NERS Vol 5 No 2 Oktober 2010_Akreditasi 2013.indd 181 PROSES BERDUKA DAN BEBAN YANG DIALAMI KELUARGA DALAM MERAWAT ANAK DENGAN AUTISME (The Grieving Process Experienced Family and Charges in Treating Children with Autism) Rizki Fitryasari Patra Koesoemo Divisi Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya E-mail: risqiv@yahoo.com.sg ABSTRACT Introduction: Children with autism will be a stressor to their family. This research aims to describe about family grieving process and family burden when taking care of their children with autism at Special Needs School Bangun Bangsa, Surabaya. Method: This research used descriptive phenomenology design with indepth interview method. The participant of this research was six member of a family who plays role as the main caregiver for autism child. This study employs the purposive sampling method. The data is gathered through interviews and fi eld notes that is then analyzed with the Collaizi technique. This research generated three themes. Result: The results illustrate families display the grieving process as a cycle. They feel a deep, permanent and long period of grief through in to fi ve stages of grief: denial, anger, depression, bargaining and acceptance. The Grieving is come from the caregiver and the autism child. Large amounts of grief cause families in grief for a long period and this causes family burden. There are six family burden, psychological burden, physical burden, fi nancial burden, social burden, time burden and thought burden. Conclusion: Finding of the research would hopefully be benefi cial to professional health staff, especially psychiatric nurses to complete their ability in minimizing various negative impacts that the family may suffer from while taking care their autism children with autism through nursing care plans designs development, researches about family empowerment in burden managements and also a research to improve the Family Psycho-education Therapy and a specifi c Supportive Group Therapy modules for family with autism children. Keywords: autism; family; grieving process; family burden PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penderita autisme terjadi di kota Surabaya yang memiliki angka pertumbuhan penduduk sebesar 2,06% per tahun. Angka kelahiran anak di kota Surabaya pada tahun 2005 menurut Badan Pusat Statistik Kotamadya Surabaya sebanyak 65.235 jiwa, sehingga jumlah anak dengan autisme diperkirakan akan meningkat sebanyak 435 anak setiap tahunnya. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Kebutuhan Khusus (SKK) Bangun Bangsa Surabaya. Studi awal didapatkan bahwa orang tua yang merawat anak autisme sering tidak dapat memberikan dukungan secara optimal akibat stressor yang tinggi, tetapi tidak sedikit yang berhasil mengatasi stressor tersebut sehingga anak autisme dapat berkembang dengan lebih baik (SKK Bangun Bangsa, 2009). Dampak yang dirasakan keluarga dengan anak autisme yaitu munculnya beban baik secara psikologis, sosial, fi nansial, pekerjaan dan waktu yang akan memengaruhi perilaku keluarga dalam mendampingi dan merawat anak dengan autisme bahkan untuk tetap dapat mempertahankan dan melanjutkan kehidupan keluarga. Keluarga membutuhkan penguatan dukungan keluarga, kemampuan untuk mengelola stres terkait dengan keberadaan anak autisme dan kebutuhan perawatannya. Keluarga membutuhkan bantuan tenaga kesehatan profesional yang salah satunya adalah perawat, khususnya perawat jiwa. Anggota keluarga yang mengalami autisme akan menjadi stressor bagi setiap anggota keluarga karena keluarga merupakan suatu Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190 182 sistem. Keluarga merasa malu memiliki anak yang berbeda dengan anak yang seusianya saat berkumpul dengan keluarga besar atau teman kerja bahkan keluarga harus menghadapi situasi di mana keluarga tidak diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat yang melibatkan seluruh anggota keluarga karena memiliki anak dengan autisme. Peran perawat jiwa yaitu memberdayakan keluarga yang memiliki anak dengan disability atau anak dengan kondisi kronis dengan cara membantu orang tua untuk memilih strategi koping yang tepat, mengajarkan komunikasi yang efektif di dalam keluarga, melatih keluarga dalam menggunakan strategi dan kemampuan manajemen konfl ik (Serr, et al., dan Dyches, 2005). Kenyataan yang dijumpai di beberapa tempat pelayanan terapi untuk autisme maupun sekolah dengan kebutuhan khusus, peran perawat dalam memberdayakan kemampuan keluarga masih perlu ditingkatkan karena perawat lebih berfokus pada pelaksanaan terapi bagi anak dengan autisme (Bappenkar RSU Dr. Soetomo, 2009). P e n e l i t i a n i n i b e r t u j u a n u n t u k mengidentifi kasi proses berduka dan beban yang dialami keluarga selama merawat anak dengan autisme. Gambaran proses berduka dan beban yang dialami keluarga dapat menghasilkan pengetahuan dasar yang akan berguna dalam mengembangkan suatu pendekatan kesehatan dan keperawatan jiwa yang lebih tepat untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam beradaptasi selama menghadapi stressor dalam merawat anak dengan autisme. Peneliti ingin mengetahui proses berduka dan beban keluarga selama mendampingi dan merawat anak dengan autisme yang bersekolah di SKK Bangun Bangsa Surabaya melalui penelitian. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif untuk menggambarkan pengalaman keluarga selama merawat anak dengan autisme di Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa Surabaya. Sampel dalam penelitian ini sebanyak enam partisipan yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu metode pemilihan sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian. Seluruh partisipan penelitian mengalami fenomena yang diteliti memenuhi karakteristik yang diinginkan peneliti, yaitu: keluarga yang merawat anak dengan Autistik Disorder/Classic Autism; keluarga yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari anak dengan autisme atau yang berperan dalam pengambilkeputusan terhadap anak autisme; berusia minimal 20 tahun; mampu berkomunikasi dengan baik dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah (bahasa Jawa) yang dimengerti oleh partisipan dan peneliti serta 5) sehat fi sik dan mental saat dilakukan wawancara. Saturasi dicapai pada partisipan keenam setelah dirasa informasi yang disampaikan oleh partisipan sudah tidak memberikan tambahan informasi baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara mendalam (indepth interview) dan catatan lapangan. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Media Player (MP4), pedoman wawancara, catatan lapangan dan diri peneliti sendiri. HASIL Peneliti mengidentifi kasi 3 tema sebagai hasil penelitian. Proses pemunculan tema-tema tersebut diuraikan berdasar tujuan penelitian. Proses berduka yang dialami keluarga selama merawat anak dengan autisme Tema 1: Tahapan berduka Tahapan berduka yang dialami keluarga selama merawat anak dengan autism terdiri dari lima tahap, yaitu menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima. Menyangkal dibagi menjadi dua kategori, yaitu tidak percaya dan syok. Perasaan tidak percaya diungkapkan petikan transkrip berikut ini: " ...tak baca terus lho lho anakku kok kayak gini separah ini gitu ya.... aku ini nggak percaya" (P1). Sementara perasaan syok dialami partisipan sebagai perasaan tidak menyadari seperti diillustrasikan berikut ini: "Aduh nduk (nak) Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo) 183 kamu itu kok wudho (telanjang) di sini (dikelas)…. Mau ditaruh di mana muka ini…." (P3) Tahapan kedua dari berduka yaitu marah terdiri dari dua kategori, yaitu sedih dan kecewa. Perasaan sedih dirasakan partisipan seperti uraian berikut ini: "wess sampe rumah mbak, jungkel (nangis sejadi jadinya) aja mbak..." (P1) "Saya ya ndak bisa apa-apa saya nangis ya.. wes gak karuan waktu itu...." (P5) Rasa kecewa dialami saat menyadari anaknya mengalami autisme, kecewa terhadap sikap pemberi pelayanan kesehatan, maupun kecewa terhadap keluarga tergambar pada kondisi yang disampaikan partisipan di bawah ini: "Yaa.... rasanya tu kayak.... (diam sebentar raut muka menjadi muram) apa ya... apa yang.. apa apa kata dokter, katanya itu apa yaa, apa yang saya impikan... angan angan saya, anak saya nanti, orang tua kan pengennya anaknya menjadi begini.... ya tahapan-tahapannya tho mbak, ternyata seperti itu... ya kayaknya hilang sudah (semuanya) saya itu (gitu mikirnya)" (P1) "wes aku cari dokter lain, soale itukan orangnya ndak enak.. omongnya kasar.. wes tho saya ndak mau kembali situ (ke dokter tersebut) lagi." (P2) Tahapan ketiga yaitu menawar yang meliputi dua kategori, yaitu khawatir dan b e r h a r a p . P e r a s a a n k h a w a t i r t e r h a d a p kemampuan keluarga merawat anak autisme dialami oleh dua orang partisipan yang menyatakan: "...apa bisaa gitu ya (merawat anak dengan autisme)...." (P1) " y a s e m p e t y a , a p a s a n g g u p g i t u a k u membesarkan anakku yang Autis ini..." (P4) S e m e n t a r a a d a p a r t i s i p a n m a s i h mempunyai perasaan berharap terhadap kemampuan anak seperti digambarkan pernyataan berikut ini: "sampai saya itu ya Allah anakku kalau sampai bisa manggil mama aku mau potong kambing aku.." (P1) "... kadang ya (saya mikir)..... pasti A bisa normal..." (P5) Tahapan keempat berduka adalah depresi dan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu secara fi sik dan secara psikologis. Depresi secara fisik disampaikan partisipan dalam ungkapan berikut ini: " ..... badan tambah kurus ....apa ya makan itu rasane gak ada rasane.... saya itu mikir, apa salah saya ya?" (P5) Sebagian besar partisipan mengeluhkan depresi secara psikologis yang dialami, seperti berikut ini: "Aku yo wes...aku nelongso (menderita) aja buk...iyo tho.. pokoke wes ndak ada, ndak ada yang ngerti dikasih tahu itu (bahwa K Autis).. ndak ada yang ngerti, malah mereka itu menyalahkan, katanya aku itu kalau ndidik itu salah, dibentaki aja, jangan dilarang-larang, kalau main ya biar aja main, gitu..." (P2) Menerima digambarkan dalam empat kategori yaitu bersyukur, memahami, senang dan adaptasi. Rasa syukur terhadap keadaan anak yang mengalami kemajuan, seperti pernyataan partisipan berikut ini: "lha tapi ya Alhamdulillah O itu, saya ke dokter itu ya nggak rutin lho, obatnya yang ee.... ya Supplemen yang sekian juta yang harus ditebus gitu ya saya nggak njangkau, tapi kok perkembangan O ini bisa ngomong bisa keluar, ya kebanyakan anak Autis kan verbalnya keluarkan itu enggak sejelas ini, kan pelat pelat (cedal) gitu mbak... tapi O ini jelas kalimatnya, sampai huruf huruf nya itu jelas gitu ya" (P1) Sebagian partisipan pada akhirnya memiliki perasaan memahami terhadap kehadiran dan keadaan anak dengan autisme dalam keluarga dan tergambar dalam ilustrasi yang disampaikan berikut ini: "mungkin yaa... setiap anak Autis itu kan beda beda ya, 100 anak autis ya 100 macamnya ini, O saja sama adiknya juga tidak sama ya, yang adiknya sulit, yang O begini (tidak sulit)" (P1) "tapi ya gimana kan ini ya memangnya anak saya... ya harus dirawat, wes pasrah aja ya, ya dirawat ya diobatkan.... wes diterima ya (tersenyum dan mata mulai berkaca-kaca)....." (P6) Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190 184 Perasaan senang karena adanya perilaku anak autisme yang membuat partisipan bisa lepas dari rutinitas merawat untuk sesaat dialami partisipan dua, seperti digambarkan dalam pernyataan berikut ini: "Kalo mandi itu lama, kungkum (berendam) ae, terus ya berhenti sendiri, kadang tak biarkan, kalo K mandi tambah enak aku bisa masak, bisa tak tinggal (mengerjakan) lainnya (tertawa)" (P2) Kategori adaptasi terhadap lingkungan dan kehidupan yang dijalani bersama anak autismediillustrasikan dalam petikan transkrip partisipan berikut ini: "Kalau saya sudah biasa mbak...... mungkin kalau orang lain yang melihat, (misalnya) keluarga saya (yang) jauh main kesini ngelihat saya itu sepertinya..., (lalu berkata) yang sabar ya.., lha ini sudah menumpuk sabarnya (tertawa) ini kalau habis kulakan (beli) lagi ini, belum sampai habis kulakan saya (sambil tertawa ringan), Yaa saya anggap ini sudah biasa ya.. (tersenyum)" (P1) "dulu yaaa....kadang ada orang ngomong apaaaa gitu, sakit hati ya... sekarang ndak ya... (saya) cuek hehhe (tertawa kecil)" (P6) Tema 2: Penyebab berduka Partisipan yang telah melalui tahapan menerima pada proses berduka dapat merasakan kembali perasaan berduka, saat ditemui adanya penyebab berduka. Penyebab berduka berasal dari dua sumber, yaitu caregiver dan anak yang mengalami autisme. Penyebab berduka yang berasal dari caregiver, yaitu akumulasi perasaan caregiver seperti yang tergambar dalam transkrip berikut ini: "...sabarnya kita menghadapi anak normal sama anak seperti ini itu beda, kalau anak normal itu, eh ndak boleh kamu begini begini itu langsung ngerti, kalau anak begini ini ngomong sepuluh kali mbak, wooo masih nggak direken (diperdulikan)" (P1) "yaa...... gimana yaa....(diam sesaat).... ya rasane macem-macem ya, banyaknya ya jengkel ya gak menentu wes pokoke...." (P2) Penyebab berduka yang lain berasal dari anak dengan autisme meliputi resistensi anak, respons anak yang lambat, perilaku anak yang berlebihan, perilaku sulit konsentrasi pada anak dan perilaku anak yang tidak dapat dimengerti. Resistensi anak ditemukan pada partisipan dalam pernyataan berikut ini: "ya itu kadang tu ya anak-anak ini kalau bikin masalah ..tidak bisa dikasih tau" (P1) Partisipan juga menyatakan tentang respons anak yang lambat, berikut ini: "kan kadang pagi itu (anak autis) suka bikin susah, gak bisa cepat" (P2) P e r i l a k u a n a k y a n g b e r l e b i h a n diceritakan oleh dua orang partisipan seperti dalam transkrip berikut ini: "nakalnya amit-amit, wes klesetan (guling- guling dilantai) wes.. terus suka ngambil jemuran kok... pokoke ada baju warnae pink, gak tau itu punyae siapa gak peduli wes ganti di jemuran itu tadi, pulang ganti baju wes pokoke..." (P2) " .... lha masa ke rumahnya orang itu ya... tingkah lakunya itu lho ya, tidak bisa diam, masuk- masuk ke dalam rumah langsung" (P5) Partisipan juga menyatakan perilaku anak yang sulit konsentrasi sebagai berikut: " .. lha susah kalau suruh nulis suruh apa, nggarap PR itu matane gak karuhan, lihat TV, lihat lihat... (memeragakan nengok kanan nengok kiri)...wes susah pokoke (menggelengkan kepala 2 kali)" (P2) Perilaku anak yang tidak bisa dimengerti diilustrasikan oleh beberapa partisipan seperti yang disampaikan oleh partisipan empat dan enam berikut ini: "dia sendiri.... kadang anak kayak gini kan ndak tau karep e (keinginannya) apa, dikasih ini .... keliru, dikasih ini..... emoh (tidak mau), tapi nguamuk (marah sekali), lha terus karepe (inginnya) apa kita kan ya ndak ngerti" (P4) " .....kadang-kadang kayak ndak mau diem gitu lho... kadang itu ada apa ini dicari gitu... dia keliling kayak muter muter gitu, sampai sekarang ya masih gitu muter terus di rumah" (P6) Beban yang dirasakan keluarga selama merawat anak dengan autisme Tema 3: Beban sebagai dampak proses berduka Berbagai macam beban dirasakan oleh partisipan yang merupakan akibat lanjut yang Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo) 185 dialami partisipan setelah melalui tahapan berduka. Beban yang teridentifi kasi meliputi beban psikologis, beban pikiran, beban fi sik, beban finansial, beban sosial, dan beban waktu. Beban psikologis yang dirasakan oleh partisipan terbagi menjadi perasaan jengkel, marah, malu, menderita, takut, khawatir, dan berat/sulit. Perasaan jengkel terhadap hal-hal yang ditemui selama merawat anak autisme yang tidak dapat diungkapkan oleh partisipan berikut ini: "yaa...... gimana yaa....(diam sesaat).... ya rasane macem-macem ya, banyaknya ya jengkel ya gak menentu wes pokoke, wes susah pokoke" (P2) Perasaan marah terhadap perilaku anak autisme diungkapkan oleh partisipan dalam pernyataan berikut ini: "tidak bisa dikasih tau ya saya ceples (di pukul di bagian paha menggunakan telapak tangan terbuka) ya, tetep kalau dia buat kesalahan yaaa saya marahin, sama saja seperti ibu-ibu yang lain, kita tidak mungkin ya... jadi wonder womennya anak-anak ini (tertawa kecil), yaa gitu itu kalau seterusnya gemes (tidak bisa menahan diri) ya saya cubit" (P1) "dikasih ini, dia ndak mau, aku emosi, woo aku ngamuk marah dulu... marah beneran... kalau aku wes ndak sabaran itu, wes biru-biru tok wes (bekas dicubit)" (P4) Partisipan menceritakan perasaan malu terhadap orang lain yang dirasakan seperti tergambarkan dalam situasi yang diceritakan oleh partisipan dua dan lima berikut ini: " ya kalau orangnya itu tau seperti apa anak autis, kalau gak ngerti kan kok rasanya anak saya ini apa ndak pernah diajari sopan santun gitu yaa kan ya malu juga ya rasanya jadi orang tua.... kadang itu pernah ya... dimeja makan itu ada makanan apa gitu langsung ambil.... gitu kan saja jadi sungkan yaa.... iya sungkan ..." (P5) Perasaan menderita karena sikap orang lain yang tidak mau mengerti keadaan anak autisme diungkapkan dua partisipan penelitian dalam kutipan transkrip partisipan dua dan tiga berikut ini: "Aku yo wes.... aku nelongso (menderita) aja buk... iyo tho.. pokoke wes ndak ada, ndak ada yang ngerti, malah mereka itu menyalahkan, katanya aku itu kalau ndidik itu salah" (P2) P a r t i s i p a n m e n y a t a k a n m e m i l i k i perasaan takut bila hamil dan melahirkan anak yang kedua kalinya serta perasaan takut terhadap penurunan kemampuan anak autisme di jelaskan dalam pernyataan berikut: "aku wes sampai takut kalau sampai hamil lagi (memegang perut)..... nanti jangan-jangan anakku Autis lagi sumbing pisan...(mendesah dan menggelang kepala)" (P2) Perasaan khawatir terhadap masa depan anak autisme diungkapkan berikut ini: "W ini kan perlu pendamping, pendampingnya itu entah besok siapa, Ya selama bapak masih hidup, walaupun jauh, saya harapkan meski sampai saya meninggal gitu, saya harapkan semua masih tetep (kakak membantu adik yang autis" (P3) Perasaan berat/sulit dalam menjaga anak autisme, digambarkan dalam petikan transkrip berikut ini: " Ngerawatnya (anak autis) itu sangat... sensitif sekali.... ya anak begini (autis) ya bukan W saja itu ekstra.. apa yang dilakukan (pemilihan makanan) itu betul-betul harus (dijaga)" (P3) Jenis beban yang lain yaitu beban pikiran yang dialami partisipan penelitian dan bersumber pada dua kategori, yaitu caregiver dan anak autis. Sumber yang berasal dari pikiran caregiver akibat kejenuhan selama merawat tergambar dalam pernyataan partisipan satu dan dua berikut ini: " n a m a n y a p i k i r a n i t u j e n u h i t u j u g a ada..."(P1) Beban pikiran yang bersumber dari anak dengan autisme digambarkan seperti berikut ini: "... pikiran ini kok gak bisa lepas ya dari A, kalau udah naruh A di sekolah, kan saya pulang, sebenarnya ya kan saya ya gak sama A ya.... ya rasanya bebas ya... tapi ya ndak bisa, hehe (tertawa) namanya anak ya... digendong 9 bulan diperut..... ya kepikiran, apa nanti pas disekolah gimana-gimana...." (P5) Beban fi sik juga merupakan jenis beban yang teridentifi kasi sebagai hasil penelitian dalam bentuk kelelahan fi sik selama merawat Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190 186 anak autisme seperti digambarkan berikut ini: "Ya kadang saya itu ya capek yaa... capek itu pasti ya mbak, bayangkan satu hari penuh merawat 2 anak autis" (P1) Partisipan juga menyebutkan beban fi nansial dalam kategori penggunaan uang, pengobatan, nutrisi dan sekolah. Penggunaan uang untuk memenuhi permintaan anak autisme menjadi beban bagi keluarga karena karakteristik anak autisme yang tidak dapat dikendalikan apabila memiliki keinginan untuk membeli sesuatu. Sehingga keluarga harus menyediakan alokasi keuangan khusus untuk memenuhi permintaan anak, seperti yang diceritakan oleh partisipan berikut ini: "setiap harinya kalau ada sari roti lewat, mama roti, mama es krim, semua diminta buk, pokok wes gitu ya... setiap ketemu es diminta es... pokoke duit itu harus ada dikantong ini, wes habis banyak duit buat jajan itu tok" (P2) Mahalnya biaya pengobatan dapat digambarkan melalui pernyataan berikut ini: "wes abis-abisan pokoknya, buat ngobati K ae bangkrut buk.. untuk beli obat, suplemen, ke dokter ya terapine... ya gitu buk...." (P2) Besarnya biaya untuk mencukupi kebutuhan nutrisi disampaikan oleh partisipan dua berikut ini: "buat makanan ya jajane gak karuhan juga.... ya susunya itu buk, sekaleng wes berapa itu 150 lebih... sebulan paling nggak 6–7 kaleng..... berapa itu buat susu tok....." (P2) Partisipan juga menyatakan mahalnya biaya sekolah sebagai beban fi nansial dalam petikan berikut ini: "sekarang katakan berapa (biayanya), sama bayaran anak sekolah (SD biasa) sudah lain" (P3) Jenis beban yang lain yaitu beban sosial dan dapat dijelaskan dalam dua kategori yaitu membatasi sosialisasi caregiver dan membatasi sosialisasi anak dengan autisme. Partisipan menggambarkan bagaimana mereka membatasi sosialisasi diri dengan lingkungan seperti dalam illustrasi berikut ini: "Cuma ya kalau main ke rumahnya saudara itu ya saya batesi, saya tidak mungkin main ke rumah mereka anak saya dibiarkan, tetep silaturohmi tapi tidak lama, jadi ya sebentar aja, sekadar nongol gitu saja" (P1) Partisipan membatasi sosialisasi anak autisme dengan lingkungan seperti dalam uraian di bawah ini: "sejak itu ya saya kurung dia di rumah ya.... lha kalau tidak dikunci rumah itu dia bisa mbuka pintu sendiri terus kalau keluar kan nanti bikin saya itu gak enak yaa....." (P5) Beban waktu merupakan jenis beban yang juga dialami oleh partisipan dan dijabarkan dalam dua kategori, yaitu kategori mengorbankan waktu pribadi dan kategori kebebasan pribadi. Mengorbankan waktu pribadi untuk mendampingi anak autisme diungkapkan berikut ini: "Emm.... yaaa sekarang aku wes rasane hidup ini gak ada buat diri sendiri ya..... ndak ada, papae K kalau dateng malam itu aku sudah tinggal capeknya, tak tinggal tidur buk...." (P2) PEMBAHASAN Tema 1: Tahapan berduka Perasaan berduka yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan perasaan berduka sepanjang kehidupan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Blaska (1998), tentang "model siklus berduka" dan serupa dengan pendapat Mallow dan Bechtel (1999, dalam Collins, 2008) yang menjelaskan perasaan berduka yang dialami keluarga dengan anak autisme merupakan bentuk dari "berduka kronis". Hasil penelitian ini menunjukkan, Keluarga akan merasa berduka sesaat setelah mengetahui bahwa anaknya mengalami autisme dan akan terus berlangsung selama keluarga mendampingi anak dalam setiap tahapan tumbuh kembangnya. Partisipan akan mengalami tahapan berduka dan mencapai suatu tahap menerima kenyataan bahwa ia memiliki anak dengan autisme. Partisipan belum mengakhiri perasaan berduka yang dialami. Perasaan berduka tersebut akan kembali dirasakan saat keluarga menghadapi keadaan yang menimbulkan perasaan berduka itu kembali. Seperti yang disampaikan oleh Blaska (1998) bahwa berduka merupakan satu siklus yang terus berputar, suatu saat keluarga Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo) 187 merasa berduka, sesaat kemudian merasa menerima, namun tiba-tiba merasa berduka kembali. Mallow dan Bechtel (1999, dalam Collins, 2008) menggunakan kata "berduka kronis" untuk menggambarkan perasaan berduka mendalam yang menetap, selalu berulang, setiap saat semakin bertambah dan terjadi sepanjang kehidupan keluarga. Tahapan berduka yang teridentifi kasi dalam penelitian ini sama dengan tahapan proses kehilangan yang dikembangkan oleh Kubbler-Ross (2005), yaitu terdiri dari lima tahap, yaitu menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima. Tidak ada partisipan yang mengalami lima tahapan berduka secara lengkap. Pada partisipan dua dan partisipan enam yang tidak mengalami tahapan tawar- menawar. Hal ini identik dengan proses kehilangan yang ditemukan oleh Bolwby dan Parkes (1970, dalam Collins, 2008) yang menyatakan proses kehilangan dalam empat tahapan, yaitu syok dan mati rasa, hasrat mencari penyelesaian, disorientasi dan disorganisasi serta reorganisasi dan resolusi. Hasil penelitian ini tahap tawar-menawar tidak muncul karena pada tahap hasrat mencari penyelesaian, keluarga merasakan kegelisahan, kemarahan, rasa bersalah dan kebingungan secara bersamaan. Keluarga berusaha mencari tahu bagaimana dan mengapa peristiwa yang menimbulkan perasaan berduka tersebut dapat terjadi. Disaat yang sama keluarga berusaha untuk membantah kenyataan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi. Hal tersebut dialami oleh partisipan dua dan enam. Partisipan dua berusaha mencari informasi tentang keadaan anaknya ke petugas kesehatan, namun keluarga mengalami kekecewaan yang mendalam terhadap cara petugas kesehatan saat menyampaikan informasi, sehingga keluarga marah dan menyalahkan petugas kesehatan. Partisipan enam berulang kali membantah kenyataan bahwa anaknya mengalami autisme dengan mengatakan bahwa anaknya sebenarnya mampu berkomunikasi. Sikap partisipan enam tersebut mengakibatkan konfl ik dalam diri yang terus menyiksa dan pada akhirnya marah dan menyalahkan diri sendiri. Keluarga cenderung menyalahkan diri, marah kepada orang lain, lingkungan bahkan Tuhan. Hal tersebut menyebabkan kehancuran perasaan yang semakin dalam dan keluarga mengalami fase disorientasi dan disorganisasi atau masuk ke tahap depresi tanpa melalui tahap menawar. Kesamaan tahap akhir proses berduka menurut Kubbler-Ross (2005), Bowlby dan Parkes (1970, dalam Collins, 2008) dan temuan dalam penelitian ini, di mana tahap akhir perasaan berduka adalah tahap menerima. Tahap ini ditandai dengan kembalinya energi yang telah hilang selama proses berduka, peningkatan kemampuan mengambil keputusan dan tumbuhnya kepercayaan diri dan merencanakan cara untuk menyelesaikan masalah. Tema 2: Penyebab berduka Penelitian ini menemukan bahwa perasaan berduka yang dialami oleh keluarga tidak berhenti pada tahap menerima, karena perasaan berduka kembali terjadi berulangkali saat keluarga menemui beberapa penyebab berduka. Penyebab perasaan berduka bersumber dari diri caregiver dan bersumber dari keadaan anak autisme itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Blaska (1998) yang menyebutkan adanya sejumlah kejadian yang mengiringi keluarga selama mendampingi proses tumbuh kembang anak dengan kecacatan, termasuk di dalamnya anak autisme yang menyebabkan kembalinya perasaan berduka. Eakes (1995, dalam Collins, 2008) dalam struktur "berduka kronis" yang dikembangkannya menguatkan hasil penelitian ini dengan menjelaskan bahwa peristiwa penyebab yang membawa keluarga kembali mengalami perasaan berduka berasal dari lingkungan, situasi dan kondisi yang berbeda dengan yang dialami keluarga. Blaska tidak secara jelas memaparkan bentuk-bentuk kejadian yang dapat memicu kembalinya perasaan berduka tersebut, sementara Eakes (1995, dalam Collins, 2008) dengan lebih jelas mendefi nisikan penyebab kembalinya perasaan berduka. Contoh, keluarga akan merasa sedih saat melihat anak yang seusia dengan anggota keluarga yang mengalami autisme telah mampu berbicara dengan lancar dan mampu menyatakan keinginannya, sementara anaknya masih belum mampu berkomunikasi. Pendapat Eakes tentang Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190 188 kejadian penyebab tidak ditemukan secara langsung dalam penelitian ini, tetapi merupakan gabungan dari dua sumber, yaitu keadaan anak autisme seperti lambat dalam berespons, berperilaku berlebihan serta berperilaku yang tidak mudah dimengerti akan menjadi hal yang menyakitkan saat keluarga melihat anak yang tumbuh dan berkembang secara normal. Seorang partisipan penelitian pernah menyampaikan bahwa ada perasaan jengkel sekaligus sedih saat melihat anak yang seusia dengan anaknya yang mengalami autisme dapat melakukan berbagai hal yang belum dimiliki oleh anaknya. Hal tersebut sedikit demi sedikit akan memengaruhi perasaan keluarga sampai terjadi suatu akumulasi berlebihan dan menyebabkan keluarga merasakan kembali perasaan berduka yang mendalam. Tema 3: Beban sebagai dampak proses berduka Proses berduka yang terus berlanjut akan berkembang menjadi beban yang dialami keluarga. Temuan penelitian tersebut didukung oleh Fontain (2008) yang mendefi nisikan bahwa beban keluarga merupakan tingkat pengalaman distress keluarga sebagai dampak keberadaan anggota keluarga terhadap keluarganya. Dalam konteks penelitian ini, keberadaan anak dengan autisme menyebabkan keluarga mengalami tahapan berduka dan apabila keluarga tidak mampu menyeimbangkan kemampuan untuk menghadapi perasaan berduka tersebut akan menimbulkan dampak tertentu yang digambarkan dalam berbagai beban yang dihasilkan. Jenis beban yang teridentifi kasi dalam penelitian ini meliputi beban psikologis, beban pikiran, beban fi sik, beban fi nansial, beban sosial dan beban waktu. Berbagai macam beban tersebut memiliki karakteristik yang serupa dengan jenis beban yang dialami keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa menurut WHO (2008). WHO membagi beban menjadi dua jenis, yaitu beban subjektif dan beban objektif. Beban subjektif merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis anggota keluarga, seperti perasaan kehilangan, sedih, cemas, malu, stres dan frustasi. Sementara beban objektif meliputi gangguan hubungan antaranggota keluarga, keterbatasan hubungan sosial dan aktivitas kerja, kesulitan fi nansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fi sik anggota keluarga. Beban psikologis dinyatakan dalam bentuk perasaan jengkel, marah, malu, menderita, takut, khawatir dan berat/sulit selama merawat anak dengan autisme dan hal tersebut identik dengan beban subjektif menurut WHO (1998). Berbagai macam perasaan tersebut timbul silih berganti dan berulang-ulang berdasarkan penyebab yang dialami oleh keluarga dan dipengaruhi oleh karakteristik partisipan, seperti jenis kelamin dan tingkat keparahan autisme yang dialami oleh anak. Suatu saat keluarga akan mampu mengatasinya, namun disaat yang berbeda keluarga merasa tidak mampu untuk melaluinya, dan hal tersebut akan memengaruhi kualitas hidup keluarga sebagai caregiver. Gray (2003) juga memperkuat hasil penelitian ini dan menyatakan bahwa 35 keluarga yang merawat anak autisme lebih dari sepuluh tahun mengalami tekanan emosi yang terus-menerus seperti depresi, kecemasan dan kemarahan. Beban fi sik, beban fi nansial, beban sosial dan beban waktu memiliki karakteristik yang serupa dengan jenis beban objektif menurut WHO (2008). Beban fisik yang dialami keluarga sedikit berbeda dengan pendapat WHO (2008) yang menemukan adanya dampak negatif kesehatan fisik anggota keluarga sebagai bagian dari beban objektif. Beban fi sik keluarga selama merawat anak autisme dalam penelitian ini belum menimbulkan gangguan fi sik yang nyata, tetapi hanya berbentuk pada kelelahan fi sik, sementara pada keluarga dengan gangguan jiwa menurut WHO (2008) telah memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan fi sik keluarga. Penelitian ini juga menemukan, bahwa karakteristik partisipan yang sebagian besar adalah seorang ibu yang cenderung mengambil alih seluruh tugas perawatan anak sehingga sering merasakan beban psikologis yang berlebihan dan lebih mudah merasa lelah saat merawat anak autisme. Gray (2003) memperkuat hasil analisis ini dalam pernyataannya bahwa keluarga akan merasakan masalah kesehatan secara fisik sebagai dampak stres yang terus berkelanjutan Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo) 189 atau merupakan kumulatif beban psikologis yang selalu berulang. Beban fi nansial yang ditemukan dalam penelitian ini, seperti penggunaan uang untuk kebutuhan anak autisme, pembiayaan pengobatan dan terapi rutin anak autisme, pengeluaran untuk pemenuhan nutrisi khusus anak autisme serta pembiayaan sekolah khusus untuk anak autisme juga menggambarkan kemiripan dengan kesulitan finansial yang dirasakan sebagai beban objektif pada keluarga yang merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut WHO (2008). Keluarga merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan fi nansial selama perawatan karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan berlangsung terus- menerus sepanjang kehidupan anak. Perbedaan dalam hal penggunaan fi nansial untuk anak autisme dan anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa, yaitu pada anak autisme terdapat kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi khusus dan pemenuhan kebutuhan pendidikan di sekolah khusus. Sosial yang ditemukan dalam penelitian ini berupa pembatasan aktivitas sosialisasi pada caregiver dan anak autisme sama dengan pembatasan hubungan sosial pada beban objektif keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa. Keluarga akan membatasi interaksi diri dengan lingkungan saat bersama dengan keluarga yang mengalami gangguan maupun anak yang mengalami autisme akibat adanya ketakutan dan kekhawatiran bahwa anak menampilkan perilaku yang kurang baik dan menyebabkan keluarga merasa malu saat berada di tempat umum. Beban sosial tersebut dirasakan keluarga sebagai bentuk ketidakbebasan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Penelitian ini juga diidentifikasi adanya beban waktu, di mana keluarga harus mengorbankan waktu pribadi dan kebebasan pribadi selama merawat anak dengan autisme. Beban waktu ini identik dengan beban objektif keluarga yang merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut WHO (2008), yaitu adanya pembatasan aktivitas kerja karena keluarga harus menyediakan waktu untuk merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa maupun anak yang mengalami autisme membutuhkan perhatian yang intensif dan berkesinambungan, terkait dengan perawatan, proses pengobatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Keluarga sebagai caregiver harus menyediakan waktu, bahkan mengorbankan waktu untuk kepentingan pribadi selama merawat anak yang mengalami autisme. Penelitian ini menemukan satu beban yang belum masuk ke dalam kategori beban subjektif maupun beban objektif berdasarkan WHO (2008), yaitu beban pikiran. Beban pikiran yang dirasakan partisipan berasal dari caregiver seperti pikiran jenuh dan bosan selama merawat anak autisme serta beban pikiran yang berasal dari anak autisme, di mana partisipan tidak dapat berhenti memikirkan keadaan anak autisme. Beban pikiran dapat digolongkan ke dalam beban subjektif. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengalaman keluarga merawat anak dengan autisme merupakan pengalaman yang luar biasa berat dan tidak mudah untuk dilalui. Keluarga mengalami proses berduka yang mendalam, menetap dan berkepanjangan serta berulang-ulang sejak keluarga mengetahui bahwa salah satu anggota keluarganya mengalami autisme. Keluarga akan melalui lima tahapan berduka, yaitu menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima. Penelitian ini menegaskan tahapan menawar akan dialami oleh keluarga apabila setelah melewati tahap marah keluarga menampilkan perasaan dan pemikiran yang menyeimbangkan perasaan berduka tersebut, di mana keluarga menyatakan perasaan khawatir sekaligus berharap terhadap kemampuan keluarga untuk menghadapi kehidupan mendatang selama merawat anak dengan autisme. Tahapan berduka akan diakhiri dengan tahap menerima, di mana keluarga dapat memahami keadaan anak autisme dan mampu melanjutkan kehidupan bersama anak autisme. Perasaan berduka kembali terjadi secara fluktuatif dan berulang meskipun keluarga telah mencapai tahap menerima, yaitu saat keluarga menemui suatu keadaan yang Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190 190 menyebabkan timbulnya kembali perasaan berduka. Penyebab dapat berasal dari caregiver maupun dari anak autis itu sendiri. Perasaan berduka yang muncul kembali ditampilkan dalam berbagai bentuk beban subjektif dan objektif, yang dirasakan keluarga secara psikologis, pikiran, fisik, finansial, sosial dan waktu. Penelitian ini menemukan beban pikiran sebagai tambahan dari beban subjektif berdasarkan pengelompokan beban yang telah ada. Setiap keluarga akan mengalami dampak berduka dalam berbagai tingkatan sesuai dengan jenis, karakteristik dan kemampuan adaptasi keluarga. Saran P e n e l i t i a n i n i d i h a r a p k a n d a p a t dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan profesional, khususnya perawat jiwa untuk melengkapi k e m a m p u a n n y a d a l a m m e m i n i m a l k a n berbagai dampak yang dirasakan keluarga selama merawat anak dengan autisme melalui pengembangan desain asuhan keperawatan jiwa anak dalam konteks keluarga, penelitian lanjut disarankan terkait pemberdayaan keluarga dalam pengelolaan beban selama merawat anak dengan autisme serta penelitian untuk menyempurnakan modul terapi psikoedukasi keluarga dan terapi kelompok suportif yang spesifi k untuk keluarga dengan anak autisme. KEPUSTAKAAN Blaska, JK., 1998. Cyclical Grieving: Reoccuring Emotions Experienced by Paretnts Who Have Children with Disabilities, (Online), (http://proquest. umi.com/pqdweb., diakses tanggal 10 Juni 2009). Dunn, M.E. dan Burbine, T., 2001. Moderators of stress in parents of children with autism. Community Mental Health Journal, 37, 39–51. Hulme, 1999. Family empowerment: A nursing intervention with suggested outcomes for family of children with chronic heath condition, Journal of Family Nursing, 5(1), 33–50. Hastings, R.P., 2003. Brief report: behavioral adjustment of siblings of children with autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, 33 (1), 99–104. Rodrigues, 2007. Financial burden in families with children with special health care needs. Journal Pediatric Psychology; 32: 417–426. Novak, J.M., 2006. Coping strategies used by parents of children with autism. Journal of the American Academy of Nursing Practitioners 19 (2007). 251.