NERS Vol 5 No 1 April 2010_Akreditasi 2013.indd 62 POLA MENYUSUI DAN PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA USIA 7–24 BULAN (The Pattern of Breastfeeding and Providing Supplement Increase Nutritional Status for 7–24 Month Children) Esti Yunitasari*, Hesti Permanasari*, Retnayu Pradanie* * Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail: esty.yun_ners@unair.ac.id ABSTRACT Introduction: Infants grow and develop rapidly therefore they tend to suffer from malnutrition when they couldn’t get adequate nutrition. The infant nutrient status is infl uenced by many factors such as the breastfeeding pattern and the providing supplement meal pattern. The purpose of this study was to analyze correlation between breastfeeding and providing supplement with 7–24 month child nutritional status. Method: This study used cross sectional design. Population was mothers who were breastfeeding and providing supplemental meal to their infants age 7 to12 months at Nuri Posyandu, in Kademangan Puskesmas. Samples consisted of 16 mothers with their infants, enrolled based on inclusion criteria. The independent variables were breastfeeding pattern and providing supplement meal pattern. The dependent variable was the nutritional status of the infant age 7 to 12 month. Data were collected by questionnaire and the infant weight was interpreted using Road to Health Card (KMS) then analyzed by spearman’s rank test with signifi cance level of α ≤ 0.05. Result: Result showed a strong correlation between breastfeeding pattern and nutritional status of the infant age 7 to 12 months (p = 0.001) and adequate correlation was also found between the providing supplement meal pattern and the nutritional status of the infant of 7 to 12 months (p = 0.036). Discussion: In conclusion, both of breastfeeding and providing supplement meal correctly have correlation to the good infant nutritional status. Further studies should use other designs that enable data to be collected more than once to obtain better reliability in accuracy. Keywords: growth record, weight, posyandu, breastmilk PENDAHULUAN Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Satu indikator yang digunakan untuk mengetahui status gizi masyarakat adalah status gizi balita. Balita merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, kelompok umur inilah yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga memerlukan gizi yang tinggi pula (Sediaoetama, 2000). Pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan sangat dibutuhkan pada balita usia 7–12 bulan, karena ASI masih merupakan salah satu makanan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan pada usia tersebut pemberian ASI saja sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi yang terus berkembang sehingga dibutuhkan pemberian makanan tambahan (Muzakki, 2009). Menurut kerangka yang disusun oleh WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini gizi kurang dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi secara langsung antara lain asupan makanan (pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan) dan keadaan kesehatan. Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi secara tidak langsung antara lain ekonomi (pendapatan), pendidikan ibu, pengetahuan ibu, sosial budaya, sanitasi lingkungan, fasilitas pelayanan. Makanan untuk anak harus mengandung kualitas dan Pola Menyusui dan Makanan Tambahan (Esty Y.) 63 kuantitas cukup untuk menghasilkan kesehatan yang baik. Cara menyusui dan pemberian makanan tambahan yang baik dan benar oleh ibu di Indonesia umumnya sangat minim (Sulastri, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Suparman di Posyandu Dusun Cangkir Puskesmas Driyorejo Kabupaten Gresik pada tahun 2007 didapatkan hasil 6 (50%) orang yang melakukan tindakan yang kurang dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan, 4 (33%) orang dengan tindakan yang cukup dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan dan 2 (17%) orang dengan tindakan yang baik dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan. Cara pemberian ASI yang kurang benar tersebut dapat terlihat dari beberapa aspek misalnya perawatan payudara yang salah, frekuensi menyusui yang kurang, cara dan posisi menyusui yang tidak tepat, konsumsi gizi ibu yang kurang sehingga produksi ASI kurang optimal. Sedangkan pola pemberian makanan yang kurang benar dapat terlihat dari beberapa aspek misalnya waktu pemberian yang terlalu dini, jenis dan bahan makanan yang tidak sesuai dengan usia balita, frekuensi makan yang kurang, pengolahan makanan yang tidak tepat dan penyimpanan yang kurang higiene. Permasalahan dalam pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan tersebut dapat ditimbulkan apabila perilaku ibu dalam menyusui dan pemberian makanan tambahan yang kurang baik. Perilaku ibu yang kurang baik tersebut dapat disebabkan karena kurang pengetahuan, adanya mitos- mitos yang menyesatkan, kurangnya informasi tentang menyusui dan pemberian makanan tambahan yang baik dan benar, fasilitas posyandu yang tidak memadai, serta sikap dan perilaku petugas kesehatan yang negatif (Notoatmojo, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Suparman di Posyandu Dusun Cangkir Puskesmas Driyorejo Kabupaten Gresik pada tahun 2007 didapatkan hasil 6 (50%) orang yang melakukan tindakan yang kurang dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan, 4 (33%) orang dengan tindakan yang cukup dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan dan 2 (17%) orang dengan tindakan yang baik dalam menyusui dan memberikan makanan tambahan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Endang Fauziyah Susilawati pada tahun 2005 di Dusun Taraban Desa Taraban Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan didapatkan hasil bahwa dari 31 orang balita: tidak ada (0%) balita dengan gizi buruk, 1 (3,2%) balita dengan gizi kurang, 14 (45,2%) balita dengan gizi sedang, 16 (51,6%) balita dengan gizi baik. Hasil penelitian dari Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan Kabupaten Bondowoso pada tanggal 10 Juni 2009 sampai 7 Juli 2009 didapatkan dari 16 ibu yang menimbang anaknya di Posyandu: 2 (12,5%) balita dengan gizi buruk, 1 (6,25%) balita dengan gizi kurang, 9 (56,25%) balita dengan gizi baik dan 4 (25%) balita dengan gizi lebih, dari data tersebut meskipun data yang didapat paling banyak balita dengan gizi baik tetapi ada beberapa balita yang mengalami KEP berat dan KEP ringan. Permasalahan gizi harus ditangani sedini mungkin karena apabila tidak akan dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada bayi, seperti (1) pertumbuhan fisik terganggu (Gizi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak). (2) pertumbuhan otak atau kecerdasan terlambat (pertumbuhan otak dan perkembangan intelektual paling terganggu jika kekurangan gizi). (3) perkembangan psikis atau mental terganggu (anak dengan gizi buruk mempunyai kesulitan dalam hubungan antar personil). Masa balita merupakan masa yang sangat penting dalam kehidupan karena status gizi dan kesehatan masa ini turut menentukan status masa dewasa. Anak yang kekurangan gizi akan menyebabkan kondisi malnutrisi yang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, meningkatkan kepekaan terhadap penyakit, anak mudah terkena infeksi, dan jika sakit membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh (Pudjiadi, 1997). Gizi buruk akibat asupan gizi makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 62–69 64 defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih di atas –3 SD (–2 SD s.d. 3 SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/ decompensated malnutrition). Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi di bawah –3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai di bawah –3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/ compensated malnutrition). Pada KEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim (Hidajat, 2007). Gizi buruk dan penyakit infeksi dapat dihindari apabila ibu cukup pengetahuan dan perilaku ibu tentang menyusui dan pemberian makanan tambahan yang tepat waktu dan mengatur makanan bayi, serta tata cara menyusui dan pemberian makanan tambahan (Departemen Kesehatan, 2002). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi tersebut pada usia bayi antara lain: dipengaruhi oleh pola menyusui dan pemberian makanan tambahan yang tidak baik. Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi terbagi menjadi beberapa faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor- faktor langsung yang memengaruhi status gizi antara lain Asupan makanan (pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan) dan keadaan kesehatan. Faktor-faktor yang memengaruhi status gizi secara tidak langsung antara lain ekonomi (pendapatan), pendidikan ibu, pengetahuan ibu, sosial budaya, sanitasi lingkungan, fasilitas pelayanan. Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategi for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua hanya memberikan air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan tambahan sejak bayi berusia 6 sampai 24 bulan atau lebih, keempat meneruskan ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Rekomendasi WHO/UNICEF di atas yaitu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPMN) bidang Kesehatan, antara lain dengan memberikan prioritas kepada perbaikan kesehatan dan gizi bayi dan anak. Untuk mencapai taget di atas, dilakukan sejumlah kegiatan yang bertumpu kepada perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan makanan tambahan yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia 6–24 bulan. Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga, praktisi kesehatan, maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas Posyandu terutama perbaikan dalam hal penyuluhan gizi dan kualitas pemberian makanan tambahan. (Departemen Kesehatan, 2006). BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional yaitu mengkaji hubungan antara variabel. Penelitian korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan antar variabel diakui oleh variasi variabel lain. jenisnya penelitian ini adalah Cross Sectional (Hubungan dan Asosiasi) yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang menyusui dan memberi makanan tambahan, balita usia bulan yang disusui dan diberi makanan tambahan di Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan. Survei yang dilakukan peneliti didapatkan populasi ibu yang menyusui dan memberi makanan tambahan sebanyak 24 ibu dan populasi balita yang menyusu dan diberi makanan tambahan sebanyak 24 balita. penelitian ini teknik pengambilan sampel (sampling) yang digunakan adalah Purposive sampling. Kriteria inklusi pada ibu dalam penelitian ini adalah ibu yang menyusui balitanya dan ibu yang memberikan makanan tambahan pada balitanya, sedangkan pada Pola Menyusui dan Makanan Tambahan (Esty Y.) 65 balita yaitu balita yang minum ASI, balita yang diberi makanan tambahan, balita yang datang ke posyandu dan balita yang tidak diberi susu formula, dari kriteria tersebut maka sampel pada penelitian ini adalah 16 orang ibu dan 16 balita. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan. Sedangkan variabel dependennya adalah status gizi balita usia 7–24 bulan. Data diperoleh dengan mengisi lembar kuesioner tentang pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan. Responden diberi 28 soal dengan rincian 14 soal pola menyusui dan 14 soal pola pemberian makanan tambahan. Pada soal pola menyusui digunakan dichotomy question di mana responden menjawab ya dan tidak. Untuk soal pemberian makanan tambahan juga menggunakan dichotomy question. Kuesioner pertanyaan pola menyusui dan pola pemberian makanan setiap jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai nol. Jumlah jawaban yang benar dibandingkan dengan jumlah keseluruhan soal selanjutnya dipersentase, kemudian data tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu kurang baik: <55%, cukup baik: 56–75%, baik: 76–100%. Data status gizi balita ditentukan berdasarkan data hasil penimbangan BB anak balita dan umurnya (indeks BB menurut umur) kemudian diklasifikasikan menurut Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1996 yaitu: di bawah garis merah = Gizi Buruk, Daerah dua pita kuning (di atas garis merah) = Gizi kurang, Dua pita hijau muda dan dua pita warna hijau tua (di atas pita kuning) = Gizi baik, Dua pita warna hijau muda, dua pita warna kuning (paling atas), dan di atasnya = Gizi lebih. Kemudian data diolah dengan uji statistik Correlation Spearman Rho dengan tingkat signifikasi α ≤0,05. HASIL Terdapat hubungan yang signifikan antara pola menyusui dengan status gizi balita usia 7–12 bulan. Hal ini ditunjukkan dengan uji hubungan didapatkan nilai kemaknaan p = 0,001 dengan koefisien korelasi 0,728 yang berarti semakin baik pola menyusui maka semakin baik pula status gizi balita usia 7–12 bulan (Tabel 1). Dari tabulasi silang tersebut terlihat bahwa dari 3 ibu dengan pola menyusui kurang, 2 di antaranya memiliki balita dengan KEP berat dan 1 di antaranya memiliki balita dengan KEP ringan, dari 2 ibu dengan pola menyusui yang cukup semuanya memiliki balita dengan gizi baik, dan dari 11 ibu dengan pola menyusui yang baik 7 di antaranya memiliki balita dengan gizi baik dan 4 di antaranya memiliki balita dengan gizi lebih. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola pemberian makanan tambahan dengan status gizi balita usia 7–12 bulan. Hal ini ditunjukkan dengan uji hubungan didapatkan nilai kemaknaan p = 0,036 dengan koefisien korelasi 0,528 yang berarti derajat kekuatan hubungan pola pemberian makanan tambahan dengan status gizi sedang. Dari tabulasi silang tersebut terlihat bahwa dari 3 ibu dengan pola pemberian makanan tambahan kurang, 2 di antaranya memiliki balita dengan KEP berat dan 1 di antaranya memiliki balita dengan KEP ringan, dari 6 ibu dengan pola pemberian makanan tambahan yang cukup, 4 di antaranya memiliki balita dengan gizi baik dan 2 di antaranya memiliki gizi lebih, dan dari 7 ibu dengan pola pemberian makanan tambahan yang baik, 5 di antaranya memiliki balita dengan gizi baik dan 2 di antaranya memiliki balita dengan gizi lebih. PEMBAHASAN Terdapat 2 hal yang akan dibahas pada pembahasan ini yaitu hubungan pola menyusui dengan status gizi balita usia 7–12 bulan dan hubungan pola pemberian makanan tambahan dengan status gizi balita usia 7–12 bulan. Hasil analisis data terungkap bahwa pola menyusui berhubungan dengan status gizi balita usia 7–12 bulan dan derajat kekuatannya kuat. Distribusi responden berdasarkan pola menyusui dengan persentase terbanyak adalah pola menyusui yang baik sedangkan status gizi balita usia 7–12 bulan dengan persentase terbanyak adalah gizi baik. Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 62–69 66 Menyusui adalah suatu proses yang terjadi secara alami. Air susu ibu (ASI) sangat berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dan selain itu manfaat terpenting dari ASI, yaitu memberi nutrisi terbaik, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kecerdasan, dan tentu saja sangat berguna dalam meningkatkan jalinan kasih sayang. Zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI antara lain: Kolostrum yang mengandung zat kekebalan terutama IgA untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare, protein tinggi di mana perbandingan komposisi antara whey dan casein 65:35 sehingga menyebabkan protein ASI lebih mudah diserap, Taurin yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak, Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang optimal (Departemen Kesehatan, 2005). Pola menyusui yang baik dan benar diperlukan untuk menunjang status gizi balita. Tindakan ibu yang berkaitan dengan menyusui dengan benar, yaitu meliputi cara perawatan payudara, kebersihan dalam menyusui, cara menyendawakan, produksi ASI, posisi, lama dan frekuensi dimaksudkan supaya ASI dapat dikonsumsi dan diserap oleh balita secara optimal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di mana pola menyusui ibu Posyandu Nuri, Puskesmas Kademangan Kabupaten Bondowoso mayoritas baik, yaitu dari 16 orang ibu: 12 orang (75%) di antaranya melakukan perawatan payudara, 12 orang (75%) di antaranya mencuci tangan sebelum menyusui, 13 orang (81,25%) di antaranya mengatur posisi menyusui senyaman mungkin baik berdiri, duduk maupun berbaring, 16 orang (100%) di antaranya tidak membatasi lamanya menyusui, 14 orang (87,5%) di antaranya tidak menjadwal waktu menyusui, 14 (87,5%) orang di antaranya menyendewakan bayi setelah menyusui yaitu dengan meletakkan bayi pada bahu ibu, 14 orang (87,5%) di antaranya mengkonsumsi Tabel 1. Hubungan pola menyusui dengan status gizi balita usia 7–12 bulan di Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan Pola menyusui Status Gizi KEP berat KEP ringan Gizi baik Gizi lebih Σ % Σ % Σ % Σ % Kurang 2 12,5 1 6,25 2 12,5 1 6,25 Cukup 0 0 0 0 0 0 0 0 Baik 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 2 12,5 1 6,25 9 56,25 4 25 Spearman’s rank Koefi sien korelasi (r) = 0,728 Signifi kasi (p) = 0,001 Keterangan: Σ = jumlah % = persentase Tabel 2. Hubungan pola menyusui dengan status gizi balita usia 7–12 bulan di Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan Pola Pemberian Makanan Tambahan Status Gizi KEP berat KEP ringan Gizi baik Gizi lebih Σ % Σ % Σ % Σ % Kurang 2 12,5 1 6,25 2 12,5 1 6,25 Cukup 0 0 0 0 0 0 0 0 Baik 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 2 12,5 1 6,25 2 12,5 1 6,25 Spearman’s rank Koefi sien korelasi (r) = 0,528 Signifi kasi (p) = 0,036 Keterangan: Σ = jumlah % = persentase Pola Menyusui dan Makanan Tambahan (Esty Y.) 67 makanan lebih banyak dibandingkan saat tidak menyusui. Di antara para responden terdapat 3 orang ibu yang pola menyusuinya kurang baik, hal tersebut dapat dikarenakan perilaku mereka yang kurang baik dalam menyusui. Perilaku mereka yang kurang baik dapat disebabkan karena beberapa hal misalnya dari faktor pendidikan di mana dari 3 orang ibu tersebut 1 di antaranya tingkat pendidikannya rendah yaitu SD. Tingkat pendidikan ini menentukan bagaimana seseorang memiliki kemampuan baca tulis dan menyerap informasi sebanyak banyaknya. Tingkat pendidikan di sini bukan satu-satunya faktor yang menentukan baik buruknya pola menyusui ibu, hal tersebut dapat terlihat dari 3 orang ibu, 2 di antaranya tingkat pendidikannya SMP dan SMA di mana seharusnya dengan latar belakang pendidikan yang cukup mampu dalam menerima informasi yang sebanyak-banyaknya, perilaku mereka dalam pola menyusui haruslah baik. Faktor lain yang memungkinkan terjadinya pola menyusui yang kurang adalah penghasilan keluarga di mana dari 3 orang ibu yang menyusui, semuanya memiliki tingkat penghasilan keluarga yang rendah. Tingkat penghasilan keluarga ini akan menentukan bagaimana ibu mampu membeli pangan dalam jumlah dan kualitas yang diperlukan dalam menyusui sehingga produksi ASI dapat lebih optimal baik secara kualitas maupun kuantitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan status gizi balita. Analisis data terlihat bahwa pola pemberian makanan tambahan berhubungan dengan status gizi balita usia 7–12 bulan tetapi derajat kekuatannya sedang. Distribusi responden berdasarkan pola pemberian m a k a n a n t a m b a h a n d e n g a n p e r s e n t a s e terbanyak adalah pola pemberian makanan yang baik sedangkan status gizi balita usia 7–12 bulan dengan persentase terbanyak adalah gizi baik. Pemberian ASI ikut memegang peranan dalam pembangunan manusia yang berkualitas. Bertambahnya umur bayi, bertambah pula kebutuhan akan zat-zat gizi. Oleh karena itu mulai umur 6 bulan, selain ASI, bayi perlu diberi makanan lain. Makanan ini disebut makanan tambahan atau Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), yang diberikan kepada bayi sampai umur 24 bulan Perlu diperhatikan pola pemberian makanan tambahan yang meliputi umur pertama kali diberi makanan tambahan, pemilihan jenis dan bahan makanan tambahan, frekuensi dan porsi pemberian makanan tambahan, serta cara penyimpanan dan kebersihan makanan tambahan (Departemen Kesehatan, 2000). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6 bulan) menurunkan konsumsi ASI dan gangguan pencernaan/diare. Namun bila pemberian MP-ASI terlambat, bayi sudah lewat usia 6 bulan dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Pemberian MP-ASI pada periode umur 6–24 bulan sering tidak tepat dan tidak cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Frekuensi pemberian MP-ASI yang kurang dalam sehari juga akan berakibat kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi. Kebersihan dalam memberikan makanan tambahan yaitu kurangnya menjaga kebersihan terutama pada saat menyediakan dan memberikan makanan pada anak maka akan berdampak pada kondisi kesehatan anak, di mana kondisi kesehatan ini berpengaruh terhadap status gizi balita (Departemen Kesehatan, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa dari 16 orang terdapat 9 orang (56,25%) memberikan makanan tambahan pada saat bayi berusia kurang dari 6 bulan, 14 orang (87,5%) memberikan porsi makanan tambahan yang kurang dari 3 kali per hari pada balitanya, dan 14 orang (87,5%) memberikan makanan yang kaya akan gizi misalnya ibu menambah makanan dengan sumber lemak misalnya kaldu untuk menambah rasa enak dan menambah kalori makanan. Ibu memberikan sumber protein misalnya tahu, ayam, daging, ikan. Ibu memberikan sumber karbohidrat misalnya nasi tim yang dilumatkan, kentang yang direbus dan dihancurkan, biskuit yang dicampur dengan susu. Ibu juga memberikan sumber vitamin seperti yang terkadung dalam buah dan sayur misalnya wortel, bayam, pisang, pepaya. Sebagian besar ibu mencampur sumber karbohidrat, protein, lemak dan vitamin dengan cara mencampur dan mengetim bahan makanan tersebut jadi satu kemudian dilumatkan dengan menggunakan saringan Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 62–69 68 kawat. Dalam mengubah kepadatan makanan ibu menambahkan air supaya makanan tersebut lebih encer ketika dilumatkan dengan saringan berkawat akan tetapi ada beberapa ibu yang dalam mengubah kepadatan makanan tersebut yang terlalu encer sehingga makanan bayi cenderung mengandung kadar air yang lebih akan tetapi nutrisinya kurang. Di antara para responden ibu terdapat 3 orang ibu yang pola pemberian makanan tambahannya kurang baik, hal tersebut dapat dikarenakan perilaku mereka yang kurang baik dalam memberikan makanan tambahan. Perilaku ibu yang kurang baik tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor pendidikan dan penghasilan. Latar belakang pendidikan ibu yang hanya setingkat SD dan segi finansial yang kurang akan berpengaruh terhadap pengetahuan ibu tentang variasi makanan yang bergizi (makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin) kurang dan menyebabkan daya beli bahan pangan bagi balita juga berkurang sehingga menyebabkan tidak tersedianya makanan baik dari segi kualitas, kuantitas dan variasi. Pola menyusui maupun pola pemberian makanan tambahan pada ibu di Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan keduanya dipengaruhi oleh perilaku ibu. Perilaku menyusui pada ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Lawrence Green perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi), faktor pemungkin (prasarana atau fasilitas kesehatan) dan faktor reinforcing (sikap dan perilaku petugas kesehatan) (Notoatmojo, 2007). Faktor pendidikan mempunyai peranan penting bagi status gizi balita. Jika dilihat dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa paling banyak responden ibu dengan latar belakang pendidikan SMP dan SMA. Latar belakang pendidikan yang cukup tentunya a k a n b e r p e n g a r u h d e n g a n k e m a m p u a n seseorang untuk mengadopsi informasi yang diberikan baik dari tenaga kesehatan (dokter, perawat dan bidan) maupun dari media cetak/elektronik. Faktor sosial budaya jika berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kurang berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam menyusui dan pemberian makanan tambahan. Berdasarkan penelitian mayoritas suku bangsa ibu adalah Madura, sedangkan yang lainnya adalah suku Jawa dan warga keturunan Arab. Perbedaan suku tersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam perilaku ibu. Pada umumnya mereka mengetahui cara-cara menyusui dan memberikan makanan tambahan yang baik dan benar. Jika dilihat dari faktor sosial ekonomi juga tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti bagi status gizi balita. Hal ini bisa dilihat dari persentase terbanyak adalah ibu dengan jumlah penghasilan keluarga per bulan sebanyak Rp500.000,00 dan mereka juga hanya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena meskipun dengan pendapatan yang rendah mereka mampu memberikan makanan bergizi meskipun tidak mahal bagi balita mereka dan sebagai ibu rumah tangga mereka mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak, dalam hal ini adalah menyusui dan memberikan makanan tambahan. Dilihat dari beberapa faktor tersebut faktor yang paling berpengaruh dalam perilaku ibu adalah latar belakang pendidikan. Faktor Pendidikan berhubungan dengan kemampuan baca tulis dan kesempatan seseorang menyerap informasi sebanyak-banyaknya. Wanita dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi dan pengetahuan. Tingginya pengetahuan ibu akan mendukung perubahan sikap dan perilaku hidup sehat, termasuk dalam hal menyusui dan pemberian makanan tambahan (Indarwati, 2009). Ketidaktahuan tentang perilaku menyusui dan pemberian makanan bayi dan anak, dan adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur di bawah 2 tahun (baduta). Oleh karena itu keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya dengan penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat (Departemen Kesehatan, 2000). Pola Menyusui dan Makanan Tambahan (Esty Y.) 69 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pola menyusui meningkatkan status gizi balita usia 7–12 bulan. Ibu yang memiliki pola menyusui yang baik, status gizi balitanya akan baik, begitu juga dengan pola pemberian makanan tambahan berhubungan dengan status balita usia 7–12 bulan. Ibu yang memiliki pola pemberian makanan yang baik, status gizi balitanya baik pula. Saran Peneliti memberikan beberapa saran terkait dengan hasil penelitian yang ada yaitu Ibu sebaiknya rutin dalam membawa balitanya ke posyandu sehingga status gizi balita dapat terus dipantau dan apabila ada masalah dengan status gizi balita maka akan lebih cepat ditangan, untuk para kader sebaiknya harus lebih disiplin dan teratur dalam pencatatan kegiatan posyandu supaya apabila suatu saat dibutuhkan data-data mengenai kegiatan posyandu dapat digunakan sebagaimana mestinya. Petugas kesehatan sebaiknya mengadakan perbaikan dalam program penyuluhan yang telah berjalan sehingga ibu-ibu lebih banyak mengetahui informasi yang jelas dan benar tentang gizi khususnya tentang pola menyusui dan pola pemberian makanan tambahan sehingga status gizi keseluruhan balita di Posyandu Nuri Puskesmas Kademangan Kabupaten Bondowoso dalam keadaan gizi baik dan informasi yang diberikan harus sesuai dengan latar pendidikan ibu sehingga mudah diterima, bagi penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan instrumen yang telah diuji validitas dan reabilitasnya supaya didapatkan data hasil penelitian yang valid. dan menggunakan desain penelitian yang lain sehingga pengumpulan data yang diambil tidak 1 kali saja seperti halnya pada desain korelasi dengan pengumpulan data cross sectional. KEPUSTAKAAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000. Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta: Depkes. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Depkes. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pemberian Umum Pemberian Makanan Pendamping ASI Lokal. Jakarta: Depkes. Hidajat, Boerhan, 2007. Kurang Energi Protein (KEP), (online), (http://www.pediatric. com., Diakses tanggal 12 Mei 2009. Jam 14.30 WIB). Indarwati, 2009. Struktur Keluarga dan Lama Ibu Menyusui di Wilayah Kerja Puskesmas Grogol Sukoharjo, (Online), (http://www.stikessolo.co.cc/web_ documents/struktur_keluarga.pdf., diakses tanggal 12 Juni 2009, jam 19.00 WIB). Muzakki, Ahmad, 2009. Makanan Bayi dan Balita, (Online), (http://www. ahmadmuzakki.blogdetik.com., diakses tanggal 3 Juni 2009. Jam 19.30 WIB). Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Pudjiadji, Solihin, 1997. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: FKUI. Soediaoetama, Ahmad J., 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Sulastri, 2009. Gambaran Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Tumbuh Kembang Anak Usia 0–24 Bulan di Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Tahun 2004, (Online), (http://www.library.usu.ac.id., diakses tanggal 12 Mei, jam 15.00 WIB).