NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 118 BEBAN PEREMPUAN PENDERITA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF GENDER (The Woman Burden of HIV/AIDS Patient in Gender Perspective) Awatiful Azza Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jember Jl. Karimata 49 Jember 68121 E-mail: awatiful. azza@yahoo. com ABSTRACT Introduction:Epidemic HIV/AIDS becomes heavy burden in every country without exception and hardly potency breaks the economic development in developing countries including Indonesia. Method: The method which use on this research was deskriptif kuantitatif. This condition causes women who generally not guilty exactly very susceptible in infection by HIV/AIDS and accounts a real heavy burden from disease impact received by it either in social environment and also family. Result: most all the psychological experienced of respondents change from lightest storey to heaviest. Lack of ability was caused by a lot public still have not comprehended about HIV/AIDS and more tends to discriminates patient and even asks patient to move. Giving of emotion support, psychological, facility, treatment and curative and information support, it's expressed that most of public was less in giving support. Discussion: The effort that is must be done by local government Kabupaten Jember relates to handling of HIV/AIDS for example prevention and invention of case and manage of patient which has expressed positive of HIV/AIDS by entangling all society not to restrain from they environment. Keywords: the woman burden, HIV/AIDS, gender perspective PENDAHULUAN Epidemi HIV/AIDS menjadi beban berat setiap negara tanpa kecuali, dan sangat berpotensi menghancurkan pembangunan ekonomi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dewasa ini jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia mencapai 39,4 juta, dari jumlah tersebut 17,6 juta penderita adalah perempuan. Perempuan cenderung berpeluang besar tertular HIV/ AIDS. Data menunjukkan jumlah penularan HIV/AIDS perhari 14 ribu, dan 6. 000 kasus dialami oleh perempuan (Hutapea, 2003). Di Indonesia pada tahun 2005 jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 9200 penderita baik laki- laki maupun perempuan (Convention Watch, 2007). Sebelumnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia baru terjadi di 28 propinsi, sejak tahun 2006 penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi disemua propinsi. Data tentang HIV/AIDS saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Jawa Timur menetapkan status merah terhadap penyebaran HIV/AIDS. Status ini ditetapkan karena terus meningkatnya penderita HIV/AIDS. Data yang ditemukan dari tahun 2001 sampai 2007 terdapat 102 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian sebanyak enam orang, hal tersebut menempatkan kabupaten Jember dalam urutan keenam dari epidemi penyebaran HIV/AIDS di Jawa Timur setelah Surabaya, Malang, Banyuwangi, Tulungagung, dan Sidoarjo. Risiko perempuan terinfeksi HIV/AIDS, 2–4 kali lebih besar dibanding laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh bentuk anatomi dari alat kelamin perempuan lebih luas dibanding laki-laki. Kemungkinan penularan infeksi dapat melalui sperma saat berhubungan seksual. Konsentrasi HIV di dalam sperma yang lebih tinggi kemudian masuk ke dalam cairan vagina saat berhubungan seksual. Kondisi ini menyebabkan kaum perempuan yang umumnya tidak bersalah justru sangat rentan terinfeksi HIV/AIDS (Hutapea, 2003). Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam Perspektif Gender (Awatiful Azza) 119 Faktor yang dapat memperparah kondisi perempuan penderita HIV/AIDS di antaranya adanya perlakuan diskriminasi, termasuk pendidikan yang kurang memadai, upah yang sangat rendah dan prospek kerja yang tidak berpihak pada perempuan, kekerasan, pelecehan dan eksploitasi yang dilakukan kaum laki-laki. Perlakuan yang cenderung diskriminasi tersebut akan menyebabkan perempuan menjadi sangat rentan terhadap hubungan seks yang tidak diinginkan dan tidak aman, baik di dalam maupun di luar pernikahan. Selain itu perempuan sering diabaikan dalam mendapatkan akses pengetahuan dan pendidikan tentang seksualitas dan kesehatan seksual, sehingga akan berdampak pada kualitas kesehatan perempuan yang cenderung berisiko terhadap munculnya beberapa penyakit, yang tentunya risiko tersebut juga akan dapat dialami anak-anak yang dilahirkannya. Dampak yang ditimbulkan dari HIV/ AIDS tidak hanya masalah kesehatan, akan tetapi dampak psikososial juga mempunyai andil cukup besar terhadap kesejahteraan perempuan. Perempuan yang terkena HIV/ AIDS, secara psikologi akan mengalami berbagai masalah, mulai dari kecemasan, keraguan, stress dan depresi. Tekanan lingkungan yang cenderung diskriminatif akan membuat perempuan kehilangan penghargaan terhadap dirinya. Bahaya yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS akan menambah beban berat perempuan akibat stigma masyarakat yang cenderung memojokkan dan mengucilkannya dari lingkungan. Stigma pada perempuan dengan HIV/AIDS selalu dihubungkan dengan perilaku marginal seperti perilaku pekerja seks dan pengguna NAPZA. Perempuan yang positif terinfeksi HIV dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya juga positif HIV, hal tersebut dapat menjadi beban ganda yang harus ditanggung oleh perempuan. Keadaan ini memberi konsekuensi psikologis yang besar bagi perempuan dengan HIV/AIDS untuk dapat melihat diri mereka sendiri, yang kemudian akan membawa mereka dalam beberapa kasus pada keadaan depresi, kurang percaya diri dan putus asa. Stigma dan diskriminasi yang terkait dengan HIV/AIDS akan memengaruhi masyarakat dalam merespons keadaan secara konstruktif guna menghadapi dampak yang diakibatkan oleh penyakit ini. Stigma dan diskriminasi yang dikaitkan dengan HIV/AIDS merupakan penghalang utama bagi upaya lanjut dalam pencegahan infeksi dan pelayanan yang memadai, dukungan dan perawatan, serta pengurangan dampak buruk dari infeksi HIV/AIDS. Kebijakan dan dukungan pemerintah serta masyarakat yang berpihak pada perempuan dapat menjadi kekuatan dalam upaya untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Kajian mengenai penderita HIV/AIDS sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih berat menanggung dampak penyakit yang diterimanya baik dalam lingkungan sosial maupun keluarga yang sebelumnya mungkin tidak pernah terbayangkan akan menderita HIV/AIDS. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan deskripif kuantitatif dengan tujuan untuk memberikan gambaran tentang beban psikologis dan sosial perempuan penderita HIV/AIDS dalam perspektif gender. Metode kuantitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa bilangan/numerik dari variabel yang dapat diamati. Deskriptif mengidentifikasi suatu peristiwa, variabel, mengembangkan teori, dan operasional dari variabel (Burn dan Groves, 1991). Pendekatan ini digunakan karena dapat memberikan data yang lebih objektif sesuai dengan harapan peneliti, sehingga responden maupun masyarakat yang menjadi sampel dapat mengungkapkan tentang permasalahan yang dialami perempuan penderita HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Jember Jawa Timur, terutama diwilayah yang ditemukan kasus HIV/AIDS, di antaranya wilayah Patrang, dan Sumbersari. Pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian tersebut untuk melihat dukungan yang telah diberikan masyarakat pada penderita HIV/AIDS. Mengkaji kebijakan yang telah dilakukan pemerintah daerah untuk menjawab kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS yang menempatkan kabupaten Jember dalam Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 118–126 120 urutan keempat dari epidemi penyebaran HIV/ AIDS di Jawa Timur setelah Surabaya, Malang, dan Sidoarjo. Sumber data dalam penelitian ini adalah perempuan penderita HIV/AIDS dan masyarakat yang ada di sekitarnya, selain itu data juga didapatkan dari pelayanan kesehatan dan informan yang terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui subjek penelitian yaitu perempuan penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner, Dinas Kesehatan kabupaten Jember maupun RSD dr. Soebandi melalui wawancara. Data sekunder diperoleh melalui masyarakat yang ada di sekitar perempuan penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner, data juga diperoleh melalui kontak personal langsung di lapangan maupun menggunakan studi dokumenter. Penelitian diawali dengan mengajukan perijinan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Prosedur p e n g u m p u l a n d a t a d i l a k u k a n s e t e l a h menetapkan partisipan sesuai dengan kriteria. Pada pengumpulan data primer, peneliti bekerja sama dengan konselor yang ada di klinik VCT RSUD dr. Soebandi Jember. Hal tersebut dilakukan untuk memberi rasa nyaman reponden, sehingga responden akan lebih leluasa dalam mengisi kuesioner sesuai dengan kondisi psikologis yang dialaminya saat itu. Peneliti memberikan informed concent untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari partisipan yang dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan di lembar persetujuan yang telah disediakan. Pada pengumpulan data sekunder peneliti memilih beberapa masyarakat yang ada di sekitar penderita sebagai sampling untuk mengetahui berbagai reaksi dan stigma yang diberikan terhadap perempuan penderita HIV/AIDS, selain itu juga untuk mengetahui berbagai bentuk dukungan masyarakat terhadap perempuan penderita HIV/AIDS. Sumber data lain yang dikumpulkan untuk dapat menjawab tujuan peneliti yaitu studi dokumenter yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Jember dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), serta wawancara langsung tentang dukungan pemerintah daerah dalam perlindungan perempuan penderita HIV/AIDS. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah: Data primer data diambil dari penderita HIV/AIDS yang melakukan kunjungan di klinik VCT RSD dr. Soebandi Jember 60 responden yang diambil dengan tekhnik purposif sampling dalam kurun waktu 3 bulan yang dimulai pada bulan Juli–September 2009. Data Sekunder data diambil dari masyarakat. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 250 responden yang dipilih secara random dan terbagi pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Patrang dan Sumbersari. Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner maupun observasi dan studi dokumenter, maka data perlu diolah untuk menjawab tujuan dari penelitian. Tiga tahap analisa data dengan menggunakan metode diskriptif kuantitatif yang pertama yaitu persiapan, melakukan pengecekan kelengkapan kuesioner yang sudah diisi oleh responden, melakukan pengecekan isian data, serta analisa hasil wawancara dan studi dokumenter sebagai data pendukung. Kedua adalah tabulasi data, langkah yang dilakukan dalam tabulasi data adalah pemberian skor, dan kode dari data yang sudah terkumpul sehingga memudahkan analisa data. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan diskriptif, sehingga peneliti hanya menggunakan persentase untuk menyimpulkan dari data yang sudah dikumpulkan untuk menjawab tujuan penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara maupun dokumen disajikan dalam bentuk naratif. HASIL Penelitian ini mengungkapkan bahwa pada dukungan emosi, sekitar 175 (70%) responden kurang memberikan dukungan psikologis dan emosi pada perempuan yang didiagnosis HIV/AIDS, dan hanya 30% saja masyarakat yang memberikan dukungan. Banyak upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten Jember dalam memberikan bantuan pada penderita HIV/AIDS, namun karena stigma yang sudah terlanjur melekat dan Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam Perspektif Gender (Awatiful Azza) 121 kultur keagamaan yang kuat, maka terkadang program yang dicanangkan pemerintah daerah belum mampu memberikan jalan keluar yang signifikan bagi penderita dan keluarganya. Untuk dukungan fasilitas, sebagian responden (55%) mengatakan bahwa mereka tidak mampu memberikan dukungan fasilitas perawatan dan pengobatan selama perempuan menderita HIV/AIDS, baik berupa sarana prasarana selama perawatan maupun biaya jika dibutuhkan. Untuk dukungan informasi, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang dalam memberikan dukungan informasi. Hanya 46% atau sekitar 116 orang saja dari mereka yang memberikan dukungan informasi pada perempuan penderita HIV/AIDS. Kondisi tersebut disebabkan kurang pahamnya masyarakat tentang penatalaksanaan penderita HIV/AIDS, hal tersebut dapat dilihat dari status pendidikan responden yang sebagian besar memiliki pendidikan SD dan SMA, selain itu responden juga kurang mendapat informasi dari petugas kesehatan/lingkungannya baik berupa penyuluhan maupun demonstrasi langsung tentang perawatan penderita HIV di rumah. Hasil penelitian tentang stigma pada p e n d e r i t a H I V / A I D S , m e n g u n g k a p k a n bahwa sekitar 69% atau 173 responden masih memberikan stigma yang buruk dan diskriminasi bagi penderita HIV. Stigma tersebut di antaranya bahwa perempuan penderita HIV merupakan orang yang melanggar aturan dan mempunyai perilaku menyimpang, selain itu perempuan penderita HIV/AIDS harus dijauhi dan sebaiknya tidak boleh keluar rumah agar tidak menularkan penyakitnya pada orang lain. PEMBAHASAN AIDS atau Acquired Immune Defi ciency Syndrome, merupakan kumpulan gejala penyakit akibat penurunan sistem imun atau kekebalan tubuh oleh virus HIV (Nursalam, 2007). Virus HIV terdapat di dalam cairan tubuh yaitu darah, sperma, cairan vagina dan air susu ibu (Murni, S, 2003). Sistem imun tubuh kita memerangi penyakit dengan berbagai cara. Mula-mula diproduksi sel-sel darah putih yang meringkus dan menghancurkan kuman penyakit seperti bakteri, virus dan jamur. Limfosit adalah senjata utama dari sistem imun. HIV menyerang sistem imun dengan menyerbu dan menghancurkan sel darah putih, yang sering disebut dengan sel T. HIV cenderung menyerang sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhans pada kulit, sel denrit pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel servick uteri, dan sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS akan mengalami beberapa tahapan yaitu Asimtomatik, tahap tanpa ada gejala-gejala. Pada tahap ini penderita terlihat sehat dan normal, sel darah putih masih dapat mengatasi gangguan dari luar, tetapi penderita dapat menularkan virus itu kepada orang lain. Simtomatik, tahap di mana gejala penyakit mulai timbul akibat lemahnya kekebalan tubuh, opportunistik. tahap ini merupakan transisi dari HIV menuju AIDS, dan gejala klinis minor mulai dapat dilihat. Seperti: diare berkepanjangan, batuk 3 bulan lebih, mulai timbul penyakit kulit, berat badan berkurang, TBC, bronkhitis. Full blown AIDS: tahap di mana seseorang sudah kehilangan sistem kekebalan tubuhnya, pada keadaan ini kemampuan penderita untuk bertahan hidup sudah sangat rendah, karena metabolisme tubuh sudah rusak dan hancur. Tidak banyak yang dapat dilakukan pada tahap ini. Proses transmisi atau penularan HIV dari ibu ke bayi diperkirakan sudah berlangsung sejak bayi dalam kandungan, yakni melalui plasenta, akan tetapi risiko terbesar penularan justru terjadi saat persalinan dan sesudah persalinan. Hal ini terjadi karena virus berkembang subur di daerah vagina. Saat persalinan, bayi mengalami kontak yang erat dengan vagina sebagai jalan lahir. Darah yang dikeluarkan saat persalinan pun akan mengenai tubuh bayi. Jika ada luka Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 118–126 122 pada bayi, virus HIV dari darah ibu bisa masuk melalui luka. Penularan HIV pada bayi juga dapat melalui pemberian ASI. Pemberian susu formula lebih sering direkomendasikan pada ibu pengidap HIV/AIDS. Keadaan ini sekarang sangat sulit dilakukan, harga susu formula yang mahal akan menjadi masalah tersendiri bagi ekonomi keluarga yang tentunya kemiskinan bagi keluarga mempunyai dampak yang sangat besar pada perempuan, belum lagi rendahnya pemahaman tentang kebersihan saat memberikan susu formula yang dapat menyebabkan risiko diare pada bayi. Beberapa penderita menampakkan gejala yang menyerupai mononukleosis infeksiosa dalam waktu beberapa minggu setelah terinfeksi. Gejala berupa demam, ruam- ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa tidak enak badan yang berlangsung selama 3–14 hari. Sebagian gejala akan hilang meskipun kelenjar getah bening tetap membesar. Penderita menunjukkan gejala-gejala infeksi HIV dalam waktu beberapa tahun sebelum terjadinya infeksi atau tumor yang khas untuk AIDS. Gejala tersebut meliputi pembengkakan kelenjar getah bening, penurunan berat badan, demam yang hilang timbul, perasaan tidak enak badan, lelah, diare berulang, anemia, dan thrush (infeksi jamur di mulut) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003). Manifestasi klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrome retroviral akut dimensia HIV), infeksi oportunitis atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasar keadaan klinis dan jumlah CD4 (Mansjoer, 2000). Gangguan klinis lain yang diakibatkan oleh HIV adalah HIV wasting syndrom berat badan turun lebih dari 10%, diare kronis dan demam lebih dari 1 bulan, yang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Ensepalopati HIV. Gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang mengganggu hidup sehari- hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu yang tidak disertai penyakit penyerta lain selain HIV (Nursalam, 2007). Sampai dengan saat ini penderita HIV/AIDS selalu mendapatkan stigma yang melekat dalam diri mereka. Stigma tentang penderita HIV/ AIDS lebih cenderung berkonotasi negatif dan memojokkan perempuan. Masyarakat menilai bahwa penyakit HIV/AIDS biasanya dianggap sebagai penyakit yang diderita oleh orang-orang yang melanggar aturan, sebagai perempuan pekerja seks komersial (PSK), tidak taat beragama, orang-orang yang dikutuk Tuhan dan pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah, padahal kenyataan yang ada tidak selalu demikian. Keadaan ini memberi konsekuensi psikologis yang besar bagi perempuan dengan HIV/AIDS untuk dapat melihat diri mereka sendiri dan anak yang dilahirkannya, yang kemudian akan membawa mereka dalam beberapa kasus pada keadaan depresi, kurang percaya diri dan putus asa. Diskriminasi dan pemberian stigma oleh masyarakat juga akan melanggar hak- hak perempuan seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia terutama pada pasal 3 dan 4. Serta Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tentang perempuan dan kesehatan, pasal 12 berisi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention watch, 2007). Perempuan juga dihadapkan pada kenyataan bahwa anak yang akan dilahirkannya berisiko menderita HIV/AIDS, tentunya hal itu akan menambah beban perempuan dalam menjalani kehidupannya. Perubahan yang terjadi pada perempuan penderita HIV/AIDS selain secara biologis, perempuan juga rentan secara sosiologis- gender. Perempuan dianugerahi kodrat untuk melahirkan, kondisi tersebut menyebabkan perempuan mempunyai beban berat terhadap kondisinya maupun keturunannya. Pada beberapa kasus, infeksi pada anak berbeda dengan orang dewasa. HIV pada bayi secara langsung dapat menyerang susunan saraf pusat yaitu sumsum tulang belakang dan otak, sehingga dapat menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan. Permasalahan HIV/AIDS sangat berbeda dengan penyakit-penyakit lainnya. Dampak HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan, namun juga bersinggungan dengan sendi-sendi permasalahan psikososial, agama, ekonomi dan budaya. Pemberian stigma tertentu terhadap perempuan penderita HIV/ AIDS, membuat para penderita kehilangan Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam Perspektif Gender (Awatiful Azza) 123 haknya untuk diterima dalam masyarakat. Produktivitas mereka menurun dikarenakan penolakan lapangan kerja, yang kemudian akan membawa perempuan pada keadaan depresi dan kurangnya rasa percaya diri. Diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS atau terhadap orang yang diduga terinfeksi HIV, sangat jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang diderita oleh orang-orang yang melanggar aturan, yang tidak taat beragama, orang-orang yang dikutuk Tuhan dan pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Stigma dan diskriminasi akan memengaruhi kapasitas masyarakat dalam merespons keadaan secara konstruktif. Dampak pemberian stigma dapat menimbulkan rasa malu, bersalah, dan pengucilan terhadap ODHA, dan juga karena pikiran-pikiran negatif dapat menyebabkan seseorang terpaksa melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain, misalnya tidak memberikan layanan atau memenuhi hak mereka (Pariani dan Purwaningsih, 2005). D a m p a k H I V / A I D S d i k a l a n g a n perempuan dapat dipengaruhi secara langsung oleh budaya dan dibentuk secara sosial oleh peranan mereka di dalam masyarakat. Budaya patriarkhi memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua, apalagi bagi perempuan pengidap penyakit seksualitas (HIV/AIDS). Perempuan ditempatkan dalam kebijakan yang kurang mendukung kondisinya, bahkan seringkali perempuan penderita HIV/AIDS justru dieksploitasi melalui media. Sikap dan nilai budaya yang selama ini dianut masyarakat menganggap ibu rumah tangga tidak menjadi bagian dari kelompok yang rentan terhadap HIV/AIDS. Masyarakat tidak memperhatikan bahwa alat reproduksi perempuan tanpa kesalahannya lebih rentan terhadap infeksi. Kondisi kekurangan dari segi pendapatan, kekuasaan dan kekayaan, telah menjadikan perempuan tidak berupaya maksimal untuk menghindarkan diri mereka dari bahaya HIV/AIDS. Perasaan rendah diri perempuan, menjadikan mereka sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang dilakukan, khawatir akan hidup, dan tidak ingin mengambil risiko, cenderung tidak mendapat pujian karena suksesnya, mengira kegagalan merupakan tanggung jawab mereka, dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang baik, merasakan lebih rendah dari orang lain, tidak termotivasi untuk meningkatkan diri, tetapi bertahan dan melawan terhadap kegagalan dari semua perbuatannya. Mereka tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri sendiri, dan tidak menyesuaikan diri dengan baik, mengalami tekanan, keputusasaan dan bunuh diri (Susilo, 1996). Ketidakadilan gender terutama di negara- negara berkembang, mengarah pada perilaku berisiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS misalnya, dalam banyak kebudayaan perempuan tidak bebas untuk menolak seks atau melakukan seks aman dengan menggunakan kondom. Laki-laki menganggap posisi kekuasaan dan kontrol atas perempuan, meminimalkan jumlah masukan dan persetujuan dari perempuan. Perempuan kurang memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, sehingga seringkali, seks dengan perdagangan adalah salah satu dari beberapa pilihan bagi perempuan mencoba untuk mendapatkan uang dan dukungan mereka dan anak-anak. P e n g i d a p H I V / A I D S s e b e n a r n y a mengalami tekanan psikologis yang berlapis- lapis. Mereka harus menerima perlakuan yang sangat tidak humanis dari lingkungan sekitar. Orang merasa takut bila bertemu atau bahkan bersentuhan dengan penderita HIV/AIDS (Riyanto, 2009). Temuan dari penelitian ini, mengindikasikan bahwa hampir semua responden mengalami perubahan psikologis tersebut dari tingkat yang paling ringan sampai yang paling berat dan tergantung sudah berapa lama mereka didiagnosis menderita HIV/AIDS. Respons psikologis tersebut di antaranya adalah ketakutan, kehilangan, duka cita, rasa bersalah, depresi, menolak, cemas, marah, tindakan untuk bunuh diri, kehilangan harga diri, obsesi, dan aspek spiritual. Kondisi tersebut di atas diperparah dengan kurangnya penderita mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Kurangnya kemampuan memberikan dukungan pada perempuan penderita HIV/AIDS disebabkan bahwa masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang HIV/AIDS baik penularan maupun bagaimana cara merawat penderita selama di rumah. Masyarakat lebih Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 118–126 124 sering mendiskriminasikan penderita dengan menjauhi dan bahkan meminta penderita untuk pindah. Stres adalah respons fi siologis, psikologis, dan perilaku dari seseorang untuk mencari penyesuaian terhadap tekanan yang sifatnya internal maupun eksternal. Gangguan psikologis merupakan bagian dari kehidupan. Apapun yang terjadi pada fisik maupun di sekeliling yang merupakan gelombang- gelombang kehidupan, menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Stres merupakan reaksi awal dari penyesuaian diri tersebut. Sedikit stres membuat manusia menjadi waspada dan ini dibutuhkan agar kita mampu memotivasi diri, menyesuaikan diri, dan segera mencari cara untuk mengatasi stres tersebut. Masalah yang sering muncul pada psikologis wanita dengan HIV/AIDS adalah gangguan konsep diri. Konsep diri didefi nisikan sebagai ide, fi kiran, kepercayaan, dan pendirian individu yang memengaruhi individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sunden, 1991). Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya d i p e n g a r u h i o l e h b a g a i m a n a i n d i v i d u mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya. Keluarga mempunyai peranan penting dalam konsep diri, pengalaman awal kehidupan dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri. Tingkatan dan rentang konsep diri meliputi Aktualisasi, Konsep diri positif, Harga diri rendah pandangan terhadap diri, minder, rasa bersalah, menolak diri, psikosomatis, peragu, gangguan berhubungan, menarik diri, curiga, merusak diri, melukai orang lain. Kekacauan identitas: gangguan hubungan interpersonal, merupakan masalah dalam berinteraksi. Depersonalisasi perasaan tidak nyata karena ketidakmampuan membedakan stimulus dari luar dengan dalam dirinya. Tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain. S t i g m a t i s a s i d a n d i s k r i m i n a s i mengakibatkan orang dengan HIV bukan saja sulit untuk mencari pekerjaan, tetapi juga telah membuat banyak penderita HIV kehilangan pekerjaan, perumahan bahkan menghadapi berbagai hinaan, serta perlakuan yang tidak manusiawi. Media sudah banyak melaporkan penderitaan mereka yang disingkirkan oleh masyarakat. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS, mengakibatkan terjadinya tindakan diskriminasi. Hasil penelitian tentang stigma pada penderita HIV/ AIDS, mengungkapkan bahwa sekitar 69% atau 173 responden masih memberikan stigma yang buruk dan diskriminasi bagi penderita HIV. Stigma tersebut di antaranya bahwa perempuan penderita HIV merupakan orang yang melanggar aturan dan mempunyai perilaku menyimpang, selain itu perempuan penderita HIV/AIDS harus dijauhi dan sebaiknya tidak boleh keluar rumah agar tidak menularkan penyakitnya pada orang lain. H I V m e r u p a k a n e p i d e m i y a n g m e n g a n c a m k e s e h a t a n d a n k e h i d u p a n generasi penerus bangsa, yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi, serta keamanan Negara. Hasil penelitian ini mampu mengungkapkan adanya upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Jember berkaitan dengan penanganan HIV/AIDS. Upaya tersebut meliputi pencegahan dan penemuan kasus, serta penatalaksanaan penderita yang sudah dinyatakan positif HIV/AIDS yaitu Pencegahan ada beberapa upaya yang dilakukan yaitu: Intervensi Perubahan Perilaku, Manajemen Infeksi Menular Seksual (IMS), dan penemuan kasus dengan membuka klinik VCT dan klinik manajemen Infeksi Menular Seksual (IMS), Perawatan, dukungan dan Pengobatan ODHA, Monitoring dan Surveilans Hal yang paling penting dari semua upaya yang dilakukan pemerintah adalah penyelarasan serta keseimbangan antara pencegahan penularan HIV/AIDS dan pengembangan sikap empati serta rasa persaudaraan antarsesama tanpa diskriminasi harus seiring sejalan dengan kondisi masyarakat sekitar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-laki tersebut menempatkan perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan. Adanya diskriminasi dalam budaya adat atau Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam Perspektif Gender (Awatiful Azza) 125 karena lingkungan keluarga, masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian juga sangat dirasakan oleh perempuan. Keadaan tersebut di atas berdampak pada respons psikologis perempuan disaat mereka dinyatakan positif menderita HIV/AIDS. Perempuan pengidap HIV/AIDS sebenarnya mengalami tekanan psikologis yang berlapis-lapis. Setelah berkutat pada penyakit, mereka harus menerima perlakuan yang sangat tidak humanis dari lingkungan sekitar. Upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Jember berkaitan dengan penanganan HIV/AIDS. Upaya tersebut meliputi pencegahan dan penemuan kasus, s e r t a p e n a t a l a k s a n a a n p e n d e r i t a y a n g sudah dinyatakan positif HIV/AIDS yaitu Pencegahan meliputi Intervensi Perubahan P e r i l a k u , M a n a j e m e n I n f e k s i M e n u l a r Seksual (IMS), Untuk penemuan kasus dibuka klinik VCT dan klinik manajemen Infeksi. Perawatan, dukungan dan Pengobatan ODHAmeliputiPengobatan anti retroviral (ART), perawatan dan pengobatan paliatif, Mempunyai pelayanan VCT. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, bekerjasama dengan Rumah Sakit dan tergantung pada penyakit penyerta yang diderita pasien HIV/ AIDS. Dukungan psikologis dan sosio ekonomi. Bekerja sama dengan lintas sektor baik tokoh masyarakat maupun dinas sosial terkait. Pendampingan yang dilakukan oleh Puskesmas di mana penderita berdomisili. Monitoring dan Surveilans. Saran Saran pada penelitian yaitu meningkat- kan pengetahuan dan fungsi keluarga untuk pendampingan dan fasilitator bagi perempuan penderita HIV/AIDS, Perlu meningkatkan keterlibatan tokoh masyarakat dan pemuka a g a m a d a l a m m e m b a n t u m e m b e r i k a n motivasi, komunikasi dan edukasi yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya mencegah penularan HIV/AIDS dan mengurangi reaksi masyarakat terhadap stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/ AIDS terutama perempuan, Bantu Penderita untuk meningkatkan harga dirinya dengan pendampingan dan membentuk kelompok terapi, sehingga dapat meminimalkan masalah psikologis yang tentunya dapat meningkatkan koping mekanisme serta memperbaiki status imun dan yang tidak kalah penting dapat membantu sesama penderita dalam melewati masa-masa sulit pada awal diagnosis, Perlu upaya yang lebih giat dalam meningkatkan peran serta pemerintah pusat dan daerah sehingga mampu melampaui cakupan target program yang telah ditetapkan dengan bekerja sama lintas program dan sektor, serta keterlibatan tokoh masyarakat dan keluarga penderita, Perlunya meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS sejak bangku sekolah dasar (SD) agar bisa menimbulkan kesadaran tentang penyakit ini sejak dini. KEPUSTAKAAN Antoni, B., 2009. Anti Stigma dan Diskriminasi. Yayasan Lembaga Sabda (YLSA). Adriana, dkk., 1998. Hak reproduksi Perempuan yang Terpasung. Jakarta: Pustaka sinar harapan bekerja sama dengan pusat kajian wanita Universitas Indonesia dan the Ford Foundation. Anis, M., 2005. Meningkatnya Kekerasan terhadap Perempuan, (online), (http:// www. mailarchive. com.,diakses tanggal 11 Februari 2009). Anita, hendartini dan Saparinah, 2006. Implementasi Pasal 12 Undang-Undang No. 7 tahun 1984 Pelayanan Kehamilan, Persalinan dan Pascapersalinan. Yogyakarta: Surviva Paski, Nitiprayan. Budianto, M. dkk., 2002. Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. Convention Watch, 2007. Hak azasi perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi Odha. Buku Pedoman untuk Petugas Kesehatan dan Petugas Lainnya. Jakarta: Ditjen PPM dan PI, Depkes. Ekosusilo, T., 1999. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Semarang: Effhar Offset Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 118–126 126 H a d i , T. , 2 0 0 7 . H a k R e p ro d u k s i D a n Ketidakadilan Gender, (online), (http:// www. pikiran-rakyat. com, diakses tanggal 23 Januari 2009). Hudatoriq, 2006. Stop-AIDS, (online), (http:// www. hudatoriq. web., diakses tanggal 20 September 2007). Hutapea, R., 2003. AIDS dan PMS dan Perkosaan. Jakarta: Rineka Cipta. Lily, VI, 2004. Transmisi HIV dari Ibu ke Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. Merawati, 2003. Workshop: Tak Mudah Menghapus Stigma dan Diskriminasi, (online), (http://www. indomedia com/ bpost/htm., diiakses tanggal 20 Juli 2009). Metro Balikpapan, 2007. Mencegah HIV/AIDS dengan Komitmen Terpadu, (Onlie), (http://www. metrobalikpapan. co. id., diakses tanggal 20 September 2007). Murni, S, 2003. Hidup Dengan HIV/AIDS Seri Buku Kecil. Jakarta: Yayasan Spiritia. Najlah, N., 2004. Perempuan-Dogma dan HIV/AIDS, (online), (http://najlah. blogspot. com, diakses tanggal 24 Oktober 2007). Nasution, T., 2004. Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah. Jakarta: Bumi Aksara. Nursalam dan Kurniawati, 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba medika. Pariani dan Purwaningsih, 2005. Kongres Nasional I PNI: PNI sebagai Pendekatan Holistik dalam Menanggulangi Penyakit di Era Mendatang. Surabaya: Gideon Offset Printing. Riyanto, 2009. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental Penderita HIV. Skripsi tidak dipublikasikan. FPSI. S u s i l o , K . , 1 9 9 6 . P e n y a k i t H u b u n g a n Seksual dan HIV/AIDS dari Perspektif Perempuan. Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan. Jakarta: YLKI the ford Foundation. Syaiful, P., 1999. Pers meliput AIDS. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. The American Psycological Association, 2001. Publication Manual of the American Psychologikal Association. (5th ed). Washington, DC: American Psycologikal Assosiation. WHO, 1996. Petunjuk Penatalaksanaan Perawatan untuk Orang-orang Terinfeksi HIV. Dep. Kes RI Dir. Jend PPM dan PLP. _____, 2007. Dua Puluh Tahun Penanganan HIV/AIDS Diakui Belum Maksimal, (Online), (http://www. media-indonesia. com., diakses tanggal 12 Agustus 2009).