ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 203 KEDUDUKAN DISSENTING OPINION DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor:04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) Oleh Dewi Ratnasari Rustam Mahasiswa Pascasarjana Magister HukumUniversitas Airlangga ABSTRACT Dissenting opinion is the difference of opinion between the Tribunal judges who handle certain a matter with other judges of the Tribunal dealing with certain cases. Dissenting opinion does not have the force of law because it cannot be the Foundation for the inception of the award. Dissenting opinion itself is an aspect of the law that need to be examined in order to prevent the formation of false opinion among the public. So, nowadays have started to formed the perception that dissenting opinion was an engineering law, instead of enforcing the rule of law but rather media that gave the opportunity for the defendant in corruption regardless of criminal trapping; but on the other hand is a form of difference of opinion and the independence of the judges as the metre is guaranteed by the provisions of the law; that the importance of dissenting opinion in the Court ruling was the judge's opinion be weighted, in an attempt of law appeal or cassation; as an indicator to determine the career judge, as an attempt to avoid the practice of corruption, Collusion and Nepotism (KKN) and the judicial mafia; as a real step towards the transparency of judicial democratization; the judiciary; and kemandiarian the judge require the freedom of speech. Keywords: Dissenting Opinion, The Crime Of Corruption A. PENDAHULUAN Negara Indonesia dikonsepsikan secara tegas sebagai negara hukum, di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan; menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hukum sebagai sebagai dasar pemerintah untuk menjalankan pemerintahan dan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan. Kepentingan individu, masyarakat dan negara terus berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan modernisasi dan globalisasi. Perubahan masyarakat yang dinamis ini perlu diatur di dalam hukum. Proses pembuatan hukum harus mendasarkan pada nilai-nilai atau jiwa bangsa, sehingga tidak bisa langsung diterima konsep hukum yang berasal dari luar. Jati diri bangsa inilah yang merupakan filter masuknya nilai-nilai dari bangsa lain (Teguh Prasetyo: 2010). Sebagai suatu negara hukum, sudah selayaknya prinsip-prinsip dari suatu negara hukum harus dihormati dan dijunjung tinggi. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 204 merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman, hal tersebut telah diatur secara konstitusional dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945, dengan tegas disebutkan bahwa „Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.“ Sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah Tap MPR Nomor III/MPR/1978, Pasal 11 ayat (1) menyebutkan „Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah“. Bila ditelusuri lebih lanjut, tentang kekuasan kehakiman yang merdeka dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, ditegaskan kembali dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia“. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memuat keterangan lebih yang tegas tentang adanya kemerdekaan badan-badan peradilan. Dikatakan bahwa, „kekuasaan kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945“. Kedudukan kekuasaan kehakiman seperti terurai di atas, juga berlaku terhadap Mahkamah Agung. Hal itu diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang berbunyi sebagai „Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 205 dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya“. Uraian di atas menunjukkan bahwa baik secara konstitusional maupun berdasarkan hukum positif yang berlaku, terdapat jaminan yang kuat terhadap kedudukan kekuasaan kehakiman pada umumnya dan Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Seiring dengan perkembangan zaman, di mana muncul banyak kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutus perkara maka di Indonesia diterapkan juga dissenting opinion tersebut. Selain itu penerapan dissenting opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan baru bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif. Di Indonesia istilah dissenting opinion mulai mencuat dikarenakan kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam revisi undang-undang kekuasaan kehakiman adalah ketentuan pengaturan lembaga perbedaan pendapat yang sangat berlainan dengan ketentuan dalam perundangan sebelumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Ketentuan ini selanajutnya menyebutkan bahwa jika dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan juga diatur telah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Selanjutnya pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Dalam hal musyawarah tentang putusan yang akan dijatuhkan, ada beberapa pilihan:(1) mereka sepakat untuk menjatuhkan putusan; (2) apabila musyawarah tidak disepakati, maka dilakukan voting; dan (3) ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 206 juga harus dimuat dalam pertimbangan putusan, pendapat dari hakim yang tidak sependapat disebut dissenting opinion (Eman Ramelan:2010). Namun demikian, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada lembaga- lembaga yudikatif, khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi :(1) Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman dissenting opinion terpisah dari putusan; (2) Pada Mahkamah Konstitusi, dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Sehubungan dengan penjatuhan putusan hakim yang berkaitan dengan dissenting opinion yang sering menjadi perdebatan para hakim adalah masalah korupsi. Achmad Zainuri (2017: 15) mengungkapkan bahwa korupsi di negeri ini telah merambah di semua lini bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki kawasan yang sudah dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, tetapi juga menyusuri lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa di sana ada korupsi. Demikian juga Marwan Effendy (2007: 1), mengungkapkan bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya semakin ditindas makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini tampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extra ordinary crime, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. Berkaiatan dengan penerapan dissenting opinion dalam penjatuhan putusan perkara dalam tindak pidana korupsi, yang mengadili terdakwa Dr. H. Buhari Matta,S.E.M.Si. selaku Bupati Kolaka, telah terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 (1) ke-1 KUHP. Selain itu Jaksa Penuntut Umum menerapkan dakwaan berlapis dengan menerapkan dakwaan Subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 207 Berdasarkan kasus posisi yang telah diajukan, Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya antara lain; menuntut agar hakim yang memeriksa dan mengadili perkara memutus dengan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan membayar denda sebesar Rp 500.000.000, (lima ratus juta rupiah). Di pihak lain, Penasihat hukum terdakwa dalam Pleidoinya mengajukan agar terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah dan membebaskan terdakwa dari seluruh surat dakwaan. Selanjutnya, Judex factie dalam ratio decidendinya, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan menetapkan bahwa terdakwa telah terbukti secarah sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer, dan menjatuhkan terdakwa dengan pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Berkaitan dengan uraian pendahuluan di atas, maka tulisan ini difokuskan untuk mengkaji penjatuhan putusan hakim di mana terjadi dissenting opinion para hakim, hakim anggota 2 berbeda pendapat dengan dua orang hakim lainnya, maka isu hukum dan permasalahan yang perlu dikemukakan adalah (1) Apakah dissenting opinion mempunyai kekuatan mengikat (legal binding) dalam penjatuhan putusan hakim, dan (2) Apakah dissenting opinion dapat digunakan dalam penjatuhan Putusan Pengadilan. Jenis penelitian ini adalah normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. B. PEMBAHASAN 1. Konsep Dasar Dissenting Opinion Dalam Blacks Law Dictionary“.explisicit disagreement of one or more judges of a with the decicion passed by the majority upon a case before them…”(Didik Endro Purwoleksono, 2010: 13)Historisnya, lembaga perbedaan pendapat (dissenting opinion) terutama dianut di negara- negara Anglosaxson yang menggunakan common law system, dan dapat dikatakan merupakan konsekuensi dari dianutnya system common law itu di negara-negara tersebut. Di negara-negara yang menganut sistem hukum ini, hakim sebagai pelaksana hukum, ia juga pembentuk hukum (judge made law). Peranan hakim (pengadilan) sangat penting dalam pembentukan hukum, karena dalam system ini prinsipnya yaitu common law adalah “the law that develops and derives thtough judicial decision” (Black Henry Campbell, 2011: 73). Pada hakekatnya dissenting opinion adalah merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara majelis hakim yang menangani suatu perkara tertentu dengan majelis hakim lainnya yang ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 208 menangani kasus tertentu lainya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara berjumlah tiga orang, dari ketiga orang hakim majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda den gan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia. 2. Konsep Pemidanaan Secara dogmatis (Dwidja Priyatno, 2006: 45) dapat dikatakan bahwa di dalam hukum pidana terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu (1) perbuatan yang dilarang, (2) orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; dan (3) pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu (1) sifat melawan hukum; (2) kesalahan dan (3) pidana. Ciri khas hukum pidana, yang membedakan dengan hukum yang lain ialah adanya sanksi yang berupa pidana. Pidana itu sendiri dari pelbagai pandangan para pakar merupakan suatu nespatapa, derita, ketidakenakan, ketidaknyamanan, pengekangan hak-hak seseorang, yang dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Hukum pidana sengaja memberikan penderitaan dalam mempertahankan yang diakui dalam hukum (Didik Endro Purwoleksono, 2010: 13). Lebih lanjut ditegaskan (Didik Endro Purwoleksono, 2010: 22), bahwa fungsi hukum pidana itu sendiri adalah melindungi kepentingan hukum, baik kepentingan hukum orang, warga masyarakat maupun negara dari rongrongan atau pelanggaran atau perkosaan oleh siapapun. Disisi lain, fungsi hukum pidana melalui pengaturan sanksi pidana dalam undang-undang ada dua fungsi yaitu (1) ultimum remedium yang diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir dan (2) primum remedium yang diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi yang utama. Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana. Apabila proses peradilan pidana yang berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai dengan asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik, tetapi apabila sebaliknya tentu saja dinilai sebaliknya pula bahkan dapat di cap sebagai kemerosotan kewibawaan hukum. Walaupun undang-undang ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 209 mengatur persamaan semua orang dihadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan undang-undang itu pula terdapat pengecualian, yaitu tiada undang-undang tanpa pengecualian. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan berdasarkan teori- teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan yang dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer, (2005:10) menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif dan pandangan utilitarian. Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat dan kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan dipihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan. Muladi, membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi tiga kelompok yakni: 1) teori absolut; 2) teori teleologis; dan 3) teori retributif teleologis. Sedangkan Bambang Poernomo dan van Bemmelen juga menyatakan ada tiga teori pemidanaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan (Bambang Poernomo, 1986: 27). Demikian juga Widodo (2009:70) mengemukakan tiga macam teori tujuan pemidanaan yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Teori tersebut mengkaji tentang alasan penjatuhan pidana. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 210 Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Berdasarkan teori tersebut muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku, maupun pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Teori relatif berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif untuk melindung masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang). Teori retributif teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsi-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini juga sering dikenal sebagai teori integratif atau juga teori paduan. Teori ini bercorak ganda, di mana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian di mana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi y ang semuanya dilihat sebagai sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: a) pencegahan umum dan khusus; b) perlindungan masyarakat; c) memelihara solidaritas masyarakat; dan d) pengimbalan/ pengimbangan. Perkembangan teori pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970an telah terdengar tekanan- tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa gais-garis pedoman (Sholehuddin, 2003:61). Lebih lanjut dikemukan bahwa terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Se Situs Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 211 disert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just disert model menganggap bahwa pelanggar akan diniliai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan- kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Memperhatikan beberapa teori klasik tentang tujuan pemidanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh para pakar, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana lebih banyak ditujukan untuk “kepentingan” pelaku. Dengan kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, sedangkan kepentingan korban sama sekali diabaikan. 3. Konsep Tindak Pidana Korupsi Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi memang akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat. Berbagai definisi yang menjelaskan dan menjabarkan makna korupsi dapat ditemukan, dengan penekanan pada studi masing-masing individu makna korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang memaknai korupsi, namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan harus diberantas. Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio atau Corruptus” yang berarti kebobrokan atau kerusakan. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “Coruption”, dalam bahasa Belanda “corruptie” dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum. Demikian juga dalam Transparensy International mendefinisikan korupsi sebagai “menyalagunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi (Sukardi, 2009: 69). ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 212 Selanjutnya kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 4. Putusan Pengadilan TIPIKOR Nomor: 04/Pid.Tipikor/2013/PN.Kdi. Isi Putusan : 1) Menyatakan terdakwa Dr. H. Buhari Matta, SE.,M.Sitelah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana “korupsi secara bersama”. 2) Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Dr. H. Buhari Matta, SE.,M.SI; dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; Isi Perbedaan Pendapat (Dissenting Opinion) Pendapat Hakim Anggota 2 (dua) Kusdarwanto S.E.,S.H.,M.H yang melakukan dissenting opinion terhadap perkara Nomor 04/Pid.Tipikor/2013/ PN.Kdi, yang berpendapat bahwa “Barang yang berupa Kadar Nikel Rendah disebut juga ora nikel atau pun low grade saprolite (LGS) sebanyak 222.000 WMT (dua ratus dua puluh ribu Weight Metrich Ton) yang terletak di Blok Pomalaa PT. Inco, Tbk dan telah diserahterimakan oleh PT. Inco, Tbk, kepada Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kolaka berupa Hak Pengolaan dan Pemanfaatannya pada Tanggal 25 Juni 2010; adalah bukan merupakan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka, dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) bahwa sesuai fakta dipersidangan dan berdasarkan keterangan saksi-saksi Clayton Allen Weans SH (Presiden Direktur PT.Tbk) Edi Permadi (Direktur Eksternal Relation PT. Inco,Tbk non akta) dan Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager Pt. Inco, Tbk) yang pada pokoknya menyatakan PT. Inco Tbk. adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan berupa PMA (Penanaman Modal Asing) di mana saham terbesarnya dimiliki oleh Vale dari Negara Brasil; 2) bahwa sesuai fakta di persidangan dan berdasarkan keterangan-keterangan saksi-saksi Clayton Allen Weans SH (Presiden Direktur PT.Tbk) Edi Permadi (Direktur Eksternal Relation PT. Inco,Tbk non akta) dan Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager Pt. Inco, Tbk) yang pada pokoknya menerangkan PT. Inco Tbk. berinvestasi di bidang pertambangan di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya antara PT. Inco, Tbk. dengan Pemerintah Republik ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 213 Indonesia dan bekerjasama dengan PT. Antam sebagai supliyer Nikel Mate dengan kadar diatas 2 % (dua persen); 3) bahwa sesuai fakta di persidangan berdasarkan keterangan-keterangan saksi-saksi Clayton Allen Wenas, SH (Presiden Direktur PT.Inco,Tbk), Edi Permadi (Direktur Eksternal Relation PT.Inco, Tbk non akta) Ir. Ishak Nurdin, M.si (Kabid Pertambangan Umum Kabupaten Kolaka), yang pada pokoknya menerangkan, ore nikel adalah merupakan sisa hasil produksi dari PT. Inco, Tbk. yang kadarnya di bawah yang disyaratkan oleh PT. Antam yang menumpuk di stockfile PT. Inco, Tbk dan sudah ada sejak lama; 4) bahwa sesuai Kontrak antara PT. Inco Tbk. dengan Pemeritah RI pembayaran Royalti untuk produk Nikel mate sudah dibayar lunas, sedangkan untuk bayaran royalty produk ora nikel tidak diatur dalam Kontrak Karya. Hal ini sesuai dengan keterangan Clayton Allaen Wenas, S.H. (Presiden Direktur PT.Inco,Tbk), Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager PT.Inco, Tbk); 5) bahwa sesuai fakta dipersidangan dan berdasarkan keterangan saksi-saksi Clayton Allaen Wenas, SH (Presiden Direktur PT.Inco,Tbk), Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager PT.Inco, Tbk) yang pada pokoknya menerangkan yang membayar Royalty ore Nikel adalah PT KMI untuk dan atas nama PT. Inco, Tbk. karena ora Nikel adalah PT. Inco, Tbk; 6) bahwa menurut Surat Menteri ESDM No. 5824/30/SJH/2009 tanggal 21 Desember 2009, pada pokoknya menerangkan royalty harus dibayar terlebih dahulu sebelum pengapalan dan kalau belum dibayar royaltynya maka ora nikel adalah milik negara, sedangkan Menurut Surat Edaran Menteri ESDM No. 32.E/35/DJB/2009 tangal 13 Oktober 2009 angka 2 (dua) pada pokoknya menjelaskan royalty yang dibayar 1 bulan setelah pengapalan dan titik jual sebagai dasar perhitungan iuran produksi harus dilakukan di atas kapal pengangkut/free on board (FOB) sehingga terdapat peraturan yang berbeda tentang pembayaran royalty, hal ini sesuai dengan keterangan Ir Hakku Wahab, selaku Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prov.Sultra; selanjutnya berdasarkan keterangan saksi-saksi Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager PT.Inco, Tbk) , Ahmad Syafei (Asisten 2 Bidang Ekonomi Pemkab Kolaka) yang pada pokoknya menyatakan bahwa royalty baru dibayar setelah ora nikel dijual ; Hakim dalam pertimbangannya mengacu pada keterangan saksi Clayton Allen Wenas (Presiden Direktur PT. Inco, Tbk) dan Ir. Hakku Wahab (Kepala Dinas Energi dan Sumber ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 214 Daya Mineral Dinas Prov.Sultra) pada pokoknya menerangkan untuk membayar Royalty garus diketahui volumenya, kadarnya atau nilainya. Menimbang, bahwa oleh karena nilai royalty ini harus pasti maka untuk dapat membayar royalty ini ore nikel ini harus diketahui kadar, volume dan harga jualnya. Sehingga menurut anggota majelis 2 (du), ore nikel ini baru dapat dibayar setelah dikapalkan dengan demikian penjual dan pembeli dapat mengetahui terlebih dahulu tentang kadar, volume dan harga ore nikel yang dikapalkan dan pembayaran royalty tidak akan keliru; 7) bahwa sesuai fakta dipersidangan dan berdasarkan keterangan saksi-saksi Clayton Allaen Wenas, SH (Presiden Direktur PT. Inco,Tbk), Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager PT. Inco, Tbk), Edi Permadi (Direktur Eksternal Relation PT. Inco, Tbk non akta) menjelaskan bahwa ore nikel ini kalau tidak dimanfaatkan pihak lain maka akan ditanam kembali (direklamasi) oleh PT. Inco, Tbk. kalau tidak ditanam kembali atau direklamasi maka ora nikel itu kalau kena air akan menjadi asam tambang dan dapat mencemari lingkungan; Menimbang, bahwa dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ore nikel atau nikel kadar rendah adalah merupakan salah satu hasil produksi tambang PT. Inco Tbk, yang mempunyai kadar dibawah yang telah ditentukan oleh PT. Antam, sehingga tidak dapat dikelola dan tidak dapat dimanfaatkan oleh PT, Inco Tbk, karena ore nikel ini hanyalah berupa sisa-sisa nikel yang ditumpuk di stock file PT .Inco, Tbk dan bukan tambang nikel yang posisinya masih berada di dalam perut bumi di mana untuk mendapatkan hasil tambang tersebut harus melalui proses penggalian terlebih dahulu; 8) bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 92 menyatakan : Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau Batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau Iuran Produksi, Kecuali mineral ikutan radioaktiv, dimana PT. Inco sudah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi. Menimbang, bahwa dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ore nikel itu adalah milik PT.Inco, Tbk, hal ini diperkuat dengan keterangan saksi-saksi Clayton Allaen Wenas, SH (Presiden Direktur PT. Inco,Tbk),Kuyung Jaya Andrawinata (General Manager PT. Inco, Tbk), Edi Permadi (Direktur Eksternal Relation PT. Inco, Tbk non akta). ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 215 bahwa PT.Inco, Tbk. melakukan serah terima ore nikel yang ditandatangani oleh presiden direktur PT. Inco, Tbk kepada Dr.H. Buhari Matta SE.,M.SI selaku Bupati Kolaka berupa pengeolaan dan pemanfaatan ore Nikel berdasarkan Surat Naskah Serah Terima Pengelolaan dan Pemanfaatan Nikel Rendah di Block Pomalaa PT. Inco Tbk, sebanyak 222.000 Wmt (dua ratus dua puluh dua ribu weight metric ton) dimana pada angka 5 disebutkan “penyerahan ini adalah bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR) pihak pertama (PT.Inco Tbk)”. Hal ini bersesuaian dengan keterangan Pertimbangan Hakim: Menelaah pertimbangan hakimdalam perkara korupsi sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat diketahui dissenting opinion dalam perkara tindak pidana korupsi terdakwaDr. Buhari Matta,S.E.,M.Si. tidak mempunyai kekuatan mengikat (legal binding) dalam penjatuhan putusan hakim terhadap Putusan Pengadilan TIPIKOR Pada Pengadilan Negeri Klas IA Kendari Nomor: 04/Pid.Tipikor/2013/PN.Kdi. Berangkat dari pemahaman yang sederhana, penulis mencoba melakukan reposisi terhadap persepsi masyarakat tentang eksistensi dissenting opinion dalam skema hukum nasional. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari pemikiran konstruktif yang disalah artikan sebagai sarana penggelapan hukum dan menjadikan suatu preseden buruk dalam kerangka sistem peradilan Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa istilah dissenting opinion mencuat disebabkan kasus-kasus korupsi yang ditangani Mahkamah Agung. Pada hal sebenarnya dissenting opinion tidak harus didominasi oleh lingkup hukum pidana semata. Hal ini dikarenakan setiap manusia tidak luput dari silang pendapat. Bidang ilmu hukum menyikapi hal silang pendapat sebagai suatu keadaan yang wajar dikarenakan suatu perbedaan dipandang sebagai suatu kultur yang telah memasyarakat. Perbedaan lazimnya dikarenakan pandangan, kepentingan, kehendak ataupun rasa keadilan, yang tidak jarang seseorang atau suatu institusi memperjuangkan apa yang diyakininya secara maksimal. Hukum menjembatani upaya-upaya perbedaan pendapat tersebut dengan maksud dan tujuan agar tidak tercipta deadlock, karena dikhawatirkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Berbagai kasus-kasus pidana (korupsi) yang sampai pada tingkat Mahkamah Agung, perbandingan antara yang dapat dipidana dengan yang tidak dapat dipidana merupakan ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 216 pemandangan yang masih memprihatinkan. Para koruptor yang jelas-jelas merugikan negara tetap dapat menikmati kehidupan layaknya orang yang tidak memiliki kesalahan apapun. C. PENUTUP Berdasarkan bahasan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai satu kesatuan pemikiran sebagai berikut: 1. bahwa dissenting opinion tidak mempunyai kekuatan mengikat karena tidak menjadi landasan bagi lahirnya putusan. Dissenting opinion itu sendiri merupakan aspek hukum yang perlu ditelaah guna mencegah terbentuknya opini yang keliru di kalangan masyarakat. Hal tersebut, dewasa ini sudah mulai terbentuk persepsi bahwa dissenting opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukannya menegakkan supremasi hukum tetapi malah media yang memberi kesempatan bagi para terdakwa korupsi terlepas dari jeratan pidana; namun disisi lain perbedaan pendapat merupakan suatu bentuk dan para meter kemandirian hakim sebagaimana yang dijamin oleh ketentuan undang-undang; 2. bahwa pentingnya dissenting opinion dalam putusan pengadilan adalah dapat diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi; sebagai indikator untuk menentukan jenjang karir hakim, sebagai upaya untuk mencegah praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan mafia peradilan; sebagai langkah nyata demokratisasi peradilan; menuju transparansi peradilan; dan kemandiarian hakim memerlukan kebebasan berpendapat. Daftar Pustaka Abidin, Zainal, et al, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Elsam 2005 Adi, Kusno, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009 Effendy, Marwan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti Korupsi Bagi Jurnalis, Surabaya, 2007 Krisnawati, Dani, dkk, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Purwoleksono, Didik Endro, Kebijakan Hukum Pidana, Program Magister Ilmu Hukum Unair, tnp, Surabaya, 2010 ISSN 2528-360X Volume 2 Nomor 2 April 2018 e-ISSN 2621-6159 Kedudukan Dissenting Opinion Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Analisis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor: 04/PID.TIPIKOR/2013/PN.KDI) I Dewi Ratnasari Rustam Page 217 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty Yogyakarta, 1986 Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010 Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara DiIndonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006 Ramelan, Eman, Sistem Peradilan Indonesia, tnp., Surabaya, 2010 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 Sukardi, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, Restu Agung, Jakarta, 2009 Wijayanta, Tata. dan Hery Firmansyah, Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011 Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial Dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009