NERS Vol 10 No 2 Okt 2015.indd 222 TERAPI INDIVIDU REMINISCENCE MENURUNKAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL (Individual Reminiscence Therapy can Decrease Depression Level on Elderly at Social Homes) Laili Nur Hidayati*, Mustikasari*, Yossie Susanti Eka Putri* *Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok Kampus UI Depok, Jawa Barat 16424 Email: laili.ln36@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan: Penuaan adalah proses alami yang dialami oleh semua manusia. Perkembangan psikososial lansia ada pada tahap peningkatan integrasi diri. Terapi individu reminiscence merupakan salah satu bentuk penatalaksanaan psikososial pada lansia dengan me-recall ingatan mengenai peristiwa hidup di masa lalu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi individu reminiscence terhadap tingkat depresi lansia yang tinggal di panti sosial. Metode: Penelitian berdesain quasi eksperimental pre-post test dengan kelompok kontrol. Sejumlah 60 lansia direkrut untuk menjadi responden, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan (31 orang) dan kontrol (29 orang). Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi individu reminiscence 5 sesi, yang diberikan pada kelompok perlakuan. Sementara, variabel dependennya adalah tingkat depresi lansia. Data dikumpulkan dengan GDS (Geriatric Depression Scale), dan dianalisis dengan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan level signifikansi α ≤ 0,05. Hasil: Setelah mendapatkan terapi individu reminiscence diketahui bahwa kelompok perlakuan mengalami penurunan tingkat depresi yang signifikan, dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0,008). Diskusi: Terapi individu reminiscence bermanfaat untuk mengatasi depresi pada lansia. Perawat dapat mengetahui kepribadian dari masing-masing lansia untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan pada lansia tersebut. Kata kunci: terapi individu reminiscence, depresi, lansia ABSTRACT Introduction: Aging is a natural process in oldest old. The psychosocial development of the elderly to enhance self- integration. Reminiscence therapy is one of psychosocial treatment for elderly using memory recall of one’s life event in the past. The purpose of this study was to determine the effect of individual reminiscence therapy on depression among elderly in the social homes. Methods: The study design was used Quasy-Eksperiment Pre-Post Test with Control Group. A total of 60 elderly people were recruited in this study and assigned into two groups, 31 participants in the intervention group and 29 participants in the control group. Independent variable was reminiscence therapy five sessions, which given to the intervention group. While, dependent variable was the level of depression on elderly. Data were collected by using GDS, then analyzed by using Wilcoxon and Mann-Whitney statistical test with level of significance α ≤ 0.05. Results: After providing individual reminiscence therapy, the intervention group showed a significant decrease in depression as compared to those in the control group was found (p = 0.008). Discussions: The individual reminiscence therapy is useful to overcome depression among elderly. The nurse can know the personality of each elderly so as to improve the quality of nursing care for elderly Keywords: individual reminiscence therapy, depression, elderly PENDAHULUAN Populasi lanjut usia (berumur 65 tahun atau lebih) secara global meningkat dari 9,2% pada tahun 1990 menjadi 11,7% pada tahun 2013 dan akan terus meningkat proporsinya pada populasi di dunia mencapai 21,1% di tahun 2050 (United Nations, 2013). Penduduk lansia paling banyak unt uk tahun 2012 adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%) kemudian Jawa Tengah (10,34%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Peningkatan jumlah ini akan membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik pada diri yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat. Pengkajian keperawatan pada pasien geropsikiatri sangat kompleks, mencakup permasalahan pada biologi, psikologi, dan fak tor sosiok ult u ral yang berhubu ngan dengan proses penuaan (St uar t, 2013). Ketidakseimbangan kimiawi otak seperti norephinephrine, serotonin dan dopamin dapat juga menyebabkan depresi mayor (National Alliance on Mental Illness, 2009). 223 Terapi Individu Reminiscence Menurunkan Tingkat Depresi (Laili Nur Hidayati, dkk.) Prevalensi gangguan depresi pada populasi lansia di dunia bervariasi rentang 10 –20% tergant ung dari sit uasi budaya setempat. Perbandingan terjadinya depresi pada lansia bervariasi dari berbagai benua di dunia dan benua Asia berada pada urutan tertinggi (Bar ua, Ghosh, Kar & Basilio, 2009). Insiden terjadinya depresi pada lansia dihubungkan dengan status kesehatan yang buruk. Prevalensi terjadinya depresi cukup tinggi pada lansia yang tinggal di luar rumah, mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah, rumah sakit, panti sosial atau setting perawatan lainnya. Intervensi psikoterapi pada lansia secara individu dan kelompok keduanya memberikan manfaat yang positif untuk mengatasi depresi. Psikoterapi adalah pilihan penanganan yang utama unt u k mer ingan kan depresi dan cemas pada lansia (Laidlaw, 2013). Menurut Poor neselvan dan Steefel (2014) dalam hasil penelitiannya bahwa terapi individu Reminiscence mampu menurunkan depresi dan harga diri rendah pada lansia yang tinggal di rumah perawatan. Reminiscence ber a r t i menga mbil kembali bagian dari masa lalu dan berfokus pada masa lalu tersebut untuk memperkaya kehidupan kita sehari-hari. Terapi ini dilakukan secara alamiah dan secara menyenangkan untuk melihat kembali kehidupan di masa lalu. Keuntungan yang diperoleh pada lansia dengan membagi pengalamannya di masa lalu akan mengurangi rasa kehilangan, terpisah jarak yang jauh dan keterbatasan fisik yang dialami lansia (Schweitzer & Bruce, 2008). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di panti sosial tresna werdha (PSTW) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemukan sebagian besar lansia yang tinggal di panti mengalami gejala depresi, sedangkan pelayanan kesehatan yang diberikan belum mengarah pada pemberian pelayanan untuk mengatasi permasalahan psikososial termasuk penanganan depresi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik unt uk meneliti tentang pengar uh terapi individu reminiscence terhadap depresi lansia di Panti Sosial. BAHAN DAN METODE D e s a i n p e nel it ia n me ng g u n a k a n quasi eksperimental sebelum dan sesudah tes dengan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan terapi generalis dan spesialis: reminiscence individu, sementara kelompok kontrol diberikan terapi generalis saja. Populasi penelitian ini lansia yang tinggal di PSTW Provinsi DIY. Metode sampling yang digunakan yaitu total sampling dengan beberapa kriteria inklusi. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 60 responden yang dibagi menjadi 31 responden pada kelompok intervensi dan 29 responden pada kelompok kontrol. Penelitian ini memperhatikan prinsip etik beneficience, respect for human dignity, justice dan sudah mendapatkan kajian lolos etik untuk mendapatkan kelayakan penelitian pada komite etik di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Variabel bebas penelitian yaitu terapi generalis dan terapi individu Reminiscence. Sementara variabel terikat dalam penelitian ini yaitu tingkat depresi lansia. Variabel perancu dalam penelitian ini yaitu karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pengalaman kerja masa lalu, lama masuk panti dan penyakit fisik yang dialami. Kondisi depresi lansia diukur dengan menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS) short form. Klasif ikasi kategori dibagi menjadi 4 kategori yaitu nilai 0 – 4 dikategorikan normal, nilai 5–8 dikategorikan depresi ringan, nilai 9–11 dikategorikan depresi sedang dan bila skor nilai 12–15 dikategorikan depresi berat (Brink & Yesavage, 1982 dalam Aikman & Oehlert, 2000; Greenberg, 2012). Hasil uji validitas GDS nilai r hitung berkisar 0,406–0,826 dan reliabilitas 0,895. Instrumen kuesioner C digunakan untuk mengukur harga diri responden dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Rosenberg (1965) yaitu Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Hasil uji validitas RSES nilai r hitung berkisar 0,457–0,764 dan reliabilitas 0,894. Analisis statistik dengan Wilcoxon digunakan untuk melihat perbedaan sebelum-sesudah masing-masing pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Sedangkan untuk 224 Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015: 222–232 mengetahui pengaruh terapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah intervensi dilakukan uji statistik dengan Mann Whitney dengan tingkat signifikansi α ≤ 0.05. HASIL Ka ra k ter ist i k la nsia berd asa rka n usia memiliki nilai median yang sama antara kelompok inter vensi dan kontrol yaitu 70 tahun. Pada kelompok intervensi rentang usia (60–86 tahun), sedangkan pada kelompok kontrol rentang usia (61-90 tahun). Karakteristik berdasarkan lama masuk panti pada kelompok intervensi nilai median yaitu 4 tahun dengan lama minimal menghuni panti selama 1 bulan dan terlama 17 tahun. Lama masuk panti pada kelompok kontrol memiliki nilai tengah 2 tahun dengan lama minimal 3 bulan dan terlama 12 tahun di panti. Karakteristik lansia yang menderita depresi di panti sosial proporsi kedua kelompok sama berdasarkan jenis kelamin lebi h d a r i sepa r u h perempu a n, st at us perkawinan sebagian besar duda/janda, berdasarkan pengalaman kerja lebih banyak pernah bekerja dan karakteristik berdasarkan kond isi kesehat a n lebi h d a r i se pa r u h mengalami penyakit fisik. Sedangkan untuk tingkat pendidikan pada kelompok intervensi proporsi yang paling banyak tidak sekolah dan SD dengan jumlah sama, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar tidak sekolah (lihat tabel 1). Analisis perubahan kondisi depresi p a d a k e l o m p o k k o n t r ol y a n g t i d a k mendapatkan terapi individu reminiscence, tetapi hanya mendapatkan terapi generalis saja menggunakan uji Wilcoxon menghasilkan p value sebesar 0,046 (lihat tabel 2). Tabel 1. Karakteristik responden Variabel Kategori Kelompok intervensi (n = 31) Kelompok kontrol (n = 29) p value n % n % Jenis kelamin Laki-laki 12 39 9 31 0,595 Perempuan 19 61 20 69 Tingkat pendidikan Tidak Sekolah 9 29 16 55 0,06 SD 9 29 8 27 SMP 5 16 0 0 SMU 6 19 5 18 Diploma 2 7 0 0 Status perkawinan Pasangan masih hidup 7 23 9 31 0,563 Duda/janda 24 77 20 69 Pengalaman kerja masa lalu Pernah bekerja 19 61 17 58 1,000 Tidak bekerja 12 39 12 42 Penyakit fi sik yang dialami Sakit fi sik 18 58 20 69 0,431 Sehat 13 42 9 31 Tabel 2. Perbedaan kondisi depresi pada lansia yang tidak mendapatkan terapi individu reminiscence Variabel n Median (min-maks) Mean ± SD p value Sebelum 29 7 (5 – 14) 7,24 ± 2,54 0,046 Sesudah 29 6 (4 – 13) 6,93 ± 2,04 225 Terapi Individu Reminiscence Menurunkan Tingkat Depresi (Laili Nur Hidayati, dkk.) Analisis perbedaan nilai median kondisi depresi sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dengan menggunakan uji Wilcoxon menghasilkan p value sebesar 0,008. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan kondisi depresi antara sebelum dan sesudah terapi individu reminiscence yaitu terjadi penurunan skor kondisi depresi (lihat tabel 3). Analisis statistik perbedaan perubahan kondisi depresi antara kelompok intervensi dan kontrol setelah selesai dilakukan terapi individu reminiscence dianalisis dengan uji nonparametrik Mann-Whitney. Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna kondisi depresi antara lansia yang mendapatkan dan tidak mendapatkan terapi individu reminiscence sesudah dilakukan terapi individu reminiscence pada kelompok intervensi dengan nilai p value (0,034) < α (0,05). Kesimpulannya pada α = 0,05 lansia yang mendapatkan terapi individu Reminiscence mengalami penurunan secara bermakna terhadap kondisi depresi yang dialami (lihat tabel 4). Kelompok intervensi terjadi penurunan skor depresi dengan diberikan terapi generalis sebesar 0,84 poin ditambah terapi spesialis individu Reminiscence penurunan sebesar 4,23 poin sehingga terjadi penurunan kondisi depresi sebesar 5,07. Sed ang kan pad a kelompok kontrol penurunan skor depresi pada pemberian terapi generalis pertama sebesar 0,17 dan pada akhir setelah kelompok inter vensi mendapatkan terapi individu Reminiscence penurunan sebesar 0,14 sehingga penurunan kondisi depresi hanya sebesar 0,31 (lihat gambar 1). PEMBAHASAN K a r a k t e r i s t i k u si a l a n si a y a n g mengalami depresi di PSTW Provinsi DIY yaitu 70 tahun. Miller (2015) menjelaskan bahwa dalam teori biologi dan genetik terjadinya depresi pada lansia, usia yang semakin menua berkaitan dengan atrofi volume otak yang dapat berkontribusi terjadinya late- life depression. Rentang usia dalam hasil penelitian ini melebihi usia harapan hidup di Indonesia yaitu pada tahun 2011 mencapai 69,65 tahun (Kemenkes RI, 2013). U s i a h a r a p a n h i d u p s e m a k i n meningkat dengan dipengar uhi semakin baiknya pelayanan kesehatan mengakibatkan seseorang mencapai usia tua. Hasil penelitian Keshavarzi, Ahmadi dan Lankarani (2015) Tabel 3. Perbedaan kondisi depresi pada lansia sebelum dan sesudah terapi individu reminiscence Variabel n Median (min-maks) Mean ± SD p value Sebelum 31 8 (5 – 12) 7,52 ± 1,98 0,008 Sesudah 31 2 (0 – 6) 2,45 ± 1,87 Tabel 4. Analisis perbedaan perubahan kondisi depresi antara lansia yang mendapatkan dan tidak mendapatkan terapi individu reminiscence Kelompok n Median(min-maks) Mean ± SD p value Intervensi 31 2 (0 – 6) 2,45 ± 1,87 0,034 Kontrol 29 6 (4 – 13) 6,93 ± 2,04 Gambar 1. Perbandingan penurunan rerata kondisi depresi antara lansia yang mendapat terapi generalis dengan lansia yang mendapat terapi generalis dan terapi individu reminiscence. 226 Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015: 222–232 menjelaskan bahwa prevalensi terjadinya depresi semakin meningkat pada usia lanjut dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih adekuat pada klien lansia. Penelitian Mack in et al (2015) bahwa late- onset depression atau depresi yang terjadi saat usia tua berpengaruh pada gangguan memori dan fungsi tubuh. Sebaliknya, penelitian Forlani et al (2014) prevalensi gejala depresi ringan akan menurun seiring dengan pertambahan usia dikarenakan adanya hambatan untuk mendeteksi depresi pada oldest old secara khusus karena seringkali adanya demensia atau gangguan kognitif. Hal ini didukung dengan Provinsi DIY memiliki jumlah lansia tertinggi sehingga menjadi tantangan ke depan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat untuk menjaga kesejahteraan lansia. K a r a k t e r ist i k la ma ma su k pa nt i diketahui pada kelompok intervensi rata- rata lansia tinggal lebih lama masuk di panti daripada kelompok kontrol. Townsend (2009) menjelaskan lansia secara pribadi lebih menyukai tinggal di rumah sendiri atau milik keluarganya. Pada penelitian ini alasan masuk ke panti sebagian besar karena keinginan sendiri dan kondisi ekonomi yang kurang. Selain itu, ada lansia yang memilih tinggal di panti dengan alasan agar lebih bisa lebih banyak waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Lansia dengan komitmen religius yang bagus mempunyai rasio yang rendah terjadinya bunuh diri, penyalahgunaan obat dan perceraian serta bermanfaat untuk kesehatan mental. Kondisi ini didukung penelit ia n ya ng d ila k u ka n Aly (2010) bahwa agama dan spiritualitas merupakan pengalaman mendasar seseorang yang akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari yang dijalani. Lansia yang semakin lama tinggal di panti dengan rutinitas kegiatan yang ada dan aktivitas sehari-hari yang terbatas, sering adanya ketidakcocokan antara lansia satu dengan yang lain membuat lansia menjadi tertekan dan berisiko mengalami depresi. Hal ini sejalan dengan penelitian Hoover et al (2010) semakin lama lansia tinggal di panti insiden terjadinya depresi semakin meningkat, didukung dengan semakin menurunnya kondisi fisik lansia karena proses penuaan dan juga adanya penyakit fisik yang dialami. Lansia semakin panjang usia semakin lama tinggal di panti menjadikan stresor yang lebih tinggi, sehingga perawat harus lebih memperhatikan kondisi lansia dan menggunakan komunikasi terapeutik dalam memberikan perawatan. La n sia ya ng me ngala m i de pre si dari hasil penelitian ini lebih dari separuh perempuan, namun memang dari populasi di panti baik pada kelompok intervensi maupun kontrol yang mendominasi adalah perempuan. Miller (2015) menyatakan bahwa jenis kelamin wanita merupakan salah satu faktor demografi yang berpengaruh terjadinya depresi pada lansia. Hal ini juga dipengaruhi perubahan biologik yang terjadi pada wanita yaitu lebih cepat daripada laki-laki untuk kehilangan massa otot ditambah dengan proses menopause membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis (Townsend, 2009). Fenomena ini sesuai dengan penjelasan Stuart (2013) bahwa pada wanita lebih berisiko 20–30% dibandingkan laki-laki untuk terjadi depresi mayor. Penelitian Misesa, Keliat dan Wardani (2013) di Kalimantan Selatan juga mayoritas wanita yang tinggal di panti sosial mengalami depresi, walaupun memang dari sekian banyak lansia yang tinggal di panti lebih banyak wanita. Penelitian Keshavarzi, Ahmadi dan Lankarani (2015) memaparkan bahwa 82% depresi pada lansia dialami oleh wanita. The National Alliance on Mental Illness (2009) juga mengemukakan bahwa wanita dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk menderita depresi yang serius dikarenakan faktor biologis dan perubahan hormon membuat wanita lebih rentan terkena depresi. Stres yang dialami akibat kehilangan pasangan atau anak juga berkontribusi tingginya depresi pada wanita. Karakteristik lansia berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini mayoritas tidak bersekolah. Klasif ikasi pendidikan menurut Badan Pusat Statistik (2015) bahwa pendidikan dasar dimulai dari Sekolah Dasar (SD)/sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat. Hasil penelitian ini banyak lansia yang pernah sekolah tetapi tidak sampai lulus di tingkat SD/sederajat termasuk Sekolah Rakyat (SR) sehingga diklasifikasikan tidak sekolah. Selain itu 227 Terapi Individu Reminiscence Menurunkan Tingkat Depresi (Laili Nur Hidayati, dkk.) untuk lansia yang berpendidikan tinggi hanya ada pada kelompok intervensi yaitu sebanyak 2 orang yang berpendidikan sampai diploma. Penelitian Zhou et al (2012) menyatakan bahwa sebagian besar lansia dengan depresi me mpu nyai t i ng k at p e nd id i k a n ya ng rendah. Pendidikan yang rendah dengan lingkungan sosial yang kurang mendukung sebagai sumber koping lansia berpengaruh terhadap mekanisme koping lansia saat menghadapi masalah. Hal ini sesuai dengan teori penuaan kontinuitas yang menjelaskan bahwa karakteristik strategi koping seseorang telah ada jauh sebelum seseorang menjadi t ua, sehingga kepribadian juga bersifat dinamis dan terus berkelanjutan. Tindakan yang bisa dilakukan untuk memprediksi bagaimana seseorang bisa menyesuaikan menjadi tua dengan memeriksa bagaimana orang tersebut mampu menyesuaikan dengan perubahan dalam kehidupannya (Miller, 2015). Stuart (2013) menyatakan pendidikan akan memengaruhi cara berpikir dan perilaku individu, seseorang dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti dan mudah menyelesaikan masalah. Ha si l r iset me nu nju k k a n ba hwa pendidi kan berkorelasi dengan su mber koping seseorang. Pendidikan yang rendah akan ber pengar uh pada pola pemikiran sebagai sumber koping dalam penyelesaian masalah yang terjadi dalam kehidupan. Lansia yang tinggal di panti dengan keterbatasan informasi yang diperoleh karena pengetahuan yang rendah, saat mengalami masalah kurang mampu membentuk strategi koping yang akan dipilih. Apabila penyelesaian masalah tidak dilakukan dengan baik maka dapat menimbulkan putus asa, tidak bersemangat, selalu berpikiran buruk terhadap diri sendiri yang pada akhir nya dapat menimbulkan depresi pada lansia tersebut. La n sia ya ng me ngala m i de pre si pada penelitian ini sebagian besar dengan status perkawinan duda/janda, baik yang ditinggalkan pasangan meninggal, perceraian maupun pasangan yang masih hidup namun tidak tinggal bersama lagi dikarenakan aturan agama yang tidak memperbolehkan untuk bercerai. Faktor yang memengaruhi kondisi status perkawinan duda/janda dikarenakan kematian, faktor ekonomi dan sudah tidak ada kecocokan lagi untuk hidup bersama. Kondisi ini didukung dengan hasil penelitian Abe et al (2012) bahwa prevalensi dan faktor risiko terjadinya depresi lansia bahwa lansia yang hidup sendirian lebih berisiko mengalami depresi. Pasangan yang belum lama meninggal membuat lansia masih dalam kondisi berduka dan kehilangan pasangan, serta harus hidup sendirian dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi pada lansia. Stuart (2013) menjelaskan bahwa semua orang dengan pengalaman depresi dan perpisahan mempunyai risiko u nt u k melak u kan tindakan bu nu h di r i sehingga pada semua lansia yang menderita depresi harus dikaji juga untuk bunuh diri. Qualls dan K night (2006) menjelaskan kehilangan pasangan dan kondisi lain yang terkait apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat berlanjut dalam kondisi depresi pada lansia. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Johnson, Zhang dan Prigerson (2008) bahwa gejala depresi seakan-akan tidak bisa hilang dikarenakan kematian pasangan yang sebelumnya sangat bergantung pada pasangannya tersebut. Lansia yang mengalami depresi pada penelitian ini sebagian besar pernah bekerja di masa lalu, walaupun pekerjaan yang dilakukan dengan penghasilan tidak tetap setiap bulannya. Pekerjaan yang per nah dilakukan beragam, sebagian besar sebagai buruh, petani dan wiraswasta serta ada juga beberapa sebagai pegawai negeri sipil. Kondisi lansia dari bekerja menjadi tidak bekerja lagi dapat berpengaruh timbulnya depresi. Hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu aktivitas yang menurun, perubahan lingkungan sosial dan penghasilan. Stresor bisa diawali saat mulai masa pensiun misalnya adanya tuntutan ekonomi sedangkan penghasilan menurun dan perubahan peran yang terjadi baik dalam keluarga maupun masyarakat. Hal ini bisa menimbulkan persepsi diri yang negatif yang semakin lama dapat berisiko terjadi depresi. Hasil ini sejalan penelitian yang dilakukan Keshavarzi, Ahmadi dan Lankarani 228 Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015: 222–232 (2015) bahwa depresi pada lansia banyak dialami lansia yang tidak bekerja. Townsend (2009) menjelaskan bahwa aktivitas yang ber t ujuan mer upakan hal yang penting unt u k mampu beradaptasi dengan baik agar mampu bertahan hidup. Selain itu juga mengungkapkan bahwa seseorang dengan ekonomi kurang yang bekerja sepanjang hidupnya dapat lebih miskin saat lansia, sedangkan lainnya menjadi miskin saat tua. Lansia dengan ekonomi menengah mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Stuart (2013) menjelaskan bahwa pada seseorang yang tidak memiliki penghasilan menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya depresi. Penghasilan ini sebagai dukungan secara finansial yang menggambarkan produktivitas lansia, dengan tidak adanya dukungan finansial menjadi beban psikis bagi orang dengan usia lanjut. Hasil penelitian ini sesuai penelitian Hua et al (2015) pada lansia yang tinggal di kota China menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan rendah dengan terjadinya depresi pada lansia. Penghasilan yang diperoleh tidak hanya digunakan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja akan tetapi juga sebagai cadangan pembiayaan kesehatan. Lansia dengan semakin bertambahnya usia maka fisik menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi sakit yang dialami disertai tidak adanya penghasilan membuat lansia menjadi putus asa dan menjadi beban secara psikologis lansia. Peneliti menyarankan kepada lansia yang tinggal di panti sosial agar tidak menjadikan beban dalam dirinya karena sudah tidak punya penghasilan lagi. Hal ini dikarenakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari sudah dapat terpenuhi dan pembiayaan kesehatan sudah ditanggung dari panti. Kondisi yang demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat depresi yang dialami lansia. Lansia yang tinggal di panti lebih dari separuh yang mengalami sakit fisik. Stuart (2013) menjelaskan bahwa insiden terjadinya depresi ditemukan sebagian besar pada pasien dengan penyakit fisik, dengan semakin berat penyakit fisik yang dialami maka tingkat depresi juga semakin tinggi. Depresi ini sebagian besar tidak disadari sehingga tidak mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan. Townsend (2009) juga mengungkapkan bahwa aktivitas yang biasa dilakukan akan terbatas dikarenakan adanya penyakit atau trauma seiring dengan meningkatnya usia. Lansia yang mengalami depresi banyak dikuasai perasaan sedih, menurunnya minat untuk beraktivitas, merasa tidak berguna dan tidak bahagia. Hal ini sesuai dengan tanda gejala inti yang muncul pada depresi yaitu anhedonia atau adanya penurunan minat atau kesenangan pada hampir semua aktivitas (Taylor, 2014). Depresi pada lansia semakin berkembang dikarenakan penyakit fisik dan atau disabilitas (kecacatan) yang terjadi pada lansia (Qualls & Knight, 2006). Kondisi medis yang dihubungkan dengan depresi meliputi diabetes, kanker, stroke, epilepsi, Parkinson, penyakit jantung, gagal ginjal kronik dan penyakit endokrin lainnya (Stuart, 2013). Penelitian Hoover et al (2010) pada lansia dengan perawatan yang cukup lama di rumah perawatan diperoleh hasil bahwa nyeri dan penyakit fisik lainnya mempunyai hubungan yang positif dengan munculnya depresi. Hal ini berarti penyakit fisik yang dialami di usia tua berisiko timbulnya depresi pada lansia. Menur ut hasil penelitian ini lansia yang menderita depresi di PSTW Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikategorikan depresi ringan. Nilai median pada kedua kelompok sebelum diberikan terapi hampir sama. Depresi merupakan salah satu gangguan alam perasaan (mood) yaitu adanya penurunan mood dengan ditandai adanya perasaan sedih, putus asa, kehilangan minat dalam beraktivitas, munculnya gejala pada gangguan fisik, nafsu makan berubah serta pola tidur juga berubah (Townsend, 2009). Depresi dapat dialami pada semua umur (Stuart, 2013) yang berbeda antara depresi pada lansia dengan usia dewasa. Depresi pada saat lansia dibedakan menjadi dua, yaitu early-life onset (depresi kambuh lagi di usia lanjut) dan late life onset (onset terjadinya depresi setelah lansia), dengan lebih tingginya tingkat kesakitan dan 229 Terapi Individu Reminiscence Menurunkan Tingkat Depresi (Laili Nur Hidayati, dkk.) kematian, kecacatan serta ketidaknormalan neu ropsi kolog i k d i hubu ng k a n de nga n penurunan fungsi pada lansia (Miller, 2015). Pe nu r u n a n skor de pr e si set ela h mendapatkan terapi individu Reminiscence dari 7,52 menjadi 2,45 poin yang dikategorikan dari depresi ringan menjadi normal. Menurut Gillies dan James (1994) menjelaskan bahwa terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu maupun kelompok dapat menjadi cara yang terbaik untuk membantu kesendirian pada lansia dengan meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi yang akan menurunkan gejala depresi yang dialami. Depresi pada lansia merupakan indikasi diberikannya terapi spesialis keperawatan jiwa sesuai penelitian Poor neselvan dan Steefel (2014) bahwa Reminiscence yang dilakukan secara individu dapat mengatasi depresi lansia yang tinggal di panti. Reminiscence berarti memotret kembali bagian kehidupan masa lalu dan berfokus pada diri sendiri untuk memperkaya kehidupan sehari-hari mereka (Schweitzer & Bruce, 2008). Permasalahan setiap individu yang berbeda sehingga mendukung bahwa dalam pelaksanaan terapi Reminiscence dilakukan secara individu sehingga bisa f leksibel menyesuaikan dengan kondisi yang dialami masing-masing lansia. Bender, Baucham, dan Norris (1998) mengemukakan bahwa kondisi fisik lansia yang semakin lemah membuat lansia membatasi diri untuk bergabung dalam sebuah kelompok bersama dengan klien lain sehingga diperlukan tindakan yang bersifat perorangan. La nsia ya ng mend apat ka n terapi Re m i n i s c e n c e s e c a r a i n d iv id u d a p a t m e n c e r i t a k a n p e n g a l a m a n n y a y a n g menyenangkan sehingga merasa nyaman dan senang karena pikirannya kembali lagi pada memori masa lalu yang menyenangkan. Kegiatan yang dilakukan secara individu ini sangat f leksibel menyesuaikan waktu dan tempat yang diinginkan lansia serta bisa bebas terbuka menceritakan apa yang dirasakan lansia karena hanya bersama terapis saja. Synder dan Lindquist (2002) dalam teorinya mengemukakan bahwa Reminiscence yang dilakukan secara individu bersifat informal dengan waktu yang menyesuaikan klien tidak harus terikat satu sama lain seperti dilakukan dalam kelompok. Terapi Reminiscence yang diberikan secara individu ditujukan untuk memulihkan kondisi depresi yang dialami lansia. Hasil penelitian yang dilakukan McReady (2010) dalam Hasson (2013) menunjukkan bahwa terapi yang dilak u kan secara individu maka aspek kemanusiaan (humanity) dapat terpenuhi dengan kedekatan secara langsung dan sentuhan yang diberikan. Penyembuhan secara emosional tidak akan tercapai dengan teknologi akan tetapi dengan pendekatan secara intim, adanya komunitas, seni, musik dan bermain peran. Selain itu juga Reminiscence yang dilakukan dengan individu menjadi jalan yang terbaik saat tidak siap untuk bergabung dengan kegiatan berkelompok (Schweitzer & Bruce, 2008). Pel a k s a n a a n p e nel it ia n m a si ng- masing sesi terapi individu Reminiscence yang dilakukan dikembangkan yaitu SolCos Reminiscence Model yang dimodifikasi oleh peneliti. Sesi terapi yang digunakan secara umum terdiri dari 5 sesi, mulai dari Sesi 1 Pendahuluan dan memori tentang keluarga; Sesi 2 Masa anak-anak; Sesi 3 Pekerjaan; Sesi 4 Berkeluarga dan mengasuh anak; dan Sesi 5 Evaluasi integritas diri. Per ubahan yang ber makna kondisi depresi yaitu terjadi perubahan yang lebih baik dengan menurunnya skor depresi sebesar 5,07 poin pada kelompok yang mendapatkan terapi individu Reminiscence. Pada kelompok kontrol yang tidak mendapat terapi individu Reminiscence penurunan skor depresi sebesar 0,31 poin. Penurunan secara bermakna kondisi depresi antara lansia yang mendapat terapi individu Reminiscence dibandingkan dengan lansia yang tidak mendapatkan terapi individu Reminiscence. Hasil penelitian ini juga membandingkan penurunan kondisi depresi dengan pemberian terapi generalis pada kelompok intervensi sebesar 0,84 dan kelompok kontrol 0,17. Penurunan kondisi depresi dengan pemberian terapi spesialis individu Reminiscence sebesar 4,23 dan kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi generalis sebesar 0,14. Selisih 230 Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015: 222–232 perbedaan skor depresi ini cukup signifikan, hal ini berarti pada lansia yang menderita depresi lebih efektif apabila diberikan terapi spesialis individu Reminiscence dibandingkan hanya terapi generalis saja. Lansia pada kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis penur unan kondisi depresinya tidak bermakna dengan kategor i masi h d ala m depresi r i nga n. Intervensi yang diberikan tidak secara khusus menangani depresi yang dialami akan tetapi pada respons yang muncul dari lansia tersebut yaitu diagnosa keperawatan harga diri rendah. Miller (2015) mengemukakan teorinya bahwa depresi yang muncul pada usia lansia (late life depression) dikaitkan dengan kumpulan gejala depresi yang dialami dan akan berpengaruh pada aktivitas serta kualitas hidup seseorang. Penelitian yang dilakukan Zhou et al (2012) dengan hasil bahwa terapi Reminiscence dapat menurunkan gejala depresi dan meningkatkan harga diri. Teori Maslow (1954, dalam Meiner & Lueckenotte, 2006) menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan internal yang akan memotivasi perilaku manusia. Motivasi setiap individu digambarkan sebagai suatu hirarki kebutuhan yang sangat penting untuk tumbuh dan berkembang sebagai partisipasi aktif dalam kehidupan unt uk mencapai aktualisasi diri. Tahap perkembangan terakhir yaitu integritas diri, tahap psikososial ini apabila tidak dapat tercapai dengan baik akan mengakibatkan depresi dan putus asa. Intervensi yang bisa diberikan pada lansia yang menderita depresi di panti sosial yaitu Reminiscence (Melillo & Houde, 2011). Terapi Reminiscence mudah dilakukan dan efisien untuk meningkatkan kapasitas adaptif dan ketahanan (resilience) pada lansia sebagai sumber koping menghadapi situasi buruk yang dialami serta dapat meningkatkan kualitas hidup lansia (Melendez, Foruna, Sales & Mayordomo, 2015). Penelitian lain yang dilakukan Gudex et al (2010) bahwa penggunaan terapi Reminiscence mempunyai efek jangka pendek pada depresi lansia sehingga perlu dilakukan secara teratur sebagai aktivitas sosial yang menyenangkan. Tindakan ini bisa dilakukan oleh perawat yang ada di panti sosial, sesuai dengan penelitian Chen, H. Li dan J. Li (2012) bahwa berdasarkan p e ngala m a n k l i n i k mela k u k a n t e r api Reminiscence, terapi ini dapat dilakukan oleh perawat yang sudah mendapatkan pelatihan terapi Reminiscence. Hal ini dikarenakan terapi ini tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi lansia. Perawat juga menjadi tahu lebih banyak kepribadian dari masing-masing lansia dengan berbagai macam pengalaman kehidupan masa lalu serta memberikan kesempatan berinteraksi dengan aktivitas yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan seni terapi Reminiscence yaitu SolCos Reminiscence Model yang dikembangkan oleh Soltys dan Coats (1994). Model yang dikembangkan dalam penelitian ini menyediakan kerangka ker ja unt u k membantu kegiatan Reminiscence tetapi juga mengekspresikan dan memperkaya pendekatan dari pemberi pelayanan kesehatan dalam berinteraksi (Soltys & Coats, 1995). Te r a pi s m e nja d i s e m a k i n m e m a h a m i biograf i kehidupan lansia sehingga akan dapat memberikan tindakan yang berfokus dari masing-masing pengalaman yang sudah dilalui. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terapi individu Reminiscence yang diberikan pada depresi lansia menurunkan kondisi depresi secara bermakna. Perbedaan penurunan kondisi depresi pada lansia yang mendapatkan terapi individu Reminiscence lebih besar secara bermakna dibandingkan lansia yang tidak mendapatkan terapi individu Reminiscence. Saran Terapi individu Reminiscence bisa diberikan pada setting rumah perawatan, panti sosial, rumah sakit dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada lansia. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui keefektifan terapi individu Reminiscence dengan menurunnya tanda dan gejala depresi dan meningkatnya kemampuan lansia. 231 Terapi Individu Reminiscence Menurunkan Tingkat Depresi (Laili Nur Hidayati, dkk.) KEPUSTAKAAN Aikman, G.G. & Oehlert, M.E. 2000. Geriatric Depression Scale: Long Form Versus Short Form. Clinical Gerontologist. Vol. 22(3/4) 2000 diakses dari http://www. public-health.uiowa.edu/icmha/outreach/ d o c u m e nt s /ge r i a t r ic d e p r e s sio n s c a le. pdf pada tanggal 20 Januari 2015 jam 03.20 Aly, H.A. 2010. Spirituality and Psychological Well-being in the Muslim Community: An Exploratory Study. Dissertation. Un ited St ates: U M I Disser t at ion Publishing Barua, A., Ghosh, M.K., Kar, N., & Basilio, M.A. 2011. Prevalence of Depressive Disorders in the Elderly. Ann Saudi Med 31(6): 620-624. Retrieved from http:/ www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC3221135/?report=reader diakses tanggal 19 Januari 2015 jam 14.00 Forlani, C., Morri, M., Ferrari, B., Dalmonte, E., Manchetti, M., Ronchi, D.D., Atti, A.R., 2014. Prevalence and Gender Differences in Late-Life Depression: A Population-Based Study. Am J Geriatry Psychiatr y.22:370-380. htt p://dx.doi. org/10.1016/j.jagp.2012.08.015 Hasson, J. D. 2013. Treatment of depression among the elderly: Impact on quality of life (Order No. 3564263). Available from ProQuest Dissertations & Theses Global. (1412671964). Retrieved from http://search.proquest.com/docview/ 1412671964?accountid=17242 Hoover, D. R., Siegel, M., Lucas, J., Kalay, E., Gaboda, D., Devanand, D. P., & Crystal, S. 2010. Depression in the fi rst year of stay for elderly long-term nursing home residents in the U.S.A. International Psychogeriatrics, 22(7), 1161-71. doi:http://dx.doi.org/10.1017/ S1041610210000578 Hua, Y., Wang, B., Wallen, G. R., Shao, P., Ni, C., & Hua, Q. 2015. Health- promoting lifestyles and depression in urban elderly chinese. PLoS One, 10(3) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal. pone.0117998 Johnson, J.G., Zhang, B., & Prigerson. H.G. 2008. Investigation of a Developmental Mo d el of R i s k fo r D e p r e s sio n and Suicidality following Spousal Be re ave me nt. S uicide a n d Life - Threathening Behavior. 38 (1), 1–12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Jendela Data dan Infor masi Kesehatan. Buletin ISSN 2088 – 270X Semester 1. Keshavarzi, S., Ahmadi, S. M., & Lankarani, K. B. 2015. The impact of depression and malnutrition on health-related qualit y of life among the elderly iranians. Global Journal of Health Science, 7(3), 161-170. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/ 1644455184?accountid=17242 Laidlaw, K. 2013. A defi cit in psychotherapeutic care for older people with depression and anxiety. Gerontology, 59 (6), 549–56. doi:http://dx.doi.org/10.1159/000351439 Mackin, R.S., Nelson, J.C., Delucchi, K.L., Raue, P.J., Satre, D.D., Kiosses, D.N., Alexopoulos, G.S & Arean, P.A. 2014. Association of Age at Depression Onset with Cognitive Functioning in Individuals with Late-Life Depression and Executive Dysf unction. Am J Geriatry Psychiatry.22:12 http://dx.doi. org/10.1016/j.jagp 2014.02.006 Miller, C.A., 2015. Nursing for Wellness in Older Adults. (7th ed.) China: Wolters Kluwer Health National Alliance on Mental Illness (NAMI). 2009. Depression in Older Persons Fact Sheet. diakses dari http://www.nami. org.1(800) 950-NAMI. Arlington diakses pada tanggal 19 Januari 2015 jam 4.56 Poorneselvan, C, & Steefel, L. 2014., The effect of individual reminiscence therapy on self-esteem and depression among institutionalized elderly in india. Creative Nursing, 20(3), 183-90. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/ 1551139677?accountid=17242 Schweitzer, P. & Bruce, E. 2008., Remembering Yesterday, Caring Today Reminiscence in Dementia Care A Guide to Good Practice. London: Jessica Kingsley Publishers Stuart, GW., 2013. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (10th ed.) Elsevier Mosby: Missouri Taylor, W.D. 2014. Depression i n the Elderly. The New England Journal of Medicine.371;13 d ia k ses pad a 232 Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015: 222–232 tanggal 2 Maret 2015 jam 10.00 dari http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/ NEJMcp1402180 Townsend, MC 2009. Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. (6th ed.) Philadelphia: Davis Plus Company United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, 2013. World Population Ageing 2013. ST/ESA/SER.A/348 diakses dari http:// w w w.u n.org /en /development /desa / population/publications/pdf/ageing/ WorldPopulationAgeing2013.pdf pada tanggal 19 Januari 2015 jam 3.46 Zhou, W., He, G., Gao, J., Yuan, Q., Feng, H. & Zhang, C.K., 2012. The Effects of Group Reminiscence Therapy on Depression, Self-esteem, and Affect Balance of Chinese Community-dwelling Elderly. Archives of Gerontology and Geriatrics. Vol 54(e440-1447).