209 RESPONS BIO-PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL PADA KELUARGA TENAGA KERJA INDONESIA YANG TERINFEKSI HIV (Bio-psycho-social-spiritual responses of family and relatives of HIV-Infected Indonesian Migrant Workers) Nursalam*, Ninuk D.K*, Abu Bakar*, Purwaningsih*, Candra P.A*, *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Jl. Mulyorejo Surabaya E-mail: nursalam@fkp.unair.ac.id ABSTRAK Pendahuluan: Angka kejadian Human Immunodeficiency Virus (HIV) di kalangan pekerja Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang pulang dari negara tujuan kerjanya terutama di Propinsi Jawa Timur cukup tinggi. Stres yang dialami oleh penderita akan bertambah dengan perilaku anggota keluarga yang maladaptif, sehingga bisa mempengaruhi proses penyembuhan dan bahkan meningkatkan angka kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons bio-psiko-sosio-spiritual anggota keluarga TKI yang terinfeksi HIV. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis respons bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia yang terinfeksi HIV serta membandingkannya dengan respons keluarga non TKI yang terinfeksi HIV. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah komparatif, yaitu untuk mengungkap respons bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga TKI yang terinfeksi HIV dan membandingkan dengan keluarga TKI yang tidak terinfeksi HIV. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien TKI yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di dua kabupaten di wilayah Jawa Timur. Sampel sebanyak 17 orang diambil dengan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data dalam dilakukan di rumah keluarga TKI yang terinfeksi virus HIV, meliputi respons biologis dengan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan kortisol, dan pengukuran variabel psikologis sosial dan spiritual dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Analisa data dilakukan dengan uji statistik t Test dan Mann-Whitney dengan signifikansi 0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan respons biologis keluarga pasien HIV TKI dan non TKI (p = 0,000) meskipun sebagian besar responden berada dalam rentang normal atau tidak stres. Sebaliknya, pada respons psikologi, sosial dan spiritual tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dengan nilai-nilai signifikasi psikologis p = 0,065, sosial p = 0,057, dan spiritual p = 0,243. Diskusi: Kesimpulan dari penelitian respons biologis (kortisol) pada kelompok responden keluarga pasien HIV TKI lebih baik dibandingkan dengan non TKI, tetapi tidak terdapat perbedaan secara statistik pada respons psikologis, sosial dan spiritual. Kata kunci: HIV, TKI, keluarga pasien, stres, psikologis, sosial, spiritual ABSTRACT Introduction: Incidence of Human Immunodeficiency Virus (HIV) among Indonesian Migrant Workers (TKI) returning from his destination countries, especially in East Java is quite high. Stress experienced by the patient is affected bythe family member maladaptive behaviors; thus affect healing process and even increased mortality. The purpose of this study was to analyze the response of the bio-psycho-socio-spiritual family of Indonesian Workers who are infected with HIV and compared with the response of non-family workers who are infected with HIV. Method: Research design was comparative to reveal the response of the bio-psycho-socio-spiritual families of HIV-infected familyof migrant workers and non-migrant workers. The population was family of both migrant and non-migrant in two districts in East Java in 2014. Sample of 17 people were recruited by simple random sampling technique. Data were performed at the family home, including biologic response (venous blood sampling for cortisol examination), and measurement of the psychological, social and responses by using questionnaires and interviews. Data were analysed with statistical t test and Mann- Whitney test with a significance level of 0.05. Result: The results showed no differences in the biological response of HIV patients’ families among migrant and non-migrant workers (p = 0.000) although the majority of respondents were in the normal range or not stress. In contrast, the psychology, social and spiritual responsesshowed no statistically significant difference with p = 0.065, p = 0.057, p = 0.243 for psychological, social, and spiritual responses respectively. Discussion: There is a difference in the biological response (cortisol) in the group of family and relatives of patients with HIV among migrant workers compared with non-migrant workers, but there is no statistical difference in the psychological, social and spiritualresponses. Keywords: HIV, migrant workers, their families, stress, psychological, social, spiritual PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel- sel sistem imun, menghancurkan atau merusak fungsi dari sel-sel sistem imun. Sebagai progress dari infeksi, sistem imun menjadi lemah, dan manusia menjadi lebih rentan terkena infeksi. Stadium yang paling lanjut 210 Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 209–216 dari infeksi HIV adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (WHO, 2013a). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turun dan hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi lainnya (Nursalam & Kurniawati, 2007). Penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi tiga hal, antara lain: (1) stigma sosial; (2) diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV; (3) terjadinya waktu yang lama terhadap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, dan depresi berakibat pada keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Lingkup terkecil dari lingkungan sosial pasien adalah keluarga. Dukungan sosial terutama dari keluarga adalah penting, dan sangat menentukan perkembangan penyakit yang dapat menurunkan kondisi kesehatan pasien, mempercepat progresivitas penyakit hingga timbul kematian. Namun, bagaimana gambaran respon bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terinfeksi virus HIV ini masih belum diteliti. Data dari WHO tentang jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia pada tahun 2011 berkisar 380.000 jiwa. Data ini selalu meningkat tiap lima tahunnya, yakni pada tahun 2006 tercatat sebanyak 180.000 jiwa dan pada tahun 2001 berkisar 12.000 jiwa (WHO, 2013b). Pada tahun 2013 ini, Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merilis data tentang penemuan kasus baru HIV pada tahun 2012 mencapai 21.511. Data ini meningkat daripada tahun sebelumnya pada 2011 sejumlah 21.031. Jumlah penderita HIV khusus Propinsi Jawa Timur, seperti yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat sebanyak 2646 jiwa, terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya sejumlah 2233 jiwa. Data hingga Juni 2012 menunjukkan bahwa Kabupaten A dan Kabupaten Tulung Agung termasuk dalam zona merah distribusi kasus AIDS di Propinsi Jawa Timur (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2012). Data secara nasional mengenai TKI yang positif terinfeksi HIV & AIDS belum terdokumentasi dengan baik. Namun, terdapat sumber menyatakan bahwa terjadi kewaspadaan oleh pihak Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Disnakertransduk) Jawa Timur mengenai penyebaran kasus HIV & AIDS di Propinsi Jawa Timur adalah dari mantan tenaga kerja- tenaga kerja Indonesia (Depkes, 2013). Data jumlah pekerja di Jawa timur yang terjangkit HIV & AIDS sebanyak 1700-an, dengan 10% diantaranya adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia (ANTARA, 2011). Individu dengan HIV & AIDS yang mendapat perawatan di rumah sakit akan mengalami kecemasan dan stres pada semua tingkat usia. Penyebab kecemasan yang dialami pasien tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi selain dari petugas kesehatan adalah keluarga yang menunggui selama perawatan. Keluarga juga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan pasien, pengobatan, dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak secara langsung kepada pasien, tetapi secara psikologis pasien akan merasakan perubahan perilaku dari keluarga yang menu ngg uinya selama perawat an (Marks, 1998 dalam Subowo, 1992). Pasien menjadi semakin stres dan ber pengar uh terhadap proses penyembuhannya karena penurunan respon imun. Ader (1885) dalam Subowo (1992) telah membuktikan bahwa individu yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi stres akan terjadi penekanan sistem imun. Ada keterkaitan antara lingkungan sosial (keluarga) pasien HIV & AIDS dengan progresifitas penyakit tersebut, membuat penulis ingin mengetahui bagaimana gambaran reaksi psikologis (respon stres) pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terinfeksi virus HIV. Dukungan dari lingkungan sosial (keluarga) sangat dibutuhkan pasien HIV & AIDS sehubungan dengan rasa putus asa yang dialami pasien sejak pasien tersebut dinyatakan terinfeksi virus HIV. Harapannya, dengan 211 Respons Bio-psiko-sosio-spiritual pada Keluarga (Nursalam, dkk.) adanya respon emosi yang positif dari keluarga dapat mengurangi stres yang dialami pasien. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis respons bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia yang terinfeksi HIV serta membandingkannya dengan respons keluarga non TKI yang terinfeksi HIV. METODE Desain penelitian yang digunakan adalah komparatif, yaitu untuk mengungkap respons bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga TKI yang terinfeksi HIV dan membandingkan dengan keluarga TKI yang tidak terinfeksi HIV. Hasil dari riset ini bertujuan untuk menjadi bahan penambah wawasan/khasanah keilmuan keperawatan keluarga khusus pada keluarga TKI dengan penyakit HIV & AIDS, sehingga indikator pencapaian riset ini bisa merubah perilaku keluarga TKI dengan HIV & AIDS dalam menyikapi dan memperlakukan anggota keluarga yang terinfeksi HIV ke arah yang positif. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien TKI yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di dua kabupaten di wilayah Jawa Timur. Sampel sebanyak 17 orang direkrut dengan teknik consecutive sampling. Pengambilan dat a dilak u kan selama 5 bulan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di rumah keluarga TKI yang terinfeksi vir us HIV, di mana per tama keluarga pasien diambil sampel darah dengan menggunakan peralatan dan prosedur sesuai standar t. Waktu pengambilan dilakukan sewaktu-waktu pada saat peneliti bertemu dengan responden. Darah diambil kurang lebih 3 ml dan dilakukan kontrifusi di tempat untuk pemeriksaan kortisol. Variabel psikologis sosial dan spiritual diukur dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Responden yang lansia atau pun kurang bisa lancar membaca maka pengisian kuesioner dengan dibantu peneliti dengan dibacakan kuesionernya. Pengambilan darah dilakukan sebelum pengisian kuesioner. Analisa data dilakukan dengan uji statistik t-Test dan Mann-Whitney dengan signifikansi 0,05. ETHICAL CLEARANCE Penelitian ini sudah diuji dan dinyatakan laik etik oleh Tim Etik Universitas Airlangga pada tanggal 23 Juli 2014, dengan nomor surat persetujuan No. 1245/UN3.14/LT/2014. Prinsip etik yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi prinsip beneficence, prinsip justice dan prinsip menghargai martabat manusia. HASIL Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa dari 17 responden (8 responden terkena HIV, tetapi bukan sebagai TKI sedang 9 responden terkena HIV dan pernah sebagai TKI keluar negeri) didapatkan proporsi yang sama pada responden laki-laki dan perempuan. Seluruh responden adalah keluarga dekat penderita HIV baik suami atau istri, adik, kakak, anak, orang tua, dan keponakan. Tabel 1 menu nju k kan nilai hasil pemeriksaan kortisol pada kelompok keluarga TKI lebih baik dibandingkan dengan non TKI, tetapi hampir seluruh responden baik anggota keluarga TKI maupun non-TKI penderita HIV & AIDS mempunyai kadar kortisol berada dalam rentang normal. Hanya masing-masing satu orang responden yang memiliki kadar kortisol tinggi pada kelompok keluarga TKI, dan satu orang pada tingkat rendah yaitu pada keluarga non-TKI. Uji t-Test menunjukkan angka p = 0,000 artinya terdapat perbedaan kadar kortisol antara keluarga pasien HIV TKI dan non TKI. Tabel 2 menunjuk kan bahwa pada aspek psikologis, sebagian keluarga penderita HIV TKI berada pada tahap bargaining, sedangkan keluarga penderita non TKI pada tahap acceptance (menerima). Respon sosial terbanyak adalah emosi dan sosial, sedangkan cemas berada pada minoritas responden. Respons spiritual keluarga, baik TKI maupun non TKI adalah mayoritas tabah. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney menunjukkan tidak ada satu pun respons psikologis, sosial dan spiritual yang bermakna antara kelompok keluarga TKI dan non-TKI dengan nilai signifikasi psikologis p = 0,065, sosial p = 0,057, dan spiritual p = 0,243. 212 Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 209–216 Tabel 1. Tabulasi kadar kortisol responden keluarga penderita HIV TKI dan Non TKI TKI NON TKI Kode Resp Kortisol Nilai Normal Kode Resp Kortisol Nilai Normal 01 9.63 (4.3- 22.4) 10 15.37 (3.09- 16.66) 02 10.52 (4.3- 22.4) 11 12.49 (4.3- 22.4) 03 20.29 (4.3- 22.4) 12 8.63 (3.09- 16.66) 04 9.72 (4.3- 22.4) 13 331.5 (P:171-536/ S:64- 327) 05 11.03 (4.3- 22.4) 14 4.0 (P:171-536/ S:64- 327) 06 11.52 (4.3- 22.4) 15 152.1 (P:171-536/ S:64- 327) 07 10.45 (4.3- 22.4) 16 434.6 (P:171-536/ S:64- 327) 08 22.50 (4.3- 22.4) 17 346.1 (P:171-536/ S:64- 327) 09 13.07 (3.09- 16.66) Mean = 13, 19 Mean = 163, 09 SD = 4,79 SD = 181,01 t-Test = 0,000 Keterangan: Perbedaan rentang nilai normal berdasarkan waktu pengambilan darah Tabel 2. Tabulasi silang respons psikologis, sosial dan spiritual responden keluarga penderita HIV TKI dan Non TKI RESPONS SUB RESPONS NON TKI TKI f % f % Psikologis Denial - - - - Anger - - - - Bargaining 1 12,5 6 66,7 Depression 1 12,5 1 11,1 Acceptance 6 75 2 22,2 Mann Whitney = 0,065 Sosial Emosi 3 37,5 6 66,7 Cemas 1 12,5 2 22,2 Sosial 4 50 1 11,1 Mann Whitney = 0,057 Spiritual Harapan 1 12,5 - - Tabah 7 87,5 9 100 Hikmah - - - - Mann Whitney = 0,243 PEMBAHASAN Hampir seluruh responden baik anggota keluarga TKI maupun non-TKI penderita HIV & AIDS mempunyai kadar kortisol berada dalam rentang normal. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, di antaranya lama keluarga mengetahui status penyakit anggota keluarga dengan HIV. Sebagian besar anggota keluarga yang tinggal dengan ODHA baik yang tertular saat TKI atau pun non-TKI telah mengetahui status penyakit yang dialami oleh anggota keluarganya yang tertular HIV selama lebih dari 3 tahun. Sebagian besar keluarga jika dikaitkan dengan teori berduka menurut Engels (1964) dalam Suseno (2004) sudah mencapai fase reorganization/the outcome, sehingga keluarga telah mampu mengembangkan suatu 213 Respons Bio-psiko-sosio-spiritual pada Keluarga (Nursalam, dkk.) kesadaran baru bahwa mereka perlu merawat anggota keluarganya yang sakit. Sebagai akibatnya, merawat anggota keluarga yang menderita HIV bukan lagi merupakan sumber stress bagi responden. Teori adaptasi Roy mengemukakan bahwa adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres atau yang biasa disebut dengan mekanisme regulator. Faktor pemahaman tentang cara penularan HIV & AIDS oleh individu turut memengaruhi tingkat kecemasan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Anurmalasari, Karyono, & Dewi (2009) yang melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pemahaman HIV & AIDS dengan kecemasan tertular HIV & AIDS pada wanita tuna susila di Cilacap. Persepsi individu dapat dibentuk bersumber dari banyak faktor seperti faktor adanya peran kelompok dukungan sebaya. Hal ini dibuktikan berdasar penelitian yang dilakukan Kamila & Siwiendrayanti (2010) yang menyatakan terdapat hubungan yang kuat dengan adanya peran dukungan sebaya dalam membentuk persepsi pada sesama Orang Dengan HIV & AIDS (ODHA) untuk patuh dalam mengonsumsi Anti-Retroviral Virus (ARV). Walaupun sebagian kecil responden yang tidak tinggal serumah dengan ODHA, tetapi mereka tetap yang merawat anggota keluarga yang ODHA apabila terserang infeksi oportunistik di rumah sakit. Pemahaman tentang cara penularan HIV dari responden sebagian besar diperoleh dari peran serta kelompok sebaya dalam hal ini ODHA yang bekerja sosial di bawah kendali Dinas Kesehatan Kabupaten. Dinas Kabupaten A misalnya, mempunyai kader HIV & AIDS yang juga anggot a per wak ilan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) cabang Kabupaten A. Mereka sangat mengenal betul para ODHA di Kabupaten A dibuktikan dengan interaksi yang cukup bersahabat baik pada ODHA amupun ke keluarganya. Peran serta yang baik ini turut mendukung pemahaman responden akan penyakit HIV & AIDS yang dialami anggota keluarga mereka. Hampir tidak ada perbedaan kadar kortisol responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat TKI maupun non- TKI, menunjukkan respons biologis (kortisol) dalam rentang normal. Dapat dikatakan tidak ada kecemasan secara biologis pada responden baik dengan anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat TKI maupun non-TKI. Sebagian besar responden dengan anggota keluarga TKI penderita HIV & AIDS respons psikologisnya berada dalam tahap bargaining. Berbeda dengan responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS non-TKI yakni sebagian besar responden, respons psikologisnya berada dalam tahap acceptance. Sebagian kecil responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS yang TKI dan non-TKI respons psikologisnya berada dalam tahap depresi. Respons psikologis dalam tahap menerima dialami oleh sebagian kecil responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat menjadi TKI. Sebagian kecil saja responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS non-TKI yang respons psikologisnya berada dalam tahap bargaining. Respons adaptasi psikologis terhadap stresor menurut Kubler Ross (1974) dalam Potter & Perry (2005) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap stresor yakni 1) pengingkaran; 2) marah; 3) tawar menawar; 4) depresi; dan 5) menerima. Adanya anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS dipandang sebagai sumber stresor bagi responden, sehingga respons psikologis atau tingkat penerimaan responden terhadap anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS tidak hanya dilihat secara kualitatif dengan melihat kadar kortisol, tapi juga dibuktikan secara kuantitatif menggunakan kuesioner untuk melihat tahapan respons psikologis responden. Menur ut peneliti, terdapat perbedaan tahapan psikologis yang dicapai secara kuantitatif. Pada responden dengan anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS saat bekerja sebagai TKI berada dalam tahap bargaining. Tahap bargaining menurut Kubler Ross mempunyai ciri antara lain marah-marah telah berlalu, tidak ada manfaatnya menyesali yang terjadi, dan mulai 214 Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 209–216 berpikir dan mempunyai niat atau bersikap tenang. Hal ini seperti yang dialami salah satu responden yang menyatakan sering kali masih takut dengan penyakit HIV & AIDS, namun jika melihat keadaan anggota keluarganya yang terinfeksi HIV & AIDS saat ini yang dalam keadaan sehat dan mampu mengurus keluarga dengan baik serta bisa bekerja dengan berdagang makanan membuat responden ingin berperan aktif merawat anggota keluarganya tersebut terbatas pada mengingatkan untuk minum obat dan menjaga stamina. Pa d a responden denga n a nggot a keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS non- TKI berada dalam tahap acceptance. Menurut peneliti terdapat bukti yang sesuai antara yang dialami responden dengan ciri individu berada dalam tahap acceptance menurut Kubler Ross. Ciri tersebut antara lain responden lebih sabar dalam menerima anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS dan berusaha melindungi anggota keluarga tersebut dengan stigma-stigma masyarakat terkait adanya tetangga yang mengerti penyakit apa yang dialami anggota keluarganya dan menyebarkan isu ke yang lain. Respons sosial responden dengan anggota keluarga terinfeksi HIV & AIDS baik saat menjadi TKI dan non-TKI mengemukakan bahwa terdapat sebagian besar responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS TKI mempunyai respons sosial dalam tahap emosi, sebagian kecil yang berada dalam tahap cemas dan sosial yang baik. Responden dengan anggota keluarga terinfeksi HIV & AIDS non-TKI terdapat sebagian kecil responden respons sosialnya berada dalam tahap cemas, hampir setengahnya dalam tahap emosi, dan setengahnya berada dalam tahap sosial yang baik. Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stresor tertentu menurut Stewart (1997) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain: 1) stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri individu; 2) diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan; dan 3) terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk, Arsin, & Abdullah (2012) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA di daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar. Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida (2012) antara lain emotional support, informational support, instrumental or tangible support, dan companionship support, dukungan tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA. Unt uk kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Jika dilihat dari dampak psikologis, ODHA menjadi memiliki motivasi, lebih percaya diri dalam menjalankan sesuatu dan menjadi lebih ringan dalam melakukannya. Adapun dampak sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA diikutsertakan dalam kegiatan kelompok. Selain dampak tersebut, ada pula dampak perkerjaan yang dapat mengoptimalkan kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat mengevaluasi pekerjaannya serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada kelompok anggota dukungan. Selama pengambilan data berlangsung, pada responden dengan anggota keluarga yang terinfeksi HIV & AIDS saat bekerja sebagai TKI mempunyai respons sosial yang kurang sesuai dengan yang ditunjukkan atau dihasilkan dari kuesioner berdasar data secara kuantitatif. Responden memiliki interaksi sosial dengan masyarakat sekitar yang baik. Peneliti hampir tidak pernah, walaupun ada, melihat responden harus mengisolasi sosial dengan masyarakat sekitar, sehingga merasa emosi dan cemas ketika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar terutama tetangga meskipun tetangga mengetahui penyakit yang diderita anggota keluarga responden. 215 Respons Bio-psiko-sosio-spiritual pada Keluarga (Nursalam, dkk.) Responden mengetahui cara penularan vir us ini dengan cukup baik dari peran serta kelompok sebaya yang juga pemerhati ODHA yang bersama Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten melakukan pendampingan tidak hanya terhadap ODHA-nya sendiri tapi juga memberi pengetahuan kepada responden tentang penularan penyakit HIV & AIDS. Hal ini memengaruhi respons penerimaan responden akan anggota keluarga mereka yang tertular HIV & AIDS saat bekerja sebagai TKI sehingga responden tidak menjadi sumber stresor bagi ODHA melainkan menjadi faktor pendukung bagi ODHA dalam meningkatkan kualitas hidup ODHA. Responden dengan anggota keluarga terinfeksi HIV & AIDS non-TKI menunjukkan kegiatan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar yang baik. Beberapa responden terlibat dalam acara kemasyarakatan saat peneliti melakukan pengambilan data. Walaupun juga terdapat responden yang merasa malu untuk berinteraksi sosial karena telah diketahuinya penya k it a nggot a kelu a rga mereka d i masyarakat. Namun responden tidak terbatasi interaksi sosialnya dengan kelompok lainnya. Seluruh responden dari anggota keluarga HIV & AIDS yang tertular saat bekerja sebagai TKI yang respons spiritualnya berada dalam tahap tabah. Sedangkan pada responden dengan anggota keluarga HIV & AIDS non- TKI terdapat sebagian kecil responden saja yang respons spiritualnya berada dalam fase harapan dan sebagian besarnya dalam fase tabah. Responss adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dalam Nursalam & Ku r niawati (2007). Respons adaptif spiritual, meliputi: 1) harapan yang realistis; 2) tabah dan sabar; dan 3) pandai mengambil hikmah. Gambaran respons spiritual responden dari kedua populasi ODHA yang berbeda tersebut yang berada dalam fase tabah tergambar jelas saat peneliti melakukan pengambilan data. Hampir seluruh responden menyatakan tabah dan menerima anggota keluarganya yang terinfeksi HIV & AIDS dan menjalani kehidupan seperti orang-orang biasa yang lain. Bersikap seperti tidak ada yang terjadi, dalam artian dapat melupakan diagnosis penyakit yang diterima anggota keluarganya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Respons biologis (kor t isol) pad a kelompok responden keluarga pasien HIV TKI menunjukkan respons yang lebih baik dibandingkan dengan non TKI. Sebaliknya, psikologis, sosial dan spiritual kedua kelompok keluarga dirasakan sama dan tidak ada perbedaan. Saran Perlu dilakukan pendampingan terus menerus kepada pasien maupun keluarga pasien HIV oleh petugas dan pendamping ODHA. Penelitian lebih lanjut perlu melakukan intervensi terhadap aspek pengelolaan koping untuk mengurangi stres anggota keluarga sebagai dampak dari merawat anggota keluarga yang menderita HIV. KEPUSTAKAAN ANTAR A News. 2011. JATIM tertinggi kasus HIV/AIDS. (Online) (http://www. antarajatim.com /lihat/ berita/77591/ jatim-tertinggi-kasus-hivaids. diakses tanggal 22 Desember 2013 pu k ul 17.35) Anurmalasari, R., Karyono, & Dewi, K.S. 2009. Hubungan antara pemahaman tentang HIV/AIDS dengan kecemasan tertular HIV/AIDS pada WPS (Wanita Penjaja Seks) langsung di Cilacap. (O n l i n e) ( h t t p : //e p r i n t s . u n d i p . ac.id/11101/. Diakses tanggal 6 Oktober 2014 pukul 10.00 WIB) Depkes. 2013. Profil kesehatan Indonesia 2012. (Online) (http://www.depkes. go.id/downloads/Profil%20Kesehatan_ 2012%20%284%20Sept%202013%29. pdf . diakses tanggal 19 Desember 2013 pukul 18.16) Dinkes Provinsi Jawa Timur. 2012. Program pengendalian penyakit menular di Jawa Timur. (Online) (http://dinkes.jatimprov. go.id/userimage/P2.pdf. Diakses tanggal 22 Desember 2013 pukul 17.33) 216 Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 209–216 Kamila, N & Siwiendrayanti, A. 2010. Persepsi orang dengan HIV dan AIDS terhadap peran kelompok dukungan sebaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6 (1) 36- 43. (Online) (http://journal.unnes. ac.id /nju /i ndex.php/ kema s/a r t icle/ view/1750/1945. Diakses tanggal 6 Oktober 2014 pukul 10.00 WIB) Nurbani, F & Zulkaida, A. 2012. Dukungan sosial pada ODHA. (Online) (http:// p u b l i c a t i o n . g u n a d a r m a . a c . i d / h a nd le /123456789/188 0. D ia k s e s Tanggal 6 Oktober 2014 pukul 10.00 WIB) Nursalam, & Kurniawati, N.D. 2007. Asuhan keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV. Jakarta: Salemba Medika Payuk, I., Arsin, A.A., & Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS di Puskesmas Jumpang Baru Makassar. (O n l i ne) ( ht t p://222.124.222.229/ h a nd le /123456789/3975. D ia k s e s Tanggal 6 Oktober 2014. Pukul 10.00 WIB) Po t t e r & Pe r r y. 2 0 0 5. Fu n d a m e n t a l Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC Stewart, G., 1997. Managing HIV. Sydney: MJA Publisher Subowo, 1992. Histologi umum. Jakarta: Bumi Aksara Suseno, T. 2004. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia: kehilangan, kematian dan berduka dan proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto WHO, 2013a. HIV/AIDS. (Online) (http://www. who.int/topics/hiv_aids/en/>. diakses tanggal 19 Desember 2013 pu k ul 18.00) WHO. 2013b. Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: prevalence of HIV among adults aged 15 to 49 (%) by country. (Online), (http://apps.who.int/gho/data/ node.main.562?lang=en. diakses tanggal 19 Desember 2013 pukul 18.05)