NERS Vol 10 No 1 April 2015.indd 175 EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL DALAM MPKP JIWA TERHADAP KEMAMPUAN KLIEN (The Effectiveness of Nursing Care: Social Isolation Implementation in Mental PMHNPM to Patient’s Capability) Retty Octi Syafrini*, Budi Anna Keliat*, Yossie Susanti Eka Putri* *Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok Email: rettyoctimakhfuz@yahoo.co.id ABSTRAK Pendahuluan: Asuhan keperawatan isolasi sosial adalah salah satu poin penting dalam MPKP (Metode Praktik Keperawatan Profesional) Jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan implementasi asuhan keperawatan isolasi sosial dalam MPKP Jiwa dengan kemampuan klien dan keluarga. Metode: Penelitian ini berdesain korelasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah PP yang telah mendapatkan pelatihan MPKP Jiwa 58 orang, klien isolasi sosial yang dirawat di ruang rawat inap RSJD Prov. Jambi 32 orang, dan keluarga klien isolasi sosial yang sedang berkunjung 12 orang. Variabel independen adalah pelaksanaan program MPKP Jiwa oleh perawat pelaksana dan variabel dependennya adalah hasil asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dan keluarganya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuisioner. Analisis data dilakukan dengan distribusi frekuensi untuk melihat data kategorik, central tendency untuk melihat data numerik, dan korelasi pearson. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kemampuan PP dengan kemampuan klien dan keluarga (p < 0,05). Kemampuan klien dalam memberikan asuhan keperawatan isolasi sosial berhubungan dengan penurunan tanda dan gejala klien (p < 0,05). Diskusi: Kemampuan PP dalam memberikan asuhan keperawatan dan implementasi MPKP Jiwa dapat menurunkan tanda dan gejala, meningkatkan kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan isolasi sosial. Kata kunci: MPKP Jiwa, asuhan keperawatan isolasi sosial, perawat pelaksana ABSTRACT Introduction: Nursing care: social isolation is one of the pillars in Professional Mental Health Nursing Practice Model (PMHNPM). This study was aimed to determine the relationship between the implementation of nursing care in PMHNPM with the ability of clients and families client’s. Method: This study was used a correlational design with cross-sectional approach. Samples were associate nurse who already follow PMHNPM training 58 respondents, client with social isolation problem who hospitalized at RSJD Prov. Jambi 32 respondents, and client’s family 12 respondents. Independent variable was PMHNPM implementation by associate nurse, while dependent variables were the result of nursing care to client with social isolation problem and family. Data were collected by using questionnaire. Data were then analyzed by using frequency distribution for categoric data, central tendency for numeric data, and pearson correlation. Result: The results showen that nursing management capabilities signifi cantly associated (p < 0.05) with the client’s ability and the ability of the family. The ability of nurses in providing nursing care social isolation were signifi cantly associated (p < 0.05) with a decrease in signs and symptoms of client upgrades. Discussion: Associate nurses ability on nursing care and PMHNPM implementation could reduce a signs and symptoms, improve an ability of the client and families client’s social isolation. Keywords: PMHNPM, nursing care: social isolation, associate nurse PENDAHULUAN Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain (NANDA, 2012). Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien dengan isolasi sosial disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga muncul perasaan malu u nt u k ber interaksi dengan orang lain, di mana jika tidak diberikan tindakan keperawatan yang berkelanjutan akan dapat menyebabkan terjadinya perubahan persepsi sensori dan berisiko untuk menciderai diri sendiri, orang lain, bahkan lingkungan (Fitria, 2009). Untuk itu, penting bagi perawat untuk membantu mengatasi masalah isolasi sosial pada pasien dengan memberikan asuhan keperawatan yang profesional dan tepat yang tersedia di pelayanan keperawatan. Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) merupakan salah satu upaya yang 176 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 175–182 dilakukan oleh bagian keperawatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan ataupun kualitas asuhan keperawatan. MPKP adalah suat u sistem yang mendu k ung perawat untuk memberikan asuhan keperawatan di lingkungan di mana perawatan itu diberikan (Hoffart & Woods, 1996), yang bermanfaat untuk meningkatkan dan menstandarkan kualitas asuhan keperawatan, meningkatkan kepuasan baik secara inter nal maupu n eksternal, dan meningkatkan keefektifan kinerja, serta ef isiensi keuangan (Davis, Heath & Reddick, 2002). M PK P Jiwa ya ng d it e r apk a n d i rumah sakit jiwa (RSJ) merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan asuhan keperawatan ya ng me m i l i k i n i lai-n i lai profe sion al yang terdiri dari 4 pilar yaitu pendekatan ma najemen, kompensa si peng ha rga a n, hubungan profesional, dan pemberian asuhan keperawatan. Hasil penerapan MPKP Jiwa di RSJ menunjukkan hasil BOR meningkat, ALOS menur un, dan angka lari pasien menur un, sehingga hasil penerapan ini menunjukkan bahwa dengan MPKP pelayanan kesehatan jiwa yang diberikan bermutu baik (Keliat & Akemat, 2012). Isolasi sosial merupakan salah satu diagnosa keperawatan yang termasuk dalam pilar patient care delivery system di MPKP Jiwa. Dengan pemberian metode asuhan keperawatan yang digunakan dalam MPKP, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan fungsi sosial klien. R SJ D P r ov. ja mbi m e mb e r i k a n pelayanan dan asuhan keperawatan dengan pendekatan program MPKP Jiwa yang telah dilakukan dari tahun 2009 sampai dengan sekarang di semua ruang rawat inap. Namun belum pernah dilakukan evaluasi terkait dengan pemberian asuhan keperawatan pada pasien isolasi sosial. Berdasarkan data pada awal Maret 2014, isolasi sosial merupakan diagnosa keperawatan yang ada di ruang rawat inap RSJD Provinsi Jambi adalah terbanyak nomor dua setelah diagnosa keperawatan halusinasi yaitu 17,69%. Berdasarkan pemaparan di atas, maka diperlukan penilaian pelaksanaan program MPKP Jiwa dengan hasil asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien isolasi sosial. BAHAN DAN METODE Desain dalam penelitian ini adalah korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel adalah perawat pelaksana yang telah mendapatkan pelatihan MPKP Jiwa 58 orang, klien isolasi sosial yang dirawat di ruang rawat inap RSJD Prov. Jambi 32 orang, dan keluarga klien isolasi sosial yang sedang berkunjung 12 orang. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan program MPKP Jiwa oleh perawat pelaksana dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah hasil asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial dan keluarganya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner untuk mendapatkan data mengenai kemampuan perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan isolasi sosial dan MPKP Jiwa, tanda gejala dan kemampuan klien isolasi sosial, serta kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial. Analisis data dilakukan dengan distribusi frekuensi untuk melihat data kategori, central tendency untuk melihat data numerik, dan korelasi pearson untuk melihat data hubungan pada variabel independen dan variabel dependen. HASIL Karakteristik perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap MPKP Jiwa rata- rata berusia 30,84 tahun; 82,8% perempuan; 62,1% berpendidikan DIII Keperawatan; dan rata-rata telah bekerja selama 7,17 tahun. Pencapaian kemampuan PP dalam M A adalah 107,86 (81,71%); CR 9,76 (61%); PR 18,28 (76,17%); dan PCD isolasi sosial 96,34 (77,69%). Karakteristik klien isolasi sosial yang dirawat di Ruang MPK P Jiwa rata-rata berusia 34,78 tahun; 81,3% laki-laki; 59,4% berpendidikan SD; 56,3% tidak bekerja; 56,3% belum menikah; dan dengan lama rawat rata- rata 39,78 hari. Perkembangan tanda gejala klien dilihat dari perbandingan antara sebelum 177 Efektivitas Implementasi Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial (Retty Octi Syafrini, dkk.) Tabel 1. Kemampuan perawat pelaksana menerapkan MPKP Jiwa Variabel (Standar skor) Mean Median SD MA (33–132) 107,86 110,00 15,463 CR (4–16) 9,76 10,00 2,892 PR (6–24) 18,28 19,00 3,116 PCD isolasi sosial (31–124) 96,34 93,00 15,854 Tabel 2. Karakteristik tanda gejala sebelum diberikan asuhan keperawatan isolasi sosial dan tanda gejala setelah diberikan asuhan keperawatan isolasi sosial Tanda dan Gejala Mean Pre Tanda Gejala Mean Post Tanda Gejala Mean Dif. p value Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial 6.06 3,84 3,41 5,31 7,13 3,59 1,34 1,16 2,66 3,13 2,469 2,500 2,250 2,656 4,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Komposit 25,75 11,88 13,87 0.000 Tabel 3. Karakteristik kemampuan klien isolasi sosial dan kemampuan keluarga klien Variabel (standar skor) Mean Median SD Kemampuan Klien (0–14) 6,94 7,00 4,016 kemampuan Keluarga (4–64) 42,75 35,06 12,107 Tabel 4. Hubungan kemampuan PP dalam implementasi MPKP jiwa dengan tanda gejala klien (n = 32) Variabel R R² p value MA - 0,169 0,029 0,354 CR - 0,071 0,005 0,698 PR 0,008 0,000 0,967 PCD Isolasi Sosial -0,361 0,131 0,042** Tabel 5. Hubungan kemampuan PP dalam implementasi MPKP jiwa dengan kemampuan klien (n = 32) Variabel R R² p value MA CR PR PCD Isolasi Sosial 0,481 0,160 0,277 0,524 0,231 0,026 0,077 0,275 0,005** 0,381 0,125 0,002** Tabel 6. Hubungan kemampuan PP dalam implementasi MPKP jiwa dengan kemampuan keluarga merawat klien (n = 12) Variabel R R² p value MA 0,619 0,383 0,032** CR 0,013 0,000 0,967 PR -0,117 0,014 0,717 PCD Isolasi Sosial 0,369 0,136 0,237 dan setelah diberikan asuhan keperawatan dengan melihat sisa gejala yang terdapat pada kognitif, afektif, fi siologis, perilaku, dan sosial klien. Karakteristik keluarga klien isolasi sosial yang berkunjung ke RSJ adalah rata- rata berusia 42,08 tahun; 58,3% laki-laki; 33,3% berpendidikan SMA; 66,7% bekerja; dan 41,7% adalah saudara kandung klien. Kemampuan klien dan kemampuan keluarga setelah diberikan asuhan keperawatan adalah 6,94 (49,57%) dan 42,75 (66,79%). Tabel 3, 4, dan 5 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kemampuan perawat pelaksana dalam implementasi PCD isolasi sosial dengan tanda gejala klien. Ada hubungan yang bermakna antara kemampuan 178 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 175–182 PP dalam implement asi M A dan PCD isolasi sosial dengan kemampuan klien. Ada hubungan kemampuan PP dalam implementasi MA dengan kemampuan keluarga. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan rata- rata perawat pelaksana memiliki kemampuan p e n d e k a t a n m a n aje m e n , ko m p e n s a s i penghargaan, hubungan profesional, dan asuhan keperawatan isolasi sosial di atas rata- rata standar skor. Kemampuan yang dimiliki perawat pelaksana dalam kegiatan pendekatan manajemen 81,71% termasuk tinggi mengingat kema mpu a n per awat pela k sa na ha nya mengerjakan rencana harian. Rencana harian dan kegiatan pengarahan yang dilakukan di ruangan membantu perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien. Kegiatan pengarahan yang d ii mplement asi ka n d alam M PK P Jiwa terdiri dari kegiatan operan, preconference, postconference, iklim motivasi, supervisi dan delegasi (Keliat & Akemat, 2012). Di ruang MPKP Jiwa, perawat pelaksana terlibat dalam keseluruhan kegiatan yang ada di pendekatan manajemen kecuali kegiatan perencanaan untuk membuat rencana bulanan dan rencana tahunan, serta kegiatan pengendalian. Rutinitas yang dilakukan perawat pelaksana untuk mengerjakan rencana harian dan mengikuti kegiatan pengarahan, membuat perawat pelaksana terbiasa dan memiliki kemampuan u nt u k melak u kan kegiat an pendekat an manajemen. Pencapaian kemampuan yang dimiliki perawat pelaksana dalam kegiatan kompensasi penghargaan adalah 61%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau keterlibatan perawat dalam kegiatan kompensasi penghargaan masih rendah, yang dapat disebabkan karena belum adanya sistem kompensasi penghargaan yang belum disusun dengan baik. Proses seleksi dan rekruitmen, orientasi, penilaian kinerja, dan pengembangan staf merupakan sistem kompensasi penghargaan yang terdapat dalam kegiatan MPKP Jiwa (Keliat & Akemat, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Mark, Salyer, dan Wan (2003) didapatkan bahwa dengan kompensasi dan penghargaan, terjadi penurunan yang sangat signifikan dalam kepindahan/berhentinya perawat dari unit atau bagiannya bekerja. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam kompensasi penghargaan belum dilaksanakan secara terstruktur dan rutin, sehingga perawat pelaksana belum merasakan terlibat dalam kegiatan ini. Pe ncapaia n ke m a mpu a n p e r awat pelaksana untuk menjalin hubungan profesional adalah sekitar 76,17%. Penerapan kegiatan hubungan profesional yang dilakukan oleh kepala ruang dan ketua tim di ruang MPKP Jiwa membuat PP terbiasa dengan kegiatan- kegiatan yang terdapat di dalam pilar ketiga MPKP Jiwa. Hubungan profesional adalah hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu, di mana kedua belah pihak saling memiliki rasa kebersamaan, berbagi tugas, kerja sama, kesetaraan, memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat dalam bekerja. Penelitian yang dilakukan Harwood et al (2007) menunjukkan bahwa penerapan MPKP di ruangan dapat membuat perawat merasa lebih saling memiliki dalam menjalankan peran nya dan meningkatkan koordinasi sesama perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Pe ncapaia n ke m a mpu a n p e r awat pela k sa na d ala m membe r i k a n a su ha n keperawatan isolasi sosial adalah 77,695. Kemampuan dan kinerja yang telah diberikan perawat pelaksana dalam merawat klien telah cukup baik. Kemampuan yang dimiliki PP dalam menerapkan asuhan keperawatan isolasi sosial dan MPKP Jiwa dapat dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang ada di ruangan, seper t i li ng k u ngan f isi k, ketersedia an sarana, kejelasan kebijakan, dan supervisi. Kemampuan dan keterampilan merupakan salah satu variabel individu yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang (Gibson, 1987). Karakteristik individu yang dapat mempengaruhi kemampuan perawat ialah umur, pendidikan, lama kerja, dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanda gejala klien isolasi sosial dapat berkurang setelah diberikan asuhan keperawatan isolasi 179 Efektivitas Implementasi Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial (Retty Octi Syafrini, dkk.) sosial secara berkesinambungan, namun meskipun klien telah diberikan asuhan keperawat a n seca ra komprehensif d a n berkesinambungan, tetapi masih ditemukan tanda gejala sisa yang ada pada klien baik pada kognitif, afektif, fi siologi, perilaku dan sosial. Hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi tanda dan gejala klien isolasi sosial adalah bahwa klien dengan isolasi sosial memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang menyebabkan perilaku negatif yaitu menarik diri atau isolasi sosial. Menurut Stuart dan Laraia (2005), ada tiga tipe utama penilaian terhadap stressor yang bersifat kognitif, yaitu: 1) stressor dinilai sebagai bahaya yang akan terjadi; 2) stressor dinilai sebagai ancaman, sehingga perlu antisipasi; dan 3) stressor dinilai sebagai peluang/tantangan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Klien isolasi sosial biasanya akan menilai bahwa proses pemberian asuhan keperawatan dianggap sebagai suatu stressor yang akan menimbulkan bahaya bagi klien, sehingga klien akan menolak interaksi tersebut. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan klien isolasi sosial adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan lama rawat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jumaini (2010), di mana pendidikan dapat mempengaruhi kognitif dan psikomotor klien isolasi sosial dalam menilai diri, orang lain, dan lingkungan. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan perawat pelaksana dalam implementasi asuhan keperawatan dengan tanda gejala klien isolasi sosial. perawat pelaksana yang memiliki kemampuan dalam implementasi asuhan keperawatan isolasi sosial yang tinggi dapat membantu menurunkan tanda gejala pada klien isolasi sosial. Tujuan asuhan keperawatan pada klien isolasi sosial adalah untuk melatih keterampilan klien isolasi sosial, sehingga merasa nyaman dalam situasi sosial dan melakukan interaksi sosial (Frisch & Frisch, 2006). Harwood et al (2007), menyatakan bahwa pemberian asuhan kepada klien dapat meningkatkan hubungan perawat dan klien, hubungan yang terbina lebih alami, klien lebih nyaman dan percaya dalam menerima perawat. Dengan terciptanya hubungan saling percaya ini, perawat dapat mengkaji lebih dalam masalah yang sedang dihadapi klien dan dapat membantu mengurangi tanda dan gejala pada klien. Hasil penelitian ini menunju k kan ba hwa kema mpu a n perawat pela k sa na dalam implementasi MPKP Jiwa di atas nilai rata-rata standar skor. Namun, tidak ada hubungan yang signifi kan antara pendekatan manajemen, kompensasi penghargaan, dan hubungan profesional dengan tanda gejala klien isolasi sosial. Hal ini bisa dipengaruhi oleh jumlah tenaga keperawatan yang ada di ruang rawat inap. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini juga menguatkan hasil penelitian ini, di mana satu orang partisipan mengungkapkan bahwa masih dirasakan kurangnya jumlah tenaga perawat yang ada di ruangan dengan jumlah klien yang ada, sehingga perawat tidak dapat memberikan asuhan keperawatan dengan optimal dan perkembangan klien tidak terlihat secara jelas. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penghitungan standar tenaga keperawatan dihitung berdasarkan pada jumlah klien dan tingkat ketergantungan klien terhadap perawatan (Douglas, 1984 dalam Swansburg, 2000). Jumlah perawat dalam satu ruangan yang tidak sesuai dengan jumlah klien dapat menyebabkan pemberian asuhan keperawatan kepada klien tidak optimal, sehingga masalah yang dialami klien tidak terselesaikan. Penelitian lain dilakukan dilakukan oleh Rohmiyati (2009) di RSUD Gondohutomo Semarang, di mana diungkapkan bahwa salah satu hambatan- hambatan yang dirasakan perawat dalam menerapkan MPKP adalah karena adanya jumlah tenaga yang kurang. Untuk mendapatkan keberhasilan yang dicapai dalam pemberian asuhan keperawatan, diperlukan kemampuan dan keterampilan k husus d ala m menyelesai kan masala h 180 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 175–182 keperawatan yang dihadapi klien. Standar asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien isolasi sosial memerlukan intensitas waktu yang sering dan rutin, sehingga perawat memerlukan banyak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan. Kurangnya tenaga yang dibutuhkan, menyebabkan perawat tidak dapat memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan tidak optimal dan mengganggu stabilitas kinerja di ruangan, sehingga perawat tidak memiliki waktu untuk melakukan tindakan keperawatan yang sehar usnya dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Hal lain yang dapat menyebabkan tidak ada hubungan yang signifi kan antara p e n d e k a t a n m a n aje m e n , ko m p e n s a s i penghargaan, dan hubungan profesional dengan tanda gejala klien isolasi sosial adalah terapi psikofarmaka yang didapatkan klien isolasi sosial. Pada klien isolasi sosial, terdapat gangg uan pada f ungsi t ransmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu menurunnya pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Terapi psikofarmaka terbagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical). Dalam penelitian ini sebagian besar responden (klien isolasi sosial) mendapatkan terapi psikofarmaka golongan generasi pertama sehingga tidak terlihat jelas penurunan tanda dan gejala negatif yang ada pada klien. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa psikofarmaka golongan obat generasi pertama sendiri kurang memberikan respons pada klien isolasi sosial dan tidak memberikan efek yang baik pada pemulihan fungsi kognitif klien (Sadock & Sadock, 2007). Selain terapi psikofarmaka dan jumlah tenaga keperawatan yang mempengaruhi belum dapatnya penurunan tanda gejala klien, waktu awal terjadinya gejala gangguan jiwa sampai klien mendapatkan perawatan dan pengobatan sangat mempengar u hi hasil perawat an dan pengobatan itu sendiri. Brady (2004) mengatakan bahwa jarak antara munculnya gejala dengan perawatan/pengobatan pertama berhubungan dengan kecepatan dan kualitas respons pengobatan dan gejala negatif yang muncul, semakin cepat klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis maka semakin cepat dan bermakna responnya. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan perawat pelaksana dalam implementasi pendekatan manajemen dengan kemampuan klien isolasi sosial. Perawat pela k sa na ya ng mem ili k i kema mpu a n dalam implementasi pendekatan manajemen yang tinggi dapat membantu meningkatkan kemampuan klien isolasi sosial. Harwood et al (2007), menyatakan bahwa pendekatan m a n aje m e n d a p a t m e m f a si l it a si d a n mendukung komunikasi yang pada akhirnya mempengaruhi konsistensi dan kesinambungan dalam melakukan perawatan, sehingga dapat memberikan manfaat kepada pasien. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa ada hubungan yang signifi kan antara implementasi asuhan keperawatan isolasi sosial dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien isolasi sosial. Manajemen asuhan keperawatan yang baik sangat dibutuhkan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara sistematis dan terorganisasi. Hubungan antara implementasi MPKP dan kemampuan klien isolasi sosial menunjukkan bahwa perawat pelaksana yang memiliki kemampuan dalam implementasi asuhan keperawatan yang tinggi dapat membantu meningkatkan kemampuan klien isolasi sosial untuk mengatasi masalah menarik dirinya. Langkah yang dapat dilakukan perawat pela k sa na d ala m membe r i k a n a su ha n keperawatan kepada klien isolasi sosial secara komprehensif meliputi terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga maupun komunitas. Pemberian asuhan keperawatan dengan menerapkan terapi aktivitas kelompok sosialisasi juga perlu diterapkan pada klien isolasi sosial untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial dalam kelompok karena dengan pendekatan secara berkelompok memungkinkan klien untuk saling mendukung, belajar menjalin hubungan inter personal, merasa kan kebersamaan dan dapat memberikan masukan terhadap 181 Efektivitas Implementasi Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial (Retty Octi Syafrini, dkk.) pengalaman masing-masing klien, sehingga de nga n a d a nya lat i h a n b e r sosia l is a si secara kelompok terjadi peningkatan pada kemampuan klien dalam bersosialisasi dengan orang lain. Kemampuan klien dalam mengatasi isolasi sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kemampuan klien adalah lama hari rawat. Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Lama hari rawat dapat digunakan untuk melihat seberapa efektif dan efi siennya pelayanan kesehatan jiwa yang telah diberikan. Pengukuran dilakukan dengan mengukur berapa lama hari perawatan dan kemampuan pasien setelah mendapatkan terapi perawatan dan pengobatan di rumah sakit tersebut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kemampuan keluarga dalam merawat klien masih di bawah nilai 75%. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi pemberian asuhan keperawatan ke pa d a kelu a rga ma si h sa ngat ja r a ng disebabkan karena keluarga jarang datang ke pelayanan kesehatan, sehingga keluarga belum mengetahui bagaimana cara merawat klien isolasi sosial. Kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial dipengaruhi oleh fungsi, peran, dan tugas keluarga. Stressor yang muncul akibat penyakit klien, dapat mempengaruhi tugas keluarga untuk mempertahankan status kesehatan anggota keluarga yang lain. Keluarga belum memahami keadaan dan kondisi klien, sehingga mempengaruhi kemampuan keluarga untuk memutuskan tindakan apa yang bisa dilakukan kepada pasien. Hal ini dikuatkan dengan data wawancara yang didapatkan di mana empat orang perawat pelaksana mengungkapkan bahwa sebelumnya keluarga tidak mengetahui mengenai penyakit klien dan bagaimana cara mengatasinya, sehingga mempengaruhi tugas-tugas yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifi kan antara kemampuan perawat pelaksana dalam implementasi pendekatan manajemen dengan kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial. Perawat pelaksana yang memiliki kemampuan dalam implementasi pendekatan manajemen yang tinggi dapat membantu meningkatkan kemampuan keluarga untuk merawat klien isolasi sosial. Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan klien yang mengalami masalah isolasi sosial. Kondisi keluarga yang terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang kekambuhan. Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat, tidak hanya terfokus kepada klien, tetapi juga diberikan kepada keluarga klien isolasi sosial untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat klien. Keterlibatan keluarga dalam setiap perawatan klien isolasi sosial sangat penting. A s u h a n ke p e r awat a n ya ng d ib e r i k a n kepada keluarga, ter masuk dalam tugas dan kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat. Bekerja sama dengan anggota keluarga mer upakan bagian penting dari proses keperawatan klien gangguan jiwa (Stuart & Laraia, 2005). Secara umum, asuhan keperawatan yang diberikan kepada keluarga adalah untuk meningkatkan fungsi kesehatan keluarga yaitu dengan: 1) membantu keluarga untuk mengenali masalah yang terjadi pada klien; 2) memutuskan untuk membawa klien ke pelayanan kesehatan; 3) melatih keluarga u nt u k merawat klien; 4) memodif ikasi lingkungan yang nyaman untuk klien; dan 5) melakukan follow up kepada keadaan klien isolasi sosial. Tu j u a n d i b e r i k a n n y a a s u h a n keperawatan kepada keluarga adalah agar keluarga dapat merawat klien di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien. Pemberian asuhan keperawatan kepada keluarga dapat meningkatkan pengetahuan karena dalam asuhan tersebut mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga mengenai penyakit yang di derita klien, mengajarkan atau melatih keluarga mengenai cara merawat klien dengan isolasi sosial, d a n memba nt u kelu a rga u nt u k mengetahui dan mengenali gejala-gejala penyimpangan perilaku menarik diri yang harus segera di rujuk kembali oleh keluarga ke 182 Jurnal Ners Vol. 10 No. 1 April 2015: 175–182 pelayanan kesehatan (Stuart & Laraia, 2005). Pemberian asuhan keperawatan kepada keluarga klien berfokus pada memberikan infor masi mengenai gangguan jiwa dan sistem kesehatan jiwa untuk meningkatkan pengetahuan anggota keluarga melalui metode pengajaran psikoedukasi (Marsh, 2000 dalam Stuart & Laraia, 2005) yang dalam penelitian ini berfokus pada klien isolasi sosial. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ke m a m pu a n p e r awa t p el a k s a n a dalam implementasi kegiatan pendekatan manajemen berhubungan secara bermakna dengan peningkatan kemampuan klien dan kemampuan keluarga. Kemampuan perawat pelaksana dalam implementasi pemberian asuhan keperawatan isolasi sosial berhubungan secara bermakna dengan penurunan tanda gejala dan peningkatan kemampuan klien. Saran Bidang keperawatan dapat melakukan pengembangan staf dengan memberikan pelatihan MPKP Jiwa untuk penyegaran p e nget a hu a n d a n p e nd id i k a n p e r awat pelaksana terkait dengan MPKP Jiwa dan asuhan keperawatan isolasi sosial. Kepala ruang maupun bidang keperawatan dapat memberikan supervisi secara rutin untuk menciptakan rutinitas budaya kerja dalam mengimplementasikan kegiatan-kegiatan MPKP Jiwa di ruangan. KEPUSTAKAAN Davis, B., Heath, O., & Reddick, P. 2002. A Multi-Disciplinar y Proffesional Practice Model: SuPPorting Autonomy and Accountability in Program-Based Structure. Canadian Journal of Nursing Leadership, 15(4), 21–25. Fitria, Nita. 200). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Frisch, N.C., & Frisch, L.E. 2006. Psychiatric Mental Health Nursing. 3th ed. Canada: Thomson Delmar Learning. Harwood, L, et al. 2007. Nurses’ Perceptions of The Impact of a Renal Nursing Professional Practice Model on Nursng Outcomes, Characteristics of a Practice Environments and Empowerment-Part 1. CANNT Journal, 17, 1, Proquest pg. 22. Hoffart, N. & Woods, C.Q. 1996. Elements of a Nursing Professional Practice Models. Journal of Professional Nursing, Vol. 12: 6, 354–364. Keliat, B.A., & Akemat. 2012. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC. Gillies, D.A. 1994. Nursing Management a system aPProach. Philadelphia: W.B Saunders. Jumaini., Keliat, B.A., & Hastono, S.P. 2010. Pengaruh Cognitive Behavioral Social Skills Training (CBSST) terhadap Kemampuan Bersosialisasi Klien isolasi Sosial di BLU RS DR. H. Marzoeki Mahdi. Tesis. Depok: Universitas UI. Tidak Dipublikasikan. Mark, B.A., Salyer, J., & Wan, T.T.H. 2003. Professional Nursing Practice: Impact on Organizational and Patient Outcomes. Journal of Nursing Administration, Vol. 33, No. 4, 224–234. NA N DA . 2 012 . N u r s i n g D i a g n o s i s: Defi nitions & Classifi cation 2012–2014 . Philadelphia: NANDA international. Rohmiyati, Ana. 2009. Studi Fenomenologi: P e n g a l a m a n P e r a w a t d a l a m Menerapkan MPKP di RSJD Dr. Amino Gondhohutomo Semarang. http://eprints. undip.ac.id /14822/4/ar tikel MPK P. Diunduh tanggal 14 Januari 2014. Sadock, B.J., & Sadock, V.A. 2007. Kaplan and Sadock’s synopsis of Psychiatry B e h a v i o r a l S c i e n c e s? C l i n i c a l Psychiatry. 10th Ed. LiPPincott Williams & Wilkins. Stuart, G.W., & Laraia, M.T. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8th ed. Missouri: Mosby Inc. Swa nbu rg RC & Swa nbu rg R J. 2000. I n t r o d u c t o r y M a n a g e m e n t a n d Leadership for Nurse. 2nd Edition. Toronto: Jonash and Burtlet Publisher.