatakan bahwa provinsi jawa barat sangatlah makmur akan penghasilan yang didapatkan dari pdrb tersebut. perkembangan industrialisasi di indonesia juga merupakan faktor penting dalam pembentukan pendapatan daerah. dalam beberapa tahun terakhir ini sudah sangat banyak sekali industri, mulai dari industri yang paling kecil hingga industri yang paling besar, dimana setiap industri itu memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar, juga terhadap keuangan negara ini khususnya di daerah-daerah yang banyak memiliki jumlah industri, namun secara tidak langsung juga memberikan dampak negatif kepada lingkungan sekitar dengan membuang limbah sembarangan ataupun bisa merugikan negara dengan tidak membayar pajaknya, tapi secara umum sektor perindustrian sangat memberikan nilai menguntungkan, terutama dari sektor industri pengolahan yang mana sektor tersebut sudah cukup memberi kontribusi besar bagi negara ini. provinsi jawa barat merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau jawa yang mengalami kemajuan pesat dari segi pendapatan asli daerah nya, sebagian besar pendapatan tersebut dihasilkan dari sumber-sumber yang mempengaruhinya seperti pajak, retribusi, dan lainlain yang telah disahkan, daerah yang cukup potensial antara lain kota bandung, kabupaten bogor dan kota bekasi, akan tetapi yang paling besar yang memberikan kontribusi pad di jawa barat ialah kota bandung, menurut badan pusat statistik (bps) sampai pada tahun 2009 kota bandung menghasilkan pad sebesar 374.712 (jutaan rupiah) hal ini dikarenakan selain kota bandung adalah ibukota jawa barat tetapi juga kota bandung merupakan kota dimana serba ada, mulai dari kebutuhan pariwisata, kebutuhan primer maupun kebutuhan yang lainnya, sehingga di sana terjadinya transaksi ekonomi yang secara tidak langsung pengaruhnya dapat meningkatkan pad di provinsi jawa barat itu sendiri. provinsi jawa barat juga mempunyai sektor industri yang cukup berkembang, mulai dari industri rumah tangga sampai dengan industri yang besar, daerah industri yang memberikan kontribusi besar sampai tahun 2009 menurut badan pusat statistik (bps) ialah kabupaten sukabumi dengan jumlah industri sebanyak 15.379 jumlah unit industri, industri di jawa barat sangat potensial, contohnya di jawa barat memiliki banyak industri pariwisata, yang tiap harinya ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik asing maupun lokal, serta industri rumah tangga yang membuat barang mentah sehingga menjadi barang jadi, seperti sepatu kulit, tas, pernak pernik dan lain-lain, bahkan penjualannya ada yang sudah sampai di ekspor ke sejumlah negara besar di dunia. jumlah industri tersebut nantinya akan menghasilkan suatu output yang akan dikenakan pajak oleh pemerintah daerah tersebut, dan pajak tersebut akan menjadi suatu pemasukan untuk provinsi jawa barat. faktor lain yang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah kualitas dan jumlah penduduk. penduduk merupakan orang yang bertempat tinggal disuatu sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 79 wilayah tertentu. pengaruh jumlah penduduk pada tingkat moderat pada dasarnya positif dan bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, baik bagi negara-negara maju maupun yang sedang berkembang. semakin banyak orang maka akan semakin banyak ide, semakin banyak orang yang mempunyai bakat dan kreatif, semakin banyak tenaga ahli dan dengan demikian akan semakin berkembang teknologi. selanjutnya dalam jangka panjang penduduk merupakan suatu keuntungan. simon juga mencatat bahwa, pertumbuhan penduduk juga merangsang pembangunan ekonomi. semakin besar jumlah penduduk akan mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi dan selanjutnya akan mendorong “economic of scale” dalam berproduksi, sehingga akan menurunkan biaya produksi. penduduk dapat mempengaruhi penerimaan pendapatan daerah, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi. hal ini selanjutnya dapat mendorong peningkatan produksi sehingga akan mengakibatkan adanya perluasan usaha dan pendirian usaha baru pada sektor produksi, pendirian usaha baru akan menambah lapangan pekerjaan sehingga pendapatan masyarakat juga ikut meningkat. dengan adanya kecenderungan pertambahan jumlah penduduk pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan daerah. ada banyak hal yang menjadi dampak positif terhadap provinsi jawa barat itu sendiri, dengan meningkatnya jumlah penduduk maka pendapatan pemerintah akan naik secara tidak langsung. oleh karena itu, seiring berkembangnya jumlah penduduk di jawa barat akan juga akan meningkatkan perkembangan ekonomi di provinsi jawa barat itu sendiri. atas dasar latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu analisis terhadap berbagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di provinsi jawa barat. kajian ini bertujuan menguji pengaruh faktor-faktor jumlah penduduk, jumlah industri dan pdrb terhadap pendapatan asli daerah di masingmasing kabupaten/kota di provinsi jawa barat. beberapa penelitian terdahulu telah banyak mengkaji tentang keuangan daerah di indonesia, khususnya sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. adriani dan handayani (2008), melakukan penelitian tentang pengaruh pdrb dan jumlah penduduk terhadap pad kabupaten merangin. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pdrb mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pad, sedangkan jumlah penduduk mempunyai hubungan negatif dan pengaruhnya tidak signifikan secara parsial terhadap pad kabupaten merangin, tetapi secara bersamaan kedua variabel tersebut pengaruhnya adalah signifikan. pdrb dan jumlah penduduk mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pad dan model yang diestimasi adalah tepat. siagian (2008) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh dana alokasi umum (dau), pad, dan pendapatan lain-lain yang sah terhadap belanja pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi sumatera utara dengan menggunakan sampel sebanyak 12 kabupaten/kota. data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data time series yakni data tahun 2004-2006 dari laporan apbd (anggaran) yang diperoleh melalui situs departemen keuangan republik indonesia direktorat jenderal perimbangan keuangan. pengujian hipotesis dalam pengujian ini menggunakan regresi linear sederhana dengan uji t, dan regresi liniear berganda dengan uji f, regresi sederhana digunakan untuk melihat pengaruh jumlah dau, pad dan pendapatan lain-lain secara terpisah terhadap jumlah total belanja. regresi berganda digunakan dengan tujuan untuk memprediksi apakah komponenkomponen pendapatan daerah tersebut secara serentak mempengaruhi belanja daerah. dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik secara terpisah ataupun secara bersama-sama dana alokasi umum (dau), pad, dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah. abdullah dan halim (2003), melakukan penelitian untuk menguji pengaruh pajak daerah dan pad terhadap belanja daerah di indonesia dengan menggunakan sampel kabupaten dan kota di provinsi jawa barat, jawa tengah, jawa timur, daerah istimewa yogyakarta dan bali. data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 2001 dan 2002 dari laporan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 80 apbd pemda yang diperoleh dari situs departemen keuangan, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda, dari hasil penelitian menunjukkan secara bersama-sama pajak daerah dan pad berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah. santosa dan rahayu (2005), melakukan penelitian tentang analisis pendapatan asli daerah (pad) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten kediri. dari hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang diduga mempengaruhi persentase perubahan pad adalah total pengeluaran pembangunan, penduduk dan pdrb sangat kuat. ketiga variabel independen pengeluaran pembangunan, penduduk, dan pdrb yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu variabel penduduk. pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. pendapatan asli daerah diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu sendiri. pembangunan ekonomi suatu negara dalam periode jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi negara tersebut. dimulai dari ekonomi tradisional yang dititikberatkan pada sektor pertanian, menuju perekonomian modern yang didominasi oleh sektor industri. perubahan struktur ekonomi pada umumnya disebut transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan dalam komposisi permintaan, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), produksi, dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang diperlukan guna mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (octaviani, 2001). dalam istilah ekonomi, industri juga mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara luas dan pengertian secara sempit. dalam pengertian secara luas, industri mencakup semua usaha atau kegiatan di bidang ekonomi yang bersifat produktif. sedangkan pengertian secara sempit, industri ialah suatu kegiatan yang mengubah suatu barang secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi. menurut badan pusat statistik (bps), industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang jadi dan barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih nilainya. berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi manusia yang sangat penting. melalui kegiatan industri akan dihasilkan berbagai kebutuhan manusia mulai dari peralatan sederhana sampai peralatan modern. jadi pada dasarnya kegiatan itu lahir untuk memenuhi kegiatan manusia. dengan kata lain telah dikenal sejak zaman dahulu walaupun pada awal perkembangannya masih sangat sederhana dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dalam lingkup yang terbatas. industri dapat digolongkan berdasarkan beberapa sudut tinjauan atau beberapa pendekatan. di indonesia digolongkan berdasarkan kelompok komoditas, skala usaha, dan berdasarkan arus produksinya. jumlah industri di indonesia kini semakin pesat perkembangannya. hal itu memberikan dampak positif terhadap perekonomian indonesia itu sendiri, dimana ketika sebuah industri itu dibangun banyak hal yang akan terjadi, seperti penyerapan tenaga kerja, memperbanyak output baik barang maupun jasa sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. pendapatan daerah dapat dipengaruhi berbagai macam faktor, salah satu di antaranya dari sektor industri, ketika suatu daerah tersebut memiliki banyak perindustrian maka bukan tidak mungkin daerah tersebut akan menjadi makmur dan dapat mensejahterakan masyarakat di daerah tersebut. pengaruh tersebut dimulai dari pajak-pajak yang dikenakan oleh pemerintah setempat dan nanti akan dikembalikan lagi oleh pemerintah dalam bentuk layanan publik (merifield, 2000). jadi secara tidak langsung sektor industri memberikan pengaruh terhadap pendapatan daerah tersebut, contohnya sebuah industri yang telah dibangun akan sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 81 membuat bangunan inti dimana akan menjadi tempat produksi, dan industri tersebut akan menghasilkan sebuah output baik barang maupun jasa, lalu barang itu akan dijual kepada konsumen, bangunan tersebut nantinya akan dikenakan pajak bumi bangunan (pbb) lalu output yang dihasilkan akan dikenakan pajak produksi oleh pemerintah, dari tahapan-tahapan inilah yang mempengaruhi pendapatan daerah tersebut (riduansyah, 2003; sasana, 2005). di negara sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah penduduk termasuk indonesia akan selalu mengaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi. akan tetapi hubungan antara keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi oleh setiap negara. setiap negara atau daerah akan mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan yang khas pula. jumlah penduduk yang besar bagi indonesia merupakan modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. sebagai aset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif. indonesia sedang mengalami transisi demografi menuju penduduk tua yang justru berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah (sriyana, 2008). pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. penambahan penduduk tinggi yang diiringi dengan perubahan teknologi akan mendorong tabungan dan juga penggunaan skala ekonomi di dalam produksi. penambahan penduduk merupakan satu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur penting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. besarnya pendapatan dapat mempengaruhi penduduk. jika jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik juga meningkat. metode penelitian data dan variabel operasional data yang digunakan dalam kajian ini adalah data time series dan cross section. data yang dibutuhkan adalah data yang berhubungan dengan variabel penelitian yaitu, pendapatan asli daerah, jumlah industri, jumlah penduduk dan produk domestik regional bruto di provinsi jawa barat. data diperoleh dari badan pusat statistik (bps) provinsi jawa barat. variabelvariabel yang digunakan dalam kajian ini adalah pad, jumlah industri, pdrb di kabupaten/kota di provinsi jawa barat dalam periode tahun 2006 sampai 2009. data-data tersebut berdasarkan harga konstan sehingga mampu menunjukkan perkembangan riil. metode analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi panel data yang merupakan bentuk regresi untuk menganalisis kombinasi data antara deret waktu (time-series) dan kerat lintang (cross section). dalam model regresi data panel, persamaan model regresi dengan menggunakan data cross-section dapat ditulis sebagai berikut: yi = βo + β1 xi + εi ; i = 1, 2, ..., n (1) dimana: n adalah banyaknya data cross section. untuk persamaan model dengan data time-series adalah: yt = βo + β1 xt + εt ; t = 1, 2, ..., t (2) dimana: t adalah banyaknya data time-series. mengingat data panel merupakan gabungan dari time-series dan cross-section, maka model dapat ditulis: yit = βo + β1 xit + εit (3) i = 1, 2, ..., n ; t = 1, 2, ..., t dimana: n adalah banyaknya observasi, n × t adalah banyaknya data panel, t adalah banyaknya waktu. dalam kajian ini, sesuai dengan variabel yang dianalisis, model regresi dapat ditulis: jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 82 yit = boi + b1x1it + b2x2it + b3x3it + eit dimana: yit adalah pad, x1it adalah jumlah industri, boi adalah konstanta, x2it adalah jumlah penduduk, b1, b2, b3 adalah koefisien, x3it adalah pdrb, eit adalah error. ada tiga metode yang bisa digunakan untuk bekerja dengan data panel. metode pertama adalah pendekatan pooled least square (pls), yang secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (ols). model kedua adalah pendekatan fixed effect (fe) yang memperhitungkan kemungkinan bahwa peneliti menghadapi masalah omitted variables dimana hal ini mungkin membawa perubahan pada intercept time series atau cross section. model dengan fe menambahkan dummy variables untuk memungkinkan adanya perubahan intercept ini. model ketiga adalah pendekatan efek acak (random effect). model ini berasumsi memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan faktor kesalahan dari cross section dan time series. model random effect adalah variasi dari estimasi generalized least square. metode fixed effect dan random effect disebut juga metode generalized least square (gls). (1) pendekatan pooled least square (pls) atau (common effect). estimasi common effect merupakan teknik yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel. hal ini karena hanya dengan mengkombinasikan data time series dan data cross section tanpa melihat perbedaan antara waktu dan individu, sehingga dapat menggunakan metode ols dalam mengestimasi model data panel. dalam pendekatan estimasi ini, tidak diperhatikan dimensi individu maupun waktu. diasumsikan bahwa perilaku data antarwilayah sama dalam berbagai kurun waktu. dengan mengkombinasikan data time series dan data cross section tanpa melihat perbedaan antara waktu dan individu, maka model persamaan regresinya: yit = b0 + b1x1it + b2x2it + b3x3it +......+eit (4) (2) pendekatan slope konstan tetapi intersep berbeda antarindividu (fixed effect). salah satu kesulitan prosedur panel data adalah bahwa asumsi intersep dan slope yang konsisten sulit terpenuhi. untuk mengatasi hal tersebut, yang dilakukan dalam panel data adalah dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit (cross section) maupun antarwaktu (time-series). pendekatan dengan memasukkan variabel boneka ini dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect). model fixed effect dengan variable dummy dapat ditulis sebagai berikut: yit = b0i + b1x1it + b2x2it + b3x3it +β4 d1it + β5 d2it + β6 d3it +.….+ eit (5) model fixed effect dengan tanpa variabel dummy dapat ditulis sebagai berikut: yit = b0i + b1x1it + b2x2it + b3x3it +.….+ eit (6) (3) pendekatan efek acak (random effect). keputusan untuk memasukkan variable boneka dalam model efek tetap (fixed effect) akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. model panel data yang di dalamnya melibatkan korelasi antar-error term karena berubahnya waktu karena berbedanya observasi dapat diatasi dengan pendekatan model komponen error (error component model) atau disebut juga model efek acak (random effect). pendekatan estimasi random effect ini menggunakan variabel gangguan (error terms). variabel gangguan ini mungkin akan menghubungkan antar waktu dan antardaerah. penulisan konstanta dalam model random effects tidak lagi tetap tetapi bersifat random sehingga dapat ditulis dalam model sebagai berikut: yit = b0i + b1x1it + b2x2it + b3x3it +...+ eit (7) pemilihan model karena adanya berbagai asumsi dan kemungkinan hasil yang berbeda pada analisis dengan regresi data panel, maka diperlukan pemilihan model yang tepat untuk dapat menggambarkan hasil analisis yang terbaik. ada dua uji yang dapat digunakan untuk memilih model terbaik, sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 83 yaitu: (1) uji f: digunakan untuk memilih antara model common effect ataukah model fixed effect, dimana setelah melakukan regresi antara model common effect dan model fixed effect pemilihannya dilakukan dengan melihat nilai probabilitas f statistiknya. ho: memilih model common effect, jika nilai probabilitas f statistiknya tidak signifikan. h1: memilih model fixed effect, jika nilai probabilitas f statistiknya signifikan. (2) uji hausman: digunakan untuk memilih model yang terbaik antara fixed effect dan random effect, dimana setelah melakukan regresi antara model fixed effect dan random effect pemilihanya dilakukan dengan melihat nilai probabilitas chi-squarenya. ho: memilih model random effect, jika nilai chi square-nya tidak signifikan. h1: memilih model fixed effect, jika nilai chi square-nya signifikan. hasil dan pembahasan dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang di dapat dari data sekunder. perkembangan data-data yang dianalisis dari tahun 2006 sampai tahun 2009 yang mencakup tujuh belas kabupaten dan sembilan kota yang ada di provinsi jawa barat dipaparkan pada beberapa tabel berikut. dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pad dari tahun ke tahun di seluruh kabupaten/kota. namun di kabupaten bandung barat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 tidak memiliki data dikarenakan terjadinya pemekaran di kabupaten bandung itu sendiri, akan tetapi pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 sudah memiliki data tersendiri. dari keseluruhan kabupaten dan kota di mana yang memiliki pad paling besar ialah kota bandung dikarenakan selain kota tabel 1. realisasi pad kabupaten dan kota provinsi jawa barat 2006 – 2009 (jutaan rupiah) no kabupaten dan kota pendapatan asli daerah 2006 2007 2008 2009 1 bogor 199.424 260.031 250.155 309.226 2 sukabumi 53.645 45.940 51.691 875.62 3 cianjur 60.174 66.675 63.711 87.867 4 bandung 108.322 151.876 87.082 151.496 5 garut 50.323 71.376 76.457 91.429 6 tasikmalaya 35.440 24.309 17.239 37.671 7 ciamis 24.966 36.177 29.039 46.561 8 kuningan 35.731 37.415 36.225 52.748 9 92.348 99.318 112.468 116.133 10 majalengka 50.043 47.818 35.966 53.530 11 sumedang 58.699 60.564 63.472 90.533 12 indramayu 51.147 415.09 24.441 68.615 13 subang 58.782 506.41 47.568 68.801 14 purwakarta 51.781 51.199 457.77 67.084 15 karawang 112.643 89.231 88.641 115.412 16 bekasi 172.659 166.250 155.093 200.653 17 bandung barat 0 0 24.136 35.508 18 bogor 73.731 68.509 63.525 89.223 19 sukabumi 36.577 43.848 45.546 57.237 20 bandung 225.596 275.631 298.685 374.712 21 cirebon 56.405 59.912 25.082 70.926 22 bekasi 126.067 162.881 133.481 229.532 23 depok 67.218 72.080 68.666 88.872 24 cimahi 50.325 54.659 50.358 74.163 25 tasikmalaya 50.829 24.309 53.405 60.880 26 banjar 13.237 16.150 19.762 24.400 total 1.916.112 1.986.158 1.921.894 2.663.212 sumber: bps jawa barat, 2008-2010 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 84 bandung adalah ibukota dari jawa barat, bandung juga merupakan salah satu kota yang ramai dikunjungi untuk berwisata, mulai dari wisata kuliner sampai dengan wisata belanja setelah jakarta. bedasarkan pada tabel 1, kota banjar adalah kota yang menghasilkan pad paling sedikit dibanding kabupaten dan kota lainnya, hal ini disebabkan kota tersebut masih minimnya transaksi perekonomiannya dan juga jumlah penduduk yang sedikit, sehingga menyebabkan pemasukan kota banjar jadi lebih sedikit. dari tabel 2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah industri dari tahun ke tahun di hampir seluruh kabupaten dan kota di provinsi jawa barat. namun dapat dilihat pada tahun 2006 dari seluruh kabupaten dan kota diumana jumlah industri tersebut masih sangat minim dikarenakan perhitungan tersebut tidak menyeluruh, maka yang terjadi jumlah tersebut sangatlah sedikit dibanding pada tahun-tahun setelahnya yaitu 2007 sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan sangat drastis dari ratusan jumlah unit industri sampai dengan ribuan jumlah unit industri, mulai dari industri kecil, menengah, dan industri besar. berdasarkan pada tabel 2, kabupaten sukabumi ialah kabupaten yang paling besar jumlah industrinya dan kabupaten bandung barat yang paling sedikit jumlah industrinya dari kabupaten dan kota secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. namun jika dilihat dari total keseluruhan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 mengalami penurunan yang cukup drastis, dan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 mengalami kenaikan lagi tetapi tidak banyak sampai melebihi tahun 2007, hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya industri yang tidak bisa berkembang sehingga ia harus gulung tikar. tabel 2. jumlah industri kabupaten dan kota provinsi jawa barat 2006 – 2009 (jumlah unit) no kabupaten dan kota jumlah industri 2006 2007 2008 2009 1 bogor 85 14.574 14.747 14.797 2 sukabumi 63 115.178 15.274 15.379 3 cianjur 95 1.158 1.184 1.219 4 bandung 175 13.173 13.277 13.469 5 garut 7 9.710 9.746 9.774 6 tasikmalaya 87 1.283 1.350 1.395 7 ciamis 22 1.288 1.305 1.331 8 kuningan 42 2.024 2.123 2.179 9 cirebon 58 10.546 10.601 10.637 10 majalengka 35 7.338 7.351 7.381 11 sumedang 17 4.995 5.037 5.108 12 indramayu 18 2.325 2.354 2.354 13 subang 2 3.296 3.305 3.410 14 purwakarta 26 10.636 10.705 10.791 15 karawang 12 9.204 9.264 9.314 16 bekasi 114 10.319 10.469 10.695 17 bandung barat 0 0 0 17 18 bogor 113 7.395 8.020 8.089 19 sukabumi 53 9.368 9.416 9.435 20 bandung 72 10.674 10.816 10.817 21 cirebon 17 9.324 9.342 9.352 22 bekasi 52 9.692 9.822 9.881 23 depok 18 10.097 10.138 10.201 24 cimahi 0 6.044 6.059 6.071 25 tasikmalaya 165 9.457 9.590 9.675 26 banjar 37 9.122 9.148 9.182 total 1.385 298.220 200.443 218.936 sumber: bps jawa barat, 2008-2010 sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 85 dari tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di hampir seluruh kabupaten dan kota di provinsi jawa barat. itu membuktikan bahwa di provinsi jawa barat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 terus bertambahnya populasi penduduk, lebih banyak angka kelahiran di bandingkan dengan angka kematian, hal tersebut yang menjadikan jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. berdasarkan pada tabel 3, kota cirebon adalah kota yang paling sedikit jumlah penduduknya dan kabupaten bogor yang paling banyak jumlah penduduknya dari kabupaten dan kota secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. banyaknya jumlah penduduk di provinsi jawa barat sangat mempengaruhi pad di provinsi jawa barat itu sendiri, apalagi di setiap tahunnya terus mengalami peningkatan yang cukup drastis, akan tetapi akan banyak dampak buruk akan terjadi dengan tidak seimbangnya pengeluaran yang dilakukan pemerintah setempat seiring bertambahnya jumlah penduduk. dari tabel 4 dalam lampiran dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pdrb dari tahun ke tahun di seluruh kabupaten dan kota provinsi jawa barat. pdrb terbesar dimiliki oleh kabupaten bekasi dan yang memiliki pdrb terkecil ialah kota banjar. pemilihan model dengan uji hausman pemilihan model dalam penelitian ini menggunakan uji hausman untuk memilih model random effect atau fixed effect. tabel 5 menyajikan hasil uji hausman: dari tabel 5 tentang hasil uji hausman untuk pemilihan model menunjukkan bahwa nilai tabel 3. jumlah penduduk kabupaten dan kota provinsi jawa barat 2006 – 2009 (jumlah orang) no kabupaten dan kota jumlah penduduk 2006 2007 2008 2009 1 bogor 4.216.186 4.316.236 4.402.026 4.453.927 2 sukabumi 2.240.901 2.258.253 2.277.020 2.293.742 3 cianjur 2.125.023 2.149.121 2.169.984 2.189.328 4 bandung 4.399.128 3.038.038 3.116.056 3.148.951 5 garut 2.375.725 2.429.167 2.481.471 2.504.237 6 tasikmalaya 1.743.324 1.792.092 1.839.682 1.860.157 7 ciamis 1.565.121 1.686.076 1.605.891 1.615.759 8 kuningan 1.118.776 1.140.777 1.163.159 1.173.528 9 cirebon 2.134.656 2.162.644 2.192.429 2.211.186 10 majalengka 1.197.994 1.204.379 1.210.811 1.219.145 11 sumedang 1.089.889 1.112.336 1.134.288 1.143.992 12 indramayu 1.778.396 1.795.372 1.811.764 1.827.878 13 subang 1.441.191 1.459.077 1.476.418 1.486.412 14 purwakarta 784,797 798,272 809,962 819,005 15 karawang 2.031.128 2.073.356 2.112.433 2.134.389 16 bekasi 1.991.230 2.032.008 2.076.146 2.121.122 17 bandung barat 0 1.493.225 1.531.072 1.548.434 18 bogor 855,846 866,034 876,292 895,596 19 sukabumi 294,646 300,694 305,800 311,559 20 bandung 2.340.624 2.364.312 2.390.120 2.414.704 21 cirebon 285,363 290,45 298,995 304,152 22 bekasi 2.040.258 2.084.831 2.128.384 2.176.743 23 depok 1.393.568 1.412.772 1.430.829 1.465.826 24 cimahi 506,251 518,985 532,114 547,862 25 tasikmalaya 610,456 624,478 637,083 640,324 26 banjar 177,118 180,744 184,577 185,993 total 40.737.594 41.483.729 42.194.869 42.693.951 sumber: bps jawa barat, 2008-2010 jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 86 hausman test < lebih kecil dari nilai chi square sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang baik untuk diestimasi adalah model random effect. hasil estimasi model random effect analisis ini dalam kajian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh jumlah industri, jumlah penduduk, dan pdrb terhadap pendapatan asli daerah (pad) kabupaten/kota di jawa barat. adapun bentuk persamaan regresinya adalah: yit = βo + β1x1it + β2x2it + β3x3it + ui (8) keterangan: y adalah pendapatan asli daerah (pad) kabupaten/kota di jawa barat (miliar rupiah); x1 adalah jumlah industri kabupaten/ kota di jawa barat (buah), x2 adalah jumlah penduduk kabupaten/kota di jawa barat (orang), x3 adalah pdrb kabupaten/kota di jawa barat (miliar rupiah), βo adalah konstanta, βo-β3 adalah koefisien regresi, uit adalah variabel gangguan, i adalah kabupaten/kota, t adalah periode waktu (tahun). berdasarkan perhitungan diperoleh hasil yang disajikan dalam tabel 6. secara statistik hasil regresi menunjukkan hasil yang baik. koefisien determinasi (r2) yang bermanfaat untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan secara komprehensif terhadap variabel terikat memberikan angka cukup tinggi, yaitu sebesar 0,939. hal ini menunjukkan kuatnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. uji t digunakan untuk membuktikan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara individual dengan asumsi bahwa variabel yang lain tetap atau konstan. pengujian pengaruh variabel jumlah industri, jumlah penduduk, dan pdrb terhadap variabel pendapatan asli daerah menunjukkan nilai probabilitas masing-masing sebesar 0,0251; 0,0145; dan 0,000 yang berarti signifikan untuk pengujian pada α sebesar 0,05. hasil ini menjelaskan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh secara positif dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah (pad) kabupaten/kota di jawa barat. hasil ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penerimaan pendapatan asli daerah sangat tergantung pada peningkatan besaran ketiga variabel tersebut. nilai konstanta hasil regresi secara keseluruhan kabupaten/kota di jawa barat sebesar 12.289,76. adapun nilai konstanta masing-masing kabupaten merupakan informasi khusus untuk masing-masing kabupaten. jika dibandingkan dengan nilai masing-masing nilai kontabel 5. hasil pemilihan model dengan uji hausman model hausman test chi square tabel keterangan hasil pemilihan model yit = βo + β1x1it + β2x2it + β3x3it + ui 6,939 7,8413 nilai hausman test < dari nilai chi squaretabel random effect sumber: lampiran hasil olah data tabel 6. hasil estimasi model random effect metode gls variabel koefisien regresi t-statistik probabilitas konstanta 12289,76 0,917941 0,3609 jumlah industri 0,035310 2,039390 0,0251 jumlah penduduk 0,012003 2,167389 0,0145 pdrb 5,151244 6,234946 0,0000 r2 : 0,939 dw-test : 2,273 n : 36 sumber: hasil olah data. sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 87 stanta kabupaten dan kota adalah sebagai berikut. nilai konstanta kabupaten sumedang sebesar -1.066,901; kabupaten cianjur sebesar 1.539,507; kabupaten banjar sebesar 209,392; kota cirebon sebesar 7.362,598; kabupaten kuningan sebesar -3.659.748; kota tasikmalaya sebesar 9.139,122; kabupaten majalengka sebesar 516,12; kabupaten purwakarta sebesar 1.066,901; kabupaten subang sebesar -7.233,228; dan kabupaten sukabumi 4.891,623 berada dibawah nilai konstanta secara keseluruhan, sedangkan kabuparten/kota lainnya berada di atas nilai konstanta secara keseluruhan. hasil ini memberikan gambaran bahwa pad otonom kabupaten kota tersebut, yaitu tingkat pad yang diakibatkan oleh perubahan variabel lain pada kabupaten tersebut lebih rendah dari ratarata pad otonom kabupaten/kota di provinsi jawa barat. adapun pad otonom kabupaten/ kota lainnya lebih besar dari rata-rata pad di provinsi tersebut. hasil regresi tersebut menunjukkan bahwa jumlah industri kabupaten/kota di jawa barat berpengaruh positif dan signifikan terhadap pad kabupaten/kota di jawa barat. hal ini berarti, jika jumlah industri meningkat, maka pad kabupaten/kota di jawa barat juga akan meningkat. dari analisis regresi tersebut menunjukkan jika jumlah industri naik sebesar 1 unit, maka pad kabupaten/kota akan naik rata-rata sebesar 0,035310 miliar rupiah. industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang sangat penting. melalui kegiatan industri akan dihasilkan berbagai kebutuhan masyarakat mulai dari peralatan sederhana sampai peralatan modern. berkembangnya industri akan menghasilkan pajak barang dan sekaligus pajak pendapatan sehingga akan berpengaruh positif terhadap pendapatan asli daerah. kajian ini juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap pad) kabupaten/kota di jawa barat. hal ini berarti, jika jumlah penduduk mengalami peningkatan, maka pad kabupaten/ kota di jawa barat akan meningkat signifikan. hasil analisis menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk kabupaten/kota di jawa barat berdampak pada peningkatan potensi pad kabupaten/kota rata-rata sebesar 0,012003 miliar rupiah. di negara sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah penduduk termasuk indonesia akan selalu mengaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi. akan tetapi hubungan antara keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi oleh setiap negara. dengan demikian tiap negara atau daerah akan mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan yang khas pula. jumlah penduduk yang besar bagi indonesia dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. sebagai aset apabila dapat meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. temuan ini mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah penduduk akan menjadi faktor positif bagi pembangunan daerah sehingga berpotensi meningkatkan pad. informasi lain dari analisis ini menunjukkan bahwa pdrb kabupaten/kota di jawa barat berpengaruh positif dan signifikan terhadap pad. hal ini berarti, jika pdrb kabupaten/ kota di jawa barat mengalami peningkatan, maka pad kabupaten/kota di jawa barat juga akan meningkat. hasil analisis memberikan hasil bahwa jika pdrb kabupaten/kota naik sebesar 1 miliar rupiah, maka pad kabupaten/ kota di jawa barat akan naik sebesar 5,151244 miliar rupiah. apabila ditinjau dari segi pendapatan pdrb merupakan jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk di wilayah tersebut yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu. hubungan antara pad dengan pdrb merupakan hubungan secara fungsional, karena pdrb merupakan fungsi dari pad. dengan meningkatnya pdrb maka akan menambah penerimaan pemerintah daerah untuk membiayai program-program pembangunan. selanjutnya akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat yang diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitasnya. temuan analisis ini juga menggambarkan bahwa 20 persen dari total pdrb akan diserap oleh sektor pemerintah daerah. nilai ini juga mengindikasikan jurnal ekonomi dan studi pembangunan volume 12, nomor 1, april 2011: 76-89 88 bahwa nilai tax ratio kabupaten/kota di provinsi jawa barat berada pada tingkat moderat. simpulan hasil regresi data panel menunjukkan bahwa jumlah industri, penduduk, dan pdrb berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah (pad) kabupaten/kota di jawa barat. hal ini berarti, jika ketiga variabel tersebut meningkat, maka pad kabupaten/ kota di jawa barat juga akan meningkat. hasil ini menggambarkan bahwa sektor pemerintah daerah sangat tergantung pada kegiatan ekonomi dan perkembangan industri di sektor swasta. untuk meningkatkan pad kabupaten/ kota di jawa barat, maka pemerintah kabupaten/kota di jawa barat perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah mellaui pengembangan industri di daerah dengan cara mendorong peningkatan investasi daerah dalam rangka mengoptimalkan potensi daerah. hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mendorong pertumbuhan usaha-usaha kecil dan menengah (umkm) sebagai bagian dari sektor industri, misalnya dengan pembangunan infrastruktur yang lebih baik, pengembangan inovasi produk, serta regulasi untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang akan meningkatkan pendapatan asli daerah (pad) kabupaten/ kota di jawa barat. daftar pustaka abdullah dan halim. 2003. pengaruh pajak daerah dan pad terhadap belanja daerah di indonesia. jurnal ekonomi dan studi pembangunan, vol 7, no. 1. adriani, evi dan handayani, sri indah. 2008. pengaruh pdrb dan jumlah penduduk terhadap pad kabupaten merangin. jurnal ilmiah, vol 8, no.2. bps. 2006-2009. jawa barat dalam angka. jawa barat: badan pusat statistik bps. 2006-2009. jumlah penduduk jawa barat. jawa barat: badan pusat statistik. kenward, lloyd r. 2004. survey of recent developments. bulletin of indonesian economic studies 40 (1): 9–35. lledo, victor duarte. 2005. tax systems under fiscal adjustment: a dynamic cge analysis of the brazilian tax reform, imf working paper wp/05/142, new york: international monetary fund. marks, stephen v. 2004. fiscal sustainability and solvency: theory and recent experience in indonesia. bulletin of indonesian economic studies, vol. 40, no. 2,227–42. merifield, john. 2000. state government expenditure determinants and tax revenue determinants revisited, public choice, 102: 25-50. octaviani, dian. 2001. inflasi, pengangguran, dan kemiskinan di indonesia: analisis indeks forrester greer & horbecke. media ekonomi, vol. 7, no. 8, 100-118. riduansyah, muhammad. 2003. kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhdap pendapatan asli daerah (pad) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (apbd) guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah (studi kasus pemerintah daerah kota bogor). jurnal makara, sosial humaniora, vol.7, no. 2. santosa, purbayu budi dan rahayu, retno fuji. 2005. analisis pendapatan asli daerah (pad) dan faktor-kaktor yang mempengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten kediri. jurnal dinamika pembangunan, vol 3, no.1. sasana, hadi. 2005. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak bumi dan bangunan (pbb): studi kasus di kabupaten banyumas. jurnal dinamika pembangunan, vol.2, no.1. siagian, monika. 2008. pengaruh dana alokasi umum (dau), pendapatan asli daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah terhadap belanja pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi sumatera utara. jurnal studi ekonomi, vol 2, no. 2. sumber pendapatan asli daerah (indrajati hertanto dan jaka sriyana) 89 sriyana, jaka. 2008. dampak transisi demografi terhadap defisit fiskal di indonesia, jurnal ekonomi pembangunan (jep), vol.13, no.3, desember. yogyakarta: fe uii. lampiran tabel 4. produk domestik regional bruto harga konstan 2000 provinsi jawa barat 2006–2009 (miliar rupiah) no kabupaten dan kota pdrb 2006 2007 2008 2009 1 bogor 26.546 28.151 29.721 30.952 2 sukabumi 7.405 7.715 8.015 8.308 3 cianjur 7.048 7.343 7640 7.939 4 bandung 17.640 18.648 19.674 20.527 5 garut 9.129 9.563 10.011 10.568 6 tasikmalaya 4.511 4.707 4.896 5.291 7 ciamis 6.116 6.422 6.739 7.071 8 kuningan 3.330 3.470 3.619 3.778 9 cirebon 6.670 7.027 7.372 7.748 10 majalengka 3.686 3.866 4.042 4.225 11 sumedang 4.694 4.912 5.137 5.381 12 indramayu 12.621 12.956 13.234 13870 13 subang 6.174 6.473 6.780 7.103 14 purwakarta 5.964 61.97 6.506 6.849 15 karawang 15.568 16.525 17.553 19.195 16 bekasi 43.793 46.481 49.302 51.789 17 bandung barat 6.466 6.811 7.158 7.464 18 bogor 3.782 4.013 4.253 4.508 19 sukabumi 1.509 1.607 1.705 1810 20 bandung 23.043 24.942 26.979 29.228 21 cirebon 5.192 5.513 5.824 6.116 22 bekasi 12.453 13.255 14.042 14.622 23 depok 5.066 5.418 5.771 6.129 24 cimahi 5.369 5.639 5.908 6180 25 tasikmalaya 3.098 3.283 3.470 3.668 26 banjar 616 646 677 712 total 247.490 261.619 276.029 22.840.459 sumber: bps jawa barat, 2008-2010 jurnal ekonomi & studi pembangunan volume 23 no 1, april 2022 article type: research paper new evidence on ethnic diversity and social capital in indonesia muhammad ryan sanjaya abstract: this study analyzes the relationship between the various measures of ethnic diversity and social capital in indonesia, particularly trust and tolerance (towards other religions and other ethnic groups), using a nationally representative survey. the 2009 national socioeconomic survey asked almost 300 thousand individuals on social capital from the 2010 population census data used to construct measures of ethnic and religious diversity. the study’s main contribution to the literature is the inclusion of ethnic similarities in the construction of these diversity variables using linguistic tree data taken from ethnologue. using the multiple linear regression method, the study found that all measures of diversity are negatively associated with trust but are positively associated with tolerance, even after controlling for individual-, householdand district-level characteristics. anticipating the possibility of endogeneity in the diversity variables, this study uses geographical variables to instrument these variables. nevertheless, the use of the instrumental variable regression method does not change the main result. keywords: ethnic diversity; social capital; trust; tolerance; indonesia jel classification: d19; o53; z13 introduction the economics literature on the role of ethnic diversity is vast. some early studies, such as easterly and levine (1997), tried to link ethnic diversity with economic growth in sub-saharan africa wherein the two showed an inverse relationship. the following literature on this topic has included additional controls such as interacting the measure of ethnic diversity with democracy (alesina & la ferrara, 2005) and controlling for migration (bove & elia, 2017), to linking it with other socioeconomic variables such as trust (algan & cahuc, 2014) and conflict (esteban et al., 2012), to find the sources of such diversity (ahlerup & olsson, 2012; ashraf & galor, 2013; michalopoulos, 2012; moslehpour et al., 2021). some studies linked ethnic diversity with socioeconomic variables in indonesia, such as how it can affect public goods provision (alesina et al., 2019; siburian, 2019), social capital (mavridis, 2015), and conflict (bazzi et al., 2019). affiliation: department of economics, faculty of economics and business, universitas gadjah mada, special region of yogyakarta, indonesia correspondence: m.ryan.sanjaya@ugm.ac.id this article is avalilable in: http://journal.umy.ac.id/index.php/esp doi: 10.18196/jesp.v23i1.13863 citation: sanjaya, m. r. (2022). new evidence on ethnic diversity and social capital in indonesia. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 23(1), 35-50. article history received: 02 feb 2022 revised: 13 mar 2022 28 mar 2022 accepted: 29 mar 2022 https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=-ubt1poaaaaj https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ https://economics.feb.ugm.ac.id/ mailto:m.ryan.sanjaya@ugm.ac.id http://journal.umy.ac.id/index.php/esp https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/view/13863 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.18196/jesp.v23i1.13863&domain=pdf https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ sanjaya new evidence on ethnic diversity and social capital in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 36 due to the limitations set, this study will only discuss how ethnic diversity is related to social capital such as trust and tolerance. social capital is an important feature of a society that would help members of different ethnic, religious, and other groups effectively achieve the goals of the community. it is only with the trust towards others and respecting differences that society would function, without the need or minimize the necessity of having formal institutions. therefore, it is important to understand how the many different members of a society could work together. indonesia, in particular, is blessed with a sheer amount of ethnocultural diversity due to its unique geographical locations. the 2010 census data shows the country’s population speaks 1,204 different languages and there were 964 ethnic groups. such diversity is a real challenge to not only the government in ensuring that the policies are inclusive but also to grassroots communities that deal with members of different groups daily. the association between social capital, such as trust, and ethnic diversity are not particularly clear. there are three often cited theories on how social capital may be related. the first theory, often dubbed as constrict or “hunkering down” theory, predicts that diversity makes people trust less towards everyone, which implies lower (withingroup) trust and (outgroup) tolerance (putnam, 2007). the second is “conflict theory” which predicts that the more diverse a community is, the higher the trust and lower tolerance (blalock, 1967). the reason for such prediction is that the perception of threat (from an outsider) makes people increase the bonding among the same group while, at the same time, increasing their prejudice towards the outsider. finally, the “contact theory” is more optimistic as diversity is expected to increase both trust and tolerance (allport, 1954). the rationale behind the theory is that contact with out of the group members would bridge differences and therefore increase the social capital. empirically, some studies show how the two seem to have a negative correlation. for example, in a cross-country study, trust was found to be lower in a society that is heterogeneous (alesina & la ferrara, 2002). whereas in another cross-country study, no robust relationship was found for these variables per se (finseraas & jakobsson, 2012), but when multidimensional social structures are introduced, the negative association emerges. other variables are also found to be associated with trusts, such as the positive association between trust and economic performance (algan & cahuc, 2013), the negative correlation between trust and income inequality (bjørnskov, 2008), and that females tend to trust more (falk et al., 2018). a whole chapter in the handbook of economic growth was also dedicated to research on not only the relationships between social capital and economic performance but also with institutions (algan & cahuc, 2014). the importance of the latter is also expounded in a recent review paper that relates culture—which includes generalized trust—with institutions (alesina & giuliano, 2015). more recently, a review study shows the prediction from the contact theory seems to have less support than the alternatives as most empirical studies indicate a negative relationship between social trust and ethnic diversity (dinesen & sønderskov, 2017). the literature is also not limited to cross-country but also within-country variations, including those in the context of developing countries such as indonesia. with hundreds of local languages spoken by 273.5 million people, indonesia is unique in terms of its large sanjaya new evidence on ethnic diversity and social capital in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 37 ethnic diversity resulting in the socio-economic implications of having such diversity. anecdotal evidence shows the country’s experience with ethnic and religious violence, particularly during the transition period of 1998 to 2005, which serves as an indication that diversity matters. previous studies have shown the conflicting effects of ethnic diversity on conflict: ethnic clustering has some positive correlations with local conflict (barron et al., 2009), but different measures seem to have opposite effects on conflict (bazzi et al., 2019). meanwhile, gaduh (2012) provides some evidence that trust (tolerance towards members of other religions) is negatively (positively) associated with religious heterogeneity. more recently, using individual-level data from the indonesian family life survey (ifls), mavridis (2015) shows that ethnic diversity is negatively correlated with trust but is positively correlated with ethnic tolerance. it is rather unfortunate that there is no further elaboration on why the result turns out that way, except for the positive outlook that diversity is a good thing to have in a society. the author used data from the fourth wave (2007) of the ifls that surveyed more than 40 thousand individuals, where trust is elicited through the lost wallet questions (i.e., the likelihood that a lost wallet is returned) and tolerance is simply elicited by asking whether the respondent can trust people of the same ethnicity and whether worship place for people of a different religion is acceptable. one important aspect of the literature is regarding how ethnic diversity is measured, where most of the literature uses fractionalization and polarisation as proxies. ethnic fractionalization refers to the probability of two strangers belonging to different ethnic groups, whereas ethnic polarization shows how divided or polarized the society is. in the simplest formulas used to construct these variables, most authors use population data by ethnic group, assuming that one ethnic group is distinct from another group. consequently, such formulas ignore the possibility of two ethnic groups that are similar, but categorically different. accordingly, researchers have begun to find a better approximation for ethnic diversity that could accommodate such a possibility and found the answer by using linguistic similarity (desmet et al., 2009; esteban & ray, 2011). the implication of using such measures of ethnic diversity is vast, especially in countries like indonesia, where, arguably, the different ethnic groups may be similar if they reside nearby. the literature on social capital can be categorized into two in their construction of the variable that is either using survey or experiment. the latter is often used to establish causality using a small sample (e.g., chuah et al., 2013; chen & sriphon, 2022), and typically utilizes the trust game (berg et al., 1995). however, due to the cost of conducting proper economic experiments and the relatively low generalizability of the results, most studies on social capital rely on the survey method. most cross-country studies use survey methods taken from the world values survey and the gallup world poll, but national surveys are also very common as used in studies on indonesia cited above. this study is unique as it extends mavridis (2015) in three regards. first, instead of using ifls that only covers around half of the total districts, we use data from a national survey to provide a better representation of indonesia. second, this study weighs ethnic diversity with ethnic similarities using an objective measure from ethnologue. this is important as sanjaya new evidence on ethnic diversity and social capital in indonesia jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2022 | 38 there are gradations of ethnic differences: some ethnic groups are ethno-linguistically close to each other (e.g., minang & malay), while others are distant (e.g., javanese & dani in papua). third, this study provides a causal identification using an instrumental variable regression method. research method this study uses the 2009 national socioeconomic survey (susenas) to measure trust and tolerance in indonesia. the 2009 susenas was gathered by the statistics indonesia (badan pusat statistik) and is representative of indonesia as it covers all districts of the country. the social capital module of the survey was not conducted every year and 2009 was the closest year to the 2010 census that provides the data for ethnic diversity. we also use the same survey to obtain individual and household characteristics used as controls in the regressions. the susenas survey asked 291,532 individuals whether they trusted their neighbors, village figures, government, and village apparatus. therefore, the survey reflects respondents' direct, particularized trust with their neighborhood rather than a generalized trust which measures respondents’ belief over a stranger. this study calculates trust as the mean response to these questions. similarly, the tolerance questions were also particularized, i.e., whether they were content with having neighbors of different ethnicity or religion, and their opinion regarding a hypothetical plan of building a worship place of different religions in the neighborhood. this study uses two distributional measures, fractionalization and polarization, as proxies for ethnic diversity. specifically, ethnolinguistic grouping is used as an appropriate proxy for ethnicity in indonesia (mancini, 2008) which helps estimate linguistic similarities. ethnolinguistic groupings were based on the language spoken at home from the 2010 census (minnesota population center, 2015), which was matched with linguistic similarities calculated from ethnologue’s website (simons & fennig, 2017). ipumsinternational sampled (geographically stratified and systematic) the original census data with an expansion factor of 10. as of the writing of this article, ipums-international has only the 2010 population census as the latest available data. for each district, this study calculates the greenberg-gini index (ethnolinguistic fractionalization weighted by inter-group distance dmn) (esteban & ray, 2011) as: 𝐺 = ∑ ∑ 𝑠𝑚𝑠𝑛𝑑𝑚𝑛 𝑁 𝑛=1 𝑁 𝑚=1 . here sm and sn are the share of group m and n, respectively. thus, 0