NERS Vol 10 No 1 April 2015.indd 48 RESPONS DAN KOPING PASIEN PENDERITA KANKER SERVIK TERHADAP EFEK KEMOTERAPI (Response and Coping on Physically to Side Effect Cemotherapy in Women Suffered Cervical Cancer) Winarsih Nur Ambarwati*, Erlinda Kusuma Wardani* *Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A Yani Pabelan, Kartasura, Telp. 0271-711774, Tromol Pos 1, Surakarta 57102 Email: winarsih.Ambarwati@ums.ac.id ABSTRAK Pendahuluan: Kanker serviks adalah kanker yang menyebabkan sebagian besar kematian terutama di negara-negara berkembang. Manajemen untuk kanker yang umum adalah kemoterapi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengembangkan konsep respon dan koping pasien kanker serviks yang menerima kemoterapi. Metode: Desain penelitian menggunakan metode kualitatif dengan Fenomenologi. Subjek penelitian adalah wanita dengan kanker serviks dirawat dengan kemoterapi di Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel purposive sampling. Instrumen penelitian yaitu wawancara, observasi, alat tulis dan rekaman perangkat, dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil: Respons fi sik pasien kanker serviks kemoterapi termasuk mual, muntah, sembelit, neuropati perifer, kelelahan, penurunan berat badan, alopecia, toksisitas kulit, nafsu makan menurun, nyeri, perubahan rasa di lidah. Koping pasien menggunakan cara-cara tradisional, dan sangat sedikit farmakologis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Analisis dan Diskusi: Kemoterapi memberikan efek nyata terhadap fi sik. Pasien pada umumnya mengatasi dengan cara tradisional dan non-farmakologis. Saran: hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan penelitian lanjutan dalam hal pengembangan intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker. Kata kunci: respons, koping, fi sik, kemoterapi ABSTRACT Introduction: The Cervical cancer is a cancer that causes most deaths especially in developing countries. The management for most cancer is chemotherapy. Chemotherapy has many impacts in many areas of life, among others, the impact lays on the physical and psychological. Lack of information about the side effects of chemotherapy treatments cause the quality of life of patients continued to decline. The Objective of the research: It: is to develop the concept of responses and coping physically of the cervical cancer patients who received the chemotherapy. Methods: The study design was designed using qualitative methods. The approach used was qualitative research of the Phenomenology Study. The subjects of the research were the women with cervical cancer treated by chemotherapy in Hospital of Dr. Moewardi of Surakarta. The sampling technique was the purposive sampling. The research instruments were interview guidelines, observation guidelines, stationery and recording devices, and fi eld notes. The data analysis would be conducted by using qualitative analysis. Result: The physical response of cervical cancer patients on chemotherapy include nausea, vomiting, constipation, peripheral neuropathy, fatigue, weight loss, alopecia, skin toxicity, decreased appetite, pain, change in taste on the tongue. The coping of the patients generally use traditional ways or leave it, and very few pharmacological were used to resolve the problem. Discussion: Chemotherapy give real effect to the physical. Patients in general were coping by traditional and non-pharmacological means. Suggestion: the results of the research can be used as evidence-based research in the treatment of cervical cancer patients with chemotherapy and used as the basis for the development of interventions to improve the life quality of the patients. Keywords: response, coping, physical, chemotherapy PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan penyakit kanker yang menimbulkan kematian terbanyak terutama di negara berkembang. Setiap tahun lebih dari 270.000 wanita meninggal karena kanker servik, 85% dari kematian ada pada negara dengan pendapatan menengah ke bawah (WHO, 2013). Kanker serviks menempati peringkat pertama penyebab kematian pada wanita dengan kasus keganasan kanker. Berdasarkan catatan dari buku registrasi rekam medik Di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Dr. Moewardi Surakarta jumlah kasus kanker serviks pada tahun 2012 sejumlah 841 kasus. Tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah penderita kanker serviks menjadi 1.757 kasus. Penatalaksanaan untuk kanker serviks alternatif pengobatan utama adalah kemoterapi. 49 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) Kemoterapi memiliki dampak yang nyata dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dampak terhadap fi sik dan psikologis. Banyak sekali ditemukan bahwa program terapi yang direncanakan seringkali tidak selesai-selesai karena setiap kali pasien harus kemoterapi terpaksa harus ditunda karena kondisi pasien yang tidak memenuhi syarat untuk kemoterapi. Rata-rata disebabkan karena keadaan umum yang jelek seper ti H b rendah, kondisi memburuk, pasien sakit-sakitan karena daya tahan pasien menurun akibat pengaruh obat kemoterapi, pasien tidak mau melanjutkan program kemoterapi karena merasa sudah sembuh atau drop out. Kondisi ini disebabkan karena pasien tidak mendapat informasi yang adekuat tentang penyakit, penatalaksanaan dan perawatan efek samping kemoterapi dan minimnya informasi dari tenaga kesehatan. Kondisi ini menyebabkan kualitas hidup pasien terus menurun. Pasien penderita kanker servik dengan kemoterapi merupakan suatu pengalaman yang sangat individual dan berbeda antar wanita satu dengan lainnya. Melihat fenomena di atas, dan masih terbatasnya penelitian mengenai respons dan koping pada wanita yang menderita kanker servik dengan kemoterapi terhadap efek samping secara f isik maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif studi fenomenologi untuk mengidentifi kasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan konsep respons dan mekanisme koping wanita menderita kanker servik yang mendapat kemoterapi terhadap fi sik. BAHAN DAN METODE D e s a i n p e n e l i t i a n d i r a n c a n g menggunakan metode kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif Studi fenomenologi. Subjek penelitian adalah wanita penderita kanker serviks dengan kemoterapi Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Partisipan diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen dalam penelitian kualitatif ini adalah pedoman wawancara, pedoman observasi, alat tulis dan juga alat perekam untuk merekam dan mendokumentasikan (Handphone Lenovo A516 dan kamera digital Samsung E91) serta catatan lapangan (fi eld note). Teknik pengumpulan data pada tahap pertama akan dilakukan dengan wawancara mendalam pada pasien penderita kanker servik untuk meng ident if i ka si respons d a n kopi ng. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang perubahan fi sik pasien setelah diberikan kemoterapi. Analisa data akan dilakukan menggunakan analisa kualitatif. Prinsip etik yang digunakan adalah respect for persons, benefi cence, justice, and respect for communities. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Partisipan Jumlah partisipan dalam penelitian ini ada 8 orang wanita penderita kanker servik. Deskripsi dari partisipan sebagai berikut: Partisipan berusia 42, 49, 54, 55, 58, 60 dua orang dan 62 tahun. Stadium kanker servik IIB 6 orang, III A 1 orang dan IIIB 1 orang. Telah menjalani kemoterapi tiga kali 2 orang, empat kali 1 orang, lima kali 4 orang dan enam kali 1 orang. Pendidikan terakhir semua SD. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga 5 orang, wiraswasta 2 orang sebagai buruh 1 orang. Agama Islam 7 orang, dan Budha 1 orang. Respons dan koping wanita menderita kanker servik yang mendapat kemoterapi terhadap fi sik adalah sebagai berikut: Mual dan muntah “Sekitar 1 sampai 2 jam setelah dikemo terus merasa mual dan muntah...Cuma mual saja tidak sampai muntah...hilang timbul” (P1). “Sekitar setengah jam setelah diberi kemo...mual setiap kemo apa saja yang masuk muntah...masakan dari Rumah Sakit” (P2). “Saat diberi obat ya merasa mual mbak... Hilang timbul...setiap 5 menit sekali merasa mual dan muntah...bau gorengan, bau makanan manis-manis dan minuman manis- manis” (P3).”Saat diberi obat kemo mual tapi ga sampai muntah...mual terus...bau sayur sop, sayur terik atau sayur bersantan, 50 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 bau soto dan bau pesing” (P4). “Mual aja ga sampai muntah...2 jam sampai di rumah terus mual...sekitar 2 sampai 3 hari baru hilang... hilang timbul... kalo makan yang lembek-lembek.. telor yang amis-amis itu sama makanan yang lembek” (P5). “ Waktu diberi obat kemonya saja mbak. Masuk obat itu terus mual... sampai muntah” (P6).” Iya mbak waktu obatnya masuk aja” (I6). “Saat dikasih kemo itu mbak... biasanya kalo dapat makanan dari rumah sakit mbak langsung mual” (I7). “Kalo obat kemonya habis sudah tidak mual dan muntah mbak rasanya mual saat dikasih obat aja... mual saja mbak jarang muntah” (P7). Berdasarkan hasil observasi terhadap pasien penderita kanker ser viks dengan kemoterapi, ditemukan data pasien nampak lemas, sering meludah saat wawancara. Kemudian dari hasil catatan lapangan (fi eld note), peneliti menemukan bahwa selama wawancara P4 menghirup bau minyak kayu putih. Serta selama wawancara partisipan tidak merasa mual dan muntah. Respons fi sik berupa mual dan muntah munculnya bervariasi yaitu pada saat selama pemberian kemoterapi, setiap lima menit, setengah sampai 2 jam setelah pemberian kemoterapi dan bahkan mual dan muntah dapat terjadi sehari, dua dan tiga hari setelah pemberian kemoterapi. Sensasi yang dirasakan ada mual atau mual dan muntah. Munculnya gejala mual dan muntah ada yang hilang timbul dan terus menerus. Menurut Gralla, Grunberg dan Messner (2008), mual dan muntah akut terjadi pada 24 jam pertama setelah kemoterapi sedangkan mual dan muntah yang terlambat merupakan efek samping yang terjadi sehari setelah kemoterapi atau bahkan beberapa hari setelah kemoterapi. Pasien sering tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah efek samping dari kemoterapi. R e s p o n s m u a l d a n m u n t a h diklasifi kasikan menjadi akut, terlambat, dan antisipatif. Akut terjadi kurang dari 24 jam setelah kemoterapi, terlambat terjadi 24 jam atau lebih setelah kemoterapi. Muntah dapat diinduksi oleh berbagai zat kimia, obat sitostatik dan yang diperantai melalui Chemoreceptors trigger zone (CTZ). CTZ berlokasi di medulla yang berperan sebagai chemosensor. Area ini kaya akan berbagai reseptor neurotransmitter. Contoh dari reseptor-reseptor tersebut antara lain reseptor kolinergik dan histamin, dopaminergik, opiate, serotonin, neurokinin dan benzodiazepine. Agen kemoterapi, metabolitnya, atau komponen emetik lain menyebabkan proses muntah melalui salah satu atau lebih dari reseptor tersebut. Mual dan muntah antisipatif merupakan respons yang timbul karena riwayat mual dan muntah yang tidak terkontrol. Ini mungkin dipicu oleh selera, bau, pikiran, atau kecemasan yang berhubungan dengan kemoterapi. Mual terdiri dari dorongan untuk muntah. Ini bisa disertai dengan gejala otonom seperti pucat, takikardia, diaphoresis dan mukosa bibir kering (Hawkins & Grunberg, 2009). Faktor pemicu rasa mual dan muntah meliputi aroma masakan dari rumah sakit, makanan yang berminyak, makanan yang berlemak, makanan dan minuman yang manis, bau yang menyengat (pesing), makanan dengan tekstur yang basah/lembek, makanan yang berbau amis, masakan yang bersantan. Menurut Hawkins & Grunberg (2009), mual dan muntah dapat dipicu oleh bau, pikiran dan kecemasan terkait dengan kemoterapi. Koping terhadap mual dan muntah “Makan apel, pepaya atau jeruk... karena suka jenis buah itu...waktu makan buah ya tidak merasa mual mbak” (P2). “Makan buah apa saja yang penting tidak terlalu manis...kalau jeruk terlalu manis saya juga tidak mau...ya karena saya suka buah itu saja... iya ada perbedaan rasanya menjadi tidak mual lagi” (P3). “Ini mbak menghirup minyak kayu putih...karena saya tau sendiri...iya mbak rasa mualnya jadi berkurang”(P4). “Minum air putih saja...tidak ada yang memberitahu karena saya tahu sendiri...rasanya jadi enak dan jadi hilang rasa mualnya jadi pengen makan” (P5). “Makan buah pepaya atau apel yang penting tidak terlalu manis...ya karena saya suka jenis buah itu...jadi berkurang mual dan muntahnya” (P7). Koping pasien dalam menghadapi rasa mual muntah di antaranya adalah memberikan makanan yang disukai pasien, menghirup aromaterapi, makan buah-buahan seperti apel, jeruk, pepaya, duku, pir dan minum air putih. 51 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) Dalam menghadapi rasa mual dan muntah pasien lebih memilih dengan cara mereka sendiri berdasarkan pengalaman, informasi dari tetangga atau teman sedikit yang secara inisiatif pribadi meminta dokter memberikan obat antimual. Berbeda dengan orang barat yang memiliki kecenderungan yang tinggi permintaan pendekatan farmakologi. Cara- cara yang dilakukan ternyata cukup efektif. Berdasarkan sumber dari Cancer care cara- cara untuk mengurangi mual muntah dapat dilakukan dengan menghindari makanan manis, gorengan, makanan berlemak dan makanan yang terlalu ekstrem baunya. Jenis makanan yang memenuhi kriteria di atas adalah di antaranya buah-buahan. Karena buah memiliki aroma yang segar tidak menyebabkan rasa mual, merupakan sumber gula alami yang baik dan kaya akan serat dan air. Selain itu minum air yang adekuat juga sangat dianjurkan untuk menghindari dehidrasi selama mendapat kemoterapi (Gralla, Grunberg dan Mesner, 2012). Orang Jawa juga sangat senang menggunakan minyak seperti minyak kayu putih, minyak telon, minyak-minyak tradisional lain yang sangat banyak untuk dioles atau dihirup. Menurut Loprinzi & Messner (2012) penanganan mual dan muntah selain dengan perawatan medis yaitu makan dan minum perlahan, makan makanan kecil sepanjang hari sebagai pengganti sarapan, makan siang dan makan malam. Hindar i makanan yang manis, makanan yang digoreng atau makanan yang berlemak, serta makanan dengan bau yang kuat, makan makanan dingin atau pada suhu kamar bisa membantu menghindari bau yang kuat, minum air yang cukup. Konstipasi “Sekitar seminggu, hanya sekali dan sedikit-sedikit...bentuknya keras juga sulit dikeluarkan” (P1). “Setelah kemoterapi ada sekitar 1 minggu...keras sekali seperti tai kambing, keras dan mringkil-mringkil” (P3). “Ini sudah 2 hari belum BAB, mringkil – mringkil gitu dan ada darahnya...warnanya hitam” (P4) “Di elus-elus punggung bagian belakang...karena keinginan saya sendiri... iya jadi bisa keluar tapi ya masih meringkil- meringkil gitu” (P4).. “ya sampai rumah juga belum bisa BAB... Ya ada seminggu... keras, tapi ya ga keras sekali, mringkil” (P6). “sampai di rumah sekitar 1 minggu baru bisa keluar BAB nya mbak... keras sekali... sedikit- sedikit” (P7). “sekitar 5 hari sampai 1 minggu mbak... keras..iya sulit” (P8). Respons fisik pada sistem eliminasi yang dirasakan responden yaitu berupa feses yang keluar dengan jumlah yang sedikit, teksturnya keras, rasa tidak nyaman, kecil- kecil, seperti feses kambing dan ada darahnya berwarna hitam. Konstipasi terjadi selama kurang lebih lima sampai satu minggu. Defi nisi konstipasi menur ut WGO (2007) adalah memenuhi kriteria buang air besar kurang dari tiga kali seminggu, feses keras lebih dari 25%, perasaan tidak puas atau tidak lengkap pengeluaran feses, diperlukan mengejan yang kuat. Menurut Avila (2004), pasien dengan kanker terutama dengan kanker stadium lanjut memiliki beberapa faktor yang menyebabkan konstipasi yaitu penggunaan analgesik opioid (opioid bekerja dengan menurunkan peristaltik dan meningkatkan tonus spincter pada katup ileocaecal sehingga perjalanan usus menjadi pelan memungkinkan meningkatnya absorpsi cairan, juga dapat mengurangi sekresi cairan pada usus dan mengurangi sensitivitas rektum untuk diregang), berkurangnya intake makanan dan minuman, mobilitas yang berkurang, usia lanjut dan terkait kondisi keganasan dari kanker itu sendiri. Selain opioid, terdapat juga golongan obat yang dapat menyebabkan konstipasi seper ti agen kemoterapi, anti kolinergik (antidepresan trisiklik, fenotiazin), kalsium atau aluminium yang mengandung antasida dan antiemetik. Sitotoksik agen kemoterapi dapat menghambat fungsi neurologis atau otot saluran cerna, terutama pada usus besar menyebabkan makanan masu k ke usus dengan sangat lambat. Akibatnya air terlalu banyak diserap usus, maka feses menjadi keras dan kering. Seseorang yang mengalami kanker dikatakan mengalami konstipasi atau sembelit apabila frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu setelah pemberian kemoterapi dengan konsistensi keras. Pasien dengan kanker terutama yang 52 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 memiliki kanker stadium lanjut memiliki faktor yang menyebabkan konstipasi yaitu penggunaan analgesik opioid, berkurangnya intake makanan dan minuman, berkurangnya mobilitas, usia lanjut, atau kondisi keganasan terkait misalnya obstr uksi usus parsial, hiperkalsemia yang berhubungan dengan tumor, dan akibat kemoterapi (Avila, 2004). Koping terhadap Konstipasi “Makan kates sama makan sayur juga” (P1). “Makan kates dan pisang...ya saya kira- kira saja dari pengalaman yang dulu-dulu itu kok setelah mengkonsumsi kates atau pisang itu BAB nya jadi lancar...iya merasakan perubahannya BAB nya jadi bisa keluar” (P3). “Di elus-elus punggung bagian belakang... karena keinginan saya sendiri...iya jadi bisa keluar tapi ya masih meringkil-meringkil gitu” (P4). “Makan pepaya...ada yang memberitahu dari tetangga kalo pepaya bisa melancarkan BAB...iya jadi bisa keluar BAB nya” (P6). “Makan pepaya...ya suster dan dokter yang memberitahu kalo pepaya bisa melancarkan BAB...kadang ya iya bisa keluar kadang ya tidak” (P7). “Makan pepaya...banyak yang memberitahu teman-teman pasien disini juga memberitahu...ya jadi lebih mudak keluarnya BAB nya” (P8). Kopi ng pa sie n d ala m me ngat a si kelu ha n konst ipasi mengg u na ka n ca ra tradisional, informasi tentang cara tersebut diperoleh dari teman dan tetangga. Cara- cara yang ditempuh pada umumnya jarang menggunakan pendekatan farmakologi. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi konstipasi yaitu mengonsumsi makanan tinggi serat seper ti buah pepaya dan pisang, say ur, melakukan teknik distraksi untuk mengatasi nyeri saat BAB seper ti dimasage pada punggung belakang. Dengan minum cukup air dan makanan berserat akan membantu pergerakan feses dan membuat feses menjadi lebih lunak. Peningkatan aktivitas fi sik juga akan membantu dalam mengatasi konstipasi. Cancer Care (2012) merekomendasikan cara untuk mengatasi konstipasi adalah dengan minum air adekuat, diet high fi ber, exercise and hati-hati penggunaan laksatife. Neuropati perifer “Pa s cuacanya dingin aja ter us kesemutan...kalo cuacanya sudah panas lagi ya sudah hilang...Cuma beberapa jam” (P3). “Gemetar semenjak 2 bulan yang lalu...kalo tangan pas kecapean...agak sulit digerakkan jarinya... Hilang timbul...kalo kecapekan jalan juga di kaki” (P4). “waktu kepanasan itu mbak langsung gemetar dan pusing” (P5). “kemarin kemo yang kelima itu mbak mulai jimpe... setiap hari mbak... ini di jari tangan dan jari kaki” (P7). “saat tiduran itu tiba-tiba terasa kesemutan jimpe... ga terus menerus mbak, dikit-dikit ya hilang nanti... semenjak dikemo itu mbak terus kesemutan... di tangan sampai lengan dan terkadang di kaki” (P8). Berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bahwa tangan bagian kanan P4 bergetar dan sulit menggerakkan jari tangan dan skala otot tangan kanan 4. Berdasarkan hasil catatan lapangan (fi eld note) didapatkan data bahwa selama wawancara P4 menekankan t a nga n nya pa d a t e mpat t idu r supaya mengurangi gemetar di tangannya. Keluhan pada saraf yang dirasakan adalah kesemutan, gemetar, sulit digerakkan pada tangan (jari-jari), lengan sampai kaki. Lebih sering timbul pada cuaca yang dingin dan kelelahan, munculnya hilang timbul. Neuropati perifer adalah seperangkat gejala yang disebabkan oleh kerusakan pada saraf yang lebih jauh dari otak dan sumsum tulang belakang. Saraf perifer berfungsi membawa sensasi ke otak dan mengontrol pergerakan lengan, kaki, kandung kemih dan usus. Beberapa obat kemoterapi yang d ig u n a k a n u n t u k m e n go b a t i k a n ke r menyebabkan neuropati perifer. Gejala yang umum terjadi adalah kesemutan, penurunan kemampuan u nt u k merasakan tekanan, sent u han, panas dan dingin, kesulit an menggerakkan jari jari untuk mengambil dan menjatuhkan sesuatu dan kelemahan otot. Neuropati perifer dapat terjadi setiap saat setelah pengobatan dimulai dan akan semakin parah sei r i ng ber jalan nya pengobat an. Beb e r apa fa k t or ya ng me mp e nga r u h i neuropati perifer adalah usia pasien, intensitas kemoterapi, dosis obat, durasi pemberian kemoterapi dan penggunaan bersamaan 53 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) dengan agen kemoterapi neurotoksik lainnya, dan kondisi yang sudah ada seperti diabetes dan pecandu alkohol (Wolf et al., 2008). “diolesi fresh care...ya tidak ada yang memberitahu supaya hangat saja...iya mbak berkurang rasa kesemutannya kalo diberi fresh care” (P3). “tangannya saya tekankan pada kasur mbak...iya mbak jadi berkurang gemetarnya” (P4). “Saya buat istirahat duduk atau mencari tempat yang tidak panas...iya mbak gemetarnya menjadi hilang” (P5). Upaya untuk mengatasi rasa kesemutan dengan cara masage dengan minyak supaya hangat, istirahat, mencar i tempat yang nyaman. Toksisitas Kulit “Ini sampai sekarang kulit gosongnya belum hilang...biasanya ga sampe panjang dan lama seperti ini” (P1). “Hanya di bagian lengan tidak di tubuh...3 hari langsung hilang” (P2). “di infus kemo itu jadi agak hitam gosong gini, dulu juga pernah seperti ini” (P6). “kemo kemarin juga seperti itu mbak. Tapi 2 hari sudah hilang” (I6). Berdasarkan hasil observasi, didapatkan data terjadinya perubahan warna vena menjadi lebih gelap di bagian tangan kanan P1 dengan panjang ± 7 cm, dan pada bagian tangan kiri P6 dengan panjang ± 4 cm. Berdasarkan hasil pemeriksaan fi sik didapatkan data tidak ada nyeri tekan. Respon fisik berupa toksisitas kulit sebagian besar ber upa per ubahan war na vena menjadi lebih gelap yang terjadi pada sepanjang vena daerah sekitar lokasi pemberian kemoterapi. waktu terjadinya perubahan warna vena adalah saat pemberian kemoterapi dan akan hilang sekitar 2 sampai 3 hari. Menurut Aydogan et al (2004), efek samping sistemik kemoterapi pada kulit dapat berupa eritema atau garis hiperpigmentasi yang menyebar di sepanjang jaringan vena superfi sial di anterior lengan kanan dan lengan kiri bagian distal. Gejala ini dapat muncul 24 jam sampai 15 hari setelah pemberian kemoterapi dan akan menghilang secara spontan setelah satu sampai tiga minggu. Sedangkan menurut American Cancer Societ y (2013), ketika obat kemoterapi diberikan melalui infus, obat kemoterapi tertentu dapat menggelapkan kulit sepanjang vena. Perubahan warna ini biasanya dapat menghilang dari waktu ke waktu setelah perawatan berakhir. Toksisitas k ulit tidak mengancam kehidupan tetapi memperburuk kualitas hidup pasien. Agen sitotoksik seperti siklofosfamid, Klorambusil, Busulfan, Prokarbazin dapat menyebabkan efek samping pada rambut dan kuku (alopecia, paronychia, melanonychia) pada barier kulit (ruam kulit, kulit kering, hiperpigmentasi) dan mukosa (Steven Johnson Syndrome dan nekrolisis epidermal toksik). I n hibitor t ransdu ksi sinyal, k hususnya antagonis EGFR adalah kelas bar u agen kemoterapi, yang mengakibatkan efek samping dalam praktek klinis dermatologi. Paling sering dilaporkan efek kulit beracun yang berasal dari obat ini adalah ruam folikular papulo pustular yang didefi nisikan sebagai bentuk jerawat karena melibatkan atas semua wajah dan daerah seboroik, kulit kepala serta dada. Tetapi sangat jarang terjadi di daerah ekstremitas dan punggung. Gejala pada kulit tersebut muncul selama dua minggu pertama pengobatan. Disertai dengan pruritus yang sangat rentan terhadap infeksi bakteri (Fabbrocini et al., 2012). Koping terhadap Toksisitas Kulit “D i b i a r k a n s a j a n a n t i h i l a n g sendiri..(P1) Minum air putih yang banyak... dokter yang bilang kalo kemo itu harus banyak minumnya...iya mbak gosongnya jadi hilang” (P2) “ minum air putih...(P6). Upaya untuk mengatasi per ubahan pada pembuluh darah vena adalah minum air putih, anjuran ini di dapatkan dari dokter. Pada umumnya tidak banyak yang dilakukan, pasien yang mengalami efek samping ini membiarkannya dan mengikuti anjuran dokter unt uk minum air putih. Walaupun tindakan ini tidak mengatasi secara langsung tetapi intake air yang adekuat akan memberikan kesegaran, mencegah dehidrasi dan meningkatkan fungsi-fungsi metabolisme dalam tubuh. Sangat sedikit referensi yang melaporkan cara mengatasi toksisitas kulit ini Aydogan et al (2004) menyarankan cara 54 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 untuk meminimalkan efek tersebut adalah dengan penatalaksanaan obat kemoterapi yang baik dan hati-hati. Pasien dapat menggunakan lotion untuk melembabkan kulit. Alopecia (kerontokan rambut) “Saya sisir langsung brol banyak penuh, saya tarik langsung ketut semua...habisnya rontok itu kurang lebih satu bulan rontok habis semua rambutnya...ga Cuma rambut sini tapi semua rambut di badan habis. Rambut alis, ketiak... saya kasih jadam itu mbak lidah buaya itu mbak setiap hari...satu bulan baru mau tumbuh...hitam mbak...jadi lebih kasar” (P2). “Rontok sedikit-sedikit gitu...iya jadi lebih kasar” (P3). “Hanya sedikit – sedikit... jadi lebih kasar” (P4). “waktu tidur itu rontok. Disisir juga rontok... panjang – panjang gitu banyak sekali... sudah sedikit rambutnya” (P5). “Waktu cuci selimut itu sampai selimutnya juga saya sisir karena banyak rambutnya yang rontok disana” (I5). “sekitar 1 minggu setelah kemo yang pertama... Tapi ya dikit – dikit... Kalo disisir itu ya rontok” (P6). “sekitar 2 bulan setelah kemo yang pertama... pertama ya buanyak buanyak gitu mbak sekarang sampai habis gini... Rambut di kemaluan bawah juga rontok mbak” (P7). “habis dikemo itu terus rontok tapi ya sedikit-sedikit rontoknya... jarang-jarang rambutnya dan gak nambah panjang-panjang mbak rambutnya” (P8). Dari hasil observasi didapatkan data distribusi rambut tidak merata, rambut tipis, rambut di bagian atas lebih sedikit dan tekstur rambut lebih kasar dan sebagian besar pasien yang mengalami kerontokan rambut saat tidur dan disisir. Waktu terjadinya kerontokan rambut beragam yaitu 1 minggu sampai 2 bulan setelah pemberian kemoterapi yang pertama. Jumlah rambut yang mengalami kerontokan juga beragam yaitu sedikit demi sedikit dan langsung banyak. Kerontokan rambut yang terjadi berlangsung sekitar 1 bulan sampai rambut benar-benar habis. Selain itu, setelah menjalani kemoterapi tekstur rambut juga berubah menjadi lebih kasar, mudah patah dan pertumbuhan rambut menjadi lebih lambat. Menurut Trueb (2009), karakteristik utama dari folikel rambut anagen yang mengalami proliferasi dengan sel-sel matriks yaitu dengan menunjukkan aktivitas proliferasi terbesar dalam membangun batang rambut. Selain itu juga penghentian mendadak aktivitas mitosis menyebabkan melemahnya sebagian keratin di bagian proksimal dari batang rambut, penyempitan, dan selanjutnya ker usakan kanal rambut. kerontokan rambut dapat terjadi 1 sampai 3 minggu dan selesai 1 sampai 2 bulan setelah dimulainya kemoterapi. diikuti dengan kerontokan rambut yang menyebar, perubahan yang khas terjadi pada akar rambut yait u pen ipisa n ya ng t aja m. Menu r ut Luanpitpong & Rojanasakul (2012), alopecia mulai terjadi 2 sampai 4 minggu dan akan selesai 1 sampai 2 bulan setelah dimulainya kerontokan. Efek berbeda pada rambut yang dapat dilihat adalah perubahan penampilan r a mbut, t i ng kat per t u mbu ha n r a mbut. Kerontokan rambut dapat terjadi sebagian atau lengkap. Bagian tubuh lain yang mengalami kerontokan selain di bagian kepala yaitu di bagian ketiak, kemaluan dan alis. Namun, wak t u ter jadinya kerontokan ada yang bersamaan dan ada yang tidak. Menurut Luanpitpong & Rojanasakul (2012), kemoterapi jangka panjang juga dapat mengakibatkan kerontokan pada rambut kemaluan, ketiak, rambut dan wajah. Per t umbuhan rambut bar u ter jadi sekitar 1 bulan setelah kerontokan rambut s ele s a i. Pe r t u mbu h a n r a mbut t e r ja d i setela h mengg u na ka n ca ra t rad isional yaitu mengoleskan lidah buaya setiap hari di kulit kepala. Rambut baru yang tumbuh teksturnya menjadi lebih kasar dan berwarna hitam. Menurut Trueb (2009), kerontokan rambut biasanya bersifat reversibel dengan pertumbuhan kembali rambut pada umumnya 3 sampai 6 bulan setelah pengobatan berakhir. Rambut baru menunjukkan perubahan pada warna. Tekstur atau struktur, dalam beberapa kasus kepadatan rambut akan berkurang setelah terjadinya kerontokan rambut akibat kemoterapi. Alopecia atau rambut rontok yang disebabkan oleh kemoterapi adalah efek samping pada kulit yang paling umum. Tingkat alopecia tergant ung pada jenis 55 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) kemoterapi, regimen dosis dan cara pemberian. Hampir semua kemoterapi menyebabkan alopecia tetapi berbagai tingkat keparahan dan frekuensi. Kemoterapi jangka panjang juga dapat mengakibatkan kerontokan pada rambut kemaluan, ketiak, rambut dan wajah. Sebagian besar rambut baru berwarna abu- abu yang mencerminkan adanya distorsi proses pigmentasi. Rambut baru biasanya menunjukkan beberapa perubahan dalam struktur rambut seperti tekstur rambut menjadi lebih kasar, pertumbuhan rambut menjadi lebih lambat (Luanpitpong & Rojanasakul, 2012). Koping terhadap alopecia “Saya kasih jadam atau lidah buaya itu setiap hari.. terus 1 bulan kemudian saat saya pegang itu kok kasar-kasar gitu ternyata sudah tumbuh” (P2). Saya biarkan saja, tidak saya apa-apakan, katanya pak dokter nanti tumbuh lagi (P3). Saya biarkan saja…nanti rak tumbuh lagi….saya diberi tahu pasien yang pernah kemo juga mba(P6) Pasien pada umum nya cender ung membiarkan saja, ada yang mencoba mengatasi dengan cara tradisional, mereka memperoleh informasi dari sesama penderita dan informasi dari perawat dan dokter bahwa rambut akan tumbuh lagi sehingga mereka tidak terlalu kawatir. Upaya untuk mengatasi rambut yang rontok yaitu dengan menggunakan cara mengoleskan aloevera ke kulit kepala setiap hari. Lidah buaya atau aloe vera merupakan tanaman tradisional yang dipercaya secara turun temurun dalam masyarakat Jawa banyak ber manfaat unt uk rambut. Lidah buaya ternyata mengandung banyak vitamin dan mineral yang efektif untuk mengobati rambut rontok. Aloe vera adalah kondisioner rambut alami yang memiliki efek pendinginan dapat meningkatkan pertumbuhan rambut dengan mengoleskan gel atau jus lidah buaya pada kulit kepala dan melembapkan rambut dan membuatnya jadi lebih mudah ditata serta untuk mengobati ketombe secara alami. Penurunan Berat Badan “Dulu 38 mbak...sekarang 34...kurang makan..susah makan” (P4). “Sebelum kemo 53 kg mbak... 42 kg mbak... bertahap, Setiap kontrol kan di timbang mbak. Turunnya sekitar 2 sampai 3 kg... Ya makannya itu kan kurang mbak” (P6). “Sebelum kemo 50 kg... sekarang sekitar 43 kg” (P7). “Iya mbak makannya dikit” (I7). “Sebelum kemo 65 kilo... setelah makan 60 kilo.. ga doyan makan” (P8). Dari hasil observasi didapatkan data penurunan berat badan dalam persen meliputi P4 mengalami penurunan sebanyak 10,53%, P6 sebanyak 20,75%, P7 sebanyak 14% dan P8 sebanyak 7,69%. Respon fi sik berupa penurunan berat badan ditemukan data bahwa penurunan berat badan berkisar 4 kilogram sampai 11 kilogram. Penurunan berat badan tersebut mulai terjadi saat pasien mendapatkan terapi kemoterapi dan penurunan berat badan terjadi secara bertahap. Salah satu faktor penyebab penurunan berat badan adalah intake nutrisi yang kurang. Dan penurunan berat badan dalam persen sekitar 7,69% sampai 20,75%. Menurut Lara et al (2012), penurunan berat badan dapat terjadi 6 bulan terakhir atau 2 minggu terakhir setelah dimulainya kemoterapi. sebagian besar penderita mengalami penurunan berat badan sekitar 5% sampai 15% dari berat badan sebelum menjalani kemoterapi. Penurunan berat badan bisa terjadi karena beberapa faktor di antaranya adalah penurunan nafsu makan yang disebabkan oleh mual, muntah, dan mukositis yang dialami oleh pender it a kan ker ser vi ks dengan kemoterapi. Sebagian besar penderita mengalami penurunan 5% dari berat badan sebelum menjalani kemoterapi. Deteksi dini malnutrisi pada pasien kanker sangat penting dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Skrining nutrisi termasuk anthropometric parameters (BMI dan persentase penurunan berat badan) dan parameter biokimia. BMI normal adalah antara 18,5–24,9. Penurunan berat badan merupakan parameter yang lebih baik untuk mengetahui status malnutrisi pada pasien kanker dengan kemoterapi. Sebagian besar penurunan berat badan adalah 6–15% dari berat badan sebelum menjalani kemoterapi. Skrining rutin malnutrisi pada pasien kanker harus mencakup faktor-faktor masalah yang timbul terkait dengan gangguan gastrointestinal (GI) 56 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 yang mencakup gejala yang mempengaruhi asupan makanan (Lara et al., 2012). Koping terhadap penurunan berat Badan Berusaha mengatasi mual muntah biar bisa makan sedikit-dikit (P4)makan sebisanya, la gimana mau makan tidak nafsu…(P6)“Ya dipaksa makan terus mbak supaya berat badannya tidak terus turun” (P8). Upaya untuk mengatasi penurunan berat badan dengan memaksa dirinya untuk makan dengan mengatsi mual dan muntah. Upaya memaksa dirinya untuk makan adalah sebagai bentuk upaya atau ihtiar bahwa manusia harus berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh hal yang diinginkan. Kelelahan (fatigue) “Saya merasa cepat lelah 1 sampai 2 minggu setelah kemoterapi...jalan sebentar kaki sudah teklok...mau duduk juga lelah sekali, mau ke kamar mandi juga lelah sekali” (P2). “Mulai lelah saat terdiagnosis kanker... kalo berjalan 5 meter itu sudah ga kuat” (P4). “Ya rasanya pegel...semenjak sakit... jadi tambah lelah... kalo jalan tanjakan itu saya ga kuat” (P5). “ya lelah ga kayak dulu... nyapu sebentar itu sudah lelah, capek terus mbak, masak juga ya cepet capek... Ya capek sekali itu di badan pegel-pegel” (P6). “ga enak,capek, pegal semua di seluruh badan... cuman ga bekerja selalu merasa capek. Paling Cuma nyayur kalo kuat... ya kalo jalan – jalan gitu kan juga terus merasa capek juga” (P7). “Rasanya lelah mbak pengen tidur, jalan sebentar gitu sudah ngos-ngosan... Semenjak dikasih kemo... duduk, tidur, berjalan, nyuci, masak” (P8). Dari hasil observasi, peneliti menemukan bahwa saat P1 dan P4 berjalan ke kamar mandi anggota keluarga lain menuntun atau memapah partisipan dan selama wawancara partisipan lebih memilih berbaring. Kemudian berdasarkan catatan lapangan (field note) peneliti menemukan bahwa saat wawancara akan berakhir partisipan menyatakan capek, sehingga ingin mengakhiri wawancara. Respon fi sik berupa kelelahan (fatigue) dapat terjadi 1 sampai 2 minggu setelah pemberian kemoterapi. Kelelahan ( fatigue) muncul saat berjalan dan melakukan kegiatan rumah tangga seperti menyapu, mencuci dan memasak. Gejala fi sik yang dirasakan meliputi perasaan lelah, capek, rasa tidak kuat, sesak napas. Fatique adalah keluhan yang paling sering dilaporkan oleh pasien kanker di mana masalah ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Fatique dapat di tandai dengan kekurangan energi secara umum, gangguan kognitif, somnolence dan gangguan mood atau kelemahan otot. Masalah ini dapat timbul akibat kanker itu sendiri dan efek dari terapi kanker yang tidak hilang dengan istirahat atau tambahan tidur (Vitkauskaite et al., 2011). Menurut Ream, Richardson dan Dann (2006), Kelelahan dapat terjadi karena kebutuhan nutrisi yang kurang sehingga kebutuhan energi dalam tubuh tidak tercukupi. Kelelahan dapat muncul beberapa hari setelah pengobatan kemoterapi dan akan terus akan semakin memburuk. Sedangkan Menurut Vitkauskaite et al (2011), kelelahan dapat disebabkan banyak faktor seperti anemia, gangguan tidur, nyeri, gangguan emosi, efek pengobatan dari kanker dan disfungsi organ. Kelelahan dapat terjadi karena anemia dan kebutuhan nutrisi yang kurang yang terjadi akibat penurunan nafsu makan. Efek kemoterapi menyebabkan adanya pelepasan zat-zat sitokin seperti TNF (tumor nekrosis faktor) dan interleukin yang menyebabkan hipotalamus bereaksi dengan menurunkan rasa lapar mengakibatkan pasien kemoterapi mengalami penurunan nafsu makan, sehingga kebutuhan energi dalam tubuh tidak tercukupi. Kelelahan dapat muncul beberapa hari setelah pengobatan kemoterapi. Penyebab umum lainnya dari kelelahan terkait kanker antara lain karena kanker itu sendiri, kehilangan nafsu makan, anemia (rendahnya jumlah sel darah merah), nyeri yang tidak terkontrol, depresi, kurang tidur atau insomnia, obat- obatan, kurangnya olahraga, nutrisi yang tidak memadai. Sebagian besar orang yang menerima pengobatan kanker mengalami kelelahan dan beberapa penderita kanker yang selamat, mengalami kelelahan selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun setelah menyelesaikan pengobatan kanker. Kelelahan sering mengakibatkan dampak 57 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) negatif yang mempengaruhi keseluruhan fi sik, psikologis, sosial dan ekonomi. Ada banyak penyebab kelelahan yang berhubungan dengan kanker termasuk pengobatan kanker (Ream, Richardson, Dann, 2006). Koping terhadap Kelelahan “Kalo kecapean langsung ga jalan terus berhenti disitu...rasa capeknya jadi berkurang” (P2). “Istirahat saja mbak...iya jadi berkurang rasa lelahnya” (P4). “Kalo capek ya terus istirahat duduk lagi gitu terus minum atau makan kletik-kletik yang renyah itu seperti jagung goreng atau kacang goreng... rasa lelahnya jadi berkurang” (P5). “di buat istirahat tidur gitu...iya kemudian rasanya terus ga lelah lagi. Hilang rasa lelahnya” (P6). “dengan istirahat atau tidur gitu...iya lelahnya jadi berkurang rasanya” (P7). “ya istirahat dengan tidur atau duduk...iya kemudian rasa lelahnya menjadi hilang” (P8). Upaya unt u k mengatasi kelelahan adalah istirahat dengan berbaring, duduk atau tidur, makan atau minuman ringan. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kelelahan (fatigue) adalah sebagai berikut tidur siang singkat atau istirahat di kursi yang nyaman bukan di tempat tidur, berjalan-jalan atau melakukan beberapa latihan ringan jika memungkinkan ( L opr i n z i & Messner, 2012). Fat ique merupakan negatif efek yang diakibatkan berbagai masalah dan kondisi bukan karena efek samping kemoterapi itu sendiri tetapi secara umum oleh kondisi fi sik, psikologi, sosial, ekonomi dan kesejahteraan yang berhubungan dengan kan ker. Unt uk it u manajemen fatique harus dilakukan secara komprehensif. Menurut Vitkauskaite et al (2011) manajemen fatigue harus interdisipliner yang melibatkan unsur klinik, psykologi dan faktor sosial. Penurunan nafsu makan “Ya tetep makan mbak tapi porsinya berkurang... Tapi waktu kemo aja kalo ga kemo ya ga mbak” (P3). “Makannya itu kalo lagi pengen makan aja... makan tapi porsinya berkurang” (P5). “ga mau makan sama sekali...Semenjak kemo saja, Kalo uda di rumah uda ga pahit mulutnya ya makan seperti biasa” (P8). Berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bahwa terdapat sisa makanan, berdasarkan catatan lapangan ( field note) p e nel it i me ne mu k a n ba hwa kelu a rga membawakan sendiri jenis makanan yang disukai oleh partisipan agar partisipan mau makan. Respons fi sik berupa penurunan nafsu makan setelah menjalani kemoterapi dan bahkan tidak mau makan sama sekali selama pemberian kemoterapi serta frekuensi makan yang menjadi tidak teratur. Menurut Cherwin (2012), kurangnya nafsu makan terkait kanker dapat terjadi karena sinyal rasa lapar yang berasal dari hipotalamus berkurang dan sinyal kenyang yang dihasilkan oleh melacortins diperkuat. Kurangnya nafsu makan juga dapat semakin memburuk saat pasien menerima kemoterapi yang berhubungan dengan mual atau perubahan rasa. Koping terhadap perunurunan nafsu makan “Minum air degan atau air kelapa muda sehari sekali...hanya air degannya saja tidak dicampur gula...ya mengetahui menggunakan air degan itu dari saya sendiri dan ternyata saya coba ya betul...nafsu makannya langsung bertambah” (P3). “Makan yang saya suka... tahu sama tempe...iya kalo makan tahu sama tempe jadi nafsu makan lagi” (P5). “ makannya kalo sudah tidak pahit, kalo sudah di rumah (P8). Upaya unt uk meningkatkan nafsu makan dengan memberikan makanan yang disukai pasien, dengan memberikan air kelapa muda dicampur gula, makan saat rasa pahit sudah tidak ada. American Cancer Society merekomendasikan cara untuk mengatasi per ubahan nafsu makan adalah makan sedikit tapi sering, mencoba makanan baru, membuat makanan yang disajikan secara bervariasi, jalan-jalan sebelum makan agar merasa lapar, makan bersama teman atau keluarga. Air kelapa mengandung Cytokinin yang dipercaya sebagai bahan anti penuaan dan anti kanker, sumber eletrolit alami yang steril dan mengandung kadar kalium, khlor, serta klorin yang tinggi airnya yang segar dan dingin dapat menghilangkan rasa mual 58 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 dan meningkatkan nafsu makan. Cancer care (2012) merekomendasikan cara untuk meningkatkan nafsu makan dengan membuat suasana makan yang menyenangkan (dengan musik, hiasan bunga, hias makanan). Makan sedikit tapi sering, makan snack yang sehat, pertahankan pola makan dan makan snack yang teratur, sediakan camilan, pada betul- betul tidak berminat makan, maka makanlah makanan yang paling disukai, jika tidak cukup makan, maka dapat dipilih minuman yang tinggi kalori, tinggi protein dapat dikonsultasikan dengan dokter. Nyeri “Ya kencang terus... bagian bawah sampe punggung belakang... hilang timbul... kalo terlalu banyak di gerakkan itu sakit... itu mbak 5” (P2). “Ini nyerinya di perut bagian bawah ini... senut-senut rasanya... kumat- kumatan mbak... kalo aktivitas berat kayak nyuci gitu.. kira-kira 3 mbak.” (P7). “Biasanya kalo selesai dikemo itu ga terasa sakit mbak tapi nanti lambat laun sakit lagi”(I7). “Nyeri di per ut bagian ba wah...hilang timbul Kayak diupek gt. Slengking-slengking...kalo kecapekan mbak..ya 2 gitu mbak kira-kira” (P8). Berdasarkan hasil catatan lapangan (fi eld note), peneliti menemukan bahwa selama wawancara partisipan tidak banyak bergerak. Dari hasil pemeriksaan fi sik ditemukan data adanya nyeri tekan pada daerah yang nyeri. Rasa nyeri timbul pada bagian perut bawah dan punggung, dengan munculnya hilang timbul, diperberat oleh aktivitas fi sik yang berat atau kecapekan, setelah kemoterapi selesai nyeri berkurang. Rasa nyeri dapat timbul akibat kanker serviks itu sendiri dan dapat juga karena pengobatan kemoterapi. Neurofi siologi nyeri pada kanker merupakan suatu hal yang kompleks yang meliputi mekanisme infl amatory, neuropathy, iskemik, dan kompresi termasuk faktor psikososial dan spiritual. Penggunaan obat opiod yang lama dapat meningkatkan toleransi, hperalgesia, ketergantungan dan kecanduan. Koping terhadap nyeri “ diseko air hangat... nyerinya jadi berkurang” (P2). “minum obat nyeri dari sini sampai habis kemudian juga diseko air hangat pake botol...suster sini yang memberitahu... rasa nyerinya jadi berkurang” (P7). Nyeri diatasi dengan cara lapor dokter untuk mendapat obat, teknik distraksi seperti diseka air hangat. Sesuai dengan sikap dan pandangan orang jawa bahwa hidup itu harus kuat, prihatin, jangan suka mengeluh membuat orang jawa sangat kuat dalam menahan sakit. Keyakinan akan sakit adalah ujian, hidup itu sudah ada garisnya sehingga yang perlu dilakukan harusnya banyak berdoa, sehingga sangat sedikit yang menyelesaikannya dengan pendekatan farmakologis. Perubahan rasa “Ga nafsu makan karena ga enak di mulut, rasanya pahit...ya itu pengennya makan apa gitu” (P1). “Pas dikemo rasanya pahit di mulut, jadi males” (P4). “Iya itu mbak rasanya ga enak di mulut. Pahit rasanya... ya tetep makan mbak tapi sedikit – sedikit. Porsinya jadi sedikit... Pokoknya tetap makan seadanya mbak” (P6). “Iya mbak ga enak di mulut... Pahit rasanya” (P7). “Ya pahit mbak... setiap dikemo..Makan apa saja itu rasanya pahit... dikasih kemo ini saja” (P8). Berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan data bahwa terdapat sisa makanan baik dari rumah sakit. Perubahan rasa pada lidah terasa pahit (rasa tidak enak di mulut dan rasa pahit di mulut) hampir dirasakan oleh semua pasien. Menurut Hong et al (2009), Efek samping dari pengobatan kanker dan juga kanker itu sendiri dapat menyebabkan disfungsi persepsi sensorik pada pasien. Gangguan rasa dan bau dapat meliputi perubahan ketajaman rasa (ageusia dan hypogeusia), kualitas (dysgeusia dan phantogeusia), gangguan persepsi penciuman, dan sindrom mulut kering (xerostomia). Pasien yang diberikan kemoterapi sering mengeluhkan perubahan dalam persepsi rasa (changes in taste quality), perubahan persepsi rasa yang 59 Respons dan Koping Pasien Penderita Kanker Servik (Winarsih Nur Ambarwati, dkk.) paling banyak dikeluhkan adalah rasa pahit atau rasa metal. Kualitas rasa juga berkurang yang dideskripsikan sebagai sensasi rasa tidak enak di mulut atau mual. Faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya perawatan mulut, infeksi, gastrointestinal refl ux. Koping terhadap perubahan rasa “Ya dituruti pengennya apa gitu.. apa jus sirsak, jambu merah atau jus apel” (P1). “Makan makanan yang saya suka seperti sayur asem tahu tempe...ya rasanya jadi enak” (P4). “ngemil singkong...jadi agak enak rasanya” (P7). Perubahan rasa diatasi dengan cara memberikan yang diinginkan seperti minum jus sirsak, jus Jambu Merah atau jus Apel, makan camilan yang disukai. Perubahan rasa diatasi dengan minum jus karena jus memberikan kesegaran, menghilangkan rasa mual dan banyak manfaatnya. Ravasco (2005) dalam Hong et al (2009) merekomendasikan cara untuk mengatasi perubahan rasa adalah dengan menghindari penggunaan peralatan makan dan minum dar i metalik u nt u k mengurangi rasa logam, mengurangi konsumsi makanan rasa logam atau pahit seperti daging merah, kopi, teh, dan meningkatkan konsumsi tinggi protein seperti ayam, ikan, dan telur. Menambahkan bumbu dan rasa pedas untuk meningkatkan rasa bila terjadi hypogeusia atau hyposmia. Menyajikan makanan dalam suhu dingin untuk mengurangi bau yang tidak enak. Melakukan perawatan mulut dengan baik, termasuk sikat gigi dan menggunakan pencuci mulut. KEPUSTAKAAN Aydogan., Kavak, A., Parlak, H. A., Alper, M., Annakkaya, N. A., Erbas, M. 2004. Persistent ser pentine supravenous hyperpigmented eruption associated with docetaxel. Journal of European A c a d e m y o f D e r m a t o l o g y a n d Venereolog y, (Doi: 10.1111/j.1468., diakses tanggal 15 Juni 2014, jam 10.00 WIB) American Cancer Society. 2013. Understanding chemotheraphy: a guide forpatients and families. (online), (www.cancer. org. Diakses tanggal 4 Juni 2014, jam 11.309 WIB) Avila, G.J. 2004. Pharmacologic treatment of constipation in cancer patients. Journal of Departement of Pharmacy, Vol. 11, No.3, ht t p://moff it t.org /- 3083.2005.01088.x., diakses tanggal 20 juni 2014, jam 09.00 WIB Cherwin, H. C. 2012. Gatrointestinal symptom represent at ion i n cancersy mptom clusters: a synthesis of the literature. Journal of OncologyNursing Society, Doi: 10.1188/12.ONF.157-165 Fabbrocini, G., Cameli, N., Romano, C.M., Mariano, M., Panariello, L., Bianca,D., Monfrecola, G. 2012. Chemotherapy and skin reaction. Journal of Experimental a n d Cli n i c a l Ca n c e r Re se a r c h, 31:50.(online), (http://www.jeccr.com/ content/31/50, diakses tanggal 25 Mei 2014, jam 13.00 WIB) Gralla, J.R., Grunberg, M.S., Messner, C. 2012. Coping with nausea a vomiting from chemotheraphy. www.cancercare. com Hawk i n s, R ., & G r u nb e rg, S. 20 09. Chemotherapy induced nausea and vomiting: challenges and opportunities for i mproved pat ient s outcomes. Journal of Oncology Nursing or the Oncology Nursing Society. Vol. 13, No. 1, Doi:10.118/09.CJON,55-64 Hong, H.J., Ozbek, O.P., Stanek, T.B., Dietrich, M.A., D u nca n , E.S., L ee, W.Y., Lesser, G. 2009. Taste and odor abnor malities i n cancer patients. T h e J o u r n a l o f S u p p o r t i v e Oncology, 7:58-65. (online), (www. Supp or t ive O ncolog y.net , d ia k se s tanggal 24 Mei 2014, jam 12.30 WIB) Lara, S.K., Morales, U.E., Kuba, M.D., Green, D. 2012. Gastrointestinal symptoms and weight loss in cancer patients receiving chemotherapy. British journal of Nutrition, 894-897. Doi: 10.1017/ S0007114512002073 Luanpitpong, S., & Rojanasakul, Y. 2012. Chemotherapy induced alopecia topicsin cancer survivorship. Journal of Europe: in Tech. ISBN: 978 953-3078946,www. intechopen.com Ream, E., Richardson, A., Dann, A.C. 2006. Supportive intervention for fatigue in 60 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 48–60 patients undergoing chemotherapy. Jo u r n a l o f Pa i n a n d S y m p t o m Management, Vol. 31, No. 2. Doi: 10.1016/j.jpainsymman.2005.07.003 Trueb, M.R. 2009. Chemotheraphy Induced Alopecia. Journal of Departement of Dermatology University Hospital of Zurich, Doi:10.1016/j.sder.2008.12.001 Vitkauskaite, E., Juozaityte, E., Drukteniene, J., Bunevicius, R. 2011. A systematic review of cancer related fatigue. Biological Psychiatry and Psychopharmacology. Vol. 13. Wolf, S., Ba r ton, D., Kot t schade, L., G rot hey, A., Lopr i n zi, C. 20 08. Chemotherapy induced per ipheral neuropathy prevention and treatment strategies. European journal of cancer, 1 5 0 7 – 1 5 1 5 . D o i : 1 0 . 1 0 1 6 / j.ejca.2008.04.018, (online), (www. ejconline.com, diakses tanggal 23 Juni 2014, jam 13.00 WIB)