Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk) 240 PERAN ASAH (3A) PENGASUH DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA TODDLER DI TAMAN PENITIPAN ANAK (Role Of Care Giver Stimulation On Toddler’s Language Development in Day Care) Ilya Krisnana, Praba Diyan Rachmawati, Mar’atus Sholihah Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Unair Jalan Mulyorejo Surabaya 60115 Email: ilyakrisnana28@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan: Pengasuh di TPA memegang peranan penting dalam mengasah seluruh aspek perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan peran pengasuh dalam pemberian asah dengan perkembangan bahasa di 3 Taman Penitipan Anak (TPA) di Surabaya. Metode: Desain penelitian ini menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pengasuh dan anak di TPA dengan teknik purposive sampling. 16 pengasuh dan 33 anak menjadi responden yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Variabel dependen yang diukur adalah pemberian asah pengasuh. Variabel independen yang diukur adalah perkembangan bahasa anak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi responden pengasuh dan Denver II pada responden anak. Data dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi non parametrik (Spearman rho) dengan nilai signifikansi α= 0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian asah pengasuh berhubungan dengan perkembangan bahasa anak, nilai p=0,002 dan r=0,0510. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara pemberian asah pengasuh dengan perkembangan bahasa anak. Diskusi: Hubungan peran pengasuh dalam pemberian asah dengan perkembangan bahasa anak di tempat penitipan anak signifikan dan berhubungan cukup kuat. Penilti selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi faktor genetik, dan faktor lingkungan lainnya. Kata kunci: perkembangan bahasa, asah, taman penitipan anak, pengasuh, toddler ABSTRACT Introduction: Role of caregiver in the day care is really important in every aspect of children development, especially language development. This study aimed to analyze the relationship between role of caregiver in giving stimulation and language development toddler in 3 day care in Surabaya. Methods: This study was using cross-sectional study. The population were children and caregivers in day care with purposive sampling. 16 caregivers and 33 children as respondents, taken according to inclusion and exclusion criteria. The dependent variable was role of cargiver in giving stimulation. The independent variable was the toddler language development. Data collection for caregivers stimulation through observation sheets and for language development children through Denver II, and were analyzed by using non-parametric correlation analysis (Spearman rho) with significance value α=0.05. Result: The result showed that caregiver in giving stimulation has correlate with language development toddler (p-value = 0.002, r = 0.0510). Discussion: It can be concluded that correlation between role of cargiver in giving stimulation with language development toddler was significant and has strong enough correlation. Further research need to identify more factors such as genetic factor and the other aspects of environmental factor. Keywords: language development, stimulation, children day care center, caregiver, toddler PENDAHULUAN Peningkatan prosentase ibu bekerja diikuti dengan peningkatan jumlah anak yang dititipkan di TPA (Kusumastuti 2013). Pengasuh di TPA memegang peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak terutama perkembangan bahasa (KEMENDIKBUD 2015). Keterlambatan perkembangan bahasa pada anak dapat menyebabkan learning disabilities yang akan membuat anak mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial (Wijaya 2015). Prevalensi keterlambatan kemampuan berbahasa dilihat pada anak usia dini menurut studi Cochrane terakhir, pada usia 2-4,5 tahun adalah 5-8% mengalami keterlambatan bicara dan 2,3-19% mengalami keterlambatan verbal (Soetjiningsih 2013). (Hartanto 2011) menerangkan selama tahun 2007 di poliklinik tumbuh kembang anak RS Dr. Kariadi Semarang didapatkan 22,9% dari 436 kunjungan baru, datang dengan keluhan terlambat bicara, 13 (2,98%) diantaranya didapatkan gangguan perkembngan bahasa. Berdasarkan hasil survei dari 17 TPA di Surabaya, terdapat 3 TPA yang belum mempunyai kurikulum pembelajaran dan belum rutin melakukan stimulasi dalam bentuk bermain sambil belajar. Hasil pengukuran perkembangan bahasa menggunakan Denver Development Screening Test (DDST) menunjukkan 25% termasuk kategori suspek keterlambatan perkembangan bahasa dari 20 anak di ketiga TPA. mailto:ilyakrisnana28@gmail.com Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245 241 Proses pembelajaran perkembangan bahasa menurut kaum behavioris diperoleh melalui rangsangan dari lingkungan. Menurut salah satu tokoh behavioris (Thorndike 1913) belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus yang didapatkan seorang anak di tempat penitipan anak dari pengasuh berupa asah yang kemudian anak memberikan respon berupa perkembangan anak. Proses asosiasi yang terjadi antara stimulus dan respon menurut Thorndike akan mengikuti law of readiness, law of excercise, dan law of effect. Ketiga hukum tersebut membuat stimulasi rutin meningkatkan respon perkembangan anak termasuk perkembangan bahasa (Thorndike 1913). Berdasarkan data, teori, dan penelitian sebelumnya, peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan peran pengasuh dalam pemberian asah dengan perkembangan bahasa anak usia todler di TPA. METODE Desain penelitian ini menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Dilaksanakan di 3 TPA Surabaya yakni TPA Masha, Cemerlang, Dharma Wanita. Populasi dalam penelitian ini adalah pengasuh dan anak di TPA. 16 pengasuh dan 33 anak menjadi responden yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik purposive sampling. Variabel dependen yang diukur adalah pemberian asah pengasuh. Variabel independen yang diukur adalah perkembangan bahasa anak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi responden pengasuh dan Denver II pada responden anak. Data dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi non parametrik (Spearman rho) dengan nilai signifikansi α= 0,05. HASIL Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (37,6%) responden pengasuh di TPA memenuhi kebutuhan asah dalam kategori kurang, dan mayoritas (63,6%) responden anak di TPA memiliki perkembangan bahasa dalam kategori normal. Tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran pengasuh dalam pemberian asah di tempat penitipan anak dengan perkembangan bahasa anak usia todler. Dengan menggunakan uji statistik Spearmen’s Rho (r) dengan tingkat kemaknaan α < 0,05 didapatkan hasil korelasi r = 0,510 dan nilai p = 0,002. Nilai p tersebut berarti H1 diterima dan H0 ditolak. Hasil statistik tersebut menunjukan hubungan yang kuat antara pemberian asah pengasuh dengan perkembangan bahasa anak pada usia todler. Tabel 1 Pemberian asah pengasuh dan perkembangan bahasa anak di TPA Surabaya, Juni 2016 Variabel yang diukur Kategori f % Pemberian Asah Baik 5 31,2 Cukup 5 31,2 Kurang 6 37,6 Total 16 100 Perkembangan Bahasa Normal 21 63,6 Suspect 11 33,3 Untestable 1 3,1 Total 33 100 Tabel 2 Peran Pengasuh dalam Pemberian Asah dengan Perkembangan Bahasa Anak Usia Todler Peran Pengasuh dalam Pemberian Asah Perkembangan Bahasa Total Untestable Suspect Normal F % f % f % f % Kurang 1 3 7 21,2 4 12,1 12 36,4 Cukup 0 0 3 9,1 7 21,2 10 30,3 Baik 0 0 1 3 10 30,3 11 33,3 Total 1 3 11 33,3 21 63,6 33 100 p = 0,002 Koefisien Korelasi Spearman’s Rho = 0,510 Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk) 242 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, responden pengasuh dalam memberikan asah yang termasuk kategori kurang memiliki proporsi paling besar, kemudian yang kategori baik dan cukup memiliki proporsi yang sama besar. Pembarian asah pengasuh dalam kategori baik karena pengasuh memberikan asah dengan memberi contoh, pembiasaan, latihan, dan kompetisi secara rutin. Menurut KEMENDIKBUD (2015) dalam Juknis TPA, pengasuh dalam memberikan asah artinya pengasuh memberi dukungan kepada anak untuk dapat belajar melalui bermain yang bermakna, menarik, dan merangsang imajinasi, kreativitas anak untuk melakukan, mengekplorasi, memanipulasi, dan menemukan inovasi sesuai dengan minat dan gaya belajar anak. Pengasuh yang memberikan asah dalam kategori baik, dapat menciptakan beberapa komunikasi ketika bermain menjadi bentuk asah untuk perkembangan bahasa. Bentuk asah yang mayoritas dilakukan oleh semua pengasuh adalah mengasah dengan membiasakan menyebut nama anak ketika bermain dan menyebut nama permainan/ barang saat memberikan ke anak atau meminta anak mengambilnya. Thorndike (1913) menyebutkan dalam law of excercise bahwa hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering digunakan atau dilatih dan akan lenyap sama sekali jika jarang digunakan. Bentuk pembiasaan pengasuh sebagai salah satu upaya pemberian asah agar respon perkembangan anak berjalan dengan normal. Berdasarkan hasil observasi selama penelitian, pengasuh dalam memberikan asah termasuk kategori cukup, karena pengasuh memberikan asah dengan memberi contoh, pembiasaan, dan latihan, tetapi tidak memberikan asah dengan kompetisi. Fakta ini sesuai dengan pernyataan dari Afin (2014) yang menyatakan bahwa memberikan asah melalui kompetisi dilakukan setelah anak cukup mampu menguasai satu bidang yang bisa diandalkan maka bisa diikutkan dalam kompetisi yang ada di sekitar. Penyebab pemberian asah pengasuh termasuk kategori cukup adalah beberapa pengasuh beranggapan bahwa anak usia todler belum siap untuk diajak berkompetisi antar terman. Berdasarkan hasil peneilitian pemberian asah oleh pengasuh termasuk dalam kategori kurang karena pengasuh hanya memberikan asah dengan pembiasaan. Mayoritas pengasuh yang memberikan asah dalam kategori kurang termasuk kategori usia dewasa muda. Supartini (2014) menjelaskan bahwa rentang usia yang tidak terlalu tua atau terlalu muda adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan karena memiliki kekuatan fisik dan psikososial, sehingga dapat menjalankan peran pengasuhan secara optimal. Usia pengasuh mempengaruhi kesiapan mereka untuk menjadi pengasuh dan menjalankan tugas sebagai pengganti orang tua sementara. Berdasarkan data demografi yang diperoleh, mayoritas orang tua responden anak juga pada masa dewasa muda. Pengasuh dan orang tua yang terlalu muda cenderung belum memiliki kesiapan untuk mendidik dan mengarahkan pendidikan anak, mereka beberapa kali tidak menghiraukan anak dan lebih memilih untuk bersenang-senang sendiri karena masih ingin menikmati masa muda seperti bermain hp saat sedang mengasuh anak. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas responden anak memiliki perkembangan bahasa normal. Anak yang mengalami suspect keterlambatan perkembangan bahasa dan untestable hanya sebagian kecil. Mayoritas anak dengan perkembangan bahasa normal dapat melewati satu atau lebih komponen 25-75% menyentuh garis. (Sulistyawati 2014) menjelaskan bahwa jika anak dapat melewati komponen 25-75% maka artinya anak dapat melakukan komponen yang baru bisa dilakukan oleh 25-75% anak. Perkembangan bahasa anak yang termasuk kategori normal terlihat berbeda dari anak yang suspect keterlambatan perkembangan bahasa. Perbedaan terlihat saat dilakukan tes pada setiap komponen, anak dapat menjawab lebih cepat dan tepat. Anak dengan perkembangan bahasa normal juga tetap bisa melakukan komponen yang anak-anak lain sudah tidak bisa, bahkan terdapat anak dengan interpretasi skor advance karena anak dapat lulus pada komponen yang terletak di kanan garis. Mayoritas anak dengan suspect keterlambatan perkembangan bahasa gagal melewati komponen di sebelah kiri garis. Sulistyawati (2014) menjelaskan bahwa bila anak gagal atau menolak melakukan komponen tes yang terletak berada di sebelah kiri garis umur, maka termasuk mengalami delayed, karena 90 persen anak pada sampel standar telah dapat melewati komponen tersebut. Anak yang mengalami suspect keterlambatan perkembangan bahasa selain mengalami delayed juga memiliki interpretasi skor caution, sehingga perlu dilakukan uji ulang dalam 1-2 pekan untuk menghilangkan faktor sesaat seperti rasa takut, Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245 243 keadaan sakit, dan kelelahan pada waktu skrining perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat anak dengan hasil penilaian perkembangan bahasa yang untestable. Pada responden anak yang mendapatkan intrepretasi hasil untestable, terdapat satu komponen delay dan tiga caution karena anak menolak melakukan bukan karena anak gagal melakukan. (Sulistyawati 2014) menyebutkan bahwa langkah penilaian perkembangan harus diawali dengan pemeriksa membangun hubungan yang baik dengan anak dan pengasuh karena saat telah terbina hubungan saling percaya maka akan meminimalisir terjadi penolakan saat dilakukan tes perkembangan. Penyebab hasil penilaian perkembangan bahasa yang untestable menunjukkan kesesuian dengan penjelasan Sulistywati. Waktu penelitian yang terbatas membuat tidak semua anak dengan mudah menerima kehadiran peneliti. Perilaku anak dalam beradaptasi dengan orang baru tidak dapat dianggap sama karena berdasarkan pengalaman saat proses penelitian meskipun peneliti telah berusaha membangun hubungan dengan semua anak sejak studi pendahuluan, terdapat satu responden anak yang hasil penilaian perkembangan bahasanya tetap untestable dari sejak studi pendahuluan sampai tes kembali saat penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui tingkat korelasi yang cukup artinya hubungan antara kedua variabel cukup kuat dan menunjukkan arah yang searah yaitu jika pemberian asah lebih baik maka perkembangan bahasa akan normal. Nilai signifikansi yang cukup signifikan bermakna hubungan antara kedua variabel signifikan. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa hubungan pemberian asah pengasuh dengan perkembangan bahasa anak cukup kuat, signifikan dan searah. Berdasarkan teori(Thorndike 1913) bahwa perkembangan bahasa dikendalikan oleh rangsangan dari lingkungan, karena belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi antar stimulus dengan respon yang diberikan atas stimulus tersebut. Maka dari itu, stimulus yang didapatkan seorang anak di tempat penitipan anak dari pengasuh berupa asah yang baik direspon oleh anak dengan perkembangan yang normal. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian (Maria 2009) yang menunjukkan terdapat hubungan antara asah dengan perkembangan karena responden anak yang terasah secara terarah dan penuh kasih sayang akan dapat mengendalikan dan mengkoordinasi otot-otot yang melibatkan perasaan emosi dan pikiran sehingga perkembangan bahasa anak berjalan dengan optimal. Mayoritas responden anak yang memiliki perkembangan bahasa normal lebih sering diasuh oleh pengasuh dengan pemberian asah dalam kategori baik dan cukup. Hasil penelitian bahwa perkembangan bahasa anak yang diasuh oleh pengasuh yang memberikan asah dengan baik termasuk kategori normal sesuai dengan pernyataan (Soetjiningsih 2013) bahwa memenuhi kebutuhan asah merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak termasuk belajar memaksimalkan perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa anak periode todler yang harus mencapai banyak kemampuan dibandingkan periode lain, membuat pemberian asah diperlukan, karena dengan pengasuh yang mempunyai durasi cukup lama berinteraksi dengan anak, mengasah kemampuan secara rutin maka perkembangan bahasa anak tidak akan mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil peneilitian pemberian asah oleh pengasuh dalam kategori kurang menunjukkan hasil skrining perkembangan bahasa mayoritas suspect keterlambatan perkembangan bahasa. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Zukhrifatin tahun 2006 bahwa anak yang mendapat stimulasi kurang, mayoritas anak mengalami gangguan perkembangan. Hasil tersebut menunjukkan peningkatan kejadian penyimpangan perkembangan pada anak yang mendapat stimulasi kurang. Disisi lain, fakta di ketiga TPA menunjukkan bahwa meskipun pengasuh pemberian asah dalam kategori kurang, tidak selalu hasil skrining perkembangan bahasa menunjukkan dicurigai keterlambatan tetapi juga ada yang normal. Fakta ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan penjelasan yang dikemukakan oleh (Soetjiningsih 2013) bahwa anak yang mendapat stimulasi kurang dan tidak teratur akan mengalami keterlambatan perkembangan termasuk perkembangan bahasa. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti kesehatan anak, peran orang tua di rumah dalam berinteraksi dengan anak. Berdasarkan data demografi yang didapatkan, mayoritas orang tua responden anak memiliki pendidikan terkahir S1 dan pekerjaan swasta/ pegawai negeri sipil. (Kliegman 2012) menjelaskan orang tua dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang perkembangan anak, seperti mengetahui cara bertanya dan memberi perintah pada anak yang tepat sehingga perkembangan bahasa anak sesuai tahap perkembangan. Orang tua dengan Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk) 244 pengetahuan yang luas lebih terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, dan selalu menyediakan waktu untuk anak, karena mereka mengetahui kualitas interkasi orang tua dan anak sangat menentukan perkembangan anak. (KEMENKES 2013) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak adalah pekerjaan orang tua, karena menentukan tingkat sosio-ekonomi yang dimiliki. Anak dari orang tua yang memiliki penghasilan diatas rata-rata akan memiliki lingkungan yang baik dan mendapatkan pemeriksaan perkembangan secara reguler sehingga jika ada gangguan perkembangan dapat dideteksi secara dini. Mayoritas responden anak yang perkembangan bahasa normal menerima pemberian asah baik karena kegiatan pemberian asah dengan contoh, pembiasaan, latihan dan kompetisi diberikan secara rutin. Mayoritas anak yang dicurigai mengalami keterlambatan perkembangan bahasa menerima pemberian asah yang kurang karena kegiatan mengasah dengan memberi contoh, kompetisi dan latihan tidak semua dilakukan. Hasil penilitian ini selaras dengan teori (Thorndike 1913) yang menyebutkan bahwa proses asosiasi dalam stimulus dan respon memenuhi ketiga hukum yakni law of readiness, law of excercise, dan law of effect, dengan “state of affairs” yang memuaskan, agar hubungan menjadi lebih kuat. Pemberian asah yang baik akan menyebakan perkembangan bahasa normal karena ketiga hukum terpenuhi. Law of readiness terpenuhi dari bentuk kegiatan mengasah dengan memberi contoh. Pengasuh yang memberikan contoh dapat membuat anak memiliki “kecenderungan bertindak” menirukan pengasuh. Law of excercise terpunuhi dari bentuk kegiatan mengasah dengan pembiasaan dan mengasah dengan latihan, karena hubungan antara asah dari pengasuh dan respon perkembangan bahasa akan semakin kuat jika sering dilatih dan digunakan. Law of effect terpenuhi dari kegiatan mengasah dengan kompetisi karena dapat menimbulkan “state of affairs” berupa feedback yang menyenangkan atau menganggu. Anak yang segera mengetahui hasil belajar dari pengasuh akan dapat meningkatkan motivasi anak dalam belajar. Kedekatan hubungan antara variabel pemberian asah pengasuh dengan perkembangan bahasa termasuk cukup kuat karena nilai koofisien korelasi r=0,510. Kedekatan yang cukup kuat menunjukkan pengasuh memang berperan terhadap terhadap perkembangan anak di TPA, tetapi orang tau maupun lingkungan keluarga juga sangat menentukan. Fakta ini sesuai dengan pernyataan Yusuf dalam (Eka 2008) bahwa proses berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga terutama orang tua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak menentukan perkembangan bahasa anak. Hubungan yang sehat antara orang tua dan anak akan memfasilitasi perkembangan bahasa anak, sedangkan hubungan yang tidak sehat mengakibatkan anak mengalami kesulitan dalam perkembangan bahasa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian besar pemberian asah pengasuh dalam kategori kurang terutama pada kegiatan mengasah dengan kompetisi. Mayoritas responden anak di tempat penitipan anak memiliki perkembangan bahasa dalam kategori normal. Pemberian asah pengasuh mempengaruhi perkembangan bahasa anak di tempat penitipan anak. Pemberian asah yang semakin baik akan menyebabkan hasil skrining perkembangan bahasa anak termasuk kategori normal. Pemberian asah yang baik adalah pengasuh mengasah perkembangan bahasa dengan memberi contoh, pembiasaan, latihan dan kompetisi secara rutin dan optimal. Saran Perawat diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pengasuh bahwa pemberian asah secara rutin dan optimal kepada anak dapat mencegah keterlambatan perkembangan bahasa anak. Tempat penitipan anak sebaiknya membuat standar operasional prosedur pemberian asah kepada anak sesuai dengan tahap perkembangan bahasa. Pengasuh diharapkan untuk lebih memperhatikan perkembangan anak dengan meningkatkan pemberian asah yang diberikan. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan p e n e l i t i a n me n ge n a i f a kt o r - f a kt o r l a i n ya n g mempengaruhi perkembanan anak, misalnya factor genetik, lingkungan prenatal, dan faktor lingkungan postnatal yang lainnya. KEPUSTAKAAN Eka, W.H., 2008. Hubungan pola asuh orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa pada anak usia 2 tahun. Jurnal kesehatan, 1(1). Hartanto, F., 2011. Pengaruh Perkembangan Bahasa terhadap Perkembangan Kognitif Anak, Semarang: Sari Pediatri. KEMENDIKBUD, 2015. NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak, KEMENKES, 2013. Pedoman Pelaksanaan: Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbu Kembang Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245 245 Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta. Kliegman, R.., 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson 1st ed., Jakarta: EGC. Kusumastuti, N.I., 2013. Fenomena taman penitipan anak bagi perempuan yang bekerja. Jurnal ilmiah Pendidikan Sosial Antropologi, 3(2). Maria, F.N., 2009. Hubungan Pola Asah, Asih, Asuh dengan Tumbuh Kembang Balita Usia 1-3 Tahun. Universitas Airlangga. Soetjiningsih, 2013. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: EGC. Sulistyawati, A., 2014. Deteksi Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: Salemba Medika. Thorndike, E.., 1913. The psychology of learning 2nd ed., New York: Teachers College Press. Wijaya, S., 2015. Efektivitas Pelatihan Identifikasi Dini Keterlambatan Bicara pada Anak Usia Pra Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Guru PAUD. In Seminar Nasional Psikologi - Jilid I. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.