NERS Vol 5 No 1 April 2010_Akreditasi 2013.indd 38 COOPERATIVE PLAY MEMENGARUHI INTERAKSI SOSIAL ANAK DENGAN GEJALA KEPRIBADIAN INTROVERT (Cooperative Play Affects Social Interaction of Children who have Introvert Personality) Ira Rahmawati*, Ah. Yusuf**, Ilya Krisnana** *Rumah Sakit Mitra Keluarga Jl. Satelit Indah II Darmo Satelit Telp./Fax (031) 7345333. E-mail: ira_cantik@yahoo.com ** Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya ABSTRACT Introduction: One of school age children may developing task is learning to interact with their peer groups. The introvert have problem with their social interaction. One ways that can increase the social skill is play activities with social situation. So social play activities: cooperative play can be one of alternative solution to increase social interaction of children with introvert symptom. This study was aimed to explain effect of social play activities: cooperative play on social interaction of children with introvert symptom. Method: Quasy experiment design was used in this study. The population was school aged children with introvert symptom in SDN Kendangsari III/278 Surabaya. Total sample was 23 respondents consist of 12 respondents as treatment group and 11 respondents as controlled group. The independent variable was social play activities: cooperative play. The dependent was social interaction of children with introvert symptom. The Data was analyzed by Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney U Test with level signifi cance of α ≤ 0.005. Result: Result showed that social play activities: cooperative play had signifi cant effect on social interaction of children with introvert symptom (increased). Wilcoxon Signed Rank Test showed treatment group had p = 0.002 and controlled group had p = 1.00. Mann Whitney U Test showed p = 0.002. Discussion: It concluded that social play activities: cooperative play can be one way to change social interaction of children with introvert symptom. Further studies should involve larger respondents and better measurement tools to obtain more accurate results. Keywords: introvert, social interaction, social skill, cooperative play PENDAHULUAN Pertemanan adalah langkah awal menyusun pondasi sosialisasi melalui interaksi sosial pada anak (Waldrop, 2007). Salah satu faktor yang memengaruhi interaksi sosial pada anak adalah karakter kepribadian (Santrock, 2000). Carl Jung membagi karakter kepribadian berdasarkan orientasi minat atau sikap menjadi dua, yaitu introvert dan ekstrovert (Suryabrata, 2003). Menurut Carl Jung, individu introvert cenderung diam, pemalu dan merasa tidak nyaman di situasi sosial (Wilson, dkk, 1996 dalam Rich, 2003). Mereka mengalami penarikan dan penghindaran sosial (Burger, 2000 dalam Rich, 2003). Tak jarang mereka ada yang menjadi agresif, bandel, pembangkang, atau bahkan menjadi seorang yang pemurung, menarik diri dari interaksi sosial (introvert), tentunya hal ini tergantung kepada kecenderungan pribadi tiap individu (Ramdhani, 2002). Semakin matang orang introvert akan menyadari kalau keadaan ketertutupan itu kurang nyaman (Savitri, 2008). Namun Anak introvert pada akhirnya bisa juga membuka diri (share) terbuka kepada orang lain. Semua itu tergantung pada pengalaman yang dialami anak (Savitri, 2008). Pengalaman bermain dapat menjadi sarana untuk perkembangan sosial anak, terutama jenis bermain sosial (Supendi dan Nurhidayat, 2007). Anak di perkotaan lebih mengenal play station, nintendo atau permainan lainnya yang berhubungan dengan teknologi (Supendi dan Nurhidayat, 2007). Anak berkepribadian introvert atau ekstrovert baru bisa diketahui saat mereka masuk bangku Cooperative Play dan Interaksi Sosial Anak (Ira Rahmawati) 39 sekolah. Anak ekstrovert, sepulang sekolah akan spontan menceritakan kegiatannya di sekolah. Sebaliknya anak-anak introvert akan diam saja (Savitri, 2008). Pada anak sekolah tepatnya usia 9 tahun, anak memasuki “usia gang” atau usia berkelompok (Pillitteri, 1999). Sebagian besar kegiatan mereka lakukan dengan kelompok mereka (Pillitteri, 1999). Menjadi pribadi sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama pada periode ini (Hurlock, 2005). Berdasarkan pengamatan peneliti, sudah ada aktivitas bermain sosial di SDN Kendangsari III/278 Surabaya, tetapi jenis permainan yang sering dimainkan adalah jenis permainan sosial level rendah seperti parallel dan associative play. Jenis aktivitas bermain sosial level tinggi seperti cooperative play jarang digunakan. Permainan tersebut hanya dilakukan seminggu sekali saat pelajaran olah raga (seperti sepak bola dan voli). Sehingga keadaan tersebut belum dapat menjawab masalah interaksi sosial anak sekolah dengan gejala kepribadian introvert. Survei yang dilakukan peneliti di SDN Kendangsari III/278 Surabaya menggunakan kuisioner yang diadaptasi dari personality test kepribadian introvert Yayasan Dharma Graha berbahasa Indonesia (disusun oleh psikiater Dr. H. Yul Iskandar Ph.D.). Hasil tes tersebut menunjukkan anak sekolah dengan gejala kepribadian introvert sebesar 62,5%. Sesuai dengan interpretasi ciri sifat introvert dalam personality test (Iskandar, 2005), anak introvert dengan tingkat introvert rendah tidak mengalami masalah interaksi sosial sedangkan anak tingkat introvert sangat tinggi, tinggi dan rata-rata dapat mengalami masalah interaksi sosial. Anak dengan masalah interaksi sosial cenderung mempunyai konsep diri negatif. Konsep diri negatif dapat memberikan dampak buruk pada tumbuh kembang anak terutama aspek psikologis dan sosial (Tim Familia, 2006). Konsep diri negatif yang terus berlangsung akan menyebabkan harga diri rendah kronis (HDRK). HDRK merupakan salah satu penyebab terbesar gangguan jiwa depresi (Sarason dan Sarason, 2002). Sebaliknya, pada anak introvert yang tidak mengalami masalah interaksi sosial cenderung terbentuk konsep diri positif. Konsep diri positif tidak hanya akan memberi efek positif pada aspek psikologis dan sosial anak saja. Namun juga berpengaruh pada prestasi akademik anak di Sekolah (Tim Familia, 2006). Komponen utama pola kepribadian ada dua yaitu konsep diri dan sifat. Namun konsep diri lebih sebagai inti pola kepribadian yang memengaruhi berbagai bentuk sifat (Sabri, 2001). Pada seorang dengan kepribadian introvert, kemungkinan pertama penyebab permasalahan interaksi sosial yaitu mereka mempunyai self concept yang mengambarkan diri mereka eksklusif dibandingkan orang lain (Fenn, 2002). Kemungkinan kedua adalah karena seorang dengan kepribadian introvert kurang percaya diri (Nussbaum, 2002 dalam Rich, 2003). Anak di perkotaan lebih mengenal play station, nintendo atau permainan lain yang berhubungan dengan teknologi (Supendi dan Nurhidayat, 2007). Permainan tersebut lebih mengarah pada permainan level sosial rendah atau individualis. Kondisi permainan tersebut bukanlah konsep permainan yang dapat meningkatkan interaksi sosial anak introvert. Sehingga dengan keadaan seperti itu, anak introvert akan tetap mengalami masalah interaksi sosial dan berdampak buruk pada keterampilan sosial anak. Beberapa fakta menunjukkan anak dengan keterampilan sosial rendah umumnya tidak disukai, dikucilkan atau diabaikan (Familia, 2006). Salah satu intervensi dalam asuhan keperawatan anak adalah aktivitas bermain s o s i a l s e s u a i t u m b u h k e m b a n g a n a k . Keterampilan yang berhubungan dengan basic life skill, seperti keterampilan berkomunikasi, bersosialisasi, bekerja sama dan negosiasi dalam tim dapat dipelajari melalui proses bermain sosial (Supendi, 2007). Menurut hasil penelitian, terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi bermain sosial terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan sosial anak (Chusairi, 2006). Bermain sosial adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan kelompok (Santrock, 2000). Pada interaksi sosial terdapat proses imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati (Walgito, Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 38–48 40 2003). Proses tersebut akan meningkatkan keterampilan sosial anak. Peningkatan keterampilan sosial akan meningkatkan interaksi sosial anak. Berdasarkan uraian tersebut, aktivitas bermain sosial: cooperative play dapat digunakan sebagai alternatif solusi untuk meningkatkan interaksi sosial anak dengan gejala kepribadian introvert. BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan adalah quasy experiment. Populasi target dalam penelitian ini anak dengan gejala kepribadian introvert sedangkan populasi terjangkau anak sekolah dengan gejala kepribadian introvert di SDN Kendangsari III/278 Surabaya. Responden sebanyak 23 anak sekolah didapat berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut: anak sekolah di SDN Kendangsari III Surabaya kelas 5 (usia 9, 10 dan 11), anak dengan gejala kepribadian introvert tingkat rata-rata, tinggi dan sangat tinggi serta anak sekolah sehat mental dan fisik. Kriteria eksklusi yang digunakan meliputi: anak sekolah tidak bersedia diteliti, anak sekolah tidak kooperatif dan anak sekolah tidak masuk pada saat penelitian. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas bermain sosial: cooperative play dan variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu interaksi sosial pada anak dengan gejala kepribadian introvert. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan observasi terhadap kelompok perlakuan dan kontrol untuk mengukur interaksi sosial sebelum dan setelah perlakuan. Indikator dari interaksi sosial yang akan digunakan pengembangan dari kompleks interaksi sosial menurut Gillis Mattson dan Raymond G. Romanczyk yang terdiri dari kontak sosial dan kemampuan komunikasi. Kemampuan komunikasi terdiri dari kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur kontak sosial menggunakan jenis pertanyaan kuesioner tertutup dan diisi oleh anak sebagai responden (subjek penelitian). Pengukuran kemampuan komunikasi baik verbal maupun nonverbal menggunakan metode observasi. Pengumpulan data observasi verbal dikembangkan dari TAKS Keliat dan Akemat (2005) meliputi beberapa aspek. Aspek tersebut adalah perkenalan; bertanya (jelas, ringkas, relevan dan spontan); menjawab (jelas, ringkas, relevan dan spontan); menyampaikan topik tertentu (jelas, ringkas, relevan dan spontan); memberi pendapat (jelas, ringkas, relevan dan spontan); dan kemampuan bekerja sama: bertanya dan meminta (jelas, ringkas, relevan dan spontan), menjawab dan memberi (jelas, ringkas, relevan dan spontan). Sedangkan kemampuan komunikasi nonverbal dikembangkan saluran komunikasi non verbal menurut Baron dan Byrne (2004). Komunikasi non verbal tersebut akan diukur melalui kesesuaian ekspresi wajah, kontak mata dan bahasa tubuh (kesesuaian bahasa tubuh dan jarak personal sosial). Kuesioner dan observasi yang akan dilakukan saat jam pelajaran berlangsung dengan ijin dari guru pengajar sebagai jam pembelajaran khusus. Observasi dilakukan saat permainan puzzle dengan potongan puzzle tersebar acak untuk menilai kemampuan komunikasi verbal kerja sama dan komunikasi nonverbal responden. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 sampai 7 Juni 2008 dilanjutkan 16 sampai 21 Juni 2008 di SDN Kendangsari III/278 Surabaya. Data yang terkumpul dianalisis untuk mengetahui perbedaan interaksi sosial anak sebelum dan sesudah diberikan aktivitas bermain sosial: cooperative play dengan uji statistik willcoxon sign rank test dan mann whitney u test untuk mengetahui perbedaan antara kelompok perlakuan dan control dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05. HASIL Pada kelompok perlakuan sebelum diberikan aktivitas bermain sosial: cooperative play, diperoleh data interaksi sosial dengan kriteria kurang baik sebanyak 50%, interaksi sosial cukup sebanyak 41,7% dan interaksi sosial baik sebanyak 8,3%. Setelah diberikan perlakuan, hampir setengah anggota kelompok perlakuan mempunyai kriteria baik (41,7%), cukup sebanyak 41,7% dan kurang baik sebanyak 16,7%. Cooperative Play dan Interaksi Sosial Anak (Ira Rahmawati) 41 Pada kelompok kontrol, sebelum diberikan aktivitas bermain sosial: cooperative play, diperoleh data interaksi sosial dengan kriteria kurang baik sebanyak 36,4%, interaksi sosial cukup sebanyak 36,4% dan interaksi sosial tidak baik sebanyak 27,3%. Adapun setelah diberikan perlakuan, didapatkan hasil kriteria interaksi sosial sama seperti sebelum perlakuan. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakuan antara sebelum dan sesudah diberikan aktivitas bermain sosial: cooperative play. Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar berada pada ties yang berarti hasil interaksi sosial antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak mengalami perubahan. Hasil uji statistik wilcoxon signed rank test kelompok kontrol menunjukkan derajat kemaknaan 1,000 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil interaksi sosial sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji statistik mann whitney u test p = 0,002 yang berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sehingga dari hasil uji statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh aktivitas bermain sosial: cooperative play terhadap interaksi anak dengan gejala kepribadian introvert (Tabel 1). PEMBAHASAN Sebagian besar responden mempunyai derajat kepribadian introvert rata-rata. Interaksi sosial responden sebelum dilakukan aktivitas bermain sosial: cooperative play mengalami masalah. Keadaan ini dibuktikan oleh setengah dari responden kelompok perlakuan mempunyai kriteria interaksi sosial kurang baik. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat hampir setengah mempunyai kriteria interaksi sosial kurang baik dan sebagian kecil mempunyai kriteria interaksi sosial tidak baik. Interaksi sosial yang kurang dapat dilihat dari hasil skor kuesioner kontak sosial dan observasi komunikasi. Pada hasil tabulasi kuesioner kontak sosial, baik kelompok perlakuan maupun kontrol sebagian besar mendapat skor rendah di bagian kontak sosial primer, kontak sosial sekunder, subjek tempat bertukar pikiran, fungsi responden sebagai tempat berkeluh kesah bagi orang lain, tingkat kebutuhan akan orang lain, tingkat kebutuhan orang lain terhadap dirinya dan jenis kegiatan di luar rumah serta tempat bermain. Sedangkan berdasarkan hasil tabulasi observasi komunikasi, baik kelompok perlakuan maupun kontrol sebagian besar mendapat skor rendah komunikasi verbal di bagian bertanya, memberi pendapat, kemampuan bekerja sama (bertanya dan meminta; menjawab dan memberi); dan komunikasi nonverbal di bagian kontak mata serta bahasa tubuh. Introvert merupakan salah satu tipe kepribadian. Komponen utama pola kepribadian ada dua yaitu konsep diri (self concept) dan sifat (trait). Namun konsep diri lebih sebagai inti pola kepribadian yang memengaruhi berbagai bentuk sifat (Sabri, 2001). Menurut C.G. Jung introvert menunjukkan bahwa individu yang memiliki minat ke dalam dirinya sendiri; pikiran, perasaan dan cita-citanya sendiri yang menjadi sumber, minat dan nilai-nilainya (Sabri, 2001). Menurut ahli psikologi, pola kepribadian terdiri dari dua bagian yaitu the self concept (konsep diri) sebagai pusat bentuk kepribadian dan trait (sifat) sebagai roda atau kemudi kepribadian yang berhubungan erat dan dipengaruhi oleh the self concept (Sabri, 2001). Ada tiga dimensi yang tergabung dalam sifat introvert yaitu: kecenderungan atau suka akan perenungan atau pemikiran, sebagai lawan terhadap kecenderungan bertindak, lebih cenderung untuk menyendiri daripada turut aktif di tengah kumpulan orang atau masyarakat dan kecenderungan untuk mencari atau membayangkan kesukaran dalam hidupnya (Sabri, 2001). Hasil interpretasi tes personaliti versi Dharma Graha didapatkan anak introvert yang mempunyai masalah interaksi adalah anak dengan derajat introvert sangat tinggi, tinggi dan rata-rata (Iskandar, 2003). Pada anak derajat introvert sangat tinggi mempunyai sifat kaku, pemalu, pendiam, keras kepala, tidak ada kepercayaan diri, sulit diterima orang banyak dan tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain. Adapun anak derajat introvert tinggi mempunyai sifat kurang percaya diri sehingga tidak percaya pada orang lain dan tidak mau bergaul. Anak derajat introvert rata- Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 38–48 42 rata mempunyai sifat pendiam, tidak percaya diri, sulit diajak bekerja sama dan cenderung pemilih dalam mencari teman atau sahabat (Iskandar, 2003). Pola kepribadian tersebut terbentuk disebabkan mereka mempunyai self concept yang menggambarkan diri mereka eksklusif dibandingkan orang lain (Fenn, 2002). Serta dapat juga disebabkan seorang dengan kepribadian introvert kurang percaya diri (Nussbaum, 2002 dalam Rich, 2003). Berdasarkan uraian di atas, anak dengan gejala kepribadian introvert mempunyai masalah dengan interaksi sosial disebabkan oleh pola kepribadian mereka baik itu konsep diri maupun sifat. Kemungkinan pertama, anak dengan gejala kepribadian introvert mempunyai rasa percaya diri rendah. Rasa percaya diri rendah akan berpengaruh pada sifat pribadi tingkah laku anak seperti tidak percaya pada orang lain dan tak mau bergaul. Sifat anak yang tidak percaya pada orang lain menyebabkan anak jarang bertukar pikiran (sharing) dan dijadikan tempat bertukar pikiran. Sedangkan sifat tidak mau bergaul menyebabkan anak mempunyai kontak sosial baik primer maupun sekunder rendah. Keadaan tersebut akan menyebabkan menurunnya jenis kegiatan anak di luar rumah, menyempitnya jangkauan tempat bermain dan menurunnya tingkat kebutuhan orang lain terhadap anak. Kepercayaan diri yang rendah juga dapat menyebabkan menurunnya kemampuan komunikasi verbal maupun non verbal. Kemungkinan kedua, anak introvert menggambarkan diri mereka eksklusif dibandingkan orang lain. Penggambaran diri tersebut akan menyebabkan tingkat kebutuhan anak akan orang lain berkurang. Pola kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh unsur pembentuknya saja tapi juga oleh beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan kepribadian itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan baik kelompok perlakuan maupun kontrol sebagian besar berusia 10 tahun dan sebagian kecil 9 dan 11 tahun. Berdasarkan tabulasi hasil interaksi sosial anak usia 10 dan 11 tahun mempunyai skor interaksi sosial lebih besar daripada anak usia 9 tahun. Seiring bertambah usia, anak banyak belajar dan mengembangkan emosi melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain di sekelilingnya (Daengsari, 2000). Kemampuan anak mengatur emosi dan perilaku akan menambah keterampilan sosial anak sehingga anak dapat menjalin interaksi secara efektif (Fajar, 2007). Selain itu usia anak yang semakin bertambah diikuti oleh perkembangan fungsi organ tertentu dari tubuh dan interaksi sosial yang dialami (Geibreil, 2008). Semakin bertambah usia maka semakin bertambah juga pengalaman yang berarti juga meningkatnya keterampilan sosial. Anak dengan keterampilan sosial yang baik akan mempunyai interaksi sosial yang baik juga. Sehingga semakin bertambah usia semakin baik perkembangan interaksi sosialnya. Setengah dari responden pada kelompok perlakuan berjenis kelamin lelaki, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar berjenis kelamin lelaki. Berdasarkan tabulasi hasil interaksi sosial, anak lelaki mempunyai skor interaksi sosial lebih besar daripada anak perempuan. Anak lelaki cenderung mempunyai hubungan teman sebaya yang lebih luas daripada anak perempuan. Ia lebih suka Tabel 1. Interaksi sosial anak dengan gejala kepribadian introvert di SDN Kendangsari III/278 Surabaya pada Tanggal 3 sampai 21 Juni 2008 Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Negative Ranks 0 1 Positive Ranks 12 2 Ties 0 8 Total 12 11 Wilcoxon Singed Ranks Test signifi kansi (p) = 0,002 Wilcoxon Singed Ranks Test signifi kansi (p) = 1,00 Mann Whitney U-Test signifi kansi (p) = 0,002 Cooperative Play dan Interaksi Sosial Anak (Ira Rahmawati) 43 bermain berkelompok daripada hanya dengan satu atau dua anak. Sebaliknya, hubungan sosial anak perempuan lebih intensif dalam arti bahwa ia lebih sering bermain dengan satu atau dua orang daripada dengan seluruh kelompok (Hurlock, 2004). Pada permainan berkelompok, interaksi akan lebih luas dan beragam. Sehingga pada anak lelaki, mereka akan mempunyai kesempatan belajar mengenal pola interaksi yang lebih baik daripada anak perempuan. Oleh karena itu, anak lelaki akan mempunyai interaksi sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak perempuan. Sebagian besar responden kelompok perlakuan dan kontrol adalah anak sulung dan sebagian kecil anak tunggal serta bungsu. Berdasarkan tabulasi hasil interaksi sosial, anak sulung mempunyai skor interaksi sosial lebih rendah daripada anak bungsu dan tunggal. Anak yang lahir pertama dan terakhir dalam keluarga besar sering menjadi egosentrik karena mereka merupakan pusat perhatian dari seluruh anggota keluarga. Semakin kecil keluarga, semakin egosentrik si anak. Anak tunggal cenderung menjadi lebih egosentrik daripada anak dari keluarga besar. Anak yang egosentrik terikat pada dirinya dalam arti bahwa perhatian mereka terutama berpusat kepada diri mereka sendiri (Hurlock, 2005). Anak sulung mempunyai karakteristik kurang berani, kurang agresif, sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang aman yang timbul dari berkurangnya perhatian orang tua dengan kelahiran adiknya (Hurlock, 2004). Anak sulung juga sering mengkritik orang lain dan tidak kooperatif (Adler dalam Alwisol, 2004). Anak bungsu mengalami hubungan sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab (Hurlock, 2004). Anak tunggal mempunyai karakteristik masak secara sosial (Hurlock, 2004). Urutan kelahiran mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Baik anak tunggal, bungsu maupun sulung sama cenderung egosentrik. Tetapi dengan berkembangnya berbagai kecakapan dan kemampuan berkomunikasi, egosentrisme seharusnya berkurang. Namun berdasarkan pengalaman hidupnya, anak sulung yang mempunyai karakteristik sifat kurang bagus (sering mengkritik dan tidak kooperatif) akan mengakibatkan pandangan kelompok sosial terhadap mereka tidak menguntungkan baik dari orang dewasa maupun teman sebaya. Keadaan ini berdampak pada penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Sehingga interaksi sosial mereka lebih rendah daripada interaksi sosial anak tunggal dan anak bungsu. Responden kelompok perlakuan dan kontrol sebagian besar tinggal di perkampungan dan sebagian kecil tinggal di perumahan. Berdasarkan tabulasi hasil interaksi sosial, anak yang tinggal di perumahan mempunyai skor interaksi sosial lebih rendah daripada anak yang tinggal di perkampungan. Lingkungan kehidupan yang serba individu, biasanya terjadi pada perumahan. Hal ini tidak baik bagi anak. Ia menjadi tidak bisa bergaul, suka memilih- milih teman, tidak suka melakukan kegiatan yang berbau sosial dan senang menyendiri (Kasandra dalam Pernamasari, 2006). Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik mungkin dapat menghambat. Lingkungan perumahan kurang kondusif untuk sosialisasi anak. Hal ini dikarenakan lingkungan perumahan lebih sedikit menyediakan kesempatan untuk anak berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga anak menjadi individualis. Oleh sebab itu, interaksi sosial anak yang tinggal di perkampungan lebih baik daripada interaksi sosial anak yang tinggal di perumahan. Kelompok kontrol maupun perlakuan sebagian besar mempunyai derajat introvert rata-rata dan sisanya derajat introvert tinggi. Berdasarkan tabulasi hasil interaksi sosial, anak dengan kepribadian introvert derajat tinggi mempunyai kriteria interaksi sosial kurang baik dan tidak baik. Sedangkan anak dengan derajat kepribadian introvert rata-rata sebagian besar mempunyai kriteria interaksi sosial cukup dan kurang baik serta sisanya tidak baik. Adapun anak derajat introvert tinggi mempunyai sifat kurang percaya diri sehingga tidak mudah percaya pada orang lain Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 38–48 44 dan tidak mau bergaul. Sedangkan anak derajat introvert rata-rata mempunyai sifat pendiam, tidak percaya diri, sulit diajak bekerja sama dan cenderung pemilih dalam mencari teman atau sahabat (Iskandar, 2003). Berdasarkan uraian tentang sifat anak introvert di atas, maka dapat dikatakan semakin tinggi derajat introvert anak maka makin rendah kriteria interaksi sosialnya. Berdasarkan distribusi karakteristik responden tingkat pendidikan, setengah dari orang tua kelompok perlakuan mempunyai tingkat pendidikan SMA dan kelompok kontrol hampir setengah memiliki tingkat pendidikan SMA. Anak dengan pendidikan orang tua SMA dan Perguruan tinggi mempunyai interaksi sosial yang lebih besar dibandingkan anak dengan orang tua berpendidikan SMP dan SD. Taraf pendidikan orang tua akan memengaruhi kemampuan orang tua dalam membimbing anak, dengan pendidikan yang baik kemampuan orang tua membimbing anak semakin baik (Dariyo, 2004). Dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak dan bagaimana memberikan pendidikan pada anak (Soetjiningsih, 2002). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah orang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media massa sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Semakin tinggi pengetahuan orang tua maka akan semakin banyak hal yang akan diajarkan pada anak seperti cara bersosialisasi yang baik. Sehingga anak dengan orang tua berpendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan interaksi sosial yang tinggi juga. Jenis pekerjaan orang tua kelompok perlakuan dan kelompok control setengah dari ibu mempunyai jenis pekerjaan sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja. Anak yang dibesarkan oleh ibu bekerja mempunyai skor interaksi sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang ibunya tidak bekerja. Orang tua berperan besar dalam membentuk kepribadian anak, salah satu caranya yaitu dengan memberikan stimulasi melalui berbagai corak komunikasi antara orang tua dengan anak. Pada kenyataannya yang sering berfungsi sebagai orang tua adalah ibu. (Gunarsa dan Gunarsa, 2000). Adapun studi mengenai pengalaman awal anak telah memperlihatkan bahwa pengalaman dan ingatan tentang sesuatu, walaupun samar, sangat berpengaruh karena pengalaman meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan pada konsep diri anak (Hurlock, 2005). Harga diri (konsep diri) sangat berpengaruh pada interaksi sosial anak (Petranto, 2006). Ibu rumah tangga yang tidak mempunyai pekerjaan maka akan mempunyai banyak waktu luang untuk berinteraksi dengan anaknya. Oleh karena itu anak akan mendapat lebih banyak perhatian dan pendidikan dari orang tuanya. Perasaan diperhatikan dan pengalaman belajar lebih banyak dari orang tua akan menyebabkan anak tumbuh dengan konsep diri yang baik. Anak yang tidak dibekali aturan sosial namun memiliki rasa percaya diri yang kuat, bisa dianggap aneh oleh lingkungannya. Misalnya ia dianggap tidak sopan karena tidak tahu bagaimana cara meminjam barang yang semestinya pada orang lain. Sementara anak pemalu yang tidak dibekali aturan sosial, bisa jadi akan merasa minder jika berhadapan dengan lingkungan yang belum dikenalnya. Sehingga akan berdampak buruk pada interaksi sosial anak. Jenis pekerjaan orang tua kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebagian besar ayah mempunyai jenis pekerjaan swasta. Berdasarkan tabulasi, hasil interaksi sosial anak dengan orang tua yang mempunyai pekerjaan lebih besar skor interaksi sosialnya. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 2002). Ayah sebagai tulang punggung keluarga mempunyai peran besar terhadap pendapatan keluarga. Adapun anak yang kebutuhannya terpenuhi akan menunjang tumbuh kembang anak. Jadi ayah yang berpenghasilan mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga tumbuh kembang anak akan berjalan optimal. Salah satunya adalah perkembangan keterampilan sosial anak. Tumbuh kembang yang baik akan berdampak positif pada interaksi sosial anak. Cooperative Play dan Interaksi Sosial Anak (Ira Rahmawati) 45 Setelah diberikan aktivitas bermain sosial: cooperative play pada kelompok perlakuan didapatkan peningkatan interaksi sosial. Hurlock menyebutkan bahwa salah satu jenis permainan yang mampu memotivasi perkembangan emosi dan sosial anak adalah permainan yang bernuansa sosial (Hartini, 2000). Keterampilan yang berhubungan dengan basic life skill, seperti keterampilan berkomunikasi, bersosialisasi, penghargaan, dan bekerja sama dalam tim juga dapat dipelajari melalui proses bermain sosial (Supendi dan Nurhidayat, 2007). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang (Tasmin, 2002). Aktivitas bermain sosial: cooperative play merupakan jenis permainan yang bernuansa sosial. Permainan ini dapat mengajarkan anak keterampilan yang dibutuhkan saat berinteraksi dengan orang lain. Dengan bertambahnya keterampilan tersebut maka akan meningkatkan kemampuan anak untuk berinteraksi sosial. Berdasarkan hasil tabulasi hasil interaksi sosial, menunjukkan peningkatan interaksi sosial anak lebih besar pada kemampuan komunikasi dibandingkan dengan kontak sosial. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut (Dwiumami, 2008). Kemampuan kontak sosial bukanlah kemampuan yang bisa didapat dalam waktu singkat. Selain itu kontak sosial tidak tergantung dari tindakan saja, tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Jika usaha kontak hanya dilakukan pada satu sisi saja, tetapi tidak ada usaha dari sisi lawan kontak maka kontak sosial tidak akan terjadi. Pada kelompok perlakuan masih ada responden yang tetap memiliki kriteria interaksi sosial kurang baik. Terdapat 2 anak yang tidak mengalami peningkatan yaitu responden no. 4 dan 6. Berdasarkan data karakteristik responden didapatkan pada responden no. 4 berusia sembilan tahun, lelaki, introvert rata-rata, anak sulung, tinggal di perkampungan, pendidikan ayah perguruan tinggi, ibu SMA, dan pekerjaan ayah swasta serta ibu wirausaha. Beberapa bentuk belajar hanya mungkin setelah tercapai tingkat kematangan tertentu (Horton dan Hunt, 2006). Pada usia sepuluh tahun anak mulai menyukai peraturan dan siap untuk berkompetisi dalam permainan (Pillitteri, 1999). Saat berumur 10 atau 11 tahun kebanyakan anak mulai belajar permainan olah raga (Santrock, 2000). Anak mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang unik di setiap tahapan usianya. Meskipun saat usia sembilan tahun merupakan usia berkelompok (gang) tapi mereka belum menyukai peraturan. Padahal permainan sosial: cooperative play merupakan permainan yang mementingkan peraturan sebagai analogi bahwa di masyarakat ada aturan untuk setiap tindakan. Sehingga peningkatan interaksi sosial anak sembilan tahun lebih rendah daripada anak berusia sepuluh tahun. Responden no. 6 berusia 11 tahun, introvert rata-rata, anak tunggal, tinggal di perumahan, pendidikan ayah perguruan tinggi, ibu SMA, dan pekerjaan ayah TNI/Polisi serta ibu swasta. Keluarga merupakan basis pertama dan utama dalam berbagai rangkaian proses interaksi sosial yang dialami individu selama hidupnya. Kebutuhan psikologis dan sosiologis anak yang dialami anak di dalam keluarga kemudian menjadi dasar untuk pergaulannya dengan masyarakat sosial yang lebih luas (Geibreil, 2008). Terdapat banyak bukti bahwa sikap dan reaksi emosional orang tua, konteks budaya dari lingkungan tempat anak dibesarkan dan faktor lain dalam pengalaman total anak penting sekali dalam menentukan pola kepribadian. Peran yang dipelajari anak di rumah memengaruhi konsep dirinya (Hurlock, 2005). Hasil riset dan para psikologi banyak yang menyatakan bahwa peran ayah juga penting dalam pertumbuhan seorang anak. Ikatan emosional antara ayah dan anak, ditentukan salah satunya oleh interaksi antara ayah dan anak itu sendiri (Eramuslim, 2004). Petranto, 2006 menyatakan bahwa orang tua mendidik anak berdasarkan pola asuh tertentu (demokratis, otoriter, permisif dan penelantar). Pola asuh orang tua ini sangat memengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan (Petranto, 2006). Anak yang terbiasa mendapat pendidikan yang sangat otoriter biasanya mengembangkan Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 38–48 46 kekakuan dalam pola penyesuaian mereka yang karakteristik atau sindrom kepribadian otoriter. Mereka bersikap menahan diri, sangat terkendali, introvert tertutup, konservatif, dan konvensional. Akibat ciri-ciri itu, mereka tidak toleran terhadap perubahan, ketidakteraturan dan hal yang tidak jelas. Mereka cenderung patuh terhadap tokoh yang berkuasa, tetapi agresif terhadap semua yang lebih lemah dari mereka. Secara lazim, mereka merasa cemas, mudah merasa khawatir, selalu ragu, merasa tidak aman, menganut moral yang kaku dan diganggu perasaan ketidakmampuan dan inferioritas. Karakteristik tersebut mewarnai seluruh penyesuaian mereka dalam hidup (Hurlock, 2005). Adapun orang tua yang mempunyai pekerjaan TNI/Polisi cenderung menerapkan pola asuh diktator. Pola asuh tersebut akan berpengaruh kepada kepribadian anak. Karena pola asuh diktator tidak memberikan kebebasan pada anak untuk mengeluarkan pendapat. Sehingga anak akan mempunyai interaksi sosial kurang baik, seperti dalam komunikasi verbal saat mengungkapkan pendapat. Berdasarkan hasil tabulasi kuesioner kontak sosial, sebagian besar kelompok perlakuan mendapat skor rendah di bagian kontak sosial sekunder, subjek tempat bertukar pikiran (sharing), fungsi responden sebagai tempat berkeluh kesah bagi orang lain, tingkat kebutuhan akan orang lain. Sedangkan berdasarkan hasil tabulasi obervasi komunikasi, sebagian besar kelompok perlakuan mendapat skor rendah di bagian bertanya dan memberi pendapat. Suatu kontak dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak sekunder memerlukan suatu perantara seperti alat telepon, telegraf, radio. Efektivitas dan hambatan komunikasi antar personal menekankan pada keterbukaan (openness), empati (empathy) suportif (supportive), saling mengerti (equality) dan kejujuran (possitiveness) (Noegroho dan Istiyanto, 2000). Bertanya membutuhkan proses berpikir, kontemplasi, dan kreasi (Jon, 2007). Sedangkan berpendapat membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan ini merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi (Setiono, 2007). Sikap mental juga perlu disiapkan untuk memberi dan menerima kritik serta sanggahan (Rachman dan Savitri, 2008). Beberapa kemampuan Interaksi sosial memang tidak mudah untuk didapat. Pertama, kontak sekunder sulit mengalami peningkatan karena memerlukan perantara yang belum tentu tersedia bagi responden. Kedua, kontak sosial yang berhubungan dengan bertukar pikiran (sharing) sulit mengalami peningkatan karena ada hambatan dalam komunikasi antar personal. Anak dituntut untuk mempunyai keterbukaan (openess), empati (empathy) suportif (supportive), saling mengerti (equality) dan kejujuran (possitiveness) dengan pasangan komunikasinya. Ketiga, kemampuan dalam bertanya dan berpendapat tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan sosial namun masih membutuhkan kemampuan yang lain juga. Sehingga perubahan pada kemampuan sosial juga membutuhkan perubahan pada kemampuan yang lain untuk mengubah kemampuan bertanya dan berpendapat. Aktivitas bermain sosial: cooperative play adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dalam kelompok di mana d a p a t d i t e m u i i d e n t i t a s k e l o m p o k d a n kegiatan yang terorganisir (Santrock, 2000). Piaget mengemukakan bahwa kesempatan menurunkan ego anak dapat terjadi saat anak berdiskusi bersama karena mereka harus menerima kenyataan bahwa tidak semua orang mempunyai pandangan yang sama dengannya dalam situasi tertentu (Heningger, 1999). Permainan ini menggambarkan pentingnya koordinasi suatu kelompok dalam memecahkan masalah. Setiap kelompok dituntut untuk memecahkan masalahnya, tetapi tetap sportif menaati aturan yang ada. Permainan ini berfungsi sebagai analogi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat pun selalu ada aturan dan norma yang mengatur setiap tindakan (Supendi dan Nurhidayat, 2007). Aktivitas bermain sosial: cooperative play merupakan permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan kelompok (peers). Pada interaksi sosial terdapat proses imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati. Diharapkan Cooperative Play dan Interaksi Sosial Anak (Ira Rahmawati) 47 saat mengikuti terapi bermain tersebut anak akan mengalami proses tersebut dengan teman sepermainannya sehingga terjadi respon mengenal pola interaksi sosial berhubungan dengan orang lain yang akan meningkatkan keterampilan sosial anak. Melalui proses belajar (pengalaman) berupa fisik yang kemudian berkembang menjadi psikis akan menjadikan proses kesadaran menjadi ketidaksadaran yang mengubah pola kepribadian. Perubahan yang terjadi pada pola kepribadian adalah konsep diri (harga diri) meningkat serta perubahan sifat kualitatif dan atau kuantitatif. Kondisi tersebut terefleksi dengan sikap percaya diri dan suka bergaul dengan banyak orang. Sehingga keadaan tersebut akan meningkatkan interaksi sosial yang terdiri dari komunikasi maupun kontak sosial. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Aktivitas bermain sosial: cooperative play mampu meningkatkan interaksi sosial anak dengan gejala kepribadian introvert. Saran Saran yang dapat diberikan antara lain bagi perawat terutama perawat anak agar lebih kreatif dan inovatif dalam menstimulasi tumbuh kembang anak melalui permainan, seperti aktivitas bermain sosial: cooperative play, melibatkan keluarga terutama orang tua sebagai support system dan pendorong yang efektif dalam tugas tumbuh kembang anak, mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai stimulasi tumbuh kembang anak untuk membantu anak dengan masalah sosialisasi. Bagi anak dengan gejala kepribadian introvert agar tetap melanjutkan aktivitas bermain sosial, seperti cooperative play baik di rumah maupun di sekolah. Bagi orang tua, hendaknya dapat menjadi role model interaksi sosial yang baik untuk anak, menyediakan waktu luang untuk berinteraksi dengan anak dan memberikan kesempatan anak untuk bersosialisasi. Bagi sekolah, hendaknya dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk dapat membantu tumbuh kembang anak seperti aktivitas bermain sosial: cooperative play. Sebagai orang kedua yang penting pengaruhnya setelah orang tua, guru dapat menjadi role model interaksi sosial yang baik serta menyediakan alat, media maupun metode stimulasi anak dalam proses tumbuh kembang terutama keterampilan sosial. DAFTAR PUSTAKA Alwisol, 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, hlm. 73, 106–110. Chusairi, A., 2006. Efektivitas Terapi Bermain Sosial untuk Meningkatkan Kemampuan dan Keterampilan Sosial Anak dengan Autism. http://fulltext.lib.unair.ac.id. Tanggal 16 Mei 2008. Jam 09.00 WIB. Daengsari, D., 2000. Perkembangan Emosi, (Online), http://www.tabloid-nikita. com., diakses tanggal 28 Juli 2008. jam 16.00 WIB). Dariyo, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 109. Dwiumami, N., 2008. Proses Sosial dan Interaksi Sosial, (Online), (http;// kuliahkomunikasi.wordpress.com., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Eramuslin, 2004. Kiat memperkuat Hubungan Ayah dan Anak, (Online), (http://info. balitacerdas.com., Diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Fajar, 2007. Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir. (Online), (http://f4jar. multiply.com/journal/item/191., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Fenn, N., 2002. So Your Child is an Introvert, (Online), (http://www.selfgrowth.com., diakses tanggal 2 Oktober 2007, jam 20.00 WIB). Geibreil, 2008. Membentuk Kepribadian Melalui Interaksi Sosial, (Online), (http://geibreil.wordpress.com., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Gunarasa dan Gunarsa, 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hartini, N., 2000. Peran Pola Permainan Sosial dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak. (Online), (http://Fulltext. lib.unair.ac.id., diakss tanggal 17 Juli 2008., jam 10.00 WIB). Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 38–48 48 Henninger, M., 1999. Theaching Young Children: an Introduction. New Jersey: Prentice, hlm. 121–122. Hurton dan Hunt, 2006. Sosiologi Jilid I Ed. 6. Jakarta: Erlangga, hlm. 102–103. Hurlock, E, 2005. Perkembangan Anak Ed. 5 Jilid I. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E., 2005. Perkembangan Anak Ed. 5 Jilid II. Jakarta: Erlangga. Iskandar, Y., 2003. Tes Personaliti. Jakarta: Yayasan Graha Group. Jon, 2007. Bertanya Cermin Kecerdasan Anak. (Online), (http://www.kompas.com., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Noegroho dan Istiyanto, 2000. Komunikasi Antar Personal. (Online), (http://www. sbektiistiyanto.wordpress.com., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Pernamasari, 2006. Neighbour, Friend o r F o e ? . ( O n l i n e ) , ( h t t p : / / w w w. i n s p i r e d k i d s m a g a z i n e . c o m / ArtikelFamilyLife.php?artikelID=85., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Petranto, I., 2006. Rasa Percaya Diri Anak adalah Pantulan Pola Asuh Orang Tuanya. (Online), (http://dwpptrijenewa. isuisse.com., diakses tanggal 24 Mei, jam 16.00 WIB). Pillitteri, A., 1999. Child Health Nursing Care of The Child and Family. Philladelphia: Lippincott. Rachman dan Savitri, 2008. Berpikir Kritis. (Online), (http://www.experd.com., diakses tanggal 28 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Ramdhani, A., 2002. Problema Pubertas Dipondok Pesantren. (Online), (http:// digilib.itb.ac.id., diakses tanggal 2 Juni 2008, jam 09.00 WIB). Rich, S., 2003. Degree of Active Helping: An Interaction between Extraversion and Self-Esteem. (Online), (http://web.sbu. edu/psychology.htm., diakses tanggal 3 Oktober 2007, jam 10.00 WIB). Sabri, M., 2001. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan Bahan Kuliah dan Diskusi Mahasiswa. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Santrock, J., 2000. Children. USA: McGraw- Hill. Savitri, I., 2008. Anak-anak Introvert, Bermasalahkah?. (Online), (http://www. republika.co.id., diakses tanggal 3 Juni 2008, jam 10.00 WIB). Setiono, 2007. Berpikir Kritis. (Online), (http://agustinussetiono.wordpress. com., diakses tanggal 26 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Soetjiningsih, 2002. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Supendi, P. dan Nurhidayat, 2007. Fun Game 50 Permainan Menyenangkan di Indoor dan Outdoor. Jakarta: Penebar Plus. Suryabrata, S., 2003. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafi ndo Persada. Tasmin, M., 2002. Bermain Lebih Penting daripada Bermain?. (Online), (http:// www.e-psikologi.com., diakses tanggal 26 Juli 2008, jam 16.00 WIB). Tim Familia, 2006. Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisus. Waldrop, S., 2007. Choosing Friends An Experience in Social Development. (Online), (http://preschoolerstoday. com/resources/articles/friends.htm., diakses tanggal 2 Oktober 2007., jam 20.00 WIB). Walgito, B., 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi.