NERS Vol 10 No 1 April 2015.indd 125 PENGALAMAN KEPUTUSASAAN STROKE SURVIVOR DI KOTA SEMARANG (Hopelessness Experience among Stroke Survivor in Semarang) Sawab*, Moch. Bahrudin*, Novy Helena Catharina Daulima* *Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Jl. Tirto Agung Pedalangan, Banyumanik, Semarang E-mail: sawabfatih@yahoo.com ABSTRAK Pendahuluan: Keputusasaan merupakan penilaian negatif terhadap hasil yang akan dicapai dan ketidakberdayaan terhadap suatu harapan. Keputusasaan dapat terjadi pada stroke survivor karena adanya disabilitas akibat defi sit neurologisnya serta waktu yang lama dalam penyembuhannya. Kondisi ini dapat berlanjut pada gangguan mental emosional maupun tindakan suicide. Oleh karena itu gambaran pengalaman keputusasaan stroke survivor dibahas dalam penelitian ini. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif fenomenologi terhadap 6 partisipan. Hasil: Hasil penelitian didapatkan tujuh tema utama yaitu (1) Perubahan fi sik sebagai akibat respons keputusasaan, (2) Respons kehilangan sebagai stressor keputusasaan, (3) Disfungsi proses keluarga, (4) Kehilangan makna hidup, (5) Dukungan dan motivasi diri sebagai sumber koping menghadapi keputusasaan, (6) Hikmah spiritual dibalik keputusasaan stroke survivor, dan (7) dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Diskusi: Penelitian ini menyarankan dikembangkannya standar asuhan keperawatan keputusasaan dan pemberian dukungan keluarga serta psikoedukasi keluarga bagi stroke survivor. Kata kunci: Stroke survivor, pengalaman keputusasaan, kualitatif ABSTRACT Introduction: Hopelessness was a negative feelings about goal achievement and powerlessness feeling against an expectation. Hopelessness in stroke survivors can occur due to prolonged disability and neurologic defi cit. This condition can lead to emotional and mental disorders even a suicide action. Therefore, it was a need to explore hopelessness experience in stroke survivors. Method: This study was a qualitative descriptive phenomenology with 6 participants. Results: 7 themes were revealed in this study, (1) Physical changes as a response on hopelessness, (2) Loss response as a hopelessness stressor, (3) Dysfunction of the family process, (4) Loss of meaning of life, (5) Self support and motivation as a coping resource against hopelessness, (6) The spiritual meaning behind hopelessness, (7) Can go through a better life. Discussion: This study suggests to develop a nursing care standards in hopelessness, encourage a family support and family psychoeducation for stroke survivors. Keywords: Stroke survivor, hopelessness experiences, qualitative PENDAHULUAN Disabilitas klien paska stroke sebagai akibat defi sit neurologis memerlukan waktu penyembuhan yang lama dan berdampak terhadap kondisi psikososial stroke survivor. Terjadinya perubahan psikososial, seperti perasaan harga diri yang rendah, perasaan tidak beruntung, perasaan ingin mendapatkan kembali kemampuan yang menurun, berduka, takut dan putus asa merupakan manifestasi dari keputusasaan bahkan tanda dari depresi. Menurut Abramson, Alloy dan Metalsky (1989) keputusasaan pada hakekatnya merupakan precursor dalam perjalanan depresi. Hasil riset di India 35,29% stroke survivor mengalami depresi. St roke sur vivor mengalami sa k it yang berlangsung lama, sehingga dapat mempengaruhi harga diri. Harga diri yang rendah akan dapat berlanjut ke kondisi keputusasaan, depresi bahkan tindakan suicide. Teasdale dan Eingberg (2001) menjelaskan stroke survivor berisiko mengalami tindakan suicide pada 5 tahun pertama sakitnya. Kondisi ini menyebabkan stroke survivor dengan keputusasaan sangat berisiko mengalami gangguan mental emosional. Di sisi lain st roke su r vivor denga n ke put u sa sa a n membutuhkan penanganan jangka panjang untuk mengembangkan mekanisme koping yang adaptif dan mencegah berkembangnya s t r e s s o r d i s a bi l it a s m e nja d i ko n d i si maladaptif. 126 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 125–132 Upaya antisipasi menurunkan angka gangguan jiwa adalah dengan mengelola klien yang mempunyai risiko mengalami gangguan mental emosional supaya tidak mengalami masalah gangguan jiwa, salah satunya adalah klien stroke survivor dengan keputusasaan. Berdasarkan fenomena tersebut penting untuk dilakukan kajian yang mendalam terhadap stroke survivor dengan masalah psikososial keputusasaan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan “Bagaimanakah pengalaman keputusasaan stroke survivor di Kota Semarang?” BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini adalah stroke survivor dengan riwayat lebih dari tiga bulan, serangan lebih dari 1 kali, usia dewasa pertengahan (40-60 tahun), pernah mempunyai pengalaman keputusasaan kategori sedang yang diukur dengan skor Beck Hopelessness Scale (BHS) dan gangguan kognitif ringan yang dilihat dengan skor Mini Mental State Examination (MMSE). Jumlah sampel yang berpartisipasi pada penelitian ini enam orang. Lokasi penelitian di Kelurahan Srondol Kulon wilayah kerja Puskesmas Srondol Kota Semarang dan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2013. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan catatan lapangan. Analisis data menggunakan langkah Colaizzi, dengan membuat transkripsi verbatim, membaca trankrip secara berulang- ulang, mengumpulkan pernyataan signifi kan, menentukan arti setiap per nyataan yang p e nt i ng, m e ng u m pu l k a n k a t a k u nc i , mengelompokkan ke dalam kategori, kemudian disusun dan dikelompokkan menjadi tema hasil penelitian. HASIL Partisipan dalam penelitian ini adalah stroke survivor, dengan 4 orang berjenis kelamin laki-laki dan 2 orang berjenis kelamin perempuan dengan usia antara 45 sampai 51 tahun dan berstatus menikah. Tingkat pendidikan par tisipan terdiri atas SMP, Diploma III dan Sarjana. Lama menderita menderita stroke mulai 1 sampai 3,5 tahun dengan 4 orang mengalami kelemahan pada ektremitas kanan dan 2 orang mengalami kelemahan pada ektremitas kiri. Keseluruhan stroke survivor pernah mempunyai pengalaman keputusasaan sedang dan mempunyai kognitif baik. Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh berbagai pengalaman stroke survivor dalam menghadapi keputusasaan dalam 7 tema utama, antara lain: P e r u b a h a n f i s i k a k i b a t r e s p o n s keputusasaan Per ubahan f isik yang diungkapkan sebagai akibat dari keputusasaan adalah perasaan fatigue seperti lemas dan tidak ber tenaga seper ti u ng kapan par tisipan berikut: “Rasanya saat saya down seperti tidak ada tenaga, tangan dan kaki yang lemes tambah lemes.....”(P1) Akibat yang dirasakan partisipan lain adalah merasa letih dan penurunan kemampuan kerja fi sik dengan contoh ungkapan di bawah ini: “Terus terang badan saya sepertinya loyo tenaganya kok hilang, tangan dan kaki kanan saya tambah lemas saat semangat dan kondisi saya menurun atau dwon”(P4) Akibat keputusasaan juga dirasakan dalam gangguan pencernaan dan gangguan tidur sebagaimana ungkapan partisipan berikut ini: “Biasanya kan saya kalau pagi itu rasanya lapar walaupun seadanya saya makan sama minum air putih, tapi waktu itu pas saya dwon saya setiap mau makan rasanya kenyang, nafsu makan tidak ada sampai sampai istri seperti marah.”(P4) Gangguan tidur yang dialami oleh partisipan diungkapkan seperti: “.......terus terang saat saya serangan lagi, kemudian perasaan putus asa saya muncul semalam tidak tidur rasanya tidak kantuk, itu bisa sampai 2 hari, saat mau tidur kepikir terus kalau saya jadi merepotkan”(P5) 127 Pengalaman Keputusasaan Stroke Survivor di Kota Semarang (Sawab, dkk) Akibat keputusasaan mempengaruhi perfusi cerebral dengan rasa pusing seperti ungkapan berikut ini: “Kondisi pas saya semangatnya hilang, sepertinya les-lesan (berkunang- kunang seperti mau pingsan) sama pusing pak.”(P3) Respons kehilangan sebagai stressor keputusasaan Re spon keh ila nga n d iu ng k apk a n partisipan dengan ketidakpercayaan atau tawar menawar sebagaimana ungkapan berikut ini: “Mengapa kok sudah 1 tahun kaki saya malah tambah berat”.(P4) Respons kehilangan dalam dirinya berusaha di atasi dengan menekan (supresi) permasalahan yang dihadapi seperti yang diungkapkan partisipan: “saya gak mau ngomong sama istri kasihan nanti kalau malah kepikiran istri saya”(P1) S e l a i n i t u p a r t i s i p a n j u g a meng u ng k apk a n pe r a sa a n ma r a h at a s kondisinya “kadang-kadang tangan dan kaki kanan saya, saya pukul-pukulkan di dipan bagaimana sih kok saya seperti ini terus gitu lho, marah pada diri sendiri”(P5) Perilaku depresi seperti kehilangan semangat,perasaan sedih, serta khawatir diungkapkan sebagai berikut: anak anak saya masih kecil, sementara saya tidak bisa bekerja, pokoknya sepertinya saya sudah menyerah”.(P4) “sepertinya kok seperti ini rasanya sedih, kuatir, pak saya jadi malas melakukan apa-apa, saya cuma menangis”.(P3) Kehilangan makna hidup Ketidakberdayaan dalam mencapai tujuan hidup dimaknai sebagai hilangnya mak na hidup bahkan muncul keinginan mengak hir i hidupnya seper ti ungkapan berikut: “Ya saya kan perempuan, suami saya kerja kalau sebelumnya saya bisa membantu kerja di pabrik masak, bersih bersih rumah tetapi sekarang saya malah jadi merepotkan suami saya..........”.(P3) “dipikiran saya muncul kalau memang saya waktunya meninggal dunia atau diambil nyawa saya tidak apa-apa saya kasihan sama suami dan anak anak repot”. (P5) Disfungsi proses keluarga Pe n g a l a m a n d i sf u n g si kel u a r g a y a n g d i a l a m i p a r t i si p a n d i s e b a b k a n ke t id a k m a m pu a n d a l a m me nja l a n k a n fungsi peran dirinya dan ketidakmampuan anggota keluarga memberikan penghargaan bagi anggota keluarganya, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: “Sempat waktu itu istri bilang tidak enak ke saya, saya bilang pada istri mau saya pukul tapi saya masih sadar, bahkan sempat ingin saya bunuh, terus terang..”(P1) S e d a n g k a n k e t i d a k m a m p u a n memberikan penghargaan antar anggota keluarga diungkapkan sebagai berikut: “kalau di rumah saya minta bantuan sama anak saya memasak air untuk mandi saya kadang-kadang anak saya itu tidak langsung mau, nunggu di suruh sampai beberapa kali, seperti tidak mengormati ibunya”(P3) Dukungan dan motivasi diri sebagai sumber koping menghadapi keputusasaan Su mb e r kopi ng st r oke s u r v i v o r berasal dari dukungan keluarga, lingkungan, keyakinan diri serta motivasi untuk aktivitas. Sumber koping dari keluarga inti sebagaimana diungkapkan: “Anak saya yang kuliah waktu itu kebetulan libur kalau pas saya diam di kamar menemani saya terus kemudian bilang ibu sabar tabah, terus suami ya ngasih semangat, nah kalau anak dan bilang suami memberi semangat saya rasanya semangat hidup muncul lagi”(P5) Selain dukungan keluarga keyakinan atau semangat dari dalam diri stroke survivor diungkapkan seperti berikut: “Tapi yang perlu ketahui pokoknya ya semangat dari dalam diri sendiri, pas waktu itu saya parkir mau terima uang jatuh, kan tangan kanan saya masih belum seperti sekarang saya diomelin pokoknya dikata- katain, saya tidak peduli sampai sekarang itu yang terus saya ingat”.(P2) 128 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 125–132 Hikmah spiritual dibalik keputusasaan stroke survivor Stroke survivor mendapatkan hikmah atau makna hidup kembali melalui proses memaknai ulang akan nilai-nilai spiritual dalam kondisi ketidakberdayaannya dan makna terhadap dirinya seperti berikut ini: “saya bersyukur, sebetulnya saya mungkin ditunjukkan ke jalan yang lebih terang dan hikmah yang paling mendalam saya diberi kesempatan untuk beribadah memperbaiki hidup”.(P3) “sejak saya pernah down sampai sekarang saya bisa bekerja semampu saya menjadikan saya lebih sabar”(P4) Dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik Ma k n a d ibal i k ke put u sa sa a n nya par tisipan mendorong par tisipan u nt u k berkeinginan mempunyai harapan hidup yaitu kembali sembuh dan sehat, dapat menjalankan fungsi perannya sebagaimana ungkapan berikut: “Harapan saya sembuh, bisa cari rongsok n ya la n ca r, te r u s a n a k a n a k sehat”(P4) PEMBAHASAN Karakteristik partisipan penelitian ini belum dapat menggambarkan pengalaman keput usasaan dar i individu yang tidak mempunyai sistem pendukung seperti suami, istri serta pengalaman di tinggalkan orang yang dicintai. Keputusasaan dalam proses perjalanannya masih terdapat perdebatan, khususnya mengenai penyebab keputusasaan it u sendiri. Penelitian ini menunjuk kan manifestasi keputusasaan terjadi pada stroke sur vivor dengan gangguan f isik ber upa hemiplegi dektra pada empat partisipan dan dua partisipan mengalami hemiplegi sinistra. Penelitian yang dilakukan oleh Robinson menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara lesi area frontal, sub kortikal dan ganglia basalis dalam terjadinya depresi paska stroke dengan hipotesis sentralnya adalah lesi di hemisfer k ir i mer upakan fak tor utama timbulnya depresi paska stroke (dalam Meifi & Agus, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa keputusasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor organik akan tetapi dapat disebabkan karena faktor reaksi psikologis sebagai konsekuensi klinis akibat stroke. Penelitian yang dilakukan oleh Chen (2011) menyebutkan kelemahan motorik yang terjadi pada klien paska stroke mer upakan faktor penting terjadinya depresi paska stroke. Penelitiannya menyebutkan 61,3% responden yang memiliki fungsi motorik buruk mengalami depresi post stroke sedangkan 38,7% responden dengan fungsi motorik bagus mengalami depresi. Perubahan fisik akibat keputusasaan antara lain fatigue, anoreksia serta insomnia. Perasaan fatigue diungkapkan oleh partisipan berupa perasaan ekstremitas tambah lemas dan perasaan loyo serta tidak bertenaga. Menurut Naess, Lunde dan Brogger (2012) perasaan fatigue berhubungan dengan adanya nyeri dan depresi klien paska stroke. Hasil penelitiannya menyebutkan terdapat tiga manifestasi yang sering muncul pada klien stroke yaitu depresi (19%), fatigue (46%) dan nyeri (48%). Selain itu, dalam studi korelasi, depresi dan fatigue menunjukan hubungan yang kuat sedangkan antara nyeri dan depresi mempunyai hubungan yang sedang. Pengalaman nyeri stroke survivor tidak didapatkan dalam penelitian ini. Menurut peneliti hal ini dimungkinkan pengaruh dari faktor budaya. Budaya Jawa, khususnya di Jawa Tengah, rasa nyeri sulit diungkapkan ke orang lain/lawan bicara karena adanya perasaan khawatir dapat mengganggu lawan bicara. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah usia. Menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2010) orang dewasa dapat mengabaikan rasa nyeri karena pengakuan rasa nyeri dapat dianggap sebagai tanda kelemahan atau kegagalan. K l ie n p a s k a s t r o ke m e r a s a k a n kehilangan kemampuan fungsional karena penyakit yang dapat mengubah citra tubuhnya. Pada kondisi ini klien stroke mendapatkan stressor yang menyebabkan klien tersebut mempunyai harapan negatif dan muncul ketidakberdayaan terhadap harapan nya tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian pada penyakit kronik seperti kanker payudara 129 Pengalaman Keputusasaan Stroke Survivor di Kota Semarang (Sawab, dkk) yang menyebutkan 80% mempunyai perasaan khawatir akan masa depannya, 30% merasakan ketakutan (Gumus, Cam & Malak, 2011). Hasil penelitian ini mengungkap bahwa respons kehilangan stroke survivor tidak lagi berada pada tahap penolakan (denial), akan tetapi masuk pada tahap marah (angry). Hal ini sebagai bentuk perasaan frustasi dengan kondisi ketidakberdayaan dalam menjalankan peran dirinya. Rasa marah yang diungkapkan oleh stroke survivor ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk koping. Selain perasaan marah, mekanisme koping lain yang dilakukan oleh stroke survivor berupa supresi, yaitu keengganan menceritakan permasalahan yang ada pada dirinya pada orang lain. Bertambahnya jumlah stressor dapat menyebabkan bertambahnya waktu yang dibutuhkan partisipan untuk sampai pada kondisi acceptance. Pengalaman partisipan ini sejalan dengan hasil penelitian Jones dan Morris (2012) yang mengungkapkan salah satu tema yaitu perasaan tidak berguna dan perasaan kehilangan pada orang dewasa dengan pengalaman stroke. Ketidakmampuan menjalankan peran memunculkan rasa ketidakberdayaan, yaitu persepsi bahwa situasi perubahan dirinya tidak mampu mempengaruhi hasil yang ingin dicapai sehingga stroke survivor merasa tidak memiliki makna hidup. Hal ini sejalan dengan penelitian Kariasa, Sitorus dan Afi yanti (2009) yang mengungkapkan bahwa perubahan makna hidup klien paska stroke terjadi karena adanya perasaan kurang dihargai, tidak diperhatikan dan tidak berguna. Kondisi tersebut sebenarnya mer upakan ketidakberdayaan yang juga diungkap dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa klien paska stroke mengalami perasaan tidak berguna sehingga muncul ide atau keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Towfi ghi (2013) bahwa stroke survivor di Amerika sebanyak 7,8% memiliki niat bunuh diri. Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya konfl ik antar anggota keluarganya dan ketidakmampuan memberikan penghargaan terhadap anggota keluarganya. Hal ini disebabkan oleh karena efek dari perubahan peran dan harga diri stroke survivor sehingga keluarga tidak mampu melakukan fungsi afektif keluarga. Menurut Friedman (2010) fungsi afektif keluarga yaitu fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Di dalamnya terkait rasa saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga. Gambaran hasil penelitian ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Clark et al (2004, dalam Gillespie & Campbell, 2011) yang menyebutkan bahwa 32% disfungsi keluarga pada sembilan bulan pertama paska stroke disebabkan ketidakmampuan keluarga menjalankan fungsinya dan 66% terjadi karena adanya konfl ik dalam keluarga. Sejalan dengan hasil penelitian Jones dan Moris (2012), sumber koping yang menjadi pilihan utama stroke survivor pada kondisi keput usasaan adalah du k u ngan keluarga, khususnya keluarga inti, yaitu istri, suami atau anak-anaknya. Signifi cant other dinilai mempunyai makna dan arti penting dalam menumbuhkan stroke survivor dengan keputusasaan. Usaha stroke survivor untuk tetap semangat dilakukan melalui usaha untuk menumbuhkan keyakinan internal diri, dan motivasi untuk beraktivitas agar terbebas dari keputusasaannya. Keyakinan internal diri atau positive belief ini biasa disebut juga sebagai self effi cacy. Menurut Bandura (1997 dalam Stuart & Laraia 2006) self efficacy mer upakan kapabilitas dari kepercayaan diri individu. Individu yang mempunyai self effi cacy yang tinggi akan memberikan efek terhadap pemikiran, motivasi, suasana hati serta kesehatan fi sik individu tersebut sehingga stressor dianggap sebagai tantangan. Penelitian Albal dan Kultu (2010) menjelaskan terdapat hubungan antara koping self effi cacy dan sosial support pada klien depresi, di mana klien dengan depresi mempunyai skor self effi cacy yang rendah. Peranan dukungan sosial mengatasi keputusasaan stroke survivor juga terungkap dalam penelitian ini. Panzarella, Alloy dan Whitehouse (2006) menjelaskan dukungan sosial mer upakan bagian dari adaptive inferential feedback (AIF) yang bekerja menurunkan sensitivitas kognitif depresi 130 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 125–132 dengan menur unkan kesimpulan negatif individu, selain itu juga menurunkan perilaku maladaptive sebagai hasil dari kesimpulan negatif dari pengalaman yang menyebabkan keputusasaan. Menurut Bastaman (2007) makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan, ungkapan seperti “makna dalam penderitaan” (meaning in suffering) atau “hikmah dalam musibah” (blessing in disguise). Makna hidup stroke survivor didapatkan melalui proses memaknai ulang terhadap nilai-nilai spiritual bagi dirinya. Penelitian ini mengungkapkan perbedaan dengan penelitian terdahulu pada penyakit kronis yang dilakukan oleh Sasmita, Hamid dan Daulima (2011) di mana makna spiritual pada penelitiannya didapat pada saat kondisi acceptance sedangkan stroke survivor dengan keputusasaan makna hidupnya diperoleh dalam kondisi ketidakberdayaan menuju ke kondisi acceptance. Pengalaman partisipan i n i mer upa ka n ma n ifest asi per jala na n tahapan kehilangan sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa setiap individu tidak sama dalam melalui suatu proses kehilangan. Ada yang bisa langsung mencapai fase penerimaan ada yang sangat lama bahkan berbulan-bulan untuk akhir nya dapat menerima kondisi sakit nya (Yosep, 2009). Penelitian lain dilakukan oleh Wachholtz dan Pearce (2009 dalam Lewis & Peterson, 2013) menjelaskan bahwa peranan spiritualitas dalam penyakit konis dan kecacatan dapat mendorong klien menemukan perasaan positif pada dirinya. Menur ut Snyder (dalam Cheavens, Feldman, Woodward & Snyder, 2006) harapan merupakan motivasi positif untuk memenuhi t ujuan. Terdapat empat kategori t ujuan harapan yaitu tujuan untuk menuju hasil yang diinginkan, tujuan untuk menghalangi atau menunda kejadian yang tidak diinginkan, tujuan pemeliharaan atau mempertahankan status quo, dan peningkatan tujuan untuk menambah hasil yang sudah positif. Dalam kontek i n i, harapan d an keput usasa an adalah dua hal yang berbeda namun saling terkait dalam konstruksi psikoterapi. Terapi kognitif untuk mengatasi keputusasaan dapat dilakukan dengan menggali pikiran-pikiran akan harapannya dalam hidupnya. Studi yang dilakukan oleh Curry, Snyder, Cook, Ruby, dan Rehm (1997 dalam Cheavens, Feldman, Woodward & Snyder, 2006) juga memaparkan bahwa harapan orang dewasa yang tinggi dapat meningkatkan harga dirinya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa stroke survivor dengan keputusasaan dan harapan yang tinggi merupakan suatu motivasi untuk menuju hasil yang diinginkan. Hal ini bermanfaat bagi stroke survivor karena dapat meningkatkan harga dirinya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman keputusasaan stroke survivor antara lain berupa adanya perubahan fi sik sebagai a k ibat respon s ke put u sa sa a n , terjadi respons kehilangan sebagai stressor keputusasaan, disfungsi proses keluarga, serta kehilangan makna hidup. Hilangnya makna hidup stroke survivor justru menambah temuan pengalaman baru yaitu keinginan untuk mengakhiri hidup dan dapat menjadikan domain penting dalam menentukan kualitas hidup stroke survivor dalam hal psycological being khususnya dalam kontrol diri. Munculnya berbagai dampak dari keput usasaan membuat st roke sur vivor melakukan pilihan dan strategi koping, antara lain mencari dukungan dari keluarga dan lingkungan. Dukungan keluarga inti bagi stroke survivor merupakan signifi cant others dalam menghadapi keputusasaannya. Sementara itu usaha untuk menumbuhkan keyakinan diri dan kemandirian stroke survivor juga merupakan sumber koping pilihan dalam menghadapi keputusasaan. Dibalik keputusasaannya stroke survivor mendapatkan makna hidup akan nilai-nilai spiritual yang diperoleh dengan memaknai ulang kondisi ketidakberdayaannya. Sebagai seorang individu, dibalik keputusasaannya stroke survivor mempunyai harapan terhadap penyakitnya, yaitu harapan sembuh kembali, harapan tidak terjadi serangan ulang serta mampu menjalankan peran dirinya kembali 131 Pengalaman Keputusasaan Stroke Survivor di Kota Semarang (Sawab, dkk) dan menginginkan motivasi dan pelayanan kesehatan yang baik dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini juga menggambarkan bahwa pengalaman keputusasaan klien stroke berhubungan erat dengan proses adaptasi klien saat mendapat stressor, baik stressor fisik maupun stressor psikologis. Proses tersebut melibatkan beberapa f ungsi antara lain fungsi fi siologis, konsep diri, peran maupun interdependensi yang dapat dimaknai sebagai support sistem. Saran Perlu adanya terapi kog nitif bagi stroke survivor. Terapi kognitif yang telah ada di Keperawatan Kesehatan Jiwa dapat dikembangkan bagi stroke survivor melalui modifi kasi, yaitu dengan menambahkan sesi tentang membangun harapan positif. Sesi ini akan dapat membangkitkan motivasi dan harga diri stroke survivor yang mengalami keputusasaan. Perlu adanya penempatan perawat spesialis jiwa di poliklinik rawat jalan maupun di puskesmas untuk membantu memperbaiki respons koping keluarga dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah yang dirasakan oleh stroke survivor terkait disfungsi proses keluarga dengan melakukan terapi keluarga triangle. KEPUSTAKAAN Abramson, L.Y., Alloy, L.B. dan Metalsky, G.I., 1989. Hopelessness Depression: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358–372. Albal, E., dan Kultu Y., 2010. The Relationship Bet ween T he Depression Copi ng Self Eff icacy Level and Perceived Sosial Support Resources. Journal of Psychiatric Nursing, 1(3), 115–120. Bastaman, H.D., 2007. Logoterapi; Psikologi untuk Menemukan Makna dan Meraih Hid u p Be r m a k n a. Ja k a r t a: R aja Grafi ndo Persada. Chen, Y., 2011. Investigation of Prevalence and Assosiated Risk Factor of Depressive Symptom Following Acute Ischemic St roke (PSD) in Aged. Scientif ic Research, 2(5), 522–525. Cheavens, J.S., Feldman, D.B., Woodward, J.T., dan Snyder, C.R., 2006. Hope in Cog nitive Psychotherapies: On Work i ng Wit h Cl ient St reng t h s. Journal of Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly, 20, 135–145. Friedman, M.M., 2010. Family Nursing: Re s e a r c h , T h e o r y & P r a c t i c e . Connecticut: Appleton & Lange. Gilespie, D., dan Campbell, F., 2011. Effect of Stroke on Family Carers and Family Relationships. Nursing Standard, 26(2), 39–46. Gumus, A.B., Cam, O. dan Malak A.T., 2011. Relationships Between Psychososial Adjust ment a nd Hopelessness i n Women with Breast Cancer. Asian Pasifi c Journal of Cancer Prevention, 14(1), 571–578. Jones, L., dan Morris R., 2012. Experiences of Adult Stroke Survivors and Their Parent Carer: Qualitative Study. Clinical Rehabilitation, 27(3), 272–280. Kariasa, I.M., Sitorus, R. dan Afi yati, Y., 2009. Persepsi Pasien Paska Serangan Stroke Terhadap Kualitas Hidupnya dalam Perspektif Asuhan Keperawatan. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2010. Buku ajar fundamental keperawatan; Konsep, Proses dan Praktek. (Alih Bahasa: Wahyuningsih E et al. Jakarta: EGC. Lewis, M.B., dan Peterson, E.J., 2013. Spirituality as Coping Mechanism for Chronic Illness. Clinical Scholars Review, 6. Meifi & Agus, D., 2009. Stroke dan Depresi Paska Stroke. Majalah Kedokteran Damianus, 8(1). Naess, H., Lunde, L., dan Brogger, J., 2012. The Triad of Pain, Fatigue and Depression in Ischemic Stroke Patient: The Bergen Stroke Study. Cerebrovascular Disease, 33(5), 461–465. Panzarella, C., Alloy, L.B. dan Whitehouse, W.G., 2006. Expanded Hopelessness T he or y of D e p r e s sio n : o n T he Mechanisms by Which Social Support Protects Against Depression. Cognitive Therapy and Research, 30(3), 307– 333. 132 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 125–132 Sasmita. H., Hamid. A.Y., dan Daulima, H.C., 2011. Makna Kehidupan Klien Dengan Diabetes Mellitus Kronik di Kelurahan Bandarjo Semarang, Sebuah Studi Fenomenologi. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Stuart G.W, Laraia M.T., 2006. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 7th Edition. Philadelphia: Mosby. Teasdale, A.W., dan Engberg, A.W., 2001. Suicide Af ter St roke. Journal of Epidemiolog y Communit y Health, 55(12), 863–866. Towfighi, A., 2013. Depression Almost 8 Percent of US Stroke Survivor May Have Suicide Thought. News Health & Science. May 21, 2013. Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi, Bandung: Refi ka Aditama.