118 ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY (ACT) MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER (Acceptance and Commitment Therapy Improve the Quality of Life Patients Suffering Cancer) Saverinus Suhardin*, Kusnanto*, Ilya Krisnana* Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 Telp(031)5913752 ,5913754 ,Fax. (031)5913257 Email: saverinussuhardin@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan: Kanker adalah penyakit kronis yang mempengaruhi dimensi fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi kehidupan individu sehingga berpengaruh terhadap kualitas hidup. Psikoterapi penting dalam meningkatkan kulitas hidup penderita kanker Salah satu psikoterapi yang dapat diberikan adalah dengan penerapan ACT (Acceptance and commitment therapy). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan ACT dalam meningkatkan kualitas hidup penderita kanker di Puskesmas Pacarkeling Surabaya. Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra-eksperimental dengan rancangan one group pre-post test design. Populasinya penderita kanker yang terdaftar di Puskesmas Pacar Keling. Sampel yang berpartisi 12 orang yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi. Variabel independennya berupa penerapan ACT dan variabel dependennya kualitas hidup. Pengumpulan data dan penerapan ACT dilaksanakan di puskesmas serta melakukan kunjungan rumah. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan uji Paired T Test dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan peningkatan kualitas hidup pasien kanker secara signifikan setelah dilakukan penerapan ACT. Hasil uji statistik Paired T-test menunjukkan kualitas hidup pasien mempunyai tingkat signifikansi atau nilai p=0,000. Hasil tersebut menunjukkan nilai p < 0,05, sehingga hipotesis penelitian diterima. Pembahasan: Berdasarkan hasil penelitian ACT dapat meningkatan kualitas hidup pasien kanker di Puskesmas Pacar Keling Surabaya, sehingga Perawat perlu menguasai pelaksanaan ACT sebagai salah satu terapi modalitas. Kata kunci: kanker, kualitas hidup (QoL), acceptance and commitment therapy (ACT). ABSTRACT Introduction: Cancer is a chronic disease that affects physical, psychological, social, and economic life of individual and then contributes to life quality. Psychotherapy is important in improving the life quality of cancer patients . One of psychotherapy that can be given is the implementation of ACT (Acceptance and Commitment Therapy). The aim of this study is to analyze the application of ACT in improving the life quality of cancer patients at the Puskesmas Pacarkeling Surabaya. Method: This research method used pre-experimental with one group pre-post test design. The population of cancer patients enrolled in the Puskesmas Pacar Keling. Samples were 12 people whom are determined based on the inclusion criteria. The Independent variable is application of ACT and the dependent variable is life quality. Data collection and implementation of ACT were conducted in puskemas and home visits. The collected data was analyzed by Paired T test with significance level α=0.05. Result: Result showed that there was change in increasing life quality of cancer patients significantly after giving implementation of the ACT. The result of Paired t-test showed the life quality of patients had a significance level of p=0.000. These result demonstrate the value of p <0.05, so the research hypothesis is accepted. Discussion: It can be concluded that the application of ACT can improve the life quality of cancer patients. Health workers (nurses) need to master the implementation of the ACT as a therapeutic modality. Keywords: cancer, quality of life (QoL), acceptance and commitment therapy (ACT). ____________________________________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Penyakit kanker merupakan momok bagi setiap orang. Hal ini terjadi akibat dampak yang dialami oleh penderita dan keluarganya. Terjadinya kanker dikarenakan adanya pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan terjadi tanpa batas dan tanpa tujuan bagi penderitanya. Kanker merupakan pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang jaringan di sekitarnya dan menyerang ke organ tubuh lain yang letaknya jauh (Corwin 2009). Kanker adalah penyakit kronis yang mempengaruhi dimensi fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi kehidupan individu. Diagnosis kanker dapat disertai gangguan emosional dan perubahan gaya hidup atau kebiasaan sehari- hari (Smeltzer 2001). Setelah seseorang dinyatakan menderita kanker, secara khas akan mengalamai ketakutan, kecemasan, depresi dan ketidakberdayaan (Feist. 2007). Kemajuan diagnosis dan terapi, mendukung penderita kanker yang bertahan hidup lama. Bentuk utama terapi penyembuhan kanker (operasi, kemoterapi, terapi hormon, terapi radiasi), biasanya mengakibatkan efek samping jangka panjang yang tidak diharapkan mailto:saverinussuhardin@gmail.com Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 118-127 119 pada jaringan dan organ tubuh serta mengganggu tingkat kesehatan dan kualitas hidup seseorang baik dalam bentuk kecil maupun besar (Potter & Perry 2009). Psikoterapi penting, khususnya dalam meningkatkan kulitas hidup penderita kanker (Feist. 2007). Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah dengan melakukan terapi ACT. ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki pada klien depresi, ansietas, penyalahgunaan narkoba, nyeri kronik, PTSD, anoreksia dan skizofrenia serta sangat efektif dalam pelatihan diri (Widuri 2012). Dalam beberapa penelitian di Indonesia yang menerapkan intervensi terapi penerimaan dan komitmen (ACT), mengatasi respon ketidakberdayaan sedang pada klien gagal ginjal kronik (Widuri 2012), meningkatkan penerimaan penderita HIV/AIDS (Widjijati, Wahyuningsih 2014), meningkatkan insight dan efikasi diri pada pasein skizofrenia (Jalil et al. 2013), dan dapat meningkatkan subjective well being pada dewasa muda pasca putusanya hubungan pacaran (Kusumawardhani 2012). Hingga kini, penelitian mengenai pengaruh penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) terhadap kualias hidup penderita kanker belum dapat dijelaskan. Menurut perkiraan Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), terdapat 12,7 juta kasus kanker baru pada tahun 2008 di seluruh dunia, dimana 5,6 juta terjadi di negara-negara maju dan 7,1 juta di negara- negara berkembang (Society 2011). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi kanker di Indonesia sebesar 1,4 per 1000 penduduk. Kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7% dari seluruh penyebab kematian (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Data BAPPEDA Jawa Timur (2011) melaporkan ada peningkatan penderita kanker dalam kurun waktu lima tahun antara 2005 hingga 2010. Pada tahun 2005 terdapat 1.600 penderita, tahun 2008 meningkat menjadi 3.821 penderita, dan tahun 2010 mencapai 4.736 penderita (Fitriawan 2013). Berdasarkan penjajakan awal yang dilakukan peneliti di Puskesmas Pacar Keling Surabaya tanggal 23 September 2014, didapatkan informasi dari Perawat penanggungjawab poli paliatif bahwa secara umum mereka tidak melakukan pengukuran kualitas hidup pasien kanker. Namun, sebagai gambaran dijelaskan bahwa pasien sering mengeluh nyeri, mual, muntah, gangguan tidur, mudah lelah dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan tampak murung (tidak bersemangat). Layanan pengobatan bagi pasien kanker dilaksanakan setiap hari Sabtu. Penelitian Fitriawan (2013) yang dilakukan di Puskesmas Pacarkeling Kota Surabaya, ditemukan fakta beberapa pasien kanker mengalami penurunan kualitas hidup . Berdasarkan survey awal peneliti pada penelitian tersebut, dari 30 orang pasien digambarkan kualitas hidup pasien yang rendah sebanyak 15%, sedang sebanyak 25%, dan tinggi sebanyak 60%. Pada bagian saran, peneliti mengharapkan ada peneliti lain yang dapat memberikan intervensi untuk meningkatkan kulitas hidup pasien kanker. Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakteristik fisik, mental, sosial, emosional, yang mencakup komplikasi dan efek terapi suatu penyakit secara luas yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapatkan pengelolaan sesuai dengan pedoman penyakit tertentu (Suharto 2005). Konsep kualitas hidup seseorang yang dipengaruhi olah kanker meliputi dimensi kesejahteraan fisik dan gejalanya, dimensi kesejahteraan psikologikal, dimensi kesejahteraan sosial dan dimensi kesejahteraan spiritual (Potter & Perry 2009). Kesejahteraan fisik mencakup gejala dan efek samping seperti nyeri, kelelahan, dan kualitas tidur yang buruk, mempengaruhi kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kesejahteraan psikologis, mengacu pada kemampuan untuk mempertahankan kontrol atas kecemasan, depresi, takut kekambuhan kanker, dan masalah dengan memori dan konsentrasi. Kesejahteraan sosial, terutama hubungan dengan anggota keluarga lain dan teman- teman, termasuk keintiman dan seksualitas. Kekhawatiran mengenai pekerjaan, asuransi, dan keuangan juga mempengaruhi kesejahteraan sosial. Lalu, kesejahteraan spiritual berasal dari gambaran makna pengalaman kanker, baik dalam konteks agama atau melalui mempertahankan harapan dan ketahan dalam menghadapi ketidakpastian tentang kesehatan di masa depan (Society 2011). Acceptance and Commitment Therapy (Saverinus Suhardin, dkk.) 120 Hidup yang berkualitas merupakan kondisi dimana pasien kendati mengalami penyakit yang diderinya, dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagiaan dirinya maupun orang lain (Widuri 2012). Setiap penderita kanker, mengalami suatu penderitaan yang dapat berkembang menjadi penderitaan total, mencakup derita fisik, mental, sosial, kultural dan spiritual. Derita total tersebut terjadi karena proses kumulatif dari rasa nyeri dan keluhan fisik dan psikis lainnya, seperti mual, muntah, sesak, luka, tak nafsu makan, berbagai prosedur diagnostik, tindakan terapi, rasa takut, marah, sepi, khawatir, bosan, dan berbagai perasaan lain yang membuat penderita tidak merasa aman dan nyaman. Apabila kualitas hidup pasien kanker tidak ditangani secara tepat, maka akan berdampak semakin buruknya kondisi kesehatan yang dialami sehingga mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penderita kanker. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh individu itu sendiri, karena sifatnya sangat spesifik, dan bersifat abstrak, sulit diukur. Melakukan penilaian kualitas hidup pasien perlu diperhatikan beberapa hal, termasuk yang paling utama adalah beberapa domain/aspek yang mendasarinya. Alat ukur kualitas hidup telah banyak dikembangkan oleh para ilmuan yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien-pasien yang menderita berbagai penyakit kronik, dan salah satunya adalah alat ukur yang dikembangkan oleh The European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Core Questionnaire (EORTC QLQ-C30). Kuesioner ini merupakan alat ukur yang spesifik mengukur kualitas hidup pasien kanker secara umum dan telah dinyatakan valid digunakan di Indonesia oleh penelitian Perwitasari (2011). ACT merupakan salah satu psikoterapi yang diyakini mampu memperbaiki kualitas hidup klien kanker. Hal ini didasari bukti hasil penelitian ACT menunjukkan efektif dalam mengatasi beberapa gejala yang menjadi komponen pembentuk atau yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang. ACT merupakan terapi yang mengajarkan pasien untuk menerima pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Widuri 2012). Terapi ACT mengajarkan pasien untuk menerima pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan seperti perasaan ketakutan, kecemasan, depresi, ketidakberdayaan dan berbagai respon fisik. Selanjutnya pasien diarahkan untuk mampu menempatkan diri sesuai nilai yang dianut dan berkomitmen menjalankan berbagai terapi untuk mencegah bertambah parahnya gejala. Tujuan akhir dari terapi ACT ini adalah, pasien akan mengalami fleksibilitas psikologis. Kondisi psikologis yang fleksibel ini memberi persepsi dasar yang lebih positif akan meningkatkan kualitas hidup pasein kanker. BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan metode pra- eksperimental dengan rancangan one group pre-post test design yang mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan satu kelompok subjek. Populasinya adalah penderita kanker yang terdaftar dan bertempat tinggal di wilayah Puskesmas Pacar Keling Surabaya, berdasarkan pengambilan data awal pada tanggal 23 September 2014 sebanyak 30 penderita. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampel dengan memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1) menderita kanker, 2) mengalami penurunan kualitas hidup, 3) sedang menjalani terapi pengobatan di Puskesmas, 4) bisa membaca dan menulis. Sedangkan kriteria eksklusi sebagai berikut: 1) penderita kanker yang mengalami penyakit komplikasi, yang mana menyulitkan dalam penerapan ACT (tidak kooperatif), 2) penderita kanker tidak didiagnosa gangguan jiwa. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Acceptance and Commitent Therapy (ACT) sedangkan terapi dependen adalah kualitas hidup pada penderita kanker. Alat ukur kualitas hidup penderita kanker menggunakan kuesioner EORTC QLQ-C30 (The European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Core Questionnaire) karena dapat digunakan pada semua tipe kanker sesuai tujuan penelitian. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 118-127 121 ini adalah panduan atau strategi pelaksanaan kegiatan ACT, buku kerja, dan lembar observasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan uji statistik Paired t-test dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. HASIL Hasil penelitian ini akan dibagi menjadi tiga bagian mengikuti skala yang ada dalam pengukuran kualitas hidup berdasarkan EORTC QLQ-C30, meliputi: 1) hasil skala kesehatan umum/QoL menunjukan tingkat signifikansi atau nilai p= 0,000 yang bermakna adanya pengaruh penerapan ACT, 2) hasil skala fungsional menunjukkan adanya pengaruh penerapan ACT terhadap hasil pengukurannya pasca-intervensi. Terdapat sub bagian dari skala fungsional yang terdiri dari fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, dan fungsi sosial dengan tingkat signifikansi atau nilai p secara berurutan sebagai berikut: p=0.005, p=0.001, p=0.001, p=0.042, dan p = 0.008. Semua komponen skala fungsional tersebut memiliki signifikansi atau nilai p<0,05, yang berarti penerapan ACT memiliki pengaruh yang positif, 3) hasil skala gejala menunjukkan tidak semua komponen mempunyai tingkat signifikansi atau nila p<0,05. Adapun komponen yang dipengaruhi oleh penerapan ACT diantaranya kelelahan (p=0,000), mual dan muntah (p=0.002), hilang nafsu makan (p=0,017), nyeri (p= 0,000) dan insomnia (p=0,007). Sedangkan komponen yang tidak memiliki nilai signifikansi <0,05, meliputi: sesak nafas (p= 0,082), konstipasi (p= 0,339), diare (p= 0,166), dan kesulitan finansial (p=0,191). PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan skala kesehatan umum / kualitas hidup (QoL) memiliki tingkat signifikansi atau nilai p= 0,000. Nilai tersebut menunjukkan adanya pengaruh penerapan ACT terhadap peningkatan kualitas hidup pasien kanker, dimana nilainya <0.05. Pada kuesioner yang diisi responden, terdapat dua (2) pertanyaan yang mewakili untuk menggali skala kesehatan umum atau kualitas hidup. Pertanyaan tersebut mengungkapkan penilaian masing-masing responden terhadap kondisi kesehatan secara keseluruhan dan kualitas hidup selama seminggu yang lalu. Skor yang diperoleh responden sebelum dilakukan penerapan ACT (pre-test) diperoleh nilai rata-rata 48,6. Pada post-test, terjadi peningkatan skor kesehatan umum/kualitas hidup dengan nilai rata-rata yang diperoleh 62,5. ACT merupakan terapi untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis, yaitu kemampuan melakukan kontak dengan masa kini secara total dan mampu berperilaku sesuai dengan value hidup yang dianut (Hayes 2013). Penerapan ACT dapat meningkatkan kemampuan klien dalam menerima dan berdamai dengan kondisi kesehatannya, serta dapat membuat keputusan dalam memilih komitmen yang akan dilakukan untuk mencegah kekambuhan (Jalil et al. 2013). Penerimaan atau berdamai dengan kondisi sakitnya serta melakukan aksi untuk mencegah kekambuhan menunjukkan seseorang mempunyai persepsi yang positif akan kondisinya. Persepsi yang baik tentang kesehatan seseorang memberi pengaruh pada kualitas hidup sesorang. Hal ini berkaitan dengan teori yang pernah dikutip Nofitri (2009) dalam laporan penelitiannya menerangkan bahwa lingkup dari konsep dan pengukuran kualitas hidup harus berpusat pada persepsi subjektif individu mengenai kualitas hidup dari kehidupannya sendiri. Dikuatkan lagi dengan teori Carr dan Hingginson (2001) yang menegaskan bahwa kualitas hidup merupakan suatu konstruk yang bersifat individual. Lalu kemudian disimpulkan bahwa, komponen objektif dari kualitas hidup tidak mempengaruhi kualitas hidup itu sendiri secara langsung, melainkan diperantarai oleh persepsi individu. Kualitas hidup merupakan interaksi antara penghayatan subjektif (komponen subjektif) dan bobot kepentingan (komponen kepentingan) dalam / dari aspek-aspek kehidupan tertentu, dengan beberapa faktor kondisi kehidupan yang dapat berpengaruh ataupun tidak tergantung dari persepsi individu mengenai berbagai kondisi kehidupan (Nofitri 2009). Karena sangat subyektif, kualitas hidup sesorang dapat dikendalikan dengan membentuk persepsi yang sesuai. Persepsi yang positif akan kondisi dirinya akan berpengaruh pada kualitas hidup. Dalam penerapan ACT, terapis mengarahkan klien untuk mampu berdamai atau menerima kondisinya saat ini, sambil melakukan langkah konkrit untuk penyembuhan atau mencegah kekambuhan. Jika klien mampu menerima kondisi sakitnya dan berkomitmen mengikuti terapi atau pengobatan penunjang, persepsi akan dirinya Acceptance and Commitment Therapy (Saverinus Suhardin, dkk.) 122 sendiri menjadi lebih bermakna. Persepsi inilah yang membentuk kualitas hidup sesorang. ACT mampu membentuk persepsi yang positif dijelaskan melalui penelitian Kusumawardhani (2012). Dalam penelitiannya, penerapan ACT dianggap efektif dalam meningkatkan subjective well being atau kebahagiaan seseorang. Kondisi ini mendukung terciptanya kondisi atau persepsi yang positif terkait kondisi yang dialami. Pernyataan ini dikuatkan oleh teori dari Carr (2004) yang dikutip Kusumawardhani (2012) bahwa subjective well being berkaitan erat dengan kondisi-kondisi positif yang membantu seseorang menjalankan fungsinya secara optimal. Kondisi positif inilah yang akan membentuk persepsi yang positif pula, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dari sejumlah responden yang terlibat dalam penelitian, diidentifikasi responden dengan nomor 06 memperoleh skor dimensi kesehatan umum/QoL paling rendah, yaitu 33. Berdasarkan data demografi dan wawancara peneliti, ada beberapa kondisi spesifik yang dialaminya. Responden baru mengetahui sakit yang dideritanya merupakan kanker paru-paru sejak 2 bulan terakhir. Saat memeriksa ke rumah sakit, pengobatan sementara yang dilakukan berupa pemberian obat penurun nyeri dan sesak nafas. Dokter memberi kesempatan untuk berpikir atau berencana melakukan kemoterapi. Kondisi fisiknya cukup lemah, mengeluh nyeri dada, sesak nafas, mual dan nafsu makan menurun. Kondisi sakit yang cukup parah dan kemampuan adaptasi penderita dan keluarga belum optimal mengakibat kualitas hidup yang diukur menunjukkan skor terendah dari sejumlah responden lainnya. Selain itu, keluarga dan penderita melakukan perundingan yang cukup lama sebelum memutuskan berobat ke rumah sakit. Setelah beberapa kali menerapkan ACT oleh peneliti dan penjelasan bagi anggota keluarganya, barulah penderita dirawat ke rumah sakit. Pada pengukuran kualitas hidup pascaintervensi, didapatkan skor lebih tinggi dari kondisi sebelumnya, meskipun tidak begitu signifikan. Adapula responden yang memperoleh skor paling tinggi dari total keseluruhannya. Responden nomor 3 dan 4 mendapat skor pling tinggi, yaitu 67. Kondisi tersebut didukung oleh lamanya penyakit yang diderita, pengobatan yang cepat dan tepat, serta tetap melakukan pemeriksaan secara rutin di Puskesmas . Responden nomor 3 sudah mengalami kanker nasofaring semenjak satu tahun lalu, dan sudah dilakukan kemoterapi dan terapi sinar. Penderita sering mendapatkan informasi serta motivasi dalam menghadapi penyakitnya selama masa pengobatan, sehingga lebih mampu menerima dan menjalani dengan ikhlas. Begitupula dengan responden nomor 4, sudah menderita kanker serviks semenjak 2 tahun lalu. Penderita sudah dilakukan operasi dan rutin melakukan kontrol di puskesmas maupun rumah sakit. Adaptasi terhadap penyakitnya sudah dilakukan dengan baik sehingga kualitas hidup ikut membaik. Semua komponen skala fungsional memiliki signifikansi atau nilai p <0,05, yang berarti penerapan ACT memiliki pengaruh yang positif. Fungsi fisik mencakup kemampuan responden melakukan aktivitas sehari-hari, seperti membawa barang-barang yang berat, berjalan kaki dengan jarak yang jauh, berjalan kaki dengan jarak dekat (misalnya di sekitar rumah), apakah hanya berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi saja, dan apakah memerlukan bantuan saat memenuhi kebutuhan dasar (mandi, makan, berpakaian, toileting). Sesuai skor hasil pengisian kuesioner responden, terjadi perubahan nilai rata-rata setelah penerapan ACT, yaitu dari skor 72,9 menjadi 77,5. Fungsi peran diidentifikasi melalui pertanyaan berkaitan dengan keterbatasan saat bekerja atau melaksanakan kegiatan sehari-hari dan melakukan kegiatan santai atau kegiatan yang merupakan hobi. Skor hasil pengukuran kuesioner mengalami peningkatan setelah penerapan ACT, yaitu dari nilai 59,4 menjadi 69,4. Fungsi emosional meliputi pertanyaan tentang perasaan tegang, khawatir, tersinggung, dan depresi. Fungsi emosional juga mengalami perubahan nilai/skor setelah penerapan ACT, dari rata-rata 63 menjadi 69,4. Fungsi kognitif meliputi kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi pada suatu hal (mis. Membaca koran atau menonton TV) dan kemampuan untuk mengingat sesuatu. Pada fungsi kognitif ini, setelah penerapan ACT terjadi perubahan skor rata-rata dari 71,6 menjadi 75,5. Komponen terakhir, fungsi sosial, dimana mengukur hubungan sosial responden selama menderita kanker. Secara riil, fungsi sosial mengindentifikasi apakah keluarga merasa terganggu dan kesulitan yang Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 118-127 123 dihadapi responden sendiri dalam menjalankan aktivitas sosial akibat kondisi fisik atau terapi medis yang dijalani. Secara umum, skor rata- rata fungsi sosial berubah setelah penerapan ACT, yaitu dari 56,25 menjadi 64,08. Hasil penelitian di atas didukung beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian Mc Cracken (2011) dalam Widuri (2012) memberikan ACT dengan tindak lanjut follow up selama 3 bulan pada kelompok intervensi yang mengalami penyakit kronik menunjukan penurunan level depresi, kecemasan, intensitas nyri kronik yang dialami, peningkatan kemampuan fisik, dan menjadi lebih fleksibel secara psikologis dalam menghadapi stresor yang berkaitan dengan kondisinya. ACT dianggap sebagai terapi yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan depresi dan meningkatkan kesehatan mental karena ACT membuat seseorang mampu menerima setiap pengalaman dan peristiwa yang telah terjadi dan kembali berfungsi dengan normal dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan value dan tujuan hidupnya (Kusumawardhani 2012). Hasil penelitian pendukung terdahulu di atas menunjukan perubahan ke arah yang positif pada komponen gejala psikologis dari setiap masalah. Komponen-komponen psikologis tersebut merupakan komponen yang sama sebagai penyusun skala fungsional dari pasien kanker. Peningkatan kemampuan fisik, penurunan atau perubahan level depresi, kecemasan, stres dan menyadari dukungan sosial yang baik memberi peningkatan kemampuan bagi pasien kanker secara fungsional. Jadi, bisa disimpulkan bahwa penerapan ACT memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan positif skala fugsional pasien kanker. ACT melakukan perubahan pada skala fungsional pasien kanker melalui prinsip- prinsip yang mendasarinya, meliputi: acceptance, cognitive defusion, mindfulness, observing self, value, dan commitment. Kusumawardhani (2012) menjelaskan prinsip ACT tersebut seperti berikut ini. Acceptance adalah proses untuk meingkatkan penerimaan secara menyeluruh terhadap pengalaman subjektif, meliputi pemikiran, kepercayaan, sensasi, dan perasaan yang menimbulkan distres, sebagai usaha untuk meningkatkan perubahan perilaku yang diinginkan sehingga mengarah pada meningkatnya kualitas hidup. Prinsip cognitive defusion bermakna sebagai proses mengamati pemikiran, sehingga dampak dan pengaruhnya menjadi lebih sedikit dibanding ketika mengalami fusion dengan pemikiran kita. Prinsip ketiga, mindfulness, diharapkan mampu memberikan fokus dan terlibat penuh terhadap apa yang ia lakukan di masa kini. Kemudian, prinsip observing self memungkinkan individu untuk mengalami langsung bahwa dirinya bukan hanya sekedar pikirannya, emosinya, perannya, sensasi tubuhnya, dan dorongannya. Prinsip kelima, value, bertujuan mengklarifikasi apa yang paling penting bagi seorang individu dalam hidupnya, ingin menjadi seperti apa, dan apa yang menjadi signifikan serta bermakna baginya. Prinsip terakhir, commitment, diharapkan seseorang dapat menyusun tujuan hidup dipandu oleh value yang dianggapnya penting kemudian mengambil tindakan yang efektif untuk mencapainya. Melalui teknik ACT ini, individu belajar untuk menghilangkan dampak dan pengaruh dari pikiran serta perasaan yang tidak diharapkan melalui penggunaan mindfulness secara efektif. Jika sebelumnya mereka membuang waktu, energi, dan uang dengn sia-sia untuk mengontrol emosi, dengan teknik ini energi mereka disalurkan untuk proses pengambilan tindakan efektif agar hidup mereka menjadi lebih baik dan bermakna (Harris 2011). Ditemukan skor kualitas hidup dimensi fungsional terendah dilami oleh nomor 6. Setelah dijumlahkan dari 5 item dimensi fungsional, didapatkan skor sebesar 238. Kondisi tersebut sama atau berhubungan dengan dimensi kesehatan umum/QoL yang telah dijelaskan sebelumnya. Responden yang baru saja mengalami kanker paru-paru dan belum ditangani secara maksimal sangat berdampak pada dimensi fungsionalnya, yang terdiri dari fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, dan fungsi sosial. Kondisi fisik penderita makin melemah, keluhan nyeri, sesak nafas, mual dan tidak nafsu makan memperberat kemampuan fungsionalnya. Sementara itu, responden nomor 5 memperoleh skor tertinggi pada dimensi fungsional, dimana setelah dijumlahkan dari 5 item fungsi menjadi 364. Secara klinis, responden mengaku tidak merasakan lagi gejala akibat kanker maupun efek samping pengobatan. Sudah 3 tahun melewati sakitnya, dan berhasil mengikuti pengobatan kemoterapi sebanyak 2 kali dan radiasi (sinar) sebanyak 35 kali, sehingga sudah mampu beradaptasi Acceptance and Commitment Therapy (Saverinus Suhardin, dkk.) 124 dengan baik. Responden bisa melakukan aktivitas atau fungsinya sehari-hari tanpa menimbulkan keluhan yang berarti. Hasil penelitian skala gejala menunjukkan tidak semua komponen mempunyai tingkat signifikansi atau nila p < 0.05. Adapun komponen yang dipengaruhi oleh penerapan ACT, diantanya: kelelahan, mual & muntah, hilang nafsu makan, nyeri, dan insomnia. Sedangkan komponen yang tidak memiliki nilai signifikansi <0.05, meliputi: sesak nafas, konstipasi, diare, dan kesulitan finansial. Pada responden, secara riil didapatkan gejala kelelahan bersumber dari kuesioner yang mencakup kebutuhan istirahat yang dirasakan, merasa badan lemah, dan merasa kelelahan. Sebelum penerapan ACT, rata-rata responden memperoleh skor 47,4 dan setelanya mendapat skor rata-rata 36,4. Khusus pada skala gejala, skor semakin rendah menunjukkan gejala yang dirasakan semakin berkurang. Gejala mual dan muntah diidentifikasi dengan dengan pertanyaan tentang apakah merasa mual dan muntah. Secara umum, responden mengalami sedikit gejala mual sebelum tindakan ACT tapi tidak sampai mengalami muntah. Skor rata-rata yang diperoleh sebelum penerapan ACT adalah 16,9 dan setelahnya menjadi 7,08. Gejala nyeri terdiri dari 2 unsur pertanyaan dalam pengindetifikasiannya, yaitu apakah merasa nyeri dan seberapa besar nyeri itu mengganggu aktivitas sehari-hari. Skala gejala yang lainnya berupa item pertanyaan tunggal yang menanyakan tentang sesak nafas, kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, konstipasi, diare, dan kesulitan finansial. Gejala kelelahan yang muncul pada pasien kanker bisa terjadi karena proses penyakit itu sendiri atau akibat gangguan tidur (Potter & Perry 2009). Keletihan, sering terjadi akibat nutrisi yang buruk, malnutrisi protein, dan gangguan oksigenasi jaringan akibat anemia. Sitokinin tertentu dihasilkan untuk menunjang respon imun terhadap kanker yang juga diketahui menyebabkan keletihan. Tumor yang tumbuh menghambat suplai darah ke sel normal sambil merangsang suplai darah baginya. Tumor tersebut mengambil alih nutrien dan suplai oksigen dari sel normal yang menyebabkan keletihan ekstrem (Corwin 2009). Sebagaimana penelitian terdahulu, penerapan ACT memberi hasil peningkatan kemampuan fisik (Widuri 2012). Selain itu, pada skala fungsional dalam penelitian ini juga mengalami peningkatan. Skala fungsional, dimana salah satunya merupakan fungsi fisik yang optimal dapat meminimalkan gejala keletihan pasien kanker. Didukung pula adanya perubahan positif pada skala gejala insomnia, dimana terjadi penurunan setelah intervensi ACT. Hal ini memberi peluang bagi penderita kanker dapat melakukan istirahat yang cukup, sehingga keletihan ikut berkurang. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur: pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf; dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan pemulihan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan (Hidayat 2006). Efek kedua inilah yang memberi manfaat positif bagi skala gejala kelelahan pada pasien kanker, sehingga mengalami penurunan setelah penerapan ACT. Skala insomnia atau gangguan tidur juga mengalami perubahan ke arah yang baik pascaintervensi ACT. Kebutuhan tidur yang terpenuhi dengan baik ini berhubungan dengan perubahanan pada skala fungsional setelah penerapan ACT juga. Pada skala fungsional, khususnya fungsi emosional terjadi penurunan respon kondisi tegang, stres, depresi, yang dapat mengganggu tidur seseorang. Selain itu, kebutuhan tidur juga saling berhubungan dengan kelelahan. Pernyataan ini didukung teori kebutuhan tidur oleh Hidayat (2006), yang menjelaskan bahwa keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan, maka orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek. Penderita kanker pada umumnya bisa mengalami gejala mual dan muntah akibat efek samping penyakit atau pengobatan yang diberikan. Misalnya efek samping dari kemoterapi. Pada penderita kanker yang menjalani kemoterapi, gangguan motiitas usus dapat disebabkan oleh neuropati otonomik akibat alkaloid vinca (vincristine, vinblastin) dan turut diperparah oleh antikanker lain, sehingga penderita mengalami mual-muntah (Rasjidi 2013). Namun, pada penelitian ini, responden tidak dalam sedang menjalankan kemoterapi karena telah melewatinya. Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 118-127 125 Mual (nausea) adalah sensasi subjektif yang tidak menyenangkan dan sering mendahului muntah. Mual disebabkan oleh distensi atau iritasi di bagian mana saja dari saluran GI, tetapi dapat juga distimulasi oleh pusat otak yang lebih tinggi. Interpretasi mual terjadi di medula, berdekatan dengan bagian dari pusat muntah (Corwin 2009). Teori inilah yang mungkin terjadi pada responden, dimana kondisi stres, depresi akibat kanker mempengaruhi atau merangsang pusat mual- muntah di medula. Karena penerapan ACT telah menurunkan stres, depresi, dan kondisi lainnya, maka gejala mual juga ikut menurun pascaintervensi. Kondisi inilah yang menjelaskan bagaiman ACT menurunkan gejala mual-muntah pada penderita kanker. Gejala hilang nafsu makan sangat berkaitan erat dengan dengan gejala mual- muntah di atas. Saat gejala mual-muntah berkurang setelah penerapan ACT, gejala hilang nafsu makan juga ikut berkurang. Sehingga dapat disimpulkan ACT dapat menurunkan gejala hilang nafsu makan pada pasien kanker. Nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada penderita kanker. Terapi kanker sendiri sering menimbulkan rasa nyeri dan neuropati (Potter & Perry 2009). Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin 2009). proliferasi kanker merupakan penyebab rusaknya jaringan falam konteks ini. Beberapa penelitian tentang penerapan ACT menunjukan mampu mengurangi sensasi nyeri seseorang (Harris 2011). Widuri (2012) menyatakan bahwa ACT sangat berguna dalam mengatasi masalah penyakit kronik karena berfokus pada membangun perilaku yang baru dari pada melawan rasa sakitnya agar dapat menjalani kehidupan yang lebih dihargai. Beberapa skala gejala yang dipengaruhi oleh penerapan ACT, secara umum, penjelasan proses kerjanya mengikuti hasil penelitian Jalil et al. (2013) tentang efektivitas ACT dalam meningkat insight dan efikasi diri. Jika hasil penelitian terbukti ACT meningkatkan insight dan efikasi diri, maka kedua kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk mengenali gejala yang dialami dan mencari pertolongan yang tepat sehingga cepat teratasi. Seperti itulah kinerja ACT dalam mengurangi beberapa gejala akibat penyakit kanker. Komponen gejala sesak nafas, konstipasi, dan diare dari skala gejala tidak menunjukkan adanya pengaruh penerapan ACT. Hal ini terjadi karena saat pre-test gejala-gejala ini hanya dialami sebagian kecil responden dengan intensitas yang rendah. Sebagai gambaran, dari data hasil tabulasi menunjukkan gejala sesak nafas dialami oleh 4 orang responden, gejala konstipasi dialami 2 orang responden, dan gejala diare juga hanya dialami 2 orang responden. Setelah dilakukan uji statistik, gejela-gejala tersebut tidak menunjukkan tingkat signifikansi pascaintervensi ACT. Selain itu, gejala kesulitan finansial juga termasuk komponen yang tidak dipengaruhi ACT. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa ACT merupakan terapi psikologis, yang merupakan bentuk pengembangan terapi kognitif perilaku, dimana keduanya melibatkan strategi tingkah laku dan kognitif (Harris 2011). Target dari ACT adalah membentuk fleksibilitas psikologis seseorang, yaitu kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa kini secara totalitas dan sadar sebagai makhluk hidup dan mampu berperilaku sesuai dengan value yang dianut (Kusumawardhani 2012). ACT tidak termasuk tindakan untuk mengatasi masalah kesulitan finansial seseorang. Peneliti juga belum menemukan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengn kesulitan finansial dan ACT. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penerapan ACT tidak berdampak pada kondisi finansial seseorang. Berbeda dengan dimensi kesehatan umum dan fungsional, pada dimensi/skala gejala, nilai atau skor tertinggi menunjukkan beratnya gejala yang dialami responden. Semakin rendah skor yang didapat, semakin baik gejala yang dialami penderita. Hkeseluruhan responden, skor tertinggi (gejala memburuk) dialami responden nomor 6, dimana setelah ditotal dari beberapa item skala gejala didapatkan skor 467. Kondisi tersebut bisa terjadi karena responden baru saja diketahui menderita kanker paru-paru dan belum mendapat penanganan khusus terhadap kanker. Akibatnya, gejala yang timbul semakin memburuk. Sebaliknya, skor terendah (gejala membaik) dialami oleh responden nomor 4 yakni sebesar 161 setelah dijumlahkan dari seluruh item gejala. Kondisi tersebut didukung dengan riwayat sakit yang dialaminya. Acceptance and Commitment Therapy (Saverinus Suhardin, dkk.) 126 Menderita kanker serviks stadium II sejak 2 tahun lalu dan langsung dilakukan operasi pada bulan ke-4 setelah didiagnosis. Setelah itu, responden rutin melakukan kontrol atau pengobatan tambahan baik di puskesmas maupun rumah sakit. Kini, secara klinis tidak menunjukkan gejala yang menganggu. Itulah beberapa hal yang mendukung status kualitas hidup responden pada skala gejala. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1) penerapan ACT meningkatkan skala kesehatan umum / kualitas hidup (QoL) pasien kanker. Setelah penerapan ACT, responden lebih optimis menilai kondisi kesehatan yang dilaminya, 2) penerapan ACT meningkatkan skala fungsional pasien kanker, yang terbagi dalam beberapa fungsi fisik, fungsi peran, fungsi emosional, fungsi kognitif, dan fungsi sosial, 3) penerapan ACT dapat mengurangi beberapa item pada skala gejala pasien kanker dan adapula gejala yang tidak berubah. ACT dapat mengurangi beberapa item gejala, seperti: kelelahan, mual & muntah, hilang nafsu makan, nyeri, dan insomnia. Sedangkan komponen/item skala yang tidak mengalami perubahan setelah penerapan ACT, meliputi: sesak nafas, konstipasi, diare, dan kesulitan finansial. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas maka saran yang dapat berikan oleh peneliti sebagai berikut: 1) bagi perawat puskesmas, khususnya bagian poli paliatif dapat menjadikan ACT sebagai modalitas keperawatan jiwa atau onkologi yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker, 2) bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat perlu mempelajari atau terus memperdalam penerapan ACT ini sehingga mudah dilaksanakan pada tatanan nyata bagi pasien yang membutuhkan. Perawat juga perlu mengembangkan riset dalam bidang penerapan ACT ataupun kanker, 3) bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian dengan metode yang berbeda sehingga mendapat hasil yang lebih optimal dan dapat lebih aplikatif sehingga dijadikan acuan dalam memberikan pelayanan keperawatan onkologi atau jiwa. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode lain dengan sampel yang lebih banyak dan alat ukur yang akurat. KEPUSTAKAAN Corwin, E.J., 2009. Buku saku patofisiologi, Jakarta: EGC. Feist., L.B.& J., 2007. Health Psychology: An Introduction to Behavior and Health Sixth edit., United States of America: Thomson. Fitriawan, E., 2013. Hubungan Spiritualitas terhadap tingkat kualitas hidup pasien kanker di Puskesmas Pacarkeling, Surabaya. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Harris, R., 2011. The Happiness Trap: Hati- hati dengan kebahagiaan Anda !, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hayes, et al., 2013. Acceptance and Commitment therapy and Contextual Behavioral Science: Examining the Pogress of a Distinctive Model of Behavioral and Cognitif Therapy. Behavior Therapi, pp.180–198. Hidayat, A.A., 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Jalil, Keliat & Pujasari, 2013. Insight dan Efikasi Diri pada Klien Skizofrenia yang Mendapatkan Terapi Penerimaan dan Komitmen dan Program Edukasi Pasien di Rumah Sakit Jiwa. . UI. Universitas Indonesia. Kusumawardhani, S.J., 2012. Efektivitas acceptance and commitment therapy dalam meningkatkan subjective well being pada dewasa muda pasca putusnya hubungan pacaran, Depok: Universitas Indonesia. Nofitri, 2009. Gambaran Kualitas Hidup Penduduk Dewasa pada Lima Wilayah di Jakarata. Universityas Airlangga. Perwitasari, et al, 2011. Translation and Validation of EORTC QLQ-C30 into Indoensian Version for Cancer Patients in Indonesia. Japanese Journal of Clinical Oncology, pp.519–529. Potter & Perry, 2009. Fundamental keperawatan Edisi 7., Jakarta: Salemba Medika. Rasjidi, I., 2013. Buku ajar onkologiklinik, Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 118-127 127 Jakarta: EGC. Smeltzer, S.C., 2001. Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth Edisi 8., Jakarta: EGC. Society, A.C., 2011. Breast Cancer Facts & Figures 2011-2012, Atlanta: American Cancer Society, Inc. Suharto, S., 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak asma. Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Universitas Diponegoro. Widjijati, Wahyuningsih, & F., 2014. Aplikasi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) Terhadap Penerimaan dan Komitmen Diri Dalam Upaya Pencegahan Penularan HIV/AIDS, Widuri, E., 2012. Pengaruh acceptance and commitment therapy terhadap respon ketidakberdayaan klien gagal ginjal kronik di RSUP Fatmawati Jakarta Universitas Indonesia. Universitas Indonesia.