NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 147 PENGALAMAN MASA PUBERTAS REMAJA STUDI FENOMENOLOGI DI PURWOKERTO (The Puberty Experience of Adolescent Fenomenology Study in Purwokerto) Endang Triyanto Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Jalan Medika - Purwokerto Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail: endangtriyanto@yahoo.com ABSTRACT Introduction: Puberty as a period of transition from childhood to adulthood and the most diffi cult stages in human growth and development. Teenagers undergo during puberty will experience many physical and psychological changes that are very fast. The purpose was to explore experience of adolescents during their puberty. Method: Phenomenological method was used for data analysis. Participants are adolescents who are undergoing puberty in Purwokerto by purposive sampling. Data was collected by open ended depth interviews. Result: Researchers found four themes: changes in puberty, adolescent psychological problems, the perceived role of family and family behaviors that adolescents are expected to undergo during puberty. Adolescent girls experience menarche at age 12, while teenage boys have wet dreams at the age of 14 years. Discussion: Changes in the form of adolescent psychosexual fascination with the opposite sex and appearance. Adolescent social change seen with increasing activity with friends and peers. Researchers suggest the formation of peer counselor adolescents, clinical consultation and promotion of adolescent family development tasks. Keywords: puberty period, adolescent experience PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan jumlah populasi remaja di dunia meningkat tajam, bahkan mencapai sekitar setengah dari total penduduk dunia, dan sekitar 990 juta ada di negara berkembang. Berdasarkan data survei demografi kesehatan Indonesia tahun 2007, tercatat jumlah remaja di Indonesia mencapai 30 persen dari total penduduk 231 juta atau sekitar 69 juta, tersebar paling banyak di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Purwokerto merupakan kota yang memiliki kelompok remaja tercatat per April 2009 sejumlah 34 persen dari total penduduk (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Banyumas, 2009). Salah satu fase pertama dalam kehidupan remaja adalah masa pubertas. Remaja pubertas didefi nisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Anak remaja selama menjalani masa pubertas akan mengalami banyak perubahan fisik dan psikologis yang sifatnya sangat cepat. Pada anak laki-laki, perubahan seks primer masa pubertas ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perubahan sekunder berupa suara mulai berubah, tumbuh rambut di daerah ketiak, kumis, jenggot, alat kelamin. Sementara perubahan seks primer anak perempuan ditandai dengan menstruasi pertama kali ( menarche) dan biasanya diikuti dengan perubahan organ seksual sekunder yaitu memiliki payudara dan pinggul yang membesar (Soetjiningsih, 2004). Perubahan fi sik yang dialami remaja selama masa pubertas memberikan dampak bagi perubahan psikologis dan sosial. Perubahan psikologis juga diakibatkan oleh peningkatan hormon gonadotropin (Guyton, 2006). Bentuk perubahan yang menyertai pubertas meliputi kognitif, moral, emosi, sosial sebagai bentuk perkembangan diri remaja (Hurlock, 1999). K e l u a r g a d i t u n t u t a g a r m a m p u melaksanakan tugas perkembangan keluarga sesuai Friedman (2003) yaitu memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, membina komunikasi terbuka orang tua dengan anak, Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 147–153 148 m e m b e r i k a n d u k u n g a n , m e m b e r i s u r i tauladan kepada remaja. Keempat tugas perkembangan keluarga merupakan tugas perkembangan keluarga yang berkaitan erat dengan kebutuhan anak remaja selama menjalani masa pubertas. Kenyataan di lapangan masih banyak keluarga yang belum mampu sepenuhnya untuk melaksanakan tugas perkembangan keluarga terhadap anak remaja yang menjalani masa pubertas. Data yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa informasi tentang perubahan yang terjadi pada masa pubertas yang diperoleh remaja masih sangat kurang. Menurut Hanifah (2000), sejumlah 78 persen anak remaja mengatakan bahwa tidak ada penjelasan yang disampaikan orang tuanya tentang tanda-tanda pubertas. Apabila keluarga tidak memenuhi kebutuhan remaja yang menjalani masa pubertas, sementara remaja tersebut mengalami tahap-tahap tersulit dalam tumbuh kembangnya, maka dapat berpotensi terjadi kegagalan tumbuh kembang remaja dan menimbulkan masalah kesehatan remaja, seperti kebingungan akibat perubahan yang terjadi pada dirinya, gangguan body image, menarik diri, perilaku seks bebas, tindak kekerasan remaja, gangguan identitas seksual dan depresi. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang mempelajari setiap masalah dengan menempatkannya pada situasi alamiah dan memberikan makna atau menginterpretasikan suatu fenomena berdasarkan hal-hal yang berarti bagi manusia. Peneliti memilih pendekatan fenomenologi tentang pengalaman remaja selama menjalani masa pubertas. Partisipan penelitian ini adalah remaja yang sedang menjalani masa pubertas menggunakan cara purposive sampling. Kriteria inklusi penelitian ini adalah remaja laki-laki yang berusia 13–16 tahun dan telah mengalami mimpi basah, remaja perempuan yang berusia 12–16 tahun dan telah mengalami menstruasi, bersedia menjadi partisipan, pengetahuan yang memadai, remaja tinggal bersama keluarga dan mampu menceritakan pengalaman dengan baik. Penelitian dilakukan di Kota Purwokerto, khususnya di Kelurahan Mersi, Pamijen, Baturaden dan Bobosan. Waktu penelitian yang digunakan adalah selama empat bulan yaitu Maret sampai Juni 2010. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam melalui strategi open ended interview. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti. Alat bantu pengumpulan data berupa pedoman wawancara, fi eld notes dan alat MP3. Tahapan analisis data menggunakan metode Colaizzi 1978 dalam Steubert dan Carpenter, 2003) tentang pengalaman remaja dalam mendapatkan tugas perkembangan keluarga selama menjalani masa pubertas. HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti menemukan empat tema, yaitu perubahan pubertas, masalah psikologis remaja, peran keluarga yang dirasakan dan perilaku keluarga yang diharapkan remaja selama menjalani masa pubertas. Tema-tema tersebut akan dijelaskan secara rinci dalam uraian di bawah ini. Ternyata semua remaja perempuan mengalami menarche pada usia 12 tahun, sedangkan remaja laki-laki mengalami mimpi basah pada usia 14 tahun. Remaja perempuan lebih awal mengalami tanda seks primer pubertas dibanding laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa proses fi siologis pada remaja laki-laki, testis yang terletak di skrotum baru mengalami kematangan saat usia 14 tahun. Semua organ reproduksi remaja perempuan tumbuh pesat dalam tingkat kecepatan yang berbeda pada anak usia 11 atau 12 tahun. Semua remaja tidak mengalami pubertas terlalu dini dan pubertas terlambat. Remaja mengalami masa pubertas dalam rentang usia normal (Guyton, 2006). Perubahan fisik sebagai ciri seks sekunder yang terlihat dari luar terjadi selama pubertas adalah perubahan yang menyertai ciri seks primer (Sarlito, 2009). Perempuan tampak pertumbuhan payudara, tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak dan vagina, pinggul melebar; keringat bertambah banyak, kulit mulai berminyak, pantat bertambah lebih besar dan pertumbuhan tinggi badan yang pesat. Sedangkan pada pria terjadi pertambahan tinggi badan yang cepat, tumbuh Pengalaman Masa Pubertas Remaja Studi Fenomenologi (Endang Triyanto) 149 jakun, tumbuh rambut-rambut di ketiak, sekitar muka dan sekitar kemaluan, penis dan buah zakar membesar, suara menjadi besar; keringat bertambah banyak, kulit dan rambut mulai berminyak (Guyton, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan fi sik yang dialami remaja selama menjalani masa pubertas berupa tinggi badan yang cepat, perubahan suara, tumbuh jakun dan rambut di ketiak dan sekitar muka pada remaja laki-laki. Remaja perempuan terlihat payudara dan pinggul membesar. Remaja laki-laki dan perempuan juga mengalami keringat yang berlebihan dan jerawat di wajah. Kulit berminyak tampak ketika wawancara. Wong (2003) menyatakan bahwa remaja selama menjalani masa pubertas terjadi peningkatan dorongan seksual sebagai akibat dari perubahan hormonal yaitu gonadotrofi k yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus. Sedangkan Freud dalam Hurlock, 2004 berpendapat bahwa remaja mengalami perkembangan psikoseksual yaitu ketertarikan dengan lawan jenis. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan wujud dari adanya peningkatan dorongan seksual. Perubahan psikoseksual yang diungkap remaja dikategorikan menjadi dua yaitu ketertarikan dengan lawan jenis dan perubahan penampilan. Tujuh remaja menyatakan ketertarikan dengan lawan jenis dengan melihat dari adanya perubahan fisik. Perubahan fisik remaja perempuan yang menarik bagi laki-laki adalah adanya pertumbuhan payudara. Payudara yang indah terlihat menarik bagi laki-laki yang melihatnya. Begitu juga pinggul dan pantat yang besar dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi laki-laki ketika melihatnya sesuai dengan penelitian Hanifah (2000) bahwa remaja laki-laki menyatakan tertarik dengan remaja perempuan dengan melihat dari bentuk payudara dan pinggul yang besar. Mighwar (2006) menyimpulkan bahwa masa pubertas disebut sebagai masa social hunger (kehausan sosial) yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya. Setelah anak memasuki masa remaja akan mengalami perubahan sosial dengan memperbanyak teman dan aktivitas dengan teman-teman sebayanya, bahkan remaja akan lebih dekat dengan teman dibanding orang tuanya. Hasil wawancara yang dilakukan dengan remaja, ditemukan data bahwa perubahan sosial yang dialami sesuai dengan hasil penelitian tersebut yaitu terjadi peningkatan jumlah teman, aktivitas bermain dengan teman sebaya dan kedekatan dengan teman. Pada usia remaja awal masih memiliki ciri-ciri masa kanak-kanak terutama berupa kecenderungan cara berpikir yang masih egosentrisme Piaget dalam Agustiani, 2006. Egosentrisme adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Elkind dalam Agustiani, 2006 mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel ini biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Menurut pengalaman remaja selama masa pubertas mengalami perubahan sikap yaitu sikap menentang. Sikap menentang diungkapkan oleh dua remaja laki-laki. Bentuk penolakan yang mereka lakukan adalah jika diperintah untuk melakukan yang berkaitan dengan masa depan, misalnya belajar. Mereka biasanya juga akan menolak, apabila diperintah untuk menggunakan helm ketika hendak naik sepeda motor. Remaja akan lebih mudah mengikuti hal-hal yang menyenangkan menurut pemikiran mereka. Kondisi emosi remaja pubertas sangat mudah berubah. Menurut Hall dalam Santrock, 2003 menyatakan bahwa remaja yang sedang menjalani masa pubertas mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai strom and stress (Santrock, 2003). Remaja yang sedang menjalani masa pubertas pada umumnya mengalami keadaan yang menggejolak dan sensitif. Keadaan yang penuh gejolak dan sensitif sering diwujudkan dalam bentuk mudah marah dan terangsang emosinya. Sebanyak enam remaja mengungkapkan perubahan emosi berupa mudah marah. Perubahan emosi ini dihubungkan dengan adanya perubahan hormonal yang meningkat Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 147–153 150 pada remaja yang sedang menjalani pubertas. Dampak perubahan hormonal yang terjadi pada remaja selama menjalani masa pubertas adalah perubahan emosional dengan ciri puncak emosi yang labil (Sarlito, 2009; Glasper dan Richardson, 2006). Penelitian Hanifah (2000) menyimpulkan bahwa perasaan saat pertama kali mengalami mimpi basah dan menstruasi adalah dapat berupa bingung, cemas, takut dan tidak siap menerima tanda awal pubertas. Hanifah (2000) menambahkan bahwa respons tidak siap saat menerima tanda awal pubertas dapat berupa malas, heran dan kaget. Perasaan terhadap perubahan yang diungkapkan remaja dalam penelitian ini berupa perasaan senang, malas, kaget, bingung, cemas dan takut. Remaja laki-laki dan perempuan selama masa pubertas biasanya tumbuh jerawat di beberapa bagian tubuh terutama wajah sebagai akibat peningkatan hormonal. Sebagian remaja merasa putus asa dan minder dengan munculnya jerawat. Efek lain dari peningkatan hormonal adalah produksi keringat yang meningkat pesat sebagai hasil aktivitas kelenjar keringat yang lebih produktif (Guyton, 2006). Penelitian Reasoner (2004) menghasilkan data sebanyak 72 persen remaja menunjukkan adanya gangguan body image setelah memasuki Sekolah Menengah Pertama akibat tumbuhnya jerawat. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti, ditemukan data bahwa remaja selama menjalani masa pubertas merasakan adanya pola perilaku keluarga yang berbeda-beda tiap remaja. Ada yang merasa didukung, ada juga yang mendapatkan sikap negatif dari keluarga. Dukungan keluarga yang dirasakan remaja selama menjalani masa pubertas dengan cara memahami, menasehati, mengijinkan, memenuhi kebutuhan dan mengajarkan. Sikap negatif keluarga yang dirasakan remaja adalah perhatian keluarga yang kurang, tidak menjelaskan, mengekang dan tidak memberikan hak anak untuk berpendapat. Keluarga menegakkan aturan yang dirasakan remaja adalah mengarahkan, mengingatkan, role model dan paksaan. Dukungan keluarga berupa memahami, menasehati dan mengijinkan dapat dimasukkan ke dalam dukungan emosional keluarga. Sedangkan kategori memenuhi kebutuhan merupakan dukungan material keluarga. Kategori mengajarkan dapat dianggap sebagai dukungan informasional keluarga. Pernyataan peneliti tersebut sesuai dengan pernyataan Friedman (2003) yang menjelaskan bahwa dukungan keluarga terdiri dari dukungan emosional, material dan informasional. Keluarga masih belum memberikan dukungan i n f o r m a s i o n a l y a n g d i k a i t k a n d e n g a n pemikiran bahwa diskusi seksualitas kepada anak merupakan hal yang tabu. Pendekatan kepada orang tua dengan melibatkan tokoh agama perlu dilakukan agar dapat merubah pola pikir bahwa diskusi seksualitas adalah hal yang tabu menjadi suatu hal yang wajar untuk dibicarakan. Seringkali kekhawatiran keluarga berlebihan, sehingga remaja banyak yang di kekang dan tidak diberi kesempatan bergaul dengan teman-temannya. Sikap ini dirasakan oleh remaja dalam penelitian ini. Remaja menyatakan bahwa mereka merasa sama sekali tidak boleh main, tidak diberi kelonggaran dan perlakuan orang tua sangat ketat. Banyak keluarga yang menunjukkan sikap tersebut kepada anak remaja sebagai wujud perlindungan terhadap anaknya, namun dipandang remaja sebagai pengekangan. Kemampuan interpersonal remaja diperoleh dengan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika remaja menjalin hubungan dengan orang lain, maka remaja tersebut dapat belajar tentang cara berinteraksi sosial dan cara berkomunikasi dengan orang lain. Sikap pengekangan ini akan memengaruhi perkembangan psikologis pada remaja (Friedman, 2003; Evita, 2009). Setiap orang tua menginginkan anaknya berperilaku yang baik sesuai norma yang berlaku di keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, salah satu tanggung jawab keluarga terhadap anaknya adalah membentuk perilaku anak. Cara yang dilakukan keluarga berbeda-beda. Remaja mengungkapkan bahwa terdapat empat cara yang dilakukan keluarga dalam menegakkan aturan yaitu dengan mengarahkan, mengingatkan, memberi contoh dan sebagian yang lain dengan paksaan. Orang tua yang menggunakan cara mengarahkan, Pengalaman Masa Pubertas Remaja Studi Fenomenologi (Endang Triyanto) 151 mengingatkan dan memberi contoh merupakan cara demokratis yang memungkinkan remaja untuk menerimanya dan menjalankan aturan dengan sepenuh hati. Setiap remaja selama menjalani masa pubertas mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Keluarga bertanggung jawab dalam bentuk tugas perkembangan terhadap anak remaja selama masa pubertas. Tugas perkembangan keluarga pada anak remaja menurut Friedman (2003) adalah memberikan kebebasan bertanggung jawab sebagai hak otonomi; membina komunikasi yang terbuka antara orang tua dengan anak; memberikan dukungan keluarga; dan memberi suri tauladan penanaman nilai positif keluarga. Harapan remaja terkait keluarga terhadap dirinya selama menjalani masa pubertas, terungkap berbagai macam kebutuhan yang terdiri dari bentuk dukungan, pola komunikasi, kebebasan dan cara membentuk perilaku remaja. Dukungan keluarga yang diharapkan remaja selama menjalani masa pubertas yaitu ingin diperhatikan, keinginan agar orang tua dapat berperan sebagai sahabat, m e m b e r i k a n k a s i h s a y a n g , d i p a h a m i , diberitahu dan dicukupi kebutuhannya. Cara komunikasi yang dimaksudkan remaja adalah tidak ada pertengkaran yang berarti remaja menginginkan orang tua untuk dapat berbicara secara lembut kepada anak bukan dengan membentak-bentak. Cara berbicara yang lembut akan membuat kenyamanan bagi si remaja, bahkan mereka akan lebih terbuka pada orang tua kalau kebutuhan ini dipenuhi keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramanda (2003) yang menyatakan bahwa ketika anak kabur dari rumah, mereka mau kembali apabila orang tua menunjukkan sikap yang lembut. Perhatian orang tua, kasih sayang dan pengertian orang tua dalam menghadapi sikap remaja akan membantu remaja mencapai kematangan emosi yang stabil. Di masa krisis ini, orang tua harus bisa menciptakan situasi yang kondusif bagi pertumbuhan remaja seperti memberi rasa aman, menciptakan suasana yang harmonis dan ceria di rumah dan menjalin hubungan mesra dengan remaja dengan berperan sebagai sahabat. Semua faktor ini sangat menentukan keberhasilan remaja mengarungi masa-masa sulit dan krisis selama menjalani masa pubertas. Situasi yang kondusif diperlukan untuk membentuk perilaku anak. Menurut Agustiani (2006) keluarga harus menciptakan kondisi yang menunjang untuk pembentukan kepribadian anak remaja agar mengikuti berbagai aturan keluarga. Kondisi tersebut dapat dicapai dengan adanya kedekatan anak dengan orang tua, perhatian keluarga dan suri tauladan penanaman nilai positif. Dalam rangka pembentukan perilaku, remaja berharap agar keluarga menggunakan cara diarahkan, dikontrol dan diberi contoh. Pernyataan peneliti ini didukung oleh Hurlock (2004) yang menyatakan bahwa bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan remaja dalam berperilaku. Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (2004) menjelaskan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima atau menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga serta mempelajari pola perilaku yang diterima kelompoknya. Kesempatan bermain dengan teman akan meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal remaja. Studi yang dilakukan Stuart (2002) menunjukkan bahwa remaja yang diberikan kesempatan bergaul dengan temannya secara bertanggung jawab lebih mampu berkomunikasi dengan baik dibanding remaja yang dikekang. Remaja mengungkapkan ingin diijinkan untuk bermain dengan teman sebayanya. Keluarga dituntut untuk memenuhi kebutuhan sosial remaja yang menjalani masa pubertas yaitu memberikan kebebasan untuk bergaul dengan teman sebayanya. Sikap orang tua yang tidak lagi menganggap remaja sebagai anak kecil tapi memberikan kebebasan untuk bergaul menumbuhkan perasaan mandiri bagi remaja. Selain itu, apabila keluarga mengijinkan anak remajanya untuk bergaul, mereka akan mendapatkan pengalaman cara- cara berkomunikasi dengan temannya. Selama proses pergaulan terjadi pembelajaran bagi remaja untuk berkomunikasi. Apabila tidak terpenuhi, maka dapat terjadi gangguan pada proses komunikasi interpersonal remaja. Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 147–153 152 Selain kebutuhan yang telah dijelaskan di atas, remaja yang sedang menjalani masa pubertas mempunyai kebutuhan yang berkaitan dengan perubahan fisik mereka, seperti pembalut, kosmetik, baju dan alat komunikasi berupa handphone (Erwin, 2002). Kebutuhan remaja ini terungkap dari pernyataan-pernyataan remaja saat diwawancarai. Beragam kebutuhan remaja tersebut, mutlak harus diberikan orang tua terutama pembalut wanita. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi masalah kesehatan bagi remaja yang sedang menjalani masa pubertas tersebut. Apabila pembalut tidak dipenuhi oleh orang tuanya, maka dimungkinkan dapat terjadi penyakit organ reproduksi wanita. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Respons perubahan yang dialami remaja selama menjalani masa pubertas yaitu perubahan fi sik mulai dari tinggi badan, payudara, pinggul, jakun, tumbuh rambut di beberapa bagian tubuh dan adanya perubahan suara. Perubahan psikoseksual yang terungkap adalah ketertarikan dengan lawan jenis dan perubahan penampilan. Terdapat keinginan peningkatan jumlah teman, peningkatan aktivitas bermain dengan teman sebaya dan kedekatan dengan teman. Perubahan sikap yang dialami adalah sikap menentang, sedangkan perubahan emosi dalam bentuk mudah marah. Pola perilaku keluarga terhadap remaja selama menjalani masa pubertas berupa dukungan yaitu memahami, menasehati, mengijinkan, memenuhi kebutuhan dan mengajarkan. Sebagian partisipan masih merasakan pola perilaku keluarga yang diberikan kurang yaitu perhatian keluarga kurang, tidak menjelaskan, mengekang dan tidak memberikan hak untuk berpendapat. Keluarga menegakkan aturan dengan cara mengarahkan, mengingatkan, role model dan paksaan. Perilaku keluarga yang diharapkan remaja terdiri dari bentuk dukungan, pola komunikasi, kebebasan dan cara membentuk perilaku remaja. Saran Puskesmas perlu membina Program Kelompok Kesehatan Remaja. Perawat komunitas dapat berperan langsung dengan membentuk peer conselor dan klinik konsultasi remaja di masyarakat. Strategi intervensi promosi kesehatan melalui program kampanye remaja sehat pubertas dengan optimalisasi tugas perkembangan keluarga. Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah Faktor- faktor yang memengaruhi keluarga dalam melaksanakan tugas perkembangan keluarga pada anak remaja yang sedang menjalani masa pubertas. KEPUSTAKAAN Agustiani, A., 2006. Karakteristik dan Permasalahan Remaja yang Menjalani Masa Pubertas, (Online), (http:// episentrum.com., diakses tanggal 28 Februari 2010). D i n a s K e p e n d u d u k a n d a n P e n c a t a t a n Sipil Banyumas, 2009. Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Banyumas Tahun 2009, (Online), (http:// www.banyumaskab.go.id., diakses tanggal 27 Februari 2010). Evita, P., 2009. Karakteristik Pubertas Remaja, (Online), (http://kbi.gemari. o r. i d . , d i a k s e s d a r i p a d a t a n g g a l 26 Februari 2010. Friedman, Marilyn, 2003. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Edisi III. Jakarta: EGC. Guyton,A.C., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC. Hanifah, L., 2000. Faktor yang Mendasari Hubungan Seks Pra Nikah Remaja: studi kualitatif di PKBI Yogyakarta 2000. Tesis tidak dipublikasikan, Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hurlock, Elizabeth B., 1991. Developmental Psychology: A Life Span Approach. (5th Ed). London: McGraw-Hill Inc. Mighwar, Muhammad, 2006. Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia. Pengalaman Masa Pubertas Remaja Studi Fenomenologi (Endang Triyanto) 153 Reasoner, S., 2004. Social Puberty, (Online), (http://www.who.int., diakses dari/ child-adolescent-health pada tanggal 25 Februari 2010. Santrock, John W., 2003. Adolesence: P e r k e m b a n g a n R e m a j a . J a k a r t a : Erlangga. Sarlito, 2009. Perubahan Fisik Remaja, (Online), (http://www.epsikologi.com., diakses tanggal 10 Juni 2010. Jam 16.35 WIB). Soetjiningsih, Ranuh, Suraatmaja, Rusmil, Pangkahila, Fadlyana, dkk., 2004. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto. Streubert, H.J. dan Carpenter, D.R., 2003. Qualitative Research in Nursing. Advancing The Humanistic Imperative. Third Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Wong, Algreen, Arnow, et al., 2003. Nursing Care of Infants and Children, 8th Edition. Canada: Mosby Elsevier.