128 PSIKOEDUKASI MENURUNKAN TINGKAT DEPRESI, STRES DAN KECEMASAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU (Psycho education Decrease the Level of Depression, Anxiety and Stress Among Patient with Pulmonary Tuberculosis) Suryani, Efri Widianti*, Taty Hernawati*, Aat Sriati* *Fakultas Keperawatan UNPAD, Jalan Raya Jatinagor KM 21, Jatinanor, Sumedang Email: suryani@unpad.ac.id ABSTRAK Pendahuluan: Tuberkulosis paru (TB Paru) meupakan penyakit paru – paru kronis yang berdampak secara fisik dan psikososial pada pasien. Hingga saat ini program – program pemerintah dalam mengatasi penyakit ini masih berfokus pada pengobatan dan pencegahan penularan. Belum ada program yang ditujukan untuk mengatasi masalah psikososial pasien padahal dampak psikososial mempunyai pengaruh yang besar pada kepatuhan berobat dan prognosa penyakit pasien TB. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian Quassi eksperimen untuk membuktikan efek psikoedukasi terhadap tingkat depresi, cemas dan stress pada pasien yang mengalami TB paru. Sebanyak 74 pasien TB paru terlibat dalam penelitian ini yang terdiri dari 37 orang masuk kedalam kelompok intervensi dan 37 orang masuk kelompok control. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikoedukasi efektif menurunkan tingkat depresi, cemas dan stress pasien TB paru. Diskusi: Psikoedukasi sebaiknya diberikan kepada penderita TB paru yang berobat ke puskesmas. Kata kunci : intervensi, psikoedukasi, tuberculosis paru ABSTRACT Introduction: Pulmonery Tuberculosis is a chronic pulmonary disease that affects physicallly and psychosocially for the patients. Until now, the government’s programs in overcoming this disesase still focus on treatment and prevention of infection. The programs has not yet to lead to a psychosocial problem of the patients whereas the psychosocial impact has a big influence on treatment compliance and prognosis of patients with Pulmonery Tuberculosis. Method: This study was quassy experiment to test the effect of psychoeducation on the level of stress, anxiety and depression of Patients with pulmonary tuberculosis. 74 patients with Pulmonery Tuberculosis involved in this study divided into two group (37 involved in intervention and 37 involved as control group). Result: The result of the study showed that psychoeducation was effective in reducing stress, anxiety and depression of the patients with Pulmonery Tuberculosis. Discussion: Psycho education should be provided for patients with pulmonary tuberculosis at the Community health Center. Keywords: intervention, psychoeducation, pulmonary tuberculosis ____________________________________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Jumlah penderita TB paru di Indonesia cukup besar dan menduduki peringkat kelima di dunia (WHO 2010), dengan jumlah penderita TBC sebesar 429.000 orang. Angka kematian karena TB paru diperkirakan sebesar 27 per 100.000 penduduk per tahun. Dalam rangka mengatasi permasalahan TB paru di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan berbagai macam program yang terkait pengobatan dan pencegahan penularan penyakit TB paru. Akhir–akhir ini pemerintah melakukan sebuah program yang dikenal dengan Programmatic Managament of Drug resistance TB (PMDT). PMDT tahun 2011-2014 bertujuan untuk melaksanakan secara bertahap diagnosis dan pengobatan Multidrug Resistance Tuberculosis (TB MDR). Beberapa program yang telah dikembangkan dan dilakukan oleh pemerintah belum ada program yang bertujuan untuk mengatasi masalah psikososial yang dihadapi penderita TB paru, padahal dampak psikososial ini sangat besar pengaruhnya terhadap kepatuhan berobat dan prognosa penyakit penderitanya. Dampak psikososial menurut Jong (2011) antara lain adalah adanya masalah emosional berhubungan dengan penyakitnya seperti merasa bosan, kurang motivasi, sampai kepada gangguan jiwa yang cukup serius seperti depresi berat. Masalah psikososial lainnya adalah adanya stigma di masyarakat, merasa takut akan penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan, merasa dikucilkan dan tidak percaya diri, serta masalah ekonomi (Aye´ et al. 2011). Bagi penderita yang mengalami depresi dan putus asa terhadap penyakitnya, mereka tidak mau minum obat, resikonya Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 128-133 129 adalah penderita tidak sembuh dan tentu akan menularkan penyakit mereka pada orang lain disekitarnya. Pada penelitian kami sebelumnya sudah ditemukan kebutuhan psikososial penderita TB paru (Suryani et al. 2014), sehingga diperlukan upaya intervensi untuk mengatasinya. Psikoedukasi adalah pendidikan kesehatan pada pasien baik yang mengalami penyakit fisik maupun gangguan jiwa yang bertujuan untuk mengatasi masalah psikologis yang dialami mereka. Penyakit fisik disini bisa berupa hipertensi, kanker, penyakit kulit, TBC dan sebagainya. Sedangkan gangguan jiwa bisa berupa depresi, kecemasan dan skizofrenia. Terapi psikoedukasi ini bisa berupa pasif psikoedukasi seperti pemberian informasi dengan leaflet atau melalui email atau website dan juga bisa berupa aktif psikoedukasi berupa konseling atau pemberian pendidikan kesehatan secara individu atau kelompok. Hasil sistematic review terhadap 9010 abstrak penelitian dari Cochrane, PsycInfo and PubMed yang dilakukan oleh Donker et al. (2009) di Netherland menunjukkan bahwa psikoedukasi pasif berupa pemberian leaflet pada penderita depresi dan distress psikologi dapat menurunkan gejala tersebut secara signifikan. Penelitian lain dengan metode randomized multicenter dari Bauml et al. (2006) di Jerman yang meneliti tentang pengaruh psikoedukasi pada penderita skizofrenia dan keluarganya menunjukkan bahwa terapi psikoedikasi bisa menurunkan hospital rate dari 58% menjadi 41 %. Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, maka efektifitas intervensi psikoedukasi dalam mengatasi masalah psikososial berupa depresi, cemas dan stress pada penderita TB Paru belum dapat dijelaskan. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experimental (pretest and posttest design with control group). Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh intervensi psikoedukasi terhadap tingkat depresi,cemas dan stres penderita TB paru. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling dengan metode consecutive sampling yaitu teknik sampling dimana setiap responden yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampel dimasukkan dalapenelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi atau sampai waktu yang telah ditentukan (Dahlan 2011). Adapun kriteria khusus dalam pemilihan sampel ini antara lain: Menderita Tuberkulosis Paru, termasuk kategori usia dewasa, masih dalam proses pengobatan ke Puskesmas,dan bisa membaca dan menulis. Semua pasien yang datang berobat baik ke Puskesmas Garuda maupun Babakan Sari dan memenuhi kriteria dalam penelitian ini diambil sebagai sampel. Setelah 5 bulan penelitian (April–September) diperoleh sampel sebanyak 52 orang dari Puskesmas Garuda dan 22 orang dari Puskesmas Babakan Sari. Jadi total sampel berjumlah 74 orang, yang terbagi menjadi 2 kategori, 37 orang kelompok intervensi dan 37 orang kelompok kontrol. Kelompok intervensi mendapatkan psikoedukasi sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan pengarahan seperti yang biasa dilakukan di Puskesmas. Setelah selesai penelitian, kelompok kontol juga diberikan psikoedukasi. Psikoedukasi yang diberikan berupa psikoedukasi aktif dan pasif. Psikoedukasi aktif yang dilakukan yaitu dengan konseling, sedangkan psikoedukasi pasif dengan cara pemberian booklet kepada responden setelah diberikan konseling. Pemberian psikoedukasi pasif dimaksudkan untuk melengkapi psikoedukasi aktif atau konseling yang telah dilakukan, dengan tujuan agar responden bisa mempelajari kembali apa yang suda h didiskusikan di puskesmas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Pengumpulan data dilakukan 2 kali, pertama sebelum dilakukan psikoedukasi. Pengumpulan data kedua dilakukan 1 minggu setelah dilakukan intervensi. Pada penelitian ini analisis yang digunakan analisa univariat dan bivariat. Teknik analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi, frekuensi, dan persentase dari karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, dan pendidikan serta tingkat stres, cemas dan depresi dgn kriteria: 0–29 = normal, 30–59 = tingkat stress ringan, 60–89 = tingkat stress sedang, 90–112 = tingkat stress berat, dan > 120 = tingkat stress sangat berat Analisis kedua adalah analisis bivariat. Pada penelitian ini, sebelum dilakukan analisa bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Analisis yang digunakan untuk pengujian skor stres pretest pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan uji T Test karena data terdistribusi normal. Selanjutnya untuk pengujian beda antara skor depresi pre Psikoedukasi menurunkan tingkat depresi (Suryani, dkk.) 130 dan posttest pada kelompok intervensi menggunakan uji t berpasangan, hal tersebut dikarenakan data yang dikumpulkan adalah data numerik dan dilakukan pada kelompok yang sama dengan menghitung pre dan post test nya (berpasangan) (Dahlan 2011). HASIL Hasil pada tabel 1 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan psikoedukasi sebagian besar responden (64,9 %) mengalami tingkat stres, cemas dan depresi (yang diukur dengan DASS) tingkat ringan. Hampir setengahnya dari responden (35,1%) mengalami .tingkat stres, cemas dan depresi tingkat sedang. Setelah diberikan terapi psikoedukasi sebagian besar responden (75,7 %) mengalami tingkat stres, cemas dan depresi normal (dalam batas norma) dan hanya sebagian kecil saja yang masih mengalami stres, cemas dan depresi, itupun tingkat ringan. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada pengukuran pertama sebagian besar responden (62,2 %) mengalami tingkat stres, cemas dan depresi (yang diukur dengan DASS) tingkat ringan dan hampir setengahnya dari responden (35,1%) mengalami stres, cemas dan depresi tingkat sedang. Pada pengukuran kedua sebagian besar responden (75,7 %) masih mengalami tingkat stres, cemas dan depresi ringan, hanya sebagian kecil saja yang menjadi normal dan sebagian yang lain malah tetap mengalami stres, cemas dan depresi tingkar sedang. Hasil penghitungan kolmogorov smirnov untuk kelompok intervensi didapatkan D hitung = - 0.11 < D tabel 0.1581, dengan taraf nyata 5%, ternyata H0 diterima, artinya data (kelompok intervensi) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk kelompok kontrol didapatkan D hitung = 0.09 < D tabel 0.1581, dengan taraf nyata 5%, ternyata H0 diterima. artinya data (kelompok kontrol) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data berdistribusi normal maka digunakan uji T, untuk pengujian karena kita ingin membandingkan tingkat stress penderita TB paru kelompok intervensi dan kontrol maka dibandingkan pre pada kelompok kontrol dengan pre pada kelompok intervensi dan post pada kelompok kontrol dengan post pada kelompok intervensi. Tabel 1. Prosentase tingkat strss, cemas dan depresi dari responden kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan intervensi psikoedukasi No Tingkat stres, cemas dan depresi Sebelum intervensi Sesudah intervensi Jumlah Prosentase jumlah Prosentase 1 Normal 28 75,7 2 Ringan 24 orang 64,9 % 9 24,3 3 Sedang 13 orang 35,1 % Tabel 2. Prosentase tingkat strss, cemas dan depresi dari responden kelompok kontrol No Tingkat stres, cemas dan depresi Pengukuran pertama Pengukuran kedua Jumlah Prosentase jumlah prosentase 1 Normal 3 8,1 2 Ringan 23 62,2 28 75,7 3 Sedang 14 orang 37,8 6 16,2 Tabel 3. Perhitungan nilai t mengunakan Ms. Excel dan didapatkan nilai t sebagai berikut : t-Test: Paired Two Sample for Means Intervensi(Pre) Kontrol(Pre) Mean 54.02702703 54.10810811 Variance 142.5825826 282.9324324 Observations 37 37 Pearson Correlation -0.101389018 Hypothesized Mean Difference 0 Df 36 t Stat -0.022840948 P(T<=t) one-tail 0.490951641 t Critical one-tail 1.688297694 P(T<=t) two-tail 0.981903282 t Critical two-tail 2.028093987 Kriteria Uji : Tolak H0 jika T hitung > T table Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 128-133 131 Nilai T hitung diatas yaitu t stat = -0.022840948 < t tabel diatas yaitu = 2.028093987 maka H0 di terima. Sampel diatas dapat diketahui bahwa rata –rata tingkat stress penderitas TB paru pada kelompok intervensi sebelum diberikan terapi psikoedukasi sama dengan rata –rata tingkat stress penderita TB paru kelompok Kontrol sebelum diberikan terapi psikoedukasi dengan taraf signifikansi 5%, artinya tidak ada perbedaan tingkat stress penderita TB paru pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum diberikan terapi psikoedukasi. Hasil analisis menggunakan uji t diatas dapat kita ketahui bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat stress penderita TB paru sebelum diberikan terapi psikoedukasi pada kelompok interverensi dan kelompok kontrol. Kemudian ketika penderita TB paru diberikan terapi psikoedukasi dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan tingkat stress penderita TB paru yang diberikan terapi psikoedukasi (kelompok intervensi) dengan penderita TB paru yang tidak diberikan terapi psikoedukasi (kelompok kontrol), dapat kita lihat pada hasil perbandingan T hitung dengan T tabel juga selain itu dapat kita lihat dari nilai mean tingkat stress penderita TB paru setelah diberikan terapi psikoedukasi (kelompok intervensi) sebesar 27.05405405 sedangkan nilai mean penderita TB paru yang tidak diberikan terapi psikoedukasi = 47.72972973, semakin kecil nilai mean tingkat stress penderita TB paru maka semakin baik untuk kondisi psikologis penderita TB paru. Jadi, pemberian terapi psikoedukasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat depresi, cemas dan stress pada penderita TB paru sehingga pemberian terapi psikoedukasi sangat berguna dan baik untuk diterapkan kepada penderita TB paru untuk mengurangi tingkat depresi, cemas dan stress penderita. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa tingkat depresi, cemas, dan stres, yang diukur dengan DASS, baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol sebagian besar mengalami tingkat ringan, dan hampir setengahnya mengalami tingkat sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita TB paru mengalami masalah psikososial yang cukup signifikan yang termanifestasi dalam bentuk stres, cemas dan depresi. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Padayatchi et al. (2010) di India yang menemukan bahwa sampai dua tahun setelah terdiagnosa TB paru, penderita masih mengalami stres, cemas dan depresi. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan dari Venkatraju & Prasad (2013) di India yang menggali masalah psikososial yang dialami penderita TB dengan menggunakan metode kualitatif. Salah satu hasil penelitian penelitian mereka adalah bahwa penderita merasa cemas dan takut dalam menjalani hidup dengan TB paru. Untuk mengatasi masalah psikososial yang dihadapi oleh penderita TB paru, pada penelitian ini telah dilakukan psikoedukasi (psikoedukasi aktif dan pasif). Psikoedukasi merupakan pendidikan kesehatan untuk mengatasi masalah psikososial bagi pasien baik yang mengalami penyakit fisik maupun gangguan jiwa (Donker et al. 2009). Psikoedukasi ini terdiri dari psikoedukasi aktif dan pasif. Psikoedukasi aktif dilakukan dengan melakukan konseling bagi pasien yang mengalami masalah psikososial terkait penyakit yang dialaminya sedangkan psikoedukasi pasif dilakukan dengan memberikan booklet, pamplet, website atau video tentang bagaimana mengatasi masalah psikososial yang biasanya dialami oleh penderita TB. Pada penelitian ini dilakukan kombinasi keduanya sehingga diharapkan dapat lebih efektif dalam mengatasi masalah pasien. Pasien terdiagnosa TB paru mengalami banyak masalah psikososial. Selama mereka mencari pertolongan atau berobat kepuskesmas, menurut hasil penelitian tahap 1 (satu) kami, terdapat 5 aspek kebutuhan psikososial yang tidak terpenuhi antara lain kebutuhan akan tenaga profesional kesehatan, kebutuhan emosional dan spiritual, kebutuhan informasi, kebutuhan dukungan jaringan dan kebutuhan praktis (Suryani et al. 2014). Sebagian besar responden (62%) pada penelitian tahap satu menyatakan bahwa tidak ada pelayanan pendukung yang dapat memberikan dukungan psikososial bagi mereka. Sehingga masalah psikososial yang dialami mereka tidak pernah teratasi. Karena itu pada penelitian tahap dua kami peneliti meneliti tentang terapi yang kemungkinan besar bisa mengatasi masalah psikososial yang mereka alami agar penderita mempunyai strategi koping yang konstruktif sehingga dapat mengatasi berbagai masalah psikososial yang mereka alami dan terbebas dari stres, cemas maupun depresi. Psikoedukasi menurunkan tingkat depresi (Suryani, dkk.) 132 Hasil penelitian tahap dua menunjukkan bahwa psikoedukasi efektif dalam menurunkan tingkat stres, cemas dan depresi yang dialami penderita TB paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Donker et al. (2009) di Netherland yang menyimpulkan bahwa terapi psikoedukasi pasif berupa pemberian leaflet efektif dalam menurunkan gejala depresi dan stres. Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaliakbarova et al. (2013) di India yang menemukan bahwa terapi kelompok psikososial support yang diberikan kepada pasien dapat menurunkan frekuensi putus obat pada pasien TB. Terapi psikoedukasi yang telah dilakukan kepada kelompok Intervensi berupa gabungan dari psikoedukasi aktif dan psikoedukasi aktif. Pemberian terapi gabungan (aktif dan pasif) ini didasarkan pada temuan sebelumnya oleh Moult et al. (2004) bahwa informasi kesehatan yang diterima oleh seorang pasien bisa terlupakan dalam beberapa menit setelah mereka mendapatkan informasi, karena itu diperlukan booklet supaya penderita bisa mengulang di rumah apa yang telah dibicarakan sebelumnya dengan perawat. Penderita TB yang datang ke Puskesmas yang masuk kedalam kelompok intervensi diberikan konseling tentang masalah psikososial yang mereka hadapi, kemudian diberikan booklet yang berisi tentang cara–cara mengatasi masalah psikososial yang biasa dialami penderita TB. Kombinasi kedua pendekatan psikoedukasi (pasif dan aktif) ini sangatlah efektif dalam mengatasi masalah psikososial penderita TB, terbukti dengan hasil penelitian yang signifikan dimana terdapat perbedaan yang bermakna dari tingkat depresi, cemas dan stres kelompok intervensi dan kelompok kontrol. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi psikoedukasi terbukti efektif menurunkan tingkat stres, cemas dan depresi pada penderita TB paru. Pada penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan terapi psikoedukasi haruslah mempertimbangkan latar belakang pendidikan dari penderita. Pada umumnya mereka yang menderita penderita TB paru adalah mereka yang berlatar pendidikan rendah dan miskin, karena itu psikoedukasi baik pasif maupun aktif harus dilakukan menggunakan bahasa awam, bukan bahasa ilmiah. Saran Saran kepada perawat puskesmas penanggung jawab pengobatan TB paru di rumah sakit dan Puskesmas untuk selalu mengkaji masalah psikososial penderita TB. Perawat juga diharapkan melakukan terapi psikoedukasi bagi mereka dengan bahasa yang dimengerti oleh penderita. Kepada kepala puskesmas disarankan untuk membuat ruangan pojok konseling bagi penderita TB dan memperbanyak booklet mengatasi masalah psikososial pada penderita TB yang dihasilkan pada penelitian ini untuk dibagikan pada penderita yang datang berobat ke Puskesmas KEPUSTAKAAN (WHO), W.H. organization, 2010. Multidrug and extensively drug-resistant TB (M/XDR-TB): 2010 global report on surveillance and response., Geneva. Aye´, R. et al., 2011. Factors determining household expenditure for tuberculosisand coping strategies in Tajikistan. Tropical Medicine and International Health, 16(3), pp.307–313. B., V. & S., P., 2013. Psychosocial trauma of diagnosis: A qualitative study on rural TB patients’ experiences in Nalgonda District, Andhira Pradesh. Indian Journal of Tuberculosis, 60, pp.162 – 167. Bauml et al., 2006. Psychoeducation: A Basic Psychotherapeutic Intervention for Patients With Schizophrenia and Their Families. Schizophrenia Bulletin, pp.S1– S9. Dahlan, S.M., 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Deskriptif, bivariat, dan multivariat dilengkapi aplikasi dengan menggunakan SPSS (D.J. Ishardini, Ed) 5th ed., Jakarta: Salemba Medika. Donker, T. et al., 2009. Psychoeducation for depression, anxiety and psychological distress: a meta-analysis. BMC Medicine, 7(1), p.79. Available at: http://www.biomedcentral.com/1741- 7015/7/79. Jong, K., 2011. Psychosocial and mental heanth interventions in areas of massive violence 2nd ed., Medecins san frontier. Amsterdam: Rozenberg Publishing Services. Jurnal Ners Vol. 11 No. 1 April 2016: 128-133 133 Kaliakbarova, G. et al., 2013. Psychosocial Support Improves Treatment Adherence Among MDR-TB Patients: Experience from East Kazakhstan. The Open Infectious Diseases Journal, 7, pp.60–64. Moult, B., Franck, L. & H., B., 2004. Ensuring quality information for patients: development and preliminary validation of a new instrument to improve the quality of written healthcare material. Health Expectations, 7(2), pp.165–173. Padayatchi, A. et al., 2010. Case series of the long-term psychosocial impact ofdrug- resistant tuberculosis in HIV-negative medical doctors. International Journal Tuberculosis Lung Disesase, 14(8), pp.960–966. Suryani et al., 2014. Psychosocial need analysis of patients with pulmonary tuberculosis. Makara Journal of Health Research, 18(3).