Vol 8 No 2 Oktober 2013.indd 253 EFEKTIVITAS SUPPORTIVE EDUCATIVE TERHADAP PENINGKATAN SELF REGULATION, SELF EFFICACY, DAN SELF CARE AGENCY DALAM KONTROL GLIKEMIK PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 (The Effectiveness of Supportive Educative in Increasing Self Regulation, Self Effi cacy, and Self Care Agency to Control Glichemic Index in Patient with Type II Diabetes) Darmansyah AF*, Nursalam**, Suharto*** *Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Kalimantan Timur **Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya ***Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya E-mail: darmansyah_af@ymail.com ABSTRAK Pendahuluan: Diabetes Melitus (DM) Tipe II merupakan penyakit kronis yang memerlukan perawatan dalam jangka waktu lama. Model supportive educative menfasilitasi peningkatan self care agency melalui self regulation dan self effi cacy. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peningkatan kemampuan perawatan mandiri (self care agency) dan kontrol gula darah (HbA1c) pada penderita DM tipe 2 yang menjalani perawatan di Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam, Rumah Sakit Pemerintah Samarinda, Kalimantan Timur. Metode: Jenis penelitian adalah quasy experimental dengan desain pre post with control group design. Sampel adalah 76 orang penderita DM Tipe 2 yang diperoleh dengan teknik consecutive sampling, yang dibagi menjadi kelompok perlakuan (38 orang) dan kontrol (38 orang). Data dikumpulkan dengan kuesioner dan tes HbA1c. Data dianalisis dengan Paired T-Test, Independent T-Test dengan α ≤ 0.05, serta PLS (Partial Least Square). Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa model supportive educative berpengaruh positif dan signifi kan terhadap self regulation (0,651) dan self effi cacy (0,548), self regulation terhadap self care agency (0,592), self effi cacy terhadap self care agency (0,094), dan self care agency terhadap HbA1c (0,130). Kesimpulan dan Diskusi: Penelitian ini menunjukkan supportive educative keperawatan dapat meningkatkan self care agency penderita DM tipe 2 dan HbA1c melalui peningkatan self regulation. Model supportive educative dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan di Indonesia dalam memandirikan penderita dengan DM tipe 2 dan penderita dengan penyakit kronis lainnya. Kata kunci: model supportive educative, self regulation, self effi cacy, self care agency, HbA1c ABSTRACT Introduction: Type 2 Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease that requires long-term treatment. Supportive educative model facilitates self care agency improvement through self regulation and self effi cacy. This study was aimed the impact of supportive educative model on the improvement of self care regulation and self effi cacy on an increased of self care agency as well as HbA1c. Method: The research method used was quasy experimental with pre-post control group design. This study was conducted with a sample size of 76 patients with Diabetes Mellitus type 2 who were selected through consecutive sampling, they were divided into treatment group of 38 subjects and control of group 38 subjects. Data were collected by questionnaire and HbA1c test. Analysis of the data used paired t-test, independent t test and Partial Least Square (PLS). Result: Result showed that Supportive Educative Model affect on self regulation on dietary control and diet, physical exercise, medication, blood sugar control and foot care (p = <0.05), self effi cacy (p = 0,05), self care agency (p = <0,05). Test result of the correlation among the variables using Partial Least Square (PLS) suggest supportive educative model and the obtained value of self regulation is (0,561), self effi cacy is (0,548) self regulation to self care agency (0,592), self effi cacy to self regulation (0,162), self regulation to self care agency (0,094), and self care agency to HbA1c (0,130). Discussion and Conclusion: Novelty in this study indicated that supportive educative is able to improve self care agency patient and HbA1c through increasing self regulation. It is recommended that model of supportive educative could be applied in health service in Indonesia in regard to be independency patient with type 2 DM and other chronical disease. Keywords: supportive educative model, self regulation, self effi cacy, self care agency, HbA1c PENDAHULUAN Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah hingga mancapai 126 mg/L tergolong jenis penyakit yang cenderung menakutkan yang dapat menimbulkan kematian. Terdapat 2 jenis penyakit Diabetes Mellitus yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Perbedaan tipe jenis penyakit memerlukan perlakuan pengobatan yang berbeda pula. Penyalit DM tipe 1 lebih 254 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 G a n g g u a n y a n g t e r j a d i p a d a kemampuan self effi cacy dan self care agency diakibatkan rendahnya self regulation pada penderita DM tipe 2. Paddison et al (2010), menyat akan bahwa u nt u k memperk uat keberhasilan penanganan penyakit DM tipe 2 terkait dengan manajemen emosional akibat penyakit DM tipe 2. Pengelolaan emosi pada penderita DM tipe 2 salah satunya dapat dilakukan pendidikan. Pendidikan yang diberikan kepada para penderita DM tipe 2 dapat menurunkan (HbA1c < 7%) sebesar 27,1%, meningkatkan self efficacy sebesar 62,0% dan meningkatkan self care behavior sebesar 30% (Nyunt et al, 2010). Hasil ini diperkuat penelitian oleh Keeratiyutawong et al (2005) yang menunjukkan supportive educative berhubungan signifikan dengan self eff icay. McNamara et al (2010) juga mengemukakan intervensi pendidikan sangat membantu dalam menghindari komplikasi pada penderita DM tipe 2. Karter (2008), memberikan kesimpulan bahwa penderita DM tipe 2 perlu mendapatkan pendidikan tentang riwayat penyakit diabetes, sehingga mereka dapat melakukan perawatan secara mandiri. Atak (2007), menyatakan bahwa edukasi meningkatkan pengetahuan, self efficacy, perilaku, dan keterampilan penderita DM tipe 2 dalam melakukan perawatan mandiri. Program supportive educative dapat dilakukan melalui pengajaran (teaching), bimbingan (guiding), dan memberikan lingk ungan yang memu ngkin kan klien u nt u k aktif berpartisipasi melakukan self care ( providing environment). Supportive Educative, nursing system (Orem Study Group, 2004) adalah suatu metode edukasi yang menggunakan berbagai metode seperti teaching, guiding, supporting, dan providing environ ment yang akan berkonstribusi penting dalam self care agency dalam meningkatkan kemampuan penderita DM mengont rol penyakit. Atak (2007) menyatakan bahwa edukasi meningkatkan pengetahuan, self eff icacy, perilaku dan keterampilan pender ita diabetes dalam melakukan perawatan mandiri. Pender it a DM t ipe 2 mengalam i berbagai keterbatasan dalam pengelolaan memerlukan tahapan pengobatan secara klinis, sementara penyakit DM tipe 2 lebih mengutamakan manajemen emosional pada penderita karena adanya penyakit tersebut (Paddison et al, 2010). Khusus untuk kasus penyakit DM tipe 2 International Diabetes Federation ((2010) memperkirakan jumlah penderita DM tipe 2 mencapai 350 juta orang pada tahu 2025 dengan peningkatan jumlah penderita mencapai 3% tiap tahun atau sekitar 7 juta orang. Peningkatan jumlah penderita DM tipe 2 dilaporkan lebih dari separuh terjadi di wilayah Asia terutama India, Cina, Pakistan dan Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia berada diurutan keempat (PERKENI, 2011) yang menu nju k k a n ba hwa t i ng k at keja d ia n yang tergolong mempr ihatin kan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Depkes RI, 2008), menunjukkan prevalensi penderita DM tipe 2 di Indonesia mencapai 5,7%, berarti sekitar 12 juta orang Indonesia saat ini menderita DM tipe 2. Berdasarkan penelitian Papadopoulos (2007) dikemukakan bahwa penderita DM tipe 2 selalu diikuti oleh kondisi hipertensi (76,9%), hiperlipidemia (42,5%), angiopati (15,8%), retinopati (11,1%), dan neuropati (8,5%). Penelitian lain oleh Wing et al (2001), memberikan kesimpulan bahwa DM tipe 2 disebabkan oleh obesitas, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas fi sik, urbanisasi dan industrialisasi. Nyunt et al (2010) dalam penelitian lain mengemukakan terdapat hubungan antara self care exercise dengan kontrol gula darah OR = 2,22; (95% CI; 1.21–4.07). Selain itu hasil juga menunjukkan skor self effi cacy pada penderita DM tipe 2 sebesar 13,9% rendah (skor 18–62), di mana kondisi ini menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 memiliki self effi cacy yang rendah. Nyunt et al (2010) mengemukakan pula skor self care diet sebesar 81.2% kategori rendah, self care latihan fi sik sebesar 84.2% dengan kategori rendah. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Keeratiyutawong et al (2005), memperoleh hasil bahwa Body Mass Index (BMI) berhubungan dengan self effi cay p < 0,01. 255 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) emosi, keyakinan kemampuan diri, gangguan pengaturan makanan dan diet, gangguan aktivitas fi sik, kontrol gula darah, pengobatan dan perawatan kaki. Keterbatasan yang dialami penderita DM tipe 2 diperlukan sebuah program pendidikan untuk kemandirian penderita dalam upaya meningkatkan self care agency. Pentingnya perawatan bagi penderita DM tipe 2 terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari memberi ruang bagi profesi perawat untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita DM tipe 2. Peran perawat tidak saja memberikan pelayanan medis, melainkan dapat memberikan pelayanan pendidikan terhadap individu, keluarga, dan masyarakat (Song, 2008). Leventhal (1980), menyatakan bahwa Self Regulation Model pada penyakit ada dua proses regulasi yang berjalan secara paralel yang aktif yaitu kognisi, interprestasi objektif, dan subjektif dari ancaman kesehatan dan emosi. Berdasarkan salah satu model dari self regulatory yang terkait dengan ancaman kesehatan yaitu Common Sense Model, adanya stimulus kesehatan seperti informasi kesehatan tentang penyakit tertentu akan memunculkan respons emosional bagi penderita dan kahirnya akan meningkatkan kesadaran (awareness) akan penyakit tersebut (Cameron, 2003). Penelitian ini dimaksudkan unt uk mengetahui pengaruh dari supportive educative pada penderita DM tipe 2 untuk meningkatkan self regulation dan self effi cacy dan self care agency yang berkaitan dengan pengaturan pola makan, latihan fi sik, kontrol gula darah, ketaatan pengobatan dan perawatan kaki. Peningkatan yang terjadi pada kemampuan self regulation, self efficacy dan self care agency diharapkan akan dapat menurunkan indeks HbA1c. BAHAN DAN METODE J e n i s p e n e l i t i a n a d a l a h q u a s y experimental dengan desain pre post with control group design. Sampel adalah 76 orang penderita DM Tipe 2 yang menjalani perawatan di Poliklinik Endokrin Penyakit Dalam, Rumah Sakit Pemerintah Samarinda, Kalimantan Timur, yang diperoleh dengan teknik consecutive sampling, yang dibagi menjadi kelompok perlakuan (38 orang) dan kontrol (38 orang). Data dikumpulkan dengan kuesioner dan tes HbA1c. Data dianalisis dengan Paired T-Test, Independent T-Test dengan α ≤ 0,05, serta PLS (Partial Least Square). HASIL Dari hasil evaluasi self regulation (Y1) terbukti bahwa dari kelima indikator terdapat tiga indikator yang memiliki nilai faktor lebih besar dari 0,5 dan T-statistik > 1,96. Hasil tersebut menunjukkan ketiga indikator tersebut merupakan indikator yang valid dalam merefl eksikan variabel self regulation, sedangkan dua indikator yang tidak valid sebagai pengukur variabel self regulation yakni latihan fi sik dengan faktor loading - 0,561 dengan T-statistik 7,362 dan pengobatan dengan faktor loading 0,480 dengan T-statistik 5,491. Hasil pengujian membuktikan indikator perawatan kaki merupakan indikator konstruk terkuat dari variabel self regulation dengan faktor loading 0,754 dengan T statistik 20,147 dibandingkan dengan indikator lain dari self regulation. Hasil pengukuran variabel self effi cacy (Y2) terbukti dari kelima indikator terdapat empat indikator yang memiliki nilai faktor mendekati atau lebih besar dari 0,5 dan T- statistik > 1,96. Hasil ini menunjukkan keempat indikator tersebut merupakan indikator yang valid dalam meref leksikan variabel self effi cacy. Hasil pengujian membuktikan latihan fi sik merupakan indikator konstruk terkuat dalam merefl eksikan variabel self effi cacy pada penderita DM tipe 2 dengan faktor loading 0,862 dengan T-statistik 37,511. Hasil pengukuran variabel self care agency (Y4) terbukti dari kelima indikator yakni pengaturan pola makan dan diet, latihan fisik, pengobatan, kontrol gula darah, dan perawatan kaki merefl eksikan variabel self care agency dengan nilai faktor lebih dari 0,5 dan T-statistik > 1,96, sedangkan tiga indikator yang tidak valid sebagai pengukur variabel self care agency yakni latihan fi sik, pengobatan, dan kontrol gula darah. Hasil 256 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 pengujian membuktikan indikator perawatan kaki merupakan indikator konstruk terkuat dari self care agency dengan faktor loading 0,914 dengan T-statistik 46,491 dibanding dengan indikator lain dari self care agency. Berdasarkan Tabel 2 tentang nilai composite reliability dan nilai R square dapat dijelaskan bahwa nilai composite reliability pada tabel menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,70. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran untuk setiap variabel sudah konsisten dan hasil uji untuk measurement model struktural yaitu uji convergent validity, discriminant validity dan composite reliability telah menunjukkan hasil yang baik. Dalam analisis dengan Partial Least Square (PLS) uji kesesuaian model didasarkan pada nilai R square. Diketahui nilai R Square untuk variabel self regulation adalah sebesar 0,566. Hal ini berarti keragaman data pada variabel self regulation dapat dijelaskan oleh variabel supportive educative dan self effi cacy sebesar 56,6%. Variabel self effi cacy R Square sebesar 0,300 hal ini berarti keragaman data pada variabel self effi cacy dapat dijelaskan oleh variabel supportive educative sebesar 30%. Unt u k var iabel self care agency dihasilkan nilai R Square sebesar 0,417 yang berarti keragaman data untuk variabel self care agency dapat dijelaskan oleh variabel self effi cacy dan self regulation sebesar 41,7%. Dan yang terakhir nilai R Square untuk variabel HbA1c dihasilkan nilai 0,017 yang artinya keragaman ukuran HbA1c penderita DM tipe 2 dapat dijelaskan oleh besarnya self care agency yang dimiliki penderita sebesar 1,7%, maka dapat disimpulkan model struktural yang disusun sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terdapat di lapangan. Tabel 3 menunjukkan bahwa Model S u p p o r t i v e E d u c a t i v e ( X1) t e r b u k t i ber penga r u h sig n if i k a n terha d ap S elf Regulation (Y1) (γ = 0,651; T = 13,069). Model Supportive Educative (X1) ber pangar uh signifi kan terhadap Self Effi cacy (Y2) (γ = 0,548; T = 15,059). Tabel 1. Hasil faktor loading setiap indikator pada variabel penelitian Variabel Indikator Faktor Loading T-Statistik Model suppotive educative (X1) 1,000 Self Regulation (Y1) Pengaturan pola makan dan diet 0,699 18,746 Latihan fi sik -0,561 7,362 Pengobatan 0,480 5,491 Kontrol gula darah 0,743 11,313 Perawatan kaki 0,754 20,147 Self Effi cacy (Y2) Pengaturan pola makan dan diet 0,544 5,948 Latihan fi sik 0,862 37,511 Pengobatan 0,693 10,951 Kontrol gula darah 0,393 6,105 Perawatan kaki 0,498 5,052 Self Care Agency (Y3) Pengaturan pola makan dan diet 0,794 16,933 Latihan fi sik 0,051 0,420 Pengobatan 0,090 0,744 Kontrol gula darah 0,073 0,541 Perawatan kaki 0,914 46,491 HbA1c (Y4) 1,000 Tabel 2. Nilai composite reliability dan nilai R square Variabel Composite Reliability R-square Supportive educative 1,000 Self Regulation 0,792 0,566 Self Effi cacy 0,761 0,300 Self Care Agency 0,861 0,417 HbA1c 1,000 0,017 257 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) S elf Ef f ica c y ( Y2) b e r p e nga r u h signifi kan terhadap Self Regulation (Y1) (γ = 0,162; T = 2,440). Self Regulation (Y1) terbukti berpengaruh signifi kan terhadap Self Care Agency (Y3) (γ = 0,592; T = 14,429). Self Effi cacy (Y2) terbukti berpengaruh signifi kan terhadap Self Care Agency (Y3) (γ = 0,094; T = 2,162). Self Care Agency (Y3) terbukti berpengaruh signifi kan terhadap nilai HbA1c (Y4) sebesar (β = –0,130; T = 2,251). Pengaruh tidak langsung Self Effi cacy (Y2) terhadap Self Care Agency (Y3) yang melalui self regulation. Hasil estimasi pengaruh langsung self effi cacy terhadap self care agency disimpulkan telah memilki pengaruh yang signifi kan, sementara hasil pengaruh tidak langsung antara self care effi cacy terhadap self care agency yang melalui self regulation adalah 0,592 × 0,162 = 0,094. Besarnya pengaruh tidak langsung self effi cacy terhadap self care agency sebesar 0,097 lebih besar dibandingkan pengaruh langsungnya yang sebesar 0,094. Hasil perbandingan menyimpulkan bahwa self regulation yang baik memperkuat hubungan self effi cacy dengan self care agency, sehingga self regulation sebagai memediasi hubungan antara self effi cacy terhadap self care agency. PEMBAHASAN Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai peningkatan kemampuan perawatan diri (self care agency) penderita Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 setelah mendapatkan model supportive-educative keperawatan berbasis self care, self regulation, dan self efficacy. Model supportive-educative pada asuhan keperawatan penderita DM tipe 2 adalah pendekatan asuhan keperawatan yang menekankan pada peningkatan kemampuan penderita untuk dapat melaksanakan dan meningkatkan kemampuan perawatan diri (self care agency). Kemandirian tersebut dapat dicapai jika penderita DM tipe 2 mempunyai self regulation dan self effi cacy dalam perawatan diri (self care), dan dengan demikian kondisi glycemic control dapat di capai dengan menilai kadar HbA1c sebagai standarisasi untuk menetapkan penderita DM tipe 2 terkontrol atau tidak terkontrol. Peran perawat adalah memberikan keterampilan kepada penderita DM tipe 2, menguatkan faktor psikologis dengan cara meningkatkan k e m a m p u a n k o g n i t i f b a i k d e n g a n membangkitkan motivasi penderita Diabetes Mellitus tipe 2 maupun menstimulasi self effi cacy penderita bahwa penderita memiliki kemampuan, dan sumber daya, karena pada dasarnya self-care merupakan perilaku yang dapat dipelajari, dan setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Penyakit DM tipe 2 akan menyebabkan penderita mengalami self care deficit atau ketergantungan pada orang lain. Perawat berperan sebagai pendidik bagi penderita DM tipe 2 untuk mempertahankan kemampuan optimalnya dalam mencapai sejahtera. Kondisi self care defi cit pada penderita DM tipe 2 antara lain dalam pengaturan pola makan dan diet, latihan fi sik, ketaatan pada program Tabel 3. Hasil pengujian hipotesis pengaruh langsung antar variabel No. Hubungan antar variabel Koefi sien jalur (standarize) T-Statistik Keterangan 1 Model supportive educative terhadap self regulation 0,651 13,069 Signifi kan 2 Model supportive educative terhadap self effi cacy 0,548 15,059 Signifi kan 3 Self effi cacy terhadap self regulation 0,162 2,440 Signifi kan 4 Self regulation terhadap self care agency 0,592 14,429 Signifi kan 5 Self effi cacy terhadap self care agency 0,094 2,162 Signifi kan 6 Self care agency terhadap HbA1c -0,130 2,251 Signifi kan 258 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 pengobatan, kontrol gula darah dan perawatan kaki. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian supportive educative berpengaruh sig n if i k a n t e rh a d ap p e n i ng k at a n self regulation penderita DM tipe 2 (tabel 3). Hal ini dapat disebabkan oleh karena penderita mendapatkan program supportive educative yang dalam program supportive educative terdapat sesi tentang teaching (pengajaran) tentang penyakit DM tipe 2. Adanya teaching terhadap pender ita dapat menyebabkan pengetahuan penderita tentang penyakit DM tipe 2 dapat meningkat sehingga adanya peningkatan pemahaman penderita tentang DM tipe 2 dapat menyebabkan peningkatan self regulation penderita khususnya pada aspek penilaian tentang regulasi dalam pengaturan pola makan. Pengetahuan yang meningkat pada penderita DM tipe 2 dapat menyebabkan penderita memiliki penilaian yang positif terhadap upaya kesembuhan penyakit yang dider it a sehingga self reg ulation pada penderita DM tipe 2 khususnya pada aspek penilaian meningkat. Upaya mekanisme perubahan penilaian positif dapat melibatkan aspek emosi bagi penderita sehingga penderita merasa penyakit DM tipe 2 merupakan sebuah ancaman kesehatan bagi penderita. Adanya respons emosi yang berupa ancaman dapat menyebabkan penderita DM tipe 2 berupaya meningkatkan self regulation tentang penyakit DM tipe 2. Pengenalan penyakit khususnya pada penyakit DM tipe 2 tidak terlepas dari kondisi kognitif yang dimiliki oleh penderita. Adanya kognitif yang cukup tentang penyakit DM tipe 2 lebih memungkinkan untuk terjadinya regulasi mandiri bagi penderita DM tipe 2. Proses kognitif yang dimiliki oleh penderita DM tipe 2 dapat melalui beberapa proses seperti indentifikasi penyakit DM tipe 2, tanda gejala, penyebab penyakit DM tipe 2 dan cara pencegahan penyakit DM tipe 2. Pada program supportive educative khususnya pada aspek teaching penderita mendapatkan materi tentang penyakit DM tipe 2, tanda gejala, penyebab penyakit DM tipe 2 dan cara pencegahan penyakit DM tipe 2 sehingga penderita mengalami proses dalam kognitif penderita. Peningkatan pengetahuan bagi penderita tentang penyakit DM tipe 2 mengalami proses inter pretasi (penafsiran masalah) karena penderita DM tipe 2 mendapatkan teaching pada program supportive educative sehingga pender it a memili k i kemampuan dalam menafsirkan masalah khususnya tentang penyakit DM tipe 2. Adanya kemampuan penderita dalam menafsirkan masalah dapat menyebabkan penderita DM tipe 2 membuat sebuah koping (mekanisme per tahanan) terhadap penyakit DM tipe 2. Mekanisme koping dapat berupa keinginan penderita untuk menyembuhkan penyakitnya. Adanya mekanisme pertahanan dapat menyebabkan penderita melakukan upaya penilaian terhadap ancaman yang menjadi penyebab penyakit DM tipe 2. Adanya upaya penilaian yang menyebabkan terjadinya peningkatan self regulation pada penderita DM tipe 2. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Jane Ogden (2007) yang mengatakan bahwa individu memilki penilaian terhadap penyakit salah sat u nya dengan metode pengenalan sakit. Baumeiter (2005) self regulation memandang individu sebagai agen yang aktif dan pengambil keputusan karena merupakan aspek penting dari adaptasi/koping manusia terhadap kehidupan. Self regulation muncul ketika seseorang memotivasi dan memandu tindakan mereka secara proaktif sesuai dengan harapan yang mereka miliki. Menurut Uno (2007) motivasi dapat diartikan sebagai dorongan inter nal dan ek st e r n al d ala m d i r i se se or a ng ya ng diindikasikan dengan: 1) adanya hasrat dan minat untuk melakukan kegiatan, 2) adanya dorongan dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan, 3) adanya harapan dan cita-cita, 4) penghargaan dan penghormatan atas diri, 5) adanya lingkungan yang baik, dan 6) adanya kegiatan yang menarik. Hasil penelitian didukung oleh teori dari proses perubahan self regulation menurut Ogden (2004) yang menyebutkan bahwa model self regulation mengacu pada proses pemecahan masalah. Model menggambarkan pemecahan masalah dalam tiga tahap yaitu: 259 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) 1) Interpretasi (penafsiran permasalahan), 2) Koping (mengelola masalah untuk mencapai stat us keseimbangan), dan 3) Penilaian (mengkaji seberapa sukses tahap koping yang diterapkan). Dalam model self regulation terdapat proses interpretasi masalah, koping, dan appraisal atau penilaian keberhasilan koping. Teori dari Leventhal (1980) menyatakan bahwa Self Regulation model pada penyakit ada dua proses regulasi yang berjalan secara paralel yang aktif yaitu kognisi, interprestasi objektif dan subjektif dari ancaman kesehatan dan emosi. Model regulasi diri dari perilaku sakit menggambarkan pemecahan masalah dalam tiga tahap yaitu (1) Interpretasi (penafsiran permasalahan), (2) Koping (mengelola masalah u nt u k mencapai st at us keseimbangan), (3) Penilaian (mengkaji seberapa sukses t ahap koping yang diterapkan). Model Regulasi Leventhal (Self Regulation Model) menekankan pada aspek Pengenalan Sakit (Illnees Cognition) dan Penilaian Pengenalan Sakit. Pengenalan penyakit merupakan hal yang penting dalam upaya penguatan regulasi pada penderita DM tipe 2. Pengenalan sakit (illness cognition) sebagai “keyakinan implisit penderita tentang sakit.” Pengenalan sakit memberi penderita framework atau skema unt u k menangani dan memahami sakit mereka, dan memberitahu mereka apa yang harus dicari jika mereka menjadi sakit. Dari lima parameter pada self regulation terdapat perbedaan bermakna yaitu pada aspek (1) pengaturan pola makan dan diet, (2) kontrol gula darah, (3) keteraturan obat dan (4) perawatan kaki sedangkan pada aspek latihan fi sik tidak terdapat perbedaan signifi kan. Pemberian supportive educative pada variabel self regulation lebih berdampak pada pengaturan pola makan dan diet (Δ1-3 = –0,74) dibanding dengan indikator lain seperti latihan fi sik, pengobatan, kontrol gula darah dan perawatan kaki (Tabel 3). S u p p o r t i v e e d u c a t i v e l e b i h mempengaruhi pada indikator pola makan dan diet dapat disebabkan oleh persepsi yang terbangun dalam masyarakat di mana penyakit DM tipe 2 merupakan penyakit yang disebabkan oleh kesalahan pengaturan pola makan dan diet sehingga penderita cenderung ber upaya meningkatkan pengaturan diri khususnya pada aspek pola makan dan diet dibanding dengan aspek lain seperti latihan fi sik, pengobatan, perawatan kaki dan kontrol gula darah. Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi penderita yang dimungkinkan pemahaman tentang penyakit DM tipe 2 relatif rendah yang ditunjukkan dengan sebagian besar penderita DM tipe 2 memiliki pendidikan rendah (SD) sehingga lebih dimungkinkan pemahaman tentang penyakit relatif rendah dan pemahaman tentang penyakit cenderung diperoleh dari opini yang berkembang dalam masyarakat. Kondisi pemahaman penderita yang rendah dapat menyebabkan adanya informasi bagi penderita melalui teaching dapat signifi kan meningkatkan pengetahuan penderita khususnya tentang penyakit DM tipe 2. Peningkatan rata-rata pengaturan pola makan dan diet lebih tinggi dibanding dengan peningkatan latihan fi sik, pengobatan, kontrol gula darah dan perawatan kaki. Keadaan ini dapat disebabkan oleh jauhnya jangkauan rumah sakit dari tempat tinggal penderita sehingga penderita tidak memiliki regulasi dalam mencapai tujuan yaitu melakukan pengobatan dan kontrol gula darah. Keadaan ini dapat dilihat dari jangkauan tempuh penderita yang jauh dan kondisi geografis yang tidak terdapat sarana transportasi untuk datang ke rumah sakit. Rendahnya peningkatan perawatan kaki dapat disebabkan oleh persepsi yang dibangun oleh penderita di mana perawatan dan pengobatan lebih cenderung dilakukan oleh tenaga medis dan perawat sehingga penderita kurang memiliki keyakinan akan upaya perawatan kaki dan pengobatan. Hal ini yang menyebabkan indikator perawatan kaki dan pengobatan lebih rendah dibanding dengan regulasi pengaturan pola makan dan diet. Rend ah nya reg ulasi lati han f isi k dibanding dengan pengaturan pola makan dan diet dapat disebabkan oleh faktor umur dan jenis kelamin sebagian besar penderita wanita 260 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 yang tidak memungkinkan untuk melakukan latihan fi sik, sehingga pada aspek regulasi latihan fi sik lebih rendah. Pada penelitian ini didapatkan bahwa supportive educative lebih berdampak pada pengaturan pola makan dan diet. Keadaan ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan subjek penelitian sehingga adanya supportive educative lebih berdampak pada pengaturan pola makan dan diet karena adanya interpretasi subjek tentang penyebab penyakit DM tipe 2 adalah pengaturan pola makan dan diet. Adanya pengetahuan setelah mendapatkan supportive educative memberikan dorongan kepada subjek penelitian untuk mengatur pola makan dan diet sehingga nilai rata-rata subjek meningkat tertinggi pada aspek pengaturan pola makan dan diet. Koping dapat terjadi melalui perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Pada penelitian ini koping lebih terjadi pada aspek yang lebih memungkinkan yaitu pengaturan pola makan dan diet. Pengaturan pola makan dan diet lebih diyakini bagi subjek penelitian untuk mengembalikan kondisi kesehatan seperti sebelum menderita DM tipe 2. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gagliardino and Etchegoyen (2001) bahwa program pendidikan signifi kan memengaruhi kecepatan gula darah dari 10.6 ± 3.5 vs 8.7 ± 3.0 mmol/l; tekanan darah sistolik dari rata-rata 149,6 ± vs 142,9 ± 18,8 mmhg; kolesterol 6.1 ± 1.1 vs 5.4 ± 1.0 mmol/l. dalam kurun waktu selama 12 bulan terjadi penurunan pemanfaatan obat diabetic, hipertensi dan hiperlipidemia 62%. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Baumeister & Vohs (2007) Self regulation lebih menekankan pada aspek penilaian. Penilaian yang diyakini oleh subjek penelitian cenderung pada aspek diet. Self- regulation adalah kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengubah perilakunya. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Levent hal yang menyebutkan bahwa interpretasi dapat dilakukan melalui dua cara atau penyaluran yaitu persepsi gejala. Individu kemudian termotivasi untuk kembali ke keadaan normalnya “bebas masalah”. Masalah dapat diberi arti dengan mengakses pengetahuan sakit individual. Representasi kognitif dari masalah memberi arti masalah dan membuat individu dapat mengembangkan dan mempertimbangkan strategi penanganan yang tepat. Berdasarkan hasil penelitian dan telaah penelitian terdahulu dan teori yang mendu k u ng d apat d isi mpul ka n ba hwa Penilaian Pengenalan Sakit memberikan arahan bagaimana urgensinya penyakit DM tipe 2. Penilaian subjek terhadap penyakit DM tipe 2 memberikan arahan secara subjektif terhadap ancaman dari penyakit yang diderita. Pada penelitian ini sebagian besar subjek memiliki pendidikan relatif rendah (SD) sehingga hal ini yang menyebabkan terjadinya keadaan yang sebagian besar subjek mengalami kejadian komplikasi karena subjek penelitian tidak merasakan adanya ancaman akibat penyakit DM tipe 2. Penguatan self regulation menekankan pada tiga komponen model (interpretasi, koping dan penilaian) yang saling berkaitan untuk mempertahankan keseimbangan sehingga keadaan sehat individu terganggu (terkena sakit) maka model ini menjelaskan bahwa individu termotivasi untuk kembali ke keadaan sehat. Pada penelitian ini kondisi yang terjadi adalah sebagian besar tingkat pendidikan relatif rend ah sehi ngga di mu ng k i n kan interpretasi, koping dan penilaian terhadap penyakit DM tipe 2 relatif rendah. Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu: problem-solving focused coping, di mana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan emotion focused coping, di mana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Adapun tahapan dalam koping adalah sebagai berikut: 1) Penilaian primer. Masalah kesehatan selalu dievaluasi awalnya sebagai ancaman atau sebagai stres negatif. Dua dasar 261 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) penilaian primer ini adalah persepsi kerentanan terhadap ancaman dan persepsi keparahan dari ancaman. Menurut model transaksional dari st res dan koping, penilaian risiko pribadi dan keparahan ancaman berupaya untuk mengatasi stressor. Penilaian dari keparahan tinggi dan kerentanan juga dapat mendorong perilaku menghindar-melarikan diri. 2) Penilaian Sekunder. Penilaian sekunder ad ala h ketet apa n seseora ng mengat asi sumber daya dan pilihan. 3) Upaya-upaya Koping. Upaya-upaya koping dapat dilihat dari dua dimensi yaitu manajemen masalah dan regulasi emosional. Upaya strategi dapat melalui mencari dukungan sosial dan perasaan terbuka (membeberkan masalah-masalah) serta menghindari dan penolakan. 4) Hasil Koping. Hasil koping merupakan adaptasi seseorang terhadap stressor, menyusul penilaian dan situasi (penilaian primer) dan sumberdaya (penilaian sekunder) dan dipengaruhi oleh upaya koping. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa supportive educative yang diberikan cenderung lebih berdampak pada indikator self regulation pengaturan pola makan dan diet. Self regulation pola makan dan diet lebih memungkinkan bagi penderita karena adanya peningkatan pengetahuan subjek tentang makanan yang harus dibatasi sehingga subjek lebih cenderung memiliki keyakinan akan kondisi penyakit terkait dengan pola makan dan diet. H a s i l p e n e l i t i a n m e n u n j u k k a n bahwa Supportive Educative signif ikan mempengaruhi self efficacy penderita DM tipe 2. Keadaan ini dapat disebabkan oleh program supportive educative yang diberikan kepada penderita DM tipe 2 salah satunya adalah guiding, dalam guiding terdapat diskusi dan alternative pemecahan masalah khususnya pemecahan masalah penyakit DM tipe 2. Adanya diskusi pemecahan masalah dapat menyebabkan terjadinya kepercayaan pada penderita akan alternatif pemecahan masalah yang ada dapat memberikan solusi terhadap penyakit yang diderita, sehingga supportive educative yang diberikan kepada penderita dapat meningkatkan self effi cacy penderita DM tipe 2. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Bakken et al (2010) yang melakukan penelitian tentang dampak pendidikan terhadap self efficacy diperoleh hasil bahwa intervensi pendidikan yang dapat meningkatkan self effi cacy. Penelitian Nyunt et al. (2010) yang melakukan penelitian tentang self-effi cacy, self care dan kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa pemberian pendidikan dapat meningkatkan self effi cacy 62% dan self-care behavior 30%. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Funnel (2010) di dalam proses Diabetes Self Manegent Education (DSME) terdapat suatu proses untuk memberikan dukungan informasi yang diperlukan oleh penderita dalam membuat keputusan yang tepat dalam perawatan dirinya, memungkinkan adanya kerja sama atau kolaborasi aktif antara penderita dan petugas kesehatan dalam memecah kan masalah ( problem solving). Bakken et al (2010) tentang self effi cacy penderita DM tipe 2 memberikan kesimpulan bahwa upaya dalam peningkatan self efficacy diperlukan upaya yang terus menerus terhadap penderita diperlukan sebuah model pendidikan yang spesifi k yang dapat meningkatkan afektif penderita sehingga penderita mampu mempercayai dari edukasi yang telah diberikan. Dari lima parameter pada self effi cacy kesemuanya terdapat perbedaan bermakna pada aspek (1) keteraturan obat, (2) kontrol gula darah, (3) perawatan kaki (4) pengaturan pola makan dan (5) latihan fi sik. Pemberian supportive educative pada variabel self effi cacy lebih berdampak pada latihan fi sik (Δ1–2 = –1,50) dibanding dengan indikator lain seperti pengaturan pola makan, pengobatan, perawatan kaki dan kontrol gula darah. Pada penelitian ini adanya supportive educative khususnya pada aspek guiding yang di dalam program terdapat diskusi alternatif pemecahan masalah lebih berdampak terhadap indikator self effi cacy pada aspek latihan fi sik. Keadaan ini dapat disebabkan oleh adanya kepercayaan subjek penelitian dari kondisi penyakit DM tipe 2 yang dapat dicegah melalui latihan fisik sehingga adanya supportive educative yang diberikan kepada subjek penelitian lebih diyakini pada aspek latihan 262 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 fisik untuk terjadinya pemulihan penyakit DM tipe 2. Peningkatan self effi cacy pada aspek latihan fi sik lebih tinggi dibanding dengan aspek lain dapat disebabkan oleh adanya guiding pada program supportive educative yang memberikan fasilitas terhadap penderita untuk pemecahan masalah dari masalah yang diderita sehingga solusi yang lebih dipercaya dan dapat dilakukan oleh penderita adalah latihan fi sik. Hal yang memberikan kepercayaan akan latihan fisik antara lain karena untuk pengaturan diet dan pola makan dipercaya lebih sulit karena menu yang disajikan oleh keluarga tidak selalu sesuai dengan menu untuk penderita DM tipe 2 sehingga penderita akan mengikuti menu makanan yang ada di keluarga. Self eff icacy skor pengobatan lebih rendah dibanding dengan latihan f isik dapat disebabkan oleh kondisi jangkauan pelayanan rumah sakit yang relatif jauh dari tempat tinggal sehingga penderita percaya kalau pengobatan akan cenderung lebih sulit dilakukan karena pelayanan kesehatan jauh dari rumah. Selain itu situasi usia responden yang sebagian mengalami komplikasi lebih dimungkinkan untuk pergi ke pelayanan kesehatan memerlukan bantuan orang lain. Self effi cacy skor kontrol gula darah lebih rendah dibanding dengan latihan fi sik dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang jauh dengan penderita dan untuk kontrol gula darah memerlukan alat dan keahlian, sehingga penderita mempercayai hal tersebut lebih sulit dilakukan dibanding dengan latihan fi sik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nyunt et al. (2010) tentang kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa penderita DM tipe 2 yang memiliki skor self effi cacy 72–90 cenderung aktif melakukan kontrol gula darah di mana penderita yang memiliki skor self-effi cacy 72–90 berisiko untuk melakukan kontrol gula darah sebesar 5,65 (95% CI; 2,56– 12,48). Keadaan ini dapat disebabkan oleh penderita yang memiliki skor self-efficacy tinggi cenderung mengatur pola hidupnya sehingga penderita aktif dalam mengontrol gula darah. Hasil penelitian Bakken et al. (2010) tentang self efficacy penderita DM tipe 2 memberikan kesimpulan bahwa upaya dalam peningkatan self efficacy diperlukan upaya yang terus menerus terhadap penderita DM tipe 2, diperlukan sebuah model pendidikan yang spesifik yang dapat meningkatkan efektivitas penderita sehingga penderita mampu mempercayai dari edukasi yang telah diberikan. Hasil penelitian sesuai dengan teori Bandura (1997) yang mengatakan bahwa self-effi cacy sebagai suatu kepercayaan diri seseorang tentang kemampuannya dalam melakukan aktivitas ter tentu yang akan berpengaruh terhadap kehidupannya. Self effi cacy akan menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya. Self effi cacy mempengaruhi pengelolaan hambatan dalam bertindak, sehingga semakin tinggi effi cacy akan menurunkan persepsi adanya hambatan untuk melakukan tindakan. Self effi cacy seseorang bersumber dari 4 faktor, yaitu, performance accomplishment, vicarious experience, verbal persuasion, d a n e m osion al a ro u sal. Pe r for m a n ce accomplishment merupakan suatu pengalaman atau prestasi yang per nah dicapai oleh individu tersebut di masa lalu. Faktor ini adalah pembentuk self effi cacy yang paling kuat. Prestasi yang baik pada masa lalu yang pernah dialami oleh subjek akan membuat peni ng kat an pad a ekspek t ansi ef i kasi, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan efi kasi individu. Vicarious e xperience mer upa ka n pengalaman yang diperoleh dar i orang lain, dan menir u perilaku mereka untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self-efficacy akan meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sedangkan sebaliknya self- eff icacy akan menur un apabila individu me nga m at i se se or a ng ya ng me m i l i k i kemampuan setara dengan dirinya mengalami kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self-effi cacy adalah berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri. Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, 263 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) maka semakin besar potensial self-effi cacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini. Verbal persuasion merupakan persuasi yang dilakukan orang lain secara verbal maupun oleh diri sendiri (self talk) yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku. Individu mendapat pengar uh atau sugesti bahwa ia mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut, begitu pun sebaliknya. Faktor ini sifatnya dapat berasal dari luar atau dalam diri individu sendiri, namun yang membedakan dengan vicarious experience adalah pada faktor subjek mendapatkan feedback langsung dari pihak lain, sedangkan pada vicarious experience subjek sendiri lah yang secara aktif mengamati pihak lain tanpa intervensi dari pihak yang diamati. Besar pengaruh yang dapat diberikan oleh pemberi persuasi adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi serta kriteria kerealistisan tentang apa yang dipersuasikan. Selain itu, subjek dapat memberikan persuasi kepada dirinya sendiri dengan semacam self talk kepada dirinya sendiri. E m o t i o n a l a r o u s a l m e r u p a k a n pembangkitan emosi positif sehingga individu mempunyai kepercayaan diri untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kondisi emosional (mood) juga mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang terkait self-effi cacy-nya. Keadaan emosi yang menyertai individu ketika dirinya sedang melakukan suatu kegiatan akan mempengaruhi self-effi cacy seseorang pada bidang tersebut. Emosi yang dimaksudkan adalah emosi yang kuat seperti takut, stres, cemas dan gembira. Emosi-emosi tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan self-effi cacy seseorang. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dan teori pendukung dapat disimpulkan hasil penelitian bahwa supportive educative khususnya pada aspek guiding memberikan solusi pemecahan masalah bagi penderita sehingga penderita lebih memiliki kepercayaan terhadap upaya penanganan penyakit DM tipe 2. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa pemberian supportive educative lebih meningkatkan self effi cacy pada aspek latihan fi sik dibanding aspek lain yang disebabkan pada program supportive educative terdapat guiding yang memberikan solusi pemecahan masalah terhadap penyakit DM tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa supportive educative signifi kan meningkatkan self care pender it a DM (tabel 5.5) keadaan ini dapat disebabkan oleh pada program supportive educative meliputi environment yang memberikan cara penanganan penyakit DM tipe 2 sehingga penderita mengetahui cara memberikan perawatan penyakit DM tipe 2. Adanya keterampilan penderita dalam melakukan praktek perawatan menyebabkan penderita melakukan perawatan sendiri di rumah dalam upaya mencoba/mempraktikkan ilmu yang telah diperoleh melalui program supportive educative. Adanya keterampilan yang diberikan selama program supportive educative melalui environment menumbuhkan keterampilan bagi penderita DM tipe 2 sehingga penderita DM tipe 2 memahami dan melakukan apa yang diperoleh dari program supportive educative. Adanya keterampilan tentang cara perawatan diri melalui supportive educative menumbuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi dan skill bagi penderita DM tipe 2. Ad a nya pembelaja r a n, penget a hu a n dan motivasi ser ta keterampilan dapat menyebabkan penderita melakukan upaya perawatan mandiri di rumah. S elf ca re ya ng d apat d ila k u k a n oleh pender ita antara lain kemampuan penderita dalam mengelola pola makan dan diet, mengelola latihan fi sik, mengatur pengobatan, kontrol gula darah dan perawatan kaki. Adanya supportive educative dapat menumbuhkan penderita dapat mengatur diet yang terkait dengan penyakit DM tipe 2, selain itu penderita dapat melakukan latihan fi sik di rumah dan kontrol gula darah secara teratur. Kemampuan penderita dalam merawat diri dapat menyebakan penderita terhindar dari kondisi kejadian komplikasi. Self care pada penderita DM tipe 2 perlu mendapat 264 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 perhatian khusus baik dari keluarga maupun dari lingkungan keluarga yang mendukung terciptanya kemampuan penderita. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Taylor & Renpenning (2011) yang menyatakan bahwa interaksi antara perawat dengan klien akan dapat terjadi jika klien mengalami self care deficit, sehingga self care agency perlu ditingkatkan oleh individu karena pelaksanaan self care membutuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi dan skill (Taylor & Renpenning, 2011). Alligood & Tomey (2006) yang menyebutkan bahwa Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki oleh seorang individu untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self care. Pemberian supportive educative pada variabel self care agency lebih berdampak pada perawatan kaki (Δ1-2 = -1,82) dibanding dengan indikator lain seperti pengaturan pola makan, latihan fi sik, pengobatan dan kontrol gula darah. Keadaan ini dapat disebabkan oleh a d a nya prog r a m supportive ed ucative khususnya pada aspek environment yang memberikan keterampilan penderita dalam upaya perawatan mandiri yang meliputi perawatan pola makan dan diet, latihan fisik, kontrol gula darah, pengobatan dan perawatan kaki. Adanya supportive educative, environment menyebabkan penderita lebih mudah menerima kemandirian perawatan kaki. Kemudahan kemandirian perawatan kaki dapat disebabkan oleh adanya keterampilan yang dimiliki oleh penderita DM tipe 2 selama program supportive educative sehingga penderita mampu melakukan perawatan mandiri di rumah. Kemudahan perawatan mandiri di rumah dapat ditunjukkan oleh rata- rata nilai lebih tinggi pada indikator perawatan kaki. Kemandirian perawatan yang dapat dimungkinkan bagi subjek penelitian adalah melakukan perawatan kaki secara mandiri. Self care pengaturan diet dan pola makan lebih rendah disbanding dengan perawatan kaki dapat disebabkan oleh sulitnya mengat ur makanan yang disajikan oleh anggota keluarga sehingga penderita lebih cenderung memiliki pola makan yang sama dengan anggota keluarga lain. Keadaan ini yang menyebabkan penderita lebih sulit dalam perawatan mandiri dalam pengaturan pola makan dan diet. Self care pengobatan dan kontrol gula darah lebih rendah dibanding dengan perawatan kaki dapat disebabkan oleh mahalnya kontrol gula darah dan pengobatan penderita DM tipe 2, sehingga penderita DM tipe 2 lebih cenderung memilih perawatan kaki secara mandiri karena alasan ekonomi. H a si l p e n el it i a n s e s u a i d e ng a n penelitian Allen et al (2008) menyebutkan bahwa pemberian konseling meningkatkan frekuesi penderita dalam mengontrol gula darah, meningkatkan aktivitas fi sik. Penelitian Gagliardino and Etchegoyen (2001) program p e nd id i k a n sig n i f i k a n me mp e nga r u h i kecepatan gula darah dari 10.6 ± 3.5 vs 8.7 ± 3.0 mmol/l. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Kar ter (2008) member ikan kesimpulan bahwa penderita diabetes perlu mendapatkan pendidikan tentang riwayat penyakit diabetes sehingga mereka dapat melakukan perawatan secara mandiri. Pendapat Likitratchharoen (2000) yang menyebutkan bahwa Self-care untuk penderita DM tipe 2 perlu perhatian khusus untuk aktivitas yang harus penderita lakukan seperti; pengaturan pola makan (dietary kontrol), latihan fisik (exercise), manajemen stress (management stress), pengobatan (medication) dan personal hygiene. Hasil penelitian sesuai dengan teori Orem’s yang menyatakan bahwa terdapat tiga macam kebutuhan self care yaitu universal, developmental, dan health diviation. Kebutuhan self care universal adalah kebutuhan dasar setiap manusia yaitu kebutuhan akan: udara, makanan, air, eliminasi, keseimbangan aktivitas dan istirahat, keseimbangan untuk menyendiri dan berinteraksi sosial, bebas dari ancaman, dan pengembangan pribadi dalam kelompok sesuai dengan kemampuan masing- masing individu. Self care developmental dikaitkan pada kebutuhan yang muncul karena perkembangan akibat penyakit. Kebutuhan health deviation adalah kebutuhan self care yang muncul karena seseorang mengalami sakit, misal kebutuhan untuk mendapatkan 265 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) bantuan kesehatan, memperoleh informasi kesehatan, dan kebutuhan akan kemampuan beradaptasi dengan keadaan sakit. Pember ia n pend id i ka n kesehat a n me r upa k a n ca r a u nt u k me n i ng k at k a n kemampuan dasar self care agency. Booklet Asuhan Keperawatan penderita DM tipe 2 yang digunakan dalam penelitian ini memuat materi tentang pemahaman penyakit diabetes secara umum, self care, dan diet. Pemberian materi tersebut akan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penderita DM tipe 2 untuk mengenali masalah yang akan maupun sedang dialami. Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki oleh seorang individu untuk mengidentifi kasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self care (Alligood & Tomey 2006); (Taylor & Renpenning, 2011). Interaksi antara perawat dengan klien akan dapat terjadi jika klien mengalami self care defi cit, di sinilah self care agency perlu ditingkatkan oleh individu karena pelaksanaan self care membutuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi dan skill (Taylor & Renpenning, 2011). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dan teori pendukung dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini adanya supportive educative lebih berdampak pada indikator self care pada aspek perawatan kaki. Keadaan ini dapat disebabkan oleh adanya supportive educative lebih dimungkinkan bagi subjek penelitian untuk melakukan perawatan kaki secara mandiri di rumah dibanding dengan perawatan pola makan dan diet, pengobatan, kontrol gula darah dan latihan fi sik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supportive educative signifi kan menurunkan H bA1c. Keadaan ini dapat disebabkan adanya program supportive educative yang meliputi teaching, guiding dan environment me n i ng k at k a n p e nget a hu a n p e nde r it a tent ang penya k it DM t ipe 2 sehi ngga penderita memiliki keyakinan, kepercayaan dan kemandirian perawatan dalam upaya pengendalian penyakit DM tipe 2 ke arah yang lebih baik yang dapat dilihat dari adanya peningkatan skor self regulation, self effi cacy dan self care penderita DM tipe 2 setelah mendapatkan supportive educative. Program supportive educative salah sat u nya meliputi environment di mana penderita mendapatkan keterampilan tentang perawatan diri penyakit DM tipe 2. Adanya keterampilan perawatan diri penderita dapat menyebabkan penderita DM tipe 2 memiliki keterampilan dalam melakukan perawatan diri antara lain perawatan pola makan dan diet, perawatan mandiri latihan fi sik, perawatan mandiri pengobatan, perawatan mandiri kontrol gula darah dan perawatan kaki mandiri. Adanya keterampilan menyebabkan penderita dapat melakukan perawatan mandiri di rumah. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor pada masing-masing self care agency mengalami peningkatan . Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gao et al. (2013) hasil penelitian menunjukkan bahwa self care signifikan secara langsung berdampak terhadap glycemic control (β = −0.21, p = .007). Osborn et al. (2010) yang melakukan penelitian tentang Kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa keyakinan penderita akan berkaitan dengan kontrol gula darah A1c p ≤ 0.01. Bains et al. (2011) yang melakukan peneletian tentang self care behavior terhadap kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa pengetahuan tentang diabetes signif ikan berkaitan dengan kontrol gula darah. Penelitian Nyunt et al. (2010) yang melakukan penelitian tentang self- effi cacy, self-care dan kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa pemberian pendidikan dapat menurunkan gula darah (HbA1c ≤ 7%) sebesar 27,1%. Zhou et al (2013) yang melakukan peneletian tentang self care terhadap kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa pengetahuan pender it a mer upa k a n fa k tor pred i k t if terjadinya self care penderita p ≤ 0.01 dan usia merupakan faktor prediktif terjadinya self care penderita p = 0.002. Hasil penelitian ini sesuai dengan pend apat Mayber r y & Osbor n (2012) member i kan kesi mpulan bahwa u nt u k meningkatkan kontrol gula darah pada penderita DM tipe 2 diperlukan upaya peningkatan 266 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 keyakinan dan kepercayaan akan kemampuan kesembuhan penyakit sehingga penderita memiliki perilaku dalam mendukung terjadi penurunan A1c pada penderita DM tipe 2. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa penderita yang memiliki keterampilan dalam perawatan mandiri menyebabkan penderita tidak mengalami defi cit self care, sehi ngga pender it a mampu melak u kan perawat a n ma ndi r i di r u ma h. Ad a nya kemampuan perawatan diri pada penderita menyebabkan penderita mampu melakukan upaya pengendalian penyakit DM tipe 2 sehingga keadaan ini yang menyebabkan terjadinya penur unan kadar HbA1c bagi penderita. Glukosa darah pada saat puasa dan pada dua jam sesudah makan menggambarkan keadaan gula darah pada suatu saat atau pada hari itu saja. HbA1c (Glycosylated hemoglobin) adalah protein yang dibentuk atas reaksi antara glukosa dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Semakin tinggi HbA1c berarti semakin tinggi kadar glukosa darah, yang berlangsung selama usia sel darah merah, yaitu sekitar 3 bulan. Jadi, HbA1c adalah gambaran tentang gula darah penderita DM tipe 2 selama 2–3 bulan terakhir (Tandra, 2009). Jalur model pemberian supportive educative dapat melalui self regulation, self efficacy dan self care sehingga akan menur unkan HbA1c. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pemberian program supportive educative terdapat aspek teaching, guiding dan environment sehingga akan berdampak pada peningkatan kognitif penderita. Selain peningkatan kognitif pemberian guiding dapat meningkatkan afektif penderita DM tipe 2 dan adanya environment pada program supportive educative dapat menyebabkan penderita DM tipe 2 memiliki keterampilan dalam kemandirian perawatan diri seperti pengaturan diet dan pola makan, latihan fi sik, pengobatan, kontrol gula darah dan perawatan kaki. Adanya peningkatan pengetahuan akibat teaching dapat menyebabkan penderita mampu melakukan identifi kasi permasalahan sehingga membuat sebuah koping dalam upaya penanganan penderita sehingga penderita DM tipe 2 mampu meningkatkan self regulation k hususnya pad a aspek reg ulasi d alam pengaturan pola makan dan diet. Adanya peningkatan afektif penderita d apat me nyebabk a n pe nget a hu a n d a n kepercayaan diri dalam upaya pengendalian penyakit DM tipe 2. Adanya peningkatan afektif dapat menyebabkan penderita memiliki motivasi untuk menyembuhkan penyakitnya. Adanya motivasi ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan self effi cacy penderita. Adanya peningkatan keterampilan dalam kemandirian perawatan diri menyebabkan penderita DM tipe 2 mampu melakukan upaya perawatan di rumah, sehingga akan mengurangi akan kebutuhan perawatan (self defi cit). Supportive educative yang diberikan dapat berdampak terhadap peningkatan self regulation melalui penilaian sehingga menyebabkan adanya motivasi. Adanya motivasi menyebabkan penderita melakukan perawat an mandir i. Adanya perawat an mandiri yang dilakukan oleh penderita dapat menyebabkan terjadinya penurunan HbA1c. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gao et al (2013) yang melakukan penelitian tentang HbA1c diperoleh hasil bahwa self eff icacy (β = 0.32, p < .001), dukungan keluarga sosial support (β = 0.17, p = .009) berdampak secara langsung terhadap self care penderita. Zhou et al. (2013) yang melakukan penelitian tentang self care terhadap kontrol gula darah diperoleh hasil bahwa rendahnya pengetahuan tentang diabetes dan rendahnya keterampilan tentang self care merupakan faktor yang menyebabkan penderita tidak mengontrol gula darah. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Gao et al. (2013) yang melakukan penelitian tent ang H bA1c member ikan kesimpulan bahwa komunikasi dengan petugas pemberi pelayanan, dukungan sosial dan peningkatan self effi cacy penderita signifi kan terhadap pembentukan perilaku perawatan diri penderita DM tipe 2, dan perilaku perawatan diri signifi kan berdampak langsung terhadap HbA1c. Zhou et al. (2013) memberikan kesimpulan bahwa keterampilan self care 267 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) Allen,N.A., Fain,J.A., Braun,B. & Chipkin, S.R . 20 0 9. C o nt i nu ou s g lu c o s e monitoringcounseling improves physical activity behaviors of individuals with type 2 diabetes: A randomized clinical trial, Asian Nursing Research; 3 (3): 139–146 A mer ican Diabetes Association. 2003. Physycal activity/exercise and diabetes mellitus (position statement), Diabetes Care, 26 (suppl.1) 73–77 A mer ican Diabetes Association. 2003. Preventive foot care in people with diabetes. (Position statement), Diabetes Care, 26 (suppl.1) 78–79 American Association of Diabetes Educators. 2005. CQI: A step-by-step g uide for quality improvement in diabetes e d u c a t i o n . C h i c a g o , A m e r i c a n Association of Diabetes Educators. (4) American Diabetes Association. 2008. Clinical Practice Recommendation. Diabetes Care 2008; 31 (Suppl I) A mer ican Diabetes Association. 2009. Standars of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care; Jan 2009; Academic Research Library pg. S13 A mer ican Diabetes Associat ion. 2010. Standars of Medical care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes, vol. 23. Suplement 1 Januari 2010 11–61 American Diabetes Assosiation. 2010. Standar of Medical Care in Diabetes 2010, Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Supplement Anselmo. I.M., Nery. M., and Parisi. C.R. 2010. The Effectiveness of Education Practice in Diabetic foot: a view from Brazil. http://.dms journal.com/content/2/1/45 Atak, N., Gurkan, T., Kose, K. 2007. The Effect of Education on Knowledge, Self Ma nagement Behav iors a nd Self Efficacy of Patiens With Type 2 Diabetes. Australian Journal of Advanced Nursing. Vol. 26 Number 2 Bains, S.S., and Egede, L.E. 2011. Associations Between Health Literacy, Diabetes Knowledge, Self-Care Behaviors, and Glycemic Control in a Low Income Population with Ty pe 2 Diabetes, DI A BE T E S T E C H N O L O G Y & THERAPEUTICS, Volume 13, Number 3, 2011 merupakan faktor yang dapat memperbaiki status kesehatan penderita DM tipe 2. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penerapan model supportive educative dalam asuhan keperawatan pada penderita DM tipe 2 meningkatkan kemampuan perawatan diri (self care agency) melalui aktivitas self regulation terlebih dahulu, mulai dari interpretasi yang positif, koping yang sesuai, dan penilaian. Peningkatan kemampuan perawatan diri (SCA) terutama pada aspek pengaturan pola makan dan diet, pengobatan dan perawatan kaki dapat menurunkan kadar HbA1c. Peningkatan SCA yang baik, maka memperbaiki regulasi tubuh pada kontrol glikemik pada batas normal. Supportive educative juga dapat meningkatkan perawatan diri melalui jalur self effi cacy yang berproses kognitif, motivasi, afektif, dan selektif meskipun tidak sekuat pada aktivitas jalur self regulation. Saran Model supportive educative dapat diterapkan pada institusi pelayanan kesehatan dengan mengembangkan sistem pelayanan secara terintegrasi dan menyediakan sarana untuk center of supportive educative sebagai upaya peningkatan pengendalian diri dan kemandirian penderita DM tipe 2 dalam merawat dirinya. Model ini juga dapat diterapkan pada kasus penyakit kronis lain yang memerlukan perawatan mirip dengan penderita DM misalnya penderita dengan gagal ginjal, post stroke, dan TBC. Penelitian lebih lanjut tentang mekanisme peningkatan HbA1c dengan peningkatan kemandirian penderita. KEPUSTAKAAN Allen, N.A., Fain, J.A., Braun, B., and Ch ipk i n, S.R. 20 08. Cont i nuou s g l u c o s e m o n it o r i n g c o u n s el i n g improves physical activity behaviors of individuals with type 2 diabetes: A randomized clinical trial, Diabetes Res Clin Pract, 2008 June; 80 (3): 371–379. doi:10.1016/j.diabres.2008.01.006. 268 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 Baker, L. K., & Denyes, M. J. 2008. Predictors of Self-Care in Adolescents With Cystic Fibrosis: A test of Orem’s Theories of Self-Care Defi cit. Journal of Pediatric Nursing, 23 (1) Bakken, L.L., Byars-Winston, A., Gundermann, D,M., Ward, E, C., Slattery, A., King, A., Scott, D., and Taylor, R.E. 2010. Effects of an Educational Intervention on Female Biomedical Scientists’ Research Self-Effi cacy, Adv Health Sci Educ Theory Pract. 2010 May; 15 (2): 167–183. doi:10.1007/s10459-009-9190- 2. Bandura A. 1997. Self Efficacy Toward a unifying Theory of Behaviour Change, Psychology Review, vol. 84. P. 191–215 Bandura, A. (1989) Human Agency in Social Cognitif Theory, America Psychologist, vol. 44, p. 1175–1184 Baumeister, R.F., Gailliot M., De Wall, C.N., Oaten M. 2006. Self Regulation and Personality: How Interventions Increase Regulatory Success, and How Depletion Moderates the Effects of Traits on Behavior. Journal of Personality 74: 6, December 2006 Baumeister, R.F., and Vohs, K.D. 2007. Self Regulation, Ego Depletion, and Motivation. Social and Personality Compass 1 (2007): 10.1114. 1751– 9004.2007.00001.8ul Browning, K., Wewers, M.E., Ferketich, A., Otterson, G., Reynolds, N. 2009. The self regulation model of illness applied to smoking behavior in lung cancer. Cancer Nursing, 32 (4), E15–E25. Callaghan, D. 2006. Basic Conditioning factors inf luences on adolescents healthy behaviors, self effi cacy, and self care. Issues in Comprehensive Pediatric Nursing, 29. Doi: 10.1080/0146086060 1087156 Cameron, L.D., & Leventhal, H. 2003. The Self Regulation of Health and Illness Behavior. London and New York: Routledge. Davies, M.J., Heller, S., Skin ner, T.C., Campbell, M.J., Carey, M.E., Cradock, S., Dallosso, H.M., Daly, H., Doherty, Y., Eaton, S., Fox, C., Oliver, L., Rantell, K., Ray man, G., K hunti, K., and vascularmedicine. 2007. Effectiveness of the diabetes education and self management for ongoing and newly diagnosed (DESMOND) programme for people with newly diagnosed type 2diabetes: cluster randomised controlled trial, BMJ | ONLINE FIRST | bmj.com page 1 of 11 Depkes RI. 2008. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus, Jakarta: DITJEN PP dan PL. Depkes RI. 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar (R ISKESDAS), Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Departemen Kesehatanes RI. 2008. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Diabetes Militus, Cetakan ke- 2, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen P2PL Depkes RI. Jakarta. Delamater, Alan M. 2006. Clinical Use of He m oglobi n A1c to Im p rove Diabetes Management. (Online). Crop Managemen doi:10.2337/diacalin.24.1.6 Clinical Diabetes Januari 2006 vol. 24 no. 1 6–8. De Rider D.T.D., De Wit. J.B.F. 2006. Self Reg u lat ion i n He a lt h Beh av ior: Concepts, Theories, and Central Issues. Self Regulation in Health Behavior C. 2006 John Wiley Wiley & Sons Ltd Edgar, K.A., & Skinner, T.C. 2003. Illness representation and coping as predictors of Emotional well-being in adolescents with t y pe 1 diabetes. Journal of Pediatric Psychology, 485–493 Gagliardino, J.J., and Etchegoyen, G. 2001. A Model Educational Program for People With Type 2 Diabetes, A cooperative Latin American implementation study (PEDNID-LA), Diabetes Care, Vol. 24, Number 6, Juni 2001. Gao, J., Wang, J., Zheng, P., Haardörfer, R., Kegler, M.C., Zhu, Y., and Fu, H. 2013. Effects of self-care, self-effi cacy, social support on glycemic control in adults with type 2 diabetes, BMC Family Practice 2013, 14:66 Glanz, K., Rimer & Lewis, F.M. 2008. Health Behaviour and Health Education Theory. Reaseach and Practice. San Fransisco; Wiley & Sons Inter national Diabetes Federation. 2010. 269 Efektivitas Supportive Educative terhadap Peningkatan Self Regulation (Darmansyah AF., dkk.) Diabetes Atlas, Fifth Edition. http/www. idf.org /diabetesatlas/5e/the-global- burden. (sitasi 21 Mei 2012 Karter, A.J., Stevens, M.R., Gregg, E.W., Brown, A.F., Tseng, C.W., Marrero, D.G., Duru, K., Gary, T.L., Piette, J.D., Waitzfelder, B., Herman, W.H., Beckles, G.L., Safford, M.M., and Ettner, S.L. 2008. Educational Disparities in Rates of Smoking Among Diabetic Adults: The Translating Research Into Action for Diabetes St udy, Am J Public Health. 2008; 98: 365–370. doi:10.2105/ AJPH.2005.083501 Keeratiy utawong P., Hanuchar un kul S., Boonchauy W., Phumleng B., Muangkae W. (2005) Effectiveness of a Supportive- Educative program on Diabetic Control, Perceived Self-Care Effi cacy, and Body Mass Index in Persons With Type 2 Diabetes Mellitus. Thai J Nurs Res 2005; 9 (1): 1–12 Ku ntoro. (2010) Metode Sampling dan Penentuan Sampel. Edisi Revisi. Surabaya. Pustaka Melati Kuntoro. 2011. Dasar Filosofi s Metodologi Penelitian. Edisi Revisi. Surabaya. Pustaka Melati Leventhal, H., Brissete l. 2003. The Commen- sense Model of Self-regulation of health and illness, In: Cameroon LD. Leventhal H, editors. The Self Regulation of Health and Illnes Behaviour. London: Routledge Likitracharoen, S. 2000. Meta-analysis of educative suppor tive inter vention resea rch for d iabet ic pat ients i n Thailand., Universit y of Mahidol, Thailand Limruangrong, P., Sinsuksai, N., Rathinthon, A., Bor iboon h i r u nsa r n, D. 2011. Effectiveness of a Self-reg ulation Program on Diet Control, Exercise and Two-Hour Postprandial Blood Glucose Levels in Thais with Gestational Diabetes Mellitus. Pcifi c Rim Int J Nurs Res 2011 ; 15 (3) 173–187 Lipowsk i. 1979. Physical Ill ness, T he Individual and The Coping Processes. Psychiar. Med. 1: 91–102 Mayberry, L.S & Osborn, C.Y. 2012. Family Support, Medication Adherence, and Glycemic Control Among Adults With Type 2 Diabetes, DIABETES CARE, VOLUME 35, JUNE 2012 McNamara, R., Robling, M., Hood, K., Bennert, K., Channon, S., Cohen, D., Crowne, E., Hambly, H., Hawthorne, K., Longo, M., Lowes, L., Playle, R., Rollnick, S., Gregory, J.W. 2010. Development and Evaluation of a Psychosocial Intervention for Children and Teenagers Experiencing Diabetes (DEPICTED). BMC Health Services Research 2010, 10:36, http://www. biomedcentral.com/1472-6963/10/36al, Mersal, F.A., Mahday, N.E., Mers, N.A. 2012. Efficiency of Web-Based Education versus Counseling on Diabetic Patients’ Outcomes. Life Sei J 2012; 9 (3): 912– 926. (ISN: 1097-8135) Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan M e t o d o l o g i P e n e l i t i a n I l m u Ke p e ra wa ta n. Ja k a r t a : Sa le mb a Medika Nyunt S.W., Howteerakul N., Suwannapong N., Rajatanun T. 2010. Self Effi cacy, Self-Care Behaviors and Glycemic Cont rol A mong Ty pe 2 Diabetes Patients Attending Two Private Clinics In Yangoon, Myanmar. Faculty of Public Health, Mahidol University, Bangkok, Vol 41 No. 4 July 2010 Ogden, J. 2004. Healt Psychology: A textbook 3rd edition. New York, NY 10121-2289. USA Ogden, J. 2007. Health Psychology 4th Ed. Open University: England Orem Study Group. 2004. Working papers: The Orem Study Group of the 8 th World congress S-CDNT, Sept. 29–Oct, 3, 2004, Institute for nursing diagnostic and practice research. Clopenburg, Germany. Paddison. C.A.M., Alpass. F.M., Stephens. C.V. 2010. Using the Common Sense Model of illness self-regulation to understand diabetes-related distress: The importance of being able to’make sense’ of diabetes. New Zeiland Journal of Psychology Vol. 39, No. 1, 2010 Papadopoulos, A.A., Kontodimopoulos, N, Frydas, A.,Ikonomakis, E., and Niakas, D. 2007. Predictors of health-related quality of life in type II diabetic patients in Greece, BMC Public Health (2007). 270 Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 Oktober 2013: 253–270 7: 186 ht t p://w w w.biomedcent ral. com/1471-2458/7/186 PERKNI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB Perkeni Resnick, Barbara. 2008. Middle Range Theory for Nursing Second Edition. Chapter 10. Theory of Self-Effi cacy. Springer Publishing Company, LLC. New York, NY 10036. RSUD A.W. Syahranie. 2011. Profi l RSUD. A.W. Syahranie Samarinda : Laporan rekam medik penderita diabetes Salsali, M. 2005. Evaluat i ng teach i ng effectiveness in nursing education: An Iranian Perspective, BMC Medical Education 2005. Smeltzer, S.C., Bare, BG., Br u n ner & Sudarth’s. 2004. Textbook of Medical Surgical nursing 10th edition. Volume 2. Philadelphia: Lippincot & Wilkins Shi, Q., Ostwald, S.K., & Wang, S. 2010. Improving Glycemic Cont rol Self Ef f ica cy a nd Glyc e m ic C ont rol Behavior in Chinese Patients With Type 2 Diabetes Mellitus: randomized control trial. J. Clini. Nurs; 19, 398–404. Song, M.K., and Lipman, T.H. 2008. Concept Analysis: Self-monitoring in Type 2 Diabetes Mellitus, International Journal of Nursing Studies 45, 1700–1710. Suyono, Slamet., dkk. 2007. Penatalksanaan diabetes mellitus terpadu: sebagai panduan penatalaksanaan diabetes mellitus bago dokter dan educator. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Tandra, H. 2009. Segala Sesuatu yang Harus diketahui tentang Diabetes, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Taylor, S.G., Renpenning, K. 2011. Self Care Science, Nursing Theory, and Evidence- Based Practice. Springer Publishing Company, LLC. New York, NY 10036 Teixeira, C,R,S., Zanetti, M.L., Pereira M.C,A. 2009. Nursing diagnoses in people with diabetes mellitus according to Orem’s theory of self-care, Acta Paul Enferm, 2009; 22 (4): 385–91. Tjokroprawiro. A. 2011. Hidup Sehat dan Bahagian Bersama Diabetes, Edisi Revisi ke-3. Jakar ta. Penerbit PT Gramedia Pustakan Utama Tom mey, A.M., Alligood, M.R. 2006. Nursing Theorists and their Work. Six Edition. St. Louis Missouri: Mosby Uno, H.B. (2007). Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Wilson, F.L., Mood, D.W., Risk J., and Kershaw, T. 2003. Evaluation of Education Materials Using Orem’s Self- Care Defi cit Theory, Nursing Science Quarterly, 16: 1, January 2003 World Health Organization. 2006. Defi nition, Diagnosis and Clasifi cation of Diabetus Mellitus and its Complications. Report a WHO Consultation. WHO, Geneva World Health Organization. 2009. Standarts of Medical Care in diabetes. Diabetes Care: Jan 2009; 32, 1; Academic Research Library pg. S13 World Health Organization. 2011. Causes of death 2008: data sources and methods, Department of Health Statistics and Informatics, World Health Organization, Geneva, April 2011 Zhou, Y., Liao, L., Sun, M., and He, G. 2013. Self-care practices of Chinese individuals with diabetes, Experimental and Therapeutic Medicine, 5: 1137–1142, 2013