NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 171 PERUBAHAN PERILAKU DAN FUNGSI KOGNITIF DENGAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF PADA PENDERITA NAPZA (The Changes of Behaviors and Cognitive Functions by Cognitive Behavioural Therapy in the Drug Abusers) Herni Susanti Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424, Email: herni-s@ui.ac.id ABSTRACT Introduction: This study was aimed to fi nd out the effect of CBT on the behaviors i.e. depressive, agressive and antisocial behaviors as well as cognitive functions of patients who were treated in rehabilitation unit at a drug addiction hospital (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) in Jakarta. Method: The research design was Quasi experimental pre-post test without control group by providing intervention: CBT for 6 sessions (10–12 times intervention). The population was all patients in the rehabilitation unit with a nursing diagnosis: low self esteem and/or inffective coping strategies. There were 23 participants who involved in this investigation. The data was analized by using dependent and independent sample t, and anova tests. Result: The results showed that p value for depressive bahaviours, agressive behaviurs, antisocial behaviors, and cognitive functions were 0.914; 0.001; 0.039; 0.003 respectively. The outcomes indicated that there was signifi cant impact of CBT on agressive behaviors, antisocial behaviors, and cognitive functions (α = 0.05, p value < 0.05), but not on depressive behaviors (α = 0.05, p value > 0.05). Discussion: It is argued that depressive symptoms might not be apparent for the users in rehabilitative phase. The fi ndings also showed that there was signifi cant relation between antisocial behaviors and the length of drug usage. This affi rms exsiting concepts in that long drug usage brings about serious damage in the users' behaviors and cognitive functions. It is recommended, therefore, to include CBT as an important intervention for clients with drug abuse problems who are cared in rehabilitation center. Keywords: drugs abuse, behaviors, cognitive functions PENDAHULUAN Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) saat ini sudah menjadi masalah nasional. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya anggota masyarakat yang menyalahgunakan NAPZA. Jenis NAPZA yang banyak digunakan adalah heroin yaitu jenis opiat semi sintetik (putaw), dilanjutkan cannabis, amfetamin, dan alkohol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia ditemukan bahwa angka penyalahguna NAPZA meningkat dari 3,2 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 3,6 juta jiwa pada tahun 2008 (BNN, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyalahgunaan NAPZA, membawa dampak buruk terhadap perilaku dan fungsi kognitif para penggunanya (Bergen, et al., 2003; Dulin, Hill, dan Ellingson, 2006; Thomas dan Rockwood, 2001). Dampak terhadap perilaku meliputi munculnya perilaku depresif (isolasi diri dari lingkungan, kurangnya kegiatan perawatan diri), perilaku agresif dan perilaku antisosial (mengganggu ketertiban). Dampak terhadap fungsi kognitif terutama munculnya pikiran-pikiran negatif seperti percaya dirinya menjadi orang tidak berguna, bersalah, tidak berdaya dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, para penyalahguna NAPZA umumnya juga memiliki pemikiran yang menolak dirinya sedang memiliki masalah (denial) atau menganggap remeh masalah yang sedang dihadapinya (minimisasi). Apabila Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 171–180 172 dampak-dampak ini tidak ditangani dengan serius, muncul masalah yang lebih kompleks seperti bunuh diri, kekerasan dalam keluarga, kriminalitas, dan pelecehan seksual. Terapi Perilaku Kognitif (TPK) adalah salah satu terapi spesialis keperawatan jiwa yang dapat diberikan pada semua klien penyalahguna NAPZA (Stuart, 2009). Terapi Perilaku Kognitif merupakan sebuah proses perlakuan yang memungkinkan individu untuk mengoreksi kepercayaan diri yang salah yang dapat menimbulkan perasaan dan tingkah laku negatif. TPK juga berlandaskan konsep bahwa manusia berpikir memengaruhi bagaimana manusia bertingkah laku, serta apa yang dilakukan oleh klien akan memengaruhi pikirannya. Berdasarkan hal ini, TPK dianggap sangat sesuai untuk mengatasai masalah perilaku dan kognitif yang muncul akibat penyalahgunaan NAPZA seperti yang telah diuraikan. Hasil studi literatur yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa studi tentang TPK pada penyalahguna NAPZA baru dilakukan di luar Indonesia (Barrowclough, 2002; Kadden, 2002; Ouimette, 1997; Castelanos dan Conrod, 2006). TPK saat ini sedang dikembangkan di Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK-UI, dan hanya dilakukan untuk klien gangguan jiwa (Sasmita, 2007; Fauziah; 2009; Susanti dan Wardani, 2009). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh TPK terhadap perilaku (depresif, agresif dan antisosial) serta fungsi kognitif klien penyalahguna NAPZA di Jakarta, khususnya yang sedang mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pedoman pelaksanaan TPK dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah penyalahgunaan NAPZA untuk semua perawat di unit rehabilitasi NAPZA. Selain itu, hasil ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun program berskala nasional dalam penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA yang melibatkan tenaga kesehatan profesional. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain quasi experimental pre-post test without control group dengan intervensi TPK. Alasan tanpa kontrol karena jumlah pasien yang termasuk kriteria inklusi terbatas. Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang sedang menjalani perawatan di ruang rehabilitasi RSKO Jakarta, yang memiliki diagnosa keperawatan gangguan konsep diri: harga diri rendah dan/atau koping individu tidak efektif. Sampelnya adalah total sampling yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu dewasa, pendidikan minimal SD, kondisi emosi stabil, dan bersedia terlibat dalam penelitian (tidak mengganggu program kegiatan lain di ruangan). Sampel pada penelitian ini adalah 34 klien, namun hanya 23 yang berhasil mengikuti program TPK sampai selesai. Penelitian dilakukan di Ruang Rehabilitasi RSKO Jakarta. Penelitian dilaksanakan mulai dari awal bulan Oktober 2010 sampai dengan Mei 2011. Pengumpulan data dan pemberian terapi dilaksanakan mulai tanggal 15 Nopember 2010 sampai 15 April 2011. Kegiatan pengumpulan data dan pemberian terapi dilaksanakan dengan melibatkan perawat yang bertugas di ruang rehabilitasi RSKO Jakarta untuk pemberian terapi generalis (terapi ini yang merupakan syarat diberikannya terapi spesialis: TPK). Selanjutnya klien diberikan TPK oleh terapis yang terdiri dari peneliti dan perawat RSKO yang telah mengikuti pelatihan TPK. Sebagai tambahan informasi, sebelum proses pemberian terapi dilakukan pelatihan kepada perawat RSKO untuk penyamaan persepsi dan intervensi. Satu responden rata-rata yang dibutuhkan dari mulai pre-test, pemberian tindakan generalis, pemberian TPK, dan post-test adalah 6 sampai 12 kali pertemuan (satu hari pre-test sekaligus terapi generalis, 4–10 hari TPK dari sesi I–V dengan rerata 1–2 kali untuk setiap sesi, dan satu hari untuk post-test). Waktu yang bervariasi ini sangat ditentukan oleh kondisi responden dan terapis, mengingat dari kelima sesi TPK ada yang dapat dilakukan satu sesi dalam satu hari, namun ada pula kondisi yang Perubahan Perilaku dan Fungsi Kognitif dengan Terapi Perilaku Kognitif (Herni Susanti) 173 mengharuskan dilakukan satu sesi dalam dua hari (misalnya jika perkembangan klien tidak signifi kan dan sesi perlu diulang). Alat pengumpul data terdiri dari tiga instrumen. Instrumen A merupakan instrumen untuk mendapatkan gambaran karakteristik responden antara lain terdiri dari: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, jenis NAPZA dan lama menggunakan NAPZA. Bentuk pertanyaan dalam pertanyaan tertutup, dan peneliti memberi angka pada kotak yang tersedia, sesuai dengan pilihan yang dipilih oleh responden. Jumlah pertanyaan ada 7 pertanyaan. Instrumen B merupakan instrumen yang dipakai untuk mengukur tentang perilaku klien penyalahguna NAPZA, terdiri dari Instrumen B1 (depression scale menurut Center for Epidemiological Studies Depressed Mood Scale (CES-D) dari Radloff (1977) dalam Applied Psicological Measurement volume 1 No. 3, 2008, instrumen B2 (aggressive scale (Chamberlain, 2009) dan instrument B3 (anti sosial scale (Halaby, 2007). Jumlah pertanyaan intrumen B1 adalah 20 pertanyaan, instrumen B2 29 pertanyaan, dan instrumen B3 sebanyak 26 pertanyaan. Perlu disampaikan di sini bahwa rentang nilai untuk semua instrumen perilaku 0–100, di mana semakin tinggi nilai berarti semakin berkurang perilaku maladaptif yang dimaksud. Penilaian seperti ini terjadi karena bentuk pertanyaan- pertanyaan yang ada dalam instrument bersifat negatif. Kuesioner C untuk mengukur fungsi kognitif responden. Kuesioner ini berjumlah 20 pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti sendiri berdasarkan studi literatur ekstensif terkait karakteristik penyalahguna NAPZA (Fountaine, 2009; Stuart, 2009; Townsend, 2009). Pelaksanaan TPK dilakukan berdasarkan panduan modul TPK untuk klien penyalahguna NAPZA yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan bahan modul TPK sebelumnya (Fauziah, 2009; Sasmita, 2007). Uji coba instrumen dilakukan di unit Rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor pada 13 klien. Rencana awal klien yang akan diujikan 15 orang, namun karena ada dua klien yang sudah pulang maka jumlah berkurang. Uji reabilitas menunjukkan nilai α crombach berturut-turut: kuesioner B1 = 0,568; kuesioner B2 = 0,846; kuesioner B3 = 0,865; kuesioner C = 0,746. Dikatakan reliabel jika nilai α crombach ≥ 0,6. Oleh karena itu kuesioner B, B2, B3 dan C bisa dikatakan reliabel kaena mempunyai nilai α crombach ≥ 0,6. Uji validitas pada semua instrumen menunjukkan adanya beberapa pertanyaan yang tidak valid (nilai r rata-rata lebih kecil dari r tabel = 0,553). Berdasarkan hasil di atas, peneliti meninjau kembali instrumen tersebut dan menemukan bahwa ada beberapa pernyataan yang kurang dipahami tata bahasanya. Selanjutnya dilakukan perbaikan berdasarkan diskusi dengan perawat yang sudah sangat berpengalaman di ruang rehabilitasi NAPZA, sebelum akhirnya didistribusikan kepada calon responden. Proses pemberian TPK dimulai dengan meminta kesediaan responden yang memenuhi kriteria inklusi menjawab pertanyaan pre-test. Kemudian responden diberikan terapi generalis oleh peneliti maupun perawat ruangan. Responden diberikan terapi spesialis (TPK) apabila indikasinya kuat yaitu setelah diberikan terapi generalis. Pada beberapa klien setelah dilakukan terapi generalis, indikasi TPK tidak adekuat (tidak ada lagi masalah dalam fungsi kognitif terkait penyalahgunaan NAPZA) maka klien tersebut gagal dijadikan responden. Sebagai tambahan informasi, kondisi Drop Out juga terjadi karena klien diharuskan pulang (ada 9 klien yang terhenti menjadi responden karena kondisi tersebut). Selanjutnya dilakukan post-test setelah responden selesai diberikan TPK. HASIL Usia responden dari 23 orang terbanyak berada pada usia antara 20–40 tahun (87%); jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 19 orang (82,6%). Pendidikan responden terbanyak berasal dari SMA yaitu 11 orang (47,8%). Sebagian besar responden tidak bekerja yaitu sebanyak 9 orang (39,1%). Status perkawinan terbanyak adalah tidak menikah yaitu 18 orang (78,3%). Mayoritas lama responden menyalahgunakan NAPZA adalah 6–10 tahun yaitu sebanyak 13 orang Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 171–180 174 dan paling sedikit adalah lebih dari 20 tahun yaitu sebanyak 3 orang. Adapun tentang jenis NAPZA yang digunakan, semua responden lebih dari satu jenis, yaitu gabungan 3–4 zat yaitu opiat, ganja, kokain dan alkohol. Hasil analisis untuk variabel perilaku agresif sebelum mengikuti TPK, didapatkan rerata sebesar 60,74 yang diyakini bahwa rerata perilaku depresif responden berada pada rentang antara 42 sampai 74, dengan standard deviasi 6,716. rerata perilaku agresif sebelum dilakukan TPK adalah 55,57 dengan rentang antara 34–73 dan standar deviasi 9,885. Rerata perilaku antisosial sebelum dilakukan TPK adalah 68,22 dengan nilai minimal 45 dan nilai maksimal 84 dengan standar deviasi 10,651. Sedangkan nilai fungsi kognitif sebelum dilakukan TPK adalah 32,26 dengan nilai minimum 19 dan nilai maksimum 43 dengan standar deviasi 6,362. Hasil analisis untuk variabel perilaku agresif setelah mengikuti TPK, didapatkan rerata sebesar 60,87 yang diyakini bahwa rerata perilaku agresif responden berada pada rentang antara 53 sampai 70, dengan standard deviasi 4.985. Rerata perilaku agresif setelah dilakukan TPK adalah 66,00 dengan rentang antara 52–87 dan standar deviasi 9.487. rerata perilaku antisosial setelah dilakukan TPK adalah 76,61 dengan nilai minimal 59 dan nilai maksimal 95 dengan standar deviasi 9,694. Sedangkan nilai fungsi kognitif setelah dilakukan TPK adalah 36,17 dengan nilai minimum 25 dan nilai maksimum 46 dengan standar deviasi 4,386. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik dependent sample t- test (paires t test) untuk mengetahui perubahan nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif sebelum dan sesudah diberikan TPK. Hubungan antara usia dengan perubahan nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif digunakan analisis uji regresi linier sederhana. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dan status perkawinan dengan perubahan nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif digunakan uji independent sample t-test. Untuk pendidikan, pekerjaan, lama menyalahgunakan NAPZA dengan perubahan nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif digunakan uji Anova. Pengaruh TPK terhadap nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif menunjukkan bahwa hanya perilaku depresif yang tidak mengalami perubahan yang signifi kan antara sebelum dan sesudah pemberian TPK dengan nilai p value sebesar 0,914 (p value > 0,05). Sedangkan untuk variabel yang lain (perilaku agresif, perilaku antisosial dan fungsi kognitif) menunjukkan adanya perubahan positif yang signifi kan antara sebelum dan sesudah perlakukan TPK dengan p value < 0,05. Analisa terhadap hubungan setiap komponen karakteristik dengan perubahan perilaku depresif, agresif, antisosial serta fungsi kognitif menunjukkan tidak adanya korelasi bermakna, kecuali antara lama penggunaan NAPZA dengan perubahan perilaku antisosial. Rerata nilai perilaku antisosial pada mereka yang menyalahgunakan NAPZA selama 1–5 tahun adalah 75,00 dengan standar deviasi 2,828. Pada responden yang menyalahgunakan NAPZA selama 6–10 tahun rata-rata nilai perilaku antisosialnya adalah 69,50 dengan standar deviasi 7,489. Responden dengan penyalahgunaan N A P Z A s e l a m a 1 0 – 1 5 t a h u n r a t a - r a t a memiliki nilai perilaku antisosial 66,33 dengan standar deviasi 5,508. Responden yang menyalahgunakan NAPZA selama 15–20 tahun rata-rata nilai perilaku antisosialnya adalah 84,40 dengan standar deviasi 9,788. Sedangkan yang menyalahgunakan NAPZA selama lebih dari 20 tahun mempunyai rata-rata nilai perilaku antisosialnya 65,00 dengan standar deviasi 9,788. Hasil uji statistik didapatkan p value = 0,014 (p value < 0,05) yang berarti ada hubungan bermakna antara perubahan perilaku antisosial dengan lama menyalahgunakan NAPZA. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik klien penyalahguna NAPZA yang Perubahan Perilaku dan Fungsi Kognitif dengan Terapi Perilaku Kognitif (Herni Susanti) 175 dirawat di ruang rehabilitasi RSKO Jakarta memiliki kesamaan dengan studi sejenis tentang karakteristik penyalahguna NAPZA di unit rehabilitasi di kota Deli Serdang, Sumatera Utara (Saragih, 2009). Meskipun terdapat perbedaan signifikan pada kedua penelitian tersebut, terutama terkait jumlah sampel (pada penelitian Saragih menggunakan 169 responden, dan penelitian ini hanya 23 responden), secara umum karakteristik klien penyalahguna NAPZA di beberapa kota besar di Indonesia telah tergambarkan. Karakteristik yang dimaksud antara lain usia klien yang kebanyakan berada pada masa produktif (20–40 tahun), jenis kelamin yang mayoritas laki-laki, status perkawinan yang kebanyakan tidak menikah dan jenis pekerjaan responden yang rata-rata tidak bekerja. Pendapat bahwa karakteristik yang telah disebutkan di atas bukan merupakan hal baru. Sebagai contoh, Badan Narkotika Nasional (2009) menyebutkan bahwa kebanyakan pengguna NAPZA di Indonesia adalah laki-laki dan berusia produktif. Namun demikian, studi ini menegaskan kondisi klien yang menjalani perawatan di unit rehabilitasi NAPZA yang ada di Indonesia, khususnya yang berbasis Rumah Sakit. Data ini menjadi informasi yang penting terutama bagi pemberi kebijakan untuk merancang kegiatan dan fasilitas yang mendukung program rehabilitasi sesuai karakteristik hasil-hasil studi ilmiah. Te r k a i t d e n g a n l a m a p e m a k a i a n NAPZA, terlihat dari hasil penelitian ini bahwa kebanyakan responden telah menggunakan NAPZA lebih dari lima tahun. Hasil ini berbeda dengan penelitian Saragih (2009) yang menunjukkan bahwa mayoritas responden menggunakan NAPZA kurang dari lima tahun. Menurut pendapat peneliti, lamanya masa penggunaan zat ini disebabkan banyaknya responden yang telah menggunakan pelayanan rehabilitasi NAPZA di RSKO lebih dari satu kali. Dengan kata lain, kondisi relaps dikalangan responden sangat tinggi. Selain itu, data lain menunjukkan bahwa semua responden tidak ada yang menggunakan zat hanya 1 (satu) jenis saja. Banyak responden yang menyatakan bahwa mereka telah mulai menggunakan satu jenis NAPZA tertentu sejak lama (umumnya ganja), kemudian menggunakan zat lainnya, dan pada akhirnya baru berminat menjalankan program rehabilitasi. Kondisi tersebut di atas menimbulkan sebuah pertanyaan besar yaitu bagaimana memberikan pelayanan rehabilitasi yang dapat menjamin menurunkan tingkat relaps para pengguna NAPZA? Meskipun kejadian relaps dapat pula terjadi karena faktor eksternal (lingkungan klien paska perawatan rehabilitasi), namun hasil penelitian ini dapat memicu semua tenaga profesional yang terlibat dalam program rehabilitasi NAPZA untuk mengoptimalkan upaya pencegahan terjadinya kekambuhan. Seringkali kekambuhan terjadi karena klien Tabel 1. Pengaruh TPK terhadap nilai perilaku depresif, perilaku agresif, perilaku antisosial, dan fungsi kognitif Variabel N Mean SD P value Perilaku Depresif Sebelum Sesudah Perilaku Agresif Sebelum Sesudah Perilaku antisosial Sebelum Sesudah Fungsi kognitif Sebelum Sesudah 23 23 23 23 23 23 23 23 60,74 60,87 55,57 66,00 68,22 76,61 32,26 36,17 6,716 4,985 9,885 9,487 10,651 9,694 ,362 4,386 0,914 0,001 0,039 0,003 Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 171–180 176 tidak mendapatkan bekal yang cukup selama masa rawat akibat intervensi yang diberikan terputus, tidak sistematis, dan tidak berorientasi pada persiapan pulang. Di bidang keperawatan jiwa, penanganan klien di unit rehabilitasi secara lebih terstruktur, efisien dan sesuai dengan standar profesi menjadi tantangan setiap perawat yang bekerja di area ini, Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah adanya kesinambungan pemberian terapi generalis dan spesialis (seperti TPK dalam penelitian ini) yang dapat menjamin keberlangsungan intervensi keperawatan pada klien secara terstruktur dalam mempersiapkan klien pulang. Penelitian ini juga menunjukkan adanya perubahan yang bermakna dalam perilaku dan fungsi kognitif responden sebelum dan sesudah pemberian intervensi TPK. Namun demikian, khusus untuk perilaku depresif perubahan yang terjadi tidak signifi kan. Menurut peneliti, hal ini kemungkinan terjadi karena kondisi depresi pada responden memang sudah tidak muncul lagi secara dominan. Dengan kata lain, perilaku depresif ini memang muncul secara jelas di fase akut, dan kurang terlihat ketika individu sudah berada di fase rehabilitasi. Kondisi ini juga didukung oleh pengamatan peneliti terhadap responden yang menjadi klien di ruang rehabilitasi RSKO yang tidak lagi menunjukkan karakteristik khas individu dengan depresi, seperti nafsu makan menurun, sering menangis, sering merasa sedih dan merasa sendiri. Fenomena tersebut di atas kurang sejalan dengan penelitian yang dilakukan Castelanos dan Conrod (2006) serta pernyataan Fountaine (2009) yang mengindikasikan bahwa perilaku depresif merupakan tampilan yang umum terjadi di kalangan individu yang menggunakan NAPZA. Bahkan Castelanos dan Conrod mampu membuktikan intervensi singkat dengan menggunakan pendekatan perilaku kognitif mampu merubah kondisi depresi cukup signifi kan (n = 423). Menurut peneliti, perbedaan tersebut terjadi dipengaruhi oleh jumlah sampel pada penelitian ini yang sedikit, sehingga sulit untuk menarik kesimpulan yang lebih luas untuk memberikan gambaran tentang pengaruh TPK pada pengguna NAPZA. Ditambah lagi dengan kondisi semua responden penelitian ini yang memang sudah berada di ruang rehabilitasi, sehingga kondisi emosi relatif stabil (meskipun ada yang belum stabil umumnya mereka adalah klien yang baru dipindah dari ruang akut, dan klien seperti ini tidak diperkenankan mengikuti penelitian). Fountaine pun dalam tulisannya tidak mengungkapkan secara spesifi k bahwa kondisi depresi tersebut berlaku untuk semua individu pengguna NAPZA dan untuk semua situasi. Dengan kata lain, perlu disampaikan di sini bahwa pemahaman tentang adanya perilaku depresif di kalangan penyalahguna NAPZA perlu ditinjau ada di fase mana individu tersebut berada: akut atau rehabilitatif. Di fase akut, perilaku depresif sangat mungkin muncul dominan, namun di fase rehabititasi kondisi depresi sudah menurun (meskipun muncul, biasanya karena ada stressor baru yang signifi kan). Variabel penelitian dependen lainnya yaitu perilaku agresif, perilaku antisosial dan fungsi kognitif terlihat dari hasil penelitian ini adanya perubahan yang signifi kan. Meskipun, beberapa hasil ini memang sudah dapat diprediksi, namun penelitian ini sekali lagi memperkuat hasil studi tentang intervensi perilaku yang sudah puluhan tahun silam dilakukan oleh banyak peneliti (Krasnager, 1979). Hasil ini juga menegaskan pernyataan bahwa penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa (NAPZA) yang intensif dan profesional mampu memberikan dampak yang sangat positif terhadap klien. Terlepas adanya beberapa kekurangan dari pemberian TPK pada penelitian ini, hasil yang konstruktif ini diharapkan menjadi pemicu bagi semua tenaga kesehatan jiwa untuk memberikan kontribusi yang maksimal dalam merawat klien di unit rehabilitasi. Pemberian TPK yang dilakukan secara bertahap dari mulai proses membina hubungan saling percaya, identifi kasi masalah, proses perubahan distorsi kognitif, proses perubahan perilaku negatif dan pembekalan pencegahan kekambuhan merupakan rangkaian penting bagi setiap individu untuk menolong dirinya keluar dari masalah yang sedang dialaminya: harga diri rendah dan koping tidak efektif. Perubahan Perilaku dan Fungsi Kognitif dengan Terapi Perilaku Kognitif (Herni Susanti) 177 Sepanjang proses tersebut klien diajak oleh terapis merubah perilaku agresif (misalnya meledak-ledak, mudah marah, mudah emosi), merubah perilaku antisosial (misalnya tidak taat tata tertib, bersikap tidak sopan, berbuat keributan), dan merubah pikiran negatif (misalnya denial, proyeksi, minimisasi). Terakhir klien diminta komitmennya untuk melakukan perubahan-perubahan yang positif dalam rangka mencegah kekambuhan. Selama proses ini pula, klien selalu difasilitasi untuk mengungkapkan perasaan, serta kendala yang dihadapi dalam menjalani proses ini. Seringkali waktu yang dihabiskan bersama terapis sekitar 45 menit-1 jam setiap sesinya terasa kurang. Uraian ini tampak jelaslah bahwa kemajuan klien merupakan hasil dari sebuah proses panjang namun terstruktur dan berorientasi pada kebutuhan klien, dan pada akhirnya melalui pembuktian ilmiah klien menunjukkan perubahan yang positif dari proses pemberian TPK. Terapi Perilaku Kognitif sendiri adalah suatu bentuk psikoterapi jangka pendek, yang menjadi dasar bagaimana seseorang berfi kir dan bertingkah laku positif dalam setiap interaksi (Stuart, 2009). Hasil uji statistik terhadap hubungan karakteristik dengan perubahan perilaku dan fungsi kognitif klien penyalahguna NAPZA menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama pemakaian NAPZA dengan perubahan perilaku antisosial. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa dampak nyata yang muncul akibat penggunaan NAPZA dalam jangka waktu lama mengakibatkan kerusakan seseorang dalam bertindak sesuai norma yang berlaku (Fountaine, 2009). Perilaku antisosial yang dimaksud termaksud mengganggu ketenangan, melakukan seks bebas, dan terlibat dalam perkelahian/perdebatan. Hasil analisa bivariat untuk melihat hubungan setiap komponen karakteristik dengan kondisi perilaku dan fungsi kognitif sebagian besar tidak ada yang menunjukkan hubungan yang bermakna (hanya ada satu nilai hubungan yang bermakna yaitu hubungan antara lama pemakaian NAPZA dengan perilaku antisosial). Menurut peneliti, hal ini terjadi mengingat jumlah responden yang sedikit yaitu hanya 23 dengan distribusi yang sangat tidak merata (standar deviasi besar). Jumlah yang sedikit ini memang sulit dihindari oleh peneliti, mengingat beberapa usaha sudah dilakukan untuk mendapatkan jumlah responden yang lebih besar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperpanjang masa intenvensi, yang awalnya intervensi dilaksanakan dalam waktu tiga bulan, namun memanjang sampai lima bulan (karena sampai bulan ketiga jumlah klien yang menjadi responden masih hitungan belasan, dan itupun di antaranya ada yang drop out karena harus pulang). Dengan demikian, untuk selanjutnya apabila dilaksanakan penelitian sejenis, rencana waktu intervensi dan juga kontrak/komitmen klien menjadi responden merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan di antaranya Jumlah sampel yang sedikit, yaitu hanya 23 responden. Hal ini disebabkan karena jumlah klien di ruang rehabilitasi RSKO yang memenuhi kriteria inklusi pada saat periode penelitian sedikit. Jumlah klien yang dirawat saat dilakukan penelitian memang mencapai 10–20 orang setiap harinya, namun umumnya hanya sepertiganya yang dapat dijadikan responden karena beberapa keterbatasan: kondisi klien yang belum stabil (baru masuk ruang rehabilitasi), terikat jadwal kegiatan ruangan yang ketat, dan menolak menjadi responden. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya jumlah responden yang drop out (9 responden) karena harus pulang ditengah-tengah proses pemberian TPK. Sebagai solusi dari masalah ini peneliti akhirnya memperpanjang waktu penelitian, yaitu dari tiga bulan menjadi lima bulan. Berdasarkan keterbatasan ini, hasil penelitian hanya dapat digerelisir apabila dilakukan penelitian serupa dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Keterbatasan waktu bagi pemberi terapi dan klien dalam melaksanakan TPK juga merupakan kendala. Pemberi terapis adalah peneliti dan perawat yang bertugas di ruang rehabilitasi RSKO Jakarta. Dari empat orang yang layak memberikan TPK, hanya 1 (satu) terapis yang memang sehari-hari waktu kerjanya berada di RSKO. Selebihnya adalah mahasiswa spesialis keperawatan jiwa, Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 171–180 178 mahasiswa profesi ners, dan staf pengajar. Berdasar kondisi tersebut, pelaksanaan TPK diberikan setelah terapis menyelesaikan kegiatan utama mereka, dan memulai sesi mereka di sore hari (sekitar jam 16.00 WIB). Seringkali, pemberian TPK yang dimulai sore hari tidak dapat optimal karena setelah jam 18.00 WIB klien telah memiliki kegiatan wajib yang terjadwal. Sebagai solusi, terapis harus datang memberikan TPK hampir setiap hari kepada klien yang berbeda (terutama pada saat kondisi klien yang banyak/menumpuk). Walaupun kondisi ini tidak berlangsung terus-menerus selama lima bulan intervensi, mengingat ada beberapa waktu, pemberian terapi tidak berjalan lancar karena tidak adanya klien yang layak menjadi responden (waktu jeda tanpa pemberian TPK). Kekurangan lain adalah penelitian ini ditujukan untuk klien-klien pengguna semua zat (bukan salah satu zat yang khas). Memang diawal, peneliti bermaksud memfokuskan responden penelitian ini pada penyalahguna NAPZA jenis heroin (putau) mengingat gejala, dan respons klien dapat sangat bervariasi sesuai jenis zat yang digunakan. Namun demikian, sejalan dengan proses, peneliti memutuskan untuk tidak hanya berfokus pada peyalahguna heroin saja. Alasan utamanya adalah demi menjaring responden yang lebih banyak. Kedepannya, penelitian yang berfokus pada responden dengan satu jenis zat tertentu tetap menjadi agenda yang penting. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan TPK merubah secara bermakna perilaku agresif (meningkatkan perilaku nonagresif) pada klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA, TPK merubah secara bermakna perilaku antisosial (meningkatkan perilaku non-antisosial) pada klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA, TPK meningkatkan secara bermakna fungsi kognitif pada klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA, TPK tidak merubah perilaku depresif pada klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA, Ada hubungan bermakna antara lama pemakaian NAPZA dengan perubahan perilaku dan fungsi kognitif klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA. Tidak ada hubungan karakteristik (umur, jenis kelamin, status pernikahan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dengan kondisi perilaku dan fungsi kognitif pada klien yang sedang dirawat di unit rehabilitasi NAPZA Saran Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya menggunakan evidence based d a l a m m e n g e m b a n g k a n t e k n i k a s u h a n keperawatan jiwa dalam penerapan Terapi Perilaku Kognitif bagi klien penyalahguna NAPZA, dan hendaknya mengembangkan modul TPK bagi klien penyalahguna NAPZA, Departemen kesehatan RI menetapkan suatu kebijakan untuk implementasi TPK pada klien penyalahguna NAPZA, Organisasi profesi menetapkan TPK sebagai salah satu kompetensi dari perawat spesialis keperawatan jiwa, Pihak rumah sakit menetapkan TPK sebagai salah satu program dalam meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya untuk klien penyalahguna NAPZA yang dirawat di unit rehabilitasi dan pihak rumah sakit memberikan kesempatan kepada perawat kesehatan jiwa untuk mengembangkan diri melalui pendidikan formal keperawatan sampai jenjang spesialis, Perawat spesialis keperawatan jiwa hendaknya menjadikan TPK sebagai salah satu terapi keperawatan dalam mengatasi masalah harga diri rendah dan koping individu tidak efektif. Perlunya dilakukan replikasi pada rumah sakit lain yang memiliki program rehabilitasi NAPZA di seluruh Indonesia sehingga diketahui keefektifan penggunaan TPK dalam menangani klien penyalahguna NAPZA dan kesempurnaan modul, perlu dilakukan penyempurnaan pelaksanaan TPK untuk menjadikan TPK sebagai salah satu model pelayanan keperawatan. Hasil penelitian berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam mengubah perilaku dan fungsi kognitif maladaptif klien penyalahguna NAPZA. Perubahan Perilaku dan Fungsi Kognitif dengan Terapi Perilaku Kognitif (Herni Susanti) 179 KEPUSTAKAAN Barrowclough, 2002. Randomized Controlled Trial of Motivational Interviewing, Cognitive Behavior Therapy, and Family Intervention for Patients with Comorbid Schizophrenia and Substance Use Disorders. American Jurnal Psychiatry, 158, 1706–1713. Bergen, H.A., Martin, G., Richardson, Allison, AS., dan Roeger, S., 2004. Sexual abuse, anti sosial behaviour and subtance use: gender diffrences in Young community adolecents. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 38: 34–41. B a d a n N a r k o t i k a N a s i o n a l , 2 0 0 9 . Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. (online) (http://www.bnn. go.id), diakses tanggal 30 Mei 2010 dari pukul 17.00 WIB) Castelanos, N. dan Conrod, P., 2006. Brief interventions targeting personality risk factors for adolesecent substance misuse reduce depression,panic and risk-taking behaviours. Journal of Alcohol & Drug Education, 15, 645–658. Chamberlain, J.M., 2009. Disentangling Aggressiveness and Assertiveness within the MMPI-2 PSY-5 Aggressiveness Scale. Tesis, Michigan: Kent State University Dulin, P.L., Hill, R.D., dan Ellingson, K., 2006. Relationships among religious factors, sosial support and alcohol abuse in a western U.S. college student sample. Journal of Alcohol & Drug Education, 50 (1), 5–14. Fauziah, 2009. Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif (TPK) pada Pasien Skizoprenia dengan Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis tidak dipublikasikan, Depok: Universitas Indonesia. Fontaine, K.L., 2009. Mental Health Nursing. (sixth edition). New Jersey: Pearson Prentice-Hall. Halaby, S.G., 2009. Psychometric Validation of the Cognitive Appraisal of Risky events antisocial/prosocial (CARE-A/P) scale, (online), (http://proquest.umi.com., diakses tanggal 25 Oktober 2010, jam 15.00). Krasnagen. N.A., 1979. Research Monograph 25 series. Behavioural Analysis & Treatment of Substance Abuse. National Institute on Drug Abuse US Departement of Health Education and welfare. Kadden, R.M., 2002. Cognitive-Behavior Therapy for Substance Dependence: Coping Skill Training, (online), (http:// w w w. b h r m . o r g / g u i d e l i n e s / C B T- Kadden.pdf, diakses tanggal Februari 2010, jam 14.00). Ouimette, P.C., Finney, J.W., dan Moos, R.H., 1997. Twelve-step and cognitive- behavioral treatment for substance abuse: A comparison of treatment effectiveness. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65, 230–240. Radloff, L.S., 1977. The CES-D scale: A self- report Depression Scale for research in the general population, (online), (http://www. apm.sagepub.com., diakses tanggal 25 Oktober 2010, jam 17.00). Saragih, N., 2009. Karakteristik Penyalahguna N a r k o t i k , P s i k o t ro p i k a , d a n Z a t Adiktif (NAPZA) di Sibolangit Center R e h a b i l i t a t i o n f o r D r u g A d d i c t Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004– 2007. Skripsi tidak dipublikasikan, Medan: Universitas Sumatera Utara. S a r t i k a , D . , 2 0 1 0 . P e n g a r u h R e l a p s e P re v e n t a t i o n Tr a i n i n g t e rh a d a p Kekambuhan dan Kepatuhan Klien Ketergantungan Heroin yang Menjalani Program Terapi Rumatan Metadon di DKI Jakarta. Tesis tidak dipublikasikan, Depok: Universitas Indonesia. Sasmita, H., 2007. Efektivitas Cognitive Behaviour Therapy pada Klien dengan Harga Diri Rendah di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis tidak dipublikasikan, Depok: Universitas Indonesia. Shives, 2005. Basic concepts of psychiatric – m e n t a l h e a l t h n u r s i n g ( 4 t h e d ) . Philadelphia: Lippincott. Stuart, G.W., 2009. Principles and Practice of psychiatric nursing. (8th edition). St Louis: Mosby. Susanti, H. & Yulia, I.Y., 2009. Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif terhadap Persepsi, Sikap, dan Perilaku Pasien Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 171–180 180 Skizofrenia Terkait Pengobatan di RS Marzoeki Mahdi. Laporan Riset Hibah A2, tidak dipublikasikan, Depok: Universitas Indonesia. Thomas, V.S., dan Rockwood, K.J., 2001. Alcohol abuse, cognitive impairment, and mortality among older people. Journal of the American Geriatrics Society, 49(4), 415–420. Townsend, M.C., 2009. Psychiatric Mental Health Nursing. (6th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company.