Vol 8 No 2 Oktober 2013.indd 226 PEMBERDAYAAN KELUARGA DALAM PENINGKATAN SELF EFFICACY DAN SELF CARE ACTIVITY KELUARGA DAN PENDERITA Tb PARU (Family Empowerment in Increasing Self-Effi cacy and Self-Care Activity of Family and Patients with Pulmonary Tb) Muhtar* *Prodi Keperawatan Bima, Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jl. Kesehatan V No. 10 Mataram 83121, Nusa Tenggara Barat Email: muhtarbima@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan: Manajemen diri dan tindak lanjut perawatan di rumah adalah kunci dari manajemen TB Paru yang komprehensif. Salah satu cara untuk meningkatkan self-effi cacy dan self care activity yaitu pemberdayaan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap peningkatan self-effi cacy dan self care activity penderita Tb Paru dan keluarga. Metode: Penelitian ini merupakan quasy eksperiment dengan non- randomized control group pre-posttest design. Populasi adalah keluarga yang tinggal dengan penderita Tb Paru, yang tercatat di Puskesmas Paruga dan Mpunda. Sampel diperoleh 32 orang, dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Data dikumpulkan dengan kuesioner. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan Wilcoxon Sign Rank Test, Mann- Whitney test, dan Spearman Rho dengan tingkat signifi kansi 5%. Hasil: Hasil uji Wilcoxon Signed Rank dan Mann- Whitney menunjukkan nilai p < 0,005. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan keluarga berpengaruh terhadap self effi cacy (p = 0,001) dan self care activity (p = 0,001) penderita Tb Paru; self effi cacy dan self care activity (p = 0,002), serta peran keluarga (p = 0,001). Sementara hasil uji Spearman Rho menunjukkan hubungan yang signifi kan antara self effi cacy dan self care activity. Diskusi: Pemberdayaan keluarga mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam perawatan penderita Tb Paru. Peran keluarga sangat penting dalam meningkatkan self effi cacy dan self care activity. Penelitian selanjutnya diharapkan mampu mengembangkan intervensi keperawatan lain yang dapat meningkatkan self effi cacy, self care, kepatuhan berobat, dan kualitas hidup penderita Tb Paru. Kata Kunci: pemberdayaan keluarga, self effi cacy, self care activity, Tb Paru ABSTRACT Introduction: Self-management and follow-up care at home is the key to a comprehensive pulmonar y Tb management. One way to increase patient’s self-effi cacy and self-care activity is family empowerment. This study was aimed to prove the infl uence of family empowermant in increasing self-effi cacy and self-care activity family and Pulmonary Tb patients. Method: This research used quasy experiment with non-randomized control group pre-posttest design. Population was family who lived with Pulmonary Tb patient, listed at Puskesmas Paruga and Mpunda. Samples were 32 respondents, divided into treatment and control group. Data were collected using questionnaire. Data were analyzed by using Wilcoxon Sign Rank Test, Mann-Whitney test, and Spearman Rho with level of signifi cance 5%. Result: The results of Wilcoxon Signed Rank Test and Mann-Whitney Test showed value of p < 0.05. It means family empowerment had infl uenced on patient’s self effi cacy (p = 0.001), self-care activity (p = 0.001), family’s self effi cacy and self care activity (p = 0.002), and family’s role (p = 0.001). While, Spearman’s rho analysis revealed p = 0.001, which means self-effi cacy has signifi cant relationship with self-care acitivity. Discussion: Family empowerment affects family knowledge and action in the treatment of pulmonary Tb patients. Family have an important role to improve patient’s self-effi cacy and self-care activity. Further research should develop nursing interventions, which useful for the improvement of self-effi cacy, self-care, medication adherence, and quality of life patients with pulmonary Tb. Keywords: family empowerment, self-effi cacy, self-care activity, pulmonary Tb PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit i n fek si ya ng d isebabk a n oleh ba k ter i mycobacterium tuberc ulosis. T B Pa r u sebagian besar diderita oleh laki-laki, pada kelompok usia produktif (WHO, 2011). TB Paru merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian tertinggi. TB Paru juga masih menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di dunia, setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan (WHO, 2011). Sebag ia n b e sa r k a su s T B Pa r u ditemukan di Asia dan Afrika. Indonesia saat ini menduduki ranking keempat negara dengan 227 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) resisten obat, pengendalian pada kelompok marginal dan rentan, peningkatan akses terhadap kualitas dan ketersediaan obat, me mp e rlu a s laya n a n p e r awat a n ya ng berkualitas, memberdayakan masyarakat dan keluarga melalui mobilisasi sosial, pendidikan kesehatan, dan cara-cara efektif u nt u k melakukan perawatan TB di komunitas, serta meningkatkan kemandirian penderita dalam aktivitas perawatan (WHO, 2006). Pe mb e r d aya a n kelu a r g a ( fa m il y empowerment) merupakan suatu proses atau upaya untuk menumbuhkan pengetahuan, kesadaran, dan kemauan keluarga dalam memel i ha r a d a n men i ng k at k a n st at u s kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Pemberdayaan keluarga sesuai diterapkan di Kota Bima, mengingat dari segi struktur sosial masyarakat yang sebagian besar masih t radisional, dengan pola hubungan dan interaksi sosial yang erat di antara sesama anggota keluarga (Andarmoyo, 2012). Pemberdayaan keluarga diharapkan dapat menumbuhkan pengetahuan, pemahaman, bah kan self eff icacy yang tinggi dari penderita dan keluarganya. Self- effi cacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus (Bandura, 1978), seperti tugas-tugas perawatan diri selama menjalani pengobatan TB Paru yang biasanya berlangsung sampai 6 bulan. Perawat memegang peranan penting dalam mengubah perilaku penderita dan keluarga, sehingga terjadi keseimbangan dan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri. Orem (1971) dalam Tomey & Alligood (2010), berpandangan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Perawat adalah agen yang mampu membantu klien dalam mengembalikan perannya sebagai self care agency. Perawat sebagai pendidik dan konselor dapat memberikan bantuan berbentuk supportive-educative system, yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan penderita dalam melakukan perawatan secara mandiri dan kepat u han pengobatan. Kepat u han penderita terhadap pengobatan TB sangat penting untuk pengendalian penularan yang beban TB tertinggi di dunia, setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Estimasi prevalensi kasus TB adalah sebesar 600,000 dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun, dengan jumlah kematian mencapai 65,000 orang per tahun (WHO, 2012). Laporan Ditjen PP & PL menunjukkan Case Detection Rate (CDR) TB Paru 2011 sebesar 82,2%, dengan jumlah kasus baru sebanyak 194.780 kasus, ser ta cak upan penderita yang dinyatakan sembuh 80,4% dan pengobatan lengkap 6,3%, dengan angka success rate (SR) sebesar 86,7% (Kemenkes RI, 2012). CDR TB Paru Kota Bima, NTB, pada 2011 masih jauh di bawah standar nasional. Pada 2011, CDR TB Paru sebesar 46,15%, dengan insidensi 190,1 per 100.000 penduduk dan prevalensi TB Par u sebesar 192 per 100.000 penduduk, serta angka kematian akibat TB Paru 9,8 per 100.000 penduduk. Tingkat kesembuhan dan pengobatan lengkap TB juga masih tergolong rendah, yaitu pengobatan lengkap TB sebesar 37,01%, kesembuhan sebesar 59,06% dari 127 penderita yang diobati, dengan angka SR sebesar 96,06% (Dinkes Kota Bima, 2011). Penyakit TB Paru memiliki dampak ya ng s a ng at b e s a r d a la m keh id u p a n penderitanya, baik fisik, mental, maupun kehidupan sosial. Secara fi sik, penyakit TB Paru yang tidak diobati secara benar akan menimbulkan komplikasi, seperti penyebaran infeksi ke organ lain, malnutrisi, batuk darah berat, resistensi obat, dan lain-lain (Smeltzer & Bare, 2001). Secara ekonomi, penyakit TB Paru mempengaruhi produktivitas penderita, di mana penderita kehilangan rata-rata waktu kerja 3–4 bulan per tahun, sehingga pendapatannya menurun sekitar 20 –30%. Selain it u, secara sosial penderita juga mendapatkan pengucilan akibat stigma negatif dari masyarakat (Depkes RI, 2007). Berbagai upaya pengendalian TB Paru telah dieksplorasi dan dipromosikan oleh WHO. Berbagai kegiatan komplementer dan inovatif yang memberdayakan sumber nasional atau internasional juga telah dilaksanakan. Misalnya, kolaborasi pengendalian TB Paru dan HIV, strategi pengelolaan penderita 228 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 efektif. Kepatuhan pengobatan merupakan masalah kompleks yang melibatkan sistem pelayanan kesehatan, proses perawatan, perilak u tenaga kesehatan dan k ualitas komunikasinya dengan penderita, sikap masyarakat, dan perilaku penderita itu sendiri (Jakubowiak et al., 2008). Perawatan lanjutan dan mandiri di r umah oleh keluarga penderita penyakit kronis merupakan kunci penatalaksanaan penya k it ya ng komprehensif ( Eg waga et al., 2009). Kemandirian dan kepatuhan pengobatan terjadi jika individu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan self effi cacy untuk melakukan perilaku pengelolaan TB dan perawatan diri di rumah. Hasil penelitian Lewis dan Newell (2009) menunjuk kan bahwa peni ngkat an komu ni kasi ant ara penyedia layanan kesehatan dan penderita, pemberdayaan individu, serta pengetahuan dan pemahaman penderita tentang program pengobatan, dapat meningkatkan kepercayaan diri (self eff icacy) penderita TB dalam perawatan dan pengobatan. Hasil penelitian Kholifah et al (2012) menyimpulkan bahwa penerapan Model Adaptif Conservation dapat meningkatkan pengetahuan penderita TB Paru dan keluarga, meningkatkan dukungan keluarga, kelompok dan masyarakat pada penderita TB Paru, dukungan perawat pada kepatuhan berobat penderita TB Paru, serta meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Salah satu upaya untuk meningkatkan self effi cacy dan kemampuan self care penderita TB Par u adalah melalui pemberdayaan keluarga ( family empowerment). Hal ini berdasarkan hasil penelitian Moattari et al (2012) yang menunjukkan bahwa kombinasi pemberdayaan individu dan sesi konseling kelompok men i ng k at k a n self- ef f ica c y, kualitas hidup, gejala klinis, serta kadar hemoglobin dan hematokrit pada penderita hemodialisis. Didukung pula oleh hasil penelitian Hulme (1999) yang membuktikan bahwa pemberdayaan merupakan intervensi keperawatan interaktif yang dirancang untuk membantu keluarga mengoptimalkan sumber daya keluarga, sehingga meningkatkan kemampuan anggota keluarga untuk merawat dan mempertahankan kehidupan keluarganya secara efektif. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap peningkatan self-effi cacy dan self care activity keluarga dan penderita TB Paru, di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. BAHAN DAN METODE Pe nel it ia n i n i me r upa k a n qua s y experiment dengan desain penelitian non randomized cont rol g roup pre-posttest design. Populasi adalah keluarga yang tinggal bersama penderita TB Paru, yang terdaftar dan sedang menjalani program pengobatan TB di Puskesmas Paruga dan Mpunda. Sampel diperoleh 32 orang, dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Peneliti memberikan perlakuan berupa pemberdayaan keluarga, dengan melakukan peny u lu ha n, bi mbi nga n / konseli ng d a n demonstrasi terkait konsep penyakit TB, cara perawatan, cara pencegahan penularan, serta pengobatan TB Paru yang melibatkan penderita dan keluarga, selama ± 1 jam setiap pertemuan, 6 kali pertemuan dalam 6 minggu, sesuai kesepakat an dengan responden. Instrumen pendukung lain dalam penelitian ini berupa SAK, booklet, lembar balik, dan bahan demonstrasi perawatan mandiri TB Paru. Peng u mpula n d at a mengg u na ka n kuesioner tentang self effi cacy dan self care activity keluarga, peranan keluarga dalam meningkatkan self eff icacy dan self care activity penderita, self effi cacy penderita, dan self care activity penderita TB Paru. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank, Mann-Whitney, serta korelasi Spearman Rho dengan tingkat kepercayaan 5%. HASIL Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa hasil uji Wilcoxon Signed Rank ada perbedaan self effi cacy dan self care activity keluarga pada penderita TB Paru sebelum dan setelah pemberdayaan, dengan p = 0,001. Sedangkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan 229 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) i nter vensi, tid a k menu nju k kan ad anya perbedaan, dengan nilai p = 0,245. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan nilai p = 0,002, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara hasil post test pada kelompok perlakuan dan kelompok control. Hal ini berarti, ada pengaruh pemberdayaan terhadap self effi cacy dan self care activity keluarga. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan peranan keluarga dalam membantu meningkatkan self-eff icacy dan self care activity penderita TB Paru setelah intervensi, dengan nilai p = 0,001. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan, dengan nilai p = 0,314. Hasil uji Mann-Whitney Test diperoleh nilai p = 0,001, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara hasil post test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pemberdayaan terhadap peranan keluarga dalam meningkatkan self-effi cacy dan self care activity penderita TB Paru. H a s i l p e n el i t i a n p a d a t a b el 3 menunjukkan self-effi cacy penderita TB Paru kelompok perlakuan sebelum pemberdayaan sebagian besar dalam kategori cukup, setelah pemberdayaan sebagian besar dalam kategori baik. Pada kelompok kontrol hasil pre dan post test menunjukkan sebagian besar dalam kategori cukup. Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok perlakuan menunjuk kan adanya perbedaan self-effi cacy penderita TB Paru sebelum dan sesudah intervensi, dengan nilai p = 0,001. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan, dengan nilai p = 0,586. Hasil uji Mann- Whitney Test menunjukkan nilai p = 0,001, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara hasil post test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hal ini berarti, ada pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap self effi cacy penderita TB Paru. H a si l p e n el it i a n p a d a Ta b el 4 menunjukkan self care activity penderita TB Paru, pada kelompok perlakuan sebelum pemberdayaan sebagian besar dalam kategori cukup, dan setelah pemberdayaan menjadi sebagian besar dalam kategori baik. Sementara pada kelompok kontrol hasil pre dan post test menunjukkan sebagian besar dalam kategori cukup. Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test, pada kelompok perlakuan menunjuk kan adanya perbedaan self care activity penderita TB Paru setelah intervensi pemberdayaan keluarga, dengan nilai p = 0,001, sedangkan pada kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai p = 0,293. Hasil uji Mann-Whitney Test menunjukkan nilai p = 0,001, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara hasil post test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hal ini berarti, ada pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap self care activity penderita TB Paru Hasil uji statistik dengan Spearman’s rho menu nju k kan ad a hubu ngan yang signifi kan antara self effi cacy dan self care activity, dengan p = 0.001. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,822 juga menunjukkan Tabel 1 Distribusi frekuensi self effi cacy dan self care activity keluarga dalam perawatan penderita TB Paru Self Effi cacy dan Self Care Activity Keluarga dalam Perawatan Penderita TB Paru Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Pre Test Post Test Pre Test Post Test f % f % f % f % Baik Cukup Kurang 3 5 8 18,8 31,2 50,0 9 7 0 56,2 43,8 0,0 3 4 9 18,8 25,0 56,2 4 5 7 25,0 31,2 43,8 Jumlah 16 100,0 16 100,0 16 100,0 16 100,0 Wilcoxon Signed Rank Test p = 0,001 p = 0,245 Mann-Whitney Test p = 0,002 230 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 Tabel 2. Distribusi frekwensi peranan keluarga dalam meningkatkan self effi cacy dan self care activity penderita TB Paru Peranan Keluarga Dalam Meningkatkan Self Effi cacy dan Self Care Activity Penderita TB Paru Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Pre Test Post Test Pre Test Post Test f % f % f % f % Baik Cukup Kurang 3 13 0 18,8 81,2 0,0 16 0 0 100,0 0,0 0,0 6 10 0 37,5 62,5 0,0 8 7 1 50,0 43,8 6,2 Jumlah 16 100,0 16 100,0 16 100,0 16 100,0 Wilcoxon Signed Rank Test p = 0,001 p = 0,314 Mann-Whitney Test p = 0,001 Tabel 3. Distribusi frekuensi self effi cacy penderita TB Paru Self Effi cacy Penderita TB Paru Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Pre Test Post Test Pre Test Post Test f % f % f % f % Baik Cukup Kurang 2 9 5 12,5 56,2 31,2 11 5 0 68,8 31,2 0,0 4 7 5 25,0 43,8 31,2 3 12 1 18,8 75,0 6,2 Jumlah 16 100,0 16 100,0 16 100,0 16 100,0 Wilcoxon Signed Rank Test p = 0,001 p = 0,586 Mann-Whitney Test p = 0,001 Tabel 4. Distribusi frekuensi self care activity penderita TB Paru Self Care Activity Penderita TB Paru Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Pre Test Post Test Pre Test Post Test f % f % f % f % Baik Cukup Kurang 2 8 6 12,5 50,0 37,5 11 5 0 68,8 31,2 0,0 4 8 4 25,0 50,0 25,0 3 11 2 18,8 68,8 12,5 Jumlah 16 100,0 16 100,0 16 100,0 16 100,0 Wilcoxon Signed Rank Test p = 0,001 p = 0,293 Mann-Whitney Test p = 0,001 adanya hubungan positif yang sangat kuat di antara keduanya. PEMBAHASAN Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukan adanya pengaruh kegiatan pemberdayaan terhadap peningkatan self effi cacy dan self care activit y keluarga, yang berdampak pada meningkatnya kemampuan keluarga untuk mendukung dan perpartisipasi dalam perawatan penderita TB Paru. Berdasarkan hasil observasi selama intervensi, perubahan self effi cacy dan self care activity keluarga tampak dari adanya peningkatan pengetahuan keluarga dalam hal pengertian, cara penularan, pencega ha n penula ra n, ser t a t i nd a ka n perawatan mandiri yang dapat dilakukan oleh keluarga. Tindakan mandiri tersebut, di antaranya membantu menyiapkan pot tempat 231 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) pembuangan dahak bagi penderita, membantu menjemur kasur, bantal, dan selimut penderita di bawah si na r mat aha r i, meny iapka n makanan yang bergizi, serta memberikan kompres hangat ketika penderita demam. Perubahan lainnya yang ditunjukkan oleh keluarga adalah adanya keterlibatan keluarga dalam pengobatan penderita yaitu dengan mengingatkan penderita untuk selalu menelan obat secara teratur. Temu a n i n i sesu ai denga n ha sil penelitian sebelumnya oleh Tribble et al (2008), bahwa proses dinamis dari pemberdayaan keluarga dalam bidang kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan dan inisiatif perawatan diri dengan mengandalkan kekuatan klien dan faktor pendu k u ng nya, u nt u k kemandirian yang lebih besar. Hasil penelitian Nygårdh et al (2011) mengatakan bahwa kemampuan dan kesadaran keluarga akan tanggung jawab terhadap perawatan anggota keluarga dengan penyakit kronis tergantung pada keterlibatan anggota keluarga dalam pemberdayaan. Temuan tersebut menekankan perlunya perspektif keluarga dan pentingnya lingkungan keluarga yang mendukung bagi penderita TB Paru. Sesuai pula dengan hasil pengamatan peneliti di mana karakteristik keluarga dan pola hubungan keluarga yang ada di Kota Bima yang menganut sistem keluarga besar (extended family) yang memunginkan terciptanya cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mengasuh, serta saling mendukung antar sesama anggota keluarga. Peningkatan self effi cacy dan self care activity keluarga dalam perawatan penderita TB Paru pada kelompok perlakuan tidak terlepas dari adanya pemberian pengetahuan tentang konsep penyakit, pengobatan, dan aktifi tas perawatan mandiri penderita penyakit TB Paru yang diberikan selama perlakuan dengan metode peny ulu han kesehat an, bimbingan, dan konseling, serta demonstrasi cara-cara perawatan mandiri penderita TB Paru di rumah. Hal ini sejalan dengan Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa perubahan pengetahuan pada dasarnya merupakan proses belajar, dan akan lebih efektif apabila stimulus yang diberikan sesuai dengan kebutuhan individu, dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, pemberdayaan keluarga dan penderita TB Paru dilakukan sebanyak 6 (enam) kali kunjungan r umah kepada kelompok perlakuan. Pemberdayaan keluarga ber t ujuan menumbuhkan pengetahuan, pemahaman, serta kesadaran kesehatan bagi keluarga ( Notoat modjo, 2007). Pengetahuan dan kesadaran tentang cara-cara memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari pemberdayaan kesehatan. Kemampuan ini diperoleh melalui proses belajar. Belajar itu sendiri merupakan proses yang dimulai dengan adanya alih pengetahuan dari sumber belajar kepada subjek belajar. Dalam hal ini kemampuan keluarga dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan anggotanya diperoleh melalui proses belajar dari petugas kesehatan yang memberikan informasi kesehatan kepada keluarga. Pengetahuan yang sudah dimiliki keluarga tentang penyakit TB Paru, cara penularan, pencegahan, perawatan, pengobatan dan kompli kasinya akan menimbul kan kemauan atau kehendak (self effi cacy) untuk melakukan tindakan kesehatan berupa perilaku hidup sehat (self care activity). M e n u r u t G r e e n (19 8 0) d a l a m Notoatmodjo (2007), untuk dapat mewujudkan perilaku hidup sehat ditunjang oleh faktor- faktor antara lain: (1) Faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku keluarga, antara lain pengetahuan dan sikap keluarga terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan keluarga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut keluarga dan masyarakat, tingkat pendidikan, ser ta tingkat sosial ekonomi keluarga; (2) Faktor pemungkin, adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan keluarga, antara lain ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk dapat berperilaku sehat keluarga memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya puskesmas, puskemas pembantu, rumah sakit, dokter praktek, klinik perawatan dan lain- lain; (3) Faktor penguat, adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya 232 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 perilaku keluarga, antara lain faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap, dan perilaku petugas kesehatan termasuk perawat, undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun daerah yang terkait dengan kesehatan. Dalam penelitian ini, faktor predisposisi yang dapat berpengaruh terhadap pengetahuan dan tindakan keluarga dalam perawatan pender ita TB Par u seper ti faktor usia, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan telah dikendalikan dari awal, di mana faktor- faktor tersebut pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sudah sebanding, sehingga faktor yang paling mungkin menyebabkan meningkatnya self effi cacy dan self care activity keluarga penderita TB Paru pada kelompok perlakuan adalah faktor pengetahuan dan sikap keluarga terhadap kesehatan yang berubah sebagai akibat dari perlakuan (pemberdayaan keluarga) yang diberikan. Faktor pemungkin untuk terbentuknya self efficacy dan self care activity keluarga pada penderita TB Paru dalam penelitian ini antara lain tempat tinggal responden yang tidak terlalu jauh dari puskesmas (jarak paling jauh tempat tinggal kelompok perlakuan dari puskesmas adalah ±2 km), adanya fasilitas kesehatan lain seperti pustu dan praktek dokter swasta yang tersebar hampir di seluruh kelurahan yang ada di wilayah Puskesmas Paruga sangat menunjang terbentuknya self effi cacy dan self care activity keluarga dalam perawatan penderita TB Paru. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah adanya kader-kader kesehatan yang tersebar di semua kelurahan yang ada menjadi faktor penguat bagi terbentuknya self effi cacy dan self care activity keluarga dalam perawatan penderita TB Paru. Ta b e l 2 m e n u n j u k k a n a d a n y a peningkatan yang bermakna pada kelompok perlakuan. Peranan keluarga dalam membantu meningkatkan self-eff icacy dan self care activity penderita TB Paru. Berdasarkan hasil observasi selama penelitian, perubahan pada peranan keluarga dapat dilihat dari adanya dukungan yang terus-menerus dari keluarga kepada penderita TB dalam hal mengawasi dan mengingatkan penderita untuk menelan obat secara teratur, mengingatkan penderita untuk menutup mulut ketika batuk, mengingatkan penderita untuk tidak meludah sembarangan, membantu membersihkan kamar dan tempat tidur penderita, membuka jendela dan ventilasi setiap pagi, ser ta membant u mengantar penderita ke puskesmas untuk kontrol rutin dan mengambil obat. Hasil tersebut menunjukkan adanya keterlibatan dan peran aktif keluarga dalam perawatan penderita TB Paru setelah mendapatkan pemberdayaan keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam konteks perawatan intensif, keterlibatan dalam proses perawatan merupakan aspek penting dari pemberdayaan anggota keluarga (Wahlin et al., 2009). Hasil penelitian lainnya menekankan pentingnya saling menghormati, kemitraan yang setara, dan partisipasi aktif dalam keperawatan sebagai bentuk pemberdayaan keluarga dan penderita (Nygårdh et al., 2011). Meningkatnya peran serta aktif keluarga dalam perawatan penderita TB Paru merupakan hasil dari meningkatnya pengetahuan keluarga tentang konsep penyakit, pengobatan, cara perawatan, serta aktifi tas perawatan mandiri di rumah yang dapat dilakukan oleh penderita dan keluarga. Keluarga merupakan support system utama bagi penderita TB Paru. Dengan meningkatnya pengetahuan dan tindakan keluarga akan meningkatkan pula peranan keluarga dalam memberikan dukungan kepada penderita. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kholifah et al. (2012) yang menyimpulkan bahwa penerapan model adaptif conservation dapat meningkatkan pengetahuan penderita TB Paru dan keluarga; meningkatkan dukungan keluarga, kelompok, dan masyarakat pada penderita TB Paru; dukungan perawat pada kepatuhan berobat penderita TB Paru; serta meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB Paru. P e m b e r i a n p e r l a k u a n b e r u p a pemberdayaan keluarga dengan metode pendidikan kesehatan, bimbingan dan konseling serta demonstrasi cara-cara perawatan penderita TB Paru dapat meningkatkan peranan keluarga dalam membantu meningkatkan self-effi cacy dan self care activity penderita TB Paru. Hal ini sesuai dengan pendapat Friedman (1998), bahwa keluarga berfungsi sebagai kolektor dan 233 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) desiminator (penyebar) informasi yang dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Levine (1973) menyatakan bahwa interaksi individu dengan lingkunganya merupakan sebuah sistim terbuka dan memberikan kemudahan jaminan integritas di semua dimensi kehidupan. Peningkatan interaksi keluarga yang dilakukan merupakan dukungan sosial dari keluarga yang dapat mengembangkan koping yang positif pada penderita TB Paru. Berbagai upaya yang telah dilakukan selama proses pemberdayan yang bertujuan meningkatkan peran serta keluarga dalam p e r awat a n p e nde r it a T B a nt a r a lai n , menga nju rk a n ke pa d a kelu a rga u nt u k menyediakan tempat dahak dari wadah tersendiri yang berisi larutan desinfektan, memodifi kasi lingkungan yang sehat yang menunjang perawatan penderita TB Paru dari segi kebersihan, kecukupan ventilasi dan paparan sinar matahari, serta penataan perabot. Pengamatan peneliti pada waktu kunjungan awal ke rumah penderita TB Paru didapatkan d at a kelu a rga k u r a ng mempe rhat i k a n kebutuhan sehari-hari penderita TB Paru, misalnya belum tersedianya tempat dahak, pemenuhan kebutuhan makan dan minum yang bergizi dan lingkungan rumah yang belum memadai. Keluarga menyamakan kebutuhan penderita TB Paru dengan kebutuhan anggota keluarga lainya. Data dari hampir seluruh responden semuanya tidak mempunyai tempat pembuangan dahak tersendiri, penderita TB Paru lebih banyak meludah di got atau halaman rumah. Upaya lainya yang dilakukan selama pemberdayaan keluarga adalah meningkatkan interaksi keluarga dengan mengumpulkan anggota keluarga yang tinggal serumah dan memberikan infor masi tentang penyakit penderita (TB Paru), menjelaskan perlunya dukungan seluruh anggota keluarga terhadap kesembuhan penderita dan bagaimana cara memberikan dukungan sesuai kapasitas yang dimiliki keluarga. Dengan demikian setiap anggota keluarga akan berkontribusi memberikan dukungan meskipun hanya dengan per tanyaan sederhana, misalnya menanyakan kondisi penderita hari ini, apakah obat nya sudah diminum, kapan kontrol lagi dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kholifah et al. (2012) bahwa interaksi keluarga melalui komunikasi yang dilakukan keluarga dapat memberikan dukungan secara emosional pada penderita TB Paru yaitu meliputi perhatian, adanya kepercayaan, mendengarkan, dan didengarkan. Dukungan emosional dari keluarga dapat meningkatkan self effi cacy penderita TB Paru, Glanz et al. (2008) mengatakan bahwa atribut yang berada dalam self eff icacy meliputi kognitif dan afektif, ser ta pengendaian diri. Dukungan emosional yang diberikan menyebabkan penderita memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan berbagai keterbatasan yang ada setelah menderita penyakit TB Paru. Komponen penting dalam pemberdayaan adalah advocacy (perlindungan). Memberikan perlindungan dapat diartikan keluarga dapat melaksanakan tugas kesehatan keluarga salah satunya merawat anggota keluarga yang sakit (Friedman, 1998), sehingga penderita mendapatkan dukungan dalam menjalani pengobatan sampai dinyatakan sembuh. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan emosional, misalnya rasa empati, kepedulian dan perhatian, atau berupa materi seperti menyiapkan sumber-sumber nutrisi yang memadai bagi penderita TB, menyiapkan uang bagi penderita TB untuk biaya transportasi ketika berobat ke puskesmas, atau menolong dengan mengambilkan obat ke puskesmas pada waktu yang diperlukan. Hasil penelitian menunjukkan self- ef f icac y pender it a T B Pa r u kelompok perlakuan setelah pemberdayaan mengalami peningkatan (tabel 3), yang berar ti ada pengaruh pemberdayaan keluarga terhadap self eff icacy penderita TB Par u di Kota Bima, NTB. Self effi cacy yang dimiliki oleh penderita TB Paru sebelum perlakuan antara lain masih ada penderita yang menyakini bahwa penyakitnya adalah penyakit keturunan dan tidak bisa disembu h kan, ada juga penderita yang menyakini bahwa penyakit TB terjangkit sebagai akibat dari sihir. Sebagian besar penderita TB merasa malu dan takut 234 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 dikucilkan oleh masyarakat karena menderita TB Paru. Setelah diberikan pemberdayaan keluarga, self effi cacy penderita TB mengalami perubahan antara lain dalam hal keyakinan penderita akan kesembuhan penyakitnya, perubahan keyakinan akan penyebab dan cara penularan TB Par u, serta semangat penderita untuk menjalani pengobatan sampai tuntas. Perubahan lainnya dari self effi cacy penderita antara lain penderita sudah tidak merasa malu lagi terhadap penyakit yang diderita, bahkan ada beberapa penderita yang berkeinginan menjadi kader kesehatan untuk mempromosikan penyakit TB setelah sembuh dari penyakitnya. Hasil penelitian lainnya yang terkait langsung dengan intervensi yang sama dengan penelitian ini belum peneliti temukan, namun beberapa intervensi yang pada prinsipnya mampu meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan seperti intervensi peer group support, discharge planning pada penderita rawat inap dapat meningkatkan self effi cacy. Penelitian Bond et al. (2010), menunjukkan bahwa intervensi peer support, telephone peer dapat menurunkan depresi, meningkatkan aspek psikososial meliputi kualitas hidup dan self effi cacy. Penelitian lainnya mengatakan bahwa intervensi pemberdayaan penderita melalui discharge planning akan menghasilkan peningkatan secara signifi kan terhadap self eff icacy, kemampuan pengelolaan stres, penyediaan duk ungan, dan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan penyakit (Funnell et al., 2009). Terbentuknya self effi cacy yang tinggi pada kelompok perlakukan tidak terlepas dari pemberdayaan yang diberikan, penggunaan metode bimbingan dan konseling selama pemberdayaan ber peran penting dalam meningkatnya self effi cacy penderita TB Paru. Selama kegiatan konseling memungkinkan penderita untuk mengekspresikan perasaan terkait penyakitnya, keberhasilan yang pernah dicapai maupun hambatan-hambatan yang dialami selama menjalani program pengobatan TB semuanya terungkap selama kegiatan konseling. Sesuai dengan teori conservation dari Levine (1989) di dalam Tomey & Alligood (2010) bahwa pemberian konseling dapat meningkatkan integritas individu, melalui usaha u nt u k mend apat kan penga k uan, kehormatan, martabat, harga diri, reputasi, kepercayaan dan emosional yang stabil dalam melakukan tindakan yang diajarkan sesuai dengan norma dan etika. Faktor lain nya yang ber pengar u h terhadap peningkatan self efficacy dalam penelitian ini adalah keterlibatan kader kesehat a n ya ng d i rek r ut oleh pet ugas puskesmas dari beberapa penderita TB yang telah berhasil sembuh. Para kader tersebut dengan bahasa yang sederhana menceritakan bagaimana pengalaman mereka selama me nja d i pe nde r it a T B, mela k sa na k a n pengobatan TB secara teratur sampai habis masa pengobatan dan bagaimana pahitnya menderita penyakit TB. Keterlibatan para kader yang sebelumnya pernah menderita TB sengaja peneliti libatkan pada pertemuan ke-4 dan ke-5 dalam kegiatan pemberdayaan (kunjungan rumah). Sesuai dengan pendapat Bandura (1978), bahwa self effi cacy seseorang dipengar uhi oleh beberapa faktor salah satunya vicarious experience, yaitu seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti apa yang diperoleh orang lain. Self eff icacy akan meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain. Sebaliknya self effi cacy akan menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self effi cacy adalah berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri. Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, maka semakin besar potensi self efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini. Bentuk lain dari upaya meningkatkan self efficacy adalah melalui verbal persuasion (Bandu ra, 1978). Persuasi verbal yang diberikan selama kegiatan pemberdayaan juga berpengaruh terhadap meningkatnyan self effi cacy penderita, berbagai arahan yang telah diberikan diikuti oleh penderita dan keluarganya. Besarnya pengaruh yang dapat diberikan oleh pemberi persuasi dipengaruhi adanya rasa percaya kepada pemberi persuasi, 235 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) serta kriteria kerealistisan tentang apa yang dipersuasikan. Berdasarkan pengamat an peneliti selama penelitian, salah satu faktor yang mempengaruhi self effi cacy penderita TB Paru adalah persepsi individu terhadap penyakit dan tingkat keparahan yang dialami. Hal ini sesuai denga hasil penelitian yang dilakukan oleh Walker (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi dan self effi cacy penderita, yaitu jika persepsi baik maka self effi cacy meningkat. Menurut Edberg (2010) salah satu cara untuk membuat persepsi yang baik adalah melalui pendidikan kesehatan, karena pendidikan kesehatan akan memberikan penderita pengetahuan yang benar terhadap penyakitnya, sehingga akan memberikan persepsi yang benar mengenai kemu ng k i na n t i ng kat kesulit a n d ala m pengelolaan penyakit (magnitude), luasnya permasalah yang dihadapi (generality), dan memberikan penderita pemahaman tentang kekuatan (strength) yang dimilikinya untuk menghadapi permasalah dalam pengelolaan penya k it nya ya ng pa d a a k i r nya a k a n membangun self effi cacy penderita. Uraian di atas diperkuat oleh Bandura (1978) ya ng me nyat a k a n b a hwa se lf effi cacy seseorang dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi empat faktor, yaitu performance accomplishment, vicarious experience, verbal persuasion dan emotional arousal. Pemberian pemberdayaan keluarga melalui metode pendidi ka n kesehat an, bimbingan dan konseling serta demonstrasi cara-cara perawatan penderita TB Par u, akan memfasilitasi empat faktor tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hulme (1999) yang mengatakan bahwa dalam proses family empowerment dilak u kan dengan cara memberikan dukungan informasi yang diperlukan oleh penderitauntuk membuat keput usan yang tepat dalam perawatan dirinya, membina kerja sama atau kolaborasi antara penderita dan petugas kesehatan, dan membantu penderita memecahkan masalah yang dihadapinya. Proses pemberdayaan keluarga melalui metode bimbingan dan konseling akan mengajak penderita berbagi pengalaman terkait penyakitnya, pemberian informasi yang tepat dan langkah-langkah yang seharusnya dilak u kan oleh pender ita dalam upaya pengobatan dan pencegahan penularan TB Paru. Selain itu selama proses pemberdayaan, p e n d e r i t a d i b e r i k e s e m p a t a n u n t u k mendapatkan pengalaman dari orang lain dalam hal ini kader kesehatan yang merupakan ma nt a n pender it a T B, ser t a ber t u k a r pengalaman dengan petugas kesehatan dalam hal ini perawat (petugas TB Paru di puskesmas) dan peneliti. Kesempatan untuk pengungkapan perasaan dan berbagi pengalaman akan menumbuhkan keyakinan dalam diri penderita (self effi cacy) bahwa dirinya mampu untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan penyakitnya. Hasil penelitian (table 4) menunjukanself care activity penderita TB Paru kelompok perlakuan setelah pemberdayaan mengalami peningkatan, yang berarti ada pengar uh pemberdayaan keluarga terhadap self care activity penderita TB Paru di Kota Bima, NTB. Sebelum dilakukan pemberdayaan peneliti menemukan perilaku perawatan diri penderita TB masih kurang, antara lain kebiasaan penderita yang meludah sembarangan seperti di halaman rumah atau got, tidak adanya wadah khusus penampungan dahak yang dapat membunuh kuman (ada sebagian penderita yang menampung dahak di dalam kaleng bekas yang diisi pasir), penataan kamar tidur, kasur, bantal dan perabot yang tidak sehat, serta pencahayaan ruangan yang tidak memadai. Setelah dilakukan pemberdayaan terjadi perubahan dalam self care activity penderita antara lain penderita membuang dahak dalam pot khusus yang berisi cairan anti kuman; penataan perabot dan kebersihan kamar; kasur, bantal, dan selimut penderita dijemur di bawah sinar matahari secara rutin setiap minggu. Dalam hal keterampilan perawatan khusus penderita mampu mempraktikkan teknik napas dalam dan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan keluarga yang diberikan melalui pendidikan kesehatan, bimbingan dan konseling serta demonstrasi cara-cara 236 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 perawatan mandiri penderita TB Paru dapat meningkatkan self care activity penderita TB Paru. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang mengatakan bahwa penerapan model Information–Motivation–Behavioral Skills (I M B) pad a pender it a d iabetes, d apat meningkatkan komunikasi yang efektif antara petugas-penderita, meningkatkan dukungan sosial, dan meningkatkan self-effi cacy dan keterampilan dalam melakukan perawatan diri penderita diabetes, dan perilaku ini secara langsung terkait dengan kontrol lipid (Gao et al., 2013). Hasil penelitian lainnya mengatakan ba hwa pen i ng kat a n a k ses ke fasilit as perawatan, pendidikan penderita, keterlibatan keluarga dalam perawatan dan penguatan keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam penanggulangan TB berdampak positif pada keterlambatan pengobatan dan perilak u pencarian perawatan (healthcare-seeking behavior) penderita TB (Ukwaja et al., 2013). Menurut Orem (1971) dalam Tomey & Alligood, (2010), self care adalah penampilan dari aktivitas individu dalam melakukan perawatan diri sendiri untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan. Self care yang dilakukan secara efektif dan menyeluruh dapat membantu menjaga integritas struktur dan fungsi tubuh serta berkontribusi dalam perkembangan individu. Seorang individu dalam melakukan aktivitas perawatan diri (self care activit y) har us mempunyai kemampuan dalam perawatan diri yang disebut sebagai self care agency. Individu yang terlibat aktif dalam self care memiliki tuntutan kemampuan bertindak, yaitu kekuatan untuk bertindak secara mandiri untuk mengendalikan faktor yang memengaruhi fungsi diri dan perkembangan mereka (Orem, 1991). Tindakan ini memerlukan pengetahuan, pengambilan keputusan dan tindakan untuk berubah. Tujuan dari pemberdayaan keluarga adalah kemandirian keluarga dan penderita dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri (self care), baik self care secara fi sik, self care psikologis, self care sosial dan self care spiritual. Kemandirian tersebut dapat dicapai kalau penderita memiliki kemampuan dalam perawatan diri (self care agency). Pemberdayaan keluarga dengan penderita TB Paru seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian pada kelompok perlakuan memberikan dampak yang sangat besar dalam meningkatkan pengetahuan penderita tentang konsep penyakit TB Paru, pengobatan penyakit TB Paru serta cara perawatan mandiri penderita penyakit TB Paru, yang semuanya berujung pada meningkatnya kemandirian penderita TB Paru. Peningkatan kemampuan perawatan diri (self care activity) pada kelompok perlakuan tidak terlepas dari proses belajar penderita dan keluarganya selama dilakukan pemberdayaan. Kombinasi metode pelaksanaan pemberdayaan antara pendidikan kesehatan, bimbingan, dan konseling, serta demonstrasi berperan penting dalam meningkatnya kemampuan perawatan diri penderita TB Paru. Selama kegiatan pemberdayaan responden selalu berperan aktif terutama ketika dilakukan demonstrasi, dengan sangat antusias penderita dan keluarga selalu memperhatikan setiap tindakan yang didemonstrasikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhardiningsih (2012), yang mengatakan bahwa u nt u k bertindak dalam perawatan diri dibutuhkan keterampilan, keyakinan akan keberhasilan diri (self efficacy), semangat dan motivasi yang tinggi untuk selalu berusaha mencapai tujuan yang diinginkan. Peran perawat adalah memberikan keterampilan kepada penderita TB Paru, menguatkan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan kognitif baik dengan membangkitkan motivasi penderita maupun menstimulasi self effi cacy penderita bahwa mereka memiliki kemampuan dan sumber daya, karena pada dasarnya self care merupakan perilaku yang dapat dipelajari, dan setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Penyakit TB Paru adalah stressor bagi individu, maka individu yang tadinya normal atau sehat kemudian diganggu oleh penyakit yang dideritanya, maka individu akan ter motivasi unt uk mengembalikan keseimbangan kepada kondisi normal melalui upaya perawatan mandiri dan teratur selama menjalani program pengobatan TB Paru. Hasil uji menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara self-effi cacy dan self 237 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) care acitivity dengan hubungan yang kuat dan positif pada penderita TB Paru di Kota Bima, NTB. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rondhianto (2011), yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara self effi cacy dan self care behavior pada penderita DM tipe 2, di mana peningkatan self effi cacy akan berpengaruh pada peningkatan self care behavior. Hasil penelitian lainya mengatakan bahwa ada hubungan antara keyakinan (self- effi cacy) perawatan kaki dengan perilaku kaki perawatan yang sebenarnyapada penderita neuropati perifer (Perrin et al., 2009). Self efficacy secara sederhana dapat diartikan sebagai keyakinan akan keberhasilan diri. Secara harafiah menurut Glanz et al. (2008), self memiliki makna diri atau identitas individu, sedangkan effi cacy adalah kekuatan untuk menghasilkan efek. Sinonim dari effi cacy meliputi efektifi tas, kesadaran, dan produktifi tas. Kombinasi dari makna tersebut menunjukan kesadaran akan kemampuan seseorang menjadi efektif dan mengendalikan tindakan. Atribut yang berada di dalam self efficacy meliputi kognitif dan afektif, serta pengendalian diri. Keyakinan tentang kemampuan seseorang untuk melakukan perilaku yang diperlukan untuk menggunakan kendali (self eff icacy) memainkan peran sentral dalam terbentuknya berbagai perilaku kesehatan dalam hal ini aktifi tas perawatan mandiri (self care activit y) pengelolaan penyakit TB Paru. Bandura (1978) menyatakan bahwa peran self effi cacy dalam fungsi tubuh manusia sangatlah besar yaitu mempertahankan dan meningkatkan tingkat motivasi seseorang, keadaan afektif dan tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Dengan alasan ini, bagaimana seseorang berperilaku dapat diprediksi melalui keyakinan yang dipegang, pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh individu. Hal ini berhubungan dengan keyainan diri, kepercayaan diri bahwa mereka bisa mencapai tujuan yang mereka inginkan. Me nu r ut Ba ndu r a (1978), su at u perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila adanya perubahan self effi cacy pada individu yang bersangkutan. Self efficacy akan mempengaruhi empat proses dalam diri manusia, yaitu proses kognitif, motivasional, afektif dan seleksi. Dari segi proses kognitif, self effi cacy akan mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Sebagian besar individu akan berpikir dahulu sebelum melakukan suatu tindakan. Seseorang dengan self effi cacy yang tinggi akan cender ung ber perilaku sesuai dengan yang diharapkan dan memiliki komitmen untuk mempertahankan perilakiu tersebut. Self effi cacy yang tinggi mendorong pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin memperkuat self effi cacy seseorang. Proses motivasional akan memotivasi diri sendiri dalam melakukan perilaku yang didasari oleh aktifi tas kognitif. Berdasarkan teori motivasi, seseorang dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. D i s a m pi n g it u , ke m a m p u a n u n t u k memengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi dan pengaturan diri. Self effi cacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengar uhi diri sendiri untuk membentuk sebuah motivasi. Self efficacy juga mempengaruhi tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi menurun. Dari segi proses afektif, self effi cacy juga berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self effi cacy mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang dengan self effi cacy yang rendah cenderung memperbesar risiko yang dapat mendorong munculnya depresi. Berdasarkan ketiga proses pengembangan self efficacy berupa proses kognitif, motivasional dan afektif memungkinkan seseorang untuk membentuk sebuah lingkungan yang membantu dan bagaimana mempertahankannya. Dengan memilih lingk u ngan yang sesuai akan membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan. 238 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 229–239 Bandu ra (1989) juga menyat akan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pikiran, dan tujuan individu dipengaruhi oleh kemampuan pencapaian diri. Individu dengan self effi cacy yang tinggi cenderung untuk menentukan tujuan yang lebih tinggi, komitmen terhadap tantangan yang lebih sulit dan berusaha keras mencapai tujuan yang diinginkan. Self effi cacy tidak berhubungan dengan keterampilan khusus yang dimiliki seseorang, tetapi lebih kepada penilaian dari apa yang bisa individu lakukan dengan keterampilan khusus tersebut. Konsep self effi cacy memiliki implikasi terhadap praktik keperawatan. Kunci untuk meningkatkan self effi cacy adalah membantu penderita dalam hal ini penderita TB Par u untuk belajar memodif ikasi perilaku yang maladaptif melalui pengubahan penguatan pengetahuan dan keterampilan untuk berperilaku sehat (Ziegler, 2005). Perilaku pada umumnya dipelajari melalui pembelajaran observasional dan diajarkan melalui pemodelan, sebagai contoh penderita TB Paru yang diajarkan t e nt a ng t ek n i k bat u k efek t i f melalu i demonstrasi untuk menunjukkan tindakan nyata dari keterampilan tersebut. Modifi kasi perilaku melibatkan perubahan kepercayaan penderita terhadap kekuatan dari self effi cacy, dan intervensi dilakukan sebagai cara untuk memfasilitasi perubahan perilaku (Bandura, 1978). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan P e m b e r d a y a a n k e l u a r g a d a p a t meningkatkan self eff icacy dan self care activit y keluarga dan penderita Tb par u dalam perawatan penderita TB paru selama di rumah. Semakin tinggi self effi cacy seseorang berdampak pada peningkatan self care activity orang tersebut. Saran Me r e ko m e n d a si k a n p el a k s a n a a n pemberd aya a n kelu a rga d ala m bid a ng kesehatan dalam rangka pelaksanaan program pemberantasan penyakit menular, khususnya TB Paru melalui kegiatan penyuluhan rutin denga n mengg u na k a n berbagai med ia pembelajaran seperti leafl et, booklet, poster, dan spanduk. Penelitian lanjutan juga perlu dilak ukan dalam upaya mengeksplorasi dan mengembangkan berbagai intervensi ke p e r awat a n ya ng b e r m a n fa at d a la m meningkatkan self effi cacy, kemandirian dalam self care, kepatuhan berobat, serta kualitas hidup penderita TB Paru. KEPUSTAKAAN Andarmoyo, S., 2012. Keperawatan Keluarga; Konsep Teori, Proses dan Praktik Kepera watan. Yog yakar t a: G raha Ilmu. Bandura, A., 1978. Self-Effi cacy : Toward A Unifi ying Theory of Behavioral Change. Psychological Review, 84, pp. 191–215. Bond, G.E., Burr, R.L., Wolf, F.M. & Feldt, K., 2010. The Effects of a Web-Based Intervention on Psychosocial Well- Being Among Adults Aged 60 and Older With Diabetes : A Randomized Trial. The Diabetes educator, 36, pp. 446–456. De pkes R I, 20 07. Ped oma n Na sion al Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2 Cetakan I. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI, 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Edberg, M., 2010. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat : Teori Sosial dan Perilaku. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Egwaga, S. et al., 2009. Patient-centred tuberculosis treatment delivery under programmatic conditions in Tanzania: a cohort study. BMC Medicine, 7, p. 80. Friedman, M.M., 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik; Alih Bahasa, Ina Debora R.L., Yoakim Asy. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Funnell, M.M. et al., 2009. National Standards fo r D i a b e t e s S e l f- M a n a g e m e n t Education. Diabetes Care, 32. Gao, J., Wang, J., Zhu, Y. & Yu, J., 2013. Va l i d a t io n of a n i n fo r m a t io n – motivation– behavioral skills model of self-care among Chinese adults with 239 Pemberdayaan Keluarga dalam Peningkatan Self Effi cacy dan Self Care Activity (Muhtar) type 2 diabetes. BMC Public Health, 13, p. 100. Glanz, K., Rimer, B.K. & Viswanath, K., 2008. Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. 4th ed. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint. Hulme, P.A., 1999. Family Empowerment : A Nursing Intervention with Suggested Outcomes for Families of Children With a Chronic Health Condition. Journal Of Family Nursing, 5, pp. 33–50. Jakubowiak, W.M. et al., 2008. Impact of socio-psychological factors on treatment adherence of TB patients in Russia. Tuberculosis, 88, pp. 495–502. Kemenkes RI, 2012. Profi l Data Kesehatan In d o n e si a Ta h u n 2011. Ja k a r t a: Kementer ian Kesehat an Republi k Indonesia. Kholifah, S.N., Minarti & Yumni, H., 2012. Model Adaptif Conservation (ACM) d a la m Me n i ng k at k a n D u k u nga n Keluarga dan Kepatuhan Berobat pada Penderita TB Paru di Wilayah Kota Surabaya. Jurnal Ners, 7, pp. 59–66. Levine, M., 1973. Introduction to Clinical Nursing. Philadelphia, PA: F.A. Davis Company. Lewis, C.P. & Newell, J.N., 2009. Improving t uberculosis ca re i n low i ncome countries – a qualitative st udy of patients’ understanding of patient support” in Nepal. BMC Public Health, 9, p. 190. Moattari, M., Ebrahimi, M., Sharifi, N. & Rou zbeh, J., 2012. The effect of empowerment on the self-eff icacy, qu alit y of life a nd cli n ical a nd laboratory indicators of patients treated with hemodialysis: a randomized controlled trial. Health and Quality of Life Outcomes, 10: 115, pp. 1–10. Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nygårdh, A., Wikby, K., Malm, D. & Ahlstrom, G., 2011. Empowerment in outpatient care for patients with chronic kidney disease - from the family member’s perspective. BMC Nursing, 10, p. 21. Perrin, B.M., Swerissen, H. & Payne, C., 2009. The association between foot-care self efficacy beliefs and actual foot-care behaviour in people with peripheral neuropathy: a cross-sectional study. Journal of Foot and Ankle Research, 2. Rondhianto, 2011. Tesis : Pengaruh Diabetes Self Management Education dalam Discharge Planning Terhadap Self Ef f icacy dan Self Care Behavior Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Surabaya. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth: Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suhardiningsih, A.V.S., 2012. Ringkasan Disertasi: Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri pada Penderita Stroke Iskemik Pasca Mendapatkan Asuhan Keperawatan Self-Care Regulation Model. Surabaya. Tomey, A.M. & Alligood, M.R., 2010. Nursing Theorists and Their Work, Seventh Edition. MOSBY Elsevier. Tribble, D.S.C. et al., 2008. Empowerment interventions, knowledge translation and exchange: perspectives of home care professionals, clients and caregivers. BMC Health Services Research, 8, p. 177. Ukwaja, K.N. et al., 2013. Healthcare-seeking behavior, treatment delays and its determinants among Pulmonary TB patients in rural Nigeria: a crosssectional study. BMC Health Services Research, 13, p. 25. Wahlin, I., Ek, A.C. & Idvall, E., 2009. Empowerment from the perspective of next of kin in intensive care. J Clin Nurs, 18, pp. 2580–2587. Walker, 2007. Imporetance of Illness Belief and Self Effi cacy for Parient With Coronary Heart Disease. Joernal of Advanced Nursing, 48, pp. 216–25. WHO, 2006. The Stop TB Strategy : Building on and enhancing DOTS to meet the TB- related Millennium Development Goals. Genewa: World Health Organization. WHO, 2011. Global tuberculosis control: WHO report 2011. Geneva, Switzerland: WHO Press. WHO, 2012. Global tuberculosis report 2012. Geneva, Switzerland: WHO Press. Ziegler, S.M., 2005. Theory - Directed Nursing Practice. 2nd ed. New York: Springer.