Vol 8 No 1 April 2013.indd 165 TERAPI KELUARGA DENGAN PENDEKATAN SPIRITUAL TERHADAP MODEL KEYAKINAN KESEHATAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN SKIZOFRENIA (The Effect of Family Therapy with Spiritual Approach Toward Family’S Health Belief Model in Taking Care of Patient with Schizophrenia) Ah. Yusuf S.* *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 E-mail: yusuf_fkp_unair@yahoo.co.id ABSTRAK Pendahuluan: Skizofrenia adalah suatu masalah dengan kognitif, pikiran dan perilaku mal adaptif. Keluarga dengan salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dapat menjadi konfl ik yang serius, beban objektif dan subjektif, saling menyalahkan, terlibat dalam permusuhan antar anggota keluarga. Berbagai efek negatif yang dihadapi oleh keluarga dapat disebabkan oleh model keyakinan kesehatan keluarga tentang skizofrenia yang salah sehingga berdampak pada kegagalan dalam memilih pengobatan serta cara perawatan pasien dengan Skizofrenia di rumah. Seseorang dengan stres berat akan mencari penghiburan dan kekuatan dari Tuhan. Tapi sejauh ini, model spiritual yang paling efektif untuk meningkatkan model keyakinan kesehatan keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia belum ditemukan. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental ( pre post test control group design). Populasi dalam penelitian ini adalah setiap keluarga pasien dengan gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Menur pada tahun 2010, dipilih dengan alokasi simple random. Sampel sebanyak 13 orang di setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Intervensi diberikan selama 60-120 menit dalam 8 kali pertemuan dengan interval rata-rata sekitar 1 minggu. Analisis data dilakukan dengan menggunakan paired t-test dan independent t-test. Hasil: Ada perubahan signifi kan dalam model keyakinan kesehatan keluarga (p=0,004), perubahan tersebut terjadi pada aspek persepsi tentang manfaat (p=0,009), persepsi tentang hambatan (p=0,035) dan persepsi tentang self effi cacy (p=0,002). Tidak ada perubahan yang signifi kan dalam persepsi tentang kerentanan dan keparahan (p=0,052). Diskusi: Keluarga masih tetap percaya bahwa semua kejadian yang dialami pasien dan keluarga sudah merupakan kehendak Tuhan, mengharap pasien dapat lebih mandiri dari kondisi sebelumnya, dan percaya gangguan jiwa dapat berubah menjadi lebih baik. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa pemberian terapi keluarga dengan pendekatan spiritual dapat meningkatkan model keyakinan kesehatan keluarga dalam merawat pasien dengan gangguan mental. Kata kunci: model keyakinan kesehatan, spiritual, terapi keluarga, caring, skizofrenia. ABSTRACT Introduction: Schizophrenia is the problem with kognitive, mal-adaptive thought and behavior. Family who have a member with mental disorder can experience serious confl ict, become an objective and subjective burden, blame each other, get involved in hostility among family members. Various negative effect faced by family can caused by wrong family’s health belief model about Schizophrenia, hence the failure on choosing the treatment and taking care of patient at home. Someone with severe stress will seek comfort and strength from God. But so far, the most effective spiritual models to improve the health belief model of the family in caring for patients with schizophrenia has not been found. Method: Design used in this study was experimental (pre post test control group design). The population was every family of patient with mental disorder in Menur Mental Hospital along the year of 2010, chosen by alocation simple random. Samples were 13 persons in each treatment and control group. The intervention was given in 60–120 minute in 8 times meeting with average interval 166 Jurnal Ners Vol. 8 No. 1 April 2013: 165–173 about 1 week. Data analysis was done using paired t-test and independent t-test. Results: There were signifi cant changes in total of family’s health belief model (p=0,004), there was signifi cantly change in aspects of (1) perceptions about benefi ts (p=0,009), (2) perception about barriers (p=0,035) and perception about self effi cacy (p=0,002). There were no signifi cant changing in perception about susceptibility and severity (p=0,052). Discussion: Family believes that all events experienced by the patient and the family is God's will, hoping the patient can be more independent, and believe mental disorders can be changed for the better. The conclusion of this study is that family therapy with a spiritual approach can improve the health belief model of the family in caring for patients with mental disorders. Keywords: health belief model, spiritual, family therapy, caring, schizophrenia. PENDAHULUAN Gangguan jiwa khususnya skizofrenia mer upakan masalah yang terkait dengan gangguan kognitif, pikiran dan perilaku mal-adaptif (Hawari, 2001; Maramis, 1998; Sarwono, 2001). Keluarga dengan salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dapat menimbulkan konfl ik, menjadi beban obyektif dan subyektif, saling menyalahkan, dan keterlibatan dalam permusuhan antar anggota keluarga (Pharoah, 2010; Fitryasari, 2009). Berbagai masalah bio-psiko-sosial- k ult u ral dapat menyebabkan ter jadinya gangguan jiwa, tetapi sampai saat ini penyebab pasti gangguan jiwa masih terus dalam kajian. Keadaan ini menyebabkan model keyakinan kesehatan keluarga terhadap gangguan jiwa tidak adekuat, dianggap karena kutukan, roh halus, dibikin orang lain, atau karena hal lain yang belum jelas. Model keyakinan kesehatan seseorang a k a n m e m p e n g a r u h i u p ay a m e n c a r i pengobatan. Berbagai upaya pendidikan kesehatan, pemberian psiko-edukasi terhadap keluarga yang sedang menunggu salah satu anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit jiwa, tetapi sebagian masyarakat masih tetap menjadikan stigma terhadap gangguan jiwa di masyarakat. Oleh karena itu, pada penelitian ini berusaha memperbaiki model keyakinan kesehatan keluarga melalui terapi keluarga dengan pendekatan spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh terapi keluarga dengan pendekatan spiritual terhadap perbaikan model keyakinan kesehatan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental ( pre-post test control group design), dengan populasi seluruh keluarga yang salah satu anggota keluarganya dirawat di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya pada tahun 2010, dipilih dengan alokasi simple random. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 13 orang kelompok perlakuan dan 13 orang kelompok kontrol. Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi keluarga dengan pendekatan spiritual melalui fase direction, obedience, dan acceptance. Intervensi dilaksanakan di rumah keluarga sebanyak 8 kali pertemuan, selama 30–60 menit tiap pertemuan, dengan interval waktu sekitar 1 minggu. Variabel dependen berupa model keyakinan kesehatan (health belief model) keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa, meliputi persepsi terhadap susceptibility and severity of disease, benefi ts barriers dan self effi cacy keluarga. Analisis data dilakukan dengan uji paired t-test untuk data pre-post test dan untuk sampel bebas (data pre-pre dan pos-pos kelompok perlakuan dan kelompok kontrol) dilakukan uji independent t test. HASIL Hasil keselur uhan pengar uh terapi kelu a rga denga n pendek at a n spi r it u al didapatkan dapat mengubah beberapa aspek health belief model keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa. Perubahan tersebut terjadi pada aspek persepsi terhadap manfaat, 167 Terapi Keluarga dengan Pendekatan Spiritual (Ah. Yusuf S.) persepsi terhadap hambatan dan persepso terhadap self effi cacy. Tidak ada perubahan pada aspek persepsi terhadap kerentanan dan keparahan penyakit. Namun, secara umum terapi keluarga dengan pendekatan spiritual tersebut dapat mengubah model keyakinan kesehatan keluarga tentang skizof renia (Tabel 1). PEMBAHASAN Te r d a p a t p e r b e d a a n s ig n i f i k a n (p=0,004) total health belief model keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Tetapi, jika dibandingkan dengan hasil uji independent t-test data pre test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, ternyata sejak awal sudah menunjuk kan terdapat perbedaan kepercayaan kesehatan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p=0,021), Jika diperhatikan nilai selisih delta rerata antara pre test-post test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan terdapat kenaikan selisih rerata pada kelompok perlakuan sebesar 1,84, sedangkan pada kelompok kontrol juga ada peningkatan 1,00. Dengan demikian, angka kenaikan lebih tinggi Tabel 1. Pengaruh terapi keluarga dengan pendekatan spiritual terhadap perubahan berbagai aspek dalam health belief model No . Variabel Uji Perlakuan Kontrol Independent t test 1 Persepsi terhadap susceptibility and severity of disease Pre test (x–±SD) 13,23±2,48 (x–±SD) 11,76±2,65 t = 1,449 p = 0,160 Post test (x–±SD) 13,92±1,60 (x–±SD) 12,23±2,52 t = 2,041 p = 0,052 Paired t test t=-1,389 p=0,190 t=–1,066 p=0,307 Δ pre post 0,69 0,47 p = 0,730 2 Persepsi terhadap benefi ts Pre test (x–±SD) 13,61± 2,10 (x–±SD) 12,84± 2,03 t = 0,948 p = 0,363 Post test (x–±SD) 14,15±1,67 (x–±SD) 12,30±1,65 t = 2,828 p = 0,009 Paired t test t= -2,214 p=0,047 t=0,797 p=0,441 3 Persepsi terhadap barriers Pre test (x–±SD) 13,61±1,98 (x–±SD) 10,46±2,14 t = 3,894 p = 0,001 Post test (x–±SD) 13,30±2,42 (x–±SD) 11,30±2,13 t = 2,229 p = 0,035 Paired t test t=0,617 p=0,549 t=-2,008 p=0,068 Δ pre post - 0,31 0,84 p = 0,090 4 Persepsi terhadap self effi cacy Pre test (x–±SD) 13,46±1,76 (x–±SD) 11,92±2,46 t = 1,831 p = 0,080 Post test (x–±SD) 14,38±1,04 (x–±SD) 12,15±2,03 t = 3,517 p = 0,002 Paired t test t=-2,144 p=0,053 t=-0,640 p=0,534 5 Total Health Belief Pre test (x–±SD) 53,92±7,31 (x–±SD) 47,00±6,94 t = 2,475 p = 0,021 Post test (x–±SD) 55,76±5,86 (x–±SD) 48,00±6,63 t = 3,165 p = 0,004 Paired t test t=-1,310 p=0,215 t=-0,926 p=0,373 Δ pre post 1,84 1,00 p = 0,638 168 Jurnal Ners Vol. 8 No. 1 April 2013: 165–173 pada kelompok perlakuan sebesar 0,84. Ke percaya a n kesehat a n kelu a rga tertinggi pada pre test kelompok perlakuan adalah responden percaya bahwa semua kejadian yang dialami sudah mer upakan kehendak Tuhan. Keadaan ini menunjukkan bahwa responden kelompok perla k u a n dapat mener ima apa pu n yang ter jadi denga n menga nggap semu a i n i sud a h kehendak Tuhan, tetapi di sisi lain dapat merupakan ketidakberdayaan keluarga dalam menghadapi salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keadaan ini juga mencerminkan keyakinan (self effi cacy) keluarga yang sudah tidak punya pilihan lain dalam menghadapi salah satu anggota keluarga mengalami gangg uan jiwa. Jika dilihat dari lamanya pasien mengalami gangguan jiwa, ada yang sudah mencapai 45 tahun, sehingga selama itu pula keluarga mengalami stress, beban fisik, dan psikologis akibat hidup dengan salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa. Oleh karena itu, keluarga hanya memilih menerima apa pun yang terjadi, dengan menganggap semua ini sudah kehendak Tuhan. Kepercayaan keluarga menganggap semua ini sudah kehendak Tuhan adalah sesuatu yang baik, asal bukan merupakan ketidakberdayaan dan keputusasaan keluarga. Sabar bukanlah kelemahan, justr u sabar adalah kekuatan, sabar bukan kelesuan tetapi semangat hidup, sabar bukan kecengengan tetapi ketegaran, sabar bukan pesimis tetapi optimis, dan sabar bukanlah diam membisu tetapi sabar adalah berjuang pantang menyerah (Al-Hamid, 1995; Nahrowi, 2010). Hasil diskusi mendalam selama pelaksanaan terapi keluarga, keluarga mengatakan “soal sabar dan berdoa ya sudah dari dulu mas, tapi mau gimana lagi”. Peneliti mencoba memberi semangat, motivasi dengan illustrasi falsafah ulat dan kaktus. Health belief adalah suatu kepercayaan seseorang terhadap masalah kesehat an (Gla n z , 20 02). Ke pe rcaya a n t e rha d ap masalah kesehatan dapat menjadi dasar dalam mengembangkan intervensi perilaku kesehatan. Kepercayaan seseorang tentang gangguan jiwa, merupakan aspek penting yang har us dikaji karena gangguan jiwa sangat erat dengan stigma, kutukan, penyakit dibuat orang, dan memalukan. Glanz (2002) mengidentifikasi empat komponen utama health belief adalah persepsi individu tentang tingkat kerentanan dan keparahan suatu penyakit (susceptibility and severity), persepsi tentang kemungkinan bermanfaatnya sarana pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah (benef its), persepsi tentang kemungkinan pasien mampu mengendalikan diri dalam mengembangkan perilaku sehat (Barriers), dan keyakinan diri (self effi cacy) dalam mengatasi berbagai dampak akibat gangguan jiwa. M ayo r it a s r e s p o n d e n kelo m p ok perlakuan sebelum intervensi menganggap pasien gangguan jiwa tidak bisa bekerja se p e r t i seb elu m nya d a n me nga nggap pasien tidak bisa menjaga diri dari keadaan yang membahayakan. Hasil diskusi saat pemberian terapi keluarga mayoritas keluarga menganggap gangguan jiwa disebabkan karena penyebab non medis (karena ulah orang lain yang tidak suka), medis (seringnya terjadi benturan/trauma di kepala, epilepsi, atau gangguan fungsi otak lainnya) dan penyebab psikologis seperti stres dan trauma kehidupan. Ada keluarga yang tidak tahu apa penyebab gangguan jiwa, tiba-tiba anaknya mengalami gangguan, mungkin tidak tahan dengan masalah kehidupan yang dialami. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keluarga dalam menghadapi suatu masalah (at r ibusi) masih menganggap penyebab gangguan jiwa adalah karena faktor di luar (eksternal) keluarga, karena penyebab yang lain, penyakit lain, akibat orang lain yang tidak suka. Tidak pernah menganggap bahwa keluarga juga berperan dalam munculnya stressor bagi pasien, pembentukan karakter, ketahanan mental anak, dan kesiapan anak dalam menghadapi kehidupan. Keadaan inilah yang mencoba diadvokasi peneliti selama pemberian terapi keluarga fase direction dan obedience. Bagaimana keluarga bisa memberikan penilaian bahwa semua anggota keluarga juga berperan dalam membentuk karakter anak, kesiapan mental dan memicu munculnya stressor bagi pasien. Harapannya keluarga dapat memberikan 169 Terapi Keluarga dengan Pendekatan Spiritual (Ah. Yusuf S.) internalisasi dalam menghadapi masalah yang terjadi, sehingga semua anggota keluarga akan mengubah sikap dan memberikan dukungan fisik dan psikologis bagi pasien gangguan jiwa (keluarga sebagai sumber pendukung bagi pasien). Menurut teori stres adaptasi dalam ke pe r awat a n jiwa , mek a n isme coping seseorang dipengaruhi oleh sifat stressor, penilaian terhadap stressor, sumber coping (Stuart, 1998; Hamid, 2009; Keliat, 1996, Rasmun, 2002). Beberapa sumber coping yang dapat membantu mengembangkan mekanisme coping adalah kebiasaan personal, dukungan sosial, kekayaan materi, dan kepercayaan yang positif (Stuart, 1998). Kebiasaan personal dapat dibangun dengan mengembangkan peran keluarga adaptif, mengingat keluarga adalah merupakan tempat yang pertama dan utama dalam proses sosialisasi pembelajaran anak. Kegiatan ini, mer upakan kegiatan pemberdayaan keluarga agar bisa menjadi support system bagi pasien. Ji k a d i k a it k a n d e ng a n d i m e n si spiritualitas manusia, mayoritas responden masih dalam kategori pengalaman spiritual dan kecenderungan ritual, belum masuk pada penemuan makna hidup dan emosi positif. Padahal untuk bisa mengembangkan sikap menerima (acceptance) apa pun yang terjadi dalam kehidupan diperlukan emosi positif untuk menemukan makna hidup. B e b e r a p a k e t e r b a t a s a n d a l a m penelit ia n i n i a d ala h t id a k d ila k u ka n pengukuran terhadap tingkat spiritualitas dan spiritual qoutient (SQ) responden. Pada rancangan penelitian akan dicoba dilakukan pengukuran tingkat keberagamaan responden menggunakan instrument yang dikembangkan oleh Hawari, 2009. Tetapi indikator dalam instr umen tersebut tidak mencer minkan tingkat spiritualitas manusia, karena hanya berisi penerapan atau pelaksanaan rukun Iman dan Islam, sementara tingkat Ikhsan tidak terdeteksi. Ada dua jenis instrumen spiritualitas yang praktis dalam perspektif neurosains (Pasiak, 2012 dalam Asy’arie, 2012), yaitu Spiritual health assessment (SHA), dan Spiritual past and present (SPP). SPP dan SHA adalah hal baru, bahkan merupakan lompatan kuantum dalam dunia kedokteran. SPP lebih sering digunakan untuk melengkapi rekam medis rumah sakit, sedangkan SHA terdiri dari 4 dimensi, 24 indikator dengan (rancangan) 120 item per tanyaan, tetapi sampai saat ini SHA belum merupakan barang jadi dan masih sedang dikembangkan dalam center for neuro scince health and spirituality (C-NET) (Asy’arie, 2012). Setelah program pengembangan SHA selesai, akan dapat digunakan sebagai instrumen terbaru dan handal dalam pengukuran tingkat spiritualitas manusia. Te r d a p a t p e r b e d a a n s ig n i f i k a n persepsi keluarga tentang kemungkinan bermanfaatnya sarana pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah (benefi ts) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p=0,009). Mayoritas responden mengatakan dapat memberikan perawatan yang baik bagi pasien di rumah. Hampir semua responden mengatakan pelayanan kesehatan bermanfaat untuk mengurangi tanda dan gejala yang timbul. Beberapa responden mengatakan bagaimanapun keadaan pasien, keluarga tetap ber usaha member ikan perawatan sesuai kemampuan keluarga, satu responden menempatkan pasien di tempat rehabilitasi psikiatri di Surabaya. Keadaan ini ditunjang oleh hampir semua responden memanfaatkan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Hasil kajian mendalam pada awal pertemuan, keluarga jarang bisa berpartisipasi sesuai permasalahan pasien, keluarga hanya menjaga, dan berusaha memenuhi apa yang diinginkan (sesuai kemampuan). Beberapa latihan pemenuhan kebutuhan harian yang telah dilatihkan bagi pasien selama di rumah sakit, jarang ditindaklanjuti oleh keluarga di rumah, termasuk upaya antisipasi keluarga untuk mencegah kekambuhan. Oleh karena itu, diskusi dalam terapi keluarga difokuskan terkait peran keluarga dalam membantu mengatasi masalah sesuai masalah yang dihadapi pasien. Hasil survei didapatkan sepuluh masalah keperawatan terbanyak di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia (Konas Jiwa, 2005; Keliat, 2009) adalah Perilaku kekerasan, Risiko 170 Jurnal Ners Vol. 8 No. 1 April 2013: 165–173 perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan), Gangguan persepsi sensori; halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba, penghidu), Gangguan proses pikir, Kerusakan komunikasi verbal, Risiko bunuh diri, Isolasi sosial, Kerusakan interaksi sosial, Defi sit perawatan diri (mandi, berhias, bercukur, makan, eliminasi), dan Harga diri rendah kronis. Bagaimana peran keluarga dalam membantu pasien sesuai permasalahan tersebut tercantum dalam buku modul agar bisa dipelajari keluarga dalam mengembangkan peran keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa di rumah. Terdapat perbedaan signifi kan persepsi keluarga tentang kemungkinan pasien mampu mengendalikan diri dalam mengembangkan perilaku sehat (Barriers) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p=0,035). Jika dibandingkan data pre test antara kelompok kontrol dan perlakuan memang sudah ada p e r b e d a a n ( p = 0,0 01). Me mp e rh at i k a n selisih nilai rerata antara pre test-post test pada kelompok perlakuan justru mengalami penurunan sebesar (-0,31), kelompok kontrol meningkat 0,84. Jadi sebenarnya terdapat perbedaan, tetapi perbedaan itu justru terjadi pada kelompok kontrol. H a s i l t el a a h p e n el i t i t e r h a d a p rekapitulasi jawaban kuesioner, ditambah kajian saat diskusi dalam terapi keluarga didapatkan mayoritas keluarga menganggap pasien tidak bisa dilepaskan beraktivitas sendiri di luar rumah karena khawatir pasien belum bisa mengendalikan diri sepenuhnya, khawatir mengganggu tetangga sekitar, atau pasien tidak bisa menjaga keselamatan dirinya sendiri. Sebenarnya keluarga mengharap pasien dapat lebih mandiri seperti kondisi sebelumnya, tetapi jarang menganggap pasien dapat mengendalikan diri untuk tidak marah. Keadaan ini menyebabkan pasien dianggap kurang bisa mengendalikan diri dan kurang mendapatkan du k ungan psikologis dari keluarga. Untuk mengatasi keadaan ini, diskusi dalam terapi keluarga difokuskan pada strategi pelaksanaan (SP) tindakan keperawatan bagi keluarga dalam member ikan perawatan pasien gangguan jiwa sesuai masalah yang timbul (materi lengkap terlampir pada modul). Beberapa keluarga, dalam pelaksanaan terapi keluarga diikuti langsung oleh pasien (pasien hadir dalam pertemuan terapi keluarga). Pada saat seper ti ini, bisa diperagakan langsung bagaimana tindakan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa, mencegah halusinasi, jangan biarkan sendiri, melamun, me nge mba ng k a n st r at eg i komu n i k a si, mencegah perilaku kekerasan, kepatuhan minum obat, dan melibatkan pasien dalam kegiatan harian. Hasil uji independen t-test menunjukkan terdapat perbedaan signif ikan (p=0,002) keya k i na n kelu a rga tent a ng ga ngg u a n jiwa. Mayoritas responden percaya bahwa gangguan jiwa dapat berubah menjadi lebih baik, keluarga merasa menjadi orang yang kuat dan tabah dalam menghadapi cobaan kehidupan, dan percaya bahwa semua yang dialami keluarga sudah merupakan kehendak Tuhan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menggunakan pendekatan spiritual fase 4 (memilih hidup dengan pasien) dalam menilai permasalahan yang dihadapi keluarga, tetapi di sisi lain dapat merupakan ketidakberdayaan keluarga dalam menghadapi masalah yang dihadapi, menerima karena tidak ada pilihan lain. Hasil ini sejalan dengan konsep model yang disampaikan oleh Sullivan dan Walton (2004) tentang perilaku spiritual individu yang mengalami kanker prostat menghasilkan empat tahapan coping spiritual pada pasien dengan kanker prostat yaitu: facing cancer, partisipan merasa syok karena mereka tidak pernah menduga akan mengalami kanker; choosing treatment, partisipan mendapat informasi tentang treatment dan potensial risiko serta keuntungan dari masing-masing treatment; trusting, partisipan yakin dan percaya terhadap diri sendiri dan Tuhan dalam menurunkan ketakutan yang dialami; living day by day, kanker prostat merupakan pengalaman partisipan dalam meningkatkan kesadaran diri tentang bagaimana memaknai atau menghargai kehidupan, demikian juga dengan per masalahan tentang gangguan jiwa. 171 Terapi Keluarga dengan Pendekatan Spiritual (Ah. Yusuf S.) Untuk mengatasi keadaan ini, terapi keluarga difokuskan pada fase acceptance, suatu upaya untuk mengembangkan sikap bisa menerima apa pun yang terjadi dengan memperkuat nilai spiritual Islam dengan latihan mengambil hikmah (Al-Jauzi, 2010; Hartanto, 2010; Hamid, 1999; Nahrowi, 2010, Mustofa, 2005). Beberapa illustrasi tentang berpikir positif dalam buku modul dibahas pada pertemuan ini, “pernahkah kita berpikir bahwa Tuhan tidak adil pada kita, kenapa kita diberi salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa? pernahkah kita berpikir bahwa kita sudah terlalu banyak berkorban untuk orang lain? pernahkah kita berpikir bahwa tanggungan pekerjaan kita terlalu berat? pernahkah kita merasa sangat terasing, terkucilkan? pernahkah kita berpikir tentang hidup ini yang tidak adil terhadap kita? dan sebagainya. Ternyata di luar itu, masih banyak orang yang jauh lebih sengsara, lebih miskin, lebih banyak bisa berbuat, dan lebih bisa menerima kehidupan ini dengan apa adanya, tanpa menggerutu. Hidup dijalani dengan bahagia, bahkan selalu bersyukur. Kita diberi kesehatan, kekuatan dan ketabahan, tidak ikut mengalami gangguan seperti pasien, kita masih bisa bernapas tanpa gangguan, melihat tanpa gangguan, kita masih bisa makan tiga kali sehari, kita masih dibutuhkan dan bisa berbuat untuk orang lain. Semua itu tidak ternilai harganya. Kita harus tetap berpikir positif, dan bersyukur dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tetap berdoa dengan sabar. Pasti Tuhan akan mengabulkan doa kita. Peneliti kembali mengingatkan falsafah kaktus dan ulat, yakinlah dengan Tuhan, niscaya Tuhan akan mengabulkan doa kita. Ter nyata doa adalah mer upakan sebuah proses ritual religiusitas manusia yang terdiri dari direction, obedience dan acceptance. Peneliti juga memfokuskan diskusi pada penerapan nilai spiritual Islam, khususnya pengembangan nilai Ikhsan dalam kehidupan. Jika kita sudah yakin bahwa gangguan jiwa dan semua masalah yang dialami adalah memang kehendak Tuhan, maka buatlah segala tindakan dan perlakuan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa sebagai upaya beribadah kepada Allah, dan Ikhlas dengan semua perbuatan yang dilakukan terhadap pasien, bahwa semua tindakan itu dilakukan atas dasar beribadah kepada Allah. Menu r ut GW Alpot, spi r it ualit as manusia terdiri dari intrinsik dan ekstrinsik. Religiusitas ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan agar dia memperoleh status darinya. Ia berpuasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih berkah Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dir inya. Religiusitas intrinsik adalah cara beragama yang memasukkan nilai agama ke dalam dirinya. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna, semua ibadah memiliki pengaruh dalam sikap hidup setiap hari (Asy’arie, 2012; Bessing, 2010). Religiusitas intrinsik harus dibangun dan dikembangkan dalam keluarga, sehingga keluarga dapat menerima pasien seperti apa adanya, beda dengan cara beragama yang ekstrinsik merupakan cara beragama yang tidak tulus, dan melahirkan egoisme. Cara beragama yang intrinsik mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang. Religiusitas ekstrinsik merupakan cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggung jawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan. Kebahagiaan tidak terletak pada diri sendiri, tetapi pada kebersamaan. Cara beragama int r insi k menciptakan kebersamaan, kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Cara beragama ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit, kemunafikan (Najib, 2007 dalam Asy’arie, 2012). Ke percaya a n kesehat a n kelu a rga setelah intervensi didapatkan keluarga masih tetap percaya bahwa semua kejadian yang dialami pasien dan keluarga sudah merupakan kehendak Tuhan, mengharap pasien dapat lebih mandiri dari kondisi sebelumnya, dan percaya gangguan jiwa dapat berubah menjadi lebih baik. 172 Jurnal Ners Vol. 8 No. 1 April 2013: 165–173 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Health belief model keluarga mengalami per ubahan pada aspek persepsi terhadap benefits, barriers, dan self efficacy, tidak terdapat perbedaan signifikan pada aspek persepsi terhadap susceptibility and severity gangguan jiwa. Saran Perlu dikaji lebih lanjut tentang persepsi keluarga terhadap susceptibility and severity gangguan jiwa. KEPUSTAKAAN Ahmadi F., 2006. Culture, Religion and Spirituality in Coping, Sweden, Uppsala University Library. Asy’arie M., 2012. Tuhan Empirik dan Kesehatan Spiritual; Pengembangan Pemikiran Musa Asy’arie dalam Bidang Kesehatan dan Kedokteran, Center for Neoroscience, Health and Spirituality (C-NET), Yogjakarta. Bessing, YF., 2010. Spiritualitas dalam Neurobiologi dan Kesehatan Mental, Departemen/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unair - RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Chiu, L, Mor row, Mar ina, Ganesan S. dan Clark N., 2005, Spirituality and Treatment Choices by South and East Asian Women Serious Mental Illness. Sage Publication: http://tps.sagepub. com, diakses tgl 6 November 2009. Dossey, AM, Keegan, L., Guzzetta, CE., 2005. Holistic Nursing a Handbook for Practice, Fourth Edition, Jones and Bartlet Publisher Inc. Massachusetts. Fitryasari, PKR., Nihayati, HE., Yusuf, A. ,2009. Pengalaman Keluarga Selama Merawat A nggot a Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Ruang Jiwa C RSU Dr. Soetomo Surabaya; Penelitian Kulaitatif. Laporan Hasil Pe nelit ia n FK P Un air, t id a k d i publikasikan. Gladding, ST., 2002. Family Therapy; Hystory, Theory, and Practice (3rd Edition). London: Perason Education, Inc. Glanz, K., Rimer, B., Viswanath, K., 2008. Health Behavior and Health Education; Theory, Researh, and Practice, 4th Edition, USA: Jossey-Bass. Hamid, AY., 1999. Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. Hartanto, I., 2010, 4 Kekuatan Mahadahsyat; Ikhlas, Sabar, Syukur, Do’a. Yogjakarta: Syura Media Utama. Hawari, D., 2001. Pendekatan Holistik pada S k i zof re nia, Bag ia n Ke dok t e r a n Jiwa. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keliat, BA., Nancy, P., Windarwati, HD., 2009. Pengelolaan Consultation Liaison Mental Health Nursing (CLMHN) pada Pelayanan Umum. Materi Seminar dan Workshop, Malang. M a r a m i s , 2 0 0 6. M e n g u r a n g i R i s i k o Gangguan Jiwa, (Online), (http://www. su a r a ka r yaon li ne.com /news.ht m l., diakses tanggal 25 Oktober 2009). Maramis, WF., 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. McCubbin, HI. dan Thompson, AI., 1991. Family Assessment Inventories for Research and Practice, Madison: University of Wisconsin. Ogden, J., 2007. Health Psycholog y a Textbook, Fourth Edition. England: Open University Press. Pharoah, F., Mari, J., Rathbone, J., Wong, W., 2010. Family Inter vention for Schizophrenia (Review). The Cocrane Collaboration, Wiley Publishers. P ut r a , ST., 2011. Psik on u roim u n olog i Ke d ok te ra n, E d isi 2. Su r abaya: Airlangga University Press. Sara, W., Marlyn, K., 2002. Religious/Spiritual Coping in Childhood Cystic Fibrosis: a Qualitative Stud, Journal of the American Academy of Pediatrics, 109, 1–11, (Online), (www.pediatrics.org., diakses tanggal 2 April 2009). Siswono, 2001. Sangat Besar, Beban Akibat Gangguan Jiwa, (Online), (http://www. Gizi.net., diakses tanggal 26 Februari 2009). Stuart, GW. dan Sundeen, SJ. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St. Louise: Mosby Year Book. 173 Terapi Keluarga dengan Pendekatan Spiritual (Ah. Yusuf S.) Sullivan, N. dan Walton, J., 2004. Men of prayer: Spirituality of Men with Prostate Cancer: A Grounded Theory Study, Journal of Holistic Nursing, 133–151, (Online), (Error! Hyperlink reference not valid., diakses tanggal l 6 November 2010). Tanyi, RA., 2006. Spirituality and Family Nursing; Spiritual Assessment and Inter ventions for Family. Journal Compilation, Black wall Publishing Ltd. Thohir, M., 2009. Menjadi Manusia Pilihan dengan Jiwa Besar; 10 Langkah Praktis Menyehatkan Jiwa. Jakarta: Penerbit Lentera Hati. Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 36 tahun 2009, tentang Kesehatan. Walton, J., 1996. Spiritual Relationship: A Concept Analysis, Journal of Holistic Nursing, 14, 237–250, (Online), (Error! Hyperlink reference not valid., diakses tanggal 6 November 2008).