NERS Vol 10 No 1 April 2015.indd 138 INTERVENSI VAP BUNDLE DALAM PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) PADA PASIEN DENGAN VENTILASI MEKANIS (The Incidence of VAP after VAP Bundle Intervention Among Patients with Mechanical Ventilation) Diah Susmiarti*, Harmayetty**, Yulis Setiya Dewi** *Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga **Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Email: diahsusmiarti@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien dengan pemakaian ventilator > 48 jam. Pasien kritis yang dirawat di ICU berisiko tinggi terjadi infeksi nosokomial pneumonia sehingga mengakibatkan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kejadian VAP setelah diberikan penerapan VAP bundle. Metode: Penelitian ini menggunakan metode one shot case study post test only dengan sampel sebanyak 6 orang mulai 31 Desember 2013 sampai dengan 31 Januari 2014. Hasil Hasil menunjukkan bahwa penerapan VAP bundle berpengaruh dalam mencegah terjadinya VAP. Hasil dari penilaian total CPIS didapatkan 4 dari 6 orang tidak terdiagnosa VAP dan 2 orang terdiagnosa VAP. Diskusi: Hasil penelitian yang ada perlu didukung dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu penilaian CPIS secara berkelanjutan untuk mengidentifi kasi VAP yang disebabkan oleh bakteri onset lambat khususnya pada pasien yang terpasang ventilasi mekanis dalam waku lama. Kata kunci: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle, kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ABSTRACT Introduction: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) is a nosocomial infection in patients who use ventilator for more than 48 hours. The aimed of the study was to determine VAP incidence after VAP bundle application. Methods: This study used one-shot case study posttest only designed with samples of 6 individuals beginning on December 31, 2013 up to January 31, 2014. The totally score of CPIS assessment revealed that 4 of 6 patients was not diagnosed with VAP and 2 were diagnosed with VAP. Result: The results showed that the application of VAP bundle has infl uence in preventing VAP incidence. The totally score of CPIS assessment revealed that 4 of 6 patients was not diagnosed with VAP and 2 were diagnosed with VAP. Discussion: This study need to be backed up furthermore with a larger sample size and continuous CPIS assessment is needed to identify VAP caused by bacteria, especially the late-onset bacteria, in patients using mechanical ventilation in longer a time. Keywords: Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle, VAP incidence PENDAHULUAN Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan penyebab umum kedua pada kasus Health care Associated Infection (HAI) di Amerika Serikat dan bertanggung jawab 25% dari kasus infeksi yang terjadi di Intensive Care Unit. Pasien kritis yang dirawat di ICU berada pada risiko tinggi untuk terjadi infeksi nosokomial pneumonia sehingga mengakibatkan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan. Penggunaan ventilator meningkatkan risiko infeksi nosokomial 6 –21 kali dan tingkat kematian akibat VAP adalah 24–70% sehingga menyebabkan peningkatan rata-rata waktu yang dihabiskan di ICU menjadi 9,6 hari, dan juga menambah biaya pengobatan. Tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan setiap pasien dengan VAP yaitu US $ 40.000. (Ban, 2011). Menu r ut Mc Car thy et al (2008) program pencegahan VAP dengan melakukan pemberian VAP bundle telah dilakukan di Mercy Hospital US mulai Juni 2003 sampai dengan Mei 2004 terhadap 205 sampel dan mendokumentasikan dalam sebuah format VAP bundle. Hasil yang ditemukan setelah pelaksanaan program secara konsisten tersebut terdapat penurunan VAP yaitu dari 6,1 menjadi 2,7 kasus per 1000 hari pemakaian ventilator. Menurut Crunden et al (2005), pemberian VAP bundle yang telah dilakukan pada 286 139 Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk) pasien di Surrey Hospital United Kingdom, memberikan hasil tentang kebutuhan pasien dalam pemakaian ventilator menurun dari 10,8 menjadi 6,1 hari dan Length Of Stay menurun dari 13,75 menjadi 8,36 hari. Be rd a sa rk a n h a si l rek a m me d is Rumkital Dr. Ramelan pada tahun 2011 jumlah pasien ICU yang menggunakan ventilator 74 orang, meninggal 62 orang, jumlah hari pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 505 hari dan 8 kasus dengan VAP. Pada tahun 2012 jumlah pasien yang menggunakan ventilator 109 orang, meninggal 86 orang, jumlah hari pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 694 hari, dan 10 kasus dengan VAP. Pada tahun 2013 jumlah pasien ICU yang menggunakan ventilator sebanyak 148 orang, jumlah pasien yang meninggal 100 orang, jumlah hari pemakaian ventilator yaitu 670 hari, dan data untuk kasus dengan VAP didapatkan 7 kasus VAP dengan hasil kultur yaitu A. Baumanii, Streptococcus, Acinetobacter dan E. Coli. Hasil diagnosis VAP di Ruang ICU Rumkital Dr. Ramelan didapatkan berdasarkan hasil kultur yang didokumentasikan pada satu buku catatan VAP berisi hasil kultur pasien. Tindakan pencegahan ventilator associated penumonia seper ti elevasi kepala sudah dilakukan, tetapi masih terdapat kejadian VAP dan setiap tahun hari pemakaian ventilator semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, pada lembar observasi ICU tidak didapatkan dokumentasi tentang pemberian VAP bundle sedangkan menurut hasil wawancara pada perawat ICU menjelaskan bahwa seluruh pasien sudah diberikan tindakan pencegahan seperti elevasi kepala kecuali ada kontraindikasi namun untuk pendokumentasian memang belum optimal dan untuk format VAP bundle belum ada. Menurut Burns et al (2011) pasien yang terpasang ventilasi mekanik dan endotracheal tube (ETT) menghambat mekanisme batuk alami yang merupakan mekanisme pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi per napasan, menghindari aspirasi sekret saluran napas bagian atas yang normalnya dapat melindungi saluran pernapasan dari invasif patogen. Adanya ETT akan mencegah mu kosilia r d ala m pember si ha n sek ret kemudian sekret menumpuk di atas manset ETT dan ak hir nya dapat menyebabkan microaspiration dan pneumonia. Endotracheal tube juga menekan refl eks epiglotic sehingga memudahkan masuk nya bakteri vir ulen (karena sekresi yang berlebihan ataupun aspirasi dari lambung). Obat-obat sedasi dalam jangka waktu yang lama pada pasien di ICU dapat menekan kemampuan menelan pasien secara efektif yang dapat membantu membersihkan saliva dari rongga mulut. Pasien dengan intubasi akan menghambat pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan. Adanya endotracheal tube juga akan menghilangkan refl eks batuk efektif (Mc Carthy et al., 2008). Pemberian sedasi, adanya ETT berkontribusi pada kejadian VAP yang terjadi akibat respons infl amasi terhadap mikroorganisme parenkim paru. Respons yang terjadi tergantung pada jumlah dan jenis mikroorganisme, virulensi serta daya tahan tubuh. Sebagian besar kasus VAP disebabkan oleh aspirasi sekresi infeksi dari orofarings dan sebagian kecil berasal dari infeksi sistemik. Berbagai bentuk mekanisme pertahanan yang terdapat di jalan napas, seperti saliva, refl eks batuk, mucociliary clearance dan sistem imun humoral melindungi paru dari infeksi. Pada orang normal sekresi orofaringeal yang berkala dikeluarkan oleh karena ada mekanisme pertahanan sedangkan pada pasien kritis terjadi gangguan imun, pemakaian sedasi serta ETT dapat mengganggu mekanisme pertahanan. Ketika mikroorganisme masuk kedalam paru, mekanisme pertahanan tidak mampu membunuh organisme tersebut. Makrofag alveolar, netrofi l dan elemen sistem imun humoral berinteraksi menimbulkan respons inf lamasi. Jika sistem pertahanan tubuh terganggu maka pneumonia dapat terjadi (Prasenohadi, 2008). Untuk mencegah terjadinya kolonisasi orofaring dan kolonisasi l a m b u n g m a k a d i p e r l u k a n t i n d a k a n pencegahan diantaranya Head elevation of Bed dengan tujuan mengurangi terjadinya aspirasi aerodigestif (oroparingeal dan gastrointestinal), meningkatkan volume paru dan ventilasi paru pasien serta memberikan keamanan pada saat pemberian makanan melalui NGT. 140 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146 BAHAN DAN METODE Pada penelitian ini mempergunakan rancangan penelitian “Pra Eksperimental” dengan One Shot Case Study. Populasi penelitian ini adalah pasien yang terpasang ventilator mekanis pada 31 Desember 2013–31 Januari 2014 sebanyak 16 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampel dengan beberapa kriteria inklusi, yaitu: 1) Pasien dengan ETT yang menggunakan ventilator mekanik mulai hari ke 0; 2) Pasien adalah berusia dewasa > 18th; 3) Pasien yang tidak terdiagnosa pneumonia saat masuk ICU; 4) Pasien mendapatkan Antibiotika. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu: 1) Pasien meninggal dalam pemasangan ventilator; 2) Di tengah waktu penelitian pasien/keluarga pasien menolak/mundur dari penelitian Variabel independen dalam penelitian ini adalah penerapan VAP bundle pada pasien dengan ventilasi mekanis sedangkan terapi dependen adalah kejadian ventilator associated pneumonia (VAP) pada pasien dengan ventilasi mekanis. Alat ukur untuk penerapan VA P bundle ber upa lembar observasi sedangkan untuk kejadian VAP diukur melalui lembar monitoring Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS). Pemberian VAP bundle pada penelitian ini dimulai setelah responden terpasang ventilasi mekanis yaitu pada hari ke 0 sampai dengan hari ke 3. Setiap pelaksanaan pemberian VAP bundle dicatat pada checklist monitoring VAP bundle. Setelah penerapan VAP bundle kemudian pada hari ke 3 dilakukan penilaian kejadian VAP melalui monitoring clinical pulmonary infection score (CPIS) dengan mengumpulkan data hasil pemeriksaan suhu, leukosit, sputum, PaO2/ FiO2, Foto toraks, dan kultur sputum responden dan memasukkan data-data tersebut ke dalam lembar monitoring CPIS. Keseluruhan data- data tersebut di jumlah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan terhadap masing-masing karakteristik CPIS. Responden dengan nilai total CPIS ≤ 6 dikategorikan tidak terdiagnosa VAP dan responden dengan nilai total CPIS > 6 dikategorikan VAP. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 responden sebagian besar memiliki skor APACHE II dengan nilai skor APACHE 25–29 (83,3%) dengan interpretasi perkiraan mortalitas 55% dalam 24 jam pertama ventilator. Data diagnosa, pemakaian sedasi dan jenis peptic ulcer diseases (PUD) responden didapatkan sebagian besar responden (50%) masuk ICU dengan diagnosa post operasi, sebagian besar responden (50%) dengan jenis sedasi morphin: dormicum selama 48 jam, dan sebagian besar (33,33%) dengan jenis peptic ulcer diseases yaitu ranitidin. Hasil Observasi nilai Clinica Pulmonary Infection Score (CPIS) pada hari ke 3 pemakaian ventilator didapatkan hasil 2 dari 6 responden terdapat kejadian VAP dengan skor VAP > 6 (33,33%) dan 4 responden tidak terdiagnosa VAP dengan skor VAP ≤ 6 (66,67%). Nilai suhu dari Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) 6 responden didapatkan nilai suhu pada hari ke 3 sebanyak 5 responden mendapatkan skor 0, sedangkan 1 reponden mendapatkan nilai 2. Nilai CPIS untuk leukosit pada hari 3 yaitu sebanyak 2 responden Tabel 1. Usia Responden di ICU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Umur Jumlah Prosentase 36–45 45–59 60–74 1 1 4 16,7% 16,7% 66,6% Total 6 100,0% Tabel 2. Jenis kelamin Responden di ICU Rumkital Dr. Ramelan Jenis Kelamin Jumlah Prosentase Laki-laki Perempuan 5 1 83,3% 16,7% Total 6 100,0% 6 28 55% 141 Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk) mendapat skor 0 sedangkan 4 responden lain mendapat skor 1. Skor sputum pada hari ke 3 yaitu sebanyak 5 responden mendapatkan skor 1 dan 1 responden mendapatkan skor 2. Skor untuk PaO2/FiO2 pada hari ke 3 didapatkan 4 responden mendapatkan skor 0 dan 2 responden mendapatkan skor 2. Nilai CPIS untuk hasil foto thoraks pada hari ke 3 sebanyak 2 responden mendapatkan skor 0 dan 4 responden mendapatkan skor 2. Berdasarkan hasil kultur sputum pada hari ke 3 didapatkan 6 responden mendapatkan skor 2. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 5 penilaian CPIS dari 6 responden yang diteliti setelah diberikan penerapan VAP bundle yang meliputi elevasi kepala, profi laksis peptic ulcer diseases, oral hygiene dengan clorhexidine 0,1% dan hand hygiene menunjukkan sebanyak 4 orang (66,67%) dengan nilai CPIS ≤ 6 yang berarti tidak VAP yaitu responden 2, 4, 5 dan 6 tidak terdiagnosa VAP. 2 orang (33,33%) dengan nilai CPIS > 6 berarti terjadi VAP yaitu pada responden 1 dan 3. Jumlah responden sebagian besar masih didapatkan kejadian VA P mesk ipu n penerapan VAP bundle sudah dilaksanakan 100%. Responden yang terdiagnosa VAP dalam penelitian ini adalah responden 1 dan 3. Responden 1 usia 48 tahun dengan diagnosa masuk COB + Fr. Costae 1, 2 dan 3 + Hematothoraks + Fr. Zigoma. Tingkat keparahan penyakit atau diagnosa awal pada responden 1, adanya penurunan kesadaran, dan serum albumin < 2,2 merupakan faktor risiko yang berasal dari pejamu (host) terhadap terjadinya infeksi nosokomial. Pemasangan ventilasi mekanik diindikasikan karena ketidakmampuan paru untuk mensuplai oksigen pada darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Pada responden ini terjadi hipoventilasi alveolar diakibatkan terjadinya gangguan pada sistem saraf pusat atau sistem neuromuskuler, yang menyebabkan k u ra ng nya ok sigen ya ng d isuplai d a n kurangnya karbondioksida yang dikeluarkan. Hematothoraks yang terjadi diakibatkan oleh trauma tumpul dada yang mengakibatkan tulang rusuk merusak jaringan paru-paru dan arteri. Pemasangan WSD dilakukan untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura sehingga mengurangi risiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Kondisi trauma tersebut merupakan stres fi siologik yang dialami oleh responden 1. Menurut Smeltzer and Bare (2013) stressor fi siologik dan psikologik yang disertai karena cedera akan menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal dan peningkatan kortisol serum juga turut mengakibatkan supresi respons imun yang abnormal. Sistem imun terdiri atas komponen nonspesifi k dan spesifik. Fungsi masing-masing komponen atau keduanya dapat terganggu baik oleh sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Keadaan imunokompromais yang sering ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh infeksi, tindakan pengobatan, neoplasma dan penyakit hematologik, penyakit metabolik, t rau ma d a n t i nd a ka n bed a h. Berbagai mikroorganisme (bakteri, vir us, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam badan penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau memiliki patogenesitas rendah, dalam keadaan imunokompromais dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari badan sendiri maupun nosokomial dibanding dengan yang tidak imunokompromais. Tingkat kesadaran pada responden 1 yaitu koma berpengaruh terhadap kejadian VAP. Meskipun pemberian sedasi sudah dihentikan pada hari pertama namun tidak ada peningkatan kesadaran pada responden 1. Menurut Mc Carthy et al (2008) adanya ETT dan penurunan kesadaran akan menekan kemampuan menelan pasien secara efektif dan menghilangkan refl eks batuk efektif yang mer upakan mekanisme per tahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan sehingga ketika mikroorganisme masuk ke dalam paru, mekanisme pertahanan tidak mampu membunuh organisme tersebut. Makrofag alveolar, netrofi l dan elemen sistem imun humoral berinteraksi menimbulkan 142 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146 respons infl amasi. Menurut IHI (2012) pada pasien dengan ventilator mekanis selain adanya ETT, penurunan kesadaran, serta hilangnya refl ek batuk, mikroorganisme dapat berkembang oleh karena adanya biofi lm plak gigi yang diakibatkan kurang atau hilangnya f u ngsi mekan i k yait u meng u nyah d an berkurangnya bahkan tidak adanya air liur yang dapat meminimalkan perkembangan biofi lm pada gigi. Plak gigi dapat menjadi reservoir terhadap potensi patogen pernapasan yang menyebabkan VAP. Adanya hipoalbumin pada responden 1 yaitu < 2,2 merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi nosokomial. Protein dalam darah berbentuk albumin merupakan profi l dalam tubuh yang berfungsi sebagai sistem enzimatik dan bertanggung jawab terhadap kekebalan alamiah. Indikator paling sensitif untuk mengukur ketersediaan protein dalam tubuh adalah dengan melihat kadar albumin darah. Protein dapat digunakan untuk mempertahankan sistem kekebalan dan ukuran otot, mengatur keasaman darah serta memproduksi jutaan substansi yang dibutuhkan untuk mengatur proses tubuh. Menu r ut Stepanu k (2000) ji ka protei n digunakan sebagai sumber energi maka akan terjadi defi siensi protein yang sering menyebabkan depresi sistem kekebalan, sehingga kerentanan terhadap infeksi makin meningkat (Stepanuk 2000). Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kejadian VAP pada responden 1 yaitu faktor intervensi seperti: pemakaian ventilator > 2 hari, NGT, Antagonis H2 dan faktor personel dari petugas kesehatan mengenai kepatuhan cuci tangan. Berdasarkan fakta yang ada terhadap penerapan Vap bundle tentang profi laksis peptic ulcer diseases (PUD), peneliti tidak menginklusikan jenis PUD yang diberikan oleh medis sehingga terdapat beberapa jenis profi laksis PUD yang terdapat pada 6 responden. Pada responden 1 pemberian profi laksis PUD diberikan sejak awal pasien masuk ruang ICU mulai hari ke 0. Pada awal masuk sampai dengan hari ke 1, responden 1 mendapatkan profi laksis ranitidin, namun pada hari ke 2 ranitidin diganti dengan sucralfat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang (2010) mengenai efek H2 reseptor antagonis dan sucralfat melalui metode randomized controlled trial didapatkan hasil bahwa H2 reseptor antagonis (ranitidin) dan sucralfat tidak memiliki perbedaan yang signifi kan dalam timbulnya perdarahan lambung, akan tetapi golongan H2 reseptor anatagonis memiliki rata-rata yang lebih tinggi dalam kejadian munculnya kolonisasi lambung dan ventilator associated pneumonia. Menurut IHI (2012), Profi laksis ulkus peptikum jenis H2 antagonis yang diberikan pada pasien mempunyai efek yang negatif terhadap risiko terjadinya pneumonia nosokomial. Obat-obatan profi laksis ini akan membuat pH lambung menjadi kondisi basa yang dapat meningkatkan per t umbuhan bakteri dalam perut, terutama kuman gram negatif yang berasal dari duodenum. Kondisi tersebut diperberat bila terjadi refl uks dan sekresi pada pasien kritis yang terintubasi. Hal tersebut dikarenakan pasien dengan ETT tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan saluran pernapasan mereka. Refl uks esofagus dan aspirasi isi lambung pada pasien ETT dapat menyebabkan kolonisasi endobronkhial dan pneumonia. Tindakan personel petugas kesehatan terhadap kepatuhan cuci tangan yang merupakan hal dasar dalam mencegah terjadinya infeksi nosokomial didapatkan bahwa complience cuci tangan perawat (81, 2%), sedangkan complience cuci tangan dokter (66,7%). Hasil penilaian mengenai complience indi kasi didapatkan 43,4% perawat tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien dan 42,86% dokter tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zuhriyah (2004) mengenai gambaran bakteriologis tangan perawat didapatkan hasil bahwa masih didapatkan adanya bakteri pada 20% tangan perawat meskipun petugas sudah mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Masih ditemukannya bakteri dari hasil swab setelah cuci tangan yaitu bakteri non patogen staphilococcus epidermis dan Enterobacter aerogenes memberi dugaan bahwa cuci tangan yang dilakukan kurang efektif, selang waktu antara cuci tangan dengan pemeriksaan swab tangan terlalu lama, durasi cuci tangan yang terlalu cepat atau penggunaan sabun mikroba yang terlalu sedikit. 143 Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk) Pe n i l a i a n t e r h a d a p r i si ko VA P dilak u kan pada har i ke 3 pemasangan ventilator dengan menggunakan Clinical Pulmonary infection score. Pada responden 1 terdapat peningkatan suhu pada hari ke 3 yaitu ≥ 39° C disertai adanya sputum namun tidak purulent dan tidak ada peningkatan leukosit. Nilai PaO2 = 93 dan FiO2 = 40% didapatkan PaO2/FiO2 = 232,5. Penilaian foto thorak hari ke 3 terhadap responden 1 tidak dapat dilaksanakan oleh karena mesin thoraks cito bed sedang dalam perbaikan, sedangkan foto thoraks hari ke 1 adanya infi ltrat sulit terbaca dikarenakan adanya hemotoraks pada rongga pleura. Hasil kultur sputum terdapat adanya bakteri Klebsiella Ozaenae. Menurut Porzecanski (2006) berdasarkan pada kriteria klinik National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) bahwa adanya tanda klinis demam > 38° C (> 100,4°F) yang bukan disebabkan gangguan lain merupakan salah satu tanda klinik adanya infeksi nosokomial pneumonia. Menur ut kowalak (2012) demam terjadi ketika agen penyebab infeksi memasuki tubuh. Kenaikan suhu akan membantu tubuh melawan infeksi karena banyak mikroorganisme tidak bisa hidup dalam lingkungan yang panas. Apabila suhu tubuh naik terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami kerusakan, khususnya sel- sel pada sistem saraf sedangkan leukositosis yang terjadi merupakan tanda reaksi tubuh terhadap masuknya mikroorganisme patogen dengan meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel darah putih yang beredar di mana leukosit atau sel darah putih berperan dalam melindungi tubuh terhadap infeksi dan bakteri berbahaya. Menurut Augustyn (2007) penurunan terhadap kemampuan tubuh dalam menyaring dan melembabkan udara pada saluran nafas bagian, hilang atau berkurangnya refl ek batuk akibat adanya endotracheal tube serta terganggunya mechanisms clearanse dari silia dalam pembersihan karena cedera mukosa selama intubasi. Adanya endotracheal tube akan menyediakan tempat bagi bakteri untuk masuk ke dalam trakea, keadaan selanjutnya dari hal- hal tersebut akan meningkatkan produksi dan sekresi lendir. Mekanisme pertahanan alami pasien yang menurun akan meningkatkan ke mu ng k i n a n kolon isa si ba k t e r i d a r i mikrorganisme. Menurut Brisse (2006) hasil kultur sputum yang terdapat pada responden 1 yaitu klebsiella ozenae merupakan bagian genus klebsiella yang normalnya terdapat dalam saluran pencernaan. Koloni dapat ditemukan di kulit ataupun kerongkongan. Bakteri fl ora normal pada organ tubuh tertentu bisa menjadi patogen apabila terjadi perubahan substrat dan berpindahnya bakteri ke organ lain. Adapun pergerakan bakteri ini ke organ lain dikaitkan dengan lemahnya daya tahan tubuh penderita. Berdasarkan fakta dan Teori yang ada, peneliti berpendapat bahwa meskipun penerapan VAP bundle telah diterapkan 100% pada responden dan penghentian sedasi dihentikan sejak dini, kemungkinan terjadinya VAP masih dapat terjadi. Hal tersebut diakibatkan masih adanya faktor- faktor lain yang berkontribusi besar dalam terjadinya proses infeksi. Faktor pada pejamu (host) merupakan faktor yang berkontribusi besar pada kejadian infeksi nosokomial pada responden 1 yaitu adanya penurunan daya tahan tubuh oleh karena adanya trauma dan rendahnya kadar albumin < 2,2. Adanya penu r u nan daya t ahan t ubu h ini akan berakibat perubahan substrat fl ora normal dan berpindahnya bakteri ke organ lain. Meskipun pada penelitian ini tidak menilai mengenai bagaimana teknik petugas kesehatan dalam mencuci tangan akan tetapi masih didapatkan tingginya kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Hal ini merupakan salah satu yang dapat menyebabkan transmisi mikroorganisme dari petugas ke responden. Faktor lain yang kemungkinan menyebabkan VAP adalah masih digunakannya model open suction pada responden, meskipun cateter suction yang digunakan sekali pakai akan tetapi kemungkinan terkontaminasi akan sangat mungkin terjadi. Responden 3 yang juga terdiagnosa VAP melalui penilaian Clinical Pulmonary infection score mempunyai faktor-faktor risiko yang berbeda dengan responden 1. Responden 3 usia 69th masuk dari ruang bedah ke ICU dengan diagnosa post op laparatomi (cholelitiasis) dan sudah dirawat inap selama 14 hari di ruangan 144 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146 bedah. Faktor-faktor risiko pada pejamu (host) yang memungkinkan terjadinya VAP pada responden 3 yaitu: usia > 60 tahun (69th), albumin serum > 2,2. Menurut Smeltzer and Bare (2013) usia merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi sistem imun seseorang. Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan peningkatan ini mungkin disebabkan oleh penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai terhadap mikroorganisme yang menginvasinya. Produksi maupun fungsi limfosit T dan B dapat terganggu. Insidensi penyakit autoimun juga meningkat bersamaan dengan pertambahan usia, hal ini mungkin terjadi akibat penurunan kemampuan antibodi untuk membedakan antara diri sendiri dan bukan diri sendiri. Menurut Augustyn (2007) mekanisme pertahanan alami pasien yang menurun akan meningkatkan kemungkinan kolonisasi bak ter i dar i mik rorganisme. Riwayat Diabetes Mellitus pada responden 3 sejak 4 tahun lalu juga merupakan faktor yang meningkatkan insidensi infeksi di mana berkaitan dengan insufi siensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar gula darah yang buruk. Menurut Smeltzer and Bare (2013) gangguan integritas kulit yang salah satuya diakibatkan oleh pressure ulcer merupakan faktor predisposisi yang memudahkan pasien lanjut usia untuk mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang merupakan bagian dari f lora kulit yang normal. Risiko terjadinya infeksi nosokomial pada responden 3 sangat besar, hal ini dikarenakan responden 3 sudah masuk r uang rawat inap selama 15 hari setelah post operasi laparatomi dan sudah mendapatkan pengobatan antibiotika sebelum masuk ruang ICU. Salah satu dampak yang diakibatkan dari pemakaian antibiotika adalah terjadinya resistensi obat dalam populasi mikroba serta perubahan fl ora normal tubuh yang menyebabkan ket id a ksei mbangan sehingga terjadi infeksi. Penegakan diagnosa VAP dilakukan pada har i ke 3 mengg u nakan Clinical Pulmonary Infection Score. Pada responden 3 tidak mengalami peningkatan suhu seperti yang terjadi pada responden 1, akan tetapi terdapat leu kositosis (13.200/μL) ser t a per ubahan karakteristik sputum menjadi purulent. Perburukan pertukaran gas terjadi pada responden 3 dan dapat dilihat dari rasio PaO2/FiO2 (PaO2 = 75, FiO2 = 0,35) didapatkan 214,3. Hasil foto thoraks yang menggambarkan adanya infi ltrat dan terdapatnya bakteri C. Freundii pada kultur sputum responden 3 menambah skor pada penilaian CPIS. Menurut Porzecanski (2006) berdasarkan pada kriteria klinik National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) untuk diagnosis pneumonia tidak hanya ditentukan berdasarkan satu gejala klinis saja yaitu peningkatan suhu seperti yang terjadi pada responden 1 akan tetapi penegakan diagnosis pneumonia dapat ditegakkan dengan kriteria klinis lain yaitu leukositosis. Menur ut Isselbacher (1999) per ubahan war na dan konsistensi pada seseorang menunjukkan adanya infeksi oleh bakteri atau kuman penyebab. Dahak atau sputum yang dikeluarkan terdiri dari air, elektrolit dan glukosa, lendir glikoprotein, transudat, dan lipid sehingga diperlukan pemeriksaan sputum yang teliti yang akan memper jelas keadaan pasien dar i pada pemeriksaan sputum secara kasat mata. Nilai PaO2/FiO2 pada responden 3 yaitu < 240 seperti yang terjadi pada responden 1. Menurut Morton (2012) tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2) menggambarkan tingkat kelarutan oksigen di dalam plasma, sedangkan fraksi oksigen inspirasi (FiO2) merupakan jumlah kandungan oksigen inspirasi yang diberikan oleh ventilator ke pasien dengan konsentrasi 21–100%. Nilai normal PaO2/ FiO2 yaitu 300 –500. Adanya penur unan PaO2/FiO2 menggambarkan perburukan pada sistem respirasi pasien. Bakteri C. Freundii yang ditemukan pada hasil kultur sputum responden 3 merupakan enterobacter spesies, gram negatif, berbentuk batang, anaerob dan merupakan f lora normal pada saluran pencernaan. Adapun pergerakan bakteri ini ke organ lain dikaitkan dengan lemahnya daya tahan tubuh penderita. Berdasarkan data-data yang terdapat pada responden 3, peneliti ber pendapat bahwa kejadian VAP pada responden 3 terjadi diakibatkan faktor-faktor risiko seperti pada responden 1 yang berasal dari pejamu (host) 145 Intervensi Vap Bundle dalam Pencegahan VAP (Diah Susmiarti, dkk) seperti tingkat keparahan penyakit, adanya penurunan kesadaran, penurunan daya tahan tubuh, serum albumin < 2,2. Faktor risiko lain yang didapat pada responden 3 yaitu usia lanjut (69 th) yang juga akan berpengaruh terhadap imun responden. Diagnosa VAP terhadap responden 3 oleh peneliti dianggap kurang akurat oleh karena beberapa pertimbangan yaitu pada hari ke 1 sudah terdapat gambaran infiltrat pada hasil foto thoraks, terdapat leukositosis (19.600/μL) dan adanya perburukan pada hasil PaO2/FiO2 (235). Bila berdasarkan klinis tersebut maka dapat dikatakan bahwa responden 3 sudah mengalami pneumonia sejak awal masuk ICU. Lamanya rawat inap di ruangan sebelumnya, kurangnya mobilisasi (berdasarkan keterangan keluarga) menambah risiko pneumonia nosokomial yang terjadi pada responden. Dalam hal ini penilaian secara klinis pada awal masuk sangat penting bagi perawat sehingga penilaian tidak hanya berfokus setelah > 48 jam saja. Meskipun pada penelitian ini tidak menilai mengenai bagaimana teknik petugas kesehatan dalam mencuci tangan akan tetapi masih didapatkan tingginya kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Hal ini merupakan salah satu yang dapat menyebabkan transmisi mikroorganisme dari petugas ke responden. Faktor lain yang kemungkinan menyebabkan VAP adalah masih digunakannya model open suction pada responden, meskipun cateter suction yang digunakan sekali pakai akan tetapi kemungkinan terkontaminasi akan sangat mungkin terjadi. Berdasarkan keterangan – keterangan yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa gambaran suhu, lekositosis, sputum purulent dan perubahan pada foto thoraks untuk mendiagnostik pneumonia tidak selalu tepat pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Salah satu contoh yaitu demam, kondisi demam dapat ditemukan pada berbagai penyakit yang disebabkan respons infl amasi sedangkan sputum purulen dapat disebabkan oleh trakeobronkitis dan tidak selalu disertai kelainan parenkim. Adanya infiltrat pada foto thoraks dapat disebabkan oleh berbagai kelainan noninfeksi seperti edema par u, perdarahan dan kont usio. Berdasarkan protocol CDC (2013) mengenai protokol surveilans Ventilator Associated Event (VAE) untuk mempermudah surveilans terhadap kejadian VAP maka data yang terdapat pada tabel 5.3 yang menerangkan mode dan setting ventilator responden selama 3 hari tidaklah memungkinkan. Berdasarkan protocol CDC, kejadian atau kemungkinan VA P dapat dideteksi awal dengan melihat perburukan oksigen responden melalui peingkatan fi O2 minimal harian ≥ 0,20 (20 point) di atas kebutuhan minimum 2 hari sebelumnya atau adanya peningkatan PEEP ≥ 3 cmH2O di atas kebutuhan minimum PEEP 2 hari sebelumnya d i ma na n ilai m i n i mu m PEEP ha r ia n 0 –5 c m H 2O. Be rd a sa rk a n ket e r a nga n CDC tersebut peneliti berpendapat bahwa pengumpulan data terhadap kejadian atau kemu ng k i na n pasien terd iag nosa VA P membutuhkan data penggunaan ventilator pasien minimal 6 hari sehingga dapat diketahui secara pasti. Bila mengacu pada hal tersebut maka kemungkinan mortalitas yang terjadi pada pasien bukan diakibatkan oleh terjadinya VAP akan tetapi besar kemungkinannya diakibatkan oleh kondisi penyakit primernya. Perburukan oksigen memang terjadi pada responden 1 dan responden 3 yang terdiagnosa VAP dengan melihat hasil BGA melalui perbandingan PaO2/FiO2 di mana kedua responden < 240. Responden lain yang tidak terdiagnosa VAP yaitu responden 2, 4, 5, dan 6. Meskipun pada hari ke 3 tidak terdiagnosa VAP, responden-responden tersebut memiliki risiko untuk timbulnya VAP pada hari selanjutnya oleh karena faktor risiko yang ada pada responden 2, 4, 5 dan 6 ini tidak jauh berbeda dengan responden 1 dan 3. Faktor risiko pada pejamu (host) tersebut antara lain keparahan penyakit, penurunan kesadaran dan lanjut usia. Oleh karena itu observasi CPIS secara berkesinambungan perlu ditindaklanjuti sehingga dapat diketahui penyebab VAP karena bakteri onset lambat. Dan khususnya bagi pasien yang rawat inap lama diperlukan data lebih mengenai ada atau tidaknya perburukan oksigen yang terjadi dengan melihat PEEP dan FiO2 selama rawat inap sehingga akan mudah memastikan apakah responden posible atau probable VAP. 146 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 138–146 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan terhadap kejadian VAP setelah penerapan Vap bundle yang telah dilakukan terhadap 6 responden didapatkan 2 responden terdiagnosa VAP dan 4 responden tidak terdiagnosa VAP. Hal tersebut diakibatkan f a k t o r-f a k t o r a nt a r a l a i n p e nu r u n a n kesadaran, usia lanjut, albumin serum < 2,2, dan penurunan sistem imun responden oleh karena trauma dan usia lanjut. Faktor dari petugas kesehatan sendiri yaitu kepatuhan dalam mencuci tangan masih didapatkan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum menyentuh pasien. Pada penelitian ini sulit untuk ditelusuri tingkat mortalitas yang terjadi pada responden apakah diakibatkan oleh VAP atau akibat dari diagnosa primernya. Saran Rumkital Dr. Ramelan perlu membuat SOP mengenai VAP bundle pada pasien yang terpasang ventilator untuk mencegah terjadinya VAP. P e r a w a t I C U h a r u s d a p a t mengidentifikasi faktor-aktor risiko pada pasien yang dirawat sehingga pencegahan secara dini terhadap kejadian VAP dapat dilakukan dengan baik dan penilaian Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) tidak saja dilakukan pada hari ke 3 namun dilakukan secara berkesinambungan untuk mengetahui kejadian VAP yang diakibatkan oleh bakteri yang resisten. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengaplikasikan VAP bundle dengan jumlah responden yang lebih besar, homogen serta di lakukan penilaian CPIS secara berkelanjutan selama pasien di rawat. KEPUSTAKAAN Augustyn, Beth, 2007. Ventilator Associated Pneumonia: R isk and Prevention. Cr it ical Ca re Nu rse, A me r ic a n Association of Critical Care Nurses. Columbia. Ban, Keum ok, 2011. The Effectiveness of an Evidence– Based Nursing Care Program to Reduce Ventilator – Associated Pneumonia in Korean ICU. Intensive and Critical care Nursing 27. Elsevier, 226 – 232. Burns, Karen, et al, 2011. Guidelines for The Prevention of Ventilator Associated Pneumonia in adults in Ireland, A Srategy for the control of Antimikrobial Resistance In Ireland (SARI) Working Group. Crunden, Edi et al, 2005. An Evaluation of The Impact of The Ventilator Care Bundle. Nursing Critical Care. 242 – 46. Huang, Jiahao et al, 2010. Effect of histamine-2 receptor antagonists versus sucralfate on stress ulcer prophylaxis in mechanically ventilated patients: a meta-analysis of 10 randomized controlled trials’, Critical Care. Institute for Healthcare Improvement, 2006. Getting Started Kit: Prevent Ventilator Associated Pneumonia: How to Guide, hal. 7. Isselbacher, 1999. Pr insip-Pr insip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. Kowalak, Jennifer, P, et al, 2011. Buku Ajar Patofi siologi. Jakarta: EGC McCar thy, S.O, et al., 2008. Ventilator A s s o ciat e d P ne u mon ia Bu nd le d Strategies; An Evidence-Based Practice. Worldview on Evidence-Based Nursing fourth quarter. 193–204. Porzecanski and Bowton, 2006. Diagnosis and Treatment of Ventilator Associated Pneumonia. American College of Chest Physicians. Prasenohadi, 2008. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Patogenesis dan D i a g n o si s . J u r n a l Tu b e r k u lo si s Indonesia Vol. 5. 14–16. Smeltzer, Suzanne C and Bare, Brenda. G, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed.8. Vol. 3. Jakarta: EGC. hal. 1698 – 1700. Stepanuk, 2000. Biochemical and Physiological Aspecs of Human Nutrition, W b. Sau nders Company, Philadelphia, Pensylvania. Zuhriyah, Lilik, 2004. Gambaran Bakteriologis Tangan Perawat. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XX No. 1, hal. 52.