Vol 8 No 2 Oktober 2013.indd 240 PENGALAMAN ODHA MENDAPATKAN DUKUNGAN SOSIAL DALAM MENJALANI KEHIDUPAN SEHARI-HARI DI MALANG RAYA (The Experience of PLWHA Who Get Social Support Undergoing in Daily Life in Malang) Setyoadi* *Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 E-mail: setyoadi@ub.ac.id ABSTRAK Pendahuluan: HIV/AIDS adalah penyakit kronis yang menyebabkan berbagai permasalahan rumit sehingga membutuhkan dukungan sosial. Kelompok dukungan (kelompok swadaya) dapat membantu mengidentifi kasi dan menggunakan sumber daya koping yang lebih adaptif. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dari pengalaman orang yang hidup dengan HIV dan dukungan sosial. Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi deskriptif dengan wawancara mendalam dengan delapan peserta yang didiagnosis HIV/AIDS yang tinggal di Malang Raya. Data dianalisis dengan analisis tematik oleh transkrip wawancara dan memperoleh 11 tema. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tiga tema faktor risiko infeksi HIV, yaitu: risiko sosial ekonomi, risiko perilaku, penyesuaian pertumbuhan dan perkembangan, tema yang berkaitan dengan respons diagnosis HIV/AIDS yaitu respons psikososial, dua tema makna spiritual dalam hidup adalah perubahan dan merancang masa depan, tema dukungan (support) berasal dari dukungan sosial, dua tema mengenai pengaruh dukungan sosial yang diterima mempengaruhi kesehatan dan perawatan kesehatan, dan tiga tema dari dukungan yang diharapkan, yaitu: perawatan kesehatan, bentuk dukungan, dan pemberdayaan. Diskusi: Peran perawat komunitas pada kelompok dukungan sosial dalam konteks asuhan keperawatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang hidup dengan HIV sangat perlu untuk dikembangkan. Rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini adalah perawat kesehatan perlu membuat program kunjungan rumah dan memfasilitasi pemberian kredit modal (microfi nance) pada ODHA. Kata kunci: ODHA, dukungan sosial, perawat komunitas ABSTRACT Introduction: HIV/AIDS is a chronic disease that are different from other diseases, because of the problems caused so complex that they need social support. Support groups (self help groups) can help identify and use resources more adaptive coping. The purpose of this study to gain a deep understanding of people living with HIV experience of social support. Method: This study used qualitative methods of descriptive phenomenology with depth interviews with eight participants were diagnosed with HIV/AIDS who live in Malang Raya. Data were analyzed with a thematic analysis of transcripts of the interviews and obtained 11 themes. Result: The results showed that the three themes of HIV infection risk factors, namely: socioeconomic risk, behaviour risk, adjustment of growth and development, a theme related to the response associated with a diagnosis of HIV/AIDS namely psychosocial responses, the two themes of spiritual meaning in life is change and designing the future, a theme of support came from the social support, two themes concerning the effect of social support received is controlled health and health care, and the three themes of the support he expected, namely: health care, a form of support, and empowerment. Discusion: It is important to develop a community nurse role of social support groups in the context of nursing care and economic empowerment of people living with HIV. The recommendation based on this study is health nurses need to make a home visit program and facilitate the provision of working capital loans (microfi nance) in PLWHA. Keywords: PLWHAs, social support, community nurse PENDAHULUAN HIV/AIDS telah menyebar luas di hampir seluruh bagian dunia. Berdasarkan laporan WHO/UNAIDS (2009), bahwa dalam dasawarsa terakhir telah terjadi penyebaran secara endemi dan peningkatan jumlah penderita HIV & AIDS secara tajam. Data tersebut menggambarkan 33.4 juta orang mengidap HIV & AIDS, munculnya infeksi baru 2.7 juta orang, dan kejadian kematian berjumlah 2 juta orang. Indonesia telah digolongkan menjadi nega r a de nga n t i ng k at e pide m i ya ng terkonsent rasi at au concent rated le vel epidemic (CLE) karena memiliki kantong- kantong epidemi dengan prevalensi lebih dari 5% pada subpopulasi berisiko terinfeksi HIV 241 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) seperti: pekerja seks komersial, narapidana, pengguna narkoba jarum suntik, darah donor, dan ibu hamil (Depkes R.I, 2009). Wilayah di Jawa Timur yang mempunyai kontribusi tinggi meningkatnya penderita HIV & AIDS adalah wilayah Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu (KPAN, 2009). Kota Malang tertinggi pertama yaitu 223 orang dibandingkan Kabupaten Malang dan Kota Batu. Di Kabupaten Malang penderita AIDS yang terdeteksi KPAN hanya 177 orang dan kota Batu hanya 15 orang. Peningkatan jumlah penderita HIV & AIDS tidak lepas dari sikap dan perilaku ODHA yang cenderung menutup diri karena adanya stigma di masyarakat (Vivi, 2009). Kondisi ini semakin memperburuk kesehatan d i s e b a bk a n ke t id a k m a m pu a n m e r e k a mengakses pelayanan kesehatan, sementara proses penyakit terus semakin memburuk (Brown, Trujilo, & Macintyre, 2001). Beban yang dialami oleh penderita HIV & AIDS sangat kompleks mulai dari fi sik disebabkan munculnya infeksi oportunistik, psikologi disebabkan karena munculnya keluhan, ketidakpastian hidup, dan takut akan kematian, dan sosial berkaitan dengan adanya stigma di masyarakat akibat persepsi yang salah terhadap penyakit HIV & AIDS. Banyaknya stressor yang dialami oleh ODHA menyebabkan koping mereka tidak adaptif dan memperburuk kualitas hidup, mereka membutuhkan dukungan sosial (Gay et al, 2009). Dukungan sosial bisa berasal dari lingkungan keluarga atau masyarakat yang lebih luas untuk membantu meningkatkan koping yang lebih adaptif dan mengontrol kesehatannya (Yadav, 2009). M e n g i n g a t b e g i t u k o m p l e k n y a permasalahan yang dihadapi ODHA, perlu adanya kajian untuk menggali bagaimana pengalaman dukungan sosial yang diterima termasuk sumber dukungan sosial dan bentuk du k u ngan sosial mengg u nakan konsep keperawatan komunitas dengan pendekatan studi fenomenologi deskriptif. Penggalian pengalaman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana mereka memaknai dukungan sosial, agar dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup. BAHAN DAN METODE Tu j u a n p e n e l i t i a n i n i a d a l a h m e n g i d e n t i f i k a s i g a m b a r a n O D H A me nd apat k a n du k u nga n sosia l d a la m menjalani kehidupan sehari-hari. Pendekatan fenomenologi deskriptif pada penelitian ini memungkinkan peneliti melakukan eksplorasi secara mendalam pada ODH A tentang bagaimana persepsi dan pengalaman mereka mendapat dukungan sosial (Streuber t & Carpenter, 2003). Penelitian ini dilakukan pada delapan ODHA yang bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di wilayah Malang Raya. Sampel diambil secara purposif yaitu ODHA yang telah dinyatakan positif HIV atau AIDS berdasarkan hasil pemeriksaan VCT. Kriteria partisipan adalah dapat berbahasa Indonesia, bergabung dalam KDS, tinggal di wilayah Malang Raya, mampu menceritakan pengalaman, dan usia dewasa lebih dari 15 tahun. Wawancara indepth interview dengan menggunakan pedoman wawancara sambil mengobservasi respons verbal dan non verbal. Wawancara dan observasi ini dilakukan dalam waktu 40 sampai 50 menit selama 4 minggu. HASIL Partisipan dalam penelitian ini berusia antara 25 tahun sampai 34 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki masing- masing berjumlah empat orang. Empat dari delapan partisipan berstatus menikah dan tinggal bersama pasangan dan anak dalam sebuah keluarga inti, tiga orang dengan status belum menikah dengan rincian dua orang tinggal bersama kedua orang tuanya dan satu orang tinggal bersama neneknya, sedangkan satu orang dengan status janda yang tinggal bersama anak dan kedua orang tuanya. Pekerjaan partisipan di bidang wiraswasta dan sebagai ibu rumah tangga (IRT) masing- masing empat orang. Lama terdiagnosa positif HIV mulai dari enam bulan sampai lima tahun saat proses wawancara dan pengalaman bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). LSM Paramitra mulai dari satu bulan hingga satu tahun. Berdasarkan hasil analisa 242 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 dapat diidentifi kasi 11 tema yang terbagi dalam enam kelompok tema. Tema pertama adalah faktor risiko penyebab terinfeksi HIV pada ODHA. Faktor risiko yang teridentifi kasi tergambar dalam tiga tema, yaitu risiko sosial ekonomi, risiko perilaku, dan penyesuaian tumbuh kembang. Risiko sosial ekonomi berkaitan dengan kurangnya pengetahuan akibat kurang terpapar informasi dan tuntutan kebutuhan dalam keluarga yang menyebabkan harus bekerja sebagai PSK, seperti pernyataan partisipan di bawah ini: “Waktu itu kan pingin berhenti (dari pekerjaan PSK), pingin cari modal untuk berhenti…kebutuhan di rumah kan tinggi, untuk makan sehari-hari, biaya anak sekolah, bayar listrik…suami saya kan cuma buruh tani sehari hanya 10 ribu, mana cukup kalau saya tidak kerja” (P.4). “Saya ngak tahu awalnya kok bisa sakit begini…ngak ada informasi” (P.8). Risiko perilaku yang digambarkan oleh partisipan berkaitan dengan perilaku s e k s u a l d e n g a n c a r a b e r go n t a - g a n t i pasangan, homoseksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom saat berhubungan. Di samping itu perilaku penggunaan jarum suntik secara bersama pada penasun. “Saya dulu sering gonta ganti sama laki-laki…gonta ganti pasangan” (P. 2). “Hubungan seksual sesama laki-laki” (P. 7). “Kadang-kadang pelanggan itu pakai kondom, kadang-kadang juga ngak mau… ngak terasa” (P.4). “Syringnya tetap digunakan bergantian… biasanya anak 7, anak 10…disimpan lagi, satu minggu masih digunakan” (P. 1). Penyesuaian tumbuh kembang pada usia remaja berkaitan dengan kematangan berpikir belum sepenuhnya berkembang yang ditandai dengan partisipan tidak berpikir panjang dan perilaku ikut-ikutan menggunakan narkoba suntik sesama teman kelompok. “Saya tidak berpikir kedepannya yang penting senang…waktu itu kan masih SMP” (P.1). “Cuma ikut-ikutan saja sama teman- teman disana, di Jakarta…kita sering kumpul akhirnya terus diajak pakai” (P.8). Tema yang kedua adalah respons perasaan ODHA terhadap diagnosa HIV/AIDS. Rentang respons perasaan ODHA ketika diketahui terdiagnosa positif HIV sampai menderita AIDS tergambar dalam satu tema yaitu respons psikososial yang ditunjukkan dengan adanya respons kehilangan, kecemasan, dan respons sosial. Respons kehilangan yang ditunjukkan oleh partisipan mulai dari shock dan penolakan terhadap diagnosa, seperti pernyataan partisipan di bawah ini: “Saya ngak bisa bicara mas, terus terang saya merasa shock…saya pertama ngak bisa nangis, saya ngak bisa jawab apapun… saya ngak percaya bisa seperti ini” (P. 3). Respons selanjutnya adalah marah yang ditunjukkan partisipan dengan menyalahkan Tuhan dan dendam pada mereka yang dianggap menulari, seperti pernyataan di bawah ini: “Tuhan sudah ngak sayang sama saya, sempat marah saya sama Tuhan” (P. 2). “Aku mau bekerja (PSK) mengumpulkan sebanyak orang lak i-lak i, biar semua terinfeksi…saya lakukan ini selama satu bulan” (P. 4). Partisipan mulai melakukan penawaran dengan kembali pada masa lalu, depresi yang tunjukkan dengan kesedihan, dan diakhri dengan penerimaan dengan cara menyerahkan semua masalah pada Tuhan. “Nggak mungkin lah saya ngak tertular karena kondisi suami saya waktu itu kan buruk sekali…seandainya sejak awal saya tahu suami saya pengguna narkoba, mungkin saya tidak akan seperti ini” (P. 5). “Saya cuma bisa menangis tiap hari… sampai satu bulan lebih” (P. 2). “Saya menyadari dan membuka lebar hati saya…dan mengambil manfaat untuk semua ini…saya kembalikan semua pada Tuhan karena Dia yang member sakit, Dia juga yang akan member kesembuhan” (P.3). Respons psikologi kecemasan muncul pada partisipan sebagai respons dari proses penyakit yang dapat menjadi stresor karena 243 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) ketidakpastian hidup yang berujung pada k hawatir akan kesakitan dan kematian yang setiap saat menghantui seperti yang ditunjukkan oleh partisipan di bawah ini: “Sekarang juga takut, kadang was- was (perasaan khawatir) sakit atau kematian menghantui” (P.4). Respons sosial muncul akibat dari persepsi masyarakat terhadap ODHA seperti perasaan terstig ma mulai dar i sorot an sampai takut dijauhkan atau dikucilkan, perasaan diskriminasi, dan perasaan diterima masyarakat sebagai bagian dar i proses keterbu kaan masyarakat dan du k u ngan terhadap ODHA. Perasaan terstigma yang paling dirasakan adalah menutup status dan takut diusir atau dikucilkan. “Tetangga ngak ada yang tahu…untuk sementara saya tutupi dulu”…masyarakat kan belum ngerti, takutnya nanti diusir atau dijauhkan” (P. 6). Respons diskriminasi muncul sebagai akibat dari adanya stigma yang ditunjukkan oleh par tisipan d alam hal kesempat an kerja. Sebalik nya, hasil penelitian juga menemukan respons penerimaan masyarakat terhadap ODHA, kondisi ini dipengaruhi oleh pemahaman tentang informasi seputar HIV/AIDS yang ada di masyarakat, seperti pernyataan partisipan sebagai berikut: “Kalu kerja di mana pasti ditolak karena peyakitnya…ada perasaan gimana gitu kalu mau masuk ke tempat kerja untuk melamar…sudah ada perasaan menarik diri” (P. 2). “Nggak ada tekanan di masyarakat, karena di wilayah X ngak tabu lagi, sekarang sudah biasa, meskipun diketahui odha masyarakat sudah biasa…informasi sudah masuk di wilayah ini, sehingga masyarakat sudah mengerti tentang HIV & AIDS” (P. 1). Tema yang ketiga adalah makna hidup ODHA dalam menjalani kehidupan. Makna hidup ODHA tergambar dalam dua tema yaitu perubahan pola spiritual dan merancang masa depan. Perubahan pola spiritual diwujudkan dalam bent uk kedekatan dengan Tuhan melalui sikap kepasrahan, perilaku bertobat, rajin berdo’a. “Sekarang saya sudah sholat, dulu ngak pernah, sekarang sudah bisa baca qur’an baru-baru ini, dulu ngak bisa, tujuannya saya ingin berubah lebih baik” (P.6). Merancang masa depan merupakan wujud dari kesadaran ODHA mengambil pelajaran dari pengalaman dengan cara menjaga kesehatan dan harapan masa depan keluarga. Menjaga kesehatan ditunjukkan dengan cara menanamkan keyakinan tetap sehat, mengubah sikap, dan perilaku, seperti pernyataan partisipan di bawah ini: “Saya ingin menunjukkan bahwa positif hiv itu bisa sehat, tidak saki-sakitan” (P.4). “Merubah pola hidup kita, merubah semua…dari yang jelek-jelek saya tinggalkan, seperti minum, narkoba, seks bebas, sudah saya tinggalkan semua” (P.6). H a r a p a n m a s a d e p a n kel u a r g a merupakan harapan terhadap keberlangsungan keluarga terhadap masa depan anak bagi ODHA yang sudah berkeluarga dan berusaha untuk membahagiakan keluarga bagi ODHA ter utama yang belum menikah, seper ti pernyataan partisipan di bawah ini: “Yang saya kawatirkan anak saya, kalau saya sih tertular ngak apa-apa…bagaimana nanti anak saya, sipa yang akan merawat jika saya mati…saya harus sehat untuk masa depan anak saya” (P. 5). “P i n g i n n y a m b u t g a w e m a n e h nyenengno wong tuwo ( pingin beker ja lagi menyenangkan orang tua)…orang tua perhatiannya makin tinggi” (P. 6). Tema yang keempat adalah dukungan sosial yang diterima ODHA. Identifikasi dukungan sosial ODHA dari hasil penelitian diperoleh gambaran tema tentang dukungan sosial yang tergambar dalam sumber dukungan dan bentuk dukungan. Sumber dukungan yang diperoleh berasal dari lingkungan keluarga seperti pasangan, orang tua, dan paman. Sedangkan sumber dukungan yang diperoleh dari lingkungan masyarakat berasal dari teman, tetangga, dukungan kelompok, tenaga kesehatan, dan konselor. “Setiap keluar rumah saya selalu didampingi sama istri…dia memang saya minta untuk mengontrol saya, supaya jika ada 244 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 teman yang mau ngajak pakai lagi sungkan ada istri…istri saya ngak paki” (P. 1). “Selama di rumah sakit saya dimotivasi dan didampingi Perawat kayak (seperti) saudara sendiri” (P. 3). Bentuk dukungan sosial yang diterima oleh ODHA berdasarkan hasil studi berupa i n for masi, i nteg r it as sosial, pelayanan kesehatan, emosional, dan spiritual. Dukungan informasi merupakan dukungan yang diterima partisipan dalam bentuk pendidikan kesehatan berupa perawatan dan pengobatan penyakit HIV/ & IDS dan pelatihan keterampilan yang dapat dijadikan sumber penghasilan. “Di dalam KDS kita dikasih tahu tentang hiv/aids…membicarakan masalah penyakit… jika kekebalan tubuh kita turun kan bisa terkena berbagai penyakit…cara perawatan, cara pengobatan juga diajarkan” (P.6). “Pernah ada pelatihan bikin keset untuk menambah keterampilan dan bisa dikembangkan jadi usaha” (P. 4). Bentuk dukungan integritas sosial dalam bentuk penerimaan masyarakat dengan tidak memberikan tekanan sosial dan menerima dalam kelompok yang lebih luas. “Meskipun sudah diketahui odha, masyarakat sudah biasa…kita bergaul dengan masyarakat seperti tidak ada apa-apa sama dengan yang lain” (P. 1). D u k u ng a n p el aya n a n ke s e h a t a n yang diterima ODHA dalam bentuk tempat pelaya na n kesehat a n, pengobat a n d a n laboratorium, dan pembiayaan kesehatan. “Saya ke Puskesmas biasanya, saya juga sering ke rumah dokter X…kalau pilek atau sariawan…jika ngambil obat saya biasanya ke rumah sakit di Malang” (P.2). “Mendapat pelayanan kesehatan seperti ambil obat-obatan cepat, kontrol CD4 tiap 6 bulan sekali” (P.6). “Kalau berobat menggunakan kartu Jamkesmas…semua teman-teman ODHA sudah punya jamkesmas diuruskan sama pak X, sehingga kalau berobat bisa gratis” (P. 2) Dukungan emosional yang diterima oleh ODHA dalam bentuk pemberian motivasi saling menguatkan satu sama lain dan pemberian perasaan yang menunjukkan empati. “Kalau kita berkumpul seperti saudara sendiri, ada perasaan saling mendukung, saling menguatkan satu sama lain…yang mebuat kita bisa lebih bertahan dalam hidup” (P.6). “Ternyata saya ngak sendiri, masih ba n ya k te m a n ya ng lai n…sa m a - sa m a merasakan penderitaan yang sama” (P. 2). Dukungan spirit ual yang diteriam ODHA dalam bentuk nasihat untuk selalu bersyukur dan bersabar terhadap apa yang dialami saat ini. “ O r a n g- o r a n g t i a p k a l i d a t a n g mengatakan kamu harus bersyukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa, saya tidak menyesali dengan apa yang telah terjadi…mereka juga memberi motivasi saya agar saya bersabar dan bertawakal dan berdo’a” (P. 3). Tema yang kelima adalah pengaruh duk ungan sosial yang diterima ODHA. Pengaruh yang sangat dirasakan oleh ODHA selama mendapatkan dukungan sosial adalah kesehatan terkontrol yang ditunjukkan dengan adanya kemudahan akses pelayanan, dan koping yang adaptif. “…jika kita bergabung dalam KDS cara kita ngakses obat ngak dipersulit…karena MK (manajer kasus) kan sudah kenal sama dokternya dan jadinya mudah…kita langsung datang ke rumah sakit…jika ngak punya MK biasanya kita disuruh kesana-kesana binggung jadinya” (P. 1). “pelayanan kesehatan terasa mudah… kesehatan jadi terjamin…” (P. 8). Koping adaptif mer upakan bentuk kesehatan mental yang banyak ditunjukkan oleh penderita penyakit kronis atau terminal t e r m a s u k y a ng d i a l a m i ole h ODH A digambarkan dengan terus mencari informasi, menggali kelebihan, motivasi tumbuh, dan menghindari stresor. “Dengan berkumpul dalam KDS saya menegtahui terus bagaimana perkembangan diluar…setiap pertemuan saya yakin ada saja informasi yang baru yang belum saya tahu” (P. 3). “Dengan berkumpul sama teman-teman, kita dapat baanyak informasi, dukungan semangat dan bisa bertahan…kita menjadi 245 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) diri kita…kita menggali kekuatan diri…agar kita bisa menghadapi semua ini” (P. 3). “Ada perasaan maju untuk ter us bertahan, semangat terus untuk hidup” (P. 8) “Melamun saya hilangkan…perasaan saya ringan…karena saya yakin kesehatan juga dipengaruhi oleh pikiran kita, saya berusaha melupakan apa yang terjadi dan berfi kir kedepan” (P. 5). Tema yang keenam adalah dukungan sosial yang diharapkan ODHA. Gambaran dukungan sosial yang diharapkan partisipan dikelompokkan ke dalam tiga tema yaitu pelayanan kesehatan, bentuk dukungan, dan pemberdayaan. Harapan ODHA terhadap dukungan pelayanan kesehatan ter utama terhadap peran perawat yang ada di Puskesmas dalam bentuk kunjungan rumah, pendidikan kesehatan, dan menjaga rahasia status. “Sa ya k ira pera wat perlu untuk melakukan kunjungan lapangan…harusnya mereka menyempatkan diri untuk keluar lapangan…karena tenaganya sedikit bisa dilakukan dengan cara bergiliran” (P. 3). “Perawat juga harusnya ngasih tahu seperti apa alur pengobatan dan perawatan… memudahkan ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan” (P. 8). “Menjaga rahasia…jangan samapi status diomongkan ke orang-orang…perawat kan sukanya gitu” (P. 8). Bentuk dukungan yang diharapkan ODHA antara lain dukungan emosional, integritas sosial, dan informasi. Dukungan emosional yang diharapkan oleh ODHA berupa menjaga rahasia status dan pemberian motivasi. “Butuh kepercayaan, soale odha kan butuh kepercayaan…untuk menjaga supaya status tidak tersebar” (P. 1). “Ad a d u k u nga n - d u k u nga n u n t u k memberi semangat kepada teman-teman sebaya” (P. 3). Dukungan informasi yang diharapkan ODHA seperti perawatan dan pengobatan, p e m e c a h a n m a s a l a h , d a n d i a j a r k a n keterampilan. “Saya ingin mendapatkan dukungan informasi tentang perawatan dan pengobatan” (P. 5). “Sesering mungkin kita kumpul untuk cari informasi gimana solusi yang terbaik” (P. 1). “Pinginnya diajari jahit gitu…juga pingin belajar masak…kita bisa warung untuk menambah penghasilan” (P. 4). Pemberdayaan yang diharapkan oleh ODHA meliputi pemberdayaan kelompok dan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan kelompok yang diingin kan oleh ODHA adalah pengembangan peran KDS seperti, memajukan KDS, memperluas anggota KDS dengan cara menjaring teman ODHA yang luar, dan memperbaiki manajemen KDS. “K DS lebih besar lagi atau lebih diperbesar anggotanya atau lebih banyak menjaring teman-teman” (P. 8). “Manajemennya ruwet (tidak teratur), soale penguruse durung (karena pengurusnya belum) tahu tugase sehingga perlu pelatihan, sehingga kds bisa tetap berjalan” (P.6) Pemberdayaan ekonomi yang diharapkan ODHA adalah membuat lapangan pekerjaan dengan cara pemberian modal usaha seperti yang ditunjukkan oleh delapan partisipan, berikut salah satu pernyataan partisipan: “Kepinginku yo iku lo mas pemberdayaan ekonomi…kepingine ada modal usaha bisa kelompok atau sendiri” (P 6). PEMBAHASAN Persepsi partisipan tentang pengalaman dukungan sosial dipengaruhi oleh pengalaman sebelum terinfeksi dan selama diagnosa. Pengalaman sebelum mendapatkan dukungan berpengaruh terhadap kemampuan mereka untuk mencari dukungan sosial. Pengalaman partisipan terhadap faktor risiko terjadinya infeksi sebenarnya sudah disadari dengan adanya perilaku yang tidak sehat akan menyebabkan timbulnya masalah kesehatan, tetapi belum spesifik terhadap infeksi HIV. Salah satu alasannya adalah kurang terpapar informasi sehingga ODHA tidak tahu awalnya jika perilaku berisiko yang dilakukan dapat menyebabkan terinfeksi HIV. Kurangnya paparan terhadap informasi khususnya masalah kesehatan berpengaruh terhadap sikap dan per ilak u, sehingga 246 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 cenderung melakukan tindakan yang berisiko terhadap masalah kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2002). Tingkat pengetahuan berhubungan erat dengan kesejahteraan. Kemiskinan menyebabkan individu tidak dapat bersekolah dan kesulitan dalam mengakses informasi. Hasil penelitian Bloom et al (2002, dalam U NICEF, 2009) menggambarkan bahwa kem isk i na n pad a i nd iv idu mempu nyai risiko lebih besar untuk terinfeksi virus, karena rendahnya tingkat pendidikan dan ketidakmampuan mendapatkan informasi menurunkan kemampuan mereka melakukan usaha pencegahan. Pendidikan kesehatan tentang HIV & AIDS mampu meningkatkan kesadaran pencegahan penularan dengan cara mengontrol diri (self management) dan keterampilan dalam mengambil keputusan (decision-making skills) (Brigham et al, 2002). Perilaku yang berisiko terjadinya infeksi HIV cenderung dilakukan oleh subpopulasi pekerja seksual dan pengguna narkoba jarum suntik. Pekerja seksual dengan perilaku gonta- ganti pasangan, tidak menggunakan kondom saat berhubungan, dan mode hubungan seksual, cender ung berhubungan dengan banyak pasangan sehingga tidak terdeteksi adanya pasangan yang terinfeksi HIV sehingga dapat menular kepada pekerja seks atau sebaliknya klien terinfeksi oleh pekerja seks (Depkes RI, 2003). Hal ini dibuktikan hasil penelitian Rachel dan Robert (2010) di dua Negara Afrika yaitu Rwanda dan Tanzania menggambarkan bahwa perilaku bergantian pasangan berisiko dua kali untuk tertular HIV (OR 2.39 (CI: 1.21,4.73). Subpopulasi penasun banyak terjadi pada kelompok usia remaja atau dewasa awal yaitu usia 15 tahun ketas, Usia muda mempunyai karakteristik ingin bebas, mencari pengalaman, ikatan emosional kuat dengan teman sebaya dan mencoba-coba hal yang baru (Sudrajad, 2008). Rentannya remaja terhadap penyimpangan seksual dan AIDS bersumber dari perubahan fisiologis serta psikologis, berkaitan dengan perkembangan organ reproduksi mereka. Pada tahap ini, remaja mulai merenggang dari orang tuanya kemudian membentuk kelompok sahabat karib. Perilaku remaja yang bertendensi ke arah penarikan diri, sangat mungkin terjadi tindakan irasional (Rachmawati, 2000). Perilaku penggunaan jar um suntik bergantian pada panasun disebabkan karena kesulitan untuk mendapatkan jarum suntik atau spuit, hal ini dikarenakan adanya pembatasan dalam pembelian jarum suntik secara bebas di apotek yang harus menggunakan resep dokter. Alasan lain yang penasun menggunakan bersama jarum suntik adalah karena mahalnya narkoba jenis intravena menyebabkan mereka patungan dalam membeli dan memakai secara bersama dengan cara bergantian (WHO/ UNAIDS, 2009). Bersedih sebagai bentuk dari respons kehilangan status kesehatan yang ditunjukkan pertama kali oleh ODHA dalam bentuk shock dan tidak percaya terhadap infeksi HIV (Willy, 2008; Taylor, 2006). Reaksi ini digambarkan oleh semua partisipan, dan berlangsung lebih pendek kurang dari satu bulan dan diakhiri tahap penerimaan dengan cara menyerahkan semua permasalahan pada Tuhan. Proses kehilangan yang lebih cepat dan pendek dikarenakan kehilangan yang dialami oleh partisipan termasuk yang diantisipasi dan faktor keyakinan agama turut membentuk memberikan pengaruh positif ditandai dengan berkurangnya depresi, peningkatan kualitas hidup, mengurangi ketakutan menghadapi kematian, dan tumbuh semangat untuk tetap hidup (Potter & Perry, 2005; Djauzi, 2006). Kecemasan adalah respons umum yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS dan kadang sulit dibedakan dengan depresi, respons ini muncul dimulai saat pertama kali terdiagnosa positif HIV disebabkan oleh sesuatu yang tidak pasti dalam pikirannya dan perasaan ketakutan (Taylor, 2006, Stuart & Laraia, 2005). Perasaan ketakutan muncul disebabkan oleh gambaran ODHA adalah orang yang sakit-sakitan, tidak sembuh- sembuh, dikucilkan atau dijauhkan dari lingkungan, dan kematian yang setiap saat bisa menjemput (Burnam et al, 2003). Kecemasan dapat diatasi dengan adanya dukungan sosial yang diterima dari keluarga dalam bentuk perhatian dan penerimaan, dan dukungan ini 247 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) bisa meningkatkan semangat hidup ODHA (Brown, Trujilo, & Macintyre, 2001; Lee et al, 2009). Perasaan terstigma dan diskriminasi merupakan masalah yang sering dihadapi oleh ODHA, hal ini disebabkan adanya perasaan ketakutan masyarakat untuk tertular penyakit yang dianggap berbahaya dan ter masuk penyakit akibat “kutukan Tuhan “ sehingga harus dijauhi dan dikucilkan (Brown, Trujilo, & Macintyre, 2001; Lee et al, 2009). Reaksi umum yang ditunjukkan oleh ODHA adalah dengan menutup status dan malu bergaul dengan membatasi berhubungan dengan orang lain. Perasaan malu juga bisa disebabkan karena perasaan bersalah telah melanggar nilai dan norma masyarakat seperti perilaku bergonta-ganti pasangan, hubungan sejenis, dan menggunakan narkoba (Link & Parker, 1998 dalam Brown, Trujilo, & Macintyre, 2001; Jenifer, 2007). Diskriminasi merupakan dampak dari stigma di masyarakat disebabkan pemahaman yang salah terhadap penyakit HIV & AIDS. Diskriminasi yang dialami sering ditunjukkan oleh pember i pelayanan kesehatan dan kesempatan kerja. Diskriminasi di pelayanan kesehatan disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan praktik universal precaution (Waluyo, Sukmarini, & Rosakawati, 2005). Sedangkan diskriminasi dibidang pekerjaan disebabkan karena ODHA kurang produktif disebabkan karena seringnya muncul keluhan sak it ak ibat i nfeksi opor t u nisti k yang menyebabkan mereka sering tidak masuk kerja dan menimbulkan image negatif terhadap perusahaan (Elliott, Uthyasheva, & Zack, 2009; Dawn, 2009). Me n d e k a t k a n d i r i p a d a Tu h a n mer upakan hikmah yang dirasakan oleh penderita penyakit k ronis atau ter minal (Garung, 2009). Kedekatan ditunjukkan dalam bentuk praktik keagamaan dan keyakinan lai n nya denga n ha r apa n mend apat k a n kesembuhan. Sikap dan perilaku ini dilakukan sebagai bentuk rasa malu dan bersalah kepada Tuhan atas sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama serta adanya anggapan “penyakit kutukan” dari Tuhan (Pamujie, 2009). Dilain pihak, keyakinan ikut membent uk stigma dengan adanya kepercayaan bahwa penyakit yang diderita adalah hukuman dari Tuhan sehingga respons yang dimunculkan adalah mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara beribadah dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan (James et al, 2009). Mayoritas orang yang terdiagnosa HIV & AIDS cenderung untuk membuat perubahan- perubahan positif di dalam perilaku kesehatan mereka segera setelah terdiagnosa (Taylor, 2006). Perubahan ini ditujukan untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan, di samping itu juga perubahan terkait dengan tuntutan peran dalam keluarga untuk membesarkan dan mendampingi anak sampai dewasa. Dampak HIV & AIDS terhadap keluarga menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi dalam keluarga. Orang tua yang terinfeksi akan mengalami kematian lebih cepat yang mengakibatkan anak menjadi yatim atau yatim piatu (UNICEF, 2010). Perasaan khawatir terhadap keluarga muncul sebagai bent u k tangg ung jawab unt u k menjaga keberlangsungan fungsi keluarga. Harapan terhadap anak ini memberikan pengaruh yang positif terhadap partisipan untuk tetap bertahan hidup demi merawat dan membesarkan anak- anaknya. Dukungan sosial yang berasal dari lingkungan keluarga sangat efektif diberikan pada ODHA, karena sesuai dengan nilai, nor ma, dan keyak inan dalam keluarga sehingga mudah untuk diberikan setiap saat (Kuntjoro, 2002). Di samping itu ODHA juga membutuhkan penerimaan dari lingkungan yang lebih luas dari masyarakat seperti teman, tetangga, tenaga kesehatan, dan kelompok dukungan untuk mengurangi depresi, isolasi sosial, kepatuhan pengobatan, dan sebagai sumber koping (Edward, 2009; Young, 2010). Bentuk dukungan sosial yang diterima partisipan berdasarkan hasil studi berupa i n for masi, i nteg r it as sosial, pelayanan kesehatan, emosional, dan spiritual. Dukungan informasi merupakan dukungan yang paling dirasakan oleh partisipan selama bergabung dalam KDS, seperti informasi tentang tanda gejala HIV/AIDS, perilaku yang berisiko terjadinya penularan, cara perawatan dan 248 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 pengobatan, kapan harus kontrol atau cek laboratorium, dan pelatihan keterampilan cara merawat anggota keluarga yang sakit atau buddys. Dukungan informasi ini penting sebagai antisipasi bagi ODHA untuk mencegah terjadinya depresi akibat sering munculnya kelu han kesa k it an yang sili h bergant i disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh (Taylor, 2006). Dukungan integritas kelompok dengan penerimaan pada masyarakat yang lebih luas dengan tujuan mempertahankan kontak sosial di antara anggota kelompok, tujuannya adalah membantu mendapatkan informasi yang dibutuhkan, saling bertukar pengalaman, mendengarkan dan menerima pengalaman anggota, saling memahami dan membuat jaringan sosial (Garung, 2006; Randall, 2003). Laura (2009), melibatkan ODHA dalam berbagai kegiatan mampu mengurangi perasaan terstigma dan diskriminasi sehingga mampu meningkatkan hubungan jaringan social Jane et al (2009), juga mengungkapkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap ODHA mampu meningkatkan konsep diri yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesehatan psikologi. D u k u ng a n p el aya n a n ke s e h a t a n sangat dirasakan manfaatnya oleh ODHA untuk mengontrol tanda dan gejala yang sebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh. Tanda dan gejala yang dialami oleh ODHA berkaitan dengan munculnya infeksi oportunistik, di samping itu juga untuk mengontrol jumlah CD4, termasuk dalam kategori dukungan instrumental. Dukungan pelayanan kesehatan bisa langsung dirasakan manfaatanya oleh ODHA, karena sangat membantu dalam kondisi kesakitan yang dialami (Jacobson 1987, dalam Oxford, 1992). Hasil penelitian Basanti dan Nomathemba (2010), menggambarkan bahwa salah satu dukungan yang dibutuhkan ODHA untuk menjalan i perawat an di r u mah ad alah dukungan instrumental seperti keuangan karena tidak punya penghasilan, pelayanan kesehatan seperti pengobatan keluhan infeksi dan obat ARV, dan material seperti makanan, pengobatan, dan produk kebersihan. Gambaran dukungan emosional yang diterima partisipan dalam bentuk pemberian motivasi yang ditunjukkan dengan cara saling mengingatkan, mendukung, dan menguatkan semangat serta empati yang ditunjukkan dengan perasaan tidak sendiri dan merasakan penderitaan yang sama bila bergabung dalam kelompok. Kelly et al (2009), menggambarkan bahwa dukungan sosial mampu mengurangi ga ng g u a n psi kolog i e mosion a l st re ss dan depresi yang pada ak hir nya akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Basanti dan Nomathemba (2010) menambahkan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi kesedihan dan rasa khawatir terhadap ketidakpastian kesehatan, prognosis yang buruk, dan nasib anak-anak mereka jika ditinggal mati. Dukungan spiritual yang diterima ODHA dalam bentuk motivasi untuk dekat dengan Tuhan dengan cara bersyukur dan menyerahkan semua permasalahan pada- Nya. Genrich dan Brathwaite (2005, dalam James et al, 2009) menyatakan bahwa keyakinan agama membentuk sikap individu secara signifi kan hidup dengan HIV. Praktik keyakinan dan kepercayaan dapat memberikan perasaan damai dan harapan, dan dapat juga membantu orang-orang untuk menyiapkan diri dan menerima kematian. Orang-orang kembali kepada agama untuk mengembalikan kesadaran dan muncul sebagai orang dengan infeksi HIV. Beribadah, meditasi, yakin pada Tuhan, dan bentuk lain dari kegiatan agama lebih sering dilakukan oleh ODHA. Ha si l p e nel it ia n i n i d id apat k a n gambaran tentang pengaruh dukungan sosial yang diterima partisipan dalam bentuk kontrol terhadap kesehatan yang ditunjukkan dengan koping yang adaptif dan kemudahan akses pelayanan kesehatan. Kemudahan akses pelayanan kesehatan seperti pengobatan dan rujukan. Partisipan yang berada di bawah binaan LSM Paramitra mempunyai jaringan pelayanan kesehatan yang difasilitasi oleh Manajer Kasus di bawah program VCT yang berada di tingkat Puskesmas. Setiap Manajer Kasus membawahi suatu wilayah untuk melakukan binaan terhadap ODHA dan subpopulasi berisiko. Keberadaan program VCT sendiri merupakan bagian dari program Nasional untuk penanggulangan HIV & AIDS. Program VCT mempunyai alur rujukan 249 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) dengan rumah sakit yang telah ditunjuk untuk melakukan penanganan penderita AIDS. Kondisi ini yang menyebabkan partisipan mendapatkan kemudahan pelayanan kesehatan sehingga kesehatan terkontrol. Koping adaptif yang dit u nju k kan par tisipan ditandai dengan pengetahuan bertambah, menjaga kesehatan, harga diri tinggi, dan motivasi tumbuh. Taylor (2006), menjelaskan salah satu keterampilan koping adalah kemampuan individu untuk menggali informasi yang terkait dengan dirinya untuk melakukan kontrol personal dan mengambil manfaat dari apa yang telah dilakukan. Pe nde r it a p e nya k it k ron is ce nde r u ng melakukan perubahan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mempertahankan status kesehatannya. Hasil penelitian Brigham et al (2002), bahwa pengetahuan yang tinggi mampu membuat pilihan-pilihan dan kontrol terhadap lingkungan yang ditunjukkan dengan keterampilan mengelola diri (self management) dan menggunakan keterampilan tersebut untuk berlatih memilih dan mengontrol mana yang penting bagi kehidupan mereka. Mempertahankan kesehatan dengan cara mewaspadai munculnya infeksi oportunistik merupakan wujud dari pemahaman terhadap dirinya yang dibekali dengan pengetahuan tentang proses penyakit HIV & AIDS. Kewaspadaan mer upakan bentuk kontrol diri terhadap munculnya stresor fi sik akibat menurunnya fungsi imunologi. Mekanisme koping yang dipakai oleh partisipan merupakan koping yang berorientasi pada penyelesaian masalah, artinya partisipan berusaha mengatasi munculnya infeksi oportunistik dengan cara mewaspadai jangan sampai muncul infeksi (Taylor, 2006). Tumbuhnya motivasi pada partisipan ditandai oleh bangkitnya semangat untuk tetap hidup. Motivasi untuk tetap hidup ini merupakan sikap optimis untuk mendapatkan sesuatu harapan yang lebih baik, dibandingkan dengan sesuatu yang jelek. Orang memiliki sikap optimis selalu dapat menemukan aspek positif dari berbagai situasi dan selalu menampakkan sisi yang lebih baik dari kehidupannya. Sikap optimis yang kuat dan positif berhubungan erat dengan kesehatan psikologi (Garung, 2006). Motivasi atau harapan dapat meningkatkan akibat pengaruh dari dukungan sosial yang diterima dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita (Yadav, 2009). Harapan terhadap pelayanan kesehatan khususnya peran perawat dikomunitas yang diharapkan adalah adanya kunjungan rumah untuk memantau kondisi kesehatan ODHA, pendidikan kesehatan dengan memberikan i nfor masi tent ang alu r perawat an d an pengobatan penderita HIV & AIDS sehingga mud a h d ala m mend apat ka n pelaya na n kesehatan, memberikan motivasi, menjaga ra hasia tent a ng st at us sebagai ODH A karena partisipan menganggap perawat suka bergunjing, dan keramahan perawat dalam member ikan pelaya na n karena adanya anggapan dari partisipan bahwa perawat ”judes”. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh ODHA pada dasarnya sudah pernah disampaikan pada setiap pertemuan rutin bulanan, tetapi masih menjadi harapan dikarenakan tidak semua partisipan bisa hadir pada setiap kali pertemuan karena berbagai alasan diantaranya letak sekretariat KDS yang terlalu jauh sehingga menyulitkan, beberapa alasan yang disampaikan seperti; karena membutuhkan transportasi dan ongkos untuk menjangkaunya, kondisi kesehatan yang kurang baik karena pengaruh infeksi oportunistik, dan ada perasaan bosan karena yang dibicarakan sama dan tidak ada jalan keluar konkret yang bisa diberikan. Di samping itu lama bergabung partisipan dalam KDS sangat bervariasi mulai dari satu bulan sampai sepuluh bulan, itu artinya yang satu bulan baru pertama mengikuti pertemuan sehingga partisipan ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap. H a r a p a n p a r t i s i p a n t e r h a d a p pemberdayaan ada dua yaitu harapan terhadap pemberdayaan kelompok dan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan kelompok yang diharapkan adalah keberlangsungan KDS dan perbaikan manajemen KDS. Partisipan berharap KDS tetap ada sebagai wujud bahwa dukungan kelompok ini memberikan manfaat yang dapat dirasakan. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan bahwa dukungan kelompok 250 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 member ikan pengar u h yang sig nif ikan terhadap kesehatan dan kualitas hidup ODHA (Ludgendorf, 1998 dalam Taylor, 2006). Di samping itu keberadaan sekretariat KDS yang belum permanen menjadi kecemasan tersendiri bagi partisipan, kondisi ini setiap saat bisa berhenti sehingga disampaikan menjadi harapan untuk tetap berdiri dan memperluas anggota dengan cara menjaring teman-teman yang lain. Harapan terhadap perbaikan manajemen disampaikan oleh partisipan karena merasa tidak ada program yang jelas pada setiap pertemuan dan sifatnya spontanitas. Agenda dan target pencapaian yang tidak jelas membuat partisipan mengusulkan adanya pelatihan mengelola KDS bagi para pengurus supaya tahu hak dan tanggung jawab. Pe m b e r d a y a a n e ko n o m i p a l i n g diharapkan oleh partisipan terutama dalam pemberian modal usaha untuk membuka lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan sangat diharapkan oleh semua partisipan khususnya yang sudah berkeluarga untuk memenu h i kebut u ha n kelu a rga seper t i membelikan susu anak dan kebutuhan sehari- hari. Beban ekonomi yang dirasakan partisipan adalah biaya belanja kesehatan, karena adanya infeksi oportunistik yang setiap saat muncul silih berganti disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Di samping itu usia partisipan masuk dalam kategori usia produktif yaitu antara 25 tahun sampai 36 tahun, salah satu tugas perkembangan usia ini adalah melakukan pekerjaan. Pe n ol a k a n d a l a m b e ke r ja j u g a menjadi hambatan tersendiri karena adanya stigma yang berdampak pada munculnya diskriminasi untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan yang lain. Beberapa kondisi diatas yang menyebabkan ODHA menginginkan adanya pemberdayaan ekonomi khususnya pemodalan usaha. Salah satu cara meningkatkan pemberdayaan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan menurut Dworkin dan Blankenship (2009) adalah melalui program pinjaman modal usaha (microfi nance). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dukungan sosial yang diterima ODHA diperoleh dari lingkungan keluarga seperti pasangan, orang t ua, teman, tetangga, dukungan kelompok, dan tenaga kesehatan yang diberikan dalam bentuk dukungan infor masi, integ r itas sosial, emosional, pelayanan kesehatan, dan spiritual. Dukungan sosial berpengaruh positif terhadap kontrol kesehatan ODHA yang ditunjukkan dengan kemudahan dalam mengakses pelayanan kesehatan dan koping yang lebih adaptif. Saran Dukungan sosial yang sangat diharapkan oleh ODHA adalah dukungan pemberdayaan ekonomi dalam bentuk pemberian modal usaha dan kegiatan perawat puskesmas untuk melakukan kunjungan rumah. KEPUSTAKAAN Basanti & Namathemba. 2010. The experiences of people living with HIV/AIDS and of their direct informal caregivers in a resource-poor setting, Journal of the International AIDS Society 2010, (Online), ( http://www.jiasociety.org/ content/13/1/20., diakses tanggal 21 Januari 2010, jam 13.00 WIB). Brigham et al. 2002. Psichology and AIDS education: reducing high-risk sexual behaviour. Behavior dan Social Journal. Washington State University. Brow n, Tr ujilo, d a n Maci nt y re. 20 01. Inter vention tor reduce HIV/AIDS stig ma: what ha ve we lear ned?. Louisiana. The Population Council Inc, (Online), (http://www.popcouncil. org/pdfs/horizons/litrvwstigdisc.pdf., diakses tanggal 19 Januari 2010, jam 16.00 WIB). Burnam et al. 2003. Use of Psychotropic medication s a mong HIV-infected patients in the United States. Am J Psychiatry 2003; 160: 547–554. 251 Pengalaman ODHA Mendapatkan Dukungan Sosial (Setyoadi) Dawn et al., 2009. KomwaA qualitative study of the impact of HIV/AIDS on agricultural Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Estimasi nasional infeksi HIV pada orang de wa sa tahun 2022, (Online), (http://www.pppl.depkes.go.id/ images_data/HIV-AIDS.pdf, diakses tanggal 20 Januari 2010, Jam 12.00 WIB). Depkes RI. 2009. HIV/AIDS. (Online), (http:// www.pppl.depkes.go.id/images_data/ HIV-AIDS.pdf, diakses tanggal 20 Januari 2010, jam 14.00 WIB). Dworkin dan Blankenship. 2009. Microfi nace and HIV/AIDS prevention: assessing its promise limitation. (Online), (http:// gateway.nlm.nih.gov/meetingabstracts/ ma?f=102253707.html. Diakses tanggal 16 Maret 2010, Jam 15.00 WIB). Elliott, Uthyasheva & Zack. 2009. HIV, D i s a b i l i t y a n d d i s c r i m i n a t i o n: making the links in international and domestic human rights law. Journal of the Inter national AIDS society, (Online), (http://www.jiasociety.org/ content/12/1/29, diakses tanggal 16 Juni 2010, Jam 12.00 WIB). Garung, R. 2006. Health psycology : coping and social support. Belmont. Thomson Wadswarth. Gay et al. 2009. Symptom experience in HIV infected adult: a function of demographic and clinical characteristic, (Online), (http://gateway.nlm.nih.gov/meetingab stracts/102253707.html, diakses tanggal 16 Maret 2010, jam 14.00 WIB). h o u se h old s i n S o uth e a ste r n Uga n d a . International Journal of Environmental Research and Public Health, (Online), (w w w. m d p i . c o m / j o u r n a l / i j e r p h . diperoleh tanggal 18 Juni 2010, jam 13.30 WIB). James et al. 2009. Religion and HIV in Tanzania: infl uence of religious beliefs on HIV Jane et al. 2009. Stigma, identity and resistance among people living with HIV in South Africa. Journal of Social Aspects of HIV/AIDS VOL. 6 NO. 3. Jenifer et al. 2007. Experiences of social stigma and implications for healthcare among a diverse population of HIV positive adults. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, Vol. 84, No. 6. New York. Kelly et al. 2009. Putting episodic disability into conte xt: a qualitative stud y e xploring fa ctors that inf luence disability experienced by adults living with HIV/AIDS, (Online), ( http://www. jiasociety.org/content, diakses tanggal 18 Juni 2010, jam 17.00 WIB). KPN. 2007. Strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010, (Online), (http://www.kpn.org.id, diakses tanggal 19 Januari 2010, jam 18.00 WIB). Laura et al. 2009. Combating HIV stigma in health care setting: what work?. Jour nal of the inter national AIDS society, (Online), (http://www.jiasociety. org/content/12/I/15, diakses tanggal 24 Februari 2010 jam 13.30 WIB). Lee et al. 2009. Stigma, social support, and depression among people living with HIV in Thailand, (Online), ( http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC2584319/pdf/AFHS0802-0097.pdf., diakses tanggal 23 Februari 2010, jam 10.00 WIB). Oxford, J. 1992. Community psycology : theory and practice. New York: John Wiley & Son, Inc. Pamujie. 2009. Aspek spiritual keagamaan sebagai salah satu terapi hiv/aids, (Online), (http://mrpams212.wordpress. com/category/, diakses tanggal 18 Juni 2010, jam 11.00 WIB). Potter & Perry. 2005. Fundamental of nursing. 6th. vol. 1. Missouri. Elsevier mosby. Rachmawati. 2009. Narkoba, AIDS, dan kita, (Online), (http://www.ikonbali. org/25/11/2007/penyadaran/narkoba- aids-dan-kita.html, diakses tanggal 16 Juni 2010, jam 09.00 WIB). Randal, M.C. 2003. Support group : what theay are and what they do. (Online), ( h t t p: // w w w. g e n e t i c h e a l t h . c o m / Resources_Suppor t_Groups_What_ They_Are_and_What_They_Do.shtml, diakses tanggal 27 Febr uari 2010, jam 09.30 WIB). stigma, disclosure, and t reat ment attitude, (Online), (http://www.biomedcentral.com/1471- 2458/9/75, diakses tanggal 18 Juni 2010, jam 12.30 WIB). 252 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 240–252 Stuart & Laraia. 2005. Principles and practice of psyciatric nursing. 8th Ed. Missouri. Mosby Inc. Su d r aja d , A . 20 0 8. P r o b le m a m a s a remaja.(Online), (http://akhmadsudrajat. wordpress.com/problema-masa-remaja- 2/, diakses tanggal 11 Maret 2010, jam 08.30 WIB). Taylor, S.E . 20 06. He a lth p s yc olog y psycoimunology, AIDS, cancer, and arthritis. 6th Ed. New York: McGraw Hill. UNICEF. 2009. Children and AIDS : fourth stocktaking report 2009, (Online), ( ht t p://w w w.u n icef.org /aid s /f i le s / B230stocktaking _06Nov09_FINAL_ loRes.pdf, diakses tanggal 27 Februari 2010, jam 11.00 WIB). Welly, V. 2008. Pengalaman pasien pertama kali terdiagnosa HIV/AIDS : studi f e n o m e n o l o g i d a l a m p e r s p e k t i f keperawatan. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia. WHO/UNAIDS. 2009. AIDS Epidemic up date 2009, (Online), (http://www.unaids. org/en/K nowledgeCentre/HIVData/ E pi Up d a t e / E pi Up d A r c h ive /2 0 0 9/ default.asp, diakses tanggal 19 Januari 2010, jam 13.30 WIB).