NERS Vol 5 No 1 April 2010_Akreditasi 2013.indd 70 TRAINING PENGISIAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) MERUBAH PERILAKU KADER POSYANDU BALITA (Training of Growth Record Changes a Behaviour for Posyandu’s Cadres) Nursalam*, Dinna Agustina*, Ni Ketut Alit A* *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya Telp/Fax: (031) 5913257, E-mail: nursalam_psik@yahoo.com ABSTRACT Introduction: Most Posyandu’s cadres cannot fi ll growth record of children correctly due to lack of training. The objective of this study was to explain the effect of training about growth record fi lling to behaviour changing of Posyandu cadres. Method: This research used quasy experimental method. The population of this research were all Posyandu cadres. Sample was taken by simple random sampling then 20 respondents divided into treatment group and control group. Independent variable in this research was the training for cadres fi lling growth record of children and dependent variable was the behaviour changing of Posyandu’s cadres. Data were taken by using the questionnaire and directly the interview to respondent then be analyzed by using Wilcoxon Signed Ranks Test and Mann Whitney U Test, with signifi cant level α ≤ 0.05. Result: The result showed that training for cadres about fi lling growth record had signifi cant effect to the cadre’s behaviour (knowledge α = 0.007, attitude α = 0.005, and action α = 0.007). But, it had no signifi cant effect on control group (knowledge α = 0.157, attitude α = 0.102, action α = 1.00). Discussion: It can be concluded that training of cadre about fi lling growth record could change the Posyandu’s cadres behaviour. Public health centers need to conduct training which have compatible content with the standard of Government Health Departement. Further studies should involve larger respondents to obtain more accurate result. Keywords: cadre, posyandu, training, behaviour, growth record, nutrition status PENDAHULUAN Perkembangan paradigma pembangunan, telah menetapkan arah kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) 2004–2009 bidang kesehatan, yang lebih mengutamakan pada upaya preventif, promotif, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan. Salah satu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah menumbuhkembangkan posyandu. Ada 5 macam kegiatan dalam Posyandu balita yaitu KIA, KB, imunisasi, gizi, dan penanggulangan diare. Peran kader sangat penting dalam pelaksanaan Posyandu sebagai tenaga preventif dan promotif bagi kesehatan balita. Posyandu di Indonesia telah kehilangan pamornya sejak tahun 1990-an karena merosotnya mutu kader dan pelayanannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Tingkat presisi dan akurasi para kader Posyandu masih rendah. Hal tersebut berdasarkan penelitian di 72 Posyandu di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang menunjukkan bahwa hanya 30% kegiatan Posyandu dilaksanakan dengan benar dan 90% kader membuat kesalahan dalam penimbangan dan pencatatan KMS sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan, presisi, dan akurasi data dalam pencatatan KMS masih rendah (Satoto, 2002). Data dari Posyandu di Desa Karang Jeruk Jatirejo Mojokerto, menunjukkan bahwa ternyata dari 20 kader Posyandu balita, didapatkan 15 kader masih belum mengerti cara mengisi KMS yang baik dan benar. Terbatasnya informasi dan pelatihan kader yang kurang menyebabkan tingkat pengetahuan kader tentang pengisian KMS sangat rendah. Pelatihan terakhir pada tahun 2002, yang hanya diikuti 1 orang kader per Dusun sehingga sebagian kader mempunyai pengetahuan yang kurang tentang Posyandu Balita dan tidak mengetahui bagaimana cara Training Pengisian KMS (Nursalam) 71 pengisian KMS yang baik dan benar. Pengaruh pelatihan kader terhadap perubahan perilaku kader Posyandu Balita di Desa Karang Jeruk Jatirejo Mojokerto, belum dapat dijelaskan. Jumlah Posyandu Balita di Jawa Timur pada tahun 2007 sebanyak 44.442 Posyandu, pada tahun 2008 jumlah Posyandu menjadi 44.899. Sedangkan jumlah kader di Jawa Timur pada tahun 2007 sebanyak 202.720 kader, pada tahun 2008 sebanyak 307.380 kader (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2008). Kabupaten Mojokerto, pada tahun 2007 sebanyak 1248 Posyandu dan tidak mengalami peningkatan pada tahun 2008. Jumlah kader Posyandu pada tahun 2007 sebanyak 6169 kader dengan kader yang terlatih 5975 kader. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan dengan jumlah kader sebanyak 6209 dan kader yang terlatih mengalami penurunan sebanyak 5753 kader (Dinas Kesehatan Kabupaten Mojokerto, 2009). Data yang diperoleh dari Puskesmas Karang Jeruk menunjukkan dari 20 kader yang ada hanya ada 5 kader yang dapat mengisi KMS dengan benar, karena ke-5 kader pernah mendapatkan pelatihan di Kecamatan. Apabila kader dalam melakukan pengisian KMS kurang tepat maka dalam mengidentifikasi status kesehatan akan salah. Data dari Puskesmas didapatkan pada tahun 2008–2009 ada dua bayi yang berat badannya di bawah garis merah, jika dalam pengisian KMS salah maka identifikasi status gizi balita juga akan salah. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Andalas (Sumatera Barat), Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan sekolah Tinggi Ilmu Gizi (Jawa Timur) pada tahun 1999 (seperti dikutip Departemen kesehatan Republik Indonesia, 2005) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar Posyandu belum mempunyai jumlah kader yang cukup bila dibandingkan dengan sasaran dan hanya 30% kader yang terlatih serta sebagian besar belum mandiri, karena sangat tergantung dengan petugas Puskesmas. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Satoto dkk. pada tahun 2002, menunjukkan bahwa sekitar 35% Desa di Indonesia masih melaksanakan Posyandu sampai sekarang dan sebagian rakyat miskin masih menggunakan Posyandu sebagai tempat pelayanan kesehatan. Kemampuan kader dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya melakukan p e n c a t a t a n K M S s a n g a t m e m e n g a r u h i indentifikasi status gizi balita. Apabila k e m a m p u a n k a d e r d a l a m m e m b e r i k a n pelayananan kesehatan khususnya melakukan pencatatan KMS masih rendah, maka akan berdampak identifikasi status gizi balita dan memengaruhi penyuluhan yang diberikan kepada balita sesuai dengan data KMS yang ada, hal ini akan mengakibatkan salah penafsiran apakah balita dalam keadaan gizi kurang atau tidak. Lemahnya penguasaan dan keterampilan akan menyebabkan pelaporan yang yang tidak akurat dalam penyusunan perencanaan program kesehatan selanjutnya. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). KMS sebagai bahan penunjang atau sarana komunikasi bagi petugas kesehatan untuk menentukan jenis tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kesehatan dan gizi balita, untuk mempertahankan, meningkatkan, dan memulihkan kesehatannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Pentingnya pelatihan bagi kader untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan kader dalam mengisi KMS agar tidak terjadi kesalahan dalam pencatatan. dan gizi sesuai dengan hasil penimbangan. Salah satu manfaat dengan adanya kader yang terlatih adalah Posyandu akan berjalan secara teratur dan baik, agar mudah mendeteksi kemungkinan terjadinya masalah gizi buruk pada balita. Jika kasus gizi buruk ini segera teratasi dan diikuti oleh penanganan yang baik oleh tenaga kesehatan, maka diharapkan kasus kekurangan gizi berat pada anak-anak balita di akan dapat terhindarkan (Saprudin, 2007). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk memberikan pelatihan kepada kader tentang pengisian KMS di Desa Karang Jeruk Kecamatan Jatirejo Mojokerto. BAHAN DAN METODE R a n c a n g a n d a l a m p e n e l i t i a n i n i menggunakan quasy eksperiment untuk mengidentifikasi pengaruh pelatihan kader terhadap perubahan perilaku kader posyandu Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 70–78 72 balita. Populasi dalam penelitian ini adalah kader Posyandu Balita di Desa Karang Jeruk Jatirejo Mojokerto. Sampel didapatkan dengan cara probability sampling dengan teknik simple random sampling. Pemilihan sampel dengan cara ini merupakan jenis probabilitas yang paling sederhana. Untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak. (Nursalam, 2008). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pelatihan kader posyandu balita. Parameter yang diukur adalah proses dari pelatihan Posyandu Balita dan materi pelatihan Posyandu Balita yang telah dibuat oleh peneliti, sedangkan variabel dependennya adalah perilaku kader (tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan kader). Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan kuesioner untuk mengukur pengetahuan dan sikap kader tentang Posyandu. Untuk menilai tingkat pengetahuan menggunakan kuesioner dengan 10 pertanyaan, Kuesioner untuk sikap menggunakan 5 pertanyaan positif dan 5 pertanyaan negatif pada pertanyaan positif bila jawaban sangat setuju (SS) skor 4, (S) skor 3, (TS) skor 1, (STS) skor 0. Pertanyaan negatif diberi skor (SS) skor 0, (S) skor 1, (TS) skor 3, (STS) skor 4. Sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengukur tindakan adalah dengan lembar observasi. Data yang telah terkumpul dianalisis perbedaan perubahan perilaku sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan uji wilcoxon signed rank. Selanjutnya untuk mengontrol perbedaan perilaku pada kader yang dilakukan kontrol dan perlakuan dengan uji mann whitney u test dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05 apabila p ≤ α maka H1 diterima. HASIL Rerata pengetahuan responden pada kelompok perlakuan sebelum diberikan p e l a t i h a n a d a l a h 5 9 p o i n , n i l a i r e r a t a pengetahuan responden kelompok perlakuan sesudah diberikan pelatihan adalah 88 poin. Kelompok kontrol, pada pre-test nilai rerata yang diperoleh adalah 57 poin dan pada post- test adalah 59 poin. H a s i l u j i s t a t i s t i k m e n g g u n a k a n wilcoxon signed rank test pada kelompok perlakuan adalah 0,007 yang artinya terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna Pengetahuan Perlakuan Kontrol Perlakuan Selisih Kontrol Selisih Post Post Pre Post Pre Post Mean 59 88 +29 57 59 +2 88 59 SD 12,87 11,35 16,63 14,49 11,35 14,49 p = 0,007 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 0,157 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 0,001 Mann Whitney U-Test Tabel 2. Pengaruh pelatihan kader tentang pengisian KMS terhadap sikap kader posyandu balita Sikap Perlakuan Kontrol Perlakuan Selisih Kontrol Selisih Post Post Pre Post Pre Post Mean 26,50 36,20 31,40 31,80 36,20 31,80 SD 4,72 2,35 4,53 4,34 4,72 4,34 p = 0,005 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 0,102 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 0,28 Mann Whitney U- Test Keterangan: Mean = rerata SD = Standar Deviasi p = signifi kansi Tabel 1. Pengaruh pelatihan kader tentang pengisian KMS terhadap pengetahuan kader posyandu balita Training Pengisian KMS (Nursalam) 73 sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pengisian KMS. Sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan hasil p=0,157, ini berarti bahwa tidak ada peningkatan pengetahuan pada kelompok kontrol apabila tidak diberi pelatihan. Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik mann whitney u test didapatkan nilai signifikasi p= 0,001 artinya ada perbedaan pengetahuan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan pelatihan tentang pengisian KMS. Nilai rerata sikap responden kelompok perlakuan sebelum diberikan pelatihan adalah 26,50 dan sesudah diberi pelatihan adalah 36,2. Kelompok kontrol nilai rerata respondennya pada pre-test adalah 31,40 dan pada post-test 31,80. Hasil uji statistik menggunakan uji statistic wilcoxon signed rank test pada kelompok perlakuan adalah 0,005 di mana artinya ada perbedaan sikap yang bermakna sebelum dan setelah diberikan pelatihan, sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan hasil p=0,102, sehingga p ≥ 0,05 ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan sikap pada kelompok kontrol apabila tidak diberi pelatihan. H a s i l a n a l i s i s d a t a s i k a p s e t e l a h mendapatkan pelatihan dengan uji mann whitney u test didapatkan nilai signifikasi p=0,28. Nilai ini berarti bahwa tidak adanya perbedaan sikap yang bermakna kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan pelatihan pengisian KMS. Nilai rerata tindakan responden kelompok perlakuan sebelum diberikan pelatihan adalah 15,00, kemudian sesudah diberi pelatihan nilai rerata responden menjadi 92,59. Nilai rerata kelompok kontrol pada pre-test adalah 30 dan pada post-test adalah 30. Hasil uji statistik menggunakan wilcoxon signed rank test pada kelompok perlakuan adalah 0,007. Ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang sangat signifikan sekali setelah diberikan pelatihan tentang pengisian KMS. Kelompok kontrol didapatkan nilai signifikasi p=1,00, sehingga p≥0,05 hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan tindakan pada kelompok kontrol apabila tidak diberi pelatihan. Hasil analisis data dengan uji mann whitney u test didapatkan nilai signifikasi p=0,001 yang artinya ada perbedaan tindakan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan pelatihan. PEMBAHASAN Pengetahuan atau kognitif merupakan domain penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2007). Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pembelajaran dan tingkat pendidikan. Pembelajaran dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan kepada kader tentang pentingnya cara pengisian KMS yang baik dan benar. Perubahan dalam hal pengetahuan tentang cara pengisian KMS dan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan Posyandu, didahului oleh persepsi seseorang terhadap apa yang akan dijalani, sehingga muncul persepsi berhubungan dengan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari informasi. Informasi yang diterima bisa kurang jelas, dalam hal ini pembelajaran tentang cara pengisian KMS yang baik dan benar yang tidak optimal dapat memengaruhi persepsi seseorang sehingga perubahan pengetahuan akan sulit Tindakan Perlakuan Kontrol Perlakuan Selisih Kontrol Selisih Post Post Pre Post Pre Post Mean 15,00 92,50 30 30 15,00 92,50 SD 31,62 12,08 36,89 36,89 431,62 12,08 p = 0,007 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 1,00 Wilcoxon Signed Ranks Test p = 0,002 Mann Whitney U-Test Tabel 3. Pengaruh pelatihan kader tentang pengisian KMS terhadap tindakan kader posyandu balita Keterangan: Mean = rerata SD = Standar Devisi p = signifi kansi Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 70–78 74 didapatkan. Menurut Notoadmodjo (2007), pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, tindakan. Pelatihan tidak lepas dari proses belajar karena proses belajar itu ada dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Pengetahuan responden yang kurang sebagian besar disebabkan karena responden tidak pernah mendapatkan pelatihan dan memperoleh informasi yang baru tentang Posyandu Balita dan Pengisian KMS yang benar. Suatu pelatihan yang tidak dapat meningkatkan pengetahuan responden setelah diberikan intervensi dapat dipengaruhi oleh pemberian informasi yang tidak jelas, tidak dapat diterima maksimal oleh responden. Pertanyaan yang kurang sesuai dengan materi yang diberikan, pemilihan kata-kata yang tidak lugas untuk orang awam secara langsung membuat responden bingung sehingga nilai pengetahuan mereka kurang, pendidikan responden. Hal ini paling penting yang harus diberikan dalam memberikan suatu pelatihan, orang yang memiliki pendidikan tinggi lebih mudah memahami dan menerima materi, menguraikan kata-kata dalam pertanyaan- pertanyaan yang diberikan peneliti. Hasil penelitian didapatkan bahwa sebelum pelatihan sebagian responden pengetahuannya masuk dalam kategori kurang hal ini terjadi karena sebagian besar responden hanya tamatan SD. Banyaknya responden yang mempunyai pengetahuan kurang tentang Posyandu Balita karena rendahnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan memengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan semakin tinggi juga tingkat pengetahuan yang didapat. Selain itu karena faktor usia, sebagian besar responden berusia 41–50 tahun. Usia berpengaruh terhadap penerimaan dan proses ingatan seseorang. Semakin tua usia seseorang maka semakin lemah ingatannya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh kuntjoro (2002) bahwa dalam kehidupan manusia daya ingat akan berubah sesuai dengan usia. Setelah diberikan intervensi pengetahuan responden masuk dalam kategori baik meningkat menjadi (80%), hal ini disebabkan karena responden mendapatkan intervensi tentang Posyandu Balita dan pengisian KMS. Peneliti menggunakan metode ceramah, diskusi, dan demonstrasi. Metode ceramah kurang mampu merangsang seseorang dalam proses belajar (Zifana, 2008), karena metode ceramah hanya efektif selama 30 menit. Peneliti mengkombinasikan dengan metode diskusi dan demonstrasi, dengan metode diskusi responden bisa banyak berpikir, responden bisa lebih aktif dalam proses belajar. Metode demonstrasi merupakan salah satu metode pembelajaran partisipatif, di mana responden diikutsertakan secara langsung dalam proses pemberian informasi. Responden secara langsung berlatih mengisi KMS dan menginterprestasikan hasil dari pengisian KMS tersebut. Pemberian informasi dengan metode yang tidak sesuai akan mengakibatkan informasi yang kurang jelas, sehingga tujuan dari pelatihan tidak akan tercapai. Setelah pemberian intervensi, responden masuk dalam kategori baik karena responden telah dapat mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, responden telah memahami dan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (nyata). Pada kelompok kontrol sebagian besar responden, pengetahuan masuk dalam kategori kurang hal ini disebabkan karena responden tidak mendapatkan suatu intervensi sama sekali, sehingga tingkat pengetahuan tidak mengalami perubahan. Sehingga hasil uji statistik menggunakan Mann Whitney U-Test yang membandingkan kelompok perlakuan dan kontrol didapatkan nilai signifikasi p = 0,001 yang artinya pelatihan tentang pengisian KMS pada kader Posyandu Balita dapat merubah tingkat pengetahuan responden. Hasil uji statistik sikap seteleh diberikan perlakuan dengan menggunakan wilcoxon signed rank test pada kelompok perlakuan didapatkan nilai lebih kecil dari standar sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberi pelatihan didapatkan nilai lebih besar dari standar. Hasil ini berarti bahwa adanya perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pengisian KMS, yaitu terjadi peningkatan perubahan pada responden setelah diberi intervensi, sebagian besar responden masuk dalam kategori positif. Nilai sikap positif dan negatif diperoleh dari menghitung nilai dari pernyataan responden Training Pengisian KMS (Nursalam) 75 berdasarkan skoring azwar (2008), kemudian dibandingkan dengan rerata data. Hasil sikap positif pada seluruh responden dikarenakan faktor yang memengaruhi perubahan sikap yaitu pertama adalah pengalaman pribadi, yaitu apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan memengaruhi penghayatan stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis, yang kedua adalah Kebudayaan, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap, karena kebudayaan yang memberikan corak pengalaman individu. Hal yang memengaruhi sikap yang ketiga adalah orang lain yang dianggap penting, keempat adalah media massa. Peranan media massa tidak kecil artinya, karena media massa merupakan bentuk informasi sugestif dalam dunia usaha guna memperkenalkan suatu produk baru. Kemudian faktor yang kelima adalah institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama. Kedua lembaga ini mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, dan faktor terakhir adalah faktor emosi dalam diri individu. Kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. Nilai sikap responden perlakuan setelah diberikan pelatihan mayoritas menjadi meningkat dikarenakan responden sudah bisa menangkap seluruh hal positif yang mereka dapatkan dari intervensi, setelah pengetahuan mereka cukup, emosional mereka mulai bereaksi dengan stimulus yang ada. Sikap berupa keyakinan seseorang terhadap suatu objek, tidak dapat dilihat langsung, menunjukkan reaksi emosional terhadap suatu stimulus merupakan pernyataan Newcomb, yang dikutip dalam Notoadmodjo (2007), mengungkapkan bahwa orang akan mengubah sikap, jika ia mampu mengubah komponen kognitif dahulu, diikuti perubahan afektif. Pernyataan Bloom juga diperkuat oleh Azwar (2009) yang menyatakan bahwa k o m p o n e n a f e k t i f ( s i k a p ) m e r u p a k a n komponen kedua setelah komponen kognitif dalam struktur sikap. Penerimaan sikap terdiri dari empat tingkatan yaitu menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab (Notoadmodjo, 2007). Hasil penelitian didapatkan bahwa sebelum penelitian responden sebagian besar mempunyai sikap negatif dan sebagian besar pula mempunyai sikap positif. Sikap negatif responden disebabkan karena pengetahuan yang kurang tentang Posyandu Balita dan informasi tentang pengisian KMS, karena responden jarang memperoleh pelatihan. S e t e l a h d i b e r i k a n i n t e r v e n s i t e n t a n g posyandu balita dan pengisian KMS, dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan demonstrasi responden yang mempunyai sikap positif meningkat lebih banyak hal ini karena responden sudah bisa menangkap hal positif yang mereka dapatkan dari intervensi pelatihan tentang Posyandu Balita dan pengisian KMS, tetapi masih ada responden yang mempunyai sikap negatif setelah penelitian, responden yang mempunyai sikap negatif ini hanya tamatan SD sehingga kemampuan mereka dalam mamahami pelatihan dan penerimaan terhadap materi masih kurang dan interprestasi mereka terhadap pernyataan sikap kurang tepat. Selain itu, evaluasi perubahan sikap yang hanya sekali dilakukan pada saat post intervensi dinilai kurang. Pada kelompok kontrol masih ada responden masih mempunyai sikap negatif, hal ini disebabkan karena responden tidak mendapatkan intervensi, sehingga responden masih kurang tepat dalam menginterprestasikan sikapnya. Hasil uji statistik menggunakan mann whitney u-test yang membandingkan kelompok kontrol dan perlakuan post perlakuan didapatkan nilai signifikasi lebih besar dari standar ini berarti bahwa pelatihan terhadap kader Posyandu Balita tentang pengisian KMS tidak merubah sikap kader, hal ini disebabkan karena dalam melakukan proses matching peneliti kurang tepat, selain itu data sikap terlalu mengarahkan ke responden sehingga dari awal responden sudah mempunyai sikap yang positif. Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 70–78 76 Tindakan responden pada kelompok perlakuan sebelum diberikan intervensi sebagian besar masuk dalam kategori kurang, setelah diberikan pelatihan sebagian besar kader masuk dalam kategori baik yaitu responden dapat melakukan tindakan yang baik dan benar tentang pengisian KMS ini dibuktikan pula dengan hasil uji statistik pada kelompok perlakuan di mana didapatkan nilai signifikasi lebih kecil dari nilai standar. Hal ini disebabkan karena responden telah mendapatkan kejelasan informasi tentang pengisian KMS. Kelompok kontrol sebagian besar responden masuk dalam kategori kurang dalam melakukan pengisian KMS dan pada post-test tidak terjadi perubahan sama sekali. Hal ini disebabkan karena responden tidak mendapatkan kejelasan informasi tentang cara pengisian KMS yang baik dan benar sehingga pada kelompok kontrol didapatkan nilai signifikasi lebih besar dari standar. Notoadmodjo (2007) mengatakan bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau situasi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) yaitu tindakan. Tingkatan tindakan terdiri dari persepsi, respons terpimpin, mekanisme, dan adopsi. Tindakan dapat dikatakan berhasil jika telah melewati tingkatan keempat yaitu adopsi, karena adopsi merupakan suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Praktik merupakan domain perilaku yang ketiga setelah pengetahuan dan sikap (Notoadmodjo, 2007), setelah mengetahui stimulus atau objek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, kemudian seseorang diharapkan akan mampu melaksanakan, mempraktikkan, atau memiliki kemampuan praktik terhadap apa yang diketahui dan disikapi. Pelatihan merupakan usaha untuk membantu individu, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan (Sofo, 2003). Hasil penelitian tindakan responden sebelum diberikan pelatihan sebagian besar masuk dalam kategori kurang, hal ini terjadi karena pengalaman responden menjadi kader sebagian besar masih 0–5 tahun, pengalaman sangat memengaruhi pengetahuan seseorang dalam melaksanakan tindakan, karena pengalaman akan lebih mendalam dan membekas pada ingatan seseorang, dengan pengalaman yang masih kurang sehingga tindakan responden dalam pengisian KMS masih kurang tepat, di samping itu responden juga jarang mendapatkan pelatihan tentang Posyandu Balita dan pengisian KMS, setelah dilakukan intervensi tentang pengisian KMS dengan menggunakan metode ceramah, diskusi dan demonstrasi, responden yang mempunyai tindakan baik dalam pengisian KMS meningkat menjadi 70% dan masuk dalam kategori baik, hal ini terjadi karena metode yang digunakan peneliti dalam memberikan pelatihan sangat efektif, yaitu responden bisa langsung mempratekkan pengisian KMS sehingga proses penerimaan informasi atau materi dapat diterapkan secara langsung. Meskipun dalam waktu yang cukup singkat, terjadi perubahan yang cukup tinggi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kader Posyandu Balita yang telah dilatih sangat potensial dalam merubah perilaku. Kader yang telah terlatih telah melakukan motivasi dengan cukup baik, baik secara langsung (memberikan pelatihan) maupun secara tidak langsung, sehingga pelatihan dapat meningkatkan perilaku seseorang apabila diberikan dengan baik dan dengan prosedur yang benar. Uji statistik menggunakan mann whitney u-test, didapatkan nilai signifikasi pada kelompok perlakuan didapatkan nilai lebih kecil dari standar yang artinya pelatihan terhadap kader Posyandu Balita tentang pengisian KMS dapat meningkatkan tindakan kader dalam pengisian KMS. Pelatihan dapat dipilih untuk merubah perilaku ke arah yang lebih baik. Pelatihan ini terbukti dapat merubah pengetahuan, sikap, dan tindakan responden. Menurut Notoatmodjo (2003) pelatihan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang. Mekanisme Training Pengisian KMS (Nursalam) 77 perubahan pengetahuan, sikap, dan tindakan setelah diberikan pelatihan dimulai dengan pemberian informasi yang tepat. Tepat yang dimaksud adalah tepat sasaran dengan berbagai metode yang dipilih serta alat bantu yang digunakan. Informasi yang telah diberikan tersebut diterima, dimengerti, dan dipahami, sehingga pengetahuan responden meningkat. Pemberian informasi tersebut ternyata tidak hanya meningkatkan pengetahuan saja, tetapi dengan informasi tersebut dapat membangun suatu keyakinan yang positif pada diri responden. Setelah pengetahuan berubah menjadi baik serta sikap yang positif, maka terciptalah suatu tindakan untuk melakukan pengisian KMS dengan benar. Perubahan pengetahuan, sikap, dan tindakan responden ini dipengaruhi oleh proses pemberian informasi pada saat dilakukan intervensi, jika proses pemberian intervensi itu tepat maka informasi yang didapatkan responden dapat maksimal. Informasi tersebut diolah membentuk suatu pengetahuan baru, keyakinan serta kesadaran akan pentingnya pemahaman terhadap pengisian KMS yang benar. Metode belajar yang digunakan peneliti juga memengaruhi proses perubahan perilaku. Peneliti menggunakan metode diskusi dan demonstrasi. Metode diskusi membuat responden berpikir dan juga responden berpartisipasi aktif dalam proses belajar, dengan metode demonstrasi responden dapat langsung mengaplikasikan pengisian KMS secara langsung. Hasil akhir yang didapat adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pelatihan tentang pengisian KMS meningkatkan pengetahuan kader Posyandu, merubah sikap kader menjadi positif dan meningkatkan tindakan kader Posyandu dalam pengisian KMS. Saran Peneliti memberikan saran bagi kader posyandu balita agar tetap aktif sebagai kader dan selalu menghadiri dalam setiap pelatihan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas atau institusi lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan, bagi pihak Puskesmas agar melaksanakan pelatihan setiap tahun dengan menggunakan metode diskusi, demonstrasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader Posyandu Balita tentang sesuatu hal yang baru dengan cara memberikan pelatihan dan materi sesuai dengan standar Departemen Kesehatan dan perlu dilakukan evaluasi secara berkala. Pihak puskesmas harus mengadakan perekrutan bagi kader yang lebih muda, dan perlunya penelitian lebih lanjut tentang pelatihan kader Posyandu Balita untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader yang tidak hanya dalam melakukan pengisian KMS saja, tetapi dalam penimbangan berat badan, cara memberikan penyuluhan kepada ibu balita. KEPUSTAKAAN Azwar, Saefudin, 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1999. Profi l Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan. D e p a r t e m e n K e s e h a t a n R e p u b l i k Indonesia,2006. Pedoman Pembinaan K e s e h a t a n B a l i t a b a g i P e t u g a s Kesehatan I. Jakarta: Departemen Kesehatan. Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2006. Buku Pegangan Kader Posyandu. Surabaya: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Sofo, Fransesco, 2003. Pengembangan SDM Perspektif, Peran. Surabaya: Airlangga University Press. Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Jurnal Ners Vol. 5 No. 1 April 2010: 70–78 78 Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan M e t o d o l o g i P e n e l i t i a n I l m u K e p e r a w a t a n . J a k a r t a : S a l e m b a Medika. Satoto, 2002. Evaluasi Hasil Penimbangan dan Pencatatan KMS, (Online), (http// www: dinkesbonebolango.org. Diakses pada tanggal 12 Mei 2009, jam 15.00 WIB.