NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 107 LATIHAN ACTIVE LOWER RANGE OF MOTION MENURUNKAN TANDA DAN GEJALA NEUROPATI DIABETIKUM (Active Lower Range of Motion Reduce the Sign and Symptom of Diabetic Neuropathy) Ika Yuni Widyawati*, Dewi Irawaty**, Luknis Sabri*** *Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Email: iy.widyawati@gmail.com ** Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia *** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ABSTRACT Introduction: The aimed of this study for the 56 members of PERSADIA Surabaya was to determine the effect of active lower range of motion exercise on the signs and symptoms of diabetic neuropathy in type II Diabetes Mellitus's patients. Method: A quasy experimental pre-post test design with a consecutive sampling technique was used in this study. Result: The results showed that there was a signifi cant differences between control and treatment groups for muscle strength with p value 0.047 but not for tendon refl exes, protective sensation, ankle brachial index and diabetic polyneuropathy complaints. Discussion: It can be concluded that active lower range of motion exercise has an effect on muscle strength in patients with type II of Diabetes Mellitus with microvascular complications. Keywords: active lower range of motion exercise, muscle strength, diabetic neuropathy PENDAHULUAN Diabetes Mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala metabolik yang ditandai oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat defi siensi insulin baik absolut maupun relatif (Smeltzer dan Bare, 2003; Lemone dan Burke, 2008; American Diabetes Association [ADA], 2010). Roglic, et al. (2005) mengemukakan bahwa DM merupakan salah satu penyakit serius yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan kematian. Kurang lebih 60–70% penderita DM dapat mengalami neuropati dan mengalami peningkatan risiko seiring dengan peningkatan usia, lama menderita DM, kadar gula darah yang tidak terkontrol, hiperkolesterol, hipertensi dan kelebihan berat badan (Lemone dan Burke, 2008). Poliklinik Diabetes RSU Dr. Soetomo Surabaya mencatat 30,6% penderita DM yang menjalani rawat jalan mengalami neuropati simtomatik. Neuropati diabetikum merupakan suatu kondisi kerusakan saraf akibat adanya gangguan metabolisme kadar gula darah (Silbernagl dan Lang, 2002; Lewis, et al., 2005; Lemone dan Burke, 2008). Neuropati yang paling sering terjadi pada pasien DM adalah neuropati sensorimotor (ADA., 2010; Lewis, et al., 2005) dan disusul dengan neuropati otonom (ADA, 2010; Meijer, et al., 2003; Simmons dan Feldman, 2002). Neuropati diabetikum tidak dapat dipisahkan dari komplikasi mikrovaskuler lain yaitu retinopati dan nefropati (Boulton, et al., 1985). Frykberg (2006) dan Worley (2006) menjelaskan bahwa gangguan sensorik pada neuropati diabetikum akan menyebabkan penurunan sensasi nyeri pada kaki. Gangguan motorik akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki dan menimbulkan deformitas sehingga merubah titik tumpu kaki, sedangkan gangguan yang bersifat otonomik akan menyebabkan penurunan sensasi pada saraf simpatis yang berdampak pada gangguan aliran darah ke kaki. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang muncul antara lain nyeri (pada malam hari), ujung kaki terasa dingin, denyut arteri melemah sampai hilang, kaki Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 107–117 108 menjadi pucat bila dinaikkan (Smeltzer dan Bare, 2003; Frykberg, 2006; Worley, 2006). Ketiga gangguan baik sensorik, motorik dan otonom mengakibatkan timbulnya ulkus diabetikum. Penderita DM yang mengalami ulkus diabetikum telah dibuktikan secara klinis memiliki riwayat neuropati perifer (Hampton, 2006). Pencegahan dan penanganan neuropati diabetikum serta perbaikan sirkulasi perifer ditujukan untuk mencegah penderita DM mengalami ulkus diabetikum. Pencegahan dan penanganan faktor risiko penyebab ulkus diabetikum dengan baik akan menurunkan risiko amputasi pada penderita DM, yang berarti pula menurunkan biaya karena hospitalisasi yang lama (Terzi, 2008). Perawat (sebagai bagian dari tim multidisiplin) turut berperan dalam memonitoring berbagai faktor risiko penyebab ulkus diabetikum (termasuk neuropati diabetikum) dan memberikan intervensi untuk mencegah agar faktor risiko tersebut tidak terjadi. Berbagai intervensi untuk mencegah atau memperlambat munculnya neuropati diabetikum pun telah banyak dikembangkan melalui penelitian. Intervensi yang pernah diteliti antara lain senam kaki, masase kaki serta latihan rentang gerak sendi secara aktif ( active Range of Motion [ROM] exercise). Penelitian oleh Nursiswati (2007) dan Mulyati (2009) telah membuktikan adanya pengaruh senam kaki maupun masase kaki secara mekanik (menggunakan alat bantu) terhadap penurunan gejala neuropati sensori diabetik. Bentuk intervensi lain yaitu latihan ROM, sampai saat ini lebih banyak dikaitkan pada kasus muskuloskeletal maupun neurologi seperti stroke, sedangkan pada penderita DM masih sangat minim. Goldsmith, Lidtke dan Shott (2002) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa latihan ROM dapat menurunkan tekanan kaki bagian plantar pada penderita DM. Rathnayake (2009) menyebutkan bahwa latihan otot secara progresif dapat meningkatkan kekuatan otot pada penderita DM dengan neuropati motorik. Latihan ROM diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif tindakan untuk pasien DM dengan neuropati diabetikum dan atau penyakit pembuluh darah vaskuler perifer. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa ROM dapat menurunkan tekanan kaki, namun belum diketahui apakah ROM berpengaruh terhadap tanda dan gejala neuropati diabetikum pada penderita DM tipe II khususnya kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi, Ankle Brachial Index (ABI) dan keluhan polineuropati perifer. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan quasy experimental pre-post test design. Kelompok intervensi merupakan kelompok yang diberikan intervensi latihan ROM bagian bawah secara aktif, sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang melakukan aktivitas daerah kaki seperti biasa tanpa tambahan latihan ROM. Populasi dalam penelitian ini adalah anggota Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) Unit RSU Dr. Soetomo Surabaya yang menderita DM tipe II. Pemilihan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Pengambilan data dilaksanakan di PERSADIA Unit RSU Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010. Sampel ditetapkan dengan beberapa kriteria inklusi yaitu penderita DM tipe II > 5 tahun dengan komplikasi mikrovaskuler, Rutin menggunakan terapi DM dengan jenis yang sama, Berdomisili di daerah Surabaya dan sekitarnya, Usia > 50 tahun, Memiliki kadar gula darah terkontrol, Jenis kelamin laki- laki dan wanita, tidak mengalami gangguan pendengaran maupun bicara, dan Bersedia menjadi responden. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 28 orang untuk masing- masing kelompok, namun 2 orang pada kelompok intervensi dinyatakan drop out. Pengumpulan data pada penelitian ini meliputi 2 tahapan yaitu tahap pertama responden diminta untuk melakukan pengisian data demografi dengan mengisi kuesioner, tahap kedua dilakukan dengan menggunakan metode kunjungan rumah untuk pemeriksaan kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi, pengukuran ABI, tinggi badan dan berat badan (BB) sebagai data untuk menghitung Body Mass Index (BMI) dan keluhan polineuropati diabetikum dari setiap responden pada kedua kelompok. Latihan Active Lower Range of Motion (Ika Yuni Widyawati) 109 Responden pada kelompok intervensi diberikan latihan active ROM dengan dosis 2× sehari selama 6 hari (dalam 1 minggu) selama 4 minggu pengamatan dengan intensitas untuk masing-masing gerakan pada tiap sendi yaitu 10 kali. Pada akhir minggu ke-4 atau setelah 24 hari perlakuan peneliti melakukan penilaian akhir untuk kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi, ABI dan keluhan polineuropati perifer pada kedua kelompok. Analisis data meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan meliputi Paired t-test, Pooled t-test, Mc. Nemar test, Chi Square dan Sperman's Rho. HASIL Karakteristik responden pada kelompok intervensi menunjukkan 88,5% memiliki riwayat genetik DM, 23,1% memiliki riwayat hipertensi, 30,8% memiliki nilai BMI lebih, 73,1% dengan kadar trigliserida tinggi dan seluruh responden tidak mempunyai kebiasaan merokok yang berisiko. Karakteristik responden pada kelompok kontrol 85,7% memiliki riwayat genetik DM, 21,4% memiliki riwayat hipertensi, 17,8% memiliki nilai BMI lebih, 57,1% dengan kadar trigliserida tinggi dan seluruh responden tidak mempunyai kebiasaan merokok yang berisiko. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase responden yang mempunyai kebiasaan merokok baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol adalah sama (100%), dengan demikian kedua kelompok tersebut merupakan kelompok dengan responden yang homogen sehingga variabel kebiasaan merokok ini tidak lagi disertakan untuk analisis statistik selanjutnya. Perbedaan rerata pengukuran awal dan akhir untuk kekuatan otot (p value 0,001) dengan selisih rerata 0,34; reflek tendon (p value 0,022) dengan selisih rerata 0,19; sensasi proteksi (p value 0,000) dengan selisih rerata 2,20 dan ABI (p value 0,004) dengan selisih rerata 0,05, sedangkan untuk keluhan polineuropati diabetikum diperoleh p value 0,031. Ti d a k t e r d a p a t p e r b e d a a n y a n g bermakna kekuatan otot pada kelompok kontrol pengukuran awal dan akhir dengan p value 0,326 dan refl ek tendon dengan p value 0,083 pada nilai α = 0,05, namun terdapat perbedaan yang bermakna pada sensasi proteksi dengan p value 0,004 dan ABI dengan p value 0,022 pada nilai α = 0,05. Keluhan polineuropati diabetikum pengukuran awal dan akhir pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara keluhan polineuropati diabetikum pengukuran awal dan akhir pada kelompok kontrol (p value 1,000; α = 0,05). Hasil analisis kekuatan otot, reflek tendon, sensasi proteksi, ABI dan keluhan polineuropati diabetikum antara kelompok intervensi dan kontrol pada pengukuran awal didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pengukuran awal antara kelompok intervensi dan kontrol untuk rerata kekuatan otot (p value 0,105), refl ek tendon (p value 0,887) dan ABI (p value 0,615), sedangkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata sensasi proteksi pada pengukuran awal antara kelompok intervensi dengan kontrol (p value 0,000) pada nilai α = 0,05. Keluhan polineuropati diabetikum antara kelompok intervensi dan kontrol pada pengukuran awal menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk keluhan polineuropati diabetikum pada pengukuran awal antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p value 0,382. Terdapat perbedaan yang bermakna rerata kekuatan otot pada pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kontrol (p value 0,047), tidak terdapat perbedaan y a n g b e r m a k n a u n t u k r e f l e k t e n d o n (p value 0,338), sensasi proteksi (p value 0,067) dan ABI (p value 0,296). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk keluhan polineuropati diabetikum pada pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kontrol (p value 0,111). PEMBAHASAN Rerata kekuatan otot kelompok intervensi meningkat dari 4,58 menjadi 4,92 dan terdapat perbedaan yang bermakna antara pengukuran awal dan akhir dengan p value = 0,001 dan Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 107–117 110 α = 0,05. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Astrid (2008) yang menunjukkan hasil bahwa kekuatan otot dan kemampuan fungsional meningkat (p value = 0,000), meskipun karakteristik responden dan jenis penyakit berbeda. Penelitian yang mengkaitkan antara latihan ROM pada pasien DM masih sangat minim, meskipun terdapat penelitian dengan intervensi yang tujuannya sama dengan tujuan latihan ROM yaitu senam kaki dan masase kaki, di mana keduanya bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kekuatan otot. Penelitian lain yang sejenis yaitu penelitian yang dilakukan oleh Goldsmith, Lidtke dan Shott (2000) tentang pengaruh latihan ROM pasif dan aktif terhadap mobilitas sendi dan tekanan kaki, menunjukkan hasil bahwa latihan yang diberikan meningkatkan mobilitas sendi dan menurunkan tekanan pada bagian plantar kaki pasien DM dengan rerata penurunan 4,2%. Active lower ROM dapat meningkatkan kekuatan otot penderita DM tipe II dengan komplikasi mikrovaskuler (neuropati diabetikum). Hasil penelitian ini pun menunjukkan perbedaan yang bermakna rerata skor kekuatan otot pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p value = 0,047 dan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan yang ada sangat tipis antara kelompok yang melakukan active lower ROM dengan kelompok yang tidak melakukan. Menurut Frykberg (1991), individu (baik dengan DM maupun tanpa DM) yang melakukan latihan seperti stretching, active range of motion exercise atau teknik mobilisasi sendi secara spesifi k dapat meningkatkan dan menjaga mobilitas dari ankle, kaki dan jari- jari kaki. Tabel 1. Analisis perbedaan kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi dan ABI kelompok intervensi pada pengukuran awal dan pengukuran akhir Variabel Mean SD SE P value Kekuatan otot Awal Akhir Selisih 4,58 4,92 0,34 0,50 0,27 0,23 0,09 0,05 0,04 0,001 Refl ek tendon Awal Akhir Selisih 1,77 1,96 0,19 0,43 0,19 0,24 0,08 0,04 0,04 0,022 Sensasi proteksi Awal Akhir Selisih 2,38 4,58 2,20 1,58 1,39 0,19 0,31 0,27 0,04 0,000 ABI Awal Akhir Selisih 0,92 0,97 0,05 0,12 0,08 0,19 0,02 0,02 0,00 0,004 Keterangan: SD = Standar Deviasi, SE = Standar Error Tabel 2. Analisis perbedaan keluhan polineuropati diabetikum kelompok intervensi pada pengukuran awal (pre) dan pengukuran akhir (post) Variabel Keluhan Polineuropati (Post) N P valueTidak terjadi Terjadi n % n % Keluhan Polineuropati (Pre): Tidak terjadi Terjadi 18 6 69,2 23,1 0 2 0,0 7,7 18 8 0,031 Total 24 2 26 Keterangan: n = Jumlah responden, N = Jumlah total Latihan Active Lower Range of Motion (Ika Yuni Widyawati) 111 Tabel 3. Analisis perbedaan kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi dan ABI kelompok kontrol pada pengukuran awal dan pengukuran akhir Variabel Mean SD SE P value Kekuatan otot Awal Akhir Selisih 4,81 4,73 0,08 0,42 0,46 0,04 0,08 0,09 0,01 0,326 Refl ek tendon Awal Akhir Selisih 1,81 1,92 0,09 0,42 0,31 0,11 0,08 0,06 0,02 0,083 Sensasi proteksi Awal Akhir Selisih 4,85 5,42 0,57 2,10 1,89 0,21 0,39 0,36 0,03 0,004 ABI Awal Akhir Selisih 0,89 0,94 0,05 0,11 0,13 0,02 0,02 0,02 0,00 0,022 Keterangan: SD = Standar Deviasi, SE = Standar Error Tabel 4. Analisis perbedaan keluhan polineuropati diabetikum kelompok kontrol pada pengukuran awal (pre) dan pengukuran akhir (post) Variabel Keluhan Polineuropati (Post) N P valueTidak terjadi Terjadi n % n % Keluhan Polineuropati (Pre): Tidak terjadi Terjadi 17 1 60,71 3,57 3 7 10,71 25 20 8 1,000 Total 18 10 28 Keterangan: n = Jumlah responden, N = Jumlah total Tabel 5. Analisis perbedaan kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi dan ABI antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada pengukuran awal (pre) Variabel Kelompok Mean SD SE P value Kekuatan Otot Intervensi (n = 26) 4,58 4,81 0,50 0,42 0,99 0,08 0,105 Kontrol (n = 28) Refl ek Tendon Intervensi (n = 26) 1,77 0,43 0,08 0,887 Kontrol (n = 28) 1,81 0,42 0,08 Sensasi Proteksi Intervensi (n = 26) 2,38 1,58 0,31 0,000 Kontrol (n = 28) 4,85 2,10 0,39 ABI Intervensi (n = 26) 0,92 0,12 0,02 0,615 Kontrol (n = 28) 0,89 0,11 0,02 Keterangan: SD = Standar Deviasi, SE = Standar Error Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 107–117 112 Tabel 6. Analisis perbedaan keluhan polineuropati diabetikum antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada pengukuran awal (pre) Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol P value n % n % Keluhan Polineuropati (Pre): Tidak terjadi Terjadi 8 18 30,8 69,2 8 20 28,6 71,4 0,635 Total 26 100 28 100 Keterangan: n = Jumlah responden, N = Jumlah total Tabel 7. Analisis perbedaan kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi dan ABI antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada pengukuran akhir (post) Variabel Kelompok Mean SD SE P value Kekuatan Otot Intervensi (n = 26) Kontrol (n = 28) 4,92 4,73 0,27 0,46 0,05 0,09 0,047 Refl ek Tendon Intervensi (n = 26) 1,96 0,19 0,04 0,338 Kontrol (n = 28) 1,92 0,31 0,06 Sensasi Proteksi Intervensi (n = 26) 4,58 1,39 0,27 0,067 Kontrol (n = 28) 5,42 1,89 0,36 ABI Intervensi (n = 26) 0,97 0,08 0,01 0,296 Kontrol (n = 28) 0,94 0,13 0,02 Keterangan: SD = Standar Deviasi, SE = Standar Error Tabel 8. Analisis perbedaan keluhan polineuropati diabetikum antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada pengukuran akhir (post) Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol P value n % n % Keluhan Polineuropati (Post): Tidak terjadi Terjadi 2 24 7,7 92,3 10 18 35,7 64,3 0,111 Total 26 100 28 100 Keterangan: n = Jumlah responden, N = Jumlah total Peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian yang menunjukkan beda yang tipis antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kedua kelompok mempunyai rutinitas yang sama yaitu melakukan olahraga (senam diabetes) rutin yang dilaksanakan setiap hari Sabtu. Peneliti juga memperoleh informasi dari beberapa responden bahwa beberapa responden selain mengikuti senam diabetes di PERSADIA, mereka juga aktif mengikuti senam diabetes yang diadakan di wilayah tempat tinggal masing-masing (dengan hari yang berbeda), senam lansia, maupun jenis senam yang lain (contoh: Taichi). Faktor berikutnya menurut peneliti adalah rutinitas olahraga (senam diabetes) yang dilakukan oleh responden. Peneliti tidak mengkaji lebih dalam tentang rutinitas masing-masing responden baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol, demikian juga sebaran responden yang rutin atau tidak rutin dalam kedua kelompok tersebut. Faktor lain yang menurut peneliti turut memengaruhi hasil adalah jenis latihan Latihan Active Lower Range of Motion (Ika Yuni Widyawati) 113 yang juga dilakukan oleh kelompok kontrol (jalan, jogging atau senam kaki). Keberagaman jenis latihan yang dilakukan oleh kelompok kontrol ini bagi peneliti turut berperan dalam memengaruhi kekuatan otot responden dalam kelompok kontrol, karena beberapa latihan yang dilakukan responden dalam kelompok kontrol sebenarnya merupakan latihan fl eksibilitas sama seperti latihan ROM. Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini membuktikan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa kekuatan otot berbeda pada kelompok intervensi H a s i l p e n e l i t i a n m e n u n j u k k a n peningkatan rerata skor refl ek tendon kelompok intervensi dari 1,77 menjadi 1,96 dan terdapat perbedaan yang bermakna antara pengukuran awal dan pengukuran akhir dengan p value = 0,022 dan α = 0,05. Neuropati yang terjadi pada penderita DM berhubungan dengan kerusakan saraf baik sensorik maupun motorik. Sumpio (2000) menjelaskan bahwa manifestasi klinis yang muncul pada neuropati sensorik dan motorik disebabkan karena adanya kerusakan pada myelin akibat proses demyelinisasi. Teori menerangkan bahwa gangguan metabolik akibat dari hiperglikemia dan atau defi siensi insulin pada satu atau lebih komponen seluler pada saraf menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktural. Gangguan ini akan menyebabkan kerusakan jaringan saraf dan mengakibatkan defisit neurologis (Lewis, et al., 2005; Price dan Wilson, 2006; Frykberg, 2006). Penelitian lain yang secara khusus membahas active lower ROM dengan refl ek tendon masih sangat minim. Peneliti berasumsi bahwa perbaikan refl ek tendon yang ditunjukkan pada hasil penelitian ini dapat dikaitkan dengan adanya perbaikan pada vaskularisasi ankle responden. Seperti peneliti paparkan di atas bahwa latihan ROM bermanfaat dalam melancarkan peredaran darah khususnya pada area yang dilibatkan dalam latihan (dalam hal ini adalah area lower extremity). Peredaran darah yang lancar pada area tersebut menghambat proses demyelinisasi sel-sel saraf, di mana proses demyelinisasi tersebut merusak axon. Dengan demikian apabila sel-sel saraf dalam kondisi baik maka proses transmisi impuls terutama pada sel reseptor salah satunya tendon pun adekuat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa rerata skor refl ek tendon berbeda antara pengukuran awal dan akhir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor refl ek tendon pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p value = 0,338 dan α = 0,05. Hal ini terjadi karena peneliti tidak melakukan kontrol secara ketat pada kelompok kontrol terutama pada jenis latihan yang mereka lakukan. Dapat disimpulkan bahwa refl ek tendon tidak berbeda antara kelompok intervensi dan kontrol. Hasil analisis menunjukkan rerata skor sensasi proteksi kelompok intervensi pada pengukuran awal adalah 2,38. Neuropati sensorik ditandai oleh adanya nyeri pada kaki atau tungkai bawah yang memberat pada malam hari, perestesia dan sensasi abnormal (Boulton, et al., 2005; Lemone dan Burke, 2008). Menurut Boulton, et al. (2005) pada beberapa penderita neuropati diabetikum keluhan utama yang dirasakan adalah mati rasa pada kaki, hal inilah yang menyebabkan penderita neuropati sensorik mengalami kehilangan sensori terhadap nyeri, vibrasi, tekanan dan panas. Menurut Almazini (2009) pada penderita neuropati diabetikum terjadi perlambatan kecepatan konduksi saraf yang disebabkan oleh hiperglikemia intraseluler kronik yang menyebabkan pembentukan agen pengglikasi yang dikenal dengan produk akhir glikosilasi tahap lanjut. H a s i l p e n e l i t i a n m e n u n j u k k a n peningkatan rerata sensasi proteksi kelompok intervensi dari 2,38 menjadi 4,58 dan hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara pengukuran awal dan pengukuran akhir dengan p value = 0,000 dan α = 0,05. Penelitian yang dilakukan oleh Nursiswati (2007) dan Mulyati (2009) memperoleh hasil yang sama yaitu terdapat perbedaan rerata penurunan sensasi proteksi kaki. Neuropati diabetikum disebabkan karena peningkatan kadar gula darah yang kronis yang berakibat terjadinya demyelinasi multifokal dan hilangnya akson (axonal loss) sehingga penderita DM dengan neuropati akan kehilangan sensasi dalam merasakan nyeri, panas, vibrasi dan tekanan. Dengan kata lain Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 107–117 114 ujung-ujung saraf penderita tidak lagi sensitif dalam proteksi terhadap kondisi yang berisiko, yang terdeteksi dengan pemeriksaan sensasi proteksi dengan menggunakan Siemmes Weinstein Monofi lament 10 g. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rerata skor sensasi proteksi pada pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p value 0,067 dan α = 0,05. Peneliti berpendapat bahwa hal ini bisa terjadi karena pada kelompok kontrol meskipun tidak diberikan latihan active lower ROM, responden dalam kelompok tersebut tetap dianjurkan untuk melakukan aktivitas latihan lain selain olahraga rutin (setiap Sabtu) seperti jalan, jogging atau bahkan senam kaki. H a s i l p e n e l i t i a n m e n u n j u k k a n peningkatan rerata skor ABI kelompok intervensi dari 0,92 menjadi 0,97 dan terdapat perbedaan yang bermakna pengukuran awal dan akhir dengan p value 0,004 dan α = 0,05. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2009) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor ABI pasien pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan masase kaki secara manual (p value 0,155). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Castro-Sanches, et al. (2010) bahwa penderita DM tipe II (dengan peripheral arterial disease) mengalami perbaikan nilai tekanan darah arteri dan nilai ABI setelah diberikan terapi gabungan antara latihan dan masase. Penelitian tersebut memang tidak menggunakan responden penderita DM tipe II dengan neuropati diabetikum, namun asumsi peneliti bahwa tujuan latihan dan masase yang diterapkan oleh Castro-Sanches, et al. sama dengan tujuan latihan active lower ROM yaitu melancarkan peredaran darah. Kondisi peredaran darah yang lancar menghambat proses penebalan membran kapiler, peningkatan ukuran dan jumlah sel endotel kapiler, sehingga diameter lumen pembuluh darah tetap adekuat khususnya pembuluh darah perifer. Dampaknya adalah adanya perbaikan pada nilai tekanan darah sistolik baik brachial maupun ankle. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rerata skor ABI pada pengukuran akhir antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p value 0,296 dan α = 0,05. Peneliti berpendapat bahwa hal ini bisa terjadi karena pada kelompok kontrol juga melakukan latihan yang juga mempunyai manfaat yang sama dengan latihan active lower ROM. Hasil analisis menunjukkan terdapat 23,1% (6 orang) di mana pada saat pengukuran awal terjadi keluhan polineuropati namun pada saat pengukuran akhir terjadi penurunan angka keluhan polineuropati menjadi 7,7% (2 orang). Persentase responden yang mengalami penurunan keluhan polineuropati diabetikum meskipun kecil namun cukup bermakna. Mengacu pada teori yang peneliti paparkan sebelumnya penderita DM mengalami masalah atau berisiko terjadi komplikasi terutama disebabkan karena hiperglikemia. Pada kapiler pasien DM terjadi penebalan membran dasar dan peningkatan ukuran dan jumlah sel endotel kapiler yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah menjadi kecil yang disebabkan oleh adanya proses demyelinisasi (Lewis, et al., 2005; Frykberg, 2006). Saraf pada penderita DM tampak mengalami peningkatan kerentanan baik terhadap faktor seluler dan faktor imun humoral, termasuk aktivasi limfosit, deposisi imunoglobulin dan aktivasi komplemen, sehingga mudah mengalami peradangan yang disertai keluhan nyeri, terasa panas, dan seterusnya. Latihan berfungsi melancarkan peredaran darah, di mana aliran darah yang lancar ini tentunya akan memudahkan nutrien masuk ke dalam sel dan secara langsung latihan pada penderita DM membantu meningkatkan sensitivitas reseptor insulin sehingga kadar gula darah menjadi stabil, dengan demikian kerusakan sel-sel (khususnya saraf) lebih jauh dapat dihindari. Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna keluhan polineuropati kelompok intervensi pada pengukuran awal dan akhir dengan p value 0,031 dan α = 0,05 namun tidak terdapat perbedaan kejadian keluhan polineuropati diabetikum antara kelompok intervensi dan kontrol pada pengukuran awal dengan p value 0,635 dan α = 0,05 sedangkan pada pengukuran akhir dengan p value = 0,111 dan α = 0,05. Latihan Active Lower Range of Motion (Ika Yuni Widyawati) 115 Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan BMI dengan kekuatan otot pada kelompok intervensi (p value 0,041; α = 0,05). Nilai hubungan sebesar negatif 0,403 yang berarti semakin tinggi nilai BMI maka kekuatan otot semakin rendah, atau sebaliknya semakin rendah nilai BMI maka kekuatan otot semakin tinggi. Penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Rolland, et al. (2004) tidak menemukan hubungan BMI dengan penurunan kekuatan otot pada pasien wanita lansia dengan obesitas. Secara umum terdapat hubungan antara massa dan kekuatan otot (Frontera, et al., 1991 dalam Rolland, et al., 2004), dengan kata lain berat badan berhubungan secara positif dengan kekuatan otot. Kekuatan otot dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain obesitas dan kebugaran fi sik yang rendah (Sternfeld, et al., 2002 dalam Rolland, et al., 2004). Aktivitas fisik meningkatkan kekuatan otot dan massa otot (Roubenoff, et al., 2000 dalam Rolland, et al., 2004). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan BMI dengan kekuatan otot. Hasil analisis lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan BMI dengan keluhan polineuropati diabetikum (PNP) pada kelompok intervensi (p value 0,041; α = 0,05). Nilai hubungan sebesar positif 0,403 yang berarti semakin tinggi nilai BMI maka keluhan polineuropati semakin tinggi, demikian sebaliknya. Penelitian oleh Tesfaye et al. (2005) memperoleh hasil bahwa hipertensi, merokok, obesitas dan peningkatan kadar trigliserida (yang kesemuanya merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler) serta adanya penyakit kardiovaskuler yang menyertai penderita DM berhubungan dengan adanya neuropati. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Straub, et al. (1994) menunjukkan bahwa obesitas memengaruhi neuropati sensorimotor dan otonom. Penelitian yang dilakukan oleh Selim, et al. (2008) menunjukkan bahwa nilai BMI berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan peningkatan cerebrovascular resistance. Penyakit diabetes dan hipertensi sangat berkaitan dengan masalah yang muncul pada pembuluh darah. Hal ini membuktikan bahwa obesitas memang berhubungan dengan sensasi proteksi penderita DM dengan komplikasi mikrovaskuler. Penderita DM pun berisiko mengalami masalah akibat defi siensi insulin dan peningkatan kadar gula darah, di mana kadar gula darah yang tinggi menyebabkan konsentrasi glukosa yang tinggi di saraf. Menurut Almazini (2009) hal itu kemudian menyebabkan konversi glukosa menjadi sorbitol yang dikatalisasi oleh aldose reductase. Kadar fruktose saraf juga meningkat. Fruktose dan sorbitol saraf yang berlebihan menurunkan ekspresi dari kotransporter sodium atau myoinositol sehingga menurunkan kadar myoinositol. Penderita DM pun mengalami perubahan iskemik mikrovaskuler yang meliputi penebalan membran basal kapiler, hiperplasia sel endotelial, infark dan iskemia neuronal. Seluruh faktor tersebut akan mengakibatkan kerusakan pada saraf sehingga konduksi saraf melambat yang memengaruhi refl ek tendon. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan BMI dengan keluhan polineuropati diabetikum. Terdapat hubungan antara riwayat hipertensi dengan refl ek tendon pada kelompok kontrol dengan p value 0,045 (α = 0,05). Nilai hubungan sebesar negatif 0,382 yang berarti adanya riwayat hipertensi maka skor refl ek tendon semakin rendah, atau sebaliknya tidak adanya riwayat hipertensi maka skor refl ek tendon semakin tinggi. Sampai saat ini belum ada penelitian yang secara spesifi k membahas tentang hubungan riwayat hipertensi dengan reflek tendon, namun demikian peneliti berasumsi bahwa hal ini disebabkan karena penderita DM yang disertai riwayat hipertensi mengalami perubahan pada vaskuler. Perubahan vaskuler dan otot jantung berdampak pada penurunan aliran darah ke seluruh organ termasuk sel-sel saraf. Penderita DM pun berisiko mengalami masalah akibat defi siensi insulin dan peningkatan kadar gula darah, di mana kadar gula darah yang tinggi menyebabkan konsentrasi glukosa yang tinggi di saraf. Hal itu kemudian menyebabkan konversi glukosa menjadi sorbitol. Fruktose dan sorbitol saraf yang berlebihan menurunkan ekspresi dari kotransporter sodium/myoinositol sehingga menurunkan kadar myoinositol. Penderita DM pun mengalami perubahan Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 107–117 116 i s k e m i k m i k r o v a s k u l e r y a n g m e l i p u t i penebalan membran basal kapiler, hiperplasia sel endotelial, infark dan iskemia neuronal. Seluruh faktor di atas akan mengakibatkan kerusakan pada saraf sehingga konduksi saraf melambat yang memengaruhi refl ek tendon. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan kadar trigliserida dengan skor kekuatan otot pada kelompok kontrol (p value 0,030; α = 0,05). Nilai hubungan sebesar positif 0,411 yang berarti semakin tinggi kadar trigliserida maka skor kekuatan otot semakin tinggi, demikian sebaliknya. Peneliti berasumsi bahwa peningkatan trigliserida dapat terjadi bukan hanya karena konsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak namun disebabkan oleh proses glukoneogenesis yang terjadi pada penderita DM. Proses glukoneogenesis merupakan proses di mana tubuh berusaha untuk membentuk cadangan glukosa baru dengan melakukan pemecahan zat nutrisi berupa lemak dan protein. Terdapat hubungan kadar trigliserida dengan keluhan polineuropati perifer pada kelompok kontrol (p value 0,002; α = 0,05). Nilai hubungan sebesar negatif 0,559 yang berarti semakin tinggi kadar trigliserida maka keluhan polineuropati perifer semakin rendah, atau sebaliknya semakin rendah kadar trigliserida maka keluhan polineuropati semakin tinggi. Pada penderita DM, kadar gula darah yang tinggi akan meningkatkan viskositas pembuluh darah yang berdampak pada aliran darah yang tidak lancar termasuk ke sel-sel saraf, demikian pula halnya dengan kadar trigliserida karena peningkatan kadar trigliserida akan mempersempit lumen pembuluh darah, sehingga aliran darah terganggu dan menimbulkan berbagai gangguan mikrovaskuler. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat perbedaan yang bermakna nilai kekuatan otot, refl ek tendon, sensasi proteksi, ABI dan keluhan polineuropati perifer pada kelompok intervensi antara pengukuran awal dan pengukuran akhir. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai kekuatan otot pada pengukuran akhir antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna nilai refl ek tendon, sensasi proteksi, ABI dan keluhan polineuropati perifer pada pengukuran akhir antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Saran Adekuasi tata laksana DM, neuropati diabetikum dan pencegahan komplikasi lebih lanjut khususnya intervensi keperawatan secara komprehensif berdasarkan pada bukti ilmiah (evidence based practise) dapat dilakukan. Peneliti berharap latihan ROM bawah secara aktif ini nantinya juga dapat menjadi salah satu alternatif latihan fl eksibilitas yang dianjurkan kepada penderita DM tipe II untuk mengurangi tanda dan gejala neuropati diabetikum atau mencegah agar komplikasi neuropati tidak terjadi. KEPUSTAKAAN Almazini, P., 2009. Patogenesis Neuropati pada Diabetes Mellitus, (Online), (http://www.myhealing.wordpress.com., diakses tanggal 05 Januari 2010). American Diabetes Association, 2010. Standards of Medical Care in Diabetes 2010. Diabetes Care. 33 (1), S11-S61, DOI:10.2337/dc10-S011. A s t r i d , M . , 2 0 0 8 . P e n g a r u h L a t i h a n Range of Motion (ROM) terhadap Kekuatan Otot, Luas Gerak Sendi dan Kemampuan Fungsional Pasien Stroke di RS Sint Carolus Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan. Jakarta: FIK UI. Boulton, A.J.M., 2005. Diabetic Neuropathies (A statement by the American Diabetes Association). Diabetes Care. 28 (4), 956–962,(online), (http://www.care. diabetesjournals.org., diakses tanggal 15 Februari 2010). Castro-Sánchez, A.M., et al., 2010. Effi cacy of a massage and exercise programme on the ankle-brachial index and blood pressure in patients with diabetes mellitus type 2 and peripheral arterial disease: a randomized clinical trial. Latihan Active Lower Range of Motion (Ika Yuni Widyawati) 117 Medicina Clínica [Med Clin (Barc)], 134 (3), 107–110. Frykberg, R.G., 1991. The High Risk Foot in Diabetes Mellitus. New York: Churchill Livingstone Inc. Frykberg, R.G., et al., 2006. A Supplement to: Ankle and Foot Surgery. The Journal of Diabetic Foot Disorders, 45 (5). S1- S66.(online),(http://www.acfas.org/pdf/ DiabeticCPG-small.pdf., diakses tanggal 15 February 2010). Goldsmith, J.R., Lidtke, R.H., dan Shott, S., 2002. The Effects of Range-of-Motion Therapy on the Plantar Pressures of Patients with Diabetes Mellitus. Journal of the American Podiatric Medical Association. 92 (9), 483–490, (online), (http://www.japmaonline.org,diakses tanggal 15 February 2010). Hampton, S., 2006. Caring for the diabetic patient with a foot ulcer. British Journal of Nursing. 15 (15), (online), (http:// web.ebscohost.com/ehost/pdf., diakses tanggal 15 Februari 2010). Lewis, et al., 2005. Medical Surgical Nursing, Assessment and Management of Clinical Problem. New South Wales: Mosby Inc. LeMone, P dan Burke, K., 2008. Medical Surgical Nursing: Critical thinking in Client Care 4 ed. New Jersey: Pearson Education Inc. Meijer, J.W.G., et al., 2003. Clinical Diagnosis of Diabetic Polyneuropathy With the Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy Examination Scores. Diabetes Care. 26, 697–701. Mulyati, L., 2009. Pengaruh masase kaki secara manual terhadap sensasi proteksi, sensasi nyeri dan ABI pada pasien DM tipe II di RSU Daerah Curup Bengkulu. Tesis tidak dipublikasikan.Jakarta: FIK UI. Nursiswati, 2007. Pengaruh latihan kaki terhadap gejala neuropati perifer pada asuhan keperawatan pasien dengan DM Tipe II di RSUD Bekasi. Tesis tidak dipublikasikan. Jakarta: FIK UI. Price dan Wilson, 2006. Patofi siologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. Rathnayake, T., 2009. Peripheral Neuropathy: Exercise Therapy. Evidence Summaries - Joanna Briggs Institute. ProQuest document ID:1937745051. Roglic, et al., 2005. The Burden of Mortality Attributable to Diabetes. Diabetes Care. 28, 2130–2135, (online), (http://www. who.int., diakses tanggal 15 Februari 2010). Rolland, Y., et al., 2004. Muscle strength in obese elderly women: effect of recreational physical activity in a cross- sectional study. American Journal of Clinical Nutrition. 79, 552–557. Selim, M., et al., 2008. The Effects of Body Mass Index on Cerebral Blood Flow Velocity. Clinical Autonomy Res. 18 (6), 331–338. Silbernagl, S. dan Lang, F., 2007. Teks dan atlas berwarna patofi siologi. Jakarta: EGC. Simmons, Z. dan Feldman, E.L., 2002. Update on diabetic neuropathy. Current Opinion in Neurology. 15, 595–603, (Online), (http://anesthesia,stanford. e d u / p a i n / N e u r o p a t h i c % 2 0 P a i n / Diabetic%20Neuropathies.pdf., diakses tanggal 29 Februari 2010). Smeltzer, S.C., dan Bare, B., 2003. Brunner and Suddarth's Textbook of Medical- Surgical Nursing (10th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Sumpio, B.E., 2000. Foot Ulcers. Primary Care, 343 (11), 787-793, (online), (http://www.nejm.org., diakses tanggal 13 Februari 2010). Terzi, A., 2008. The nurse's role in the prevention of diabetic foot ulcers [Greek]. Nosileftiki, 47 (1), (online),(http://web. ebscohost.com., diakses tanggal 16 Februari 2010). Worley, C.A., 2006. Neuropathic Ulcers: Diabetes and Wounds, Part II. Differential Diagnosis And Treatment. Dermatology Nursing. 18 (2), (online), (http://web. ebscohost.com/ehost/pdf., diakses tanggal 25 Februari 2010).