213 FAKTOR PENCETUS GEJALA DAN PERILAKU PENCEGAHAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (Precipitating Factors and Preventive Behavior towards the Exposures of Systemic Lupus Erythematosus) Ni Putu Wulan Purnama Sari Fakultas Keperawatan, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Telp. (031) 99005299 Email: moonygalz@yahoo.com ABSTRAK Pendahuluan: Systemic Lupus Erythematosus (lupus) dan kekambuhan gejalanya yang sulit diprediksi berpotensi menurunkan kualitas hidup penderita lupus secara signifikan. Faktor pencetus gejala lupus perlu dikurangi paparannya melalui perilaku pencegahan untuk menurunkan frekuensi kekambuhan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara faktor pencetus gejala lupus dan perilaku pencegahan paparannya. Metode: Penelitian korelasional ini menggunakan desain cross-sectional. Populasi adalah semua penderita lupus yang rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Sampel adalah penderita lupus yang rawat jalan pada bulan Oktober-Desember 2014 dan memenuhi kriteria sampel. Besar sampel 36 dipilih dengan teknik total sampling. Variabel independen faktor pencetus gejala lupus; variabel dependen pengetahuan lupus, sikap (efikasi diri) dan tindakan pencegahan. Instrumen penelitian meliputi kuesioner faktor pencetus gejala lupus dan ODAPUS-HEBI (bagian 1,2,3). Analisis data dengan uji korelasi Spearman Rho dengan α < 0.05. Hasil: Mayoritas responden berusia dewasa akhir, sudah menikah, lulusan SMA dan masih aktif bekerja. Rentang lama sakit lupus mayoritas 1-2 tahun. Faktor pencetus gejala lupus mayoritas adalah stres fisik (66,7%). Gejala lupus yang paling sering kambuh adalah nyeri sendi. Tingkat pengetahuan seluruhnya tinggi, sikap mayoritas tinggi dan tindakan pencegahan mayoritas optimal. Tidak ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan pengetahuan lupus (p = 0,342) dan dengan sikap (p = 0,651). Ada hubungan yang lemah namun signifikan antara faktor pencetus gejala dengan tindakan pencegahan (r = 0,360; p = 0,031). Diskusi: Faktor pencetus gejala lupus berbeda-beda di antara para penderita lupus sehingga tindakan pencegahan yang dilakukan juga menyesuaikan dengan jenis paparan faktor pencetus. Tindakan pencegahan yang dilakukan secara optimal dapat meminimalisir kekambuhan gejala lupus. Ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan tindakan pencegahan paparannya pada penderita lupus. Kata Kunci: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), faktor pencetus gejala, perilaku pencegahan ABSTRACT Introduction: Systemic Lupus Erythematosus (lupus) and its unpredictable flares have lowering the patients’ quality of life significantly. Precipitating factors’ exposures need to be reduced by doing preventive behaviors to reduce the frequency of lupus flare. This study aimed to analyze the correlation between precipitating factors and preventive behavior in lupus patients. Method: This is a cros-sectional study. Population was all lupus patients doing regular check-up in Rheumatology Unit of Dr. Soetomo Public Hospital, Surabaya. Sample was lupus patients who did regular check-up in the period of October-December 2014 and matched to sample’s criteria. Sample size was 36 enrolled by means of total sampling. Independent variabel: precipitating factors of lupus flare; dependent variable: knowledge of lupus, attitude (self-efficacy) and preventive action towards exposures. Instruments used were questionnaire of lupus precipitating factors and ODAPUS- HEBI (part 1,2,3). Data analysis used Spearman Rho correlation with α<0.05. Result: Most respondents are late adulthood, get married, high school graduates and actively working. The majority had lupus for 1-2 years. Precipitating factors were mostly physical stres (66.7%). Symptom of lupus that most often relapse was joint pain. Knowledge of lupus in all respondents was high, as for attitude mostly were high and most respondents doing optimal preventive action. There was no correlation between the precipitating factors of lupus flare with lupus knowledge (p=0.342) and attitude (p=0.651). There was a weak but significant correlation between the precipitating factors with preventive action (r = 0.360; p=0.031). Discussion: Precipitating factors of lupus flare vary among patients so that preventive actions taken adjust to the type of exposure. The preventive action taken optimally could minimize the recurrence of lupus flare. There is a correlation between the precipitating factors of flare with preventive action in lupus patients. Keywords: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), precipitating factors of lupus flare, preventive behavior PENDAHULUAN Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong, MD 2012). Para penderita lupus sering disebut dengan odapus (orang dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola penyakit ini (De Barros et al. 2012). Dalam kehidupannya, odapus akan beberapa kali mengalami suatu periode kemunculan gejala lupus yang parah (lupus flares) dan periode lainnya dimana gejalanya lebih ringan. Sebenarnya gejala lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi mailto:moonygalz@yahoo.com Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219 214 yang sudah ada sekarang, namun untuk saat ini belum ditemukan obat apapun yang dapat menyembuhkan penyakit lupus (Ferenkeh- Koroma 2012). Lupus merupakan penyakit autoimun kronis yang tanda dan gejalanya dapat menetap selama lebih dari enam minggu dan seringnya hingga beberapa tahun (Lupus Foundation of America 2012). Namun demikian, ada juga odapus yang berhasil mengendalikan gejala lupus dengan baik sehingga tampak seperti orang sehat (kategori Quiescent). Memang kemunculan gejala lupus tidak akan selalu sama antara odapus satu dengan yang lain, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal ini. Peningkatan intensitas paparan faktor pencetus tentunya akan menyebabkan gejala lupus lebih sering muncul. Untuk mengantisipasi hal ini maka odapus perlu memiliki pengetahuan sensoris yang memadai tentang penyakit lupus dan efikasi diri yang tinggi guna memfasilitasi tindakan pencegahan paparan faktor pencetus. Namun demikian, hubungan antara faktor pencetus gejala dan perilaku pencegahan paparannya pada penderita lupus masih belum jelas. Lupus telah diderita setidaknya oleh lima juta orang di seluruh dunia. Lupus dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15- 44 tahun. 70% kasus lupus berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa CLE (Cutaneous Lupus Erythematosus), 10% berupa drug-induced lupus, dan 5% lainnya berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012). Di Indonesia, estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang, perbandingan jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita. Tren penyakit lupus di negara kita terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Yayasan Lupus Indonesia 2012; Utomo 2012). Penyebab lupus masih belum sepenuhnya dimengerti, namun beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab lupus berasal dari beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi, trauma/kecelakaan), faktor internal (stres emosional, stres fisik, demam, dan hormon estrogen) (Lupus Foundation of America 2012; Stichweh & Pascual 2005). Lupus dapat menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai organ tubuh, seperti persendian, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak (NIAMS 2012; Ferenkeh-Koroma 2012; Nery et al. n.d.). Gejala lupus yang paling sering dilaporkan oleh odapus adalah demam, ruam kulit karena fotosensitif, sendi yang bengkak/nyeri, kelemahan/kelelahan, dan gangguan ginjal (Gallop et al. 2012; Ferenkeh- Koroma 2012; NIAMS 2012; Nery et al. n.d.). Komplikasi renal, neurologikal, dan hematologikal adalah yang paling sering ditemukan pada odapus (Kannangara et al. 2008). Baik manifestasi klinis maupun komplikasi penyakit lupus keduanya berpotensi menurunkan derajat kesehatan odapus, dan dapat berakibat fatal hingga menyebabkan kematian. Gejala lupus yang muncul sewaktu-waktu sangat berpotensi untuk mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan banyak masalah lain. Agar dapat mencapai status kesehatan yang optimal dan kualitas hidup yang tinggi maka odapus harus bersikap proaktif dalam pengelolaan penyakitnya. Salah satu caranya adalah dengan berperilaku sehat dan mengelola penyakit lupus secara mandiri melalui tindakan pencegahan paparan faktor pencetus. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai dan sikap yang positif (L.W. Green & Kreuter 1991). Hubungan antara faktor pencetus gejala dan perilaku pencegahan paparannya pada penderita lupus perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara faktor pencetus gejala lupus dan perilaku pencegahan paparannya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pendekatan cross- sectional. Populasi adalah semua penderita lupus murni (tanpa komplikasi organ) yang rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Populasi terjangkau adalah semua penderita lupus murni yang rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Oktober- Desember 2014, sebanyak 54 orang. Kriteria sampel: 1) kriteria inklusi: sakit lupus minimal 6 bulan, usia dewasa (19-44 tahun), minimal lulusan SMP, pernah mengikuti Pelatihan Manajemen Perawatan Diri untuk Penderita Lupus yang dilaksanakan peneliti (Sari, 2015); 2) kriteria eksklusi: hospitalisasi, mengalami Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.) 215 gangguan jiwa, bekerja sebagai tenaga kesehatan (khususnya dokter / perawat). Dari 54 orang anggota populasi terjangkau diperoleh 36 orang yang memenuhi kriteria sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi (total sampling), sehingga 36 orang penderita lupus yang memenuhi kriteria sampel dijadikan responden penelitian seluruhnya. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor pencetus gejala lupus. Variabel dependen terdiri dari tiga domain perilaku, yaitu: pengetahuan tentang lupus, sikap (efikasi diri) dan tindakan pencegahan paparan. Peneliti mengembang-kan sendiri alat ukur untuk mengidentifikasi semua variabel penelitian. Berdasarkan literatur, faktor pencetus gejala lupus terdiri dari sinar UV (dari matahari dan/atau bola lampu fluorosens), obat-obatan (golongan antibiotika: Tetrasiklin, Penicillin, anti-fungal, golongan sulfa; dan golongan non-antibiotika: anti-convulsan, anti- hipertensi, pil kontrasepsi), infeksi, demam, trauma/kecelakaan, stres emosional (perceraian, kematian anggota keluarga, kondisi sakit, atau masalah kehidupan lainnya), dan stres fisik (kelelahan, pembedahan, kekerasan, kehamilan, persalinan) (Lupus Foundation of America 2012; Nadhiroh 2007; Stichweh & Pascual 2005). Peneliti kemudian membuat pertanyaan sesuai dengan faktor pencetus di atas dalam bentuk kuesioner pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban ya (nilai 1) dan tidak (nilai 0). Jumlah pertanyaan 26 item dan diperlukan waktu 30 menit untuk menjawab semuanya. Setelah di-scoring maka data faktor pencetus dikategorikan berdasarkan intensitas paparannya: 1) paparan minimal (0-9) ; 2) paparan sedang (10-18) ; 3) paparan tinggi (19-26). Peneliti mengembangkan sendiri alat ukur untuk menilai perilaku kesehatan pada odapus dan memberinya nama ODAPUS- HEBI (Odapus Health Behaviour) (Sari, 2015). Instrumen ini pada awalnya terdiri dari empat bagian, yaitu: 1) 20 pertanyaan pilihan ganda untuk mengkaji pengetahuan lupus, 2) 20 pernyataan untuk mengkaji efikasi diri, 3) 25 pernyataan untuk mengkaji tindakan pencegahan paparan faktor pencetus dan 4) 25 pernyataan untuk mengkaji aktivitas perawatan diri. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan instrumen ODAPUS-HEBI bagian 1, 2 dan 3 disesuaikan dengan variabel penelitian. Uji coba instrumen yang dilakukan terhadap 18 responden yang rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo pada bulan Februari 2015 menunjukkan hasil sebagai berikut. Tabel 1.Hasil Uji Instrumen ODAPUS-HEBI Instrumen ODAPUS-HEBI Validitas (r) Reliabilitas (α) Bagian 1. Pengetahuan 0,477 - 0,774 0,519 Bagian 2. Efikasi Diri 0,503 – 0,903 0,927 Bagian 3. Tindakan Pencegahan Paparan 0,547 – 0,908 0,945 Tabel di atas menunjukkan instrumen ODAPUS-HEBI valid dan reliabel. Setelah data perilaku pencegahan paparan di-scoring maka masing-masing bagian dikategorikan berdasarkan domain: 1. Pengetahuan: a. Rendah (0-15). b. Cukup (16-30). c. Tinggi (31-47). 2. Sikap (efikasi diri): a. Rendah (20-60). b. Cukup (61-90). c. Tinggi (91-120). 3. Tindakan pencegahan paparan: a. Kurang (25-65). b. Cukup (66-105). c. Optimal (106-150). Setelah semua data penelitian terkumpul maka dilakukan editing, scoring, tabulating dan uji hipotesis. Uji korelasi Spearman Rho digunakan untuk menganalisis hubungan antara faktor pencetus gejala lupus dan perilaku pencegahan paparannya, yang terdiri dari domain pengetahuan, sikap dan tindakan. Hipotesis penelitian diterima jika signifikansi data kurang dari nilai α (0,05). HASIL Jumlah responden penelitian sebanyak 36 orang. Mayoritas responden berusia dewasa akhir (44,4%), sudah menikah dan tinggal bersama suaminya (77,8%), lulusan SMA (83,3%), aktif bekerja sebagai wirausaha (33,3%) dan pegawai swasta (33,3%) dengan penghasilan mandiri lebih dari Rp. 1,5 – 2 juta perbulan (33,3%). Pada penelitian ini, lupus banyak diderita oleh wanita usia produktif dengan latar belakang pendidikan SMA yang sudah menikah dan masih aktif bekerja. Data demografi responden sebagai berikut. Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219 216 Tabel 2. Data Demografi Responden Karakteristik Frekuensi Persentase 1. Usia a. 17-25 tahun (remaja akhir) 8 22,2 a. 26-35 tahun (dewasa awal) 12 33,3 b. 36-45 tahun (dewasa akhir) 2. Status Pernikahan a. Menikah b. Single 16 28 8 44,4 77,8 22,2 3. Pendidikan a. SMA 30 83,3 b. S1 6 16,7 4. Pekerjaan a. Ibu rumah tangga b. Mahasiswa c. Wirausaha d. Pegawai swasta 8 4 12 12 22,2 11,1 33,3 33,3 5. Penghasilan mandiri perbulan a. Belum/tidak berpenghasilan b. 500 ribu – 1 juta c. >1 – 1,5 juta d. >1,5 – 2 juta e. > 2 juta 6. Tinggal serumah dengan a. Suami b. Anak 12 2 6 12 4 28 20 33,3 5,6 16,7 33,3 11,1 77,8 55,6 c. Orangtua 10 27,8 d. Saudara 2 5,6 Tabel 3. Data Primer Penelitian Karakteristik Frekuensi Persentase 1. Lama sakit lupus a. < 1 tahun b. >1-2 tahun c. >2-3 tahun d. >4-5 tahun e. > 5 tahun 2. Gejala lupus yang pernah dialami a. Demam b. Pusing c. Kebingungan d. Arthritis e. Fatigue f. Malar rash g. Nyeri dada saat nafas dalam h. Myalgia i. Anemia 3. Faktor pencetus gejala lupus yang disadari a. Stres emosional b. Stres fisik c. Sinar matahari d. Makan tidak teratur e. Kurang tidur f. Perubahan hormon 4 12 8 2 10 8 6 2 22 12 6 2 2 4 16 24 4 4 4 2 11,1 33,3 22,2 5,6 27,8 22,2 16,7 5,6 61,1 33,3 16,7 5,6 5,6 11,1 44,4 66,7 11,1 11,1 11,1 5,6 Data primer mencerminkan aktivitas penyakit lupus pada diri responden selama ini, terhitung sejak awal diagnosis lupus hingga saat penelitian. Data primer meliputi lama sakit lupus, gejala yang pernah dialami dan faktor pencetus gejala lupus yang disadari. Data primer penting untuk dikaji karena kekambuhan lupus bisa diprediksi melalui paparannya atau dapat diperoleh gambarannya secara umum. Berdasarkan data primer sebagian besar responden sakit lupus sejak 1-2 tahun yang lalu (33,3%). Gejala lupus terbanyak adalah arthritis (61,1%). Faktor pencetus mayoritas adalah stres fisik/kelelahan (66,7%). Berdasarkan gejala yang dialami dan terapi yang didapatkan, seluruh responden penelitian ini masuk kategori stabil menurut Ferenkeh-Koroma (2012) dengan indikator: jarang mengalami lupus flare, gejala yang dialami dapat berupa ruam kulit dan/atau nyeri dada, terkadang menghubungi petugas kesehatan untuk meminta bantuan, terapi yang didapat berupa obat kortikosteroid kontinum (Methylprednisolone) dan imuno-supresan (Cyclosporine). Berdasarkan standard Perhimpunan Rheumatologi Indonesia (PRI, 2011), seluruh responden masuk kategori lupus ringan dengan indikator: mengalami arthritis dan/atau ruam kulit, secara klinis tenang, tidak terdapat gejala lupus yang mengancam nyawa, fungsi organ normal/stabil. Arthritis teridentifikasi sebagai gejala lupus mayoritas (61,1%), hal ini sesuai dengan pendapat Dias & Isenberg (2014) bahwa pada gejala lupus ringan, persendian adalah organ utama yang terkena dampak penyakit lupus. Kelelahan fisik juga teridentifikasi sebagai faktor pencetus gejala lupus mayoritas (66,7%), hal ini sesuai dengan pendapat Gordon (2013) bahwa kelelahan fisik adalah pencetus gejala lupus yang paling umum dimana kelelahan ini tidak selalu hilang dengan istirahat dan dapat berlangsung lama. Data khusus penelitian terkait variabel yang diteliti yang meliputi paparan faktor pencetus gejala, pengetahuan tentang lupus, efikasi diri, dan tindakan pencegahan paparan faktorpencetus disajikan dalam tabel 4. Mayoritas responden cukup terpapar oleh faktor pencetus gejala lupus dalam enam bulan terakhir (88,9%). Semua responden memiliki pengetahuan yang tinggi tentang penyakitnya (100%). Efikasi diri responden mayoritas juga tinggi (72,2%). Tindakan pencegahan paparan faktor pencetus gejala lupus mayoritas optimal (77,8%). Tabel 4. Data Khusus Penelitian Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.) 217 Variabel Kategori Frekuensi Persentase Paparan faktor pencetus gejala Minimal 4 11,1 Sedang 32 88,9 Tinggi 0 0 Pengetahuan tentang lupus Rendah 0 0 Cukup 0 0 Tinggi 36 100 Efikasi diri Rendah 2 5,6 Cukup 8 22,2 Tinggi 26 72,2 Tindakan pencegahan paparan faktor pencetus Kurang 2 5,6 Cukup 6 16,7 Optimal 28 77,8 Hasil uji korelasi Spearman Rho menunjukkan tidak ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan pengetahuan lupus (p=0,342) dan dengan sikap (efikasi diri) (p=0,651). Ada hubungan yang lemah namun signifikan antara faktor pencetus gejala lupus dengan tindakan pencegahan paparannya (r=0,360; p=0,031). PEMBAHASAN Di dalam penelitian ini, pengetahuan tentang lupus tidak berhubungan dengan faktor pencetus gejala lupus. Dari 100% responden yang pengetahuannya tinggi, terdapat 88,9% responden yang mengalami paparan sedang. Berdasarkan kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya Precede Proceed Model dari L.W. Green & Kreuter (1991), pengetahuan telah diidentifikasi secara spesifik dalam domain faktor predisposisi perilaku kesehatan yang dapat secara langsung mempengaruhi gaya hidup/ tindakan yang diambil individu. Pengetahuan berhubungan dengan tindakan yang diambil seseorang untuk mempertahankan status kesehatannya. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan dan faktor pencetus gejala lupus, namun pengetahuan potensial berhubungan dengan tindakan pencegahan yang dilakukan odapus. Pengetahuan merupakan suatu perwujudan dari faktor internal individu yang mempermudah individu untuk berperilaku. Penerapan pengetahuan odapus dalam kehidupannya sehari-hari bisa ditunjukkan dalam tindakan pencegahan paparan faktor pencetus gejala lupus. Hasil penelitian menunjukkan dari 100% responden yang pengetahuannya tinggi, hanya 77,8% responden yang melakukan tindakan pencegahan secara optimal. Masih ada 22,8% responden yang tidak melaksanakan tindakan pencegahan secara optimal. Hal ini potensial disebabkan karena para responden tersebut efikasi dirinya tidak tinggi (masih cukup/ rendah). Ditemukan 27,8% responden yang efikasi dirinya cukup – rendah pada saat penelitian. Bila seorang individu memiliki pengetahuan yang sudah memadai namun keyakinan dirinya kurang/rendah karena berbagai faktor, maka tindakan yang diambilpun menjadi kurang maksimal. Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi diri tidak berhubungan dengan faktor pencetus gejala lupus. Efikasi diri merupakan cerminan rasa percaya diri seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk dapat melakukan dan melaksanakan suatu tindakan untuk mencapai sebuah tujuan. Mayoritas responden yang memiliki efikasi diri tinggi (72,2%) mengalami paparan sedang (88,9%) dan melakukan tindakan pencegahan paparan faktor pencetus gejala lupus secara optimal (77,8%). Tinginya efikasi diri responden memfasilitasi optimalnya tindakan pencegahan yang diambil. Berdasarkan Precede Proceed Model dari Green & Kreuter (1991), efikasi diri termasuk sikap yang telah diidentifikasi secara spesifik dalam domain faktor predisposisi perilaku kesehatan yang dapat secara langsung mempengaruhi gaya hidup/tindakan yang diambil individu. Jadi, efikasi diri potensial berhubungan dengan tindakan pencegahan yang dilakukan odapus, namun tidak berhubungan dengan faktor pencetus gejala lupus. Hasil penelitian ini menunjukkan tindakan pencegahan paparan faktor pencetus berhubungan dengan faktor pencetus gejala lupus. Mayoritas responden mengalami paparan sedang (88,9%) dan melakukan tindakan pencegahan paparan faktor pencetus gejala lupus secara optimal (77,8%). Ada 11,1% responden yang mengalami paparan sedang namun belum melaksanakan tindakan pencegahan secara optimal. Faktor pencetus gejala lupus yang teridentifikasi dalam penelitian ini meliputi stres fisik (mayoritas), stres emosional, sinar matahari, makan tidak teratur, kurang tidur dan perubahan hormon (terkait siklus menstruasi dan proses kehamilan). Para responden penelitian menyatakan beberapa kesulitan dalam usahanya mencegah paparan faktor-faktor pencetus ini Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219 218 karena tuntutan peran, keterbatasan diri maupun sumberdaya yang dimiliki. Namun demikian, mayoritas responden bisa melakukan tindakan pencegahan secara optimal. Faktor pencetus stress fisik relatif sulit dicegah karena responden merasa sulit menjaga tubuh dari rasa lelah akibat bekerja maupun menjalankan perannya sebagai ibu yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Hal ini potensial terjadi akibat tingginya tuntutan peran dan kurangnya dukungan keluarga dalam hubungan sosialnya. Hasil penelitian lain mendukung hasil penelitian Dias et al. (2014) yang berpendapat bahwa tindakan yang ditujukan untuk meminimalisir paparan faktor pencetus gejala lupus dapat mengurangi kekambuhan lupus. Tindakan pencegahan ini diperlukan untuk mengendalikan kekambuhan gejala lupus dan mempertahankan status kesehatan odapus tetap baik. Green & Kreuter (1991) berpendapat bahwa tindakan spesifik yang ditujukan untuk meningkatkan/mempertahankan status kesehatan dapat mempengaruhi kualitas hidup individu. Tindakan pencegahan paparan faktor pencetus yang dilakukan oleh odapus dapat memberi perbaikan yang bermakna pada kekambuhan gejala lupus bila dilakukan dengan benar dan rutin. Namun demikian, ada beberapa jenis faktor pencetus yang dirasa sulit dicegah, misalnya stres fisik (tergantung tuntutan peran), stres emosional (tergantung mekanisme koping), sinar matahari (tergantung aktivitas), dan lain-lain. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor pencetus gejala lupus mayoritas adalah stres fisik / kelelahan. Ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan tindakan pencegahan paparannya pada penderita lupus. Tidak ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan pengetahuan dan efikasi diri (sikap) pada penderita lupus. Saran Pendekatan multi-center study dapat dilakukan untuk menjangkau jumlah responden yang lebih besar. Paradigma penelitian mixed-methods dapat diterapkan untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Instrumen baru yang dikembangkan dapat diuji dalam skala yang lebih besar sehingga bisa distandardisasi. KEPUSTAKAAN America, L.F. of, 2012. Understanding Lupus. Available at: www.lupus.org. De Barros, B.P., De Souza, C.B. & Kirsztajn, G.M., 2012. The structure of the “lived- experience”: analysis of reports from women with systemic lupus erythematosus. Journal of Nursing Education and Practice, 2 (3), p.p 120. Available at: http://www.sciedu.ca/journal/index.php/jnep/ article/view/594 [Accessed October 28, 2016]. Dias, S.S. et al., 2014. Advances in systemic lupus erythematosus. Medicine, 42(3), pp.126–133. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/ S1357303913003666 [Accessed October 28, 2016]. Ferenkeh-Koroma, A., 2012. Systemic lupus erythematosus: nurse and patient education. Nursing Standard, 26(39), pp.49–57. Available at: http://rcnpublishing.com/doi/abs/10.7748/ ns2012.05.26.39.49.c9134 [Accessed October 28, 2016]. Foundation, S.L.E.L., 2012. About lupus. Available at: www.lupusny.org. Gallop, K. et al., 2012. Development of a conceptual model of health-related quality of life for systemic lupus erythematosus from the patient’s perspective. Lupus, 21(9), pp.934–43. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/224 33917 [Accessed October 28, 2016]. Indonesia, Y.L., 2012. Info tentang Lupus. Available at: www.yayasanlupusindonesia.org. Kannangara, L. et al., 2008. A study on aggravating factors for exacerbations, complications and hospital prevalence of systemic lupus erythematosus (SLE). Available at: http://pgimrepository.cmb.ac.lk:8180/han dle/123456789/2862 [Accessed November 1, 2016]. L.W. Green & Kreuter, M.W., 1991. Health Promotion Planning: An Educational and Environmental Approach 2nd ed., Mountain View: Mayfield Publishing Company. Laura K. DeLong, MD, M., 2012. Vitamin D Status, Disease Specific and Quality of Life Outcomes in Patients With Cutaneous Lupus-Full Text View-ClinicalTrials.gov, Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.) 219 Atlanta, Georgia, United States, 30322. Available at: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT01 498406. Nadhiroh, F., 2007. Lupus: penyakit seribu wajah dominan menyerang wanita. Available at: http://surabaya.detik.com. Nery, F.G. et al., Major depressive disorder and disease activity in systemic lupus erythematosus. Comprehensive psychiatry, 48(1), pp.14–9. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/171 45276 [Accessed October 28, 2016]. NIAMS, N.I. of A. and M. and S.D., 2012. Handout on health: systemic lupus erythematosus. Available at: www.niams.nih.gov. Stichweh, D. & Pascual, V., 2005. Systemic lupus erythematosus in children. An Pediatr (Barc), 63(4), pp.321–329. Available at: www.analesdepediatria.org/en/pdf/13079 815/S300/. Utomo, Y.W., 2012. Tingkatkan Riset dasar Tentang Lupus. Available at: www.health.kompas.com.