Vol 8 No 2 Oktober 2013.indd 175 BURNOUT SYNDROM MAHASISWA PROFESI NERS BERDASARKAN ANALISIS FAKTOR STRESSOR, RELATIONAL MEANING DAN COPING STRATEGY (Burnout Syndrome in Nursing Students Based on Effect of Stressor, Relational Meaning and Coping Strategy) Hilda Mazarina Devi*, Nursalam*, Laily Hidayati* *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 Email: hilmazarina@yahoo.com ABSTRAK Pendahuluan: Pada level program pendidikan profesi mahasiswa akan menghadapi berbagai stressor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan stressor personal; stressor lingkungan; relational meaning dan coping strategy terhadap burnout syndrom pada mahasiswa keperawatan yang sedang menjalani pendidikan profesi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi korelasi dengan pendekatan cross-sectional. Populasi adalah mahasiswa reguler program profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Besar sampel ditentukan dengan simple random sampling dan 61 orang termasuk dalam kriteria inklusi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan uji regresi linier berganda dengan signifi kansi p < 0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa total burnout syndrom berhubungan signifi kan terhadap relational meaning (p = 0,005, β = 0,460). Kelelahan emosional berhubungan signifi kan terhadap relational meaning (p = 0,001, β = 0,532) dan emotion focused coping (p = 0,035, β = 0,298). Relational meaning juga memiliki hubungan signifi kan terhadap depersonalisasi (p = 0,002, β = 0,050). Kemudian penurunan pencapaian prestasi diri berhubungan signifi kan terhadap stressor personal antara lain jumlah individu tinggal dalam sekamar (p = 0,016, β = 0,344), total waktu belajar setiap hari (p = 0,036, β = 0,366) dan stressor lingkungan yakni beban kerja (p = 0,039, β = -0,349). Diskusi: Mahasiswa disarankan untuk menyiapkan diri menghadapi pendidikan profesi dan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga disarankan untuk mengupayakan penguatan fungsi pembimbing akademik dalam hal role model secara preceptorship demi menghindari risiko terjadinya burnout syndrom ketika mahasiswa keperawatan menjalani pendidikan profesi. Kata Kunci: stressor, relational meaning, coping strategy, burnout syndrom, mahasiswa keperawatan ABSTRACT Introduction: Professional education program is a program in which nursing students are transformed to become professional nurses. At this level, nursing students will encounter various stressors. The purpose of this study was to analyze the relationship between stressors, relational meaning and coping strategy on burnout syndrome in nursing students who are undergoing professional education. Method: This was a correlational study using cross-sectional approach. Population comprised regular student of nursing profession program at the Faculty of Nursing, Airlangga University. Sample size was determined by simple random sampling and 61 persons were included in the inclusion criteria. Data then analyzed using multiple linear regression test with signifi cance level of α < 0.05. Results: This study found that total burnout syndrome was signifi cantly related to relational meaning (p = 0.005, β = 0.460). Emotional exhaustion was signifi cantly related to relational meaning (p= 0.001, β = 0.532) and emotion focused coping (p = 0.035, β =0.298). Relational meaning was also signifi cantly related to depersonalization (p = 0.002, β = 0.050). Subsequently, the decline in self-achievement was signifi cantly related to personal stressors, i.e the number of room mates (p = 0.016, β = 0.344), total learning time/day (p = 0.036, β=0.366) and environmental stressors (workload) (p = 0.039, β = -0.349). Discussion: It is suggested for students to prepare for professional education, and the Faculty of Nursing, Airlangga University, should strengthen the function of academic counselors in terms of preceptorship role model in order to avoid the risk of burnout syndrome when the nursing students undergoing professional education. Keywords: stressor, relational meaning, coping strategy, burnout syndrome, nursing students PENDAHULUAN Program studi S-1 Keperawatan adalah suat u pendidikan yang ber t ujuan unt uk menghasilkan perawat yang profesional melalui dua tahapan pendidikan yak ni tahapan pendidikan akademik dan profesi. Ketika menjalani program profesi mahasiswa keperawatan akan diberikan kesempatan untuk beradaptasi pada peran sebagai perawat profesional ( Nursalam, 2011). Sehingga mahasiswa akan ter papar stressor yang sama dengan perawat yang bekerja di klinik. Dalam proses pembelajaran inilah mahasiswa tidak jarang mengalami st res (Irawati, 176 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 175–182 2012). Stres yang berkelanjutan dan kronis akan menimbulkan dampak negatif yang dapat menyebabkan perubahan motivasi dan memunculkan terjadinya burnout syndrome (Greenberg dalam Watson, 2008). Pembelajaran klinik menjadi kegiatan yang sulit bagi mahasiswa terutama dengan tekanan berbagai macam stressor personal yakni usia, jenis kelamin, IPK akademik, total waktu belajar per hari dan total waktu klinik per pekannya (Baker, 2012). Tuntutan membina hubungan baik dengan pasien, perawat dan pembimbing klinik ser ta teman sejawat juga menjadi stressor sosial bagi mahasiswa profesi, hal ini kemudian masih ditambah dengan adanya tekanan stressor beban kerja tugas, ujian, kompetensi (Nelwati, 2013), serta adanya kesenjangan harapan antara teori yang didapatkan dalam pendidikan akademik dengan kenyataan dalam dunia klinik. Terlebih apabila stressor tersebut tidak diikuti dengan adanya proses penerimaan, pembentukan persepsi dan pemilihan coping strategy yang baik dapat memicu timbulnya kelelahan kerja yang dikenal dengan burnout syndrome (Mangkunegara, 2002). Tiga dimensi burnout syndrome menurut Maslach (2003) antara lain adalah kelelahan emosional, depersonalisasi, se r t a d i me n si p e nu r u n a n p e ncapaia n prestasi diri. Hal ini sejalan dengan konsep transactional theory (Lazarus & Folkman, 1984). Dari hasil studi pendahuluan pada 15 orang mahasiswa reguler Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga pada tanggal 2–9 Maret 2013 dapat diketahui bahwa pada dimensi kelelahan emosional 73,3% mahasiswa mengalami kelelahan emosional di tingkat menengah dan berat. Pada dimensi depersonalisasi sebanyak 86,7% mahasiswa mengalami depersonalisasi tingkat rendah dan sekitar 13,3% di tingkat menengah. Kemudian pada dimensi penurunan prestasi diri sebanyak 66,7% mengalami pada tingkat menengah hingga berat. Beberapa upaya Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah diupayakan antara lain adanya program PBP (Program Belajar Praktik) yang telah dimulai sejak pendidikan akademik pada semester ketiga hingga keenam serta adanya pendidikan pre-klinik sebelum mahasiswa terjun dalam klinik. Terdapat beberapa kategori sumber stres (stressor) yang berkontribusi dalam terjadinya stres pada mahasiswa keperawatan, antara lain stressor personal dan stressor lingkungan (Lazar us & Folkman, 1984). Terdapat tiga bentuk Relational meaning terhadap pemaknaan stres dalam diri individu yak ni persepsi bahaya (harm), ancaman (threat) dan tantangan (challange) (Lazarus & Folkman, 1984). Terdapat dua jenis koping yang digunakan oleh seorang individu dalam menghadapi stres antara Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping (Lazarus & Folkman, 1984). Sehingga, berdasarkan fenomena dan masalah diatas perlu dilakukan analisa hubu ngan antara su mber st res (stressor), Relational meaning dan coping strategy terhadap burnout syndrome pada mahasiswa reguler Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. BAHAN DAN METODE Desain pada penelitian correlational dengan pendekatan cross sectional, dengan populasi dalam penelitian adalah semua mahasiswa regular program profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga periode genap tahun akademik 2012/2013 (89 mahasiswa). Pengambilan sample sebanyak 61 responden dengan menggunakan simple random sampling berdasarkan beberapa kriteria inklusi. Penelitian dilaksanakan pada 22–26 April 2013. Variabel independen penelitian antara lain stressor personal yakni data demografi (usia, jenis kelamin, IPK akademik, situasi tempat tinggal, total wakt u belajar/hari dan total waktu profesi/minggu); stressor lingkungan (beban kerja dan hubungan interpersonal); relational meaning dan coping strategy. Variabel dependen penelitian antara lain burnout syndrom yang terdiri atas tiga dimensi yakni kelelahan emosional, depersonalisasi dan penur unan pencapaian prestasi diri. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner 177 Burnout Syndrom Mahasiswa Profesi Ners (Hilda Mazarina Devi, dkk.) data demografi . Kuesioner stressor lingkungan (beban kerja dan hubungan interpersonal) yang dikembangkan dari uraian pengelolaan Profesi Program Ners yang berpatokan pada Pedoman Pendidikan Profesi Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga 2012/2013. Kuesioner ASNS (Assassement of tress in Nursing Students) yang dikembangkan oleh Costa & Polak (2009) digunakan oleh peneliti sebagai kuesioner Relational meaning. Dimensi yakni kelelahan emosional, depersonalisasi dan penur unan pencapaian prestasi diri. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner data demografi . Kuesioner stressor lingkungan (beban kerja dan hubungan inter personal) yang dikembangkan dari uraian pengelolaan profesi program Ners yang berpatokan pada pedoman pendidikan profesi Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga 2012/2013. Kuesioner ASNS (Assassement of Stress in Nursing). Copi ng st ra teg y d iu k u r de nga n modifi kasi kuesioner Ways of Coping strategy (Lazar us & Folk man, 1988). Kemudian bur nout syndrom dalam penelitian ini menggunakan kuesioner MBI berdasarkan teori Maslach (2003). Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji Regresi Linier Berganda dengan derajat kemaknaan adalah p < 0,05. HASIL Distribusi data demografi responden pada penelitian ini didapatkan karakteristik responden menunjukkan bahwa dari 61 orang responden, mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 51 responden (83,6%) dan 10 responden (16,4%) berjenis kelamin laki-laki. Mayoritas (86,9%) usia responden 22-23 tahun. Sebaran gerbong atau stase pendidikan profesi yang sedang dilalui oleh responden adalah sebanyak 15 orang (24,6%) berada di stase keperawatan kritis, 13 orang (21,3%) sedang berada di stase keperawatan maternitas, 14 orang (23%) sedang berada di stase keperawatan jiwa dan sisanya sebanyak 19 orang (31,1%) berada di stase keperawatan anak. IPK akademik responden paling banyak adalah berada pada rentang 2,76–3,50 (sangat memuaskan) sebanyak 39 orang (63,9%). Sebanyak 46 orang (75,4%) tinggal berpisah Tabel 1. Karakteristik responden penelitian burnout syndrom mahasiswa profesi ners berdasarkan analisis faktor stressor, relational meaning dan coping strategy pada mahasiswa reguler program profesi ners fakultas keperawatan unair Surabaya per Desember - April 2013 (n = 61) No Stressor Personal Parameter Σ % 1 Usia 22 21 34,4 % 23 32 52,5 % 2 Jenis Kelamin Laki laki 10 16,4 % Perempuan 51 83,6 % 3 IPK Akademik 2,76–3,50 (sangat memuaskan) 39 63,9% 3,50–4,0 (dengan pujian cumlaude) 14 23,0% 4 Situasi Tempat Tinggal Bersama orang tua 15 15,6% Berpisah dengan orang tua 46 75,4% 5 Jumlah Individu Sekamar ≤ 2 35 57,4% > 2 26 42,6% 6 Total Waktu Belajar/hari Tidak belajar – 1,33 jam/hari 35 57,4% 1,34–2,66 jam/hari 19 31,1% 7 To t a l Wa k t u P r o f e s i / minggu 2,67–4 jam/hari 7 11,5% 45–50 jam/minggu 31 50,8% 51–56 jam/minggu 10 16,4% 57–62 jam/minggu 8 13,1% > 63 jam/minggu 12 19,7% 178 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 175–182 Tabel 2. Beban kerja mahasiswa reguler program profesi ners fkp unair Surabaya 22–26 April 2013 (n = 61) No Beban Kerja Kategori R S T ∑ ∑ ∑ 1 Ujian 11 (18%) 45 (73,8%) 5 (8,2%) 2 Tugas 23 (37,7%) 36 (59%) 2 (3,3%) 3 Kompetensi Klinik 6 (9,8%) 50 (82%) 5 (8,2%) 4 Kesenjangan Harapan 26 (42,6%) 32 (52,5%) 3 (4,9%) Rerata 16 (26,2%) 41 (66,8%) 4 (6,14%) Ket: R = ringan; S = sedang; T = tinggi Tabel 3. Hubungan interpersonal mahasiswa reguler program profesi ners fakultas keperawatan UNAIR Surabaya per Maret–April 2013 (n = 61) No Hubungan Interpersonal Kategori R S T ∑ ∑ ∑ 1 Pasien 0 (0%) 53 (86,9%) 8 (13,1%) 2 Pembimbing Klinik: Perawat Ruangan dan Pembimbing Akademik 0 (0%) 46 (75,4%) 15 (24,6%) 3 Teman satu kelompok 0 (0%) 53 (86,9%) 8 (13,1%) Rerata 0 (0%) 51 (83,6%) 10,3 (16,8%) Ket: R = ringan; S = sedang; T = tinggi dengan orang tua selama masa pendidikan profesi. Mayor itas responden sebanyak 35 orang (57,4%) tinggal bersama ≤ 2 individu dalam sekamar. Sebanyak 35 orang (67,2%) menyatakan tidak memiliki waktu belajar dan atau menyediakan rentang hingga 1,33 jam waktu untuk belajar tiap harinya. Total waktu profesi yang dihabiskan mahasiswa dalam seminggu untuk melaksanakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan profesi mayoritas adalah sebanyak 45–50 jam/minggu yakni sebanyak 31 orang (50,8%). Tugas (laporan pendahuluan, laporan kasus, seminar, PKRS dan asuhan keperawatan) menjadi beban yang tinggi bagi 5 orang mahasiswa keperawatan (8,1%). Ujian dan kompetensi klinik adalah beban kerja tingkat sedang yang dipilih oleh rata-rata sebanyak 41 orang (66,8%). Dan beban kerja yang dianggap oleh mahasiswa keperawatan menjadi beban kerja rendah adalah kesenjangan harapan antara teori dan praktik yakni oleh sebanyak 26 orang (42,6%). Rata-rata terdapat 4 orang responden (6,14%) yang menyatakan bahwa keseluruhan parameter beban kerja selama pendidikan profesi sebagai beban kerja dengan tingkat tinggi. Tidak ada responden yang menyatakan memiliki kemampuan hubungan interpersonal yang rendah terhadap pasien, pembimbing klinik: perawat dan pembimbing akademik serta teman dalam satu kelompok. Rata- rata sebanyak 51 orang (83,6%) memiliki kemampuan tingkat sedang dan terdapat rata- rata 10 orang (16,8%) responden yang memiliki kemampuan tinggi. PEMBAHASAN Usia pada mahasiswa keperawatan memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap burnout syndrom secara keseluruhan maupun terhadap tiap dimensi dalam burnout syndrom: kelelahan emosional, depersonalisasi dan penur unan pencapaian prestasi diri. Berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) maka responden penelitian tergolong dalam rentang usia dewasa muda (early adulthood). Seseorang yang berada dalam rentang awal usia dewasa muda (usia 20– 40 tahun) memiliki perkembangan fi sik dan kondisi tubuh yang prima, berada di puncak kesehatan dan kekuatan, energi dan daya tahan. Tidak terdapatnya hubungan signifi kan antara usia terhadap ketiga dimensi burnout syndrom dapat disebabkan karena mayoritas responden penelitian berada dalam rentang 179 Burnout Syndrom Mahasiswa Profesi Ners (Hilda Mazarina Devi, dkk.) usia yang sama. Proses adaptasi terhadap stres akan berkembang sesuai dengan tingkat kematangan emosional (Hurlock, 1980) dan tingkat kematangan emosional amat ditentukan oleh usia, sehingga secara alamiah semakin menambahnya usia mahasiswa keperawatan ma ka a ka n sema k i n bai k kemat a nga n emosional dan mampu mengembangkan adaptasi terhadap kondisi burnout syndrome. Je n i s kel a m i n p a d a m a h a si s wa keperawatan tidak memiliki hubungan yang signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum maupun terhadap tiap dimensi dalam burnout syndrom: kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi diri. Mayoritas responden penelitian adalah berjenis kelamin wanita sebanyak 51 orang (83,6%). Wardhani (2006) menyatakan frustasi perempuan lebih tinggi dibanding frustasi laki-laki. Tidak terdapatnya hubungan secara signifi kan antara jenis kelamin dengan burnout syndrom secara umum maupun terhadap pada setiap dimensi dapat disebabkan k a r e n a d o m i n a s i j u m l a h m a h a s i s w a perempuan dibandingkan dengan jumlah mahasiswa laki-laki. Mahasiswa dengan jenis kelamin perempuan yang mendominasi tugas perawat diharapkan memiliki pertahanan diri yang lebih baik dalam menghadapi bunrout syndrom. Situasi tempat tinggal tidak memiliki hubungan yang signifi kan terhadap burnout syndrome secara umum maupun terhadap tiap dimensi dalam burnout syndrom (kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi diri). Tidak terdapatnya hubungan signifikan antara situasi tempat tinggal terhadap burnout syndrom dapat terjadi akibat seluruh responden adalah mahasiswa yang telah menjalani 4 tahun pendidikan akademik tinggal berpisah dengan orang tua sehingga telah mampu beradaptasi dan membangun kemampuan sosial dengan baik terhadap kondisi tersebut ketika menjalani setahun pendidikan profesi setelah masa pendidikan akademik. Jumlah individu sekamar memiliki hubungan signifi kan terhadap kejadian burnout syndrom : penurunan pencapaian prestasi diri, namun tidak memiliki hubungan signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum maupun terhadap burnout syndrom dimensi kelelahan emosional dan depersonalisasi. Lingk ungan yang terlalu dipenuhi oleh banyak individu ataupun terlalu sedikit dapat mempengaruhi pencapaian seorang mahasiswa dalam berprestasi. Hubungan positif yang terjadi menunjukkan bahwa semakin sedikit jumlah individu sekamar maka akan semakin terjadi peningkatan terhadap pencapaian prestasi diri seorang mahasiswa. Terdapat hubungan signifi kan antara jumlah individu s e k a m a r d e ng a n d i m e n si p e nu r u n a n pencapaian prestasi diri menunjukkan bahwa mahasiswa keperawatan akan memiliki kemampuan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang kondusif dengan jumlah individu ≤ 2 orang dalam sekamar untuk menurunkan risiko terjadinya penur unan pencapaian prestasi diri. Total waktu belajar/hari pada mahasiswa keperawat a n mem ili k i hubu nga n ya ng signifi kan terhadap burnout syndrome dimensi penurunan pencapaian prestasi diri, namun tidak memiliki hubungan signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum dan terhadap burnout syndrom dimensi kelelahan emosional dan penur unan pencapaian prestasi diri. Sebanyak 35 orang mahasiswa keperawatan (57,3%) tidak memiliki waktu belajar dan hanya meluangkan 1,33 jam waktu per hari untuk melaksanakan pembelajaran. Perilaku belajar seorang mahasiswa memberikan pengaruh positif dan signifi kan terhadap kondisi stress yang dialami selama masa pendidikan (Berli, 2012). Hasil analisis data menyebutkan bahwa hubungan yang terjadi adalah hubungan positif yakni semakin meningkat waktu belajar maka akan terjadi peningkatan pula terhadap pencapaian prestasi seorang mahasiswa. Terdapat hubungan signifikan antara total waktu belajar/hari terhadap penurunan pencapaian prestasi diri menunjukkan bahwa semakin banyak seorang mahasiswa melakukan perilaku belajar dengan baik maka akan menghindarkan dirinya dar ipada burnout syndrom: penu r u nan pencapaian prestasi diri sehingga perlu adanya motivasi dan dukungan agar mahasiswa meluangkan waktu belajar. 180 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 175–182 Total wak t u profesi /mingg u pada mahasiswa keperawatan tidak memiliki hubungan yang signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum maupun terhadap tiap dimensi burnout syndrom (kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan p e nc a p a ia n p r e s t a si d i r i). M ayor it a s mahasiswa reguler program profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga menyatakan bahwa menjalani kegiatan profesi selama 45–50 jam per minggu. Jadwal dan peraturan pendidikan profesi mahasiswa reguler di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga terhadap waktu untuk kegiatan di lingkungan klinik telah terjadwal sebanyak 9 jam dalam tiap kali shift tiap harinya, sehingga apabila diakumulasi dalam 5 hari aktif maka normal jam praktik yang harus dilalui oleh seorang mahasiswa keperawatan adalah sebanyak 45 jam tiap minggu. B e r d a s a r k a n b u k u K o m p e t e n s i Keperawatan Medikal Bedah dan Kritis FKp Universitas Airlangga terdapat sedikitnya 14 kompetensi keperawatan dan masing-masing terdapat 4 sub kompetensi klinik yang harus dilaksanakan saat melalui gerbong kritis selama 4 minggu hal ini yang menyebabkan besarnya angka mahasiswa yang mengalami kelelahan emosional tingkat berat pada gerbong tersebut. Selain itu terdapat 30 orang (49,2%) yang mengalami kelebihan waktu dalam menjalani pendidikan profesi terutama dalam menjalani praktik klinik diperkuat hingga 63 jam per minggu bahkan lebih. Padahal berlebihannya waktu untuk kegiatan profesi dapat menimbulkan kejenuhan dan menjadi stressor yang amat berpengaruh sehingga secara klinis akan menimbulkan risiko munculnya burnout syndrom (Baker, 2012). Tidak ada hubungan antara total waktu klinik/minggu terhadap setiap dimensi burnout syndrom pada mahasiswa keperawatan dapat disebabkan karena adanya faktor lain yang berperan seperti kepribadian dan penghargaan (Irawati, 2012) dan peneliti tidak melaksanakan penelitian pada kedua hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara klinis mahasiswa keperawatan akan berisiko mengalami burnout syndrom apabila melalui gerbong kritis dan mengalami kondisi berlebihan dalam waktu profesi/minggu sehingga mahasiswa harus lebih menggunakan manajemen waktu dengan lebih baik. B e b a n k e r j a p a d a m a h a s i s w a keperawat a n mem ili k i hubu nga n ya ng sig nif ikan terhadap ter jadinya burnout syndrom dimensi penur unan pencapaian prestasi diri, namun tidak memiliki hubungan signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum maupun terhadap dimensi kelelahan emosional dan depersonalisasi. Rata-rata 4 orang (6,1%) responden merasakan ujian, tugas dan asuhan keperawatan, kompetensi klinik, serta kesenjangan harapan antara teori dan praktik adalah beban kerja dengan level tinggi dan sebanyak rata-rata 41 orang (66,8%) menganggap sebagai beban kerja pada level sedang Beban kerja yang berlebihan menjadi salah satu faktor penyebab burnout syndom sesuai dengan penelitian Irawati (2012). Sebagai seorang mahasiswa sebai k nya mempersiapkan diri dalam menghadapi beban kerja yang dianggap berlebihan dengan melaksanakan manajemen waktu dengan baik, sehingga risiko terjadinya penurunan pencapaian prestasi diri dapat cegah dan mahasiswa dapat menciptakan bentuk adaptasi yang lebih baik dalam menghadapi beban kerja ketika menjalani pendidikan profesi. H u b u n g a n i n t e r p e r s o n a l p a d a mahasiswa keperawatan tidak memiliki hubungan secara signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum maupun terhadap setiap dimensi dalam burnout syndrom (kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi diri). Terdapat rata-rata 51 orang responden (83,6%) yang menyatakan memiliki kemampuan sedang dalam membangun hubungan interpersonal terhadap klien, pembimbing klinik (perawat dan pembimbing akademik) serta terhadap teman dalam satu kelompok. Sebanyak rata- rata 10 orang (16,8%) responden memiliki kemampu a n t i ngg i d a n t id a k terd apat responden (0%) yang menyatakan memiliki kemampuan rendah. Kemampuan yang baik dalam membina hubungan interpersonal dapat menjadi salah 181 Burnout Syndrom Mahasiswa Profesi Ners (Hilda Mazarina Devi, dkk.) satu intervensi yang efektif dan sebagai koping yang efektif dari burnout (Huey, 2007). Relational meaning pada mahasiswa keperawat a n mem ili k i hubu nga n ya ng signifi kan terhadap burnout syndrom secara u mu m, ser t a memili k i hubu ngan yang signifi kan terhadap burnout syndrom dimensi kelelahan emosional dan depersonalisasi. Sedangkan terhadap burnout syndrom dimensi penurunan pencapaian prestasi diri, relational meaning tidak memiliki hubungan signifi kan. Mayoritas mahasiswa reguler mengalami pemaknaan stres yang baik terhadap setiap kondisi dalam dunia pendidikan keperawatan. Terlebih pada domain pendidikan profesi sebanyak 45 orang menyatakan bahwa pendidikan profesi adalah tantangan bagi mereka. Relational meaning diartikan sebagai suatu pemaknaan terhadap stres, terdiri atas tiga komponen persepsi antara lain harm (bahaya), threat (ancaman) dan challange (tantangan) (Schwarzer, 2008). Pemaknaan terhadap stres yang negatif akan dapat menimbulkan respons dan koping yang negatif (Lazarus dalam Taylor, 1991). Seor a ng ma ha siswa ke per awat a n diharapkan memiliki pemak naan positif terhadap setiap tekanan dan stres yang dialami ketika menjalani pendidikan profesi, sehingga akan tercipta coping strategy yang tepat dan mengurangi risiko burnout syndrom ketika mahasiswa menjalani pendidikan profesi. Coping st rateg y pada mahasiswa keperawat a n mem ili k i hubu nga n ya ng sig n if i k a n terha d ap b u r n o ut s y n d rom dimensi kelelahan emosional terutama pada penggunaan emotion focused coping (EFC), namu n tidak memili k i hubu ngan yang signifi kan terhadap burnout syndrom secara umum, serta burnout syndrom pada dimensi depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi diri. Sebanyak 35 orang responden menggunakan EFC sebagai coping strategy. Pemilihan coping strategy pada seorang perawat tidak dipengaruhi oleh gender namun lebih kepada persepsi terhadap kemampuan dalam menyelesaikan masalah (Lestarianita, 2007). PFC menyebabkan seorang individu akan berfokus untuk menyelesaikan masalah, sed ang kan EFC menyebabkan seorang individu mengendalikan emosinya terlebih dahulu sebelum melaksanakan penyelesaian terhadap stressor yang datang. Hasil penelitian menunjukkan memiliki koping yang terpusat kepada emosi akan dapat menyebabkan seorang mahasiswa akan mudah mengalami burnout syndrom terutama pada kelelahan emosional, sehingga mahasiswa harus melakukan pemilihan coping strategy secara bijaksana. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Mahasiswa Reguler Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, maka dapat diambil kesimpulan bahwa burnout syndrom secara total memiliki hubungan signifi kan terhadap Relational Meaning. Jumlah individu sekamar dan total waktu belajar/hari menjadi stressor personal yang memiliki hubungan signifi kan terhad ap bu r nout syndrom: penu r u nan pencapaian prestasi diri. Beban kerja menjadi stressor lingkungan yang memiliki hubungan secara signifi kan terhadap terjadinya burnout syndrom: penur unan pencapaian prestasi diri. Relational meaning signifi kan terhadap ter jadi nya bur nout syndrom kelelaha n emosional dan depersonalisasi. Serta Coping strategy : emotion focused coping adalah salah satu strategi koping yang berhubungan sig nif ikan terhadap ter jadinya burnout syndrom dimensi kelelahan emosional. Saran Berdasarkan simpulan yang telah d iu r ai k a n d iat a s, sela njut nya pe nel it i mengemukakan beberapa saran bagi mahasiswa keperawatan yakni untuk mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi stressor pada dunia pendidikan profesi. Bagi Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga untuk menggunakan program PBP dan program prapendidikan klinik dan memperkuat peran pembimbing akademik sebagai role model dalam model pembelajaran preceptorship 182 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 175–182 pada program PBP yang dilaksanakan ketika pendidikan akademik. Serta bagi perawat untuk selalu dapat melakukan pemaknaan terhadap stres dengan baik dan positif serta penggunaan coping strategy dengan tepat untuk menghindari risiko terjadinya burnout syndrom sehingga tidak menurunkan kualitas layanan keperawatan. Bagi peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian kembali mengenai stressor personal: kepribadian, komitmen dan kepercayaan serta mengukur Relational meaning revisited terhadap burnout syndrom dengan teori adaptasi dari SC. Roy. KEPUSTAKAAN Baker, Mary L, 2012. Nursing Student Stress and Demographic Factors. Thesis Master, California State University, San Marcos Berli, 2012. Pengaruh Perilaku Belajar dan Kecerdasan Emosional Terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi. Skripsi : Universitas Tarumanegara Costa, AL Polak, C., 2009. Construction and Validation of an Instrument for the Assessement of Stress Among Nursing Students. Rev Esc Enferm USP vol. 43, hal. 17–26 Huey, S, 2007. Occupational Stress, Social Problem Solving and Burnout among Mental Health Professional in HIV/ AIDS Care. Thesis. Drexel University Hu rlock, Elizabeth, 1980. A Life Span Approach. 5th ed. McGraw-Hill, Inc. Irawati, E, 2012. Burnout Syndrom pada Mahasiswa Reguler Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Berdasarkan Analisis Faktor Perilaku dan Lingkungan. Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya Lazar us, RS Folkman, S., 1984. Stress, Appraisal and Coping. New york: Springer Lazarus, RS & Folkman S, 1988. Ways of Coping Questionnaire. Consulting Psychologist, Inc Lazar us & Taylor, 1991. Emotion and Adaptation. London: Oxford University Press Lestar ianita, P, Fak h r ur rozi, M., 2007. Pengatasan Stres pada Perawat Pria dan Wanita. Skripsi. Depok : Universitas Gunadarma Mangkunegara, A., 2002. Perilaku Konsumen. Bandung: Penerbit Refi ka Masclah, C Jackson, S Leiter, M., 2003. Maslach Burnout Inventory Manual. California: CPP. Nelwati, McKenna, L Plummer, V., 2013. Indonesian Student Nurses Perception of Stress in Clinical Learning: A phenomenological Study. Journal of Nursing Education and Practice, Vol. 3, No. 5, 56–65 Nursalam, 2011, Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional Edisi 3. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Putri, Rissa T., 2013. Hubungan antara Dukungan Sosial Orang Tua dengan Motivasi Menyelesaikan. Jakar ta: Universitas Bina Nusantara Schwarzer, R., 2008. Stress and Coping Resources. Theory and Review. 1–28 Wardhani, DK., 2006. Pengaruh Faktor Individu, Faktor Organisasi, dan Perbedaan Jenis Kelamin pada Perawat terhadap Burnout di Rumah Sakit Haji Surabaya. Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya Watson, R Deary, I Thompson, D LiG, 2008. Study of Stress and Burnout in Nursing Students in Hongkong: A questionnaire survey. International Journal of Nursing Studies Vol 45, 1534–1542